Anda di halaman 1dari 64

KEPATUHAN NELAYAN PANCING TONDA PADA PERATURAN

TERKAIT PENGGUNAAN RUMPON


DI PALABUHANRATU, SUKABUMI

RICKY DAMEANUS SEMBIRING DEPARI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kepatuhan
Nelayan Pancing Tonda pada Peraturan Terkait Penggunaan Rumpon di
Palabuhanratu, Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2018

Ricky Dameanus Sembiring Depari


NIM C44140033
iii
iii
iii

ABSTRAK

RICKY DAMEANUS SEMBIRING DEPARI. Kepatuhan Nelayan Pancing


Tonda pada Peraturan Terkait Penggunaan Rumpon di Palabuhanratu, Sukabumi.
Dibimbing oleh THOMAS NUGROHO dan DARMAWAN.

Perikanan rumpon di Palabuhanratu telah berkembang sejak tahun 2005. Nelayan


Palabuhanratu menggunakan alat bantu rumpon pada kegiatan penangkapan ikan
karena dapat memberikan kemudahan bagi nelayan sehingga jumlah armada
perikanan rumpon di Palabuhanratu mengalami peningkatan yang pesat.
Pertumbuhan jumlah penggunaan rumpon yang pesat akan menjadi masalah
apabila perilaku nelayan pengguna rumpon tidak mengikuti peraturan yang telah
berlaku. Maka dari itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
mendeskripsikan perikanan rumpon, identifikasi perilaku pemilik modal usaha
perikanan rumpon terhadap peraturan formal dan nilai-nilai kearifan lokal yang
telah dibangun oleh nakhoda dan anak buah kapal. Metode penelitian
menggunakan studi kasus dan teknik pengambilan sampel dilakukan
menggunakan Stratified Random Sampling serta menggunakan metode analisis
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi rumpon yang
digunakan nelayan pancing tonda yang terdapat di Palabuhanratu terdiri dari
pelampung, tali tambat, atraktor dan pemberat. Di Palabuhanratu terdapat 100 unit
kapal pancing tonda yang beroperasi, namun hanya 28 kapal pancing tonda yang
memiliki rumpon untuk melakukan operasi penangkapan ikan dengan jumlah
rumpon 15 unit. Hasil tangkapan nelayan perikanan rumpon yang terdapat di
Palabuhanratu yaitu Thunnus sp, Katsuwonus sp, Carcharhinus sp, Istiophorus sp
dan Coryphaena sp, Auxis sp. Pemilik modal perikanan rumpon berperilaku
belum mematuhi Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Nakhoda
dan ABK perikanan rumpon mematuhi peraturan informal yaitu nilai- nilai
kearifan lokal yang dibangun oleh nakhoda dan ABK perikanan rumpon tentang
penerimaannya pada sanksi, tanggung jawab mengawasi rumpon dan manfaat
ilegal.

Kata Kunci: kepatuhan, Palabuhanratu, pancing tonda, Permen KP No.


PER.26/MEN/2014, rumpon
iv

ABSTRACT

RICKY DAMEANUS SEMBIRING DEPARI. Trolling Line Firhermans


Obedience on FADs Utility In Palabuhanratu Fishing Port, Sukabumi. Supervised
by THOMAS NUGROHO and DARMAWAN.

FADs fishery in Palabuhanratu has grown since 2005. Fishermen Palabuhanratu


using FADs tools in fishing activities because it can provide convenience for
fishermen so that number of fleet FADs fishery in Palabuhanratu has been
increase rapidly. The rapid growth of hamlets number will be a problem if
behavior of FADs fishermen does not follow the applicable rules. Therefore,
should be a research to describe FADs fishery and behavior identification of
business owners FADs fishery between formal regulations with the values of local
wisdom which was built by the skipper and crew. The research method was using
case study, Stratified Random Sampling technic and descriptive analysis. Result of
the research shows that the construction of FADs used by trolling line fisherman’s
in Palabuhanratu consists of buoy, mooring ropes, atractor and weight. In
Palabuhanratu there are 100 units of trolling line fishing vessels that operated, but
only 28 trolling line fishing vessels that have FADs to do fishing process with the
number of 15 FADs units. The result from fishing activity using FADs are
Thunnus sp, Katsuwonus sp, Carcharhinus Istiophorus sp, Coryphaena sp and
Auxis sp. The owner of FADs fishing asset do not obey ministerial regulation KP
No. PER.26/MEN/2014 about FADs. FADs skipper and crews obey the informal
regulations such as local wisdom values that has been built by themselves about
they acceptance of sanctions, responsibility of FADs overseeing and illega l
benefits.

Keywords: obedience, Palabuhanratu, trolling line, Permen KP No.


PER.26/MEN/2014, FADs
v

KEPATUHAN NELAYAN PANCING TONDA PADA PERATURAN


TERKAIT PENGGUNAAN RUMPON
DI PALABUHANRATU, SUKABUMI

RICKY DAMEANUS SEMBIRING DEPARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
ix
vii

PRAKATA
Segala puji syukur penulis tujukan kepada Tuhan atas segala berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Kepatuhan Nelayan Pancing Tonda pada Peraturan Terkait Dengan Penggunaan
Rumpon di Palabuhanratu, Sukabumi.
Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1) Keluargaku tercinta, Bapak Nesron Sembiring Depari dan Ibu Setianna
Sinulingga serta kedua adikku Alicia Sembiring Depari dan Giska Anjelia
Sembiring Depari atas dukungan doa, perhatian dan kasih sayang, materil dan
moril selama penulis kuliah sampai menyelesaikan skripsi.
2) Thomas Nugroho, SPi MSi dan Dr Ir Darmawan, MAMA selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan dan
masukan selama penulis penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.
3) Akhmad Solihin, SPi MHum atas bimbingan dan arahan serta masukannya.
4) Dr Ir Mohammad Imron, MSi selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5) Prihatin Ika Wahyuningrum, SPi MSi selaku dosen yang mewakili komisi
pendidikan Departemen PSP yang telah memberikan saran dan masukan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6) Zulfa Emazir, AMd atas bantuannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
7) Handi Wijaya dan Tatang Suherman A.Pi atas bantuan selama penulis
melakukan penelitian di PPN Palabuhanratu.
8) Bayu Nugroho yang telah memberikan fasilitas tumpangan tempat tinggal
selama penulis melakukan penelitian di PPN Palabuhanratu dan membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
9) Ari (PSP angkatan 52) atas bantuannya selama proses penyelesaian skripsi ini.
10) Semua staff dan dosen khususnya di Departemen PSP atas segala bantuan dan
didikannya selama selama penulis kuliah sampai menyelesaikan skripsi.
11) Dwinta atas bantuannya dan kebersamaan selama mengikuti proses
perkuliahan.
12) Hasti atas bantuannya dan kebersamaannya selama mengikuti proses
perkuliahan.
13) Sahmirad atas bantuannya dan kebersamaannya selama mengikuti proses
perkuliahan.
14) Teman-teman PSP angkatan 51 atas kebersamaannya selama mengikuti proses
perkuliahan.
15) Semua pihak yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2018

Ricky Dameanus Sembiring Depari


xi
viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE PENELITIAN 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Alat dan Bahan Penelitian 4
Metode Penelitian 4
Jenis Data 4
Pengumpulan Data 5
Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Kondisi Perikanan Tangkap PPN Palabuhanratu 11
Usaha Perikanan Rumpon: Konstruksi, Armada Kapal dan Hasil Tangkapan 12
Kapal pancing tonda 18
Perilaku Pemilik Modal Usaha Perikanan Rumpon pada Peraturan Formal
dalam Menggunakan Rumpon 21
Kepatuhan dari Sisi Hukum 23
Kepatuhan dari Sisi Teknis 24
Perilaku yang Dibangun Nakhoda dan Anak Buah Kapal Usaha Perikanan
Rumpon Tentang Penerimaannya pada Sanksi, Tanggung Jawab Mengawasi
Rumpon dan Manfaat Ilegal 27
SIMPULAN DAN SARAN 32
Simpulan 32
Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 33
RIWAYAT HIDUP 55
ix
DAFTAR TABEL
1 Alat dan bahan penelitian di lapang 4
2 Data peta kepemilika rumpon dan jumlah rumpon di Palabuhanrtau 4
3 Metode pengumpulan dan analisis data 6
4 Kriteria penskoran untuk pemilik modal 7
5 Interval kriteria kepatuhan pemilik modal perikanan rumpon dari sisi
hukum 8
6 Interval kriteria kepatuhan pemilik modal perikanan rumpon dari sisi
teknis 9
7 Kriteria penskoran untuk nakhoda dan ABK 9
8 Interval kriteria kepatuhan nakhoda dan ABK 10
9 Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhanratu tahun 2012 - 2016 11
10 Perkembangan alat penangkapan ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2012-
2016 12
11 Biaya pembuatan satu unit rumpon di Palabuhanratu 17
12 Dimensi kapal pancing tonda di Palabuhanratu pada tahun 2017 18
13 Rincian alat tangkap yang dibawa nelayan pancing tonda di
Palabuhanratu untuk per-trip 19
14 Jumlah biaya kebutuhan melaut per-trip 20
15 Rata-rata pembagian keuntungan antara pemilik, nakhoda dan ABK per-
trip 21
16 Koordinat penempatan rumpon 24
17 Jarak antar rumpon 25
18 Sanksi dalam pemanfaatan rumpon 28
19 Tanggung jawab moral nelayan dalam memanfaatkan rumpon 29
20 Manfaat bersifat illegal dalam pemanfaatan rumpon 31

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian: Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabu mi, Jawa
Barat 3
2 Pancing tonda yang berbasis di Palabuhanratu 14
3 Bagian – bagian rumpon di Palabuhanratu 15
4 Sketsa rumpon di Palabuhanratu 16
5 Posisi pemasangan antar rumpon 24

DAFTAR LAMPIRAN
1 Skala likert kepatuhan pemilik modal dari sisi hukum 36
2 Skala likert penerapan peraturan pemasangan rumpon berdasarkan
aspekteknis 37
3 Skala likert sanksi dalam pemanfaatan rumpon 38
4 Skala likert tanggung jawab moral nelayan dalam memanfaatkan rumpon 38
5 Skala likert manfaat bersifat ilegal dalam pemanfaatan rumpon 39
6 Dokumentasi hasil penelitian 40
7 Aturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 26 Tahun 2014 42
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perikanan rumpon di Palabuhanratu telah berkembang sejak tahun 2005.


Rumpon tersebut diperkenalkan oleh nelayan pendatang dari Sulawesi yang
dioperasikan di sekitar teluk Palabuhanratu (Yasa 2012). Nelayan Palabuhanratu
menggunakan alat bantu rumpon pada kegiatan penangkapan ikan karena dapat
mengurangi biaya operasional, meningkatkan hasil tangkapan dan mempunyai
kepastian daerah operasi penangkapan ikan (fishing ground) (Imron dan Baskoro
2006 dalam Besweni 2009). Naamin (1987) dalam Besweni (2009) menyatakan
bahwa penggunaan alat bantu rumpon dapat menghemat penggunaan bahan bakar
minyak sebesar 50-60% dalam operasi penangkapan ikan dan meningkatkan hasil
tangkapan nelayan yang menggunakan rumpon sebesar 105%. Selain itu Jeujanan
(2008) mengungkapkan bahwa rumpon merupakan salah satu alat bantu
penangkapan ikan yang mempunyai efektivitas hasil tangkapan yang baik, karena
hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan rumpon umumnya lebih banyak
dibandingkan dengan nelayan yang tidak menggunakan rumpon. Berdasarkan
hasil penelitian Anggraeni (2012) menunjukkan bahwa nilai efektivitas nelayan
yang menggunakan alat bantu rumpon meningkat sebesar 24% dibandingkan
sebelum menggunakan alat bantu rumpon.
Jumlah armada perikanan rumpon di Palabuhanratu mengalami peningkatan
yang pesat selama 11 tahun terakhir. Awalnya armada perikanan rumpon di
Palabuhanratu hanya berjumlah 9 unit pada tahun 2005, lalu bertambah menjadi
100 unit pada tahun 2016 (Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu 2016).
Pertumbuhan jumlah armada perikanan rumpon diduga karena semakin besarnya
minat nelayan berinvestasi pada kegiatan usaha perikanan rumpon. Hal ini
dikarenakan salah satu jenis hasil tangkapan nelayan pancing tonda yang
menggunakan alat bantu rumpon adalah ikan tuna yang memiliki nilai ekonomis
tinggi dan merupakan komoditas utama ekspor hasil perikanan Indonesia.
Pertumbuhan jumlah penggunaan rumpon yang pesat akan menjadi masalah
apabila perilaku nelayan pengguna rumpon tidak mengikuti peraturan yang telah
berlaku. Salah satu permasalahan yang terjadi yaitu penempatan lokasi rumpon
tidak beraturan karena nelayan hanya mengandalkan pengalaman dan intuisi pada
saat proses penentuan lokasi pemasangan rumpon (Nurdin 2017). Akibat dari
masalah penempatan rumpon yang tidak beraturan menimbulkan persaingan
antara nelayan pure seine dengan nelayan pancing tonda dalam menentukan lokasi
pemasangan rumpon (Nuramin 2013). Selain itu, masalah tersebut juga
mengakibatkan konflik antarsesama pengguna rumpon maupun pengguna jenis
alat tangkap lain dalam penentuan daerah penangkapan ikan dan sumberdaya ikan
(Besweni 2009).
Ostrom (1990), menyatakan bahwa perilaku manusia dalam proses
pemanfaatan sumberdaya perikanan membutuhkan adanya kontrol melalui
peraturan. Terkait pemanfaatan rumpon pemerintah secara formal melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan berupa
Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Peraturan Menteri tersebut
mengatur tentang perizinan pemasangan rumpon, desain teknis dan cara
2

pemasangan rumpon. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk


mengontrol perilaku nelayan dalam menggunakan rumpon dan memanfaatkan
sumberdaya perikanan. Selain peraturan formal, ada juga peratura n informal yang
terbentuk melalui interaksi yang dilakukan antar sesama nelayan pengguna
rumpon pada kegiatan operasi penangkapan ikan. Oleh karena itu, penting bagi
pihak pemerintah untuk mengetahui respon nelayan terhadap peraturan yang telah
ada agar mengetahui sejauh mana peraturan tersebut telah dijalankan oleh
nelayan.
Menurut Bene dan Tewfik (2001), mengetahui respon nelayan terhadap
peraturan yang berlaku di bidang perikanan sangat penting dalam manajemen
perikanan demi menjamin keberlanjutan sumberdaya dan kegiatan penangkapan
ikan. Perilaku atau respon nelayan terhadap peraturan perlu diamati untuk
mengetahui proses penerapan peraturan yang telah ada. Informasi perilaku atau
respon nelayan pada peraturan tersebut dapat dilihat sebagai ketaatan ata u
kepatuhan nelayan pada peraturan yang berlaku. Namun, informasi mengenai
kepatuhan nelayan perikanan rumpon terhadap Permen KP No.
PER.26/MEN/2014 di Palabuhanratu belum ada. Sehingga perlu diketahui
seberapa besar kepatuhan nelayan terhadap peraturan yang berlaku. Oleh karena
itu penelitian mengenai kepatuhan nelayan perikanan rumpon pada peraturan
terkait dengan penggunaan rumpon menjadi sangat penting dilakukan terutama
untuk bahan evaluasi bagi pihak pemerintah dalam menyusun kebijakan di bidang
perikanan khususnya mengenai rumpon.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah


sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan usaha perikanan rumpon yaitu konstruksi, armada kapal dan
hasilnya.
2) Mengidentifikasi perilaku pemilik modal usaha perikanan rumpon pada
peraturan formal yaitu Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon.
3) Mengidentifikasi perilaku nakhoda dan anak buah kapal (ABK) usaha
perikanan rumpon terkait penerimaannya pada sanksi, tanggung jawab
mengawasi rumpon dan manfaat ilegal.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini berguna sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pihak
pemerintah untuk menyusun kebijakan tentang perikanan rumpon spesifiknya
terkait sisi hukum yang meliputi perizinan dan sisi teknis meliputi pemasangan
rumpon, konstruksi rumpon dan tanda pengenal yang digunakan pada rumpon
sehingga penerapannya di lapang berjalan dengan baik. Selain itu penelitian ini
juga bermanfaat bagi pihak akademisi sebagai penyedia informasi mengenai
kepatuhan nelayan pancing tonda terhadap Permen KP No. PER.26/MEN/2014
tentang Rumpon.
3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan. Tahap pertama adalah pra-
penelitian yang ditujukan untuk memperoleh informasi awal mengenai kondisi
perikanan yang menggunakan rumpon di Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Data yang dikumpulkan terutama adalah data para pelaku usaha perikanan
rumpon yang meliputi pemilik modal, nakhoda dan ABK. Informasi lain yang
dikumpulkan termasuk jumlah rumpon yang dimiliki dan spesifikasi unit
penangkapan yang digunakan. Data yang diperoleh dari pra-penelitian ini
kemudian dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan jumlah responden dan
penyusunan daftar pertanyaan untuk wawancara/kuesioner. Pra-penelitian
dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2017 sampai dengan 18 Agustus 2017.
Tahap kedua adalah penelitian, tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1) Persiapan (termasuk penyusunan kuesioner dan
penentuan sampel), 2) Pelaksanaan (termasuk wawancara dan pengisian
kuesioner), 3) Pengamatan/observasi lapang dan pengukuran spesifikasi unit
penangkapan ikan, 4) Pengolahan data dan 5) Penulisan hasil penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai dengan Oktober 2017.
Penelitian ini dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu,
Sukabumi, Jawa Barat. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi Penelitian: Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,


Jawa Barat
4

Alat dan Bahan Penelitian

Secara keseluruhan alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan penelitian di lapang


Nama Alat Kegunaan
Laptop Media untuk penulisan dan penyusunan proposal hingga skripsi
Kuesioner Pedoman dalam proses melakukan wawancara
Handphone Merekam dan memfoto

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
terhadap perikanan pancing tonda dengan rumpon di PPN Palabuhanratu,
Sukabumi. Menurut Sangadji dan Sopiah (2010) metode studi kasus adalah
penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan dengan latar belakang dan
kondisi saat ini dari subjek yang diteliti serta interaksinya dengan lingkungan.

Jenis Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu primer dan sekunder. Data
primer merupakan hasil wawancara terkait deskripsi perikanan rumpon, kepatuhan
pemilik modal usaha perikanan rumpon terhadap Permen KP No.
PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon dan peraturan informal yaitu nilai- nilai yang
dibangun oleh nakhoda dan ABK perikanan rumpon tentang penerimaannya pada
sanksi, tanggung jawab mengawasi rumpon dan manfaat ilegal pada proses
pemanfaatan rumpon di Palabuhanratu. Data ini diperoleh melalui wawancara
terstruktur, yaitu wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner)
yang telah disiapkan sebelumnya dengan alternatif jawaban yang sudah ditentukan
(Sugiyono 2013). Data sekunder berupa data statistik mengenai jumlah kapal
pancing tonda yang berada di PPN Palabuhanratu. Berikut data kepemilikan
rumpon di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data peta kepemilika rumpon dan jumlah rumpon di Palabuhanrtau


Jumlah Jumlah Jumlah
Nama Kapal Nama Pemilik
rumpon Nakhoda ABK
Jaya Mandiri 01
Jaya Mandiri 02
Jaya Mandiri 03
Jaya Mandiri 04
Jaya Mandiri 05
Jaya Mandiri 06 Hendri 6 12 48
Jaya Mandiri 07
Jaya Mandiri 08
Jaya Mandiri 09
Jaya Mandiri 10
Jaya Mandiri 11
5

Lanjutan Tabel 2
Jumlah Jumlah Jumlah
Nama Kapal Nama Pemilik
rumpon Nakhoda ABK
Jaya Mandiri 12
Aofa 01 Angga 2 1 4
Doa Ibu 01
Doa Ibu 02 Andi Arsyad 2 3 12
Doa Ibu 03
Andina 01
Andina 3
Anton Hartono 1 4 16
Andina 5
Andina 7
CBR 01
CBR 02 Firman 1 3 12
CBR 03
Arwana 2
Arwana 9
Dede Ola 2 4 16
Bogor 01
Bogor 02
Fajar Mas Nendi 1 1 4
Total 15 28 112

Pengumpulan Data

Hasil observasi lapang diketahui bahwa pemilik modal usaha perikanan


rumpon adalah nelayan yang memiliki unit penangkapan ika n berupa kapal dan
alat tangkap, sedangkan nelayan pekerja adalah nelayan yang tidak memiliki
peranan dalam pembelian alat tangkap dan kapal melaikan hanya bekerja dan
berperan dalam kegiatan operasi penangkapan ikan. Populasi nelayan pancing
tonda yang memiliki rumpon dalam proses penangkapan ikan sebanyak 7 orang
pemilik modal dengan 28 orang nakhoda dan 112 orang ABK.
Berdasarkan karakteristik populasi tersebut maka metode pengumpulan data
pada penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan perikanan rumpon dan
mengetahui kepatuhan nelayan pancing tonda pada peraturan formal dan informal
dilakukan secara Stratified Random Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel
jika populasi berada dalam kelompok berbeda dan jumlahnya proposional dengan
asumsi setiap kelompok mempunyai karateristik yang homogen (Sangadji dan
Sopiah 2010). Idrus (2009) ukuran sampel yang harus diambil pada jenis
penelitian sosial yaitu minimum 10% dari jumlah populasi. Sehingga pada
penelitian ini jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 44 orang dengan
hasil perhitungan sebagai berikut:
1) Jumlah responden untuk pemilik modal perikanan rumpon diambil 100% yaitu
sebanyak 7 orang.
2) Jumlah responden untuk nakhoda kapal pancing tonda diambil 50 % dari
jumlah populasi yang ada sehingga didapatkan hasil perhitungannya sebanyak
14 orang.
3) Jumlah responden untuk ABK diambil 20% dari jumlah populasi yang ada
sehingga didapatkan hasil hitungannya sebanyak 23 orang.
6

Berikut tabulasi metode pengumpulan data primer dan sekunder dapat


dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Metode pengumpulan dan analisis data


Metode Metode
Data yang Dikumpulkan pengumpulan analisis
data data
Deskripsi perikanan rumpon Wawancara/ deskriptif
 Konstruksi rumpon observasi
 Jumlah rumpon
 Jumlah armada kapal rumpon
 Spesifikasi unit penangkapan
 Penanganan hasil tangkapan diatas kapal
 Sejarah berkembangnya perikanan rumpon
 Biaya kebutuhan melaut per-trip
 Biaya pembuatan satu unit rumpon
 Sistem pembagian keuntungan
Perilaku nelayan pada aturan Wawancara/ deskriptif
a. Formal observasi
 Perizinan
 Tata letak pemasangan rumpon
 Konstruksi rumpon dan
 Tanda pengenal pada rumpon
b. Informal
 Sanksi
 Tanggung jawab moral
 Manfaat illegal
Data Statistik PPN Palabuhanratu Observasi deskriptif
 Data jumlah kapal pancing tonda
Salinan dokumen Permen KP Nomor internet deskriptif
26/Permen-Kp/2014 tentang Rumpon

Analisis Data

Mendeskripsikan Perikanan Rumpon


Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan usaha
perikanan pancing tonda dengan rumpon di Palabuhanratu. Analisis deskriptif
kualitatif dilakukan setelah melakukan pengamatan langsung, pengisian kuesioner
dan wawancara. Analisis deskriptif kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan
kondisi aktual yang telah diketahui melalui pengumpulan data dan selanjutnya
menganalisis masalah yang ada sesuai dengan gambaran kondisi aktual yang telah
dilakukan (Idrus 2009). Komponen data yang dianalisis adalah konstruksi pada
rumpon, data kepemilikan rumpon, jumlah armada kapal pancing tonda,
spesifikasi unit penangkapan yang digunakan, cara penanganan hasil tangkapan
diatas kapal dan sistem pembagian keuntungan antara pemilik modal, nakhoda
dan ABK pancing tonda.
7

Perilaku Pemilik Modal Pada Peraturan Formal


Analisis kepatuhan nelayan pada peraturan formal dilakukan secara
deskriptif kualitatif setelah dilakukan pengisian kuesioner dan wawancara
terhadap pihak yang terkait. Pada bagian ini tingkat kepatuhan yang akan dilihat
yaitu kepatuhan pemilik modal terhadap peraturan formal berupa Permen KP No.
PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Kemudian digunakan skala likert untuk
mengukur tingkat kepatuhan pemilik modal dalam pemanfaatan rumpon di
Palabuhanratu. Skala likert yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat dan persepsi seseorang terhadap suatu fenomena sosial (Sugiyono 2013).
Kepatuhan pemilik modal terhadap Permen KP No. PER.26/MEN/2014
dilihat dari sisi hukum dan teknis. Pengukuran kepatuhan dari sisi hukum dilihat
dari aspek perizinan dan pengukuran kepatuhan dari sisi teknis dilihat dari aspek
tata letak pemasangan rumpon, konstruksi rumpon dan tanda pengenal yang
digunakan pada rumpon. Keempat aspek yang diteliti tersebut mengacu pada
Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Selanjutnya untuk
memudahkan penilaian jawaban dari responden maka digunakan skala likert yang
bertujuan untuk mengukur tingkat kepatuhan pemilik modal tersebut. Sugiyono
(2013) menyatakan bahwa jawaban setiap item instrumen yang menggunakan
skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif dan
disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Sehingga untuk menentukan kepatuhan
pemilik modal digunakan 2 kriteria penilaian yang terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kriteria penskoran untuk pemilik modal


Pendapat Skor
Ya 1
Tidak 0
Sumber: Sugiyono 2013 telah dimodifikasi

Selanjutnya untuk perhitungan skor rata-rata kepatuhan pemilik modal


perikanan rumpon menggunakan rumus Sugiyono (2013) sebagai berikut:

Keterangan:
Y1 = Banyaknya jawaban responden yang menjawab nilai skor 1 (Ya)
Y2 = Banyaknya jawaban responden yang menjawab nilai skor 0 (Tidak)

Kepatuhan dari sisi hukum


Pada analisis ini, dicari jumlah setiap jawaban responden untuk mengetahui
tingkat kepatuhan pemilik modal dari sisi hukum. Selanjutnya untuk memudahkan
penilaian dari jumlah tersebut maka dibuat interval. Penelitian ini menggunakan
dua kelas interval, rumus yang digunakan untuk menentukan panjang kelas
interval mengacu pada Sugiyono (2013) yaitu sebagai berikut:
8

Keterangan:
Rentang = nilai tertinggi – nilai terendah

Nilai tertinggi = Jumlah pertanyaan × Skor tertinggi


= 3 × 1
= 3

Nilai terendah = Jumlah pertanyaan × Skor terendah


= 3 × 0
= 0

Berdasarkan rumus diatas maka panjang kelas interval yaitu:

anjang kelas nterval

Sehingga interval untuk menentukan kriteria penilaian kepatuhan pemilik


modal perikanan rumpon di Palabuhanratu dari sisi hukum dapat dilihat pada
Tabel 5.

Tabel 5 Interval kriteria kepatuhan pemilik modal perikanan rumpon dari sisi
hukum
Nilai kriteria kepatuhan Keterangan
0–1,5 Tidak Patuh
1,6–3 Patuh

Setelah data diolah maka didapatkan suatu hasil yang menunjukkan


kepatuhan pemilik modal berdasarkan kriteria yang terdapat pada Tabel 5 yang
bertujuan untuk mengetahui kepatuhan pemilik modal perikanan rumpon terhadap
Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon dalam melakukan kegiatan
usaha perikanan rumpon.

Kepatuhan dari sisi teknis


Selanjutnya untuk memudahkan penilaian penerapan peraturan pemasangan
rumpon oleh pemilik modal maka dibuat interval. Bagian ini menggunakan dua
kelas interval, rumus yang digunakan untuk menentukan panjang kelas interval
mengacu pada Sugiyono (2013) yaitu sebagai berikut:

Keterangan:
Rentang = nilai tertinggi – nilai terendah

Nilai tertinggi = Jumlah pertanyaan × Skor tertinggi


= 9 × 1
= 9
9

Nilai terendah = Jumlah pertanyaan × Skor terendah


= 9 × 0
= 0
Berdasarkan rumus diatas maka panjang kelas interval yaitu:

anjang kelas nterval

Sehingga interval untuk menentukan kriteria penilaian penerapan peraturan


pemasangan rumpon oleh pemilik modal dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Interval kriteria kepatuhan pemilik modal perikanan rumpon dari sisi
teknis
Nilai kriteria kepatuhan Keterangan
0 – 4,5 Tidak Sesuai Aturan
4,6 – 9 Sesuai Aturan

Perilaku Nakhoda dan Anak Buah Kapal Pada Peraturan Informal

Kepatuhan nakhoda dan ABK pancing tonda terhadap aturan informal dan
nilai yang ada dalam pemanfaatan rumpon dilihat dari tiga aspek. Ketiga aspek
yang diteliti tersebut mengacu kepada hasil penelitian Sutinen dan Kuperan
(1999) yang menyatakan bahwa kepatuhan pada peraturan dipengaruhi oleh
sanksi, tanggung jawab moral dan manfaat illegal yang dilakukan nelayan dalam
memanfaatkan rumpon. Kemudian untuk memudahkan penilaian jawaban dari
responden maka digunakan skala likert yang bertujuan untuk mengukur tingkat
kepatuhan nakhoda dan ABK. Idrus (2009) menyatakan bahwa skala likert
menggunakan lima alternatif pilihan jawaban dari kondisi yang sa ngat mendukung
hingga yang sangat tidak mendukung. Maka pada penelitian ini digunakan lima
kriteria pilihan jawaban yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kriteria penskoran untuk nakhoda dan ABK


Pendapat Skor
Sangat Setuju/Sangat Patuh 5
Setuju/Patuh 4
Kurang Setuju/Kurang Patuh 3
Tidak Setuju/Tidak Patuh 2
Sangat Tidak Setuju/Sangat Tidak Patuh 1
Sumber: Idrus (2009)

Adapun rumus perhitungan yang digunakan untuk mengetahui kepatuhan


nakhoda dan ABK pancing tonda terhadap aturan informal dan nilai yang ada
dalam pemanfaatan rumpon mengacu kepada Idrus (2009) sebagai berikut:
10

Keterangan:
Z5 = Banyaknya jawaban responden yang menjawab nilai skor 5
Z4 = Banyaknya jawaban responden yang menjawab nilai skor 4
Z3 = Banyaknya jawaban responden yang menjawab nilai skor 3
Z2 = Banyaknya jawaban responden yang menjawab nilai skor 2
Z1 = Banyaknya jawaban responden yang menjawab nilai skor 1

Pada bagian ini penulis menggunakan lima kelas interval. Rumus yang
digunakan untuk menentukan panjang kelas interval mengacu kepada Idrus (2009)
adalah sebagai berikut:

Keterangan:
Rentang = nilai tertinggi – nilai terendah

Nilai tertinggi = Jumlah pertanyaan × Skor tertinggi


= 15 × 5
= 75
Nilai terendah = Jumlah pertanyaan × Skor terendah
= 15 × 1
= 15

Berdasarkan rumus diatas maka panjang kelas interval yaitu:

anjang kelas nterval

Interval yang digunakan untuk menentukan kriteria penilaian kepatuhan


nakhoda dan ABK terhadap aturan informal dan nilai yang ada dalam
pemanfaatan rumpon dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Interval kriteria kepatuhan nakhoda dan ABK


Nilai kriteria kepatuhan Keterangan
≤x≤ Sangat Tidak Setuju/Sangat Tidak Patuh
27 < x ≤ Tidak Setuju/Tidak Patuh
<x≤ Kurang Setuju/Kurang Patuh
<x≤6 Setuju/Patuh
6 <x≤ Sangat Setuju/Sangat Patuh

Selanjutnya setelah data diolah maka didapatkan suatu hasil yang


menunjukkan kepatuhan nakhoda dan ABK berdasarkan kriteria yang terdapat
pada Tabel 8 yang bertujuan untuk mengetahui kepatuhan nakhoda dan ABK
perikanan rumpon terhadap aturan informal dan nilai yang ada dalam pemanfaatan
rumpon pada kegiatan usaha perikanan rumpon.
11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Perikanan Tangkap PPN Palabuhanratu

Letak geografis
Palabuhanratu merupakan salah satu kecamatan di daerah pesisir Teluk
Palabuhanratu yang juga merupakan ibu kota kabupaten Sukabumi. Secara
geografis Palabuhanratu terletak pada posisi 6 0 50’-60 55’ Lintang Selatan dan
1060 25’-1060 50’ Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 9.087,491 ha atau
sebesar 16,34% dari luas wilayah pesisir Teluk Palabuhanratu. Batas-batas
wilayah administratif Palabuhanratu adalah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Cikakak dan Cikondang
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpenan
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Palabuhanratu
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cimanggu
Secara topografi Palabuhanratu merupakan daerah yang berbukit, lereng
pegunungan , pantai dataran rendah yang sempit dan banyak aliran sungai. Sungai
besar yang melewati daerah kecamatan dan menjadikan muara di pantai perairan
Palabuhanratu adalah sungai Cipalabuhan, Citepus dan Cimandiri (Handriana
2007).

Nelayan
Secara umum jumlah nelayan yang terdapat di PPN Palabuhanratu dari
tahun 2013 sampai tahun 2016 mengalami penurunan. Data jumlah nela yan
tersebut disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhanratu tahun 2012 - 2016


Tahun Nelayan (orang) Pertumbuhan(%)
2013 5 081 -
2014 4 072 -20
2015 4 000 -2
2016 1 473 -171
Sumber: Laporan Tahunan PPN Palabuhanratu 2016

Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa tren pertumbuhan nelayan di PPN


Palabuhanratu selama 3 tahun terakhir cenderung menurun. Hasil observasi
lapang menunjukkan bahwa penurunan jumlah nelayan diakibatkan oleh banyak
nelayan yang beralih pekerjaan sebagai tukang dan buruh bangunan.

Alat tangkap
Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan di PPN Palabuhanratu ada 8
jenis yaitu payang, pancing ulur, pancing tonda, jaring rampus, gillnet, long line,
dogol dan bubu. Perkembangan jumlah alat tangkap tersebut dari tahun 2012 -
2016 dapat dilihat pada Tabel 10.
12

Tabel 10 Perkembangan alat penangkapan ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2012-


2016
Tahun Jenis Alat Tangkap
PYG PU PT JR GN LL D B Total
2013 108 366 174 9 4 24 37 1 723
2014 45 293 148 49 4 30 31 3 603
2015 51 292 119 28 7 11 31 1 540
2016 40 246 100 19 3 42 28 1 478
Sumber: Laporan Tahunan PPN Palabuhanratu 2016
Ket: PYG = Payang, PU = Pancing Ulur, PT = Pancing Tonda, JR = Jaring
Rampus, GN = Gillnet, LL = Long Line, D = Dogol, B = Bubu

Tabel 10 menunjukkan mulai tahun 2013 sampai tahun 2016 terdapat dua
jenis alat tangkap paling dominan yaitu pancing ulur dan pancing tonda, walaupun
setiap tahunnya jumlah kedua alat tangkap tersebut mengalami penurunan namun
tetap kedalam kategori jumlah paling dominan dibandingkan jenis alat tangkap
lainnya. Penurunan Jumlah alat tangkap tersebut diakibatkan oleh bangkrutnya
pemilik modal dalam usaha tersebut dan nelayan yang telah ada beralih profesi
menjadi tukang dan buruh bangunan.

Usaha Perikanan Rumpon: Konstruksi, Armada Kapal dan Hasil


Tangkapan

Perikanan rumpon di PPN Palabuhanratu


Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa perikanan rumpon yang
terdapat di Palabuhanratu merupakan nelayan pancing tonda yang melakukan
operasi penangkapan ikan di sekitar rumpon, sehingga masyarakat Palabuhanratu
mengenalnya dengan sebutan perikanan rumpon. Alat tangkap yang digunakan
dalam perikanan rumpon adalah pancing dengan beberapa macam cara
pengoperasian. Terdapat tiga macam cara pengoperasian pancing dalam satu kapal
pancing rumpon yaitu ditonda, pancing ulur dan ditarik menggunakan layang-
layang. Namun dari tiga cara pengoperasian alat tangkap pancing tersebut nelayan
di Palabuhanratu lebih mengenalnya dengan alat tangkap pancing tonda. Hasil
observasi dan wawancara juga diperoleh informasi bahwa perikanan rumpon di
Palabuhanratu mulai berkembang pesat sejak tahun 2004 yang diperkenalkan oleh
suku Bugis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Besweni (2009) menyatakan
bahwa usaha penangkapan ikan berbasis rumpon di Palabuhanratu mulai
dikembangkan oleh nelayan pada tahun 2004.
Data statistik PPN Palabuhanratu tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat
100 unit kapal pancing tonda yang beroperasi. Hal ini menunjukkan alat tangkap
pancing tonda merupakan salah satu jenis yang paling dominan digunakan
nelayan Palabuhanratu setelah pancing ulur. Sehingga Unit analisis dalam
penelitian ini adalah nelayan pancing tonda yang memiliki rumpon pada operasi
penangkapan ikan di Palabuhanratu. Dari hasil observasi lapang bahwa terdapat
100 unit kapal pancing tonda yang beroperasi, hanya 28 kapal yang memiliki
rumpon untuk melakukan operasi penangkapan ikan, dengan jumlah rumpon 15
unit. Berdasarkan hasil wawancara nelayan yang tidak memiliki rumpon biasanya
melakukan operasi penangkapan ikan di rumpon milik perusahaan kapal pure
13

seine yang berasal dari Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman.
Syarat agar nelayan dapat melakukan operasi penangkapan ikan di rumpon
tersebut nelayan harus membantu proses setting alat tangkap pure seine ketika
armada kapal perusahaan tersebut melakukan operasi penangkapan ikan.

Pancing tonda
Pancing tonda (trolling line) merupakan jenis alat penangkapan ikan yang
terdiri dari seutas tali utama berpancing umpan buatan atau seutas tali utama tanpa
jarak dan 2-3 tali cabang berpancing umpan buatan ( Baskoro dan Yusfiandayani
2015). Menurut Subani dan Barus (1989) menyatakan bahwa pancing tonda secara
umum terdiri dari beberapa bagian konstruksi yaitu tali utama, kili-kili (swivel),
mata pancing (hook) dan umpan. Bahan umum yang dipakai pada tali utama
pancing tonda adalah nilon tunggal (monofilament) dan memiliki panjang yang
bervariasi, namun pada umumnya antara 50 -100 m. Hasil wawancara dengan
nelayan bahwa penggunaan alat tangkap pancing tonda karena metode
pengoperasiannya lebih sederhana dan biaya yang dibutuhkan untuk membeli alat
pancing lebih murah daripada alat tangkap lainnya.
Konstruksi pancing tonda yang digunakan nelayan Palabuhanratu adalah
kili-kili, mata pancing, dan tali pancing. Kili-kili merupakan bagian dari pancing
tonda yang berguna untuk mencegah tali pancing agar tidak kusut pada saat
pengoperasian alat tangkap dan umpan digunakan agar ikan tertarik terhadap
pancing. Hasil observasi dilapang bahwa nelayan pancing tonda di Palabuhanratu
pada umumnya menggunakan umpan buatan berupa umpan tiruan berbahan dasar
kain sutera yang berwarna-warni, selain menggunakan umpan buatan nelayan juga
menggunakan umpan berupa ikan hidup. Sesuai dengan Subani dan Barus (1989)
menyatakan bahwa pada umumnya pancing tonda menggunakan umpan tiruan
(imitation bait), dan ada pula yang menggunakan umpan benar (true bait). Umpan
tiruan tersebut bisa terbuat dari bulu ayam (chicken feaders), bulu domba (sheep
wools), kain-kain berwarna menarik dan bahan dari plastik berbentuk miniatur
menyerupai aslinya (misalnya: cumi-cumi, ikan, dan lain-lainnya).
Hasil wawancara dengan nelayan mengatakan bahwa pancing tonda
dioperasikan dengan cara ditarik menggunakan kapal mengelilingi daerah
penangkapan ikan di sekitar rumpon. Cara pengoperasian tersebut sesuai dengan
hasil penelitian Handriana (2007) yang menyatakan bahwa pola pengope rasian
pancing tonda di rumpon dilakukan dengan beberapa pola yang bentuknya
mengelilingi rumpon. Menurut informasi yang diperoleh dari nelayan setempat
pengoperasian pancing tonda yang berbasis di Palabuhanratu terdiri dari tiga tahap
yaitu setting, towing dan hauling. Pada tahapan setting dilakukan penurunan atau
penguluran tali pancing di bagian buritan dan samping kapal. Setelah pancing
disetting pancing tersebut diseret (towing) oleh kapal mengelilingi daerah
penangkapan ikan di sekitar rumpon dengan kecepatan konstan berkisar 2-4 knot.
Hauling dilakukan pada saat umpan sudah dimakan ikan dengan cara menarik tali
pancing ke atas kapal sampai ikan terangkat ke atas kapal. Adapun sketsa operasi
penangkapan menggunkan pancing tonda di sajikan pada Gambar 2.
14

Gambar 2 Pancing tonda yang berbasis di Palabuhanratu


Ket: a = Kapal, b = Joran, c = Tali pancing, d= Mata pancing dengan
umpan dan e = Tali penarik pancing utama

Secara umum penanganan hasil tangkapan yang dilakukan nelayan pancing


tonda di atas kapal menggunakan es balok dan es curah. Jumlah es yang dibawa
untuk kebutuhan penanganan ikan diatas kapal selama 12 hari sebanyak 80 balok,
es tersebut memiliki berat 50 kg per balok. Dari 80 balok es tersebut, 50 balok
diantaranya digiling menjadi es curah dan 30 balok es dibiarkan utuh. Untuk harga
es per baloknya sekitar Rp22 000 yang diantar sampai ke kapal pembeli. Es
tersebut dimasukkan kedalam palkah kapal yang nantinya akan diisi dengan ikan
hasil tangkapan. Hasil tangkapan tersebut biasanya di jual kepada pedagang
pengumpul dan pedagang pengecer yang berasal dari kota Sukabumi, Bogor dan
Jakarta.

Alat bantu rumpon


Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) adalah sebuah konstruksi
bangunan yang dipasang didalam air dengan tujuan untuk memikat ikan agar
berkumpul dan terkonsentrasi di sekitar rumpon, sehingga akan mempermudah
nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan serta meningkatkan efisiensi
dan efektifitas operasi penangkapan ikan (Martasuganda 2008).
Lebih lanjut didalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26
Tahun 2014 jenis rumpon dibagi menjadi 2 yaitu: 1) Rumpon hanyut merupakan
rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan jangkar dan
hanyut mengikuti arah arus dan 2) Rumpon menetap merupakan rumpon yang
ditempatkan secara menetap dengan menggunakan jangkar atau pemberat.
Adapun jenis rumpon menetap terdiri dari: (a) Rumpon permukaan, merupakan
rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di kolom permukaan
perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis dan (b) Rumpon dasar, merupakan
rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di dasar perairan
untuk mengumpulkan ikan demersal.
Menurut informasi dari nelayan setempat sebelum berkembangnya alat
bantu rumpon, alat tangkap payang dan jaring insang merupakan alat tangkap
yang dominan digunakan nelayan Palabuhanratu. Namun seiring berkembangnya
alat bantu rumpon, nelayan di Palabuhanratu beralih menggunakan alat tangkap
pancing tonda dengan menggunakan rumpon sebagai alat bantu pada proses
penangkapan ikan.
Hasil temuan di lapang menunjukkan bahwa umumnya nelayan beralih
menggunakan rumpon untuk operasi penangkapan ikan karena adanya
15

ketertarikan yang tinggi melihat hasil tangkapan utama armada ini, yaitu ikan tuna
yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan hasil tangkapan untuk
diekspor. Selain itu Subani dan Barus (1989) menyatakan bahwa penggunaan
rumpon oleh kapal penangkapan ikan dapat menghemat waktu dan bahan bakar,
karena tidak perlu lagi mencari dan mengejar gerombolan ikan. Lebih lanjut
Nugroho dan Atmaja (2013) menyatakan bahwa penggunaan rumpon sebagai alat
bantu penangkapan memberikan kepastian dalam penentuan daerah penangkapan
ikan dan menekan biaya BBM 30% serta meningkatkan produksi ikan. Monintja
(1993) menambahkan manfaat yang diharapkan dengan menggunakan rumpon
selain menghemat waktu dan bahan bakar adalah dapat meningkatkan hasil
tangkapan per satuan upaya penangkapan, meningkatkan mutu hasil tangkapan
ditinjau dari spesies dan komposisi ukuran berdasarkan selektivitas alat.
Data PPN Palabuhanratu menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 22
unit rumpon yang dipasang oleh nelayan di perairan Samudera Hindia Selatan
Jawa. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan pada saat ini terdapat 15 unit
rumpon yang dipasang oleh nelayan di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa,
dimana status kepemilikannya adalah milik perorangan (bukan bantuan
pemerintah atau rumpon kelompok).
Nelayan yang diwawancarai mengatakan bahwa pemasangan rumpon oleh
nelayan Palabuhanratu secara rata-rata pada posisi 08º–09º LS dan 1050 –1070 BT
dengan kedalaman 2000–6000 m. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wahju et
al. (2013) yang mengatakan bahwa posisi pemasangan rumpon disekitar 60 –90 LS
dan 1050 –1070 BT dengan kedalaman antara 500 sampai 3000 m. Rumpon yang
dipasang nelayan pancing tonda berada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) yang berjarak 150-180 mil dari fishing base (pelabuhan) dimana
posisi pemasangan rumpon tersebut diduga merupakan daerah penangkapan tuna.
Wudianto et al (2003) mengatakan bahwa daerah penangkapan tuna di perairan
selatan jawa antara 1080 -1180 BT dan 80 -220 LS. Berdasarkan klasifikasi jenis
rumpon pada Permen KP No. PER.26/MEN/2014 rumpon yang dipasang oleh
nelayan di Palabuhanratu termasuk kedalam kategori rumpon menetap (Anchored
FAD). Hasil wawancara yang diperoleh dari nelayan bahwa bahan untuk
konstruksi rumpon yang digunakan nelayan Palabuhanratu dapat dilihat pada
Gambar 3.

1. Pelampung 2. Tali tambat


16

3. Pemberat 4. Atraktor daun kelapa


Gambar 3 Bagian-bagian rumpon di Palabuhanratu

1) Pelampung
Berfungsi sebagai penanda yang memiliki kemampuan mengapung yang
cukup baik. Pelampung rumpon terbuat dari bahan gabus styrofoam, dengan
panjang 4 m, dibungkus menggunakan jaring dan ban motor bekas yang dipotong
menjadi dua bagian dan diikat menjadi satu menggunakan tali.
2) Tali Tambat
Merupakan tali yang digunakan untuk mengikat atraktor dan pemberat,
terbuat dari bahan polyethilene (PE) yang berdiameter 23 mm. Panjang tali yang
digunakan disesuaikan dengan kedalaman perairan dimana rumpon tersebut
dipasang.
3) Pemberat
Material yang berfungsi sebagai penahan rumpon agar tidak hanyut terbawa
oleh arus. Bahan untuk pemberat rumpon terbuat dari coran semen yang
berbentuk balok dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan tinggi 20 cm
dengan berat 100 kg per balok semen.
4) Atraktor daun kelapa
Material ini berfungsi sebagai penarik atau pemikat ikan agar berkumpul.
Terbuat dari daun kelapa maupun tali rafiah yang diikatkan pada tali sepanjang 30
m dan diberi pemberat pada ujunggnya agar atraktor dapat tenggelam.
Berdasarkan wawancara dengan nelayan didapatkan informasi bahwa
bagian-bagian rumpon tersebut dibawa secara terpisah oleh nelayan menggunakan
kapal ke tempat rumpon akan dipasang, kemudian setelah sampai di tempat
tersebut baru rumpon dirangkai menjadi satu. Gambar sketsa rumpon yang telah
terpasang di perairan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Sketsa rumpon di Palabuhanratu


Ket: a = Pelampung, b = Atraktor dari daun kelapa, c = pemberat antara
d = Tali utama dan e = Pemberat
17

Menurut informasi dari nelayan setempat bahwa rumpon yang dipasang


memiliki daya tahan sekitar 4 bulan. Secara umum nelayan Palabuhanratu
menggunakan daun kelapa sebagai atraktor pada rumpon yang mereka pasang,
daya tahan dari atraktor tersebut selama 4 minggu. Selanjutnya menurut nelayan
setelah 12 hari pemasangan rumpon sudah bisa dimanfaatkan oleh nelayan, karena
setelah 12 hari daun kelapa sudah mengalami pembusukan, sehingga
mikroorganisme mulai terdapat pada daun dan menyebabkan ikan berkumpul di
sekitar rumpon. Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) menunjukkan bahwa
mekanisme berkumpulnya ikan pelagis kecil di sekitar rumpon cenderung
disebabkan oleh proses rantai makanan yang diawali dengan tahapan terbentuknya
kolonisasi mikroorganisme yang menempel pada bahan atraktor rumpon,
berkumpulnya pemangsa mikroorganisme disekitar rumpon, berkumpulnya ikan
penjaring (ikan herbivora) dan berkumpulnya ikan predator (karnivora dan
omnivora).
Soedharma (1994) dalam Yusfiandayani (2004) menyatakan bahwa hal
yang perlu diperhatikan pada rumpon adalah penggantian atraktor secara berkala,
hal ini dikarenakan atraktor merupakan komponen yang paling mudah rusak
dibandingkan komponen lainnya. Berdasarkan hasil observasi lapang
menunjukkan bahwa perawatan terhadap rumpon dilakukan nelayan
Palabuhanratu setiap satu bulan sekali. Perawatan yang dilakukan adalah secara
rutin mengganti atraktor rumpon. Atraktor yang sering digunakan adalah daun
kelapa yang mempunyai daya tahan sekitar 4 minggu. Proses perawatan tersebut
dilakukan guna rumpon dapat terus dimanfaatkan.
Biaya yang dibutuhkan oleh nelayan Palabuhanratu untuk membuat satu
untit rumpon dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Biaya pembuatan satu unit rumpon di Palabuhanratu


Harga/Unit Jumlah Harga
Konstruksi Bahan Jumlah
(Rp) (Rp)
Styrofoam 1 3 500 000 3 500 000
Pelampung Ban bekas 15 4 000 60 000
Jaring 15m x 5m - 400 000
Batu koral 2 Dump truck 2 200 000 4 400 000
Pemberat Semen 15 Sak 50 000 750 000
Pasir 1 Dump truk 1 000 000 1 000 000
Daun
Atraktor 100 Buah 4 000 400 000
kelapa
Tali tambat Polyethilene 100 Gulungan 440 000 44 000 000
Upah pekerja - - - 3 000 000
Biaya
BBM 1350 Liter 5 800/liter 7 800 000
pemasangan
Total Biaya Rp65 310 000

Berdasarkan temuan di lapang bahwa biaya pembuatan rumpon pada Tabel


11 merupakan gambaran secara umum mengenai biaya untuk membuat satu unit
rumpon. Biaya yang paling besar jumlahnya yaitu berkisar Rp44 000 000 untuk
membeli tali berbahan dasar Polyethilene (PE) yang digunakan sebagai tali tambat
pada rumpon. Namun rata-rata biaya pembuatan rumpon yang dikeluarkan oleh
18

nelayan Palabuhanratu berkisar antara Rp60 000 000-Rp80 000 000. Menurut
nelayan setempat kisaran harga tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kualitas bahan yang digunakan, kedalaman pemasangan rumpon dan jumlah
pemberat yang digunakan. Semakin mahal biaya pembuatan satu unit rumpon
maka kualitasnya juga semakin bagus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
(Racham 2013) menyatakan bahwa pembuatan rumpon memakan biaya 60–80
juta rupiah. Mahalnya biaya yang dikeluarkan karena dalam pembuatannya
membutuhkan tali tambang khusus yang sangat panjang yang disesuaikan dengan
kedalaman laut.

Kapal pancing tonda


Hasil observasi lapang diketahui bahwa terdapat 7 pemilik modal perikanan
rumpon dengan memiliki 28 unit kapal. Idrus (2009) menyatakan bahwa ukuran
sampel yang harus diambil pada jenis penelitian sosial yaitu minimum 10% dari
jumlah populasi. Sehingga dari data tersebut maka diukur satu unit kapal dari
setiap pemilik modal dengan tujuan agar mengetahui ukuran kapal yang
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Berdasarkan pengukuran
yang dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa kapal pancing tonda yang berada di
Palabuhanratu merupakan kapal motor yang terbuat dari kayu dengan ukuran
kapal rata-rata 6 (Gross Tonage) GT. Data perhitungan menggunakan cara
pengukuran dalam negeri yaitu Keputusan Dirjen Perla No. PY.67/1/16-02
sehingga didapatkan hasil perhitungan yang terdapat pada Tabel 12.

Tabel 12 Dimensi kapal pancing tonda di Palabuhanratu pada tahun 2017


Dimensi Kapal
Nama Kapal Nama Pemilik GT Panjang Lebar tinggi
Jaya Mandiri Hendri 6.30 12 3 1
Aofa 01 Angga 6.35 12.1 3 1
Doa Ibu Andi Arsyad 6.93 12 3 1.1
Andina Anton Hartono 5.92 12 2.82 1
CBR Firman 6.93 12 3 1.1
Bogor Dede Ola 6.35 12.1 3 1
Fajar Mas Nendi 6.30 12 3 1

Kapal pancing tonda yang dominan terdapat di PPN Palabuhanratu pada


tahun 2017 adalah kapal dengan ukuran 6 GT atau P x L x D (12 m x 3 m x 1,0
m). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis (2012) menyatakan bahwa kapal
pancing tonda yang digunakan nelayan Palabuhanratu berukuran 6 GT. Mesin
yang digunakan berjumlah 2 buah dengan merek Yanmar, Jiandong, Kubota atau
Mitsubishi. Merek mesin yang paling banyak digunakan adalah Yanmar. Hasil
wawancara dengan nelayan bahwa kapal tersebut memiliki 2 buah palkah
penyimpanan ikan dengan kapasitas 500-3000 kg.

Nelayan
Hasil pengamatan dilapang didapatkan informasi bahwa nelayan perikanan
rumpon di Palabuhanratu terdiri dari nelayan pemilik modal dan nelayan pekerja
(nakhoda dan ABK). Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki unit
19

penangkapan ikan berupa kapal dan alat tangkap, sedangkan nelayan pekerja
(nakhoda dan ABK) adalah nelayan yang tidak memiliki peranan dalam
pembelian alat tangkap dan kapal melainkan hanya bekerja dan berperan dalam
kegiatan operasi penangkapan saja. Tetapi di Palabuhanratu ada nelayan pemilik
yang sekaligus menjadi nakhoda kapal.
Jumlah nelayan dalam satu unit kapal pancing tonda di Palabuhanratu yaitu
5 orang yang terdiri dari 1 orang nakhoda (tekong) dan 4 orang ABK. Untuk
nakhoda kapal pancing tonda didominasi oleh suku Bugis. Hal ini dikarenakan
mereka memiliki pengalaman dalam melakukan penangkapan ikan di laut lepas.
Sedangkan untuk ABK secara umum merupakan penduduk asli Palabuhanratu.
Pembagian posisi dari ABK yang terdapat di kapal tersebut tidak terstruktur,
sehingga semua ABK memiliki posisi dan tugas yang sama di atas kapal.

Jenis hasil tangkapan


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis hasil tangkapan yang
didaratkan oleh nelayan perikanan rumpon yang terdapat di PPN Palabuhanratu
yaitu: Tuna (Thunnus sp.), Cakalang (Katsuwonus sp.), Cucut (Carcharhinus sp.),
Marlin (Istiophorus sp.), Layaran (Istiophorus sp.), Layang (Decapterus sp.),
Lemadang (Coryphaena hippurus), Pari (Dasyatis sp.), dan Tongkol (Auxis sp.).
Yasa (2012) menyatakan bahwa Jenis hasil tangkapan yang d idaratkan oleh
pancing rumpon di PPN Palabuhanratu yaitu: Tuna (Thunnus sp.), Cakalang
(Katsuwonus pelamis), Marlin (Istiophorus gladius), Layaran (Istiophorus
orientalis), Layang (Decapterus sp.), Lemadang (Coryphaena hippurus), Pari
(Dasyatis sp.), Pedang-pedang (Xiphias gladius), Setuhuk (Makaira mazara), dan
Tongkol (Auxis sp.).
Menurut informasi dari nelayan Ikan cakalang merupakan jenis ikan yang
paling umum ditangkap di sekitar rumpon. Dagorn et al. (2012) menyebutkan
bahwa sekitar 57–82 % produksi ikan yang ditangkap di sekitar rumpon di empat
perairan samudera merupakan jenis ikan Cakalang. Proporsi hasil tangkapan ikan
Tuna Sirip K uning di sekitar rumpon lebih rendah dibandingkan Cakalang.
Persentase produksi ikan tuna sirip kuning di sekitar rumpon berkisar antara 14-
25% (Dagorn et al. 2012).

Biaya kebutuhan melaut dan sistem pembagian keuntungan


Rincian kebutuhan jumlah pancing tonda yang dibawa oleh nelayan
Palabuhanratu untuk melaut selama 7-12 hari dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Rincian alat tangkap yang dibawa nelayan pancing tonda di


Palabuhanratu untuk per-trip
Spesifikasi Keterangan
Jumlah Senar 6 gulungan
No senar No 200
Jumlah mata pancing 1 kotak berisi 100 mata pancing
Ukuran mata pancing No 6,7 dan 8
Umpan Buatan
20

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dapat diketahui bahwa r incian


alat tangkap yang dibawa untuk sekali melaut semuanya diperoleh dengan
membeli di toko peralatan alat pancing yang terdapat di Palabuhanratu. Ukuran
mata pancing yang terdapat pada Tabel 15 merupakan ukuran yang dominan
dipakai oleh nelayan pancing tonda untuk melakukan operasi pe nangkapaan.
Biaya yang dibutuhkan nelayan pancing tonda untuk melaut selama 10-12 hari
berkisar antara Rp7 000 000 - Rp8 000 000. Total biaya tersebut meliputi biaya
pembelian bahan bakar minyak, es batu, kebutuhan makan dan minum untuk 5
orang, peralatan pancing dan biaya membeli air bersih. Adapun rincian biayanya
dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Jumlah biaya kebutuhan melaut per-trip


Keterangan Jumlah Harga (Rp)
BBM 500 liter 2 900 000
Es batu 80 batang 1 760 000
Kebutuhan makan dan minum - 1 800 000
peralatan pancing - 500 000
Air bersih - 40 000
Total Biaya 7 000 000

Hasil wawancara dengan nelayan diperoleh informasi bahwa b iaya


kebutuhan melaut terdiri dari biaya bahan bakar solar, biaya es balok dan biaya
makan dan minum/ perbekalan. Bahan bakar solar memiliki harga Rp5 800/liter,
es balok Rp22 000/balok, dan biaya perbekalan. Biaya kebutuhan melaut tersebut
disediakan oleh pemilik modal.
Menurut informasi dari nelayan bahwa pembagian keuntungan antara
pemilik modal, nahkoda dan ABK tidak merata. Pemilik modal mendapatkan 50%
dari keuntungan, sedangkan nahkoda dan ABK mendapatkan 50% dengan rincian
nakhoda mendapat bagian dua kali dari bagian ABK. Pembagian keuntungan
nelayan di Palabuhanratu (setelah dikurangi biaya operasional) antara nelayan
pemilik dan nelayan buruh adalah 50:50, yaitu 50% untuk nelayan pemilik dan
50% nelayan buruh (Lubis 2012). Bagian nelayan buruh tersebut dibagi lagi
antara nakhoda dan ABK yaitu nakhoda mendapat bagian dua kali lipat dari
bagian ABK. Keuntungan yang dibagikan tersebut dihitung berdasarkan jumlah
hasil penjualan ikan yang didaratkan dikurangi biaya operasional melaut. Lama
operasi penangkapannya nelayan perikanan rumpon di Palabuhanratu sekitar 10-
12 hari, jadi dalam 1 bulan mereka bisa melakukan operasi penangkapan sebanyak
2 trip.
Secara rata-rata rincian pembagian keuntungan antara pemilik modal,
nakhoda dan ABK pancing tonda dengan perkiraan biaya operasional melaut
sebesar Rp7 000 000, jumlah hasil tangkapan 1000 kg, selama 12 hari melaut dan
dijual dengan harga Rp25 000/kg yaitu perkiraan pembagian keuntungannya dapat
dilihat pada Tabel 15.
21

Tabel 15 Rata-rata pembagian keuntungan antara pemilik, nakhoda dan ABK per-
trip
Keterangan Jumlah (Rp)
Penerimaan (perkiraan)
Penjualanhasil tangkapan 25 000 000
Biaya melaut 7 000 000
Pendapatan 18 000 000
Sistem pembagian keuntungan
Pemilik modal 9 000 000
Nakhoda 3 600 000
ABK 1 350 000

Sehingga pembagian keuntungan yang diterima oleh pemilik modal selama


12 hari melaut sebesar Rp9 000 000. Keuntungan setiap satu kali trip yang
didapatkan oleh pemilik modal sebanyak 5% akan digunakan untuk biaya
perawatan rumpon. Keuntungan untuk nakhoda kapal sebesar Rp3 600 000 dan
keuntungan yang diterima ABK sebesar Rp1 350 000/orang. Sistem pembagian
keuntungan yang dilakukan oleh nelayan tersebut berdasarkan kebiasaan turun-
temurun tanpa ada perjanjian tertulis diantara pihak yang bersangkutan hanya
berdasarkan kesepakatan lisan antara nelayan pemilik modal, nakhoda dan ABK.

Perilaku Pemilik Modal Usaha Perikanan Rumpon pada Peraturan Formal


dalam Menggunakan Rumpon

Kepatuhan
Kepatuhan merupakan tingkat kesesuaian perilaku seseorang terhadap
norma atau kesepakatan dengan pihak lain. Dasar-dasar kepatuhan menurut
Bierstedt dalam Soekanto (1987), diantaranya adalah: 1) pengenalan
(introduction), 2) habituasi (habitiation), 3) faedah (utility), 4) identifikasi
kelompok (group identification). Adapun penjelasan mengenai dasar-dasar
kepatuhan, sebagai berikut:
1) Pengenalan (Introduction)
Alasan utama masyarakat mematuhi peraturan adalah karena dia telah
didoktrin untuk mematuhi peraturan dari sejak kecil.
2) Habituasi (Habitiation)
Sejak kecil manusia mengalami sosialisasi maka lama kelamaan menjadi
suatu kebiasaan untuk memenuhi kaedah-kaedah yang berlaku. Memang pada
awalnya sukar untuk menerima peraturan itu tetapi karena setiap hari ditemui,
maka lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan.
3) Faedah (Utility)
Alasan utama masyarakat mematuhi peraturan di sini adalah karena sa tu
sama lain manusia itu berbeda. Apa yang pantas bagi dirinya, mungkin bagi orang
lain dianggap tidak pantas.
22

4) Identifikasi kelompok (Group identification)


Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompoknya
bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-
kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan
kelompoknya.
Hasil penelitian Mapuru dan Naz (2013) mengungkapkan bahwa kondisi
yang mempengaruhi tingkat kepatuhan nelayan terhadap peraturan dibagi
menjadi dua kategori utama yaitu kondisi yang mempengaruhi nelayan untuk
melanggar peraturan dan kondisi yang mempengaruhi nelayan untuk mematuhi
aturan. Adapun penjelasan dari kedua kondisi tersebut sebagai berikut:
1). Kondisi yang mempengaruhi nelayan untuk melanggar peraturan yaitu
(1) Keuntungan ekonomi. Kebanyakan nelayan melanggar aturan untuk
keuntungan ekonomi, yang sebagian besar didorong oleh kepentingan pribadi
dan bisnis. Keputusan mereka untuk melanggar peraturan sering muncul
ketika mereka tahu bahwa keuntungan yang diperoleh lebih besar dari sanksi
yang akan diterima
(2) Kurangnya pengetahuan tentang aturan. Jika nelayan melanggar aturan
karena mereka kurang memahami tentang aturan yang ada
(3) Sumberdaya perikanan milik umum dimana hal ini mempermudah nelayan
untuk melanggar aturan
(4) Penegakan hukum yang lemah
2). Kondisi yang mempengaruhi nelayan untuk mematuhi aturan
(1) Perilaku moral
(2) Norma sosial. Persepsi orang lain memiliki pengaruh yang kuat terhadap
ketaatan nelayan pada aturan. Nelayan tidak ingin dilihat negatif oleh
komunitasnya, jadi jika mayoritas nelayan mengikuti aturan, yang lain akan
melakukan hal yang sama
(3) Rasa memiliki
(4) Komunitas kerja
(5) Komunikasi
Literatur sosiologi mengandung dua perspektif dasar tentang kepatuhan
yaitu perspektif instrumental dan normatif (Becker 1968), perspektif instrumental
menganggap kepatuhan individu didorong murni oleh kepentingan diri sendiri.
Variabel yang menentukan kepatuhan adalah tingkat sanksi atau hukuman yang
diberikan. Perspektif normatif menekankan apa yang dianggap individu adil dan
bermoral. Individu cenderung mematuhi hukum sejauh mereka menganggap
hukum sesuai dengan norma-norma internal mereka. Variabel yang menentukan
kepatuhan dalam perspektif normatif adalah persepsi individu tentang keadilan
dan kesesuaian hukum dan lembaga-lembaganya.
Hukum berperan menjamin kepastian dan keadilan dalam kehidupan
masyarakat yang senantiasa terdapat perbedaan pola perilaku yang sesuai dengan
kaidah (norma-norma) hukum. Hukum pada hakekatnya dijadikan sebagai
pedoman untuk bertindak dalam kehidupan bermasyarakat, kurangnya kesadaran
suatu individu dapat mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap hukum (Sari et al.
2016). Ali (2010) menyatakan bahwa ketika ingin mengetahui sejauh mana
efektivitas dari hukum, maka harus mengukur sejauh mana aturan hukum itu
ditaati atau tidak ditaati. Kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah
23

satu indikator berfungsinya hukum tersebut. Masalah kepatuhan hukum


dikalangan masyarakat mulai berperan dalam pembentukan, penerapan dan
penganalisaan hukum. Oleh karena itu salah satu hal yang perlu dikembangkan
dalam kehidupan bermasyarakat adalah peningkatan kepatuhan terhadap hukum.
Pengukuran kepatuhan pemilik modal terhadap Permen KP No.
PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon dilihat dari sisi hukum dan teknis.
Kepatuhan dari sisi hukum dilihat dari aspek perizinan dan kepatuhan dari sisi
teknis dilihat dari tiga aspek yang meliputi tata letak pemasangan rumpon,
konstruksi rumpon dan tanda pengenal yang digunakan pada rumpon. Adapun
hasil yang diperoleh yakni.

Kepatuhan dari Sisi Hukum


Aspek perizinan
Nelayan yang ingin memasang rumpon diseluruh Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) harus memiliki surat izin
pemasangan rumpon (SIPR) yang sebagaimana telah diatur dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No 26 Tahun 2014 tentang Rumpon. Proses
penerbitan SIPR harus mengajukan permohonan sebagai berikut: 1) Tanggal dan
waktu pemasangan rumpon, 2) Jumlah rumpon, 3) Koordinat pemasangan rumpon,
4) Estimasi frekuensi waktu pemanfaatan dan 5) Estimasi jenis dan jumlah ikan
hasil tangkapan pada setiap operasi penangkapan ikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik modal perikanan rumpon
diperoleh informasi bahwa pemilik modal perikanan rumpon di Palabuhanratu
mengetahui adanya Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Pemilik
modal mengatakan bahwa mereka mengetahui peraturan tersebut melalui
sosialisasi yang dilakukan pihak DKP Kabupaten Sukabumi. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara kepada Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP
Kabupaten Sukabumi, dimana pihak dinas telah melakukan sosialisasi guna
mengimplementasikan Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon.
Namun dari hasil perhitungan menggunakan skala likert diperoleh nilai
rata-rata skor 1 berada pada interval 0–1,5 yang menunjukkan pemilik modal
perikanan rumpon tidak ada yang mematuhi Permen KP No. PER.26/MEN/2014
tentang Rumpon. Ketidak patuhan tersebut karena pemilik modal perikanan
rumpon di Palabuhanratu tidak ada yang memiliki SIPR dalam melakukan usaha
penangkapan ikan menggunakan alat bantu rumpon. Hal ini menunjukkan pemilik
modal hanya sebatas mengetahui adanya aturan tanpa melaksanakan aturan
tersebut. Pemilik modal mengatakan ada atau tidaknya SIPR tidak memberikan
dampak yang signifikan terhadap kegiatan usaha penangkapan ikan yang
dilakukan. Kondisi ini sangat disayangkan mengingat tujuan dari pembuatan SIPR
untuk kelestarian sumberdaya ikan, yang dampaknya akan dirasakan dimasa
mendatang. Selanjutnya akibat tidak adanya SIPR akan menyulitkan pihak PPN
Palabuhanratu dan DKP Kabupaten Sukabumi untuk mendapatkan data yang
akurat, apabila terdapat penambahan atau pengurangan jumlah rumpon setiap
periode waktu tertentu.
Sanksi yang diberlakukan apabila melanggar aturan yaitu pembongkoran
rumpon yang dipasang, namun pada proses pelaksanaannya dilapang tidak ada
penerapan sanksi yang tegas dari pihak yang berwenang. Kurangnya sumberdaya
24

manusia, anggaran dan fasilitas kapal untuk kegiatan pengawasan membuat


fungsi pengawasan tidak berjalan maksimal.

Kepatuhan dari Sisi Teknis


Pemasangan rumpon
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2014
mengatur mengenai pemasangan rumpon. Setiap nelayan yang menggunakan
rumpon pada usaha penangkapan ikan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Jarak antar rumpon tidak kurang dari 10 mil dan 2) tidak mengganggu alur
pelayaran. Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 7 orang pemilik modal perikanan
rumpon memiliki 15 unit rumpon yang dipasang di laut. Namun pada penelitian
ini hanya 8 koordinat rumpon yang diperoleh dari 5 orang pemilik modal. Adapun
koordinat pemasangan rumpon yang dimiliki oleh 5 orang pemilik modal
perikanan rumpon tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 16 Koordinat penempatan rumpon


Keterangan Posisi
LS BT Kedalaman (m)
Koordinat 1 8º ’ ’’ 105º30’000’’ 3600
Koordinat 2 8º 8’ ’’ 106º04’000’’ 4300
Koordinat 3 8º ’ ’’ 105º33’000’’ 3600
Koordinat 4 8º ’ ’’ 106º45’000’’ 2600
Koordinat 5 8º ’ ’’ 106º43’000’’ 3600
Koordinat 6 8º 8’ ’’ 105º43’737’’ 4000
Koordinat 7 9º ’ ’’ 106º45’000’’ 6000
Koordinat 8 8º ’ ’’ 106º05’000’’ 1800

Adapun posisi pemasangan rumpon milik nelayan Palabuhanratu setelah


diolah menggunakan aplikasi map source dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Posisi pemasangan antar rumpon


25

Posisi pemasangan antar rumpon yang disajikan pada Gambar 5 berjumlah 8


koordinat pemasangan rumpon yang dimiliki oleh 5 pemilik modal. Selanjutnya
jarak antar rumpon yang lebih dari 10 mil disajikan pada tabel 17 dibawah ini.

Tabel 17 Jarak antar rumpon


Koordinat Antar
Jarak antar Rumpon (mil) Keterangan
Rumpon
K1 ke K2 4.2 Kurang dari 10 mil
K1 ke K3 15.1
K1 ke K4 43.7
K1 ke K5 94.7
K1 ke K6 39.1
K1 ke K7 74.4
K1 ke K8 72.2
K2 ke K3 11.1
K2 ke K4 58.6
K2 ke K5 90.5
K2 ke K6 38
K2 ke K7 61
K2 ke K8 60
K3 ke K4 39
K3 ke K5 90.5
K3 ke K6 33.8
K3 ke K7 59
K3 ke K8 57
K4 ke K5 53
K4 ke K6 50
K4 ke k7 58.6
K4 ke K8 51
K5 ke K6 93
K5 ke K7 75
K5 ke K8 58.6
K6 ke K7 53
K6 ke K8 55
K7 ke K8 4.3 Kurang dari 10 mil
Sumber: Hasil olahan data menggunakan map source

Pemasangan jarak antar rumpon laut dalam yang disajikan pada Tabel 17
yang dipasang secara berdekatan atau bergerombol merupakan rumpon yang
dimiliki oleh satu orang pemilik modal. Seperti rumpon koordinat 1 ke 2 dengan
jarak 4.2 mil dan rumpon koordinat 7 ke 8 dengan jarak 4.3 mil. Jarak
pemasangan antar rumpon tersebut tidak sesuai aturan Permen KP No.
PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon karena kurang dari 10 mil sehingga
posisinya menjadi tidak beraturan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik modal diperoleh informasi
bahwa lokasi pemasangan rumpon tidak mengganggu alur pelayaran kapal.
Karena nakhoda kapal yang bekerja pada pemilik modal telah mengetahui alur
pelayaran kapal berdasarkan pengalaman mereka selama melaut. Hal ini didukung
26

oleh hasil penelitian Nurdin (2017) yang menyatakan penempatan rumpon di laut
oleh nelayan hanya mengandalkan pengalaman dan intuisi sehingga terkesan tidak
teratur tanpa memperhatikan kondisi kesuburan perairan.

Tanda pengenal rumpon


Penggunaan tanda pengenal rumpon diatur pada Permen KP No.
PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Sehingga nelayan yang ingin membuat
rumpon harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Rumpon yang dipasang di
WPP-NRI wajib dilengkapi dengan tanda pengenal dan radar reflektor dan 2.
Tanda pengenal rumpon harus memuat nama pemilik, nomor SIPI, nama kapal
yang berhak memanfaatkan, koordinat lokasi pemasangan rumpon dan radar
reflektor berupa lempengan logam yang dipasang tegak di atas permukaan air agar
dapat terdeteksi oleh radar.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua pemilik modal sudah
mengetahui pemasangan rumpon harus dilengkapi dengan tanda pengenal, yang
bertujuan untuk mengenali rumpon. Namun tanda pengenal yang dipasang tidak
sesuai dengan Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Tanda
pengenal yang dipasang hanya berupa bendera dan tiangnya terbuat dari bambu
agar mengurangi biaya pembuatan rumpon. Pemilik modal tidak mencantumkan
nama pemilik rumpon, nomor SIPI, nama kapal, koordinat rumpon dan tidak
memasang radar reflektor. Pemilik modal tidak memasang radar reflektor karena
tidak mengetahui radar reflektor.

Konstruksi rumpon
Penggunaan bahan pada konstruksi rumpon diatur pada Permen KP No.
PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon. Sehingga nelayan yang menggunakan alat
bantu rumpon pada proses penangkapan ikan harus mengikuti ketentuan sebagai
berikut yaitu komponen utama pembutan rumpon terdiri dari: 1) Pelampung, 2)
Atraktor wajib menggunakan bahan alami, 3) Tali tambat dan 4) Pemberat untuk
rumpon tetap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilik modal sudah menggunakan
komponen utama rumpon yang sesuai dengan Permen KP No. PER.26/MEN/2014
tentang Rumpon. Adapun komponen utama yang digunakan pemilik modal yaitu
pelampung, atraktor daun kelapa, tali tambat dan pemberat. Berdasarkan Permen
KP No. PER.26/MEN/2014 bahan atraktor untuk rumpon harus berupa bahan
alami yang dapat terurai secara biologi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
pemilik rumpon di Palabuhanratu sudah menggunakan bahan alami berupa daun
kelapa untuk atraktor rumponnya, karena daun kelapa jika dipasang selama 10-12
hari akan mendatangkan mikroorganisme yang merupakan sumber makanan bagi
ikan. Menurut Subani (1972) dalam Yusfiandayani (2004) menyatakan bahwa
kegiatan penangkapan disekitar rumpon dilakukan setelah 10 hari rumpon tersebut
dipasang. Selain itu daun kelapa juga banyak tersedia di Palabuhanratu dengan
harga yang relatif murah yaitu Rp4 000 per satu batang.
Perhitungan hasil jawaban kuesioner berdasarkan ketiga aspek diatas
diperoleh nilai rata-rata skor 4.3 berada pada interval 0–4.5 yang menunjukkan
penerapan peraturan pemasangan rumpon oleh pemilik modal belum sesuai
aturan. Adapun hal yang menyebabkan pemilik modal belum mengikuti Permen
KP No. PER.26/MEN/2014 untuk proses pemasangan rumpon yaitu belum
27

adanya pengawasan yang tegas dari lembaga berwenang, kurangnya sosialisasi


dan kurangnya kesadaran pemilik modal akan pentingnya memiliki izin pada
proses pemanfaatan rumpon.

Perilaku yang Dibangun Nakhoda dan Anak Buah Kapal Usaha Perikanan
Rumpon Tentang Penerimaannya pada Sanksi, Tanggung Jawab Mengawasi
Rumpon dan Manfaat Ilegal

Aturan informal
Pejovich (1999) menyatakan aturan informal (informal institutions) meliputi
pengalaman, nilai- nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi
bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka. Kearifan
tradisional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan kebiasaan ya ng
berlaku secara turun temurun oleh masyarakat dan belum menjadi hukum tertulis
serta legalitasnya berasal dari kepercayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada umumnya nelayan perikanan rumpon di Palabuhanratu belum memiliki
aturan informal dalam pengelolaan rumpon.
Teori dasar yang digunakan pada penelitian tentang kepatuhan nelayan
merujuk pada teori interaksi antara manusia dan ekosistem (Ostrom 1990).
Ostrom (1990) berpendapat bahwa sangat sulit untuk mencapai kepatuhan
sepenuhnya bahkan nelayan tetap ada yang melanggar aturan walaupun sebagian
besar nelayan telah patuh pada peraturan. Jagers et al.(2012) menyatakan bahwa
ketaatan/ketidakpatuhan nelayan didasarkan pada keuntungan yang diperoleh,
moral, norma sosial dan sejauh mana peraturan diterima oleh nelayan. Lebih
lanjut Eggert dan Lokina (2008) menyatakan bahwa kepatuhan nelayan pada
peraturan didasarkan pada nilai tradisional, moral individu dan potensi sosial.
Selain itu hasil penelitian Sutinen dan Kuperan (1999) menyatakan bahwa
kepatuhan terhadap aturan dipengaruhi oleh sanksi, tanggung jawab dan manfaat
yang diperoleh.
Penelitian yang spesifik meneliti tentang aturan informal pada pemanfaatan
rumpon belum ada, termasuk juga aturan informal seperti panglima laot yang
khusus memberikan perhatian pada pengelolaan rumpon juga belum ada.
Penelitian ini ingin berkontribusi mengatahui bagaimana nelayan mematuhi
aturan informal ketika misalnya ada aturan informal dalam lingkungan mereka.
Ketiga aspek yang diteliti mengacu kepada hasil penelitian Sutinen dan Kuperan
(1999) yang menyatakan bahwa kepatuhan pada peraturan dipengaruhi oleh aspek
penegakan hukum berupa sanksi, tanggung jawab moral, dan manfaat illegal dari
aspek motivasi. Karena belum adanya penelitian yang melihat nilai- nilai lokal ini
pertanyaan untuk mengetahui aturan informal merujuk pada aturan formal dan
pertanyaan yang digunakan pada kuesioner dikembangkan berdasarkan kreativitas
penulis. Adapun hasil yang diperoleh yakni:

1) Sanksi
Sanksi adalah hukuman yang ditetapkan agar individu menaati ketentuan
yang berlaku (https://kbbi.web.id/sanksi). Pada penelitian ini indikator dari
variabel sanksi yang diamati terkait letak pemasangan rumpon, memanfaatkan
tanpa hak, memindahkan, dan merusak rumpon. Maka hasil penelitian persepsi
28

nakhoda dan ABK pancing tonda apabila sanksi diterapkan dalam pemanfaatan
rumpon dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sanksi dalam pemanfaatan rumpon


Sanksi Kepatuhan nakhoda dan ABK (%)
SS S KS TS STS
Lokasi pemasangan rumpon secara 0 0 0 83.8 16.2
tidak beraturan
Diberi sanksi jika menangkap ikan 21.6 78.4 0 0 0
di rumpon milik orang lain
Diberi sanksi jika memindahkan 16.2 83.8 0 0 0
lokasi rumpon milik orang lain
Diberi sanksi jika merusak rumpon 10.8 89.2 0 0 0
milik orang lain
Memasang rumpon dengan efek 0 0 0 91.9 8.1
pagar
Ket: SS = Sangat setuju, S = Setuju, KS = Kurang setuju, TS = Tidak setuju,
STS = Sangat tidak setuju

Nakhoda dan ABK 83.8% tidak setuju dan 16.2% sangat tidak setuju
apabila lokasi pemasangan rumpon dilakukan sembarangan, karena dapat
mengakibatkan persaingan wilayah penangkapan ikan antara nelayan yang
menggunakan rumpon dengan nelayan yang tidak menggunakan rumpon.
Keberadaan rumpon di suatu perairan mampu memicu terbentuknya daerah
penangkapan ikan (DPI) yang potensial di perairan tersebut. Rumpon mampu
menarik berkumpulnya biomassa ikan dalam jumlah besar di sekitarnya, sehingga
nelayan yang tidak menggunakan rumpon hasil tangkapannya akan berkurang
karena ikan akan berkumpul disekitar rumpon (Prayitno 2016).
Nakhoda dan ABK pada usaha perikanan rumpon 21.6% sangat setuju dan
78.4% setuju apabila nelayan yang melakukan operasi penangkapan ikan di
rumpon milik orang lain diberi sanksi, karena jika pemilik rumpon melakukan
operasi penangkapan di sekitar rumponnya maka hasil tangkapannnya akan
berkurang. Kondisi ini mengakibatkan kerugian kepada pemilik rumpon. Sanksi
yang diberikan untuk nelayan yang tertangkap melakukan operasi penangkapan
ikan di rumpon orang lain yaitu semua hasil tangkapan nelayan akan diambil oleh
pemilik rumpon tersebut. Permasalahan ini biasanya tidak sampai dibawa ke jalur
hukum karena antar sesama nelayan perikanan rumpon memiliki hubungan
persaudaraan.
Nakhoda dan ABK 16.2% sangat setuju dan 83.8% setuju apabila nelayan
memindahkan lokasi rumpon orang lain diberi sanksi. Namun pada
pelaksanaannya tidak ada nelayan yang memindahkan lokasi pemasangan
rumpon, karena jenis rumpon yang dipasang oleh nelayan di Palabuhanratu
termasuk ke dalam kategori rumpon menetap (Anchored FAD).
Nakhoda dan ABK 10.8% sangat setuju dan 89.2% setuju apabila nelayan
merusak rumpon orang lain diberikan sanksi. Sejak mulai berkembang perikanan
rumpon di Palabuhanratu, belum pernah terjadi perusakan rumpon oleh nelayan di
laut, biasanya rumpon yang rusak diakibatkan oleh arus dan gelombang yang
besar.
29

Nakhoda dan ABK 91.9% tidak setuju dan 8.1% sangat tidak setuju apabila
nelayan memasang rumpon dengan efek pagar, karena menghalangi ruaya ikan
menuju ke pantai yang dapat menyebabkan hasil tangkapan nelayan yang tidak
menggunakan rumpon dalam melakukan operasi penangkapan ikan di perairan
sekitar pantai menurun, sehingga menimbulkan konflik dengan nelayan tersebut.
Hasil penelitian Besweni (2009) menyatakan bahwa akibat pemasangan rumpon
yang tidak teratur dan lokasi yang berdekatan dapat merusak pola ruaya ikan yang
berimigrasi sehingga dapat menimbulkan konflik dengan nelayan yang tidak
menggunakan rumpon.

2) Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu yang
diperbuat (https://kbbi.web.id). Menurut King dan Sutinen (2010) tanggung jawab
untuk mematuhi peraturan dipengaruhi oleh moral individu dan persepsi individu
terhadap peraturan. Indikator dari variabel tanggung jawab yang diamati pada
penelitian ini terkait keterlibatan nelayan dalam pengawasan, dan penyelesaian
masalah bila terjadi konflik. Adapun hasil penelitian persepsi nakhoda dan ABK
pancing tonda mengenai tanggung jawab moral antara nelayan dalam
memanfaatkan rumpon dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Tanggung jawab moral nelayan dalam memanfaatkan rumpon


Kepatuhan nakhoda dan ABK (%)
Tanggung jawab Moral
SS S KS TS STS
Melakukan proses pengawasan terhadap
0 0 0 83.8 16.2
rumpon secara berkala
Bertanggung jawab mengawasi rumpon
40.5 59.5 0 0 0
milik juragan masing- masing
Bertanggung jawab mengawasi rumpon
0 0 5.4 91.9 2.7
juragan lain
Nakhoda dan ABK memiliki peran dalam
penyelesaian konflik yang dilakukan pada 5.4 94.6 0 0 0
proses pemanfaatan rumpon
Apabila ada tokoh masyarakat yang
memiliki pengaruh pada proses
5.4 94.6 0 0 0
penyelesaian konflik yang terjadi dalam
kegiatan pemanfaatan rumpon
Ket: SS = Sangat setuju, S = Setuju, KS = Kurang setuju, TS = Tidak setuju,
STS = Sangat tidak setuju

Nakhoda dan ABK 83.8 % tidak setuju dan 16.2 % sangat tidak setuju
melakukan proses pengawasan pada rumpon secara berkala, karena jika
melakukan pengawasan secara berkala akan menambah biaya pengelolaan
rumpon, seperti mengeluarkan biaya tambahan untuk mempekerjakan orang
melakukan pengawasan tersebut. Proses pengawasan hanya dilakukan ketika
nakhoda dan ABK melakukan kegiatan penangkapan ikan disekitar rumpon
miliknya, jadi setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan ikan maka rumpon
tidak ada yang menjaga.
30

Nakhoda dan ABK 40.5% sangat setuju dan 59.5% setuju apabila nelayan
harus bertanggungjawab mengawasi rumpon juragannya masing- masing, agar
tidak ada nelayan lain melakukan operasi penangkapan ikan dirumpon tersebut
dan suatu bentuk kepedulian nakhoda dan ABK untuk mengawasi rumpon milik
juragannya. Hal ini dilakukan karena merupakan tempat nakhoda dan ABK
tersebut bekerja untuk mendapatkan penghasilan sehingga rumponnya harus
dijaga dengan baik.
Nakhoda dan ABK 5.4% kurang setuju, 91.9% tidak setuju dan 2.7%
sangat tidak setuju apabila mereka ikut bertanggung jawab mengawasi rumpon
juragan lain, karena melakukan pengawasan terhadap rumpon juragan lain
menurut para nakhoda dan ABK hanya menambah beban pekerjaan dan tidak
memperoleh penghasilan dari pekerjaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
masih kurangnya rasa kerjasama antara nelayan perikanan rumpon di
Palabuhanratu.
Nakhoda dan ABK 5.4% sangat setuju dan 94.6% setuju apabila nelayan
rumpon menyebabkan konflik kepada nelayan lain pada proses memanfaatkan
rumpon, maka nelayan rumpon bersedia bertanggung jawab dan menyelesaikan
konflik tersebut. Seperti konflik yang terjadi antara nelayan rumpon dengan
nelayan payang pada tahun 2010, karena rumpon yang dipasang membuat ikan
berkumpul di rumpon sehingga ikan tidak beruaya ke perairan pantai dan
menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan payang (Nuramin 2013).
Nakhoda dan ABK 5.4% sangat setuju dan 94.6% setuju apabila ada tokoh
masyarakat yang berpengaruh pada proses penyelesaian konflik pada kegiatan
pemanfaatan rumpon. Namun pada kenyataannya di Palabuhanratu belum ada
tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk proses penyelesaian konflik biasanya
konflik yang terjadi diselesaikan oleh pihak yang bersangkutan tanpa ada campur
tangan dari pihak lain.

3) Manfaat Ilegal
Manfaat ilegal adalah keuntungan yang diperoleh dari cara yang tidak legal
(https://kbbi.web.id). Becker ( 1968) menyatakan bahwa seseorang berpotensi
melakukan kejahatan apabila keuntungan ilegal yang diperoleh lebih besar
daripada sanksi yang diterima. Keuntungan atau manfaat ilegal dalam perikanan
dapat diukur sebagai jumlah pendapatan tambahan yang diperoleh dari
pelanggaran peraturan dengan hasil yang sangat besar (King dan Sutinen 2010).
Selain membandingkan keuntungan ilegal yang diperoleh dan sanksi yang akan
diterima, kebanyakan individu juga mempertimbangkan konsekuensi moral dan
sosial dari tindakan mereka ketika memutuskan apakah akan mematuhi peraturan
atau melanggar peraturan (King dan Sutinen 2010). Indikator dari variabel
manfaat yang diamati terkait dengan memanfaatkan rumpon yang bukan haknya,
memberitahu koordinat lokasi rumpon, dan memasang rumpon melebihi yang
diperbolehkan. Adapun hasil penelitian persepsi nakhoda dan ABK pancing tonda
mengenai manfaat ilegal yang dilakukan nelayan dalam memanfaatkan rumpon
dapat dilihat pada Tabel 20.
31

Tabel 20 Manfaat bersifat illegal dalam pemanfaatan rumpon


Kepatuhan nakhoda dan ABK (%)
Manfaat Bersifat Ilegal
SS S KS TS STS
Melakukan operasi penangkapan ikan di
rumpon orang lain tanpa izin pemilik 0 0 0 37.8 62.2
rumpon
Saling memberitahukan koordinat
0 0 0 62.2 37.8
pemasangan rumpon
Memasang rumpon lebih dari 3 unit 5.4 10.8 8.1 64.9 10.8
Mengoperasikan dengan cara menggiring
0 0 0 78.4 21.6
ikan kerumpon yang lain
Memberikan izin menangkap ikan di
rumpon juragannya tanpa sepengetahuan 0 0 0 83.8 16.2
juragan tersebut
Ket: SS = Sangat setuju, S = Setuju, KS = Kurang setuju, TS = Tidak setuju,
STS = Sangat tidak setuju

Nakhoda dan ABK 37.8% tidak setuju dan 62.2% sangat tidak setuju
apabila nelayan melakukan operasi penangkapan ikan di rumpon orang lain tanpa
izin pemilik rumpon, karena mengurangi hasil tangkapan nelayan pemilik rumpon
ketika melakukan operasi penangkapan di rumpon miliknya tersebut. Kasus yang
pernah terjadi yaitu nelayan rumpon melakukan operasi penangkapan ikan di
rumpon orang lain tanpa izin pemilik rumpon, penyelesaian kasus tersebut dengan
cara pemilik rumpon mengambil seluruh hasil tangkapan yang diperoleh nakhoda
dan ABK yang melakukan penangkapan ikan tanpa izin pemilik rumpon tersebut.
Nakhoda dan ABK 62.2% tidak setuju dan 37.8% sangat tidak setuju
apabila nakhoda dan ABK saling memberitahukan koordinat lokasi pemasangan
rumpon milik mereka kepada nelayan lain, karena apabila nelayan lain tahu
koordinat pemasangan rumpon tersebut, maka nelayan dari pemilik modal lain
akan melakukan operasi penangkapan ikan di rumpon tersebut. Oleh karena itu
untuk menghindari pencurian ikan di rumpon miliknya maka pemilik rumpon
merahasiakan koordinat rumpon.
Nakhoda dan ABK 5.4% sangat setuju dan 10.8% setuju apabila setiap
pemilik modal perikanan rumpon melakukan pemasangan rumpon lebih dari tiga
unit, karena menurut nakhoda dan ABK apabila memiliki rumpon lebih dari tiga
unit maka jumlah operasi penangkapan ikan menjadi lebih banyak dan hasil
tangkapan juga lebih banyak sehingga pendapatan nelayan akan meningkat.
Nakhoda dan ABK 8.1% kurang setuju, 64.9% tidak setuju dan 10.8% sangat
tidak setuju apabila setiap nelayan memasang rumpon lebih dari tiga unit karena
dapat menurunkan kelestarian sumberdaya ikan dan dapat menyebabkan
overfishing jika pemanfaatan rumpon tidak terkendali.
Nakhoda dan ABK 78.4% tidak setuju dan 21.6% sangat tidak setuju
apabila nelayan mengoperasikan rumpon dengan cara menggiring ikan dari
rumpon yang satu ke rumpon yang lainnya, dengan tujuan menyatukan
gerombolan ikan. Kondisi ini mengganggu ruaya ikan ke perairan pantai sehingga
dapat menyebabkan konflik dengan nelayan yang tidak memiliki rumpon di
perairan pantai karena ikan- ikan akan terakumulasi dirumpon dan hasil tangkapan
nelayan di sekitar perairan pantai berkurang. Habibi et al. (2011) menyatakan
32

bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan dan
penempatan rumpon di perairan, diantaranya penggunaan bahan pembuat rumpon
yang berasal dari bahan organik dan dapat terdegradasi secara alami, pola
pemasangan tidak boleh menghalangi pola alami ruaya ikan, hindari penempatan
rumpon pada daerah yang sering dipergunakan oleh nelayan lain, dan jarak antar
satu rumpon dengan rumpon lainnya harus lebih dari 10 mil laut.
Nakhoda dan ABK 83.8% tidak setuju dan 16.2% sangat tidak setuju
apabila nelayan memberikan izin menangkap ikan di rumpon juragannya tanpa
sepengetahuan juragan tersebut, karena jika juragannya mengetahui hal tersebut
maka nakhoda dan ABK tersebut akan dipecat. Pemanfaatan rumpon seharusnya
hanya dilakukan di rumpon masing- masing tanpa harus melakukan penangkapan
ikan di rumpon orang lain agar tidak menimbulkan terjadinya konflik antar
nelayan yang memanfaatkan rumpon.
Perhitungan hasil jawaban kuesioner berdasarkan ketiga aspek diatas bahwa
diperoleh nilai rata-rata skor 51.09 berada pada interval <x≤63 yang
menunjukkan nakhoda dan ABK pancing tonda melaksanakan/mematuhi aturan
informal dan nilai- nilai yang dibangun secara bersama pada proses pemanfaatan
rumpon. Hal ini dipengaruhi oleh nelayan saling menjaga hubungan sosial yang
harmonis. Hal ini sesuai dengan Jagers et al.(2012) menyatakan bahwa alasan
terwujudnya kepatuhan adalah moral dan solidaritas kelompok.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan


bahwa:
1) Konstruksi rumpon yang digunakan nelayan pancing tonda yang terdapat di
Palabuhanratu terdiri dari pelampung, tali tambat, atraktor dan pemberat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat 100 unit kapal pancing tonda yang
beroperasi namun hanya 28 kapal yang memiliki rumpon untuk melakukan
operasi penangkapan ikan, dengan jumlah rumpon 15 unit. Setiap satu unit
kapal pancig tonda yang berada di Palabuhanratu memiliki jumlah nelaya n
sebanyak 5 orang yang terdiri dari 1orang nakhoda dan 4 orang ABK. Hasil
tangkapan nelayan pancing tonda yang menggunakan alat bantu rumpon yaitu
tuna (Thunnus sp.), cakalang (Katsuwonus sp.), cucut (Carcharhinus sp.),
marlin (Istiophorus sp.), lemadang (Coryphaena hippurus), dan tongkol (Auxis
sp.). Sistem pembagian keuntungan antara pemilik modal, nahkoda dan ABK
tidak merata. Pemilik modal mendapatkan 50% dari keuntungan, sedangkan
nahkoda dan ABK mendapatkan 50% dengan rincian nakhoda mendapat
bagian dua kali dari bagian ABK.
2) Pemilik modal perikanan pancing tonda belum mematuhi peraturan formal
berupa Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon dalam proses
pemanfaatan sumberdaya ikan menggunakan alat bantu rumpon. Adapun faktor
yang mempengaruhi ketidak patuhan pemilik modal adalah lemahnya
penegakan hukum, kurangnya sosialisasi dan kurangnya kesadaran pemilik
modal akan pentingnya memiliki izin pada proses pemanfaatan rumpon.
33

3) Nakhoda dan ABK perikanan pancing tonda mematuhi peraturan informal


berupa kesepakatan yang dibangun oleh nakhoda dan ABK perikanan rumpon
tentang penerimaan terhadap sanksi, tanggung jawab mengawasi rumpon dan
manfaat ilegal pada proses pemanfaatan rumpon. Nelayan mematuhi peraturan
informal tersebut untuk menjaga hubungan sosial yang harmonis.

Saran

Pemerintah perlu melakukan monitoring dan evaluasi terkait penerapan


Permen KP No. PER.26/MEN/2014 tentang Rumpon di Palabuhanratu
spesifiknya pada sisi hukum yang meliputi perizinan dan sisi teknis meliputi
konstruksi rumpon, pemasangan rumpon dan tanda pengenal yang digunakan pada
rumpon.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni J. 2012. Efektivitas pancing terhadap hasil tangkapan Tuna disekitar


rumpon yang didaratkan di PPN Palabuhanratu Sukab umi [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Ali A. 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol 1, Kencana, Jakarta.
Baskoro MS, Yusfiandayani R. 2015. Metode Penangkapan Ikan. Bogor (ID):
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Besweni. 2009. Kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya
Perairan Pelabuhanratu [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bene C, Tewfik A. 2001. Fishing Effort Allocation and Fishermen’s Decision
Making Process in a Multi-Species Small-Scale Fishery: Analysis of the
Conch and Lobster Fishery in Turks and Caicos Islands. Human Ecology.
29(2):157-186.
Becker G. 1968. Crime and Punishment: an Economic Approach. Political
Economy.76(2): 169-217.
Dagorn L, Holland KN, Restrepo V, Moreno G. 2012. Is it Good or Bad to Fish
With FADs? What are the Real Impacts of the use of Drifting FADs on
Pelagic Marine Ecosystems. Fish Fisheries. 14(3):391–415.
Eggert H, Lokina BR. 2008. Regulatory Compliance in Lake Victoria Fisheries.
Environment for Development. 8(14): 8-14.
Habibi A, Dwi A, Sugiyanta. 2011. Perikanan Tuna-Panduan Penangkapan dan
Penanganan. WWF-Indonesia [Internet]. [diunduh pada 2018 Maret 26].
Tersedia pada: http://awsassets.wwf.or.id.
Handriana J. 2007. Pengoperasian pancing tonda pada rumpon di Selatan Perairan
Teluk Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Idrus M. 2009. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Yogyakarta (ID): Penerbit Erlangga.
Jagers SC, Berlin D, Jentoft, S. 2012. Why Comply? Attitudes Towards Harvest
Regulations Among Swedish Fishers. Marine Policy. 36(2012): 969–976.
34

Jeujanan B. 2008. Efektivitas Rumpon Dalam Operasi Penangkapan Ikan Di


Perairan Maluku Tenggara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Kemenkumham] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2018.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia [Internet]. [diunduh pada11
Maret2018].
Tersedia pada http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2014/bn880-
2014.pdf.
[KBBI] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2018. Kamus Besar Bahasa Indonesia
[internet]. [ diunduh pada 11 Maret 2018]. Tersedia pada https://kbbi.web.id.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 26/Permen-KP/2014 tentang Rumpon. Jakarta (ID):
KKP.
King MD, Sutinen GJ. 2010. Rational non Compliance and the Liquidation of
Northeast Groundfish Resources. Marine Policy. 34(1): 7-21.
Lubis HR. 2012. Bahan kebutuhan melaut perikanan pancing rumpon di PPN
Palabuhanratu Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mapuru D, Naz R. 2013. Compliance of Regulations in Tuna Fisheries in the
Solomon Islands. Pacific Studies. 33(2): 78-92.
Martasuganda S. 2008. Rumpon Rumah Pondokan Ikan. Bogor (ID): Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan. FPIK-IPB. Bogor.
Maguire J, Sissenwine M, Csirke J, Grainger R, Garcia S. 2006. The State of
World Highly Migratory, Straddling and Other High Seas Fishery
Resources and Associated Species. FAO Fisheries Technical Paper 495:84
pp. Rome (IT). FAO.
Monintja DR. 1993. Pengelolaan Rumpon Laut Dalam. Diktat Kuliah.
Departemen PSP IPB. Bogor.
Nugroho D, Atmaja BS. 2013. Kebijakan Rumponisasi Perikanan Pukat Cincin
Indonesia yang Beroperasi di Perairan Laut Lepas. Kebijakan Perikanan.
Vol 05.
Nurdin E. 2017. Rumpon sebagai Alat Pengelola Perikanan Tuna Berkelanjutan;
Madidihang (Thunnus albacares) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Nuramin, M. 2013. Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Palabuhanratu
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ostrom E. 1990. Governing the Commons: the Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.
Pejovich S. 1995. Economic Analysis of Institutions and System. Dordrecht The
Netherlands : Stanford California : Stanford University Press.
[PPN Palabuhanratu] Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2016.
Satitistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusatara Pelabuhanratu tahun
2016. Palabuhanratu (ID): PPN Palabuhanratu.
[PPN Palabuhanratu] Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu. 2016.
Laporan Tahunan Tingkat Operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhanratu tahun 2016. Palabuhanratu (ID): PPN Palabuhanratu.
[PPN Palabuhanratu] Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu. 2008.
Laporan Tahunan Tingkat Operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhanratu tahun 2008. Palabuhanratu (ID): PPN Palabuhanratu.
35

Prayitno ERM. 2016. Pemanfaatan rumpon laut dalam sebagai daerah


penangkapan ikan dan dampaknya terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Racham A. 2013. Perilaku ekonomi nelayan ikan tuna dalam kerangka
industrialisasi perikanan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sari NS, Thalib S, Junaidi. 2016. Kepatuhan Hukum Masyarakat Nelayan
Terhadap Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela/Payang
(Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Kota Padang. Jurnal Sosial,
Ekonomi dan Humaniora. Vol 06.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Method). Bandung (ID): Cv Alfabeta.
Sangadji EM, Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dalam
Penelitian. Yogyakarta (ID): ANDI.
Suhana. 2008. Analisis ekonomi kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya
ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Bara t [Tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutinen GJ, Kuperan VK. 1999. A Socio-Economic Theory of Regulatory
Compliance. Social Economics. 26(1):174-193.
Soekanto, Soerjono (1987). Sosiologi Suatu pengantar. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Subani W, Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Vol 50. 177-142.
Wahju IR, Zulbainarni N, Soeboer AD. 2013. Hasil Tangkapan Pancing Tonda
Berdasarkan Musim Penangkapan dan Daerah Penangkapan Tuna dengan
Rumpon Di Perairan Selatan Palabuhanratu. Buletin PSP Volume XXI No.
1 April 2013. Hal 97-105.
Wudianto K, Wagiyo B, Wibowo. 2003. Sebaran daerah penangkapn ikan tuna di
Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi
Sumberdaya dan Penangkapan. Badan Riset kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 9(7):19-28.
Yusfiandayani R. 2004. Studi tentang mekanisme berkumpulnya ikan pelagis
kecil di sekitar rumpon dan pengembangan perikanan di Perairan Pasuruan,
Provinsi Banten [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
36

LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala likert kepatuhan pemilik modal dari sisi hukum


Pertanyaan Tanggapan
Ya Tidak Jumlah x Bobot
Apakah bapak mengetahui adanya Permen KP 7 0 7
No. PER.26/MEN/2014?
Apakah bapak memiliki surat izin dalam 0 7 0
pemasangan rumpon?
Apakah surat izin bapak masa berlakunya 0 7 0
masih aktif?
Skor rata-rata kepatuhan 1
Sumber: Data Primer
37

Lampiran 2 Skala likert penerapan peraturan pemasangan rumpon berdasarkan


aspek teknis
Pertanyaan Tanggapan
Ya Tidak Jumlah x Bobot

Pemasangan rumpon
Apakah rumpon yang bapak pasang 2 5 2
koordinatnya sesuai DPI yang tercantum
dalam SIPI?

Apakah rumpon yang di pasang tidak 0 7 0


kurang dari 10 mil?

Apakah rumpon yang bapak pasang tidak 0 7 0


mengganggu alur pelayaran?

Tanda pengenal rumpon


Apakah rumpon yang bapak pasang 7 0 7
menggunakan tanda pengenal?

Apakah tanda pengenal yang bapak pasang 0 7 0


memuat nama pemilik, nomor SIPI, nama
kapal dan koordinat rumpon?

Apakah bapak memasang radar reflektor 0 7 0


yang terbuat dari lempengan logam pada
tanda pengenal rumpon?

Konstruksi rumpon
Apakah konstruksi rumpon yang bapak 7 0 7
pasang memiliki pelampung, atraktor, tali
tambat dan pemberat?

Apakah atraktor rumpon yang bapak pasang 7 0 7


terbuat dari bahan alami?

Apakah mudah mendapatkan bahan alami 7 0 7


untuk pembuatan atraktor?

Skor rata-rata kepatuhan 4.3


Sumber: Data Primer
38

Lampiran 3 Skala likert sanksi dalam pemanfaatan rumpon


Sanksi Kepatuhan nakhoda dan ABK (%)
SS S KS TS STS

Lokasi pemasangan rumpon secara 0 0 0 83.8 16.2


tidak beraturan
Diberi sanksi jika menangkap ikan 21.6 78.4 0 0 0
di rumpon milik orang lain
Diberi sanksi jika memindahkan 16.2 83.8 0 0 0
lokasi rumpon milik orang lain
Diberi sanksi jika merusak rumpon 10.8 89.2 0 0 0
milik orang lain
Memasang rumpon dengan efek zig 0 0 0 91.9 8.1
zag
Ket: SS = Sangat setuju, S = Setuju, KS = Kurang setuju, TS = Tidak setuju,
STS = Sangat tidak setuju

Lampiran 4 Skala likert tanggung jawab moral nelayan dalam memanfaatkan


rumpon
Tanggung jawab Moral Kepatuhan nakhoda dan ABK (%)

SS S KS TS STS
Melakukan proses pengawasan terhadap 0 0 0 83.8 16.2
rumpon secara berkala
Bertanggung jawab mengawasi rumpon 40.5 59.5 0 0 0
milik juragan masing- masing
Bertanggung jawab mengawasi rumpon 0 0 5.4 91.9 2.7
juragan lain
Nakhoda dan ABK memiliki peran dalam 5.4 94.6 0 0 0
penyelesaian konflik yang dilakukan pada
proses pemanfaatan rumpon
Apabila ada tokoh masyarakat yang 5.4 94.6 0 0 0
memiliki pengaruh pada proses
penyelesaian konflik yang terjadi dalam
kegiatan pemanfaatan rumpon
Ket: SS = Sangat setuju, S = Setuju, KS = Kurang setuju, TS = Tidak setuju,
STS = Sangat tidak setuju
39

Lampiran 5 Skala likert manfaat bersifat ilegal dalam pemanfaatan rumpon


Manfaat Bersifat Illegal Kepatuhan nakhoda dan ABK (%)

SS S K TS STS
S
Melakukan operasi penangkapan ikan di 0 0 0 37.8 62.2
rumpon orang lain tanpa izin pemilik
rumpon
Saling memberitahukan koordinat 0 0 0 62.2 37.8
pemasangan rumpon
Memasang rumpon lebih dari 3 unit 5.4 10.8 8. 64.9 10.8
1
Mengoperasikan dengan cara menggiring 0 0 0 78.4 21.6
ikan kerumpon yang lain
Memberikan izin menangkap ikan di 0 0 0 83.8 16.2
rumpon juragannya tanpa sepengetahuan
juragan tersebut
Ket: SS = Sangat setuju, S = Setuju, KS = Kurang setuju, TS = Tidak setuju,
STS = Sangat tidak setuju
40

Lampiran 6 Dokumentasi hasil penelitian

Pelampung Tali tambat

Atraktor daun kelapa Pemberat

Rumpon yang telah dipasang di laut Pengukuran kapal


41

Hasil tangkapan pancing tonda Alat tangkap pancing tonda

Wawancara dengan nelayan Es balok untuk penanganan ikan


42

Lampiran 7 Aturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 26 Tahun 2014


43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan Provinsi Sumatera Utara


pada tanggal 15 September 1996 dan merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Nesron Sembiring
Depari dan Ibu Setianna Sinulingga. Penulis menyelesaikan
sekolah dasar di SDN 060932 Kota Medan pada tahun 2008
kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 15 Kota Medan dan
selesai pada tahun 2011. Selanjutnya penulis meneruskan
pendidikan ke SMA Swasta Santa Maria Medan dan lulus
pada tahun 2014.
Pada tahun 2014 Penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
Selama perkuliahan penulis aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
cabang Bogor sebagai Kepala Bidang Organisasi pada masa jabatan 2015/2016.
Penulis juga sebagai anggota Lembaga Pemantau Poros Maritim GMKI masa
jabatan 2016/2018. Penulis pernah mengikuti kepanitiaan Konferensi Cabang ke
XXXV GMKI Bogor sebagai ketua panitia pada tahun 2015 dan mengikuti
kepanitian Masa Perkenalan GMKI cabang Bogor sebagai ketua panitia pada
tahun 2017.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, maka penulis
melakukan penelitian yang berjudul “Kepatuhan Nelayan Pancing Tonda pada
Peraturan Terkait Penggunaan Rumpon di Palabuhanratu, Sukabumi”.

Anda mungkin juga menyukai