Anda di halaman 1dari 189

PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP

HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT


DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG

RACHMAD CAESARIO

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRAK

RACHMAD CAESARIO, C44060513. Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan


Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat di Desa Mayangan,
Kabupaten Subang. Dibimbing oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan posisi dan bobot
umpan yang paling efektif untuk menangkap rajungan serta menentukan
komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan bobot dan
posisi umpan yang berbeda. Penelitian dilakukan dengan metode experimental
fishing menggunakan bubu lipat berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran
panjang x lebar x tinggi: 45 cm x 30 cm x 18 cm. Umpan yang digunakan berupa
ikan rucah dengan bobot 50 gram , 100 gram , dan 150 gram. Adapun posisi
umpan dipasang pada dua tempat yang berbeda yaitu di bagian pengait umpan (di
atas) dan diletakkan di dasar bubu (di bawah).
Total hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh pada penelitian ini
sebanyak 240 ekor dengan berat total 12,689 kg yang terdiri dari 6 (enam) spesies.
Hasil tangkapan dominan pada penelitian ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.)
dengan jumlah 87 ekor atau 36 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh rajungan
(Portunus pelagicus) sebanyak 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil
tangkapan. Posisi dan bobot umpan yang berbeda tidak menunjukan perbedaan
yang nyata terhadap jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan yang
diperoleh selama penelitian, namun memberikan perbedaan yang nyata terhadap
bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata hasil tangkapan rajungan pada
bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 gram. Adapun
perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
jumlah total, bobot total, bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata hasil
tangkapan rajungan.

Kata kunci: Bubu lipat, hasil tangkapan, posisi umpan, bobot umpan, rajungan
PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP
HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT
DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG

RACHMAD CAESARIO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan
Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat di Desa Mayangan,
Kabupaten Subang adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 18 September 2011

Rachmad Caesario
© Hak cipta IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber:
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
Judul Skripsi : Perbedaan Bobot dan Posisi Umpan
Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat
di Desa Mayangan, Kabupaten Subang
Nama Mahasiswa : Rachmad Caesario
NRP : C44060513
Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Program Studi : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Disetujui :
Pembimbing

Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si


NIP: 19690604 199412 1 001

Diketahui:
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.


NIP: 19621223 198703 1 001

Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR

Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana


pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
pada bulan Maret 2010 ini adalah Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus
pelagicus) Pada Bubu Lipat Dengan Menggunakan Posisi dan Bobot Umpan
Berbeda di Desa Mayangan, Kabupaten Subang.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun. Semoga hasil penelitian dalam bentuk skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan di kemudian hari.

Bogor, 18 September 2011

Rachmad Caesario
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada:


1. Bapak Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai pembimbing yang
memberikan pengarahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
2. Bapak Dr. Muhammad Imron, M.Si sebagai Komisi Pendidikan
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan;
3. Bapak Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc sebagai penguji tamu pada sidang
ujian skripsi;
4. Pihak Desa Mayangan khususnya Bapak Warnita atas segala bantuannya
selama penelitian berlangsung;
5. Ayahanda (Zainuddin), Ibunda (Nurhayati), saudara dan sahabat-
sahabatku yang telah memberikan dorongan, dukungan serta doanya
kepada penulis;
6. Seluruh civitas PSP yang telah memberikan kebersamaan yang tidak
terlupakan;
7. Pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 25


Mei 1988. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara
dari pasangan Zainuddin dan Zurhayati. Pada tahun 1994
penulus lulus dari TK-AL AZHAR Bandar Lampung
kemudian pada tahun 2000 penulis lulus dari SD AL-AZHAR
Bandar Lampung dan pada tahun 2003 penulis lulus dari
SLTPN 16 Bandar Lampung, selanjutnya pada tahun 2006 penulis lulus dari
SMAN 2 Bandar Lampung dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Selama menjadi mahasiswa, penulis merupakan anggota Himpunan
Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) tahun 2007 –
2008 serta Ketua Badan Pengawas Himpunan Keprofesian (BPHIMPRO) pada
tahun 2008 – 2009. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum di lingkungan
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Penulis pernah menjadi asisten
praktikum Dasar-dasar Perikanan Tangkap pada tahun ajaran 2008/2009, asisten
praktikum Metode Observasi Bawah Air pada tahun ajaran 2009/2010 dan
2010/2011, asisten praktikum Teknologi Alat Penangkapan Ikan pada tahun
ajaran 2009/2010.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i


DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................... 3
1.3 Manfaat ................................................................................................. 3

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Rajungan ................................................................................. 4
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ................................................................. 4
2.1.2 Habitat .............................................................................................. 10
2.1.3 Daur hidup........................................................................................ 11
2.1.4 Reproduksi ....................................................................................... 13
2.1.5 Makanan ........................................................................................... 14
2.1.6 Tingkah laku..................................................................................... 15
2.2 Bubu ........................................................................................................ 18
2.2.1 Deskripsi bubu ................................................................................. 18
2.2.2 Klasifikasi alat tangkap bubu ........................................................... 20
2.2.3 Konstruksi bubu ............................................................................... 23
2.2.3.1 Bahan ................................................................................... 25
2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu ..................................................... 26
2.2.3.3 Umpan .................................................................................. 30
2.2.4 Metode penangkapan bubu .............................................................. 35
2.2.5 Daerah penangkapan bubu ............................................................... 37
2.2.6 Nelayan ............................................................................................ 38

3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 40
3.2 Alat dan Bahan .......................................................................................... 40
3.2.1. Peralatan .......................................................................................... 40
3.2.2. Bahan .............................................................................................. 41
3.3 Metode Penelitian ..................................................................................... 41
3.3.1 Deskripsi alat yang digunakan ......................................................... 41
3.3.2 Metode pengoperasian bubu ............................................................ 43
3.3.3 Metode pengumpulan data ............................................................... 46
3.4 Rancangan Penelitian ................................................................................ 48

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN


4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang ...................... 51

i
4.2 Keadaan Perairan Kabupaten Subang ..................................................... 52
4.2.1 Faktor klimatologi perairan pantai Kabupaten Subang ............... 53
4.2.2 Karakteristik fisik perairan pantai Subang .................................. 53
4.2.3 Mangrove .................................................................................... 55
4.3 Unit Penangkapan Ikan ........................................................................... 57
4.3.1 Kapal ........................................................................................... 57
4.3.2 Alat tangkap ................................................................................ 58
4.4 Potensi dan Produksi Perikanan ............................................................. 90
4.5 Musim dan Daerah Penangkapan ........................................................... 92

5 HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Hasil ........................................................................................................ 94
5.1.1 Komposisi hasil tangkapan ......................................................... 94
5.1.2 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan
sampingan pada bubu lipat .......................................................... 98
5.1.3 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan ....................................... 99
5.1.3.1 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan pada posisi
umpan berbeda ................................................................ 99
5.1.3.2 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan pada tiap
perlakuan ........................................................................ 103
5.1.4 Keragaman spesies hasil tangkapan ............................................ 109
5.1.5 Total jumlah dan bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus
pelagicus) ................................................................................... 110
5.1.5.1 Total jumlah hasil tangkapan rajungan (Portunus
pelagicus) ....................................................................... 110
5.1.5.2 Total bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus
pelagicus) ....................................................................... 112
5.1.6 Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)114
5.1.6.1 Sebaran berat .................................................................. 114
5.1.6.2 Sebaran panjang karapas (Carapace length / CL) ......... 120
5.1.6.3 Sebaran lebar karapas (Carapace width / CW) .............. 127
5.1.7 Hubungan antara panjang karapas dan lebar karapas ................. 133
5.1.8 Hubungan antara berat dan panjang karapas ............................... 134
5.1.9 Hubungan antara berat dan lebar karapas ................................... 135
5.1.10 Rasio jenis kelamin ..................................................................... 136
5.2 Pembahasan ............................................................................................ 138
5.2.1 Komposisi total hasil tangkapan .................................................. 138
5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)142
5.2.3 Rasio jenis kelamin rajungan ....................................................... 144

6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 146
6.2 Saran....................................................................................................... 146

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 147


LAMPIRAN ..................................................................................................... 152

ii
DAFTAR TABEL

1 Umur dan ciri khas burayak dari tingkat Zoea I sampai Zoea IV ................. 11
2 Spesifikasi teknis bubu lipat ......................................................................... 41
3 Perkembangan jumlah kapal tahun 2006-2009 ............................................. 57
4 Jenis alat tangkap di Kabupaten Subang ...................................................... 58
5 Jumlah nelayan di Kabupaten Subang ......................................................... 89
6 Potensi perikanan Kabupaten Subang Tahun 2003 ....................................... 90
7 Perkembangan Produksi Ikan Kabupaten Subang ....................................... 91
8 Produksi Ikan Laut Kabupaten Subang Tahun 2007..................................... 92
9 Komposisi total hasil tangkapan .................................................................. 95
10 Jumlah dan bobot hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan berbeda ..... 100
11 Jumlah dan bobot hasil tangkapan pada bubu dengan posisi dan bobot
umpan berbeda ............................................................................................ 107
12 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap berat hasil tangkapan
rajungan pada tiap perlakuan ...................................................................... 120
13 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap panjang karapas hasil
tangkapan rajungan pada tiap perlakuan ..................................................... 127
14 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap lebar karapas hasil
tangkapan rajungan pada tiap perlakuan ..................................................... 133

iii
DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi dan anatomi rajungan .................................................................. 6


2 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar Indonesia .............................. 9
3 Perkembangan larva rajungan ....................................................................... 12
4 Siklus hidup rajungan.................................................................................... 13
5 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kotak......................... 17
6 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kubah ........................ 18
7 Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal.................................................. 21
8 Pengoperasian Bubu dengan sistem rawai .................................................... 22
9 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan ................................. 27
10 Konstruksi bubu wadong .............................................................................. 28
11 Konstruksi bubu pintur.................................................................................. 29
12 Konstruksi bubu lipat .................................................................................... 29
13 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi umpan
berdasarkan pada arus air .............................................................................. 33
14 Desain dan konstruksi bubu yang digunakan selama penelitian ................... 42
15 Bubu lipat yang digunakan dalam penelitian ................................................ 43
16 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan ............................................. 44
17 Cara pemasangan umpan pada bubu ............................................................. 45
18 Contoh pengukuran rajungan ........................................................................ 47
19 Contoh pengukuran udang ............................................................................ 47
20 Contoh pengukuran ikan ............................................................................... 48
21 Konstruksi payang......................................................................................... 61
22 Konstruksi dogol ........................................................................................... 64
23 Konstruksi jaring arad ................................................................................... 68
24 Desain (a) dan konstruksi (b) gillnet millennium .......................................... 73
25 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring klitik .................................................... 77
26 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring rampus ................................................. 80
27 Konstruksi pancing rawai.............................................................................. 83
28 Konstruksi bubu lipat .................................................................................... 86
29 Konstruksi jala tebar ..................................................................................... 88
30 Komposisi total hasil tangkapan bubu selama penelitian ............................. 94
31 Jumlah hasil tangkapan per trip dan rata-rata hasil tangkapan tiap bubu
per trip ........................................................................................................... 96
32 Rata-rata hasil tangkapan per stasiun dan jumlah hasil tangkapan tiap
bubu per stasiun ............................................................................................ 97
33 Jumlah hasil tangkapan rajungan per trip dan rata-rata hasil tangkapan
rajungan per bubu per trip ............................................................................. 97
34 Jumlah hasil tangkapan rajungan per stasiun dan rata-rata hasil tangkapan
rajungan per bubu per stasiun ....................................................................... 98
35 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada
bubu lipat....................................................................................................... 99
36 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi pemasangan
umpan di atas ................................................................................................ 101
37 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi pemasangan
umpan di bawah ............................................................................................ 101

iv
38 Komposisi total bobot hasil tangkapan pada bubu dengan posisi
pemasangan umpan di atas (a) dan di bawah (b) .......................................... 103
39 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu ................................................... 103
40 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan posisi dan bobot umpan
berbeda .......................................................................................................... 108
41 Jumlah hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas
dan di bawah ................................................................................................. 110
42 Jumlah hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu................................ 111
43 Bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di atas
dan di bawah ................................................................................................. 112
44 Bobot total hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu ......................... 114
45 Sebaran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap selama
penelitian ....................................................................................................... 115
46 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada
bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah .......................................... 116
47 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada
bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda ............................................. 119
48 Rata-rata berat rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu dengan posisi
dan bobot umpan yang berbeda..................................................................... 119
49 Sebaran panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus) ............................. 121
50 Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus) yang
tertangkap pada bubu dengan bobot umpan di atas dan di bawah ................ 122
51 Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus) yang
tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda ................... 125
52 Rata-rata panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu
dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda.............................................. 126
53 Sebaran lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) .................................. 127
54 Distribusi CW rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu dengan posisi
umpan di atas dan di bawah .......................................................................... 128
55 Distribusi lebar karapas (CW) rajungan (Portunus pelagicus) yang
tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda ................... 131
56 Rata-rata lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu dengan
posisi dan bobot umpan yang berbeda .......................................................... 132
57 Hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas seluruh hasil
tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)..................................................... 134
58 Hubungan antara berat dengan panjang karapas seluruh hasil tangkapan
rajungan (Portunus pelagicus) ...................................................................... 135
59 Hubungan antara berat dengan lebar karapas seluruh hasil tangkapan
rajungan (Portunus pelagicus) ...................................................................... 136
60 Jumlah rajungan jantan dan rajungan betina yang tertangkap pada tiap
jenis perlakuan .............................................................................................. 137

v
DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian ................................................................................... 152


2 Unit penangkapan bubu................................................................................ 153
3 Kegiatan pengoperasian alat tangkap ........................................................... 154
4 Gambar hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian ......................... 155
5 Jenis dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada tiap trip penangkapan ..... 156
6 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah hasil tangkapan total serta bobot
total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi umpan berbeda.................. 158
7 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah total hasil tangkapan rajungan
serta bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi
umpan berbeda ............................................................................................. 159
8 Nilai uji Mann-Whitney terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil
tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan berbeda .................... 160
9 Nilai uji Friedman terhadap Jumlah total hasil tangkapan pada bubu
dengan posisi dan bobot umpan berbeda ..................................................... 162
10 Nilai uji Friedman terhadap jumlah total hasil tangkapan rajungan dan
bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi dan bobot
umpan berbeda ............................................................................................. 163
11 Nilai uji Friedman terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil tangkapan
rajungan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda ..................... 164
12 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran bobot rajungan pada posisi
dan bobot umpan berbeda ............................................................................ 166
13 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CL rajungan pada posisi
dan bobot umpan berbeda ............................................................................ 168
14 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CW rajungan pada posisi dan
bobot umpan berbeda ................................................................................... 170
15 Nilai Index Shannon-Wiener ....................................................................... 172
16 Nilai Chi – square proporsi rajungan betina dan jantan pada bubu dengan
posisi dan bobot umpan berbeda .................................................................. 174

vi
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan spesies yang hidup pada habitat
yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di
laut terbuka (Nontji, 2005). Hewan ini pada umumnya ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap bubu (Iskandar dan Ramdani, 2009).
Bubu merupakan alat penangkap ikan yang tergolong kedalam kelompok
perangkap (traps). Alat ini bersifat pasif, yakni memerangkap ikan untuk masuk
ke dalamnya namun sulit untuk meloloskan diri. Bubu terbagi atas tiga jenis
berdasarkan cara pengoperasiannya, yaitu : bubu dasar (ground fishpots), bubu
apung (floating fishpots), dan bubu hanyut (drifting fishpots) (Subani dan Barus,
1989). Cara pengoperasian bubu ini ditujukan untuk menangkap sasaran
tangkapan yang diinginkan. Adapun bubu yang digunakan untuk menangkap
rajungan termasuk ke dalam jenis bubu dasar.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan
menggunakan bubu seperti; lama perendaman, tingkat kejenuhan perangkap (gear
saturation), habitat, desain bubu, dan umpan (Miller, 1990). Dari sekian banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan di atas, penggunaan umpan
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan operasi
penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Keberadaan umpan sangat penting
dalam memikat ikan-ikan di sekitar bubu agar masuk ke dalam bubu.
Ada beragam jenis umpan yang digunakan dalam aktifitas penangkapan
ikan, diantaranya adalah umpan alami dan buatan. Adapun pada alat tangkap
bubu yang dioperasikan untuk menangkap rajungan biasanya menggunakan
umpan alami berupa ikan rucah. Ikan rucah banyak dipakai karena harganya yang
murah, mudah diperoleh, dan masih memiliki kesegaran yang baik.
Rajungan di Subang ditangkap dengan menggunakan bubu lipat segi empat
dengan diberi umpan berupa ikan rucah. Namun penggunaan jumlah umpan
bervariasi pada setiap bubu yang digunakan. Nelayan menggunakan umpan pada
bubu yang dioperasikan sesuai dengan keinginan mereka. Beberapa nelayan
berpikir bahwa penggunaan umpan yang lebih banyak akan meningkatkan hasil

1
tangkapan rajungan. Oleh karena itu beberapa nelayan ada yang menggunakan
umpan dengan jumlah yang cukup banyak untuk menarik rajungan agar memasuki
perangkap. Namun ada pula nelayan yang beranggapan bahwa jumlah umpan
tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil tangkapan rajungan, sehingga mereka
hanya menggunakan umpan seadanya.
Hingga saat ini masih jarang penelitian yang mengkaitkan antara jumlah
umpan dengan hasil tangkapan bubu. Padahal jumlah umpan yang digunakan
sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan (Sainte-Marie, 1994). Adapun
Miller (1983) mengatakan bahwa penambahan bobot umpan pada bubu dapat
meningkatkan hasil tangkapan secara signifikan.
Penelitian tentang umpan di Indonesia hingga saat ini lebih memfokuskan
pada jenis umpan untuk meningkatkan hasil tangkapan. Iskandar dan Ramdani
(2009) menggunakan jenis umpan yang berbeda yaitu ikan pepetek segar, ikan
pepetek asin, pepetek segar dengan potongan rajungan, serta pepetek segar yang
diolesi minyak kedelai. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
rata-rata jumlah rajungan secara keseluruhan yang tertangkap dengan
menggunakan umpan ikan segar campur minyak kedelai relatif lebih besar
dibandingkan dengan rajungan yang tertangkap dengan jenis umpan lainnya,
namun ditinjau dari segi ukuran rajungan yang tertangkap, bubu dengan umpan
ikan segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan ukuran yang
lebih besar dibandingkan dengan jenis umpan lainnya. Adapun Tiku (2004)
dalam penelitiannya mencoba untuk mengkaji jenis umpan yang paling disukai
kepiting bakau dengan menggunakan empat jenis umpan berbeda yaitu kulit
kambing, ikan remang, ikan rucah dan kelapa bakar. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa hasil tangkapan kepiting bakau dengan menggunakan umpan
berupa ikan remang menunjukkan nilai yang berbeda nyata dibandingkan ketiga
jenis umpan lainnya.
Saat sedang melakukan survey, penulis menemukan bahwa beberapa bubu
lipat yang digunakan sudah tidak memiliki pengait umpan. Hal ini berakibat
terjadinya perbedaan posisi umpan yang dipasang pada bubu. Beberapa nelayan
beranggapan bahwa posisi umpan tidak terlalu memberi pengaruh terhadap hasil
tangkapan. Namun ada juga nelayan yang beranggapan bahwa perbedaan posisi

2
umpan memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Miller
(1990) mengatakan bahwa jika jejak bau umpan tidak menarik kepiting menuju
mulut bubu, maka kepiting akan berusaha memasuki bubu melalui badan jaring
dimana aroma umpan yang paling kuat berasal. Untuk itulah posisi pemasangan
umpan yang baik yang dapat menuntun kepiting menuju mulut bubu merupakan
suatu hal yang penting untuk diketahui.
Penelitian tentang pengaruh posisi pemasangan serta bobot umpan terhadap
hasil tangkapan masih jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh posisi maupun jumlah
umpan terhadap hasil tangkapan rajungan.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan
bobot dan posisi umpan yang berbeda.
2. Menentukan bobot umpan yang paling efektif untuk menangkap rajungan
(Portunus pelagicus) dengan menggunakan bobot yang berbeda yaitu sebesar
50 gram, 100 gram, dan 150 gram.
3. Menentukan posisi umpan yang efektif untuk menangkap rajungan.

1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi mengenai bobot dan posisi umpan yang efektif untuk
menangkap rajungan (Portunus pelagicus) atau yang sejenisnya;
2. Meningkatkan hasil tangkapan bubu lipat dengan pemberian jumlah umpan
dan posisi pemasangan yang tepat.

3
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Rajungan


2.1.1 Klasifikasi dan morfologi
Klasifikasi rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) yang dikutip
oleh Hermanto (2004) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucelomata
Section : Prostomia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Reptantia
Seksi : Brachyura
Sub Seksi : Brachyrhyncha
Famili : Portunidae
Sub Famili : Portuninae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan famili Portunidae dari seksi


Brachyura. Hewan ini memiliki sapit yang memanjang, kokoh dan berduri. Pada
hewan ini terdapat perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan
jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar, sapitnya pun lebih panjang dari
yang betina. Rajungan jantan memiliki warna kebiru-biruan dengan bercak-bercak
putih terang, sedangkan pada rajungan betina memiliki warna dasar kehijau-
hijauan dan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas
pada individu yang agak besar, walaupun belum dewasa (Nontji, 2007).

4
Secara umum rajungan memiliki ciri khas berupa sepasang sapit berduri
yang memanjang, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang. Pada rajungan
terdapat 5 pasang kaki jalan. Pasangan pertama berubah menjadi sapit (cheliped),
sedangkan pasangan kaki jalan ke-5 berubah fungsi sebagai alat pendayung. Kaki
renang tereduksi dan tersembunyi di balik abdomen. Pada hewan betina, kaki
renang berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan
Wardhana, 1990). Sapit pada rajungan digunakan untuk menangkap dan
memegang makanan. Kaki jalan digunakan untuk berjalan di dasar perairan.
Sedangkan kaki renang dipergunakan untuk berenang dengan cepat di air
sehingga tergolong kedalam Swimming Crab (Portunidae) (Rangka, 2007).
Oemarjati dan Wardhana (1990) mengatakan bahwa rajungan mempunyai
karapas yang sangat menonjol dibandingkan abdomennya. Abdomen berbentuk
segitiga dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka (anterolateral)
karapas terdapat 9 (sembilan) buah duri. Duri pertama di anterior berukuran lebih
besar daripada ketujuh buah duri di belakangnya, sedangkan duri ke-9 yang
terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar.
Rajungan memiliki tiga pasang duri frontal dan sembilan pasang duri antero-
lateral pada bagian dorsal. Adapun duri kesembilan pada antero-lateral memiliki
ukuran paling besar dan panjang. Abdomen pada rajungan jantan berbentuk
segitiga yang meruncing ke depan sedangkan pada rajungan betina berbentuk
segitiga yang lebih lebar dan membulat (Schmitt, 1973).
Juwana dan Romimohtarto (2000) yang dikutip oleh Ramdani (2007)
mengatakan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran 18 cm dengan capit yang
memanjang, kokoh, dan berduri. Rajungan yang ditangkap di perairan pantai
umumnya mempunyai kisaran lebar karapas 8-13 cm dengan rata-rata berat ± 100
gram, sedangkan rajungan yang ditangkap pada perairan yang lebih dalam
mempunyai kisaran lebar karapas 12-15 cm dengan berat rata-rata ±150 gram.

5
Tampak Dorsal

Abdomen jantan Abdomen betina

Sumber : www.sea-ex.com/fishphotos/crab.htm

Gambar 1 Morfologi dan anatomi rajungan.

Dalam pertumbuhannya, rajungan sering berganti kulit (molting). Kulit


kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur sehingga tidak dapat terus
tumbuh. Jika rajungan akan tumbuh besar maka rajungan akan berganti kulit
sehingga kulit lamanya akan ditanggalkan. Rajungan ketika baru berganti kulit
memiliki karapas yang sangat lunak dan dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat
membentuk pelindung yang keras. Masa ini merupakan masa yang rawan pada

6
rajungan. Tidak jarang rajungan disergap, dirobek, dan dimakan oleh sesama
jenisnya. Kanibalisme pada rajungan merupakan hal yang sering terjadi terutama
dalam ruangan yang terbatas, baik pada rajungan dewasa maupun dalam tahap
larva (Nontji, 2007).
Menurut Warner (1977) yang dikutip oleh Hermanto (2004) tahap-tahap
molting adalah sebagai berikut:
1) Tahap awal molting
- Eksoskeleton menjadi membran yang lunak. Kaki tidak sanggup
mendukung bobot tubuh di air dan kepiting menjadi tidak aktif. Absorbs
air berlangsung aktif, eksokutikel mulai mengalami mineralisasi;
- Ekseoskleton menjadi seperti kertas, kepiting dapat mendukung bobot
tubuhnya. Kandungan air dalam tubuh 80%, endokutikel mengeras,
mineralisasi dimulai.
2) Tahap baru saja molting
- Bentuk eksoskeleton menjadi rusak, tetapi tidak pecah;
- Bagian eksoskeleton menjadi kaku
3) Tahap intermolting
- Karapas menjadi keras, tapi bagian branchitegites, sternites, bagian merus
dan karpus tetap lunak. Bagian ini adalah bagian utama dari pertumbuhan
jaringan;
- Karapas menjadi sangat keas. Branchitegites, sternites, serta kaki jalan
lunak dan patah jika dibengkokan. Pertumbuhan jaringan tetap berlanjut;
- Seluruh eksoskeleton keras, tetapi mineralisasi endokutikel tetap
berlangsung. Lapisan membran yang paling dalam belum sempurna
sampai akhir tahap ini;
- Eksoskeleton sempurna, kehadiran lapisan membran dapat diduga dari
pecah dan terangkatnya potongan karapas atau putusnya bagian dactylus
kaki jalan. Lapisan membran akan mengangkatnya pada epidermis.
Pertumbuhan jaringan sempurna dan mengumpulkan metabolism yang
berbalik. Kandungan air 60%.

7
- Tahap anecdysis terakhir dibedakan oleh lapisan membran yang menempel
pada begian eksoskeleton. Kepiting pada saat ini sering memperlihatkan
tanda berapa umurnya, eksoskeleton rusak dan mendukung epifauna.
4) Tahap premolting
- Epidermis lepas dari lapisan membran dan mengeluarkan epikutikel baru.
Punggung yang baru berkembang di dalam bagian yang sudah tua.bagian
ini amat lunak, tetapi dapat dilihat jika dactylus patah dan jaringan
diambil. Cadangan makanan dikerahkan dan glycogen dibentuk dalam
jaringan epidermis;
5) Tahap ecdysis
- Kepiting lepas dari eksoskeleton tua dan minum air.

Menurut Thompson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004) rajungan


besar biasanya tidak menanggalkan karapasnya untuk jangka waktu yang lama.
Rajungan seperti ini memiliki warna yang memudar dan karapasnya sering
ditempeli oleh remis/teritip atau sulur rumput laut. Rajungan dapat berjalan sangat
baik pada dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab, dan jjuga
perenang yang baik.
Menurut Moosa (1996) yang dikutip oleh Nontji (2007) di Indo-pasifik
Barat diperkirakan terdapat 234 jenis hewan dari suku Portunidae. Di Indonesia
terdapat 124 jenis kepiting dari suku tersebut. Di Teluk Jakarta dan Pulau-pulau
Seribu diperkirakan terdapat 46 jenis. Dari sekian jenis tersebut, hanya beberapa
jenis yang dikenal oleh banyak orang karena bisa dimakan. Kepiting yang
biasanya dimakan adalah kepiting yang memiliki ukuran agak besar. Jenis
kepiting yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena
tidak memiliki daging yang berarti.
Menurut Hermanto (2004) jenis rajungan yang umum dimakan (edible crab)
ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portunidae atau
prodopthalnae. Adapun jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan tetapi
berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Hal ini menyebabkan
jenis kepiting tersebut tidak umum untuk dimakan.

8
Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar indonesia ada empat spesies
yaitu : rajungan (portunus pelagicus), rajungan bintang (Portunus
sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalmus vigil), dan rajungan karang
(Charybdis feriatus). Menurut Nontji (2007) rajungan bintang mudah dikenali
dengan adanya tiga bintik berwarna merah coklat dipunggungnya. Rajungan jenis
ini memiliki ukuran lebih kecil dari P. pelagicus, hidup di laut terbuka mulai dari
tepi pantai hingga kedalaman lebih dari 30 m. Rajungan karang mempunyai warna
yang khas, coklat kemerah-merahan dan di punggungnya terdapat gambaran pucat
menyerupai salib. Rajungan angin mempunyai ukuran yang lebih kecil lagi, jenis
rajungan ini hidup di laut terbuka sampai kedalaman 70 m. Ciri yang menonjol
pada rajungan jenis ini adalah matanya yang mempunyai tangkai yang amat
panjang dan bisa direbahkan. Adapun keempat jenis rajungan tersebut dapat
dilihat secara lebih jelas pada Gambar 2.

(a) (b)
sumber : www.dpi.nsw.gov.au/fisheries/crab sumber : www.hk-fish.net/eng/database/crabs

(c) (d)
sumber : www.seafood.nmmba.gov.tw sumber : www.cookislands.bishopmuseum.org

Gambar 2 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar Indonesia: (a) Portunus
pelagicus; (b) Portunus sanguinolentus; (c) Charibydis feriatus; (d)
Podopthalmus vigil.

9
2.1.2 Habitat
Rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan
dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka. Hewan ini hidup dengan
membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, atau
kadang-kadang dijumpai berenang-renang di permukaan (Oemarjati dan
Wardhana, 1990). Dalam keadaan biasa, ia diam di dasar laut hingga kedalaman
lebih dari 65 m, tetapi sesekali ia juga terlihat berenang dekat ke permukaan laut
(Nontji, 2007).
Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Saedi (1997) rajungan dapat
merayap dengan baik di dasar dan daerah intertidal (pasang surut) sampai pada
lumpur basah yang terbuka. Rajungan juga dapat menguibur diri di bawah pasir
dalam sekejap mata untuk menghindari musuh-musuhnya. Seperti kebanyakan
penghuni laut aktif lainnya, rajungan menjadikan muara sebagai tempat mencari
makan (feeding place) dan pergi ke laut untuk memijah.
Hutan bakau merupakan komunitas laut dangkal yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon atau semak-semak yang mempunya kemampuan untuk
tumbuh di air asin. Hutan bakau dapat terbentuk dengan sendirinya apabila
kondisi fisik lingkungan memilki arus yang kecil sehingga endapan partikel yang
halus cenderung berkumpul di dasar; substrat di daerah hutan mangrove pada
umumnya adalah lumpur; kadar oksigen tanah mangrove rendah dan kadar
garamnya tinggi; dan merupakan bagian dari daerah pasang surut (Nyabakken,
1993).
Menurut Nyabakken (1993) hutan bakau dihuni oleh berbagai jenis makhluk
hidup. Sementara di bagian atasnya hidup beberapa organisme terestrial, terdapat
hewan-hewan laut yang tinggal di bawahnya. Kelompok hewan laut dominan
yang hidup di hutan bakau adalah jenis moluska, beberapa krustasea dan jenis
ikan-ikan tertentu. Dengan banyaknya sumberdaya yang terdapat pada hutan
bakau, menjadikannya sebagai salah satu tempat yang baik untuk perkembangan
rajungan.

10
2.1.3 Daur hidup
Menurut Nontji (2007) seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi
larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Bentuk larva yg baru menetas
sangatlah berbeda dengan bentuk dewasa. Larva yang baru menetas mengalami
beberapa kali perubahan bentuk hingga pada akhirnya memiliki bentuk yang sama
dengan rajungan dewasa.
Larva rajungan yang baru menetas (zoea) memiliki bentuk yang lebih mirip
udang daripada rajungan. Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang,
matanya besar dan di ujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini
terdiri dari 4 tingkat dan kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk
yang berbeda. Ciri-ciri tingkat perkembangan Zoea dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Umur dan ciri khas burayak dari tingkat Zoea I sampai Zoea IV
Zoea Zoea
Zoea I Zoea II
III IV
Umur (hari) 2 2 2-3 6
Panjang karapas (cm) 0.3-0.5 0.5-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9
Ruas abdomen (ruas) 5 5 6 6
Seta pada telson 6s* 6s+2h* 6s+2h * 6s+2h *
Seta pada masing-masing ujung
4 6-8 10 12-14
pelopod maksiliped
Sumber : Panggabean dan Aswandy (1982) dikutip oleh Saedi (1997)
Keterangan : s adalah serrate seta; h adalah simple seta

Pada saat larva rajungan memasuki tahap megalopa, bentuknya sudah mulai
mirip dengan rajungan dewasa. Tubuh larva pada tahap ini sudah mulai melebar,
kaki dan sapitnya sudah memiliki wujud yang semakin jelas. Kemudian pada
tahap berikutnya terbentuklah juvenile yang sudah merupakan tahap rajungan
muda (Nontji, 2007). Tahapan perkembangan larva rajungan dapat dilihat pada
Gambar 3.

11
(a) (b)

(c)
Digambar ulang oleh Caesario (2010)

Keterangan :
(a) Larva rajungan pada tahap zoea; (b) Larva rajungan pada tahap megalopa;
(c) Juvenile (rajungan muda).

Gambar 3 Perkembangan larva rajungan.

Nontji (2005) mengatakan bahwa larva rajungan hidup sebagai plankton,


berenang-renang dan terbawa arus, berbeda dengan rajungan dewasa yang hidup
di dasar perairan. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto (2000) dikutip oleh
Ramdani (2007) menambahkan bahwa larva rajungan memiliki ukuran yang
sangat kecil sekali dan berenang-renang lemah dalam air laut sebagai plankton.
Pada tahap ini larva rajungan bersifat planktonik pemakan plankton (Oemarjati
dan Wardhana, 1990). Daur hidup rajungan secara keseluruhan dapat dilihat pada
Gambar 4.

12
Digambar ulang oleh Caesario (2010)

Gambar 4 Siklus hidup rajungan.

2.1.4 Reproduksi
Rajungan muda mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37
mm. Dengan demikian rajungan dapat melakukan proses reproduksi ketika
mencapai ukuran tersebut (Rousefell, 1975 in Darya, 2002). Pada rajungan betina
terdapat tahap perkembangan gonad sejak awal hingga selesai memijah. Tahap
perkembangan gonad ini disebut sebagai Tingkat Kematangan Gonad (TKG).
Penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi dan histologi. Penentuan secara
morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta perkembangan isi
gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari anatomi perkembangan
gonadnya (Effendie, 1997 dikutip oleh Hermanto, 2004).

13
Pada kepiting, telur dalam tubuh betina yang sudah matang akan turun ke
oviduct dan dibuahi sperma, kemudian dipijahkan dan akan melekat pada rambut-
rambut pleopod. Jumlah telur yang dikeluarkan di alam berkisar antara 1-8 juta
butir tergantung ukuran induk kepiting, namun hanya sepertiganya yang
menempel pada rambut-rambut pleopod (Fielder dan Heasman, 1982; Rukmana,
1992 dalam Hermanto, 2004).
Rajungan betina dapat bertelur antara 180.000 sampai 200.000 telur setiap
memijah. Telur dibentuk lebih dari satu periode yang lamanya lebih dari satu hari
sebelum dibuahi. Beberapa ratus telur disematkan di bagian bawah tubuh betina
yaitu pada bagian perut dengan maksud untuk melindunginya. Perlindungan
dilakukan induk betina (maternal care) dengan cara selalu membersihkan telur
yang saling menempel ketika induk betinanya keluar dari pasir. Pemijahan dapat
terjadi lebih dari sekali dalam satu musim dengan menggunakan sperma dari
perkawinan yang pertama. Telur akan menetas kira-kira selama 15 hari pada
perairan dengan suhu 24 ˚C (West Australia goverment, 1997; Darya, 2002 dalam
Hermanto, 2004).

2.1.5 Makanan
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah hewan karnifor yang mencari makan
di dasar perairan. Hewan ini memakan bermacam jenis hewan invertebrata yang
berifat menetap dan bergerak lambat. Kebutuhan makannya sangat tergantung
pada ketersediaaan spesies lokal yang menjadi mangsanya. Makanan utama untuk
rajungan pada daerah pasang surut adalah kepiting kecil dan gastropoda,
sedangkan untuk rajungan pada daerah sub pasang surut adalah hewan-hewan dari
kelas bivalvia dan ophiuridea (Williams, 1982). Patel et al. (1979) yang dikutip
oleh Williams (1982) menguji isi perut dari beberapa ratus rajungan (Portunus
pelagicus) yang tertangkap di Sikka , India. Adapun hasil penelitian yang
diperoleh menunjukkan bahwa isi perut rajungan (Portunus pelagicus) sebagian
besar terdiri dari potongan kepiting, cangkang gastropoda dan bivalvia, dan
seringkali ditemukan ikan yang merupakan jenis makanan utama.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan 3948 perut kepiting yang
dikumpulkan dari perairan dangkal sub-litoral di Kunduchi, teluk Msasani dan

14
sungai Mzinga yang terletak di sepanjang pantai Dar es Salaam diketahui bahwa
makanan utama rajungan (Portunus pelagicus) terdiri dari Moluska (51.3%),
Krustasea (24.1%), tulang ikan (18%) dan bahan makanan yang tidak dapat
diidentifikasi (6.6%). Adapun bahan makanan yang paling dominan diantaranya
Bivalvia Arcuatula arcuatula dan beberapa jenis Moluska lain yang termasuk ke
dalam kelompok Gastropoda seperti genus Nassarius, Littoraria, dan Conus sp.
(Chande and Mgaya, 2004).
Menurut Prasad and Tampi (1953) yang dikutip oleh Williams (1982)
rajungan adalah hewan pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Selain itu Williams
(1982) menambahkan bahwa rajungan merupakan hewan yang hampir
sepenuhnya bersifat karnifora. Adapun material makanan berupa tanaman sangat
jarang ditemukan sebagai makanan dan mungkin dicerna secara tidak sengaja
pada saat mangsa diperoleh diantara alga atau rumput laut.

2.1.6 Tingkah laku


Rajungan aktif di malam hari, berenang mengikuti arus pasang menuju
pantai, pemakan bangkai dan kanibal, meskipun kadang-kadang memakan
tumbuhan air. Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004)
rajungan sering berenang melewati kapal pada malam hari, sehingga mereka
mendapatkan keuntungan untuk ikut bersama. Rajungan juga dapat menggali pasir
dalam sekejap untuk menghindari musuh-musuhnya.
Daerah estuari merupakan tempat berkembang biak atau memijah rajungan.
Kemudian rajungan betina akan membawa telurnya ke daerah pesisir pantai
daerah teluk. Rajungan tumbuh dengan berganti karapas secara berkala (molting)
seperti udang-udangan lainnya. Rajungan betina kadang-kadang kawin pada saat
karapasnya masih lunak setelah berganti kulit ( Thompson, 1974 dikutip oleh
Hermanto, 2004 ).
Archdale, et al (2003) menyebutkan bahwa kepiting memberikan reaksi
terhadap alat tangkap bubu yang dipasang di dasar perairan. Kepiting akan datang
dan mendekati bubu secara perlahan dengan membentuk pola zig zag. Kemudian
kepiting akan melakukan kontak secara langsung terdahap bubu, menunjukkan
tanda-tanda sedang mencari makan. Kedua antena pada kepiting akan mendeteksi

15
keberadaan umpan di dalam bubu. Rangsangan yang diberikan oleh umpan
membuat kepiting terus berusaha mendapatkan umpan dari luar bubu. Kepiting
akan bergerak perlahan ke kanan dan kiri menyusuri bagian bubu untuk mencari
jalan menuju kedalam bubu untuk dapat meraih umpan. Dengan cara ini kepiting
akan menemukan mulut bubu dan berusaha masuk ke dalam bubu. Kepiting yang
berhasil masuk ke dalam bubu akan menuju ke arah umpan dan memakannya.
Setelah memakan umpan tersebut, lalu kepiting menuju ke bagian sudut bubu.
Dalam penelitiannya untuk menentukan efektifitas penangkapan, Archdale,
et al (2003) menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkah laku kepiting terhadap
dua jenis bubu yang diberi umpan. Adapun bubu yang digunakan dalam
penelitiannya adalah bubu berbentuk kotak dengan dua celah pada bagian
ujungnya. Adapun bubu lainnya berbentuk kubah dengan pintu masuk berbentuk
corong yang terbuka.
Selanjutnya Archdale, et al (2003) menyimpulkan bahwa pada bubu
berbentuk kotak, kepiting akan melakukan beberapa usaha sampai akhirnya
berhasil masuk kedalam bubu atau menyerah untuk memasuki bubu. Hal ini
dikarenakan pintu masuk bubu yang berbentuk celah serta material jaring yang
mencegah kepiting untuk masuk karena mengakibatkan duri-duri mereka terjerat
pada jaring sehingga kepiting harus berusaha keras untuk mendorong tubuhnya
masuk kedalam bubu. Sedangkan pada bubu berbentuk kubah, kepiting dapat
masuk dengan mudah dengan cara merayap menyamping. Tingkah laku kepiting
terhadap dua jenis alat tangkap bubu secara detail ditunjukkan pada Gambar 5 dan
Gambar 6.

16
Sumber : Archdale et al (2003)

Keterangan :
a. Mendekat perlahan e. Memasuki bubu
b. Kontak dengan jaring atau frame f. Memakan umpan
c. Berusaha menjangkau umpan melalui g. Istirahat dan berdiam di sudut
jaring dan pergerakan lateral z. Tidak berhasil memasuki bubu
d. Menemukan pintu masuk

Gambar 5 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kotak.

17
Sumber : Archdale et al (2003)

Keterangan :
a. Mendekat perlahan d. Menemukan pintu masuk
b. Kontak dengan jaring atau frame e. Memasuki bubu
c. Berusaha menjangkau umpan melalui f. Memakan umpan
jaring dan pergerakan lateral g. Istirahat dan berdiam di sudut

Gambar 6 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kubah.

2.2 Bubu
2.2.1 Deskripsi Bubu
Bubu adalah alat tangkap sejenis perangkap dimana ikan atau target lainnya
dapat memasuki ruangan penangkapan namun sulit untuk keluar, khususnya
ketika jalan keluar dilengkapi dengan alat pencegah hasil tangkapan untuk
meloloskan diri (non-return device) (Brandt, 1984). Selanjutnya Brandt (1984)
membedakan pengertian perangkap dan bubu. Perangkap merupakan alat tangkap

18
dua dimensi, kadang-kadang pagar perangkap dibuat lebih tinggi dari permukaan
air untuk mencegah ikan-ikan lolos dengan cara melompati pagar tersebut.
Berbeda dengan perangkap, bubu merupakan alat tangkap tiga dimensi yang
memiliki ruangan yang sepenuhnya tertutup, dengan pengecualian, satu atau lebih
pintu masuk dilengkapi dengan alat pencegah ikan lolos (non-return device).
Perangkap terbuat dari pagar-pagar dimana terdapat satu atau lebih ruangan
penangkapan yang terhubung satu dengan yang lain, dan pada tiap ruangan
penangkapan tersebut memiliki pintu masuk yang berbentuk corong. Semua jenis
bubu merupakan alat tangkap yang dapat dibawa dan dipindah-pindahkan,
sedangkan perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan
karena konstruksi dan ukurannya yang besar.
Perikanan bubu skala kecil dioperasikan di perairan yang dangkal,
sedangkan untuk skala menengah dan besar biasanya dilakukan di perairan lepas
pantai pada kedalaman antara 20 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003).
Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu telah banyak
digunakan mulai dari skala kecil, menengah, sampai skala besar. Penangkapan
skala kecil dan menengah biasanya banyak dilakukan di perairan pantai di hampir
seluruh negara yang masih belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk
skala besar banyak dilakukan di negara yang sudah maju sistem perikanannya.
Penggunaan bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat
tangkap lain . Adapun kelebihan dari penggunaan bubu menurut Martasuganda
(2003) adalah:
1) Pembuatan alatnya mudah;
2) Pengoperasiannya mudah;
3) Memiliki tingkat kesegaran hasil tangakapan yang tinggi;
4) Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan
5) Bisa dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak bisa
dioperasikan.
Menurut Martasuganda (2003), secara umum bubu terdiri atas bagian-bagian
rangka, badan, dan mulut. Ada juga bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk
mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan
umpan. Bubu memiliki beberapa bagian secara umum. Alat tangkap ini umumnya

19
terdiri atas kerangka (frame), dinding (wall), mulut (funnel), pintu (hatch), dan
tempat umpan (bait case) (Subani dan Barus, 1989).

2.2.2 Klasifikasi alat tangkap bubu


Menurut Brandt (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap
(traps). Subani dan Barus (1989) junga mengelompokkan bubu kedalam kategori
perangkap. Pengelompokan bubu kedalam golongan perangkap dikarenakan alat
tangkap ini berusaha untuk memerangkap ikan-ikan yang masuk kedalamnya.
Secara umum Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua klasifikasi
berdasarkan lokasi pemasangannya yaitu :
1) Bubu laut dangkal (Inshore potting)
Alat tangkap bubu ini dioperasikan dengan menggunakan kapal yang
berukuran kecil. Bubu ini dioperasikan hingga kedalaman 50 depa (75 meter).
2) Bubu laut dalam (Offshore potting)
Alat tangkap bubu ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman
300 depa (450 m). Pengoperasian alat tangkap ini melibatkan peralatan dan kapal
yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan bubu laut dangkal. Selain
itu, ukuran bubu yang dioperasikan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan
bubu laut dangkal.
Selanjutnya Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua kategori
berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai.
1) Sistem tunggal
Pada pengoperasian bubu dengan menggunakan sistem tunggal, bubu
dipasang di dasar perairan secara satu per satu. Bubu jenis ini biasanya
dioperasikan pada daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh
antara bubu yang satu dengan lainnya. Pada bubu dilengkapi dengan pemberat
agar posisi bubu tidak tersapu oleh arus dan berpindah posisi. Untuk dapat
mengetahui posisi pemasangan bubu ini, dipasang pelampung tanda untuk
memudahkan dalam pencarian bubu. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal
dapat dilihat pada Gambar 7.

20
Sumber : Sainsbury (1996)

Gambar 7 Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal.

2) Sistem rawai
Pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah
banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu lainnya.
Biasanya bubu dengan system rawai dioperasikan pada laut dalam. Bubu yang
dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan dengan pengait (snap) antara
tali cabang dan tali utama. Kemudian ditandai dengan pelampung tanda pada
kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat.
Pemasangan bubu dengan system rawai dapat dilihat pada Gambar 8

21
Sumber : Sainsbury (1996)

Gambar 8 Pengoperasian Bubu dengan sistem rawai.

Subani dan Barus (1989), membagi bubu menjadi tiga golongan berdasarkan
cara pengoperasiannya yaitu: bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating
fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot).

1) Bubu Dasar (Ground Fishpot)


Bubu dasar adalah bubu dioperasikan di dasar perairan. Pengoperasian bubu
jenis ini bisa dilakukan secara tunggal dan bisa pula dioperasikan secara rawai.
Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang atau di antara karang-
karang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga
hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. Sasaran
tangkapan bubu ini adalah jenis ikan demersal.

2) Bubu Apung (Floating Fishpot)


Bubu apung adalah bubu yang dioperasikan dengan cara diapungkan di
permukaan perairan. Bubu ini umumnya terbuat dari bambu dan dilengkapi
dengan pelampung. Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang
berbentuk seperti kurung-kurung. Bubu jenis ini menangkap jenis ikan pelagis.

22
3) Bubu Hanyut
Bubu hanyut adalah bubu yang dioperasikan di permukaan air. Ditinjau dari
kedudukannya di air, bubu hanyut sama dengan bubu apung, namun bubu ini
kemudian dihanyutkan mengikuti arus air. Bubu jenis ini umumnya dirangkai dari
beberapa bubu yang berukuran kecil berjumlah 20-30 buah. Bubu hanyut di
Indonesia umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja
atau luka artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani merupakan penamaan bubu
karena bubu ini menangkap ikan torani atau ikan terbang (flying fish).

2.2.3 Konstruksi bubu


Menurut Subani dan Barus (1989) bubu secara umum terdiri atas kerangka
(frame), dinding (wall), ijeb/mulut (funnel), pintu (hatch), dan tempat umpan (bait
case). Slack and Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari rangka, badan,
mulut, tempat umpan, pintu, celah pelolosan dan pemberat.
1) Rangka
Rangka bubu berfungsi memberi bentuk pada bubu. Rangka dibuat dari
material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika
dioperasikan. Rangka bubu dapat terbuat dari kayu, besi, baja atau bahkan
terbuat dari plastik. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja.
Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu.
Di Kanada dan Timur Laut Amerika Serikat, penangkapan lobster tradisional
menggunakan bubu dengan rangka kayu dan kini digantikan dengan rangka
besi yang dilapisi plastik. Lain halnya di Kanada dan Barat Laut Amerika
Serikat. Di Australia dan New Zealand, bubu dan perangkap kini dibuat
dengan menggunakan mata jaring yang terbuat dari baja sehingga tidak
memerlukan rangka untuk menjaga bentuknya. Bubu di Indonesia masih
banyak yang menggunakan rangka berbahan rotan atau bambu seperti bubu
tambun yang digunakan di kepulauan seribu untuk menangkap jenis ikan
karang serta bubu wadong untuk menangkap kepiting. Monintja dan
Martasuganda (1991) menyatakan bahwa saat ini bubu di Indonesia sudah
menggunakan besi sebagai kerangka.

23
2) Badan
Badan bubu pada alat tangkap bubu modern biasanya terbuat dari kawat,
jaring nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung
dari penggunaan tradisional, dan ketersediaan material, serta biaya dalam
pembuatan. Pada beberapa daerah, bambu dan anyaman rotan masih
digunakan dalam pembuatan badan bubu. Selain itu, pemilihan material
tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan.
3) Mulut
Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian
dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan
keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah seperti pada bubu
lipat segi empat serta berbentuk horse neck pada jenis bubu tambun. Jumlah
mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari
satu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bubu yang memiliki lebih dari
satu mulut menangkap lebih banyak dibandingkan bubu dengan satu mulut
(Miller, 1990).
Archdale et al (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting
dengan menggunakan dua jenis bubu yang memiliki mulut berbentuk corong
dan bubu berbentuk celah. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa bubu
dengan mulut berbentuk corong lebih memudahkan kepiting untuk masuk
kedalam bubu dibandingkan dengan bubu dengan mulut berbentuk celah. Hal
ini dikarenakan mulut bubu berbentuk celah dapat menyebabkan duri kepiting
terjerat serta menyulitkan kepiting untuk masuk kedalam bubu.
4) Tempat umpan
Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Tempat umpan ini bisa
terbuat dari kawat, plastik ataupun jaring sintetis. Fungsinya untuk menahan
umpan agar tidak terpisah dan tetap pada tempatnya. Dalam beberapa kasus,
umpan diletakkan pada ruangan yang terbuat dari besi atau plastik dengan
beberapa lubang kecil untuk mengamankan umpan. Cara ini hanya bisa
dilakukan apabila umpan yang digunakan sangat atraktif pada ikan yang ingin
ditangkap

24
5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan
Pintu biasanya terletak pada bagian tengah badan bubu agar mudah untuk
mengeluarkan hasil tangkapan. Kebanyakan perangkap dilengkapi dengan
pintu untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan.
6) Celah pelolosan
Celah pelolosan dibuat agar ikan-ikan yang belum layak tangkap dari segi
ukuran dapat keluar dari bubu. Bentuk celah pelolosan dapat mempengaruhi
keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk
escape gap sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku dari
target spesies yang akan diloloskan. Adapun bentuk celah pelolosan yang
umum digunakan yaitu kotak, persegi panjang, lingkaran, dan oval. Pada
beberapa negara, celah pelolosan sudah menjadi keharusan pada setiap alat
tangkap untuk meloloskan ikan-ikan dan crustacea yang masih berukuran
kecil. Seperti pada pemerintah Australia, New Zealand, dan Kuba yang
mengharuskan setiap alat tangkap bubu dipasang celah pelolosan untuk
meloloskan ikan-ikan ukuran juvenile. Di Australia dan New Zealand, lobster
batu dengan panjang karapas kurang dari 7.6 cm harus dibebaskan atau
diperbolehkan untuk meloloskan diri.
7) Pemberat
Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus
laut, dan gelombang. Sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat
setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari
kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi,
baja, batu bata, dan jenis batuan lainnya.

2.2.3.1 Bahan
Pemilihan bahan dalam pembuatan bubu tergantung pada tipe bubu yang
ingin dibuat dan jenis tangkapan yang diinginkan (Slack and Smith, 2001).
Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu
(bamboos netting), anyaman rotan (rattan netting), anyaman kawat (wire netting),
kere bambu (bamboos screen). Adapun Sudirman dan Mallawa (2004)
menyatakan bahwa bubu biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu,

25
atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Beberapa jenis bubu menggunakan bahan
keramik, cangkang kerang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka bubu
biasanya terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu.
Berbeda dengan bagian badan bubu yang tebuat dari anyaman kawat, jaring,
waring maupun anyaman bambu. Selanjutnya Martasuganda (2003),
menambahkan bahwa kantong umpan pada bubu kebanyakan menggunakan bahan
kawat kasa.
Brandt (1984) mengatakan bahwa bahan pembuatan bubu umumnya terbuat
dari kayu, kawat besi dan plastik. Kayu merupakan jenis bahan yang pertama kali
digunakan untuk membuat bubu. Bubu yang terbuat dari bahan kayu biasanya
terbuat dari potongan alang-alang, bambu, rotan, ataupun bilah kayu. Bubu
dengan bahan kawat merupakan pengembangan lanjutan dari bubu yang terbuat
dari bahan kayu. Bahan kawat dapat digunakan untuk membuat bubu dengan
bentuk yang bervariasi. Kekurangan dari bubu yang menggunakan bahan kawat
besi adalah rentan terhadap karat. Bubu berbahan kawat yang digunakan pada
perikanan laut umumnya dilengkapi dengan anode timah atau aluminium yang
berfungsi untuk mengeluarkan arus listrik, mencegah korosi dan meningkatkan
kualitas bubu. Adapun bubu dengan bahan plastik awalnya dibuat untuk sport
fishing yang menginginkan perangkap yang ringan dan mudah dibawa
menggantikan botol kaca yang bagian bawahnya dilubangi secara tradisional
untuk menangkap ikan umpan. Walaupun penggunaan bahan plastik sangat
menarik untuk diterapkan dalam sport fishing, namun bahan plastik sangatlah
mahal untuk digunakan dalam perikanan komersial yang secara umum
membutuhkan bubu dengan ukuran lebih besar, jumlah yang lebih banyak, dan
harga yang lebih terjangkau. Penggunaan plastik sebagai bahan pembuatan bubu
dalam perikanan komersial dapat bernilai ekonomis apabila bubu diproduksi
dalam jumlah yang besar.

2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu


Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya
disesuaikan dengan ikan yang menjadi target tangkapan di setiap daerah

26
(Gambar9). Akan tetapi bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun
hasil tangkapan yang diperoleh sama, hal ini tergantung pada kebiasaan atau
pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya (Martasuganda, 2003).

Sumber : Sainsbury (1996)

Keterangan :
a = Bubu kepiting di bagian tenggara Amerika Serikat
b = Bubu lobster di Curacao, Amerika bagian Utara
c = Bubu kepiting dan lobster di Curacao, Amerika bagian Utara
d = Bubu belut di perairan Miami

Gambar 9 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan.

Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia seperti


halnya di Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia serta di pantai timur
dan barat Amerika Utara yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut
Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis sedangkan
bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India

27
dan Sri Lanka, selain itu terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut
Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Di Indonesia dan Thailand terdapat
bubu yang disebut dengan tubular traps. Bubu tersebut berbentuk seperti corong
dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bebu terbelah-belah
(Brandt 1984).
Menurut Subani dan Barus (1989), bubu mempunyai bentuk yang beraneka
ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang,
trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran. Adapun
menurut Martasuganda (2003), bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif.
Bentuknya sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium,
silinder, lonjong, persegi panjang, atau bentuk lainnya. Beberapa jenis bubu yang
biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong,
pintur/rakkang, dan bubu lipat.
a) Wadong
Wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif, dipasang menetap di
tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting dan supaya kepiting mau
memasuki wadong, di dalamnya diberi umpan yang ditusuk dengan bambu
supaya tidak terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat
tangkap ini terbuat dari bahan bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk
umpan. Konstruksi bubu wadong dapat dilihat pada Gambar 10.

Keterangan :
1. Rangka
2. Pintu
3. Pintu masuk
4. Tiang penyangga
5. Penusuk umpan

Sumber: Martasuganda (2003)


Gambar 10 Konstruksi bubu wadong.
b) Pintur/rakkang
Adapun alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini

28
dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai
rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring
yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari
jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus
untuk membuatnya. Konstruksi bubu pintur/rakkang dapat dilihat pada Gambar
11.

Keterangan :
1. Tali penyangga
2. Rangka
3. Jaring
4. Pemberat
5. Umpan

Sumber: Martasuganda (2003)


Gambar 11 Konstruksi bubu pintur.

Selanjutnya Lastari (2007) menyatakan bahwa terdapat bentuk bubu lipat


kotak yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap rajungan. Iskandar
dan Ramdani (2009), juga melakukan penelitian mengenai jenis umpan untuk
menangkap rajungan dengan menggunakan bubu lipat berbentuk kotak.
Konstruksi dari bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 12.

Keterangan :
a. Rangka
b. Mulut bubu
c. Badan bubu
d. Engsel
e. Tempat umpan

Sumber: Lastari (2007)

Gambar 12 Konstruksi bubu lipat.

29
2.2.3.3 Umpan
Menurut Miller (1990), salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
penangkapan dengan menggunakan bubu adalah umpan. Umpan berperan sebagai
salah satu bentuk pemikat (atractant) yang memberikan rangsangan (stimulus)
yang bersifat fisika dan kimia bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan
ikan. Bau-bau yang terlarut di dalam air dapat merangsang reseptor pada organ
olfaktorius yang merupakan bagian dari indera penciuman ikan, sehingga
menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut (Syandri, 1988).
King (1991) yang dikutip oleh Fitri (2008) menjelaskan bahwa umpan pada
bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsip
kerja umpan adalah menarik ikan mendekati bubu kemudian masuk ke dalam
bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Selanjutnya menurut
Slack and Smith (2001), umpan yang baik dibutuhkan untuk penangkapan ikan
yang efektif menggunakan bubu. Tipe umpan bervariasi tergantung tipe ikan yang
ingin ditangkap. Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan
menggunakan bubu sudah dilakukan sejak lama oleh nelayan.
Monintja dan Martasuganda (1991), menyatakan bahwa terperangkapnya
udang, kepiting atau ikan-ikan dasar pada bubu disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya dikarenakan tertarik oleh bau umpan. Penciuman crustasea sangat
sensitif dan akurat ketika mereka mencari sumber bau-bauan walaupun bau
tersebut telah dikacaukan oleh turbulensi lingkungan pada saat bau tersebut
didistribusikan (Grasso, 2002). Menurut Miller (1990), umpan dapat dipilih guna
mengurangi spesies tangkapan yang tidak diinginkan. Terdapat empat cara untuk
mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu dan salah satunya adalah
pemilihan umpan dengan bau yang dapat menolak spesies yang tidak diinginkan.
Slack dan Smith (2001), menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai
berikut:
1) Efektif untuk menarik ikan target;
2) Ketersediiannya melimpah;
3) Mudah untuk disimpan dan diawetkan dan,
4) Harganya murah agar operasi penangkapan menguntungkan;

30
Martasuganda (2003) mengatakan bahwa umpan yang baik memiliki
karakteristik yaitu :
1) Efektif dalam menarik ikan;
2) mudah diperoleh;
3) Murah;
4) Mudah disimpan dan,
5) Tahan lama;

(1) Jenis-jenis umpan


Umpan digunakan untuk membantu agar ikan masuk ke dalam bubu. Jenis
umpan yang sering digunakan beraneka ragam, ada yang menggunakan umpan
hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya (Martasuganda, 2003). Berdasarkan
sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan
buatan (artificial bait) (Miller 1990). Umpan alami merupakan irisan-irisan
daging, sedangkan umpan buatan merupakan campuran substrat kimia yang dibuat
menyerupai struktur kimia umpan asli (Mackie, 1973).
Berdasarkan kondisinya, umpan dibagi menjadi dua, yaitu umpan hidup (live
bait) dan umpan mati (dead bait) (Leksono, 1983). Jenis umpan yang digunakan
tergantung pada spesies ikan yang akan menjadi target penangkapan (Ferno dan
Olsen, 1994) Jenis umpan yang sering digunakan dalam penangkapan yaitu ikan
herring (Daniel and Bayer, 1989), potongan mackerel (Lokkeborg, 1989), serta
potongan kepiting atau lobster (Miller, 1995).
Menurut Miller (1995), Penggunaan umpan yang dicampur dengan potongan
kepiting atau lobster akan menurunkan hasil tangkapan spesies sejenis secara
drastis. Ramdani (2007), melakukan penelitian untuk menentukan umpan yang
paling baik dalam menangkap rajungan dengan menggunakan empat umpan yang
berbeda yaitu pepetek segar, pepetek asin, pepetek segar campur potongan
rajungan, dan pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bubu dengan umpan ikan pepetek segar campur potongan
rajungan menangkap rajungan dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang
lebih besar. Hal ini disebabkan karena rajungan yang berukuran besar memiliki
sifat agresivitas yang tinggi sehingga mengabaikan bau / substansi kimia yang

31
dikeluarkan oleh rajungan yang telah mati. Adapun Komarudin (2009) dalam
penelitiannya mengenai celah pelolosan pada bubu tambun, menggunakan bulu
babi (diadema sp.) yang dihancurkan sebagai umpan untuk menangkap kerapu
koko. Umpan tersebut digunakan berdasarkan kebiasaan nelayan kepulauan seribu
yang selalu menggunakan bulu babi dalam pengoperasian bubu tambun.

(2) Posisi umpan


Menurut Martasuganda (2003) umumnya umpan diletakkan di tengah-
tengah yaitu pada bagian bawah, tengah atau bagian atas dari bubu baik dengan
cara diikat ataupun digantung menggunakan pembungkus umpan. Archdale et al.
(2003) mengatakan bahwa bau umpan akan terdifusi oleh arus air dan akan
menyebabkan area yang dipengaruhi oleh aroma umpan akan menjadi daerah
aktif.
Archdale, et al. (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting
batu jepang ’ishigani’ Charybdis japonica terhadap dua jenis bubu yang diberi
umpan. Dalam penelitiannya, ia menggunakan dua jenis bubu yang berbentuk
kotak serta bubu yang berbentuk kubah. Kedua bubu yang digunakan memiliki
bentuk yang memanjang, sehingga menyebabkan jarak antara mulut bubu dengan
umpan akan lebih jauh dibandingkan dengan kedua sisi dinding bubu. Hal ini
akan menyebabkan konsentrasi bau umpan yang dilepaskan akan lebih tinggi pada
bagian dinding bubu dibandingkan pada bagian mulut bubu.
Berdasarkan observasi yang dilakukan selama penelitiannya, Archdale, et al.
(2003) menemukan bahwa kepiting mendatangi bubu dari arah yang berlawanan
dengan arah arus (75%). Hal ini menunjukkan adanya dominasi dari peran aroma
yang dikeluarkan oleh umpan yang berfungsi sebagai pemikat. Kepiting yang
mendatangi bubu dari arah arus berasal tidak menunjukkan adanya pergerakan
bagian mulut dan tidak melakukan gerakan zigzag, hal ini mengindikasikan bahwa
kepiting tersebut tidak mengikuti jejak aroma umpan dan hanya bertemu dengan
bubu secara tidak disengaja (Gambar 13).

32
Sumber : Archdale, et al. (2003)

Gambar 13 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi
umpan berdasarkan pada arus air.

Archdale, et al. (2003) memasang umpan pada kedua jenis bubu yang
diujicobakan dengan cara yang berbeda. Pada bubu berbentuk kotak, umpan
dimasukkan kedalam kantong umpan dan kemudian diletakkan di dasar bagian
tengah bubu. sedangkan pada bubu berbentuk kubah, umpan dipasang ditusukkan
pada kawan dan dilengkungkan di bagian tengah bubu berhadapan dengan arah
pintu masuk. Pada bubu kotak, peletakkan umpan pada bagian dasar bubu akan
menyesatkan kepiting. Kepiting kerap mendatangi bubu pada bagian samping
karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan jarak umpan ke mulut
bubu. Peletakan posisi umpan pada bubu berbentuk kubah lebih baik karena
mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk berbentuk corong.
Daerah aktif umpan termasuk dalam bagian-bagian bubu yang berhubungan
dengan aroma umpan, dan biasanya terletak berlawanan dengan arus. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kepiting datang menuju bubu
dengan mengikuti jejak aroma umpan (75%), dan kepiting lain yang datang dari
arah yang berlawanan kemungkinan terjadi secara tidak sengaja saat kepiting
sedang mencari tempat untuk bersembunyi (Archdale, 2003). Nelayan
berpendapat bahwa meletakkan mulut bubu searah arus dapat meningkatkan hasil
tangkapan. Archdale (2003) mengatakan bahwa tingkat kesuksesan masuknya
seekor Cancer productus pada saat pintu masuk bubu diletakkan berlawanan arah
dengan arah arus hanyalah sekitar 7%, tetapi ketika pintu masuk bubu dibuat

33
pararel terhadap arah arus akan mengakibatkan tingkat kesuksesan meningkat
menjadi 65%. Berdasarkan hal ini maka peletakan mulut bubu searah dengan arus
air sangatlah penting agar kepiting dapat merndatangi umpan dari arah yang
berlawanan dengan arah arus.

(3) Bobot umpan


Bobot umpan merupakan faktor lain yang penting untuk menunjang
keberhasilan penangkapan ikan. Miller (1983), menyatakan bahwa perangkap
dengan bobot umpan 3 kg dapat menangkap 50% kepiting lebih banyak
dibandingkan dengan perangkap yang hanya menggunakan umpan dengan bobot 1
kg dengan waktu perendaman 1 hari dan 4 hari.
Sainte-Marie (1994), melakukan penelitian mengenai hubungan bobot serta
pembungkusan umpan terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan bubu
kepiting yang berasal dari Jepang. Dalam penelitiannya diketahui bahwa
penambahan umpan akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan H. araneus dan
C. irrotatus secara nyata. Lebih jauh Sainte-Marie (1994) menyimpulkan bahwa
peningkatan bobot umpan akan meningkatkan hasil tangkapan pada level tertentu.
Bobot umpan optimal akan bervariasi dengan daerah penangkapan, musim
penangkapan, dan harga umpan terhadap hasil tangkapan bubu. Miller (1983),
menjelaskan bahwa perangkap dengan menggunakan umpan sebanyak 3 kg
mendapatkan hasil tangkapan C. opilio yang lebih banyak dibandingkan dengan
perangkap yang menggunakan umpan sebanyak 1 kg.
Banyak faktor yang dapat menjelaskan hubungan positif antara hasil
tangkapan dengan jumlah umpan yang digunakan. Secara teoritis dapat diduga
bahwa wilayah yang dapat dipengaruhi oleh bubu yang diberi umpan dan rata-rata
konsentrasi atraktant pada jarak tertentu dari arah sumber umpan akan meningkat
seiring dengan peningkatan bobot umpan (Sainte-Marie and Hargrave, 1987 diacu
oleh Marie, 1995). Hal ini terjadi karena pengaruh daya tarik kimia yang berasal
dari umpan sebanding secara langsung terhadap kualitas umpan (Zimmer-Faust
and Case, 1983 dikutip oleh Sainte-Marie, 2005). Area daya tarik yang lebih luas
akan menyebabkan lebih banyak hewan yang menyadari keberadaan umpan dan
memungkinkan mereka untuk bergerak mendekati umpan (Sainte-Marie and

34
Hargrave, 1987 diacu dalam Sainte-Marie, 1995). Selain itu, konsentrasi umpan
(attractant) yang lebih besar dapat meningkatkan respons individual terhadap
umpan, dan hal ini akan berakibat meningkatnya persentase individu yang
bergerak menuju bubu (McLeese, 1973; Fuzessery and Childress, 1975; Pearson
et al., 11979; Zimmer-Faust and Case, 1983; Miller, 1990; Sainte-Marie, 1994).
Pada akhirnya, ketika waktu perendaman bukanlah sebagai faktor pembatas,
umpan dalam jumlah yang besar dapat berkurang lebih lambat dan menangkap
ikan lebih lama dibandingkan dengan umpan dalam jumlah yang sedikit dan
berakibat langsung pada kecepatan penangkapan.

2.2.4 Metode penangkapan bubu


Metode pemasangan bubu yang diterapkan oleh nelayan biasanya
menggunakan sistem tunggal dan sistem rawai. Menurut Sainsbury (1996), bubu
dioperasikan secara single atau dengan metode rawai, tergantung dari kedalaman,
ruang yang dibutuhkan, serta pola pemasangan bubu. Bubu yang dipasang dengan
jarak yang jauh atau yang disetting di sekitar daerah berbatu/karang biasanya
disetting secara sendiri-sendiri, terutama di daerah dangkal tanpa arus yang deras.
Di wilayah perairan yang lebih dalam, dimana terdapat banyak ruang di sepanjang
kontur kedalaman, atau di daerah tertentu yang lebih tinggi, bubu lebih sering
disetting dengan cara rawai.
Menurut Martasuganda (2008), waktu pemasangan (setting) dan
pengangkatan (hauling) bubu ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari,
sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari. Proses pemasangan
(setting) dan pengangkatan (hauling) bubu tergantung pada nelayan yang
mengoperasikannya. Lama perendaman (soaking time) bubu di perairan ada yang
hanya direndam beberapa jam, ada juga yang direndam sampai 7 hari 7 malam.
Metode pengoperasian bubu menurut FAO (1968) yang dikutip oleh
Pramono (2006) meliputi :
1) Rigging atau pengikatan tali-temali
Proses ini berupa pemasangan tali-temali pada bubu terutama pemasangan
pelampung tanda.
2) Baiting atau pemasangan umpan

35
Proses ini adalah proses dipasangnya umpan yang digunakan untuk memikat
ikan masuk kedalam bubu.
3) Pemasangan (setting)
Keberhasilan penangkapan ikan sangat bergantung pada lokasi
penanempatan bubu. Adapun posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang
menjadi sasaran penangkapan.
4) Lama perendaman (soaking time)
Lamanya perendaman bubu bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran
penangkapan dan daya tahan umpan. Saat ikan sangat aktif mencari makan, maka
lama perendaman hanya membutuhkan waktu beberapa menit.
5) Pengangkatan (hauling)
Proses pengangkatan (hauling) bubu dilakukan baik secara manual oleh
nelayan maupun dengan menggunakan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu
diangkat, hasil tangkapan dipindahkan ke palka atau keranjang yang telah
disiapkan sebelumnya.
Menurut Mariana (2006), terdapat 5 tahap pada pengoperasian bubu lipat,
yaitu tahap persiapan, pencarian daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu
(setting), perendaman bubu (soaking), serta pengangkatan bubu (hauling).
1) Tahap persiapan
Tahap ini dilakukan sebelum operasi penangkapan berlangsung dan meliputi
persiapan alat tangkap bubu cadangan, pemeriksaan kondisi kapal seperti
pengecekan mesin dan pengisian bahan bakar, umpan dan perbekalan selama
melakukan operasi penangkapan. Tahap ini dimulai sehari sebelum operasi
penangkapan dilakukan, diantaranya mencari umpan, sehingga pada saat akan
melaut hanya melakukan persiapan di atas kapal.
2) Tahap pencarian daerah penangkapan ikan
Tahap pencarian daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan berdasarkan
pada kebisaaan dan pengalaman nelayan dalam melakukan operasi
peangkapan, umumnya lokasi pemasangan bubu berada pada perairan sekitar
pantai terbuka yang dipengaruhi gelombang, kecepatan arus tidak terlalu
besar, dasar perairan berupa pasir, pasir berlumpur dan lumpur.
3) Tahap pemasangan bubu (setting)

36
Setelah sampai di daerah penangkapan, bubu diturunkan. Penurunan bubu
lipat dimulai dengan menurunkan pemberat pertama, dilanjutkan penurunan
bubu yang sudah dipasangi umpan dan sudah dirangkai dengan menggunakan
sistem rawai, hingga penurunan pemberat kedua. Proses ini diakhiri dengan
penurunan pelampung tanda. Pada saat penurunan bubu, mesin kapal tidak
dimatikan dan kapal tetap berjalan dengan kecepatan rendah.
4) Tahap perendaman bubu (soaking)
Tahap perendaman merupakan tahap dimana bubu dibiarkan di dalam
perairan selama 11-12 jam. Pada tahap ini target tangkapan yang masuk ke
dalam bubu akan terperangkap di dalam bubu dan tidak dapat meloloskan
diri. Pada saat bubu disetting, nelayan dapat meninggalkan fishing ground
ataupun menunggu saat pengangkatan bubu. Sehingga pada tahap ini nelayan
dapat melakukan aktivitas lain, baik melakukan operasi penangkapan dengan
alat tangkap lain ataupun melakukan aktivitas selain bidang perikanan.
5) Tahap pengangkatan bubu (hauling)
Tahap terakhir yang dilakukan dalam pengoperasian bubu adalah tahap
pengangkatan bubu. Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pengangkatan
pelampung tanda, pemberat kedua, bubu dan diakhiri pemberat pertama.
Adapun pembagian kerja dari nelayan yang melakukan operasi pengangkatan
(hauling) yaitu: satu orang nelayan bertugas mengangkat bubu dari perairan,
satu orang nelayan lainnya mengambil hasil tangkapan dari dalam bubu untuk
kemudian disimpan di tempat yang telah disediakan di atas kapal dan
memasang umpan kembali serta merapikan bubu di dek kapal.

2.2.5 Daerah penangkapan bubu


Daerah penangkapan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat
penangkap ikan dapat dioperasikan (Djatikusumo, 1975). Menurut Sainsbury
(1986) bubu dapat diaplikasikan untuk menangkap hewan-hewan krustasea seperti
lobster dan kepiting yang bergerak dengan menggunakan kakinya pada dasar
perairan. Daerah penangkapan bubu adalah perairan yang mempunyai dasar
perairan berlumpur maupun dasar pasir ataupun daerah berkarang tergantung ikan
yang menjadi tujuan penangkapan.

37
Penentuan daerah penangkapan untuk perikanan bubu tidak seperti halnya
menentukan daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar seperti tuna dan ikan
pelagis pada umumnya, dimana harus selalu memperhitungkan faktor oseanografi,
kelimpahan plankton dan faktor lainnya yang berhubungan. Keberadaan ikan
dasar, kepiting atau udang dalam suatu daerah penangkapan ikan sangat penting
untuk diketahui sebelum operasi penangkapan dilakukan . keberadaan ikan dasar,
kepiting atau udang di suatu perairan dapat diketahui dengan alat pendeteksi ikan
(fish finder), berdasarkan pada data hasil tangkapan sebelumnya di suatu perairan,
atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait (Martasuganda, 2008).
Daerah penangkapan rajungan adalah wilayah pantai dengan dasar pasir, pasir
lumpur, dan juga di laut terbuka (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Adapun
menurut Ramdani (2007), daerah penangkapan rajungan adalah dasar perairan
dengan kisaran kedalaman 6-16 m.

2.2.6 Nelayan
Nelayan adalah orang yang bermatapencaharian melakukan usaha
penangkapan ikan. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dikelompokkan menjadi
dua, yaitu nelayan penuh dan nelayan sambilan. Nelayan penuh adalah nelayan
yang menggunakan seluruh waktu kerjanya sebagai nelayan. Nelayan sambilan
adalah nelayan yang sebagian waktu kerjanya sebagai nelayan disamping
pekerjaan lain (UU no.31, 2004).
Menurut Direktorat Jendral Perikanan (2000), nelayan dikelompokkan
kedalam 3 jenis yaitu nelayan penuh, nelayan sambilanan utama, serta nelayan
sambilan tambahan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya
digunakan untuk operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama adalah
nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk operasi
penangkapan. Sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang
sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan.
Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di perairan bakau termasuk ke
dalam nelayan penuh. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu lipat berjumlah
1-3 orang. Pembagian tugas dalam pengoperasian bubu lipat adalah 1 orang

38
sebagai juru mudi, 1 orang menyiapkan alat dan umpan dan 1 orang lainnya
sebagai penawur bubu.

39
3 METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan sejak tahun 2009 hingga April 2010 dengan
pengambilan data penelitian berupa operasi penangkapan berlangsung pada bulan
Maret-April 2010. Lokasi penelitian berada di perairan Desa Mayangan
Kecamatan Legonkulon Kabupaten Subang Jawa Barat (Lampiran 1). Kegiatan
operasi penangkapan dilakukan pada 5 stasiun yang berbeda (Lampiran 1).

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


1) Bubu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 unit, dengan rincian
sebagai berikut :
(1) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di atas
sebanyak 5 unit
(2) Bubu dengan bobot umpan 100 gram dan posisi pemasangan umpan di
atas sebanyak 5 unit
(3) Bubu dengan bobot umpan 150 gram dan posisi pemasangan umpan di
atas sebanyak 5 unit
(4) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di
bawah sebanyak 5 unit
(5) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di
bawah sebanyak 5 unit
(6) Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di
bawah sebanyak 5 unit
2) Satu unit perahu motor tempel dengan dimensi panjang 5m, lebar 1,5 meter,
dalam 0,7 meter kekuatan mesin 16 PK;
3) Timbangan ukuran 5 kg untuk mengukur hasil tangkapan;
4) Kantong plastik untuk menampung hasil tangkapan;
5) Jangka Sorong untuk mengukur panjang dan lebar karapas hasil tangkapan;

40
6) Papan pengukur (measurement board) untuk mengukur panjang hasil
tangkapan;
7) GPS (Global Positioning System) untuk melihat posisi daerah penangkapan;
8) Kamera digital untuk pembuatan dokumentasi penelitian;
9) Alat tulis;

3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umpan berupa ikan rucah
dengan bobot 50 gram, 100 gram, dan 150 gram.

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Deskripsi alat yang digunakan
Alat tangkap yang digunakan untuk penelitian ini adalah bubu lipat
berbentuk kotak dengan bentuk dan ukuran yang biasa digunakan oleh nelayan
Desa Mayangan untuk menangkap rajungan. Bubu yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki dimensi p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Bubu lipat tersebut
menggunakan rangka yan terbuat dari besi berdiameter 0.35 cm. Selanjutnya bubu
ditutup dengan menggunakan jaring polyethilene multifilament dengan mesh size
berukuran 1.5 x 1.5 cm. Spesifikasi bubu lipat yang digunakan dalam penelitian
secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun desain dan konstruksi
bubu lipat serta foto bubu yang digunakan sealama penelitian ini dapat dilihat
secara detil pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Tabel 2 Spesifikasi teknis bubu lipat

No Spesifikasi teknis Bubu Lipat


1 Bahan
-Rangka Besi
-Diameter rangka Ø 0.35 cm
-Badan jaring PE multifilament
-Mulut PE multifilament
2 Mesh Size 1.5 x 1.5 cm
3 Dimensi (p x l x t) 45 x 30 x 18 cm

41
Bubu lipat

Mulut bubu
Keterangan :
a : Rangka bubu
b : Badan jaring
c : Mulut bubu
d : Engsel
e : Pengait Umpan

42
Gambar 14 Desain dan konstruksi bubu yang digunakan selama penelitian.

Bubu tampak depan Bubu tampan samping

Gambar 15 Bubu lipat yang digunakan dalam penelitian.

3.3.2 Metode pengoperasian bubu


1) Sistem pengoperasian bubu
Pengoperasian bubu lipat dilakukan sebanyak 10 trip yang dilakukan setiap
hari secara berturut-turut selama sepuluh hari dan pada tiap trip penangkapan
dilakukan satu kali operasi penangkapan. Operasi pemasangan bubu dilakukan
pada sore hari sedangkan pengangkatan bubu (hauling) dilakukan pada pagi
keesokan harinya. Dengan demikin lama perendaman (soaking time) bubu adalah
±15 jam. Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal pada kedalaman 1-
5 meter.
Bubu yang akan dioperasikan dipasang pada 5 (lima) stasiun yang terpisah
secara berselang-seling antara bubu yang menggunakan berbagai jenis bobot dan
posisi umpan. Jumlah bubu yang dioperasikan pada tiap stasiun berjumlah 6 buah
yang masing-masing dipasangi umpan dengan bobot dan posisi yang berbeda.
Adapun lokasi pemasangan bubu ditandai dengan pelampung tanda yang terbuat
dari busa dan diikat pada tiap bubu. Untuk lebih memperjelas pola pemasangan
bubu, maka rancangan pemasangan bubu lipat pada tiap stasiun dapat dilihat pada
Gambar 16.

43
Keterangan:

A = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram


B = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram
C = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram
D = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram
E = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram
F = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram

Gambar 16 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan.

2) Cara pemasangan umpan


Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa bobot dan posisi
pemasangan umpan yang berbeda pada tiap bubu. Bobot umpan yang digunakan
dalam penelitian yaitu 50 gram, 100 gram, dan 150 gram. Adapun bobot umpan
yang biasa digunakan oleh nelayan bervariasi antara 80-100 gram. Posisi umpan
dipasang pada dua tempat yang berbeda yaitu di bagian pengait umpan (di atas)
dan di letakkan di dasar bubu (di bawah). Untuk lebih memperjelas maka cara
pemasangan umpan pada bubu dapat dilihat pada Gambar 17.

44
(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Keterangan :
a = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram
b = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram
c = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram
d = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram
e = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram
f = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram

Gambar 17 Cara pemasangan umpan pada bubu

45
3.3.3 Metode pengumpulan data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan atas data primer
dan data sekunder. Data perimer yang dikumpulkan meliputi jumlah, jenis dan
ukuran hasil tangkapan. Untuk hasil tangkapan jenis kepiting dilakukan
penghitungan jumlah individu dan pengukuran panjang karapas, lebar karapas,
berat, dan identifikasi jenis kelamin. Jenis kelamin pada rajungan jantan dan
rajungan betina dapat dibedakan dari bentuk abdomennya. Rajungan jantan
memiliki abdomen berbentuk segitiga yang meruncing, sedangkan pada rajungan
betina memiliki abdomen berbentuk segitiga yang melebar (Oemarjati dan
Wardhana, 1990). Adapun pada hasil tangkapan berupa udang dilakukan
penghitungan jumlah individu, pengukuran panjang karapas dan berat, untuk hasil
tangkapan berupa ikan dilakukan penghitungan jumlah individu, pengukuran
panjang total, dan berat.
Panjang karapas rajungan diukur dari duri frontal hingga tepi bawah
abdomen, sedangkan lebar karapas diukur dari ujung duri marginal terakhir
sebelah kiri hingga ujung duri marginal terakhir sebelah kanan. Panjang karapas
pada udang diukur dari bagian pangkal cephalothorax hingga ujung rostrum.
Adapun panjang total pada ikan diukur dari bagian ujung kepala hingga bagian
ujung ekor. Pengukuran panjang karapas dan lebar karapas pada rajungan dapat
dilihat pada Gambar 18, pengukuran panjang karapas pada udang dapat dilihat
pada Gambar 19, dan pengukuran panjang total tubuh ikan dapat dilihat pada
Gambar 20.

46
Keterangan :
CW : Lebar karapas
CL : Panjang karapas

Sumber : www.anima.net.au/illustrations_crustaceans.htm (2008)

Gambar 18 Contoh pengukuran rajungan

Keterangan :
CL : Panjang karapas

Sumber: http://iodeweb2.vliz.be.htm(2010)

Gambar 19 Contoh pengukuran udang.

47
Keterangan :
TL : Panjang Total
Sumber: Randall (2006)

Gambar 20 Contoh pengukuran ikan.

Data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini berupa data keadaan
wilayah Desa Mayangan, kependudukan, alat penangkapan ikan, keadaan
ekonomi dan mata pencaharian penduduk, jumlah armada, serta hasil tangkapan
ikan yang diperoleh. Data tersebut diperoleh melalui data statistik perikanan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, Jawa Barat dan Laporan Tahunan
Koperasi Mandiri Mina Saluyu Mulya.

3.4 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Kaidah
yang harus dipenuhi pada RAK adalah adanya pengamatan pada dua kriteria.
Adapun dua kriteria yang diamati adalah posisi umpan serta bobot umpan. Posisi
umpan dinyatakan sebagai kelompok, sedangkan bobot umpan yang berbeda
dinyatakan sebagai perlakuan. Bahan percobaan dibagi menjadi beberapa grup
atau kelompok sedemikian rupa sehingga petak atau satuan yang menyusun suatu
kelompok tertentu adalah homogen. Setiap kelompok menyusun sebuah ulangan
bagi perlakuannya. Perlakuannya diberikan pada satuan-satuan di dalam setiap
kelompok. Adapun model RAK tersebut adalah sebagai berikut (Walpole 1982):

48
yij = μ + τi + βj + ∑ij

Keterangan :
yij = Pengamatan pada perlakuan ke i pada kelompok ke j
μ = Rataan umum populasi
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
∑ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

Data hasil penelitian ini kemudian diolah dengan menggunakan statistika


non-parametrik, adapun uji non-parametrik digunakan karena data hasil penelitian
ini tidak menyebar seraca normal. Uji non-parametrik yang digunakan untuk
mengolah data berdasarkan posisi umpan adalah uji Mann-Whitney, sedangkan uji
non-parametrik yang digunakan untuk mengolah data berdasarkan posisi dan
bobot umpan adalah uji Friedman. Untuk proses pengolahan data hasil penelitian
digunakan software microsoft excel dan SPSS 12. Bila hasil uji Friedman yang
diperoleh berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut perbandingan
berganda. Rumus uji lanjut perbandingan berganda adalah sebagai berikut :

(bp( p + 1))
D ≥z
6
Keterangan :
|D| = Harga mutlak selisih nilai total rank dari dua perlakuan
z = Nilai distribusi z pada suatu nilai α tertentu
b = Banyaknya blok
p = Banyaknya perlakuan

Selanjutnya data berupa spesies hasil tangkapan akan dianalisis dengan


menggunakan index Shanon Wiener untuk melihat keragaman spesies.
Keragaman spesies hasil tangkapan akan digunakan untuk melihat variasi hasil
tangkapan tiap bubu. Rumus untuk mencari keragaman spesies menggunakan
index Shannon Wiener adalah sebagai berikut
(http://en.wikipedia.org/wiki/Shannon_index) :

49
H’ = ∑(Pi) (ln.Pi)

Keterangan :
H’ : Index diversitas Shannon Wiener
Pi : Proporsi spesies terhadap total hasil tangkapan
s : Jumlah spesies
Jika : H’ memiliki nilai yang lebih besar maka spesies bervariasi (tidak ada
Dominansi

Untuk melihat perbedaan jenis kelamin hasil tangkapan dengan


menggunakan perlakuan yang berbeda, maka dilakukan uji Chi-Square. Uji ini
nantinya akan digunakan untuk melihat perbedaan kebiasaan makan antara
rajungan jantan dan rajungan betina. Adapun model matematika Chi-square
adalah sebagai berikut:

Keterangan :
X² = Nilai Chi-Square
o = Nilai yang diamati
e = Nilai yang diharapkan

50
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang


Kabupaten Subang terletak antara 1070 31’ – 1070 54’ BT dan 60 11’ – 60 30’
LS. Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa (Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 1999). Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten
Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir yaitu Blanakan, Legonkulon,
Pusakanegara, dan Pamanukan. Secara administratif, Kabupaten Subang memiliki
batas-batas wilayah sebagai berikut :
• sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung
• sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
• sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang
• sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta
Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 205.176,95 Ha atau 6,34% dari luas
Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian tempat antara 0-1500 m dpl. Dilihat dari
topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona daerah yaitu
(Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003):
1) Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-1500 m dpl di atas permukaan laut
dengan luas wilayah 41.035,09 Ha atau 20% dari seluruh luas wilayah
Kabupaten Subang,
2) Daerah bergelombang atau berbukit dengan ketinggian 50-500 m dpl dengan
luas wilayah 71.502,16 Ha atau 34,85% dari seluruh luas wilayah Kabupaten
Subang,
3) Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-50 m dpl dengan luas
wilayah 92.639,7 Ha atau 45,15% dari seluruh luas wilayah Kabupaten
Subang.
Apabila dilihat dari kemiringan lahan, maka tercatat bahwa 80,80% wilayah
Kabupaten Subang memiliki kemiringan 00-170, sedangkan sisanya memiliki
kemiringan di atas 180. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan
curah hujan rata-rata per tahun 2.117 mm dengan jumlah hari hujan 90 hari.
Kondisi iklim tersebut ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya

51
aliran sungai, sehingga menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang
digunakan untuk pertanian.
Wilayah Kabupaten Subang memiliki panjang garis pantai kurang lebih 68
km yang meliputi 4 (empat) wilayah kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan
Blanakan, Kecamatan Pamanukan, Kecamatan Legonkulon dan Kecamatan
Pusakanagara.
Desa Mayangan berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Legonkulon.
Desa Mayangan merupakan salah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan
Legonkulon. Desa ini terletak di bagian paling utara dari Kecamatan Legonkulon.
Secara geografis Desa Mayangan terletak pada koordinat 60 11’ LS serta 1070 31’
dan 1070 54’BT. Secara administratif Desa Mayangan berbatasan dengan Desa
Tegal Urung di sebelah Barat, Desa Legon Wetan di sebelah Timur, Desa
Legonkulon di sebelah Selatan, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Desa Mayangan
memiliki luas 678.37 Ha dan sebagian besar dari luas wilayahnya merupakan
areal hutan mangrove yaitu seluas 290 Ha yang dimiliki oleh Perum Perhutani.
Desa Mayangan memiliki dua buah sungai yaitu Sungai Citerusan di sebelah barat
dan Sungai Cigadung di sebelah timur yang menjadikan perairan pantai Desa
Mayangan cukup produktif.

4.2 Keadaan Perairan Kabupaten Subang


Suhu di perairan Subang rata-rata adalah 28,50C. Suhu air suatu perairan
dipengaruhi oleh suhu udara atasnya yang kisarannya relatif stabil untuk daerah
tropis. Kondisi umum pantai Utara Jawa Barat adalah berupa pantai yang landai
dengan kemiringan antara 0,06 % hingga 0,4 %. Diperkirakan ada jarak rata-rata 4
km dari garis pantai kedalaman mencapai 5 m, kemudian jarak rata-rata 13 km
dari garis pantai menjadi 10 m, dan jarak 21 km kedalaman mencapai 20 m.
Kontur kedalaman kurang dari 5 m memperlihatkan kondisi yang relatif sejajar
dengan garis pantai. Demikian juga pada kedalaman antara 5 – 10 m dan 10 - 20
m (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003).

52
4.2.1 Faktor klimatologi perairan pantai Kabupaten Subang
Perairan pantai Subang yang merupakan bagian dari sistem Laut Jawa sangat
dipengaruhi oleh angin muson yang berkembang secara kuat di perairan ini. Di
wilayah Laut Jawa munculnya periode musim Barat terjadi pada bulan Desember
hingga Februari umumnya diikuti dengan adanya musim hujan. Adapun musim
Timur terjadi pada bulan Juni - Agustus dengan adanya kemarau. Dalam musim
Timur penguapan yang terjadi di laut lebih besar daripada curah hujannya.
Kecepatan angin yang tinggi dan kelembaban yang relatif rendah menyebabkan
penguapan lebih dari 100 mm/bulan.
Dari bulan Juni sampai Agustus energi yang diperlukan untuk penguapan
tersebut melebihi dari energi yang tersedia dari radiasi matahari, sehingga
menimbulkan defisit energi sekitar 5.700 cal/cm2, atau sebanding dengan
pendinginan wilayah perairan sedalam 40 m dengan penurunan suhu perairan
0
sekitar 1,4 C. Pendinginan perairan dalam periode musim Barat bukan
disebabkan oleh keseimbangan energi tersebut, tetapi dalam musim ini muson
Barat berkembang sangat kuat dan dengan angin yang relatif kuat membawa
massa udara dingin dan hujan ke wilayah Laut Jawa ini. Fluktuasi angin muson
secara nyata berhubungan dengan fluktuasi suhu perairan.
Hasil pengamatan angin di wilayah pantai Mayangan dalam periode musim
Peralihan (Mei) menunjukkan pada siang hari (jam 06.00 – 18.00) kecepatan
angin berkisar antara 0 – 7 m/det, dan pada malam hari (jam 18.00 – 06.00) antara
0 – 3.5 m/det dengan arah angin dominan dari Timur, Timur Laut dan Barat Laut.

4.2.2 Karakteristik fisik perairan pantai Subang


1) Suhu dan salinitas perairan
Suhu dan salinitas di wilayah perairan pantai Subang berfluktuasi secara
musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa. Secara umum
fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukkan adanya dua suhu tertinggi
(sekitar 28,7 0C) dan dua suhu terendah (sekitar 27,5 0C). Suhu tertinggi terjadi
dalam periode musim peralihan yakni bulan Mei dan November. Adapun suhu
terendah terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat).
Rata-rata suhu bulanan bervariasi antara 27,5 0C sampai 28,7 0C.

53
Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5 0/00 –
33,7 0/00. Salinitas maksimum pertama (33,7 0/00 ) dan kedua (33,3 0/00) terjadi
pada bulan September dan November. Adapun salinitas minimum pertama (31,8
0
/00) dan kedua (31,3 0/00) terjadi masing-masing sekitar bulan Februari dan Mei.
Hasil pengukuran distribusi salinitas di beberapa muara sungai di wilayah pantai
Subang menunjukkan bahwa jangkauan pengaruh rambatan pasang surut yang
membawa massa air laut ke arah hulu sungai berkisar antara 1 km sampai 3,5 km.
Rambatan pasang surut sungai Mayangan dapat mencapai 1,5 – 2,5 km.

2) Bathimetri perairan
Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang
dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perairan dengan
kedalaman kurang dari 5 m (disekitar Blanakan) memiliki gradien kedalaman
sekitar 2,0027 dan 0,0054 yang berada di sekitar Pusakanagara. Adapun di
perairan dengan kedalaman 5 - 10 m memiliki gradient kedalaman berkisar
0,00006 terdapat di sekitar Blanakan. Morfologi daratan pantainya terdiri dari
pasir bercampur lumpur dan bahan organik, dengan jenis tanah gleisol hidrik.
Pada pantai terdapat rawa-rawa dan vegetasi mangrove.
Umumnya kawasan pantai dipergunakan oleh masyarakat sebagai kawasan
pemukiman, pertambakan, dan sebagainya. Pesisir pantai Kabupaten Subang
banyak yang mempunyai muara sungai kecil, sehingga terdapat kemungkinan
banyaknya jumlah pengendapan di muara sungai besar dan jenis substrat dasar
berupa pasir.

3) Pasang surut
Pasang surut merupakan gerakan naik-turun dari muka air laut secara
periodik yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik benda angkasa seperti bulan
dan matahari. Jenis pasang surut yang terjadi di wilayah pantai Subang mengikuti
pola pasang surut di Laut Jawa. Tipe pasang surut (pasut) Pantai Utara Jawa Barat
sebagian besar termasuk dalam kategori campuran mengarah ke semidiurnal.
Kategori pasut campuran adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang
dan dua kali surut dengan ketinggian yang berbeda. Adapun pasut kategori
semidiurnal adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali

54
surut dengan ketinggian yang sama. Pasang dan surut terbesar adalah 1 m dan
kisaran tinggi pasang dan surut kedua adalah 0,5 – 0,7 m.
4) Arus perairan pantai
Pola arus perairan di pantai Subang yang secara umum mengikuti pola arus
Laut Jawa menunjukkan bahwa arus musiman sangat dominan di wilayah perairan
ini. Periode musim Timur terjadi antara bulan Mei dan September, arus musim
bergerak ke arah barat dengan kecepatan maksimum sekitar 25 cm/det. Dari bulan
November sampai Maret arus musim mengalir ke arah timur dengan kecepatan
maksimum sekitar 30 cm/det. Pada bulan April dan Oktober arah arus musim
berubah. Pengukuran arus di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa di
perairan pantai Mayangan arus pasang berkisar 1,4 – 31,5 cm/det mengalir
dominan ke arah barat, dan arus surut berkisar antara 0,7 – 28,1 cm/det yang
dominan mengalir ke arah barat.
5) Kualitas air perairan Subang
Berdasarkan topografinya, perairan kabupaten Subang terdiri dari: (1)
perairan pesisir dan laut, (2) perairan sungai dan situ. Kondisi perairan Kabupaten
Subang banyak dipengaruhi oleh kondisi alam di dataran tinggi, serta pengaruh
sifat oseanografi perairan dangkal Laut Jawa.
Kondisi umum perairan Kabupaten Subang relatif baik. Beberapa lokasi di
perairan payau dan laut mempunyai sifat kekeruhan yang cukup tinggi seperti di
Pondok Bali, Mayangan dan Blanakan. Kondisi ini merupakan karakteristik
perairan Laut Jawa yang banyak dipengaruhi oleh sedimen yang dibawa oleh
beberapa sungai yang bermuara ke Pantai Utara Jawa. Selain itu, sifat oseanografi
di daerah pasang surut (intertidal) Subang memungkinkan terjadi sedimentasi dan
penggerusan pantai (abrasi). Kondisi ini merupakan suatu hal yang
menguntungkan karena perairan pesisir Subang menjadi subur karena mendapat
suplai nutrient dari daratan.

4.2.3 Mangrove
Kabupaten Subang memiliki hutan mangrove sebesar 6.132,8 Ha dengan
tiga lokasi wisata bahari yaitu Wisata Buaya Blanakan, Pantai Pondok Bali, dan
Pantai Patimban. Hutan mangrove yang terdapat di kawasan pantai utara

55
Kabupaten Subang berada di bawah otoritas pengelola Perum Perhutani BPKH
Ciasem dan Pamanukan.
Formasi hutan mangrove di pesisir utara Kabupaten Subang dari arah laut ke
darat didominasi oleh api-api (Avicenia marina), kemudian bakau (Rhizopora
mucronata) dan prepat/pepada (Sonnateratia acida). Jenis fauna yang ditemukan
pada hutan mangrove adalah jenis reptile seperti ular dan kadal, katak, jenis ikan
seperti belut, gabus, mujair, sepat, mujair, belanak dan sebagainya.
Kondisi derajad keasaman (pH) perairan mangrove Desa Mayangan bersifat
homogen dan bersifat basa. Komposisi elemen di dalam sedimen hampir
menyerupai air laut pada umumnya, karena lingkungan mangrove pada umumnya
memiliki interaksi yang sangat intensif dengan perairan pantai. Kandungan
natrium yang terkandung pada daerah tengah petak mangrove berbeda dengan
daerah lainnya yaitu sekitar 5 kali lipatnya. Hal ini disebabkan karena pada bagian
tengah petak mangrove dikelilingi tambak yang tidak digunakan dan relatif
tertutup. Akibat dari penguapan yang terjadi terus-menerus tetapi interaksi dengan
perairan terbuka sangat minimal dan tidak ada proses pergantian massa air yang
menyebabkan jumlah garam dalam perairan menjadi tinggi.
Kandungan salinitas pada bagian tengah petak mangrove, sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian tepi sungai dan area pertambakan. Pada bagian tepi
sungai dan area pertambakan lebih terbuka dengan perairan luar karena air dapat
masuk melalui parit-parit dan kegiatan pertambakan menyebabkan selalu adanya
pergantian air di sekitar perairan mangrove. Pada bagian tepi sungai memiliki
nilai salinitas lebih rendah karena memiliki interaksi yang intensif dengan
perairan terbuka dalam hal ini sungai.
Kandungan kalium pada mangrove Desa Mayangan relatif tinggi. Hal ini
menyebabkan komposisi elemen dalam sedimen substrat mangrove berbeda
dengan komposisi air laut pada umumnya, yaitu kandungan elemen natrium lebih
besar daripada kalium. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari luar
seperti aktivitas pertanian dan perikanan, dalam hal ini adalah kegiatan budidaya
tambak dimanan petani pada umumnya melakukan pemupukan pada lahan
garapannya. Kegiatan tersebut dapat merubah komposisi elemen di dalam perairan

56
sekitar mangrove yang kemudian akan mempengaruhi kandungan elemen dalam
sedimen.

4.3 Unit Penangkapan Ikan


Unit penangkapan ikan adalah satu kesatuan teknis dalam melakukan
operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal/perahu, alat tangkap dan
nelayan.

4.3.1 Kapal
Kapal atau perahu penangkap ikan di Kabupaten Subang dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor, perahu motor tempel
dan kapal motor. Perahu tanpa motor adalah perahu yang pengoperasiannya tidak
menggunakan mesin tetapi menggunakan layar atau dayung. Perahu motor tempel
adalah perahu atau kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin motor
tempel (outboard engine), sedangkan kapal motor adalah kapal yang
pengoperasiannya menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal
(inboard engine). Perkembangan jumlah perahu/kapal motor setiap tahunnya
cenderung konstan.

Tabel 3 Perkembangan jumlah kapal tahun 2006-2009


Perahu Tanpa Motor Tempel Kapal Motor
Tahun Motor (unit) (unit) (unit) Jumlah

2006 50 649 16 665


2007 46 660 21 681
2008 40 665 21 686
2009 36 671 21 696
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2009

Secara keseluruhan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Subang


cenderung meningkat selama periode tahun 2006 sampai 2009. Dilihat dari
perkembangan tersebut, jenis kapal yang ada masih didominasi oleh perahu motor
tempel. Jumlahnya cenderung meningkat dengan jumlah tertinggi pada tahun
2009 sebanyak 671 unit kapal. Berbeda dengan perahu motor tempel, perahu

57
tanpa motor justru mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2009
jumlah perahu tanpa motor menurun hingga 36 unit kapal.

4.3.2 Alat tangkap


Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Subang terdiri dari
jenis payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap,
pancing, alat pengumpul kerang dan alat tangkap lainnya. Pada Tabel 6 disajikan
secara rinci tentang alat tangkap dan produksi dari tiap alat tangkap pada tahun
2008.

Tabel 4 Jenis alat tangkap di Kabupaten Subang


Jumlah
No Jenis Alat Tangkap
(unit)
1 Payang 52
2 Dogol 67
3 Jaring arad 79
4 Jaring Insang hanyut 122
5 Jaring insang klitik 142
6 Jaring insang tetap 165
7 Pacing lainnya 108
8 Lain-lain 135
Jumlah 870
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2008

Dari jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Subang,
hanya 7 jenis alat tangkap yang dioperasikan setiap tahunnya yaitu payang, pukat
pantai, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik dan alat pengumpul
kerang, sedangkan alat tangkap dogol mulai dioperasikan pada tahun 2000.
Hingga saat ini alat tangkap yang dominan dioperasikan di Kabupaten Subang
adalah jaring insang tetap, jaring insang hanyut dan jaring insang klitik. Pada
tahun 2008 alat tangkap yang dominan di Kabupaten Subang yaitu jaring insang
tetap sebanyak 165 unit.

58
1. Payang
1) Deskripsi
Payang adalah alat penangkap ikan yang sudah lama dikenal dan digunakan
oleh nelayan Indonesia. Alat tangkap ini termasuk ke dalam kelompok pukat
kantong (seine net) atau lebih dikenal dengan nama Danish seine. Adapun alat
tangkap ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu sayap, badan dan kantong (Subani
dan Barus, 1989).
Payang merupakan alat tangkap yang dioperasikan di permukaan dengan
tujuan untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Pada pengoperasiannya, alat tangkap
ini disetting melingkari kawanan ikan kemudian jaring ditarik ke atas geladak
kapal(Subani dan Barus,1989). Pengoperasian payang dapat dilakukan baik pada
siang hari maupun pada malam hari. Adapun alat tangkap payang di Kabupaten
Subang hanya dioperasikan di Perairan Ciasem.
2) Konstruksi
Bagian-bagian alat tangkap payang terdiri atas dua sayap, badan jaring,
kantong, pelampung, pemberat, dua tali ris, dan tali selambar. Payang termasuk ke
dalam alat tangkap pukat kantong yang mempunyai tiga bagian besar yaitu sayap,
badan, dan kantong. Konstruksi dari payang dapat dilihat pada Gambar 21.
• Sayap
Sayap pada payang digunakan untuk mengurung kawanan ikan yang hendak
ditangkap. Adapun material jaring yang digunakan pada bagian sayap yaitu PA
(Polyamide) dengan panjang sayap sekitar 200 m dan ukuran mesh size 30 cm.
Pada sayap bagian atas terdapat pelampung yang terbuat dari bambu dengan
diameter sekitar 10-15 cm berjumlah sebanyak 36 buah. Adapun pada sayap
bagian bawah terdapat pemberat sebanyak 38 buah. Pemberat ini terbuat dari
bahan semen cor dengan panjang 5 cm dan berat 2 kg.
• Badan
Ikan-ikan yang telah dikelilingi oleh jaring kemudian diarahkan oleh
nelayan agar masuk ke badan jaring. Adapun material jaring yang digunakan pada
bagian badan sama dengan material jaring pada bgian sayap yaitu PA (Polyamide)
dengan ukuran mesh size 19 cm dan panjang bagian badan yaitu 30 m. Adapun
panjang mulut jaring payang bagian bawah lebih panjang dibandingkan bagian

59
atas, hal ini untuk mencegah kemungkinan ikan lolos ke arah bawah, karena pada
umumnya payang digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang cenderung
bergerak ke bagian bawah bila terkurung jaring.
• Kantong
Kantong merupakan bagian paling akhir atau ujung alat tangkap payang.
Kantong merupakan tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Material jaring yang
digunakan pada bagian kantong terbuat dari bahan PA (Polyamide) dengan ukuran
mesh size yang berangsur-angsur mengecil mulai dari 12 cm hingga 1,5 cm.
Ukuran mata jaring yang semakin mengecil ini bertujuan agar ikan-ikan
tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri dari kantong.
• Tali ris
Tali ris pada payang terbagi menjadi dua jenis yaitu tali ris atas dan tali ris
bawah. Baik tali ris atas maupun tali ris bawah terbuat dari bahan PE
multifilament dengan diameter tali ris atas 4 mm, dan tali ris bawah 5 mm. Tali ris
atas lebih panjang dari tali ris bawah yaitu 250 m sedangkan panjang tali ris
bawah yaitu 200 m. Pada tali ris atas inilah pelampung dipasang, sedangkan pada
tali ris bawah dipasang pemberat.
• Tali Selambar
Tali selambar pada payang berfungsi untuk menarik jaring saat sedang
dioperasikan dan pada saat jaring ditarik ke atas kapal. Tali ini terbuat dari bahan
PE multifilament dengan diameter tali 16 mm. Panjang tali selambar di sayap
kanan dan kiri payang berbeda. Adapun panjang tali selambar di sayap kanan
payang sebesar 200 m sedangkan panjang tali selambar di sayap kiri sebesar 20 m,
hal ini disebabkan agar sayap kanan dapat melingkari kawanan ikan seluas-
luasnya sehingga kawanan ikan tidak dapat meloloskan diri.

60
Keterangan:
1. Kantong
2. Badan Jaring
3. Sayap
4. Tali Ris Atas
5. Tali Ris Bawah
6. Tali Selambar
7. Pelampung
8. Pemberat

Gambar 21 Konstruksi payang

3) Kapal
Kapal yang digunakan untuk pengoperasian payang terbuat dari bahan kayu
dengan dimensi L X B x D yaitu 9 x 2,4 x 0,6 meter. Kapal yang digunakan pada
pengoperasian payang biasanya berupa perahu motor tempel yang menggunakan
mesin tempel dengan merk Dongfeng. Mesin ini memiliki umur teknis ± 5 tahun
dengan kekuatan mesin sebesar 24 PK. Pengoperasian kapal dilakukan secara one
day fishing yaitu pergi pada pagi hari yaitu pada pukul 06.00 dan kembali pada
siang atau sore hari yaitu pada pukul 16.00.
4) Nelayan
Mayoritas nelayan yang ada di Kabupaten Subang adalah penduduk asli
setempat dan sebagian kecil merupakan nelayan pendatang yang berasal dari
Indramayu, Karawang dan Cirebon. Nelayan payang pada umumnya merupakan
penduduk asli yang menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama
atau termasuk ke dalam klasifikasi nelayan penuh. Adapun nelayan yang
mengoperasikan payang di Kabupaten Subang berjumlah 22 orang nelayan
dimana satu orang bertugas sebagai nahkoda kapal, satu orang sebagai fishing
master dan sisanya bertugas mengoperasikan payang.
5) Metode pengoperasian
Operasi penangkapan jaring payang dilakukan secara one day fishing. Proses
pengoperasian payang dimulai pada pagi hari yaitu pada pukul 05.00 WIB.

61
Adapun pengoperasian payang dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pemasangan jaring (setting), tahap penarikan jaring (hauling),
dan tahap pelepasan hasil tangkapan. Tahap persiapan meliputi persiapan
perbekalan seperti makanan, minuman, dan bahan bakar. Selain itu dilakukan juga
pemeriksaan terhadap kondisi mesin oleh juru mesin. Adapun untuk satu kali
operasi penangkapan jaring payang diperlukan bahan bakar sebanyak 20 liter.
Setelah semua tahap persiapan selesai dilakukan, perahu diberangkatkan
menuju fishing ground. Dalam menentukan fishing ground, fishing master
mencari kawanan ikan dengan melihat tanda-tanda keberadaan gerombolan ikan
seperti adanya riak-riak air di permukaan, atau dengan melihat adanya kawanan
burung di atas permukaan. Pada proses ini kecakapan seorang fishing master
sangatlah menentukan keberhasilan penangkapan.
Setelah gerombolan ikan ditemukan, tekong akan menginstruksikan kepada
juru mudi agar mendekati gerombolan ikan tersebut agar proses pemasangan
jaring (setting) dilakukan. Pemasangan jaring dilakukan dengan melingkari
gerombolan ikan. Proses melingkari yang memerlukan waktu 20 menit ini diawali
dengan penurunan pelampung tanda, tali selambar, badan jaring, dan tali selambar
namun ujung dari tali selambar terakhir tetap berada di perahu.
Setelah proses pemasangan selesai dilakukan, kemudian nelayan akan
melakukan proses penarikan jaring secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk
memperkecil kemungkinan lolosnya ikan yang akan ditangkap. Adapun tahap
penarikan jaring umumnya menghabiskan waktu selama 30 menit. Proses
penarikan jaring dilakukan oleh ABK kapal yang berjumlah 20 orang.
Tahap pelepasan hasil tangkapan dilakukan dengan membuka ikatan pada
kantong. Tahap pelepasan ini umumnya dilakukan selama 15 menit. Setelah
proses pelepasan selesai, kantong jaring diikat kembali dan dipersiapkan kembali
untuk setting selanjutnya. Jika hasil tangkapan yang didapatkan kurang
memuaskan, maka proses setting umumnya dilakukan sebanyak 3-5 kali dalam
satu kali operasi penangkapan jaring payang.
6) Hasil tangkapan
Jaring payang merupakan alat tangkap yang dioperasikan di permukaan
perairan. Dengan demikian jaring payang memiliki target tangkapan berupa ikan-

62
ikan pelagis. Adapun hasil tangkapan dari payang adalah tongkol (Auxis sp.),
cumi (Loligo sp.), kembung (Rastrelliger sp.), tembang (Sardinella sp.), japuh
(Dussumiera acuta) dan lain-lain.

2. Dogol
1) Deskripsi
Dogol termasuk ke dalam kelompok pukat kantong lingkar atau umumnya
disebut danish seine. Alat ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu kantong, sayap
dan badan jaring. Konstruksi mulut jaring bagian atas dogol agak lebih menonjol
kedepan sehingga menyerupai konstruksi pukat udang (trawl) tetapi ukurannya
lebih kecil dari pukat udang (Subani dan barus, 1989).
Menurut Subani dan Barus (1989), dogol merupakan alat tangkap yang
dioperasikan untuk menangkap sumberdaya perikanan demersal. Pada
pengoperasiannya alat ini dilingkarkan pada sasaran tertentu (umumnya dengan
cara menduga-duga), kemudian pada akhir penangkapan hasilnya dinaikkan ke
atas geladak perahu atau didaratkan ke pantai. Alat tangkap dogol yang ada di
Kabupaten Subang tidak berbeda jauh dengan alat tangkap dogol pada umumnya.
2) Konstruksi
Bagian-bagian alat tangkap dogol terdiri atas dua sayap, badan jaring,
kantong, pelampung, pemberat, dua tali ris, dan tali selambar. Dogol termasuk ke
dalam alat tangkap pukat kantong yang terbagi atas tiga bagian utama, yaitu
sayap, badan dan kantong. Konstruksi dogol dapat dilihat pada Gambar 22.
• Sayap
Sayap berfungsi untuk mengarahkan hasil tangkapan masuk ke dalam jaring.
Sayap pada alat tangkap ini terbuat dari bahan PE (Polyethilene) dengan panjang
25 m dan ukuran mesh size sebesar 12,7 cm. Pada bagian sayap terdapat dua jenis
pelampung yaitu pelampung plastik dan pelampung besar. Adapun pelampung
plastik berjumlah 12 buah dengan ukuran panjang 15 cm dan diameter 4 cm
sedangkan pelampung besar berjumlah 3 buah dengan ukuran panjan 17,5 cm dan
diameter 11 cm. Selain pelampung, terdapat juga pemberat yang terpasang pada
bagian bawah sayap. Pemberat pada sayap berjumlah 36 buah terbuat dari bahan
timah berbentuk elips dengan panjang 7 cm dan diameter sebesar 1,5 cm.

63
• Badan
Badan jaring berfungsi untuk mengurung ikan yang telah masuk melalui
sayap. Bahan yang digunakan pada bagian badan jaring adalah PE (Polyethylene)
dengan panjang 15 meter dan mesh size sebesar 6,5 inci. Pada bagian pangkal
badan jaring berhubungan dengan sayap sedangkan pada bagian ujung
berhubungan dengan kantong.
• Kantong
Bagian kantong merupakan bagian paling akhir dari alat tangkap dogol.
Material jaring yang digunakan pada bagian kantong terbuat dari bahan PE
(Polyethilene) dengan panjang kantong 6 meter dan mesh size sebesar satu inci.
Pada bagian ujung kantong diikat dengan seutas tali yang menggunakan simpul
cod-end knot. Adapun penggunaan simpul tersebut dimaksudkan agar kantong
mudah dilepaskan saat akhir penangkapan.
• Tali ris bagian sayap
Tali ris pada dogol terdiri dari dua jenis yaitu tali ris atas dan tali ris bawah.
Adapun tali ris pada alat tangkap ini terbuat dari bahan PE multifilamen. Tali ris
bawah lebih panjang dari tali ris atas. Panjang tali ris bawah yaitu 25 m, dan
panjang tali ris atasnya 20 m.
• Tali Selambar
Tali selambar pada dogol berfungsi untuk menarik jaring pada saat
dioperasikan dan untuk menarik jaring ke atas kapal. Tali selambar pada alat ini
terbuat dari bahan PE Multifilament dengan panjang sekitar 60-100 meter dan
memiliki diameter 2,5 cm.

Gambar 22 Konstruksi dogol

64
3) Kapal

Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan dogol terbuat dari bahan kayu
dengan dimensi L x B x D yaitu 11 x 2,5 x 1,5 meter. Kapal ini memiliki dua buah
mesin yang berfungsi sebagai mesin utama dan mesin cadangan. Mesin utama
berfungsi untuk menjalankan kapal dengan merk Dongfeng dengan umur teknis ±
5 tahun dengan kekuatan mesin 20 PK. Adapun mesin cadangan bermerk
Dongfeng berkekuatan 16 PK berfungsi untuk mengaktifkan gardan.
4) Nelayan
Nelayan merupakan tenaga kerja yang berperan aktif dalam kegiatan operasi
penangkapan. Nelayan dogol pada umumnya merupakan penduduk asli yang
menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama atau termasuk ke
dalam klasifikasi nelayan penuh. Nelayan yang mengoperasikan unit penangkapan
dogol di Kabupaten Subang berjumlah 6-8 orang nelayan, dimana satu orang
bertugas sebagai juru mudi dan sisanya adalah ABK kapal yang bertugas sebagai
juru mesin, juru masak, memperbaiki dan mengoperasikan jaring serta menyortir
hasil tangkapan.
5) Metode pengoperasian
Pengoperasian dogol umumnya dilakukan pada pagi hari. Pada
pengoperasiannya dibagi menjadi lima tahap yaitu : persiapan, penentuan daerah
penangkapan ikan, pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan
penyortiran serta pemindahan hasil tangkapan ke dalam palka. Pada tahap
persiapan nelayan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin kapal,
dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam proses setting di laut. Kapal
berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 05.30 WIB. Waktu
yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 1– 2 jam.
Umumnya nelayan menentukan fishing ground berdasarkan pengalaman dari hasil
tangkapan sebelumnya dan dengan melihat jumlah kapal yang berada di daerah
tersebut. Semakin banyak kapal yang beroperasi, nelayan akan berpikir bahwa
banyak ikan yang dapat ditangkap di perairan tersebut.
Setelah sampai di fishing ground, nelayan melakukan proses setting yang
berlangsung kira-kira 10-20 menit. Proses setting diawali dengan penurunan
pelampung tanda disisi kanan kapal. Tali terus diulur membentuk lingkaran searah

65
jarum jam. Setelah hampir membentuk lingkaran, seluruh jaring beserta
pelampungnya diturunkan secara serentak. Kemudian tali terus diulur sampai
kapal kembali mencapai pelampung tanda.
Setelah setting selesai dilakukan, kapal bergerak perlahan sekitar 5 menit,
kemudian penarikan jaring dimulai dengan menaikkan pelampung tanda ke atas
kapal. Setelah itu nelayan memuntal sebagian tali selambar di gardan untuk
penarikan jaring hingga ke atas kapal. Umumnya waktu yang diperlukan untuk
melakukan proses hauling sekitar 15-20 menit.

Setelah hasil tangkapan dikeluarkan dari bagian kantong maka dilakukan


penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil tangkapan ke dalam palka. Ikan-
ikan yang tertangkap disortir bedasarkan jenis dan ukurannya. Semua hasil
tangkapan dibawa kembali oleh nelayan dan tidak ada yang dibuang kembali ke
laut.

6) Hasil tangkapan
Hasil tangkapan utama dari dogol adalah udang jerbung, udang bago, dan
udang krosok. Adapun hasil tangkapan sampingannya terbagi menjadi dua
kelompok yaitu hasil tangkapan sampingan ekonomis tinggi dan ekonomis
rendah. Hasil tangkapan sampingan ekonomis tinggi antara lain kakap, kerapu,
rajungan, sotong dan cumi-cumi sedangkan hasil tangkapan sampingan ekonomis
rendah antara lain ikan sebelah, pari, cucut, gurita, belanak dan pepetek.

3. Jaring Arad
1) Deskripsi
Jaring arad diklasifikasikan ke dalam pukat udang. Alat tangkap ini banyak
dikenal dengan nama cungking trawl atau mini otter trawl. Jaring arad
dikelompokkan ke dalam jenis otter trawl karena pada alat ini dilengkapi dengan
alat pembuka mulut jaring (otter board) (Subani dan Barus, 1989). Alat tangkap
ini merupakan salah satu alat penangkap ikan yang dioperasikan secara aktif
dengan cara ditarik oleh perahu bermesin. Alat tangkap ini biasanya dioperasikan
di perairan dangkal dengan target tangkapan utama yaitu udang. Secara garis
besar konstruksi jaring arad terdiri dari bagian sayap, badan, dan kantong (Hakim,

66
2006). Jaring arad banyak digunakan oleh nelayan di daerah perairan pantai utara
Jawa dalam skala kecil.
2) Konstruksi
Bagian alat tangkap jaring arad terdiri atas sayap, badan jaring, kantong,
pelampung, pelampung besar, pemberat, palang kayu (danleno) dan papan rentang
(otter board). Jaring arad termasuk ke dalam alat tangkap pukat yang terbagi atas
tiga bagian utama, yaitu sayap, badan dan kantong. Konstruksi dari jaring arad
dapat dilihat pada Gambar 23.
• Sayap
Sayap disebut juga jaring pengarah yang merupakan perpanjangan badan
jaring ke otter board. Sayap berfungsi untuk mengarahkan hasil tangkapan masuk
ke dalam jaring. Sayap pada jaring arad memiliki panjang sebesar 10,5 m dengan
material jaring yang digunakan yaitu PE dengan ukuran mesh size sebesar 43.75
mm. Pada sayap terdapat 2 jenis pelampung yang dipasang yaitu pelampung jenis
I dan pelampung besar. Pelampung jenis I terbuat dari karet berwarna putih.
Pelampung jenis ini berbentuk elips dengan ukuran panjang 16 cm dan diameter 2
cm. Jumlah pelampung jenis I ini sebanyak 10 buah terpasang disepanjang sayap.
Adapun pelampung besar terbuat dari bahan plastik berbentuk silinder. Ukuran
panjang pelampung ini yaitu 30 cm dengan diameter 12.5 cm. Jumlah pelampung
besar yang digunakan hanya satu buah dipasang pada bagian tengah mulut.
• Badan
Badan jaring pada jaring arad berfungsi untuk mengurung obyek yang telah
digiring oleh sayap. Badan jaring terletak di bagian tengah jaring arad dimana
pada sudut depan kiri dan kanan badan jaring berhubungan dengan sayap kanan
dan kiri, sedangkan pada bagian belakang badan berhubungan langsung dengan
bagian kantong. Adapun material jaring yang digunakan pada bagian badan jaring
yaitu PE dengan dengan panjang sebesar 4,5 m dan ukuran mata jaring (mesh size)
sebesar 37.5 mm. Disepanjang badan jaring bagian atas terpasang pelampung
jenis II untuk menjaga agar mulut jaring arad tetap terbuka sempurna. Pelampung
jenis ini terbuat dari karet berbentuk kubus dengan dimensi p x l x t yaitu 4,5 x 2,5
x 2,5 cm. Jumlah pelampung jenis ini sebanyak 13 buah.

67
• Kantong
Kantong berfungsi sebagai tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Kantong
pada jaring arad memiliki panjang sebesar satu meter dan mesh size sebesar 20
mm. Pada bagian ujung kantong diikat dengan tali pengikat menggunakan simpul
cod end knot. Adapun penggunaan simpul tersebut ialah untuk memudahkan
dalam mengeluarkan hasil tangkapan.
• Tali ris bagian sayap
Tali ris atas dipergunakan untuk menghubungjan kedua sayap jaring bagian
atas melalui mulut bagian atas. Tali ris atas terbuat dari bahan PE multifilament
dengan diameter 4 cm dan panjang 9 meter. Adapun tali ris bawah digunakan
untuk menghubungkan kedua sayap jaring bagian bawah melalui mulut bagian
bawah. Tali ris bawah pada alat tangkap jaring arad terbuat dari bahan rami
dengan panjang 11 meter dan diameter 1 cm. Adapun perbedaan panjang tali ris
atas dan bawah ini menyesuaikan dengan ukuran badan jaring.
• Otter board
Otter board berfungsi untuk menjaga agar sayap jaring terbuka ke kanan dan
ke kiri dengan baik. Otter board terbuat dari kayu dan semen yang dicor dengan
dimensi p x l x t yaitu 100 x 60 x 2 cm. Dengan adanya otterboard ini, jaring arad
diklasifikasikan sebagai pukat tarik (trawl), namun karena ukurannya yang jauh
lebih kecil dibandingkan dengan trawl, maka jaring arad disebut juga mini trawl.

Gambar 23 Konstruksi jaring arad

3) Kapal

68
Kapal yang digunakan pada pengoperasian jaring arad adalah kapal motor
tempel berbahan kayu jati dengan dimensi L x B x D yaitu 8 x 2,8 x 1,5 meter.
Kapal ini digerakkan dengan menggunakan mesin dengan merk Dongfeng. Mesin
ini memiliki umur teknis ±5 tahun dengan kekuatan sebesar 16 PK. Adapun bahan
bakar yang digunakan adalah solar dengan kebutuhan solar per trip sebanyak 15-
20 liter.
4) Nelayan
Mayoritas nelayan jaring arad yang ada di Kabupaten Subang adalah
penduduk asli setempat dan sebagian kecil merupakan nelayan pendatang yang
berasal dari Indramayu, Karawang dan Cirebon. Nelayan jaring arad di Kabupaten
Subang terbagi menjadi dua yaitu nelayan pemilik (juragan) dan nelayan buruh.
Adapun pengoperasian jaring arad di Kabupaten Subang dilakukan oleh 2-3 orang
nelayan, dimana satu orang bertugas sebagai nahkoda kapal dan sisanya bertugas
mengoperasikan jaring. Jumlah nelayan yang sedikit ini dikarenakan ukuran kapal
dan alat tangkap yang digunakan merupakan unit penangkapan yang masih
tradisional dan memiliki ukuran yang kecil.
5) Metode pengoperasian
Pengoperasian jaring arad dilakukan secara one day fishing dimana kapal
berangkat pada pagi hari yaitu pada pukul 04.00 dan kembali pada siang atau sore
hari pada pukul 14.00. Jaring arad dioperasikan di daerah pantai dengan tipe dasar
perairan lumpur berpasir. Kedalaman perairan berkisar antara 15-60 m dengan
topografi dasar perairan yang relatif datar. Jaring arad dapat dioperasikan
sepanjang tahun, namun intensitas pengoperasiannya dipengaruhi oleh musim
penangkapan. Wilayah pengoperasian jaring arad adalah di sekitar perairan
Subang seperti Pantai Blanakan, Pantai Mayangan, Perairan Legonkulon, dan
Perairan Ciasem.
Pada proses pengoperasian jaring arad terdapat beberapa tahap yaitu:
1) Penentuan daerah penangkapan ikan (Fishing ground)
Sebelum alat tangkap disetting, nelayan terlebih dahulu menentukan tempat
yang diperkirakan terdapat target tangkapan. Pada tahap penentuan daerah
penangkapan ini nelayan tidak menggunakan alat Bantu seperti fish finder dan

69
sejenisnya. Nelayan menentukan daerah penangkapan dengan menggunakan
pengalamannya selama melaut.
2) Setting alat tangkap
Setelah daerah penangkapan ikan ditentukan, nelayan akan menyiapkan jaring
arad untuk segera disetting. Sebelum jaring arad disetting, jaring arad ditata
terlebih dahulu agar tidak terbelit saat sedang dioperasikan. Jaring yang terbelit
akan mengganggu proses terbukanya mulut jaring arad sehingga mulut jaring
arad tidak terbuka dengan sempurna.
3) Penarikan jaring arad (towing)
Setelah jaring tertata dengan baik di dalam perairan, kemudian nelayan akan
mulai melakukan penarikan jaring arad. Penarikan jaring arad dilakukan dengan
tujuan untuk menyapu dasar perairan sehingga ikan dan udang yang ada di dasar
perairan dapat tertangkap. Adapun kecepatan kapal saat melakukan penarikan
jaring harus konstan agar bukaan mulut jaring arad tetap terbuka dengan
sempurna.
4) Pengangkatan jaring (hauling)
Setelah dilakukan penarikan jaring, maka dilakukan pengangkatan jaring arad ke
atas kapal untuk melihat hasil tangkapan. Proses penarikan jaring dimulai
dengan menarik tali ris terlebih dahulu sampai dengan bagian kantong jaring.
Setelah bagian kantong berhasil ditarik ke atas kapal, kemudian ikatan pada
ujung kantong dilepaskan dan hasil tangkapan dikeluarkan.
5) Penanganan hasil tangkapan.
Setelah hasil tangkapan dikeluarkan dari dalam kantong, kemudian hasil
tangkapan segera dibersihkan terlebih dahulu untuk menghilangkan lumpur
yang tercampur dengan hasil tangkapan. Hal ini terjadi karena jaring arad
dioperasikan di dasar perairan yang berlumpur. Adapun setelah hasil tangkapan
dibersihkan, nelayan melakukan melakukan penyortiran berdasarkan jenis dan
ukuran hasil tangkapan. Semua hasil tangkapan akan dibawa kembali oleh
nelayan dantidak ada yang dibuang kembali ke laut.
6) Hasil tangkapan
Hasil tangkapan jaring arad terbagi menjadi dua kategori yaitu hasil
tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Adapun hasil tangkapan utama

70
jaring arad adalah udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang krosok
(Parapenaeopsis sculptilis) dan udang bago (Pebaeus marguensis). Adapun hasil
tangkapan sampingan jaring arad dibagi menjadi dua kelompok yaitu hasil
tangkapan sampingan bernilai ekonomis tinggi dan hasil tangkapan sampingan
bernilai ekonomis rendah. Adapun hasil tangkapan sampingan yang bernilai
ekonomis tinggi yaitu rajungan (Portunus sp), sotong (Sepia sp) dan cumi-cumi
(Loligo sp). Sedangkan untuk hasil tangkapan bernilai ekonomis rendah yaitu
beberapa jenis ikan seperti pepetek (Leioghnatus sp), gulamah (Pseuosorena sp),
beloso (Saurida tumbil), kerong-kerong (Therapon theraps), sebelah (Psettodes
erumei), pari (Trygan sephen), cucut (Squalus sp), dan gurita (Octopus sp).

4. Jaring Millenium
1) Dekripsi
Jaring millennium merupakan jenis alat tangkap gillnet yang telah
dimodifikasi dari gillnet pada umumnya, perbedaannya terdapat pada bahan
jaring yang memiliki serat pilinan monofilament serta warna jaringnya. Jaring
gillnet pada umumnya dibuat dari bahan nylon multifilament berwarna biru gelap,
sementara jaring millennium dibuat dari nylon multi monofilament yang
transparan. Jaring multi monofilament umumnya menggunakan bahan yang tipis,
sehingga jaring lebih halus dibandingkan dengan jaring monofilament atau jaring
multifilament. Hal itu membuat jaring multi monofilament lebih fleksibel di
bawah air.
2) Konstruksi
Bagian-bagian pada jaring millennium terdiri atas badan jaring, tali ris atas
dan bawah, pelampung, dan pemberat. Desain dan konstruksi dari jaring
millennium dapat dilihat pada Gambar 24.
• Badan jaring
Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan
secara vertikal. Bahan yang digunakan adalah Polyamide monofilament berwarna
putih transparan dengan ukuran jaring satu piece yaitu yaitu 75 x 10 meter. Dalam
keadaan terentang, jaring millennium pada tiap piecenya memiliki jumlah mata
jaring sebanyak 1230 mata pada arah horizontal dan 90 mata pada arah vertikal.

71
Nelayan menggunakan bahan Polyamide monofilament karena bahan ini memiliki
beberapa kelebihan diantaranya memungkinkan ikan-ikan kecil dapat terjerat
dalam serat pilinan dan menjadi umpan untuk ikan yang berukuran besar. Bahan
ini relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau pelapukan dan tidak
berpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam perairan. Selain itu bahan ini
tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses penarikan jaring.
• Pelampung
Pelampung jaring yang digunakan terbuat dari bahan plastik. Pelampung ini
berbentuk elips dengan ukuran panjang 139 mm dan diameter 38 mm. Jumlah
pelampung dalam satu piece sebanyak 25 buah dengan jarak antar pelampung 300
cm. Jaring millennium memiliki pelampung tambahan yang disebut pelampung
umbul. Pelampung ini berbentuk elips yang terbuat dari plastik atau Styrofoam.
Pelampung umbul memiliki ukuran tinggi 25 cm dan diameter 10 cm. Pelampung
tanda diikatkan pada kayu dan dihubungkan ke bagian akhir jaring dengan
menggunakan tali. Pelampung tanda ini pada umumnya berupa bendera atau
lampu.
• Pemberat
Pemberat yang digunakan terbuat dari semen cor berbentuk lingkaran pipih
dengan diameter 15 cm tebal 2 cm dan berat 400 gram. Pemberat dipasang dengan
jarak 9 meter. Pemberat tidak diikatkan dengan menggunakan tali pemberat, tetapi
diikat pada badan jaring bagian bawah dengan menggunakan tali.
• Tali ris
Tali ris terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tal iris atas terbuat dari PE
multifilament dengan diameter 6 mm. panjang tali ris atas adalah 80 m. Tal iris
atas terdiri dari dua tali. Satu utas tali digunakan sebagai tali pelampung dan satu
utas lainnya digunakan sebagai penggantung badan jaring. Tali pelampung
mempunyai karakteristik sama dengan tali penggantung yaitu terbuat dari bahan
PE multifilament dengan diameter 6 mm dan panjang 80 m. Jaring millennium
tidak dilengkapi dengan tali ris bawah, sehingga pemberat hanya diikatkan pada
bagian bawah badan jaring.

72
(a)

(b)

Gambar 24 Desain (a) dan konstruksi (b) gillnet millennium

73
3) Kapal
Kapal yang digunakan dalam pengoperasian jaring millennium memiliki
dimensi ukuran L x B x D : 12 x 2,5 x 1,5 meter. Kapal ini menggunakan satu
mesin yang berfungsi sebagai mesin utama. Mesin ini memiliki tonnase sebesar
15 GT dengan merk Mitsubishi 120 PS menggunakan bahan bakar solar. Kapal ini
membutuhkan 80 – 120 liter solar dalam setiap tripnya. Dalam satu trip operasi
penangkapan berlangsung antara satu sampai tiga hari, bergantung pada jumlah
tangkapan yang diperoleh dan banyaknya perbekalan yang dibawa.
4) Nelayan
Jumlah nelayan yang mengoperaiskan jaring millennium sebanyak 4 – 5
orang. Setiap nelayan mempunyai tugas masing-masing yaitu sebagai juru mudi,
juru mesin, dan anak buah kapal. Juru mudi bertugas dalam pencarian fishing
ground dan mengemudikan kapal dari fishing base ke fishing ground. Juru mesin
bertanggung jawab atas kondisi mesin. Adapun anak buah kapal (ABK) bertugas
dalam proses penurunan jaring (setting), penarikan jaring (hauling) dan
memperbaiki alat tangkpa yang rusak.
5) Metode pengoperasian
Jaring millennium biasanya dioperasikan pada malam hari.
Pengoperasiannya dibagi dalam empat tahap yaitu: penentuan fishing ground,
pemasangan jaring (setting), penarikan jaring (hauling), dan penyortiran serta
pemindahan hasil tangkapan ke dalam palka. Sebelum berangkat menangkap ikan
nelayan mengawali dengan mempersiapkan perbekalan, mengecek kondisi mesin
kapal, dan menyusun jaring untuk mempermudah dalam penebaran jaring di laut.
Kapal berangkat dari fishing base menuju fishing ground pada pukul 14.30 WIB.
Waktu yang ditempuh dari fishing base menuju fishing ground sekitar 2 – 3 jam.
Setelah sampai di fishing ground, nelayan melakukan proses setting yang
berlangsung kira-kira 30 menit. Dalam proses setting, jaring dipasang pada posisi
permukaan. Jaring dan kapal dibiarkan hanyut mengikuti arus perairan dan
didiamkan selama + 6 jam untuk menunggu proses hauling. Setting dapat
dilakukan sebanyak 1 -2 kali setiap malamnya tergantung hasil tangkapan yang
diperoleh. Pada penarikan jaring, kapal bergerak maju perlahan. Kemudian tiga
orang nelayan mulai menarik jaring di haluan kanan tanpa menggunakan alat

74
bantu penarik. Masing-masing menarik bagian atas, tengah dan bawah jaring.
Waktu yang dibutuhkan untuk sekali penarikan jaring (hauling) berkisar antara
1,5 – 2 jam, tergantung pada banyaknya hasil tangkapan yang tertangkap dan
sampah yang tersangkut pada jaring.
Tahap akhir yaitu penyortiran dan pemindahan ikan-ikan hasil hasil
tangkapan ke dalam palka. Ikan hasil tangkapan utama ditempatkan dalam palka
yang kedap udara dengan pemberian es yang cukup guna mempertahankan mutu.
Untuk hasil tangkapan sampingan, pemberian es sekedarnya saja dan
dikumpulkan untuk dijual dan sebagian lagi untuk dikonsumsi.

6) Hasil tangkapan
Hasil tangkapan utama dari jaring millennium yaitu ikan tenggiri. Adapun
hasil tangkapan sampingan yang ikut tertangkap antara lain golok-golok,
pepetek, kembung, tetengek, dan manyung.

5. Jaring Klitik
1) Deskripsi
Jaring insang klitik merupakan salah satu jenis gillnet atau jaring insang.
Jaring klitik dioperasikan di dasar perairan yang ditujukan untuk menangkap
udang dan lobster. Jumlah alat tangkap jaring klitik di Kabupaten Subang
menempati urutan kedua setelah jaring rampus. Jaring klitik yang terdapat
memiliki konstruksi yang hampir sama dengan jaring insang lainnya.
2) Konstruksi
Bagian-bagian pada jaring insang klitik terdiri atas badan jaring, tali ris atas
dan bawah, pelampung, dan pemberat. Desain dan konstruksi dari jaring
millennium dapat dilihat pada Gambar 25.
• Badan jaring
Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan
secara vertikal. Bahan yang digunakan adalah nilon monofilament. dengan ukuran
mata jaring yaitu 3,5 inchi. Dalam keadaan terentang, jaring klitik pada tiap
piecenya memiliki jumlah mata jaring sebanyak 1125 mata pada arah horizontal
dan 18 mata pada arah vertikal. Nelayan menggunakan bahan Polyamide
monofilament karena relatif tahan lebih lama terhadap pembusukan atau

75
pelapukan dan tidak berpengaruh terhadap lamanya perendaman dalam perairan.
Selain itu bahan ini tidak menyerap air sehingga lebih ringan dalam proses
penarikan jaring.
• Pelampung
Pelampung jaring yang digunakan terbuat dari bahan PVC. Pelampung ini
berbentuk elips atau lonjong dengan ukuran panjang 50 mm dan diameter 10 mm.
Jumlah pelampung dalam satu piece sebanyak 125 buah dengan jarak antar
pelampung 80 cm.
• Pemberat
Pemberat yang digunakan terbuat dari bahan timah dengan berat satuan 1.5
gram. Jumlah pemberat dalam satu piece sebanyak 500 buah. Jaring insang klitik
juga dilengkapi dengan pemberat jangkar yang berfungsi supaya alat tangkap
tetap berada di dasar perairan dan tidak berpindah tempat.
• Tali ris
Tali ris terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah. Tal iris atas terbuat dari PE
multifilament dengan diameter 3 mm. panjang tali ris atas adalah 60 m. Tali ris
atas terdiri dari dua tali. Satu utas tali digunakan sebagai tali pelampung dan satu
utas lainnya digunakan sebagai penggantung badan jaring. Tali pelampung
mempunyai karakteristik sama dengan tali penggantung yaitu terbuat dari bahan
PE multifilament dengan diameter 3 mm dan panjang 60 m. Jaring klitik juga
dilengkapi tali ris bawah dengan diameter 2 mm. Tali ris bawah mempunyai
ukuran yang lebih panjang daripada tali ris atas yaitu 80 mm. Tali ris bawah
terdiri dari dua tali. Satu utas tali berfungsi sebagai tali pengikat jaring bagian
bawah dan satu utas lainnya sebagai tali pemberat. Tali pemberat memiliki
karakteristik yang sama dengan tali pengikat jaring yaitu terbuat dari PE
multifilament dengan diameter 2 mm dan panjang 80 m.

76
(a)

(b)

Gambar 25 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring klitik

3) Kapal
Kapal yang digunakan dalam pengoperasikan jaring klitik memiliki dimensi
ukuran L x B x D : 6,5 x 0,8 x 0,5 meter. Kapal ini menggunakan satu mesin
yang berfungsi sebagai mesin utama. Mesin ini memiliki ukuran sebesar 8 PK
dengan merk Dongfeng menggunakan bahan bakar solar.

77
4) Nelayan

Jumlah nelayan yang mengoperasikan jaring klitik sebanyak 2 – 3 orang.


Setiap nelayan mempunyai tugas masing-masing yaitu sebagai juru mudi dan anak
buah kapal. Juru mudi bertugas dalam pencarian fishing ground dan
mengemudikan kapal dari fishing base ke fishing ground. Adapun anak buah
kapal (ABK) bertugas dalam proses penurunan jaring (setting), penarikan jaring
(hauling) dan memperbaiki alat tangkapan yang rusak.

5) Metode pengoperasian
Operasi penangkapan dengan jaring klitik menggunakan perahu motor
tempel. Kegiatan setting dimulai pada saat matahari terbenam sekitar pukul 17.00
WIB. Kemudian jaring dibiarkan terendam di dasar perairan selama satu mala dan
baru diangkat keesokan paginya. Kegiatan setting dilakukan dengan menurunkan
jaring di sebelah kanan lambung kapal. Hauling dilakukan setelah jaring direndam
selama 10 – 13 jam. Penarikan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 04.00 WIB.
Kegiatan hauling dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda, kemudian
secara bertahap dilakukan pengangkatan badan jaring. Hasil tangkapan yang
tertangkap umumnya tertangkap dengan cara terpuntal.
6) Hasil tangkapan
Hasil tangkapan utama dari jaring klitik adalah udang dan lobster. Adapun
hasil tangkapan sampingan yang tertangkap antara lain ikan selar kuning, ikan
sembilang, ikan teri dan rajungan.

6. Jaring Rampus
1) Deskripsi
Jaring rampus termasuk dalam klasifikasi jaring insang tetap. Jaring insang
tetap adalah salah satu jenis jaring insang yang dioperasikan pada dasar perairan.
Hasil tangkapan utama dari jaring insang tetap adalah ikan bawal putih. Adapun
hasil tangkapan sampingannya antara lain manyung, gulamah, selar, kuniran, dan
kuro. Jaring rampus di Kabupaten Subang tidak berbeda jauh dengan jaring
rampus pada umumnya. Jaring rampus hampir ditemukan di semua kecamatan di
Kabupaten Subang yang berada di wilayah pesisir.

78
2) Konstruksi
Bagian-bagian dari jaring rampus terdiri atas tubuh jaring, tali ris atas tali ris
bawah, tali pemberat, pemberat, tali pelampung dan pelampung. Desain dan
konstruksi dari jaring rampus ditunjukkan pada Gambar 26.
• Badan jaring
Tubuh jaring terbuat dari bahan PA monofilament berdiameter 0,2 mm dan
ukuran mata jaring 4,5 inchi. Warna bahan jaring adalah putih transparan agar alat
tangkap yang dipasang di dasar perairan akan tersamar sehingga tidak menakuti
ikan dan ikan akan terjerat. Jumlah mata jaring vertikal sebanyak 35 mata,
sedangkan jumlah mata horizontal sebanyak 1798 mata.
• Pelampung
Pelampung terbuat dari bahan PVC berbentuk lonjong dengan ukuran panjang
14 cm. Jumlah pelampung sebanyak 50 buah dalam satu piece. Jarak antar
pelampung 1 m. Penggunaan pelampung sangat penting, agar mata jaring dapat
terbuka di dalam air.
• Pemberat
Pemberat terbuat dari bahan dengan berat satuan 13 gram. Pemberat tambahan
berfungsi sebagai jangkar, yaitu batu besar dengan berat sekitar 3 kg. Jumlah
pemberat dalam satu piece sebanyak 300 buah. Karena penempatan jaring berada
di dasar perairan maka pemberat memiliki peran penting untuk menjaga
kedudukan jaring agar tetap di tempat. Hal itu menjadi penting karena pengaruh
arus yang dapat menggeser kedudukan jaring dari tempat semula, dan bisa
mengubah kedudukan jaring dalam menghadang ikan.
• Tali ris
Tali ris atas terbuat dari bahan PE berdiameter 6 mm dengan panjang 70 m
berwarna hijau. Pada tali ris atas diikatkan tali pelampung yang berfungsi untuk
memasangkan pelampung pada jaring. Adapun tali pelampung terbuat dari bahan
PE berdiameter 8 mm dengan panjang 70 m berwarna hijau. Jaring rampus juga
dilengkapi tali ris bawah terbuat dari bahan PE berdiameter 3 mm dengan panjang
100 m berwarna hijau. Pada tali ris bawah diikatkan tali pemberat yang berfungsi
untuk memasangkan pemberat pada jaring. Adapun tali pemberat terbuat dari
bahan PE berdiameter 3 mm dengan panjang 100 m.

79
(a)

(b)

Gambar 26 Desain (a) dan konstruksi (b) jaring rampus

80
3) Kapal

Kapal yang digunakan dalam pengoperasian jaring insang tetap di


Kabupaten Subang yaitu jenis jukung yang terbuat dari fiber dan dilengkapai
dengan katir. Kapal ini menggunakan mesin berkekuatan 15 PK. Kapal yang
digunakan mempunyai ukuran panjang 8,5 m; lebar 1,2 m; dan dalam 0,8 m. katir
di sebelah kanan dan kiri kapal berfungsi sebagai penyeimbang atau mengurangi
efek gerakan oleng pada kapal, sehingga memudahkan nelayan dalam
mengoperasikan kapal dalam operasi penangkapan ikan.

4) Nelayan
Jumlah nelayan dalam pengoperasian jaring insang tetap di Kabupaten
Subang sebanyak 2 – 3 orang. Masing-masing nelayan mempunyai tugas yang
berbeda. Satu orang sebagai pengemudi kapal dan yang lainnya menurunkan alat
pada saat setting dan hauling. Pada saat musim paceklik, nelayan lebih cenderung
tidak melakukan operasi penangkapan ikan melainkan hanya memperbaiki jaring
yang rusak.

5) Metode Pengoperasian
Operasi penangkapan dimulai saat berangkat dari fishing base ke fishing
ground. Nelayan berangkat menuju fishing ground sekitar pukul 02.00 WIB dan
waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke fishing ground sekitar 2 jam. Setelah tiba
di fishing ground, pelampung tanda dan jangkar diturunkan, selanjutnya dilakukan
penurunan jaring (setting). Setelah semua jaring terentang sempurna nelayan
menunggu selama setengah jam sampai satu jam, kemudian dilakukan penarikan
jaring (hauling). Hasil tangkapan yang didapat dimasukkan ke dalam drum yang
sudah dipersiapkan sebelumnya. Hasil tangkapan disimpan menggunakan es
untuk proses pengawetan agar tetap segar.

7. Pancing Rawai
1) Deskripsi
Pancing rawai diklasifikasikan kedalam kelompok alat tangkap pancing.
Pancing rawai atau longline adalah suatu pancing yang terdiri dari tali utama
(main line), kemudian disepanjang tali utama tersebut digantungkan tali cabang

81
(branch line) yang di ujungnya diberi mata pancing secara berderet pada jarak
tertentu. Panjang tali utama pada rawai berkisar ratusan meter hingga mencapai
puluhan kilometer (Subani dan Barus, 1989).

2) Konstruksi
Komponen utama pancing rawai yang ada di Kabupaten Subang adalah : tali
selambar (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (hook), pemberat,
dan pelampung. Konstruksi dari pancing rawai dapat dilihat pada Gambar 27.
• Tali utama (main line)
Tali utama pada pancing rawai ini terbuat dari bahan PA (Polyamide)
dengan nomor 1500. Panjang tali utama secara keseluruhan sekitar 250 m. Tali
utama pada rawai berfungsi sebagai tempat terikatnya tali cabang dimana mata
pancing dipasang.
• Tali cabang (branch line)
Tali cabang (branch line) merupakan tali yang dipasang disepanjang tali
utama pada rawai dan di bagian ujungnya terdapat mata pancing. Tali cabang
dipasang secara berderet dengan jarak 2,5 m untuk menghindari terbelitnya tali
cabang yang satu dengan tali cabang yang lainnya. Pemasangan tali cabang pada
tali utama menggunakan simpul. Pada alat tangkap ini dipasang sebuah
pelampung berbahan styrofoam pada salah satu ujungnya, sedangkan bagian
ujung lainnya diikatkan pada bagian perahu.
• Mata pancing
Mata pancing yang digunakan pada pancing rawai ini terbuat dari bahan
stainless steel. Jenis mata pancing yang berbahan stainless digunakan oleh nelayan
karena harganya yang relatif murah dan cukup tahan lama. Adapun ukuran mata
pancing yang digunakan disesuaikan dengan ikan yang ingin ditangkap. Biasanya
nelayan menggunakan mata pancing nomor 6 untuk menangkap kakap merah,
sedangkan untuk menangkap ikan kuro nelayan menggunakan mata pancing
nomor 4. Jumlah mata pancing yang dioperasikan sebanyak 100 buah mata
pancing.

82
Gambar 27 Konstruksi pancing rawai

3) Kapal
Kapal yang digunakan dalam pengoperasian pancing rawai merupakan jenis
perahu motor tempel. Perahu motor temple tersebut terbuat dari bahan kayu
dengan dimensi L x B x D yaitu 9 x 1,2 x 0,8 meter. Adapun mesin yang
digunakan adalah jenis mesin tempel dengan merk Giandong berkekuatan 6 PK.
4) Nelayan
Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pancing rawai ini berjumlah 2 -
3 orang, dengan satu orang sebagai nahkoda, satu orang sebagai pemasang umpan,
dan satu orang lainnya bertugas memasang (setting) alat tangkap. Nelayan
pancing rawai di Kabupaten Subang merupakan penduduk setempat yang bekerja
sebagai nelayan penuh.
5) Metode pengoperasian
Pancing rawai yang ada di Kabupaten Subang merupakan jenis rawai dasar.
Alat tangkap ini ditujukan untuk menangkap jenis ikan-ikan demersal. Dalam
pengoperasiannya alat tangkap pancing rawai ini dibagi menjadi beberapa tahap
yaitu pemasangan umpan, pemasangan alat tangkap (setting), penarikan alat
tangkap (hauling) dan penyortiran hasil tangkapan.
Proses pemasangan umpan dilakukan sebelum alat tangkap pancing rawai
ini dioperasikan. Proses ini penting agar target yang ingin ditangkap tertarik

83
dengan bau umpan yang dipasang dan kemudian memakan umpan tersebut.
Adapun proses pemasangan umpan dilakukan oleh 1-2 orang ABK.
Setelah umpan dipasang pada tiap mata pancing, maka proses pemasangan
pancing rawai (setting) siap untuk dilakukan. Pemasangan alat tangkap ini
dilakukan dengan melepaskan pelampung tanda, tali utama dan tali cabang beserta
mata pancing yang telah dipasangi umpan. Setelah alat tangkap selesai dipasang,
berikutnya alat tangkap didiamkan selama beberapa jam dengan tujuan agar
terdapat jeda waktu bagi ikan untuk mendatangi dan memakan umpan.
Setelah alat tangkap dipasang dalam waktu yang cukup lama, nelayan akan
melakukan proses penarikan alat tangkap (hauling).Proses penarikan alat tangkap
dimulai dengan menarik pelampung tanda terlebih dahulu, diikuti dengan
penarikan tali utama (main line) dan tali cabang (branch line). Adapun pembagian
tugas pada proses penarikan jaring yaitu 1-2 nelayan orang menarik dan
merapihkan alat tangkap sedangkan 1 orang lainnya melepaskan hasil tangkapan
dari mata pancing.
Setelah hasil tangkapan dilepaskan dari mata pancing, nelayan akan
melakukan proses penyortiran. Penyortiran dilakukan dengan mengelompokkan
hasil tangkapan berdasarkan jenis dan ukurannya. Adapun semua hasil tangkapan
akan dibawa pulang oleh nelayan dan tidak ada hasil tangkapan yang dilepaskan
kembali ke laut.
6) Hasil tangkapan
Pancing rawai yang dioperasikan di Kabupaten Subang merupakan jenis
rawai dasar yang menangkap jenis ikan-ikan demersal. Adapun hasil tangkapan
utama alat tangkap ini adalah kakap merah (Lutjanus sp.) dan kerapu
(Epinephelus spp.), sedangkan hasil tangkapan sampingannya antara lain remang
(Muraema spp.), pari (rays), manyung dan lain-lain.

8. Bubu Lipat
1) Deskripsi
Bubu lipat adalah alat tangkap ikan yang dipasang secara menetap dalam air
untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan sulit keluarnya
(Sudirman dan Mallawa 2004). Pemakaian bubu tersebar di seluruh daerah

84
perikanan Indonesia. Bentuk bubu bermacam – macam. Ada yang berbentuk
kotak, silinder dan kerucut, bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran
tangkapan (Subani dan Barus, 1989). Bentuk bubu lipat yang ada di Kabupaten
Subang berbentuk kotak.
Bubu lipat termasuk ke dalam klasifikasi perangkap. Perangkap adalah
salah satu alat penangkap ikan menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan
dapat masuk dengan mudah tanpa paksaan, sulit keluar atau lolos karena dihalangi
berbagai cara (Von Brant, 1984).
2) Konstruksi
Bubu lipat yang digunakan di Kabupaten Subang khususnya di Desa
Mayangan memiliki dimensi panjang 40 cm, lebar 25 cm dan tinggi 12 cm. Pada
bubu dipasang pelampung tanda yang terbuat dari bahan karet atau gabus yang
berukuran kecil. Gambar 28 berikut adalah konstruksi dari bubu lipat.
• Bahan
Bahan pembentuk bubu lipat terbuat dari bahan jaring PE multifilament
dengan mesh size 1,5 cm. Bentuk mesh size pada badan jaring berbentuk kotak.
Bahan jaring PE multifilament ini dapat dirobek oleh kepiting bakau betina yang
berukuran besar. Maka dari itu nelayan sering menambal badan jaring dengan
benang PE ataupun tali raffia.
• Mulut
Bentuk mulut bubu pada bubu lipat di Kabupaten Subang yaitu berbentuk
celah. Besarnya celah pada mulut ini mempunyai ukuran sekitar 0,5 – 1 cm. Mulut
bubu dapat merenggang saat kepiting masuk ke dalam bubu.
• Rangka
Rangka bubu terbuat dari besi dengan diameter sekitar 4 mm. Bentuk bubu
yang ada di Kabupaten Subang yaitu berbentuk kubus. Kekuatan dari rangka bubu
lipat ini sekitar satu tahun, jika sudah melebihi umur teknis maka rangka akan
berkarat dan mudah patah. Pada rangka bagian atas diletakkan engsel yang dapat
berfungsi untuk membuka bubu sehingga memudahkan dalam pengambilan hasil
tangkapan.

85
Sumber: Lastari (2007)

Gambar 28 Konstruksi bubu lipat

3) Kapal
Kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu lipat memiliki dimensi
L x B x D : 3 x 1 x 20 cm. Bahan dominan pembentuk kapal yaitu kayu. Kapal
ini menggunakan mesin dengan merk Honda berkekuatan 5 PK. Kapal ini
dilengkapi dengan dayung untuk mengatur posisi kapal saat pemasangan bubu.
4) Nelayan
Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di Kabupaten Subang termasuk ke
dalam nelayan kecil. Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat sebanyak 2 orang.
Satu orang bertugas mengemudikan kapal menggunakan dayung dan satu orang
lainnya memasang dan mengangkat bubu saat operasi berlangsung.
5) Metode pengoperasian
Operasi penangkapan dimulai dengan keberangkatan dari fishing base
menuju perairan bakau sekitar pukul 16.00 WIB. Selama perjalanan, nelayan
memasang umpan pada bubu yang akan dipasang. Setelah sampai di fishing
ground, satu per satu bubu dipasang dengan cara melemparkan ke dalam sungai
bakau maupun tambak. Bubu dipasang dengan sistem tunggal sampai bubu
terakhir. Bubu akan direndam selama kurang setengah hari sampai pagi hari.
Proses pengangkatan bubu (hauling) dilakukan pada pukul 05.00 WIB. Bubu

86
diangkat satu per satu ke atas kapal, kemudian hasil tangkapan berupa kepiting
dan rajungan diikat (dibanda) sedemikian rupa agar capitnya tidak melukai
nelayan.
6) Hasil tangkapan
Biasanya bubu lipat digunakan untuk menangkap kepiting bakau dan
rajungan pada perairan bakau. Selain itu hasil tangkapan sampingan berupa udang
dan beberapa jenis ikan juga tertangkap ke dalam bubu, antara lain kepiting batu,
kepiting bolem, ikan lundu, ikan beloso, ikan belodok dan udang peci.

9. Jala Tebar
1) Deskripsi
Jala tebar merupakan alat tangkap yang umum dan hampir dapat dijumpai
dimana-mana. Bentuk jala seperti kerucut, terdiri dari bagian-bagian jaring yang
sekaligus merupakan kantong, cincin pemberat yang terbuat dari timah yang
dirangkai membentuk rantai dan yang diikat disekeliling mulut, dan tali yang
diikat pada bagian ujung jala agar tidak terlepas pada saat jala dioperasikan
(Subani dan Barus, 1989).
2) Konstruksi
Bagian-bagian dari jala tebar yaitu badan jaring, pemberat dan tali pengikat.
Jala tebar yang dioperasikan di Kabupaten Subang mempunyai keliling 4 meter,
tinggi 2,5 - 3 meter, dan dengan ukuran mata 1,5 meter. Konstruksi dari jala tebar
dapat dilihat pada Gambar 29.

87
Gambar 29 Konstruksi jala tebar

3) Metode pengoperasian
Alat tangkap ini dirancang sedemikian rupa sehingga seakan-akan
membentuk kantong di bagian dalam mulut jaring dan memerangkap ikan dan
udang. Penangkapan dilakukan di daerah yang relatif dangkal (pantai) yang
kedalamannya tidak melebihi tinggi dada si nelayan. Pada saat alat tangkap ini
dioperasikan, jaring dilemparkan ditempat-tempat yang mungkin terdapat
ikannya, kemudian pemberat akan menutup dan membuat mulut jaring seolah-
olah menjadi kantong yang memerangkap ikan atau udang yang ada di dalamnya.
Hasil tangkapan utama alat tangkap jala tebar ini adalah udang peci, udang PK.
Adapun hasil tangkapan sampingannya adalah ikan belanak, bandeng, dan lain-
lain.

4.3.3 Nelayan
Nelayan merupakan salah satu bagian penting dari unit penangkapan ikan.
Dalam aktivitas penangkapan ikan mereka terjun langsung untuk melakukan
penangkapan ikan. Usaha perikanan telah memberikan kontribusi nyata terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal ini ditandai dengan jumlah
RTP dan RTPB yang selalu mengalami peningkatan di setiap tahunnya, yaitu

88
antara tahun 1998 – 2001, yang berarti bahwa minat masyarakat pada sektor
perikanan meningkat.
Berdasarkan kepemilikan unit penangkapan ikan, nelayan di Kabupaten
Subang terbagi atas nelayan pemilik dan nelayan buruh. Jumlah total warga Desa
Mayangan yang berprofesi sebagai sebagai nelayan tercatat sebanyak 184 orang.
Dari jumlah tersebut terbagi lagi menjadi nelayan pemilik sebanyak 42 orang dan
nelayan buruh sebanyak 142 orang. Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi
untuk kawasan Kecamatan Legonkulon. Data mengenai jumlah nelayan di
Kabupaten Subang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah nelayan di Kabupaten Subang


Nelaya Nelaya Jumla Persentas
n n h e
N Pemilik Buruh (orang (%)
o Kecamatan/Desa )
A Kecamatan Blanakan

Desa Cilamaya Girang 24 132 156 4,55


Desa Rawameneng 57 124 181 5,28
Desa Blanakan 219 1.024 1243 36,37
Desa Muara Ciasem 146 735 881 25,71
Desa Tanjung Tiga 65 256 3321 9,37
B Kecamatan Legonkulon

Desa Pangarengan 32 87 119 3,47


Desa Tegalurung 28 102 130 3,79
Desa Mayangan 42 142 184 5,37
Desa Legonwetan 16 78 94 2,74
Desa Anggasari 8 51 59 1,72
C Kecamatan Pusakanagara

Desa Patimban 8 51 59 1,72


Jumlah 649 2778 3427 100
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, 2003

4.4 Potensi dan Produksi Perikanan


Kabupaten Subang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, baik untuk
perikanan darat maupun perikanan lautnya. Perairan laut Kabupaten Subang

89
mencapai 68 km terdapat di wilayah pantura (pantai utara Jawa) dengan laut yang
dapat dimanfaatkan seluas 4 mil dari garis pantai ke arah laut. Berdasarkan data
dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun 2003, Kabupaten
Subang memiliki potensi areal penangkapan di perairan umum yang cukup luas,
yaitu sungai yang melewati 17 kecamatan dengan panjang 714 km dan jumlah situ
sebanyak 25 lokasi yang berada di 15 kecamatan dengan luas area 231,9 km2, dan
rawa yang terdapat di 3 kecamatan dengan luas area 12,6 km2. Untuk budidaya,
luas tambak 10.000 Ha dan yang baru dimanfaatkan 8.254,28 Ha, kolam air
tenang 900 Ha, kolam pembenihan 33,07 Ha, kolam air deras 372 unit dan sawah
untuk mina padi 13.000 Ha yang baru dimanfaatkan 7.050 Ha (Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Subang, 2003). Potensi perikanan di Kabupaten Subang
secara lebih rinci disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Potensi perikanan Kabupaten Subang Tahun 2003


Jenis Kegiatan Perikanan Potensi Pemanfaatan
Penangkapan
Laut Jalur I, II dan III Jalur I, II dan
sebagian jalur III
Sungai 714 km
Belum dimanfaatkan
Situ 231,9 Ha secara optimal
Rawa 12,6 Ha (dikelola sederhana)

Budidaya
Tambak 10.000 Ha
Kolam Air Tenang (KAT) 900 Ha
Kolam Pembenihan 33,07 Ha 8.254,28 Ha
Kolam Air Deras (KAD) 511 unit 689 Ha
Sawah Minapadi 13.000 Ha 20,2 Ha
Kolam Ikan Hias 5 Ha 372 Unit
7.050 Ha
1,2 Ha
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun 2003

Kabupaten Subang memiliki nilai produksi perikanan yang cukup besar, hal
ini sebanding dengan potensi perikanan yang dimilikinya. Pada tahun 2006
sampai 2008 nilai produksi mengalami peningkatan secara signifikan.
Peningkatan ini disebabkan oleh adanya usaha intensifikasi dan ekstensifikasi di
sektor perikanan dan kelautan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

90
Subang. Setiap tahunnya produksi perikanan mengalami peningkatan yang
signifikan. Peningkatan rata-rata produksi perikanan tahun 2006-2008 sebesar
55,5 %. Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya armada kapal dan alat
tangkap yang ada di Kabupaten Subang. Data perkembangan nilai produksi
perikanan di Kabupaten Subang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Perkembangan Produksi Ikan Kabupaten Subang

Produksi Peningkatan
Jenis Usaha (Ton) Rata-rata (%)
2006 2007 2008
Penangkapan 18.308,0 18.451,9 19.647,5 3.6
1. Laut 17.753,5 17.914,1 19.097,4 3.7
2. Perairan Umum 554,5 537,8 550,0 -0.4
Budidaya 18.273,9 18.658,5 19.698,9 3.9
1. Tambak 9.940,7 9.947,6 10.089,9 0.8
2. Kolam air tenang 4.406,3 4.827,5 5.591,6 12.7
3. Sawah 3.407,8 2.895,3 3.311,7 -0.4
4. Kolam air deras 519,1 998,1 705,7 31.5
Total 36.581,9 37.110,4 39.346,3 55.5
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2008

Produksi perikanan tiap daerah di Kabupaten Subang memiliki produktivitas


yang berbeda khususnya pada empat kecamatan yang terletak dekat pesisir.
Produksi perikanan terbesar pada tahun 2007 terdapat pada Desa Blanakan
Kecamatan Blanakan dengan nilai produksi sebesar 10.124,50 ton/tahun. Adapun
Desa Mayangan memiliki produksi terbesar pada Kecamatan Legonkulon dengan
nilai produksi sebesar 650,15 ton/tahun (Tabel 8).

91
Tabel 8 Produksi Ikan Laut Kabupaten Subang Tahun 2007
No Kecamatan / Kabupaten Hasil Ikan Laut
(Terletak di Pesisir) (Ton)

I KECAMATAN BLANAKAN
1. Cilamaya Girang 427,60
2. Rawa Meneung 315,20
3. Blanakan 10.124,50
4. Muara 4.015,20
5. Tanjung Tiga 251,30
6. Langensari tidak ada data
7. Jayamukti tidak ada data

II KECAMATAN LEGON KULON


1. Pangarengan 372,50
2. Tegalurung 129,25
3. Mayangan 650,15
4. Legon Wetan tidak ada data
5. Legon Kulon tidak ada data

III KECAMATAN SUKASARI


1. Sukamaju tidak ada data
tidak ada data
2. Batangsari tidak ada data
3. Anggasari
IV KECAMATAN PUSAKANAGARA
1. Patimban 1.628,40
Jumlah 17.914,10

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2007

4.5 Musim dan Daerah Penangkapan


Kabupaten Subang dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan dua
musim, yaitu Musim Barat dan Musim Timur dengan kecepatan angin rata-rata
3 – 6 m/det. Pada saat Musim Barat, pergerakan arus umumnya menuju kea rah
timur atau arus timur dengan kecepatan berkisar antara 3 – 14 mil/hari. Adapun
Musim Timur bergerak sebaliknya, yaitu menuju arah barat dengan kecepatan
antara 1 – 13 mil/hari.

92
Nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Subang menentukan daerah
penangkapan ikan umumnya berdasarkan kebiasaan atau pengalaman nelayan
yang melakukan trip sebelumnya. Apabila hasil tangkapan pada trip sebelumnya
banyak, maka nelayan akan melakukan kegiatan penangkapan pada fishing
ground yang sama. Sebaliknya, nelayan akan mencari daerah penangkapan yang
baru apabila hasil tangkapan pada trip sebelumnya sedikit. Daerah penangkapan
ikan nelayan pesisir Kabupaten Subang tersebar di sekitar Utara Laut Jawa.

93
5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil
5.1.1 Komposisi hasil tangkapan
Total hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh pada penelitian ini sebanyak
240 ekor dengan berat total 12,689 kg yang terdiri dari 6 (enam) spesies. Hasil
tangkapan dominan pada penelitian ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.)
dengan jumlah 87 ekor atau 36 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh rajungan
(Portunus pelagicus) sebanyak 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil
tangkapan. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah udang peci (Penaeus
indicus) dengan jumlah 34 ekor atau setara dengan 14 % dari total hasil
tangkapan. Secara detail komposisi hasil tangkapan yang diperoleh selama
penelitian disajikan pada Gambar 30 dan Tabel 9. Adapun hasil tangkapan yang
diperoleh selama penelitian secara visual disajikan pada Lampiran 4.

n=240

Gambar 30 Komposisi total hasil tangkapan bubu selama penelitian

94
Tabel 9 Komposisi total hasil tangkapan
Nama Nama Jumlah Bobot %
No Spesies % bobot
Lokal Internasional (ekor) (g) jumlah
1 Kepiting Swimming
Thalamita sp. 87 3755 36 29.6
batu crab
2 Rajungan Blue
Portunus
swimming 49 2305 20 18.16
pelagicus
crab
3 Udang White prawn
Penaeus indicus 36 159 14 1.26
peci
4 Kepiting Mud crab
Scylla sp. 28 3165 12 24.94
bakau
5 Kepiting Spoon
Leptodius sp. 23 2540 10 20.01
bolem pincer crab
6 Beloso Blue
Cryptocentrus
speckled 19 765 8 6.03
caeruleomaculatus
shrimpgoby
Total 240 12689 100 100

Hasil tangkapan dominan yang bernilai ekonomis tinggi selama penelitian


adalah rajungan (Portunus pelagicus). Rajungan memiliki nilai yang cukup tinggi
baik di pasar lokal maupun internasional. Kisaran harga rajungan di Desa
Mayangan adalah Rp 15.000/kg. Rajungan yang memiliki ukuran ekonomis akan
dijual oleh nelayan ke pengumpul, selanjutnya pengumpul akan menjual rajungan
tersebut ke pasar lokal atau ke pengumpul yang lebih besar lagi. Rajungan yang
masih belum layak tangkap biasanya tidak dijual oleh nelayan, melainkan
dikumpulkan dan dibesarkan kembali di tambak hingga mencapai ukuran
ekonomis.
Kepiting batu merupakan jenis kepiting yang memiliki nilai ekonomis
rendah, dengan harga jual berkisar antara Rp. 3000 – Rp. 4000 per kg. Kepiting
batu biasanya digunakan sebagai pakan ikan untuk kegiatan budidaya, yaitu
dengan cara dihancurkan menjadi tepung dan kemudian dijual dalam bentuk
pakan. Selain itu kepiting batu juga dijajakan kepada masyarakat umum dalam
keadaan sudah matang, namun hal tersebut hanya dilakukan pada hari sabtu dan
minggu dimana banyak masyarakat dari luar datang untuk tujuan rekreasi dan
kegiatan memancing.
Penelitian ini dilakukan pada 5 (lima) stasiun yang berbeda dengan 10 kali
ulangan. Operasi penangkapan yang dilakukan satu kali setiap harinya dinyatakan

95
sebagai ulangan. Total hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap jenis bubu untuk
tiap trip penangkapan rata-rata berkisar antara 3 – 4 ekor. Secara detail jenis dan
jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada tiap trip penangkapan dapat dilihat pada
Lampiran 5. Jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada trip ke 3 dengan
jumlah sebanyak 29 ekor. Adapun total hasil tangkapan terendah terjadi pada trip
ke 5 yaitu sebanyak 20 ekor. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap
trip penangkapan adalah 24 ekor. Secara lebih rinci rata-rata hasil tangkapan pada
tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip disajikan pada Gambar 31.

Gambar 31 Jumlah hasil tangkapan per trip dan rata-rata hasil tangkapan tiap
bubu per trip

Hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap stasiun selama penelitian


berlangsung berbeda-beda jumlahnya. Rata-rata hasil tangkapan tiap bubu pada
tiap stasiun berkisar antara 1 – 2 ekor. Jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi
pada stasiun ke 5 dengan jumlah tangkapan sebanyak 62 ekor atau setara dengan
25,83 %. Adapun jumlah hasil tangkapan terendah diperoleh pada stasiun ke 3
yaitu sebanyak 29 ekor atau setara dengan 12,08 % dari total hasil tangkapan.
Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap stasiun adalah 48 ekor.
Secara lebih rinci rata-rata hasil tangkapan pada tiap bubu per stasiun dan jumlah
hasil tangkapan per stasiun disajikan pada Gambar 32.

96
Gambar 32 Rata-rata hasil tangkapan per stasiun dan jumlah hasil tangkapan
tiap bubu per stasiun

Rata-rata jumlah hasil tangkapan rajungan pada tiap bubu per trip berkisar
0 – 1 ekor. Hasil tangkapan rajungan tertinggi terjadi pada trip kedua, kelima dan
kesembilan dengan jumlah tangkapan rajungan masing-masing sebanyak 7 ekor,
sedangkan hasil tangkapan rajungan terendah terjadi pada trip ketiga yaitu
sebanyak 2 ekor. Jumlah hasil tangkapan rajungan per trip dan rata-rata hasil
tangkapan rajungan tiap bubu per trip disajikan pada Gambar 33.

Gambar 33 Jumlah hasil tangkapan rajungan per trip dan rata-rata hasil tangkapan
rajungan per bubu per trip

Rata-rata hasil tangkapan rajungan tiap bubu pada tiap stasiun berkisar
antara 1 – 5 ekor. Hasil tangkapan terendah terjadi pada stasiun ke 4 yaitu

97
sebanyak 1 ekor atau setara dengan 2.04 % dari total hasil tangkapan rajungan.
Adapun jumlah hasil tangkapan tertinggi terjadi pada stasiun ke 5 dengan jumlah
sebanyak 30 ekor atau setara dengan 61.22 % dari total hasil tangkapan rajungan.
Rata-rata hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada setiap stasiun adalah 10
ekor. Secara lebih rinci jumlah hasil tangkapan rajungan per stasiun dan rata-rata
hasil tangkapan rajungan pada tiap bubu per stasiun disajikan pada Gambar 34.

Gambar 34 Jumlah hasil tangkapan rajungan per stasiun dan rata-rata hasil
tangkapan rajungan per bubu per stasiun

5.1.2 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada
bubu lipat
Hasil tangkapan pada bubu lipat selama penelitian berjumlah 240 ekor
dengan proporsi hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) sebagai hasil
tangkapan utama sebanyak 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil
tangkapan. Adapun hasil tangkapan sampingan selama penelitian sebanyak 91
ekor atau setara dengan 80 % dari total hasil tangkapan. Adapun untuk hasil
tangkapan sampingan yang tertangkap selama penelitian antara lain kepiting batu
(Thalamita sp), udang peci (Penaeus indicus), kepiting bakau (Scylla sp), kepiting
bolem (Leptodius sp), dan beloso (Cryptocentrus caeruleomaculatus). Proporsi
antara hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu lipat
dapat dilihat pada Gambar 35.

98
n=240

Gambar 35 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada
bubu lipat

5.1.3 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan


Jumlah keseluruhan hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian adalah
sebanyak 240 ekor jika ditinjau dari segi jumlah. Ditinjau dari segi bobot hasil
tangkapan, total bobot hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian adalah
sebesar 12.689 g. Hasil tangkapan yang paling dominan ditinjau dari segi jumlah
dan bobot adalah jenis kepiting batu (Thalamita sp.) dengan jumlah 87 ekor dan
bobot sebesar 3.775 g atau setara dengan 36% dari total hasil tangkapan. Hasil
tangkapan paling sedikit jika ditinjau dari segi jumlah adalah jenis ikan beloso
(Cryptocentrus caeruleomaculatus) sebanyak 8 ekor. Adapun jika ditinjau dari
segi bobot, maka hasil tangkapan yang paling sedikit adalah udang peci
(Pennaeus indicus) dengan bobot sebesar 159 g.

5.1.3.1 Jumlah dan bobot total hasil tangkapan pada posisi umpan berbeda
(1) Jumlah hasil tangkapan
Total hasil tangkapan bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang
dengan posisi pemasangan umpan di atas yaitu sebanyak 124 ekor atau setara
dengan 51,67 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang

99
tertangkap oleh bubu dengan posisi umpan di atas ini adalah kepiting batu
(Thalamita sp.) dengan jumlah sebanyak 45 ekor atau setara dengan 18.75 % dari
total hasil tangkapan, diikuti oleh rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 24 ekor
atau setara dengan 10 % dari total hasil tangkapan, kemudian diikuti oleh udang
peci (Pennaeus indicus) sebanyak 15 ekor atau setara dengan 7.9 % dari total hasil
tangkapan. Adapun total hasil tangkapan pada bubu dengan menggunakan umpan
yang dipasang di bawah yaitu sebanyak 116 ekor atau setara dengan 48,33 % dari
total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap pada bubu ini
adalah kepiting batu (Thalamita sp.) sebanyak 42 ekor atau setara dengan 17,5 %
dari total hasil tangkapan, diikuti dengan rajungan (Portunus pelagicus) dengan
jumlah sebanyak 45 ekor atau setara dengan 18.75 % dari total hasil tangkapan,
kemudian diikuti dengan udang peci (Penaeus indicus) dan kepiting bolem
dengan jumlah masing-masing sebanyak 15 ekor atau setara dengan 6,25 % dari
total hasil tangkapan. Secara detail komposisi hasil tangkapan yang ditangkap
pada bubu dengan posisi peletakan umpan di atas dan bubu dengan posisi
peletakan umpan di bawah disajikan pada Gambar 36, Gambar 37, dan Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan bobot hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan berbeda
Posisi Umpan
Jenis hasil tangkapan Atas Bawah
Bobot Bobot
Jumlah Jumlah
(g) (g)
Nama
Nama internasional nama latin
indonesia
Blue swimming
Rajungan crab Portunus pelagicus 24 1320 25 985
Kepiting
Bakau Mud crab Scylla sp 17 2280 11 885
Kepiting
Batu Swimming crab Thalamita sp 45 1815 42 1940
Kepiting
Bolem Rock crab Leptodius sp 8 940 15 1600
Udang Peci Indian white prawn Pennaeus indicus 19 97 15 62
Blue-speckled Cryptocentrus
Ikan Beloso shrimp goby caeruleomaculatus 11 455 8 310
total 124 6907 116 5782

100
n=124

Gambar 36 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi


pemasangan umpan di atas

n=116

Gambar 37 Komposisi total jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi


pemasangan umpan di bawah.

101
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total hasil tangkapan bubu dengan
posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp.Sig.(2-tailed) sebesar 0.761
pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang nyata terhadap jumlah hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan
yang berbeda.
(2) Bobot hasil tangkapan
Ditinjau dari segi bobot total hasil tangkapan, bobot hasil tangkapan total
pada bubu dengan posisi umpan di atas sebesar 6.907 g atau setara dengan 54.43
% dari bobot total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap
oleh bubu dengan posisi umpan di atas adalah kepiting bakau (Scylla sp.) dengan
bobot sebesar 2.280 g atau setara dengan 17.97 % dari bobot hasil tangkapan
keseluruhan, diikuti oleh kepiting batu (Thalamita sp.) dengan bobot sebesar
1.815 g atau setara dengan 14.3 % dari total bobot hasil tangkapan, dan rajungan
(Portunus pelagicus) dengan bobot sebesar 1.320 g atau setara dengan 10.4 % dari
total bobot hasil tangkapan. Adapun total bobot hasil tangkapan pada bubu
dengan posisi umpan di bawah yaitu sebesar 5782 g atau setara dengan 45,57 %
dari bobot total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang tertangkap pada
bubu ini adalah kepiting batu (Thalamita sp.) dengan bobot sebesar 1940 g, setara
dengan 15.29 % dari total hasil tangkapan, diikuti oleh kepiting bolem (Leptodius
sp) dengan bobot sebesar 1.600 g atau setara dengan 12.6% dari bobot total hasil
tangkapan, dan rajungan (Portunus pelagicus) dengan bobot sebesar 985 g atau
setara dengan 7.76 % dari bobot total hasil tangkapan. Secara detail komposisi
bobot hasil tangkapan yang ditangkap pada bubu dengan posisi umpan berbeda
disajikan pada Gambar 38.

102
(a) (b)

Gambar 38 Komposisi total bobot hasil tangkapan pada bubu dengan


posisi pemasangan umpan di atas (a) dan di bawah (b)

Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total bobot hasil tangkapan bubu


dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp. Sig. (2-tailed) dengan
nilai probabilitas sebesar 0.450 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 6). Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap bobot total
hasil tangkapan bubu dengan posisi umpan yang berbeda.

5.1.3.2 Jumlah dan bobot keseluruhan hasil tangkapan pada tiap perlakuan
Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap bubu selama penelitian
berbeda-beda. Rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap jenis bubu
selama penelitian adalah 8 ekor. Total hasil tangkapan tertinggi diperoleh bubu
dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan 100 g yaitu sebanyak 54 ekor.
Total bobot yang deperoleh pada bubu jenis tersebut adalah sebesar 3084 g.
Adapun total hasil tangkapan terendah diperoleh pada bubu dengan posisi umpan
di atas dengan bobot umpan 50 g yaitu sebanyak 28 ekor. Total bobot yang
diperoleh pada bubu jenis tersebut adalah sebesar 2000 g. Secara lebih detail total
hasil tangkapan pada tiap bubu disajikan pada Gambar 39.

103
Gambar 39 Total hasil tangkapan pada tiap jenis bubu

Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di
atas dengan bobot umpan sebesar 50 g adalah kepiting batu (Thalamita sp) dengan
jumlah hasil tangkapan sebanyak 11 ekor, dengan total bobot sebesar 365 g.
Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara dengan
39 % dari total hasil tangkapan pada bubu jenis tersebut. Jumlah hasil tangkapan
terbanyak kedua adalah kepiting bakau (Scylla sp) sebanyak 7 ekor, dengan total
bobot sebesar 1040 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan kepiting bakau pada
bubu ini setara dengan 25 % dari total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi
umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g. Adapun hasil tangkapan
terendah ditempati oleh kepiting bolem (Leptodius sp) dengan jumlah hasil
tangkapan sebanyak 1 ekor, dengan bobot total sebesar 90 g. Persentasi hasil
tangkapan kepiting bolem setara dengan 4 % dari total hasil hasil tangkapan pada
bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g.
Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di
bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g adalah kepiting batu (Thalamita sp)
dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 15 ekor, dengan bobot total sebesar 615
g. Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara
dengan 50 % dari total hasil tangkapan pada bubu jenis tersebut. Jumlah hasil
tangkapan terbanyak kedua adalah rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 8
ekor, dengan bobot total sebesar 285 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini setara dengan 27% dari total hasil tangkapan pada
bubu jenis tersebut. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh udang peci

104
(Penaeus indicus) dan kepiting bakau (Scylla sp) dengan jumlah hasil tangkapan
masing-masing sebanyak 1, dengan bobot total sebesar 5 g untuk udang peci dan
50 g untuk kepiting bakau. Persentasi hasil tangkapan udang peci dan kepiting
bakau masing-masing setara dengan 3 % dari total hasil hasil tangkapan pada
bubu tersebut.
Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di
atas dengan bobot umpan sebesar 100 g adalah kepiting batu (Thalamita sp)
dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 25 ekor, dengan bobot total sebesar 615
g. Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara
dengan 47 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut. Jumlah hasil
tangkapan terbanyak kedua adalah rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 7
ekor, dengan bobot total sebesar 285 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini setara dengan 13 % dari total hasil tangkapan pada
bubu jenis tersebut. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh kepiting
bakau (Scylla sp), udang peci (Pennaeus indicus) dan ikan beloso (Cryptocentrus
caeruleomaculatus) dengan jumlah hasil tangkapan masing-masing sebanyak 555
g untuk kepiting bakau, 24 g untuk udang peci, serta 200 g untuk bobo ikan
beloso. Persentasi hasil tangkapan kepiting bakau, udang peci, dan ikan beloso
masing-masing setara dengan 9 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.
Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di
bawah dengan bobot umpan sebesar 100 g adalah kepiting batu (Thalamita sp)
dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 13 ekor, dengan bobot total sebesar 585
g. Persentase jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara
dengan 32 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut. Jumlah hasil
tangkapan terbanyak kedua adalah rajungan (Portunus pelagicus) dengan jumlah
sebanyak 12 ekor, dengan bobot sebesar 575 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini setara dengan 29 % dari total hasil tangkapan pada
bubu tersebut. Adapun hasil tangkapan terendah ditempati oleh udang peci
(Pennaeus indicus) dan kepiting bolem (Leptodius sp) dengan jumlah masing-
masing sebesar 3 ekor, dengan bobot sebesar 10 g untuk udang peci dan 330 g
untuk kepiting bolem. Persentasi hasil tangkapan udang peci dan kepiting bolem
masing-masing setara dengan 7 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut.

105
Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di
atas dengan bobot umpan sebesar 150 g adalah rajungan (Portunus pelagicus) dan
udang peci (Pennaeus indicus) dengan jumlah hasil tangkapan masing-masing
sebanyak 12 ekor, dengan bobot total sebesar 630g untuk rajungan dan 63 g untuk
udang peci. Persentasi jumlah hasil tangkapan rajungan dan udang peci pada
bubu jenis ini masing-masing setara dengan 29 % dari total hasil tangkapan pada
bubu tersebut. Hasil tangkapan terendah ditempati oleh ikan beloso
(Cryptocentrus caeruleomaculatus) dengan jumlah sebanyak 4 ekor, dengan
bobot total sebesar 150 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan ikan beloso setara
dengan 9 % dari total hasil tangkapan bubu jenis tersebut. Adapun jenis hasil
tangkapan kepiting bolem (Leptodius sp) tidak tertangkap pada bubu jenis ini.
Hasil tangkapan yang paling dominan pada bubu dengan posisi umpan di
bawah dan bobot umpan sebesar 150 g adalah kepiting batu (Thalamita sp)
dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 14 ekor, dengan bobot total sebesar 740
g. Persentasi jumlah hasil tangkapan kepiting batu pada bubu jenis ini setara
dengan 31 % dari total hasil tangkapan pada bubu tersebut. Jumlah hasil
tangkapan terbanyak kedua adalah udang peci (Pennaeus indicus) dengan jumlah
sebanyak 11 ekor, dengan bobot sebesar 47 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan
udang peci pada bubu jenis ini setara dengan 23 % dari total hasil tangkapan pada
bubu tersebut. Hasil tangkapan terendah ditempati oleh ikan beloso
(Cryptocentrus caeruleomaculatus) dengan jumlah sebanyak 1 ekor, dengan
bobot total sebesar 50 g. Persentasi jumlah hasil tangkapan ikan beloso pada bubu
jenis ini setara dengan 1 % dari total hasil tangkapan bubu jenis tersebut. Secara
detail jumlah dan bobot ikan yang tertangkap pada bubu dengan posisi dan bobot
umpan yang berbeda disajikan pada tabel 11. Diag komposisi hasil tangkapan
masing-masing bubu disajikan pada gambar 40.

106
Tabel 11 Jumlah dan bobot hasil tangkapan pada bubu dengan posisi dan bobot
umpan berbeda

Posisi dan bobot


Jenis hasil tangkapan Atas Bawah
Jumlah Bobot % Jumlah Bobot %
(ekor) (g) Jumlah (ekor) (g) Jumlah
Bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g
Nama Nama
Indonesia Internasional Nama Latin
Blue swimming Portunus
Rajungan crab pelagicus 5 390 17.85 8 285 26.67
Kepiting
Bakau Mud crab Scylla sp 7 1040 25 1 50 3.33
Kepiting Batu Swimming crab Thalamita sp 11 365 39.28 15 615 50
Kepiting
Bolem Rock crab Leptodius sp 1 90 3.57 2 200 6.67
Indian white
Udang Peci prawn Pennaeus indicus 2 10 7.14 1 5 3.33
Blue-speckled Cryptocentrus
Ikan Beloso shrimp goby caeruleomaculatus 2 105 7.14 3 130 10
Total 28 2000 100 30 1285 100
Bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g
Nama Nama
Indonesia Internasional Nama Latin
Blue swimming Portunus
Rajungan crab pelagicus 7 300 25 12 575 40
Kepiting
Bakau Mud crab Scylla sp 5 555 17.87 6 475 20
Kepiting Batu Swimming crab Thalamita sp 25 1155 89.28 13 585 43.33
Kepiting
Bolem Rock crab Leptodius sp 7 850 25 3 330 10
Indian white
Udang Peci prawn Pennaeus indicus 5 24 17.87 3 10 10
Blue-speckled Cryptocentrus
Ikan Beloso shrimp goby caeruleomaculatus 5 200 17.87 4 130 13.33
Total 54 3084 100 41 2105 100
Bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g
Nama Nama
Indonesia Internasional Nama Latin
Blue swimming Portunus
Rajungan crab pelagicus 12 630 42.85 5 125 16.67
Kepiting
Bakau Mud crab Scylla sp 5 685 17.85 4 360 13.33
Kepiting Batu Swimming crab Thalamita sp 9 295 32.14 14 740 46.67
Kepiting
Bolem Rock crab Leptodius sp 0 0 0 10 1070 33.33
Indian white
Udang Peci prawn Pennaeus indicus 12 63 42.85 11 47 36.67
Blue-speckled Cryptocentrus
Ikan Beloso shrimp goby caeruleomaculatus 4 150 14.28 1 50 3.33
Total 42 1823 100 45 2392 100

107
Atas Bawah

n=28 n=30
Bobot 50 g Bobot 50 g

n=54 n=41
Bobot 100 g Bobot 100 g

n=42 n=45
Bobot 150 g Bobot 150 g

Gambar 40 Komposisi total hasil tangkapan bubu dengan posisi dan bobot umpan
berbeda

108
Berdasarkan uji Friedman terhadap total hasil tangkapan bubu dengan posisi
dan bobot umpan yang berbeda, diperoleh nilai Chi-Square 4.043 dengan nilai
probabilitas sebesar 0,543 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 9). Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah total
hasil tangkapan bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda.

5.1.4 Keragaman spesies hasil tangkapan


Hasil tangkapan bubu selama penelitian secara keseluruhan yaitu sebanyak 6
(enam) spesies. Hampir semua jenis bubu yang dioperasikan selama penelitian
berlangsung menangkap sebanyak 6 species. Adapun spesies hasil tangkapan
terendah ditempati oleh bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan
sebesar 150 g yaitu sebanyak 5 spesies. Keragaman spesies yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan Index Shannon Wiener untuk melihat variasi
spesies yang tertangkap. Bubu dengan nilai Index Shannon Wiener lebih kecil
merupakan bubu yang menangkap ikan dengan keberagaman lebih sedikit atau
memiliki variasi hasil tangkapan yang lebih sedikit dibandingkan dengan bubu
lainnya.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada bubu dengan posisi dan
bobot umpan berbeda, diperoleh nilai Index Shannon Wiener yang menunjukkan
keragaman spesies yang tertangkap pada bubu. Nilai Index Shannon Wiener
terbesar ditempati oleh bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan
100 g yakni sebesar 1.6147, diikuti oleh bubu dengan posisi umpan di bawah
dengan bobot umpan 150 g dengan nilai sebesar 1,5857. Nilai Index Shannon
Wiener terkecil ditempati oleh bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot
umpan 50 g yakni sebesar 1,3581 (Lampiran 15). Nilai Index Shannon Wiener
tersebut menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di bawah dengan bobot
umpan 50 g memiliki keragaman spesies terkecil. Hal ini berarti bahwa variasi
spesies yang tertangkap pada bubu jenis ini tidak sebesar bubu lainnya.

109
5.1.5 Total jumlah dan bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus
pelagicus)
5.1.5.1 Total jumlah hasil tangkapan rajungan
a. Pada bubu dengan posisi umpan berbeda
Total hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang diperoleh selama
penelitian adalah 49 ekor. Total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan
menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di atas yaitu sebanyak 24 ekor
atau setara dengan 48,97 % dari total hasil tangkapan rajungan. Adapun total hasil
tangkapan rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang di
bawah yaitu sebanyak 25 ekor atau setara dengan 51,03 % dari total hasil
tangkapan rajungan. Secara detail hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada
bubu dengan posisi peletakan umpan di atas dan bubu dengan posisi peletakan
umpan di bawah disajikan pada Gambar 41.

Gambar 41 Jumlah hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan di
atas dan di bawah

Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total hasil tangkapan rajungan pada


bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-Sig. (2-tailed)

110
dengan nilai probabilitas sebesar 1.000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 7). Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap total hasil
tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda.

b. Pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda


Rajungan yang tertangkap selama penelitian diperoleh pada semua stasiun
yang dijadikan daerah penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah hasil tangkapan rajungan terbanyak diperoleh pada dua jenis bubu dengan
bobot umpan sebesar 150 g yang diletakan pada posisi umpan di atas dan bubu
dengan bobot umpan sebesar 100 g yang diletakan dengan posisi umpan di bawah.
Hasil tangkapan bubu tersebut masing-masing sebanyak 12 ekor atau dengan
proporsi sebesar 24.49 % dari total hasil tangkapan rajungan. Jumlah hasil
tangkapan rajungan terendah diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar
50 g yang diletakkan pada posisi umpan di atas dan bubu dengan bobot umpan
sebesar 150 g yang diletakkan pada posisi umpan di bawah. Adapun hasil
tangkapan rajungan pada bubu tersebut masing- masing adalah sebanyak 5 ekor
atau dengan proporsi sebesar 10.20 % dari total hasil tangkapan rajungan. Jumlah
hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu secara keseluruhan dapat dilihat
secara lebih rinci pada Gambar 42.

Gambar 42 Jumlah hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu

Berdasarkan uji Friedman terhadap total hasil tangkapan rajungan pada bubu
dengan bobot dan posisi umpan berbeda, diperoleh nilai Chi-Square 8.105 dengan

111
nilai probabilitas sebesar 0,151 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 10). Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
terhadap total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap pada bubu dengan bobot
umpan yang berbeda.

5.1.5.2 Total bobot hasil tangkapan rajungan


a. Pada bubu dengan posisi umpan berbeda
Total bobot hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang diperoleh
selama penelitian adalah 2305 g. Total bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu
dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan posisi di atas yaitu sebesar
1320 g atau setara dengan 57,27 % dari total bobot hasil tangkapan rajungan.
Adapun total bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan menggunakan
umpan yang dipasang di bawah yaitu sebesar 985 g atau setara dengan 42,73 %
dari total bobot hasil tangkapan rajungan. Secara detail bobot hasil tangkapan
rajungan yang diperoleh pada bubu dengan posisi peletakan umpan di atas dan
bubu dengan posisi peletakan umpan di bawah disajikan pada Gambar 43.

Gambar 43 Bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan
di atas dan di bawah

112
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap bobot total hasil tangkapan
rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-
Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.307 pada taraf nyata 0,05
(Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata
terhadap bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan
yang berbeda.

b. Pada bubu dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda


Berdasarkan data bobot total rajungan dari tiap jenis bubu yang diperoleh
selama penelitian, maka dapat dilakukan uji friedmann untuk melihat adanya
perbedaan pada tiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot hasil
tangkapan rajungan terbanyak diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar
150 g yang diletakan pada posisi umpan di atas. Total bobot hasil tangkapan
rajungan pada bubu tersebut adalah sebesar 630 g atau dengan proporsi sebesar
27.33 % dari bobot total hasil tangkapan rajungan selama penelitian. Hasil
tangkapan terbesar berikutnya diperoleh bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g
yang diletakan pada posisi umpan di bawah. Aapun total bobot hasil tangkapan
yang diperoleh pada bubu tersebut adalah sebesar 575 g dengan proporsi 24.95 %
dari bobot total hasil tangkapan rajungan. Jumlah hasil tangkapan rajungan
terendah diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g yang diletakkan
pada posisi umpan di bawah. Adapun bobot total hasil tangkapan rajungan pada
bubu tersebut adalah sebesar 125 g atau dengan proporsi sebesar 5.42 % dari
bobot total hasil tangkapan rajungan. Bobot total hasil tangkapan rajungan untuk
tiap jenis bubu secara keseluruhan dapat dilihat secara lebih rinci pada Gambar
44.

113
Gambar 44 Bobot total hasil tangkapan rajungan untuk tiap jenis bubu

Berdasarkan uji Friedman terhadap bobot total hasil tangkapan rajungan


pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda, diperoleh nilai Chi-Square
7.800 dengan nilai probabilitas sebesar 0,168 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 10).
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda
nyata terhadap bobot total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap pada bubu
dengan bobot dan posisi umpan yang berbeda.

5.1.6 Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)

5.1.6.1 Sebaran berat


Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada penelitian ini
berada pada kisaran 5 – 160 g. Ukuran berat rajungan yang dominan tertangkap
berada pada selang 20 – 60 g dengan jumlah 30 ekor, sedangkan ukuran yang
paling sedikit tertangkap berkisar antara 5 – 10 g, 90 – 100 g, dan 150 – 160 g
dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor. Secara lebih detail distribusi
bobot rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap selama penelitian disajikan
pada Gambar 45.

114
Gambar 45 Sebaran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap
selama penelitian

a) Sebaran berat rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi umpan


Berat rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang
dengan posisi di atas sangat bervariasi yaitu berkisar antara 5 - 160 g. Adapun
berat rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang dipasang dengan
posisi di bawah hanya berkisar antara 0-90 g. Bobot rajungan yang banyak
tertangkap pada bubu dengan posisi di atas berada pada kisaran 30.1-50 g yaitu
sebanyak 7 ekor. Adapun bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan
posisi umpan di atas paling sedikit berada pada kisaran 130.1-150 dan 150.1-170
dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor. Bobot rajungan paling banyak
tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di bawah berada pada kisaran 30.1-50
g yaitu sebanya 8 ekor. Adapun bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu
dengan posisi umpan di bawah paling sedikit berada pada kisaran 70.1-90 g yaitu
sebanyak 3 ekor. Secara detail bobot hasil tangkapan rajungan yang diperoleh
pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bubu dengan posisi umpan di bawah
disajikan pada Gambar 46.

115
Gambar 46 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap
pada bubu dengan posisi umpan di atas dan di bawah

Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap bobot rata-rata hasil tangkapan


rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-
Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.130 pada taraf nyata 0,05
(Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat rata-rata rajungan yang
tertangkap.

b) Sebaran berat rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi dan bobot umpan
Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan
posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 0 –
150 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 90 – 110 g yakni
sebanyak 2 ekor atau 40 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara
0 – 30 g, 50 – 70 g, dan 130 – 150 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 1

116
ekor dengan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini.
Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan
posisi umpan di bawah dan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara
0 – 70 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g dan 50 – 70 g
dengan jumlah masing-masing sebanyak 3 ekor atau 37.5 % dari total hasil
tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran berat rajungan yang paling
sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 0 – 30 g yakni sebanyak 2 ekor
dengan persentase sebesar 25 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu
jenis ini.
Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan
posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 0
– 110 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g yakni sebanyak
3 ekor atau 42.85 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara
70 – 90 g, dan 90 – 110 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan
persentase masing-masing sebesar 14.28 % dari total hasil tangkapan rajungan
pada bubu jenis ini.
Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan
posisi umpan di bawah dan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara
0 – 90 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g yakni sebanyak
4 ekor atau 33.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 0
– 30 g yakni sebanyak 2 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 16.67 %
dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan
posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 0
– 170 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 30 – 50 g yakni sebanyak

117
4 ekor atau 33.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Ukuran berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara
50 – 70 g, dan 150 – 170 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor
dengan persentase masing-masing sebesar 8.33 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini.
Berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan
posisi umpan di bawah dan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara
0 – 70 g. Ukuran berat rajungan (Portunus pelagicus) yang paling dominan
tertangkap pada bubu jenis ini berada pada pada kisaran 0 – 30 g yakni sebanyak 3
ekor atau 60 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran
berat rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 30 – 50
g, dan 50 – 70 g dengan jumlah masing-masing sebanyalyakni sebanyak 1 ekor
dengan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini. Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang
tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda disajikan secara
lebih detail pada gambar 47.
Rata-rata ukuran berat rajungan terbesar yang tertangkap pada penelitian ini
diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g dan posisi umpan di atas.
Rata-rata bobot rajungan pada jenis bubu tersebut yakni sebesar 78 g dan standar
deviasi sebesar 45.49. Rata-rata ukuran berat rajungan terkecil yang tertangkap
pada penelitian ini diperoleh pada bubu dengan bobot umpan sebesar 150 g dan
posisi umpan di bawah. Rata-rata bobot rajungan pada jenis bubu tersebut yakni
sebesar 25 g dan standar deviasi sebesar 15.81. Secara lebih detail rata-rata bobot
rajungan yang tertangkap dengan menggunakan bubu dengan posisi dan bobot
umpan berbeda disajikan pada Gambar 48.

118
Gambar 47 Distribusi berat rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap
pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda

Gambar 48 Rata-rata berat rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu dengan


posisi dan bobot umpan yang berbeda

119
Berdasarkan uji Friedman terhadap berat rajungan dengan menggunakan
bobot umpan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square 32.687 dengan nilai
probabilitas 0.000 pada taraf nyata 0.05 (Lampiran 11). Hal ini berarti terdapat
perbedaan yang nyata pada berat rajungan yang menggunakan posisi dan bobot
umpan yang berbeda. Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang
memberikan perbedaan nyata terhadap bobot hasil tangkapan rajungan maka
dilakukan uji lanjut perbandingan berganda (Multiple comparison). Hasil uji
perbandingan berganda menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di atas
dengan bobot umpan sebesar 50 g memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap
bobot hasil tangkapan rajungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan bubu
jenis lainnya. Secara lebih detail, hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap
tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. Adapun perhitungan uji lanjut
perbandingan berganda untuk sebaran bobot hasil tangkapan rajungan dapat
dilihat pada Lampiran 12.

Tabel 12 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap berat hasil tangkapan
rajungan pada tiap perlakuan
A50 A100 A150 B50 B100 B150
A50 Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata
tidak berbeda tidak berbeda tidak berbeda
A100 Beda nyata
nyata nyata nyata
tidak berbeda
A150 Beda nyata Beda nyata
nyata
tidak berbeda
B50 Beda nyata
nyata
B100 Beda nyata
B150

5.1.6.2 Sebaran panjang karapas (carapace length / CL)


Panjang karapas rajungan yang tertangkap selama penelitian berkisar antara
15 – 70 mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang dominan tertangkap berada
pada selang 30 – 50 mm dengan jumlah 39 ekor. Ukuran panjang karapas yang
paling sedikit tertangkap berkisar antara 15 – 20 mm, 55 – 60 mm, 65 – 70 mm
dengan jumlah masing - masing 1 ekor. Secara lebih detail distribusi panjang
karapas rajungan (Portunus pelagicus.) yang tertangkap selama penelitian
disajikan pada Gambar 49.

120
Gambar 49 Sebaran panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus)

a) Sebaran panjang karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi umpan


Panjang karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang
dipasang dengan posisi di atas sangat bervariasi yaitu berkisar antara 20-70 mm.
Adapun panjang karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang
dipasang dengan posisi di bawah hanya berkisar antara 0-60 g. Panjang karapas
rajungan yang banyak tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas berada
pada kisaran 30 – 50 mm yaitu sebanyak 16 ekor. Adapun panjang karapas hasil
tangkapan rajungan yang paling sedikit berada pada selang 60 - 70 mm yaitu
sebanyak 1 ekor. Panjang karapas rajungan yang paling banyak tertangkap pada
bubu dengan posisi umpan di bawah berada pada kisaran 30 - 50 mm yaitu
sebanyak 23 ekor. Adapun panjang karapas hasil tangkapan rajungan yang paling
sedikit berada pada selang 0 - 20 dan 50 – 60 dengan jumlah masing-masing
sebanyak 1 ekor. Secara detail sebaran panjang karapas hasil tangkapan rajungan
yang diperoleh pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bubu dengan posisi
umpan di bawah disajikan pada Gambar 50.

121
Gambar 50 Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus)
yang tertangkap pada bubu dengan bobot umpan di atas dan di
bawah

Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap CL rata-rata hasil tangkapan


rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-
Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.406 pada taraf nyata 0,05
(Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap CL rata-rata rajungan yang
tertangkap.

b) Sebaran panjang karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi dan


bobot umpan
Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan
di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 20 – 70 mm.
Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap pada bubu
jenis ini berada pada kisaran 50 – 60 mm yakni sebanyak 2 ekor atau 40 % dari
total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas
rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 20 – 30 mm,

122
40 – 50 mm, dan 60 – 70 mm dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor
dengan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini.
Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan
di bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 0 – 50
mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu
pada kisaran 40 – 50 mm yakni sebanyak 5 ekor atau 62.5 % dari total hasil
tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas rajungan yang
paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 0 – 20 mm yakni sebanyak 1
ekor dengan persentase sebesar 12.5 % dari total hasil tangkapan rajungan pada
bubu jenis ini.
Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan
di atas dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 20 – 60
mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu
pada kisaran 20 – 30 mm, 30 – 40 mm, dan 40 – 50 mm dengan jumlah masing-
masing sebanyak 2 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 28.57 % dari
total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas
rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 60 mm
sebanyak 1 ekor dengan persentase sebesar 14.29 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini.
Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan
di bawah dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 30 – 60
mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu
pada kisaran 30 – 40 mm dengan jumlah sebanyak 6 ekor dengan persentase
masing-masing sebesar 50 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis
ini. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling sedikit tertangkap berada pada
kisaran antara 50 – 60 mm yakni sebanyak 1 ekor dengan persentase sebesar 8.33
% dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis tersebut.
Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan
di atas dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 30 – 60
mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu
pada kisaran 30 – 40 mm yakni sebanyak 6 ekor atau sebesar 50 % dari total hasil

123
tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas yang paling
sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 60 mm yakni sebanyak 1 ekor
atau sebesar 8.33 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan
di bawah dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 30 – 50
mm. Ukuran panjang karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu
pada kisaran 30 – 40 mm yakni sebanyak 4 ekor atau sebesar 80 % dari total hasil
tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran panjang karapas yang paling
sedikit tertangkap berada pada kisaran antara 40 – 50 mm yakni sebanyak 1 ekor
atau sebesar 10 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Ukuran rajungan yang layak tangkap, paling banyak tertangkap pada bubu
dengan umpan berbobot 50 g dengan posisi umpan di atas dengan persentase 80%
dari total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap pada bubu tersebut. Yang
dimaksud rajungan yang berukuran layak tangkap adalah rajungan yang memiliki
ukuran panjang karapas sekitar 37 mm ke atas. Adapun rajungan yang layak
tangkap paling sedikit tertangkap pada bubu dengan umpan berbobot 150 g
dengan posisi umpan di bawah yakni sebanyak 40% dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu dengan perlakuan tersebut. Distribusi panjang karapas
rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan
posisi umpan berbeda disajikan secara lebih detail pada Gambar 51.

124
Gambar 51 Distribusi panjang karapas (CL) rajungan (Portunus pelagicus) yang
tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda

Rata-rata ukuran panjang karapas rajungan yang tertinggi yang tertangkap


pada penelitian ini diperoleh bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan
sebesar 50 g. Rata-rata panjang karapas rajungan pada jenis bubu tersebut yakni
sebesar 47.72 mm dan standar deviasi sebesar 15.55. Rata-rata ukuran panjang
karapas terkecil yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh pada bubu dengan
bobot umpan sebesar 150 g dan posisi umpan di bawah. Rata-rata panjang karapas
rajungan pada jenis bubu tersebut yakni 37.55 mm dengan standar deviasi sebesar
3.95. Secara lebih detail rata-rata ukuran panjang karapas rajungan yang
tertangkap dengan menggunakan bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda
disajikan pada Gambar 52.

125
Gambar 52 Rata-rata panjang karapas rajungan (Portunus pelagicus.) pada bubu
dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda

Berdasarkan uji Friedman terhadap panjang karapas rajungan dengan


menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda diperoleh nilai Chi-square
29.814 dengan nilai probabilitas 0,000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 11). Hal
ini berarti terdapat perbedaan yang nyata terhadap panjang karapas rajungan pada
bubu dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda. Selanjutnya
untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan perbedaan nyata terhadap
panjang karapas hasil tangkapan rajungan maka dilakukan uji lanjut perbandingan
berganda (Multiple comparison). Hasil uji perbandingan berganda menunjukkan
bahwa bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 50 g
memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap panjang karapas hasil tangkapan
rajungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan bubu jenis lainnya. Secara
lebih detail, hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap tiap perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 13. Adapun perhitungan uji lanjut perbandingan berganda
untuk sebaran panjang karapas (CL) hasil tangkapan rajungan dapat dilihat pada
Lampiran 13.

126
Tabel 13 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap panjang karapas hasil
tangkapan rajungan pada tiap perlakuan
A50 A100 A150 B50 B100 B150
Beda
A50 Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata
nyata
tidak berbeda tidak berbeda tidak berbeda
A100 Beda nyata
nyata nyata nyata
tidak berbeda
A150 Beda nyata Beda nyata
nyata
tidak berbeda tidak berbeda
B50
nyata nyata
B100 Beda nyata
B150

5.1.6.3 Sebaran lebar karapas (carapace witdh / CW)


Lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap pada
penelitian ini berada pada kisaran 30 – 130 mm. Ukuran lebar karapas rajungan
yang dominan tertangkap berada pada selang 70 – 100 mm dengan jumlah 32
ekor. Adapun ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berkisar antara
30 – 40 mm, 110 – 120 mm, dan 120 – 130 mm dengan jumlah masing-masing
sebanyak 1. Secara lebih detail distribusi lebar karapas rajungan (Portunus
pelagicus) yang tertangkap selama penelitian disajikan pada Gambar 53.

Gambar 53 Sebaran lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus)

127
a) Sebaran lebar karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi umpan
Lebar karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang
dipasang dengan posisi di atas sangat bervariasi yaitu berkisar antara 50-130 mm.
Adapun lebar karapas rajungan pada bubu dengan menggunakan umpan yang
dipasang dengan posisi di bawah hanya berkisar antara 30-110 g. Lebar karapas
rajungan yang banyak tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas berada
pada kisaran 70.1 – 90 mm yaitu sebanyak 10 ekor. Adapun lebar karapas hasil
tangkapan rajungan yang paling sedikit berada pada selang 110.1 - 130 mm yaitu
sebanyak 2 ekor. Lebar rajungan yang paling banyak tertangkap pada bubu
dengan posisi umpan di bawah berada pada kisaran 70.1 - 90 mm yaitu sebanyak
12 ekor. Adapun lebar karapas hasil tangkapan rajungan yang paling sedikit
berada pada selang 30 – 50 mm yaitu sebanyak 1 ekor. Secara detail sebaran lebar
karapas hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada bubu dengan posisi umpan
di atas dan bubu dengan posisi umpan di bawah disajikan pada Gambar 54.

Gambar 54 Distribusi CW rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu dengan


posisi umpan di atas dan di bawah

128
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap CW rata-rata hasil tangkapan
rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-
Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.364 pada taraf nyata 0,05
(Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap CW rata-rata rajungan yang
tertangkap.

b) Sebaran lebar karapas rajungan yang tertangkap berdasarkan posisi dan bobot
umpan
Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di
atas dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 50 – 130 mm.
Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran
90 –110 mm yakni sebanyak 2 ekor atau 40 % dari total hasil tangkapan rajungan
pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada
pada kisaran antara 50 – 70 mm, 70.1 – 90 mm, dan 110 – 130 mm dengan jumlah
masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 20 %
dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini
Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di
bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g berada pada kisaran antara 30 – 110
mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada
kisaran 70 – 90 mm yakni sebanyak 5 ekor atau 62.5 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap
berada pada kisaran antara 30 – 50 mm, 50 – 70 mm, dan 90 – 110 mm dengan
jumlah masing-masing sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar
12.5 % dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di
atas dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 50 – 110 mm.
Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran
70 – 90 mm yakni sebanyak 3 ekor atau 42.85 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap
berada pada kisaran antara 50 – 70 mm dan 90 – 110 mm dengan jumlah masing-
masing sebanyak 2 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 28.57 % dari
total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis.ini

129
Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di
bawah dengan bobot umpan sebesar 100 g berada pada kisaran antara 50 – 110
mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada
kisaran 90 – 110 mm yakni sebanyak 5 ekor atau 41.67 % dari total hasil
tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit
tertangkap berada pada kisaran antara 50 – 70 mm yakni sebanyak 3 ekor atau 25
% dari total hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di
atas dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 50 – 130 mm.
Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada kisaran
70 – 90 mm yakni sebanyak 6 ekor atau 50 % dari total hasil tangkapan rajungan
pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap berada
pada kisaran antara 50 – 70 mm dan 110 – 130 mm dengan jumlah masing-masing
sebanyak 1 ekor dengan persentase masing-masing sebesar 8.33 % dari total hasil
tangkapan rajungan pada bubu jenis ini.
Lebar karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di
bawah dengan bobot umpan sebesar 150 g berada pada kisaran antara 50 – 110
mm. Ukuran lebar karapas rajungan yang paling dominan tertangkap yaitu pada
kisaran 70 – 90 mm yakni sebanyak 3 ekor atau 60 % dari total hasil tangkapan
rajungan pada bubu jenis ini. Ukuran lebar karapas yang paling sedikit tertangkap
berada pada kisaran antara 50 – 70 mm dan 90 – 110 mm dengan jumlah masing-
masing sebanyak 1 ekor dergan persentase masing-masing sebesar 20 % dari total
hasil tangkapan rajungan pada bubu jenis ini. Distribusi lebar karapas rajungan
(Portunus pelagicus) yang tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan
berbeda disajikan secara lebih detail pada Gambar 55.

130
Gambar 55 Distribusi lebar karapas (CW) rajungan (Portunus pelagicus) yang
tertangkap pada bubu dengan bobot dan posisi umpan berbeda

Rata-rata ukuran lebar karapas rajungan yang tertinggi yang tertangkap pada
penelitian ini diperoleh bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan
sebesar 50 g. Rata-rata lebar karapas rajungan pada jenis bubu tersebut yakni
sebesar 93.88 mm dan standar deviasi sebesar 25.86. Rata-rata ukuran lebar
karapas terkecil yang tertangkap pada penelitian ini diperoleh pada bubu dengan
bobot umpan sebesar 50 g dan posisi umpan di bawah. Rata-rata lebar karapas
rajungan pada jenis bubu tersebut yakni 75.02 mm dengan standar deviasi sebesar
17.66. Secara lebih detail rata-rata ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap

131
dengan menggunakan bubu dengan posisi dan bobot umpan berbeda disajikan
pada Gambar 56.

Gambar 56 Rata-rata lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) pada bubu


dengan posisi dan bobot umpan yang berbeda

Berdasarkan uji Friedman terhadap lebar karapas rajungan dengan


menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda, diperoleh nilai Chi-square
28.381 dengan nilai probabilitas 0.000 pada taraf nyata 0,05 (Lampiran 11). Hal
ini berarti terdapat perbedaan yang nyata pada lebar karapas hasil tangkapan
rajungan dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang berbeda.
Selanjutnya untuk mengetahui jenis perlakuan yang memberikan perbedaan nyata
terhadap lebar karapas hasil tangkapan rajungan maka dilakukan uji lanjut
perbandingan berganda (Multiple comparison). Hasil uji perbandingan berganda
menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan
sebesar 50 g memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap lebar karapas hasil
tangkapan rajungan yang diperoleh jika dibandingkan dengan bubu jenis lainnya.
Secara lebih detail, hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap tiap perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 14. Adapun perhitungan uji lanjut perbandingan
berganda untuk sebaran lebar karapas (CW) hasil tangkapan rajungan dapat
dilihat pada Lampiran 14.

132
Tabel 14 Hasil uji lanjut perbandingan berganda terhadap lebar karapas hasil
tangkapan rajungan pada tiap perlakuan
A50 A100 A150 B50 B100 B150
A50 Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata Beda nyata
tidak berbeda tidak berbeda tidak berbeda
A100 Beda nyata
nyata nyata nyata
tidak berbeda tidak berbeda
A150 Beda nyata
nyata nyata
tidak berbeda tidak berbeda
B50
nyata nyata
B100 Beda nyata
B150

5.1.7 Hubungan antara panjang karapas dan lebar karapas rajungan


(Portunus pelagicus)

Berdasarkan analisis regresi linier terhadap panjang karapas dengan lebar


karapas rajungan (Portunus pelagicus) diperoleh persamaan sebagai berikut:

y = 6,89 + 1,88 x
R2= 92,3%
r=0.96
dimana y adalah lebar karapas dan x adalah panjang karapas

Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan


panjang karapas sebesar satu satuan akan meningkatkan lebar karapas sebesar
1,88 satuan (mm). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar
0,923 atau sebesar 92,3 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat
menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 92,3 %. Nilai koefisien
korelasi (r) pada persamaan ini sebesar 0,96. Nilai ini menunjukkan bahwa
hubungan panjang karapas dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus)
sangat kuat. Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara panjang karapas
dengan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) disajikan pada Gambar 57.

133
y = 6,89 + 1,88 x
R2= 92,3%
r=0.96

Gambar 57 Hubungan antara panjang karapas dengan lebar karapas seluruh hasil
tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)

5.1.8 Hubungan antara berat dan panjang karapas rajungan (Portunus


pelagicus)

Berdasarkan analisis regresi linier terhadap berat dengan panjang karapas


rajungan (Portunus pelagicus) diperoleh persamaan sebagai berikut:
y = - 6,12 + 2,64 ln x
R2= 76,6%
r=0.87
dimana y adalah berat karapas dan x adalah panjang karapas

Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan


ln panjang karapas sebesar satu satuan (mm) akan meningkatkan ln berat sebesar
2,64 satuan (g). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar
0,766 atau sebesar 76.6 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat
menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 76.6 %. Koefisien korelasi
(r) pada persamaan ini sebesar 0,87. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan
panjang karapas dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) sangat kuat.
Sebaran data yang menunjukkan hubungan antara berat dengan panjang karapas
kepiting bakau (Scylla sp.) disajikan pada Gambar 58.

134
y = - 6,12 + 2,64 ln x
R2= 76,6%
r=0,87

Gambar 58 Hubungan antara berat dengan panjang karapas seluruh hasil


tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)

5.1.9 Hubungan antara berat dan lebar karapas rajungan (Portunus


pelagicus)

Berdasarkan analisis regresi linier terhadap berat dengan lebar karapas


rajungan (Portunus pelagicus) diperoleh persamaan sebagai berikut:
y = - 8,42 + 2,73 ln x
R2 = 82%
r=0,90

dimana y adalah berat dan x adalah lebar karapas

Persamaan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa setiap penambahan


ln lebar sebesar satu satuan (mm) akan meningkatkan ln berat sebesar 2.73 satuan
(g). Nilai koefisien determinasi (R2) pada persamaan ini sebesar 0,82 atau sebesar
82 %. Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan dapat menjelaskan model
yang sebenarnya di alam sebesar 82 %. Nilai koefisien korelasi (r) pada
persamaan ini sebesar 0,96. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan panjang
karapas dan lebar karapas rajungan (Portunus pelagicus) sangat kuat. Sebaran
data yang menunjukkan hubungan antara berat dengan lebar karapas kepiting
bakau (Scylla sp.) disajikan pada Gambar 59.

135
y = - 8,42 + 2,73 ln x
R2 = 82%
r=0,90

Gambar 59 Hubungan antara berat dengan lebar karapas seluruh hasil


tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)

5.1.10 Rasio jenis kelamin


Jumlah rajungan (Portunus pelagicus) yang tertangkap selama penelitian
adalah sebanyak 49 ekor dengan komposisi rajungan jantan sebanyak 33 ekor dan
rajungan betina sebanyak 16 ekor. Jumlah rajungan jantan paling banyak
tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g yakni sebanyak 15 ekor.
Adapun rajungan jantan lebih banyak tertangkap pada bubu dengan bobot umpan
sebesar 100 g dengan posisi umpan di bawah. Rajungan jantan paling sedikit
tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar 50 g yakni sebanyak 7 ekor.
Adapun rajungan jantan lebih sedikit tertangkap pada bubu dengan bobot umpan
sebesar 50 g dan 150 g dengan jumlah tangkapan masing-masing sebanyak 3 ekor.
Rajungan betina paling banyak tertangkap pada bubu dengan bobot umpan
sebesar 50 g dan 150 g dengan jumlah masing-masing sebanyak 6 ekor. Adapun
rajungan betina paling banyak tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar
50 g dengan posisi umpan di bawah. Rajungan betina paling sedikit tertangkap
pada bubu dengan bobot umpan sebesar 100 g yakni sebanyak 4 ekor. Adapun
rajungan betina lebih sedikit tertangkap pada bubu dengan bobot umpan sebesar
50 g dan 100 g dengan jumlah tangkapan masing masing sebanyak 1 ekor. Secara
lebih detail, jumlah rajungan jantan dan rajungan betina yang tertangkap pada tiap
bubu disajikan pada Gambar 60.

136
Gambar 60 Jumlah rajungan jantan dan rajungan betina yang tertangkap pada
tiap jenis perlakuan

Berdasarkan uji Chi-square terhadap rasio jenis kelamin rajungan yang


tertangkap pada bubu dengan menggunakan posisi dan bobot umpan yang
berbeda, diperoleh nilai Chi-square 5,898 dengan nilai probabilitas 0,015. Hal ini
menandakan bahwa populasi rajungan jantan dan betina tidak homogen. Adapun
hasil uji chi – square terhadap rasio jenis kelamin rajungan yang tertangkap
selama penelitian berlangsung secara detail dapat dilihat pada Lampiran 16.

137
5.2 Pembahasan
5.2.1 Komposisi total hasil tangkapan
Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian berlangsung adalah
sebanyak 240 ekor yang terdiri dari enam spesies. Adapun keenam spesies
tersebut adalah rajungan (Portunus pelagicus), kepiting bakau (Scylla sp), udang
peci (Penaeus indicus), kepiting batu (Thalamita sp), kepiting bolem (Leptodius
sp), dan beloso (Cryptocentrus caeruleomaculatus). Jumlah spesies yang
tertangkap pada lokasi penelitian tidak sebanyak pada penelitian yang dilakukan
di lokasi lainnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Iskandar dan Lastari
(2008) yang memperoleh hasil tangkapan sebanyak 15 spesies dengan
menggunakan bubu lipat dengan target tangkapan rajungan di Perairan Kronjo,
serta Iskandar dan Ramdani (2009) yang juga melakukan penelitian terkait jenis
umpan di Perairan Kronjo dan menangkap hasil tangkapan sebanyak 12 spesies.
Hasil penelitian yang dilakukan di perairan Desa Mayangan menunjukkan bahwa
keragaman spesies yang tertangkap relatif lebih sedikit. Hal ini diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan Rusdi (2010) di lokasi yang sama yaitu Mayangan yang
juga menagkap jenis hasil tangkapan sebanyak 6 spesies. Hal ini karena operasi
penangkapan dilakukan di perairan sekitar hutan bakau sehingga diduga berakibat
pada jumlah keragaman spesies yang diperoleh. Perbedaan keragaman jenis
spesies ini diduga terjadi karena adanya perbedaan lokasi penangkapan. Iskandar
dan Lastari (2008) melakukan pengangkapan rajungan dengan bubu di wilayah
laut terbuka sehingga variasi jumlah spesies lebih banyak. Adapun penelitian ini
dilakukan di perairan mangrove dengan hutan bakau yang merupakan habitat yang
spesifik. Hutan bakau merupakan komunitas laut dangkal yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon atau semak-semak yang mempunya kemampuan untuk
tumbuh di air asin. Kondisi fisik lingkungan mangrove adalah memiliki arus yang
kecil sehingga endapan partikel cenderung mengendap di dasar, kadar oksigen di
perairan mangrove relatif rendah serta memiliki kadar garam yang tinggi. Oleh
karenanya hanya beberapa biota laut yang bisa hidup di perairan mangrove
(Nyabakken, 1993). Hutan mangrove memiliki fungsi biologis sebagai tempat
pembesaran benih bagi spesies ikan, udang dan rajungan dari lepas pantai, tempat
bersarang burung-burung besar dan habitat alami berbagai jenis biota. Kelompok

138
hewan laut dominan yang hidup di hutan bakau adalah jenis moluska, beberapa
krustasea dan jenis ikan-ikan tertentu.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bubu lipat berdimensi
p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Ukuran bubu lipat ini lebih kecil dibandingkan
dengan bubu lipat yang dioperasikan di beberapa daerah. Sebagai contoh bubu
lipat yang dioperasikan di Perairan Kronjo dengan target tangkapan rajungan
memiliki dimensi p x l x t = 50.5 x 34.5 x 19 cm (Iskandar dan Lastari 2007).
Perbedaan ukuran bubu yang dioperasikan pada berbagai daerah disesuaikan
dengan daerah pengoperasian bubu serta target spesies yang ingin ditangkap.
Operasi penangkapan pada penelitian ini dilakukan pada lima stasiun yang
berbeda. Dari kelima stasiun tersebut, stasiun kelima merupakan daerah
penangkapan rajungan yang paling baik dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Hal ini disebabkan karena lokasinya yang lebih mendekati ke arah laut
dibandingkan stasiun lainnya. Selain itu jumlah pohon bakau yang ada di stasiun
lima lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya, sehingga perairan di
stasiun lima menjadi lebih banyak mengandung makanan bagi rajungan yang ada
disekitar perairan tersebut.
Ditinjau dari posisi dan bobot umpan yang digunakan maka bubu dengan
posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 50 g memiliki nilai Index Shannon
Wiener yang paling kecil yakni sebesar 1,3581. Hal ini berarti bahwa bubu
dengan posisi umpan di bawah dengan bobot umpan 50 g menangkap hasil
tangkapan dengan keragaman spesies yang paling sedikit. Indeks Shannon
Wiener merupakan indikator yang menunjukkan spesies yang tertangkap oleh
bubu dengan menggunakan kategori umpan yang berbeda. Apabila nilai indeks
Shannon Wiener yang diperoleh kecil, maka berarti bahwa keragaman spesies
yang tertangkap dengan kategori umpan tersebut relatif kecil. Semakin besar nilai
indeks Shannon Wiener maka keragaman spesies yang tertangkap relatif besar.
Umpan berperan dalam menarik ikan dan biota lain untuk masuk ke dalam
bubu. Bobot umpan yang lebih sedikit berarti bahwa jumlah bau yang dilepas
relatif lebih sedikit dibanding umpan dengan bobot yang lebih besar (Marie and
Cyr, 1995). Biota mendekat kepada umpan sebagai bentuk respon terhadap
keberadaan asam amino di perairan (Laverach, 1963 diacu oleh Mackie, 1973).

139
McLeese (1970) memperoleh fakta bahwa beberapa campuran asam amino
merupakan zat yang dapat memikat lobster Homarus americanus.
Berdasarkan uji Mann-Whitney terhadap total hasil tangkapan bubu dengan
posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp.Sig.(2-tailed) sebesar 0.761
pada taraf nyata 0,05. Nilai tersebut menunjukkan bahwa posisi umpan tidak
memberikan berbedaan total hasil tangkapan secara signifikan. Dengan kata lain,
dalam penelitian ini, posisi umpan baik di atas maupun di bawah tidak
memberikan perbedaan secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan yang
diperoleh secara keseluruhan. Umpan juga berperan dalam meningkatkan hasil
tangkapan . Engas et al (2000) menemukan bahwa penggunaan umpan pada
gillnet berhasil meningkatkan hasil tangkapan ikan cod sebesar 61%. Hasil yang
diperoleh berbeda dengan Archdale et al (2003). Pada pengamatan yang
dilakukan oleh Archdale et al (2003) diperoleh hasil bahwa posisi umpan
berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan bubu. Umpan yang dipasang di
bagian atas bubu dengan posisi melengkung memperoleh hasil tangkapan kepiting
”ishigami” dalam jumlah yang lebih banyak dibanding dengan bubu yang
menggunakan umpan dengan posisi dihamparkan di bagian dasar bubu.
Perbedaan hasil penelitan ini dengan hasil penelitian Archdale et al (2003)
kemungkinan diakibatkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Perlakuan posisi umpan pada penelitian yang dilakukan oleh Archdale et
al (2003) lebih tinggi posisinya dibanding dengan posisi umpan pada
penelitian ini. Apabila posisi umpan lebih tinggi maka bau umpan dapat
tersebar dengan jarak yang lebih luas.
2. Posisi pemasangan umpan pada Archdale et al (2003) melengkung di atas
sehingga bau umpan menyebar dalam jangkauan yang luas. Adapun
dalam penelitian ini umpan dipasang pada posisi bagian atas dengan posisi
tegak.
Total hasil tangkapan yang paling sedikit terdapat pada bubu dengan posisi
umpan di atas dengan jumlah bobot umpan sebesar 50 g dengan total hasil
tangkapan sebanyak 28 ekor. Setelah itu diikuti dengan bubu dengan posisi
umpan di bawah dengan bobot umpan sebesar 50 g dengan total hasil tangkapan
sebanyak 30 ekor. Adanya penambahan bobot umpan yang diberikan,

140
mengakibatkan terjadinya peningkatan total hasil tangkapan. Walaupun total hasil
tangkapan yang diperoleh mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya
bobot umpan yang dipasang pada bubu, namun total hasil tangkapan yang
diperoleh tidak berbeda secara signifikan. Adapun total hasil tangkapan terbesar
diperoleh bubu dengan posisi umpan di atas dengan bobot umpan sebesar 100 g
dengan jumlah sebanyak 54 ekor. Hal ini sesuai dengan hasil yang deiperoleh
Sainte-Marie (1995) bahwa peningkatan kuantitas umpan akan meningkatkan
hasil tangkapan pada level tertentu.
Hasil tangkapan utama pada penelitian ini adalah rajungan (Portunus
pelagicus) dengan jumlah 49 ekor atau setara dengan 20 % dari total hasil
tangkapan. Nilai ini berada di urutan ke-2 setelah hasil tangkapan kepiting batu
(Thalamita sp) yang berjumlah 87 ekor atau setara dengan 36 %. Hasil uji Mann
Whitney terhadap posisi umpan berbeda menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan terhadap total jumlah serta bobot total hasil tangkapan rajungan
(Portunus pelagicus) yang diperoleh selama penelitian. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai Asymp-Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 1.000 pada
taraf nyata 0,05 untuk jumlah hasil tangkapan, dan nilai Asymp-Sig. (2-tailed)
dengan nilai probabilitas sebesar 0.307 pada taraf nyata 0,05 untuk bobot total
hasil tangkapan rajungan. Adapun uji Friedman digunakan untuk menentukan
adanya perbedaan jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan jika ditinjau
dari segi posisi dan bobot umpan berbeda. Berdasarkan uji Friedman diperoleh
nilai Chi-Square sebesar 8.105 dengan nilai probabilitas sebesar 0,151 pada taraf
nyata 0,05 untuk jumlah hasil tangkapan rajungan, dan nilai Chi-Square sebesar
7.800 dengan nilai probabilitas sebesar 0,168 pada taraf nyata 0,05 untuk bobot
total hasil tangkapan rajungan. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perbedaan
posisi dan bobot umpan yang diberikan tidak memberikan hasil yang berbeda
nyata terhadap jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan posisi serta penambahan bobot
umpan pada bubu tidak memberikan perbedaan jumlah dan bobot total hasil
tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang cukup signifikan.
Pada beberapa penelitian terdahulu, bobot umpan berpengaruh terhadap
hasil tangkapan bubu. Miller (1990) menyatakan bahwa penambahan bobot

141
umpan berpengaruh terhadap hasil tangkapan bubu. Hal ini karena dengan
bertambahnya bobot umpan maka pelepasan bau umpan akan semakin bertambah
banyak. Bau umpan yang diduga menjadi penyebab berkumpulnya kepiting dan
biota lainnya ke dalam bubu adalah asam amino. Semakin lama umpan direndam
di dalam air maka proses pelepasan asam amino akan semakin lama sehingga
berakibat terkurasnya kandungan asam amino (Mackie, 1973). Pada penelitian ini
jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan pada posisi dan bobot umpan
berbeda tidak berbeda secara signifikan pada taraf nyata 0,05. Hal ini diduga
dapat terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang pertama mungkin disebabkan
oleh adanya saturasi (kejenuhan) pada proses penangkapan dengan bubu. Saturasi
terjadi pada saat proses penangkapan berlangsung dalam jangka waktu yang
cukup lama. Proses pertambahan hasil tangkapan tidak be rbanding lurus dengan
waktu penangkapan karena adanya loss bait odor (kehilangan bau umpan)
(Miller, 1990). Kemungkinan yang lain adalah karena jumlah populasi rajungan
di lokasi pemasangan bubu tidak cukup banyak sehingga penambahan bobot
umpan tidak berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan.

5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus)


Bobot rajungan yang tertangkap selama penelitian berkisar pada 5 – 160 g.
Ukuran bobot rajungan yang dominan tertangkap yaitu pada selang 20 – 60 g
dengan jumlah 30 ekor. Berdasarkan posisi umpan yang dipasang pada bubu,
bubu dengan posisi umpan di atas menangkap rajungan dengan selang bobot 10 –
160 g, sedangkan bubu dengan posisi umpan di bawah hanya menangkap rajungan
dengan selang bobot antara 5 – 90 g. Hasil uji Mann-Whitney terhadap sebaran
bobot hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda
menunjukkan nilai Asymp-Sig. (2-tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.130
pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat rata-rata rajungan yang
tertangkap.
Bobot hasil tangkapan rajungan ditinjau berdasarkan posisi dan bobot
umpan menunjukkan bahwa bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan
sebesar 50 g menangkap rajungan dengan rata-rata bobot yang lebih besar

142
dibandingkan bubu jenis lainnya. Hal ini cukup mengejutkan karena penggunaan
umpan yang lebih sedikit justru menangkap rajungan dengan bobot rata-rata yang
lebih besar dibandingkan dengan bubu jenis lainnya. Studi mengenai bagaimana
lobster, udang karang, dan kepiting menentukan lokasi sumber bau yang
dilakukan oleh Grasso dan Basil (2002) menemukan bahwa crustacea decapoda
dapat menemukan sumber bau yang telah dikacaukan oleh efek turbulensi arus
dan distribusi bau berdasarkan ruang dan waktu dengan menggunakan antena luar
yang dilengkapi sensor kimia dan mekanik. Dalam penelitian terhadap tiga
spesies lobster pasir diketahui bahwa peningkatan panjang antennule akan
meningkatkan efektifitas area efektif reseptor. Dengan demikian rajungan dengan
ukuran yang lebih besar akan memiliki antennule yang lebih panjang sehingga
mampu melacak keberadaan umpan dengan jumlah yang lebih sedikit dengan
lebih baik dibandingkan rajungan dengan ukuran yang masih kecil. Hal inilah
yang diduga menyebabkan rajungan dengan rata-rata bobot yang lebih besar
cenderung tertangkap pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan
sebesar 50 g.
Adapun ukuran panjang karapas (CL) dan lebar karapas (CW) rajungan yang
tertangkap selama penelitian berkisar antara 15 – 70 mm (untuk CL) dan 30 – 130
mm (untuk CW). Ditinjau dari segi perbedaan posisi umpan pada bubu dengan
menggunakan uji Mann-Whitney terhadap CL rata-rata hasil tangkapan rajungan
pada bubu dengan posisi umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-Sig. (2-
tailed) dengan nilai probabilitas sebesar 0.406 pada taraf nyata 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap CL rata-rata rajungan yang tertangkap. Adapun uji Mann-
Whitney terhadap CW rata-rata hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi
umpan yang berbeda, diperoleh nilai Asymp-Sig. (2-tailed) dengan nilai
probabilitas sebesar 0.364 pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan posisi umpan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
CL rata-rata rajungan yang tertangkap.
Ditinjau dari segi posisi dan bobot umpan yang berbeda pada bubu dengan
menggunakan uji Friedman, dapat diketahui bahwa dengan menggunakan posisi
dan bobot umpan yang berbeda akan menyebabkan ukuran panjang karapas (CL)

143
dan kebar karapas (CW) rajungan yang tertangkap secara signifikan berbeda nyata
(P < 0,05 dengan Chi-Square terhadap panjang karapas 29.814 dan Chi-Square
terhadap lebar karapas 28.381). Hal ini menunjukkan bahwa pemasangan umpan
dengan posisi dan bobot tertentu dapat meberikan hasil tangkapan rajungan
dengan ukuran yang lebih besar.
Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g
menangkap rajungan dengan rata-rata panjang karapas (CL) dan lebar karapas
(CW) paling baik dibandingkan dengan bubu dengan posisi dan bobot umpan
lainnya. Sama seperti dugaan terhadaap hasil tangkapan rajungan berdasarkan
bobot rajungan rata-rata yang diperoleh, kemungkinan besar rajungan dengan
ukuran yang lebih besar akan memiliki antenule yang lebih panjang dibandingkan
rajungan yang masih kecil sehingga mampu melacak keberadaan umpan yang
lebih sedikit dengan lebih baik dibandingkan rajungan dengan ukuran yang masih
kecil. Hazlett, 1971; Arche, 1972 dalam Mackie, 1973 mengatakan bahwa jarak
receptor kimia pada crustasea decapoda ditentukan oleh antennules sehingga
memungkinkan hewan-hewan tersebut untuk dapat bergerak mendekati sumber
bau yang telah dideteksi oleh antennules. Hal inilah yang diduga menyebabkan
rajungan dengan rata-rata CL dan CW yang lebih besar cenderung tertangkap
pada bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g.  
Bubu dengan posisi dan bobot umpan lainnya menangkap rajungan dengan
ukuran yang jauh lebih bervariasi dibandingkan bubu dengan posisi umpan di atas
dan bobot umpan sebesar 50 g. Hal ini diduga karena bobot umpan yang
digunakan lebih banyak sehingga menyebabkan bau umpan (bait’s odor) yang
dilepaskan cenderung lebih banyak. Hal ini mengakibatkan rajungan dengan
ukuran yang lebih kecil dapat dengan lebih mudah melacak posisi umpan dengan
lebih akurat sehingga menyebabkan ukuran rajungan yang tertangkap menjadi
lebih bervariasi.  

5.2.3 Rasio jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus)


Rajungan yang tertangkap salama penelitian berlangsung berjumlah 49 ekor.
Ditinjau dari rasio jenis kelamin, rajungan yang tertangkap selama penelitian lebih
didominasi oleh rajungan jantan dibandingkan dengan rajungan betina. Adapun

144
jumlah rajungan jantan yang tertangkap selama penelitian berlangsung adalah
sebanyak 33 ekor, sedangkan jumlah rajungan betina yang tertangkap sebanyak 16
ekor. Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian ini
memiliki rasio 2:1. Hasil yang diperoleh ini mirip dengan hasil [enelitian yang
dilakukan Skinner and Hill (1986). Skinner and Hill (1986) menyatakan bahwa
hasil tangkapan kepiting Ranina ranina jantan dengan menggunakan bubu lebih
tinggi di banding hasil tangkapan kepiting betina. Nurhalim (2001) juga
mendapatkan hasil bahwa rajugan jantan yang tertangkap pada saat operasi
penangkapan dengan menggunakan gillnet sebanyak 77% sedangkan jumlah
rajungan betina yang tertangkap sebanyak 23% dari total hasil tangkapan. Miller
(1990) menduga bahwa jangkauan kepiting jantan dalam mencari makan lebih
luas dibanding kepiting betina sehingga mampu mendeteksi umpan dalam jarak
yang lebih luas. Oleh karenanya kepiting jantan lebih banyak tertangkap oleh
bubu.
Ukuran rajungan betina yang tertangkap selama penelitian berlangsung,
menandakan bahwa rajungan betina yang tertangkap cenderung berukuran kecil
yaitu dengan panjang karapas dibawah 50 mm. Hal ini menandakan bahwa
rajungan betina yang berukuran lebih besar cenderung lebih sedikit jumlahnya
dibandingkan rajungan jantan yang berukuran besar. Penyebab sedikitnya
rajungan betina berukuran besar yang tertangkap adalah kecenderungan rajungan
betina yang sedang bertelur untuk membawa telurnya ke daerah pesisir pantai
daerah teluk ( Thompson, 1974 dikutip oleh Hermanto, 2004 ). Adapun bagi
rajungan jantan yang telah melakukan perkawinan akan tetap berada pada
perairan hutan mangrove dan tetap melanjutkan aktivitas hidupnya. Hal serupa
juga terjadi pada juvenil rajungan ketika sedang dalam proses pembesaran.
Juvenil-juvenil rajungan yang dilahirkan di pesisir pantai akan memilih untuk
berenang menuju mangrove karena banyaknya sumberdaya yang terdapat pada
hutan bakau. Hal tersebut menjadikan hutan bakau sebagai salah satu tempat
yang baik untuk perkembangan rajungan. Banyaknya rajungan jantan dan betina
yang tertangkap tergantung dari keberadaan, aktivitasnya, serta kelincahan
rajungan di fishing ground tersebut (Suadela, 2004).

145
6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1) Komposisi spesies hasil tangkapan secara keseluruhan didominasi oleh


kepiting batu, disusul oleh rajungan, udang peci, kepiting bakau, kepiting
bolem, dan ikan beloso. Selanjutnya berdasarkan indeks Shannon wiener
diketahui bahwa bubu dengan bobot umpan 100 g dengan posisi umpan di
bawah memiliki nilai keragaman spesies terbesar dengan nilai indeks sebesar
1,6147. Adapun indeks Shannon wiener terkecil diperoleh pada bubu dengan
bobot umpan sebesar 50 g dengan posisi umpan di bawah dengan nilai indeks
sebesar 1,3581.

2) Jumlah dan bobot total hasil tangkapan rajungan yang diperoleh selama
penelitian tidak menunjukan perbedaan yang nyata terhadap posisi dan bobot
umpan yang berbeda, namun dari segi bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW
rata-rata hasil tangkapan rajungan, diperoleh perbedaan yang nyata pada bubu
dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan sebesar 50 g. Adapun hasil uji
Friedman untuk bobot rata-rata, CL rata-rata, dan CW rata-rata masing-masing
adalah: Chi-square 32.687 dengan nilai probabilitas 0.000 pada taraf nyata
0.05 untuk bobot rata-rata HT rajungan, Chi-square 29.814 dengan nilai
probabilitas 0,000 pada taraf nyata 0,05 untuk CL rata-rata rajungan, dan Chi-
square 28.381 dengan nilai probabilitas 0.000 pada taraf nyata 0,05 untuk CW
rata-rata rajungan.

3) Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbedaan posisi umpan tidak


memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah total, bobot total,
bobot rata-rata, CL rata-rata, maupun CW rata-rata hasil tangkapan rajungan.

6.2 Saran

1. Perlu penelitian lanjutan dengan skala laboratorium untuk menentukan


orientasi rajungan (Portunus pelagicus) terhadap umpan;

2. Perlu Penelitian lebih lanjut untuk menentukan berbagai posisi umpan di


dalam bubu terhadap hasil tangkapan rajungan.

146
DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2007. Rajungan (Portunus pelagicus). [terhubung berkala].


http://www.dpi.nsw.gov.au/fisheries/crab [25 Desember 2009]

[Anonim]. 2007. Shrimp Animation. [terhubung berkala].


http://iodeweb2.vliz.be.htm [25 Desember 2009]

[Anonim]. 2007. Rajungan Bintang (Portunus sanguinolentus). [terhubung


berkala]. http://www.hk-fish.net/eng/database.htm [25 Desember 2009]

[Anonim]. 2007. Rajungan Angin (Podopthalmus vigil). [terhubung berkala].


http:// www.seafood.nmmba.gov.tw [25 Desember 2009]

[Anonim]. 2008. Rajungan Karang (Charybdis feriatus). [terhubung berkala].


http://www.cookislands.bishopmuseum.org [25 Desember 2009]

[Anonim]. 2008. Morfologi dan Anatomi Rajungan. [terhubung berkala].


http://www.sea-ex.com/fishphotos/crab,.htm [25 Desember 2009]

[Anonim]. 2008. Blue Swimming Crabs. [terhubung berkala].


http://www.anima.net.au/illustrations_crustaceans.htm [25 Desember 2009]

[Anonim]. 2008. Shannon index. [terhubung berkala].


http://en.wikipedia.org/wiki/Shannon_index. [25 Desember 2009]

Archdale, M. V, K Anraku, T Yamamoto, and N Higashitani. 2003. Behaviour of


the Japanese Rock Crac “Ishigani” Caribdis japonica Towards Two
Collapsible Baited Pots: Evaluation of Capture Effectiveness. Marine
Fisheries Research Journal. No. 69: 789-791

Brandt, A.V. 1984. Fishing Catching Methods of the World. England: Fishing
New Books Ltd

Chande A.I. and Y.D. Mgaya. 2004. Food Habits of Blue Swimming Crab
Portunus pelagicus along the Coast of Dar es Salaam, Tanzania. Western
Indian Ocean Journal Marine Science. No 3: 37-42.

Daniel, P.C and R.C. Bayer 1989. Fish Byproduct as Chemo-Attractant Substrates
for the American Lobster (Homarus americanus): Concentration, Quality
and Releasw Characteristics. Fisheries Research. No 7: 367-383

Darya. 2002. Pengaruh Lama Perendaman (Soaking Time) Jaring Kejer


Terhadapa Tangkapan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Gebang
Mekar, Cirebon. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

147
Direktorat Jendral Perikanan. 2000. Statistik Perikanan Indonesia (Fisheries
Statistic of Indonesia). Jakarta: Departemen Pertanian.

Djatikusumo EW. 1975. Dinamika Populasi Ikan (bahan kuliah). Jakarta.


Akademi Usaha Perikanan.

Engas, A., T.Jorgensen , K.K. Angelsen. Effects on catch rates of baiting gillnets.
Fish. Res. 2000; 45:265-270.

Ferno A, S. Olsen. 1994. Marine Fisheries Behavior in Capture and Abundance


Estimation. Fishing News Books. Egland. 221.

Fitri, A.D.P. 2008. Respon Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap
Umpan Terkait dengan Efektivitas Penangkapan [Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Grasso F.W. and J.A. Basil 2002. How Lobsters, Crayfishes, and Crabs Locate
Sources of Odor: Current Perspective and Future Directions. Opinion in
Neurobiology: Usa. No 12: 721-727.

Hermanto D.T. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi


Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Mayangn, Kabupaten Subang,
Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Iskandar, M.D dan L. Lastari, 2008. Effect of Escape Gap on Catch of Blue
Swimming Crab (Portunus pelagicus). Proceedings of The 2nd International
Symposium on Food Security Agricultural Development and Environmental
Conservation in Southeast and East Asia. Vol 2:85-90.

Iskandar, M.D dan D. Ramdani, 2009. Analisis Hasil Tangkapan Rajungan pada
Bubu Lipat Menggunakan Jenis Umpan yang Berbeda Dengan
Menggunakan Empat Jenis Umpan. Jurnal Penelitian Perikanan. Vol. 12:
35-39.

Komarudin , D. Komarudin 2009. Penggunaan Celah Pelolosan pada Bubu


Tambun terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang,
Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Lastari, L. 2007. Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Lipat Bubu Bercelah


(Escape Gap) dan Tanpa Celah (Non Escape Gap) di Perairan Kronjo.
[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Leksono U. 1983. Suatu Studi tentang Penggunaan Umpan Ikan Lemuru sebagai
Umpan pada Perikanan Rawai Tuna di PT. Perikanan Samudera Besar,
Benoa, Bali [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

148
Lokkeborg, S. 1989. Rate of Release of Potential Feeding Attractants from
Natural and Artificial Bait. Elsevier Publisher B.V., Amsterdam. Fisheries
Research. No 8: 253-261.

Mackie, A. M. 1973. The Chemical Basis of Food in the Lobster Homarus


Gammarus. Natural Environment Research Council. Institute of Marine
Biochemistry; Torry, Aberdeen, Scotland. Marine Biology. No 21: 103-108

Mariana. 2006. Uji Coba Bubu Lipat di Perairan Palabuhanratu Sukabumi, Jawa
Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Martasuganda, S. 2003. Bubu (Traps). Cetakan ketiga. Fakultas Perikanan dan


Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Miller, R.J. 1983. How Many Traps Should a Crab Fiaherman Fish?. North
American Journal Fisheries Management. No. 3: 1-8

Miller, R.J. 1990. Effectiveness of Crab and Lobster Trap. Marine Fisheries
Research Journal. No. 47: 1228-1249

Miller, R.J. 1995. Option for Reducing Bycatch in Lobster and Crab Pots.
Proceesings of the International Symposium on Biology, Management and
Economics of Crabs from High Latitude Habitats. Anchorage, Alaska, USA:
163-168

Monintja, D.R dan S. Martasuganda. 1991. Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya


Hayati Laut II. Bogor:IPB Press

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. viii: 372.

Nyabakken, W.J. 1993. Marine Biology an Ecological Approach Third Edition.


California: Harper Collins College Publishers.

Oemarjati, B. S. dan W. Wardhana. 1990. Taksonomi Avertebrata (Pengantar


Praktikum Laboratorium). Jakarta: UI Press.

Pramono, Joko. 2006. Perikanan Bubu dan Peluang Pengembangan di Sekitar


Lokasi Sea Farming Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor: Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.

Randall, J. E. dan J. Heemstra. 1993. Grouper of The World (Family Serranidae


Sub Family Epinephelinae). FAO Fisheries Synopsis. [terhubung berkala].
http://www.fishbase.sinica.edu.tw. [1 Desember 2009]

149
Ramdani, D. 2007. Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan pada Bubu Lipat
dengan Menggunakan Umpan yang Berbeda. [Skripsi]. Bogor: Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. No : -

Rangka, N.A. 2007. Status Usaha Kepiting Bakau Ditunjang dari Aspek Peluang
dan Prospeknya. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Vol. 14.
Neptunus.

Ronald, E.W. 1982. Pengantar Statistika , Edisi ketiga, Penerbit PT.


Gramedia, Jakarta.

Saedi, E. 1997. Studi Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus


Pelagicus L.) di Dua Lokasi Penangkapan Perairan Pantai Utara Jawa Barat.
[Skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan. Institut
Pertanian Bogor.

Sainsbury, J.C. 1996. Commercial Fishing Methods. Fishing News (Book). The
White Friars Press Ltd. London, Tombridge.

Sainte-Marie, B and Cyr. 1994. Catch of Japanese Crab Traps in Relation to Bait
Quantity and Shielding. Fisheries Research No 24:129-139.

Slack, R.J, Smith. 2001. Fishing With Traps and Pots. FAO Training Series. Italy:
FAO

Santoso, S. 1999. SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Jakarta. Elex
Media Komputindo Gramedia.

Subani, W dan H.R.Barus 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Edisi Khusus. Jornal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai
Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian.

Sudirman, H dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta. Rineka


Cipta.

Syandri, H. 1988. Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta,
Padang.

Tiku , M. 2004. Pengaruh Jenis Umpan dan Waktu Pengoperasian Bubu Lipat
Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan
Kubu, Kabupaten Pontianak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

150
Williams, M.J. 1982. Natural Food and Feeding in the Comercial Sand Crab
Portunus pelagicus Linnaeus, 1766 (Crustacea: Decapoda: Portunidae) in
Moreton Bay, Queensland. Elsevier Biomedical Press. J. Exp Marine Biol.
Ecology. No 59: 165-176.

151
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
a. Peta Desa Mayangan Kabupaten Subang

b. Peta stasiun pengoperasian bubu lipat

152
Lampiran 2 Unit penangkapan bubu

Perahu Nelayan

Alat Tangkap Bubu Umpan

153
Lampiran 3 Kegiatan pengoperasian alat tangkap

Keberangkatan menuju fishing ground Setting alat tangkap bubu

Pengangkatan bubu (hauling) Hasil tangkapan

Pengukuran hasil tangkapan

154
Lampiran 4 Gambar hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian

Rajungan (Portunus pelagicus) Kepiting batu (Thalamita sp)

Kepiting bakau (Scylla sp) Kepiting bolem (Leptodius


sp)

Udang peci (Penaeus indicus) Ikan beloso


(Cryptocentrus aeruleomaculatus)

155
Lampiran 5 Jenis dan jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada tiap trip
penangkapan

50 Gram Atas H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10


Rajungan 0 1 0 0 3 0 1 0 0 0
Kepiting Bakau 2 1 2 0 0 0 0 2 0 0
Kepiting Batu 0 2 0 3 1 1 0 2 1 1
Kepiting Bolem 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Udang Peci 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
Ikan Beloso 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0
3 4 2 4 3 2 1 5 1 1

50 Gram Bawah H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10


Rajungan 1 3 0 0 1 0 1 0 2 0
Kepiting Bakau 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
Kepiting Batu 1 1 1 2 1 1 2 3 1 2
Kepiting Bolem 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0
Udang Peci 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
Ikan Beloso 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0
2 4 3 2 3 2 4 4 3 2

100 Gram Atas H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10


Rajungan 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1
Kepiting Bakau 1 1 0 0 0 2 0 0 1 0
Kepiting Batu 5 4 1 5 4 2 0 0 2 2
Kepiting Bolem 2 1 0 1 0 1 1 1 0 0
Udang Peci 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1
Ikan Beloso 0 0 0 0 0 3 1 0 0 1
10 6 1 8 6 9 2 2 5 5

100 Gram Bawah H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10


Rajungan 2 0 2 0 2 1 2 1 1 1
Kepiting Bakau 1 1 0 0 0 1 0 1 0 2
Kepiting Batu 1 1 1 3 0 0 0 2 3 2
Kepiting Bolem 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1
Udang Peci 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Ikan Beloso 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1
6 4 4 3 2 2 3 5 4 8

156
150 Gram Atas H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10
Rajungan 0 3 0 4 0 1 1 1 1 1
Kepiting Bakau 1 0 0 0 3 0 0 0 0 1
Kepiting Batu 1 0 2 2 1 0 0 1 1 1
Kepiting Bolem 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Udang Peci 0 0 4 2 2 0 2 0 1 1
Ikan Beloso 0 0 2 1 0 0 0 1 0 0
2 3 8 9 6 1 3 3 3 4

150 Gram Bawah H1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9 h10


Rajungan 2 0 0 0 0 0 0 0 3 0
Kepiting Bakau 0 2 0 1 0 0 1 0 0 0
Kepiting Batu 0 1 1 1 0 1 0 3 4 3
Kepiting Bolem 0 0 1 0 0 0 4 4 1 0
Udang Peci 0 0 0 0 0 3 3 0 0 5
Ikan Beloso 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
2 3 2 2 0 4 9 7 8 8

157
Lampiran 6 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah hasil tangkapan total serta
bobot total hasil tangkapan pada bubu dengan posisi umpan berbeda

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Jumlah hasil tangkapan total


Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks


Jumlah_total_HT atas 10 10.90 109.00
bawah 10 10.10 101.00
Total 20

Test Statisticsb

Jumlah_total_
HT
Mann-Whitney U 46.000
Wilcoxon W 101.000
Z -.304
Asymp. Sig. (2-tailed) .761
Exact Sig. [2*(1-tailed a
.796
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok

Bobot total hasil tangkapan


Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks


Bobot_total_HT atas 10 11.50 115.00
bawah 10 9.50 95.00
Total 20

Test Statisticsb

Bobot_total_
HT
Mann-Whitney U 40.000
Wilcoxon W 95.000
Z -.756
Asymp. Sig. (2-tailed) .450
Exact Sig. [2*(1-tailed a
.481
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok

158
Lampiran 7 Nilai uji Mann-Whitney terhadap jumlah total hasil tangkapan
rajungan serta bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu
dengan posisi umpan berbeda

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Jumlah total hasil tangkapan rajungan


Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks


Jumlah_total_rajungan atas 10 10.50 105.00
bawah 10 10.50 105.00
Total 20

Test Statisticsb

Jumlah_total_
rajungan
Mann-Whitney U 50.000
Wilcoxon W 105.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed a
1.000
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok

Bobot total hasil tangkapan rajungan


Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks


Bobot_total_rajungan atas 10 11.85 118.50
bawah 10 9.15 91.50
Total 20

Test Statisticsb

Bobot_total_
rajungan
Mann-Whitney U 36.500
Wilcoxon W 91.500
Z -1.021
Asymp. Sig. (2-tailed) .307
Exact Sig. [2*(1-tailed a
.315
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok

159
Lampiran 8 Nilai uji Mann-Whitney terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil
tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi umpan berbeda

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Sebaran Bobot rajungan


Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks


Sebaran_bobot_ atas 10 12.50 125.00
rajungan_blok bawah 10 8.50 85.00
Total 20

Test Statisticsb

Sebaran_
bobot_
rajungan_blok
Mann-Whitney U 30.000
Wilcoxon W 85.000
Z -1.514
Asymp. Sig. (2-tailed) .130
Exact Sig. [2*(1-tailed a
.143
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok

Sebaran CL rajungan
Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks


Sebaran_CL_ atas 10 11.60 116.00
rajungan_blok bawah 10 9.40 94.00
Total 20

Test Statisticsb

Sebaran_CL_
rajungan_blok
Mann-Whitney U 39.000
Wilcoxon W 94.000
Z -.832
Asymp. Sig. (2-tailed) .406
Exact Sig. [2*(1-tailed a
.436
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok

160
Sebaran CW rajungan
Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks


Sebaran_CW_ atas 10 11.70 117.00
rajungan_blok bawah 10 9.30 93.00
Total 20

Test Statisticsb

Sebaran_
CW_
rajungan_blok
Mann-Whitney U 38.000
Wilcoxon W 93.000
Z -.907
Asymp. Sig. (2-tailed) .364
Exact Sig. [2*(1-tailed a
.393
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok

161
Lampiran 9 Nilai uji Friedman terhadap Jumlah total hasil tangkapan pada bubu
dengan posisi dan bobot umpan berbeda

NPar Tests
Friedman Test

Jumlah total hasil tangkapan


Ranks

Mean Rank
Jml_tot_HTA50 2.85
Jml_tot_HTA100 4.15
Jml_tot_HTA150 3.30
Jml_tot_HTB50 3.05
Jml_tot_HTB100 3.95
Jml_tot_HTB150 3.70

Test Statisticsa
N 10
Chi-Square 4.043
df 5
Asymp. Sig. .543
a. Friedman Test

162
Lampiran 10 Nilai uji Friedman terhadap jumlah total hasil tangkapan rajungan
dan bobot total hasil tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi
dan bobot umpan berbeda

NPar Tests
Friedman Test

Jumlah total rajungan


Ranks

Mean Rank
jmltotRjungan_A50 2.80
jmltotRjungan_A100 3.65
jmltotRjungan_A150 3.95
jmltotRjungan_B50 3.30
jmltotRjungan_B100 4.50
jmltotRjungan_B150 2.80

Test Statisticsa
N 10
Chi-Square 8.105
df 5
Asymp. Sig. .151
a. Friedman Test

Bobot total rajungan


Ranks

Mean Rank
bobot_total_rjunganA50 3.00
bobot_total_
3.75
rajunganA100
bobot_total_
4.15
rajunganA150
bobot_total_rajunganB50 3.25
bobot_total_
4.30
rajunganB100
bobot_total_
2.55
rajunganB150

Test Statisticsa
N 10
Chi-Square 7.800
df 5
Asymp. Sig. .168
a. Friedman Test

163
Lampiran 11 Nilai uji Friedman terhadap sebaran bobot, CL, dan CW hasil
tangkapan rajungan pada bubu dengan posisi dan bobot umpan
berbeda

NPar Tests
Friedman Test

Sebaran bobot rajungan


Ranks

Mean Rank
sebaran_bobot_
5.90
rajungan_50gram_atas
Sebaran_bobot_
3.20
rajungan_100gram_atas
Sebaran_bobot_
4.20
rajungan_150gram_atas
Sebaran_bobot_
rajungan_50gram_bawah 2.60

Sebaran_bobot_
rajungan_100gram_ 3.65
bawah
Sebaran_bobot_
rajungan_150gram_ 1.45
bawah

Test Statisticsa
N 10
Chi-Square 32.687
df 5
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

164
Sebaran CL rajungan
Ranks

Mean Rank
Sebaran_CL_rajungan_
5.80
50gram_atas
Sebaran_CL_rajungan_
3.00
100gram_atas
Sebaran_CL_rajungan_
4.25
150gram_atas
Sebaran_CL_rajungan_
2.80
50gram_bawah
Sebaran_CL_rajungan_
3.60
100gram_bawah
Sebaran_CL_rajungan_
1.55
150gram_bawah

Test Statisticsa
N 10
Chi-Square 29.814
df 5
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

Sebaran CW rajungan
Ranks

Mean Rank
Sebaran_CW_rajungan_
5.80
50gram_atas
Sebaran_CW_rajungan_
3.40
100gram_atas
Sebaran_CW_rajungan_
3.85
150gram_atas
Sebaran_CW_rajungan_
2.70
50gram_bawah
Sebaran_CW_rajungan_
3.70
100gram_bawah
Sebaran_CW_rajungan_
1.55
150gram_bawah

Test Statisticsa
N 10
Chi-Square 28.381
df 5
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

165
Lampiran 12 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran bobot rajungan pada
posisi dan bobot umpan berbeda

Bobot rata-rata rajungan (gram)

A50 A100 A150 B50 B100 B150


95.83 10 64.17 30 35 12.5
90 42.86 42.5 33.3 49.69 21.93
95.83 42.86 64.17 34.66 42.5 21.93
95.83 30 52.5 34.66 49.69 21.93
67.5 10 64.17 5 50 21.93
95.83 40 64.17 34.66 20 21.93
130 42.86 40 60 50 21.93
95.83 40 80 34.66 80 21.93
95.83 80 150 45 60 33.3
95.83 90 20 34.66 60 20

Grading
A50 A100 A150 B50 B100 B150
6 1 5 3 4 2
6 4 3 2 5 1
6 2 5 3 4 1
6 2 5 3 4 1
6 2 5 1 4 3
6 4 5 3 1 2
6 3 2 5 4 1
6 3 5.5 2 5.5 1
5 4 6 2 3 1
6 5 1.5 3 4 1.5

sums 59 30 43 27 38.5 14.5


means 5.9 3 4.3 2.7 3.85 1.45

Α= 0.05
Z= 1.645
|D|≥ Z*sqrt(blok*perlakuan(perlakuan+1))/6
|D|≥ 13.7630574

166
Hasil uji lanjut perbandingan berganda:

A50-A100 29 ≥ 13.76305744 = Beda nyata


A50-A150 16 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
A50-B50 32 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
A50-B100 20.5 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
A50-B150 44.5 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
A100-A150 13 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B50 3 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B100 8.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B150 15.5 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
A150-B50 16 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
A150-B100 4.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A150-B150 28.5 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
B50-B100 11.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
B50-B150 14.5 ≥ 13.76305744 = Beda nyata
B100-B150 24 ≥ 13.76305744 = Beda nyata

167
Lampiran 13 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CL rajungan pada posisi
dan bobot umpan berbeda

Panjang karapas rata-rata (mm)

CLA50 CLA100 CLA150 CLB50 CLB100 CLB150


54.23 28 42.67 46.6 37.4 35.35
52.03 39.06 40.5 36.53 40.73 35.12
54.23 39.06 42.67 37.51 38.53 35.12
54.23 34.5 42.45 37.51 40.73 35.12
42 27.6 42.67 19.4 39.25 35.12
54.23 42.5 42.67 37.51 31.5 35.12
68.65 39.06 38.2 45 39.17 35.12
54.23 39.8 45 37.51 50 35.12
54.23 48 58.85 40 43.95 39.02
54.23 53 31 37.51 46.04 31

Grading

CLA50 CLA100 CLA150 CLB50 CLB100 CLB150


6 1 4 5 3 2
6 3 4 2 5 1
6 4 5 2 3 1
6 1 5 3 4 2
5 2 6 1 4 3
6 4 5 3 1 2
6 3 2 5 4 1
6 3 4 2 5 1
5 4 6 2 3 1
6 5 1.5 3 4 1.5

sums 58 30 42.5 28 36 15.5


means 5.8 3 4.25 2.8 3.6 1.55

α= 0.05
Z= 1.645
|D|≥ Z*sqrt(blok*perlakuan(perlakuan+1))/6
|D|≥ 13.7630574

168
Hasil uji lanjut perbandingan berganda:

A50-A100 28 ≥ 13.76305744 = beda nyata


A50-A150 15.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A50-B50 30 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A50-B100 22 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A50-B150 42.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A100-A150 12.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B50 2 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B100 6 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B150 14.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A150-B50 14.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A150-B100 6.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A150-B150 27 ≥ 13.76305744 = beda nyata
B50-B100 8 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
B50-B150 12.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
B100-B150 20.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

169
Lampiran 14 Uji lanjut perbandingan berganda sebaran CW rajungan pada posisi
dan bobot umpan berbeda

Lebar karapas rata-rata (mm)

CWA50 CWA100 CWA150 CWB50 CWB100 CWB150


103.97 58.5 95.82 74 77.9 72.02
105.4 80.65 50.37 75.41 85.43 71.83
103.97 80.65 95.82 73.23 79.13 71.83
103.97 72.7 90.13 73.23 85.43 71.83
87.5 56.9 83.38 37.45 83.44 71.83
103.97 86.3 95.82 73.23 67 71.83
119.01 80.65 78 96.04 80.3 71.83
103.97 84.02 97.3 73.23 103.7 71.83
103.97 98.5 122.02 83.25 94 80.97
103.97 107.6 62.5 73.23 98.01 62.5

Grading
CWA50 CWA100 CWA150 CWB50 CWB100 CWB150
6 1 5 3 4 2
6 4 1 3 5 2
6 4 5 2 3 1
6 2 5 3 4 1
6 2 4 1 5 3
6 4 5 3 1 2
6 4 2 5 3 1
6 3 4 2 5 1
5 4 6 2 3 1
5 6 1.5 3 4 1.5

sums 58 34 38.5 27 37 15.5


means 5.8 3.4 3.85 2.7 3.7 1.55

α= 0.05
Z= 1.645
|D|≥ Z*sqrt(blok*perlakuan(perlakuan+1))/6
|D|≥ 13.7630574

170
Hasil uji lanjut perbandingan berganda:

A50-A100 24 ≥ 13.76305744 = beda nyata


A50-A150 19.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A50-B50 31 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A50-B100 21 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A50-B150 42.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A100-A150 4.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B50 7 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B100 3 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A100-B150 18.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata
A150-B50 11.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A150-B100 1.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
A150-B150 23 ≥ 13.76305744 = beda nyata
B50-B100 10 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
B50-B150 11.5 ≥ 13.76305744 = tidak berbeda nyata
B100-B150 21.5 ≥ 13.76305744 = beda nyata

171
Lampiran 15 Nilai Index Shannon-Wiener

Hasil tangkapan
Hasil 50 gram 50 Gram 100 Gram 100 Gram 150 Gram 150 Gram
tangkapan Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah
Rajungan 5 8 7 12 12 5
Kepiting
Bakau 7 1 5 6 5 4
Kepiting
Batu 11 15 25 13 9 14
Kepiting
Bolem 1 2 7 3 0 10
Udang Peci 2 1 5 3 12 11
Ikan
Beloso 2 3 5 4 4 1
total 28 30 54 41 42 45

pi
50 gram 50 Gram 100 Gram 100 Gram 150 Gram 150 Gram
pi Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah
Rajungan 0.1785 0.2857 0.1296 0.2926 0.2857 0.1111
Kepiting
Bakau 0.25 0.0357 0.0925 0.1463 0.1190 0.0888
Kepiting
Batu 0.3928 0.5357 0.4629 0.3170 0.2142 0.3111
Kepiting
Bolem 0.0357 0.0714 0.1296 0.0731 0 0.2222
Udang Peci 0.0714 0.0357 0.0925 0.0731 0.2857 0.2444
Ikan
Beloso 0.0714 0.1071 0.0925 0.0975 0.0952 0.0222

ln(pi)
50 gram 50 Gram 100 Gram 100 Gram 150 Gram 150 Gram
ln(pi) Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah
Rajungan -1.7227 -1.2527 -2.0430 -1.2286 -1.2527 -2.1972
Kepiting
Bakau -1.3862 -3.3322 -2.3795 -1.9218 -2.1282 -2.4203
Kepiting
Batu -0.9343 -0.6241 -0.7701 -1.1486 -1.5404 -1.1676
Kepiting
Bolem -3.3322 -2.6390 -2.0430 -2.6149 0 -1.5040
Udang Peci -2.6390 -3.3322 -2.3795 -2.6149 -1.2527 -1.4087
Ikan
Beloso -2.6390 -2.2335 -2.3795 -2.3272 -2.3513 -3.8066

172
pi x ln(pi)
50 gram 50 Gram 100 Gram 100 Gram 150 Gram 150 Gram
pi x ln(pi) Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah
Rajungan -0.3076 -0.3579 -0.2648 -0.3596 -0.3579 -0.2441
Kepiting
Bakau -0.3465 -0.1190 -0.2203 -0.2812 -0.2533 -0.2151
Kepiting
Batu -0.3670 -0.3343 -0.3565 -0.3641 -0.3300 -0.3632
Kepiting
Bolem -0.1190 -0.1885 -0.2648 -0.1913 0 -0.3342
Udang Peci -0.1885 -0.1190 -0.2203 -0.1913 -0.3579 -0.3443
Ikan
Beloso -0.1885 -0.2393 -0.2203 -0.2270 -0.2239 -0.0845
index -1.5172 -1.3581 -1.5472 -1.6147 -1.5232 -1.5857

Indeks Shannon Wiener


Index 1.5172 1.3581 1.5472 1.6147 1.5232 1.5857

173
Lampiran 16 Nilai Chi – square proporsi rajungan betina dan jantan pada bubu
dengan posisi dan bobot umpan berbeda

Chi-Square Test

Frequencies
Proporsi Rajungan Jantan dan Betina

Observed N Expected N Residual


Jantan 33 24.5 8.5

Betina 16 24.5 -8.5

Total 49

Test Statistics
Proporsi rajungan jantan dan betina
Chi-Square 5.898a
Df 1
Asymp. Sig. .015
a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5.
The minimum expected cell frequency is 24,5.

174

Anda mungkin juga menyukai