Oleh:
MUSLIMIN
13.101010.016
SKRIPSI
Oleh:
MUSLIMIN
13.101010.016
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
iv
ABSTRACT
v
ABSTRAK
vi
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
memberikan Karunia dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi ini dengan baik. Judul skripsi ini adalah “Studi Biologi Reproduksi
Kepiting Bakau (Scylla spp) di Perairan Muara Bulungan Kalimantan
Utara”.
1. Kedua orang tua, Ibunda dan Ayahanda tercinta serta seluruh keluarga
yang selama ini tak henti-hentimya memberikan do’a dan nasehat yang
mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Rukisah Saleh, Ph.D Selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Borneo Tarakan dan sebagai pembimbing satu yang
telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
3. Bapak Jimmy Cahyadi, S.Pi.,M.Si selaku Ketua Jurusan Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan.
4. Ibu Gloria Ika Satriani, S.Pi.,M.Si sebagai pembimbing dua yang telah
memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
5. Bapak Dr. Asbar Laga, S.T.,M.Si. dan Ibu Ira Maya Abdiani, S.Pi.,M.Sc
Sebagai penguji I dan II yang telah memberikan masukan dan bantuan
kepada penulis.
6. Bapak Amrullah Taqwa,S.T.,M.Si dan Bapak Encik Wiliyadi, S.Pi.,M.Sc
yang memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis.
7. Seluruh staf pengajar dan staf adminitrasi yang selama ini telah banyak
membantu penulisan dan mengurus adminttrasi maupun perkuliahan
selama di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Boeneo
Tarakan.
8. Angkatan BARRACUDA 2013, alumni/senior, serta junior terkhusus buat
teman yang membantu selama penelitian berlangsung, yang telah
memberikan bantuan, motivasi, kritik serta saran yang sangat bermanfaat
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta semua pihak yang tidak
dapat di sebutkan satu-persatu.
viii
Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hasil ini disebabkan
karena keterbatasan penulis sebagai makhluk Allah SWT yang tak luput dari
kekhilafan dan kekurangan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dalam
penulisan berikutnya dapat lebih baik lagi. Penulis mengharapkan semoga skripsi
ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi banyak pihak terutama bagi
penulis sendiri.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
1.3. Manfaat Penelitian .............................................................................. 2
x
3.4.1. Data primer............................................................................... 23
3.4.2. Data sekunder ........................................................................... 23
3.5. Analisi Data ......................................................................................... 24
3.5.1. Nisbah kelamin.......................................................................... 24
3.5.2. Tingkat Kematangan Gonad ..................................................... 24
3.5.3. Indeks Kematangan Gonad ....................................................... 26
V. PENUTUP ................................................................................................. 36
A. Kesimpulan ........................................................................................... 36
B. Saran ..................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xiv
I. PENDAHULUAN
Phylum : Arthropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla spp
dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting bakau di kenal melalui bentuk
tubuhnya yang melebar melintang ciri khas yang dimiliki kepiting ini adalah
karapasnya berbentuk pipih atau agak cembung dan berbentuk heksagonal atau
agak persegi. Ujung pasang kaki terakhir mempunyai bentuk kaki agak pipih dan
berfungsi sebagai alat pendayung saat berenang. Kepiting bakau memiliki ukuran
lebar karapas lebih besar dari pada ukuran panjang tubuhnya dan permukaan agak
licin. Pada karapas Kepiting Bakau terdapat 22 duri, 4 duri di perantara sepasang
kedua mata, dan 9 buah duri di masing-masing kedua sisi kanan dan kirinya.
Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang dapat mencapi panjang 2 kali
lipat dari pada panjang karapasnya, sedangkan yang betina relatif lebih pendek
(Kanna, 2002).
Kelima pasang kaki kepiting bakau di antaranya, sepasang kaki pertama di
sebut capit yang berperan sebagai alat penangkap/pemegang makanan, 1 pasang
kaki berbentuk kipas yang berfungsi sebagai kaki renang, dan 3 pasang kaki
berbentuk pipih panjang meruncing berfungsi sebagai kaki jalan. Dengan capit
dan kaki jalan kepiting bakau dapat berlari dengan cepat di darat dan dapat
berenang dengan cepat di air sehingga di golongkan Swimming crab (portunidae)
sebagai mana dapat di lihat pada Gambar 2. Di bawah ini:
(swimming crab). Kaki dayung yang di miliki kepiting bakau ini mencirikan
bahwa dia adalah penghuni perairan dan penghuni daratan. Dengan kata lain
kepiting bakau termaksud hewan akuatik yang hidup dan berkembang dalam
perairan, walaupun untuk beberapa hari dapat bertahan hidup di darat yang
udaranya lembab (Kasry, 1996).
Tubuh bagian dalam kepiting bakau terdapat berbagai organ yang
kompleks (Gambar 3). Mulut kepiting bakau terbuka dan terletak pada bagian
bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam
memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting
memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal
ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan capit dalam memperoleh
makanan. Makanan yang di peroleh dihancurkan dengan menggunakan capit ,
kemudian baru dimakan.
Segmen basal dari antena membentuk lobulus kecil pada ungulus eksternal
bagian interior di lengkapi dengan adanya flagellum yang kecil. Bagian tepi
anterior lateralnya terbagi oleh 9 gigi yang besar, demikian juga dengan
permukaan karapasnya kecuali pada tepi lekukan melintang transversal baik pada
daerah protogasik maupun brankialnya. Pada bagian tepi anterior lateralnya
terdapat gigi yang besar dan tajam. Kepiting bakau juga dilengkapi dengan 3 buah
spina pada bagian tepian interior dari lengannya dan 2 bagian lainnya dibagian
posteriornya. Bagian lengan di lengkapi dengan satu buah spina yang sangat kuat
terletak pada bagian dalam dari ugulusnya dan dua spina yang lebih kecil terletak
7
di bagian permukaan sebelah luarnya. Bagian lengan sebelah dalam, terlihat berisi
dan dilengkapi dengan 3 buah spina yang tersusun berlawanan, 1 buah terletak
pada bagian basal dan 2 spina pada bagian terminal lain.
Kepiting bernafas dengan insang walaupun dapat naik ke darat atau pantai.
Selama tidak di dalam air kepiting tetap bernapas dengan insang dengan cara
mengkondisikan dirinya agar lembab dan dapat mengikat oksigen dalam proses
pernafasan. Dengan demikian kepiting tidak bisa hidup tanpa adanya air atau
kelembapan (Anonim, 2002).
Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian
depan dari karapas tidak membentuk sebuah rostume yang panjang. Insang
kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih, mirip dengan insang udang namun
dengan struktur yang berbeda. Insang yang terdapat didalam tubuh berfungsi
mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur
yang lunak terletak dibagian bawah karapas. Sedangkan mata menonjol keluar
berada di bagian depan karapas.
Untuk membedakan kepiting jantan dan betina secara umum dapat dilihat
pada bagian abdomen di bawa perut, untuk kepiting bakau jantan mempunyai
ruas-ruas abdomen yang berbentuk menyerupai segitiga sedangkan pada kepiting
betina abdomennya sedikit melebar. Perbedaan antara kepiting jantan dan betina
dapat di lihat (pada Gambar 4).
Keempat spesies dan satu varian tersebut dapat dilihat pada (Gambar 5)
sebagai berikut:
berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir
tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan
ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh Dunia terdapat lebih dari 1000
spesies kepiting yang dikelompokan dalam 50 famili. Sebagian besar kepiting
hidup di laut, tersebar diseluruh lautan mulai zona supratidal hingga didasar laut
yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup di air tawar.
Keanekaragaman kepiting yang tinggi ada didaerah tropis dan di selatan Australia,
dan lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.
Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air
pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohan untuk mencari
makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal
di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan predator lainnya.
Kepiting mangrove seperti Scylla spp (mud crab) merupakan hewan yang
hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan ini
merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang dan
bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau dengan berat 2
kg, di mana kepiting jantan ukurannya lebih besar dari betina.
Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari subordo
Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan
yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di
daerah-daerah tertentu dapat ditentukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya
adalah soldier crab sedangkan di Indonesia sering di sebut tentara Jepang, di
pantai dekat Maroke, jika air sedang surut mereka bisa terlihat bergerak kian
kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan
atau ribuan individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja gangguan,
misalnya dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka
akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru
setelah situasi dianggap aman, mereka keluar lagi di atas pasir (Nontji, 2002).
laut, kepiting juga dapat memakan tumbuhan, seperti ubi, jagung, dan tepung
(bisa juga diformulasi dalam bentuk pakan). Dalam kehidupan liarnya, kepiting
lebih sering menangkap ikan, artinya cendrung ke arah karnifora. Ikan-ikan
ditangkap menggunakan capit, kemudian di masukkan ke dalam mulut secara
perlahan.
Kepiting dapat tumbuh dengan baik jika lingkungan fisik dan gizinya
terjamin. Kemampuan makan dan penyerapan gizi oleh tubuh pun sangat di
pengaruhi oleh faktor external seperti suhu, salinitas, pH, kandungan oksigen.
Gambar 7. Tingkat kematangan ovari kepiting bakau. (a) TKO I (b) TKO II (c)
TKO III (d) TKO IV (Islam, et al, 2010)
2.3.1. Suhu
Suhu merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam pengaturan
aktifitas hewan akuatik. Suhu air mempengaruhi proses fisiologi ikan seperti
respirasi, metabolisme, komsumsi pakan, pertumbuhan, tingkah laku, dan
reproduksi serta mempertahankan hidup.
Perubahan suhu berperan dalam kecepatan metabolisme dan kegiatan
lainnya (Hill, 1982). Penyusaian terhadap suhu dilakukan oleh kepiting dengan
cara membenamkan diri kedalam lubang berlumpur atau melalui transpirasi. Suhu
yang diterima untuk kehidupan kepiting bakau adalah 18-35oC, sedangkan suhu
yang ideal adalah 25-30oC. Suhu yang kurang dari titik optimum berpengaruh
terhadap pertumbuhan organisme.
2.3.2. Salinitas
Salinitas dapat di definisikan sebagai total ion-ion terlarut dalam air.
Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil (0/00) atau ppt (part
perthousand) atau g/l. Salinitas menggambarkan kepadatan total di air setelah
semua karbonat dikonpersi menjadi oksida, semua bromida ionida digantikan
dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi, 2003).
Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi dan osmoregulasi.
Perubahan salinitas tidak berlangsung berpengaruh terhadap perilaku biota tetapi
berpengaruh terhadap perubahan sifat kimia air (Brotowijoyo, et al. 1995).
18
2.3.3. pH Air
Menurut Boyd (1990), drajat keasaman atau pH menggambarkan aktifitas
potensial ion hidrogen dalam larutan yang dinyatakan sebagai kosentrasi ion
hidrogen (mol/l). Air murni mempunyai nilai pH 7 dan dinyatakan netral,
sedangkan pada air payau berada pada kisaran normal antara 7-9. Konsentrasi pH
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad
renik. Perairan yang asam cendrung menyebabkan kematian pada ikan/kepiting
demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa, hal ini disebabkan
konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernapasan tinggi dan
berpengaruh terhadap menurunya nafsu makan (Ghufron dan Kordi, 2005).
terlarut <3 mg/l, maka nafsu makan biota (kepiting) akan berkurang dan tidak
dapat berkembang dengan baik (Buwono, 1993). Pada saat kadar oksigen terlarut
sebasar 2,1 mg/l pada suhu 30oC udang maupun kepiting menunjukan gejala tidak
normal dengan berenang di permukaan. Sedangkan pada kadar 3 mg/l dalam
jangka panjang dapat mempengaruhi pertumbuhan udang DO untuk kehidupan
kepiting di tambak yang paling baik mencapai >5 mg/l.
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat menghambat aktivitas
biota perairan. Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh. Kebutuhan
akan oksigen antara spesies tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
struktur molekul sel darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan parsial
oksigen dalam air dengan keseluruhan oksigen dalam sel darah (Effendi, 2003).
Keberadaan oksigen di perairan sangat penting terkait dengan berbagai
proses kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai
senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme perairan (Dahuri, et al. 2004).
Berbagai hal yang dapat menguragi oksigen terlarut adalah peningkatan limbah
organik yang masuk perairan, kematian fitoplankton secara massal dan tiba-tiba,
pertumbuhan tubuhan air yang berlebihan khususnya fitoplankton dan tumbuhan
dalam air, terjadinya stratifikasi suhu dan kemungkinan pembalikan.
2.3.5. Amoniak
Amoniak (NH3) dalam air berasal dari perombakan bahan organik dan
pengeluaran hasil metabolisme ikan /kepiting melalui ginjal dan jaringan insang.
Di samping itu, amoniak di perairan juga dapat terbentuk dari hasil proses
dekomposisi protein yang berasal dari sisa pakan atau plankton yang mati. Pada
budidaya secara intensif, jumlah pakan yang diberikan pada hewan budidaya
sangat banyak akan mempercepat peningkatan kosentrasi amoniak. Sebagian
besar pakan akan dimanfaatkan oleh hewan budidaya untuk pertumbuhannya,
namun sebagaian lagi akan dieksresikan dalam bentuk kotoran pada amoniak
terlarut dalam air. Kotoran tersebut selanjutnya akan mengalami perombakan
menjadi NH3 dalam bentuk gas.
Kandungan amoniak dalam air akan bertambah sesuai dengan kenaikan
aktivitas hewan budidaya dan suhu air. Ikan/kepiting sangat peka terhadap
amoniak dan senyawanya. Daya homoglobin ikan terhadap oksigen berkurang
20
dengan cepat jika konsentrasi amoniak di dalam air mencapai 1 ppm. Dalam
praktek di lapangan, perairan sudah di katagorikan tercemar jika mengandung
amoniak 1 ppm. Perairan yang baik untuk budidaya ikan/kepiting adalah yang
mengandung amoniak kurang dari 0,5 ppm. Dalam perairan yang belum tercemar
ternyata kandungan amoniak masih jauh di bawa 0,02 ppm dan konsentrasi ini
dianggap aman bagi biota budidaya (Afrianto, et al, 1992)
Tabel 2. Nilai parameter kualitas air yang dapat ditolerir kepiting bakau (Scylla
spp)
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 4:
Sumber : Kasry 1996 yang dikombinasikan dengan Islam et al., 2010 dan
Ikhwanuddin et al., 2014 )
26
Penangkapan 1 28 22 1.27
Penangkapan 2 31 18 1.72
Penangkapan 3 30 20 1.50
Total 89 61 1.47
tempat dan ukuran kepiting. Perbandingan nisbah kelamin pada saat penelitian
dapat dilihat pada gambar 11 di bawah ini :
1,00
0,50
0,00
Penangkapan 1 Penangkapan 2 Penangkapan 3
Gambar 11. Diagram nisbah kelamin kepiting bakau selama penelitian di perairan
Muara Bulungan, penangkapan 1 (November), penangkapan 2
(November), dan penangkapan 3 (Desember)
TKG I Gonad seperti filamen, berwarna TKG II Gonad mulai membesar dan
putih jernih, terletak dekat bentuknya jelas. Berwarna
jantung di bawah hati putih susu
TKG III Gonad seperti TKG II, namun TKG IV Gonad terlihat dengan jelas,
ukurannya semakin besar
berwarna putih susu dan
bentuknya semakin pejal
Gambar 12. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting bakau jantan hasil
pengamatan secara morfologi
31
TKG III : Volume ovarium semakin TKG IV : Ovarium penuh dengan sel
membesar, hampir mengisi hampir matang berwarna oranye
seluruh rongga dada sampai merah tua, bila karapas
(cephalothorax). Telur berwarna dibuka hampir seluruh dada
kuning pucat sampai kuning hanya berisi ovarium
emas.
Gambar 13. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting bakau betina hasil
pengamatan secara morfologi
32
JANTAN
100
6,67
90
29,63 32,26 20,00
80
PERSENTASE (%)
70
11,11 TKG 4
60 23,33
50 TKG 3
22,22 45,16
40 TKG 2
30 TKG 1
50,00
20 37,04
10 19,35
0 3,23
TRIP 1 TRIP 2 TRIP 3
Gambar 14. Diagram komposisi TKG% kepiting bakau jantan pada setiap trip
selama penelitian di perairan Muara Bulungan
BETINA
100%
90% 13,64
22,22 25,00
PERSENTASEN (%)
80%
70% 27,27 11,11
60% TKG 4
16,67 35,00
50% 13,64 TKG 3
40% TKG 2
30% 20,00 TKG 1
45,45 50,00
20%
10% 20,00
0%
TRIP 1 TRIP 2 TRIP 3
Gambar 15. Diagram komposisi TKG% kepiting bakau betina pada setiap trip
selama penelitian di perairan Muara Bulungan
33
Dari Gambar 14 dan 15 di atas didapatkan variasi TKG antara jantan dan
betina yaitu, jantan TKG I sebanyak 26 ekor (29,55%), TKG II sebanyak 19 ekor
(22,22%), TKG III sebanyak 23 ekor (26,14%), TKG IV sebanyak 20 ekor
(22,73%) dan betina TKG I Sebanyak 23 ekor (38,33%) TKG II sebanyak 10 ekor
(16,67%) TKG III sebanyak 15 ekor (25%) TKG IV sebanyak 12 ekor (20%).
Hal ini menunjukan bahwa pada setiap tripnya didapatkan TKG III Dan IV
kepiting jantan dan betina. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa kepiting
melakukan pemijahan pada bulan November dan Desembar atau pada trip 1 – 3.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kepiting pada TKG III dan IV. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Suhendra dan Merta (1986) dalam Laga (2015) bahwa
dengan ditemukannya ikan/kepiting dengan TKG III dan IV sudah
mengindikasikan adanya ikan/kepiting yang memijah pada waktu dan tempat
tersebut. Hal ini juga diperkuat dengan fakta di lapangan (di Tarakan) terhadap
penangkapan bibit kepiting untuk budidaya kepiting soka di tambak yang
dilaksanakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Poreses pemijahan
kepiting yang tidak mengenal musim atau berlangsung setiap saat juga ditemukan
oleh Rahmi et al (2013) di Hutan Mangrove Teluk Buo Kota Padang. Hal ini
juga dapat dibuktikan dengan ditemukan setiap tahapan TKG pada setiap tripnya.
Hal ini menunjukan bahwa proses perkembangan gonad dalam bentuk TKG
terjadi secara berkesinambungan, artinya pada saat kepiting memijah dalam
bentuk TKG IV masuk ke TKG V, maka kekosongan TKG IV digantikan oleh
TKG III dibawahnya dan seterusnya sehingga kepiting yang TKG IV tetap ada.
Tahapan kematangan gonad yang ada pada setiap saatnya disebabkan
kemungkinan oleh kondisi lingkungan yang relatif stabil atau masih berada di
dalam lingkaran kisaran toleransi kepiting bakau. Hal ini sejalan dengan (Lagler et
al., 1997 dalam Novitriana et al., 2004) bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi saat kepiting pertama kali matang gonad antara lain adalah
perbedaan spesies, umur dan ukuran, serta sifat – sifat fisiologi individu yang
berbeda jenis kelamin dan juga tempat berpijah yang sesuai. Hal ini bisa
dibuktikan dengan data parameter kulalitas air yang di temukan pada saat proses
penangkapan kepiting. Kisaran parameter kualitas air berkisar antara suhu 29,1-
34
30.5 0C , kecerahan 22-43,8 cm, DO 3,1-4,2 mg/L, salinitas berkisar antara 5-19
ppt. Dan nili-nilai kualitas air di atas tidak ada yang fluktuasinya besar kecuali
salinitas.
JANTAN
10,00
8,52
8,00
7,01
IKG (%)
6,00 Trip 1
5,47
4,61 4,70 4,52 4,77 Trip 2
4,00
3,44
2,88 Trip 3
2,00 2,00 2,43
0,00 0,33
IKG I IKG II IKG III IKG IV
BETINA
10,00
8,00 7,92
7,00
IKG (%)
6,00 Trip 1
5,06 4,87
4,74
4,45 4,57 Trip 2
4,00
3,07 Trip 3
2,62
2,00 1,77
1,46
0,00
IKG I IKG II IKG III IKG IV
anakan sungai, di mana kepiting yang siap memijah akan beruaya dari habitat
mangrove ke perairan yang lebih dalam (laut lepas). Hal ini sesuai dengan
gambaran siklus hidup kepiting bakau menurut (Sihainenia, 2008). Bahwa
kepiting bakau yang siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau atau
tambak. Setelah pemijahan, induk kepiting bakau akan beruaya ke perairan bakau,
tambak, ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk memijah (Hill 1975).
Hal tersebut sesuai dengan siklus hidup kepiting yang dicantumkan pada Gambar
6 (halaman 11).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian studi biologi reproduksi kepiting bakau
(Scylla spp) di Perairan Muara Bulungan Kalimantan Utara, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Nisbah kelamin jantan : betina yang didapatkan yaitu 89:61.
2. Sampel kepiting bakau pada penelitian ini didominasi oleh TKG I, di mana
kepiting bakau jantan sebesar 26 ekor (29,55%), dan kepiting bakau betina
sebanyak 23 ekor (38,33%).
3. Nilai IKG tertinggi ada pada TKG IV yaitu jantan 3,29 – 18,55 dan pada betina
memiliki kisaran 3,37 – 12,09.
5.2. Saran
Upaya menjaga populasi kepiting bakau (Scylla spp) dapat dilakukan
melalui pembatasan penangkapan kepiting bakau matang gonad, serta
mengusahakan kegiatan budidaya induk kepiting bakau yang matang gonad untuk
menghindari terjadinya pengurangan stok populasi kepiting bakau di alam akibat
over fishing, supaya keberadaan Scylla spp dapat terus berkesinambungan dan
lestari.
DAFTAR PUSTAKA