Anda di halaman 1dari 54

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI KEPITING BAKAU

(Scylla spp) DI PERAIRAN MUARA BULUNGAN


KALIMANTAN UTARA

Oleh:
MUSLIMIN
13.101010.016

SKRIPSI

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TARAKAN
2018
STUDI BIOLOGI REPRODUKSI KEPITING BAKAU
(Scylla spp) DI PERAIRAN MUARA BULUNGAN
KALIMANTAN UTARA

Oleh:
MUSLIMIN
13.101010.016

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TARAKAN
2018
iii
RIWAYAT HIDUP

Muslimin, lahir pada Tanggal 02 Agustus 1994 di Tarakan


sebagai anak ke-4 dari enam bersaudara, dari pasangan
Bapak Muktar dan Ibu Jahania. Pendidikan penulis di
awali dengan bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN)
007 Tarakan, pada tahun 2001-2007. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan Tingkat Sekolah Menegah
Pertama (SMP) di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSN)
Tarakan, pada tahun 2007-2010. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan
tingkat menengah yaitu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Tarakan
pada tahun 2010-2013. Penulis diterima di Universitas Borneo Tarakan (UBT)
melalui Sistem Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
pada tahun 2013 dan memilih Fakultas Perikanan dan Kelautan Program Studi
Budidaya Perairan.
Selama menjadi mahasiswa Universitas Borneo Tarakan penulis aktif di
kelembagaan fakultas, di antaranya ketua bidang keagamaan di kepengurusan
BEM FPIK UBT Priode 2013-2014 dan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan
Budidaya Perairan (HMJ BDP) FPIK UBT priode 2014-2015. Di bidang external
mengikuti Komunitas Pecinta Alam The North Borneo Tarakan. Pada tahun 2016
penulis melakukan Peraktek Lapangan (PKL) di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut Gondol Bali (BBPPBL), Dusun Gondol, Desa
Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali dan
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pada Tahun 2017 di desa Mangkupadi
Kecamatan Tanah Kuning Kabupaten Bulungan.
Penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Studi Biologi
Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla spp) Di Perairan Muara Bulungan
Kalimantan Utara” selama 2 bulan pada tahun 2017. Penulis menyelesaikan
studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan
selama x semester (2013-2018).

iv
ABSTRACT

Muslimin, 13.101010.016 Study on Aquaculture of Fisheries and Marine


Science Faculty in University Borneo Tarakan. Studi biologycal
reproduktion mud crab (Scylla spp) in Muara Bulungan kalimantan Utara.
(Is guided by Rukisah Saleh, Ph.D and Gloria Ika Satriani, S.Pi.M.Si)
Muara Bulungan has ± 1.982.075 ha area with coastline along ±
381.775 km which domineted by mangrove ecosystem. Mud crab (Scylla spp) is an
estuary animal is lived supported by mangrove vegetation, such an omnivorous
and canibal animals. Biologically researching of mud crab reproduction in muara
Bulungan waters has a parpose to determine biologycal aspects of mud crab
reproduction (scylla spp) including sex ratio, gonad maturity index. The
indentification result is expected to give knowledge and information about gonad
maturity level of mud crab as a effort to mantain mud crab sustainability in
Muara Bulungan waters. This researching was held for two months (November –
Desember) 2017. Mud crab that made as samples was catted and reviewed by
using surgical scissors stretched from below shell on abdomen butt reach above
shell by following shell side in order to be opened coLBmpletely and gonad
appears clearly. Researching result shows that sex ratio of male and female
animal abtained is 1.00 : 0,69. The sample of existing mud crab is dominated by
TKG I, where as the index of gonad maturity of mud crab while the researching
from trip 1 – 3, obtained bigger distance ratio on male 0,03 – 18,55% where as
on female is 0,43 – 12,09%.

Keywords: Mud crab, Muara Bulungan, Reproduction

v
ABSTRAK

Muslimin, 13.101010.016 Program Studi Akuakultur Fakultas Perikanan


Dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan. Studi Biologi Reproduksi
Kepiting Bakau (Scylla spp) Di Perairan Muara Bulungan Kalimantan Utara
(Dibimbing oleh Rukisah Saleh, Ph.D dan Glori Ikasatriani, S.Pi.,M.Si)
Muara Bulungan memiliki luas ±1.982.075 ha dengan garis pantai
sepanjang ±381.775 km yang di dominasi oleh ekosistem magrove. Kepiting
bakau (Scylla spp) merupakan hewan yang hidup di wilayah estuaria dengan di
dukung oleh vegetasi magrove, hewan ini merupakan hewan omnivora dan
kanibal. Penelitian biologi reproduksi kepiting bakau (Scylla spp) di perairan
muara bulungan bertujuan untuk mengetahui tentang aspek biologi reproduksi
kepiting bakau (Scylla spp) meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad,
dan indeks kematangan gonag. Hasil identifikasi diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan informasi mengenai tingkat kematangan gonad kepiting bakau
sebagai uapaya menjaga kelestarian kepiting bakau di perairan wilayah muara
bulungan secara berkelanjuatan. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan
(November – Desembar) 2017. kepiting bakau yang dijadikan sampel ditangkap
dengan menggunakan alat tangkap berupa trap atau nama lainnya Ambau.
Kepiting bakau dibedah dengan menggunakan gunting bedah mulai dari cangkang
bagian bawah pada pangkal abdomen menuju cangkang bagian atas dengan
mengikuti pinggiran cangkang sehingga terbuka sempurna dan gonad dapat
terlihat dengan jelas. Hasil penelitian menunjukan bahwa nisbah kelamin jantan
dan betina yang didapatkan yaitu sebesar 1.00:0.69. Sampel kepiting bakau yang
ada didominasi TKG I, sedangkan indeks kematangan gonad kepiting bakau
selama penelitian dari trip 1 – 3, didapatkan nilai rentang yang lebih besar pada
jantan yakni 0,03 – 18,55 % sedangkan pada betina berkisar antara 0,43 – 12,09
%.

Kata kunci: Kepiting bakau, Muara bulungan, Reproduksi

vi
vii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
memberikan Karunia dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi ini dengan baik. Judul skripsi ini adalah “Studi Biologi Reproduksi
Kepiting Bakau (Scylla spp) di Perairan Muara Bulungan Kalimantan
Utara”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini tidak akan


terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, Ibunda dan Ayahanda tercinta serta seluruh keluarga
yang selama ini tak henti-hentimya memberikan do’a dan nasehat yang
mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Rukisah Saleh, Ph.D Selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Borneo Tarakan dan sebagai pembimbing satu yang
telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
3. Bapak Jimmy Cahyadi, S.Pi.,M.Si selaku Ketua Jurusan Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan.
4. Ibu Gloria Ika Satriani, S.Pi.,M.Si sebagai pembimbing dua yang telah
memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
5. Bapak Dr. Asbar Laga, S.T.,M.Si. dan Ibu Ira Maya Abdiani, S.Pi.,M.Sc
Sebagai penguji I dan II yang telah memberikan masukan dan bantuan
kepada penulis.
6. Bapak Amrullah Taqwa,S.T.,M.Si dan Bapak Encik Wiliyadi, S.Pi.,M.Sc
yang memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis.
7. Seluruh staf pengajar dan staf adminitrasi yang selama ini telah banyak
membantu penulisan dan mengurus adminttrasi maupun perkuliahan
selama di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Boeneo
Tarakan.
8. Angkatan BARRACUDA 2013, alumni/senior, serta junior terkhusus buat
teman yang membantu selama penelitian berlangsung, yang telah
memberikan bantuan, motivasi, kritik serta saran yang sangat bermanfaat
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta semua pihak yang tidak
dapat di sebutkan satu-persatu.

viii
Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hasil ini disebabkan
karena keterbatasan penulis sebagai makhluk Allah SWT yang tak luput dari
kekhilafan dan kekurangan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dalam
penulisan berikutnya dapat lebih baik lagi. Penulis mengharapkan semoga skripsi
ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi banyak pihak terutama bagi
penulis sendiri.

Tarakan, 17 September 2018

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
SURAT PERNYATAAN .................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xii

I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
1.3. Manfaat Penelitian .............................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3


2.1. Kepiting Bakau (Scylla spp)................................................................ 3
2.1.1. Klasifikasi Kepiting Bakau ...................................................... 4
2.1.2. Morfologi Kepiting Bakau ....................................................... 4
2.1.3. Jenis Kepiting Bakau................................................................ 8
2.1.4. Daur Hidup Kepiting Bakau .................................................... 10
2.1.5. Habitat dan Penyebaran Kepiting Bakau ................................. 12
2.1.6. Kebiasaan Makan Kepiting Bakau ........................................... 13
2.2. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Kepiting Bakau (Scylla spp) ..... 14
2.3. Parameter Kualitas Air ........................................................................ 17
2.3.1. Suhu.......................................................................................... 17
2.3.2. Salinitas .................................................................................... 17
2.3.3. pH Air....................................................................................... 18
2.3.4. DO (Oksigen terlarut) .............................................................. 18
2.3.5. Amoniak ................................................................................... 19

III. METODOLOGI ....................................................................................... 21


3.1. Waktu dan Tempat ............................................................................. 21
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................... 21
3.3. Lokasi penelitian ................................................................................ 22
3.4. Metode Penelitian............................................................................... 23

x
3.4.1. Data primer............................................................................... 23
3.4.2. Data sekunder ........................................................................... 23
3.5. Analisi Data ......................................................................................... 24
3.5.1. Nisbah kelamin.......................................................................... 24
3.5.2. Tingkat Kematangan Gonad ..................................................... 24
3.5.3. Indeks Kematangan Gonad ....................................................... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 27


4.1. Gambaran Umum Perairan Muara Bulungan ....................................... 27
4.2. Nisbah Kelamin.................................................................................... 28
4.3. Tingkat Kematangan Gonad ................................................................ 30
4.4. Indeks Kematangan Gonad .................................................................. 33

V. PENUTUP ................................................................................................. 36
A. Kesimpulan ........................................................................................... 36
B. Saran ..................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kepiting bakau (Scylla spp) .................................................................... 4


2. Morfologi kepiting bakau (Scylla spp) ................................................... 5
3. Anatomi kepiting bakau (Scylla spp) .................................................... 6
4. Perbedaan kepiting jantan dan betina ..................................................... 7
5. Jenis-jenis kepiting bakau ....................................................................... 9
6. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp) ............................................... 11
7. Tingkat kematangan ovari kepiting bakau.............................................. 15
8. Perkembangan gonad melalui pengamatan luar .................................. 16
9. Peta loksi penelitian ................................................................................ 22
10. Gambaran umum perairan muara Bulungan ........................................... 27
11. Diagram nisbah kelamin kepiting bakau selama penelitian di perairan muara
Bulungan ................................................................................................. 29
12. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting bakau jantan hasil pengamatan
secara morfologi ................................................................................... 30
13. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting bakau betina hasil pengamatan
14. secara morfologi ................................................................................... 32
15. Diagram komposisi TKG kepiting bakau jantan pada setiap trip selama
penelitian di perairan muara Bulungan ................................................... 32
16. Diagram komposisi TKG kepiting bakau betina pada setiap trip selama
penelitian di perairan muara Bulungan ................................................... 32
17. Indeks kematangan gonad kepiting bakau jantan ................................... 34
18. Indeks kematangan gonad kepiting bakau betina ................................... 35

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp) .................................................... 9


2. Nilai parameter kualitas air yang dapat ditolerir kepiting bakau .............. 20
3. Alat yang digunakan dalam penelitian ...................................................... 21
4. Bahan yang digunakan dalam penelitian .................................................. 21
5. Klasifikasi TKG Kepiting Bakau .............................................................. 25
6. Nisbah kelamin kepiting bakau jantan dan betina berdasarkan waktu
pengambilan sampel di Perairan Muara Bulungan ................................... 28

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data Jenis Kelamin, Panjang Karapas (mm), Lebar Karapas (mm),


Berat Total (gr), Berat Gonad (gr) dan TKG (Tingkat Kematangan
Gonad) Kepiting Bakau (Scylla spp) ...................................................... 41
2. Hasil analisa Indeks Kematangan Gonad (IKG) Kepiting Bakau
(Scylla spp) ............................................................................................. 45
3. Lampiran 3. Hasil analisa tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting bakau
secara keselurahan .................................................................................. 47
3. Dokumentasi Penelitian .......................................................................... 48

xiv
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kabupaten Bulungan adalah kabupaten yang terletak di sebelah utara pulau
Kalimantan. Kabupaten Bulungan masuk ke dalam wilayah di sekitar Alur Laut
Kepulauan Indonesia II (ALKI II) Selat Makassar. Luas wilayah perairan
Kabupaten Bulungan adalah ± 1.982.075 hektar dengan garis perairan/pantai
sepanjang 381.755 kilometer yang didominasi oleh ekosistem mangrove. Dengan
demikian tidak heran jika biota di perairan Pantai Muara Bulugan terdapat
berbagai jenis mulai dari ikan, kerang-kerangan dan crustasea (kepiting),
dikarenakan perairan tersebut merupakan daerah estuaria dan mangrove.
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas yang banyak hidup di
Muara Bulungan dan memiliki nilai jual yang tinggi, pangsa pasarnya mulai dari
dalam negri sampai luar negeri karena rasanya yang lezat (terutama betina yang
sedang bertelur) serta memiliki kandungan gizi yang tinggi.
Permintaan kepiting dari waktu ke waktu selalu meningkat, apalagi dari segi
geografis Muara Bulungan sangat dekat dengan perbatasan negara tetangga
Malaysia, yang merupakan salah satu pangsa pasar kepiting yang berasal dari
Muara Bulungan tersebut. Selama ini, permintaan pasar didominasi dari
tangkapan alam, namun penangkapan di alam tidak meperhatikan kelestarian
kepiting bakau dan dikhawatirkan populasi kepiting bakau ini akan menurun, di
sisi lain kondisi hutan mangrove yang merupakan habitat dari kepiting tersebut
mengalami kerusakan akibat penebangan kayu untuk dimanfaatkan kepentingan
lain. Konversi lahan mangrove untuk tambak dan pembangunan sarana lain akan
mempengaruhi produksi kepiting itu sendiri. Akibat lain dari konversi lahan
mangrove terjadinya pendangkalan akibat besarnya sedimentasi menyebabkan
terhambatnya sirkulasi air laut dan tawar yang dibutuhkan oleh ekosistam
mangrove.
Kondisi ini akan menjadi salah satu penyebab menurunya produksi kepiting.
Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan, pemanfaatan dan penyediaan
potensi sumberdaya perikanan kepiting bakau secara optimal dan
berkesinambungan untuk keperluan tersebut salah satu cara yang dapat digunakan
2

untuk mencapai pengelolahan yang berkelanjutan adalah perlunya mendapatkan


informasi tentang aspek biologi reproduksi.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menjaga kelestarian sumberdaya
kepiting bakau (Scylla spp) maka perlu diadakan penelitian tentang biologi
reproduksi kepiting bakau untuk menunjang pengolahan komuditas perikanan
yang berkelanjutan di Perairan Muara Bulungan Kalimantan Utara.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tentang aspek biologi
reproduksi kepiting bakau (Scylla spp) yang meliputi nisbah kelamin, tingkat
kematangan gonad (TKG), dan indeks kematangan gonad (IKG).

1.3 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini ialah menambah ilmu pengetahuan dan
memberikan informasi kepada semua pihak mengenai tingkat kematangan gonad
kepiting bakau (Syclla spp) sebagai bagian dari upaya untuk menjaga kelestarian
sumberdaya kepiting bakau di wilayah Perairan Muara Bulungan secara
berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepiting Bakau (Scylla spp)


Kepiting bakau merupakan kepiting hijau raksasa yang dapat ditemukan
dalam perairan dangkal pada hutan bakau ( mangrove dan estuari) (Kanna, 2002).
Portunidae merupakan salah satu keluarga kepiting yang mempunyai pasangan
kaki jalan, dan pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih dan melebar pada ruas
yang terakir (distal) dan sebagian hidup di laut, perairan bakau dan perairan
payau. Menurut Keenan (1998), terdapat empat spesies kepiting bakau di bawah
genus Scylla yaitu : Scylla serrata, S. transquebarica, S. olivacea dan S.
paramamosain. Tetapi, kepiting yang paling banyak di temukan di pasar adalah
kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan kepiting hijau yang ditemukan dalam
perairan dangkal pada sekitar hutan bakau (mangrove dan estuaria).
Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan komoditas ekspor bernilai
ekonomis tinggi dari Indonesia salah satunya yang berasal dari perairan Provinsi
Kalimantan Utara. Menurut Gunarto & Cholik (1989) dalam Suman (2002)
kepiting bakau merupakan salah komoditas perikanan yang patut dikembangkan
karena semakin meningkatnya harga dan permintaan tiap tahun. Berdasarkan data
yang tersedia di Dinas Kelautan dan Perikanan kota Tarakan, bahwa jumlah hasil
ekspor kepiting perbulan mencapai 68,77 ton. Jumlah tersebut belum dapat
dipenuhi karena keterbatasan hasil tangkap di alam dan produksi budidaya yang
masih sangat minim. Padahal permintaan kepiting tiap bulannya semakin
meningkat dan penyebab berkurangnya volume ekspor kepiting bakau (Scylla
spp) (DKP Kota Tarakan, 2015). Meningkatnya permintaan konsumen terutama
dari pasar luar negeri, menjadikan kepiting menjadi salah satu komoditas andalan
untuk ekspor non migas mendampingi udang windu. Permintaan kepiting yang
terus meningkatnya tersebut, selain disebabkan rasa dagingnya yang lezat, juga
kandungan gizinya yang tinggi, berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui
bahwa daging kepiting bakau mengandung protein 47,31% dan lemak 11,20%
(Karim, 2005).
4

2.1.1. Klasifikasi Kepiting Bakau


Menurut Motoh (1977); Warner (1977); Moosa (1980); dan Keenan
(1998) Kepiting bakau dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Mud Crab
yang dapat diklasifikasikan sebangai berikut:

Phylum : Arthropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla spp

Gambar 1. Kepiting bakau (Scylla spp)


Jenis Scylla spp merupakan family Portunidae dengan ciri-ciri diantaranya
panjang pasang kaki jalan lebih pendek dari pada capit. Sepasang kaki terakir
berbentuk dayung, karapas berbentuk lebar (Moosa et al., 1985). Habitat dari
kepiting bakau sampai kedalaman 5 m dan jarang terlihat menjauhi habitatnya
yang merupakan hewan karnivora dan mencari makan di malam hari (Glikin et
al., 2000)

2.1.2. Morfologi Kepiting Bakau


Kepiting bakau adalah binatang crustasea berkaki 10, yang biasanya
mempunyai “ekor” yang sangat pendek (bahasa Yunani :brachy=pendek,
ura=ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawa thorax. Tubuh
kepiting umumnya di tutupi dengan exoskeleton (rangka luar) yang sangat keras,
5

dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting bakau di kenal melalui bentuk
tubuhnya yang melebar melintang ciri khas yang dimiliki kepiting ini adalah
karapasnya berbentuk pipih atau agak cembung dan berbentuk heksagonal atau
agak persegi. Ujung pasang kaki terakhir mempunyai bentuk kaki agak pipih dan
berfungsi sebagai alat pendayung saat berenang. Kepiting bakau memiliki ukuran
lebar karapas lebih besar dari pada ukuran panjang tubuhnya dan permukaan agak
licin. Pada karapas Kepiting Bakau terdapat 22 duri, 4 duri di perantara sepasang
kedua mata, dan 9 buah duri di masing-masing kedua sisi kanan dan kirinya.
Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang dapat mencapi panjang 2 kali
lipat dari pada panjang karapasnya, sedangkan yang betina relatif lebih pendek
(Kanna, 2002).
Kelima pasang kaki kepiting bakau di antaranya, sepasang kaki pertama di
sebut capit yang berperan sebagai alat penangkap/pemegang makanan, 1 pasang
kaki berbentuk kipas yang berfungsi sebagai kaki renang, dan 3 pasang kaki
berbentuk pipih panjang meruncing berfungsi sebagai kaki jalan. Dengan capit
dan kaki jalan kepiting bakau dapat berlari dengan cepat di darat dan dapat
berenang dengan cepat di air sehingga di golongkan Swimming crab (portunidae)
sebagai mana dapat di lihat pada Gambar 2. Di bawah ini:

Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp) (Robertson, 1998)

Kepiting bakau memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau sedikit


kehijaun. Kaki renang terdapat pada ujung perutnya dan ujung kaki renang ini
dilengkapi dengan alat pendayung. Kaki dayung ini digunakan untuk berenang
dengan cepat sehingga kepiting bakau ini tergolong pula dalam kepiting renang
6

(swimming crab). Kaki dayung yang di miliki kepiting bakau ini mencirikan
bahwa dia adalah penghuni perairan dan penghuni daratan. Dengan kata lain
kepiting bakau termaksud hewan akuatik yang hidup dan berkembang dalam
perairan, walaupun untuk beberapa hari dapat bertahan hidup di darat yang
udaranya lembab (Kasry, 1996).
Tubuh bagian dalam kepiting bakau terdapat berbagai organ yang
kompleks (Gambar 3). Mulut kepiting bakau terbuka dan terletak pada bagian
bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam
memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting
memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal
ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan capit dalam memperoleh
makanan. Makanan yang di peroleh dihancurkan dengan menggunakan capit ,
kemudian baru dimakan.

Gambar 3. Anatomi kepiting bakau (Scylla spp) (Shimek, 2008)

Segmen basal dari antena membentuk lobulus kecil pada ungulus eksternal
bagian interior di lengkapi dengan adanya flagellum yang kecil. Bagian tepi
anterior lateralnya terbagi oleh 9 gigi yang besar, demikian juga dengan
permukaan karapasnya kecuali pada tepi lekukan melintang transversal baik pada
daerah protogasik maupun brankialnya. Pada bagian tepi anterior lateralnya
terdapat gigi yang besar dan tajam. Kepiting bakau juga dilengkapi dengan 3 buah
spina pada bagian tepian interior dari lengannya dan 2 bagian lainnya dibagian
posteriornya. Bagian lengan di lengkapi dengan satu buah spina yang sangat kuat
terletak pada bagian dalam dari ugulusnya dan dua spina yang lebih kecil terletak
7

di bagian permukaan sebelah luarnya. Bagian lengan sebelah dalam, terlihat berisi
dan dilengkapi dengan 3 buah spina yang tersusun berlawanan, 1 buah terletak
pada bagian basal dan 2 spina pada bagian terminal lain.
Kepiting bernafas dengan insang walaupun dapat naik ke darat atau pantai.
Selama tidak di dalam air kepiting tetap bernapas dengan insang dengan cara
mengkondisikan dirinya agar lembab dan dapat mengikat oksigen dalam proses
pernafasan. Dengan demikian kepiting tidak bisa hidup tanpa adanya air atau
kelembapan (Anonim, 2002).
Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian
depan dari karapas tidak membentuk sebuah rostume yang panjang. Insang
kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih, mirip dengan insang udang namun
dengan struktur yang berbeda. Insang yang terdapat didalam tubuh berfungsi
mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur
yang lunak terletak dibagian bawah karapas. Sedangkan mata menonjol keluar
berada di bagian depan karapas.
Untuk membedakan kepiting jantan dan betina secara umum dapat dilihat
pada bagian abdomen di bawa perut, untuk kepiting bakau jantan mempunyai
ruas-ruas abdomen yang berbentuk menyerupai segitiga sedangkan pada kepiting
betina abdomennya sedikit melebar. Perbedaan antara kepiting jantan dan betina
dapat di lihat (pada Gambar 4).

Gambar 4. Perbedaan kepiting jantan dan betina (Siahainenila, 2009)


8

2.1.3. Jenis Kepiting Bakau


Menurut Keenan (1998) dan Moosa, et al,. (1985), membagi genus Scylla
spp. Dalam tiga spesies dan satu varian, terdapat empat spesies kepiting bakau di
bawa genus Scylla yaitu Scylla serrata, Scylla transquebarica, Syclla olivacea
dan Scylla paramamosain. Adapun ciri masing-masing dari kepiting di bawa ini:
1. Syclla serrata, memiliki warna relatif sama dengan lumpur, hijau coklat
sampai kemerah-merahan seperti karat, yaitu coklat kehitam-hitaman pada
karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada abdomennya. Pada propudus
bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing dan 1 buah duri pada
propudus bagian bawah. Selain itu habitat kepiting bakau spesies ini
sebagian besar dihutan-hutan bakau di perairan Indonesia.
2. Syclla transqusbarica, memiliki warna kehijauan agak hitam dengan sedikit
garis coklat pada kaki renangnya dengan kombinasi kuning sampai orenge
pada karapasnya dan putih kekuning kuningan pada bagian abdomenya.
Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi tidak runcing dan 1
buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah.
3. Scylla olivacea, spesies ini lebih didominasi dengan warna agak orange
kehijauan dengan agak keabu-abuan hampir bagian tubuh kecuali bagian
perut dan ukuran badannya jauh lebih besar dari pada spesies yang lain.
Dengan capit yang lebih panjang, maka spesies ini lebih cepat memburu
makanan. Namun harga spesies ini lebih rendah di bandingkan dengan
spesies yang lainnya, sehingga spesies ini jarang di budidayakan oleh
petani.
4. Scylla paramamosain, spesies ini lebih didominasi dengan warna coklat
kemerah-merahan atau coklat ke ungu-unguan atau keabu-abuan terutama
pada karapasnya.
9

Keempat spesies dan satu varian tersebut dapat dilihat pada (Gambar 5)
sebagai berikut:

Gambar 5. Jenis-jenis kepiting bakau menurut Keenan (1998)


Dalam membedakannya, Estampador (1949) dalam Watanabe et al (1996)
mempergunakan warna, bentuk seperti huruf H pada karapas, bentuk bergigi
depan karapas, bentuk duri pada figer joint dan bentuk rambut (setae) sebagai
faktor pembeda utama. Untuk lebih jelas perbedaan kepiting bakau dapat dilihat
pada (Tabel 1) berikut ini.
Tabel 1. Morfologi Kepiting Bakau Scylla spp
Spesifikasi Scylla Scylla Scylla Scylla
olivacea transquebari serrata paramamo
ca sain
Warna Hijau menuju Hijau buah Hijau coklat Coklat
ke abu-abuan zaitun merah seperti abu-abu
karat
Bentuk huruf H Dalam dalam Tidak begitu Tidak
pada karapas dalam begitu
dalam
Bentuk gerigi
depan karapas - - Tumpul Sedang
Bentuk duri pada Kedua duri Kedua duri Duri tidak -
figer joint jelas dan satu jelas dan satu ada berubah
agak tumpul agak tumpul menjadi
vestigral
Bentuk Melimpah - Hanya pada -
rambut/setae pada karapas daerah optik
Sumber : Estampador 1949
10

2.1.4. Daur Hidup Kepiting Bakau


Daur hidup kepiting bakau meliputi telur, larva (zoea dan megalopa), post
larva atau juvenil, anakan dan dewasa. Perkembangan embrio telur mengalami 9
fase di antaranya, larva yang baru di tetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip
udang dari pada kepiting. Di bagian kepala terdapat tanduk yang memanjang.
Matanya besar dan di ujung kaki-kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini
juga terdiri dari 4 tingkat kemudian berubah ketahap mengalopa dengan bentuk
yang lain lagi. Larva kepiting berenang dan terbawa arus serta hidup sebagai
plankton (Nontji, 2002).
Kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya dari perairan pantai ke
laut, kemudian induk berusaha kembali kembali ke perairan pantai, muara sungai,
atau mangrove untuk berlindung, mencari makan, atau membesarkan diri.
Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki mangrove
dan tambak. Setelah perkawinan berlangsung kepiting betina perlahan-perlahan
akan beruaya ke perairan bakau, tambak, ke tepi pantai, dan selanjutnya ke tengah
laut utuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan
perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, tambak, sela-sela bakau,
atau paling jauh di sekitar perairan pantai pada bagian yang berlumpur, dan
ketersedian pakan yang berlimpah (Kasry, 1996).
Menurut Boer (1993), kepiting bakau (Scylla spp) yang telah beruaya ke
perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempet
melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Keberadaan
larva kepiting di perairan dapat menetukan kuliatas perairan tersebut, karena larva
kepiting sangat sensitif terhadap perubahan kualitas perairan (Sara et al., 2006).
Setelah telur menetas, maka masuk pada stadia larva, dimulai pada zoea 1 yang
terus menerus berganti kulit sebanyak 5 (lima) kali. Kemudian kepiting tersebut
berganti kulit lagi menjadi mengalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan
kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat
megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan
pantai. Kemudian pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan mangrove untuk
kembali menglangsungkan perkawinan. Siklus hidup kepiting bakau ditunjukan
pada (Gambar 6) sebagai berikut.
11

Gambar 6. Siklus hidup kepiting bakau Scylla spp (Sihainenia, 2008)

Selama masa pertumbuhan, kepiting dewasa akan mengalami pergantian


kulit antara 17-20 kali tergantung kondisi lingkungan dan pakan yang
mempengaruhi pertumbuhan. Proses moulting pada zoea berlangsung relatif lebih
cepat yaitu sekitar 3-4 hari, sedangkan pada fase mengalopa, proses dan interval
berlangsung relatif lama yaitu setiap 15 hari, setiap moulting, tubuh akan
bertambah besar sekitar 1/3 kali ukuran semula, dan panjang karapas meningkat
5-10 mm.
Kepiting bakau mengalami perkembangan mulai dari telur sampai ukuran
dewasa dengan beberapa tingkatan perkembangan (stadia). Menurut Estampador
dalam Pratiwi (2011) perkembangan kepiting bakau dalam daur hidupnya di bagi
atas tiga stadia, yaitu stadia embrionik, larva dan pascalarva. Secara detail Motoh
(1977) menyatakan bahwa perkembangan kepiting bakau mulai dari telur hingga
mancapai dewasa mengalami beberapa tingkatan perkembangan stadia, yaitu
stadia zoea, mengalopa, tingkat kepiting muda (juvenil) dan dewasa. Sebagai fase
awal stadia zoea yang terdiri atas lima tingkatan (substadia), setiap tingkatan
dibedakan dengan adanya penambahan atau perkembangan organ tubuh, baik
organ tubuh yang menujang kemampuan bergerak maupun aktifitas makan.
12

2.1.5. Habitat dan Penyebaran Kepiting Bakau


Penyebaran kepiting bakau (Scylla spp) adalah salah satu jenis biota yang
sumberdaya alaminya sangat luas mengingat habitatnya meliputi seluruh wilayah
hutan bakau dan daerah estuaria. Hutan bakau merupakan habitat asli dari kepiting
bakau. Sementara itu kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kepiting bakau
yang tertangkap berupa kepiting yang ukurannya masih kecil-kecil yang rata-rata
dengan lebar karapas kurang dari 10 cm dengan berat kurang dari 100 gram.
Sangat disayangkan, sebab bila kepiting ukaran tersebut dipelihara
(dibudidayakan) hanya selama 3-4 minggu saja, dengan diberi pakan berupa ikan
rucah, limbah buangan dari pemotongan hewan, atau limbah sisa makanan dari
restoran, yang tentu merupakan bahan yang tidak ada nilainya, maka kepiting
tersebut sudah dapat dijual dengan harga mahal karena telah menjadi lebih gemuk
bahkan sudah mengandung telur atau bercangkang lunak. Bila kita hendak
mengembangkan (membudidayakan) kepiting secara intensif, tentu diperlukan
benih. Sementara ini, kepiting berukuran kecil yang dijadikan benih, berasal dari
alam, sehingga jumlah dan mutunya tidak dapat diandalkan.
Kepiting merupakan fauna yang habitatnya dan penyebarannya terdapat di
air tawar, payau dan laut. Jenis- jenisnya sangat berangam dan dapat hidup di
berbagai kolom di setiap perairan. Sebagian besar kepiting yang kita kenal banyak
hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis
yang hidup di dalam ekosistem ini adalah Hermit crab,Uca spp, Mud lobster dan
kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari
makan di malam hari (nocturnal) (Prianto, 2007). Kepiting pada fase larva (zoea
dan megalopa) hidup di dalam air sebagai plankton. Kepiting mulai hidup di darat
setelah setelah memasuki fase juvenile dan dewasa seiring dengan pembentukan
karapas.
Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (Famili) yakni
Porftunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termaksud
dalam suku ini. Di Indo-Pasifik barat di perkirakan 234 jenis, dan di Indonesia ada
124 jenis. Di teluk Jakarta dan Kepulawan Seribu diperkirakan ada 46 jenis.
Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak di kenal orang
karena bisa dimakan, dan tentu saja berukuran besar. Jenis yang tubuhnya
13

berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir
tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan
ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh Dunia terdapat lebih dari 1000
spesies kepiting yang dikelompokan dalam 50 famili. Sebagian besar kepiting
hidup di laut, tersebar diseluruh lautan mulai zona supratidal hingga didasar laut
yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup di air tawar.
Keanekaragaman kepiting yang tinggi ada didaerah tropis dan di selatan Australia,
dan lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.
Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air
pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohan untuk mencari
makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal
di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan predator lainnya.
Kepiting mangrove seperti Scylla spp (mud crab) merupakan hewan yang
hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan ini
merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang dan
bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau dengan berat 2
kg, di mana kepiting jantan ukurannya lebih besar dari betina.
Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari subordo
Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan
yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di
daerah-daerah tertentu dapat ditentukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya
adalah soldier crab sedangkan di Indonesia sering di sebut tentara Jepang, di
pantai dekat Maroke, jika air sedang surut mereka bisa terlihat bergerak kian
kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan
atau ribuan individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja gangguan,
misalnya dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka
akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru
setelah situasi dianggap aman, mereka keluar lagi di atas pasir (Nontji, 2002).

2.1.6. Kebiasaan Makan Kepiting Bakau


Kepiting bakau adalah mahluk hidup dengan kebiasaan makan jenis
omnivora, artinya pemakan segala. Di samping mengkomsumsi daging hewan
14

laut, kepiting juga dapat memakan tumbuhan, seperti ubi, jagung, dan tepung
(bisa juga diformulasi dalam bentuk pakan). Dalam kehidupan liarnya, kepiting
lebih sering menangkap ikan, artinya cendrung ke arah karnifora. Ikan-ikan
ditangkap menggunakan capit, kemudian di masukkan ke dalam mulut secara
perlahan.
Kepiting dapat tumbuh dengan baik jika lingkungan fisik dan gizinya
terjamin. Kemampuan makan dan penyerapan gizi oleh tubuh pun sangat di
pengaruhi oleh faktor external seperti suhu, salinitas, pH, kandungan oksigen.

2.2. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Kepiting Bakau (Scylla spp)


Tingkat kematangan gonad (TKG) sebagai tahap tertentu perkembangan
gonad sebelum dan sesudah kepiting memijah. Tahapan tingkat kematangan
gonad merupakan peroses penting dalam reproduksi, pencatatan perubahan atau
tahapan – tahapan kematangan gonad juga akan dapat di ketahui kapan kepiting
bakau itu akan memijah, baru memijah atau sudah memijah. Kepiting bakau
merupakan organisme yang dioceous, artinya mempunyai jenis kelamin jantan
dan betina pada individu yang berbeda. Perbedaan kepiting jantan dan betina
dapat diketahui secara morfologi.
Sistem reproduksi kepiting betina terdiri atas ovarium, saluran telur,
dan spermateka, sedangkan pada kepiting jantan terdiri atas testis, saluran sperma,
dan alat ejakulasi. Pada betina, ovarium terletak di dalam rongga abdomen,
melintang tepat di atas kelenjar pencernaan, demikian juga pada kepiting
jantan. Ujung spermateka mengarah pada kaki dari pasangan kaki ketiga,
sedangkan saluran sperma terbuka kearah kaki pada pasangan kaki terakhir.
Ujung dari saluran telur mengalami modifikasi membentuk spermateka dan
vagina untuk menangkap pleopod jantan. Ukuran spermateka berubah-ubah
sesuai volume sperma yang dikandungnya (Diesel, 1991).
Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari
reproduksi sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil
metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Dalam individu terlur terdapat
peroses yang dinamakan vitellogenesis yaitu terjadinya pengendapan kuning telur
pada tiap – tiap individu telur. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan –
perubahan dalam gonad.
15

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) pada kepiting bakau


betina dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara morfologis. Pengamatan
secara morfologis dilakukan dengan melihat perubahan ukuran dan warna
yang tampak pada bagian bawah abdomen. Untuk menentukan tingkat
kematangan gonad kepiting bakau mengacu pada resperensi berdasarkan Kasry
(1996) yang dikombinasikan dengan Ikhwanuddin et al, (2014).
Tingkat perkembangan telur (gonad) merujuk pada tingkat kematangan
gonad, menjelang matang (mature) belum dapat dilihat dengan mata telanjang
dan terbentuk sepasang filamen seperti sari susu berwarna kuning keputihan.
Ketika telur matang sedang, ukuran gonad bertambah besar dan mengisi hampir
seluruh permukaan ruang bagian punggung dan daerah dada, terlihat berwarna
kemerahan atau kuning keemasan. Selanjutnya telur itu akan berkembang dengan
baik (Poovachiranon, 1991). Tingkat kematangan ovari kepiting bakau dapat
dilihat pada (Gambar 7) di bawah ini:

Gambar 7. Tingkat kematangan ovari kepiting bakau. (a) TKO I (b) TKO II (c)
TKO III (d) TKO IV (Islam, et al, 2010)

Untuk menentukan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) kepiting jantan dan


betina dilakukan klasifikasi TKG kepiting dengan menggunakan pendekatan
modifikasi menurut Kasry 1996 dan Islam et al,2010 dan Ikhwanuddin et al,2014.
16

Perkembangan gonad juga dapat diamati dari luar, dengan memperhatikan


kondisi perkembangan gonad (betina) dan melihat morfologis abdomen
bagian belakang. Untuk menentukan tingkat perkembanagan gonad, dapat dilihat
dengan cara sedikit menekan bagian belakang abdomen. Jika bagian tersebut
terlihat warna kuning atau oranye, maka kepiting tersebut dipastikan adalah
kepiting bertelur. Cara lain untuk mengetahui kepiting berpotensi telur adalah
dengan menggunakan cahaya lampu. Akan tetapi cara ini hanya dapat
dilakukan ketika kepiting memasuki TKG IV. Kepiting pembawa telur tidak
tembus cahaya pada bagian anterior karapasnya. Sementara telur yang telah
dibuahi akan keluar melalui gonopore dan disimpan di balik segmen abdomen
(antara sternum dan abdomen). Perkembangan gonad melalui pengamatan luar
dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Perkembangan gonad melalui pengamatan luar (Tanpa Pembedahan


Karapas) gonad mulai matang kuning (a,b) dan gonad sudah matang
kuning-oranye (c,d,e) (Islam et al., 2010).
17

2.3. Parameter Kualitas air


Kualitas air dalam budidaya perairan sangat memegang peran penting,
artinya air yang digunakan dapat membuat mahluk hidup tumbuh kembang dan
mempertahankan hidupnya. Air sebagai media hidup bagi organisme yang hidup
dalamnya termaksud kepiting akan berpengaruh langsung terhadap kelangsungan
hidup dan pertumbuhan organisme tersebut. Sehingga kualitas air baik yang
bersifat fisik, kimia dan biologi perlu dijaga sebaik mungkin. Penggunaan air
sebagai media tumbuh baik untuk kegiatan pembesaran maupun pembenihan,
harus memperhatikan beberapa faktor seperti, suhu air, oksigen terlarut, derajat
keasaman, serta amoniak (Afrianto, 1992).

2.3.1. Suhu
Suhu merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam pengaturan
aktifitas hewan akuatik. Suhu air mempengaruhi proses fisiologi ikan seperti
respirasi, metabolisme, komsumsi pakan, pertumbuhan, tingkah laku, dan
reproduksi serta mempertahankan hidup.
Perubahan suhu berperan dalam kecepatan metabolisme dan kegiatan
lainnya (Hill, 1982). Penyusaian terhadap suhu dilakukan oleh kepiting dengan
cara membenamkan diri kedalam lubang berlumpur atau melalui transpirasi. Suhu
yang diterima untuk kehidupan kepiting bakau adalah 18-35oC, sedangkan suhu
yang ideal adalah 25-30oC. Suhu yang kurang dari titik optimum berpengaruh
terhadap pertumbuhan organisme.

2.3.2. Salinitas
Salinitas dapat di definisikan sebagai total ion-ion terlarut dalam air.
Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil (0/00) atau ppt (part
perthousand) atau g/l. Salinitas menggambarkan kepadatan total di air setelah
semua karbonat dikonpersi menjadi oksida, semua bromida ionida digantikan
dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi, 2003).
Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi dan osmoregulasi.
Perubahan salinitas tidak berlangsung berpengaruh terhadap perilaku biota tetapi
berpengaruh terhadap perubahan sifat kimia air (Brotowijoyo, et al. 1995).
18

Kepiting mengatur ion plasmanya agar tekanan osmotik didalam cairan


tubuh sebanding dengan kapasitas regulasi. Salinitas yang sesuai untuk
pemeliharaan kepiting adalah 15-25 ppt (Ramelan, 1994). Kepiting akan
mengalami pertumbuhan yang lambat jika salinitas berkisar 35-40 ppt, dan
tumbuh lebih baik pada salinitas 10-15 ppt, namum lebih sensitif terhadap
serangan penyakit. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi komsumsi oksigen,
sehingga mempengaruhi laju metabolisme dan aktifitas suatu organisme.

2.3.3. pH Air
Menurut Boyd (1990), drajat keasaman atau pH menggambarkan aktifitas
potensial ion hidrogen dalam larutan yang dinyatakan sebagai kosentrasi ion
hidrogen (mol/l). Air murni mempunyai nilai pH 7 dan dinyatakan netral,
sedangkan pada air payau berada pada kisaran normal antara 7-9. Konsentrasi pH
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad
renik. Perairan yang asam cendrung menyebabkan kematian pada ikan/kepiting
demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa, hal ini disebabkan
konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernapasan tinggi dan
berpengaruh terhadap menurunya nafsu makan (Ghufron dan Kordi, 2005).

2.3.4. DO (Oksigen terlarut)


Oksigen terlarut dalam air berasal dari dua sumber utama yaitu dari proses
difusi gas O2 dari udara bebas saat ada perbedaan tekanan parsial di udara dan
masuk ke dalam air, dan bersumber dari fotosintesis (Boyd, 1990). Difusi gas
dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas, difusi akan menurun sejalan dengan
meningkatnya salinitas dan suhu air. Sedangkan pengaruh fotosintesa pada
keberadaan oksigen dalam air tergantung pada kelimpahan phytoplankton dan
kekeruhan. Plankton berpengaruh pada produksi dan komsumsi oksigen,
sedangkan kekeruhan lebih berpengaruh pada banyaknya produksi oksigen.
Oksigen terlarut tidak saja digunakan untuk pernapasan biota dalam air
tetapi juga untuk proses biologis lainnya. Jika oksigen terlarut dalam keadaan
minim dapat menyebabkan setres dan meningkat peluang infeksi penyakit. Kitika
larutan oksigen rendah sedangkan konsentrasi CO2 tinggi kemampuan biota
(kepiting) dalam mengambil oksigen akan terganggu. Bila konsentrasi oksigen
19

terlarut <3 mg/l, maka nafsu makan biota (kepiting) akan berkurang dan tidak
dapat berkembang dengan baik (Buwono, 1993). Pada saat kadar oksigen terlarut
sebasar 2,1 mg/l pada suhu 30oC udang maupun kepiting menunjukan gejala tidak
normal dengan berenang di permukaan. Sedangkan pada kadar 3 mg/l dalam
jangka panjang dapat mempengaruhi pertumbuhan udang DO untuk kehidupan
kepiting di tambak yang paling baik mencapai >5 mg/l.
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat menghambat aktivitas
biota perairan. Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh. Kebutuhan
akan oksigen antara spesies tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
struktur molekul sel darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan parsial
oksigen dalam air dengan keseluruhan oksigen dalam sel darah (Effendi, 2003).
Keberadaan oksigen di perairan sangat penting terkait dengan berbagai
proses kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai
senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme perairan (Dahuri, et al. 2004).
Berbagai hal yang dapat menguragi oksigen terlarut adalah peningkatan limbah
organik yang masuk perairan, kematian fitoplankton secara massal dan tiba-tiba,
pertumbuhan tubuhan air yang berlebihan khususnya fitoplankton dan tumbuhan
dalam air, terjadinya stratifikasi suhu dan kemungkinan pembalikan.

2.3.5. Amoniak
Amoniak (NH3) dalam air berasal dari perombakan bahan organik dan
pengeluaran hasil metabolisme ikan /kepiting melalui ginjal dan jaringan insang.
Di samping itu, amoniak di perairan juga dapat terbentuk dari hasil proses
dekomposisi protein yang berasal dari sisa pakan atau plankton yang mati. Pada
budidaya secara intensif, jumlah pakan yang diberikan pada hewan budidaya
sangat banyak akan mempercepat peningkatan kosentrasi amoniak. Sebagian
besar pakan akan dimanfaatkan oleh hewan budidaya untuk pertumbuhannya,
namun sebagaian lagi akan dieksresikan dalam bentuk kotoran pada amoniak
terlarut dalam air. Kotoran tersebut selanjutnya akan mengalami perombakan
menjadi NH3 dalam bentuk gas.
Kandungan amoniak dalam air akan bertambah sesuai dengan kenaikan
aktivitas hewan budidaya dan suhu air. Ikan/kepiting sangat peka terhadap
amoniak dan senyawanya. Daya homoglobin ikan terhadap oksigen berkurang
20

dengan cepat jika konsentrasi amoniak di dalam air mencapai 1 ppm. Dalam
praktek di lapangan, perairan sudah di katagorikan tercemar jika mengandung
amoniak 1 ppm. Perairan yang baik untuk budidaya ikan/kepiting adalah yang
mengandung amoniak kurang dari 0,5 ppm. Dalam perairan yang belum tercemar
ternyata kandungan amoniak masih jauh di bawa 0,02 ppm dan konsentrasi ini
dianggap aman bagi biota budidaya (Afrianto, et al, 1992)
Tabel 2. Nilai parameter kualitas air yang dapat ditolerir kepiting bakau (Scylla
spp)

No Paramater Kualitas Air Nilai Satuan


o
1 Suhu 23-32 C
2 Salinitas 15-35 Ppt
3 pH 7,0-8,5 -
4 Oxygen Terlarut 3,5-7 Mg/l
5 Kecerahan 25-60 Cm
6 Amoniak <0,5 Mg/l
7 Nitrit < 0,5-2 Mg/l
8 Alkalinitas <2 Mg/l
Sumber : Effendi, 2007
III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan selama dua bulan dengan mengambil sampel di
perairan muara Bulungan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Proses
identifikasi dan pengamatan parameter biologi reproduksi di Laboratorium
Biologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan.

3.2. Alat dan Bahan


Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 3:
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam penelitian
No Alat Fungsi
1. Ambau tancap Untuk menangkap sampel kepiting
2. Box/ Sterofom Untuk menyimpan sampel
3. Kamera Untuk dokumentasi
4. Drone Untuk mengambil gambar lokasi penelitian
5. Global Positioning System Menentukan titik koordinat letak stasiun
(GPS)
6. Alat tulis Mencatat data
7. Gunting bedah Membedah cangkang kepitoing
8. Pinset Memudahkan pengambilan Gonad
9. Sarung tangan Melindungi tangan
10. Kertas lebel Untuk penomoran sampel
11. Timbangan Menimbang berat gonad

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 4:

Tabel 4. Bahan yang digunakan dalam penelitian


No Bahan Fungsi
1. Kepiting bakau Sampel pengukuran
2. Akuades Pembilas sampel
22

3.3. Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian berada di perairan Muara Bulungan yang secara umum
merupakan daerah Mangrove yang telah di konversi menjadi lahan pertambakan,
seperti yang terlihat pada gambar 9. Secara administrasi perairan Muara Bulungan
masuk di wilayah Kabupatan Bulungan Provinsi Kalimantan Utara. Lokasi
pengambilan sampel terletak pada 3o5’0’’ – 3o15’0’’ LU dan 177o15’0’’ –
117o35’0’’ BT. Yang terbagi atas 12 stasiun dan dilaksanakan dalam 3 tahap,
dimana 1 tahap terdapat 2 trip. Trip 1 dan 2 dilaksanakan pada tanggal 7-8
November pada saat kondisi air pasang purnama, trip 3 dan 4 di laksanakan pada
tanggal 17 – 18 November di mana pada saat pasang purnama, dan trip 5 – 6 di
laksanakan pada tanggal 4 – 5 Desember di mana pada saat kondisi air pasang
perbani.

Sumber : Peta yang diolah di laboratorium GIS FPIK UBT (2017)


Gambar 9. Peta Loksi Penelitian
23

3.4. Metode penelitian


Sampel kepiting bakau ditangkap dengan menggunakan alat tangkap
berupa trap atau nama lokalnya Ambau. Hasil tangkapan kepiting bakau di
masukkan ke dalam box lalu dibawa ke Laboratorium Biologi Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan. Kepiting Bakau yang ditangkap
diambil sebanyak 50 ekor pada setiap trip secara acak dengan berbagai ukuran,
yang mewakili hasil tangkapan, dan jika kurang dari 50 ekor maka semua kepiting
bakau yang tertangkap diambil.
Kepiting bakau dibedah dengan menggunakan gunting bedah mulai dari
cangkang bagian bawah pada pangkal abdomen menuju cangkang bagian atas
dengan mengikuti pinggiran cangkang sehingga terbuka sempurna dan gonad
dapat terlihat dengan jelas. Gonad dikeluarkan secara perlahan – lahan
mengunakan alat bedah dengan hati – hati agar gonad tetap utuh dan tidak putus
kemudian ditimbang berat gonadnya,
Ruang lingkup penelitian ini di fokuskan pada variabel aspek reproduksi
yang meliputi kematangan Ovari (TKO) kepiting bakau (Scylla spp) dan indeks
kematangan gonad kepiting bakau (Scylla spp). Sumber data penelitian yang ada
dikelompokkan menjadi dua:

3.4.1. Data primer


Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh responden, atau
sumber data. Metode pengumpulan data primer dapat melalui obsevasi, partisifasi
aktif, dan wawancara. Data primer yang dimaksud adalah data potensi kepiting
bakau (Scylla spp) yang berasal dari hasil penangkapan.

3.4.2. Data sekunder


Data sekunder adalah data yang diperoleh dari orang atau badan lain yang
telah di kumpulkan atau belum diolah mengenai data yang diperlukan. Data
skunder diperoleh dari jurnal, pustaka serta lembanga penelitian atau masyarakat
yang ada hubungannya dengan usaha kepiting bakau (Scylla spp).
24

3.5. Analisis Data


Aspek reproduksi yang dianalisis meliputi: nisbah kelamin, tingkat
kematangan gonad, dan indeks kematangan gonad. Dalam penelitian ini, analisis
data yang digunakan dalam menentukan tingakat kematangan gonad adalah
dengan membedah dan melakukan pengamatan secara langsung, yakni dengan
mengamati gonad dan jenis kelaminnya kemudian dicatat. Prosedur dan
penetuannya mengacu pada motode – metode berikut ini:

3.5.1. Nisbah kelamin


Nisbah kelamin adalah perbandingan antara jumlah kepiting bakau jantan
dan betina. Nisbah kelamin dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh
Effendie (1997), sebagai berikut:
Nk = M/F
Keterangan:
Nk = Nisbah Kelamin
M = Jumlah total ikan jantan (ekor)
F = Jumlah total ikan betina (ekor)

3.5.2. Tingkat kematangan gonad (TKG)


Tingkat kematangan gonad (TKG) sebagai tahap tertentu perkembangan
gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Tahapan tingkat kematangan gonad
merupakan proses penting dalam reproduksi, pencatatan perubahan atau tahapan –
tahapan kematangan gonad juga akan dapat diketahui kapan kepiting bakau itu
akan memijah, baru memijah atau sudah memijah.
Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari
reproduksi sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil
metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Dalam individu telur terdapat
proses yang dinamakan vitellogenesis yaitu terjadinya pengendapan kuning telur
pada tiap – tiap individu telur. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan –
perubahan dalam gonad. Untuk menentukan tingkat kematangan gonad kepiting
bakau dilakukan analisa secara morfologi berdasarkan bentuk, panjang, berat, dan
warna serta perkembangan isi gonad. Tingkat kematangan gonad kepiting bakau
dideskripsikan berdasarkan hasil pengamatan langsung dengan merujuk
25

berdasarkan klasifikasi ( Kasry 1996 yang dikombinasikan dengan Islam et al.,


2010 dan Ikhwanuddin et al., 2014 ).
Tabel 5. Klasifikasi TKG kepiting bakau (Scylla serrata)

TKG Jantan Betina


I Gonad seperti filamen, berwarna Ovarium belum berkembang dan
putih jernih, terletak dekat jantung berbentuk sepasang filamen yang
di bawah hati mengarah ke punggung, terletak di
atas kelenjar pencernaan yang
berwarna kuning, ovarium
berwarna jernih keputihan
II Gonad mulai membesar dan Ukuran ovarium bertambah dan
bentuknya jelas. Berwarna putih menghias ke sekitarnya. Warna
susu menjadi kuning pucat
III Gonad seperti TKG II, namun Volume ovarium semakin
ukurannya semakin besar membesar, hampir mengisi seluruh
rongga dada (cephalothorax). Telur
berwarna kuning pucat sampai
kuning emas. Kelenjar pencernaan
makin mengecil terdesak oleh
perkembangan ovarium. Butiran
telur dapat terlihat dengan bantuan
mikrokop.
IV Gonad terlihat dengan jelas, Ovarium penuh dengan sel hampir
berwarna putih susu dan matang berwarna oranye sampai
bentuknya semakin pejal merah tua, bila karapas dibuka
hampir seluruh dada hanya berisi
ovarium

Sumber : Kasry 1996 yang dikombinasikan dengan Islam et al., 2010 dan
Ikhwanuddin et al., 2014 )
26

3.5.2. Indeks Kematangan Gonad (IKG)


Musim pemijahan kepiting bakau dapat diketahui dan ditentukan
berdasarkan TKG dan IKG yang dikaitkan dengan waktu pengambilan sampel.
Indeks kematangan gonad (IKG) atau dinamakan juga “maturity index” atau di
sebut juga “gonado somatic index” atau persentase perbandingan berat gonad
dengan berat tubuh kepiting bakau dihitung berdasarkan formulasi Effendie
(1979):

Keterangan : IKG = Indeks kematangan gonad


Bg = Berat gonad dalam gram
Bt = Berat tubuh dalam gram
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Perairan Muara Bulungan


Perairan Muara Bulungan adalah perairan yang memiliki vegetasi
mangrove di mana sepanjang tepian sungai terdapat habitat Mangrove. Perairan
Muara Bulungan merupakan daerah estuaria di mana tempat terjadinya pertemuan
antara air tawar dan air laut, sehingga banyak terdapat biota – biota yang hidup di
daerah tersebut, salah satunya adalah kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting bakau
(Scylla spp) merupakan biota yang hidup di wilayah estuaria dengan didukung
oleh vegetasi mangrove sehingga di perairan Muara Bulungan sebagai salah satu
habitat kepiting bakau.
Perairan Muara Bulungan adalah perairan yang mengarah ke laut Kota
Tarakan yang merupakan daerah hutan mangrove yang telah banyak di konversi
menjadi lahan pertambakan udang, sehingga banyak anakan sungai buatan yang
terdapat di sekitar Muara Bulungan yang menjadi tempat habitat kepiting bakau.
Subtrat perairan Muara Bulungan umumnya merupakan lumpur berpasir yang
terbentuk dari proses sedimentasi hal ini di karenakan perairan muara bulungan
hilir dari sungai – sungai yang ada di kabupaten Bulungan yang membawa
material bahan organik yang ditransport oleh media air sehingga terjadi
pengendapan pada hilir sungai. Gambaran Perairan Muara Bulungan dapat dilihat
pada gambar 10 di bawah ini :

Gambar 10. Gambaran umum perairan Muara Bulungan


28

4.2. Nisbah Kelamin


Nisbah kelamin atau perbandingan jenis kelamin merupakan perbandingan
jenis kelamin jantan dan betina. Penetuan jenis kelamin jantan dan betina kepiting
bakau dilakukan dengan mengamati bentuk morfologi dari abdomen kepiting
bakau, dapat dilihat pada (Gambar 4).
Dari hasil perhitungan terhadap sampel kepiting bakau sebanyak 150 ekor
yang digunakan selama penelitian yang terdiri dari 89 ekor jantan dan 61 ekor
betina. Hal ini menunjukan bahwa kepiting jantan lebih dominan dibanding
betina. Dari hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan nisbah kelamin yang
tidak seibang antara jantan dan betina. Adapun perbandingan nisbah kelamin
antara jantan dan betina dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini :
Tabel 6. Nisbah kelamin kepiting bakau jantan dan betina besarkan waktu
pengambilan sampel di Perairan Muara Bulungan

Jumblah Kepiting (Ekor)


Penangkapan Nisbah Kelamin
Jantan Betina

Penangkapan 1 28 22 1.27

Penangkapan 2 31 18 1.72

Penangkapan 3 30 20 1.50

Total 89 61 1.47

Sumber : Data primer yang diperoleh (2017)


Nisbah kelamin kepiting bakau jantan dan betina yang didapatkan pada
saat penelitian adalah 1,47 atau 89:61 ekor. Di mana kepiting bakau jantan yang
mendominasi yaitu sebanyak 89 ekor. Perbedaan tersebut diduga karena pada saat
pengambilan sempel, kepiting bakau betina beruaya ke perairan yang lebih dalam
atau kelaut untuk melakukan pemijahan. Dugaan tersubut sejalan dengan
pernyataan Jati., (1985) yang menyatakan hanya kepiting betina yang akan
beruaya ke laut untuk memijah, sedangkan kepiting jantan tetap berada di muara
sungai, dengan demikian komposisi antara kepiting jantan dan betina di suatu
muara berubah sesuai dengan waktu pemijahan. Menurut Hill (1982) keadaan
nisbah kelamin jantan dan betina dari kepiting bakau berubah menurut musim,
29

tempat dan ukuran kepiting. Perbandingan nisbah kelamin pada saat penelitian
dapat dilihat pada gambar 11 di bawah ini :

Nisbah Kelamin Kepiting Bakau


(Scylla spp)
2,00
1,72
1,50
1,50 1,27

1,00

0,50

0,00
Penangkapan 1 Penangkapan 2 Penangkapan 3

Gambar 11. Diagram nisbah kelamin kepiting bakau selama penelitian di perairan
Muara Bulungan, penangkapan 1 (November), penangkapan 2
(November), dan penangkapan 3 (Desember)

Dengan melihat diagram di atas menunjukkan bahwa nisbah kelamin antara


jantan dan betina pada setiap penangkapan bervariasi antara, 1,72 sampai dengan
1,27. Hal ini menujukkan bahwa nisbah kelamin antara jantan dan betina
bervariasi dengan jantan selalu dominan. Diduga perbedaan nisbah kelamin
kepiting bakau jantan dan betina tersebut yang teramati dapat terjadi sebagai
akibat perbedaan tingkah laku pergerakan kepiting bakau atau pun merupakan
salah satu strategi reproduksi yaitu bahwa satu individu jantan akan membuahi
beberapa individu betina. Hal ini sesuai dengan peryataan Effendi (1997) dalam
Rusni (2002) bahwa organisme laut yang mempunyai musim pemijahan lebih dari
satu kali, maka pada waktu pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan
presentase komposisi tingkat kematangan gonad yang terdiri berbagai tingkat
dengan persentase yang tidak sama. Hal tersebut diduga bahwa kepiting bakau
betina beruaya ke perairan laut untuk melakukan pemijahan. Dugaan tersebut
sejalan dengan gambaran siklus hidup kepiting bakau menurut Sihainenia, (2008)
30

4.3. Tingkat Kematangan Gonad


Dari hasil pengamatan terhadap morfologi gonad berdasarkan warna,
bentuk, ukuran dan beratnya. Maka ditentukan tingkat kematangan gonad (TKG).
Penentuan TKG pada kepiting bakau ini mengacu pada deskripsi yang telah
digambarkan oleh Kasry (1996) yang dikombinasikan dengan Ikhwanuddin et al
(2014). Perbedaan pada setiap tahapan kematangan gonad kepiting bakau dapat
dilihat pada Gambar 12 dan 13 di bawah ini :

TKG I Gonad seperti filamen, berwarna TKG II Gonad mulai membesar dan
putih jernih, terletak dekat bentuknya jelas. Berwarna
jantung di bawah hati putih susu

TKG III Gonad seperti TKG II, namun TKG IV Gonad terlihat dengan jelas,
ukurannya semakin besar
berwarna putih susu dan
bentuknya semakin pejal
Gambar 12. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting bakau jantan hasil
pengamatan secara morfologi
31

TKG I : Secara morfologi Ovarium TKG II : Secara morfologi ukuran


belum berkembang dan ovarium bertambah dan
berbentuk sepasang filamen yang menghias ke sekitarnya. Warna
berwarna kuning, ovarium menjadi kuning pucat
berwarna jernih keputihan

TKG III : Volume ovarium semakin TKG IV : Ovarium penuh dengan sel
membesar, hampir mengisi hampir matang berwarna oranye
seluruh rongga dada sampai merah tua, bila karapas
(cephalothorax). Telur berwarna dibuka hampir seluruh dada
kuning pucat sampai kuning hanya berisi ovarium
emas.

Gambar 13. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting bakau betina hasil
pengamatan secara morfologi
32

Dari identifikasi terhadap sampel kepiting yang dilakukan dari Bulan


November sampai dengan Desember 2017 ditemukan bervariasi dari TKG I - IV.
Adapun komposisi TKGnya dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15 di bawah ini:

JANTAN
100
6,67
90
29,63 32,26 20,00
80
PERSENTASE (%)

70
11,11 TKG 4
60 23,33
50 TKG 3
22,22 45,16
40 TKG 2
30 TKG 1
50,00
20 37,04
10 19,35

0 3,23
TRIP 1 TRIP 2 TRIP 3

Gambar 14. Diagram komposisi TKG% kepiting bakau jantan pada setiap trip
selama penelitian di perairan Muara Bulungan

BETINA
100%
90% 13,64
22,22 25,00
PERSENTASEN (%)

80%
70% 27,27 11,11
60% TKG 4
16,67 35,00
50% 13,64 TKG 3
40% TKG 2
30% 20,00 TKG 1
45,45 50,00
20%
10% 20,00
0%
TRIP 1 TRIP 2 TRIP 3

Gambar 15. Diagram komposisi TKG% kepiting bakau betina pada setiap trip
selama penelitian di perairan Muara Bulungan
33

Dari Gambar 14 dan 15 di atas didapatkan variasi TKG antara jantan dan
betina yaitu, jantan TKG I sebanyak 26 ekor (29,55%), TKG II sebanyak 19 ekor
(22,22%), TKG III sebanyak 23 ekor (26,14%), TKG IV sebanyak 20 ekor
(22,73%) dan betina TKG I Sebanyak 23 ekor (38,33%) TKG II sebanyak 10 ekor
(16,67%) TKG III sebanyak 15 ekor (25%) TKG IV sebanyak 12 ekor (20%).
Hal ini menunjukan bahwa pada setiap tripnya didapatkan TKG III Dan IV
kepiting jantan dan betina. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa kepiting
melakukan pemijahan pada bulan November dan Desembar atau pada trip 1 – 3.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kepiting pada TKG III dan IV. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Suhendra dan Merta (1986) dalam Laga (2015) bahwa
dengan ditemukannya ikan/kepiting dengan TKG III dan IV sudah
mengindikasikan adanya ikan/kepiting yang memijah pada waktu dan tempat
tersebut. Hal ini juga diperkuat dengan fakta di lapangan (di Tarakan) terhadap
penangkapan bibit kepiting untuk budidaya kepiting soka di tambak yang
dilaksanakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Poreses pemijahan
kepiting yang tidak mengenal musim atau berlangsung setiap saat juga ditemukan
oleh Rahmi et al (2013) di Hutan Mangrove Teluk Buo Kota Padang. Hal ini
juga dapat dibuktikan dengan ditemukan setiap tahapan TKG pada setiap tripnya.
Hal ini menunjukan bahwa proses perkembangan gonad dalam bentuk TKG
terjadi secara berkesinambungan, artinya pada saat kepiting memijah dalam
bentuk TKG IV masuk ke TKG V, maka kekosongan TKG IV digantikan oleh
TKG III dibawahnya dan seterusnya sehingga kepiting yang TKG IV tetap ada.
Tahapan kematangan gonad yang ada pada setiap saatnya disebabkan
kemungkinan oleh kondisi lingkungan yang relatif stabil atau masih berada di
dalam lingkaran kisaran toleransi kepiting bakau. Hal ini sejalan dengan (Lagler et
al., 1997 dalam Novitriana et al., 2004) bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi saat kepiting pertama kali matang gonad antara lain adalah
perbedaan spesies, umur dan ukuran, serta sifat – sifat fisiologi individu yang
berbeda jenis kelamin dan juga tempat berpijah yang sesuai. Hal ini bisa
dibuktikan dengan data parameter kulalitas air yang di temukan pada saat proses
penangkapan kepiting. Kisaran parameter kualitas air berkisar antara suhu 29,1-
34

30.5 0C , kecerahan 22-43,8 cm, DO 3,1-4,2 mg/L, salinitas berkisar antara 5-19
ppt. Dan nili-nilai kualitas air di atas tidak ada yang fluktuasinya besar kecuali
salinitas.

4.4. Indeks Kematangan Gonad


Dari hasil analisis terhadap bobot gonad kepiting bakau, dibandingkan
bobot berat tubuhnya berdasarkan pada bentuk morfologi gonadnya maka
didapatkan nilai IKG yang berkisar antara TKG I jantan 0,03 – 8,98 dan betina
0,43 – 5,63, TKG II berkisaran antara jantan 1,78 – 6,18 dan betina 2,01 – 5,66,
TKG III berkisaran antara jantan 2,07 – 9,26 dan betina 2,93 – 9,88 dan pada
TKG IV memiliki kisaran antara jantan 3,29 – 18,55 dan pada betina memiliki
kisaran 3,37 – 12,09. Nilai IKG ini merupakan validasi terhadap penentuan TKG
pada Kepiting. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolski (1969) dalam Efeendie
(2002) bahwa tanda utama untuk membedakan kematangan gonad berdasarkan
berat gonad. Secara alami hal ini berhubungan dengan berat tubuh, perbandingan
berat gonad dan berat tubuh yang dinamakan kovisien dengan berat gonad dan
dinyatakan dalam persen. Perbandingan tersebut dikenal pula dengan sebutan
indeks of maturity, yang berkaitan dengan reproduksi untuk menentukan siklus
perkembangan gonad dengan cara mengamati perubahan berat gonad yang di
nyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG). Adapun kisaran nilai IKG
pada kepiting bakau di Perairan Muara Bulungan selama penelitian dapat dilihat
pada Gambar 16 dan 17 di bawah ini:

JANTAN
10,00
8,52
8,00
7,01
IKG (%)

6,00 Trip 1
5,47
4,61 4,70 4,52 4,77 Trip 2
4,00
3,44
2,88 Trip 3
2,00 2,00 2,43

0,00 0,33
IKG I IKG II IKG III IKG IV

Gambar 16. Indeks kematangan gonad kepiting bakau jantan


35

BETINA
10,00

8,00 7,92
7,00
IKG (%)
6,00 Trip 1
5,06 4,87
4,74
4,45 4,57 Trip 2
4,00
3,07 Trip 3
2,62
2,00 1,77
1,46
0,00
IKG I IKG II IKG III IKG IV

Gambar 17. Indeks kematangan gonad kepiting bakau betina

Dari hasil perhitungan terhadap nilai indeks kematangan gonad pada


kepiting bakau (Gambar 16 dan 17). Pada kepiting bakau jantan TKG I 0,03 –
8,98 dan betina 0,43 – 5,63, TKG II berkisaran antara jantan 1,78 – 6,18 dan
betina 2,01 – 5,66, TKG III berkisaran antara jantan 2,07 – 9,26 dan betina 2,93 –
9,88 dan pada TKG IV memiliki kisaran antara jantan 3,29 – 18,55 dan pada
betina memiliki kisaran 3,37 – 12,09. Nilai IKG pada kepiting bertambah seiring
dengan perkembangan TKG, yakni dari TKG I – VI. Hal ini diakibatkan oleh
pertambahan ukuran gonad baik dalam bentuk ovarium pada kepiting betina dan
testis pada kepiting jantan sampai batas maksimum sesaat sebelum terjadi
pemijahan. Dari hasil perhitungan yang dilakukan pada sampel kepiting selama
penelitian dari trip 1 – 3, didapatkan nilai rentang yang lebih besar pada jantan
yakni 0,03 – 18,55 % sedangkan pada betina berkisar antara 0,43 – 12,09 %. Nilai
ini bertolak belakang dengan hasil yang didapatkan dari beberapa penelitian
misalnya ikan pepija di Perairan Tarakan oleh Laga (2015) dan ikan kipar di
Perairan Sekatak oleh Sumarni (2016) dengan rentang IKG pada betina lebih
besar yang diakibatkan karena adanya penumpukan bahan-bahan kuning telur
dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau
nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Hal ini diduga karena terbatasnya sampel
kepiting betina yang tertangkap yang siap untuk memijah. Dan diduga juga
berkaitan dengan lokasi penangkapan dan pengambilan sampel pada lokasi
36

anakan sungai, di mana kepiting yang siap memijah akan beruaya dari habitat
mangrove ke perairan yang lebih dalam (laut lepas). Hal ini sesuai dengan
gambaran siklus hidup kepiting bakau menurut (Sihainenia, 2008). Bahwa
kepiting bakau yang siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau atau
tambak. Setelah pemijahan, induk kepiting bakau akan beruaya ke perairan bakau,
tambak, ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk memijah (Hill 1975).
Hal tersebut sesuai dengan siklus hidup kepiting yang dicantumkan pada Gambar
6 (halaman 11).
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian studi biologi reproduksi kepiting bakau
(Scylla spp) di Perairan Muara Bulungan Kalimantan Utara, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Nisbah kelamin jantan : betina yang didapatkan yaitu 89:61.
2. Sampel kepiting bakau pada penelitian ini didominasi oleh TKG I, di mana
kepiting bakau jantan sebesar 26 ekor (29,55%), dan kepiting bakau betina
sebanyak 23 ekor (38,33%).
3. Nilai IKG tertinggi ada pada TKG IV yaitu jantan 3,29 – 18,55 dan pada betina
memiliki kisaran 3,37 – 12,09.

5.2. Saran
Upaya menjaga populasi kepiting bakau (Scylla spp) dapat dilakukan
melalui pembatasan penangkapan kepiting bakau matang gonad, serta
mengusahakan kegiatan budidaya induk kepiting bakau yang matang gonad untuk
menghindari terjadinya pengurangan stok populasi kepiting bakau di alam akibat
over fishing, supaya keberadaan Scylla spp dapat terus berkesinambungan dan
lestari.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan E. Liviawaty, 1992. Pemeliharaan Kepiting, Kanisius,


Yogyakarta.
Anonim. 2002. Molting. [online] http://o-fish.com/Crayfish/molting_1.php [04
November 2009].
Arikunto, s. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi VI,
PT. Rineka Cipta, Jakarta
Boer, G. (1993). Climate change and the regulation oh the surface moisture and
energy budgest. Climate Dynamics, 8. 225-239.
Bonine, K.M., E.P. Bjorkstedt, K.C. Ewel and M. Palik 2008. Population
characteristic of the mangrove crab S. serrata (Decapoda: Portunidae) in
Kosrae, Federation States of Micronesia: Effect of harvest and
implications for management. Jurnal Pacific Science 62: 1-19.
Boyd, A.W. and A.W. Arlo. 1990. Pond monitoring ang management. In. Fast,
A.W And Lester L.J. (Eds). Marine shrimp Culture : Principles and
Practices, pp. 497-514.
Brotowijoyo, M,D., Dj Tribawono., E.Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan
Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Buwono,I.D,. 1993. Tambak Udang Windu Sistem Pengolahan Intensif. Kanisius.
Yogyakarta.
Cholik, F. 1999. Review of mud crab culture research in Indonesia. ACIAR
Proceedings No. 78. Proceedings of An International Scientific Forum
Held In Darwin, Australia, 21–24 April 1997. Canberra. Australia: 14-20.
Dahuri, R., J. Rais ., S.P. Ginting , M.J. Sitepu. 2004. Pengolahan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Edisi Revisi. PT. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengolahan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogyakarta : Kanisiuas.
Effendie, M. I. 1979. Metode biologis perikanan. Cetak pertama. Yayasan Dewi
Bogor.
Estampador, E.P. 1949. Studies on Scylla (Crustacee : Portunidal) I Devision Of
Genus. Philippines Journal Science.
Ghufron. M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan Laut Di Kerampa Jaring Apung,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
38

Glikin. 2000, My Private Kepiting Bakau Blog.unila.ac.id Weblog Posted on 23rd


Iuly 2009 By Uncategorize.
Hil, B.J. 1989. Live Histories and Environmental Reguiremens of Costal fisher
and Invertebrates ( Mid. Adlantic ). Blue Crab Biologocal Report., 82 :
11.100.

Ikhwanuddin, M., J. Nur-Atika, A.B. Abol-Munafi, H. Muhd-Farouk. 2014.


Reproductive biology on the gonad female orangemud crab Scylla olivacea
(Herbst, 1796) from the West Coastal Water of Peninsular Malaysia. Asian
Journal of Cell Biology 9 (1):14-22.

Irmawati, 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan


Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga
Penelitian UNHAS.
Jati, S. B. P. 1985. Penelaahan Beberapa Aspek Biologi Kepiting Bakau (Scylla
serrata(Forskal), di Pertambangan Muaro Gembong, Kab. Bekasi. Karya
ilmiah Fakultas Perikanan IPB. Bogor. 21 hal.
Kanna I., 2002. Budidaya Kepiting, Pembenihan Dan Pembesaran. Kanisius,
Yogyakarta.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata.
Jakarta. 93 Hal.
Keenan, 1998. Scylla sp Decapod Crabs Reproduction And Development,
(Online), (http://www.mesa.edu.au).
Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller and D.R.M. Passino 1977. Ichthyology.
Sec. Ed. John Wiley & Sons. New York
M. S. Islam dkk. 2010. Ovarian Development of the Mud Crab Scylla
paramamosain in a Tropical Mangrove Swamps, Thailand. Hournal of
Scientific Research. 2 (2), 380-389.
Moosa M.K., I. Aswandy dan A.Karsy. 1985. Kepiting Bakau – Scylla serrata
(Forskal) dari Perairan Indonesia. LON – LIPI. Jakarta.
Moosa, M.K. 1980. Systematical and zoogeographical observation the Indo-West
Pasific Portunidae. LON – LIPI. Jakarta. Hal 1-138.
Motoh, H. 1977. Biological synopsis of alimago, Genus Scylla. Quart. Res Rep.
SEAFDEC. 3 : 136 – 157
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. London and New
York
Nirmalasari I. W. 2011. Pengelolaan Zona Pemnafaatan Ekosistem Mangrove
Melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla
39

seratta) Di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur.


Disertasi IPB, Hal: 1 – 293.
Nontji, 2002. Laut Nusantara jakarta: di Djambatan Odum, E, P. 1971.
Fundamental of Ecology. 3rd edition. W.B Saunders Company. Philadelphia.
Novitriana R, Ernawati Y, Rahardjo, M.F. 2004. Aspek pemijahan ikan petak,
leiognathus equulus, Forskal, 1775 (fam. Leiognathidae) di pesisir
mayagan. Jurnal iktiologi indonesia.
Perianto, E,2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone olivacia).
Pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.
Balai Riset Perikanan Umum Banyuasin.
Rahmi.E.G, Sumarmin.R dan Lusi.A. (2013) Tingkat Kematangan Gonad
Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) di hutan Mangrove teluk Buo kota
Padang. Jurnal fortal garuda
Robertson, 1998. Factor Affecting Catches of the Crab Scylla serrata (Forskal)
(Decapoda : Portunidae) in baited traps. Soak time, time of day and
asessibility of the bait, Estuar. Coastal shelf Sci. 29. P 161-170.
Sara, L. 2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the
Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian Fisheries Science,
(Online), Vol. 19; 331-347, website: www.asianfisheriessociety.org.
Diakses pada tanggal 10 Maret 2012.
Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online), (www.reefkeeping.com, diakses
8 Desember 2013).
Siahainenila Laura. 2008. Morphological Structure of The Mud Crab, Scylla
paramamosain. Ambon: Vol 5-1. Hal 11-21.
Suhendra T, MertaIGS.1986. Hubungan panjang berat, tingkat kematangan gonad,
dan fekunditas ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)di Perairan Sorong.
Jurnal PeLaut34:11‒19
Warner, G.F. 1977. The biology of crab. Elek Scientific Book Ltd. London.
Watanabe, S,S. Tsuchica, R. Fuseya, K. Soewandi and Zairion, 1996. The Crab
Recources Around The Mangrove Forset. Fisheries Faculity, University of
Tokyo and IPB 169 P.
Wijaya, N.I. 2010. Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove
melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (Scylla
serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Disertasi
S3. Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Manuscript.

Anda mungkin juga menyukai