Anda di halaman 1dari 12

Aspek Biologi Kepiting (Scylla sp)

Rizki Ghulam Zaki1*, Riduwan Ibrahim1, Wenny Anugrah S.1


1PadjadjaranUniversity, Faculty of Fisheries and Marine Science
*Corresponding author E-mail: rizki17015@mail.unpad.ac.id

Abstract
Scylla serrata merupakan kepiting portunid yang menempati habitat mangrove di kawasan Indo-Pacific yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Praktikum Analisis Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) dilaksanakan pada hari Rabu, 28 November 2018 pada pukul 09.30
sampai 11.30 WIB di Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Praktikum ini bertujuan
untuk mengetahui aspek pertumbuhan, reproduksi dan kebiasaan makan kepiting bakau yang meliputi parameter menganalisis hubungan
panjang bobot, faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), Hepatosomatic index
(HSI), indeks preponderan, tingkat trofik pada kepiting bakau. Di dalam praktikum ini dijelaskan bagaimana pertumbuhan panjang kepiting
bakau tertinggi pada interval 75 – 85 mm sebanyak 22 ekor dan terendah pada interval 108-118 mm sebanyak 1 ekor. Pada bobot kepiting
bakau nilai tertinggi pada interval 62,49-102,41 sebesar 21 ekor dan nilai terendah pada interval 262,14-302,06 sebesar 1 ekor. Pola
pertumbuhan kepiting bakau dengan nilai b = 1,5981 dikatakan pola pertumbuhan allometrik negatif dimana (b<3) yaitu pertumbuhan
panjang lebih cepat daripada pertumbuhan bobot kepiting. Faktor kondisi berkisar antara 0  1 yang tergolong ke dalam pipih atau tidak
gemuk. Kepiting bakau merupakan kepiting jenis omnivora cenderung herbivor dengan pakan utama detritus 44%, fraksi hewan 39% dan
pakan pelengkap phytoplankton 11% serta fraksi tumbuhan 4%.
.

Keywords: Aspek Biologi, Kepiting Bakau, Pertumbuhan, Reproduksi

1. PENDAHULUAN Karapas hewan ini dilengkapi dengan 3-9 buah


Kepiting bakau Scylla serrata duri tajam, memiliki tiga pasang kaki jalan dan
merupakan kepiting portunid yang menempati satu pasang kaki renang yang berpola poligon.
habitat mangrove di kawasan Indo-Pacific Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit
(Keenan et al. 1995; Knuckey 1999). Kepiting yang dalam keadaan normal capit sebelah
bakau (Scylla spp) juga merupakan komoditas kanan lebih besar dibandingkan capit sebelah
perikanan tradisional yang mempunyai nilai kiri (Kasry 1996).
ekonomis di berbagai Negara pada kawasan ini Kepiting bakau dewasa termasuk jenis
(Le Vay 1998). Jenis ini di Indonesia, tersebar hewan pemakan segala dan bangkai
di banyak wilayah pesisir yang memiliki (omnivora). Pada saat stadia larva, kepiting
mangrove maupun estuary dari Sumatera di bakau memakan plankton, dan pada saat
barat sampai Papua di timur dan eksploitasi juvenil menyukai detritus sedangkan kepiting
terhadap sumberdaya kepiting bakau dewasa menyukai ikan dan moluska terutama
menunjukkan trend peningkatan (La Sara kerang-kerangan (Lavina 1980; Kuntiyo et al.
2010). 1994; Catacutan 2002). Kepiting bakau aktif
Menurut Siahainenia (2008) kepiting makan pada waktu malam hari, namun
bakau memiliki warna karapas yang bervariasi sebenarnya waktu makannya tidak beraturan.
dari ungu, hijau, sampai hitam kecoklatan.
Arriola (1940) dalam Siahainenia (2008) Praktikum ini dilaksanakan pada Rabu,
menyatakan bahwa umumnya kepiting bakau 14 November 2018 pukul 10.00 WIB sampai
yang siap untuk matang gonad adalah kepiting dengan 11.30 WIB di Laboratorium Fisiologi
yang memiliki ukuran lebar karapas berkisar Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu
antara 105-123 mm. Kepiting bakau yang telah Kelautan Universitas Padjadjaran. Alat-alat
siap melakukan perkawinan akan memasuki yang digunakan dalam praktikum ini adalah
hutan bakau dan tambak. Spermatofor kepiting gelas ukur untuk mengukur volume larutan
jantan akan disimpan di dalam spermateka dengan ketelitian tinggi, baki preparasi untuk
kepiting betina sampai telur siap dibuahi. menyimpan kepiting yang akan diteliti,
Jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali timbangan untuk menimbang bobot sampel
perkawinan berkisar 2-8 juta butir telur (Kordi yang digunakan, cover glass digunakan untuk
2012), bergantung dari ukuran dan umur menyimpan preparat, pipet tetes untuk
kepiting. mengambil larutan dan memindahkannya tetes
Praktikum ini bertujuan untuk demi tetes, kamera untuk keperluan
menganalisis aspek pertumbuhan meliputi dokumentasi, milimeter block untuk mengukur
distribusi ukuran, hubungan panjang bobot dan panjang kepiting dan organ, mikroskop untuk
faktor kondisi, menganalisis aspek reproduksi, melihat organ yang berukuran kecil, cawan
meliputi rasio kelamin, TKG, IKG, HSI, petri untuk menyimpan organ, dan gunting
fekunditas, diameter telur dan tingkat bedah untuk membedah kepiting. Bahan yang
kematangan telur, serta menganalisis aspek digunakan aquades untuk melarutkan isi
kebiasaan makanan, meliputi indeks bagian lambung, formalin untuk pengenceran isi usus
terbesar, dan tingkat trofik. Hasil kajian ini kepiting, dan kepiting bakau (Scylla sp.)
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan sebagai sampel yang akan diteliti. Prosedur
pertimbangan dalam pengelolaan dan yang harus dilakukan dalam praktikum ini
budidaya Scylla serrata agar dapat dimanfaatan adalah sebagai berikut.
secara berkelanjutan. 1. Aspek Pertumbuhan

2. METODOLOGI
Metode yang digunakan pada praktikum
ini adalah metode observasi yang bertujuan
untuk mengetahui aspek biologi Kepting bakau
yang meliputi aspek pertumbuhan, reproduksi,
serta aspek kebiasaan makanan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Aspek Reproduksi 3.1. Analisis Aspek Pertumbuhan


Analisis aspek pertumbuhan meliputi
distribusi ukuran, regresi hubungan panjang
dan bobot, dan faktor kondisi.

3.1.1. Distribusi Ukuran


Berikut adalah rata-rata grafik di setiap
interval dari dsitribusi panjang pada
praktikum analisis kepiting bakau:

3. Aspek Kebiasaan Makan


Dari data distribusi bobot kepiting yang
Distribusi Panjang Karapaks
di dapat oleh satu angkatan, menunjukkan
Kepiting
45% 42% bobot ikan tertinggi berada di interval 62,56 -
40%
31% 102,55 gr dengan persentase 40%, dan bobot
persentase (%)

35%
30%
25% ikan terendah berada di interval 46,06-68,4 gr;
20%
15% 68,41-90,75 gr; dan 262,56-302,55 gr dengan
8% 8% 6%
10% 4%
5% 2% persentase 2%. Sedangkan pada interval
0%
222,56-262,55 gr tidak terdapat ukuran bobot
ikan karena persentase-nya 0%. Nilai
Interval (mm) maksimum bobot ikan nila dari data yang
didapat oleh satu angkatan ialah 302,01 gr dan
Gambar 1. Grafik Distribusi Panjang Kepiting
nilai minimum bobot ikan nila dari data yang
Berdasarkan data yang di dapat oleh
di dapat oleh satu angkatan ialah 22,56 gr.
satu angkatan maka dapat dianalisis distribusi
Grafik menunjukkan terdapat satu kelumpuk
panjang yaitu data tersebut menunjukkan
ukuran pada pertumbuhan bobot yaitu pada
bahwa ukuran panjang ikan nila yang di dapat
interval 22,56-62,55 sampai 182,56-,222,55.
oleh satu angkatan paling banyak berada di
Perbedaaan ukuran panjang dan bobot
interval 75-85 mm dengan persentase 42% dan
kepiting bakau dapat pengaruhi oleh beberapa
paling rendah berada di interval 108-118
faktor internal dan external. Faktor internal
sebanyak 2%. Grafik menunjukkan terdapat
umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol
dua kelumpuk ukuran pada pertumbuhan
yaitu keturunan, sex, umur, parasit dan
panjang, yaitu pada interval 64-74 sampai 86-
penyakit. Umur juga mempengaruhi
96 dan 108-118 sampai 119 -129.
pertumbuhan dari hormon dan pencernaan
ataupun organ vital. Faktor external yang
Distribusi Bobot Kepiting mempengaruhi adalah suhu perairan dan
45% 40% makanan. Namun, belum diketahui secara pasti
40% 37%
Persentase (%)

35% faktor mana yang memberikan dampak lebih


30%
25% besar terhadap pertumbuhan (Effendie 1997)
20%
15% 10% 8%
10% 4% 3.1.2. Regresi Hubungan Panjang dan
5% 0% 2%
0% Bobot

Interval (gr)

Gambar 2. Grafik Distribusi Bobot Kepiting


b dari ikan nila yang digunakan oleh satu
Regresi Hubungan Panjang
350 angkatan dalam praktikum ini yaitu sebesar
dan Bobot
300 1,5981, berarti data tersebut menunjukkan
y = 2.3844x - 93.222
250 R² = 0.5038 bahwa nilai b < 3, hubungan yang terbentuk
200
y = 0.0848x1.5981
adalah allometrik negatif, pertambahan
150 panjang lebih cepat dari pada pertambahan
100 berat sehingga menunjukkan keadaan ikan
50 yang kurus (Effendi 1997).

0 Hal ini sesuai dengan pernyataan dari


0 50 100 150
hasil penelitian yang dilakukan oleh Yenni et
al. (2017) di perairan Hutan Mangrove,
Gambar 3. Grafik Regresi Hubungan Panjang
dan Bobot Kepiting Kelurahan Belawang Sicanang, Sumatra Utara
yang menunjukkan bahwa pertumbuhan
Pada grafik diatas menunjukkan regresi
panjang pada kepiting bakau (Scylla serrata)
antara Panjang dengan Bobot. Grafik diatas
lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya,
menunjukan bahwa regresi antara Panjang dan
sehingga mengindikasikan bahwa kepiting
Bobot sebesar 0,5038. Nilai regresi tersebut
bakau memiliki pola pertumbuhan allometrik
artinya sebanyak 50% bobot kepiting
negatif dengan nilai b sebesar 2,657.
dipengaruhi oleh panjang ikan dan sisanya
dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel 3.1.3. Faktor Kondisi
tersebut seperti keturunan, sex, umur, parasit
dan penyakit, suhu perairan dan makanan. Jika
Faktor Kondisi
2.000
dilihat dari nilai r pada grafik diatas, terlihat 1.473 1.498 1.504
Faktor kondisi

1.500 1.314 1.419


1.121
nilai r atau nilai korelasi mendekati satu, maka 0.763
1.000
korelasi antara hubungan panjang dan bobot 0.500
sangat kuat. Sedangkan nilai kerelasi bersifat 0.000

positif yang artinya menunjukkan hubungan


satu arah. Nilai korelasi sebesar 0,709 Interval (mm)
membuktikan bahwa pertumbuhan panjang
dan bobot ikan nila menunjukkan hubungan Gambar 4. Grafik Faktor Kondisi Kepiting

sangat kuat. Grafik faktor kondisi terhadap panjang


Dari grafik tersebut, dapat dianalisis total kepiting bakau menunjukkan adanya
bahwa hubungan panjang dan berat ikan dalam kenaikan seiring dengan pertambahan panjang.
suatu populasi dapat diperoleh nilai b untuk Grafik menunjukkan nilai k kepiting bakau
menentukan tipe pertumbuhan ikan nila, nilai paling tinggi adalah sebesar 1.504 yang artinya
Kepiting bakau hasil praktikum angkatan 2017 sebanyak 44% yaitu betina : jantan = 0,78 : 1 .
tergolong kurus.. Perubahan grafik faktor Dalam uji Chi-Square didapatkan nilai
kondisi seiring dengan pertambahan panjang X2hitung sebesar 1.44 dan nilai X2tabel sebesar
disebabkan karena kebutuhan ketika usia muda 3.84, dapat dikatakan bahwa nilai X2tabel lebih
terhadap makanan cukup tinggi yang berguna besar dari nilai X2hitung sehingga dapat
untuk bertahan hidup dan melangsungkan diartikan bahwa H0 diterima yang artinya
pertumbuhannya sehingga faktor kondisi ikan nisbah kelamin sudah seimbang. Dapat dilihat
yang berukuran kecil relatif tinggi dan akan dari selisih perbandingan rasio kelamin jantan
menurun ketika ikan bertambah besar dan betina tidak terlalu jauh. Perbandingan
(Effendie 1997). rasio kelamin tidaklah mutlak, hal ini
dipengaruhi oleh pola distribusi yang
3.2. Analisis Aspek Reproduksi
disebabkan oleh ketersediaan makanan,
Berdasarkan praktikum yang
kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai
dilaksanakan, telah didapatkan data dari
makanan (Effendie 2002).
Kepiting bakau yang yang diukur aspek-aspek
3.2.2. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
biologi reproduksi nya. Menurut Nikolsky
(1963) Aspek reproduksi tersebut meliputi, BETINA
rasio kelamin, tingkat kematangan gonad 8 6
5
Axis Title

6
4 3
(TKG), indeks kematangan gonad (IKG), 2 11 1
2
1 11 1
0
hepatosomatik indeks (HIS), fekunditas,
diameter telur, dan tingkat kematangan telur.
3.2.1. Rasio Kelamin
Axis Title
Rasio Kelamin
TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V

Gambar 6. Distribusi TKG Kepiting Betina


44%
56%

betina jantan

Gambar 5. Grafik Rasio Kelamin Kepiting

Grafik (gambar 5) menunjukkan rata-


rata jenis kelamin kepiting bakau yang diamati
lebih banyak jantan dengan persentase
sebanyak 56% dan berjenis kelamin jantan
samping itu bisa digunakan untuk mengetahui
JANTAN
9 tentang ukuran atau umur ikan pertama kali
10
6
Axis Title

8
6 3 4 masak gonad, waktu pemijahan, serta
4 1 11 1 11 1
2 intensitas pemijahan selama satu tahun
0
(Effendie 1979).
3.2.3. Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Axis Title
IKG
TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V 1.40 1.25
1.20
1.00
Gambar 7. Distribusi TKG Kepiting Jantan
0.80
Penentuan tingkat kematangan gonad 0.56
0.60
0.330.28 0.30
0.40 0.260.26
dilakukan dengan pengamatan secara 0.10
0.20
morfologi, mengacu pada kriteria Tingkat 0.00
I II III IV
Kematangan Gonad (TKG) menurut Effendie
Nilai IKG (%) Betina Nilai IKG (%) Jantan
(1979). Berdasarkan grafik distribusi TKG
kepiting bakau betina diketahui pada interval Gambar 8. Grafik Indeks Kematangan Gonad
Kepiting
bobot 22,56-62,55 sudah terdapat TKG IV
sebanyak 1 ekor. Hal ini tidak sesuai dengan Berdasarkan data grafik indeks kematangan
pernyataan Amir 1994 dalam Agus 2008, gonad (IKG) kepiting bakau jantan sebesar
kepiting betina matang pada ukuran lebar 1.25%% pada TKG IV, sedangkan indeks
karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting kematangan gonad (IKG) ikan Bandeng
jantan matang secara fisiologis ketika lebar betina sebesar 0.10% pada TKG IV. Indeks
karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak kematangan gonad (IKG) pada kepiting bakau
cukup berhasil bersaing untuk pemijahan menunjukkan bahwa kepiting tersebut telah
sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari siap memijah dan matang gonadnya. Faktor-
ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 faktor utama yang mampu mempengaruhi
mm. kepiting Jantan baru pada interval bobot kematangan gonad ikan, antara lain suhu dan
262,56-302,55 terdapat TKG IV sebanyak 1 makanan, tetapi secara relatif perubahannya
ekor . tidak besar dan di daerah tropik gonad dapat
Informasi mengenai tingkat masak lebih cepat (Effendie 2002).
kematangan gonad diperlukan untuk 3.2.4. Hepato Somatik Indeks (HSI)
mengetahui atau menentukan perbandingan
ikan yang masak gonad atau belum dari
ketersediaan ikan yang ada di perairan, di
Fekunditas adalah jumlah telur matang
HSI
dalam ovari yang akan dikeluarkan pada waktu
0.500 0.450
memijah (Hunter et al., 1992). Fekunditas pada
0.400
0.319 setiap individu betina tergantung pada umur,
0.277 0.280
0.300
ukuran, spesies dan kondisi lingkungan
0.200
(ketersediaan makanan, suhu air dan musim)
0.100 (Fujaya 2001). Dari hasil praktikum yang
0.000 sudah dilakukan, nilai fekunditas pada
I II III IV
tingkatan TKG IV berkisar antara 660.176-
Gambar 1. Grafik Hepato Somatik Indeks 693.396 butir.
Kepiting
3.3. Analisis Aspek Kebiasaan Makanan
Hati merupakan tempat terjadinya
Berikut ini merupakan hasil dan
vitelogenesis. Dari grafik tersebut dapat dilihat
pembahasan mengenai aspek kebiasaan
bahwa pada TKG III nilai HSI sebesar 0.45%.
makanan pada Kepiting bakau.
Pada TKG IV nilai HSI sebesar 3.19%. Nilai
3.3.1. Indeks Propenderan
HIS tertinggi terdapat pada TKG III.
Kebiasaan makanan dapat dianalisis
Tingginya persentasi HIS dipengaruhi oleh
dengan menggunakan indeks preponderan
tinggi tingkat kematangan gonad, semakin
atau indeks bagian terbesar (Effendie 1979).
tinggi tingkat kematangan gonad ikan akan
Pada analisis indeks bagian terbesar
semakin tinggi juga nilai HIS yang
(preponderan), pakan dikelompokkan menjadi
dimilikinya. Penurunan HIS tpada TKG IV
5 kelompok pakan yaitu fitoplankton,
karena adanya proses pembentukan kuning
zooplankton, bagian hewan, bagian tumbuhan,
telur dihati yang mengakibatkan penurunan
dan detritus.
bobot hati. Kuning telur ini nantinya akan
menjadi sumber makanan pada pada embrio di Indeks Propenderan
50% 44%
dalam telur . Proses vitelogenesis tersebut 39%
Persentase

40%
karena dipengaruhi oleh adanya isyarat – 30%
20% 11%
isyarat lingkungan seperti fotoperiod, suhu, 10% 2% 4%
0%
aktivitas makanan dan faktor sosial yang
semuanya akan merangsang hipotalamus
untuk mensekresikan hormon – hormon
Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) Jenis Pakan

(Sumantri 2006).
Berdasarkan grafik indeks preponderan
3.2.5. Fekunditas
diatas dapat diketahui bahwa kepiting pada
praktikum banyak mengonsumsi pakan jenis Meurut Caddy and Sharp (1986) tingkat
detritus dan fraksi hewan dengan indeks trofik adalah urutan-urutan tingkat
propenderan sebesar 44% dan 39% yang pemanfaatan makanan atau material dana
menunjukkkan bahwa jenis makanan tersebut energi sseperti yang tergambarkan oleh rantai
masuk sebagai makananan utama karena nilai makanan. Berdasarkan data angkatan dapat
indeks propenderannya lebih besar dari 25%. diketahui bahwa kepiting memiiliki nilai
Jenis pakan phytoplankton dan fraksi tingkat trofik sebesar 2,84. Hal tersebut
tumbuhan sebesar 11% dan 4%, berperan menunjukkan kepiting merupakan kepiting
sebagai pakan pelengkap karena nilai indeks jenis omnivora cenderung herbivora jika
preponderannya kurang dari 25 % (Nikolsky dilihat dari grafik indeks propenderan.
1963). Catacutan (2002) juga menjelaskan
Namun hal ini bertentangan dengan apa bahwa kepiting bakau termasuk jenis hewan
yang dinyatakan oleh Saputra (2018), yang pemakan segala dan bangkai, pada stadia larva,
menyatakan bahwa pakan baru bisa dikatakan kepiting bakau memakan plankton, pada saat
pakan utama jika memiliki indeks propenderan juvenil menyukai detritus sedangkan kepiting
yang persentaenya lebiih besar dari 50%, dewasa meyukai ikan dan moluska terutama
sedangkan pada grafik diatas , persentase kerang-kerangan.
indeks propenderan yang paling tinggi nilainya
kurang dari 50%, maka dapat disimpulkan 4. KESIMPULAN DAN SARAN
bahwa fraksi hewan dan detritus merupakan 4.1. Kesimpulan
pakan utama kepiting bakau yang diamati, dan Kesimpulan yang bisa di ambil dari
adapun pakan pelengkap kepiting bakau yang praktikum ini mengenai analisis aspek biologi
diamati ialah phytoplankton, fraksi tumbuhan, Kepiting bakau adalah:
dan zooplankton. 1. Kepiting bakau mempunyai pertumbuhan
Dengan fraksi hewan dan detritus allometrik negatif, yaitu pertambahan
sebagai pakan utama dan phytoplankton serta panjang lebih cepat dari pertambahan berat,
tumbuhan sebagai pakan pelengkap kepiting yang artinya ikan termasuk kurus dan
bakau, data tersebut sesuai dengan pernyataan didapatkan nilai interval terbesar adalah
Fachruddin (2017) yang menyatakan bahwa dalam rentang 75-85 mm. Dan korelasi
kepiting bakau menyukai ikan, udang, hubungan panjang dan bobot sebesar 0,709
Mollusca, dan potongan daun terutama daun dan regresi sebesar 50%
mangrove sebagai makanannya. 2. Dari data angkatan pengamatan
reproduksinya didapat dari nilai indeks
3.3.2. Tingkat Trofik
kemantangan gonad tertinggi sebesar
1.25% dan tingkat kematangan gonad yaitu Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka
TKG IV, Hepato somatik indeks sebesar
Nusantara.
0.450% dengan rasio kelamin betina:jantan Effendie. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan
Pustaka Nusatama: Yogyakarta.
0.8-1. Kepiting bakau hasil praktikum
Fachruddin. 2017. Pengaruh Frekuensi
tergolong total spowner dan bersifat Pemberian Pakan Terhadap Sintasan
dan Petumbuhan Kepiting Bakau
monogami.
(Scylla serrata) yang Dipelihara Sistem
3. Dari data yang didapatkan hasil perhitungan Silvofishery. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
tingkat trofik Kepiting bakau didapatkan
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan
nilai TP 2.847 ini berarti Kepiting bakau Biologi Ringkas. Bharata, Jakarta. 93 p.
Keenan, C. P., Mann, D., Lavery, S., & Davie,
termasuk omnivora cenderung herbivora
P. 1995. Genetic and morphological
jika dilihat dari grafik indeks propenderan relationships of mud crabs, genus Scylla,
from throughout the Indo-Pacific.
nya.
ACIAR. Canberra. 65 pp.
4.2. Saran Knuckey, I. A.1999. Mud crab (Scylla serrata)
population dynamics in the Northern
Saran dari praktikum mengenai analisis
Territory, Australia and their
biologi Kepiting bakau adalah lebih relationship to the commercial fishery.
Thesis. Northern Territory University,
memperhatikan saat proses pembedahan
Australia. 382 pp.
kepiting terutama saat membuka bagian Kordi G. H. 2012. Jurus Jitu Pengelolaan
Tambak untuk Budi Daya Perikanan
karapas agar tidak rusak sehingga bisa diteliti
Ekonomis. ANDI. Yogyakarta. 396 hlm.
lebih mudah. Kuntiyo. 2004. Pedoman Budidaya Kepiting
Bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya
DAFTAR PUSTAKA Air Payau Jepara. 29 hal.
La Sara. 2010. Study on the size structure and
Agus M. 2008. Analisis Carring Capacity population parameters of mud crab
Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau Scylla serrata in Lawele Bay, Southeast
Sulawesi, Indonesia. Journal of Coastal
(Scylla sp) di Kabupaten Pemalang-Jawa Development, 13(2): 133-147.
Tengah. Tesis. Program Studi Magister Lavina, A.F. 1980. Notes on the Biology and
Aquaculture of Scylla serrata (Forskal).
Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas APDM II. SEAFDEC. Aquaculture
Diponegoro, Semarang. Dept. Iloilo. Phil., 39 pp.
Le Vay, L. 1998. Ecology and stock
Caddy, J. F. & G. D. Sharp. 1986. An assessment of Scylla spp. In:
Ecological Framework for Marine Proceedings of the International Forum
Fishery Investigations. FAO Fish. Tech. on the Culture of Portunid Crabs,
Pap. 283. 152 pp. Boracay, Philippines, December 1–4,
Catacutan, M. R. (2002). Growth and body 1998.
composition of juvenile mud crab, Scylla Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes.
serrata, fed different dietary protein and Academic Press. New York.
lipid levels and protein to energy ratios. Saputra, R. N. 2018. Kebiasaan Makanan Luas
Aquaculture, 208(1-2), 113-123. relung dan Tumpang Tindih
Pemanfaatan Pakan Komunitas Ikan di
Waduk Jatigede Jawa Barat. Skripsi.
Universitas Padjadjaran : Sumedang.
Siahainenia L. 2008. Bioekologi Kepiting
Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang, Jawa
Barat. Disertasi [tidak dipublikasi].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. 246 hlm.
Yenni, N.S., Desrita, Yunasfi. 2017.
Kelimpahan dan pola pertumbuhan
kepiting bakau (Scylla serrata) di hutan
mangrove Kelurahan Belawan
Sicanang, Kecamatan Medan Belawan,
Provinsi Sumatera Utara. Acta
Aquatica: Aquatic Sciences Journal. 4.
26. 10.29103/aa. v4i1.320.

Anda mungkin juga menyukai