Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

Budidaya Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus )


Dengan Pemberian Pakan Komersil

Oleh :
AKHMAD MURJANI
NIP.19631031 199003 1 001

Biaya Mandiri

FAKULTAS PERIKANAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2009
KATA PENGANTAR

Penelitian ini dilaksanakan sebagai wujud tanggung jawab saya


sebagai seorang dosen dalam rangka melaksanakan salah satu dharma
dalam Tridharma Perguruan Tinggi, yakni melaksanakan kegiatan
penelitian. Disamping itu membantu pengembangan dunia perikanan,
khususnya informasi dalam pelaksanaan dan pengembangan budidaya
ikan sepat rawa.

Ikan sepat rawa sekarang ini tidak bisa hanya dipandang sebelah
mata, oleh karena hanya merupakan makanan pedesaan, tetapi hingga
saat ini ikan sepat rawa banyak dicari dan harganyapun relatif mahal,
hingga mencapai Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) pada
musim paceklik. Maklum selama ini ikan sepat rawa hanya diperoleh hasil
tangkapan dari alam, khususnya pada perairan rawa, sehingga
keberadaan-nyapun di alam tergantung dari musim.

Informasi tentang budidaya ikan sepat rawa sangat diperlukan,


khususnya dalam hal domestikasi untuk menentukan lokasi hidup, tumbuh
dan berkembangbiak ikan sepat rawa yang sesuai pada suatu perairan.
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua,
guna perkembangan budidaya ikan sepat rawa.

Banjarbaru, Mei 2009


Penulis,

Ir. Akhmad Murjani, M.S


NIP.19631031 199003 1 001
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii

BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 4


2.1. Sepat Rawa 4
2.2. Kebiasaan Hidup dan Penyebaran 6
2.3. Pakan 7
2.4. Pertumbuhan 8
2.5. Kualitas Air 9
2.5.1. Suhu Air 9
2.5.2. Oksigen Terlarut (DO) 9
2.5.3. Amoniak (NH3) 10
2.5.4. Derajat Keasaman (pH) 11

BAB III.METODE PENELITIAN 12


3.1. Waktu dan Tempat 12
3.2. Alat dan Bahan 13
3.2.1. Ikan Uji 13
3.2.2. Pakan Uji 13
3.2.3. Wadah Pemeliharaan 14
3.2.4. Alat-Alat Sampling 14
3.3. Manajemen Pemberian Pakan 15
3.4. Manajemen Penelitian 15
3.4.1. Persiapan Tempat 15
3.4.2. Penebaran 16
3.4.3. Pemeliharaan 16
3.5. Perlakuan 18
3.6. Rancangan Percobaan 19
3.7. Peubah 20
3.7.1. Pertumbuhan Relatif Berat 20
3.7.2. Pertumbuhan Relatif Panjang 20
3.7.3. Konversi Pakan 20
3.8. Hipotesis 21
3.9. Analisis Data 22
BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 24
4.1. Laju Pertumbuhan Relatif Berat 24
4.2. Laju pertumbuhan Relatif Panjang 26
4.3. Konversi Pakan 30
4.4. Daya Kelangsungan Hidup 32
4.5. Kualitas Air 34
4.5.1. Suhu Air 35
4.5.2. Oksigen Terlarut (DO) 35
4.5.3. Amoniak 35

BAB V.PENUTUP 37
5.1. Kesimpulan 37
5.2. Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 38
LAMPIRAN-LAMPIRAN 41
DAFTAR TABEL

3.1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian 12


3.2. Parameter Kualitas Air Yang Di Uji 15
4.1. Rerata Berat Awal, Berat Akhir, Pertambahan Berat dan Laju Per-
tumbuhan Relatif Berat Individu Ikan Uji Selama Masa
Pemeliharaan 24
4.2. Rerata Panjang Awal, Panjang Akhir, Pertambahan Panjang
dan Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Individu Ikan Uji
Selama Masa Pemeliharaan 26
4.3. Nilai Rerata Konversi Pakan Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan 30
4.4. Rerata Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa 33
4.5. Parameter Kualitas Air Penelitian Dibandingkan Dengan Literatur
36
DAFTAR GAMBAR

2.1. Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus Pall) dan Perairan Rawa 4


3.1. Hapa Wadah Penelitian 14
3.2. Tata Letak Penempatan Perlakuan dan Ulangan Yang Diterapkan
Dalam Penelitian 19
4.1. Laju Pertumbuhan Relatif Berat (%) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster
trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 25
4.2. Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%) Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 27
4.3. Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus)
Selama Masa Pemeliharaan 31
4.4. Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa (Trichogaster
trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 33
DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Pengacakan untuk Penempatan Perlakuan dan Ulangan


Menurut Nazir (1988) 41
2. Berat Rata-rata (g) Individu Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 42
3. Pertambahan Berat (g) per Sampling Ikan Sepat Rawa (Trichogaster
trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 43
4. Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Berat (%) Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 44
5. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan Relatif
Berat Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa
Pemeliharaan 45
6. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan
Relatif Berat Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama
Masa Pemeliharaan 46
7. Analisis Sidik Ragam (Anova) Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Berat
Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa
Pemeliharaan 47
8. Panjang Rata-Rata (Cm) Individu Ikan Sepat Rawa (Trichogaster
trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 48
9. Pertambahan Panjang (Cm) Per Sampling Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 49
10. Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%) Populasi Ikan Sepat
Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 50
11. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan Relatif
Panjang Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa
Pemeliharaan 51
12. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan
Relatif Panjang Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama
Masa Pemeliharaan 52
13. Analisis Sidik Ragam (Anova) Rerata Laju Pertumbuhan Relatif
Panjang Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa
Pemeliharaan 53
14. Jumlah Pakan (g) Yang Diberikan Kepada Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 54
15. Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama
Masa Pemeliharaan 55
16. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 56
17. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Konversi Pakan Ikan Sepat
Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 57
18. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Terhadap Konversi Pakan Ikan Sepat
Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 58
19. Jumlah (ekor) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Yang
Hidup Selama Masa Pemeliharaan 59
20. Daya Kelangsungan Hidup (%) Populasi Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 60
21. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Daya Kelangsungan Hidup Ikan
Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan
61
22. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Daya Kelangsungan Hidup
Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa
Pemeliharaan 62
23. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat
Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 63
24. Dokumentasi Penelitian 64
BAB I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu jenis perairan yang cukup luas dan sangat potensial
untuk dilakukan upaya konservasinya yaitu perairan rawa yang luasnya
dapat mencapai 994.435 ha (Anonim 2002). Luasnya perairan rawa
tersebut sangat memungkinkan bagi berbagai jenis biota yang hidup di
dalamnya untuk hidup dan berkembangbiak dengan baik bagi ikan rawa.
Jenis perairan rawa di Kalimantan Selatan ada tiga jenis, yaitu rawa
monoton, rawa pasang surut dan rawa tadah hujan (Halim dan Noor,
2007). Perairan ini dihuni oleh berbagai jenis ikan rawa, salah satunya
adalah ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) yang termasuk
salah satu famili anabantidae dengan nama umum three spot goramy
karena pada tubuhnya terdapat dua bintik hitam dan satu mata yang
menjadi 3 bintik hitam. Mendiami perairan tawar Malaysia, Birma,
Indonesia, dan perairan yang bersuhu antara 20 - 28C.
Ikan sepat rawa memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dimana
awalnya adalah sebagai sumber protein di daerah pedesaan, namun
sekarang sudah merupakan sumber protein bagi warga perkotaan bahkan
dijadikan sebagai cendramata dan makanan bagi para pengunjung ke
daerah penghasil. Selain dijual dalam keadaan segar di pasar, ikan sepat
rawa kerap diawetkan dalam bentuk ikan asin, bekasam dan lain-lain,
sehingga dapat dikirimkan ke tempat-tempat lain. Beberapa daerah yang
banyak menghasilkan ikan sepat olahan di antaranya adalah Jambi,
terutama dari Kumpeh dan Kumpeh Ulu; Sumatera Selatan, dan
Kalimantan Selatan.
Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) segar dapat
mencapai harga Rp.15.000,- Rp.25.000,-/kg, sedangkan untuk yang
kering ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Regan) dapat mencapai
harga antara Rp.30.000,- s/d. Rp.60.000,-/kg. Bahkan saat tidak musim,
mencapai harga Rp 120.000,-/kg. Ikan sepat rawa sangat disukai oleh
masyarakat Kalimantan Selatan dan para tamu dari daerah lain, karena
rasa dagingnya yang manis, bertulang lembut dan dapat dijadikan oleh-
oleh. Bentuk olahan yang sering dibuat untuk ikan sepat rawa adalah
dipepes, digoreng dan digoreng kering ditambah tepung, serta digoreng
kering asin (keripik). Di Kalimantan Selatan sekarang ini, ikan sepat rawa
telah menjadi makanan kelas elite yang disajikan di restoran dan hotel.
Ikan sepat rawa bersifat musiman dan kehidupannya masih liar di
alam. Karena sifatnya musiman sehingga ada tidaknya ikan sepat rawa di
pasaran tergantung kepada musim. Agar ikan sepat rawa selalu ada di
pasaran diperlukan adanya pemeliharaan ikan sepat rawa di lingkungan
budidaya. Ikan sepat rawa terdiri dari berbagai varietas, sehingga diteliti
pula varietas mana yang paling baik pertumbuhannya apabila dipelihara di
lingkungan budidaya.

1.2. Perumusan Masalah


Ikan untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak dengan baik
memerlukan media yang sesuai dengan kondisi fisiologisnya, tidak
terkecuali dengan ikan sepat rawa yang hidup, tumbuh dan berkembang
biak pada berbagai jenis perairan rawa.
Sebaiknya dalam pelaksanaan budidaya perairan, ikan dipelihara
pada media yang sesuai dengan ketersediaan perairan oleh pembudidaya,
namun diyakini dengan telah dilakukan aklimatisasi dengan baik dan
benar, ikan dapat menyesuaikan diri dengan baik pada media hidup yang
baru.
Apakah ikan sepat rawa dari berbagai varietas (rawa monoton,
pasang surut, tadah hujan dan padang gelam), jika dipelihara dalam suatu
jenis kondisi wilayah tertentu akan memberikan pertumbuhan yang relatif
sama.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecepatan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa varietas ikan sepat rawa
(Trichogaster trichopterus Pall) dari rawa monoton, rawa pasang surut,
rawa tadah hujan dan rawa padang gelam yang dipelihara di hapa.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepat Rawa


Sepat rawa adalah sejenis ikan air tawar. Di Jawa Barat dan
seputaran Jakarta ikan ini disebut sepat siam, sedangkan di Jawa Timur ia
juga dikenal dengan nama sliper. Dalam bahasa Inggris disebut snake-skin
gouramy, merujuk pada pola warna belang-belang di sisi tubuhnya. Nama
ilmiahnya adalah Trichogaster trichopterus Pall (Saanin, 1968).
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Classis : Pisces
Familia : Anabantidae
Ordo : Labyrinthici
Genus : Trichogaster
Spesies : Trichogaster trichopterus Pall
Visualisasi jenis ikan rawa dan salah satu bentuk perairan rawa di
Kalimantan Selatan dapat dilihat dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1.
Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus Pall) dan Perairan Rawa
Sepat rawa adalah ikan yang hidup di air tawar pada suhu 20
28oC. Di Jawa Barat dan seputaran Jakarta ikan ini disebut sepat siam, di
Sumatera Selatan dinamakan sepat merah mato atau bisa juga disebut
three spot gouramy karena pada tubuhnya terdapat dua bintik hitam dan
satu mata yang menjadi 3 bintik hitam, sedangkan di Jawa Timur ia juga
dikenal dengan nama sliper. Dalam bahasa Inggris ikan sepat rawa
disebut snake-skin gouramy, merujuk pada pola warna belang-belang di
sisi tubuhnya (Anonim, 2008).
Ikan sepat rawa merupakan kelompok ikan yang mempunyai
pernafasan tambahan berupa tulang tipis yang berlekuk-lekuk seperti
buangan karang yang disebut labirin dengan menggunakan dan
mengambil oksigen langsung dari udara. Sebagian dapat membangun
karang berbusa yang berguna untuk menyimpan telurnya di dalam mulut.
Warna tubuh ikan ini dipengaruhi oleh jenis kelamin reproduksi dan
umurnya. Sirip punggung lebih kecil dari pada sirip dubur, mempunyai 6-8
jari-jari keras dan 8-10 jari-jari lunak. Sirip duburnya mempunyai 10-12
jari-jari keras 33-38 jari-jari lunak. Sirip perut memiliki 1 jari-jari keras dan
3-4 jari-jari lunak, satu diantaranya menjadi alat peraba yang panjang
seperti ijuk. Sirip dada mempunyai 9-10 jari-jari lunak. Terkadang pada
bagian sirip punggung dan sirip ekor yang lunak ada bulatan hitam.
(Djuhanda, 1981).
Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) memiliki ciri-ciri
bentuk tubuhnya seperti ikan sepat siam yaitu tubuhnya pipih, kepalanya
mirip dengan ikan gurami muda yaitu lancip. Panjang tubuhnya tidak
dapat lebih besar dari 15 cm, permulaan sirip punggung terdapat di atas
bagian yang lemah dari sirip dubur. Pada tubuhnya ada dua bulatan hitam,
satu di tengah-tengah dan satu di pangkal sirip ekor. Sirip ekor terbagi ke
dalam dua lekukan yang dangkal, memiliki permulaan sirip punggung atas
yang lemah dari sirip duburnya. A. XI X (XII). 33-38. bagian kepala
dibelakang mata dua kali lebih dari permulaan sirip punggung di atas
bagian berjari-jari keras dari sirip dubur (Saanin, 1968).
Ikan ini memiliki warna yang menarik dengan berbagai variasi,
sehingga sering dijadikan ikan hias. Ada 2 jenis yang berwarna menarik,
yaitu blue gouramy (warnanya biru) dan gold gouramy (warnanya
keemas-an) (Anonim, 2008).
Blue gouramy dapat mencapai ukuran 200-350 gram dengan
panjang 12,7 cm. Ikan sepat yang jantan tubuhnya lebih pipih, sedangkan
yang betina lebih gemuk terutama pada ikan betina yang sedang matang
kelamin. Pemijahan blue gouramy umumnya berlangsung pada saat suhu
air 26,5 C (80 F). Telur yang sudah dibuahi diletakkan di dalam sarang
yang mereka buat dari buih (Anonim, 2008).

2.2. Kebiasaan Hidup dan Penyebaran


Sifat makanan ikan sepat adalah omnivora, di perairan umum
mereka lebih banyak memakan fitoplankton. Sebagian besar makanan
sepat rawa adalah tumbuh-tumbuhan air dan lumut. Namun ikan ini juga
memangsa hewan-hewan kecil di air, termasuk ikan-ikan kecil yang dapat
termuat di mulutnya. Ikan sepat rawa menyimpan telur-telurnya dalam
sebuah sarang busa yang dijagai oleh si jantan. Setelah menetas, anak-
anak sepat diasuh oleh induk jantan, hingga dapat mencari makanan
sendiri. Sedangkan ikan yang dipelihara di dalam akuarium diberi pakan
tubifex, kutu air, larva nyamuk, dan pakan kering (Anonim, 2008).
Sepat rawa diketahui dapat bernafas langsung dari udara, selain
menggunakan insangnya untuk menyerap oksigen dari air. Akan tetapi,
tak seperti ikan-ikan yang mempunyai kemampuan serupa (misalnya ikan
gabus, betok atau lele), ikan sepat tak mampu bertahan lama di luar air.
Ikan ini justru dikenal sebagai ikan yang mudah mati jika ditangkap
(Anonim, 2008).
Ikan sepat rawa menyukai rawa-rawa, danau, sungai dan parit-parit
yang berair tenang; terutama yang banyak ditumbuhi tumbuhan air. Juga
kerap terbawa oleh banjir dan masuk ke kolam-kolam serta saluran-
saluran air hingga ke sawah. Ikan ini sering ditemui di tempat-tempat
yang terlindung oleh vegetasi atau sampah-sampah yang menyangkut di
tepi air (Anonim, 2008).
Penyebaran asli ikan ini adalah dari Asia Tenggara, terutama dari
lembah Sungai Mekong di Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam; juga dari
lembah Chao Phraya. Di Indonesia ikan ini merupakan hewan introduksi
yang telah meliar dan berbiak di alam, termasuk di Jawa (Anonim, 2008).

2.3. Pakan
Ikan memerlukan pakan sejak mulai hidup dari ukuran larva
(burayak), dewasa sampai ukuran induk. Fungsi pakan adalah untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Pakan yang dimakan oleh ikan
pertama-tama digunakan untuk kelangsungan hidup dan apabila ada
kelebihannya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Jadi bila
menghendaki pertumbuhan ikan yang baik, maka harus diberi sejumlah
pakan yang melebihi kebutuhan untuk pemeliharaan tubuhnya
(Djajasewaka, 1985).
Menurut Priyambodo dan Wahyuningsih (2001), salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan budidaya ikan adalah ketersediaan
pakannya. Dalam penyediaan pakan harus diperhatikan beberapa faktor,
yaitu jumlah dan kualitas pakan, kemudahan untuk menyediakannya,
serta lama waktu pengambilan pakan yang berkaitan dengan jenis ikan
maupun umurnya.
Jenis pakan yang dapat diberikan pada ikan berupa pakan alami
maupun pakan buatan. Menurut Ahmad Mujiman (1994), secara umum
pakan ikan yang baik mengandung protein antara 20 40 %, lemak
antara 5 14 % dan khusus untuk ikan omnivora kandungan
karbohidratnya menghendaki sekitar 9% saja.
Makanan utama ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall)
adalah berupa tumbuh-tumbuhan air, cacing dan larva nyamuk. Rotifera
dan kutu air juga cocok untuk makanan benih ikan ini (Lingga dan
Susanto, 1987) maka ikan ini dapat digolongkan sebagai ikan omnivora
dan diharapkan dapat diberikan makanan buatan atau makanan
tambahan.
Pemberian makanan tambahan atau makanan buatan dapat
menaikan produksi sampai 3 kali lipat dibanding pemberian makanan
tumbuhan, menurut Boyd (1982) mengatakan bahwa makanan buatan
harus memenuhi syarat tepat jenis, tepat ukuran, tepat jumlah dan tepat
waktu. Selain itu makanan buatan yang bermutu baik ditentukan oleh
komposisi bahan penyusunnya, penanganannya, pembuatannya serta
ketahanannya dalam air.
Banyaknya pemberian makan setiap harinya secara optimal adalah
30% dari berat tubuh (Boyd, 1982) dan menurut Mujiman (1994)
menyatakan bahwa pemberian makanan pada ikan umumnya berlaku
pada pagi dan sore hari.
Pada penelitian ini ikan sepat rawa yang dipelihara dalam hapa
diberikan makanan tambahan berupa pakan ikan dalam bentuk pelet
yang komposisi kandungan gizinya seperti protein, lemak, karbohidrat,
serat kasar dan mineral dapat dilihat pada lampiran.

2.4. Pertumbuhan
Menurut Effendie (1997), pertumbuhan merupakan proses biologis
komplek yang banyak faktor mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor dalam dan faktor luar.
Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, diantaranya
adalah keturunan sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama
mempengaruhi pertumbuhan adalah pakan dan lingkungan (suhu
perairan).
Menurut Asmawi (1983), pakan dimanfaatkan oleh ikan untuk
memelihara tubuh dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak, setelah itu
kelebihannya digunakan untuk pertumbuhan. Pertumbuhan akan terjadi
jika jumlah makanan yang dimakan lebih besar dari keperluan untuk
mempertahankan berat badan ikan dan pertumbuhan maksimum dapat
dicapai jika pakan yang diberikan telah melebihi kebutuhan untuk
pemeliharaan tubuh. Dari sejumlah pakan yang dimakan oleh ikan lebih
kurang 10% saja yang digunakan untuk tumbuh dan menambah berat
badan, selebihnya digunakan untuk tenaga atau memang tidak dapat
dicerna (Mudjiman, 1994).
Kecepatan tumbuh tiap jenis ikan berbeda-beda tergantung kepada
sistem metabolisme dalam tubuh tiap jenis ikan. Pertumbuhan akan lebih
cepat terjadi pada ikan-ikan muda, karena tingkat metabolisme lebih
tinggi.

2.5. Kualitas Air


Budidaya ikan memerlukan kualitas air adalah setiap peubah
(variabel) yang mempengaruhi pengelolaan dan kelangsungan hidup,
berkembang biak, pertumbuhan atau produksi ikan (Boyd, 1982). Kualitas
air yang cocok sangat penting baik pertumbuhan dan kelangsungan biota
perairan. Kondisi air harus disesuaikan dengan kebutuhan optimal bagi
pertumbuhan biota yang dipelihara (Mulyanto, 1992).

2.5.1. Suhu Air


Suhu air merupakan salah satu fisik yang dapat mempengaruhi
nafsu makan dan pertumbuhan ikan. Menurut Cholik dkk (1986), ikan-
ikan tropis tumbuh dengan baik pada suhu antara 250C sampai 300C.
Pendapat ini diperkuat Jangkaru (1976) yang menyatakan bahwa suhu
optimum untuk selera makan bagi ikan adalah antara 250C sampai 270C,
suhu optimum tersebut biasanya pada pagi dan sore hari. Suhu air yang
ideal untuk ikan sepat rawa yaitu 230 C sampai 280 C (Ortanez, 2008).

2.5.2. Oksigen Terlarut (DO)


Semua makhluk hidup yang berkembangbiak di bumi memerlukan
oksigen untuk hidup. Menurut Sitanggang (1987), oksigen terlarut
penting bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama
metabolisme. Kebutuhan organisme terhadap oksigen terlarut tergantung
jenis, umur, dan aktivitasnya. Dalam stadia muda (burayak) keperluan
akan oksigen terlarut relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa.
Ikan memerlukan oksigen dalam air untuk bernapas dalam bentuk
oksigen terlarut. Oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, pH dan
karbondioksida (Lingga, 1992).
Jumlah oksigen yang dapat larut dalam air terbatas. Ini berarti
bahwa ada titik jenuh bagi air dalam melarutkan oksigen. Jumlah oksigen
dalam air pada keadaan normal adalah lebih kurang 5,8 mg/L, pada suhu
260C (Dwiponggo, 1983). Selanjutnya Djajasewaka (1985), apabila
kandungan oksigen terlarut dalam air makin rendah maka nafsu makan
ikan makin menurun.
Oksigen merupakan gas yang terpenting untuk respirasi dan
metabolisme dalam tubuh ikan. Konsentrasi yang terlarut dalam kolam
akan berkurang karena oksigen digunakan untuk pernapasan ikan dan
oksigen lainnya serta untuk reaksi kimia bahan organik (kotoran ikan, sisa
pakan, pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati dan sebagainya).
Akan tetapi penurunan konsentrasi oksigen ini di imbangi dengan
penambahan oksigen dari hasil fotosintesis yang berlangsung pada siang
hari dan dari proses pencampuran udara dengan air yang disebabkan
oleh angin di permukaan.
Menurut Boyd (1982), keperluan oksigen tergantung dari jenis ikan,
ukuran, aktivitas, temperatur, jenis makanan dan faktor lainnya. Ikan
sepat rawa kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhannya yaitu
antara 5 7 mg/l (Mujiman, 1994).

2.5.3.Amoniak (NH3)
Amoniak adalah senyawa bersifat racun yang berasal dari hasil
penguraian protein secara kimiawi. Protein yang terurai bersumber dari
makanan dan sisa-sisa metabolisme larva. Kandungan amoniak di dalam
air akan dipengaruhi oleh temperatur, pH, dan faktor lainya. Kenaikan pH
dan penurunan suhu dapat menaikan konsentrasi amoniak di dalam
media. Kenaikan pH juga dapat mempengaruhi daya racun amoniak. Di
daerah perairan Kalimantan Selatan dimana banyak ikan sepat terdapat,
kandungan amoniak berkisar antara 0,014 0,074 ppm (Anonim, 1983).

2.5.4. Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hydrogen
dan menunjukkan suatu air bersifat asam atau basa. Air bersifat asam
apabila pHnya kurang dari 7 dan bersifat basa apabila pHnya lebih dari 7.
Ikan sepat rawa dapat hidup pada pH 6,0 8,3 (Ortanez, 2008).
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan yang meliputi persiapan
alat dan bahan, percobaan dan penyusunan laporan, dimana masa
pemeliharaan ikan sepat rawa selama 8 minggu.
Penelitian ini dilakukan di kolam rawa pasang surut Desa Beringin,
Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan.
Untuk lebih jelasnya, rincian penggunaan waktu dapat dilihat pada Tabel
3.1.
Tabel 3.1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Waktu
Tabel 1. Jadual Kegiatan Kegiatan
Penelitian
No Kegiatan I II III IV
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Observasi
dan
perizinan * * * *
lokasi
penelitian
2. Pelaksanaa
n penelitian * *
- Persiapan * * * * * * * *
- Pelaksana-
an
3. Pelaporan
(pengolahan
data, penyu-
sunan lapor-
an,penggan- * * * *
daan dan
distribusi.
Keterangan : I, II, III, IV = Bulan pelaksanaan
1,2,3,4 = Minggu pelaksanaan
* = Pelaksanaan
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Ikan uji
Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) yang di ambil dari
empat lokasi rawa yaitu rawa monoton di Desa Tabat Pemangkih
Kabupaten Hulu Sungai Tengah, rawa pasang surut di Desa Beringin
Kabupaten Barito Kuala, rawa tadah hujan di Bati-bati Kabupaten Tanah
Laut dan rawa padang galam di Gambut Kabupaten Banjar. Keempat
varietas ikan sepat rawa yang berasal dari empat jenis rawa tersebut
diperoleh dari hasil tangkapan atau dari pedagang pengumpul yang telah
kita pesan sebelumnya.
Ikan sepat rawa yang baru kita peroleh dari pedagang pengumpul
tersebut selanjutnya kita lakukan proses aklimatisasi (proses adaptasi
pada lingkungan terkontrol) untuk menjamin agar dia mampu hidup pada
lingkungan yang telah kita rekayasa sedemikian rupa. Jumlah ikan sepat
rawa yang kita perlukan adalah 15 ekor/hapa. Dalam penelitian ini
pengambilan ukuran panjang dan berat awal dari berbagai varietas ikan
uji dilakukan secara homogen.

3.2.2. Pakan Uji


Pada penelitian ini ikan sepat rawa yang dipelihara dalam hapa
diberikan makanan berupa pakan ikan dalam bentuk pakan komersil dari
produk PT. Suri Tani Pemuka yang komposisi kandungan gizinya seperti
protein, lemak, karbohidrat, serat kasar dan mineral yaitu :
- Protein : 30 32 %
- Lemak :6-8%
- Abu : 8 - 10 %
- Serat Kasar :4-5%
- Kadar Air : 10 - 12 %
3.2.3. Wadah Pemeliharaan
Secara umum bentuk hapa berupa persegi panjang atau bujur
sangkar. Hapa adalah kain yang terbuat dari sintetis (nylon) dengan mata
jaring berukuran 1 4 mm. Dalam penelitian ini, hapa yang dipergunakan
berukuran panjang 2 m lebar 1,5 m dan tinggi 1,5 m yang diikatkan pada
tiang penyangga seperti pada Gambar 3.1.

Gambar Hapa

Tonggak tiang Kain hapa


penyangga hapa
Panjang 2 m
m
,5
r1
ba
Tali penyangga Le
hapa

Tinggi 1,5 m
Ikan betok dalam
Ikan Sepat dalam hapa
hapa

Gambar 3.1.
Hapa Wadah Penelitian

Jumlah hapa yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah


dengan rincian 3 buah untuk ikan sepat rawa dari rawa monoton, 3 buah
untuk rawa tadah hujan, 3 buah untuk rawa pasang surut dan 3 buah
untuk rawa padang galam. Hapa diletakkan secara acak dalam suatu
lokasi yang telah ditentukan.

3.2.4. Alat-Alat sampling


Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran kualitas air yaitu Water
Checker Horiba dengan parameter yang di ukur antara lain : pH, Suhu,
DO, Sedangkan untuk mengukur berat ikan dan jumlah pakan yang
diberikan menggunakan timbangan (Triple Beam Balance Ohaus Gros)
dengan ketelitian 0,01 gram dan alat ukur panjang untuk mengetahui
pertambahan panjang ikan uji dengan ketelitian 0,01 cm. Jenis
parameter, peralatan dan metode pengukuran kualitas air dapat dilihat
dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Parameter Kualitas Air Yang di Uji

No Parameter Satuan Alat Metode


o
1. Suhu C Water Checker U-10 Horiba Pemuaian
2. DO mg/L Water Checker U-10 Horiba Elektroda
3. pH - Water Checker U-10 Horiba Elektroda
4. Amoniak mg/L Spectrofotometer HACH DR Tetrimetrik
2000

3.3. Manajemen Pemberian Pakan


Ikan sepat rawa sebelum dimasukkan dalam hapa penelitian, maka
terlebih dahulu di ukur panjang dan di timbang berat awalnya secara
keseluruhan, dilakukan pengukuran kualitas air awal, dan pengukuran
seterusnya dilakukan dengan interval waktu setiap 2 minggu sekali
sebanyak 4 kali selama 2 bulan.
Padat penebaran benih pada tiap hapa adalah 15 ekor/m3. Ikan
sepat diberi pakan berupa pelet komersil dengan cara ditebar sebanyak
3% dari berat badan. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari
yaitu pada pukul 08.00 Wita, 13.00 Wita, dan 18.00 Wita.

3.4. Manajemen Penelitian


3.4.1. Persiapan tempat
Pada proses pemeliharaan ini, terlebih dahulu dilakukan proses
persiapan wadah. Tujuan dari proses ini adalah agar wadah yang
digunakan dalam proses pemeliharaan ini sesuai dengan standar
penggunaan sehingga biota yang dipelihara di dalamnya terjaga
kesehatan maupun kualitasnya. Masa persiapan ini juga meliputi
pengadaan alat dan bahan di lokasi penelitian.
3.4.2. Penebaran
Ikan sepat rawa sebelum dilakukan penebaran yang baru kita
peroleh dari pedagang pengumpul tersebut selanjutnya kita lakukan
proses aklimatisasi (proses adaptasi pada lingkungan terkontrol) untuk
menjamin agar dia mampu hidup pada lingkungan yang telah kita
rekayasa sedemikian rupa. Jumlah ikan sepat rawa yang kita perlukan
adalah 15 ekor/varietas/ hapa. Dalam penelitian ini pengambilan ukuran
panjang dan berat awal dari berbagai varietas ikan uji dilakukan secara
homogen.

3.4.3. Pemeliharaan
Alat dan bahan setelah siap semua, ikan sepat di tebar dalam hapa
pada sore hari, sebelumnya ikan sepat diukur panjang dan beratnya.
Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap 2 minggu sekali pemberian
pakan sebanyak 3 % dari berat tubuh populasi ikan dengan frekuensi 3
kali dalam satu hari, yaitu pagi, siang, dan sore hari.
Pengamatan ikan uji yang dicobakan dilakukan sampling setiap 2
minggu sekali meliputi bobot (gram), panjang (cm), banyaknya ikan yang
mati (mortalitas), sedangkan untuk pengamatan terhadap parameter
kualitas air (Suhu, DO, pH dan NH3). Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara cara yang meliputi data sebagai berikut :
a. Pengukuran parameter kualitas air meliputi :
Suhu di ukur dengan menggunakan alat Water Checker U-10 Horiba
dengan cara : Terlebih dahulu alat di kalibrasi pada larutan
aquadest dengan suhu udara, kemudian di celupkan selama 5
menit kedalam perairan, tekan tombol mode sampai pada layar
menunjukkan mode pengukuran suhu, setelah angka pada layar
sudah stabil, kemudian di lakukan pencatatan data suhu perairan.
Oksigen terlarut (DO) di ukur dengan menggunakan alat Water
Checker U-10 Horiba dengan cara : Terlebih dahulu alat di kalibrasi
pada larutan aquadest, kemudian di celupkan selama 5 menit ke
dalam perairan, atau setelah melakukan pengukuran suhu dapat
langsung melanjutkan pengukuran DO dengan menekan tombol
mode sampai pada layar menunjukkan mode parameter DO, setelah
angka pada layar sudah stabil, lakukan pencatatan dan
pengambilan data Oksigen terlarut (DO) pada perairan.
Derajat keasaman (pH) di ukur dengan menggunakan alat Water
Checker U-10 Horiba cara pengukurannya terlebih dahulu alat di
kalibrasi pada larutan aquadest, kemudian di celupkan selama 5
menit, atau setelah melakukan pengukuran DO dapat langsung
melanjutkan pengukuran ke pengukuran pH dengan menekan
tombol mode sampai pada layar menunjukkan mode parameter pH,
setelah angka pada layar sudah stabil, lakukan pencatatan dan
pengambilan data pH pada perairan.
Amoniak (NH3), pengukuran amoniak di lakukan dengan mengguna-
kan alat Spectrofotometer Hach DR 2800, dengan cara : Siapkan
alat Spectrofotometer Hach DR 2800. tekan tombol stored
programs, masukkan 25 ml sample kedalam tabung reaksi sample,
masukkan 25 ml aquabides kedalam tabung reaksi pembanding,
tambahkan 3 tetes, tambahkan tiga tetes larutan penetral mineral
ke dalam masing-masing tabung reaksi, tutup dan kocok beberapa
kali, tambahkan 3 tetes alcohol pada tiap tabung, tutup dan kocok,
masukkan 1,0 ml regent kedalam masing masing tabung, tutup dan
kocok beberapa kali. Tekan timer untuk mengatur lama reaksi,
tuangkan 10 ml, tuangkan 10 ml dari tiap solusi ke dalam tabung
sample. ketika timer berakhir, tekan Read untuk membaca hasil
analisa.
b. Pengamatan berat ikan betok di lakukan pada saat sampling dengan
cara sebagai berikut :
Siapkan alat berupa timbangan Triple Beam Balance Ohaus Gros
dengan tingkat ketelitian 0,01 Gram.
Siapkan ikan yang akan di ukur beratnya.
Siapkan wadah penampungan ikan yang telah di ukur beratnya.
Letakkan lapisan berupa kertas di atas timbangan Triple Beam
Balance Ohaus Gros untuk memudahkan pengukuran berat ikan
dan mengura-ngi gerakan ikan.
Normalkan angka pada layar sampai pada layar menunjukkan angka
0,00 gram.
Setelah angka pada layer stabil catat berat ikan betok tersebut dan
teruskan pada sample selanjutnya.
c. Pengamatan panjang ikan betok di lakukan dengan cara :
Siapkan alat berupa mistar alat ukur khusus untuk ikan.
Siapkan ikan yang akan di ukur panjangnya.
Siapkan wadah penampungan ikan yang telah di ukur panjangnya.
Letakkan ikan betok pada mistar tersebut, kemudian catat panjang
ikan betok tersebut dan teruskan pada sample selanjutnya.
d. Mortalitas (%). Pengamatan terhadap mortalitas dilakukan setiap
sampling atau setiap 2 minggu sekali dan di lakukan pencatatan jumlah
ikan betok yang mati.

3.5. Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan.
Masalah yang diteliti adalah pengaruh pakan komersil terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa varietas ikan sepat rawa
(rawa monoton, rawa tadah hujan, rawa padang galam dan rawa pasang
surut) yang dipelihara dalam hapa di kolam pasang surut. Tiap perlakuan
disimbolkan dengan huruf dan ulangan disimbolkan dengan angka, seperti
berikut ini :
Perlakuan :
Perlakuan A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut
Perlakuan B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam
Perlakuan C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan
Perlakuan D : ikan sepat rawa dari rawa monoton

3.6. Rancangan Percobaan


Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Menurut
Srigandono (1981), rancangan acak lengkap dengan model rancangan
sebagai berikut :
Xij = + i +

Keterangan :
i = Perlakuan (1,2,.I,K) dari jumlah K perlakuan
j = Ulangan (1,2,.j,.n) Dari jumlah n ulangan
X = Nilai pengamatan pada perlakuan ke I ulangan ke j
i = Pengaruh perlakuan ke-i
= Nilai tengah dari seluruh perlakuan

= Kesalahan percobaan pada perlakuan ke-I ulangan ke-j


Penempatan masing-masing perlakuan dan ulangan dilakukan
secara teracak (Nazir, 1988). Berdasarkan hasil pengacakan didapatkan
bagan percobaan dan bilangan acak seperti Gambar 3.3 dan Lampiran 1.

B2 D3 A1 A3

B3 C2 D2 D1

A2 B1 C3 C1

Gambar 3.2.
Tata Letak Penempatan Perlakuan dan
Ulangan yang Diterapkan Dalam Penelitian
3.7. Peubah
Peubah utama yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :

3.7.1. Pertumbuhan Relatif Berat


Menurut Effendie (1997) pertumbuhan relatif berat didefinisikan
sebagai persentase pertumbuhan pada tiap interval waktu yang
dirumuskan sebagai berikut :

Wt Wo
H x100 %
Wo

Keterangan :
H = Laju pertumbuhan relatif berat (%)
Wt = Berat akhir rata-rata individu (g)
Wo = Berat awal rata-rata individu (g)

3.7.2. Pertumbuhan Relatif Panjang


Relatif Panjang diukur dengan menggunakan mistar plastik dengan
ketelitian 1 mm, yang dirumuskan sebagai berikut :

Lt Lo
P X 100 %
Lo

Keterangan :
P = Laju pertumbuhan relatif panjang (%)
Lt = Panjang akhir rata-rata (cm)
Lo = Panjang awal rata-rata (cm)
3.7.3. Konversi Pakan
Konversi pakan adalah jumlah pakan yang diberikan selama masa
pemeliharaan dibagi dengan penambahan rerata berat ikan uji (gram) dan
jumlah berat ikan yang mati selama pemeliharaan dikurang rerata berat
awal ikan uji (gram). Dirumuskan oleh Djajasewaka (1985) sebagai
berikut :

F
FCR
(Wt D) Wo

Keterangan :
FCR= feed Convertion ratio (konversi makanan)
F = Jumlah Pakan yang diberikan selama pemeliharaan (g)
Wt = Rata-rata berat akhir ikan uji (g)
Wo = Rata-rata berat awal ikan uji (g)
D = jumlah berat ikan yang mati selama pemeliharaan (g)

3.7.4. Daya kelangsungan hidup (Survival Rate)


Survival rate adalah suatu perbandingan antara jumlah akhir
individu ikan hidup dengan jumlah awal individu ikan selama masa
pemeliharan. Dirumuskan oleh Effendi (1997) sebagai berikut :

Nt
S x100 %
No

Keterangan :
Nt = Jumlah akhir ikan yang hidup (ekor)
No = Jumlah awal individu ikan yang hidup (ekor)

3.8. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan adalah :
Ho, Pemeliharaan ikan sepat rawa dari berbagai varietas tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan survival rate ikan yang
dipelihara dalam hapa pada perairan pasang surut.
H1, Pemeliharaan ikan sepat rawa dari berbagai varietas berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan dan survival rate ikan yang dipelihara dalam
hapa pada perairan pasang surut.

3.9. Analisis Data


Data hasil percobaan yang diperoleh dapat bersifat tidak normal
akibat adanya variasi lapangan atau kesalahan yang timbul akibatnya
perlakuan, karena itu data perlu diuji kenormalannya dengan
menggunakan uji Liliefors (Nasoetion dan Barizi, 1985), dengan kaidah
pengujian sebagai berikut :
L (n) terima H0 (data normal)
Jika L hit

> L (n), tolak Ho (data tidak normal)


Uji berikutnya adalah uji kehomogenan data dilakukan dengan
suatu uji kehomogenan Ragam Bartlet (Sudjana,1994), dengan kaidah
sebagai berikut :

X2 (1 - ) (K-1), terima Ho (data homogen)


Jika X2 Hitung

> X2 (1 - ) (K-1),tolak Ho (data tidak


homogen)

Data yang dinyatakan tidak normal atau tidak homogen, sebelum


dilakukan analisis keragaman harus dilakukan transformasi log x, Menurut
Hanafiah (1993) transformasi log x dilakukan apabila data yang diperoleh
menunjukkan efek-efek utama yang bersifat multiplikatif dan tidak
mengandung angka nol.
Setelah asumsi di atas terpenuhi dilakukan analisis keragaman
sehingga didapat nilai F hitungnya. K kaidah pengujian sebagai berikut :

F tabel (5 %) terima H0
Jika F Hitung

> F tabel ( 5 %, 1 % ) tolak H0/terima H1

Apabila data dinyatakan tidak normal atau tidak homogen, maka


sebelum dilakukan analisis lebih lanjut dilakukan transformasi data.
Setelah asumsi di atas terpenuhi maka dilakukan Analisis Sidik Ragam
(ANOVA) dengan kaidah sebagai berikut :

< F tabel (5%,1%), terima H0 tolak


Jika F hitung H1
> F tabel (5%,1%), terima H1 tolak
H0
Jika pengujian hipotesis adalah menolak Ho dan terima H 1, maka
analisis data dilanjutkan dengan uji beda nilai tengah. Menurut Hanafiah
(1993), uji lanjutan yang dipergunakan tergantung pada koefisien
keragaman (KK) yang diperoleh dengan rumus:

KTG
KK = x 100%
Y

Menurut Hanafiah (1993), bahwa uji lanjutan tersebut memenuhi


kriteria sebagai berikut:
a. Jika KK besar, (minimal 10 % pada kondisi homogen atau minimal 20
% pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknya digunakan
adalah uji Duncan.
b. Jika KK sedang (antara 5 % - 10 % pada kondisi homogen antara 10 -
20 % pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknva dipakai
adalah uji BNT (beda nyata terkecil).
c. Jika KK kecil (maksimal 5 % pada kondisi homogen atau maksimal 10
% pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknya dipakai adalah
uji BNJ (beda nyata jujur).
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan selama 8 (delapan) minggu masa pemeliharaan,


diperoleh data yang meliputi laju pertumbuhan relatif berat (%), laju
pertumbuhan relatif panjang (%), konversi pakan, daya kelangsungan
hidup (survival rate), faktor kondisi (%), dan data kualitas air,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4, Lampiran 10, Lampiran 15,
Lampiran 20, Lampiran 23 dan Lampiran 24.

4.1. Laju Pertumbuhan Relatif Berat


Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data berat rerata (g) individu
(lihat Lampiran 2), sedangkan rerata laju pertumbuhan relatif berat (%)
dapat dilihat Tabel 4.1, selanjutnya Grafik laju pertumbuhan berat (%)
ikan sepat rawa selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar
4.1.
Tabel 4.1.Rerata Berat Awal, Berat Akhir, Pertambahan Berat dan Laju Per-
tumbuhan Relatif Berat Individu Ikan Uji Selama Masa
Pemeliharaan

Perlakuan Berat (g) Pertambahan Laju Pertumbuhan Relatif


Awal Akhir Berat (g) Berat (%)
A 7,33 9,38 2,05 27,95
B 7,17 9,10 1,93 26,83
C 7,25 9,38 2,13 29,36
D 7,32 9,39 2,07 28,22
Sumber:data primer, 2009 yang diolah.
Keterangan :
A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ;
B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ;
C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ;
D : ikan sepat rawa dari rawa monoton

Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa rerata laju


pertumbuhan relatif berat (%) yang tertinggi terjadi pada perlakuan C
(29,36 %), diikuti oleh perlakuan D (28,22 %) dan perlakuan A (27,95 %),
serta perlakuan B (26,83 %).
Tingginya laju pertumbuhan relatif berat pada perlakuan C di
banding perlakuan lainnya di sebabkan karena ikan sepat dari rawa tadah
hujan memiliki sifat ekspresi genotipe yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sifat ekspresi dari ikan sepat rawa dari tempat lainya. Karena sifat
dari tipe ekosistem rawa tadah hujan yang merupakan habitat dari ikan
sepat rawa tadah hujan memiliki lingkungan yang lebih ekstrim
dibandingkan dengan tipe ekosistem perairan lainnya, sehingga sifat
lingkungan yang ekstrim tersebut membuat ikan sepat rawa dari tadah
hujan mengekspresikan kondisi metabolisme lebih komplit dibandingkan
dengan tipe lainnya.

35
L aju Pertumbuhan Relatif Berat (%)

30

25

20 A
B
15
C

10 D

0
2 4 6 8 Minggu Ke-

Gambar 4.1.
Laju Pertumbuhan Relatif Berat (%)
Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan

Hasil uji normalitas lilliefors dan homogenitas ragam Bartlett


terhadap laju pertumbuhan rerata relatif berat menunjukkan bahwa data
menyebar normal, dimana Li max < Li tabel (lihat Lampiran 5) dan
mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2 hitung < X2 tabel (lihat
Lampiran 6). Selanjutnya berdasarkan hasil analisa keragaman (ANOVA)
laju pertumbuhan rerata relatif berat (%) diperoleh F hitung < F tabel,
yaitu 1,04 < 4,07 (Lampiran 7), maka terima Ho dan tolak H 1. Hal ini
menunjukkan bahwa variasi jenis ikan sepat rawa tidak berpengaruh nyata
terhadap laju pertumbuhan relatif berat ikan sepat rawa.

4.2. Laju Pertumbuhan Relatif Panjang


Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data panjang rerata (cm)
individu (lihat Lampiran 8) dan rerata laju pertumbuhan relatif panjang
(%) (lihat Tabel 4.2 dan Lampiran 10).
Tabel 4.2. Rerata Panjang Awal, Panjang Akhir, Pertambahan Panjang dan
Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Individu Ikan Uji Selama
Masa Pemeliharaan

Panjang (cm) Pertambahan Laju Pertumbuhan Relatif


Perlakuan
Awal Akhir Panjang (cm) Panjang (%)
A 8,02 8,76 0,74 9,18
B 7,74 8,46 0,72 9,35
C 7,86 8,53 0,67 8,56
D 7,98 8,64 0,66 8,31
Sumber:data primer, 2009 yang diolah.
Keterangan :
A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ;
B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ;
C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ;
D : ikan sepat rawa dari rawa monoton

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa rerata laju pertumbuhan relatif


panjang (%) yang tertinggi terjadi pada perlakuan B(9,35 %), diikuti oleh
perlakuan A (9,18 %), kemudian perlakuan C (8,56 %), dan perlakuan D
(8,31 %). Sedangkan grafik laju pertumbuhan panjang (%) ikan sepat
rawa selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%)
10
9
8
7
6 A
5 B
4 C
3
D
2
1
0
2 4 6 8 Minggu Ke-

Gambar 4.2.
Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%) Ikan Sepat Rawa
(Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan

Tingginya laju pertumbuhan relatif panjang pada perlakuan ikan


sepat rawa padang galam dibandingkan dengan perlakuan lainnya
disebabkan karena sifat dari tipe ekosistem rawa padang galam ini
memiliki habitat yang hampir sama dengan rawa tadah hujan, tetapi
bedanya di lihat dari perairan padang galam dimana air pada daerah
tersebut memiliki kondisi peairan yang buruk, dengan kualitas air yang
kurang baik untuk tempat hidup biota air dan hanya sebagian biota air
tertentu saja yang dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik di
lpkasi tersebut. Karena kondisi perairannya yang ekstrim dalam perairan
padang galam ini kondisinya bisa semakin buruk, perairannya tidak subur,
kurang pakan alami, serta akan menyebabkan air berwarna kuning bahkan
sampai menjadi berwarna merah atau disebut juga dengan bangai. Ikan
pada tipe ini juga melakukan pertumbuhan panjang terlebih dahulu,
setelah pertumbuhan panjang yang di alami telah mencapai tahap akhir
dan tidak dapat menambah panjang tubuhnya lagi, disaat itulah ikan
tersebut mengalami pertumbuhan berat, karena dapat kita lihat dari hasil
data yang didapatkan, ikan sepat rawa pada perlakuan ini ukuran beratnya
lebih kecil atau kurus dibandingkan dengan ikan sepat rawa lainnya.
Hasil uji normalitas lilliefors dan homogenitas ragam Bartlett
terhadap laju pertumbuhan rerata relatif panjang menunjukkan bahwa
data menyebar normal, dimana Li max < Li tabel (Lampiran 11) dan
mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2 hitung < X2 tabel
(Lampiran 12). Selanjutnya berdasarkan hasil analisa keragaman (ANOVA)
laju pertumbuhan rerata relatif panjang (%) diperoleh F hitung < F tabel,
yaitu 0,58 < 4,07 (Lampiran 13), maka terima Ho dan tolak H 1. Hal ini
menunjukkan bahwa variasi jenis ikan sepat rawa tidak berpengaruh nyata
terhadap laju pertumbuhan relatif panjang ikan sepat rawa.
Menurut Wiwarni (1991), pertumbuhan relatif berat dengan
pemberian makanan 5 % dari berat tubuh sebesar 159,19 %; 7 % dari
berat tubuh sebesar 131,58 %; dan 3 % dari berat tubuh sebesar 125,91
%. Di lihat dari laju pertumbuhan relatife berat pada penelitian Anggraini
(2009), yaitu dari rawa monoton dengan 34,35 % di karenakan bahwa
Anggraini menggunakan pakan buatan yang membuat ikan sepat rawa
dari tiap tiap rawa memperoleh rangsangan daya selera makan sangat
besar terhadap pakan buatan yang diberikan karena banyak mengandung
banyak bahan bahan yang tercampur dalam pakan buatan, sedangkan
pada peneliti menggunakan pakan berupa pelet komersil dengan kadar
protein 30 32 % mendapatkan laju pertumbuhan 29,36 % saja.
Pertumbuhan secara umum dikatakan bahwa pertambahan dari
ukuran berat atau panjang dalam suatu masa pemeliharaan. Asiah (1983)
menyatakan bahwa pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh sejumlah
faktor seperti keturunan, kecepatan pertumbuhan relatif, kemampuan
memanfaatkan makanan dan kepadatan populasi. Laju pertumbuhan
seperti yang dikemukakan Asmawi (1983), adalah tergantung kepada
sejumlah makanan yang diberikan, ruang, dan dalamnya perairan serta
faktor-faktor lainnya. Hal ini juga didukung oleh Effendie (1978); Effendie
(1997) dan Sahwan (2001), bahwa laju pertumbuhan tergantung pada
sejumlah pakan yang diberikan, ruang, jumlah populasi, kedalaman air,
suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, umur dan ukuran ikan serta
tingkat kematangan gonad.
Menurut Iriadenta (2007), suhu air mempengaruhi laju
metabolisme, kebutuhan oksigen terlarut dan penguraian di perairan.
Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas
serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan.
Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme
dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen. Pakan yang dimanfaatkan oleh ikan pertama-tama
digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan mengganti alat-alat tubuh yang
rusak setelah itu kelebihan pakan yang tersisa digunakan untuk per-
tumbuhan.
Penelitian ini sependapat dengan literature yang sudah ada bahwa
ikan sepat rawa yang dipelihara dalam budidaya terkontrol ini terjadi
perbedaan laju pertumbuhan pada tiap masing-masing domestikasi. Pada
perlakuan C (rawa monoton) mendapatkan laju pertumbuhan yang sangat
berbeda disbanding dengan perlakuan yang lainnya. Hal ini sependapat
dengan effendi (1997) dan sahwan (2001) karena untuk tumbuh dan ber-
kembang biak dengan baik memiliki beberapa faktor yang dapat
mempengaruhinya.
Ikan sepat rawa dibanding dengan dari daerah pasang surut, ikan
ikan sepat rawa dari daerah rawa monoton, rawa padang galam dan rawa
tadah hujan lainnya harus melalui proses aklimatisasi yang memerlukan
waktu cukup lama untuk bisa bertahan hidup pada daerah barunya.
Ikan jantan hanya menggunakan makanan untuk bergerak dan
tumbuh, sedangkan ikan betina menggunakan makanan untuk bergerak,
tumbuh dan untuk proses kematangan gonad dari dalam tubuhnya. Dilihat
dari umur ikan-ikan sepat rawa yang dikumpulkan dari tiap-tipa rawa
monoton, rawa padang galam, rawa pasang surut dan rawa tadah hujan
yaitu kira kira berkisar antara umur 1,5 2 bulan, dan diketahu pada
saat saat umur seperti itu merupakan fase untuk pertumbuhan yang
besar dalam tubuhnya. Meskipun demikian dapat diketahui pula bahwa
ikan sepat rawa pada rawa monoton, rawa padang galam dan rawa tadah
hujan mempunyai daya untuk bertahan hidup yang cukup besar untuk
tumbuh di perairan rawa pasang surut yang merupakan rawa yang
terpengaruh oleh pasang surut di desa Beringin Kecamatan Alalak
Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan di bandingkan
dengan ikan sepat rawa yang hidup pada perairan rawa pasang surut.

4.3. Konversi Pakan


Besar konversi pakan merupakan gambaran tentang tingkat
efisiensi pakan yang diberikan. Menurut Mudjiman (1994), konversi pakan
merupakan perbandingan antara berat pakan yang diberikan selama
pemeliharaan dengan pertambahan berat ikan yang dipelihara yang biasa
pula disebut dengan Feed Convertion Ratio (FCR). Konversi pakan
merupakan nilai efisien dari pakan. Semakin kecil nilai konversi pakan,
semakin efisien pakan yang diberikan dalam menambah berat ikan.
Besarnya nilai konversi pakan masing-masing perlakuan selama masa
pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Lampiran 15.
Tabel 4.3. Nilai Rerata Konversi Pakan Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan
Total Bobot Bobot Bobot Konversi
(Wt +
Perlakuan Pakan Akhir yang Awal Pakan
D) Wo
(g) (Wt) mati (D) (Wo) (K)
A 169,7 96,49 36,77 110 23,24 7,33
B 172,4 103,99 27,23 107,6 23,63 7,38
C 173,2 106,25 28,01 108,7 25,56 6,80
D 171,2 106,49 27,87 109,85 24,52 7,04
Keterangan :
A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ;
B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ;
C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ;
D : ikan sepat rawa dari rawa monoton
Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa nilai konversi pakan yang paling
baik terjadi pada perlakuan C (6,80), diikuti oleh perlakuan D (7,04),
kemudian perlakuan A (7,33) dan perlakuan B (7,38). Sedangkan grafik
nilai konversi pakan ikan sepat rawa selama masa pemeliharaan dapat
dilihat pada Gambar 4.3.

7.5
7.4
7.3
Nilai K onvers i P akan

7.2
7.1
7 K onvers i pakan
6.9
6.8
6.7
6.6
6.5
A B C D Perlakuan

Gambar 4.3.
Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus)
Selama Masa Pemeliharaan

Hasil uji normalitas lilliefors dan homogenitas ragam Bartlett


menunjukkan bahwa data menyebar normal, dimana Li max < Li tabel
(Lampiran 16) dan mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2 hitung
< X2 tabel (Lampiran 17). Selanjutnya hasil analisa keragaman (ANOVA)
menunjukkan bahwa keempat perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap konversi pakan ikan sepat rawa, dimana diperoleh F hitung < F
tabel, yaitu 0,75 < 4,07 (terima Ho) (Lampiran 18).
Nilai konversi pakan digunakan untuk mengetahui baik buruknya
kualitas pakan yang diberikan pada ikan. Sumeru dan Anna (1992)
menyatakan nilai konversi pakan sebenarnya bukan merupakan angka
mutlak, karena tidak hanya ditentukan oleh kualitas pakan, akan tetapi
dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti jenis ikan dan ukuran ikan,
jumlah padat tebar, kualitas air dan faktor genetik.
Menurut Mudjiman (1994), bahwa nilai konversi pakan berkisar
antara 1-8, tergantung dari jenis makanannya, sedangkan menurut
Bardach et al (1972) menyatakan bahwa nilai konversi makanan yang
umum berkisar antara 3,0 4,0 untuk mendapatkan pertumbuhan ikan
yang baik.
Menurut Ismit (1991), nilai konversi pakan ikan sepat rawa dengan
pemberian pakan 5% dari berat tubuh berkisar antara 1,19 2,01.
Sedangkan menurut Wiwarni (1991), ikan sepat rawa yang diberi pakan
3% dari berat tubuh (kadar protein 27 29 %) memiliki nilai konversi
pakan 2,60; 5% dari berat tubuh senilai 3,81; dan 7% dari berat tubuh
senilai 5,80.
Menurut Anggraini (2009), ikan sepat rawa dengan pemberian
pakan 3% dari berat tubuh memiliki nilai konversi pakan antara 5,95 -
6,49 (kadar protein 15,77), sedangkan hasil dari penelitian peneliti
didapatkan nilai konversi pakan antara 6,80 7,38. Hal ini bisa
dimungkinkan, karena ikan sepat rawa tidak menyukai pakan yang
diberikan atau pengaruh dari nafsu makan ikan yang menurun serta dari
perbedaan system metabolisme tubuhnya.

4.4. Daya Kelangsungan Hidup


Daya kelangsungan hidup merupakan persentase jumlah ikan yang
hidup selama masa pemeliharaan dimana nilainya akan berbanding
terbalik dengan mortalitas. Daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa
dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Lampiran 20.
Tabel 4.4. Rerata Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa
Perlakuan & Jumlah Jumlah Daya Kelangsungan Hidup
Ulangan Awal (ekor) Akhir (ekor) (%)
A 15 10,33 68,89
B 15 11,33 75,56
C 15 11,33 75,56
D 15 11,33 75,56
Keterangan :
A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ;
B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ;
C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ;
D : ikan sepat rawa dari rawa monoton

Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa daya kelangsungan hidup yang


tertinggi terjadi pada perlakuan B, C dan D (75,56 %), kemudian di ikuti
perlakuan A (68,89 %). Sedangkan grafik daya kelangsungan hidup ikan
sepat rawa selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4.4.

78

76
Daya Kelangsungan Hidup %)

74

72
Daya kelangs ungan
hidup
70

68

66

64
A B C D Perlakuan

Gambar 4.4.
Daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus)
selama masa pemeliharaan
Hasil uji normalitas lilliefors dan Homogenitas ragam bartlett
menunjukkan bahwa data menyebar normal, dimana Li max < Li tabel
(Lampiran 21) dan mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2 hitung
< X2 tabel (Lampiran 22). Selanjutnya hasil analisa keragaman (ANOVA)
menunjukkan bahwa keempat perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa, dimana diperoleh F
hitung < F tabel, yaitu 0,56 < 4,07 (terima Ho) (Lampiran 23).
Menurut Fatimah (1992), daya kelangsungan hidup ikan sangat
bergantung kepada daya adaptasi ikan terhadap makanan yang baik,
keadaan fisik ikan yang cukup kuat, kualitas makanan yang diberikan
cukup baik, dan kualitas air yang cukup mendukung pertumbuhan.
Salah satu kelemahan dari penelitian ini adalah hapa yang
digunakan tidak bertutup, hal ini sangat berpengaruh terhadap daya
kelangsungan hidup ikan sepat rawa, karena banyaknya predator (burung)
di lingkungan tersebut yang memangsanya. Faktor lain yang juga
mempengaruhi, yaitu tidak adanya shelter (tempat berlindung bagi ikan)
yang mengakibatkan suhu perairan akan meningkat pada siang hari. Daya
kelangsungan hidup juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti
umur, kualitas air, makanan, dan hama penyakit. Hal ini didukung oleh
Merlina (2004) yang menyatakan bahwa mortalitas dipengaruhi oleh
adanya faktor dalam dan faktor luar, dimana faktor yang paling dominan
mempengaruhi mortalitas adalah kompetisi antar jenis, meningkatnya
predator dan parasit, kekurangan makanan baik kualitas maupun
kuantitas, penanganan dan kualitas air.

4.5. Kualitas Air


Pengamatan terhadap kualitas air sangat penting sekali dilakukan,
karena secara langsung atau tidak langsung dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan daya kelangsungan hidup organisme yang ada di
dalamnya. Kualitas air yang diukur dalam penelitian ini meliputi suhu, DO,
dan pH.

4.5.1. Suhu Air


Pengamatan suhu dilakukan setiap 2 minggu sekali, hasil
pengukuran suhu selama penelitian berkisar antara 26,4 0 C 28,20 C.
Suhu yang cukup tinggi di lingkungan tersebut, karena hapa yang
digunakan tidak memiliki tutup, sehingga tidak ada shelter (tempat
berlindung bagi ikan). Menurut Ortanez (2008) suhu air yang ideal untuk
ikan sepat rawa, yaitu 230 C sampai 280 C.

4.5.2. Oksigen Terlarut (DO)


Hasil pengukuran DO selama penelitian berkisar antara 2,95 mg/l
7,56 mg/l. Jumlah oksigen dalam air pada keadaan normal adalah lebih
kurang 5,8 mg/l. Menurut Ismit (1991) kandungan DO yang ideal untuk
ikan sepat rawa berkisar antara 6,8 mg/l 7,0 mg/l. Kandungan DO yang
rendah selama penelitian tidak terlalu berpengaruh bagi ikan sepat rawa,
karena sepat rawa memiliki alat bantu pernapasan berupa labirin yang
mampu mengikat oksigen di udara. Menurut Suriatna di dalam Anonim
(1985) bahwa ikan yang mempunyai alat pernapasan tambahan (labirin)
toleransi terhadap kekurangan oksigen cukup besar, tetapi untuk jenis ikan
yang tidak mempunyai alat pernapasan tambahan dapat mematikan ikan
atau menurunkan nafsu makannya akibat kekurangan oksigen.

4.5.3. Amoniak
Senyawa yang bersifat racun atau Amoniak pada awal penelitian
yaitu 0,70 mg/l sedangkan pada akhir penelitian di peroleh nilai 0,66 mg/l.
Di daerah perairan Kalimantan Selatan dimana banyak ikan sepat terdapat,
kandungan amoniak berkisar antara 0,014 0,074 ppm (Anonim, 1983).
4.5.4. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH digunakan untuk mengetahui asam
basanya suatu perairan. Kisaran pH perairan selama penelitian berkisar
antara 4,91 6,17. Menurut Ortanez (2008), ikan sepat rawa dapat hidup
pada pH 6,0 8,3.
Berdasarkan data-data kualitas air yang diperoleh menunjukkan
bahwa kualitas air di lokasi penelitian masih bisa ditoleransi oleh ikan
sepat rawa. Parameter kualitas air seperti suhu air, kandungan oksigen
terlarut (DO), amoniak dan pH yang terdapat dalam perairan tersebut
masih termasuk baik dan layak untuk kehidupan ikan sepat rawa dan
mendukung untuk perkembangan pertumbuhannya.
Parameter kualitas air hasil pengukuran pada penelitian ikan sepat
rawa (Trichogaster trichopterus) dibandingkan dengan literatur dapat
dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Parameter Kualitas Air Penelitian Dibandingkan Dengan Literatur
No. Parameter Hasil Pengukuran Standar
1. Suhu Air (0C) 26,4 28,20 C 23-280C(Ortanez, 2008)
2. Oksigen Terlarut (mg/L) 2,95 7,56 mg/l 6,8-7,0 mg/l (Ismit,
1991)
3. Kadar amoniak (ppm) 0,61 0,70 mg/l 0,014-0,074 ppm
(anonim 1983).
4. Derajat Keasaman (pH) 4,91 6,17 6,0-8,3 (Ortanez, 2008)
Sumber:data primer, 2009.
BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) mampu hidup dan
beradaptasi di lingkungan budidaya, serta dapat diberi pakan buatan
seperti umumnya ikan-ikan yang dibudidayakan.
2. Variasi jenis ikan sepat rawa tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan sepat rawa yang
dipelihara di lingkungan budidaya.
3. Rerata laju pertumbuhan relatif berat yang terbaik adalah pada
perlakuan C (ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan) sebesar 29,36
%.
4. Rerata laju pertumbuhan relatif panjang yang terbaik adalah pada
perlakuan B (ikan sepat rawa dari rawa padang galam) sebesar 9,35
%.
5. Konversi pakan yang terbaik adalah pada perlakuan C (ikan sepat
rawa dari rawa tadah hujan) sebesar 6,80.
6. Daya kelangsungan hidup yang terbaik adalah pada perlakuan B, C, D
sebesar 75,56 %.

5.2. Saran
Jika ingin membudidayakan ikan sepat rawa di daerah perairan
pasang surut, sebaiknya menggunakan ikan sepat rawa yang berasal dari
daerah perairan rawa tadah hujan. Dikarenakan ikan sepat rawa dari
daerah ini dapat bertumbuh dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai