Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Genetika Ikan
Disusun oleh:
KELOMPOK 3
PERIKANAN C
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2015
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah berkenan
memberi petunjuk kepada kami sehingga laporan praktikum mengenai
Ginogenesis dan Triploidisasi ini dapat diselesaikan. Laporan ini kami buat guna
memenuhi salah satu tugas praktikum mata kuliah Genetika Ikan.
Di dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tentu berkat bantuan
dan tuntunan Allah SWT dan teman-teman yang terlibat. Dalam kesempatan ini
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat. Akhir
kata semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Tim Penyusun,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 LatarBelakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 1
1.3 Tujuan 2
1.4 Kegunaan 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Ikan Komet 3
2.1.1 Taksonomi Ikan Komet 3
2.1.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Komet 3
2.1.3 Reproduksi Ikan Komet 4
2.2 Spermatogenesis dan Oogenesis 5
2.2.1 Oogenesis 6
2.2.1 Spermatogenesis 7
2.2 Triploidisasi 10
2.3 Ginogenesis 10
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM 13
3.1 Tempat dan Waktu Praktikum 13
3.2 Alat dan Bahan 13
3.3 Tahapan Praktikum 14
3.4 Analisis Data 15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17
4.1 Hasil Pengamatan Triploidisasi dan Ginogenesis Kelas 17
4.2 Hasil Pengamatan Kelas 17
iii
4.3 Pembahasan 17
4.3.1 Pembahasan FR 17
4.3.2 Pembahasan HR 19
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 22
5.1 Kesimpulan 22
5.2 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA vii
LAMPIRAN viii
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5. Saringan................................................................................................24
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Ikan komet (Carassius auratus) merupakan ikan hias yang memiliki nilai
ekonomis tinggi karena memiliki corak dan warna yang indah bagi pasar pecinta
ikan hias. Ikan ini memiliki keunggulan dalam hal warna tubuh seperti putih,
merah, kuning, dan perpaduan warna lain yang membuatnya indah dipandang.
Karena keunggulan tersebut banyak yang ingin membudidayakan ikan tersebut.
Setelah banyaknya budidaya maka semakin banyak pula persaingan ikan komet
yang dihasilkan antar pembudidaya satu dengan lainnya. Hal tersebut membuat
pembudidaya banyak mencari cara agar mendapatkan ikan komet yang memiliki
keunggulan tersendiri seperti tahan akan penyakit dan sebagainya. Oleh karena itu
dibuatlah rekayasa genetik pada ikan komet (Carassius auratus).
Rekayasa genetika pada ikan adalah proses atau teknik yang digunakan
untuk meningkatkan variasi pada ikan yang dibiakkan. Teknik rekayasa genetika
yang sangat umum dilakukan adalah hibridisasi, seleksi, inbreeding dan
sebagainya. Teknik-teknik tersebut memiliki faktor tersendiri yang dapat
mempengaruhi keberhasilannya. Oleh karena itu perlu diperhatikan faktor-faktor
tersebut agar diperoleh hasil yang diinginkan pada saat melakukan rekayasa
genetika tersebut.
1
1.3 Tujuan
1.4 Kegunaan
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ikan Komet (Carassius auratus)
Ikan komet merupakan spesies dari famili cyprinidae yang sama dengan
ikan mas (Cyprinus caarpio) hanya saja berbeda genusnya. Berikut taksonomi
dari ikan komet :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Class : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Family : Cyprinidae
Genus : Carassius
Species : Carassius auratus
3
dengan temperatur yang tidak lebih rendah dari temperatur ruangan. Ikan komet
mampu hidip baik pada rentang pH 6,5-8,5. Ikan komet biasa ditemukan di kolam,
danau, dan sungai dengan aliran tenang.
Di alam liar biasanya ikan komet adalah omnivora, ia memakan tanaman
hidup dan juga larva serangga dan plankton. Dalam pemeliharaan biasanya ikan
komet diberi pakan pellet dan cacing tubifex beku yang dikeringkan.
Secara alami, pemijahan terjadi pada tengah malam sampai akhir fajar.
Menjelang memijah, induk-induk ikan mas aktif mencari tempat yang rimbun,
seperti tanaman air atau rerumputan yang menutupi permukaan air. Substrat inilah
yang nantinya akan digunakan sebagai tempat menempel telur sekaligus
membantu perangsangan ketika terjadi pemijahan. (Gursina, 2008). Sifat telur
ikan Komet adalah menempel pada substrat. Telur ikan Komet berbentuk bulat,
berwarna bening, berdiameter 1,5-1,8 mm, dan berbobot 0,17-0,20 mg. Ukuran
telur bervariasi, tergantung dari umur dan ukuran atau bobot induk. Embrio akan
tumbuh di dalam telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa. Antara 2-3 hari
kemudian, telur-telur akan menetas dan tumbuh menjadi larva. Larva ikan Komet
mempunyai kantong kuning telur yang berukuran relatif besar sebagai cadangan
makanan bagi larva. Kantong kuning telur tersebut akan habis dalam waktu 2-4
hari.
Larva ikan Komet bersifat menempel dan bergerak vertikal. Ukuran larva
antara 0,50,6 mm dan bobotnya antara 18-20 mg. Larva berubah menjadi kebul
(larva stadia akhir) dalam waktu 4-5 hari. Pada stadia kebul ini, ikan Komet
memerlukan pasokan makanan dari luar untuk menunjang kehidupannya. Pakan
alami kebul terutama berasal dari zooplankton, seperti rotifera, moina, dan
daphnia. Kebutuhan pakan alami untuk kebul dalam satu hari sekitar 60-70% dari
bobotnya. Setelah 2-3 minggu, kebul tumbuh menjadi burayak yang berukuran 1-
3 cm dan bobotnya 0,1-0,5 gram. Antara 2-3 minggu kemudian burayak tumbuh
menjadi putihan (benih yang siap untuk didederkan) yang berukuran 3-5 cm dan
4
bobotnya 0,5-2,5 gram. Putihan tersebut akan tumbuh terus. Setelah tiga bulan
berubah menjadi gelondongan yang bobot per ekornya sekitar 100 gram.
Istilah ikan betina yang “matang” berarti bahwa pertumbuhan oosit telah
tercapai dan pematangan akhir oosit serta ovulasi bisa dilakukan melalui stimulasi
hormon yang memadai. Berbagai cara pemberian hormon sudah dilakukan untuk
memicu ovulasi P. djambal (Legendre dkk., 2000). Sampai sejauh ini mutu
terbaik gamet diperoleh dengan perlakuan hormon (Legendre dkk., 2002).
Reproduksi pada ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor-faktor
lingkungan termasuk feromon diterima oleh sistem syaraf pusat dan dilanjutkan
ke hipotalamus. Sel-sel neuroendokrin pada hipotalamus mensintesis dan
mensekresikan gonadotropin releasing hormone (GnRH) (Sherwood et al., 1991)
yang akan mengaktivkan hipofisis untuk mensintesis dan mensekresikan
gonadotropin. Gonadotropin diperlukan untuk aktivitas gametogenesis dan
pembentukan hormon-hormon gonad seperti estradiol, progesteron, 79 testosteron
dan 11-ketotestosteron (Yaron, 1995). Pada ikan dikenal adanya tiga macam
GnRH, akan tetapi pada kebanyakan ikan hanya satu GnRH yang berperan dalam
sekresi gonadotropin (Peter dan Yu, 1997). Penelitian pada hipofisis dari berbagai
ikan telah berhasil diisolasi dua tipe gonadotropin yang kemudian disebut GTH-I
dan GTH-II. GTH-I memiliki sub-unit yang sama dengan GTH-II sedangkan sub-
unit pada GTH-I dan GTH-II sangat berbeda (Kawauchi et al., 1989; 1991; Lin et
al., 1992: Van der Kraak et al., 1992). Peranan GTH-I dan GTH-II bervariasi pada
berbagai spesies ikan. Pada ikan salmon, GTH-I dan GTH-II memiliki
kemampuan yang sama dalam memacu sekresi estradiol dari folikel, tetapi GTH-
II lebih potensial dalam memacusekresi 17,20-P dari folikel postvitelogenik
(Suzuki et al., 1988; Swanson et al., 1991). Pada ikan rainbow trout, hanya GTH-I
yang mampu memacu sekresi estradiol dari folikel postvitelogenik (Sumpter et
al., 1991). Pada ikan karper, GTH-I dan GTH-II memiliki kemampuan yang sama
dalam memacu sekresi steroid dari ovarium dan memacu pemasakan oosit pada
kondisi in vitro (Van der Kraak et al., 1992). Terlepas dari perbedaan kemampuan
5
dalam memacu steroidogenesis pada gonad berbagai spesies ikan, terdapat
kesamaan pada fungsi GTH-I dan GTH-II dalam gametogenesis. GTH-I berperan
dalam proses awal gametogenesis (oogenesis dan spermatogenesis) sedangkan
GTH-II berperan dalam pemasakan gamet tahap akhir dan pemijahan (diulas
dalam Kawauchi et al., 1989 dan Swanson, 1991). Hormon-hormon gonad pada
gilirannya akan memberikan umpan balik untuk mengatur aktivitas hipotalamus
ataupun hipofisis sehingga siklus reproduksi dapat berlangsung (Peter dan Yu,
1997).
2.2.1 Oogenesis
Proses oogenesis pada ikan dapat dibedakan atas empat tahapan
perkembangan (Wallace dan Shelman, 1981). Tahap I berupa perkembangan
struktur seluler dasar meliputi perbesaran nukleus, pembentukan nukleoli dan
organel subseluler seperti cortical alveoli yang memegang peranan penting dalam
fertilisasi. Di sekeliling oosit berkembang dua lapisan sel yaitu sel theca dan sel
granulosa yang berperan dalam produksi hormon steroid ovarium. Tahap II,
berupa vitelogenesis. Vitelogenesis melibatkan interaksi antara hipofisis anterior,
sel-sel folikel, hepar dan oosit. Gonadotropin yang disekresikan oleh hipofisis
anterior memacusel-sel theca untuk memproduksi testosteron. Testosteron
berdifusi ke sel-sel granulosa dan diaromatisasi menjadi estradiol-17 (Kagawa et
al., 1982). Estradiol-17 dibawa oleh aliran darah menuju hepar untuk memacu
organ tersebut membentuk vitelogenin yaitu prekursor protein yolk (Pelissero et
al., 1991; Peyton et al., 1992). Vitelogenin dibawa oleh aliran darah dan
diinternalisasi ke dalam oosit melalui reseptor spesifik. Di dalam oosit,
vitelogenin diproses lebih lanjut menjadi protein yolk berukuran lebih kecil yang
akan digunakan sebagai cadangan makanan bagi embryo (Wallace dan Begovac,
1985; Tyler, 1991). Vitelogenesis merupakan tahapan terpanjang dalam
oogenesis. Tahap III, adalah tahap pemasakan oosit. Selama pemasakan, oosit
bergerak dari posisi tengah menuju posisi tepi sitoplasma kemudian inti oosit
menghilang, proses ini dikenal dengan germinal vesicle break down (GVBD).
Proses ini menandai berakhirnya proses meiosis tertama. Selanjutnya kromosom
mengalami kondensasi, benang-benang spindel terbentuk dan polar bodi pertama
6
dilepaskan pada akhir meiosis pertama (Yoshikuni dan Nagahama, 1991). Hasil
penelitian pada beberapa spesies ikan menunjukkan bahwa hormon yang berperan
dalam pemasakan oosit adalah 17,20-P. 17,20-P dihasilkan atas kerjasama sel-sel
theca dan sel granulosa dibawah kendali hormon gonadotropin. Sel theca
menghasilkan 17-hydroxyprogenteron. Hormon ini berdifusi ke dalam sel-sel
granulosa dan diubah menjadi 17,20-P yang juga dikenal sebagai maturation
inducing hormone (MIH) (Nagahama, 1987). Tahap ini harus tercapai agar oosit
dapat diovulasikan dan dioviposisikan pada saat pemijahan. Beberapa penelitian
mengindikasikan bahwa ovulasi dipacu oleh prostaglandin, terutama
prostaglandin F2 (Goetz, 1987). Tahap IV, oosit yang 80 telah mengalami
GVBD dioviposisikan dalam proses pemijahan. Regulasi aktivitas poros
hopitalamus-hipofisis-gonad pada ikan gurame belum banyak diketahui. Guna
mengetahui proses tersebut langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mengukur kadar kadar hormon GnRH, gonadotropin dan hormon-hormon gonad
termasuk di dalamnya adalah estrogen dan progesteron. Hasil pengukuran kadar
hormon steroid gonad memberikan informasi tentang profil hormon selama satu
siklus reproduksi. Berdasarkan profil hormonal selama satu siklus reproduksi
dapat ditentukan pola interaksi hormonal selama gametogenesis, ovulasi dan
pemijahan.
2.2.2 Spermatogenesis
Menurut Chinabut et al (1991), perkembangan testis ikan dalam proses
spermatogenesis dapat dibagi atas 5 tahap, yaitu :
Tahap I : Spermatogonia
Sel-sel epitel germinal aktif membentuk spermatogonia, hampir diseluruh
tubulus. Kebanyakan sel spermatogonia mempunyai sebuah nukleus yang
bentuknya tidak beraturan dengan membrane siste yang tidak jelas kelihatan.
Nukleus mengandung granula-granula berwarna terang dengan ukuran dan
bentuk yang bervariasi, serta mempunyai sebuah nukleolus. Spermatogonia
berukuran 10,80 ~ 13,31 µ.
Tahap II : Spermatosit primer
7
Proses akhir spermatogonia akan tumbuh dan membelah menjadi spermatosit
primer. Membrane siste spermatosit primer terlihat dengan jelas dan setiap siste
mengandung banyak sel spermatosit primer. Spermatosit primer mempunyai
nukleus berbentuk bola dan mengandung granula-granula berwarna gelap.
Spermatosit primer berukuran 4,59 ~ 5,20 µ. Pada tahap ini terjadi duplikasi
kromosom menjadi 4 n, sehingga setiap spermatosit primer mengandung 4 n
kromosom dalam nukleus.
Tahap III : Spermatosit sekunder
Spermatosit primer akan membelah secara mitosis membentuk spermatosit
sekunder. Ukuran spermatosit sekunder lebih kecil dari spermatosit primer dan
nukleusnya mengandung kromatin yang tebal. Spermatosit primer berukuran 3,31
~ 4,25 µ. Pada tahap ini terjadi pembelahan miosis, sehingga setiap spermatosit
sekunder mengandung 2 n kromosom dalam nukleus.
Tahap IV : Spermatid
Siste-siste yang berisi spermatosit sekunder akhirnya berkembang dan
melepaskan sel-selnya ke dalam lumen tubulus, kemudian matang sempurna
menjadi spermatid. Pada tahap ini terjadi pembelahan secara miosis, sehingga
setiap spermatid mengandung n kromosom dalam nukleus.
Tahap V : Spermatozoa
Spermatid mengalami perubahan bentuk atau mengalami metamorfosa
menjadi spermatozoa yang dilengkapi dengan kepala dan ekor, sehingga bisa
bergerak aktif di dalam lumen tubulus. Disini terbentuk spermatozoa Y (jantan)
dan spermatozoa X (betina). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1
dan Gambar 2 di bawah ini.
8
Gambar 2. Skema Potongan Melintang Tubulus Semeniferi Clarias
gariepinus (Van Oordt et al, 1987)
Gambar 3. Struktur Sebuah Tubulus Semeniferi Ikan Liza aurata dalam Proses
Spermatogenesis (Grier dan Grier dalam Brusle et al, 1982).
9
2.3 Triploidisasi
Thorgaard (1983) menyatakan bahwa waktu awal kejutan, lama waktu kejutan
dan suhu yang digunakan untuk setiap spesies ikan berbeda. Ketiga faktor tersebut
sangan mempengaruhi keberhasilan pembentukan triploid.
2.4 Ginogenesis
10
Proses selanjutnya adalah menghancurkan materi genetik sperma dengan sinar
ultraviolet (UV), dengan tujuan menonaktifan material genetik sperma melalui
radiasi dengan bahan mutagen sehingga sperma hanya mampu merangsang
perkembangan telur tanpa menurunkan sifat genetik. Dunham (2004) dalam
Yusrizal (2004) menyatakan bahwa bahan mutagen yang dapat merusak gen pada
sperma ada bermacam-macam yaitu sinar gamma, sinar ultraviolet (UV), dan
sinar X.
11
ginogenetik meiotik diperoleh dari tertahannya polar body II oleh kejutan panas
pada saat meiosis kedua sedangkan diploid ginogenetik mitotik diperoleh akibat
tertahannya pembelahan pertama sel sehingga sel yang terbentuk menjadi diploid.
12
BAB III
13
2. Jarum suntik 2-2,5 ml untuk menyuntikkan suspensi gonadotropin
kedalam induk-induk ikan yang telah matang gonad.
3. Kotak radiasi UV, digunakan untuk menempatkan petridisk yang berisi
sperma yang diencerkan untuk diradiasi dengan sinar UV a buah
masing-masing 15 watt,
4. Lampu neon gemicilid UV 15 watt untuk meradiasi sperma agar inaktif
dan mempertahankan motilitasnya
5. Waterbath untuk memanaskan air sampai suhu yang diinginkan
6. Kotak styrofoam untuk menampung air panas untuk kejutan panas
7. Tempat telur dan untuk mencampurkan sperma yang telah diradiasi
8. Akuarium untuk pemeliharaan larva yang dilengkapi termometer dan
aerator
3.2.4 Bahan Praktikum Ginogenesis
1. Induk ikan komet dan betina yang telah matang gonad
2. Air tawar bersih yang digunakan sebagai media kejutan panas
pembilasan telur dan media inkubasi
3. NaCl fisiologis untuk pengenceran sperma
4. Akuades melarutkan hipofisa yang memiliki ekstrak gonadotrophin
3.3 Tahapan Praktikum
3.3.1 Persiapan Praktikum
1. Persiapan pemijahan
Untuk mempercepat ovulasi maka induk diinjeksi dengan ekstrak hipofisa
secara intramuscular. Jantan 1 dosis dan betina 1,5 dosis. Selanjutnya
stripping dilakukan 8 jam setelahnya.
2. Persiapan kejutan panas dan pengambilan sperma
Menyiapkan air panas ersuhu 40°C yang diperoleh dari waterbath dan
kemudian ditampung di dalam styrofoam. Lalu menyalakan kotak radiasi
sekitar 10-15 menit agar intensitas cahaya dapat stabil dan tidak berubah-
ubah. Mengambil sperma dari induk jantan, kemudian dilarutkan kedalam
NaCl fisiologis diaduk perlahan dan ditempatkan di petri disk setebal 1
14
mm. Selanjutnya menempatkan petridisk tepat 15 cm dibawah lampu UV
agar memperoleh sinar merata.
3.3.2 Pelaksanaan Praktikum
1. Radiasi sperma
Memasukkan masing-masing petridisk kedalam kotak radiasi tepat
dibawah lampu UV selama 10-15 menit. Penyinaran UV dilakukan
dibagian atas dan bawah sampai bagian samping petridisk sehingga radiasi
lebih sempurna.
2. Fertilsasi
Di stripping induk betina ditampung di petri disk. Lalu mencampurkan
sperma yang tadi telah diradiasi.
3. Kejutan Panas
Dimasukkan telur yang sudah dibuahi sperma kedalam kotak styrofoam
dengan suhu air 40 °C. Perendaman telur dalam styrofoam tersebut
dilakukan hati-hati sampai telur terendam semua dengan lama 2 menit.
4. Penetasan dan Pemeliharaan larva
Dimasukkan telur yang telah diradiasi kedalam akuarium penetasan dan
pemeliharaan larva
3.4 Analisis Data
Analisis data praktikum ginogenesis dan triploidisasi, terdapat banyak
keragaman hasil pengamatan yang didapatkan oleh 15 kelompok pada kelas
perikanan C. Hasil pengamatan data FR yang menunjukkan rasio penetasan telur
dapat memberikan informasi tentang berapa telur yang berhasil dibuahi oleh sel
sperma dan berapa yang mati ataupun tidak berhasil dibuahi oleh sel sperma.
Selain itu FR juga akan menjadi acuan untuk pengamatan HR kedepannya. HR
sendiri adalah rasio penetasan telur yang telah berhasil terbuahi. HR akan
memberikan informasi tentang berapa banyak telur yang berhasil menetas dan
berapa yang mati.
Perbandingan nilai pada FR dan HR dari masing-masing kelompok akan
memberikan informasi mengenai bagaimana cara penanganan, perlakuan yang
baik pada sel telur dan sel sperma pada proses triploidisasi dan ginogenesis agar
15
mampu berhasil menetas dan tumbuh menjadi individu baru yang sesuai dengan
tujuan kita pada triploidisasi dan ginogenesis tadi.
16
BAB IV
17
dihitung dengan cara membandingkan telur yang terbuahi dengan jumlah total
telur kemudian dinyatakan dalam persen. (Winarsih, 1996 dalam Tishom, 2008).
Keberhasilan pembuahan sangat dipengaruhi oleh banyaknya telur yang
mengalami pematangan, tingginya konsentrasi hormon sampai pada konsentrasi
tertentu dapat meningkatkan persentase telur yang matang, hanya telur yang
mengalami maturasi (GVBD) yang dapat terfertilisasi (Zairin, 2003).
Woynarovich dan Horvath (1980) mengatakan bahwa keberhasilan pembuahan
sangat ditentukan oleh kualitas telur, sperma, media dan penanganan manusia.
Subagyo dkk. (1992) menambahkan bahwa penanganan yang salah dan terlalu
kasar dapat mengakibatkan ikan stres dan lemah sehingga dapat menurunkan
kualitas telur dan sperma.
18
ginogenesis terdapat pada kelompok 6 dengan nilai 12,95%. Dan pembuahan
tertinggi pada triploidisasi adalah kelompok 9 dengan 100% pembuahan
begitupun ginogenesis adalah kelompok 9 juga dengan 100% pembuahan. Hampir
semua kelompok mengalami persentase penetasan telur yang tidak mencapai
100%.
Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kualitas induk yang
kurang baik sehingga menghasilkan sel sperma dan sel telur yang buruk pula.
Ataupun cara penanganan oleh manusia yang salah saat pemijahan yang juga akan
mempengaruhi persentase derajat pembuahan itu sendiri. Khusus untuk
ginogenesis sel sperma bisa jadi ada dalam keadaan nonmotil atau mati dan
pembuahan tidak terjadi karena sperma telah mati sebelum melewati mikrofil sel
telur. Selain terdapat kesalahan pada sel sperma ada juga kesalahan pada sel telur.
Karena hanya telur yang mengalami maturasi (GVBD) yang dapat terfertilisasi
(Zairin, 2003).
4.3.2 Pembahasan HR
Tabel 4. Perhitungan Data HR Kelas Perikanan C
HR
KELOMPOK
Triploidisasi Ginogenesis
1 85,7 64,3
2 0 43
3 3,4 43
4 33,6 43
5 0 44,1
6 29,86 80
7 0 0
8 0 0
9 0 0
10 7,69 0,84
11 11,51 33,8
12 18,72 20,98
13 9,57 28,23
14 9,94 21,21
15 16,8 17,2
19
Tingkat penetasan telur berhubungan erat dengan keberhasilan
pembuahan. Oyen et al. (1991) mengatakan keberhasilan penetasan selalu
ditentukan oleh keberhasilan pembuahan, kecuali jika ada faktor lingkungan yang
mempengaruhinya. Masrizal dan Efrizal (1997) melaporkan bahwa keberhasilan
penetasan akan menurun dengan semakin menurunnya keberhasilan pembuahan
atau sebaliknya keberhasilan penetasan akan meningkat dengan semakin
meningkatnya keberhasilan pembuahan. Pada kelompok 2, 7, 8, dan 9 didapati
bahwa penetasan telur adalah 0% hal ini dapat dipicu oleh beberapa faktor yang
sudah disebutkan tadi. Pada pembuahan persentase pembuahan pada kelompok 2,
7, 8, dan 9 adalah 86, 28,94, 68, 100. Khusus untuk kelompok 9 pembuahan yang
mencapai 100% ternyata tidak terlalu mempengaruhi derajat penetasan yang
didapatkan oleh kelompok tersebut. Kematian telur atau embrio pada fase
embriogenesis menyebabkan rasio penetasan telur menjadi 0.
20
pada perkembangan selanjutnya telur menjadi berwarna putih dan kusam,
sedangkan telur yang sehat akan berkembang menjadi transparan atau jernih
(Masithah dan Alamsjah, 2002; Rustidja, 2004).
Kelompok 3 mendapatkan persentase rasio penetasan sebesar 3,4% pada
triploidisasi dan 43% pada ginogenesis. Penetasan pada triploidisasi sangatlah
kecil padahal rasio pembuahannya cukup tinggi yaitu 93% namun beberapa faktor
telah membuat penetasannya menjadi kecil, diantaranya adalah media penempatan
yang memang tidak diukur terlebih dahulu suhu, dan pHnya bahkan untuk suhu
media tidak dipertahankan pada satu suhu yang tetap. Hal tersebut membuat suhu
berubah-ubah dan berpengaruh terhadap embriogenesis telur yang secara tidak
langsung mempengaruhi derajat penetasan telur tersebut.
Ginogenesis pada kelompok 3 memperoleh data persentase penetasan
sebesar 43% dari 87% pembuahan. Angka ini hampir mencapai setengah dari
rasio pembuahannya, meskipun sudah banyak telur yang berpotensi menetas
namun tidak sampai 50%. Hal ini buruk apabila kita mengembangkan usaha
budidaya ikan komet, karena ini akan berpengaruh pada biaya produksi yang
besar namun menghasilkan produksi yang tidak sebanding dengan biayanya.
Perlu diperhatikan agar teknik ginogenesis dan triploidisasi yang akan kita
jalankan dapat berhasil dengan baik kita harus mampu menguasai program
breeding terlebih dahulu baru selanjutnya menguasai teknik ginogenesis dan
triploidisasi tersebut. Selain teknik kita juga harus mampu menguasai dan
memperhatikan faktor-faktor penting yang dapat berperan mempengaruhi
keberhasilan program yang kita jalankan. Harus menjaga agar faktor-faktor
tersebut dapat berjalan dengan baik dan tidak mengganggu program yang
dijalankan.
21
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
22
sedangkan telur yang sehat akan berkembang menjadi transparan atau jernih
(Masithah dan Alamsjah, 2002; Rustidja, 2004).
Kelompok 3 mendapatkan persentase rasio penetasan sebesar 3,4% pada
triploidisasi dan 43% pada ginogenesis. Penetasan pada triploidisasi sangatlah
kecil padahal rasio pembuahannya cukup tinggi yaitu 93% namun beberapa faktor
telah membuat penetasannya menjadi kecil, diantaranya adalah media penempatan
yang memang tidak diukur terlebih dahulu suhu, dan pHnya bahkan untuk suhu
media tidak dipertahankan pada satu suhu yang tetap. Ginogenesis pada kelompok
3 memperoleh data persentase penetasan sebesar 43% dari 87% pembuahan.
Angka ini hampir mencapai setengah dari rasio pembuahannya, meskipun sudah
banyak telur yang berpotensi menetas namun tidak sampai 50%.
5.2 Saran
Perlu diperhatikan agar teknik ginogenesis dan triploidisasi yang akan kita
jalankan dapat berhasil dengan baik kita harus mampu menguasai program
breeding terlebih dahulu baru selanjutnya menguasai teknik ginogenesis dan
triploidisasi tersebut. Selain teknik kita juga harus mampu menguasai dan
memperhatikan faktor-faktor penting yang dapat berperan mempengaruhi
keberhasilan program yang kita jalankan. Harus menjaga agar faktor-faktor
tersebut dapat berjalan dengan baik dan tidak mengganggu program yang
dijalankan.
Selain itu perlu disiapkan induk yang memang siap untuk diberi perlakuan
pemijahan buatan. Induk tersebut harus induk yang sudah pernah memijah dan
matang gonad agar saat di suntikkan hormon mampu cepat ovulasi dan spermiasi
agar selanjutnya dapat distripping dan menghasilkan sel sperma dan ovum yang
memang siap untuk dipijahkan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Andalusia, Rizky dkk. 2008. Respon Pemberian Ekstrak Hipofisa Ayan Broiler
Pada Pembuahan Dan Penetasan Pada Pemijahan Ikan Comet (Carassius
auratus auratus). Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Burmansyah, et,al. 2013. Pemijahan Ikan Betok (Anabas testudineus) Semi Alami
Dengan Sex Ratio Berbeda. Universitas Sriwijaya
Nurasni, Anisa. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Kejutan Panas Terhadap
Triploidisasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias garepinus). Universitas
Padjadjaran
24
LAMPIRAN
Lampiran 1 Alat Dan Bahan
Gambar 5. Saringan
25
Gambar 6. Cawan Petri
26
Gambar 9. Penempatan sel sperma Gambar.10 Radiasi Sel sperma
27
Gambar 13. Telur setelah Heatshock
28