Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM BUDIDAYA PAKAN ALAMI

KULTUR ARTEMIA, DAPHNIA, DAN SPIRULINA DENGAN


BANTUAN ENRICHMENT DAN ANALISIS PERTUMBUHAN
IKAN BEUREUM PANON (P. orphoides)

Disusun Sebagai Laporan Akhir Praktikum Budidaya Pakan Alami


Tahun Akademik 2017-2018

Disusun Oleh:
Kelompok 2/ Perikanan A

Delinda Nirmalasari 230110160041


Deri Eki Laksana 230110160058
Mahmud Sa’id 230110160044
Monica Anastasya 230110160004
Rafli Bahtiar 230110160014
Rima Tri Wahyuni 230110160032

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah atas limpahan nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun laporan praktikum Budidaya
Pakan Alami dengan judul “Kultur Artemia, Daphnia, dan Spirulina Dengan
Bantuan Enrichment dan Analisis Pertumbuhan Ikan Panon Bereum”.
Penyusunan laporan bertujuan guna memenuhi tugas mata kuliah Budidaya Pakan
Alami. Penulis mengharapkan dengan adanya laporan, dapat memberikan
pengalaman maupun pelajaran yang berarti bagi pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan inspirasi dan referensi dalam proses penyelesaian laporan. Laporan
akhir praktikum dibuat dengan sebaik-baiknya dan mengacu pada format
penulisan, diharapakan saran-saran yang membangun terhadap penulisan laporan
agar menjadi evaluasi bagi penulis, semoga laporan dapat memberi manfaat bagi
kita semua.

Jatinangor, Desember 2017

Penulis

ii
RINGKASAN PRAKTIKUM

1.1 Latar Belakang


Kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang
tersedia pada perairan tersebut. Siklus hidup Artemia sp dimulai dari saat
menetsanyacysta atau telur Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya
kista atau telur setelah 15 – 20 jam pada suhu 25°C cystaakan menetas manjadi
embrio. Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang banyak digunakan
dalam pemeliharaan ikan dan udang. Artemia memiliki kandungan nutrisi yang
tinggi; protein 52,50%, karbohidrat 14,80%, dan lemak 23,40% (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995).
Mekanisme reproduksi Daphnia adalah dengan cara partenogenesis
(tanpa kawin), dan sebagian besar telur yang dihasilkan akan menetas menjadi
Daphnia betina. Daphnia sp merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, burayak
dan juga hewan kecil lainnya. Kandungan proteinnya bisa mencapai lebih dari
70% kadar bahan kering. Secara umum, dapat dikatakan terdiri dari 95% air, 4%
protein, 0.54 % lemak, 0.67 % karbohidrat dan 0.15 % abu.
Menurut Kebede and Ahlgren (1996), Spirulina sp. adalah jenis
Cyanobacteria yang mengandung klorofil dan dapat melakukan fotosintesis untuk
membuat makanan sendiri. Siklus reproduksi Spirulina sp. terdiri atas tiga tahap
yaitu fragmentasi trikoma, pembesaran sel hormogonia dan perpanjangan trikoma.
Kandungan nutrisi yang ada di dalam Spirulina sp. antara lain protein, vitamin,
mineral, asam lemak, asam amino dan berbagai jenis pigmen (Christwardana dan
Hadiyanto 2012).
Mata merah dikenal sebagai ikan karnivora yang memangsa serangga,
siput dan lain-lain (Umar dkk. 2007). Secara alami ikan brek acap didapati di
sungai-sungai, waduk dan danau; namun biasa juga ditemukan liar di kolam-
kolam ikan. Selain menjadi ikan konsumsi, belakangan ini mata merah juga
diperdagangkan sebagai ikan hias.

iii
Pakan alami atau plankton adalah jenis makanan ikan, berupa organisme
yang hidup melayang-layang di dalam air tanpa mempunyai kemampuan
untuk

iv
iv

melawan gerakan air. utamanya yang masih berbentuk larva dan


ketersediaannya dapat diusahakan atau dibudidayakan. Pakan alami (plankton)
sendiri dibagi menjadi 2 jenis, yaitu fitoplankton (kelompok tumbuhan) dan
zooplankton (kelompok hewan).
Larva ikan beureun panon memakan plankton sebagai pakan mereka.
Kandungan gizi artemia sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan larva
ikan beureun panon. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian
budidaya pakan alami dilakukan guna untuk memelihara pakan alami seperti
Artemia, Daphnia, dan Spirulina.

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut
1. Praktikan dapat mengetahui dan mampu melakukan budidaya Artemia
dalam skala laboratorium.
2. Praktikan dapat mengetahui dan mampu melakukan budidaya Daphnia
dalam skala laboratorium.
3. Praktikan dapat mengetahui dan mampu melakukan budidaya Spirulina
dalam skala laboratorium.

1.3 Manfaat Praktikum


Manfaat dari praktikum ini adalah memberikan informasi kepada
pembaca tentang budidaya pakan alami Artemia, Daphnia, dan Spirulina dalam
skala laboratorium serta faktor-faktor yang mempengaruhinya..
DAFTAR ISI

BAB Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... vi

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 2
1.3 Manfaat ....................................................................................... 2

II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ikan Lele...................................................................................... 3
2.1.1 Klasifikasi.................................................................................... 3
2.1.2 Habitat ........................................................................................ 4
2.2 Ikan Bandeng .............................................................................. 4
2.2.1 Klasifikasi ................................................................................... 4

III BAHAN DAN METODE


3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................... 12
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 12
3.2.1 Alat ............................................................................................. 12
3.2.2 Bahan .......................................................................................... 12
3.3 Prosedur Praktikum .................................................................... 12

IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil ............................................................................................ 15
4.1.1 Hasil Kelompok .......................................................................... 15
4.1.2 Hasil Angkatan ........................................................................... 16

V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ................................................................................. 20
5.2 Saran............................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 21


LAMPIRAN .......................................................................................... 24

v
DAFTAR TABEL

Nomor Judul
Halaman
1 Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Lele 4
2 Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Bandeng 4
3 Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Nilem 4
4 Data Hasil Pengamatan Kelompok 4

vi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul
Halaman
1 Ikan Lele 3
2 Ikan Bandeng 5
3 Ikan Nilem 6
4 Tiga Tahap Respirasi Aerob 10
5 Grafik konsumsi oksigen pada ikan (a) lele, (b) bandeng,
(c) nilem 17

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul
Halaman
1 Alat Praktikum 25
2 Bahan Praktikum 26
3 Prosedur Praktikum 27
4 Kegiatan Praktikum 30
5 Tabel Hasil Pengamatan 32

viii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Artemia sp.


1.1.1 Klasifikasi Artemia sp.
Artemia merupakan organisme sejenis udang-udangan berukuran kecil
(renik) dikenal dengan nama brine shrimp. Klasifikasi Artemia menurut Barnes
(1963), adalah sebagai berikut.
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp.

Gambar 1. Morforlogi Artemia sp.


(Sumber : http://perikanan-tangkap.blogspot.co.id)

1.1.2 Morfologi Artemis sp.


Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan Artemia
berupa plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk ke mulut.
Artemia dalam mengambil makanan bersifat penyaring tidak selektif
(nonselective filter feeder), sehingga apa saja yang dapat masuk mulut akan
menjadi makanannya. Kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas
pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Artemia dapat memakan partikel yang
berukuran sampai 50 μm (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Makanan disaring

1
2

dengan apendik tanpa diseleksi, dikumpulkan dan digumpalkan dalam alur tengah
ventral hampir sepanjang badan, kemudian dialirkan ke anterior terutama
menggunakan bagian dari pangkal kaki (Suwignyo et al. 1998). Pada Artemia
dewasa pengambilan makanan dibantu oleh torakopoda, sedangkan pada fase
nauplius dibantu oleh sungut atau antena II (Gambar 1). Artemia memiliki
keistimewaan yaitu tidak berhenti makan jika persediaan makanan terus ada
(Mudjiman 1989).

1.1.3 Siklus Hidup Artemia sp.


Siklus hidup Artemia sp dimulai dari saat menetsanyacysta atau telur
Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur setelah 15
– 20 jam pada suhu 25°C cystaakan menetas manjadi embrio. Dalam waktu
beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista pada fase ini
embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli
yang sudah bisa berenang bebas pada awalnya naupli akan berwarna orange
kecoklatan karena masih mengandung kuning telur.
Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya
belum terbentuk dengan sempurna setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit
dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan,
dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada
dasarnya Artemia akan memakan jenis pakan apa saja selama bahan tersebut
tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15
kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata
berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka
dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm, pada kondisi demikian
biomasanya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomasa pada fase naupli.
Salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa
mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari selama hidupnya (sekitar 50 hari)
betina Artemia memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali, dalam
kondisiyang sesuai, artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi
nauplii atau cysta sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. cysta akan terbentuk
3

apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakan sangat
kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari.
(Mudjiman, 1983).

Gambar 2. Siklus hidup Artemia sp.


(Sumber : http://perikanan-1992.blogspot.co.id)

1.1.4 Media Kultur Artemia sp.


Media kultur Artemia adalah air laut dengan salinitas sekitar 10-30 ppt
atau media buatan berupa air garam (Mudjiman 1989). Artemia bersifat
euryhaline yang dapat bertahan pada salinitas 3-300 ppt. Artemia dapat juga
bertahan dalam waktu yang singkat dalam air tawar (Treece 2000). Sebelum
ditetaskan, terkadang siste dicuci dengan merendamnya dalam air tawar. Proses
penetasan siste, suhu air media penetasan dipertahankan antara 25-30ºC. Air
media diareasi menggunakan aerator atau kompressor. Aerasi ini selain untuk
mengaduk agar siste tidak mengumpul (mengendap di dasar wadah) juga untuk
menambah kadar oksigen. Siste akan menetas menjadi nauplius setelah 24-36 jam
(Mudjiman 1989). Mulanya cangkang siste seolah-olah terbelah menjadi 2 bagian.
Bagian bawah merupakan nauplius berwarna kemerah-merahan dan bagian
atasnya adalah cangkang perlindungannya. Untuk memisahkan kedua bagian ini
dilakukan dengan menutup bagian atas wadah menggunakan kain hitam dan
bagian bawah wadah disinari dengan lampu. Dalam proses pemisahan ini, aerasi
dihentikan sementara. Dalam waktu 5-10 menit kemudian nauplius tersebut akan
terlepas dari cangkangnya. Individu-individu nauplius tersebut akan mengumpul
di bagian dasar wadah, sedangkan cangkangnya akan mengapung di permukaan.
Nauplius yang mengumpul di dasar wadah tersebut disedot dengan selang plastik
4

dan ditampung dalam saringan 125 mikron (plankton net). Di dalam saringan
penampung tersebut, nauplius dibersihkan dari kotorannya dengan
menyemprotkan air bersih sampai kotorannya hilang dan siap dijadikan pakan
alami ikan (Djarijah 1996).

1.1.5 Kandungan Gizi Artemia sp.


Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang banyak digunakan dalam
pemeliharaan ikan dan udang. Artemia memiliki kandungan nutrisi yang tinggi;
protein 52,50%, karbohidrat 14,80%, dan lemak 23,40% (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995). Individu Artemia dewasa mencapai panjang antara 1-2 cm dan
berat 10 mg. Telur Artemia beratnya 3,6 mikrogram, diameternya sekitar 300
mikron (Djarijah 1996).

1.2 Daphnia sp.


1.2.1 Klasifikasi Daphnia sp.
Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea
renik yang hidup secara umum di perairan tawar (Pangkey 2009). Beberapa
Daphnia sp. ditemukan mulai dari daerah tropis hingga Arktik dengan berbagai
ukuran habitat mulai dari kolam kecil hingga danau luas (Delbaere dan Dhert,
1996).

Gambar 3. Dahpnia sp.


5

(Sumber : https://en.wikipedia.org)

Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia sp. adalah sebagai berikut:


Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Ordo : Cladocera
Famili : Daphnidae
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia sp.

1.2.2 Morfologi Daphnia sp.


Secara morfologi pembagian segmen pada tubuh Daphnia sp. hampir tidak
terlihat. Pada bagian tubuh menyatu dengan kepala. Bentuk tubuh membungkuk
kearah bagian bawah, hal ini terlihat dengan jelas melalui lekukannya. Beberapa
spesies Daphnia sebagian besar anggota tubuh tertutup oleh carapace, dengan kaki
semu yang berjumlah enam pasang dan berada pada rongga perut. Bagian tubuh
yang paling terlihat adalah mata, antena dan sepasang setae (Pennak, 1989).
Pada dinding tubuh Daphnia sp. bagian punggung membentuk suatu
lipatan yang menutupi anggota tubuh lain sehingga terlihat seperti cangkang.
Bagian ini membentuk kantung sebagai tempat menampung telur. Pada bagian
cangkang tersebut terbentuk karena banyak menyerap air, kulit yang lunak
kemudian menjadi keras. Kerasnya cangkang terbentuk ketika mineral-mineral
pembentuk cangkang tersedia di perairan (Siregar 1996).
6

Gambar 4. Morfologi Daphnia sp.


(sumber : https://azharfa.wordpress.com)
1.2.3 Siklus Hidup Daphnia sp.
Mekanisme reproduksi Daphnia adalah dengan cara partenogenesis (tanpa
kawin), dan sebagian besar telur yang dihasilkan akan menetas menjadi Daphnia
betina. Kemudian satu atau lebih individu muda dirawat dengan menempel pada
tubuh induk. Pertambahan ukuran terjadi sesaat setelah telur menetas di dalam
ruang pengeraman. Daphnia sp. dewasa berukuran 2,5 mm, anak pertama sebesar
0,8 mm dihasilkan secara parthenogenesis (Mudjiman 1999).
Menurut Siregar (1996) jika kondisi lingkungan hidup Daphnia sp. tidak
sesuai dan kondisi pakan tidak memadai, beberapa Daphnia sp. akan
memproduksi telur berjenis kelamin jantan. Kehadiran jantan ini dapat membuahi
telur Daphnia (ephippium), satu ekor Daphnia sp. jantan dapat membuahi ratusan
betina dalam satu periode.
Telur dari hasil pembuahan dapat bertahan dan berkembang hingga fase
gastrula dan segera memasuki fase dorman. Selain itu telur ini juga terlindungi
dengan mekanisme pertahanan terhadap kondisi lingkungan yang buruk.
Selanjutnya Daphnia sp. hidup dan berkembang biak secara aseksual.
Perkembangan naupli hingga pada fase dewasa dapat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Pada suhu 220 C-310C dan pH 6,5-7,4 dapat berkembang menjadi
dewasa dalam waktu 4 hari dan bertahan hidup selama 12 hari (Siregar, 1996).
7

Gambar 5. Siklus Hidup Dahpnia sp.


(Sumber : http://oceannaalbahry.blogspot.co.id)
1.2.4 Media Kultur Daphnia sp.
Kualitas air merupakan suatu hal yang menentukan optimalisasi kehidupan
bagi organisme perairan, termasuk pada Daphnia sp. Organisme ini dapat hidup
dan berkembang biak dengan baik pada kondisi yang stabil. Faktor-faktor yang
mempengaaruhi antara lain oksigen terlarut (DO), pH, suhu, amoniak, dan
ketersediaan nutrien.
Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor penting yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup Daphnia sp. Pada umumnya Daphnia sp.
dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut (DO) diatas 3 mg/l (Ebert 2005).
Kondisi oksigen terlarut tersebut dibutuhkan oleh Daphnia sp. dalam proses
metabolisme di dalam tubuhnya.
Suhu yang masih dapat ditoleransi oleh Daphnia sp. bervariasi sesuai pada
lingkungan tersebut. Daphnia sp. umumnya dapat hidup optimal dengan kisaran
suhu 22-31oC (Radini 2004), sedangkan kisaran derajat keasaman pada Daphnia
sp. yang masih dapat ditolerir adalah 7,2–8,5 (Clare 2002). Dengan meningkatnya
suhu dan pH maka akan mempengaruhi peningkatan kadar NH 3 di perairan.
Menurut Lavens dan Sorgeloos (1996) kadar amoniak untuk Daphnia sp. masih
dapat hidup yaitu pada konsentrasi 0,2 ppm. Sedangkan menurut Radini (2004)
Daphnia sp. masih bertahan pada kadar amonia di bawah 0,2 ppm dan dapat
berkembang biak dengan baik

1.2.5 Kandungan Gizi Daphnia sp.


Daphnia sp merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, burayak dan juga
hewan kecil lainnya. Kandungan proteinnya bisa mencapai lebih dari 70% kadar
bahan kering. Secara umum, dapat dikatakan terdiri dari 95% air, 4% protein, 0.54
% lemak, 0.67 % karbohidrat dan 0.15 % abu. Kepopulerannya sebagai pakan
ikan selain karena kandungan gizinya serta ukurannya, adalah juga karena
"kemudahannya" dibudidayakan sehingga dapat tersedia dalam jumlah
mencukupi, hampir setiap saat.
8

1.3 Spirulina sp.


1.3.1 Klasifikasi Spirulina sp.
Klasifikasi Spirulina sp. menurut Bold & Wyne (1985) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Protista
Filum : Cyanobacteria
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Nostocales
Famili : Oscilatoriaceae
Genus : Spirulina
Spesies : Spirulina sp.

1.3.2 Morfologi Spirulina sp.


Spirulina sp. merupakan organisme autotrof berwarna hijau kebiruan,
menyerupai spiral dengan sel membentuk filamen terpilin sehingga disebut juga
alga biru hijau berfilamen. Spirulina sp. berdiameter 1-12 mikrometer dan
memiliki bentuk tubuh menyerupai benang yang merupakan rangkaian sel yang
berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis. Selain itu, filamen Spirulina sp.
juga dapat hidup soliter (Haryati 2008).
Menurut Kebede and Ahlgren (1996), Spirulina sp. adalah jenis
Cyanobacteria yang mengandung klorofil dan dapat melakukan fotosintesis untuk
membuat makanan sendiri. Zat warna alami yang dikandung Spirulina sp. terdiri
atas pigmen hijau, merah, kuning dan biru (Richmond, 1988 dalam Borowitzka,
1994). Kandungan fikosianin yang tinggi pada mikroalga ini menyebabkan
warnanya cenderung hijau biru. Spirulina sp. memiliki struktur trichoma spiral
dengan filamen–filamen bersifat mortal dan tidak memiliki heterosit. Sel
Spirulina sp. berukuran relatif besar yaitu 110 µm, sehingga dalam proses
pemanenan dengan menggunakan kertas saring lebih mudah (Richmond 1988
dalam Borowitzka 1994).
9

Gambar 6. Spirulina sp.


(sumber : https://www.shutterstock.com)

1.3.3 Siklus Hidup Spirulina sp.


Siklus reproduksi Spirulina sp. terdiri atas tiga tahap yaitu fragmentasi
trikoma, pembesaran sel hormogonia dan perpanjangan trikoma. Kemudian
trikoma dewasa dibagi menjadi filamen atau hormogonia, lalu sel-sel hormogonia
akan meningkat dengan pembelahan biner dan tumbuh memanjang membentuk
spiral (Hongmei Gong et al., 2008).

Gambar 7. Siklus Reproduksi Spirulina sp.


(sumber : http://maru-sensei.blogspot.co.id)

Spirulina sp. bereproduksi dengan fragmentasi. Fragmentasi adalah


pemutusan bagian tubuh yang kemudian membentuk individu baru. Pada filamen
yang panjang jika salah satu selnya mati maka sel mati itu membagi filamen
menjadi 2 bagian atau lebih. Masing-masing bagian disebut hormogonium. Selain
itu, fragmentasi juga terjadi pada pemisahan dinding yang berdekatan pada
trikoma. Pada proses fragmentasi, filamen yang panjang akan terputus menjadi
dua atau lebih benang pendek. Setiap hormogonium akan tumbuh menjadi filamen
10

baru. Tempat pemutusan filamen adalah sel mati yang terdapat diantara sel
penyusun filamen (Khoirul 2013).
Selain bereproduksi dengan fragmentasi, Spirulina sp. juga bereproduksi
dengan pembelahan biner. Pembelahan biner merupakan pembelahan sel secara
langsung yang dapat memperbanyak jumlah filamen. Sel-sel membelah menjadi 2
dan tidak saling terpisah sehingga membentuk filamen yang terdiri atas deretan
mata rantai sel yang disebut trikoma (Khoirul 2013).

1.3.4 Media Kultur Spirulina sp.


Nutrien merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan dan
komposisi biokimia mikroalga. Kondisi nutrien yang optimum diperlukan untuk
mendapatkan nilai produktivitas kultur mikroalga yang tinggi disertai kualitas
biomasa yang baik. Konsentrasi nutrien yang rendah dapat menyebabkan
penurunan laju pertumbuhan karena sel-sel alga kekurangan unsur makanan.
Pertumbuhan Spirulina sp. membutuhkan bermacam-macam nutrien yang
secara umum dibagi menjadi unsur makro dan unsur mikro. Unsur makro
merupakan nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah besar yaitu terdiri atas N, P, K,
Na, S, C, H, O, Mg. Sementara itu, unsur mikro merupakan nutrien yang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit yaitu terdiri atas Bo, Mo, Cu, Zn dan Co (Fogg
and Thake, 1987). Komponen vitamin yang tersedia dalam media juga dapat
mempercepat pertumbuhan terutama kandungan vitamin B12 (Becker,1995;
Andersen, 2005).
Menurut Richmond (1988) dalam Borowitzka (1994), faktor utama dalam
media sangat bergantung pada komposisi hara nitrogen dan fosfor. Berkurangnya
nitrogen dan fosfor menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 dan O2.
Nitrogen merupakan komponen esensial dari struktur dan fungsional
protein pada sel mikroalga. Secara umum, mikroalga memiliki kemampuan yang
terbatas untuk memproduksi material penyimpan nitrogen ketika tumbuh pada
kondisi nitrogen yang mencukupi kecuali sianofisin dan fikosianin (Boussiba and
Richmond, 1980). Sementara fosfor adalah makro nutrien yang memegang
peranan penting dalam proses metabolisme seluler dengan membentuk berbagai
11

struktur dan fungsi dari komponen-komponen yang dibutuhkan untuk


pertumbuhan dan perkembangan mikroalga. Beberapa gejala dari kekurangan
fosfor mirip pada kultur dengan nitrogen terbatas. Kandungan klorofil a
cenderung mengalami penurunan sedangkan kandungan karbohidrat akan
mengalami peningkatan pada kondisi penurunan senyawa fosfor (Belay, 2002).
Menurut Suryati (2002), intensitas cahaya yang optimal untuk
pertumbuhan Spirulina sp.berkisar antara 1500-3000 lux dan tidak melebihi 4000
lux untuk menghindari foto inhibisi. Kisaran pH untuk pertumbuhan Spirulina sp.
antara 8,5-10,5 (Cifferi 1983). Secara umum suhu optimal dalam kultur mikroalga
berkisar antara 20-30oC (Hariyati, 2008)

1.3.5 Produktivitas Spirulina sp.


Kandungan nutrisi yang ada di dalam Spirulina sp. antara lain protein,
vitamin, mineral, asam lemak, asam amino dan berbagai jenis pigmen
(Christwardana dan Hadiyanto 2012). Spirulina sp. memiliki dinding sel tipis
yang tersusun atas kompleks gula dan protein yang mudah dicerna (Sasson 1997).
Kandungan nutrisi Spirulina sp. lainnya adalah karbohidrat dan lemak.
Komposisi lemak Spirulina sp. 0,8%-1% Gamma Linolenic Acid (GLA) yaitu
sejenis asam lemak tak jenuh rantai panjang yang berfungsi menurunkan kadar
kolesterol dalam darah. GLA sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan, tetapi tidak
dapat disintesis dalam tubuh manusia. Jenis asam lemak lainnya yang terdapat
dalam Spirulina sp. adalah Eicose Pentanic Acid (EPA) yang juga mampu
menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Prasetyo dan Kusumaningrum, 2010).
Selain itu, Spirulina sp. juga mengandung berbagai vitamin, mineral, pigmen,
asam lemak dan asam amino.
Fikosianin atau pigmen biru merupakan pigmen dominan pada Spirulina
sp. yang digunakan sebagai zat warna alami dalam makanan. Selain itu, fikosianin
juga berfungsi sebagai zat pewarna pada berbagai macam produk kosmetik karena
pigmen tersebut tidak larut dalam air (Sasson 1997).
Spirulina sp. memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga saat ini
terdapat beragam jenis pemanfaatannya mulai dari obat-obatan, kosmetik sampai
12

pangan manusia. Karakteristik serta kandungan nutrisi yang dimiliki Spirulina sp.
sesuai untuk dijadikan bahan makanan fungsional. Pada tahun 1976, Spirulina sp.
dipilih sebagai sumber makanan masa depan oleh International Association of
Applied Microbiology (Christwardana dan Hadiyanto, 2012). Di negara Thailand,
70% produk Spirulina sp. digunakan untuk pembuatan bahan makanan dan
sisanya diperuntukkan sebagai bahan dasar pembuatan pakan ikan dan udang
(Richmond,1988 dalam Borowitzka,1994).
Menurut Christwardana dan Hadiyanto (2012), Spirulina sp. memiliki
kandungan mineral yang rendah sehingga tidak berbau amis dan aman untuk
digunakan sebagai makanan manusia. Selain itu, Spirulina sp. juga dapat
digunakan sebagai agen penetral arsenik untuk air limbah dan bahan beracun serta
logam berat lainnya (Liu et al., 2000). Pada perairan yang mengalami pencemaran
karena polutan, Spirulina sp. dapat dimanfaatkan untuk merestorasi karena
mampu menurunkan BOD dalam air limbah. Selain itu, Spirulina sp. juga
memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah eutrofikasi perairan karena
menurunkan kadar P dan N (Prasetyo dan Kusumaningrum 2010).
Spirulina sp. berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk immunostimulan dan
Super Oxyde Dismutase (SOD). Beberapa rumah sakit di negara modern
menggunakan Spirulina sp. untuk mendapatkan immunoglobin A (LGA) dan
immunoglobin B (lgM) yang lebih tinggi. Sementara itu, kandungan fikosianin
dalam Spirulina sp. berpotensi untuk menghambat pertumbuhan sel leukimia pada
manusia (Liu et al., 2000).
BAB II
METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1 Tempat dan Waktu


Praktikum Budidaya Pakan Alami (BPA) mengenai Kultur Artemia
dengan Metode Dekapsulasi dilaksanakan di EX-SBA, Gedung 2, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran pada Senin, 23 Oktober
2017 pada pukul 07.30 sampai dengan selesai. Praktikum Budidaya Pakan Alami
mengenai Kultur Daphnia dengan Metode Enrichment dilaksanakan di EX-SBA,
Gedung 2, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran pada
Senin, 13 November 2017 pada pukul 07.30 sampai dengan selesai. Praktikum
Budidaya Pakan Alami mengenai Kultur Spirulina dengan Metode Enrichment
dilaksanakan di EX-SBA, Gedung 2, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Padjadjaran pada Senin, 20 November 2017 pada pukul 07.30 sampai
dengan selesai.

2.2 Alat dan Bahan


2.2.1 Alat dan Bahan Kultur Artemia
Alat-alat yang digunakan pada praktikum Budidaya Pakan Alami Kultur
Artemia sp adalah :
 Aerator berfungsi untuk menambah oksigen terlarut dalam air
 Selang aerasi berfungsi untuk menyalurkan gelembung gas
 Toples penetasan berfungsi untuk wadah penetasan
 Heater berfungsi untuk menjaga suhu air kultur
 Handcounter berfungsi untuk menghitung artemia
 Petri disk berfungsi untuk wadah sampel
 Gelas ukur berfungsi untuk mengukur larutan probiotik
 Pipet tetes berfungsi untuk mengambil larutan

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum adalah :


 Cysta Artemia spsebagai bibit kultur

13
14

 Garam krosoksebagai faktor penentu salinitas


 Klorin sebagai bahan metode dekapsulasi
 Air tawar sebagai media kultur

2.2.2 Alat dan Bahan Kultur Daphnia


Alat-alat yang digunakan pada praktikum Budidaya Pakan Alami Kultur
Daphnia spadalah :
 Wadah/ toples berfungsi untuk media kultur Daphnia sp
 Aerator menambah oksigen terlarut dalam air
 Cawan petri berfungsi untuk menyimpan sampel Daphnia sp
 Handcounter berfungsi untuk menghitung Daphnia sp
 Timbangan berfungsi untuk mengukur bobot
 Kain kasa berfungsi untuk membungkus kotoran ayam

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum adalah :


 Daphnia sp sebagai bibit kultur
 Kotoran ayam sebagai pupuk

2.2.3 Alat dan Bahan Kultur Spirulina


Alat-alat yang digunakan pada praktikum Budidaya Pakan Alami Kultur
Spirulina sp adalah :
 Toples berfungsi untuk media kultur Spirulina sp,
 Aerator berfungsi untuk menambah oksigen terlarut kedalam air,
 Cawan petri berfungsi untuk menyimpan sampel Spirulina sp,
 Handcounter berfungsi untuk menghitung Spirulina sp, dan
 Timbangan berfungsi untuk mengukur bobot.

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum adalah :


 Spirulina sp sebagai bibit kultur
 NaHCO sebanyak 8,4 g, NaCl sebanyak 0,5 g, urea sebanyak 0,08 g, TSP
sebanyak 0,04 g, ZA sebanyak 0,03 g, dan FeCl sebanyak 0,02 g sebagai
pupuk
15

2.3 Prosedur Praktikum


2.3.1 Prosedur Kultur Artemia

Wadah penetasan artemia dibuat dengan menggunakan botol 3 liter lalu potong bagian
bawah botol

Penyangga botol dibuat dengan menggunakan triplek/kayu sehingga botol dapat berdiri
dengan posisi berdiri

Wadah penetasan ditutup dengan menggunakan plastik hitam

Media penetasan dibuat dengan air bersalinitas 30 ppt dengan menggunakan air tawar
ditambah garam krosok

Air laut buatan yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam wadah penetasan

Kista artemia ditimbang sebanyak 3 g/L

Dimasukkan ke dalam wadah dan media penetasan dengan aerasi kuat

Diamati dan catat perkembangan kista artemia

2.3.2 Prosedur Kultur Daphnia

Disiapkan wadah dengan diisi air 1 L

Ditimbang kotoran ayam sebanyak 30 g lalu dibungkus kain kasa

Dimasukkan daphnia sebanyak 3 g kedalam wadah

Dimasukkan kotoran ayam kedalam wadah

Diaerasikan wadah daphnia, lalu tunggu beberapa hari, lalu panen daphnia
16

2.3.3 Prosedur Kultur Spirulina

Disiapkan wadah budidaya spirulinna

Diisi toples dengan air maksimal ketinggian 50 cm dan beri aerasi

Disterilisasi menggunakan kaporit

Ditunggu 4 hari (aerasi tetap berjalan)

Diberi pupuk kimia

Dimasukkan bibit spirulina sebanyak 20% dari volume air. Ditunggu sampai
panen (7 hari)

Disaring dan spirulina siap digunakan


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
3.1.1 Artemia sp.
Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha
pembenihan ikan dan udang, karena kandungan nutrisinya baik. Akan tetapi di
perairan Indonesia tidak atau belum ditemukan Artemia, sehingga sampai saat ini
Indonesia masih mengimpor Artemia sebanyak 50 ton/ tahun, dimana harganya
dalam bentuk kista/ telur antara Rp 400.000 – 500.000/ kg (Suara Merdeka 2002).
Dekapsulasi merupakan cara yang dilakukan dengan mengupas bagian luar
kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup
embrio (Sutaman 1993). Menurut Pramudjo dan Sofiati (2004) cara dekapsulasi
merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk
meningkatkan daya tetas dan menghilangkan penyakit yang dibawa oleh cytae
artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan.
1. Kista Artemia
- Hasil perhitungan dekapsulasi
Perhitungan
Rata-rata
1 2 3 4 5
80 82 100 190 50 100

- Hasil perhitungan non-dekapsulasi

Perhitungan Rata-rata
1 2 3 4 5
84 81 129 201 48 108

2. Artemia sudah menetas


- Rata-rata dekapsulasi
Perhitungan Rata-rata
1 2 3 4 5
23 17 22 35 41 27
- Rata-rata non-dekapsulasi

17
18

Perhitungan Rata-rata
1 2 3 4 5
40 25 28 14 9 23

Berdasarkan tabel hasil pengamatan, dapat menunjukan bahwa pada kista


artemia dengan sampel dekapsulasi rata-rata kepadatan awal sebanyak 100 ekor
dan penetasan artemia secara langsung atau non-dekapsulasi rata-rata sebanyak
108 ekor. Sedangkan pada artemia yang sudah menetas nilai rata-rata dekapsulasi
sebanyak 27 ekor dan rata-rata non-dekapsulasi 23 ekor.
3. Hasil rata-rata kultur artemia
- Dekapsulasi

Artemia sudah menetas 200


R= × ×100 %
Kista artemia 200
27 200
R= × ×100 %=27 %
100 200

- Non-dekapsulasi

Artemia sudah menetas 200


R= × ×100 %
Kista artemia 200
23 200
R= × ×100 %=21,3 %
108 200

Dari perhitungan rata-rata kultur artemia dapat menunjukan bahwa dengan


menggunakan metode dekapsulasi nilai hasil rata-rata sebesar 27%, sedangkan
yang non-dekapsulasi sebanyak 21,3%. Hal ini menunjukan bahwa hasil panen
artemia termasuk rendah karena kurang dari 50%. Hal ini mungkin disebabkan
oleh praktikan yang melakukan praktikum tidak sesuai dengan prosedur. Artemia
dituangkan terlebih dahulu ke wadah budidaya tanpa adanya aerasi, jadi DO
dalam wadah sangat seditikit yang mengakibatkan artemia tidak tumbuh dengan
baik. Berikut merupakan hasil perhitungan rumus rata-rata kultur artemia.

3.1.2 Daphnia sp.


19

Daphnia sp merupakan salah satu jenis pakan alami yang mempunyai gizi
tinggi, sehingga banyak kalangan masyarakat yang mengkonsumsi untuk
dijadikan pakan alami bagi ikan. Berikut merupakan rumus hasil perhitungan
daphnia yang ditebar dengan kepadatan akhir (daphnia yang hidup).

Daphnia yang hidup


R= × 100 %
Daphnia yang ditebar

0
R= × 100 %=0 %
100

Berdasarkan pengamatan perhitungan diatas, hasil kultur Daphnia sp.


Nilai survival rate-nya sebesar 0%. Hal ini menunjukan kultur daphnia tidak
mendapatkan hasil (tidak ada yang hidup) yang disebabkan karena proses aerasi
yang tidak berfungsi/tidak berjalan, sedangkan kebutuhan oksigen Daphnia sp.
Tidak terpenuhi, yang akhirnya Daphnia sp. tidak ada yang bertahan hidup.

3.1.3 Spirulina sp.


Kultur Spirulina sp pada praktikum yang dilaksanakan pada hari Senin, 20
November 2017 menggunakan bantuan berupa pupuk diantaranya yaitu urea
dengan kadar 0,08 gram, TSP sebanyak 0,04 gram, NaHCO3 0,4 gram, NaCL 0,5
gram, dan FeCL sebanyak 0,002 gram. Dengan kepadatan awal sebanyak 25
liter/ml. Berikut merupakan tabel hasil perhitungan rata-rata Spirulina sp.

Perhitungan Rata-rata
1 2 3 4 5
3 1 1 2 1 1,6

Berdasarkan tabel perhitungan diatas nilai rata-rata kultur spirulina


sebanyak 1,6 liter/ml. Setelah hasil kepadatan rata-rata telah dihitung, lalu
dikalikan dengan kepadatan awal spirulina yaitu 1,6×25 = 36,8 liter/ml. Berikut
merupakan rumus dan hasil perhitungan survival rate Spirulina sp.

- Survival rate (SR) Spirulina sp.


20

Spirulina yang hidup


R= × 100 %
Spirulina yang ditebar

40
R= ×100 %=160 %
23

Dari hasil perhitungan SR kultur Spirulina sp. yang dilakukan berhasil,


karena dengan hasil kepadatan yang diatas tebaran awal yaitu naik sebesar 60%.
Faktor yang memepengaruhi pertumbuhan adalah cahaya, yang optimal dan DO
yang optimal. Pupuk yang digunakan pun terurai dengan baik sehingga dapat
digunakan untuk pertumbuhan Spirulina sp.

3.1.4 Benih Ikan Panon Beureum


Pengamatan benih ikan panon beureum yang diamati sebanyak 60 ekor
dengan berat sebesar 0,0033 gram dan pada berat per ikannya sebesar 0,00011
gram. Pemberian pakan yang dilakukan setiap 2 kali dalam sehari yaitu pada
pukul 10.00 dan 16.00 WIB dengan jumlah pakan sebanyak 18×1 hari. Pakan
alami yang diberikan ada 3 jenis yaitu artemia, daphnia, dan spirulina, sednagkan
pakan kimia berupa pelet bubuk. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui laju
pertumbuhan benih ikan panon beureum selama 21 hari dengan diberikannya
pakan alami yang mempunyai nilai gizi yang tinggi.
Survival rate dengan sampel enrichment mendapatkan hasil sebanyak
86,67%. Dari kepadatan awal sebanyak 30 ekor menjadi 26 ekor dengan bobot
tubuh sebesar 0,0051 gram/ekor. Berikut merupakan perhitungan rumus dan hasil
survival rate selama 14 hari.

Ikan yang hidup


R= ×100 %
Ikan yang ditebar

26
R= ×100 %=86,67 %
30

Survival rate dengan sampel non-enrichment mendapatkan hasil sebanyak


90% yang menunjukan benih ikan panon beureum dari kepadatan awal sebanyak
21

30 ekor menjadi 28 ekor. Bobot tubuh awal 0,0011 gram/ekor menjadi 0,0024.
berikut merupakan rumus perhitungan survival rate benih ikan panon beureum
dengan sampel non-enrichment.

Ikan yang hidup


R= ×100 %
Ikan yang ditebar

27
R= ×100 %=90 %
30

Berdasarkan perbandingan hasil survival rate sampel enrichment dengan


sampel non-enrichment dapat diartikan bahwa pengamatan benih ikan panon
beureum selama 14 hari pada sampel enrichment pertumbuhannya lebih cepat
dibandingkan dengan sampel non-enrichment yaitu dengan bobot total enrichment
sebesar 0,0051 gram/ekor sedangkan non-enrichment sebesar 0,0024 gram/ekor.
Namun, pada pengamatan selama 21 hari nilai survival rate berjumlah 0%, hal ini
disebabkan oleh proses aerasi yang berlangsung tidak berjalan dengan lancar dan
disebabkan oleh adanya kadar amoniak yang tinggi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Dari perhitungan rata-rata kultur artemia dapat menunjukan bahwa dengan
menggunakan metode dekapsulasi nilai hasil rata-rata sebesar 27%, sedangkan
yang non-dekapsulasi sebanyak 21,3%. Hal ini menunjukan bahwa hasil panen
artemia termasuk rendah karena kurang dari 50%. Berdasarkan pengamatan
perhitungan diatas, hasil kultur Daphnia sp. Nilai survival rate-nya sebesar 0%.
Hal ini menunjukan Daphnia yang dikultur tidak ada yang hidup dan disebabkan
karena proses aerasi yang tidak berfungsi/tidak berjalan. Dari hasil perhitungan
SR kultur Spirulina sp. yang dilakukan berhasil, karena dengan hasil kepadatan
yang diatas tebaran awal yaitu naik sebesar 60%. Faktor yang memepengaruhi
pertumbuhan adalah cahaya, yang optimal dan DO yang optimal. Pupuk yang
digunakan pun terurai dengan baik sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan
Spirulina sp.

4.2 Saran
Diharapkan dalam proses aerasi lebih diperhatikan, agar kultur pakan
alami tidak banyak yang gagal karena kandungan DO yang tersedia sesuai
kebutuhan dan diharapkan dalam pelaksanaan praktikum lebih kondusif.

22
DAFTAR PUSTAKA

Andersen, R.A. 2005. Algal Culturing Technique. Elsevier academic press. UK.
Barnes, R. D. 1963. Invertebrate’s zoology. W. B. Sounders Company. Tokyo.
Becker, E. W. 1995. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambrige
University Press.New York.
Belay A. 2002. The Potential Application of Spirulina (Arthospira) as Nutritional
andTherapeutic Supplement in Health Management. J. of the American
NutraceuticalAssociation. 5: 2.
Bold,H.C, dan Wynne,M.J. (1985), Introduction To The Algae, Second Edition,
Pretice-Hall Mc.Engelwood Cliffs, New York.
Borowitzka, M.A. 1994. Products from Algae. In S. M. Phang, L. Y. Kun, M. A.
Borowitzka,and B. A. Whitton eds. In. Proc. 1st Asia--‐Pacific Conference
on Algal Biotechnology.Kuala Lumpur, Malaysia. University of Malaya.
Christwardana,M. dan Hadiyanto M.M.A.N. 2012. Spirulina platensis: Potensinya
sebagai Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol
2. UNDIP : Semarang.
Ciferri, O. 1983. Spirulina The Edible Microorganisme. Microbial Review.
American Society.
Clare, J. 2002. Daphnia an Aquarist’s Guide. Dikutip dari http//www.caudata.org
/daphnia. (13 Desember 2017)
Delbaere and Dhert. 1996. Terrestrial and Aquatic Invertebrates as Bioindicators
of Environmental Monitoring, With Particular References to Mountain
Ecosystems. Liverpool John Moores University, Byrom Street. Liverpool.
Djarijah A S. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius.
Fogg, G.E and Thake B. 1987. Algae Culture and Phytoplankton Ecology. Second
edition. London: The University of Winconsin Press.Gad 1989.
Haryati R. 2008. Pertumbuhan dan biomassa Spirulina sp. dalam skala laboratoris.
Laboratorium Ekologi dan Biosistematik, Jurnal Jurusan Biologi FMIPA.
UndipBIOMA, ISSN: 1410- 8801 Vol. 10, No. 1, Hal. 19-22.
Hongmei, G., Yunlai, T., Jia, W., Xiaogang, W., Lixin, Z., and Congming L.,
2008. Characterization of photosystem II in salt-stressed cyanobacterial
Spirulina platens iscells. Biochimica et Biophysica acta 1777, pp. 488-495.
Isnansetyo Alim dan Kurniastuty (1995), Teknik Kultur Phytoplankton
Zooplankton. Pakan Alam untuk pembenihan organism laut, Kanisius,
Yokyakarta.
Kabede, E and Ahlgren, G. 1996. Optimum Growth Conditions and Light
Utilization Efficiency of Spirulina platensis (Arthospira fusiformis) from
Lake Chitu, Ethiopia. Hydrobiol. 332: 99‐109.
Khoirul, A. A. 2013. Cyanobacteri (Alga hijau-biru). Universitas Brawijaya.
Malang.
Lavens. P and Sorgeloos. P. 1996. Manual on the production and use of live food
for aquaculture. Laboratory of Aquaculture and Artemia Reference
Center.University ofGhent, Ghent. Belgium.

23
24

Liu, Y. F., L. Z. Xu, N. Cheng, L. J. Lin, and C. W. Zhang. 2000. Inhibitory


Effect of Phycocyaninfrom Spirulina platensis on the Growth of Human
Leukimia K562 Cells. JournalAppl.Phycol.,12:125--‐130.
Mudjiman, A. 1989. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pangkey, H., 2009. Daphnia dan Penggunaanya. Jurnal Perikanan dan Kelautan. V
(3): 33-36.
Pennak, R. W. 1989. Coelenterata. Fresh-water Invertebrates of the United
States:Protozoa to Mollusca, 3rd edition. John Wiley and Sons, Inc., New
York.
Pramudjo dan Sofiati, 2004.Prospek Teknik Produksi Cyste Brine Shrimp
(Artemia salinaLEACH) di Indonesia.Fakultas Perikanan, Unsrat
Manado.
Prasetyo, B. dan Kusumaningrum,N.,E. 2010. Penentuan Jenis Spirulina sp. di
Situ Babakan,Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lembaga Penelitian Universitas
Terbuka Jakarta Selatan.
Radini, D.N., Gede Suantika, Taufikurrohman. 2004. Optimasi Suhu, pH serta
Jenis Pakan pada Kultur Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Biologi : Ekologi dan
Biodiversitas Tropika. (II): 23-28.
Richmond A. 1988. Spirulina. Dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor.
Micro-algalbiotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.
Sasson, A. 1997. Micro Biotechnologies: Recent Developments and Prospects for
DevelopingCountries. BIOTEC Publication 1/2542. Pp. 11--‐31. Place de
Fontenoy, Paris. France.United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO).
Siregar, A.D. 1996. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta.
Suara Merdeka, 2002. Pembenihan Zooplankton. Agro Media. Jakarta.
Suryati. 2002. Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Gula (LCPG) untuk
Pertumbuhan Spirulina sp.Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya.
Malang.74 hal.
Sutaman. 1993. “Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah
Tangga”. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Suwignyo S, B Widigdo, Y Wardianto, M Krisanti. 1998. Avertebrata Air. Jilid 2.
Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan . Bogor.
Treece G. D. 2000. Artemia production for marine larval fish culture. Southern.
Regional Aquaculture Center Publication No.702. Varadaraj K., T. J.
LAMPIRAN
28

Lampiran 1. Alat Praktikum

Gelas Ukur Beaker Glas

Hand Counter Pipet Tetes

Plastik Petri Disk

Toples Wadah Plastik


29

Lampiran 2. Bahan Praktikum

Garam Kotoran Ayam

Probiotik
30

Lampiran 3. Kegiatan Praktikum

Pemasukan Garam Pemasukan Probiotik

Pengadukan Bahan Pengambilan Sample

Pemasukan Kista Artemia Pengukuran Probiotik

Penimbangan Kista Artemia Persiapan Aerasi

Anda mungkin juga menyukai