Anda di halaman 1dari 77

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS PADA

EKOSISTEM MANGROVE REHABILITASI DAN MANGROVE


ALAMI DI PELABUHAN SIWA KABUPATEN WAJO

SKRIPSI

Oleh:
AWALUDDIN

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii

ABSTRAK

AWALUDDIN. Keanekaragaman Makrozoobenthos pada Ekosistem Mangrove


Rehabilitasi dan Mangrove Alami di Pelabuhan Siwa, Kabupaten Wajo.
Dibimbing oleh MARZUKI UKKAS dan SUPRIADI.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman


makrozoobenthos pada ekosistem mangrove rehabilitasi dan mangrove alami
serta membandingkan kelimpahan makrozoobenthos dikedua eksosistem yang
berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2017 hingga Januari
2018 berlokasi di sekitar Pelabuhan Bangsalae Kelurahan Siwa Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo dengan dua lokasi pengamatan yang berbeda yaitu
ekosistem mangrove rehabilitasi dan mangrove alami. Metode penelitian yang
digunakan yaitu metode survey dan metode sampling, kemudian dianalisis di
laboratorium. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 12 jenis makrozoobenthos
dari 3 kelas yang berbeda dikedua lokasi pengamatan, pada mangrove
rehabilitasi terdapat 10 jenis makrozoobenthos terdiri dari 7 kelas Gastropoda 2
kelas Crustacea dan 1 kelas Bivalvia sedangkan pada mangrove alami terdapat
9 jenis makrozoobenthos terdiri dari 7 kelas Gastropoda dan 2 kelas Crustacea.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian bahwa keanekaragaman
makrozoobenthos pada kedua ekosisem yakni eksositem mangrove rehabilitasi
dan mangrove alami sama-sama tergolong kategori rendah. Kelimpahan
makrozoobenthos pada ekosistem mangrove alami lebih tinggi dibanding dengan
eksosistem rehabilitasi dengan perbandingan 97,76 ind/m dan 72,5 ind/m.

Kata Kunci : Makrozoobenthos, Ekosistem Mangrove Rehabilitasi, Ekosistem


Mangrove Alami.
iii

ABSTRACT

AWALUDDIN. Biodiversity of Macrozoobenthos at Mangroves Rehabilitations


and Natural Mangroves Ecosystem in port of Siwa, Wajo regency. Guided by
MARZUKI UKKAS and SUPRIADI.

The research was conducted to determine the biodiversity of


macrozoobenthos in mangrove rehabilitation and natural mangrove ecosystem as
well as comparing the abundance of macrozoobenthos in two different
ecosystems. This research was conducted in september 2017 until january 2018
located in around of bangsalae port of siwa village, sub district of Pitumpanua,
Wajo regency with two different observation sites, mangrove rehabilitation and
natural mangrove ecosystem. The research method used is survey method and
sampling method, then analyzed in laboratory. Based on result of the research
founded 12 species of macrozoobenthos from 3 different classes in two
observation sites, in rehabilitation mangrove there were 10 species of
macrozoobenthos consisting of 7 classes of Gastropoda, 2 class Crustacea and
1 class Bivalvia while in natural mangrove there are 9 species of
macrozoobenthos consisting of 7 classes Gastropoda and 2 classes Crustacea.
The conclusion obtained from the results of the research that the biodiversity of
macrozoobenthos in both ecosystem namely mangrove rehabilitation and natural
mangrove ecosystem is the same be classified as low category. The abundance
of macrozoobenthos in natural mangrove ecosystem is higher than rehabilitation
ecosystem with ratio 97,76 ind/m and 72,5 ind/m.

Keywords: Makrozoobenthos, Mangrove Rehabilitation Ecosystem, Natural


Mangrove Ecosystem.
iv

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS PADA EKOSISTEM


MANGROVE REHABILITASI DAN MANGROVE ALAMI DI PELABUHAN
SIWA KABUPATEN WAJO

Oleh:
AWALUDDIN

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

HALAMAN SAMPUL
v

HALAMAN PENGESAHAN
vi

RIWAYAT HIDUP

AWALUDDIN , dilahirkan pada tanggal 17


November 1993 di Siwa, Kecamatan Pitumpanua,
Kabupaten Wajo. Penulis merupakan anak pertama dari
tiga bersaudara. Orang tua bernama Marzuki dan
Hajrah. Pada tahun 2006 lulus Madrasah Ibtidaiyah
Negeri Batu Pitumpanua, tahun 2009 lulus SMP Negeri
1 Pitumpanua, dan tahun 2012 lulus SMK Negeri 1
Pitumpanua. Pada tahun 2012 penulis diterima pada
Program Studi Ilmu Kelautan , Jurusan Ilmu Kelautan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Uiversitas Hasanuddin, Makassar melalui
jalur SNMPTN-Undangan.

Selama kuliah di jurusan Ilmu Kelautan, penulis aktif dalam beberapa


organisasi kemahasiswaan. Pengalaman organisasi penulis antara lain; sebagai
pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan (HMIK) tahun 2013 dan 2014,
Pengurus Ikatan Keluarga Mahasiswa Bidikmisi (IKAB-UNHAS) 2014, Pengurus
Unit Kegiatan Mahasiswa Sepak Bola Universitas Hasanuddin (UKM-SB-UH)
2015, Senator Senat Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan (SEMA KEMA FIKP-UH) 2015, Anggota Himpunan Mahasiswa
Islam (HmI) Komisariat Ilmu dan Teknologi Kelautan, Anggota Himpunan Pelajar
Mahasiswa Wajo (HIPERMAWA) koperti Unhas, Koordinator Dewan Mahasiswa
(DEMA) KEMA FIKP UH 2016. Penulis juga tercatat sebagai penerima beasiswa
Bidikmisi pada tahun 2013-2017.

Dalam bidang akademik, penulis pernah menjadi asisten pada mata


kuliah Avertebrata Laut (2015), Vertebrata Laut (2015), Botani Laut (2016),
Sedimentologi (2018). Selain itu penulis pernah PKL di Konsorsium Pusat
Pengembangan dan Pemanfaatan Rumput Laut (KP3RL)tahun 2016, pada
kegiatan Survey Eksosistem Terumbu Karang dan Padang Lamun Oleh LIPI
tahun 2016 dan Kegiatan Capturing Coral Reef dan Ecosystem Services
(CCRES) University Of California,DAVIS, USA pada tahun 2016. Penulis
mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Pulau Harapan, Kecamatan Pulau
Sembilan Kabupaten Sinjai pada tahun 2016.
vii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, Penuh haru dan sujud simpuh dalam

pengakuan kebesaran-Nya terukir pada rasa cinta kepada Allah Subhanahu

WaTaala yang melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya sehingga penulis dapat

melewati tahap demi tahap penyusunan skripsi yang berjudul “Keanekaragaman

Makrozoobenthos pada Ekosistem Mangrove Rehabilitasi dan Mangrove Alami

di Palebuhan Siwa Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo”. Sebagai salah

satu syarat kelulusan di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Departemen Ilmu

Kelautan Universitas Hasanuddin.

Tak lupa shalawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah

yang telah mencucurkan keringat jihad sebanyak-banyaknya dalam

menda‟wahkan kebenaran dan mengamalkan kebajikan. Setiap kata demi

kata dalam karya ini merupakan hasil kerja keras penulis serta bantuan dari

berbagai pihak, untuk itu penulis patut menghaturkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Kupersembahkan karya terbaikku pada kedua orang tuaku tercinta,

Ayahanda Marzuki Latief dan Ibunda Hajrah yang telah memberikan

kehangatan sebuah keluarga yang utuh baik itu secara materi, moral,

semangat maupun do‟a restunya.

2. Bapak Ir. Marzuki Ukkas, DEA, sebagai Penasehat Akademik sekaligus

pembimbing utama dalam penelitian ini yang telah memeberikan bimbingan

terbaiknya sejak pertama saya kuliah di Kelautan hingga saya melakukan

penelitian. Bapak Supriadi, ST., M.Si sebagai pembimbing kedua yang

telah memberikan bimbingan selama proses penyelesaian skripsi.


viii

3. Bapak Dr. Ir. M. Rijal Idrus, M.Sc, Prof. Dr. Amran Saru, ST., M.Si, dan

Ibu Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah menguji dan memberikan tanggapan serta saran dalam

penyempurnaan skripsi.

4. Dekan, Wakil Dekan, Ketua Departemen dan para Dosen Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, yang telah membagikan

ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis.

5. Para staf Departemen Ilmu Kelautan, FIKP, yang telah membantu dan

melayani penulis dengan baik dan tulus.

6. Saudara-saudaraku di IK.ANDALAS (Kelautan 2012) atas kebersamaannya

selama kuliah, canda tawa dan hari-hari yang begitu berkesan.

7. Keluarga Mahasiwa Kelautan yang selama kuliah telah banyak memberikan

pengalaman baik berlembaga maupun akademik.

8. Untuk semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bias disebutkan

satu persatu.

Semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat dan Semoga Tuhan Yang Maha

Esa membalas semua bentuk kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan oleh

semua pihak penulis. JALESVEVA JAYAMAHE

Makassar 27 Mei 2018


Penulis

Awaluddin
ix

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................ ii
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...........................................................................................vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Tujuan dan Kegunaan ............................................................................... 3
C. Ruang Lingkup .......................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4
A. Mangrove .................................................................................................. 4
B. Makrozoobenthos.................................................................................... 10
C. Faktor Lingkungan .................................................................................. 14
D. Strategi Pengelolaan dan Pelestarian Mangrove ..................................... 15
III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 17
A. Waktu dan Tempat .................................................................................. 17
B. Alat dan Bahan ....................................................................................... 17
C. Prosedur Penelitian ................................................................................. 18
D. Analisis Data ........................................................................................... 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 27
A. Gambaran Umum Lokasi ........................................................................ 27
B. Kondisi Vegetasi Mangrove ..................................................................... 28
C. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Makrozoobenthos ...................... 31
D. Parameter Lingkungan ............................................................................ 39
V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 44
A. Kesimpulan ............................................................................................. 44
B. Saran ...................................................................................................... 44
x

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 45
LAMPIRAN ........................................................................................................ 48
xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman (Odum, 1993) ................................ 13

Tabel 2. Ketegori Indeks Keseragaman (Odum, 1993) ...................................... 13

Tabel 3. Kategori Indeks Dominansi (Odum, 1993)............................................ 14

Tabel 4. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen

(Hutabarat dan Evans, 2000) ............................................................................. 21

Tabel 5. Jenis mangrove yang ditemukan disetiap stasiun penelitian ................ 28

Tabel 6. Indeks Ekologi Makrozoobenthos pada Mangrove Rehabilitasi ............ 36


xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 17

Gambar 2. Vegetasi Mangrove Rehabilitasi ....................................................... 19

Gambar 3. Sketsa stasiun pengambilan data..................................................... 20

Gambar 4. Kerapatan Mangrove Rehabilitasi dan Alami .................................... 30

Gambar 5. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan kelas ..................... 31

Gambar 6. Kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove rehabilitasi.............. 34

Gambar 7. Kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove alami ...................... 35

Gambar 8. Presentase sedimen berdasarkan ukuran besar butir pada mangrove

rehabilitasi. ........................................................................................................ 39

Gambar 9. Presentase sedimen berdasarkan ukuran butir pada mangrove alami

.......................................................................................................................... 40

Gambar 10. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada sedimen mangrove

rehabilitasi ......................................................................................................... 41

Gambar 11. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada sedimen Mangrove

Alami ................................................................................................................. 42
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, dimana

kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasa-

jasa lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Sumberdaya alam diharapkan

dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sehingga selayaknya bila

sumberdaya alam tersebut dikelola dengan baik untuk menghindari terjadinya

krisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagai sumber kehidupan.

Namun, jarang sekali yang memperhatikan tumbuh-tumbuhan yang ada di

kawasan pesisir pantai, yang sekilas hanya merupakan semak belukar yang tidak

terawat dan tidak berfungsi. Kawasan pantai yang ditumbuhi jenis tumbuhan

tersebut dikenal sebagai hutan mangrove (Romimohtarto dan Juwana, 1999).

Ekosistem mangrove (bakau) adalah ekosistem yang berada di daerah tepi

pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga lantainya selalu

tergenang air. Ekosistem mangrove berada di antara level pasang naik tertinggi

sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata pada daerah pantai

yang terlindungi (Supriharyono, 2009)

Ekosistem mangrove berperan sebagai habitat berbagai jenis satwa.

Ekosistem mangrove berperan penting dalam pengembangan perikanan pantai

(Heriyanto dan Subiandono, 2012); karena merupakan tempat berkembang biak,

memijah, dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting, dan

udang (Kariada dan Andin, 2014)

Kondisi hutan mangrove di Sulawesi Selatan saat ini secara keseluruhan

sudah cukup parah, meskipun belum separah kondisi hutan mangrovedi Jakarta.

tergusur oleh areal tambak dan pemukiman. Kerusakan terjadi hampir di seluruh

kawasan pesisir pantai Provinsi Sulawesi Selatan. Kerusakan hutan mangrove


2

di Provinsi Sulawesi Selatan memanjang dari wilayah pesisir pantai barat

yang mencakup Kabupaten Pangkep, Maros, Takalar, hingga ke wilayah

pantai timur, mulai dari Kabupaten Sinjai hingga daerah Luwu Raya. Dengan

panjang pantai lebih kurang 1.000 km dari barat ke timur, luas hutan mangrovedi

Sulawesi Selatan hanya sekitar 30.000 ha. Untuk mencapai luas hutan mangrove

yang ideal, wilayah Sulawesi Selatan memerlukan luas 50.000 ha hutan

mangrove (Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, 2006)

Kondisi wilaya pesisir Kabupaten Wajo yang terletak di wilayah perairan

Teluk Bone propinsi Sulawesi Selatan, juga mengalami kerusakan yang cukup

memprihatinkan sejak tahun 1975 ( Medjang, et al., 2005 ). Lebih lanjut dikatakan

bahwa Kecamatan Pitumpanua yang berada di ujung utara Kabupaten Wajo juga

mengalami hal yang sama. Permasalah yang timbul di wilayah ini khsususnya

bagi masyarakat pesisir adalah tingkat abrasi yang cukup tinggi mencapai 15-30

m/thn yang mengakibatkan hilangnya sebagian tambak masyarakat.

Rehabilitasi hutan mangrove di kelurahan siwa kecamatan pitumpanua

sudah banyak dilakukan, baik dari instansi, kelompok masyarakat dan organisasi

pecinta alam. Salah satu upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh kelompok

pecinta alam (SISPATI) SMA Negeri 1 Pitumpanua sudah terlihat tingkat

keberhasilannya . Penanaman mangrove tersebut dilakukan pada tahun 2011

sebanyak 1000 pohon di daerah sekitar pelabuhan Bangsalae Siwa.

Kegiatan rehabilitasi mangrove di wilayah tersebut merupakan upaya

pemulihan kembali hutan mangrove yang sebelumnya di babat karena proyek

pembangunan pelabuhan. Kegiatan tersebut memberikan pengaruh terhadap

perubahan kondisi ekologis di kawasan mangrove. Perubahan kondisi ekologis

secara langsung mempengaruhi struktur komunitas dan komposisi jenis fauna


3

yang berasosiasi dengan mangrove seperti makrozoobenthos dan fauna non

benthos.

Salah satu biota yang dapat dijadikan sebagai bio-indikator keberhasilan

rehabilitasi mangrove yaitu makrozoobentos (Onrizal dkk. 2009). Selain itu

burung, reptil dan biota asosiasi lainnya juga dapat dijadikan sebagai indikator

tingkat keberhasilan rehabilitasi mangrove. Mengingat pentingnya peranan

ekosistem mangrove sebagai ekosistem yang kompleks, tempat hidup organisme

perairan dan terbatasnya informasi mengenai keanekaragaman biota yang

berasosiasi dengan mangrove di pelabuhan Bangsalae Siwa, maka perlu

dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman makrozoobenthos dan fauna

non benthos yang ada pada mangrove rehabilitasi di daerah tersebut.

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keanekaragaman dan

kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove rehabilitasi dan mangrove alami.

Kegunaan penelitian ini yaitu, diharapkan dapat memberikan informasi

tentang suksesi makrozoobentos pada mangrove rehabilitasi dan bisa menjadi

rujukan dalam melakukan kegiatan rehabilitasi.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini yaitu identifikasi makrozoobenthos, komposisi

makrozoobenthos, kelimpahan relative, indeks keanekaragaman (H), indeks

keseragaman (E) , dan indeks dominansi (D) makrozoobenthos. Pada

pengamatan mangrove meliputi identifikasi jenis mangrove, kerapatan jenis

mangrove (Di), Frekuensi jenis i (Fi), penutupan jenis ( Ci) dan nilai penting.

Parameter lingkungan yang diukur yaitu substrat sedimen, dan BOT.


4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan

bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik

untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut

maupun untuk individu – individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas

tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk

menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal digunakan untuk

menyatakan komunitas tumbuhan tersebut ( Macnae, 1968 dalam Kusmana dkk,

2013)

Ekosisem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas organisme

(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan

sesamanya didalam suatu habitat mangrove. Terdapat pada daerah pasang

surut, yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat

surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana dkk,

2013)

1. Komposisi , Distribusi dan Zonasi Vegetasi Mangrove

Komposisi hutan mangrove terdiri dari asosiasi Avicenia sp, Sonneratia

sp, Rhyzopora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Lumnitzera sp, dan Xylocarpus sp.

Nypa merupakan batas hutan mangrove dan hutan pantai. Susunan formasi dari

masing masing diatas sangat dipengaruhi oleh kadar garam (Talib, 2008)

Habitat mangrove merupakan zona dinamis yang merupakan pertemuan

antara daratan dan lautan. Kondisinya dapat melalui perbedaan kedalaman

genangan pada suatu waktu dan tempat tertentu, kemudian secara cepat dapat

berubah menjadi basah dan kering (Nessa, et al. 2002).


5

Zonasi adalah kondisi dimanapun kumpulan vegetasi yang saling

berdekatan mempunyai sifat atau tidak ada sama sekali jenis yang sama

walaupun tumbuh dalam lingkungan yang sama dimana dapat terjadi perubahan

lingkungan yang dapat mengakibatkan perubahan nyata diantara kumpulan

vegetasi (Anwar dalam Saru, 2013).

Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona yaitu

daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau

sampai hampir tawar, serta daerah kearah daratan yang memiliki air tawar

(Nontji,2007). Penggolongannya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Mangrove terbuka, berupa bagian yang berhadapan dengan laut. Komposisi

flora pada komunitas terbuka sangat bergantung pada substratnya. Menurut

Nontji (2007), pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis (pionir)

pada wilayah ini, umumnya adalah „api-api‟ (Avicennia) dan „pedada‟

(Sonneratia) . Api-api cenderung hidup pada tanah yang berpasir agak keras

sedangkan pedada pada tanah yang berlumpur lembut. Selanjutnya, pada

tempat yang terlindung hempasan ombak, komunitas mangorove terutama

didominasi oleh bakau Rhizophora mucronata atau R.apiculata.

2. Mangrove tengah, terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini

biasanya didominasi oleh mangrove Rhizophora sp. Jenis-jenis penting

lainnya yang ditemukan adalah Brugueira gimnoriza, Excoecaria agallocha,

Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum dan X.muloccensis. Menurut

Nontji (2007), pada tanah lempung yang sedikit terjal dapat ditemukan

komunitas „tanjang‟ (Brugueira gimnoriza). Sejenis „paku laut‟ (Acrostichum

aureum) dan „jeruju‟ (Acanthus ilicifolius) ditemukan di daerah pinggiran

mangrove sebgai tumbuhan bawah.


6

3. Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir

tawar. Zona ini didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di jalur lain

biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung dengan

vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochena palustris,

dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia-

Nypa lebih sering ditemukan

4. Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hamper tawar di

belakang jalur hijau mangrove sebenarnya, jenis ini memiliki kekayaan jenis

yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum

ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Ficus retusa, Intsia

bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus spp, dan Xylocarpus

moluccensis .

2. Fungsi dan Manfaat Mangrove

Menurut Kusmana (2013), secara umum fungsi dan manfaat vegetasi

mangrove dibedakan menjadi lima aspek yaitu fungsi fisik, kimia, biologi,

ekonomi dan fungsi lain (ekowisata) sebagai berikut :

1) Fungsi Fisik

Fungsi fisik kawasan mangrove antara lain :

a. Menjaga garis pantai agar tetap stabil dari proses abrasi atau erosi.

Sistem perakaran mangrove yang rapat dan terpancang seperti jangkar dan

menancap pada tanah dapat berfungsi meredam gelombang laut dan menahan

lepasnya partikel-partilkel tanah sehingga abrasi atau erosi oleh gelombang

dapat dicegah.

b. Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru.

Sistem perakaran mangrove efektif dalam memerangkap partake-partikel

tanah yang berasal dari hasil erosi di daerah hulu. Perakaran mangrove

memerangkap partikel-partikel tanah tersebut dan mengendapkannya.


7

c. Melindungi pemukiman dari bahaya angin laut.

Jajaran tegakan mangrove yang tumbuh di pantai, dapat melindungi

pemukiman nelayan di sebelahnya (ke arah daratan) dari hembusan angin laut

yang kencang. Angin laut yang meniup kencang ke arah daratan , ditahan oleh

mangrove dan dibelokkan kea rah atas. Dengan demikian, pemukiman di

belakangnya terletak di belakang bayangan angina (leeward area) sehingga

kondisi pemukiman relative aman .

d. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke

darat, atau sebagai filter air asi menjadi tawar.

Kerapatan pohon mampu meredam atau menetralisisr peningkatan

salinitas. Perakaran yang rapat akan menyerap unsur-unsur yang mengakibatkan

meningkatnya salinitas. Bentuk-bentuk perakaran yang telah beradaptasi

terhadap kondisi salinitas tinggi menyebabkan tingkat salinitas di daerah sekitar

tegakan menurun.

2) Fungsi Kimia

Fungsi kimia vegetasi mangrove berkaitan dengan kemampuan ekosistem

ini dalam melakukan proses kimia dan pemulihan diri (self purification). Menurut

Khasali (2002) ditinjau dari aspek kimia fungsi vegetasi mangrove antara lain :

a. Penyerap bahan pencemar (polutan)

Mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat

berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organic.

b. Sumber energi bagi lingkungan perairan sekitarnya

Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosiste

mangrove telah menyediakannya sebagai sumber energy bagi berbagai biota

yang bernaung di dalamnya, seperti ikan, udang, kepiting, burung, kera, dan lain-

lain, dengan rantai makanan yang sangat kompleks sehingga terjadi pengalihan

energy dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat tropic yang lebih tinggi.
8

c. Penyuplai bahan organik bagi lingkungan perairan.

Dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan dengan

memberikan sumbangan bahan organik bagi perairan sekitarnya. Bahan organik

yang dihasilkan dari serasah daun mangrove diperkirakan sebanyak 7-8

ton/hektar/tahun (Khasali, 2002).

d. Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen

dan menyerap karbondioksida

e. Mencegah terjadinya keasaman tanah

Endapan sulfide dalam bentuk butiran yang sangat halus dan berwarna

hitam umumnya terdapat dalam sedimen mangrove. Selama proses sedimnetasi

berjalan, sulfida besi kristalin berada dalam bentuk pyrite

3) Fungsi Biologis

Ditinjau dari aspek biologis khususnya fungsi biologi, hutan mangrove

mempunyai fungsi sebagai berikut :

a. Daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding

ground), dan daerah pemijahan (spawnigng ground) berbagai macam

biota perairan (Bengen,2001)

Ekosistem mangrove relative tenang ombaknya, memudahkan terjadinya

pembuahan telur ikan yang berlangsung di luar tubuh induknya. Sistem

perakaran mangrove menahan telur ikan yang telah dibuahi agar tidak hanyut ke

laut. Selanjutnya, anakan ikan akan mendapat perlindungan dari serangan

predator dan mendapat makanan yang cukup hingga berkembang menjadi ikan

dewasa.

b. Tempat bersarang burung

Mangrove dengan tajuknya yang rata-rata dan rapat serta selalu hijau,

merupakan tempat yang disukai oleh burung-burung besar untuk membuat


9

sarang dan bertelur. Dengan berkembangbiaknya burung, maka

perkembangbiakan nyamuk malaria dapat terhambat karena nyamuk tersebut

dikonsumsi oleh burung yang berkembangbiak dan bersarang di daun mangrove

(Malindu,2016)

c. Habitat alami yang membentuk keseimbangan ekologis

Dalam lingkungan ekosistem mangrove terdapat berbagai aneka macam

biota. Dalam keadaan alami keragaman biota tersebut membentuk suatu

keseimbangan antara biota biota yang dimangsa dengan biota pemangsa

(predator) atau terjadi simbiosis mutualisme (Malindu,2016)

4) Fungsi Ekonomi

Nilai ekonomi sumberdaya mangrove ditunjukkan oleh hasil-hasil dari hutan

mangrove yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan kehidupan masyarakat

(bahan bangunan rumah, pagar, dan lain-lain), konsumsi manusia atau yang

dipasarkan. Jasa mangrove sulit diukur dan sebagai konsekuensinya sering

diabaikan. Nilai-nilai ekonominya jarang dihitung sehingga nilai sumberdaya

mangrove biasanya kurang signifikan diperhitungkan (Sara, 2013). Diantara

fungsi ekonomi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, terutama kegiatan

budidaya ramah lingkungan

b. Penghasil bahan baku industry obat-obatan, industry kertas (misalnya

pulp), tekstil, lem, penyamak kulit, makanan ringan, dan lain-lain

c. Penghasil benih ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu

(nectar)

d. Penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot untuk

rumah tangga (meubel)

e. Menjadi tempat wisata alam atau wisata pendidikan (dalam analisis valuasi

ekonomi, kontribusi ekonomi hutan mangrove cukup besar sebagai


10

kawasan ekowisata ). Di beberapa daerah di Indonesia, kawasan hutan

mangrove telah dijadikan sebagai kawasan wisata, misalnya : hutan

mangrove sebagai Hutan Marga Satwa Muara Angke yang terletak di

penjarigan, Jakarta Utara dan hutan mangrove sebagai Taman Wisata

Alam Muara Angke yang terletak di Pantai Indah Kapuk, Jakarta yang

luasnya 100 ha. Didalamnya terdapat ruang untuk berkemah, pengamatan

burung dan pondok alam (Sara, 2013).

B. Makrozoobenthos

Organisme yang hidup di bagian dasar lautan dikenal sebagai benthos.

Seluruh hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan yang hidup pada daerah-daerah

yang masih dipengaruhi oleh air pasang (daerah litoral) hingga laut yang sangat

dalam (daerah bathyl dan abysal) termasuk di dalamnya (Hutabarat dan Evans,

1986). Organisme benthos yang mencakup organisme nabati disebut fitobenthos

dan organisme hewani disebut zoobenthos (Odum, 1993).

Berdasarkan tempat hidpunya , benthos dibagi atas dua kelompok, yaitu

(a) epifauna yaitu benthos yang hidup melekat atau merayap di permukaan dasar

laut dan (b) infauna yaitu jenis benthos yang membenamkan diri atau menggali

lubang dalam dasar laut (Dahuri, 2007). Menurut Hutabarat dan Evans (1986,)

benthos dapat di klasifikasikan ke dalam tiga kelompok berdasarkan ukuranyya

yaitu :

a. Microfauna adalah golongan hewan-hewan yang mempunyai ukuran kecil

dari 0,1 mm. seluruh protozoa termasuk dalam golongan ini.

b. Meiofauna adalah golongan hewan-hewan yang mempunyai ukuran

antara 0,1 mm sampai 1,0 mm. Ini termasuk golongan protozoa yang

berukuran besar, Cnidaria, cacing-cacing yang berukuran kecil dan

beberapa crustasea yang berukuran sangat kecil.


11

c. Macrofauna meliputi hewan-hewan yang mempunyai ukuran lebih besar

dari 1,0 mm. Ini termasuk Echinodermata, Crustasea , Annelida,

Mollusca, dan anggota beberapa phylum lainnya.

Jasad-jasad benthos tersebut dapat dibagi berdasarkan pemintakatan

pasang surut yaitu, benthos yang hidup di daerah supra pasut, wilayah pasut dan

sub pasut. Keadaan ekstrim terdapat dilokasi air pasang dimana benthos

tersebut harus menghadapai banyak kekeringan dan suhu udara panas karena

daerah ini hanya beberapa tertutup air. Sebaliknya di wilayah sub pasut benthos

senantiasa tertutupi oleh air (Dahuri,2007)

Benthos mempunyai habitat yang relatif tetap pada dasar perairan. Dengan

sifatnya yang demikian, perubahan-perubahana kualitas air dan substrat tempat

hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahnnya. Komposisi

maupun kelimpahan makrozoobenthos bergantung pada toleransi atau

sensivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan

respon terhadap kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur

komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan

makrozoobenthos relatif tetap (APHA, 1993 et al. Zulkifli, 2008).

Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobenthos dapat

bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan.

Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran

yang luas juga. Sebaliknya organisme yang memiliki kisaran toleransi sempit

(sensitif) maka penyebarannya juga sempit.

Makrozoobenthos yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup

pada substrat keras sampai berlumpur. Makrozoobenthos pada kawasan

mangrove hidup pada substrat dengan cara berendam dalam lubang lumpur,

berada di permukaan substrat, ataupun menempel pada perakaran pohon. Ketika


12

air surut mereka akan turun mencari makanan. Beberapa makrozoobenthos yang

umum ditemui di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobenthos dari

kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea dan Polychaeta. Kehidupan

makrozoobenthos ini sangat menunjang keberadaan unsur hara, karena selain

mereka mengkonsumsi zat hara berupa detritus, mereka juga berperan sebagai

decomposer (Zulkifli, 2008).

Menurut Nybakken (1992), phylum Mollusca yang dominan di hutan

mangrove diwakili oleh sejumlah siput. Kelompok ini pada umumnya hidup pada

akar dan batang pohon mangrove (Littorinidae) dan lainnya pada lumpur di dasar

akar mencakup sejumlah pemakan detritus (Ellobiidae dan Potamididae).

Kelompok kedua dari mollusca termasuk bivalvia didominasi oleh tiram. Mereka

melekat pada akar-akar bakau, tempat mereka membentuk biomassa yang

nyata.

1. Indeks Ekologi

a. Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman jenis (H‟) menggambarkan keadaan populasi

organisme secara matematis untuk mempermudah dalam menganalisa

informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas.

Keanekaragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang

unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan.

Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan

masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya

terdapat beberapa jenis yang melimpah (Ardi, 2002).

Keanekaragaman (H‟) mempunyai nilai terbesar jika semua individu

berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda, sedangkan nilai terkecil

didapat jika semua individu berasal dari 1 genus atau 1 spesies saja (Odum,

1993).
13

Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman (Odum, 1993)

Indeks Keanekaragaman (H‟) Kategori

H‟ ≤ 2,0 Rendah

2,0 < H‟ ≤ 3,0 Sedang

H‟ ≥ 3,0 Tinggi

b. Indeks Keseragaman (E)

Indeks keseragaman (E) digunakan untuk menggambarkan keadaan

jumlah spesies atau genus yang mendominasi atau bervariasi. Nilai indeks

keseragaman berkisar antara 0-1. Semakin besar nilai E maka populasi

menunjang keseragaman, artinya jumlah individu setiap genus atau spesies

sama atau hampir sama. Sebaliknya semakin kecil nilai E maka keseragaman

populasi semakin kecil, artinya penyebaran individu setiap spesies tidak sama

serta ada kecenderungan suatu spesies untuk mendomiasi populasi tersebut

(Odum, 1993).

Nilai indeks keseragaman (E) 0,75 < E < 1,00 menandakan kondisi

komunitas yang stabil, komunitas stabil menandakan ekosistem tersebut

mempunyai keanekaragaman yang tinggi, tidak ada jenis yang dominan serta

pembagian jumlah individu.

Tabel 2. Ketegori Indeks Keseragaman (Odum, 1993)

Indeks Keseragaman (E) Kategori

0,0 < E ≤ 0,50 Tertekan

0,50 < E ≤ 0,75 Tidak Stabil

0,75 < E ≤ 1,00 Stabil

c. Indeks Dominansi

Dominansi makrozoobenthos digunakan untuk menghitung adanya spesies

tertentu yang mendominasi suatu komunitas makrozoobenhtos. Perhitungan


14

mengenai indeks dominansi tertentu dalam suatu komunitas makrozoobenthos,

digunakan indeks Simpson (Odum, 1993). Nilai indeks dominansi berkisar antara

0-1. Semakin mendekati 1, berarti semakin tinggi pula tingkat dominansi oleh

spesies tertentu, sebaliknya jika nilai mendekti 0 (nol) berarti tidak ada jenis

tertentu yang mendominansi.

Tabel 3. Kategori Indeks Dominansi (Odum, 1993)

Indeks Dominansi (D) Kategori

0, < D ≤ 0,50 Rendah

0,50 < D ≤ 0,75 Sedang

0,75 < D ≤ 1,00 Tinggi

C. Faktor Lingkungan

Keberadaan makrozoobenthos pada suatu perairan sangat dipengaruhi

oleh berbagai parameter lingkungan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung

terhadap hewan makrozoobenthos adalah kedalaman, kecepatan arus,

kekeruhan, substrat dasar dan suhu perairan. Sedangkan sifat kimia yang

berpengaruh terhadap makrozoobenthos adalah derajat keasaman dan

kandungan oksigen terlarut (Odum, 1993).

1. BOT ( Bahan Organik Total )

Bahan organik merupakan bahan yang bersifat kompleks dan dinamis,

berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam tanah yang

mengalami perombakan. Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan

organik yang sedikit dibandingkan jenis sedimen halus, karena sedimen sedimen

pasir kasar kurang memiliki kemampuan untuk mengikat bahan organik yang

lebih banyak. Sebaliknya, jenis sedimen halus memiliki kemampuan cukup besar

untuk mengikat bahan organik. Karena bahan organik sedimen memerlukan


15

proses aerasi. Standar bahan organik total yang diperbolehkan agar organisme

dapat hidup berkisar 0,68 – 17 % (Ukkas, 2009).

2. Substrat/Sedimen

Tanah-tanah mangrove merupakan tanah yang belum matang, biasanya

disebut sedimen. Partikel debu merupakan partikel yang bersama-sama dengan

partikel liat dan pasir akan membentuk lumpur. Keberadaan partikel debu terjadi

akibat proses pasang surut untuk mendukung keberadaan makrozoobenthos.

Partikel debu diperlukan oleh makrozoobenthos hanya dalam batas-batas yang

wajar atau minimal, karena debu mampu mengikat zat hara yang dibutuhkan

dalam kehidupannya.

Lain halnya dengan fraksi pasir yang dapat mengakibatkan tejadinya

penekanan kepadatan makrozoobenthos di hutan mangrove. Sementara itu, liat

juga dapat menekan perkembangan dan kehidupan makrozoobenthos, karena

partikel-partikel liat sulit ditembus (memiliki aerasi yang rendah) oleh

makrozoobenthos untuk melakukan aktifitas kehidupannya. Disamping itu liat

sangat miskin unsur hara karena kegiatan dekomposer sedikit dan dengan

demikian tidak mampu menyumbangkan hasil dekomposisi bahan organik (Arief,

2003).

D. Strategi Pengelolaan dan Pelestarian Mangrove

Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, perlindungan

mangrove dan rehabilitasi mangrove merupakan dua konsep utama yang dapat

diterapkan. Kedua konsep ini pada dasarnya memberikan legitimasi dan

pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan

agar tetap lestari (Bengen, 2001).

1. Perlindungan Vegetasi Mangrove

Perlindungan vegetasi mangrove dapat dilakukan dengan menunjuk suatu

kawasan mangrove untuk menjadi kawasan konservasi, dan sebagai suatu


16

bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai (Bengen, 2001). Undang-

Undang No.5 tahun 1990 tentang kawasan konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya, merupakan suatu kekuatan dalam pelaksanaan konservasi

kawasan hutan mangrove. Didalam undang-undang tersebut, terdapat tiga aspek

yang sangat penting, yaitu sebagai berikut :

a. Perlindungan terhadap system penyangga kehidupan dengan menjamin

terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan

keberadaan ekosistemnya

b. Pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin tepeliharanya

sumber genetik dan ekosistemnya.

c. Pemanfaat secara lestari atau berkelanjutan, baik berupa produksi

maupun jasa.

2. Rehabilitasi Mangrove

Rehabilitasi mangrove merupakan kegiatan penghijauan yang dilakukan

terhadap vegetasi mangrove yang telah gundul (Bengen, 2001). Kegiatan ini

bertujuan untuk mengadakan penanaman pada bekas areal atau kawasan

tegakan mangrove yang telah hilang atau mengalami kerusakan . Menurut

Haryanto (2008), tujuan utama rehabilitasi dilakukan adalah untuk memulihkan

kondisi ekosistem yang telah rusak agar ekosistem mangrove dapat menjalankan

kembali fungssinya dengan baik.

Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, penanaman

langsung buahnya, dan melalui persemaian bibit. Yang pertama tingkat

keberhasilan tumbuhnya rendah (sekitar 20% - 30%), sedangkan yang kedua

tingkat keberhasilan tumbuhnya relatif tinggi (sekitar 60% - 80%) (Bengen, 2001).
17

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2017 yang

meliputi studi literatur, survey lapangan, pengambilan dan pengolahan data.

Lokasi penelitian yaitu di pantai Bangsalae Kelurahan Siwa Kecamatan

Pitumpanua Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Identifikasi benthos dilakukan di

Laboratorium Ekologi Laut, analisis besar butir atau tekstur sedimen dilakukan di

Laboratorium Oseanografi Fisika dan Geomorfologi Pantai Departemen Ilmu

Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS ( Global Positioning

System) untuk menentukan posisi titik koordinat tiap-tiap stasiun, roll meter untuk

mengukur jarak tiap stasiun pengamatan, alat tulis menulis untuk mencatat data

dan sampel yang didapat, kantong sampel untuk menyimpan sampel, kertas
18

label untuk menandai sampel, kamera digital digunakan untuk

mendokumentasikan kegiatan penelitian, pita ukur untuk mengukur lingkar

batang, cool box untuk menyimpan sampel, ayakan bentos untuk memisahkan

sedimen dengan bentos, ayakan sedimen untuk menyaring butiran sedimen,

timbangan digital untuk mengukur berat sedimen, tanur untuk memijarkan

sediman, buku identifikasi digunakan untuk mengidentifikasi jenis

makrozoobentos, alkohol 70% untuk mengawetkan sampel makrozoobenthos.

C. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi kedalam beberapa tahap yaitu tahap persiapan,

observasi awal, dan penentuan stasiun, pengambilan data mangrove,

makrozoobentos serta pengukuran parameter lingkungan.

1. Tahap persiapan

Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang berhubungan

dengan penelitian, survey lapangan serta mempersiapkan alat-alat yang akan

digunakan selama penelitian di lapangan.

2. Observasi awal dan penentuan stasiun

Observasi awal dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara meyeluruh

mengenai lokasi penelitian, metode yang digunakan dalam penentuan stasiun

yaitu berdasarkan keterwakilan mangrove alami dan rehabilitasi. Sedangkan

untuk penentuan plot pengamatan ditentukan berdasarkan ketebalan mangrove.

Masing-masing posisi geografis stasiun direkam menggunakan GPS (Global

Position System).
19

Gambar 2. Vegetasi Mangrove Rehabilitasi

3. Tahap Pengambilan data

a. Vegetasi mangrove

Pengambilan data mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek

garis yaitu meteran ditarik disesuaikan dengan ketebalan mangrove dari darat ke

laut. Selanjutnya memasang plot kuadran ukuran 10 m x 10 m pada transek garis

dengan jarak disesuaikan dengan ketebalam mangrove. Pada setiap stasiun

yang telah ditentukan, mangrove yang diamati hanya mangrove kategori pohon,

kemudian dideterminasi setiap jenis tumbuhan yang ada, dihitung jumlah individu

dari setiap jenis, diukur lingkar batang mangrove setinggi dada atau sekitar 1,3

meter (kategori pohon : diameter >4cm, anakan : diameter <4cm dan tinggi >1 m,

semaian : tinggi <1 m) (Bengen, 2001). Jenis-jenis mangrove yang ditemukan

diidentifikasi mengunakan buku identifikasi menurut Noor (2012).

b. Makrozoobenthos

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan

transek ukuran 1m x 1m dan sekop seluas 20cm x 20cm dengan kedalaman 20

cm. pengambilan sampel dilakukan pada setiap sudut transek kuadran dan

bagian tengah transek. Selain itu juga dilakukan pengambilan sampel dengan
20

metode acak sebanyak 5 kali sekop 20x20 cm². Sampel yang telah diambil

kemudian disaring menggunakan ayakan benthos dan organsime yang tersaring

dimasukkan ke dalam kantong sampel kemudian diberi pengawet alkohol 70%

dan diidentifikasi dengan bantuan lup dan buku identifikasi makrozoobenthos di

laboratorium ekologi laut.

c. Parameter Lingkungan

Sampel sedimen diambil di dalam trasek menggunakan sekop dan

dimasukkan ke dalam kantong sampel dan selanjutnya dilakukan pemilahan

partikel sedimen dan pengukuran kandungan BOT ( Bahan Organik Total )

sedimen di laboratorium.

Gambar 3. Sketsa stasiun pengambilan data

4. Analisis Laboratorium

a. Kandungan Bahan Organik Sedimen

Analisis bahan organik total (BOT) pada sedimen dilakukan menggunakan

alat tanur dengan metode gravimetrik (Walckley dan Black dalam Amir, 2006).

Prosedur analisis kandungan bahan organik pada sampel sedimen sebagai

berikut :
21

1. Menimbang cawan porselen menggunakan timbangan analitik

2. Memasukkan sampel sedimen sebanyak 5 gr ke dalam cawan porselen

3. Memasukkan cawan porselen yang berisi sampel sedimen ke dalam oven

dengan suhu 500°c selama 5 jam.

4. Memasukkan sampel ke dalam desikator selama 30 menit.

5. Menimbang sampel sedimen yang telah di oven untuk mengetahui berat

akhir sedimen.

b. Pemilahan Sampel Sedimen

Analisis sampel sedimen dilakukan dengan metode Wentworth. Metode ini

dipakai untuk menunjukkan distribusi ukuran butir untuk mengetahui dominansi

jenis sedimen pada daerah penelitian. Proses kerjanya adalah sebagai berikut :

1. Memindahkan sampel sedimen ke wadah yang telah diberi label kemudian

diangin-anginkan.

2. Memasukkan sampel sedimen ke dalam oven pada suhu 110°C

3. Menimbang berat awal sedimen sebanyak 100 gr

4. Menyaring sampel sedimen menggunakan sieve net

5. Menimbang sampel sedimen yang tertahan pada setiap mesh saringan

6. Membuat tabel hasil analisis besar butir sedimen untuk mengklasifikasi

partikel-partikel sedimen.

Untuk mengklasifikasikan partikel-partikel sedimen digunakan skala

Wentworth seperti yang dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen


(Hutabarat dan Evans, 2000)

Ukuran (mm) Keterangan


> 256 Kerakal
2 – 256 Kerikil
1–2 Pasir sangat kasar
0,5 – 1 Pasir kasar
0,25 – 0,5 Pasir agak kasar
22

0,125 – 0,25 Pasir halus


0,0625 – 0,125 Pasir sangat halus
0,0039 – 0,00625 Lanau
< 0,0039 Lempung

D. Analisis Data

1. Analisis Vegetasi Mangorve

Data vegetasi mangrove yang diperoleh dari lapangan selanjutnya

dianalisis untuk mengetahui : kerapatan jenis (Di), Frekuensi jenis (Fi),

penutupan jenis (Ci) dan indeks nilai penting (Bengen, 2001).

1) Kerapatan Jenis i (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit

area. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah

tegakan jenis I (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Ʃn), dengan

rumus :

Di = ni / A

RDi = (ni / Ʃn) x 100%

dimana : Di = Kerapatan jenis I (Ind/m2)


Ni = Jumlah total tegakan jenis i
A = Luas total area pengambilan sampel
RDi = Kerapatan relative jenis i (%)
Ʃn = Jumlah total tegakan seluruh jenis

2) Frekuensi Jenis i (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot

yang diamati. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara

frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ƩF) dengan

rumus :

Fi = pi / Ʃp

RFi = ( Fi / ƩF) x
100%
23

dimana : Fi = Frekuensi jenis i


pi = Jumlah plot ditemukannya jenis i
Ʃp = Jumlah plot yang diamati
RFi = Frekuensi relative jenis I (%)
ƩF = Jumlah Frekuensi seluruh jenis

3) Penutupan Jenis i (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit

area. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas

area penutupan jenis (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh

jenis (ƩC), dengan rumus :

Ci = Ʃ BA / A

RCi = Ci / ƩC x 100

BA = πDBH2 / 4

DBH = CBH / π

dimana : Ci = Penutupan jenis dalam satu unit area


A = Luas total Plot (m2)
ƩC = Jumlah penutupan dari semua jenis
RCi = Penutupan relatif jenis I (%)
DBH = Diameter batang pohon dari jenis i
CBH = Lingkaran pohon setinggi dada

4) Nilai penting jenis (IVi) merupakan nilai penting suatu jenis mangrove

berkisar antara 0 sampai 300. Nilai penting ini memberikan suatu

gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatau jenis tumbuhan

mangrove dalam komunitas itu sendiri, dapat dirumuskan sebagai berikut :

IVi = RDi + RFi + RCi

Dimana : RDi = Kerapatan relating jenis


RFi = Frekuensi relative jenis
RCi = Penutupan relative jenis
24

2. Makrozoobenthos

1) Kelimpahan Makrozoobenthos

Kelimpahan individu makrozoobenthos dihitung dengan menggunakan rumus

Shannon-Wiener (Odum,1971) :

10.000 x a
𝑌=
b

dimana Y = Kelimpahan (Ind/m2)


a = Jumlah Makrozoobenthos yang tersaring (ind)
b = Luas transek x jumlah ulangan
104 = Nilai konversi dari m2 ke cm2
2) Kelimpahan Relatif

Kelimpahan relatif dihitung menggunakan rumus :

R = ni / N x 100%

Dimana : R = Kelimpahan relative


ni = jumlah individu setiap spesies (ekor)
N = Jumlah seluruh individu

3) Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman

Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener (Odum,

1971)
H‟= - ƩPi In Pi ; Pi = ni/N

Indeks keseragaman dihitung dengan rumus Evennes – Indeks (Odum,1971).

H′
E=
InS
25

Dimana : E = Indeks Keseragaman


H‟ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah Jenis Organisme
4) Indeks Dominansi

Indeks dominansi dihitung dengan rumus Dominance of Simpson (Odum,

1971).
𝑛𝑖
C = ∑ ( 𝑁 )2

Dimana : C = Indeks dominansi


ni = Jumlah individu tiap jenis
N = Jumlah total Individu

3. Sedimen

1) Kandungan Bahan Organik Total (BOT) Sedimen

Untuk menghitung kandungan bahan organik total pada sedimen adalah :

Kandungan Bahan Organik (berat BOT) = ((BCK+BS)-BSP)

berat BOT
%𝐵𝑂𝑇 = BS
x100

Dimana : BCK = Berat Cawan Kosong


BS = Berat Sampel
BSP = Berat Setelah Pijar

2) Ukuran Butir Sedimen

Untuk menghitung % berat sedimen pada metode ayakan kering digunakan

rumus sebagai berikut :


berat hasil ayakan
% Berat Sedimen = berat total hasil ayakan sampel x100
26

Setelah data setiap parameter diperoleh, selanjutnya dianalisis secara

deskriptif dalam bentuk tabel, grafik dan gambar untuk melihat perbandingan tiap

stasiun pengamatan. Jumlah jenis kelimpahan makrozoobenthos distiap titik

sampling disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, khusus untuk nilai perbedaan

kelimpahan antara ekosistem mangrove alami dan mangrove rehabilitasi

dianalisis menggunakan Uji Non Parametrik (Wilcoxon).


27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi


Pantai Bangsalae merupakan wilayah yang terbentang di sepanjang pesisir

Kelurahan Siwa Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo Propinsi Sulawesi

Selatan, dengan jarak tempuh ±70 KM dari Kota Sengkang Ibu Kota Kabupaten

Wajo. Secara administratif, bagian Barat Kelurahan Siwa berbatasan dengan

Desa Bulu Siwa, bagian Timur berbatasan dengan Kelurahan Bulete, bagian

Utara berbatasan dengan dengan Teluk Bone, dan bagian Selatan berbatasan

dengan Kelurahan Bulete.

Pelabuhan Bangsalae terletak di daerah pesisir Kelurahan Siwa yang

merupakan perairan Teluk Bone. Posisi koordinat pelabuhan siwa yaitu 30° 41‟

50.6‟‟ LS dan 1200° 25‟ 25.8” BT. Pelabuhan Siwa merupakan pelabuhan kelas

III yang memiliki wilayah kerja meliputi Pelabuhan Jalang dengan jarak tempuh ±

65 KM (Kantor UPP Kelas III Siwa, 2014).

Secara geografis wilayah Pelabuhan Siwa diapit oleh beberapa kabupaten

yaitu sebelah Timur dengan Teluk Bone, sebelah Selatan dengan Kabupaten

Soppeng dan Kabuten Bone, sebelah Barat dengan Kabupaten Sidenreng

Rappang, sebelah Utara dengan Kabupaten Luwu (Kantor UPP Kelas III Siwa,

2014).

Pelabuhan Siwa dengan status sebagai Pelabuhan yang tidak diusahakan,

keadaan lautnya sangat tenang karena berada di dalam alur sungai, dengan

kecepatan arus rata-rata 0,2 mil/jam gelombang rata-rata 0,50 m. Musim hujan

biasanya dari bulan Desember sampai dengan bulan April sedangkan musim

panas dari bulan Mei sampai dengan bulan Nopember (Kantor UPP Kelas III

Siwa, 2014)
28

Ekosistem mangrove terdapat hampir di sepanjang garis pantai kelurahan

siwa. Mangrove alami yang diamati berada pada bagian utara Pelabuhan

Bangsalae, sedangkan mangrove rehabilitasi berada pada bagian selatan

Pelabuhan Bangsalae.

B. Kondisi Vegetasi Mangrove

Pantai Bangsalae merupakan pantai “emergence” atau pantai landai yang

terbentuk dari arah daratan yang awalnya didominasi oleh tutupan mangrove,

namun telah berubah menjadi pantai pasir terbuka dan terabrasi oleh hempasan

gelombang laut Teluk Bone (Ludiro, et l. 1999). Setelah beberapa program

rehabilitasi mangrove dilaksanan, vegetasi mangrove terbentuk kembali sebagai

suatu habitat baru dengan formasi mangrove yang berbeda dari sebelumnya.

Komposisi jenis mangrove yang ditemukan di sepanjang lokasi penelitian di

tunjukkan pada tabel 4.

Tabel 5. Jenis mangrove yang ditemukan disetiap stasiun penelitian

Jenis Mangrove Alami Rehabilitasi


No.
1 2 3 1 2 3
1 Rhizophora mucronata      
2 Rhizophora apiculata    
3 Bruguiera gymnorrhiza   
4 Ceriops tagal  
5 Avicennia marina  
6 Avicennia alba  
7 Xylocarpus mullocensis 
8 Xylocarpus granatum  

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove rehabilitasi

ditemukan 4 jenis mangrove yaitu R. mucronata, R. apiculata, A. marina dan A.

alba. Sedangkan pada ekosistem mangrove alami ditemukan 7 jenis mangrove

yaitu R. apuculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza, C. tagal, A. marina, X.

mullocensis dan X. granatum. Pada ekosistem mangrove alami di stasiun 1 dan 3


29

sama-sama terdapat 3 jenis mangrove yaitu R. apuculata, R. mucronata, B.

gymnorrhiza. Sedangkan pada stasiun 2 terdapat 7 jenis mangrove yaitu R.

apuculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza, C. tagal, A. marina, X. mullocensis dan

X. granatum. Pada ekosistem mangrove rehabilitasi di stasiun 1 terdapat 4 jenis

mangrove yaitu R. mucronata, R. apiculata, A. marina dan A. alba. Pada stasiun

2 terdapat 2 jenis mangrove yaitu R. mucronata dan A. alba. Sedangkan pada

stasun 3 hanya terdapat 1 jenis mangrove yaitu R. mucronata.

Pada stasiun 1 dan stasiun 2 ditemukan jenis mangrove yang tidak ditanam

pada saat program rehabilitasi yaitu mangrove jenis Avicennia alba dan

Avicennia marina. Hal ini diduga karena adanya beberapa aliran sungai kecil di

sekitar tambak. Pada tepian sungai kecil yang mengalir disekitar tambak terdapat

populasi mangrove Avicennia alba dan Avicennia marina, terutama di sekitar

jembatan 1 dan jembatan 2 Bangsalae.

Aliran sungai tersebut yang mebawa bibit atau propagul mangrove

sehingga menemukan tempat yang cocok untuk hidup. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Brown, 2006 bahwa propagul yang jatuh akan mengapung di air dan

hanyut terbawa arus sampai ia menemukan tempat yang cocok untuk tumbuh.

Propagul kemudian menancapkan akarnya ke lumpur dan menggunakan

cadangan makanannya untuk tumbuh dengan cepat menjadi pohon muda

(Brown, 2006).

Pada gambar 4 menunjukkan bahwa ekosistem mangrove rehabilitasi

memiliki kerapatan yang relatif tinggi dibandingkan dengan ekosistem mangrove

alami. Hal ini disebabkan karena mangrove rehabilitasi ditanam dengan sengaja

dan dengan jarak yang hampir sama. Sedangkan pada ekosistem mangrove

alami tumbuh secara alami, tidak ada proses pemeliharaan dan perawatan

sehingga jarak antara pohon yang satu dengan yang lain tidak menentu.
30

0,5
0,41
0,45 0,385

0,4

Kerapatan (Ind/m²)
0,35
0,3 0,22
0,176 0,183
0,25
0,13
0,2
0,15
0,1
0,05
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Rehab Alami

Gambar 4. Kerapatan Mangrove Rehabilitasi dan Alami

Pada ekosistem mangrove rahabilitasi stasiun 2 memiliki kerapatan yang

paling tinggi yaitu 0,41 ind/m2, hal ini disebabkan karena pada saat program

penanaman mangrove rabilitasi, lokasi tersebut merupakan lokasi utama

penanaman. Selain itu stasiun 2 berbatasan langsung dengan pematang tambak

sehingga lokasi tersebut diprioritaskan untuk penanaman. Sedangkan kerapatan

terendah terdapat di stasiun 1 yaitu 0,22 ind/m2. Pada ekosistem mangrove alami

stasiun 3 memilii kerapatan tertinggi yaitu 0,183 ind/m2 kemudian stasiun 2 yaitu

0,176 ind/m2 dan stasiun 3 dengan kerapatan terendah yaitu 0,13 ind/m2.

Kerapatan jenis tertinggi di semua stasiun pada ekosistem mangrove

rehabilitasi dan alami di dominasi oleh mangrove genus Rhizophora (Lampiran

1). Hal tersebut diduga karena jenis substrat pada masing-masing stasiun

mangrove rehabilitasi dan alami yaitu lumpur atau pasir halus. Sesuai dengan

pernyataan Nontji, (2007) bahwa pada pembagian zonasi mangrove, zona

tengah merupakan zona yang memiliki karakteristik substrat / sedimen lumpur

dan pasir halus yang didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora sp.
31

C. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Makrozoobenthos

1. Struktur Komunitas Makrozoobenthos

Struktur komunitas makrozoobenthos terdiri dari komposisi jenis, kelimpahan

jenis dan kelimpahan relativ jenis.

a. Komposisi Jenis

Hasil identifikasi makrozoobenthos yang didapatkan pada lantai hutan

(epifauna dan infauna) mangrove selama penelitian terdiri dari 12 jenis berasal

dari 3 kelas. Komposisi jenis makrozoobenthos didominasi oleh kelas

Gastropoda dengan 9 jenis kemudian kelas Crustacea dengan 2 jenis dan kelas

Bivalvia dengan 1 jenis (Lampiran 2).

Mangrove Rehabilitasi Mangrove Alami


Gastropoda Crustacea Bivalvia Gastropoda Crustacea

9% 1%
4%

96%
90%

Gambar 5. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan kelas

Komposisi jenis yang ditemukan di lokasi penelitian termasuk rendah. Hasil

peneltian Purwanto, et.al (1999) di pantai Paojepe Kecamatan Keera Kabupaten

Wajo termasuk Tokke-tokke Kecamatan Pitumpanua , menunjukkan bahwa jenis

moluska yang terkoleksi dan teridentifikasi sebanyak 25 jenis. Hasil penelitian

lanjutan yang dilakukan Zulkifli (2008), di Pantai Tokke-tokke Kecamatan

Pitumpanua Kabupaten Wajo menunjukkan komposisi jenis yang tergolong tinggi

yaitu 45 jenis yang berasal dari 5 kelas.


32

Sedikitnya jenis yang ditemukan , salah satunya disebabkan penangkapan

dilakukan hanya pada daerah yang sempit dan belum dilakukan secara efektif.

Diduga masih terdapat jenis yang belum ditemukan.

Komposisi jenis makrozoobenthos pada ekosistem mangrove rehabilitasi

dan alami (Gambar 7) menunjukkan bahwa kelas gastropoda mendominasi yaitu

90% pada mangrove rehabilitasi dan 96% pada mangrove alami. Kelas

Crustacea terdapat 9% pada mangrove rehabilitasi dan 4% pada mangrove

alami, sedangkan kelas Bivalvia hanya terdapat pada ekosistem mangrove

rehabilitasi yaitu 1%.

Keberadaan kelas bivalvia yang hanya ditemukan pada ekosistem mangrove

rehabilitasi diduga karena kecocokan terhadap substrat yaitu lumpur. Kondisi

substrat yang berlumpur memudahkan makrozoobenthos dari kelas bivalvia

untuk membenamkan diri. Sesuai dengan tingkah laku atau gaya adapatasi

benthos tersebut yang disebut dengan benthos infauna (Dahuri, 2007).

Dominannya kelas Gastropoda yang ditemukan pada perairan hutan

mangrove Bangsalae berkaitan dengan kemampuannya beradaptasi terhadap

kondisi lingkungan, serta kemampuannya melekatkan diri pada akar dan batang

pohon mangrove. Nybakken (1992), mengatakan bahwa sebagian kelas

gastropoda mempunyai operculum yang dapat menutup rapat celah cangkang,

ketika air surut mereka masuk ke dalam cangkang lalu menutup rapat operkulum

sehingga kekurngan air dapat diatasi.

Jumlah jenis yang ditemukan pada ekosistem mangrove rehabilitasi dan

alami (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove alami

terdapat 9 jenis makrozoobenthos yaitu Nerita undata, Littoraria scabra,

Terebralia sp., Ceritium sp., Chicoreus sp., Metopograpsus sp., Pagurus sp.,

Faunus ater, dan Cassidula sp. Sedangkan pada ekosistem mangrove


33

rehabilitasi terdapat 10 jenis makrozoobenthos yaitu Nerita undata, Littoraria

scabra, Terebralia sp., Ceritium sp., Metopograpsus sp., Pagurus sp., Cassidula

sp., Telescopium telescopium, Vexillum sp. dan Veneridae sp.

Pada ekosistem mangrove rehabilitasi terdapat 2 jenis makrozoobenthos

yang ditemukan disemua stasiun yaitu Nerita undata dan Littoraria scabra. Dan

terdapat 2 jenis yang hanya ditemukan pada satu stasiun yaitu jenis

Metopograpsus sp. di stasiun 1 dan Veneridae sp. di stasiun 2. Sedangkan pada

ekosistem mangrove alami terdapat 5 jenis makrozoobenthos yang ditemukan di

semua stasiun penelitian yaitu Nerita undata, Littoraria scabra, Terebralia sp.,

Ceritium sp., Chicoreus sp. dan terdapat 3 jenis makrozoobenthos yang hanya

ditemukan di satu stasiun yaitu stasiun 1 diantaranya jenis Metopograpsus sp.,

Cassidula sp. dan Faunus ater.

b. Kelimpahan Makrozoobenthos

Kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove alami dan

rehabilitasi ditunjukkan pada gambar 6 dan 7. Kelimpahan makrozoobenthos

pada ekosistem mangrove rehablitasi berkisar antara 27,5 ind/m2 – 137 ind/m2

dengan rata-rata 72,5 ind/m2. Hasil ini termasuk rendah dibanding dengan

kelimpahan makrozobenthos yang ditemukan di hutan bakau rakyat Tongke-

Tongke Sinjai saat rata-rata berumur 13 tahun. Di Tongke – Tongke kelimpahan

makrozoobenthos berkisar antara 155-944 ind/m2 dengan rata-rata 391 ind/m2

(Rani, 1998).
34

160

Kelimpahan rata-rata (Ind/m²)


137,5
140
120
100
80
52,5
60
40 27,5
20
0
I II III
Stasiun
Gambar 6. Kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove rehabilitasi

Gambar 6 menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata makrozoobenthos

tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 137,5 ind/m2. Kelimpahan

makrozoobenthos yang tinggi pada stasiun I diduga karena kondisi mangrove

nya memiliki jumlah jenis yang tinggi yaitu 4 jenis dibanding dengan stasiun 3

yaitu 1 jenis (Tabel 5). Karena adanya jenis mangrove yang berbeda pada

stasiun 1, hal ini memungkinkan tingginya kesempatan makrozoobenthos untuk

berasosasi dibandingkan dengan stasiun yang hanya memiliki 1 jenis mangrove.

Sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992), bahwa makrozoobenthos yang

berasosiasi dengan hutan mangrove pada umumnya hidup pada akar dan batang

pohon mangrove (Littorinidae) dan lainnya pada lumpur.


35

120 113,3

Kelimpahan rata-rata (Ind/m²)


100 90
90
80

60

40

20

0
I II III
Stasiun

Gambar 7. Kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove alami

Gambar 7 menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata makrozoobenthos yang

tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 113,3 ind/m2. Sedangkan stasiun

1 dan 3 memiliki kelimpahan yang sama yaitu sebesar 90 ind/m2. Melimpahnya

jumlah individu makrozoobenthos pada stasiun 2 dibanding dengan stasiun

lainnya menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pada stasiun 2 cukup

mendukung kehidupan makrozoobenthos. Hal ini didukung dengan tingginya

persentase kandungan BOT pada stasiun 2 (22,085%). Sesuai dengan

pernyataan Bengen (2001), bahwa kandungan bahan organik pada sedimen atau

substrat berlumpur dimanfaatkan oleh orgaisme pemakan deposit seperti

bilvalvia, gastropoda dan beberapa jenis polychaeta.

Kelimpahan makrozoobenthos yang rendah pada stasiun 1 dan 3

dibandingkan dengan stasiun 2 berkaitan dengan kondisi lingkungan yang cukup

terbuka dengan ketebalan mangrove yang rendah yaitu 41 meter untuk stasiun 1

dan 57 meter untuk stasiun 2, sedangkan ketebalan mangrove pada stasiun 2

yaitu 81 meter.

Dari hasil analisis uji Non Parametrik (Wilcoxon) diperoleh nilai signifikansi

0,285 (p>0,05), berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara


36

ekosistem mangrove rehbilitasi dan mangrove alami dalam hal kelimpahan

makrozoobenthos. Artinya kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem

mangrove rehabilitasi tidak ada perbedaan yang nyata dengan kelimpahan

makrozoobenthos pada mangrove alami.

c. Indeks Ekologi Makrozoobenthos

Hasil analisis data terhadap indeks ekologi makrozoobenthos yang

ditemukan selama penelitian disetiap stasiun penelitian menghasilkan sajian data

seperti pada tabel berikut.

Nilai H‟ pada stasiun 1 yaitu 1,65 tergolong rendah, stasiun 2 1,98 tergolong

rendah dan stasiun 3 yaitu 1,24 tergolong rendah. Nilai E pada stasiun 1 yaitu

0,75 tergolong tidak stabil, stasiun 2 yaitu 0,9 tergolong stabil dan stasiun 3 0,83

tergolong stabil. Nilai D pada stasiun 1 yaitu 0,25 tergolong rendah, stasiun 2

yaitu 0,16 tergolong rendah dan stasiun 3 yaitu 0,32 tergolong rendah.

Tabel 6. Indeks Ekologi Makrozoobenthos pada Mangrove Rehabilitasi

INDEKS EKOLOGI REHABILITASI


Stasiun H´ Kategori E Kategori D Kategori
1 1,65 rendah 0,75 tidak stabil 0,25 rendah
2 1,98 rendah 0,9 stabil 0,16 rendah
3 1,24 rendah 0,89 stabil 0,32 rendah
Rata- 1,62 rendah 0,84 stabil 0,24 rendah
rata

Nilai H‟ pada stasiun 1 yaitu 1,86 tergolong rendah, stasiun 2 1,53 tergolong

rendah dan stasiun 3 yaitu 1,33 tergolong rendah. Nilai E pada stasiun 1 yaitu

0,85 tergolong stabil, stasiun 2 yaitu 0,86 tergolong stabil dan stasiun 3 0,83

tergolong stabil. Nilai D pada stasiun 1 yaitu 0.18 tergolong rendah, stasiun II

yaitu 0,25 tergolong rendah dan stasiun 3 yaitu 0,3 tergolong rendah.
37

Stasiun INDEKS EKOLOGI ALAMI


H´ Kategori E Kategori D Kategori
1 1,86 rendah 0,85 stabil 0,18 Rendah
2 1,53 rendah 0,86 stabil 0,25 Rendah
3 1,33 rendah 0,83 stabil 0,3 Rendah
Rata- 1,57 rendah 0,84 stabil 0,24 Rendah
rata

1) Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman makrozoobenthos yang ditemukan pada ekosistem

mangrove alami berkisar antara 1,33 – 1,86 dengan rata-rata 1,62 tergolong

kategori rendah. Sama dengan nilai indeks keanekaragaman yang ditemukan

pada ekosistem mangrove alami yaitu 1,62 dengan kisaran 1,24 – 1,98 yang

tergolong rendah. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan indek

keanekaragaman yang diperoleh di Tokke –Tokke yang mempunyai kisaran 2,17

– 2,65 dengan rata-rata 2,39 tergolong kategori sedang (Zullkifli,2008).

Nilai H‟ yang dieproleh di Bangsalae sangat dipengaruhi oleh banyaknya

jumlah jenis yang diperoleh pada beberapa stasiun yang diimbangi dengan

penyebaran jumlah inidividu yang tidak terlalu besar. Hal ini sesuai dengan

pernyataan yang dikemukakan Odum (1971) yang menyatakan bahwa

keanekaragaman jenis bukan hanya sinonim dengan banyaknya jenis, melainkan

sifat komunitas yang ditentukan oleh banyaknya jenis serta kemerataan

kelimpahan individu setiap jenis. Nilai keanekaragaman besar jika semua individu

berasal dari jenis atau genera yang berbeda-beda dan akan mempunyai nilai

kecil atau sama dengan nol jika individu hanya ada satu jenis.

Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman pada masing-masing stasiun

ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi menunjukkan tidak adanya pengaruh

yang dominan terhadap perubahan nilai indeks keanekaragaman. Meskipun

jumlah jenis yang diperoleh setiap stasiun berbeda. Rendahnya indeks

keanekaragaman pada ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi memberikan


38

informasi bahwa pada ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi hanya terdapat

beberapa jenis makrozoobenthos saja yang melimpah (Ardi,2002).

2) Indeks Keseragaman (E)

Nilai indeks keseragaman yang diperoleh pada eksositem mangrove alami

berkisar antara 0,83 – 0,86 dengan rata-rata 0,84 yang tergolong kategori stabil.

Sama dengan nilai indeks keseragaman yang diperoleh pada eksositem

mangrove rehabilitasi yaitu 0,84 dengan kisaran 0,79 – 0,90 yang tergolong

kategori sedang. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi

baik pada mangrove alami maupun rehabilitasi. Menurut Odum (1971),

keseragaman menunjukkan komposisi individu dari setiap genera atau spesies

yang hampir merata dalam komunitas. Nilai indeks keseragaman berbading

terbalik dengan indeks dominansi , jika terjadi dominansi spesies dalam suatu

komunitas, maka keseragamannya mendekati minimum, sebaliknya komunitas

akan relatif bagus apabila keseragaman mendekati maksimum.

3) Indeks Dominansi

Dominansi makrozoobenthos digunakan untuk menghitung adanya spesies

tertentu yang mendominasi suatu komunitas makrozoobenthos. Nilai indeks

dominansi berkisar antara 0 – 1. Semakin mendekati satu, berarti semakin tinggi

tingkat dominansi oleh spesies tertentu, sebaliknya bila nilai mendekati nol,

berarti tidak ada jenis yang mendominasi (Odum,1971).

Indeks dominansi yang didapatkan pada ekosistem mangrove alami

tergolong rendah dengan kisaran 0,18 – 0,3 dengan rata-rata 0,24. Sama

dengan nilai indeks dominansi yang diperoleh pada ekosistem mangrove

rehabilitasi yaitu 0,24 dengan kisaran 0,16 – 0,32. Hal ini menunjukkan bahwa

tidak ada jenis yang mendominasi baik di stasiun mangrove alami maupun

mangrove rehabilitasi.
39

D. Parameter Lingkungan

1. Sedimen

Pada ekosistem mangrove rehabilitasi diperoleh 4 kategori sedimen

berdasarkan ukuran butir (Gambar 7), yaitu pasir kasar, pasir sedang, pasir halus

dan lumpur. Lumpur menjadi jenis sedimen yang dominan pada ekosistem

mangrove rehabilitasi.

Gambar 8 menunjukkan bahwa sedimen yang tergolong dalam kategori

lumpur mendominansi sedimen yang berada pada ekosistem mangrove

rehabilitasi yakni sebesar 37,11 % pada stasiun 3 dan sebesar 35,51 % pada

stasiun 2. Sedangkan pada stasiun 2 di dominasi oleh sedimen yang tergolong

dalam pasir halus yakni sebesar 32,72 %. Selain itu pada stasiun 1 diperoleh

lumpur sebesar 31,06 %, pasir kasar sebesar 21,39 % dan pasir sedang sebesar

14,75 %. Pada stasiun 2 diperoleh pasir halus sebesar 30,15 %, pasir kasar

sebesar 17,95 % dan pasir sedang sebesar 16,37 %. Sedangkan pada stasiun 3

diperoleh pasir halus sebesar 26,17 %, pasir sedang sebesar 25,20 % dan pasir

kasar sebesar 11,51 %.

40,00 37,11
35,51
32,72
ukuran butir sedimen (%)

35,00 31,06 30,15


30,00
25,2026,17
25,00 21,39
20,00 17,95
16,37
14,75
15,00 11,51
10,00
5,00
0,00
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Pasir kasar Pasar sedang Pasir Halus Lumpur

Gambar 8. Presentase sedimen berdasarkan ukuran besar butir pada mangrove


rehabilitasi.
40

Sementara pada ekosistem mangrove alami (gambar 7), pasir halus menjadi

jenis sedimen dominan yakni sebesar 36,947 % pada stasiun 2 dan 33,032 %

pada stasiun 3. Sedangkan pada stasiun 1 di dominnasi oleh sedimen yang

masuk dalam kategori lumpur yakni sebesar 31,530 %. Selain itu pada stasiun 1

diperoleh pasir halus sebesar 28,865 %, pasir kasar sebesar 20,062 % dan pasir

sedang sebesar 19,543 %. Pada stasiun 2 diperoleh lumpur sebesar 29,073 %,

pasir kasar sebesar 20,863 % dan pasir sedang sebesar 13,029 %. Sedangkan

pada stasiun 3 diperoleh lumpur sebesar 27,954 %, pasir kasar sebesar 26,881

% dan pasir sedang sebesar 12,137 %.

40,000 36,947
35,000 33,032
31,530
ukuran butir sedimen (%)

28,865 29,073 27,954


30,000 26,881
25,000 20,863
20,062
19,543
20,000
15,000 13,029 12,137
10,000
5,000
0,000
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Pasir Kasar Pasir Sedang Pasir Halus Lumpur

Gambar 9. Presentase sedimen berdasarkan ukuran butir pada mangrove alami

Hasil pemilahan partikel sedimen menunjukkan bahwa hampir semua

stasiun pada ekosistem mangrove alami dibentuk dengan partikel pasir halus.

Sedangkan ekosistem mangrove rehabilitasi dibentuk dengan partikel lumpur.

Secara alami kehidupan makrozoobenthos membutuhkan habitat berlumpur yang

telah dihambat oleh perakaran mangrove. Selain itu makrozoobenthos harus

mampu hidup dengan membenamkan diri dalam lumpur. Fraksi pasir

mengakibatkan terjadinya penekanan kepadatan makrozoobenthos di hutan

mangrove. Disisi lain, pasir dibutuhkan dalam kehidupan makrozoobenthos ,


41

yakni memperbaiki aerasi (menyatu dengan debu) ketika benthos menyusup ke

dalam substrat ataupun tempat beristirahat (Arief,2003). Pada saat pengambilan

data penelitian, banyak makrozoobenthos terutama dari kelas gastropoda yang

bergerombol, baik di permukaan sedimen maupun yang melekat di perakaran

mangrove.

2. Bahan Organik Total (BOT)

Bahan organik total (BOT) yang diperoleh pada sedimen ekosistem

mangrove rehabilitasi (Gambar 8) menunjukkan bahwa stasiun 3 mengandung

lebih banyak BOT dibandingkan stasiun 1 dan 2.

16,000 14,964
14,000
12,000
Kandungan BO%)

9,372 9,629
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
0,000
1 2 3
Stasiun

Gambar 10. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada sedimen mangrove
rehabilitasi

Bahan organik total tertinggi yang diperoleh pada stasiun 3 yaitu sebesar

14,964 %. Sedangkan pada stasiun 1 dan 2 yaitu masing-masing sebesar 9,372

% dan 9,62 %. Sementara pada ekosistem mangrove alami diperoleh kandungan

Bahan Oranik Total tertinggi pada stasiun 2 yaitu sebesar 22,085 %. Sedangkan

pada stasiun 1 dan 3 masing-masing sebesar 21,173 % dan 21,801 %.


42

22,200 22,085
22,000 21,801

Kandungan BOT (%)


21,800
21,600
21,400
21,173
21,200
21,000
20,800
20,600
1 2 3
Stasiun

Gambar 11. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada sedimen Mangrove
Alami

Hasil analisis kandungan bahan organik total yang berasal dari sedimen

pada mangrove alami lebih tinggi (21,686 %) dibandingkan dengan eksoistem

mangrove rehabilitasi (11,322 %). Hal ini menunjukkan bahwa substrat

mangrove memiliki bahan organik yang tinggi, sebagaimana yang dikatakan

Lukman (2002), bahwa substrat mangrove berupa tanah memiliki kandungan

bahan organik tinggi yang dapat mencapai 62%.

Tingginya kandungan bahan organik pada ekosistem mangrove alami

dibanding dengan rehabilitasi diduga karena adanya perbedaan waktu dalam

proses decomposer oleh organisme dalam mendekomposisi serasah bahan

organik. Pada ekosistem mangrove alami proses tersebut sudah berlangsung

puluhan tahun atau lebih lama dibandingkan dengan rehabilitasi. Menurut

Bengen (2001), kandungan bahan organic pada pantai berlumpur dimanfaatkan

oleh organisme pemakan deposit. Organisme pemakan deposit antara lain dari

jenis bivalvia, gastropoda dan beberapa jenis polychaeta. Mereka memakan

partikel lumpur dan menyerap bahan organiknya , lalu bahan sisa yang tidak

dibutuhkan dibuang melalui anus.

Berdasarkan hasil ulangan pada masing-masing stasiun di dapatkan bahwa

rata-rata kandungan bahan organik total yang tertinggi di dapatkan pada sedimen
43

yang berasal dari naungan mangrove. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Marsono dan Setyono , 1993 dalam Arief (2003), bahwa semakin kearah darat,

arus pasang surut semakin kecil dan kandungan lumpur serta bahan organic

tanah semakin tinggi.


44

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Pada ekosistem mangrove alami terdapat 9 jenis makrozoobenthos terdiri

dari tujuh kelas Gastropoda dan dua jenis kelas Crustacea yang didominasi

oleh kelas Gastropoda. Sedangkan pada ekosistem mangrove rehabilitasi

terdapat 10 jenis makrozoobenthos terdiri dari tujuh kelas Gastropoda, dua

kelas Crustacea dan satu kelas Bivalvia yang didominasi oleh kelas

Gastropoda.

2. Kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove alami lebih tinggi

dibanding dengan eksosistem rehabilitasi dengan perbandingan 97,76 ind/m

dan 72,5 ind/m.

3. Keanekaragaman makrozoobenthos pada eksositem mangrove alami

tergolong kategori rendah sama dengan makrozoobenthos pada ekosistem

mangrove rehabilitasi.

B. Saran

1. Agar fungsi ekologi vegetasi mangrove di pantai Bangsalae kembali normal,

maka perlu dilakukan lagi rehabilitasi mangrove di daerah tersebut. Dan

melibatkan masyarakat dalam setiap tahap rehabilitasi.

2. Perlu dilakukan penaman dengan jenis semaian yang beragam sesuai

dengan tekstur sedimen yang ada di pantai Bangsalae.


45

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, 2006. Struktur Komunitas dan Pola Asosiasi Makrozoobenthos pada


Eksosistem Mangrove di Muara Sungai Limbangan Kabupaten Pangkep.
Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas ilmu kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin. Makassar.

Ardi, 2002. Pemanfaatan Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan


Pesisir. [Makalah]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove; Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.

Bengen, D.G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Mangrove. Pusat Kajian


Pesisir dan Lautan IPB. Bogor

Brown, B. 2006. 5 Tahap Rehabilitasi Mangrove. Mangrove Action Project dan


Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. Yogyakarta

Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan. 2006. Rencana Penanaman Mangrove di


Sulawesi Selatan. Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan. Makassar.

Haryanto, R. 2008. REHABILITASI HUTAN MANGROVE : Pelestarian Ekosistem


Pesisir dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jurnal Karsa 14 (2) :

Heriyanto, N.M., dan Subiandono, E., 2012. Komposisi dan Struktur Tegakan,
Biomasa, dan Potensi Kandungan Karbon Hutan Mangrove di Taman
Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 9 (1)
: 23 - 32.

Hutabarat, S. dan Evans, S.M, 1986. Pengantar Oseanografi. Penerbit


Universitas Indonesia. Jakarta

Kariada, T.M., dan Andin, I., 2014. Peranan Mangrove sebagai Biofilter
Pencemaran Air Wilayah Tambak Bandeng, Semarang. Jurnal Manusia
dan Lingkungan, 21 (2) : 188 - 194.

Khasali, M.H. 2002. Ragam Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove. Proyek
Pesisir Kalimantan Timur (CRMP) kerja sama Pusat Penelitian
Pengelolaan Sumberdaya Air (PPPSA) Universitas Mulawarman.

Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A.


Triswanto, Yunasfi, Hamsah. 2013. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bahan
Ajar Perkuliahan. ITB. Bogor.

Ludiro, D., Supriatna, A. Dame. 1999. Studi Konservasi dan Konversi Lahan
Mangrove. Makalah disampaikan pada Workshop Penelitian Lintas
Disiplin Pesisir Timur Sulawesi Selatan. Sengkang.
46

Lukman, 2002. Studi Kandungan Bahan Organik di Kawasan Bakau Instalasi


Tambak Percobaan Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros. [Skripsi].
Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Malindu, DG., E. Labiro., S. Ramlah, 2016. Asosiasi Jenis Burung dengan


Vegetasi Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Pantai Kecamatan Tinombo
Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Skripsi. Jurusan Kehutanan, Fakultas
Kehutanan Universitas Tadulako. Palu

Medjang, R., S. Kasau, Udding, A. Lambau, N. Amir, Syarifuddin dan A. Baehaqi


(Penyunting). 2005. Merombak Wajah Pesisir Pitumpanua. Yayasan
Tumbuh Mandiri Indonesia. Makassar.

Nessa, N. M, W. Monoarfa, D, Achmad, J. Jompa, M.R. Idrus, Sudirma, D. Thaa,


E. Demmalio, F. Patitting. 2002. Pengembangan Kebijakan Pengendalian
Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Laut di Sulawesi Selatan. Bappedalda
Provinsi Sulawesi Selatan Kerja Sama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
(PPLH) Universitas Hasanuddin. Makassar.

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Bilogis. Alih bahas oleh M.
Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo.
PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta. Universitas


Gadjah Mada Press.

Onrizal, F.S.P. Simarmata, H. Wahyuningsih. 2009. Keanekaragaman


Makrozoobenthos pada Hutan Mangrove yang direhabilitasi di Pantai
Timur Sumatera Utara. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Priyono, A. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan


Pesisir Indonesia. KeSEMaT. Semarang

Purwanto, Y., Suhardjono, Mulyadi, Haryono, T. Widiyanto, Z. Fanani, BT


Sediono, D. Komara dan Suwando. 1999. Kajian Ekosistem Kawasan
Pantai di Paojepe (Kabupaten Wajo), Tongke-tongke (Kabupaten Sinjai)
dan Bonepute (Kabupaten Bone) Sulawesi Selatan.[Laporan Hasil
Penelitian]. Dalam Workshop Hasil Penelitian Lintas Disiplin Penanaman
Bakau di Pantai Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Sengkang, 29 Nopember
1999. Puslitbang Biologi-LIPI dan Puslitbang Limnologi –LIPI.Bogor

Rani, Chair., 1998. Studi Ekologis Komunitas Makrobentos Pada Hutan Bakau
Rakyat di Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjau. [Laporan Hasil
Penelitian]. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
47

Rumimuharto. K, dan Juwana. S., 1999. BIOLOGI LAUT Ilmu Pengetahuan


tentang Biota Laut. P3O-LIPI. Jakarta.

Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor

Sara, L 2013. Pengelolaan Wilayah Pesisir, Gagasan Memelihara Aset Wilayah


Pesisir dan Solusi Pembangunan Bangsa. ALFABETA. Bandung.

Saru, A. 2013. Mengungkap Potensi Emas Hijau di Wilayah Pesisir. Masagena


Press. Makassar

Supriharyono, 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah


Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Talib, F. M., 2008. Struktur Dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta
Makrozoobenthos Yang Berkoeksistensi, Di Desa Tanah Merah Dan
Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. Skripsi. Program studi ilmu dan
teknologi kelautan Fakultas perikanan dan ilmu kelautan Institut pertanian
bogor. IPB. Bogor.

Ukkas, M. 2009. Kajian Aspek Bioekologi Vegetasi Mangrove Alami dan Hasil
Rehabilitasi di Kecamatan Keera Kab Wajo Sulawesi Selatan. Hibah
Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Zulkifli, 2008. Kajian Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi Vegetasi Mangrove


ditinjau dari Aspek Bioekologi di Pantai Tokke-tokke Kecamatan
Pitumpanua, Kabupaten Wajo. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Makassar.

https://pelabuhansiwabangsalae.wordpress.com. Diakses pada tanggal 21 Maret


2018, pukul 12.23 WITA.
48

LAMPIRAN
49

Lampiran 1. Hasil analisis data vegetasi mangrove ( kerapatan jenis, frekuensi


jenis, penutupan jenis, dan indeks nilai penting ) pada ekosistem
mangrove rehabilitasi dan mangrove alami.

A. Data Vegetasi Mangrove yang ditemukan di mangrove rehabilitasi dan


mangrove alami

Jenis Mangrove Alami Rehabilitasi


No.
1 2 3 1 2 3
1 Rhizophora mucronata      
2 Rhizophora apiculata    
3 Bruguiera gymnorrhiza   
4 Ceriops tagal  
5 Avicennia marina  
6 Avicennia alba  
7 Xylocarpus mullocensis 
8 Xylocarpus granatum  

B. Hasil Perhitungan Kerapatan Jenis (Di), Kerapatan Relatif Jenis (RDi),


Frekuensi Jenis (Fi), Frekuensi Relatif Jenis (RFi).

EKOSISTEM MANGROVE REHABILTASI


Stasiun Spesies Di Rdi Fi Rfi
R. apiculata 0,095 43,18 1 33,33
R. mucronata 0,04 18,18 0,5 16,67
1
A. alba 0,065 29,55 1 33,33
A. marina 0,02 9,09 0,5 16,67
R. mucronata 0,26 95,16 1 66,67
2
A. alba 0,15 4,84 0,5 33,33
3 R. mucronata 0,385 100 1 100
EKOSISTEM MANGROVE ALAMI
Stasiun Spesies Di Rdi Fi Rfi
R. apiculata 0,12 92,3 1 50
1 R. mucronata 0,005 3,8 0,5 25
B. gimnoriza 0,005 3,8 0,5 25
R. apiculata 0,07 41,3 1 23,09
R. mucronata 0,017 11,3 0,67 15,4
B. gimnoriza 0,037 18,8 1 23,09
2 C. tagal 0,043 22 0,67 15,4
X. mullocensis 0,003 1,8 0,33 7,62
X. granatum 0,007 3,2 0,33 7,62
A. marina 0,003 1,8 0,33 7,62
R. apiculata 0,097 58,54 1 27,25
3
R. mucronata 0,043 9 1 27,25
50

B. gimnoriza 0,013 11,33 0,67 18,26


C. tagal 0,017 13,29 0,67 18,26
X. granatum 0,013 7,84 0,3 8,99

C. Hasil Perhitungan Penutupan Jenis, Penutupan Relatif Jenis, dan Indeks Nilai
Penting

EKOSISTEM MANGROVE REHABILITASI


Stasiun Spesies Ci Rci Di Rdi Fi Rfi INV
R. apiculata 3,38 25,22 0,095 43,18 1 33,33 101,73
R. mucronata 2,81 14,96 0,04 18,18 0,5 16,67 49,81
1
A.marina 3,54 1,89 0,065 29,55 1 33,33 64,77
A. alba 8,99 57,86 0,002 9,09 0,5 16,67 83,62
R. mucronata 11,46 86,33 0,26 95,16 1 66,67 248,16
2
A. alba 3,73 27,33 0,015 4,84 0,5 33,33 65,5
3 R. mucronata 29,47 100 0,39 100 1 100 300
EKOSISTEM MANGROVE ALAMI
Stasiun Spesies Ci Rci Di Rdi Fi Rfi INV
R. apiculata 41,72 92,78 0,12 92,3 1 50 235,08
1 B. gimnoriza 4,24 9,2 0,005 3,8 0,5 25 38
R. mucronata 2,41 5,22 0,005 3,8 0,5 25 34,02
R. apiculata 13,4 39,15 0,07 41,3 1 23,09 103,54
B. gimnoriza 2,76 9,4 0,037 18,8 0,67 15,4 43,6
R. mucronata 6,24 18,28 0,017 11,3 1 23,09 52,67
2 C. tagal 12,16 28,08 0,043 22 0,67 15,47 65,55
X. mullocensis 4,13 8,69 0,003 1,8 0,33 7,62 18,11
A. marina 7,04 14,82 0,003 1,8 0,33 7,62 24,24
X. granatum 9,32 38,08 0,007 3,2 0,33 7,62 48,9
R. apiculata 26,69 53,51 0,097 58,54 1 27,25 139,3
B. gimnoriza 6,05 7,87 0,013 11,33 1 27,25 46,45
3 R. mucronata 7,31 16,85 0,043 9 0,67 18,26 44,11
C. tagal 0,98 1,35 0,017 13,29 0,67 18,26 32,9
X. granatum 151,32 87,3 0,013 7,84 0,33 8,99 104,13
51

Lampiran 2. Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang di Temukan pada


Vegetasi Mangrove Rehabilitasi dan Mangrove Alami.

Alami Rehabilitasi
No Jenis Makrozoobenthos Kelas
1 2 3 1 2 3
1 Nerita undata Gastropoda      
2 Littoraria scabra Gastropoda      
3 Terebralia sp. Gastropoda     
4 Ceritium sp. Gastropoda     
5 Chicoreus sp. Gastropoda   
6 Metopograpsus sp. Crustacesa  
7 Pagurus sp. Crustacesa    
8 Faunus ater Gastropoda 
9 Cassidula sp. Gastropoda   
10 Telescopium telescopium Gastropoda  
11 Vexillum sp. Gastropoda  
12 Veneridae sp. Bivalvia 
52

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Kelimpahan rata-rata Makrozoobenthos pada


Mangrove Rehabilitasi dan Mangrove Alami.

REHABILITASI Kelimpahan
STASIUN JENIS x b
1 2 ind/m
Telescopium telescopium 5
Pagurus sp. 5
Ceritium Sp. 15 5
Nerita undata 55 20
Litoraria scabra 60 45
1 137,5 10000 2000
Vexillum sp. 5 5
Metopograpsus sp. 5 5
Terebralia sp. 5
Cassidula sp. 40
Jumlah 155 120
Pagurus sp. 20
Nerita undata 15 5
Cassidula sp. 5 10
Littoraria scabra 5
Terebralia sp. 25
2 52,5 10000 2000
Veneridae sp. 5
Ceritium sp. 5
Telescopium telescopium 5
Pagurus sp. 5
Jumlah 80 25
Terebralia sp 15
Vexilum 5
3 Nerita undata 15 10 27,5 10000 2000
Littoraria scabra 10
Jumlah 35 20
53

ALAMI Kelimpahan
STASIUN JENIS x b
1 2 3 ind/m
Nerita undata 35 35
Terebralia sp. 35 20
Ceritium sp. 5 10 5
Littoraria scabra 40 5
Metopograpsus
1
sp. 5 10 90,00 10000 2000
Chicoreus sp. 5 40
Pagurus sp. 5 5
Faunus ater 5
Cassidula sp. 5
Jumlah 85 90 95
Pagurus sp. 10
Ceritum 15 5
Terebralia sp. 25 40 55
2
Chicoreus sp. 30 15 113,3 10000 2000
Nerita undata 35 40 25
Littoraria scabra 20 25
Jumlah 135 110 95
Nerita undata 50 15
Littoraria scabra 20 5
3 Terebralia sp. 30 40
90 10000 2000
Chicoreus sp. 10
Ceritium sp. 10
Jumlah 120 60
1

Lampiran 4. Hasil Perhitungan Indeks Ekologi Makrozoobenthos pada Ekosistem Mangrove Rehabilitasi dan Mangrove Alami

A. Indeks Ekologi Makrozoobenthos pada Mangrove Rehabilitasi

Stasiun jumlah INDEKS EKOLOGI


rata- (ni/N)
stasiun jenis ni spesies In S (ni/N) (ni/N)² In (ni/N)
rata ln(ni/N) H´
1 2 (S) E D
Telescopium
telescopium 1 1 0,50 0,0182 0,0003 -4,0073 -0,0729
Pagurus sp. 1 1 0,50 0,0182 0,0003 -4,0073 -0,0729
Ceritium Sp. 3 1 4 2,00 0,0727 0,0053 -2,6210 -0,1906
Nerita undata 11 4 15 7,50 0,2727 0,0744 -1,2993 -0,3543
9 2,1972 1,65 0,75 0,25
1 Litoraria scabra 12 9 21 10,50 0,3818 0,1458 -0,9628 -0,3676
Vexillum sp. 1 1 2 1,00 0,0364 0,0013 -3,3142 -0,1205
Metopograpsus sp. 1 1 2 1,00 0,0364 0,0013 -3,3142 -0,1205
Terebralia sp. 1 1 0,50 0,0182 0,0003 -4,0073 -0,0729
Cassidula sp. 8 8 4,00 0,1455 0,0212 -1,9279 -0,2804
Jumlah 31 24 55 27,50 1,0000 0,2502 -25,4614 -1,6526
1

Stasiun jumlah INDEKS EKOLOGI


rata- In (ni/N)
stasiun jenis ni spesies In S (ni/N) (ni/N)²
rata (ni/N) ln(ni/N) H´
1 2 (S) E D
Pagurus sp. 4 4 2 0,1905 0,0363 -1,6582 -0,3159
Nerita undata 3 1 4 2 0,1905 0,0363 -1,6582 -0,3159
Cassidula sp. 1 2 3 1,5 0,1429 0,0204 -1,9459 -0,2780
Littoraria scabra 1 1 0,5 0,0476 0,0023 -3,0445 -0,1450
Terebralia sp. 5 5 2,5 9 2,1972 0,2381 0,0567 -1,4351 -0,3417 1,98 0,90 0,16
2 Veneridae sp. 1 1 0,5 0,0476 0,0023 -3,0445 -0,1450
Ceritium sp. 1 1 0,5 0,0476 0,0023 -3,0445 -0,1450
Telescopium
telescopium 1 1 0,5 0,0476 0,0023 -3,0445 -0,1450
Pagurus sp. 1 1 0,5 0,0476 0,0023 -3,0445 -0,1450
-
Jumlah 16 5 21 10,5 1,0000 0,1610 21,9201 -1,9763

Stasiun rata- jumlah spesies (ni/N) INDEKS EKOLOGI


stasiun jenis ni In S (ni/N) (ni/N)² In (ni/N)
1 2 rata (S) ln(ni/N) H´ E D
Terebralia sp 3 3 1,5 0,2727 0,0744 -1,2993 -0,3543
Vexilum 1 1 0,5 0,0909 0,0083 -2,3979 -0,2180
4 1,3863 1,24 0,89 0,32
3 Nerita undata 3 2 5 2,5 0,4545 0,2066 -0,7885 -0,3584
Littoraria scabra 2 2 1 0,1818 0,0331 -1,7047 -0,3100
Jumlah 7 4 11 5,5 1,0000 0,3223 -6,1904 -1,2407
2

Indeks Ekologi Makrozoobenthos pada Mangrove Alami

Stasiun jumlah INDEKS EKOLOGI


rata- (ni/N)
stasiun jenis ni spesies In S (ni/N) (ni/N)² In (ni/N)
3 rata ln(ni/N) H´
1 2 (S) E D
Nerita undata 7 7 14 4,67 0,2414 0,0583 -1,4214 -0,34
Terebralia sp. 4 7 4 15 5,00 0,2586 0,0669 -1,3524 -0,35
Ceritium sp. 1 2 1 4 1,33 0,0690 0,0048 -2,6741 -0,18
Littoraria scabra 8 1 9 3,00 0,1552 0,0241 -1,8632 -0,29
Metopograpsus sp. 1 2 3 1,00 9,00 2,1972 0,0517 0,0027 -2,9618 -0,15
1 1,86 0,85 0,18
Chicoreus sp. 1 8 9 3,00 0,1552 0,0241 -1,8632 -0,29
Pagurus sp. 1 1 2 0,67 0,0345 0,0012 -3,3673 -0,12
Faunus ater 1 1 0,33 0,0172 0,0003 -4,0604 -0,07
Cassidula sp. 1 1 0,33 0,0172 0,0003 -4,0604 -0,07
Jumlah 21 18 19 58 19,33 1,0000 0,1825 -23,6244 -1,86
3

Stasiun jumlah INDEKS EKOLOGI


rata- (ni/N)
stasiun jenis ni spesies In S (ni/N) (ni/N)² In (ni/N)
3 rata ln(ni/N) H´
1 2 (S) E D
Pagurus sp. 2 2 0,67 0,0294 0,0009 -3,5264 -0,1037
Ceritum 3 1 4 1,33 0,0588 0,0035 -2,8332 -0,1667
Terebralia sp. 5 8 11 24 8,00 0,3529 0,1246 -1,0415 -0,3676
6 1,7918 1,53 0,86 0,25
2 Chicoreus sp. 6 3 9 3,00 0,1324 0,0175 -2,0223 -0,2677
Nerita undata 7 8 5 20 6,67 0,2941 0,0865 -1,2238 -0,3599
Littoraria scabra 4 5 9 3,00 0,1324 0,0175 -2,0223 -0,2677
Jumlah 27 22 19 68 22,67 1,0000 0,2504 -12,6694 -1,5332

Stasiun jumlah INDEKS EKOLOGI


rata- In (ni/N)
stasiun jenis ni spesies In S (ni/N) (ni/N)²
rata (ni/N) ln(ni/N) H´
1 2 (S) E D
Nerita undata 10 3 13 6,5 0,3611 0,1304 -1,0186 -0,3678
Littoraria scabra 4 1 5 2,5 0,1389 0,0193 -1,9741 -0,2742
Terebralia sp. 6 8 14 7 5 1,6094 0,3889 0,1512 -0,9445 -0,3673 1,33 0,83 0,3
3
Chicoreus sp. 2 2 1 0,0556 0,0031 -2,8904 -0,1606
Ceritium sp. 2 2 1 0,0556 0,0031 -2,8904 -0,1606
Jumlah 24 12 36 18 1,0000 0,3071 -9,7179 -1,3304
1

Lampiran 5. Hasil Pengukuran KanLampiran 5. Hasil Pengukuran Kan dungan


Bahan Organik Total (BOT) Sedimen disetiap Stasiun Penelitian

BOT REHABILITASI
BCK Kandungan Rata-
Stasiun Plot BS (gr) BSP (gr) %BOT
(gr) BOT (gr) Rata
1 11,802 5,015 16,274 0,543 10,828
1 9,372
2 10,916 5,002 15,522 0,396 7,917
1 11,763 5,018 16,286 0,495 9,864
2 9,629
2 17,679 5,014 22,222 0,471 9,394
1 14,562 5,006 19,035 0,533 10,647
3 14,964
2 15,534 5,005 19,574 0,965 19,281
BOT ALAMI
BCK Kandungan Rata-
Stasiun Plot BS (gr) BSP (gr) %BOT
(gr) BOT (gr) Rata
1 23,184 5,009 27,008 1,185 23,657
1 21,173
2 15,988 5,014 20,065 0,937 18,688
1 17,071 5,002 20,758 1,315 26,289
2 2 16,173 5,007 20,312 0,868 17,336 22,085
3 15,133 5,02 19,017 1,136 22,629
1 17,254 5,015 21,034 1,235 24,626
3 2 16,173 5,004 20,096 1,081 21,603 21,801
3 22,474 5,012 26,525 0,961 19,174
2

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Partikel Sedimen di Setiap Stasiun Penelitian

A. Hasil Pengukuran Partikel Sedimen pada ekosistem Mangrove Rehabilitasi

Presentase % Komponen
ST Plot Ukuran Berat Pasir Pasir Pasir
(mm) (gr) Berat Kumulatif kasar Sedang Halus Lumpur
2 0,850 0,850 0,850
1 5,240 5,240 6,090
0,5 17,335 17,335 23,425
0,25 12,353 12,353 35,778
1 23,43 12,35 31,55 32,53
0,125 17,077 17,077 52,855
0,063 14,469 14,469 67,324
< 0,063 32,526 32,526 100
Total 100 100
1
2 0,520 0,520 0,520
1 6,343 6,343 6,863
0,5 12,492 12,492 19,355
0,25 17,141 17,141 36,496
2 19,355 17,141 33,890 29,594
0,125 10,195 10,195 46,691
0,063 23,695 23,695 70,386
< 0,063 29,594 29,594 100
Total 99,980 99,980
2 0,342 0,342 0,342
1 2,257 2,257 2,599
0,5 19,025 19,025 21,624
0,25 19,746 19,746 41,37
1 21,624 19,746 27,463 31,167
0,125 19,495 19,495 60,865
0,063 7,968 7,968 68,833
< 0,063 31,167 31,167 100
Total 100 100
2
2 0,702 0,702 0,702
1 1,400 1,400 2,102
0,5 12,167 12,167 14,269
0,25 12,996 12,996 27,265
2 14,269 12,996 32,837 39,848
0,125 10,135 10,135 37,400
0,063 22,702 22,702 60,102
< 0,063 39,848 39,848 99,950
Total 99,950 99,950
2 1,223 1,223 1,223
1 1,432 1,432 2,655
3 1 0,5 4,978 4,978 7,633 7,633 31,877 26,771 33,709
0,25 31,877 31,877 39,51
0,125 14,552 14,552 54,062
3

0,063 12,219 12,219 66,281


< 0,063 33,709 33,709 99,99
Total 99,99 99,99
2 1,186 1,186 1,186
1 1,79 1,79 2,976
0,5 12,404 12,404 15,38
0,25 18,529 18,529 33,909
2 15,38 18,529 25,563 40,508
0,125 7,999 7,999 41,908
0,063 17,564 17,564 59,472
< 0,063 40,508 40,508 99,98
Total 99,98 99,98

B. Hasil Pengukuran Partikel Sedimen pada Mangrove Alami

Presentase % Komponen
ST Plot Ukuran Berat Pasir Pasir Pasir
(mm) (gr) Berat Kumulatif kasar Sedang Halus Lumpur
2 0,42 0,42 0,42
1 2,37 2,37 2,79
0,5 17,272 17,272 20,062
0,25 19,543 19,543 39,605
1 20,062 19,543 28,865 31,53
0,125 10,648 10,648 50,253
0,063 18,217 18,217 68,47
< 0,063 31,53 31,53 100
Total 100 100
1
2 0,42 0,42 0,42
1 2,37 2,37 2,79
0,5 17,272 17,272 20,062
0,25 19,543 19,543 39,605
2 20,062 19,543 28,865 31,53
0,125 10,648 10,648 50,253
0,063 18,217 18,217 68,47
< 0,063 31,53 31,53 100
Total 100 100
2 10,013 10,013 10,013
1 8,396 8,396 18,409
0,5 12,104 12,104 30,513
0,25 21,678 21,678 52,191
1 30,513 21,678 25,954 21,855
0,125 14,299 14,299 66,49
2
0,063 11,655 11,655 78,145
< 0,063 21,855 21,855 100
Total 100 100
2 0,541 0,541 0,541
2 12,997 6,235 41,733 38,876
1 6,009 6,009 6,55
4

0,5 6,447 6,447 12,997


0,25 6,235 6,235 19,232
0,125 17,901 17,901 37,133
0,063 23,832 23,832 60,965
< 0,063 38,876 38,876 100
Total 99,841 99,841
2 2,417 2,417 2,417
1 8,472 8,472 10,889
0,5 8,189 8,189 19,078
0,25 11,175 11,175 30,253
3 19,078 11,175 43,155 26,488
0,125 10,066 10,066 40,319
0,063 33,089 33,089 73,408
< 0,063 26,488 26,488 100
Total 99,896 99,896
2 3,057 3,057 3,057
1 9,749 9,749 12,806
0,5 7,129 7,129 19,935
0,25 13,957 13,957 33,892
1 19,935 13,957 38,393 27,715
0,125 10,16 10,16 44,052
0,063 28,233 28,233 72,285
< 0,063 27,715 27,715 100
Total 100 100
2 8,742 8,742 8,742
1 9,785 9,785 18,527
0,5 13,302 13,302 31,829
0,25 9,904 9,904 41,733
3 2 31,829 9,904 32,154 26,125
0,125 10,317 10,317 52,05
0,063 21,837 21,837 73,887
< 0,063 26,125 26,125 100,0
Total 100 100
2 5,909 5,909 5,909
1 10,167 10,167 16,076
0,5 12,804 12,804 28,88
0,25 12,551 12,551 41,431
3 28,88 12,551 28,548 30,021
0,125 15,282 15,282 56,713
0,063 13,266 13,266 69,979
< 0,063 30,021 30,021 100
Total 100 100
5

Lampiran 7. Gambar Jenis Makrozoobenthos yang ditemukan pada Ekosistem


Mangrove Rehabilitasi dan Mangrove Alami
6

Lampiran 8. Hasil analisis uji statistic non parametric (Wilcoxon) kelimpahan


makrozoobenthos padamangrove rehabilitasi dan mangrove alami

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Alami 3 97.767 13.4523 90.0 113.3

Rehab 3 72.500 57.6628 27.5 137.5

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


a
Rehab - Alami Negative Ranks 2 2.50 5.00
b
Positive Ranks 1 1.00 1.00
c
Ties 0

Total 3

a. Rehab < Alami

b. Rehab > Alami

c. Rehab = Alami

b
Test Statistics

Rehab - Alami
a
Z -1.069

Asymp. Sig. (2-tailed) .285

a. Based on positive ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test


7

Lampiran 8. Foto pengambilan data pada saat di lapangan

Pengambilan sampel benthos

Pengamatan Mangrove
8

Pengamatan Benthos dan pengayakan sedimen

Tim Lapangan

Anda mungkin juga menyukai