Anda di halaman 1dari 85

KAJIAN PERILAKU MASYARAKAT NELAYAN DALAM


KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT
(Studi Kasus Di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan,
Kabupaten Takalar)

SKRIPSI

RADA NIPAS
L241 13 321

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN


DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii 
 

KAJIAN PERILAKU MASYARAKAT NELAYAN DALAM


KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT
(Studi Kasus Di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan,
Kabupaten Takalar)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat-syarat guna Mencapai gelar Sarjana


Perikanan Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Departemen Perikanan
Pada Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin Makassar

RADA NIPAS
L241 13 321

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN


DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii 
 
iv 
 

KATA PENGANTAR

Bismillahi Rahmani Rahim

Assalamu AlaikumWr. Wb

Alhamdulillahi rabbilalaamin, segala puja dan puji syukur bagi Allah

Subhanahu wataa’la yang telah melimpahkan karunia hidup dan nikmatNya

sehingga tugas akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam kita

haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, tabi’in

serta orang-orang yang beriman, yang senantiasa istiqomah di jalanNya.

Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kajian

Perilaku Masyarakat Nelayan Dalam Keberlanjutan Pengelolaan

Sumberdaya Laut (Studi Kasus Di Desa Bontomarannu, Kecamatan

Galesong Selatan, Kabupaten Takalar)” sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar sarjana pada Program Studi Perikanan, Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Dalam beberapa kajian ilmiah, baik melalui seminar-seminar nasional

maupun pada level regional yang pernah penulis ikuti dan diskusi-diskusi kecil

yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa perikanan sendiri, terungkap

bahwa data statistik menunjukkan semakin hari lingkungan pesisir semakin

mengalami degradasi pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan bagi kita para

pelaku perikanan (stakeholders). Maraknya penggunaan bom ikan ditengah-

tengah nelayan kita dalam memperoleh hasil tangkap yang lebih, penggunaan

bahan-bahan kimia dalam aktivitas penangkapan, dan penangkapan ikan yang

dilakukan secara ilegal seharusnya menjadi warning bagi para stakeholders jika

masih ingin anak cucu kita dapat menikmati sumberdaya perikanan dan kelautan

untuk tahun-tahun kedepannya. Hal paling mendasar menurut penulis dalam

prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir yang lestrai (sustainable development)



 

adalah bagaimana menyeimbangkan antara prinsip ekologis dan prinsip ekonomi

yang selalu melatarbelakangi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya

diwilayah pesisir.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini melibatkan banyak

pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa

terimakasih kepada :

1. Orang tuaku tercinta, ayahanda Kaharuddin Kharun Marratani dan ibunda

Sarmiati Astati A.T serta saudaraku Sardiana Mursyid, Wahdaniah

Syahril, Al-aena almaradiah, Ummi Kalsum & Abd. Qadir Jaylani

terimakasih atas doa, kasih sayang, motivasi dan semangat yang telah

diberikan kepada ananda.

2. Ibu Dr. Ir. St. Aisyah Farhum, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan

Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Dr. Ir. Gunarto Latama, M.Sc selaku ketua Jurusan Fakultas Ilmu

Kelautan Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Dr. Andi Adri Arief, S.PI, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosial

Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Universitas

Hasanuddin dan selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu

untuk selalu membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam

menghasilkan skripsi yang mungkin dapat memuaskan pembaca.

5. Ibu Dr. Mardiana Etharawati Fachry, M.Si selaku pembimbing utama

sekaligus sebagai Ibunda penulis yang banyak membimbing dan membantu

dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas kritik dan sarannya Bunda.

6. Bapak Dr. Abd. Wahid, S.Pi., M.Si, bapak Firman, S.Pi,. M.Si, dan bapak

Benny Audy Jaya Gosari, S.Kel,.M.Si selaku penguji yang banyak member

kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.


vi 
 

7. Teman-teman KKN Tematik Bangun Mandar gelombang 93 khususnya

posko Desa Sumare, Kec. Simboro, Kab. Mamuju St. Nurjaliah, Asdaliva,

Hasnita, Yanti Iskandar, Wiwin Permata Putri, Helsa Adila, Ayu Rahayu,

Annisa, A. Dwiki Aditya, Syamsuddin Alif, Sadly, Fadli Insani Ihsan, Lesta

Indra Waspada, Icdan Ramadhan. My motivasi, Miss you friend 

8. Seluruh teman SOSEK PERIKANAN #13 atas bantuan dan kerjasamanya

dalam pelaksanaan dan pembuatan skripsi yang tidak dapat saya sebutkan

satu persatu.

9. Untuk semua keluarga besar HIPMA MATRA MAKASSAR, khususnya

teman-teman asrama putri yang cantik-cantik, setia menemani.

10. Succes #13, my teachers school serta teman-teman alumni SMAN 2

Pasangkayu, SMPN 2 Pasangkayu, SDN 003 Bambalamotu yang bukan

hanya teman mencari untung, melainkan untuk melangkah dan menjalani

setiap tingkat kehidupan bersama-sama.

Penulis hanya dapat mendoakan semoga segala bantuannya dapat

imbalan yang setimpal dari Allah SWT, insyaa Allah Aamiiin.

Akhirnya penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih dan semoga

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan terutama kepada

penulis.

Makassar, November 2017

RADA NIPAS KAHAR


vii 
 

ABSTRAK
RADA NIPAS, L241 13 321, Progaram Studi Sosial Ekonomi Perikanan,
Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin, menyusun skripsi dengan judul : “Kajian Perilaku Masyarakat
Nelayan Dalam Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Laut (Studi Kasus
di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten
Takalar)”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Mardiana Etharawaty Fachry, M.Si dan
Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi tentang pengelolaan


sumberdaya laut, perilaku dalam pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya
laut, serta tingkat partisipasi masyarakat nelayan dalam kerangka pembangunan
lingkungan pesisir yang berkelanjutan di Desa Bontomarannu, Kecamatan
Galesong Selatan, Kabupaten Takalar.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan subyek penelitian adalah masyarakat nelayan di Desa
Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar. Informan
yang dipilih adalah yang mempunyai relevansi yang dibutuhkan penelitian yaitu
kepala desa, guru, serta masyarakat sebagai responden. Tehnik pengumpulan
data menggunakan observasi, wawancara, dokumentasi dan data instansi yang
terkait. Data dianalisi secara kualitatif deskriftif yang didukung oleh data primer
dan skunder.
Hasil penelitian menyatakan bahwa persepsi masyarakat nelayan tentang
pengelolaan sumberdaya laut memiliki pandangan bahwa laut merupakan area
open acces, ikan tidak akan pernah habis, dan rezeki manusia berada ditangan
Tuhan. Adapun perilaku masyarakat nelayan dalam memanfaatkan dan
melindungi sumberdaya laut masih menggunakan alat tangkap ramah
lingkungan, ini berarti bernilai positif dikarenakan tidak ada penggunaan bahan
dektruktif alat tangkap yang merusak. Serta tingkat partisipasi nelayan masih
tergolong rendah disebabkan tingkat pendidikan rendah dan kurangnya perhatian
pemerintah memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat.

Kata Kunci : Persepsi, Perilaku, dan partisipasi Masyarakat Nelayan.


Pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan Sumberdaya
Laut.
viii 
 

ABSTRACT
RADA NIPAS, L241 13 321, The program of Social Studies of Economics
of Fisheries, Ministry of Fisheries, Faculty of Marine Sciences and Fisheries,
Hasanuddin University, writing his thesis with the title:"Studyof Behavior
Fishermen In Sustainability Resource Management Marine (Case Study in
the village of Bontomarannu, Subdistrict South Galesong, Takalar) ", under
the guidance of Dr. Ir. Mardiana Etharawaty Fachry, M.Si and Dr. Andi Adri
Arief, S.Pi, M.Sc.

This study aims to determine the perceptions of the management of


marine resources, the behavior in the utilization and protection of marine
resources, as well as the level of participation of fishing communities within the
framework of sustainable development of the coastal environment in
Bontomarannu Village, District of South Galesong, Takalar.
The approach used in this study is a qualitative approach to the study
subjects were fishing community in Bontomarannu Village, District of South
Galesong, Takalar. Informants were selected that have relevance to the research
that is needed village heads, teachers, and society as a respondent. Data
collection techniques using observation, interviews, documentation and data
related agencies. Data was analyzed by qualitative descriptive supported by
primary and secondary data.
The study states that the public perception of fishermen about marine
resource management have a sea view open access the fish will never run out,
and sustenance of man in the hands of God. As for the behavior of the fishing
community in utilizing and protecting marine resources they use environmentally
friendly fishing gear, this means a positive value because there is no use of
destructive fishing And the level of participation of fishermen remains low due to
low education levels and lack of attention of government providing public
information and dissemination to the public.

Keywords: Perception, Behavior, and Community participation Fishermen.


Management, use and protection of Marine Resources.
ix 
 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bambalamotu pada

tanggal 08 Juli 1996 dari ayah Kaharuddin Kharun

Marratani dan ibu Sarmiati Astati A.T. Penulis

merupakan anak kelima dari enam bersaudara.

Pendidikan formal yang dilalui adalah SDN 003

Bambalamotu, SMPN 2 Pasangkayu, SMA 2

Pasangkayu. Pada tahun 2013 penulis diterima masuk

di Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (SBMPTN), dan diterima di Program Studi Sosial Ekonomi

Perikanan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.

Selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Universitas Hasanuddin,

penulis aktif berkecimpung di organisasi luar kampus, yaitu HIPMA MATRA

MAKASSAR (Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Mamuju Utara Makassar)

sebagai sekretaris bidang keperempuanan periode 2015-2017, bendahara

Asrama Putri HIPMA MATRA MAKASSAR periode 2014-2015, pembina/stearing

Asrama Putri HIPMA MATRA MAKASSAR periode 2016-2017. Penulis

melakukan penelitian dengan judul “Kajian Perilaku Masyarakat Nelayan

Dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut (Studi Kasus Di Desa Bontomarannu,

Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar)”.



 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
RIWAYAT HIDUP............................................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN

A. LatarBelakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Persepsi ................................................................................................. 6
B. Perilaku .................................................................................................. 7
C. Masyarakat Nelayan ............................................................................. 8
D. Pengelolaan Sumberdaya Laut ........................................................... 14
E. Partisipasi.............................................................................................. 17
F. Kerangka Pikir....................................................................................... 21

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 23


B. Jenis Penelitian..................................................................................... 23
C. Populasi dan Pengambilan Sampel .................................................... 23
D. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 24
E. Instrumen Pengumpulan data ............................................................. 24
F. Metode Analisis Data............................................................................ 25
G. Definisi Operasional ............................................................................. 26
xi 
 

BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis..................................................................................... 26
B. Kondisi Demografi ................................................................................ 29
C. Keadaan Sosial Ekonomi ..................................................................... 31
D. Sarana Dan Prasarana.......................................................................... 33

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Laut ........ 34


1. Persepsi Masyarakat Tentang Potensi Sumberdaya Laut .......... 35
2. Persepsi Masyarakat Tentang Penggunaan Alat Tangkap ......... 41
3. Persepsi Masyarakat Tentang Daerah Penangkapan .................. 45
B. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut .................. 48
1. Penggunaan Alat Tangkap ............................................................. 48
2. Daerah Penangkapan ..................................................................... 52
C. Tingkat Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Kerangka
Pembangunan Lingkungan Pesisir Yang Berkelanjutan .................. 54

BAB VI. PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................... 59
B. saran ...................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
xii 
 

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Jumlah Penduduk Desa Bontomarannu berdasarkan Jenis Kelamin ..... 29

2. Pembagian Jumlah Penduduk berdasarkan Dusun

Di Desa Bontomarannu ........................................................................... 30

3. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Bontomarannu ........................ 31

4. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bontomarannu ............................... 32

5. Sarana dan Prasarana di Desa Bontomarannu ....................................... 33

6. Persentase Persepsi RespondenTentang Potensi

Sumberdaya Laut ...................................................................................... 38

7. Persentase Persepsi Responden Tentang Penggunaan

Alat Tangkap ............................................................................................ 42

8. Persentase Persepsi Responden Tentang Larangan

Penggunaan Bahan Peledak (Bom) ......................................................... 44

9. Persentase Persepsi Masyarakat Tentang Daerah

Penangkapan ........................................................................................... 46

10. Alat Tangkap Nelayan............................................................................. 49

11. Hasil Tangkapan ..................................................................................... 51

12. Daerah Penangkapan ............................................................................ 52

13. Tingkat Partisipasi Masyarakat Nelayan Secara

Keseluruhan ............................................................................................ 54

14. Tingkat Partisipasi Masyarakat Nelayan.................................................... 55


xiii 
 

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Peta Desa Bontomarannu .............................................................................. 28

2. Foto wawancara dengan beberapa responden nelayan

Bontomarannu di sekitar armada kapal penangkapan

(perahu fiber). ................................................................................................ 64

3. Foto dengan salah satu responden nelayan Bontomarannu

di kediamannya .............................................................................................. 64

4. Alat tangkap nelayan pancing rewo (rawai) ................................................... 65

5. Alat tangkap nelayan pancing biasa .............................................................. 65


xiv 
 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian .................................................................. 64

Lampiran 2. Identitas Responden........................................................................66

Lampiran 3. Olah Data KuisionerPersepsi ......................................................... 67

Lampiran 4. Olah Data KuisionerPartisipasi ....................................................... 68

Lampiran 5. Kuisioner ........................................................................................ 69



 

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah suatu negara kepulauan dan bahkan menjadi salah satu

negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki sekitar 17.508 pulau yang

membentang sepanjang 5.120 km dari timur kebarat sepanjang khatulistiwa. Dan

1.760 km dari utara selatan. Luas daratan negara indonesia mencapai 1,9 juta

km2 dan luas perairan laut tercatat sekitar 7,9 juta km2. Dengan panjang garis

pantai sekitar 81.000 km, indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir

dan laut yang sangat besar. Selain itu indonesia memiliki perairan teritorial

dengan luar sekitar 3,1 juta km2 dan memiliki hak pengelolaan dan pemanfaat

ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang luasnya sekitar 2,7 juta km2. Dengan

demikian, indonesia dapat memanfaatkan sumber daya alam hayati dan non

hayati diperairan yang luas sekitar 5,8 juta km2. Ekosistem pesisir dan laut

menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan,

tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi

ataupun parawisata. Karena itu wilayah pesisir dan laut merupakan tumpunan

harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dimasa akan datang

(Bengen, 2004 dan Supriharyono, 2009).

Menengok potensi yang cukup besar ini, maka tidaklah berlebihan jika

sektor perikanan dan kelautan ditempatkan sebagai leading sektor

Pembangunan Nasional Indonesia dengan upaya pemanfaatan yang optimal dan

lestari. Dengan potensi yang cukup melimpah, berarti masih terbuka lebar bagi

usaha pengembangan dan optimalisasi potensi sumberdaya perikanan dan

kelautan kedepannya. Menurut Dahuri, dkk (2004), potensi sumberdaya

perikanan diperkirakan sebanyak 6,26 juta ton per tahun yang dapat dikelola

secara lestari, dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton dapat ditangkap diperairan

 

teritorial dan 1,86 juta ton dapat diperoleh dari perairan Zona Ekonomi Eksklusif

(ZEE). Potensi sumberdaya perikanan tersebut terdiri dari potensi ikan pelagis

besar 975,05 ribu ton, ikan pelagis kecil 3,23 juta ton, ikan domersal 1,78 juta

ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton, lobster 4,80 ribu

ton, 28,25 ribu ton. Ditambahkan oleh Supriharyono (2009), bahwa hingga tahun

2001, pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang disebutkan diatas baru dapat

dimanfaatkan sebesar 76 persen dengan tingkat produksi sebesar 4,76 juta

ton/tahun.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak dapat

dipisahkan dengan keberadaan masyarakat pesisir. Tingginya tingkat

pemanfaatan sumberdaya ikan berkaitan dengan kondisi demografi Indonesia

yang diperkirakan sekitar 60 persen dari seluruh jumlah penduduknya bermukim

diwilayah pesisir dan dari 64.439 desa yang sekitar 9.261 desa dikategorikan

sebagai desa pesisir (Nikijuluw, 2002).

Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan tidak hanya

terbatas pada penangkapan atau pengambilan sumberdaya tersebut, tetapi

menyangkut pula perencanaan kegiatan pemanfaatan, penyediaan sarana dan

prasarana, pengembangan penyediaan pasca panen, pengelolaan, serta

pemasaran. Untuk memanfaatkan sumberdaya ikan, manusia membutuhkan

teknologi, keterampilan dan modal. Penggunaan teknologi dan keterampilan

yang tidak ramah lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akan

merusak habitat yang berdampak negatif pada kelestarian sumberdaya tersebut.

Olehnya itu, pengelolaan atau pengaturan kegiatan manusia yang berkaitan

dengan tingkah laku dalam pemanfaatan sumberdaya ikan menjadi sangat

penting dan patut diutamakan.

Sumberdaya laut sebagai wilayah yang strategis dan didukung oleh

potensi sumberdaya perikanan serta kemudahan aksebilitas, mengundang



 

masuknya informasi dan teknologi yang dibawa oleh nelayan dari luar yang

memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat setempat dan

sumberdaya perikanan. Dampak positifnya tidak akan menimbulkan masalah,

tetapi dampak negatif berupa persaingan yang tidak sehat antara nelayan yang

dari luar dengan nelayan setempat (tradisional) akibat kesenjangan dalam hal

teknologi penangkapan. Selain itu, masuknya informasi dan teknologi

penangkapan yang tidak ramah lingkungan dapat mengubah perilaku

masyarakat nelayan setempat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu

dari perilaku yang cenderung konservatif kearah perilaku yang cenderung

destruktif, misalnya pengunaan alat peledak (bom ikan) dalam penangkapan ikan

akan megakibatkan kerusakan terhadap habitat/lingkungan yang berimbas pada

kepunahan sumberdaya.

Perubahan perilaku tersebut dapat disebabkan karena ketidaktahuan,

desakan ekonomi, dapat juga karena ketidakmampuan pemerintah dalam

menatah/mengelola kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan masih

banyak lagi faktor yang perlu pengkajian lebih dalam. Faktor manusia merupakan

kunci sukses pengelolaaan sumberdaya perikanan.

Kabupaten Takalar sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi

Selatan sebagai mana yang disebutkan Dahuri, dkk (2004), adalah daerah

pesisir yang memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi. Oleh karena itu

sebagaimana dengan daerah pesisir yang padat lainnya. Kabupaten Takalar juga

mengalami degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh kondisi sosial ekonomi

masyarakatnya yang juga memperihatikan, yang hampir tidak dipahami dan

disadari bahwa entah mana yang lebih awal antara keterdesakan ekonomi yang

menyebabkan rusaknya lingkungan atau sebaliknya kerusakan lingkungan

menyebabkan keprihatinan ekonomi. Desa Bontomarannu sebagai salah satu

dari 7 (tujuh) desa yang secara administrasi berada dikecamatan Galesong



 

Selatan merupakan kecamatan yang ditetapkan oleh Kabupaten Takalar.

Pemerintah Kabupaten Takalar sendiri menetapkan desa Bontomarannu sebagai

percontohan sebagai pemukiman nelayan.

Desa Bontomarannu sebagai desa yang ditetapkan oleh Kabupaten

Takalar sebagai perkampungan nelayan, merupakan lokasi yang tepat untuk

meneliti pola perilaku mereka dalam mengelolah lingkungan lautnya. Oleh kerena

itu pengetahuan dan pemahaman atas pola perilaku masyarakat nelayan

tersebut menjadi penting untuk diketahui agar dapat dipikirkan suatu format

pengelolaan yang sinergis antara stakeholders, yaitu antara pemerintah dan

masyarakat yang terkait. Dari uraian diatas peneliti mengangkat judul tentang

“Kajian Perilaku Masyarakat Nelayan Dalam Keberlanjutan Pengelolaan

Sumberdaya Laut (Studi Kasus Di Desa Bontomarannu, Kecamatan

Galesong Selatan, Kabupaten Takalar)”.

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan masalah kondisi lingkungan sumberdaya laut yang

terdegradasi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir kabupaten

takalar yang terbelakang, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam

suatu pertanyaan sebgai berikut:

1. Bagaimana persepsi masyarakat nelayan tentang pengelolaan sumberdaya

laut di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan?

2. Bagaimana perilaku masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan

perlindungan sumberdaya laut di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong

Selatan, Kabupaten Takalar?

3. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat nelayan Desa Bontomarannu,

Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar dalam kerangka

pembangunan lingkungan pesisir yang berkelanjutan?



 

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat nelayan tentang pengelolaan

sumberdaya lautdi Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan.

2. Untuk mengetahui perilaku masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan

perlindungan sumberdaya laut, khusunya di Desa Bontomarannu, Kecamatan

Galesong Selatan, Kabupaten Takalar.

3. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat nelayan Desa

Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar dalam

kerangka pembangunan lingkungan pesisir yang berkelanjutan.

D. Kegunan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Sebagai bahan informasi dan kajian tentang perilaku masyarakat nelayan di

Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar yang

dijadikan acuan dalam pembuatan kebijakan dibidang pembangunan

lingkungan pesisir.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah provinsi Sulawesi Selatan

dalam mengambil kebijakan menyangkut pemberdayaan masyarakat pesisir,

khususnya di Kabupaten Takalar.

3. Bagi peneliti, dapat dijadikan pengalaman dalam berinteraksi dengan

masyarakat pesisir dan mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat pesisir.

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Persepsi

Menurut Saptorini (2003), persepsi adalah suatu proses mental yang

rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang

masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut.

persepsi dapat terbentuk setelah melalui berbagai kegiatan, yakni proses fisik

(penginderaan), fisiologis (pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui saraf

sensoris) dan psikologis (ingatan, perhatian, pemrosesan informasi di otak).

Beberapa hal yang mempengaruhi persepsi :

1. Pelaku persepsi, bila seorang individu memandang pada suatu target dan

mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi

oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap,

motif/kebutuhan individu, suasana hati, pengalaman masa lalu, prestasi

belajar sebelumnya dan pengharapan;

2. Target yang akan diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang

dipersepsikan;

3. Situasi, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi

persepsi (Robins, 2001).

Agar individu dapat melakukan persepsi ada beberapa syarat yang

harus dipenuhi, yaitu:

a. Adanya objek yang dipersepsikan, objek menimbulkan stimulus yang

mengenai alat indera atau reseptor Stimulasi dapat datang dari luar langsung

mengenai alat indera (reseptor) dapat datang dari dalam yang langsung

mengenai syaraf penerima (sensoris) yang bekerja sebagai reseptor.

b. Adanya alat indera atau reseptor yang cukup baik, yaitu alat untuk menerima

stimulus. Di samping itu harus ada pula syaraf sensoris sebagai alat untuk

 

meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf

sensorisyaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk

mengadakan respons diperlukan syaraf motoris.

c. Untuk menyadari atau untuk mengadakaan persepsi sesuatu diperlukan pula

adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan

dalam mengadakan persepsi. Tanpa perhatian tidak akan terjadi persepsi.

Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengadakan

persepsi ada ada syarat-syarat yang bersifat:

1. Fisik atau kealaman

2. Fisiologis

3. Psikologis.

B. Perilaku

Perilaku adalah hasil pengalaman, dan perilaku digerakkan atau

dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi

penderitaan”. Seorang ahli psikologi, merumuskan Bahwa perilaku merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh

karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme,

dan kemudian organisme tersebut merespon (Skiner, 2013).

Perilaku pada hakekatnya merupakan tanggapan atau balasan (respons)

terhadap rangsangan (stimulus), karena itu rangsangan mempengaruhi tingkah

laku. Intervensi organisme terhadap stimulus respon dapat berupa kognisi sosial,

persepsi, nilai, atau konsep. Perilaku adalah satu hasil dari peristiwa atau proses

belajar. Proses tersebut adalah proses alami. Sebab perilaku harus dicari pada

lingkungan eksternal manusia bukan dalam diri manusia itu sendiri.

Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku yaitu (1) pengetahuan (knowledge)

adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek

 

melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga). Dengan sendirinya,

pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. (2)

Predisposisi (predisposing factors)yaitu faktor yang mempermudah atau

mempredis posisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap,

keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi. (3) Pemungkin (enabling factors)

Yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan

antara lain umur, status social ekonomi, pendidikan, prasarana dan sarana serta

sumberdaya. (4) Pendorongataupenguat (reinforcing factors) yaitu faktor

yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku misalnya dengan

adanya contoh dari para tokoh masyarakat yang menjadipanutan.

C. Masyarakat Nelayan

Masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-

sama, yang kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul

bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi,

selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat.

Menurut Kusnadi (2009) bahwa masyarakat merupakan kelompok-

kelompok makhluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang

menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangan

yang tersendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi

manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk

dapat berbuat banyak dalam kehidupan.Supaya dapat menjelaskan pengertian

masyarakat secara umum, maka perlu ditelaah tentang ciri-ciri dari masyarakat

itu sendiri.

 

Menurut Kusnadi (2009), menyatakan bahwa sebagai suatu pergaulan

hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka masyarakat itu

mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:

1. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang

mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia

yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya ada dua

orang yang hidup bersama.

2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah

sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja

dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan

timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap,

merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginankeinginan untuk

menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat

hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-

peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.

3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.

4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama

menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa

dirinya terikat satu dengan yang lainnya.

Nelayan Menurut Imron dalam Mulyadi (2007:17), nelayan adalah Suatu

kelompok masyarakat yang kehidupanya tergantung langsung pada hasil laut,

baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Masyarakat

nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan

pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut yakni suatu

kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem,

masyarakat nelayan terdiri dari kategori-kategori sosial yang membentuk

kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol


10 
 

kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan

ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok sosial lainnya.

Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak

langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi

sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat

maritim Indonesia. Dalam konteks ini, masyarakat nelayan didefinisikan sebagai

kesatuan sosial kolektif masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata

pencahariannya menangkap ikan di laut, pola-pola perilakunya diikat oleh sistem

budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas kesatuan

sosial, struktur sosial yang mantap, dan masyarakat terbentuk karena sejarah

sosial yang sama. Sebagai sebuah komunitas sosial, masyarakat nelayan

memiliki sitem budaya yang tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang

hidup di daerah pegunungan, lembah atau dataran rendah, dan perkotaan.

Kebudayaan nelayan adalah sistem gagasan atau sistem kognitif

masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh

individu-individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk

melalui proses sosio-historis yang panjang dan kristalisasi dari interaksi yang

intensif antara masyarakat dan lingkungannya. Kondisi-kondisi lingkungan atau

struktur sumberdaya alam, mata pencaharian, dan sejarah sosial-etnis akan

mempengaruhi karakteristik kebudayaan masyarakat nelayan. Dalam perspektif

antropologis, eksitensi kebudayaan nelayan tersebut adalah sempurna dan

fungsional bagi kehidupan masyarakatnya (Kusnadi. 2009).

Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi

penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktunya digunakan untuk

melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman

air.
11 
 

b. Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktunya

digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air

lainnya/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan

dalam kategori ini bisa saja mempunyai pekerjaan lain.

c. Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya

digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan (Kementerian

Kelautan dan Perikanan, 2011)

Komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen.

Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang

mudah dijangkau secara transportasi darat. Sedangkan yang homogen terdapat

di desa-desa nelayan terpencil biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan

yang sederhana, sehingga produktivitas kecil. Sementara itu, kesulitan

transportasi angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya

harga hasil laut di daerah mereka. Dilihat dari teknologi peralatan tangkap yang

digunakan dapat dibedakan dalam dua katagori, yaitu nelayan modern dan

nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang

lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

Dari beberapa defenisi masyarakat nelayan dan defenisi yang telah

disebutkan diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa:

1. Masyarakat nelayan adalah kelompok manusia yang mempunyai mata

pencaharian menangkap ikan dilaut.

2. Masyarakat nelayan bukan hanya mereka yang mengatur kehidupannya

hanya bekerja dan mencari ikan di laut, melainkan mereka yang juga tinggal di

sekitar pantai walaupun mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam

dan berdagang.

Jadi pengertian nelayan secara luas adalah sekelompok manusia yang

mempunyai mata pencaharian pokok mencari ikan di laut dan hidup di daerah
12 
 

pantai, bukan mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, walaupun tidak

menutup kemungkinan mereka juga mencari ikan di laut karena mereka bukan

termasuk komunitas orang yang memiliki ikatan budaya masyarakat pantai.

Salah satu hal mendasar yang menyebabkan kemiskinan tersebut adalah

kurangnya pengetahuan dan lemahnya pendidikan, oleh karena itu factor penting

yang perlu ditingkatkan sebagai upaya untuk memperkecil angka kemiskinan

nelayan tersebut adalah dengan meningkatkan pendidikan nelayan.

Komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen.

Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang

mudah dijangkau secara transportasi darat. Sedangkan yang homogen terdapat

di desa-desa nelayan terpencil biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan

yang sederhana, sehingga produktivitas kecil.

Sementara itu, kesulitan transportasi angkutan hasil ke pasar juga akan

menjadi penyebab rendahnya harga hasil laut di daerah mereka. Dilihat dari

teknologi peralatan tangkap yang digunakan dapat dibedakan dalam dua

katagori, yaitu nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern

menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan

nelayan tradisional.

Ukuran modernitas bukan semata-mata karena penggunaan motor untuk

mengerakkan perahu, melainkan juga besar kecilnya motor yang digunakan serta

tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Perbedaan modernitas

teknologi alat tangkap juga akan berpengaruh pada kemampuan jelajah

operasional mereka. Keluarga nelayan biasanya merupakan keluarga batih,

artinya dalam satu keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak.

Dalam satu keluarga, tiap anggota memiliki peranan masing-masing

terutama dalam menjalankan perekonomian keluarga. Suami sebagai kepala

rumah tangga adalah penanggungjawab kebutuhan rumah tangga, dan sebagai


13 
 

pencari nafkah, yaitu mencari ikan di laut. Laut bagi nelayan merupakan ladang

hidup, dan kehidupannya tergantung dari sumber-sumber kelautan. Kegiatan

sehari-hari yang dilakukan adalah pergi ke laut untuk menangkap ikan, jadi

aktivitas nelayan (suami) sebagian besar dihabiskan di laut. Kegiatan yang

berkaitan dengan kenelayanan ini dilakukan oleh nelayan tidak hanya di laut,

tetapi juga dilakukan pada waktu di darat. Waktu senggang ketika tidak melaut,

mereka gunakan untuk memperbaiki perahudan peralatan tangkap (Mulyadi,

2007).

Dilihat dari aktivitas dalam rumah tangga nelayan secara tidak langsung

ada pembagian pekerjaan yang tegas antara suami dan istri. Suami kebanyakan

menghabiskan pekerjaannya di laut, sedangkan istri pada umumnya wilayah

pekerjaannya di rumah, menangani tugas-tugas rumah tangga, maupun yang

terkait dengan perikanan.

Dalam kegiatan rumah tangga nelayan tidak hanya suami dan istri saja

yang bekerja, tetapi anak-anakpun ikut membantu terutama yang berkaitan

dengan kenelayanan. Sebagian anak laki-laki ikut membantu orang tuanya

mencari ikan di laut, memperbaiki jaring, kadang-kadang ada juga yang ikut

membantu mengemudikan perahu, sedangkan anak perempuan, selain

membantu ibunya membantu pekerjaan rumah, juga membantu kegiatan

memindang.

Peran anak laki-laki dan perempuan sama, tetapi memang ada nilai-nilai

yang lebih mengharapkan anak laki-laki akan menjadi penerus atau pengganti

ayahnya mencari ikan di laut. Hal tersebut mengakibatkan anak-anak keluarga

nelayan banyak yang putus sekolah. Begitu juga yang terjadi pada keluarga

nelayan di Kabupaten Pemalang, banyak anak setelah lulus SD ,SMP atau SMA

ikut ayahnya ikut mencari ikan di laut lepas terutama pada anak laki-laki. Banyak

faktor yang menyebabkan anak-anak tersebut tidak melanjutkan sekolah, antara


14 
 

lain yaitu kurang perhatiannya orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya dan

karena masalah ekonomi yang kurang, kesulitan-kesulitan ekonomi tidak

memberikan kesempatan bagi rumah tangga nelayan meningkatkan kualitas

pendidikan anak-anak mereka. Di samping itu, kemudahan akses untuk bekerja

di sektor perikanan tangkap, tuntutan ekonomi keluarga dan kesulitan dalam

mencari peluang kerja lainnya sebagai akibat kegagalan pembangunan

pedesaan, telah memperkuat barisan nelayan dengan tingkat kualitas sumber

daya yang rendah. Dalam benak pikiran mereka, yang terpenting adalah bisa

bekerja (menangkap ikan), dapat penghasilan dan bisa makan setiap hari

(Kusnadi, 2009).

Sebagian besar nelayan dikategorikan sebagai nelayan penuh, karena

seluruh waktu mereka digunakan untuk bekerja sebagai nelayan, sebagian besar

dari mereka tidak mempunyai pekerjaan lain, sehingga ketika cuaca buruk tiba

mereka hanya berdiam diri dirumah dan tidak mempunyai pekerjaan lain karena

keterbatasan keterampilan dan rendahnya pendidikan formal yang dimiliki

nelayan di Bontomarannu ini, nelayan disini juga dikategorikan sebagai nelayan

tradisional (kecil), meskipun rata-rata kapal mereka sudah menggunakan motor

sebagai penggeraknya, tetapi ukuran dan kapasitas dari kapal mereka masih

tergolong kecil, sehingga hal ini berpengaruh pada lamanya waktu dan

banyaknya hasil tangkapan mereka saat melaut, karena teknologi yang mereka

gunakan tergolong sederhana, ketika musim hujan atau ketika cuaca buruk tiba

sebagian besar dari mereka tidak bisa pergi melaut untuk mencari ikan.

D. Pengelolaan Sumberdaya Laut

Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan merupakan proses yang dinamis

yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan

tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya


15 
 

pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah

perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara

yang dapat diterima secara politis. Kunci penting dalam pengelolaan wilayah

pesisir dan lautan adalah keterpaduan, keberlanjutan dan partisipasi seluruh

pemangku kepentingan (stakeholder).

Keterpaduan mensyaratkan adanya koordinasi lintas sektoral dalam

perencanaan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah

pesisir dan lautan yang berkelanjutan memiliki dimensi ekonomis, ekologis dan

sosial politik. Dimensi ekonomi tidak hanya berorientasi pada kegiatan sektor

pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi, tetapi juga dengan tingkat

pemanfaatan sumberdaya yang rasional dan efisien. Dimensi ekologis

mengandung arti, bahwa kegiatan pembangunan harus dapat mempertahankan

integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi

sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga

diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara dimensi

sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya

dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi

sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas

sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Sebagian besar kekayaan sumberdaya hayati kita dikandung dalam

lautan dan wilayah sekitarnya (pesisir) yang luasnya lebih dari 2/3 wilayah

nusantara. Sistem pengelolaan yang efektif dapat menjamin bukan hanya agar

sumberdaya hayati laut dan pesisir tersebut bertahan hidup melainkan semakin

meningkat meskipun terus dieksploitasi sehingga menjadi modal dasar

pembangunan secara berkelanjutan.

Akan tetapi faktanya di lapangan eksploitasi sumberdaya hayati laut dan

pesisir tersebut cenderung merusak sehingga mengancam keberadaannya


16 
 

beserta lingkungannya. Pengalaman memperlihatkan bahwa system

pengelolaan yang salah menjadi faktor utama yang mengancam kelestarian

sumberdaya hayati laut dan pesisir yaitu (1) pemanfaatan yang berlebihan (over

exploitation), (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang

merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat/ekosistem, (4)

pencemaran, dan (5) konversi kawasan lindung, hulu dan hilir menjadi

peruntukan pembangunan lainnya (Ghofar, 2004)

Desakan ekonomi menjadi amat dominan mempengaruhi perilaku

masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hayati laut dan pesisir. Mereka

membutuhkan sumberdaya tersebut untuk mencukupi kebutuhan hidup yang

jumlahnya semakin hari terus bertambah. Sehingga ada kesenjangan antara

desakan ekonomi dengan kemampuan masyarakat untuk melestarikan

sumberdaya hayati laut dan pesisir. Apabila masalah kesenjangan ini tidak

diatasi maka kehancuran ekosistem sumberdaya laut dan pesisir akan terus

terjadi yang intensitasnya semakin besar.

Upaya melestarikan sumberdaya dan lingkungan dengan cara membatasi

kegiatan ekonomi masyarakat memanfaatkan sumberdaya laut dan pesisir atau

bahkan mematikannya akan sia-sia. Sudah banyak contoh kebijakan atau

campur tangan pemerintah yang tidak memperhatikan kepentingan dan

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir justru

tidak efektif dan mengakibatkan kemubaziran yang mudah dimanfaatkan oleh

beragam kepentingan elit yang merugikan dan mencederai rasa keadilan.

Pendekatan yang dapat diakukan dalam melestarikan sumberdaya laut

dan pesisir beserta lingkungannya adalah dengan membangkitkan kesadaran

masyarakat (public awarness) disamping melakukan proses-proses partisipasi

dan kolaborasi/kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir yang

tentunya untuk meningkatkan kesejahteraan. Memang kesadaran masyarakat


17 
 

tidak muncul dalam waktu sesaat tetapi melalui proses edukasi yang berjalan

terus menerus dan memperhatikan kondisi sosial budaya, pendidikan dan

ekonomi masyarakat. Dengan kesadaran masyarakat tersebut harapannya akan

terjadi keseimbangan antara upaya memanfaatkan dan melestarikan

sumberdaya laut dan pesisir beserta lingkunganya di kemudian hari.

Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.

E. Partisipasi

Menurut Rahardjo (2002) partisipasi diartikan sebagai upaya peran serta

masyarakat dalam suatu kegiatan baik dalam bentuk pernyataan maupun

kegiatan. Lebih lanjut dijelaskan partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat

dalam program-program pembangunan. Pada dasarnya partisipasi dibedakan

menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat

simobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertakan dan

peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara

partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertakan dan berperanserta

atas dasar pengaruh orang lain. Nelviyonna (2005) menyebutkan bahwa

partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan melipti partisipasi dalam: (1)

memanfaatkan lingkungan, (2) mencegah kerusakan lingkungan (3)

menanggulangi kerusakan lingkungan. Tingkat partisipasi masyarakat

dipengaruhi oeh karakteristik masyarakat seperti tingkat pemahaman

dan tingkat pendapatan masyarakat. Harun (1995) juga menyatakan bahwa

partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh (1) faktor pendidikan, (2) tingkat

pengetahuan,(3) tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungannya, (4)

pengembangan organisasi sosial di masyarakat. 

Menurut Tjokroamidjoyo,1990 dalam Mardijono (2008), ada tiga faktor

yang mempengaruhi peran serta atau partisipasi yaitu :


18 
 

a. Kepemimpinan. Faktor pertama proses pengendalian usaha dalam

pembangunan ditentukan sekali oleh kepemimpinan.

b. Pendidikan. Tingkat pendidikan yang memadai akan memberikan kesadaran

yang lebih tinggi dalam berwarga negara dan memudahkan bagi

pengembangan identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang

bersifat nasioanal.

c. Komunikasi Gagasan - gagasan, kebijaksanaan dan rencana - rencana akan

memperoleh dukungan bila hal tersebut diketahui dan dimengerti oleh

masyarakat.

Partisipasi yang baik adalah yang mendukung suksesnya suatu program.

Beberapa sifat dari partisipasi antara lain : positif, kreatif, kritis, korektif konstruktif

dan realistis. Partisipasi dikatakan positif, bila partisipasi tersebut mendukung

kelancaran usaha bersama dalam mencapai tujuan. Partisipasi kreatif, berarti

keterlibatan yang berdaya cipta, tidak hanya melaksanakan instruksi atasan

melainkan memikirkan sesuatu yang baru baik gagasan, metode maupun cara

baru yang lebih efektif dan efisien. Partisipasi dapat dikatakan kritis, korektif-

konstruktif bila keterlibatan dilakukan dengan mengkaji suatu jenis atau bentuk

kegiatan, menunjukkan kekurangan bila ada dan memberikan alternatif yang

lebih baik. Partisipasi yang realistis mempunyai arti bahwa keikutsertaan

seseorang dengan memperhitungkan realitas atau kenyataan, baik kenyataan

dalam masyarakat maupun realitas mengenai kemampuannya, waktunya yang

tersedia dan adanya kesempatan ketrampilan (Gultom, 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat menurut

Sastropoetro, 1986 dalam Mardijono (2008), adalah keadaan sosial masyarakat,

kegiatan program pembangunan dan keadaan alam sekitarnya. Keadaan sosial

masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial

dalam sistem sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang


19 
 

direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi

masyarakat dan tindakan kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan

faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat

tinggal masyarakat setempat. Tokoh masyarakat, pemimpin adat, tokoh agama

adalah merupakan komponen yang juga berpengaruh dalam menggerakkan

masyarakat yang berperan serta dalam suatu kegiatan.

Menurut Hardjasoemantri,1993 dalam Mardijono (2008) bahwa selain

memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan peran

serta masyarakat juga akan meningkatkan kemungkinan kesediaan masyarakat

untuk menerima keputusan serta membantu perlindungan hukum. Bila suatu

keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang

diajukan, maka akan memperkecil kemungkinan pengajuan perkara ke

pengadilan karena masih ada alternatif pemecahan yang dapat diambil sebelum

sampai pada keputusan akhir. Terhadap hal diatas, Hardjasoemantri (1993)

melihat perlu dipenuhinya syarat-syarat berikut agar peran serta masyarakat

menjadi efektif dan berdaya guna

(1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan

mengumumkan rencana kegiatannya.

(2) Informasi lintas batas (transfortier information) ; mengingat masalah

lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada

kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi

daerah lain sehingga pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan

daerah-daerah terkait menjadi penting;

(3) Informasi tepat waktu (timely information) suatu proses peran masyarakat

yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin sebelum

keputusan terakhir diambil. sehingga masih ada kesempatan untuk

mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan;


20 
 

(4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comphrehensif information) walau

isi dari suatu informasi akan berbeda tergantung keperluan bentuk kegiatan

yang direncanakan tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan

rencana kegiatan secara rinci termasuk alternati-alternatif lain yang dapat

diambil;

(5) Informasi yang dapat dipahami; seringkali pengambilan keputusan di bidang

lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah,

sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh

masyarakat awam.

Beberapa indikator kualitatif yang menandai bahwa suatu masyarakat

nelayan memiliki kebudayaan sebagai berikut (Kusnadi, 2009) :

- Tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi; individu, rumah tangga dan

masyarakat.

- Kelembagaan ekonomi berfungsi optimal dan aktivitas ekonomi stabil

kontinuitas

- Kelembagaan sosial berfungsi dengan baik sebagai instrumen pembangunan

lokal.

- Berkembangnya kemampuan akses masyarakat terhadap sumber daya

ekonomi, informasi, kapital pasar dan teknologi.

- Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan

pembangunan di kawasan pesisir.

- Kawasan ekonomi menjadi pusat-pusat pembangunan ekonomi wilayah dan

ekonomi nasional yang dinamis serta memiliki daya tarik investasi.

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan mensyaratkan adanya

partisipasi yang luas dari masyarakat. Konsep partisipasi dapat diaplikasikan

melalui model pengelolaan wilayah berbasis masyarakat. Model pengelolaan

wilayah pesisir dan lautan berbasis masyarakat merupakan pola pengelolaan


21 
 

sumber daya alam yang melibatkan masyarakat lokal secara aktif. Landasan

idiologis dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan tertuang

dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal tersebut

mengamanatkan agar pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya alam

khususnya sumber daya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya

manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga

harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki

kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai.

F. Kerangka Pikir

Perilaku pada dasarnya merupakan pengejewantahan dari pola pikir dan

budaya suatu masyarakat dalam memberikan respon terhadap lingkungannya.

Pada masyarakat nelayan, perilaku kesehariaannya antara lain dapat tercermin

dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut.

Perilaku dalam pembangunan lingkungan pesisir lahir dari pola pikir yang

di pengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya informasi dan teknologi

penangkapan. Masuknya informasi dan teknologi penangkapan yan tidak ramah

lingkungan dapat mengubah perilaku masyarakat nelyan setempat dalam

pemanfaatan sumberdaya perikanan, misalnya penggunan alat peledak (bom

ikan) dalam penagkapan ikan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang

berimbas pada kepunahan sumberdaya.

Dengaan mengetahui pola perilaku masyarakat nelayan dalam berbagai

hal, sebagai mana di sebutkan diatas, maka dapat dilahirkan suatu formula untuk

pembuatan kebijakan dalam hal pembangunaan wilayah pesisir yang

berkelanjutan serta untuk memberdayakan masyarakat nelayan itu sendiri.


22 
 

Adapun skema kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada

skema berikut ::

Keberlanjutan Pengelolaan
sumberdaya laut

Nelayan Tangkap

Persepsi Masyarakat Perilaku Masyarakat Tingkat Partisipasi


Nelayan tentang Nelayan dalam Masyarakat Nelayan
Pengelolaan Sumberdaya Pemanfaatan dan dalam Kerangka
Laut Perlindungan Pembangunan
Sumberdaya Laut Lingkungan pesisir

1. Potensi sumberdaya
laut 1. Penggunaan alat
2. Penggunaan alat tangkap
tangkap 2. Daerah penangkapan
3. Daerah penangkapan

Lingkungan pesisir
yang lestari

Skema 1. Kerangka pikir penelitian : perilaku masyarakat nelayan dalaam


keberlanjutan pengelolaan lingkungan pesisir.
23 
 

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2017 di Desa

Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar. Dipilihnya

Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar sebagai

obyek kasus dalam penelitian ini, oleh karena :

1. Desa Bontomarannu merupakan salah satu desa wilayah pesisirnya cukup

luas di Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar.

2. Penduduk yang bermukim disekitar pantai relatif cukup besar.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan menggunakan

pendekatan studi kasus. Seperti yang di ungkapkan oleh Moleong (2013)bahwa

pendekatan studi kasus bertujuan untuk menggambarkan secara tepat kondisi

tempat dan objek penelitian yang sesuai tujuan penelitian yang ada. Dimana

diharapkan dari penelitian ini akan dideskripsikan secara mendalam tentang

perilaku masyarakat pesisir dalam pengelolaan lingkungan pesisir.

C. Populasi dan Pengambilan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga masyarakat pesisir

yang ada diperkampungan nelayan Bontomarannu, Kecamatan Galesong

Selatan, Kabupaten Takalar. Jumlah penduduk yang ada adalah sekitar 2.148

jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 482 KK. Sedangkan jumlah

penduduk yang berprofesi sebagai nelayan sebanyak 141 KK.


24 
 

2. Sampel Penelitian

Penarikan sampel dilakukan dengan cara metode pupossive (sengaja) di

mana setiap warga yang bermukim di desa bontomarannu memiliki kesempatan

yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Menurut pendapat sugiyono (2006)

bahwa jika populasi telah mencapai 100 unit sampel maka sampel yang diambil

minimal 15% dari populasi, apabila jumlah populasi kurang dari 100 maka

digunakan metode sensus. Jumlah sampel yang diambil sebesar 32 kepala

keluarga. Untuk menggali informasi lebih dalam, dipilih secara purpossive 2

informan kunci.

D. Jenis dan Sumber data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis data, yaitu data primer dan data

skunder. Data primer (data utama) adalah data yang diperoleh secara langsung

dari responden melalui wawancara dan data observasi dilapangan seperti kata-

kata dan tindakan melalui catatan tertulis, pengambilan foto. Data responden

yang diambil, dengan pertimbangan adalah bermata pencaharian sebagai

nelayan, aktivitas usaha di pesisir dan laut, tokoh masyarakat, adat dan agama

serta aparat pemerintah. Sedangkan data skunder adalah data yang diperoleh

dari instansi pemerintah, literatur dan hasil penelitian yang sudah ada dan

instansi yang terkait dengan penelitian. Data skunder ini merupakan sumber

tertulis yang berupa sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip,

dokumen pribadi, dan dokumen resmi (Moleong, 2013).

E. Instrumen Pengumpulan data

Adapun cara dan instrumen yang akan digunakan dalam mengumpulkan

data penelitian ini adalah :


25 
 

1. Observasi yaitu terlibat dan mengamati langsung perilaku atau aktivitas

keseharian masyarakat pesisir Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong

Selatan, Kabupaten Takalar.

2. Wawancara yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui tanya jawab

dengan pihak yang terkait, yaitu nelayan Desa Bontomarannu, Kecamatan

Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan

aparat pemerintah melalui quisioner.

3. Dokumentasi yaitu pencacatan lapangan dan pengambilan gambar yang

berkaitan dengan kehidupan nelayan di Desa Bontomarannu, Kecamatan

Galesong Selatan, Kabupaten Takalar.

4. Data-data instansi terkait sebagai data pendukung penelitian.

F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah dengan

menggunakan pendekatan studi kasus yang menghasilkan data deskriptif, baik

berupa data verbal maupun non verbal maupun perilaku yang dapat di amati di

lapangan.

Untuk menunjukan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat terhadap

pelestarian sumberdaya laut digunakan ukuran yang berpedoman pada kriteria

persentase skala likert. Menurut Amirin (2011) skala likert digunakan untuk

mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok orang tntang

fenomena sosial. Dengan skalalikert, variabel yang akan diukur dijabarkan

menjadi indikator variabel. Dalam penggunaan skala likert, terdapat dua bentuk

pertanyaan positif untuk mengukur skala positif, dan bentuk pertanyaan negatif

untuk mengukur skala negatif. Pertanyaan positif diberi skor 5,4,3,2,dan 1.

Sedangkan bentuk pertanyaan negatif diberi skor 1,2,3,4 dan 5. Bentuk jawaban
26 
 

skala likert antara lain : sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan tidak

tahu.

Rumus untuk menentukan total responden yang memilih :

T x Pn

Di mana :

T = total jumlah responden yang memilih

Pn = pilihan angka skor likert

Rumus untuk menentukan interprestasi jumlah responden :

Y = skor tertinggi x jumlah responden

X = skor terendah x jumlah responden

Rumus untuk menentukan index persentase tingkat partisipasi :

Index % = Total skor / Y x 100

Pedoman kriteria persentase dengan skala likert adalah sebagai berikut:

- Terlihat 0% - 19,99% : berpartisipasi rendah

- Terlihat 20% - 39,99% : berpartisipasi sedang

- Terlihat 40% - 59,99% : berpartisipasi netral/cukup

- Terlihat 60% - 79,99% : berpartisipasi tinggi

- Terlihat 80% - 100% : berpartisipasi sangat tinggi

G. Definisi Operasional

Untuk mengarahkan peneliti dalam melakukan penelitian dan untuk

menyamakan persepsi penelitian, maka ditetapkan definisi operasional sebagai

berikut:

1. Kajian adalah sebuah metode atau cara dalam memperoleh informasi yang

lebih mendalam terhadap sesuatu masalah yang diangkat dengan melahirkan

rekomendasi-rekomendasi sebagai pijakan untuk mengambil kebijakan.


27 
 

2. Persepsi adalah pandangan, pendapat atau harapan nelayan di desa

Bontomarannu mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut.

3. Perilaku adalah tatacara atau tata kelakuan yang diterapkan oleh masyarakat

di desa Bontomarannu, yang meliputi perilaku dalam pengelolaan kawasan

pantai, perilaku dalam menggunakan alat tangkap dan sarana produksi, dan

pemanfaatan sumberdaya laut.

4. Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang tinggal dan menetap di lokasi

penelitian, dan berprofesi sebagai nelayan, dimana dia menggantungkan

hidupnya pada sumberdaya laut.

5. Sumberdaya laut adalah keseluruhan sumberdaya laut yang terdiri dari

beragam biota laut yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan di desa

Bontomarannu.

6. Penegelolaan sumberdaya laut adalah kegiatan pengelolaan yang dilakukan

oleh nelayan di desa Bontomarannu dalam rangka memanfaatkan

sumberdaya laut sebagai sumber kehidupannya dengan mempertimbangkan

keberlanjutan sumberdaya laut untuk generasi yang akan datang.

Pengelolaan sumberdaya laut yang dimaksud adalah tentang penggunaan

alat tangkap, penggunaan armada kapal dan lokasi penangkapan yang sering

di datangi oleh nelayan desa Bontomarannu.

7. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pemanfaatan, pengembangan,

pemeliharaan dan pelestarian lingkungan pesisir dalam rangka

mempertahankan kemantapan ekosistem, terpenuhinya kebutuhan

masyarakat nelayan dengan tetap memperhatikan kebutuhan generasi

mendatang.

8. Partisipasi nelayan adalah keterlibatan nelayan di desa Bontomarannu dalam

usaha mengelola sumberdaya laut, baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam menunjang pelestarian sumberdaya laut yang berkelanjutan.


28 
 

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis

Desa Bontomarannu dengan Ibukota Dusun Balang merupakan satu

entitas dari sebuah kesatuan utuh wilayah pemerintahan desa. Secara

administratif, Desa Bontomarannu yang terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu Dusun

Barua, Dusun Mandi, Dusun Balang, Dusun Talisea. Selain itu Desa

Bontomarannu memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Gambar 1. Peta Desa Bontomarannu

 Sebelah Utara berbatas dengan Desa Popo

 Sebelah Timur berbatas dengan Desa Barammamase

 Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Kalukubodo

 Sebelah Barat berbatas dengan Selat Makassar

Gallarrang Popo, Gallarrang Barammamase, Daengta Kalukubodo, dan

Daengta Mangendara merupakan 4 (empat) daerah yang digabungkan menjadi

satu daerah dan diberinama Bontomarannu dan berada pada naungan

pemerintahan distrik Galesong. Kepela Pemerintahan saat itu, dengan wilayah


29 
 

kerja meliputi 4 (empat) wilayah penggabungan dan wilayah kerja masing-masing

4 (empat) wilayah tersebut di kepalai oleh Kepala Kampung. Bontomarannu

terbentuk pada Tahun 1951 atau 5 (lima) tahun sesudah masa kemerdekaan

Republik Indonesia. Pada saat Pembentukan Desa Bontomarannu sudah ada

istilah Desa dan dipimpin oleh Kepala Desa sampai sekarang. Desa

Bontomarannu dalam perjalannya mengalami perubahan wilayah kerja dimana

Bontomarannu dimekarkan menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Bontomarannu dan

Desa Barammamase, kemudian Pemekaran Barammammase di mekarkan lagi

Menjadi 2 (dua) yaitu Desa Barammamase dan Desa Popo, dan pada saat itu

Desa induk yaitu Bontomarannu dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu

Desa Bontomarannu dan Desa Mangindara, dan kemudian Kembali

Bontomarannu dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu Desa Bontomarnnu

dan Desa Kalukubodo.

B. Kondisi Demografi

Penduduk Desa Bontomarannu berdasarkan data Kesehatan tahun 2017

berjumlah 2.164 jiwa tersebar di 4 (empat) dusun, dengan jumlah penduduk

terbesar berada pada Dusun Mandi dan jumlah penduduk terkecil berada pada

Dusun Talisea. Dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih

besar dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Bontomarannu berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)

1. Laki-laki 1.104 51
2. Perempuan 1.060 49
Jumlah 2.164 100
Sumber : Data Sekunder, 2017
30 
 

Berdasarkan tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa rasio jumlah penduduk

yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk yang

berjenis kelamin perempuan perdusun dengan perbandingan 1.104 jiwa yang

berjenis kelamin laki-laki dan 1.060 jiwa yang berjenis kelamin

perempuan.Dengan jumlah persentase untuk berjenis kelamin laki-laki sebesar

51 % sedangkan untuk berjenis kelamin perempuan sebesar 49 %.

Tabel 2. Pembagian Jumlah Penduduk berdasarkan Dusun Di Desa


Bontomarannu

Jumlah
No. Nama Dusun Persentase (%)
Kepala Keluarga
1. Dusun Mandi 152 kk 32
2. Dusun Barua 142 kk 29
3. Dusun Balang 121 kk 25
4. Dusun Talisea 67 kk 14
Jumlah 482 kk 100
Sumber : Data Sekunder, 2017

Dengan keseluruhan jumlah kepala keluarga sebanyak 482 kk. Desa

Bontomarannu terbagi atas 4 (empat) dusun, dengan jumlah kepala keluarga di

Dusun Mandi sebanyak 152 kk, Dusun Barua sebanyak 142 kk, Dusun Balang

sebanyak 121 kk, dan Dusun Talisea sebanyak 67 kk. Dengan jumlah

persentase masing-masing dusun, Dusun Mandi dengan jumlah persentase 32

%, Dusun Barua sebesar 29 %, Dusun Balang sebesar 25 %, dan terakhir Dusun

Talisea sebesar 14 %. Dan berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa

Dusun Mandi memiliki persentase tinggi yaitu sebesar 32 % karena jumlah

penduduk yang lebih banyak dibandingkan dusun lain. Sedangkan untuk jumlah

persentase terendah pada Dusun Talisea sebesar 14 % karena jumlah penduduk

paling sedikit di Dusun Talisea.


31 
 

Penduduk Desa Bontomarannu dilihat dari 4 (empat) Tahun terakhir

2013-2017 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Akibat bertambahnya

jumlah penduduk setiap tahun ,tingkat kepadatan penduduk di Desa

Bontomarannu juga mengalami peningkatan.

C. Keadaan Sosial Ekonomi

Penduduk Desa Bontomarannu sesuai data penduduk pada tahun 2017

sebanyak 482 jiwa yang tercatat sebagai kepala keluarga.Data demografi

penduduk di desa ini juga memperlihatkan bahwa sebagian besar dari penduduk

kehidupannya sangat tergantung dari sektor perikanan, dengan berprofesi

sebagai nelayan.Disamping itu mata pencaharian sebagai petani menempati

posisi kedua, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Bontomarannu

Jumlah Persentase
No. Mata Pencaharian
Kepala Keluarga (%)
1. Nelayan 141 29
2. Petani 43 9
3. Wiraswasta 22 5
4. Pelajar/Mahasiswa 5 1
5. PNS 11 2
6. Polisi/Tentara 4 1
7. Pelaut 3 1
8. Pedagang 5 1
9. Guru 3 1
10. Belum/Tidak Bekerja 151 31
11. Mengurus Rumah Tangga 89 18
12. Dan lain-lain 5 1
Jumlah 482 100
Sumber :Data Sekunder, 2017
32 
 

Dapat dilihat dari tabel 3 diatas, bahwa profesi yang ditekuni sebagian

besar penduduk Desa Bontomarannu adalah nelayan sebesar 29% yang

disebabkan wilayah Desa Bontomarannu berada pada kawasan pesisir atau

pantai yang memudahkan para nelayan untuk pergi melaut dan menangkap ikan.

Sedangkan untuk pekerjaan pelajar/mahasiswa, polisi/tentara, pelaut, pedagang,

guru adalah profesi yang paling sedikit ditekuni yang hanya berjumlah 1%

sedangkan dan lain-lain ini jenis pekerjaan yang ditekuni adalah konsultan,

bidan, perawat, buruh harian lepas, dan sopir dengan nilai persentase sebesar

1%.

Penduduk yang sebagian besar nelayan ini, ternyata pendidikannya

sangat rendah hampir sebagian diantaranya hanya mampu menyelesaikan

pendidikannya sebatas sekolah dasar (SD) saja bahkan ada yang tidak

tamat.Sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, kurang

memperhatikan yang namanya pendidikan dengan salah satu alasan terkendala

oleh biaya pendidikan dan ingin membantu orangtua mencari nafkah.

Tabel 4. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bontomarannu

Jumlah Persentase
No. Tingkat Pendidikan
(Orang) (%)
1. Tidak Pernah Sekolah 597 27,6
2. Belum Sekolah 134 6,2
3. Tidak Tamat SD 459 21,2
4. TK 56 2,6
5. SD 672 31,1
6. SMP 107 4,9
7. SMA 114 5,3
8. D-3 5 0,2
9. S-1 17 0,8
10. S-2 3 0,1
Jumlah 2164 100
Sumber : Data Sekunder, 2017
33 
 

Berdasarkan tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan

penduduk di Desa Bontomarannu terbanyak pada tingkatan Sekolah Dasar (SD)

yaitu sebesar 672 orang dengan total persentase 30% sedangkan untuk

penduduk yang melanjutkan pendidikan S-2 sebanyak 3 orang yang paling

sedikit.

D. Sarana Dan Prasarana

Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Bontomarannu

adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Sarana dan Prasarana di Desa Bontomarannu

No. Sarana prasarana Jumlah


1 Mesjid 4
2 Puskesmas 1
3 Kantor Kelurahan 1
4 Lapangan 1
5 Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) 2
6 Sekolah Dasar (SD) 2
7 Wc Umum 6
Sumber : Data Sekunder, 2017

Berdasarkan tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana

yang ada di Desa Bontomarannu adalah Mesjid, Puskesmas, Kantor Kelurahan,

Lapangan, Sekolah, dan Wc umum. Mesjid digunakan sebagai tempat ibadah

bagi masyarakat yang beragama islam. Fasilitas pendidikan yang ada yaitu

Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 2 buah dan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2

buah. Sedangkan fasilitas olahraga berupa lapangan olahraga.Fasilitas

kesehatan yang ada yaitu Puskesmas sebanyak 1 unit.Dan Wc umum yang

berjumlah 6 buah tersebar diseluruh desa.


34 
 

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persepsi Masyarakat Nelayan Tentang Pengelolaan Sumberdaya Laut

Persepsi merupakan suatu rangkaian proses yang dilakukan oleh

seseorang dalam menafsirkan, memikirkan, menginterprestasikan, mengalami

dan megolah segala pertanda atau objek yang ada disekitar lingkungannya. Dari

hasil interprestasi ini akan melahirkan tanggapan, pendapat, pengetahuan dan

pandangan yang didalamnya terkandung unsur kepercayaan dan penilaian

seseorang terhadap suatu objek tertentu.

Masyarakat pesisir memandang lingkungan (sumberdaya alam) sebagai

suatu mata pencaharian hidup yang dapat di manfaatkan kapanpun dan

dimanapun tanpa terikat oleh etnisitas maupun golongan tertentu. Terkait dengan

ini, umumnya masyarakat memandang sumberdaya alam dalam dua sudut

pandang, yaitu apakah sumberdaya alam sebagai wilayah open access atau

tidak dan apakah sumberdaya alam dapat diperbaharui atau tidak. Apabila

sumberdaya alam dipandang sebagai wilayah open access maka, umumnya

diikuti oleh pandangan yang menyatakan bahwa sumberdaya alam bersifat tak

terbatas. Sebaliknya jika alam dimiliki secara komunal atau individu maka,

sumberdaya alam cenderung dipahami sebagai sesuatu yang dapat terbatas.

Keterbatasan sumberdaya akan membuka peluang bagi tumbuhnya perilaku

budidaya sebagai bentuk resistensi terhadap kondisi sumberdaya yang dikelola.

Sebagai suatu bahan kajian, peneliti dalam skripsi ini mengangkat suatu

masalah yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat

nelayan Bontomarannu tentang pengelolaan sumberdaya laut dalam hal ini

kaitanya dengan potensi sumberdaya laut, penggunaan bahan peledak (bom)

serta daerah penangkapan. Analisis ini merupakan jawaban dari rumusan

masalah pertama yang diangkat dalam penelitian ini.


35 
 

1. Persepsi Masyarakat Tentang Potensi Sumberdaya Laut

Masyarakat nelayan di desa Bontomarannu dalam memandang

lingkungan (alam) sebagai lahan mencari hidup seperti halnya petani

memandang sawah dan kebun. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan

bahwa masyarakat nelayan memiliki tiga pandangan utama yaitu : (1) bahwa laut

merupakan area open access. (2) ikan tidak akan pernah habis, dan (3) rezeki

manusia berada ditangan Tuhan. Pandangan ini hampir merata di masyarakat

nelayan kita. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan memberikan

penguatan bahwa ketigapandangan ini begitu melekat pada kehidupan

keseharian masyarakat di Bontomarannu dan membimbing mereka dalam

berperilaku, terutama kaitannya denga pemanfaatan sumberdaya pesisir.

Walaupun dalam kesehariannya terdapat pergeseran atau pemaknaan ini namun

tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku mereka dalam mengekploitasi

sumberdaya laut.

Berikut adalah penurutan salah satu responden, (Dg. Tobo, 60 thn) :

“...Laut itu ciptaan Tuhan, milik ta bersama. Semua orang bisa pergi
memancing dimana saja...”

Pandangan yang menyatakan bahwa laut sebagai wilayah open access.

Pandangan ini melahirkan pola perilaku masyarakat dalam memandang laut

sebagai tempat/wilayah yang oleh siapapun berhak untuk

memanfaatkan/mengelolahnya. Menurut mereka, tidak ada larangan bagi

siapapun untuk memanfaatkan wilayah ini dengan cara yang menurut mereka

efisien. Begitupun juga dengan kepemilikan atas laut bahwa tidak ada

seorangpun atau kelompok manapun yang dapat menklaim miliknya.

Di tinjau dari segi mobilitas bahwa, pandangan ini menguntungkan

nelayan karena sifat komoditi (ikan) yang diburu oleh nelayan adalah hewan liar.

Sehingga perpindahan ikan tidak menjadi persoalan dalam menjalankan


36 
 

aktifitasnya. Namun dari sisi negatif, pandangan ini secara langsung telah

melegalkan penggunaan alat tangkap apa saja dilaut, tanpa melihat apakah

merusak atau tidak. Itu pula yang menjadi sebab, mengapa sangat sulit meminta

nelayan untuk melaporkan bila menemukan pengguna bom bila kejadian tersebut

berada ditengah laut. Perasaan bersaudara sesama nelayan dan pandangan

bahwa tidak ada yang boleh melarang oarang menangkap ikan, menjadikan

mereka cenderung bersikap diam ketika berhadapan dengan pertanyaan

berkeruan dengan ada tidaknya penggunaan bahanpeladak. Sebab

menyebutkan berarti telah melanggar hak orang untuk hidup dan beraktivitas di

laut. Dari beberapa penelusuran dan hasil wawancara dengan responden

menyatakan bahwa untuk saat ini, nelayan banyak melakukan penangkapan

hanya pada daerah takalar. Berbeda pada beberapa tahun yang lalu nelayan

banyak melakukan penangkapan diluar daerah takalar seperti ke bone dan

biasanya mereka kembali ke desa Bontomarannu setelah beberapa bulan

penangkapan.

Pandangan bahwa ikan atau sumberdaya laut tidak akan habis.

Pandangan ini memberikan pemahaman kepada nelayan bahwa sumberdaya

berupa ikan tidak akan pernah habis, namun kemungkinan untuk berkurang bisa

terjadi. Hal ini tergambarkan dari pengakuan mereka bahwa semakin hari mereka

semakin sulit untuk mendapatkan ikan. Akan tetapi berkurangnya ikan dalam

pandangan nelayan lebih disebabkan karena migrasi ikan yang terjadi terus

menerus, musim barat dan musim ikan tertentu yang datang secara periodik

bahkan cenderung tidak menentu, banyak nelayan yang menangkap dengan

berbagai bentuk alat tangkap, dan pengrusakan habitat hidup biota laut oleh alat

tangkap maupun bahan yang sifatnya destruktif fishing.


37 
 

Berikut adalah penuturan salah satu responden, (Dg. Bella, 70 thn) :

“...Lama mi saya jadi nelayan ka, tidak pernah habis itu ikan pada hal
ditangkap terus ji. Bahkan dulu itu banyak sekali didapat, sekarang mi itu
baru berkurang tapi tetap ada walaupun hanya sedikit...”

Pandangan ini lahir dari kebiasaan mereka mengamati sepanjang tahun

kondisi sumberdaya yang diusahakan. Nelayan memiliki sejarah panjang dimana

pengalaman dimana mereka melihat perubahan-perubahan alam dan

masyarakat yang silih berganti. Logika yang biasa mereka berikan bahwa sejak

dahulu manusia menangkap ikan, tetapi ikan tidak pernah habis dari laut. Mereka

juga memahamikekurangan ikan sebagai akibat pergeseran musim dan migrasi

biota, dibandingkan sebagai akibat dari perbuatan merusak lingkungan.

Pandangan bahwa rezeki di tangan Tuhan, pandangan ini pelengkap dari

dua pandangan lainnya. Dalam keyakinan nelayan, apapun yang diusahakan di

laut, semua bergantung pada keputusan Tuhan. Walaupun seseorang kelaut

dengan menggunakan teknologi yang sangat canggih, namun bila hari itu bukan

rezekinya, maka boleh jadi yang pergi dengan pancing mendapatkan hasil yang

lebih banyak. Karena itu sifat takabur harus dibuang jauh oleh nelayan. Dalam

banyak kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan hasil tangkapan, kata

“sedikit” dan “ada” sering digunakan untuk menyebutkan hasil tangkapan.

Untuk lebih memberikan penguatan pada pernyataan yang dikeluarkan

oleh nelayan, maka peneliti mengajukan beberapa pertanyaan sebagai stimulan

bagi mereka untuk mengeluarkan pendapat maupun pandanganya terkait

dengan potensi sumberdaya laut ini, hasil dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini :
38 
 

Tabel 6. Persentase Persepsi Responden Tentang Potensi Sumberdaya Laut

Persentase jawaban Jumlah


No Persepsi responden (%)
S TS (%)

1. Sumberdaya laut merupakan sumberdaya 84,4 15,6 100


yang dapat pulih
2. Ada biota laut yang dilarang dan dilindungi 71,9 28,1 100
oleh undang-undang
3. Pengambilan batu karang dapat merusak 93,8 6,2 100
ekosistem terumbu karang sebagai habitat
sumberdaya laut
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017

Dari tabel 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden (84,4 %)

memiliki pandangan bahwa sumberdaya laut merupakan sumberdaya dapat

pulih. Pandangan ini lahir dari persepsi bahwa sumberdaya laut itu tidak akan

habis (seperti yang diuraikan sebelumnya). Sementara sebesar 15,6 %

menjawab tidak setuju, hal ini didasarkan pada pengalaman nelayan dalam

melaut ada sumberdaya yang tidak berubah selama nelayan melakukan

penangkapan. Ditinjau dari segi keberlanjutan sumberdaya, pandangan ini dapat

bernilai negatif, oleh karena nelayan dalam melakukan eksploitasi terhadap

sumberdaya cenderung memanfaatkan secara berlebihan dan tidak terkontrol

sehingga berpotensi menimbulkan gejala penangkapan lebih (over fishing) dan

pada kondisi ekstrim dapat menimbulkan krisis sumberdaya (kepunahan) pada

akhirnya dapat mengakibatkan sulitnya nelayan mendapatkan hasil tangkapan

yang baik. Hal ini sangat di rasakan oleh nelayan bontomarannu. Menurut

pengakuan mereka bahwa kondisi hasil tangkap mereka dari hari ke hari

semakin menurun, bahkan tidak jarang dalam sekali melaut mereka tidak

mendapatkan hasil apapun. Seperti yang di ungkapkan oleh Nikujuluw (2002)

mengatakan bahwa kondisi perairan selatan sulawesi telah mencapai status


39 
 

tangkap penuh (full eksploitasi) atau bahkan ditaksir telah bernilai tangkap lebih

(over eksploitasi).

Pandangan nelayan tentang sumberdaya laut merupakan sumberdaya

yang dapat pulih, yang bernilai negatif ini dapat dipengaruhi oleh rendahnya

tingkat pendidikan yang ada di masyarakat. Berdasarkan uraian sebelumnya

menyebutkan bahwa sebagian besar (28,1 %) 9 orang responden tidak

menjalankan program belajar 9 tahun yang dirancang oleh pemerintah. Hanya 16

orang (50 %) yang tamat SD, dan hanya 5 orang (15,6 %) yang tamat SMP.

Dahuri (2001) mengatakan bahwa rendah tingkat pendidikan nelayan

menyebabkan proses alih teknologi dan keterampilan tidak berjalan sesuai

dengan yang diharapkan yang berdampak pada kemampuan manajemen

mengembangkan usahanya. Ditambahkan oleh azwar (1998), mengatakan

bahwa lembaga pendidikan mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap

karena meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu,

memberikan pemahaman akan baik dan buruk serta memberi garis pemisah

antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.

Pemahaman akan pandangan ini juga dipengaruhi oleh tingkat

pengalaman nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan. Berdasarkan

hasil wawancara, bahwa umumnya responden (50 %) telah bekerja pada sektor

perikanan selama 11-20 tahun. Kemudian sebagian besar (20 %) responden

telah bekerja selama kurung waktu 10 tahundan 30 tahun keatas. Tingkat

pengalaman ini membentuk pandangan mereka terhadap sumberdaya yang ada

dilingkungannya. Menurut Azwar (1998), bahwa pengalaman akan menjadi dasar

pembentukan pandangan (persepsi) individu untuk memberikan tanggapan dan

penghayatan.

Dari hasil wawancara dengan beberapa responden juga mengemukakan

pandangan yang memperkuat pernyataan diatas, bahwa sumberdaya laut


40 
 

merupakan karunia dari Allah SWT, sehingga laut dan segala isinya akan

senantiasa ada untuk manusia. Menurut mereka karunia tersebut tidak akan

pernah berhenti, karena banyak manusia yang menggantungkan hidupnya pada

sumberdaya perikanan. Selain itu ada persepsi lain yang menyatakan bahwa

siklus hidup ikan dan biota lainya tidak pernah terputus, jika yang tertangkap

adalah ikan yang kecil (berumur muda) maka masih ada ikan induk yang akan

menghasilkan ikan-ikan kecil dan begitu pula sebaliknya. Hal inilah menjadi dasar

lahirnya pandangan bahwa rezeki itu berada ditangan Tuhan (seperti peneliti

uraiakan sebelumnya).

Untuk mengetahui persepsi responden tentang ada biota yang dilarang

dan dilindungi undang-undang, maka pada tabel 1 dapat di lihat bahwa sebagian

besar responden (71,9 %) menyatakan bahwa ada biota laut yang dilarang dan

dilindungi oleh undang-undang, hal ini di karenakan pengetahuan nelayan

mengenai informasi dan jenis ikan yang dianggap punah. Sisanya 28,1 %

menyatakan tidak setuju, seperti diuraikan diatas bahwa nelayan beranggapan

ikan tidak akan pernah habis. Secara umum pandangan ini memberikan implikasi

positif pada keberlanjutan ekosistem yang ada, jika didukung oleh perangkat

pengetahuan dan informasi yang cukup memadai. Artinya pandangan ini

membentuk pola perilaku nelayan dalam menangkap ikan cenderung terkontrol,

terutama pada jenis-jenis ikan tertentu yang dilarang dan dilindungi oleh undang-

undang. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, umumnya nelayan

kurang mengetahui jenis-jenis ikan yang dilindungi maupun dilarang

penangkapannya walaupun penulis memancing dengan beberapa pertanyaan

lebih lanjut. Mereka hanya bisa mengungkapkan beberapa jenis saja dan

sebagian besar mereka ketahui melalui siaran televisi. Tersebutkan beberapa

jenis sumberdaya laut yang menurut mereka dilindungi dan dilarang ditangkap

antara lain seperti lumba-lumba, ikan duyung dan penyu.


41 
 

Pada tabel 6 juga dapat dilihat bahwa kebanyakan responden (93,8 %)

memiliki pandangan positif yang menyatakan bahwa pengambilan batu karang

dapat merusak ekosistem terumbu karang sebagai habitat sumberdaya laut. Dari

hasil jawaban ini dapat kita simpulkan bahwa secara keseluruhan masyarakat

nelayan Bontomarannu memiliki kesadaran tentang pentingnya terumbu karang

sebagai tempat/habitat bagi biota laut sehingga harapan akan keberlanjutan

ekosistem dapat terwujud. Pandangan ini diharapkan menjadi landasan mereka

dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan menunjukkan sikap

positif terhadap keberadaan terumbu karang serta menyadari arti penting

terumbu karang sebagai habitat biota laut. Akan tetapi ini sesungguhnya menjadi

suatu yang paradoks oleh karena beberapa informan menyebutkandulu sekali

ada nelayan dari luar, pada saat mereka berada dipulau dan beberapa nelayan

mengikuti kapal sebagai nelayan penyelam, aktivitas nelayan yang

menggunakan bahan peledak seperti bom cukup tinggi, oleh karena konsentrasi

penangkapan berada di daerah karang. Minimnya kegiatan penyuluhan disinyalir

menyebabkan nelayan setempat masih kurang memahami hukum dalam

melakukan aktivitas penangkapan yang menggunakan bahan dan alat yang

merusak lingkungan tersebut.

2. Persepsi Masyarakat Tentang Penggunaan Alat Tangkap

Penggunaan alat tangkap seperti bahan peledak (bom) oleh nelayan

pada umumnya dilakukan didaerah penangkapan yang memiliki karakteristik

berkarang (terumbu karang). Spesifik ini menuntun mereka untuk berburu

komoditi ikan yang hidup di areal terumbu karang. Sehingga hasil tangkapannya

merupakan jenis-jenis ikan karang. Hasil tangkapan ini dapat berupa ikan yang

masih hidup (terutama ikan-ikan hias) maupun ikan yang dijual langsung untuk

dikomsumsi.Untuk mengetahui pandangan masyarakat tentang penggunaan


42 
 

bahan peladak (bom), peneliti dalam quisioner mengajukan beberapa

pertanyaan. Pertanyaan ini terkait dengan persepsi masyarakat tentang

penggunaan bahan peledak (bom) dapat menghasilkan pendapatan yang besar,

dan penggunaan bom dapat merusak kelestarian sumberdaya laut. Untuk lebih

jelas dapat di lihat pada tabel 7 berikut ini :

Tabel 7. Persentase Persepsi Responden Tentang Penggunaan Alat Tangkap

Persentase jawaban Jumlah


No Persepsi responden (%)
S TS (%)

1. Pengunaan alat tangkap bom dalam 100 0 100


penangkapan ikan dapat menghasilkan
pendapatan yang besar
2. Pengunaan alat tangkap bom dan bius dalam 87,5 12,5 100
penangkapan ikan dapat merusak kelestarian
sumberdaya laut
3. Pengunaan alat tangkap bom dan bius dalam 71,9 28,1 100
penangkapan ikan adalah perbuatan yang
melanggar hukum
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017

Berdasarkan hasil pada tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa secara umum

(100 %) responden memilik persepsi bahwa penggunaan bahan peledak (bom

dalam penangkapan ikan dapat menghasilkan pendapatan yang besar.

Selebihnya (0 %) memilih tidak setuju. Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa

nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan, menginginkan pendapatan

yang besar/maksimal. Sehingga hal ini membuka peluang bagi nelayan untuk

melakukan penangkapan yang sifatnyadestruktif fishing. Karakteristik nelayan

yang cendrerung terbuka memungkinkan mereka mengadopsi berbagai teknologi

alat tangkap termasuk bahan peledak (bom) yang menjanjikan pendapatan yang

cukup besar dan nelayan tidak lagi membutuhkan waktu lama diareal fishing

ground. Pandangan ini dapat bernilai negatif. Jika landasan berfikir nelayan
43 
 

dalam melakukan aktivitas penangkapannya menggunakan cara-cara destruktif

fishing untuk mendapatkan hasil yang cukup besar sehingga dapat

menyebabkan kerusakan pada terumbu karang yang pada akhirnya mengancam

kelestarian/keberlanjutan ekosistem sumberdaya laut.

Pada tabel 7 juga dapat dilihat bahwa kebanyakan (87,5 %) responden

memiliki pandangan bahwa penggunaan bahan peledak (bom) dalam

penangkapan ikan dapat merusak kelestarian sumberdaya laut. Sisanya sebesar

12,5 % responden memilih tidak setuju, hal ini menurutnya penggunaan bahan

peledak (bom) hanya merusak terumbu karang, tidak semua kelestarian

sumberdaya laut rusak akibat penggunaan tersebut seperti ikan yang tidak hidup

disekitar terumbu karang. Dari pernyataan tabel ini menandakan bahwa

masyarakat nelayan bontomarannu sadar akan dampak yang ditimbulkan oleh

penggunaan bom terhadap kelestarian sumberdaya laut. Pandangan ini

berdampak positif bagi keberlanjutan ekosistem sumberdaya laut oleh karena

secara tidak langsung mencegah penggunaan bom oleh nelayan.

Peneliti juga mengajukan pertanyaan terkait dengan apakah penggunaan

bahan peledak (bom) dalam penangkapan ikan adalah perbuatan melanggar

hukum atau tidakyang dapat dilihat pada tabel 2 diatas yang menunjukan bahwa

secara umum (71,9 %) nelayan memiliki pandangan bahwa penggunaan bahan

peledak adalah perbuatan yang melanggar hukum. Selebihnya hanya 5 orang

yang memilih tidak setuju (28,1 %), karena kurangnya pengetahuan dan

pandangan bahwa semua yang berada dilaut milik kita bersama. Kedua

pandangan masyarakat tentang penggunaan bahan peledak (bom) dalam

penangkapan dapat merusak kelestarian sumberdaya laut dan penggunaan

bahan peledak (bom) dalam penangkapan adalah perbuatan yang melanggar

hukum dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa masyarakat nelayan


44 
 

desa Bontomarannu sadar akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan

peledak (bom) terhadap keberlanjutan sumberdaya laut.

Penggunaan bahan peledak (bom) dalam penangkapan dapat merusak

kelestarian sumberdaya lautdan bagi mereka itu merupakan perbuatan yang

melanggar hukum. Pandangan ini mendukung konsep pembangunan lingkungan

yang berkelanjutan dan lestari atau sustainable development yang dicanangkan

oleh pemerintah. Oleh karena ada kecenderungan masyarakat untuk tidak

menggunakan bahan peledak (bom) dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya

laut dan jika ini tetap dilakukan maka sanksi secara hukum tidak dikenakan.

Pandangan ini dilakukan oleh minimnya pengetahuan masyarakat tentang

larangan penggunaan bahan peledak yang disebabkan oleh kurangnya informasi

yang mereka peroleh baik melalui media elektronik maupun media sosialisasi

yang dilakukan oleh pemerintah/instansi terkait melalui penyuluhan dan

sosialisasi aturan-aturan yang menyangkut tentang larangan penggunaan bahan

peledak (bom). Dalam quisioner juga peneliti mengajukan beberapa pertanyaan

terkait dengan hal tersebut.

Tabel 8. Persentase Persepsi Responden Tentang Larangan Penggunaan


Bahan Peledak (Bom).

Persentase jawaban Jumlah


No Persepsi responden (%)
S TS (%)

1. Perlu diadakan penyuluhan/sosialisasi 78,1 21,9 100


tentang larangan penggunaan bom
2. Perlu mentaati aturan tentang pengelolaan 81,3 18,8 100
sumberdaya laut (lokal maupun formal
seperti undang-undang) tentang larangan
penggunaan bom dan bius didaerah
penangkapan
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017
45 
 

Berdasarkan hasil analisa data pada tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa

kebanyakan (78,1 %) responden memiliki pandangan bahwa perlu diadakan

penyuluhan/sosialisasi tentang larangan penggunaan bahan peledak (bom).

Sisanya sebesar 21,9 % memilih tidak setuju. Sementara sebanyak 81,3 %

memilih pandangan bahwa perlu mentaati aturan tentang pengelolaan

sumberdaya laut (lokal maupun formal seperti undang-undang) tentang larangan

penggunaan bom didaerah penangkapan ikan. Sisanya kurang lebih 18,8 %

memilih tidak setuju. Dari kedua pandangan tersebut dan berdasarkan hasil

wawancara dengan beberapa informan mengisyaratkan bahwa masyarakat

nelayan Bontomarannu sangat membutuhkan sosialisasi/penyuluhan mengenai

alat tangkap yang ramah lingkungan dan informasi-informasi terbaru tentang

teknologi alat tangkap yang dapat meningkatkan hasil tangkapan. Praktis selama

kurang lebih mereka tinggal dipemukiman nelayan, jarang sekali pemerintah

(dalam hal ini dinas perikanan dan kelautan) melakukan penyuluhan dalam

rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan

pesisir yang lestari/berkelanjutan.

3. Persepsi Masyarakat Tentang Daerah Penangkapan

Menguatnya pandangan akan laut yang diyakini sebagai wilayah yang

open access melahirkan pola perilaku masyarakat dalam memandang laut

sebagai tempat/wilayah yang oleh siapa pun berhak untuk

memanfaatkan/mengolahnya. Menurut mereka, tidak ada larangan bagi siapapun

untuk memanfaatkan wilayah ini dengan cara yang menurut mereka efektif.

Begitupun juga dengan kepemilikan atas laut bahwa tidak ada seorang pun atau

kelompok manapun yang dapat mengklaim miliknya.

Hal ini berimplikasi pada pandangan mereka yang menyakini bahwa

masyarakat nelayan dengan bebas dapat mendatangi wilayah lain secara bebas
46 
 

dan melakukan aktifitas penangkapan didaerah yang didatanginya. Hanya saja

secara etis, mereka harus melaporkan kedatanganya pada pemerintah setempat

atau pemegang kekuasaan yang ada. Dalam pandangan nelayan, kedatangan

nelayan lain kedalam wilayahnya merupakan suatu yang sah, sebab mereka juga

sering mendatangi wilayah lain untuk melakukan penangkapan. Prinsip bahwa

menghormati nelayan pendatang merupakan suatu keharusan, karena mereka

juga akan mendapatkan kondisi yang sama ketika mereka mendatangi wilayah

nelayan lain. Didasarkan pada pola pandangan ini, kecuali pada kasus ilegal

fishing.

Untuk mengetahui pandang masyarakat nelayan terhadap daerah

penangkapan, maka peneliti dalam quisioner memberikan pertanyaan terkait

dengan hal tersebut yang dapat dilihat pada tabel 9 sebagai berikut :

Tabel 9. Persentase Persepsi Masyarakat Tentang Daerah Penangkapan

Persentase jawaban Jumlah


No Persepsi responden (%)
S TS (%)

1. Nelayan bebas melakukan aktivitas 96,9 3,1 100


penangkapan dimana saja
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017

Berdasarkan tabel 9diatas dapat dilihat bahwa kebanyakan responden

(96,9 %) memilih pandangan bahwa nelayan dapat dengan bebas melakukan

aktivitas penangkapan ikan dimana saja. Sementara ada 3 orang (3,1 %) yang

memilih tidak setuju bahwa nelayan bebas melakukan penangkapan. Dari data

tersebut dapat disimpulkan bahwa nelayan dalam melakukan aktivitas

penangkapan tidak mengenal pembatas area tangkap. Setiap nelayan berhak

untuk mendatangi area tangkap dan melakukan aktivitas penangkapan yang

menurut mereka efektif dan potensial untuk mendatangkan pendapatan yang

besar. Pandangan ini terbentuk dari keyakinan bahwa sumberdaya laut


47 
 

merupakan wilayah yang open access oleh siapa pun berhak untuk

memanfaatkan mengelolahnya. Menurut mereka, tidak larangan bagi siapa pun

untuk memanfaatkan wilayah penangkapan dengan cara yang menurut mereka

efektif.

Pandangan nelayan akan laut sebagai wilayah yang open access

diperkuat oleh pemahaman bahwa laut dan beserta apa yang ada di dalamnya

merupakan karunia Allah SWT, oleh karena itu merupakan sumberdaya milik

bersama (common property resources) sehingga orang bebas mengolah dan

memanfaatkannya. Sekilas pandangan ini dapat berdampak negatif oleh karena

membuka peluang pada nelayan untuk menggunakan alat tangkap apa saja di

laut, tanpa melihat apakah merusak atau tidak. Pandangan ini juga berpotensi

menimbulkan konflik horizontal antar nelayan oleh karena tumpang tindih wilayah

penangkapan, menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya yang berlebihan

yang dapat menimbulkan dampak over eksploitasi pada satu kawasan yang

cukup potensial. Akibat lain yang bisa ditimbulkan adalah terjadinya persaingan

yang tidak sehat antara nelayan tradisional dan nelayan modern, dimana nelayan

tradisional tergusur oleh ketidakmampuan mereka bersaing dengan alat tangkap

yang lebih besar kapasitasnya dan teknologi yang lebih baik yang digunakan

oleh nelayan modern.

Hal inilah yang disinyalir menyebabkan masyarakat cenderung untuk

mengeksploitasi sumberdaya dengan cara-cara yang destruktif fishing akibat dari

himpitan atau keterdesakan ekonomi dan dorongan untuk mendapatkan hasil

yang lebih banyak demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada hasil

wawancara dapat di lihat bahwa sebagian besar masyarakat (85 %) memiliki

pendapatan dibawah upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp. 612.000,-

hanya 5 orang (15 %) yang memiliki tingkat pendapatan diatas UMP. Ini

menandakan bahwa secara umum penduduk di desa Bontomarannu memiliki


48 
 

tingkat pendapatancukup rendah dan hal ini tentunya berpengaruh terhadap

tingkat kesejahteraannya. Walaupun demikian, alasan ini bukanlah merupakan

satu-satunya penyebab dari maraknya penggunaan bahan dan alat tangkap yang

merusak lingkungan, khususnya di desa Bontomarannu.

Dahuri (2001) mengemukan bahwa kawasan pesisir pada umumnya

merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat

dimanfaatkan semua orang (open access). Padahal setiap pengguna

sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan, oleh

karenanya, wajar jika pencemaran, over eksploitasi sumberdaya alam dan konflik

pemanfaatan ruang sering terjadi dikawasan ini.

B. Perilaku Masyarakat Nelayan Dalam Pemanfaatan Dan Perlindungan


Sumberdaya Laut

Untuk mengetahui pola perilaku masyarakt nelaya desa Bontomarannu

dalam pengelolaan (pemanfaatan) sumberdaya laut, peneliti mengemukakan

beberapa pertanyaan dengan bantuan kuisioner yang dapat dilihat dari berbagai

jenis penggunaan alat tangkap, sarana produksi yang digunakan dalam

melakukan aktivitas penangkapan atau armada penangkapan, daerah

penangkapan yang sering didatangi, dan beberapa jenis hasil tangkapan yang

diperoleh nelayan. Dari berbagai aspek yang diamati tersebut, diharapkan akan

mendeskripsikan perilaku nelayan di desa Bontomarannu dalam menunjang

kelestarian sumberdaya laut dan ekosistem lainnya. Analisis ini merupakan

jawaban dari pertanyaan kedua dari penelitian ini.

1. Pengunaan Alat Tangkap

Pemanfaatan sumberdaya laut merupakan aktivitas utama yang dilakukan

masyarakat di perkampungan nelayan desa Bontomarannu. Maka untuk

menunjang sumberdaya laut ini, maka diperlukan sarana pendukung yang


49 
 

digunakan dalam aktivitas penangkapannya, salah satunya penggunaan

alat tangkap dan kapal penangkapan. Berikut penjelasan singkat mengenai

perilaku pemanfaatan sumberdaya laut, terlihat seperti pada tabel-tabel di bawah

ini:

Tabel 10. Alat tangkap nelayan di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong


Selatan, Kabupaten Takalar.

Krietaria pertanyaan
Ukuran Bahan dan
No Jenis alat Jenis Mesin yang
Mata Ukuran
Tangkap Perahu digunakan
Pancing bahan
Pancing Rewo Besar Tali Nilon Fiber Mesin yammar
(rawai) (no 1, no 2) 25, 35, 40, 10 GT Mesin mobil
1.
Kecil 60 lb/kekuatan
(no 8, no 10) Tali
Pancing biasa Besar Tasi Fiber Mesin yammar
(no 1, no 2) No 10, 9 dan 8 10 GT Mesin mobil
2.
Kecil
(no 8, no 10)
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017

Penggunaan alat tangkap merupakan sarana yang paling penting dimata

nelayan karena akan menentukan seberapa besar hasil tangkapan yang akan

kita peroleh. Biasanya alat tangkap akan mendefinisikan jenis tangkapan apa

yang akan diperoleh dan peruntukannya digunakan pada daerah dasar atau

permukaan.

Jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan sesuai jenis ikan yang

ditangkap.  Alat tangkap tradisional yang digunakan oleh masyarakat nelayan

Desa Bontomarannu adalah pancing rewo (rawai) dan pancing biasa. Pancing

rewo (rawai) dengan jumlah mata pancing yang berbeda-beda sesuai ukuran

(terlihat pada tabel 10) tergantung jenis ikan yang akan ditangkap menggunakan

bahan tali nilon dengan ukuran 25 sampai 60 lb (kekuatan tali). Pancing rewo

(rawai) terdiri dari rangkaian tali-temali yang bercabang-cabang dan pada setiap

ujung cabangnya dikaitkan sebuah pancing. Teknis operasionalnya tiap-tiap


50 
 

pancing diberi umpan yang tujuanya untuk menarik ikan sehingga ikan memakan

umpan tersebut dan terkait oleh pancing. Biasanya ada yang menggunakan alat

bantu kayu atau bambu sebagai tempat untuk mengikat tasi.

Sedang pancing bias dengan jumlah mata pancing yang berbeda-beda

sesuai ukuran tergantung jenis ikan yang akan ditangkap menggunakan bahan

tasi nomor 10, 9 dan 8. Pancing ini terdiri dari tali utama dari polyetilen tempat

mengikat tasi yang ujungnya telah dipasang satu mata kail. Biasanya ada yang

menggunakan alat bantu kayu atau bambu sebagai tempat untuk mengikat tasi.

Pengoperasiannya sangat sederhana dimana ujung mata tasi yang ada diikat

mata kail dipasang umpan. Alat tangkap yang digunakan cukup ramah

lingkungan dan tidak merusak alam seperti halnya bom ikan dan bius.

Berikut adalah penuturan salah satu responden, (Dg. Saru, 56 thn) :

“…Tidak ada yang pakai bom disini orang luar (nelayan daerah lain) ji itu
biasa pakai, dilarang orang pakai bom, apalagi bius. Tidak ada juga
berani pakai bom disini, kalau meletus diperahu bahaya merusak laut
juga.…”

Dari hasil penuturan responden menandakan bahwa perilaku nelayan

dalam memanfaatkan dan melindungi sumberdaya laut bernilai positif, hal ini

dikarenakan tidak ada penggunaan bahan dektruktif alat tangkap yang merusak

seperti halnya bom ikan dan bius yang dilakukan nelayan saat melakukan

penangkapan.

Jenis perahu yang digunakan sebagai armada transportasi laut yaitu

perahu fiber. Pada umumnya perahu fiber ini memiliki ukuran 5-6 m. Adapun

mesin yang di gunakan yaitu mesin yanmar dan mesin mobil (perahu bisa maju

dan mundur) memiliki kapasitas 10 GT (Groos Ton dengan kekuatan mesin

sekitar 10 DK (Daya Kuda) dan terdapat pada bagian tengah atau sudut perahu

serta memiliki 2 sayap pada bagian samping. Perahu fiber dapat mencapai lokasi

penangkapan yang cukup jauh.


51 
 

Berikut adalah penurutan salah satu responden, (Dg. Sattu, 48 thn) :

“…Kalau musim-musim barat itu, berhentiki melaut. Besarki ombak baru


hujan juga, teaki passai. Perahu kecilji dipakai, perahu fiberji kapalku…”

Para nelayan Bontomarannu juga melihat musim yang baik untuk

melakukan penangkapan ikan. Pada angin musim barat para nelayan tidak pergi

menangkap ikan, hal itu disebabkan pada saat angin musim barat terjadi angin

kencang, hujan beserta gelombang laut yang besar. Pada musim ini para

nelayan yang menggunakan kapal kecil tidak dapat mencari ikan karena dapat

membahayakan keselamatan nelayan. Sedangkan untuk kapal yang berukuran

besar yang telah berada dilaut, biasanya akan mencari pulau terdekat untuk

bersandar dan berlindung dari angin dan gelombang yang besar. Pada waktu

inilah berbagai jenis ikan melakukan pemijahan sehingga kegiatan tidak

menangkap ikan memberikan kesempatan bagi berbagai jenis ikan untuk

berkembang.

Pengetahuan nelayan mengenai musim dapat mengontrol hasil

tangkapan, hal ini dapat dilihat pada tabel 11 mengenai hasil tangkapan nelayan

berikut dibawah ini:

Tabel 11. Hasil Tangkapan di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong


Selatan, Kabupaten Takalar.

Krietaria pertanyaan
No Jumlah 5 thn terakhir
Bahasa Lokal Ukuran
Jenis Ikan
Ikan ikan Bertambah Berkurang
Ikan kakap, Masidung Besar - berkurang
1. Sedang
Kecil
Kerapu Kerapu Besar - berkurang
2. Sedang
Kecil
Hiu Tinumbu Besar - berkurang
3. Sedang
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017
52 
 

Hasil tangkapan nelayan desa Bontomarannu yang paling dominan

adalah ikan kakap (masidung), baru diikuti oleh kerapu, dan hiu (tinumbu). Ikan

dijual dalam bentuk segar kepada pengusaha lokal. Tidak ada nelayan yang

menjual langsung ke pasar. Ikan ditampung oleh pengusaha lokal kemudian

diekspor atau dijual ke pengumpul lebih besar. Harga ikan berfluktuasi sesuai

dengan kurs dan sesuai dengan permintaan serta stok yang ada di pasaran.

Namun, jumlah 5 tahun terakhir hasil tangkapan mulai berkurang di akibatkan

karena sering melakukan penangkapan dan adanya penggalian pasir oleh

perusahaan untuk reklamasi pantai dikawasan pantai losari Makassar. Di

samping kurangnya ikan, ada biota yang dilindungi oleh masyarakat nelayan

setempat yaitu lumba-lumba, karena menurut mereka ikan lumba-lumba salah

satu ikan yang langka hampir punah yang wajib dilindungi, hal ini membentuk

pola perilaku masyarakat yang positif.

Hasil tangkapan nelayan ikan dengan ukuran yang besar dengan nilai jual

yang tinggi sampai ukuran kecil dengan nilai jual rendah. Apapun jenisnya, para

nelayan langsung menjualnya, mereka hanya menyisakan sedikit sebagai bahan

lauk untuk keluarganya. Biasanya mereka membedakan ikan berdasarkan

jenisnya, bila ikan konsumsi langsung, mereka jual pada pengumpul ikan

konsumsi.

2. Daerah Penangkapan

Banyak tidaknya hasil tangkapan ditentukan pula oleh lokasi (daerah)

penangkapan serta melihat musim yang terjadi. Seperti pada tabel 12 dibawah

ini mengenai daerah penangkapan di Desa Bontomarannu, Kecamatan

Galesong Selatan, Kabupaten Takalar.


53 
 

Tabel 12. Daerah Penangkapan di Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong


Selatan, Kabupaten Takalar.

Krietaria pertanyaan
No Daerah terjauh Daerah terdekat Daerah yang
Nama Lokasi
(KM) (KM) Dilarang
Bontomarannu 30 km 1 km Tidak ada
1.
“Taka’ Mandi”
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017

Daerah penangkapan merupakan suatu tempat yang ditempuh

masyarakat nelayan untuk melakukan kegiatan melaut. Dari hasil wawancara

dengan beberapa responden mengemukakan bahwa lokasi daerah penangkapan

nelayan di desa Bontomorannu disebut “Bontomarannu Taka’ Mandi (tempat

ikan)” dengan jarak terjauh 30 km dengan waktu tempuh nelayan untuk sampai

dilokasi penangkapan (fishing ground) adalah kurang lebih 2 jam. Sementara

jarak terdekat hanya 1 km dengan waktu tempuh kurang lebih sampai dengan 15

menit. Menurut salah satu responden menyatakan bahwa daerah yang di larang

untuk melakukan penangkapan tidak ada, yang artinya bebas melakukan

penangkapan dimana saja.

Berikut adalah penurutan salah satu responden, (Dg. Tobo, 60 thn) :

“...Laut itu ciptaan Tuhan, milik ta bersama. Semua orang bisa pergi
memancing dimana saja...”

Hal diatas mengemukakan bahwa laut sebagai wilayah open access,

yang artinya sebagai tempat/wilayah yang oleh siapapun berhak untuk

memanfaatkan/mengelolahnya. Tidak ada larangan bagi siapapun untuk

memanfaatkan wilayah ini dengan cara yang menurut mereka efisien. Begitupun

juga dengan kepemilikan atas laut bahwa tidak ada seorangpun atau kelompok

manapun yang dapat menklaim miliknya.Namun dari sisi negatif, perilaku ini

secara langsung telah melegalkan penggunaan alat tangkap apa saja dilaut,
54 
 

tanpa melihat apakah merusak atau tidak. Akan tetapi didesa Bontomarannu

seperti yang di jelaskan sebelumnya, nelayan menggunakan alat tangkap

pancing yang ramah lingkungan tidak merusak (ilegel fishing).

C. Tingkat Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Kerangka Pembangunan


Lingkungan Pesisir Yang Berkelanjutan.

Seiring dengan pemanfaatan sumberdaya laut yang terus meningkat dan

cenderung tidak terkontrol, memuncukan kekhawatiran akan timbulnya berbagai

dampak negatif bagi ekosistem sumberdaya perikanan beserta biota yang hidup

didalamnya. Pemanfaatan sumberdaya laut yang tidak disertai pengelolaan yang

baik berpotensi menimbulkan gejala-gejala negatif, seperti kegiatan eksploitasi

yang berlebihan (over fishing), kerusakan ekosistem terumbu karang,

pencemaran, konflik antar pemanfaat sumberdaya perikanan serta penggunaan

bahan dan alat penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Mengukur tingkat

partisipasi masyrakat nelayan dalam kerangka penbangunan lingkungan pesisir

yang berkelanjutan adalah untuk menjawab masalah ketiga dalam penelitian ini.

Adapun tingkat partisipasi masyarakat nelayan didesa Bontomarannu

secara keseluruhan (responden) dalam kerangka pembangunan lingkungan

pesisir yang berkelanjutan, terlihat pada tabel 13 dibawah ini.

Tabel 13. Tingkat Partisipasi Responden Secara Keseluruhan

No Kategori Tingkat Partisipasi Jumlah Responden Persentase


1. Sangat Rendah 2 6,25
2. Rendah 17 53,13
3. Cukup 13 40,63
4. Tinggi 0 0
5. Sangat Tinggi 0 0
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017

Berdasarkan tabel 13 diatas, dapat dijelaskan bahwa tingkat partisipasi

nelayan didesa Bontomarannu sebanyak 2 orang memiliki tingkat partisipasi


55 
 

sangat rendah. Sedangkan sebanyak 17 orang memiliki tingkat partisipasi

rendah dan sebanyak 13 orang memiliki tingkat partisipasi cukup dalam kerangka

pembangunan lingkungan pesisir yang berkelanjutan. Hal ini terlihat dari hasil

kuesioner partisipasi responden seperti pada tabel di bawah yaitu sebagai

berikut :

Tabel 14. Tingkat Partisipasi Responden Penelitian

No Uraian Jawaban
SS S RR TS TT
1 Turut serta dalam kampanye pelarangan 12 15 5
penggunaan bahan dan alat tangkap yang
merusak lingkungan seperti bom dan bius
2 Pernah diadakan kegiatan penyuluhan tentang 12 20
cara penangkapan yang merusak lingkungan
laut (destruktif) seperti bom dan bius
3 Pernah mengikuti penyuluhan/sosialisasi 12 20
tentang cara penegkapan yang merusak
lingkungan laut (destruktif) seperti bom dan bius
4 Mentaati aturan tentang larangan menagkap 15 9 8
ikan didaerah konservasi dan larangan
menggunakan bom dan bius dalam aktivitas
penagkapan (baik lokal maupun formal)
5 Ikut berpartisipasi dalam menentukan daerah 14 9 9
penangkapan yang dilarang (daerah konservasi
laut)
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2017

Dari tabel 14 diatas, untuk menunjukkan tinggi rendahnya partisipasi

masyarakat terhadap pelestarian sumberdaya laut digunakan ukuran yang

berpedoman pada persentase skala likert sesuai ketegori yang telah dijelaskan

sebelumnya.

Setelah dirumuskan dalam persentase skala likert, pada tabel diatas

dapat diamati bahwa pernyataan pertama mengenai Turut serta dalam


56 
 

kampanye pelarang penggunaan bahan dan alat tangkap yang merusak

lingkungan seperti bom,tingkat partisipasi masyarakat cukup sebanyak 58,12 %.

Dari penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, memberikan gambaran bahwa

masyarakat diperkampungan nelayan Bontomarannu jarang sekali melakukan

kampanye-kampanye tentang pelarangan penggunaan bahan dan alat tangkap

yang merusak lingkungan. Kalaupun ada nelayan yang menggunakan bahan dan

alat tangkap bom, biasanya nelayan hanya melihat dari jauh saja dan takut untuk

mendekat. Kejadian-kejadian seperti ini terjadi pada nelayan luar melakukan

penangkapan dilaut yang terlihat oleh nelayan sekitar. Dan jika komunitas

mereka (satu kampung) yang melakukan biasanya mereka hanya

mendiamkannya saja. Itu pula yang menjadi sebab, mengapa sangat sulit

meminta nelayan untuk melaporkan bila menemukan pengguna bom bila

kejadian tersebut berada ditengah laut. Perasaan bersaudara sesama nelayan

dan pandangan bahwa tidak ada yang boleh melarang orang menangkap ikan,

menjadikan mereka cenderung bersikap diam ketika berhadapan dengan

pertanyaan berkeruan dengan ada tidaknya penggunaan bahanpeladak. Sebab

menyebutkan berarti telah melanggar hak orang untuk hidup dan beraktivitas di

laut. Pandangan ini secara tidak langsung kurang mendukung kelangsungan

sumberdaya laut yang ada akibat penggunaan bahan dan alat tangkap yang

merusak lingkungan sebab ketika intensitas penggunaannya tinggi maka akan

sangat membahayakan sumberdaya, terutama terumbu karang sebagai habitat

ikan dan biota lainnya.

Dari tabel 14 juga dilihat mengenai pernah diadakan kegiatan penyuluhan

dan kesadaran masyarakat mengikuti penyuluhan atau sosialisasi tentang cara

penangkapan yang merusak lingkungan laut (destruktif) seperti bom,tingkat

partisipasi nelayan masih sedang/cukup rendah (35,01 %). Masyarakat jarang

sekali mengikuti penyuluhan maupun sosialisai mengenai cara penangkapan


57 
 

yang merusak lingkungan laut (destruktif) seperti bom. Berdasarkan informasi

yang diperoleh, menunjukkan bahwa didesa Bontomarannu jarang sekali

dilakukan penyuluhan-penyuluhan tentang potensi sumberdaya laut maupun

penggunaan bahan dan alat yang merusak lingkungan, kalaupun ada itu

dilakukan sekali dalam satu tahun. Hal inilah yang menyebabkan intensitas

masyarakat untuk mengikuti penyuluhan sangatlah rendah. Dampak yang bisa

ditimbulkan oleh minimnya penyuluhan tentang cara penangkapan yang merusak

lingkungan laut (destruktif) seperti bom dapat mengakibatkan semakin maraknya

penggunaan bahan dan alat tangkap.

Partisipasi responden dalam mentaati aturan tentang larang menangkap

ikan didaerah konservasi dan larangan menggunakan bom dalam aktivitas

penangkapan (baik lokal maupun formal) untuk kategori cukup (59,37 %). Hal ini

menandahkan bahwa kesadaran nelayan dalam menaati aturan tentang larang

menangkap ikan didaerah konservasi dan larangan menggunakan bom dalam

aktivitas penangkapan (baik lokal maupun formal) sangat baik. Secara umum

masyarakat nelayan sudah cukup paham akan dampak yang ditimbulkan oleh

aktivitas pengeboman. Seperti yang telah diuraikan pada tabel 7 tentang

persepsi masyarakat tentang penggunaan bahan peledak (bom), mereka sadar

akan dampak yang ditimbulakan akibat penggunaan bahan peledak bom dapat

merusak kelestarian sumberdaya laut dan sekitar 71,9 % menyadari bahwa itu

merupakan perbuatan melanggar hukum.

Pada pertanyaan terakhir tingkat partisipasi responden dalam

menentukan daerah penangkapan yang dilarang (daerah konservasi laut) sangat

banyak kategori cukup(57,5 %). Pandangan ini dapat disebabkan oleh karena

adanya pemahaman nelayan tentang laut sebagai sumberdaya yang tidak akan

habis dan semua orang berhak untuk mengolahnya. Hal ini di butuhkan perhatian

pemerintah untuk melakukan penelitian tentang daerah konservasi laut sehingga


58 
 

dapat ditetapkan sebagai daerah konservasi. Dengan demikian hal ini akan

sangat baik untuk menjaga spesies-spesies yang hampir punah, serta menjadi

tempat penelitian dalam pengembangan budidaya laut. Berdasarkan hasil

wawancara dengan responden, dapat disimpulkan bahwa pemahaman nelayan

tentang daerah konservasi masih sedang/cukup rendah.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan responden yang ada

di desa Bontomarannu masih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat

akan berbanding lurus dengan tingkat partisispasi terhadap proses

pembangunan yang sedang berjalan dan minimnya tingkat adopsi dan inovasi

terhadap teknologi yang sedang berkembang. Seperti yang diuraikan oleh

Samuel (1999) mengatakan kurangnya partisipasi masyarakat selama ini

disebabkan oleh rendahnya tingkat kesadaran masyarakat yang berkaitan

dengan informasi, teknologi dan keterampilan.


59 
 

VI. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpualan yang dapat ditarik dari penelitian ini berdasarkan

perumusan masalah yang ada adalah sebagai berikut :

1. Persepsi masyarakat nelayan tentang pengelolaan sumberdaya laut. Dalam

persepsi ini, terbagi menjadi 3, yaitu : (1) Persepsi masyarakat tentang potensi

sumberdaya laut. Dimana masyarakat nelayan di desa Bontomarannu

memiliki tiga pandangan utama yaitu : pertama, bahwa laut merupakan area

open access. Kedua, ikan tidak akan pernah habis. dan ketiga rezeki manusia

berada ditangan Tuhan. (2) Persepsi masyarakat tentang penggunaan alat

tangkap.masyarakat nelayan bontomarannu sadar akan dampak yang

ditimbulkan oleh penggunaan bom terhadap kelestarian sumberdaya laut. Dan

(3) Persepsi Masyarakat Tentang Daerah Penangkapan.Pandangan nelayan

akan laut sebagai wilayah yang open access diperkuat oleh pemahaman

bahwa laut dan beserta apa yang ada di dalamnya merupakan karunia Allah

SWT dan milik bersama (common property resources)

2. Perilaku masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan perlindungan

sumberdaya laut. terbagi menjadi 2, yaitu : (1) Penggunaan alat tangkap,

nelayan didesa Bontomarannu masih menggunakan alat tangkap pancing

rawai dan pancing biasa. Ini berarti bahwa perilaku nelayan dalam

memanfaatkan dan melindungi sumberdaya laut bernilai positif, dikarenakan

tidak ada penggunaan bahan dektruktif alat tangkap yang merusak. Dan

(2)Daerah penangkapan, tidak ada daerah yang di larang untuk melakukan

penangkapan, yang artinya bebas melakukan penangkapan dimana saja.

3. Tingkat partisipasi masyarakat nelayan dalam kerangka pembangunan

lingkungan pesisir yang berkelanjutan. Didesa Bontomarannu tingkat

partisipasi dinyatakan masih tergolong rendah (53,13 %) (dalam kerangka


60 
 

pembangunan lingkungan pesisir yang berkelanjutan, kondisi ini dapat

disebabkan oleh tingkat pendidikan responden yang ada di desa

Bontomarannu masih cukup rendah,dan kurangnya perhatian pemerintah

memberikan penyuluhan maupun sosialisasi kepada masyarakat baik

mengenai penggunaan alat tangkap, penentuan daerah penangkapan serta

hukum dan aturan dalam kegiatan melaut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat peneliti rekomendasikan yaitu :

1. Untuk pemerintah desa Bontomarannu, perlu adanya perhatian yang lebih

kepada masyarakat desa khususnya pada nelayan. Memberikan kebijakan

dalam menjaga dan memelihara sumberdaya laut dengan melihat kondisi

masyarakat setempat, perlu diadakan penyuluhan dan sosialisasi peraturan

undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan baik dalam hal

mengenai penggunaan alat tangkap (fishing) maupun penentuan daerah

penangkapan (fishing ground).

2. Untuk masyarakat desa Bontomarannu, lebih aktif lagi berpartisipasi dan

bertanggung jawab dalam mengelolah sumberdaya laut demi keberlanjutan

ekosistem lingkungan laut sehingga terciptanya lingkungan pesisir yang

lestari.
61 
 

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 1998. Sikap Manusia (Teori Dan Pengukurannya) Edisi Kedua.


Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Amirin, T. M. (2011). Skala Likert: Pemggunaan dan analisis datanya.

Bengan, D. G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dahuri. R, dkk. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara


Terpadu. Paradyna Paramita. Jakarta.

Dahuri, R. 2001. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan


Rakyat (Kumpulan Pemikiran DR.Ir.Rokhmin Dahuri, MS). LISPI.
Yogyakarta.

Ghofar, A. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan


Berkelanjutan. Cipayung. Bogor.

Gultom. 1985. Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan. UKSW. Salatiga.

Hardjasoemantri. 1993. Aspek Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan


Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Kementerian Kelautan danPerikanan. 2011. Data Indikator Kinerja Umum


Kelautan dan Perikanan Tahun 2010. Jakarta: Pusat data statistik dan
informasi.

Kusnadi. 2009. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya


Alam. Penerbit LKIS. Yogyakarta.

Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.

Mardijono. 2008. Persepsi danPartisipasi Nelayan terhadapPengelolaan


Kawasan Konservasi Laut Kota Batam. Tesis pada Program Magister
Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang.

Mulyadi, S. 2007. Ekonomi Kelautan. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. 223
hal.
62 
 

Moleong, J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja


Rosdakarya.

Nelviyonna. 2005. Peran serta Masyarakat Dalam Upaya Pelestarian Lingkungan


Pesisir di Desa Jangkang Kec. Bantan Kabupaten Bengkalis. Tesis
Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.

Nikijuluw, Viktor P.H .2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat


Pemberdayaan Dan Pembangunan Regional (P3R). PT. Pustaka
Cidensino. Jakarta.

Robbins, S. 2001. Perilaku Organisasi. PT. Prenhalindi, Jakarta.

Rahardjo, P. 2002. Nelayan Nusantara Sebuah Falsafah Kehidupan. Makalah


Falsafah Sain PPS/S3 IPB. Bogor.

Saptorini, 2003. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanakan


Konservasi Hutan Mangrove. Universitas Diponogoro, Semarang.

Sastropoetro, S. 1995. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi Dan Disiplin Dalam


Pembangunan Nasional. Alumni. Bandung.

Supriharyono. 2009. Konsevasi Ekonomi Sumberdaya Hayati Diwilayah Pesisir


Tropis. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Susiatik, T, 1998. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan


Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) Di Desa
Mojorebo Kecamatan Wirosari Kabupaten Grobongan Jawa Tengah.
Tesis PPS IPB. Bogor.

Sogiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. CV. Alfabeta.
Bandung.

Skinner, B. F. (2013). Ilmu pengetahuan dan perilaku manusia. Pustaka Pelajar.


Yogyakarta

Tjokroamindjoyo, B. 1990. Perencanaan Pembangunan. CV. Mas Agung.


Jakarta.
63 
 
64 
 

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian

 
Gambar 2. Foto wawancara dengan beberapa respondennelayan
Bontomarannu di sekitar armada kapal penangkapan (perahu fiber).

 
Gambar 3. Foto dengan salah satu responden nelayan Bontomarannu di
kediamannya.
 
 
65 
 

Gambar 4. Alat tangkap nelayan pancing rewo (rawai).

Gambar 5. Alat tangkap nelayan pancing biasa.


66 
 

Lampiran 2. Identitas Responden

Jumlah 
No  Nama  Umur  Pendidikan  Pekerjaan 
Tanggung 
1  Dg. Sattu  54  SD  Nelayan  4 
2  Dg. Sila  38  SMP  Nelayan  2 
3  Kamba  45  Tidak Sekolah  Nelayan  2 
4  Dg. Lengu  55  SD  Nelayan  1 
5  Dg. Minggu  52  Tidak Sekolah  Nelayan  3 
6  Hamid Lotteng  50  SD  Nelayan  2 
7  Dg. Lejja  37  SMP  Nelayan  3 
8  Haris Dg. Sikki  51  Tidak Sekolah  Nelayan  5 
9  Harun Dg. Sarro  53  SD  Nelayan  4 
10  Dg. Jarre  53  Tidak Sekolah  Nelayan  3 
11  Burhan  54  SD  Nelayan  4 
12  Salihi  57  Tidak Sekolah  Nelayan  2 
13  sawalli  55  Tidak Sekolah  Nelayan  2 
14  Sarre  46  SD  Nelayan  3 
15  Baso Dg. Talli  45  SD  Nelayan  4 
16  Samaila  56  SD  Nelayan  5 
17  Dg. Tika  57  SD  Nelayan  4 
18  Tutu  34  SMP  Nelayan  1 
19  Dg. Japa  55  SD  Nelayan  2 
20  Basirong  47  SD  Nelayan  6 
21  Barrisi  45  SD  Nelayan  3 
22  Dg. Tobo  56  SMP  Nelayan  4 
23  Dg. Bella  58  Tidak Sekolah  Nelayan  1 
24  Sampara  44  SD  Nelayan  2 
25  Naja  42  SD  Nelayan  3 
26 Dg. Saru 55 Tidak Sekolah  Nelayan 4 
27 Dg. Rahim 48 SD  Nelayan 3 
28 Dg. Sehe 56 Tidak Sekolah  Nelayan 4 
29 Dg. Suji 30 SMP Nelayan 2 
30 Dg. Sarring 45 SD Nelayan 3 
31 Dunial Maulana 42 S1 Kepala Desa 5 
32 Rais 24 S1 Guru 0 

 
67 
 

Lampiran 3. Olah Data Kuisioner Persepsi 


68 
 

Lampiran 3. Olah Data Quesioner Partisipasi

 
69 
 
No. Responden : ...........
Tanggal wawancara :
QUESIONER PENELITIAN
A. Data responden
Nama :
Umur :
Pendidikan terakhir :
Status pekerjaan :
Pengalaman kerja :
Pekerjaan sampingan :
B. Pertanyaan survei
1. Persepsi masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya laut
Petunjuk pengisian : pilih salah satu alternatif jawaban yang telah tersedia
dengan memberi tanda silang (√). Pilihan : Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Tidak
Tahu (TT)
1.1 Persepsi masyarakat tentang potensi sumberdaya laut
No Uraian Jawaban
S TS TT
1 Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang dapat
pulih
2 Ada biota laut yang dilarang dan dilindungi oleh undang-
undang
3 Pengambilan batu karang dapat merusak ekosistem
terumbu karang sebagai habitat sumberdaya laut

1.2 persepsi masyarakat tentang penggunaan alat penangkapan


No Uraian Jawaban
S TS TT
1 Pengunaan alat tangkap bom dalam penangkapan ikan
dapat menghasilkan pendapatan yang besar
2 Pengunaan alat tangkap bom dan bius dalam
penangkapan ikan dapat merusak kelestarian
sumberdaya laut
3 Pengunaan alat tangkap bom dalam penangkapan ikan
adalah perbuatan yang melanggar hukum
4 Perlu diadakan penyuluhan/sosialisasi tentang larangan
penggunaan bom
5 Perlu mentaati aturan tentang pengelolaan sumberdaya
laut (lokal maupun formal seperti undang-undang)
tentang larangan penggunaan bom didaerah
penangkapan

 
70 
 

1.3 Persepsi masyarakat tentang daerah penangkapan


No Uraian Jawaban
S TS TT
1 Nelayan bebas melakukan aktivitas penangkapan ikan
dimana saja

2. Perilaku dalam pemanfaatan sumberdaya laut

2.1 Alat tangkap


Krietaria pertanyaan
Uraian Jenis Mesin yang
Jenis Ukuran Bahan
perahu digunakan

Alat tangkap

2.2 Hasil tangkap


Krietaria pertanyaan
Uraian Jumlah 5 thn terakhir
Jenis Ukuran
Bertambah berkurang

Hasil Tangkapan

2.3 Daerah penangkapan


Krietaria pertanyaan
Daerah Daerah
Uraian Daerah yang
Nama Lokasi terjauh terdekat
dilarang
(KM) (KM)

Daerah penangkapan

 
71 
 

3. Tingkat partisipasi
Petunjuk pengisian : pilih salah satu alternatif jawaban yang telah tersedia
dengan memberi tanda silang (X). Pilihan : Sangat Setuju (SS), Setuju (s),
Ragu-ragu (RR), Tidak Setuju (TS), dan Tidak Tahu (TT).
No Uraian Jawaban
SS S RR TS TT
1 Turut serta dalam kampanye pelarangan
penggunaan bahan dan alat tangkap yang
merusak lingkungan seperti bom
2 Ikut berpartisipasi dalam pencegahan dan
penanggulangan pencemaran pantai/laut,
termasuk menentukan cara mencegah dan
menanggulanginya
3 Pernah diadakan kegiatan penyuluhan tentang
cara penangkapan yang merusak lingkungan
laut (destruktif) seperti bom dan bius
4 Pernah mengikuti penyuluhan/sosialisasi
tentang cara penangkapan yang merusak
lingkungan laut (destruktif) seperti bom dan bius
5 Mentaati aturan tentang larangan menangkap
ikan didaerah konservasi dan larangan
menggunakan bom dan bius dalam aktivitas
penangkapan (baik lokal maupun formal)
6 Ikut berpartisipasi dalam menentukan daerah
penangkapan yang dilarang (daerah konservasi
laut)

Anda mungkin juga menyukai