Anda di halaman 1dari 32

ISBN: 978-602-71759-2-1

EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERAIRAN
BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN
BUDIDAYA PERAIRAN
PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN
KEMARITIMAN
SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
Jl. Perintis Kemedekaan Km. 10 Tamalanrea
Makassar 90245, Sulawesi Selatan
PROSIDING
SIMPOSIUM NASIONAL III KELAUTAN DAN PERIKANAN 2016

DEWAN REDAKSI

Pengarah:
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Penanggung jawab:
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Penyunting (Editor):
Dr. Inayah Yasir, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Joeharnani Tresnati, DEA
Dr. Ir. Siti Aslamyah, MP.
Moh. Tauhid Umar, S.Pi., MP.
Firman, S.Pi., M.Si.

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan


Universitas Hasanuddin
Makassar, 30 September 2016
Prosiding Simposium Nasional III Kelautan dan Perikanan 2016

Penyunting: Inayah Yasir, Joeharnani Tresnati, Siti Aslamyah, Moh. Tauhid Umar,
dan Firman

ISBN: 978-602-71759-2-1

Diterbitkan oleh: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas


Hasanuddin, Makassar, 30 September 2016

@ Hak Cipta dilindungi Undang-undang


All rights reserved

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin dari
penyunting.
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, akhirnya prosiding Simposium Nasional Kelautan dan
Perikanan telah dapat diselesaikan. Tujuan diadakannya simposium ini adalah agar
dapat dijadikan ajang pertukaran informasi dari setiap ilmuwan dan praktisi dalam
bidang kelautan dan perikanan guna meningkatkan potensi, pengembangan dan
pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia.
Tema simposium ini adalah “Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
melalui Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan”.
Simposium ini telah diikuti oleh para peneliti, praktisi, mahasiswa, juga
pemerhati kelautan dan perikanan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi,
lembaga penelitian, instansi pemerintah, juga LSM yang terkait. Makalah yang
dipresentasikan merupakan hasil penelitian yang meliputi beberapa bidang, yang
dikelompokkan menjadi 7 bidang yaitu kelompok: A. Ekosistem Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, B. Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, C. Pengelolaan
Sumberdaya Perairan, D. Budidaya Perairan, E. Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, F. Sosial Ekonomi Perikanan, G. Kemaritiman.
Presentasi makalah dan poster ini diikuti oleh peserta dari seluruh Indonesia
yang berasal dari berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia.
Lembaga penelitian dan perguruan tinggi tersebut adalah: Universitas Brawijaya,
Universitas Riau, Balai Pengelolaan Pesisir dan Lautan (BPSPL), Universitas
Khairun-Ternate, Universitas Mataram, Universitas Tadulako, Universitas Nusa
Cendana, Universitas Yapis-Papua, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Air Payau-Maros, Universitas Negeri Makassar, STIP Muna Raha, Universitas
Teuku Umar, Universitas Halu Uleo, Universitas Borneo, Universitas Muslim
Indonesia, Universitas Sulawesi Barat, Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan-
Palu, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Balai Besar Karantina Ikan Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Makassar, Universitas Diponegoro,
Universitas Bosowa, Balai Perikanan Budidaya Air Payau-Situbondo, Politeknik
Perikanan Negeri-Tual, Institut Pertanian Bogor, Unismuh-Luwuk Banggai,
Universitas Batanghari, Universitas Muhammadiyah Makassar, Politeknik
Pertanian Negeri Pangkep, Universitas Bung Hatta, Universitas Balik Diwa,
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Universitas Lambung Mangkurat,
Universitas Muhammadiyah Pare-Pare, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya-
Jakarta, dan Universitas Hasanuddin.
Panitia memohon maaf apabila terjadi kesalahan, baik disengaja ataupun
tidak, yang mengurangi rasa puas dan nyaman para peserta simposium. Panitia
juga menyampaikan terima kasih atas semua bantuan dan kerjasama yang diberikan
oleh seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan simposium ini.
Makassar, 17 September 2016
Ketua Panitia,

Prof. Dr. Ir. Joeharnani Tresnati, DEA


KATA SAMBUTAN
Indonesia sebagai sebuah negara maritim terbesar di dunia memerlulan
dukungan kuat dan nyata dalam berbagai dimensi. Dukungan tersebut terutama
dalam hal penguasaan Ipteks, sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi yang
unggul, keberpihakan pemerintah dan partisipasi dari seluruh masyarakat. Unhas
sebagai sebuah perguruan tinggi dengan visi Pusat unggulan dalam pengembangan
insani, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya berbasis Benua Maritim
Indonesia sangat relevan dengan kebutuhan dukungan tersebut.
Unhas sangat sadar bahwa penguasaan Ipteks sangat penting bagi
pengelolaan potensi laut Indonesia yang sangat besar, mengingat pemanfaatannya
belum maksimal dan umumnya masih dikelola secara tradisional. Pengembangan
dan diseminasi teknologi untuk pengelolaan potensi laut Indonesia merupakan
tantangan yang harus menjadi perhatian utama dan sesegera mungkin
dikembangkan dan diwujudkan.
Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III (SIMNASKP III) tahun
2016, dengan tema “Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia melalui
Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan” merupakan sarana membagi
informasi dan mendiskusikan berbagai topik dan tantangan yang dihadapi saat ini
dan masa yang akan datang bagi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut
Indonesia. Output dari SIMNASKP III berupa prosiding yang diharapkan dapat
menjadi referensi dan sumber informasi tentang pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya laut Indonesia dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-
pulau kecil.
Terimakasih bagi semua pihak yang telah bekerja keras menyelenggarakan
simposium dan mewujudkan buku Prosiding SIMNASKP III ini. Semoga dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Makassar, 17 September 2016
Dekan FIKP Unhas

Prof.Dr.Ir. Jamaluddin Jompa, MSc.


ISBN: 978-602-71759-2-1

DAFTAR ISI halaman

KATA PENGANTAR

SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

MAKALAH EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Kelimpahan Ikan dan Moluska Pada Kerapatan Lamun yang Berbeda 6


D. Arfiati, B.D. Putra, L. Suprestika, P.Wijanarko, U. Zakiyah dan Nuriyani

Analisis Kandungan Total Hidrokarbon, Nitrat, Fosfat, Silikat dan Kelimpahan


Diatom di Perairan Pantai Pulau Rupat Provinsi Riau 12
Bintal Amin, Irvina Nurrachmi, Al Usman dan Areza Maulana

Analisis Zonasi dan Densitas Vegetasi Mangrove serta Pengaruhnya Terhadap


Kelimpahan Spesies Dominan di Pesisir Pantai Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan 23
Budiman Yunus dan Amran Saru

Pemetaan Distribusi Terumbu Karang Sulawesi Tenggara Menggunakan Landsat


8 Citra Satelit 31
Muhammad Banda Selamat & Kris Handoko

Dampak Kegiatan Wisata Bahari Terhadap Ekosistem Terumbu Karang Di


Pulau Kapoposang, Kab. Pangkep dan Pulau Hoga, Kab. Wakatobi 42
Ahmad Bahar, Aidah A. Husain, Rahmadi Tambaru

Aspek Biologi Kerang Hijau (Perna viridis Linnaeus, 1789) di Perairan Mandalle
Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan 51
Farida Gassing, Abdul Rahim Hade, dan Andi Alfianita Arum Sari

Penyakit Karang Keras Scleractinian di Kepulauan Spermonde Kabupaten


Pangkep 59
Arniati Massinai , Akbar Tahir, Jamaluddin Jompa, Alexander Rantetondok

Kondisi Terumbu Karang di Gugusan Gosong Karang Utama Blok Migas Toili,
Teluk Tolo, Provinsi Sulawesi Tengah 70
Kasim Mansyur

Konektivitas Struktur Vegetasi Mangrove dengan Keasaman dan Bahan Organik


Total pada Sedimen di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar 85
Amran Saru , Mardi dan Khairul Amri

Klasifikasi Citra Berbasis Objek Untuk Deteksi Perubahan Habitat Terumbu


Karang di Pulau Morotai 96
Nurhalis Wahidin dan Surahman

Jenis dan Kandungan Metabolit Sekunder Makroalga yang Ditemukan di


Perairan Teluk Kupang 110
Yuliana Salosso dan Yudiana Jasmanindar

Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan SIG Untuk Pemetaan Kualitas


Tanah Tambak di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara 118
Hasnawi1, Akhmad Mustafa1 dan Dody Dharmawan Trijuno2

Identifikasi Keterhubungan Klorofil-a Fitoplankton dan Komunitas Zooplankton


dengan Berbagai Parameter Berpengaruh di Estuari Sungai Tallo Makassar 132
Rahmadi Tambaru, Abdul Haris & Albida Rante Tasak

Keanekaragaman dan Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Zona Perairan yang


Berbeda di Kabupaten Mamuju Sulawesi Bara 140
Supriadi Mashoreng, Chair Rani, Parman Parakkasi, Abdul Haris, Ahmad Faisal
dan Sutia Budi

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 1
Kepadatan Kerang Lumpur Anodontia edentula Linnaeus, 1758 Kaitannya
Dengan Parameter Lingkungan di Kabupaten Muna 149
Rochmady, Sharifuddin Bin Andy Omar dan Lodewyck S. Tandipayuk

MAKALAH BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Isolasi dan Identifikasi Bakteri Black Band Disease (BBD) pada Pachyseris sp. 161
Rahmi, Jamaluddin Jompa, Akbar Tahir dan Alexander Rantetondok

Identifikasi Fukosantin Alga Coklat (Sargassum filipendula) Dari Desa Padike


Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep Kepulauan Madura Menggunakan
Nuclear Magnetic Resonance (NMR) 172
Kartini Zailanie dan Hari Purnomo

Fraksinasi Senyawa Antibakteri Dari Isolat Kapang TP6 Yang Diisolasi Dari
Tumbuhan Pesisir Terong Pungo 180
Nabila Ukhty, Kustiariyah Tarman, Iriani Setyaningsih

Pengaruh Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum sp. Terhadap Kadar Glukosa,
Berat Badan, Polyphagia, Polydipsia, Polyuria Tikus Diabetes Mellitus 188
Shandy Nur Fachrurazi, Muhamad Firdaus and Anies Chamidah

Steroid Dari Spons Xestospongia sp.: Aspek Kemotaksonomi dan Sifat


Antibakteri 198
Sahidin I., Baru Sadarun, Irvan Anwar, Muhammad Adha, Hasriyani, Wa Ode
Intiyani, Wahyuni1 dan Rini Hamsidi

Uji Daya Simpan Prototype Kit Vibriosis “RICA” 207


Ince Ayu K.Kadriah* & BR Tampangallo

Analisis Keragaman Genetik Lima Populasi Meretrix spp. Berdasarkan Penanda


Inter Simple Sequence Repeats 216
Mohammad F. Akhmadi dan Niken S. N. Handayani

MAKALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Biologi Reproduksi dan Pengendalian Perikanan Rajungan (Protunus pelagicus)


di Perairan Sulawesi Tenggara, Indonesia 228
La Sara, Wellem H. Muskita, Oce Astuti, and Safilu

Analisis Populasi Menggunakan Model Pertumbuhan Allometri dan Indeks


Kondisi Udang Harpiosquilla raphidea Perairan Utara Pulau Tarakan 240
Gazali Salim; Dhimas Wiharyanto

Analisis Morfologi Tingkat Kematangan Gonad Ikan Endemik Pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan 249
Muhammad Nur, Sharifuddin Bin Andy Omar, Joeharnani Tresnati, Muh. Arifin
Dahlan & Suwarni

Tingkat Kematangan Gonad Ikan Layang (Decapterus macrosoma Bleeker, 1841)


Secara Histologi di Perairan Teluk Bone 254
Muh. Arifin Dahlan, Sharifuddin Bin Andy Omar, Joeharnani Tresnati, &
Muhammad Nur

Status dan Ancaman terhadap Biota Laut Prioritas Konservasi di Kepulauan


Togean (2002-2015) 260
Abigail Moore, Samliok Ndobe, Yeldi Adel, Roni Hermawan

Reproduksi Ikan Bungo (Glossogobius giuris Hamilton–Buchanan, 1822) di


Danau Tempe, Sulawesi Selatan 269
Athira Rinandha E., Yunizar Ernawati, M. Mukhlis Kamal

Dinamika Populasi Udang Api-Api (Metapenaeus monoceros) di Perairan Selat


Makassar 278
Suwarni, Moh. Tauhid Umar, Sarah Sukma Amir & Muhammad Nur

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


2 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Ukuran Panjang Glass Eel (Anguilla sp.) yang Beruaya ke Sungai Palu 287
Samliok Ndobe1*, Novalina Serdiati1 & Abigail Moore

Konsentrasi Ekdisteroid Hemolimfa Rajungan (Portunus pelagicus Linneus, 1758)


Kaitannya Dengan Fase Bulan 295
Andi Tamsil

Inventarisasi dan Penyebaran Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) di


Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015 302
Herfiani* dan Astina Sartika

Distribusi Ukuran dan Pola Pertumbuhan Rajungan (Portunus pelagicus) di


Pulau Salemo Kabupaten Pangkajene Kepulauan 314
Muh. Saleh Nurdin, Syamsu Alam Ali, dan Dewi Yanuarita Satari

Pengelolaan Perikanan Karang dengan Pendekatan Ekosistem: Studi kasus


dimensi kelembagaan Wppnri 572 di Aceh Jaya 323
Edwarsyah

Fase Perkembangan Gonad dan Laju Degradasi Rajungan (Portunus spp.) di


Teluk Lasongko, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara 334
Nila Nikmatia Bugis, Syamsu Alam Ali, Dewi Yanuarita

Dependensi Kelimpahan Fitoplankton Terhadap Konsentrasi Nitrat, Posfat, TSS


dan Beberapa Faktor Lingkungan Lainnya Di Sungai Banjir Kanal, Semarang,
Jawa Tengah 343
Haeruddin, Churun Ain dan Anggita W. Tungka

Kerusakan Ekologis Hutan Lindung dan Dampaknya Terhadap Sektor Perikanan


di Pantai Clungup, Desa Tambakrejo Kabupaten Malang Selatan 351
Harsuko Riniwati, Nuddin Harahab, Zainal Abidin

MAKALAH BUDIDAYA PERAIRAN

Pengaruh Pemberian Enzim Papain pada Pakan Buatan Terhadap Derajat


Hidrolisis Protein dan Aktivitas Enzim Protease Larva Ikan Bawal Bintang
Trachinotus bloochii, Lacepede 1801 367
Haryati, Harisa Hamzah, Edison Saade

Penggunaan Ekstrak Lantana camara Untuk Meningkatkan Laju Pertumbuhan


Kappaphicus alvarezii dan Pencegahan Penyakit Ice-Ice 374
Rahmat Sofyan Patadjai* dan Syamsul Kamri

Uji Efek Antibakteri Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.) Terhadap
Bakteri Streptococcus agalactiae Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus Linn.)
Secara In Vivo 383
Gustiana, Alexander Rantetondok, Elmi Nurhaidah Zainuddim

Pengaruh Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Pada Jarak Tanam Dan
Kedalaman Yang Berbeda Terhadap Kandungan Karaginan 391
Sri Mulyani, Ambo Tuwo, Rajuddin Syamsuddin and Jamaluddin Jompa

Penggunaan Metode Elektroporasi Dalam Transfer Vaksin DNA VNN (Viral


Nervous Necrosis) Pada Ikan Kerapu 396
Wiwien Mukti A., Sri Murtini, Surachmi, Alimuddin

Potensi Limbah Padat Tambak Udang Super Intensif sebagai Bahan Baku Pupuk
Organik 406
Hidayat Suryanto Suwoyo, Mat Fahrur dan Rachman syah

Pertumbuhan dan Sintasan Post Larva Udang Kaki Putih (Penaeus vannamei)
Pada Penurunan Salinitas yang Berbeda 416
Krismawan, Nasmia and Rusaini

Uji Patogenisitas Edwardsiella tarda Pada Ikan Celebes Rainbow (Telmatherina


celebensis) 426
Harlina dan Januarsih

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 3
Pertumbuhan Eksplan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Pada Lama
Perendaman Berbeda Dalam Larutan Pupuk Urea dan TSP 434
Mukhlis, Zakirah Raihani Ya’la and Rusaini

Prevalensi dan Insidensi White Spot Syndrome Virus Calon Induk Udang Windu
(Penaeus monodon) dari Perairan Aceh, Sulawesi Selatan dan Tenggara 447
B.R. Tampangallo, A. Tenriulo dan Agus Nawang

Hubungan Antara Konsentrasi Ekdisteroid Hemolimfa Kepiting Bakau (Scylla


olivacea HERBS, 1796) dan Kualitas Air Disekitarnya 453
Hasnidar

Kualitas Caulerpa sp. yang Dibudidayakan di Berbagai Jarak dan Kedalaman 461
Darmawati, Andi Niartiningsih, Rajuddin Syamsuddin and Jamaluddin Jompa

Analisis Prevalensi Parasit yang Menginfeksi Benih Ikan Nila (Oreochromis


niloticus) pada Pembenihan di Wilayah Kabupaten Banggai 469
Sri Sukari Agustina* dan Marlan

Penggunaan Tepung Kulit Manggis Garcinia mangostana untuk Meningkatkan


Pertumbuhan, Indeks Hematokrit dan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Mas
Koi Cyprinus Carpio 479
Dahlifa*, Sutia Budi dan Amal Aqmal

Penggunaan Asam Lemak Omega 3 HUFA Dan Hormon Ecdyson Dalam


Peningkatan Larval Stage Indeks dan Sintasan Hidup Larva Kepiting Bakau
Scylla olivacea 487
Sutia Budi, M. Yusri Karim, Dody. D. Trijuno, M. Natsir Nessa, Gunarto dan
Herlinah

Optimasi Lama Waktu Fermentasi Limbah Sayur dengan Cairan Rumen


terhadap Peningkatan Kualitas Pakan Udang Vannamei 499
Murni, Haryati, Aslamyah, Herry Sonjaya

Pertumbuhan, Sintasan dan Produksi Polikultur Udang Windu (Penaeus


monodon) dan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Komposisi Padat
Tebar dan Waktu Penebaran yang Berbeda 507
Muhammad Nur Syafaat & Abdul Mansyur

Pengaruh Konsentrasi Tepung Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) dalam


Makanan Buatan Terhadap Kolesterol dan Komposisi Kimia Udang Windu
(Penaeus monodon) 515
Nur Insana Salam, Siti Aslamyah, Edison Saade

Aerasi Sebagai Salah Satu Treatment untuk Mengurangi Bahan Organik Limbah
Tambak Udang Vaname (Lithopenaeus vannamei) Super Intensif 525
Makmur, Mat Fahrur, Muhammad Chaidir Undu

MAKALAH PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Komposisi Hasil Tangkapan Utama, Sampingan, dan Buangan pada Bagan


Perahu di Perairan Gorontalo 532
Dewi Shinta Achmad dan Muh. Saleh Nurdin

Manajemen Usaha Penangkapan Ikan dengan Menggunakan Alat Tangkap Purse


Seine di Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar 539
Muhammad Jamal, Andi Asni1, dan Setiawan R

Persentase Ikan Cakalang Layak Tangkap Hasil Tangkapan Nelayan di Perairan


WPP RI 713 547
Achmar Mallawa

Respon Umpan dan Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan


Kakap (Lutjanus sp.) di Perairan Bonerate Kabupaten Selayar 555
Wayan Kantun dan Askaman

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


4 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Studi Pengoperasian Pancing Ulur Laut Dalam untuk Menangkap Ikan Escolar
(Lepidocybium flavobrunneum) pada Musim Angin Muson Barat di Perairan
Pesisir Timur Pulau Selayar 562
Andi Assir dan Mahfud Palo

Hubungan antara Produksi dan Produktivitas Cakalang dengan Suhu


Permukaan Laut dan Klorofil-A di Wilayah Perairan Kota Ternate 567
Amirul Karman dan Surahman

Kondisi Oseanografi yang Disukai Tuna Madidihang (Thunnus albacares) di


Teluk Bone dengan Menggunakan Satelit Penginderaan Jauh 577
Safruddin, Risnawati B., Alfa Nelwan, Mukti Zainuddin

Prospek Industrialisasi Perikanan Tangkap di Pengambengan, Kabupaten


Jembrana, Bali 586
Mustaruddin, Mulyono S Baskoro, dan Ibnu Hajar

Penangkapan Udang Lobster Laut (Panulirus spp) dengan Jaring Lobster


(Bottom Gill Net Monofilament) di Perairan Pantai Selatan Kabupaten
Bulukumba 599
Musbir, Sudirman dan M. Ridwan Bohari

Analisis Hubungan Suhu Permukaan Laut, Salinitas, dan Arus dengan Hasil
Tangkapan Ikan Tuna di Perairan Bagian Barat Pulau Halmahera 605
Umar Tangke, John W. Ch. Karuwal, Achmar Mallawa, Mukti Zainuddin

MAKALAH SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran di Perairan Pesisir


Mahakam 620
Hamzah* & Bachrianto Bahtiar

Potensi Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya


Perikanan Berkelanjutan di Kawasan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sinjai 632
Aris Baso

Pengaruh Modal,Pengalaman Kerja, Harga dan Hasil Tangkapan Terhadap


Pendapatan Nelayan di Sawang Ba’u Kabupaten Aceh Selatan 642
Yasrizal

Analisis Finansial Produk Inovasi Olahan Rumput Laut Produksi Unit


Agribisnis, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin 651
Sri SuroAdhawati dan Firman

Analisis Rantai Pemasaran Kepiting Bakau Scylla spp. di Desa Pallime,


Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone 658
Sitti Fakhriyyah, Firman & Andi Dirpan

MAKALAH KEMARITIMAN

Kapal Ferry Cepat Penumpang dan Barang sebagai Kendaraan Transportasi


Laut antar Pulau Kepulauan Indonesia 667
Frederikus Wenehenubun

MAKALAH POSTER

Jenis dan Kelimpahan Plankton di Perairan Pesisir Kabupaten Berau Kalimantan


Timur 682
Erfan A. Hendrajat*, Akhmad Mustafa dan Tarunamulia

Analisis Kualitas Air Sungai Borongkaluku sebagai Pendukung Budidaya


Tambak di Desa Borimasunggu Kabupaten Maros 690
Andi Sahrijanna dan Erfan A. Hendrajat

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 5
ISBN: 978-602-71759-2-1

Pemetaan Distribusi Terumbu Karang Sulawesi Tenggara


Menggunakan Landsat 8 Citra Satelit
Southeast Sulawesi Coral Reef Distribution Mapping Using Landsat
8 Satellite Imagery
Muhammad Banda Selamat*1 & Kris Handoko2
1
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis
Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, Makassar 90241. Email: mbandas2006@yahoo.com
2
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Makassar. Jl. Dg Makmur
Sitakka, Maros, Sulawesi Selatan

ABSTRACT
The need of coral reef distribution information at Southeast Sulawesi is crucial nowadays due the
application of fish preservation and protection. Satellite imaging technology is known as an
effective tool for this purpose. This study objective was to mapping and estimating the area of
coral reef at Southeast Sulawesi. Seven scenes of landsat 8 imageries were processed using water
column correction to produce depth invariant index as a basis for substrate classification. Field
survey was conducted at five coastal regency using echo sounding and video mapping geo-
referenced technologies. The coral reef extent scenario was developed base on three dominant
substrates: coral, submerged vegetation and sand. This study was successfully mapping around
167,472 hectares of Southeast Sulawesi coral reef. Wakatobi regency was the most coral reef area
able to map. The coral substrate area at Southeast Sulawesi was estimate around 22.7 thousand to
41.3 thousand hectares. While submerged vegetation occupy area around 56.9 thousand to 97.9
thousand hectares and sand substrate cover around 28.2 thousand to 87.9 thousand hectares of total
area mapped. If moderate scenario was chosen then the extent of coral substrate, submerged
vegetation and sand are around 31.4 thousand, 63.8 thousand and 72.2 thousand hectares
respectively. This update information is expected may help decision maker on how to manage
coral reef resources related to endangered fish conservation at Southeast Sulawesi.
Keywords: coral reef, landsat 8, water column correction, southeast Sulawesi.

Pendahuluan
Tekanan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang hingga saat ini
tetap tinggi. Tekanan dalam bentuk ancaman ini dapat dibagi atas dua kategori
yaitu lokal dan global. Ancaman global adalah coral bleaching (Wilkinson et al.
1999) dan pengasaman air laut. Ancaman yang sifatnya lokal antara lain adalah
perikanan tidak ramah lingkungan (bom, bius), polusi, penambangan dan
pengerukan dan kegiatan wisata yang tidak dikelola dengan baik (Cesar, 2002).
Pengelolaan terumbu karang memerlukan informasi tentang konektifitas
bentang laut dan kompleksitas karang (Olds et al, 2012). Informasi ini mencakup
beberapa parameter seperti tutupan karang, rugositas, luasan, jarak ke padang
lamun dan atau mangrove. Posisi terumbu karang terhadap bentang laut lainnya
mempengaruhi produktifitas dan struktur populasi ikan serta biota laut yang
berasosiasi. Studi yang dilakukan oleh Jörgensen et al. (2015) menunjukkan
bahwa kelimpahan ikan pada daerah karang dengan tutupan yang tinggi adalah 15
kali lebih besar dibandingkan daerah dengan tutupan karang yang rendah.
Citra satelit resolusi tinggi telah terbukti dapat digunakan untuk memetakan
secara hirarkis sistem-sistem terumbu karang bila di dukung dengan data lapangan
yang mengacu pada konsep biologi dan geomorfologi (Roelfsema et al, 2013;

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 31
Selamat et al., 2012). Pendekatan seperti ini dapat menghasilkan nilai akurasi
tematik zona geomorfik dan kategori bentik yang cukup baik. Selain itu citra
satelit resolusi tinggi yang dianalisis dengan pendekatan koreksi kolom air dan
zonasi geomorfik terbukti dapat digunakan untuk membangun model 3D habitat
karang yaitu berupa model batimetri substrat digital (Selamat et al., 2012). Model
batimetri substrat yang dihasilkan cukup memadai untuk digunakan pada
pemodelan oseanografi perikanan.
Nilai positif dari pesatnya perkembangan teknologi pencitraan satelit saat
ini adalah telah dimungkinkannya penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk
memetakan komposisi dan struktur habitat karang (Mumby et al., 2004). Zawada
dan Brock (2009) telah mengembangkan metode untuk mengukur kompleksitas
topografi habitat karang berdasarkan data model elevasi digital yang dihasilkan
dari pengukuran citra Lidar. Pola spasial dimensi fraktal memiliki hubungan yang
positif dengan ketidakteraturan topografi substrat dan zonasi karang. Cara lain
yang dapat digunakan untuk mengukur kompleksitas habitat karang adalah
dengan membuat skor-skor penilaian yang menjadi dasar untuk menghasilkan
peta kompleksitas habitat karang di perairan pantai (Gratwicke dan Speight,
2005).
Pemetaan terumbu karang dengan satelit penginderaan jauh menghasilkan
sejumlah kelas-kelas habitat bentik. Banyaknya kelas habitat bentik ini
dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari jenis sensor yang digunakan, proses
pengolahan citra digitalnya dan faktor-faktor alami yang ikut terekam pada citra.
Pemetaan karang yang dilakukan oleh Andréfouët et al. (2003) menghasilkan nilai
akurasi tematik yang semakin rendah dengan semakin rumitnya komposisi
habitat. Lyons et al. (2011) telah menggunakan citra Quickbird untuk memetakan
habitat bentik dan menghasilkan akurasi tematik peta dalam kisaran kisaran 57–
95%. Salah satu faktor alami yang mempengaruhi jumlah kelas dan pengenalan
objek bentik dari citra satelit adalah kedalaman perairan. Lyzenga (1978;
1981:2006) telah mengembangkan algoritma untuk mereduksi efek kedalaman
ini dengan prinsip korelasi logaritmik sinyal objek yang sama dari kedalaman
yang berbeda. Metode ini lebih dikenal dengan nama koreksi kolom air. Metode
ini efektif digunakan untuk perairan dangkal yang jernih seperti di lingkungan
perairan terumbu karang. Namun demikian, nilai indeks yang dihasilkan dari
algoritma ini tidak secara spesifik merepresentasikan karakter reflektansi objek
(untuk citra yang berbeda) sehingga sering menimbulkan kekeliruan dalam
pengenalan objek dan memungkinkan terjadinya bias dalam estimasi rasio
koefisien attenuasi (Maritorena, 1996). Menurut Mumby et al (1998) terlepas dari
kekurangan yang ada, metode koreksi kolom air sangat berkontribusi dalam
meningkatkan akurasi peta habitat bentik.

Metode Penelitian
Hasil pengamatan citra Landsat 8 Provinsi Sulawesi Tenggara
memperlihatkan, terdapatnya 19 lokasi potensial untuk dilakukan survei substrat
bentik. Bila wilayah survei di bagi menjadi 2 (dua) sub wilayah tanpa

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


32 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

mengikutsertakan wilayah kepulauan (Muna, Buton, Wakatobi, Kabaena), maka


lokasi yang potensial disurvei menjadi sekitar 5 kecamatan di pantai timur dan 5
kecamatan di pantai barat. Kenyataannya dengan pertimbangan efesiensi waktu
dan biaya, survei substrat bentik dilakukan hanya pada 5 (lima) Kecamatan di 5
(lima) Kabupaten (Gambar 1). Waktu survei berlangsung selama 10 (sepuluh)
hari dari tanggal 31 Agustus hingga 9 September 2015, mencakup daerah-daerah:
Tinobu dan Pulau Labengki, Lasolo, Kabupaten Konawe Utara; Toli-toli,
Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe; Kasi Pusang, Tinanggea, Kabupaten
Konawe Selatan; Pulau Basa, Poleang, Kabupaten Bombana; Pulau Buaya,
Wundulako, Kabupaten Kolaka

Gambar 1. Lokasi survei substrat bentik, di Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara

Karakteristik Landsat 8
Landsat (Land Satellite) seri ke 8 adalah generasi terakhir dari satelit
sumberdaya alam NASA (Amerika) yang diluncurkan ke orbit pada tanggal 11
Pebruari 2013. Program Landsat telah dimulai dari tahun 1972. Landsat 8 sebagai
generasi terakhir di lengkapi dengan dua macam sensor yaitu Operational Land
Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). Ketinggian orbitnya sekitar
705 km pada sudut inklinasi 98.20 dan melakukan pemotretan permukaan bumi
setiap pukul 10:11 waktu setempat (USGS, 2015). Tipe orbit satelit ini adalah
selaras matahari (sun syncronous) sehingga pemotretan selalu dilakukan pada
waktu lokal yang sama. Setiap hari Landsat 8 mampu menghasilkan 650 scene
(potret). Landsat akan kembali memotret daerah yang sama setiap 16 hari sekali
dengan resolusi spasial 30 meter untuk band multispektral dan 15 meter untuk
band pankromatik.

Pengolahan Citra Landsat 8


Pengolahan awal citra-citra Landsat 8 Sulawesi Tenggara dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut: konversi nilai pixel citra ke radiansi; koreksi atmosferik
dengan cara regresi band visible versus band infrared dan penggunaan algoritma
Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III
Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 33
atmosc (Eastman, 1999); Pemisahan (masking) daratan, awan dan perairan laut
dalam; Pembuatan training area tipe poligon guna pengambilan sampel nilai
spektral piksel dari objek pasir, submerged aquatic vegetation (seperti lamun dan
makroalga) dan karang secara apriori; Penghitungan koefisien attenuasi difus;
Penyusunan dan implementasi formula Lyzenga (1981) guna keperluan koreksi
kolom air menggunakan band 1 dan band 2. Hasil implementasi ini memerlukan
dasar informasi yang kuat, yang diperoleh dari survei lapangan, sehingga dapat
ditetapkan kelas-kelas tutupan substrat bentiknya.

Validasi Citra
Pengumpulan data primer dikumpulkan menggunakan Video Sounding Side
Towed (VSST). Selamat et.al (2012) telah mengembangkan alat bantu perekaman
gambar vertikal habitat karang secara kontinu menggunakan camcorder dari sisi
perahu yang bergerak. Alat ini dinamakan pencitra karang ikat samping yang
dibangun dari material kombinasi pelat baja, kayu, akrilik dan PVC. Alat ini dapat
disematkan transduser alat perum gema untuk merekam kedalaman, dan pada
bagian atas disediakan tempat untuk antena alat penentu posisi global. Informasi
spasial yang diperoleh dari alat ini adalah rangkaian film substrat bentik (objek
tampak dari sisi atas) pada posisi dan kedalaman yang runtun waktu sehingga
memudahkan untuk digeoreferensikan ke citra satelit dan dapat meningkatkan uji
akurasi tematik. Tabel 1 memperlihatkan simplifikasi kelas yang dilakukan pada
citra depth invariant index (Lyzenga, 1981) sebagai simplikasi metode Point
Intercept Transect (PIT) (Manuputty et al., 2009).
Tabel 1. Kode kategori biota dan substrat
Kode Kategori Biota Keterangan
Karang Keras, Karang Acropora, non Acropora, Subtrat dasar
Reef
Rock yang keras (cadas)
Sand Sand, Silt Pasir, Pasir lumpuran yang halus
SAV (Submerged Death Coral Karang mati, berubah warna karena ditumbuhi
Aquatic vegetation) Algae Rubble alga filamen, Patahan karang bercabang (mati)
Sea Grass Padang lamun, Jenis-jenis makro alga: sargassum,
SAV Fleshy turbinaria, halimeda
Seaweed

Metode Video Sounding Side Towed memerlukan peralatan tertentu


(Selamat et al, 2012), seperti perahu bermotor (minimal 5 PK), GPS mapsonder
(yang telah diinput jalur pemeruman sesuai dengan referensi dari citra landsat),
Memory SD card kapasitas minimal 1 GB untuk merekam data mapsonder,
Camcorder full HD dan memory card 16 GB, housing kedap air untuk camcorder
yang disematkan pada sisi perahu, dapat ditempeli antena GPS dan transduser
serta streamline terhadap arus. Aki kering 7.2 AH sebanyak 2 unit disertai 1 unit
charger juga dibutuhkan, inverter AC kapasitas minimal 500 watt, untuk sumber
listrik camcorder selama survei, Laptop dan Perangkat lunak komputasi.

Skenario Komposisi Substrat Bentik


Landsat 8 OLI, memotret kawasan pesisir dengan spektrum sinar tampak
dan infra merah. Pemotretan panorama muka bumi dengan spektrum sinar tampak
Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III
34 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh kamera biasa.
Perbedaan mendasarnya adalah Landsat memotret dari jarak sekitar 700 km.
Dalam hal ini kemampuan sensor OLI untuk membedakan dua objek yang
berdekatan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Kita ketahui bahwa band-band
OLI membedakan dua objek berdekatan ke dalam grid berukuran 30 m x 30 m,
atau suatu persegi empat berukuran 900 meter persegi. Ini membawa kita pada
kesimpulan, bahwa grid yang dihasilkan merupakan campuran dari sejumlah
objek berbeda, atau dapat kita katakan sebagai “mix pixel (mixel)”. Tabel 2
memperlihatkan scenario komposisi substrat bentik yang diklasifikasi dari citra
satelit Landsat 8 dan dijadikan dasar untuk perhitungan luas.
Tabel 2. Skenario Komposisi Substrat Bentik yang menjadi Dasar untuk Perhitungan
Luas
Substrat Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
bentik Karang SAV Pasir Karang SAV Pasir Karang SAV Pasir
Karang
100% 0% 0% 55% 20% 25% 60% 30% 10%
1
Karang
100% 0% 0% 30% 10% 60% 40% 20% 40%
2
SAV1 0% 100% 0% 10% 70% 20% 20% 70% 10%
SAV2 0% 100% 0% 5% 40% 55% 10% 50% 40%
SAV3 0% 100% 0% 5% 30% 65% 5% 30% 65%
Pasir1 0% 0% 100% 0% 25% 75% 0% 20% 80%
Pasir2 0% 0% 100% 0% 5% 95% 0% 5% 95%

Hasil dan Pembahasan


Indeks Bentik
Substrat pasir secara umum memiliki pantulan spektral yang paling tinggi
dibandingkan substrat bentik lainnya seperti SAV dan karang (Gambar 2).
Pantulan spektral substrat karang secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan SAV.
Hal ini dapat dipahami oleh karena SAV memiliki serapan elektromagnetik pada
panjang gelombang hijau dan merah terkait dengan proses fotosintesis, sementara
serapan spektral oleh pasir hanya dipengaruhi oleh variasi kedalaman perairan.
Pantulan substrat karang secara rata-rata pada band 1 dan 2 lebih tinggi
dibandingkan SAV, namun mulai berkurang pada band 3 dan 4. Hasil-hasil ini
bersesuai dengan studi yang telah dilakukan oleh Maeder et al. (2002). Pada
daerah-daerah intertidal yang sedang mengalami air surut, pantulan spektral SAV
akan tinggi pada daerah panjang gelombang infra merah. Kondisi ini ditemukan
di sekitar pantai Bombana, Poleang dimana pada saat kondisi air surut, banyak
SAV yang terpapar matahari.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 35
Gambar 2. Tanda spektral substrat bentik SAV, pasir dan karang dari citra Landsat 8
untuk wilayah Sulawesi Tenggara
Konsistensi tanda spektral substrat, menjadi dasar untuk penarikan sampel
pixel dari sejumlah lokasi yang dikenal pada masing-masing scene. Selanjutnya
dilakukan proses perhitungan koefisien attenuasi dengan beberapa kombinasi
band yaitu band 1 dengan band 2, band 1 dengan band 3 dan band 2 dengan band
3. Nilai koefisien attenuasi setiap scene disajikan pada Tabel 3. Nilai koefisien
ini kemudian digunakan untuk menghasilkan citra baru yang memperlihatkan
sebaran indeks objek dasar perairan dangkal di setiap scene.
Tabel 3. Koefisien Attenuasi menurut Path/Row Citra Landsat

Path/Row Band
111/064 112/064 113/064 113/063 112/063 Sampling
0,6776 0,4596 0,6358 0,6371 0,6028 1&2*
0,8947 0,3707 0,5802 0,5120 0,4801 1&3
1,3246 0,7949 0,9074 0,7931 0,7811 2&3

Tahap akhir untuk menghasilkan peta sebaran karang adalah dengan


melakukan “density slicing” yaitu mengelompokkan nilai-nilai indeks objek dasar
ke dalam kelas-kelas bentik mengikuti skenario yang telah ditetapkan
sebelumnya. Contoh pengelompokkan nilai indeks objek dasar perairan
berdasarkan “peak” frekuensinya pada histogram dapat dilihat pada Gambar 3.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


36 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Gambar 3. Pengelompokan nilai indeks dasar menjadi kelas-kelas substrat bentik :


karang1,karang2, sav1, sav2, pasir1 dan pasir 2

Luasan Substrat Bentik


Total luasan substrat bentik Sulawesi Tenggara yang dipetakan dari citra
Landsat 8 ini adalah sekitar 167.472 Hektar, dengan perincian tiap scene adalah:
Wakatobi sekitarnya (scene 111-064) seluas 61.216 Hektar; Buton sekitarnya
(scene 112-06) seluas 17.847 Hektar; Kabaena sekitarnya (scene 113-06) seluas
14.450 Hektar; Konawe sekitarnya (scene 112-063) seluas 50.601 Hektar; Kolaka
sekitarnya (scene 113-063) seluas 23.444 Hektar
Luasan substrat bentik yang dapat dipetakan ini dipengaruhi oleh batas
maksimal kedalaman yang mampu dideteksi oleh satelit. Kedalaman optis
perairan yang dapat dideteksi oleh satelit bervariasi menurut lokasi. Kedalaman
optis yang terdeteksi di Pulau Karamma dan Labengki, Konawe Utara masing-
masing adalah sekitar 5 dan 10 meter. Sementara di Desa Toli-toli, Kecamatan
Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe, kedalaman optis nya berkisar antara 8
hingga 10 meter. Di Kasi Pusang, Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan,
kedalaman optis yang terdeteksi adalah sekitar 10 hingga 11 meter sementara di
Pulau Basa, Kecamatan Poleang, Kabupaten Bombana, kedalaman optis yang
terdeteksi adalah antara 3 hingga 5 meter. Lokasi survei terakhir yaitu di Pulau
Buaya, Kabupaten Kolaka, memiliki kedalaman optis antara 6 hingga 8 meter.
Zona kedalaman optis dimana sensor satelit masih dapat digunakan untuk
mendeteksi keberadaan substrat bentik dipengaruhi oleh antara lain kualitas air
dan pencahayaan matahari pada saat satelit melintas. Oleh karena orbit satelit
landsat 8 bersifat sun synchronous maka semua lokasi yang dipotret oleh satelit
memiliki elevasi dan azimuth matahari yang sama, sehingga faktor lain seperti
kondisi permukaan laut (gelombang) kemungkinan turut mempengaruhi batas
kedalaman optis. Selain itu profil geomorfik di masing-masing lokasi survei juga
mempengaruhi batas kedalaman optis sehingga deteksi keberadaan substrat bentik
tidak dapat dilepaskan dari geomorfik perairan dangkal setempat. Gambar 4
memperlihatkan bagaimana “kamera” pada Landsat 8 melihat objek yang ada
pada daerah rataan karang yang slope-nya landai. Sebaran SAV secara umum
ditemukan pada arah dekat pantai dan mulai berkurang ke arah laut lepas,
sebaliknya, karang mulai ditemukan pada beberapa jarak dari pantai, dan

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 37
menempati bagian sisi luar dari rataan terumbu. Substrat pasir secara umum
menempati daerah yang lebih luas daripada SAV dan karang. Oleh karena
keterbatasan penetrasi cahaya ke kolom air, maka jelaslah substrat yang dapat
dipetakan dari citra Landsat tidak mencakup keseluruhan substrat yang ada
(terutama karang).

Gambar 4. Ilustrasi bagaimana “pandangan” satelit Landsat 8 terhadap substrat bentik


Estimasi luasan substrat bentik Sulawesi Tenggara yang didekati
berdasarkan 3 skenario, memberikan beberapa alternatif informasi. Skenario 1
memperlihatkan bahwa luas substrat karang total Sulawesi Tenggara adalah
sekitar 41.276,4 hektar, luas substrat SAV adalah sekitar 97.988 hektar dan luas
substrat pasir adalah sekitar 28.207,4 hektar. Komposisi persentase total substrat
bentik menjadi 25:58:17. Skenario 2 memperlihatkan bahwa luas substrat karang
sekitar 22.727,9 hektar, SAV sekitar 56.864,6 hektar dan pasir sekitar 87.879,3
hektar. Komposisi persentase luasan substrat bentik adalah 14:34:52. Skenario 3
memberikan hasil estimasi luasan substrat karang sekitar 31.374,8 hektar, SAV
sekitar 63.842,9 hektar dan pasir sekitar 72.254,2 hektar, sehingga komposisi
persentase luasan substrat bentik menjadi 19:38:43.
Piksel yang dimiliki oleh citra Landsat 8 sebenarnya merupakan “mixel”
atau bukan merupakan potret objek tunggal, melainkan merupakan potret dari
beberapa objek yang kemudian dirata-ratakan nilainya. Menurut Hedley dan
Mumby (2003) masalah heterogenitas objek dalam piksel pada lingkungan
perairan memang tidak bisa didekati dengan cara-cara linier. Ketidakpastian
dalam estimasi koefisien attenuasi dan kedalaman perairan perlu didekati dengan
pendekatan tersendiri. Meskipun demikian, Werdell dan Roesler (2003) telah
menggunakan pendekatan linier untuk mengidentifikasi substrat dominan pada
enam habitat yang homogen dan memprediksi perubahan komposisi substratnya

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


38 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Gambar 5. Skenario Luasan substrat bentik Sulawesi Tenggara


Skenario yang dikembangkan pada studi ini merupakan kombinasi antara
pendekatan linier dan non linier dan bersifat apriori (Gambar 5). Hasil-hasil
perhitungan berdasarkan ketiga skenario yang disusun memperlihatkan bahwa
komposisi persentase luasan substrat bentik menjadi lebih relevan untuk dijadikan
pertimbangan. Dalam hal ini, skenario 3 dapat dianggap sebagai pendekatan yang
lebih moderat sebagai dasar untuk penetapan luas terumbu karang di Sulawesi
Tenggara berdasarkan citra Landsat 8.

Kesimpulan
Habitat terumbu karang Sulawesi Tenggara yang berhasil dipetakan oleh
citra Landsat 8 adalah sekitar 167.472 hektar. Wilayah terumbu karang yang
paling luas terpetakan adalah di daerah Wakatobi. Luasan substrat karang di
Sulawesi Tenggara diestimasi bervariasi antara 22,7 ribu hingga 41,3 ribu hektar,
substrat submerged aquatic vegetation (SAV) memiliki luas antara 56,9 ribu
hingga 97,9 ribu hektar dan pasir antara 28,2 ribu hingga 87,9 ribu hektar. Bila
skenario moderat yang dipilih, maka luas substrat karang, SAV dan pasir masing-
masing adalah sekitar 31,4 ribu, 63,8 ribu dan 72,2 ribu hektar.
Informasi ini diharapkan dapat membantu pengambil kebijakan dalam
pengelolaan sumberdaya karang terkait dengan konservasi jenis ikan yang
dilindungi. Institusi terkait perlu mengembangkan teknologi hidroakustik untuk
menyempurnakan pemetaan habitat karang pada zona kedalaman lebih dari 10
meter.

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada BPSPL Makassar atas dukungan
pendanaan untuk kegiatan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada staf BPSPL Makassar yang turut serta dalam survei
lapangan: Muhammad Rizal, Mahmuddin, Asnawir, Masmidin dan Hamsir.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 39
Daftar Pustaka
Andréfouët, S. Robinson, J. A. Hu, C. Feldman, G. C. Salvat, B. Payri, C. and Muller-
Karger, F. E. 2003. Influence of the spatial resolution of SeaWiFS, Landsat-7,
SPOT, and International Space Station data on estimates of landscape parameters
of Pacific Ocean atolls,” Can. J. Remote Sens., vol. 29, no. 2, pp. 210–218.

Cesar, H. S. J. 2002. Coral Reefs : Their Functions.OceanDocs, pp. 14–39.

Eastman JR. 1999. Idrisi 32 - Guide to GIS and Image Processing Vol. 2. Clark Labs.
Clark University. pp 1-47

Gratwicke B. and Speight, M. R. 2005. The relationship between fish species richness,
abundance and habitat complexity in a range of shallow tropical marine habitats.
J. Fish Biol., vol. 66, no. 3, pp. 650–667.

Hedley and P. J. Mumby. 2003. A remote sensing method for resolving depth and
subpixel composition of aquatic benthos. Limnol. Oceanogr., vol. 48, no. 1995, pp.
480–488.

Jörgensen, T. L., E. C. Martin, and A. J. Burt. 2015. Spatial variability in habitat structure
and heterogenic coral reef fish assemblages inside a small-scale marine reserve
after a coral mass mortality event. Ocean Coast. Manag. Vol. 114, pp. 32–41.

Lyons, M. Phinn, S. and Roelfsema, C. 2011. Integrating Quickbird multi-spectral


satellite and field data: Mapping bathymetry, seagrass cover, seagrass species and
change in Moreton Bay, Australia in 2004 and 2007. Remote Sens., vol. 3, no. 1,
pp. 42–64.

Lyzenga, D. R. , Malinas, N. P. and Tanis, F. J. 2006. Multispectral bathymetry using a


simple physically based algorithm. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens., vol. 44, no.
8, pp. 2251–2259.

Lyzenga, D.R. 1978. Passive remote sensing techniques for mapping water depth and
bottom features. Applied Optics. Vol. 17 (3) pp. 379-383.

Lyzenga, D.R. 1981. Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation
parameters in shallow water using aircraft and Landsat data. International Journal
of Remote Sensing Vol. 2, pp. 71-82.

Maeder, J. Narumalani, S. Rundquist, D. Perk, R. L. Schalles, J. Hutchins, K. and Keck,


J. 2002. Classifying and Mapping General Coral-Reef Structure Using Ikonos
Data. Photogramm. Eng. Remote Sens., vol. 68, no. 12, pp. 1297–1305.

Manuputty AEW & Djuariah. 2009. Panduan Metode Point Intercept Transect (PIT)
untuk Masyarakat: Studi Baseline dan Monitoring Kesehatan Karang di Lokasi
Daerah Perlindungan laut (DPL). Jakarta: Coremap II-LIPI.

Maritorena, S. Remote sensing of the water attenuation in coral reefs: a case study in
French Polynesia. 1996. Int. J. Remote Sens., vol. 17, no. 1, pp. 155–166.

Mumby, P. J. W. Skirving, A. E. Strong, J. T. Hardy, E. F. LeDrew, E. J. Hochberg, R.


P. Stumpf, and L. T. David. 2004. Remote sensing of coral reefs and their physical
environment. Mar. Pollut. Bull., vol. 48, no. 3–4, pp. 219–228.

Mumby, P.J., Clark, C.D., Green, E.P., and Edwards, A.J. 1998. Benefits of water column
correction and contextual editing for mapping coral reefs. International Journal of
Remote Sensing. Vol. 19: 203-210.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


40 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Olds, A. D., R. M. Connolly, K. A. Pitt, and P. S. Maxwell. 2012. Primacy of seascape


connectivity effects in structuring coral reef fish assemblages,” Mar. Ecol. Prog.
Ser., Vol. 462, no. March, pp. 191–203.

Roelfsema, C. Phinn, S. Jupiter, S. Comley, J. and Albert, S. 2013. Mapping coral reefs
at reef to reef-system scales, 10s–1000s km 2 , using object-based image analysis.
Int. J. Remote Sens., vol. 34, no. 18, pp. 6367–6388.

Selamat, M. B. Jaya, I. Siregar, V. P. and Hestirianoto, T. 2012. The Application of


Quickbird Imagery for 3D Mapping of Bottom Substrate at Patch Reef. J.
Geomatika, vol. 18, no. 2, pp. 95–106.

USGS, 2015. Landsat 8 data User Handbook. Department of the Interior U.S. Geological
Survey. 106 pages

Werdell, P. J. and Roesler, C. S. 2003. Remote assessment of benthic substrate


composition in shallow waters using multispectral reflectance. Limnol. Oceanogr.,
vol. 48, pp. 557–567.

Wilkinson, C. R., Lindén, O., Cesar, H., Hodgson, G., Rubens, J., & Strong, A. E. 1999.
Ecological and Socioeconomic Impacts of 1998 Coral Mortality in the Indian
Ocean: An ENSO Impact and a Warning of Future Change?”. AMBIO, Vol. 28,
No. 2, pp. 188–196.

Zawada, D. G. and Brock, J. C. 2009. A Multiscale Analysis of Coral Reef Topographic


Complexity Using Lidar-Derived Bathymetry. J. Coast. Res., vol. 10053, pp. 6–15.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 41
ISBN: 978-602-71759-2-1

Pengelolaan Perikanan Karang dengan Pendekatan


Ekosistem: Studi kasus dimensi kelembagaan Wppnri 572
di Aceh Jaya
Coral Fisheries Management with Ecosystem Approach: Case
Study of Institutional Dimension of Indonesian Fisheries
Management Area of 572 at Aceh Jaya
Edwarsyah
Fisheries Study Program, Faculty of Fisheries and Marine Science Teuku Umar
University, Meulaboh, West Aceh, Aceh Province.
Email: edwarsyah@utu.ac.id. Phone: 085277492955

ABSTRACT
One decade post Tsunami Aceh in 2004, the circumstance of coral reef ecosystem in Aceh Jaya
Water have been partially experienced the recovery significantly and some restoration efforts have
already been undertaken by stakeholder that including coral transplantation and fish home. The
analysis of satelite of Landsat 7ETM revealed that the coral reef extent in the Aceh Jaya water
reached 619,40 ha. The regulation of Aceh government namely Qanun of Aceh Number 7, 2010
regarding fisheries have been prevailed. Moreover, institutional system has not yet functioned
optimally within management of coral fisheries. The objectives are to study the institutional
domain on management of coral fisheries. The method of study is used by qualitative study. The
sampling method was survey method that undertaken with purpossive and depth interview to
responden that regarded to possess information and wide knowledge regarding instituonal domain.
The analysis data is used EAFM that undertaken with approach of institutional indicators. The
visualization of EAFM assessment indicators with used flag modelling tecnique. Accordng to the
result that the asssessment to the indicator of compliance to fisheries principal responsibility,
institutional mecanism, level of policy sinergity and capacity of stakeholder still categorised good.
Meanwhile, the indicator was categorised was bad in Indicator RPP.
Keywords: Institutional, Management, Fisheries, Coral, Ecosystem

Pendahuluan
Undang-UndangDasar1945 Pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa bumi
dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumberdaya ikan
karang di Perairan Aceh Jaya yang strategis berhadapan langsung dengan
samudera Hindia merupakan suatu kekayaan alam yang terkandung di dalam air,
dan oleh sebab itu sudah seharusnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumberdaya ikan tersebut harus
didayagunakan untuk mendukung terwujudnya kedaulatan pangan khususnya
pasokan protein ikan yang sangat bermanfaat untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat.
Pengelolaan perikanan merupakan semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan dibidang
perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lan yang diarahkan untuk
mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang disepakati (KKP-RI, 2012). Pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 323
dicapai melalui pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem
Approach to Fisheries management). Ecosystem Approach to Fisheries
management (EAFM) merupakan sebuah konsep yang menyeimbangkan antara
tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan,
keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan) dengan tetap mempertimbangkan
pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik, dan
interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan
perikanan terpadu, komprehensif dan berkelanjutan (KKP-RI, 2012).
Satu dekade pasca Tsunami tahun 2004, kondisi di perairan Aceh Jaya
sebagian besar sudah mengalami pemulihan yang cukup signifikan dan beberapa
upaya restorasi karang yang dilakukan oleh stakeholder meliputi transplantasi
karang dan pembuatan fish home. KabupatenAceh Jaya memiliki 34 pulau-pulau
kecil dengan tiga kawasan konservasi yaitu Kawasan Peudhiet Laot (KPL)
Keluang Daya, Kawasan Ramah Lingkungan (KRL) Lhok Rigaih dan Kawasan
konservasi Penyuaronmeubanja. Kabupaten Aceh Jaya saat ini terbagi ke dalam
duabelas (12) Lhok yang merupakan kawasan yang dikelola lembaga adat yang
dipimpin oleh satu orang panglima laot. Duabelas (12) Lhok tersebut adalah Lhok
Teunom, Lhok Panga, Lhok Calang, Lhok Rigaih, Lhok Lageun, Lhok Patek,
Lhok Babah Nipah, Lhok Kruet, Lhok Kuala Unga, Lhok Kuala Daya, Lhok
LambeusoidanLhok Ujong Seudhen.
Secara alamiah, pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga
dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya
perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat ; (3) dimensi kebijakan
perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Dalam dimensi kebijakan tersebut
diperlukan suatu kelembagaan karena kelembagaan sangat erat kaitannya dengan
kebijakan. Kebijakan yang bagus tanpa didukung kelembagaan yang baik tidak
akan membawa proses pembangunan ke arah yang lebih baik.Sebagian pakar
spesialis kelembagaan hanya memusatkan perhatian pada kode etik, aturan main
sedangkan sebagian hanya melihat pada organisasi dengan struktur dan fungsi dan
manajemennya. Kebanyakan analisis kelembagaan saat ini memadukan organisasi
dan aturan main. Aspek kelembagaan pengelolaan perikanan khususnya ikan
karang di kabupaten Aceh masih belum dikaji secara komprehensif mulai dari
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab,
kelengkapan aturan main, mekanisme pengambilan keputusan, rencana
pengelolaan perikanan, tingkat sinergitas kebijakan dan kapasitas pemangku
kepentingan.Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang kajian domain kelembagaan pada pengelolaan perikanan
karang dengan pendekatan ekosistem di perairan Aceh Jaya (WPP-NRI 572).
Adapun kerangka pemikiran penelitian tersebut tertera pada Gambar 1.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperkuat sistem
kelembagaan pengelolaan perikanan khususnya ikan karang di Perairan Aceh Jaya
(WPP-NRI 572). Tujuan khusus penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


324 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

perikanan karang di perairan Aceh Jaya dengan menggunakan indikator domain


kelembagaan EAFM;Merumuskan strategi dan langkah-langkah taktis
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) di Perairan Aceh
Jaya melalui pendekatan keputusan taktis (Tactical Decision).

Gambar 1. Kerangka pemikiran dari penelitian ini

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2015 di Lhok
Panga, Lhok Calang dan Lhok RigaihKabupaten Aceh Jaya, Propinsi Aceh
Metode pengambilan data yang digunakan adalah purposive sampling,
dimana pengambilan sampel dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata
yang ada dalam populasi. Sampel diambil secara purposive dengan tujuan
mendapatkan gambaran kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan karang
berbasis EAFM di kelembagaan Kabupaten Aceh Jaya. Pemilihan responden
berdasarkan pertimbangan banyaknya informasi yang diketahui atau dikuasai
responden. Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder.
Data primer untuk wawancara dan kuisioner diproleh dari sampel responden yang
dipilih secara khusus dari pelaku (individu atau organisasi) yang mengerti
terhadap permasalahan penelitian. Pengisian kuisioner dan wawancara ditujukan
langsung kepada pihak POKMASWAS, Panglima Laot, Dinas Kelautan dan
Perikanan, LSM dan Nelayan. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan
mengenai informasi tentang pengelolaan sumberdaya perikanan karang berupa

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 325
laporan data statistik perikanan, laporan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
literatur yang terkait

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian. Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Aceh Jaya, 2013)

Analisis Data
Analisis EAFM ini dilakukan melalui pendekatan indikator. Indikatorsecara
sederhana didefinisikan sebagai sebagai sebuah alat atau jalan untukmengukur,
mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurangdari ukuran
yang diinginkan (Gavaris 2009). Pada penelitian ini dilakukanpenilaian terhadap
6 indikator pada domain kelembagaan. Setiap indikator memiliki kriteria dan
bobot penilaian yang berbeda. Kriteria dan bobotmasing-masing indikator dapat
dilihat pada Tabel 1 (KKP RI, 2012).
Visualisasi hasil penilaian indikator EAFM menggunakan teknik flag
modeling. Teknis Flag Modeling dilakukan dengan pendekatan multi-criteria
analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis
keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam
pengelolaan perikanan melalui pengembangan indeks komposit. Tahapan yang
dilakukan (Adrianto et al. 2005) adalah Kaji keragaan masing-masing WPP untuk
setiap indikator yang diuji. Berikan skor untuk setiap keragaan indikator pada
masing-masing WPP (skor Likert berbasis ordinal 1,2,3). Tentukan bobot untuk
setiap indikator.
Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek untuk setiap WPP
dengan model fungsi:
CAi = f (CAni….n=1,2,3…..m)
Lalu kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM pada
masing-masing WPP dengan model fungsi sebagai berikut :

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


326 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

C-WPPi = f (Caiy y = 1,2,3…z; z = 11)


Tabel 1. Indikator domain kelembagaan
Metode
Indikator Kriteria Bobot
Pengukuran
1. Kepatuhan terhadap Wawancara 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggar-an hukum dalam 25
prinsip-prinsip perikanan pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran
yang bertanggung jawab hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
dalam pengelolaan Non formal 11
perikanan yang telah 1= lebih dari 5 informasi pelanggar-an, 2= lebih dari 3
ditetapkan baik secara informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi
formal maupun non- pelanggaran
formal
2. Kelengkapan aturan Wawancara 1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi 11
main dalam pengelola-an pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain; 2
perikanan = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan
perikanan untuk 3 - 5 domain; 3 = tersedia regulasi
lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari
6 domain

Elaborasi untuk poin 2 11


1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi
jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah

1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan


aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan
aturan main dan efektif

1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi
tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada
tindakan

1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran


atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman

3. Mekanisme Wawancara 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada 18


pengambilan keputusan mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada
mekanisme dan berjalan efektif

1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada


keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada
keputusan dijalankan sepenuhnya

4. Rencana pengelolaan Wawancara 1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum 15
perikanan sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah
dijalankan sepenuhnya

5. Tingkat sinergisitas Wawancara 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga 11


kebijakan dan berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga
kelembagaan pengelolaan tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
perikanan
1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 =
kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan
saling mendukung

6. Kapasitas pemangku Wawancara 1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak 9


kepentingan difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan
fungsi pekerjaannya); 3 = ada dan difungsikan
(keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 327
Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan menggunakan
analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan
dalam bentuk model bendera (flag model) dengan kriteria seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Visualisasi Model Bendera untuk Indikator EAFM Wilayah Pengelolaan
Perikanan Karang
Nilai Skor Komposit Model Bendera Deskripsi
0 - 20 Buruk
21 - 40 Kurang Baik
41 – 60 Sedang
61 - 80 Baik
81 – 100 Baik Sekali

Untuk aspek kelembagaan, terdapat 5 indikator yang dijadikan basis untuk


penilaian keragaan EAFM yaitu (1) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan
perikanan; (2) tingkat sinergi kelembagaan dan kebijakan dalam pengelolaan
perikanan; (3) upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan; (4)
mekanisme kelembagaan; (5) kelengkapan aturan main pengelolaan perikanan;
(6) rencana pengelolaan perikanan; dan (7) kepatuhan terhadap aturan formal dan
informal dalam pengelolaan perikanan. Setelah itu, dibuat agregat komposit
domain kelembagaan.

Pendekatan Keputusan Taktis


Pendekatan keputusan taktis merupakan suatu tindakan untuk
menentukanlangkah taktis yang akan dilakukan untuk mencapai rencana strategi
pengelolaan.Pengambilan keputusan taktis adalah memutuskan pada tindakan
(taktik) untukmencapai strategi pengelolaan (Trophia Ltd, 2011). Penilaian
indikator merupakansalah satu cara pengukuran (management measure) dalam
pengelolaan perikananuntuk mendapatkan suatu set data yang akan digunakan
dalam pengambilankeputusan taktis.Keputusan taktis merupakan langkah yang
diambil untukpengelolaan sebagai respon dari data perikanan (Trophia Ltd, 2011).
Langkah-langkah pendekatan keputusan taktis adalah 1. Menentukan tujuan
pengelolaan (management objective) yang dapat dilakukan; 2. Menetapkan titik
acuan (reference point); 3. Menetapkan strategi yang akan dilakukan; 4.
Menentukan langkah-langkah taktis untuk mencapai strategi pengelolaan.

Hasil dan Pembahasan


Kondisi Umum lokasi penelitian
Kabupaten Aceh Jaya mempunyai luas wilayah 3.872,70 Km 2(berdasarkan
digitasi GIS) terletak pada 04022 sampai 5016’ garis lintang Utara dan 95002
sampai 96003 bujur Timur. Wilayah Aceh Jaya merupakan bagian pantai barat dan
daratan kepulauan sumatera yang membentang dari Barat ke Timur mulai dari
kaki gunung Geruete (perbatasan Aceh Besar) sampai ke Cot Paleng (Perbatasan
Aceh Barat) dengan panjang garis pantai sejauh 220,46 Km dan luas wilayah
kewenangan laut sebesar 104.527,74 Ha. Kabupaten Aceh Jaya merupakan daerah

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


328 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2002. Secara administratif,
kabupaten Aceh Jaya terbagi ke dalam sembilan (9) wilayah yaitu Kecamatan
Jaya, Indra Jaya, Sampoiniet, Darul Hikmah, Setia Bakti, Panga, Krueng Sabee,
Teunom dan Pasie Raya. Selain sembilan kecamatan tersebut juga terdapat 21
kemukiman dan 173 desa. Batas-batas administrasiny adalah Sebelah Utara
dengan Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, sebelah selatan dengan
Samudera Indonesia dan Kabupaten Aceh Besar, sebelah Timur dengan
Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Besar,dan sebelah Barat dengan Samudera
Indonesia dan Kabupaten Aceh Besar
Karakteristik wilayah Kabupaten Aceh Jaya yang berbukit-bukit juga
terdapat sampai ke wilayah pesisir. Oleh karena itu, hanya wilayah pantai
sepanjang 156 km yang dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman penduduk,
kegiatan pertanian, perkebunan serta perikanan dan wisata pantai.
Sebagaimana wilayah Indonesia atau wilayah tropis lainnya, Kabupaten
Aceh Jaya juga berhawa tropis yang lembab dan dikenal 2 (dua) musim yaitu
musim hujan yang biasa terjadi bulan September sampai Februari dengan jumlah
hari hujan terbesar berkisar antara 120-170 hari, besar hujan rata-rata per tahun
berkisar antara 2000-4000 mm. Kemudian musim kemarau biasanya berlangsung
antara bulan Maret sampai Agustus dengan rata-rata berkisar antara 26-33 0C pada
siang hari dan 23 – 25 0C malam hari. Bila dilihat dari persentase kemiringan dan
besar ketinggian diatas 25 meter dari permukaan laut.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat


Responden yang diwawancarai terbagi menjadi responden masyarakat
nelayan dan responden kelembagaan. Responden kelembagaan yang
diwawancarai yaitu pihak DKP Kabupaten Aceh jaya, Panglima Laot Se-Lhok
Aceh Jaya, POKMASWAS dan Aparat Desa. Responden rumah tangga nelayan
pada penelitian ini terdiri dari 20 nelayan.

Potensi Perikanan Karang


Kegiatan perikanan yang dilakukan di Perairan Aceh Jaya merupakan
kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan budidaya meliputi
budidaya kolam, tambak dan keramba. Selain itu, marikultur juga memiliki
prospek yang cukup cerah di perairan Aceh Jaya berupa budidaya lobster. Benih
lobster diambil di sekitar kawasan terumbu karang dan ditampung di wadah
pembesaran yang menggunakan shelter plastik. Lobster dan kepiting merupakan
salah satu komoditas unggulan ekspor di Kabupaten Aceh Jaya (Gambar 3A).

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 329
Gambar 3. A. Budidaya Lobster di perairan Lhok Rigaih Aceh Jaya, B. Hasil Tangkapan
Ikan Karang di PPI Lhok Rigaih Kabupaten Aceh Jaya. Sumber:
(Dokumentasi Penelitian, 2015)
Jumlah total nelayandari 12 Lhok tersebut 2.548 nelayan (Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya, 2014). Nelayan Aceh Jaya mayoritas
menggunakan alat tangkap pancing dan jaring karang dalam melakukan
penangkapan ikan karang. Jenis hasil tangkapan berupa ikan kerapu (serranidae),
ikan kakap (lutjanidae), ikan ekor kuning (Caesonidae), Ikan lencam (Lethrinidae)
dan lobster (Panulirus sp) (Gambar 3B).

Gambar 4. Kelompok Ikan di Kabupaten Aceh Jaya. Sumber : (MCRMP, 2006)


Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Jaya dalam
dua tahun terakhir mulai tahun 2013-2014 menunjukkan adanya penurunan stok
hasil tangkapan ikan karang pada tahun 2013 yang meliputi ikan kerapu (409 ton),
ikan kakap (510,8 ton) dan lobster (1034 ton) sedangkan hasil tangkapan tahun
2014 yang meliputi ikan kerapu (356,5 ton), ikan kakap (444 ton) dan lobster
(969,54 ton). Penurunan stok ikan karang belum diketahui penyebab sehingga
perlu adanya kajian lebih lanjut tentang stok hasil tangkapan ikan karang.
Berdasarkan laporan Marine and Coastal Resources Management Project
(MCRMP) tahun 2006 bahwa total 11,411 ikan dari 118 spesies, hasil perhitungan
8 transek sampel reef di Aceh Jaya. Jenis ikan dominan yang ditemukan Alectis
sp berjumlah 8.6%. Stok diperkirakan sebesar 57,538 kg, terdiri dari sweetlip
14,525 kg, Snapper 21,724 kg, Parrot 4,286 kg, Coral Trout 11,1 kg, kelompok
lainnya 55.3 kg dan Bumphead Parrot 802 kg (Gambar 4).

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


330 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Analisis Flag Modelling


Teknik Flag Modellingdigunakan untuk dapat melihat status atau kategori
penilaian indikator yang telah dilakukan. Indeks komposit agregat indikator
EAFM dilakukan dengan menjumlahkan indikator pada domain kelembagaan.
Penilaian indikator pada domain kelembagaan dilakukan terhadap enam indikator
(Tabel 3). Hasil analisis komposit menunjukkan bahwa nilai komposit domain
kelembagaan yaitu 65.
Tabel 3. Analisis komposit domain kelembagaan
Kelem-
1* 2* 3* 4* 5* 6* Total Nilai Ket
bagaan
Tidak
tetap dan Ada dan
< 2 kali sepenuh Komunikasi
tidak Belum berfungsi
Hasil Pelang- nya efektif antar
Bertambah ada RPP sesuai
garan dijalan- lembaga
Aturan pekerjaan
kan
Skor 2,9 2,0 2,5 1,10 2,8 2,9
bobot 25 22 18 15 11 9
Skor
29 28
Densitas 12 28 18 29
Nilai 2103 1725 540 1 554 757 5679 65 Baik
Ket. 1) Kepatuhan terhadap prinsip-perinsip perikanan yang bertanggung jawab, 2) kelengkapan
aturan main, 3) mekanisme kelembagaan, 4) rencana pengelolaan perikanan, 5) tingkat
sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, 6) kapasitas pemangku
kepentingan. Sumber : (Data primer diolah, 2015)
Pada domain kelembagaan terdapat Indikator yang tergolong dalam kondisi
baik yaitu kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab,
kelengkapan aturan main, tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan
pengelolaan perikanan dan kapasitas pemangku kepentingan. Hal ini disebabkan
oleh regulasi pengelolaan perikanan baik formal berupa aturan pemerintah Aceh
berupa Qanun Aceh No. 7 tahun 2010 dan Peraturan lainnya dan aturan non-
formal berupa hukum adat laot. Ketentuan adat yang umumnya disepakati di
seluruh kawasan Lhok Aceh Jaya. Kelengkapan aturan main bertambah dalam
pengelolaan perikanan karang melalui
Keputusan Bupati Aceh Jaya No. 045 Tahun 2015 tentang kawasan
konservasi perairan daerah Kabupaten Aceh Jaya. Tingkat sinergitas kebijakan
dan kelembagaan pengelolaan perikanan di Kabupaten Aceh Jaya masih tergolong
baik karena antar lembaga masih melakukan koordinasi dan komunikasi yang
efektif. Selain itu, dukungan lembaga terkait dalam kegiatan konservasi dan
pemulihan suatau kawasan serta tidak ada konflik antar lembaga dalam
pengelolalaan perikanan karang. Pada kapasitas pemangku kepentingan juga
tergolong baik. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan telah dapat diterapkan dalam perikanan karang.
Indikator yang tergolong kondisi sedang yaitu pada indikator mekanisme
kelembagaan dan kelengkapan aturan main sedangkan indikator RPP tergolong
kondisi kurang baik. Kondisi ini disebabkan oleh wilayah Kabupaten Aceh Jaya
masih belum memiliki RPP. Berdasarkan hasil wawancara dengan DKP

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 331
Kabupaten Aceh Jaya bahwa kendala dalam penyusunan RPP adalah keterbatasan
anggaran dan sumberdaya manusia (SDM).

Strategi Pengelolaan
Strategi dilakukan berdasarkan dengan apa yang harus dilakukan untuk
memenuhi tujuan pengelolaan. Strategicdecision harus dapat memfasilitasi
perbandingan atribut yang dihasilkan dengan alternatif referensi yang dipilih
menghubungkan referensi tekanan untuk atribut dan dinamika kekuatan lain yang
mempengaruhi atribut . Rumusan strategi untuk pengelolaan perikanan karang di
kawasan perairan adalah dengan memperketatdan memperkuat pengawasan
Perairan Aceh Jaya, menambah jumlah kelengkapan aturan main dalam
pengelolaan perikanan, menjaga agar keputusan lembaga dapat dijalankan
sepenuhnya, mengatur rencana pengelolaan perikanan (RPP) agar dapat
dijalankan sepenuhnya, menjaga sinergitas antar lembaga, dan meningkatkan
kapasitas stakeholder secara menyeluruh

Langkah Taktis
Keputusan taktis merupakan bagaimana cara yang akan dilakukan
untukmengimplementasikan strategi pengelolaan yang telah ditetapkan. Taktik
adalahlangkah-langkah pengaturan yang dapat memberikan umpan balik dan
dapatdisesuaikan untuk mencapai strategi (Gavaris, 2009). Langkah taktis
dilakukanterhadap indikator yang tidak sesuai dengan nilai reference point atau
yangmemiliki skor 1 dan 2 dalam penilaian perikanan melalui pendekatan
EAFM.Langkah taktis ini dilakukan agar dapat meningkatkan skor atau kondisi
perikanandari kategori kurang baik menjadi sedang atau dari skor 1 menjadi 2,
dan darikategori sedang menjadi baik atau dari skor 2 menjadi 3.
Tabel 4. Langkah taktis dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
dilakukan terhadap 2 indikator domain kelembagaan. Langkah taktis ini perlu
dilakukan untuk dapat meningkatkan status kawasan perikanan karang Aceh
Jaya dari status baik menjadi baik sekali. Sumber Data Primer diolah kembali,
2015.
Atribut Nilai Aktual Referensi indikator Langkah Taktis
skor kriteria skor Kriteria
Mekanisme 2 Tidak 3 Apabila ada keputusan MONEV terhadap
kelembagaan sepenuhnya harus dijalankan pengelolaan perikanan
dijalankan sepenuhnya karang

Rencana 1 Masih belum 2 Ada RPP, namun Memfasilitasi dalam


Pengelolaan ada RPP belum dijalankan merumuskan RPP
Perikanan perikanan karang dan
(RPP) melakukan MONEV
terhadap RPP

Kelengkapan 2 Ada dan 3 Ada dan jumlahnya Menambah regulasi dalam


aturan main jumlahnya tetap bertambah pengelolaan karang

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


332 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka disimpulkan bahwa penilaian perikanan
karang melalui indikator domain kelembagaan EAFM didapatkan status atau
kondisi perikanan di wilayah Aceh Jaya termasuk kategori baik. Strategi
pengelolaan perikanan karang di wilayah Aceh Jaya dirumuskan terhadap
indikator domain kelembagaan berdasarkan nilaireference point tiap indikator.
Langkah taktis dirumuskan pada indikator yang memiliki penilai sedang dan
kurang baik. Rumusan langkah taktis tersebut yaitu MONEV terhadap
pengelolaan perikanan karang dan memfasilitasi dalam merumuskan RPP
perikanan karang dan melakukan MONEV terhadap RPP.
Dirasa perlu adanya kajian lebih lanjut pada kelima domain secara bertahap
untuk menginterpretasi pola pengelolaan perikanan secara terintegrasi untuk
mewujudkan pengelolaan secara berkelanjutan. Perlu kajian lebih lanjut yang
menfokuskan pada produk unggulan Aceh Jaya yaitu Perikanan Lobster
(Panulirus sp) berdasarkan pendekatan ekosistem. Pemerintah pusat perlu
memfasilitasi dalam perumusan dan pembentukan RPP perikanan Karang di Aceh
Jaya

Daftar Pustaka
Adrianto L, Matsuda Y, Sakuma Y. 2005. Assesing Sustainability of Fishery Systems
in A Small Island Region: Flag Modeling Approach. Proceeding ofIIFET. 2005.

Charles, A.T. 2001.Sustainable fishery system. Blackwell Scientific Publications.


Oxford. UK.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya. DATABASE 2014 Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya.

Gavaris S. 2009. Fisheries management planning and support for strategic and tactical
decisions in an ecosystem approach context. Fisheries Research. 100: 6–14

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan, [WWF-Indonesia] World WideFoundation,


[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Laut dan Pesisir,Institut Pertanian Bogor.
2012. Penilaian Indikator Pendekatan EkosistemUntuk Pengelolaan Perikanan
(Ecosystem Approach to FisheriesManagement). Modul Training.

Trophia Ltd. 2011. Fisheries management procedures: a potential decision makingtool for
fisheries management in California. Quantitative ResourceAssessment LLC.
California.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 333

Anda mungkin juga menyukai