Anda di halaman 1dari 183

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326798986

Biologi Reproduksi Ikan Endemik Pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


di Sulawesi Selatan

Thesis · August 2018

CITATIONS READS

9 1,416

2 authors:

Muhammad Nur Sharifuddin Bin Andy Omar


Universitas Sulawesi Barat Universitas Hasanuddin
25 PUBLICATIONS   25 CITATIONS    53 PUBLICATIONS   129 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Udang galah View project

Endemic fishes of South Sulawesi View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Nur on 03 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


i

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK


(Lagusia micracanthus BLEEKER, 1860)
DI SULAWESI SELATAN

THE BIOLOGICAL REPRODUCTION OF THE ENDEMIC


PIRIK FISH (Lagusia micracanthus BLEEKER, 1860)
IN SOUTH SULAWESI PROVINCE

MUHAMMAD NUR

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK


(Lagusia micracanthus BLEEKER, 1860)
DI SULAWESI SELATAN

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Ilmu Perikanan

Disusun dan diajukan oleh

MUHAMMAD NUR

kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
iv

PERYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini


Nama : Muhammad Nur
Nomor Mahasiswa : P3300213418
Program Studi : Ilmu Perikanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini


adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di
kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Juli 2015
Yang menyatakan
ttd

Muhammad Nur
v

PRAKATA

Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan petunjuk,

kesabaran dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Gagasan yang melatari penelitian ini berawal dari keprihatinan penulis

terhadap spesies-spesies ikan endemik di Sulawesi yang kurang

diperhatikan oleh para peneliti, namun telah mengalami degradasi

populasi dan tekanan pada habitatnya. Penulis bermaksud

menyumbangkan beberapa informasi biologi terhadap salah satu spesies

ikan endemik Sulawesi, sehingga dapat menjadi acuan bagi pihak terkait

dalam rangka pengelolaan secara berkelanjutan terhadap spesies ini.

Penulis menyadari bahwa selesainya Tesis ini tak lepas dari

bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak berlebihan jika dalam kesempatan

ini penulis menyampaikan rasa penghargaan yang setinggi-tingginya dan

ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : Prof. Dr. Ir. Sharifuddin

Bin Andy Omar, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Joeharnani Trenati, DEA selaku

komisi penasehat yang telah banyak meluangkan waktu, membimbing dan

memberikan arahan kepada penulis, beserta Prof. Dr. Ir. Farida Gassing

Sitepu MS, Prof. Dr. Ir. AmboTuwo, DEA dan Prof. Dr. Ir. Achmar

Mallawa, DEA selaku dosen penguji beserta Prof. Dr. Ir. Muhammad Iqbal

Burhanuddin dan Ibu Dr. Renny Hadiaty atas segala bantuan dan motivasi

yang telah diberikan, sehingga penulis tertarik meneliti spesies ikan

endemik seperti spesies yang saat ini menjadi topik penelitian penulis.
vi

Teristimewa kepada Ibunda tercinta Suarni dan Ayahanda Zainal

Arifin Abbas (Alm.) atas segala bimbingan dan nasehat yang telah

diberikan. semoga Ayahanda dan Ibunda senantiasa bangga dan semoga

Allah SWT membalas kelak dengan surga terbaikNya, Amin. Kepada

Keluarga, Saudaraku : Winardi, S.Pd M.Si, Nur Intan Z. S.Pd, Sri Purnama

Wati S.Pd, Mutmainnah, Ana Fitriana, M. Amin dan Nurul Rahma serta

tekhusus kepada Damayanti Alwi S.Pi atas segala doa dan dukungan

yang begitu besar yang diberikan selama ini kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga kepada KPS, Dosen dan Staf PPS Ilmu

Perikanan, Dr. Irmawati S.Pi, M.Si selaku kepala Lab. biologi perikanan,

Ibu Suriati dan Kak Herfiani selaku kepala dan analis lab. histologi Balai

Karantina Makassar, Dr.Ir.Muh.Arifin Dahlan MS, Ir.Moh.Tauhid M.Si,

Amrullah S.Pi, Kel. Bapak Ancu (Maros), Kel. Bpk Melli (Bone), Tibu Alam

S.Pi, Syamsul Alam S.Pi, terkhusus Tim Peneliti (Rezki T.A. S.Pi, Nurul

Fatanah A. S.Pi, Muh.Nur Adnan, Dian Pratiwi), Syainullah Wahana S.Pi,

Arnold Kabangga S.Pi, Jamaluddin Fitrah Alam, S.Pi, Harizah Hamzah

S.Pi, beserta seluruh pihak dan semua teman teman Mahasiswa PPS Ilmu

Perikanan Ank. 2013 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu,

penulis ucapkan banyak terima kasih. Akhirnya kepada Allah Jualah

penulis serahkan segala budibaik, semoga Allah SWT membalas dan

melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua, Amin.

Makassar, Juli 2015

Muhammad Nur
vii

ABSTRAK
MUHAMMAD NUR. Biologi Reproduksi Ikan Endemik Pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) di Sulawesi Selatan (dibimbing oleh
Sharifuddin Bin Andy Omar dan Joeharnani Tresnati).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek reproduksi ikan


endemik pirik meliputi tipe pertumbuhan dan faktor kondisi, nisbah
kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad
(IKG), ukuran pertama kali matang gonad, fekunditas, diameter telur dan
potensi reproduksi.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2014 hingga
Februari 2015 di Sungai Pattunuang, Desa Samangki, Kabupaten Maros
dan Sungai Sanrego, Desa Langi, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Jumlah ikan pirik yang diperoleh di Sungai Pattunuang sebanyak 599
ekor (307 jantan dan 292 betina), di Sungai Sanrego diperoleh 162 ekor
(72 ekor jantan dan 90 betina).
Hasil penelitian menunjukkan ikan pirik di Sungai Pattunuang
memiliki tipe pertumbuhan isometrik dan di sungai Sanrego memiliki tipe
pertumbuhan allometrik negatif (minor). Faktor kondisi ikan betina lebih
besar dibandingkan ikan jantan. Nisbah kelamin berbeda nyata (bukan 1 :
1). Analisis terhadap TKG dan IKG menunjukkan ikan pirik memijah pada
bulan September - November atau akhir musim kemarau dan awal musim
penghujan. Ikan jantan matang gonad pertama kali pada ukuran yang
lebih kecil dibandingkan ikan betina. Fekunditas ikan pirik di Sungai
Pattunuang berkisar 55 – 3.415 butir telur dengan rata-rata 481 butir telur
dan di Sungai Sanrego berkisar 680 – 4.447 butir telur dengan rata-rata
2.247 butir telur. Potensi reproduksi ikan pirik tertinggi di Sungai
Pattunuang yaitu 28.905 pada kisaran panjang total 60 – 70 mm
sedangkan di Sungai Sanrego sebesar 41.368 pada kisaran panjang 80 –
90 mm. Diameter telur di Sungai Pattunuang berkisar 0,1523 - 0,8618 mm
dan di Sungai Sanrego berkisar 0,2080 - 0,8618 mm. Berdasarkan
sebaran diameter telur, ikan pirik tergolong dalam kelompok pemijahan
bertahap (partial spawner).

Kata kunci : Biologi reproduksi, ikan endemik pirik, Sungai Sanrego,


Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan.
viii

ABSTRACT
MUHAMMAD NUR. The Biological Reproduction of the Endemic Pirik Fish
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) in South Sulawesi Province
(Supervised by Sharifuddin Bin Andy Omar and Joeharnani Tresnati).

This research aimed to study the aspects of the biological


reproduction of the endemic pirik fish, which comprised the types and
condition factors, sex ratio, gonad maturity stages, Gonado-Somatic Index
(GSI), length at first maturity, fecundity, egg diameter dan productivity
capacity. The sample colletion was conducted from September 2014
through February 2015 in Pattunuang river, Samangki Village, Maros
Regency and in Sanrego river, Langi Village, South Sulawesi. There total
samples of the endemic pirik fish collected from Pattunuang river were
599 (307 male and 292 female fish) and from Sanrego river, collected 162
(72 male dan 90 female fish).
The research results revealed that the endemic pirik fish in
Pattunuang river had an isometric growth type, and those in Sanrego river
had the negative allometric (minor) growth type. The condition factors of
the female fish were larger compared to the male fish. The sex ratio were
significantly different (not 1: 1).
The analysis of the TKG and IKG that the pirik fish Spawned in
September through November or at the end dry season and the beginning
of the wet season. The first gonad of the male fish became mature when
their body measurements were still smaller than the female fish. The
Fecundity of pirik fish pirik in Pattunuang river varied from 55-3.415 eggs
with the average of 481 eggs and those in Sanrego river varied from 680
to 4.447 eggs with the average of 2.247 eggs. The highest reproductive
capacity of the pirik fish in Pattunuang river was 28.905 eggs at the
approximate length of 60 - 70 mm, while those in Sanrego river was
41.368 eggs at the approximate length of 80 – 90 mm. The egg diameter
of the endemic pirik fish in Pattunuang river was about 0,1523 - 0,8618
mm and in Sanrego river 0,2080 - 0,8618 mm in Sanrego river. Based on
the egg diameter distribution, pirik fish could be categorized as the group
of the partial spawner.

Keywords : Reproductive biology, endemic-pirik fish, Pattunuang river


Sanrego river, South Sulawesi.
ix

DAFTAR ISI

Nomor Halaman

PRAKATA ........................................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................ vii
ABSTRACT ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Sistematika dan Morfologi ................................................. 6
B. Habitat dan Distribusi ........................................................ 8
C. Aspek Biologi .................................................................... 8
D. Aspek Reproduksi ............................................................. 11
E. Karasteristik Habitat .......................................................... 24
F. Kualitas Perairan ............................................................... 27
G. Kerangka Pikir .................................................................. 32

BAB III. METODE PENELITIAN


A. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 34
B. Alat dan Bahan ................................................................. 34
C. Metode Pengumpulan Data .............................................. 36
D. Analisis Data ..................................................................... 40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Tipe Pertumbuhan dan Faktor Kondisi................................ 46
B. Nisbah Kelamin ................................................................. 63
C. Tingkat Kematangan Gonad ............................................. 68
D. Indeks Kematangan Gonad .............................................. 86
E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad .................................. 93
F. Fekunditas ......................................................................... 96
G. Diameter Telur .................................................................. 105
x

H. Potensi Reproduksi ........................................................... 109


I. Parameter Kualitas Air ....................................................... 110
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................... 120
B. Saran ................................................................................ 121

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan nilem jantan dan


betina secara morfologi (Andy Omar, 2010) ................................ 38

2. Parameter kualitas yang air diamati............................................. 39

3. Hasil analisis hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik


(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama
penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone........................................................... 47

4. Tipe pertumbuhan beberapa spesies ikan air tawar endemik...... 56

5. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama
penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros..................... 58

6. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama
penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................... 59

7. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh
selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros........ 61

8. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh
selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten
Bone............................................................................................. 62

9. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros......................................................................... 63

10. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego....... 63
xii

Nomor Halaman

11. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros......................................................................... 64

12. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone.......................................................................... 64

13. Nisbah Kelamin beberapa spesies ikan air tawar endemik.......... 67

14. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) jantan................................................................... 72

15. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) betina................................................................... 75

16. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total


di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.................................... 85

17. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total


di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................................... 85

18. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan
tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros................................................... 86

19. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan
tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone.......................................................................... 86

20. Musim pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik...... 92

21 Ukuran pertama kali matang gonad (mm) ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan di
Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........ 93

22 Ukuran pertama kali matang gonad beberapa ikan air tawar


endemik....................................................................................... 95
xiii

Nomor Halaman

23 Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros…………….. 96

24. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone.............................. 97

25. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros......................... 98

26. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone................................ 99

27. Fekunditas beberapa spesies ikan air tawar endemik................. 101

28. Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air
tawar endemik.............................................................................. 109

29. Potensi reproduksi ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker,1860) menurut panjang total (mm) di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone.......................................................................... 110

30 Suhu beberapa spesies ikan air tawar family Terapontidae........ 114

31 Oksigen terlarut beberapa spesies ikan air tawar family


Terapontidae................................................................................ 117

32 pH beberapa spesies ikan air tawar family Terapontidae........... 118


xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) tertangkap di


Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros......................................... 7

2. Kerangka pikir penelitian............................................................... 33

3. Peta lokasi pengambilan ikan contoh di Sungai pattunuang,


Kabupaten Maros dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone....... 38

4. Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros..................................................... 53

5. Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai Sanrego,
Kabupaten .........................................................................................54
Bone

6. Posisi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860)…………………………………………………………………... 69

7. Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad....................................................................... 73

8. Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad....................................................................... 74

9. Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad....................................................................... 76

10. Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad....................................................................... 77

11. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang
gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di
SungaiPattunuang,Kabupaten Maros......................................... 78
xv

Nomor Halaman

12. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada
setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros........................................................................ 79

13. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker ,1860)


yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang
gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone............................................................ 80

14. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada
setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone.......................................................... 81

15. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros........................................ 89

16. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone............................................... 89

17. Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a),


fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat
gonad (c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada
perairan Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.......................... 101

18. Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a),


fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat
gonad(c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada
perairan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone................................. 104

19. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan
gonad selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten
Maros........................................................................................... 106

20. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan
gonad selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 107

21. Sebaran rataan nilai suhu selama penelitian............................... 112


xvi

Nomor Halaman

22 Sebaran rataan nilai oksigen terlarut selama penelitian.............. 115

23 Sebaran rataan nilai pH selama penelitian................................. 117

24 Sebaran rataan nilai TDS selama penelitian............................... 119


xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Prosedur pengamatan histologi gonad ikan pirik.......................... 133

2. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros..................................... 136

3. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................................... 137

4. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros......................................................................... 138

5. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros......................................................................... 139

6. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros..................................................... 140

7. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone........................................................................... 141

8. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone........................................................................... 142

9. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone........................................................... 143

10. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik


(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros......................................... 144

11. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik


(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) Jantan dan betina di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone.............................................. 145
xviii

Nomor Halaman

12. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik


(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone.......................................................... 146

13. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik


(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone.......................................................... 147

14. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik


(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai Sanrego, Kabupaten
Bone………………………............................................................ 148

15. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros..................................................... 149

16. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone........................................................... 150

17. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad
di Sungai Pattunuang , Kabupaten Maros................................... 151

18. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone................................ 152

19. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros........................ 153

20. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone.............................................. 154

21. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad


serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama
kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros………….. 155
xix

Nomor Halaman

22. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad


serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama
kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros…………. 157

23. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad


serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama
kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone....................... 159

24. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad


serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama
kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone....................... 161
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki

keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brazil.

Keanekaragaman hayati tersebut meliputi keragaman ekosistem (habitat),

jenis (spesies), dan genetik (varietas). Di bidang perikanan, Indonesia

memiliki keanekaragaman hayati yang hidup di perairan laut maupun pada

perairan tawar. Di perairan Indonesia ditemukan 8.500 jenis ikan, 1.300

jenis ikan di antaranya hidup pada ekosistem air tawar (Budiman et al.,

2002).

Namun pada kenyataannya, keanekaragaman dan kelestarian

spesies ikan air tawar di Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai

ancaman akibat aktifitas manusia (Nasution, 2008). Aktifitas manusia

tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi sumber daya

ikan air tawar, salah satu contohnya adalah hilangnya populasi ikan

jambal (Pangasius pangasius) di Waduk Jatiluhur (KKP, 2012). Menurut

Nasution (2008), jenis ikan Indonesia yang terancam punah adalah

sebanyak 87 jenis, dan 66 spesies atau 75% di antaranya adalah ikan air

tawar. Selanjutnya Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa sebagian


2

besar (68%) dari ikan air tawar yang terancam punah tersebut adalah ikan

endemik.

Sulawesi termasuk dalam Kawasan Wallacea yang memiliki tingkat

keanekaragaman ikan dan endemisitas yang cukup tinggi (Whitten et al.,

1987). Endemisme merupakan gejala yang dialami oleh organisme untuk

menjadi unik pada lokasi geografis tertentu (Andy Omar, 2012).

Kekayaan spesies dan endemisitas merupakan dua komponen yang

sangat penting dalam biodiversitas (Mamangkey, 2010). Sulawesi

diperkirakan memiliki 56 spesies ikan air tawar endemik, 44 spesies ikan

Atherinomorpha dan sisanya merupakan spesies dari Perciformes,

Gobiodae, dan Terapontidae (Parenti, 2011).

Beberapa peneliti telah menekankan bahwa spesies ikan endemik

Sulawesi menjadi semakin terancam oleh berbagai faktor antropogenik

sehingga tidak diragukan lagi akan mengalami kepunahan pada waktu

tertentu. Oleh karena itu, pelestarian ikan air tawar endemik Sulawesi ini

merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Namun hingga saat

ini belum ada studi ekologi kuantitatif yang rinci tentang komunitas ikan

endemik, baik pada perairan sungai maupun danau di Sulawesi (Tweedley

et al., 2013).

Ikan pirik (Lagusia micracanthus) merupakan salah satu ikan air

tawar endemik dan asli (native) Sulawesi. Ikan endemik ini hidup di

sungai-sungai di Sulawesi Selatan. Meski demikian, habitat ikan ini

sangatlah terbatas, hanya terdapat pada sungai–sungai tertentu. Informasi


3

mengenai seberapa banyak populasi ikan ini di alam belum diketahui,

demikian pula data mengenai tingkat eksploitasi ikan ini juga belum

diperoleh. Namun, ikan ini telah menjadi ikan komsumsi yang dieksploitasi

sejak lama oleh masyarakat lokal.

Informasi masyarakat setempat mengindikasikan adanya

penurunan populasi ikan endemik L. micracanthus, bahkan populasi ikan

endemik ini diketahui telah mengalami kepunahan pada beberapa habitat.

Aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (penggunaan

racun dan tuba) yang intensif dilakukan oleh masyarakat lokal terhadap

spesies ekonomis tertentu, ternyata telah berdampak pula pada

penurunan dan degradasi populasi ikan endemik ini di habitatnya,

sehingga menjadi ancaman terbesar terhadap keberlanjutan spesies ini di

masa mendatang. Hal ini juga memberikan kekhawatiran yang besar akan

kepunahan spesies ikan endemik ini sebelum dilakukan penelitian.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka upaya penelitian mengenai

aspek biologi reproduksi ikan endemik L. micracanthus merupakan hal

yang penting dan mendesak untuk dilakukan. Selain itu informasi

mengenai kondisi perairan yang menjadi habitat ikan pirik juga merupakan

hal yang penting untuk diketahui khususnya sebagai upaya pemantauan

jika sewaktu-waktu terjadi perubahan kondisi perairan yang berdampak

pada populasi ikan pirik di habitat tersebut. Hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai informasi dasar dalam upaya perlindungan dan


4

konservasi habitat, spesies, maupun genetik ikan endemik L.

micracanthus.

B. Rumusan Masalah

Ikan endemik L. micracanthus ini merupakan bagian dari kekayaan

hayati sehingga keberadaan ikan ini patut untuk dilindungi. Namun jika

dibandingkan dengan jenis ikan endemik Sulawesi lainnya yang bernilai

ekonomis tinggi seperti ikan beseng (Telmatherina ladigesi), ikan ini belum

mendapat perhatian dari para peneliti maupun pemerintah setempat. Hal

tersebut dibuktikan dengan belum adanya upaya pelestarian terhadap

spesies ikan ini, baik dalam bentuk pengenalan spesies ke masyarakat,

penelitian biologi, maupun pada studi ekologi kuantitatif habitat alami

spesies ini.

Pengetahuan dan penelitian terhadap spesies ikan endemik ini

masih sangat terbatas. Hingga saat ini penelitian yang pernah dilakukan

masih sebatas pada sistematika oleh Vari pada tahun 1978, yang

dideskripsikan kembali oleh Vari dan Hadiaty pada tahun 2012.

Adanya tekanan antropogenik telah memberikan kekhawatiran

akan degradasi populasi dan kepunahan ikan endemik ini pada kurun

waktu tertentu. Olehnya itu, penelitian mengenai aspek biologi dan

reproduksi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan, agar ikan

endemik L. micracanthus tetap lestari dan berkelanjutan.


5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek biologi reproduksi

meliputi : hubungan panjang bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat

kematangan gonad, indeks kematangan gonad, ukuran pertama kali

matang gonad, fekunditas, diameter telur, dan potensi reproduksi serta

kualitas perairan pada habitat ikan endemik L. micracanthus.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

mengenai tipe pertumbuhan, faktor kondisi, keseimbangan populasi,

tingkat kematangan gonad, musim pemijahan, produktivitas, pola

pemijahan, potensi reproduksi dan kualitas perairan pada habitat ikan

endemik L. micracanthus. Informasi yang diperoleh tersebut, diharapkan

menjadi landasan dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya

ikan endemik pirik secara berkelanjutan di Sulawesi Selatan.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi

1. Sistematika

Menurut klasifikasi Nelson (1994), sistematika ikan endemik pirik

adalah Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata,

Kelas Actinoptergyii, Ordo Perciformes, Famili Terapontidae, Genus

Lagusia (Vari, 1978), Spesies Lagusia micracanthus (Bleeker,1860). Ikan

endemik ini memiliki sinonim Datnia micracanthus (Bleeker,1860) dan

Therapon micracanthus (Bleeker,1860) serta nama lokal Piri-piri

(Bantimurung dan Simbang, Kabupaten Maros), Ire’/ira’ (Sanrego,

Kabupaten Bone dan Camba, Kab. Maros) dan Iren (sekitar Danau

Tempe).

2. Morfologi

Ikan L. micracanthus merupakan ikan yang pertama kali

dideskripsikan oleh Bleeker pada tahun 1860 dari tiga spesimen yang

ditemukan pada sungai di sekitar Lagusi dan Amparang, Sulawesi

Selatan. Pada saat itu ikan ini dikenal dengan nama Datnia micracanthus

(Bleeker, 1860). Namun, pada tahap selanjutnya terjadi perbedaan

pendapat oleh beberapa peneliti terhadap penamaan spesies ikan D.

micracanthus sehingga kemudian direvisi namanya menjadi Therapon


7

micracanthus oleh Bleeker sendiri (1873), namanya kemudian berubah

menjadi Papuservus micracanthus saat Munro (1958) menelitinya.

Namun, pada akhirnya, tahun 1978 oleh Vari melalui analisis filogenetik

Terapontidae, menemukan bahwa nominal spesies ini tidak erat atau tidak

terkait dari tipologi dan nama generik spesies yang tersedia pada waktu

itu sehingga mengharuskan adanya penciptaan genus baru yaitu Lagusia.

Hal ini menyebabkan terjadi perubahan nama spesies tersebut menjadi

Lagusia micracanthus (Vari dan Hadiaty, 2012).

Deskripsi ikan ini adalah badan pipih lateral, mempunyai ukuran

badan kecil (Gambar 1). Bagian punggung pada tubuh cembung dari

tulang belakang ke sirip punggung, kemudian sedikit cembung dari titik itu

ke awal pangkal ekor (Vari dan Hadiaty, 2012). Morfometrik dan meristik

ikan ini adalah D.XII – XIII, 8-11 A.III, 8-9, terdapat 38-42 sisik sepanjang

gurat sisi (Vari, 1978).

Gambar 1. Ikan pirik Lagusia micracanthus (Bleeker, 1860) tertangkap di


Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.
8

Pola warna ikan ini adalah coklat dan hitam. Secara keseluruhan

warna keperakan pada tubuh dan bagian punggung yang lebih gelap.

Warna keperakan pada bagian kepala posterior, ventral, dan

anteroventral. Pada bagian ventral moncong terdapat garis hitam di

sepanjang moncong. Tubuh memiliki garis lateral. Warna kuning bagian

tengah dorsal dan lobus ventral pada sirip ekor (Vari dan Hadiaty, 2012).

B. Habitat dan Distribusi

Lagusia micracanthus ditemukan hidup di sungai kecil dengan

substrat kerikil hingga batu besar. Spesies ini biasanya diamati berenang

dengan cepat di antara kelompok-kelompok batu tersebut (Vari dan

Hadiaty, 2012).

Distribusi ikan L. micracanthus meliputi sungai-sungai di Provinsi

Sulawesi Selatan, seperti S. Lagusi, S. Amparang, S. Bantimurung, S.

Cendrana, S. Leang-leang, S. Maros, S. Menralang, S. Samanggi dan S.

Saripa (Vari dan Hadiaty, 2012).

C. Aspek Biologi

1. Hubungan Panjang–Bobot dan Faktor Kondisi

Pertumbuhan panjang ikan dikuti oleh pertumbuhan berat, atau

sebaliknya. Kejadian seperti itu disebut model hubungan panjang dan

bobot untuk populasi ikan. Hubungan panjang-bobot merupakan

perangkat yang penting dalam pengelolaan perikanan (Lawson et al.,


9

2013). Hubungan panjang-bobot telah diterapkan sebagai dasar untuk

penilaian stok dan populasi ikan. Hubungan panjang-bobot juga

membantu untuk mengetahui kondisi, sejarah reproduksi, sejarah

kehidupan, dan kesehatan spesies ikan (Nikolsky, 1963). Hubungan

panjang-bobot juga dapat digunakan sebagai indikasi kegemukan ikan,

perkembangan gonad, estimasi stok biomassa, dan perbandingan

ontogeni populasi ikan dari berbagai daerah (Lawson et al., 2013).

Hubungan panjang-bobot ikan bervariasi tergantung pada kondisi

kehidupan di lingkungan perairan. Panjang dan bobot dari spesies ikan

tertentu berkaitan erat satu sama lain (Patel et al., 2014). Dalam studi

bidang perikanan, panjang ikan dapat diukur dengan lebih cepat dan

mudah daripada bobot ikan. Pengetahuan tentang hubungan panjang–

bobot membuatnya lebih mudah untuk menentukan bobot jika panjang

telah diketahui (Kara dan Bayhan, 2008).

Salah satu nilai yang dapat dilihat dari adanya hubungan panjang-

bobot ikan adalah bentuk atau tipe pertumbuhannya. Apabila harga b = 3

maka dinamakan isometrik yang menunjukkan pertambahan ikan

seimbang dengan pertambahan bobotnya. Apabila b < 3 dinamakan

allometrik negatif (minor) dimana pertambahan panjangnya lebih cepat

dibanding pertambahan bobotnya, jika b > 3 dinamakan allometrik positif

(mayor) yang menunjukkan bahwa pertambahan bobotnya cepat

dibanding dengan pertambahan panjangnya (Effendie, 2002).

Pertumbuhan secara fisik diekspresikan dengan adanya perubahan


10

jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh pada periode tertentu,

yang kemudian diukur dalam satuan panjang ataupun bobot (Rahardjo et

al., 2011). Penelitian mengenai hubungan panjang-bobot pada ikan air

tawar telah banyak dilakukan. Beberapa jenis ikan di antaranya dilaporkan

memiliki pertumbuhan yang isometrik, allometrik positif (mayor), dan

allometrik negatif (minor).

Faktor kondisi atau ponderal index menunjukkan keadaan ikan,

baik dilihat dari segi kapasitas fisik, maupun dari segi survival dan

reproduksi. Dalam penggunaan secara komersial, pengetahuan kondisi

hewan dapat membantu untuk menentukan kualitas dan kuantitas daging

yang tersedia agar dapat dimakan (Andy Omar, 2013).

Faktor kondisi relatif merupakan simpangan pengukuran dari

sekelompok ikan tertentu dari bobot rata-rata terhadap panjang pada

sekelompok umurnya, kelompok panjang, atau bagian dari populasi

(Weatherley, 1972 dalam Andy Omar, 2013). Selama dalam pertumbuhan,

tiap pertambahan berat material ikan bertambah panjang dimana

perbandingan liniernya akan tetap. Dalam hal ini dianggap bahwa berat

yang ideal sama dengan pangkat tiga dari panjangnya dan berlaku untuk

ikan kecil atau besar. Bila terdapat perubahan berat tanpa diikuti oleh

perubahan panjang atau sebaliknya, akan menyebabkan perubahan nilai

perbandingan tadi (Effendie, 2002).


11

D. Aspek Reproduksi

Aspek reproduksi diketahui memiliki peranan yang sangat besar

dalam peningkatan populasi ikan. Reproduksi merupakan kemampuan

suatu individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk

melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Beberapa aspek reproduksi ikan

yaitu nisbah kelamin, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, indeks

kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur, memberikan informasi

mengenai frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan,

dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky, 1963).

Studi perkembangan dan tingkat kematangan gonad diperlukan

untuk memprediksi potensi reproduksi, waktu dan frekuensi pemijahan,

ukuran telur, dan ukuran ikan pertama matang gonad. Selain itu, juga

dapat digunakan dalam memprediksi struktur dan dinamika populasi suatu

spesies ikan (Ekokotu dan Olele, 2014). Sementara pemahaman terhadap

perilaku reproduksi ikan tidak hanya penting untuk menjelaskan dasar

biologi ikan tetapi juga dapat membantu dalam pengelolaan dan

pelestarian spesies ikan tersebut (Jan et al., 2014). Keberhasilan

reproduksi ikan juga merupakan faktor penting yang dapat menentukan

kelangsungan populasi ikan di alam (Mamangkey, 2010).

Keragaman spesies ikan air tawar dan distribusinya pada berbagai

habitat dan daerah menampilkan beragam strategi dan cara reproduksi

yang berbeda (Winemiller et al., 2008). Bahkan, beberapa jenis ikan

melakukan perjalanan yang jauh untuk memijah (Rahardjo et al., 2011).


12

Reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda tergantung

kondisi lingkungan, ada yang berlangsung setiap musim dan ada juga

yang tergantung pada kondisi tertentu setiap tahunnya. Dalam keadaan

normal, ikan melangsungkan pemijahan minimum satu kali dalam satu

daur hidupnya. Hampir semua jenis ikan pemijahannya berdasarkan

reproduksi seksual yaitu terjadinya penyatuan sel reproduksi organ berupa

telur dari ikan betina dan spermatozoa dari ikan jantan (Effendie, 2002).

Organ reproduksi pada ikan jantan disebut testis dan pada ikan

betina disebut ovarium. Testis berbentuk memanjang dan menggantung

pada bagian atas rongga tubuh dengan perantaraan mesorkium. Pada

ikan yang memiliki gelembung gas, testis terletak pada bagian bawah

gelembung gas tersebut. Ukuran dan warna testis bervariasi tergantung

pada tingkat perkembangannya. Sementara itu, ovarium berbentuk

memanjang, Pada ikan yang memiliki gelembung gas, terletak di bawah

atau di samping gelembung gas. Ovarium bergantung pada bagian atas

rongga tubuh dengan perantaraan mesovaria. Ukuran dan perkembangan

ovarium pada rongga tubuh dapat bervariasi sesuai dengan tingkat

kematangannya. Warna ovarium pun berbeda-beda, sebagian besar

berwarna keputih-putihan pada waktu masih muda, dan menjadi kekuning-

kuningan pada waktu matang dan siap dipijahkan (Rahardjo et al., 2011).

Daur reproduksi ikan secara umum terbagi atas tiga periode yaitu

periode awal pemijahan, periode memijah, serta periode setelah memijah.

Periode awal pemijahan merupakan periode terpanjang dalam daur


13

reproduksi karena berhubungan dengan penyiapan gonad (tingkat

kematangan gonad). Periode pemijahan adalah periode paling pendek

berhubungan dengan pengeluaran gamet dalam gonad. Periode setelah

pemijahan berhubungan dengan pembuahan/fertilisasi sel telur,

penetasan telur, dan perkembangan telur. Selanjutnya dalam proses

reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, gonad semakin bertambah besar

dan gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah,

kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai

(Effendie, 2002).

Sebagian besar ikan melakukan pemijahan selama beberapa kali

dalam masa hidupnya. Ikan-ikan di daerah bermusim empat (temperate,

daerah ugahari) umumnya memijah pada musim semi atau musim panas,

sementara ikan tropis memijah sepanjang tahun, namun sebagian ikan

melakukan pemijahan pada awal musim hujan terutama ikan penghuni

sungai. Secara garis besar ikan dapat dikelompokkan menjadi dua

kelompok berdasarkan cara pengeluaran telurnya (pemijahan) yaitu

pemijahan secara serempak dan pemijahan bertahap (Rahardjo et al.,

2011). Sementara itu Syandri (1996) membagi bentuk reproduksi ikan

menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Big bang spawner, ikan yang memijah

sekali seumur hidupnya; (2) Total spawner, ikan yang memijahkan

telurnya sekaligus pada satu kali pemijahan; dan (3) Partial spawner, ikan

yang mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode

pemijahan.
14

Faktor yang mempengaruhi proses reproduksi ikan terdiri atas

faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi curah hujan,

suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan adanya ikan jantan. Pada umumnya

ikan-ikan di perairan alami akan memijah pada awal musim hujan atau

pada akhir musim hujan, karena pada saat itu akan terjadi suatu

perubahan lingkungan yang dapat merangsang ikan-ikan untuk berpijah.

Faktor internal meliputi kondisi dan adanya hormon reproduksi yang cukup

untuk memacu kematangan gonad diikuti ovulasi dan pemijahan

(Burhanuddin, 2010).

1. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin diduga memunyai keterkaitan dengan habitat

suatu spesies ikan. Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina di alam

diperkirakan mendekati 1,00 : 1,00, yang berarti bahwa jumlah ikan jantan

yang tertangkap relatif hampir sama banyaknya dengan jumlah ikan betina

yang tertangkap. Namun demikian, kadang ditemukan penyimpangan dari

kondisi ideal tersebut karena adanya perbedaan pola tingkah laku

bergerombol antara ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, dan

perbedaan pertumbuhan (Ball dan Rao, 1984).

Perbedaan nisbah kelamin dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan

yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang

melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan

betina secara teratur, pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian

nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, lalu diikuti dengan dominasi ikan
15

betina (Nikolsky 1963). Untuk mempertahankan kelangsungan hidup

suatu populasi, perbandingan ikan jantan dan ikan betina diharapkan

dalam keadaan seimbang atau setidaknya ikan betina lebih banyak

(Sulistiono et al., 2007).

Perbandingan jenis kelamin dapat digunakan untuk menduga

keberhasilan pemijahan, yaitu dengan melihat keseimbangan jumlah ikan

jantan dan ikan betina di suatu perairan, juga berpengaruh terhadap

produksi, rekruitmen, dan konservasi sumberdaya ikan tersebut (Effendie,

2002). Nisbah kelamin juga dapat dijadikan indikator bahwa populasi ikan

di suatu lokasi berada dalam kondisi ideal. Keseimbangan komposisi

antara ikan jantan dan ikan betina diharapkan dapat menjaga populasi

ikan dari kepunahan. Kondisi yang ideal umumnya didukung oleh kondisi

lingkungan dan habitat yang baik bagi kelangsungan hidup ikan tersebut.

Nisbah kelamin diduga memiliki keterkaitan dengan habitat ikan. Pada

habitat yang ideal untuk melakukan pemijahan, umumnya komposisi ikan

jantan dan ikan betina seimbang (Nasution, 2008).

1. Tingkat Kematangan Gonad dan Ukuran Matang gonad

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan tahap

perkembangan gonad sejak, sebelum, hingga setelah ikan memijah.

Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari

vitelogenesis yaitu proses pengendapan kuning telur pada sel telur.

Tingkat kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan


16

ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak melakukan

reproduksi (Effendie, 2002).

Dalam proses reproduksi, terdapat dua tahapan perkembangan

gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin

(sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation)

(Mamangkey, 2010). Perkembangan gonad akan semakin matang

sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme

tertuju pada perkembangan gonad (Effendie, 2002). Pembuahan dapat

terjadi apabila gonadnya sudah benar-benar matang. Ikan yang telah

dewasa ditandai dengan kematangan gonad dan didukung dengan ukuran

panjang serta bobotnya. Pada saat ikan mulai berkembang, gonad betina

(ovari) mulai terlihat dan akan memenuhi rongga tubuh saat memasuki

tahap matang dan gonad jantan (testis) akan berwarna pucat pada saat

matang (Royce, 1972 dalam Mulyoko, 2010).

. Penentuan TKG dapat dilakukan secara morfologi dan histologi.

Penentuan secara morfologi dilihat dari bentuk, panjang dan warna, serta

perkembangan isi gonad

Untuk menganalisis daur TKG satu spesies, ikan harus memiliki

suatu sistem yang dapat menerangkan tahap-tahap kematangan ikan

tersebut agar dapat menilai dengan cepat pada ikan dalam jumlah yang

besar. Hal yang penting dalam penggunaan klasifikasi tersebut adalah

memahami dan mengetahui perbedaan tanda-tanda antara satu kelas dan

kelas lainnya, serta keadaan transisi dari dua kelas yang berdekatan.
17

Persentase komposisi TKG dapat dipakai untuk menduga terjadinya

pemijahan (Effendie, 2002).

Penentuan TKG secara histologi dapat dilihat dari anatomi

perkembangan gonadnya. Dengan memperhatikan perkembangan

histologi gonadnya, akan diketahui anatomi perkembangan gonad lebih

jelas dan mendetail (Effendie, 2002). Secara histologi, perkembangan

gonad pada ikan jantan (spermatogenesis) ditandai dengan perbanyakan

spermatogonia melalui pembelahan mitosis. Pada perkembangan

selanjutnya inti sel bertambah besar membentuk spermatosit primer.

Ukuran testis akan bertambah besar, spermatosit berkembang menjadi

spermatosit sekunder kemudian berkembang menjadi spermatid.

Spermatid membelah secara meiosis menjadi spermatozoa.

Spermatozoa dewasa memiliki kepala dan ekor yang panjang atau flagella

(Gromann, 1982 dalam Ma’suf, 2008).

Pada perkembangan awal ovarium, oogonia masih sangat kecil,

berbentuk bulat dengan inti sel yang besar dibandingkan dengan

sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok, tapi kadang ada juga yang

berbentuk tunggal, oogonia akan terus memperbanyak diri dengan cara

mitosis menjadi oosit primer. Selanjutnya, inti sel terletak di tengah

dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang sangat tipis (Ernawati, 1999

dalam Ma’suf, 2008).

Ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad

dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain spesies, umur, dan ukuran.
18

Secara umum, ikan yang memiliki ukuran maksimum kecil dan jangka

waktu yang pendek akan mencapai kedewasaan pada umur yang lebih

muda daripada ikan yang mempunyai ukuran maksimum lebih besar

(Rahardjo et al., 2011).

Dalam perkembangannya menuju kematangan, testis kian besar

dan bertambah berat. Bobot testis yang sudah matang atau siap memijah

dapat mencapai 12% atau lebih dari bobot tubuhnya sementara bobot

ovarium dapat mencapai puluhan persen dari bobot tubuhnya.

Kebanyakan testis berwarna putih susu dan mempunyai lapisan susu

yang halus, sementara itu ovarium yang matang gonad berwarna

kekuningan dan menampakkan butiran telur (Rahardjo et al., 2011).

Lagler et al., (1977) menyatakan bahwa ada dua faktor yang

memengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad, yaitu faktor luar dan

faktor dalam. Faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur, ukuran,

serta sifat-sifat fisiologi dari ikan tersebut, seperti kemampuan adaptasi

terhadap lingkungan. Faktor luar yang memengaruhinya yaitu makanan,

suhu, arus, adanya individu yang berlainan jenis kelamin, dan tempat

berpijah yang sama. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali

gonadnya matang memiliki ukuran yang tidak sama, demikian juga

dengan ikan yang spesiesnya sama.


19

2. Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan perbandingan antara

bobot gonad dan bobot tubuh yang nilainya dinyatakan dalam persen.

Bobot gonad akan semakin meningkat dengan meningkatnya ukuran

gonad dan diameter telur. Bobot gonad akan mencapai maksimum sesaat

sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama

pemijahan berlangsung hingga selesai. Indeks kematangan gonad diukur

secara kuantitatif sehingga berbeda dengan kematangan gonad yang

hanya diukur secara kualitatif (Effendie, 1979).

Secara umum IKG ikan jantan lebih kecil daripada ikan betina

(Rahardjo et al., 2011). Ini bisa disebabkan oleh fisiologis dan efek

hormon pada perkembangan gonad ikan betina yang lebih besar daripada

ikan jantan (Bandepei et al., 2011). Nilai IKG memberikan indikasi

persentase berat ikan yang digunakan untuk produksi telur ketika telur

akan ditumpahkan, dan mencapai nilai maksimum selama musim

pemijahan (Ekokotu dan Olele, 2014).

3. Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada

waktu ikan memijah (Effendie, 1979). Fekunditas merupakan salah satu

aspek yang memegang peranan penting dalam biologi perikanan.

Fekunditas secara tidak langsung dapat digunakan untuk menaksir jumlah

anak ikan yang akan dihasilkan dan jumlah ikan dalam kelas umur yang
20

bersangkutan. Selain itu, fekunditas merupakan suatu obyek yang dapat

menyesuaikan dengan bermacam-macam kondisi, terutama dengan

respon terhadap makanan. Pada spesies tertentu dan pada umur yang

berbeda-beda, fekunditas dapat bervariasi tergantung persediaan

makanan tahunan. Ikan-ikan yang hidup pada perairan yang kurang subur

produksi telurnya rendah (Effendie, 2002).

Jumlah telur dalam ovarium ikan didefinisikan sebagai fekunditas

individu, fekunditas mutlak, atau fekunditas total. Fekunditas merupakan

ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur potensi reproduksi ikan

karena relatif lebih mudah dihitung, yaitu jumlah telur di dalam ovari ikan

betina. Berdasarkan fekunditas, secara tidak langsung dapat diduga

jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan ditentukan pola jumlah

ikan dalam kelas umur yang bersangkutan.

Fekunditas individu sulit diterapkan untuk ikan-ikan yang

mengadakan pemijahan beberapa kali dalam satu tahun, karena

mengandung telur dari berbagai tingkat dan benar-benar akan dikeluarkan

pada tahun yang akan datang. Fekunditas inidividu baik diterapkan pada

ikan-ikan yang mengadakan pemijahan tahunan atau satu tahun sekali

(Nikolsky, 1963). Fekunditas total adalah jumlah telur yang dihasilkan ikan

selama hidup, sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan

berat. Fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun tertentu

yang dikeluarkan pada tahun yang sama (Nikolsky, 1963).


21

Fekunditas pada spesies ikan yang sama juga dapat dipengaruhi

oleh ukuran tubuh, umur, dan diameter telur. Semakin kecil ukuran

diameter telur, kemungkinan jumlah fekunditasnya lebih besar. Jumlah

telur yang dihasilkan oleh ikan selama pemijahan bergantung pada

fekunditas dan frekuensi pemijahannya. Fekunditas ikan cenderung

meningkat dengan bertambahnya berat badan, yang dipengaruhi oleh

jumlah makanan dan faktor-faktor lingkungan lainnya, seperti suhu. Ikan

cenderung menghasilkan telur dalam jumlah banyak sebagai kompensasi

dari mortalitas larva yang tinggi (Balon, 1975 dalam Ali, 2012).

Fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi

lingkungannya. Apabila ikan hidup di kondisi yang banyak ancaman

predator maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak.

Fekunditas akan semakin tinggi sebagai bentuk upaya untuk

mempertahankan regenerasi keturunannya. Ikan yang hidup di habitat

yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau

fekunditasnya rendah (Mulyoko, 2010). Bagenal (1978) dalam Ernawati et

al. (2009) menambahkan adanya hubungan antara fekunditas dengan

makanan dan kepadatan populasi, yaitu umumnya pada lingkungan yang

subur maka fekunditasnya akan semakin tinggi, sebaliknya pada

lingkungan yang kurang subur maka fekunditasnya akan rendah.

Semantara itu kepadatan populasi yang berkurang maka fekunditas juga

akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Beberapa faktor yang

memengaruhi jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina antara lain
22

fertilitas, frekuensi pemijahan, perlindungan induk (parental care), ukuran

telur, kondisi lingkungan, dan kepadatan populasi.

Ikan air tawar tropis memiliki nilai fekunditas dan ukuran telur yang

cenderung bervariasi. Beberapa spesies ikan menghasilkan hanya

beberapa telur atau melahirkan satu atau beberapa keturunan saja. Ikan

Tomeurus gracilis hanya membuahi telur sekali per kejadian pemijahan

dan ikan pari air tawar hanya melahirkan beberapa keturunan dalam

sebuah proses reproduksi. Sebaliknya, beberapa ikan tropis perairan

tawar justru memiliki fekunditas lebih dari 100.000 butir. Keberhasilan

dalam proses reproduksi ini, tergantung pada ukuran ikan, kesuburan,

ukuran telur, dan interval pemijahan (Winemiller et al., 2008). Fekunditas

diketahui berkorelasi linear dengan peningkatan total panjang, berat

badan, panjang, dan berat ovari (Jan et al., 2014).

4. Diameter Telur

Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu

telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera.

Semakin meningkat kematangan gonad, garis tengah telur yang ada

dalam ovarium semakin besar. Telur yang berukuran besar akan

menghasilkan larva yang berukuran lebih besar dibandingkan telur yang

berukuran kecil (Effendie, 1979).

Pola pemijahan dapat diduga dengan mengamati pola distribusi

diameter telur. Pola pemijahan setiap spesies ikan berbeda-beda, ada

yang berlangsung singkat (total spawning) dan ada yang berlangsung


23

sampai beberapa hari (partial spawning). Sebaran diameter telur pada tiap

TKG akan mencerminkan pola pemijahan ikan tersebut. Spesies juga

mempengaruhi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur

masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek.

Sebaliknya, waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai

dengan ukuran telur yang bervariasi di dalam ovarium (Effendie, 1979).

Ukuran telur ikan biasanya dipakai untuk menentukan kualitas yang

berhubungan dengan kandungan kuning telur. Untuk membuat

perbandingan diameter telur dan fekunditas, harus berasal dari ovari yang

sama tingkat kematangannya. Sering diduga fekunditas dengan ukuran

telur berkorelasi negatif. Walaupun tidak terdapat pada semua ikan,

namun didapatkan bahwa ukuran telur dan ukuran panjang ikan

berkorelasi positif, dan ikan yang berukuran besar akan berpijah lebih

dahulu (Effendie, 1979).

E. Karakteristik Habitat

Setiap habitat merupakan kesesuaian hidup untuk setiap spesies.

Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif

kencang. Perairan sungai biasanya memiliki percampuran massa air

secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air

seperti pada perairan menggenang. Perairan sungai juga merupakan

salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme

di dalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Namun beberapa


24

pemanfaatan dari sungai dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari

ekosistem di dalamnya. Jika pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas

perairan dari sungai akan menurun dan berdampak pada kehidupan

organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan manusia yang

memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari (Bahri, 2012).

Sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena

ketertarikan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada

dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan

dengan transpor air dan material. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi,

merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan

flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut

(Reid 1961 dalam Bahri, 2012).

Sungai Sanrego termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS)

Walanae. DAS Walanae diketahui terdiri atas tujuh sub DAS, yaitu; Batu

Puteh, Malanroe, Mario, Minraleng, Sanrego, Walanae Hilir, dan Walanae

Tengah. Sebagian besar sub DAS tersebut memiliki bentuk memanjang,

hanya sub DAS Malanroe dan Walanae Hilir yang memiliki bentuk radial.

DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas pertama dengan

luas wilayah 478.932,72 Ha. Secara geografis DAS ini terletak di posisi 3º

59' 03"-5º 8' 45" LS dan 119° 47' 09"–120° 47' 03" BT dan secara

administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Maros, Bone, Soppeng,

dan Wajo (Asmoro, 2009).


25

Karasteristik DAS Walanae di antaranya adalah pola aliran

didominasi pola dendritik medium (sedang) dengan kerapatan aliran

terendah 72 m Ha-1 (Walanae Hilir) dan tertinggi 318,74 m Ha-1 (Walanae

Tengah). Debit sungai rata-rata di hulu 243,50 m3 detik-1 dan hilir 91,87

m3 detik-1. Jenis tanah didominasi jenis litosol, kompleks mediteran,

regosol, alluvial, dan grumusol. Selanjutnya, jenis batuannya terdiri atas

andesit, aluvium, marmer, batu gamping, tufit tefra berbutir, dan hanya

sedikit yang berjenis batu lumpur. Iklim di wilayah DAS Walanae

tergolong tipe B/C atau agak basah. Oleh karena wilayahnya yang luas

maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi menurut titik pengukuran di

kabupaten. Curah hujan tahunan tertinggi berada di Kab. Wajo (270,4

mm), kemudian di Kab. Maros (270 mm), Kab. Bone (162,2 mm), dan

terendah di Kab. Soppeng (122,05 mm), dengan rata-rata hari hujan 14,9.

Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka dan tingginya sedimentasi

telah mengakibatkan meluapnya sungai pada DAS Walanae serta

mengakibatkan pendangkalan di Danau Tempe (Asmoro, 2009).

Sub DAS Sanrego sendiri memiliki luas DAS 38.789 Ha, dengan

luas lahan bervegetasi permanen sebanyak 21.401 Ha, dan nilai indeks

penutupan lahan 55,17 yang dikategorikan memiliki indeks penutupan

lahan sedang (Asmoro, 2009). Pada Kawasan DAS Sanrego juga terdapat

bendungan yang peruntukannya masih terbatas pada irigasi pertanian.

Berdasarkan rencana tata ruang Kab. Bone, Bendungan Sanrego


26

termasuk ke dalam kawasan strategis provinsi dari sudut fungsi dan daya

dukung lingkungan hidup.

Sungai Pattunuang secara geografis termasuk ke dalam kawasan

Kab. Maros. Volume air pada S. Pattunuang mencapai 17.473,70 liter

tahun-1. Ditinjau dari segi pemanfaatan, S. Pattunuang termasuk ke dalam

kategori pemanfaatan untuk irigasi pertanian (BLHKP Kab. Maros, 2013).

Sementara itu, ditinjau dari segi kualitas air di sungai tersebut S.

Pattunuang termasuk kedalam kategori baik bagi organisme akuatik

perairan untuk dapat hidup dan berkembang secara. Suhu di perairan S.

Pattunuang berkisar 25 – 27,8°C, pH berkisar 7 – 8,71, DO berkisar 6,9 –

10,1 mg L-1, nitrat 0,04 – 0,67 mg L-1, dan 0,4 – 1,14 mg L-1 (Kariyanti,

2014).

F. Kualitas Perairan

Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar

terhadap survival dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan.

(Minggawati dan Lukas, 2012). Faktor fisika dan kimia air merupakan

parameter untuk menentukan kualitas suatu sungai. Secara alami

keberadaan dan distribusi ikan sungai dipengaruhi oleh aktifitas manusia

di sungai, terutama yang menyebabkan perubahan faktor fisika dan kimia

air, polusi, dan pemasukan spesies baru ke dalam badan air sungai.

Menurut Rahayu et al. (2009), penurunan kualitas air sungai yang terjadi

saat ini, tidak hanya terjadi di daerah hilir, tetapi juga telah terjadi di

daerah hulu. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan
27

pemukiman merupakan faktor utama penyebab terjadinya penurunan

kualitas air sungai tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui proses

sedimentasi, penumpukan hara, dan pencemaran bahan-bahan kimia

pestisida. Penumpukan unsur hara di perairan sungai dapat memicu

pertumbuhan alga dan jenis tumbuhan air lainnya secara tak terkendali,

sehingga menyebabkan kematian pada beberapa jenis biota perairan

yang merupakan sumber makanan utama bagi ikan. Begitu pula

akumulasi racun yang berasal dari pestisida merupakan ancaman yang

besar terhadap kelangsungan biota-biota yang hidup di perairan tersebut.

Suatu ekosistem dikatakan baik jika faktor biotik dan abiotiknya

saling mendukung. Faktor utama yang memengaruhi perkembangbiakan

ikan adalah oksigen terlarut, makanan, suhu, kedalaman, kecepatan arus,

dan makhluk hidup lain yang tinggal bersamanya.

1. Suhu

Pada ekosistem lotik, fenomena suhu biasanya berbeda dengan

ekosistem lentik. Prinsipnya adalah: (1) suhu cenderung sama di setiap

kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara

permukaan dan dasar diabaikan ; (2) kecenderungan mengikuti suhu

udara lebih dekat daripada di danau; dan (3) stratifikasi suhu hampir tidak

ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu

yaitu: (1) kedalaman air; (2) kecepatan arus; (3) material dasar; (4) suhu

masukan air dari anak sungai; (5) masuknya cahaya matahari; (6) tingkat

penutupan sungai; dan (7) waktu harian. Sebagian besar faktor yang
28

menentukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi

lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi

beberapa faktor. Sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang

lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang

menutupinya. Sebaliknya, sungai yang berada di dataran rendah lebih

lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan

menyimpan energi panas lebih besar (Reid, 1961 dalam Bahri 2012).

Perubahan suhu akan memengaruhi pola kehidupan dan aktivitas

biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota

menurut batas kisaran toleransinya. Yuningsih et al. (2014) menyatakan

suhu yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton,

sehingga akan mengganggu proses fotosintesa dan menghambat

pembuatan ikatan-ikatan organik yang kompleks dari bahan organik yang

sederhana serta akan mengganggu kestabilan perairan itu sendiri.

Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan

metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan

peningkatan komsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C

menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi oksigen oleh organisme

akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat (Effendi, 2003).

Suhu mempunyai peranan penting dalam menentukan

pertumbuhan ikan. Kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan

optimal adalah 28 – 32°C (Tatangindatu et al., 2013). Boyd (1988)


29

menyatakan suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah

berkisar antara 25 – 30°C.

2. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) dibutuhkan oleh semua

jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolism, atau pertukaran zat

yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.

Selain itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik

dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu

perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil

fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2005).

Oksigen terlarut juga merupakan faktor terpenting dalam menentukan

kehidupan ikan, pernapasan akan terganggu bila oksigen kurang dalam

perairan (Minggawati dan Lukas, 2012).

Kandungan oksigen terlarut minimum adalah 2 ppm dalam keadaan

normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan

oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan

organisme (Salmin, 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak

boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada

tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970 dalam Salmin, 2005).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, perairan tawar

yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai

oksigen terlarut diatas 6 mg L-1 dan 4 mg L-1.


30

3. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH (power of hydrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion H

di dalam air. Keasaman adalah kapasitas air untuk menetralkan ion-ion

hidroksil (OH)-. Nilai pH disebut asam bila kurang dari 7, pH = 7 disebut

netral, dan pH di atas 7 disebut basa. Biota perairan tawar umumnya

memiliki pH yang Ideal adalah antara 6,8 - 8,5 (Tatangindatu et al., 2013).

Kandungan pH yang sangat rendah menyebabkan kelarutan

logam-logam dalam air makin besar dan bersifat toksik bagi organisme air.

Sebaliknya, pH yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi amoniak

dalam air yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Tatangindatu et al.,

2013). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai pH antara 7 – 8.5. Nilai pH sangat memengaruhi proses

biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH

yang rendah (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

82 tahun 2001, perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan

perikanan harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9.

4. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS)

Padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut diameter 10-6

mm) dan koloid (diameter 10-6 mm - 10-3 mm) yang berupa senyawa-

senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas

saring berdiameter 0,4 µm (Effendi 2003).


31

Nilai padatan terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh

pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik

(Santoso, 2008). Menurut Reid (1961 dalam Bahri, 2012), reaksi dan

proses dari ion-ion dan materi organisme di sungai berasal dari proses

kimia dan biologi dan kondisi sungai tersebut. Sumber utama untuk TDS

dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah tangga, dan

industri. Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat, nitrat,

natrium, kalium, dan klorida. Bahan kimia dapat berupa kation, anion,

molekul, atau aglomerasi dari ribuan molekul. Kandungan TDS yang

berbahaya adalah pestisida yang timbul dari aliran permukaan. Beberapa

padatan total terlarut alami berasal dari pelapukan dan pelarutan batu dan

tanah.

Padatan tersuspensi dalam air dapat memengaruhi kehidupan di

perairan di antaranya menyumbat insang (saluran pernapasan) ikan dan

menghambat pertumbuhan telur atau larva. Senyawa-senyawa yang telah

tersuspensi dalam waktu lama di dalam perairan dapat menyebabkan

terhentinya pertumbuhan telur ikan dan organisme perairan lainnya.

Padatan tersuspensi yang terkandung dalam perairan dapat muncul

sebagai akibat peristiwa erosi, limbah-limbah industri, perkembangan

alga, atau pembongkaran atau penyumbatan limbah perairan (Santoso,

2008).
32

G. Kerangka Pikir

Ikan pirik (L. micracanthus) merupakan spesies ikan air tawar

endemik dan asli (native) Sulawesi. Ikan ini tergolong ke dalam famili

Terapontidae dan hidup terbatas pada sungai-sungai tertentu, umumnya

dijumpai pada sungai yang jernih, berbatu, dan berarus deras.

Jika dibandingkan dengan spesies ikan endemik Sulawesi lainnya,

spesies ikan ini belum mendapat banyak perhatian dari peneliti dan

pemerintah, salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya informasi

dasar mengenai spesies ikan ini. Informasi spesies ini masih terbatas

pada sistematika oleh Vari (1978) yang dideskripsikan kembali oleh Vari

dan Hadiaty (2012). Namun demikian, aktifitas penangkapan yang tidak

ramah lingkungan (pengunaan racun dan tuba) yang sangat intensif

dilakukan oleh masyarakat lokal terhadap spesies ekonomis tertentu,

ternyata telah berdampak juga pada degradasi populasi ikan endemik ini

di habitatnya, sehingga memberikan kekhawatiran akan kepunahan

spesies ikan endemik ini secara permanen dimasa mendatang.

Penelitian mengenai aspek biologi dan reproduksi merupakan hal

yang penting dan mendesak untuk dilakukan. Beberapa informasi yang

akan diperoleh, antara lain keseimbangan populasi, potensi reproduksi,

waktu dan frekuensi pemijahan, tipe pemijahan, ukuran telur, dan ukuran

ikan pertama matang gonad. Informasi-informasi yang diperoleh tersebut

merupakan dasar dalam mewujudkan pengelolaan perikanan secara

berkelanjutan khususnya dalam menjamin ikan endemik L. micracanthus


33

agar tetap lestari di masa mendatang. Alur pemikiran sumberdaya ikan

pirik dapat dilihat pada Gambar 2.

Ikan Pirik
Lagusia micracanthus

Aktifitas penangkapan ikan


Ikan konsumsi oleh masyarakat lokal

Kondisi habitat
Degradasi dan kepunahan

Aspek biologi dan reproduksi Analisis kualitas air

Hubungan Nisbah TKG dan Ukuran Fekunditas Diameter


panjang kelamin IKG pertama telur
bobot matang
gonad

Pola Keseimbangan Musim Ukuran Produktivitas


pertumbuhan Pola
populasi pemijahan yang boleh dan jumlah
ditangkap benih pemijahan

Pengembangan dan pelestarian


sumberdaya ikan endemik pirik (L. micracanthus)

Gambar 2. Kerangka pikir penelitian


34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sungai Pattunuang, Desa Samangki,

Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, dan di Sungai Sanrego, Desa

Langi, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone (Gambar 3). Pengambilan

sampel dilakukan selama enam bulan, sejak bulan September 2014

hingga Februari 2015. Pengambilan sampel dilakukan setiap 2 pekan,

sehingga total pengambilan sampel selama penelitian adalah 24 kali atau

12 kali pada masing-masing lokasi. Analisis terhadap sampel ikan

dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas

Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Analisis

histologi gonad dilakukan di Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian

Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Makassar.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: electrical fishing

sebagai alat tangkap ikan, coolbox sebagai wadah penyimpanan ikan,

freezer sebagai tempat penyimpanan ikan sebelum dibedah, alat bedah

(dissecting set) digunakan untuk membedah ikan, caliper digital

berketelitian 0,01 mm untuk mengukur panjang tubuh ikan, timbangan

digital berketelitian 0.001 g untuk menimbang sampel dan gonad ikan,


38

Gambar 3. Peta lokasi pengambilan ikan contoh di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros (A), dan di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone (B)
36

botol bekas rol film sebagai tempat untuk menyimpan gonad ikan, pipet

tetes untuk mengambil larutan gilson, cawan petri untuk meletakkan telur

ikan yang akan dihitung, hand tally counter, jarum pentul dan lup (kaca

pembesar) sebagai alat bantu perhitungan fekunditas, mikroskop

binokuler dan mikrometer okuler untuk mengamati dan mengukur diameter

telur ikan, deskglass sebagai tempat meletakkan telur ikan yang akan

dilihat di bawah mikroskop, termometer digital untuk mengukur suhu, botol

BOD untuk mengambil sampel air yang akan digunakan mengukur

oksigen terlarut, pH-indicator tester untuk mengukur pH, TDS-meter untuk

mengukur padatan terlarut total, kamera untuk dokumentasi, serta

komputer berbasis Windows yang dilengkapi software MS.Office serta

software SPSS untuk mengolah dan menganalisis data hasil penelitian.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain : ikan L.

micrachathus sebagai ikan contoh, plastik sampel, kertas label untuk

penandaan, larutan gilson untuk memisahkan telur ikan dari selaput-

selaput yang terdapat pada gonad ikan, aluminium foil untuk meletakkan

gonad ikan, tissue untuk membersihkan peralatan, dan es curah untuk

menjaga kesegaran mutu ikan contoh.

C. Metode Pengumpulan Data

1. Prosedur di lapangan

Pengambilan ikan contoh dilakukan dengan menggunakan

electrical fishing. Sampel yang telah diperoleh tersebut dimasukkan ke

dalam coolbox dan diberi es curah agar kesegaran ikan tetap terjaga. Ikan
37

contoh dimasukkan ke dalam plastik sampel dan dimasukkan ke dalam

freezer. Tahap selanjutnya, ikan contoh dibawa ke laboratorium untuk

dianalisis.

2. Prosedur di laboratorium

Panjang total ikan diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung

sirip ekor paling belakang dengan menggunakan calliper digital

berketelitian 0,01 mm. Ikan contoh ditimbang dengan menggunakan

timbangan digital yang berketelitian 0,001 g untuk mengetahui bobot

tubuh. Ikan contoh dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai

dari anus menuju bagian atas perut sampai ke bagian belakang

operculum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Otot dibuka

sehingga organ-organ dalam terlihat. Selanjutnya dilakukan indentifikasi

jenis kelamin dan TKG.

Jenis kelamin dan TKG ikan ditentukan secara morfologi

(makrokopis) dan histologi (mikroskopis). Pengamatan secara morfologi

mengacu pada ciri histologi gonad hasil modifikasi ikan nilem, Osteochilus

vittatus (Andy Omar, 2010) seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan

pengamatan histologi dilakukan dengan mengamati preparat histologi

gonad. Prosedur pengamatan histologi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gonad kemudian dipisahkan dari organ-organ dalam lainnya

kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot gonad. Gonad

betina yang telah matang (TKG III, IV dan V) dimasukkan ke dalam botol

rol dan diberikan larutan gilson hingga menutupi keseluruhan gonad.

Setelah beberapa saat, gonad kemudian dikeluarkan dan diletakkan di


38

atas cawan petri untuk dihitung fekunditasnya dengan bantuan hand tally

counter, pentul dan lup. Tahap selanjutnya yaitu pengamatan diameter

telur dengan mengambil sebanyak 300 butir telur dan diletakkan diatas

deskglass, setelah itu diamati menggunakan mikroskop, dilengkapi

dengan mikrometer okuler yang telah ditera sebelumnya.

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan nilem jantan dan


betina secara morfologi (Andy Omar, 2010)

TKG Jantan Betina


Testis transparan, Bentuk gonad memanjang
I memanjang seperti benang, seperti benang, menempel
ditemukan menempel pada pada bagian bawah gelembung
Immature bagian bawah gelembung renang. Butiran telur pada
renang gonad belum tampak
Warna testis tampak putih Gonad berwarna merah tua,
seperti susu, bentuknya permukaannya halus. Ukuran
lebih jelas dari tingkat I. gonad semakin meningkat dan
II
Terlihat menutupi sebagian lebih besar dari tingkat I dan
Maturing kecil rongga perut terlihat menutupi setengah
daari rongga perut. Butiran
telur belum tampak
Permukaan gonad tampak Sebagian besar gonad
bergerigi, warna semakin berwarna merah tua sisanya
puti. Ukuran testis terlihat tampak merah muda. Gonad
III
menutupi sepertiga dari menutupi setengah dari rongga
Mature rongga perut perut. Seluruh gonad berwarna
merah tua. Usus terdesak.
Butiran telur semakin jelas
Testis semakin jelas, Gonad menutupi hampir
IV permukaan testis semakin keseluruhan rongga perut.
Fully bergerigi. Testis terlihat Seluruh gonad berwarna merah
Mature menutupi sebagian besar tua. Usus terdesak. Butiran
dari rongga perut dan pejal telur semakin jelas
Sebagian testis mengerut, Gonad mengerut, terdapat sisa
berwarna putih seperti susu. telur dari TKG IV yang
V Ukuran testis semakin kecil bercampur dengan butiran telur
Resting halus berwarna merah tua.
Ditemukan juga butiran telur
sisa pada saluran kelamin
39

3. Pengukuran parameter kualitas air

Pengukuran parameter kualitas air merupakan hal yang penting

dilakukan khususnya dalam memantau kondisi habitat yang sesuai untuk

kehidupan ikan pirik. Secara umum, kondisi habitat pada kedua lokasi

penelitian tidaklah jauh berbeda. kondisi habitat ikan pirik di Sungai

Pattunuang dan Sungai Sanrego dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.

Sebagai data penunjang maka dilakukan pengukuran beberapa

parameter kualitas air. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap satu bulan

sekali. Sampel kualitas air diamati secara langsung di lokasi dan sebagian

dianalisis di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Parameter

kualitas air yang diamati tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian

No Parameter yang diamati Metode/ alat yang Tempat


digunakan pengamatan
1 Suhu (oc) Termometer In situ
2 Oksigen terlarut (ppm) Winkler/titrasi Laboratorium
3 pH pH meter In situ
4 TDS (ppm) TDS meter In situ
40

D. Analisis Data

1. Aspek Biologi

Hubungan Panjang-Bobot

Hubungan panjang dan bobot dianalisis menggunakan rumus (Le

Cren, 1951) :

W  aLb

Keterangan: W = Bobot tubuh ikan (g); L = Panjang total ikan (mm); a =

Intercept (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu-y);

b = Slope (kemiringan)

Persamaan tersebut ditransformasikan dalam bentuk logaritma

sebagai bentuk persamaan linier (Spiegel, 1978 dalam Andy Omar, 2013):

log W = log a + b log L

Nilai b yang didapat dari persamaan tersebut akan menunjukkan

pola pertumbuhan isometrik atau allometrik. Pola pertumbuhan isometrik

kalau b = 3, yang berarti pertumbuhan ikan seimbang antara pertumbuhan

panjang dengan pertumbuhan bobotnya. Tetapi jika nilai b < 3 berarti

pertambahan panjangnya lebih cepat daripada pertambahan bobotnya

(allometrik negatif/ allometrik minor) dan jika b > 3 maka pertambahan

bobotnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya (allometrik positif/

allometrik mayor). Untuk mengetahui nilai b = 3 atau b ≠ 3 maka dilakukan

Uji-t dengan hipotesis:

Ho : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik,


41

Untuk pengambilan keputusan nilai thitung dibandingkan dengan ttabel

pada selang kepercayaan 95%. Kaidah pengambilan keputusan yaitu :

thitung > t tabel : tolak hipotesis nol (Ho)

thitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol

b1  b 0
t hitung 
Sb 1

Keterangan: b1 = b (dari hubungan panjang-bobot); b0 = 3; Sb1 =

simpangan koefisien

Untuk menguji apakah ada perbedaan atau tidak terhadap

hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan betina diperairan

yang sama maupun antar perairan satu dengan yang lain maka dilakukan

uji Kovarians (Andy Omar, 2013).

Faktor Kondisi

Faktor kondisi dihitung berdasarkan pola pertumbuhan panjang

total dan bobot total tubuh ikan. Bila diperoleh pola pertumbuhan yang

isometrik maka faktor kondisi ikan dihitung dengan rumus (Effendie,

1979):

10 5 W
K 
L3

Keterangan: K = Faktor kondisi; W = Bobot ikan (g); L = Panjang total

ikan (mm)

Apabila pola pertumbuhannya allometrik maka faktor kondisi dapat

dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979):


42

W
K
aLb

Keterangan: K = Faktor kondisi; W = Berat ikan (g); L = Panjang total

ikan (mm); a dan b = Konstanta yang diperoleh dari regresi

2. Aspek Reproduksi

Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin (sex ratio) yang didasarkan pada jumlah sampel

ikan jantan dan betina, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Andy Omar, 2010) :

m
S
f

Keterangan: S = Nisbah kelamin ∑ m = Jumlah ikan jantan (ekor); ∑ f =

Jumlah ikan betina (ekor).

Keseragaman sebaran rasio kelamin dianalisis dengan uji “Chi-

Square” (Zar, 2010).

X 
2
k
Oi  Ei
i1 Ei

Keterangan: Oi = Frekuensi ikan jantan dan betina ke-i yang diamati; Ei =

Frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi ikan betina

dibagi dua; X2 = Nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya

mendekati sebaran Chi-square.


43

Tingkat Kematangan Gonad

Analisis tingkat kematangan gonad dilakukan dengan melakukan

pengelompokkan data berdasarkan proporsi ikan yang belum dan telah

matang gonad serta berdasarkan TKG selama pengamatan.

Ukuran pertama kali matang gonad

Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad diduga dengan

metode Spearman-Karber (Udupa, 1986) dengan rumus:

 X p i 
X
m  xk 
2

Dengan selang kepercayaan 95%, maka:

  p  qi 
Antilog m = m  1,96 X 2  i  
  ni  1  

Keterangan: m = Log panjang ikan pada saat pertama kali matang gonad ;

Xk = Log nilai tengah kelas panjang yang terakhir pada saat pertama kali

matang gonad X = Log pertambahan panjang pada nilai tengah; Pi =

Proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan

pada selang panjang ke-i; ni = Jumlah ikan yang matang pada kelas

panjang ke-I; qi = 1 – pi; M = Antilog m dari panjang ikan pertama kali

matang gonad.

Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad atau gonado somatic index dihitung


dengan rumus (Johnson, 1971) :
G
GSI  100%
W
44

Keterangan : GSI = Indeks kematangan gonad; G = Bobot gonad (g)

W = Bobot tubuh total (gram)

Fekunditas

Fekunditas total dihitung dengan menggunakan metode

perhitungan langsung (Andy Omar, 2013).

Selanjutnya hubungan fekunditas dan panjang total tubuh ikan

dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 2002).

F = aLb

Keterangan: F= Jumlah telur (butir); L= Panjang total ikan (mm); a dan b =

Konstanta

Hubungan antara fekunditas dan bobot tubuh ikan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 2002).

F= a + bW

Hubungan antara fekunditas dan bobot gonad ikan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 2002).

F= a + bG

Keterangan: F= Jumlah telur (butir); W = Bobot ikan (g); G = Bobot gonad

ikan (g); a dan b = Kostanta

Diameter telur

Diameter telur diukur dengan rumus Andy Omar (2010).

D = Dh x Dv

Keterangan: D = diameter telur yang sebenarnya (mm); Dh = diameter

telur secara horizontal (mm); Dv = diameter telur secara vertikal (mm).


45

Potensi reproduksi

Potensi reproduksi atau reproductive potential (RP) dapat dihitung

dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Tuwo, 1993) :

RP = ∑ individu per kelompok umur x fekunditas rata-rata

3. Parameter kualitas air

Parameter kualitas air yang diperoleh selama penelitian dianalisis

secara deskriptif.
46

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tipe Pertumbuhan dan Faktor Kondisi

Untuk menentukan tipe pertumbuhan ikan pirik di S. Pattunuang

dan S. Sanrego maka dilakukan analis hubungan panjang dan bobot ikan.

Hubungan panjang-bobot merupakan perangkat yang penting dalam

pengelolaan perikanan (Lawson et al., 2013). Hasil analisis hubungan

panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)

yang diperoleh selama penelitian di S. Pattunuang dan S. Sanrego dapat

dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3, jumlah ikan pirik yang diperoleh di S.

Pattunuang selama penelitian sebanyak 599 ekor yang terdiri atas 307

ekor ikan jantan dan 292 ekor ikan betina. Sementara itu di S. Sanrego

diperoleh 162 ekor ikan pirik yang terdiri atas 72 ekor ikan jantan dan 90

ekor ikan betina. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan ikan pirik di S.

Pattunuang lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan pirik di S.

Sanrego. Adanya perbedaan jumlah populasi ikan yang tertangkap

tersebut, diduga selain disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan yang

berbeda, juga disebabkan oleh tingkat eksploitasi yang berbeda antara di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego. Ikan pirik di S. Pattunuang relatif tidak

mengalami gangguan eksploitasi. Sementara itu, ikan pirik di S. Sanrego

merupakan spesies ikan yang sangat digemari oleh masyarakat setempat,


47

Tabel 3. Hasil analisis hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh
selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Lokasi pengambilan sampel


Parameter Sungai Pattunuang Sungai Sanrego
Jantan Betina Gabungan Jantan Betina Gabungan
Jumlah ikan contoh (ekor) 307 292 599 72 90 162
Kisaran panjang total (mm) 35,81 – 90,54 49,76 – 105,58 35,81 – 105,58 37,27 – 107,28 42,58 – 103,82 37,27 – 107,28
Rata-rata ± SD 65,12 ± 8,39 67,55 ± 7,95 66,31 ± 8,26 71,60 ± 14,65 75,26 ± 13,75 73,63 ± 14,23
Kisaran bobot tubuh (g) 0,882 – 14,945 1,524 – 20,158 0,882 – 20,158 1,196 – 23,214 1,798 – 20,048 1,196 – 23,214
Rata-rata ± SD 5,18 ± 2,19 5,82 ± 2,43 5,49 ± 2,33 7,31 ± 4,37 8,72 ± 4,51 8,09 ± 4,49
Log a -4,6595 -4,8567 -4,7570 -4,5136 -4,4604 -4,5227
a 0,00002 0,00001 0,00002 0,00003 0,00003 0,00003
Koefisien regresi (b) 2,9489 3,0600 3,0041 2,8719 2,8574 2,8846
Koefisien korelasi ( r ) 0,9430 0,9284 0,9376 0,9844 0,9849 0,9836
2,9489 3,0600 3,0089 2,8719 2,8575 2,8846
Persamaan regresi W=0,00002L W=0,00001L W=0,00002L W=0,00003L W=0,00003L W=0,00003L
Uji t t hit < t tabel t hit < t tabel t hit < t tabel t hit > t tabel t hit > t tabel t hit > t tabel
Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif
Tipe petumbuhan Isometrik Isometrik Isometrik
(minor) (minor) (minor)
48

sehingga aktifitas penangkapan di daerah ini sangat tinggi dan intensif.

Olehnya jika dibandingkan, ikan pirik di S. Sanrego memiliki tekanan

lingkungan yang lebih tinggi sehingga diduga akan berpengaruh terhadap

perkembangan dan pertumbuhan ikan pirik yang hidup di daerah tersebut.

Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa ikan pirik jantan di S.

Pattunuang memiliki kisaran panjang tubuh 35,81 – 90,54 mm dengan

rata-rata panjang tubuh 65,12 mm dan kisaran bobot tubuh 0,882 –

14,945 g dengan rata-rata bobot tubuh 5,18 g. Sebaliknya, ikan betina

memiliki kisaran panjang tubuh 49,76 – 105,58 mm dengan rata-rata

panjang tubuh 67,55 mm dan kisaran bobot tubuh 1,524 – 20,158 g

dengan rata-rata bobot tubuh 5,82 g. Sementara itu, ikan pirik jantan

yang diperoleh di S. Sanrego memiliki kisaran panjang tubuh 37,27 –

107,28 mm dengan rata-rata panjang tubuh 71,60 mm dan kisaran bobot

tubuh 1,196 – 23,214 g dengan rata-rata bobot tubuh 7,31 g, sedangkan

pada ikan betina memiliki kisaran panjang tubuh 42,58 – 103,82 mm

dengan rata-rata panjang tubuh 75,26 mm dan kisaran bobot tubuh

1,798 – 20,048 g dengan rata-rata bobot tubuh 8,72 g. Berdasarkan hal

tersebut menunjukkan bahwa, ikan pirik jantan di S. Pattunuang maupun

di S. Sanrego memiliki ukuran panjang dan bobot tubuh yang lebih kecil

dibandingkan dengan ikan betina. Sementara itu, berdasarkan rata-rata

panjang total dan bobot tubuh ikan pirik yang tertangkap, ikan pirik di S.

Pattunuang memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan

ikan pirik di S. Sanrego.


49

Pada Tabel 3, di S. Pattunuang, diperoleh nilai koefisien regresi (b)

pada ikan ikan pirik jantan sebesar 2,9489 dan betina sebesar 3,0600.

Sementara itu di S. Sanrego, diperoleh nilai koefisien regresi pada ikan

ikan pirik jantan sebesar 2,8719 dan betina sebesar 2,8574. Secara

keseluruhan (jantan dan betina), ikan pirik di S. Pattunuang memiliki nilai

koefisien regresi sebesar 3,0041 dan ikan pirik di S. Sanrego memiliki nilai

koefisien regresi sebesar 2,8846. Hasil uji t terhadap ikan pirik jantan,

betina, dan keseluruhan ikan di S. Pattunuang diperoleh nilai t hitung < t

tabel (Lampiran 4, 5, dan 6), sehingga ikan pirik di S. Pattunuang memilki

pola pertumbuhan yang isometrik (b = 3) atau pertambahan bobot tubuh

ikan seimbang dengan pertambahan panjang tubuh. Sementara itu hasil

uji t terhadap ikan pirik jantan, betina dan keseluruhan ikan di S. Sanrego

diperoleh nilai t hitung > t tabel (Lampiran 7, 8 dan 9), sehingga ikan pirik

di S. Sanrego memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (minor) (b < 3)

atau pertambahan panjang tubuh lebih cepat daripada pertambahan

bobotnya.

Hasil analisis kovarians, untuk menguji apakah ada perbedaan atau

tidak terhadap hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan betina

diperairan S.Pattunuang, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang

nyata (P>0,05), hal yang sama juga terjadi terhadap perbedaan hubungan

panjang dan bobot antara ikan jantan dan betina diperairan S.Sanrego

(Lampiran 10 dan 11). Selanjutnya hasil analisis kovarians, untuk menguji

apakah ada perbedaan atau tidak terhadap hubungan panjang dan bobot

antara ikan jantan di S.Pattunuang dan ikan jantan di S.Sanrego, juga


50

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) (Lampiran

12). Hal yang berbeda terjadi antara hubungan panjang dan bobot antara

ikan betina di Perairan S.Pattunuang dan betina diperairan S.Sanrego

dimana diperoleh perbedaan nyata (P<0,05) (Lampiran 13). Selanjutnya

hasil uji analisis kovarians secara keseluruhan antara hubungan panjang

dan bobot antara ikan pirik di S.Pattunuang dan di S.Sanrego

menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) (Lampiran 14).

Adanya perbedaan pola pertumbuhan antara ikan pirik yang hidup

di S. Pattunuang dan di S. Sanrego tersebut diduga disebabkan oleh

faktor-faktor di sekitar organisme tersebut seperti kondisi lingkungan

perairan meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dengan spesies lain

dan tingkat eksploitasi. Secara umum pola pertumbuhan ikan pirik yang

isometrik atau seimbang di S. Pattunuang dan pola pertumbuhan yang

allometrik negatif (minor) di S. Sanrego, menunjukkan bahwa kondisi

lingkungan perairan ikan pirik di S. Pattunuang lebih stabil dan relatif lebih

baik dibandingkan dengan perairan di S. Sanrego.

Ditinjau dari ketersediaan makanan pada setiap lokasi penelitian,

menunjukkan bahwa di S. Pattunuang ketersediaan makanan lebih baik

dibandingkan dengan S. Sanrego, hasil penelitian ahsani (2015)

menunjukkan makanan ikan pirik di S.Pattunuang terdiri dari 26 jenis

makanan, terbagi ke dalam 11 kelas. Jenis makanan tersebut diantaranya

yaitu kelas algae (Adenophorea, Bacillariophyceae, Chlorophyceae,

Conjugatophyceae, Cryptophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae,

Litostomatea, dan Oligohymenophorea), kelas bakteri (Phycomycetes),


51

dan kelas zooplankton (Malacostraca). Sementara itu, Muchtar (2015)

menunjukkan makanan ikan pirik di S.Sanrego lebih sedikit yaitu terdiri

dari 15 jenis makanan, termasuk kedalam 7 kelas. Jenis makanan

tersebut diantaranya yaitu kelas algae (Bacillariophyceae, Chlorophyceae,

Cryptophyceae, Cyanophyceae, Adenophorea) dan kelas zooplankton

(Malacostraca, Oligohymenophorea ).

Ditinjau dari tingkat kompetisi dengan spesies yang lain, kompetisi

dengan spesies lain di S. Pattunuang relatif sedikit dibandingkan dengan

S.Sanrego. Hasil pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan di

S.Pattunuang menunjukkan bahwa ikan pirik di S.Pattunuang merupakan

spesies yang paling mendominasi (banyak tertangkap) sementara spesies

lainnya, yang diduga merupakan kompetitor utama bagi ikan pirik relatif

lebih sedikit tertangkap seperti ikan nilem (Osteochilus vittatus), mas

(Cyprinus carpio), gabus (Channa striata) dan lele (Clarias sp.). Selain itu

juga tertangkap spesies lain namun diduga bukan merupakan kompetitor

utama ikan pirik diantaranya ikan beseng-beseng (Marosatherina ladigesi)

dan ikan medaka (Oryzias sp.). Hal yang berbeda dengan S.Pattunuang,

ikan di S.Sanrego memiliki keanekaragaman jenis yang lebih banyak

dibandingkan S.Pattunuang dan ikan yang dominan tertangkap juga

bukan ikan pirik namun yang tertangkap lebih banyak justru didominasi

oleh ikan nilem (O. vittatus) dan tawes (Barbonymus goniono). Spesies

lainnya yang juga tertangkap, yang diduga juga merupakan kompetitor

utama bagi ikan pirik diantaranya ikan mas (C. carpio), nila (Oreochromis

niloticus), gabus (C. striata), dan sidat (Anguilla sp.). Sementara itu
52

spesies lainnya yang juga hidup perairan S.Sanrego namun diduga bukan

merupakan kompetitor utama ikan pirik diantaranya ikan rainbow sulawesi

(Telmatherina sp.), medaka (Oryzias sp.), Betutu (Glossogobius sp.) dan

ikan julung-julung (Hemiramphus sp.).

Selanjutnya berkaitan tingkat ekspoitasi, ikan pirik di S.Sanrego

merupakan spesies yang sangat diminati bahkan merupakan spesies

yang menjadi target tangkapan utama bagi masyarakat setempat

sehingga aktifitas penangkapan ikan ini sangat intensif dan diduga

menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan populasi pada habitat

ini. Sementara itu, ikan pirik di S.Pattunuang merupakan spesies yang

tidak terlalu diminati sehingga aktifitas penangkapan ikan ini sangat jarang

dilakukan.

Adanya perbedaan pola pertumbuhan pada kedua lokasi penelitian,

menunjukkan pola pertumbuhan ikan pirik di perairan S.pattunuang dan

S.Sanrego tersebut, diduga berkaitan dengan upaya adaptasi ikan pirik

terhadap kondisi lingkungan perairan yang pada habitat ikan pirik tersebut.

Secara umum, Effendie (1979) menyatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan suatu spesies ikan meliputi faktor dalam

(keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon, dan kemampuan

memanfaatkan makanan) dan faktor luar (ketersediaan makanan,

kompetisi dalam memanfaatkan ruang, dan suhu perairan). Selanjutnya

grafik hubungan panjang-bobot tubuh ikan pirik jantan dan betina di S.

Pattunuang dan S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.


53

Gambar 4. Hubungan panjang-bobot tubuh ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama
penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros. a
(jantan), b (betina) dan c (gabungan)
54

Gambar 5. Hubungan panjang-bobot tubuh ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama
penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone. a (jantan),
b (betina) dan c (gabungan)
55

Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5 ikan pirik di Sungai

Pattunuang jantan memiliki nilai korelasi 0,9489 dan betina 0,9284 dan di

S. Sanrego memiliki nilai korelasi 0,9844 dan betina 0,9849. Secara

keseluruhan (jantan dan betina), ikan pirik di S. Pattunuang memiliki nilai

korelasi 0,9376. Sementara itu, ikan pirik di S. Sanrego memiliki nilai

0,9836. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan panjang total dan

bobot tubuh ikan pirik sangat kuat/ erat (skala korelasi 0 – 1). Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Andy Omar (2011) yang menyatakan bahwa nilai

korelasi berkisar antara 0,70 – 0,89 mempunyai arti korelasi kuat dan nilai

korelasi berkisar antara 0,90 – 1,00 mempunyai arti korelasi sangat kuat.

Keeratan hubungan ini membuktikan bahwa panjang total ikan

mempengaruhi bobot tubuh ikan pirik. Umumnya pertambahan panjang

akan selalu diikuti oleh pertambahan bobot tubuh ikan.

Penelitian mengenai hubungan panjang bobot pada ikan air tawar

telah banyak dilakukan. Beberapa jenis ikan di antaranya dilaporkan

memiliki pertumbuhan yang isometrik, allometrik positif (mayor) dan

allometrik negatif (minor) . Bishop et al. (2001), melaporkan bahwa

spesies ikan dari famili Terapontidae yang tertangkap di Sungai Alligator,

Australia, memilki pola pertumbuhan yang isometrik, di antaranya

Amniataba percoides (b = 3,06), Hefaistos fuliginosus (b=3,01) dan

Leiopontherapon unicolor (b=2,95). Sementara itu, spesies ikan lainnya

yaitu Syncomintes butleri memiliki nilai koefisies regresi b=3,16 dengan

tipe pertumbuhan allometrik positif. Selanjutnya tipe pertumbuhan pada

beberapa jenis ikan air tawar endemik lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
56

Tabel 4. Tipe pertumbuhan beberapa spesies ikan air tawar endemik

Tipe
Spesies Lokasi Pustaka
pertumbuhan
Aphanius danfordii Allometrik positif Hirfanli, Turki Kirankaya et al.,
(mayor) 2014
Chondrostoma Allometrik positif Hutovo Blato, Bosnia Dulcic et al., 2009
knerii (mayor) dan Herzegovina
Chondrostoma Allometrik positif Danau Prespa, Yunani Bobori et al.,
prespense (mayor) 2010
Rutilus prepens Allometrik positif Danau Prespa, Yunani Bobori et al.,
(mayor) 2010
Chromidotilapia Allometrik positif Danau Ogudu Lagos, Lawson et al.,
guentheri, (mayor) Nigeria 2013
Cirrhinus mrigala Allometrik negatif Mahi Bajaj Sagar, Ujjania et al.,
(minor) India 2012
Cobitis narentana Allometrik negatif Hutovo Blato, Bosnia Dulcic et al., 2009
(minor) dan Herzegovina)
Garra gotyla Isometrik Sungai Chaliyar Baby et al., 2011
stenorhynchus
Heteropneustes Allometrik positif Sungai Gomti, India Kumar et al.,
fossilis (mayor) 2014
Paratherina sp. Allometrik positif Danau Towuti, Samuel, 2008
(mayor) Sulawesi Selatan
Poecilia mexicana Allometrik positif Hildago, Mexico Miranda et al.,
(mayor) 2009
Rasbora tawarensis Allometrik Danau Laut Tawar, Brojo et al., 2001
Aceh
Rutilus basak Allometrik positif Hutovo Blato, Bosnia Dulcic et al., 2009
(mayor) dan Herzegovina
Schizothorax niger Isometrik Danau Dal, Kashmir Shafi dan Yousuf,
2012
Schizothorax Allometrik negatif Sungai Yarlung Ma et al., 2010
o’connori (minor) Tsangpo, Tibet
Squalius prespensis Isometrik Danau Prespa, Bobori et al.,
Greece 2010
Squalius svallize Allometrik positif Hutovo Blato, Bosnia Dulcic et al., 2009
(mayor) dan Herzegovina

Faktor Kondisi

Faktor kondisi menggambarkan keadaan nutrisi atau kondisi baik

suatu individu ikan. Nilai faktor kondisi ikan pirik di S. Pattunuang dan di S.

Sanrego berdasarkan kelompok ukuran panjang total dapat dilihat pada

Tabel 5 dan 6. Sementara itu nilai faktor kondisi ikan pirik berdasarkan
57

tingkat kematangan gonad dapat dilihat pada Tabel 5 (S. Pattunuang) dan

Tabel 6 (S. Sanrego).

Berdasarkan Tabel 5 dan 6, nilai faktor kondisi ikan pirik jantan di S.

Pattunuang berkisar antara 1,2710 - 4,0294 dengan nilai faktor kondisi

rata-rata 1,7880 dan ikan pirik betina berkisar antara 1,1264 - 3,5095

dengan nilai faktor kondisi rata-rata 1,8087. Sementara itu, nilai faktor

kondisi ikan pirik jantan di S. Sanrego berkisar 0,8038 - 1,2926 dengan

nilai faktor kondisi rata-rata 1,0274 dan ikan pirik betina berkisar antara

0,9263- 1,4533 dengan nilai faktor kondisi rata-rata 1,1598. Hal tersebut

menunjukkan bahwa faktor kondisi ikan pirik di S. Pattunuang lebih besar

dibandingkan faktor kondisi ikan pirik di S. Sanrego. Sementara itu

berdasarkan rata-rata faktor kondisi ikan pirik pada kedua lokasi

menunjukkan bahwa ikan pirik betina memiliki nilai faktor kondisi yang

lebih besar dibandingkan ikan jantan. Nilai faktor kondisi tertinggi ikan pirik

jantan pada S. Pattunuang yaitu 2,2072 ± 1,0622 yaitu pada kelompok

ikan yang berukuran 40 - 50 mm dan pada ikan pirik betina yaitu 1,9567 ±

0,0591 pada kelompok ikan yang berukuran 90 - 100 mm. Sementara itu

nilai faktor kondisi tertinggi ikan pirik jantan di S. Sanrego yaitu 1,0464 ±

0,0959 yang diperoleh pada kelompok ikan yang berukuran 60 - 70 mm

dan pada ikan pirik betina yaitu 1,6567 ± 0,1211 pada kelompok ikan yang

berukuran 80 - 90 mm.
58

Tabel 5. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh
selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

Kelas panjang Jantan n Betina n


(mm) Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
30 - 40 1,8984 - 1,9207 1,9096 ± 0,0157 2 - - -
40 - 50 1,4954 - 4,0294 2,2072 ± 1,0622 5 1,2369 - 1,7089 1,4729 ± 0,3338 2
50 - 60 1,4529 - 3,1975 1,8077 ± 0,2927 75 1,3968 - 2,9348 1,8203 ± 0,2996 60
60 - 70 1,2710 - 2,5357 1,7564 ± 0,2189 144 1,1264 - 3,5095 1,7813 ± 0,2908 141
70 - 80 1,4786 -2,3381 1,7949 ± 0,2214 66 1,4406 - 2,2482 1,8499 ± 0,2247 73
80 - 90 1,4992 - 2,3381 1,8100 ± 0,2239 14 1,4653 - 2,1440 1,7829 ± 0,2132 15
90 - 100 1,5655 1,5655 1 1,8788 - 2,0202 1,9567 ± 0,0591 4
100 - 110 - - - 1,728 1,728 1
Jumlah 307 292
59

Tabel 6. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh
selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Kelas panjang Jantan n Betina n


(mm) Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
30 - 40 1,2239 1,2239 1 - - -
40 - 50 1,0595 1,0595 1 0,9263 - 1,3691 1,1108 ± 0,2026 4
50 - 60 0,8038 - 1,2424 1,0188 ± 0,1043 18 1,1540 - 1,3924 1,2435 ± 0,0967 8
60 - 70 0,8382 - 1,2524 1,0464 ± 0,0959 16 0,9521 - 1,3241 1,1387 ± 0,0919 22
70 - 80 0,8435 - 1,2926 0,9662 ± 0,1324 12 1,0170 - 1,2639 1,1493 ± 0,0795 20
80 - 90 0,8205 - 1,2489 1,0436 ± 0,1218 16 1,0131 - 1,5335 1,6567 ± 0,1211 23
90 - 100 0,9604 -1,1021 1,0257 ± 0,0564 7 1,0088 - 1,4533 1,1904 ± 0,1440 10
100 - 110 1,1405 1,1405 1 0,9712 - 1,1579 1,0801 ± 0,0971 3
Jumlah 72 90
60

Berdasarkan hal tersebut diatas menunjukkan bahwa kisaran nilai

faktor kondisi ikan jantan yang lebih rendah daripada ikan betina diduga

dipengaruhi oleh ukuran ikan pirik jantan yang lebih kecil serta

dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad, dimana pada ikan jantan

didominasi oleh ikan-ikan yang belum matang (TKG I dan II). Lagler et al.

(1977) menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor

yang memengaruhi faktor kondisi. Lebih lanjut Effendie (2002)

menambahkan faktor kondisi ikan cenderung dipengaruhi oleh makanan,

waktu ukuran panjang dan bobot tubuh. Sementara itu, adanya perbedaan

faktor kondisi ikan pirik dimana ikan pirik di Sungai Pattunuang memiliki

nilai faktor kondisi yang lebih besar dibandingkan ikan pirik di Sungai

Sanrego diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan dan

ketersediaan makanan yang berbeda pada kedua lokasi tersebut.

Berdasarkan tingkat kematangan gonad, Nilai faktor kondisi pada

setiap TKG bervariasi namun cenderung meningkat seiring meningkatnya

TKG (Tabel 7 dan 8). Effendie (1997) menyatakan bahwa peningkatan

nilai faktor kondisi ikan dapat terjadi saat gonad mengalami

perkembangan dan akan mencapai puncaknya saat akan melakukan

pemijahan. Selanjutnya hasil uji t terhadap ikan pirik jantan dan betina di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego menunjukkan adanya perbedaan yang

nyata (Lampiran 15 dan 16).


61

Tabel 7. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang
diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

Jantan n Betina n
TKG
Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
I 1,2710 - 4,0294 1,7490 ± 0,2771 174 1,2369 - 2,1605 1,7285 ± 0,1852 114
II 1,4769 - 2,5357 1,8388 ± 0,2272 76 1,5320 - 3,5095 1,9203 ± 0,3180 86
III 1,4241 - 3,1975 1,8681 ± 0,3274 38 1,3118 - 2,2900 1,7540 ± 0,2166 38
IV 1,4644 - 2,3343 1,7196 ± 0,2491 13 1,1264 - 2,9348 1,8709 ± 0,3498 36
V 1,5039 - 1,8741 0,7284 ± 0,1342 6 1,4706 - 2,2960 1,7751 ± 0,2349 18
Jumlah 307 Jumlah 292
62

Tabel 8. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang
diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Jantan n Betina n
TKG
Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
I 0,9085 - 1,2524 1,0483 ± 0,1163 32 0,9263 - 1,3718 1,1902 ± 0,1109 26
II 0,8038 - 1,1909 1,0225 ± 0,0994 5 0,9521 - 1,3924 1,1467 ± 0,1172 18
III 0,8205 - 1,0618 0,9027 ± 0,0749 10 1,0131 - 1,4533 1,1147 ± 0,1060 19
IV 0,8650 - 1,2926 1,0467 ± 0,1325 14 1,0170 - 1,5335 1,1665 ± 0,1200 18
V 0,9275 - 1,2225 1,0579 ± 0,0819 11 1,0865 - 1,3143 1,1806 ± 0,0883 9
Jumlah 72 Jumlah 90
63

B. Nisbah Kelamin

Distribusi jumlah dan nisbah kelamin ikan pirik yang diperoleh

selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan sampel dan tingkat

kematangan gonad di S. Pattunuang dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10,

sedangkan di S. Sanrego dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12.

Tabel 9. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros

Waktu pengambilan Jumlah ikan (ekor) Nisbah kelamin


sampel Jantan Betina Jantan Betina
September 2014 36 64 1,00 1,78
Oktober 2014 43 40 1,08 1,00
November 2014 49 44 1,11 1,00
Desember 2014 72 46 1,57 1,00
Januari 2015 60 47 1,28 1,00
Februari 2015 47 51 1,00 1,09
Jumlah 307 292 1,05 1,00

Tabel 10. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Waktu pengambilan Jumlah ikan (ekor) Nisbah kelamin


sampel Jantan Betina Jantan Betina
September 2014 5 11 1,00 2,20
Oktober 2014 9 11 1,00 1,22
November 2014 15 18 1,00 1,20
Desember 2014 12 6 2,00 1,00
Januari 2015 21 8 2,63 1,00
Februari 2015 10 36 1,00 3,60
Jumlah 72 90 1,00 1,25
64

Tabel 11. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros

Tingkat kematangan Jumlah ikan (ekor) Nisbah kelamin


gonad Jantan Betina Jantan Betina
I 174 114 1,53 1,00
II 76 86 1,00 1,13
III 38 38 1,00 1,00
IV 13 36 1,00 2,77
V 6 18 1,00 3,00
Jumlah 307 292 1,05 1,00

Tabel 12. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian
pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Tingkat kematangan Jumlah ikan (ekor) Nisbah kelamin


gonad Jantan Betina Jantan Betina
I 32 26 1,23 1,00
II 5 18 1,00 3,60
III 10 19 1,00 1,90
IV 14 18 1,00 1,29
V 11 9 1,22 1,00
Jumlah 72 90 1,00 1,25

Berdasarkan Tabel 9 dan 10, secara keseluruhan di S. Pattunuang

diperoleh ikan pirik dengan nisbah jantan dan betina 1,05 : 1,00 dan di S.

Sanrego diperoleh nisbah jantan dan betina 1,00 : 1,25. Hal tersebut

menunjukkan bahwa nisbah yang diperoleh pada kedua lokasi mendekati

seimbang atau mengikuti pola 1 : 1. Namun demikian, secara statistik hasil

uji chi-square (Lampiran 17 hingga 20) , menunjukkan nisbah kelamin ikan

pirik yang diperoleh selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan


65

sampel di S. Pattunuang bukan 1 : 1 (α = 0,05 ; X2 hitung = 14,8974; X2

tabel = 11,070; db = 5 ). Demikian juga di S. Sanrego bukan 1 : 1 (α = 0,05

; X2 hitung = 13,9322; X2 tabel = 11,070; db = 5 ). Selanjutnya nisbah

kelamin ikan pirik berdasarkan tingkat kematangan gonad di S.

Pattunuang juga bukan 1 : 1 (α = 0,05 ; X2 hitung = 29,5561 ; X2 tabel =

9,488; db = 4). Hasil yang sama diperoleh di S. Sanrego (α = 0,05 ; X2

hitung = 9,5799 ; X2 tabel = 9,488; db = 4).

Nisbah kelamin ikan pirik yang diperoleh, baik di S. Pattunuang

maupun di S. Sanrego, cenderung bervariasi pada setiap bulannya. Hal

tersebut diduga berkaitan dengan strategi reproduksi dari ikan tersebut.

Ikan pirik betina ditemukan lebih banyak dibandingkan ikan jantan di S.

Pattunuang pada bulan September yang merupakan waktu ikan pirik

melakukan proses pemijahan. Namun pada bulan-bulan berikutnya, yaitu

periode Oktober hingga Januari, ikan jantan mulai mendominasi, hingga

nisbah kembali mendekati seimbang pada bulan Februari. Hal yang sama

juga terjadi di S. Sanrego, yaitu ikan pirik betina ditemukan lebih banyak

dibandingkan ikan jantan pada bulan September hingga bulan November

yang merupakan waktu ikan pirik melakukan proses pemijahan di lokasi

tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Nikolsky (1969) yang

menyatakan bahwa perbedaan nisbah kelamin dapat dilihat dari tingkah

laku pemijahan yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan.

Pada ikan yang melakukan pemijahan terjadi perubahan nisbah jantan

dan betina secara teratur, pada awalnya ikan jantan lebih banyak

kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, lalu diikuti dengan


66

dominasi ikan betina. Namun pada kenyataannya di alam perbandingan

rasio kelamin tidaklah mutlak, Effendie (2002) menyatakan rasio kelamin

dapat dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan

makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Lebih

lanjut Ball dan Rao (1984) menambahkan penyimpangan nilai nisbah

kelamin terhadap nisbah ideal dapat terjadi akibat pengaruh perbedaan

tingkah laku ikan yang suka bergerombol, perbedaan laju mortalitas dan

pertumbuhan.

Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina di alam diperkirakan

mendekati 1 : 1, yang menunjukkan jumlah ikan betina dan jantan yang

tertangkap relatif hampir sama banyaknya (Ball dan Rao, 1984). Nisbah

kelamin pada ikan penting diketahui karena berpengaruh terhadap

kestabilan populasi ikan tersebut di alam. Dalam suatu populasi apabila

nisbah kelaminnya tidak seimbang, maka perkembangan populasi akan

terhambat (Nasution, 2008). Nikolsky (1963) menyatakan perbedaan

jumlah salah satu jenis kelamin dalam populasi disebabkan adanya

perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan umur, ukuran pertama kali

matang gonad, dan adanya penambahan jenis ikan baru pada suatu

populasi ikan yang sudah ada.

Beberapa ikan air tawar dilaporkan memiliki nisbah kelamin yang

seimbang, namun pada beberapa spesies juga ditemukan nisbah kelamin

yang tidak seimbang. Bishop et al. (2001) melaporkan nisbah kelamin

yang seimbang (1 : 1) ditemukan pada ikan air tawar dari famili

Terapontidae di Sungai Alligator, Australia, yaitu A. percoides, H.


67

fuliginosus, L. unicolor, S. butleri dan Pingalla midgleyi. Sementara itu

pada Mesopristes cancellatus, ditemukan ikan betina lebih banyak

dibandingkan jantan dengan nisbah 1 : 3,42 (Openiano et al., 2011).

Nisbah kelamin pada beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat

dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Nisbah Kelamin beberapa spesies ikan air tawar endemik

Nisbah
Spesies Lokasi Pustaka
(Jantan dan Betina)
Aspius vorax 1:1 Sungai Euphrates, , Saleh et al., 2012
Syria
Cobitis faridpaki Bukan 1 : 1 Sungai Siahrud, Sabet et al., 2012
Iran
Girardiictys 1 : 1.5 Meksiko Adolfo et al., 2013
multiradiatus
Glossogobius 1:1 Danau Towuti, Sulistiono et al.,
matanensis Sulawesi Selatan 2007
Glossolepis incisus 1:3 Danau Sentani, Siby et al., 2009
Jayapura
Melanotaenia 1:1 Sungai Nimba dan Manangkalagi et
arfakensis Sungai Aimasi, al., 2009
Manokwari
Marosatherina ladigesi 1 : 3.9 Sungai Kariyanti, 2014
Bantimurung,
Sulawesi Selatan
Marosatherina ladigesi 1 : 2.76 Sungai Kariyanti, 2014
Pattunuang,
Sulawesi Selatan
Paratherina striata 1 : 3.15 Danau Towuti, Andy Omar et al.,
Sulawesi Selatan 2011
Puntius denisonii 1:1 Sungai Solomon et al.,
Chandragiri, dan 2011
Sungai Chaliyar,
India
Rasbora tawarensis 1:5 Perairan Danau Brojo et a., 2011
Laut Tawar, Aceh
Tengah
Schizothorax Bukan 1 : 1 Sungai Yarlung Ma et al., 2010
o’connori Tsangpo, Tibet
Telmatherina antoniae 1:1 Danau Matano, Nilawati dan Tantu,
Sulawesi Selatan 2007
Telmatherina ladigesi 0,2 – 0,8 : 1,0 Sungai Nasution et al.,
Batimurung dan 2006
Sungai
Pattunuang,
Sulawesi Selatan
68

C. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu

perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie,

2002). Pecatatan perubahan atau tahap-tahap kemantangan gonad

diperlukan untuk melihat perbandingan antara ikan yang melakukan

pemijahan dan tidak. Berdasarkan tingkat kematangan gonad juga dapat

diketahui kapan ikan itu akan memijah, baru memijah, atau sudah

memijah (Sulistiono et al., 2007).

Pengamatan secara morfologis untuk menentukan seksualitas pada

ikan pirik, menunjukkan tidak terdapat ciri atau perbedaan bentuk dan

struktur tubuh luar antara jantan dan betina. Meskipun demikian, secara

umum ikan jantan ditemukan relatif lebih kecil dan pendek dibandingkan

dengan ikan betina, namun kadangkala ciri tersebut tidak memberikan

hasil yang positif atau meragukan, sehingga untuk menentukan kedua

jenis kelamin tersebut hanya dapat dilakukan dengan membedah dan

melihat langsung ciri seksual primernya. Ciri seksual primer ini berkaitan

langsung dengan proses reproduksi yaitu testis pada ikan jantan dan

ovarium pada ikan betina.

Pengamatan secara morfologis terhadap gonad pada ikan pirik (L.

micracanthus) menunjukkan bahwa terdapat sepasang organ reproduksi

yang berkembang, baik pada ikan jantan maupun pada ikan betina. Posisi

dan letak gonad pada ikan endemik pirik (L. micracanthus) jantan dan

betina dapat dilihat pada Gambar 6. Rahardjo et al. (2011) menyatakan

Posisi atau letak organ reproduksi tersebut dapat berbeda antara satu
69

spesies dengan spesies yang lain, pada ikan yang memiliki gelembung

gas, testis dan ovarium terletak pada bagian bawah atau di samping

gelembung gas tersebut.

(a)

(b)

Gambar 6. Posisi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)


jantan (atas) dan betina (bawah)

Perkembangan ovari dan testis ikan secara garis besar terdiri atas

dua tahap perkembangan utama, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan


70

tahap pematangan produk seksual (gamet). Tahap pertumbuhan

berlangsung sejak ikan menetas sampai ikan tersebut mencapai dewasa

kelamin (sexually mature), sedangkan tahap pematangan berlangsung

setelah ikan dewasa dan akan terus berkesinambungan selama fungsi

reproduksi ikan berjalan normal (Lagler et al., 1977). Effendie (1979)

menyatakan bahwa untuk menentukan tingkat kematangan gonad pada

ikan betina maka yang diamati adalah bentuk, ukuran, warna, kehalusan,

dan pengisian ovarium dalam rongga tubuh serta ukuran, kejelasan

bentuk, warna telur dalam ovarium. Sebaliknya, untuk ikan jantan yang

diamati adalah bentuk, ukuran, warna, dan pengisian testes dalam rongga

tubuh.

Tingkat kematangan gonad ikan pirik ditentukan melalui

pengamatan secara makroskopik (morfologi) dan mikroskopik (histologi).

Secara morfologi penggolongan tingkat kematangan gonad ikan pirik

terbagi dalam lima tahap yaitu TKG I immature (belum berkembang), TKG

II maturing (awal perkembangan), TKG III mature (matang gonad), TKG IV

fully mature (perkembangan akhir), dan TKG V resting (memijah).

Secara mikroskopik, gonad jantan ikan pirik ditandai dengan proses

pembentukan spermatozoa dari sel kelamin jantan primordial atau

primordial germ cell (spermatogonia) melalui tahapan yang disebut

spermatogenesis. Pada tahap pertama, gonad didominasi oleh

spermatogonia dan jaringan ikat. Pada tahap kedua, spermatogonia ini

kemudian mengalami berulangkali pembelahan mitosis (penggandaan

spermatogonia) yang akan membentuk spermatosit primer. Tahap


71

selanjutnya (tahap ketiga) terjadi pembelahan meiosis (reduksi) pada

spermatosit primer membentuk spermatosit sekunder. Pada tahap

keempat, spermatosit sekunder mengalami pembelahan meiosis yang

kedua menjadi spermatid dan tahap terakhir spermatid kemudian

mengalami diferensiasi sehingga menjadi spermatozoa atau gamet.

Spermatozoa atau gamet yang dihasilkan akan disekresikan dari saluran

sperma dan dikeluarkan pada waktu memijah. Secara mikroskopik, gonad

betina ikan pirik ditandai dengan proses perkembagan telur yang terjadi

dalam ovarium dan disebut oogenesis. Pada prinsipnya proses tersebut

tidak jauh berbeda dengan proses spermatogenesis. Pada tahap pertama

oogonia tersebar dalam ovari. Pada tahap kedua oogonia mengalami

pembelahan secara mitosis menjadi oosit. Pada tahap selanjutnya oosit

mengalami pembelahan meiosis pertama membentuk ootid dan tahap

terakhir terjadi pembelahan meiosis yang kedua menjadi ovum.

Selama proses oogenesis berlangsung sel epitel di sekelilingnya

menyediakan sejumlah makanan cadangan dalam bentuk kuning telur

(protein) dan lemak yang berbentuk tetes minyak. Selanjutnya telur yang

telah terbentuk akan segera dikeluarkan ke rongga ovarian atau rongga

peristonel yang dikenal sebagai proses ovulasi (Rahadjo et al., 2011).

Klasifikasi masing-masing tingkat kematangan gonad ikan pirik jantan dan

betina secara makroskopis dan mikroskopis dapat dilihat pada Tabel 14

dan 15 serta Gambar 7, 8, 9, dan 10.


72

Tabel 14. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) jantan

TKG Makroskopis Mikroskopis


I Testis kecil, memanjang, Testis didominasi oleh
Immature warna jernih, putih dan jaringan ikat, terdapat
sedikit kemerahan pada lobus berbentuk lonjong
Belum bagian ujung. yang berisi spermatogonia
berkembang

Warna testis tampak putih Gonad lebih berkembang,


II seperti susu, bentuknya kantung tubulus seminiferi
Maturing lebih jelas dari TKG I. sudah mulai diisi oleh
Terlihat menutupi sebagian spermatosit primer.
Awal kecil rongga perut Spermatosit terbentuk dari
perkembangan pembelahan meiosis

Permukaan gonad tampak Spermatosit primer


semakin putih, terdapat membelah secara meiosis
III garis membujur berwarna menjadi spermatosit
Mature hitam di sekunder yang meliputi
bagian tengah testis. proses duplikasi DNA dan
Sedang Ukuran testis terlihat rekombinasi dari informasi
berkembang menutupi sepertiga dari genetik
rongga perut

Testis semakin jelas,besar Spermatosit sudah


dan pejal. Testis terlihat menyebar, kemudian
IV menutupi sebagian besar berkembang menjadi
Fully Mature
dari rongga perut. spermatid dan
Matang Berwarna putih spermatozoa yang siap
dikeluarkan

Sebagian testis mengerut / Gonad hampir sama


V kempis dan kurang pejal. dengan TKG IV, gonad
Resting
Berwarna putih seperti didominasi oleh spermatid
Pasca susu dan spermatozoa,
Pemijahan jaringan kelihatan lebih
longgar dari sebelumnya
73

L = 59,64 mm L = 62,71 mm
W = 3,133 g W = 3,969 g
G = 0,018 g G = 0,052 g
IKG = 0,5745 % IKG = 1,4570 %

L = 67,55 mm L = 68,35 mm
W = 5,168 g W = 4,802 g
G = 0,080 g G = 0,267 g
IKG = 1,5480 % IKG = 5,7476 %

L = 70,81 mm
W = 5,793 g
G = 0,176 g
IKG = 3,0381 %

Gambar 7. Struktur morfologi gonad ikan pirik jantan (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap
tingkat kematangan gonad
74

L = 59,64 mm L = 62,71 mm
W = 3,133 g W = 3,969 g
G = 0,018 g G = 0,052 g
IKG = 0,5745 % IKG = 1,4570 %

L = 67,55 mm L = 68,35 mm
W = 5,168 g W = 4,802 g
G = 0,080 g G = 0,267 g
IKG = 1,5480 % IKG = 5,7476 %

L = 70,81 mm
W = 5,793 g
G = 0,176 g
IKG = 3,0381 %

Gambar 8. Struktur histologi gonad ikan pirik jantan (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan
gonad. Keterangan: Sg (Spermatogonium), Sp (Spermatosit
primer), Ss (Spermatosit sekunder), St (Spermatid), Sz
(Spermatozoa). (Pewarnaan HE, Pembesaran 100 x).
75

Tabel 15. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) betina

TKG Makroskopis Mikroskopis


I Gonad kecil, memanjang, Ovari belum matang,
Immature butiran telur pada gonad didominasi oleh oosit
belum tampak, warna ovarium stadia I (oogonium),
Belum sedikit oosit dan inti sel
merah tua
berkembang belum terlihat jelas

II Ukuran gonad semakin Oogonium melakukan


Maturing meningkat, butiran telur belum pembelahan sel secara
tampak, permukaannya halus. mitosis dan membentuk
Awal oosit yang lebih banyak
Gonad berwarna merah tua,
perkembangan
Gonad menutupi setengah Sel telur berkembang
dari rongga perut. Usus menjadi ootid, diameter
terdesak. Butiran telur mulai telur berukuran lebih
III
besar, butir kuning telur
Mature terlihat berupa butiran halus.
sudah mulai terlihat dan
Kantung telur tebal. Warna butir-butir minyak
Sedang kekuningan semakin jelas dengan
berkembang
warna putih yang
mengelilingi inti sel

Gonad menutupi hampir Ootid berkembang


keseluruhan rongga perut. menjadi ovum, butiran
IV minyak (berwarna putih)
Usus terdesak. Butiran telur
Fully Mature semakin banyak yang
semakin jelas. Selaput telur
menyebar dari sekitar
Matang mulai menipis. warna inti sel sampai ke tepi
kekuningan

Gonad mengerut, Butiran Ovarium didominasi


telur sangat jelas. Selaput oleh ovum, terlihat
V telur sangat tipis.Sebagian beberapa lapisan
Resting gonad telah kempes karena selaput folikel pecah
sebagian telur telah menandakan sel telur
Pasca mengalami oviposisi (mijah) siap untuk diovulasikan
Pemijahan warna kuning
76

L = 62,85 mm L = 63,85 mm
W = 4,259 g W = 4,759 g
G = 0,028 g G = 0,086 g
IKG = 0,6574 % IKG = 1,8071 %

L = 69,66 mm L = 70,96 mm
W = 5,670 g W = 6,972 g
G = 0,166 g G = 0,424 g
IKG = 2,9276 % IKG = 6,0814 %

L = 71,97 mm
W = 5,706 g
G = 0,157 g
IKG = 2,7515 %

Gambar 9. Struktur morfologi gonad ikan pirik betina (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap
tingkat kematangan gonad
77

L = 62,85 mm L = 63,85 mm
W = 4,259 g W = 4,759 g
G = 0,028 g G = 0,086 g
IKG = 0,6574 % IKG = 1,8071 %

L = 69,66 mm L = 70,96 mm
W = 5,670 g W = 6,972 g
G = 0,166 g G = 0,424 g
IKG = 2,9276 % IKG = 6,0814 %

L = 71,97 mm
W = 5,706 g
G = 0,157 g
IKG = 2,7515 %

Gambar 10. Struktur histologi gonad ikan pirik betina (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat
kematangan gonad. Keterangan: Og = oogonium; Os = oosit;
Ot = ootid; Ov = ovum; n = nukleolus; O = butiran minyak; Y =
yolk (kuning telur). (Pewarnaan HE, Pembesaran 100 x).

Selama penelitian (September – Februari 2015) di S. Pattunuang

dan di S. Sanrego diperoleh ikan pirik jantan dan betina dengan tingkat

kematangan I hingga V. Frekuensi ikan berdasarkan ikan yang telah dan


78

belum matang gonad serta frekuensi berdasarkan TKG pada setiap waktu

pengambilan sampel di S. Pattunuang dapat dilihat pada Gambar 11 dan

12 sementara itu untuk sampel di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar

13 dan 14.

Gambar 11. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum
matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros. Keterangan : a
(jantan) dan b (betina).
79

Gambar 12. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad
pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros. Keterangan : a (jantan) dan
b (betina).
80

Gambar 13. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum
matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone. Keterangan : a (jantan)
dan b (betina).
81

Gambar 14. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan
gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone

Berdasarkan Gambar 11 dan 12, frekuensi kematangan gonad

bedasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad serta berdasarkan

TKG, ikan pirik antara jantan dan betina menunjukkan pola kematangan

gonad yang sama. Frekuensi TKG ikan pirik jantan dan betina tertinggi di
82

S. Pattunuang terjadi pada bulan September. Ikan yang diperoleh pada

bulan tersebut didominasi oleh ikan-ikan yang telah matang gonad (TKG

III, IV, dan V), Hal tersebut berlangsung hingga bulan Oktober dan

November meskipun pada kedua bulan tersebut terjadi penurunan

persentase TKG. Pada bulan Desember, Januari, dan Februari, ikan yang

tertangkap adalah ikan-ikan yang belum matang gonad (TKG I dan II).

Tingginya persentase ikan pirik yang sedang matang gonad pada bulan

September (akhir Musim Kemarau) hingga November (awal Musim

Penghujan) di S. Pattunuang menunjukkan bahwa pada waktu tersebut

merupakan waktu yang digunakan bagi ikan pirik untuk melakukan

pemijahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lagler et al. (1977);

Burhanuddin (2010); dan Rahardjo et al. (2011), menyatakan bahwa

umumnya ikan-ikan di perairan alami akan memijah pada awal Musim

Penghujan karena pada saat itu terjadi perubahan lingkungan. Adanya

perubahan musim dan pengaruh lingkungan tersebut diduga telah memicu

hormon-hormon reproduksi pada ikan pirik untuk melakukan pemijahan.

Keadaan tersebut merupakan hal yang umum terjadi pada ikan-ikan yang

hidup di perairan tawar (sungai, danau, dan waduk), terutama pada ikan-

ikan yang hidup di daerah perairan tropis.

Hal yang sama juga terjadi di S. Sanrego (Gambar 13 dan 14),

yaitu waktu pemijahan diperkirakan berlangsung pada akhir Musim

Kemarau dan awal Musim Penghujan. Namun yang membedakan adalah

waktu pemijahan di S. Sanrego berlangsung lebih lama yaitu sejak bulan

September hingga Desember. Ikan yang tertangkap pada periode Januari


83

dan Februari didominasi oleh ikan yang belum matang gonad. Perbedaan

waktu dan lama pemijahan antara di S. Pattunuang dan di S. Sanrego

dipengaruhi oleh perbedaan iklim dan letak geografis kedua lokasi

tersebut. Sungai Pattunuang terletak di Kabupaten Maros atau di bagian

Barat Sulawesi Selatan dimana awal Musim Kemarau berlangsung hingga

bulan September dan memasuki Musim Penghujan pada bulan Oktober,

November dan mencapai puncak pada bulan Desember hingga Februari.

Sebaliknya, di S. Sanrego yang berada di Kab. Bone atau di bagian Timur

Sulawesi Selatan, Musim Kemarau berlangsung lebih lama yakni

September hingga November, awal Musim Penghujan terjadi pada bulan

Desember hingga Maret dan puncak Musim Penghujan terjadi pada bulan

April hingga Juni.

Adanya perubahan kondisi perairan pada waktu peralihan musim

dari musim kemarau menjadi musim penghujan, diduga telah merangsang

ikan pirik untuk melakukan pemijahan. Perubahan lama waktu matahari

bersinar (photoperiode) dapat menstimulasi spesies ikan untuk berpijah

(Andy Omar, 2010). Lagler et al. (1977) menyatakan faktor yang

mempengaruhi suatu proses pemijahan ikan terdiri atas faktor eksternal

dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi curah hujan, suhu, sinar

matahari, tumbuhan, dan adanya ikan jantan; sedangkan faktor internal

meliputi kondisi dan adanya hormon reproduksi yang cukup. Lebih lanjut

Pitcher (1995) dalam Burhanuddin (2010) menambahkan faktor internal

yang mempengaruhi fungsi reproduksi pada suatu spesies ikan yaitu

tersedianya hormon steroid dan gonadotropin baik dalam bentuk


84

Gonadotropin I (GtH 1) dan Gonadotropin II (GtH II) dalam jumlah yang

cukup dalam tubuh, yang dapat memacu kematangan gonad diikuti

ovulasi dan pemijahan. Sebaliknya bilamana salah satu atau kedua

gonad tersebut tidak mencukupi dalam tubuh maka perkembangan oosit

dalam ovarium terganggu dan bahkan akan terhenti dan mengalami

atresia.

Beberapa spesies ikan air tawar dari famili Terapontidae seperti H.

fuliginosus dan L. unicolor yang hidup di Sungai Alligator, Australia,

dilaporkan juga matang gonad pada akhir Musim Kemarau dan pada awal

Musim Penghujan saja (Bishop et al., 2001). Selanjutnya sebagai

perbandingan musim pemijahan pada beberapa ikan endemik diantaranya

ikan rainbow sulawesi (Telmatherina celebensis), musim pemijahannya

terjadi pada bulan November dan Februari (Nasution, 2005). Sementara

itu ikan butini (Glossogobius matanensis) memijah pada bulan Maret -

April dan bulan Oktober – November dengan puncak pemijahan pada

bulan April dan November (Sulistiono et al., 2007).

Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Tabel 16 dan Tabel

17. Berdasarkan rataan nilai panjang total tubuh ikan pirik Tabel 16 dan

Tabel 17 menunjukkan bahwa semakin panjang tubuh ikan maka akan

dikuti oleh peningkatan tingkat kematangan gonad. Hal tersebut terjadi

pada ikan jantan dan ikan betina, baik di S. Pattunuang maupun di S.

Sanrego.
85

Tabel 16. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

Tingkat Jantan n Betina n


Kematangan Gonad Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
I 35,81 - 87,48 62,1625 ± 7,4262 174 49,76 - 83,54 63,6648 ± 6,1918 114
II 50,21 - 90,54 70,2736 ± 8,7445 76 53,77 - 92,14 70,8345 ± 8,0111 86
III 56,25 - 85,44 66,9695 ± 6,9180 38 53,42 - 83,44 68,2539 ± 6,9409 38
IV 58,38 - 80,43 67,9000 ± 7,0325 13 55,40 - 105,58 70,4144 ± 9,4892 36
V 62,43 - 71,51 68,0333 ± 3,5896 6 58,88 - 83,97 69,2456 ± 6,2092 18
Jumlah 307 292

Tabel 17. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Tingkat Jantan n Betina n


Kematangan Gonad Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
I 37.27 - 82,94 60,4981 ± 8,7936 32 42,58 - 85,12 65.0200 ± 12.0165 26
II 51,28 - 85,88 67,1100 ± 13,6620 5 54,67 - 101,02 72.4433 ± 13.0996 18
III 58,07 - 92,29 74.5530 ± 10,2181 10 60,49 - 103,82 80.8216 ± 12.8653 19
IV 68,63 - 95,31 81,1693 ± 7,8833 14 66,18 - 95,95 80.4544 ± 7.3713 18
V 80,90 - 107,28 91,0991 ± 8,1895 11 72,18 - 103,75 88.3144 ± 10.7505 9
Jumlah 72 90
86

D. Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad untuk setiap TKG pada ikan pirik jantan

dan betina yang tertangkap di S. Pattunuang dan di S. Sanrego selama

penelitian dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19.

Tabel 18. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan
tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros

Jantan n Betina n
TKG
Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
I 0,0178 - 5,1414 0,4624 ± 0,5149 174 0,0192 - 1,8495 0,4376 ± 1,8495 114
II 0,0138 - 5,1394 0,7496 ± 0,7503 76 0,0338 - 4,2599 0,8119 ± 0,6513 86
III 0,4242 - 5,5482 2,0153 ± 1,2721 38 0,5040 - 5,6827 2,7761 ± 1,3036 38
IV 1,5131 - 6,4414 3,7923 ± 1,2962 13 1,6121 - 14,9637 7,2718 ± 3,2100 36
V 1,4912 - 5,5602 3,1450 ± 1,5478 6 3,8766 - 15,2887 8,5129 ± 3,2966 18
Jumlah 307 292

Tabel 19. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan
tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone

Jantan n Betina n
TKG
Kisaran Rerata (ekor) Kisaran Rerata (ekor)
I 0,0317 - 1,8725 0,3680 ± 0,3896 32 0,0185 - 0,9317 0,2270 ± 0,2169 26
II 0,1892 - 1,0027 0,6272 ± 0,3540 5 0,0821 - 2,4503 0,6169 ± 0,0659 18
III 1,0595 - 8,4882 4,6300 ± 2,4191 10 1,4475 - 11,5861 5,5745 ± 2,3974 19
IV 3,3573 - 8,2700 5,9529 ± 1,5605 14 5,1945 - 15,8341 9,7768 ± 3,0547 18
V 2,5913 - 6,6105 4,9369 ± 1,2638 11 10,1419 - 15,7139 12,7136 ± 1,7404 9
Jumlah 72 90

Berdasarkan Tabel 18 dan 19 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata

IKG berdasarkan TKG ikan pirik di S. Pattunuang dan di S. Sanrego


87

meningkat seiring dengan peningkatan TKG. Pada ikan jantan, nilai rata-

rata IKG meningkat hingga pada TKG IV namun mengalami penurunan

pada TKG V. Hal tersebut dapat disebabkan karena penurunan bobot

gonad pada TKG V akibat aktifitas pemijahan. Menurut Effendie (1997)

bahwa gonad ikan semakin bertambah berat diimbangi dengan bertambah

besar ukurannya, karena sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk

perkembangan gonad.

Hasil pengamatan terhadap 599 ekor ikan pirik di Sungai

Pattunuang diperoleh nilai rata rata IKG 0,9191 % pada ikan jantan dan

2,195 % pada ikan betina. Sementara itu hasil pengamatan terhadap 162

ekor ikan pirik di Sungai Sanrego diperoleh nilai rata rata IKG 2,7619 %

pada ikan jantan dan 4,5925 % pada ikan betina. Berdasarkan hal

tersebut, menunjukkan bahwa IKG pada ikan betina lebih besar

dibandingkan IKG pada ikan jantan. Effendie (1979) yang menyatakan

bahwa pertambahan bobot gonad ikan betina lebih besar dan dapat

mencapai 10 – 25% dari bobot tubuh, sementara pada ikan jantan

berkisar 5 – 10%. lebih lanjut Effendie (2002) menjelaskan umumnya

pertambahan berat gonad ikan betina ini disebabkan oleh pertambahan

berat ovarium yang selalu lebih besar daripada pertambahan berat testis.

Nasution et al. (2006) menjelaskan bahwa ovarium lebih berat

dibandingkan dengan testis karena adanya vitelogenesis yaitu terjadi

pembentukan kuning telur (vitelin) dalam perkembangan gonad betina.

Sementara itu adanya peningkatan berat testes pada setiap tingkat


88

kematangan gonad berhubungan dengan proses spermatogenesis dan

peningkatan volume semen dalam tubulus seminiferi, dan proses tersebut

sangat bergantung pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi

untuk perkembangan somatik dan reproduksinya (Siby et al., 2009).

Penelitian terhadap beberapa spesies-spesies ikan endemik juga

menemukan bahwa IKG ikan betina memiliki nilai lebih besar

dibandingkan dengan ikan jantan. Beberapa contoh antara lain pada ikan

beseng-beseng (Telmatherina ladigesi Ahl) di sungai-sungai Sulawesi

Selatan (Nasution et al., 2006), ikan pelangi merah (Glossolepis incisus,

Weber 1907) di Danau Sentani (Siby, 2009), dan ikan pelangi sulawesi

(Marosatherina ladigesi) di S. Pattunuang dan di S. Bantimurung,

Kabupaten Maros (Kariyanti, 2014).

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap IKG pada ikan pirik

selama penelitian, baik jantan maupun betina, di Sungai Pattunuang dan

Sungai Sanrego diperoleh nilai IKG < 20% sehingga mereka digolongkan

sebagai ikan yang dapat memijah beberapa kali selama setahun. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Bagenal (1987) yang menyatakan

bahwa ikan yang memiliki IKG lebih kecil dari 20% adalah kelompok ikan

yang dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya. Nilai IKG untuk

setiap waktu pengambilan sampel di S. Pattunuang dapat dilihat pada

Gambar 15 dan S. Sanrego pada Gambar 16.


89

Gambar 15. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu
pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten
Maros.

Gambar 16. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu
pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten
Bone. a (jantan) dan b (betina)
90

Pengetahuan mengenai IKG dapat digunakan untuk menentukan

musim pemijahan. Nilai IKG yang tinggi merupakan indikator dari periode

reproduksi (Brewer et al., 2008). Nilai IKG ikan pada saat akan memijah

semakin tinggi dan setelah memijah akan menurun dengan cepat sampai

selesai memijah (Effendie, 1997). Nilai IKG memberikan indikasi

persentase berat ikan yang digunakan untuk produksi telur ketika telur

akan ditumpahkan, dan mencapai nilai maksimum selama musim

pemijahan (Ekokotu dan Olele, 2014).

Berdasarkan Gambar 15, rata-rata nilai IKG tertinggi di S.

Pattunuang terdapat pada bulan September (ikan jantan 2,5697% dan

ikan betina 5,2243%). Nilai IKG tersebut, kemudian mengalami penurunan

pada bulan Oktober hingga bulan Februari. Berdasarkan hal tersebut

maka ikan pirik di S. Pattunuang diperkirakan memijah pada periode bulan

September hingga November dengan puncak pemijahan terjadi pada

bulan September. Sementara itu di S. Sanrego, nilai IKG meningkat pada

bulan September hingga November kemudian mengalami penurunan

pada bulan Desember hingga bulan Februari. Nilai IKG tertinggi terdapat

pada bulan November (ikan jantan 6,0518% dan ikan betina 10,1317%).

Hal tersebut menunjukkan, ikan pirik di S. Sanrego diperkirakan memijah

pada bulan September hingga Desember dengan puncak pemijahan

terjadi pada bulan November. Secara umum, disimpulkan bahwa ikan di S.

Pattunuang dan di S. Sanrego memijah pada akhir Musim Kemarau dan

awal Musim Penghujan.


91

Pemijahan ikan pirik pada akhir Musim Kemarau dan awal Musim

Penghujan bukan tanpa sebab tetapi diduga disebabkan oleh kondisi

perairan yang sesuai pada waktu itu untuk berpijah. Perubahan

lingkungan dari Musim Kemarau ke Musim Penghujan diduga telah

merangsang hormon-hormon reproduksi ikan pirik untuk melakukan

pemijahan pada waktu tersebut. Kondisi perairan di S. Pattunuang dan di

S. Sanrego pada waktu tersebut berada dalam kondisi ideal dengan

parameter suhu di S.Pattunuang berkisar antara 28-30°C, Oksigen terlarut

berkisar 6,40 – 7,65 ppm, pH 7 dan TDS berkisar antara 158 – 175 ppm.

Sementara itu pada S.Sanrego suhu berkisar antara 27,10 - 27,65 °C,

Oksigen terlarut berkisar 7,40 – 8,95 ppm, pH 7 dan TDS berkisar antara

224 – 227 ppm, dengan kondisi aliran air (arus) yang rendah dan stabil.

Proses pemijahan ikan endemik pirik pada akhir Musim Kemarau

dan awal Musim Penghujan juga diduga berkaitan strategi reproduksi ikan

pirik agar larva/ juvenil ikan pirik mendapatkan makanan yang cukup pada

saat air meninggi ketika Musim Penghujan, dimana ketersediaan makanan

pada saai itu cukup dan melimpah pada saat itu serta strategi indukan

ikan pirik agar kelangsungan hidup ikan tinggi serta strategi agar larva

ikan yang dilahirkan dapat berkembang menjadi juvenil hingga ikan

dewasa sehingga mempunyai daya renang pada saat air meninggi atau

memasuki musim penghujan (banjir).

Ketersediaan makanan merupakan suatu faktor utama dari

reproduksi yang berlangsung secara musiman pada beberapa ikan air


92

tawar tropis, khususnya yang berukuran kecil (Roberts, 1989 dalam Siby,

2009). Burhanuddin (2010) menyatakan faktor yang memengaruhi proses

reproduksi ikan terdiri atas faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

eksternal meliputi curah hujan, suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan

adanya ikan jantan. Sementara faktor internal meliputi kondisi dan adanya

hormon reproduksi yang cukup untuk memacu kematangan gonad diikuti

ovulasi dan pemijahan. Selanjutnya musim pemijahan setiap ikan

berbeda beda tergantung spesies dan lokasi. Musim pemijahan beberapa

spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Musim pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik

Spesies Musim pemijahan Lokasi Pustaka


Aspius vorax Maret Sungai Euphrates, , Saleh et al., 2012
Syria
Cobitis faridpaki Mei - Juli Sungai Siahrud, Iran Sabet et al., 2012
Glossogobius Maret-April dan Danau Towuti, Sulistiono et al.,
matanensis Oktober-Desember Sulawesi Selatan 2007
Glossolepis incisus Desember (hujan) Danau Sentani, Siby et al., 2009
Jayapura
Melanotaenia arfakensis Juni - September Sungai Nimba dan Manangkalagi et
Sungai Aimasi, al., 2009
Manokwari
Leptobatia elongata Mei - Juli Sungai Yalong dan Yin et al., 2012
Yangtze, China
Paratherina sp. Selain (Februari – Danau Towuti, Samuel, 2008
Juni) Sulawesi Selatan
Paratherina striata Juli dan Agustus Danau Towuti, Tresnati, 2011
Sulawesi Selatan
Puntius denisonii Oktober - Maret Sungai Chandragiri, Solomon et al.,
Valapattannam dan 2011
Chaliyar, India
Schizothorax o’connori Februari – April Sungai Yarlung Ma et al., 2010
Tsangpo, Tibet
Telmatherina celebensis Juni dan Oktober Danau Matano, Jayadi et.al.,
Sulawesi Selatan 2010
93

E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad

Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu variabel

dari biologi reproduksi ikan yang sangat diperlukan, khususnya dalam

kegiatan pengelolaan secara berkelanjutan suatu spesies ikan.

Pengamatan ukuran ikan pertama kali matang gonad secara berkala

dapat dijadikan indikator adanya tekanan terhadap populasi (Siby, 2009).

Namun demikian, data ukuran pertama kali ikan pirik belum tersedia

sehingga belum dapat dijadikan pembanding terjadinya tekanan ekploitasi

terhadap populasi ikan pirik di alam.

Jumlah ikan pirik (L. micracanthus) yang telah matang gonad (TKG

III, IV dan V) yang diperoleh selama penelitian di S. Pattunuang berjumlah

149 ekor yang terdiri atas 57 ekor ikan jantan dan 92 ekor ikan betina.

Sementara itu di S. Sanrego diperoleh sebanyak 81 ekor terdiri atas 35

ekor jantan dan 46 ekor betina. Rata-rata ukuran pertama kali matang

gonad ikan pirik jantan dan betina di S. Pattunuang dan S. Sanrego

berdasarkan hasil analisa metode Spearman-Karber dapat dilihat pada

Tabel 21, dan Lampiran 21 hingga 24.

Tabel 21. Ukuran pertama kali matang gonad (mm) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros, dan di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Lokasi pengambilan Jantan Betina


sampel Ukuran (mm) Kisaran (mm) Ukuran (mm) Kisaran (mm)
Sungai Pattunuang 75,40 74,00 – 76,81 82,04 80,05– 84,09
Sungai Sanrego 72,01 68,82 – 75,36 72,68 69,80 – 75,67
94

Berdasarkan Tabel 21, menunjukkan bahwa ikan pirik jantan

matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan

dengan ikan pirik betina. Hal yang sama juga terjadi pada ikan dari famili

Terapontidae lainnya seperti spesies ikan H. fuliginosus, jantan matang

gonad pertama kali pada ukuran 200 mm dan betina pada ukuran 250

mm dan ikan L. unicolor jantan matang gonad pada ukuran 74 mm dan

betina pada ukuran 78 mm (Bishop et al., 2001).

Hasil penelitian ini menunjukkan ikan pirik baik jantan dan betina di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego memiliki ukuran pertama kali matang

gonad yang berbeda. Ikan pirik di S. Sanrego matang gonad pada ukuran

yang lebih kecil dibandingkan ikan pirik di S. Pattunuang. Perbedaaan

tersebut diduga disebabkan kondisi lingkungan yang berbeda antara S.

Pattunuang dan S. Sanrego. Selain itu, tingkat pemanfaatan/penangkapan

ikan pirik yang lebih besar di S. Sanrego diduga menyebabkan ikan pirik

melakukan pemijahan lebih awal pada ukuran yang lebih kecil untuk

mempertahankan jumlah populasinya di habitat tersebut. Nikolsky (1963)

menyatakan adanya perbedaan ukuran pertama kali matang gonad pada

spesies ikan yang sama dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kelimpahan

dan ketersediaan makanan pada suatu habitat atau perairan yang

berbeda. Rahardjo et al. (2011) menambahkan bahwa ikan pada saat

pertama kali mencapai kematangan gonad dipengaruhi oleh banyak

faktor, antara lain spesies, umur, dan ukuran. Secara umum ikan yang

memiliki ukuran maksimum kecil dan masa hidup (life span) yang pendek
95

akan mencapai kedewasaan pada umur yang lebih muda daripada ikan

yang mempunyai ukuran maksimum lebih besar. Ukuran ikan pertama kali

matang gonad pada beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat

pada Tabel 22.

Tabel 22. Ukuran pertama kali matang gonad (mm) beberapa ikan air
tawar endemik

Ukuran pertama kali


Spesies matang gonad (mm) Lokasi Pustaka
Jantan Betina
Aspius vorax 36 45 Sungai Euphrates, Saleh et al.,
Syria 2012
Cairnsichthys 34 27.5 Danau dan sungai Pusey et al.,
rhombosomoides Northern Queensland, 2001
Australia
Chela fasciata 36.25 45.75 Sungai Divipala et al.,
Bharathapuzha, India 2013
Cobitis faridpaki 30 40 Sungai Siahrud, Iran Sabet et al.,
2012
Glossolepis incisus 99.5 99.2 Danau Sentani, Siby et al.,
Jayapura 2009
Marosatherina 48.10 54.25 Sungai Bantimurung, Kariyanti,
ladigesi Sulawesi Selatan 2014
Marosatherina 47.42 44 Sungai Pattunuang, Kariyanti,
ladigesi Sulawesi Selatan 2014
Melanotaenia 30.5 32.5 Danau dan sungai Pusey et al.,
splendida splendida Northern Queensland, 2001
Australia
Melanotaenia 27 26 Danau dan sungai Pusey et al.,
eachamensis Northern Queensland, 2001
Australia
Paratherina striata 134.65 108.49 Danau Towuti, Andy Omar et
Sulawesi Selatan al., 2011
Puntius denisonii 95.66 85.33 Sungai Chandragiri, Solomon et
Valapattannam, dan al., 2011
Chaliyar, India
Schizothorax 304 389 Sungai Yarlung Ma et al., 2010
o’connori Tsangpo, Tibet
96

F. Fekunditas

Fekunditas adalah semua telur yang akan dikeluarkan pada waktu

pemijahan. Dalam biologi perikanan, fekunditas pada ikan diartikan

sebagai jumlah telur ikan betina sebelum dikeluarkan (oviposisi) pada

waktu memijah dengan asumsi bahwa hanya sebagian telur yang tidak

diovulasikan (Effendie, 2002).

Untuk menganalisis fekunditas, ikan yang diamati adalah ikan pirik

betina yang telah matang gonad pada TKG III, IV, dan V. Selanjutnya

kisaran dan rerata berdasarkan waktu pengambilan sampel yang

tertangkap di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego dapat dilihat pada

Tabel 23 dan 24.

Tabel 23. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

Waktu Kisaran panjang Kisaran Kisaran Rerata


pengambilan total tubuh bobot tubuh fekunditas fekunditas
sampel (mm) (g) (butir) (butir)
September 53,42 - 105,58 2,999 - 20,158 55 – 3.415 679 ± 590
Oktober 55,21 - 91,93 2,937 - 15,697 78 – 2.933 953 ± 618
November 64,58 - 71,21 5,127 - 7,540 353 – 450 402 ± 69
Desember 0 0 0 0
Januari 0 0 0 0
Februari 0 0 0 0
97

Tabel 24. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Waktu Kisaran panjang Kisaran Kisaran Rerata


pengambilan total tubuh bobot tubuh fekunditas fekunditas
sampel (mm) (g) (butir) (butir)
September 60,49 - 103,82 3,876 - 20,048 889 – 3.511 1.802 ± 855
Oktober 71,41 - 84,65 6,091 - 10,829 900 – 3.927 2.215 ± 874
November 61,43 - 96,97 4,253 - 18,467 680 – 4.447 2.744 ± 997
Desember 65,27 - 81,48 4,678 - 9,414 1535 – 2.522 1.916 ± 423
Januari 95,86 - 103,75 17,733 - 20,035 905 – 4.399 2.328 ± 1835
Februari 0 0 0 0

Secara keseluruhan, fekunditas ikan pirik di S. Pattunuang berkisar

55 – 3.415 butir dengan rata-rata 481 butir dan di S. Sanrego berkisar 680

– 4.447 butir dengan rata-rata 2.247 butir. Hasil penghitungan fekunditas

tersebut menunjukkan bahwa fekunditas ikan pirik di S. Sanrego lebih

besar dibandingkan dengan fekunditas ikan pirik di S. Pattunuang.

Perbedaan fekunditas dipengaruhi oleh komposisi ukuran ikan yang

tertangkap pada S. Sanrego yang lebih besar dan diduga dipengaruhi oleh

tingkat penangkapan ikan pirik yang intensif di daerah tersebut. Mulyoko

(2010) menyatakan bahwa fekunditas ikan di alam akan bergantung pada

kondisi lingkungannya. Apabila ikan hidup pada kondisi yang banyak

ancaman maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak.

Fekunditas akan semakin tinggi sebagai bentuk upaya untuk

mempertahankan regenerasi keturunannya.

Berdasarkan Tabel 23, rata-rata fekunditas tertinggi di S.

Pattunuang tercapai pada bulan Oktober dengan 953 butir telur dan

terendah pada bulan November dengan 402 butir telur. Pengamatan


98

terhadap fekunditas di S. Pattunuang hanya dilakukan pada bulan

September hingga November yang merupakan periode pemijahan ikan

pirik. Sementara itu pada bulan Desember hingga Februari tidak dilakukan

pengamatan fekunditas dikarenakan tidak ditemukan ikan yang matang

gonad pada waktu tersebut. Selanjutnya pada Tabel 24, rata-rata

fekunditas tertinggi di S. Sanrego terjadi pada bulan November dengan

2.744 butir telur dan terendah pada bulan September dengan 1.802 butir

telur. Berbeda dengan di S. Pattunuang, pengamatan terhadap fekunditas

di S. Sanrego hampir dilakukan pada semua waktu pengambilan sampel,

kecuali pada bulan Februari karena tidak ditemukan ikan yang matang

gonad.

Hasil penghitungan fekunditas ikan pirik berdasarkan TKG di S.

Pattunuang dan S. Sanrego selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 25

dan 26.

Tabel 25. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

Kisaran
Kisaran panjang Kisaran Rerata
Tingkat Kematangan panjang total
total tubuh fekunditas fekunditas
Gonad tubuh (mm)
(mm) (butir) (butir)
III 53,42 - 83,44 3,876 - 20,048 55 – 1.291 381 ± 249
IV 55,40 - 105,58 4,919 - 17,436 131 – 3.415 1.066 ± 725
V 58,88 - 83,97 7,473 - 19,661 353 – 2.230 1.008 ± 489
99

Tabel 26. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Kisaran panjang Kisaran panjang Kisaran Rerata


Tingkat Kematangan
total tubuh total tubuh fekunditas fekunditas
Gonad
(mm) (mm) (butir) (butir)
III 60,49 - 103,82 3,876 - 20,048 680 – 2.655 1.503± 588
IV 66,18 - 95,95 4,919 - 17,436 1219 – 4.447 2.978± 928
V 72,18 - 103,75 7,473 - 19,661 1977 – 3.620 2.571 ± 496

Berdasarkan Tabel 25 dan 26, nilai fekunditas di S. Pattunuang dan

di S. Sanrego cenderung bervariasi pada setiap TKG. Fekunditas ikan

pirik tertinggi di S. Pattunuang berada pada TKG IV dengan 1.060 butir

dan di S. Sanrego pada TKG IV dengan 2.978 butir telur. Rata-rata

fekunditas ikan pirik pada TKG III meningkat pada TKG IV kemudian

menurun pada TKG V.

Ikan air tawar tropis memiliki nilai fekunditas dan ukuran telur yang

cenderung bervariasi (Winemiller et al., 2008). Fekunditas yang berbeda-

beda antarspesies merefleksikan strategi reproduksinya. Bahkan

intraspesies, fekunditas bervariasi sebagai hasil dari perbedaan adaptasi

terhadap lingkungannya. Ikan yang berukuran besar memiliki fekunditas

yang besar. Pada ukuran yang sama, ikan betina dalam kondisi yang baik

menghasilkan fekunditas yang lebih tinggi. Fekunditas ikan yang baru

pertama kali memijah terlihat kecenderungan kualitas dan kuantitas

telurnya masih rendah yang berpengaruh terhadap rekrutmennya bila

dibandingkan dengan induk ikan yang telah berkali-kali memijah dengan

fekunditas yang meningkat serta ukuran telur dan larva yang lebih besar.
100

Kondisi ini akan menurun sejalan dengan mulai menurunnya kondisi ikan

yang memengaruhi kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan (ikan yang

tua) (Bagenal, 1957 dalam Siby, 2009).

Berdasarkan fekunditas yang diperoleh pada penelitian ini, ikan

pirik (L.micracanthus) tergolong memiliki fekunditas yang lebih sedikit

dibandingkan dengan beberapa spesies ikan dari famili yang sama

(Terapontidae) yang hidup di perairan tawar seperti pada spesies ikan

yang ditemukan di S. Aliggator, Australia diantaranya A. percoides yang

memiliki fekunditas 800 – 400.000 butir telur dengan rata-rata 125.000

butir telur, H. fuliginosus memiliki fekunditas 200 – 800.000 butir telur, L.

unicolor memiliki fekunditas 15.600 – 80.000 butir telur dan S. butleri

memiliki fekunditas sebanyak 17.000 – 40.000 butir telur (Bishop et al.,

2001). Spesies ikan lainya dari famili Terapontidae yang hidup di Sungai

Mandulog, Australia yaitu Mesoprates cancellatus, bahkan memiliki

fekunditas mencapai 16.800 hingga 2.078.000 butir telur atau dengan

rata-rata fekunditas 1.186.420 butir telur (Openiano et al., 2011).

Sementara itu spesies ikan dari family Terapontidae lainnya, namun

hidup di perairan estuaria juga memiliki fekunditas yang lebih besar

dibandingkan dengan fekunditas ikan pirik. Beberapa spesies tersebut

diantaranya Terapon Jarbua di wilayah estuaria S. Tamshui Taiwan

memiliki fekunditas 37.083 – 480.400 butir telur atau dengan rata-rata

fekunditas 145.816 butir telur (Miu et al., 1990), Amniataba caudavittata

memiliki fekunditas 50.000 – 750.000 butir telur atau dengan rata-rata


101

fekunditas 310 butir telur (Potter et al., 1994) dan Terapon puta di perairan

Pondichery, India memiliki fekunditas berkisar 20.002 – 123.423 butir telur

(Nandikeswari dan Anandan, 2013). Fekunditas terhadap ikan air tawar

endemik dapat dilihat pada Tabel 27.

Tabel 27. Fekunditas beberapa spesies ikan air tawar endemik

Spesies Fekunditas Lokasi Pustaka


Aspius vorax 512 - 239.765 Sungai Euphrates, Syria Saleh et al., 2012
Cairnsichthys 131 - 737 Danau dan sungai northern Pusey et al., 2001
rhombosomoides Queensland, Australia
Chela fasciata 2.669 - 4.437 Sungai Bharathapuzha , Divipala et al.,
India 2013
Cobitis faridpaki 558 - 2.849 Sungai Siahrud, Iran Sabet et al., 2012
Glossogobius matanensis 20.667 - 178.133 Danau Towuti, Sulawesi Sulistiono et al.,
Selatan 2007
Glossolepis incisus 910 - 3.122 Danau Sentani, Jayapura Siby et al., 2009
Marosatherina ladigesi 21 - 170 Sungai Bantimurung, Kariyanti, 2014
Sulawesi Selatan
Marosatherina ladigesi 20 - 335 Sungai Pattunuang, Kariyanti, 2014
Sulawesi Selatan
Melanotaenia arfakensis 23 - 967 Sungai Nimba, Manokwari Manangkalagi
et al., 2009
Melanotaenia arfakensis 64 – 1.351 Sungai Aimasi, Manokwari Manangkalagi
et al., 2009
Melanotaenia splendida 370 -1.655 Danau dan sungai northern Pusey et al., 2001
splendida Queensland, Australia
Melanotaenia eachamensis 206 - 2.126 Danau dan sungai northern Pusey et al., 2001
Queensland, Australia
Mystacoleucus 880 - 4.723 Muara sungai sekitar Patriono et al.,
padangensis Danau Singkarak 2010
Paratherina sp. 282 - 712 Danau Towuti, Samuel, 2008
Sulawesi Selatan
Paratherina striata 1.244 - 3.358 Danau Towuti, Sulawesi Salam, 2012
Selatan
Puntius denisonii 376 - 1.098 Sungai Chandragiri, Solomon et al.,
Valapattannam, dan 2011
Chaliyar, India
Rasbora aprotaenia 647 - 3.512 Sungai, Taman Nasional Dewantoro dan
Gunung Halimun Rachmatika, 2004
Rasbora tawarensis 1.686 - 4.662 Danau Laut Tawar, Aceh Brojo et al., 2001
Schizothorax o’connori 8.228 - 39.343 Sungai Yarlung Tsangpo, Ma et al., 2010
Tibet
Telmatherina celebensis 297 - 1.265 Danau Matano, Jayadi et.al., 2010
Sulawesi Selatan
Telmatherina ladigesi 88 - 910 Sungai di Maros, Sulawesi Nasution et al.,
Selatan 2006
102

Berdasarkan analisis koefisien regresi hubungan antara fekunditas

dan panjang total tubuh, hubungan antara fekunditas dan bobot tubuh,

dan hubungan antara fekunditas dan bobot gonad, terhadap ikan pirik

pada perairan S. Pattunuang dan S. Sanrego (Gambar 17 dan 18), maka

diperoleh hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh dan hubungan

fekunditas dengan bobot tubuh yang tidak erat atau lemah (r<0,5). Hal

tersebut menunjukkan bahwa panjang total dan berat tubuh tidak dapat

dijadikan penduga nilai ferkunditas ikan endemik pirik. Hubungan erat

(r>0,5) terjadi pada hubungan antara fekunditas dan berat gonad. Hal

tersebut memberikan arti bahwa semakin berat ovari pada tubuh ikan

maka fekunditas akan bertambah pula. Korelasi yang lemah antara

fekunditas dan panjang total dan antara fekunditas dan bobot tubuh juga

terjadi pada ikan endemik depik (Rasbora tawarensis) di Danau Laut

Tawar, Aceh Tengah (Brojo, 2001), ikan rainbow selebensis (Telmatherina

celebensis) di Danau Towuti (Nasution, 2005), dan ikan pelangi merah

(Glossolepis incisus) di Danau Sentani (Siby, 2009). Nikolsky (1963)

menyatakan bahwa hubungan fekunditas individu paling erat

hubungannya dengan berat gonad dibandingkan dengan panjang total

dan bobot tubuh.


103

Gambar 17. Hubungan antara fekunditas dan panjang total tubuh (a),
antara fekunditas dan bobot tubuh (b), serta antara
fekunditas dan berat gonad (c) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros
104

Gambar 18. Hubungan antara fekunditas dan panjang total tubuh (a),
antara fekunditas dan bobot tubuh (b), serta antara
fekunditas dan berat gonad (c) ikan pirik (Lagusia
micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Sanrego, Kabupaten
Bone
105

G. Diameter Telur

Diameter telur adalah garis tengah dari suatu telur ikan yang

diamati dengan miskropkop dan diukur dengan menggunakan mikrometer

berskala yang telah ditera sebelumnya. Secara keseluruhan diameter

telur ikan pirik di S. Pattunuang berkisar antara 0,1523 - 0,8618 mm dan di

S. Sanrego berkisar antara 0,2080 - 0,8618 mm. Hasil analisis data

sebaran diameter telur ikan pirik pada TKG III, TKG IV dan TKG V di S.

Pattunuang dapat dilihat pada Gambar 19 dan di S. Sanrego pada

Gambar 20.

Berdasarkan Gambar 19, sebaran diameter telur ikan pirik di S.

Pattunuang pada TKG III berkisar antara 0,1523 – 0,7366 mm dengan

frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter 0.3000 - 0,3500 mm

yaitu 1.630 butir telur (26,02 %) dan kisaran diameter 0.4000 - 0,4500

mm yaitu 1591 butir telur (25,40 %), pada TKG IV berkisar antara 0,2916 –

0,8614 mm dengan frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter

0.5500 - 0,6000 mm yaitu 1.689 butir telur (34,89 %) dan pada TKG V

berkisar antara 0,4307 – 0,8618 mm dengan frekuensi tertinggi berada

pada kisaran diameter 0.7000 - 0,7500 mm yaitu 1.843 butir telur

(30,45 %). Selanjutnya sebaran diameter telur ikan pirik di S. Sanrego

(Gambar 20) pada pengamatan TKG III diperoleh diameter telur berkisar

antara 0,2080 – 0,7088 mm dengan frekuensi tertinggi pada kisaran

diameter 0.2500 - 0,3000 mm yaitu 2.059 butir telur (49,04%), pada TKG

IV berkisar antara 0,2080 – 0,7366 mm dengan frekuensi tertinggi pada


106

Gambar 19. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan
gonad selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten
Maros. a (TKG III), b (TKG IV) dan c (TKG V).
107

Gambar 20. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan
gonad selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten
Bone. a (TKG III), b (TKG IV) dan c (TKG V).
108

kisaran diameter 0.5000 - 0,5500 mm yaitu 4.979 butir telur (51,60 %) dan

pada TKG V berkisar antara 0.5141 – 0,7922 mm dengan frekuensi

tertinggi pada kisaran diameter 0.6000 - 0,6500 mm yaitu 671 butir telur

(25,14 %).

Berdasarkan hal tesebut, menunjukkan adanya perbedaan

kelompok ukuran diameter telur ikan pirik pada setiap TKG, Hal tersebut

terjadi baik pada ikan pirik di S. Pattunuang maupun ikan pirik di S.

Sanrego. Perbedaan kelompok ukuran diameter telur tersebut disebabkan

pada TKG III baru mulai memasuki tahap kematangan gonad sehingga

pertumbuhan telur belum merata. Sedangkan pada TKG IV dan V ikan

mulai memasuki masa pemijahan, sehingga diameter telur sudah lebih

besar dibandingkan dengan diameter pada TKG sebelumnya.

Berdasarkan sebaran diameter telur ikan pirik (L. micaracanthus) di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego (Gambar 19 dan 20) pada setiap TKG

menunjukkan bahwa terbentuk satu beberapa modus atau puncak

pemijahan, sehingga ikan pirik diduga termasuk dalam pola pemijahan

secara parsial (partial spawner) mengeluarkan telur matang secara

bertahap pada satu kali periode pemijahan. Hal yang sama juga terjadi

pada ikan rainbow sulawesi (Marosatherina ladigesi) di S. Pattunuang dan

S. Bantimurung, Sulawesi Selatan (Kariyanti, 2014). Diameter telur dan

pola pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat

pada Tabel 28.


109

Tabel 28. Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air
tawar endemik

Diameter Pola
Spesies Lokasi Pustaka
telur (mm) pemijahan
Cairnsichthys 1.124 ± 0.008 SE - Danau dan sungai Pusey et al.,
rhombosomoides northern Queensland, 2001
Australia
Cobitis faridpaki 0.02 – 1.4 - Sungai Siahrud, Iran Sabet et al.,
2012
Glossogobius 0.04 – 0.65 Partial Danau Towuti, Sulistiono et al.,
matanensis Sulawesi Selatan 2007
Glossolepis 0.62-7.62 um Partial Danau Sentani, Siby et al., 2009
incisus Jayapura
Melanotaenia 0.50-1.20 Partial Sungai Nimba, Manangkalagi et
arfakensis Manokwari al., 2009
Melanotaenia 0.50-1.30 Partial Sungai Aimasi, Manangkalagi et
arfakensis Manokwari al., 2009
Melanotaenia 1.09 ± 0.019 SE - Danau dan sungai Pusey et al.,
splendida northern Queensland, 2001
splendida Australia
Melanotaenia 1.238 ± 0.022 SE - Danau dan sungai Pusey et al.,
eachamensis northern Queensland, 2001
Australia
Paratherina sp. 0,76 – 2,75 Partial Danau Towuti Samuel, 2008
Sulawesi Selatan
Rasbora - Total Danau Laut tawar Brojo et al.,
tawarensis Aceh 2001
Schizothorax >2 - Sungai Yarlung Ma et al., 2010
o’connori Tsangpo, Tibet
Telmatherina 0,33 – 1.53 Partial Sungai di Maros, Nasution et al.,
ladigesi Sulawesi Selatan 2008

H. Potensi Reproduksi

Potensi reproduksi merupakan salah satu parameter biologi

reproduksi yang penting untuk diketahui khususnya untuk melakukan

mengetahui kapasitas reproduksi yang dimiliki oleh suatu spesies ikan.

Pengukuran potensi reproduksi masih sangat jarang dilakukan pada

penelitian biologi perikanan. Potensi reproduksi ikan pirik di Sungai

Pattunuang dan Sungai Sanrego dapat dilihat pada Tabel 29.


110

Tabel 29. Potensi reproduksi (butir) ikan pirik (Lagusia micracanthus


Bleeker, 1860) menurut panjang total (mm) di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros, dan di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Sungai Maros Sungai Sanrego


Jumlah Jumlah
Kelompok Fekunditas Potensi Fekunditas Potensi
individu individu
panjang rata-rata reproduksi rata-rata reproduksi
matang matang
(mm) (butir) (butir) (butir) (butir)
gonad gonad
40 - 50 0 0 0 0 0 0
50 - 60 9 726 6.534 0 0 0
60 - 70 47 615 28.905 6 1.558 9.348
70 - 80 31 728 22.568 13 2.114 27.487
80 - 90 5 1.484 7.420 17 2.433 41.368
90 - 100 0 0 0 8 2.557 20.456
100 - 110 0 0 0 2 3.527 7.054

Berdasarkan Tabel 29, potensi reproduksi tertinggi ikan pirik (L.

micracathus) di S. Pattunuang yaitu 28.905 butir pada kisaran panjang

total 60 – 70 mm sedangkan di S. Sanrego sebesar 41.368 butir pada

kisaran panjang 80 – 90 mm . Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan pirik

yang paling berperan dalam reproduksi populasi di S. Pattunuang adalah

ikan-ikan yang memiliki kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di S.

Sanrego yaitu ikan-ikan yang memiliki kisaran panjang total 80 – 90 mm.

I. Parameter Kualitas Air

Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang sangat

berpengaruh terhadap distribusi dan kelangsungan hidup makhluk hidup

yang terdapat di dalam suatu perairan. Perairan yang memiliki kualitas air

yang baik akan memiliki tingkat keanekaraman dan kelimpahan biota


111

perairan yang sangat tinggi. Sebaliknya, perairan yang memiliki kualitas

air yang buruk, keanekaragaman dan kelimpahan biota perairan yang

dimiliki juga relatif lebih rendah.

Penurunan kualitas air diketahui telah banyak terjadi, baik pada

perairan sungai maupun danau, di berbagai daerah di Indonesia. Oleh

karena itu, pemantauan habitat suatu biota perairan melalui pengukuran

parameter kualitas air merupakan hal yang sangat penting dilakukan,

khususnya dalam rangka menjamin kesesuaian hidup antara organisme

tersebut dan habitatnya. Pada penelitian ini juga dilakukan beberapa

pengukuran parameter kualitas air yang meliputi, suhu, pH, oksigen

terlarut dan Total Dissolved Solid.

Kondisi habitat dan kondisi musim yang berbeda antara S.

Pattunuang dan S. Sanrego menyebabkan perbedaan nilai parameter

yang diamati. Musim Kemarau di S. Pattunuang terjadi pada bulan Juni

hingga September kemudian memasuki Musim Penghujan dari Oktober

hingga Februari. Di S. Sanrego, Musim Kemarau berlangsung lebih lama

hingga bulan Desember. Aliran air S. Pattunuang dan S. Sanrego relatif

jernih dengan substrat berpasir, kerikil, hingga berbatu. Kondisi habitat

ikan pirik di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat kembali pada

Lampiran 2 dan 3. Selanjutnya hasil pengamatan parameter kualitas air

yang dilakukan selama penelitian masing-masing lokasi tersebut dapat

dilihat sebagai berikut :


112

1. Suhu

Suhu memunyai peranan penting dalam menentukan pertumbuhan

suatu organisme. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian,

rataan nilai suhu pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang dan di

S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Sebaran rataan nilai suhu (°C) selama penelitian

Berdasarkan Gambar 21, nilai suhu tertinggi di perairan S.

Pattunuang terjadi pada bulan September yaitu mencapai 30,40°C, namun

pada bulan selanjutnya suhu mengalami penurunan hingga mencapai

suhu terendah 25,70°C pada bulan Desember. Suhu meningkat kembali

pada bulan Januari dan Februari 2015. Tingginya nilai suhu pada bulan

September dikarenakan waktu tersebut merupakan puncak Musim

Kemarau, sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam

perairan sangat tinggi. Pada bulan selanjutnya suhu mengalami

penurunan dikarenakan pada bulan tersebut sudah memasuki Musim


113

Penghujan sehingga intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan

sangat rendah.

Suhu di perairan S. Sanrego relatif stabil dikarenakan cuaca pada

daerah tersebut relatif stabil dan tidak mengalami perubahan yang ekstrim

setiap bulannya. Meski demikian, suhu terendah juga diperoleh pada

bulan Desember. Menurut Barus (2001), pola suhu ekosistem air

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari,

pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya, ketinggian geografis,

dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang

tumbuh di tepi. Selain faktor penutupan canopy, cuaca saat pengambilan

sampel juga memengaruhi tinggi rendahnya suhu.

Suhu dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan

organisme akuatik, terutama suhu di dalam air yang telah melampaui

ambang batas. Jenis, jumlah, dan keberadaan organisme akuatik

seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh

adanya kenaikan suhu dalam air (Rakhmanda, 2011). Berdasarkan hasil

pengamatan selama penelitian, rataan suhu di perairan S. Pattunuang

berkisar antara 25,70°C – 30,40°C, sementara di perairan S. Sanrego

berkisar antara 26,35°C – 27,65°C. Hal tersebut menunjukkan suhu di

kedua lokasi masih berada dalam kondisi yang sesuai dan dapat ditolerir

oleh kehidupan organisme akuatik. Boyd (1988) menyatakan suhu optimal

bagi ikan dan organisme akuatik lainnya adalah berkisar antara 25 – 30°C.
114

Sementara itu kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal

adalah 28 – 32°C (Tatangindatu et al., 2013).

Suhu yang diperoleh di perairan S. Pattunuang selama penelitian

tidaklah jauh berbeda dengan suhu yang diperoleh pada penelitian

sebelumnya di lokasi tersebut. Kariyanti (2014) menyatakan suhu yang

diperoleh pada perairan S. Pattunuang sebesar 25 – 27,8°C dan suhu

tersebut masih sesuai dengan suhu yang dapat ditolerir biota akuatik.

Parameter suhu pada beberapa spesies ikan dari Famili Terapontidae

dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30. Suhu beberapa spesies ikan air tawar Family Terapontidae
(Bishop, 2001)
Spesies Kisaran suhu (°C) Rata-rata (°C)
Amniataba percoides 23 – 40 30.2
Hefaistos fuliginosus 23 – 34 28.2
Leiopotherapon unicolor 23 – 40 30.2
Syncomistes butleri 23 – 34 28.9
Pingallamidgleyi 23 – 35 27.6

2. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam

air.rataan nilai suhu pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang

dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar

22, Nilai oksigen terlarut tertinggi di S. Pattunuang terjadi pada bulan

September dan di S. Sanrego pada bulan November. Hal tersebut terjadi

pada saat Musim Kemarau. Nilai oksigen terlarut kemudian mengalami

penurunan dan mencapai titik terendah pada Musim Penghujan di bulan

Desember untuk S. Pattunuang dan bulan Februari untuk S. Sanrego.


115

Gambar 22. Sebaran rataan nilai oksigen terlarut (ppm) selama penelitian

Tingginya oksigen terlarut pada Musim Kemarau diduga

disebabkan oleh aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan yang berklorofil dan

rendahnya oksigen terlarut pada Musim Penghujan dikarenakan

banyaknya bahan-bahan organik yang mencemari badan air sehingga

mikroba banyak menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik.

Salmin (2005) menyatakan bahwa sumber utama oksigen dalam suatu

perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil

fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Sementara

itu, hilangnya oksigen di perairan, selain akibat respirasi hewan dan

tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba yang menggunakan oksigen

untuk oksidasi bahan organik (Boyd, 1988). Apabila bahan-bahan organik

yang mencemari badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang

dikonsumsi untuk menguraikan bahan-bahan tersebut semakin banyak


116

pula sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air turun sampai

sedemikian rendah.

Adanya perbedaaan nilai oksigen terlarut pada kedua lokasi

dikarenakan iklim kedua lokasi yang berbeda. Musim Kemarau di S.

Pattunuang, Kab. Maros, terjadi pada bulan September – Oktober 2014,

dan Musim Penghujan terjadi pada bulan November 2014 hingga Februari

2015. Sementara itu di S. Sanrego, Kab. Bone, Musim Kemarau terjadi

pada bulan September hingga awal Desember 2014 dan awal Musim

Penghujan terjadi pada bulan Desember hingga Februari 2015. Menurut

Effendi (2003), kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi

tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, kisaran oksigen

terlarut di perairan S. Pattunuang berkisar 4,85 - 7,65 ppm sementara di

perairan S. Sanrego berkisar 4,05 ppm - 7,45 ppm. Hal tersebut

menunjukkan kandungan Do di kedua lokasi masih berada dalam kondisi

yang sesuai dan dapat ditolerir oleh kehidupan organisme akuatik. Baku

mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun

2001, menyatakan bahwa perairan tawar yang diperuntukkan bagi

kepentingan perikanan harus memiliki nilai oksigen terlarut di atas 6 mg L-


1
dan 4 mg L-1. Swingle (1968) dalam Salmin, (2005) menyatakan

kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan

normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan

oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan


117

organisme. Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari

1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan

sebesar 70% (Huet, 1970 dalam Salmin, 2005). Sebagai perbandingan,

parameter oksigen terlarut untuk kelayakan hidup pada beberapa spesies

ikan dari famili Terapontidae dapat dilihat pada Tabel 31.

Tabel 31. Oksigen terlarut beberapa spesies ikan air tawar famili
Terapontidae (Bishop, 2001)

Spesies Oksigen terlarut (mg L-1) Rata-rata(mg L-1)


Amniataba percoides 3,9 – 9,7 6,2
Hefaistos fuliginosus 3,8 – 7,4 6,4
Leiopotherapon unicolor 0,9 – 9,1 6,3
Syncomistes butleri 5,0 – 7,4 6,2
Pingallamidgleyi 3,8 – 8,3 5,9

3. Derajat keasaman (pH)


Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam

dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen

dalam larutan. Rataan nilai pH pada setiap pengambilan sampel di S.

Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Sebaran rataan nilai derajat keasaman (pH) selama penelitian
118

Berdasarkan hasil pengamatan pada setiap pengambilan sampel di

S. Pattunuang dan di S. Sanrego, nilai pH selama penelitian berkisar 7 –

8. Effendi (2003) menyatakan sebagian besar biota akuatik sensitif

terhadap perubahan pH dan menyukai pH antara 7 – 8,5. Sementara itu

biota perairan tawar umumnya memiliki pH ideal adalah antara 6,8 - 8,5

(Tatangindatu et al., 2013). Baku mutu Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun 2001, menyatakan bahwa perairan

tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai

pH berkisar dari 6 – 9. Hal tersebut menunjukkan kondisi perairan S.

Pattunuang dan S. Sanrego masih tergolong layak untuk organisme

akuatik untuk hidup dan pertumbuhan secara optimal. Nilai pH untuk

kelayakan hidup pada beberapa spesies ikan dari famili Terapontidae

dapat dilihat pada Tabel 32.

Tabel 32. Derajat keasaman (pH) beberapa spesies ikan air tawar famili
Terapontidae (Bishop, 2001)

Spesies Nilai pH Rata – Rata


Amniataba percoides 5,0 – 8,6 6,25
Hefaistos fuliginosus 4,0 – 6,7 5,6
Leiopotherapon unicolor 4,0 – 8,6 6,1
Syncomistes butleri 4,5 – 6,7 5,9
Pingallamidgleyi 4,5 – 6,7 5,9

4. Total Dissolved Solid (TDS)

Total Dissolved Solid (TDS) atau padatan terlarut total adalah

bahan-bahan terlarut (diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm -

10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain,

yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,4 µm. Nilai padatan
119

terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan,

limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik

dan industri) (Effendi 2003). Rataan nilai TDS pada setiap pengambilan

sampel di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Sebaran rataan nilai Total Dissolved Solid selama penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan TDS pada setiap pengambilan

sampel di S. Pattunuang berkisar 141 - 176 ppm dan di S. Sanrego

berkisar 112 – 228 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi dari

kedua lokasi masih berada dalam kondisi yang sangat sesuai untuk

kehidupan organisme akuatik. Baku mutu Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun 2001, menyatakan bahwa perairan

tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai

padatan terlarut total maksimal sebesar 1000 mg L-1.


120

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasi penelitian biologi reproduksi ikan pirik (Lagusia

micracanthus Bleeker, 1860) di S. Pattunuang dan di S. Sanrego, dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Tipe pertumbuhan ikan pirik di S. Pattunuang bersifat isometrik,

sementara ikan pirik di S. Sanrego memiliki pola pertumbuhan

allometrik negatif (minor). Faktor kondisi ikan pirik di S. Pattunuang

lebih besar dibandingkan faktor kondisi ikan pirik di S. Sanrego.

2. Nisbah kelamin ikan pirik di S. Pattunuang dan S. Sanrego tidak

seimbang (bukan 1 : 1).

3. Pemijahan ikan pirik di S. Pattunuang berlangsung September

hingga November dengan puncak pemijahan pada bulan

September, sementara itu pemijahan ikan pirik S. Sanrego

berlangsung September hingga Desember dengan puncak

pemijahan pada bulan November.

4. Ukuran pertama kali matang gonad pada ikan pirik jantan di S.

Pattunuang pada ukuran 75,40 mm dan betina pada ukuran 82,04

mm, sementara di S. Sanrego jantan pada ukuran 72,01 mm dan

betina pada ukuran 72,68 mm. Ikan pirik di S. Sanrego matang

gonad lebih awal dibandingkan ikan pirik di S. Pattunuang.


121

5. Fekunditas ikan pirik di S. Pattunuang 55 – 3415 butir telur dengan

rata-rata 481 butir telur dan di S. Sanrego berkisar 680 – 4447 butir

telur dengan rata-rata 2247 butir telur.

6. Ikan pirik tergolong dalam kelompok pemijahan secara parsial atau

mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode

pemijahan (Partial spawner).

7. Kondisi perairan di S. Pattunuang dan di S. Sanrego masih

tergolong baik bagi ikan pirik untuk hidup dan berkembang secara

optimal.

B. Saran

Untuk kepentingan pengelolaan berkelanjutan, disarankan agar

penangkapan ikan endemik pirik (L. micracanthus) baik di S. Pattunuang

maupun di S. Sanrego tidak dilakukan pada saat musim pemijahan.


122

DAFTAR PUSTAKA

Adolfo, C.G., Asela R.V., and Horacio, V.L. 2013. Reproductive aspects of
yellow fish Girardinichthys multiradiatus (Meek, 1904) (Pisces:
Goodeidae) in The Huapango Reservoir, State of Mexico, Mexico.
American Journal of Life Sciences. 1(50): 189-194.

Ahsani, R.T. 2015. Kebiasaan Makan Ikan Endemik Pirik (Lagusia


micracanthus, Bleeker 1860) di Sungai Pattunuang, Sulawesi
Selatan. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Hasanuddin.

Ali, S.A. 2012. Biologi Ikan Terbang. Pustaka Al-Zikra. Yogyakarta. 190
hal.

Andy Omar, S. Bin. 2010. Aspek reproduksi ikan nilem, Osteochilus


vittatus (Valenciennes, 1842) di Danau Sidenreng, Sulawesi
Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia. 10(2): 111-122.

Andy Omar, S. Bin. 2012. Dunia Ikan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 478 hal.

Andy Omar, S. Bin. 2013. Buku Ajar Biologi Perikanan. Universitas


Hasanuddin. Makassar. 168 hal.

Andy Omar, S. Bin., Salam, R., dan Kune, S. 2011. Nisbah kelamin dan
ukuran pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti
(Paratherina striata Aurich, 1935) di Danau Towuti, Sulawesi
Selatan. Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian
Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011. MS-12.

Asmoro, Y. 2009. Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae, Sulawesi


Selatan. Online. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files
/2009/12/das-walanae.pdf. Di akses 13 November 2014.

Baby, F., J. Tharian, K.M. Abraham, M.R. Ramprasanth, A. Ali & R.


Raghavan.2011. Length-weigth relationship and condition factor of
an endemic stone sucker, Garra gotyla stenorhynchus (Jerdon,
1849) from two opposite flowing rivers in southern Western Ghats.
Journal of Threatened Taxa 3(6) : 1851–1855.

Bagenal, T.B. 1957. Annual variations in fish fecundity. J. mar. biol. Ass.
36: 377 -382.
123

Bahri. 2012. Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan


Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Skripsi tidak diterbitkan.
Bogor. Fakultas. Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. 69 hal.

Ball, D.V. and Rao, K.V. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw Hill
Publishing Company United. New Delhi. Bogor. 112 p.

Bandepei A., Mashhor M.A.M., Abdolmaleki S.H., Najafpour S.H., Bani A.,
R. Pourgholam, Fazli, H., Nasrolahzadeh H. and Janbaz, A.A.
2011. The environmental effect on spawning time, length at
maturity and fecundity of kutum (Rutilus frisii kutum Kamensky,
1901) in Southern Part of Caspian Sea, Iran. Iranica Journal of
Energy & Environment. 2 (4): 374-381, 2011.

Barus, I.T.A. 2001. Pengantar Limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian


dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Jakarta.164 hal.

Bishop, K.A., Allen, S.A., Pollard, D.A., and Cook, M.G. 2001. Ecological
studies on the freshwater fishes of the Alligator rivers region,
Northern Territory : Autecology. Supervising Scientist Report 145,
Supervising Scientist, Darwin. 582 p.

BLHKP Kabupaten Maros. 2013. Profil Keanekaragaman Hayati


Kabupaten Maros. 133 hal.

Bobori, D.C., Dimtrius, K.M., Bekri, M., Salvarina, L., and Munoz, A. I. P.
2010. Length-weight relationships of freshwater fish spesies
caught in three Greek lakes. Journal of biological Research-
Thessaloniki. 14 : 219-224.

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Department of


Fisheries and Allied Aquacultures, Agricultural Experiment Station
Auburn University. Elsevier Scientific Publishing Company :
Amsterdam – Oxford.

Brewer, S.K., Rabeni, C.F., and Papoulias, D.M. 2008. Comparing


histology and gonadosomatic index for determining spawning
condition of small-bodied riverine fishes. Ecol. Freshwater Fish,
17: 54-58.
124

Brojo, M., Sukimin, S. dan Mutiarsih I. 2001. Reproduksi ikan depik


(Rasbora tawarensis di perairan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah.
Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2): 19-23.

Budiman, A., Arief, A.J. dan Tjakrawidjaya, A.H. 2002. Peran museum
zoologi dalam penelitian dan konservasi keanekaragaman hayati
(ikan). Jurnal Iktiologi Indonesia 2(2): 51-55.

Burhanuddin, A. I. 2010. Ikhtiologi, Ikan dan Aspek Kehidupan.


PT.Yayasan Citra Emulsi. Makassar. 332 hal.

Dewantoro, G.W, dan Rachmatika, I. 2004. Aspek reproduksi ikan paray


(Rasbora aprotaenia) di beberapa Sungai Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun. Jurnal iktiologi Indonesia. 4 (2) : 23-26.

Divipala, I., Mercy, T.V.A., and Nair, J.R. 2013. Reproductive biology of
Chela fasciata silas – an endemic ornamental barb of the of
Western Ghats of India. Indian J. Fish., 60(4): 41-45.

Dulcic, B.J., Tutman, P., Prusina, I., Tomsic, S., Dragicevic, B., Haskovic,
E., and Glamuzina, B. 2009. Length–weight relationships for six
endemic freshwater fishes from Hutovo Blato wetland (Bosnia and
Herzegovina). J. Appl. Ichthyol. 25 (2009): 499–500.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta .

Effendie M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.


Yogyakarta. 163 hal.

Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sri. Bogor.
163 hal.

Ekokotu, P.A., and Olele, N.F. 2014. Cycle of gonad maturation, condition
index and spawning of Clarotes laticeps (Claroteidae) in the Lower
River Niger. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies
1(6): 144-150.

Ernawati, Y., Aida, S.N. dan Juwaini, H. A. 2009. Biologi reproduksi ikan
sepatung, Pristolepis grooti Blkr. 1825 (Nandidae) di Sungai Musi.
Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1): 13-24.
125

Jan, M., Jan, U. dan Shah G.M. 2014. Studies on fecundity and
gonadosomatic index of Schizothorax plagiostomus
(Cypriniformes: Cyprinidae). Journal of Threatened Taxa. 6(1):
5375–5379.

Jayadi, Hamal, R., dan Arifuddin. 2010. Reproduksi ikan endemik rainbow
sulawesi Telmatherina celebensis di Danau Matano Sulawesi
Selatan. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 20(1): 44–
48.

Johnson, J.E. 1971. Maturity and fecundity of threadfin shad, Dorosoma


petenense (Gunther) in Central Arizona reservoirs. Trans. Am.
Fish. Soc. 100(1): 74-85.

Kara, A. and Bayhan, B. 2008. Length-weight and length-length


relationships of The Bogue Boops Boops (Linneaus, 1758) in
Izmir Bay (Aegean Sea of Turkey). Belg. J. Zool. 138(2): 154-157.

Kariyanti. 2014. Biologi reproduksi ikan endemik beseng- beseng


(Marosatherina ladigesi Ahl, 1936) di Sungai Bantimurung dan
Sungai Pattunuang Asue, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. 134 hal.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Ikan Air Tawar Langka di


Indonesia. 86 hal.

Kirankaya, S.G., Ekmekci, F.G, Ozdilek, S.Y, and Yogurtcouglu. 2014.


Condition, length-weight and length-length relationships for five
fish species from Hirfanli Reservoir, Turkey. Journal of Fisheries
Science. s 8(3): 208-213.

Kottelat, M., Whitten A.J, Kartikasari S.N, and Wirjoatmodjo S. 1993.


Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air
Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions-
Proyek EMDI. Jakarta. 377 p.

Kumar R., Shiv S. Y., Tripathi M.. 2014. Studies on length–weight


relationship of seven commercially important freshwater fish
species of Gomti River Lucknow (U.P.) India International Journal
of Fisheries and Aquatic Studies. 1(3):1-3.

Lagler, K.F., Bardach, J.E., Miller, R.R., and Passino, D.R.M. 1977.
Ichthyology. Second edition. John Wiley & Sons, New York. 506 p.
126

Lawson, E.O., Akintola, S.L., and Awe, F.A.. 2013. Length-weight


relationships and morphometry for eleven (11) fish species from
Ogudu Creek, Lagos, Nigeria. Advances in Biological Research.
7(4): 122-128.

Le Cren, C.D. 1951. The length-weigth relationship and seasonal cycle in


gonad weight and condition in the perch (Perca fluviatilis). Journal
of Animal Ecology 20(2): 201-19.

Ma, B.S., Xie, C.X., Huo, B., Yang, X.F., Huang, H.P. 2010. Age and
growth of a long-lived fish Schizothorax o’connori in the Yarlung
Tsangpo River, Tibet. Zoological Studies. 49(6): 749-759.

Ma’suf, A. 2008. Biologi Reproduksi Ikan Juaro (Pangasius polyuronodon)


di Daerah Aliran Sungai Musi. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor.
Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 88 hal.

Mamangkey, J.J. 2010. Biopopulasi ikan endemik Butini (Glossogobius


matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi tidak
diterbitkan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 153.

Manangkalangi, E., Rahardjo, M.F., Sjafei, D.S dan Sulistiono. 2009.


Musim pemijahan ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis
Allen) di Sungai Nimba dan Sungai Aimasi, Manokwari. Jurnal
Iktiologi Indonesia. 9(1): 1-12.

Minggawati, I. dan Lukas. 2012. Studi kualitas air untuk budidaya ikan
karamba di Sungai Kahayan. Media Sains, 4(1) : 235-242.

Miranda, R., Galicia, D., Monks, S. and Pulido, F.G.. 2009. Weight–length
relationships of some native freshwater fishes of Hidalgo State.
Mexico. J. Appl. Ichthyol. 25(2009) : 620–621.

Miu, T.C., Lee, S.C., and Tzeng, W.N. 1990. Reproductive biology of
Terapon jarbua from the Estuary of Tamshui River. J.Fish. Soc.
Taiwan, 17(1) : 9-20.

Muchtar, D.I. 2015. Kebiasaan Makan Ikan Endemik Pirik (Lagusia


micracanthus, Bleeker 1860) di Sungai Sanrego, Sulawesi
Selatan. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Hasanuddin.
127

Mulyoko. 2010. Kajian Aspek Reproduksi Sebagai Upaya Menekan Laju


Penurunan Populasi Ikan Tilan (Mastacembelus erythrotaenia,
bleeker 1850) di Sungai Musi. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas
Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59
hal.

Nandikeswari, R., Anandan, A. 2013. Analysis on gonadosomatic index


and fecundity of Terapon puta from Nallavadu Coast Pondicherry.
International Journal of Scientific and Research Publications.
Volume 3, Issue 2, Februari 2013.

Nasution, S., Djamhuriyah, S.S, Lukman, Triyanto dan Fauzi, H. 2006.


Aspek reproduksi ikan beseng-beseng (Telmatherina ladigesi) dari
beberapa Sungai di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional
Ikan IV. Jatilihur. 83-93.

Nasution, S.H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow


selebensi (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2) : 29-37.

Nasution, S.H. 2008. Ekobiologi dan Dinamika Stok Sebagai Dasar


Pengelolaan Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich)
di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 173 p.

Nelson, J.S., 1994. Fishes of the world. Third edition. John Wiley & Sons,
Inc., New York. 600 p.

Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New York.

Nilawati, J. dan Tantu, F.Y. 2007. Tingkah laku reproduksi dan struktur
ukuran Thelmatherina anthoniae di Danau Matano Sulawesi.
Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan, 28 Juli 2007.

Openiano, Jr.P.L., Henry, E.D., Alex, B.A., and Alita, E.O. 2011. Biology,
ecology, and fishery of the cross-barred grunt, Mesopristes
cancellatus in Mandulog River, Iligan City. Journal of Environment
and Aquatic Resources. 2 : 47-61.

Parenti, L.R. 2011. Endemism and conservation of native freshwater fish


fauna of Sulawesi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Ikan VI :
1-10.
128

Patel, V., Shukla, S.N., and Patel, S. 2014. Studies on length-weight


relationship and ponderal index of Cyprinus Carpio in Govindgarh
Lake, Rewa (M.P.) Journal of Chemical, Biological and Physical
Sciences. 4(2): 1183-1187.

Patriono P., Junaidi E., dan Sastra, F. 2010. Fekunditas ikan Bilih
(Mystacoeleucus padangensis Blkr.) di Muara Sungai Sekitar
Danau Singkarak. Jurnal Penelitian Sains. 13(3) : 55-58.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2001. PPRI nomor 82 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Potter, I. C., Neira F. J., Wise, B.S., and Wallace, J.H. 1994. Reproduktive
biology and larval development of the terapotid Aminataba
caudavittata, including comparisons with the reproduktive
strategies of other estuarine teleosts in temprate Western
Australia. Journal of Fish Biology. 45 : 57-74.

Pusey, B.J., Arthington, A.H., Bird J.R., Close, P.G. 2001. Reproduction in
three spesies of rainbowfish (Melanotaeniidae) from rainforest
streams in northern Queensland, Autralia. Ecology of Freshwater
Fish. 10 : 75-87.

Rahardjo, M.F., Sjafei, D.S., Affandi R., Sulistiono, Hutabarat, J. 2011.


Iktiology. Penerbit Lubuk Agung. Bandung. 395 hal.

Rahayu S, Widodo, R.H, Van, N.M., Suryadi, I., dan Verbist, B. 2009.
Monitoring air di Daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre
- Southeast Asia Regional Office. Bogor. 104 p.

Rakhmanda, A. 2011. Estimasi populasi gastropoda di Sungai Tambak


Bayan Yogyakarta. Jurnal Ekologi Perairan. 1: 1-7.

Sabet, H.M., Kamali, A., Soltani, M., Bani, A. and Rostami, H. 2012. Age,
sex ratio, spawning season, gonadosomatic index, and fecundity
of Cobitis faridpaki (Actinopterygii, Cobitidae) from the Siahrud
River in The Southeastern Caspian Sea Basin. Caspian J. Env.
Sci. 10 (1) : 15-23.

Salam, R. 2012. Bioekologi ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata


Aurich, 1935) di Danau Towuti Kabupaten Luwu Timur.
Pascasarjana. Universitas Hasanuddin.
129

Saleh, F.A., Hammoud, V., Hussein, A., Abdulrazak, H., Alhazzaa, R.


2012. On the growth and reproductive biology of asp, Aspius
vorax, population from the Middle Reaches of Euphrates River.
Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Science. 12 : 149-156.

Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD)
sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan.
Oseana. 3 : 21 – 26.

Samuel. 2008. Kualitas perairan dan aspek biologi ikan pangkilang


(Paratherina Sp.) di Danau Towuti Propinsi Sulawesi Selatan.
Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan, 26 Juli 2008. BI-11.

Santoso, A.D. 2008. Studi penentuan produktivitas danau buatan dengan


MEI (Morphoedaphic Index) analysis. J.Hidrosfir Indonesia. Vol.3,
No.2, Hal 81-86.

Shafi, S. and Yousuf, A. R. 2012. Length-weight relationship and condition


factor of Schizothorax niger (Heckel, 1838) misra from Dal Lake,
Kashmir. International Journal of Scientific and Research
Publications. 2(3) : 1-3.

Siby, L.S. 2009. Biologi Reproduksi Ikan Pelangi Merah (Glossolepis


incisus weber, 1907) di Danau Sentani. Disertasi tidak diterbitkan.
Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Siby, L.S., Rahardjo, M.F., Sjafei, D.S. 2009. Biologi reproduksi ikan
pelangi merah (Glossolepis incisus, Weber 1907) di Danau
Sentani. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1) : 49-61.

Solomon, S., Ramprasanth, M.R., Baby, F., Pereira, B., Tharian, J., Ali, A..
and Raghavan, R. 2011. Reproductive biology of Puntius
denisonii, an endemic and threatened aquarium fish of the
Western Ghats and its implications for conservation. Journal of
Threatened Taxa. 3(9) : 2071–2077.

Sulistiono, Firmansyah, A., Sofiah S., Brojo M., Affandi R. dan Mamangke,
J. 2007. Aspek biologi ikan butini (Glossogobius matanensis) di
Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu perairan dan
perikanan Indonesia. 14(1) : 13-22.
130

Syandri, H. 1996. Aspek Reproduksi Ikan Bilih, Mystacoleucus


padangensis Bleeker dan Kemungkinan Pembenihannya di Danau
Singkarak. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.

Tatangindatu, F., Kalesaran O., dan Rompas, R. 2013. Studi parameter


fisika kimia air pada areal budidaya ikan di Danau Tondano, Desa
Paleloan, Kabupaten Minahasa. Budidaya Perairan . 1: 8-19.

Tresnati, J. 2011. Gonad maturity of bonti-bonti fish Paratherina


striata in Towuti Lake, Southeast Sulawesi. Online. https:
repository.unhas.ac.id /IJJSS.pdf. Di akses 25 Januari 2015.

Tuwo, A. 1993. Biologie et ecologie de trois especes d’holothurie:


Holoturia forskhali, Aslia lefevrei, et Pawsonia saxicola en
Bretagne Occidentale, These de Doctorat Nouvelle Regime, UBO
– Brest France.

Tweedley, J.R., Bird, D.J., Potter, I.C., Gill H.S., Miller, P.J., O’Donovan,
G. and Tjakrawidjaja, A.H. 2013. Species compositions and
ecology of the riverine ichthyofaunas in two Sulawesian Islands in
the biodiversity hotspot of Wallacea. Journal of Fish Biology. 82 :
1916–1950.

Udupa, K.S. 1986. Statistical Method of Estimating the Size at First


Maturity in Fishes. Fishbyte 4(2) : 8-10.

Ujjania, N.C., Kohli, M.P.S. and Sharma, L.L. 2012. Length-weight


relationship and condition factors of indian major carps (C. catla,
L. rohita and C. mrigala) in Mahi Bajaj Sagar, India. Research
Journal of Biology 2(1) : 30-36.

Vari, R.P and Hadiaty, R.K. 2012.The endemic Sulawesi fish genus
Lagusia (Teleostei: Terapontidae). The Raffles Bulletin of Zoology,
60(1) : 157-162.

Vari, R.P. 1978: The Terapon Perches (Percoidei, Teraponidae). A


cladistic analysis and taxonomic revision. Bulletin of the American
Museum of Natural History, 159(5) : 175-340.

Whitten, A.J., Bishop, K.D., Nash, S.V. and Clayton, L. 1987. One or
more extinctions from Sulawesi Indonesia. Journal Conservation
Biology 1(1) : 42-48.
131

Winemiller, K.O., Angelo, A.A., and Caramaschi, É.P. 2008. Fish Ecology
in Tropical Stream. Elsevier Inc. 107-140.

Yin J.X., Paul, R., Jian, L. and Yao, G.Z.. 2012. The ovarian cycle of the
fish Leptobotia elongata Bleeker, endemic to China. Pakistan J.
Zool., 44(4) : 997-1005.

Yuningsih, H.D., Soedarsono, P., Anggoro, S. 2014. Hubungan bahan


organik dengan produktivitas perairan pada kawasan tutupan
eceng gondok, perairan terbuka dan keramba jaring apung di
Rawa Pening Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Diponegoro
Journal of Maquares. 3(1) : 37-43.

Zar, J.H. 2010. Biostatistical Analysis. Fifth edition. Pearson Prentice Hall.
New Jersey. 944 p.
132

LAMPIRAN
133

Lampiran 1. Prosedur pengamatan histologi gonad ikan pirik

a. Fiksasi
Sampel jaringan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin (BNF),
volume BNF minimal 10 kali volume jaringan. Pada umumnya waktu yang
diperlukan untuk fiksasi sempurna adalah 48 jam.

b. Pemotongan Spesimen
Spesimen yang dipilih untuk pemeriksaan, dipotong setebal 0,5-1
cm. Potongan spesimen dimasukkan dalam keranjang pemprosesan
dengan disertai dengan label nomor spesimen yang ditulis dengan pensil.

c. Prossesing dan Embedding


Embedding cassete yang telah diisi spesimen jaringan dimasukkan
kedalam tissue processor dengan pengaturan waktu sebagai diuraikan
pada tabel 1.

Tabel Lampiran 1. Prosedur tissue processor dan pengaturan waktu

No Proses Reagensia Waktu


1 Fiksasi Buffer formalin 10% 2 jam
2 Fiksasi Buffer formalin 10% 2 jam
3 Dehidrasi Alkohol 70% 1 jam
4 Dehidrasi Alkohol 90% 1 jam
5 Dehidrasi Alkohol 100% 1 jam
6 Dehidrasi Alkohol 100% 2 jam
7 Dehidrasi Alkohol 100% 2 jam
8 Clearing Toluen 1 jam
9 Clearing Toluen 1.5 jam
10 Clearing Toluen 1,5 jam
11 Impregnasi Paraffin 2 jam
12 Impregnasi Paraffin 3 jam
Total waktu 20 jam

Embedding cassette dikeluarkan dari tissue processor dan


masukkan ke dalam wadah yang telah tersedia pada alat embedding
center. Keluarkan contoh specimen dari keranjang tissue untuk di blok
oleh paraffin satu-persatu (agar tidak tertukar no. contoh spesimen).
Tempatkan cetakkan dan keranjang pada sisi kanan dan kiri dispenser
134

paraffin. Contoh spesimen diletakkan diatas cetakkan lalu diisi dengan


paraffin dengan menekan tombol hitam yang telah tersedia pada alat
embedding center.
Cetakkan diberi nomor sesuai nomor contoh spesimen yang
letakkan diatas keranjang yang berisi contoh spesimen. Pindahkan
cetakan pada bagian dingin. Setelah beku (mengeras paraffinnnya)
pisahkan cetakan dengan keranjang. setelah terpisah pindahkan
keranjang siap untuk dilakukan pemotongan dengan mikrotome knife.

d. Pemotongan

Ambil blok jaringan kemudian difiksir pada microtome. Blok jaringan


dipotong dengan microtome kasar sehingga didapatkan permukaan yang
rata. Gunakan pisau mikrotom yang masih tajam, ketebalan potongan 5-6
mikron. Pilih potongan jaringan terbaik dari pita yang terbentuk.
Potongan yang terpilih direntangkan pada floating out yang bersuhu
sekitar 400C yang terlebih. Suhu yang ideal akan mengakibatkan
potongan jaringan merentang sempurna, tidak berkerut. Taburkan gelatin
powder sebanyak 5 gram untuk 100 cc aquadest dan biarkan larut
sempurna. Potongan yang bagus, tidak tergores, tidak mengkerut dipilih
dan diambil dengan gelas slide yang sudah bernom0r sesuai dengan
nomor epi/patologi.

e. Pewarnaan

Sebelum pewarnaan dilakukan, semua bahan pewarna harus


diperiksa kejernihannya dan disesuaikan dengan jadwal penggantian yang
tersedia (3 kali penggunaan setiap pemakaian).
Setelah selesai pewarnaan dilakukan coverslipping, siapkan
coverslips secukupnya sesuai dengan jumlah preparat yang baru saja
diwarnai lalu teteskan 1-2 tetes “entellan” pada tiap coverslip. balik dan
tutupkan pada slide preparat yang baru saja diwarnai, cegah jangan
sampai terbentuk gelembung udara, biarkan preparat yang sudah tertutup
dengan coverslip lalu dibiarkan sampai mengering sempurna. Bersihkan
135

slide glass dengan xylol lalu berilah nomor sesuai dengan nomor yang
ada dietiket slide glass tersebut dan siap untuk diperiksa di bawah
mikroskop cahaya.

Tabel Lampiran 2. Tahap Pewarnaan Mayers Hematoxylin Eosin

No Reagensia Waktu
1 Xylol I 2 menit
2 Xylol II 2 menit
3 Alkohol 100% I 1 menit
4 Alkohol 100% II 1 menit
5 Alkohol 95% I 1 menit
6 Alkohol 95% II 1 menit
7 Mayer’s Haematoxylin 15 menit
8 Rendam dalam Tap Water 20 menit
9 Masukkan dalam Eosin 15 detik -2 menit
10 Alkohol 95 % III 2 menit
11 Alkohol 95 % IV 2 menit
12 Alkohol 100% III 2 menit
13 Alkohol 100% IV 2 menit
14 Akohol 100%V 2 menit
15 Xylol III 2 menit
16 Xylol IV 2 menit
17 Xylol V 2 menit

f. Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan di bawah mikroskop untuk


melihat perubahan morfologis dari contoh spesimen yang diperiksa. Hasil
pemeriksaan mikroskopik dicatat lalu dimasukkan dalam program
komputer yang telah tersedia untuk diberikan jawaban diagnosa definitif.
136

Lampiran 2. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
137

Lampiran 3. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
138

Lampiran 4. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros

Regression Statistics
Multiple R 0,9430
R Square 0,8892
Adjusted R
quare 0,8888
Standard Error 0,0593
Observations 307

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 8,6008 8,6008 2446,72 1E-147
Residual 305 1,0721 0,0035
Total 306 9,6730

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept -4,6595 0,1080 -43,1572 6,5E-132 -4,8719 -4,4470 -4,8719 -4,4470
log L 2,9489 0,0596 49,4643 1E-147 2,8316 3,0662 2,8316 3,0662
139

Lampiran 5. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0,9284
R Square 0,8619
Adjusted R
Square 0,8614
Standard Error 0,0611
Observations 292

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 6,7615 6,7615 1809,9406 1,07E-126
Residual 290 1,0834 0,0037
Total 291 7,8448

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept -4,8567 0,1314 -36,9499 1,05E-111 -5,1154 -4,5980 -5,1154 -4,5980
log L 3,0600 0,0719 42,5434 1,07E-126 2,9185 3,2016 2,9185 3,2016
140

Lampiran 6. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0,9378
R Square 0,8795
Adjusted R
Square 0,8793
Standard Error 0,0602
Observations 599

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 15,8033 15,8033 4359,328 1,5E-276
Residual 597 2,1642 0,0036
Total 598 17,9676

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept -4,7547 0,0827 -57,4735 1,7E-245 -4,9172 -4,5922 -4,9172 -4,5922
log L 3,0028 0,0455 66,0252 1,5E-276 2,9135 3,0922 2,9135 3,0922
141

Lampiran 7. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Regression Statistics
Multiple R 0,9844
R Square 0,9691
Adjusted R Square 0,9686
Standard Error 0,0470
Observations 72

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 4,8509 4,85092 2192,481 1,42E-54
Residual 70 0,1549 0,002213
Total 71 5,0058

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept -4,5136 0,1133 -39,8223 7,94E-50 -4,7396 -4,2875 -4,7396 -4,2875
X Variable 1 2,8719 0,0613 46,8239 1,42E-54 2,74962 2,99427 2,74962 2,99427
142

Lampiran 8. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Regression Statistics
Multiple R 0,9849
R Square 0,9700
Adjusted R Square 0,9696
Standard Error 0,0417
Observations 90

ANOVA
Significance
df SS MS F F
Regression 1 4,9355 4,9355 2841,2557 0,0000
Residual 88 0,1529 0,0017
Total 89 5,0883

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
-
Intercept -4,4604 0,1003 44,4764 4,244E-62 -4,6597 -4,2611 -4,6597 -4,2611
log L 2,8574 0,0536 53,3034 9,013E-69 2,7509 2,9639 2,7509 2,9639
143

Lampiran 9. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Regression Statistics
Multiple R 0,9838
R Square 0,9679
Adjusted R Square 0,9677
Standard Error 0,0457
Observation
s 162

ANOVA
df SS MS F Significance F
4832,194
Regression 1 10,1046 10,1046 9 1,9E-121
Residual 160 0,3346 0,0021
Total 161 10,4392

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept -4,5227 0,0772 -58,5748 5,3E-110 -4,6752 -4,3702 -4,6752 -4,3702
log L 2,8846 0,0415 69,5140 1,9E-121 2,8027 2,9666 2,8027 2,9666
144

Lampiran 10. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Panjang
Sex Mean Std. Deviation N
Jantan 65.12 8.387 307
Betina 67.55 7.950 292
Total 66.31 8.260 599

Estimates
Dependent Variable: Panjang
Sex Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
a
Jantan 66.148 .187 65.781 66.515
a
Betina 66.472 .192 66.096 66.848
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Bobot = 5.49.

Pairwise Comparisons
Dependent Variable : Panjang
a
(I) Sex (J) Sex Mean Std. Error Sig. 95% Confidence Interval for
a
Difference (I-J) Difference
Lower Bound Upper Bound
Jantan Betina -.324 .269 .229 -.852 .204
Betina Jantan .324 .269 .229 -.204 .852
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Univariate Tests
Dependent Variable : Panjang
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Contrast 15.405 1 15.405 1.452 .229
Error 6323.392 596 10.610
The F tests the effect of Sex. This test is based on the linearly independent pairwise comparisons
among the estimated marginal means.

Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,229 (P>0,05) sehingga


hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)
jantan dan betina di S. Pattunuang, Kabupaten Maros tidak terdapat perbedaan
yang nyata.
145

Lampiran 11. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) Jantan dan betina di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Panjang
Sex Mean Std. Deviation N
Jantan 71.6039 14.65014 72
Betina 75.2569 13.75177 90
Total 73.6333 14.23039 162

Estimates
Dependent Variable: Panjang
Sex Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
a
Jantan 73.987 .511 72.977 74.996
a
Betina 73.351 .456 72.449 74.252
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following
values: Bobot = 8.0913.

Pairwise Comparisons
Dependent Variable: Panjang
a
(I) Sex (J) Sex Mean Std. Error Sig. 95% Confidence Interval for
a
Difference (I-J) Difference
Lower Bound Upper Bound
Jantan Betina .636 .689 .358 -.725 1.997
Betina Jantan -.636 .689 .358 -1.997 .725
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Univariate Tests
Dependent Variable: Panjang
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Contrast 15.780 1 15.780 .851 .358
Error 2947.685 159 18.539
The F tests the effect of Sex. This test is based on the linearly independent pairwise
comparisons among the estimated marginal means.

Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,358 (P>0,05) sehingga


hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)
jantan dan betina di S. Sanrego, Kabupaten Bone tidak terdapat perbedaan yang
nyata.
146

Lampiran 12. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Panjang_Tubuh
Lokasi Mean Std. Deviation N
S. Pattunuang Maros 65.1232 8.38726 307
S. Sanrego Bone 71.6039 14.65014 72
Total 66.3543 10.18531 379

Estimates
Dependent Variable: Panjang_Tubuh
Lokasi Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
a
S. Pattunuang Maros 66.486 .205 66.083 66.888
a
S. Sanrego Bone 65.794 .435 64.939 66.649
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values:
Bobot_Tubuh = 5.5816.

Pairwise Comparisons
Dependent Variable: Panjang_Tubuh
a
(I) Lokasi (J) Lokasi Mean Std. Sig. 95% Confidence Interval for
a
Difference Error Difference
(I-J) Lower Bound Upper Bound
S. Pattunuang S. Sanrego .692 .487 .156 -.266 1.649
S. Sanrego S. Pattunuang -.692 .487 .156 -1.649 .266
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Univariate Tests
Dependent Variable: Panjang_Tubuh
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Contrast 25.521 1 25.521 2.018 .156
Error 4755.211 376 12.647
The F tests the effect of Lokasi. This test is based on the linearly independent pairwise
comparisons among the estimated marginal means.

Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,156 (P>0,05) sehingga


hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)
jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone tidak terdapat perbedaan yang nyata.
147

Lampiran 13. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Panjang_tubuh
Lokasi Mean Std. Deviation N
S.Pattunuang Maros 67.5498 7.94988 292
S.Sanrego Bone 75.2569 13.75177 90
Total 69.3656 10.15738 382

Estimates
Dependent Variable: Panjang_tubuh
Lokasi Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
a
S.Pattunuang Maros 69.570 .202 69.173 69.966
a
S.Sanrego Bone 68.704 .378 67.961 69.447
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values:
Bobot_tubuh = 6.5062.

Pairwise Comparisons
Dependent Variable: Panjang_tubuh
b
(I) Lokasi (J) Lokasi Mean Std. Sig. 95% Confidence Interval for
b
Difference Error Difference
(I-J) Lower Bound Upper Bound
*
S.Pattunuang S.Sanrego .866 .440 .050 .001 1.730
*
S.Sanrego S.Pattunuang -.866 .440 .050 -1.730 -.001
Based on estimated marginal means
*. The mean difference is significant at the .05 level.
b. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Univariate Tests
Dependent Variable: Panjang_tubuh
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Contrast 44.287 1 44.287 3.877 .050
Error 4328.942 379 11.422
The F tests the effect of Lokasi. This test is based on the linearly independent pairwise
comparisons among the estimated marginal means.

Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,050 (P<0,05) sehingga


hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)
betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone terdapat perbedaan yang nyata.
148

Lampiran 14. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai
Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai
Sanrego, Kabupaten Bone

Descriptive Statistics
Dependent Variable: Panjang_tubuh
Lokasi Mean Std. Deviation N
S.Pattunuang Maros 66.3061 8.25985 599
S.Sanrego Bone 73.6333 14.23039 162
Total 67.8659 10.27566 761

Estimates
Dependent Variable: Panjang_tubuh
Lokasi Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
a
S.Pattunuang Maros 68.044 .146 67.758 68.330
a
S.Sanrego Bone 67.208 .291 66.637 67.778
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values:
Bobot_tubuh = 6.0457.

Pairwise Comparisons
Dependent Variable: Panjang_tubuh
b
(I) Lokasi (J) Lokasi Mean Std. Sig. 95% Confidence Interval for
b
Difference Error Difference
(I-J) Lower Bound Upper Bound
*
S.Pattunuang S.Sanrego .836 .332 .012 .185 1.488
*
S.Sanrego S.Pattunuang -.836 .332 .012 -1.488 -.185
Based on estimated marginal means
*. The mean difference is significant at the .05 level.
b. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Univariate Tests
Dependent Variable: Panjang_tubuh
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Contrast 78.733 1 78.733 6.352 .012
Error 9396.061 758 12.396
The F tests the effect of Lokasi. This test is based on the linearly independent pairwise
comparisons among the estimated marginal means.

Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,012 (P<0,05) sehingga


hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone terdapat perbedaan yang nyata.
149

Lampiran 15. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di
Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Jantan Betina
Mean 1,7880 1,8087
Variance 0,0748 0,0739
Observations 307 292
Pooled Variance 0,0744
Hypothesized Mean Difference 0
df 597
t Stat -0,9286
P(T<=t) one-tail 0,1767
t Critical one-tail 1,6474
P(T<=t) two-tail 0,3535
t Critical two-tail 1,9639
150

Lampiran 16. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik
(Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di
Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Jantan Betina
Mean 1,0274 1,1598
Variance 0,0122 0,0126
Observations 72 90
Pooled Variance 0,01242
Hypothesized Mean Difference 0
df 160
t Stat -7,5141
P(T<=t) one-tail 0,0000
t Critical one-tail 1,6544
P(T<=t) two-tail 0,0000
t Critical two-tail 1,9749
151

Lampiran 17. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

TKG Jantan Betina Jumlah


36 64 100
September
51,2521 48,7479
43 40 83
Oktober
42,5392 40,4608
49 44 93
November
47,6644 45,3356
72 46 118
Desember
60,4775 57,5225
60 47 107
Januari
54,8397 52,1603
47 51 98
Februari
50,2270 47,7730
∑ 307 292 599

(36-51,2521)2 (64-48,7479)2 (43-42,5392)2 (40-40,4608)2


X2 = + + +
51,2521 48,7479 42,5392 40,4608
(49-47,6644)2 (44-45,3356)2 (72-60,4775)2 (46-57,5225)2
+ + +
47,6644 45,3356 60,4775 57,5225
(60-54,8397)2 (47-52,1603)2 (47-50,2270) 2
(51-47,7730)2
+ + +
54,8397 52,1603 50,2270 47,7730

232,6262 232,6262 0,2123 0,2123


X2 = + + +
51,2521 48,7479 42,5392 40,4608
1,7837 1,7837 132,7689 132,7689
+ + +
47,6644 45,3356 60,4775 57,5225
26,6284 26,6284 10,4138 10,4138
+ + +
54,8397 52,1603 50,2270 47,7730

X2 = 4,5386 + 4,7720 + 0,0050 + 0,0052 + 0,0374


0,0393 + 2,1953 + 2,3081 + 0,4856 + 0,5105
0,2073 + 0,2180
= 14,8974

X2 tabel (0,05:5) = 11,070


X2 > X2 tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap
hitung
selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai
Pattunuang adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1)
152

Lampiran 18. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,


1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan
sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

TKG Jantan Betina Jumlah


5 11 16
September
7,1111 8,8889
9 11 20
Oktober
8,8889 11,1111
15 18 33
November
14,6667 18,3333
12 6 18
Desember
8,0000 10,0000
21 8 29
Januari
12,8889 16,1111
10 36 46
Februari
20,4444 25,5556
∑ 72 90 162

(5-7,1111)2 (11-8,8889)2 (9-8,8889)2 (11-11,1111)2


X2 = + + +
7,1111 8,8889 8,8889 11,1111
(15-14,6667)2 (18-18,3333)2 (12-8,0000)2 (6-10,0000)2
+ + +
14,6667 18,3333 8,0000 10,0000
(21-12,8889)2 (8-16,1111)2 (10-20,4444)2 (36-25,5556)2
+ + +
12,8889 16,1111 20,4444 25,5556

4,4568 4,4568 0,0123 0,0123


X2 = + + +
7,1111 8,8889 8,8889 11,1111
0,1111 0,1111 16,0000 16,0000
+ + +
14,6667 18,3333 8,0000 10,0000
65,7901 65,7901 109,0864 109,0864
+ + +
12,8889 16,1111 20,4444 25,5556

X2 = 0,6267 + 0,5014 + 0,0014 + 0,0011 + 0,0076


0,0061 + 2,0000 + 1,6000 + 5,1044 + 4,0835
5,3357 + 4,2686
= 13,9322

X2 tabel (0,05:5) = 11,070


X2 > X2 tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap
hitung
selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai
Sanrego adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1)
153

Lampiran 19. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros

TKG Jantan Betina Jumlah


174 114
I 288
147,6060 140,3940
76 86
II 162
83,0284 78,9716
38 38
III 76
38,9516 37,0484
13 36
IV 49
25,1135 23,8865
6 18
V 24
12,3005 11,6995
∑ 307 292 599

(174-147,6060)2 (114-140,3940)2 (76-83,0284)2 (86-78,9716)2


X2 = + + +
147,6060 140,3940 83,0284 78,9716
(38-38,9516)2 (38-37,0484)2 (13-25,1135)2 (36-23,8865)2
+ + +
38,9516 37,0484 25,1135 23,8865
(6-12,3005)2 (18-11,6995)2
+
12,3005 11,6995

696,6427 696,6427 49,3981 49,3981


X2 = + + +
147,6060 140,3940 83,0284 78,9716
0,9055 0,9055 146,7374 146,7374
+ + +
38,9516 37,0484 25,1135 23,8865
39,6963 39,6963
+
12,3005 11,6995

X2 = 4,7196 + 4,621 + 0,5950 + 0,6255 + 0,0232


0,0244 + 5,8430 + 6,1431 + 3,2272 + 3,3930
= 29,5561

X2 tabel (0,05:5) = 9,4877


X2 hitung > X2 tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap
selama penelitian berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang
adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1)
154

Lampiran 20. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,
1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan
gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone

TKG Jantan Betina Jumlah


32 26 58
I
25,7778 32,2222
5 18 23
II
10,2222 12,7778
10 19 29
III
12,8889 16,1111
14 18 32
IV
14,2222 17,7778
11 9 20
V
8,8889 11,1111
∑ 72 90 162

(32-25,7778)2 (26-32,2222)2 (5-10,2222)2 (18-12,7778)2


X2 = + + +
25,7778 32,2222 10,2222 12,7778
(10-12,8889)2 (19-16,1111)2 (14-14,2222)2 (18-23,7176)2
+ + +
12,8889 16,1111 14,2222 17,7778
(11-8,8889)2 (9-11,1111)2
+
8,8889 11,1111

38,7160 38,7160 27,2716 27,2716


X2 = + + +
25,7778 32,2222 10,2222 12,7778
8,3457 8,3457 0,0494 0,0494
+ + +
12,8889 16,1111 14,2222 17,7778
4,4568 4,4568
+
8,8889 11,1111

X2 = 1,5019 + 1,2015 + 2,6679 + 2,1343 + 0,6475


0,5180 + 0,0035 + 0,0028 + 0,5014 + 0,4011
= 9,5799

X2 tabel (0,05:5) =
9,4877
X2 hitung > X tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap
2

selama penelitian berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang


adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1)
155

Lampiran 21. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang
total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros

Kelas Tengah Logaritma Jumlah Jumlah ikan Jumlah ikan Proporsi pixqi
panjang kelas tengah kelas sampel ikan belum matang ikan matang Xi+1-Xi=X qi=1-pi
(mm) (mm) (Xi) (ni) matang (ri) (pi) ni-1
36 - 40 38 1,5798 2 2 0 0,0000 0,0537 1,0000 0,0000
41 - 45 43 1,6335 2 2 0 0,0000 0,0478 1,0000 0,0000
46 - 50 48 1,6812 4 4 0 0,0000 0,0430 1,0000 0,0000
51 - 55 53 1,7243 24 24 0 0,0000 0,0392 1,0000 0,0000
56 - 60 58 1,7634 64 54 10 0,1563 0,0359 0,8438 0,0016
61 -65 63 1,7993 85 66 19 0,2235 0,0332 0,7765 0,0031
66 - 70 68 1,8325 57 43 14 0,2456 0,0308 0,7544 0,0050
71 - 75 73 1,8633 38 30 8 0,2105 0,0288 0,7895 0,0045
76 - 80 78 1,8921 19 15 4 0.2105 0.0270 0.7895 0.0092
81 - 85 83 1,9191 5 0 5 1.0000 0.0000 0.0000
Total 300 240 60 2.0464 0.0234
156

Lampiran 21. Lanjutan

 X pi 
X
Log m  xk 
2
0,0270
Log m = 1,9191 + – (0,0270 x 1,9191)
2
Log m = 1,9191 + 0,0135 - (0,0552) = 1,8773
M= antilog 1,8773 = 75.40 mm
Dengan selang kepercayaan 95% maka :
  p  qi  
Antilog m = m  1,96 X2 Σ i  
  ni  1  

Antilog [1,8773 ± 1,96 0,0270 2 x0,0234

Antilog [1,8773 ± 1,96 0,000017


Antilog [1,8773 ± 1,96 x 0,0041]
Antilog [1,8773 ± 0,0081]

Jadi batas bawah adalah :


Antilog [1,8773 - 0,0081] = antilog 1,8693 = 74,00 mm
Jadi batas atas adalah :
Antilog [1,8773 + 0,0081] = antilog 1,8854 = 76,81 mm
157

Lampiran 22. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang
total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang,
Kabupaten Maros

Kelas Tengah Logaritma Jumlah Jumlah ikan Jumlah ikan Proporsi pixqi
Xi+1-
panjang kelas tengah kelas sampel ikan belum matang ikan matang qi=1-pi
Xi=X ni-1
(mm) (mm) (Xi) (ni) matang (ri) (pi)
46 - 50 48 1,6812 1 1 0 0,0000 0,0430 1,0000 0,0000
51 - 55 53 1,7243 12 9 3 0,2500 0,0392 0,7500 0,0039
56 - 60 58 1,7634 49 41 8 0,1633 0,0359 0,8367 0,0022
61 -65 63 1,7993 63 46 17 0,2698 0,0332 0,7302 0,0024
66 - 70 68 1,8325 84 52 32 0,3810 0,0308 0,6190 0,0054
71 - 75 73 1,8633 45 27 18 0,4000 0,0288 0,6000 0,0114
76 - 80 78 1,8921 22 15 7 0,3182 0,0270 0,6818 0,0271
81 - 85 83 1,9191 9 5 4 0,4444 0,0254 0,5556 0,1235
86 - 90 88 1,9445 3 2 1 0,3333 0,0240 0,6667 0,1111
91 - 95 93 1,9685 3 2 1 0,3333 0,0227 0,6667 0,0000
96 - 100 98 1,9912 1 0 1 1,0000 0,0000 0,0000
Total 292 200 92 3,8934 0,2870
158

Lampiran 22. Lanjutan

 X pi 
X
Log m  xk 
2
0,0227
Log m = 1,9912 + – (0,0227 x 3,8938)
2
Log m = 1,9912 + 0,0114 - (0,0885) = 1,9141
M= antilog 1,9141 = 82,07 mm

Dengan selang kepercayaan 95% maka :


  p  qi  
Antilog m = m  1,96 X2 Σ i  
  ni  1  

Antilog [1,9141 ± 1,96 0,0272 2 x 0,0574

Antilog [1,9141 ± 1,96 0,000030


Antilog [1,9141 ± 1,96 x 0,0054]
Antilog [1,9141 ± 0,0174]

Jadi batas bawah adalah :


Antilog [1,9141 - 0,0174] = antilog 1,9034 = 80,05 mm
Jadi batas atas adalah :
Antilog [1,9141 + 0,0174] = antilog 1,9247 = 84,09 mm
159

Lampiran 23. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang
total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Kelas Tengah Logaritma Jumlah sampel Jumlah ikan Jumlah ikan Proporsi pixqi
panjang kelas tengah ikan belum matang ikan matang Xi+1-Xi=X qi=1-pi
(mm) (mm) kelas (Xi) (ni) matang (ri) (pi) ni-1
36 - 40 38 1,5798 1 1 0 0,0000 0,0537 1,0000 0,0000
41 - 45 43 1,6335 1 1 0 0,0000 0,0478 1,0000 0,0000
46 - 50 48 1,6812 1 1 0 0,0000 0,0430 1,0000 0,0000
51 - 55 53 1,7243 7 7 0 0,0000 0,0392 1,0000 0,0000
56 - 60 58 1,7634 11 10 1 0,0909 0,0359 0,9091 0,0083
61 -65 63 1,7993 8 7 1 0,1250 0,0332 0,8750 0,0156
66 - 70 68 1,8325 9 5 4 0,4444 0,0308 0,5556 0,0309
71 - 75 73 1,8633 6 2 4 0,6667 0,0288 0,3333 0,0444
76 - 80 78 1,8921 5 1 4 0,8000 0,0270 0,2000 0,0400
81 - 85 83 1,9191 10 2 8 0.8000 0.0254 0.2000 0.0178
86 - 90 88 1,9445 5 0 5 1.0000 0.0000 0.0000
Total 64 37 27 3.9270 3.9270 0.1570
160

Lampiran 23. Lanjutan

 X pi 
X
Log m  xk 
2
0,0254
Log m = 1,9445 + – (0,0254 x 3,9270)
2
Log m = 1,9445 + 0,0127 - (0,0998) = 1,8574
M= antilog 1,8574 = 72,01 mm

Dengan selang kepercayaan 95% maka :


  p  qi  
Antilog m = m  1,96 X2 Σ i  
  ni  1  

Antilog [1,8574 ± 1,96 0,0006 2 x 0,1570

Antilog [1,8574 ± 1,96 0,000101


Antilog [1,8574 ± 1,96 x 0,0101]
Antilog [1,8574 ± 0,0197]

Jadi batas bawah adalah :


Antilog [1,8574 - 0,0197] = antilog 1.8377 = 68,82 mm
Jadi batas atas adalah :
Antilog [1,8574 + 0,0197] = antilog 1.8771 = 75,36 mm
161

Lampiran 24. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang
total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego,
Kabupaten Bone

Kelas Tengah Logaritma Jumlah Jumlah ikan Jumlah ikan Proporsi pixqi
Xi+1-
panjang kelas tengah kelas sampel ikan belum matang ikan matang qi=1-pi
Xi=X ni-1
(mm) (mm) (Xi) (ni) matang (ri) (pi)
41 - 45 43 1,6335 1 1 0 0,0000 0,0478 1,0000 0,0000
46 - 50 48 1,6812 3 3 0 0,0000 0,0430 1,0000 0,0000
51 - 55 53 1,7243 3 3 0 0,0000 0,0392 1,0000 0,0000
56 - 60 58 1,7634 9 8 1 0,1111 0,0359 0,8889 0,0123
61 -65 63 1,7993 10 7 3 0,3000 0,0332 0,7000 0,0233
66 - 70 68 1,8325 8 2 6 0,7500 0,0308 0,2500 0,0268
71 - 75 73 1,8633 10 7 3 0,3000 0,0288 0,7000 0,0233
76 - 80 78 1,8921 12 4 8 0,6667 0,0270 0,3333 0,0202
81 - 85 83 1,9191 14 5 9 0.6429 0.0254 0.3571 0.0177
86 - 90 88 1,9445 8 0 8 1.0000 0.0000 0.0000
Total 78 40 38 3.7706 0.1237
162

Lampiran 24. Lanjutan

 X pi 
X
Log m  xk 
2
0,0254
Log m = 1,9445 + – (0,0254 x 3,7706)
2
Log m = 1,9445 + 0,0127 - (0,0958) = 1,8614
M= antilog 1,8614 = 72,68 mm

Dengan selang kepercayaan 95% maka :


  p  qi  
Antilog m = m  1,96 X2 Σ i  
  i
n  1  

Antilog [1,8614 ± 1,96 0,0006 2 x 0,1237

Antilog [1,8614 ± 1,96 0,00008


Antilog [1,8614 ± 1,96 x 0,0089]
Antilog [1,8614 ± 0,0175]

Jadi batas bawah adalah :


Antilog [1,8614 - 0,0175] = antilog 1,8439 = 69.80 mm
Jadi batas atas adalah :
Antilog [1,8614 + 0,0175] = antilog 1,8789 = 75, 67mm
163

CURRICULUM VITAE

A. Data Pribadi
Nama : Muhammad Nur
Palattae (Bone)
Tempat/tanggal lahir :
24 Desember 1990
Jl. Dg. Hayo, Lr.2 No.15,
Alamat :
Pannara, Antang, Makassar
Telepon : 085 242 650 150
E-Mail : northunhas@gmail.com
B. Pendidikan Formal
1998 - 2003 : SD Negeri 277 Palattae
2003 - 2006 : SMP Negeri 1 Kahu
2006 - 2009 : Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri
Bone (Konsentrasi : Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan)
2009 - 2013 : Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin, IPK 3,61 (Cum laude)
C. Pendidikan Non Formal
2009 : Basic Study Skills Universitas Hasanuddin
2009 : Latihan Kepemimpinan I BEM KEMAPI FIKP Unhas
2011 : Pelatihan Pengemasan dan pengolahan hasil perikanan
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi Sulawesi
Selatan
2011 : Worshop Politik Pelajar kerjasama Lembaga Pemerhati dan
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir LPPMP dan PemProv.
Sul-Sel.
2012 : Pelatihan Kewirausahaan Universitas Hasanuddin
2012 : Pelatihan Program Kreativitas Mahasiswa PKM DIKTI
2012 : Diklat Selam Open Water SCUBA – School Scuba
International (SSI- Makassar Diver)
2012 : Pelatihan Olahan Hasil Laut dan Temu Pelaku Usaha
Perikanan oleh KEMENPERINDAG RI (Makassar)
2012 : Pelatihan MSC (Most Significant Change) Perubahan
Penting Masyarakat pada program Restoring Coastal
Livelihood, CIDA-Oxfam GB, Makassar
2013 : Pelatihan pengenalan lingkungan hidup MAP (Mangrove-
Action Project Indonesia) PPLH Puntondo Takalar
2013 : Pelatihan Persiapan Dini Memasuki Dunia Kerja – Job
Placement Center Universitas Hasanuddin

D. Karya ilmiah /artikel jurnal yang telah dipublikasikan


 Morphometric and meristic comparison of Decapterus macrosoma
Bleeker, 1851 from Makassar Strait and Bone Bay, South Sulawesi,
Indonesia. International Journal of Plant, Animal and Environmental
Sciences. Vol.4.Issue 4 Oct. Des 2014. 220 – 224 (Anggota)

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai