SKRIPSI
SITI RAMADHANI
160302024
SKRIPSI
SITI RAMADHANI
160302024
Skripsi Sebagai Salah Satu Diantara Beberapa Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
NIM : 160302024
Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Laju Kemunduran Mutu Ikan
merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang di terbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
Siti Ramadhani
NIM. 160302024
(KKN-PPM) Reguler pada tahun 2019 yang ditempatkan di Desa Labuhan Bajau,
pada tahun 2019 dan asisten Laboratorium Pengkajian Stok Ikan pada tahun 2020.
Para pedagang ikan mas (Cyprinus carpio) baik supplier maupun pemilik
usaha seafood yang menjual ikan mas dalam keadaan mati memanfaatkan
pendinginan menggunakan kotak berisikan es untuk mempertahankan mutu
kesegaran ikan mas. Namun, walaupun disimpan dalam suhu yang dingin ikan
tetap akan mengalami kemuduran mutu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemunduran mutu ikan mas secara fisik, kimiawi, mikrobiologi dan
histologi selama penyimpanan suhu chilling. Penelitian ini dilakukan pada bulan
September hingga bulan November 2020. Penelitian ini menggunakan ikan mas
tanpa penyiangan dan dengan penyiangan yang disimpan pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8,
10 dan 12 pada suhu 0-5 oC.. Hasil pengujian nilai organoleptik semakin menurun
selama penyimpanan. Protein ikan mas berkisar 18,97 %. Nilai pH ikan mas
bervasiasi mulai 6,2 hingga 7,2, nilai TVB 1,9 mgN/100 hingga 31,36 mgN/100,
Nilai TPC 1×105 kol/gram hingga 7×105 kol/gram. Selama penyimpanan jaringan
daging, hati dan usus ikan mas telah mengalami kemunduran mutu. Perlakuan
penyiangan dan penggunaan suhu chilling efektif untuk menghambat kemunduran
mutu ikan mas akibat aktivitas enzimatis dan mikrobiologis.
ii
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
skripsi yang berjudul “Laju Kemunduran Mutu Ikan Mas (Cyprinus carpio)
selama Penyimpanan Suhu Chilling”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Antara lain
kepada:
Sumatera Utara
2. Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc selaku Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya,
3. Ibu Astrid Fauzia Dewinta, S.St.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang
4. Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc dan Bapak Rizky Febriansyah Siregar, S.Pi, M.Si
selaku Dosen Penguji yang telah memberi masukan dan arahan serta
5. Bapak dan Ibu dosen staff pengajar dan pegawai di Program Studi Manajemen
Wardani Harahap, Abangda Rahmat Fauzi dan Ayub Ashari, Kakak Vita
Atmasari dan Ade Fitri Yasha yang telah banyak memberikan kasih sayang,
doa, nasehat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
Farhan, Novia Siti Aisyah, Rika Ramadana, Windi Ulvika, dan Yati yang
8. Teman-teman Anggi Nur Indah Sari Siregar, S.Pi, Nurul Aini Jamal, S.Kep,
9. Teman-teman tim KKN USU Pulau Terluar Simeulue Tahun 2019 yang telah
10. Serta, teman-teman seangkatan MSP 2016 yang telah memberi dukungan
kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis
ii
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR............................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Perumusan Masalah .............................................................................. 4
Kerangka Pemikiran ............................................................................. 5
Tujuan Penelitian................................................................................. 6
Manfaat Penelitian ................................................................................ 6
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Mas (Cyprinus carpio) ................................................................. 7
Proses Kemunduran Mutu Ikan ... ......................................................... 8
Fase pre rigor mortis . ................................................................... 9
Fase rigor mortis ............................................................................ 9
Fase post rigor mortis ..................................................................... 10
Fase pembusukan............................................................................ 11
Faktor Kemunduran Mutu Ikan............................................................. 12
Pendinginan Ikan .................................................................................. 13
Teknik Penyimpanan Ikan pada Suhu Chilling...................................... 15
Mutu Ikan Segar ................................................................................... 16
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 18
Alat dan Bahan Penelitian..................................................................... 18
Prosedur Penelitian .............................................................................. 19
Teknik pengambilan sampel ikan ..................................................... 19
Teknik preparasi dan penyimpanan sampel ikan ............................... 20
Prosedur Analisis ............................................................................. 21
Uji karakteristik ........................................................................... 21
Uji organoleptik (SNI 2346:2015)................................................ 22
Uji protein (AOAC, 2005) ........................................................... 23
Uji nilai pH (AOAC, 2005).......................................................... 24
Uji total volatile base (TVB) (SNI 012354.8:2009)...................... 24
Uji total plate count (TPC) (SNI 2332.3:2015) ............................ 25
Uji Histologi ................................................................................ 27
Analisis Data ....................................................................................... 29
iii
Pembahasan ......................................................................................... 47
Karakteristik ikan mas (Cyprinus carpio) ........................................ 47
Morfologi ikan mas...................................................................... 47
Rendemen ikan mas ..................................................................... 48
Kemunduran mutu fisik ikan mas (Cyprinus carpio) ........................ 49
Kemunduran mutu kimiawi ikan mas (Cyprinus carpio) .................. 54
Derajat Keasaman (pH)................................................................ 54
Kadar protein ikan mas ................................................................ 57
Nilai total volatibe base (TVB) ikan mas .................................... 58
Kemunduran mutu mikrobiologi ikan mas (Cyprinus carpio) ........... 62
Nilai total plate count (TPC) ikan mas ......................................... 62
Kemunduran mutu histologi ikan mas (Cyprinus carpio).................. 66
Histologi daging ikan mas ............................................................ 66
Histologi hati ikan mas ............................................................... 69
Histologi usus ikan mas ............................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
vi
vii
viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan satu komoditas utama ikan yang di
budidayakan yang merupakan jenis ikan air tawar yang sangat disukai oleh
(Wihardi et al., 2014). Selama tahun 2012 sampai dengan tahun 2017 produksi
budidaya ikan mas di Indonesia sangat bervariasi dan berflutuaktif. Pada tahun
2016 produksi ikan mas di Indonesia mencapai 497.208 ton sementara pada tahun
2017 produksi ikan Mas mengalami penurunan 316.648 ton (KKP, 2018).
peningkatan konsumsi ikan yang saat ini terus dicanangkan pemerintah dalam
rangka peningkatan konsumsi ikan oleh masyarakat. Produksi ikan mas diikuti
oleh perkembangan trend pola konsumsi ikan, secara nasional pada tahun 2017
peningkatan tiap tahunnya menjadi 3,26% pada tahun 2017 (KKP, 2018).
terdapat perbedaan pola konsumsi atau budaya makan ikan berdasarkan suku/etnis
atau mungkin lebih tepatnya berdasarkan geografis asal. Ikan mas merupakan ikan
yang banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan makanan khas
Sumatera Utara seperti halnya arsik dan nanihura yang dijual dalam keadaan segar
Biasanya ikan yang telah mati lebih cepat memasuki fase rigor mortis
pada suhu ruang dan berlangsung lebih singkat. Apabila fase rigor mortis tidak
dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas enzim dan
bakteri akan berlangsung lebih cepat. Aktivitas enzim dan bakteri tersebut
menyebabkan perubahan yang sangat pesat sehingga ikan memasuki fase post
rigor. Fase ini menunjukan bahwa mutu ikan sudah rendah dan tidak layak untuk
dikonsumsi (FAO, 1995). Menurut BSN (2013) ikan segar adalah ikan yang
mempertahankan kesegaran ikan dengan penanganan yang tepat dan salah satu
suhu chilling merupakan penyimpanan ikan yang relatif mudah dan banyak
dilakukan sampai suhu dingin (chilling) yaitu (-1) - 5 °C. Namun, menyimpan
ikan terlalu lama pada suhu chilling dapat mengurangi mutu ikan tersebut yang
Untuk mempertahakan mutu ikan mas, para penjual ikan mas dalam
keadaan sudah mati di pasar ataupun supplier biasanya di jual dengan ikan mas
dalam keadaan dingin dengan es. Begitu juga pada warung-warung seafood,
dimana kondisi ikan tersebut disimpan dalam kotak yang berisikan es dengan
penerapan pendinginan yang tidak konsisten sehingga rantai dingin tidak terjaga
dengan baik. Selain itu, ikan mas tersebut tidak disimpan dalam keadaan tidak
segera dibersihkan insang dan isi perutnya dan air yang digunakan untuk
pencucian ikan mas dalam keadaan kotor. Teknik penyimpanan suhu dingin dan
kemuduran mutu.
menganalisis laju kemunduran mutu ikan yang disimpan pada suhu dingin
diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Rozi (2018) pada ikan lele tanpa
suhu chilling terhadap perbedaan nilai pH dan total volatile base nitrogen (TVB)
ikan gurami dalam suhu chilling yang menghasilkan pola kemunduran mutu pada
ikan gurami dari fase pre rigor awal hingga ketika pembusukan yang berlangsung
cepat berdasarkan perbedaan kisaran nilai organoleptik, pH, log TPC, TVB.
Selain itu, penelitian lainnya yang dilakukan Ramadhan (2018) menegenai ikan
patin yang disimpan dalam suhu dingin yang menghasilkan perubahan histologi
struktur daging dorsal, kulit, dan insang mengalami kerusakan seiring fase
kemunduran mutu.
tidak tepat dan konsisten dapat mempercepat kemunduran mutu ikan mas dan bila
kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan suhu chilling baik secara fisik,
belakang diatas perlu adanya penelitian terkait dengan kemunduran mutu ikan
Perumusan Masalah
dibudidayakan. Produksi ikan mas di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2017
adalah 30.242 ton (BPS, 2018) dan Kota Medan produksi ikan mas pada tahun
2018 sebanyak 50 ton (BPS, 2020). Ikan mas dapat yang dijual secara segar dapat
dalam kondisi hidup maupun kondisi mati. Dalam kondisi mati ikan mas dapat
pendingan yang berisikan es dalam proses penjualan. Selain itu penggunaan air
dalam membersihkan ikan yang tidak baik juga dapat mempengaruhi mutu ikan
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menetukan kemunduran mutu
sebagai berikut:
Kerangka Pemikiran
Para pedagang ikan mas baik supplier maupun pemilik usaha seafood
mas. Namun, walaupun disimpan dalam suhu yang dingin ikan tetap akan
penyiangan dan pembersihan ikan yang kurang baik sebelum penyimpanan serta
karena itu, diperlukan analisis perbandingan mutu ikan mas dengan melihat
kondisi awal ikan sebelum dilakukan penyimpanan dan selama penyimpanan suhu
dingin (chilling) serta menentukan laju kemunduran mutu ikan mas selama
Penilaian Mutu:
1. Organoleptik
2. pH
3. Protein
4. TVB
5. TPC
6. Histologi
Tujuan Penelitian
pH, protein, total volatile base (TVB), total plate count (TPC) dan histologi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sumber data dan informasi ilmiah
mengenai kemunduran mutu ikan mas (Cyprinus carpio) dengan penyiangan dan
tanpa penyiangan pada penampakan ikan, total jumlah bakteri dan perubahan
kimiawi serta perubahan histologi daging selama penyimpanan suhu chilling bagi
pedagang dan supplier yang menjual ikan mas (Cyprinus carpio) serta bagi
konsumen.
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Osteichtyes
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cyprynidae
Genus : Cyprinus
Ikan mas mempunyai banyak ras atau strain. Perbedaan sifat dan ciri dari
ras disebabkan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam,
musim dan cara pemeliharaan yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk
tubuh dan warnanya. Ikan mas mempunyai bentuk badan agak panjang dan agak
pipih, mulut dapat disembulkan dengan tipe terminal. Mempunyai 3 helai sungut
yang menempel di rahang atas. Insang terletak tepat di belakang rongga mulut di
dalam pharynx. Jumlah lengkung insang ada lima pasang. Tetapi hanya empat
yang berfilamen insang. Kepala simetris, sisik berbentuk cycloid. Garis rusuk
lengkap dan berada di atas dari sirip dada. Tidak memiliki jari-jari sirip yang
keras. Jari- jari punggung yang kedua bergigi seperti gergaji. Warna tubuh ikan
mas pada umumnya keemasan, tetapi ada juga yang berwarna hijau, merah, dan
Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150- 600 meter di
atas pemukaan air laut (dpl) dan pada suhu 25-30 0C. Habitat ikan mas meliputi
sungai berarus tenang sampai berarus sedang dan di area danau dangkal.
Terkadang ikan mas dapat ditemukan pada perairan payau atau muara sungai yang
bersalinitas (kadar garam) 25-30 0/00. Perairan yang terdapat banyak di tempati
ikan mas yaitu bagian-bagian sungai yang terlindungi pepohonan rindang dan
pada tepi sungai dengan reruntuhan pohon yang tumbang (Pratiwi, 2017).
Ikan yang sudah mati mengalami pembusukan yang sangat cepat setelah
tertangkap kecuali ditangani dengan baik. Suhu yang tinggi mempercepat dan
pembusukan oleh bakteri yang berjalan sangat cepat (Ekasari, 2017). Secara garis
besar kemunduran mutu ikan pasca kematian yang dijelaskan dengan menurut
Aksi mikroba/bakteri
Pada fase pre rigor konsentrasi ATP masih cukup tinggi dan energi yang
daging ikan menjadi lunak dan lentur. Pada tahap ini lendir ikan terlepas dari
disekeliling tubuh ikan. Lendir itu terdiri atas glukoprotein mucin yang
merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri. Perubahan pre
permukaan kulit, lendir yang keluar ini sebagian terdiri dari glukoprotein dan
myosin yang merupakan media ideal untuk pertumbuhan bakteri (Zailanie, 2015)
Setelah ikan mati, tidak terjadi aliran oksigen didalam jaringan peredaran
darah karena aktivitas jantung dan kontrol otaknya telah terhenti karena katibilitas
jantung dan kontrol otaknya telah terhenti. Akibatnya, didalam tubuh ikan mati
anaerob akan memanfaatkan ATP dan glikogen yang telah terbentuk selama ikan
masih hidup, sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang.
Fase rigor mortis ini biasanya berlangsung sekitar 5 jam. Selama berada
dalam tahap rigor mortis ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar. Ini berarti
bahwa apabila rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama maka proses
pembusukan dapat ditekan (Supartinah, 2012). Menurut Afrianto dan Evi (1989),
kandungan ATP dan glikogen dalam tubuh ikan tetap tinggi, yaitu dengan
penanganan yang baik dan benar pada saat maupun setelah penangkapan ikan,
Fase post rigor ditandai dengan melunaknya daging. Proses ini diawali
terjadinya proses autolisis. Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun pada
dalam jaringan otot menjadi aktif. Katepsin, yaitu enzim proteolitik yang
jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan
bakteri. Demikian pula enzim lain yang ada dalam organ tubuh ikan, misalnya
perut, melakukan aktivitas yang sama. Hal ini mengakibatkan daging ikan
menjadi agak lunak. Fase perombakan jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan ini
tekstur, dan penampakan ikan. Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam
suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan
proses autolisis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan
bahwa ikan dalam fase autolisis ini sering masih dianggap cukup segar dan layak
dimakan. Meskipun demikian, fase ini merupakan fase transisi antara segar dan
busuk.
Fase pembusukan
pada tubuh ikan banyak sekali dijumpai mikroorganisme. Ikan hidup memiliki
tubuh ikan mulai dari insang atau luka yang tedapat pada kulit menuju jaringan
daging ikan dan dari permukaan kulit menuju jaringan tubuh ikan bagian dalam.
Jumlah bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi
perairan tempat ikan tesebut hidup. Akibat serangan bakteri, ikan mengalami
berbagai perubahan yaitu lendir menjadi lebih pekat bergetah, amis, mata menjadi
tidak cerah (keruh), serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan
Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat.
Kecepatan proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal
yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang
(Nurjanah et al., 2011). Sementara menurut Jayanti et al., (2012), faktor internal
meliputi jenis dan ukuran ikan, bakteri dan enzim yang terkandung dalam tubuh
ikan serta adanya oksidasi yang terjadi dalam tubuh ikan tersebut. Adapun faktor
eksternal antara lain adalah penangkapan, lingkungan dan cara penanganan ikan
kerusakan fisik yang minimal. Kemudian, ikan sebaiknya ditangani atau ditangkap
dengan cara yang baik dan tidak kasar. Penanganan yang kasar akan mempercepat
Sifat ikan yang sangat mudah rusak ini akan diperberat lagi oleh kondisi
pengolahan. Gejala yang timbul akibat kerusakan mekanis ini antara lain memar
(karena tertindih atau tertekan), sobek atau terpotong. Kerusakan mekanis pada
ikan ini tidak berpengaruh nyata terhadap nilai gizinya, tetapi cukup berpengaruh
mutu ikan. Untuk dapat meminimalisasi jumlah bakteri awal ini, ikan-ikan yang
akan dijadikan bahan baku sebaiknya berasal dari daerah yang tidak tercemar.
penurusan berat badan serta kerusakan fisik lainnya. Oleh karena itu, sebaiknya
Pendinginan Ikan
lain. Tubuh ikan yang didinginkan belum membeku, sebab suhu yang dapat
dicapai pada proses pendinginan terbatas, maksimal 0 oC. Proses pengawetan ikan
selama 12-18 hari, tergantung jenis ikan, cara penanganan, tingkat kesegaran ikan
yang akan didinginkan dan suhu yang digunakan (Afrianto dan Evi, 1989).
kebusukan pada bahan pangan, tetapi tidak ada jenis bakteri patogenik (dapat
menimbulkan penyakit). Oleh karena itu, pendinginan pada suhu dibawah 5-7 oC
Proses kemunduran mutu ikan juga dipengaruhi oleh temperatur. Berikut ini
adalah hubungan temperatur dengan kegiatan bakteri serta mutu ikan (Tabel 2).
ikan tetap segar sangat ditentukan oleh mutu awal ikan, metode pendinginan dan
penerapan suhu rendah tersebut hingga ikan siap digunakan (sistem rantai dingin).
Metode pendinginan yang biasa digunakan dalam industri perikanan antara lain:
Proses pendinginan ikan akan lebih efektif bila dilaksanakan sebelum fase
kelompok berdasarkan berat jenisnya, ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Ikan
yang telah dicuci dengan air bersih agar lendir, darah maupun kotoran yang masih
menempel hilang. Kemudian ikan disusun dalam wadah tergantung dari metode
pendinginan yang digunakan. Jika perut ikan dibelah, dalam penyusunan bagian
perut harus menghadap kebawah agar cairan es batu yang meleleh tidak tergenang
dalam perut. Setelah ikan dimasukan ke dalam wadah, proses pendinginan segera
(Suprayitno, 2017).
Selain dengan menggunakan es batu, poses pendinginan ikan dapat juga dilakukan
dengan larutan garam dingin, aliran udara dingin, air laut yang didinginkan dan
salah satu cara diatas atau dengan mengkombinasikan beberapa cara tersebut.
bentuk bulk ice (es curah) dan crushed ice (es hancuran). Kedua es tersebut
memiliki perbedaan dari segi ukuran, dimana bulk ice memiliki ukuran yang lebih
kecil jika dibandingkan dengan crushed ice. Oleh karena itu, luas permukaan bulk
ice lebih kecil jika dibandingkan dengan crushed ice. Perbedaan tersebut diduga
keberhasilan es tersebut untuk menjaga suhu dingin pada ikan yang disimpan di
ikan yang bersinggungan dengan es batu semakin besar sehingga waktu yang
Kesegaran ikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan harus
perikanan. Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, akan tetapi juga
membahayakan kesehatan bila dimakan. Mutu ikan yang akan dikonsumsi harus
terjamin agar tidak menimbulkan efek negatif (Erlangga, 2009). Menurut FAO
(1995) pemeriksaan mutu ikan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
Standar ikan segar diatur dalam BSN (2013) menjelaskan bahwa ikan
cemerlang, bau segar spesifikasi jenis dan tekstur elastis padat dan kompak.
Persyaratan mutu dan keamanan ikan segar secara organoleptik adalah minimal 7
(skor 1-9), sementara batas total cemaran mikroba pada ikan segara yang
uji kemunduran yang berkaitan dengan pengujian kadar air dan penentuan pH,
semakin tinggi kadar TVB maka semakin tinggi pula pH-nya (Wally et al., 2015).
METODE PENELITIAN
Pengujian organoleptik, total volatile base (TVB) dan total plate count (TPC)
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris, alat tulis,
cm, botol sampel dan suntik. Alat yang digunakan untuk organoleptik ikan segar
yaitu score sheet organoleptik ikan segar berdasarkan 2346:2015. Alat yang
digunakan untuk pengujian protein adalah alat destruksi kjeldahl ukuran 250 mL,
alat destilasi uap, peralatan gelas labu destruksi 250 mL, labu takar, corong gelas,
burret 50 mL, pipet volumetrik 25 mL, erlenmeyer 250 mL, gelas ukur 50 mL,
gelas piala 50 mL, pipet tetes dan batang pengaduk, saringan no. 20 ukuran mesh
0,03 inci diameter kawat 0,35 mm. Alat yang digunakan untuk pengukuran pH
adalah pH meter.
Alat yang digunakan untuk pengujian TVB adalah blender, buret, corong
gelas, erlenmeyer, gelas piala, kertas saring kasar, labu takar, seperangkat alat
destilasi uap, timbangan analitik. Alat yang digunakan untuk pengujian TPC
koloni, stomacher; pipet gelas atau pipetor 1 mL, 5 mL dan 10 mL. Alat yang
mikrotom putar.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan mas
protein terdiri dari kertas timbang bebas N (Whattman 541), batu didih, larutan
asam borat 4%, larutan indicator methyl red 0,1 %, etanol, indicator bromcresol,
untuk analisis TVB terdiri dari asam borat (H3BO3), kalium karbonat (K2CO3),
trichloroacetic acid (TCA) 7%, HCl. Bahan-bahan yang digunakan untuk media
TPC adalah plate count agar dan larutan butterfield’s phosphate buffered. Bahan-
bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi terdiri dari larutan
Prosedur Penelitian
jumlah ikan mas yang diambil sebanyak 64 ekor dari pasar tradisional Desa Sei
disesuaikan dengan parameter yang akan diujikan. Ikan mas yang dijadikan
sampel dalam penelitian adalah ikan mas dengan berat 300-450 gram. Ikan mas
menggunakan plastik yang berisikan oksigen dengan kapasitas ikan yang terdapat
Ikan mas yang diperoleh dari pasar dalam keadaan hidup kemudian
kelompok yaitu kelompok A ikan tanpa penyiangan (ikan mas dalam keadaan
utuh) dan kelompok B ikan dengan penyiangan (ikan mas mengalami proses
pembuangan bagian insang dan organ pencernaan ikan). Ikan mas yang telah
terpisah dan setiap kelompok ikan dimasukkan kedalam stryrofoam yang telah
terisi es terlebih dahulu. Ikan mas disusun berlawanan arah perut ikan mas
ikan mas.
dilakukan untuk mempercepat penurunan suhu yang lebih singkat untuk mencapai
dilakukan pada individu ikan mas yang berbeda tetapi proses penanganan dan
penyimpanan dilakukan dalam waktu yang sama. Pengamatan ikan mas dilakukan
selama 7 kali pengamatan pada ikan mas tanpa penyiangan dan dengan
TVB, dan TPC. Sedangkan pengamatan histologi dilakukan pada daging ikan
tanpa penyiangan dan dengan penyiangan, hati dan usus hanya pada ikan tanpa
penyiangan pada kondisi sebelum diberi perlakuan dingin, hari ke- 6 dan 12
Prosedur Analisis
Uji karakteristik
morfometrik yang sering digunakan antara lain: panjang total, panjang baku,
ikan mas sebelum dan sesudah di fillet. Berat awal diperoleh dengan cara
menimbang ikan sebelum dilakukan proses fillet. Kemudian dilakukan fillet untuk
menggunakan panca indera. Uji ini bersifat subyektif dengan menilai beberapa
dan dikonversi ke tingkat kesukaan. Jika angka di belakang koma kurang dari lima
maka angka di depan koma tetap, tetapi apabila angka di belakang koma lebih dari
lima maka angka di depan koma naik satu angka. Jika angka di belakang koma
Pengujian protein dilakukan pada ikan mas dengan penyiangan dan tanpa
dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap destruksi
destilasi lalu ditambahkan akuades 50 ml, air bilasan juga dimasukkan ke dalam
alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam
dan 2 tetes indikator (cairan methylred dan bromo cresol green) yang ada di
berwarna hijau kebiruan. Lalu, dilakukan tahap titrasi dengan menggunakan HCl
0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume
Keterangan:
14,007 = berat atom nitrogen.; 6,25 = faktor konversi protein untuk ikan
Pengujian nilai pH ikan mas dilakukan pada ikan dengan penyiangan dan
dengan mengambil daging ikan Mas sebanyak 5 gram yang ditambahan akuades
Pengujian nilai total volatile base (TVB) dilakukan pada ikan mas dengan
penyiangan dan tanpa penyiangan yang disimpan pada suhu chilling. Analisis ini
terbentuk akibat degradasi. Prosedur kerja analisis kadar TVB terbagi atas tahap
ekstraksi, tahap destilasi dan tahap titrasi. Pada tahap ekstraksi, sampel ditimbang
ditambahkan beberapa tetes silikon anti foaming. Pada tabung destilasi dipasang
pada desikator dan ditambahkan 10 mL NaOH 20% sampai basa yang ditandai
100 mL H3BO4 3% dan 3 – 5 tetes indikator tashiro yang berwarna ungu. Lalu
sampel didestilasi uap kurang lebih 10 menit sampai memperoleh destilasi 100
mL sehingga pada volume akhir mencapai kurang lebih 200 mL larutan berwarna
dengan 50 mL asam perklorat (PCA) 6% dan dikerjakan dengan proses yang sama
dengan sampel.
Terakhir pada tahap titrasi, larutan destilasi sampel dan blangko kemudian
dititrasi dengan menggunakan larutan HCl 0,02 N. Kemudian titik akhir titrasi
Keterangan:
Fp = faktor pengenceran
plate count (TPC) yang merupakan perhitungan jumlah bakteri yang ada pada
sampel. Pengujian dilakukan pada ikan mas dengan penyiangan dan tanpa
penyiangan yang disimpan pada suhu chilling. Bagian ikan mas yang digunakan
dalam pengujian adalah bagian ventral daging ikan. Ditimbang sebanyak antara 25
gram sampel yang telah dihancurkan kemudian masukkan dalam wadah plastik
dan digoyang sampai permukaan agar merata (metode tuang), cawan petri
didiamkan hingga media dingin dan mengeras. Pada cawan yang berisi agar dan
jumlah koloni bakteri yang ada di dalam cawan petri. Adapun jumlah koloni yang
dapat dihitung yaitu yang mempunyai jumlah koloni antara 25 sampai 250 koloni.
Lalu, bila jumlah koloni per cawan lebih besar dari 250 pada seluruh pengenceran
maka laporkan hasilnya sebagai terlalu banyak untuk dihitung (TBUD), tetapi jika
∑
[ ]
Keterangan:
N = jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g
n1, n2 = jumlah cawan pada pengenceran pertama dan kedua yang dihitung
Uji histologi
Pengujian histologi ikan Mas dilakukan pada ikan dengan penyiangan dan
tanpa penyiangan yang disimpan pada suhu chilling. Pada ikan mas dengan
pada ikan tanpa penyiangan pengujian histologi dilakukan pada daging, hati dan
pengamatan daging, hati dan usus ikan mas diawali dengan pembuatan preparat
dilakukan dengan metode parafin. Metode parafin memiliki beberapa tahap yaitu
agent.
selama lebih dari 24 jam (3 hari), setelah itu larutan fiksasi dibuang. Selanjutnya,
berisi alkohol 80%, 90%, 95%, masing-masing selama 2 jam dan alkohol 100%
selama 12 jam. Perendaman dilakukan pada suhu ruang. Tahap clearing yang
dimulai dari perendaman sampel dalam clearing agent. Jaringan direndam dalam
alkohol: xilol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan tahap impregnasi dan
embedding.
(1:1) selama 45 menit di dalam gelas piala. Tahap embedding adalah perendaman
jaringan di dalam parafin cair, yakni parafin I, parafin II, dan parafin III masing-
oven pada suhu 60 oC. Jaringan yang telah di embedding lalu diblok (dicetak agar
membutuhkan cetakan berukuran 2x2x2 cm yang dapat dibuat kaku misal kertas
kalender. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8
jam dalam suhu ruang. Setelah paraffin beku dengan sempurna, blok parafin
dikeluarkan dari cetakan lalu dipotong tipis (trimming) menggunakan silet agar
dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong. Pemotongan jaringan
harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan baik. Ukuran
pemotongan sekitar 1 cm. Hasil pemotongan jaringan diambil dengan jarum lalu
menit. Setelah itu, dilanjutkan perendaman dalam alkohol absolut (100%), 95%,
90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama 2 menit kemudian obyek
dimasukkan ke dalam pewarna hemotoksilin selama 7 menit dan dicuci dengan air
mengalir untuk menghilangkan zat pewarna berlebih yang tidak dapat diserap.
Obyek direndam kembali di dalam eosin selama 3 menit dan dicuci kembali
dengan akuades. Preparat jaringan direndam dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%,
penutupan gelas obyek dengan pemberian mounting agent pada gelas obyek lalu
Analisis Data
Data pengukuran karakteritik ikan, uji organoleptik, uji pH, TVB dan TPC
diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010. Data disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik, kemudian dianalisis secara deskriptif. Data histologis disajikan
Hasil
Karakteristik ikan mas (Cyprinus carpio)
Morfologi ikan mas
Secara morfologi ikan mas memiliki bentuk tubuh yang panjang sedikit
memipih kesamping. Ikan mas memiliki bentuk mulut diujung tengah yang dapat
disembulkan atau protaktil yang dilengkapi dengan dua sungut. Tubuh ikan mas
sebagian besar ditutupi oleh sisik. Ikan mas memililiki lima buah sirip yang terdiri
dari sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip anus dan sirip ekor.
sebagai dasar membandingkan ukuran ikan, seperti lebar, panjang standar, tinggi
badan dan lain-lain (Suryana et al., 2015). Berdasarkan penelitian ikan mas rata-
rata panjang total ikan mas adalah 28,3cm, panjang baku 23,8 cm, panjang cagak
25,8 cm, tinggi 8,6 cm serta berat total ikan adalah 352 gram (Tabel 3).
Keterangan: PT: Panjang total; PB: Panjang baku; PC: Panjang cagak; T: Tinggi
Gambar 4 .Pengukuran morfometrik ikan mas (Cyprinus carpio)
n=64 ekor
rendemen dari bagian-bagian tubuh ikan mas meliputi daging, kepala, tulang, kulit
dan isi perut. Nilai rata-rata dari rendemen daging ikan mas adalah 31%, tulang
mutu ikan secara organoleptik dilakukan dengan menggunakan score sheet yang
telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional SNI 2729-2013 (BSN 2013).
dan lendir permukaan badan) daging, bau dan tekstur. Pengamatan dilakukan
selama 7 kali pengamatan pada ikan tanpa penyiangan dan dengan penyiangan
sebelum diberikan perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling
kenampakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6 pada ikan mas tanpa
penyiangan dan Gambar 7 pada ikan mas dengan penyiangan. Pada awal
penyimpanan ikan tanpa penyiangan (Gambar 6), mata dan insang memiliki bobot
nilai 9 sementara lendir memiliki bobot nilai 8. Kemudian pada hari ke-6
penyimpanan bobot nilai untuk mata adalah 7 sedangkan untuk insang dan lendir
adalah 8. Sementara pada akhir penyimpanan organoleptik untuk insang, mata dan
lendir adalah 6.
memiliki bobot nilai 9 dan lendir memiliki bobot nilai 8. Kemudian pada hari
penyimpanan ke-6 bobot nilai untuk mata adalah 7 sedangkan untuk lendir adalah
8. Sementara pada hari penyimpanan ke-12 bobot nilai untuk mata dan lendir
adalah 6.
Gambar 8. Nilai organoleptik daging, tekstur dan bau ikan mas (Cyprinus carpio)
tanpa penyiangan
pada ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada Gambar 8 dan ikan mas dengan
penyiangan Gambar 9. Dimana pada ikan dengan tanpa penyiangan dan dengan
penyiangan tidak ada perbedaan nilai pada parameter penilaian organoleptik ikan
tanpa penyiangan dan dengan penyiangan. Dimana pada hari ke-0 ikan tanpa
penyiangan dan penyiangan memiliki nilai 9 pada parameter daging, bau, tekstur.
nilai parameter daging, bau dan tekstur menjadi nilai 8. Nilai organoleptik
Gambar 9. Nilai organoleptik daging, tekstur dan bau ikan mas (Cyprinus carpio)
dengan penyiangan
Sementara hubungan kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan
suhu chilling pada parameter organoleptik ikan mas tanpa penyiangan disajikan
pada gambar 10a dan untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar
10b. Dimana pada ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,97
dan ikan mas dengan penyiangan sebesar 0,96 dimana hubungan ini memiliki
korelasi yang sangat kuat sehingga semakin lama penyimpanan ikan maka
semakin menurun nilai organoleptik pada ikan mas kedua perlakuan tersebut.
a. b.
Gambar 10. Grafik hubungan parameter organoleptik dengan kemunduran mutu
ikan mas tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)
7 kali pengamatan pada ikan tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan (B)
sebelum diberikan perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling
hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12. Berdasarkan penelitian, Pada hari ke-0, pH pada ikan
mas dengan penyiangan adalah 6,7 memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan
dengan pH ikan mas tanpa penyiangan adalah 6,9 sebelum diberikan perlakuan
suhu chilling,
mengalami penurunan pH menjadi 6,6 dan 6,5, dimana ikan dengan penyiangan
terus terjadi pada ikan tanpa penyiangan hingga penyimpanan hari ke-6 menjadi
6,2. Sementara ikan dengan penyiangan mengalami penurunan pH pada hari ke-2
penyimpanan dan ke-4 penyimpanan pH ikan mengalami statis pada hari ke-2
Sedangkan pada penyimpanan hari ke-8 hingga ke-12 pH ikan pada kedua
hari ke-6 dan 8 lebih tinggi disbanding ikan tanpa penyiangan. Sementara pada
penyimpanan hari ke-10 dan 12 ikan penyiangan memiliki pH yang lebih rendah
Gambar 11. Perubahan nilai pH ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan
suhu chilling.
Hubungan kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan suhu chilling
pada parameter pH, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 12a dan
untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 12b. Dimana pada ikan
mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,378 dimana hubungan
korelasi tersebut memiliki kolerasi yang rendah. Sedangkan ikan mas dengan
Perbedaan nilai korelasi diduga akiabat adanya penurunanan nilai pH akibat fase
perubahan mutu ikan mas tanpa penyiangan dan dengan penyiagan selama
penyimpanan
a. b.
Gambar 12. Grafik hubungan parameter pH dengan kemunduran mutu ikan mas
tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)
hidup yang mana menurut Natsir (2018), protein berarti “pertama atau utama”
merupakan makromolekul yang paling berlimpah didalam sel dan menyusun lebih
dari setengah berat kering pada hampir semua organisme. Pengamatan dilakukan
selama 7 kali pengamatan pada ikan tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan
(B) sebelum diberikan perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu
chilling hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12 dengan menggunakan indivisu ikan mas yang
berbeda. Perubahan nilai protein ikan mas tanpa penyiangan dan dengan
memberikan perbedaan kadar protein. Rata-rata kadar protein pada sampel ikan
mas yang digunakan selama penyimpanan suhu chilling pada perlakuan tanpa
penyiangan yaitu 18,97 % dan dengan perlakuan penyiangan yaitu 18,91 %. Pada
hari ke-4 dan ke-8 ikan dengan penyiangan memiliki kadar protein yang lebih
Gambar 13. Protein ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling.
parameter protein, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 14a dan
untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 14b. Dimana pada ikan
mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,942 dan ikan mas dengan
penyimpanan suhu chilling memiliki korelasi yang sangat kuat pada parameter
protein.
a. b.
Gambar 14. Grafik hubungan parameter protein dengan kemunduran mutu ikan
mas tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)
amonia (NH3), TMA, DMA, dan senyawa volatil lainnya yang mudah menguap.
Komponen basa volatil pada ikan, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati
pada ikan tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan (B) sebelum diberikan
perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling hari ke-2, 4, 6, 8, 10,
12.
Pada hari ke-0 ikan mas dengan penyiangan memiliki TVB yang lebih tinggi yaitu
9,52 mgN/100 dibandingkan dengan ikan mas tanpa penyiangan yaitu 1,9
mgN/100. Selama penyimpanan, ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai TVB
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan dengan penyiangan. Ikan mas tanpa
penyiangan mengalami kenaikan nilai TVB dari awal penyimpanan hingga akhir
Sedangkan pada ikan mas dengan penyiangan mengalami nilai TVB yang
berfluktiatif dimana pada hari ke-2 penyimpanan mengalami kenaikan nilai TVB
menjadi 13,64 mgN/100 namun pada penyimpanan hari ke-4, 6 dan 10 mengalami
penurunanan nilai TVB dan mengalami kenaikan nilai TVB kembali pada
penyimpanan hari ke-12 menjadi 16,52 mgN/100. Perubahan nilai TVB ikan mas
tanpa penyiangan dan dengan penyiangan dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 15. Nilai TVB ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling.
Hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling pada
parameter TVB, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 16a dan untuk
ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 16b. Pada ikan mas tanpa
penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,949 dimana hubungan korelasi yang
sangat kuat. Sedangkan, ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi sebesar
a. b.
Gambar 16. Grafik hubungan parameter TVB dengan kemunduran mutu ikan mas
tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)
tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan (B) sebelum diberikan perlakuan
dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12.
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui total koloni bakteri yang tedapat pada
ikan mas tanpa penyiangan dan dengan penyiangan yang digunakan selama
diberi perlakuan suhu chilling memiliki total koloni bakteri yang lebih tinggi yaitu
2×105 kol/gram dibanding dengan ikan penyiangan yaitu 1×10 5 kol/gram. Selama
penyimpanan suhu chilling ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai TPC yang
kenaikan nilai TPC hingga penyimpanan hari ke-6 menjadi 6×105 kol/gram pada
ikan tanpa penyiangan dan 5×105 kol/gram pada ikan tanpa penyiangan.
Sementara, pada penyinpanan hari ke-8 kedua ikan yang diberikan perlakuan
tersebut mengalami penurunan nilai TPC dan mempunyai nilai TPC yang sama
(statis) pada penyimpanan hari ke-10 yaitu 5×105 kol/ gram pada ikan tanpa
penyiangan dan 4×105 kol/ gram pada ikan mas dengan penyiangan. Namun, pada
hari penyimpanan hari ke-12 ikan mas dengan penyiangan mengalami kenaikan
nilai TPC menjadi 7×105 kol/gram sementara pada ikan dengan penyiangan
Gambar 17. Nilai TPC ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling.
pada parameter TPC, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 18a dan
untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 18b. Pada ikan mas
tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,898 dimana hubungan korelasi
yang sangat kuat. Sedangkan, ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi
a. b.
Gambar 18. Grafik hubungan parameter TPC dengan kemunduran mutu ikan mas
tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)
Struktur jaringan daging ikan mas terdiri dari atas serabut-serabut otot
daging ikan mas yang akan diamati histologinya merupakan bagian daging dorsal.
Daging dorsal merupakan daging yang terletak pada punggung ikan mas. Gambar
menunjukan bahwa daging ikan masih dalam kondisi segar, yang ditunjukan oleh
kondisi miomer longitudinal yang masih kompak dengan tepi yang sangat jelas.
Benang-benang fibril dari miomer masih melekat satu dengan lainnya dalam
miomer.
daging ikan. Jaringan daging dorsal ikan mas pada penyimpanan hari ke-6 suhu
chilling mengalami perubahan miomer maupun ruang antar miomer pada ikan
mas dengan perlakuan penyiangan dan ikan tanpa penyiangan. Pada ikan mas
pada beberapa miomer. Sementara, ruang antar miomer mulai merenggang. Pada
daging dorsal ikan dengan penyiangan (Gambar 20b) miomer tranversal tidak
a. b.
Keterangan: a. Ikan mas tanpa penyiangan; b. ikan mas dengan penyiangan; 1. Miomer
transversal; 2. Ruang antar miomer; 3. Mioseptum
Gambar 20. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari
ke-6 penyimpanan suhu chilling (40x)
Jaringan daging dorsal ikan mas pada penyimpanan hari ke-12 suhu
chilling mengalami perubahan miomer maupun ruang antar miomer pada ikan
mas dengan perlakuan penyiangan dan ikan tanpa penyiangan. Pada ikan mas
dengan tepinya yang tidak utuh lagi yang menyebabkan terbentuknya ruang
kosong pada jaringan daging ikan. Sementara, ruang antar miomer mulai
merenggang. Pada daging dorsal ikan dengan penyiangan (Gambar 21b) miomer
perenggangan. Perubahan miomer pada jaringan daging dorsal ikan mas tanpa
a. b.
Keterangan: a. ikan mas tanpa penyiangan; b.ikan mas dengan penyiangan; 1. Miomer transversal;
2.Ruang antar miomer; 3. Patahan miomer
Gambar 21. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari
ke-12 penyimpanan suhu chilling (40x)
Histologi hati ikan mas
Selain itu hati juga berfungsi untuk menyimpan cadangan glikogen. Jaringan hati
ikan mas sebelum perlakuan dingin dapat dilihat pada Gambar 22 dengan
perbesaran 10x. Dimana jaringan penyusun sel-sel masih terlihat kompak dan
jelas.
Gambar 22. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa perlakuan suhu
chilling (40x)
Gambar 23. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-6
suhu chilling (40x)
Sementara pada jaringan hati ikan mas pada penyimpana hari ke-6 suhu
chilling (Gambar 23) hati mengalami kerusakan yang ditunjukkan dengan mulai
hati ikan mas terlihat jelas pada hari ke-12 penyimpanan suhu chilling. Hal
tersebut ditunjukkan dengan jaringan hati mengalami kerusakan dan sel hepatosit
terlepas serta membentuk ruang kosong yang lebih jelas Gambar 24.
Gambar 24. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-12
suhu chilling (40x)
Usus merupakan salah satu organ dalam yang berfungsi sebagai tempat
Jaringan usus ikan mas sebelum perlakuan dingin merupakan bagian usus halus
atau instestum (Gambar 25) pada perbesaran 10x. Dimana jaringan penyusun usus
seperti halnya mukosa, sub mukosa dan sel goblet masih terlihat kompak dan
jelas.
Perubahan jaringan usus ikan mas terlihat pada penyimpanan hari ke-6
suhu chilling (Gambar 26). Dinding usus mengalami kerusakan dan semakin
meningkat ke arah bagian yang lebih dalam. Pecahan mukosa terlihat jelas,
sedangkan pada bagian sub mokusa mulai terjadinya perenggangan serta dinding
penyimpanan hari ke-12. Hal ini disebabkan oleh usus yang mengalami kerusakan
dan mengakibatkan villi terlihat seperti spons dan meninggalkan bekas yang besar
terlihat.
Gambar 27. Jaringan usus ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-12
suhu chilling (40x)
Pembahasan
Karakteristik ikan mas (Cyprinus carpio)
Morfologi ikan mas
Karakteristik ikan mas memiliki bentuk tubuh agak memanjang dan
sedikit memipih kesamping (compressed). Sebagian besar tubuh ikan mas ditutupi
disembulkan (protaktil). Pada bagian bibir terdapat dua pasang sungut dan tidak
bergerigi (Hamid, 2017). Ikan mas memiliki lima sirip, diantaranya sirip
punggung, sirip perut, sirip dada, sirip anus dan sirip ekor (Gambar 5).
punggung, bagian belakang sirip dubur (anal) ikan mas inipun berjari-jari keras
simetris hingga ke belakang tutup insang. Sisik ikan mas relatif besar dengan tipe
sisik lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan. Garis rusuk atau gurat sisi (line
literalis) yang lengkap terletak di tengah tubuh dengan posisi melintang dari tutup
(Cyprinus carpio) dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun rata-rata panjang total ikan
mas adalah 28,3 cm, panjang baku 23,8 cm, panjang cagak 25,8 cm, tinggi 8,6 cm
Perbedaan nilai mutlak morfometrik pada spesies ikan yang sama diduga
morfometrik pada spesies yang sama diduga akibat proses pertumbuhan ikan yang
berbeda. Menurut Rahardjo et al., (2011) bahwa terdapat dua faktor yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan pada ikan, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Faktor intrinsik meliputi sifat keturunan, umur, ketahanan terhadap penyakit, dan
dipengaruh oleh kebugaran individu serta jenis kelamin dan perkembangan gonad
Pada rendemen ikan mas (Gambar 5), daging ikan mas memiliki nilai
rendemen yang tinggi yaitu 31%, tulang (termasuk bagian sirip) 25%, kepala
(termasuk bagian insang) 23%, isi perut 12% dan kulit (termasuk bagian sisik
ikan) 9%. Daging memiliki nilai rendemen paling tinggi diantara bagian tubuh
ikan mas lainnya. Poernomo et al., (2013) menyatakan bahwa semakin besar
menjelaskan bahwa isi perut ikan merupakan salah satu hasil samping proses
pengolahan ikan yang bisa dimanfaatkan untuk industri pembuatan pakan ikan.
Organ dalam atau isi perut ikan merupakan sumber alami enzim terbesar. Protease
dilakukan pada ikan tanpa penyiangan dan dengan penyiangan. Parameter yang
diamati meliputi perubahan kenampakan (pada mata, lendir permukaan badan dan
Nilai organoleptik ikan pada gambar 6 dan 7 pada ikan mas tanpa
lamanya penyimpanan pada suhu dingin. Menurut Annisah et al., (2019) ikan
yang telah mati akan mengalami perubahan biokimia dan fisikokimia yang
Berdasarkan hasil penelitian tidak ada perbedaan nilai yang jauh pada saat
dengan penyiangan dan tanpa penyiangan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada
pengujian sensori pada produk perikanan yang mana hasil uji dalam bentuk 1
koma kurang dari lima maka angka didepan koma tetap tetapi apabila angka
dibelakang koma lebih dari lima maka angka didepan koma naik satu angka. Jika
kondisi mata ikan mas masih dalam keadaan sagat segar atau berada pada fase pre
rigor. Sedangkan pada penyimpanan ikan mas pada hari ke-2 dan ke-4 kondisi
mata menunjukan bahwa kondisi mata ikan mas masih dalam keadaan segar atau
berada pada fase rigor mortis dengan nilai organoleptik 8 dimana bola mata rata,
kornea dan pupil jernih agak mengkilap spesifikasi jenis ikan. Pengamatan
parameter mata pada penyimpanan hari ke-6 hingga hari-10 menunjukan bahwa
kondisi mata masuk kedalam fase peralihan antara fase rigor mortis dan post rigor
dengan nilai organoleptik 7 dimana bola mata rata kornea agak keruh, pupil
keabu-abuan agak mengkilap spesifik jenis, difase ini insang ikan masih tergolong
batas aman mutu ikan segar secara organoleptik berdasarkan SNI 2729:2013.
Namun pada akhir penyimpanan mata ikan mas memasuki fase post rigor dengan
nilai 6 dimana bola mata agak cekung, kornea agak keruh pupil agak keabu-abuan
Parameter insang ikan mas sebelum diberikan perlakuan suhu chilling dan
hari ke-2 menunjukan bahwa kondisi insang ikan mas masih dalam keadaan
sangat segar atau berada pada fase pre rigor dengan nilai 9, warna insang merah
tua atau coklat kemerahan cemerlang dengan sedikit sekali lendir. Kemudian,
pada penyimpanan hari ke-4 hingga ke-6 menunjukan bahwa kondisi insang ikan
mas masih dalam keadaan sangat segar dan berada pada fase rigor mortis dengan
nilai 8 dimana warna insang merah tua atau coklat kemerahan kurang cemerlang
Pengamatan parameter insang pada penyimpanan hari ke-8 dan hari ke-10
menunjukan bahwa kondisi mata masuk kedalam fase peralihan antara fase rigor
mortis dan post rigor dengan nilai organoleptik 7 dimana warna insang merah
muda dan coklat muda dengan sedikit lendir agak keruh, di fase ini insang ikan
masih tergolong batas aman mutu ikan segar secara organoleptik berdasarkan SNI
2729:2013. Namun pada hari ke-12 insang ikan mas memasuki fase post rigor
dengan nilai 6 dimana warna insang merah muda atau coklat muda dengan lendir
agak keruh.
Pada parameter lendir pada ikan sebelum diberi perlakuan suhu chilling
hingga penyimpanan hari ke-8 ikan mas memiliki nilai organoleptik yaitu 8
dimana lapisan lendir jernih transparan dan cukup cerah. Ikan mas pada awal
yang tebal disekeliling tubuh ikan. Perubahan pre rigo mortis merupakan
peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit, lendir yang
keluar ini sebagian terdiri dari glukoprotein dan myosin yang merupakan media
penyimpanan hari ke-10 menjadi nilai 7 dimana lapisan lendir mulai agak keruh
dimana lendir permukaan badan ikan lapisan lendir mulai keruh. Perubahan
insang dan lendir pada ikan mas diakibat oleh adanya enzim serta bakteri
pembusuk yang berkembang pada insang dan lendir ikan. Setelah ikan mati,
kemampuan bertahan terhadap bakteri tadi hilang sehingga bakteri segera masuk
organ-organ penting tubuh ikan melalui insang, kulit dan saluran pencernaan
(Riyantono et al., 2009). Ariyani et al., (2007) menambahkan setelah ikan mati
enzim yang yang terdapat pada ikan mulai aktif mendegradasi daging ikan
menjadi substansi yang lebih sederhana dan mikroorganisme yang terdapat pada
isi perut, insang dan kulit berkembang biak dengan cepat yang dapat
Pada parameter daging, bau dan tekstur pada ikan mas pada ikan sebelum
diberikanan perlakuan suhu chilling hingga penyimpanan hari ke-10 nilai tersebut
masih berada di batas baku mutu ikan segar secara organoleptik dengan nilai 9-7
sesuai dengan SNI 2729:2013 dimana nilai organoleptik ikan segara berada di
organoleptik ikan mas pada parameter daging, bau dan tekstur berada dinilai 6
dimana hal tersebut dibawah dari baku mutu ikan segar secara organoleptik dan
Pada fase post rigor ditandai dengan sayatan daging kurang cemerlang
jaringan daging sedikit kurang kuat kenampakan daging, pada warna sayatan
diduga dipengaruhi oleh reaksi oksidasi antara oksigen dengan komponen lemak
pada ikan kusam (Tamuu et al., 2014). Kemudian pada fase ini ikan ditandai
dengan bau yang netral. Serta tekstur daging yang agak lunak dan sedikit kurang
elastis. Menurut Naiu (2011), perubahan tekstur diduga pelemahan otot daging
selama post mortem disebabkan oleh melemahnya jaringan ikat periseluler yang
penyimpanan suhu chilling dengan suhu 0-5 oC perubahan ikan pada awal
dimana suhu ikan diturunkan mendekati tetapi tidak dibawah titik beku air (0 OC)
(chilling) dapat berlangsung pada suhu 0-6 OC. Pada proses pendinginan ini ciri-
ciri sensori (warna, rupa, rasa, bau dan tekstur) diharapkan tidak jauh berbeda
sebesar 0,97 dan ikan mas dengan penyiangan sebesar 0,96. Kedua perlakuan
diakibatkan oleh adanya aktivitas enzimatis dan mikrobiologis. Serta ikan mas
tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan ikan mas
dengan penyiangan akibat adanya perlakuan tanpa pembuangan isi perut dan
penurunan nilai orgaoleptik dan menghasilkan perubahan fisik pada ikan selama
mutu ikan disebabkan oleh aksi enzimatis dan bakteri, kedua aksi ini mengurai
seperti daging ikan menjadi lunak dan perubahan kimia yang menghasilkan
menentukan tingkat kesegaran ikan. Pada fase pre rigor, ikan mas sebelum
perlakuan suhu chilling (hari ke-0) memilki nilai pH 6,9 pada ikan tanpa
penyiangan dan 6,7 pada ikan dengan penyiangan. Hal ini diperkuat oleh
Liviawaty dan Afrianto (2014) yang menyatakan bahwa umumnya saat ikan mati
pH ikan mendekati netral yaitu sekitar 6,8 hingga netral, selanjutnya ada
Pada hari ke-0 dan hari ke-2 ikan mas ikan dengan penyiangan memiliki
nilai pH yang lebih asam dibandingkan dengan ikan tanpa penyiangan hal ini
diduga bahwa pada ikan mas penyiangan mengeluarkan banyak energi sebelum
Menurut Jayanti et al., (2012) penangkapan, lingkungan dan cara penanganan ikan
dapat mempengaruhi mutu ikan pasca ikan mengalami kematian. Sakinah et al.,
(2012) menambahkan ikan yang lebih banyak mengeluarkan energi sebelum mati
lamanya waktu yang digunakan pada saat preparasi ikan dengan penyiangan dapat
menjadi salah satu faktor bahwa pH ikan mas dengan penyiangan mengalami
Pada ikan mas dengan penyiangan pada penyimpanan hari ke-4 dan 6
penyimpanan suhu chilling memiliki nilai pH yang sama (statis) yaitu 6,5. Hal ini
dan bakteri. Wally et al., (2015) mengungkapkan bahwa semakin rendah suhu
dengan perlakuan penyiangan dan tanpa penyiangan pada penyimpanan hari ke-2
hingga pada hari ke-6. Hal ini diduga akibat terhentinya siklus oksigen akibat
Lestari et al., (2020) ketika ikan mati, suplai oksigen terhenti karena sirkulasi
terjadinya reaksi anaerob dari proses ATP dan glikogen untuk menghasilkan
penyiangan pada hari penyimpanan ke-8 hingga hari ke-12 dimana ikan
mengalami mulai mengalami proses post rigor mortis. Dimana pada fase ini
peningkatan nilai pH pada daging ikan. Nurjanah et al., (2011) menyatakan bahwa
nilai pH ikan pada fase post rigor dan busuk mengalami peningkatan. Ikan yang
sudah tidak segar pH dagingnya tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih
segar. Santhi (2017) menambahkan hal itu terjadi karena timbulnya senyawa-
senyawa yang bersifat basa misalnya amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatile
lainnya.
tinggi dibanding ikan tanpa penyiangan. Sementara pada penyimpanan hari ke-10
dan 12 ikan penyiangan memiliki pH yang lebih rendah dibanding ikan tanpa
perubahan pH ikan. Hal ini diduga pada hari ke-6 dan 8 ikan tanpa penyiangan
yang masih terdapat isi perut dan insang terdapat sumber bakteri serta masih
pada hari ke-10 dan 12 ikan tanpa penyiangan sudah mulai mengalami proses
menambahkan bahwa peningkatan nilai pH terjadi karena enzim yang berasal dari
daging ikan dan mikroba melakukan perombakan terhadap protein dan lemak
rendah sebesar 0,378 sedangkan ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi
diduga akibat adanya proses penanganan yang berbeda pada ikan mas selama
korelasi yang rendah hingga sedang. Umpain et al., (2014), menambahkan bahwa
pH daging akan mengalami penurunan pada batas tertentu. Hal ini terkait dengan
cadangan glikogen. Jika cadangan glikogen telah habis dan terurai maka pH
sampel ikan mas yang digunakan selama penyimpanan suhu chilling pada
yaitu 18,91 %. Selama penyimpanan ikan mas tanpa penyiangan memiliki kadar
protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan tanpa penyiangan. Hal ini
Dimana pada ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,942
Perbedaan nilai tersebut diduga adanya insang dan isi perut yang masih
terdapat pada ikan mas memicu kadar protein ikan tanpa penyiangan memiliki
kadar yang lebih tinggi, berdasarkan perhitungan rendemen nilai isi perut ikan
mas adalah sebesar 12%. Dimana pada bagian tersebut juga memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi. Menurut Suhandana et al., (2018) jeroan ikan memiliki
bobot 10-15% (tergantung pada spesies) dari biomassa ikan menemukan bahwa
protein 18,97 % dan 18,91 %. Kadar protein ikan mas selama penyimpanan
termasuk kadar protein daging ikan yang tinggi. Menurut Dika et al., (2017) ikan
dengan kadar protein 15-20 % termasuk ke dalam golongan ikan berprotein tinggi.
Pratama et al., (2013) menambahkan bahwa kadar protein ikan mas pada
oleh Ćirković et al., (2012) protein ikan mas bekisar 15.59-18.17 sementara dalam
Pada hari ke-4 dan ke-8 ikan dengan penyiangan memiliki kadar protein
yang lebih besar dibanding dengan ikan tanpa penyiangan. Hal ini dapat terjadi
karena adanya perbedaan, umur, ukuran dan kelamin ikan mas yang digunakan
dalam pengujian. Dimana ikan mas dengan penyiangan pada hari ke-4 dan ke-8
memiliki ukuran yang mungkin lebih berat dibanding ikan tanpa penyiangan
dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, ukuran ikan, kualitas protein pakan, kecernaan
Berdasarkan penelitian, pada hari ke-0 dan 2 ikan mas tanpa penyiangan
memiliki nilai TVB yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan dengan
penyiangan. Perbedaan nilai TVB pada kedua perlakuan ikan mas diduga ikan
mas tanpa penyiangan masih dalam kondisi segar sehinggga kandungan basa-basa
nilai TVB ikan mas tanpa penyiangan meningkat. Menurut Annisah et al., (2019),
komponen basa volatile pada ikan, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati.
Adapun akumulasi senyawa basa pada tvb seperti amonia (NH3), TMA, DMA,
dan senyawa volatil lainnya yang mudah menguap yang dapat mengakibatkan
Hal ini juga dapat terjadi akibat perlakuan ikan mas dengan penyiangan
memerlukan waktu yang lebih banyak pada ruangan yang tidak terkontol oleh pH
dan suhu ruang yang dapat mengakibatkan nilai TVB ikan dengan penyiangan
menjadi lebih tinggi dibanding dengan ikan tanpa penyiangan dan mengakibatkan
ikan dengan penyiangan mengalami proses rigor mortis yang lebih cepat.
kemunduran mutu ikan dan menurut Sakinah et al., (2012) untuk mendapatkan
karakteristik mutu dan masa simpan yang baik maka penanganan harus dilakukan
Sedangkan pada penyimpanan hari ke-4 hingga 12 kadar TVB ikan mas
tanpa penyiangan mengalami kenaikan sehingga memiliki nilai TVB yang lebih
tinggi dibandingkan dengan ikan mas dengan penyiangan. Perubahan nilai TVB
Adanya isi perut dan insang yang merupakan sumber bakteri mengakibatkan
aktivitas penguraian terjadi lebih cepat serta bakteri memanfaatkan basa volatile
untuk pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan nilai TVB ikan tanpa penyiangan
peningkatan TVB disebabkan oleh akumulasi basa volatil setelah ikan mati terjadi
akibat adanya aktivitas mikroba pada daging. Pandit et al., (2012) menambahkan
kulit dan isi perut. Bakteri-bakteri pada ikan berperan besar pada peningkatan
nilai TVB dari penyimpanan hari ke-2 hingga penyimpanan hari ke-12.
TVB 15,5%. Hal ini diduga karena adanya isi perut, insang, dan lendir permukaan
cepat. Sehingga ikan lebih cepat memasuki fase rigor mortis dan berakhir pada
fase post rigor. Dimana pada masa penyimpanan tersebut proses penguraian telah
terjadi akibat adanya aktivitas enzim dan bakteri yang mengakibatkan penguraian
merupakan hasil dari degradasi protein oleh aktivitas enzim dan aktifitas bakteri
Nilai TVB ikan mas dengan penyiangan mengalami fluktuasi dimana pada
hari ke-2 penyimpanan TVB mengalami kenaikan menjadi 13,64 mgN/100 dan
mengalami kenaikan nilai TVB pada penyimpanan hari ke-12 menjadi 16,52
mgN/100. Hal diduga karena kandungan TVB masing-masing individu ikan mas
yang akan digunakan serta lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan
ikan mas dengan penyiangan. Menurut Annisah et al., (2019) menyatakan bahwa
dan suhu penyimpanan. Selain itu, jenis kelamin, umur, habitat, kebiasaan makan
kadar TVB ini disebabkan karena perbedaan populasi bakteri dan jumlah
penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,949 dimana hubungan korelasi yang
sangat kuat. Sedangkan, ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi sebesar
0,533 dimana hubungan korelasi yang sedang. Perlakuan tanpa penyiangan dan
Pencucian dan pembuangan isi perut dan insang diduga menghambat terjadinya
dekomposisi yang diakibatkan oleh bakteri yang bersumber dari insang dan isi
perut.
mutu ikan akan terbentuk basa-basa volatil (volatile base) akibat dekomposisi
protein oleh aktivitas bakteri dan enzim. Hal yang sama peningkatan kadar TVB-
diberi perlakuan suhu chilling memiliki total koloni bakteri yang lebih tinggi yaitu
2×105 kol/gram dibanding dengan ikan penyiangan yaitu 1×10 5 kol/gram. Selama
penyimpanan suhu chilling ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai TPC yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ikan mas dengan penyiangan. Penanganan ikan
mas dengan penyiangan (membuang bagian insang dan isi perut) dan pencucian
diduga dapat mengurangi jumlah bakteri yang terdapat pada ikan dan mencegah
Husni dan Putra (2018) bahwa setelah ikan mati, kemampuan barrier
(pencegahan) hilang sehingga bakteri dapat masuk kedalam daging ikan sehingga
perlu adanya penanganan. Selain itu insang dan isi perut merupakan sumber
kenaikan nilai TPC hingga penyimpanan hari ke-6 dimana nilai TPC ikan mas
tanpa penyiangan 6×105 kol/gram dan 5×105 kol/gram pada ikan penyiangan.
Pada kondisi ini diduga akibat pertumbuhan bakteri awal yang terdapat pada ikan
bakteri. Menurut Widowati et al., (2014) bahwa pada fase autolisis kegiatan
menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Aksi bakteri ini
Apriani et al., (2017) menambahkan bahwa kandungan air yang tinggi pada tubuh
Pada penyimpanan hari ke-8 kedua ikan yang diberikan perlakuan tersebut
mengalami penurunan nilai TPC. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang
dilakukan oleh Rozi (2018), pada fase post rigor nilai TPC yang diperoleh lebih
rendah daripada pada fase pre rigor, hal tersebut kemungkinan terjadi karena
perlakuan tersebut mengalami penurunan nilai TPC dan mempunyai nilai TPC
yang sama (statis) pada penyimpanan hari ke-10 yaitu 5×105 kol/gram pada ikan
tanpa penyiangan dan 4×105 kol/gram pada ikan mas dengan penyiangan. Hal ini
mengalami kematian dan beberapa lagi tetap tumbuh lambat dengan membentuk
spora.
Namun, pada hari penyimpanan hari ke-12 ikan mas dengan penyiangan
penyiangan memiliki nilai TPC meningkat diduga adanya adanya sumber bakteri
yang berasal dari isi perut dan insang sehingga mempercepat proses pembusukan
serta masih adanya bakteri yang terdapat pada insang dan perut yang masih
pesat dan terlihat ikan mulai membusuk. Menurut Sitakar et al., (2016) bahwa
adanya sumber bakteri pembusuk yang berasal dari isi perut ikan mas serta
terdapat beberapa bakteri yang walaupun pada suhu dingin bakteri tersebut tidak
mati. Bakteri ini adalah bakteri yang hidup pada suhu 0-30 oC. Mile (2013)
bakteri yang proteolitik dan biasanya dapat bertumbuh pada temperatur rendah,
batang.
menjadi 3×105 kol/gram. Kondisi ini diduga tidak adanya sumber bakteri yang
berasal dari insang dan isi perut mengakibatkan pertumbuhan bakteri jauh lebih
sebagian bakteri memasuki fase log akhir dari pertumbuhan bakteri. Menurut
Barodah et al., (2017) populasi bakteri akan tumbuh dan berkembang hingga
pertumbuhan bakteri terbagi menjadi empat fase, yaitu fase adaptasi (lag phase),
fase pertumbuhan (log phase), fase pertumbuhan lambat (stationary phase), dan
Pada ikan tanpa penyiangan pada penyimpanan hari ke-6 hingga hari-12
jumlah total koloni bakteri yang terdapat pada ikan mas mendekati hingga
melebihi persyaratan mutu dan keamanan ikan segar yang layak konsumsi
menurut Badan Standarisasi Nasional dalam SNI 2729:2013 ikan segar memiliki
tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,898 dimana hubungan korelasi
yang sangat kuat dan ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi sebesar
0,686 dimana hubungan korelasi yang kuat. Perebedaan nilai korelasi tersebut
ikan. Adanya perlakuan penanganan dengan membuang isi perut dan insang serta
penucucian dapat menghambat proses pembusukan yang tetap terjadi selama ikan
disimpan. Menurut Dotulong et al., (2018) bahwa tinggi atau rendahnya mikroba
mikroba dapat dikontrol dan dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada produk.
bagian sisi atas tubuh ikan mas. Menurut Ramadhan, (2018) menyatakan bahwa
ikan memiliki kedua bagian sisi ikan yang dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu bagian atas (epaksial) dan bagian bawah (hipaksial) Sebelum adanya
perlakuan penyiangan dan pendinginan, daging dorsal ikan mas yang diamati
kondisi jaringan yang masih kompak dengan tepi miomer yang masih rapi dan
Pada jaringan daging ikan disusun oleh miomer yang terdiri dari benang-
benang fibril dimana menurut Tamuu et al., (2014) bahwa daging ikan hampir
seluruhnya terdiri dari daging bergaris melintang yang dibentuk oleh serabut-
masih segar.
Pada kondisi awal ikan mas tanpa perlakuan pendinginan dan penyiangan
masih dalam kondisi segar dimana serabut miomer masih tersusun kompak dan
memiliki tepi yang rapi. Menurut Jacoeb et al., (2015) menyatakan bahwa ikan
yang masih segar memiliki serabut otot (myomer) yang lebih kompak. Hal ini juga
sesuai dengan kondisi organoleptik pada parameter tekstur ikan yang masih segar
dagingnya elastis dan berwarna cerah, apabila ditekan tidak menimbulkan bekas
Namun, pada kondisi yang sama jaringan daging bagian dorsal terlihat
longitudinal dan sudah mulai mengalami kemunduran mutu (Gambar 19). Hal ini
serta sample yang tidak segera di proses pengujian. Hal ini juga terjadi pada
penelitian yang dilakukan Ermawati (2018) pada ikan mas pada penyimpanan
suhu ruang. Jaringan daging fase segar, mulai terjadi perenggangan jaringan otot
yang terlihat jelas dengan adanya rongga-rongga antar serabut otot. Sementara
menurut Menurut Pratiwi dan Manan (2015), hambatan dalam proses pembuatan
preparat histologi antara lain adalah pada tahap nekropsi sampel dibutuhkan
ketelitian dan hati-hati dalam pengambilan organ. Organ yang diambil haruslah
Pada penyimpan hari ke-6, kondisi jaringan daging dorsal tranversal sudah
mengalami kemunduran mutu pada ikan tanpa penyiangan (Gambar 20a) dan
menambahkan bahwa kondisi ini juga ditandai dengan penurunan pH akibat dari
akumulasi asam laktat yang akan mengaktifkan enzim proteolitik yaitu enzim
Pada fase ini serabut otot tidak tebal lagi seperti pada fase sebelumnya,
mulai terlihat adanya kerusakan pada serabut otot, yakni serabut otot terlihat
masih terlihat dengan tepian yang masih rapi dan belum terdapat sobekan
(Gambar 20b). Kondisi ini diduga akibat pada perlakuan penyiangan dan suhu
penyimpanan 0-5oC. Pembuangan isi perut dan insnag sebagai salah sumber
Pandit et al., (2012) bahwa proses berjalan lambat karena perombakan glikogen
menjadi asam laktat sampai kandungan glikogen habis ini sangat dipengaruhi oleh
penyiangan cenderung memberikan kualitas ikan yang lebih baik dari pada ikan
tanpa penyiangan. Isi perut ikan terdapat enzim pencernaan dan bakteri yang akan
pada ikan tanpa penyiangan dan dengan penyiangan kondisi miomer mengalami
pecahan. Kondisi ini diikuti oleh terjadi pelunakan tekstur daging ikan mas secara
organoleptik. Kondisi ini disebabkan oleh adanya aktivitas enzim. Fase post rigor
merupakan fase awal kebusukan ikan, terjadi ketika daging dan otot ikan secara
enzimatik di dalam daging ikan (Dasir dan Suyatno, 2019). Pada fase ini mutu
organoleptik ikan memiliki nilai 6-8. Setelah daging ikan mengalami kekakuan
(fase post rigor), kerja bakteri memicu meningkatnya aktivitas enzim sehingga
Hati merupakan kelenjar pencernaan yang paling besar dan tersusun dari
sel parenkim (hepatosit) dan jalinan serabut (Pratiwi dan Manan, 2015). Sebelum
diberi perlakuan dingin, jaringan penyusun hati (hepatosit) masih terlihat jelas dan
(2010) menyebutkan bahwa struktur jaringan sel hati ikan pada kondisi normal
memiliki ciri berupa adanya hepatosit berbentuk poligonal, inti sel berbentuk bulat
hingga oval, vena sentralis sebagai pusat lobulus tampak berbentuk bulat dan
kosong, serta sinusoid tampak jelas. Sel hepatosit mengumpul berbentuk sel
poligonal besar, dan memiliki nukleus kecil berbentuk bulat, dan seragam.
Sitoplasma hepatosit kadang-kadang penuh dengan tetesan lemak dan yang berupa
ruang kosong yang tidak terwarnakan oleh pewarna H&E (Supartinah, 2012).
Jaringan hati ikan mas pada penyimpanan hati ke enam mengalami telah
struktur sel hati yang paling ringan. Hal ini disebabkan karena terjadi pemasukan
air ke dalam hepatosit, sehingga sel membengkak. Organel-organel sel juga turut
bergranula terdesak ke tepi, mengecil, dan berwarna lebih pekat serta pada
terhadap jejas yang masih reversible, tetapi bila penyebabnya tidak segera
ke dua belas, kemunduran mutu hati ikan mas semakin terlihat jelas (Gambar 24),
dimana hepatosit pada histologi hati ikan pada penyimpanan hati ke dua belas
ruang kosong dan terjadi nekrosis (kematian jaringan). Jaringan yang mengalami
nekrosis lama kelamaan akan hancur dan hilang karena dicerna oleh enzim dan
Usus ikan adalah salah satu organ pencernaan yang berfungsi sebagai
penyerapan zat nutrisi yang diperlukan oleh tubuh ikan. Proses pencernaan
khususnya pada proses penyerapan dapat dilihat dari struktur anatomi usus ikan
(Yusfiati, 2015). Jaringan histologi usus ikan mas sebelum diberi perlakuan dingin
dapat dilihat pada Gambar 25. Struktur mikroanatomi usus ikan mas masih terlihat
jelas dan belum terdapat patahan. Sturktur jaringan seperti mukosa, sub mukosa,
penyimpanan hari ke-6 suhu chilling. Dimana mukosa usus tidak terlihat dengan
jelas, serta terjadinya perenggangan jaringan pada sub mukosa dan dinding usus
ikan mas. Hal ini disebabkan karena aktivitas enzim aspartic protease, yaitu
pepsinogen. Enzim ini termasuk endopeptidase dan aktif pada pH rendah. Pepsin
mukosa usus sudah tidak dapat dibedahkan dan terlihat seperti spons, hanya
dinding usus yang masih terlihat. Fase post rigor ditandai dengan dihasilkannya
senyawa amonia dari penguraian protein. Pada kondisi ini pH akan semakin naik
autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003).
Pembusukan proses rumit yang disebabkan oleh kombinasi aksi enzim, bakteri
dan bahan kimia yang terdapat didalam ikan (Saragih et al., 2009). Hasil sajian
histologis menunjukkan bahwa usus pada fase post rigor mengalami degenerasi,
dimana lapisan-lapisan dalam usus tidak tersusun rapi, tetapi bagian yang
Kesimpulan
memiliki rata-rata panjang total ikan mas adalah 28,3 cm, panjang baku 23,8
cm, panjang cagak 25,8 cm, tinggi 8,6 cm serta berat total ikan adalah
352 gram. Rata-rata dari rendemen daging ikan mas adalah 31%, tulang 25%,
mata, daging, bau dan tekstur, pada parameter penilaian lendir mengalami hari
ke-6 dan parameter insang pada hari ke-4, nilai pH menurun hingga hari ke-6
menjadi 6,2 kemudian naik hingga hari ke-12 menjadi 7,2, rata-rata nilai
protein adalah 18,97%, nilai TPC mengalami fluktuatif dimana nilai TPC naik
hingga hari ke-6 menjadi 6×105 kol/gram lalu nilai menurun dan statis pada
hari ke-8 hingga hari ke-10 menjadi 5×105 kol/gram kemudian nilai naik
kembali pada hari ke-12 menjadi 7×105 kol/gram, nilai TVB mengalami
histologi daging, hati dan usus sudah mulai mengalami kemunduran mutu
pada hari ke-6 dan terus mengalami kerusakan pada hari ke-12. Pada ikan
pada hari ke-2 pada parameter mata, daging, bau dan tekstur, sementara pada
parameter lendir terjadi pada hari ke-6, nilai pH menurun hingga hari ke-6
menjadi 6,4 lalu naik hingga hari ke-12 menjadi 6,9, rata-rata nilai protein
adalah 18,91%, nilai TPC mengalami fluktuatif dimana nilai TPC naik hingga
hari ke-6 menjadi 5×105 kol/gram lalu nilai menurun dan statis pada hari ke-8
hingga hari ke-10 menjadi 4×105 kol/gram dan kembali menurun pada ke-12
menjadi 3×105 kol/gram, nilai TVB berfluktuatif dimana nilai TVB naik hari
ke-2 menjadi 13,64 mgN/100 dan menurun pada hari ke-4, 6 dan 10 kemudian
nilai TVB naik kembali pada hari ke-12 menjadi 16,52 mgN/100, histologi
daging mengalami kemunduran mutu pada hari ke-6 dan terus mengalami
Saran
mutu dengan ikan air tawar dan ikan air laut jenis berbeda dengan penyimpanan
suhu ruang dan suhu dingin untuk melakukan analisis secara kimiawi dan
mikrobiologi. Selain itu juga dapat dilakukan waktu pengamatan dengan jarak
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standarisasi Nasional.. 2009. Tentang Cara Uji Kimia – bagian 8 :
Penentuan Kadar TVB pada Produk Prikanan SNI No. 01- 2354-8-2009.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2013. Ikan Segar. Standar Nasonal Indonesia
SNI 2729:2013.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015. Cara Uji Mikrobiologi – bagian 3 :
Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. SNI
2332.3-2015.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional.. 2015 Pedoman Pengujian Sensori Pada
Produk Perikanan. SNI 2346:2015.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2018. Kelautan Perikanan Dalam
Angka Tahun 2018. Pusat Data Statistik dan Informasi.
Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pegolahan Ikan. Penerbit
Kanisinus. ISBN 979-413-032-X.
Alminiah, A. 2015. Pengendalian Ektoparasit Pada Benih Ikan Mas
(Cyprinus carpio L.) dengan Penambahan Garam Dapur (NaCl) di Balai
Benih Perikanan Plalangan Kalisat Kabupaten Jember. [Skripsi].
Universitas Jember, Jember.
Ariyani, F., Murtini, J. T., Indriati, N., Dwiyitno, D., dan Yenni, Y 2007.
Penggunaan Glyroxyl untuk Menghambat Penurunan Mutu Ikan Mas
(Cyprinus carpio) Segar. Jurnal Perikanan. 9 (1). 125-133.
Dasir, D., dan Suyatno, S. 2019. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Ikan.
Palembang: NoerFikri Offset
Dika, F. A., Brahmana, E. M., Purnama, A. A. 2017. Uji Kandungan Protein dan
Lemak pada Ikan Bada (Pisces: Rasbora Spp.) di Sungai Kumu
Kecamatan Rambah Hilir Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FKIP Prodi Biologi, 3(1).40-52
Djunaidah, I. S. 2017. Tingkat Konsumsi Ikan di Indonesia: Ironi di Negeri
Bahari. Jurnal Penyuluh Perikanan dan Kelautan, 11 (1), 12-24.
Dotulong, V., Patty, C. N., dan Suwetja, I. K. 2018. Mutu Ikan Roa
(Hemirhamphus sp) Asap yang Dijual di Pasar Bersehati Kota Manado
Sulawesi Utara. Media Teknologi Hasil Perikanan, 6(3), 88-93.
Ekasari, D., Suwetja, I. K., dan Montolalu, L. A. 2017. Uji Mutu Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis-L) dan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Segar di
TPI Tumumpa selama Penyimpanan Dingin. Media Teknologi Hasil
Perikanan, 5(2), 40-47.
Erlangga. 2009. Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian.
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ermawati, M.D. 2018. Kemunduran Mutu Ikan Mas (Cyprinus carpio) Selama
Penyimpanan Pada Suhu Ruang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Faisal, F., Patadjai, A. B., dan Sadimantara, M. S. Studi Kimia Ikan Bandeng
(Chanos fhanos Forskal) Tanpa Tulang yang Dikemas Menggunakan
Metode Kemasan Berbeda pada Penyimpanan Suhu Dingin (5°C). Jurnal
Fish Protech, 3(2).
FAO. 1995. Quantity and Quality Changes in Fresh Fish, by Huss, ed. Rome:
FisheriesTechnical Paper No.384. 95 pp.
Fatriani, A. 2016. Kemunduran Mutu Ikan Baronang (Siganus javus) pada
Penyimpanan Suhu Chilling. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hafiluddin, H., Perwitasari, Y., dan Budiarto, S. 2014. Analisis Kandungan Gizi
dan Bau Lumpur Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dari Dua Lokasi Yang
Berbeda. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and
Technology, 7(1), 33-44.
Hamid, M. 2017. Pengaruh Pemberian Gelombang Bunyi terhadap Laju
Perkembangan Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn.). [Skripsi].
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar.
Handayani, A., Alimin, A., dan Rustiah, W. O. 2014. Pengaruh Penyimpanan
pada Suhu Rendah (Freezer-3℃) terhadap Kandungan Air dan Kandungan
Lemak pada Ikan Lemuru (Sardinella longiceps). Al-Kimia, 2(1), 64-75.
Harikedua, S. D. 2010. Efek Penambahan Ekstrak Air Jahe (Zingiber officinale
Roscoe) dan Penyimpanan Dingin Terhadap Mutu Sensori Ikan Tuna
(Thunnus albacores). Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 6(1), 36-40.
Hartanto, A.T. 2018. Kemunduran Mutu Ikan Patin (Pangasius sp.) Selama
Penyimpanan Suhu Dingin: Perubahan Kimia dan Histologis. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hossain, M.D. 2014. Effect of Combined Blast And Contact (CBC) Cooling and
Gutting on The Quality of Tilapia (Oreochromis nilotica) During Chilled.
United Nations University Fisheries Programme, Iceland.
Husni, A dan Putra, M. P. 2018. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan.
Yogyakarta: Gajah Mada Press. ISBN: 979-420-870-1
Jacoeb, A. M., Nurjanah, N., dan Sitanggang, L. 2015. Proksimat dan Asam
Lemak Juvenil Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Berbagai Umur
Panen. Dinamika Maritim, 5(1), 38-45.
Jacoeb, A.M, Suptijah P, dan Kristantina WA. 2015. Komposisi Asam Lemak,
Kolesterol, dan Deskripsi Jaringan Fillet Ikan Kakap Merah Segar dan
Goreng. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 18(1): 98-107.
Munandar, A., Haryati, S., Alfia, S. dan Fitriyani. 2016. Karakteritik, Penanganan
dan Kandungan Mineral Keong Laut Neverita didyama. Jurnal Teknologi
Hasil Perikanan. 5 (2). 107-111.
Sakinah., B. Hasan dan T. Leksono. 2012. Evaluasi Masa Simpan Fillet Ikan
Baung (Hemibagrus nemurus) Hasil Budidaya yang Disimpan pada Suhu
5 oC dan 10 oC. Universitas Riau, Pekanbaru.
Santhi, D.D.D. 2017. Pemeriksaan Organoleptis dan pH (Keasaman) sebagai
Syarat Mutu Keamanan Ikan Tuna (Thunnus sp). Fakultas Kedokteran.
Universitas Udayana, Denpasar.
Saragih, C. A., Hidayat, L., dan Tutuarima, T. 2009. Sifat Organoleptik Ikan
Kape-Kape (Psenes sp) Dengan Penggunaan Ekstrak Bunga Kecombrang
(Nicolaia spesiosa, Horan). Jurnal Agroindustri. 9 (1). 19-27
Sari, W., I. W. Okavia, R. Ceianna dan Sunarti. 2016. Struktur Mikrokopis Hati
Ikan Seurukan (Osteochilus vittatus) dari Sungai Krueng Sabee Kabupaten
Aceh Jaya yang Tercemar Limbah Penggilingan Biji Emas. Jurnal Biotik.
4 (1). 33-40
Sen, D. P. 2005. Advances in fish processing technology (Vol. 1). Allied
Publishers.
Sitakar, N.M., Nurliana, F. Jamin, M. Abrar, Z. H. Manaf dan Sugito. 2016.
Pengaruh Suhu Pemeliharaan dan Masa Simpan Daging Ikan Nila
Susanto, E., Agustini, T. W., Swastawati, F., Surti, T., Fahmi, A. S., Albar, M. F.,
dan Nafis, M. K. 2011. Pemanfaatan Bahan Alami untuk Memperpanjang
Umur Simpan Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus). Jurnal Perikanan
Universitas Gadjah Mada, 13(2), 60-69.
Tamuu, H., R. M. Harmain dan F.A. Dali. 2014. Mutu Organoleptik dan
Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan
Lengkuas Merah. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 2 (4). 164-168
Triadayani, A.E., Aryawati R, dan Diansyah G. 2010. Pengaruh Logam Timbal
(Pb) terhadap Jaringan Hati Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis).
Journal Maspari.1 : 42-47.
Umpain, J., Wonggo, D dan Sanger, G. 2014. Kajian Mutu Ikan Layang
(Decapterus russelli) Segar di Pasar Tuminting Kota Manado. Jurnal
Media Teknologi Hasil Perikanan. 2(2). 37-42.
Utari, S. A. 2014. Kemunduran Mutu Udang Putih: Organoleptik, Blackspot,
Histologis, dan Enzimatis. Institut Pertanian Bogor.
Wally, E., Mentang, F., dan Montolalu, R. I. 2015. Kajian Mutu Kimiawi Ikan
Cakalang (Katsuwonus pelamis L.) Asap (Fufu) selama Penyimpanan
Suhu Ruang dan Suhu Dingin. Media Teknologi Hasil Perikanan, 3(1).
7-12
Widowati, I., Efiyati, S., dan Wahyuningtyas, S. 2014. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) terhadap Bakteri Pembusuk Ikan
Segar (Pseudoonas aeruginosa). Pelita-Jurnal Penelitian Mahasiswa
UNY, 9(02).
Wihardi, Y., Yusanti, I. A. dan Haris, R. B. K. 2014. Feminisasi pada Ikan Mas
(Cyprinus carpio) dengan Perendaman Ekstrak Daun-Tangkai Buah
Terung Cepoka (Solanum torvum) pada Lama Waktu Perendaman
Berbeda. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan. 9 (1). 23-
28.
Yuliastri, V., R. Suwandi dan Uju. 2015. Hasil Penilaian Organoleptik dan
Histologi Lele Asap pada Proses Pre-cooking. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. 18 (2). 190-204.
Yusfiati, E. R. 2015. Hispatologi Tunika Mukosa Usus Ikan Baung
(Hemibagrus nemurus Val) dari Perairan Sungai Siak di Daerah Jembatan
Siak I Pekanbaru. Prosiding Seminar Nasional ikan ke 8.
Zailanie, K. 2015. Fish Handling. Malang: Universitas Brawijaya Press.
LAMPIRAN
7. Styrofoam 8. Termometer
6.Pembuangan air
PT PB PC T BT
Mean 28.2891 23.8203 25.7859 8.5953 352.0469
N 64 64 64 64 64
Std. Deviation 1.17245 .94301 1.10178 .28364 28.33441
Median 28.2500 23.9000 25.9000 8.5000 350.0000
Sum 1810.50 1524.50 1650.30 550.10 22531.00
Minimum 26.00 21.40 23.70 8.00 300.00
Maximum 32.00 25.50 28.50 9.20 440.00
Keterangan:
PT : Panjang total
PB : Panjang baku
P : Panjang cagak
T : Tinggi
BT : Berat total
Perhitungan rendemen
Ikan mas 1
Kepala
Daging
Tulang
Kulit
Isi Perut
Tahap pengujian
Lampiran 5. Uji pH
1.Blocking 2. Preparat
1.Ikan dengan penyiangan hari ke-6 2. Ikan dengan penyiangan hari ke-12
3.Ikan tanpa penyiangan hari ke-6 4. Ikan tanpa penyiangan hari ke-12
Tanggal
Penyimpanan Pengujian Perlakuan Jenis Pengujian Keterangan
12 September 12 September - Rendemen -
12 September 14 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-2
12 September 16 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-4
12 September 18 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-6
13 September 21 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-8
13 September 23 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-10
13 September 25 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-12
13 September 14 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Kondisi Awal
18 September 24 September Tanpa Penyiangan Histologi Kondisi Awal
24 September 24 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Histologi Penyimpanan ke-6
18 September 28 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Histologi Penyimpanan ke-12
7 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-12
8 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-12
9 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-12
9 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-10
10 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-10
11 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-10
11 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-8
12 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-8
13 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-8
13 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-6
14 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-6