Anda di halaman 1dari 121

LAJU KEMUNDURAN MUTU IKAN MAS (Cyprinus carpio)

SELAMA PENYIMPANAN SUHU CHILLING

SKRIPSI

SITI RAMADHANI
160302024

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021

Universitas Sumatera Utara


LAJU KEMUNDURAN MUTU IKAN MAS (Cyprinus carpio)
SELAMA PENYIMPANAN SUHU CHILLING

SKRIPSI

SITI RAMADHANI
160302024

Skripsi Sebagai Salah Satu Diantara Beberapa Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Siti Ramadhani

NIM : 160302024

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Laju Kemunduran Mutu Ikan

Mas (Cyprinus carpio) selama Penyimpanan Suhu Chilling” adalah benar

merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang di terbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Medan, Februari 2021

Siti Ramadhani
NIM. 160302024

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Siti Ramadhani lahir di Medan pada

tanggal 21 Januari 1998 yang merupakan putri dari Bapak

Sofyan, S.Pt dan Ibu Almh. Enni Wardhani Harahap.

Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis ditempuh di SD Swasta Taman

Siswa Cabang Diski (2004-2010), SMP Negeri 1 Sunggal

(2010-2013), SMA Negeri 1 Sunggal (2013-2016). Pada tahun 2016, penulis

melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Sumatera Utara melalui Jalur Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan.

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Masyarakat

(KKN-PPM) Reguler pada tahun 2019 yang ditempatkan di Desa Labuhan Bajau,

Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeuleu, Provinsi Nangroe Aceh

Darussalam. Kemudian pada tahun 2020, penulis mengikuti Praktek Kerja

Lapangan (PKL) di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan.

Selain mengikuti perkuliahan penulis juga menjadi asisten Laboratorium

Mikrobiologi Akuatik pada tahun 2018, asisten Laboratorium Dinamika Populasi

pada tahun 2019 dan asisten Laboratorium Pengkajian Stok Ikan pada tahun 2020.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

SITI RAMADHANI. Laju Kemunduran Mutu Ikan Mas (Cyprinus carpio)


selama Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh ASTRID FAUZIA
DEWINTA.

Para pedagang ikan mas (Cyprinus carpio) baik supplier maupun pemilik
usaha seafood yang menjual ikan mas dalam keadaan mati memanfaatkan
pendinginan menggunakan kotak berisikan es untuk mempertahankan mutu
kesegaran ikan mas. Namun, walaupun disimpan dalam suhu yang dingin ikan
tetap akan mengalami kemuduran mutu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemunduran mutu ikan mas secara fisik, kimiawi, mikrobiologi dan
histologi selama penyimpanan suhu chilling. Penelitian ini dilakukan pada bulan
September hingga bulan November 2020. Penelitian ini menggunakan ikan mas
tanpa penyiangan dan dengan penyiangan yang disimpan pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8,
10 dan 12 pada suhu 0-5 oC.. Hasil pengujian nilai organoleptik semakin menurun
selama penyimpanan. Protein ikan mas berkisar 18,97 %. Nilai pH ikan mas
bervasiasi mulai 6,2 hingga 7,2, nilai TVB 1,9 mgN/100 hingga 31,36 mgN/100,
Nilai TPC 1×105 kol/gram hingga 7×105 kol/gram. Selama penyimpanan jaringan
daging, hati dan usus ikan mas telah mengalami kemunduran mutu. Perlakuan
penyiangan dan penggunaan suhu chilling efektif untuk menghambat kemunduran
mutu ikan mas akibat aktivitas enzimatis dan mikrobiologis.

Kata Kunci: Ikan Mas, Penyimpanan, Suhu Chilling

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

SITI RAMADHANI. Deterioration Quality of Common Carp (Cyprinus carpio)


in Chilling Storage. Supervised by ASTRID FAUZIA DEWINTA.

The traders of common carp (Cyprinus carpio), both suppliers and


business owners seafood who sell common carp in a dead state, take advantage of
cooling using a box filled with ice to maintain the freshness of the common carp.
However, even though it is stored in cold temperatures, the fish will still
experience a deterioration in quality. The purpose of this study was to determine
the deterioration of the quality of carp physically, chemically, microbiology and
histology during storage at temperatures chilling. This research was conducted in
September until November 2020. This study used common carp ungutted and
gutted stored on days 0, 2, 4, 6, 8, 10 and 12 at temperatures 0-5 oC. The
organoleptic value of the test results decreased during storage. Common crap
protein ranges from 18.97%. The pH value of common carp varied from 6,2 to
7,2, the TVB value was 1.9 mgN / 100 to 31.36 mgN / 100, the TPC value was
1 × 105 CFU/gram to 7 × 105 CFU/gram. During the storage of tissue meat, liver
and intestines common carp have deteriorated quality. Gutted treatments and the
use of temperatures are chilling effective in inhibiting the deterioration of
common carp quality due to enzymatic and microbiological activities.

Keywords: Common Carp, Storage, Chilling.

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Laju Kemunduran Mutu Ikan Mas (Cyprinus carpio)

selama Penyimpanan Suhu Chilling”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-

pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Antara lain

kepada:

1. Bapak Ir. Hasanuddin, M.S selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara

2. Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc selaku Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Astrid Fauzia Dewinta, S.St.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang

telah meluangkan waktunya dengan memberikan bimbingan, arahan dan

masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian skripsi ini

4. Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc dan Bapak Rizky Febriansyah Siregar, S.Pi, M.Si

selaku Dosen Penguji yang telah memberi masukan dan arahan serta

bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen staff pengajar dan pegawai di Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang

banyak memberikan ilmu kepada penulis.

Universitas Sumatera Utara


6. Kedua Orang Tua penulis Ayahanda Sofyan S.Pt dan Mama Almh. Enni

Wardani Harahap, Abangda Rahmat Fauzi dan Ayub Ashari, Kakak Vita

Atmasari dan Ade Fitri Yasha yang telah banyak memberikan kasih sayang,

doa, nasehat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

7. Teman-teman seperjuangan sekaligus sahabat, Rizky Yonanda Lubis,

Bima Satria Purba, Fathurahman Ash Shadiq, Kristiando Siahaan, M. Hafiz

Farhan, Novia Siti Aisyah, Rika Ramadana, Windi Ulvika, dan Yati yang

selalu memberikan masukan, bantuan kepada penulis saat penelitian hingga

penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman Anggi Nur Indah Sari Siregar, S.Pi, Nurul Aini Jamal, S.Kep,

Bismi Muhammad Nur, A.Md, Rameria Yuliana Pardede, Lactumi

Sihomboing yang telah banyak memberikan banyak dukungan, bantuan, dan

masukan kepada penulis.

9. Teman-teman tim KKN USU Pulau Terluar Simeulue Tahun 2019 yang telah

memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis.

10. Serta, teman-teman seangkatan MSP 2016 yang telah memberi dukungan

kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2021

Penulis

ii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR............................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Perumusan Masalah .............................................................................. 4
Kerangka Pemikiran ............................................................................. 5
Tujuan Penelitian................................................................................. 6
Manfaat Penelitian ................................................................................ 6

TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Mas (Cyprinus carpio) ................................................................. 7
Proses Kemunduran Mutu Ikan ... ......................................................... 8
Fase pre rigor mortis . ................................................................... 9
Fase rigor mortis ............................................................................ 9
Fase post rigor mortis ..................................................................... 10
Fase pembusukan............................................................................ 11
Faktor Kemunduran Mutu Ikan............................................................. 12
Pendinginan Ikan .................................................................................. 13
Teknik Penyimpanan Ikan pada Suhu Chilling...................................... 15
Mutu Ikan Segar ................................................................................... 16

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 18
Alat dan Bahan Penelitian..................................................................... 18
Prosedur Penelitian .............................................................................. 19
Teknik pengambilan sampel ikan ..................................................... 19
Teknik preparasi dan penyimpanan sampel ikan ............................... 20
Prosedur Analisis ............................................................................. 21
Uji karakteristik ........................................................................... 21
Uji organoleptik (SNI 2346:2015)................................................ 22
Uji protein (AOAC, 2005) ........................................................... 23
Uji nilai pH (AOAC, 2005).......................................................... 24
Uji total volatile base (TVB) (SNI 012354.8:2009)...................... 24
Uji total plate count (TPC) (SNI 2332.3:2015) ............................ 25
Uji Histologi ................................................................................ 27
Analisis Data ....................................................................................... 29

iii

Universitas Sumatera Utara


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil..................................................................................................... 30
Karakteristik ikan mas (Cyprinus carpio) ........................................ 30
Morfologi ikan mas...................................................................... 30
Rendemen ikan mas ..................................................................... 31
Kemunduran mutu fisik ikan mas (Cyprinus carpio) ........................ 31
Kemunduran mutu kimiawi ikan mas (Cyprinus carpio)................... 35
Derajat Keasaman (pH)................................................................ 35
Kadar protein ikan mas ................................................................ 37
Nilai total volatibe base (TVB) ikan mas ..................................... 38
Kemunduran mutu mikrobiologi ikan mas (Cyprinus carpio) ........... 40
Nilai total plate count (TPC) ikan mas ......................................... 40
Kemunduran mutu histologi ikan mas (Cyprinus carpio).................. 42
Histologi daging ikan mas ............................................................ 42
Histologi hati ikan mas ............................................................... 44
Histologi usus ikan mas ............................................................... 45

Pembahasan ......................................................................................... 47
Karakteristik ikan mas (Cyprinus carpio) ........................................ 47
Morfologi ikan mas...................................................................... 47
Rendemen ikan mas ..................................................................... 48
Kemunduran mutu fisik ikan mas (Cyprinus carpio) ........................ 49
Kemunduran mutu kimiawi ikan mas (Cyprinus carpio) .................. 54
Derajat Keasaman (pH)................................................................ 54
Kadar protein ikan mas ................................................................ 57
Nilai total volatibe base (TVB) ikan mas .................................... 58
Kemunduran mutu mikrobiologi ikan mas (Cyprinus carpio) ........... 62
Nilai total plate count (TPC) ikan mas ......................................... 62
Kemunduran mutu histologi ikan mas (Cyprinus carpio).................. 66
Histologi daging ikan mas ............................................................ 66
Histologi hati ikan mas ............................................................... 69
Histologi usus ikan mas ............................................................... 70

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan .......................................................................................... 72
Saran.................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman


1. Hasil analisis proksimat sampel ikan Mas (%) ................................... 8
2. Mutu ikan berdasarkan temperatur ..................................................... 9
3. Interpretasi koefisien korelasi ............................................................ 29
4. Hasil pengukuran morfometrik ikan mas (Cyprinus carpio) ............... 31

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman


1. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 5
2. Ikan Mas (Cyprinus carpio) ............................................................ 7
3. Pola Perubahan Mutu Setelah Ikan Mati (Zailanie, 2015) ................ 9
4. Pengukuran ikan mas (Cyprinus carpio) .......................................... 30
5. Rata-rata rendemen ikan mas (Cyprinus carpio) .............................. 31
6. Nilai organoleptik kenampakan ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa
penyiangan ...................................................................................... 32
7. Nilai organoleptik kenampakan ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa
penyiangan ...................................................................................... 33
8. Nilai organoleptik daging, tekstur dan bau ikan mas (Cyprinus
carpio) tanpa penyiangan ................................................................ 33
9. Nilai organoleptik daging, tekstur dan bau ikan mas (Cyprinus
carpio) dengan penyiangan penyiangan ........................................... 34
10. Grafik hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu
chilling parameter organoleptik pada ikan mas tanpa penyiangan
(a) dan dengan penyiangan (b) ........................................................ 35
11. Perubahan nilai pH ikan mas (Cyprinus carpio) selama
penyimpanan suhu chilling .............................................................. 36
12. Grafik hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu
chilling parameter pH pada ikan mas tanpa penyiangan (a) dan
dengan penyiangan (b) .................................................................... 36
13. Protein ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling............................................................................................ 37
14. Grafik hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu
chilling parameter pH pada ikan mas tanpa penyiangan (a) dan
dengan penyiangan (b) .................................................................... 38
15. Nilai TVB ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling............................................................................................ 39
16. Grafik hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu
chilling parameter TVB pada ikan mas tanpa penyiangan (a) dan
dengan penyiangan (b) .................................................................... 40
17. Nilai TPC ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling............................................................................................ 41
18. Grafik hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu
chilling parameter TPC pada ikan mas tanpa penyiangan (a) dan
dengan penyiangan (b) .................................................................... 41
19. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) sebelum
perlakuan penyiangan dan penyimpanan suhu chilling (10x) ........... 43

vi

Universitas Sumatera Utara


20. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan
hari ke-6 penyimpanan suhu chilling (40x) ...................................... 40
21. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan
hari ke-12 penyimpanan suhu chilling (40x) .................................... 41
22. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa perlakuan suhu
chilling (40x) ................................................................................ 44
23. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-6
suhu chilling (40x) ........................................................................ 45
24. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-12
suhu chilling (40x) .......................................................................... 45
25. Jaringan usus ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa perlakuan suhu
chilling (10x) .................................................................................. 46
26. Jaringan usus ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa perlakuan suhu
chilling (10x) .................................................................................. 46
27. Jaringan usus ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa perlakuan suhu
chilling (40x) .................................................................................. 47

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman


1. Alat dan bahan ................................................................................ 77
2. Preparasi dan penyimpanan ikan ..................................................... 80
3. Karakteristik ikan mas .................................................................... 81
4. Uji Organoleptik ............................................................................. 84
5. Uji pH ............................................................................................ 88
6. Uji protein ...................................................................................... 89
7. Uji total volatile base (TVB)........................................................... 91
8. Hasil pengujian total plate count (TPC) .......................................... 94
9. Uji histologi .................................................................................... 96
10. Perubahan fisik ikan mas ................................................................ 98
11. Perubahan fisik ikan mas ................................................................ 97
12. Log book penelitian ......................................................................... 98

viii

Universitas Sumatera Utara


1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan satu komoditas utama ikan yang di

budidayakan yang merupakan jenis ikan air tawar yang sangat disukai oleh

masyarakat, karena rasa dagingnya yang enak dan bergizi tinggi

(Wihardi et al., 2014). Selama tahun 2012 sampai dengan tahun 2017 produksi

budidaya ikan mas di Indonesia sangat bervariasi dan berflutuaktif. Pada tahun

2016 produksi ikan mas di Indonesia mencapai 497.208 ton sementara pada tahun

2017 produksi ikan Mas mengalami penurunan 316.648 ton (KKP, 2018).

Minat masyarakat terhadap ikan mas semakin meningkat seiring dengan

peningkatan konsumsi ikan yang saat ini terus dicanangkan pemerintah dalam

rangka peningkatan konsumsi ikan oleh masyarakat. Produksi ikan mas diikuti

oleh perkembangan trend pola konsumsi ikan, secara nasional pada tahun 2017

hingga 2018 mengalami peningkatan 47,34 ton/kap/tahun menjadi 50,26

ton/kap/tahun konsumsi ikan dan Provinsi Sumatera Utara mengalami

peningkatan tiap tahunnya menjadi 3,26% pada tahun 2017 (KKP, 2018).

Djunaidah (2017) menyatakan bahwa adanya hal mengindikasikan bahwa

terdapat perbedaan pola konsumsi atau budaya makan ikan berdasarkan suku/etnis

atau mungkin lebih tepatnya berdasarkan geografis asal. Ikan mas merupakan ikan

yang banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan makanan khas

Sumatera Utara seperti halnya arsik dan nanihura yang dijual dalam keadaan segar

baik dalam kedaan hidup maupun sudah mati.

Biasanya ikan yang telah mati lebih cepat memasuki fase rigor mortis

pada suhu ruang dan berlangsung lebih singkat. Apabila fase rigor mortis tidak

Universitas Sumatera Utara


2

dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas enzim dan

bakteri akan berlangsung lebih cepat. Aktivitas enzim dan bakteri tersebut

menyebabkan perubahan yang sangat pesat sehingga ikan memasuki fase post

rigor. Fase ini menunjukan bahwa mutu ikan sudah rendah dan tidak layak untuk

dikonsumsi (FAO, 1995). Menurut BSN (2013) ikan segar adalah ikan yang

belum mengalami perlakuan pengawetan kecuali pendinginan (chilling)

Cara paling mudah untuk menghambat proses pembusukan ikan adalah

mempertahankan kesegaran ikan dengan penanganan yang tepat dan salah satu

caranya dengan menggunakan suhu rendah. Salah satu proses penyimpanan

dengan suhu rendah adalah penyimpanan suhu dingin (chilling). Penyimpanan

suhu chilling merupakan penyimpanan ikan yang relatif mudah dan banyak

dilakukan oleh masyarakat dalam mempertahankan kesegaran ikan. Menurut

Sahliyah (2017), penurunan suhu atau disebut juga pendinginan umumnya

dilakukan sampai suhu dingin (chilling) yaitu (-1) - 5 °C. Namun, menyimpan

ikan terlalu lama pada suhu chilling dapat mengurangi mutu ikan tersebut yang

dapat mengubah sensori ikan, struktur kimia, kandungan mikrobiologi bahkan

perubahan struktur daging pada ikan.

Untuk mempertahakan mutu ikan mas, para penjual ikan mas dalam

keadaan sudah mati di pasar ataupun supplier biasanya di jual dengan ikan mas

dalam keadaan dingin dengan es. Begitu juga pada warung-warung seafood,

dimana kondisi ikan tersebut disimpan dalam kotak yang berisikan es dengan

penerapan pendinginan yang tidak konsisten sehingga rantai dingin tidak terjaga

dengan baik. Selain itu, ikan mas tersebut tidak disimpan dalam keadaan tidak

segera dibersihkan insang dan isi perutnya dan air yang digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara


3

pencucian ikan mas dalam keadaan kotor. Teknik penyimpanan suhu dingin dan

pencucian yang kurang tepat, dapat menyebabkan ikan mas mengalami

kemuduran mutu.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti untuk

menganalisis laju kemunduran mutu ikan yang disimpan pada suhu dingin

diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Rozi (2018) pada ikan lele tanpa

penyiangan dan dengan penyiangan yang disimpan dengan metode penyimpanan

suhu chilling terhadap perbedaan nilai pH dan total volatile base nitrogen (TVB)

dan penelitian yang dilakukan Nurjanah et al., (2011) mengenai penyimpanan

ikan gurami dalam suhu chilling yang menghasilkan pola kemunduran mutu pada

ikan gurami dari fase pre rigor awal hingga ketika pembusukan yang berlangsung

cepat berdasarkan perbedaan kisaran nilai organoleptik, pH, log TPC, TVB.

Selain itu, penelitian lainnya yang dilakukan Ramadhan (2018) menegenai ikan

patin yang disimpan dalam suhu dingin yang menghasilkan perubahan histologi

struktur daging dorsal, kulit, dan insang mengalami kerusakan seiring fase

kemunduran mutu.

Penanganan dan penyimpanan suhu rendah terutama suhu chilling yang

tidak tepat dan konsisten dapat mempercepat kemunduran mutu ikan mas dan bila

dikonsumsi dapat berbahaya. Informasi dan data-data ilmiah mengenai laju

kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan suhu chilling baik secara fisik,

kimiawi, mikrobiologi dan histologi belum banyak diungkap. Berdasarkan latar

belakang diatas perlu adanya penelitian terkait dengan kemunduran mutu ikan

mas selama penyimpanan suhu chilling.

Universitas Sumatera Utara


4

Perumusan Masalah

Ikan mas merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang

dibudidayakan. Produksi ikan mas di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2017

adalah 30.242 ton (BPS, 2018) dan Kota Medan produksi ikan mas pada tahun

2018 sebanyak 50 ton (BPS, 2020). Ikan mas dapat yang dijual secara segar dapat

dalam kondisi hidup maupun kondisi mati. Dalam kondisi mati ikan mas dapat

mengalami kemunduran mutu. Untuk mempertahankan mutu ikan mas biasanya

pedagang di pasar menerapkan rantai dingin dengan menggunakan kotak

pendingan yang berisikan es dalam proses penjualan. Selain itu penggunaan air

dalam membersihkan ikan yang tidak baik juga dapat mempengaruhi mutu ikan

mas sebelum ikan disimpan dalam kotak yang berisikan es.

Namun, lamanya waktu penyimpanan akan tetap mempengaruhi mutu ikan.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menetukan kemunduran mutu

ikan mas selama penyimpanan suhu chilling.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik dari ikan mas (Cyprinus carpio) sebelum diberikan

perlakuan yang meliputi morfometri dan rendemen?

2. Bagaimana laju kemunduran mutu ikan mas (Cyprinus carpio) dengan

penyiangan dan tanpa penyiangan selama penyimpanan suhu chilling yang

meliputi mutu fisik, kimiawi, mikrobiologi dan histologi.

Kerangka Pemikiran

Para pedagang ikan mas baik supplier maupun pemilik usaha seafood

yang menjual ikan mas dalam keadaan mati memanfaatkan pendinginan

Universitas Sumatera Utara


5

menggunakan kotak berisikan es untuk mempertahankan mutu kesegaran ikan

mas. Namun, walaupun disimpan dalam suhu yang dingin ikan tetap akan

mengalami kemuduran mutu. Kemudian proses penyimpanan ikan mas tanpa

penyiangan dan pembersihan ikan yang kurang baik sebelum penyimpanan serta

tidak konsistennya suhu pendinginan akan memperburuk kualitas ikan. Oleh

karena itu, diperlukan analisis perbandingan mutu ikan mas dengan melihat

kondisi awal ikan sebelum dilakukan penyimpanan dan selama penyimpanan suhu

dingin (chilling) serta menentukan laju kemunduran mutu ikan mas selama

penyimpanan suhu chilling.

Ikan mas yang


dijual dalam Kondisi awal
kondisi mati
Karaktertik ikan:
1. Morfometrik
Tanpa penyiangan Penyiangan
2. Rendemen

Penyimpanan suhu chilling (0-5 ℃)

Penilaian Mutu:
1. Organoleptik
2. pH
3. Protein
4. TVB
5. TPC
6. Histologi

Laju kemunduran mutu ikan


mas
Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik dari ikan mas (Cyprinus carpio) sebelum diberikan

perlakuan yang meliputi morfometri dan rendemen.

Universitas Sumatera Utara


6

2. Membandingkan mutu ikan mas (Cyprinus carpio) dengan penyiangan dan

tanpa penyiangan secara deskriptif dengan menggunakan uji organoleptik,

pH, protein, total volatile base (TVB), total plate count (TPC) dan histologi.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sumber data dan informasi ilmiah

mengenai kemunduran mutu ikan mas (Cyprinus carpio) dengan penyiangan dan

tanpa penyiangan pada penampakan ikan, total jumlah bakteri dan perubahan

kimiawi serta perubahan histologi daging selama penyimpanan suhu chilling bagi

pedagang dan supplier yang menjual ikan mas (Cyprinus carpio) serta bagi

konsumen.

Universitas Sumatera Utara


7

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Klasfikasi ikan mas menurut Alminiah (2015) adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Osteichtyes

Ordo : Cypriniformes

Famili : Cyprynidae

Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio L.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020


Gambar 2. Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Ikan mas mempunyai banyak ras atau strain. Perbedaan sifat dan ciri dari

ras disebabkan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam,

musim dan cara pemeliharaan yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk

tubuh dan warnanya. Ikan mas mempunyai bentuk badan agak panjang dan agak

pipih, mulut dapat disembulkan dengan tipe terminal. Mempunyai 3 helai sungut

yang menempel di rahang atas. Insang terletak tepat di belakang rongga mulut di

dalam pharynx. Jumlah lengkung insang ada lima pasang. Tetapi hanya empat

Universitas Sumatera Utara


8

yang berfilamen insang. Kepala simetris, sisik berbentuk cycloid. Garis rusuk

lengkap dan berada di atas dari sirip dada. Tidak memiliki jari-jari sirip yang

keras. Jari- jari punggung yang kedua bergigi seperti gergaji. Warna tubuh ikan

mas pada umumnya keemasan, tetapi ada juga yang berwarna hijau, merah, dan

biru belang (Mudlofar et al., 2016). Adapun menambahakan bahwa komposisi

proksimat ikan mas (Cyprinus carpio) adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil analisis proksimat sampel ikan Mas (%)

Parameter Ikan Mas Segar Ikan Mas Kukus


Kadar air 79,65±0,30 75±0,60
Kadar abu 1,06±0,04 1,06±0,02
Kadar protein 16,04±0,83 18,13±0,36
Kadar lemak 0,73±0,37 1,76±0,09
Sumber: Pratama et al., (2013)

Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150- 600 meter di

atas pemukaan air laut (dpl) dan pada suhu 25-30 0C. Habitat ikan mas meliputi

sungai berarus tenang sampai berarus sedang dan di area danau dangkal.

Terkadang ikan mas dapat ditemukan pada perairan payau atau muara sungai yang

bersalinitas (kadar garam) 25-30 0/00. Perairan yang terdapat banyak di tempati

ikan mas yaitu bagian-bagian sungai yang terlindungi pepohonan rindang dan

pada tepi sungai dengan reruntuhan pohon yang tumbang (Pratiwi, 2017).

Proses Kemunduran Mutu Ikan

Ikan yang sudah mati mengalami pembusukan yang sangat cepat setelah

tertangkap kecuali ditangani dengan baik. Suhu yang tinggi mempercepat dan

memperpendek rigor motis dan mengantarnya ke proses autolysis dan

pembusukan oleh bakteri yang berjalan sangat cepat (Ekasari, 2017). Secara garis

Universitas Sumatera Utara


9

besar kemunduran mutu ikan pasca kematian yang dijelaskan dengan menurut

adalah sebagai berikut:

Mati Hidup Ikan Segar Busuk

Pre Rigor Rigor Mortis Post Rigor

Sangat Segar Kurang Segar

Aksi Enzimatis (Autolisis)

Aksi mikroba/bakteri

Gambar 3. Pola Perubahan Mutu Setelah Ikan Mati (Zailanie, 2015)

Fase pre rigor mortis

Pada fase pre rigor konsentrasi ATP masih cukup tinggi dan energi yang

terbentuk masih rendah, tidak cukup untuk mengakibatkan terjadinya

penggabungan antara protein aktin dan myosin menjadi aktoniosin, sehingga

daging ikan menjadi lunak dan lentur. Pada tahap ini lendir ikan terlepas dari

kelenjar-kelenjarnya dialam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal

disekeliling tubuh ikan. Lendir itu terdiri atas glukoprotein mucin yang

merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri. Perubahan pre

rigomortis merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah

permukaan kulit, lendir yang keluar ini sebagian terdiri dari glukoprotein dan

myosin yang merupakan media ideal untuk pertumbuhan bakteri (Zailanie, 2015)

Fase rigor mortis

Setelah ikan mati, tidak terjadi aliran oksigen didalam jaringan peredaran

darah karena aktivitas jantung dan kontrol otaknya telah terhenti karena katibilitas

Universitas Sumatera Utara


10

jantung dan kontrol otaknya telah terhenti. Akibatnya, didalam tubuh ikan mati

tidak terjadi reaksi glikogenolisis yang dapat menghasilkan ATP. Terhentinya

aliran oksigen kedalam jaringan peredaran darah menyebabkan terjadinya reaksi

anaerob yang tidak diharapkan karena sering mengakibatkan kerugian. Reaksi

anaerob akan memanfaatkan ATP dan glikogen yang telah terbentuk selama ikan

masih hidup, sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang.

Akibatnya, pH tubuh menurun dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan

fleksibilitasnya (kekenyalannya). Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor

mortis (Afrianto dan Evi, 1989).

Fase rigor mortis ini biasanya berlangsung sekitar 5 jam. Selama berada

dalam tahap rigor mortis ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar. Ini berarti

bahwa apabila rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama maka proses

pembusukan dapat ditekan (Supartinah, 2012). Menurut Afrianto dan Evi (1989),

untuk memperlambat terjadinya proses rigor mortis, perlu diusahakan agar

kandungan ATP dan glikogen dalam tubuh ikan tetap tinggi, yaitu dengan

penanganan yang baik dan benar pada saat maupun setelah penangkapan ikan,

misalnya melalui proses pengawetan atau pengolahan.

Fase post rigor mortis

Fase post rigor ditandai dengan melunaknya daging. Proses ini diawali

terjadinya proses autolisis. Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun pada

suhu yang rendah. Nilai pH yang semakin turun menyebabkan enzim-enzim

dalam jaringan otot menjadi aktif. Katepsin, yaitu enzim proteolitik yang

berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa sederhana, merombak struktur

jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan

Universitas Sumatera Utara


11

bakteri. Demikian pula enzim lain yang ada dalam organ tubuh ikan, misalnya

perut, melakukan aktivitas yang sama. Hal ini mengakibatkan daging ikan

menjadi agak lunak. Fase perombakan jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan ini

disebut dengan autolisis (Supartinah, 2012).

Peristiwa autolisis berlangsung setelah ikan melewati fase rigor mortis.

Penguraian protein dan lemak dalam autolisi menyebabkan perubahan rasa,

tekstur, dan penampakan ikan. Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam

suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan

meningkatnya jumlah bakteri. Pasalnya, semua hasil penguraian enzim selama

proses autolisis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan

mikroba lainnya (Husni dan Putra, 2018). Supartinah (2012), menambahkan

bahwa ikan dalam fase autolisis ini sering masih dianggap cukup segar dan layak

dimakan. Meskipun demikian, fase ini merupakan fase transisi antara segar dan

busuk.

Fase pembusukan

Fase pembusukan berikutya ialah perubahan yang disebabkan oeh aktivitas

mikroorganisme, terutama bakteri. Dalam keadaan hidup, ikan akan dianggap

tidak mengandung bakteri yang sifatnya merusak (steril) meskipun sebenarnya

pada tubuh ikan banyak sekali dijumpai mikroorganisme. Ikan hidup memiliki

kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme sehingga tidak terlihat

selama ikan masih hidup (Afrianto dan Evi, 1989).

Setelah ikan mati, kemampuan barrier (pencegahan) hilang sehingga

bakteri dapat masuk kedalam daging ikan. Bakteri-bakteri tersebut menyerang

tubuh ikan mulai dari insang atau luka yang tedapat pada kulit menuju jaringan

Universitas Sumatera Utara


12

daging ikan dan dari permukaan kulit menuju jaringan tubuh ikan bagian dalam.

Jumlah bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi

perairan tempat ikan tesebut hidup. Akibat serangan bakteri, ikan mengalami

berbagai perubahan yaitu lendir menjadi lebih pekat bergetah, amis, mata menjadi

tidak cerah (keruh), serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan

bau busuk (Husni dan Putra, 2018).

Faktor Kemunduran Mutu Ikan

Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat.

Kecepatan proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal

yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang

berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor yang

paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan adalah penggunaan alat

tangkap dan penanganan pasca-panen yang dilakukan oleh para nelayan

(Nurjanah et al., 2011). Sementara menurut Jayanti et al., (2012), faktor internal

meliputi jenis dan ukuran ikan, bakteri dan enzim yang terkandung dalam tubuh

ikan serta adanya oksidasi yang terjadi dalam tubuh ikan tersebut. Adapun faktor

eksternal antara lain adalah penangkapan, lingkungan dan cara penanganan ikan

Cara penangkapan ikan merupakan salah satu faktor penting yang

berpengaruh pada kualitas ikan. Pada dasarnya, untuk menghambat proses

kemunduran mutu sebaiknya ikan ditangkap dengan kecenderungan

kerusakan fisik yang minimal. Kemudian, ikan sebaiknya ditangani atau ditangkap

dengan cara yang baik dan tidak kasar. Penanganan yang kasar akan mempercepat

proses pembusukan (Husni dan Putra, 2018).

Universitas Sumatera Utara


13

Sifat ikan yang sangat mudah rusak ini akan diperberat lagi oleh kondisi

penanganan pascapanen yang kurang baik. Kerusakan mekanis dapat terjadi

akibat benturan selama penangkapan, pengangkutan dan persiapan sebelum

pengolahan. Gejala yang timbul akibat kerusakan mekanis ini antara lain memar

(karena tertindih atau tertekan), sobek atau terpotong. Kerusakan mekanis pada

ikan ini tidak berpengaruh nyata terhadap nilai gizinya, tetapi cukup berpengaruh

terhadap penampilan dan penerimaan konsumen (Handayani et al., 2014).

Jumlah bakteri awal juga berpengaruh pada kecepatan proses kemunduran

mutu ikan. Untuk dapat meminimalisasi jumlah bakteri awal ini, ikan-ikan yang

akan dijadikan bahan baku sebaiknya berasal dari daerah yang tidak tercemar.

Selanjutnya, cara penyimpanan ikan dengan metode penumpukan dalam jumlah

besar dapat menghancurkan ikan yang berada dibagian bawah, mengarah ke

penurusan berat badan serta kerusakan fisik lainnya. Oleh karena itu, sebaiknya

tumpukan ikan tidak terlalu tinggi (Husni dan Putra, 2018).

Pendinginan Ikan

Pendinginan ikan merupakan salah satu proses yang umum digunakan

untuk mengatasi masalah pembususkan ikan, baik selama penangkapan,

pengangkutan, maupun penyimpanan sementara sebelum diolah menjadi produk

lain. Tubuh ikan yang didinginkan belum membeku, sebab suhu yang dapat

dicapai pada proses pendinginan terbatas, maksimal 0 oC. Proses pengawetan ikan

dengan cara pendinginan dapat mempertahankan masa kesegaran (shelf-life) ikan

selama 12-18 hari, tergantung jenis ikan, cara penanganan, tingkat kesegaran ikan

yang akan didinginkan dan suhu yang digunakan (Afrianto dan Evi, 1989).

Universitas Sumatera Utara


14

Pendinginan mencegah pertumbuhan mikroba termofilik (35-55 oC) dan

mesofilik (10-40 oC). Sejumlah mikroba psikrofilik ((-5)-15 oC) mengakibatkan

kebusukan pada bahan pangan, tetapi tidak ada jenis bakteri patogenik (dapat

menimbulkan penyakit). Oleh karena itu, pendinginan pada suhu dibawah 5-7 oC

menghambat kebusukan dan mencegah pertumbuhan mikroba

patogen. Pendinginan juga mengurangi kecepatan enzimatik dan mikrobiologi

serta menghambat respirasi bahan pangan segar (Suhubawa, 2014).

Proses kemunduran mutu ikan juga dipengaruhi oleh temperatur. Berikut ini

adalah hubungan temperatur dengan kegiatan bakteri serta mutu ikan (Tabel 2).

Tabel 2. Mutu ikan berdasarkan temperatur

No Suhu (oC) Kegiatan Bakteri Mutu Ikan


1. Suhu Tinggi
 25 sampai Luar biasa cepat Cepat menurun daya
dengan 10 awet sangat pendek
(3-10 jam )
 10 sampai Pertumbuhan lebih lambat Mutu turun lambat,
dengan 2 daya awet pendek (2-5
hari)
2. Suhu Rendah
 2 sampai dengan Pertumbuhan bakteri jauh Penurunan mutu agak
1 berkurang dihambat, daya awet
wajar (3-10 hari)
 -1 kegiatan dapat ditekan Sebagai ikan basah
penurunan minimum,
daya awet ikan basah
5-20 hari
3. Suhu Sangat Rendah
 -2 sampai Ditekan tidak aktif Penurunan mutu
dengan -10 minimum, ikan jadi
beku, daya awet
panjang (7-30 hari)
 -18 dan lebih Ditekan minimum, bakteri Mutu ikan beku lebih
rendah tersisa tidak aktif baik, daya awet
sampai setahun
Sumber: Nugroho et al., (2016)

Universitas Sumatera Utara


15

Menurut Erlangga (2009), kemampuan suhu chilling untuk mempertahankan

ikan tetap segar sangat ditentukan oleh mutu awal ikan, metode pendinginan dan

penerapan suhu rendah tersebut hingga ikan siap digunakan (sistem rantai dingin).

Metode pendinginan yang biasa digunakan dalam industri perikanan antara lain:

1. Metode pendinginan dengan es atau pengesan (icing)

2. Metode pendinginan dengan udara dingin (chilling in cold air)

3. Metode pendinginan dengan air yang didinginkan (chilling in water).

Teknik Penyimpanan Ikan pada Suhu Chilling

Proses pendinginan ikan akan lebih efektif bila dilaksanakan sebelum fase

rigor mortis berakhir. Sebaiknya proses pendinginan ikan dilakukan secepat

mungkin. Pertama pisahkan ikan yang akan didinginkan menjadi beberapa

kelompok berdasarkan berat jenisnya, ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Ikan

yang telah dicuci dengan air bersih agar lendir, darah maupun kotoran yang masih

menempel hilang. Kemudian ikan disusun dalam wadah tergantung dari metode

pendinginan yang digunakan. Jika perut ikan dibelah, dalam penyusunan bagian

perut harus menghadap kebawah agar cairan es batu yang meleleh tidak tergenang

dalam perut. Setelah ikan dimasukan ke dalam wadah, proses pendinginan segera

dimulai. Jalannya proses pendinginan tergantung dari metode yang digunakan

(Suprayitno, 2017).

Selama ini petani ikan dan nelayan umumnya melakukan proses

pendinginan ikan dengan menggunakan es batu karena alasan kemudahannya.

Selain dengan menggunakan es batu, poses pendinginan ikan dapat juga dilakukan

dengan larutan garam dingin, aliran udara dingin, air laut yang didinginkan dan

lainnya. Dalam prakteknya, pendinginan dapat dilakukan dengan menggunakan

Universitas Sumatera Utara


16

salah satu cara diatas atau dengan mengkombinasikan beberapa cara tersebut.

(Afrianto dan Evi, 1989).

Es yang digunakan oleh nelayan di Indonesia pada umumnya adalah dalam

bentuk bulk ice (es curah) dan crushed ice (es hancuran). Kedua es tersebut

memiliki perbedaan dari segi ukuran, dimana bulk ice memiliki ukuran yang lebih

kecil jika dibandingkan dengan crushed ice. Oleh karena itu, luas permukaan bulk

ice lebih kecil jika dibandingkan dengan crushed ice. Perbedaan tersebut diduga

akan menyebabkan kedua jenis es tersebut memiliki karakteristik yang berbeda

dalam kemampuannya untuk menurunkan suhu di dalam suatu ruang.

Kemampuan es untuk menurunkan suhu suatu ruang sangat menentukan tingkat

keberhasilan es tersebut untuk menjaga suhu dingin pada ikan yang disimpan di

dalam tempat penyimpanan ikan (Kusumah et al., 2015).

Menurut Suprayitno (2017) semakin halus es batu, luas permukaan tubuh

ikan yang bersinggungan dengan es batu semakin besar sehingga waktu yang

diperlukan untuk mencapai suhu 0 oC lebih singkat. Susanto et al (2011)

menambahkan bahwa penggunaan perbandingan ikan dan es yang berbeda pada

prinsipnya dilakukan untuk mencari perlakuan yang efektif dengan meminimalkan

penggunaan media pendingin pada penanganan ikan.

Mutu Ikan Segar

Kesegaran ikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan harus

menjadi perhatian utama dalam upaya penanganan dan pengolahan hasil

perikanan. Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, akan tetapi juga

membahayakan kesehatan bila dimakan. Mutu ikan yang akan dikonsumsi harus

Universitas Sumatera Utara


17

terjamin agar tidak menimbulkan efek negatif (Erlangga, 2009). Menurut FAO

(1995) pemeriksaan mutu ikan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1. Pemeriksaan organoleptik atau sensori.

2. Pemeriksaan di laboratorium (secara fisik, kimia, dan mikrobiologis).

3. Menggunakan alat-alat seperti freshness measure, electric freshness tester.

Standar ikan segar diatur dalam BSN (2013) menjelaskan bahwa ikan

segar secara organoleptik mempunya karakteritik kenampakan mata cerah

cemerlang, bau segar spesifikasi jenis dan tekstur elastis padat dan kompak.

Persyaratan mutu dan keamanan ikan segar secara organoleptik adalah minimal 7

(skor 1-9), sementara batas total cemaran mikroba pada ikan segara yang

diperbolehkan adalah 5,0 × 105 koloni/g.

Penentuan kadar TVB-N merupakan metode uji kesegaran kimiawi atau

uji kemunduran yang berkaitan dengan pengujian kadar air dan penentuan pH,

semakin tinggi kadar TVB maka semakin tinggi pula pH-nya (Wally et al., 2015).

Nilai pH (power of hydrogen) atau derajat keasaman merupakan salah satu

indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran

ikan (Annisah et al., 2019).

Universitas Sumatera Utara


18

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2020.

Pengambilan sampel ikan Mas dilakukan di Pasar Tradisional Desa Sei

Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Pengujian organoleptik, total volatile base (TVB) dan total plate count (TPC)

dilakukan di UPTD Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil

Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara. Pengujian

protein dan pH dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengatahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Serta, pengujian

histologi dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran, Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris, alat tulis,

timbangan analitik, alat bedah, nampan, termometer, styrofoam ukuran 42x16x34

cm, botol sampel dan suntik. Alat yang digunakan untuk organoleptik ikan segar

yaitu score sheet organoleptik ikan segar berdasarkan 2346:2015. Alat yang

digunakan untuk pengujian protein adalah alat destruksi kjeldahl ukuran 250 mL,

alat destilasi uap, peralatan gelas labu destruksi 250 mL, labu takar, corong gelas,

burret 50 mL, pipet volumetrik 25 mL, erlenmeyer 250 mL, gelas ukur 50 mL,

gelas piala 50 mL, pipet tetes dan batang pengaduk, saringan no. 20 ukuran mesh

0,03 inci diameter kawat 0,35 mm. Alat yang digunakan untuk pengukuran pH

adalah pH meter.

Universitas Sumatera Utara


19

Alat yang digunakan untuk pengujian TVB adalah blender, buret, corong

gelas, erlenmeyer, gelas piala, kertas saring kasar, labu takar, seperangkat alat

destilasi uap, timbangan analitik. Alat yang digunakan untuk pengujian TPC

adalah cawan petri 15 mm x 90 mm, botol pengencer 20 ml, alat penghitung

koloni, stomacher; pipet gelas atau pipetor 1 mL, 5 mL dan 10 mL. Alat yang

digunakan untuk pembuatan preparat histologi adalah mikroskop cahaya,

mikrotom putar.

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan mas

(Cyprinus carpio). Bahan-bahan untuk analisis nilai pH terdiri dari pH buffer

powder standar pH 6,86 dan pH 4,01serta akuades. Bahan-bahan untuk pengujian

protein terdiri dari kertas timbang bebas N (Whattman 541), batu didih, larutan

asam borat 4%, larutan indicator methyl red 0,1 %, etanol, indicator bromcresol,

asam sulfat (H2SO4) hidrogen peroksida (H2O2), larutan natrium hidroksida

(NaOH), natrium thiosulfate, larutan standar asam klorida 0,2 N. Bahan-bahan

untuk analisis TVB terdiri dari asam borat (H3BO3), kalium karbonat (K2CO3),

trichloroacetic acid (TCA) 7%, HCl. Bahan-bahan yang digunakan untuk media

TPC adalah plate count agar dan larutan butterfield’s phosphate buffered. Bahan-

bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi terdiri dari larutan

buffer normal formalin (BNF) 10%, alkohol 50-100%, xylol, paraffin,

hematoksilin, eosin, dan mounting agent.

Prosedur Penelitian

Teknik pengambilan sampel ikan

Pengambilan ikan mas dilakukan dengan 5 kali pengambilan dengan

jumlah ikan mas yang diambil sebanyak 64 ekor dari pasar tradisional Desa Sei

Universitas Sumatera Utara


20

Semayang, Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Pengambilan ikan

disesuaikan dengan parameter yang akan diujikan. Ikan mas yang dijadikan

sampel dalam penelitian adalah ikan mas dengan berat 300-450 gram. Ikan mas

dibawa dalam keadaan hidup dan menggunakan transportasi sistem basah

menggunakan plastik yang berisikan oksigen dengan kapasitas ikan yang terdapat

pada plastik maksmimum adalah 10 ekor. Pengunaan sistem transportasi sistem

basah mengacu pada Nani et al., (2015).

Teknik preparasi dan penyimpanan sampel ikan mas

Ikan mas yang diperoleh dari pasar dalam keadaan hidup kemudian

dimatikan dengan menusuk bagian medulla oblongata. Ikan dibagi ke dalam 2

kelompok yaitu kelompok A ikan tanpa penyiangan (ikan mas dalam keadaan

utuh) dan kelompok B ikan dengan penyiangan (ikan mas mengalami proses

pembuangan bagian insang dan organ pencernaan ikan). Ikan mas yang telah

mengalami preparasi kemudian dimasukkan kedalam wadah plastik secara

terpisah dan setiap kelompok ikan dimasukkan kedalam stryrofoam yang telah

terisi es terlebih dahulu. Ikan mas disusun berlawanan arah perut ikan mas

menghadap ke bawah kemudian disusun dengan sistem berlapis antara es dengan

ikan mas.

Perbandingan jumlah es yang digunakan adalah 1:3. Es yang digunakan

dalam pendinginan adalah es curah yang kemudian di hancurkan. Hal ini

dilakukan untuk mempercepat penurunan suhu yang lebih singkat untuk mencapai

0 oC (Suprayitno, 2017). Dengan penambahan es setiap 12 jam sekali. Suhu di

dalam styrofoam dijaga agar tetap dingin 0-5 ℃ (suhu chilling).

Universitas Sumatera Utara


21

Preparasi sample ikan akan dilakukan jika pengujian yang telah

disesuaikan dengan waktu pengujiannya melalui parameter uji orgenoleptik, pH,

protein, TVB, TPC dan histologi. Pengujian setiap parameter pengamatan

dilakukan pada individu ikan mas yang berbeda tetapi proses penanganan dan

penyimpanan dilakukan dalam waktu yang sama. Pengamatan ikan mas dilakukan

selama 7 kali pengamatan pada ikan mas tanpa penyiangan dan dengan

penyiangan sebelum penyimpanan suhu chilling dan penyimpanan suhu chilling

hari ke- 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 melalui parameter uji orgenoleptik, pH, protein,

TVB, dan TPC. Sedangkan pengamatan histologi dilakukan pada daging ikan

tanpa penyiangan dan dengan penyiangan, hati dan usus hanya pada ikan tanpa

penyiangan pada kondisi sebelum diberi perlakuan dingin, hari ke- 6 dan 12

penyimpanan suhu chilling.

Prosedur Analisis
Uji karakteristik

Pengujian karakteristik dilakukan untuk ikan mas sebelum disiangi dan

sebelum diterapkan suhu chilling degan jumlah 64 ekor. Pengujian dilakukan

dengan melihat morfometrik dan menghitung rendemen ikan. Morfometrik adalah

ukuran bagian-bagian tertentu dari struktur tubuh ikan (measuring methods),

sebagai suatu penandaan yang menggambarkan bentuk tubuh ikan. Karakter

morfometrik yang sering digunakan antara lain: panjang total, panjang baku,

panjang cagak dan tinggi (Muhotimah et al., 2013).

Sementara definisi rendemen menurut Hafiluddin et al., (2014) adalah

persentase bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan yang kemudian ditimbang

beratnya. Nilai rendemen tersebut diperoleh dengan cara melakukan penimbangan

Universitas Sumatera Utara


22

ikan mas sebelum dan sesudah di fillet. Berat awal diperoleh dengan cara

menimbang ikan sebelum dilakukan proses fillet. Kemudian dilakukan fillet untuk

memisahkan bagian daging dengan tulangnya. Setelah terpisah kemudian

melakukan penimbangan kembali untuk mengetahui nilai berat ikan. Perhitungan

persentase rendemen menggunakan rumus berikut:

Uji organoleptik (SNI 2346:2015)

Pengujian dilakukan untuk ikan mas tanpa penyiangan dan penyiangan

yang sudah disimpan pada suhu chilling. Pengujian organoleptik merupakan

pengujian yang dilakukan untuk menentukan tingkat kesegaran ikan mas

menggunakan panca indera. Uji ini bersifat subyektif dengan menilai beberapa

parameter yaitu kenampakan, daging, bau, dan tekstur daging. Pengujian

organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 2346:2015. Uji tersebut

menggunakan uji deskripsi (skroring) dimana beberapa sampel disajikan secara

bersamaan kepada panelis terlatih dengan bersadarkan kualitas menggunakan skor

1-9 untuk masing-masing atribut sensori. Pengujian organoleptik dilakukan

dengan panelis standar yang berjumlah 6 orang.

Pelaporan hasil uji organoleptik dalam bentuk 1 angka di belakang koma

dan dikonversi ke tingkat kesukaan. Jika angka di belakang koma kurang dari lima

maka angka di depan koma tetap, tetapi apabila angka di belakang koma lebih dari

lima maka angka di depan koma naik satu angka. Jika angka di belakang koma

lima maka nilai tetap.

Universitas Sumatera Utara


23

Uji protein (AOAC, 2005)

Pengujian protein dilakukan pada ikan mas dengan penyiangan dan tanpa

penyiangan yang disimpan selama suhu chilling. Tahap-tahap yang dilakukan

dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap destruksi

terdiri dari ikan mas ditimbang sebesar 1 gram kemudian sampel te

rsebutdimasukkan ke dalam tabung kjeldahl. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 3

ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi

larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan

sampai larutan berwarna bening.

Tahap destilasi meliputi. Larutan bening dituangkan ke dalam labu

destilasi lalu ditambahkan akuades 50 ml, air bilasan juga dimasukkan ke dalam

alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam

ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan H3BO3

dan 2 tetes indikator (cairan methylred dan bromo cresol green) yang ada di

bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 ml destilat dan

berwarna hijau kebiruan. Lalu, dilakukan tahap titrasi dengan menggunakan HCl

0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume

titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein ikan mas

Keterangan:

Va = mL HCl untuk titrasi contoh

Vb = mL HCl untuk titrasi blangko

N = normalitas HCl standar yang digunakan.

Universitas Sumatera Utara


24

14,007 = berat atom nitrogen.; 6,25 = faktor konversi protein untuk ikan

W = berat contoh (g)

Kadar protein dinyatakan dalam satuan g/100 g contoh (%)

Uji nilai pH (AOAC, 2005)

Pengujian nilai pH ikan mas dilakukan pada ikan dengan penyiangan dan

tanpa penyiangan yang disimpan pada suhu chilling. Nilai pH diukur

menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi. Lalu pengukuran pH dilakukan

dengan mengambil daging ikan Mas sebanyak 5 gram yang ditambahan akuades

sebanyak 45 mL, kemudian dihomogenkan selama 2 menit. Setelah itu daging

yang telah dihomogenkan kemudian diukur pH nya.

Uji total volatile base (TVB) (SNI 01-2354.8:2009).

Pengujian nilai total volatile base (TVB) dilakukan pada ikan mas dengan

penyiangan dan tanpa penyiangan yang disimpan pada suhu chilling. Analisis ini

bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa basa volatil yang

terbentuk akibat degradasi. Prosedur kerja analisis kadar TVB terbagi atas tahap

ekstraksi, tahap destilasi dan tahap titrasi. Pada tahap ekstraksi, sampel ditimbang

sebanyak 10 gram dengan gelas piala, lalu ditambahkan 90 mL asam perklorat

(PCA) 6%. Kemudian sampel dihomogenkan menggunakan homogenizer selama

2 menit. Selanjutnya sampel disaring dengan menggunakan kertas saring kasar

dan menghasilkan filtrat yang akan digunakan pada tahap selanjutnya.

Tahap destilasi sebanyak 50 mL sampel filtrat dimasukkan ke tabung

destilasi, kemudian ditambahkan beberapa tetes indikator fenolftalein dan

ditambahkan beberapa tetes silikon anti foaming. Pada tabung destilasi dipasang

pada desikator dan ditambahkan 10 mL NaOH 20% sampai basa yang ditandai

Universitas Sumatera Utara


25

dengan warna merah. Kemudian disiapkan penampung erlenmeyer yang berisi

100 mL H3BO4 3% dan 3 – 5 tetes indikator tashiro yang berwarna ungu. Lalu

sampel didestilasi uap kurang lebih 10 menit sampai memperoleh destilasi 100

mL sehingga pada volume akhir mencapai kurang lebih 200 mL larutan berwarna

hijau. Selanjutnya larutan blangko disiapkan dengan mengganti ekstrak sampel

dengan 50 mL asam perklorat (PCA) 6% dan dikerjakan dengan proses yang sama

dengan sampel.

Terakhir pada tahap titrasi, larutan destilasi sampel dan blangko kemudian

dititrasi dengan menggunakan larutan HCl 0,02 N. Kemudian titik akhir titrasi

ditandai dengan terbentuknya kembali warna ungu. Selanjutnya dilakukan

perhitungan kadar TVB dapat dilakukan dengan perumusan berikut ini :

Keterangan:

Vc = volume larutan HCl pada titrasi contoh/sampel

Vb = volume larutan HCl pada titrasi blangko Ar

N = berat atom nitrogen (14,007)

Fp = faktor pengenceran

Uji total plate count (TPC) (SNI 2332.3:2015)

Pengujian mikrobiologi pada ikan mas dilakukan dengan metode total

plate count (TPC) yang merupakan perhitungan jumlah bakteri yang ada pada

sampel. Pengujian dilakukan pada ikan mas dengan penyiangan dan tanpa

penyiangan yang disimpan pada suhu chilling. Bagian ikan mas yang digunakan

dalam pengujian adalah bagian ventral daging ikan. Ditimbang sebanyak antara 25

gram sampel yang telah dihancurkan kemudian masukkan dalam wadah plastik

Universitas Sumatera Utara


26

steril dan ditambahkan 225 mL larutan butterflied’s phospate buffered,

dimasukkan ke dalam botol, selanjutnya dihomogenkan selama 2 menit.

Homogenat ini merupakan larutan dengan pengenceran 10 -1. Pencampuran larutan

contoh tersebut diambil 10 mL dan dimasukkan ke dalam botol berisi 90 mL

butterflied’s phospate buffered sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran

10-2, selanjutnya dihomogenkan. Kemudian Pengenceran dilakukan sampai

pengenceran 10-6. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran

sebanyak 1 mL dan dipindahkan ke dalam cawan petri menggunakan pipet steril.

Selanjutnya media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 5 mL

dan digoyang sampai permukaan agar merata (metode tuang), cawan petri

didiamkan hingga media dingin dan mengeras. Pada cawan yang berisi agar dan

larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 35 ºC selama 48 jam

dengan posisi cawan petri dibalik. Pengamatan dilakukan dengan menghitung

jumlah koloni bakteri yang ada di dalam cawan petri. Adapun jumlah koloni yang

dapat dihitung yaitu yang mempunyai jumlah koloni antara 25 sampai 250 koloni.

Lalu, bila jumlah koloni per cawan lebih besar dari 250 pada seluruh pengenceran

maka laporkan hasilnya sebagai terlalu banyak untuk dihitung (TBUD), tetapi jika

salah satu pengenceran mempunyai jumlah koloni. Perhitungan jumlah koloni:


[ ]

Keterangan:

N = jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g

C = jumlah koloni pada semua cawan yang di hitung

n1, n2 = jumlah cawan pada pengenceran pertama dan kedua yang dihitung

d = pengenceran pertama yang dihitung

Universitas Sumatera Utara


27

Uji histologi

Pengujian histologi ikan Mas dilakukan pada ikan dengan penyiangan dan

tanpa penyiangan yang disimpan pada suhu chilling. Pada ikan mas dengan

penyiangan pengujian histologi dilakukan hanya pada daging ikan, sementara

pada ikan tanpa penyiangan pengujian histologi dilakukan pada daging, hati dan

usus ikan. Pengujian histologi dilakukan menurut Ramadhan (2018) dimana

pengamatan daging, hati dan usus ikan mas diawali dengan pembuatan preparat

lalu pengambilan gambar objek pada mikroskop. Pada pembuatan preparat

dilakukan dengan metode parafin. Metode parafin memiliki beberapa tahap yaitu

fiksasi, dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding, blocking, trimming,

pemotongan jaringan, pewarnaan, dan perekatan jaringan menggunakan mounting

agent.

Pada fiksasi dilakukan di dalam larutan buffer normal formalin (BNF)

selama lebih dari 24 jam (3 hari), setelah itu larutan fiksasi dibuang. Selanjutnya,

fikasi dibuang dilakukan dehidrasi melalui perendaman jaringan dalam botol

berisi alkohol 80%, 90%, 95%, masing-masing selama 2 jam dan alkohol 100%

selama 12 jam. Perendaman dilakukan pada suhu ruang. Tahap clearing yang

dimulai dari perendaman sampel dalam clearing agent. Jaringan direndam dalam

alkohol: xilol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan tahap impregnasi dan

embedding.

Tahap impregnasi adalah perendaman jaringan ke dalam xilol:paraffin

(1:1) selama 45 menit di dalam gelas piala. Tahap embedding adalah perendaman

jaringan di dalam parafin cair, yakni parafin I, parafin II, dan parafin III masing-

masing selama 45 menit. Proses impregnasi dan embedding berlangsung di dalam

Universitas Sumatera Utara


28

oven pada suhu 60 oC. Jaringan yang telah di embedding lalu diblok (dicetak agar

mudah dipotong) dengan parafin cair kemudian dibekukan. Proses ini

membutuhkan cetakan berukuran 2x2x2 cm yang dapat dibuat kaku misal kertas

kalender. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8

bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku.

Selanjutnya, jaringan disusun dalam cetakan dan dituangi dengan parafin

cair hingga material jaringan terendam selanjutnya biarkan membeku selama 24

jam dalam suhu ruang. Setelah paraffin beku dengan sempurna, blok parafin

dikeluarkan dari cetakan lalu dipotong tipis (trimming) menggunakan silet agar

dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong. Pemotongan jaringan

dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar setebal 4 µm. Mata mikrotom

harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan baik. Ukuran

pemotongan sekitar 1 cm. Hasil pemotongan jaringan diambil dengan jarum lalu

diletakkan di permukaan air hangat dalam 45-50 oC kemudian direkatkan pada

gelas obyek dan biarkan sampai mengering.

Preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin yang diawali dengan

perendaman gelas obyek ke dalam xilol I dan xilol II masing-masing selama 2

menit. Setelah itu, dilanjutkan perendaman dalam alkohol absolut (100%), 95%,

90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama 2 menit kemudian obyek

dimasukkan ke dalam pewarna hemotoksilin selama 7 menit dan dicuci dengan air

mengalir untuk menghilangkan zat pewarna berlebih yang tidak dapat diserap.

Obyek direndam kembali di dalam eosin selama 3 menit dan dicuci kembali

dengan akuades. Preparat jaringan direndam dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%,

100%, xilol I, xilol II masing-masing selama 2 menit. Proses selanjutnya adalah

Universitas Sumatera Utara


29

penutupan gelas obyek dengan pemberian mounting agent pada gelas obyek lalu

ditutupi dengan penutup gelas dan dikeringkan selam 24 jam. Pengamatan

preparat awetan dilakukan dengan mikroskop.

Analisis Data

Data pengukuran karakteritik ikan, uji organoleptik, uji pH, TVB dan TPC

diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010. Data disajikan dalam bentuk

tabel dan grafik, kemudian dianalisis secara deskriptif. Data histologis disajikan

dalam bentuk gambar serta dianalisis secara deskriptif. Analisis hubungan

parameter penilaian kuantitatif kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan

suhu chilling dilakukan menggunakan hubungan korelasi. Adapun untuk

menentukan tingkat hubugan korelasi parameter dengan hari penyimpanan dapat

ditentukan sebagai berikut:

Tabel 3. Interpretasi koefisien korelasi


No. Nilai r Interpretasi
1 0,00-0,199 Sangat rendah
2 0,20-0,399 Rendah
3 0,40-0,599 Sedang
4 0,60-0,799 Kuat
5 0,80-1,000 Sangat Kuat
Sumber: Safitri (2016).

Universitas Sumatera Utara


30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Karakteristik ikan mas (Cyprinus carpio)
Morfologi ikan mas
Secara morfologi ikan mas memiliki bentuk tubuh yang panjang sedikit

memipih kesamping. Ikan mas memiliki bentuk mulut diujung tengah yang dapat

disembulkan atau protaktil yang dilengkapi dengan dua sungut. Tubuh ikan mas

sebagian besar ditutupi oleh sisik. Ikan mas memililiki lima buah sirip yang terdiri

dari sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip anus dan sirip ekor.

Selain mengamati bentuk dan morfologi ikan mas untuk mengetahui

karakteristik ikan mas dilakukan pengukuran morfometrik pada ikan mas.

Morfometrik adalah metode pengukuran bentuk-bentuk luar tubuh yang dijadikan

sebagai dasar membandingkan ukuran ikan, seperti lebar, panjang standar, tinggi

badan dan lain-lain (Suryana et al., 2015). Berdasarkan penelitian ikan mas rata-

rata panjang total ikan mas adalah 28,3cm, panjang baku 23,8 cm, panjang cagak

25,8 cm, tinggi 8,6 cm serta berat total ikan adalah 352 gram (Tabel 3).

Keterangan: PT: Panjang total; PB: Panjang baku; PC: Panjang cagak; T: Tinggi
Gambar 4 .Pengukuran morfometrik ikan mas (Cyprinus carpio)

Universitas Sumatera Utara


31

Tabel 4. Hasil pengukuran morfometrik ikan mas (Cyprinus carpio)


Parameter Satuan Nilai
Panjang total (cm) 28,3±1,17
Panjang baku (cm) 23,8±0,94
Panjang cagak (cm) 25,8±1,01
Tinggi (cm) 8,6±0,23
Berat total (gram) 352,0±28.33

n=64 ekor

Rendemen ikan mas (Cyprinus carpio)

Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk

mengetahui nilai ekonomis dan efektifitas suatu produk atau bahan

(Munandar et al., 2016). Parameter yang digunakan dalam mengetahui jumlah

rendemen dari bagian-bagian tubuh ikan mas meliputi daging, kepala, tulang, kulit

dan isi perut. Nilai rata-rata dari rendemen daging ikan mas adalah 31%, tulang

25 %, kepala 23%, isi perut 12 % dan kulit 9% (Gambar 5).

Gambar 5. Rata-rata rendemen ikan mas (Cyprinus carpio)

Kemunduran mutu fisik ikan mas (Cyprinus carpio)

Pengujian organoleptik merupakan salah satu metode untuk melihat

kemunduran mutu ikan. Metode ini bersifat subyektif, karena pengujiannya

Universitas Sumatera Utara


32

menggunakan panca indra manusia (Hartanto, 2018). Penetapan kemunduran

mutu ikan secara organoleptik dilakukan dengan menggunakan score sheet yang

telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional SNI 2729-2013 (BSN 2013).

Parameter yang diamati meliputi perubahan kenampakan (mata, insang

dan lendir permukaan badan) daging, bau dan tekstur. Pengamatan dilakukan

selama 7 kali pengamatan pada ikan tanpa penyiangan dan dengan penyiangan

sebelum diberikan perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling

hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12. Hasil pengamatan nilai organoleptik parameter

kenampakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6 pada ikan mas tanpa

penyiangan dan Gambar 7 pada ikan mas dengan penyiangan. Pada awal

penyimpanan ikan tanpa penyiangan (Gambar 6), mata dan insang memiliki bobot

nilai 9 sementara lendir memiliki bobot nilai 8. Kemudian pada hari ke-6

penyimpanan bobot nilai untuk mata adalah 7 sedangkan untuk insang dan lendir

adalah 8. Sementara pada akhir penyimpanan organoleptik untuk insang, mata dan

lendir adalah 6.

Gambar 6. Nilai organoleptik kenampakan ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa


penyiangan

Universitas Sumatera Utara


33

Gambar 7. Nilai organoleptik kenampakan ikan mas (Cyprinus carpio) dengan


penyiangan
Pada ikan dengan penyiangan (Gambar 7), pada awal penyimpanan mata

memiliki bobot nilai 9 dan lendir memiliki bobot nilai 8. Kemudian pada hari

penyimpanan ke-6 bobot nilai untuk mata adalah 7 sedangkan untuk lendir adalah

8. Sementara pada hari penyimpanan ke-12 bobot nilai untuk mata dan lendir

adalah 6.

Gambar 8. Nilai organoleptik daging, tekstur dan bau ikan mas (Cyprinus carpio)
tanpa penyiangan

Sementara, untuk parameter penilian organoleptik daging, tekstur dan bau

pada ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada Gambar 8 dan ikan mas dengan

Universitas Sumatera Utara


34

penyiangan Gambar 9. Dimana pada ikan dengan tanpa penyiangan dan dengan

penyiangan tidak ada perbedaan nilai pada parameter penilaian organoleptik ikan

tanpa penyiangan dan dengan penyiangan. Dimana pada hari ke-0 ikan tanpa

penyiangan dan penyiangan memiliki nilai 9 pada parameter daging, bau, tekstur.

Pada penyimpanan hari ke-2 mengalami penurunan nilai organoleptik dimana

nilai parameter daging, bau dan tekstur menjadi nilai 8. Nilai organoleptik

semakin menurun hingga penyimpanan hari ke-12 dimana semua parameter

penilaian memiliki nilai 6.

Gambar 9. Nilai organoleptik daging, tekstur dan bau ikan mas (Cyprinus carpio)
dengan penyiangan
Sementara hubungan kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan

suhu chilling pada parameter organoleptik ikan mas tanpa penyiangan disajikan

pada gambar 10a dan untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar

10b. Dimana pada ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,97

dan ikan mas dengan penyiangan sebesar 0,96 dimana hubungan ini memiliki

korelasi yang sangat kuat sehingga semakin lama penyimpanan ikan maka

semakin menurun nilai organoleptik pada ikan mas kedua perlakuan tersebut.

Universitas Sumatera Utara


35

a. b.
Gambar 10. Grafik hubungan parameter organoleptik dengan kemunduran mutu
ikan mas tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)

Kemunduran mutu kimiawi ikan mas (Cyprinus carpio)


Derajat keasaman (pH)
Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk

menentukan tingkat kesegaran ikan (Santhi, 2017). Pengamatan dilakukan selama

7 kali pengamatan pada ikan tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan (B)

sebelum diberikan perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling

hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12. Berdasarkan penelitian, Pada hari ke-0, pH pada ikan

mas dengan penyiangan adalah 6,7 memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan

dengan pH ikan mas tanpa penyiangan adalah 6,9 sebelum diberikan perlakuan

suhu chilling,

Penyimpanan hari ke-2, pH ikan penyiangan dan tanpa penyiangan

mengalami penurunan pH menjadi 6,6 dan 6,5, dimana ikan dengan penyiangan

memiliki pH yang lebih rendah dibanding ikan tanpa penyiangan. Penurunan pH

terus terjadi pada ikan tanpa penyiangan hingga penyimpanan hari ke-6 menjadi

6,2. Sementara ikan dengan penyiangan mengalami penurunan pH pada hari ke-2

penyimpanan dan ke-4 penyimpanan pH ikan mengalami statis pada hari ke-2

pengamatan dan mengalami penurunan pH pada ke-6 penyimpanan 6,4.

Universitas Sumatera Utara


36

Sedangkan pada penyimpanan hari ke-8 hingga ke-12 pH ikan pada kedua

perlakuan mengalami kenaikan. Namun pH ikan penyiangan pada penyimpanan

hari ke-6 dan 8 lebih tinggi disbanding ikan tanpa penyiangan. Sementara pada

penyimpanan hari ke-10 dan 12 ikan penyiangan memiliki pH yang lebih rendah

disbanding ikan tanpa penyiangan. Perubahan nilai pH ikan mas pada

penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 11. Perubahan nilai pH ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan
suhu chilling.
Hubungan kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan suhu chilling

pada parameter pH, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 12a dan

untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 12b. Dimana pada ikan

mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,378 dimana hubungan

korelasi tersebut memiliki kolerasi yang rendah. Sedangkan ikan mas dengan

penyiangan sebesar 0,596 dimana memiliki hubungan korelasi yang sedang.

Perbedaan nilai korelasi diduga akiabat adanya penurunanan nilai pH akibat fase

perubahan mutu ikan mas tanpa penyiangan dan dengan penyiagan selama

penyimpanan

Universitas Sumatera Utara


37

a. b.
Gambar 12. Grafik hubungan parameter pH dengan kemunduran mutu ikan mas
tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)

Kadar protein ikan mas

Protein merupakan salah satu penyusun kimiawi pada tubuh makhluk

hidup yang mana menurut Natsir (2018), protein berarti “pertama atau utama”

merupakan makromolekul yang paling berlimpah didalam sel dan menyusun lebih

dari setengah berat kering pada hampir semua organisme. Pengamatan dilakukan

selama 7 kali pengamatan pada ikan tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan

(B) sebelum diberikan perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu

chilling hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12 dengan menggunakan indivisu ikan mas yang

berbeda. Perubahan nilai protein ikan mas tanpa penyiangan dan dengan

penyiangan selama penyimpanan suhu chilling di tampilkan pada gambar 13.

Berdasarkan penelitian perlakuan tanpa penyiangan dan dengan penyiangan

memberikan perbedaan kadar protein. Rata-rata kadar protein pada sampel ikan

mas yang digunakan selama penyimpanan suhu chilling pada perlakuan tanpa

penyiangan yaitu 18,97 % dan dengan perlakuan penyiangan yaitu 18,91 %. Pada

hari ke-4 dan ke-8 ikan dengan penyiangan memiliki kadar protein yang lebih

besar dibanding dengan ikan tanpa penyiangan.

Universitas Sumatera Utara


38

Gambar 13. Protein ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling.

Hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling pada

parameter protein, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 14a dan

untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 14b. Dimana pada ikan

mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,942 dan ikan mas dengan

penyiangan sebesar 0,897. Dimana kedua perlakuan ikan mas selama

penyimpanan suhu chilling memiliki korelasi yang sangat kuat pada parameter

protein.

a. b.
Gambar 14. Grafik hubungan parameter protein dengan kemunduran mutu ikan
mas tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)

Universitas Sumatera Utara


39

Nilai total volatile base (TVB) ikan mas

Pengujian TVB merupakan metode pengukuran untuk menentukan

kesegaran ikan yang didasarkan pada akumulasi senyawa-senyawa basa seperti

amonia (NH3), TMA, DMA, dan senyawa volatil lainnya yang mudah menguap.

Komponen basa volatil pada ikan, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati

(Annisah, 2019). Pengujian TVB dilakukan dilakukan selama 7 kali pengamatan

pada ikan tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan (B) sebelum diberikan

perlakuan dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling hari ke-2, 4, 6, 8, 10,

12.

Pada hari ke-0 ikan mas dengan penyiangan memiliki TVB yang lebih tinggi yaitu

9,52 mgN/100 dibandingkan dengan ikan mas tanpa penyiangan yaitu 1,9

mgN/100. Selama penyimpanan, ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai TVB

yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan dengan penyiangan. Ikan mas tanpa

penyiangan mengalami kenaikan nilai TVB dari awal penyimpanan hingga akhir

penyimpanan dimana kenaikan kadar TVB sebesar 15,5%.

Sedangkan pada ikan mas dengan penyiangan mengalami nilai TVB yang

berfluktiatif dimana pada hari ke-2 penyimpanan mengalami kenaikan nilai TVB

menjadi 13,64 mgN/100 namun pada penyimpanan hari ke-4, 6 dan 10 mengalami

penurunanan nilai TVB dan mengalami kenaikan nilai TVB kembali pada

penyimpanan hari ke-12 menjadi 16,52 mgN/100. Perubahan nilai TVB ikan mas

tanpa penyiangan dan dengan penyiangan dapat dilihat pada gambar 10.

Universitas Sumatera Utara


40

Gambar 15. Nilai TVB ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling.
Hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling pada

parameter TVB, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 16a dan untuk

ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 16b. Pada ikan mas tanpa

penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,949 dimana hubungan korelasi yang

sangat kuat. Sedangkan, ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi sebesar

0,533 dimana hubungan korelasi yang sedang. Perlakuan penyiangan memberikan

pengaruh terhadap perbedaan nilai korelasi parameter TVB dengan kemunduran

mutu ikan mas pada kedua perlakuan.

a. b.
Gambar 16. Grafik hubungan parameter TVB dengan kemunduran mutu ikan mas
tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)

Universitas Sumatera Utara


41

Kemunduran mutu mikrobiologi ikan mas (Cyprinus carpio)


Nilai total plate count (TPC)
Pengujian TPC dilakukan dilakukan selama 7 kali pengamatan pada ikan

tanpa penyiangan (A) dan dengan penyiangan (B) sebelum diberikan perlakuan

dingin (hari ke-0) dan penyimpanan suhu chilling hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12.

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui total koloni bakteri yang tedapat pada

ikan mas tanpa penyiangan dan dengan penyiangan yang digunakan selama

penyimpanan. Perubahan nilai TPC selama penyimpanan suhu chilling

ditampilkan pada gambar 17.

Berdasarkan penelitian, nilai TPC pada ikan tanpa penyiangan sebelum

diberi perlakuan suhu chilling memiliki total koloni bakteri yang lebih tinggi yaitu

2×105 kol/gram dibanding dengan ikan penyiangan yaitu 1×10 5 kol/gram. Selama

penyimpanan suhu chilling ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai TPC yang

lebih tinggi dibandingkan ikan mas dengan penyiangan.

Pada ikan mas tanpa penyiangan dan dengan penyiangan mengalami

kenaikan nilai TPC hingga penyimpanan hari ke-6 menjadi 6×105 kol/gram pada

ikan tanpa penyiangan dan 5×105 kol/gram pada ikan tanpa penyiangan.

Sementara, pada penyinpanan hari ke-8 kedua ikan yang diberikan perlakuan

tersebut mengalami penurunan nilai TPC dan mempunyai nilai TPC yang sama

(statis) pada penyimpanan hari ke-10 yaitu 5×105 kol/ gram pada ikan tanpa

penyiangan dan 4×105 kol/ gram pada ikan mas dengan penyiangan. Namun, pada

hari penyimpanan hari ke-12 ikan mas dengan penyiangan mengalami kenaikan

nilai TPC menjadi 7×105 kol/gram sementara pada ikan dengan penyiangan

mengalami penurunan nilai TPC menjadi 3×105 kol/gram.

Universitas Sumatera Utara


42

Gambar 17. Nilai TPC ikan mas (Cyprinus carpio) selama penyimpanan suhu
chilling.

Hubungan kemunduran mutu ikan mas selama penyimpanan suhu chilling

pada parameter TPC, ikan mas tanpa penyiangan disajikan pada gambar 18a dan

untuk ikan mas dengan penyiangan disajikan pada gambar 18b. Pada ikan mas

tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,898 dimana hubungan korelasi

yang sangat kuat. Sedangkan, ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi

sebesar 0,686 dimana hubungan korelasi yang kuat. Perlakuan penyiangan

memberikan pengaruh terhadap perbedaan nilai korelasi parameter TPC dengan

kemunduran mutu ikan mas pada kedua perlakuan.

a. b.
Gambar 18. Grafik hubungan parameter TPC dengan kemunduran mutu ikan mas
tanpa penyiangan (a) dan dengan penyiangan (b)

Universitas Sumatera Utara


43

Kemunduran mutu histologi ikan mas (Cyprinus carpio)


Histologi daging ikan mas

Struktur jaringan daging ikan mas terdiri dari atas serabut-serabut otot

(myomer) dan serabut-serabut otot yang dikelilingi septum (myoseptum). Bagian

daging ikan mas yang akan diamati histologinya merupakan bagian daging dorsal.

Daging dorsal merupakan daging yang terletak pada punggung ikan mas. Gambar

19 menunjukan pengamatan ikan mas sebelum diberi perlakuan penyiangan dan

penyimpanan suhu chilling pada perbesaran 10x. Pada gambar tersebut

menunjukan bahwa daging ikan masih dalam kondisi segar, yang ditunjukan oleh

kondisi miomer longitudinal yang masih kompak dengan tepi yang sangat jelas.

Benang-benang fibril dari miomer masih melekat satu dengan lainnya dalam

miomer.

Keterangan: 1. Miomer longitudinal; 2. Ruang antar miomer


Gambar 19. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) sebelum diberi
perlakuan penyiangan dan penyimpanan suhu chilling (10x)

Selama penyimpanan perubahan ikan mas secara organoleptik dari

parameter tekstur daging juga dapat berpengaruh terhadap perubahan jaringan

daging ikan. Jaringan daging dorsal ikan mas pada penyimpanan hari ke-6 suhu

chilling mengalami perubahan miomer maupun ruang antar miomer pada ikan

mas dengan perlakuan penyiangan dan ikan tanpa penyiangan. Pada ikan mas

Universitas Sumatera Utara


44

tanpa penyiangan (Gambar 20a) kondisi miomer transversal mengalami pecahan

pada beberapa miomer. Sementara, ruang antar miomer mulai merenggang. Pada

daging dorsal ikan dengan penyiangan (Gambar 20b) miomer tranversal tidak

mengalami pecahan dan ruang antar miomer mengalami perenggangan.

a. b.
Keterangan: a. Ikan mas tanpa penyiangan; b. ikan mas dengan penyiangan; 1. Miomer
transversal; 2. Ruang antar miomer; 3. Mioseptum
Gambar 20. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari
ke-6 penyimpanan suhu chilling (40x)

Jaringan daging dorsal ikan mas pada penyimpanan hari ke-12 suhu

chilling mengalami perubahan miomer maupun ruang antar miomer pada ikan

mas dengan perlakuan penyiangan dan ikan tanpa penyiangan. Pada ikan mas

tanpa penyiangan (Gambar 21a) kondisi miomer transversal mengalami pecahan

pada beberapa miomer dimana sebagian miomer menjadi fraksi-fraksi kecil

dengan tepinya yang tidak utuh lagi yang menyebabkan terbentuknya ruang

kosong pada jaringan daging ikan. Sementara, ruang antar miomer mulai

merenggang. Pada daging dorsal ikan dengan penyiangan (Gambar 21b) miomer

tranversal mengalami pecahan serta ruang antar miomer mengalami

perenggangan. Perubahan miomer pada jaringan daging dorsal ikan mas tanpa

penyiangan dan dengan penyiangan mengindikasikan terjadinya kemunduran

mutu pada daging.

Universitas Sumatera Utara


45

a. b.
Keterangan: a. ikan mas tanpa penyiangan; b.ikan mas dengan penyiangan; 1. Miomer transversal;
2.Ruang antar miomer; 3. Patahan miomer
Gambar 21. Jaringan daging dorsal ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari
ke-12 penyimpanan suhu chilling (40x)
Histologi hati ikan mas

Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat penimbun lemak.

Selain itu hati juga berfungsi untuk menyimpan cadangan glikogen. Jaringan hati

ikan mas sebelum perlakuan dingin dapat dilihat pada Gambar 22 dengan

perbesaran 10x. Dimana jaringan penyusun sel-sel masih terlihat kompak dan

jelas.

Gambar 22. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa perlakuan suhu
chilling (40x)

Universitas Sumatera Utara


46

Gambar 23. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-6
suhu chilling (40x)
Sementara pada jaringan hati ikan mas pada penyimpana hari ke-6 suhu

chilling (Gambar 23) hati mengalami kerusakan yang ditunjukkan dengan mulai

merenggangnya sel hepatosit serta bentuknya tidak beraturan. Perubahan jaringan

hati ikan mas terlihat jelas pada hari ke-12 penyimpanan suhu chilling. Hal

tersebut ditunjukkan dengan jaringan hati mengalami kerusakan dan sel hepatosit

terlepas serta membentuk ruang kosong yang lebih jelas Gambar 24.

Gambar 24. Jaringan hati ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-12
suhu chilling (40x)

Histologi usus ikan mas

Usus merupakan salah satu organ dalam yang berfungsi sebagai tempat

pencernaan dan penyerapan makanan. Usus akan mengalami perubahan

mikrostruktur selama periode kemunduran mutu ikan selama penyimpanan.

Universitas Sumatera Utara


47

Jaringan usus ikan mas sebelum perlakuan dingin merupakan bagian usus halus

atau instestum (Gambar 25) pada perbesaran 10x. Dimana jaringan penyusun usus

seperti halnya mukosa, sub mukosa dan sel goblet masih terlihat kompak dan

jelas.

Keterangan: 1. Mukosa; 2. Sub mukosa; 3. Sel goblet


Gambar 25. Jaringan usus ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa perlakuan suhu
chilling (10x)

Perubahan jaringan usus ikan mas terlihat pada penyimpanan hari ke-6

suhu chilling (Gambar 26). Dinding usus mengalami kerusakan dan semakin

meningkat ke arah bagian yang lebih dalam. Pecahan mukosa terlihat jelas,

sedangkan pada bagian sub mokusa mulai terjadinya perenggangan serta dinding

penyusun usus yang sudah tidak kompak.

Keterangan: 1. Pecahan mukosa; 2. Sub mukosa; 3. Dinding usus


Gambar 26. Jaringan usus ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-6
suhu chilling (10x)

Universitas Sumatera Utara


48

Kemunduran mutu pada usus ikan mas semakin menurun pada

penyimpanan hari ke-12. Hal ini disebabkan oleh usus yang mengalami kerusakan

dan mengakibatkan villi terlihat seperti spons dan meninggalkan bekas yang besar

(Gambar 27). Rusaknya usus menghasilkan fragmen-fragmen kecil seperti yang

terlihat.

Gambar 27. Jaringan usus ikan mas (Cyprinus carpio) penyimpanan hari ke-12
suhu chilling (40x)

Pembahasan
Karakteristik ikan mas (Cyprinus carpio)
Morfologi ikan mas
Karakteristik ikan mas memiliki bentuk tubuh agak memanjang dan

sedikit memipih kesamping (compressed). Sebagian besar tubuh ikan mas ditutupi

oleh sisik. Moncongnya terletak dibagian tengah (terminal) dan dapat

disembulkan (protaktil). Pada bagian bibir terdapat dua pasang sungut dan tidak

bergerigi (Hamid, 2017). Ikan mas memiliki lima sirip, diantaranya sirip

punggung, sirip perut, sirip dada, sirip anus dan sirip ekor (Gambar 5).

Sirip punggung ikan mas memanjang dan bagian permukaannya terletak

bersebrangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip punggungnya (dorsal)

berjari-jari keras, sedangkan dibagian akhir bergerigi. Seperti halnya sirip

Universitas Sumatera Utara


49

punggung, bagian belakang sirip dubur (anal) ikan mas inipun berjari-jari keras

dan bergerigi pada ujungnya. Sirip ekornya menyerupai cagak memanjang

simetris hingga ke belakang tutup insang. Sisik ikan mas relatif besar dengan tipe

sisik lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan. Garis rusuk atau gurat sisi (line

literalis) yang lengkap terletak di tengah tubuh dengan posisi melintang dari tutup

insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Supriatna, 2013).

Selain itu dalam penelitian untuk mengetahui karakteritik ikan mas

dilakukan pengukuran morfometrik. Hasil pengukuran morfometrik ikan mas

(Cyprinus carpio) dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun rata-rata panjang total ikan

mas adalah 28,3 cm, panjang baku 23,8 cm, panjang cagak 25,8 cm, tinggi 8,6 cm

serta berat total ikan adalah 352 gram.

Perbedaan nilai mutlak morfometrik pada spesies ikan yang sama diduga

akibat proses pertumbuhan ikan yang berbeda. Perbedaan nilai mutlak

morfometrik pada spesies yang sama diduga akibat proses pertumbuhan ikan yang

berbeda. Menurut Rahardjo et al., (2011) bahwa terdapat dua faktor yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan pada ikan, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik meliputi sifat keturunan, umur, ketahanan terhadap penyakit, dan

kemampuan memanfaatakan makanan. Faktor ekstrinsik meliputi, sifat fisik dan

kimiawi perairan, serta ketersediaan makanan dan kompetisi. Fatriani (2016)

menambahkan hubungan panjang-berat berbeda di dalam suatu spesies

dipengaruh oleh kebugaran individu serta jenis kelamin dan perkembangan gonad

juga memberikan variasi hubungan panjang.

Universitas Sumatera Utara


50

Rendemen ikan mas

Pada rendemen ikan mas (Gambar 5), daging ikan mas memiliki nilai

rendemen yang tinggi yaitu 31%, tulang (termasuk bagian sirip) 25%, kepala

(termasuk bagian insang) 23%, isi perut 12% dan kulit (termasuk bagian sisik

ikan) 9%. Daging memiliki nilai rendemen paling tinggi diantara bagian tubuh

ikan mas lainnya. Poernomo et al., (2013) menyatakan bahwa semakin besar

rendemen semakin tinggi nilai ekonomis dan keefektifan suatu bahan.

Ikan mas memiliki 12% rendemen isi perut. Supartinah (2012)

menjelaskan bahwa isi perut ikan merupakan salah satu hasil samping proses

pengolahan ikan yang bisa dimanfaatkan untuk industri pembuatan pakan ikan.

Organ dalam atau isi perut ikan merupakan sumber alami enzim terbesar. Protease

merupakan enzim yang terbesar dalam hasil perairan. Protease akan

menghidrolisis ikatan peptide dan disebut proteinase atau peptidase tergantung

keberadaan protein atau polipeptida. Sumber proteinase secara menyeluruh ada

pada organ lambung, usus, dan hati.

Kemunduran mutu fisik ikan mas (Cyprinus carpio)

Pengujian organoleptik merupakan salah satu metode untuk melihat

kemunduran mutu ikan. Metode ini bersifat subyektif, karena pengujiannya

menggunakan panca indra manusia. Penetapan kemunduran mutu ikan secara

organoleptik dilakukan dengan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan

oleh Badan Standardisasi Nasional SNI 2729-2013 (BSN 2013). Pengujian

dilakukan pada ikan tanpa penyiangan dan dengan penyiangan. Parameter yang

diamati meliputi perubahan kenampakan (pada mata, lendir permukaan badan dan

insang), daging, bau dan tekstur.

Universitas Sumatera Utara


51

Nilai organoleptik ikan pada gambar 6 dan 7 pada ikan mas tanpa

penyiangan dan dengan penyiangan menunjukkan nilai yang menurun seiring

lamanya penyimpanan pada suhu dingin. Menurut Annisah et al., (2019) ikan

yang telah mati akan mengalami perubahan biokimia dan fisikokimia yang

mengakibatkan turunnya kesegaran ikan. Interval waktu terjadinya perubahan

yang menyebabkan pembusukan ditentukan oleh fase post mortem.

Berdasarkan hasil penelitian tidak ada perbedaan nilai yang jauh pada saat

pengamtan dari berbagai parameter spesifikasi penilaian organoleptik pada ikan

dengan penyiangan dan tanpa penyiangan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada

ketentuan penulisan pelaporan berdasarkan SNI 2345:2015 tentang pedoman

pengujian sensori pada produk perikanan yang mana hasil uji dalam bentuk 1

angka dibelakang koma dikonversi ketingkat kesukaan. Jika angka dibelakang

koma kurang dari lima maka angka didepan koma tetap tetapi apabila angka

dibelakang koma lebih dari lima maka angka didepan koma naik satu angka. Jika

angka dibelakang koma lima maka nilai tetap.

Parameter mata ikan mas pada awal penyimpanan menunjukan bahwa

kondisi mata ikan mas masih dalam keadaan sagat segar atau berada pada fase pre

rigor. Sedangkan pada penyimpanan ikan mas pada hari ke-2 dan ke-4 kondisi

mata menunjukan bahwa kondisi mata ikan mas masih dalam keadaan segar atau

berada pada fase rigor mortis dengan nilai organoleptik 8 dimana bola mata rata,

kornea dan pupil jernih agak mengkilap spesifikasi jenis ikan. Pengamatan

parameter mata pada penyimpanan hari ke-6 hingga hari-10 menunjukan bahwa

kondisi mata masuk kedalam fase peralihan antara fase rigor mortis dan post rigor

dengan nilai organoleptik 7 dimana bola mata rata kornea agak keruh, pupil

Universitas Sumatera Utara


52

keabu-abuan agak mengkilap spesifik jenis, difase ini insang ikan masih tergolong

batas aman mutu ikan segar secara organoleptik berdasarkan SNI 2729:2013.

Namun pada akhir penyimpanan mata ikan mas memasuki fase post rigor dengan

nilai 6 dimana bola mata agak cekung, kornea agak keruh pupil agak keabu-abuan

dan agak mengkilap spesifik jenis.

Parameter insang ikan mas sebelum diberikan perlakuan suhu chilling dan

hari ke-2 menunjukan bahwa kondisi insang ikan mas masih dalam keadaan

sangat segar atau berada pada fase pre rigor dengan nilai 9, warna insang merah

tua atau coklat kemerahan cemerlang dengan sedikit sekali lendir. Kemudian,

pada penyimpanan hari ke-4 hingga ke-6 menunjukan bahwa kondisi insang ikan

mas masih dalam keadaan sangat segar dan berada pada fase rigor mortis dengan

nilai 8 dimana warna insang merah tua atau coklat kemerahan kurang cemerlang

dengan sedikit sekali lendir transparan.

Pengamatan parameter insang pada penyimpanan hari ke-8 dan hari ke-10

menunjukan bahwa kondisi mata masuk kedalam fase peralihan antara fase rigor

mortis dan post rigor dengan nilai organoleptik 7 dimana warna insang merah

muda dan coklat muda dengan sedikit lendir agak keruh, di fase ini insang ikan

masih tergolong batas aman mutu ikan segar secara organoleptik berdasarkan SNI

2729:2013. Namun pada hari ke-12 insang ikan mas memasuki fase post rigor

dengan nilai 6 dimana warna insang merah muda atau coklat muda dengan lendir

agak keruh.

Pada parameter lendir pada ikan sebelum diberi perlakuan suhu chilling

hingga penyimpanan hari ke-8 ikan mas memiliki nilai organoleptik yaitu 8

dimana lapisan lendir jernih transparan dan cukup cerah. Ikan mas pada awal

Universitas Sumatera Utara


53

penyimpanan cepat mengalami kemunduran mutu akibat adanya aktivitas lendir

ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya dialam kulit, membentuk lapisan bening

yang tebal disekeliling tubuh ikan. Perubahan pre rigo mortis merupakan

peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit, lendir yang

keluar ini sebagian terdiri dari glukoprotein dan myosin yang merupakan media

ideal untuk pertumbuhan bakteri (Zailanie, 2015).

Kemudian lendir ikan mas mengalami penurunan nilai organoleptik pada

penyimpanan hari ke-10 menjadi nilai 7 dimana lapisan lendir mulai agak keruh

hingga pada hari penyimpanan ke-12 mengalami nilai organoleptik menjadi 6

dimana lendir permukaan badan ikan lapisan lendir mulai keruh. Perubahan

insang dan lendir pada ikan mas diakibat oleh adanya enzim serta bakteri

pembusuk yang berkembang pada insang dan lendir ikan. Setelah ikan mati,

kemampuan bertahan terhadap bakteri tadi hilang sehingga bakteri segera masuk

organ-organ penting tubuh ikan melalui insang, kulit dan saluran pencernaan

(Riyantono et al., 2009). Ariyani et al., (2007) menambahkan setelah ikan mati

enzim yang yang terdapat pada ikan mulai aktif mendegradasi daging ikan

menjadi substansi yang lebih sederhana dan mikroorganisme yang terdapat pada

isi perut, insang dan kulit berkembang biak dengan cepat yang dapat

menimbulkan bau yang tidak enak.

Pada parameter daging, bau dan tekstur pada ikan mas pada ikan sebelum

diberikanan perlakuan suhu chilling hingga penyimpanan hari ke-10 nilai tersebut

masih berada di batas baku mutu ikan segar secara organoleptik dengan nilai 9-7

sesuai dengan SNI 2729:2013 dimana nilai organoleptik ikan segara berada di

minimal 7 dengan skor 1-9. Sedangkan pada akhir penyimpanan, nilai

Universitas Sumatera Utara


54

organoleptik ikan mas pada parameter daging, bau dan tekstur berada dinilai 6

dimana hal tersebut dibawah dari baku mutu ikan segar secara organoleptik dan

ikan mas berada pada fase post rigor.

Pada fase post rigor ditandai dengan sayatan daging kurang cemerlang

jaringan daging sedikit kurang kuat kenampakan daging, pada warna sayatan

diduga dipengaruhi oleh reaksi oksidasi antara oksigen dengan komponen lemak

pada ikan kusam (Tamuu et al., 2014). Kemudian pada fase ini ikan ditandai

dengan bau yang netral. Serta tekstur daging yang agak lunak dan sedikit kurang

elastis. Menurut Naiu (2011), perubahan tekstur diduga pelemahan otot daging

selama post mortem disebabkan oleh melemahnya jaringan ikat periseluler yang

terdapat pada serat-serat kolagen. Terbentuknya gaping/rongga dalam otot daging

ikan juga akibat hancurnya serat-serat kolagen

Berdasarkan parameter penilaian organoleptik ikan mas selama

penyimpanan suhu chilling dengan suhu 0-5 oC perubahan ikan pada awal

penyimpanan hingga hari ke-12 tidak terlalu jauh mengalami kecepatan

kemunduruan mutu pasca ikan mengalami kematian. Suhu chilling adalah

pemanfaatan suhu rendah untuk mempertahankan mutu kesegaran ikan, proses

dimana suhu ikan diturunkan mendekati tetapi tidak dibawah titik beku air (0 OC)

(Sen, 2005). Harikedua (2010) menambahkan bahwa proses pendinginan ikan

(chilling) dapat berlangsung pada suhu 0-6 OC. Pada proses pendinginan ini ciri-

ciri sensori (warna, rupa, rasa, bau dan tekstur) diharapkan tidak jauh berbeda

dengan ikan segar yang baru ditangkap.

Hubungan korelasi ikan mas tanpa penyiangan selama penyimpanan

sebesar 0,97 dan ikan mas dengan penyiangan sebesar 0,96. Kedua perlakuan

Universitas Sumatera Utara


55

tersebut termasuk kedalam korelasi yang kuat, sehingga diduga selama

penyimpanan suhu chilling terjadi penurunan nilai organoleptik. Penurunan ini

diakibatkan oleh adanya aktivitas enzimatis dan mikrobiologis. Serta ikan mas

tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan ikan mas

dengan penyiangan akibat adanya perlakuan tanpa pembuangan isi perut dan

insang sehingga mempercepat proses kemunduran mutu dan menyebabkan

penurunan nilai orgaoleptik dan menghasilkan perubahan fisik pada ikan selama

penyimpanan. Menurut Faisal et al., (2020) menambahkan bahwa kebusukan yang

disebabkan oleh aktivitas enzim, biokimia, fisik dan mikrobiologi. Kemunduran

mutu ikan disebabkan oleh aksi enzimatis dan bakteri, kedua aksi ini mengurai

komponen penyusun jaringan tubuh ikan sehingga menghasilkan perubahan fisik

seperti daging ikan menjadi lunak dan perubahan kimia yang menghasilkan

senyawa yang mudah menguap dan berbau busuk.

Kemunduran mutu kimiawi ikan mas (Cyprinus carpio)


Derajat keasaman (pH)

Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk

menentukan tingkat kesegaran ikan. Pada fase pre rigor, ikan mas sebelum

perlakuan suhu chilling (hari ke-0) memilki nilai pH 6,9 pada ikan tanpa

penyiangan dan 6,7 pada ikan dengan penyiangan. Hal ini diperkuat oleh

Liviawaty dan Afrianto (2014) yang menyatakan bahwa umumnya saat ikan mati

pH ikan mendekati netral yaitu sekitar 6,8 hingga netral, selanjutnya ada

pemecahan glikogen yang menghasilkan asam laktat akan meningkatkan

keasaman daging yang mengakibatkan pH daging akan menjadi menurun.

Universitas Sumatera Utara


56

Pada hari ke-0 dan hari ke-2 ikan mas ikan dengan penyiangan memiliki

nilai pH yang lebih asam dibandingkan dengan ikan tanpa penyiangan hal ini

diduga bahwa pada ikan mas penyiangan mengeluarkan banyak energi sebelum

mengalami kematian sehingga menyebabkan pH cepat mengalami penurunan.

Menurut Jayanti et al., (2012) penangkapan, lingkungan dan cara penanganan ikan

dapat mempengaruhi mutu ikan pasca ikan mengalami kematian. Sakinah et al.,

(2012) menambahkan ikan yang lebih banyak mengeluarkan energi sebelum mati

akan menyebabkan pH cepat menurun dan mengakifkan enzim. Selain itu

lamanya waktu yang digunakan pada saat preparasi ikan dengan penyiangan dapat

menjadi salah satu faktor bahwa pH ikan mas dengan penyiangan mengalami

penurunan yang lebih cepat.

Pada ikan mas dengan penyiangan pada penyimpanan hari ke-4 dan 6

penyimpanan suhu chilling memiliki nilai pH yang sama (statis) yaitu 6,5. Hal ini

diduga akibat penggunaan penyimpanan suhu rendah menyebabkan ikan masih

berada pada fase rigor mortis, sehingga menyebabkan pH tetap dan

memperlambat proses kemunduran mutu yang diakibatkan oleh aktivitas enzim

dan bakteri. Wally et al., (2015) mengungkapkan bahwa semakin rendah suhu

yang digunakan maka aktivitas enzim semakin terhambat.

Dalam kondisi rigor mortis, penurunan pH terus berlangsung pada ikan

dengan perlakuan penyiangan dan tanpa penyiangan pada penyimpanan hari ke-2

hingga pada hari ke-6. Hal ini diduga akibat terhentinya siklus oksigen akibat

terhentinya sikrulasi darah ketika ikan mas mati berdampak terhadap

pembentukan ATP yang mengakibatkan peningkatan aktivitas enzim. Menurut

Lestari et al., (2020) ketika ikan mati, suplai oksigen terhenti karena sirkulasi

Universitas Sumatera Utara


57

peredaran darah sudah tidak bekerja. Kejadian ini berdampak terhambatnya

pembentukkan ATP dari proses glikogenolisis. Hal tersebut menyebabkan

terjadinya reaksi anaerob dari proses ATP dan glikogen untuk menghasilkan

energi dan menyebabkan penurunan pH tubuh dan jaringan otot.

Nurhayati et al., (2010) menambahkan bahwa kondisi ini menyebabkan aktifnya

enzim katepsin yang menguraikan protein menjadi senyawa yang sederhana

hingga memasuki fase post rigor.

Terjadinya kenaikan pH pada ikan dengan penyiangan dan tanpa

penyiangan pada hari penyimpanan ke-8 hingga hari ke-12 dimana ikan

mengalami mulai mengalami proses post rigor mortis. Dimana pada fase ini

diduga timbulnya senyawa-senyawa bersifat basa yang mengakibatkan

peningkatan nilai pH pada daging ikan. Nurjanah et al., (2011) menyatakan bahwa

nilai pH ikan pada fase post rigor dan busuk mengalami peningkatan. Ikan yang

sudah tidak segar pH dagingnya tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih

segar. Santhi (2017) menambahkan hal itu terjadi karena timbulnya senyawa-

senyawa yang bersifat basa misalnya amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatile

lainnya.

Namun pH ikan penyiangan pada penyimpanan hari ke-6 dan 8 lebih

tinggi dibanding ikan tanpa penyiangan. Sementara pada penyimpanan hari ke-10

dan 12 ikan penyiangan memiliki pH yang lebih rendah dibanding ikan tanpa

penyiangan. Perlakuan penyiangan dan tanpa penyiangan berpengaruh terhadap

perubahan pH ikan. Hal ini diduga pada hari ke-6 dan 8 ikan tanpa penyiangan

yang masih terdapat isi perut dan insang terdapat sumber bakteri serta masih

mengalami proses perombakan enzim yang menyebabkan terjadi penurunan pH

Universitas Sumatera Utara


58

ikan tanpa penyiangan rendah dibandingkan ikan dengan penyiangan. Sementara,

pada hari ke-10 dan 12 ikan tanpa penyiangan sudah mulai mengalami proses

pembusukan yang dapat mengakibatkan naiknya kadar pH pada ikan tanpa

penyiangan. Menurut Utari (2014), perubahan nilai pH terjadi karena adanya

proses autolisis dan aktivitas bakteri. Liviawaty dan Afrianto (2014)

menambahkan bahwa peningkatan nilai pH terjadi karena enzim yang berasal dari

daging ikan dan mikroba melakukan perombakan terhadap protein dan lemak

sehingga menghasilkan senyawa bersifat basa.

Selama penyimpanan, ikan mas tanpa penyiangan memiliki korelasi yang

rendah sebesar 0,378 sedangkan ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi

yang sedang sebesar 0,596. Perbedaan korelasi selama penyimpanan tersebut

diduga akibat adanya proses penanganan yang berbeda pada ikan mas selama

penyimpanan. Kemudian adanya tahap-tahap proses kemunduran mutu

mengakibatkan terjadinya naik dan turunnya nilai pH yang dipengaruhi faktor

kimiawi dan mikrobiologi serta berubahnya fase kemunduran mutu selama

penyimpanan pada kedua perlakuan tesebut menyebabkan nilai pH memiliki

korelasi yang rendah hingga sedang. Umpain et al., (2014), menambahkan bahwa

pH daging akan mengalami penurunan pada batas tertentu. Hal ini terkait dengan

cadangan glikogen. Jika cadangan glikogen telah habis dan terurai maka pH

daging ikan akan berhenti mengalami penurunan. Pengurairan protein dan

komponen selain protein yang mengandung nitrogen selama proses kemunduran

mutu akan meningkatkan nilai pH

Universitas Sumatera Utara


59

Kadar protein ikan mas

Berdasarkan penelitian perlakuan tanpa penyiangan dan dengan

penyiangan memberikan perbedaan kadar protein. Rata-rata kadar protein pada

sampel ikan mas yang digunakan selama penyimpanan suhu chilling pada

perlakuan tanpa penyiangan yaitu 18,97 % dan dengan perlakuan penyiangan

yaitu 18,91 %. Selama penyimpanan ikan mas tanpa penyiangan memiliki kadar

protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan tanpa penyiangan. Hal ini

juga terjadi pada korelasi hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan.

Dimana pada ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,942

dan ikan mas dengan penyiangan sebesar 0,897.

Perbedaan nilai tersebut diduga adanya insang dan isi perut yang masih

terdapat pada ikan mas memicu kadar protein ikan tanpa penyiangan memiliki

kadar yang lebih tinggi, berdasarkan perhitungan rendemen nilai isi perut ikan

mas adalah sebesar 12%. Dimana pada bagian tersebut juga memiliki kandungan

protein yang cukup tinggi. Menurut Suhandana et al., (2018) jeroan ikan memiliki

bobot 10-15% (tergantung pada spesies) dari biomassa ikan menemukan bahwa

jeroan ikan memiliki kandungan protein sebesar 16,72%.

Ikan mas tanpa penyiangan dan dengan penyiangan memiliki rata-rata

protein 18,97 % dan 18,91 %. Kadar protein ikan mas selama penyimpanan

termasuk kadar protein daging ikan yang tinggi. Menurut Dika et al., (2017) ikan

dengan kadar protein 15-20 % termasuk ke dalam golongan ikan berprotein tinggi.

Pratama et al., (2013) menambahkan bahwa kadar protein ikan mas pada

umumnya berada pada kisaran 15,2-17,83 %. Dalam penelitian yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara


60

oleh Ćirković et al., (2012) protein ikan mas bekisar 15.59-18.17 sementara dalam

penelitian Ljubojević et al., (2017) protein ikan mas berkisar 15,4-17,71%.

Pada hari ke-4 dan ke-8 ikan dengan penyiangan memiliki kadar protein

yang lebih besar dibanding dengan ikan tanpa penyiangan. Hal ini dapat terjadi

karena adanya perbedaan, umur, ukuran dan kelamin ikan mas yang digunakan

dalam pengujian. Dimana ikan mas dengan penyiangan pada hari ke-4 dan ke-8

memiliki ukuran yang mungkin lebih berat dibanding ikan tanpa penyiangan

Menurut Jacoeb et al., (2015) menyatakan bahwa kandungan protein sangat

dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, ukuran ikan, kualitas protein pakan, kecernaan

pakan dan kondisi lingkungan. Dika et al., (2017) menambahkan kandungan

protein ikan semakin meningkat seiring bertambahnya ukuran ikan.

Nilai total volatile base (TVB) ikan mas

Berdasarkan penelitian, pada hari ke-0 dan 2 ikan mas tanpa penyiangan

memiliki nilai TVB yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan dengan

penyiangan. Perbedaan nilai TVB pada kedua perlakuan ikan mas diduga ikan

mas tanpa penyiangan masih dalam kondisi segar sehinggga kandungan basa-basa

volatile belum banyak berubah komposisi kimianya yang dapat mengakibatkan

nilai TVB ikan mas tanpa penyiangan meningkat. Menurut Annisah et al., (2019),

komponen basa volatile pada ikan, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati.

Adapun akumulasi senyawa basa pada tvb seperti amonia (NH3), TMA, DMA,

dan senyawa volatil lainnya yang mudah menguap yang dapat mengakibatkan

nilai TVB meningkat

Hal ini juga dapat terjadi akibat perlakuan ikan mas dengan penyiangan

memerlukan waktu yang lebih banyak pada ruangan yang tidak terkontol oleh pH

Universitas Sumatera Utara


61

dan suhu ruang yang dapat mengakibatkan nilai TVB ikan dengan penyiangan

menjadi lebih tinggi dibanding dengan ikan tanpa penyiangan dan mengakibatkan

ikan dengan penyiangan mengalami proses rigor mortis yang lebih cepat.

Menurut Nurjanah et al., (2011) faktor yang paling berpengaruh terhadap

kemunduran mutu ikan adalah penanganan pasca-panen yang dilakukan.

Metusalach et al., (2014) menambahkan proses kematian, waktu, cara

penanganan, dan fasilitas penanganan ikan dapat mempercepat proses

kemunduran mutu ikan dan menurut Sakinah et al., (2012) untuk mendapatkan

karakteristik mutu dan masa simpan yang baik maka penanganan harus dilakukan

dengan baik dan hygene.

Sedangkan pada penyimpanan hari ke-4 hingga 12 kadar TVB ikan mas

tanpa penyiangan mengalami kenaikan sehingga memiliki nilai TVB yang lebih

tinggi dibandingkan dengan ikan mas dengan penyiangan. Perubahan nilai TVB

Adanya isi perut dan insang yang merupakan sumber bakteri mengakibatkan

aktivitas penguraian terjadi lebih cepat serta bakteri memanfaatkan basa volatile

untuk pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan nilai TVB ikan tanpa penyiangan

lebih tinggi dibandingkan ikan penyiangan. Menurut Nurjanah et al., (2011)

peningkatan TVB disebabkan oleh akumulasi basa volatil setelah ikan mati terjadi

akibat adanya aktivitas mikroba pada daging. Pandit et al., (2012) menambahkan

penyebab utama pembusukan oleh bakteri, bersumber dari insang, permukaan

kulit dan isi perut. Bakteri-bakteri pada ikan berperan besar pada peningkatan

TVB setelah kematian ikan. Bakteri-bakteri pembusuk pada ikan memanfaatkan

senyawa basa volatil untuk melakukan respirasi dan berkembang biak

(Lestari et al., 2020).

Universitas Sumatera Utara


62

Selama penyimpanan, ikan mas tanpa penyiangan mengalami kenaikan

nilai TVB dari penyimpanan hari ke-2 hingga penyimpanan hari ke-12.

Berdasarkan penelitian ikan mas tanpa penyiangan mengalami kenaikan kadar

TVB 15,5%. Hal ini diduga karena adanya isi perut, insang, dan lendir permukaan

kulit sebagai sumber bakteri mengakibatkan proses dekomposisi terjadi lebih

cepat. Sehingga ikan lebih cepat memasuki fase rigor mortis dan berakhir pada

fase post rigor. Dimana pada masa penyimpanan tersebut proses penguraian telah

terjadi akibat adanya aktivitas enzim dan bakteri yang mengakibatkan penguraian

basa-basa volatile. Menurut Barokah et al., (2017) peningkatan kadar TVB

merupakan hasil dari degradasi protein oleh aktivitas enzim dan aktifitas bakteri

yang menghasilkan basa volatil seperti amonia, hidrogen sulfida, histamin,

trimetil amine dan dimetil amine.

Nilai TVB ikan mas dengan penyiangan mengalami fluktuasi dimana pada

hari ke-2 penyimpanan TVB mengalami kenaikan menjadi 13,64 mgN/100 dan

mengalami penurunan pada penyimpanan hari ke- 4, 6, dan 10 dan berakhir

mengalami kenaikan nilai TVB pada penyimpanan hari ke-12 menjadi 16,52

mgN/100. Hal diduga karena kandungan TVB masing-masing individu ikan mas

yang akan digunakan serta lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan

penyiangan. Sehingga terjadinya perbedaan nilai TVB antar hari penyimpanan

ikan mas dengan penyiangan. Menurut Annisah et al., (2019) menyatakan bahwa

perbedaan kestabilan nilai TVB-N dipengaruhi oleh spesies, metode pengolahan

dan suhu penyimpanan. Selain itu, jenis kelamin, umur, habitat, kebiasaan makan

dan siklus pemijahan juga mempengaruhi kestabilan TVB-N ikan selama

penyimpanan (Begum et al., 2011). Pandit et al., (2012) menambahkan perbedaan

Universitas Sumatera Utara


63

kadar TVB ini disebabkan karena perbedaan populasi bakteri dan jumlah

metabolismenya dalam bentuk TVB.

Hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan ikan mas tanpa

penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,949 dimana hubungan korelasi yang

sangat kuat. Sedangkan, ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi sebesar

0,533 dimana hubungan korelasi yang sedang. Perlakuan tanpa penyiangan dan

penyiangan pada ikan mas selama penyimpanan berpengaruh terhadap laju

kemunduran mutu dan mengakibatkan pembentukan nilai TVB pada ikan.

Pencucian dan pembuangan isi perut dan insang diduga menghambat terjadinya

dekomposisi yang diakibatkan oleh bakteri yang bersumber dari insang dan isi

perut.

Perlakuan ini menyebabkan nilai korelasi TVB ikan mas dengan

penyiangan lebih rendah dibandingkan ikan mas tanpa penyiangan. Hasil

dekomposisi yang diakibatkan oleh aktivitas bakteri dan enzim tersebut

membentuk basa-basa volatile. Menurut Faisal et al., (2020) bahwa kemunduran

mutu ikan akan terbentuk basa-basa volatil (volatile base) akibat dekomposisi

protein oleh aktivitas bakteri dan enzim. Hal yang sama peningkatan kadar TVB-

N dikarenakan oleh bertambahnya jumlah bakteri kontaminasi sehubungan

dengan semakin berlanjutnya proses kemunduran mutu oleh mikroorganisme yang

menghasilkan basa yang mudah menguap seperti amoniak.

Kemunduran mutu mikrobiologi ikan mas (Cyprinus carpio)


Nilai total plate count (TPC) ikan mas

Berdasarkan penelitian, nilai TPC pada ikan tanpa penyiangan sebelum

diberi perlakuan suhu chilling memiliki total koloni bakteri yang lebih tinggi yaitu

Universitas Sumatera Utara


64

2×105 kol/gram dibanding dengan ikan penyiangan yaitu 1×10 5 kol/gram. Selama

penyimpanan suhu chilling ikan mas tanpa penyiangan memiliki nilai TPC yang

lebih tinggi dibandingkan dengan ikan mas dengan penyiangan. Penanganan ikan

mas dengan penyiangan (membuang bagian insang dan isi perut) dan pencucian

diduga dapat mengurangi jumlah bakteri yang terdapat pada ikan dan mencegah

terjadi proses kemunduran mutu yang diakibatkan oleh mikroorganisme. Menurut

Husni dan Putra (2018) bahwa setelah ikan mati, kemampuan barrier

(pencegahan) hilang sehingga bakteri dapat masuk kedalam daging ikan sehingga

perlu adanya penanganan. Selain itu insang dan isi perut merupakan sumber

tempat mikroorganisme berkembang biak. Ariyani et al., (2007) menambahkan

bahwa kulit, insang dan jeroan ikan merupakan tempat mikroorganisme

berkembangbiak dengan cepat.

Pada ikan mas tanpa penyiangan dan dengan penyiangan mengalami

kenaikan nilai TPC hingga penyimpanan hari ke-6 dimana nilai TPC ikan mas

tanpa penyiangan 6×105 kol/gram dan 5×105 kol/gram pada ikan penyiangan.

Pada kondisi ini diduga akibat pertumbuhan bakteri awal yang terdapat pada ikan

akibat adanya proses autolisis yang mengakibatkan penguraian enzim. Hasil

penguraian menyebabkan enzim meningkat dan mendukung bagi pertumbuhan

bakteri. Menurut Widowati et al., (2014) bahwa pada fase autolisis kegiatan

enzym makin meningkat, terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya

menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Aksi bakteri ini

mula-mula hampir bersamaan dengan autolysis, dan kemudian berjalan sejajar.

Apriani et al., (2017) menambahkan bahwa kandungan air yang tinggi pada tubuh

Universitas Sumatera Utara


65

ikan, dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri pembusuk atau

mikroorganisme lain, sehingga ikan sangat cepat mengalami proses pembusukan.

Pada penyimpanan hari ke-8 kedua ikan yang diberikan perlakuan tersebut

mengalami penurunan nilai TPC. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang

dilakukan oleh Rozi (2018), pada fase post rigor nilai TPC yang diperoleh lebih

rendah daripada pada fase pre rigor, hal tersebut kemungkinan terjadi karena

adanya kontaminasi pada saat pengujian. Papadopoulos et al., (2003)

menambahkan bahwa kemungkinan penyebab terjadinya kontaminasi karena

proses pemotongan (meja pemerosesan, pisau dan lain-lain) yang kemungkinan

besar adalah penyebab kontaminansi silang ikan atau ke seluruh permukaan

daging yang terpapar.

Sementara, pada penyimpanan hari ke-8 kedua ikan yang diberikan

perlakuan tersebut mengalami penurunan nilai TPC dan mempunyai nilai TPC

yang sama (statis) pada penyimpanan hari ke-10 yaitu 5×105 kol/gram pada ikan

tanpa penyiangan dan 4×105 kol/gram pada ikan mas dengan penyiangan. Hal ini

diduga penggunaan suhu rendah dalam mempertahankan mutu ikan secara

mikrobiologi dapat memperlambat pertumbuhan bakteri. Pandit et al., (2018)

mengungkapkan bahwa penggunaan suhu rendah 0-5 oC pada proses pengawetan,

dapat memperlambat pertumbuhan bakteri, bahkan ada beberapa bakteri

mengalami kematian dan beberapa lagi tetap tumbuh lambat dengan membentuk

spora.

Namun, pada hari penyimpanan hari ke-12 ikan mas dengan penyiangan

mengalami kenaikan nilai TPC menjadi 7×105 kol/gram. Kondisi tanpa

penyiangan memiliki nilai TPC meningkat diduga adanya adanya sumber bakteri

Universitas Sumatera Utara


66

yang berasal dari isi perut dan insang sehingga mempercepat proses pembusukan

serta masih adanya bakteri yang terdapat pada insang dan perut yang masih

mengalami pertumbuhan. Kemudian fase post rigor jumlah bakteri meningkat

pesat dan terlihat ikan mulai membusuk. Menurut Sitakar et al., (2016) bahwa

adanya sumber bakteri pembusuk yang berasal dari isi perut ikan mas serta

terdapat beberapa bakteri yang walaupun pada suhu dingin bakteri tersebut tidak

mati. Bakteri ini adalah bakteri yang hidup pada suhu 0-30 oC. Mile (2013)

menambahkan bakteri yang bertangung jawab terhadap kebusukan ikan adalah

bakteri yang proteolitik dan biasanya dapat bertumbuh pada temperatur rendah,

dimana kebanyakan bakteri pembusuk tersebut adalah gram negatif berbentuk

batang.

Sementara pada ikan dengan penyiangan mengalami penurunan nilai TPC

menjadi 3×105 kol/gram. Kondisi ini diduga tidak adanya sumber bakteri yang

berasal dari insang dan isi perut mengakibatkan pertumbuhan bakteri jauh lebih

akhirnya pertumbuhan bakteri menjadi lambat, hampir tidak terjadi perubahan

dalam jumlahnya dan penggunaan suhu rendah juga dapat mengakibatkan

sebagian bakteri memasuki fase log akhir dari pertumbuhan bakteri. Menurut

Barodah et al., (2017) populasi bakteri akan tumbuh dan berkembang hingga

mencapai jumlah tertentu. Pola pertumbuhan bakteri dalam bentuk kurva

pertumbuhan bakteri terbagi menjadi empat fase, yaitu fase adaptasi (lag phase),

fase pertumbuhan (log phase), fase pertumbuhan lambat (stationary phase), dan

fase kematian (death phase)

Pada ikan tanpa penyiangan pada penyimpanan hari ke-6 hingga hari-12

jumlah total koloni bakteri yang terdapat pada ikan mas mendekati hingga

Universitas Sumatera Utara


67

melebihi persyaratan mutu dan keamanan ikan segar yang layak konsumsi

menurut Badan Standarisasi Nasional dalam SNI 2729:2013 ikan segar memiliki

nilai TPC maksimal 5x105 koloni/gr.

Sementara, hubungan kemunduran mutu selama penyimpanan ikan mas

tanpa penyiangan memiliki nilai korelasi sebesar 0,898 dimana hubungan korelasi

yang sangat kuat dan ikan mas dengan penyiangan memiliki korelasi sebesar

0,686 dimana hubungan korelasi yang kuat. Perebedaan nilai korelasi tersebut

terjadi akibat perbedaan penanganan. Dimana penanganan mempengaruhi

perbedaan tinggi rendahnya bakteri yang mengakibatkan proses pembusukan pada

ikan. Adanya perlakuan penanganan dengan membuang isi perut dan insang serta

penucucian dapat menghambat proses pembusukan yang tetap terjadi selama ikan

disimpan. Menurut Dotulong et al., (2018) bahwa tinggi atau rendahnya mikroba

dalam suatu produk disebabkan oleh penanganan, harus memperhatikan sanitasi

dan hygiene selama pengolahan hingga produk akhir, sehingga perkembangan

mikroba dapat dikontrol dan dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada produk.

Kemuduran mutu histologi ikan mas (Cyprinus carpio)


Histologi daging ikan mas
Daging ikan mas yang diambil merupakan bagian daging dorsal atau

bagian sisi atas tubuh ikan mas. Menurut Ramadhan, (2018) menyatakan bahwa

ikan memiliki kedua bagian sisi ikan yang dapat dibedakan menjadi dua bagian,

yaitu bagian atas (epaksial) dan bagian bawah (hipaksial) Sebelum adanya

perlakuan penyiangan dan pendinginan, daging dorsal ikan mas yang diamati

dengan penampang longitudinal pada perbesaran 40x menggambarkan bahwa

kondisi jaringan yang masih kompak dengan tepi miomer yang masih rapi dan

belum adanya pecahan miomer (Gambar 19).

Universitas Sumatera Utara


68

Pada jaringan daging ikan disusun oleh miomer yang terdiri dari benang-

benang fibril dimana menurut Tamuu et al., (2014) bahwa daging ikan hampir

seluruhnya terdiri dari daging bergaris melintang yang dibentuk oleh serabut-

serabut daging. Miomer-miomer tersebut menandakan bahwa kondisi ikan yang

masih segar.

Pada kondisi awal ikan mas tanpa perlakuan pendinginan dan penyiangan

masih dalam kondisi segar dimana serabut miomer masih tersusun kompak dan

memiliki tepi yang rapi. Menurut Jacoeb et al., (2015) menyatakan bahwa ikan

yang masih segar memiliki serabut otot (myomer) yang lebih kompak. Hal ini juga

sesuai dengan kondisi organoleptik pada parameter tekstur ikan yang masih segar

dagingnya elastis dan berwarna cerah, apabila ditekan tidak menimbulkan bekas

yang permanen (Yuliastri et al., 2015).

Namun, pada kondisi yang sama jaringan daging bagian dorsal terlihat

sangat kompak meskipun ada bagian jaringan yang mengalami pengeroposan

longitudinal dan sudah mulai mengalami kemunduran mutu (Gambar 19). Hal ini

diduga kurangnya kehati-hatian dalam pengambilan sample yang akan digunakan

serta sample yang tidak segera di proses pengujian. Hal ini juga terjadi pada

penelitian yang dilakukan Ermawati (2018) pada ikan mas pada penyimpanan

suhu ruang. Jaringan daging fase segar, mulai terjadi perenggangan jaringan otot

yang terlihat jelas dengan adanya rongga-rongga antar serabut otot. Sementara

menurut Menurut Pratiwi dan Manan (2015), hambatan dalam proses pembuatan

preparat histologi antara lain adalah pada tahap nekropsi sampel dibutuhkan

ketelitian dan hati-hati dalam pengambilan organ. Organ yang diambil haruslah

dalam keadaan utuh dan segar.

Universitas Sumatera Utara


69

Pada penyimpan hari ke-6, kondisi jaringan daging dorsal tranversal sudah

mengalami kemunduran mutu pada ikan tanpa penyiangan (Gambar 20a) dan

dengan penyiangan (Gambar 20b). Dimana kondisi miomer-miomer mulai

mengalami perenggangan. Perenggangan miomer diduga terjadi akibat adanya

proses enzimatis. Menurut Ermawati (2018) perenggangan miomer dapat

disebabkan oleh disebabkan aktivitas enzim autolitik meningkat. Alviani (2017)

menambahkan bahwa kondisi ini juga ditandai dengan penurunan pH akibat dari

akumulasi asam laktat yang akan mengaktifkan enzim proteolitik yaitu enzim

katepsin dan kolagenase. Jumlah asam laktat sangat tergantung cadangan

karbohidrat (glikogen) di jaringan otot ikan (Sormin et al., 2017)

Pada fase ini serabut otot tidak tebal lagi seperti pada fase sebelumnya,

mulai terlihat adanya kerusakan pada serabut otot, yakni serabut otot terlihat

terpotong-potong (Gambar 20a). Pada ikan dengan penyiangan serabut miomer

masih terlihat dengan tepian yang masih rapi dan belum terdapat sobekan

(Gambar 20b). Kondisi ini diduga akibat pada perlakuan penyiangan dan suhu

penyimpanan 0-5oC. Pembuangan isi perut dan insnag sebagai salah sumber

bakteri menyebabkan proses perombakan berjalan lebih lambat. Menurut

Pandit et al., (2012) bahwa proses berjalan lambat karena perombakan glikogen

menjadi asam laktat sampai kandungan glikogen habis ini sangat dipengaruhi oleh

suhu. Hossain (2014) menambahkan, dalam kebanyakan kasus, ikan dengan

penyiangan cenderung memberikan kualitas ikan yang lebih baik dari pada ikan

tanpa penyiangan. Isi perut ikan terdapat enzim pencernaan dan bakteri yang akan

menyebabkan proses autolysis.

Universitas Sumatera Utara


70

Pada penyimpanan hari ke-12 (Gambar 21), jaringan daging tranversal

pada ikan tanpa penyiangan dan dengan penyiangan kondisi miomer mengalami

pecahan. Kondisi ini diikuti oleh terjadi pelunakan tekstur daging ikan mas secara

organoleptik. Kondisi ini disebabkan oleh adanya aktivitas enzim. Fase post rigor

merupakan fase awal kebusukan ikan, terjadi ketika daging dan otot ikan secara

bertahap menjadi lunak kembali. Hal ini disebabkan terjadinya degradasi

enzimatik di dalam daging ikan (Dasir dan Suyatno, 2019). Pada fase ini mutu

organoleptik ikan memiliki nilai 6-8. Setelah daging ikan mengalami kekakuan

(fase post rigor), kerja bakteri memicu meningkatnya aktivitas enzim sehingga

menyebabkan daging ikan kembali lemas (Lestari et al., 2020).

Histologi hati ikan mas

Hati merupakan kelenjar pencernaan yang paling besar dan tersusun dari

sel parenkim (hepatosit) dan jalinan serabut (Pratiwi dan Manan, 2015). Sebelum

diberi perlakuan dingin, jaringan penyusun hati (hepatosit) masih terlihat jelas dan

kompak serta belum terjadinya perenggangan (Gambar 22). Triadayani et al,.

(2010) menyebutkan bahwa struktur jaringan sel hati ikan pada kondisi normal

memiliki ciri berupa adanya hepatosit berbentuk poligonal, inti sel berbentuk bulat

hingga oval, vena sentralis sebagai pusat lobulus tampak berbentuk bulat dan

kosong, serta sinusoid tampak jelas. Sel hepatosit mengumpul berbentuk sel

poligonal besar, dan memiliki nukleus kecil berbentuk bulat, dan seragam.

Sitoplasma hepatosit kadang-kadang penuh dengan tetesan lemak dan yang berupa

ruang kosong yang tidak terwarnakan oleh pewarna H&E (Supartinah, 2012).

Jaringan hati ikan mas pada penyimpanan hati ke enam mengalami telah

kemunduran mutu yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan sel hati dan

Universitas Sumatera Utara


71

terjadinya perenggangan (Gambar 23). Pembengkakan sel hati ditandai dengan

adanya vakuola (ruang-ruang kosong) akibat hepatosit membengkak yang

menyebabkan sinusoid menyempit, dan sitoplasma tampak keruh. Pembengkakan

sel hati merupakan peristiwa degenerasi. Degenerasi merupakan tingkat kerusaan

struktur sel hati yang paling ringan. Hal ini disebabkan karena terjadi pemasukan

air ke dalam hepatosit, sehingga sel membengkak. Organel-organel sel juga turut

menyerap air dan membengkak, sehingga mengakibatkan sitoplasma nampak

bergranula terdesak ke tepi, mengecil, dan berwarna lebih pekat serta pada

sitoplasmanya terdapat vakuola yang berisi lemak (Sari et al., 2016).

Maftuch et al., (2015) menambahkan bahwa degenarasi adalah reaksi sel

terhadap jejas yang masih reversible, tetapi bila penyebabnya tidak segera

dihilangkan dapat berlanjut pada kematian jaringan. Memasuki penyimpanan hari

ke dua belas, kemunduran mutu hati ikan mas semakin terlihat jelas (Gambar 24),

dimana hepatosit pada histologi hati ikan pada penyimpanan hati ke dua belas

mengalami perenggangan membentuk ruang kosong serta sel-sel hepatosit yang

tidak tampak jelas. Supratinah (2012) menunjukkan tanda terdapatnya ruang-

ruang kosong dan terjadi nekrosis (kematian jaringan). Jaringan yang mengalami

nekrosis lama kelamaan akan hancur dan hilang karena dicerna oleh enzim dan

juga bakteri (Perceka, 2011).

Histologi usus ikan mas

Usus ikan adalah salah satu organ pencernaan yang berfungsi sebagai

penyerapan zat nutrisi yang diperlukan oleh tubuh ikan. Proses pencernaan

khususnya pada proses penyerapan dapat dilihat dari struktur anatomi usus ikan

(Yusfiati, 2015). Jaringan histologi usus ikan mas sebelum diberi perlakuan dingin

Universitas Sumatera Utara


72

dapat dilihat pada Gambar 25. Struktur mikroanatomi usus ikan mas masih terlihat

jelas dan belum terdapat patahan. Sturktur jaringan seperti mukosa, sub mukosa,

sel goblet dan villi masih terlihat jelas.

Kemunduran mutu jaringan usus ikan mas sudah terlihat pada

penyimpanan hari ke-6 suhu chilling. Dimana mukosa usus tidak terlihat dengan

jelas, serta terjadinya perenggangan jaringan pada sub mukosa dan dinding usus

ikan mas. Hal ini disebabkan karena aktivitas enzim aspartic protease, yaitu

pepsinogen. Enzim ini termasuk endopeptidase dan aktif pada pH rendah. Pepsin

dihasilkan oleh mukosa usus (Supartinah, 2012).

Memasuki penyimpanan hari ke-12, jaringan usus ikan mulai, bagian

mukosa usus sudah tidak dapat dibedahkan dan terlihat seperti spons, hanya

dinding usus yang masih terlihat. Fase post rigor ditandai dengan dihasilkannya

senyawa amonia dari penguraian protein. Pada kondisi ini pH akan semakin naik

dengan semakin banyaknya senyawa volatil yang dihasilkan. Biasanya proses

autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003).

Pembusukan proses rumit yang disebabkan oleh kombinasi aksi enzim, bakteri

dan bahan kimia yang terdapat didalam ikan (Saragih et al., 2009). Hasil sajian

histologis menunjukkan bahwa usus pada fase post rigor mengalami degenerasi,

dimana lapisan-lapisan dalam usus tidak tersusun rapi, tetapi bagian yang

merenggang memperlihatkan material yang eosinofilik.

Universitas Sumatera Utara


73

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah:

1. Karakteristik dari ikan mas (Cyprinus carpio) sebelum diberikan perlakuan

memiliki rata-rata panjang total ikan mas adalah 28,3 cm, panjang baku 23,8

cm, panjang cagak 25,8 cm, tinggi 8,6 cm serta berat total ikan adalah

352 gram. Rata-rata dari rendemen daging ikan mas adalah 31%, tulang 25%,

kepala 23%, isi perut 12% dan kulit 9%.

2. Berdasarkan penelitian, pada ikan mas dengan tanpa penyiangan mulai

mengalami kemunduran mutu organoleptik pada hari ke-2 pada parameter

mata, daging, bau dan tekstur, pada parameter penilaian lendir mengalami hari

ke-6 dan parameter insang pada hari ke-4, nilai pH menurun hingga hari ke-6

menjadi 6,2 kemudian naik hingga hari ke-12 menjadi 7,2, rata-rata nilai

protein adalah 18,97%, nilai TPC mengalami fluktuatif dimana nilai TPC naik

hingga hari ke-6 menjadi 6×105 kol/gram lalu nilai menurun dan statis pada

hari ke-8 hingga hari ke-10 menjadi 5×105 kol/gram kemudian nilai naik

kembali pada hari ke-12 menjadi 7×105 kol/gram, nilai TVB mengalami

kenaikan nilai awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan sebesar 15,5%,

histologi daging, hati dan usus sudah mulai mengalami kemunduran mutu

pada hari ke-6 dan terus mengalami kerusakan pada hari ke-12. Pada ikan

mas dengan penyiangan mulai mengalami kemunduran mutu organoleptik

pada hari ke-2 pada parameter mata, daging, bau dan tekstur, sementara pada

parameter lendir terjadi pada hari ke-6, nilai pH menurun hingga hari ke-6

menjadi 6,4 lalu naik hingga hari ke-12 menjadi 6,9, rata-rata nilai protein

Universitas Sumatera Utara


74

adalah 18,91%, nilai TPC mengalami fluktuatif dimana nilai TPC naik hingga

hari ke-6 menjadi 5×105 kol/gram lalu nilai menurun dan statis pada hari ke-8

hingga hari ke-10 menjadi 4×105 kol/gram dan kembali menurun pada ke-12

menjadi 3×105 kol/gram, nilai TVB berfluktuatif dimana nilai TVB naik hari

ke-2 menjadi 13,64 mgN/100 dan menurun pada hari ke-4, 6 dan 10 kemudian

nilai TVB naik kembali pada hari ke-12 menjadi 16,52 mgN/100, histologi

daging mengalami kemunduran mutu pada hari ke-6 dan terus mengalami

kerusakan pada hari ke-12.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu dilakukan analisis kemunduran

mutu dengan ikan air tawar dan ikan air laut jenis berbeda dengan penyimpanan

suhu ruang dan suhu dingin untuk melakukan analisis secara kimiawi dan

mikrobiologi. Selain itu juga dapat dilakukan waktu pengamatan dengan jarak

yang lebih singkat.

Universitas Sumatera Utara


75

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of


Analysis of The Assosiation of Official Analytical Chemist.
Arlington,Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Nilai Produksi Perikanan Budidaya Menurut
Provinsi dan Komoditas Utama 2017. www.bps.go.id. Diakses tanggal 10
Juni 2020 pukul 13.00 WIB.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan
Budidaya Menurut Kabupaten/Kota dan Komoditas Utama di Provinsi
Sumatera Utara, 2018. www.sumut.bps.go.id. Diakses tanggal 01 Juli
2020 pukul 13.00 WIB

[BSN] Badan Standarisasi Nasional.. 2009. Tentang Cara Uji Kimia – bagian 8 :
Penentuan Kadar TVB pada Produk Prikanan SNI No. 01- 2354-8-2009.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2013. Ikan Segar. Standar Nasonal Indonesia
SNI 2729:2013.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015. Cara Uji Mikrobiologi – bagian 3 :
Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. SNI
2332.3-2015.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional.. 2015 Pedoman Pengujian Sensori Pada
Produk Perikanan. SNI 2346:2015.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2018. Kelautan Perikanan Dalam
Angka Tahun 2018. Pusat Data Statistik dan Informasi.
Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pegolahan Ikan. Penerbit
Kanisinus. ISBN 979-413-032-X.
Alminiah, A. 2015. Pengendalian Ektoparasit Pada Benih Ikan Mas
(Cyprinus carpio L.) dengan Penambahan Garam Dapur (NaCl) di Balai
Benih Perikanan Plalangan Kalisat Kabupaten Jember. [Skripsi].
Universitas Jember, Jember.

Alviana, D. 2017. Kemunduran Mutu Daging Cumi-Cumi selama Penyimpanan


Suhu Dingin Berdasarkan Aspek Enzimatis dan Histologis. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Annisah, U., Barokah, G. R., dan Ariyani, F. 2019. The Effect of Storage on
Natural Formaldehyde and Deterioration Quality of Greater Lizardfish
(Saurida tumbil). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 22(3),
535-547.

Universitas Sumatera Utara


76

Ariyani, F., Murtini, J. T., Indriati, N., Dwiyitno, D., dan Yenni, Y 2007.
Penggunaan Glyroxyl untuk Menghambat Penurunan Mutu Ikan Mas
(Cyprinus carpio) Segar. Jurnal Perikanan. 9 (1). 125-133.

Barodah, L. L., Sumardianto, S., dan Susanto, E. 2018. Efektivitas Serbuk


Sargassum polycystum sebagai Antibakteri pada Ikan Lele (Clarias sp.)
selama penyimpanan dingin. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan, 6(1), 10-20.
Barokah, G. R., Putri, A. K., Anissah, U., dan Murtini, J. T. 2018. Pembentukan
Formaldehida Alami dan Penurunan Mutu Ikan Kerapu Cantik
(Epinephelus fuscoguttatus× E. microdon) selama Penyimpanan pada
Suhu Beku. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, 13(1), 71-78
Begum M, Pollen AA, Newaz AW, Kamal M. 2011. Shelf Life Of Giant
Freshwater Prawn (Macrobrachium rosenbergii) Under Different Storage
Conditions. Journal of the Bangladesh Agricultural University. 9(1): 159-
168.
Ćirković, M., Ljubojević, D., Đorđević, V., Novakov, N., and Petronijević, R.
2012. Chemical Composition of Body Including Fatty Acids of Four
Cyprinids Fish Species Cultured at The Same Conditions. Archiva
Zootechnica, 15(2). 37-50.

Dasir, D., dan Suyatno, S. 2019. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Ikan.
Palembang: NoerFikri Offset
Dika, F. A., Brahmana, E. M., Purnama, A. A. 2017. Uji Kandungan Protein dan
Lemak pada Ikan Bada (Pisces: Rasbora Spp.) di Sungai Kumu
Kecamatan Rambah Hilir Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FKIP Prodi Biologi, 3(1).40-52
Djunaidah, I. S. 2017. Tingkat Konsumsi Ikan di Indonesia: Ironi di Negeri
Bahari. Jurnal Penyuluh Perikanan dan Kelautan, 11 (1), 12-24.

Dotulong, V., Patty, C. N., dan Suwetja, I. K. 2018. Mutu Ikan Roa
(Hemirhamphus sp) Asap yang Dijual di Pasar Bersehati Kota Manado
Sulawesi Utara. Media Teknologi Hasil Perikanan, 6(3), 88-93.
Ekasari, D., Suwetja, I. K., dan Montolalu, L. A. 2017. Uji Mutu Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis-L) dan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Segar di
TPI Tumumpa selama Penyimpanan Dingin. Media Teknologi Hasil
Perikanan, 5(2), 40-47.
Erlangga. 2009. Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian.
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Universitas Sumatera Utara


77

Ermawati, M.D. 2018. Kemunduran Mutu Ikan Mas (Cyprinus carpio) Selama
Penyimpanan Pada Suhu Ruang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Faisal, F., Patadjai, A. B., dan Sadimantara, M. S. Studi Kimia Ikan Bandeng
(Chanos fhanos Forskal) Tanpa Tulang yang Dikemas Menggunakan
Metode Kemasan Berbeda pada Penyimpanan Suhu Dingin (5°C). Jurnal
Fish Protech, 3(2).
FAO. 1995. Quantity and Quality Changes in Fresh Fish, by Huss, ed. Rome:
FisheriesTechnical Paper No.384. 95 pp.
Fatriani, A. 2016. Kemunduran Mutu Ikan Baronang (Siganus javus) pada
Penyimpanan Suhu Chilling. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hafiluddin, H., Perwitasari, Y., dan Budiarto, S. 2014. Analisis Kandungan Gizi
dan Bau Lumpur Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dari Dua Lokasi Yang
Berbeda. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and
Technology, 7(1), 33-44.
Hamid, M. 2017. Pengaruh Pemberian Gelombang Bunyi terhadap Laju
Perkembangan Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn.). [Skripsi].
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar.
Handayani, A., Alimin, A., dan Rustiah, W. O. 2014. Pengaruh Penyimpanan
pada Suhu Rendah (Freezer-3℃) terhadap Kandungan Air dan Kandungan
Lemak pada Ikan Lemuru (Sardinella longiceps). Al-Kimia, 2(1), 64-75.
Harikedua, S. D. 2010. Efek Penambahan Ekstrak Air Jahe (Zingiber officinale
Roscoe) dan Penyimpanan Dingin Terhadap Mutu Sensori Ikan Tuna
(Thunnus albacores). Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 6(1), 36-40.

Hartanto, A.T. 2018. Kemunduran Mutu Ikan Patin (Pangasius sp.) Selama
Penyimpanan Suhu Dingin: Perubahan Kimia dan Histologis. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hossain, M.D. 2014. Effect of Combined Blast And Contact (CBC) Cooling and
Gutting on The Quality of Tilapia (Oreochromis nilotica) During Chilled.
United Nations University Fisheries Programme, Iceland.
Husni, A dan Putra, M. P. 2018. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan.
Yogyakarta: Gajah Mada Press. ISBN: 979-420-870-1

Jacoeb, A. M., Nurjanah, N., dan Sitanggang, L. 2015. Proksimat dan Asam
Lemak Juvenil Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Berbagai Umur
Panen. Dinamika Maritim, 5(1), 38-45.
Jacoeb, A.M, Suptijah P, dan Kristantina WA. 2015. Komposisi Asam Lemak,
Kolesterol, dan Deskripsi Jaringan Fillet Ikan Kakap Merah Segar dan
Goreng. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 18(1): 98-107.

Universitas Sumatera Utara


78

Jayanti, S., dan Ilza, M. 2012. Pengaruh Penggunaan Minuman Berkarbonasi


untuk Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy) pada Suhu Kamar. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 17(2), 71-87

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya.


Kusumah, A. P., Novita, Y., dan Soeboer, D. A. 2015. Performa Pelelehan Es
Pada Bentuk Es yang Berbeda. Marine Fisheries: Journal of Marine
Fisheries Technology and Management, 6(1), 97-108.
Lestari, S., Baehaki, A., dan Rahmatullah, I. M. 2020. Pengaruh Kondisi Post
Mortem Ikan Patin (Pangasius Djambal) dengan Kematian Menggelepar
yang Disimpan pada Suhu Berbeda Terhadap Mutu Filletnya. Jurnal
FishtecH, 9(1), 34-41.
Liviawaty, E., dan Afrianto, E. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila
Merah (Oreochromis niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat
Keasaman. Jurnal Akuatika, 5(1), 40–44.

Ljubojević, D., Đorđević, V., and Ćirković, M. 2017. Evaluation of nutritive


quality of common carp, Cyprinus carpio L. In IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science. 85.1755-1315.
Maftuch, Marsoedi, Putir V.D, Lulloh M.H, dan Wibisono F.K.H. 2015. Studi
Ikan Bandeng (Chanos chanos) yang Dibudidayakan di Tambak Tercemar
Limbah Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb) di Kalanganyar, Sidoarjo, Jawa
Timur Terhadap Histopatologi Hati, Ginjal dan Insang. Journal of
Enviromental Engineering & Sustainable Technology. 2(2): 114-122.
Metusalach, M., Kasmiati, K., dan Jaya, I. 2016. Pengaruh Cara Penangkapan,
Fasilitas Penangan dan Cara Penanganan Ikan Terhadap Kualitas Ikan
yang Dihasilkan. Jurnal Ipteks Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, 1(1).
40-52
Mile, L. 2013. Analisis TPC dan Total Bakteri Psikrofilik pada Ikan Layang
(Decapterus macrosoma) Selama Penyimpanan Suhu Rendah. Jurnal
Nike, 1(2).
Mudlofar, F., Yurisinthae, E., dan Santoso, A. 2016. Analisis Usaha Pembesaran
Ikan Mas (Cyprinus Carpio) pada Keramba Jaring Apung di Kelurahan
Parit Mayor Kecamatan Pontianak Timur. [Skripsi]. Universitas
Tanjungpura Pontianak, Pontianak.
Muhotimah, M., Triyatmo, B., Priyono, S. B., dan Kuswoyo, T. Analisis
Morfometrik Dan Meristik Nila (Oreochromis Sp.) Strain Larasati F5 dan
Tetuanya. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada, 15(1), 42-53.

Munandar, A., Haryati, S., Alfia, S. dan Fitriyani. 2016. Karakteritik, Penanganan
dan Kandungan Mineral Keong Laut Neverita didyama. Jurnal Teknologi
Hasil Perikanan. 5 (2). 107-111.

Universitas Sumatera Utara


79

Naiu, A. S. 2011. Perkembangan Terkini Perubahan selama Penurunan Mutu Ikan


Basah. Jurnal Saintek, 6 (2), 1-12.
Nani, M., Abidin, Z. dan Setyono, B. D. H. 2015. Efektivitas Sistem
Pengangkutan Ikan Nila (Orheocromis sp) Ukuran Konsumsi
Menggunakan Sistem Basah, Semi Basah dan Kering. Jurnal Akuakultur
Rawa Indonesia, 3 (2), 84-90.
Natsir, N. A. 2018. Analisis Kandungan Protein Total Ikan Kakap Merah dan Ikan
Kerapu Bebek. BIOSEL (Biology Science and Education): Jurnal
Penelitian Science dan Pendidikan, 7(1), 49-55.
Nugroho, T. A., Kiryanto, K., dan Adietya, B. A. 2016. Kajian Eksperimen
Penggunaan Media Pendingin Ikan Berupa Es Basah dan Ice Pack sebagai
Upaya Peningkatan Performance Tempat Penyimpanan Ikan Hasil
Tangkapan Nelayan. Jurnal Teknik Perkapalan, 4(4). 889-898.
Nurhayati, T., Salamah E, dan Fentiana N. 2010. Peranan enzim protease jeroan
ikan bandeng (Chanos chanos) dalam proses kemunduran mutu ikan.
Prosiding Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan
Nurjanah, N., Nurhayati, T., dan Zakaria, R. 2011. Kemunduran Mutu Ikan
Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca Kematian pada Penyimpanan
Suhu Chilling. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan, 5(2), 11-18.
Pandit, I. G. S., Suryadhi, N. T., Arka, I. B., dan Adiputra, N. 2012. Pengaruh
Penyiangan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Kimiawi,
Mikrobiologis dan Organoleptik Ikan Tongkol (Auxis tharzard,
Lac). Indonesian Journal of Biomedical Science, 1(3).
Papadopoulos.V., I. Chouliara, A. Badeka, I.N. Savvaidis dan M.G. Kontominas.
2003. Effect of Guttig on Microbiological, Chemical, And Sensory
Properties Of Aquacultures Sea Bass (Dicentrachus labrax) Stored In Ice.
Food Microbiology. 20. 411-420.

Perceka, M. L. 2011. Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan Bandeng


(Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan
Histologis. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Poernomo, D., S. H, Suseno dan B.P. Subekti. 2013. Karakteristik Fisika Kimia
Bakso dari Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis). Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 16 (1). 58-68.
Pratama, R. I., Rostini, I., dan Awaluddin, M. Y. 2013. Komposisi Kandungan
Senyawa Flavor Ikan Mas (Cyprinus carpio) Segar Dan Hasil
Pengukusannya. Jurnal Akuatika, 4(1), 55-67
Pratiwi, A.R. 2017. Identifikasi Ektoparasit Protozoa pada Benih Ikan Mas
(Cyprinus Carpio) di Kolam Milik Petani Ikan Desa Patimuan Kecamatan

Universitas Sumatera Utara


80

Patimuan Kabupaten Cilacap. [Tesis] Universitas Muhammadiyah


Purwokerto, Purwekerto.
Pratiwi, H. C dan Manan, A. 2015. Teknik Dasar Histologi pada Ikan Gurami
(Osphronemus gouramy). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 7 (2).
153-158.
Rahardjo MF, Sjafei D S, Affandi R, dan Sulistiono. 2011. Iktiology. Bandung
(ID): Lubuk Agung.
Ramadhan, G. T. 2018. Kemunuduran Mutu Ikan Patin (Pangasius sp.) selama
Penyimpanan Suhu Dingin Melalui Pengamatan Kimia dan Histologis
Daging. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Riyantono, R., Abida, I. W., dan Farid, A. 2009. Tingkat ketahanan kesegaran
ikan mas (Cyprinus carpio) menggunakan asap cair. Jurnal Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 2(1), 66-72.
Rozi, A. 2018. Laju Kemunduran Mutu Ikan Lele (Clarias sp.) pada Penyimpanan
Suhu Chilling. Jurnal Perikanan Tropis. 5 (2), 169-182
Safitri, W. R. 2016. Analisis Korelasi Pearson Dalam Menentukan Hubungan
antara Kejadian Demam Berdarah Dengue ddengan Kepadatan Penduduk
di Kota Surabaya Pada Tahun 2012-2014. Jurnal Ilmiah Keperawatan.
2(2), 21-29.
Sahliyah, A. R. 2017. Kemunduran Mutu dan Pembentukan Formaldehid Alami
pada Ikan Kembung (Rastrilliger sp.) selama Penyimpanan Suhu Chilling.
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sakinah., B. Hasan dan T. Leksono. 2012. Evaluasi Masa Simpan Fillet Ikan
Baung (Hemibagrus nemurus) Hasil Budidaya yang Disimpan pada Suhu
5 oC dan 10 oC. Universitas Riau, Pekanbaru.
Santhi, D.D.D. 2017. Pemeriksaan Organoleptis dan pH (Keasaman) sebagai
Syarat Mutu Keamanan Ikan Tuna (Thunnus sp). Fakultas Kedokteran.
Universitas Udayana, Denpasar.
Saragih, C. A., Hidayat, L., dan Tutuarima, T. 2009. Sifat Organoleptik Ikan
Kape-Kape (Psenes sp) Dengan Penggunaan Ekstrak Bunga Kecombrang
(Nicolaia spesiosa, Horan). Jurnal Agroindustri. 9 (1). 19-27
Sari, W., I. W. Okavia, R. Ceianna dan Sunarti. 2016. Struktur Mikrokopis Hati
Ikan Seurukan (Osteochilus vittatus) dari Sungai Krueng Sabee Kabupaten
Aceh Jaya yang Tercemar Limbah Penggilingan Biji Emas. Jurnal Biotik.
4 (1). 33-40
Sen, D. P. 2005. Advances in fish processing technology (Vol. 1). Allied
Publishers.
Sitakar, N.M., Nurliana, F. Jamin, M. Abrar, Z. H. Manaf dan Sugito. 2016.
Pengaruh Suhu Pemeliharaan dan Masa Simpan Daging Ikan Nila

Universitas Sumatera Utara


81

(Oreochromis niloticus) pada Penyimpanan Suhu -20 oC terhadap Jumlah


Total Bakteri. Jurnal Medika Veterunaria. 10 (2). 162-165
Sormin, R. B. D., F. Pattipeilohy dan A. J. Atua. 2017. The Quality Changes of
Fresh Skipjack (Katsuwonus pelamis) during Chilling Storage.
Proccedings of the 3rd International Seminar of Basic Sciences. 55-60.
Suhandana, M., G. Pratama, Jumsurizal, R. M.S. Putrid dan R. D. Septyaningtya.
2018. Komposisi Kimia Hidrolisat Protein Jeroan Ikan dengan Konsep
Autolisis Menggunakan Enzim Internal pada Ikan. Jurnal FishtecH, 7(2),
124-130.
Suhubawa, L. 2014. Teknologi Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Supartinah. 2012. Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati,
Ginjal) Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu
Chilling Melalui Pengamatan Histologis. [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Suprayitno, E. 2017. Dasar Pengawetan. Malang: Universitas Brawijaya Press.
ISBN:978-602-432-083-6.
Supriatna, Y. 2013. Budidaya Ikan Mas di Kolam Hemat Air. PT Agromedia
Pustaka: Jakarta. ISBN 979-006-454-3.
Suryana, E., R. Elvyra dan Yusfiati. 2015. Karakteristo Morfometrik dan Meristik
Ikan Lais (Kryptopterus limpok, Bleeker 1852) di Sungai Tapung dan
Sungai Kampar Kiri Provinsi Riau. JOM FMIPA. 2(1). 67-77.

Susanto, E., Agustini, T. W., Swastawati, F., Surti, T., Fahmi, A. S., Albar, M. F.,
dan Nafis, M. K. 2011. Pemanfaatan Bahan Alami untuk Memperpanjang
Umur Simpan Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus). Jurnal Perikanan
Universitas Gadjah Mada, 13(2), 60-69.
Tamuu, H., R. M. Harmain dan F.A. Dali. 2014. Mutu Organoleptik dan
Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan
Lengkuas Merah. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 2 (4). 164-168
Triadayani, A.E., Aryawati R, dan Diansyah G. 2010. Pengaruh Logam Timbal
(Pb) terhadap Jaringan Hati Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis).
Journal Maspari.1 : 42-47.

Umpain, J., Wonggo, D dan Sanger, G. 2014. Kajian Mutu Ikan Layang
(Decapterus russelli) Segar di Pasar Tuminting Kota Manado. Jurnal
Media Teknologi Hasil Perikanan. 2(2). 37-42.
Utari, S. A. 2014. Kemunduran Mutu Udang Putih: Organoleptik, Blackspot,
Histologis, dan Enzimatis. Institut Pertanian Bogor.
Wally, E., Mentang, F., dan Montolalu, R. I. 2015. Kajian Mutu Kimiawi Ikan
Cakalang (Katsuwonus pelamis L.) Asap (Fufu) selama Penyimpanan

Universitas Sumatera Utara


82

Suhu Ruang dan Suhu Dingin. Media Teknologi Hasil Perikanan, 3(1).
7-12
Widowati, I., Efiyati, S., dan Wahyuningtyas, S. 2014. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) terhadap Bakteri Pembusuk Ikan
Segar (Pseudoonas aeruginosa). Pelita-Jurnal Penelitian Mahasiswa
UNY, 9(02).
Wihardi, Y., Yusanti, I. A. dan Haris, R. B. K. 2014. Feminisasi pada Ikan Mas
(Cyprinus carpio) dengan Perendaman Ekstrak Daun-Tangkai Buah
Terung Cepoka (Solanum torvum) pada Lama Waktu Perendaman
Berbeda. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan. 9 (1). 23-
28.
Yuliastri, V., R. Suwandi dan Uju. 2015. Hasil Penilaian Organoleptik dan
Histologi Lele Asap pada Proses Pre-cooking. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. 18 (2). 190-204.
Yusfiati, E. R. 2015. Hispatologi Tunika Mukosa Usus Ikan Baung
(Hemibagrus nemurus Val) dari Perairan Sungai Siak di Daerah Jembatan
Siak I Pekanbaru. Prosiding Seminar Nasional ikan ke 8.
Zailanie, K. 2015. Fish Handling. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Universitas Sumatera Utara


83

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


84

Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian

1.Plastik Clip 2. Nampan

3. Botol Sampel 4.Milimeter Block

5.Alat Bedah 6.Sarung Tangan

Universitas Sumatera Utara


85

7. Styrofoam 8. Termometer

9.Timbangan 10. Alat Tulis

11. Aquades 12. pH meter

Universitas Sumatera Utara


86

13.Mikroskop 14. Kolam ikan

Universitas Sumatera Utara


87

Lampiran 2. Preparasi dan Penyimpanan Ikan Mas

1. Ikan mas hidup 2.Pengisian Es ke Styrofoam

3.Penyusunan ikan 4.Pengecekan suhu

6.Pembuangan air

Universitas Sumatera Utara


88

Lampiran 3. Karakteristik Ikan Mas

Pengukuran morfometrik ikan

Hasil pengukuran morfometrik

Panjang total Panjang Panjang Tinggi Berat total


No. (cm) baku (cm) cagak (cm) (cm) (gr)
1 26.8 22.8 24.6 8.5 330
2 27.4 23.3 25 8.8 345
3 27.9 23.8 24.7 8 330
4 28.3 23.5 25.7 8.5 340
5 27.8 23.8 25 9 350
6 28.2 24 25.9 8.5 350
7 29.1 24.5 26.9 8.5 340
8 26.4 21.4 23.7 8.5 310
9 29 24.5 26.8 9.1 355
10 29 24.8 26.7 9 355
11 26.8 22.8 24.7 8.8 332
12 28.5 23.5 25.8 8.4 355
13 28.4 23.8 26.8 8.1 340
14 28.5 24 26 8.5 365
15 28.3 23.3 25.5 8.6 360
16 27.4 23.3 25 8.8 345
17 28.2 24 25.9 8.5 350
18 28 23 25.2 8 320
19 27.8 23.8 25.7 8.3 315
20 29 24.5 26.4 8.5 355
21 26 22.5 23.8 8.6 325
22 27.5 24 26.1 8.5 365
23 29 25.5 27.3 8.4 355
24 27.5 23.5 25.5 8.3 355
25 29 24 26.1 8.5 365
26 29.5 25 27.4 9 410
27 28.2 24.3 26 9.1 400
28 29.5 24.5 26.7 8.9 440

Universitas Sumatera Utara


89

29 28 24 26.1 8.5 330


30 31 25.2 28.4 8.6 410
31 32 25.4 28.5 8.5 410
32 27.5 23 25 8.5 320
33 28.2 23.5 25 8.5 330
34 29.5 24.5 26.3 8.7 390
35 28 25.5 26.7 8.6 360
36 28 23.5 26.1 9 360
37 28.8 24.5 25.7 8.5 380
38 30 25 26.3 8.5 350
39 29 25 26.5 9.2 400
40 27 22 23.8 8.2 320
41 28.5 24 25.3 8.5 350
42 28.5 24 26.3 8.8 350
43 28.6 23.8 26.4 8.5 350
44 29 24.8 26.7 9 355
45 26.8 22.8 24.7 8.8 332
46 27.4 23.3 25 8.8 345
47 28.4 23.8 26.8 8.1 340
48 28 23 25.2 8 320
49 28.2 24 25.9 8.5 350
50 29 24.5 26.4 8.5 355
51 26 22.5 23.8 8.6 325
52 29 25 26.5 9.2 400
53 27 22 23.8 8.2 320
54 28.5 24 25.3 8.5 350
55 28.5 24 26.3 8.8 350
56 29 24.8 26.7 9 355
57 26.8 22.8 24.7 8.8 332
58 27.4 23.3 25 8.8 345
59 28.3 23.5 25.7 8.5 340
60 32 25.4 28.5 8.5 410
61 27.5 23 25 8.5 320
62 28.2 23.5 25 8.5 330
63 29.5 24.5 26.3 8.7 390
64 26.4 21.4 23.7 8.5 300

Universitas Sumatera Utara


90

PT PB PC T BT
Mean 28.2891 23.8203 25.7859 8.5953 352.0469
N 64 64 64 64 64
Std. Deviation 1.17245 .94301 1.10178 .28364 28.33441
Median 28.2500 23.9000 25.9000 8.5000 350.0000
Sum 1810.50 1524.50 1650.30 550.10 22531.00
Minimum 26.00 21.40 23.70 8.00 300.00
Maximum 32.00 25.50 28.50 9.20 440.00
Keterangan:
PT : Panjang total
PB : Panjang baku
P : Panjang cagak
T : Tinggi
BT : Berat total

Penimbangan rendemen ikan

1.Kepala ikan mas 2. Isi perut ikan mas

3. Kulit ikan mas 4. Daging ikan mas

Universitas Sumatera Utara


91

5.Tulang ikan mas

Hasil pengukuran bagian-bagian ikan (gram)

Ulangan Kepala Daging Tulang Kulit Isi Perut Total


1 83.1 102.2 87.1 31.6 36 340
2 63.3 98.8 76.7 29.8 41.4 310
3 85.6 106.8 89.1 34.6 38.9 355

Hasil pengukuran rendemen ikan mas (%)

Ulangan Kepala Daging Tulang Kulit Isi Perut


1 24.4 30.1 25.6 9.3 10.6
2 20.4 31.9 24.7 9.6 13.4
3 24.11 30.08 25.10 9.75 10.96
Rata-rata 23.0 30.7 25.2 9.6 11.6

Perhitungan rendemen

Ikan mas 1

Kepala

Universitas Sumatera Utara


92

Daging

Tulang

Kulit

Isi Perut

Universitas Sumatera Utara


93

Lampiran 4. Uji Organoleptik

Tahap pengujian

1.Ruangan Pengujian 2. Menempatkan ikan pada wadah

3. Penyusunan ikan pada bilik 4. Penilaian oleh panelis

Universitas Sumatera Utara


94

Scoorsheet organoleptik ikan segar

Universitas Sumatera Utara


95

Hasil pengujian organoleptik

Universitas Sumatera Utara


96

Hari Jenis Kode Parameter


Perlakuan Pengamatan ikan Sample Mata Insang Lendir Daging Bau Tekstur
0 Ikan Mas IM0A 9 9 8 9 9 9
2 Ikan Mas IM2A 8 9 8 8 8 8
4 Ikan Mas IM4A 8 8 8 8 8 8
6 Ikan Mas IM6A 7 8 8 8 8 8
8 Ikan Mas IM8A 7 7 8 7 7 7
Tanpa 10 Ikan Mas IM10A 7 7 7 7 7 7
Penyiangan 12 Ikan Mas IM12A 6 6 6 6 6 6
0 Ikan Mas IM0B 9 - 8 9 9 9
2 Ikan Mas IM2B 8 - 8 8 8 8
4 Ikan Mas IM4B 8 - 8 8 8 8
6 Ikan Mas IM6B 7 - 8 8 8 8
8 Ikan Mas IM8B 7 - 8 7 7 7
10 Ikan Mas IM10B 7 - 7 7 7 7
Penyiangan 12 Ikan Mas IM12B 6 - 6 6 6 6

Universitas Sumatera Utara


97

Lampiran 5. Uji pH

Pengujian pH ikan mas

1.Menimbang sampel ikan 2. Pengukuran dengan pH meter

Hasil pengujian pH ikan

Perlakuan Hari Pengamatan pH


0 6.9
2 6.6
4 6.5
6 6.2
8 6.6
10 6.9
Tanpa Penyiangan 12 7.2
0 6.7
2 6.5
4 6.5
6 6.4
8 6.7
10 6.8
Penyiangan 12 6.9

Universitas Sumatera Utara


98

Lampiran 6. Uji protein

Data-data pengujian protein

Universitas Sumatera Utara


99

Hasil analisis uji protein

Keterangan: ITP 1 : Ikan penyiangan

ITP 2 : Ikan tanpa penyiangan

Normal: Ikan tanpa perlakuan dingin

Universitas Sumatera Utara


100

Lampiran 7. Proses pengujian total volatile base (TVB)

1.Preparasi sampel 2. Menimbang sample

3. Sample dicampur asam perklorat 4. Sample dihomogenkan

5. Filtrasi sampel 6.Sample dimasukan ketabung destilat

Universitas Sumatera Utara


101

7. Menambahkan indikator fenolftalein 8. Destilasi bersama larutan penanmpung

9. Hasil destilasi 10. Titrasi dengan larutan HCl

11. Hasil titrasi

Universitas Sumatera Utara


102

Lampiran 8. Hasil pengujian total plate count (TPC)

Universitas Sumatera Utara


103

Hari Kode Hasil


Perlakuan Pengamatan Jenis ikan Sample (kol/gram)
0 Ikan Mas IM0A 200000
2 Ikan Mas IM2A 300000
4 Ikan Mas IM4A 400000
6 Ikan Mas IM6A 600000
8 Ikan Mas IM8A 500000
Tanpa 10 Ikan Mas IM10A 500000
Penyiangan 12 Ikan Mas IM12A 700000
0 Ikan Mas IM0B 100000
2 Ikan Mas IM2B 100000
4 Ikan Mas IM4B 200000
6 Ikan Mas IM6B 500000
8 Ikan Mas IM8B 400000
10 Ikan Mas IM10B 400000
Penyiangan 12 Ikan Mas IM12B 300000

Lampiran 9. Uji Histologi

1.Blocking 2. Preparat

3. Pengamatan preparat uji

Universitas Sumatera Utara


104

Lampiran 10. Perubahan fisik ikan mas

1.Ikan dengan penyiangan hari ke-6 2. Ikan dengan penyiangan hari ke-12

3.Ikan tanpa penyiangan hari ke-6 4. Ikan tanpa penyiangan hari ke-12

Universitas Sumatera Utara


105

Lampiran 11. Log book penelitian

Tanggal
Penyimpanan Pengujian Perlakuan Jenis Pengujian Keterangan
12 September 12 September - Rendemen -
12 September 14 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-2
12 September 16 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-4
12 September 18 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-6
13 September 21 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-8
13 September 23 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-10
13 September 25 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Penyimpanan ke-12
13 September 14 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Protein , pH Kondisi Awal
18 September 24 September Tanpa Penyiangan Histologi Kondisi Awal
24 September 24 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Histologi Penyimpanan ke-6
18 September 28 September Tanpa penyiangan dan Penyiangan Histologi Penyimpanan ke-12
7 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-12
8 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-12
9 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-12
9 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-10
10 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-10
11 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-10
11 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-8
12 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-8
13 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-8
13 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-6
14 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-6

Universitas Sumatera Utara


106

15 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-6


15 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-4
16 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-4
17 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-4
17 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Penyimpanan ke-2
18 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Penyimpanan ke-2
19 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Penyimpanan ke-2
19 Oktober 19 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TPC Kondisi awal
20 Oktober 20 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan Organoleptik Kondisi awal
21 Oktober 21 Oktober Tanpa penyiangan dan Penyiangan TVB Kondisi awal

Total Penggunaan ikan mas:

Uji protein dan pH = 14 ekor

Uji Histologi = 5 ekor

Uji rendemen = 3 ekor

Uji nilai tvb = 14 ekor

Uji nilai tpc = 14 ekor

Uji nilai organoleptik = 14 ekor

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai