SKRIPSI
OLEH :
JUNAWIR
I1A4 16 015
SKRIPSI
OLEH :
JUNAWIR
I1A4 16 015
v
vi
ABSTRACT
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Karya kecil ini
penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Nurdin dan
Ibunda Samsuriati yang selalu dengan penuh rasa sabar dan tulus mendidik,
Ibu Rahmadani, S.Pi,. M.Si selaku pembimbing II. Penulis mengucapkan banyak
terimakasih untuk ilmu dan atas kesediaan dan kesabarannya untuk selalu
4. Ketua jurusan Bapak La Ode Muhammad Yasir Haya, S.T., M.Si., Ph.D dan
Sekretaris jurusan Bapak A. Ginong Praktikino, S.T., M.T serta para staf.
La Ode Muhammad Yasir Haya, S.T., M.Si., Ph.D selaku dosen penguji.
8. Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Bapak Darman, M.Hut, Kepala Seksi
Wilayah II Kaledupa Bapak La Fasa, S.Sos., M.H., seluruh pegawai dan staf
Ode Orba, Kak Suci, Kak Ardi, Kak Teta dan Kak Sadam serta Bapak Lalang,
9. 10. Keluarga besar UKM Selam UHO dan Ilmu Kelautan UHO yang telah
10. Terakhir untuk semua pihak yang telah membantu tapi tidak sempat
disebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala bantuannya, semoga Allah
SWT membalas segala bentuk kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan.
ix
x
RIWAYAT HIDUP
SDN 3 Induha dan lulus pada tahun 2010, pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di SMPN 21 Bulukumba dan lulus pada tahun 2013. Pada
tahun yang sama pula penulis melanjutkan pendidikan di SMKN 2 Kolaka dan
melalui SNMPTN dan berhasil lulus dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan
kampus. Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Selam
Universitas Halu Oleo, Pengurus HMJ Ilmu Kelautan Sebagai Anggota Divisi
penulis juga bagian dari organisasi kepemudaan daerah dan juga organisasi
Muda Nusantara wilayah Sulawesi Tenggara dan Komunitas Non Violet Study
Cyrcles UNPATTI. Selain itu penulis juga bekerja sebagai tenaga penyelam
PT. Antasena Samudera Lestari, PT. Aldive Samoedra Asia, PT. Nautic Maritime
Salvage, PT. Camar Laut Indonesia, PT. Arizona Marine Services, PT. Arya
Pujaka Indonesia Mandiri, CV. Bahtera Sejahtera Abadi dan PT. Antasena
Maritim Jaya.
studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dengan judul “Distribusi dan
xi
xii
DAFTAR ISI
Halaman
Tabel Halaman
xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Lampiran Halaman
xv
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ascidiacea merupakan kelas dari filum chordata. Hewan dari kelas ini
hidup sesil dan masuk dalam kelompok hewan avertebrata air dengan wilayah
karang yang bersifat filter feeder yaitu memperoleh makanannya dengan cara
menyaring (Saputri dkk, 2019). Hewan ini pada fase larva bersifat planktonik,
bahan obat-obatan.
mengandung senyawa kimia berupa peptida dan golongan alkaloid). Selain itu
sebagai bahan makanan selain itu Ascidiacea jenis Halocynthia roretzi telah
dibudidayakan secara komersil di jepang dan korea sejak tahun 1982 dan
2
digunakan sebagai bahan pangan serta pemanfaatan senyawa bioaktif (Jae et al.,
2020).
3.583 km². Kabupaten ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Laut Nasional
empat Pulau yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau
Pulau Hoga sebagai tujuan untuk berwisata baik untuk wisata pantai maupun
wisata selam. Aktivitas wisata selam maupun snorkeling harus didukung dengan
kondisi perairan memadai contohnya kondisi terumbu karang yang baik maupun
Pulau Hoga belum tersedia. Hal tersebut mendorong perlunya penelitian mengenai
B. Rumusan Masalah
Kondisi terumbu karang yang berada disekitar kawasan perairan Pulau Hoga
menjadi salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan lokal dan
mancanegara. Selain itu aktivitas kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan juga pernah terjadi disekitar perairan Pulau Hoga sebelum kawasan
3
tersebut diduga menjadi salah satu penyebab menurunnya kondisi terumbu karang
pada area tertentu disekitar perairan pulau tersebut. Penurunan kondisi terumbu
A. Bioekologi Ascidiacea
Ascidiacea juga dikenal dengan nama tunikata terdapat di laut dari daerah
tropis sampai kutub pada pantai sampai kedalaman 4.803 m. Beberapa hidup
berenang bebas pada masa larva dan beberapa melekat atau sesil setelah masa
larva (Rudman, 2000). Tunikata terdiri dari empat kelas, yaitu Ascidiacea
Dari keempat kelas tersebut, Kelas Ascidiacea adalah kelas terbesar dan paling
beragam (McClintock dan Baker, 2001). Golongan ascidian merupakan salah satu
(Chen et al., 2018). Keberadaan ascidian cukup unik karena organisme ini
ditemukan dengan berbagai bentuk, warna, dan ukuran yang beragam pada
(Kuberlaborbir, 2010).
Kelas Ascidiacea yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam Sub
Phylum Urochordata atau Tunicata dari Phylum Chordata. Ascidian dikenal juga
dengan istilah Sea Squirt ditemukan tersebar hampir disemua perairan laut, mulai
dari zona dangkal littoral sampai zona abysal yang dalam, mendiami perairan
tropis dan sub tropis bahkan perairan dingin antartika serta hidup dalam perairan
menempel pada karang, cangkang moluska, lambung kapal atau pada dasar pasir
6
dan lumpur (Suwingyo, dkk. 2005). Ascidiacea memiliki bentuk tubuh silinder
atau bulat memanjang. Ascidiacea dewasa mempunyai dua lubang pada tuniknya,
yaitu lubang masuk dan lubang keluar yang dapat menyemprotkan air dari salah
Berikut ini adalah sistem klasifikasi Didemnum molle (Monniot et al., 1991):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Urochordata
Kelas : Ascidiacea
Ordo : Aplousobranchiata
Famili : Didemnidae
Pyuridae
Ascidiidae
Cionidae
Styelidae
Genus : Didemnum
Pyura
Ascidia
Ciona
Polycarpa
Didemnum
Lisoclinum
Atrolium
Spesies : Didemnum molle
Pyura sp.
Ascidia sp.
Ciona intestinalis
Polycarpa aurata
Atrolium robustum
Trididemnucereum
Didemnidae sp.
7
a) b)
c) d)
silinder, hidupnya sesil atau melekat pada substrat. Tubuhnya ditutup oleh tunica
yang dibuat dari cellulose atau tunicin. Tunica dilapisi pallium, ialah suatu lapisan
yang tersusun dari ectoderm, jaringan pengikat dan serabut-serabut otot, yang
terutama berjalan melingkar. Pada ujung yang tidak melekat pada substrat terdapat
satu lubang yang disebut lubang oral. Pada satu sisi dekat ujung bebas terdapat
lubang lain yaitu lubang atrul. Pada Ascidia ada hermaproditisme protogyni.
rongga besar di dalamnya disebut Branchial Sac. Bagian mulut tempat air masuk
berupa material yang tidak terpakai serta saluran reproduksi dikeluarkan melalui
exhalant siphon. Organ dalam terdiri dari usus sederhana, lambung, dan organ
reproduksi seperti testis lobe dan ovary. Ascidian dewasa menempel pada substrat
B. Distribusi Ascidiacea
Ascidiacea dapat ditemukan pada perairan laut mulai dari laut daerah
tropis hingga kutup, pada fase larva beberapa hewan ini ditemukan berenang
bebas dan hidup menempel atau sesil setelah fase larva. Di Indonesia habitat
Tunikata (kelas Ascidiacea) hampir disemua lokasi dalam perairan, mulai dari
konstruksi bangunan dalam air seperti dermaga, konstruksi budidaya ikan dan lain
sebagainya. Beberapa jenis dapat hidup berasosiasi dengan biota laut lain seperti
9
lamun, karang, karang lunak dan bahkan pada biota laut yang bergerak seperti
C. Parameter Lingkungan
a. Suhu
fisika, kimia, dan biologi organisme akuatik baik secara langsung maupun tidak
langsung, hal ini dikarenakan organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu
bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Selain itu suhu dapat membatasi
b. Salinitas
misalnya dalam hal distribusi biota laut. Salinitas merupakan parameter yang
berperan dalam lingkungan ekologi laut, sehingga beberapa organisme ada yang
tahan terhadap perubahan salinitas yang besar, ada pula yang tahan terhadap
salinitas yang kecil (Nybakken, 1992). Kehadiran ascidian juga dibatasi oleh
salinitas perairan yang berubah ubah atau berkurang dari kadar normal air laut
(30-32‰), namun beberapa jenis dapat bertahan hidup dan ditemukan dalam
c. Arus
planktonik. Arus juga menyebarkan telur dan larva berbagai hewan akuatik
hewan-hewan ascidian dapat tersebar tidak merata pada volume air laut, karena
arus dapat berperan dalam pengadukan massa air yang juga berpengaruh pada
d. Kecerahan
meloloskan cahaya yang jatuh kebadan air, apakah cahaya tersebut kemudian
disebarkan atau diserap oleh air. Semakin kecil tingkat kekeruhan suatu perairan,
semakin dalam cahaya dapat masuk kedalam badan air, dan demikian semakin
secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis
e. pH
Organisme air yang dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai
nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah.
11
Nilai pH yang ideal bagi organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai
8,5. Kondisi perairan yang sangat asam maupun yang sangat basa akan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Keasaman air atau pH air sangat
berperan penting bagi kehidupan organisme laut, pada umumnya pH yang sangat
cocok untuk semua jenis hewan laut termasuk jenis tunicata berkisar antara
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 1.
C. Prosedur Penelitian
1. Survei Pendahuluan
menyeluruh. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum dan memberi
15
2. Penentuan Stasiun
penelitian menggunakan GPS untuk menandai titik stasiun penelitian yang akan
melihat kondisi peraiaran (arus dan gelombang) dan kedalaman serta dapat
dibagian barat Pulau Hoga, hal tersebut dikarenakan Pulau Hoga yang cukup
luas sehingga dengan pertimbangan waktu, tenaga, dan keselamatan penelitian ini
terfokus pada bagian Barat Pulau Hoga. Selain itu mengingat bagian utara dan
timur Pulau Hoga memiliki arus yang cukup kuat sehingga cukup beresiko untuk
aktivitas penyelaman.
Stasiun I : Terletak pada titik koordinat 5° 28' 64" LS - 123° 45' 33.58" BT
berdekatan dengan lampu mercusuar Pulau Hoga dengan kondisi
tutupan karang sedang dengan dominasi lifeform DCA dan lereng
terumbu dengan kemiringan 60˚.
Stasiun II : Terletak titik koordinat 5° 27' 54.36" LS - 123° 45' 20.12" BT
berdekatan dengan dermaga lama dengan kondisi tutupan karang
sedang hingga baik dengan dominasi lifeform DCA dan lereng
terumbu dengan kemirigan 90˚.
Stasiun III : Terletak pada titik koordinat 5° 27' 13.44" LS - 123° 45' 24.15" BT
berdekatan dengan dermaga baru dan pos jagawana dengan kondisi
16
dilakukan berdasarkan metode Sala, dkk. (2012) yang dimodifikasi pada ukuran
transek sabuk (belt transect) yaitu dengan pengamatan langsung atau visual
sensus sepanjang transek sabuk. Panjang garis transek yaitu 50 m dengan lebar
2 m sejajar garis pantai pada zona reef flat dan reef slope, dilakukan pengulangan
sebanyak dua kali pada masing-masing zona dengan jarak antar transek yaitu
mendokumentasikan tiap jenis yang ditemukan. Selain itu juga dilakukan koleksi
bebas untuk melihat jenis Ascidiacea yang berada diluar transek sabuk.
Gambar 4.
17
Metode transek garis atau Line Intercept Transect (LIT) digunakan untuk
pada angka yang terbaca pada meteran roll. Garis transek yang digunakan untuk
data Ascidiacea yaitu 2 kali ulangan pada zona reef slope dan reef flat.
18
2. Suhu
3. Salinitas
handrefractometer.
4. Kecepatan Arus
dimatikan dan menghitung jarak tali, kemudian mencatat jarak dan waktu yang
Keterangan :
V : Kecepatan arus (m/detik)
s : Jarak (m)
t : Waktu (detik)
19
5. Kecerahan
disc, alat ini berupa piringan berwarna hitam putih. Sechii disc diikat pada tali
yang sudah ditandai sentimeter kemudian diturunkan dari atas permukaan air
kedasar perairan sampai tidak bisa dilihat perbedaan warna hitam putih dan
ditandai batas tali, kemudian ditarik kepermukaan sampai terlihat pertama kali dan
ditandai panjang talinya. Selain itu untuk mengetahui total kedalaman perairan
ini:
(H1+H2)
I% = 2
x 100 ………………………………………………………..…( 2 )
H total
Keterangan:
I : Kecerahan Perairan
H1 : Kedalaman secchii disc hingga tak nampak (m)
H2 : Kedalaman secchi disc ketika nampak (m)
H total : Kedalaman total perairan (m)
6. pH
lakmus kedalam sampel air laut kemudian kertas pH dicocokkan warna dengan
indikator warna pH untuk mendapatkan nilai pH air laut (Wahana dkk, 2015).
5. Analisis data
1. Keanekaragaman jenis
Keaneragaman jenis dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil
2. Kepadatan
𝑁𝑖
Di= ……………………………………………………….…...( 3 )
𝐴
Keterangan :
Di : Kepadatan (individu/m²)
Ni : Jumlah individu jenis ke-i
A : Luas transek (m²)
3. Distribusi Jenis
Distribusi jenis menggunakan persamaan frekuensi kemunculan setiap
jenis pada stasiun pengamatan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Odum, 1993):
(∑M)
F % =(∑st) x 100 …………………………………….………….……( 4 )
Keterangan:
F : Frekuensi kemunculan setiap jenis Ascidiacea
∑M : Jumlah kemunculan jenis ke-i pada setiap stasiun
∑st : Jumlah stasiun
4. Preferensi substrat
dengan mencacat jenis subtsrat yang ditempati setiap jenis Ascidiacea yang
yaitu dengan mengolah data substrat untuk mendapatkan substrat yang paling
banyak ditempati oleh Ascidiacea dan disajikan secara deskriptif dan grafik.
𝑛𝑖
Li %= ………………………………………………………………..……. ( 5 )
𝐿
Keterangan:
Li : Persentase penutupan karang (%)
ni : Panjang lifeform ke-i yang dilewati garis transek (cm)
L : Panjang transek (5000 cm)
karang hidupnya (Kepmen Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001) dapat dilihat
pada Tabel 2.
0,0-24,9 Buruk
25,0-49,9 Sedang
50,0-74,9 Baik
75,0-100,0 Sangat Baik
22
23
Pulau Hoga merupakan salah satu pulau dalam gugusan pulau di kawasan
Pulau Hoga mencapai ±3.853 km² dengan batas geografis sebagai berikut :
Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan wisata bawah airnya seperti diving dan
snorkeling. Selain itu Pulau Hoga juga menjadi lokasi penelitian mahasiswa
baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Pulau Hoga diperkenalkan
pertama kali kepada masyarakat luas tentang keanekaragaman hayati laut setelah
ekspedisi Wallacea dari Inggris pada tahun 1995. Secara geografi Pulau Hoga
berada pada jarak ±40 menit dari Ibu Kota Kecamatan dan ±150 menit dari
B. Hasil Penelitian
1. Keanekaragaman Ascidiacea
bebas tidak ditemukan jenis yang berbeda dengan yang berada dalam transek
Tabel 3. Lanjutan
Jenis
Stasiun Kelas Famili
Slope Flat
Atriolum robustum Atriolum robustum
Didemnidae Didemnum molle Didemnum molle
Lissoclinum patella Lissoclinum patella
Ascidiacea Clavelina sp.
II Polycitoridae
Siginella signifera
Polycarpa aurata Polycarpa aurata
Styelidae
Polycarpa sp. 2
Polycarpa sp. 1
Diazonidae Rhopalea sp.
Jumlah 9 4
2. Kepadatan
Ascidiacea berdasarkan stasiun tertinggi pada stasiun I baik pada reef slope
maupun reef flat. Kepadatan Ascidiacea pada reef slope stasiun I yaitu
42,28 individu/m², sedangkan pada reef flat yaitu 5,55 individu/m². Kepadatan
45.00 42,28
40.00
Slope
Kepadatan (Individu/m²)
35.00
Flat
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5,55
3,85 4,05
5.00 1,62 2,11
0.00
Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Gambar 6. Kepadatan Ascidiacea berdasarkan stasiun
Perairan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi dapat dilihat pada Tabel 4.
Didemnum molle, Polycarpa aurata dengan distribusi yang luas yaitu dengan
27
frekuensi kemunculan 100 % dan terendah dari jenis Lissoclinum patella dan
Tabel 5. Distribusi jenis Ascidiacea pada Perairan Pulau Hoga Taman Nasional
…………Wakatobi
Jenis Ascidiacea Frekuensi Kemunculan (%)
Atriolum robustum 100
Clavelina sp. 50
Didemnum molle 100
Lissoclinum patella 17
Polycarpa aurata 100
Polycarpa sp. 1 50
Polycarpa sp. 2 50
Rhopalaea sp. 33
Sigillina signifera 17
4. Preferensi Substrat
substrat yang paling banyak ditempati ascidiacea yaitu 8 jenis. Data hasil
10
8
8
Jumlah jenis 6
4 4
4 3
2 2
2
0
ACS CM R DCA S OT
Jenis substrat
5. Parameter Lingkungan
C. Pembahasan
1. Keanekaragaman Ascidiacea
Wakatobi ditemukan sebanyak 9 jenis dari 4 famili Ascidiacea pada daerah reef
slope dan reef flat yaitu jenis A. robustum, Clavelina sp., D. molle, L. patella,
Jumlah jenis Ascidiacea yang ditemukan pada Perairan Pulau Hoga lebih rendah
29
jika dibandingkan dengan yang ditemukan Sala, dkk. (2012) pada Perairan Teluk
Ompi et al., (2019) Ada banyak faktor yang menyebabkan adanya perbedaan
jenis, dimana biota avertebrata dasar laut ditemukan, salah satunya adalah
substrat, waktu, dan ruang. Ascidiacea lebih menyukai jenis substrat karang, baik
karang hidup maupun karang mati sehingga akan lebih banyak ditemukan pada
perairan dengan substrat dasar karang mati maupun karang hidup dan berkurang
Edgar et al., (2011), kelimpahan tunikata lebih tinggi pada terumbu karang baik
yang hidup maupun yang mati, sedangkan kelimpahannya tunikata lebih rendah
pada zona reef slope dan reef flat dimana pada zona reef slope dari ketiga stasiun
penelitian ditemukan 9 jenis Ascidiacea sedangkan pada reef flat hanya 4 jenis.
Perbedaan jumlah jenis yang ditemukan pada zona reef slope dan reef flat
Menurut Sala, dkk. (2012), Substrat merupakan salah satu parameter fisik yang
ascidian. Perbedaan kondisi tutupan karang pada zona reef slope dan reef flat,
dimana pada zona slope persentase karang mati lebih tinggi jika dibandingkan
Perbedaan jumlah jenis Ascidiacea yang ditemukan pada daerah reef slope
dan reef flat juga disebabkan karena adanya perbedaan kedalaman antara kedua
zona terumbu karang tersebut. Pada zona reef flat pengamatan dilakukan pada
menyatakan bahwa jenis dan sebaran biota Ascidiacea dibatasi oleh sebaran
Arus menjadi faktor pembatas dari pertumbuhan Ascidiacea, arus yang kuat akan
terlepas dari substrat tempat menempel. Kecepatan arus yang diperoleh pada
lokasi penelitian berkisar antara 0,24-0,40 m/s, masih termasuk dalam kategori
yang sesuai untuk pertumbuhan Ascidiacea. Arus yang kuat akan menghambat
Ascidiacea.
2. Kepadatan Ascidiacea
dimungkinkan karena tingginya tutupan karang mati (karang mati yang ditumbuhi
alga) pada stasiun tersebut baik pada zona reef flat dan zona reef slope.
Persentase karang mati (karang mati yang ditumbuhi alga) pada stasiun 1 yaitu
30.24% pada zona reef flat lebih tinggi dari persentase karang mati pada stasiun 2
maupun 3. Tingginya persentase karang mati (karang mati yang ditumbuhi alga)
karang mati dibandingkan jenis substrat yang lain. Menurut Malintio, dkk. (2020),
jenis substrat DCA merupakan substrat yang dominan ditempati oleh Ascidiacea.
Substrat karang mati yang ditumbuhi alga menjadi substrat yang disukai karena
substrat tersebut tidak memiliki sistem pertahanan seperti halnya pada karang
hidup dimana pada karang hidup memiliki sistem pertahanan diri yang disebut
cnidosit.
Kompetisi makan pada karang mati yang ditumbuhi alga tidak terjadi seperti
yang ditemukan pada karang hidup dimana karang dan Ascidiacea memiliki
karena pada zona reef flat stasiun 1 substrat dasarnya didominasi oleh karang mati
yang ditumbuhi alga dan berasal dari karang massive yang disukai oleh
Ascidiacea sebagai tempat melekat. Hal ini dapat dilihat pada Ascidiacea jenis
D. molle yang banyak ditemukan membentuk koloni pada karang mati yang
pertumbuhan yang sangat cepat, daya adaptasi yang baik serta dapat dominan di
fisik dan biologi, seperti arus, suhu, intensitas cahaya, dan kondisi substrat serta
jenis tersebut. Hasil pengukuran suhu pada lokasi penelitian diperoleh suhu
yaitu 30-31 ˚C dan salinitas 34 ppt, kondisi tersebut secara umum masih sesuai
22-29 ºC dan salinitas optimum pada 30-32 ‰. Selain itu Ascidiacea koloni jenis
D. molle dapat menjadi kompetitor ruang bagi pertumbuhan karang karena dapat
kesehatan pada karang. Patrik & Charles, (1995) menyatakan bahwa Ascidiacea
karang dengan penempelan dalam jumlah yang banyak pada permukaan karang
yang sehat dan memutus distribusi cahaya yang menyebabkan kematian pada
terumbu karang.
distribusi yang luas dengan ditemukan pada setiap stasiun baik pada zona reef
slope maupun reef flat, yaitu D. molle, A. robustum dan P. aurata ketiga jenis
Ascidiacea tersebut memiliki distribusi yang luas dan ditemukan pada setiap zona
stasiun pengamatan. Tingginya distribusi dari ketiga jenis tersebut salah satunya
adaptasi terhadap kondisi lingkungan sehingga jenis ini memiliki distribusi yang
luas. Edgar, et al. (2011) menyatakan bahwa D. molle merupakan hewan yang
daya adaptasi yang baik serta dapat dominan di lingkungan dengan bahan organik
yang tinggi.
Clavelina sp., Polycarpa sp. 1, Polycarpa sp. 2, Rhopaleae sp., dan S. signifera.
Hal tersebut disebabkan karena kemampuan adaptasi dari setiap jenis Ascidiacea
kecepatan arus akan menurun. Arus menjadi faktor pembatas dari distribusi jenis
Ascidiacea, Arus yang kuat dapat menyebabkan terlepasnya tubuh ascidiaea dari
hewan sesil maka arus dan gelombang merupakan faktor pembatas distribusi dan
dilakukan oleh Dewi, dkk. (2013) melakukan penelitian tentang anti tumor dan
terhadap tiga jenis sel lestari tumor. Ascidiacea juga telah dimanfaatkan secara
komersil sebagai bahan pangan di Jepang dan Korea sejak tahun 1982 yaitu jenis
Halocynthia roretzi.
4. Preferensi Substrat
perairan erat kaitannya dengan kondisi dasar substrat perairan. Pengamatan jenis
jenis substrat, atau tidak hanya di satu jenis substrat saja. Substrat yang paling
banyak ditempati Ascidiacea adalah Death Coral with Alga (DCA) dengan 8
jenis, diikuti Acropora Submassive (ACS) dan Coral Masssive (CM) 4 jenis,
Rubble (R) 3 jenis serta Others dan Sand (S) 2 jenis. Hasil penelitian
Malintoi, dkk. (2020) menunjukan substrat DCA menjadi substrat yang paling
karena pada karang hidup terdapat cnidosit yang digunakan terumbu karang
sebagai sistem pertahanan dari organisme lain dan juga untuk menangkap mangsa.
Ascidiacea Polycarpa sp. 1 merupakan salah satu jenis Ascidiacea soliter yang
dapat ditemukan pada substrat pasir maupun lumpur karena memiliki tunik yang
dapat melekat pada substrat pasir dan lumpur. Monniot et al., (1991), mengatakan
ascidia soliter tuniknya dapat menempel pada pasir atau lumpur dengan papila
A. Kesimpulan
Nasional Wakatobi berasal dari 4 Famili terdiri dari 9 jenis yaitu A. robustum,
berdaasarkan jenis Ascidiacea tertinggi pada penelitian ini yaitu dari jenis
stasiun I yaitu 42,28 individu /m² pada reef slope dan 5,55 individu/m² pada
reef flat.
A. robustum dan P. aurata dengan ditemukan pada setiap zona dan stasiun
penelitian.
4. Preferensi Substrat yang paling banyak ditempati Ascidiacea yaitu jenis death
B. Saran
keanekaragamannya.
36
37
DAFTAR PUSTAKA
Jae, YL., Michael, JW., Eunah, H., Kwang, SC., Won, CL., 2020. Growth of the
longline-cultured sea squirt Halocynthia roretzi in a temperate bay of
Korea: Biochemical composition and physiological energetic.
Aquaculture. 416 (734526):1-10.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2001. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta.
Kubelaborbir, T. M. 2010. Inventarisasi dan Karakterisasi Ascidiacea di Perairan
Pantai Malalayang Sulawesi Utara dan Identifikasi Molekular Prochloron
sp. Yang Berasosiasi Dengan Ascidiacea. Tesis. Tidak Dipublikasikan.
FPIK Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Kurniawan.2013. Analisis Kualitas Air Dilihat dari Total Suspended Solid (TSS)
di Perairan Pulau Pahawang Lampung. Jurnal Praktek Laut.
Litaay M., Grace C., Risco G.B., Zaraswati D., 2015. Bioaktivitas Simbion
Tunikata Polycarpa aurata Sebagai Antimikroba. Seminar Nasional
Biologi ke XXIII PBI. 8-11 September 2015. Jayapura, Indonesia.
Malintoi. A., Inneke F. M. Rumengan, Kakaskasen A. Roeroe1 , Veibe W, Ari B.
Rondonuwu, Medy O., 2020. Komunitas Ascidia Di Pesisir Malalayang
Dua, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis.
8(1):39-46.
McClintock, J.B dan B.J. Baker. 2001. Marine and Chemical Ecology. CRC
Press. Boca Raton.
Monniot, C. F., P. Monniot & Laboute. 1991. Coral Reef Ascidians of New
Caledonia. Institut Francais de Recherche Scientifique Pour le
Developpement en Cooperation. Collection Faune Tropicaleno 30. Paris:
247 pp.
Naranjo. S. A., Carballo, J. L., Garcia G. J. C., 1996. Effects of environmental
stress on ascidian populations in Algeciras Bay (southern Spain). Possible
marine bioindicators., Marine Ecology Progress Series. 144:119-131.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Pt. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi
Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ompi P.M., Boneka F. B., Ompi M., Rimper J. R. T. S. L., Roeroe K. A., dan
Kambey A. D. 2019. Kelimpahan, Distribusi, dan Keanekaragaman
Nudibranchia di Nudifall dan Nudiretreat Selat Lembeh, Sulawesi Utara.
Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 7(2).
Opa, S.L., Deiske A.S., Silvester B.P., Billy T.W., Gustaf F.M., Elvy L.G. Medy
O., 2015. Struktur Komunitas Ascidian Di Perairan Mike’s Point
39
LAMPIRAN
42
43