MUH.AQRAM RAMADHAN
L11114024
Menyetujui,
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Adalah karya tulisan saya sendiri dan bukan merupakan pengambilan alihan
tulisan orang lain bahwa skripsi yang saya tulis ini benar – benar merupakan
hasil karya saya sendiri.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut
Yang Menyatakan
Muh.Aqram Ramadhan
iii
PERNYATAAN AUTHORSHIP
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Penulis
iv
ABSTRAK
v
ABSTRACT
vi
RIWAYAT HIDUP
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini, penulis begitu banyak
memperoleh bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang tak terhitung nilainya.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Ibunda Tercinta Fatimah,S,Pd.SD dan Ayahanda
Alm.Baharuddin yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang dan
kesabaran serta segala dukungan dan doa yang tak pernah ada habisnya
sampai detik ini. Serta kakak Fahrullah yang telah memberikan semangat doa.
2. Ibu Dr. Yayu A. La Nafie, ST, M.Sc selaku pembimbing utama serta Bapak Dr.
Ir. Syafiuddin, M.Si selaku pembimbing anggota dan penasehat akademik yang
telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya untuk mendampingi,
memberikan arahan, masukan serta bimbingan kepada penulis selama proses
penyusunan skripsi.
3. Bapak Dr. Supriadi, ST, M.Si. dan bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc.
selaku dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran demi perbaikan
tugas akhir ini.
4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan yang telah
memberikan masukan terutama ilmu dan bantuan dalam segala hal selama
penulis menempuh studi hingga selesai.
5. Seluruh staf Departemen Ilmu Kelautan yang telah membantu dan melayani
penulis selama menempuh studi hingga akhir.
6. Teman-teman The Marine Science Of Two Thausand And Fourteen (TRITON-
UH) yang telah menjadi saudara dan teman seperjuangan penulis selama ini,
terima kasih atas dukungan dan doanya.
7. Teman-teman KKN Gel. 96 Desa Pattinoang, Kecamatan Galesong, Kabupaten
Takalar: Nasrullah, Peniwati, Kak Ningnog dan Iza, terimakasih banyak untuk
canda dan tawanya, susah senangnya serta kenangan yang tidak dapat penulis
lupakan selama 2 bulan berada di Posko.
8. Fitri, Gustina, Nurdina, Mirdayanti, Putri, Rahma dan Asmal terimakasih atas
canda dan tawanya, susah senangnya selama 3 bulan tinggal dan
melaksanakan kegiatan PKL di BRPBAP MAROS.
9. Andi. T Abeng, Harist, Muhammad Asri, Irwan, Syahrul, Lisnawati, Rades
Fitrianti, Fitriani, Rafsanjani, A.Mursalim, Nurul Asirah, Mirdayanti, Ayu
viii
Novitasari, Andi Annisar Dzati Iffah, Fatyah Nur Jannah Mahu, Nurdina A.
Rahman, Sitti Aisyah, Erwin Pramata, Andi Muhammad Agung Pratama AR,
Sumiati, Gustina, Ahmad Sajjad, Indah Lestari, Nirmawati yang telah
membantu dalam proses penelitian dan penyusunan tugas akhir.
Terakhir untuk semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala bantuannya semoga Allah SWT
membalas semua bantuan kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan.
ix
KATA PENGANTAR
Penulis
x
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) dan termasuk
tumbuhan berbiji satu (Monocotyledonae) yang mempunyai akar, rimpang
(rhizome), daun, bunga dan buah. Lamun dapat dijumpai tumbuh dan
berkembang baik pada lingkungan perairan laut dangkal, estuarine yang
mempunyai kadar garam tinggi, daerah yang selalu mendapat genangan air
ataupun terbuka saat air surut, pada subtrat pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak
dan karang di wilayah tropis (Juraij et al., 2014).
Padang lamun dapat membentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis
lamun yang tumbuh membentuk padang lebat serta vegetasi campuran terdiri
dari 2-12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies
lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi campuran adalah Cymodocea
rotundata, Halodule pinifolia, dan Syringodium isoetifolium. Sedangkan yang
tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan
Thalassodendrom ciliatum (Sakey et al., 2015).
Seperti ekosistem laut lainnya, adang lamun memiliki peran penting dalam
ekologi kawasan pesisir. Beberapa peran penting tersebut berupa peneydiaan
habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari makan (feeding
ground) bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan gastropoda
(Bortone, 2000), serta sebagai peredam gelombang dan perangkap sedimen
(Fonseca dan Fisher, 1986)..
Sedimen berperan dalam menentukan stabilitas kehidupan lamun, sebagai
media tumbuh bagi lamun agar tidak terbawa arus dan gelombang serta sebagai
sumber unsur hara (Lanuru dan Ferayanti, 2011). Menurut Yunitha (2014),
lamun dapat tumbuh pada berbagai jenis karakteristik substrat, seperti substrat
dengan tipe sedimen berlumpur, berpasir hingga pecahan karang.
Hasil penelitian dari Latuconsina (2012) mengemukakan bahwa
Karakteristik fisik sedimen menentukan distribusi spasial, keragaman dan
kerapatan jenis vegetasi lamun di perairan, dimana sedimen dengan dominasi
fraksi pasir berukuran sedang lebih memiliki keragaman dan kerapatan vegetasi
lamun yang tinggi dibandingkan dengan dominasi fraksi pasir kasar dan lumpur
1
Survey awal pada bulan Desember 2019 di perairan Dusun Puntondo,
ditemukan beberapa jenis substrat yang ditumbuhi beberapa jenis lamun yakni
subtrat dengan tipe sedimen pasir, pasir berlumpur dan pecahan karang.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai Sebaran
Lamun Berdasarkan Perbedaan Karakteristik Sedimen di Perairan Teluk Dusun
Puntondo, Kabupaten Takalar.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Padang Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan
diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun
dan akar. Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara
mendatar serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek
yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga serta tumbuh pula akar. Dengan
rhizoma dan akar inilah tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan
kokoh di dasar laut. Sebagian besar lamun berumah dua artinya dalam satu
tumbuhan hanya ada jantan dan betina saja. Sistem pembiakan bersifat khas
karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air serta buahnya terendam
dalam air (Nontji, 2005).
Lamun merupakan produsen primer yang berfungsi sebagai penghubung
antara ekosistem mangrove dengan ekosistem terumbu karang (McKenzie,
2008), sebagai penyaring nutrient yang berasal dari sungai atau laut, pemecah
gelombang dan arus, serta meningkatkan kualitas air laut dengan membantu
pengendapan substrat dan menstabilkan sedimen (Purnomo et al., 2017).
Sebagai komponen penting bagi perairan karena menghasilkan oksigen dan
materi organik dari hasil fotosintesis, padang lamun merupakan tempat mencari
makan, pemijahan dan asuhan (Bortone, 2000).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kerapatan jenis lamun antara lain
kecerahan, kedalaman, dan bahan organik total (BOT) sedimen. Lamun tumbuh
pada daerah yang lebih dalam dan jernih memiliki kerapatan jenis lebih tinggi dari
pada lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan keruh. Lamun berada pada
substrat berlumpur dan berpasir memiliki kerapatan yang lebih tinggi dari pada
lamun yang tumbuh pada substrat karang mati (Kiswara, 2004).
Beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia adalah
sebagai berikut :
1. Enhalus acoroides
Enhalus acoroides merupakan tanaman yang kuat, yang memiliki daun
yang panjang dengan permukaan yang halus dan memiliki rhizoma yang tebal.
Terdapat bunga yang besar dari bawah daun. Lamun ini di temukan sepanjang
Indo-Pasifik barat di daerah tropis (Gambar 1) (Waycott et al., 2004).
3
Gambar 1. Enhalus acoroides (Waycott et al., 2004)
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divison : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Hidrocharitales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Species : Enhalus acoroides
2. Halophila ovalis
Halophila ovalis memiliki daun yang berbentuk oval Pada pinggiran daun
halus. Terdapat sepasang daun pada petiole yang muncul secara langsung dari
rhizoma. Ukuran daun 0,5 – 15 cm, lebar 0,3 -2,5 cm dengan tangkai 0,48 cm,
daun kadang-kadang memiliki titik-titik merah dekat bagian tengah vein (Gambar
2) (Waycott et al., 2004).
4
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Division : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatale
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Species : Halophila ovalis
3. Cymodocea rotundata
Cymodocea rotundata memiliki bentuk daun seperti pita yang melengkung
dengan bagian pakal menyempit dan agak melebar dibagian ujung, ujung daun
halus dan tidak bergerigi dengan rhizoma kecil berwarna putih (Gambar 3)
(Soedharma et al., 2007).
muncul dari stem tegak lurus dan penutup penuh oleh sarung daun, ujung
5
daun tumpul serta bergerigi tajam, rhizome tebal dengan node scar yang jelas,
biasanya berbentuk segitiga dengan leaf sheath yang keras (Waycott et al.,
2004). Selain itu ciri khususnya yaitu terdapat bercak berwarna coklat dihelaian
serta tebal (Sjafrie, 2018). Menurut Argadi (2003) sebaran lamun ini ditemukan
mulai dari perairan Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku, Nusa
5. Syringodium isoetifolium
Disemua Perairan Indonesia hampir ditemukan lamun jenis ini seperti Sumatra,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya
(Argadi, 2003).
6
B. Sedimen
Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui
proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal
maupun secara horizontal. Seluruh permukaan dasar lautan ditutupi oleh partikel
sedimen yang diendapkan secara perlahan - lahan dalam jangka waktu berjuta -
juta tahun (Garrison, 2005). Berdasarkan asalnya sedimen dibagi menjadi 3
macam yaitu: 1) sedimen lithogeneus merupakan sedimen yang berasal dari sisa
pengikisan batu-batuan di darat, 2) sedimen biogenous merupakan sedimen
yang berasal dari sisa rangka organisme hidup juga akan membentuk endapan-
endapan halus yang dinamakan ooze yang mengendap jauh dari pantai ke arah
laut dan 3) sedimen hydrogenous merupakan sedimen yang dibentuk dari hasil
reaksi kimia dari air laut (Dipapio, 2016).
Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen dikelompokkan menjadi kerikil (> 2
mm), pasir (0,05 – 2 mm), lumpur (silt) (0,002 – 0,05 mm) dan lempung (< 0, 002
mm) (Rifardi, 2008). Substrat yang menjadi tempat hidup lamun adalah lumpur,
pasir, karang mati (rubble), campuran dari dua jenis substrat tersebut atau
campuran ketiganya (Kiswara, 2000). Thalassia hemprichii merupakan salah satu
jenis lamun yang tumbuh dan sering dominan pada substrat pasir hingga
pecahan-pecahan karang (Alie, 2010).
7
fungsi padang lamun yaitu mengikat sedimen dan menstabilkan substrat lunak
dengan system perakaran yang padat dan saling menyilang. Pada substrat
berlumpur memiliki ukuran butir sedimen yang halus, sehingga lamun
membutuhkan banyak akar untuk mengikat sedimen. Seperti yang dijelaskan
Bengen (2004), salah satu fungsi padang lamun yaitu mengikat sedimen dan
menstabilkan substrat lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling
menyilang.
Menurut Hasanudin (2013), perbedaan komposisi jenis substrat dapat
menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun dan juga dapat mempengaruhi
perbedaan kesuburan dan pertumbuhan pada setiap jenis lamun. Hal ini didasari
oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi ukuran butir sedimen akan
menyebabkan perbedaan nutrisi bagi bagi pertumbuhan lamun dan proses
dekompsisi serta mineralisasi yang terjadi di dalam substrat.
8
potongan kulit (shell) serta sisa rangka dari organisme laut ataupun dari detritus
organik daratan yang telah tertransportasi oleh berbagai media alam yang
terendapkan di dasar laut yang cukup lama.
9
III.METODE PENELITIAN
STASIUN I
STASIUN II
STASIUN III
10
B. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Alat dan bahan
No Alat/ Bahan Kegunaan
1 Global Positioning Untuk menentukan titik koordinat lokasi
System (GPS) pengambilan data
2 Transek Kuadrat 50 cm Pembatas dalam mengestimasi tutupan dan
× 50 cm kerapatan lamun
3 Botol sampel 500 ml Sebagai wadah sampel air laut
4 Pipa paralon/core 2 inci Untuk mengambil sampel sedimen
5 Buku identifikasi jenis Untuk mengidentifikasi jenis lamun
lamun (McKenzie et al,
2003)
6 Sabak Untuk mencatat data hasil dari pengukuran
7 Sieve net Untuk mengayak sampel sedimen dan
memisahkan sedimen berdasarkan ukuran
butir sedimen
8 Beaker glass 250 Ml Sebagai wadah penyimpanan sampel sedimen
saat melakukan pengeringan di oven
9 Secchi disk Untuk mengukur kecerahan air
10 Tongkat skala 200 cm Untuk mengukur kedalaman air
11 Alat selam dasar Untuk mempermudah dalam pengambilan data
di lapangan
12 Kantong sampel Untuk menyimpan sampel sedimen
13 Spidol permanen Untuk memberi tanda pada setiap kantong
sampel
14 Oven Untuk mengeringkan sampel sedimen
15 Tanur Untuk pembakaran BOT sedimen
16 Label Sebagai penanda
17 Tissue Untuk membersihkan alat
18 Sampel sedimen Sebagai bahan uji analisis
11
Tabel 1. (Lanjutan)
N Alat/ Bahan Kegunaan
o
19 Talam/ kertas licin Sebagai wadah penyimpanan sampel sedimen
yang telah diayak dengan menggunakan sieve
net
20 Aquades Untuk membilas alat
21 Penjepit Untuk mengambil cawan porselin dari dalam
tanur
22 Cawan Petri Sebagai wadah penyimpanan sampel saat
ditimbang
23 Cool box Sebagai wadah penyimpanan sampel sedimen
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu tahap persiapan,
observasi awal lapangan, penentuan stasiun penelitian, pengambilan data di
lapangan, pengambilan sampel serta pengukuran parameter lingkungan, dan
analisis data.
1. Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu survey awal atau survey
lapangan yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi lapangan, studi
literatur tentang penelitian yang akan dilakukan kemudian pengumpulan data
sekunder yang ada hubungannya dengan objek penelitian serta mempersiapkan
alat dan bahan yang akan digunakan di lapangan.
12
2. Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun penelitian sedapat mungkin mewakili padang lamun di perairan
Puntondo Kabupaten Takalar. Untuk itu pengamatan ditentukan sebanyak 3
stasiun secara acak berdasarkan karateristik sedimen yang telah dilihat secara
visual dengan ulangan sebanyak 3 kali pengambilan sampel. Pencatatan titik
koordinat dilakukan pada setiap ulangan menggunakan Global Positioning
System (GPS).
3. Pengambilan Data Lapangan
3.1. Tutupan lamun
Pengambilan data tutupan lamun dengan menggunakan transek kuadrat
berukuran 50 cm x 50 cm (transek kuadrat dibagi menjadi 4 kisi dengan ukuran
25 cm x 25 cm) secara acak disesuaikan dengan sebaran lamun. Untuk
mengamati persen tutupan lamun dengan menggunakan standar persen tutupan
(Tabel. 2) (Rahmawati et al., 2014). Selanjutnya penentuan kondisi Padang
Lamun dengan melihat nilai penutupannya berdasarkan Kepmen LH No. 200
tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status
padang lamun(Tabel. 3)
Tabel 2. Penilaian Penutupan Lamun dalam Kotak Kecil Peyusun Kuadrat 50 x
50 cm² (Rahmawati et al., 2014) :
Kategori Nilai Penutupan Lamun
Tutupan Penuh 100
Tutupan 3/4 Kotak Kecil 75
Tutupan 1/2 Kotak Kecil 50
Tutupan 1/4 Kotak Kecil 25
Kosong 0
Tabel 3. Status Kondisi Padang Lamun Indonesia (KepMen LH No. 200
tahun 2004)
Kondisi Tutupan (%)
Baik Kaya/ Sehat ≥ 60
Rusak Kurang Kaya/Kurang Sehat 30 - 59.9
Miskin ≥ 29.9
13
2003). Pengamatan kerapatan lamun dilakukan pada setiap jenis dengan cara
menghitung jumlah tegakan masing-masing jenis di dalam transek kuadrat (50
cm x 50 cm). Kerapatan jenis lamun dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
Kerapatan Jenis (tegakan/m2) =
Jumlah tegakan dalam plot
Luas plot ( m2 )
Jenis lamun yang ditentukan pada setiap transek kuadrad diidentifikasi dengan
mengacu pada seagrass species codes oleh MacKenzie et. al. 2003 (Gambar 7).
14
Geomorfologi Pantai Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin.
3.4. Pengambilan Data Pendukung
a. Kedalaman diukur dengan menggunakan tongkat skala yang
ditancapkan kedalam air sampai mencapai substrat yang dilakukan
pada masing-masing transek kuadrad pengamatan.
b. Kecerahan diukur menggunakan Secchi disk yang diikat dengan tali
kemudian diturunkan perlahan-lahan kedalam perairan hingga tidak
terlihat lagi yang dilakukan pada masing-masing transek kuadrad
pengamatan.
c. Penentuan Bahan Organik Total (BOT) sedimen kering dilakukan
dengan metode pembakaran di Laboratorium sebagai berikut :
1. Menimbang cawan porselin
2. Menimbang berat sampel sedimen yang telah dikeringkan sebanyak
±5 gram kemudian dimasukkan kedalam cawan porselin
3. Kemudian memanaskan dalam Tanur pada suhu 650℃ selama 2-
3 jam.
4. Kemudian sampel dikeluarkan dari tanur dan didinginkan dengan
menggunakan desikator lalu menimbang kembali sampel (cawan
porselin yang berisi sampel sedimen) sebagai berat akhir
Untuk menghitung Bahan Organik Total (BOT) sedimen digunakan
rumus sebagai berikut :
Berat Bo Awal = Berat Cawan + Berat Sampel
Berat BO
% Bahan Organik = X 100 %
Berat sampel
BO : Bahan Organik
3.5. Tahap Analisis Partikel Sedimen
Analisis sedimen dilakukan dengan menggunakan metode pengayakan
kering yang kemudian diklasifikasikan menurut kriteria Wentworth untuk
mengetahui ukuran butir sedimen. Metode pengayakan kering dilakukan dengan
membersihkan sampel dari kotoran dan lamun yang menempel pada sedimen,
selanjutnya sampel dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 150˚C.
15
Kemudian sampel sedimen ditimbang seberat 100 gram sebagai berat awal,
selanjutnya diayak menggunakan sieve net yang tersusun secara berurutan
dengan ukuran 2 mm, 1 mm, 0.5 mm, 0.25 mm, 0.125 mm, 0.063 mm dan
<0.063 mm. Kemudian sampel sedimen dipisahkan dari ayakan dan ditimbang.
Untuk menghitung % berat sedimen pada metode ayakan kering dapat
digunakan rumus sebagai berikut:
Berat Hasil Ayakan
% Berat= ×100 %
Berat Awal
Untuk mengklasifikasikan sedimen menurut ukuran butirnya
menggunakan skala Wentworth (Tabel 4) (Hutabarat dan Evans, 1985).
Tabel 4. Skala Wenwort Untuk mengklasifikasikan partikel-partikel sedimen
(Hutabarat dan Evans, 1985).
No Nama Partikel Ukuran (mm)
1 Batuan (Boulder) 256
2 Batuan Bulat (Coble) 256 – 64
3 Batuan Kerikil (Pebble) 64 – 4
4 Butiran (Granule) 4–2
5 Pasir Paling Kasar (Very Coarse Sand) 2 -1
6 Pasir Kasar (Coarse Sand) 1 – 0,5
7 Pasir Sedang (Medium Sand) 0,5 – 0,25
8 Pasir Halus (Fine sand) 0,025 – 0,125
9 Pasir Sangat Halus (Very fine sand) 0,125 – 0,0625
10 Debu (Silt) 0,0625 – 0.0039
11 Liat (Clay) ≤ 0,0039
4. Analisis Data
Untuk mengetahui kaitan karakteristik sedimen terhadap sebaran vegetasi
lamun dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan gambar, analisis
korelasi digunakan untuk melihat kuat atau lemahnya kaitan antara karakteristik
sedimen dengan sebaran lamun.
16
IV. HASIL
A. Parameter Lingkungan
Hasil rata-rata pengukuran parameter lingkungan di Perairan Dusun
Puntondo, Kabupaten Takalar disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil pengukuran parameter perairan
Stasiun Ulangan Kedalaman (m) Kecerahan BOT
Sedimen (%)
I 1 1,1 43 8,64
2 1,1 46 9,32
3 1,23 42 5,6
Rata-rata 1,14 43,67 7,85
II 1 1,1 35 26,94
2 1,18 39 27,62
3 1,1 37 12,46
Rata-rata 1,13 37 22,34
III 1 0,85 46 9,34
2 1,18 41 8,6
3 0,95 45 12,88
Rata-rata 0,99 44 10,27
17
80%
70% 67%
60%
Tutupan Lamun % 50%
42% 42%
40%
30%
20%
10%
0%
I II III
Stasiun
18
250
Kerapatan Lamun ind/m²
200
0
1 2 3
Stasiun
19
Lamun jenis Cymodocea rotundata terhadap ukuran partikel sedimen diperoleh
nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,3346 (33,46%). Lamun jenis Halophila
ovalis terhadap ukuran partikel sedimen diperoleh nilai R² (koefisien determinasi)
sebesar 0,1281 (12,81%). Lamun jenis Thalassia hemprichii terhadap ukuran
partikel sedimen diperoleh nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,1755
(17,55%). Dari semua jenis lamun yang ditemukan di perairan Puntondo dapat
dikatakan bahwa jenis Cymodocea rotundata memiliki nilai koefisien determinasi
tertinggi (R2=33,46%) dibandingkan jenis lainnya.
Tabel 7. Hubungan ukuran partikel sedimen dengan Kerapatan jenis lamun
Jenis Lamun Persamaan Regresi Nilai R²
Enhalus acroides y = -82,64x + 90,571 R² = 0,2519
Syringodium isoetifolium y = 130,31x - 4,24 R² = 0,0514
Cymodocea rotundata y = 238,57x – 47,992 R² = 0,3346
Halophila ovalis y = -18,636x + 10,52 R² = 0,1281
Thalassia hemprichii y = 160,93x + 92,352 R² = 0,1755
200
180
160
Kerapatan Lamun (ind/m2)
140
120
100
80
60 f(x) = 130.311989089276 x − 4.24001558674784
R² = 0.0514025034503505
40
20
0
0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.450 0.500 0.550 0.600
Ukuran Partikel Sedimen (mm)
Gambar 10. Hasil analisis regresi linear hubungan ukuran partikel sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Syringodium isoetifolium
20
180
160
140
Gambar 11. Hasil analisis regresi linear hubungan ukuran partikel sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Cymodocea rotundata
25
20
Kerapatan Lamun (ind/m2)
15
10
Gambar 12. Hasil analisis regresi linear hubungan ukuran partikel sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Halophila ovalis
21
250
200
100
50
0
0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.450 0.500 0.550 0.600
Ukuran Partikel Sedimen (mm)
Gambar 13. Hasil analisis regresi linear hubungan ukuran partikel sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Thalassia hemprichii
90
80
70
Kerapatan Lamun (ind/m2)
Gambar 14. Hasil analisis regresi linear hubungan ukuran partikel sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Enhalus acoroides
3. Hubungan Bahan Organik Total (BOT) Sedimen terhadap Sebaran Lamun
Hasil korelasi persamaan regresi sederhana menunjukkan bahwa jenis
lamun Enhalus acoroides terhadap Bahan Organik Total sedimen diperoleh nilai
R² (koefisien determinasi) sebesar 0,3436 (34.36%). Lamun Jenis Syringodium
isoetifolium diperoleh nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,6282 (62.82%).
Lamun jenis Cymodocea rotundata terhadap Bahan Organik Total Sedimen
diperoleh nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,5623 (56.23%). Lamun jenis
22
Halophila ovalis terhadap Bahan Organik Total sedimen diperoleh nilai R²
(koefisien determinasi) sebesar 0,0503 (5.03%). Lamun jenis Thalassia
hemprichii terhadap Bahan Organik Total sedimen diperoleh nilai R² (koefisien
determinasi) sebesar 0,1654 (16,54%).
Tabel 8. Hubungan Bahan Organik Total Sedimen dengan Kerapatan jenis lamun
Jenis Lamun Persamaan Regresi Nilai R²
Enhalus acoroides y = -1,5235x + 74,329 R² = 0,3436
Syringodium isoetifolium y = 7,1917x - 43,23 R² = 0,6282
Cymodocea rotundata y = 4,882x - 7,6303 R² = 0,5623
Halophila ovalis y = -0,1843x + 4,7078 R² = 0,0503
Thalassia hemprichii y = -2,4665x + 197,27 R² = 0,1654
180
160
140
Kerapatan Lamun (ind/m2)
Gambar 15. Hasil analisis regresi linear hubungan Bahan Organik Total sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Cymodocea rotundata
23
25
20
10
5
f(x) = − 0.184266635679696 x + 4.707774396835
R² = 0.0502587248816372
0
0 5 10 15 20 25 30
Bahan organik total sedimen (%)
Gambar 16. Hasil analisis regresi linear hubungan Bahan Organik Total sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Halophila ovalis
250
Kerapatan Lamun (ind/m2)
200
f(x) = − 2.46647056598063 x + 197.269947412228
150 R² = 0.165375832246288
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30
Bahan organik total sedimen (%)
Gambar 17. Hasil analisis regresi linear hubungan Bahan Organik Total sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Thalassia hemprichii
24
200
180
Gambar 18. Hasil analisis regresi linear hubungan Bahan Organik Total sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Syringodium isoetifolium
90
80
Kerapatan Lamun (ind/m2)
70
60 f(x) = − 1.52353546026461 x + 74.3285783195694
50 R² = 0.343576290482924
40
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30
Bahan organik total sedimen (%)
Gambar 19. Hasil analisis regresi linear hubungan Bahan Organik Total sedimen
dengan kerapatan jenis lamun Enhalus acoroides
25
V. PEMBAHASAN
26
B. Karakteristik Sedimen Terhadap Sebaran Lamun
1. Karakteristik Sedimen
Tekstur sedimen di perairan Dusun Puntonto berdasarkan hasil
pengukuran pada semua Stasiun pengamatan bertipe pasir kasar dan pasir
sedang. Presentase berat massa kumulatif sedimen berdasarkan skala wenworth
didominasi oleh pasir kasar (0.5 - 1 mm) terdapat pada stasiun II dan III,
sementara pada stasiun I presentase berat massa sedimen didominasi pasir
sedang (0.25 - 0.5 mm).
2. Hubungan Karakteristik Sedimen terhadap Sebaran Lamun
Hasil uji korelasi antara ukuran partikel sedimen dan kerapatan lamun
menunjukkan bahwa jenis lamun Enhalus acoroides memiliki nilai R² (koefisien
determinasi) sebesar 0,2519 (25.19%). Hal ini menunjukkan bahwa partikel
sedimen hanya berpengaruh 25.19% terhadap kerapatan jenis lamun Enhalus
acoroides, rendahnya hubungan kerapatan Enhalus acoroides terhadap ukuran
partikel sedimen di karenakan Enhalus acoroides cenderung hidup disubstrat
berlumpur hal ini sejalan dengan pendapat Sangaji (1994) menyatakan bahwa
Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat dasar berpasir dan pasir sedikit
bercampur lumpur dan kadang-kadang terdapat dasar yang terdiri dari campuran
pecahan karang yang telah mati. Kemudian Bengen (2001) juga menyatakan
bahwa Enhalus accoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat
berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau
mendominasi komunitas padang lamun.
Lamun Jenis Syringodium isoetifolium diperoleh nilai R² (koefisien
determinasi) sebesar 0,0514 (5,14%) yang berarti kerapatan jenis dikategorikan
memiliki hubungan yang sangat lemah. Hal ini menunjukkan bahwa partikel
sedimen hanya berpengaruh 5,14% terhadap kerapatan jenis lamun. Uji korelasi
Cymodocea rotundata terhadap ukuran partikel sedimen diperoleh nilai R²
(koefisien determinasi) sebesar 0,3346 (33,46%) yang berarti kerapatan jenis
dikategorikan memiliki hubungan yang sedang, menunjukkan bahwa partikel
sedimen hanya berpengaruh 33,46% terhadap kerapatan jenis lamun. Halophila
ovalis terhadap ukuran partikel sedimen diperoleh nilai R² (koefisien determinasi)
sebesar 0,1281 (12,81%) yang berarti kerapatan jenis dikategorikan memiliki
hubungan yang lemah. Hal ini menunjukkan ukuran partikel sedimennya hanya
berpengaruh 12,81%. Sementara uji korelasi Thalassia hemprichii terhadap
ukuran partikel sedimen diperoleh nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,1755
27
(17,55%) yang berarti kerapatan jenis dikategorikan memiliki hubungan yang
lemah. Hal ini menunjukkan ukuran partikel sedimennya hanya berpengaruh
17,55%. Terdapatnya nilai koefisien determinan (R2) yang sangat bervariasi dan
relatif sangat rendah dapat menunjukkan bahwa selain ukuran butir sedimen,
terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kerapatan jenis lamun.
Ukuran partikel sedimen yang memiliki pengaruh yang tinggi terhadap
kerapatan jenis lamun yaitu Lamun Cymodocea rotundata. Hal ini sejalan dengan
pendapat Arifin (2001) yaitu Lamun Cymodocea spp. mampu tumbuh pada
berbagai substrat mulai dari kisaran liat berlumpur hingga pecahan karang yang
kasar, pada lingkungan tenang dan substrat berpasir lamun ini membentuk
padang monospesifik yang luas dan padat.
Hasil korelasi persamaan regresi sederhana menunjukkan bahwa jenis
lamun Enhalus acoroides terhadap Bahan Organik Total sedimen diperoleh nilai
R² (koefisien determinasi) sebesar 0,3436 yang berarti kerapatan jenis
dikategorikan memiliki hubungan yang sedang, hal ini menunjukkan bahwa BOT
sedimen hanya berpengaruh 34.36% terhadap kerapatan jenis lamun. Hal ini
sependapat dengan Colton dalam Sabri dan Hastono (2007) yang menyatakan
bahwa jika nilai koefisien korelasi berada di antara 0,26-0,50 maka memiliki
hubungan sedang.
Dari grafik hubungan anatara lamun Syringodium isoetifolium dengan nilai
BOT sedimen, diperoleh nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,6282 yang
berarti kerapatan jenis dikategorikan memiliki hubungan yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa BOT sedimen berpengaruh 62.82% terhadap kerapatan
jenis lamun. Hubungan antara lamun jenis Cymodocea rotundata terhadap BOT
sedimen diperoleh nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,5623 yang berarti
kerapatan jenis dikategorikan memiliki hubungan yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa BOT sedimen berpengaruh 56.23% terhadap kerapatan
jenis lamun Cymodocea rotundata.. Halophila ovalis dan Thalassia hemprichii
memiliki hubungan terhadap BOT Sedimen yang rendah, dimana hubungan
lamun Halophila ovalis terhadap BOT sedimen diperoleh nilai R² (koefisien
determinasi) sebesar 0,0503 (5.03%). Adapun hubungan lamun jenis Thalassia
hemprichii terhadap Bahan Organik Total sedimen diperoleh nilai R² (koefisien
determinasi) sebesar 0,1654 (16,54%). Adanya nilai koefisien determinansi yang
relatif bervariasi tersebut menunjukkan bahwa kerapatan lamun tidak hanya
28
dipengaruhi oleh BOT sedimen tetapi ada faktor lain juga, misalnya dengan
karakteristik jenis lamun itu sendiri.
C. Parameter Lingkungan
Faktor Lingkungan dapat mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan
jenis lamun di suatu perairan. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kecerahan,
kedalaman, Bahan Organik Total (BOT) sedimen maupun kondisi sedimen dasar
perairan. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman perairan di lokasi penelitian,
didapatkan kisaran rata-rata 1,09 m. Nilai tersebut termasuk kedalam perairan
yang dangkal, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nirmawati (2018)
bahwa kisaran kedalaman perairan tempat lamun ditemukan tergolong dangkal
apabila kedalamannya dibawah 2 meter. Nilai kedalaman dapat berubah secara
periodik pada kisaran nilai pasang surut tertinggi dan surut terendah, sebaliknya
akan bernilai besar pada pasang tertinggi (Tubalawony, 2008).
Tingkat kecerahan perairan secara umum pada semua stasiun
pengamatan berkisar antara 37 % - 44%. Rendahnya tingkat kecerahan tidak
sesuai dengan hasil rata-rata pengukuran partikel sedimen yang didominasi oleh
pasir kasar hal ini dikarenakan tingginya aktivitas nelayan yang menangkap ikan
di lokasi penelitian, sehingga partikel sedimen teraduk di perairan. Kecerahan
memengaruhi produktivitas lamun karena penetrasi cahaya kedalam air
dibutuhkan untuk berfotosintesis bagi lamun.
Pengukuran BOT sedimen pada stasiun I didapatkan nilai rata-rata sebesar
7,85%, pada stasiun II dengan nilai rata-rata BOT sedimen sebesar 22,34%. Nilai
tersebut sejalan dengan nilai kerapatan dan persen tutupan lamun yang tinggi
pada stasiun II. Sedangkan pada stasiun III didapatkan nilai rata-rata BOT
Sedimen sebesar 10,27%. Tingginya nilai rata-rata BOT Sedimen pada stasiun II
karena lokasi tersebut dekat dengan pemukiman warga, sehingga
memungkinkan untuk adanya suplay bahan organik kedalam perairan dari limbah
rumah tangga. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Manik et al.,
(2017), bahwa tingginya bahan organik yang masuk kedalam perairan berasal
dari peningkatan aktivitas di daratan seperti aktivitas rumah tangga, pengisian
minyak kapal tambak, budidaya dan industri yang masuk kedalam perairan.
29
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ditemukan 5 jenis lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium)
dengan sebaran yang berbeda-beda sesuai karakteristik sedimennya dan
jenis lamunnya.. Jenis lamun Enhalus acoroides mempunyai sebaran
yang paling luas, dibandingkan dengan jenis lamun Halophila ovalis yang
mempunyai sebaran paling sempit.
2. Hubungan antara partikel sedimen dengan kerapatan lamun dengan nilai
determinani tertinggi (R2=0,3346) ditemukan pada Cymodocea rotundata
sedangkan terendah (R2=0,0514) pada lamun jenis Syringodium
isoetifolium.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian mendalam tentang hubungan karakteristik
sedimen dengan sebaran vegetasi lamun.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
Garrison, T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science. 5ed.Thomson
Learning, Inc. USA.
Ghufran M dan Kordi H.K., 2011. Ekosistem Lamun (seagrass) Fungsi, Potensi
dan Pengelolaan. Cetakan 1. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Hasanuddin, R. 2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun
Enhalus acoroides dengan Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo
Kab. Pangkep. Program Studi Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin.
Makassar. Skripsi
Hutabarat, S dan Evans, S., 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas
Indonesia. UI-Press.
Juraij. Bengen D. G. Kawaroe. M. 2014. Keanekaragaman Jenis Lamun
Sebagai Sumber Pakan Dugong Dugon Pada Desa Busung Bintan Utara
Kepulauan Riau. Pascasarjana Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Omni-Akuatika Vol. XIII No.19
November 2014 : 71 – 76.
Kawaroe Mujizat dkk. 2016. Ekosistem Padang Lamun. Edisi 2. PT Penerbit IPB
Press. Bogor.
Keputusan Menteri Negara lingkungan Hidup (KEPMEN-LH) Nomor 200 Tahun
2004. Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status
Padang Lamun. Jakarta.
Kiswara, W., dan M. H. Azkab., 2000. Spesismen Lamun (Seagrass) yang
Tersimpan di dalam Koleksi Referensi Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Kiswara, W. 2004. Kondisi Padang Lamun (Seagrass) di Perairan Teluk Banten
1998-2001. Lembaga Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta. Xii+33 hml
Kohongia, K. 2002. Karakteristik sedimen dasar Teluk Buyat [skripsi]. Program
studi Ilmu Kealutan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan- Unsrat.
Manado.
Lanuru, M. dan Ferayanti D. 2011. Hubugan Sedimen Dasar Perairan Dengan
Penyebaran Lamun (Seagrass). Omni-Akuatika, Volume 10 (13) 79-83.
Latuconsina, H., 2012. Seberan Spasial Vegetasi Lamun (Sea Grass)
Berdasarkan Perbedaan Karakteristik Fisik Sedimen Di Perairan Teluk
Ambom Dalam. Bimafika, 2012, 4, 405 – 412.
32
Manik, Y. Nedi, S. Elizal. 2017. Analisi Fraksi Sedimen dan Bahan Organik di
Perairan Muara Sungai Dumai Provinsi Riau. Fakultas Prikanan dan
Kelautan Universitas Riau.
McKenzie, L. J. Roden, C.A. 2003, Seagrass-Watch:Manual for Mapping and
Monitoring Seagrass Resources by Commonity (citizen) Volunteers, 2nd
edition, Northern Fisheries Centre, Cairns
McKenzie L. 2008. Seagrass Educators Handbook. www.seagrasswatch.org.
Nirmawati, 2018. Kaitan Ketebalan dan Ukuran Partikel Sedimen dengan
Kerapatan Jenis Lamun di Pulau Barrangcaddi Kota Makassar, Skripsi.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Sounders Company,
Philadelphta, London.
Purnomo H. K. Yusniawati. Y. Putrika. A. Handayani. W. Yasman. 2017.
Keanekaragaman spesies lamun pada beberapa ekosistem padang lamun
Di Kawasan Taman Nasional Bali Barat. ISSN. Volume 3 (2) : 236-240
Rahmawati, S, Irawan, A, Supriyadi, I, H & Azkab, M, H. 2014. Panduan
Monitoring Padang Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Rifardi. 2008. Tekstur Sedimen Sampling dan Analisis, Universitas Riau Press.
Ruswahyuni, Widyorini.N, Assy.D. 3013. Hubungan Kelimpahan Meiofauna pada
Kerapatan Lamaun yang Berbedadi Pulau Panjang Jepara. Journal of
Management of Aquatic Resources. Vol.2 No.2 Hal: 226-232
Sakey, W.F, Wagey, B.T & Gerung GS. 2015. Variasi Morfometrik Pada
Beberapa Lamun di Perairan Semenanjung Minahasa. Jurnal Pesisir dan
Laut. vol. 1 no 1 : 1–7.
Samson, E., Daniati, K., & Deli, W. 2020. Kajian Kondisi Lamun Pada Perairan
Pantai Waemulang, Kabupaten Buru Selatan. Jurnal Biologi Science &
Education.Vol 9 Edisi Juni – Juli 2020: 11 – 25.
Sangaji, F. 1994. Sedimen Dasar Terhadap Penyebaran, Kepadatan ,
Keanekaragaman dan Pertumbuhan Padang Lamun di Laut Sekitar Pulau
Barang Lompo. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
Sjafrie, Nurul D, M. 2018. Status padang Lamun Indonesia 2018 Ver.2. Jakarta
: Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI.
33
Suryanti., Ain, C., Tishmawati, C.N. 2014. Hubungan Kerapatan Lamun
(Seagrass) Dengan Kelimpahan Syngnathidae di Pulau Panggang
Kepulauan Seribu. Dipoegoro Journal of Maquares. Vol 3 (4) : Hal 147-
153
Tubalawony, S. 2008. Dinamika Massa Air Lapisan Ekman Perairan Selatan
Jawa – Sumbawa Selama Muson Tenggara. Torani, 17(2):140-150.
.Yunitha, A, Wardianto, Y, &Yulianda, F. 2014. Diameter Substrat dan Jenis
Lamun di Pesisir Bahoi Minahasa Utara: Sebuah Analisis Korelasi. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). vol. 19 : 130-135
Waycott, M., McMahon K, J. Mellors, A. Calladine, dan D. Kleine. 2004. A Guide
toTropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook
University,Townsville-Queensland-Australia.
L
A
M
34
P
I
R
A
N
35
Lampiran 1. Analisis besar butir sedimen
36
Lampiran 2. Hubungan BOT Sedimen dengan kerapatan jenis lamun
Stasiun Ulanga BOT Ea Th Cr Ho Si
n Sedime
n
I 1 8,64 80 204 8 20 0
2 9,32 60 88 12 0 40
3 5,6 68 196 12 0 0
II 1 26,94 48 92 84 0 116
2 27,62 24 172 156 0 180
3 12,46 36 132 120 0 148
III 1 9,34 32 172 68 0 0
2 8,6 84 224 32 0 0
3 12,88 52 196 32 0 0
I 1 0,323 80 204 8 20 0
2 0,257 60 88 12 0 40
3 0,34 68 196 12 0 0
II 1 0,332 48 92 84 0 116
2 0,568 24 172 156 0 180
3 0,551 36 132 120 0 148
III 1 0,552 32 172 68 0 0
2 0,526 84 224 32 0 0
3 0,558 52 196 32 0 0
37
38