Anda di halaman 1dari 68

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by Hasanuddin University Repository

HUBUNGAN KONDISI PADANG LAMUN DENGAN SAMPAH


LAUT DI PULAU BARRANGLOMPO

SKRIPSI

Oleh :
MUSDALIFA MANDASARI AR

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

i
HUBUNGAN KONDISI PADANG LAMUN DENGAN SAMPAH
LAUT DI PULAU BARRANGLOMPO

Oleh :
MUSDALIFA MANDASARI AR
L111 10 261

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HADANUDDIN
MAKASSAR
2014

i
ABSTRAK

MUSDALIFA MANDASARI AR L111 10 261. “Hubungan Kondisi Padang Lamun


dengan Sampah Laut di Pulau Barranglompo”. Dibimbing Oleh SHINTA
WERORILANGI selaku Pembimbing Utama dan ROHANI AMBO RAPPE selaku
Pembimbing Anggota

Sampah laut merupakan buangan dari makhluk hidup yang berbentuk benda
padat dan masuk kedalam lingkungan air laut baik secara sengaja maupun
secara tidak sengaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
kondisi padang lamun dengan sampah laut.
Penelitian ini dilakukan di pulau Barranglompo dengan pengambilan data
yang meliputi: jenis dan volume sampah, kerapatan dan komposisi jenis lamun,
serta morfologi daun lamun. Data kerapatan lamun dan morfologi daun lamun
dikorelasikan dengan menggunakan anlisis korelasi (pearson) sedangkan data
jenis sampah dan komposisi jenis lamun yang didapatkan di sajikan secara
deskriptif dengan menggunakan tabel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan dan morfologi daun lamun
tidak terkait dengan volume sampah yang mudah terurai dan sulit terurai.

Kata kunci: Sampah Laut, Lamun, Pulau Barranglompo.

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Hubungan Kondisi Padang Lamun dengan Sampah


Laut di Pulau Barranglompo
Nama : Musdalifa Mandasari AR
NIM : L 111 10 261
Program Studi : Ilmu Kelautan

Skripsi telah diperiksa

dan disetujui oleh :

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Shinta Werorilangi, M.sc Dr. Ir. Rohani AR, M.Si.
NIP. 19670826199103200 NIP. 196909131993032004

Mengetahui,

Dekan, Ketua Program Studi

Fakultas Ilmu Kelautan da Perikanan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc Dr.Mahatma Lanuru, ST, M.Sc
NIP. 19670826199103200 NIP. 197010291995031001

Tanggal Lulus : Juni, 2014

iii
RIWAYAT HIDUP

Musdalifa Mandasari AR dilahirkan Ujung

Pandang, 29, April 1993. Penulis merupakan anak ke

kedua dari tiga bersaudara. Buah hati dari pasangan

Bapak IPTU. Drs. H. Arifuddin dan Ibu Hj. Nurbaya, SE.

Pada tahun 2000 lulus di TK Bhayangkari , tahun 2001

lulus di SD Inpres pa’baeng-baeng, tahun 2007 lulus di

SMP Negeri 03 Makassar, tahun 2010 lulus di SMA Negeri 03 Makassar dan di

terima di Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikan Melalui

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN).

Pada Tahun 2011 penulis dikukuhkan menjadi anggota Senat Mahasiswa

Ilmu Kelautan Unhas, dan di tahun 2013 menjadi pengurus senat bagian Dana

dan usaha Senat Mahasiswa Ilm Kelautan Unhas.

Pada tahun 2013 penulis mengabdikan diri kepada masyarakat dalam

program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan melakukan Kuliah Kerja Nyata Profesi

(KKNP) di Desa Arjosari Kecamatan Wonomulyo, Polman.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat

dan hidayahnyalah sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Hubungan Kondisi Padang Lamun dengan Sampah Laut di Pulau

Barranglompo”.

Dalam kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada pembimbing dan penguji yang telah memberikan

bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam menyusun laporan ini, penulis

dihadapkan dengan banyak kendala dan tantangan, khususnya terbatasnya

refrensi yang tersedia dan literatur yang sulit didapatkan serta keterbatasan-

keterbatasan lainnya. Oleh karena itu apabila ada kesalahan pada laporan ini

maka harapan dari penulis agar pembaca memberikan saran dan kritik yang

bersifat membangun untuk perbaikan lebih lanjut.

Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita

semua, Amin ya Allah.

Makassar, 2014

Penulis

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena

atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar

Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam ke jalan yang diridhoi Allah

SWT.

Skripsi yang berjudul “Hubungan Kondisi Padang Lamun dengan

Sampah Laut di Pulau Barranglompo” merupakan salah satu syarat untuk

mencapai gelar sarjana kedokteran gigi. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari

partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Orangtuaku ayahanda IPTU. Drs. H. Arifuddin dan ibunda Hj. Nurbaya,

SE, yang sangat saya cintai dan hormati yang tak henti-hentinya

memberikan dukungan, doa, nasehat, materil, dan motivasi hingga

sampai detik ini penulis tetap kuat dan bersemangat dalam

menyelesaikan studi

2. Ibu Dr. Ir. Shinta Werorilangi, M.Sc, dan ibu Rohani AR, M.Si selaku

pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan

masukan, bimbingan, dan motivasi yang membangun kepada penulis

hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik

3. Bapak Prof. Dr. Amran Saru, ST, M.Si., bapak Dr. Ir Muh Farid Samawi,

M.Si., dan ibu Dr. Inayah Yasir, M.sc yang memberikan masukan kepada

penulis.

4. Ibu Dr. Inayah Yasir, M.sc selaku penasehat akademik yang senantiasa

memberikan masukan dan nasehat kepada penulis

vi
5. seluruh Ibu dan bapak dosen dan staf Fakultas ilmu kelautan dan

perikanan yang senantiasa memberikan ilmunya sehingga dapat

membantu dalam penyelesaian studi kepada penulis

6. Saudaraku tercinta, Alifia Angraeni AR, dadn Imam Taufik AR atas

keceriaan, masukan, dan dukungan yang telah diberikan

7. Kepada teman saya sekaligus senior saya, kanda Riswan yang selalu

meberikan semangat, dukungan dalam menyelesaikan studi

8. Teman-teman tim, yang selalu memberi semangat satu dengan yang lain

Setiawan Mangando, Nenny Asriani, Zusan Rapi Sambara, Ayu Annisa

Wirawan, kak Steven, kak Imma, dan kak Tri terima kasih atas semangat

dan kerja samanya

9. Kosong Sepuluh Berjuta Variasi (KONSERVASI) Nenny, Nisa, Zusan,

Behel, Fira, Dian, Dila, Tuti, Hesty, Sulvy, Rhia, Chia, Ikram, Budi,

Mangando, Hans, Saldi, Talib, Putra, Januar, Mudin, Asri, Eka, Mardi,

Wendri, Ashar, Chandra, Ipul, Iswan, Mito, Roni, Azan, Cute, Wahid, Uli,

Andri, Akram, Frans, Tendri, dan Ulil yang memberi keceriaan dan

semangat mulai dari awal studi sampai penyusunan laporan akhir studi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan

dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran kami hargai demi penyempurnaan

penulisan serupa dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga

skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak yang

membutuhkan.

vii
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .....................................................................................................ix
DAFTAR TABEL ..............................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xiii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Latar Belakang ......................................................................................1
B. Tujuan dan Kegunaan ...........................................................................3
C. Ruang Lingkup ......................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................4
A. Definisi Sampah laut .............................................................................4
B. Jenis-Jenis Sampah Laut ......................................................................5
C. Pengertian lamun ..................................................................................6
D. Sebaran dan Habitat Lamun ..................................................................8
E. Morfologi Jenis Lamun ..........................................................................10
F. Parameter Oseanografi .........................................................................14
a. Arus .................................................................................................14
b. Gelombang ......................................................................................15
c. Pasang Surut ...................................................................................15
d. Salinitas ...........................................................................................16
e. Suhu ................................................................................................16
f. Nitrat ...............................................................................................16
g. Fosfat ..............................................................................................17
h. BOT .................................................................................................18
i. Oksigen Terlarut (DO) .....................................................................18
III. METEDOLOGI PENELITIAN ......................................................................20
A. Waktu dan Tempat ................................................................................20
B. Alat dan bahan ......................................................................................20
C. Prosedur Kerja ......................................................................................21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................29
A. Parameter Oseanorgafi .........................................................................29

viii
B. Jenis dan Volume Sampah ....................................................................31
C. Kondisi Lamun ......................................................................................37
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................45
A. Kesimpulan ...........................................................................................45
B. Saran ....................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................46
LAMPIRAN .......................................................................................................47

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Jenis lamun yang terdapat di Indonesia ..............................................10
Tabel 2. Penggolongan kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfatnya ......... 18
Tabel 3. Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut ...20
Tabel 4. Kondisi Oseanografi setiap stasiun .....................................................30
Tabel 5. Jenis-jenis sampah setiap stasiun .......................................................33
Tabel 6. Morfologi daun lamun di setiap stasiun ...............................................40

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Sampah di ekosistem lamun ............................................................2
Gambar 2. . Morfologi umum lamun ...................................................................7
Gambar 3. Habitus Syringodium isoetifolium .....................................................11
Gambar 4. . Habitus Halophila ovalis .................................................................11
Gambar 5. Habitus Halodule uninervis...............................................................12
Gambar 6. Habitus Cymodocea rotundata .........................................................13
Gambar 7. Habitus Thalassia hemprichii ...........................................................13
Gambar 8. Habitus Enhalus acoroides...............................................................14
Gambar 9. Peta lokasi pulau Barranglompo.......................................................23
Gambar 10. Sketsa area penelitian ....................................................................24
Gambar 11. Grafik Pasang surut .......................................................................33
Gambar 12. Jenis sampah mudah terurai ..........................................................34
Gambar 13. Jenis sampah sulit terurai...............................................................35
Gambar 14. Volume sampah di Pantai ..............................................................36
Gambar 15. Volume sampah di Lamun..............................................................36
Gambar 16. Sampah kiriman pulau Barranglompo ............................................37
Gambar 17. Sampah menutupi lamun ...............................................................39
Gambar 18. Sampah menutupi Enhalus acoroides ............................................39
Gambar 19. Kerapatan total lamun ....................................................................42
Gambar 20. Sampah yang di tumbuhi lamun .....................................................43
Gambar 21. Kerapatan jenis lamun....................................................................43
Gambar 22. Komposisi jenis lamun....................................................................45

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Analisis Korelasi Pearson ..............................................................55
Lampiran 2. Data sampah dan kondisi lamun ...................................................56
Lampiran 3. Gambar kegiatan di lapangan .......................................................57

xii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi lamun sebagai

vegetasi yang dominan (Wimbaningrum, 2003). Suatu substrat padang lamun

dapat di tumbuhi oleh satu jenis lamun atau lebih (Kirkman, 1985 dalam Kiswara

dan Winardi 1997). Menurut den Hartog (1970), lamun merupakan tumbuhan

berbunga yang tumbuh dan berkembang baik pada dasar perairan laut dangkal

mulai dari daerah pasang surut (zona intertidal) sampai dengan daerah subtoral.

Ekosistem padang lamun memiliki fungsi dan peran penting bagi kehidupan

dan perkembangan makhluk hidup di perairan laut dangkal antara lain: sebagai

produser primer, tempat asuhan dan mencari makanan bagi biota laut,

penangkap sedimen, dan pendaur zat hara (Azkab, 1988).

Salah satu penyebab kerusakan dan kematian lamun adalah oleh kegiatan

antropogenik seperti pembuangan sampah ke laut (Short & Wyllie-Echeverria

1996).

Sampah laut adalah setiap buangan manusia yang berbentuk benda padat

(keadaan benda, dengan volume dan bentuk yang tetap) atau materi yang

masuk ke dalam lingkungan air laut baik secara langsung maupun secara tidak

langsung (Engler, 2012). Sampah pada dasarnya merupakan sesuatu yang

terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas makhluk hidup dan tidak

mempunyai nilai ekonomi, akan tetapi ada beberapa jenis sampah yang dapat di

daur ulang sehingga memiliki nilai ekonomi. Sampah laut juga dapat berupa sisa

dari tumbuhan dan hewan yang telah mati pada lingkungan laut.

Sampah laut dapat dibedakan berdasarkan sifatnya yaitu sampah organik

dan sampah anorganik. Sampah organik dapat diurai oleh mikroorganisme

1
sedangkan sampah anorganik sulit atau bahkan tidak dapat diurai oleh

mikroorganisme. Pembuangan sampah organik ke laut mengakibatkan

penurunan kadar oksigen terlarut bagi lamun dan biota yang berasosiasi

(Pariwono, 1996). Sedangkan pembuangan sampah anorganik menimbulkan

dampak terhadap tumbuhan lamun seperti mengakibatkan tertutupnya lamun

oleh sampah yang akan mengurangi intensitas cahaya yang diterima lamun

untuk berfotosintesis (Amri et al, 2010) (Gambar 1).

2
Gambar 1. Sampah di ekosistem lamun (NOAA, 2006)

Kegiatan manusia dengan menggunakan transportasi air sangat meningkat,

dan pembuangan sampah sering terjadi selama perjalanan. Setiap hari sampah

masuk ke dalam laut, dan sampah yang dominan adalah sampah jenis plastik

sehingga akumulasi dari sampah makro dan mikro - plastik secara konsisten

meningkat di pantai dan dalam sedimen selama empat dekade terakhir

(Thompson et al, 2004).

Menurut Fiki, dkk (2012), jenis, kerapatan dan distribusi tumbuhan lamun

pada

i
zona pemukiman di Pulau Pramuka rendah karena adanya aktifitas manusia

seperti pembuangan sampah.

Pulau Barranglompo merupakan salah satu pulau yang berada di sisi barat

Kota Makassar dengan jarak sekitar 13 km. Pulau ini berbentuk bulat, dengan

luas 20,38 Ha. Penduduk mendiami sebelah Timur, Selatan, dan Barat pulau

dengan jumlah mencapai 3.563 jiwa dari 800 KK (Pemerintah Kota Makassar,

2010). Pengamatan awal kami di lapangan memperlihatkan banyaknya sampah

yang menumpuk di beberapa bagian pulau. Sampah ini umumnya adalah limbah

rumah tangga dari masyarakat pulau sendiri. Sampah-sampah ini sudah masuk

ke daerah padang lamun yang umumnya berada sangat dekat dari pesisir pulau.

Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai hubungan kondisi padang

lamun dan sampah laut di Pulau Barranglompo.

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan kondisi padang lamun

dengan volume sampah mudah diurai dan sampah sulit diurai.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi

penelitian selanjutnya yang akan melakukan penelitian mengenai sampah laut di

daerah padang lamun.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi jenis sampah, berat sampah,

volume sampah, morfologi daun lamun, komposisi jenis lamun, kerapatan lamun,

kecepatan dan arah arus, gelombang laut,suhu, salinitas, nitrat, fosfat, bahan

organik total (BOT), dan oksigen terlarut (DO).

3
4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi sampah laut

Sampah merupakan semua jenis limbah berbentuk padat yang berasal dari

kegiatan manusia dan merupakan sisa dari tumbuhan dan hewan mati, kemudian

dibuang karena tidak bermanfaat dan tidak digunakan lagi (Tchobanoglous et al,

1993). Definisi sampah terlihat lebih sederhana seperti yang tertuang dalam UU

Nomor 18 tahun 2008 yang menyatakan bahwa sampah adalah sisa kegiatan

sehari-hari manusia dan/atau proses yang berbentuk padat.

Sampah laut adalah setiap buatan manusia, yang berbentuk padat

(keadaan benda, dengan volume dan bentuk yang tetap) atau materi yang

masuk kedalam lingkungan air laut baik secara langsung maupun secara tidak

langsung (Engler, 2012). Sampah laut meliputi segala bentuk yang diproduksi

atau bahan yang diproses kemudian dibuang atau ditinggalkan di lingkungan

laut. Ini terdiri dari barang, makanan/snack yang digunakan oleh manusia

kemudian dimasukkan ke laut, baik sengaja atau tidak sengaja, seperti

transportasi laut, drainase, dan sistem pembuangan limbah atau sampah oleh

angin (Galgani et al, 2010).

Hadiwiyoto (1983) mengungkapkan ciri-ciri dari sampah yaitu: (1) merupakan

bahan sisa, baik bahan-bahan yang sudah tidak digunakan lagi (barang bekas)

maupun bahan yang sudah tidak diambil bagian utamanya; (2) merupakan bahan

yang sudah tidak ada harganya; (3) bahan buangan yang tidak berguna dan

banyak menimbulkan masalah pencemaran dan gangguan pada kelestarian

lingkungan.

5
B. Jenis-jenis sampah laut

Berdasarkan sifatnya di dalamnya, sampah laut terbagi atas 2 yaitu:

1. Sampah organik, adalah sampah yang mudah terurai secara alami

karena terdiri atas sisa organik yang telah mati kemudian diurai oleh

mikroorganisme, misalnya: sisa makanan, sisa organisme dan sisa

tumbuhah (Trias, 2008). Sampah organik adalah sampah yang

mengandung senyawa-senyawa organik, dan tersusun oleh unsur-unsur

karbon, hydrogen dan oksigen sebagai hara yang dapat digunakan

kembali oleh tumbuhan, sehingga siklus hara berjalan sebagaimana

mestinya dan proses kehidupan di muka bumi dapat berlangsung.

Pembuangan sampah organik ke dalam laut mengakibatkan penurunan

kadar oksigen terlarut bagi lamun dan biota yang berasosiasi karena

sampah yang terurai akan berbentuk halus, sehingga sebagian ada yang

larut dan sebagian lagi ada yang melayang-layang sehingga air menjadi

keruh. Kekeruhan ini juga menghalangi penetrasi sinar matahari

(Pariwono,1996).

2. Sampah anorganik, adalah sampah yang sulit terurai oleh

mikroorganisme, misalnya: logam-logam, pecahan gelas, kaca, plastik,

dan kain (Trias, 2008). Secara umum penutupan substrat perairan oleh

sampah anorganik akan mengganggu kehidupan organisme dalam air,

karena endapan sampah tersebut akan menutup permukaan dasar air

yang mungkin mengandung telur ikan sehingga tidak dapat menetas.

Selain itu, endapan juga dapat menghalangi sumber makanan ikan dalam

air serta menghalangi datangnya sinar matahari sehingga tumbuhan

lamun sulit untuk berfotosintesis dan megakibatkan kematian terhadap

6
lamun. Jenis sampah anorganik (sampah plastik) adalah jenis sampah

yang banyak ditemukan di dalam laut. Hal ini sesuai dengan apa yang

dikatakan Gregory dan Ryan (1997) bahwa di laut sampah plastik

mewakili 60% sampai 80% dari sampah laut di seluruh dunia karena

membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai. Jenis sampah

seperti seng dan kaleng besi yang menutupi lamun juga dapat

mengakibatkan lamun menjadi stres dan mati apabila penyerapan besi

yang berlebihan akan menurunkan totalitas asam amino (Prange et al,

2000).

C. Pengertian Lamun

Lamun merupakan tumbuhan angiospermae atau tumbuhan berbunga yang

memiliki daun, batang, dan akar sejati yang telah berdaptasi untuk hidup

sepenuhnya di dalam air laut (Tuwo, 2011).

Menurut Den Hartog (1970) tumbuhan lamun dapat hidup di laut karena

mampu hidup di air asin, dapat berfungsi normal dalam keadaan terbenam,

mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik, mampu melaksanakan

daur generative dalam keadaan terbenam, mampu bertahan dalam kondisi laut

yang kurang stabil.

Lamun memiliki bentuk vegetatif yang memperlihatkan karakter tingkat

keseragaman yang tinggi. Hampir semua genera memiliki rhizoma yang sudah

berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau

berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (belt), kecuali jenis Halophila

memiliki bentuk lonjong (Gambar 2). Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut

mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologi lamun (den Hartog, 1970). Lamun

7
memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang

menyalurkan nutrien, air, dan gas.

Gambar 2. Morfologi umum lamun McKenzie dan Yoshida 2009

Secara morfologi tumbuhan lamun memiliki rhizoma, yang merupakan

batang yang tertimbun oleh substrat, dan merjalar secara mendatar, serta

berbuku-buku. Pada buku-buku tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, dan

terdapat daun, serta bunga. Lamun memiliki daun-daun tipis yang memanjang

seperti pita dan memiliki saluran-saluran air (Nybakken 1992). Daun menyerap

hara langsung dari perairan sekitarnya, mempunyai rongga untuk mengapung

agar dapat berdiri tegak di air (Hutomo 1997). Bentuk daun seperti ini dapat

memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga memaksimalkan

proses fotosintesis di permukaan daun (Phillips dan Menez 1988).

Ekosistem padang lamun memiliki peranan penting bagi kehidupan dan

perkembangan makhluk hidup di perairan laut dangkal (Azkab, 1988) antara lain:

a. Sebagai produser primer

8
Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan

dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu

karang.

b. Habitat biota

Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai

hewan. Di samping itu padang lamun dapat juga sebagai daerah asuhan,

mencari makan bagi ikan herbivora dan ikan-ikan karang.

c. Penangkap sedimen.

Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus

dan ombak, sehingga perairan sekitarnya menjadi tenang. Di samping itu,

rimpang dan akar lamun dapat mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan

dan menstabilkan dasar, dan permukaan perairan laut. Sehingga padang lamun

berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi.

d. Pendaur zat hara

Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara,

khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh alga epifit.

D. Sebaran dan habitat lamun

Tumbuhan lamun hidup dan berkembang biak pada lingkungan perairan laut

dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang selalu mendapat genangan air atau

terbuka ketika saat air surut dan tumbuh pada substrat pasir, pasir berlumpur,

lumpur, dan kerikil karang bahkan ada jenis lamun yang mampu hidup pada

dasar batu karang. Mereka dijumpai pada daerah pasang surut sampai dengan

kedalaman 40 m (Kiswara, 1997).

9
Tumbuhan lamun biasanya ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan

sering membentuk padang yang lebat dan luas. Hal ini menunjukkan fungsi

biologi dan fisik pada tumbuhan lamun, dan sifat-sifat lingkungan pantai terutama

dekat estuaria cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun

(Romimohtarto, 1991).

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri

atas 2 suku dan 12 marga (Kuo dan McComb 1989), sembilan diantaranya terdiri

dari kelompok Potamogetonaceae dan 3 dari Hydrocharitaceae yang keduanya

dikelompokkan ke dalam kelas Monocotyledoneae dengan ordo Helobiae (den

Hartog, 1970). Dari perairan Indonesia terdapat sebanyak 12 jenis lamun (Azkab,

2009), dan di perairan Pulau Barranglompo terdapat sebanyak 8 jenis lamun

(Supriadi et al, 2012) (Tabel 1). Padang lamun dapat membentuk vegetasi

tunggal dari satu jenis atau dapat terdiri dari 2-12 jenis lamun yang tumbuh

bersama-sama sehingga membentuk vegetasi campuran.

10
Tabel 1. Jenis lamun yang terdapat di Indonesia (Azkab, 2009; Supriadi et al,
2012).
Sebaran
Jenis
1 2 3 4 5 6
Potamogetonaceae
 Halodule uninervis + + + + + +
 Halodule pinifolia + + + + + +
 Cymodocea rotundata + + + + + +
 Cymodocea serrulata + + + - + +
 Syringodium isoetifolium + + + + + +
 Thalassodendron ciliatum + + + + + -
Hydrocharitaceae
 Enhalus acoroides + + + + + +
- + - - - -
 Halophila decipiens
+ + + + + -
 Halophila minor
+ + + + + +
 Halophila ovalis
+ + - - + -
 Halophila spinulosa
+ + + + + +
 Thalassia hemprichii
Keterangan: + = ada
- = tidak ada
Daerah penyebaran:
1 = Sumatera
2 = Jawa, Bali, Kalimantan
3 = Sulawesi
4 = Maluku, Nusa Tenggara
5 = Irian Jaya
6 = Pulau Barranglompo

E. Morfologi Jenis Lamun

Menurut Supriadi et al (2012), Pulau Barranglompo memiliki jumlah jenis

sebanyak 8 jenis, sedangkan di lokasi penelitian ditemukan 6 jenis yaitu:

1. Syringodium isoetifolium

Syringodium isoetifolium memiliki bentuk daun seperti tabung dan tipis yang

mengandung air cavities, panjang daun sangat bervariasi dari 5cm – 50cm, pada

ujung daun berbertuk runcing dan halus, diperairan yang tenang rhizoma

11
Syringodium cukup panjang dan bercabang. Biji berbentuk paruh dan keras,

berwarna gelap dan pada lapisan luar mulus (Waycot et al, 2004).

Gambar 3. Habitus Syringodium isoetifolium (Waycot et al, 2004).

Klasifikasi:

Kingdom: Plantae
Division: Tracheophyta
Class: Liliopsida
Order: Najadales
Family: Cymodoceaceae
Genus: Syringodium
Species: Syringodium isoetifolium

2. Halophila ovalis

Halophila ovalis memiliki sepasang daun pada tangkai daun yang muncul dari

rhizoma. Daun berukuran panjang 0,5-15cmx 0,32-2,5cm lebar,tangkai

berukuran 0,4-8cm, dengan tepi daun yang halus. Memiliki cross-vein dan

intramarginal-vein (Waycot et al, 2004), dan rhizoma halus, tipis dan berwarna

terang (El Shaffai et al, 2011).

Gambar 4. Habitus Halophila ovalis (Waycot et al, 2004).

12
Klasifikasi:

Kingdom: Plantae
Division: Tracheophyta
Class: Spermatopsida
Order: Alismatales
Family: Hydrocharitaceae
Genus: Halophila
Species : Halophila ovalis

3. Halodule uninervis

Halodule uninervis memiliki ukuran daun yang bervariasi panjang 5-25cm,

lebar 0,2-4mm) dan pada ujung daun berbentuk trisula (Waycot et al, 2004),

batang pendek, tegak dan vertikal pada setiap node dan terdapat 1-4 daun,

memiliki rhizoma dengan permukaan yang halus (El Shaffai et al, 2011).

Gambar 5. Habitus Halodule uninervis (http://www.seagrasswatch.org/id_seagrass.html)

Klasifikasi:

Kingdom: Plantae
Division: Tracheophyta
Class: Liliopsida
Order: Najadales
Family: Cymodoceaceae
Genus: Halodule
Species : Halodule uninervis

4. Cymodocea rotundata

Memiliki rhizoma yang kecil dan mudah patah, ujung daun berbentuk

bulat.pada bagian tepi daun biasanya mulus dan terkadang bergerigi (Waycot et

13
al, 2004), memiliki panjang helaian daun 7-15cm dan lebar 0,2-0,4cm, kelopak

daun berkembang dengan baik dan berkisar 1,5-5,5cm (El Shaffai et al, 2011).

Gambar 6. Habitus Cymodocea rotundata (Waycot et al, 2004).

Klasifikasi:

Kingdom: Plantae
Division: Tracheophyta
Class: Liliopsida
Order: Najadales
Family: Cymodoceaceae
Genus: Cymodocea
Species: Cymodocea rotundata

5. Thalassia hemprichii

Thalassia hemprichii memiliki panjang daun hingga mencapai 40cm dan lebar

1,0-4cm (El Shaffai et al, 2011), daun berbentuk melengkung dan bintik-bintik

karena memiliki sel tanin, rhizoma tebal berwarna coklat dan putih dengan bekas

luka yang berbentuk segitiga. Buah berisi sampai sembilan biji dengan diameter

0,6mm (Waycot et al, 2004).

Gambar 7. HabitusThalassia hemprichii (http://www.seagrasswatch.org/id.seagrass.html)

14
Klasifikasi:

Kingdom: Plantae
Phylum: Tracheophyta
Class: Spermatopsida
Order: Alismatales
Family: Hydrocharitaceae
Genus: Thalassia
Species: Thalassia hemprichii

6. Enhalus acoroides

Memiliki daun yang panjang 30-200cm dan lebar daun 1,2-2cm, rhizoma

tebal diameter 1,5cm, berwarna gelap dan berbulu, dan memiliki akar yang

banyak dan kuat berwarna pucat, bentuk buah besar panjang 5-10cm dan

memiliki beberapa biji didalmnya yang berkecambah (Waycot et al, 2004).

Gambar 8. Habitus Enhalus acoroides (Waycot et al, 2004).

Klasifikasi:

Kingdom: Plantae
Phylum: Tracheophyta
Class: Spermatopsida
Order: Alismatales
Family: Hydrocharitaceae
Genus: Enhalus
Species: Enhalus acoroides

15
D. Parameter Oseanografi

a. Arus

Salah satu faktor masuknya sampah kedalam laut adalah arus, karena arus

adalah proses pergerakan massa air menuju kesetimbangan yang menyebabkan

perpindahan horizontal dan vertikal massa air (Gross, 1972). Arus merupakan

pergerakan massa air laut yang diakibatkan oleh adanya tiupan angin yang

berhembus di permukaan air laut atau dapat juga disebabkan oleh gerakan

gelombang yang panjang atau disebabkan oleh pasang surut (Nontji, 1987).

Gerakan tersebut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja dan

beberapa faktor yang mempengaruhinya. Arus laut (sea current) adalah gerakan

massa air laut dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas)

maupun secara horizontal (gerakan ke samping). Sehingga sampah yang berada

dipinggir pantai terbawa oleh arus dan masuk ke dalam laut, hal ini sesuai

dengan apa yang di katakan (Hutabarat dan Evans, 1986) bahwa arus

merupakan suatu peristiwa pergerakan massa air yang dipengaruhi oleh

tegangan permukaan, salinitas, angin, dan beberapa faktor lainnya atau

perpindahan massa air secara horizontal maupun secara vertikal.

Kecepatan arus di padang lamun mempunyai pengaruh yang sangat nyata.

Produktifitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus

perairan, dimana mempunyai kemampuan maksimum menghasilkan “standing

crop” pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/det (Dahuri, 2001).

Menurut Mason (1981) berdasarkan kecepatan arusnya maka perairan dapat

dikelompokkan menjadi berarus sangat cepat (> 1 m/s), cepat (0,5 -1 m/s),

sedang (0,25 – 0,5 m/s), lambat (0,01 – 0,25 m/s) dan sangat lambat (< 0,01

m/s).

16
b. Gelombang

Gelombang adalah gerakan naik turun perairan yang dinyatakan naik

turunnya permukaan air secara bergantian (Setiyono, 1996). Gelombang selalu

menimbulkan ayunan air yang bergerak tanpa hentinya pada lapisan permukaan

air laut dan jarang dalam keadaan sama sekali diam. Hembusan angin sepoi-

sepoi pada cuaca yang tenang sekalipun dapat menimbulkan riak gelombang.

Faktor masuknya sampah ke dalam laut karena geolombang ditimbulkan oleh

angin, pasang surut, dan kadang-kadang oleh gempa bumi.

Umumnya gelombang yang terjadi di laut disebabkan oleh hembusan angin

(Nontji, 1999). Faktor yang mempengaruhi bentuk/besarnya gelombang yang

disebabkan oleh angin adalah: kecepatan angin, lamanya angin bertiup,

kedalaman laut, dan luasnya perairan serta fetch (F) yaitu jarak antara terjadinya

angin sampai lokasi gelombang tersebut (Kramadibrata, 1985).

c. Pasang surut

Pasang surut adalah gerakan naik turunnya muka laut secara berirama yang

disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Menurut Triatmodjo (1999)

pasang surut dibedakan atas 4 tipe yaitu:

1. Pasang harian ganda yaitu pasang surut yang terjadi dalam satu hari

dimana, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi yang

hamper sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur.

Periode pasang surut ini adalah 12 jam 24 menit.

2. Pasang surut harian tunggal yaitu pasang surut yang terjadi dalam satu

hari dimana terjadi dalam satu hari dimana terjadi satu kali surut.

Biasanya periode pasang surut ini adalah 24 jam 50 menit.

17
3. Pasang surut campuran dimana dalam satu hari terjadi dua pasang dan

dua kali surut tetapi tinggi dan priodenya berbeda.

4. Pasang surut campuran condong keharian tunggal dimana dalam satu

hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-

kadang dua kali surut dengan tinggi dan priode yang berbeda.

d. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses

kehidupan dan penyebaran organisme. Kisaran temperatur suhu yang optimal

untuk spesies lamun adalah 28-320C. Pengaruh suhu di perairan sangat besar,

yaitu mempengaruhi proses-proses fisiologi seperti proses fotosintesis, laju

respirasi pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fisiologi ini akan menurun

tajam apabila temperatur perairan berada diluar kisaran optimum tersebut

(Nyabakken, 1992).

e. Salinitas

Lamun mempunyai kemampuan yang berbeda-beda untuk setiap jenisnya

dalam mentolerir salinitas tergantung jenisnya akan tetapi umumnya dapat

mentolerir salinitas kisaran 10-40%. Kisaran optimum toleransi terhadap salinitas

air laut adalah 35%. Jika terjadi penurunan salinitas maka akan mengakibatkan

menurunnya kemampuan spesies lamun untuk melakukan proses fotosintesis

(Dahuri dkk, 2001).

f. Nitrat

Nitrat merupakan salah satu senyawa nitrogen yang ada di perairan. Nitrat

(NO3) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa yang

18
stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur yang penting untuk sintesa protein

tumbuh-tumbuhan dan hewan.

g. Fosfat

Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi metabolisme dan

pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup nabati perairan

(makro maupun makrofita) adalah fosfat dalam bentuk orto-fosfat yang larut

dalam air. Orto-fosfat dalam jumlah yang kecil, yang merupakan faktor pembatas

bagi produktivitas perairan (Hatchinsons, 1967).

Menurut Hutagalung dan Rozak (1997), fosfat yang terkandung dalam air

laut baik bentuk terlarut maupun tersupsensi keduanya berada dalam bentuk

anorganik dan organik. Bentuk senyawa anorganik terutama terdiri atas gula

fosfat dan hasilnya-hasil oksidasi, nucleoprotein dan fosforprotein. Senyawa

fosfat organik yang terkandung dalam air laut umumnya berbentuk ion (ortro)

asam fosfat, H3PO4. Kira-kira 10% dari fosfat anorganik, terdapat sebagai ion

PO43- dan sebagai besar kira-kira 90% dalam bentuk HPO42-.

Tabel 2.penggolongan kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfatnya


Sulaeman (2005).
No Kandungan Fosfat Tingkat Kesuburan
1 <5 ppm sangat rendah
2 5 – 10 ppm Rendah
3 11 – 15 ppm Sedang
4 16 – 20 ppm baik sekali
5 >21 ppm Sangat baik

Sumber utama fosfat terlarut dalam perairan adalah hasil pelapukan, mineral

yang mengandung fosfor serta bahan organik seperti hancuran tumbuh-

tumbuhan. Fosfat yang terdapat dalam air laut berasal dari hasil dekomposisi

organisme, run-off dari daratan (erosi tanah), hancuran dari bahan-bahan organik

dan mineral fosfat serta masukan limbah domestik yang mengandung fosfat.

19
Kematian biota, lamun dan mikroorganisme lainnya memberikan masukan

kuantitas nutrient dimana fosfor organik dalam jaringannya secara cepat berubah

menjadi fosfat (Chaniago, 1994).

h. BOT

Bahan organik Terlarut menggambarkan kandungan keseluruhan bahan

organik suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi.

Menurut Riley dan Chester (1971), terdapat 4 sumber utama penghasil bahan

organik di laut yaitu berasal dari:

1. Penambahan dari daratan (sampah dari darat)

2. Proses pembusukan organisme yang telah mati

3. Penambahan oleh metabolisme ekstraseluler oleh alga, terutama

fitoplankton

4. Eksresi zooplankton dan hewan-hewan lainnya.

i. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan yang vital bagi kelangsungan hidup

organisme suatu perairan. Oksigen terlarut diambil oleh organisme perairan

melalui respirasi untuk pertumbuhan, reproduksi, dan kesuburan. Menurunnya

kadar oksigen terlarut dapat mengurangi efesien pengambilan oksigen oleh biota

laut, sehingga dapat menurunkan kemampuan untuk hidup normal dalam

lingkungan hidupnya. Umumnya oksigen dijumpai di lapisan permukaan karena

oksigen dari udara di dekatnya dapat secara langsung larut (berdifusi ke dalam

air laut). Fitoplankton juga membantu meningkatkan kadar oksigen terlarut pada

siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai

hasil fotosintesis (Hutabarat dan Evans, 1985).

20
Tabel 3. Penggolongan Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Oksigen Terlarut
(Schmitz, 1971)
Golongan Oksigen Terlarut (ppm) Kualitas Air
I ≥ 8 atau pernah terjadi walaupun dalam Sangat baik
jangka waktu yang sangat pendek
II ±6 Baik
III ±4 Kritis
IV ±2 Buruk
V <2 Sangat buruk

Menurut Odum (1971), tinggi rendahnya kadar oksigen di dalam air banyak

bergantung pada arus dan gelombang, suhu, salinitas, kedalaman, serta potensi

biotik perairan. Menurut Welch (1952), berkurangnya oksigen yang larut dalam

air adalah karena digunakan oleh organisme utuk proses perombakan bahan-

bahan organik yang larut maupun bahan-bahan kotoran dasar.

Limbah organik sangat berpengaruh pada jumlah oksigen terlarut karena

secara alamiah, mikroorganisme dapat mengdegradasi dan menguraikan limbah

organik yang ada sehingga proses dekomposisi oleh bakteri terhadap limbah

organik itu dapat menurunkan jumlah O2 yang ada. Kekurangan oksigen akibat

dekomposisi limbah organik oleh bakteri dapat diatasi dengan cara

uptake/pengambilan O2 dari udara yang dipenagruhi oleh tekanan aotmosfer ke

dalam laut.

21
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 - April 2014 yang

meliputi studi literatur, survey awal lokasi, pengambilan data lapangan, analisis

sampel, pengelolaan data, analisis data dan penyusunan laporan hasil penelitian.

Penelitian dilaksanakan di Pulau Barranglompo. Pengukuran morfometrik

sampel daun lamun dilakukan di Marine Station Unhas, Pulau Barranglompo, dan

analisis nitrat, fosfat, bahan oragnik terlarut (BOT), oksigen terlarut (DO)

dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia, Fakultas Ilmu Kelautan dan

Peikanan, Universitas Hasanuddin.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain: transek kuadran berukuran 1m x 1m

tanpa grid digunakan untuk sampling sampah, transek kuadran berukuran 1m x

1m dengan grid (20cm x 20cm) digunakan untuk sampling lamun, tali nylon 100

m2 untuk membuat plot sampling padang lamun, alat tulis untuk mengambil data,

Global Positioning Sistem (GPS) berfungsi untuk mengetahui posisi setiap

stasiun, rol meter digunakan untuk mengukur jarak antar sub stasiun, kamera

digunakan untuk dokumentasi, sarung tangan digunakan pada saat pengambilan

sampah, jangka sorong untuk mengukur diameter lamun (Syringodium

isoetifolium), layang-layang arus digunakan untuk pengukuran kecepatan arus,

kompas bidik digunakan unuk menentukan arah arus, stopwatch digunakan unuk

mengukur waktu, tiang skala digunakan untuk menghitung gelombang,

thermometer untuk mengukur suhu, hendrefractometer untuk mengukur salinitas,

mistar digunakan untuk mengukur panjang dan lebar daun lamun, wadah yang

22
berbentuk persegi digunakan untuk menyimpan sampah dan menghitung volume

sampah, dan alat selam dasar untuk mempermudah pengamatan dan

pengambilan sampel.

Bahan yang digunakan antara lain: kantong sampah digunakan untuk

menyimpan sampah yang diambil dari dalam transek, dan sampel lamun

digunakan untuk mengukur panjang dan lebar daun lamun, sampel air untuk

menganalisis nitrat, fosfat, BOT, dan DO.

C. Prosedur Kerja

Pelaksanaan penelitian terdiri atas beberapa tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan informasi mengenai

kondisi umum lokasi penelitian, penentuan metode penelitian, survey awal

lapangan, dan mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan selama

penelitian.

2. Penentuan Stasiun Pengamatan

Menentukan lokasi stasiun pengamatan berdasar pada observasi lapangan,

dengan melihat sisi pulau Baranglompo yang terdapat banyak sampah dan

memperhatikan keterwakilan dari lokasi penelitian.

Lokasi penelitian di bagi atas 4 stasiun yaitu stasiun 1 terdapat di RW 3

wilayah Timur Laut dengan luas wilayah 6,5 ha, stasiun 2 Tenggara terdapat di

RW 2 dengan luas wilayah 5,33 ha, stasiun 3 Barat Daya terdapat di RW 1

dengan luas wilayah 3,73 ha, dan stasiun 4 terdapat pada sisi Barat Laut

terdapat di RW 4 dengan luas wilayah sebesar 4,82 (Gambar 9).

23
Gambar 9. Peta lokasi pulau Barranglompo

Pada tiap stasiun di bagi atas 2 substasiun, yaitu substasin 1 terdapat di

wilayah pinggir pantai (pembuangan sampah) dan substasiun 2 terdapat di

wilayah padang lamun. Pada setiap substasiun dilakukan 3 kali pengulangan

pengambilan sampel (Gambar 10).

Pada daerah padang lamun (substasiun 2), plot pengulangan berukuran

100m2 dan di dalamnya terdapat plot yang berukuran 1m2 dengan 3 kali ulangan

untuk menghitung kerapatan, dan komposisi jenis lamun.

24
sampah
1m 1m
1x1m
Pantai

5-15m

2
1m
100 m2

Gambar 10. Sketsa area penelitian

3. Pengambilan data

a. Pengambilan data Lamun

a) Komposisi jenis lamun

Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis

terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Pengambilan data komposisi jenis

lamun dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan setiap jenis lamun yang

ditemukan di dalam plot berukuran 1m2.

Komposisi jenis lamun dihitung dengan menggunakan rumus (Odum 1971):

𝒔𝒊
KJ = 𝒙𝟏𝟎𝟎%
𝒔

25
Keterangan:

KJ = Komposisi jenis ke-i (%)


Si = Jumlah tegakan jenis lamun ke-i
S = Jumlah seluruh tegakan lamun

b) Pengukuran kerapatan jenis lamun

Pengamatan kerapatan jenis lamun dilakukan dengan menghitung jumlah

tegakan lamun dalam transek 1m2 pada setiap stasiun.

Kerapatan lamun dihitung dengan rumus (Brower et al, 1990):

𝑵𝒊
D=
𝑨

Keterangan :

D= Kerapatan jenis (tegakan/m2)


Ni= Jumlah tegakan
A= Luas daerah yang di sampling (m2)

c) Pengukuran daun lamun

Pengukuran morfologi daun lamun dilakukan di Laboratorium Marine station,

Universitas Hasanuddin. Sampel daun dari setiap jenis lamun yang terdapat

pada setiap transek 1m2 diambil sebanyak 10 lembar. Panjang dan lebar lamun

diukur dengan menggunakan mistar yang berukuran 30cm, sedangkan untuk

diameter daun lamun dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.

b. Pengambilan data jenis, dan volume sampah

Sampah yang terdapat pada setiap stasiun diambil kemudian dipisahkan

berdasarkan jenisnya yaitu sampah mudah diurai yang dapat berupa daun,

ranting pohon, kayu, kertas, dan makanan, dan sampah sulit diurai yang dapat

berupa plastik, kaca, seng, kain. Setelah itu, setiap jenis sampah tersebut

26
dimasukkan ke dalam wadah yang berbentuk persegi. Volume sampah dihitung

dengan menggunakan rumus (Purnama, 2013):

V= pxlxt

Keterangan :

V= Volume sampah
p= panjang kotak sampah
l= lebar kotak sampah
t= tinggi sampah

c. Pengambilan data oseanografi perairan

a) Kecepatan dan arah arus

Kecepatan arus dihitung menggunakan stopwach dengan melepas layang-

layang arus sampai regang pada jarak tertentu, dan arah arus dilihat dengan

menggunakan kompas bidik ke arah layang-layang arus.

Kecepatan dan arah arus diketahui dengan menghitung selang waktu (t)

yang dibutuhkan layang arus untuk menempuh jarak (s) dengan rumus:

𝒔
V=
𝒕

Keterangan:

V= Kecepatan arus (m/detik)


s=Jarak tempuh layang-layang arus (m)
t= Waktu yang di gunakan (detik)

b) Gelombang

Pengukuran gelombang dilakukan pada setiap stasiun. Pengukuran

gelombang dilakukan dengan menggunakan tiang skala, stopwatch, dan

kompas. Pengukuran gelombang dilakukan dengan mengukur puncak dan

27
lembah 51 gelombang secara berurutan, lamanya waktu pengukuran untuk 51

gelombang ditentukan dengan menggunakan stopwatch. kemudian melihat tinggi

gelombang (H) = puncak – lembah dan Tinggi gelombang signifikan (H 1/3) =

rata-rata dari 1/3 jumlah gelombang tertinggi. Priode gelombang dapat diketahui

dengan menghitung waktu pengamatan (t) dan menghitung banyaknya

gelombang dengan rumus:

𝒕
(T) =
𝒏

Keterangan:

T= Periode gelombang hasil pengukuran (s)


t= Waktu pengamatan (s)
n= Banyaknya gelombang

Tinggi gelombang signifikan H 1/3 = 1/3 rata-rata dari gelombang terbesar.

c) Pasang surut

Pengukuran pasang surut dilakukan dengan menggunakan tiang skala.

Pengamatan dilakukan selama 39 jam dengan selang waktu 1 (satu) jam. Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui tipe pasang surut dan mengetahui surut

terendah dari lokasi tempat penelitian, kemudian satuan yang digunakan adalah

meter (m).

d) Suhu

Pengukuran suhu dilakukan untuk setiap stasiun dengan menggunakan

thermometer sebanyak 3 kali ulangan.

e) Salinitas

Pengukuran Salinitas dilakukan untuk setiap stasiun dengan menggunakan

handrefractometer sebanyak 3 kali ulangan.

28
f) Nitrat

Pengukuran kandungan nitrat dilakukan dengan menggunakan metode

Brucine (APHA, 1998) dengan menggunakan alat spektrofotometer. Perhitungan

kandungan nitrat pada air dilakukan menggunakan rumus:

NO3 = 6,69 x Abs sampel = … mg/liter

Keterangan:

6,69 = pembuatan standar NO3

Abs = pemantulan spektral NO3

g) Fosfat

Pengambian sampel fosfat dilakukan dengan mengambil sampel air laut di

setiap stasiun. kadar fosfat diketahui menggunakan alat spektrofotometer,

dengan metode Spekrofotometrik. kemudian dihitung dengan menggunakan

rumus:

PO4 = 19,2 x Abs sampel = … mg/liter

Keterangan:

19,2 = pembuatan standar PO4Abs = pemantulan spektral PO4

h) Bahan Organik Total (BOT)

Pada setiap stasiun pengamatan, sampel air diambil kemudian dimasukkan

kedalam botol sampel. Kandungan BOT-nya pada sampel air diuji menggunakan

metode titrasi kalium permanganate, kemudian dihitung dengan menggunakan

rumus:

𝑿−𝒀 𝒙𝟑𝟏.𝟔𝒙𝟎.𝟎𝟏𝒙𝟏𝟎𝟎𝟎
(BOT)=
𝟓𝟎

29
Keterangan:

BOT= Bahan organik total (ppm)

X = Volume KMnO4 untuk titrasi air sampel (ml)

Y = Volume KMnO4 untuk titrasi aquades (ml)


50 = ml Contoh air laut yang digunakan

i) Okigen terlarut

Pengukuran oksigen terlarut (DO) pada sampel air dilakukan menggunakan

metode Winkler.

Sampel air di titrasi dengan menggunakan Na2 S2 O3. Hasil titran dihitung

dengan menggunakan rumus:

Oksigen terlarut = 1000 x a x f x 0,1 mg O2/liter

Keterangan :

a : banyaknya titran (Na2 S2 O3) yang digunakan


f : faktor koreksi titran (± 1)
1 ml 1/80 N Na2 S2 O3 = 0,1 mg O2/liter

4. Analisis Data

Data kerapatan lamun dan morfmetrik daun lamun dikorelasikan dengan data

volume sampah menggunakan analisis korelasi (Pearson).

Data jenis sampah, dan komposisi jenis lamun yang didapatkan akan

disajikan secara deskriptif menggunakan tabel.

30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Parameter Oseanografi

Hasil pengukuran parameter oseanografi pada lokasi pengamatan disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi oseanorgrafi setiap stasiun


Stasiun
Parameter 1 2 3 4
Oseanografi
Kecepatan arus
(m/det) 0,01 0,06 0,01 0,03
Gelombang (cm) 1,08 11,59 1,44 8,23
0
Suhu ( c) 28 30 28 30
Salinitas (‰) 34 35 35 35
Nitrat (mg/liter) 0,04 0,03 0,49 0,05
Fosfat (ppm) 0,12 0,22 0,33 0,26
BOT (mg/liter) 61,30 40,44 44,03 53,57
DO (ppm) 5,99 5,99 5,92 7,70

Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 0,06m/det sedangkan

kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 1 dan 3 yaitu 0,01m/det. Menurut

Mason (1981), kecepatan arus cepat berkisar 0,5-1 m/det dan lambat berkisar

0,01– 0,25 m/s. Sehingga dapat dikatakan bahwa kecepatan arus pada lokasi

penelitian termasuk dalam kategori lambat.

Gelombang air laut terdapat pada setiap stasiun berkisar 1,08-11,59cm.

Tinggi gelombang akan membantu transpor sampah ke perairan karena

umumnya gelombang disebabkan oleh angin sehingga selalu menimbulkan

ayunan air yang bergerak tanpa hentinya pada lapisan permukaan air laut dan

jarang dalam keadaan sama sekali diam. Nikki (2009) menyatakan bahwa tinggi

gelombang dapat menyebabkan akumulasi limbah padat di pantai masuk ke laut

dan terjadi peningkatan sampah di laut.

31
Suhu pada setiap stasiun penelitian berkisar 28-300C. Zimmerman et al

(1987) serta Phillips & Menez (1988) menyatakan bahwa suhu perairan di

kawasan padang lamun yang optimal untuk pertumbuhan lamun yaitu 28 – 320C.

Kisaran nilai salinitas setiap stasiun berkisar 34-35‰. Nilai-nilai salinitas di

perairan padang lamun termasuk kisaran yang cocok untuk kehidupan lamun

dan biota yang ada di dalamnya. Pertumbuhan lamun membutuhkan salinitas

optimum berkisar 24 - 35‰ (Hillman & McComb dalam Hillman et al, 1989).

Kandungan nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,49 mg/liter

sedangkan, kandungan nitrat yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar

0,03mg/liter. Menurut (Baron et al, 2006), kadar nitrat yang melebihi 0,2 mg/liter

dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan, yang

selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara cepat

(blooming).

Sulaeman (2005) memberikan kategori tingkat kesuburan perairan

berdasarkan kandungan fosfat sbb: (1) kandungan fosfat <5ppm, tingkat

kesuburan perairan sangat rendah, (2) kandungan fosfat 11-15 ppm, tingkat

kesuburan sedang, dan (3) kandungan fosfat >21 ppm, tingkat kesuburan

perairan sangat baik. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap stasiun

pengamatan di Pulau Barranglompo memiliki tingkat kesuburan perairan yang

sangat rendah dengan kandungan fosfat berkisar 0,12-0,33ppm.

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik

kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa

humus maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi, juga mikrobia

heterotrofik dan ototrofik. BOT juga berasal dari daratan (serasah yang jatuh ke

tanah, dsb), penguraian organisme yang mati oleh bakteri, dan hasil metabolisme

32
fitoplankton dan tumbuhan laut (Baron et al, 2006). Menurut Reid (1961),

perairan dengan kandungan BOT di atas 26mg/L tergolong subur. Sehingga,

dapat dikatakan bahwa setiap stasiun pengamatan memiliki perairan yang

subur.

Kandungan oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun 4 sebesar

7,70ppm dan terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 5,92ppm. Menurut

Schmitz (1971), kandungan oksigen ±6ppm dapat di golongkan dalam kondisi

perairan yang baik.

Proses masuknya sampah dari darat ke laut salah satunya disebabkan oleh

adanya pasang surut. Pada penelitian ini, pergerakan air tertinggi saat pasang

mencapai 1,64m sedangkan pada saat surut terendah mencapai 0,62m dengan

kisaran pasang surut mencapai 1,02m. Selanjutnya tipe pasang surut air laut di

Pulau Barranglompo tergolong pasang surut tipe semi diurnal, yaitu pola

pergerakan dua kali pasang air laut dan dua kali surut dalam satu kali periode

yaitu 12 jam 54 menit (Gambar 11), sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya

sampah ke perairan laut Pulau Barranglompo terjadi dua kali dalam sehari, hal ini

sesuai dengan apa yang dinyatakan Potemra (2012) bahwa, pasang surut dapat

mempengaruhi pola penyebaran sampah dan pengangkutan sampah yang

berasal dari darat ke perairan luas.

33
180
160
Tinggi Muka Air (cm)

140
120
100
80
60
40
20
0
00.00

08.00
02.00
04.00
06.00
08.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
22.00
24.00
02.00
04.00
06.00

10.00
12.00
14.00
Minggu,20 OktWaktu
2013 Pengukuran Senin, 21 Okt 2013
Gambar 11. Grafik Pasang surut

B. Jenis dan Volume Sampah

a) Jenis sampah

Jenis sampah yang berada di daerah pinggir pantai adalah jenis sampah

yang dibuang masyarakat dan akan masuk ke perairan laut seiring dengan siklus

pasang surut. Jenis-jenis sampah yang didapatkan pada lokasi penelitian di

Pulau Barranglompo disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis-jenis sampah di setiap stasiun


Jenis Sampah di Pantai Jenis Sampah di Padang Lamun
Tidak mudah Tidak mudah
Stasiun Mudah terurai Mudah terurai
terurai terurai
1 Buah Plastik Sisa tumbuhan Kaca
Sisa tumbuhan Kaca Sisa organisme Plastik
Kertas Kain Kertas Kain
Karet
Seng
Genteng batu
2 Sisa organisme Kain Kertas Plastik
Sisa tumbuhan Plastik Sisa tumbuhan Kain
Sisa organisme Besi Karet
Karet Kaca
Batu Merah
Sisa tumbuhan Plastik Sisa tumbuhan Plastik
3 Karet
Kertas Kain
Kain Kaca

4 Sisa tumbuhan Besi Sisa tumbuhan Plastik


Kertas Plastik Kertas Kaleng/besi
Kain Kain
Karet Karet

34
Terdapat jenis sampah yang hampir sama di semua stasiun pengamatan.

Sampah terbagi atas 2 yaitu: sampah mudah terurai dan sampah yang sulit

terurai oleh mikroorganisme. Sampah mudah terurai yang ditemukan antara lain:

sisa tumbuhan (daun lamun, daun pohon, ranting pohon, kayu, kulit buah, biji,

buah, alga, dan kertas) dan sisa organisme yang telah mati (ikan, sponge, dan

bivalvia). Jenis sampah mudah terurai yang mendominasi di setiap stasiun

pengamatan adalah daun dan ranting pohon (Gambar 12).

Gambar 12. Jenis sampah mudah terurai

Sampah sulit terurai yang di temukan antara lain: kain, kaca (botol kaca,

piring kaca), plastik (jaring ikan, karung, snack, botol plastik, karpet), batu

(genteng, baru merah), besi, dan seng. Jenis sulit terurai yang paling banyak

ditemukan adalah jenis kain, kaca dan plastik (snack, karung, karpet) (Gambar

13). Kurangnya sampah jenis besi dan seng diduga oleh aktifitas masyarakat

pulau yang selama ini

mengumpulkan sampah besi

seng untuk kemudian dijual.

35
Gambar 13. Jenis sampah sulit terurai

b) Volume Sampah

Volume sampah berbeda pada setiap stasiun pengamatan. Volume sampah

mudah terurai di daerah pinggir pantai pada stasiun 1 sebesar 2159,67cm3,

stasiun 2 sebesar 8671,00cm3, stasiun 3 sebesar 8081,33 cm3, dan pada

stasiun 4 sebesar 6409,00 cm3. Sedangkan sampah sulit terurai pada stasiun 1

sebesar 12818,00cm3, stasiun 2. 4158,33cm3, stasiun 3. 14428,00cm3 dan

stasiun 4 sebesar 7917,00cm3 (Gambar 16). Berbeda dengan volume sampah

mudah terurai di daerah lamun (Gambar 17), pada stasiun 1 memiliki volume

sebesar 11181,5cm3, stasiun 2 sebesar 30762cm3, stasiun 3 sebesar 7000cm3

dan pada stasiun 4 sebesar 23800cm3. Sedangkan volume sampah sampah sulit

terurai pada stasiun 1 memiliki volume sebesar 25974,5cm3, stasiun 2 sebesar

48032cm3, stasiun 3 sebesar 29399cm3 dan pada stasiun 4 sebesar 51680cm3.

36
Volume Sampah di Pantai
25000

20000

15000
Cm3

Sampah Mudah Terurai


10000
Sampah Sulit Terurai
5000

0
1 2 3 4
Stasiun
Gambar 14. Volume sampah di Pantai

Volume Sampah di Lamun


80000
70000
60000
50000
Cm3

40000 Sampah Mudah Terurai


30000 Sampah Sulit Terurai
20000
10000
0
1 2 3 4
Stasiun
Gambar 15. Volume Sampah di Lamun

Sampah mudah terurai daerah pantai untuk stasiun 2 dan 3 lebih besar

dibandingkan pada stasiun 1 dan 4, hal ini diduga disebabkan pembuangan

sampah masyarakat pulau pada stasiun 2 dan 3 didominansi oleh kayu, batang

pohon, ranting pohon, daun pohon, (daun pisang) yang berukuran besar

sedangkan pada stasiun 1 dan 4 di dominansi oleh daun lamun, kulit buah

(jagung, mangga, pisang), dan kertas. Sampah sampah sulit terurai pada stasiun

1 dan 3 lebih besar dibandingkan stasiun 2 dan 4 di duga karena padatnya

37
penduduk di daerah stasiun 1 dan 3 sehingga aktifitas pembuangan sampah

anorganik banyak dilakukan pada stasiun 1 dan 3. Berdasarkan data kelurahan

pulau Barranglompo di daerah stasiun 1 memiliki jumlah kepadatan terbesar

sebesar 0.06 jiwa/km sedangkan sedangkan, stasiun 3 sebesar 0.03 jiwa/km.

Volume sampah mudah terurai dan sampah sulit terurai di daerah lamun

untuk stasiun 2 dan 4 lebih besar dibandingkan pada stasiun 1 dan 3. Tingginya

volume sampah mudah terurai dan sulit terurai di stasiun 2 dan 4 disebabkan

oleh pasang surut yang membantu pengangkutan sampah dari darat ke laut

(Tabel. 4). Volume sampah untuk stasiun 2 sangat tinggi (lihat Gambar 16), jika

dibandingkan stasiun yang lain karena pada saat penelitian bersamaan dengan

datangnya sampah kiriman yang berasal dari luar pulau yang masuk ke bagian

timur pulau Barranglompo dan sebagian sampah mengapung ke wilayah

tenggara pulau, hal ini dikarenakan saat pengambilan data dilakukan pada bulan

Desember dimana kecepatan dan arah angin bervariasi, dan ada periode-

periode tertentu kecepatan angin sangat besar yang berasal dari timur ke barat

(Mahatma et al, 2013) sehingga, sampah yang berasal dari timur mengapung

kearah barat. Pada bulan November-Januari merupakan musim barat (Amri et al,

2010).

Gambar 16. Sampah kiriman pulau Barranglompo

38
Stasiun 4 memiliki volume sampah yang cukup tinggi dikarenakan pada saat

pengambilan sampah dilakukan pada saat pasang, sedangkan pada stasiun 1

dan 3 rendah diduga pada saat pengambilan data dilakukan pada saat surut, dan

tidak di lalui oleh sampah kiriman. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan

(Cunningham dan Wilson, 2003; Abu-Hilal dan Al-Najjar, 2004; Ramachandran et

al, 2005; Worachananant et al, 2007; Ribic et al, 2012) bahwa sejumlah besar

sampah yang berada di daerah pinggir laut akan masuk ke perairan laut oleh

pasang surut.

Setelah mencapai laut, beberapa sampah akan cepat tenggelam dan

dengan demikian menumpuk di daerah dimana sampah pertama kali masuk ke

laut (Galgani et al, 2000; Barnes et al, 2009). Namun, sebagian besar dari

sampah akan mengapung di permukaan laut untuk jangka waktu yang panjang

sehingga dapat ditemukan jauh dari sumber aslinya (Winston, 1982;

Benton,1995).

C. Kondisi Lamun

a) Morfologi Daun Lamun

Sampah yang masuk di daerah perairan laut menutupi beberapa jenis lamun

di daerah stasiun pengamatan (Gambar 17). Adapun jenis-jenis lamun yang

didapatkan tertutupi oleh sampah laut di daerah penelitian yaitu jenis Halodule

uninervis, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, dan

Thalassia hemprichii. Tertutupinya lamun oleh sampah dapat menyebabkan

penetrasi sinar matahari sulit mencapai permukaan daun lamun, sehingga lamun

sulit berfotosintesis dan mengakibatkan perubahan warna daun, morofomertik

daun lamun dan kematian pada lamun. Waycot et al, (2004) menyatakan bahwa

39
daun lamun memiliki leaf vein yang berfungsi sebagai transpor air, nutrisi untuk

fotosintesis.

Gambar 17. Sampah menutupi lamun

Sedangkan untuk jenis lamun Enhalus acoroides berdasarkan pengamatan

di lapangan, sampah hanya mengakibatkan perubahan morfometrik daun lamun.

Hal ini dikarenakan lamun jenis Enhalus acoroides memiliki ukuran besar

sehingga sulit tertutupi sampah dan hanya mengakibatkan posisi daun lamun

menjadi melengkung sehingga mengakibatkan perubahan morfometrik daun

lamun (Gambar 18).

Gambar 18. Sampah menutupi Enhalus acoroides

40
Uji korelasi pearson terhadap volume sampah mudah diurai dan sampah

sulit diurai dengan morfologi daun lamun tidak menunjukkan hubungan yang

nyata (P>0,05) (Lampiran. 1).

Ukuran morfometrik daun lamun di Pulau Barranglompo memiliki kisaran

lebih kecil (Tabel 6), jika dibandingkan dengan jenis yang sama yang diutarakan

oleh Waycot et al, (2004) di laut Indo-Pacifik Australia dan El Shaffai, (2011) di

laut Merah.

Tabel 6. Morfometrik daun lamun di setiap stasiun.


Stasiun
Jenis Ukuran
1 2 3 4
P 3,2-14,8cm 2-18,5cm 0 0
Cymodocea
L 0,3-0,6cm 0,1-0,5cm 0 0
P 4,7-21cm 3-8,7cm 3,5-6cm 0
Halodule
L 0,1-0,5cm 0,1-0,2cm 0,1-0,2cm 0
P 5,5-19cm 0 5,8-21cm 5-29,6cm
Thalassia
L 0,1-1,7cm 0 0,6-1,3cm 0,7-1,9cm
P 1,1-3,1cm 0,3-1,9cm 0 0
Halophila
L 0,5-1,7cm 0,3-0,9cm 0 0
P 0 0 20-64cm 19,9-68cm
Enhalus
L 0 0 1-1,8cm 1,4-2,3cm
P 1,6-14cm 0 0 0
Syringodium
D 0,2-1,12mm 0 0 0

Jenis lamun Cymodocea rotundata pada stasiun 1 memiliki panjang daun

3,2-14,8cm, lebar 0,3-0,6cm; sedangkan stasiun 2 memiliki panjang daun 2-

18,5cm dan lebar daun 0,1-0,5cm. Berbeda dengan laut Merah jenis lamun

Cymodocea rotundata memiliki panjang daun 7-15cm dan lebar 0,2-0,4cm.

Halodule uninervis pada stasiun 1 memiliki panjang daun antara 4,7-21cm,

lebar 0,1-0,5cm, stasiun 2 panjang daun berkisar 3-8,7cm, lebar 0,1-0,2cm dan

stasiun 3 memiliki panjang antara 3,5-6cm, lebar 0,1-0,2. Berbeda dengan laut

Indo-Pacifik Australia jenis lamun Halodule uninervis memiliki panjang daun 5-

25cm, lebar hingga 0,4cm.

41
Thalassia hemprichii pada stasiun 1 panjang daun berkisar 5,5-19cm, lebar

0,1-1,7, stasiun 3 panjang 5,8-21 lebar 0,6-1,3, dan stasiun 4 panjang 5-29,6

lebar 0,7-1,9. Sesuai dengan di laut Merah Jenis lamun Thalassia hemprichii

memiliki panjang daun hingga mencapai 40cm dan lebar 1,0-4cm.

Halophila ovalis pada stasiun 1 panjang 1,1-3,1cm, lebar 0,5-1,7cm

sedangkan pada stasiun 2 panjang daun 0,3-1,9, lebar 0,3-0,9. Berbeda dengan

laut Merah daun Halophila ovalis berukuran panjang 0,5-15cm lebar 0,32-2,5cm

lebar.

Enhalus acoroides pada stasiun 3 panjang 20-64 lebar 1-1,8, sedangkan

pada stasiun 4 panjang 19.9-68 lebar 1,4-2,3. Berbeda dengan laut Indo-Pacifik

Australia jenis Enhalus acoroides memiliki daun yang panjang berkisar 30-200cm

dan lebar daun 1,2-2cm.

Syringodium isoetifolium pada stasiun 1 panjang 1,6-14cm diameter 0,2-1,12

berbeda dengan laut Indo-Pacific Australia daun Syringodium isoetifolium

memilikii panjang daun sangat bervariasi dari 5cm – 50cm.

Perbedaan morfometrik daun di daerah Australia dan laut Merah dengan

Pulau Barranglompo diduga karena perbedaan kondisi lingkungan di kedua

tempat.

b) Kerapatan Lamun

Kerapatan total lamun di Pulau Barranglompo pada Stasiun 1 sebesar

1711,11 tegakan/m2, stasiun 2 sebesar 984,44 tegakan/m2, stasiun 3 sebesar

320,00 tegakan/m2, dan stasiun 4 sebesar 190,00 tegakan/m2.

42
Kerapatan Total
2000

Tegakan/m2 1500

1000

500

0
1 2 3 4
Stasiun

Gambar 19. Kerapatan total lamun

Kerapatan merupakan elemen dari struktur komunitas yang dapat digunakan

untuk mengestimasi produksi lamun (Mukai et al, 1980). Kerapatan total lamun

(Gambar.18) stasiun 1 lebih tinggi karena terdapat jenis lamun yang lebih

banyak, dengan ukuran morfologi daun yang lebih kecil Cymodocea rotundata,

Halodule uninervis, Halophila ovalis, dan Thalassia hemprichii, Syringodium

isoetifolium. Sedangkan, kerapatan lamun pada stasiun 4 lebih rendah karena

memiliki jenis lamun yang paling sedikit dan berukuran besar seperti Enhalus

acoroides.

Berdasarkan uji korelasi Pearson volume sampah yang mudah diurai dan

volume sampah sulit diurai tidak memiliki hubungan (tidak berbeda nyata)

(P>0,05) dengan kerapatan lamun (Lampiran. 1). Hal ini diduga, karena sampah

yang menutupi lamun akan membentuk substrat baru, dimana pengamatan di

lapangan menemukan beberapa kumpulan lamun yang tumbuh pada substrat

sampah (Gambar 20).

43
Gambar 20. Sampah yang di tumbuhi lamun

Sampah yang mengendap di daerah padang lamun akan menutupi lamun.

Lama kelamaan sampah akan tertutupi sedimen sehingga membentuk substrat

baru bagi tumbuhan lamun. Salah satu faktor terbentuknya substrat baru bagi

lamun adalah arus. Nontji (1987) mendefinisikan arus laut dengan gerakan

massa air yang disebabkan oleh radiasi matahari, tiupan angin, pasut air laut,

hempasan gelombang, dan adanya perbedaan densitas laut sehingga dalam

proses ini, arus berfungsi sebagai media transport sedimen.

Kerapatan Jenis
1200
1000
800
ind/m2

600
400
200
0
Cy Hd Th Hp Sy Cy Hd Hp Hd Th Eh Th Eh

1 2 3 4
stasiun

Gambar 21. Kerapatan jenis lamun

Ket: Cy= Cymodocea rotundata, Hd= Halodule uninervis, Th= Thalassia hemprichii,

Hp= Halophila ovalis, Eh= Enhalus acoroides, Sy= Syringodium isoetifolium.

44
Jenis Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun yang memiliki kerapatan

tertinggi dan jenis lamun dengan kerapatan terendah adalah Halophila ovalis.

Cymodocea merupakan jenis lamun yang memiliki adaptasi untuk hidup pada

berbagai substrat dengan baik. Edi et al (2013) menyatakan bahwa Cymodocea

rotundata memiliki kemampuan adaptasi tinggi pada lingkungan yang mendapat

gangguan ekologi, sehingga jenis ini dapat tumbuh dengan baik, seperti pada

saat sampah menutupi lamun di lokasi penelitian Cymodocea rotundata yang

tertutupi akan mati kemudian ditemukan tumbuh di atas sampah, dan mampu

tumbuh dengan subtstrat pasir dengan ketebalan 1cm. Sedangkan, Halophila

ovalis adalah yang sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan karena memiliki

ukuran yang lebih kecil dibandingkan jenis lamun yang lain. Menurut Vermaatl et

al (1995) Halophila ovalis termasuk lamun yang berumur pendek.

c) Komposisi Jenis Lamun

Berdasarkan hasil Pengamatan yang dilakukan di Pulau Barranglompo

ditemukan 6 jenis lamun yaitu Cymodocea rotundata, Halodule uninervis,

Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium

isoetifolium.

Komposisi jenis lamun yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan

disajikan pada Gambar 22.

45
Stasiun 1 Stasiun 2
17% 6%
1 Cy
1%
1 Hd 2 Cy
47%
1 Th 2 Hd
56%
26% 1 Hp 2 Hp
9% 38%
1 Sy

Stasiun 3 Stasiun 4
7%
22%
3 Hd
48% 4 Th
3 Th 52%
4 Eh
71% 3 Eh

Gambar 22. Komposisi jenis lamun

Pada stasiun 1 ditemukan lima jenis lamun yaitu: Cymodocea rotundata 47%,

Halodule uninervis 9%, Thalassia hemprichii 28%, Halophila ovalis 1%, dan

Syringodium isoetifolium 17%. Jenis Syringodium isoetifolium tidak di temukan

pada stasiun 2, 3 dan 4 karena Syiringodium isoetifolium adalah tumbuhan

lamun yang tumbuh pada kondisi perairan yang tergenang air dan senantiasa

tumbuh bersama dengan jenis lamun yang lain (mixed vegetation). Edi et al

(2013) menyatakan bahwa jenis lamun Syringodium isotifolium sering dijumpai

berasosiasi pada jenis lamun Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata,

Holophila ovalis, Thalassia hempirichii dan Halodule uninervis.

Stasiun 2 memiliki tiga jenis lamun yaitu: Cymodocea rotundata 56%,

Halodule uninervis 38%, Halophila ovalis 6%. Pada stasiun 3 ditemukan tiga

jenis lamun yaitu: Halodule uninervis 7%, Thalassia hemprichii 71%, dan Enhalus

46
acoroides 22%, dan stasiun 4 hanya memiliki dua jenis lamun yaitu: Thalassia

hemprichii 48%, dan Enhalus acoroides 52%. Enhalus acoroides tidak ditemukan

pada stasiun 1 dan 2 karena jenis ini jarang tumbuh di antara banyaknya jenis

yang lain. Kuo and McComb (1989) menyatakan Enhalus acoroides adalah

lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal berbanding terbalik

dengan Syringodium isoetifolium.

47
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan bahwa morfologi dan

kerapatan daun lamun di Pulau Barranglompo tidak terkait dengan volume

sampah baik yang mudah terurai maupun sulit terurai.

B. Saran

Perlu adanya kajian hubungan antara sampah laut dengan kondisi lamun

secara buatan sehingga dapat diketahui kerusakan tumbuhan lamun akibat

tertutupi sampah dan tumbuh kembalinya lamun akibat tertutupnya sampah oleh

sedimen dan membentuk substrat baru bagi tumbuhan lamun.

48
DAFTAR PUSTAKA

Abu-Hilal, A.H., Al-Najjar, T. 2004. Litter pollution on the Jordanian shores of the
Gulf of Aqaba (Red Sea). Mar. Environ. Res. 58, 39–63.

APHA, (1998), Standard Methods for the Examination of Water and Waste
Water, 20th Edition, American Public Health Association.Azkab, M.H.
2009. Lamun (seagrass): Pedoman inventarisasi lamun. Pusat Penelitian
Oseanografi, Jakarta: 21 hal.

Azkab, M.H. 1988. Pertumbuhan dan produksi lamun Enhalus acoroides (L.f)
Royle di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. P. 55-59. In:
Moosa MK, Praseno DP & Sukarno (eds.). Teluk Jakarta: Biologi,
budidaya, oseanografi, geologi dan kondisi perairan. Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI. Jakarta.

Barnes, D.K.A., Galgani, F., Thompson, R.C., Barlaz, M. 2009. Accumulation and
fragmentation of plastic debris in global environments. Phil. Trans. R. Soc.
B 364, 1985–1998.

Baron, C., Middelburg, J.J., Duarte, C.M. 2006. Phytoplankton Trapped within
Seagrass (Posidonia oceanica) Sediments are a Nitrogen Source: An In
Situ Isotope Labeling Experiment. Limnol. Oceanog. 51(4): 1648-1653.

Benton, T.G. 1995. From castaways to throwaways: marine litter in the Pitcairn
Islands. Biol. J. Linn. Soc. 56, 415–422.
.
Brower, J.E., Zar, J.H., Von Ende, C.N. 1990. Field and laboratory methods for
general ecology. 3rd ed. Dubuque

Chaniago, W. 1994. Studi Kualitas Fisika Kimia air di Daerah Estuaria Sungai
Teko yang Mendapt Limbah Pabrik Gula Arasoe Bone untuk
Pembangunan Budidaya Pantai. Skiripsi Fakultas Peternakan> Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Cunningham, D.J., Wilson, S.P. 2003. Marine debris on beaches of the greater
Sydney Region. J. Coast. Res. 19, 421–430.

den Hartog, C. 1970. Seagrass of the world. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam

Dahuri, R., Rais J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 2001. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Laut secara Terpadu. PT Pradaya Paramithah.
Jakarta.

49
Edi, W., Arief P., Chandara, Koenawan, J. 2013. Keanekaragaman Jenis dan
Pola Sebaran Lamun di Perairan Teluk dalam kabupaten Bintan. Jurusan
Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim
Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 29125

El Shaffai, A. 2011. Field to seagrasses of the Red Sea. First Edition. Gland,
Switzerland: IUCN and Courbevoie, France: Total Foundation. Viii + 56pp.

Engler, 2012. The Complex Interaction between Marine Debris and Toxic
Chemicals in the Ocean. Office of Wetlands, Oceans, and Watersheds,
U.S. Environmental Protection Agency, 1200 Pennsylvania Avenue, NW,
Washington, DC 20460, United States.

Fiki, F., Boedi, H., Niniek, W. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun (Seagrass)
Berdasarkan Zona Kegiatan yang berbeda di Perairan Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu. Halaman 1-7

Fitri P.S., 2013. Sistem Pengelolaan Sampah dengan Memanfaatkan Sistem


Informasi Geografis (SIG). Volume 1 hal 1.

Galgani, F., Leaute, J.P., Moguedet, P., Souplets, A., Verin, Y., Carpentier, A.,
Goraguer, H., Latrouite, D., Andral, B., Cadiou, Y., Mahe, J.C., Poulard,
J.C., Nerisson, P. 2000. Litter on the sea floor along the European coasts.
Mar. Pollut. Bull. 40, 516–527.

Galgani, F., Dina, F., Franeker, J.V., Katsanevakis, S., Maes, T., Mouat, J.,
Oosterbaan, L., Poitou, I., Hanke, G., Thompson, R., Amato, E., Birkun A.,
Janssen C. 2010. Marine Strategy Framework Directive—Task Group 10
Report Marine Litter. Scientific and Technical Research Series. Office for
Official Publications of the European Communities: 48, Luxembourg.

Gregory, M.R., Ryan, P.G. 1997. Pelagic plastics and other seaborne persistent
synthetic debris: a review of Southern Hemisphere perspectives. Prepared
for AB 259 (Krekorian), AB 820 (Karnette), and AB 904 (Feuer) by the
Algalita Marine Research Foundation.

Gross, M.G. 1972. Oceanography, 6th edition, Pretice Hall, Inc. Englewood Cliff.
New Jersey.

Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Peavy, Howard,


S., Donald, R., and George Tcobanoglous, 1985, PT. Bintang Mas,
Yogyakarta.

Hatchinson, G.E. 1967. Trealise on Limnology. Vol 2. Jhon Walley and Sons. Inc.
New York.

50
Hillman, K., Walker, D.J., Larkum, A.W.D., Mc Comb, A.J. 1989. Productivity and
Nutrient Limitation of Seagrasses

Hutabarat, S., Evans, S.1986. Pengantar Oseanografi, Penerbit UI – Press,


Jakarta.

Hutagalung, H.P., Rozak, A. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota
Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hutomo, M. 1997. Padang lamun Indonesia : salah satu ekosistem laut dangkal
yang belum banyak dikenal. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta: 35 hal.

Khairul Amri et al, 2010. Dampak Aktifitas Antropogenik terhadap Kualitas


Perairan Habitat diKepulauan Spermonde Sulawesi Selatan.

Kiswara, W., Winardi. 1997. Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk,
Lombok. Dalam: Dinamika komunitas biologi pada ekosistem lamun di
Pulau Lombok, Indonesia. S. Soemodiharjo, O.H. Arinadi dan I. Aswandy
(Eds). Puslitbang Oseanografi – LIPI, Jakarta, 1994 : 11 – 25

Kiswara, W. 1997. Inventarisasi dan evaluasi Sumberdaya Pesisir: Struktur


Komunitas Padang Lamun di Teluk Banten. Makalah Kongres Biologi
Indonesia XV Jakarta, Indonesia

Kramadibrata, S. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press.


Jakarta.

Kuo, J and McComb, A.J. 1989. Seagrass taxonomy, structure and development.
In: Larkum, AWD, McComb, AJ and shepherd, SA (Eds). Biology of
Seagrasses: a treatise on the bilogy of seagrasses with special reference to
the Australian region. Amsterdam: Elsevier. Pp 6-73

Mahtma, L., Supriadi, Khairul, A. 2013. Kondisi Oseanografi Perairan Lokasi


Transplantasi Enhalus acoroides pulau Barranglompo, Kota Makassar.
Jurnal Mitra Bahari. Vol 7 No 1.

Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. New York.

Mukai, H., Aioi, k., Ishida, Y. 1980. Distribution and biomass of eelgrass (Zostera
marina L.) and other sea grasses in Odawa Bay, Central Japan.Aquat.Bot .
8: 337-342.

Nikki, M., 2009. Marine Litter: A Global Challenge. Nairobi: UNEP. 232 pp.

51
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari
Marine biologi; a ecological approach]. Eidman HM, Bergen DG, Hutomo
M, & Sukardjo S (Penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. Xiii + 459 hlm.

Nontji, A. 1987, Laut Nusantara, Jakarta.

Nontji, A. 1999. Indonesian potential in developing marine biotechnology.


Prosiding Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober
1998 : 13-22.

Odum, F. P., 1971. Fundamental of Ecology,. Third edition. W. B. Scuhder


Company, Toronto.

Perintah Kota Makassar. 2010. http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php?


option=com_content&view=article&id=212. (Diakses pada tanggal 26
Oktober Oktober 2013)

Pariwono, J.I. 1996. Oseanografi Fisika dan Dinamika Perairan Pesisir. Materi
Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
(iczpm). Pkspllp IPB Kerjasama dengan Dirjen Bangda-Depdagri. Bogor.

Phillips, R.C., and Menez, E.G. 1988. Seagrasses: Washington, D.C.,


Smithsonian Institution Press, Smithsonian Contributions to the Marine
Science series, no. 34, 104 p.

Potemra, J.T. 2012. Modeling with Application to Tracking Marine Debris


Numerical. Marine Polution Bulletin 65, 42e50.

Prange, J.A., Dennison, W.C. 2000. Physiological Responses of Five Seagrass


Species to Trace Metals. Marine Pollution Bulletin 41: Nos. 7±12, Pp.
327±336

Ramachandran, S., Anitha, S., Balamurugan, V., Dharanirajan, K., Vendhan,


K.E., Divien, M.I.P., Vel, A.S., Hussain, I.S., Udayaraj, A., 2005. Ecological
impact of tsunami on Nicobar Islands (Camorta, Katchal, Nancowry and
Trinkat). Curr. Sci. 89, 195–200.

Reid, G.K. 1961. Ecology Inland Water Estuaria. New York: Reinhold Published
Co.

Ribic, C.A., Sheavly, S.B., Rugg, D.J., Erdmann, E.S., 2012. Trends in marine
debris along the U.S. Pacific Coast and Hawai’i 1998–2007. Mar. Pollut.
Bull. 64, 994–1004.

Rilley, dan Chester., 1971 Introduction to OceanographiChemistry. Academic


Press New York

52
Romimoharto, K., 1991. Ekosistem Laut dan pantai, Jakarta

Schmitz, W., 1971. General Limnological and Biological Stream Surveys as a


Simple Means of Detecting Pollution and Controlling Their Effects. In
Jenkins, S. H. (ed). Advances in Water Pollution Research Vol. I.
Pergamon Press Ltd. Headington Hill Hall. Oxford. p : I-29/1-6

Setiyono, H. 1996. Kamus Oseanografi. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta.

Sulaeman., 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai
Penelitian Tanah dan Pengembangan Pertanian, Deprtemen Pertanian.
Bogor.

Supriadi, Bengen, D.G., Hutomo, M., Kaswadji, R. 2012. Komunitas Lamun di


Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan Karakteristik Habitat.Maspari
Journal, 2012, 4 (2), 148-158.

Tcobanoglous, G., Hillary, Theisen., and Samuel, Virgil., 1993, Integrated Solid
Waste Management: Engineering Principles and Management Issues,
McGraw Hill Publishing Company, New York

Trias, K.D., 2008. Penanganan dan Pengelolaan Sampah. Cet, 1. Jakarta:


Penebar Swadya.

Triatmodjo., 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta.

Thompson, R.C, Olsen, Y, Mitchell, R. P., Davis, A., Rowland, S. J., John, A. W
G., McGonigle, D. & Russell, A. E. 2004 Lost at sea: where is all the
plastic? Science 304, 838. (doi: lO.l^ö/science. 1094559)

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut; Pendekatan Ekologi,


Sosial Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional.
Makassar.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang pengelolaan sampah


http://www.menlh.go.id/DATA/UU18-2008.pdf.

Vermaatl, J.E., Nona S.R., Agawin. 1995. Meadow maintenance, growth and
productivity of a mixed Philippine seagrass bed. Marine Ecology Progress
Series. Philippine.

Waycott, M., McMahoon, Mellors, J., Calladine, A., Kleine, D. 2004. A Guide to
Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James cook University,
Townsville Queensland Australia

53
Welch S. 1952. Limnology. Mac Graw-Hill Inc. New York. US. 318 h.

Wimbaningrum, R. 2003. Komunitas Lamun di Rataan Terumbu, Pantai Bama,


Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Dasar 4 (1) : 25 – 32.

Winston, J.E., 1982. Drift plastic – an expanding niche for a marine invertebrate?
Mar. Pollut. Bull. 13, 348–357.

Worachananant, S., Carter, R.W., Hocking, M., 2007. Impacts of the 2004
tsunami on Surin Marine National Park, Thailand. Coast. Manage. 35,
399–412.
Zimmerman, R.C., Smith, R.D. & Alberte, R.S. 1987. Is growth of the Eelgrass
nitrogen limited? A numerical simulation of effect of light and nitrogen on
the growth dynamics Zostera marina. Marine Ecology Progress Series, 41:
167-176.

54

Anda mungkin juga menyukai