Anda di halaman 1dari 52

STOK KARBON LAMUN DI PULAU KODINGARENG LOMPO,

MAKASSAR

SKRIPSI

FEBY ASNI RAHMADANI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
STOK KARBON LAMUN DI PULAU KODINGARENG LOMPO,
MAKASSAR

FEBY ASNI RAHMADANI


L21115317

SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu
Kelautan Dan Perikanan

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

ii
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Feby Asni Rahmadani
NIM : L21115317
Program Studi : Manajemen Sumber Daya Perairan
Fakultas : Ilmu Kelautan dan Perikanan

Menyatakan bahwa Skripsi dengan judul: “Stok Karbon Lamun di Pulau Kodingareng
Lompo, Makassar” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta
tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh
gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam
naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ini, maka saya bersedia menerima
sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas No. 17, tahun
2007).

Makassar, 14 November 2019

Feby Asni Rahmadani


L21115317

iii
HALAMAN PERNYATAAN AUTORSHIP

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Feby Asni Rahmadani
NIM : L21115317
Program Studi : Manajemen Sumber Daya Perairan
Fakultas : Ilmu Kelautan dan Perikanan

Menyatakan bahwa publikasi sebagian atau keseluruhan isi Skripsi pada jurnal atau
forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sebagaI author dan
Universitas Hasanuddin sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-
kurangnya dua semester (satu tahun sejak pengesahan Skripsi) saya tidak melakukan
publikasi dari sebagian atau keseluruhan Skripsi ini, maka pembimbing sebagai salah
seorang dari penulis berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang ditentukan
kemudian, sepanjang nama mahasiswa tetap diikutkan.

Makassar, 14 November 2019

Mengetahui, Penulis

Dr. Ir. Nadiarti, M. Sc Feby Asni Rahmadani


NIP. 19680106 199103 2 001 NIM. L21115317

iv
ABSTRAK

Feby Asni Rahmadani. L21115317. “Stok Karbon Lamun di Pulau Kodingareng


Lompo, Makassar” dibimbing oleh Supriadi Mashoreng sebagai Pembimbing Utama
dan Nadiarti sebagai Pembimbing Anggota.

Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) di udara menyebabkan terjadinya perubahan


iklim. Mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan pengelolaan vegetasi melalui
strategi penyerapan dan penyimpanan karbon yang salah satunya adalah vegetasi
lamun (konsep karbon biru). Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2019 yang
bertujuan untuk mengetahui stok karbon yang mampu disimpan pada 3 kompartemen
padang lamun di Pulau Kodingareng Lompo, Kota Makassar. Stok karbon biomassa
lamun diperoleh dengan pendekatan kerapatan, biomassa, dan persentase karbon
organik. Stok karbon sedimen diperoleh dengan mengonversi nilai bulk density,
ketebalan sedimen, dan persentase karbon organik. Persentase karbon organik
didapatkan melalui metode Walkley and Black (pengabuan kering). Data yang
diperoleh dari hasil analisis laboratorium dianalisis dengan menggunakan perangkat
lunak gradpad prism ver. 5.03. Pada penelitian ini diperoleh 6 jenis lamun (Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium
isoetifolium, dan Cymodocea rotundata, dari 2 famili lamun (Hydrocaritaceae dan
Cymodoceaceae). Kerapatan lamun yang paling tinggi diperoleh dari jenis S.
isoetifolium dan yang terendah diperoleh dari jenis E. acoroides. Persentase tutupan
lamun termasuk dalam kategori jarang hingga padat dengan persentase tutupan lamun
3,73-63,49%. Stok karbon yang mampu disimpan oleh lamun pada masing-masing
kompartemen lamun di Pulau Kodingareng Lompo yaitu: pada biomassa bagian atas
0,309 Mg ha-1, pada biomassa bagian bawah 0,719 Mg ha-1, dan 15,1 Mg ha-1 pada
sedimen padang lamun.

Kata Kunci: Stok karbon; lamun; Kodingareng Lompo Sulawesi Selatan; metode
walkley and black; kerapatan lamun; persentase tutupan lamun

v
ABSTRACT

Feby Asni Rahmadani. L21115317. “Carbon Stock of Seagrass in Kodingareng


Lompo Island, Makassar” Supervised by Supriadi Mashoreng as the Main Supervisor
and Nadiarti as the Co-Supervisor.

Increased levels of carbon dioxide (CO2) in the air cause climate change. Climate
change mitigation can be done through carbon sequestration and storage strategies by
managing vegetation, including seagrass (blue carbon concept). This research was
conducted in July 2019 and aimed to determine the carbon stock that can be stored in
3 seagrass carbon pools (compartments) on Kodingareng Lompo Island, Makassar
City. Seagrass biomass carbon stocks were measured using density, biomass, and
percentage of organic carbon approaches. The sediment carbon stock was obtained by
coverting the value of bulk density, sediment thickness, and percentage of organic
carbon. The percentage of organic carbon was obtained through the Walkley and Black
method (dry ashing). Data obtained from the laboratory analyses were analyzed using
the software Gradpad Prism version 5.03. In this study, 6 species of seagrass
(Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis,
Syringodium isoetifolium, and Cymodocea rotundata), from 2 seagrass families
(Hydrocaritaceae and Cymodoceaceae) were found. The seagrass density was highest
for S. isoetifolium and lowest for E. acoroides. The percentage of seagrass cover was
in the rare to dense category with percentage of seagrass cover ranging from 3.73 to
63.49%. The carbon stocks stored in each seagrass carbon pools (compartments) on
Kodingareng Lompo Island were: 0.309 Mg ha-1 in the upper (above ground) seagrass
biomass, 0.719 Mg ha-1 in the lower (underground) seagrass biomass, and 15.1 Mg
ha-1 in the seagrass meadow sediment.

Key words: Carbon stock; seagrass; Kodingareng Lompo South Sulawesi; Walkley
and Black method; seagrass density; percentage seagrass cover

vi
UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini dapat terselesaikan karena dukungan dari beberapa orang-orang yang
yang sepatutnya diberikan ungkapan terima kasih dan apresiasi, yaitu kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Nadiarti, M. Sc. Selaku penasihat akademik dan pembimbing anggota
yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan nasihat kepada penulis.
2. Bapak Dr. Supriadi Mashoreng, S. T., M. Si, Selaku pembimbing utama yang
dengan sabar dan lapang hati memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
3. Bapak Ir. Bachrianto Bachtiar, M. Si., selaku penasihat akademik hingga semester
6, yang memberikan nasehat bukan hanya mengenai akademik namun juga
mengenai kehidupan bersosial.
4. Bapak Dr.Ir. Khusul Yaqin, M. Sc., Ibu Dr. Nita Rukminasari, S. Pi, M.P., dan Ibu
Dwi Fajriati Inaku, S. Kel, M. Si., yang telah bersedia menjadi dosen penguji
dengan saran-saran yang membangun untuk perbaikan karya ini.
5. Orang tua (Mama Marni dan Bapak Abd Asis) tercinta, nenek tersayang dan kedua
adik manis serta keluarga besar yang selalu memberikan nasihat, dorongan, do’a
dan menjadi motivasi dalam setiap langkah.
6. Kemenristek Dikti, Lembaga Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin dan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan Biaya Pendidikan
Bidikmisi.
7. Nirwana, Amelia Wahdani, Ripatun Kusnul Khotimah, Sindi Hapisha, Mauliana HA,
Ayu Rahmadani, Mawaddatan Warahmah, St. Shaleha, Wahyuni, Muhammad
Akbar, Surianto, Ramli, Kaisar, Rizkiawan Alwi, Chandra Sanima Adi Gusti,
Hendrawan, Muhammad Adhan, Wawan Surahman, Angga Renaldi, Muhammad
Basri yang membantu survei lokasi, pengambilan data, hingga analisis sampel di
laboratorium dan penyusunan karya ini terselesaikan.
8. Ulfa Islamiyah, Nirwana, dan Amelia Wahdani, teman yang dengan sabar jadi
tempat pelampiasan keluhan.
9. Ibu Nursiah yang bersedia memberikan ruang; tempat tinggal selama di lokasi
pengambilan sampel penelitian.
10. Teman-teman MSP 2015 yang senantiasa memberikan dan membarakan
semangat untuk menyelesaikan studi.
11. Teman-teman IKAB Unhas yang selalu jadi hiburan saat pikiran penuh tekanan
dan telah menjadi rumah dan tempat belajar selama masa perkuliahan.
12. Semua pihak yang memiliki peranan selama pelaksanaan dan penyusunan skripsi
ini yang tidak dapat dituliskan namun tetap terkenang di pikiran dan terpatri dalam
hati.

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan maha Kuasa yang tak henti
memberikan nikmat dan cobaan kepada hamba-Nya. Karena nikmat dan cobaan
tersebut, skripsi dengan judul Stok Karbon Lamun Di Pulau Kodingareng Lompo,
Makassar ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW
sebagai panutan dan teladan dalam bersikap yang telah mengangkat derajat manusia
dengan ilmu dan Islam.
Penulisan karya ini sebagai wujud penyajian dari hasil penelitian yang telah
dilaksanakan di lapangan dan diharapkan mampu memberikan informasi terkait stok
karbon atau simpanan karbon yang disimpan oleh vegetasi lamun. Informasi yang
tersaji diharapkan dapat menjadi salah satu bacaan yang mampu memberikan dampak
terhadap dikelolanya ekosistem padang lamun pada umumnya, dan ekosistem padang
lamun di Pulau Kodingareng pada khususnya, sebagai salah satu upaya mitigasi
perubahan iklim yang saat ini telah menjadi isu global.
Penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan keilmuan
dan ketelitian, sehingga sangat dibutuhkan kritik dan saran membangun dari pihak
pembaca. Akhir kata, besar harapan karya ini dapat memberikan informasi tambahan
terkait peranan padang lamun dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan
global. Namun karena keterbatasan keilmuan, pemahaman, dan ketelitian menjadikan
faktor referensi tambahan masih sangat dibutuhkan.

Feby Asni Rahmadani

viii
BIODATA PENULIS

Feby Asni Rahmadani atau biasa disapa feby lahir di


Lambaru, 14 Januari 1998. Penulis lahir sebagai anak pertama
dari 3 orang anak yang dimiliki oleh pasangan Abdul Asis dan
Marni. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar
Negeri no. 208 Lambaru, Luwu Timur pada tahun 2009.
Kemudian melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah
Ittihad Al-Ummah, Malili, Luwu Timur, hingga tahun 2012. Pada
tahun yang sama, melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Atas Negeri 1 Angkona, Luwu Timur. Ditahun 2015, penulis diterima pada program
studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Hasanuddin (Unhas) melalui jalur
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), setelah melaksanakan
pendidikan non-formal di lembaga bimbingan belajar Jakarta Intensive Learning Center
(JILC).
Selama menyandang status mahasiswa, penulis termasuk mahasiswa penerima
bidikmisi yang juga aktif di organisasi bidikmisi Universitas Hasanuddin yaitu Ikatan
Keluarga Mahasiswa Bidikmisi Universitas Hasanuddin (IKAB Unhas). Di IKAB Unhas
penulis pernah menjabat sebagai anggota Bidang Advokasi Di Tahun 2016, Sekretaris
Umum di Tahun 2017, dan Koordinator Bidang Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Penulis juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Asosiasi Pemuda Maritim
Indonesia Komisariat Daerah Kota Makassar dan koordinator bidang pengembangan
sumber daya manusia dan organisasi (PSDMO) di organisasi bidikmisi Wilayah 8.
Selain itu, penulis juga aktif di komunitas untuk melaksanakan kegiatan sosial. Penulis
pernah diberikan amanah untuk mendampingi mahasiswa lain sebagai asisten mata
kuliah Limnologi di tahun 2018.
Penulis pernah mengikuti kegiatan Lomba Karya Tulis Ilmiah dan Lomba Riset
yaitu, Juara II Lomba Riset Membangun Potensi Makassar program kerjasama Unhas
Karya
dan FKS tahun 2017, Juara II Lomba Tulis Kemaritiman dan Festival Inovasi
Kemaritiman bidang Sosial, Ekonomi, dan Kebijakan tahun 2018. Penulis juga pernah
menjadi delegasi Unhas pada kegiatan Rapat Evaluasi dan Koordinasi Nasional
Persatuan Mahasiswa dan Alumni Bidikmisi Nasional di Universitas Sriwijaya dan
delegasi Unhas pada kegiatan Musyawarah Wilayah VIII Permadani Diksi, di Politeknik
Pertanian Negeri Pangkep, tahun 2018. Penulis juga memiliki pengalaman menjadi
pemakalah oral pada kegiatan Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan ke-6
Universitas Hasanuddin tahun 2019.

ix
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL .........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN AUTORSHIP ....................................................................... iv
ABSTRAK......................................................................................................................... v
ABSTRACT ...................................................................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... viii
BIODATA PENULIS ......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Tujuan dan Kegunaan ............................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 3
A. Lamun ...................................................................................................................... 3
B. Peranan Padang Lamun ......................................................................................... 4
C. Padang Lamun sebagai Penyimpan Karbon .......................................................... 5
D. Siklus Karbon Pesisir .............................................................................................. 6
III. METODE PENELITIAN ............................................................................................... 9
A. Waktu dan Tempat .................................................................................................. 9
B. Alat dan Bahan ........................................................................................................ 9
C. Prosedur Penelitian ............................................................................................... 10
1. Studi Pendahuluan ........................................................................................... 10
2. Studi Stok Karbon ............................................................................................. 12
D. Analisis Data.......................................................................................................... 15
IV. HASIL ......................................................................................................................... 16
A. Studi Pendahuluan ................................................................................................ 16
1. Stok Karbon Biomassa Lamun ......................................................................... 18
2. Korelasi antara Kerapatan Lamun dengan Stok Karbon Biomassa Lamun .... 21
3. Korelasi antara Persentase Tutupan Lamun dengan Stok Karbon Biomassa
Lamun ............................................................................................................... 22
4. Stok Karbon Sedimen Padang Lamun ............................................................. 22
V. PEMBAHASAN ......................................................................................................... 23
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 27
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 27
B. Saran ..................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 28
LAMPIRAN ..................................................................................................................... 33

x
DAFTAR GAMBAR

No ......................................................................................................................... Halaman
1. Peta sebaran jenis lamun di Indonesia ..................................................................... 4
2. Siklus karbon pesisir .................................................................................................. 8
3. Skema model transek pengamatan ........................................................................ 11
4. Peta Lokasi pengambilan sampel biomassa lamun dan sedimen di Pulau
Kodingareng Lompo, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Provinsi
Sulawesi Selatan ..................................................................................................... 11
5. Area pengambilan sampel biomassa lamun pada transek kuadran....................... 12
6. Area pengambilan sampel sedimen untuk pengukuran karbon organik dan bulk
density pada transek kuadran ................................................................................. 12
7. Komposisi jenis lamun berdasarkan kerapatan pada setiap stasiun...................... 16
8. Kerapatan lamun setiap jenis pada (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3, dan
(d) stasiun 4 ............................................................................................................. 17
9. Persentase tutupan lamun pada setiap stasiun ...................................................... 17
10. Stok karbon biomassa lamun setiap jenis pada pada (a) biomassa bagian atas
dan (b) biomassa bagian bawah ............................................................................. 18
11. Stok kabon biomassa lamun setiap stasiun pada pada (a) biomassa bagian atas
dan (b) biomassa bagian bawah ............................................................................. 19
12. Komposisi jenis lamun pada setiap stasiun untuk stok karbon (a) biomassa
bagian atas, dan (b) biomassa bagian bawah ....................................................... 20
13. Grafik korelasi kerapatan dan stok karbon lamun jenis (a) T. hemprichii, (b) E.
acoroides, (c) H. uninervis, (d) H. ovalis, (e) S. isoetifolium, dan (f) C. rotundata 21
14. Grafik korelasi persentase tutupan dengan stok karbon lamun ............................. 22
15. Kondisi padang lamun pada salah satu transek ..................................................... 39
16. (a) Proses pengambilan sampel menggunakan linggis, dan (b) Biomassa lamun
yang telah dicuplik ................................................................................................... 39
17. Spesimen lamun jenis (a) Talassia hemprichii, (b) Enhalus acoroides,
(c) Halodule uninervis, (d) Halophila ovalis, (e)Syringodium isoetifolium, dan (f)
Cymodocea rotundata ............................................................................................. 39
18. Proses pembersihan sedimen yang masih tersisa pada biomassa lamun ............ 40
19. Proses mengeringudarakan sedimen ..................................................................... 40
20. Proses pengeringan sampel sedimen untuk uji bulk density menggunakan oven 40
21. Proses oksidasi karbon organik dengan metode pengasaman .............................. 41
22. Reaksi yang terjadi setelah penambahan larutan indikator difenilamin ................. 41
23. Proses titrasi karbon organik dengan larutan FeSO4 ............................................. 41

xi
DAFTAR TABEL

No .......................................................................................................................... Halaman
1. Penelitian stok karbon di beberapa lokasi di Indonesia ............................................ 6
2. Alat dan bahan yang akan digunakan beserta fungsinya ......................................... 9
3. Stok karbon total lamun (Mg ha-1) ........................................................................... 20
4. Bulk density, kandungan karbon organik, dan stok karbon sedimen padang
lamun ....................................................................................................................... 22
5. Perbandingan stok karbon pada sedimen lamun di beberapa wilayah .................. 26
6. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian atas per-jenis ............................... 34
7. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian bawah per-jenis ........................... 35
8. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian atas per-stasiun .............................. 36
9. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian bawah per-stasiun .......................... 37
10. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian bawah per-stasiun ....................... 38

xii
DAFTAR LAMPIRAN

No .......................................................................................................................... Halaman
1. Hasil uji one way ANOVA biomassa lamun bagian atas per-jenis ........................ 34
2. Hasil uji one way ANOVA biomassa lamun bagian bawah per-jenis .................... 35
3. Hasil uji one way ANOVA biomassa lamun bagian atas per-stasiun .................... 36
4. Hasil uji one way ANOVA biomassa lamun bagian bawah per-stasiun ................ 37
5. Hasil uji one way ANOVA sedimen antar stasiun ................................................... 38
6. Dokumentasi kegiatan penelitian ............................................................................ 39

xiii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan iklim telah menjadi isu global. Perubahan iklim memiliki dampak
yang sangat besar pada kehidupan, antara lain peningkatan suhu yang ekstrim,
naiknya permukaan air laut akibat pencairan es di kutub, banjir, kekeringan, badai
topan dan juga berimplikasi pada peningkatan kadar keasaman air laut (Sunquist et al.,
2008; Brath et al., 2015). Perubahan iklim timbul karena diipicu oleh kadar
karbondioksida (CO2) di alam yang semakin meningkat. Meningkatnya CO2 di udara
menyebabkan gas rumah kaca (GRK) juga meningkat, yang menjadi pemicu timbulnya
fenomena perubahan iklim (Goel & Bhatt, 2012), sehingga dibutuhkan upaya mitigasi
perubahan iklim.
Pengurangan konsentasi GRK atau mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan
dengan pengelolaan vegetasi melalui strategi penyerapan karbon (Mannes, 2009).
Penyerapan dan penyimpanan karbon yang dilakukan oleh vegetasi digunakan
sebagai senyawa untuk melakukan proses fotosintesis. Penyerapan karbon tidak
hanya dapat dilakukan vegetasi daratan, namun menurut Duarte et al. (2005) juga
dapat dilakukan oleh vegetasi di lautan.
Menjaga dan memanfaatkan vegetasi sebagai penyimpan karbon merupakan
upaya penting untuk mitigasi perubahan ilkim. Pemanfaatan vegetasi daratan (hutan
dan perkebunan) untuk penyerap dan penyimpan karbon sebagai upaya mitigasi
perubahan iklim telah lama dan telah banyak dilakukan (Bolinder et al., 2006; Kumar et
al., 2006; Aminudin 2008). Sedangkan untuk vegetasi lautan baru mendapat perhatian
10 tahun terakhir setelah United Nations Environment Programme (UNEP), Food and
Agricultore Organization (FAO) dan United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) memperkenalkan konsep karbon biru pada tahun 2009.
Konsep tersebut membuktikan bahwa ekosistem mangrove, lamun, dan rawa asin
memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan, penyerapan dan pengurangan
emisi karbon (Nellemann et al., 2009). Hampir setengah dari jumlah oksigen di atmosfir
berasal dari hasil fotosintesis vegetasi yang terdapat di laut (KNLH, 2007). Mangrove
menyerap CO2 yang ada di udara seperti tumbuhan daratan pada umumnya,
sedangkan lamun, makroalga, dan fitoplankton menyerap CO 2 yang terlarut dalam
kolom air (Lembi, 2014).
Lamun selain berperan sebagai produsen utama, juga dapat menjadi penyerap
dan penyimpan karbon. Karbon yang diserap oleh lamun akan berikatan dengan
klorofil dan dengan bantuan cahaya matahari untuk digunakan pada proses
fotosintesis. Hasil penyerapan karbon oleh lamun pada proses fotosintesis tersimpan di

1
beberapa bagian yang terbagi menjadi 3 bagian yang terpisah (kompartemen) yaitu
biomassa hidup lamun bagian atas (batang dan helai daun), biomassa lamun bagian
bawah (rimpang dan akar lamun), dan sedimen (Rustam et al., 2019).
Informasi yang berkaitan dengan kemampuan lamun menyimpan karbon atau
stok karbon yang terdapat di ekosistem padang lamun (khususnya Indonesia) telah
ada dan didapatkan dari beberapa peneliti. Tahun 2014, Supriadi et al. menghitung
stok karbon total yang tersimpan pada biomassa lamun di Pulau Barrang Lompo.
Tahun 2017, Irawan menghitung stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun di
Pulau Bintan. Tahun 2017, Rustam et al. menghitung stok karbon yang tersimpan pada
biomassa lamun dan sedimen padang lamun di 4 pulau di Kepulauan Spermonde
(Pulau Barrang Lompo, Pulau Sarapo Keke, Pulau Bauluang, dan Pulau Kapoposang).
Tahun 2018, Mashoreng et al. menghitung stok karbon yang tersimpan pada sedimen
padang lamun di Halmahera Timur.
Informasi mengenai stok Karbon yang tersimpan pada padang lamun di
Kepulauan Spermonde masih sangat sedikit, padahal kondisi padang lamun di
beberapa pulau di kepulauan spermonde masih tergolong baik dan dapat
dimanfaatkan sebagai media penyerapan dan penyimpanan karbon untuk upaya
mitigasi peribahan iklim. Salah satu pulau di Kepulauan Spermonde dan masuk di
wilayah administrasi Kota Makassar yang memiliki hamparan padang lamun yang
cukup luas adalah Pulau Kodingareng Lompo. Pulau Kodingareng Lompo memiliki
luasan padang lamun 160,73 ha. 67,93 ha dari total area padang lamunnya memiliki
persentase tutupan 50-75% (PIU, 2015; Syarif-B, 2016).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, penelitian mengenai stok karbon yang
tersimpan pada lamun di Pulau Kodingareng Lompo penting dilaksanakan. Penelitian
tersebut memberikan informasi yang menunjang kegiatan konservasi dan restorasi
padang lamun sebagai salah satu upaya mitigasi perubahan iklim sehingga dapat
mengurangi emisi karbon yang ada di udara dan yang telah terlarut dalam perairan.

B. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan dari penelitian yang dilaksanakan adalah untuk mengetahui stok karbon
yang mampu disimpan oleh lamun pada ketiga kompartemen penyimpan stok karbon,
yaitu biomassa bagian atas (above ground), biomassa bagian bawah (bellow ground),
dan sedimen di Pulau Kodingareng Lompo. Kegunaan dari penelitian yang
dilaksanakan yaitu, memberikan informasi mengenai stok karbon lamun sehingga
dapat dilakukan pengelolaan ekosistem padang lamun yang berimplikasi pada upaya
mitigasi perubahan iklim.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup terendam dalam
kolom air dan berkembang dengan baik di perairan laut dangkal. Tumbuhan lamun
terdiri dari daun dan seludang, batang menjalar yang biasanya disebut rimpang
(rhizome), dan akar yang tumbuh pada bagian rimpang (Kuo, 2007). Lamun
merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di
perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan
memiliki rimpang, daun, dan akar sejati (Graha et al., 2016). Tumbuhan ini tumbuh
subur terutama di daerah perairan terbuka pasang surut yang memiliki dasar berupa
lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, sampai dengan kedalaman 4 meter
(Nontji, 2002).
Di Indonesia, lamun dikenal dengan berbagai nama daerah. Di Teluk Banten
dikenal dengan nama lamun; di Kepulauan Seribu dikenal dengan nama rumput pama,
oseng, samo-samo; di Kepulauan Riau dikenal dengan nama rumput setu atau setu
laut; di Sulawesi Selatan dikenal dengan nama rumput samo-samo, rumput anang; di
Maluku dikenal dengan nama lalamong, samo-samo, pama, ilalang laut; di Maluku
Utara dikenal dengan nama rumput gussumi, guhungiri, alinumang; di Pulau Kabaena,
Muna, Buton dan Sulawesi Tenggara dikenal dengan nama rumput lelamong atau
rumpat lela; di Pulau Maratua, Kalimantan Timur, lamun jenis Enhalus acoroides
dikenal sebagai rumput unas (Hernawan et al., 2017).
Di perairan pantai, lamun tumbuh membentuk hamparan yang disebut padang
lamun. Hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/ laut dangkal,
terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun
tumbuh pada sedimen dasar laut dengan daun yang panjang dan tegak dan batang
yang terbenam dalam sedimen (rhizome) serta akar (Short et al., 2007). Padang lamun
merupakan suatu ekosistem di kawasan pesisir yang memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi dan sebagai penyumbang nutrisi yang sangat potensial bagi
perairan disekitarnya karena memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Ekosistem
padang lamun memberikan habitat bagi biota laut. Disebut padang lamun karena
ekosistem padang lamun tersebut berasosiasi dengan berbagai jenis biota laut yang
bernilai sangat penting dengan tingkat keragamannya yang tinggi (Kamaruddin et al.,
2016).
Indonesia memiliki 12 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Cymodocea Serrulata, Halophila decipiens, Halophila minor,
Halophila Ovalis, Halophila Spinulosa, Halodule pinifolia, Halodule Uninervis,

3
Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum. sebenarnya Indonesia
memiliki 2 jenis lamun berupa herbarium di musium herbarium Bogor, tetapi sampai
saat ini 1 spesies masih belum ditemukan diperairan yaitu lamun jenis Halophila
beccarii satu jenis lainnya yaitu jenis Ruppia maritima yang herbariumnya dapat
ditemukan di Ancol, Jakarta dan Pasir Putih, Jawa Timur (Kuriandewa et al., 2003).
Pada tahun 2007, Kuo menemukan 1 spesies lamun di Kepulauan Spermonde yaitu
Halophila sulawesii, sehingga saat ini Indonesia memiliki 15 jenis lamun.

Gambar 1. Peta sebaran jenis lamun di Indonesia (Sumber: Hernawan et al., 2017)

B. Peranan Padang Lamun


Padang lamun mempunyai peranan ekologik penting bagi lingkungan laut dangkal
dan juga penyedia jasa bagi manusia (Kiswara & Hutomo, 1985). Peranan tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai produsen primer, sebagian besar karbon organik difiksasi oleh lamun
untuk masuk kedalam rantai makanan baik melalui pemangsaan oleh herbivora
maupun melalui proses dekomposisi serasah (Hutomo & Azkab, 1987).
2. Sebagai habitat bagi biota, banyak biota yang memanfaatkan lamun sebagai
tempat perlindungan dan juga alga yang menempel pada lamun (Hutomo & Azkab,
1987). (Kikuchi) 1974 menemukan bahwa padang lamun dijadikan oleh beberapa
jenis ikan sebagai daerah asuhan dan daerah penggembalaan.
3. Sebagai penangkap sedimen: Daun lamun yang lebat akan memperlambat air
yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi
tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat

4
sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan
(Thorhaug & Austin, 1976).
4. Sebagai pendaur zat hara, metabolisme lamun dan struktur dari padang lamun
berpengaruh pada kondisi fisik dan kimia badan air dan sedimen tempat lamun
tumbuh. Sehingga lamun mampu mengurai bahan organik menjadi nutrien yang
dibutuhkan lamun sendiri maupun biota lainnya (Marba et al., 2001) sebagai
penunjang kehidupan sehari-hari manusia. Beberapa masyarakat pantai di dunia
menggunakan lamun sebagai sumber pupuk hijau, bahan makanan, bahan baku
untuk tempat tinggal, tikar, pengisi bantal, bahan pembuat tali (Romimohtarto &
Djuwana, 2007). Daun dari Halophila ovata biasa digunakan sebagai bahan dasar
menyembuhkan berbagai penyakit kulit (Kenworthy et al., 2000).
5. Mampu memfiksasi CO2 terutama dalam bentuk bikarbonat (HCO3-) untuk
fotosintesis dalam pembentukan biomasa (Beer et al., 2002) yang kemudian
sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
6. Sebagai penghasil oksigen (Nybakken, 1988).
7. Mampu menjadi bioindikator bagi limbah-limbah logam (Rappe, 2010); (Rustam et
al., 2015).

C. Padang Lamun sebagai Penyimpan Karbon


Peranan padang lamun yang mampu memfiksasi CO2 menjadikannya dapat
menyimpan karbon dalam biomassa maupun sedimennya. Menurut penelitian Nature
Geosciences oleh Fourqurean et al. (2012), hamparan ini menyimpan 19.9 miliar
metrik ton karbon, walaupun luasannya hanya 0.2% dari permukaan bumi. Temuan ini
mendukung ide yang menyatakan bahwa melindungi padang lamun dan melakukan
restorasi bisa menjadi sebuah langkah signifikan untuk mencegah perubahan iklim.
Setelah melakukan studi di hampir seribu hamparan padang lamun di seluruh dunia,
penelitian ini menemukan bahwa ekosistem ini mampu menyimpan 83.000 metrik ton
karbon dalam setiap kilometer persegi. Angka ini adalah dua kali lipat dari kemampuan
hutan menyerap karbon: yatu sekitar 30.000 metrik ton dalam setiap kilometer
perseginya. Dengan kemampuan menyimpan karbon di bagian tanah, para peneliti
menyatakan bahwa hamparan lamun menyimpan 10% dari kandungan karbon di
lautan di seluruh dunia.
Penyimpanan karbon dalam ekosistem lamun terbagi dalam 3 kompartemen yaitu
biomassa hidup lamun bagian atas, meliputi batang dan helai daun, biomassa lamun
bagian bawah, meliputi rimpang dan akar lamun, dan sedimen, baik yang bersumber
dari ekosistem (autochthonous), maupun dari luar ekosistem (allochthonous)
(Fourqurean et al., 2014). Kandungan karbon terbesar ekosistem lamun berada pada

5
cadangan karbon sedimen. Pada umumnya, lamun tumbuh pada sedimen karbonat
(pasir dari pecahan cangkang dan pecahan karang) yang tinggi kandungan karbonnya,
sedangkan penyimpanan karbon berdasarkan cadangan karbon biomassa sangat
rendah dibandingkan dua ekosistem karbon biru lainnya yaitu mangrove dan rawa
payau. Namun, sistem perakaran lamun yang kompleks dan padat membuat karbon
dalam sedimen terperangkap dan terus bertambah seiring dengan bertambah luasnya
padang lamun (Rustam et al., 2019). Secara geografis, stok karbon pada sedimen
lamun di daerah tropis relatif tinggi (Mashoreng et al., 2018).
Penelitian mengenai stok karbon yang dapat disimpan oleh lamun telah
dilaksanakan oleh beberapa peneliti di lokasi yang berbeda-beda. Hasil-hasil
penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1. Penelitian stok karbon di beberapa lokasi di Indonesia
Hasil Penelitian
Tahun Nama Peneliti Lokasi Penelitian Spesies Stok Karbon (gC
Lamun m-2)
E. acoroides 35,426
2013 Rustam et al Tanjung Lesung S. serrulata 12,401
S. iseotifolium 7,928
2013 Mashoreng et al Barrang Lompo Sedimen 1350
E. acoroides 80,09
T. hemprichii 27,7
C. rotundata 4,8
C.serrulata 0,03
2014 Supriadi et al Barrang Lompo
H.uninervis 0,29
H.pinifolia 0,57
H.ovalis 0,49
S.isoetifolium 0,20
E. acoroides 207.97
T. hemprichii 50.29
H. ovalis 0.12
2017 Irawan Pulau Bintan
C. rotundata 5.96
C. serrulata 0.52
S. iseotifolium 1.64
2017 Putra Pulau Poncan C. Serrulata 8.68
Halmahera
2018 Mashoreng et al Sedimen 1094,8
Timur

D. Siklus Karbon Pesisir


Peranan lamun yang memanfaatkan karbondioksida (CO 2) untuk fotosintesis dapat
mengurangi konsentrasi gas CO2 di atmosfer. CO2 adalah salah satu gas rumah kaca
penyebab pemanasan global yang memberikan dampak besar pada perubahan iklim.
Dampak ini telah dirasakan di dunia seperti: kekeringan dan kebakaran hutan, naiknya
permukaan air laut dan meningkatnya intensitas serta periode hujan yang berakibat
banjir. Bumi sebenarnya telah dilengkapi dengan penyerap CO 2 alami yaitu vegetasi
daratan, dan vegetasi lautan. Namun penebangan hutan yang marak mengakibatkan
stok karbon yang tersimpan di dalam vegetasi menjadi terlepas ke atmosfer dan

6
menurunkan kemampuan alami daratan dalam menyerap CO 2, sehingga perhatian
mulai ditujukan ke laut. Penelitian mengenai peran laut sebagai penyerap dan
penyimpan CO2 umumnya dilakukan pada perairan laut lepas dan wilayah lintang
tinggi karena faktor volume air yang besar, temperatur rendah, tidak adanya stratifikasi
termoklin dan aktivitas biologi yang tinggi untuk kepentingan penyerapan dan
penyimpanan alami CO2. Pada siklus karbon global laut (Gambar 2), Borges (2011)
mengatakan bahwa perairan pesisir berperan penting terhadap total karbon global
karena menerima aliran karbon dan nutrien dari daratan dan terdapatnya vegetasi
pesisir yang berukuran besar. Selain itu perairan pesisir mewakili sekitar 8% dari
perairan laut, secara global perairan pesisir menghasilkan 25% produktivitas primer
lautan yang membutuhkan karbondioksida dalam fotosintesisnya (Ribas-Ribas et al.,
2011). Namun masih sedikitnya penelitian mengenai kemampuan perairan pesisir (laut
dangkal) menenggelamkan karbon dapat disebabkan karena terbatasnya vegetasi
pesisir dari seluruh lautan yang hanya <2% dari seluruh permukaan laut dan samudra
(Duarte et al., 2005). Walaupun demikian diperkirakan laut marginal termasuk pesisir
mampu menenggelamkan CO2 berkisar antara 0.22 sampai 1 PgC/tahun (Borges et
al., 2005; 2011).

7
Gambar 2. Siklus karbon pesisir (Sumber: IPCC, 2007)

8 8
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2019 dengan lokasi penlitian di Pulau
Kodingareng Lompo, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar (Gambar 4).

B. Alat dan Bahan


Alat dan bahan utama yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2
sebagai berikut:
Tabel 2. Alat dan bahan yang akan digunakan beserta fungsinya
Alat dan Bahan Fungsi
Alat
Transek garis Sebagai penanda area pengamatan
Transek Kuadran Sebagai penanda area pengamatan dan area pengambilan
biomassa lamun
Linggis Untuk mengambil sampel lamun
Pipa paralon Sebagai alat untuk mengambil sedimen
Alat dasar selam Sebagai alat untuk membantu pengamatan di bawah air
Kamera Sebagai alat untuk mendokumentasikan kondisi padang
lamun dan mendokumentasikan kegiatan
Aluminium foil Sebagai wadah penyimpanan sampel sedimen
Kantong sampel Sebagai wadah penyimpanan sampel biomassa dan
sedimen
Nampan Sebagai wadah penyimpanan biomassa lamun sebelum
dibersihkan dan dibagi menjadi biomassa bagian atas dan
bawah serta wadah pengering sedimen
Ayakan Sebagai alat untuk mengayak sedimen
Global Position system (GPS) Sebagai alat untuk menentukan titik koordinat lokasi
penelitian
Cool box Sebagai media penyimpanan sampel
Timbangan digital Untuk menghitung bobot sampel
Pisau Untuk memotong rimpang lamun sebelum diambil agar
lamun yang berada diluar transek juga tidak ikut terangat
dan untuk memisahkan biomassa lamun bagian atas (daun
dan pelepah) dan bagian bawah (rimpang dan akar)
Erlenmeyer 250 ml Sebagai media yang digunakan pada uji karbon organik
Labu ukur Sebagai wadah ukur larutan yang digunakan pada uji
karbon organik
Buret+statif Sebagai alat titrasi
Oven Sebagai alat yang digunakan untuk mengeringkan sampel
biomassa lamun dan sampel sedimen yang digunakan
untuk uji bulk density
Lumpang Alat yang digunakan untuk menghaluskan sampel biomassa
lamun yang telah dikeringkan
Bahan
Lamun Sebagai bahan utama penelitian
Sedimen Sebagai bahan utama penelitian
K2Cr2O7 Sebagai reduktor
H2SO4 Sebagai oksidator
Aquades Sebagai pelarut
Difenilamin Sebagai larutan indikator reaksi reduksi oksidasi
FeSO4 Larutan yang digunakan untuk titrasi

9
C. Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan melalui 2 tahapan utama, yaitu sebagai berikut:

1. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilaksanakan untuk menentukan stasiun penelitian, agar
stasiun penelitian yang ditetapkan mampu merepresentasikan keadaan padang lamun
secara keseluruhan. Studi pendahuluan dilaksanakan dengan mengamati dan
menghitung kerapatan lamun, komposisi jenis lamun, dan persentase tutupan lamun.
Kerapatan dan persentase tutupan lamun diamati dengan menggunakan metode
seagrasswatch yaitu penggunaan transek kuadran 50 x 50 cm yang diberi kisi-kisi 10 x
10 cm (Gambar 3) (McKenzie, 2003). Kerapatan lamun dinyatakan sebagai jumlah
individu/satuan luas dalam satuan meter persegi (Khouw, 2009).
∑ 𝑛𝑖
𝐷𝑖 =
𝐴𝑖
Dimana, Di= kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2), Σni= jumlah tunas lamun jenis-i
(tunas), dan Ai= luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)
Persentase tutupan lamun ditentukan dengan mengacu pada percent cover
standards (McKenzie, 2003; Rahmawati et al., 2014). Komposisi jenis lamun
ditentukan berdasarkan jumlah jenis lamun yang didapatkan pada setiap stasiun.
Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan komposisi jenis lamun. Penentuan
tersebut dilakukan berdasarkan hasil studi pendahuluan yang menunjukkan bahwa
komposisi jenis lamun pada beberapa lokasi terbagi menjadi 4, yaitu lokasi yang
ditumbuhi oleh 6 jenis lamun (Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, H. uninervis, H.
ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Cymodocea rotundata) yang ditentukan sebagai
stasiun 1 yang terletak di sebelah selatan pulau yaitu pada titik koordinat 5 0 9’ 7,25” S |
1190 15’ 50,70” E. Lokasi yang ditumbuhi oleh 3 jenis lamun (Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, dan Cymodocea rotundata) ditentukan sebagai stasiun 2, yang
terletak di sebelah barat pulau yaitu pada titik koordinat 50 8’ 56,07” S | 1190 15’
48,23” E. Lokasi yang ditumbuhi oleh 3 jenis lamun (Thalassia hemprichii, H. uninervis,
dan H. ovalis) ditentukan sebagai stasiun 3, yang terletak di sebelah utara pulau yaitu
pada titik koordinat 50 8’ 42,47” S | 1190 15’ 51,84” E. Lokasi yang ditumbuhi oleh 4 jenis
lamun (Thalassia hemprichii, H. uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Cymodocea
rotundata) yang ditentukan sebagai stasiun 4, yang terletak di sebelah timur pulau
yaitu pada titik koordinat 50 8’ 52,69” S | 1190 16’ 0,36” E (Gambar 4). Pada setiap
stasiun terdapat 3 substasiun. Substasiun berupa 1 transek garis sepanjang 100 m.
Kemudian pada setiap transek garis, digunakan transek kuadran 50x50 cm. Transek
kuadran diletakkan pada sisi kanan transek garis (Rahmawati et al., 2014; Rustam et
al., 2019).

10
Garis Pantai
Gambar 3. Skema model transek pengamatan

Th
Ho
Hu

Cr
Ea
4

Th

Th

Cr Hu

Si
Cr
Ea
Hu
Th
Ho

Si

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel biomassa lamun dan sedimen di Pulau
Kodingareng Lompo, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Provinsi
Sulawesi Selatan.

11
2. Studi Stok Karbon
a. Pengambilan Sampel Biomassa Lamun
Pengambilan sampel biomassa dilakukan dengan menggunakan transek kuadran
20 x 20 cm yang diambil dari 4 kisi-kisi 10 cm dari transek kuadran 50 x 50 cm
(Gambar 5). Lamun diambil dengan menggunakan linggis hingga penetrasi akar pada
titik awal ditemukannya lamun, 50 m dari garis pantai dan titik terakhir ditemukannya
lamun pada transek garis. Lamun yang diambil kemudian dibersihkan dan dimasukkan
kedalam kantong sampel. Lamun kembali dibersihkan di laboratorium dari epifit dan
sisa sedimen yang menempel. Biomassa lamun yang diambil dipisah berdasarkan
jenis serta bagian atas (batang dan daun) dan bagian bawah (akar dan rimpang)
kemudian diletakkan pada kantong sampel yang berbeda (Rustam et al., 2019;
Supriadi et al., 2013).

Gambar 5. Area pengambilan sampel biomassa lamun pada transek kuadran

b. Pengambilan Sampel Sedimen Padang Lamun


Sampel sedimen diambil pada kisi-kisi 10x10 cm di transek kuadran (Gambar 6)
menggunakan pipa paralon dengan panjang 10 cm dan diameter 7 cm. Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara menekan pipa hingga tabung masuk sampai
kedalaman 10 cm, kemudian sampel sedimen dalam tabung dipindahkan ke dalam
kantong plastik (Agus et al., 2011; Rustam et al., 2019). Selain itu, dilakukan
pengambilan sampel sedimen untuk analisis bulk density. Sampel sedimen yang
digunakan untuk menghitung bulk density diambil dengan menggunakan pipa paralon
dengan diameter 1,38 cm dan panjang 10 cm, pada kisi-kisi 10 cm di transek kuadran.

Gambar 6. Area pengambilan sampel sedimen untuk pengukuran karbon organik dan
bulk density pada transek kuadran. C menunjukkan tempat pengambilan
sampel untuk analisis carbon organik, BD menunjukkan tempat
pengambilan sampel untuk analisis bulk density

12
c. Preparasi Sampel
Sebelum dilakukan pengujian karbon organik, terlebih dahulu dilakukan preparasi
sampel. Preparasi sampel dilakukan dengan tujuan sampel yang telah didapatkan di
lapangan dapat menjadi bahan yang siap untuk dianalisis.

1) Sampel Biomassa Lamun


Preparasi sampel biomassa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Biomassa lamun dibersihkan dari sisa-sisa sedimen dan epifit yang masih
menempel.
b) Biomassa lamun dipisahkan berdasarkan jenisnya.
c) Kemudian, biomassa lamun yang telah dipisahkan per-jenisnya dipisahkan
kembali menjadi 2 bagian yaitu biomassa bagian atas (batang dan daun) dan
biomassa bagian atas (rimpang dan akar).
d) Sampel yang telah dipisahkan tersebut diukur berat basahnya menggunakan
timbangan digital.
e) Sampel kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60-900C hingga
mencapai berat konstan.
f) Sampel yang telah dikeringkan diukur berat keringnya.
g) Sampel yang telah ditimbang kemudian digerus menggunakan lumpang dan alu.

2) Sampel Sedimen.
Tahapan yang dilaksanakan pada preparasi sampel sedimen adalah sebagai
berikut:
a) Sampel sedimen dibersihkan dengan memisahkan biomassa lamun yang yang
ada pada sampel sedimen.
b) Sedimen dikeringudarakan hingga kadar air yang terdapat pada sampel sedimen
hilang.
c) Sampel sedimen yang dipersiapkan untuk dianalisis bulk density-nya dimasukkan
kedalam oven dengan suhu 105 0C hingga mencapai berat konstan bersama
tabungnya.
d) Sampel yang telah dikeringkan di dalam oven dipisahkan dengan tabungnya
kemudian ditimbang beratnya.
e) Sampel yang telah dikeringudarakan disaring menggunakan ayakan dengan mess
size 0,25 µm.

d. Pengukuran Karbon Organik


Pengukuran stok karbon baik pada biomassa maupun sedimen dilakukan dengan
menggunakan metode Walkley and Black atau pengabuan basah (Fourqurean et al.,

13
2014). Prinsip yang digunakan pada metode ini yaitu menghilangkan bahan organik
dengan melalui proses pengasaman dengan reaksi oksidasi. kemudian dilanjutkan
dengan proses titrasi perhitungan sisa asam setelah bahan organik teroksidasi
(Rustam et al., 2019). Metode Walkley and Black dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut (Schumacher, 2002):
1) Sampel (0,25 gram untuk biomassa lamun, dan 1 gram untuk sedimen)
dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 5 ml larutan
K2Cr2O7
2) Erlenmeyer dimasukkan kedalam lemari asam, kemudian ditambahkan 5 ml
larutan H2SO4.
3) Larutan didiamkan selama 30 menit, hingga suhu larutan menurun.
4) Setelah suhunya berkurang (dingin), diencerkan dengan menambahkan aquades
ke dalam erlenmeyer hingga larutan mencapai titik 100 ml.
5) Selanjutnya, dimasukkan 5 tetes larutan indikator difenilamin.
6) Dititrasi menggunakan larutan FeSO4 0,25 N sambil erlemeyer terus diputar-putar
hingga warna larutan menjadi kehijauan.
7) Penambahan larutan FeSO4 dicatat untuk dimasukkan kedalam rumus
perhitungan kandungan karbon organik.
Rumus menghitung kandungan karbon organik adalah sebagai berikut:
(A − B). FeSO4 12
C= X X 100%
gr Sampel 4000
Dimana: C= kandungan karbon organik (%), A= volume titrasi sampel (ml), B= volume
titrasi blanko (ml), dan 12/4000= mili equivalent berat dari C.

e. Perhitungan Stok Karbon Biomassa Lamun


Kandungan karbon dihitung setelah berat kering dan analisis kandungan karbon
organik biomassa dianalisis. Kandungan karbon dapat dihitung dengan persamaan
(Fourqurean et al., 2014):
Stok karbon = Berat kering (kg) /luas (m²) x % Corg

f. Perhitungan Stok Karbon Sedimen Padang Lamun


Sebelum perhitungan stok karbon sedimen padang lamun, pengukuran bulk
density dilakukan dengan membandingkan berat dan volume sedimen (Miyajima et al.,
2015). Volume sampel sedimen merupakan volume awal sedimen yang merupakan
hasil perkalian dari luasan alat yang digunakan. Berat kering sedimen didapatkan dari
pengeringan sampel dengan oven pada suhu 60 oC hingga berat konstan (Mashoreng,
Rani, et al., 2018). Nilai bulk density didapatkan dengan rumus sebagai berikut
(Kauffman & Donato, 2012):

14
Berat kering sampel (g)
Bulk density =
Volume sampel (m3 )

Perhitungan untuk mendapatkan besaran kandungan karbon dalam sedimen adalah


sebagai berikut (Kauffman & Donato, 2012):
Karbon sedimen A (g C han ) = Bulk density (g cm-3) x ketebalan sedimen (cm) x % C.

D. Analisis Data
Analisa statistik dilakukan dengan melakukan uji normalitas kolmogorov-smirnov
test, d’agostino and parson omnibus normality test, dan Shapiro-Wilk normality test
untuk menentukan apakah data yang diperoleh terdistribusi normal. Data yang tidak
terdistribusi secara normal ditransformasi, saat data masih tidak terdistribusi normal
maka untuk menentukan signifikansi perbedaan antar variabel dilakukan uji non-
parametrik dengan Kruskal-Wallis test (α=0.05) dan Dunns sebagai post test-nya.
Namun, data yang terdistribusi normal, langsung diuji Analysis of Variance (ANOVA)
dan Tukey sebagai post test-nya (α=0.05; CI 95%). Analisis statistik tersebut dilakukan
menggunakan perangkat lunak Gradpad Prism ver. 5.03.

15
IV. HASIL

A. Studi Pendahuluan
Secara umum, hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis
lamun (Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule univervis,
Syringodium isoetifolium, dan Cymodocea rotundata) dari 2 famili lamun
(Hydrocharitaceae dan Cymodoceaceae). Pada stasiun 1, ditemukan 6 jenis lamun,
yang didominasi oleh jenis S. isoetifolium. Pada stasiun 2, ditemukan 3 jenis lamun
yang didominasi oleh jenis T. hemprichii. Pada stasiun 3, ditemukan 3 jenis lamun
yang didominasi oleh jenis H. ovalis. Pada stasiun 4 ditemukan 4 jenis yang didominasi
oleh jenis S. isoetifolium (Gambar 7).

100 T. hemprichii H. ovalis


E. acoroides S. isoetifolium
85,98
H. uninervis C. rotundata
80
72,64
Komposisi jenis (%)

62,29
60

46,01

40 37,22

19,19
20 16,77 17,53
12,14
7,04 5,73 7,01 7,01
0,22 2,24 0,99
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun

Gambar 7. Komposisi jenis lamun berdasarkan kerapatan pada setiap stasiun


Hasil perhitungan kerapatan lamun menunjukkan bahwa pada stasiun 1
kerapatan lamun paling tinggi terdapat pada lamun jenis S. isoetifolium dengan nilai
kerapatan 3551±486 ind m-2, dan yang kerapatan lamun paling rendah adalah lamun
jenis E. acoroides dengan nilai kerapatan 11±11 ind m-2 (Gambar 8a). Pada stasiun 2
kerapatan lamun paling tinggi terdapat pada lamun jenis T. hemprichii dengan nilai
kerapatan 342±82 ind m-2, dan yang kerapatan lamun paling rendah adalah lamun
jenis E. acoroides dengan nilai kerapatan 28±15 ind m-2 (Gambar 8b). Pada stasiun 3
kerapatan lamun paling tinggi terdapat pada lamun jenis H. ovalis dengan nilai
kerapatan 100±100 ind m-2, dan yang kerapatan lamun paling rendah adalah lamun
jenis T. hemprichii dengan nilai kerapatan 49±37 ind m-2 (Gambar 8c). Pada stasiun 4
kerapatan lamun paling tinggi terdapat pada lamun jenis S. isoetifolium dengan nilai
kerapatan 534±369 ind m-2, dan yang kerapatan lamun paling rendah adalah lamun
jenis T. hemprichii dengan nilai kerapatan 8±8 ind m-2 (Gambar 8d).

16
5000
A 1000
B

4000 800
Kerapatan lamun (ind m -2)

Kerapatan lamun (ind m )


-2
3000 600

2000 400

1000 200

0 0
T. hemprichii E. acoroides H. uninervis H. ovalis S. isoetifolium C. rotundata T. hemprichii E. acoroides C. rotundata
Jenis lamun Jenis lamun
1000 1000
C D
Kerapatan lamun (ind m )

800 800
-2

Kerapatan lamun (ind m )


-2
600 600

400 400

200 200

0 0
T. hemprichii H. uninervis H. ovalis T. hemprichii H. uninervis S. isoetifolium C. rotundata
Jenis lamun Jenis lamun

Gambar 8. Kerapatan lamun setiap jenis pada (A) stasiun 1, (B) stasiun 2, (C) stasiun
3, dan (D) stasiun 4, (X±SE, N=54).

Hasil perhitungan persentase tutupan lamun menunjukkan bahwa, stasiun 1


termasuk kategori kondisi tutupan lamun sedang (50,16%), stasiun 2 termasuk kategori
kondisi tutupan lamun tinggi (63,49%), stasiun 3 dan stasiun 4 termasuk kategori
kondisi tutupan lamun jarang (18,30% dan 3,73%) (Gambar 9).

80
sangat padat

60
Tutupan lamun (%)

padat

40
sedang

20
jarang

0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun

Gambar 9. Persentase tutupan lamun pada setiap stasiun (X±SE, N=252).

17
B. Studi StokKarbon
1. Stok Karbon Biomassa Lamun
Hasil uji statistik stok karbon yang mampu disimpan oleh masing-masing jenis
lamun baik pada biomassa bagian atasnya maupun biomassa bagian bawahnya
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara setiap jenis lamun
(P>0,05) (Gambar 10).

25
A

20
Stok karbon (gC m )
-2

15

ns
10

5
ns
ns
ns ns
ns
0
T. hemprichii E. acoroides H. uninervis H. ovalis S. isoetifoliumC. rotundata
25
B ns

20
Stok karbon (gC m )
-2

15

10
ns

ns ns
5 ns

ns
0
T. hemprichii E. acoroides H. uninervis H. ovalis S. isoetifolium C. rotundata
Jenis lamun

Gambar 10. Stok karbon biomassa lamun setiap jenis pada (A) biomassa bagian atas
dan (B) biomassa bagian bawah (X±SE, N=48). ns menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang nyata secara statisik (p>0,05).

Hasil uji statistik untuk setiap stasiun menunjukkan bahwa pada biomassa lamun
bagian atas tidak terdapat perbedaan yang nyata antar setiap stasiun (P>0,05)
(Gambar 11.a), sedangkan hasil uji stastistik untuk setiap stasiun pada biomassa
lamun bagian bawah, terdapat perbedaan yang nyata antara stasiun 2 dan stasiun 3
(P<0,05) (Gambar 11.b).

18
25
A

Stok karbon (gC m ) 20


-2

15

10
ns

ns ns ns

0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
25
B
ns
20
Stok karbon (gC m )
-2

15

10

ns
5
* ns

0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun

Gambar 11. Stok kabon biomassa lamun setiap stasiun pada (a) biomassa bagian atas
dan (b) biomassa bagian bawah (X±SE, N=48). ns menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang nyata secara statistik (p>0,05) dan * menujukkan
adanya perbedaan nyata secara statistik (p<0,05).

Kontribusi stok karbon pada stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 didominasi oleh
jenis yang sama pada biomassa bagian atas dan biomassa bagianbawahnya, berbeda
dengan stasiun 4 yang kontribusi stok ka rbonnya didominasi oleh jenis yang berbeda
pada biomassa bagian atas dan biomassa bagian bawahnya. Stasiun 1 kontribusi stok
karbon didominasi oleh lamun jenis T. hemprichii. Kontribusi stok karbon pada stasiun
2 didominasi oleh lamun jenis E. Kontribusi stok karbon pada stasiun 3 didominasi
oleh lamun jenis T. hemprichii. Kontribusi stok karbon pada stasiun 4 didominasi oleh
lamun jenis S. isoetifolium pada biomassa lamun bagian atas dan didominasi oleh
lamun jenis H. uninervis pada biomassa lamun bagian bawah (Gambar 12).

19
100
A
T. hemprichii H. ovalis
82.17 E. acoroides S. isoetifolium
Persentase stok karbon (%) 80 H. uninervis C. rotundata
68.76

60
54.07

40.58
40
31.13
28.94
24.39 24.06

20
12.09
9.32
3.94 5.22 5.74 4.22
3.09 2.29
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

100
B

80 75.43
Persentase stok karbon (%)

60 56.93

38.61
40 37.37
33.51 33.32
29.33
26.95

20.28
20 16.35 16.54

4.46 4.29
2.07 2.20 2.36

0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun

Gambar 12. Komposisi jenis lamun pada setiap stasiun untuk stok karbon (a) biomassa
bagian atas, dan (b) biomassa bagian bawah.

Stok karbon total biomassa lamun sebesar 102,06±17,6 gC m-2 atau 1,021±0,176
Mg ha-1. Stok karbon pada biomassa bagian atas lebih rendah dibandingkan dengan
biomassa bagian bawah. E. acoroides memberikan kontribusi stok karbon yang paling
besar yaitu 38,44%, sedangkan H. ovalis memberikan kontribusi stok karbon yang
paling rendah yaitu 0,75% (Tabel 3).

Tabel 3. Stok karbon total lamun (Mg ha-1)


Stok karbon lamun (Mg ha-1)
Total Kontribusi
Jenis Biomassa Biomassa bagian (Mg ha-1) (%)
bagian atas bawah
T. hemprichii 0,103±0,01 0,233±0,036 0,335±0,046 32,85
E. acoroides 0,131±0,028 0,261±0,059 0,392±0,086 38,44
H. uninervis 0,026±0,004 0,093±0,012 0,119±0,016 11,62
H. ovalis 0,004±0,001 0,004±0,001 0,008±0,001 0,75
S. iseotifolium 0,056±0,005 0,056±0,009 0,082±0,014 8,07
C. rotundata 0,019±0,003 0,065±0,010 0,084±0,013 8,26
Total 0,309±0,051 0,712±0,125 1,021±0,176 100

20
2. Korelasi antara Kerapatan Lamun dengan Stok Karbon Biomassa Lamun
Hasil analisis korelasi (r) menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara
kerapatan lamun dan stok karbon biomassa lamun pada setiap jenis berbeda-beda.
Koefisien korelasi antara kerapatan dan stok karbon lamun jenis T. hemprichii; E.
acoroides; H. uninervis; H. ovalis; S. isoetifolium; C. rotundata secara berturut-turut
yaitu r 0,84; 0,93; 0,98; 0,92; 0,94; 0,98. Secara statistik nilai koefisien korelasi yang
diperoleh menunjukkan bahwa kerapatan lamun dan stok karbon biomassa lamun
pada setiap jenis lamun berkorelasi kuat atau memiliki hubungan yang kuat (Gambar
12).

100
40 B
A

Stok karbon (gC m )


80

-2
Stok karbon (gC m )
-2

30
y= 0,0489x + 1,0654 60 y = 1,1114x + 2,0825
R² = 0,8102 R² = 0,4749
20 40

10 20

0
0 0 10 20 30 40 50
0 100 200 300 400 500
Kerapatan lamun (ind m-2)
Kerapatan lamun (ind m -2)

15 2.0
C D
Stok karbon (gC m )

Stok karbon (gC m )


-2

-2

1.5
10

1.0

5 y = 0,0382x - 0,3103
R² = 0,8197 0.5 y = 0,0033x + 0,1622
R² = 0,3805
0 0.0
0 100 200 300 400 0 100 200 300 400
Kerapatan lamun (ind m -2) Kerapatan lamun (ind m -2)

15 20
E F
Stok karbon (gC m )
Stok karbon (gC m )

-2
-2

15
10
10

5
5
y = 0,0022x + 2,2643 y = 0,0296x + 0,127
R² = 0,325 R² = 0,704
0 0
0 1000 2000 3000 4000 0 100 200 300 400 500
-2
Kerapatan lamun (ind m ) -2 Kerapatan lamun (ind m )

Gambar 12. Grafik korelasi kerapatan dan stok karbon lamun jenis (A) T. hemprichii,
(B) E. acoroides, (C) H. uninervis, (D) H. ovalis, (E) S. isoetifolium, dan
(F) C. rotundata

21
3. Korelasi antara Persentase Tutupan Lamun dengan Stok Karbon Biomassa
Lamun

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa persentase tutupan lamun memiliki


koefisies korelasi r=0,59 yang secara statistik berarti persentase tutupan lamun dan
stok karbon biomassa lamun memiliki korelasi yang sedang. (Gambar 11).

20

y = 0,0903x + 2,5171
Stok karbon (gC m )
-2

15 R² = 0,3320

10

0
0 20 40 60 80
Persen tutupan lamun (%)

Gambar 11. Grafik korelasi persentase tutupan dengan stok karbon lamun

4. Stok Karbon Sedimen Padang Lamun


Hasil analisis statistik untuk stok karbon yang tersimpan pada sedimen padang
lamun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar stasiun (p>0,05). Stok karbon
tersebut diperoleh dari karbon organik dengan kisaran 1,12-1,74% dan bulk density
yang berkisar antara 0,60-1,05 gC m-3 (Tabel 4).
Tabel 4. Bulk density, kandungan karbon organik, dan stok karbon sedimen padang
lamun (X±SE, N=48)
Bulk density Stok karbon
Stasiun C-org (%)
(g m-3) gC m-2
Mg ha-1
1 0,97 1,50 1458,88±159,45 14,59±1,59
2 1,05 1,72 1804,64±56,57 18,05±0,57
3 0,60 1,12 1014,73±521,79 10,15±5,22
4 1,01 1,74 1757,02±121,41 17,57±1,21

22
V. PEMBAHASAN

Stok karbon lamun tersimpan pada 3 kompartemen, yaitu pada biomassa lamun
bagian atas (daun dan batang), biomassa lamun bagian bawah (akar dan rimpang),
serta sedimen tempat tumbuh lamun tersebut. Di Pulau Kodingareng Lompo,
didapatkan 6 jenis lamun yang didominasi oleh lamun jenis Syringodium isoetifolium
(famili Cymodoceaceae) dan Thalassia hemprichii (famili Hydrocharitaceae).
Syringodium isoetifolium memiliki kerapatan yang paling tinggi dibanding jenis lainnya,
walaupun hanya dijumpai pada 2 stasiun yaitu pada stasiun 1 dan stasiun 4. Lamun
jenis S. isoetifolium pada kedua stasiun dijumpai pada transek dengan substrat
berpasir dan dangkal yaitu pada kedalaman 20-150 cm, dekat dengan daerah terumbu
karang. Mckenzie et al. (2007) menuliskan bahwa lamun jenis S. isoetifolium
merupakan jenis lamun yang hidup pada substrat berlumpur hingga berpasir, pada
daerah subtidal dengan maksimal kedalaman 6 meter dan daerah sekitar tepian
terumbu karang. Lamun jenis T. hemprichii adalah jenis lamun yang kerapatannya juga
tinggi dibanding jenis lain. T. hemprichii dapat hidup pada semua jenis substrat, dari
substrat kasar (pecahan karang) hingga substrat lunak (pasir berlumpur) (den Hartog,
1970) sehingga ditemukan pada semua stasiun pengamatan (Gambar 7).
Lamun Jenis Enhalus acoroides memiliki kerapatan yang paling rendah. Hal
tersebut disebabkan oleh morfologinya yang lebih besar dari lamun jenis lain, sehingga
jumlah tegakannya sedikit. Sedikitnya jumlah tegakan lamun jenis E. acoroides
disebabkan oleh jarak internode-nya lebih panjang dibanding lamun jenis lainnya. Hal
tersebut juga sama yang dituliskan oleh Fauziah (2004), bahwa semakin besar ukuran
lamun, jumlah individu yang dapat mendiami suatu luasan tertentu akan semakin
berkurang. Lamun jenis H. ovalis juga termasuk jenis lamun yang kerapatannya rendah
dan hanya ditemukan pada 2 stasiun, yaitu stasiun 1 dan stasiun 3. Kerapatannya
rendah karena H. ovalis memiliki rimpang yang sangat tipis sehingga sangat mudah
patah dan sistem perakarannya yang sederhana sehingga dapat dengan mudah
terlepas dari sedimennya Tomascik et al. (1997) menuliskan bahwa jenis ini sulit untuk
menstabilisasi sedimennya karena sistem perakarannya sederhana.
Stok karbon yang tersimpan pada setiap jenis lamun baik pada biomassa lamun
bagian atas maupun pada biomassa lamun bagian bawah tidak berbeda nyata
disebabkan oleh faktor kerapatan dan morfologi lamun. Semakin tinggi kerapatan jenis
lamun, maka stok karbonnya juga semakin tingi. Namun kerapatan yang tinggi juga
harus disertai dengan morfologi lamun yang besar pula, untuk mengakumulasi karbon
pada biomassanya. Lamun jenis E. acoroides yang memiliki morfologi yang lebih besar
dibandingkan jenis lainnya memiliki kerapatan yang lebih rendah dibandingkan jenis

23
lainnya, lamun jenis S. isoetifolium yang memiliki morfologi yang kecil, namun memiliki
kerapatan yang tinggi. Begitu pula yang terjadi pada jenis yang lainnya (Gambar 8).
Hal tersebut sama yang dituliskan oleh Supriadi et al. (2013) bahwa Stok karbon
didapatkan dengan pendekatan hubungan antara kerapatan, biomassa dan karbon
organik. Apabila masing-masing variabel memiliki nilai yang besar maka stok karbon
yang didapatkan juga besar.
Setiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa stok karbon yang tersimpan di
biomassa lamun bagian bawah stasiun 3 berbeda nyata dengan stasiun 2. Hal tersebut
disebabkan oleh rendahnya stok karbon yang tersimpan pada stasiun 3 diakibatkan
oleh oleh lamun jenis H. ovalis yang dominan, sedangakan stasiun 2 didominasi oleh
lamun jenis T. hemprichii dan terdapat lamun jenis E. acoroides (Gambar 10). Secara
morfologi lamun jenis H. ovalis memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan
dengan lamun jenis lainnya apalagi jenis E. acoroides dan T. hemprichii yang
ukurannya lebih besar dibandingkan jenis lamun lainnya. Tomascik et al. (1997) juga
menuliskan bahwa lamun jenis H. ovalis juga memiliki rimpang yang sangat mudah
patah dan akar yang tidak dapat menstabilisasi sedimen dengan baik, sehingga
Supriadi (2014) mengatakan bahwa lamun yang tidak dapat menstabilisasi
sedimennya dengan baik mudah untuk terlepas biomassanya hingga karbonnyapun
terlepas. Secara statistik, hubungan yang terjadi antara kerapatan lamun dan stok
karbon lamun pada setiap jenis menunjukkan hubungan yang kuat (0,80 ≤ r ≤ 1,00)
(Sugiono, 2007). Artinya, kerapatan lamun berkorelasi kuat dengan stok karbon yang
tersimpan pada biomassa lamun. Korelasi yang terjadi juga menunjukkan korelasi yang
positif, yang berarti bahwa semakin tinggi kerapatan lamun maka stok karbon yang
tersimpan pada biomassa lamun juga semakin meningkat.
Selain karena faktor kerapatan dan morfologi, perbedaan yang nyata antara stok
karbon biomassa yang tersimpan pada biomassa lamun bagian bawah stasiun 2 dan
stasiun 3 juga disebabkan oleh persentase tutupan lamun. Persentase tutupan lamun
pada stasiun 2 adalah yang paling tinggi dan termasuk dalam kondisi tutupan lamun
padat, sedangkan stasiun 3 memiliki kondisi tutupan lamun yang jarang. Lamun yang
memiliki persentase tutupan lamun yang tinggi disebabkan oleh kerapatan yang tinggi
atau juga dapat disebabkan oleh morfologi lamun yang besar. Secara statistik,
hubungan yang terjadi antara persentase tutupan lamun dengan stok karbon biomassa
lamun menunjukkan hubungan yang positif, dan berkorelasi sedang (0,40 ≤ r ≤ 0,59)
(Sugiono, 2007). Artinya semakin tinggi persentase tutupan lamun maka stok karbon
biomassa lamun juga semakin meningkat, dan memiliki hubungan yang sedang. Hal
tersebut sama yang didapatkan oleh Mashoreng et al. ( 2018), bahwa stok karbon
lamun meningkat seiring dengan meningkatnya persentase tutupan lamun.

24
Secara keseluruhan, total stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun yaitu
102,1 gCm-2 atau 1,021 Mg ha-1 dengan rata-rata setiap jenis 18,61 gC m-2 atau 0,186
Mg ha-1. Stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun bagian atas lebih rendah
dibandingkan dengan stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun bagian
bawah(Tabel 3). Hal tersebut terjadi karena lamun cenderung mengembangkan
biomassa bagian bawahnya agar tetap kokoh sehingga aliran karbonnya lebih besar
dibawa ke biomassa bagian bawahnya. Selain itu, biomassa bagian atas yang berupa
daun mudah untuk terlepas atau patah sehingga menjadi serasah dan juga
dimanfaatkan oleh herbifora yang berasosiasi dengan lamun sebagai makanannya.
Nilai stok karbon yang didapatkan masih berupa nilai karbon dalam satuan perhektar
karena tidak dilakukan pemetaan untuk memetakan dan menghitung luasan padang
lamun yang ada di Pulau Kodingareng Lompo. Hal tersebut didukung oleh hasil yang
didapatkan Aronson et al (2009). Alcoverro et al. (2001) juga menuliskan bahwa Jenis
lamun yang secara morfologi berukuran besar cenderung mengembangkan biomassa
yang tinggi di bawah substrat, dan karena itu mempunyai kapasitas untuk
mengakumulasi karbon yang lebih tinggi. Hal yang samajuga didapatkan oleh Lavery
et al. (2013) dan menuliskan bahwa tingginya cadangan karbon di jaringan lamun
bagian bawah substrat sangat penting karena merupakan karbon yang terkunci di
sedimen. Disamping itu proporsi simpanan karbon di bawah substrat mempertinggi laju
penguburan karbon organik di sedimen.
Nilai stok karbon tersebut lebih kecil dibandingkan yang didapatkan oleh Supriadi
et al. (2014) di Pulau Barrang Lompo, yaitu 1,148 Mg ha-1, karena Pulau Barrang
Lompo didominasi oleh lamun jenis E. acoroides dan T. hemprichii. Kedua jenis
tersebut juga memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan jenis lain. Namun,
nilai stok karbon yang didapatkan lebih besar dibandingkan dengan yang didapatkan
oleh Graha et al, (2016) di Pantai Sanur yaitu 0,207 Mg ha-1. Pantai Sanur memiliki
stok karbon yang rendah diakibatkan oleh kerapatan lamunnya yang rendah akibat
aktifikas masyarakat yang menjadikan Pantai Sanur sebagai kawasan pariwisata,
sehingga ekosistem lamunnyapun terganggu.
Kompartemen lain yang menyimpan stok karbon di padang lamun adalah
sedimen. Stok karbon yang tersimpan pada sedimen cenderung sama pada setiap
stasiun. Hal tersebut terjadi karena jenis sedimen pada setiap stasiun hampir sama,
yaitu didominasi oleh pasir halus pada semua stasiun pengamatan. Selain faktor jenis
sedimen, komposisi jenis yang hampir sama pada setiap stasiun juga menjadikan
sedimen pada setiap stasiun tidak berbeda dalam kemampuannya menyimpan karbon.
Syarif-B (2016) menuliskan bahwa sedimen yang ada di Pulau Kodingareng Lompo
cenderung sama, yaitu didominasi oleh pasir halus, dan sedikit pasir sedang dan pasir

25
kasar. Hal tersebut juga sama yang dikatakan oleh Mashoreng et al. (2018); Nybakken
(1988) bahwa faktor komposisi jenis lamun yang berbeda akan memberikan nilai stok
karbon yang berbeda, juga dituliskan bahwa ukuran sedimen yang berbeda akan
membuat kemampuan sedimen mengikat karbon berbeda, begitupun sebaliknya.
Apabila ukuran sedimen cenderung sama, maka kemampuan mengikat sedimennya
juga sama.
Stok karbon yang tersimpan pada sedimen padang lamun cenderung tinggi
apabila dibandikan dengan stok karbon yang tersimpan pada biomassa lamun, sejalan
dengan perkembangan dan keanekaragaman lamun. Secara geografis, di Indo-pasifik
telah dilakukan beberapa penelitian yang menghitung stok karbon pada sedimen
padang lamun (Lavery et al., 2013; Mashoreng et al., 2013; Mashoreng et al., 2018;
Miyajima et al., 2015; Rozaimi et al., 2017; Rustam et al., 2017; Samper-Villarreal et
al., 2018). Namun stok karbon yang tersimpan pada sedimen padang lamun di daerah
tropis cenderung lebih tinggi (Tabel 5).
Tabel 5. Perbandingan stok karbon pada sedimen lamun di beberapa wilayah
Stok Karbon Sedimen
Lokasi Rujukan
(Mg ha-1)
Teluk Moreton 3,3 Samper-Villarreal et al. (2018)
Australia Selatan 4,2 Lavery et al. (2013)
Australia Barat 4,8 Lavery et al. (2013)
Victoria Australia 5,7 Lavery et al. (2013)
Pulau Seto 6,7 Miyajima et al. (2015)
Pulau Barrang Lompo 13,5 Mashoreng et al. ( 2013)
Halmahera Timur 10,9 Mashoreng et al. (2018)
Pulau Ishigaki 11,7 Miyajima et al. (2015)
Thailand Selatan 12,5 Miyajima et al. (2015)
Johor 12,4 Rozaimi et al. (2017)
Wellington 16,5 Samper-Villarreal et al. (2018)
Pulau Bauluang 49 Rustam et al. (2017)
Pulau Sarapo Keke 58 Rustam et al. (2017)
Pulau Kapoposang 61 Rustam et al. (2017)
Pulau Kodingareng Lompo 15,1 Penelitian ini

26
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Jenis lamun yang tumbuh di Pulau Kodingareng Lompo terdiri dari 6 jenis lamun
(Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis,
Syringodium isoetifolium, dan C. rotundata, dari 2 famili lamun (Hydrocaritaceae dan
Cymodoceaceae). Kerapatan lamun yang paling tinggi diperoleh dari jenis S.
isoetifolium dan yang terendah diperoleh dari jenis E. acoroides. Persentase tutupan
lamun termasuk dalam kategori jarang hingga padat dengan persentase tutupan lamun
3,73-63,49%. Stok karbon yang mampu disimpan oleh lamun pada masing-masing
kompartemen lamun di Pulau Kodingareng Lompo yaitu: pada biomassa bagian atas
0,309 Mg ha-1, pada biomassa bagian bawah 0,719 Mg ha-1, dan 15,1 Mg ha-1 pada
sedimen padang lamun.

B. Saran
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan pemetaan luasan
padang lamun, baik keseluruhan maupun luasan distribusi masing-masing jenis agar
stok karbon total padang lamun di suatu daerah dapat diperoleh. Penghitungan
serapapan karbon lamun, laju produksi serasah, laju pertumbuhan daun, dan laju
komsumsi serasah juga disarankan untuk dilaksanakan agar dapat diperoleh Neraca
karbon lamun.

27
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Hairiah, K., & Mulyani, A. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah
Gambut, Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional
Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian (BBSDLP). Bogor.

Alcoverro, T., Manzanera, M., & Romero, J. 2001. Annual metabolic carbon balance of
the seagrass Posidonia oceanica: the importance of carbohydrate reserves.
Marine Ecology Progress Series, vol. 211: 105–116.
https://doi.org/10.3354/meps211105

Aminudin, S. 2008. Kajian Potensi Cadangan Karbon pada Pengusahaan Hutan


Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten
Gunungkidul). Tesis. Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan, Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor.

Aronson, R. B., Beer, S., Graham, M., & Mayor, J. 2009. The Management of Natural
Coastal Carbon Sinks. D. d’A Laffoley & G. Grimstditch, (Eds.). IUCN.
Switzerland.

Beer, S., Bjork, M., Hellblom, F., & Axelsson, L. 2002. Inorganic Carbon Utilization in
Marine Angiosperms (seagrasses) Sven. Funct. Plant Biol., vol 29: 349–354.

Bolinder, M. A., VandenBygaart, A. J., Gregorich, E. G., Angers, D. A., & Janzen, H. H.
2006. Modelling Soil Organic Carbon Stock Change For Estimating Whole-Farm
Greenhouse Gas Emissions. Canadian Journal of Soil Science. p 419–429.
https://doi.org/10.4141/s05-102

Borges, A. V., Delille, B., & Frankignoulle, M. 2005. Budgeting Sinks and Sources of
CO2 in the Coastal Ocean: Diversity of Ecosystem Counts. Geophysical Research
Letters, vol. 32: 1–4. https://doi.org/10.1029/2005GL023053

Borges, A. V. 2011. Present Day Carbon Dioxide Fluxes in the Coastal Ocean and
Possible Feedbacks Under Global Change. In P. Duarte & J. M. Santana-Casiano
(Eds.), Oceans and the Atmospheric Carbon Content. https://doi.org/10.1007/978-
90-481-9821-4

Brath, B., Friesen, T., Guerard, Y., Jacquesbrissette, C., Lindman, C., Lockridge, K.,
Walke, B. J. 2015. Climate Change and Resource Sustainability An Overview for
Actuaries: Climate Change and Sustainability Committee. In Canadian Institute of
Actuaries. https://doi.org/10.1001/jamaneurol.2014.463

den Hartog, C. 1970. The Sea-grasses of The World. Verhandelingen Der Koninklijke
Nederlandse Akademie Van Wetenschappen Afd. Natuurkunde Tweede Reeks,
vol. 59: 12–32.

Duarte, C. M., Middelburg, J. J., & Caraco, N. 2005. Major Role of Marine Vegetation
on the Oceanic Carbon Cycle. Biogeoscience, no. 2: 1–8.

Fauziah, I. M. 2004. Sturktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbar Sanur.
Skripsi. Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Fourqurean, J., Johnson, B., Kauffman, J. B., Kennedy, H., Emmer, I., Howard, J.,
Serrano, O. 2014. Conceptualizing the Project and Developing a Field

28
Measurement Plan. In J. Howard, S. Hoyt, K. Isensee, E. Pidgeon, & M.
Telszewski (Eds.), Coastal Blue Carbon: Methods for Assessing Carbon Stocks
and Emissions Factors in Mangroves, Tidal Salt Marshes, and Seagrass
Meadows. Conservation International, Intergovernmental Oceanographic
Commission of UNESCO, International Union for Conservation of Nature.
Arlington, Virginia, USA. pp. 25–38.

Fourqurean, J. W., Duarte, C. M., Kennedy., H., Marbà., N., Holmer, M., Mateo, M. A.,
Serrano, O. 2012. Seagrass Ecosystems as a Globally Significant Carbon
Stock. Nature Geoscience. viewed 19 05 2019
<https://www.mongabay.co.id/2012/05/23/20-miliar-ton-karbon-tersimpan-di-
padang-lamun-dunia/>

Goel, A., & Bhatt, R. 2012. Causes and consequences of global warming. International
Journal of Science Biotechnology and Pharma Research, vol. 1, no.1: 27–31.

Graha, Y. I., Arthana, I. W., & Karang, I. W. G. A. 2016. Simpanan Karbon Padang
Lamun di Kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. Ecotrophic, vol. 10, no. 1: 46–
53.

Hernawan, U. E., Sjafrie, N. D. M., Supriyadi, I. H., Suyarso, Iswari, M. Y., Anggraini,
K., & Rahmat. 2017. Status Padang Lamun Indonesia 2017. Puslit Oseanografi-
LIPI. Jakarta.

Hutomo, M., & Azkab, M. H. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal.
Oseana, vol 12, no 1: 13–23.

IPCC. 2007. Synthesis Report An assesment of Intergovernmental Panel of Climate


Change.

Irawan, A. 2017. Potensi Cadangan dan Serapan Karbon oleh Padang Lamun di
bagian Utara dan Timur Pulau Bintan. Oseanologi Dan Limnologi Di Indonesia, vol
2, no 3: 35–48.

Kamaruddin, zakiah S., Rondonuwu, S. B., & Maabuat, P. V. 2016. Keragaman Lamun
(Seagrass) di Pesisir Desa Lihunu Pulau Bangka Kecamatan Likupang Kabupaten
Minahasa Utara, Sulawesi Utara Jurusan. vol 5, no 1: 20–24. Retrieved from
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo%0AKeragaman

Kauffman, J. B., & Donato, D. C. 2012. Protocols for the Measurement, Monitoring and
Reporting of Structure, Biomass and Carbon Stocks in Mangrove Forests.
Retrieved from http://www.cifor.org/library/3749/protocols-for-the-measurement-
monitoring-and-reporting-of-structure-biomass-and-carbon-stocks-in-mangrove-
forests

Kenworthy, W. J., Wyllie-Echeverria, S., Coles, R. G., Pergent, G., & Pergent-Martini,
C. 2000. Seagrass Consevation Biology: An Interdisciplinary Science for
Protection of the Seagrass Biome. In A. D. W. Larkum, R. . Orth, & C. M. Duarte
(Eds.), Seagrass: Biology, Ecology, and Conservation. Springer. Nederland. pp.
595–623.

Khouw, A. S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Pusat
Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Jakarta.

Kikuchi, T. 1974. Japanese Contributions on Consumer Ecology in Eelgrass (Zostera


Marina L.) Beds, with Special Reference to Trophic Relationship and Resources in
Inshore Fisheries. Aquaculture, vol 4: 145–160.

29
Kiswara, W., & Hutomo, M. 1985. Habitat Sebaran Geografik Lamun. Oseana, vol 10,
no 1: 21–30.

KNLH [Kementerian Negara Lingkungan Hidup]. 2007. Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim. In Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

Kumar, R., Pandey, S., & Pandey, A. 2006. Plant Roots and Carbon Sequestration.
Current Science, vol 91, no 7: 885–890.

Kuo, J. 2007. New Monoecious Seagrass of Halophila sulawesii (Hydrocharitaceae )


from Indonesia. Aquatic Botany, vol 87: 171–175.
https://doi.org/10.1016/j.aquabot.2007.04.006

Kuriandewa, T. E., Kiswara, W., Hutomo, M., & Soemodihardjo, S. 2003. The
Seagrasses of Indonesia (E. P. I. Green & F. T. Short, Eds.). University of
California Press. Barkeley.

Lavery, P. S., Mateo, M. Á., Serrano, O., & Rozaimi, M. 2013. Variability in the Carbon
Storage of Seagrass Habitats and Its Implications for Global Estimates of Blue
Carbon Ecosystem Service. Plos one, vol 8, no 9.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0073748

Lembi, C. 2014. The Biology and Management of Algae. In L. A. Gettys, W. T. Haller, &
D. G. Petty (Eds.), Biology and Control of Aquatic Plants A Best Management
Practices Handbook. Retrieved from www.aquatics.org. pp. 97–112.

Mannes, T. C. 2009. Forest Management and Climate Change Mitigation: Good Policy
Requires Careful Thought. Journal of Forestry, pp. 119–124.

Marba, N., Holmer, M., & Barron, C. 2005. Seagrass Beds and Coastal
Biogeochemistry. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation, pp 135–157.
https://doi.org/10.1007/978-1-4020-2983-7_6

Mashoreng, S., Isyrini, R., & Gosari, B. A. J. 2013. Estimasi Potensi Penyerapan
Karbon oleh Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar. In Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Hasanuddin.

Mashoreng, S., Rani, C., Haris, A., Faizal, A., & Yasir, I. 2018. Stok Karbon pada
Bagian Atas Sedimen Area Padang Lamun di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Seminar Nasional Tahunan XV Hasil Penelitiian Perikanan Dan Kelautan, pp. 27–
33.

Mashoreng, S., Selamat, M. B., Amri, K., & La Nafie, Y. A. 2018. Hubungan Antara
Persen Penutupan dan Simpanan Karbon Lamun. Jurnal Akuatika Indonesia, vol
3, no 1.

McKenzie, L. J. 2003. Guidelines for the Rapid Assessment and Mapping of Tropical
Seagrass Habitats. (1st ed.). Seagrass-Watch HQ. Queensland.

McKenzie, L., Yaakub, S. M., & Yoshida, R. L. 2007. Seagrass-Watch Guidelines for
Team Seagrass Singapore Participants Len McKenzie (Ed.). Seagrass-Watch HQ.
Singapore.

Miyajima, T., Hori, M., Hamaguchi, M., Shimabukuro, H., Adachi, H., Yamano, H., &
Nakaoka, M. 2015. Global Biogeochemical Cycles. Global Biogeochemical
Cycles, pp. 397–415. https://doi.org/10.1002/2014GB004979.Received

30
Nellemann, C., Corcoran, E., Duarte, C. M., Valdes, L., De Young, C., Fonseca, L., &
Grimsditch, G. (Eds.). 2009. Blue Carbon. A Rapid Response Assessment. United
Nations Environment Programme, GRID-Arendal. Birkeland Trykkery. Norway.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara (3rd eds). Djambabatan. Jakarta.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu pendekatan ekologis H. M. E. Koesoebiono,


D. G. Bengen, M. Hutomo, & S. Sukardjo, (Eds.). PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

PIU [Project Implementation Unit]. 2015. Laporan Rencana Pengelolaan Pesisir


Terpadu (Integrated Coastal Management). Makassar.

Putra, I.A. 2017. Potensi Penyimpanan Karbon Lamun (Cymodocea serrulata) di


Perairan Pulau Poncan Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Fakultas
Perikanan dan Kelautan Universitas Riau.

Rahmawati, S., Irawan, A., Supriyadi, I. H., & Azkab, M. H. 2014. Panduan Monitoring
Padang Lamun (1st ed.) M. Hutomo & A. Nontji (Eds.). COREMAP CTI LIPI.
Jakarta.

Rappe, R. A. 2010. Population and Community Level Indicator in Assessment of Heavy


Metal Contamination in Seagrass Ecosystem. Coastal Marine Science, vol 34, no
1: 198–204.

Ribas-Ribas, M., Hernández-Ayón, J. M., Camacho-Ibar, V. F., Cabello-Pasini, A.,


Mejia-Trejo, A., Durazo, R., Siqueiros-Valencia, A. 2011. Effects of Upwelling,
Tides and Biological Processes on the Inorganic Carbon System of a Coastal
lagoon in Baja California. Estuarine, Coastal and Shelf Science. pp 367–376.
https://doi.org/10.1016/j.ecss.2011.09.017

Romimohtarto, K & S. Juwana. 2007. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut. Penerbit Djabatan. Jakarta. 540 p.

Rozaimi, M., Fairoz, M., Hakimi, T. M., Hamdan, N. H., Omar, R., Ali, M. M., & Tahirin,
S. A. 2017. Carbon stores from a tropical seagrass meadow in the midst of
anthropogenic disturbance. Marine Pollution Bulletin. vol 119, no 2: 253–260.
https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2017.03.073

Rustam, A., Adi, N. S., Daulat, A., Kiswara, W., Yusup, D. S., & Rappe, R. A. (Eds.).
2019. Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun (1st ed.). ITB
Press. Bandung.

Rustam, A., Kepel, T. L., Kusumaningtyas, M. A., Ati, R. N. A., Daulat, A., Suryono, D.
D., Hutahaean, A. A. 2015. Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di
P. Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Biologi Indonesia, vol 11, no 2: 233–
241.

Rustam, A., Sudirman, N., Ati, R. N. A., Salim, H. L., & Rahayu, Y. P. 2017. Seagrass
Ecosystem Carbon Stock in the Small Island: Case Study in Spermonde Island,
South Sulawesi, Indonesia. Jurnal Segara, vol 13, no 2: 97–106.

Samper-Villarreal, J., Mumby, P. J., Saunders, M. I., Roelfsema, C., & Lovelock, C. E.
2018. Seagrass Organic Carbon Stocks Show Minimal Variation Over Short Time
Scales in a Heterogeneous Subtropical Seascape. Estuaries and Coasts, vol 41,
no 6: 1732–1743. https://doi.org/10.1007/s12237-018-0381-z

Schumacher, B. A. 2002. Methods for the Determination of Total Organic Carbon

31
(TOC) in Soils and Sediments. In Researchgate. Ecological Risk Assesment
Support Center. Las Vegas.

Short, F., Carruthers, T., Dennison, W., & Waycott, M. 2007. Global Seagrass
Distribution and Diversity: A Bioregional Model. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology, vol 350: 3–20. https://doi.org/10.1016/j.jembe.2007.06.012

Sugiono. 2007. Statistik untuk Penelitian (11th ed) E. Mulyatiningsih (Ed.). Alfabeta.
Jawa Barat.

Sunquist, E., Burruss, R., Faulkner, S., Gleason, R., Harder, J., Kharaka, Y., Waldrop,
M. 2008. Carbon Sequestration to Mitigate Climate Change. U.S. Geological
Survey, pp 1–4.

Supriadi, Kaswadji, R. F., Bengen, D. G., & Hutomo, M. 2013. Potensi Penyimpanan
Karbon Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barrang Lompo Makassar. In A.
Isnansetyo (Ed.), Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan Tahun 2013. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta. pp. 1–7.

Supriadi, Kaswadji, R. F., Bengen, D. G., & Hutomo, M. 2014. Carbon Stock of
Seagrass Community in Barranglompo Island, Makassar. Ilmu Kelautan, vol 19,
no 1: 1–10.

Syarif-B, N. R. 2016. Mapping the Condition of Seagrass Kodingareng Lompo Island


using Lansat 8 Pansharpening. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Thorhaug, A., & Austin, C. B. 1976. Restoration of Seagrasses with Economic


Analysis. Environmental Conservation, vol 3, no 4: 259–266.

Tomascik, T., Mah, A. J., Nontji, A., & Moosa, M. K. 1997. The Ecology of The
Indonesian Sea (VIII). Dalhousie University. Nova Scotia.

32
LAMPIRAN

33
Lampiran 1. Hasil uji one way ANOVA biomassa lamun bagian atas per-jenis

P value = 0,0291
Exact or approximate P value? = Gaussian Approximation
P value summary =*
Do the medians vary signif. (P < 0.05) = Yes
Number of groups =6
Kruskal-Wallis statistic = 12,45

Tabel 6. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian atas per-jenis
Difference in Significant?
Dunn's Multiple Comparison Test Summary
rank sum P < 0,05?
T. hemprichii vs E. acoroides -7,222 No ns
T. hemprichii vs H. uninervis 7,044 No ns
T. hemprichii vs H. ovalis 12,44 No ns
T. hemprichii vs S. isoetifolium 1,778 No ns
T. hemprichii vs C. rotundata 5,778 No ns
E. acoroides vs H. uninervis 14,27 No ns
E. acoroides vs H. ovalis 19,67 No ns
E. acoroides vs S. isoetifolium 9,000 No ns
E. acoroides vs C. rotundata 13,00 No ns
H. uninervis vs H. ovalis 5,400 No ns
H. uninervis vs S. isoetifolium -5,267 No ns
H. uninervis vs C. rotundata -1,267 No ns
H. ovalis vs S. isoetifolium -10,67 No ns
H. ovalis vs C. rotundata -6,667 No ns
S. isoetifolium vs C. rotundata 4,000 No ns

34
Lampiran 2. Hasil uji one way ANOVA biomassa lamun bagian bawah per-jenis
P value = 0,2225
Exact or approximate P value? = Gaussian Approximation
P value summary = ns
Do the medians vary signif. (P < 0.05) = No
Number of groups =6
Kruskal-Wallis statistic = 6,975

Tabel 7. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian bawah per-jenis
Difference Significant?
Dunn's Multiple Comparison Test Summary
in rank sum P < 0,05?
T. hemprichii vs E. acoroides -6,889 No ns
T. hemprichii vs H. uninervis 1,978 No ns
T. hemprichii vs H. ovalis 10,28 No ns
T. hemprichii vs S. isoetifolium 2,444 No ns
T. hemprichii vs C. rotundata 0,7778 No ns
E. acoroides vs H. uninervis 8,867 No ns
E. acoroides vs H. ovalis 17,17 No ns
E. acoroides vs S. isoetifolium 9,333 No ns
E. acoroides vs C. rotundata 7,667 No ns
H. uninervis vs H. ovalis 8,300 No ns
H. uninervis vs S. isoetifolium 0,4667 No ns
H. uninervis vs C. rotundata -1,200 No ns
H. ovalis vs S. isoetifolium -7,833 No ns
H. ovalis vs C. rotundata -9,500 No ns
S. isoetifolium vs C. rotundata -1,667 No ns

35
Lampiran 3. Hasil uji one way ANOVA biomassa lamun bagian atas per-stasiun
P value = 0,1044
Exact or approximate P value? = Gaussian Approximation
P value summary = ns
Do the medians vary signif. (P < 0.05) = No
Number of groups =4
Kruskal-Wallis statistic = 6,152

Tabel 8. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian atas per-stasiun
Difference in Significant?
Dunn's Multiple Comparison Test Summary
rank sum P < 0,05?
Stasiun 1 vs Stasiun 2 -7,417 No ns
Stasiun 1 vs Stasiun 3 3,250 No ns
Stasiun 1 vs Stasiun 4 0,03571 No ns
Stasiun 2 vs Stasiun 3 10,67 No ns
Stasiun 2 vs Stasiun 4 7,452 No ns
Stasiun 3 vs Stasiun 4 -3,214 No ns

36
Lampiran 4. Hasil uji one way ANOVA stok karbon biomassa lamun bagian bawah
per-stasiun

P value = 0,0184
Exact or approximate P value? = Gaussian Approximation
P value summary =*
Do the medians vary signif. (P < 0.05) = Yes
Number of groups =4
Kruskal-Wallis statistic = 10,02

Tabel 9. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian bawah per-stasiun
Difference Significant?
Dunn's Multiple Comparison Test Summary
in rank sum P < 0,05?
Stasiun 1 vs Stasiun 2 -9,875 No ns
Stasiun 1 vs Stasiun 3 3,375 No ns
Stasiun 1 vs Stasiun 4 -0,1607 No ns
Stasiun 2 vs Stasiun 3 13,25 Yes *
Stasiun 2 vs Stasiun 4 9,714 No ns
Stasiun 3 vs Stasiun 4 -3,536 No ns

37
Lampiran 5. Hasil uji one way ANOVA Sedimen antar stasiun

P value = 0,0877
Exact or approximate P value? = Gaussian Approximation
P value summary = ns
Do the medians vary signif. (P < 0.05) = No
Number of groups =4
Kruskal-Wallis statistic = 6,550

Tabel 10. Hasil Dunn’s post test biomassa lamun bagian bawah per-stasiun
Difference Significant?
Dunn's Multiple Comparison Test Summary
in rank sum P < 0,05?
Stasiun 1 vs Stasiun 2 -8,556 No ns
Stasiun 1 vs Stasiun 3 -2,833 No ns
Stasiun 1 vs Stasiun 4 -6,667 No ns
Stasiun 2 vs Stasiun 3 5,722 No ns
Stasiun 2 vs Stasiun 4 1,889 No ns
Stasiun 3 vs Stasiun 4 -3,833 No ns

38

Anda mungkin juga menyukai