Anda di halaman 1dari 39

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN

PANTAI TAGEPE, MORELA MALUKU TENGAH

SKRIPSI

Oleh:

JURAINI WAEL
NIM. 2016-64-049

Program Studi Ilmu Kelautan


Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Universitas Pattimura
Ambon
2022
ii

LEMBAR PENGESAHAN

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PANTAI TAGEPE, MORELA


MALUKU TENGAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Akademik


Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Universitas Pattimura

OLEH :

JURAINI WAEL
NIM : 2016-64-049

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. I. Kesaulya, M.Sc, Ph.D F. F. Lokollo,S.Pi, M.Si


NIP. 19660322 199103 2 002 NIP. 19760417 200501 2 001

Disahkan Oleh, Menyetujui


Dekan Fakultas Perikanan Ketua Jurusan
dan Ilmu Kelautan Ilmu Kelautan

Dr. Yoisye Lopulalan, S.Pi, M.Si Ir. I. Kesaulya, M.Sc, Ph.D


NIP. 19700721 199702 1 002 NIP. 19660322 199103 2 002
iii

RIWAYAT PENDIDIKAN

Juraini Wael, lahir di Wakal, 10 Juli 1996, anak pertama dari dua
bersaudara, dari Ayah (Alm) Rasyid Wael dan ibu Aina Saulatu. Jenjang
pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis sebagai berikut : pada tahun 2002
menjadi siswa di Sekolah Dasar SD Negeri 2 Wakal dan lulus pada tahun 2008.
Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama pada
SMP LKMD Wakal dan lulus pada tahun 2011. Selanjutnya ke Sekolah
Menengah Atas SMA Negeri 7 Leihitu dan lulus pada tahun 2014.

Masuk perguruan tinggi tahun 2016 melalui Jalur Mandiri dan diterima
pada Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura.
iv

DEDIKASI

‫( َم ْن َج َّد َو َج َد‬man jadda wajada), siapa yang bersungguh-sungguh maka


ia akan menemukan atau siapa yang bersungguh-sungguh maka ia
akan berhasil.

Skripsi ini ku persembahkan kepada :

Keluarga Tercinta

Almamater Kebanggaan

dan semua orang yang membutuhkan


v

RINGKASAN

Lamun sebagai tumbuhan berbunga hidup dan bertumbuh di lingkungan


perairan yang mempunyai kadar garam tinggi dengan dominan substrat pasir,
pasir berlumpur, lumpur lunak dan karang. Lamun memiliki daun, rhizome dan
akar sejati. Secara ekologi ekosistem lamun mempunyai beberapa fungsi penting,
diantaranya sebagai produsen primer, tempat habitat, tempat mencari makan, dan
tempat memijah bagi sebagian organisma laut. Tingginya aktivitas masyarakat
seperti mencemari laut dengan membuang sampah sembarang dan mengambil
satwa laut dengan cara mengebom di ekosistem lamun di Pantai Tagepe, Morella
dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem lamun. Dengan demikian, tujuan
penelitian ini untuk menganalisa deskrispi setiap jenis lamun yang ditemukan dan
juga menganalisa tentang struktur komunitas diantaranya kerapatan jenis,
frekuensi kehadiran dan persen penutupan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan sebagai infromasi terbaru
keragaman jenis lamun dan juga struktur komunitas lamun di perairan pantai
Tagepe, Morela. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2021 di perairan pantai
Tagepe, Morela. Kabupaten Maluku Tengah. Manfaat Penelitian ini adalah
sebagai informasi tentang lamun bagi masyarakat dan pemerintah Desa Morela
bahwa lamun berfungsi sebagai tempat tinggal biota laut yang bernilai ekonomis
seperti ikan, kepiting, dan teripang. Keberadaan biota tersebut bermanfaat bagi
manusia sebagai sumber bahan makanan untuk kemudian dapat dikembangkan
bagi penelitian lanjutan. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan metode line
transect. Lokasi pengamatan terdiri dari 4 transek yang berjarak 50m. Spesies
lamun yang ditemukan pada kawasan pesisir Desa Morela ada 3 spesies yakni
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium . Nilai
kerapatan lamun di perairan Desa Morela sebesar 187,015 tegakan/m 2 (sangat
rapat), untuk nilai frekuensi kehadiran jenis lamun yang tertinggi adalah jenis S.
isoetifolium dan T. hemprichii, karena kedua jenis ini tersebar luas dibandingkan
jenis lainnya. Nilai penutupan lamun sebesar 64,34%, dikategorikan padat dan
tutupan yang baik/sehat.
vi

ABSTRAC

Seagrasses as flowering plants live and grow in aquatic environments that


have high salt levels with the dominant substrate being sand, muddy sand, soft
mud and coral. Seagrasses have true leaves, rhizomes and roots. Ecologically, the
seagrass ecosystem has several important functions, including a primary producer,
a place of habitat, a place for foraging, and a place for spawning for some marine
organisms. Thus, it is important to analyze the description of each type of seagrass
found based on morphometric and meristic and also analyze the community
structure including species density, frequency of presence and percent cover that
has not been done before. Therefore, the results of this study are expected to
provide up-to-date information on the diversity of seagrass species and also the
structure of the seagrass community in the coastal waters of Morela. This study
was conducted in April 2021 in the coastal waters of Morela Village, Central
Maluku Regency, species density, frequency of species presence and percent
cover of seagrass species in Morela coastal waters. The benefit of this research is
as initial information about the structure of the seagrass community for the
community and the government of Morela Village so that it can then be developed
for further research. This research was conducted by applying the line transect
method. The observation site consists of 4 transects 50m apart. There are 3 species
of seagrass found in the coastal area of Morela Village, namely Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides and Syringodium isoetifolium. The density value
of seagrass in the waters of Morela Village is 187.015 stands/0.25m 2 (very dense),
for the highest frequency values for the presence of seagrass species are S.
isoetifolium and T. hemprichii, because these two species are widely distributed
compared to other species. Meanwhile, the seagrass cover value was 64.34%,
categorized as dense and good/healthy cover.
vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas limpahan rahmat dan hidayat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Komunitas Lamun Di Perairan Pantai Tagepe, Morela Maluku
Tengah”. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Universitas Pattimura.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah
membantu dan membimbing penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk
itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun guna penyempurnaan lebih lanjut. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

Ambon, Oktober 2022

Penulis
viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dan

memberikan motivasi, bimbingan, doa dan semangat kepada penulis sehingga

penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Karena itu dengan segala rasa hormat

dan ketulusan hati, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ir. I. Kesaulya, M.Sc, Ph.D. selaku Pembimbing I yang dengan sabar dan tulus

meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan arahan, bembingan

dan bantuan mulai dari awal sampai terselesaikan penulisan ini.

2. F. F. Lokollo, S.Pi, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah memberikan

pelajaran tak ternilai di lapangan dan dukungan kepada penulis dalam

penelitian ini.

3. Alm papa, mama, adikku Nurhaini, serta keluarga lainnya yang senantiasa

memberikan nasehat, motivasi semangat dan doa yang tiada hentinya bagi

penulis.

4. Dr. Yunita. A. Noya, S.Pi, M.Si selaku penasehat akademik yang telah

memberikan waktu, arahan, serta dukungan kepada saya.

5. Dr.Ir. Domey Lowis Moniharapon, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu

Kelautan FPIK Unpatti.

6. F. F. Lokollo, S.Pi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Kelautan yang telah

memberikan banyak motivasi serta memberikan kesempatan juga kepada saya

untuk melaksanakan skripsi ini.


ix

7. Dekan dan Para Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Pattimura.

8. Para dosen Program Studi Ilmu Kelautan atas segala ilmu, motivasi, dan

bimbingan yang telah di berikan kepada saya selama mengikuti kuliah di

Fakultas Perikan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan dan Program Studi

Ilmu Kelautan.

9. Teman–teman IK 2016, Afied, Mutia, Pole, Theo, Abdi, Aldi, Nadzir, Zaky,

Saiful serta lainnya yang tidak dapat disebutkan satu demi satu yang telah

memberikan ide, harapan dan semangat bagi penulis.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu yang dengan

tulus memberikan motivasi dan doa sehingga skripsi ini selesai.

Ambon,Oktobe

r 2022

Penulis
x

DAFTAR ISI

Halaman Judul...............................................................................................i
Lembaran Pengesahan.................................................................................ii
Riwayat Pendidikan ...................................................................................iii
Abstrak ........................................................................................................iv
Abstrack .........................................................................................................v
Kata Pengantar............................................................................................vi
Ucapan Terima Kasih................................................................................vii
Daftar Isi........................................................................................................x
Daftar Gambar...........................................................................................xii
Daftar Tabel...............................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan.......................................................................................................1
1.3 Manfaat.....................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Lamun......................................................................................2
2.2 Habitat dan Penyebaran Lamun................................................................3
2.3 Parameter Lingkungan Perairan Lamundan Keragaman jenis lamun......3
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu Dan Lokasi Penelitian...................................................................6
3.2 Alat Dan Bahan.........................................................................................7
3.3 Metode Penelitian.....................................................................................7
3.4. Identifikasi Keragaman Jenis .................................................................8
3.4. Analisa Data ............................................................................................8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi.....................................................................................10
4.2 Komposisi Spesies Lamun Perairan Negeri Morela...............................11
4.3 Kerapatan Spesies Dan Kerapatan Relatif Spesies ................................ 13
4.4 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Relatif .......................................... 16
xi

4.5 Penutupan Lamun................................................................................... 18


BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan.............................................................................................21
5.2 Saran.......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................22
xii

Daftar Gambar

Nama Hal

Gambar 1. Morfologi Lamun..........................................................................2


Gambar 2. Lokasi Penelitian...........................................................................6
Gambar 3. Spesies Lamun............................................................................ 13
xiii

Daftar Tabel

Nama Hal

Tabel 1. Morfologi lamun berdasarkan jenis lamun (Lanyon, 1986).............3


Tabel 2. Alat Dan Bahan................................................................................7
Tabel 3. Kategori Status Lamun.....................................................................9
Tabel 4. Komposisi Spesies Lamun di Tiap Transek ..................................12
Tabel 5. Kerapatan Spesies lamun berdasarkan transek pengamatan...........14
Tabel 6. Kerapatan Spesies Relatif berdasarkan transek pengamatan.........15
Tabel 7. Total keseluruhan kerapatan jenis lamun ......................................15
Tabel 8. Frekuensi Kehadiran lamun berdasarkan transek pengamatan.......16
Tabel 9. Frekuensi Kehadiran relatif berdasarkan transek pengamatan.......17
Tabel 10. Total keseluruan frekuensi jenis lamun .......................................18
Tabel 11. Presentase penutupan berdasarkan transek pengamatan...............19
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lamun adalah tumbuhan berbunga, hidup dan bertumbuh di perairan laut
dangkal dan daerah estuari yang hidup dan berkembang biak di daerah yang selalu
mendapat genangan air laut yang mempunyai kadar garam tinggi dengan dominan
substrat pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak dan karang. Lamun memiliki daun,
rhizoma dan akar sejati. Secara ekologi ekosistem lamun mempunyai beberapa fungsi
penting, diantaranya sebagai produsen primer, tempat habitat, tempat mencari makan,
dan tempat memijah bagi sebagian organisma laut. (Kiswara dan Hutomo 1985).
Lamun merupakan tumbuhan yang mempunyai pembuluh secara struktur
dan fungsinya memiliki kesamaan dengan tumbuhan yang hidup di daratan. Seperti
halnya tumbuhan rumput daratan, lamun secara morfologi tampak adanya daun,
batang, akar, bunga dan buah, hanya saja karena lamun hidup di bawah permukaan
air, maka sebagian besar lamun melakukan penyerbukan di dalam air. Lamun sebagai
tumbuhan berbunga sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut.
(Azkab, 2006)
Kedalaman air dan pengaruh pasang surut serta struktur substrat
mempengaruhi zonasi sebaran spesies-spesies lamun dan bentuk pertumbuhannya.
Spesies lamun yang sama dapat tumbuh pada habitat yang berbeda dengan
menunjukkan bentuk pertumbuhan yang berlainan, dan kelompok-kelompok spesies
lamun membentuk zonasi tegakan yang jelas baik murni ataupun asosiasi dari
beberapa spesies (Kiswara, 1985)
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tuapattinaya, dkk (2021)
menemukan lima spesies lamun yaitu jenis Enhalus acoroides, Halophila ovalis,
Cymodovea rotundata, Syringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia di pantai
Morela. Tingginya aktivitas masyarakat seperti mencemari laut dengan membuang
sampah sembarang dan mengambil satwa laut dengan cara mengebom di ekosistem
lamun di Pantai Tagepe dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem lamun. Dengan
demikian, maka penting untuk menganalisa tentang struktur komunitas diantaranya
kerapatan spesies, frekuensi kehadiran dan persen penutupan yang belum dilakukan
2

sebelumnya. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan sebagai infromasi terbaru
keragaman spesies lamun dan struktur komunitas lamun di perairan pantai Morela.

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi spesies lamun,
kerapatan spesies, frekuensi kehadiran spesies dan persen penutupan spesies lamun
di perairan pantai Morela.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi awal tentang
struktur komunitas lamun bagi masyarakat dan pemerintah Negeri Morela bahwa
lamun berfungsi sebagai tempat tinggal biota laut yang bernilai ekonomis seperti
ikan, kepiting, dan teripang. Keberadaan biota tersebut bermanfaat bagi manusia
sebagai sumber bahan makanan untuk kemudian dapat dikembangkan bagi penelitian
lanjutan.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi Lamun


Lamun secara morfologi terdiri dari daun, batang, rhizoma, akar, bunga dan
buah. Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta
beruas-ruas. Pada rhizoma tersebut tumbuh cabang-cabang berupa batang (petiole)
yang panjangnya bervariasi berdasarkan jenis. Petiole ini yang muncul daun, bunga
dan buah. Pada rhizoma tumbuh akar, lamun menancapkan diri dengan kokoh pada
substrat hingga tahan terhadap hempasan ombak dan arus.
Setiap spesies lamun memiliki morfologi yang berbeda berdasarkan jenis.
Lamun umumnya dapat dibedakan jelas dari bentuk daun, rhizoma, dan akar
(Gambar 1 dan Tabel 1 ).

Gambar 1. Morfologi Lamun (Lanyon, 1986)


4

Tabel 1. Morfologi Lamun Berdasarkan Jenis Lamun (Lanyon, 1986)


Jenis lamun Bentuk daun Bentuk rhizome Bentuk akar
Enhalus
acoroides

Cymodocea
rotundata

Cymodocea
serullata

Halophila
pinifolia

Halodule
uninervis

Halophila
ovalis

Halophila
spinulosa
5

Halophila
decipiens

Syringodium
isoetifilum

Thalassia
hemprichii

Thalasiodendr
on ciliatum

2.2. Habitat dan Penyebaran Lamun


Lamun menempati berbagai habitat pantai tetapi umumnya terdapat di
daerah terdangkal berpasir dekat dengan pantai, di daerah lagun terumbu karang dan
estuari. Selain itu, lamun sering dijumpai berasosiasi dengan mangrove dan terumbu
karang (Short, et. al.,. 2004).
Padang lamun mempunyai tiga tipe vegetasi yaitu monospesifik (tunggal),
asosiasi dua/tiga spesies, dan vegetasi campuran. Vegetasi monospesifik merupakan
komunitas lamun yang terdiri atas satu spesies, dan terjadi sementara sebagai fase
intermediate menuju situasi yang lebih stabil (vegetasi campuran). Vegetasi
campuran biasannya terdiri dari beberapa asosiasi minimal 4 jenis.
Informasi mengenai keragaman spesies organisma laut sangat penting untuk
diketahui. Salah satu organisma tumbuhan laut yang penting untuk diketahui
keragaman spesiesnya adalah lamun. Di Asia Tenggara ada 20 spesies lamun dan 10
spesiesnya ditemukan di perairan Maluku (Den Hartog, 1970 dalam Tuhumury,
6

2008). Berbagai penelitian tentang keragaman spesies lamun dan struktur komunitas
telah dilakukan dibeberapa perairan pantai di Pulau Ambon. Tuapatinaya, dkk.,
(2021) jumlah spesies lamun di tiga lokasi berbeda yaitu di Morela ditemukan 5
spesies, Suli ditemukan 7 spesies dan Poka 4 spesies, sedangkan Irawan dan Nganro
2016 dalam Tuapatinaya (2021) dan Tuhumury (2008) menemukan 6 spesies di
perairan pantai Teluk Ambon Dalam. Spesies lamun yang ditemukan di pantai Poka
oleh 3 peneliti sebelumnya adalah Halodule pinifolia, Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii, Halophila ovalis (Tuapatinaya dkk., 2021, Tuhumury, 2008 dan Setyono,
1993) sedangkan Tuapatinaya dkk., (2021) juga menemukan Halophila minor yang
tidak ditemukan oleh 2 peneliti sebelumnya namun Cymodocea rotundata yang
ditemukan oleh (2008) dan Setyono (1993) tidak ditemukan oleh Tuapatinaya dkk.,
(2021).
Menurut buku Status Padang Lamun 2018, jumlah spesies lamun di dunia
adalah 60 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga ( Kuo an McComb 1989).
Di perairan indonesia terdapat 13 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga.
Spesies lamun yang dapat dijumpai adalah 12 spesies, yaitu Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule
pinifolia, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halophila ovalis, Halophila
minor, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron
ciliatum. Ada satu jenis lamun lainnya yang ditemukan oleh Kuo (2007) yaitu jenis
lamun Halophila sulawesii.
2.3 Parameter Lingkungan Perairan Lamundan Keragaman spesies lamun
Parameter lamun diatur oleh sifat-sifat fisik, kimia dan biologis lingkungan
dimana lamun tumbuh. Suhu, cahaya yang cukup, kedalaman perairan, nutrien,
salinitas, substrat yang cocok dan karbon anorganik adalah kebutuhan dasar lamun
untuk berfotosintesa (Hartati, dkk 2017). Nybakken (1992) kisaran suhu optimal bagi
perkembangan spesies lamun adalah 28°-30°C, sedangkan untuk fotosintesis lamun
membutuhkan suhu optimum antara 25°-35°C dan pada saat cahaya penuh.
Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila suhu perairan
berada di luar kisaran tersebut.
Menurut Putri (2004), spesies lamun akan ditemukan berbeda berdasarkan
kedalaman perairan. Selain itu kedalaman mempunyai hubungan yang erat dengan
7

stratifikasi suhu, penetrasi cahaya, serta zat-zat hara. Hal ini sependapat dengan
pernyataan Hutabarat dan Evans (1985) bahwa kedalaman suatu perairan sangat erat
hubungannya dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air yang digunakan
oleh tumbuhan berklorofil untuk fotosintesis. Tumbuhan-tumbuhan tersebut tidak
dapat hidup terus menerus tanpa adanya cahaya matahari yang cukup.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kerapatan spesies lamun diantaranya
kedalaman, kecerahan, arus, air dan tipe substrat. Morfologi lamun juga berpengaruh
terhadap kerapatan spesies lamun (Kiswara, 2004). Ekosistem padang lamun dibatasi
oleh beberapa faktor lingkungan yaitu suhu, cahaya, salinitas, kedalaman, substrat
dasar, nutrien dan pergerakan air laut (ombak, arus, pasang surut). Faktor lingkungan
tersebut juga mempengaruhi kelimpahan dan kerapatan lamun pada suatu daerah,
sehingga jumlah dan kelimpahan lamun akan berbeda-beda pada setiap daerah
padang lamun (Minerva, 2014).
Perbedaan kerapatan lamun biasanya dapat terjadi akibat perbedaan kondisi
lingkungan. Lingkungan yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi
umumnya memiliki kerapatan spesies lamun yang lebih besar. Komposisi jenis
lamun, lebih dipengaruhi oleh karakteristik substrat, suhu dan salinitas. Jenis substrat
yang berukuran halus umumnya memiliki kandungan bahan organik yang lebih
tinggi (Priosambodo, 2011 dalam Prissambodo, 2014).
8

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2021 di perairan pantai Negeri
Morela, Kabupaten Maluku Tengah (Gambar 2).

Gambar 2. Lokasi Penelitian


9

3.2. Alat dan Bahan Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada tabel 2
berikut ini.

Tabel 2. Alat dan bahan penelitian


No. Alat dan Bahan Kegunaan

1 Kuadrat 50 x 50 cm Untuk pencuplikan sampel (sampling


lamun)
2 Penggaris 30cm Untuk mengukur bagian-bagian tubuh
lamun
3 Roll Meter Mengukur luas area lamun, jarak
transek dan jarak kuadrat

4 GPS Menentukan titik koordinat


5 Kantong plastik 1 kg Mengisi sampel lamun
6 Spidol Untuk menandai plastik sampel
7 Kamera HP Untuk dokumentasi
8 Linggis Mengambil sampel lamun
9 Tisue Mengeringkan sampel lamun

3.3. Metode Pengambilan data


Metode pengambilan data lamun menggunakan metode garis transek
(Khouw, 2009). Pada tiap transek diletakan kuadrat (petak pengamatan) untuk
pengambilan spesies lamun dilakukan pada saat air surut. Ukuran kuadrat yang
dipakai adalah 50 x 50 cm dibagi menjadi 4 kotak. Tali transek ditarik secara
vertikal tegak lurus garis pantai dengan jarak antar transek adalah 50 meter dan jarak
antar kuadrat adalah 20 m. Sampel lamun diamati dan dihitung jumlah tegakan tiap
spesies pada tiap kotak dalam kuadrat. Pada tiap kuadrat diambil sampel lamun dari
spesies yang berbeda berdasarkan pengamatan visual.
Tiap sampel dimasukan ke dalam plastik berukuran 1 kg. Identifikasi sampel
lamun dilakukan berdasarkan karakteristik morfologi menurut Lanyon (1986).
Perhitungan kerapatan spesies lamun dilakukan dengan menghitung berapa tegakan
lamun yang terdapat dalam setiap plot untuk setiap jenis lamun yang ada.
10

Pengamatan tutupan lamun dilakukan dengan menghitung berapa persen lamun


menutupi areal dalam tiap kotak pengamatan.

3.4. Identifikasi Spesies Lamun


Untuk mengetahui spesies lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian maka
Dilakukan pengamatan secara visual pada sampel di lokasi penelitian kemudian
sampel diidentifikasi lamun menurut Lanyon (1986) untuk selanjutnya ditentukan
nama setiap spesies.

3.5. Analisa Data


Kerapatan masing-masing spesies pada setiap stasiun dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Odum, 1998):
¿
Di = A

Diketahui :
Di = Kerapatan spesies (tegakan/m2 )
Ni = Jumlah total tegakan species
A = Total kuadrat pengamatan
Kerapatan relatif adalah perbandingan antara jumlah individu spesies dan
jumlah total individu seluruh spesies, bertujuan untuk mengetahui persentase
kerapatan per spesies dalam total jumlah seluruh spesies (Odum, 1998).
¿
RDi = Ʃn x 100%
diketahui :
RDi = Kerapatan relatif
Ni = Jumlah total tegakan species i
∑n = Jumlah total tegakan semua spesies
Spesies yang mempunyai nilai frekuensi yang besar umumnya memiliki daya
adaptasi yang lebih besar terhadap faktor lingkungan yang berbeda. Frekuensi spesies
dihitung dengan rumus menurut (Odum, 1998).
Pi
Fi = ƩP
Diketahui:
11

Fi = Frekuensi spesies
Pi = Jumlah kuadrat pengamatan dimana ditemukan species-i
∑p = Jumlah total kuadrat pengamatan
Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi species (Fi)
dengan jumlah frekuensi semua spesies (∑Fi), bertujuan untuk mengetahui
presentase penyebaran spesies lamun tersebut dalam komunitas (Odum, 1998).
Fi
RFi = ƩF x 100%
Diketahui:
RFi= Frekuensi Relatif
Fi = Frekuensi species-i
∑Fi= Jumlah frekuensi semua spesies

 Kriteria kategori status lamun


Perkiraan tutupan lamun dibuat dalam kategori berdasarkan tutupan lamun
pada empat kotak kecil di dalam kuadrat pengamatan. Persentase nilai tutupan lamun
tersebut yang dikelompokan statusnya seperti pada Tabel 3 menurut COREMAP-
LIPI (2014).
Tabel 3. Kategori Status Lamun
Kategori Status
0 – 25 Jarang
26 – 50 Sedang
51 – 75 Padat
76 – 100 Sangat padat
Sumber: COREMAP-LIPI (2014)
12

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian


Perairan pantai Negeri Morela (Kabupaten Maluku Tengah) yang merupakan
salah satu Negeri yang terletak di Pulau Ambon. Letak geografis Negeri Morela 128 0
19’ 64.21 – 30 55’ 08.26 yaitu pada bagian utara berbatasan dengan Negeri liang,
bagian selatan berbatasan dengan Negeri Mamala, bagian barat berbatasan dengan
perairan Teluk Piru, dan pada bagian timur berbatasan dengan pegunungan
semenanjung Jazirah Leihitu.
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian perairan pantai Negeri
Morela didominasi oleh substrat berpasir halus di bagian pasang tertinggi, substrat
patahan karang di daerah litoral dan substrat karang di daerah sublitoral.

Gambar. Peta lokasi penelitian


13

4.2 Komposisi Spesies Lamun Perairan Negeri Morela


Spesies lamun yang ditemukan di perairan pantai Negeri Morela yaitu tiga
spesies lamun yang diklasifikasikan menjadi 2 famili.
Klasifikasi:
Kingdom: Plantae
Division: Tracheophyta
Class: Liliopsida
Order: Najadales
Family: Cymodoceaceae
Genus: Syringodium
Species: Syringodium
isoetifolium

Klasifikasi:
Kingdom: Plantae
Phylum: Tracheophyta
Class: Spermatopsida
Order: Alismatales
Family: Hydrocharitaceae
Genus: Thalassia
Species: Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides
Spesies lamun S.isoetifolium dan T.hemprichi ditemukan pada semua kuadrat
dan transek, sedangkan spesies E.acoroides ditemukan hanya pada transek 1,2 dan 3
(Tabel 4).
Secara morfologi tiga spesies lamun ini memiliki perbedaan bentuk akar,
rhizoma daun maupun ukuran daun. Perbedaan komposisi spesies lamun dan sebaran
pada masing-masing lokasi penelitian ini diduga berkaitan dengan kemampuan
adaptasi spesies lamun tersebut terhadap kondisi lingkungan yang berbeda.
14

Tabel 4. Komposisi spesies lamun di tiap transek


Transek
Famili/Spesies
1 2 3 4 5 6
Cymodoceae
S.isoetifolium + + + + + +
Hydrocharitaceae
E.acoroides + + + - - -
T.hemprichii + + + + + +
Keterangan :
+ : ditemukan lamun
- : tidak ditemukan lamun

Spesies S.isoetifolium juga ditemukan pada semua kuadrat. Spesies ini


memiliki daun yang berujung runcing dan berbentuk silinder, antara daun dan
rhizoma terhubung oleh batang yang agak keras, dan spesies ini juga memiliki akar
yang tumbuh di bagian bawah pangkal yaitu antara batang dan rhizoma yang disebut
node. Spesies ini tumbuh pada substrat yang berpasir
Spesies E.acoroides dijumpai bersama dengan spesies T.hemprichii. Spesies
E.acoroides memiliki daun yang tebal, bentuk daun memanjang seperti pita dengan
apeks berbentuk bulat dan mempunyai ukuran morfologi yang besar yang umum
tumbuh di substrat lumpur dan membutuhkan lapisan sedimen yang lebih dalam
dibandingkan dengan spesies lamun lainnya, untuk tumbuh dan berkembang
(Priosambodo 2014). Spesies T.hemprichii memiliki bentuk daun seperti tali (strap-
like) yang melengkung, bagian apeks bulat dan ditemukan tumbuh pada substrat
berpasir dan patahan karang. Spesies E.acoroides dapat tumbuh menjadi padang
yang monospesifik ataupun seringkali tumbuh bersama dengan spesies lamun
T.hemprichii. Komposisi lamun di suatu daerah lebih dipengaruhi oleh kemampuan
adaptasi spesies lamun tersebut terhadap faktor lingkungan. Spesies lamun Thalassia
15

hemprichii umumnya tumbuh dominan pada substrat pasir karbonat dan pecahan
karang (rubble), membentuk komunitas campuran (Prisambodo, 2014).

3a. Syringodium isoetifolium 3b. Thalassia hemprichii

3c. Enhalus acoroides

Gambar 3. Spesies Lamun


16

4.3. Kerapatan Spesies, Kerapatan Relatif dan Penutupan Lamun

4.3.1 Kerapatan spesies


Kerapatan spesies lamun adalah banyaknya jumlah individu/tegakan suatu
spesies lamun pada luasan tertentu. Kerapatan spesies lamun akan semakin tinggi
bila kondisi lingkungan dalam keadaan baik. Kerapatan merupakan elemen dan
struktur komunitas yang dapat digunakan untuk mengestimasi produksi lamun
(Binsasi, 2019).
Pada setiap stasiun pengamatan terdapat kerapatan spesies lamun berbeda-
beda. Kadang dalam satu kuadrat pengamatan terdapat 2-3 spesies lamun yang
berasosiasi.
Nilai kerapatan spesies yang tertinggi ditemukan pada transek 6 yaitu 232.5
tegakan/m2 pada spesies S.isoetifolium. Sedangkan untuk nilai kerapatan terendah
pada spesies E.acoroides yaitu dengan nilai 5.25 tegakan/m2. Spesies T.hemprichi
tetap mendominasi nilai kerapatan spesies terendah dengan nilai yaitu 83.75
tegakan/m2, dengan nilai kerapatan relatif yaitu 26.48%. Menurut Den hartog (1970)
S.iseotifolium ditemukan pula di daerah intertidal pada daerah dangkal di hamparan
terumbu, spesies ini hanya mampu mentoleransi kekeringan dalam waktu yang
sangat singkat.
4.3.2 Frekuensi kehadiran
Frekuensi kehadiran spesies lamun merupakan peluang suatu spesies
ditemukan dalam titik contoh yang diamati. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
distribusi spesies lamun tersebut dalam suatu komunitas. Spesies yang mempunyai
frekuensi besar umumnya memiliki daya adaptasi yang lebih besar terhadap faktor
lingkungan yang berbeda. Walaupun semua spesies lamun umumnya dapat hidup
pada semua substrat tetapi setiap spesies lamun mempunyai karakteristik tersendiri
terhadap lingkungan hidupnya Menurut Binsasi (2019) semakin tinggi nilai frekuensi
suatu spesies lamun atau semakin besar peluang kehadiran suatu spesies lamun, maka
akan berdampak kepada semakin tinggi pula nilai kerapatan dan tutupan suatu
spesies lamun tersebut (Binsasi, 2019).
Nilai frekuensi kehadiran tertinggi yaitu terdapat pada spesies E.acoroides
dengan nilai frekuensi kehadiran yaitu sebesar 1.50 pada transek 1, sedangkan nilai
17

frekuensi kehadiran terendah pada S.isoetifolium dengan nilai 0.50 pada transek 6. S.
isoetifolium, utamanya tumbuh pada dasar berlumpur di daerah sublitoral, dapat
membentuk suatu padang rumput bawah laut. Kondisi lingkungan yang dibutuhkan
oleh S.isoetifolium adalah perairan yang agak dalam sehingga tidak terpapar dalam
jangka waktu yang relatif lama. Kuriandewa (2009) mengemukakan bahwa
S.isoetifolium dijumpai pada substrat berlumpur sampai pasir dengan kedalaman
maksimum 6 meter, tidak dijumpai pada tempat-tempat yang mengalami pemaparan
jangka panjang saat surut rendah (Hartati, 2017).
4.3.3 Persentase penutupan lamun
Persentase penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang
menutupi suatu perairan. (Saputro, 2018), besarnya persen penutupan lamun tidak
selamanya linier dengan tingginya jumlah spesies maupun tingginya kerapatan
spesies karena pengamatan penutupan yang dilihat adalah helaian daun sedangkan
pada kerapatan spesies yang dilihat adalah jumlah tegakan (Minerva, 2014).
Tingkat penutupan sangat berkaitan dengan morfologi (ukuran) spesies lamun
penyusunnya dan penaungan ruang oleh komunitas lamun. Penutupan lamun yang
tinggi umumnya menggambarkan tingkat penutupan Persentase penutupan spesies
lamun yang didominasi oleh spesies berdaun besar.
Pada persentase penutupan spesies lamun yang ditemukan memiliki
persentase penutupan tertinggi terdapat pada spesies S.isoetifolium yang memiliki
nilai persentase penutupan 37.05%, dan diikuti oleh spesies T.hemprichi dengan nilai
persentase penutupan yaitu 32.81%, dikarenakan spesies S.isoetifolium dan
T.hemprichi terdapat dalam seluruh kuadrat yang di temukan, spesies E.acoroides
dan T.hemprichi mempunyai bentuk morfologi besar sehingga daya saing spesies ini
lebih besar dibanding spesies lain (Fauzyah, 2004). Sedangkan nilai persen
penutupan yang terkecil terdapat pada spesies E. acoroides dengan nilai persen
penutupan sebesar 14.6, karena hanya terdapat dalam 3 transek. Spesies E.acoroides
pada transek 4, 5, dan 6 tidak ditemukan spesies E.acoroides pada kuadrat
pengambilan sampel. E.acoroides dan T.hemprichii mempunyai bentuk morfologi
besar sehingga daya saing spesies ini lebih besar dibanding spesies lain (Fauzyah,
2004 dalam Bratakusuma, 2013).
18

Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kondisi lamun tergolong


baik/sehat, walaupun pada transek 4, 5 dan 6 tidak ditemukan spesies lamun
E.acoroides. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama yakni adanya aktivitas
antropogenik manusia dan secara alami berdasarkan perubahan faktor lingkungan.
Namun berdasarkan pengamatan, kondisi lingkungan perairan Negeri Morela masih
tergolong baik dan layak bagi kehidupan lamun.

Tabel 4. Kerapatan Spesies, Frekuensi Kehadiran dan Presentase penutupan


Kerapatan Spesies (teg/m2) Frekuensi Kehadiran Persentase penutupan (%)

Famili/Spesies Transek Transek Transek

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6

Cymodoceaceae

Syringodium 150.6 0.7 0.7 0.7 1.0 0.7 0.5 21.8 18.7 17.1 35.9 39.0 37.0
60 52.33 28.67 71 232.5
isoetifolium 7 5 5 5 0 5 0 8 5 9 4 6 5

Hydrocharitaceae

0.5 0.7 1.0 10.9


E. acoroides 14 10.67 5.25 0 0 0 0 0 0 9.38 14.6 0 0 0
0 5 0 4

119.6 1.0 1.0 0.7 1.0 0.7 1.0 31.2 21.8 28.1 29.6 32.8
T. hemprichi 95 76.75 77.33 44.5 83.75 37.5
7 0 0 5 0 5 0 5 8 3 9 1

16 139.7 111.2 115. 270.3 316.2 2.2 2.5 2.5 2.0 1.5 1.5 68.7 60.9 53.6 64.0 68.7 69.8
Total 9 5 5 5 4 5 5 0 0 0 0 0 6 4 7 7 5 6

4.4. Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif

Kerapatan relatif adalah perbandingan antara jumlah individu spesies dan


jumlah total individu seluruh spesies. Pada kerapatan relatif, nilai kerapatan tertinggi
dapat dilihat pada transek 3 pada spesies lamun T.hemprichi dengan nilai teretinggi
69.51%, sedangkan untuk nilai kerapatan relatif terendah dapat dilihat pada spesies
lamun E.acoroides transek 3 dengan nilai terendah 4.72%. spesies lamun
T.Hemprichi yang memiliki bentuk dan morfologi daun lebih kecil membuat spesies
ini memiliki tegakan lebih banyak dibanding spesies yang memiliki bentuk dan
morfologi yang besar (Bratakusuma, dkk, 2013). Setiap spesies lamun mempunyai
bentuk morfologi yang berbeda, semakin besar ukuran lamun, jumlah individu yang
dapat mendiami suatu luasan tertentu akan berkurang (Fauzyah, 2004). Kerapatan
19

spesies lamun dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dari lamun tersebut
(Hasanudin, 2013).
Tabel 5. Kerapatan spesies relatif lamun berdasarkan transek pengamatan
Kerapatan Spesies Relatif (%)
Famili/Spesies Transek
1 2 3 4 5 6
Cymodoceaceae
Syringodium isoetifolium 35.38 37.45 25.77 61.47 55.73 73.52
Hydrocharitaceae
E.acoroides 8.3 7.63 4.72 0 0 0
T.hemprichii 56.32 54.92 69.51 38.53 44.27 26.48
TOTAL 100 100 100 100 100 100

Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi species (Fi)


dengan jumlah frekuensi semua spesies (∑Fi). Nilai frekuensi kehadiran relatif
tertinggi terdapat pada transek 6 dengan nilai 66.67%, sedangkan nilai frekuensi
kehadiran terendah terdapat pada transek 2 dengan nilai 30. E.acoroides biasanya
tersebar luas terutama pada sedimen halus, tetapi dapat pula tumbuh pada substrat
berbatu sedang dan besar. E.acoroides biasanya membentuk vegetasi murni,
meskipun demikian spesies ini dapat ditemukan tumbuh dekat dengan spesies lain.

T.hemprichii mempunyai distribusi kedalaman yang sempit, mulai daerah


eulitoral bawah sampai kedalaman 5 m. T.hemprichii membentuk vegetasi tunggal
pada bagian kearah laut (seaward) dari hamparan karang di daerah intertidal yang
mendapat tekanan dari gelombang dan kecepatan arus pasut mencapai 2 m/det
(Tomascik, et. al., 1997) dalam Hartati 2017. Spesies E.acoroides yang tersebar
hanya pada beberapa titik pengamatan dan tidak merata. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Izuan (2014) bahwa peluang ditemukan suatu
spesies lamun tergantung pada tipe substrat di lapangan, karena masing-masing
spesies lamun memiliki kesukaan tipe substrat yang berbeda.
Tabel 6. Frekuensi kehadiran relatif lamun berdasarkan transek pengamatan
Famili/Spesies Frekuensi Kehadiran Relatif (%)
Transek
20

1 2 3 4 5 6
Cymodoceae
S.isoetifolium 33.33 30 30 50 50 33.33
Hydrocharitaceae
E.acoroides 22.22 30 40 0 0 0
T.hemprichii 44.44 40 30 50 50 66.67

4.5. Total Keseluruhan Kerapatan dan Total Keseluruhan Frekuensi


Total keseluruhan nilai kerapatan dari setiap 3 spesies pada 6 transek
(24 kuadrat), pada spesies T.hemprichii jumlah total keseluruhan nilai kerapatan
adalah 74.63 tegakan/m2 dan kerapatan relatifnya 51.24%. Kemudian untuk spesies
S.isoetifolium jumlah total keseluruhan nilai kerapatan adalah 67.63 tegakan/m2
dengan nilai kerapatan relatifnya 46.44%. Dan pada spesies E. acoroides nilai total
keseluruhan kerapatan adalah 3.38 tegakan/m2 dengan nilai kerapatan relatifnya
adalah 2.32%. Pada spesies T.hemprichii memiliki nilai tegakan yang tinggi diantara
ke tiga spesies lamun karena ditemukan dihampir semua kuadrat penelitian dengan
jumlah tegakan 1791 tegakan.
Tabel 7. total keseluruhan kerapatan jenis lamun
Total keseluruhan kerapatan jenis lamun
Spesies Tegakan Kerapatan kerapatan relatif
T. hemprici 1791 74.63 51.24
S. isoetifolium 1623 67.63 46.44
E. acoroides 81 3.38 2.32
Total 145.63

Total keseluruhan nilai frekuensi dari setiap 3 spesies pada 6 transek (24
kuadrat). Pada spesies T. hemprichi total nilai frekuensi keseluruhan adalah 0.92,
sedangkan pada speseies S. isoetifolium total nilai frekuensi keseluruhannya adalah
0.75, dan untuk spesies E. acoroides total keseluruhan nilei frekuensi adalah 0.38.
Pada spesies T.hemprichii memiliki nilai frekuensi yang tinggi diantara ke tiga
spesies lamun karena ditemukan dihampir semua kuadrat penelitian dengan jumlah
frekuensi 0.92.
21

Tabel 8. Total keseluruhan frekuensi jenis lamun


Total keseluruhan frekuensi jenis lamun
Spesies Frekuensi
T. hemprichi 0.92
S. isoetifolium 0.75
E. acoroides 0.38

Tutupan lamun dipengaruhi oleh kerapatan lamun dan morfologi lamun


terutama lebar daun. Hal ini disebabkan karena semakin lebar daun lamunnya maka
daerah substratnya akan semakin tertutupi (Sarinawaty, 2020). Menurut Tangke
(2010) dalam Sarinawaty (2020) E. acoroides dominan hidup pada substrat dasar
berpasir dan pasir sedikit berlumpur dan kadang-kadang terdapat pada dasar yang
terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tutpan lamun adalah kerapatan lamun dan pasang surut. Persentase
luas penutupan lamun yang hidup, kriteria baku kerusakan padang lamun merupakan
ukuran batas perubahan fisik hayati padang lamun yang ditetapkan menurut
COREMAP-LIPI (2014) dan menur
ut Kepmen LH Nomor 200 tahun 2004. Nilai penutupan lamun pada perairan Negeri
Morela sebesar 64,34%, dikategorikan padat dan tutupan yang baik/sehat.
22

BAB V
Kesimpulan Dan Saran

5.1. Kesimpulan
Terdapat tiga spesies lamun di perairan Negeri Morela, yaitu Syringodium
isoetifolium, Enhalus acoroides,dan Thalassia hemprichii. Nilai kerapatan lamun di
perairan Negeri Morela sebesar 187,015 tegakan/0.25m2 (sangat rapat), untuk nilai
frekuensi kehadiran jenis lamun yang tertinggi adalah jenis S. isoetifolium dan T.
hemprichii, karena kedua jenis ini tersebar luas dibandingkan jenis lainnya. Nilai
penutupan lamun sebesar 64,34%, dikategorikan padat dan tutupan yang baik/sehat.

5.2. Saran
Diharapkan kepada masyarakat yang berada di pesisir pantai Negeri Morela
dapat menjaga lingkungan padang lamun tersebut, agar keberlangsungan padang
lamun di daerah pesisir pantai Negeri Morela dapat terjaga dengan baik
23

DAFTAR PUSTAKA
Binsasi R, dan Bria E. J, 2019. Komposisi Komunitas Padang Lamun Di Pantai
Sukaerlaran Kabupaten Belu. Jurnal Sains dan Teknologi. Volume 11 No.
02.
Bratakusuma N, Sahami, F. M, dan Nursina S. 2013. Komposisi Jenis, Kerapatan
Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di NEGERI Otiola Kecamatan Ponelo
Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. Volume 1, Nomor 3.
Hutomo M, dan Nontji A. 2014. Panduan Monitoring Padang Lamun. COREMAP-
CTI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hartati, R., Widianingsih., Santoso, A., Endrawati, H., Zainuri, M., Ritniasih, I.,
Saputra, W.L., dan Mahendrajaya, R. T,. 2017. Variasi Komposisi Dan
Kerapatan Jenis Lamun Di Perairan Ujung Piring, Kabupaten Jepara. Jurnal
Kelautan Tropis, Vol. 20(2):96–105.
Hemming, M.A. and C.M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Australia: Cambridge
University Press. Dalam jurnal Struktur dan Asosiasi Jenis Lamun di
Perairan Pulau-Pulau Hiri, Ternata, Maitara dan Tidore, Maluku Utara.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 10 No. 3.
Herliandi, Lanlan. 2011. Keanekaragaman, Sebaran, dan Karakteristik Lamun di
Pantai Sancang, Kab. Garut. Skripsi Program Studi Biologi, Jurusan
Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Hidayat, W., Warpala, W, S., dan Dewi, P, S,R., 2018. Komposisi Jenis Lamun
(Seagrass) Dan Karakteristik Biofisik Perairan Di Kawasan Pelabuhan
Negeri Celukanbawang Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali.
Jurnal Pendidikan Biologi Undiksha, vol 55, No3
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN-LH) Nomor 200 Tahun
2004. Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang
Lamun.
Kiswara W dan Hutomo M , 1985. Habitat dan sebaran geografik lamun. Oseana, vol
X, no 1.
Khouw, A S. 2009. Buku Metode dan Analisa Kuantitatif Dalam Bioekologi Laut.
24

Kowarae M, Nugraha, A H. dan Juraij, 2016. Buku Ekosistem padang lamun. Hal
114
Laynon. J. 1986. Guide To The Identification Of Seagrasses In The Great Barrier
Reef Region. Great Barrier Reef Region Marine Park Authority Special
Publication Series (3).
Lefaan, P. Th., Setiadi. D., Djokosetiyanto. D. 2013. Struktur Komunitas Lamun di
Perairan Pesisir Manokwari. Maspari Journal, 2013, 5 (2), 69-81.
Marlina, Yanti. 2015. Struktur Komunitas Lamun Pantai Sekera Kecamatan Bintan
Utara Kabupaten Bintan. Skripsi Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritin Raja Ali Haji (online).
Tersedia: http://jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1
ec61c9cb232a03a96d0947c6478e525e/2015/09/Skripsi.pdf. (13 Februari
2016).
Minerva A, Purwanti F, dan Suryanto A. 2014. Analisis hubungan keberadaan dan
kelimpahan lamun dengan kualitas air di Pulau Karimunjaya, Jepara.
Diponegoro Jurnal of Maquares. Volume 3, Nomor 3.
Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan dalam Hardiyanti Sri, et al.
2012. Analisis vegetasi lamun di perairan pantai mara’bombang kabupaten.
Priosambodo D. 2014. Sebaran Spasial Komunitas Lamun di Pulau Bone Batang
Sulawesi Selatan. Jurnal Sainsmat, Vol III, No 2.
Sarinawaty P, Idris F, Nugraha A. H, 2020. Karakteristik Morfometrik Lamun
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii di Pesisir Pulau Bintan. Journal
of Marine Research. Vol 9, No 4, Hal 474-484
Saputro, M. A., Ario, R., Riniatsih, I., 2018. Sebaran Jenis Lamun di Perairan Pulau
Lirang Maluku Barat Daya Provoinsi Maluku, Vol 7, No 2, Hal 97-105
Sjafrie N.D.M. 2018. Buku Status Padang Lamun, Pusat Penelitian Oseanografi, Ver
2.
Tahapary, R., Tuaputty, H., Liline, S., Kurnia, T. S., Kubangun, M. T., 2019.
Keanekaragaman Jenis dan Kepadatan Ikan di Pantai NEGERI Akoon
Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Bionature, Vol 20,
No 2.
25

Tangke. U. 2010. Ekosistem padang lamun. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan
(agrikan UMMU-Ternate), vol 3, edisi 1.
Tuapatinaya, P. M. J., Kurnia, T. S., Lattupeirissa, L. 2021. Kondisi dan Keragaman
Jenis Lamun di Perairan Pantai Pulau Ambon, Jurnal Biologo Pendidikan
dan Terapan, vol 7, no 2, hal 95-101
Tuhumury S.F. 2008. Status Komunitas Lamun di Perairan Pantai Teluk Ambon
Dalam, vol 7, no 2, hal 85-88
26

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai