Anda di halaman 1dari 58

PENGARUH PEMBERIAN DOSIS PAKAN YANG BERBEDA

PADA BUDIDAYA PENGGEMUKAN KEPITING BAKAU (Scylla


Spp) DI TAMBAK TRADISIONAL

SKRIPSI

Oleh :

EDY

13.101010.009

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TARAKAN
2017
PENGARUH PEMBERIAN DOSIS PAKAN YANG BERBEDA
PADA BUDIDAYA PENGGEMUKAN KEPITING BAKAU
(Scylla spp) DI TAMBAK TRADISIONAL

Oleh :
EDY
13.101010.009

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelatuan

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TARAKAN
2017
RIWAYAT HIDUP

EDY lahir di stabu pada tanggal 5 september 1993


sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak
Bahar Abdullah dan Ibu Mandaya. Pendidikan formal yang
pernah ditempuh antara lain SDN 008 liagu 2002-2007, SMPN
03 liagu 2007-2010, dan SMKN 3 Tarakan Jurusan Agribisnis
Perikanan pada Tahun 2010-2013.

Penulis diterima di Universitas Borneo Tarakan melalui jalur Bidik Misi pada
tahun 2013 dan memilih Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan di Jurusan Budidaya
Perairan. Selama kuliah penulis juga aktif di internal kampus yakni di Badan
Eksekusif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan 2014-2015, aktif di
eksternal kampus yakni Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) Komisariat hukum
Cabang Tarakan, dan di Jaringan Aktivis Filsafat Islam ( JAKFI ) Rausyan Fikr
Yogyakarta.

Pada tahun 2015 penulis melaksanakan Magang di CV. Panca Jaya,


pembibitan Udang Windu di Kota Tarakan. Pada tahun 2016 penulis melaksanakan
praktek kerja lapang ( PKL ) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (
BBPBAB ) Maros, sulawesi selatan. Pada tahun 2016 penulis melaksnakan Kuliah
Keja Nyata ( KKN ) di desa Sekatak Buji, Kecamatan Sekatak, Kabupaetn Bulungan.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis


melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Dosis Pakan yang
Berbeda Pada Budidaya Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla spp) di Tambak
tradisional”.
ABSTRAK

Berdasarkan pengamatan awal di lapangan, umumnya para pembudidaya


kepiting bakau tidak menentunya dosis pakan yang diberikan terhadap penggemukan
kepiting bakau, sehingga para pembudidaya tidak mengetahui jumlah optimal berapa
% dosis pakan yang dibutuhkan dalam meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau,
dan karena tidak menentunya jumlah dosis pakan pakan yang diberikan, hanya akan
membuat pemborosan khusunya di bagian pakan. Tujuan dari peneltian ini adalah
untuk mengetahui jumlah optimal dosis pakan yang diberikan tehadap penggemukan
kepiting bakau ( Scylla spp ). Rancangan yang digunakan dalam pemelihraan ini
adalah acak lengkap dengan 4 perlakuan : A jumlah dosis sebesar 6 %, B jumlah
dosis sebesar 10 %, C jumlah dosis sebesar 14 %, dan C jumlah dosis sebesar 18 %.
Hasil data menunjukkan rata—rata pertumbuhan kepiting bakau yang terbaik pada
perlakuan D yaitu pemberian jumlah dosis pakan sebesar 18 %, kemudian disusul
perlakuan B, sebesar 10 %, kemudian C sebesar 14 %,dan A sebesar 6 %. Hasil uji
Anova pemberian dosis pakan yang berbeda menunjukkan tidak memberikan
perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan kepiting bakau ( Scylla spp ).

Kata kunci : Kepiting Bakau, Dosis Pakan, pertumbuhan


ABSTRACT

Based on initial observation in the field, generally the cultivators of mangrove


crabs do not determine the dose of feed given to the fattening of mangrove crabs, so
the farmers do not know the optimal number of % of the feed doses needed to
increase the growth of mangrove crab, and because of the unpredictable number of
feed doses given, will only make waste especially in the feed. The purpose of this
study is to determine the optimal amount of feed dose given to crab fattening crabs
(Scylla spp). The design used in this care was completely randomized with 4
treatments: A dose amount of 6%, B dose amount of 10%, C total dose of 14%, and C
amount of dose by 18%. The data showed the best growth rate of mangrove crabs on
treatment D was feeding dose amount of 18%, followed by treatment B, 10%, then C
14%, and A 6%. Anova test results of different feed dosages showed no significant
difference to the growth of mangrove crab (Scylla spp).

Keywords: Mangrove Crab, Feed Dose, growth


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala nikmat yang
diberikan mulai dari awal penyusunan skripsi ini diberi kesehatan, kemampuan, dan
kemauan sehingga pada saat ini penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan
baik. Serta Salam dan Doa tidak lupa selalu kita berikan kepada para pemimpin kita,
orang Tua kita, semoga keselamatan selalu menyertai kita. Dimana judul skripsi
penulis adalah “Pengaruh Pemberian Dosis Pakan Yang Berbeda Pada Budidaya
Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla Spp) Di Tambak Tradisional”. Dalam
penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, serta
dukungan semua pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang
hati menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Rukisah Saleh, P.hD, selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Borneo Tarakan.
2. Bapak Jimmy Cahyadi, M.Siselaku Ketua Jurusan Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakkan.
3. Bapak Dr. Heppi Iromo, M.Si sebagai pembimbing pertama yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis selama proses awal,
pelaksanaan hingga selesainya skripsi ini.
4. Bapak bapak Dr. Aziz Hamzah, S.Pi, M.Si, sebagai pembimbing kedua yang
telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis selama proses awal,
pelaksanaan, hingga selesainya skripsi ini.
5. Bapak Mohammad Fadnan Akhmadi, S.pi.,M.Sc sebagai penguji pertama
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dalam penyusunan
dan peyempurnaan skripsi ini.
6. Bapak Gazali Salim, S.kel.,M.Si sebagai penguji kedua yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan saran dalam penyusunan dan
peyempurnaan skripsi ini.
7. Kedua orang Tua saya Bahar Abdullah / Mandaya dan kakak saya Sumarni
dan Nurmiati yang telah memberikan dukungan, doa, dan materi kepada
penulis selama menempuh masa studi perkuliayahan sehingga meyelesaikan
skripsi ini.
8. Seluruh staf pengajar diJurusan Budidaya Perairan dan Manejemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Universita
Borneo Tarakan.
9. Teman seperjuanganku angkatan Barracuda XII yang telah banyak
mendukung dan membantu untuk semua kebersamaan dan motivasi selama
kuliah, semoga kita dapat berkumpul kembali menjalin silaturahmi dan
kebersamaan yang abadi.
10. Terimakasih kepada Kanda, Yunda dan Dinda terkhusus dari Himpunan
Mahasisawa Islam ( HMI ) komisariat hukum Cabang Tarakan, ustad-ustad
Jaringan Aktifis Filsafat Islam ( Jakfi) Rausyan Fikr Yogyakarta, sahabat-
sahabat dari Pergerakan Mahasiswa Indonesia ( PMII ) Cabang Tarakan, dan
teman- teman dari GMKI Cabang Tarakan yang telah banyak memberikan
masukan dan semangat kepada peneliti hingga terselesaikannya skirpsi ini.
11. Saya juga banyak berterimakasih kepada Siti Fadila Dwi Lestari, bang Dika
Ramdani,bang Riyan, bang Asriadi, bang Ardy, bang Rusdy, bang Wandy,
dan bang Mawardy yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan
selama ini.

Skripsi ini disusun jauh dari kesempurnaan, untuk selanjutnya sangat


diharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan dan manfaat bagi semua pihak.Akhir
kata, semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat, taufik dan Hidayah Nya kepada
kita semua yang telah memberikan bantuan serta dukungan.

Tarakan, 27 November 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................... i


HALAMAN JUDUL ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................... iii
RIWAYAT HIDUP ................................................................ iv
ABSTRACT ............................................................................ v
ABSTRAK .......... .................................................................. vi
SURAT PERNYATAAN ...................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................... xii

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................. 1
1.2. Tujuan .......................................................................... 3
1.3. Manfaat ........................................................................ 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Klasifikasi dan Morfologi kepiting Bakau ................... 4
2.2. Jenis-jenis kepiting Bakau............................................ 5
2.3. Perbedaan Morfologi Jantan dan Betina kepiting ....... 6
2.4. Habitat dan penyebaran ................................................ 7
2.5. Kebiasaan makan dan cara makan ............................... 8
2.6. Siklus hidup.................................................................. 8
2.7. Pertumbuhan dan efesiensi pakan ................................ 12
2.8. Pakan segar................................................................... 12
2.9.Budidaya penggemukan di tambak ............................... 13
2.10. kualitas Air ................................................................. 18
III. METODELOGI
3.1. Tempat dan Waktu ....................................................... 20
3.2. Alat dan Bahan ............................................................. 20
3.3. Perlakuan dan rancangan percobaan ............................ 21
3.4. Prosedur penelitian ....................................................... 22
3.5. Analisis Data ................................................................ 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kepiting Bakau............................................................. 25
4.2. Laju Pertumbuhan Spesifik .......................................... 26
4.3. Pertumbuhan berat Mutlak ........................................... 28
4.4. Kelangsungan Hidup/ SR ............................................. 29
4.5. Kualitas Air .................................................................. 31

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan .................................................................. 32
5.2. Saran............................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Alat yang digunakan dalam penelitian .......................... 20
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ...................... 20
3. Parameter Kualitas Air .................................................. 31
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Dokumentasi selama penelitian..................................... 38
2. Pertumbuhan berat spesifik kepiting bakau .................. 41
3. Pertumbuhan berat mutlak kepiting bakau ................... 43
4. Data Anova berat spesifik kepiting bakau..................... 45
5. Data Anova berat mutlak kepiting bakau ..................... 46
DAFTAR GABAR

Gambar Halaman
1. Morfologi kepiting bakau ............................................. 4
2. Jenis –jenis kepiting bakau ........................................... 5
3. Kepiting Jantan ............................................................. 7
4. Kepiting Betina ............................................................. 7
5. Grafik pertumbuhan berat spesifik ................................ 26
6. Grafik pertumbuhan berat Mutlak ................................. 28
7. Grafik kelangsungan hidup ........................................... 30
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomis
penting di Kalimantan Utara. Nilai jualnya cukup tinggi terutama pada kepiting
bertelur dan kepiting soka (soft crab). Tingginya permintaan kepiting menyebabkan
semakin tingginya penangkapan kepiting di alam. Keberadaannya saat ini dalam
kondisi yang mengkuatirkan akibat exploitasi yang besar-besaran mulai dari yang
ukuran kecil hingga induk yang matang gonad. Jika tidak diimbangi dengan usaha
peningkatan budidayanya maka dimasa mendatang akan terjadi penurunan populasi
(Iromo, et al. 2014).
Diwilayah Tarakan memiliki lautan yang mempunyai potensi sumberdaya
perikanan yang cukup besar. Salah satu sumberdaya perikanan yang mempunyai nilai
ekonomis yang cukup tinggi adalah kepiting bakau, hal ini disebabkan karena
diwilayah tarakan memiliki mangrove yang masih mendukung kehidupan kepiting
bakau sebagai habitatnya. Propinsi ini memiliki banyak pulau-pulau kecil tanpa
penghuni yang hanya digunakan sebagai usaha tambak tradisional untuk budidaya
udang windu dan ikan bandeng. (Iromo, et al. 2010). Pulau Tarakan memiliki
tambak-tambak udang tradisional yang saat ini tidak dimanfaatkan secara optimal.
Hal ini diduga karena seringnya petambak gagal panen sehingga tambaknya kurang
dimanfaatkan lagi untuk budidaya udang windu. Namun saat ini telah ada usaha yang
memanfaatkan tambak-tambak tersebut yaitu usaha budidaya kepiting. Budidaya
kepiting bakau yang masih berjalan dan terus berkembang antara lain; usaha
pengemukan kepiting, pematangan telur induk, pembesaran kepiting dan usaha
kepiting lunak (soft crab). Bibit dari usaha budidaya kepiting tersebut masih
mengharapkan hasil penangkapan dari alam. Inilah yang memicu tingginya
penangkapan kepiting dari berbagai ukuran. (Iromo et al. 2014).
Ada beberapa penelitian mengenai budidaya kepiting bakau yang sudah meneliti
sebelumnya yaitu Yoktan Apui (2015), dengan judul Pengaruh Padat Tebar yang
bereda terhadap pertumbuhan kepiting bakau, Akhmadi (2010) dengan judul
2

Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Berat dan Kelangsungan
Hidup pada Penggemukan Kepiting Bakau, dan Yosie (2015) dengan pemberian jenis
pakan ikan yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting
bakau, yang menghasilkan jenis ikan rucah mujair yang optimal dalam menambahkan
berat dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Oleh karena itu hasil yang didapatkan
adalah ikan mujair, maka peneliti mengambil jenis pakan mujair dalam menetukan
jumlah dosis pakan yang optimal pada budidaya penggemukan kepiting bakau.
Menentukan dosis pakan salah satu aspek budidaya yang perlu diketahui, karna
bisa mempengaruhi laju pertumbuhan, sintasan, dan tingkat produksi. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, pembudidaya kepiting sudah ada yang melakukan
penggemukan kepiting dewasa, namun para pembudidaya tidak ada yang mengetahui
pasti jumlah dosis pakan yang optimal dalam melakukan penggemukan kepiting.
Bahkan para pembudidaya memberikan pakan yang tidak menentukan jumlah
dosisnya sehingga banyak sisa-sisa pakan yang tidak dimakan oleh kepiting dan sisa
pakan tersebut dapat meyebabkan racun bagi kepiting, membuat kualitas air menjadi
tidak stabil, dan dapat menyebabkan pemborosan pakan. Penelitian ini mengenai
penggemukan kepiting bakau dengan pemeberian dosis pakan yang berbeda dengan
tujuan untuk mengetahui jumlah dosis pakan yang optimal untuk penggemukan
kepiting bakau.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis pakan yang optimal
pada penggemukan kepiting bakau di tambak tradisional

1.3. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi kepada masyarakat


terutama pembudidaya kepiting bakau tentang menentukan jumlah dosis pakan yang
optimal dalam budidaya penggemukan kepiting bakau.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau

Dalam taksonomi (sistem penamaan), kepiting bakau memiliki nama ilmiah


Scylla serata, menurut (Oemardjati, BS.1992) urutan penamaan kepiting bakau
adalah sebagai berikut :
Phylum: Arthropoda
Class : Crustasea
Ordo: Decapoda
Sub Ordo: Brachyura
Family: Portunidae
Sub family: Lipolinaae
Genus: Scylla
Spesies: Scylla serrata
Scylla transqueberica
Scylla olivaccea
Scylla paramamosain

Gambar 1. Morfologi Kepiting Bakau. (Sumber Sulistiono 2016)

Kepiting bakau (Scylla spp) memiliki ukuran lebar karapas lebih besar dari
pada ukuran panjang tubuhnya dan permukaannya agak licin. Pada dahi antara
sepasang matanya terdapat enam buah duri dan disamping kanan serta kirinya
5

terdapat sembilan buah duri. Kepiting bakau jantan mempunyai sepasang capit yang
dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat dari pada panjang karapaksnya,
sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek. Selain itu, kepiting baku juga
memiliki 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Kepiting bakau berjenis
kelamin jantan ditandai dengan abdoment bagian bawah berbentuk segitiga
meruncing, sedangkan pada betina kepiting bakau melebar.

2.2. Jenis-jenis Kepiting Bakau

Menurut Keenan (1999) terdapat paling sedikit empat species kepiting bakau
dibawah genus Scylla yaitu Scylla serrata, Scylla transquebarica, Scylla olivaccea
dan Scylla paramamosain. Adapun gambar jenis kepiting bakau sebagai berikut:

Gambar 2. Jenis-jenis kepiting bakau ; Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla Olivacea
(Herbst,1796), Scylla paramamosain (Estampador, 1949), Scylla
transquebarica (Fabricius 1798). (Sumber; Akhmadi 2010)

2.2.1. Scylla serrata, memiliki warna relatif sama dengan warna lumpur,
hijau coklat sampai kemerah-merahan seperti karat, yaitu coklat
kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada
6

abdomennya. Pada propodusnya bagian atas terdapat sepasang duri


yang runcing dan 1 buah duri pada propodus bagian bawah. Selain itu
habitat kepiting bakau spesies ini sebagian besar dihutan-hutan bakau
diperairan Indonesia.
2.2.2. Scylla transquebarica, memiliki warna kehijauan agak hitam dengan
sedikit garis coklat pada kaki renangnya dengan kombinasi kuning
sampai orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada
bagian abdomennya. Pada propodus bagian atas terdapat sepasang
duri,tetapi tidak runcing dan 1 buah duri yang tumpul pada abdomen
bagian bawah.
2.2.3. Scylla olivacea, spesies ini lebih didominasi dengan warna agak
orange kehijauan menuju keabu-abuan hampir seluruh bagian tubuh
kecuali bagian perut dan ukuran badannya jauh lebih besar dari pada
spesies yang lain. Dengan capit yang lebih panjang, maka spesies ini
lebih cepat memburu makanan. Namun harga spesies ini lebih rendah
dibandingkan dengan spesies lain, sehingga petani tidak suka
membudidayakannya. Kepiting ini biasa ditemukan di perairan Afrika
dan Laut Merah.
2.2.4. Scylla paramamosain, spesies ini lebih didominasi dengan warna
coklat kemerah-merahan atau coklat keungu-ungu/keabu-abuan
terutama pada karapaksnya.

2.3. Perbedaan Morfologi Jantan dan Betina Kepiting Bakau

Menurut Moosa et al. (1985), dalam membedakan jenis kelamin kepiting bakau
jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Pada
kepiting jantan tempat dimana organ kelamin menempel pada bagian perutnya
berbentuk segi tiga agak meruncing, dan kepiting betina bentuk organ kelaminnya
cendrung berbentuk segi tiga yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul.
Selain dengan memperhatikan bentuk perutnya, untuk membedakan antar kepiting
jantan dan kepiting betina dapat dilakukan dengan melihat ruas-ruas abdomennya,
7

pada kepiting jantan ruas abdomennya sempit sedangkan kepiting betina lebih besar,
seperti pada gambar berikut :

Gambar 3. Kepiting Jantan. (Sumber Sulistiono 2016)

2.4.Habitat dan Penyebaran

Menurut Ghufron (1997) dalam pertumbuhannya semua jenis kepiting sering


berganti kulit (moulting). Habitat kepiting tergantung dari daur hidupnya, dalam
menjalani hidupnya kepiting beruaya dari perairan pantai keperairan laut, kemudian
induk dan anak-anaknya kembali keperairan pantai, muara-muara sungai atau hutan
bakau. Kepiting yang siap melakukan perkawinan akan masuk keperairan hutan
bakau atau tambak. Setelah melakukan perkawinan itu, kepiting betina perlahan-lahan
meninggalkan pantai ketengah laut untuk berpijah. Setelah telur menetas maka
muncul larva tingkat 1 (Zoea 1) dan terus-menerus berganti kulit sambil terbawa arus
ke perairan pantai.
Menurut Ghufron (1997) penyebaran kepiting cukup luas mulai dari Selatan dan
Timur Afrika, Mozambi, terus ke Iran, pakistan, India, Srilanka, Bangladesh, Negara
ASEAN, Cina, Vietnam, Kamboja, Jepang, Taiwan, Lautan Pasifik, Hawai, Selandia
Baru dan Australia Selatan.

2.5. Kebiasaan Makan dan cara makan

Kanna (2002) mengemukakan bahwa pakan yang diberikan untuk kepiting


berupa potongan-potongan daging ikan, cumi-cumi, maupun daging udang, dan
8

ukuran pakan juga disesuaikan dengan kemampuan kepiting untuk mencengkram


pakan. Kepiting tergolong pemakan segala (omnivora) dan pemakan bangkai
(scavenger). Sedangkan larva kepiting memakan plankton. Kepiting tergolong hewan
nocturnal, pada saat siang hari kepiting cendrung membenamkan diri atau
bersembunyi di dalam lumpur.
Dalam mencari makan kepiting bakau lebih suka merangkak. Kepiting lebih
menyukai makanan alami seperti algae, bangkai hewan dan udang – udangan.
Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (Omnivora) dan pemakan bangkai
(Scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan Plankton.
Kepiting menggunakan capitnya yang besar untuk makan, yaitu menggunakan capit
untuk memasukkan makanan kedalam mulutnya. Kepiting mempunyai kebiasaan
yang unik dalam mencari makan, bila didaerah kekuasaannya diganggu musuh, maka
kepiting dapat saja menyerang mangsanya dengan ganas (Soim 1999).

2.6. Siklus Hidup


Menurut Ghufron (1997), kepiting yang siap melakukan perkawinan akan masuk
kehutan bakau atau tambak, setelah perkawinan, kepiting betina perlahan-lahan
meninggalkan pantai ketengah untuk berpijah, setelah telur menetas maka larva
tingkat 1 (zoea 1) dan terus-menerus berganti kulit sampai terbawa arus keperairan
pantai. Sedangkan kepiting jantan setelah melakukan perkawinan atau yang telah
dewasa akan tetap tinggal dihutan bakau, pada bagian yang berlumpur yang terdapat
banyak organisme sebagai makanannya. Kepiting bakau yang telah beruaya
keperairan laut akan melakukan pemijahan, setelah telur menetas muncul larva stadia
1 (zoea 1) yang akan terus-menerus berganti kulit sebanyak 5 kali sampai terbawa
arus keperairan pantai. Kemudian tubuh kepiting berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang tubuhnya hampir mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih
memiliki ekor yang panjang.
9

2.7. Moulting

Crustacea merupakan hewan berkulit keras sehingga pertumbuhannya dicirikan


oleh proses pergantian kulit (Kordi,2007). Setiap terjadi ganti kulit, kepiting akan
mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan pertambahan ukuran karapaks
maupun beratnya. Umumnya pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai dari
stadium instar sampai dewasa. Selama proses ganti kulit, maka bagi kepiting dewasa
yang mengalami pergantian kulit perlu tempat yang cukup luas.
Menurut Fujaya dkk (2012) bahwa proses pergantian kulit pada kepiting dimulai
dengan adanya pergerakan tubuh, kulit baru berusaha menekan karapas keatas dan
kearah belakang diikuti dengan kedua sisi karapaks. Proses ini bersama dengan
keluarnya seluruh anggota badan (capit dan kaki-kaki) dan semua yang terletak pada
bagian depan. Waktu yang dibutuhkan dalam proses moulting ini sampai dengan
kondisi tubuh yang lemah adalah ± 6 jam baru mulai makan. Makanan yang pertama
dimakan adalah karapaks setelah moulting.

2.7. Pertumbuhan dan Efesiensi Pakan

Pertumbuhan pada kepiting bakau merupakan pertumbuhan bobot badan dan lebar
karapas yang terjadi secara berkala setelah terjadi pergantian kulit atau molting (
sheen dan Wu 1999). Fujaya (2008) menambahkan bahwa kepiting kepiting tidak
dapat tumbuh secara linear sebagaimana hewan lain karena kepiting memiliki
cangkang luar yang keras yang tidak dapat tumbuh, karenanya agar kepiting dapat
bertumbuh maka karapas lama harus diganti yang baru dan lebih besar.
Pertumbuhan didahului oleh pergantian karapas yang dimulai dengan pembelahan
sel-sel epidermis secara mitosis menjadi berbentuk padat, rapat dan kolumner.
Pembelahan sel-sel epidermis menyebabkan terjadinya tegangan pada permukaan sel-
sel epidermis sehingga kutikula terpisah dari cairan epidermis. Cairan ganti kulit
disekresikan ruang antara kutikula dan epidermis hinggga kutikula yang berbentuk
sempurna.
10

Menurut Karim (2007) ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan


pertumbuhan kepiting yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam yaitu ukuran jenis
kelamin dan kelangkapan anggota tubuh, sedangkan faktor luar yaitu ketersediaan
pakan, cahaya, suhu dan salinitas. Karim (2007) menambahkan bahwa pada
umumnya pertumbuhan kepiting bakau tergantung pada energy yang tersedia,
bagaimana energy tersebut digunakan dalam tubuh dan pertumbuhan hanya akan
terjadi apabila terdapat kelebihan energy setelah kebutuhan energy minimalnya (
untuk hidup pokok) terpenuhi.

2.8. Pakan segar

Kepiting pada umumnya suka memilih makanan yang masih segar, dagingnya
tidak mudah hancur dan berbau merangsang. Oleh karena itu dalam memilih pakan
sebaiknya memilih pakan memenuhi kreteria tersebut. Namun demikian perlu
dipertimbangkan harga serta ketersediaan pakan tersebut (Kuntiyo et al, 1993)
Kepiting yang telah dewasa lebih senang makan daging, bahkan bangkai juga
disukai (scavenger). Pakan yang telah ditangkap dan dihancurkan oleh capitnya akan
segera dimasukkan kedalam mulut, tetapi makanan tidak langsung masuk kedalam
perut melainkan disaring dahulu dan yang dapat dimakan saja yang terus masuk
kedalam perut ( Kasry, 1996)
Beberapa alternatif pakan yang bisa diberikan adalah ikan ruca segar, ikan ruca
kering tawar, kulit sapi/kambing, jenis siput (keong sawah) ,bekecot, dagung ular,
belut, kerang (kapah / atau sejenisnya). Untuk pemberian pakan ikan air tawar
sebaiknya direndam dulu.

2.9. Budidaya Penggemukan di Tambak

Pengembangan usaha budidaya penggemukan kepiting bakau (Scylla sp)


semakin berkembang, hal ini guna untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
melalui sektor perikanan. Adapun langkah-langkah yang diperhatikan dalam
budidaya tersebut sebagai berikut;
11

2.9.1. Pemilihan Lokasi


Seperti halnya pada usaha budidaya perikanan yang lain, pada usaha budidaya
kepiting ini juga memerlukan persyaratan lokasi yang harus dipenuhi. Hal ini agar
dapat mencapai keberhasilan yang diimpikan. Menurut Kanna, (2002), persyaratan
lokasi budidaya kepiting antara lain :
 Sarana mobilitas lancar
 Banyak ditumbuhi pohon bakau atau api-api
 Kedalaman tidak lebih dari 75 cm
 Tektur tanah lumpur liat berpasir (sandy loam)
 Kadar garam antara 15 - 30 ‰
 Suhu bervariasi antara 24 - 32oC
 pH air antara 6,5 - 8,5
 Air tidak tercemar limbah racun dan pengaruh banjir
2.9.2. Persiapan Lahan Tambak
Persiapan lahan tambak untuk kegiatan budidaya penggemukan kepiting
meliputi beberapa sub kegiatan antara lain pengeringan tanah dasar, pemupukan,
pengapuran dan pengisian air. Arif (2008) mengatakan beberapa kegiatan dalam
persiapan lahan budidaya sebagai berikut;
a. Perbaikan Konstruksi.
Kegiatan perbaikan konstruksi meliputi perbaikan pematang yang bocor,
saluran air dan konstruksi lainya. Disamping itu, endapan lumpur yang terlalu
dalam disekeliling caren perlu dikeruk. Hasil kerukan lumpur tersebut
ditimbunkan di atas pematang.
b. Pengeringan Tanah Dasar.
Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan untuk menyuburkan tanah
sehingga pertumbuhan makanan alami terutama klekap terjamin. Pengolahan
dasar tambak dapat juga dimaksudkan untuk menghilangkan berbagai senyawa
sulfide (H2S) dan senyawa-senyawa beracun lainya seperti amoniak (NH3).
Pengeringan tanah dasar tambak dilakukan sampai retak-retak agar dapat
membunuh organisme pathogen yang berkembang di dasar tambak.
12

c. Pemupukan.
Pemupukan dilakukan untuk menumbuhkan pakan alami. Oleh karena itu,
sebaiknya tanah dasar yang sudah kering ditaburi pupuk kandang 1000 kg/ha dan
diairi sedalam 5-10 cm. Kemudian dasar tambak ditebari pupuk organik seperti
urea 15 kg/ha dan TSP 75kg/ha. Setelah pakan alami tumbuh secara berangsur-
angsur tinggi air dapat dinaikan dan pada saat demikian bibit kepiting sudah
dapat ditebarkan.
d. Pengapuran.
Salah satu hal yang juga diperlukan dalam budidaya kepiting adalah
pengapuran. Seperti halnya udang, kepiting memerlukan kapur dalam proses
pergantian kulit. Pengapuran juga berguna untuk menaikan pH tambak yang
rendah, mengikat CO2 yang berlebihan karena proses pembusukan dan
pernapasan serta mempercepat proses penguraian bahan organik. Pemberian
kapur sebaiknya dilakukan satu sampai dua minggu sebelum pemupukan dengan
dosis 3000-6000 kg/ha.
e. Pengisian air.
Pengisian air dilakukan setelah kegiatan pemupukan dilakukan. Tinggi air
dalam tambak sekurang-kurangnya 0,75-1,0 m. dengan ketinggian air demikian,
kegiatan kepiting menggali dasar pematang dapat dikurangi. Air yang terlalu
dangkal tidak baik untuk budidaya kepiting, karena pada saat suhu meningkat di
siang hari mengakibatkan kepiting membutuhkan banyak oksigen. Sehingga
kepiting banyak naik ke permukaan pematang untuk bernafas.

2.9.3. Pemilihan Benih


Kesehatan benih merupakan satu diantara faktor yang menunjang
keberhasilan dalam usaha penggemukan kepiting. Kesehatan benih juga bisa dilihat
dari kelengkapan kaki kakinya. Hilangnya capit akan berpengaruh pada kemampuan
untuk memegang makanan yang dimakan serta kemampuan sensorisnya. Walaupun
pada akhirnya setelah ganti kulit maka kaki yang baru akan tumbuh tetapi hal ini
memerlukan waktu, belum lagi adanya sifat kanibalisme kepiting, sehingga kepiting
13

yang tidak bisa jalan karena sedang ganti kulit sering menjadi mangsa kepiting
lainnya. Untuk itu maka harus dipilih benih yang mempunyai morfologi tubuh yang
lengkap. Benih kepiting yang kurang sehat warna karapas akan kemerah-merahan dan
pudar serta pergerakannya lamban.

2.9.4. Pemberian Pakan


Kepiting termasuk hewan karnivora (pemakan daging). Untuk penggemukan
kepiting tersebut dosis pakan sebanyak 10 – 15 % dari total biomassa dengan
frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari. Soim (1995), mengatakan bahwa dosis
pakan yang diberikan adalah ikan rucah dengaan jumlah 3-5% dati total bobot
kepiting di tambak, lama pemeliharaan tersebut tergantung dari bobot benih yang di
gunakan. Jumlah pakan diberikan disesuaikan dengan kebutuhan, dapat dilihat dari
sisa pakan yang tidak termakan. Jika pakan dimakan seluruhnya, maka pemberian
pakan selanjutnya sebaiknya ditambah. Dan sebaliknya apabila faktor lingkungan
tidak bersahabat hal itu membuat selera nafsu makan kepiting menurun dan
mengakibatkan sisa pakan yang berdampak akhirnya pada pembusukan yang
menimbulkan gas H2S yang berbahaya bagi kelangsungan hidup dan organisme yang
dibudidayakan.
Kasry (1996), menyatakan bahwa frekuensi pemberian pakan dalam usaha
penggemukan sekali dalam sehari, ikan rucah yang diberikan 200 gram/ekor, dan jika
tersedia bekicot hidup dapat diberikan sekitar 100 gram/m 2. Sulaeman et al (1993),
menambahkan bahwa kandungan ikan rucah segar adalah protein 26,31%, lemak
3,43%, serat 0,6%, air 62,36% dan lain lain 7,3%.
Menurut Prianto (2007) bahwa, Untuk menemukan makanannya kepiting
menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh. Antena
memiliki indera penciuman yang mampu merangsang kepiting untuk mencari makan.
Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak langsung dengan makanan,
chelipeds dengan cepat menjepit makanan tersebut dan langsung dimasukkan ke
dalam mulut. Kepiting juga mengandalkan capitnya untuk mempertahan diri dari
serangan predator atau kepiting lain yang hendak mengganggunya.
14

2.9.5. Pemanenan
Masa pemeliharaan penggemukan kepiting relatif singkat atau juga
tergantung dari awal penebaran bibit biasanya antara 15 - 20 hari. Petani memanen
kepiting dilakukan secara selektif yaitu dengan cara memasang ambau tancap setelah
kepiting yang dipelihara berkurang maka dapat dipanen secara total dengan cara
membuka saluran air sehingga air di tambak menjadi kering. Kemudian kepiting
diikat kakinya dengan tali raffia atau karet kemudian dimasukkan ke dalam
keranjang, kepitingpun siap untuk dibawa ke pos pengumpul kepiting. Yang perlu
diperhatikan adalah tempat dan waktu penyimpanan sebelum didistribusikan kepada
konsumen menentukan kesegaran dan laju dehidrasi karena kehilangan berat sekitar
3 - 4% dapat menyebabkan kematian.

2.1O. Kualitas Air


Kualitas air dalam budidaya perairan sangat memegang peran penting, artinya air
yang digunakan dapat membuat mahluk hidup tumbuh kembang dan
mempertahankan hidupnya. Air sebagai media hidup bagi organisme yang hidup
didalamnya (termasuk kepiting) akan berpengaruh langsung terhadap kelangsungan
hidup dan pertumbuhan organisme tersebut, sehingga kualitas air baik yang bersifat
fisik kima dan biologi perlu dijaga sebaik mungkin. Penggunaan air sebagai media
tumbuh baik untuk kegiatan pembesaran maupun pembenihan, harus memperhatikan
beberapa faktor seperti, suhu air, oksigen terlarut, derajat keasaman air, serta
amoniak, (Afrianto, 1992).
2.10.1. Suhu
Nafsu makan kepiting dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang tinggi yaitu; 25
o
C, hampir 60% kepiting aktif mencari makan, tetapi jika suhu diturunkan
menjadi 12 oC kepiting tidak aktif mencari makan (HIill, 1982). Untuk kegiatan
pematangan gonad kepiting bakau, kisaran suhu yang biasanya digunakan adalah
26-32oC. perubahan suhu berperan dalam metabolisme dan kegiatan lainnya (hill
1982). Penyesuaian terhadap suhu dilakukan oleh kepiting dengan cara
15

membenamkan diri kedalam lubang berlumpur atau melalui transpirasi dan


pengubahan warnah tubuh.
2.10.2 Salinitas
Perubuhan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur
organisme. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting
akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannnya
melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Salinitas air dalam tambak yang
baik untuk kegiatan budidaya kepiting soka berkisaran 15-30 ppt dan kepiting
masih bisa hidup dibawah 15 ppt ( Kasry, 1996).

2.10.2. pH
pH lebih dikenal dengan istilah derajat keasaman. pH singkatan dari
puissance negatif de H, yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hydrogen)
yang terlepas dalam suatu cairan ( Afrianto, 1992). Heasman dan Fielder (1983)
mengemukakan bahwa pH yang optimum untuk pemeliharaan kepiting adalah
berkisaran antara 7,2-7,8, sedangkan untuk kegiatan pematangan telur kepiting
bakau,kisaran pH adalah 7,5-8,5 (Afrianto, 1992).
2.10.3. DO (oksigen terlarut)
Oksigen terlarut dalam tambak berasal dari dua sumber utama yaitu dari
proses difusi gas O2 dsr udara bebas saat ada perbedaan tekana parsial diudara
dan masuk kedalam air, dan bersumber dari fotosintesa (Boyd, 1990). Difusi
gas ini dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas, difusi akan menurun
sejalan dengan meningkatnya salinitas dan suhu air. Sedangkan pengaruh
fotosinresa pada keberadaan oksigen dalam air tergantung pada kelimpahan
phytoplankton dan kekeruhan. Plankton akan berpengaruh pada produksi dan
konsumsi oksigen, sedangkan kekeruhan lebih berpengaruh pada banyaknya
produksi oksigen.

Oksigen terlarut tidak saja digunakan untuk pernafasan biota dalam air tetapi
juga untuk proses biologis lainnya. Jika oksigen terlarut dalam keadaan minim
dapat menyebabkan stress dan meningkatkan peluang imfekwsi penyakit. Ketika
16

kelarutan oksigen rendah sedagkan konsentrasi CO2 tinggi kemampuan ikan,


udang, kepiting dan sejenisnya dalam mengambil oksigen akan terganggu
(ISU,1992).

Ghufran (2012) kepiting bisa tumbuh dan berkembang dengan baik ditambak
dengan kadar oksigen terlarut 4-7 ppm, kepiting akan mengalami stress bila
kadar oksigen terlarut dalam tambak <3 mg/l. Hasil penelitian wahyuni dan W.
Ismail (1997) kepiting bakau membutuhkan oksigen terlarut dalam perairan
sekurang-kurangnya 3 mg/l.
III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 20 hari pada bulan Mei tanggal 24 di tambak
tradisional di jalan pamusian Kecamatan Tarakan timur kota Tarakan yang
merupakan kawasan pertambakan tradisional kepiting Tarakan Kalimantan Utara.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperti yang terlihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel 1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
No Nama Alat Fungsi
1. Timbangan Digital Menimbang bahan uji dan sampel
2. Tali Nilon Sebagai pengikat
3. Thermometer Pengukur suhu air
5. Refraktometer Untuk Mengukur Salinitas
6. DO Meter Untuk Mengetahui DO dan Suhu
7. Secchi disk Untuk mengukur kecerahan
8. Keranjang ( Crab box) Wadah pemeliharaan
9. Pipa Pelampung wadah pemeliharaan
10. Kertas Lakmus Untuk mengukur pH air

3.2.2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini seperti tabel dibawah ini
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian
No Nama Bahan Keterangan Fungsi
1. Kepiting bakau jantan 3-4 ons Sampel dalam penelitian
2. Pakan ikan ruca Ikan mujair Pakan
21

3.3. Perlakuan dan Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak lengkap dengan 4
(empat) perlakuan masing-masing dengan 7 (tujuh) ulangan,rincian perlakuannya,
sebagai berikut:
A = pemberian pakan 6% / hari
B = pemberian pakan 10% / hari
C = pemberian pakan 14 % / hari
D = pemberian pakan 18 % / hari
Untuk menentukan letak perlakuan di tambak dilakukan pengacakan sederhana
pada gambar di bawah ini

D7 C7 B7 B7

D3 B1 A3 C6

B3 B4 C5 D2

B4 A6 A7 C3

A2 B2 A4 C1

B6 C2 D6 B1

C4 B5 A5 A1

Keterangan : A B C D : perlakuan
1,2,3,4,5,6 ,7 : ulangan percobaan
Data disajikan dengan Metode Rancangan Acak Lengkap ( RAL ) Empat
perlakuan tujuh ulangan.
22

3.4.Prosedur penelitian

Adapun prosedur penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
3.4.1. Tahap awal
 Persiapan lahan atau tempat yang akan digunakan sebagai tempat
yang akan dilaksanakannya budidaya kepiting bakau adalah Tambak
tradisional di lahan mangrove yang tersedia sumber air payau.
 Bersihkan tambak dari kotoran atau sampah yang dapat mencemari air
disekitar tambak sehingga dapat memepengaruhi kualitas air diarea
tambak lokasi penelitian.
 Setelah pembersihan area tambak selesai selanjutnya dilakukan
pengisian air payau ditambak dan sumber air yang digunakan diambil
dari saluran air yang dilakukan pada saat air pasang.
3.4.2. Tahap kedua
 Setelah persiapan tambak selesai, selanjutnya dilakukan proses
pemasangan wadah keranjang atau crab box yang digunakan sebagai
wadah dalam proses penelitian ini.
 Dalam penelitian ini crab box yang digunakan berwarna hitam yang
berukuran panjang 20 cm, lebar 14 cm, dan tinggi 25 cm. Dalam
penelitian ini kepiting di tebar 1 (satu) ekor / box, dan box yang
digunakan sudah didesain dengan penutup untuk menghindari
kepiting memanjat dan keluar dari wadah.
3.4.3. Tahap ketiga
 Setelah wadah telah siap digunakan, selanjutnya dilakukan persiapan
kepiting yang akan dibudidayakan. Dalam hal ini kepiting yang
digunakan pada penelitain ini adalah kepiting dewasa dengan ukuran
berat 3-4 ons per ekornya, dan jenis kelamin kepiting yang digunakan
adalah kepiting kelamin jantan.
 kepiting yang telah siap akan dilakukan pengadaptasian terlebih
dahulu sebelum dilakukan penebaran.
23

 Penebaran pada masing-masing wadah, 1 (satu) ekor/ boxnya.


 Pada proses pemeberian pakan dilakukan pemberian pakan sebanyak
dua kali sehari, diawali dari pagi hari jam 08.00 dan sore hari jam
16.00.
 Pengambilan data atau sampling dilakukan sebanyak 5 kali, mulai
dari hari ke 0,5,10,15 dan 20.
3.5. Analisa Data
Adapun data yang dianalisa pada penelitian ini adalah:
3.5.1. Survisal Rate (SR)
Pengukuran SR dilakukan pada akhir pemeliharaan, dibandingkan SR awal
dengan SR akhir penelitian, dengan menggunakan rumus Effendie (1979)

Nt
SR(% )= X 100
No

Dimana : SR =kelangsungan hidup hewan uji (%)

Nt = jumlah hewan hidup pada akhir penelitian (ekor)

No = jumlah hewan yang hidup pada penelitian (ekor)

3.5.2. Laju pertumbuhan spesifik

Pertumbuhan spesipik didefenisikan sebagai penambahan berat yang dicapai

dalam suatu periode tertentu dinyatakan dalam persentase kenaikan berat tiap hari

(persen/hari dan dihitung dengan rumus) De Selva and Anderson, (1995)

SGR = 100 (In W t – W0)/t

Keterangan : SGR = Laju pertumbuhan Spesipik (%/hari)


W1 = Berat awal hewan uji (g)
W2 = Berat akhir hewan uji (g)
24

T = Periode pemeliharaan (hari)

3.5.3. Pertumbuhan Berat mutlak


Pertumbuhan berat mutlak dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997)

W = Wt - Wo

Keterangan : W = pertumbuhan berat mutlak (gr)


Wo = Berat awal (gr)
Wt = Berat akhir (gr)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan


menggunakan metode ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap
pertumbuhan kepiting bakau, selanjutnya dianalisis sidik ragam ( uji F) dengan
taraf kepercayaan 95%.
Uji test homogenety of variams
Uji Hipotesis
Signifikan (ɑ) < 0,05 : Data sebaran homogen yang mana H1 diterima dan H0
ditolak
Signifikan (ɑ) > 0,05 : data sebaran tidak homogen yang mana H0 diterima
dan H1 ditolak
H0 = Data tidak homogen
H1 = Data homogen
Kaidah kepercayaan
Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima atau adanya hubungan
yang signifikan antara sub stasiun.
ika F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak atau tidak adanya
hubungan yang signifikan antara stasiun.
H0 = tidak ada hubungan antara sub stasiun
H1 = ada hubungan antara sub stasiun
25

Uji signifikansi (ɑ)


Jika ɑ > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak
Jika ɑ < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima

3.5.4. Kualitas Air


Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 5 hari sekali untuk mengetahui suhu,
DO, pH, dan salinitas. Adapun alat yang digunakan yaitu DO meter, refrakto
meter, kertas lakmus, dan termometer.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Kepiting Bakau

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan selama proses penelitian


dilapangan telah didapatkan hasil berat spesifik, berat mutlak dan kelangsungan hidup
kepiting bakau. Pengukuran dilakukan selama 5 (lima) kali selama peroses penelitian
yang dimulai dari hari ke 0 sebagai data awal, hari ke 5, hari ke 10, hari ke 15, dan
terakhir hari ke 20. Pada awal penebaran kondisi fisik semua kepiting keadaan baik,
dilihat dari seluruh organ tubuh yang lengkap, gerakan lincah dan agresif saat
ditangkap. Namun kepiting uji inidibeli dengan harga murah karena ukuran beratnya
belum layak untuk dijual dengan harga yang tinggi, hal ini dikarenakan kondisi
kepiting apabila bagian perut kepiting ditekan menggunakan jari akan terasa lembek
karena kepiting keadaan kurus dan tidak berisi (kropos). Selanjutnya setelah hari
terakhir penelitian mulai dari perlakuan A sampai D mengalami penambahan berat
tubuh kepiting dan masuk dalam ukuran yang diminati pasar. Berikut akan dibahas
mulai dari pertumbuhan spesifik, pertumbuhan mutlak dan tingkat kelangsngan hidup
kepiting selama penelitian.

4.2.Laju pertumbuhan berat spesifik

Pertumbuhan spesifik didefenisikan sebagai penambahan berat yang dicapai


dalam suatu periode tertentu dinayatakan dalam persentase kenaikan berat tiap hari
atau setiap sampling. Berat rata-rata kepiting uji pada awal sampling dari semua
perlakuan adalah 400 g. Berikut Histogram hasil pengamatan rata-rata laju
pertumbuhan berat spesifik kepiting bakau ( Scyllaspp) selama 20 hari masa
pemeliharaan berlangsung dengan pemberian dosis pakan yang berbeda, disajikan
pada gambar berikut :
26

0.90
0.80
0.70

Berat spesifik (%)


0.60 Perlakuan
0.50 A= 6%

0.40 B= 10%
0.30 C= 14%
0.20 D= 18%
0.10
0.00
H-5 H-10 H-15 H-20
Waktu Pemeliharaan (Hari)

Gambar 6.Grafik PertumbuhanBerat Spesifik Kepiting Bakau

Selama masa penelitian dilakukan sampling sebanyak 5 kali dimulai dari hari
0 sampai hari ke 20.Hasil berdasarkan diagram diatas menunjukkan bahwa kenaikan
berat spesisik yang tinggi terjadi pada sampling ke 2 dihari ke 5, dimana perlakuan
yang tertinggi terjadi pada perlakuan B sebesar 0,85 % , diikuti perlakuan D sebesar
0,80 %, perlakuan A sebesar 0,75 % dan C sebesar 0,66 %. Sampling ke 3,4, dan 5
menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan naik berat spesifik, melainkan hasil
diatas menunjukkan semakin lama pemelihraan semakin kecil pula kenaikan berat
spesifik setiap kali sampling.Peneliti menduga bahwa kenaikan tertinggi yang terjadi
pada hari ke 5 akibat kepiting yang lapar pada saat ditangkap dari alam. Hal ini
diperkuat oleh Fadnan ( 2010 ), mengatakan Terjadinya penambahan berat kepiting
yang signifikan pada awal pengukuran tersebut dikarenakan tingginya nafsu makan
yang disebabkan oleh proses penangkapan di alam hingga proses adaptasi sebelum
penelitian sehingga kepiting dalam keadaan tidak makan (puasa).Sampling akhir
menunjukkan berat spesik tertinggi terjadi pada perlakuan D yaitu sebesar 0,32 %,
diikuti perlakuan A dan C memiliki nilai sama sebesar 0,29 % dan terakhir perlakuan
B sebesar 0,26 %.Artinya semakin banyak jumlah pakan yang diberikan, maka akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan berat kepiting bakau. Sejalan dengan pendapat
Cholik ( 2005 ),perbedaan pertumbuhan kepiting bakau disebabkan oleh pakan, umur,
berat awal, ruang gerak dan faktor lainnya.Energi yang diperoleh kepiting bukan
27

hanya untuk digunakan pertumbuhan, tetapi juga untuk mempertahankan hidup,


memperbaiki sel-sel yang rusak, dan moulting. Menurut Laode syahlan S.Sagala,
Muhammad Idris dan Muhammad nuh ibrahim ( 2013), perbedaan pemberian porsi
pakan yang tidak sama antara pagi dan sore hari juga berpengaruh pada pertumbuhan
kepiting bakau. Porsi pakan yang diberikan pada sore hari sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan karena kepiting adalah hewan nokturnal ( hewan yang
beraktivitas dan mencari makan pada malam hari ). Menurut fujaya ( 2006 ), pada
keadaan pakan yang cukup, kepiting akan mengkomsumsi pakan hingga memenuhi
kebutuhan energinya, energi tersebut pertama digunakan metabolisme, selanjutnya
energi digunakan untuk aktivitas, produksi, dan pertumbuhan.

Hasil ujil sidik ragam (ANOVA) dari analisis SGR menunjukkan bahwa hasil
yang tidak berbeda nyata atau segnifikan dimana (f hitung (0,44) < f tabel 5% (3,01)
ketika diuji dengan pemberian dosis pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan
kepiting selama masa pemeliharaan 20 hari.Dari hasil ini berarti pemberian dosis
pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan kepiting tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata.Hal ini sesuai yang dikatakan olehWedjadmiko ( 1990 ), untuk
mencapai pertumbuhan yang optimal kepiting bakau memerlukan pakan dalam
jumlah 5-9 % dari berat biomassa kepiting bakau.

Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran lebar dan panjang karapaks ,
karena dalam penelitian ini tidak sampai kepiting uji mengalami moulting. Panjang
dan lebar kepiting akan bertambah jika kepiting telah melakukan moulting. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sulaeman et al. (1993), yang mengatakan bahwa pembesaran
tubuh kepiting akan bertambah setelah melakukan pergantian kulit. Oleh karena itu
dalam penelitian ini yang diukur hanya berat tubuh kepiting bakau yang diuji.
Cihttleborough (1975) dalam Pinandoyo (1994) menyatakan pertumbuhan pada
krustacea adalah perubahan panjang dan berat yang terjadi secara berkala pada waktu
pergantian cangkang. Apabila keadaan lingkungan baik dan pakan yang bergizi
tersedia maka pada saat ganti cangkang akan terjadi pertumbuhan sebaliknya apabila
28

keadaan lingkungan kurang baik dan kekurangan nutrisi maka ganti kulit tidak diikuti
dengan pertumbuhan bahkan dapat terjadi penurunan bobot tubuh.

Dari hasil akhir penelitian mulai perlakuan A sampai D didapatkan hasil dari
tingkatan berat kepiting yang awalnya keropos, menjadi gemuk dan masuk dalam
kategori kepiting yang diminati pasar. Hal ini ditandakan dengan kepiting yang
dicirikan perut kepiting ditekan dengan jari sudah terasa keras, maka sudah bisa
dipastikan kepiting telah berisi.

4.3. Pertumbuhan Berat Mutlak

Pertumbuhan berat mutlak adalah selisih berat total tubuh kepiting pada akhir
pemeliharaan dan awal pemeliharaan. Berikut hasil histogram pengamatan
pertumbuhan berat mutlak kepiting bakau (Scylla sp) selama 20 hari masa perlakuan
dengam pemberian dosis pakan yang berbeda disajikan sebagai berikut :

30

25
Berat mtlak ( g )

Perlakuan
20
A= 6%
15
B= 10%

10 C= 14%
D= 18%
5

0
H-0 h-5 h-10 h-15 h-20
Waktu Pemeliharaan (Hari)

Gambar7 . Grafik pertumbuhan Berat Mutlak kepiting Bakau

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 20 hari lama perlakuan


terhadap pertumbuhan berat mutlak kepiting bakau (Scylla spp) grafik diatas
menunjukkan bahwa berat mutlak dari awal peneltian sampai akhir mengalami
29

kenaikan, dimana grafik diatas menunjukkan pada akhir samplingpertumbuhan berat


mutlak tertinggi terjadi pada perlakuan D dengan pemberian pakan 9 % dari berat
biomassa kepiting, sebesar 24,00 g dan yang paling rendah terdapat pada perlakuan A
sebesar22,00 g. Artinya semakin banyak jumlah pakan yang diberikan maka semakin
memambah kenaikan dari berat tubuh kepiting bakau.Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan Wedjadmiko (1990), bahwa untuk mencapai pertumbuhan optimal kepiting
bakau memerlukan pakan dalam jumlah 5-9% dari bobot biomassa per hari.Menurut
Agus ( 2008 ), bahwa secara fisologis kepiting bakau membutuhkan energi dalam
pakan dipergunakan untuk beradaptasi, pemeliharaan atau mengganti sel jaringan
yang rusak, aktivitas, metabolisme, reproduksi ( bagi kepiting dewasa ) dan yang
terakhir energi pakan yang digunakan untuk pertumbuhan dan moulting.

Hasil uji sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa hasil dari pengaruh
perbedaan dosis pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan kepiting selama masa
pemeliharaan 20 hari tidak berbeda nyata atau tidak signifikan, dimana (f hitung
(0,44) < f tabel 5% (3,01). Walaupun berat tubuh kepiting tidak mengalami
perbedaan yang signifikan, tetapi kenaikan berat tubuh kepiting tetap mengakibatkan
kepiting berisi,dan gemuk.Hal ini bisa diketahui pada bagian dada kepiting terasa
keras apabila ditekan menggunkan jari tangan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Affandi (2004)


antara lain waktu, densitas, berat awal, jumlah makanan, kualitas makanan, metode
pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, penyakit, padat tebar, genetik dan
kualitas air.Sedangkan Effendie (1997) menyatakan pertumbuhan merupakan salah
satu parameter dalam budidaya, pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Sifat genetika spesies dari kultivan, jenis kelamin dan status fisiologi
organisme merupakan faktor internal sedangkan faktor eksternal antara lain faktor
lingkungan, padat penebaran, pakan, suhu, oksigen terlarut, pH, kekeruhan, bahan
organik, hama serta penyakit. Hamka et al. (2005) menambahkan bahwa
pertumbuhan sangat erat hubungannya dengan pakan yang diberikan, karena pakan
memberi nutrien dan energi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan.
30

4.4.Tinggkat Kelangsungan Hidup / Survival Rate

Kelangsungan hidup adalah tingkat perbandingan jumlah kepiting yang hidup dari
awal pemeliharaan dan akhir pemeliharaan.Dari hasil pengamatan selama penelitan
ini dapat diketahui ketahanan kepiting dalam mempertahankan hidupnya sampai akhir
penelitian. Semakin tinggi nilai SR mendekati 100 % maka nilai SR tersebut
dinyatakan baik, sebaliknya apabila nilai SR semakin rendah mendekati 0 %, maka
kondisi ketahanannya tidak baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan
hidup kepiting adalah pada tebar kepitng, akibatnya kepiting saling bersaing dalam
memperoleh makanan dan kepiting akan saling memangsa sesama apabila salah satu
kepiting terjadi moulting, dikarenakan sifat kepiting yang kanibalisme. Hal ini sesuai
yang dikatakan Fadnan (2010) indikasi rendahnya tingkat kelangsungan hidup
kepiting tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kanibalisme,
persaingan atau kompetitor, faktor lingkungan seperti parameter kualitas air dan
parameter kualitas tanah. Namun dalam penelitian ini faktor padat tebar bukanlah
sebuah sebab dari adanya kepiting yang mati pada saat penelitian.Karena dalam
penelitian ini kepiting ditebar 1 ekor dalam crebbox sehingga kepiting tidak terjadi
persaingan atau kompetitor.Berikut dibawah ini akan disajiikan grafik SR selama 20
hari masa pemeliharaan kepiting bakau.

120
Tingkat Kelangsungan hidup (%)

100
Perlakuan
80
A 6%
60
B 10%
40
C 14%
20
D 18%
0
h-0 h-5 h-10 h-15 h-20
Waktu Pemeliharaan ( Hari )

Gambar 8. Persentase tinggkat kelangsungan hidup kepiting bakau


31

Berdasarkan grafik diatas persentasi tingkat kelangsungan hidup kepiting


bakau dari total keseluruhan 28 ekor, dan masing-masing perlakuan berjumlah 7 ekor
selama 20 hari masa pemeliharaan dengan perlakuan perbedaan dosis pakan yang
berbeda menunjukkan pada hari terakhir nilai tertinggi terjadi pada perlakuan A dan
C dengan nilai yang sama yaitu sebesar 100 % dan yang terendah terjadi pada
perlakuan D sebesar 71 %, dan perlakuan B sebesar 86 %.

Pada saat memasuki hari ke 4, kepiting yang terdapat pada perlakuan B


ulangan 2 ada kematian berjumlah 1 ekor, kemudian disusul pada hari ke 18
kematian pada perlakuan D ualngan 2 berjumlah 1 ekor dan dihari terakhir ke 20 ada
kematian pada perlakuan D ulangan 7 . Jadi total kepiting mati selama penelitian
adalah 3 ekor, pada perlakuan B sebanyak 1 ekor, dan perlakuan D sebanyak 2 ekor.
kepiting uji yang mati diduga akibat lemahnya sistem immun kepiting dalam
mengahadapi perubahan fluktuasi kualitas air akibat curah hujan yang tinggi pada
malam hari dan suhu yang tinggi pada siang hari akibat cuaca terik. Sehingga
kepiting yang tidak mampu beradaptasi dengan fluktuasi suhu harian yang cukup
tinggi mengakibatkan beberapa ekor hewan uji mati.Hal ini sesuai yang dikatakan
Arianty (1997), mengatakan secara keseluruhan pada pertumbuhan berat kepiting
jantan dipengaruhi oleh kualitas lingkungan yang mendukung dan pakan yang
diberikan.Kualitas pakan yang diberikan sudah cukup baik, dan peneliti
mengansumsikan faktor yang mempengaruhi kepiting uji adalah kondisi lingkungan.

4.5.Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi dalam
pertumbuhan dan kelangsunagan hisup kepiting bakau, sehingga dalam melakukan
penelitian pengontrolan air harus selalu diamati. Dari hasil pengukuran kualitas air
selama penelitian diperoleh hasil yang terdapat di tabel berikut ini :
32

Tabel 3.hasil pengukuran kualitas air selama penelitian


parameter kualitas Air
Hari
DO (
ke - salinitas ( ppt) Suhu (0C) pH
mg/L)
H0 15-14 30-32 7.5 5.5
H5 14-17 28-33 8 5.5
H 10 15-14 29-30 7.5 5.5
H 15 14-14 28-30 8 5.56
H 20 15-14 28-30 8 5.43

Berdasrakan hasil pengukuran salinitas selama penelitian didapat hasil nilai


terendah salinitas adalah 14 ppt, terjadi pada hari ke 10, 15, dan 20 dan yang terbesar
15 ppt terjadi pada hari ke 0 dan hari ke 5. Kisaran salinitas tersebut masi layak untuk
budidaya kepiting bakau, hal ini sesuai yang dikatakan ( Kasry, 1996),Salinitas air
dalam tambak yang baik untuk kegiatan budidaya kepiting berkisaran 15-30 ppt dan
kepiting masih bisa hidup dibawah 15 ppt.

Berdasarkan hasil pengukuran suhu selama masa penelitian didapati hasil nilai
tertinggi suhu adalah 32 0C, terjadi pada hari ke 0, dan terendah terendah sebesar
250C terjadi pada hari ke 10. Kisaran nilai suhu tersebut masih mendukung untuk
dilakukannya penggemukan kepiting bakau, hal ini didukung oleh ( Mulya, 2000 ),
kepiting bakau dapat bertoleransi hidup pada perairan yang mempunyai kisaran suhu
12- 35 0C, dan tumbuh dengan cepat pada perairan yang mempunyai kisaran suhu 23-
32 0C.

Berdasarkan hasil pengukuran pH air selama selama penelitian diperoleh hasil


tertinggi adalah 8, yang terjadi pada hari ke 5, 15, 20 dan hasil nilai terendah adalah
7,5 yang terjadi pada hari ke 0 dan 10. Kisaran hasil pH tersebut termasuk layak
untuk budidaya kepiting bakau, karena menurut Wardoyo ( 1981 ), pH yang sesuai
dalam budidaya kepiting bakau berkisar 6,5 – 8.

Berdasarkan hasil pengukuran DO selama penelitian diperoleh hasil rata-rata


5,50 tiap kali sampling. Nilai DO tersebut dikategorikan layak dalam budidaya
33

kepiting bakau,hal tersebut didukung oleh Gunarto ( 2013 ), kepiting bakau


membutuhkan oksigen terlarut dalam perairan sekurang –kurangnya 3 ml/L.
34

V. KESIMPULAN

5.1.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian dosis pakan yang


berbeda terhadap penggemukan kepiting bakau ( Scylla spp ) diperoleh kesimpulan
Dari hasil penelitian, data berat spesifik dan berat mutlak penggemukan kepiting
bakau yang terbaik terjadi pada perlakuan D yaitu pemberian dosis pakan 18% / hari,

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan penggemukan kepiting bakau dengan dosis


pakan yang lebih rendah lagi, sampai didapati hasil yang optimal dalam
penggemukan kepiting bakau.
34

DAFTAR PUSTAKA

Apui, Y. 2015. Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Kepiting
Bakau (Scylla sp)
Affandi, dan Tang, 2004.Fisiologi Hewan Air. Badan Penerbit Universitas Riau.
Pekan Baru.
Afrianto E., dan Liviawaty E., 1992. Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Agus, 2008.Analisis Carryng Capacity Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting
Bakau (Scylla sp.) di Kabupaten Pemalang. Jawa Tengah.
Ahmadi.M.f. 2010.Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Berat
dan Kelangsungan Hidup pada Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla sp).
Universitas Borneo Tarakan

Arif U., 2008. Laju Pertumbuhan Kepiting Bakau (scylla Serata) dengan Pemberian
Pakan Berbeda. Univ.Borneo Tarakan.(Skripsi tidak dipublikasikan).

Boyd, A.W. and A.W. Arlo. 1990. Pond monitoring and management. In. fast, A. W.
and Lester L.J. (Eds). Marine shrimp Culture: Principles and Practices, pp.
497-414.

De Silva,. S.S. and anderson, T.A. 1995. Fish nutrition in aquaculture. Aquaculoture
Series 1. London, Chapman and Hall.384 pp.

Djatmika, 1986. Usaha Budidaya Ikan Lele. Simpleks. Jakarta.

Djangkaru, Z. 1974. Makanan Ikan Lembaga Penelitian Perikanan. Direktorat


Jendral Perikanan. Jakarta.

Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan Yasaguna,Bandung.47 hlm

Effendie,M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Institut pertanian Bogor,Bogor.

Erfan A. Hendrajat dan Gunarto, 2013. Pertumbuhan Kepiting Bakau ( Scylla


Olivacea dan Scylla Paramamosain ) . Hasil pembenihan balai penelitian dan
pengembangan Budidaya air payau Maros

Fujaya, Y.2008. Kepiting Komersil di Dunia,Biologi,pemanfaatan dan


pengelolaannya. Citra Emulsi.Makassar

Hill, B.J. 1982. Bibliography of references on mud crab (Scylla serrata Fors ) on
tidal flats in Australia.
35

Hamka, Diah Silvia Kusumawati, Syamsul Ahri, dan Ibrahim., 2005. Penggunaan
pakan udang komersil pada pendederan benih kerapuh macan (epinephelus
fuscoguttatus).Kumpulan makalah pertemuan lintas UPT payau dan
laut.Ditjenkanbud. Jakarta.

Heasman M.P.and Fielder 1983. Laboratory Spawining and Mass Rearing of the
Mangrove Crab, Scylla serrata ( Forskal) fram first Zoea to First Crab Stage.
Aquacultur

Iromo. H. 2006. Laju Pertumbuhan Budidaya Kepiting Bakau ( Scylla serrate) dengan
Pemberian Jenis Pakan yang Berbeda.

Iromo, H, Azis, Amien MH, Cahyadi J. 2010. Budidaya udang windu di tambak
tradisional. UB press. 153 hal.

Iromo, H, Zairin MJ, Suprayudi MA, Manalu W. 2014 a. Thyroxine distribution in


the hemolymph, hepatopancreas, ovary, sponge, and larvae of female mud
crab (Scylla serrata) during ovarian maturation. Journal of Crustacean
Biology 34:760-763.

, Zairin MJ, Suprayudi MA, Manalu W. 2014b. Effectivity of thyroxine


hormone suplementation in the ovarian maturation of female mud crab (Scylla
serrata). Pakistan Journal of Biotechnology 11:79-86.

Jensen PC, Orensanz JM, and ArmstrongDA, 1996.Structure of the Female


Reproductive Tract in the Dungeness Crab (Cancer magister) and
Implications for the Mating System. Biology Bulletin 190:336-349.

John S,Sivadas P. 1978. Morfological changes in development of the ovary in the


eyestalk ablated estuarine crab, Scylla serrata (Forskal). Mahasagar 11: 57-
62.

Karim,M.Y. 2007. Pengaruh salinitas dan bobot terhadpat konsumsi kepiting bakau (
Scylla serrate Forsskal). J.sains & Teknologi,7(2):85-92

Kordi, M. G. H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng. Dahara Prize.


Semarang

. 2007. Pemeliharaan Udang Vanname. Penerbit Indah. Surabaya

. 2012. Pengelolaan Tambak untuk Budidaya Perikanan Ekonomis.


Yogyakarta

Kanna I, 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius, Yogyakarta.

Kasry, K. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhatara.jakarta


36

Kabmmu, 2012.Gambar kepiting bakau Scylla sp.Diakses 20 November 2015.

Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan.”Materi Penyeluhan Budidaya


Kepiting Bakau”. Jakarta 11 November 2011.

Keenan, C. P.,P. J. F. Davie,and D.L. Mann. 1999. A Revision of the Genus Scylla
De Kaan, 1833(Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunisae). The reffles Bull
Zool 46(1): 217-245. National Univeresity Of Singapore

Kuntiyo, A. Zainal, dan Supratno . 1993. Pedoman budidaya Kepiting Bakau (Scylla
serrata) Di Tambak Balai Budidaya Air Payau. Jepara.

Moosa, M.K., I. aswandu dan A. Karsy. 1985. Kepiting Bakau- Scylla serrate
(Foskal) dari Perairan Indonesia .LON-LIPI. Jakarta.

Mulya, M.B. 2000.Kelimpahan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp.) serta
keterkaitannya dengan karasteristik biofisik hutan mangrove di Suaka
Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatra
Utara.Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.135 hal.

Sagala. L.S.S., Idris. M, dan Ibrahim.M.N. 2013. Perbandingan pertumbuhan kepiting


bakau ( Scylla serrata ) jantan dan betina pada metode kurungan dasar. Jurnal
mina Laut Indonesia 12 september 2013.

Soim A., 1995. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sheen, S.S. and SW Wu. 1999. The effect of dietary lipid levels on the growth
response of juvenil mud crab Scylla serrata. Aquaculture, 175: 143–153.

Suara Merdeka, 2005. Budidaya Kepiting Lemburi Makin Digemari.

Sulistiono, Dkk., 2016. Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi jenis Ikan dilarang


terbatas ( Kepiting Bakau/ Scylla spp). Badan Karantina Ikan, Pengendalian
mutu dan keamanan mutum hasil Perikanan Kementrian Kelautan dan
Perikanan kerja sama Institut Pertanian Bogor.

Syafiq A., 2008. Kepiting Sumber Zat Gizi Penting.Departemen Gizi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.

Soim, A. 1999.Pembesaran Kepiting. Jakarta : Penebar Swadaya

Sulaeman, Tjaronge M., dan Hanafi A., 1993. Pembesaran kepiting bakau (Scylia
serrata) dengan konstruksi tambak yang berbeda. (Grow-out of the mangrove
crab, Scylla serrata in different pond constructions). Jurnal Penelitian
Budidaya Pantai (Research Journal on Coastal Aquaculture), 9 (4), 41-50.
37

. 2005. Status perikanan kepiting bakau Genus :Scylla.makalah disajikan


pada lokakarya pemberdayaan masyarakat pesisir di NTT melalui kegiatan
Budidaya Perairan ,pada tanggal 20 prosiding forum inopasi teknologi
akuakultur 2010.

Prianto E., 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove.Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.Balai
Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Pinandoyo, 1994.Pengaruh Salinitas dan Energy Pakan Terhadap Pertumbuhan dan


Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang Windu (Panaeus monodon
febricus).Tesis pasca sarjana.IPB. Bogor.

Wahyuni, E. dan Ismail, W. 1997. Bebrapa kondisi lingkungan perairan kepiting


bakau ( Scyllasp ). LIPI – Jakarta.

Wardoyo, S.T.H.1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian Dan


Perikanan.Training Analisis Dampak Lingkungan.IPB. Bogor.

Wedjatmiko dan Yakusana. D. 1990. Pola Kebiasaan Waktu Makan Kepiting Bakau
di Tambak Kamal. Jakarta. Warta Balitdita 3.
38

Lampiran 1. Dokumentasi selama penelitian

persiapan pemasangan creb box pencucian creb box

Penebaran kepiting total keseluruhan perlakuan

Sampling kepiting mengikat kepiting


39

Sampling kepiting penimbangan kepiting

Sampling kepiting penimbangan pakan

Refreaktometer ( mengukur salinitas ) DO (mengukur oksigen terlarut)


40

Pengukuran DO pengukuran salinitas

Pemberian pakan kepiting mati

Kepiting mati kepiting mati


41

lampiran 2. Pengukuran berat spesifik

Pertumbuhan berat spesifik h-5

perlakuan
Ulangan A B C D
1 0.49 1.04 0.46 0.66
2 0.90 0.00 1.04 0.25
3 1.23 0.72 0.81 1.13
4 1.62 0.69 0.60 0.43
5 0.75 0.83 1.09 1.29
6 0.00 0.91 0.38 1.42
7 0.28 0.92 0.21 0.44
rata-rata 0.75 0.73 0.66 0.80

Pertumbuhan berat spesifik h-10

perlakuan
Ulangan A B C D
1 0.30 0.44 0.40 0.77
2 0.33 0.00 0.58 0.21
3 0.72 0.46 0.47 0.81
4 0.71 0.45 0.36 0.06
5 0.56 0.53 0.63 0.66
6 0.27 0.58 0.40 0.81
7 0.28 0.52 0.10 -0.03
rata-
rata 0.45 0.43 0.42 0.47
42

Pertumbuhan berat spesifik h-15

perlakuan
Ulangan A B C D
1 0.20 0.42 0.32 0.55
2 0.30 0.00 0.47 -1.30
3 0.61 0.42 0.37 0.58
4 0.65 0.34 0.32 0.10
5 0.55 0.44 0.49 0.46
6 0.27 0.47 0.44 0.59
7 0.18 0.40 0.10 0.06
rata-
rata 0.40 0.36 0.36 0.15

Pertumbuhan berat spesifik h-20

perlakuan
Ulangan A B C D
1 0.35 0.68 0.62 0.74
2 0.38 0.00 0.70 0.00
3 0.99 0.53 0.56 0.75
4 0.79 0.53 0.48 0.15
5 0.86 0.65 0.56 0.66
6 0.43 0.68 0.64 0.94
7 0.23 0.61 0.49 0.00
rata-
rata 0.58 0.52 0.58 0.46
43

Lampiran 3. Pertumbuhan berat Mutlak

Pertumbuhan berat Mutlak h-5

PERLAKUAN
ULANGAN
A B C D
1 9 19 8 10
2 18 0 17 6
3 23 14 18 18
4 32 13 10 7
5 125 21 25 31
6 0 14 7 27
7 6 15 5 7
RATA-RATA 30.43 13.71 12.86 15.14

Pertumbuhan berat Mutlak h-10

perlakuan
Ulangan
A B C D
1 11 16 14 24
2 13 0 19 10
3 27 18 21 26
4 28 17 12 2
5 18 27 29 33
6 12 18 15 34
7 12 17 5 3
rata-rata 17.29 16.14 16.43 18.86
44

Pertumbuhan berat mutlak h-15

PERLAKUAN
ULANGAN
A B C D
1 11 23 17 26
2 18 0 23 -83
3 35 25 25 28
4 39 19 16 5
5 27 34 34 33
6 18 22 25 34
7 12 20 7 3
rata-rata 22.86 20.43 21.00 6.57

Pertumbuhan berat mutlak h-20

PERLAKUAN
ULANGAN
A B C D
1 13 25 22 23
2 15 0 23 0
3 38 21 25 24
4 31 20 16 5
5 28 33 26 32
6 19 21 24 36
7 10 20 24 0
rata-rata 22.00 20.00 22.86 17.14
45

Lampiran 4. Data Anova pertumbuhan spesifik

Anova: Single Factor

SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Column 1 7 4.027851 0.575407 0.088015
Column 2 7 3.671109 0.524444 0.057334
Column 3 7 4.041314 0.577331 0.006523
Column 4 7 3.239428 0.462775 0.157633

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.061267 3 0.020422 0.44 0.73 3.01
Within Groups 1.85703 24 0.077376

Total 1.918297 27

Nilai F hitung < F tabel maka perlakuan dengan pemberian dosis pakan yang berbeda
terhadap pertumbuhan berat spesifik kepiting bakau menunjjukkan hasil tidak
berbeda nyata.
46

Lampiran 5. Data Anova pertumbuhan berat Mutlak

Anova: Single Factor

SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Column 1 7 154 22 109.3333
Column 2 7 140 20 99.33333
Column 3 7 160 22.85714 10.80952
Column 4 7 120 17.14286 232.1429

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 135.2857 3 45.09524 0.40 0.75 3.01
Within Groups 2709.714 24 112.9048

Total 2845 27
Nilai F hitung < F tabel maka perlakuan dengan pemberian dosis pakan yang berbeda
terhadap pertumbuhan berat mutlak kepiting bakau menunjjukkan hasil tidak berbeda
nyata.

Anda mungkin juga menyukai