PROPOSAL PENELITIAN
MEIMULYA
Identifikasi Ikan Gabus, Channa spp. (Scopoli 1777) stok liar di Danau
Sidenreng dan tambak di Desa Patampanua, Kabupaten Polewali Mandar
berdasarkan gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI)
MEIMULYA
L021171304
Dr. Irmawati, S.Pi, M.Si. Dr. Asmi Citra Malina, S.Pi, M.Agr
NIP. 197005161996032002 NIP. 197212282006042001
Mengetahui :
Tanggal Pengesahan :
ii
KATA PENGANTAR
iii
Akhir kata, penulis berharap agar proposal penelitian ini bermanfaat serta
memberi nilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan selanjutnya dan segala amal baik
serta jasa dari pihak yang membantu penulis mendapat berkah dan karunia-Nya.
Aamiin.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ vi
I. PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
G. DNA Barcoding........................................................................................... 9
H. Gen cytochrome oxydase I (COI)................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 14
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Ikan gabus (Channa spp. Scopoli, 1777).......................................................... 3
3. Posisi gen COI di dalan DNA mitokondria ikan (Satoh et al., 2016).................. 10
4. Peta lokasi pemgambilan sampel ikan gabus (Channa spp. Scopoli, 1777) di
Danau Sidenreng dan tambak di Desa Patampanua, Kabupaten Polewali
Mandar............................................................................................................. 11
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikan gabus atau snakehead fish merupakan ikan air tawar yang banyak
ditemukan di perairan Indonesia, termasuk diperairan Sulawesi. Ikan gabus kaya akan
protein, asam amino, asam lemak dan nutrisi penting jika dibandingkan dengan jenis
ikan lainnya. Para praktisi kesehatan telah memanfaatkan ekstrak ikan gabus sebagai
makanan tambahan (menu ekstra) untuk penderita terindikasi hipoalbuminemia, luka
bakar, dan diet setelah operasi. Dari berbagai studi kasus dan penelitian diketahui
bahwa ekstraikan gabus secara nyata dapat meningkatkan kadar albumin pada kasus-
kasus albuminemia dan mempercepat proses penyembuhan luka pada kasus pasca
operasi (Nugroho, 2013).
Asam amino dalam ikan gabus memainkan peran penting dalam proses
penyembuhan luka (Mohd & Abdul Manan, 2012). Glycine, glutamine dan arginine
adalah contoh asam amino yang dikandung C. striata dan berperan penting dalam
proses penyembuhan luka. Glycine adalah salah satu asam amino utama yang
diperlukan untuk sintesis kolagen, protein utama dalam jaringan ikat. Glutamine
memainkan peran penting dalam tahap peradangan dan proses proliferasi
penyembuhan luka, dan juga berfungsi sebagai sumber energi. Sementara itu arginine
dikenal berperan dalam mentriger penyembuhan luka dengan memodulasi fungsi
kekebalan tubuh dan memengaruhi fungsi endotel (Guo & Dipietro, 2010).
Ikan gabus merupakan salah satu sumber albumin yang potensial. Fungsi
utama albumin yaitu sebagai pembawa molekul-molekul kecil yang erat kaitannya
dengan bahan metabolisme dan berbagai macam obat yang kurang larut. Jenis obat-
obat yang tidak mudah larut air yang memerlukan peran albumin adalah aspirin, anti
koagulan dan obat-obat tidur. Albumin juga memiliki berbagai fungsi yang sangat
penting bagi kesehatan yaitu pembentukan jaringan sel baru, mempercepat pemulihan
jaringan sel tubuh yang rusak serta memelihara keseimbangan cairan di dalam
pembuluh darah dengan cairan di dalam rongga interstitial dalam batas-batas normal
(Sudirman, 2016). Albumin berperan sebagai pengikat anion dan kation kecil
diantaranya adalah kalsium (Ca). Permintaan dan kebutuhan albumin yang tinggi untuk
bidang kesehatan dan harga albumin yang mahal memerlukan sumber albumin baru
yang murah dari alam yang mempunyai efek klinis yang sama.
Sebagai sumber bahan makanan yang mengandung protein dan albumin, ikan
gabus diperlukan dalam jumlah yang banyak dan kebutuhan akan filtrat albumin di
1
rumah sakit yang semakin meningkat (Sudirman, 2016). Hal ini menyebabkan Ikan
gabus telah banyak dieksploitasi karena memiliki potensi farmaseutika (Mat Jais et al.,
1997; Michelle et al., 2004). Kandungan gelatin dan kolagen pada bagian kulit dan
tulang menyebabkan ikan gabus di Indonesia banyak dieksploitasi untuk kebutuhan
industri (Irmawati, 2017). Sehingga identifikasi dan karakterisasi ikan gabus
merupakan hal yang sangat penting. Selain terkait dengan kemampuan adaptasi dan
invasi yang berbeda (bergantung kepada spesies/jenis), juga terkait dengan budidaya
dan pengelolaan serta konservasi ikan gabus di habitat aslinya. Saat ini, informasi
tentang identifikasi, karakterisasi, dan distribusi ikan gabus di Indonesia masih sangat
terbatas, dan khusus di wilayah perairan umum daratan Sulawesi belum banyak
tersedia sehingga perlu untuk dikaji.
DNA barcoding berdasarkan parsial sekuen gen COI adalah salah satu metode
yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi spesies ikan (Hebert et al., 2003a;
Lakra et al., 2009). DNA barcoding menggunakan sekitar 650 pasang basa dari
segmen gen cytochrome oxidase subunit I (COI) mitokondria sebagai marka/penanda
(Hebert et al., 2003b). Gen COI adalah satu dari dua gen yang mengkode protein yang
ditemukan di semua eukariot. COI memiliki laju mutasi asam amino yang sangat
rendah (Lynch & Jerrell 1993) dengan sekuen DNA yang terkonservasi tinggi di dalam
spesies yang sama (Lambert et al., 2005). Berdasarkan karakter tersebut, gen COI
cukup efisien dan akurat digunakan dalam mengidentifikasi spesies eukariot (Ma et al.,
2012, Hebert et al., 2003a).
Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini dirancang dengan tujuan
untuk mengidentifikasi sampel ikan gabus yang berasal dari dua lokasi yang berbeda
dengan menggunakan metode DNA barcoding. Hasil penelitian diharapkan
bermanfaat bagi studi ikan gabus selanjutnya terutama dalam hal pengelolaan sumber
daya ikan gabus dan pengembangan budidaya ikan gabus.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi ikan gabus di Danau
Sidenreng dan tambak di Desa Patampanua Kabupaten Polewali Mandar secara
molekuler menggunakan metode barcoding ikan gabus. Manfaat dari penelitian ini
adalah untuk memberikan informasi dalam menentukan dasar kebijakan konservasi
dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Selain itu, penelitian ini juga dapat
dijadikan sebagai informasi tambahan mengenai keragaman genetik sebagai salah
satu aspek yang penting untuk meninjau kelangsungan hidup ikan gabus dan
pelestarian sumberdaya genetik ikan gabus.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada beberapa daerah di Indonesia ikan gabus dikenal dengan beberapa nama
seperti Bale bolong, Bale-bale, Bale salo, Kanjilo (Sulawesi), Kutuk (Jawa), Kocolan
(Betawi), Licingan (Banjarmasin), Bogo (Sunda), Kabos (Minahasa), Haruan (Melayu).
Ikan gabus termasuk dalam famili Channidae, secara lengkap taksonominya adalah
sebagai berikut:
Filum : Chordata
kelas : Actinopterygii
Subkelas : Neopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Channoidei
Famili : Channidae
Genus : Channa
Spesies : Channa striata (Scopoli, 1777)
Ikan gabus mempunyai ciri-ciri morologi yaitu seluruh tubuh dan kepala ditutupi
sisik sikloid dan stenoid. Bentuk badan hampir bundar dibagian depan dan pipih tegak
ke arah belakang sehingga disebut ikan berkepala ular (snake head), panjang dan
semakin ke belakang semakin pipih (compressed) (Makmur et al., 2003). Bukaan mulut
ikan gabus tergolong lebar dan memiliki 4 - 7 gigi pada bagian rahang bawah. Bagian
belakang gigi terdadapat gigi villiform yang melebar sampai 6 baris pada bagian
belakang rahang. Sisik dibagian atas kepala berukuran besar, melingkar, berhimpitan,
dan sisik kepala dibagian depan sebagai pusatnya, 9 baris sisik terdapat diantara
bagian preoperculum dan batas posterior dari lingkaran yang terdiri dari 18 - 20 sisik
predorsal, 50 - 57 sisik dibagian lateral yang biasa disebut sebagai sisik orbit. (Alfarisy,
2014). Makanan alamiah berupa ikan-ikan kecil, kodok, insekta, cacing, kecebong dan
krustasea (Amilhad & Lorenzen 2005).
3
B. Keanekaragaman Jenis Ikan Gabus (Channa spp. Scopoli, 1777)
Saat ini terdapat sekitar 50 spesies ikan gabus yang valid dalam tiga marga
(Aenigmachanna, Channa dan Parachanna) termasuk dalam famili Channidae (Britz et
al., 2019). Dalam kurun waktu satu dekade, sebanyak sembilan spesies snakehead
baru ditemukan, yaitu Channa melanostigma (Geetakumari & Vishwanath, 2011), C.
andrao (Britz, 2013), C. aurantipectoralis (Lalhlimpuiaet, 2016), C. pardalis (Ksatria,
2016), C. stiktos (Lalramliana, Ksatria, Lalhlimpuia & Singh 2018), C. quinquefasciata
(Praveenraj, Uma, Ksatria, Moulitharan, Balasubramanian, Bineesh & Bleher 2018), C.
bipuli (Praveenraj, Uma, Moulitharan & Bleher 2018), C. Lipor (Praveenraj, Uma,
Moulitharan & Singh 2019), C. Brunnea (Praveenraj, Uma, Moulitharan & Kannan
2019). Sebanyak 15 spesies ikan dari marga Channa yaitu C. amphibeus , C.
andrao , C. aurantimaculat , C. barca , C. bipuli , C. bleheri , C. gachua , C. marulius,
C. melanostigma , C. pardalis , C. pomanensis , C. punctata , C. quinquefasciata , C.
stewartii dan C. striata dilaporkan dari India Timur Laut Brahmaputra (Dey et al.,
2019).
Keanekaragaman jenis ikan gabus cukup tinggi di Indonesia. Muchlisin et al.
(2013) mengidentifikasi dua jenis ikan gabus di Danau Laut Tawar Aceh, yaitu ikan
gabus jenis Channa gachua dan Channa striata. Lebih jauh Serrao et al. (2014)
melaporkan bahwa ikan gabus yang tersebar di perairan tawar Indonesia adalah ikan
gabus dari jenis C. bankanensis, C. cyanospilos, C. gachua, C. marulioides, C.
melanoptera, C. melasoma, C. micropeltes, C. lucius, C. striata dan Channa
pleurophthalma. Dahruddin et al. (2017) melaporkan bahwa ikan gabus Channa striata
teridentifikasi di Danau Rawa Pening Jawa Tengah, Cigede Tasikmalaya, dan Tukad
Unda Bali serta ikan gabus jenis Channa pleurophthalma terdapat di Banjarmasin
Kalimantan Selatan.
Ikan gabus merupakan ikan air tawar yang dapat dijumpai di perairan sungai,
danau, rawa, bahkan perairan dengan kandungan oksigen yang rendah (Yulisman et
al., 2012). Ikan gabus mampu hidup di perairan dengan karakteristik pH asam, oksigen
terlarut relatif rendah, dan CO 2 tinggi (Said, 2008). Ikan gabus dikenal sebagai spesies
invasif, yang berasal dari famili Channidae. Ikan gabus memiliki kemampuan bernafas
langsung dari udara dengan menggunakan organ labirin (Singh et al., 1990) sehingga
dapat tetap hidup pada kondisi kekurangan air pada musim kemarau dengan cara
4
mengubur dirinya di dalam lumpur dan hidup dengan memanfaatkan lemak yang
tersimpan di dalam tubuhnya.
Gambar 2. Peta distribusi Ikan Gabus (Channa spp. Scopoli, 1777) (Fishbase)
Ikan gabus tersebar dari Afrika hingga Asia (Lim & Ng, 1990). Di Asia spesies
ini tersebar dari Afghanistan, Pakistan bagian barat, Nepal bagian selatan, India,
Bangladesh, Srilangka, Myanmar, Indo-China, Cina, Jepang, Taiwan, Philipina,
Malaysia, Singapura, dan Indonesia bagian barat. Di Indonesia ikan gabus tersebar
hampir di seluruh wilayah perairan umum daratan. Ikan gabus di Indonesia merupakan
ikan asli di wilayah perairan umum daratan di paparan Sunda (Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan) sedangkan ikan gabus yang terdapat di wilayah perairan umum daratan
Wallacea (Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku) dan Paparan Sahul (Papua) merupakan
ikan introduksi dan ikan konsumsi penting.
D. Nilai Gizi dan Bioprospecting Ikan Gabus (Channa spp. Scopoli, 1777)
5
Analisis proteomik pada jaringan otot ikan gabus menunjukan bahwa kelompok
protein utama yang dikandung oleh daging ikan gabus adalah protein enzim yang
sebagian besar merupakan protein sarkoplasmid yang bertanggung jawab terhadap
aktifitas glikolisis dan hidrolisis ATP dengan demikian enzim tersebut berperan dalam
produksi energi dan proses metabolisme. Selain itu terdapat juga kelompok protein
stuktural atau protein myofibril. Berdasarkan tingginya kedua kelompok protein
tersebut, maka daging ikan gabus digolongkan ke dalam daging putih (Zurraini et al.,
2006).
Ikan gabus memiliki karakteristik farmakologi yang ditunjukkan dengan
tingginya kandungan asam amino glisin, lisin, arginin, serta kandungan asam lemak
arakidonat, palmitit dan dekosaheksanoik (DHA). Asam amino dan asam lemak
tersebut berperan dalam formasi beberapa jenis molekul bioaktif (Zurraini et al., 2006).
Telur ikan gabus memperlihatkan karakteristik properti antioksidan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan kakap. Kelarutan protein ikan gabus lebih tinggi yaitu
mencapai 90% jika dibandingkan dengan ikan carp India yang hanya 50% pada pH
alkali (Galla et al., 2012). Kulit ikan gabus juga mengandung gelatin yang kualitasnya
tidak lebih baik dari gelatin komersial yang diekstrak dari kulit sapi (bovine skin)
bahkan memiliki kualitas yang lebih baik dari pada gelatin yang diekstrak dari ikan
subtropis (See et al., 2010). Berdasarkan karakteristik protein, asam amino, asam
lemak, mineral serta berbagai properti yang dimilki ikan gabus sangat bermanfaat baik
untuk industri pangan maupun industri farmasi. Ikan gabus mengandung komponen
senyawa aktif striatin.
6
Informasi genetik disusun dalam bentuk kodon (codon) yang berupa tiga pasang basa
nukleotida dan menentukan bentuk, struktur, maupun fisiologi suatu jasad (Yuwono,
2005).
Struktur DNA berupa utas ganda tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang
berpilin. DNA umumnya terdiri atas rantai yang saling berpilin sehingga menjadi double
helix. Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel). Kedua rantai
tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara adenin (A) dengan timin (T),
dan antara guanin (G) dengan sitosin (C). Ikatan antara adenin (A) dengan timin (T)
berupa dua ikatan hidrogen sedangkan antara guanin (G) dengan sitosin (C) berupa
tiga ikatan hidrogen. Spesifitas pasangan basa semacam ini disebut sebagai
komplementaritas. Pada struktur DNA gula deoksiribosa dan fosfat berada dibagian
luar molekul sedangkan basa purin dan pirimidin terletak dibagian dalam untaian
(Kurnia, 2010).
DNA merupakan senyawa yang sangat penting karena DNA membawa
informasi biologis yang menentukan struktur protein, sehingga dapat dikatakan bahwa
DNA merupakan molekul utama untuk kehidupan (Hardjosubroto, 2001).
DNA memiliki dua lekukan yaitu lekukan besar (major groove) dan lekukan kecil
(minor groove). Kedua lekukan ini berperan sebagai tempat molekul protein
tertentu (Yuwono, 2005). DNA terdiri atas bagian yang mengkode genetik (ekson),
bagian yang tidak mengkode genetik (intron) dan bagian yang mengatur regulasi
genetik (Yuwono, 2006). Karena fungsinya yang membawa informasi genetik, DNA
sangat berguna dalam identifikasi penyakit infeksius, kanker, kelainan genetik, bahkan
forensik (Malik, 2012). DNA merupakan unsur kimia yang stabil, menyandikan
agar sel tumbuh dan membelah sehingga akan menyebabkan diferensiasi sel telur
yang telah dibuahi menjadi sejumlah besar sel khusus yang diperlukan dalam berbagai
fungsi kehidupan (Kurnia, 2010).
PCR merupakan suatu metode enzimatis dalam bidang biologi molekuler yang
bertujuan untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida
tertentu dengan jumlah kelipatan ribuan hingga jutaan salinan secara in vitro dari
berbagai sumber (hewan, tumbuhan, bakteri, dan virus). Teknologi ini juga dikenal
dengan tingkat sensitifitas yang cukup tinggi karena hanya membutuhkan secuplik
sampel DNA saja untuk mendapatkan jutaan kopi DNA baru (Budiarto, 2015). Adanya
kontaminasi dalam jumlah sangat sedikit sekalipun dapat mengakibatkan terjadinya
7
kesalahan dengan menghasilkan produk amplifikasi yang tidak diharapkan (Yuwono,
2008).
Proses amplifikasi secara enzimatik untuk menggandakan fragmen DNA
spesifik dengan teknologi PCR dilakukan secara in vitro dengan menggunakan
sepasang primer untai tunggal pendek (primer forward dan reverse). Polymerase chain
reaction merupakan metode yang sensitif, selektif, dan cepat dalam menggandakan
DNA target yang diinginkan (Murray et al., 2003), sehingga dari satu pasang molekul
DNA dapat diperbanyak menjadi jutaan kali lipat setelah 30 - 40 siklus PCR (Campbell
et al, 2002). Komponen-komponen yang dibutuhkan untuk PCR yaitu fragmen DNA
yang akan diamplifikasi (DNA cetakan), sepasang primer oligonukleotida, enzim DNA
polymerase yang tahan panas, empat macam nukleotida (dATP, dGTP, dCTP, dan
dTTP), serta buffer reaksi yang mengandung MgCl 2. Alat ini mampu secara cepat
mengubah temperatur yang dibutuhkan untuk siklus berulang (Berg et al, 2007; Nelson
& Cox, 2008).
Siklus PCR dibagi menjadi 3 tahap yaitu pemisahan utas DNA pada suhu tinggi
(denaturasi), penempelan primer, dan pemanjangan primer menjadi utas baru DNA
oleh enzim DNA polymerase. Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai
dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang
berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single
stranded). Denaturasi DNA dilakukan pada suhu 94 - 95oC selama satu sampai dua
menit, kemudian suhu diturunkan disekitar 55oC (tergantung komposisi G-C pada
primer) sehingga primer akan ‘menempel’ (annealing) pada DNA cetakan Penempelan
yang paling baik dapat ditentukan dengan melakukan optimasi (Chen & Janes, 2000).
Proses pemanjangan secara umum terjadi pada suhu 72oC dalam waktu yang
disesuaikan dengan panjang atau pendeknya ukuran DNA yang diharapkan sebagai
produk amplifikasi. Umumnya, waktu yang digunakan untuk ekstensi DNA pada PCR
yaitu 2 - 3 menit (Fatchiyah, 2011).
Primer yang digunakan sebaiknya berukuran 18 - 24 basa, walaupun PCR
masih dapat memberikan hasil yang baik dengan menggunakan primer berukuran 32
basa. Primer yang diberikan pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan penempelan
pada sekuen DNA yang salah sehingga hasil PCR yang didapatkan tidak seperti yang
diharapkan. Jika primer dengan konsentrasi yang rendah, proses PCR tidak dapat
berjalan secara efisien, karena hasil amplifikasi yang diperoleh akan sangat sedikit.
Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan pada daerah sekuen
yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu 55oC yang digunakan untuk
penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih
efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 oC), tetapi biasanya akan terjadi
8
mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah (Yuwono, 2006). Suhu
annealing merupakan langkah yang kritis pada proses amplifikasi. Jika suhu annealing
terlalu rendah akan menghasilkan amplifikasi yang tidak spesifik sedangkan jika
temperatur terlalu tinggi maka tidak terjadi amplifikasi (Karusanagar et al, 1999).
Amplikon, atau hasil amplifikasi DNA dengan PCR dapat dilihat setelah melalui teknik
elektroforesis. DNA amplikon diberi pewarnaan dengan ethidium bromide yang akan
berfluoresens ketika dipaparkan pada sinar UV level medium dengan panjang
gelombang 300 nm dari UV transilluminator (Watson, 2004).
G. DNA Barcoding
9
mengalami delesi dan insersi dalam sekuennya, serta variasi juga sedikit sehingga
dapat digunakan sebagai DNA barcoding.
Gen COI merupakan satu dari dua gen yang mengkode protein yang ditemukan
di semua eukariot. COI memiliki laju mutasi asam amino yang sangat rendah (Lynch &
Jerrell, 1993) dengan sekuen DNA yang terkonservasi tinggi di dalam spesies yang
sama (Lambert et al., 2005). DNA yang digunakan sebagai barcode harus memiliki
ukuran pendek tapi memiliki variasi yang tinggi antar spesies, dan harus bisa
mengakomodir 10 - 100 juta spesies (Hollingsworth, 2011). Berdasarkan karakter
tersebut, gen COI cukup efisien dan akurat digunakan dalam mengidentifikasi spesies
eukariot (Ma et al. 2012; Hebert et al. 2003a).
Gambar 3. Posisi gen COI di dalam DNA mitokondria ikan (Satoh et al., 2016)
COI telah banyak digunakan untuk identifikasi spesies dan berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa COI mengandung cukup variasi sehingga mampu
mengidentifikasi secara akurat berbagai macam hewan (Herbert et al. 2003; Ward et
al. 2005). Efektifitas COI telah divalidasi untuk bermacam kelompok fauna dan
sebagian besar jenis fauna yang diteliti bisa dibedakan menggunakan DNA barcode.
Efektifitas ini disebabkan oleh variasi intraspesifik rendah, tetapi variasi interspesifiknya
tinggi terutama pada taksa yang berdekatan (Ward et al., 2005). Identifikasi molekuler
dengan menggunakan marka COI dapat memberikan informasi kekerabatan antar
spesies untuk mengkonstruksi pohon filogeni.
Gen COI dapat digunakan untuk merekonstruksi filogenetik pada cabang
evolusi tingkat spesies karena susunan asam amino dari protein yang disandi pada
gen COI sangat jarang mengalami substitusi sehingga gen COI bersifat stabil dan
dapat digunakan sebagai penanda, namun basa-basa pada triple kodonnya masih
berubah dan bersifat silent yaitu perubahan basah yang tidak merubah jenis asam
amino (Lynch & Jarrell, 1993).
10
III. METODE PENELITIAN
Analisis sampel DNA dengan gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dilakukan
di Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon, Fakultas Kehutanan, Universitas
Hasanuddin. Penelitian ini rencana dilakukan Agustus sampai November 2020.
B. Prosedur Penelitian
1. Ikan Sampel
Sampel ikan gabus diperoleh dari lokasi perairan tambak di Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat dan di Danau sidenreng, Sulawesi Selatan. Genom ikan
gabus diperoleh dari sirip dan otot. Organ sirip dan otot diawetkan dengan larutan
ethanol absolute atau ethanol dengan konsentrasi 96%.
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel ikan gabus (Channa spp. Scopoli, 1777)
di Danau Sidenreng dan tambak di Desa Patampanua, Kabupaten
Polewali Mandar
2. Isolasi DNA
11
Isolasi DNA mengikuti standar protokol Purification of total DNA from animal
tissue (spin column protocol), dengan prosedur kerja sebagai berikut:
a. Menimbang sampel otot atau sirip sebanyak 0.25 gram.
b. Melakukan pencucian sampel (fixasi) dengan akuades steril.
c. Memasukkan buffer ATL sebanyak 180 µL kedalam mikrotube1,5 mL.
d. Menambahkan 20 µL enzim proteinase K pada mikrotube, kemudian vortex.
e. Inkubasi supernatant hingga lisis (melakukan vortex setiap 15 menit).
f. Setelah lisis, tambahkan 200 µL etanol, kemudian vortex.
g. Memasukkan supernatant pada DNeasy mini spin column yang telah ditempatkan
pada collection tube 2 mL
h. Sentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm.
i. Larutan pada collection tube dibuang kemudian mengganti collection tube yang
baru. Menambahkan 500 µL buffer AW 1 kemudian sentrifus selama 1 menit
dengan kecepatan 8000 rpm.
j. Larutan pada collection tube dibuang kemudian mengganti collection tube yang
baru. Menambahkan 500 µL buffer AW 2 kemudian sentrifus selama 1 menit
dengan kecepatan 8000 rpm.
k. Memindahkan pada tube 1,5 mL kemudian menambahkan 200 µL buffer AE
secara perlahan pada membrane DNeasy.
l. Inkubasi pada suhu ruang selama 15 menit.
m. Sentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm.
n. Memindahkan ekstrak DNA pada tube baru kemudian diamkan pada suhu ruang
selama 15 menit.
o. Sentrifus selama 1 menit dengan kecepatam 8000 rpm.
p. Menyimpan ekstrak DNA pada freezer.
3. Ampifikasi DNA
12
proses annealing (penempelam primer), 72oC selama 30 detik untuk proses extension
(polimerisasi primer). Proses tersebut diakhiri dengan proses post-extension pada
suhu 72oC selama 7 menit dan disimpan pada suhu 4oC.
4. Visualisasi Pita
Langkah awal yang dilakukan yaitu pengenceran TAE dan pembuatan gel
agarosa, dengan tahapan sebagai berikut:
a. Melakukan pengenceran TAE, untuk membuat TAE 1000 mL dilakukan
pengenceran 20 mL TAE pekat kemudian dicampurkan dengan 980 mL aquades.
b. Memasukkan 1,4 gram agarosa ke dalam elenmeyer kemudian ditambahkan
dengan 70 mL TAE yang telah dilakukan pengenceran. Kemudian dipanaskan di
dalam microwave hingga semua agarosa larut.
c. Menambahkan gel red sebanyak 0,8 mL kemudian aduk hingga rata dan diamkan
hingga hangat.
d. Agarosa dituangkan pada cetakan yang telah dipasangi sisir (comb) kemudian
diamkan hingga agar mengeras.
e. Saat proses elektroforesis, agar dimasukkan pada alat elketroforesis yang berisi
larutan penyangga.
f. Memasukkan sampel produk PCR ke dalam sumur (well).
g. Running elektroforesis dengan mengatur besar volt dan lama waktu yang akan
digunakan.
h. Visualisai dibawah sinar UV menggunakan UV Transluminator. Pita terang yang
terlihat merupakan produk PCR yang positif mengandung DNA.
5. Sekuensing
Produk PCR dengan kualitas DNA yang baik dikirim ke perusahaan jasa
sekuensing. Sekuensing dilakukan dengan menggunakan BigDye® Terminator ver.3.1
cycle sequencing KIT dan mesin otomatis HiSeq-X sequencing. Primer yang
digunakan untuk proses sekuensing adalah sama dengan primer yang digunakan
untuk proses amplifikasi PCR. Semua urutan basa nukleotida yang diperoleh akan
dicocokkan di GenBank.
6. Analisis Data
13
Identifikasi ikan gabus dilakukan dengan menyejajarkan (alignment) sekuen nukleotida
sampel ikan gabus hasil sekuensing dengan sekuen nukleotida gen COI vertebrata
lainnya yang terdeposit di GenBank. Hasil alignment, berupa % query cover, %
identity, dan nilai E-value akan ditampilkan dalam bentuk tabel. Urutan nukleotida hasil
sekuensing gen COI akan disubmit ke GenBank untuk mendapatkan nomor aksesi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Alberts, B., Alexander J., Julian L., Martin R., Keith R., Peter W. 2008. Molecular
Biology of the Cell.Ed-5. Garland Science. New York.
Amilhat, E. & Lorenzen K., 2005, Habitat use, migration parttern and population
dynamics of chevron snakehead Channa striata in the rainfed rice farming
landscape. Jurnal Fish Biol. 67: 23-34.
Avise, JC., Arnold J., Ball AM., Bermingham E., Lamb T., Neigel JE., Reeb CA.,
Saunders NC. 1987. Intraspecific Phylogeography: The Mitochondrial DNA
Bridges I Between Population Genetics and Systematics. Ann. Rev. Ecol. Syst.
18:489-522.
Berg, MJ., Tymoczko JL., Stryer L. 2007. Biochemistry. Sixth Ed. San Fransisco: WH
Freeman.
Britz R, Dahanukar N, Anoop VK, Ali A. Channa rara, a new species of snakehead fish
from the Western Ghats region of Maharashtra, India (Teleostei: Labyrinthici:
Channidae). Zootaxa, 2019: 4683: 589-600.
Budiarto, B.R. 2015. Polymerase chain reaction (pcr) : perkembangan dan perannya
dalam diagnostik kesehatan. BioTrends. 6(2).
Campbell, NA., Reece JB., Mitchell LG. 2002. Biologi. Ed ke-5. Lestari R, EIM Adil, N
Anita, Andri, Wibowo WF, W Manulu, penerjemah; Safitri A, L simarmata, HW
Hardani, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology Fifth Edition.
Campbell, NA., Jane BR., Michael LC., Steven AW., Peter VM., dan Robert BJ. 2008.
Biologi Edisi Kedelapan. Erlangga. Jakarta.
Chen BY & Janes HW. 2000. PCR Cloning Protocol. New Jersey: Humana Press.
Dahruddin, H., Hutama A., Busson F., Sauri S., Hanner R., Keith P., Hadiaty R.,
Hubert N. 2017. Revisiting the ichthyodiversity of Java and Bali through DNA
barcodes: taxonomic coverage, identification accuracy, cryptic diversity and
identification of exotic species. Molecular Ecology Resources.17(2): 288-299.
Dey, A., Basudhara RC., Ruksa N., Debapriya S., Laishram K., Sudip B. 2019. Channa
amari, a new species of Snakehead (Teleostei: Channidae) from North Bengal,
India. International Journal of Pharmacy and Biological Sciences-IJPBS. 9 (2):
299-304.
Fatchiyah, EL., Arumningtyas S., Widyarti S., Rahayu. 2011. Biologi Molekuler Prinsip
Dasar Analisis. Erlangga. Jakarta. Hal. 48-57.
Froese, R., Pauly D. 2016. FishBase. World Wide Web electronic publication.
www.fishbase.org version.
Galla, NR., Krakala B., Akula S., Pamidighatam PR., 2012, Physico-chemical, amino
acid composition Functiona land antioxidant properties of roe protein
15
concertrates obtained from Channa striatus and Lates calcarifer. Food
Chemsitry. 132(3): 1171-1176.
Guci, A., Putra H., Syandri, Azrita. 2014. Karakteristik Morfologi Ikan Gabus (Channa
Striata Blkr) Berdasarkan Truss Morfometrik Pada Habitat Perairan Yang
Berbeda. Jurnal Fpik. 1(2):1-12.
Guo, S & DiPietro LA., 2010, Factor affecting wound healing. J Dent Res. 89(3): 219-
29.
Hebert, PDN., Cywinska A., Ball SL., de Waard JR. 2003a. Biological identifications
through DNA barcodes. In: Barrett S (ed.). Proceedings of The Royal Society
B. Royal Society of London, 270(1512):313-321.
Hebert, PDN., Ratnasingham S., de Waard JR. 2003b. Barcoding animal life:
cytochrome c oxidase subunit 1 divergences amongst closely related species.
In: Barrett S (ed.). Proceedings of The Royal Society B. Royal Society of
London, 270: S96-S99.
Hollingsworth PM. 2011. Refining the DNA barcode for land plants. Proceedings of the
National Academy of Sciences. 108(49):19451-19452.
Irmawati, Nadiarti, Tresnati J., Fachruddin L., Rahmawaty N., Arma., Haerul A. 2017.
Identifikasi ikan gabus, Channa spp. (Scopoli 1777) stok liar dan generasi I
hasil domestikasi berdasarkan gen Cytochrome C Oxidase Subunit I (COI).
Jurnal Iktiologi Indonesia. 17(2):165-173.
Kurnia, N. 2010. Autentikasi ikan Tuna (Thunnus sp) dengan metode berbasis Pcr-
sequencing. [S]. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Lahaye, R., Michelle VDB., Bogarin D., Warner J., Pupulin F., Gigot G., Maurin O.,
Duthoit S., Barraclough TG., Savolainene V. 2008. DNA barcoding the floras of
biodiversity hotspots. PNAS. 105:2923-2928.
Lakra, WS., Goswami M., Gopalakrishnan A., Singh DP., Singh A., Nagpure NS. 2010.
Genetic relatedness among fish species of genus Channa using mitochondrial
DNA genes. Biochemical Systematics and Ecology, 38(6):1212-1219.
Lambert, DM., Baker A., Huynen L., Haddrath O., Hebert PDN., Millar CD. 2005. Is a
large-scale DNA-based inventory of ancient life possible. Journal of Heredity,
96(3): 279 84.
Lim, KKP. & Ng, PKL. 1990. Snakeheads (Pisces: Channidae): Natural History,
Biology and economic Importance. Department of Zoology, National University
of Singapore. http://www.snakeheads.org. Serial online 2001—2006. 22 pp.
Lynch, M. & Jarrell PE. 1993. A method for calibrating molecular clocks and its
application to animal mitochondrial DNA. Genetics. 135(4):1197-1208.
16
Ma, H., Ma C., Ma L. 2012. Molecular identification of genus Scylla (Decapoda:
Portunidae) based on DNA barcoding and polymerase chain reaction.
Biochemical Systematics and Ecology. 41:41-47.
Makmur, S., Rahardjo, Sutrisno S. 2003. Biologi Reproduksi lkan Gabus (Channa
striato Btoch) di Daerah Banjiran Sungai Musi Sumatera Selatan. Jurnal
lkhtiotogi Indonesia. 3(7):57-67.
Malik, R., Misra D., Srivastava PC., Misra A. 2012. Review Research Paper Application
of Genetics and Molecular Biology In Forensic Odontology Introduction :
Corresponding Author : Molecular Biology Studies : Teeth as Genetic Material
Source : Human Identification Using DNA. 34(1):55–7.
Mat Jais AM., Dambisya YM., Lee TL. 1997. Antinociceptive activity of Channa striatus
(haruan) extracts in mice. Journal of Ethno-pharmacology, 57(2):125-130.
Michelle, NYT., Shanti G., Loqman MY. 2004. Effect of orally administered Channa
striatus extract against experimentally-induced osteoarthritis in rabbits.
International Journal of Applied Research in Veterinary Medicine. 2(3):171-175.
Mohd, SM & Abdul MJ. 2012. Therapeutic potential of the haruan (Channa Striatus)
from food to medicinal uses. Malays J Nutr. 18(1):125-36.
Muchlisin, ZA., Thomy Z., Fadli N., Sarong MA., Sitiazizah MN. 2013. DNA barcoding
of freshwater fishes from Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia. Acta
Ichthyologica et Piscatoria. 43(1):21-29.
Muhtarom, A. 2009. Tes DNA (Deoxirybo Nucleic Acid) Sebagai Alat Bukti Hubungan
Nasab Perspektif Hukum Islam. [S]. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri Sunan Kaluaga Yogyakarta.
Murray, RK., Granner DK., Mayes PA., Rodwell VW. 2003. Harper’s Illustrated
Biochemistry. New York: McGraw Hill.
Nelson, DL., MM Cox. 2008. Lehninger Priciples of Biochemistry. Fifth ed. New York:
WH Freeman.
Nielsen, LR. & Kjær, ED. 2008. Tracing timber from forest to consumer with DNA
markers’, Electronic publication: www.skovognatur.dk/udgivelser. Danish
Ministry of the Environment, Forest and Nature Agency.
Nugroho, M. 2013. Isolasi albumin dan karakteristik berat molekul hasil ekstraksi
secara pengukusan ikan gabus (Ophicephalus striatus). Jurnal saintek
perikanan. 9(1):40-48.
See, SF., Hong PK., Ng KL., Wan Aida WM., Babji AS. 2010. Physiscochemical
properties of gelatin extracted from skins of different freshwater fish species. Int
Food Res J. 17: 809-816
Serrao, NR., Steinke D., Hanner RH. 2014. Calibrating snakehead diversity with DNA
Barcodes: expanding taxonomic coverage to enable identification of potential
and esta-blished invasive species. Plos One, 9(6): 1-13.
17
Singh, BR., Yadav AN., Prasad MS., Mishra AP., Singh I. 1990. Neomorphic organ for
CO2 elimination in air breathing teleosts. Eur Arch Biol. 101: 257-267
Sudirman, GO. 2016. Analisis kandungan albumin dari pengolahan ikan gabus
(Channa striata) menggunakan pengasapan konvensional (Convensional
smoked) dan pengasapan modern (Modern smoked). [S]. Fakultas sains dan
teknologi. UIN Alauddin. Makassar.
Tudge C. 2000. The Variety of Life. New York (US): Oxford University Press.
Ulandari, A., Kurniawan D., Putri AS. 2011. Potensi protein ikan gabus dalam
mencegah kwashiorkor pada balita di Provinsi Jambi. Universitas Jambi.
Ward, RD., Zemlak TS., Innes BH., Last PR., Herbert PDN. 2005. DNA barcoding
Australia’s fish species. Philosophical Sciences. 360: 1847-1857.
Watson, JD., Baker TA., Bell SP., Gann A., Levine M., Losick R.. 2004. Molecular
Biology of The Gene. 5th edition. Benjamin Cumming. Pp. 681- 683.
Yulisman, M., Fitriani D., Jubaedah. 2012. Peningkatan Pertumbuhan dan Efiesien
Pakan Ikan Gabus (Channa striata) Melalui Optimasi Kandungan Protein dalam
Pakan. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. 40(2): 47-55.
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Penerbit Andi.
Yogyakarta. Hal. 1-24.
Zuraini, A., Somchit, Solihah MH., Goh YM., Arifah AK., Zakaria MS., Rajion MA.,
Zakaria ZA., Mat Jais AM. 2006. Fatty acid and amino acid composition of
three local Malaysian Channa spp. Fish. Food Chemistry. 97(4): 674-678.
18