Anda di halaman 1dari 124

TESIS

STUDI PERILAKU MASYARAKAT


TERHADAP KONSERVASI KELELAWAR BUAH
(Acerodon celebensis dan Pteropus alecto)
DI SULAWESI SELATAN

A STUDY OF COMMUNITY BEHAVIOR


TOWARDS FRUIT BATS CONSERVATION
(Acerodon celebensis and Pteropus alecto)
IN SOUTH SULAWESI

OLEH
A. RIANSYAH DWI GAUTAMA
P3700216014

MAGISTER ILMU KEHUTANAN


SEKOLAH PASCA SARJANA FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
STUDI PERILAKU MASYARAKAT
TERHADAP KONSERVASI KELELAWAR BUAH
(Acerodon celebensis dan Pteropus alecto)
DI SULAWESI SELATAN

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Magister Ilmu Kehutanan

Disusun dan diajukan oleh

A. RIANSYAH DWI GAUTAMA


P3700216014

SEKOLAH PASCA SARJANA


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : A. RIANSYAH DWI GAUTAMA

Nomor Mahasiswa : P3700216014

Program Studi : Magister llmu Kehutanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Juli 2020

Yang menyatakan

A. RIANSYAH DWI GAUTAMA

iv
PRAKATA
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi Rabbil aalamin segala Puji bagi Allah Tuhan semesta

alam yang telah memberikan limpahan rahmat, karunia serta kasih sayang

yang tiada hentinya kepada penulis. Shalawat serta salam semoga tetap

tercurah pada Nabi Muhammad SAW dan keluarga, sahabat dan para

pengikutnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah atas segala rahmat dan

pertolonganya-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Studi

Perilaku Masyarakat Terhadap Konservasi Kelelawar Buah (Acerodon

celebensis dan Pteropus alecto)” ini dengan diberikan kemudahan, ketabahan

serta keluasan ilmu.

Penelitian ini didasari oleh rasa keingintahuan penulis terhadap perilaku

masyarakat terhadap satwa liar khususnya kelelawar pemakan buah. Habitat

Kelelawar buah di Sulawesi Selatan banyak yang berada di wilayah

pemukiman penduduk seperti di wilayah penelitian penulis, yaitu: Kabupaten

Maros, Sinjai dan Soppeng. Dalam mendukung keberlangsungan ekosistem

kelelawar buah diharapkan peran serta seluruh lapisan masyarakat disekitar

habitat sarang, dimana pelestarian kelelawar buah sangat dipengaruhi oleh

perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan kelelawar buah. Salah satu

karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat diferensialnya.

v
Hal ini diharapkan dapat berdampak pada upaya-upaya konservasi kelelawar

buah khususnya Acerodon celebencis sebagai hewan endemik Sulawesi.

Penulis dalam menuntaskan penulisan tesis ini mendapatkan banyak

sekali bantuan berupa ilmu dan pengajaran, bimbingan dari banyak pihak.

Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Ibu Dr.

Risma Illa Maulany, S.Hut., M.Nat,ResSt. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir,

M.Si. selaku Pembimbing. Dimana ditengah-tengah kesibukan beliau, masih

menyempatkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memotivasi

penulis untuk menuntaskan penulisan tesis ini.

Melalui kesempatan ini, perkenankan juga penulis menghaturkan

terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat dalam penulisan tesis ini,

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Amran Achmad, M.Sc., Bapak Dr. Ir. M. Asar Said

Mahbub, M.P. dan Ibu Dr. Ir. Sitti Nuraeni, M.P. selaku penguji yang telah

memberikan kritik, saran dan bantuannya demi penyempurnaan tesis ini

hingga selesai.

2. Ibunda tercinta A. Zainab Mattalitti, A.Md. atas kasih sayang dan doa-doa

yang tak henti-hentinya dipanjatkan untuk penulis, kakanda A. Rian

Puspitasari, SKM, M.Kes dan Suami Laode Hidayat, S.Si., M.Kes. serta

adik-adikku: A. Riani Tri Utari, S.Pt., Ns. A. Rizani Catur Wulandari, S.Kep.

dan A. Rizandi Syah Putra, atas support system yang selalu membantu

baik secara moril maupun materil.

vi
3. Adik-adik di Fakultas Kehutanan yang banyak meluangkan waktunya

untuk membantu kegiatan penelitian: Nelly Triana Saputri, S.Hut., Ulfa

Damayanti, S.Hut. dan Dwiki Andrianus, S.Hut. dan terkhusus kepada

kakanda Liana, S.Hut., M.Hut. atas segala kebaikan, masukan dan

nasehat untuk penyelesaian studi penulis.

4. Forester 08, terkhusus kepada Pither Dharma, S.Hut., Muh. Fadli Yunisar,

S.Hut., Mughni Agoestiawan, S.Hut. dan Muh. Chaerul Darwin, S.Hut. atas

persaudaraannya hingga saat ini.

5. Keluarga besar Pandu Alam Lingkungan atas kebersamaan dan

kekeluargaannya hingga saat ini, tetap Jaya di Hutan, Jaya di Gunung,

Jaya Akademika serta seluruh rekan-rekan S2 Fakultas Kehutanan Unhas

Angkatan 2016 yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam

penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis menghaturkan terima kasih kepada Rektor Universitas

Hasanuddin, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin dan

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin beserta jajarannya atas

izin dan fasilitas yang telah diberikan. Akhir kata penulis mengharapkan

semoga tesis ini dapat memberi konstribusi bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

Makassar, Juli 2020

A. Riansyah Dwi Gautama

vii
ABSTRAK

A. RIANSYAH DWI GAUTAMA. Studi Perilaku Masyarakat Terhadap


Konservasi Kelelawar Buah (Acerodon celebensis dan Pteropus alecto) di
Sulawesi Selatan (dibimbing oleh Maulany dan Dassir).

Kelelawar buah memiliki peran penting dalam ekosistem yaitu sebagai


agen penyerbukan berbagai tumbuhan bernilai ekonomi tinggi dan sebagai
penyebar biji berbagai jenis tumbuhan di dalam hutan. Sangat disayangkan
populasi kelelawar buah akhir-akhir ini mengalami penurunan akibat hilangnya
habitat disebabkan oleh kegiatan penebangan dan alih fungsi lahan ditambah
lagi semakin tingginya perburuan kelelawar. Jasa ekosistem dari kelelawar
masih dikesampingkan yang salah satunya adalah karena masih lemahnya
pengetahuan masyarakat akan arti penting kelelawar dalam rangkaian mata
rantai ekologi serta buruknya persepsi masyarakat akan satwa ini. Sehingga
untuk mendukung keberlangsungan kelelawar buah peran serta seluruh
lapisan masyarakat khususnya di sekitar habitat bersarang kelelawar
sangatlah penting.
Pelestarian kelelawar buah sangat dipengaruhi oleh persepsi
masyarakat yang kemudian mengendalikan perilaku masyarakat dalam
berinteraksi dengan kelelawar buah. Perilaku ini sangat erat kaitannya dengan
berbagai faktor seperti ekonomi, sosial dan budaya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji pengetahuan, pengalaman, persepsi dan kesadaran
masyarakat tentang kelelawar buah serta menganalisis hubungan antara
keempat aspek tersebut dengan perilaku konservasi masyarakat terhadap
kelelawar buah pada tiga kabupaten (Maros, Sinjai dan Soppeng) yang
memiliki kondisi habitat yang berbeda (pedesaan, mangrove dan perkotaan)
di Sulawesi Selatan.
Wawancara mendalam dengan menggunakan kuisioner terhadap
masyarakat yang tinggal di sekitar habitat bersarang dilakukan untuk
mengetahui aspek pengetahuan, pengalaman, persepi, kesadaran dan
perilaku konservasi masyarakat terhadap kelelawar buah. Metode analisis
korelasi rank spearman diujikan untuk mengetahui aspek hubungan antara
variabel-variabel dengan perilaku konservasi masyarakat terhadap
keberadaan kelelawar buah.
. Di ketiga kabupaten, tingkat pengetahuan terkait manfaat alam dan
konservasi cukup baik (80%) hanya terdapat perbedaan pada tingkat
partisipasi. Demikian pula halnya dengan pengetahuan jenis kelelawar
sebanyak > 70% dapat mengenali jenis yang ada di sekitar tempat tinggal
mereka, sementara untuk pengetahuan lain masih minim. Terkait pengalaman
umumnya responden di Kabupaten Maros dan Soppeng, tidak merasa
terganggu dengan adanya kelelawar (90%) sebaliknya, di Kabupaten Sinjai
57% responden merasa terganggu dan 17 % setuju untuk mengusir kelelawar.
Tingkat persepsi terhadap kelelawar buah sebagai satwa liar cukup baik (>
90%) di ke tiga kabupaten dan terkait keberadaan kelelawar buah di sekitar

viii
tempat tinggal sebagian besar responden memiliki persepsi yang positif (>60
%), hanya di Kabupaten Sinjai 43% responden memiliki persepsi negatif dan
40% berada pada posisi netral terhadap peningkatan jumlah populasi di
sekitar tempat tinggal. Kesadaran responden secara keseluruhan terhadap
manfaat dan konservasi kelelawar cukup tinggi (>50%). Untuk variabel
perilaku hanya di Kabupaten Sinjai yang ditemukan aktivitas perburuan.
Hasil keseluruhan variabel menunjukkan bahwa Kabupaten Maros
memiliki persentase tertinggi terkait konservasi yaitu sebesar 78% lalu
Kabupaten Soppeng 76% dan terkecil di Kabupaten Sinjai sebesar 64%.
Sementara hasil analisis yang diuji menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
variabel yang berpengaruh terhadap perilaku konservasi pada setiap
kabupatennya. Di Kabupaten Maros, pengetahuan yang lebih tinggi/baik
memiliki pengaruh positive terhadap perilaku konservasi, sedangkan di
Kabupaten Sinjai variabel rendahnya kesadaran berpengaruh terhadap
perilaku. Sementara perilaku masyarakat di Kabupaten Soppeng tidak
dipengaruhi oleh variabel-variabel yang diteliti disebabkan oleh adanya aturan
dan norma budaya yang diberlakukan oleh Pemerintah setempat terkait
perlindungan kelelawar buah.

ix
ABSTRACT

A. RIANSYAH DWI GAUTAMA. Study of Community Behavior Towards Fruit


Bats Conservation (Acerodon celebensis and Pteropus alecto) in South
Sulawesi (supervised by Maulany and Dassir).

Fruit bats have important roles in the ecosystem serving not only as
pollinator agents for various high economic values plants but also acting as
seed disperser for many plants in the forests. However, recently the
populations of fruit bats in many places have been reported to decline due to
habitat loss as a result of timber clearing and land conversion as well as
intensive hunting. Ecosystem services provided by the bats are still overlooked
which are also caused by lack of knowledge on the importance of the fruit bats
in the ecological chain combined with poor public perception of the animals.
To support the existence of fruit bats and its continous roles to the ecosystem,
community participation in particular those who are living adjacent to the
roosting habitat of fruit bats is urgently needed.
The conservation of fruit bats is influenced by community perception
which later control the behaviour of community in interacting with the fruit bats.
Behaviour is closely related with many factors such as economic, social and
culture. This research is aimed to study on knowledge, experiences,
perceptions, and awareness of community on fruit bats and analyse the
relationship of the four aspects towards the conservation behaviour of
community on fruit bats in three different regencies of South Sulawesi (Maros,
Sinjai dan Soppeng) which are located in three different habitats.
In-depth interviews using questionnaire to community living nearby the
roosting habitat of fruit bats were carried out to collect data on knowledge,
experience, perception, awareness and conservation behaviour. Correlation
analysis of Spearman rank was employed to determine the relationships
between variables measured with the conservation behaviour of community
towards fruit bats.
The results showed that of 90 respondents in the three regencies
interviewed have indicated differences on the level of knowledge, experience,
perception, awareness, and behaviour. Knowledge related with nature and
conservation was relatively good (80%) with few differences found on
participation. This was similar with knowledge on bat species where more than
70% of respondents could be able to identify species differences on bats living
adjacent to their settlement. While for other knowledge such as biology and
physiology, the majority were still lacking. In relation with experiences with fruit
bats, generally respondents in Soppeng and Maros indicated undisturbed
patterns with the existence of fruit bats (90%) in contrast, respondents from
Sinjai claimed to be disturbed (57%) and in fact 17% had agreed to repel the
bats from their areas. The level of perception of community towards fruit bats
in general was good in the three regencies (90%) and on the presence of fruit
bats in their neighborhood more than 60% had positive perception. Only in

x
Sinjai around 43% of responedents had negative perception with 40% in
neutral positions. More than 50% of respondents had better awareness on
benefits and conservation of bats while for behaviour only in Sinjai hunting
activities were found. From the results of tested variables, it was found that
Maros had the highest percentage related with conservation (78%) followed
by Soppeng (76%) and Sinjai had the lowest (64%). Meanwhile, the analysis
between all variables towards the conservation behaviour had shown that
there were differences between variables tested on conservation behaviour
occurred in the three regencies. In Maros, better knowledge had positive
influenced towards conservation behaviour while in Sinjai low level of
awareness had driven the behaviour. In contrary, for Soppeng none of
variables can be found influencing the variables tested and this can be due to
the existence of local regulation and cultural norms which were enacted by the
local government of Soppeng Regency on fruit bat’s protection.

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................................................................... iv

PRAKATA ......................................................................................................................... v

ABSTRAK ...................................................................................................................... viii

ABSTRACT ...................................................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xvxv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xviiixviii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... xviii1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................7
1.4 Manfaat Penelitian ...........................................................................................7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian...............................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................9

2.1 Konsep dan Teori Perilaku .............................................................................9


2.1.1 Pengertian Perilaku .................................................................................9
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ......................................10
2.2 Pengetahuan ..................................................................................................11
2.2.1 Pengertian Pengetahuan ......................................................................11
2.2.2 Manfaat Pengetahuan ...........................................................................11
2.2.3 Tingkat Pengetahuan ............................................................................12
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan.............................14

xii
2.3 Persepsi Masyarakat.....................................................................................16
2.4 Kesadaran ......................................................................................................18
2.5 Kelelawar Buah ..............................................................................................23
2.6 Kelelawar Pemakan Buah ............................................................................25
2.6.1. Acerodon celebensis .............................................................................26
2.6.2. Pteropus alecto ......................................................................................28
2.7 Habitat Kelelawar...........................................................................................30
2.8 Peranan dan Manfaat Kelelawar dalam Ekosistem ..................................32
2.9 Strategi Konservasi .......................................................................................34
2.10 Kerangka Teori ..............................................................................................36
BAB III METODOLOGI .................................................................................................37

3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................................37


3.2 Waktu dan Tempat ........................................................................................37
3.2.1 Alat dan Objek ........................................................................................38
3.2.2. Populasi dan sampel penelitian ...........................................................38
3.2.3. Jenis dan Sumber Data ........................................................................39
3.2.4 Prosedur..................................................................................................40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................44

4.1 Hasil.................................................................................................................44
4.1.1 Profil Responden ...................................................................................44
4.1.2 Aspek Pendukung..................................................................................48
4.1.3 Pengetahuan ..........................................................................................50
4.1.4 Pengalaman ...........................................................................................57
4.1.5 Perilaku ...................................................................................................59
4.1.6 Persepsi ..................................................................................................62
4.1.7 Kesadaran ..............................................................................................65
4.1.8 Konservasi ..............................................................................................66
4.2 Pembahasan ..................................................................................................69
BAB V .............................................................................................................................79

5.1. Kesimpulan .........................................................................................................79


5.2. Saran .......................................................................................................................

xiii
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................81

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 1. Interpretasi hasil analisis korelasi..................................................... 43

Tabel 2. Karakteristik sebaran responden berdasarkan umur dan jenis

kelamin di tiga Kabupaten Maros, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten

Soppeng (n=90 responden) ................................................................ 46

Tabel 3. Aspek pendukung upaya konservasi di ketiga kabupaten ........... 50

Tabel 4. Pengetahuan responden tentang jenis kelelawar di lingkungan

tempat tinggal di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng. ............ 52

Tabel 5. Pernyataan variabel terkait konservasi di Kabupaten Maros, Sinjai

dan Soppeng. ........................................................................................ 67

Tabel 6. Analisis pengaruh variabel terhadap perilaku masyarakat Kabupaten

Maros mengenai keberadaan kelelawar.............................................68

Tabel 7. Analisis pengaruh variabel terhadap perilaku masyarakat Kabupaten

Sinjai mengenai keberadaan kelelawar..............................................69

Tabel 8. Analisis pengaruh variabel terhadap perilaku masyarakat Kabupaten

Soppeng mengenai keberadaan kelelawar. .................................... 69

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1. Teori Skinner ..........................................................................................10

Gambar 2. Bagian tubuh kelelawar (Suyanto, 2001).................................... 24

Gambar 3. Kerangka teori penelitian .............................................................. 36

Gambar 4. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan di

Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng (n=90 responden) ... 48

Gambar 5. Pengetahuan umum responden tentang flora dan fauna di

Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng ..................................... 51

Gambar 6. Pengetahuan responden tentang jumlah populasi kelelawar di

sekitar tempat tinggal di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng

......................................................................................................... 53

Gambar 7. Pengetahuan responden tentang fisik dan aktivitas kelelawar di

Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng. ................................... 54

Gambar 8. Gambar 8. Pengetahuan responden tentang manfaat kelelawar

di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng. ................................ 55

Gambar 9. Pengetahuan responden mengenai penggunaan kelelawar di

Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng. .................................... 56

Gambar 10. Pendapat responden mengenai (a) perlunya konservasi

kelelawar dan (b) bentuk dukungan untuk konservasi kelelawar

......................................................................................................... 57

xvi
Gambar 11. Pengalaman responden hidup berdampingan dengan habitat

kelelawar di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng .............. 59

Gambar 12. Opini Masyarakat terhadap kelelawar dan hubungannya

dengan konsumsi, budaya dan kesehatan responden di

Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng ..................................... 60

Gambar 13. Perilaku berburu responden di Kabupaten Maros, Sinjai dan

Soppeng. ........................................................................................... 61

Gambar 14. Perilaku berburu responden di Kabupaten Maros, Sinjai dan

Soppeng. ........................................................................................... 62

Gambar 15. Persepsi mengenai kelelawar di Kabupaten Maros, Sinjai dan

Soppeng. ........................................................................................... 63

Gambar 16. Persepsi mengenai keberadaan habitat kelelawar di Kabupaten

Maros, Sinjai dan Soppeng. ........................................................... 64

Gambar 17. Kesadaran masyarakat terkait potensi kelelawar di Kabupaten

Maros, Sinjai dan Soppeng ............................................................ 65

Gambar 18. Kesadaran masyarakat pentingnya kelelawar di Kabupaten

Maros, Sinjai dan Soppeng. ........................................................... 66

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1. Kuesioner penelitian .............................................................88


Lampiran 2. Analisis korelasi variabel pengetahuan (X1) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Maros.......................................................95
Lampiran 3. Analisis korelasi variabel pengalaman (X2) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Maros.......................................................96
Lampiran 4. Analisis korelasi variabel persepsi (X3) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Maros.......................................................97
Lampiran 5. Analisis korelasi variabel kesadaran (X4) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Maros.......................................................98
Lampiran 6. Analisis korelasi variabel pengetahuan (X1) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Sinjai ........................................................99
Lampiran 7. Analisis korelasi variabel pengalaman (X2) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Sinjai ......................................................100
Lampiran 8. Analisis korelasi variabel persepsi (X3) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Sinjai ......................................................101
Lampiran 9. Analisis korelasi variabel kesadaran (X4) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Sinjai ......................................................102
Lampiran 10. Analisis korelasi variabel pengetahuan (X1) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Soppeng ................................................103
Lampiran 11. Analisis korelasi variabel pengalaman (X2) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Soppeng ................................................104
Lampiran 12. Analisis korelasi variabel persepsi (X3) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Soppeng ................................................105
Lampiran 13. Analisis korelasi variabel kesadaran (X4) terhadap perilaku
masyarakat di Kab. Soppeng ................................................106

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelelawar merupakan hewan nokturnal atau hewan yang aktif di

malam hari dan termasuk kelompok mamalia yang memiliki kemampuan

untuk terbang. Kelelawar juga memiliki kekayaan jenis yang tinggi di

dunia, yakni dengan 18 famili, 192 genera dan 977 spesies (Primack dan

Corlett, 2005). Indonesia memiliki kurang lebih 205 jenis kelelawar yang

72 diantaranya adalah kelelawar pemakan buah (Megachiroptera). Lebih

lanjut dijelaskan bahwa keragaman jenis kelelawar di dunia,

mempengaruhi peranannnya bagi kelangsungan hidup manusia dan juga

lingkungan, khususnya kelelawar pemakan buah (Suyanto, 2001).

Pulau Sulawesi merupakan pusat keanekaragaman dan

endemisitas kelelawar, terutama kelelawar pemakan buah yang ada

dalam family Pteropodidae. Di Sulawesi khususnya, terdapat 75 jenis

kelelawar dan sebagian besarnya adalah jenis endemik (Koopman, 1989;

Yuliadi dkk., 2014). Peta penyebaran kelelawar hampir berada diseluruh

daerah Sulawesi Selatan, baik di pegunungan, pohon-pohon, gua-gua

sampai ke pesisir pantai utamanya hutan mangrove (Heriyanto dan

Ristiyanto, 2017). Kelelawar buah yang menyebar di daerah Sulawesi

1
khususnya di Sulawesi Selatan berjenis Pteropus alecto, sementara untuk

jenis Acerodon sp. adalah Acerodon celebensis (Yuliadi dkk, 2014).

Tempat tinggal kelelawar beragam, mulai dari gua, celah bambu,

rerimbunan dedaunan, gulungan daun (palem atau pisang), kolong atap-

atap rumah, terowongan-terowongan, di bawah jembatan dan lubang-

lubang batang pohon baik yang mati maupun yang hidup (Nowak, 1995) .

Kebanyakan jenis kelelawar dari pemakan buah umumnya memilih tempat

bertengger untuk tidur pada pohon-pohon yang tergolong besar,

sebaliknya beberapa jenis kelelawar yang umumnya pemakan serangga

lebih banyak memilih tempat berlindung pada lubang-lubang batang

pohon, celah bambu maupun goa (Cobert dan Hill, 1992).

Namun sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini banyak jenis

kelelawar yang populasinya menurun dan bahkan ada jenis-jenis tertentu

yang terancam punah, termasuk kelelawar buah dimana ancaman paling

besar terhadap kelelawar adalah kehilangan habitat karena tidak mampu

bertahan hidup di hutan yang telah di tebang atau di perkebunan

(Suyanto,2001). Masyarakat pada umumnya menganggap kelelawar

sebagai hama karena memakan buah-buahan dari tanaman budidaya,

sehingga banyak perburuan kelelawar yang menyebabkan habitatnya

terganggu dan populasi kelelawar di alam menurun (Rahmadi, 2007).

Bahkan di wilayah Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan kelelawar

buah (Pteropus alecto dan Acerodon celebensis) yang dianggap hama

oleh masyarakat telah dijadikan salah satu mata pencaharian bagi

2
pemburu kelelawar serta wilayah ini menjadi salah satu pemasok daging

kelelawar ke Provinsi Sulawesi Utara untuk kebutuhan konsumsi

masyarakat. Tercatat kurang lebih 188 ton/tahun daging kelelawar diburu

di Kabupaten Barru dan Sinjai untuk dijual ke Sulawesi Utara (Nirsyawita,

2020).

Hilangnya habitat kelelawar dan perburuan yang intensif tentunya

akan mengancam populasi kelelawar buah, termasuk meningkatkan resiko

kehilangan jasa ekosistem dari kelelawar buah. Menurut Hodgkinson dan

Balding (2003) menjelaskan bahwa didalam komunitas vegetasi,

keberadaan kelelawar pemakan buah menjadi sangat penting karena

dalam luasan satu hektar lahan 13,7% diantaranya sangat tergantung

pada kelelawar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Satyadharma

(2007) bahwa di daerah tropis kira-kira ada 300 tanaman yang

pembuahannya tergantung pada kelelawar dan diperkirakan 95%

regenerasi hutan dilakukan oleh kelelawar pemakan buah dan madu. Biji

yang disebarkan oleh kelelawar mempunyai tingkat perkecambahan lebih

tinggi dibandingkan perkecambahan secara alami atau langsung tanpa

bantuan oleh satwa khususnya kelelawar (Quesada, 2004).

Banyak hal yang menyebabkan jasa ekosistem kelelawar masih

dikesampingkan, salah satunya adalah karena masih lemahnya

pengetahuan masyarakat akan arti penting kelelawar dalam rangkaian

mata rantai ekologi (Apriandi, 2004). Sehingga untuk mendukung

keberlangsungan ekosistem kelelawar buah diharapkan peran dari seluruh

3
lapisan masyarakat di sekitar habitat sarang. Pelestarian kelelawar buah

sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan

kelelawar buah, salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang

menarik adalah sifat diferensialnya. Hal ini berarti bahwa satu stimulus

dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa

stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama.

Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian terkait dengan

penyediaan informasi dasar dalam mendukung keberadaan populasi

endemik kelelawar buah Sulawesi (Acerodon celebensis) dan upaya

pelestarian yang tepat bagi jenis tersebut. Penelitian dilakukan dengan

melakukan pengamatan terhadap faktor predisposisi perilaku seperti:

pengetahuan, pengalaman, kesadaran dan persepsi masyarakat di sekitar

habitat terkait perilaku masyarakat akan konservasi kelelawar buah

Sulawesi (Acerodon celebensis dan Pteropus alecto). Atas dasar hal

tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Studi Perilaku

Masyarakat Terhadap Konservasi Kelelawar Buah (Acerodon celebensis

dan Pteropus alecto) di Sulawesi Selatan”.

Penelitian ini dilakukan pada tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten

Maros, Sinjai dan Soppeng. Selain kelelawar banyak ditemukan diketiga

wilayah tersebut, wilayah ini juga mewakili beberapa tipe habitat kelelawar

bersarang, diantaranya: pada areal pedesaan, mangrove dan perkotaan.

Disamping itu, ketiga wilayah ini juga memiliki keterwakilan interaksi yang

berbeda antara manusia dan kelelawar. Kelelawar buah di Kabupaten

4
Soppeng telah menjadi ciri khas dan kebanggaan dari kabupaten tersebut

bahkan terdapat peraturan daerah yang mengatur mengenai perlindungan

kelelawar buah tersebut. Saat ini, kelelawar buah di Kabupaten Soppeng

dan Maros menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal dan asing untuk

berkunjung menyaksikan perilaku kelelawar baik di pohon inangnya

maupun pada saat terbang beriringan dalam jumlah besar pada sore hari.

Karena ciri khas dan keunikannya, menyaksikan kelelawar buah secara

langsung dapat menjadi salah satu sumber pemasukan pada daerah

tersebut. Tetapi hal berbeda yang terjadi di Kabupaten Sinjai, dimana

kelelawar buah diburu untuk diperdagangkan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

menentukan tindakan pengelolaan yang efektif termasuk melakukan

pendekatan terhadap masyarakat terkait konservasi satwa. Hal ini menjadi

penting karena didalam penyusunan kebijakan khususnya konservasi,

unsur-unsur sosial masih sangat jarang untuk dipertimbangkan sebagai

bagian yang fundamental. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi referensi dalam pengembangan ekowisata berbasis satwa liar

yang mampu mengurangi dampak negatif dari berbagai aktivitas manusia

kedepannya.

1.2 Rumusan Masalah

Sumber daya alam sangat berperan penting dalam kehidupan

manusia dan sudah menjadi tanggung jawab manusia sebagai makhluk

5
yang dianugerahi akal pikiran untuk mengelolanya dengan bijak. Tujuan

akhir dari pengelolaan sumber daya alam adalah untuk mengubah nilai-

nilai kemanusiaan, dari perilaku negatif yang mencerminkan eksplotasi

alam secara berlebihan dan apatis ekologi menjadi perilaku yang

bermoral, beretika, beradat serta dapat dijadikan gaya hidup untuk lebih

menghargai peran sumber daya alam. Sebagaimana strategi konservasi

yang akan ditempuh nantinya untuk dapat meminimalisir kerusakan yang

terjadi.

Kelelawar buah (Acerodon celebensis dan Pteropus alecto)

merupakan bagian dari ekosistem, dapat terjaga keseimbangan

populasinya apabila koeksistensinya dengan masyarakat sekitar

habitatnya mendapatkan perilaku yang baik, demikian sebaliknya

(Kencana, 2002). Maka untuk itu, perlu diketahui perilaku masyarakat

terhadap konservasi kelelawar, alasan dibalik perilaku yang ditampakkan

dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku itu timbul (Jalaluddin,

2011).

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dapat

dirumuskan melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan, pengalaman, persepsi dan kesadaran

masyarakat tentang kelelawar buah Sulawesi (Acerodon celebensis

dan Pteropus alecto) pada tiga kabupaten (Maros, Sinjai dan

Soppeng)?

6
2. Bagaimana hubungan pengetahuan, pengalaman, persepsi dan

kesadaran masyarakat tersebut terhadap perilaku masyarakat terkait

konservasi kelelawar buah Sulawesi (Acerodon celebensis dan

Pteropus alecto) pada ketiga kabupaten (Maros, Sinjai dan Soppeng)

dengan kondisi habitat berbeda?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Mengkaji pengetahuan, pengalaman, persepsi dan kesadaran

masyarakat tentang kelelawar buah pada tiga kabupaten (Maros,

Sinjai dan Soppeng).

2. Menganalisis hubungan antara pengetahuan, pengalaman, persepsi

dan kesadaran masyarakat dengan perilaku masyarakat terkait

konservasi kelelawar buah Sulawesi (Acerodon celebensis dan

Pteropus alecto) pada ketiga kabupaten (Maros, Sinjai dan Soppeng)

dengan kondisi habitat berbeda.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

bagi pemerintah setempat dalam merumuskan kebijakan terkait strategi

konservasi kelelawar buah (Acerodon celebensis dan Pteropus alecto)

berdasarkan perilaku masyarakat setempat pada kondisi habitatnya

7
masing-masing. Adapun manfaat lain yang diharapkan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, dapat dijadikan referensi untuk

penelitian yang sejenis.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian merupakan studi perilaku masyarakat

yang hidup berdampingan dengan pohon tempat kelelawar buah

bersarang sebagai objek dari penelitian ini. Lokasi penelitian meliputi tiga

tipe habitat, yaitu: habitat pedesaan di Kabupaten Maros, habitat

mangrove di Kabupaten Sinjai dan habitat perkotaan di Kabupaten

Soppeng. Metode penelitian dengan menganalisis secara mendalam

perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan kelelawar buah di sekitar

sarangnya serta kemudian memfokuskan pada permasalahan yang terjadi

pada setiap habitat. Adapun, hasil dari analisis yang diperoleh diharapkan

mampu menjadi alternatif penyelesaian terhadap permasalahan yang

terjadi.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Teori Perilaku

2.1.1 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk

hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis

semua makhluk hidup mulai dari tumbuh tumbuhan, binatang sampai

dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas

masing-masing (Jogiyanto, 2007). Sedangkan menurut Notoadmodjo

(2011) Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri

yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan,

berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan

sebagainya.

Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme itu

tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus

atau rangsangan yang mengenai individu atau organisme itu (Darho,

2012). Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007),

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang

terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini

terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian

9
organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-

R” atau Stimulus – Organisme – Respon.

S O R

Stimulus Organisme Respon


Keadaan Menyetujui
Stimulus emosional:
Lingkungan atau
Kesenangan,
gairah, dominasi
menghindari

Gambar 1. Teori Skinner

Menurut Puspitasari (2013), dilihat dari bentuk terhadap stimulus

menurut skinner, perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Perilaku

tertutup (Covert Behavior) dimana seorang terhadap stimulus yang masih

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap,

belum biasa diamati oleh orang lain; 2) Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

dimana seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka. Hal ini sudah jelas dilakukan dan sangat mudah diamati atau

dilihat orang lain.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007), faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku, antara lain: 1) Faktor predisposisi adalah

faktor yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,

nilai-nilai dan sebagainya; 2) Faktor pendukung adalah faktor yang

10
terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-

fasilitas atau sarana-saran; 3) Faktor pendorong adalah faktor yang

terwujud dalam sikap dan perilaku petugas yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,

2007). Demikian juga menurut Donsu (2017), pengetahuan adalah suatu

hasil dari rasa keingintahuan melalui proses sensoris, terutama pada mata

dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain

yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open behavior.

2.2.2 Manfaat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti

bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari

pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang

11
mengadopsi perilaku baru, di dalam diri seseorang terjadi proses yang

berurutan yakni:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam diri

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek);

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut. Disini

sikap subyek sudah mulai timbul;

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik

lagi;

d. Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus;

e. Adaption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Apabila

penerimaan perilaku baru atau diadopsi perilaku melalui proses

seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap

yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng.

2.2.3 Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkat menurut Notoatmodjo

(2007), yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang

12
yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya;

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar dengan cara menyimpulkan, meramalkan dan

sebagainya;

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang real (sebenarnya);

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain;

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyususn formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada;

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian

itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

13
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Lukman yang dikutip oleh Hendra (2008), ada beberapa

faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu:

a. Umur

Singgih (1998), mengemukakan bahwa makin tua umur seseorang,

maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan

tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan

mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Selain

itu Abu Ahmadi (2001), juga mengemukakan bahwa memang daya

ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian

ini, maka dapat kita simpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang

dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang

diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang

usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu

pengetahuan akan berkurang;

b. Intelegensi

Intelegensi adalah ukuran bagaimana individu berperilaku, intelegensi

diukur dengan perilaku individu, interaksi interpersonal dan prestasi

(Thornburg, 1984). Sedangkan menurut Abror (1993), intelegensi

adalah kemampuan adaptasi atau penyesuaian individu dengan

keseluruhan lingkungan, kemampuan belajar dan kemampuan berpikir

abstrak. Lebih lanjut Suryabrata (2002), menyatakan bahwa

intelegensi bukanlah kemampuan tunggal melainkan terdiri dari dua

14
faktor yaitu faktor umum dan faktor khusus, faktor umum bergantung

kepada keturunan, sedangkan faktor khusus bergantung kepada

pengalaman (lingkungan atau pendidikan);

c. Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama

bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang

baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya.

Dalam lingkungan seseorang akan memperoleh pengalaman yang

akan berpengaruh pada cara berfikir seseorang (Nasution, 1999);

d. Sosial Budaya

Kebudayaan merupakan faktor penentu paling dasar dari keinginan

dan perilaku seseorang (Setiadi, 2003). Sistem sosial budaya

merupakan konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar dalam

kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, sistem sosial budaya yaitu

merupakan keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata

laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja

secara mandiri serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung

untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat

(Muhammad, 2008);

e. Pendidikan

Menurut Notoatmodjo (1997), pendidikan adalah suatu kegiatan atau

proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan

15
kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri

sendiri;

f. Informasi

Menurut Wied (1996), informasi akan memberikan pengaruh pada

pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan

yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari

berbagai media misalnya TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan

dapat meningkatkan pengetahuan seseorang;

g. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat

diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau

pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran

pengetahuan. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi pun dapat

digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini

dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang

diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada

masa lalu (Notoadmojo, 1997).

2.3 Persepsi Masyarakat

Kehidupan bermasyarakat tidak akan lepas dari persepsi

masyarakat itu sendiri. Persepsi merupakan tanggapan atau penerimaan

langsung dari seseorang. Menurut Jalaludin (2011), persepsi merupakan

pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang

diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

16
Sedangkan menurut Bimo (2002), persepsi merupakan suatu proses yang

didahului penginderaan yaitu proses stimulus oleh individu melalui proses

sensoris. Namun, proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus

tersebut diteruskan dan diproses selanjutnya merupakan proses persepsi.

Adapun yang dimaksud dengan masyarakat adalah sekelompok

manusia yang hidup dalam satu kesatuan dalam tatanan sosial

masyarakat. Lebih lanjut adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ralph

Linton (1968), menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok

manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga

mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya

sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi

masyarakat adalah suatu proses dimana sekelompok manusia yang

hidup dan tinggal bersama dalam wilayah tertentu dan memberikan

pemahaman atau tanggapan terhadap hal-hal atau peristiwa yang terjadi

dilingkungannya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

persepsi, sebagai berikut (Jalaludin, 2011):

a. Faktor-faktor fungsional

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan

hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor-faktor

personal. Krech dan Crutchfield (Jalaludin, 2011) merumuskan dalil

persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa

17
obyek-obyek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya obyek-

obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi;

b. Faktor-faktor struktural

Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi berasal dari luar

individu, seperti: lingkungan, budaya, hukum yang berlaku dan nilai-

nilai dalam masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap seseorang

dalam mempersepsikan sesuatu.

2.4 Kesadaran

Manusia akan sadar terhadap apa yang dilakukan dan akan

mengingat apa yang sudah dikerjakan sebelumnya. Secara bahasa kata

“kesadaran” mempunyai kata dasar “sadar” yang berawalan ke-an. Sadar

berarti insyaf, paham, mengerti kesadaran berarti mengetahui serta

memahami sesuatu hal yang baik secara konkrit maupun abstrak. Untuk

memperkuat definisi tentang kesadaran maka perlu dilihat tentang definisi

secara keseluruhan, adapun kesadaran dalam bentuk lain adalah

pemahaman atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan

keberadaan dirinya. Kesadaran merupakan unsur dalam manusia dalam

memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi

terhadap realitas.

Dengan kata lain kesadaran bisa dirasakan oleh manusia dalam

segala kegiatan yang dilakukannya dan sadar dengan apa yang sedang

manusia lakukan dalam kegiatannya. Kesadaran dapat juga diartikan

18
sebagai semua ide, perasaan, pendapat dan lain sebagainya yang dimiliki

seseorang atau sekelompok orang. Adapun menurut Simorangkir

kesadaran adalah sebagai berikut: Menyadari kemungkinan-kemungkinan

untuk mengembangkan kebebasan batin, maka kita dapat membuka diri

untuk kebahagiaan, kesehatan dan kepuasan yang senantiasa

mengelilinginya. Bila mengenal diri secara lebih mendalam, maka kita

akan memperoleh pengertian yang lebih mendalam dan lebih luas pula

serta perasaan aman dan sejahtera. Kita menjadi sehat jasmaniah dan

rohaniah, pekerjaan, keluarga serta handai-tolan akan memperoleh arti

yang lebih besar di mata kita.

Hal di atas diperkuat dengan pendapat Noor (2009), “kesadaran

berarti keadaan tahu, mengerti dan merasa akan yang dilakukan”.

Kesadaran juga bisa diartikan sebagai kondisi dimana seorang individu

memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus

eksternal. Namun, kesadaran juga mencakup dalam persepsi dan

pemikiran yang secara samar-samar disadari oleh individu sehingga

akhirnya perhatiannya terpusat. Menurut Jung teori kesadaran dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu: a) Ego merupakan jiwa sadar yang terdiri dari

persepsi, ingatan, pikiran dan perasaan-perasaan sadar; b) Personal

unconscious merupakan struktur psyche ini merupakan wilayah yang

berdekatan dengan ego. Terdiri dari pengalaman-pengalaman yang

pernah disadari,tetapi dilupakan dan diabaikan dengan cara repression

atau suppression dan c) Collective unconscious merupakan gudang bekas

19
ingatan yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang yang tidak

hanya meliputi sejarah ras manusia sebagai sebuah spesies tersendiri

tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang binatangnya.

Jung (1989), tidak berbicara tentang kepribadian melainkan psikhe.

Adapun yang dimaksud dengan psikhe ialah totalitas segala peristiwa

psikhis baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Namun, dalam

kehidupan sehari-hari berbagai kejadian berkelanjutan berada disekitar

masyarakat menjadikan sebuah kebiasaan untuk dilakukan oleh

masyarakat dapat menyebabkan sebuah fakta sosial dan menentukan

ukuran untuk segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat secara

sadar untuk dikerjakannya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Husserl

(1991), “apa yang mereka lakukan sebagai perwujudan kesadaran mereka

dinilai oleh sesuatu yang berada diluar diri mereka (fakta sosial) seperti

masyarakat dengan hukum-hukum, norma-norma atau nilai-nilai yang

dipegangnya”.

Dengan penjelasan tersebut maka kesadaran tidak dilihat dari sisi

psikologi saja tetapi dapat dilihat dari sisi sosialnya dengan dipengaruhi

oleh faktor luar seperti fakta sosial dan tidak dipengaruhi dari faktor

internal manusianya saja yaitu individu manusia itu tersendiri. Adapun

menurut Durkheim (2004), pengertian kesadaran dari sisi sosialnya adalah

sebagai berikut:

Gejala-gejala sosial masyarakat tidak dapat diterangkan oleh

psikologi, tetapi hanya oleh sosiologi. Sebab yang mendasari gejala-gejala

20
sosial itu adalah suatu “kesadaran kolektif” dan bukan “kesadaran

individual”, sehingga gejala-gejala sosial yang menurut Durkheim didasari

oleh jiwa kolektif, hanya dapat dipelajari oleh sosiologi yang mempelajari

jiwa kolektif itu dan tidak oleh psikologi yang hanya mempelajari gejala-

gejala individual.

Dengan begitu kesadaran kolektif terbentuk akibat gejala-gejala

sosial yang ditimbulkan masyarakat akibat memiliki pemikiran yang sama

dilingkungan masyarakat tersebut dan akhirnya menimbulkan sebuah

gejala-gejala sosial. Hal tersebut didukung dengan pendapat Durkheim

“masyarakat itu terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup

secara kolektif dengan pengertian-pengertian kolektif dan tanggapan-

tanggapan secara kolektif ”.

Secara umum masyarakat pastilah akan mempengaruhi satu sama

lain untuk melakukan sebuah tindakan, maka dengan pengaruh tersebut

dapat terbentuknya sebuah kelompok yang memiliki pemahaman yang

sama dan melakukan sebuah tindakan yang sama pula untuk mencapai

tujuan yang disepakati bersama dan menyebabkan sebuah perilaku

kolektif. Adapun pengertian perilaku kolektif adalah pengalihan kontrol

yang sederhana (dan rasional) terhadap tindakan satu pelaku kepada

pelaku lain.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan perilaku

kolektif oleh Hanurawan (2010), “perilaku kolektif adalah cara berfikir,

berperasaan dan bertindak sekumpulan individu yang secara relatif

21
bersifat spontan serta tidak terstuktur yang berkembang dalam suatu

kelompok atau suatu populasi sebagai akibat dari saling stimulasi antar

individu”.

Perilaku kolektif tersebut terbentuk dari individu yang

mempengaruhi individu lain, sehingga membuat sebuah komunitas.

Secara umum perilaku kolektif memiliki beberapa elemen yaitu: (a)

Fenomena tersebut melibatkan sejumlah orang yang melakukan tindakan

yang sama pada waktu yang bersamaan; (b) Perilaku yang ditampilkan

tersebut bersifat sementara atau terus menerus berubah, tidak dalam

kondisi seimbang/stabil dan (c) Terdapat semacam ketergantungan

tertentu diantara tindakan-tindakan tersebut, individu tidak bertindak

secara bebas.

Elemen-elemen tersebut akan menimbulkan apa yang dimaksud

dengan perilaku kolektif dan perwujudan dari perilaku kolektif, yaitu

dengan adanya bentuk-bentuk perilaku kolektif yang digolongkan untuk

melihat bagian-bagian dari perilaku kolektif itu sendiri.

22
2.5 Kelelawar Buah

Klasifikasi kelelawar menurut Kunz (1991) adalah :

Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Infraclass : Eutheria
Superordo : Laurasiatheria
Ordo : Chiroptera
Sub Ordo : Megachiroptera
Microchiroptera
Secara umum, kelelawar termasuk dalam ordo (bangsa) Chiroptera

dengan dua sub ordo (anak bangsa) Megachiroptera dan Microchiroptera.

Megachiroptera umumnya berukuran besar, telinga tidak memiliki

tragus/anti tragus, cakar pada jari sayap kedua umumnya ada dan terdiri

dari dua ujung jari. Sedangkan, Microchiroptera berukuran kecil, memiliki

tragus/anti tragus, tidak memiliki cakar pada jari sayap kedua dan tidak

memiliki tulang jari (Suyanto, 2001).

Kelelawar memiliki jumlah spesies yang banyak dan menempati

urutan kedua setelah mamalia binatang pengerat lainnya. Dari 4.000

spesies mamalia, 963 species diantaranya merupakan spesies kelelawar.

Subordo Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki 9 famili yang

diantaranya adalah Famili Pteropodidae, Megadermatidae, Nyctiridae,

Vespertilionidae, Rhinoloidae, Hipposideridaer, Emballonuridae dan

Molossidaer. Famili Pteropodidae terdiri atas 72 spesies, Famili

Megadermatidae terdiri atas satu spesies, Famili Nycteridae terdiri atas

23
dua spesies, Famili Vespertilionidae terdiri atas 63 spesies, Famili

Rhinolopidae terdiri atas 19 spesies, Famili Hipposideridae terdiri atas 26

spesies, Famili Emballonuridae terdiri atas 11 spesies, Famili

Rhinopomatidae terdiri atas satu spesies dan Famili Molossidae terdiri

atas 11 spesies (Suyanto, 2001).

Ukuran badan dari kelelawar dari sub ordo Megachiroptera yang

paling kecil (Genera Balioncyteris, Chironax, dan Aethalops) berbobot 10

gram dan yang paling besar (Kalong kapauk dari Genus Aethalops)

memiliki berat lebih dari 1500 gram. Kelelawar pemakan buah ini memiliki

bentangan sayap mencapai 1700 mm, lengan bawah sayap 36-228 mm.

Sedangkan, kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera) yang terkecil

mempunyai bobot 2 gram, paling besar 196 gram. Panjang lengan bawah

sayapnya 22-115 mm (Suyanto, 2001).

Gambar 2.
1. Bagian tubuh kelelawar (Suyanto, 2001)
kelelawar(Suyanto, 2001)

Kelelawar di Indonesia umumnya dikenal dengan sebutan paniki, niki

atau lawa di Sulawesi, sedangkan di Jawa Barat masyarakat banyak

24
menyebutnya dengan nama kampret. Di Pulau Jawa kelelawar banyak

dikenal dengan nama lawa, codot ataupun kampret, sementara di daerah

Kalimantan disebut prok, cecadu, kusing ataupun tayo (Suyanto, 2001).

Kelelawar dalam bahasa Inggris disebut dengan bat.

2.6 Kelelawar Pemakan Buah

Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo

yang dibedakan atas jenis pakannya. Ordo Chiroptera memiliki 18 famili,

188 genera dan 970 spesies yang terbagi dalam sub ordo Megachiroptera

dan Microchiroptera. Kelelawar buah atau Megachiroptera terdiri atas satu

famili, yakni: Pteropodidae yang mencakup 41 genera dan 163 spesies

(Corbet and Hill, 1992).

Jumlah kelelawar buah berukuran kecil sekitar 24 marga (57%) dari

42 marga. Anggota jenis ini memiliki lengan bawah sayap kurang dari 70

mm dan hanya 7 marga (16,7%) dari anggota jenis ini memiliki ukuran

lengan bawah sayapnya lebih dari 110 mm (Nowak, 1995).

Kelelawar buah banyak tersebar di Indonesia pada Pulau Sulawesi

ada beberapa jenis yang telah ditemukan dan diidentifikasi, yakni

misalkan Cyniopterus luzoniensis, Dobsonia exolete, Boneia bidens,

Harpyionycteris celebensis, Nyctimene minutus, Rousettus celebensis,

Pteropus alecto, Acerodon celebensis dan Kerivoula celebensis (Yuliadi,

2014).

25
2.6.1. Acerodon celebensis

1. Morfologi

Genus Acerodon di Pulau Sulawesi terdapat dua spesies, yaitu:

Acerodon celebensis dan Acerodon humilis. Pembahasan lebih lanjut

adalah Acerodon celebensis yang merupakan salah satu spesies

kelelawar yang hidup di Sulawesi (Yuliadi dkk, 2014). Acerodon

celebensis merupakan salah satu spesies yang termasuk ke dalam Ordo

Chiroptera, subordo Megachiroptera yakni kelelawar buah dan termasuk

dalam Family Pteropodidae. Spesies memiliki ciri-ciri morfologis rambut

berwarna cokelat kekuningan dengan ekor yang sangat kecil (Suyanto,

2001). Salah satu indikator dalam mengenal morfologi kelelawar buah

Sulawesi Aceorodon celebensis, yaitu dengan melihat bagian dalam gigi,

terdapat tonjolan memanjang di tengah permukaan geraham bawah dan

ada tonjolan sebelah depan dalam geraham atas sehingga memiliki tiga

tonjolan (tonjolan yang paling tinggi di sebelah luar yang paling rendah di

sebelah dalam dan tonjolan yang lebih kecil di sebelah depan dalam).

Rumus giginya I1I2CP1P3P4M1M2/I1I2CP1P3P4M1M2M3, P1 yang umumnya

tanggal di tengah permukaan kunyah geraham bawah P4M1M2 yang

mempunyai tonjolan yang memanjang, dan terdapat tonjolan sebelah

depan geraham atas P4M1 (Yuliadi dkk, 2014). Bobot badan 250-500 g

serta tengkorak total 62,5-64,9 mm (Ransaleleh dkk, 2013).

26
2. Habitat dan Penyebaran

Acerodon celebensis merupakan salah satu jenis endemik di Pulau

Sulawesi. Kelelawar buah jenis ini lebih menyukai habitat dataran rendah

dengan ketinggian hingga 1.500 mdpl. Pada umumnya, habitat spesies ini

adalah pohon. Namun, kadangkala juga ditemukan di bambu dan spesies

ini agak sensitif terhadap gangguan manusia. Pohon yang seringkali

digunakan sebagai habitat bersarangnya adalah pohon kelapa dan pohon

sukun (Hutson et.al, 2008).

Kelelawar buah Sulawesi ini tersebar di berbagai daerah, mulai dari

Sulawesi Utara, Gorontalo hingga Sulawesi Selatan. Khusus di Sulawesi

Selatan, Acerodon celebensis dapat dijumpai di daerah pedesaan yang

berdekatan dengan permukiman warga di Kabupaten Maros, di daerah

perkotaan Kabupaten Soppeng dan juga dapat dijumpai pada daerah

mangrove di Kabupaten Sinjai.

3. Populasi dan Status Konservasi

Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kepunahan

yang berlanjut, maka organisasi dunia, Red List dalam International Union

for Conservation of Nature (IUCN, 2018), menyatakan bahwa Acerodon

celebensis termasuk dalam kategori Vurnarable (VU) yang berarti rentan

untuk punah. CITES (2016) (Convention of International Trade on

Endangered Flora dan Fauna Species) mengatakan bahwa semua

spesies Acerodon sp. tergolong dalam Appendix II yang mana daftar jenis

satwa dan tumbuhannya memerlukan pengawasan yang intensif agar

27
tidak punah. Namun, ada kemungkinan untuk terjadi kepunahan pada

spesiesnya jika terus-menerus dilakukan perdagangan tanpa adanya

pengaturan. Ancaman terhadap populasi ini banyak disebabkan oleh

kegiatan perburuan dan perdagangan (Siagian, 2011).

2.6.2. Pteropus alecto

1. Morfologi

Kelelawar buah (Pteropus alecto) merupakan salah satu spesies

kalelawar yang berasal dari Family Pteropodidae. Kelelawar jenis ini

adalah salah satu kelelawar terbesar di dunia dengan lebar sayap lebih

dari 1 meter, tetapi jauh lebih kecil daripada spesies terbesar di genusnya,

Pteropus. Kelelawar ini tidak mempunyai ekor, telinganya kecil dan lancip

serta bentuk muka menyerupai seekor anjing. Hewan ini memiliki cakar

jempol tangan yang tajam dan melengkung, juga kedua kaki dengan cakar

jari-jarinya yang kuat untuk digunakan dalam menggelantung. Spesies ini

memiliki ciri-ciri rambut pendek, hitam dengan mantel coklat kemerahan

yang kontras dan panjang lengan bawah rata-rata 164 mm (6,46 in) dan

berat rata-rata 710 g (1,57 lb). Kaki-kakinya berbulu sampai ke lutut, tetapi

tidak berbulu di bawah (Vardon dan Tidemann, 2000).

Jenis kelelawar ini memiliki gigi yang lebih luas diameternya serta

relatif lebih datar untuk menggiling atau menghancurkan buah-buahan

yang dimakan, memungkinkan kelelawar jenis ini untuk memeras dan

bekerja bagai mesin pembuat juice (juicer) dan menelan buah tersebut

yang sudah dalam bentuk juice (Dempsy, 2004). Neuwiler (2000),

28
menjelaskan formula gigi pada Pteropus, sp. I: 2/2; C: 1/1; PM: 3/3 M: 2/3

= 36, gigi taring yang menonjol dan gigi molar merupakan bentuk yang

bermodifikasi untuk tujuan memakan buah. Langit-langit memiliki undulant

undulan melintang yang digunakan berinteraksi dengan lidah untuk

menghancurkan makanan lunak.

2. Habitat dan Penyebaran

Pteropus alecto merupakan jenis kelelawar yang berasal dari

Australia, Papua New Guinea dan Indonesia (Papua Barat, Sulawesi,

Sumba dan Savu). Di Australia, Pteropus alecto ditemukan di garis lintang

sub tropis, terutama di wilayah pesisir utara sejauh 250 m ke daratan.

Habitat mereka terdiri dari hutan hujan dan hutan savana. Mereka

bertengger terutama di bambu, hutan hujan dan hutan bakau. Palmer dan

Woinarski (1999), menemukan bahwa selama musim kemarau yang lebih

dingin, 74% Pteropus alecto berkeliaran di bambu, 20% di bakau dan 6%

di habitat hutan hujan. Selama musim semi (dicirikan oleh suhu yang

memanas dan hujan di awal), 68% berkeliaran di hutan hujan, 17%

berkeliaran di hutan bakau dan 15% bertengger di bambu. Selama musim

hujan, 52% berkeliaran di hutan hujan, 28% di bambu dan 20% di bakau.

Pteropus alecto menyukai buah-buahan kayu putih (Melaleuca

leucadendra) dan buah bakau (Rhizophora sp.). Pteropus alecto juga

memakan buah-buahan yang dibudidayakan di kebun buah masyarakat

(Tipping dkk, 2010).

29
3. Populasi dan Status Konservasi

Red List dalam International Union for Conservation of Nature

(IUCN, 2017) menyatakan bahwa Pteropus alecto termasuk dalam

kategori Least Concern (LC) yang berarti tingkat resiko rendah. Namun

demikian, spesies ini terkena beberapa ancaman, termasuk hilangnya

beberapa habitat mencari makan dan berkeliaran serta mati massal yang

diakibatkan suhu ekstrim. Ketika hadir di lingkungan perkotaan Pteropus

alecto terkadang dianggap sebagai gangguan. Karena kebiasaan mencari

makan dan bertengger, spesies ini berkonflik dengan manusia. Spesies ini

menderita akibat pembunuhan hewan-hewan secara langsung di kebun

buah-buahan milik masyarakat. Di Indonesia sendiri hewan ini sering

dikonsumsi sebagai daging liar (Mickleburgh dkk., 2009).

2.7 Habitat Kelelawar

Habitat merupakan tempat dari suatu atau beberapa spesies tinggal

dan berkembang serta merupakan gabungan aspek lingkungan fisik yang

ada di sekitar suatu spesies/populasinya, maupun komunitas. Aspek dari

habitat ini tidak hanya dari segi fisik, namun juga biologisnya (Soemarno,

2011).

Habitat bagi kelelawar merupakan suatu hal yang memiliki

kekhasan tersendiri. Habitat kelelawar berhubungan erat dengan tempat

mencari makan (foraging area) dan sarang/tempat tinggal (roosting area).

Tempat mencari makan dan tinggal dipengaruhi oleh beberapa faktor,

termasuk tipe tempat bertengger, makanan dan air, morfologi terbang,

30
ukuran koloni serta siklus reproduksi. Jarak antara area roosting dan

mencari makan sering kali terpisah beberapa kilometer, sehingga sulit

mengamati habitat alami kelelawar secara tepat (Kunz dan Lumsden,

2003).

Koloni besar Acerodon celebensis ditemukan di hutan bakau

bertengger bersama dengan Pteropus alecto (Roberts dkk, 2017). Di

Ghana, estimasi ukuran koloni kelelawar buah bervariasi dari maksimum ±

1 juta individu selama musim kemarau 2007–2008 hingga minimum ±

4.000 selama musim hujan pada bulan Juli 2009. Selama musim kering

2008 s.d 2010, populasi migrasi yang kembali di Accra hanya mencapai

sekitar 250.000–300.000 kelelawar. Fluktuasi populasi musiman

berbanding lurus dengan rata-rata curah hujan bulanan, jumlah populasi

akan menigkat, jika curah hujan rendah (Hayman, 2012).

Acerodon celebensis dan Pteropus alecto merupakan kelompok

frugivora yaitu pemakan buah-buahan (Nowak, 1994). Pakan kelelawar

yang sering ditemukan antara lain Kayu Joho (Termenalia bellrica),

Ketapang (Termenalia cattapa), Jambu-jambuan (Syzygium spp.),

Rambutan (Nephelium spp.), Dedali (Strombosia javanica), Mangga

(Mangifera sp.), Beringin (Ficus sp.), Sirih (Piper aduncum), Solanum sp.,

Sawo Manila (Achras zapota), buah rau/dao (Dracontomelon dao), Jambu

batu (Psidium guajava), Dadap (Erithryna indica) dan Kapuk randu (Ceiba

petandra). Dari jenis pakan-pakan tersebut masuk ke dalam family

Combretaceae, Myrtaceae, Sapindaceae, Anacardiaceae, Moraceae,

31
Piperaceae, Olaceae, Fabaceae dan Bombacaceae. Kelelawar cenderung

makan buah yang mempunyai warna pucat kekuningan (Yustian, 2012).

Hal tersebut, dikarenakan kelelawar mempunyai keterbatasan di indera

penglihatan, sehingga kelelawar tidak dapat menangkap cahaya yang

menyolok (Kunz and Parson, 2009). Menurut Stier dan Mildenstein

(2005), dari 771 kotoran yang diperiksa selama periode 2,5 tahun (1998-

2000), biji dari Ficus dominan ditemukan dalam kotoran kelelawar. Hal

tersebut sinkron dengan penelitian Webala (2014) yang menunjukkan

bahwa kelelawar di Kenya dapat mengkonsumsi buah-buahan dari 31

spesies tanaman dari 16 family.

2.8 Peranan dan Manfaat Kelelawar dalam Ekosistem

Kelelawar memiliki peranan penting dalam pemulihan suatu

ekosistem hutan. Kelelawar berperan dalam penyebaran biji tanaman

buah-buahan dan sebagai polinator. Masyarakat memanfaatkan daging

kelelawar sebagai bahan makanan dan obat asma yang memiliki protein

tinggi, kelelawar juga dikenal sebagi penghasil pupuk guano (fosfat) yang

diperlukan banyak bagi pertanian tanaman pangan (Walker, 1964).

Keberadaan kelelawar buah mempengaruhi penyerbukan yang

dapat menghasilkan 3.800 biji dari 780.000 bakal biji per tanaman.

Restorasi secara alami dapat dilakukan melalui proses penyebaran biji

polinasi dengan bantuan kelelawar. Proses penyebaran biji oleh dua tipe

32
habitat yang berbeda menjadi hal yang penting dalam menentukan

komposisi dan struktur vegetasi (Ingle, 2002).

Kelelawar buah dalam komunitas vegetasi menjadi sangat penting

karena dalam luasan satu hektar lahan 13,7% diantaranya sangat

tergantung pada kelelawar (Hodgkinson dan Balding, 2003). Pada daerah

topis terdapat kurang lebih 300 tanaman yang pembuahannya dipengaruhi

oleh kelelawar dan diperkirakan 95% regenerasi hutan dilakukan oleh

kelelawar pemakan buah atau madu (Satyadharma, 2007).

Manfaat kelelawar bagi kehidupan manusia dan ekosistem antara

lain (Djufri, 2009):

a. Sebagai penyebar biji buah-buahan seperti sawo, jambu air,

jambu biji, duwet, cendana dan terutama pada Famili Pteropodidae

(fruitbat);

b. Sebagai penyerbuk bunga tumbuhan bernilai ekonomis seperti petai,

durian, bakau, kapuk randu dan mangga;

c. Sebagai obat, banyak masyarakat yang mempercayai dan biasa

menggunakan daging kelelawar sebagai obat asma;

d. Sebagai penghasil daging, masyarakat Manado sudah terbiasa

mengonsumsi daging kelelawar sebagai bahan makanan sumber

protein.

33
2.9 Strategi Konservasi

Strategi konservasi adalah sebuah pendekatan yang berfokus pada

konservasi sumber daya mahluk hidup dan memberikan panduan

kebijakan tentang bagaimana hal ini dapat dilakukan. Secara khusus,

strategi mengidentifikasi tindakan yang diperlukan baik untuk

meningkatkan efisiensi dan konservasi untuk mengintegrasikan konservasi

serta pembangunan. Strategi konservasi penting untuk mencapai tiga

tujuan utama konservasi yaitu (Paul, dkk., 2015):

1. Menjaga proses ekologi dan sistem pendukung kehidupan untuk

mempertahankan kelangsungan hidup dan perkembangan manusia;

2. Melestarikan keragaman genetik untuk mempertahankan fungsi

banyak proses dan sistem pendukung kehidupan yang menggunakan

sumber daya hidup;

3. memastikan pemanfaatan berkelanjutan spesies dan ekosistem yang

mendukung manusia serta industri.

Strategi konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh strategi konservasi dunia IUCN. Konsep IUCN dalam

membangun Kawasan Konservasi lebih banyak mengadopsi situasi di

negara maju sehingga tidak sepenuhnya cocok untuk kita. WWF-

Indonesia menerapkan empat strategi terpadu untuk memastikan

konservasi dan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan di

Indonesia, yaitu: pengelolaan kawasan, rencana pemanfaatan lahan

berkelanjutan, reformasi sektor dan pendanaan berkelanjutan.

34
Pemerintah Indonesia juga menyusun strategi konservasi yang

menyesuaikan dengan kondisi domestik agar dapat melakukan upaya

konservasi lebih efektif. Arahan strategis konservasi di Indonesia telah

dirumuskan diantaranya melalui peraturan menteri kehutanan Nomor

P.57/MenhutII/2008. Peraturan ini tentang Arahan Strategis Konservasi

Spesies Nasional 2008-2018 yang dapat dievaluasi dan diperbaharui

setiap lima tahun. Arahan strategis konservasi spesies nasional digunakan

untuk menetapkan fokus dan prioritas dari upaya-upaya yang akan

dilakukan agar dalam sepuluh tahun ke depan konservasi flora serta fauna

di Indonesia dapat berjalan dengan arah yang jelas (Paul, dkk., 2015).

Strategi konservasi bagi spesies hewan yang bersifat makro (kasat

mata) dapat dilakukan langsung terhadap spesies tersebut, sedangkan

untuk spesies tumbuhan dan spesies yang berukuran kecil (mikro),

diperlukan pendekatan ekosistem yang lebih holistik. Kebijakan umum

bagi konservasi spesies Indonesia dirumuskan dalam berbagai tujuan,

yaitu: menentukan spesies prioritas, merumuskan kebijakan konservasi,

memberikan status perlindungan, memanfaatkan secara lestari,

pengamanan hayati/lingkungan, melaksanakan kegiatan konservasi in-

situ, melakukan kegiatan konservasi ex-situ, meningkatkan konservasi

spesies berbasis ekosistem, merumuskan peran pemerintah, melakukan

pengaturan penangkaran dan budidaya, kajian peraturan perudangan,

riset, partisipasi masyarakat dan ketersediaan dana (Paul, dkk., 2015).

35
2.10 Kerangka Teori

Berdasarkan uraian di atas maka kerangka teori penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3. Kerangka teori penelitian

36
BAB III

METODOLOGI

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif yang

pengambilan datanya dilakukan dalam bentuk survey. Kerlinger dalam

Sugiyono (2013) menyatakan bahwa penelitian survey adalah penelitian yang

dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari

adalah data dari sampel yang diambil dari data populasi tersebut, untuk

menemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan

antar variabel sosiologis maupun psikologis. Penelitian ini merupakan

rancangan penelitian untuk melihat hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen yang diteliti secara bersamaan dalam periode

yang sama. Pada penelitian kali ini, yaitu: pengaruh pengetahuan,

pengalaman, kesadaran dan persepsi terhadap perilaku konservasi kelelawar

buah sulawesi.

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian/pengambilan data dilaksanakan pada bulan Agustus sampai

dengan September 2019. Lokasi bertempat di tiga kabupaten, yaitu;

37
Kabupaten Maros (di Desa Jenetaesa, Kecamatan Simbang), Kabupaten

Sinjai (di Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur) dan Kabupaten

Soppeng (di Kota Watansoppeng).

3.2.1 Alat dan Objek

Alat yang digunakan dalam penelitian ini pertama yaitu receiver GPS,

alat ini digunakan pada saat survey lokasi penelitian guna menetapkan titik

untuk lokasi penelitian. Alat kedua, yaitu kamera untuk pengambilan objek

penelitian dalam hal ini kelelawar buah dan foto lokasi kelelawar buah hidup

serta kondisi lingkungan masyarakat yang hidup di sekitar habitat kelelawar

buah. Alat ketiga yaitu alat tulis serta kuisioner untuk mendata/menulis hasil

wawancara dengan masyarakat.

Objek penelitian ini adalah masyarakat yang hidup berdampingan

dengan habitat kelelawar buah (Acerodon celebensis dan Pteropus alecto) di

Kabupaten Maros, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Soppeng.

3.2.2. Populasi dan sampel penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian merupakan merupakan wilayah yang ingin di

teliti oleh peneliti. Seperti menurut Sugiyono (2011) bahwa populasi

adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya. Pendapat

38
tersebut menjadi salah satu acuan bagi penulis untuk menentukan

populasi. Populasi yang digunakan sebagai penelitian adalah masyarakat

yang hidup berdampingan dengan kelelawar buah pada masing-masing

kabupaten.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti oleh peneliti.

Menurut Sugiyono (2011) sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sehingga sampel

merupakan bagian dari populasi yang ada, sehingga untuk pengambilan

sampel harus menggunakan cara tertentu yang didasarkan oleh

pertimbangan-pertimbangan yang ada. Dalam teknik pengambilan

sampel ini penulis menggunakan teknik sampling purposive, dimana

sampel dipilih dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Penulis

menetapkan bahwa yang disampel adalah masyarakat yang tempat

tinggalnya berada di sekitar habitat kelelawar buah.

3.2.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ada dua, yaitu: data primer dan

data sekunder. Metode pengumpulan data primer dengan wawancara kepada

30 responden pada masing-masing kabupaten yang di dalamnya termasuk

aparat desa, tokoh masyarakat serta masyarakat. Data ini dikumpulkan

dengan menggunakan kuisioner yang berisi pertanyaan terstruktur (Lampiran

39
1). Data sekunder berasal dari instansi terkait dengan penelitian. Hal tersebut

dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan variabel penelitian,

yaitu: variabel pengetahuan, variabel pengalaman, variabel persepsi, variabel

kesadaran dan variabel perilaku masyarakat terhadap konservasi kelelawar

buah di sekitar tempat tinggal.

3.2.4 Prosedur

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer meliputi data pengetahuan, pengalaman,

kesadaran dan persepsi masyarakat. Adapun metode pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui wawancara

menggunakan kuesioner dan observasi lapang.

1. Wawancara menggunakan Kuesioner

Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara

berupa kuisioner (lampiran 1) kepada aparat desa, tokoh masyarakat serta

masyarakat. Data yang dikumpulkan melalui wawancara meliputi

pengetahuan responden terkait pengetahuan umum dan konservasi alam,

pengetahuan tentang kelelawar buah dan konservasinya, pengalaman terkait

kelelawar buah, persepsi terhadap kelelawar buah, kesadaran terhadap

pentingnya kelelawar buah dan konservasi serta perilaku masyarakat itu

sendiri terhadap konservasi kelelawar buah. Target responden sebanyak 30

orang di masing-masing lokasi penelitian.

40
Kuisioner akan terdiri dari berbagai pernyataan-pernyataan yang akan

dijawab oleh responden dengan metode jawaban sebagai berikut:

a. Benar/salah

b. Ya/Tidak

c. Pilihan

d. Tidak pernah/Jarang/sering

e. Skala likert dengan 3 skala dan 5 skala

2. Observasi Lapang

Observasi lapang dilakukan untuk memverifikasi data yang diperoleh

melalui wawancara dengan kondisi aktual lapangan. Adapun data yang

dimaksud, berupa: data keberadaan kelelawar, kependudukan, sosial,

ekonomi dan budaya secara umum.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang sudah diskoring kemudian dianalisis dengan analisis dengan

metode analisis data statistik nonparametris dalam penelitian ini adalah

metode korelasi Rank Spearman. Jonathan dan Ely (2010) menyatakan

bahwa korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan atau

pengaruh antara dua variabel berskala ordinal, yaitu: variabel indenpenden

dan variabel dependen. Ukuran asosiasi yang menuntut seluruh variabel

diukur sekurang-kurangnya dalam skala ordinal, membuat obyek atau

individu-individu yang dipelajari dapat dirangking dalam banyak rangkaian

41
berturut-turut. Skala ordinal atau skala urutan, yaitu skala yang digunakan

jika terdapat hubungan, biasanya berbeda diantara kelas-kelas dan ditandai

dengan “>” yang berarti “lebih besar daripada”. Koefisien yang berdasarkan

ranking ini dapat menggunakan koefisien korelasi Rank Spearman. Berikut

rumus analisis korelasi tersebut (Sugiyono 2013).

Keterangan:

ρ = Koefisien Korelasi Rank Spearman

bᵢ = Rangking Data Variabel Xᵢ - Yᵢ

n = Jumlah Responden

Setelah melalui perhitungan persamaan analisis korelasi Rank

Spearman, kemudian dilakukan pengujian dengan menggunakan kriteria

yang ditetapkan, yaitu dengan membandingkan nilai ρ hitung dengan ρ tabel

yang dirumuskan sebagai berikut:

Jika, ρ hitung ≤ 0, berarti H0 diterima Hα dan ditolak

Jika, ρ hitung > 0, berarti H0 ditolak Hα dan diterima

Untuk menilai seberapa besar pengaruh variabel X terhadap Y maka

digunakan koefisien diterminasi (KD) yang merupakan koefisien korelasi yang

biasanya dinyatakan dengan persentase %. Berikut adalah rumus koefisien

determinasi:

42
KD = Koefisien determinas

rs = Koefisien rank spearman

Hasil perhitungan koefisien dapat diinterpretasikan berdasarkan tabel di

bawah ini untuk melihat seberapa kuat tingkat hubungan yang dimiliki antar

variabel. Untuk memberikan impretasi koefisien korelasinya, maka penulis

menggunakan pedoman kekuatan hubungan yang mengacu pada Sugiyono

(2010), sebagai berikut:

Tabel 1. Interpretasi hasil analisis korelasi

Rs interpretasi
0,00 - 0,199 Sangat rendah
0,20 - 0,39 Cukup
0,40 - 0,59 Sedang
0,60 - 0,79 Kuat
0,80 - 1,00 Sangat kuat

Nilai korelasi Spearman berada diantara -1 < r < 1. Penentuan arah

hubungan dapat dilihat pada angka correlation koefisiennya, bila nila

correlation koefisiennya positif berarti terdapat hubungan positif antar variabel

independent dan dependen. Sebaliknya, bila nilai correlation koefisiennya

negatif berart terdapat hubungan yang negatif antara variabel

independen dan dependen. Bila nilai correlation koefisien 0 berarti tidak ada

korelasi atau tidak ada hubungannya antara variabel independen dan

dependen. Dengan kata lain, tanda “+” dan “-“ menunjukkan arah hubungan

di antara variabel yang sedang dioperasikan.

43
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Profil Responden

1. Karakteristik wilayah

Kabupaten Maros adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi

Sulawesi Selatan dengan ibukota terletak di Kota Turikale. Kabupaten ini

memiliki luas wilayah 1.619,12 km² dan berpenduduk sebanyak 349.822 jiwa

dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 216,06 jiwa/km². Kabupaten

Maros merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota

Propinsi Sulawesi Selatan tersebut dengan jarak kedua kota tersebut berkisar

30 km dan sekaligus terintegrasi dalam pengembangan kawasan

metropolitan Mamminasata. Kabupaten Maros terdiri dari 14 kecamatan dan

103 kelurahan/desa diantaranya Kecamatan Simbang yang menjadi lokasi

penelitian. Kecamatan Simbang terdiri dari 6 desa diantaranya Desa

Jenetaesa yang menjadi titik lokasi penelitian. Pada Desa Jenetaesa

ditemukan dua jenis kelelawar buah yaitu Acerodon celebensis dan Pteropus

alecto. Habitat kelelawar terletak tidak jauh dari pemukiman penduduk yang

44
berkisar antara 5 m hingga 10 m dan habitat kelelawar tersebut diketahui

sudah terdapat di wilayah ini sejak tahun 1978.

Kabupaten Sinjai salah satu daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi

Selatan dan ibu kota kabupaten ini terletak di Balangnipa atau Kota Sinjai.

Kabupaten Sinjai terletak di bagian pantai timur Provinsi Sulawesi Selatan

yang berjarak sekitar 223 km dari kota Makassar dan Kabupaten ini memiliki

luas wilayah 819,96 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 236.497

jiwa. Kabupaten Sinjai terdiri dari 9 kecamatan, 13 kelurahan dan 67 desa

dan diantaranya Kecamatan Sinjai Utara yang menjadi lokasi penelitian ini.

Kecamatan Sinjai Utara terdiri atas 6 kelurahan diantaranya kelurahan

Samataring yang menjadi titik lokasi penelitian. Pada kelurahan ini ditemukan

dua jenis kelelawar buah yaitu Acerodon celebensis dan Pteropus alecto.

Habitat kelelawar terletak di kawasan mangrove yang berjarak sekitar 1 km

dari pemukiman penduduk, kelelawar buah ini diinformasikan oleh

masyarakat bahwa merupakan kelelawar yang bermigrasi dari kawasan

mangrove daerah Tongke-tongke.

Kabupaten Soppeng adalah salah satu kabupatendi Provinsi Sulawesi

Selatan, ibu kota kabupaten ini terletak di Watansoppeng. Kabupaten ini

memiliki luas wilayah 1.500,00 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih

223.826 jiwa. Kabupaten Soppeng terdiri dari 8 kecamatan dan 70 kelurahan

dan diantaranya Kota Watansoppeng yang menjadi titik lokasi penelitian. Di

kota ini ditemukan satu jenis kelelawar buah, yaitu: Pteropus alecto,

45
kelelawar buah ini bertengger di tengah kota yang berjarak sekitar 10 m

hingga 20 m dari pemukiman masyarakat. Kelelawar buah di kota ini

dijadikan sebagai salah satu objek wisata, bahkan kota Watansoppeng

dikenal dengan sebutan Kota Kalong, yaitu sebutan lain buat Pteropus alecto.

2. Karakteristik umum responden

Total responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 90

responden dan masing-masing kabupaten terdiri atas 30 responden (Tabel 2)

yang memiliki variasi baik dari segi usia, jenis kelamin, agama, suku, status

pernikahan dan juga status dalam keluarga. Tabel 2 memperlihatkan bahwa

responden dari ketiga kabupaten terdiri dari kelas umur yang bervariasi yaitu

berkisar antara 17-65 tahun dengan rata-rata umur responden berada pada

kelas umur 46-65 tahun. Responden lebih didominasi oleh laki-laki (n=64

orang) dibandingkan wanita (n=26 orang) dengan status dominan menikah

(sebanyak 67 orang). Semua responden memeluk agama islam dan suku

bugis mendominasi di ketiga kabupaten tersebut.

Tabel 2. Karakteristik sebaran responden berdasarkan umur dan jenis


kelamin di tiga Kabupaten Maros, Kabupaten Sinjai dan
Kabupaten Soppeng (n=90 responden)
Jenis Aga Status Status Dalam
Umur Responden Suku
Kelamin ma Pernikahan Keluarga
Kabupaten
17- 26- 46- > Bu- Maka Belum Menik-
L P Islam KK IRT Anak
25 45 65 65 gis -ssar nikah ah
Maros 6 14 8 2 20 10 30 9 21 15 15 18 8 4
Sinjai 4 9 16 1 24 6 30 27 3 4 26 21 5 4
Soppeng 4 10 15 1 20 10 30 30 0 4 26 18 8 4
Total 14 33 39 4 64 26 90 66 24 23 67 57 21 12
Rata-rata 5 11 13 1 21 9 30 22 8 8 22 19 7 4

46
3. Karakteristik berdasarkan pendidikan dan pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian, secara umum pendidikan responden di

ketiga Kabupaten (Maros, Sinjai dan Soppeng) umumnya menamatkan

pendidikannya di bangku SMA (40%) dan jenjang pendidikan terendah

adalah pendidikan SD (14%) (Gambar 4). Namun demikian, terdapat

perbedaan di antara kabupaten dimana tingkat pendidikan terendah banyak

didapati di Kabupaten Sinjai sebaliknya terdapat jumlah yang signifikan dari

lulusan PT di Kabupaten Soppeng dibandingkan di kabupaten lainnya.

Responden yang menamatkan pendidikan di PT umumnya bekerja sebagai

PNS terutama di Kab. Soppeng. Masyarakat yang lulusan SD, SMP dan SMA

umumnya bekerja sebagai wiraswasta yakni sebagai peternak ayam potong

di Kabupaten Maros, nelayan di Kabupaten Sinjai, sementara di Kab.

Soppeng ditemukan berprofesi sebagai petani dan pedagang.

47
10
9
8
7
6 Lainnya
5
4 Pegawai Swasta
3
petani
2
1 PNS
0
Wiraswasta
Maros

Maros

Maros

Maros
Sinjai

Sinjai

Sinjai

Sinjai

Sinjai
Soppeng

Soppeng

Soppeng

Soppeng
PT SD SMA SMP Tidak Sekolah

Gambar 4. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dan


pekerjaan di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng (n = 90
responden)

4.1.2 Aspek Pendukung

Untuk melindungi habitat dan populasi kelelawar di suatu daerah,

diperlukan prasarana pendukung, baik itu dalam bentuk aturan ataupun

sebuah sistem yang menjelaskan larangan aktivitas perburuan. Namun,

hingga saat ini, tidak semua daerah memiliki aturan ataupun sistem tersebut

pada lokasi penelitian.

Kelelawar hidup berdampingan cukup lama dengan masyarakat

seperti misalnya di Kabupaten Soppeng, kelelawar bahkan menjadi

kebanggaan masyarakat sekaligus salah satu icon wisata di Kabupaten

tersebut. Untuk itu, keberadaan kelelawar buah atau yang biasa disebut

kalong sudah dijamin Pemerintah Kabupaten Soppeng, sesuai Peraturan

Daerah (perda) No. 66 Tahun 2006, Bab V pasal 6 ayat 1-4, pasal 7 dan

48
pasal 8. “Barang siapa menggangggu apalagi menebang pohon asam tempat

bergelantung koloni ribuan kelelawar akan didenda bahkan masuk penjara”

(Pemerintah Kabupaten Soppeng, 2006). Selain itu, pada peraturan daerah

ini pada Bab IX juga telah diatur ketentuan pidana pasal 13 ayat 1-2 demi

kelestarian kelelawar di Kabupaten Soppeng.

Sementara itu, keberadaan kelelawar di Kabupaten Maros belum

terdapat aturan baku yang mengikat terkait aktivitas perburuan. Akan tetapi,

masyarakat setempat percaya bahwa keberadaan kelelawar di sekitar tempat

tinggal mereka tidak boleh diganggu karena akan mendatangkan petaka.

Sehingga di Kabupaten Maros saat ini sudah tidak ditemukan aktivitas

perburuan oleh karena larangan tokoh adat untuk tidak berburu kelelawar.

Keberadaan kelelawar di Kabupaten Maros juga telah banyak mengundang

peneliti untuk datang mengedukasi masyarakat terkait pentingnya

keberadaan kelelawar serta perannya untuk keseimbangan ekosistem.

Melihat hal tersebut, maka pemerintah desa berinisiatif untuk menyusun

peraturan desa terkait larangan perburuan kelelawar.

Di Kabupaten Sinjai perburuan kelelawar hingga saat ini masih terus

terjadi, melihat permintaan terhadap kelelawar dari luar daerah semakin

tinggi khususnya di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan tidak adanya aturan

terkait larangan aktivitas perburuan. Sehingga keberadaan kelelawar di

Kabupaten Sinjai suatu saat akan terancam punah.

49
Tabel 3. Aspek pendukung upaya konservasi di ketiga kabupaten
Jenis Aspek Kabupaten
No Keterangan
Pendukung Maros Soppeng Sinjai
Untuk Wilayah Maros
sementara dalam
1 Aturan daerah - √ - perumusan Perdes
untuk perlindungan
kelelawar
2 Penegakan sanksi - √ - -
Kepercayaan
3 setempat untuk √ √ - -
perlindungan
kelelawar
4 Potensi wisata √ √ √ -

Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat mengenai kelelawar dan

konservasinya di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng, data dibagi ke

dalam beberapa bagian, antara lain: pengetahuan terkait manfaat dan

konservasi alam (pentingnya konservasi, upaya dan partisipasi dalam

kegiatan konservasi).

4.1.3 Pengetahuan

Seluruh responden baik di Kabupaten Maros, Kabupaten Sinjai dan

Kabupaten Soppeng memiliki pengetahuan yang baik terkait manfaat alam

terhadap manusia (Gambar 5). Namun terdapat perbedaan pada beberapa

pertanyaan terkait konservasi/pelestarian/perlindungan alam dimana

responden Kabupaten Maros memiliki pengetahuan tertinggi (73% sangat

setuju dan selebihnya setuju). Hanya di Kabupaten Soppeng yang memiliki

jawaban lebih bervariasi mulai dari tidak setuju hingga sangat setuju dengan

50
rata-rata memiliki jawaban setuju (di atas 80%). Dilihat dari segi keterlibatan

responden dalam kegiatan konservasi, responden dari Kabupaten Maros

umumnya lebih terlibat dalam kegiatan konservasi dibandingkan kabupaten

lainnya (40% responden pernah mengikut kegiatan konservasi).


at alam

manusi
Manfa

S
bagi

B
TS
Pentingnya
konservasi

KS
R
S
SS
TS
Berbagai upaya
konservasi

KS
R
S
SS
Partisip

konser
dalam

T
vas
asi

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Soppeng Sinjai Maros

Gambar 5. Pengetahuan umum responden tentang konservasi di Kabupaten


Maros, Sinjai dan Soppeng (T = tidak; Y = ya; SS = sangat
setuju, ST = setuju; R = ragu-ragu; KS = kurang setuju; TS =
tidak setuju; S = salah; B = benar)

1. Pengetahuan tentang kelelawar

Terkait pengetahuan kelelawar yang hidup di sekitar tempat mereka,

nampak bahwa responden di keseluruhan kabupaten memiliki kemampuan

51
mengenali dan membedakan jumlah jenis kelelawar khususnya di Kabupaten

Soppeng yang hanya memiliki satu jenis kelelawar dan di Kabupaten Maros

yang memiliki dua jenis kelelawar. Sementara di Kabupaten Sinjai, meskipun

jumlah responden yang dapat menjawab dengan benar pertanyaan tersebut

di atas 70%, tetapi masih terdapat 23% responden yang kurang tepat dalam

pengenalan jenis kelelawar yang ada di sekitar mereka (Tabel 4).

Tabel 4. Pengetahuan responden tentang jenis kelelawar di lingkungan


tempat tinggal di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng

Berapa jenis Deskripsi jenis


Lokasi Pteropusalecto atau Pteropus alecto dan
1 2
Acerodon celebensis Acerodon celebensis
Maros 3% 97% 3% 97%
Sinjai 23% 77% 3% 97%
Soppeng 100% 0% 100% 0%

Selanjutnya, mengenai populasi kelelawar diajukan dua pertanyaan,

yaitu mengenai penurunan populasi dan waktu keberadaan kelelawar dari

waktu ke waktu (Gambar 6). Hasil survei menyatakan bahwa terdapat

penurunan jumlah kelelawar dari waktu ke waktu namun responden yang

menjawab pertanyaan tersebut diketahui umumnya berasal dari Kabupaten

Sinjai dan Soppeng. Sementara di Kabupaten Maros banyak menyatakan

tidak terjadi penurunan jumlah populasi dari waktu ke waktu.

Untuk pertanyaan terkait keberadaan kelelawar per bulannya (Gambar

6), diketahui bahwa di Kabupaten Maros, umumnya responden menyadari

terdapat perubahan jumlah kelelawar per-bulannya (67%). Sementara di

Kabupaten Sinjai, jumlah responden yang menjawab adanya perbedaan

52
jumlah pada bulan-bulan tertentu sama jumlahnya dengan yang tidak

mengetahui adanya perbedaan (50%) serta Kabupaten Soppeng, umumnya

tidak mengetahui adanya perbedaan ataupun fluktuasi per-bulan (63%).

97%93%
100% 87%
90%
80% 67% 63%
70%
60% 50% 50%
50% 37%
33%
40% Maros
30%
13% Sinjai
20%
3%
10% Soppeng
0%
Y T Y T
Secara umum, menurut Apakah pada bulan-bulan
anda apakah jumlah tertentu terjadi
kelelawar di lingkungan peningkatan atau
anda mengalami penurunan jumlah
penurunan kelelawar

Gambar 6. Pengetahuan responden tentang jumlah populasi kelelawar di


sekitar tempat tinggal di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng
(Y = ya; T = tidak)

Terkait proses fisiologi kelelawar (Gambar 7), umumnya responden

memiliki pengetahuan yang sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari jawaban

yang dikeluarkan responden, di atas 90% menjawab kurang tepat. Untuk

pertanyaan terkait penggolongan satwa, masih banyak (hampir 50%)

responden di seluruh kabupaten menggolongkan kelelawar sebagai salah

satu jenis burung ataupun binatang pengerat. Demikian pula ketika

pertanyaan mengenai jalur terbang saat sore hari, hampir semua responden

53
di ketiga kabupaten menjawab dengan tepat bahwa terdapat pola jalur

terbang yang sama setiap harinya.

100%
97% 93% 93%
100% 90%
80% 83%
90%
80% 70% 70%
70%
50%
60%
43%
50%
30%
40%
30%
20%
10%
0%
Kelelawar BAB Kelelawar Kelelawar Terbang di jalur
dengan sejenis burung. binatang yang sama tiap
dimuntahkan pengerat sore

Maros Sinjai Soppeng

Gambar 7. Pengetahuan responden tentang fisik dan aktivitas kelelawar di


Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng

2. Pengetahuan tentang dampak buruk/gangguan dan manfaat kelelawar

Pengetahuan responden mengenai dampak (gangguan, dampak buruk

dan manfaat) dari kelelawar di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng dapat

dilihat pada Gambar 8. Manfaat kelelawar juga ditanyakan kepada responden

pada ketiga kabupaten. Terkait gangguan, responden di Kabupaten Maros,

93% menyatakan bahwa tidak ada gangguan yang disebabkan oleh

kelelawar yang hidup di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka dan

responden menyatakan bahwa tidak merasakan dampak buruk dari adanya

kelelawar (100%). Hal ini juga diakui oleh responden yang ada di Kabupaten

Soppeng bahwa kelelawar tidak berdampak buruk dan hanya sedikit

54
masyarakat yang mendengar adanya gangguan dari kelelawar (37%).

Mengenai manfaat, kelelawar diyakini oleh hampir sebagian besar

masyarakat Soppeng sebagai satwa yang bermanfaat khususnya sebagai

obat asma. Sebaliknya, responden di Kabupaten Sinjai di atas 50% merasa

terganggu dengan keberadaan kelelawar di sekitar tempat tinggal

masyarakat dan sebanyak 23% menyatakan memberikan dampak yang

buruk. Namun di seluruh kabupaten yang diteliti, semua responden

menyetujui bahwa kelelawar memberikan manfaat kepada manusia (>90%).

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20% Maros
10%
0% Sinjai
Y T Y T Y T
Soppeng
Apakah anda Apakah Apakah kelelawar
pernah keberadaaan bermanfaat bagi
mendengar kelelawar manusia?
adanya memberikan
gangguan yang dampak yang
disebabkan oleh buruk
kelelawar

Gambar 8. Pengetahuan responden tentang manfaat kelelawar di Kabupaten


Maros, Sinjai dan Soppeng (Y = ya; T = tidak)

Berdasarkan hasil penelitian dari responden di ketiga kabupaten,

diketahui bahwa masyarakat umumnya menganggap kelelawar sebagai ikon

atau simbol desa, obyek dan daya tarik wisata serta ada pula yang

menjadikan kelelawar sebagai penanda alam serta bahkan ada yang

55
menganggap sebagai satwa buruan (Gambar 9). Kelelawar merupakan ikon

atau simbol desa atau kota khususnya di Kabupaten Maros (70%) dan

Soppeng (60%). Sebanyak 33% responden di Kabupaten Soppeng dan 3%

responden di Kabupaten Maros menjawab bahwa kelelawar dapat berfungsi

sebagai objek dan daya tarik wisata serta menjadikan kelelawar sebagai

penanda alam (10%). Umumnya responden yang berasal dari Kabupaten

Sinjai (20%) menyatakan bahwa kelelawar merupakan satwa buruan.

80%
70%
70%
60%
60%

50%

40% Maros
33%
30% Sinjai
20% Soppeng
20%
10%
10% 3% 3%
0% 0% 0% 0% 0%
0%
ikon objek wisata penanda diburu/dijual lainnya
Penggunaan Kelelawar

Gambar 9. Pengetahuan responden mengenai penggunaan kelelawar di


Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng

3. Pengetahuan tentang konservasi kelelawar

Pendapat masyarakat terkait konservasi kelelawar juga ditanyakan

kepada responden di ketiga kabupaten. Hasil menunjukkan bahwa umumnya

responden setuju untuk melakukan upaya konservasi kelelawar dimana

tertinggi Kabupaten Maros (97%), Kabupaten Soppeng (87%) dan terendah

56
di Kabupaten Sinjai (77%). Adapun bentuk dukungan konservasi yang tepat

menurut responden adalah melalui penegakan aturan yaitu Kabupaten Maros

(37%) dan Soppeng (13%). Sementara Kabupaten Soppeng (33%) tertinggi

menyarankan untuk penanaman pohon sarang sebagai upaya konservasi

yang tepat bagi kelelawar. Sementara di Kabupaten Sinjai lebih dari 50%

responden tidak menjawab terkait saran tersebut (Gambar 10).

120%

100% 97%
87%

80% 77%

60% 57%
Maros
Sinjai
40% 37% 37%
33% Soppeng
30% 30%
23% 23%
20% 20%
20% 13% 13%
3%
0% 0%
0%
Y T aturan penanaman lainnya tdk jawab
Perlukah mengonservasi seperti apa bentuk dukungan yang diperlukan
kelelawar masyarakat dalam mengonservasi kelelawar

Gambar 10. Pendapat responden mengenai perlunya konservasi kelelawar


dan bentuk dukungan untuk konservasi kelelawar di Kabupaten
Maros, Sinjai dan Soppeng

4.1.4 Pengalaman

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengalaman yang dirasakan

oleh responden selama hidup berdampingan dengan habitat kelelawar di

57
Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng, maka diperoleh data seperti Gambar

11.

Gambar 11 memperlihatkan bahwa terdapat pengalaman yang

berbeda yang dirasakan oleh responden disetiap kabupaten. Responden di

Kabupaten Sinjai sebanyak 57% merasa terganggu dengan keberadaan

kelelawar di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, sebaliknya untuk

responden yang berada di Kabupaten Maros (63%) dan Soppeng (77%)

merasa bahwa tidak ada masalah dengan keberadaan kelelawar di sekitar

tempat tinggal mereka.

Adapun gangguan yang dirasakan terbesar, yaitu kelelawar menjadi

hama buah, khusus di wilayah Sinjai (67% responden merasa terganggu).

Dilaporkan pula oleh responden bahwa di kabupaten ini terdapat juga

masyarakat yang terkena gigitan kelelawar sebesar 10% dan bahkan

sebanyak 3% masuk ke dalam rumah mereka. Kemudian gangguan kedua

tertinggi yang dirasakan yaitu bau feses kelelawar khususnya masyarakat di

Kabupaten Maros (13%) dan Soppeng (17%).

Namun secara umum, masyarakat di ketiga kabupaten tersebut sudah

merasa biasa dengan kehadiran kelelawar dan hingga saat ini keberadaan

kelelawar bukan lagi menjadi gangguan/masalah (>90%). Adapun cara/upaya

mengatasi permasalahan tersebut umumnya masyarakat tidak berupaya

untuk melakukan apa pun kecuali di Kabupaten Sinjai dimana terdapat 17%

58
masyarakat yang setuju untuk melakukan pengusiran/perburuan terhadap

kelelawar.

63%
Kelelawa
Ganggua

T 43%
n dari

77%
r

37%
Y 57%
23%
3%
Masuk rumah 3%
ditimbulkan kelelawar
Masalah yang

Gigitan 10%
50%
Hama buah 67%
10%
13%
Bau feses 7%
17%
3%
Bising 7%
13%
97%
Kelelawa

masalah dari ganggua


mengatasi menjadi

90%
r masih

T 97%
n

3%
Y 10%
3%
37%
Terbiasa 23%
kelelawar

3%
Cara

Dibiarkan saja
3%
Diusir/diburu 17%
3%
0% 20% 40% 60% 80% 100%

Soppeng Sinjai Maros

Gambar 11. Pengalaman responden hidup berdampingan dengan habitat


kelelawar di Kabupaten Maros, Sinjai dan Soppeng (Y = ya; T =
tidak)

4.1.5 Perilaku

Selain pengetahuan dan pengalaman, responden juga diberikan

pertanyaan terkait perilaku mereka terhadap kelelawar di ketiga kabupaten.

Pertanyaan yang diajukan adalah terkait pendapat mereka terhadap

kelelawar dimana lebih dari 70% menyatakan menyukai kelelawar. Untuk

59
perilaku konsumsi, di Kabupaten Sinjai 17% responden mengakui pernah

mengkonsumsi kelelawar dan di Kabupaten Maros juga terdapat 7% yang

pernah mengkonsumsi kelelawar. Namun, sebagian besar yang

mengkonsumsi (71%) adalah untuk tujuan pengobatan (Gambar 12).

Masyarakat juga diberikan kesempatan untuk mengutarakan opini

mereka mengenai hubungan antara budaya dan kelelawar di daerah masing-

masing. Hanya di Kabupaten Soppeng, responden yang memiliki keterkaitan

dengan budaya (70%). Sebagian besar (>90%) responden di ketiga

kabupaten tidak mengetahui dampak kelelawar terhadap kesehatan manusia.

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Y T Y T Y T Y T
Apakah kamu Pernah Mendengar Masalah
suka kelelawar mengkonsumsi kebudayaan kesehatan
kelelawar terkait kelelawar sehubungan
kelelawar

Maros Sinjai Soppeng

Gambar 12. Opini Masyarakat terhadap kelelawar dan hubungannya dengan


konsumsi, budaya serta kesehatan responden di Kabupaten
Maros, Sinjai dan Soppeng (Y = ya; T = tidak)

Selanjutnya diajukan pertanyaan kepada responden mengenai

perburuan kelelawar dan diperoleh hasil seperti pada Gambar 13.

60
Responden di Kabupaten Sinjai seluruhnya pernah melihat aktivitas

perburuan, di Kabupaten Maros sebanyak 93% responden pernah melihat

perburuan, tetapi sekarang sudah tidak melihat lagi, sedangkan di Kabupaten

Soppeng hanya sebagian kecil yang pernah melihat perburuan di masa lalu,

saat ini kelelawar sudah dilindungi oleh peraturan daerah yang berlaku di

Soppeng. Hanya responden di Kabupaten Sinjai yang pernah terlibat

perburuan (7%), sedangkan di Kabupaten Maros dan Soppeng tidak ada

responden yang pernah terlibat perburuan.

100%
90%
80%
70%
60%
50% Maros
40%
30% Sinjai
20% Soppeng
10%
0%
Y T Y T
Pernah melihat perburuan Pernah berburu atau
kelelawar terlibat aktivitas perburuan
kelelawar buah

Gambar 13. Perilaku berburu responden di Kabupaten Maros, Sinjai dan


Soppeng (Y = ya; T = tidak)
Mengenai frekuensi perburuan yang pernah disaksikan oleh

responden dan tujuan perburuan serta target perburuan, hanya responden di

Kabupaten Sinjai yang menyatakan sering melihat perburuan (33%) dengan

tujuan daging kelelawar dijual kepada pengumpul. Berbeda dengan

61
responden di Kabupaten Maros yang sebanyak 40% responden menyatakan

daging kelelawar diambil unutk obat dan dikonsumsi pribadi (Gambar 14).

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30% Maros
20% Sinjai
10%
0% Soppeng
tdk pernah

tdk jwb

dijual

tdk jwb

dijual
sering

makanan

pribadi
jarang

obat

Frekuensi Tujuan perburuan Target


perburuan konsumen

Gambar 14. Perilaku berburu responden di Kabupaten Maros, Sinjai dan


Soppeng

4.1.6 Persepsi

Analisis mengenai persepsi masyarakat dengan mengajukan

pertanyakan kepada responden mengenai apa tanggapan responden ketika

ditanya tentang kelelawar, diperoleh bahwa seluruh responden tidak setuju

kalau kelelawar adalah hewan penghisap darah (100%). Lebih dari 90% di

setiap kabupaten menyatakan bahwa kelelawar bukan hewan yang

menakutkan dan hanya sebagian kecil di Kabupaten Sinjai dan Soppeng

yang menyatakan bahwa kelelawar merupakan hewan yang menakutkan.

Demikian juga, responden lebih dari 90% di setiap kabupaten menyatakan

bahwa kelelawar bukanlah ancaman bagi manusia, sebaliknya hanya

62
responden di Kabupaten Sinjai dan jumlahnya hanya 3% yang menyatakan

kalau kelelawar merupakan ancaman bagi manusia (Gambar 15).

100%
90%
80%
70%
60%
50%
Maros
40%
Sinjai
30%
20% Soppeng
10%
0%
Y T Y T Y T
Kelelawar Kelelawar Kelelawar
mengisap darah menakutkan merupakan
ancaman

Gambar 15. Persepsi mengenai kelelawar di Kabupaten Maros, Sinjai dan


Soppeng (Y = ya; T = tidak)

Kemudian Gambar 15 memperlihatkan bahwa responden disetiap

kabupaten tidak merasa terganggu dengan keberadaan kelelawar yang

bersarang di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, demikian juga

masyarakat di ketiga kabupaten tidak terganggu dengan kelelawar yang

terbang di sekeliling tempat tinggal mereka. Tetapi mengenai bau feses

kelelawar rata-rata 30% responden sangat setuju dan tertinggi 50%

responden Sinjai setuju merasa terganggu dengan feses kelelawar. Kondisi

yang sama untuk pertanyaan mengenai bau busuk yang tercium dari sarang

kelelawar rata-rata 30% responden sangat setuju dan tertinggi 57%

63
responden Sinjai setuju merasa terganggu dengan bau busuk yang tercium

dari sarang kelelawar.

Mengenai pertanyaan perlunya pengelolaan jika populasi kelelawar

kemudian meningkat (tata kelola kelelawar) di sekitar lingkungan tempat

tinggal masyarakat, responden di Kabupaten Maros dan Soppeng setuju

dengan perlunya ada pengelolaan populasi kelelawar. Sebaliknya, responden

di Sinjai hanya 3% yang setuju dengan hal tersebut karena sebagian besar

responden Sinjai masih ragu dengan perlu tidaknya ada pengelolaan

populasi kelelawar di sekitar tempat tinggal mereka (Gambar 16).

SP
keberadaa
mengenai

kelelawar buah di terbang di Kelalawar

lingkunga lingkunga lingkunga lingkunga


Pendapat

sekitar sekeliling di sekitar

No
n

SN
kelelawar Kelelawar

P
n

N
SP
pendapat

Soppeng
kotoran
melihat

No
n

Sinjai
SN Maros
bau busuk
mengenai
pendapat

di sekitar
tercium

P
sarang
yang

dari

N
SP
kelelawar
kelola
Tata

No
SN
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%

Gambar 16. Persepsi mengenai keberadaan habitat kelelawar di Kabupaten


Maros, Sinjai dan Soppeng (SN = semakin negatif; N = negatif;
No = normal; P = positif; SP = semakin positif)

64
4.1.7 Kesadaran

Analisis mengenai kesadaran responden mengenai kelelawar disajikan

pada Gambar 17 dan Gambar 18. Diperoleh hasil bahwa lebih dari 80%

responden disetiap kabupaten merasakan keuntungan dari keberadaan

kelelawar, demikian juga dengan potensi kelelawar sebagai objek wisata

sehingga responden lebih dari 90% setuju bahwa kelelawar harus dilindungi

sejalan dengan keinginan responden untuk berkontribusi dalam kegiatan

konservasi. Jawaban tertinggi ditemukan di Kabupaten Maros dengan 63%

responden pernah mendengar mengenai konservasi kelelawar, sementara di

Sinjai dan Maros di atas 50% yang pernah mendengar mengenai konservasi

kelelawar.

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Y T Y T Y T Y T Y T
Keuntungan Potensi Kelelawar Konservasi Kontribusi
dari kelelawar dilindungi kelelawar pada
keberadaan sebagai konservasi
kelelawar objek wisata kelelawar

Maros Sinjai Soppeng

Gambar 17. Kesadaran masyarakat terkait potensi kelelawar di Kabupaten


Maros, Sinjai dan Soppeng (Y = ya; T = tidak)

65
Gambar 18 memperlihatkan bahwa responden di Kabupaten Maros

memiliki jawaban tertinggi untuk kategori sangat setuju (63%) bahwa

kelelawar penting untuk lingkungan. Di Soppeng dan Sinjai responden yang

menyatakan setuju sebanyak 67% dan 60%. Jumlah responden tertinggi

dijumpai di Kabupaten Maros yang sangat setuju kelelawar dijadikan sebagai

obyek wisata. Demikian pula hanya dengan kabupaten lain rata-rata

menjawab setuju atas ide tersebut (Soppeng 75% dan Sinjai 47%).

TP
Pentingnya
kelelawar

KP

TS Soppeng
Kelelawar dijadikan

Sinjai
KS
objek wisata

Maros
R

SS

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Gambar 18. Kesadaran masyarakat pentingnya kelelawar di Kabupaten


Maros, Sinjai dan Soppeng

4.1.8 Konservasi

Berdasarkan data kelima variabel sebelumnya, yaitu: pengetahuan,

pengalaman, persepsi, kesadaran dan perilaku, kemudian ditarik semua

jawaban yang terkait dengan konservasi dari setiap kabupatennya. Hasil

66
yang diilustrasikan pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa berdasarkan data

yang diperoleh responden di Kabupaten Maros, memiliki rata-rata tertinggi

dari keseluruhan variabel terkait konservasi, yaitu sebesar 78% kemudian

Kabupaten Soppeng sebesar 76% dan terkecil Kabupaten Sinjai sebesar

64%.

Tabel 5. Pernyataan variabel terkait konservasi di Kabupaten Maros, Sinjai


dan Soppeng

Lokasi Pengetahuan Pengalaman Perilaku Persepsi Kesadaran rata-rata

Maros 75% 87% 96% 47% 86% 78%


Sinjai 66% 67% 88% 25% 76% 64%
Soppeng 67% 80% 96% 55% 81% 76%

4.1.3. Analisis variabel-variabel terhadap perilaku masyarakat di Kabupaten


Maros, Sinjai dan Soppeng

Model korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui

hubungan atau pengaruh antara dua variabel berskala ordinal, yaitu variabel

independen dan variabel dependen. Berikut hasil analisis korelasinya:

1. Kabupaten Maros

Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa variabel pengetahuan

(X1) merupakan variabel dengan nilai signifikan (p< 0,05), artinya bahwa ada

hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan (X1) dengan perilaku

masyarakat (Y). Kemudian dari output diperoleh angka koefisien sebesar

0,634 yang berarti bahwa tingkat hubungan antara variabel pengetahuan (X1)

terhadap perilaku masyarakat adalah 0,634 atau tingkat hubungannya kuat.

67
Hasil koefisien korelasi bernilai positif sehingga hubungan antara kedua

variabel searah, yaitu ketika pengetahuan (X1) meningkat, maka perilaku

masyarakat (Y) juga akan meningkat.

Tabel 6. Analisis pengaruh variabel terhadap perilaku masyarakat Kabupaten


Maros mengenai keberadaan kelelawar

Variabel Maros Correlation Sig Ket Hub Interpretasi

Pengetahuan (X1) ,634** 0,000 Ada korelasi Positif Kuat


Tidak ada
Pengalaman (X2) 0,053 0,779 - -
korelasi
Tidak ada
Persepsi (X3) -0,292 0,118 - -
korelasi
Tidak ada
Kesadaran (X4) 0,120 0,528 - -
korelasi

2. Kabupaten Sinjai

Berdasarkan data pada Tabel 7 diketahui bahwa variabel kesadaran (X4)

merupakan variabel dengan nilai signifikan (p<0,05), artinya bahwa ada

hubungan yang signifikan antara variabel kesadaran (X4) dengan perilaku

masyarakat (Y). Kemudian dari output diperoleh angka koefisien sebesar 0,404

yang berarti bahwa tingkat hubungan antara variabel kesadaran (X4) terhadap

perilaku masyarakat (Y) adalah 0,404 atau tingkat hubungannya sedang. Hasil

koefisien korelasi bernilai positif sehingga hubungan antara kedua variabel

searah, yaitu ketika kesadaran (X4) meningkat, maka perilaku masyarakat (Y)

juga akan meningkat.

68
Tabel 7. Analisis pengaruh variabel terhadap perilaku masyarakat Kabupaten
Sinjai mengenai keberadaan kelelawar.

Variabel Sinjai Correlation Sig Ket Hub Interpretasi


Pengetahuan (X1) -0,017 0,930 Tidak ada korelasi - -
Pengalaman (X2) -0,328 0,077 Tidak ada korelasi - -
Persepsi (X3) 0,013 0,947 Tidak ada korelasi - -
*
Kesadaran (X4) ,404 0,027 Ada korelasi Positif Sedang

3. Kabupaten Soppeng

Berdasarkan data pada Tabel 8 diketahui bahwa variabel semua

variabel pengetahuan (X1), variabel pengalaman (X2), variabel persepsi (X3)

dan variabel kesadaran (X4) merupakan variabel dengan nilai signifikan

(α>0,05) yang berarti bahwa seluruh variabel ini tidak memiliki hubungan

yang signifikan dengan perilaku masyarakat (Y).

Tabel 8. Analisis pengaruh variabel terhadap perilaku masyarakat Kabupaten


Soppeng mengenai keberadaan kelelawar.

Variabel Soppeng Correlation Sig Ket Hub Interpretasi


Tidak ada
Pengetahuan (X1) 0,244 0,193 - -
korelasi
Tidak ada
Pengalaman (X2) 0,068 0,720 - -
korelasi
Tidak ada
Persepsi (X3) -0,286 0,125 - -
korelasi
Tidak ada
Kesadaran (X4) 0,238 0,206 - -
korelasi

4.2 Pembahasan

Karakteristik dari ketiga wilayah penelitian, yaitu Kabupaten Maros,

Sinjai dan Soppeng menunjukkan bahwa terdapat perbedaan habitat

kelelawar dan jarak antara habitat kelelawar dengan pemukiman penduduk.

69
Kelelawar buah (Acerodon celebensis dan Pteropus alecto) ditemukan

menempatkan pohon sarangnya didekat pemukiman/kebun/sawah milik

masyarakat di Kabupaten Maros, sedangkan di Kabupaten Sinjai kelelawar

buah jenis tersebut berada di kawasan mangrove. Di Kabupaten Soppeng,

pohon bersarang umumnya berada di taman kalong yang merupakan pusat

perkotaan Kota Soppeng. Jarak terjauh dari pemukiman penduduk menuju

habitat kelelawar di Kabupaten Sinjai, yaitu sekitar 1 km tetapi justru di

wilayah inilah perburuan kelelawar terjadi. Berbeda dengan wilayah Maros

dan Soppeng jarak antara habitat kelelawar dengan pemukiman tergolong

lebih dekat, tetapi saat ini tidak terjadi perburuan kelelawar buah. Hal ini

terkait dengan kondisi pendukung, dimana di daerah Soppeng, terdapat

aturan pemerintah daerah yang berlaku terkait konservasi kelelawar.

Sementara di Kabupaten Maros meski belum ada aturan baku terhadap

perlindungan kelelawar, namun terdapat aturan non-lisan yang beredar di

masyarakat bahwa keberadaan kelelawar adalah hal yang baik. Ditambah

lagi, di antara ke tiga kabupaten, Maros khususnya masyarakat Kecamatan

Simbang banyak mendapatkan edukasi dari pihak LSM, akademisi dan

pemerintah terkait kelelawar buah dan konservasinya serta seringkali

dilibatkan dalam berbagai upaya konservasi. Sebaliknya, di Sinjai tidak ada

aturan yang berlaku di masyarakat terkait kelelawar buah dan bahkan

terdapat sekelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari

berburu kelelawar sebagai penghasilan tambahan yang kemudian

70
diperdagangkan dalam jumlah banyak ke daerah lain di Sulawesi Utara.

Kondisi ini dapat dikatakan serupa dengan yang terjadi di Kabupaten Barru

dimana habitat kelelawar berada cukup jauh dari pemukiman penduduk yaitu

di Pulau Panikiang. Namun, perburuan di pulau tersebut terus terjadi

ditambah tidak adanya regulasi yang mengikat di kawasan tersebut

(Nirsyawita, 2020).

Profil responden menunjukkan variasi dari segi umur, pada umumnya

berada pada kisaran usia produktif yang memiliki latar belakang agama dan

suku yang sama, yaitu beragama islam dan bersuku Bugis-Makassar di

ketiga kabupaten. Namun, terdapat secara umum perbedaan dari aspek

pendidikan, budaya serta ekonomi yang kemudian berpengaruh terhadap

pengetahuan, pengalaman, persepsi dan kesadaran terkait kelelawar buah

yang menempatkan habitat bersarangnya di sekitar tempat tinggal mereka.

Dibandingkan kedua kabupaten lainnya, masyarakat di Kabupaten

Sinjai yang hidup di sekitar habitat kelelawar memiliki tingkat pendidikan yang

lebih rendah, dimana hal ini juga berpengaruh terhadap akses mereka

terhadap pekerjaan yang umumnya terbatas sebagai nelayan serta

kemampuan ekonomi mereka sehingga tergantung sepenuhnya terhadap

keberadaan sumberdaya alam termasuk berburu kelelawar. Hal ini juga

diungkapkan pada penelitian Nirsyawita (2020) dimana profil pemburu di

wilayah Sinjai dan Barru berprofesi sebagai nelayan dan berburu kelelawar

buah di wilayah mangrove dengan alasan kemudahan akses berburu. Selain

71
itu, tidak adanya latar belakang budaya terkait kelelawar juga membuat

masyarakat di daerah tersebut memiliki persepsi dan kesadaran yang lebih

rendah untuk turut serta dalam upaya konservasi satwa tersebut. Lain halnya

dengan di Kabupaten Maros dan Soppeng yang memiliki kepercayaan

setempat bahwa menghilangkan kelelawar dapat membawa petaka dan juga

adanya anggapan bahwa kelelawar merupakan perwakilan dari kerajaan di

masa lalu serta merupakan bagian dari budaya mereka sehingga

kehadirannya dipercaya mendatangkan hal yang baik. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Setiadi (2003) bahwa kebudayaan merupakan faktor penentu

paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang.

Aspek pengetahuan berperan besar dalam membentuk sikap, persepsi

hingga akhirnya menggugah kesadaran. Steward and Sexton (2007)

menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan, maka akan semakin positif

perilaku masyarakat terhadap kelelawar. Di ketiga kabupaten, diketahui

bahwa 100% masyarakat memiliki pengetahuan yang baik terkait manfaat

alam terhadap manusia. Namun, hal ini tidak dibarengi dengan pengetahuan

yang baik mengenai pentingnya konservasi alam di ketiga kabupaten. Hanya

di Kabupaten Maros dan Soppeng yang memiliki pemahaman yang baik

dengan jawaban di atas 80%. Sementara di Kabupaten Sinjai masih banyak

yang belum memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Hal ini disebabkan

dari kerapnya kedua kabupaten khususnya Maros mendapatkan input dari

luar terkait konservasi dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan

72
konservasi dibandingkan kabupaten lain. Ekspose terhadap masyarakat

terkait konservasi ini diyakini memiliki peranan penting dalam membangun

pengetahuan masyarakat. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Wied (1996)

bahwa informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang,

meskipun seseorang memiliki pendidikan rendah, tetapi jika mendapatkan

informasi yang baik dari berbagai media, maka hal itu akan dapat

meningkatkan pengetahuan seseorang. Begitu pula pengetahuan terkait

kelelawar, meskipun sebagian besar masyarakat di ketiga kabupaten dapat

membedakan dengan benar jenis-jenis kelelawar buah yang bersarang di

sekitar pemukiman mereka dan juga memahami dampak, manfaat serta

konservasi kelelawar. Secara umum di ketiga kabupaten, namun masih

banyak terdapat pertanyaan yang masih belum dapat dijawab dengan benar

oleh masyarakat khususnya mengenai hal-hal yang bersifat lebih detail dan

mendalam seperti fisiologi dari kelelawar. Hal ini juga terjadi di daerah lain di

Fort Collins, AS dimana masyarakat yang hidup berdampingan dengan

kelelawar buah terbiasa dengan kelelawar, namun tidak memiliki

pengetahuan yang cukup terhadap satwa tersebut (Steward and Sexton

2007).

Minimnya pengetahuan akan berbagai aspek kelelawar ini juga

kemudian bersinergi dengan pengalaman yang masyarakat dapatkan dari

berinteraksi dengan kelelawar buah di sekitar tempat tinggal mereka.

Masyarakat Maros dan Soppeng yang telah hidup lama (umumnya lebih dari

73
30 tahun) di sekitar pohon sarang kelelawar buah menyebabkan mereka tidak

merasa terganggu dengan keberadaan kelelawar tersebut bahkan dapat

hidup berdampingan dengan baik. Sedangkan di Kabupaten Sinjai, 57%

responden memiliki pengalaman yang kurang baik dengan keberadaan

kelelawar buah yang selama ini mereka ketahui mengganggu dan dianggap

sebagai hama buah. Oleh karena itu, 17% dari responden mengemukakan

untuk mengusir ataupun berburu kelelawar buah yang ada di sekitar mereka

dan hal ini terbukti dari adanya kegiatan perburuan di daerah tersebut yang

ternyata merupakan salah satu daerah pemasok daging kelelawar buah ke

Provinsi Sulawesi Utara (Nirsyawita, 2020).

Dilihat dari aspek persepsi, semua masyarakat di ketiga kabupaten

memandang kelelawar buah bukan sebagai ancaman dan tidak berbahaya,

namun dari segi kesehatan banyak yang belum memahami bahaya kelelawar

terhadap kesehatan. Hal ini dikarenakan kelelawar buah diketahui sebagai

inang dari berbagai virus/penyakit yang berbahaya seperti rabies, lyssavirus,

hendra/nipah virus, corona virus dan lainnya (Yuliadi dkk., 2014). Seharusnya

masyarakat di sekitar habitat bersarang kelelawar memiliki pengetahuan

yang cukup dalam menangani kelelawar dan senantiasa menerapkan

kebiasaan hidup bersih. Mengedukasi masyarakat untuk hidup sehat dan

bersih serta tidak mengganggu koloni kelelawar sangat penting untuk

dilakukan oleh masyarakat di sekitar habitat bersarang kelelawar.

74
Pengetahuan dan pengalaman yang berbeda telah mengarahkan

persepsi masyarakat ditambah lagi dengan faktor pendidikan, ekonomi, sosial

dan budaya masing-masing kabupaten akan membentuk persepsi yang

berbeda (Jalaluddin, 2011), sehingga akan memicu kesadaran yang berbeda

pula (Noor, 2009). Hal ini terbukti di Kabupaten Maros dan Soppeng yang

masyarakatnya memiliki pengetahuan dan pengalaman serta ditunjang faktor

pendidikan yang lebih baik juga budaya yang kuat telah membuat persepsi

akan kelelawar yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jalaludin (2011)

bahwa persepsi terbentuk karena pengalaman tentang obyek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

menafsirkan pesan.

Hasil analisis korelasi beberapa variabel terhadap perilaku masyarakat

terhadap konservasi kelelawar menunjukkan bahwa di Kabupaten Maros

misalnya terdapat hubungan yang erat antara pengetahuan dan perilaku

dimana peningkatan pengetahuan meningkatkan perilaku masyarakat. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Mir dkk (2015) bahwa pengetahuan mengenai

konservasi satwa liar dapat menjadi dasar yang kuat untuk membangun dan

merasionalisasi sikap dan mungkin juga bisa menjadi alat yang penting untuk

meningkatkan pemahaman dan memotivasi masyarakat lokal dalam upaya

konservasi. Sedangkan hasil analisis korelasi variabel di Kabupaten Soppeng

menunjukkan bahwa tidak ada dari variabel pengetahuan, pengalaman,

persepsi dan kesadaraan yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Tetapi

75
ada variabel lain yaitu penegakan hukum yang jelas mengenai larangan

untuk mengganggu habitat kelelawar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian

Freya dkk (2010) bahwa komunitas di sekitar Lake Mburo National Park di

Uganda memiliki perilaku yang positif terhadap satwa liar karena telah ikut

dalam program konservasi selama 7 tahun, sedangkan masyarakat yang

tidak ikut dalam program konservasi memiliki perilaku yang negatif yaitu

perburuan satwa liar.

Selain itu, masyarakat mengetahui bahwa daging kelelawar buah

bernilai ekonomis, berburu kelelawar buah bisa menjadi profesi sampingan

bagi nelayan dan ditunjang struktur pasar lengkap dimana terdapat pemburu,

pengumpul dan pembeli (Liana, 2019; Nirsyawita, 2019). Pada akhirnya

keinginan masyarakat untuk mengusir bahkan berburu kelelawar akan

bertentangan dengan tujuan dan upaya konservasi buah di Kabupaten Sinjai.

Hasil analisis antar variabel di kabupaten ini menunjukkan bahwa kesadaran

yang meningkat berhubungan erat dengan perilaku masyarakat. Kesadaran

yang dimaksud adalah bahwa masyarakat di sekitar habitat kelelawar

memiliki pengetahuan bahwa kelelawar adalah hama sementara nelayan

mengetahui bahwa kelelawar bernilai ekonomis, sehingga ketika terjadi

perburuan kelelawar buah oleh nelayan, maka masyarakat tidak keberatan

bahkan cenderung menyetujui perilaku tersebut. Menurut Fitzgerald et al.

(2007) perilaku juga dapat dipengaruhi bukan hanya oleh usia, jenis kelamin

76
dan tempat dimana mereka tinggal, tetapi juga terkadang dipengaruhi oleh

situasi dan kondisi serta minat dari masyarakat akan sesuatu.

Teori perilaku menyatakan bahwa berubahnya perilaku manusia

bergantung pada keinginannya yang didasari oleh persepsi positif dan

perilakunya terhadap satwa liar (Vaske & Donelly 2007). Selain itu, ternyata

jenis satwa juga mempengaruhi perilaku manusia (Mahmood-ul-Hassan dkk.,

2011) seperti misalnya orang lebih menyukai burung yang memiliki warna

yang indah dan hewan peliharaan, seperti kucing dan anjing, tetapi mereka

tidak menyenangi beberapa satwa, seperti kelelawar, tikus, reptil dan burung

hantu (Bjerke & Østdhal, 2004). Olehnya itu, terbentuknya persepsi dan

perilaku negatif terhadap kelelawar bisa disebabkan pula oleh ketidaktahuan

manusia akan satwa tersebut dan banyaknya anggapan bahwa kelelawar

adalah merupakan hama, simbol dari ketidakberuntungan dan juga anggapan

bahwa satwa ini merupakan satwa yang tidak berguna dalam pandangan

orang kebanyakan (Mahmood-ul-Hassan dkk., 2011).

Persepsi yang baik akan memudahkan dalam intervensi upaya-upaya

konservasi kelelawar buah di daerah tersebut. Sebaliknya di Kabupaten

Sinjai dengan pengetahuan yang minim serta pengalaman yang kurang baik

dalam berinteraksi dengan kelelawar, maka akan membawa persepsi yang

kurang baik apalagi tidak ditunjang dengan latar belakang pendidikan serta

tidak adanya aturan dan budaya yang mengatur.

77
Sebagai langkah awal upaya-upaya konservasi kelelawar perlu

diarahkan sepenuhnya dalam peningkatan status hukum kelelawar menjadi

satwa yang dilindungi baik oleh undang-undang di tingkat nasional maupun di

tingkat lokal yang merefleksikan pentingnya kelelawar tersebut dan

kebutuhan perlindungannya per-jenis (Shafie dkk., 2017). Saat ini, hanya di

Kabupaten Soppeng yang telah memiliki legalitas secara lokal untuk

perlindungan kelelawar buah dan sebab inilah di Kabupaten Soppeng hasil

perhitungan variabel penelitian tidak menunjukkan pengaruh. Dimana

masyarakat secara otomatis mengikuti arahan aturan tanpa melihat tingkat

pengetahuan, pengalaman, kesadaran dan persepsi yang mengarahkan

perilakunya. Sementara di kabupaten lainnya, hal ini berbeda. Oleh karena

itu, dalam membangun upaya-upaya konservasi kelelawar buah di ketiga

kabupaten tersebut diperlukan pendekatan yang berbeda. Di Kabupaten

Maros dan Soppeng, pelibatan masyarakat secara aktif dalam kegiatan

konservasi akan meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam

mengendalikan perilakunya terhadap kelelawar buah dan upaya-upaya

konservasinya. Sementara di Kabupaten Sinjai, perlu ada proses

penyadartahuan masyarakat terlebih dahulu sebelum kemudian bisa

mengubah perilaku masyarakat yang juga dibarengi dengan peningkatan

pengetahuan dan keterlibatan masyarakat secara langsung.

78
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Pengetahuan masyarakat tentang kelelawar buah di ketiga kabupaten

pada umumnya mengetahui dengan baik mengenai morfologi kelelawar,

demikian juga persepsi positif terhadap keberadaannya hanya sebagian

kecil masyarakat di Kabupaten Sinjai yang merasa bahwa kelelawar bisa

menjadi ancaman. Terkait pengalaman masyarakat di Kabupaten Maros

dan Soppeng tidak merasa terganggu dengan keberadaan habitat

kelelawar, sedangkan masyarakat di Kabupaten Sinjai merasa terganggu.

Masyarakat pada Kabupaten Maros dan Soppeng memiliki kesadaran

yang baik akan manfaat kelelawar bagi ekosistem dibandingkan

masyarakat di Kabupaten Sinjai. Perilaku konservasi ditunjukkan

masyarakat di Kabupaten Maros dan Soppeng, sebaliknya perburuan

kelelawar marak terjadi di Kabupaten Sinjai.

2. Hasil analisis korelasi menunjukkan variabel pengetahuan yang lebih

tinggi/baik memiliki hubungan yang signifikan dalam taraf yang kuat

terhadap perilaku konservasi masyarakat di Kabupaten Maros (p =

0,634). Sementara variabel rendahnya kesadaran memiliki pengaruh

yang signifikan dalam taraf sedang terhadap perilaku konservasi di

79
Kabupaten Sinjai (p = 0,404). Terakhir, tidak ada variabel yang memiliki

pengaruh signifikan terhadap perilaku masyarakat Soppeng yang

disebabkan karena keberadaan peraturan daerah terkait perlindungan

kelelawar buah sejak tahun 2006.

5.2. Saran

Upaya konservasi yang bisa dilakukan dengan merubah perilaku

masyarakat di daerah yang terjadi perburuan dengan memberikan

pengetahuan tentang pentingnya peran kelelawar di dalam ekosistem.

Selanjutnya, dibutuhkan peran pemerintah untuk mendukung konservasi

kelelawar yang efektif dengan menerbitkan perda di Kabupaten Sinjai seperti

yang berlaku di Kabupaten Soppeng.

80
DAFTAR PUSTAKA

Apriandi, J. 2004. Keanekaragaman dan Kekerabatan Jenis Kelelawar


Berdasarkan Kondisi Fisik Mikro-Klimat Tempat Bergantung pada
Beberapa Gua di Kawasan Gua Gudawang. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Ahmadi, A. 2001. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Abror dan Rachman, A. 1993. Psikologi pendidikan. Yogyakarta: PT Tiara


Wacana.
Ajzen I., 2005. Attitude, Personality and Behavior. Open University Press,
England.

Alikodra, S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. IPB. Bogor.

Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Jung, C.G. 1989. Memperkenalkan Psikologi Analitik, terj. Agus Cremers,


Gramedia, Jakarta.

Bjerke T, Østdahl T. (2004). Animal-related attitude and activities in an urban


population. Anthrozoös. 2004;17:109-129.
https://doi.org/10.2752/089279304786991783.

CITES. 2016. Convention on International Trade in Endangered Species of


Wild Fauna and Flora: Appendices I, II, and IIIL valid from 10 March
2016.www.cites.org. Diakses tanggal 28 Oktober 2018.

Cobert, G. B. dan J. E, Hill. 1992. The Mamals of the Indomalaya Region: A


Systematic Review. Oxford University Press. Oxford.

Darho dan Ahmad. 2012. Psikologi Kebidanan: Analisis Perilaku Wanita


untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Gunarsa, Singgih. dkk (1998). Psikologi Olahraga Teori Dan Praktik. Jakarta :
PT BPK Gunung Mulia.

Donsu, J, D, T. (2016). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta :


Pustaka Baru Press. Cetakan I.

Fitzgerald, G., Fitzgerald N. dan Davidson, C. (2007). Public attitudes towards

81
invasive animals and their impacts. Invasive Animals Cooperative
Research Centre, Canberra.

Halidah, Saprudin dan C. Anwar, 2008. Potensi dan Ragam Pemanfaatan


Mangrove Untuk Pengelolaannya di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. V No. 1: 67-78.

Hanurawan, Fatah. 2010. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya.
Hayanti, E.D.N., Yuliani dan H. Fitrihidayanti. 2014. Penggunaan Kompos
Kotoran Kelelawar (Guano) untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman
Kacang Tanah (Arachis hypogaea). Jurnal Lentera Bio Vol. 3 No. 1: 7–11.

https://makassar.tribunnews.com/2019/06/19/hanya-ada-di-soppeng-lihat-
langsung-ratusan-kelelawar-di-siang-hari-konon-sudah-ratusan-
tahun?page=2.
Hodgkison, R, and S.T. Balding. 2003.Fruit bats (Chiroptera: Pteropodidae)
as seed dispersers and pollinators in lowland Malaysian rain
forest.Biotropica 35:4.
Hendra, AW. 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan,
Jakarta: Pustaka Sinar. Harapan.

Husserl, Edmund., (1991). On The Phenomenology of The Consciousness of


Internal, Time Vol. IV. Terj. John Barnett Brough, Boston: Kluwer
Academic Publishers.

Hutson, A.M, dan T. Kingston. 2008. Phoniscus atrox. In: IUCN 2014.
IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org.
Diakses, 28 Oktober 2018.
Ingle NR. 2002. Seed Dispersal by Wind, Birds, and Bats Philippine Montane
Rainforest and Successional Vegetation. Oecologia 134:251- 261.

[IUCN]International Union for Conservation of Nature. 2017. 2017 IUCN Red


List bbnof Threatened Species. www.iucnredlist.org. Diakses pada
tanggal 28 Oktober 2018.

Jalaludin, R. (2011). Psikologi Komunikasi. Bandung. PT. Remaja


Rosdakarya.

82
Jogiyanto H., 2007. Sistem Informasi Keperilakuan. Penerbit Andi,
Yogjakarta.

Kencana BE. 2002. Rencana Aksi Konsevasi Kalelawar Indonesia. WARTA


IWF/Vol. 6 No. 1 Januari 2002/ISSN 1411 -8076/D. Jakarta: Yayasan
Pembinaan Suaka Margasatwa Indonesia (The Indonesian Wildlife
Fund, IWF).

K Schneeberger, CC Voigt (2016). Zoonotic viruses and conservation of bats.


Bats in the Anthropocene: Conservation of Bats in a Changing World.

Kunz, T.H, dan E.D. Pierson. 1991. Bats of the World : An Introduction. The
John Hopkins University Press, London.

Kunz, T.H, dan L.F. Lumsden. 2003. Roosting Ecology. In Kunz, T.H and
M.B. Fenton (eds). Bat Ecology. The University of Chicago Press,
Chicago.
Lee R.J., Gorog A.J., Dwiyahreni A., Siwu S., Riley J., Alexander H., Ramono
W., 2005. Wildlife Trade and Implications for Law Enforcement in
Indonesia: A Case Study From North Sulawesi. Biol. Conserv. 123,
477–488.
Lane, D.J.W, T. Kingston , Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species
richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol
Conserv 131:584-593.
Liana, 2020. Studi Perdagangan Kalong dan Persepsi Masyarakat Mengenai
Konsumsi Kalong di Sulawesi Utara. Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.

Linton, Ralph. 1986. The Study of Man: an Introduction. Appleton Century.


New York.

Lukman DH., 2019. Kajian Perubahan Fisik Spasial Kawasan Pinggiran Kota
Perkotaan Watansoppeng Kabupaten Soppeng. Tekhnik Perencanaan
wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.

Mahmood-ul-Hassan M, Faiz-ur-Rehman, Salim M. (2011). Public


perceptions about the fruit bats in two horticulturally important districts
of Pakistan. Journal of Animal and Plant Sciences. 2011;21(2):135–
141.

83
Mildenstein TL, 2012. Conservation of endangered flying foxes in the
Philippines: effects of anthropogenic disturbance and research
methods for community-based conservation. Ph.D. thesis, University of
Montana, United States.

Moussy C, Hosken DJ, Mathews F., dkk (2013) Migration and dispersal
patterns of bats and their influence on genetic structure. Mamm Rev
43:183–195.

Muhammad Asrori, 2008. Psikologi Remaja Peserta Didik, Jakarta: Bumi


Aksara.

Nasution, S., 1999, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, cet-ke-
3.

Nirsyawita, 2020. Perburuan Kelelawar Buah di Sulawesi Selatan: Study


Kasus Acerodon celebensis dan Pteropus alecto. Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Noor, Hasanuddin, 2009. Psikometri Aplikasi Penyusunan Instrumen
Pengukuran Perilaku. Bandung: Fakultas Psikologi UNISBA.

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta :


Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S., 1997. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan dalam Ilmu


Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Noureen S (2014) Ecology, roosting habits and reproduction in the
Megachiroptera bats of pothwar region, Pakistan. Ph.D. Dissertation,
Arid Agriculture University Rawalpindi, 240 pp.

Nowak, L. 1995. Walker’s Mamals Bats of The World. John Hopkins


University Press, Baltimore and London.
Palmer, C., J. Woinarski. 1999. Seasonal roosts and foraging movements of
the black flying fox (Pteropus alecto) in the Northern Territory: resource
tracking in a landscape mosiac. Wildlife Research, 26: 823-838.
Paul, H.B., C. Meyer, dan K. Carpenter. 2015. Strategi Konservasi.
Konservasi Biodiversitas Raja 4. 4 (10), 1. www.ibcraja4.org atau
http://ibc.ub.ac.id. Diakses pada 31 Oktober 2018.

84
Primack, C, dan W. Corlett. 2005. Tropical Rain Forest: An Ecological and
Biogeographical Comparison. Blackwell Publishing, Malden-
OxfordVictoria.
Puspitasari, Indah. 2013. Perilaku Ibu Dalam Menangani Demam Pada Anak
Pasca Imunisasi DPT. Ponorogo: FIK UMP.
Quesada, M., K. E. Stoner, J. A. Lobo., Y. Herrerý´as-Diego., C.Palacios-
Guevara., M. A. Munguý´a-Rosas., K. A. O.-Salazar, dan V. Rosas-
Guerrero. 2004. Effects of Forest Fragmentation on Pollinator Activity
and Consequences for Plant Reproductive Success and Mating
Patterns in Bat-pollinated Bombacaceous Trees1 Biotropica 36
(2):131–138.
Ransaleleh, T.A. 2013 Identifikasi Kelelawar Pemakan Buah Asal Sulawesi
Berdasarkan Morfometri (The Morphometric Identification Of Celebes
Fruit Bats). Jurnal Veteriner, [S.l.], v. 14, n. 4, p. 485-494, dec. 2013.
ISSN 2477-5665. Available at:
<https://ojs.unud.ac.id/index.php/jvet/article/view/7684>. Date
accessed: 13 dec. 2018.

Rahmadi, C. (2007). Arthropoda Gua Karst Maros (Sulawesi) & Gunung


Sewu (Jawa): Melintas Garis Wallace. Fauna Indonesia 7(2), 1-6.

Raymundo, M.L., dan C.F Caballes. 2016. An Insight into Bat Hunter
Behavior and Perseption With Implications For The Conservation Of
The Critically Endangered Philippine Bare-Backed Fruit Bat. Jurnal of
Ethnobology, 20: 382 – 392.

Roberts, B., P. Eby, S.M. Tsang, dan Sheherazade. 2017. The IUCN Red List
of Threatened Species: Pteropus alecto – published in 2017 (Online).
(https://www.iucnredlist.org/species/18715/22080057 diakses
September 2018).

Shafie N.R., Sah M.S., Mutalib A.H. dan Fadzly N., 2017. Tropical Life
Sciences Research; 28(2): 31-44. doi: 10.21315/tlsr2017.28.2.3.

Satyadharma, A. 2007. Conservation Bats.


http://www.conservation.or.id./tropica/. [29 Oktober 2018].
Setiadi, Nugroho.J., 2003. Perilaku Konsumen. Kencana, Jakarta.
Schultz PW, 2011. Conservation means behaviour. Conserv Biol 25:1080–
1083.

85
Sewall BJ, Granek EF, Trewhella WJ (2003) The endemic Comoros Islands
fruit bat Rousettus obliviosus: ecology, conservation, and red list
status. Oryx 37(3):344–352.
Sheherazade, Tsang .M., 2015. Quantifying the Bat Bushmeat Trade in North
Sulawesi, Indonesia with Suggestion for Conservation Action. Global
Ecology and Conservation.

Siagian, R. P. 2011. Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar


di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Barang Toru, Sumatera Utara.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soemarno. 2011. Ekologi dan Ilmu Lingkungan Bahan Kajian MK Pengantar
Ilmu Lingkungan PMPSLP PPSUB Universitas Brawijaya. Malang.
Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor.
Suryabrata, Sumadi. 2002. Psikologi pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Thornburg, Hershel D. 1984. Introduction to educational psychology. St Paul:
West Publishing Company.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.

Vardon, M., C. Tidemann. 2000. The black flying-fox (Pteropus alecto) in


north Australia: juvenile mortality and longevity. Australian Journal of
Zoology, 48: 91-97.

Vaske JJ, Donnelly MP. (2007). Report for the National Park Service. Fort
Collins, CO: Colorado State University, Human Dimensions in Natural
Resources Unit; 2007. Public knowledge and perceptions of the desert
tortoise (HDNRU Report No.81).

Welbergen, A., S.M. Klose, N. Markus and P. Eby. 2007. Climate change and
the effects of temperature extremes on Australian flying-foxes. Journal
the Royal Society,275: 419–425.

Walker, J.C. , 1969. Plant Pathology. Edisi III, Mc Graw-Hill, New York. Hal.
232.
Wied Hary. 1996. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan.

86
[WWF] World Wildlife Fund. 2016.
http://www.wwf.or.id/tentangwwf/upaya_kami/forest_spesies/strategi/.
Diakses pada tanggal 31 Oktober 2018.
Yuliadi B., Sari T.F., Handayani F.D., 2014. Kelelawar Sulawesi: Jenis dan
Peranannya Dalam Kesehatan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.

87
Lampiran 1. Kuesioner penelitian
Judul Penelitian : Studi Perilaku Masyarakat Terhadap Konservasi Kelelawar Buah (Acerodon
celebensis dan Pteropus alecto) di Sulawesi Selatan

I. Data Responden
1. Nama :
2. Umur : Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan
4. Agama : Islam/Katolik/Protestan/Hindu/Budha/Lainnya
5. Suku : Bugis/Makassar/Toraja/Lainnya
6. Alamat :
7. Pekerjaan :
8. Pekerjaan Sampingan :
9. Pendidikan : Tidak Sekolah/Tidak Tamat…../SD/SMP/SMA/PT
10. Lama Bermukim : Tahun
11. Status Pernikahan : Belum Nikah/Nikah
12. Status Dalam Keluarga :
13. Jumlah Tanggungan : Orang
14. Jumlah Anggota Keluarga : Orang
15. Penghasilan Perbulan : <Rp. 1.000.000/Rp. 1.000.000 - Rp. 3000.000/>Rp. 3000.000

II. Pengetahuan Respoonden 3. Manusia harus mengonservasi


A. Pengetahuan umum dan alam (flora dan fauna) hanya
untuk kepentingannya sendiri.
konservasi alam Sangat setuju/setuju/ragu-
1. Alam (flora dan fauna)
ragu/kurang setuju/sangat tidak
memberikan manfaat terhadap
setuju
manusia.
4. Manusia harus mengonservasi
Benar atau Salah
alam (flora dan fauna) dengan
2. Tuliskan beberapa manfaat yang
cara apapun.
diperoleh manusia dari alam (flora
Sangat setuju/setuju/ragu-
dan fauna)!
ragu/kurang setuju/sangat tidak
setuju
5. Pernahkah anda berpartisipasi
dalam program konservasi?
Ya atau Tidak
Sebutkan:

88
13. Deskripsikan masing-masing jenis
kelelawar berdasarkan warna,
ukuran, bentuk muka dan lain-
lain!

B. Pengetahuan tentang
kelelawar buah dan
konservasinya
6. Apakah anda tahu kelelawar?
Ya atau Tidak
7. Pernahkah anda melihat
kelelawar?
Ya atau Tidak 14. Kelelawar tidak memiliki mata.
8. Pernahkah anda melihat Benar atau Salah
kelelawar di lingkungan anda? 15. Kelelawar buang air besar dengan
Ya atau Tidak cara memuntahkannya.
9. Berapa banyak jenis kelelawar Benar atau Salah
yang telah anda lihat sebelumnya 16. Kelelawar sejenis burung.
atau yang anda ketahui? Benar atau Salah
17. Kelelawar termasuk binatang
10. Berapa banyak jenis kelelawar pengerat. Benar atau Salah
yang anda temukan di sekitar 18. Di lingkunganmu kelelawar hidup
lingkungan anda? di:
o Bangunan
11. Secara umum, menurut anda o Gua/Bekas Tambang
apakah jumlah kelelawar di o Pohon
lingkungan anda mengalami o Lainnya (sebutkan)
penurunan?
Ya atau Tidak
12. Apakah pada bulan-bulan tertentu
terjadi peningkatan atau
penurunan jumlah kelelawar?
Ya atau Tidak
Jika ya, kapan?

89
19. Apakah kelelawar terbang ke arah Ya atau Tidak
yang sama di setiap sore? Jika ya, sebutkan:
Ya atau Tidak
20. Apakah anda pernah mendengar
adanya gangguan yang
disebabkan oleh kelelawar dari
lingkungan anda atau di sekitar
lingkungan anda?
Ya atau Tidak
Jika ya, sebutkan di mana saja
area yang mengalami gangguan
tersebut:

24. Perlukah mengonservasi


kelelawar?
Ya atau Tidak
Jika ya, tindakan apa yang dapat
21. Apakah kelelawar bermanfaat
dilakukan masyaratakat untuk
bagi manusia? Ya atau Tidak
mengonservasinya?
Jika ya, sebutkan:

22. Kelelawar digunakan sebagai apa


di lingkunganmu?

25. Seperti apa bentuk dukungan


yang diperlukan masyarakat
dalam mengonservasi kelelawar?

23. Apakah keberadaaan kelelawar


memberikan dampak yang buruk?

90
kelelawar masih menjadi
masalah/gangguan?
Ya atau Tidak
30. Bagaimana cara anda mengatasi
masalah yang ditimbulkan oleh
kelelawar?

III. Pengalaman Terhadap Kelelawar


Buah
26. Untuk kelelawar yang bersarang
di sekitar pemukiman anda,
menurut anda sejak kapan
kelelawar bersarang di tempat ini?

27. Apakah anda mengalami IV. Prilaku Terhadap Kelelawar Buah


masalah/gangguan dari kelelawar 31. Apakah kamu suka kelelawar?
buah? Ya atau Tidak Ya atau Tidak
28. Lingkari satu atau lebih masalah- 32. Pernahkah anda mengonsumsi
masalah yang ditimbulkan oleh daging kelelawar buah atau
keberadaan kelelawar di bagian lain dari binatang
lingkungan anda: tersebut?
o Kebisingan Ya atau Tidak
o Bau dari fases 33. Apa tujuan anda
o Hama buah mengonsumsinya?
o Penyakit o Obat
o Gigitan o Makanan
o Pengaruh terhadap o Aksesoris
kualitas air o Acara Adat
o Merusak fasilitas o Upacara Keagamaan
o Masuk ke dalam rumah o Lainnya (sebutkan)
o Lainya (sebutkan)

29. Apakah sampai saat ini anda


masih beranggapan bahwa

91
34. Seberapa sering? 38. Seberapa sering anda melihat
o Tiap Hari aktivitas tersebut?
o Tiap Minggu Tidak pernah/Jarang/Sering
o Tiap Bulan 39. Pernahkah anda berburu atau
o Tiap Tahun terlibat dalam aktivitas perburuan
o Kadang-kadang kelelawar buah?
35. Pernahkah anda mendengar Ya atau Tidak
suatu kebudayaan/kegamaan 40. Apa tujuan dari perburuan
yang berkaitan dengan kelelawar tersebut?
buah? o Obat
Ya atau Tidak o Makanan
Jika ya, jelaskan: o Aksesoris
o Acara Adat
o Upacara Keagamaan
o Lainnya (sebutkan)

36. Pernahkah anda mendengar


adanya masalah kesehatan
sehubungan dengan keberadaan
kelelawar buah? 41. Siapa taraget konsumen dari hasil
Ya atau Tidak perburuan tersebut?
37. Pernahkah anda melihat adanya o Pribadi
kegiatan perburuan kelelawar o Untuk Dijual
buah di lingkungan anda? V. Persepsi Terhadap Kelelawar Buah
Ya atau Tidak 42. Apa yang pertama kali muncul
dalam pikiran anda ketika
mendengar kata kelelawar?

92
43. Apakah kelelawar buah mengisap Skala
darah? 1 2 3 4
Ya atau Tidak 5
44. Apakah kelelawar menakutkan? Sangat negatif --------------Sangat
Ya atau Tidak positif
Mengapa? Jelaskan:
49. Bagaimana pendapat anda
mengenai bau busuk yang
tercium dari sarang kelelawar di
sekitar lingkungan anda?

Skala
1 2 3 4
5
Sangat negatif --------------Sangat
positif

45. Apakah kelelawar buah secara


50. Bagaimana pendapat anda
fisik merupakan ancaman bagi
mengenai tata kelola kelelawar
manusia?
buah dengan jumlah populasi
Ya atau Tidak
yang banyak di sekitar lingkungan
46. Apa pendapat anda mengenai
anda?
keberadaan sarang kelalawar
buah di sekitar lingkungan anda?
Skala
1 2 3 4
Skala
5
1 2 3 4
Sangat negatif --------------Sangat
5
positif
Sangat negatif --------------Sangat
positif

47. Bagaimana pendapat anda


melihat kelelawar yang terbang di
VI. Kesadaran Terhadap Pentingnya
sekeliling lingkungan anda?
Kelelawar Buah dan Konservasi
51. Seberapa penting kelelawar buah
Skala
bagi lingkungan?
1 2 3 4
Penting/Kurang penting/Tidak
5
penting
Sangat negatif --------------Sangat
52. Apakah ada keuntungan yang
positif
diperoleh manusia dari
keberadaan kelelawar buah?
48. Bagaimana pendapat anda
Ya atau Tidak
melihat kotoran kelelawar buah di
53. Menurut anda, dapatkah
sekitar lingkungan anda?
kelelawar buah dijadikan sebagai
objek wisata?

93
Ya atau Tidak o Pemerintah
54. Bagaimana pendapat anda, jika o LSM
sarang kelelawar di lingkungan o Peneliti kelelawar
anda, dijadikan objek wisata? o Lainnya
Sangat setuju/setuju/ragu-
ragu/kurang setuju/tidak setuju
55. Apakah kelelawar buah pantas
dilindungi?
Ya atau Tidak
56. Pernahkah anda mendengar
tentang konservasi kelelawar
buah? Ya atau Tidak
Jika ya, lingkari dari mana
sumbernya
57. Jika sekiranya terdapat kegiatan
o TV
sehubungan dengan konservasi
o Radio
kelelawar, apakah anda ingin
o Koran/majalah/media
bergabung/berkontribusi pada
cetak lainnya
kegiatan tersebut? Ya atau Tidak
o Internet

94
Lampiran 2. Analisis korelasi variabel pengetahuan (X1) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Maros

Correlations
Pengetahuan Perilaku
Kendall's Pengetahuan Correlation 1,000 ,570**
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,000
N 30 30
Perilaku Correlation ,570** 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,000
N 30 30
Spearman's Pengetahuan Correlation 1,000 ,634**
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,000
N 30 30

Perilaku Correlation ,634** 1,000


Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,000
N 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

95
Lampiran 3. Analisis korelasi variabel pengalaman (X2) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Maros

Correlations
Pengalaman Perilaku
Kendall's Pengalaman Correlation 1,000 0,061
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,724
N 30 30
Perilaku Correlation 0,061 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,724
N 30 30
Spearman's Pengalaman Correlation 1,000 0,053
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,779
N 30 30
Perilaku Correlation 0,053 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,779
N 30 30

96
Lampiran 4. Analisis korelasi variabel persepsi (X3) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Maros

Correlations
Persepsi Perilaku
Kendall's Persepsi Correlation 1,000 -0,243
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,110
N 30 30
Perilaku Correlation -0,243 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,110
N 30 30
Spearman's Persepsi Correlation 1,000 -0,292
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,118
N 30 30
Perilaku Correlation -0,292 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,118
N 30 30

97
Lampiran 5. Analisis korelasi variabel kesadaran (X4) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Maros

Correlations
Kesadaran Perilaku
Kendall's Kesadaran Correlation 1,000 0,111
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,491
N 30 30
Perilaku Correlation 0,111 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,491
N 30 30
Spearman's Kesadaran Correlation 1,000 0,120
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,528
N 30 30
Perilaku Correlation 0,120 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,528
N 30 30

98
Lampiran 6. Analisis korelasi variabel pengetahuan (X1) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Sinjai

Correlations
Pengetahuan Perilaku
Kendall's Pengetahuan Correlation 1,000 -0,009
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,952
N 30 30
Perilaku Correlation -0,009 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,952
N 30 30
Spearman's Pengetahuan Correlation 1,000 -0,017
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,930

N 30 30

Perilaku Correlation -0,017 1,000


Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,930
N 30 30

99
Lampiran 7. Analisis korelasi variabel pengalaman (X2) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Sinjai

Correlations
Pengalaman Perilaku
Kendall's Pengalaman Correlation 1,000 -0,300
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,078
N 30 30
Perilaku Correlation -0,300 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,078
N 30 30
Spearman's Pengalaman Correlation 1,000 -0,328
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,077
N 30 30
Perilaku Correlation -0,328 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,077
N 30 30

100
Lampiran 8. Analisis korelasi variabel persepsi (X3) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Sinjai

Correlations
Persepsi Perilaku
Kendall's Persepsi Correlation 1,000 0,000
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 1,000
N 30 30
Perilaku Correlation 0,000 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 1,000
N 30 30
Spearman's Persepsi Correlation 1,000 0,013
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,947
N 30 30
Perilaku Correlation 0,013 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,947
N 30 30

101
Lampiran 9. Analisis korelasi variabel kesadaran (X4) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Sinjai

Correlations
Kesadaran Perilaku
Kendall's Kesadaran Correlation 1,000 ,342*
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,031
N 30 30
Perilaku Correlation ,342* 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,031
N 30 30
Spearman's Kesadaran Correlation 1,000 ,404*
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,027
N 30 30
Perilaku Correlation ,404* 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,027
N 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

102
Lampiran 10. Analisis korelasi variabel pengetahuan (X1) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Soppeng

Correlations
Pengetahuan Perilaku
Kendall's Pengetahuan Correlation 1,000 0,210
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,180
N 30 30
Perilaku Correlation 0,210 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,180
N 30 30
Spearman's Pengetahuan Correlation 1,000 0,244
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,193
N 30 30
Perilaku Correlation 0,244 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,193
N 30 30

103
Lampiran 11. Analisis korelasi variabel pengalaman (X2) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Soppeng

Correlations
Pengalaman Perilaku
Kendall's Pengalaman Correlation 1,000 0,064
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,713
N 30 30
Perilaku Correlation 0,064 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,713
N 30 30
Spearman's Pengalaman Correlation 1,000 0,068
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,720
N 30 30
Perilaku Correlation 0,068 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,720
N 30 30

104
Lampiran 12. Analisis korelasi variabel persepsi (X3) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Soppeng

Correlations
Persepsi Perilaku
Kendall's Persepsi Correlation 1,000 -0,234
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,128
N 30 30
Perilaku Correlation -0,234 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,128
N 30 30
Spearman's Persepsi Correlation 1,000 -0,286
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,125
N 30 30
Perilaku Correlation -0,286 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,125
N 30 30

105
Lampiran 13. Analisis korelasi variabel kesadaran (X4) terhadap perilaku
masyarakat di Kabupaten Soppeng

Correlations
Kesadaran Perilaku
Kendall's Kesadaran Correlation 1,000 0,180
tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,258
N 30 30
Perilaku Correlation 0,180 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,258
N 30 30
Spearman's Kesadaran Correlation 1,000 0,238
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,206
N 30 30
Perilaku Correlation 0,238 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,206
N 30 30

106

Anda mungkin juga menyukai