DISERTASI
AGUS SUBAGYO
1006751142
DISERTASI
Doktor
Oleh:
AGUS SUBAGYO
1006751142
Disertasi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
NPM : 1006751142
Tanda tangan :
Universitas Indonesia
iii
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Noviar Andayani, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.
Ko-Promotor Ko-Promotor
2. Penguji
Sunarto, Ph.D.
Penguji 3
Universitas Indonesia
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Telah berhasil saya pertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 18 Juli 2016
Universitas Indonesia
v
Beserta perangkatnya yang ada jika diperlukan. Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengolah dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
(Agus Subagyo)
Universitas Indonesia
vi
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Penulisan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Doktor pada Program Studi Pascasarjana Biologi, Program Pascasarjana, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Penulis menyadari tanpa bantuan, dukungan dan kerjasama dari berbagai
pihak, tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Jatna Suprijatna,
M.Sc., Ph.D. selaku promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran
untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun disertasi ini.
Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Noviar Andayani, M.Sc. dan
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. selaku ko-promotor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Luthfiralda Sjahfirdi,
M.Biomed., Dr. rer. nat. Yasman, M.Sc. dan Sunarto, Ph.D., yang telah
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan kritik, saran dan bersedia
berdiskusi untuk kesempurnaan disertasi ini.
Penelitian ini dapat berjalan atas kerjasama dan dukungan finansial dan
tenaga yang luar biasa dari Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau
Sumatra (PKHS) dan Sumatran Tiger Trust (STT). Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga kerjasama ini dapat
terus berlanjut di kemudian hari.
Penelitian ini dapat berjalan dengan izin dan dukungan dari Taman
Nasional Way Kambas dan stafnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ir. Dulhadi dan Ir. Sri Handajani, M.Sc selaku Kepala dan mantan Kepala
TNWK, Chandra Putra, S.P. selaku Kepala SPTN I, H. Mukhlisin, S.H. selaku
Kepala SPTN II, Antonius Vevri, S.Si., M.Sc., selaku Kepala SPTN III, dan
Sukatmoko, selaku Koordinator Humas TNWK. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh staf TNWK yang telah memberikan dukungan
lapangan dalam kegiatan penelitian ini.
Universitas Indonesia
vii
Seluruh data lapangan dalam disertasi ini sangat tergantung pada staf
lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan yang luar biasa dari
Muhammad Yunus, Sumianto, Nuralim, Ali Mashuri (almarhum), Mas Wawan,
Mas Apriawan, Santoso, Herman, Agung, Ponadi, Nopan, Herwindo, Sareh
Suwondo dan Nanang yang telah mendampingi dan memberikan dukungan waktu
dan tenaga di lapangan selama kegiatan penelitian.
Terima kasih penulis sampaikan kepada kepala desa, pamong dan
penduduk desa: Sukorahayu, Karangananyar, Braja Kencana, Braja Harjosari,
Braja Yekti, Braja Asri, Labuhan Ratu VI, Labuhan Ratu VII, Rantau Jaya Udik
II, Taman Fajar, Taman Endah, Tegal Yoso, Tanjung Kesumo, Toto Projo,
Tanjung Tirto, Kali Pasir, Juaran, Rawa Betik dan Bina Karya Buana I yang
memberikan izin survei di desanya dan bersedia menjadi nara sumber dalam
penelitian ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda
tercinta di Metro dan Pontianak yang dengan tulus dan ikhlas selalu mendo’akan ,
memberi dukungan moril dan material kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Demikian pula Istri dan anak-anak tercinta: Enny
Saswiyanti, Muhammad Haifiz Aqilla Subagyo dan Muhammad Luthfi Hanif
Subagyo yang selalu mendampingi penulis dan selalu memberikan dukungan
dengan penuh cinta. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga
besar penulis di Metro dan Pontianak yang selalu memberikan dukungan moral
dan material selama penulis menempuh studi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc. dan
Mikael Jazdzyk, Ph.D. yang selalu mengingatkan dan mendorong penulis untuk
menyelesaikan studi, bersedia menjadi teman diskusi dan berbagi. Demikian pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Danang Wibowo, Eka Sulpin, Yusrina,
Garnis, Suci dan Ara yang telah memberikan dorongan semangat dan doa
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman angkatan 2010
pada Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas MIPA Universitas Indonesia:
Retno Widowati, Sulistiani, Marina Silalahi, Silva Abraham, Mugi Mulyono dan
Universitas Indonesia
viii
Toni Sudjarwo serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu yang telah memberikan dukungan moral kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan disertasi ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar disertasi ini menjadi
lebih baik. Penulis berharap semoga disertasi ini dapat memperluas khazanah
ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ekologi dan konservasi felidae di
Indonesia.
Depok, 18 Juli 2016
Penulis,
Agus Subagyo
Universitas Indonesia
ix
ABSTRAK
Sumatra merupakan habitat bagi enam spesies Felidae. Ancaman utama terhadap
Felidae di Sumatra adalah hilangnya habitat dan perburuan liar. Data ekologi dan
dukungan masyarakat sekitar merupakan faktor penting yang menunjang
keberhasilan konservasi Felidae di dalam kawasan konservasi. Tujuan penelitian
ini adalah mengumpulkan data ekologi dan mengetahui bagaimana dukungan
masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae di Taman Nasional Way Kambas
(TNWK). Data ekologi meliputi keanekaragaman spesies, kelimpahan relatif,
distribusi, pola aktivitas, dan interaksi dikumpulkan dengan memasang perangkap
kamera pada area seluas 480 km2 yang dibagi dalam tiga blok sampling. Untuk
mengetahui bagaimana dukungan masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae,
dilakukan wawancara terstruktur terhadap 395 responden yang tinggal di 19 desa
sekitar taman nasional. Hasil penelitian menunjukkan keanekaragaman spesies
Felidae di TNWK lebih rendah dibandingkan dengan survei sebelumnya. Hanya
empat spesies Felidae yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu harimau Sumatra
(Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu
(Pardofelis marmorota) dan kucing congkok (Prionailurus bengalensis). Dua
spesies Felidae lainnya yaitu kucing emas (Pardofelis temincki) dan kucing
dampak (Prionailurus planiceps) tidak ditemukan. Ekologi keempat spesies
Felidae di taman nasional ini secara umum serupa dengan literatur dan beberapa
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Sumatra. Meskipun
pengetahuan masyarakat tentang taman nasional dan Felidae tergolong rendah,
namun mereka memiliki persepsi dan sikap yang positif terhadap konservasi
Felidae. Data ekologi hasil penelitian ini merupakan masukan yang penting dalam
pengelolaan Felidae di TNWK terutama dalam aspek perlindungan, monitoring,
dan restorasi habitat. Agar dukungan masyarakat sekitar terhadap konservasi
Felidae semakin baik, perlu upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
taman nasional dan Feliade melalui pendidikan konservasi, sosialisasi dan
pemberdayaan masyarakat dengan mempertimbangkan karakteristik sosial,
demografi, dan pengalaman interaksi mereka dengan taman nasional.
Kata kunci: faktor demografi, harimau sumatra, kucing batu, kucing congkok,
macan dahan, pendidikan konservasi.
Universitas Indonesia
x
ABSTRACT
Sumatra is home to six species of wild felids. Habitat loss and poaching are the
main threat to the wild felids in Sumatra. Management strategy based on solid
information and local community support are important factors for the success of
wild felids conservation. The purposes of this study are to collect ecological data
and to reveal local communities support for wild felids conservation in the Way
Kambas National Park (WKNP). Ecological data were collected by placing
camera traps in an area of 480 km square which is divided into three blocks of
sampling. Data of local communities support to wild felids conservation were
collected using structured interviews to 395 respondents living in 19 villages
around the park. The results showed that wild felids species diversity in this stydy
is lower compared to those of previous surveys. Only four wild felids were found
in this study i.e., sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae), clouded leopard
(Neofelis diardi), marbled cat (Pardofelis marmorota) and leopard cat
(Prionailurus bengalensis). Two other species i.e., golden cat (Pardofelis
temincki) and flat-headed cat (Prionailurus planiceps) were not found. In general,
ecology of the four species of wild felids in this park is in accordance with
literature and several earlier studies in Sumatra. Despite the low level of local
communitie’s knowledge both on the parks and wild felids, their perception and
attitude towards wild felids conservation are positive. Ecological information
resulted from this study serve as important input to develop the wild felids
management plan especially in terms of species protection, monitoring and habitat
restoration. To ehance the local community support toward wild felids
conservation, it is essential to improve the level of local community knowledge
towards national parks and wild felids conservation through conservation
education, socialization, and community empowerment by considering social and
demographic characteristics of the local people, including their experience in
interacting with the park.
Universitas Indonesia
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS...................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... vi
ABSTRAK...................................................................................................... ix
ABSTRACT.................................................................................................. x
DAFTAR ISI.................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi
SUMMARY.................................................................................................... xvii
PENGANTAR PARIPURNA........................................................................ 1
MAKALAH I: KEANEKARAGAMAN SPESIES DAN DISTRIBUSI
FELIDAE DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS,
SUMATRA, INDONESIA.............................................. 4
Abstrak............................................................................. 4
Pendahuluan..................................................................... 5
Bahan dan Metode............................................................ 7
Hasil................................................................................. 11
Pembahasan...................................................................... 21
Kesimpulan....................................................................... 33
Daftar Pustaka.................................................................. 34
Lampiran.......................................................................... 40
MAKALAH II: POLA AKTIVITAS DAN PEMISAHAN TEMPORAL
EMPAT SPESIES FELIDAE DI TAMAN NASIONAL
WAY KAMBAS, SUMATRA, INDONESIA................. 47
Abstrak............................................................................. 47
Pendahuluan..................................................................... 48
Bahan dan Metode............................................................ 50
Hasil................................................................................. 54
Pembahasan...................................................................... 58
Kesimpulan....................................................................... 63
Daftar Pustaka.................................................................. 64
Universitas Indonesia
xii
Universitas Indonesia
xiii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR HALAMAN
1.1. Lokasi penelitian dan stasiun perangkap kamera di Taman
Nasional Way Kambas. Angka pertama pada nomor perangkap
kamera merupakan kode dari blok sampling..................................... 8
1.2. Kurva akumulasi spesies, menunjukkan peningkatan jumlah
spesies (species richness) seiring dengan meningkatnya jumlah
hari aktif perangkap kamera di TNWK (Mei 2013-Mei 2014).
Kurva menunjukkan trend mendatar setelah kamera bekerja sekitar
4.000 hari aktif................................................................................... 12
1.3. Spesies Felidae yang berhasil tertangkap perangkap kamera di
TNWK: (a) harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), (b)
macan dahan (Neofelis diardi), (c) kucing congkok (Prionailurus
bengalensis) dan (d) kucing bulu (Pardofelis marmorota)............... 13
1.4. Indeks Kelimpahan Relatif empat spesies Felidae pada tiga tipe
vegetasi di TNWK............................................................................. 15
1.5. Kurva akumulasi spesies, menggambarkan jumlah spesies Felidae
berdasarkan hari aktif perangkap kamera di Taman Nasional Way
Kambas.............................................................................................. 16
1.6. Indeks Kelimpahan Relatif mangsa potensial, Karnivora non-
Felidae, beruang, dan manusia berdasarkan tipe vegetasi................ 18
1.7. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non-felidae per spesies pada
semua tipe vegetasi di TNWK........................................................... 19
1.8. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non Felidae per spesies
berdasarkan tipe vegetasi di TNWK.................................................. 19
1.9. Distribusi Felidae berdasarkan tipe vegetasi dari data perangkap
kamera (Mei 2013-Mei 2014) di Taman Nasional Way Kambas...... 31
2.1. Lokasi penelitian dan stasiun perangkap kamera.............................. 51
2.2. Persentase aktivitas Felidae berdasarkan jumlah foto dan video
yang didapat perangkap kamera pada siang (putih) dan malam hari
(hitam)............................................................................................... 55
2.3. Estimasi pola aktivitas empat spesies Felidae berdasarkan data
sirkular dengan menggunakan KDE (Ridout & Linkie, 2009).
Garis vertikal pendek di atas sumbu x menunjukkan waktu yang
tercetak dalam setiap foto atau video................................................ 56
2.4. Tumpang tindih pola aktivitas antar spesies Felidae berdasarkan
KDE pada data sirkular. Garis padat menunjukkan setiap spesies
dalam kolom dan garis putus-putus menunjukkan spesies dalam
baris. Angka menunjukkan nilai koefisien tumpang tindih
(∆1[SE]).............................................................................................. 57
3.1. Taman Nasional Way Kambas dan desa-desa sampel
penelitian............................................................................................ 74
3.2. Karakteristik responden berdasarkan pengalaman mereka terhadap
Taman Nasional Way Kambas. (a) masuk/berkunjung ke TNWK, 86
Universitas Indonesia
xiv
Universitas Indonesia
xv
DAFTAR TABEL
TABEL HALAMAN
1.1. Jumlah perangkap kamera, periode sampling, hari aktif, luas area
trapping dan total video pada setiap blok sampling dan seluruh
blok................................................................................................. 11
1.2. Jumlah stasiun perangkap kamera (dimana) satu atau lebih
spesies Felidae terekam di lokasi yang sama (n= 57)..................... 14
1.3. Jumlah stasiun perangkap kamera, total hari aktif dan rata-rata
hari aktif kamera saat pertama merekam setiap spesies Felidae di
TNWK............................................................................................. 15
1.4. Mangsa potensial yang terdapat di lokasi penelitian berdasarkan
data perangkap kamera. Diurutkan berdasarkan bobot tubuh
terbesar ke terkecil.......................................................................... 17
1.5. Distribusi video Felidae berdasarkan tipe vegetasi, jarak dari tepi
taman nasional (m), jarak dari sungai (m) dan jarak dari jalur
patroli (m)....................................................................................... 20
1.6. Perbandingan keragaman spesies dan Indeks Kelimpahan Relatif
(foto/video per 100 hari aktif) Felidae dari hasil penelitian di
sejumlah kawasan konservasi di Sumatra...................................... 22
2.1. Jumlah foto atau video Felidae dengan data tanggal dan jam hasil
perangkap kamera PKHS tahun 2007- 2014 di TNWK (sumber
data: PKHS, 2014).......................................................................... 54
3.1. Nama desa dan jumlah rumah tangga yang digunakan dalam
survei rumah tangga........................................................................ 76
3.2. Nama Indonesia, inggris dan ilmiah spesies Felidae dan mangsa
yang digunakan untuk menguji pengetahuan responden... 78
3.3. Variabel bebas (x) yang digunakan dalam analisis data................ 79
3.4. Variabel terikat (y) yang digunakan dalam analisis data................ 80
3.5. Karakteristik responden (n=395) berdasarkan hasil survei rumah
tangga di desa penyangga Taman Nasional Way Kambas tahun
2015................................................................................................. 83
3.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan masyarakat lokal
terhadap taman nasional.................................................................. 97
3.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat lokal
terhadap Felidae.............................................................................. 103
3.8. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat lokal
terhadap konservasi Felidae............................................................ 106
3.9. Karakteristik, pengetahuan dan interaksi masyarakat terhadap
Felidae yang mungkin mempengaruhi sikap mereka terhadap
konservasi Felidae........................................................................... 107
4.1. Perkiraan kondisi umum setiap zona pengelolaan Felidae di
Taman Nasional Way Kambas*).................................................... 139
4.2. Intensitas bentuk aktivitas pengelolaan pada zona pengelolaan
Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Banyaknya tanda plus
(+) menunjukkan tingginya intensitas pengelolaan................. 141
Universitas Indonesia
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN HALAMAN
1.1. Felidae dan spesies lain yang terekam perangkap kamera di Taman
Nasional Way Kambas Mei 2013-Mei 2014..................................... 40
1.2. Foto spesies Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Spesis (a) –
(d) terekam perangkap kamera dalam penelitian sedangkan foto
(d) – (e) tidak terekam perangkap kamera dalam penelitian ini
tetapi pernah terekam kamera pada tahun 1996................................ 41
1.3. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran besar yang
berhasil terekam perangkap kamera di TNWK................................. 42
1.4. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran sedang yang
berhasil terekam perangkap kamera di TNWK................................. 43
1.5. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran kecil yang
berhasil terekam perangkap kamera di TNWK................................. 44
3.1. Kuisoner yang digunakan dalam survei rumah tangga..................... 118
3.2. Lembar gambar Felidae dalam kuisoner........................................... 123
3.3. Lembar gambar spesies mangsa Felidae dalam kuisoner.................. 124
3.4. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dan pengalaman
terhadap taman nasional dengan rata-rata pengetahuan responden
terhadap taman nasional (n=395)...................................................... 126
3.5. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dan pengalaman
terhadap taman nasional dengan rata-rata pengetahuan responden
terhadap Felidae (n=395).................................................................. 127
3.6. Tabel hubungan karakteristik demografi dan pengalaman
masyarakat terhadap taman nasional dengan persepsi mereka
terhadap Felidae (n=395).................................................................. 128
3.7. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dengan sikap
responden terhadap konservasi Felidae (n=395)............................... 129
Universitas Indonesia
xvii
SUMMARY
Way Kambas National Park is one of the wild felids conservation area in
Sumatra. Ecological knowledge as well as the surround community supports are
important aspects determining for the success of the wild felids conservation
program in this park. The study aims to analyse baseline information associated
with wild felids ecology and social demographic of people bordering with the
Way Kambas National Park (WKNP). The ecological data include species
diversity, distribution, potential prey, activity patterns, and temporal partition of
wild felids. The social and demographic data include knowledge, perceptions and
attitudes of local people towards conservation of the wild felids.
Ecological data were collected using camera traps set up systematically on
three sampling blocks 10 km x 16 km each. Camera traps were installed for about
three months in each sample block. To reveal knowledge, perceptions and
attitudes of local society about wild felids conservation, structured interviews
were performed to 395 respondents who live in 19 villages bordering with the
national park.
Species diversity of wild felids in this study was lower than those of
earlier surveys. From 4.017 wildlife independent video found, only four species of
wild cats recorded, those were the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae),
clouded leopards (Neofelis diardi), marbled cats (Pardofelis marmorota), and
leopard cats (Prionailurus bengalensis). Based on relative abundance indices
(video per 100 trap nights), sumatran tigers and leopard cats (0,87), were recorded
more often than marbled cats (0,11) and clouded leopards (0,09). Spatially, wild
felids were found more often in secondary forest, close to the water source, close
to the patrol paths, and far from the national park edge. Naive occupancy
(proportion of camera trap stations were occupied by wild felids) of leopard cats
Universitas Indonesia
xviii
(0,35) was higher than those of the tiger (0,25), marbled cats (0,07) and clouded
leopards (0,04).
Sumatran tigers and marbled cats were active during the day and night
(cathemeral). The percentage of sumatran tigers activity was 51,6% at night and
48,4% during the day, while marbled cats activity was 41,2% at night and 58,8%
during the day. Sumatran tigers peak activity occurred in the morning (5 to 6 am)
and in the afternoon (5 to 6 pm), while marbled cats peak activity was at 5 to 6 am
and 12 to 2 pm. Both Leopard cats and clouded leopard cats were more active
during the night times (mostly nocturnal). The percentage of leopard cats activity
was 82% at night and 18% in the day times while clouded leopards was 66,7%
and 33,3% respectively. The peak of clouded leopards activity occurred at 5 to 6
am and 9 to 10 pm, while the leopard cats peak activity was at 4 to 5 am and 6 to
7 pm. Based on temporal coefficient overlap (∆1), a pair of two wild cats species
possibly tend to avoid meet each other temporally, that were clouded leopards and
marbled cats (∆1= 0,57±0,06) and marbled cats and leopard cats (∆1= 0,61±0,02).
Overlapping of activity pattern between tigers and the other smaller three wild
felids species was quite high (∆1 ≥ 0,71). The similar overlap activity pattern was
also performed by the clouded leopards and leopard cats (∆1 = 0,71±0,06 ).
In average the level of knowledge of society regarding wild felids and
national parks is considered as low ( ̅ =1,6±0,41 and ̅ =1,18±0,86 in 1 – 6 scale).
Gender, family status, duration of stay in Lampung, education level, occupation,
social status, and experience of interaction with national parks possitively
influence people's knowledge about the national park. The average values of
perception and attitudes towards wild felids were positive ( ̅ = 65,64±8,34 and
̅ =64,48±9,98). Several factors that possitively affect public perception about wild
felids were gender, family status, education level, occupation, social status, the
personal experience to the national park and participation in conservation
activities. While the factors that possitively influence people's attitudes towards
the conservation of wild felids were gender, place of origin, education level,
occupation, social status, and personal experience of wildlife conflict. The
knowledge of the society towards national parks was positively correlated to their
existing knowledge (rrho=0,106; p<0,05), perception (rrho =0,290; p<0,05), and
Universitas Indonesia
xix
attitude (rrho=0,297; p<0,05) towards wild felids. Knowledge of the wild felids
did not correlate (p<0,05) with perception but positively correlated with attitudes
towards the wild cat (rrho=0,114; p<0,05). Perceptions of wild felids was
positively correlated with attitudes towards wild felids (rrho =0,523; p<0,05).
Ecological information such as diversity, abundance, potential prey,
distribution, activity pattern and temporal partition produced by this research
could serve as important inputs in developing wild felids conservation
management plan in the WKNP, especially in terms of wild felids protection,
monitoring and habitat restoration. To increase local people support towards the
wild felids conservation, it is required to increase knowledge of the society
regarding national park and wild felids through several programs such as
conservation education and campaign, and community empowerment by taking
into account demographic and social characteristics as well as their personal
experience dealing with the national park. Increasing the knowledge of society
about national park and wild felids is important because both variables influence
people’s perception and attitude towards national park, wild felids and their
conservation. It is also needed to have a further research to ensure the existence
of two other wild felids species (golden cats and flat-headed cats) which were not
found by this research.
Universitas Indonesia
PENGANTAR PARIPURNA
Universitas Indonesia
2
Dalam daftar spesies hewan yang terancam punah (IUCN, 2010), saat ini
hanya kucing congkok yang masuk dalam kategori berisiko rendah terhadap
kepunahan (Sanderson et al., 2008a). Enam spesies Felidae lain masuk dalam
kategori mendekati terancam, rentan, genting dan kritis (Hearn et al., 2008a;
Hearn et al., 2008b; Linkie et al., 2008; Sanderson et al., 2008b; Hearn et al.,
2010; Mukherejee et al., 2010). Di Indonesia, ketujuh spesies Felidae tersebut
termasuk dalam mamalia yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7
Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Populasi Felidae di seluruh daerah penyebarannya menurun terutama
akibat hilangnya habitat hutan dan lahan basah yang diubah menjadi perkebunan
dan pemukiman (Nowell & Jackson, 1996; Kinnaird et al., 2003; Gaveau et al.,
2007). Kecuali kucing congkok yang relatif dapat beradaptasi dengan baik pada
habitat yang terganggu (Rajaratnam et al., 2007; Silmi et al., 2013) habitat
Felidae sangat spesifik dan peka terhadap gangguan manusia (Nowell & Jackson,
1996; Sunquist & Sunquist , 2002; Haines et al., 2004). Felidae juga menjadi
target perburuan secara ilegal untuk diambil kulit dan bagian-bagian tubuh lainnya
seperti tulang, gigi, dan cakar yang digunakan sebagai obat tradisional (Nowell &
Jackson, 1996). Felidae ditangkap dan dijual sebagai hewan peliharaan atau
dijadikan koleksi dalam kebun binatang pribadi. Seringkali mereka tidak dapat
beradaptasi di dalam kandang sehingga mati karena stres atau minimnya
perawatan (Povey & Spaulding, 2006). Walaupun perburuan terhadap Felidae
merupakan kegiatan ilegal tetapi penegakan hukumnya masih lemah.
Di Sumatra, bagian-bagian tubuh harimau digunakan untuk tujuan mistis
(Ng & Nemora, 2007), sementara di China digunakan sebagai bahan obat-obatan
(Gratwicke et al., 2008). Konflik antara manusia dan Felidae terutama yang
berukuran tubuh besar terus meningkat akibat persaingan dalam memperebutkan
ruang (Inskip & Zimmerman, 2009). Manusia memburu Felidae (Gurung et al.,
2008) sebaliknya Felidae memakan ternak bahkan menyerang dan membunuh
manusia (Nyhus & Tilson, 2004; Loe & Roskaft, 2004; Sogbohossou et al., 2011).
Selain secara alami kepadatan predator rendah, kondisi tersebut menyebabkan
famili Felidae relatif lebih terancam dibanding famili lain dalam ordo Karnivora
(Nowel, 2009).
Universitas Indonesia
3
Universitas Indonesia
Makalah I
Agus Subagyo
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
a_subagyo@yahoo.com
ABSTRAK
Felidae sulit dipelajari karena bersifat elusif, sekretif dan kepadatannya rendah.
Namun penggunaan perangkap kamera dalam penelitian ekologi hewan telah
meningkatkan pengetahuan tentang keanekaragaman spesies dan ekologi mamalia
hutan tropis termasuk Felidae. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
keanekaragaman spesies, mengukur kelimpahan relatif, mengetahui mangsa
potensial dan distribusi Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Untuk mencapai
tujuan tersebut, dipasang 57 perangkap kamera secara sistematik pada tiga blok
sampling berukuran 10 km x 16 km. Hasil penelitian menunjukkan
keanekaragaman spesies Felidae dalam penelitian ini lebih rendah dibanding hasil
survei yang pernah dilakukan pada tahun 1997. Dari 4.017 video independen
satwa liar yang didapat, ditemukan empat spesies Felidae yaitu harimau sumatra
(Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu
(Pardofelis marmorota), dan kucing congkok (Prionailurus bengalensis). Dua
spesies lain yang diharapkan bisa ditemukan dalam penelitian ini yaitu kucing
emas (Pardofelis temincki) dan kucing pesek (Prionailurus planiceps) tidak
terekam dalam perangkap kamera. Berdasarkan Indeks Kelimpahan Relatif (video
per 100 hari aktif), harimau sumatra dan kucing congkok (0,87), lebih sering
ditemukan daripada kucing batu (0,11) dan macan dahan (0,09). Secara spasial
Felidae sering tertangkap kamera pada hutan sekunder, dekat dengan sumber air,
dekat dengan jalur patroli dan jauh dari tepi taman nasional. Penelitian ini
menegaskan pentingnya TNWK sebagai tempat perlindungan Felidae di Sumatra.
Data keanekaragaman spesies dan distribusi ini diharapkan bisa menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan prioritas perlindungan dan restorasi habitat
Felidae di TNWK.
Kata kunci: harimau sumatra, kucing batu, kucing congkok, kucing pesek, kucing
emas, macan dahan, perangkap kamera.
Universitas Indonesia
5
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
6
2002; Azlan et al., 2003; Azlan, 2009). Perangkap kamera yang bekerja secara
otomatis memiliki kemampuan mengumpulkan banyak data mamalia tropis dan
meningkatkan laju deteksi jauh melampaui apa yang dapat dicapai dengan
menggunakan teknik survei secara tradisional, seperti metode transek atau
distance method (Sanderson & Trolle, 2005).
Perangkap kamera umum digunakan untuk mengumpulkan data tentang
spesies mamalia tropis yang sulit untuk dipelajari secara langsung. Sejumlah
penelitian di Sumatra telah menggunakan perangkap kamera untuk
mengumpulkan informasi ekologi Felidae di habitat alaminya seperti keragaman
spesies dan pola distribusi (Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015),
estimasi populasi (Franklin et al., 1999; O’Brien et al., 2003; Hutajulu, 2007;
Sunarto et al., 2013), karakteristik ekologi dan interaksi antar spesies (Sunarto et
al., 2015), hubungan predator dan mangsa (Linkie & Ridout, 2011) dan tumpang
tindih pola aktivitas harian (Ridout & Linkie, 2009; Sunarto et al., 2015).
Taman Nasional Way Kambas merupakan salah satu kawasan konservasi
di Sumatra Bagian Selatan yang penting dalam upaya perlindungan Felidae secara
in-situ. Keragaman spesies Felidae di taman nasional ini termasuk lengkap
dibandingkan dengan kawasan konservasi lain di Sumatra yang pernah disurvei.
Berdasarkan data perangkap kamera, di taman nasional ini dapat ditemukan enam
spesies Felidae (Bastoni & Apriawan, 1997; Franklin et al., 1999). Ancamaan
utama terhadap Felidae di TNWK adalah perburuan liar dan kerusakan habitat
akibat kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun. Data dasar ekologi enam
spesies Felidae seperti distribusi, kelimpahan relatif, mangsa potensial, pola
aktivitas dan interaksi antar spesies (kecuali harimau sumatra) belum banyak
diketahui. Meskipun spesies prioritas konservasi seperti harimau sumatra, gajah
sumatra dan badak sumatra telah mendapat perhatian manajemen yang lebih,
spesies lain termasuk berbagai jenis ungulata, Felidae kecil dan karnivora kecil
belum banyak dipelajari. Data dasar ekologi diperlukan untuk menilai status
populasi, memantau kecenderungan populasi di masa depan dan merencanakan
strategi konservasi yang efektif.
Penelitian ini menggunakan perangkap kamera untuk mengevaluasi status
keanekaragaman spesies, mengetahui keragaman mangsa potensial dan karnivora
Universitas Indonesia
7
Universitas Indonesia
8
& Apriawan, 1997). Dari kelompok burung, kurang lebih terdapat 286 spesies,
beberapa diantaranya adalah rangkong (Famili Bucerotidae), ayam hutan (Gallus
gallus), itik serati (Cairina scutulata), pecuk ular (Anhinga melanogaster), kuntul
besar (Egreta alba) dan beo (Gracula religiosa)
2 km
16 km
2 km
10 km
Gambar 1.1. Lokasi penelitian dan stasiun perangkap kamera di Taman Nasional
Way Kambas. Angka pertama pada nomor perangkap kamera merupakan kode
dari blok sampling
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
Analisis Data
Video yang berhasil didapat dari perangkap kamera dimasukkan ke dalam
database komputer. Pengorganisasian data dalam database menggunakan
perangkat lunak Automatic Storage and Analysis of Camera Trap Data yang
dikembangkan oleh Harris et al. (2010) dan Sanderson & Harris (2013).
Keanekaragaman spesies Felidae dihitung berdasarkan jumlah spesies Felidae
yang terekam perangkap kamera. Spesies Felidae yang terekam dalam video
diidentifikasi dengan membandingkan Felidae dalam video tersebut dengan buku
panduan lapangan pengenalan jenis mamalia (Payne et al., 2000) dan buku
tentang Felidae seperti Nowel & Jackson (1996), Sunquist & Sunquist (2002) dan
Macdonald et al. (2010).
Kelimpahan relatif spesies Felidae dihitung dengan Indeks Kelimpahan
Relatif (IKR) dengan rumus: IKR = ∑ 100 dimana ni adalah video independen
spesies ke-i dan tn adalah jumlah total hari aktif perangkap kamera (Kelly,
2003; O’Brien et al. 2003). Video independen adalah video spesies berbeda atau
spesies yang sama dari stasiun perangkap kamera yang sama dengan selang waktu
antara dua video yang berurutan minimal 30 menit (Kelly, 2003; O’Brien et al.
2003). Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan video Felidae (hari aktif
perangkap kamera bekerja) dihitung berdasarkan akumulasi hari aktif perangkap
kamera dimana spesies Felidae terekam. Akumulasi jumlah spesies yang terekam
perangkap kamera digambarkan dalam bentuk kurva akumulasi jenis.
Universitas Indonesia
11
HASIL
Usaha Sampling
Total perangkap kamera yang terpasang pada tiga blok sampling sebanyak
57 unit dengan perincian 20 unit di blok satu, 21 unit di blok dua dan 16 unit di
blok tiga. Luas total area sampling berdasarkan poligon yang terbentuk dengan
cara menghubungkan lokasi kamera terluar adalah 612,37 km2 atau sekitar
48,89% dari luas total TNWK. Perangkap kamera pada semua blok sampling
terpasang selama 337 hari dengan perincian 128 hari di blok satu, 108 hari di blok
dua dan 101 hari di blok tiga (rata-rata 112,3 hari). Total hari aktif seluruh
perangkap kamera 4.610, masing-masing 1.799 hari aktif di blok satu, 1.661 hari
aktif di blok dua dan 1.150 hari aktif di blok tiga. Hari aktif perangkap kamera
per 100 km2 adalah 752,81 (total hari aktif dibagi luas area sampling). Sejumlah
perangkap kamera hilang atau rusak karena dicuri, sengaja dirusak manusia,
dirusak hewan atau faktor cuaca. Perangkap kamera yang hilang, dirusak oleh
manusia atau hewan berjumlah delapan unit dengan perincian lima unit di blok
satu dan tiga unit di blok tiga. Perangkap kamera yang rusak karena faktor alam
seperti kelembaban, curah hujan atau cahaya yang berlebih berjumlah 21 unit
dengan rincian 16 unit di blok satu, satu unit di blok dua dan empat unit di blok
tiga (Tabel 1.1)
Tabel 1.1. Jumlah perangkap kamera, periode sampling, hari aktif, luas area
trapping dan total video pada setiap blok sampling dan seluruh blok.
Blok Sampling
Uraian Jumlah
I II III
Stasiun Perangkap kamera 20 21 16 57
Rusak karena faktor alam 16 1 4 21
Hilang/dirusak oleh manusia 5 0 3 8
Periode pemasangan 03/05/13 09/10/13 06/02/14
s.d. s.d. s.d.
07/09/13 20/01/14 17/05/14
Hari berdasarkan kalender 128 108 101 337
Hari aktif berdasarkan perangkap
1.799 1.661 1.150 4.610
kamera bekerja (trap night)
Luas area trapping (km2) 116,49 147,49 101,86 612,37
Total video 2.830 3.509 3.042 9.381
Total video independen 2.265 2.586 1.893 6.744
Universitas Indonesia
12
45
42
41
40 39
40
38
37
36
35 34
35
33
32
31
30 30
Jumlah Spesies
29
28
27
26
25 24
25
23
22
21
20 20
19
18
17
15 15
14
13
12
11
10 10
7
6
5 5
3
2
1
0
2 367 732 1097 1462 1828 2193 2558 2923 3289 3654 4019
Universitas Indonesia
13
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1.3. Spesies Felidae yang berhasil tertangkap perangkap kamera di
TNWK: (a) harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), (b) macan dahan
(Neofelis diardi), (c) kucing congkok (Prionailurus bengalensis) dan (d) kucing
batu (Pardofelis marmorota).
Universitas Indonesia
14
Beberapa stasiun perangkap kamera berhasil merekam lebih dari satu spesies
Felidae. Pasangan Felidae yang terekam pada stasiun perangkap kamera yang
sama adalah harimau sumatra dan kucing congkok, harimau sumatra dan kucing
batu, kucing congkok dan kucing batu dan kucing congkok dan macan dahan.
Sedangkan pasangan Felidae yang tidak pernah terekam pada stasiun perangkap
kamera yang sama adalah macan dahan dan harimau sumatra dan macan dahan
dan kucing batu (Tabel 1.2).
Urutan Felidae yang paling sering terekam perangkap kamera berdasarkan
IKR adalah harimau sumatra (0,87) dan kucing congkok (0,87), diikuti kucing
batu (0,11) dan macan dahan (0,09). Kecuali kucing batu yang lebih tinggi pada
vegetasi alang-alang (0,22 per 100 hari aktif), Indeks Kelimpahan Relatif spesies
Felidae di TNWK lebih tinggi pada vegetasi hutan sekunder dibandingkan dengan
vegetasi semak belukar dan alang-alang (Gambar 1.4).
Tabel 1.2. Jumlah stasiun perangkap kamera (dimana) satu atau lebih spesies
Felidae terekam di lokasi yang sama (n= 57)
Jumlah
stasiun Harimau Macan Kucing Kucing
Spesies
perangkap sumatra dahan batu congkok
kamera
Harimau 14
14 0 (0%) 1 (7,1%) 8 (57,1%)
sumatra (100%)
Kucing
20 8 (40%) 2 (10%) 1 (5%) 20 (100%)
congkok
Universitas Indonesia
15
1.4
1.22
Harimau
1.2
1.09
IKR (vide per 100 hari aktif) 1.05 Macan dahan
1.0
Kucing congkok
0.6
0.4
0.26
0.22 0.22
0.2 0.14
0.10
Gambar 1.4. Indeks Kelimpahan Relatif (IKR) empat spesies Felidae pada tiga
tipe vegetasi di TNWK.
Tabel 1.3. Jumlah stasiun perangkap kamera, total hari aktif dan rata-rata hari
aktif kamera saat pertama merekam setiap spesies Felidae di TNWK.
Universitas Indonesia
16
4
Jumlah spesies
0
100
127
155
170
202
234
251
271
291
451
671
711
831
1011
1371
1391
1451
1691
1751
1831
1897
1915
2005
2282
2562
3373
3832
4096
42
48
56
65
76
Universitas Indonesia
17
besar paling umum adalah kijang (Muntiacus muntjak [IKR=20,87]) dan babi
hutan (Sus scrofa [IKR=19,35]). Mangsa berukuran tubuh sedang paling umum
adalah beruk (Macaca nemestrina [IKR=9,15]) dan landak (Hystrix branchyura
[IKR=0,82]). Sedangkan mangsa berukuran tubuh kecil paling umum adalah napu
(Tragulus napu [IKR=10,02]) dan monyet (Macaca fascicularis [IKR=9,72])
(Tabel 1.4; Lampiran 1.3 - 1.5).
Tabel 1.4. Mangsa potensial yang terdapat di lokasi penelitian berdasarkan data
perangkap kamera. Diurutkan berdasarkan rata-rata bobot tubuh (besar - kecil).
IKR (video
Rata-rata
Ukuran Video independen Kategori
Spesies bobot
kelom- pok Independen per 100 hari Mangsa2
tubuh (kg)1
aktif)
E. maximus sumatranus 1,04 78 1.69 4.000 (Besar)
Dicerohinus sumatraensis 1 1 0.02 950 (Besar)
Cervus unicolor 1,02 90 1.95 249,5 Besar
Tapirus indicus 1,03 20 0.43 225 (Besar)
Sus scrofa 1,33 892 19.35 125 Besar
Helarctos malayanus 1,02 31 0.67 56 [Besar]
Varanus salvator 1 8 0.17 37,5 <Besar>
Muntiacus muntjak 1,01 962 20.87 21 Besar
Hystrix brachyura 1,12 38 0.82 8 Sedang
Artictis binturong 1 3 0.07 7,5 [Sedang]
Prebytis melalophus 1 1 0.02 6,6 Sedang
Macaca nemestrina 1,48 422 9.15 6,5 Sedang
Manis javanica 1 1 0.02 6 Sedang
Paguma larvata 1 28 0.61 4,8 Kecil
Macaca fascicularis 2,02 448 9.72 4,5 Kecil
Cynogale bennettii 1 4 0.09 4 Kecil
Tragulus napu 1,03 462 10.02 3,85 Kecil
Tragulus javanicus 1,03 68 1.48 3,85 Kecil
Viverra tangalunga 1 49 1.06 3,7 Kecil
Paradoxurus hermaphroditus 1 3 0.07 3,5 Kecil
Aonyx cinerea 1 1 0.02 3 Kecil
Viverra malaccensis 1 1 0.02 3 Kecil
Martes flavigula 1 4 0.09 2,15 Kecil
Hemigalus derbyanus 1 18 0.39 2,1 Kecil
Diplogale derbyanus 1 12 0.26 2 Kecil
Argusianu _argus 1 6 0.13 1,95 Kecil
Lophura ignita 1,23 99 2.15 0,94 Kecil
Herpestes javanicus 1 11 0.24 0,75 Kecil
Gallus gallus 1,09 78 1.69 0,68 Kecil
Rollulus rouloul 2,7 2 0.04 0,22 Kecil
Butorides striatus 1 3 0.07 0,17 Kecil
Streptopelia bitorquata 1 1 0.02 0,16 Kecil
Chalcophaps indica 1 4 0.09 0,12 Kecil
Rattus spp 1 7 0.15 0,05 Kecil
Loriscus insignis 1 5 0.11 0,05 Kecil
Tupaii spp. 1 5 0.11 0,05 Kecil
Rodentia 1 4 0.09 0,05 Kecil
1
Rata-rata bobot tubuh (kg) dari berbagai sumber
2
Mengikuti Sunarto et al. (2015) dan Davis et al. (2010)
( ) Sedikit bukti sebagai mangsa
[ ] Karnivora, kompetitor potensial Felidae
< >=berdarah dingin, tidak umum terekam kamera
Tulisan ditebalkan menunjukkan mangsa potensial paling umum dijumpai berdasarkan nilai IKR
Universitas Indonesia
18
Indeks Kelimpahan Relatif mangsa potensial berukuran tubuh besar, sedang dan
kecil lebih tinggi pada vegetasi semak dibandingkan hutan sekunder dan alang-
alang (Gambar 1.6). Sedangkan kelimpahan relatif karnivora non Felidae,
beruang madu dan manusia lebih tinggi pada vegetasi hutan sekunder dibanding
semak dan alang-alang (Gambar 1.6).
69 65.66
66 Manusia
63 Beruang
60
57 Karnivora non Felidae
54 Mangsa besar
IKR (video per 100 hari aktif)
51
48 Mangsa sedang
45 41.97
Mangsa kecil
42 37.44
39
36 31.97
33 30.36
30
27
24 21.67
21
18
13.03
15 10.39
12
9 4.96
6.56
4.01
6 3.68
3 0.95 0.26 1.32 0.22 0.11 0.67
0
Hutan Sekunder Semak Alang-alang
Tipe Vegetasi
Universitas Indonesia
19
(IKR=0,61) (Gambar 1.7). Pada tipe vegetasi hutan sekunder, tenggalong paling
sering ditemukan (IKR=1,53). Sedangkan pada vegetasi semak dan alang-alang
musang merah (IKR=0,65) dan binturong (IKR=0,33) paling sering ditemukan
(Gambar 1.8).
1.20
1.06
1.00
IKR ( video per 100 hari aktif)
0.80
0.67
0.61
0.60
0.39
0.40
0.26 0.24
0.20 0.09 0.09
0.07 0.07
0.02 0.02
0.00
Musang merah
Musang air
Berang-berang
Musang biasa
Musang belang
Binturong
Musang luwak
Garangan jawa
Tenggalong
Musang rase
Beruang madu
Gambar 1.7. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non-Felidae per spesies pada
semua tipe vegetasi di TNWK
1.8
1.6 Sekunder 1.53
1.4
Semak
Alang-alang
IKR (video per 100 hari aktif)
1.2
0.95
1.0
0.78
0.8 0.65
0.58
0.6
0.41 0.37
0.4 0.26
0.33
0.26 0.26
0.22
0.2 0.11 0.11 0.14 0.13 0.14
0.03 0.03
0.0
Musang merah
Musang air
Musang biasa
Musang rase
Tenggalong
Berang-berang
Musang belang
Garangan jawa
Beruang madu
Binturong
Musang luwak
Gambar 1.8. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non Felidae per spesies
berdasarkan tipe vegetasi di TNWK
Universitas Indonesia
20
Tabel 1.5. Distribusi video Felidae berdasarkan tipe vegetasi, jarak dari tepi taman
nasional (m), jarak dari sungai (m) dan jarak dari jalur patroli (m).
Universitas Indonesia
21
PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
22
Hasil penelitian ini tentu saja tidak dapat langsung dijadikan dasar untuk
mengambil kesimpulan bahwa kucing emas dan kucing pesek telah punah di
taman nasional ini. Beberapa faktor dapat mempengaruhi suatu spesies tidak
ditemukan dalam perangkap kamera antara lain perbedaan dalam besarnya usaha
sampling (Mohamed et al., 2009), kecenderungan spesies lebih menyukai habitat
tertentu (Azlan et al., 2003), kepadatan spesies yang sangat rendah dan
menghindari jalur aktif manusia (Sunarto et al., 2015) atau keterbatasan
perangkap kamera dalam mensurvei spesies yang bersifat arboreal, misalnya
kucing batu atau macan dahan (Azlan & Sharma, 2006; Gray & Phan, 2011).
Berdasarkan informasi petugas taman nasional dan penduduk sekitar,
kucing emas dan kucing pesek masih bisa ditemukan di TNWK. Meskipun masih
harus dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, informasi ini dapat dijadikan
indikasi awal bahwa kedua spesies Felidae ini kemungkinan masih ada, tetapi
tidak terekam perangkap kamera yang dipasang. Petugas taman nasional
(Nuralim 2014; komunikasi pribadi) dan pemandu wisata melaporkan pernah
bertemu langsung dengan kucing emas di sekitar Sungai Way Kanan dan Suaka
Rhino Sumatra (SRS) pada tahun 2002. Informasi keberadaan kucing pesek juga
Universitas Indonesia
23
diperoleh dari penduduk Desa Braja Yekti (Wayan Sadi 2015; komunikasi
pribadi) dan penduduk desa Rawa Betik (Komarudin 2015; komunikasi pribadi).
Kedua penduduk desa ini menyatakan pernah melihat langsung kucing pesek di
tepi sawah dan tepi sungai yang berbatasan langsung dengan taman nasional pada
saat musim kemarau. Informasi ini kemungkinan dapat dipercaya karena kedua
penduduk desa ini dapat menyebutkan ciri-ciri morfologi kucing ini secara tepat
sebelum melihat foto kucing pesek yang ditunjukkan kepada mereka. Selain itu
karakteristik lokasi pertemuan Komarudin dengan kucing pesek di TNWK mirip
dengan tipe lokasi pertemuan Hearns et al. (2013) dengan spesies Felidae ini di
Sabah, Malaysia. Hearn et al. (2013) melaporkan bertemu langsung dengan
kucing pesek yang sedang beraktifitas di tepi sungai ketika menyusuri Sungai
Kinabatangan, Sabah Malaysia.
Kucing pesek merupakan spesies Felidae terkecil di Sumatra, panjang
tubuhnya antara 44,6-52,1 cm dengan berat antara 1,5-2,2 kg (Macdonald et al.,
2010). Spesies ini ini termasuk dalam spesies yang terancam punah (Hearn et al.,
2010; Nowell, 2009), paling sedikit dikenal, dan daerah penyebarannya terbatas
di hutan tropis dataran rendah di Semenanjung Thailand, Malaysia, Borneo dan
Sumatra (Wilting et al., 2010). Pusparini et al. (2014), Sunarto et al. (2015),
McCarthy et al. (2015) dan PKHS (2015), dalam penelitiannya di sejumlah
wilayah di Sumatra juga tidak menemukan spesies kucing ini. Cheyne &
Macdonald (2011) dalam penelitiannya di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan
Tengah, mendapatkan foto kucing pesek setelah kamera terpasang selama 3.498
hari aktif.
Selama ini informasi keberadaan kucing pesek di Indonesia lebih banyak
berasal dari Kalimantan (Wilting et al., 2010). Tercatat 12 informasi keberadaan
kucing pesek dari Kalimantan misalnya Cheyne et al. (2009). Ukuran tubuhnya
yang kecil, lebih menyukai habitat akuatik dan densitasnya yang rendah
menyebabkan peluang kucing pesek tertangkap kamera sangat rendah. Menurut
Payne et al. (2000), Bezuijen (2000), Bezuijen (2003), Nowel & Jackson (1996)
dan Wilting et al. (2010) kucing pesek lebih menyukai habitat akuatik, lebih aktif
di malam hari dan menghindari perjumpaan langsung dengan manusia. Faktor
desain pemasangan kamera yang tidak difokuskan pada satu spesies dengan
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
dominan. Felidae berukuran tubuh lebih kecil dan mempunyai jenis makanan
hampir sama dengan harimau (misalnya macan dahan), menempati relung berbeda
dengan harimau sumatra, misalnya dengan menggunakan daerah dengan
ketinggian yang berbeda atau waktu beraktivitas yang berbeda (Sunarto et al.,
2015). Menurut Ngoprasert et al. (2012), distribusi Felidae dipengaruhi oleh
ketersediaan mangsa dan kompetitor potensial, sehingga indeks kelimpahan relatif
spesies Felidae dapat dipengaruhi oleh kemampuan mereka beradaptasi terhadap
berbagai tipe habitat dan keanekaragaman spesies mangsa.
Dibandingkan dengan penelitian lain di Sumatra (Pusparini et al., 2014;
Sunarto et al., 2015; McCarthy et al., 2015; PKHS, 2015) dan Borneo (Azlan &
Sharma, 2006; Cheyne & Macdonal, 2011; Wearn et al., 2013; Adul et al., 2015)
IKR macan dahan dalam penelitian ini lebih rendah. Diduga rendahnya IKR
macan dahan di TNWK karena kucing ini berkompetisi dengan harimau sumatra
dan menjadi predator sub-ordinat harimau sumatra sehingga macan dahan
menghindari harimau dalam dimensi temporal dan spasial. Dugaan ini diperkuat
hasil penelitian Sunarto et al. (2015), yang menunjukkan nilai tumpang tindih
temporal harimau sumatra dan macan dahan terendah dibandingkan dengan
spesies Felidae lainnya. Hasil penelitian Sunarto et al. (2015) di Sumatra Tengah
menunjukkan dalam dimensi spasial macan dahan lebih banyak ditemukan pada
ketinggian sedang antara 150-200 meter dpl., sedangkan harimau sumatra pada
ketinggian dibawah 100 meter dpl.
Hasil penelitian di daratan Asia menunjukkan kepadatan macan dahan
tinggi ketika dalam habitat yang sama tidak ditemukan Felidae besar atau
kepadatan Felidae besar rendah (Grassman et al., 2005b; Lynam et al., 2013;
Wearn et al., 2013). Sebaliknya ketika Felidae besar ditemukan dalam habitat
yang sama dengan macan dahan, kepadatan macan dahan rendah (Rabinowitz et
al., 1987; Grassman et al., 2005b; Lynam et al., 2013). Kecuali di Rimbang
Baling (Sunarto et al., 2015), data hasil penelitian di Sumatra (Sunarto et al.,
2015; Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015; PKHS, 2015) dan Borneo
(Azlan & Sharma, 2006; Cheyne & Macdonal, 2011; Wearn et al., 2013)
menunjukkan pola yang sama. Di Thailand, pergerakan dan distribusi macan
dahan dipengaruhi rendahnya kepadatan harimau dan macan tutul (Grassman et
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
hasil penelitian di Borneo dan Thailand. Di Boreneo dan Thailand, spesies mangsa
kucing congkok relatif telah terdokumentasi dengan baik (Grassman, 2000;
Grassman et al., 2005a; Rajaratnam et al., 2007). Di Thailand, frekuensi spesies
Muridae dalam feses kucing congkok (n=55) tertinggi (85%) dibanding spesies
lain. Tikus (Rattus spp) merupakan spesies paling umum yang ditemukan dalam
feses kucing congkok (55%) diikuti Mus spp. (30%). Spesies yang lain termasuk
tupai tanah indochina (Menetes berdmorei) (4%), napu (4%), spesies burung yang
tidak teridentifikasi (4%), mamalia tidak teridentifikasi (13%) dan serangga (21%)
(Grassman et al., 2005a). Sedangkan Rajaratnam et al. (2007) melaporkan
mangsa utama kucing congkok di Borneo adalah tikus kepala putih (Maxomys
whiteheadi).
Dari hasil penelitian ini diduga tikus, tupai, beberapa jenis burung dan
monyet berpotensi menjadi mangsa kucing batu. Menurut Nowell & Jackson
(1996) informasi mengenai perilaku, makanan dan relung ekologi spesies ini
sangat sedikit diketahui. Diperkirakan mangsa utama kucing ini adalah tikus tupai
dan burung. Grassman et al. (2005b) dalam studinya di Thailand tidak
menemukan feses kucing ini sehingga tidak dapat mengidentifikasi jenis
mangsanya. Ada bukti baru yang menunjukkan kucing ini memangsa Primata
(Phayre’s leaf monkey) di Taman Nasional Phu Khieo (Borries et al., 2014).
Kehadiran Karnivora lain dapat berpengaruh terhadap karakteristik ekologi
Felidae. Diantara dua belas Karnivora non Felidae yang tertangkap kamera,
beruang madu merupakan spesies terbesar berdasarkan bobot tubuhnya. Menurut
Sunarto et al.(2015), di Sumatra Tengah beruang madu bukan merupakan
kompetitor utama harimau karena mengkonsumsi jenis-jenis mangsa yang
berbeda. Beruang madu juga memiliki kemampuan memanjat pohon dan
menggunakan strata hutan untuk menghindari kompetisi dengan harimau (Sunarto
et al., 2015). Berdasarkan hal tersebut, beruang madu di TNWK diduga juga
bukan merupakan kompetitor harimau sumatra, justru menjadi salah satu spesies
yang dimangsa oleh harimau sumatra. Hasil penelitian yang dilakukan Sriyanto
(2003) di TNWK menunjukkan frekuensi kehadiran sisa bagian tubuh beruang
madu dalam feses harimau sumatra mencapai 1.6% (n=64). Spesies karnivora non
felidae dari famili Viverridae berpotensi menjadi kompetitor Felidae terutama
Universitas Indonesia
30
kucing congkok dan kucing batu karena mereka juga mengkonsumsi mamalia
kecil (tikus dan tupai) dan burung.
Universitas Indonesia
31
Gambar 1.9. Distribusi Felidae berdasarkan tipe vegetasi dari data perangkap
kamera (Mei 2013-Mei 2014) di Taman Nasional Way Kambas.
Universitas Indonesia
32
Universitas Indonesia
33
KESIMPULAN
Universitas Indonesia
34
DAFTAR PUSTAKA
Adul, B. Ripoll, S.H. Limin & S.M. Cheyne. 2015. Felids of Sebangau: camera
trapping to estimate activity patterns and population abundance in Central
Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas 16(2): 151–155
Austin, S.C., M.E. Tewes, L.I. Grassman, & N.J. Silvy. 2007. Ecology and
conservation of leopard cat (Prionailurus bengalensis) and clouded
leopard (Neofelis nebulosa) in Khao Yai National Park. Thailand. Acta
Zoologica Sinica 53(1): 1–14
Azlan, M.J. 2009. The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of
Tropical Biology and Conservation 5: 81–86
Azlan, M.J. & D.S.K. Sarma. 2006. The diversity and activity patterns of wild
felids in a secondary forest in Peninsular Malaysia. Oryx 4(1): 36–41
Azlan, M.J. & S.K. Sharma. 2002. First record of melanistic tapir in Peninsular
Malaysia. Journal of Wildlife and Parks 20: 123–124
Azlan, M.J., L. Engkamat & Munan. 2003. Bornean bay cat photograph and
sighting. Cat News 39: 2
Bastoni & Apriawan. 1997. Metode monitor satwa liar secara intensif di hutan
hujan tropis dengan remote camera system (Trailmaster). Dalam: Tilson,
R.L. (Ed.). 1997. Konservasi dan Manajemen In-situ Dalam Penyelamatan
Harimau Sumetera. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra. Lampung:
16–20.
Bezuijen, M.R. 2003. The flat-headed cat in the Merang river region of South
Sumatra. Cat News 38: 26–27.
Borries, C., Z.M. Primeau, K.O. Lupo, S. Dtubpraserit & A. Koenig. 2014.
Possible predation attempt by marbled cat on juvenile phayre’s leaf
monkey. Raffles Bulletin of Zoology 62: 561–565
Chen, M.T., M.E. Tewes, J. Pei & L.I. Grassman Jr. 2009. Activity pattern and
habitat use of sympatric small carnivores in southern Taiwan. Mammalia
73: 20–26
Universitas Indonesia
35
Cheyne, S.M. & D.W. Macdonald. 2011. Wild felids diversity and activity
pattern in Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Oryx.
45(1):119–124
Cheyne, S.M, H.M. Bernard & D.W. Macdonald. 2009. First flat-headed cat
photo from Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Cat News:
51–53
Davis, M.L., M.J. Kelly & D.F. Staufer. 2010. Carnivore co-existence and habitat
use in the Mountain Pine Ridge Forest Reserves, Belize. Animal
Conservation 14: 56–65
Grassman, L.I. 2000. Movements and diet of the leopard cat (Prionailurus
bengalensis) in a seasonal evergreen forest in south-central Thailand. Acta
Theriologica 45(3): 421–426
Grassman, L.I. 2004. Clouded leopard: The living sabertooth. Wild Cat News: 24–
29
Grassman, L.I. Tewes, M.E. Silvy, N.J. Kreetiyutanont. 2005b. Ecology of three
sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central Thailand.
Journal of Mammalogy 86(1): 29–38.
Gray, T.N.E., & C. Phan. 2011. Habitat preferences and activity pattern of the
larger mammal community in Phnom Prich Wildlife Sanctuary, Cambodia.
The Raffles Bulletin of Zoology 59(2): 311–318
Griffiths, M. & C.P. van Schaik. 1993. The impact of human traffic on the
abundance and activity patterns of Sumatran rain forest mammals.
Conservation Biology 7(3): 623–626
Harmsen, B.J., R. J. Foster, S.C. Silver, L.E.T. Ostro & P. Doncaster. 2009.
Spatial and temporal interactions of sympatric jaguars (Panthera onca)
and pumas (Puma onca) in Neotropical forest. Journal of Mammalogy
90(3): 612–620.
Universitas Indonesia
36
Harris, G., R. Thomson, J.L. Childs & J.G. Sanderson. 2010. Automatic storage
and analysis of camera trap data. Bulletin of the Ecological Society of
America 91: 3552–360
Hearn, A., J. Sanderson, J. Ross, A.J. Wilting & Sunarto. 2010. Prionailurus
planiceps. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org [21 Oktober 2010]
Hearn, A.J., J. Ross, D. Pamin, H. Bernard, L. Hunter & D.W. Macdonald. 2013.
Insights into the spatial and temporal ecology of the sunda clouded leopard
(Neofelis diardi). Raffles Bulletin of Zoology 61(2): 871–875
Holden, J. 2001. Small cats in Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia:
Evidence collected through photo-trapping. CatNews 35: 11–14
Jinping, Yu. 2010. Leopard cat, Prionailurus bengalensisis. Cat News 5: 26–29
Karanth, K.U., J.D. Nichols, N.S. Kumar, W.A. Link & J.E. Hines. 2004. Tigers
and their prey: Predicting carnivore densities from prey abundance. PNAS
101(14): 4854–4858
Kelly M.J., A.J. Noss, M.S. Dibitetti, L. Maffei, R.L. Arispe, A. Paviolo, C.D.
DeAngelo & Y.E. Di Blanco. 2003. Estimating puma densities from
camera trapping across three study site: Bolivia, Argentina aand Belize.
Journal of Mammalogy 89(2): 408–418
Lorica, M.R.P. & L.R. Heaney 2013. Survival of a native mammalian carnivore,
the leopard cat (Prionailurus bengalensis Kerr, 1792) (Carnivora: Felidae)
in an agricultural landscape on an oceanic Philippine Island. Journal of
Threatened Taxa. 5(10): 4451–4560.
Universitas Indonesia
37
McCarthy, J.L., H.T. Wibisono, K.P. McCarthy, T.K. Fuller &. N. Andayani.
2015. Assesing the distribution and habitat use of four felids species in
Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Global Ecology
and Conservation 3:210–221
Mishra C., M.D. Madhusudan & A. Datta. 2006. Mammals of the high altitudes
of western Arunachal Pradesh, eastern Himalaya: an assessment of threats
and conservation needs. Oryx 40: 29–35.
Mohamed, A., H. Samejima & A. Wilting. 2009. Record of five Bornean cat
species from Deramakot Forest Reserve in Sabah, Malaysia. CAT news
51:12–15
Nowel, K. 2009. Cats on the 2009 Red List of Threatened Species. CAT news
Autumn 51:32–33
Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group, Gland Switzerland: xxiv +
383 hlm.
O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono. 2003. Crouching tigers, hidden
prey: Sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape.
Animal Conservation 6: 131–139
Payne J., C.M. Francis, K. Phillipps & S.N. Kartikasari. 2000. Panduan
lapangan mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei
Darussalam. The Sabah Society dan Wildlife Conservation Society
bekerjasama dengan WWF Malaysia. Jakarta: xv + 386 hlm.
PHPA. 1995. Way Kambas National Park Management Plant 1994-2019 Volume
II: Data Projections and Analysis. Word Bank, Loan No.3423-IND.
Bogor: xx + 245 hlm.
Universitas Indonesia
38
Pusparini, W., H.T. Wibisono, G.V. Reddy, Tarmizi & P. Bharata. 2014. Small
and medium sized cats in Gunung Leuser National Park, Sumatra,
Indonesia. Cat News Special Issues 8: 2–9
Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
landscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217
Ridout, M. & M. Linkie. 2009. Estimating overlap of daily activity patterns from
camera trap data. J. Agricultural Biology and Environmental Statistics 14:
322–337.
Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–6.
Silveira, L., A.T.A. Jacomo & J.A.F. Diniz-Filho. 2003. Camera trap, line transect
cencus and track surveys: a comparative evaluation. Biological
Conservation 114: 351–355
Universitas Indonesia
39
Sunarto, S., M.J. Kelly, K. Parakkasi & M.B. Hutajulu. 2015. Cat coexistence in
central Sumatra: ecological characteristics, spatial and temporal overlap,
and implications for management. Journal of Zoology 296(2): 104–115
Sunarto, S., M.J. Kelly, S. Klenzendorf, M.R. Vaughan, Zulfahmi, M.B. Hutajulu
& K. Parakkasi. 2013. Threatened predator on the equator: multi-point
abundance estimates of the tiger Panthera tigris in central Sumatra. Oryx
47(2): 211–2020.
Sunquist, M & F. Sunquist. 2002. Wild Cat of the World. The University of
Chicago Press Ltd. Chicago: ix + 443 hlm.
van Schaik, CP. Griffiths, M. 1996. Activity periods of Indonesian rain forest
mammals. Biotropica 28(1): 105-–112
Wearn, O.R., J.M. Rowcliffe, C. Carbone, H. Bernard, & R.M. Ewers. 2013.
Assesing the status of wild felids in a highly-disturbed commercial forest
reserve in Borneo and the implications for camera trap survey design.
PLOS ONE 8(11): 1–9
Wibisono, H.T. & J.L. McCarthy. 2010. Melanistic marbled cat from Bukit
Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Cat News 52: 9–10
Universitas Indonesia
40
Lampiran 1.1. Felidae dan spesies lain yang terekam perangkap kamera di Taman
Nasional Way Kambas Mei 2013-Mei 2014.
Universitas Indonesia
41
Lampiran 1.2. Foto spesies Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Spesis (a) –
(d) terekam perangkap kamera dalam penelitian ini, sedangkan foto (d) – (e) tidak
terekam perangkap kamera dalam penelitian ini tetapi pernah terekam kamera
pada tahun 1996.
(a). Harimau sumatra (P.tigris sumatrae) (b). Macan dahan (Neofelis diardi)
(c). Kucing batu (Pardofelis marmorota) (d). Kucing congkok (P. bengalensis)
(e). Kucing emas (Pardofelis temincki) (f). Kucing pesek (Prionailurus planiceps)
Universitas Indonesia
42
Lampiran 1.3. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran besar (bobot
tubuh > 25 kg) yang berhasil terekam perangkap kamera di TNWK
Universitas Indonesia
43
Lampiran 1.4. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran sedang (bobot
tubuh 5 - 25 kg) yang berhasil terekam perangkap kamera di TNWK
Universitas Indonesia
44
Lampiran 1.5. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran kecil (bobot tubuh
< 5 kg) yang berhasil terekam perangkap kamera di TNWK
Universitas Indonesia
45
Universitas Indonesia
46
Universitas Indonesia
Makalah II
Agus Subagyo
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.
a_subagyo@yahoo.com
ABSTRAK
Universitas Indonesia
48
PENDAHULUAN
Ko-eksistensi dua atau lebih spesies yang mirip secara ekologi dan
morfologi dalam komunitas merupakan salah satu bidang ekologi yang paling
lama dan paling banyak dipelajari (Gordon, 2000). Kompetisi telah menjadi fokus
dalam penelitian ekologi karena merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan ko-eksistensi spesies (Tilman, 1994). Struktur komunitas karnivora
dipengaruhi oleh kompetisi eksploitatif atau interferensi atau kombinasi dari
keduanya (Schoner, 1974). Ketika dua spesies menggunakan secara bersama
sumberdaya yang jumlahnya terbatas, kesintasan (fitness) salah satu spesies akan
lebih rendah oleh kehadiran spesies lain (Gordon, 2000).
Kesintasan (fitness) populasi atau spesies dipengaruhi oleh sumberdaya
biotik dan abiotik. Dua prinsip dasar yang menjelaskan hubungan populasi dan
spesies terhadap lingkungan sekitarnya yaitu lebar relung ekologi (niche breadth)
dan tumpang tindih relung ekologi (niche overlap) (Amarasekare, 2009). Lebar
relung mendeskripsikan secara kuantitatif penggunaan sumberdaya tertentu dan
variasinya yang bergantung pada ketersediaan sumberdaya, kompetitor, dan
fluktuasi iklim (Feinsinger et al., 1981). Tumpang tindih relung terjadi ketika dua
atau lebih spesies menggunakan sumberdaya yang sama dengan cara yang sama
(Colwell & Futuyma, 1971).
Secara teoritis, dalam konsep penggunaan sumberdaya (Shoener, 2009)
dua spesies atau lebih tidak dapat menempati n-dimensi relung yang sama tanpa
terjadi kompetisi satu dengan yang lain, karena berpotensi menimbulkan
kepunahan lokal pada salah satu spesies (MacArthur & Levis, 1967). Dalam
lingkungan yang stabil, salah satu spesies akan punah jika tumpang tindih
penggunaan sumberdaya antara dua spesies yang berkompetisi terjadi secara
sempurna. Untuk mengurangi terjadinya kompetisi, spesies melakukan pembagian
sumber daya melalui diferensiasi habitat, perbedaan spesies mangsa, atau
penggunaan waktu aktif yang berbeda (Schoener, 1974). Diferensiasi sumberdaya
tersebut dapat menyebabkan terjadinya ko-eksistensi spesies. Kedua spesies yang
berkompetisi bisa hidup secara berdampingan dalam habitat yang sama (Chesson,
1984). Pemisahan penggunaan sumber daya seperti jenis mangsa, tipe habitat,
Universitas Indonesia
49
ruang dan waktu beraktivitas telah terdokumentasi dengan baik pada banyak
spesies yang berkompetisi (Fedriani et al., 2000; Kamler et al., 2003; Moreno et
al., 2006).
Interaksi kompetitif diketahui lebih kuat terjadi antar spesies yang secara
morfologi mirip dan spesies simpatrik yang berkerabat dekat secara filogenetik
(Schoener, 1974; Di Bitetti et al., 2010). Penelitian pada herbivora simpatrik
menunjukkan tingginya tumpang tindih dalam satu dimensi relung disertai dengan
penghindaran dalam dimensi relung yang lain (Luo & Fox, 1996; Wei et al., 2000;
Stewart et al., 2002). Pada Karnivora, pembagian sumberdaya dilakukan melalui
pemilihan spesies dan ukuran tubuh spesies mangsa (Karanth & Sunquist, 1995),
kebiasaan mencari makan (Palomares et al. 1996), pola aktivitas (Fedriani et al.
1999), dan penggunaan ruang (Palomer et al. 1996; Durant, 1998).
Sumatra memiliki enam spesies Felidae simpatrik yaitu harimau sumatra
(Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing emas
(Pardofelis temincki), kucing batu (Pardofelis marmorota), kucing congkok
(Prionailurus bengalensis) dan kucing pesek (Prionailurus planiceps).
Pengetahuan tentang ekologi Felidae masih terbatas terutama pada spesies yang
berukuran kecil (McCarthy et al., 2015). Penelitian untuk mengetahui interaksi
antara spesies Felidae di Sumatra antara lain telah dilakukan oleh Sunarto et al.
(2015) di Sumatra Tengah dan Ridout & Linkie (2009) di Taman Nasional
Kerinci Seblat. Beberapa penelitian lain masih difokuskan pada keanekaragaman,
distribusi (Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015) dan ekologi pada tingkat
spesies terutama harimau sumatra. Interaksi antar spesies Felidae di TNWK masih
belum banyak dipelajari. Penelitian ini dilakukan untuk memahami interaksi
antara spesies Felidae dalam hal penggunaan waktu beraktivitas dengan
menggunakan data foto dan video dari perangkap kamera. Diduga spesies Felidae
yang mempunyai ukuran tubuh atau spesies mangsa hampir sama mempunyai
pola aktivitas berbeda dan memisah secara temporal untuk mengurangi terjadinya
persaingan dalam mendapatkan sumberdaya yang sama.
Universitas Indonesia
50
Universitas Indonesia
51
Universitas Indonesia
52
Analisis Data
Video hasil perangkap kamera dimasukkan dalam database komputer,
dikelola dengan menggunakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh Harris et
al. (2010) dan Sanderson & Harris (2013). Foto dan video independen yang
digunakan dalam analisis pola aktivitas Felidae merupakan video Felidae yang
tertangkap kamera dalam penelitian ini digabungkan dengan data foto dan video
perangkap kamera yang dipasang oleh PKHS di TNWK dari tahun 2007 sampai
2014. Penggabungan data ini dilakukan karena kecilnya jumlah video Felidae
yang di dapat dalam penelitian ini terutama video macan dahan dan kucing batu.
Lynam et al. (2013) dan Lucherini et al. (2009) menggunakan cara yang sama di
Thailand dan Argentina.
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
HASIL
Tabel 2.1. Jumlah foto atau video Felidae yang memiliki data tanggal dan jam
hasil perangkap kamera PKHS di TNWK tahun 2007- 2014 di TNWK (sumber
data: PKHS, 2007-2014)
Video/foto independen
Stasiun Hari
Tahun Kucing Kucing Macan Total
kamera aktif Harimau
congkok batu dahan
2007a 11 1009 10 1 0 0 11
2008a 12 3760 32 1 0 0 33
2009a 18 4863 11 0 0 0 11
2010a 32 6535 40 13 1 0 54
2011a 29 7591 2 0 1 0 3
2012a 22 7045 19 51 1 0 71
2013a 31 7965 46 67 5 1 119
2014a 39 4565 71 16 4 7 98
2013b 41 3345 40 35 1 4 80
2014b 16 1265 0 5 4 0 9
Total 125 47.943 271 189 17 12 489
a)
Perangkap kamera yang dipasang oleh PKHS
b)
Perangkap kamera yang dipasang dalam penelitian ini
Hasil analisis data menunjukkan harimau sumatra dan kucing batu aktif
pada siang dan malam hari (cathemeral). Aktivitas harimau sumatra pada malam
dan siang hari sebesar 51,6% dan 48,4% (n=271) sedangkan kucing batu 41,2%
dan 58,8% (n=17) (Gambar 2.2.). Puncak aktivitas harimau sumatra terjadi pada
pagi hari pukul 05:00-06:00 dan sore hari pukul 17:00-18:00, sedangkan kucing
batu pada pukul 05:00-06:00 dan 12:00-14:00 (Gambar 2.3). Aktivitas kucing
congkok dan macan dahan sebagian besar dilakukan pada malam hari (mostly
nocturnal). Delapan puluh dua persen (n=189) aktivitas kucing congkok
dilakukan pada malam hari, hanya 18% pada siang hari. Sedangkan aktivitas
macan dahan pada malam hari sebesar 66,7%, dan siang hari sebesar 33,3%
Universitas Indonesia
55
(n=12) (Gambar 2.2). Puncak aktivitas macan dahan pada pukul 05:00-06:00 dan
21:00-22:00, sedangkan puncak aktivitas kucing congkok pada pukul 04:00-05:00
dan 18:00-19:00 (Gambar 2.3).
Malam Siang
100
90
80 41.2
Aktivitas (% foto dan video)
51.6
70
66.7
60 82.0
50
40
30 58.8
48.4
20
33.3
10 18.0
0
Harimau sumatra Macan dahan Kucingbatu
Kucing bulu Kucing congkok
Spesies Felidae
Gambar 2.2. Persentase aktivitas Felidae berdasarkan jumlah foto dan video yang
didapat perangkap kamera pada siang (putih) dan malam hari (hitam).
Universitas Indonesia
Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) Kucing batu (Pardofelis marmorota)
Gambar 2.3. Estimasi pola aktivitas empat spesies Felidae berdasarkan data sirkular dengan menggunakan KDE (Ridout & Linkie, 2009).
Garis vertikal pendek di atas sumbu x menunjukkan waktu yang tercetak dalam setiap foto atau video
Gambar 2.4. Tumpang tindih pola aktivitas antar spesies Felidae berdasarkan KDE pada data sirkular. Garis padat menunjukkan setiap
spesies dalam kolom dan garis putus-putus menunjukkan spesies dalam baris. Angka menunjukkan nilai koefisien tumpang tindih (∆1±SE)
58
PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
59
Kucing batu aktif pada siang dan malam hari (cathemeral) cenderung
diurnal (59%) sesuai dengan hasil penelitian lain di Sumatra (Pusparini et al.
2014; Sunarto et al., 2015; McCarthy et al., 2015), Borneo (Azlan & Sharma,
2006; Adul et al., 2015) dan Thailand (Lynam et al., 2013), namun berbeda
dengan literatur yang menyatakan terutama aktif pada malam hari (primarily
nocturnal) (Nowel & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist, 2002). Diduga
aktivitas kucing batu berkaitan dengan pemilihan jenis mangsa dan persaingan
dengan spesies Felidae lain. Berdasarkan ukuran, bobot tubuh dan jenis mangsa,
pesaing utama kucing batu adalah kucing congkok. Aktivitas kucing batu yang
cenderung diurnal untuk mengurangi kompetisi dengan kucing congkok dalam
mendapatkan mangsa.
Kucing congkok menurut sebagian besar hasil penelitian cenderung
bersifat nokturnal, dengan jenis mangsa utamanya tikus dari famili Muridae.
Menurut hasil penelitian Grassman et al. (2005b) di Thailand, tercatat 9 jenis
mangsa kucing batu terdiri dari mamalia terestrial dan arboreal termasuk hog
deer, slow loris, bush-tailed porcupine, malayan pangolin dan indochinese
ground squirrel. Dugaan kucing batu cenderung menghindari kucing congkok
dan macan dahan secara temporal didukung dengan hasil penelitian Lynam et al.
(2013) dan Sunarto et al. (2015) yang menunjukkan koefisien tumpang tindih
temporal kucing batu dan dua spesies Felidae yang lain (kucing congkok dan
macan dahan) rendah. Secara vertikal kucing batu memiliki kemampuan untuk
menghindari persaingan dengan kucing congkok dengan beraktivitas di atas
pohon. Dipercaya kucing batu memiliki kemampuan memanjat yang sangat baik
(Mohamed et al., 2009).
Aktivitas kucing congkok dalam penelitian ini dikategorikan mostly
nocturnal (82%, n=189), sesuai dengan literatur (Nowel & Jackson, 1996;
Sunquist & Sunquist, 2002; Macdonald, 2010), hasil penelitian di Sumatra
(Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015; Sunarto et al., 2015), Semenanjung
Malaysia (Azlan & Sharma, 2006), dan Borneo (Cheyne & Macdonald, 2011;
Silmi et al., 2013) tetapi berbeda dengan hasil penelitian Grassman (2000) dan
Grassman et al. (2005a) yang menyatakan kucing congkok bersifat aritmik.
Aktivitas kucing congkok yang lebih tinggi di malam hari berkorelasi dengan
Universitas Indonesia
60
Universitas Indonesia
61
Universitas Indonesia
62
Spaulding, 2007). Macan dahan, kucing batu dan kucing congkok menjadi spesies
subordinat harimau sumatra. Aktivitas harimau tidak dipengaruhi oleh kehadiran
spesies Felidae lain, melainkan lebih dipengaruhi oleh pola aktivitas spesies
mangsa yang merefleksikan mekanisme untuk memaksimalkan keberhasilan
berburu.
Dibanding dua spesies Felidae yang lain, macan dahan berpotensi
berkompetisi dalam hal pemilihan jenis mangsa dengan harimau sumatra.
Meskipun ukuran tubuhnya lebih kecil dari harimau sumatra tetapi macan dahan
memiliki proporsi gigi taring terhadap ukuran tubuh lebih besar dibanding spesies
Felidae lain (Nowel & Jackson, 1996; Grassman, 2004). Hal ini yang menjelaskan
mengapa macan dahan dapat memangsa hewan yang ukuran tubuhnya lebih besar
darinya. Meskipun spesies mangsa macan dahan di TNWK belum diketahui,
tetapi di Thailand mereka memangsa kijang, monyet dan napu (Grassman et al.,
2005b) yang juga menjadi mangsa harimau di TNWK.
Secara temporal tumpang tindih macan dahan dan harimau cukup tinggi,
menunjukkan kecenderungan kedua spesies ini tidak saling menghindari secara
temporal. Di Sumatra Tengah macan dahan terindikasi menghindari harimau
sumatra dengan memilih habitat yang lebih tinggi (Sunarto et al., 2015). Hal ini
tidak dapat dilakukan di TNWK karena topografi di taman nasional ini relatif
seragam (0-50 m dpl.). Mekanisme pemisahan yang paling mungkin adalah
menggunakan stratifikasi vegetasi. Macan dahan menurut Grassman (2004) dan
Nowel & Jackson (1996) memiliki kemampuan memanjat dan beraktivitas di atas
pohon. Ini yang mungkin dapat menjelaskan mengapa macan dahan dan harimau
sumatra tidak tertangkap kamera pada stasiun perangkap kamera yang sama dan
mengapa macan dahan hanya ditemukan di vegetasi hutan sekunder yang
memiliki tegakan pohon lebih baik dibanding semak dan alang-alang.
Sesuai dengan hasil penelitian Sunarto et al. (2015) dan Lynam et al.,
(2013), tumpang tindih temporal spesies Felidae yang memiliki ukuran tubuh
hampir sama atau ukuran mangsa hampir sama dalam penelitian ini rendah,
menunjukkan kedua spesies saling menghindar secara temporal. Misalnya antara
kucing batu dengan kucing congkok yang memiliki ukuran tubuh hampir sama
dan spesies mangsa hampir sama (∆1=0,61±0,02). Begitupula spesies yang
Universitas Indonesia
63
mempunyai relung ekologi mirip seperti kucing batu dan macan dahan (keduanya
bersifat arboreal) (∆1=0,57±0,06). Spesialiasasi dalam dimensi temporal
menunjukkan kelangkaan jenis makanan spesies yang berkompetisi (Schoener,
1974). Kucing batu dipercaya sebagian besar atau sebagian bersifat arboreal dan
mempunyai kemampuan memanjat sangat baik (Azlan, 2009). Perilaku ini dapat
meningkatkan pemisahan relung ekologi dengan spesies Felidae kompetitor yaitu
kucing congkok dan spesies Felidae terestrial lain.
Penelitian ini menyajikan informasi pola aktivitas dan pemisahan temporal
empat spesies Felidae di TNWK. Felidae yang berukuran tubuh hampir sama
(kucing congkok dan kucing batu) dan memiliki relung ekologi mirip (kucing batu
dan macan dahan) cenderung melakukan aktivitas pada waktu yang berbeda.
Tumpang tindih temporal antar spesies Felidae tersebut juga terendah diantara
pasangan Felidae yang lain. Namun harus dicatat bahwa sebagian dari spesies
Felidae ini sebagian atau seluruhnya bersifat arboreal, khususnya kucing batu dan
macan dahan. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai perilaku dan
interaksi yang melibatkan survei malam hari, upaya sampling di atas pohon
(Duckworth et al., 1999) dan penggunaan radio collar (Austin et al., 2007;
Grassman et al., 2005b) untuk mendapatkan total aktivitas pada tingkat individu.
KESIMPULAN
1. Pola aktivitas harimau sumatra dan kucing batu adalah cathemeral atau aktif
pada siang dan malam hari sedangkan macan dahan dan kucing congkok
utamanya aktif pada malam hari (mostly nocturnal).
2. Aktivitas harimau sumatra pada malam dan siang hari sebesar 51,6% dan
48,4% sedangkan kucing batu 41,2% dan 58,8%. Delapan puluh dua persen
aktivitas kucing congkok dilakukan pada malam hari, hanya 18% pada siang
hari. Sedangkan aktivitas macan dahan pada malam hari sebesar 66,7%, dan
siang hari sebesar 33,3%.
3. Koefisien tumpang tindih spesies Felidae yang memiliki ukuran tubuh dan
jenis mangsa hampir sama (kucing batu dan kucing congkok) dan spesies yang
Universitas Indonesia
64
memiliki relung yang mirip (macan dahan dan kucing batu) mempunyai nilai
paling rendah dibandingkan dengan pasangan Felidae yang lain.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui intensitas interaksi
antar spesies Felidae dengan mengetahui preferensi dan jenis mangsa setiap
spesies Felidae.
DAFTAR PUSTAKA
Adul, B. Tripoll, S.H. Limin, C.M. Cheyne. 2015. Felids of Sebangau: camera
trapping to estimate activity patterns and population abundance in Central
Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas 16(2): 151–155
Austin, S.C., M.E. Tewes, L.I. Grassman, & N.J. Silvy. 2007. Ecology and
conservation of leopard cat (Prionailurus bengalensis) and clouded
leopard (Neofelis nebulosa) in Khao Yai National Park. Thailand. Acta
Zoologica Sinica 53(1): 1–14
Azlan, M.J. 2009. The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of
Tropical Biology and Conservation 5: 81–86
Azlan, J.M. & D.S.K. Sarma. 2006. The diversity and activity patterns of wild
felids in a secondary forest in Peninsular Malaysia. Oryx 4(1): 36–41
Carthew, S.M. & E. Slater. 1991. Monitoring animal activity with automatic
photography. Journal of Wildlife Management 55: 689–692.
Chen, M.T., M.E. Tewes, J.K. Pei & L.I. Grassman, Jr. 2009. Activity pattern and
habitat use of sympatric small carnivores in southern Taiwan. Mammalia
73: 20–26
Cheyne, S.M & D.W. Macdonald. 2011. Wild felid diversity and activity pattern
in Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Oryx 45(1):119–124
Colwell, R.K & D. Futuyama. 1971. On the measurement of niche breadth and
overlap. Ecology 52: 567–576
Universitas Indonesia
65
Di Bitetti, M.S., C.D. De Angelo, Y.E. Di Blanco & A. Paviolo. 2010. Niche
partitioning and species coexistence in a Neotropical felid assemblage.
Acta Oecologica 36:403–412
Duckworth, J.W., R.E. Salter & K. Khounboline (Eds). 1999. Widlife in Lao
PDR: 1999 Status Report. IUCN-The World Conservation Union. Wildlife
Conservation Society and Centre for Protected Areas and Watershed
Management. Vientiene: 275 hlm.
Fedriani, J.M., F. Palomers & M. Delibes. 1999. Niche relations among three
sympatric Mediterranean carnivores. Oecologia 121: 138–148.
Fedriani, J.M., T.K. Fuller, R.M. Sauvajot & E.C. York. 2000. Competition and
intraguild predation among three sympatric carnivores. Oecologia 125:
258–270
Feinsinger, P., E.E. Spears & R.W. Poole. 1981. A simple measure of niche
breadth. Ecology 62: 27–32
Grassman, L.I. 2000. Movements and diet of the leopard cat (Prionailurus
bengalensis) in a seasonal evergreen forest in south-central Thailand. Acta
Theriologica 45(3): 175–198
Grassman, L.I., M. A.M. Halnes, J.E. Janecka & M.E. Tewes. 2006. Activity
periods of photo-captured mammals in north central Thailand. Mammalia
70(3-4): 306–309
Grassman, LI. 2004. Clouded leopard: the living sabertooth. Wild Cat News: 24–
29
Grassman, L.I., M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005a. Spatial
organization and diet of the leopard cat (Prionailurus bengelensis) in
north-central Thailand. Journal of Zoology 266(1): 45–54
Grassman, L.I., M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005b. Ecology of
three sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central
Thailand. Journal of Mammalogy 86(1): 29–38.
Griffiths, M. & C.P. van Schaik. 1993. The impact of human traffic on the
abundance and activity patterns of Sumatran rain forest mammals.
Conservation Biology 7(3): 623–626
Universitas Indonesia
66
Harris, G., R. Thomson, J.L. Childs & J.G. Sanderson. 2010. Automatic storage
and analysis of camera trap data. Bulletin of the Ecological Society of
America 91: 3552–360
Hearn, A.J., J. Ross, D. Pamin, H. Bernard, L. Hunter & D.W. Macdonald. 2013.
Insights into the spatial and temporal ecology of the sunda clouded leopard
(Neofelis diardi). Raffles Bulletin of Zoology 61(2): 871–875
Jiminez, J.E., J.L. Yanez, E.I. Tablo & F.M. Jaksic. 1996. Niche
complementariety of South American foxes: Reanalysis and test of a
hypothesis. Revista Chilena de Historia Natural 69: 113–123.
Kamler, J.F., W.B. Ballard, P.R. Lemons, R.L. Gilliland & K. Mote. 2003.
Impacts of coyotes on swift foxes in northwestern Texas. Journal of
Wildlife Management 67: 317–323
Karanth, K.U. & M.E.Sunquist . 1995. Prey selection by tiger, leopard and dhole
in tropical forest. Journal of Animal Ecology 64:439-450.
Luo, J. & B.J. Fox. 1996. Seasonal and successional dietary shifts of two
sympatric rodents in coastal health land: A possible mechanism for
coesistence. Australian Journal of Ecology 2(2): 121–132.
Universitas Indonesia
67
Matsuda, I., A. Tuuga & S. Higashi. 2008. Clouded leopard (Neofelis diardi)
predation on proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia.
Primates 49: 227–231
McCarthy, J.L., H.T. Wibisono, K.P. McCarthy, T.K. Fuller &. N. Andayani.
2015. Assesing the distribution and habitat use of four felid species in
Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Global Ecology
and Conservation 3:210–221
Mohamed, A., H. Samejima & A. Wilting. 2009. Record of five Bornean cat
species from Deramakot Forest Reserve in Sabah, Malaysia. CAT news
51:12–15
Moreno, R.S., R.W. Kays & R. Samudio Jr. 2006. Release in diets of ocelot
(Leopardus pardalis) and puma (Puma concolor) after jaguar (Panthera
onca) decline. Journal of Mammalogy 87(4):808–816
Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Gland Switzerland: xxiv +
383 hlm.
O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono. 2003. Crouching tigers, hidden
prey: Sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape.
Animal Conservation 6: 131–139
Palomers, F., P. Ferreras, J.M. Fedriani & M. Delibes. 1996. Spatial relationships
between Iberian lynx and other carnivores in an area of south-western Spain.
Journal of Applied Ecology 33: 5–13
Universitas Indonesia
68
PHPA. 1995. Way Kambas National Park Management Plant 1994-2019 Volume
II: Data Projections and Analysis. Word Bank, Loan No.3423-IND. Bogor:
xx + 245 hlm.
Pusparini, W., H.T. Wibisono, G.V. Reddy, Tarmizi & P. Bharata. 2014. Small
and medium sized cats in Gunung Leuser National Park, Sumatra,
Indonesia. Cat News Special Issues 8: 2–9
Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
landscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217
Ridout, M. & M. Linkie. 2009. Estimating overlap of daily activity patterns from
camera trap data. J. Agricultural Biology and Environmental Statistics 14:
322–337
Shoner, T.W. 2009. Ecological niche. In. Levis, S.A. (Ed). The Princeton Guide
to Ecology. Princeton University Press. London: ix + 793 hlm.
Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–6.
Universitas Indonesia
69
Stewart, K.M., R.T. Bowyer, J.G. Kie, N.J. Cimon & B.K. Johnson. 2002.
Temporospatial distribution of elk, mule deer and cattle: resource
partitioning and competitive displacement. Journal of Mammalogy
83:229–244
Sunarto, S., M.J. Kelly, K. Parakkasi & M.B. Hutajulu. 2015. Cat coexistence in
centrar Sumatra: ecological characteristics, spatial and temporal overlap,
and implications for management. Journal of Zoology 296(2): 104–115
Sunquist, M & F. Sunquist. 2002. Wild Cat of the World. The University of
Chicago Press Ltd. Chicago: ix + 443 hlm.
van Schaik, CP. Griffiths, M. 1996. Activity periods of Indonesian rain forest
mammals. Biotropica 28(1): 105–112
Wei, F., Z. Feng, Z. Wang & J. Hu. 2000. Habitat use and separation between the
giant panda and the red panda. Journal of Mammalogy 81: 448–455
Universitas Indonesia
Makalah III
Agus Subagyo
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.
a_subagyo@yahoo.com
ABSTRAK
Universitas Indonesia
71
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
72
Kambas berada dalam lansekap yang didominasi oleh manusia. Dalam kehidupan
sehari-hari, aktivitas masyarakat yang bermukim di desa-desa sekitarnya secara
langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan taman nasional dan satwa
liar yang ada di dalamnya. Oleh karena itu dukungan masyarakat sekitar taman
nasional penting untuk mencapai target program konservasi yang telah ditetapkan.
Menurut Ormsby dan Kaplin (2005), Allendorf et al. (2006), Ramakrishnan
(2007) dan Allendorf & Allendorf (2013), interaksi antara masyarakat dan
kawasan konservasi dapat berdampak positif maupun negatif, yang pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap efektifitas pengelolaan. Meskipun data dasar biologi
dan ekologi merupakan faktor penting dalam konservasi satwa liar (Reed, 2002;
Murray et al., 2008; Applegate, 2014), tetapi budaya, ekonomi, dan faktor politik
merupakan faktor kritis yang menentukan keberhasilan program konservasi
jangka panjang (Tessema et al., 2007).
Di negara-negara berkembang upaya perlindungan terhadap kawasan
konservasi dari aktivitas ilegal masyarakat masih dilakukan dengan cara-cara
kekerasan dan pemaksaan. Masyarakat lokal sering tidak dilibatkan dalam
rencana pengelolaan bahkan diabaikan. Padahal dukungan masyarakat lokal
terhadap konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi sangat penting
(Tessema et al., 2007; Vodouhe et al., 2010). Beberapa hasil penelitian di Afrika
(Sogbohossou et al., 2011; Gandiwa et al., 2014) dan Asia (Adiprasetyo et al.,
2009; Jenk et al., 2014) menguatkan pendapat tersebut.
Pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap satwa liar dan
kawasan konservasi akan mempengaruhi interaksi antara masyarakat dengan
satwa liar dan kawasan konservasi. Pemahaman terhadap pengetahuan, persepsi
dan sikap masyarakat terhadap konservasi merupakan kunci untuk memperbaiki
hubungan antara kawasan konservasi dan masyarakat sekitar jika pengelola ingin
mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan (Weladji et al., 2003; Ebua et al.,
2011).
Persepsi, sikap dan pengetahuan bervariasi dalam komunitas dan
dipengaruhi banyak faktor (Li et.al., 2010). Persepsi masyarakat lokal dapat
digunakan oleh pengelola kawasan konservasi sebagai titik awal untuk
memperbaiki hubungan antara masyarakat dan taman nasional melalui intervensi
Universitas Indonesia
73
yang visibel dan tujuan yang dapat dicapai, bermakna bagi komunitas lokal dan
hubungan mereka dengan kawasan konservasi (Allendorf et al., 2013).
Pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, sikap dan
persepsi masyarakat terhadap konservasi satwa liar dan kawasan konservasi
diperlukan untuk merumuskan kebijakan dan strategi konservasi yang tepat.
Dalam bab ini, metode kuantitatif digunakan untuk mengukur
pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat yang tinggal di sekitar TNWK
terhadap konservasi Felidae. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah: (1)
bagaimana hubungan antara faktor demografi, pengetahuan dan pengalaman
responden terhadap taman nasional dengan pengetahuan, persepsi dan sikap
masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae, (2) faktor apa yang mempengaruhi
pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae dan (3)
bagaimana hubungan antara pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat lokal
terhadap konservasi Felidae.
Universitas Indonesia
74
Gambar 3.1. Taman Nasional Way Kambas dan desa-desa sampel penelitian
Universitas Indonesia
75
populasi (total jumlah kepala keluarga di seluruh desa) dan α adalah tingkat
kesalahan (0,05). Dengan menggunakan rumus tersebut didapatkan jumlah
sampel penelitian sebanyak 395 kepala keluarga (N=33.755 KK).
Penentuan jumlah desa dan jumlah sampel KK pada setiap desa sampel
berdasarkan proporsi jumlah penduduk pada tingkat kabupaten, kecamatan dan
desa. Desa sampel dari setiap kecamatan dipilih secara acak dengan cara diundi.
Universitas Indonesia
76
Tabel 3.1. Nama desa dan jumlah rumah tangga yang digunakan dalam survei
rumah tangga.
Universitas Indonesia
77
Universitas Indonesia
78
Tabel 3.2. Nama Indonesia, inggris dan ilmiah spesies Felidae dan mangsa yang
digunakan untuk menguji pengetahuan responden
Variabel Penelitian
Variabel bebas dipilih berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian
sebelumnya (Nyhus, 1999) terkait dengan faktor demografi dan pengalaman
responden terhadap taman nasional (Tabel 3.3). Variabel terikat pengetahuan,
persepsi dan sikap ditentukan berdasarkan sejumlah faktor seperti tercantum
dalam Tabel 3.4. Pengetahuan terhadap taman nasional adalah kemampuan
responden menjawab enam informasi dasar tentang taman nasional seperti nama
lengkap, luas dan tahun diresmikan. Pengetahuan terhadap Felidae adalah
kemampuan respoden mengidentifikasi spesies Felidae dan spesies mangsa
potensial dengan benar berdasarkan foto. Persepsi diukur berdasarkan
persetujuan responden terhadap sejumlah penyataan terkait dengan karakterisitik
fisik, potensi ancaman dan peran Felidae dalam ekosistem. Sikap terkait dengan
persetujuan responden terhadap pernyataan keberadaan, peran, tanggung jawab
Universitas Indonesia
79
dan tindakan yang perlu dilakukan oleh pengelola atau masyarakat terhadap
Felidae..
Tabel 3.3. Variabel bebas (x) yang digunakan dalam analisis data
Universitas Indonesia
80
Tabel 3.4. Variabel terikat (y) yang digunakan dalam analisis data
Universitas Indonesia
81
Analisis Data
Jawaban responden dimasukkan ke dalam database dengan menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel (2010). Data dianalisis dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS versi 16 (Chicago, SPSS Inc.). Sebelum dilakukan analisis
lanjut, normalitas data diuji dengan digaram plot dan uji Komolgorov-Smirnov
(Singh, 2007). Homogenitas ragam diuji dengan Levene statistic for equal
variance. Apabila data tidak normal dan ragam tidak homogen, analisis
dilakukan dengan analisis statistik non-parametrik (Singh, 2007).
Pengetahuan responden terhadap taman nasional dinilai berdasarkan
kemampuan responden menjawab enam pertanyaan terkait dengan taman
nasional, nilai tertinggi enam dan terendah nol. Hubungan antara pengalaman dan
pengetahuan responden terhadap taman nasional dan faktor demografik diuji
dengan analisis ragam satu arah. Interaksi masyarakat dengan taman nasional
diukur dari beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat yang
berhubungan dengan tanaman nasional. Misalnya apakah pernah masuk atau
berkunjung ke taman nasional, berapa kali masuk ke dalam taman nasional, dan
apa tujuan masuk ke dalam taman nasional.
Pengetahuan responden terhadap Felidae diukur berdasarkan kemampuan
responden mengidentifikasi foto speies Felidae (enam foto). Identifikasi yang
benar diberi nilai satu dan nol jika salah. Skor pengetahuan terhadap Felidae
terendah nol dan tertinggi enam. Total skor pengetahuan dibagi dalam tiga
kategori yaitu rendah (skor 0 - 2), sedang (skor 3 - 4) dan tinggi (skor 5 - 6).
Pengetahuan terhadap satwa mangsa dilakukan dengan cara yang sama, hanya
total skornya berbeda yaitu 0 – 10.
Sikap terhadap konservasi Felidae dan persepsi terhadap Felidae dinilai
dengan masing-masing sepuluh butir pernyataan yang bersifat disukai (positif)
dan tidak disukai (negatif). Responden diminta untuk menentukan pilihan
jawaban sesuai dengan tingkat persetujuannya (sangat tidak setuju, tidak setuju,
ragu-ragu, setuju dan sangat setuju). Respon diberi skor antara satu sampai lima,
respon paling positif diberi skor lima dan paling negatif satu. Nilai ini berlaku
sebaliknya pada pernyataan yang bersifat tidak disukai. Dengan demikian, skor
total terendah adalah 10 dan tertinggi 50.
Universitas Indonesia
82
Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert
(Singh, 2007) dengan lima pilihan tingkat persetujuan responden terhadap sepuluh
pernyataan yang diajukan. Kriteria interpretasi skor terbagi dalam lima kelas
interval yaitu: sangat tidak setuju (0% - 19,99% ), tidak setuju (20% - 39,99%),
netral (40% - 59,99%), setuju (60% - 79,99%) dan sangat setuju (80% - 100%).
Skor akhir respon responden dikonversi ke dalam bentuk persentase dengan
membagi jumlah skor akhir dengan jumlah total skor tertinggi (50) dikali dengan
100%. Kategori sikap dan persepsi responden terhadap konservasi Felidae
ditentukan dengan cara membandingkan skor akhir (%) ini dengan kelas interval.
Validitas skala pengukuran diuji dengan korelasi Bivariate Pearson
(product moment Pearson) dan corrected item-total correlation (Singh, 2007).
Jika nilai rhitung<rtabel atau p>0.05, butir pernyataan dikeluarkan dari analisis.
Konsistensi internal (reliabilitas) skala pengukuran diuji dengan koefisien alpha
Cronbach (Singh, 2007 ). Butir pertanyaan yang mempunyai nilai korelasi antar
butir rendah (nilai alpha <0,6) dkeluarkan dari analisis. Variabel independen diuji
dengan analisis varian (ANOVA) satu arah pada taraf nyata 5%. Hubungan antara
pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae diuji
dengan korelasi bivariat Spearman-rank (Singh, 2007) pada taraf nyata 5%.
HASIL
Karakteristik Responden
Sebanyak 395 responden telah diwawancarai dalam survei rumah tangga.
Dua belas variabel telah dicatat untuk menggambarkan karakteristik demografi
yaitu: jenis kelamin, usia, status dalam keluarga, lama bermukim di Lampung,
alasan bermukim di Lampung, daerah asal, agama, pendidikan, pekerjaan,
status pernikahan, jumlah anak dan jabatan di desa. Variabel pengalaman
terhadap taman nasional terdiri dari pernah tidaknya responden masuk atau
berkunjung ke dalam taman nasional, apa tujuan masuk atau berkunjung ke dalam
taman nasional, pernah atau tidak mengikuti kegiatan konservasi dan pernah atau
Universitas Indonesia
83
tidak mendapat gangguan hewan dari taman nasional selama satu tahun terakhir
(Tabel 3.5).
Tabel 3.5. Karakteristik responden (n=395) berdasarkan hasil survei rumah tangga
di desa-desa sekitar Taman Nasional Way Kambas tahun 2015
Universitas Indonesia
84
Universitas Indonesia
85
Universitas Indonesia
86
Universitas Indonesia
87
180
166
Mean =1,86
160 152
Standar Deviasi=0,862
140 N=395
120
Frekuensi
100
80
59
60
40
20 16
1 1
0
0 1 2 3 4 5 6
Skor Pengetahuan Responden Tentang TNWK
Universitas Indonesia
88
Universitas Indonesia
89
120
Berdasarkan pengakuan responden
Berdasarkan indentifikasi foto
98.99
100
92.24
79.75
80
Persentase (%)
60
40
20
14.17 14.94
3.29
1.52 0.759 0.25 1.01 0.00 0.00
0
Harimau Macan dahan Kucing emas Kucing batu Kucing Kucing
sumatra congkok dampak
Spesies Felidae
Gambar 3.4. Persentase responden yang menjawab tahu terhadap spesies Felidae
yang ditanyakan oleh pewawancara tanpa menunjukkan foto spesies Felidae yang
dimaksud (merah) dan persentase responden yang mempu mengidentifikasi
dengan benar berdasarkan foto yang ditunjukkan kepada mereka (hijau).
Universitas Indonesia
90
350 328
Rata-rata=1.16
Standar Deviasi = 0.408
300
N = 395
250
Frekuensi
200
150
100
61
50
3 3
0
0 1 2 3 4 5 6
Skor Responden Tentang Felidae
Universitas Indonesia
91
Salah Benar
100%
10.9 11.1
90% 17.2
80%
33.9 32.4
Persentase (%)
70%
37.5
60%
50%
40%
70.6
30%
20% 84.6
99.5 100
10%
82.8 89.1 66.1 29.4 62.5 88.9 15.4 67.6 0.0
0.5
0%
Monyet
Kuau
Kijang
Tapir
Beru
Kancil/Napu
Ayam hutan
Sempidan
Sambar
Babi
Universitas Indonesia
92
180
Rata-rata=65,64
160 Standar Deviasi=8.31
N=396
140
120
Frekuensi
100
80
60
40
20
0
0 40 50 60 70 80 90 100
Universitas Indonesia
93
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Universitas Indonesia
94
160 Rata-rata=65,48
Standar Deviasi=9.98
140
N=396
120
100
Frekuensi
80
60
40
20
0
0 40 50 60 70 80 90 100
Gambar 3.9. Distribusi frekuensi skor sikap masyarakat lokal terhadap konservasi
Felidae di TNWK.
Universitas Indonesia
95
Kelestarian kucing liar di hutan way 9.4 66.6 6.8 15.9 1.3
kambas menjadi tanggung jawab…
Jika kucing liar mengancam keselamatan 6.8 47.8 13.7 27.1 4.6
penduduk atau hewan ternak, harus…
Masyrakat boleh memburu kucing liar 3.8 24.6 11.9 53.9 5.8
yang masuk ke pemukiman…
Pengelola hutan way kambas perlu 1.3 13.4 22.8 48.6 13.9
melibatkan masyarakat dalam menjaga…
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Universitas Indonesia
96
hutan Way Kambas penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Lebih
dari setengan responden setuju Felidae yang ada di luar maupun di dalam hutan
tetap dibiarkan hidup (51,2%). Sebagian besar responden juga setuju dan sangat
setuju bahwa masyarakat juga bertanggung jawab terhadap kelestarian Felidae dan
pengelola taman nasional perlu melibatkan mereka dalam menjaga kelestariannya.
Lebih dari 75% responden tidak setuju dan sangat tidak setuju kelestarian Felidae
di hanya menjadi tanggung jawab pengelola taman nasional saja. Meskipun
sebagian besar responden tidak setuju jika Felidae langsung dimusnahkan ketika
membahayakan keselamatan penduduk dan hewan ternak, tetapi mereka masih
mentolelir pemanfaatan Felidae untuk kepentingan pengobatan dan dijadikan
hewan peliharaan.
PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
97
Mean
Faktor Rata-rata 2 p1 Kategori
Rank2
Jenis kelamin 1,76±0.23 12,78 0,000 Laki-laki 207,10
Status dalam 1.54±0.40 18.16 0.000 Kepala keluarga 209,71
keluarga
Lama tinggal di 1.83±0.18 11.21 0.011 >39 tahun 223,33
lampung
Pendidikan 2.09±0.78 43.44 0.000 Tinggi 360,50
Pekerjaan 2.01±0.63 20.69 0.008 PNS 340,50
Jabatan di desa 2.16±0.62 45.70 0.000 Menjabat 279,40
Masuk TNWK 1.75±0.30 18.72 0.000 Ya 210,47
Tujuan masuk 2.13±0.29 11.61 0.000 Berburu 200,17
TNWK
Kegiatan konservasi 2.14±0.56 18.72 0.000 Ya 210,47
Gangguan hewan 1.87±0.11 4.39 0.000 Ya 209,75
1
Analisis ragam satu arah - Kruskal-Wallis, berbeda nyata pada α = 0,05
2
Rangking rata-rata dalam analisis ragam satu arah Kruskal-Wallis
Universitas Indonesia
98
konservasi. Mereka sebagian besar adalah pamong desa atau tokoh masyarakat.
Materi sosialiasi yang pernah diikuti oleh sebagian masyarakat juga tidak
berkaitan langsung dengan taman nasional, mengapa taman nasional dibentuk, apa
fungsinya, apa manfaatnya, bagaimana statusnya dan tujuan utama taman nasional
dibentuk. Pusat Konservasi Gajah merupakan salah satu sarana yang baik untuk
mensosialisasikan informasi tentang taman nasional, tetapi pada kenyataannya
informasi yang ada masih kurang memadai. Padahal 76% (n=306) dari
masyarakat yang mengunjungi atau masuk ke dalam taman nasional mengaku
berkunjung ke PKG.
Telaah literatur terhadap pengetahuan masyarakat lokal terhadap kawasan
konservasi menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian antara pengetahuan yang
relatif lebih tinggi tentang eksistensi kawasan konservasi dan ketidaktahuan
pentingnya kawasan konservasi dan tujuannya (Jim & Xu, 2002; Mangun et al.,
2009). Misalnya dalam penelitian di Madagaskar, Ormsby & Kaplin (2005)
mendokumentasikan bahwa 71% penduduk yang tinggal dekat dengan taman
nasional dan 67% yang tinggal lebih jauh dari taman nasional peduli terhadap
keberadaan taman nasional, namun mereka belum bisa menjelaskan apa tujuan
taman nasional ditetapkan oleh pemerintah. Ferreira & Freire (2009) dalam
penelitiannya di kawasan konservasi Brazil menemukan masyarakat lokal peduli
terhadap keberadaan kawasan konservasi, tetapi tidak familiar dengan tujuan dan
fungsinya. Pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional (Ormsby & Kaplin,
2005), manfaat yang dirasakan dan ketergantungan terhadap taman nasional
(Silori, 2007) dapat berpengaruh terhadap persepsi masyarakat lokal terhadap
taman nasional. Menurut Geoghehan & Renard (2002), pengetahuan dan persepsi
masyarakat tentang taman nasional dapat mempengaruhi sikapnya terhadap taman
nasional. Sikap dan hubungan masyarakat lokal dengan sumberdaya alam dan
kawasan konservasi sangat bervariasi antar individu atau rumah tangga karena
kondisi masyarakat lokal yang heterogen dan memiliki tata nilai berbeda-beda.
Pengetahuan laki-laki terhadap taman nasional dalam penelitian ini lebih
baik daripada perempuan. Hasil yang sama ditunjukkan dalam penelitian yang
dilakukan di Asia (Allendorf & Allendroft, 2012; Allendorf & Allendorf, 2013)
dan Afrika (Olomi-Sola et al., 2012). Peran laki-laki dalam komunitas
Universitas Indonesia
99
Universitas Indonesia
100
Universitas Indonesia
101
Universitas Indonesia
102
Universitas Indonesia
103
nasional. Bahkan staf lapangan yang secara rutin melakukan kegiatan rata-rata
15-20 hari di dalam hutan tidak pernah bertemu langsung dengan kucing emas.
Demikian pula dengan macan dahan dan kucing batu, selain kepadatannya rendah,
kedua spesies kucing ini bersifat arboreal. Sementara itu, kucing pesek sulit
ditemukan karena ukuran tubuhnya sangat kecil, sekretif, menghindari manusia
dan hidup pada habitat yang spesifik.
Mean
Faktor Rata-rata 2 p1 Kategori
Rank2
Jenis kelamin 64.64±2.26 8.52 0.004 Laki-laki 205,96
Universitas Indonesia
104
Universitas Indonesia
105
langsung pada masa lalu dan sekarang dengan spesies (Happold, 1995; Naha et
al., 2014) termasuk konflik, penggunaan untuk tujuan rekreasional, kepemilikan
dan status pengelolaan merupakan faktor penting yang menentukan persepsi
masyarakat terhadap satwa liar (Keller, 1994). Konsekuensinya, sangat penting
mengapresiasi interaksi ini dan memahami aspek ekologi manusia dan masalah-
masalah konflik manusia dan satwa liar. Pengelola taman nasional harus
mengelola konflik antara masyarakat dan satwa liar secara efektif, dan
mengembangkan strategi konservasi yang bermanfaat bagi manusia maupun
satwaliar (Happold, 1995).
Sesuai dengan beberapa penetian sebelumnya jenis kelamin dan
pendidikan berkaitan dengan persepsi terhadap satwa liar (Kaltenborn et al., 2006;
Lyamuya et al., 2014; Alexander et al., 2015). Hal ini berkaitan dengan peran
laki-laki yang lebih dominan pada masyarakat desa, terutama di negara
berkembang (Chettri et al., 2012). Laki-laki mendapat kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan lebih lebih baik sehingga berkesempatan mendapatkan
pekerjaan lebih baik dari wanita. Pada suku Maasai di Afrika, laki-laki yang
sebagian besar bersekolah, lebih menyukai mengunjungi alam liar sehingga
frekuensi bertemu dengan karnivora lebih tinggi dan merasa mendapatkan
manfaat darinya lebih tinggi daripada wanita (Lyamuya et al., 2014). Intensitas
bertemu dan berinteraksi dengan satwa liar dapat berpengaruh terhadap persepsi
positif.
Universitas Indonesia
106
mereka dengan manusia (Kellert et al., 1994). Persepsi dan sikap merupakan
bagian dari kebudayaan yang terbentuk dan dipengaruhi oleh sejumlah variabel
seperti usia (Campbell, 2012), jenis kelamin (Kaltenborn et al., 2006), pendidikan
(Lyamuya et al., 2014), agama yang dianut, dan etnis (Shelley et al., 2011).
Mean
Faktor Rata-rata 2 p1 Kategori
Rank2
Jenis kelamin 63.35±2.53 16.24 0.012 Laki-laki 204,82
Universitas Indonesia
107
Dari enam spesies Felidae, hanya harimau sumatra yang lebih dikenal,
diikuti kucing congkok. Secara budaya dan spiritual, harimau merupakan simbol
kekuatan, bersifat karismatik dan dianggap menakutkan. Pengetahuan masyarakat
terhadap empat spesies yang lain sangat rendah. Interaksi masyarakat dengan
Felidae sangat jarang terjadi, kecuali kucing congkok yang pernah dilihat
langsung oleh masyarakat, lima spesies yang lain tidak pernah. Yang menarik dari
Universitas Indonesia
108
Universitas Indonesia
109
Universitas Indonesia
110
KESIMPULAN
Universitas Indonesia
111
DAFTAR PUSTAKA
Adiparasetyo, T., Eriyatno, E. Noor & F. Sofyar. 2009. Sikap masyarakat lokal
terhadap konservasi dan taman nasional sebagai pendukung keputusan
dalam pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat: studi kasus di
Kabupaten Kerinci Seblat dan Lebong, Indonesia. Jurnal Bumi Lestari
9(2):173–186.
Allendorf, T.D. & K. Allendorf. 2013. Gender and attitudes toward protected
area. Society and Natural Resources. DOI:10.1080/08941920.2012.729295
Allendorf, T.D., J.L.D. Smith & D.H. Anderson. 2007. Residen’s perceptions of
Royal Bardia National Park, Nepal. Landscape and Urban Planning 82 :
33–40
Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam & A.J. Whitten. 1987. Ekologi Ekosistem
Sumatra. Terj. dari The Ecology of Sumatra, oleh Anwar, J., S.J.
Damanik, N. Hisyam & A.J. Whitten. 1987. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta: xvi + 653 hlm.
Bastoni & Apriawan. 1999. Metode monitor satwa liar secara intensif di hutan
hujan tropis dengan remote camera system (Trailmaster). Dalam: Tilson,
R.L. (Ed.). Konservasi dan Manajemen In-situ Dalam Penyelamatan
Harimau Sumetera. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra. Lampung:
16–20.
Universitas Indonesia
112
Campbell, M.O. 2012. The relevance of age and gender for public attitudes to
brown bears (Ursus arctos), black bears (Ursus americanus) and cougars
(Puma concolor) in Kamloops, British Columbia. Society and Animalia.
DOI: 10.1163/15685306-12341260
Ebua, V.B., T.E. Agwafo & S.N. Fonkwo. 2011. Attitudes and perception as
threats to wildlife conservation in the Bakossi area, South West Cameroon.
International Journal of Biodiversity and Conservation 3(12): 631–636
Ericsson, G & T.A. Heberlein. 2003. Attitude of hunters, locals, and the general
public in Sweeden now that the wolves are back. Biological Conservation
111: 149–159
Ferreira, M.N.E. & N.C. Freire. 2009. Commmunity perception of four protected
areas in the nothern portion of the Ceraddo hotspot, Brazil. Environmental
Conservation 36(2): 129–138
Happold, D.C.D. 1995. The interactions between humans and mammals in Africa
in relation to conservation: a review. Biodiversity and Conservation 4:
395–414.
Universitas Indonesia
113
Huber, M., M. Jungmeier, S. Lange & S. Chaudhary. 2013. Knowledge, park and
cultures transcultural exchange of knowledge in protected area: Case
studies from Austria and Nepal. Proceedings in the Management of
Protected Area Vol 5. Katmandhu: 229 hlm.
Jacobs, M.H., J.J. Vaske & J.M. Roemer. 2012. Towards a mental systems
approach to human relationship with wildlife: the role of emotional
dispositions. Human Dimensions of Wildlife 17: 4–15
Jim, C.Y. & W. Xu. 2002. Stifled stakeholders and subdued participation:
interpreting local responses toward Shimentai Nature Reserve in South
China. Environmental Management 30(3): 327–341
Kaltenborn, B.P., T. Bjerke, J.W. Nyahongo & D.R. Williams. 2006. Animal
preferences and acceptability of wildlife management actions around
Serengeti National Park, Tanzania. Biodiversity and Conservation 15:
4633–4649
Kellert, S.R. 1994. Public attitudes toward bears and their conservation.
Resources and Management 9: 43–50.
Universitas Indonesia
114
Kinnaird, M. F., E.W. Sanderson, S.J. O'Brien, H.T. Wibisono & G. Woolmer.
2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for
endangered large mammals. Conservation Biology 17(1): 245–257
Kleiven, J., T. Bjerke & B.P. Kaltenborn. 2004. Factor influencing the social
acceptability of large cernivore behaviors. Biodiversity and Conservation
13: 1647–1658
Li, L., J. Wang, J. Shi, Y. Wang, W. Liu & X. Xu. 2010. Factors influencing
local people’s attitudes towards wild board in Taohongling Nature Reserve
of Jiangxi Province, China. Procedia Environmental Sciences 2:1846–
1856
Linkie, M., H.T. Wibisono, D.J. Martyr, & S. Sunarto. 2008. Panthera tigris
ssp. sumatrae. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species.
Version 2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 07:54
Lyamuya, R.D., E.H. Mansenga, F.P. Mbise, R.D. Fyumagwa, M.N. Mwita & E.
Roskafth. 2014. Attitudes of Maasai pastoralists towards the conservation
of large carnivores in the Lolindo Game Controlled Area of Northern
Tanzania. International Journal of Biodiversity and Conservation 6(11):
797–805
Mangun, J.C., C.A. Degia & M.A. Davenport. 2009. Neighbors yet strangers:
local people’s of Cypress Creek National Wildlife Refuge, Southern
Illinois, USA. Society and Natural Resources 22:295–307
Murray, J.V., S.L. Choy, C.A. McAlpine, H.P. Possingham & A.W. Goldizen
2008. The importance of ecological scale for widelife conservation in
naturally fragmented environments: A case study of the brush-tailed rock-
wallaby (Petrogale penicillata). Biological Conservation 141: 7–22
Naha, D., Y.V. Jhala, Q. Qureshi, M. Roy & K. Sankar. 2014. Socio-economic
status and perception of fishermen towards resolving human-tiger conflict
around Sundarban Tiger Reserve, India. Journal Scientific Transactions in
Environment and Technovation 8(2): 84–91
Universitas Indonesia
115
Nowel, K. 2009. Cats on the 2009 Red List of Threatened Species. CAT news.
Autumn 51: 32–33
Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Gland Switzerland: xxiv +
383 hlm.
Nyhus, P.J. 1999. Elephants, tigers and transmigrants: conflict and conservation
at Way Kambas National Park, Sumatra, Indonesia. Thesis. University of
Wisconsin. Madison. USA.
PHPA. 1995. Way Kambas National Park Management Plant 1994-2019 Volume
II: Data Projections and Analysis. Word Bank, Loan No.3423-IND. Bogor:
xx + 245 hlm.
Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
landscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217
Universitas Indonesia
116
Schlegel, J & R. Rupf. 2009. Attitudes towards potential animal flagship species
in nature conservation: a survey among students of different educational
institutions. Journal of Nature Conservation 18: 278–290
Shelley, V., A. Treves & L. Naughton. 2011. Attitudes to wolve and wolf policy
among Ojibwe tribal members and non-tribal resident of Winconsin’s
Wolf Range. Human Dimentions of Wildlife 16: 397–413
Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–6.
SPSS Inc. Released 2007. SPSS for Windows, Version 16.0. Chicago, SPSS Inc.
Sunarto, S., M.J. Kelly, K. Parakkasi & M.B. Hutajulu. 2015. Cat coexistence in
central Sumatra: ecological characteristics, spatial and temporal overlap,
and implications for management. Journal of Zoology 296(2): 104–115
Takon, T.J., A. Titus & O.E. Daniel. 2013. Assesment of local people attitude
towards natural resources conservation in Boki Local Goverment Area
Cross River State, Nigeria. Research Journal in Organizational Psyhology
and Educational Studies 2(2): 60–66
Universitas Indonesia
117
van Dalum, M. 2013. Attitude change towards wildlife conservation and the role
of environmental education. Thesis. Utrecht University. Netherlands.
Weladji, R., S. Moe, & P. Vedeld. 2003. Stakeholder attitudes wildlife policy and
Bénoué Wildlife Conservation Area, North Cameroon. Environmental
Conservation 30: 334–343.
Universitas Indonesia
118
KUESIONER PENELITIAN
- - - - -
Kec. Desa Dusun Tgl Bln Th No
Nomor Entri Data
Kecamatan :
Desa :
Dusun :
Pewawancara :
Waktu wawancara : Mulai : Selesai :
Input Data : : - : -
A. INFORMASI DASAR
Universitas Indonesia
119
13. a. Disamping pekerjaan tetap tersebut, apakah Saudara mempunyai pekerjaan sampingan ?
⃝ Ya ⃝ Tidak
b. Jika ya, sebutkan:.................................
B. PENGALAMAN DAN PENGETAHUAN TERHADAP TAMAN NASIONAL WAY
KAMBAS (TNWK)
1. Menurut Saudara, apa nama lengkap hutan suaka yang berbatasan dengan desa Saudara ?
a. Sebutkan :........................................................................................................................................
b. Tidak tahu
2. Menurut Saudara, apakah yang dimaksud dengan Taman Nasional Way Kambas ?
a. Pusat Latihan Gajah (PLG)/Pusat Konservasi Gajah (PKG) saja
b. Seluruh wilayah hutan Way Kambas Saja
c. PLG dan seluruh hutan Way Kambas
d. Tidak tahu
3. Menurut Saudara, kira-kira tahun berapa TNWK ditetapkan ?
a.Tahun :............................. b. Tidak tahu
4. Menurut perkiraan saudara, berapa luas areal TNWK ?
a. ..................ha b. Tidak tahu
Universitas Indonesia
120
Universitas Indonesia
121
1. Menurut Saudara, apa yang dimaksud dengan Felidae ? ⃝ Tidak tahu ⃝ Tahu
Felidae/kucing alas
adalah:..............................................................................................................................
2. Apakah Saudara tahu dengan harimau ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
3. Apakah Saudara tahu dengan macan dahan ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
4. Apakah Saudara tahu dengan kucing emas ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
5. Apakah Saudara tahu dengan kucing batu ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
6. Apakah Saudara tahu dengan macan akar ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
7. Apakah Saudara tahu dengan kucing pesek ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
Pernaha lihat
Ada di TNWK ?
langsung ? Lihat
Gbr Nama Binatang
ya tdk ? ya tdk ? Dimana ?
1 2 3 1 2 3
8. A ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
9. B ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
10. C ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
11. D ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
12. E ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
13. F ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
Universitas Indonesia
122
Sangat
Tidak Ragu Sanagt
No Pernyataan Tidak
Setuju -ragu
Setuju
Setuju
Setuju
1. Felidae perlu dilindungi dan dilestarikan karena menjaga
hutan hutan suaka way kambas tetap sehat ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
2. Felidae yang berada di dalam maupun di luar hutan suaka
way kambas perlu dibiarkan hidup ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
3. Masyarakat boleh memburu Felidae yang masuk ke
pemukiman penduduk/desa. ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
4. Jika Felidae mengancam keselamatan penduduk atau
hewan ternak, harus segera dibunuh ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
5. Felidae dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kepentingan pengobatan. ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
6. Masyarakat boleh menangkap dan memelihara Felidae
yang masuk ke desa/pemukiman penduduk. ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
7. Pengelola hutan suaka way kambas perlu melibatkan
masyarakat dalam menjaga kelestarian Felidae ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
8. Melindungi Felidae tidak penting karena hanya
membuang-buang biaya saja ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
9. Kelestarian Felidae di hutan suaka way kambas menjadi
tanggung jawab sepenuhnya pengelola hutan suaka way ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
kambas.
10. Kelestarian Felidae di juga menjadi tanggung jawab
masyarakat sekitar. ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
D. PERSEPSI TERHADAP FELIDAE
Mohon tunjukkan pendapat atau tanggapan Saudara terhadap pernyataan-pernyataan berikut ini dengan
menyatakan Sangat Tidak Setuju STS, Sangat Setuju, Ragu-ragu, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju.
Saudara tidak perlu menjelaskan alasan mengapa memilih jawaban tersebut.
Pertanyaan/survei selesai sampai disini, apakah ada pertanyaan khusus Saudara kepada kami ?
Terimakasih sekali lagi atas waktu yang diberikan serta bantuan Saudara menjawab pertanyaan-
pertanyaan di atas.
Universitas Indonesia
123
(c) (d)
(e) (f)
Universitas Indonesia
124
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Universitas Indonesia
125
(g) (h)
(i) (j)
Universitas Indonesia
126
Skor
pengetahuan
Faktor Kategori Jumlah SD df 2 1) p-value
terhadap taman
nasional
Jenis kelamin Pria 322 1.92 0,841 1 12.784 0.000**
Wanita 78 1.60 0.909
Umur 0-17 2 1.00 0.000 3 6.546 0.088
18-45 192 1.79 0.818
45-60 176 1.97 0.906
65+ 25 1.76 0.831
Status dalam keluarga Kepala keluarga 306 1,95 0,873 3 18.160 0.000**
Istri 69 1,55 0,758
Anak 18 1,67 0,767
Lainnya 2 1,00 0,000
Lama bermukim di 3
0-16 47 1,64 0,819 11.206 0.011**
Lampung
17-27 69 1,78 0,745
28-38 166 1,82 0,848
39+ 113 2,07 0,933
Alasan bermukim di 3
Lahir disini 168 1,95 0,891 6.128 0.106
Lampung
Ikut orang tua 85 1,74 0,726
Transmigrasi 33 1,58 0,663
Lainnya 109 1,92 0,944
Daerah asal Jawa 149 1,75 0,829 4 7.338 0.119
Sumatra 35 1,77 0,877
Sumatra-Jawa 205 1,95 0,879
Sumatra-Bali 4 2,00 0,816
Lainnya 2 2,50 0,707
Agama Islam 379 1,86 0,864 3 2.822 0.420
Kristen 8 2,12 0,835
Protestan 4 1,50 0,577
Hindu 4 2,25 0,957
Pendidikan Tidak sekolah 15 1,27 0,456 4 43.444 0.000**
Dasar 198 1.72 0,807
Menengah 98 1,84 0,714
Atas 78 2,27 0,989
Tinggi 6 3,33 0,516
Pekerjaan Tani 291 1.85 .0,854 8 20.693 0.008**
Wirausaha 36 1.97 0,845
Nelayan 8 2.12 0,991
Ibu RT 29 1.62 0,820
PNS 5 3.20 0,837
Karyawan 8 2.00 0,926
Buruh 13 1.62 0,650
Guru 3 2.67 0,577
Pelajar 2 1.00 0,000
Status pernikahan Belum menikah 24 1,71 0,690 2 0.817 0.664
Menikah 369 1,88 0,873
Janda/duda 2 1,50 0,707
Jumlah anak 0 30 1,70 0,702 4 5.203 0.267
1 75 1.76 0,803
2 130 2,01 0,976
3 75 1,87 0,741
>3 85 1,79 0,860
Jabatan di desa Ya 65 2,60 1,028 1 45.700 0.000**
Tidak 330 1,72 0,745
Pernah masuk TN Ya 306 1,96 0,886 1 18.723 0.000**
Tidak 89 1,53 0,676
Tujuan masuk Rekreasi 233 1.88 0.885 5 11.607 0.041*
Bekerja 9 2.44 1.014
Memancing ikan 26 2.23 0.652
Berburu 3 2.33 0.577
Mencari rumput 29 2.21 1.013
Mencari kayu 6 1.67 0.516
Ikut kegiatan konservasi Pernah 60 2.53 0.999 1 18.723 0.000**
Tidak pernah 335 1.74 0.778
Gangguan hewan Ya 188 1.95 0.864 1 4.393 0.000**
Tidak 207 1.79 0.855
1)
Analisis ragam satu arah, Kruskal-Wallis pada α=0.05 ; ** p < 0.01 ; * p < 0.05
Universitas Indonesia
127
Universitas Indonesia
128
Rata-rata
Faktor Kategori Jumlah SD df 2 p-value
skor persepsi)
Jenis kelamin Pria 322 66.23 8.517 1 8,519 0,004**
Wanita 78 63.04 6.993
Umur 0-17 2 66.00 8.485 3 0.208 0,976
18-45 192 65.81 8.339
45-60 176 65.48 8.576
65+ 25 65.44 6.989
Status di keluarga Kepala keluarga 306 66.25 8.438 3 9,330 0,025*
Istri 69 63.22 7.302
Anak 18 65.33 9.255
Lainnya 2 59.00 1.414
Lama di Lampung 0-16 47 64.43 6.685 3 2,021 0,568
17-27 69 65.28 8.938
28-38 166 66.34 8.688
39+ 113 65.35 8.073
Alasan di Lampung Lahir disini 168 66.27 8.513 3 2,833 0,418
Ikut orang tua 85 64.40 8.490
Transmigrasi 33 64.67 6.158
Lainnya 109 65.93 8.498
Daerah asal Jawa 149 64.64 7.967 4 3,519 0,475
Sumatra 35 65.49 8.136
Sumatra-Jawa 205 66.36 8.513
Sumatra-Bali 4 68.50 15.000
Lainnya 2 63.00 1.414
Agama Islam 379 65.54 8.222 3 3,448 0,328
Kristen 8 64.75 10.951
Protestan 4 70.00 6.928
Hindu 4 72.50 14.083
Pendidikan Tidak sekolah 15 62.13 5.878 4 35,782 0,000**
Dasar 198 63.99 7.904
Menengah 98 65.43 7.668
Atas 78 69.92 8.717
Tinggi 6 76.67 5.888
Pekerjaan Tani 291 64.85 8.156 8 31,875 0,000**
Wirausaha 36 69.39 8.496
Nelayan 8 67.25 6.840
Ibu Rumah Tangga 29 63.45 6.300
PNS 5 81.60 2.608
Karyawan 8 71.00 10.085
Buruh 13 64.77 6.353
Guru 3 77.33 6.429
Pelajar 2 66.00 8.485
Status pernikahan Belum menikah 24 64.83 10.248 2 2,004 0,367
Menikah 369 65.72 8.226
Janda/duda 2 60.00 2.828
Jumlah anak 0 30 64.60 8.854 5 4,172 0,383
1 75 66.00 8.101
2 130 66.82 8.947
3 75 64.85 8.293
>3 85 64.59 7.321
Jabatan di desa Ya 65 69.85 8.532 1 19,112 0,000**
Tidak 330 64.81 8.060
Pernah masuk TNWK Ya 306 66,28 8,613 1 6,754 0,009**
Tidak 89 63,44 6,928
Tujuan masuk TNWK Rekreasi 233 66,09 8,441 5 4,830 0,437
Bekerja 9 70,44 10,899
Memancing ikan 26 67,15 9,177
Berburu 3 70,00 10,392
Mencari rumput 30 66,33 8,727
Mencari kayu 6 60,40 7,403
Kegiataan konservasi Pernah 60 66,28 8,613 1 6,754 0,000**
Tidak pernah 335 63,44 6,928
Gangguan hewan Ya 188 66,27 8,570 1 1,838 0,175
Tidak 207 65,07 8,105
1) **
Analisis ragam satu arah, Kruskal-Wallis pada α=0.05. p < 0.01 * p < 0.05
Universitas Indonesia
129
Universitas Indonesia
DISKUSI PARIPURNA
Universitas Indonesia
131
2006; Gray & Phan, 2011), kepadatan dan perilaku (Sunarto et al., 2015 ), dan
karakteristik habitat (Azlan et al., 2003; Wilting et al., 2010 ).
Peluang keberadaan kucing pesek masih cukup tinggi berdasarkan
informasi dari penduduk yang pernah melihat secara langsung kucing ini (Wayan
Sadi & Komarudin, 2015, komunikasi pribadi ). Informasi dari kedua penduduk
ini kemungkinan besar benar karena mereka dapat menyebutkan ciri-ciri kucing
ini secara tepat sebelum melihat foto yang ditunjukkan kepada mereka. Meskipun
demikian, masih perlu dilakukan survei atau pemasangan perangkap kamera pada
skala yang lebih sempit sesuai dengan karakteristik habitat kucing pesek
berdasarkan informasi tersebut dan informasi hasil penelitian di Kalimantan
(Azlan & Sharma, 2006; Wadey et al., 2014). Kemungkinan kucing emas
ditemukan kembali di taman nasional ini kecil karena dua alasan. Pertama,
berdasarkan beberapa hasil penelitian di Sumatra, kucing ini lebih umum
ditemukan di daerah perbukitan pada ketinggian diatas 200 m dpl. (Wibisono &
McCarthy, 2010; Sunarto et al., 2015; McCarthy et al., 2015; Pusparini et al.,
2014). Pada dataran rendah (Kampar, Kerumutan dan Tesso Nilo) di bawah 100 m
dpl. Sunarto et al. (2015) tidak menemukan kucing ini. Topografi TNWK datar
dengan ketinggian maksimal 52 m dpl., diduga bukan merupakan habitat terbaik
bagi kucing emas. Kedua, diduga kucing emas kalah bersaing dengan harimau
sumatra dan macan dahan, karena spesies ini tidak memiliki kemampuan untuk
memanjat, sementara itu variasi topografi relatif seragam. Di daerah perbukitan,
kucing emas menempati daerah tertinggi untuk menghindari kompetisi dengan
harimau dan macan dahan (Sunarto et al., 2015).
Berdasarkan Indek Kelimpahan Relatif (IKR), harimau sumatra dan
kucing congkok lebih lebih sering tertangkap kamera dibanding kucing batu dan
macan dahan. Diduga taman nasional ini merupakan habitat yang lebih sesuai
sebagai habitat hidup harimau sumatra dan kucing congkok daripada macan dahan
dan kucing batu, sehingga kepadatannya lebih tinggi. Ketersediaan mangsa dan
keragaman tipe vegetasi menjadikan taman nasional ini sebagai habitat yang baik
bagi harimau dan kucing congkok. Di seluruh daerah penyebarannya, kucing
congkok paling umum dijumpai (Sanderson et al., 2008a; Jinping, 2010). Kucing
ini bersifat oportunis dalam hal pemilihan habitat, dapat beradaptasi dengan baik
Universitas Indonesia
132
pada habitat yang terganggu (Nowell & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist,
2002) pekarangan dan perkebunan (Rajaratnam et al., 2007; Silmi et al., 2013).
Mangsa utama kucing congkok dari famili Muridae (Grassman. et al., 2005a;
Austin et al., 2007; Rajaratnam et al., 2007) melimpah dan lebih mudah di dapat
pada habitat terganggu (Silmi et al., 2013). Indeks Kelimpahan Relatif harimau
sumatra lebih tinggi karena kucing ini merupakan spesies dominan dari Felidae
yang lain (Povey & Spalding, 2007). Kucing berukuran lebih kecil yang
mempunyai jenis makanan sama dengan harimau (misalnya macan dahan)
cenderung akan menempati relung berbeda misalnya dengan menggunakan daerah
dengan ketinggian yang berbeda atau waktu beraktivitas yang berbeda (Sunarto et
al., 2015). Harimau menyukai jalur yang sudah permanen dan lebar di dalam
hutan (Kawanishi, 2002), menggunakan hampir semua tipe habitat di dalam hutan
dan memiliki jenis mangsa yang beragam. Menurut Ngoprasert et al. (2013),
distribusi Felidae dipengaruhi ketersediaan mangsa dan kompetitor potensial,
sehingga laju perangkap kamera spesies Felidae dapat dipengaruhi oleh
kemampuan mereka beradaptasi terhadap berbagai tipe habitat dan keragaman
spesies mangsa.
Kepadatan macan dahan di Sumatra umumnya lebih rendah daripada di
Kalimantan dan daratan Asia (Hearn et al., 2013), karena macan dahan bersaing
dengan harimau sumatra dalam mendapatkan mangsa dan habitat terbaik (Sunarto
et al., 2015). Hasil penelitian di daratan Asia menunjukkan kepadatan macan
dahan tinggi ketika kepadatan kucing besar rendah (Grassman et al., 2005b;
Cheyne & Macdonald, 2011). Dibandingkan dengan hasil penelitian Sunarto et al.
(2015), dan Cheyne & Macdonald (2011), IKR kamera kucing batu dalam
penelitian ini lebih rendah. Menurut Nowell & Jackson (1996) di Kalimantan dan
Sumatra kucing batu relatif jarang ditemukan karena di seluruh daerah
penyebarannya lebih menyukai hutan perbukitan (Holden, 2001; Grassman et al.,
2004). Kucing batu umumnya berasosiasi dengan hutan basah dan hutan hujan
tropis (Sunquist & Sunquist, 2002), lebih menyukai hutan perbukitan (Holden,
2001; Grassman et al., 2005b).
Dalam penelitian ini harimau Sumatra aktif pada siang dan malam hari
(cathemeral), konsisten dengan literatur (Nowel & Jackson, 1996; Povey &
Universitas Indonesia
133
Spaulding, 2007) dan sejumlah penelitian lain di Sumatra dan Asia Tenggara
(O’Brien et al., 2003; Hutajulu, 2007; Ridout and Linkie, 2009; Linkie &
Ridout, 2011; Lynam et al., 2013; Azlan & Sharma, 2006; Pusparini et al.,
2014; Sunarto et al., 2015; Kawanishi & Sunquist, 2004). Menurut Povey &
Spaulding (2007) harimau merupakan predator dominan di Asia Tenggara.
Mereka biasanya aktif saat malam, menjelang subuh dan menjelang sore, tetapi
bisa aktif kapan saja. Pola aktivitas harimau dipengaruhi oleh kepadatan,
distribusi dan aktivitas satwa mangsa. Kucing batu aktif pada siang dan malam
hari (cathemeral), berbeda dengan literatur yang menyatakan aktif pada malam
hari (Nowel & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist, 2002). Lynam et al. (2013)
di Kalimantan mendapatkan masing-masing 10 dan 4 foto kucing batu pada siang
hari sedangkan Azlan (2009) menemukan hanya tiga dari 17 foto kucing batu
yang didapat antara tahun 2007- 2010 tertangkap kamera pada malam hari. Hasil
penelitian di Sumatra lainnya menunjukkan kucing ini aktif siang dan malam hari
(Sunarto et al., 2015; Pusparini et al., 2014). Diduga pola aktivitas kucing batu ini
merupakan mekanisme mengurangi kompetisi dengan kucing congkok. Kedua
spesies ini memiliki jenis mangsa yang mirip terutama dari Famili Muridae.
Secara temporal tumpang tindih kucing batu dan kucing congkok terendah
dibandingkan dengan harimau sumatra dan macan dahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan kucing congkok lebih banyak aktif pada
malam hari (mostly nocturnal), dengan puncak aktivitas pada pukul 03.00 dan
19.00. Hasil ini seseuai dengan penelitian lain di Sumatra (Sunarto et al., 2015;
McCarthy et al., 2015 dan Pusparini et al. 2014), di Thailand (Lynam et al., 2013)
dan di Semenanjung Malaysia (Azlan & Sharma, 2006). Pola ini berkorelasi
dengan aktivitas mangsa utama kucing congkok yang sebagian besar bersifat
nokturnal (Austin et al., 2007; Rajaratnam et al., 2007). Aktivitas macan dahan
bersifat mostly nocturnal (sebagian besar malam hari), sesuai dengan literatur
(Nowel & Jackson, 1996) dan penelitian lain di Sumatra (Sunarto et al., 2015;
Hutajulu, 2007) dan Borneo (Hearn et al., 2013), tetapi berbeda dengan Pusparini
et al. (2014), McCarthy et al. (2015), dan Ridout & Linkie (2009) yang
menyatakan aktif siang dan malam hari (cathemeral). Secara temporal tumpang
tindih aktivitas macan dahan dan harimau sumatra cukup tinggi, tetapi rendah
Universitas Indonesia
134
Universitas Indonesia
135
Universitas Indonesia
136
(Ormsby & Kaplin, 2005; Silori, 2007; Geoghehan & Renard, 2002). Rendahnya
pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional diduga karena minimnya
interaksi antara staf taman nasional dengan masyarakat, kurangnya informasi
publik tentang taman nasional dan belum adanya program pendidikan lingkungan
yang direncanakan dengan baik dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional berasosiasi dengan
gender, tingkat pendidikan dan interaksi dengan taman nasional. Seperti di
negara-negara berkembang lainnya, laki-laki memiliki pengetahuan yang lebih
baik daripada wanita (Olomi-Sola, 2012; Allendorf & Allendorf, 2012; Allendorf
& Allendorf, 2013). Perbedaan ini disebabkan perbedaan peran dan fungsi laki-
laki dan wanita pada masyarakat desa. Umumnya laki-laki lebih dominan dalam
masyarakat desa dan lebih banyak berinteraksi dengan taman nasional daripada
wanita (Chettri et al., 2012). Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi
mempunyai pengetahuan lebih baik daripada yang berpendidikan rendah (van
Dalum, 2013).
Jika diurutkan dari spesies yang paling dikenal sampai yang tidak dikenal
oleh masyarakat, harimau sumatra menempati urutan pertama diikuti kucing
congkok, macan dahan, kucing emas. Tidak satu pun responden yang mengenal
kucing batu dan kucing pesek. Harimau dan kucing congkok lebih dikenal karena
kedua spesies ini familiar dalam kehidupan masyarakat. Harimau menjadi spesies
prioritas konservasi di Indonesia, regional maupun global, sehingga publikasi dan
informasi mengenai spesies ini tersebar luas dan mudah di dapat. Sementara itu
kucing congkok dikenal masyarakat sekitar karena masih ada diantara mereka
yang dapat bertemu langsung dengan spesies ini. Kucing congkok masih dapat
ditemukan di ladang atau kebun bahkan di pekarangan. Kadang-kadang kucing
ini memangsa ternak penduduk (ungggas), masyarakat lokal lebih umum
mengenal kucing ini sebagai macan akar. Faktor yang mempengaruhi mengapa
satu spesies lebih dikenal daripada spesies yang lain antara lain: memiliki mitos
tertentu dalam masyarakat, menjadi simbol spiritual dan budaya, bersifat
kharismatik, menjadi spesies bendera (flagship spesies) atau spesies payung
(umbrella species) dalam konservasi, mudah ditemukan dan dilihat secara
langsung maupun tidak langsung (kelimpahan tinggi atau gambar atau videonya
Universitas Indonesia
137
mudah dilihat dan ditemukan). Informasi mengenai empat spesies Felidae yang
lain tidak mudah didapat oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
Pengelola taman nasional sesungguhnya telah memiliki modal penting
dalam upaya konservasi Felidae. Secara umum persepsi dan sikap masyarakat
terhadap konservasi Felidae positif. Sebagaian besar masyarakat lokal
menganggap Felidae bukan merupakan hewan yang mengancam keselamatan
penduduk maupun hewan ternak. Mereka juga masih percaya bahwa Felidae
berperan penting dalam ekosistem taman nasionaal dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Gabrialdi & Turner (2004), persepsi dan sikap positif terhadap alam dan
satwaliar bisa menjadi indikator baik terhadap konservasi. Konservasi
keanekaragaman hayati dapat bekerja dengan baik apabila masyarakat memiliki
sikap positif terhadap alam. Jika ada satu wilayah yang kaya dengan
keanekaragaman biologi dan masyarakat memiliki sikap positif terhadap alam,
maka area semacam ini merupakan tempat yang baik untuk mulai dilindungi.
Persepsi dan sikap positif ini berasosiasi terutama dengan jenis kelamin
(Kaltenborn et al., 2006; Roskaft et al., 2007; Lyamuya et al., 2014; Alexander et
al., 2015), tingkat pendidikan (Roskaft et al., 2007; Lescureux et al., 2012;
Lagendijk & Gusset, 2008; Kaltenborn et al., 2006; Allendorf et al., 2007) dan
interaksi masyarakat dengan satwa liar (Lyamuya et al., 2014).
Persepsi dan sikap positif ini sampai saat ini masih terjaga karena selama
ini keberadaan Felidae di dalam taman nasional tidak merugikan masyarakat
sekitar. Oleh karena itu perlu dirumuskan strategi agar kondisi ini tetap terjaga
bahkan ditingkatkan lagi melalui program-program yang terarah dan terukur.
Program atau rencana pengelolaan diharapkan tepat sasaran, memberikan manfaat
kepada masyarakat sekitar, dan tidak bersifat proyek yang berjalan hanya sesaat.
Dengan menjaga hubungan baik masyarakat dengan taman nasional, masyarakat
dengan satwa liar, masyarakaat dengan petugas taman nasional, kelestarian
Felidae di taman nasional ini akan tetap terjaga.
Universitas Indonesia
138
Universitas Indonesia
139
Universitas Indonesia
140
Universitas Indonesia
141
Tabel 4.2. Intensitas bentuk aktivitas pengelolaan pada zona pengelolaan Felidae
di Taman Nasional Way Kambas. Banyaknya tanda plus (+) menunjukkan
tingginya intensitas pengelolaan
Bentuk Zona
aktivitas
Inti Penyangga Integrasi Pemukiman
pengelolaan
Penelitian
++ ++ ++ +
ekologi
Pengelolaan
habitat dan ++ ++ +++ -
restorasi
Perlindungan
+++ +++ ++ -
dan pengamanan
Pendidikan
konservasi dan
kampanye - - - +++
kepedulian
masyarakat
Universitas Indonesia
142
Restorasi habitat
Menurut Sunarto et al. (2015), untuk menjaga dan mendorong
keanekaragaman spesies Felidae, perlu memahami habitat yang dibutuhkan oleh
spesies Felidae dan bagaimana mengantisipasi interaksi antar spesies Felidae yang
dapat menghalangi sejumlah spesies menghuni habitat tertentu. Keanekaragaman
spesies Felidae pada suatu lansekap ditentukan oleh dua hal. Pada skala luas,
merupakan representasi dari perbedaan tipe hutan sebagai salah satu syarat untuk
mengakomodasi Felidae yang menghuni tipe habitat unik. Pada skala yang lebih
sempit, area yang mempunyai mosaik habitat dengan variasi vegetasi dan fitur
lansekap, lebih mungkin mengakomodasi lebih banyak spesies daripada yang
didominasi oleh sedikit atau satu tipe habitat. Konsekuensinya, semakin banyak
variasi tipe habitat maka luas area untuk setiap tipe habitat semakin terbatas.
Tanpa modifikasi dan pengelolaan secara intensif, tidak mungkin dapat dicapai
keanekaragaman spesies dan kepadatan tinggi pada waktu dan tempat yang sama.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepadatan harimau sumatra
dan kucing congkok cukup tinggi di hutan sekunder. Mereka hidup ko-eksis
karena perbedaan ektrim ukuran tubuh dan preferensi jenis mangsa. Kepadatan
kedua spesies ini cukup tinggi sehingga dihipotesiskan kemungkinan tidak ada
ruang lagi sebagai tempat hidup macan dahan dan kucing batu. Indeks
Kelimpahan Relatif yang rendah pada macan dahan dan kucing batu
mengindikasikan rendahnya adaptasi kedua spesies ini di hutan dataran rendah.
Harimau sumatra dan kucing congkok berpotensi menghalangi kedua spesies ini
Universitas Indonesia
143
hidup di habitat ini. Kemampuan macan dahan dan kucing batu hidup pada strata
hutan (arboreal) mungkin merupakan bentuk adaptasi sebagai respon dari
kompetisi tersebut.
Sementara itu habitat semak belukar dan alang-alang tidak terlalu
mendukung keanekaragaman dan kepadatan spesies Felidae. Modifikasi habitat
dengan cara restorasi habitat terutama alang-alang akan sangat penting
memperluas habitat Felidae. Upaya restorasi alang-alang di taman nasional ini
telah dilakukan oleh beberapa lembaga konservasi dan pengelola taman nasional.
Upaya restorasi dilakukan dengan cara penanaman kembali kawasan yang
ditumbuhi alang-alang dengan tumbuhan asli maupun merawat tanaman asli yang
telah tumbuh dengan sendirinya. Namun demikian, upaya restorasi ini seringkali
mengalami kegagalan akibat kebakaran yang terjadi pada saat musim kemarau
baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu upaya restorasi alang-
alang harus diimbangi dengan upaya pengamanan area ini dari bahaya kebakaran
terutama yang disebabkan oleh aktivitas ilegal manusia.
Universitas Indonesia
144
Universitas Indonesia
145
dalam konservasi spesies lokal sehingga mereka merasa satwa liar tersebut
merupakan milik mereka sendiri. Rasa memiliki spesies ini mendukung program
konservasi karena mengurangi biaya monitoring satwa liar oleh pengelola dan
dapat mengurangi pemanenan ilegal spesies karena dijaga oleh masyarakat
sendiri.
Pendidikan konservasi dan kampanye penyadaran masyarakat dapat
dilakukan secara formal maupun informal. Efektivitas pendidikan konservasi
dimulai dengan pelibatan dan penentuan audien. Motivasi untuk berubah,
keterbukaan untuk menerima informasi baru dan kemauan untuk ikut
berpartisipasi dalam pendidikan konservasi merupakan faktor krusial untuk
merubah sikap positif terhadap satwa liar. Audien dapat dikelompokkan ke dalam
anak sekolah, anak muda, masyarakat umum dan masyarakat lokal. Langkah
berikutnya agar pendidikan konservasi berjalan efektif adalah memahami sikap
audien target terhadap satwa liar dan taman nasional. Informasi ini bisa diperoleh
melalui survei atau hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Pendidikan konservasi secara informal dapat dilakukan melalu diseminasi
informasi melalaui komunitas lokal, media massa (koran lokal, radio, televisi) dan
kegiatan budaya tradisional. Penyaluran informasi dapat dilakukan melalui
kelompok masyarakat yang telah ada antara lain kelompok persatuan kepala desa,
lembaga-lembaga desa, pencinta alam, pramuka, PKK dan kelompok tani atau
institusi lain yang berkaitan. Program pendidikan konservasi dirancang
sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kelompok sasaran. Misalnya pendidikan
lingkungan yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan
dan pengalaman mereka terhadap taman nasional.
Program pendidikan konservasi secara formal dapat dilakukan di dalam
lembaga pendidikan mulai tingkat TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
Materi pendidikan konservasi dapat dimasukkan kedalam kurikulum melalui
muatan lokal atau disisipkan dalam mata pelajaran tertentu yang berkaitan dengan
konservasi alam. Mungkin perlu membuat modul atau bahan ajar yang
disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Pengelola taman nasional dapat juga
melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat yang beraktivitas di taman nasional
dalam program semacam ini sebagai fasilitator, nara sumber atau pendidik.
Universitas Indonesia
146
Pemberdayaan masyarakat
Upaya lain untuk meningkatkan kepedualian masyarakat terhadap taman
nasional dan satwa liar adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat merupakan proses yang memungkinkan individu atau kelompok
merubah keseimbangan kekuasaan dalam segi sosial, ekonomi, maupun politik
Universitas Indonesia
147
Universitas Indonesia
148
Universitas Indonesia
RANGKUMAN KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Keanekaragaman spesies Felidae di Taman Nasional Way Kambas saat ini
lebih rendah dibanding akumulasi hasil survei sebelumnya. Hanya empat
spesies Felidae yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu harimau sumatra,
macan dahan, kucing batu dan kucing congkok.
2. Indeks Kelimpahan Relatif (IKR) harimau sumatra dan kucing congkok lebih
tinggi dibanding kucing batu dan macan dahan.
3. Sebagian besar video spesies Felidae ditemukan di hutan sekunder (84,3%),
berjarak kurang dari satu kilometer dari sumber air (83,1% ), dekat dengan
jalur patroli (92,1%) dan lebih dari 8 km dari tepi taman nasional (74,2%)..
4. Harimau Sumatra dan kucing batu aktif pada siang dan malam hari
(cathemeral) sedangkan macan dahan dan kucing congkok sebagian besar
aktif pada malam hari (mostly nocturnal).
5. Pasangan Felidae yang cenderung saling menghindari secara temporal adalah
macan dahan dan kucing batu dan kucing congkok dan kucing batu. Tumpang
tindih temporal antara harimau sumatra dan tiga spesies kucing yang
berukuran tubuh lebih kecil dan pasangan macan dahan dan kucing congkok
relatif cukup tinggi dengan nilai koefisien tumpang tindih lebih besar dari
70%.
6. Proporsi stasiun perangkap kamera (n=57) digunakan oleh Felidae adalah 35%
kucing congkok, 25% harimau sumatra, 7% kucing batu dan 4% macan dahan.
7. Rata-rata pengetahuan masyarakat lokal tentang taman nasional rendah.
Faktor-faktor yang berasosiasi dengan pengetahuan masyarakat terhadap
taman nasional adalah jenis kelamin, status dalam keluarga, lama bermukim,
pendidikan, pekerjaan, jabatan di desa dan pengalaman terhadap taman
nasional.
8. Rata-rata pengetahuan masyarakat lokal terhadap Felidae rendah. Faktor
demografi dan pengalaman terhadap taman nasional tidak berasosiasi dengan
pengetahuan masyarakat tentang Felidae.
Universitas Indonesia
150
Saran
1. Melakukan program monitoring jangka panjang terhadap Felidae untuk
mengevaluasi status keanekaragaman spesies, distribusi dan populasi serta
aspek-aspek ekologi lain terkait dengan perubahan habitat dan tingkat
gangguan terhadap taman nasional.
2. Melakukan survei pada lokasi yang lebih luas dengan melibatkan mitra taman
nasional dan pihak lain untuk memastikan keberadaan kucing emas dan
kucing pesek
3. Melakukan penelitian untuk mengetahui intensitas interaksi antar spesies
Felidae melalui pengetahuan terhadap jenis mangsa dan preferensinya
4. Mendorong pengelola taman nasional dan lembaga-lembaga lain untuk
melakukan kegiatan penelitian yang difokuskan pada masing-masing spesies
Felidae.
5. Mengurangi tekanan masyarakat terhadap taman nasional melalui kegiatan
patroli terutama pencegahan dan penindakan terhadap kegiatan perburuan liar
Felidae dan satwa mangsanya.
6. Pencegahan terhadap kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun pada musim
kemarau melalui kegiatan penyuluhan kepada masyarakat sekitar tentang
Universitas Indonesia
151
bahaya kebakaran terhadap taman nasional dan satwa yang ada di dalamnya,
meningkatkan intensitas patroli menjelang musing kemarau dan memetakan
daerah yang rawan terhadap kebakaran.
7. Salah satuf faktor yang menyebabkan rendahnya konflik antara Felidae
dengan masyarakat sekitar adalah ketersediaan spesies mangsa yang masih
beragam dan melimpah di dalam taman nasional. Oleh karena itu
perlindungan terhadap spesies mangsa dari perburuan liar harus terus
ditingkatkan agar potensi konflik antara Felidae dan masyarakat dapat ditekan
sekecil mungkin.
8. Meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat terhadap taman
nasional dan Felidae melalui pendidikan konservasi, sosialisasi dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar dengan mempertimbangkan
faktor demografi dan pengalaman masyarakat terhadap taman nasional.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Allendorf, T.D. & K. Allendorf. 2013. Gender and attitudes toward protected
area. Society and Natural Resources DOI:10.1080/08941920.2012.729295
Allendorf, T.D., J.L.D. Smith & D.H. Anderson. 2007. Residen’s perceptions of
Royal Bardia National Park, Nepal. Landscape and Urban Planning 82 :
33–40.
Austin, S.C., M.E. Tewes, L.I. Grassman, & N.J. Silvy. 2007. Ecology and
conservation of leopard cat (Prionailurus bengalensis) and clouded
leopard (Neofelis nebulosa) in Khao Yai National Park. Thailand. Acta
Zoologica Sinica 53(1): 1–14.
Azlan, M.J. 2009. The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of
Tropical Biology and Conservation 5: 81–86.
Azlan, J.M. & D.S.K. Sarma. 2006. The diversity and activity patterns of wild
felids in a secondary forest in Peninsular Malaysia. Oryx 4(1): 36–41.
Azlan, M.J., E. Lading & Munau. 2003. Bornean bay cat photograph and
sighting. Cat News 39: 2
Universitas Indonesia
153
Bastoni & Apriawan. 1997. Metode monitor satwa liar secara intensif di hutan
hujan tropis dengan remote camera system (Trailmaster). Dalam: Tilson,
R.L. (Ed.). 1997. Konservasi dan Manajemen In-situ Dalam
Penyelamatan Harimau Sumetera. Proyek Penyelamatan Harimau
Sumatra. Lampung: 16–20.
Cheyne, S.M & D.W. Macdonald. 2011. Wild felid diversity and activity pattern
in Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Oryx 45(1):119–124
Crooks, K.R & M.E. Soulé. 1999. Mesopredator release and avifaunal
extinctions in a fragmented system. Nature 400: 563–566.
Ferreira, M.N.E. & N.C. Freire. 2009. Commmunity perception of four protected
areas in the nothern portion of the Ceraddo hotspot, Brazil. Environmental
Conservation 36(2): 129–138
Universitas Indonesia
154
Grassman, L.I. M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005b. Ecology of
three sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central
Thailand. Journal of Mammalogy 86(1): 29–38.
Grassman, L.I., M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005a. Spatial
organization and diet of the leopard cat (Prionailurus bengelensis) in
north-central Thailand. Journal of Zoology 266(1): 45–54
Gray, T.N.E. & C. Phan. 2011. Habitat preferences and activity pattern of the
larger mammal community in Phnom Prich Wildlife Sanctuary, Cambodia.
The Raffles Bulletin of Zoology 59(2): 311–318.
Gurung, B., J.L.D. Smith, C. Mcdougal, J.B. Karl & A.Barlow. 2008. Factors
associated with human-killing tigers in Chitwan National Park, Nepal.
Biological Conservation 141: 3069–3078.
Haines, A.M., L.I. Grassman & M.E. Tewes. 2004. Survival of radiocollared
adult leopard cats (Prionailurus bengalensis) in Thailand. Acta
Theriologica 49: 349–356.
Hearn, A., J. Sanderson, J.Ross, A.Wilting & Sunarto. 2008a. Neofelis diardi.
In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.3.
http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 07:36 WIB
Hearn, A.J., J. Ross, D. Pamin, H. Bernard, L. Hunter & D.W. Macdonald. 2013.
Insights into the spatial and temporal ecology of the sunda clouded leopard
(Neofelis diardi). Raffles Bulletin of Zoology 61(2): 871–875
Universitas Indonesia
155
Holden, J. 2001. Small cats in Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia:
evidence collected through photo-trapping. Cat News 35: 11–14
Jim, C.Y. & W. Xu. 2002. Stifled stakeholders and subdued participation:
Interpreting local responses toward Shimentai Nature Reserve in South
China. Environmental Management 30(3): 327–341
Jinping, Yu. 2010. Leopard cat (Prionailurus bengalensisis). Cat News 5: 26–29.
Kaltenborn, B.P., T. Bjerke, J.W. Nyahongo & D.R. Williams. 2006. Animal
preferences and acceptability of wildlife management actions around
Serengeti National Park, Tanzania. Biodiversity and Conservation 15:
4633–4649.
Kinnaird, M. F., E.W. Sanderson, S.J. O'Brien, H.T. Wibisono & G.Woolmer.
2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for
endangered large mammals. Conservation Biology 17(1): 245–257
Lewis, D., G.E. Kaweche & A. Mwnya. 1990. Wildlife conservation outside
protected area-lessons from an experiment in Zambia. Conservation
Biology 4: 171–180
Universitas Indonesia
156
Linkie, M., H.T.Wibisono, D.J. Martyr & Sunarto. 2008. Panthera tigris ssp.
sumatrae. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 07:54
Loe, J & E. Roskaft. 2004. Large carnivores and human safety: a review. Ambio
33(6): 283–288
Lyamuya, R.D., E.H. Mansenga, F.P. Mbise, R.D. Fyumagwa, M.N. Mwita & E.
Roskafth. 2014. Attitudes of Maasai pastoralists towards the conservation
of large carnivores in the Lolindo Game Controlled Area of Northern
Tanzania. International Journal of Biodiversity and Conservation 6(11):
797–805
Mangas, J.G., J. Lozano, S. Cabezas-Díaz. & E.Virgós. 2008. The priority value
of scrubland habitats for carnivore conservation in Mediterranean
ecosystems. Biodiversity Conservation 17: 43–51
Mangun, J.C., C.A. Degia & M.A. Davenport. 2009. Neighbors yet strangers:
Local people’s of Cypress Creek National Wildlife Refuge, Southern
Illinois, USA. Society and Natural Resources 22:295–307
McCarthy, J.L., H.T. Wibisono, K.P. McCarthy, T.K. Fuller &. N. Andayani.
2015. Assesing the distribution and habitat use of four felid species in
Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Global Ecology
and Conservation 3:210–221
Miller B., D.Foreman. C.M. del Rio, R. Noss, M. Philips, R. Reading, M.E.
Soule, J. Terborgh & L. Wilcox. 2001. The importance of large
carnivores to healthy ecosystem. Endangered Species UPDATE 18(5):
202–210
Universitas Indonesia
157
Ng, J & Nemora. 2007. Tiger Trade Revisited in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC
Southeast Asia. Petaling Jaya. Malaysia: vi + 24 hlm.
Nowel, K. 2009. Cats on the 2009 Red List of Threatened Species. CAT news
Autumn 51: 32–33
Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Gland Switzerland: xxiv +
383.
Nyhus, P.J. 1999. Elephants, tigers and transmigrants: conflict and conservation
at Way Kambas National Park, Sumatra, Indonesia. Thesis. University of
Wisconsin. Madison. USA.
O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono. 2003. Crouching tigers, hidden
prey: sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape.
Animal Conservation 6: 131–139
Universitas Indonesia
158
Pusparini, W., H.T. Wibisono, G.V. Reddy, Tarmizi & P. Bharata. 2014. Small
and medium sized cats in Gunung Leuser National Park, Sumatra,
Indonesia. Cat News Special Issues 8: 2–9
Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
lansscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217
Ridout, M. & M. Linkie. 2009. Estimating overlap of daily activity patterns from
camera trap data. Journal of Agricultural Biology and Environmental
Statistics 14: 322–337
Rustiati, E.L., Z.F.Karlan, E.S. Palupi, Sriyanto & R. Tilson. 2008. Potential prey
of Sumatran tiger: A guide to hair of mammals found in Sumatran tiger’s
natural habitat in Way Kambas National Park, Lampung. Rimba
Kalimantan 13(1): 16–20
Sanderson, J.G. 2009. How the fishing cat came to occur in Sumatra ? CAT
news 50: 6–9
Universitas Indonesia
159
Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–36
Sogbohossou, E.A., H.H. de Iongh, B.Sinsin, G.R.de Snoo & P.J.Funston. 2011.
Human carnivore conflict around Pendjari Biosphere Reserve, northern
Benin. Oryx. 45(4): 569–578
Sunquist, M.E., & F. Sunquist. 2002. Wild Cat of the World. The University of
Chicago Press Ltd. Chicago: ix + 443
Takon, T.J., A. Titus & O.E. Daniel. 2013. Assesment of local people attitude
towards natural resources conservation in Boki Local Goverment Area
Cross River State, Nigeria. Research Journal in Organizational Psyhology
and Educational Studies 2(2): 60–66
van Dalum, M. 2013. Attitude change towards wildlife conservation and the role
of environmental education. Master Thesis. Utrecht University.
Netherlands.
Universitas Indonesia
160
Wibisono H.T. & J. McCarthy. 2010. Melanistic marbled cat from Bukit
Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Cat News 52: 9–10
Universitas Indonesia