Anda di halaman 1dari 180

UNIVERSITAS INDONESIA

EKOLOGI DAN KONSERVASI FELIDAE DI TAMAN NASIONAL WAY


KAMBAS, SUMATRA, INDONESIA

DISERTASI

AGUS SUBAGYO

1006751142

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI
DEPOK
JULI, 2016
UNIVERSITAS INDONESIA

EKOLOGI DAN KONSERVASI FELIDAE DI TAMAN NASIONAL WAY


KAMBAS, SUMATRA, INDONESIA

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

Oleh:
AGUS SUBAGYO
1006751142

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI
DEPOK
JULI, 2016
ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Disertasi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Agus Subagyo

NPM : 1006751142

Tanda tangan :

Tanggal : 18 Juli 2016

Universitas Indonesia
iii

JUDUL : EKOLOGI DAN KONSERVASI FELIDAE DI TAMAN


NASIONAL WAY KAMBAS, SUMATRA,
INDONESIA
NAMA : AGUS SUBAGYO
NPM : 1006751142

MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing

Jatna Suprijatna, M.Sc., Ph.D.


Promotor

Dr. Noviar Andayani, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.
Ko-Promotor Ko-Promotor

2. Penguji

Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed Dr. rer.nat. Yasman, M.Sc.


Penguji 1 Penguji 2

Sunarto, Ph.D.
Penguji 3

3. Ketua Program Studi 4. Ketua Program Pascasarjana


Parscasarjana Biologi F MIPA UI FMIPA UI

Dr. Abinawanto, M.Si. Dr. rer.nat. Abdul Haris


NIP. 196204251987031004 NIP. 197009211994031001

Tanggal Lulus: 18 Juli 2016

Universitas Indonesia
iv

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Agus Subagyo


NPM : 1006751142
Program Studi : Pascasarjana Biologi
Judul Desertasi : Ekologi dan Konservasi Felidae di Taman Nasional
Way Kambas, Sumatra, Indonesia

Telah berhasil saya pertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Promotor : Jatna Suprijatna, M.Sc., Ph.D. (.......................)

Ko-Promotor : Dr. Noviar Andayani, M.Sc. (.......................)

Ko-Promotor : Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. (.......................)

Penguji 1 : Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed. (.......................)

Penguji 2 : Dr. rer. nat. Yasman, M.Sc. (.......................)

Penguji 3 : Sunarto, Ph.D. (.......................)

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 18 Juli 2016

Universitas Indonesia
v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Agus Subagyo


NPM : 1006751142
Program Studi : Pascasarjana Biologi
Departemen : Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Spesies Karya : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Ekologi dan Konservasi Felidae di Taman Nasional Way Kambas, Sumatra,


Indonesia

Beserta perangkatnya yang ada jika diperlukan. Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengolah dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok


Pada tanggal: 18 Juli 2016
Yang Menyatakan

(Agus Subagyo)

Universitas Indonesia
vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Penulisan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Doktor pada Program Studi Pascasarjana Biologi, Program Pascasarjana, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Penulis menyadari tanpa bantuan, dukungan dan kerjasama dari berbagai
pihak, tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Jatna Suprijatna,
M.Sc., Ph.D. selaku promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran
untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun disertasi ini.
Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Noviar Andayani, M.Sc. dan
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. selaku ko-promotor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Luthfiralda Sjahfirdi,
M.Biomed., Dr. rer. nat. Yasman, M.Sc. dan Sunarto, Ph.D., yang telah
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan kritik, saran dan bersedia
berdiskusi untuk kesempurnaan disertasi ini.
Penelitian ini dapat berjalan atas kerjasama dan dukungan finansial dan
tenaga yang luar biasa dari Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau
Sumatra (PKHS) dan Sumatran Tiger Trust (STT). Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga kerjasama ini dapat
terus berlanjut di kemudian hari.
Penelitian ini dapat berjalan dengan izin dan dukungan dari Taman
Nasional Way Kambas dan stafnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ir. Dulhadi dan Ir. Sri Handajani, M.Sc selaku Kepala dan mantan Kepala
TNWK, Chandra Putra, S.P. selaku Kepala SPTN I, H. Mukhlisin, S.H. selaku
Kepala SPTN II, Antonius Vevri, S.Si., M.Sc., selaku Kepala SPTN III, dan
Sukatmoko, selaku Koordinator Humas TNWK. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh staf TNWK yang telah memberikan dukungan
lapangan dalam kegiatan penelitian ini.

Universitas Indonesia
vii

Seluruh data lapangan dalam disertasi ini sangat tergantung pada staf
lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan yang luar biasa dari
Muhammad Yunus, Sumianto, Nuralim, Ali Mashuri (almarhum), Mas Wawan,
Mas Apriawan, Santoso, Herman, Agung, Ponadi, Nopan, Herwindo, Sareh
Suwondo dan Nanang yang telah mendampingi dan memberikan dukungan waktu
dan tenaga di lapangan selama kegiatan penelitian.
Terima kasih penulis sampaikan kepada kepala desa, pamong dan
penduduk desa: Sukorahayu, Karangananyar, Braja Kencana, Braja Harjosari,
Braja Yekti, Braja Asri, Labuhan Ratu VI, Labuhan Ratu VII, Rantau Jaya Udik
II, Taman Fajar, Taman Endah, Tegal Yoso, Tanjung Kesumo, Toto Projo,
Tanjung Tirto, Kali Pasir, Juaran, Rawa Betik dan Bina Karya Buana I yang
memberikan izin survei di desanya dan bersedia menjadi nara sumber dalam
penelitian ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda
tercinta di Metro dan Pontianak yang dengan tulus dan ikhlas selalu mendo’akan ,
memberi dukungan moril dan material kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Demikian pula Istri dan anak-anak tercinta: Enny
Saswiyanti, Muhammad Haifiz Aqilla Subagyo dan Muhammad Luthfi Hanif
Subagyo yang selalu mendampingi penulis dan selalu memberikan dukungan
dengan penuh cinta. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga
besar penulis di Metro dan Pontianak yang selalu memberikan dukungan moral
dan material selama penulis menempuh studi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc. dan
Mikael Jazdzyk, Ph.D. yang selalu mengingatkan dan mendorong penulis untuk
menyelesaikan studi, bersedia menjadi teman diskusi dan berbagi. Demikian pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Danang Wibowo, Eka Sulpin, Yusrina,
Garnis, Suci dan Ara yang telah memberikan dorongan semangat dan doa
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman angkatan 2010
pada Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas MIPA Universitas Indonesia:
Retno Widowati, Sulistiani, Marina Silalahi, Silva Abraham, Mugi Mulyono dan

Universitas Indonesia
viii

Toni Sudjarwo serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu yang telah memberikan dukungan moral kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan disertasi ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar disertasi ini menjadi
lebih baik. Penulis berharap semoga disertasi ini dapat memperluas khazanah
ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ekologi dan konservasi felidae di
Indonesia.
Depok, 18 Juli 2016
Penulis,

Agus Subagyo

Universitas Indonesia
ix

ABSTRAK

Name : Agus Subagyo


Study Program : Pascasarjana Biologi
Title : Ekologi dan Konservasi Felidae di Taman Nasional Way
Kambas, Sumatra, Indonesia

Sumatra merupakan habitat bagi enam spesies Felidae. Ancaman utama terhadap
Felidae di Sumatra adalah hilangnya habitat dan perburuan liar. Data ekologi dan
dukungan masyarakat sekitar merupakan faktor penting yang menunjang
keberhasilan konservasi Felidae di dalam kawasan konservasi. Tujuan penelitian
ini adalah mengumpulkan data ekologi dan mengetahui bagaimana dukungan
masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae di Taman Nasional Way Kambas
(TNWK). Data ekologi meliputi keanekaragaman spesies, kelimpahan relatif,
distribusi, pola aktivitas, dan interaksi dikumpulkan dengan memasang perangkap
kamera pada area seluas 480 km2 yang dibagi dalam tiga blok sampling. Untuk
mengetahui bagaimana dukungan masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae,
dilakukan wawancara terstruktur terhadap 395 responden yang tinggal di 19 desa
sekitar taman nasional. Hasil penelitian menunjukkan keanekaragaman spesies
Felidae di TNWK lebih rendah dibandingkan dengan survei sebelumnya. Hanya
empat spesies Felidae yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu harimau Sumatra
(Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu
(Pardofelis marmorota) dan kucing congkok (Prionailurus bengalensis). Dua
spesies Felidae lainnya yaitu kucing emas (Pardofelis temincki) dan kucing
dampak (Prionailurus planiceps) tidak ditemukan. Ekologi keempat spesies
Felidae di taman nasional ini secara umum serupa dengan literatur dan beberapa
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Sumatra. Meskipun
pengetahuan masyarakat tentang taman nasional dan Felidae tergolong rendah,
namun mereka memiliki persepsi dan sikap yang positif terhadap konservasi
Felidae. Data ekologi hasil penelitian ini merupakan masukan yang penting dalam
pengelolaan Felidae di TNWK terutama dalam aspek perlindungan, monitoring,
dan restorasi habitat. Agar dukungan masyarakat sekitar terhadap konservasi
Felidae semakin baik, perlu upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
taman nasional dan Feliade melalui pendidikan konservasi, sosialisasi dan
pemberdayaan masyarakat dengan mempertimbangkan karakteristik sosial,
demografi, dan pengalaman interaksi mereka dengan taman nasional.
Kata kunci: faktor demografi, harimau sumatra, kucing batu, kucing congkok,
macan dahan, pendidikan konservasi.

Universitas Indonesia
x

ABSTRACT

Name : Agus Subagyo


Study Program : Biology Graduate
Title : Ecology and conservation of wild felids in Way Kambas
National Park, Sumatra, Indonesia

Sumatra is home to six species of wild felids. Habitat loss and poaching are the
main threat to the wild felids in Sumatra. Management strategy based on solid
information and local community support are important factors for the success of
wild felids conservation. The purposes of this study are to collect ecological data
and to reveal local communities support for wild felids conservation in the Way
Kambas National Park (WKNP). Ecological data were collected by placing
camera traps in an area of 480 km square which is divided into three blocks of
sampling. Data of local communities support to wild felids conservation were
collected using structured interviews to 395 respondents living in 19 villages
around the park. The results showed that wild felids species diversity in this stydy
is lower compared to those of previous surveys. Only four wild felids were found
in this study i.e., sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae), clouded leopard
(Neofelis diardi), marbled cat (Pardofelis marmorota) and leopard cat
(Prionailurus bengalensis). Two other species i.e., golden cat (Pardofelis
temincki) and flat-headed cat (Prionailurus planiceps) were not found. In general,
ecology of the four species of wild felids in this park is in accordance with
literature and several earlier studies in Sumatra. Despite the low level of local
communitie’s knowledge both on the parks and wild felids, their perception and
attitude towards wild felids conservation are positive. Ecological information
resulted from this study serve as important input to develop the wild felids
management plan especially in terms of species protection, monitoring and habitat
restoration. To ehance the local community support toward wild felids
conservation, it is essential to improve the level of local community knowledge
towards national parks and wild felids conservation through conservation
education, socialization, and community empowerment by considering social and
demographic characteristics of the local people, including their experience in
interacting with the park.

Key words: conservation education, demografic factor, ecology and conservation,


local community.

Universitas Indonesia
xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS...................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... vi
ABSTRAK...................................................................................................... ix
ABSTRACT.................................................................................................. x
DAFTAR ISI.................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi
SUMMARY.................................................................................................... xvii
PENGANTAR PARIPURNA........................................................................ 1
MAKALAH I: KEANEKARAGAMAN SPESIES DAN DISTRIBUSI
FELIDAE DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS,
SUMATRA, INDONESIA.............................................. 4
Abstrak............................................................................. 4
Pendahuluan..................................................................... 5
Bahan dan Metode............................................................ 7
Hasil................................................................................. 11
Pembahasan...................................................................... 21
Kesimpulan....................................................................... 33
Daftar Pustaka.................................................................. 34
Lampiran.......................................................................... 40
MAKALAH II: POLA AKTIVITAS DAN PEMISAHAN TEMPORAL
EMPAT SPESIES FELIDAE DI TAMAN NASIONAL
WAY KAMBAS, SUMATRA, INDONESIA................. 47
Abstrak............................................................................. 47
Pendahuluan..................................................................... 48
Bahan dan Metode............................................................ 50
Hasil................................................................................. 54
Pembahasan...................................................................... 58
Kesimpulan....................................................................... 63
Daftar Pustaka.................................................................. 64

Universitas Indonesia
xii

MAKALAH III: PENGETAHUAN, PERSEPSI DAN SIKAP


MASYARAKAT LOKAL TERHADAP
KONSERVASI FELIDAE DI TAMAN NASIONAL
WAY KAMBAS, SUMATRA, INDONESIA................ 70
Abstrak............................................................................. 70
Pendahuluan..................................................................... 71
Bahan dan Metode............................................................ 73
Hasil................................................................................. 82
Pembahasan...................................................................... 96
Kesimpulan....................................................................... 110
Daftar Pustaka.................................................................. 111
Lampiran.......................................................................... 118
DISKUSI PARIPURNA................................................................................ 130
RANGKUMAN KESIMPULAN DAN SARAN.......................................... 149
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 152

Universitas Indonesia
xiii

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR HALAMAN
1.1. Lokasi penelitian dan stasiun perangkap kamera di Taman
Nasional Way Kambas. Angka pertama pada nomor perangkap
kamera merupakan kode dari blok sampling..................................... 8
1.2. Kurva akumulasi spesies, menunjukkan peningkatan jumlah
spesies (species richness) seiring dengan meningkatnya jumlah
hari aktif perangkap kamera di TNWK (Mei 2013-Mei 2014).
Kurva menunjukkan trend mendatar setelah kamera bekerja sekitar
4.000 hari aktif................................................................................... 12
1.3. Spesies Felidae yang berhasil tertangkap perangkap kamera di
TNWK: (a) harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), (b)
macan dahan (Neofelis diardi), (c) kucing congkok (Prionailurus
bengalensis) dan (d) kucing bulu (Pardofelis marmorota)............... 13
1.4. Indeks Kelimpahan Relatif empat spesies Felidae pada tiga tipe
vegetasi di TNWK............................................................................. 15
1.5. Kurva akumulasi spesies, menggambarkan jumlah spesies Felidae
berdasarkan hari aktif perangkap kamera di Taman Nasional Way
Kambas.............................................................................................. 16
1.6. Indeks Kelimpahan Relatif mangsa potensial, Karnivora non-
Felidae, beruang, dan manusia berdasarkan tipe vegetasi................ 18
1.7. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non-felidae per spesies pada
semua tipe vegetasi di TNWK........................................................... 19
1.8. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non Felidae per spesies
berdasarkan tipe vegetasi di TNWK.................................................. 19
1.9. Distribusi Felidae berdasarkan tipe vegetasi dari data perangkap
kamera (Mei 2013-Mei 2014) di Taman Nasional Way Kambas...... 31
2.1. Lokasi penelitian dan stasiun perangkap kamera.............................. 51
2.2. Persentase aktivitas Felidae berdasarkan jumlah foto dan video
yang didapat perangkap kamera pada siang (putih) dan malam hari
(hitam)............................................................................................... 55
2.3. Estimasi pola aktivitas empat spesies Felidae berdasarkan data
sirkular dengan menggunakan KDE (Ridout & Linkie, 2009).
Garis vertikal pendek di atas sumbu x menunjukkan waktu yang
tercetak dalam setiap foto atau video................................................ 56
2.4. Tumpang tindih pola aktivitas antar spesies Felidae berdasarkan
KDE pada data sirkular. Garis padat menunjukkan setiap spesies
dalam kolom dan garis putus-putus menunjukkan spesies dalam
baris. Angka menunjukkan nilai koefisien tumpang tindih
(∆1[SE]).............................................................................................. 57
3.1. Taman Nasional Way Kambas dan desa-desa sampel
penelitian............................................................................................ 74
3.2. Karakteristik responden berdasarkan pengalaman mereka terhadap
Taman Nasional Way Kambas. (a) masuk/berkunjung ke TNWK, 86

Universitas Indonesia
xiv

(b) tujuan masuk, (c) ikut kegiatan konservasi/sosialisasi, (d)


gangguan hewan satu tahun terakhir. (n=395)...................................
3.3. Distribusi frekuensi skor pengetahuan responden terhadap Taman
Nasional Way Kambas (n = 395)...................................................... 87
3.4. Persentase responden yang menjawab tahu terhadap spesies
Felidae yang ditanyakan oleh pewawancara tanpa menunjukkan
foto spesies Felidae yang dimaksud (gelap) dan persentase
responden yang mempu mengidentifikasi dengan benar
berdasarkan foto yang ditunjukkan kepada mereka (terang)............ 89
3.5. Distribusi frekuensi skor pengetahuan responden terhadap Felidae
di TNWK (n = 395)..................................................................... 90
3.6. Persentase jawaban responden dalam mengidentifikasi spesies
mangsa Felidae berdasarkan foto yang ditunjukkan.......................... 91
3.7. Distribusi skor persepsi masyarakat lokaL terhadap konservasi
Felidae di TNWK.............................................................................. 92
3.8. Persepsi responden terdahap Felidae di Taman Nasional Way
Kambas (n=395)................................................................................ 93
3.9. Distribusi frekuensi skor sikap masyarakat lokal terhadap
konservasi Felidae di TNWK....................................................... 94
3.10. Sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae di Taman Nasional
Way Kambas (n=395)........................................................................ 95

Universitas Indonesia
xv

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN
1.1. Jumlah perangkap kamera, periode sampling, hari aktif, luas area
trapping dan total video pada setiap blok sampling dan seluruh
blok................................................................................................. 11
1.2. Jumlah stasiun perangkap kamera (dimana) satu atau lebih
spesies Felidae terekam di lokasi yang sama (n= 57)..................... 14
1.3. Jumlah stasiun perangkap kamera, total hari aktif dan rata-rata
hari aktif kamera saat pertama merekam setiap spesies Felidae di
TNWK............................................................................................. 15
1.4. Mangsa potensial yang terdapat di lokasi penelitian berdasarkan
data perangkap kamera. Diurutkan berdasarkan bobot tubuh
terbesar ke terkecil.......................................................................... 17
1.5. Distribusi video Felidae berdasarkan tipe vegetasi, jarak dari tepi
taman nasional (m), jarak dari sungai (m) dan jarak dari jalur
patroli (m)....................................................................................... 20
1.6. Perbandingan keragaman spesies dan Indeks Kelimpahan Relatif
(foto/video per 100 hari aktif) Felidae dari hasil penelitian di
sejumlah kawasan konservasi di Sumatra...................................... 22
2.1. Jumlah foto atau video Felidae dengan data tanggal dan jam hasil
perangkap kamera PKHS tahun 2007- 2014 di TNWK (sumber
data: PKHS, 2014).......................................................................... 54
3.1. Nama desa dan jumlah rumah tangga yang digunakan dalam
survei rumah tangga........................................................................ 76
3.2. Nama Indonesia, inggris dan ilmiah spesies Felidae dan mangsa
yang digunakan untuk menguji pengetahuan responden... 78
3.3. Variabel bebas (x) yang digunakan dalam analisis data................ 79
3.4. Variabel terikat (y) yang digunakan dalam analisis data................ 80
3.5. Karakteristik responden (n=395) berdasarkan hasil survei rumah
tangga di desa penyangga Taman Nasional Way Kambas tahun
2015................................................................................................. 83
3.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan masyarakat lokal
terhadap taman nasional.................................................................. 97
3.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat lokal
terhadap Felidae.............................................................................. 103
3.8. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat lokal
terhadap konservasi Felidae............................................................ 106
3.9. Karakteristik, pengetahuan dan interaksi masyarakat terhadap
Felidae yang mungkin mempengaruhi sikap mereka terhadap
konservasi Felidae........................................................................... 107
4.1. Perkiraan kondisi umum setiap zona pengelolaan Felidae di
Taman Nasional Way Kambas*).................................................... 139
4.2. Intensitas bentuk aktivitas pengelolaan pada zona pengelolaan
Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Banyaknya tanda plus
(+) menunjukkan tingginya intensitas pengelolaan................. 141

Universitas Indonesia
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN HALAMAN
1.1. Felidae dan spesies lain yang terekam perangkap kamera di Taman
Nasional Way Kambas Mei 2013-Mei 2014..................................... 40
1.2. Foto spesies Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Spesis (a) –
(d) terekam perangkap kamera dalam penelitian sedangkan foto
(d) – (e) tidak terekam perangkap kamera dalam penelitian ini
tetapi pernah terekam kamera pada tahun 1996................................ 41
1.3. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran besar yang
berhasil terekam perangkap kamera di TNWK................................. 42
1.4. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran sedang yang
berhasil terekam perangkap kamera di TNWK................................. 43
1.5. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran kecil yang
berhasil terekam perangkap kamera di TNWK................................. 44
3.1. Kuisoner yang digunakan dalam survei rumah tangga..................... 118
3.2. Lembar gambar Felidae dalam kuisoner........................................... 123
3.3. Lembar gambar spesies mangsa Felidae dalam kuisoner.................. 124
3.4. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dan pengalaman
terhadap taman nasional dengan rata-rata pengetahuan responden
terhadap taman nasional (n=395)...................................................... 126
3.5. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dan pengalaman
terhadap taman nasional dengan rata-rata pengetahuan responden
terhadap Felidae (n=395).................................................................. 127
3.6. Tabel hubungan karakteristik demografi dan pengalaman
masyarakat terhadap taman nasional dengan persepsi mereka
terhadap Felidae (n=395).................................................................. 128
3.7. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dengan sikap
responden terhadap konservasi Felidae (n=395)............................... 129

Universitas Indonesia
xvii

Name : Agus Subagyo Date: July 18, 2016


Title : Ecology and conservation of wild felids in Way
Kambas National Park, Sumatra, Indonesia
Promotor : Jatna Suprijatna, M.Sc., Ph.D.
Co Promotors : Dr. Noviar Andayani, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.

SUMMARY

Way Kambas National Park is one of the wild felids conservation area in
Sumatra. Ecological knowledge as well as the surround community supports are
important aspects determining for the success of the wild felids conservation
program in this park. The study aims to analyse baseline information associated
with wild felids ecology and social demographic of people bordering with the
Way Kambas National Park (WKNP). The ecological data include species
diversity, distribution, potential prey, activity patterns, and temporal partition of
wild felids. The social and demographic data include knowledge, perceptions and
attitudes of local people towards conservation of the wild felids.
Ecological data were collected using camera traps set up systematically on
three sampling blocks 10 km x 16 km each. Camera traps were installed for about
three months in each sample block. To reveal knowledge, perceptions and
attitudes of local society about wild felids conservation, structured interviews
were performed to 395 respondents who live in 19 villages bordering with the
national park.
Species diversity of wild felids in this study was lower than those of
earlier surveys. From 4.017 wildlife independent video found, only four species of
wild cats recorded, those were the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae),
clouded leopards (Neofelis diardi), marbled cats (Pardofelis marmorota), and
leopard cats (Prionailurus bengalensis). Based on relative abundance indices
(video per 100 trap nights), sumatran tigers and leopard cats (0,87), were recorded
more often than marbled cats (0,11) and clouded leopards (0,09). Spatially, wild
felids were found more often in secondary forest, close to the water source, close
to the patrol paths, and far from the national park edge. Naive occupancy
(proportion of camera trap stations were occupied by wild felids) of leopard cats

Universitas Indonesia
xviii

(0,35) was higher than those of the tiger (0,25), marbled cats (0,07) and clouded
leopards (0,04).
Sumatran tigers and marbled cats were active during the day and night
(cathemeral). The percentage of sumatran tigers activity was 51,6% at night and
48,4% during the day, while marbled cats activity was 41,2% at night and 58,8%
during the day. Sumatran tigers peak activity occurred in the morning (5 to 6 am)
and in the afternoon (5 to 6 pm), while marbled cats peak activity was at 5 to 6 am
and 12 to 2 pm. Both Leopard cats and clouded leopard cats were more active
during the night times (mostly nocturnal). The percentage of leopard cats activity
was 82% at night and 18% in the day times while clouded leopards was 66,7%
and 33,3% respectively. The peak of clouded leopards activity occurred at 5 to 6
am and 9 to 10 pm, while the leopard cats peak activity was at 4 to 5 am and 6 to
7 pm. Based on temporal coefficient overlap (∆1), a pair of two wild cats species
possibly tend to avoid meet each other temporally, that were clouded leopards and
marbled cats (∆1= 0,57±0,06) and marbled cats and leopard cats (∆1= 0,61±0,02).
Overlapping of activity pattern between tigers and the other smaller three wild
felids species was quite high (∆1 ≥ 0,71). The similar overlap activity pattern was
also performed by the clouded leopards and leopard cats (∆1 = 0,71±0,06 ).
In average the level of knowledge of society regarding wild felids and
national parks is considered as low ( ̅ =1,6±0,41 and ̅ =1,18±0,86 in 1 – 6 scale).
Gender, family status, duration of stay in Lampung, education level, occupation,
social status, and experience of interaction with national parks possitively
influence people's knowledge about the national park. The average values of
perception and attitudes towards wild felids were positive ( ̅ = 65,64±8,34 and
̅ =64,48±9,98). Several factors that possitively affect public perception about wild
felids were gender, family status, education level, occupation, social status, the
personal experience to the national park and participation in conservation
activities. While the factors that possitively influence people's attitudes towards
the conservation of wild felids were gender, place of origin, education level,
occupation, social status, and personal experience of wildlife conflict. The
knowledge of the society towards national parks was positively correlated to their
existing knowledge (rrho=0,106; p<0,05), perception (rrho =0,290; p<0,05), and

Universitas Indonesia
xix

attitude (rrho=0,297; p<0,05) towards wild felids. Knowledge of the wild felids
did not correlate (p<0,05) with perception but positively correlated with attitudes
towards the wild cat (rrho=0,114; p<0,05). Perceptions of wild felids was
positively correlated with attitudes towards wild felids (rrho =0,523; p<0,05).
Ecological information such as diversity, abundance, potential prey,
distribution, activity pattern and temporal partition produced by this research
could serve as important inputs in developing wild felids conservation
management plan in the WKNP, especially in terms of wild felids protection,
monitoring and habitat restoration. To increase local people support towards the
wild felids conservation, it is required to increase knowledge of the society
regarding national park and wild felids through several programs such as
conservation education and campaign, and community empowerment by taking
into account demographic and social characteristics as well as their personal
experience dealing with the national park. Increasing the knowledge of society
about national park and wild felids is important because both variables influence
people’s perception and attitude towards national park, wild felids and their
conservation. It is also needed to have a further research to ensure the existence
of two other wild felids species (golden cats and flat-headed cats) which were not
found by this research.

xix + 160 pp.; 23 plates; 18 table; 12 appendices.


Bibl.: 186 (1934--2015).

Universitas Indonesia
PENGANTAR PARIPURNA

Di seluruh dunia terdapat sekitar 36 spesies Felidae (Macdonald et al.,


2010), sembilan spesies di antaranya dapat ditemukan di Indonesia, tersebar di
Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan (Nowel & Jackson, 1996; Ario, 2010;
Sunarto et.al., 2015). Tujuh dari sembilan spesies Felidae tersebut dapat
ditemukan di Sumatra (Nowell & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist, 2002;
Macdonald et al. 2010), yaitu: harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae),
macan dahan (Neofelis diardi), kucing emas (Pardofelis temminckii), kucing batu
(Pardofelis marmorata), kucing congkok (Prionailurus bengalensis), kucing
bakau (Prionailurus viverrinus) dan kucing pesek (Prionailurus planiceps).
Namun, keberadaan kucing bakau di Sumatra masih menjadi perdebatan. Menurut
Sanderson (2009), Sumatra seharusnya tidak dimasukkan dalam daerah
penyebaran kucing bakau karena tidak ada bukti fisik yang mendukung
keberadaan kucing tersebut di Sumatra. Duckworth et al. (2009) berpendapat
keberadaan kucing bakau di Sumatra masih perlu diverifikasi berdasarkan data
yang lebih akurat (foto, video, spesimen atau konfirmasi dari pengamat ahli).
Sejumlah penelitian di Sumatra (Sunarto et al., 2015; Subagyo et al., 2013;
Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015; dan PKHS, 2015) memperkuat
dugaan tersebut karena tidak menemukan kucing bakau dalam penelitian mereka.
Felidae merupakan komponen ekologi penting dalam ekosistem karena
mereka berperan sebagai predator puncak dalam rantai makanan. Aktivitas
pemangsaan Felidae menimbulkan dampak pada rantai makanan melalui berbagai
tingkatan tropik ekosistem (Miller et al., 2001). Felidae juga berperan dalam
menjaga keanekaragaman hayati dan kestabilan ekosistem (Berger, 1999; Crooks
& Soule, 1999; Miller et al., 2001). Felidae berukuran tubuh besar seperti
harimau, dapat berperan sebagai umbrella species (Mangas et al., 2008). Harimau
memerlukan area yang luas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya meliputi pakan,
perlindungan dan ruang. Menurut Povey & Spaulding (2006), jika populasi
predator besar sehat, maka populasi satwa liar lain di dalam ekosistem yang sama
diperkirakan juga sehat. Oleh karena itu, melindungi Felidae juga akan
melindungi sejumlah besar spesies lain.

Universitas Indonesia
2

Dalam daftar spesies hewan yang terancam punah (IUCN, 2010), saat ini
hanya kucing congkok yang masuk dalam kategori berisiko rendah terhadap
kepunahan (Sanderson et al., 2008a). Enam spesies Felidae lain masuk dalam
kategori mendekati terancam, rentan, genting dan kritis (Hearn et al., 2008a;
Hearn et al., 2008b; Linkie et al., 2008; Sanderson et al., 2008b; Hearn et al.,
2010; Mukherejee et al., 2010). Di Indonesia, ketujuh spesies Felidae tersebut
termasuk dalam mamalia yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7
Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Populasi Felidae di seluruh daerah penyebarannya menurun terutama
akibat hilangnya habitat hutan dan lahan basah yang diubah menjadi perkebunan
dan pemukiman (Nowell & Jackson, 1996; Kinnaird et al., 2003; Gaveau et al.,
2007). Kecuali kucing congkok yang relatif dapat beradaptasi dengan baik pada
habitat yang terganggu (Rajaratnam et al., 2007; Silmi et al., 2013) habitat
Felidae sangat spesifik dan peka terhadap gangguan manusia (Nowell & Jackson,
1996; Sunquist & Sunquist , 2002; Haines et al., 2004). Felidae juga menjadi
target perburuan secara ilegal untuk diambil kulit dan bagian-bagian tubuh lainnya
seperti tulang, gigi, dan cakar yang digunakan sebagai obat tradisional (Nowell &
Jackson, 1996). Felidae ditangkap dan dijual sebagai hewan peliharaan atau
dijadikan koleksi dalam kebun binatang pribadi. Seringkali mereka tidak dapat
beradaptasi di dalam kandang sehingga mati karena stres atau minimnya
perawatan (Povey & Spaulding, 2006). Walaupun perburuan terhadap Felidae
merupakan kegiatan ilegal tetapi penegakan hukumnya masih lemah.
Di Sumatra, bagian-bagian tubuh harimau digunakan untuk tujuan mistis
(Ng & Nemora, 2007), sementara di China digunakan sebagai bahan obat-obatan
(Gratwicke et al., 2008). Konflik antara manusia dan Felidae terutama yang
berukuran tubuh besar terus meningkat akibat persaingan dalam memperebutkan
ruang (Inskip & Zimmerman, 2009). Manusia memburu Felidae (Gurung et al.,
2008) sebaliknya Felidae memakan ternak bahkan menyerang dan membunuh
manusia (Nyhus & Tilson, 2004; Loe & Roskaft, 2004; Sogbohossou et al., 2011).
Selain secara alami kepadatan predator rendah, kondisi tersebut menyebabkan
famili Felidae relatif lebih terancam dibanding famili lain dalam ordo Karnivora
(Nowel, 2009).

Universitas Indonesia
3

Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu kawasan


konservasi di Sumatra yang penting dalam upaya perlindungan Felidae secara in
situ. Berdasarkan data perangkap kamera (Franklin et al., 1999; Bastoni &
Apriawan, 1997) di taman nasional ini ditemukan enam spesies Felidae yaitu
harimau sumatra, macan dahan, kucing emas, kucing batu, kucing congkok dan
kucing pesek. Ancaman utama terhadap Felidae di TNWK adalah perburuan liar
terhadap Felidae dan satwa mangsanya serta kerusakan habitat akibat kebakaran
hutan yang terjadi hampir setiap tahun. Meskipun terancam, informasi ekologi
Felidae di TNWK kecuali harimau sumatra masih belum banyak diungkap.
Padahal data dan informasi dasar biologi dan ekologi berdasarkan hasil penelitian
yang sistematis diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
strategi konservasi yang efektif untuk menjamin keberlangsungan hidup spesies
tersebut.
Selain data dasar biologi dan ekologi (Reed, 2002; Murray et al., 2008;
Applegate, 2014), budaya, ekonomi, dan faktor politik juga merupakan faktor
kritis yang menentukan keberhasilan program konservasi jangka panjang
(Tessema et al., 2007). Oleh karena itu, keberhasilan konservasi satwa liar di
dalam kawasan konservasi perlu mendapat dukungan masyarakat lokal (Takon et
al., 2013). Menurut Ormsby & Kaplin (2005), Allendorf et al. (2006),
Ramakrishnan (2007) dan Allendorf & Allendorf (2013), interaksi antara
masyarakat dan kawasan konservasi dapat berdampak positif maupun negatif,
yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap efektifitas pengelolaan.
Disertasi ini membahas konservasi Felidae dari aspek ekologi dan sosial
masyarakat. Makalah satu dan dua membahas informasi ekologi dasar yaitu
keragaman jenis, kepadatan relatif, distribusi, pola aktivitas, dan pemisahan
temporal. Makalah tiga membahas karakteristik demografi masyarakat lokal,
pengetahuan mereka tentang taman nasional dan Felidae, serta persepsi dan sikap
mereka terhadap konservasi Felidae. Dalam bagian akhir didiskusikan hubungan
antara aspek ekologi dan aspek sosial dalam konservasi Felidae dan implikasi
hasil penelitian ini terhadap pengelolaan Felidae di TNWK.

Universitas Indonesia
Makalah I

KEANEKARAGAMAN SPESIES DAN DISTRIBUSI FELIDAE DI


TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS, SUMATRA, INDONESIA

Agus Subagyo
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
a_subagyo@yahoo.com

ABSTRAK

Felidae sulit dipelajari karena bersifat elusif, sekretif dan kepadatannya rendah.
Namun penggunaan perangkap kamera dalam penelitian ekologi hewan telah
meningkatkan pengetahuan tentang keanekaragaman spesies dan ekologi mamalia
hutan tropis termasuk Felidae. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
keanekaragaman spesies, mengukur kelimpahan relatif, mengetahui mangsa
potensial dan distribusi Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Untuk mencapai
tujuan tersebut, dipasang 57 perangkap kamera secara sistematik pada tiga blok
sampling berukuran 10 km x 16 km. Hasil penelitian menunjukkan
keanekaragaman spesies Felidae dalam penelitian ini lebih rendah dibanding hasil
survei yang pernah dilakukan pada tahun 1997. Dari 4.017 video independen
satwa liar yang didapat, ditemukan empat spesies Felidae yaitu harimau sumatra
(Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu
(Pardofelis marmorota), dan kucing congkok (Prionailurus bengalensis). Dua
spesies lain yang diharapkan bisa ditemukan dalam penelitian ini yaitu kucing
emas (Pardofelis temincki) dan kucing pesek (Prionailurus planiceps) tidak
terekam dalam perangkap kamera. Berdasarkan Indeks Kelimpahan Relatif (video
per 100 hari aktif), harimau sumatra dan kucing congkok (0,87), lebih sering
ditemukan daripada kucing batu (0,11) dan macan dahan (0,09). Secara spasial
Felidae sering tertangkap kamera pada hutan sekunder, dekat dengan sumber air,
dekat dengan jalur patroli dan jauh dari tepi taman nasional. Penelitian ini
menegaskan pentingnya TNWK sebagai tempat perlindungan Felidae di Sumatra.
Data keanekaragaman spesies dan distribusi ini diharapkan bisa menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan prioritas perlindungan dan restorasi habitat
Felidae di TNWK.

Kata kunci: harimau sumatra, kucing batu, kucing congkok, kucing pesek, kucing
emas, macan dahan, perangkap kamera.

Universitas Indonesia
5

PENDAHULUAN

Di Sumatra terdapat enam spesies Felidae yaitu harimau sumatra


(Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing emas
(Pardofelis temincki), kucing batu (Pardofelis marmorota), kucing congkok
(Prionailurus bengalensis) dan kucing pesek (Prionailurus planiceps). Sejumlah
penelitian telah memastikan keberadaan spesies Felidae tersebut di Sumatra
(Bastoni & Apriawan, 1997; Wibisono & McCarthy, 2010; Pusparini et al., 2014;
McCarthy et al., 2015; Sunarto et al., 2015). Kecuali kucing congkok, semua
spesies Felidae di Sumatra terancam (Sunarto et al., 2015).
Selain perburuan liar terhadap Felidae dan satwa mangsanya (Nowel &
Jackson, 1996; Macdonald et al., 2010), degradasi dan deforestasi habitat
dilaporkan sebagai ancaman utama terhadap kelestarian Felidae (McCarthy et al.,
2015). Perburuan liar dan deforestasi juga terjadi di dalam kawasan konservasi
walaupun berjalan lebih lambat dibanding di luar kawasan konservasi (Gaveau et
al., 2007). Meski terancam, sampai saat ini inisiatif konservasi terhadap Felidae
(kecuali harimau sumatra) masih sangat terbatas karena secara umum informasi
mengenai status populasi dan distribusi spesies-spesies ini masih sedikit
(McCarthy et al., 2015).
Informasi mengenai status populasi dan ekologi Felidae masih sedikit
karena mengumpulkan data biologi dan ekologi secara langsung spesies-spesies
ini di hutan tropis sulit dilakukan. Menurut van Schaik & Griffiths (1996),
pengamatan mamalia daerah tropis untuk mengetahui informasi ekologi sulit
dilakukan karena banyak spesies yang bersifat elusif, sekretif, nokturnal atau
menghindari perjumpaan dengan manusia. Kondisi ini menyulitkan para peneliti
untuk melakukan estimasi populasi, menghitung kelimpahan relatif atau
mengetahui pola aktivitas spesies-spesies tersebut secara langsung di habitat
alaminya (Silveira et al., 2003).
Meningkatnya penggunaan perangkap kamera (camera trap) dalam
penelitian ekologi hewan selama sepuluh tahun terakhir telah meningkatkan
pengetahuan tentang keanekaragaman spesies dan deteksi terhadap mamalia
daerah tropis yang bersifat sekretif dan densitasnya rendah (Azlan & Sharma,

Universitas Indonesia
6

2002; Azlan et al., 2003; Azlan, 2009). Perangkap kamera yang bekerja secara
otomatis memiliki kemampuan mengumpulkan banyak data mamalia tropis dan
meningkatkan laju deteksi jauh melampaui apa yang dapat dicapai dengan
menggunakan teknik survei secara tradisional, seperti metode transek atau
distance method (Sanderson & Trolle, 2005).
Perangkap kamera umum digunakan untuk mengumpulkan data tentang
spesies mamalia tropis yang sulit untuk dipelajari secara langsung. Sejumlah
penelitian di Sumatra telah menggunakan perangkap kamera untuk
mengumpulkan informasi ekologi Felidae di habitat alaminya seperti keragaman
spesies dan pola distribusi (Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015),
estimasi populasi (Franklin et al., 1999; O’Brien et al., 2003; Hutajulu, 2007;
Sunarto et al., 2013), karakteristik ekologi dan interaksi antar spesies (Sunarto et
al., 2015), hubungan predator dan mangsa (Linkie & Ridout, 2011) dan tumpang
tindih pola aktivitas harian (Ridout & Linkie, 2009; Sunarto et al., 2015).
Taman Nasional Way Kambas merupakan salah satu kawasan konservasi
di Sumatra Bagian Selatan yang penting dalam upaya perlindungan Felidae secara
in-situ. Keragaman spesies Felidae di taman nasional ini termasuk lengkap
dibandingkan dengan kawasan konservasi lain di Sumatra yang pernah disurvei.
Berdasarkan data perangkap kamera, di taman nasional ini dapat ditemukan enam
spesies Felidae (Bastoni & Apriawan, 1997; Franklin et al., 1999). Ancamaan
utama terhadap Felidae di TNWK adalah perburuan liar dan kerusakan habitat
akibat kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun. Data dasar ekologi enam
spesies Felidae seperti distribusi, kelimpahan relatif, mangsa potensial, pola
aktivitas dan interaksi antar spesies (kecuali harimau sumatra) belum banyak
diketahui. Meskipun spesies prioritas konservasi seperti harimau sumatra, gajah
sumatra dan badak sumatra telah mendapat perhatian manajemen yang lebih,
spesies lain termasuk berbagai jenis ungulata, Felidae kecil dan karnivora kecil
belum banyak dipelajari. Data dasar ekologi diperlukan untuk menilai status
populasi, memantau kecenderungan populasi di masa depan dan merencanakan
strategi konservasi yang efektif.
Penelitian ini menggunakan perangkap kamera untuk mengevaluasi status
keanekaragaman spesies, mengetahui keragaman mangsa potensial dan karnivora

Universitas Indonesia
7

non-Felidae serta distribusi Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Diharapkan


data dasar ekologi ini dapat digunakan oleh pengelola taman nasional sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemantauan populasi spesies ini.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) selama


satu tahun (Mei 2013 hingga Mei 2014). Taman nasional seluas 125.621,3 ha ini
secara geografis terletak pada 4o37’- 5o16’ LS dan 105o55’ - 105o54’ BT (Gambar
1.1). Di sebelah timur, taman nasional ini dibatasi garis pantai timur Sumatra,
sebelah tenggara Sungai Way Penet, sebelah barat Sungai Way Sukadana, sebelah
barat daya Sungai Way Pegadungan, dan sebelah utara Sungai Way Seputih.
Berdasarkan klasifikasi iklim Smith dan Ferguson, TNWK termasuk
dalam tipe iklim B (basah) dengan curah hujan berkisar antara 2.500–3.000
mm/tahun (PHPA, 1995). Sebagian besar kawasan TNWK berupa dataran yang
landai, rata-rata ketinggian hanya mencapai 50 m dpl. dengan titik tertinggi 52 m
dpl., terletak di bagian tenggara dan timur (PHPA, 1995). Vegetasi utama TNWK
pada tahun 2010 adalah hutan sekunder, semak belukar dan alang-alang (Maulana
& Darmawan, 2014). Spesies pohon pada hutan sekunder yang mendominasi
stratum A (tinggi ≥ 30 m) terdiri dari Shorea ovalis, S. leprolusa, Dipterocarpus
gracilis, Canarium littorale, C. denticulatum, Horsfieldia glabra dan Albizia
lebbeckiodes, sedangkan stratum B ( tinggi 15–30 m) terdiri dari spesies-spesies
Mallothus subpeltattus, Eurycoma longifolia, Baccaurea racemosa dan Antidesma
spp. (Soerianegara & Indrawan, 1988).
Di Taman Nasional Way Kambas minimal dapat ditemukan 32 spesies
Mamalia, termasuk satwa-satwa langka seperti badak sumatra (Dicerorhinus
sumatraensis), gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus), beruang madu
(Helarctos malayanus), dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) (Bastoni

Universitas Indonesia
8

& Apriawan, 1997). Dari kelompok burung, kurang lebih terdapat 286 spesies,
beberapa diantaranya adalah rangkong (Famili Bucerotidae), ayam hutan (Gallus
gallus), itik serati (Cairina scutulata), pecuk ular (Anhinga melanogaster), kuntul
besar (Egreta alba) dan beo (Gracula religiosa)

2 km
16 km

2 km

10 km

Gambar 1.1. Lokasi penelitian dan stasiun perangkap kamera di Taman Nasional
Way Kambas. Angka pertama pada nomor perangkap kamera merupakan kode
dari blok sampling

Universitas Indonesia
9

Prosedur Pengumpulan Data


Sampel video Felidae dikoleksi dengan menggunakan perangkap kamera
yang dipasang secara sistematik (Azlan & Sarma, 2006; Mohamad et al., 2009;
Chen et al., 2009; Sunarto et al., 2015). Perangkap kamera dipasang pada tiga
blok sampling, masing-masing blok berukuran 10 km x 16 km (160 km2). Blok
sampling dioverlay dengan grid 2 km x 2 km. Dari 40 sel grid yang terbentuk
kemudian dipilih 20 sel grid secara berselang-seling untuk memasang perangkap
kamera (Sunarto et al., 2015). Pada setiap sel grid yang terpilih kemudian
diidentifiksai kemungkinan lokasi terbaik untuk memasang perangkap kamera.
Karena keterbatasan jumlah, perangkap kamera dipasang secara berpindah-
pindah. Setelah selesai dipasang dalam satu blok sampling selama kurang lebih
tiga bulan ( ̅ = 112,3 ± 14,01 hari) kamera dipindahkan ke blok sampling
berikutnya. Pada setiap stasiun perangkap kamera dipasang satu unit perangkap
kamera dan dioperasikan selama 24 jam per hari selama tiga bulan. Total
terpasang 57 perangkap kamera pada di tiga blok sampling dengan perincian 20
unit di blok I, 21 unit di blok II dan 16 unit di blok III. Dua unit kamera pada
blok sampling dua merupakan kamera ad hoc (dipasang di luar blok sampling).
Kamera tersebut dipasang oleh Program Konservasi Harimau Sumatra (PKHS),
karena stasiun perangkap kamera berdekatan dan waktu pemasangan bersamaan
dengan blok sampling dua, maka data dari kamera tersebut dimasukkan dalam
analisis data. Setiap dua minggu sekali atau paling lama satu bulan sekali foto
diunduh, baterai diganti, lensa dibersihkan dan kamera yang hilang atau rusak
diganti.
Perangkap kamera dipasang pada lokasi yang mempunyai peluang tertinggi
untuk mendapatkan video Felidae dan satwa mangsanya seperti jalur perlintasan
satwa, jalur patroli, dan jalur bekas pembalakan (logging). Perangkap kamera
dipasang pada pohon atau tiang setinggi 30-40 cm, sejauh 3 m dari jalur di mana
diperkirakan satwa akan lewat. Setelah dipasang, anggota tim menguji apakah
sistem pemicu perangkap kamera bekerja dengan baik. Pada setiap stasiun
perangkap kamera dicatat titik koordinat (GPS), ketinggian (meter dpl.), tanda-
tanda kehadiran Felidae (jejak, feses, bekas cakaran di pohon atau kaisan di
tanah), dan tipe gangguan (pembalakan liar, perburuan liar atau aktivitas ilegal

Universitas Indonesia
10

lainnya). Jumlah hari aktif perangkap kamera pada masing-masing stasiun


perangkap kamera dihitung berdasarkan tanggal pemasangan sampai dengan
tanggal pengambilan atau tanggal yang tercetak pada video terakhir yang didapat
(O’Brien et al., 2003). Pada akhir periode pemasangan perangkap kamera,
kamera diambil, data diuduh selanjutnya data video dan foto disimpan dalam
database komputer.

Analisis Data
Video yang berhasil didapat dari perangkap kamera dimasukkan ke dalam
database komputer. Pengorganisasian data dalam database menggunakan
perangkat lunak Automatic Storage and Analysis of Camera Trap Data yang
dikembangkan oleh Harris et al. (2010) dan Sanderson & Harris (2013).
Keanekaragaman spesies Felidae dihitung berdasarkan jumlah spesies Felidae
yang terekam perangkap kamera. Spesies Felidae yang terekam dalam video
diidentifikasi dengan membandingkan Felidae dalam video tersebut dengan buku
panduan lapangan pengenalan jenis mamalia (Payne et al., 2000) dan buku
tentang Felidae seperti Nowel & Jackson (1996), Sunquist & Sunquist (2002) dan
Macdonald et al. (2010).
Kelimpahan relatif spesies Felidae dihitung dengan Indeks Kelimpahan
Relatif (IKR) dengan rumus: IKR = ∑ 100 dimana ni adalah video independen

spesies ke-i dan  tn adalah jumlah total hari aktif perangkap kamera (Kelly,
2003; O’Brien et al. 2003). Video independen adalah video spesies berbeda atau
spesies yang sama dari stasiun perangkap kamera yang sama dengan selang waktu
antara dua video yang berurutan minimal 30 menit (Kelly, 2003; O’Brien et al.
2003). Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan video Felidae (hari aktif
perangkap kamera bekerja) dihitung berdasarkan akumulasi hari aktif perangkap
kamera dimana spesies Felidae terekam. Akumulasi jumlah spesies yang terekam
perangkap kamera digambarkan dalam bentuk kurva akumulasi jenis.

Universitas Indonesia
11

HASIL

Usaha Sampling
Total perangkap kamera yang terpasang pada tiga blok sampling sebanyak
57 unit dengan perincian 20 unit di blok satu, 21 unit di blok dua dan 16 unit di
blok tiga. Luas total area sampling berdasarkan poligon yang terbentuk dengan
cara menghubungkan lokasi kamera terluar adalah 612,37 km2 atau sekitar
48,89% dari luas total TNWK. Perangkap kamera pada semua blok sampling
terpasang selama 337 hari dengan perincian 128 hari di blok satu, 108 hari di blok
dua dan 101 hari di blok tiga (rata-rata 112,3 hari). Total hari aktif seluruh
perangkap kamera 4.610, masing-masing 1.799 hari aktif di blok satu, 1.661 hari
aktif di blok dua dan 1.150 hari aktif di blok tiga. Hari aktif perangkap kamera
per 100 km2 adalah 752,81 (total hari aktif dibagi luas area sampling). Sejumlah
perangkap kamera hilang atau rusak karena dicuri, sengaja dirusak manusia,
dirusak hewan atau faktor cuaca. Perangkap kamera yang hilang, dirusak oleh
manusia atau hewan berjumlah delapan unit dengan perincian lima unit di blok
satu dan tiga unit di blok tiga. Perangkap kamera yang rusak karena faktor alam
seperti kelembaban, curah hujan atau cahaya yang berlebih berjumlah 21 unit
dengan rincian 16 unit di blok satu, satu unit di blok dua dan empat unit di blok
tiga (Tabel 1.1)
Tabel 1.1. Jumlah perangkap kamera, periode sampling, hari aktif, luas area
trapping dan total video pada setiap blok sampling dan seluruh blok.

Blok Sampling
Uraian Jumlah
I II III
Stasiun Perangkap kamera 20 21 16 57
Rusak karena faktor alam 16 1 4 21
Hilang/dirusak oleh manusia 5 0 3 8
Periode pemasangan 03/05/13 09/10/13 06/02/14
s.d. s.d. s.d.
07/09/13 20/01/14 17/05/14
Hari berdasarkan kalender 128 108 101 337
Hari aktif berdasarkan perangkap
1.799 1.661 1.150 4.610
kamera bekerja (trap night)
Luas area trapping (km2) 116,49 147,49 101,86 612,37
Total video 2.830 3.509 3.042 9.381
Total video independen 2.265 2.586 1.893 6.744

Universitas Indonesia
12

Total video independen yang diperoleh dari perangkap kamera 6.744


terdiri dari 4.017 video hewan (59,56%), 2.533 video vegetasi hutan\tidak ada
hewan (37,56%), 191 (2,83%) video manusia, dan 3 (0,04%) video yang tidak
dapat diidentifikasi atau tidak dapat dibuka. Hewan yang berhasil terekam
perangkap kamera terdiri dari kelas Mamalia terestrial berukuran kecil hingga
besar (16 famili), kelas Aves (3 famili), kelas Reptil (1 famili) dan kelas Insekta
(tidak teridentifikasi pada tingkat famili sampai spesies). Spesies hewan yang
teridentifikasi sebanyak 42 spesies, terdiri dari 34 spesies Mamalia, 7 spesies
Aves, dan 1 spesies Reptil (Lampiran 1.1). Setengah (21 spesies) dari total
jumlah spesies yang terekam perangkap kamera (42 spesies) diperoleh setelah
kamera bekerja sekitar 234 hari aktif atau 5,4% dari total hari aktif kamera.
Penambahan jumlah spesies yang terekam kamera mulai menurun setelah
perangkap kamera bekerja selama 2.005 hari aktif. Kucing congkok, macan
dahan, harimau sumatra dan kucing batu berturut-turut merupakan spesies ke
7,9,17, dan 19 dari semua spesies hewan yang terekam perangkap kamera. Kurva
akumulasi jenis cenderung mulai membentuk garis mendatar setelah perangkap
kamera bekerja selama kurang lebih 4.000 hari aktif (Gambar 1.2).

45
42
41
40 39
40
38
37
36
35 34
35
33
32
31
30 30
Jumlah Spesies

29
28
27
26
25 24
25
23
22
21
20 20
19
18
17
15 15
14
13
12
11
10 10

7
6
5 5
3
2
1
0
2 367 732 1097 1462 1828 2193 2558 2923 3289 3654 4019

Hari aktif perangkap kamera (trap night)

Gambar 1.2. Kurva akumulasi spesies, menunjukkan peningkatan jumlah spesies


(species richness) seiring dengan meningkatnya jumlah hari aktif perangkap
kamera di TNWK (Mei 2013-Mei 2014). Kurva menunjukkan trend mendatar
setelah kamera bekerja sekitar 4.000 hari aktif .

Universitas Indonesia
13

Keanekaragaman Spesies Felidae

Dari 57 perangkap kamera yang terpasang, 29 (50,9%) perangkap kamera


berhasil menangkap empat spesies Felidae (Gambar 1.3 dan Lampiran 1.2.). Total
jumlah video independen Felidae sebanyak 89 video atau 1,32 % dari total video
hewan yang berhasil terekam perangkap kamera. Dua spesies Felidae yang telah
dipastikan keberadaannya di Sumatra yaitu kucing emas (Pardofelis temincki) dan
kucing pesek (Prionailurus planiceps) tidak terekam kamera dalam penelitian ini.
Di antara empat spesies Felidae yang terekam perangkap kamera, kucing congkok
dan harimau sumatra paling umum dijumpai, masing-masing terdiri dari 40 video
independen yang terekam pada 20 dan 14 stasiun perangkap kamera. Kucing batu
dan macan dahan masing-masing terdiri dari lima video pada empat stasiun
perangkap kamera dan empat video pada dua stasiun perangkap kamera (Tabel
1.2).

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1.3. Spesies Felidae yang berhasil tertangkap perangkap kamera di
TNWK: (a) harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), (b) macan dahan
(Neofelis diardi), (c) kucing congkok (Prionailurus bengalensis) dan (d) kucing
batu (Pardofelis marmorota).

Universitas Indonesia
14

Beberapa stasiun perangkap kamera berhasil merekam lebih dari satu spesies
Felidae. Pasangan Felidae yang terekam pada stasiun perangkap kamera yang
sama adalah harimau sumatra dan kucing congkok, harimau sumatra dan kucing
batu, kucing congkok dan kucing batu dan kucing congkok dan macan dahan.
Sedangkan pasangan Felidae yang tidak pernah terekam pada stasiun perangkap
kamera yang sama adalah macan dahan dan harimau sumatra dan macan dahan
dan kucing batu (Tabel 1.2).
Urutan Felidae yang paling sering terekam perangkap kamera berdasarkan
IKR adalah harimau sumatra (0,87) dan kucing congkok (0,87), diikuti kucing
batu (0,11) dan macan dahan (0,09). Kecuali kucing batu yang lebih tinggi pada
vegetasi alang-alang (0,22 per 100 hari aktif), Indeks Kelimpahan Relatif spesies
Felidae di TNWK lebih tinggi pada vegetasi hutan sekunder dibandingkan dengan
vegetasi semak belukar dan alang-alang (Gambar 1.4).

Tabel 1.2. Jumlah stasiun perangkap kamera (dimana) satu atau lebih spesies
Felidae terekam di lokasi yang sama (n= 57)

Jumlah
stasiun Harimau Macan Kucing Kucing
Spesies
perangkap sumatra dahan batu congkok
kamera
Harimau 14
14 0 (0%) 1 (7,1%) 8 (57,1%)
sumatra (100%)

Macan dahan 2 0 (0%) 2 (100%) 0 (0%) 2 (100%)

Kucing batu 4 1 (25%) 0 (0%) 4 (100%) 1 (25%)

Kucing
20 8 (40%) 2 (10%) 1 (5%) 20 (100%)
congkok

Universitas Indonesia
15

1.4
1.22
Harimau
1.2
1.09
IKR (vide per 100 hari aktif) 1.05 Macan dahan
1.0
Kucing congkok

0.8 Kucing batu

0.6

0.4
0.26
0.22 0.22
0.2 0.14
0.10

0.00 0.00 0.00 0.00


0.0
Hutan sekunder Semak Alang-alang
Tipe Vegetasi

Gambar 1.4. Indeks Kelimpahan Relatif (IKR) empat spesies Felidae pada tiga
tipe vegetasi di TNWK.

Spesies Felidae yang pertama terekam perangkap kamera adalah kucing


congkok. Total hari aktif perangkap kamera pertama kali merekam Felidae adalah
42 hari aktif untuk kucing congkok, 48 hari aktif untuk macan dahan, 155 hari
aktif untuk harimau sumatra dan 202 hari aktif untuk kucing batu (Tabel 1.3).
Kurva akumulasi spesies Felidae mencapai asimptot setelah 202 hari aktif,
menunjukkan bahwa penambahan upaya sampling pada lokasi yang sama tidak
akan menambah jumlah spesies Felidae yang terekam kamera lagi (Gambar 1.5).

Tabel 1.3. Jumlah stasiun perangkap kamera, total hari aktif dan rata-rata hari
aktif kamera saat pertama merekam setiap spesies Felidae di TNWK.

Jumlah stasiun Total hari aktif Rata-rata hari aktif


perangkap pertama kali pertama kali
Spesies
kamera*) tertangkap kamera tertangkap kamera
pada stasiun kamera
Harimau sumatra 14 155 20
Macan dahan 2 48 9
Kucing batu 4 202 42
Kucing congkok 20 42 25
*) Jumlah stasiun perangkap kamera dimana spesies Felidae tertangkap kamera

Universitas Indonesia
16

4
Jumlah spesies

0
100
127
155
170
202
234
251
271
291
451
671
711
831
1011
1371
1391
1451
1691
1751
1831
1897
1915
2005
2282
2562
3373
3832
4096
42
48
56
65
76

Hari aktif perangkap kamera (trap nights)

Gambar 1.5. Kurva akumulasi spesies Felidae, menggambarkan jumlah spesies


Felidae berdasarkan hari aktif perangkap kamera di Taman Nasional Way
Kambas.

Mangsa Potensial dan Karnivora non-Felidae


Sejumlah hewan berukuran tubuh kecil sampai besar yang berpotensi
menjadi mangsa Felidae terekam perangkap kamera antara lain: rusa sambar
(Cervus uniclor), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), napu
(Tragulus napu), kancil (Tragulus javanicus), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), sempidan biru (Lophura ignita), ayam
hutan (Gallus gallus), delimukan zamrut (Chalcophap indica), puyuh mahkota
(Rollulus roulroul), tekukur (Streptopelia bitorquata), serta beberapa spesies tikus
dan tupai dari famili Muridae dan Sciuridae (Tabel 1.4, Lampiran 1.3 – 5).
Dari 4.017 video hewan, didapatkan 2.074 video spesies mangsa
potensial berukuran tubuh besar, 465 video spesies mangsa potensial berukuran
tubuh sedang, 1.332 video spesies mangsa potensial berukuran tubuh kecil, 134
video Karnivora non-Felidae, 31 video beruang dan 171 video manusia. Manusia
yang terekam perangkap kamera adalah polisi hutan (polhut), tim patroli
pengamanan badak sumatra (RPU) , tim peneliti (PKHS) dan aktivitas ilegal
masyarakat. Berdasarkan Indeks Kelimpahan Relatif, mangsa berukuran tubuh

Universitas Indonesia
17

besar paling umum adalah kijang (Muntiacus muntjak [IKR=20,87]) dan babi
hutan (Sus scrofa [IKR=19,35]). Mangsa berukuran tubuh sedang paling umum
adalah beruk (Macaca nemestrina [IKR=9,15]) dan landak (Hystrix branchyura
[IKR=0,82]). Sedangkan mangsa berukuran tubuh kecil paling umum adalah napu
(Tragulus napu [IKR=10,02]) dan monyet (Macaca fascicularis [IKR=9,72])
(Tabel 1.4; Lampiran 1.3 - 1.5).

Tabel 1.4. Mangsa potensial yang terdapat di lokasi penelitian berdasarkan data
perangkap kamera. Diurutkan berdasarkan rata-rata bobot tubuh (besar - kecil).

IKR (video
Rata-rata
Ukuran Video independen Kategori
Spesies bobot
kelom- pok Independen per 100 hari Mangsa2
tubuh (kg)1
aktif)
E. maximus sumatranus 1,04 78 1.69 4.000 (Besar)
Dicerohinus sumatraensis 1 1 0.02 950 (Besar)
Cervus unicolor 1,02 90 1.95 249,5 Besar
Tapirus indicus 1,03 20 0.43 225 (Besar)
Sus scrofa 1,33 892 19.35 125 Besar
Helarctos malayanus 1,02 31 0.67 56 [Besar]
Varanus salvator 1 8 0.17 37,5 <Besar>
Muntiacus muntjak 1,01 962 20.87 21 Besar
Hystrix brachyura 1,12 38 0.82 8 Sedang
Artictis binturong 1 3 0.07 7,5 [Sedang]
Prebytis melalophus 1 1 0.02 6,6 Sedang
Macaca nemestrina 1,48 422 9.15 6,5 Sedang
Manis javanica 1 1 0.02 6 Sedang
Paguma larvata 1 28 0.61 4,8 Kecil
Macaca fascicularis 2,02 448 9.72 4,5 Kecil
Cynogale bennettii 1 4 0.09 4 Kecil
Tragulus napu 1,03 462 10.02 3,85 Kecil
Tragulus javanicus 1,03 68 1.48 3,85 Kecil
Viverra tangalunga 1 49 1.06 3,7 Kecil
Paradoxurus hermaphroditus 1 3 0.07 3,5 Kecil
Aonyx cinerea 1 1 0.02 3 Kecil
Viverra malaccensis 1 1 0.02 3 Kecil
Martes flavigula 1 4 0.09 2,15 Kecil
Hemigalus derbyanus 1 18 0.39 2,1 Kecil
Diplogale derbyanus 1 12 0.26 2 Kecil
Argusianu _argus 1 6 0.13 1,95 Kecil
Lophura ignita 1,23 99 2.15 0,94 Kecil
Herpestes javanicus 1 11 0.24 0,75 Kecil
Gallus gallus 1,09 78 1.69 0,68 Kecil
Rollulus rouloul 2,7 2 0.04 0,22 Kecil
Butorides striatus 1 3 0.07 0,17 Kecil
Streptopelia bitorquata 1 1 0.02 0,16 Kecil
Chalcophaps indica 1 4 0.09 0,12 Kecil
Rattus spp 1 7 0.15 0,05 Kecil
Loriscus insignis 1 5 0.11 0,05 Kecil
Tupaii spp. 1 5 0.11 0,05 Kecil
Rodentia 1 4 0.09 0,05 Kecil
1
Rata-rata bobot tubuh (kg) dari berbagai sumber
2
Mengikuti Sunarto et al. (2015) dan Davis et al. (2010)
( ) Sedikit bukti sebagai mangsa
[ ] Karnivora, kompetitor potensial Felidae
< >=berdarah dingin, tidak umum terekam kamera
Tulisan ditebalkan menunjukkan mangsa potensial paling umum dijumpai berdasarkan nilai IKR

Universitas Indonesia
18

Indeks Kelimpahan Relatif mangsa potensial berukuran tubuh besar, sedang dan
kecil lebih tinggi pada vegetasi semak dibandingkan hutan sekunder dan alang-
alang (Gambar 1.6). Sedangkan kelimpahan relatif karnivora non Felidae,
beruang madu dan manusia lebih tinggi pada vegetasi hutan sekunder dibanding
semak dan alang-alang (Gambar 1.6).

69 65.66
66 Manusia
63 Beruang
60
57 Karnivora non Felidae
54 Mangsa besar
IKR (video per 100 hari aktif)

51
48 Mangsa sedang
45 41.97
Mangsa kecil
42 37.44
39
36 31.97
33 30.36
30
27
24 21.67
21
18
13.03
15 10.39
12
9 4.96
6.56
4.01
6 3.68
3 0.95 0.26 1.32 0.22 0.11 0.67
0
Hutan Sekunder Semak Alang-alang
Tipe Vegetasi

Gambar 1.6. Indeks Kelimpahan Relatif mangsa potensial, Karnivora non-Felidae,


beruang, dan manusia berdasarkan tipe vegetasi.

Kehadiran Karnivora lain dapat mempengaruhi karakteristik ekologi


Felidae. Dalam penelitian ini teridentifikasi sejumlah spesies Karnivora non
Felidae yaitu beruang madu (Helarctos malayanus) (Famili Urisidae), sembilan
spesies dari Famili Viveridae yaitu binturong (Artictis binturong), musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus), musang air (Cynogale bennetti), musang belang
(Hemigalus derbyanus), musang biasa (Diplogale derbyanus), musang leher
kuning (Martes flavigula), musang merah (Paguma larvata), musang rase
(Viverrinus malaccensis) dan tenggalong (Viverra tangalunga) dan dua spesies
dari Famili Mustelidae yaitu berang-berang (Aonyx cinerea) dan garangan jawa
(Herpestes javanicus). Karnivora non-Felidae yang paling umum dijumpai dalam
perangkap kamera pada semua tipe vegetasi berdasarkan kelimpahan relatifnya
adalah tenggalong (IKR=1,06), beruang madu (IKR=0,67) dan musang merah

Universitas Indonesia
19

(IKR=0,61) (Gambar 1.7). Pada tipe vegetasi hutan sekunder, tenggalong paling
sering ditemukan (IKR=1,53). Sedangkan pada vegetasi semak dan alang-alang
musang merah (IKR=0,65) dan binturong (IKR=0,33) paling sering ditemukan
(Gambar 1.8).

1.20
1.06

1.00
IKR ( video per 100 hari aktif)

0.80
0.67
0.61
0.60
0.39
0.40
0.26 0.24
0.20 0.09 0.09
0.07 0.07
0.02 0.02
0.00
Musang merah

Musang air

Berang-berang
Musang biasa

Musang belang
Binturong

Musang luwak

Garangan jawa
Tenggalong

Musang rase
Beruang madu

Musang leher kuning

Ursidae Viverridae Mustelidae

Gambar 1.7. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non-Felidae per spesies pada
semua tipe vegetasi di TNWK

1.8
1.6 Sekunder 1.53

1.4
Semak
Alang-alang
IKR (video per 100 hari aktif)

1.2
0.95
1.0
0.78
0.8 0.65
0.58
0.6
0.41 0.37
0.4 0.26
0.33
0.26 0.26
0.22
0.2 0.11 0.11 0.14 0.13 0.14
0.03 0.03

0.0
Musang merah
Musang air

Musang biasa

Musang rase

Tenggalong

Berang-berang
Musang belang

Garangan jawa
Beruang madu

Binturong

Musang luwak

Musang leher kuning

Ursidae Viverridae Mustelidae

Gambar 1.8. Indeks Kelimpahan Relatif Karnivora non Felidae per spesies
berdasarkan tipe vegetasi di TNWK

Universitas Indonesia
20

Distribusi Felidae di TNWK


Berdasarkan tipe vegetasi, kucing congkok tertangkap kamera pada semua
tipe vegetasi (hutan sekunder, semak dan alang-alang), kucing batu dan harimau
pada dua tipe vegetasi (hutan sekunder dan semak) dan macan dahan hanya pada
satu tipe vegetasi (hutan sekunder). Secara keseluruhan, keempat spesies Felidae
tersebut sebagian besar tertangkap kamera pada vegetasi hutan sekunder (84,3%)
diikuti vegetasi semak (13,5%) dan vegetasi alang-alang (2,2%) (Tabel 1.5).
Berdasarkan jarak dari tepi taman nasional, 25,8% Felidae berada dekat
dengan tepi, 41,6% berada dalam jarak sedang, dan 28,1% berada jauh dari tepi.
Distribusi Felidae bervariasi terhadap posisi sungai. Jarak terdekat Felidae
dengan sungai adalah 3 m dan jarak terjauh lebih dari 920 m. Sebesar 35,9 %
Felidae terdeteksi pada jarak antara 3 – 470 m dari tepi sungai, 47,2% pada jarak
480-920 m dari sungai dan 16,9% berada jauh dari sungai (lebih dari 920 m).
Hanya harimau sumatra dan kucing congkok yang ditemukan jauh dari tepi
sungai, sedangkan kucing batu ditemukan pada jarak dekat dan sedang dari sungai
atau sumber air. Hasil pemetaan menunjukkan 92,1% spesies Felidae berdekatan
dengan jalur patroli di dalam hutan (1-54,1 m). Sisanya sebesar 4,5% berada pada
jarak 54,1-108,2 m dan 3,4% berada lebih dari 108, 2 m dari jalur patroli.

Tabel 1.5. Distribusi video Felidae berdasarkan tipe vegetasi, jarak dari tepi taman
nasional (m), jarak dari sungai (m) dan jarak dari jalur patroli (m).

Satuan luas (m2) Video Indpenden Persentase


Kovariat Kategori
dan jarak (m) HS MD KC KB Jumlah (%)
Hutan Sekunder 3.643.400 m2 32 4 36 3 75 84,3
Tipe
Alang-alang 1.248.100 m2 0 0 2 0 2 2,2
vegetasi
Semak belukar 9.083.500 m2 8 0 2 2 12 13,5
Jarak dari Dekat 6.00 – 8.000 m 10 0 10 3 23 25,8
tepi taman Sedang 8.100 – 15.500 m 9 4 26 2 41 46,1
nasional Jauh > 15.500 m 21 0 4 0 25 28,1
Dekat 3 - 470 m 14 1 13 4 32 35,9
Jarak dari
Sedang 480 – 920 m 20 3 18 1 42 47,2
sungai
Jauh > 920 m 6 0 9 0 15 16,9
Jarak dari Dekat 1 – 54.1 m 39 4 35 4 82 92,1
jalur Sedang 54.2 – 108.2 m 1 0 2 1 4 4,5
patroli Jauh > 108.2 m 0 0 3 0 3 3,4
Keterangan: HS = harimau sumatra, MD = macan dahan, KC = kucing congkok, KB = kucing batu

Universitas Indonesia
21

PEMBAHASAN

Keragaman Spesies Felidae


Dalam penelitian ini empat dari enam spesies Felidae yang ditemukan
dalam survei sebelumnya berhasil terekam perangkap kamera yaitu: harimau
sumatra, macan dahan, kucing batu dan kucing congkok. Waktu yang diperlukan
untuk mendapatkan video spesies Felidae di TNWK relatif lebih pendek jika
dibandingkan dengan penelitian sejenis di Kalimantan (Cheyne & Macdonald,
2011) yang memerlukan total 231 hari aktif perangkap kamera untuk
mendapatkan foto pertama Felidae (kucing congkok). Kondisi TNWK yang
relatif lebih kering pada musim hujan dan banyaknya jalur patroli dan jalan
setapak di dalam hutan kemungkinan menyebabkan mobilitas Felidae lebih mudah
dan lebih luas sehingga peluang tertangkap kamera lebih tinggi. Pada kondisi
yang lebih basah seperti di Kerumutan (Sunarto et al., 2015) atau Taman Nasional
Sebangau (Cheyne & Macdonald, 2011) mobilitas Felidae lebih terbatas karena
adanya penghalang (barier) aliran air atau rawa dan sulitnya akses untuk
memasang perangkap kamera.
Dibandingkan hasil penelitian di sejumlah wilayah lain di Sumatra,
keragaman spesies Felidae dalam penelitian ini lebih rendah. Sunarto et al.
(2015) dalam penelitiannya di Sumatra tengah, McCarthy et al. (2015) di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Pusparini et al. (2015), di Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan PKHS (2015) di Taman Nasional Bukit
Tigapuluh (TNBT) menemukan lima spesies Felidae. Spesies yang tidak
ditemukan dalam penelitian ini tetapi ditemukan dalam sejumlah penelitian
tersebut adalah kucing emas, tetapi semua penelitian tersebut juga tidak
menemukan kucing pesek (Tabel 1.6). Dibandingkan dengan hasil perangkap
kamera yang dipasang tahun 1997 (Bastoni & Apriawan, 1997), dua spesies
Felidae yang tidak ditemukan dalam penelitian ini adalah kucing emas dan kucing
pesek (Lampiran 1.2).

Universitas Indonesia
22

Tabel 1.6. Perbandingan keanekaragaman spesies dan Indeks Kelimpahan Relatif


(foto/video per 100 hari aktif) Felidae dari hasil penelitian di sejumlah kawasan
konservasi di Sumatra

Indeks Kelimpahan Relatif (video per 100 hari aktif)


Lokasi Penelitian Hari Aktif
HS MD KE KC KB KP
TNWK1 3.507      
TNWK2 4.610 0,87 0,09 td 0,87 0,11 td
BBS3 34.166 0,16 0,15 0,30 0,08 0,10 td
TNGL4 3.452 * 0,41 0,72 0,20 0,23 td
Sumatra Tengah5 [7.513]
Kampar 1.132 td 0,60 td 0,60 ttd td
Kerumutan 1.868 0,70 0,10 td 0,10 0,20 td
Teso Nilo 1.618 1,60 0,25 td 3,10 0,15 td
Peranap 1.321 td 0,70 0,20 0,75 0,49 td
R. Baling 1.574 0,45 1,80 0,30 2,20 0,60 td
TNBT6 19.076 1,82 1,24 0,32 2,16 0,37 td
1Bastoni & Apriawan (1997), ada bukti foto tetapi tidak ada data jumlah foto independen masing-masing
spesies, 2Penelitian ini, 3McCarthy et al. (2015); 4Pusparini et al. (2015); 5Sunarto et al. (2015). 6PKHS
(2015) data tidak dipublikasikan. HS: harimau sumatra, MD: macan dahan, KE: kucing emas, KC: kucing
congkok, KB: kucing batu dan KP: kucing pesek. td = tidak ditemukan, *) data tidak ditampilkan.

Hasil penelitian ini tentu saja tidak dapat langsung dijadikan dasar untuk
mengambil kesimpulan bahwa kucing emas dan kucing pesek telah punah di
taman nasional ini. Beberapa faktor dapat mempengaruhi suatu spesies tidak
ditemukan dalam perangkap kamera antara lain perbedaan dalam besarnya usaha
sampling (Mohamed et al., 2009), kecenderungan spesies lebih menyukai habitat
tertentu (Azlan et al., 2003), kepadatan spesies yang sangat rendah dan
menghindari jalur aktif manusia (Sunarto et al., 2015) atau keterbatasan
perangkap kamera dalam mensurvei spesies yang bersifat arboreal, misalnya
kucing batu atau macan dahan (Azlan & Sharma, 2006; Gray & Phan, 2011).
Berdasarkan informasi petugas taman nasional dan penduduk sekitar,
kucing emas dan kucing pesek masih bisa ditemukan di TNWK. Meskipun masih
harus dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, informasi ini dapat dijadikan
indikasi awal bahwa kedua spesies Felidae ini kemungkinan masih ada, tetapi
tidak terekam perangkap kamera yang dipasang. Petugas taman nasional
(Nuralim 2014; komunikasi pribadi) dan pemandu wisata melaporkan pernah
bertemu langsung dengan kucing emas di sekitar Sungai Way Kanan dan Suaka
Rhino Sumatra (SRS) pada tahun 2002. Informasi keberadaan kucing pesek juga

Universitas Indonesia
23

diperoleh dari penduduk Desa Braja Yekti (Wayan Sadi 2015; komunikasi
pribadi) dan penduduk desa Rawa Betik (Komarudin 2015; komunikasi pribadi).
Kedua penduduk desa ini menyatakan pernah melihat langsung kucing pesek di
tepi sawah dan tepi sungai yang berbatasan langsung dengan taman nasional pada
saat musim kemarau. Informasi ini kemungkinan dapat dipercaya karena kedua
penduduk desa ini dapat menyebutkan ciri-ciri morfologi kucing ini secara tepat
sebelum melihat foto kucing pesek yang ditunjukkan kepada mereka. Selain itu
karakteristik lokasi pertemuan Komarudin dengan kucing pesek di TNWK mirip
dengan tipe lokasi pertemuan Hearns et al. (2013) dengan spesies Felidae ini di
Sabah, Malaysia. Hearn et al. (2013) melaporkan bertemu langsung dengan
kucing pesek yang sedang beraktifitas di tepi sungai ketika menyusuri Sungai
Kinabatangan, Sabah Malaysia.
Kucing pesek merupakan spesies Felidae terkecil di Sumatra, panjang
tubuhnya antara 44,6-52,1 cm dengan berat antara 1,5-2,2 kg (Macdonald et al.,
2010). Spesies ini ini termasuk dalam spesies yang terancam punah (Hearn et al.,
2010; Nowell, 2009), paling sedikit dikenal, dan daerah penyebarannya terbatas
di hutan tropis dataran rendah di Semenanjung Thailand, Malaysia, Borneo dan
Sumatra (Wilting et al., 2010). Pusparini et al. (2014), Sunarto et al. (2015),
McCarthy et al. (2015) dan PKHS (2015), dalam penelitiannya di sejumlah
wilayah di Sumatra juga tidak menemukan spesies kucing ini. Cheyne &
Macdonald (2011) dalam penelitiannya di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan
Tengah, mendapatkan foto kucing pesek setelah kamera terpasang selama 3.498
hari aktif.
Selama ini informasi keberadaan kucing pesek di Indonesia lebih banyak
berasal dari Kalimantan (Wilting et al., 2010). Tercatat 12 informasi keberadaan
kucing pesek dari Kalimantan misalnya Cheyne et al. (2009). Ukuran tubuhnya
yang kecil, lebih menyukai habitat akuatik dan densitasnya yang rendah
menyebabkan peluang kucing pesek tertangkap kamera sangat rendah. Menurut
Payne et al. (2000), Bezuijen (2000), Bezuijen (2003), Nowel & Jackson (1996)
dan Wilting et al. (2010) kucing pesek lebih menyukai habitat akuatik, lebih aktif
di malam hari dan menghindari perjumpaan langsung dengan manusia. Faktor
desain pemasangan kamera yang tidak difokuskan pada satu spesies dengan

Universitas Indonesia
24

habitat yang sangat spesifik turut mempengaruhi keberhasilan mendapatkan


foto/video kucing ini. Azlan & Sharma (2006) berpendapat kucing pesek
kemungkinan tidak menggunakan jalur terbuka, yang lebih sering digunakan oleh
mamalia besar. Untuk meningkatkan peluang deteksi dan menurunkan bias
sampling , Wadey et al. (2014) menyarankan untuk melakukan penelitian dengan
target khusus kucing pesek, perangkap kamera dipasang lebih dekat dengan
permukaan tanah (±10 cm), dan pada jalur lintasan satwa-satwa kecil bukan pada
jalur logging atau patroli seperti yang dilakukan selama ini.
Kucing emas tertangkap perangkap kamera di TNWK pada tahun 1996
(Bastoni & Apriawan, 1997), namun perangkap kamera yang dipasang setelahnya
belum mendapatkan kembali foto atau video spesies kucing ini. Demikian pula
belum ada laporan tertulis atau bukti foto atau video yang menunjukkan
keberadaan kucing ini di TNWK setelah pertama kali ditemukan pada tahun 1996.
Beberapa studi di Sumatra yang dilakukan di daerah perbukitan (Sunarto et al.,
2015; McCarthy et al., 2015; Pusparini et al., 2014; PKHS, 2015) berhasil
merekam spesies Felidae ini. Sunarto et al. (2015) melaporkan kucing emas
ditemukan pada dua blok penelitian (Peranap dan Rimbang Baling) pada
ketinggian antara 200 – 300 m dpl. (rata-rata 245,8 m dpl.), tetapi tidak
ditemukan di lokasi yang lebih rendah (Kampar, Kerumutan dan Tesso Nilo). Di
TNGL kucing emas ditemukan pada daerah hutan pegunungan dan pegunungan
bawah (Pusparini et al., 2014) sementara di TNBBS ditemukan pada daerah
sedikit lebih rendah (McCarthy et al., 2015).
Meskipun di daerah penyebarannya kucing emas dapat hidup di hutan
dataran rendah (Nowell & Jackson, 1996) sampai dataran tinggi (Mishra et al.,
2006; Bashir et al., 2011), namun di Sumatra kucing emas lebih umum
ditemukan di daerah perbukitan dengan ketinggian sedang antara 200-300 m dpl.
(Wibisono & McCarthy, 2010; Sunarto et al., 2015; McCarthy et al., 2015;
Pusparini et al., 2014; PKHS, 2015). Kondisi tersebut dapat menjelaskan
mengapa mengapa kucing emas sulit ditemukan lagi di TNWK setelah tahun
1996. Taman Nasional Way Kambas berada di dataran rendah dengan ketinggian
antara 0 – 52 m dpl. (tertinggi ±52 m dpl.), diperkirakan Way Kambas bukan

Universitas Indonesia
25

merupakan habitat terbaik bagi kelangsungan hidup kucing emas sehingga


kepadatannya sangat rendah.
Berdasarkan indeks kelimpahan relatif, harimau sumatra dan kucing
congkok menempati urutan pertama (0,87) diikuti kucing batu (0,11) dan macan
dahan (0,09). Urutan tersebut sama dengan hasil penelitian Sunarto et al.(2015)
dan PKHS (2015) tetapi berbeda dengan McCarthy et al. (2015) dan Pusparini et
al. (2014). Kucing congkok menempati posisi kedua setelah macan dahan di
Kalimantan Tengah (Cheyne & Macdonald, 2011), posisi kedua setelah harimau
di Semenanjung Malaysia (Azlan & Sharma, 2006) dan di Thailand setelah
macan tutul (Panthera pardus) (Lynam et al., 2013). Harimau sumatra dan
kucing congkok di TNWK menempati 26 stasiun perangkap kamera dari 57
stasiun yang terpasang atau menggunakan 60,5% stasiun perangkap kamera,
sedangkan kucing batu dan macan dahan hanya 11%.
Kucing congkok merupakan spesies Felidae yang paling tersebar luas
(Sanderson et al., 2008; Jinping, 2010), dapat hidup pada berbagai tipe habitat
dan lebih toleran terhadap daerah terganggu (Nowell &Jackson, 1996; Sunquist
& Sunquist 2002). Kucing congkok bahkan dapat beradaptasi dengan baik di
perkebunan sawit (Rajaratnam et al., 2007; Silmi et al., 2013; Lorica & Heaney,
2013). Spesies mangsa yang mudah ditemukan dan melimpah pada berbagai
habitat terutama dari famili Muridae, memudahkan kucing ini hidup pada habitat
yang terganggu (Grassman et al., 2005a; Rajaratnam et al., 2007; Austin et al.,
2007). Kemampuan adaptasi yang baik tersebut membuat kucing congkok
tersebar luas di dalam taman nasional, sehingga lebih banyak tertangkap
perangkap kamera.
Meskipun harimau sumatra termasuk spesies kucing yang masuk dalam
kategori kritis terhadap kepunahan (Nowell, 2009), tetapi Indeks Kelimpahan
Relatif spesies ini lebih tinggi dibandingkan macan dahan dan kucing batu.
Dominansi, keanekaragaman spesies mangsa, dapat hidup pada berbagai tipe
habitat dan lebih menyukai jalur permanen di dalam hutan merupakan faktor-
faktor yang dapat meningkatkan peluang harimau terekam dalam perangkap
kamera yang dipasang dibanding spesies Felidae yang lain. Menurut Povey &
Spaulding (2007), di Asia Tenggara harimau merupakan spesies Felidae yang

Universitas Indonesia
26

dominan. Felidae berukuran tubuh lebih kecil dan mempunyai jenis makanan
hampir sama dengan harimau (misalnya macan dahan), menempati relung berbeda
dengan harimau sumatra, misalnya dengan menggunakan daerah dengan
ketinggian yang berbeda atau waktu beraktivitas yang berbeda (Sunarto et al.,
2015). Menurut Ngoprasert et al. (2012), distribusi Felidae dipengaruhi oleh
ketersediaan mangsa dan kompetitor potensial, sehingga indeks kelimpahan relatif
spesies Felidae dapat dipengaruhi oleh kemampuan mereka beradaptasi terhadap
berbagai tipe habitat dan keanekaragaman spesies mangsa.
Dibandingkan dengan penelitian lain di Sumatra (Pusparini et al., 2014;
Sunarto et al., 2015; McCarthy et al., 2015; PKHS, 2015) dan Borneo (Azlan &
Sharma, 2006; Cheyne & Macdonal, 2011; Wearn et al., 2013; Adul et al., 2015)
IKR macan dahan dalam penelitian ini lebih rendah. Diduga rendahnya IKR
macan dahan di TNWK karena kucing ini berkompetisi dengan harimau sumatra
dan menjadi predator sub-ordinat harimau sumatra sehingga macan dahan
menghindari harimau dalam dimensi temporal dan spasial. Dugaan ini diperkuat
hasil penelitian Sunarto et al. (2015), yang menunjukkan nilai tumpang tindih
temporal harimau sumatra dan macan dahan terendah dibandingkan dengan
spesies Felidae lainnya. Hasil penelitian Sunarto et al. (2015) di Sumatra Tengah
menunjukkan dalam dimensi spasial macan dahan lebih banyak ditemukan pada
ketinggian sedang antara 150-200 meter dpl., sedangkan harimau sumatra pada
ketinggian dibawah 100 meter dpl.
Hasil penelitian di daratan Asia menunjukkan kepadatan macan dahan
tinggi ketika dalam habitat yang sama tidak ditemukan Felidae besar atau
kepadatan Felidae besar rendah (Grassman et al., 2005b; Lynam et al., 2013;
Wearn et al., 2013). Sebaliknya ketika Felidae besar ditemukan dalam habitat
yang sama dengan macan dahan, kepadatan macan dahan rendah (Rabinowitz et
al., 1987; Grassman et al., 2005b; Lynam et al., 2013). Kecuali di Rimbang
Baling (Sunarto et al., 2015), data hasil penelitian di Sumatra (Sunarto et al.,
2015; Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015; PKHS, 2015) dan Borneo
(Azlan & Sharma, 2006; Cheyne & Macdonal, 2011; Wearn et al., 2013)
menunjukkan pola yang sama. Di Thailand, pergerakan dan distribusi macan
dahan dipengaruhi rendahnya kepadatan harimau dan macan tutul (Grassman et

Universitas Indonesia
27

al., 2005a). Macan dahan menghindari konfrontasi dengan predator dominan


(Grassman, 2004). Menurut Grassman et al. (2005b) pola distribusi spasial
Felidae berukuran sedang dan ko-eksistensinya dengan harimau dan macan tutul
dapat dipengaruhi oleh dominansi sosial, keragaman spesies mangsa dan
kepadatan vegetasi.
Indeks Kelimpahan Relatif kucing batu dalam penelitian ini lebih rendah
(0,11) dibandingkan dengan hasil penelitian Sunarto et al. (2015), dan Cheyne &
Macdonald (2011). Di Kalimantan dan Sumatra kucing batu relatif jarang
ditemukan (Nowell & Jackson, 1996). Di seluruh daerah penyebarannya kucing
ini lebih menyukai hutan perbukitan (Holden, 2001;Grassman et al., 2005a).
Penelitian Sunarto et al. (2015) di Sumatra tengah dan Wibisono & McCarthy
(2010) di Bukit Barisan Selatan, menunjukkan kucing batu lebih umum
ditemukan pada daerah dengan ketinggian di atas 100 m dpl. Kucing batu
umumnya berasosiasi dengan hutan basah dan hutan hujan tropis (Sunquist &
Sunquist, 2002), lebih menyukai hutan perbukitan (Holden, 2001; Grassman et
al., 2005b).
Alasan lain mengapa IKR kucing batu rendah adalah kemampuan kucing
batu hidup secara arboreal sehingga perangkap kamera tidak dapat merekam
aktivitas mereka ketika aktif di atas pohon. Menurut Azlan & Sharma (2006),
kucing batu memiliki kemampuan memanjat yang sangat baik. Kemampuan ini
meningkatkan pemisahan ekologi kucing batu dengan kucing congkok atau
Felidae lain yang aktif di permukaan tanah. Dugaan ini didukung hasil penelitian
Bories et al. (2014) di Phu Khieo Wildlife Sactuary, Thailand. Ia melihat secara
langsung kucing batu menyerang Phyre’s leaf monkey jantan muda di atas pohon.

Mangsa Potensial dan Karnivora non-Felidae


Keragaman spesies mangsa merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan keragaman spesies predator. Menurut Karanth et al. (2004),
keberadaan beberapa spesies predator dalam habitat yang sama (ko-eksis) dapat
dipengaruhi oleh kelimpahan relatif berbagai ukuran tubuh spesies mangsa yang
tersedia. Keragaman spesies mangsa dengan berbagai ukuran tubuh dapat

Universitas Indonesia
28

mengurangi terjadinya kompetisi inter-spesies melalui pemilihan jenis spesies


mangsa.
Kelimpahan spesies mangsa pada semua ukuran tubuh berdasarkan IKR di
TNWK lebih tinggi pada vegetasi semak. Hal ini menunjukkan bahwa vegetasi
vegetasi semak merupakan salah satu habitat penting bagi kehidupan Felidae.
Diduga mangsa potensial terutama herbivora lebih menyukai vegetasi semak
karena lebih mudah mendapatkan sumber pakan yang terdiri dari rumput dan
tumbuhan muda. Komposisi tumbuhan pada vegetasi semak di dominasi oleh
tumbuhan muda dan tumbuhan pionir dari famili Graminae. Ini menunjukkan
bahwa vegetasi semak berperan penting dalam menjaga kelimpahan spesies
mangsa potensial Felidae di TNWK.
Berdasarkan video perangkap kamera yang dipasang, keragaman spesies
mangsa dengan berbagai ukuran tubuh di taman nasional ini cukup lengkap,
terutama mangsa harimau sumatra dan macan dahan. Spesies yang diduga
menjadi mangsa harimau sumatra dan tertangkap kamera dalam penelitian ini
adalah rusa sambar, babi hutan, kijang, beruk, monyet dan napu. Hal ini didukung
dengan hasil penelitian Sriyanto (2003) yang melaporkan komposisi spesies
mangsa dalam feses harimau sumatra (n=64) di TNWK terdiri dari 33,3% babi
hutan (Sus scrofa), 27,5% monyet (Macaca fascicularis) 19,7% rusa sambar
(Cervus unicolor), 17% kijang (Muntiacus mutjak), 1,6% beruang madu
(Helarctos malayanus) dan 0,1% spesies lain. Jika dibandingkan dengan hasil
penelitian Grassman et al. (2005a) di Taman Nasional Phu Khieo, Thailand,
spesies yang berpotensi menjadi mangsa macan dahan di TNWK adalah kijang
(Muntiacus muntjak), beruk (Macaca nemestrina), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), landak (Hystryx brachiura), trenggiling (Manis javanicus) dan tupai
tanah (Tupaiidae). Grassman et al. (2005a) melaporkan komposisi spesies mangsa
dalam feses macan dahan adalah hog deer (Axis porcinus), bush-tailed porcupine
(Atherurus macrourus), trenggiling (Manis javanicus), kukang (Nycticebus
coucang) dan tupai tanah (Menetes berdmorei).
Spesies yang berpotensi menjadi magsa kucing congkok dan terekam
perangkap kamera dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus spp.), tupai , beberapa
jenis burung dan napu (Tragulus napu dan Tragulus javanicus) sesuai dengan

Universitas Indonesia
29

hasil penelitian di Borneo dan Thailand. Di Boreneo dan Thailand, spesies mangsa
kucing congkok relatif telah terdokumentasi dengan baik (Grassman, 2000;
Grassman et al., 2005a; Rajaratnam et al., 2007). Di Thailand, frekuensi spesies
Muridae dalam feses kucing congkok (n=55) tertinggi (85%) dibanding spesies
lain. Tikus (Rattus spp) merupakan spesies paling umum yang ditemukan dalam
feses kucing congkok (55%) diikuti Mus spp. (30%). Spesies yang lain termasuk
tupai tanah indochina (Menetes berdmorei) (4%), napu (4%), spesies burung yang
tidak teridentifikasi (4%), mamalia tidak teridentifikasi (13%) dan serangga (21%)
(Grassman et al., 2005a). Sedangkan Rajaratnam et al. (2007) melaporkan
mangsa utama kucing congkok di Borneo adalah tikus kepala putih (Maxomys
whiteheadi).
Dari hasil penelitian ini diduga tikus, tupai, beberapa jenis burung dan
monyet berpotensi menjadi mangsa kucing batu. Menurut Nowell & Jackson
(1996) informasi mengenai perilaku, makanan dan relung ekologi spesies ini
sangat sedikit diketahui. Diperkirakan mangsa utama kucing ini adalah tikus tupai
dan burung. Grassman et al. (2005b) dalam studinya di Thailand tidak
menemukan feses kucing ini sehingga tidak dapat mengidentifikasi jenis
mangsanya. Ada bukti baru yang menunjukkan kucing ini memangsa Primata
(Phayre’s leaf monkey) di Taman Nasional Phu Khieo (Borries et al., 2014).
Kehadiran Karnivora lain dapat berpengaruh terhadap karakteristik ekologi
Felidae. Diantara dua belas Karnivora non Felidae yang tertangkap kamera,
beruang madu merupakan spesies terbesar berdasarkan bobot tubuhnya. Menurut
Sunarto et al.(2015), di Sumatra Tengah beruang madu bukan merupakan
kompetitor utama harimau karena mengkonsumsi jenis-jenis mangsa yang
berbeda. Beruang madu juga memiliki kemampuan memanjat pohon dan
menggunakan strata hutan untuk menghindari kompetisi dengan harimau (Sunarto
et al., 2015). Berdasarkan hal tersebut, beruang madu di TNWK diduga juga
bukan merupakan kompetitor harimau sumatra, justru menjadi salah satu spesies
yang dimangsa oleh harimau sumatra. Hasil penelitian yang dilakukan Sriyanto
(2003) di TNWK menunjukkan frekuensi kehadiran sisa bagian tubuh beruang
madu dalam feses harimau sumatra mencapai 1.6% (n=64). Spesies karnivora non
felidae dari famili Viverridae berpotensi menjadi kompetitor Felidae terutama

Universitas Indonesia
30

kucing congkok dan kucing batu karena mereka juga mengkonsumsi mamalia
kecil (tikus dan tupai) dan burung.

Distribusi Felidae di TNWK


Empat spesies Felidae ditemukan pada hutan sekunder, tiga spesies pada
semak belukar dan satu spesies pada alang-alang. Kucing congkok ditemukan
pada tiga tipe vegetasi, harimau dan kucing batu pada dua tipe vegetasi dan
macan dahan hanya pada satu tipe vegetasi (Gambar 1.9). Berdasarkan video
Felidae, harimau sumatra dan macan dahan dan macan dahan dan kucing batu
tidak ditemukan pada stasiun perangkap kamera yang sama. Harimau sumatra
dan kucing congkok, harimau sumatra dan kucing batu, kucing batu dan kucing
congkok serta kucing congkok dan macan dahan ditemukan pada stasiun
perangkap kamera yang sama. Harimau dan spesies Felidae yang berukuran lebih
kecil, kecuali dengan macan dahan secara spasial tidak saling menghindari. Hasil
ini sesuai dengan penelitian di Sumatra Tengah (Sunarto, 2015) dan di Thailand
(Lynam et al., 2013).
Perbedaan ukuran dan jenis spesies mangsa memungkinkan kucing
congkok dan harimau sumatra dapat hidup berdampingan secara spasial maupun
temporal. Spesies yang memiliki ukuran tubuh atau ukuran mangsa yang hampir
sama cenderung saling menghindari secara spasial (Sunarto et al., 2015).
Mekanisme penggunaan ruang yang berbeda merupakan salah satu strategi spesies
Felidae agar dapat hidup berdampingan dan menekan terjadinya kompetisi
(Palomeres & Caro, 1996; Harmsen, 2009; Monroy-Vilchis et al., 2009; Romero-
Munoz et al., 2010). Meskipun kucing batu terekam pada stasiun perangkap
kamera yang sama dengan kucing congkok yang memiliki ukuran tubuh dan jenis
mangsa hampir sama, namun ia mengembangkan mekanisme pemisahan ruang
secara vertikal karena memiliki kemampuan memanjat yang sangat baik
(arboreal). Borries et al. (2014) melaporkan kucing batu memangsa primata yang
hidup secara arboreal di Taman Nasional Phu Khieo, Thailand.

Universitas Indonesia
31

Gambar 1.9. Distribusi Felidae berdasarkan tipe vegetasi dari data perangkap
kamera (Mei 2013-Mei 2014) di Taman Nasional Way Kambas.

Universitas Indonesia
32

Sebagian besar video Felidae ditemukan pada vegetasi hutan sekunder


(84,9%), sisanya pada semak belukar dan alang-alang. Hutan sekunder
menyediakan sumber daya melimpah bagi kelangsungan hidup Felidae, meliputi
ketersediaan mangsa, perlindungan dan tempat untuk bereproduksi. Kelimpahan
relatif spesies mangsa seperti babi hutan, kijang, tupai, tikus dan burung tinggi
pada hutan sekunder. Hutan sekunder merupakan lokasi dengan laju perangkap
kamera mangsa potensial tertinggi kedua pada semua ukuran tubuh mangsa.
Keberadaan vegetasi tingkat tiang dan pohon yang mulai rapat juga merupakan
perlindungan yang baik bagi spesies Felidae terutama spesies yang bersifat
arboreal (macan dahan dan kucing batu).
Lebih dari 50% video keempat spesies Felidae ditemukan pada jarak
antara 8,1-15,5 km (dekat sampai sedang) dari tepi, mendekati daerah inti TNWK.
Hanya kucing congkok (10 video), harimau sumatra (10 video) dan kucing batu (3
video) yang ditemukan dekat dengan daerah tepi. Daerah tengah TNWK
menyediakan sumberdaya dan perlindungan bagi kehidupan Felidae karena
sebagian besar vegetasi pada daerah inti adalah hutan sekunder dengan vegetasi
pohon yang cukup rapat. Daerah tepi TNWK berdekatan dengan wilayah
pemukiman penduduk. Pada daerah tepi biasanya lebih banyak dijumpai aktivitas
manusia misalnya aktivitas pencurian ikan, burung, dan perburuan liar. Menurut
Ngoprasert et al. (2012) apabila harimau hidup pada daerah yang mempunyai
vegetasi tertutup (hutan) dan terbuka (semak), ia menggunakan semua wilayah
baik wilayah tepi maupun inti. Pada daerah yang lebih luas, harimau cenderung
menyukai daerah inti yang jauh dari aktivitas manusia.
Sebagian besar video keempat spesies Felidae (83,1%) ditemukan pada
jarak sedang dan dekat dengan sungai atau sumber air (<0,92 km). Hanya kucing
congkok dan harimau sumatra yang juga ditemukan pada jarak lebih dari 0,92 km
dari sumber air. Sumber air merupakan tempat berkumpul satwa untuk mencari
mendapatkan minum, keberadaan Felidae dekat sumber air diduga berkaitan
dengan aktivitas pencarian mangsa dan pemangsaan. Beberapa jenis hewan
mangsa banyak beraktivitas di tepi sumber air seperti rusa sambar, kijang, babi
hutan dan monyet.

Universitas Indonesia
33

Sebagian besar (92,5%) video keempat spesies Felidae ditemukan dekat


dengan jalur patroli atau jalan setapak di dalam hutan, hanya 7,5% yang
ditemukan pada jarak jauh dan sedang. Jalur patroli digunakan oleh tim peneliti,
polisi hutan dan aktivitas ilegal masyarakat. Data dari Sumatra menunjukkan
bahwa kehadiran secara terus-menerus manusia pada lokasi penelitian dapat
merugikan, khususnya mamalia besar (Griffiths & van Schaik, 1993). Namun
Cheyne & Macdonald (2011) menemukan frekuensi foto Felidae meningkat
dengan bertambahnya waktu, hal ini menunjukkan kehadiran manusia tidak
berpengaruh terhadap keberadaan Felidae. Felidae menyukai jalur patroli karena
lebih mudah dalam memburu mangsa dan mewaspadai kehadiran predator atau
kompetitornya. Jalur patroli juga mempermudah mobilitas karena relatif tidak ada
penghalang atau barier yang menghalangi pergerakan Felidae.

KESIMPULAN

1. Keanekaragaman spesies Felidae di Taman Nasional Way Kambas dalam


penelitian ini lebih rendah dibanding hasil survei sebelumnya. Empat spesies
Felidae ditemukan dalam penelitian ini yaitu harimau sumatra, macan dahan,
kucing batu dan kucing congkok.
2. Indeks Kelimpahan Relatif (video independen per 100 hari aktif) harimau
sumatra dan kucing congkok (0,87) lebih tinggi dibanding kucing batu (0,11)
dan macan dahan (0,09)
3. Video keempat spesies Felidae lebih banyak ditemukan pada vegetasi hutan
sekunder (84,3%), cenderung jauh dari tepi taman nasional (74,2%), dekat
dengan jalur patroli (92,1%) dan sumber air (83,1%).
4. Tidak ditemukannya kucing emas dan kucing pesek dalam penelitian ini
menjadi catatan penting bagi pengelola taman nasional untuk melakukan
survei dan monitoring lebih lanjut guna memastikan keberadaan kedua spesies
ini.

Universitas Indonesia
34

DAFTAR PUSTAKA

Adul, B. Ripoll, S.H. Limin & S.M. Cheyne. 2015. Felids of Sebangau: camera
trapping to estimate activity patterns and population abundance in Central
Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas 16(2): 151–155

Austin, S.C., M.E. Tewes, L.I. Grassman, & N.J. Silvy. 2007. Ecology and
conservation of leopard cat (Prionailurus bengalensis) and clouded
leopard (Neofelis nebulosa) in Khao Yai National Park. Thailand. Acta
Zoologica Sinica 53(1): 1–14

Azlan, M.J. 2009. The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of
Tropical Biology and Conservation 5: 81–86

Azlan, M.J. & D.S.K. Sarma. 2006. The diversity and activity patterns of wild
felids in a secondary forest in Peninsular Malaysia. Oryx 4(1): 36–41

Azlan, M.J. & S.K. Sharma. 2002. First record of melanistic tapir in Peninsular
Malaysia. Journal of Wildlife and Parks 20: 123–124

Azlan, M.J., L. Engkamat & Munan. 2003. Bornean bay cat photograph and
sighting. Cat News 39: 2

Bashir, T., T. Bhattacharya, & S. Sathyakumar. 2011. Notable observations on


the melanistic Asiatic Golden cat (Pardofelis temminckii) of Sikkim, India.
NeBIO 2(1): 1–4

Bastoni & Apriawan. 1997. Metode monitor satwa liar secara intensif di hutan
hujan tropis dengan remote camera system (Trailmaster). Dalam: Tilson,
R.L. (Ed.). 1997. Konservasi dan Manajemen In-situ Dalam Penyelamatan
Harimau Sumetera. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra. Lampung:
16–20.

Bezuijen, M. R. 2000. The occurrence of the flat-headed cat (Prionailurus


planiceps) in South-East Sumatra. Oryx 34: 222–226.

Bezuijen, M.R. 2003. The flat-headed cat in the Merang river region of South
Sumatra. Cat News 38: 26–27.

Borries, C., Z.M. Primeau, K.O. Lupo, S. Dtubpraserit & A. Koenig. 2014.
Possible predation attempt by marbled cat on juvenile phayre’s leaf
monkey. Raffles Bulletin of Zoology 62: 561–565

Chen, M.T., M.E. Tewes, J. Pei & L.I. Grassman Jr. 2009. Activity pattern and
habitat use of sympatric small carnivores in southern Taiwan. Mammalia
73: 20–26

Universitas Indonesia
35

Cheyne, S.M. & D.W. Macdonald. 2011. Wild felids diversity and activity
pattern in Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Oryx.
45(1):119–124

Cheyne, S.M, H.M. Bernard & D.W. Macdonald. 2009. First flat-headed cat
photo from Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Cat News:
51–53

Davis, M.L., M.J. Kelly & D.F. Staufer. 2010. Carnivore co-existence and habitat
use in the Mountain Pine Ridge Forest Reserves, Belize. Animal
Conservation 14: 56–65

Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, D. Siswomartono, J. Manangsang & R.L. Tilson,


1999. Last of the Indonesian Tiger: a caude for optimism. Dalam:
Seidensticker, J., S. Cristie & P. Jackson. (Eds). 1999. Riding the tiger:
tiger conservation in human-dominated lanscape. Cambridge University
Press. Cambridge: 130–147.

Gaveau, D. L. A., H. Wandonoc & F. Setiabudi. 2007. Three decades of


deforestation in southwest Sumatra: have protected areas halted forest loss
and logging, and promoted re-growth? Biological Conservation 134(4):
495–504.

Grassman, L.I. 2000. Movements and diet of the leopard cat (Prionailurus
bengalensis) in a seasonal evergreen forest in south-central Thailand. Acta
Theriologica 45(3): 421–426

Grassman, L.I. 2004. Clouded leopard: The living sabertooth. Wild Cat News: 24–
29

Grassman, L.I. Tewes, M.E. Silvy, N.J. Kreetiyutanont. 2005a. Spatial


organization and diet of the leopard cat (Prionailurus bengelensis) in
north-central Thailand. Journal of Zoology 266(1): 45–54

Grassman, L.I. Tewes, M.E. Silvy, N.J. Kreetiyutanont. 2005b. Ecology of three
sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central Thailand.
Journal of Mammalogy 86(1): 29–38.

Gray, T.N.E., & C. Phan. 2011. Habitat preferences and activity pattern of the
larger mammal community in Phnom Prich Wildlife Sanctuary, Cambodia.
The Raffles Bulletin of Zoology 59(2): 311–318

Griffiths, M. & C.P. van Schaik. 1993. The impact of human traffic on the
abundance and activity patterns of Sumatran rain forest mammals.
Conservation Biology 7(3): 623–626

Harmsen, B.J., R. J. Foster, S.C. Silver, L.E.T. Ostro & P. Doncaster. 2009.
Spatial and temporal interactions of sympatric jaguars (Panthera onca)
and pumas (Puma onca) in Neotropical forest. Journal of Mammalogy
90(3): 612–620.

Universitas Indonesia
36

Harris, G., R. Thomson, J.L. Childs & J.G. Sanderson. 2010. Automatic storage
and analysis of camera trap data. Bulletin of the Ecological Society of
America 91: 3552–360

Hearn, A., J. Sanderson, J. Ross, A.J. Wilting & Sunarto. 2010. Prionailurus
planiceps. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org [21 Oktober 2010]

Hearn, A.J., J. Ross, D. Pamin, H. Bernard, L. Hunter & D.W. Macdonald. 2013.
Insights into the spatial and temporal ecology of the sunda clouded leopard
(Neofelis diardi). Raffles Bulletin of Zoology 61(2): 871–875

Holden, J. 2001. Small cats in Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia:
Evidence collected through photo-trapping. CatNews 35: 11–14

Hutajulu, M.B. 2007. Studi karakteristik ekologi harimau sumatra [Panthera


tigrisSumatrae (Pockok 1929)] berdasarkan camera trap di lansekap Tesso
Nilo-Bukit Tigapuluh, Riau. Thesis. Program Pasca Sarjana FMIPA.
Program Studi Biologi Konservasi. Universitas Indonesia. Depok

Jinping, Yu. 2010. Leopard cat, Prionailurus bengalensisis. Cat News 5: 26–29

Karanth, K.U., J.D. Nichols, N.S. Kumar, W.A. Link & J.E. Hines. 2004. Tigers
and their prey: Predicting carnivore densities from prey abundance. PNAS
101(14): 4854–4858

Kelly M.J., A.J. Noss, M.S. Dibitetti, L. Maffei, R.L. Arispe, A. Paviolo, C.D.
DeAngelo & Y.E. Di Blanco. 2003. Estimating puma densities from
camera trapping across three study site: Bolivia, Argentina aand Belize.
Journal of Mammalogy 89(2): 408–418

Linkie, M & M.S. Ridout. 2011. Assesing tiger-prey interaction in Sumatran


rainforest. Journal of Zoology 284:224–229

Lorica, M.R.P. & L.R. Heaney 2013. Survival of a native mammalian carnivore,
the leopard cat (Prionailurus bengalensis Kerr, 1792) (Carnivora: Felidae)
in an agricultural landscape on an oceanic Philippine Island. Journal of
Threatened Taxa. 5(10): 4451–4560.

Lynam, A.J., K.E. Jenks, N. Tantipisanuh, W. Chutipong, D. Ngoprasert, G.A.


Gale, R. Steinmetz, R. Sukmasuang, N. Bhumpakhan, L.I. Grassman, P.
Cutter, S. Kitamura, D.H. Reed, M.C. Bakeer, W. McShea, N. Songsasen,
& P. Leimgruber. 2013. Terrestrial activity pattern of wild cat from
camera-trapping. The Raffles Bulletin of Zoology 61(1):407–415

Macdonald, D.W., A.J. Loveride & K. Nowell. 2010. Dramatic personae: an


introduction to the wild felids. Dalam: Macdonald, D.W. & A.J.
Loveridge (Eds). 2010. Biology and Conservation of Wild Felids. Oxford
University Press. Oxford: 3–58.

Universitas Indonesia
37

Maulana, D.A & A. Darmawan. 2014. Perubahan penutupan lahan di Taman


Nasional Way Kambas. Jurnal Sylva Lestari 2(1): 87–94.

McCarthy, J.L., H.T. Wibisono, K.P. McCarthy, T.K. Fuller &. N. Andayani.
2015. Assesing the distribution and habitat use of four felids species in
Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Global Ecology
and Conservation 3:210–221

Mishra C., M.D. Madhusudan & A. Datta. 2006. Mammals of the high altitudes
of western Arunachal Pradesh, eastern Himalaya: an assessment of threats
and conservation needs. Oryx 40: 29–35.

Mohamed, A., H. Samejima & A. Wilting. 2009. Record of five Bornean cat
species from Deramakot Forest Reserve in Sabah, Malaysia. CAT news
51:12–15

Monroy-Vilchis, O., Y Gomez, M. Janczur & V. Urios. 2009. Food niche of


Puma concolor in central Mexico. Wildlife Biology 15:97–105

Ngoprasert, D., A.J. Lynam, K.E.R. Sukmasuang, N. Tantipisanuh, W.


Chutipong, R. Steinmetz, K.E. Jenks, G.A. Gale, L.I. Grassman Jr, S.
Kitamura, J. Howard, P. Cutter, P. Leimgruber, N. Songsasen & D.H.
Reed. 2012. Occurence of three felids across a network of protected areas
in Thailand: prey, intraguild, and habitat associations. Biotropica. 44(6):
810–817.

Nowel, K. 2009. Cats on the 2009 Red List of Threatened Species. CAT news
Autumn 51:32–33

Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group, Gland Switzerland: xxiv +
383 hlm.

O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono. 2003. Crouching tigers, hidden
prey: Sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape.
Animal Conservation 6: 131–139

Palomeres, F. & T.M. Caro. 1999. Interspesific killing among mammalian


Carnivores. American Nationalist 153(5): 492–508

Payne J., C.M. Francis, K. Phillipps & S.N. Kartikasari. 2000. Panduan
lapangan mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei
Darussalam. The Sabah Society dan Wildlife Conservation Society
bekerjasama dengan WWF Malaysia. Jakarta: xv + 386 hlm.

PHPA. 1995. Way Kambas National Park Management Plant 1994-2019 Volume
II: Data Projections and Analysis. Word Bank, Loan No.3423-IND.
Bogor: xx + 245 hlm.

Universitas Indonesia
38

PKHS. 2015. Laporan akhir monitoring harimau sumatra di Taman Nasional


Bukit Tigapuluh. Pematang Reba (tidak dipublikasikan).

Povey, K & W. Spaulding. 2006. Wild Cat of Southeast Asia: An Educator’s


Guide. Point Defiance Zoo and Aquarium. Thailand: 108 hlm.

Pusparini, W., H.T. Wibisono, G.V. Reddy, Tarmizi & P. Bharata. 2014. Small
and medium sized cats in Gunung Leuser National Park, Sumatra,
Indonesia. Cat News Special Issues 8: 2–9

Rabinowitz, A.R., P. Andau & P.P.K.Chal. 1987. The clouded leopard in


Malaysian Borneo. Oryx 22: 107–111

Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
landscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217

Ridout, M. & M. Linkie. 2009. Estimating overlap of daily activity patterns from
camera trap data. J. Agricultural Biology and Environmental Statistics 14:
322–337.

Romero-Munoz, A., L. Maffei, E. Cuellar & A, Noss. 2010. Temporal separation


between jaguar and puma in the dry forest of southern Bolivia. Journal of
Tropical Ecology 26: 303–311

Sanderson, J & M. Trolle. 2005. Monitoring elusive mammals unattended


cameras reveal secrets of some of the wold’s wildest places. American
Scientist 93(2): 148–155

Sanderson, J,. Sunarto, A. Wilting, C. Driscoll, R. Lorica, J. Ross, A. Hearn, S.


Mujkherjee, J.A. Khan, B. Habib, & L. Grassman, L. 2008. Prionailurus
bengalensis. In: IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species.
Version 2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:27
WIB.

Sanderson, J. G. & G. Haris. 2013. Automatic data organization, storage, and


analysis of camera trap pictures. Journal of Indonesian Natural History
1(1): 11–19.

Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–6.

Silveira, L., A.T.A. Jacomo & J.A.F. Diniz-Filho. 2003. Camera trap, line transect
cencus and track surveys: a comparative evaluation. Biological
Conservation 114: 351–355

Universitas Indonesia
39

Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboraturium


Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor: xii +
158 hlm.

Sriyanto. 2003. Kajian mangsa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae,


Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Thesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia.

Sunarto, S., M.J. Kelly, K. Parakkasi & M.B. Hutajulu. 2015. Cat coexistence in
central Sumatra: ecological characteristics, spatial and temporal overlap,
and implications for management. Journal of Zoology 296(2): 104–115

Sunarto, S., M.J. Kelly, S. Klenzendorf, M.R. Vaughan, Zulfahmi, M.B. Hutajulu
& K. Parakkasi. 2013. Threatened predator on the equator: multi-point
abundance estimates of the tiger Panthera tigris in central Sumatra. Oryx
47(2): 211–2020.

Sunquist, M & F. Sunquist. 2002. Wild Cat of the World. The University of
Chicago Press Ltd. Chicago: ix + 443 hlm.

van Schaik, CP. Griffiths, M. 1996. Activity periods of Indonesian rain forest
mammals. Biotropica 28(1): 105-–112

Wadey, J., C. Fletcher & A. Campos-Arceiz. 2014. First photographic evidence


of flat-headed cats (Prionailurus bengalensis) in Pasoh Forest Reserve,
Peninsular Malaysia. Tropical Conservation 7(2): 171–177

Wearn, O.R., J.M. Rowcliffe, C. Carbone, H. Bernard, & R.M. Ewers. 2013.
Assesing the status of wild felids in a highly-disturbed commercial forest
reserve in Borneo and the implications for camera trap survey design.
PLOS ONE 8(11): 1–9

Wibisono, H.T. & J.L. McCarthy. 2010. Melanistic marbled cat from Bukit
Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Cat News 52: 9–10

Wilting, A., A.Cord, A.J. Hearn, D. Hesse, A. Mohamed, C. Thaeholt, S.M.


Cheyne, Sunarto, M.A. Jayasilan, J. Ross, A.C. Shapiro, A. Sebastian, C.
Breienmoser, J. Sanderson, D.W. Duckworth & H. Hofer. 2010.
Modelling the Species Distribution of Flat-Headed Cats (Prionailurus
planiceps ), an Endangered South-East Asian Small Felid. PLoSONE 5(3):
1–18

Universitas Indonesia
40

Lampiran 1.1. Felidae dan spesies lain yang terekam perangkap kamera di Taman
Nasional Way Kambas Mei 2013-Mei 2014.

Spesies Total hari


Kelas/Famili VI2 IKR3
Nama Lokal Nama Inggris Nama Ilmiah aktif1
Mamalia
Felidae Harimau sumatra Sumatran tiger P. tigris sumatrae 155 40 0.87
Kucing batu Marble cat Pardofelis marmorota 202 5 0.11
Kucing congkok Leopard cat Prionailurus bengalensis 42 40 0.87
Macan dahan Clouded leopard Neofelis diardi 48 4 0.09
Cercopithecidae Beruk Pig-tailed macaque Macaca nemestrina 48 422 9.15
Simpai Langur Prebytis melalophus 1751 1 0,02
Monyet Long-tailed Macaca fascicularis 32
448 9.72
macaque
Cervidae Kijang Barking deer Muntiacus muntjak 8 962 20.87
Sambar Sambar deer Cervus unicolor 100 90 1.95
Hystricidae Landak Southeast Asian Histryx brachyura 27
38 0.82
porcupine
Manidae Trenggiling Pangolin Manis javanica 1451 1 0.02
Mustelidae Berang-berang Small clawed otter Aonyx cinerea 271 1 0.02
Garangan Jawa Javan mongoose Herpestes javanicus 234 11 0.24
Proboscidaae Gajah sumatra Asian elephant E. maximus sumatranus 291 78 1.69
Rhinocerotidae Badak sumatra Sumatran rhino Dicerorhinus 3373
1 0.02
sumatranus
Suidae Babi hutan Wild pig Sus scrofa 2 890 19.31
Sciuridae Tikus Wood rat Rattus spp. 451 7 0.15
Tapiridae Tapir Malayan tapir Tapirus indicus 155 20 0.43
Traguliade Kancil Lesser mouse deer Tragulus javanicus 251 68 1.48
Napu Greater mouse Tragulus napu 27
462 10.02
deer
Tupaiidae Bajing tanah Ground squirel Tupaii spp. 1371 5 0.11
Bajing tanah grs Three-striped Loriscus insignis 2562
5 0.11
tiga ground squirel
Ursidae Beruang madu Sun bear Helarctos malayanus 65 31 0.67
Viverridae Binturong Binturong Artictis binturong 4096 3 0.07
Musang luwak Common palm Paradoxurus 2282
3 0.07
civet hermaphroditus
Musang air Otter civet Cynogale bennettii 711 4 0.09
Musang belang Banded palm civet Hemigalus derbyanus 127 18 0.39
Musang leher Yellow-throated Martes flavigula 2005
4 0.09
kuning marten
Musang merah Masked palm civet Paguma larvata 76 28 0.61
Musang rase Small indian civet Viverrinus malaccensis 1691 1 0.02
Tenggalong Malay civet Viverra tangalunga 56 49 1.06
Total Mamalia 34 spp.
Aves
Ardeidae Kokoan laut Stiated heron Butorides striatus 3832 3 0.07
Columbidae Delimukan Emerald dove Chalcophap indica 1831
4 0.09
zamrud
Tekukur biasa Pigeon Streptopelia bitorquata 671 1 0.02
Phasianidae Ayam hutan Red jungle fowl Gallus gallus spp. 170 78 1.69
Kuau raja Great argus Argusianus argus 1391 6 0.13
Puyuh mahkota Crested partridge Rollulus rourloul 1011 2 0.04
Sempidan biru Cressted fireback Lophura ignita 17 99 2.15
Total Aves 7 spp.
Reptilia
Varanidae Biawak Monitor lizard Varanus salvator 831 8 0.17
Total Reptilia 1 spp
Insekta
Papilionidae Kupu-kupu Not identified Not identified 48 4 0.09
Total Insekta 1 spp.
1
Total hari aktif kamera ketika spesies tersebut pertama kali tertangkap perangkap kamera
2
Video independen adalah dua video spesies yang sama dari satu stasiun perangkap kamera yang sama dengan selang
waktu antara dua video yang berurutan minimal 30 menit (Kelly, 2003; O’Brien et al., 2003).
3
=∑ 100 dimana ni adalah video independen spesies ke-i dan  tn adalah jumlah total hari aktif perangkap kamera
(Kelly, 2003; O’Brien et al., 2003).

Universitas Indonesia
41

Lampiran 1.2. Foto spesies Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Spesis (a) –
(d) terekam perangkap kamera dalam penelitian ini, sedangkan foto (d) – (e) tidak
terekam perangkap kamera dalam penelitian ini tetapi pernah terekam kamera
pada tahun 1996.

(a). Harimau sumatra (P.tigris sumatrae) (b). Macan dahan (Neofelis diardi)

(c). Kucing batu (Pardofelis marmorota) (d). Kucing congkok (P. bengalensis)

(e). Kucing emas (Pardofelis temincki) (f). Kucing pesek (Prionailurus planiceps)

Universitas Indonesia
42

Lampiran 1.3. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran besar (bobot
tubuh > 25 kg) yang berhasil terekam perangkap kamera di TNWK

Gajah sumatra (E. maximus sumatranus) Badak sumatra (D. sumatraensis)

Tapir (Tapirus indicus) Rusa sambar (Cervus unicolor)

Babi hutan (Sus scrofa) Kijang (Muntiacus muntjak)

[Beruang madu](Helarctos malayanus)


Keterangan: ( ) = tidak umum dimangsa, [ ] = berpotensi menjadi kompetitor

Universitas Indonesia
43

Lampiran 1.4. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran sedang (bobot
tubuh 5 - 25 kg) yang berhasil terekam perangkap kamera di TNWK

Beruk (Macaca nemestrina) Landak (Hystrix brachyura)

[Binturong] (Artictis binturong) Trenggiling (Manis javanica)


Keterangan: ( ) = tidak umum dimangsa, [ ] = berpotensi menjadi kompetitor

Universitas Indonesia
44

Lampiran 1.5. Foto spesies mangsa potensial Felidae berukuran kecil (bobot tubuh
< 5 kg) yang berhasil terekam perangkap kamera di TNWK

Napu (Tragulus napu) Kancil (Tragulus javanicus)

Monyet (Macaca fascicularis) Musang merah (Paguma larvata)

Musang belang (Hemigalus derbyanus) Tenggalong (Viverra tangalunga)

Garangan Jawa (Herpestes javanicus) Musang leher kuning (Martes flavigula)

Universitas Indonesia
45

Lampiran 1.5. Lanjutan....

Musang luwak (P. hermaphroditus) Musang air (Cynogale benetti)

Berang-berang (Aonyx cinerea) Ayam hutan (Gallus gallus)

Kuau (Argusianus argus) Sempidan biru (Lophura ignita)

Puyuh mahkota (Rollulus roulloul) Biawak (Varanus salvator)

Universitas Indonesia
46

Lampiran 1.5. Lanjutan.......

Delimukan zamrud (Chalcophap ndica) Kokoan laut (Butorides striatus)

Tekukur biasa (Streptopelia bitorquata) Bajing tanah bergaris tiga (Loriscus


insignis)

Tikus (Rattus sp.) Tupai tanah (Tupaii sp.)

Universitas Indonesia
Makalah II

POLA AKTIVITAS DAN PEMISAHAN TEMPORAL EMPAT SPESIES


FELIDAE DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS, SUMATRA,
INDONESIA

Agus Subagyo
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.
a_subagyo@yahoo.com

ABSTRAK

Memahami interaksi antar spesies dalam komunitas Felidae merupakan faktor


penting yang menentukan efektifitas konservasi dan pengelolaan Felidae dalam
kawasan konservasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tumpang tindih
temporal dan estimasi pola aktivitas empat spesies Felidae di Taman Nasional
Way Kambas. Estimasi pola aktivitas dan tumpang tindih temporal dihitung
dengan Kernel Density Estimation (KDE) pada data sirkular dari data foto dan
video perangkap kamera. Hasil penelitian menunjukkan harimau Sumatra dan
kucing batu aktif siang dan malam hari (cathemeral). Puncak aktivitas harimau
sumatra pada pagi hari pukul 05:00-06:00 dan sore hari pukul 17:00-18:00,
sedangkan kucing batu pada pukul 05:00-06:00 dan 12:00-14:00. Aktivitas kucing
congkok dan macan dahan sebagian besar dilakukan pada malam hari (mostly
nocturnal). Puncak aktivitas macan dahan pada pukul 05:00-06:00 dan 21:00-
22:00, sedangkan puncak aktivitas kucing congkok pada pukul 04:00-05.00 dan
18:00-19:00. Delapan puluh dua persen (n=189) aktivitas kucing congkok
dilakukan pada malam hari, hanya 18% pada siang hari. Sedangkan aktivitas
macan dahan pada malam hari sebesar 66,7%, dan siang hari sebesar 33,3%
(n=12). Tumpang tindih temporal terendah ditemukan pada Felidae yang memiliki
ukuran tubuh hampir sama (kucing batu dan kucing congkok) dan memiliki relung
ekologi yang mirip (macan dahan dan kucing batu). Harimau sumatra dan tiga
spesies kucing yang berukuran lebih kecil, macan dahan dan kucing congkok
menunjukkan tumpang tindih temporal cukup tinggi (∆1>70%). Penelitian ini
menunjukkan bahwa pemisahan secara temporal merupakan salah satu mekanisme
penting yang menjaga keanekaragaman spesies Felidae di hutan Taman Nasional
Way Kambas.

Kata kunci: cathemeral, mostly nocturnal, pola aktivitas, tumpang tindih


temporal.

Universitas Indonesia
48

PENDAHULUAN

Ko-eksistensi dua atau lebih spesies yang mirip secara ekologi dan
morfologi dalam komunitas merupakan salah satu bidang ekologi yang paling
lama dan paling banyak dipelajari (Gordon, 2000). Kompetisi telah menjadi fokus
dalam penelitian ekologi karena merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan ko-eksistensi spesies (Tilman, 1994). Struktur komunitas karnivora
dipengaruhi oleh kompetisi eksploitatif atau interferensi atau kombinasi dari
keduanya (Schoner, 1974). Ketika dua spesies menggunakan secara bersama
sumberdaya yang jumlahnya terbatas, kesintasan (fitness) salah satu spesies akan
lebih rendah oleh kehadiran spesies lain (Gordon, 2000).
Kesintasan (fitness) populasi atau spesies dipengaruhi oleh sumberdaya
biotik dan abiotik. Dua prinsip dasar yang menjelaskan hubungan populasi dan
spesies terhadap lingkungan sekitarnya yaitu lebar relung ekologi (niche breadth)
dan tumpang tindih relung ekologi (niche overlap) (Amarasekare, 2009). Lebar
relung mendeskripsikan secara kuantitatif penggunaan sumberdaya tertentu dan
variasinya yang bergantung pada ketersediaan sumberdaya, kompetitor, dan
fluktuasi iklim (Feinsinger et al., 1981). Tumpang tindih relung terjadi ketika dua
atau lebih spesies menggunakan sumberdaya yang sama dengan cara yang sama
(Colwell & Futuyma, 1971).
Secara teoritis, dalam konsep penggunaan sumberdaya (Shoener, 2009)
dua spesies atau lebih tidak dapat menempati n-dimensi relung yang sama tanpa
terjadi kompetisi satu dengan yang lain, karena berpotensi menimbulkan
kepunahan lokal pada salah satu spesies (MacArthur & Levis, 1967). Dalam
lingkungan yang stabil, salah satu spesies akan punah jika tumpang tindih
penggunaan sumberdaya antara dua spesies yang berkompetisi terjadi secara
sempurna. Untuk mengurangi terjadinya kompetisi, spesies melakukan pembagian
sumber daya melalui diferensiasi habitat, perbedaan spesies mangsa, atau
penggunaan waktu aktif yang berbeda (Schoener, 1974). Diferensiasi sumberdaya
tersebut dapat menyebabkan terjadinya ko-eksistensi spesies. Kedua spesies yang
berkompetisi bisa hidup secara berdampingan dalam habitat yang sama (Chesson,
1984). Pemisahan penggunaan sumber daya seperti jenis mangsa, tipe habitat,

Universitas Indonesia
49

ruang dan waktu beraktivitas telah terdokumentasi dengan baik pada banyak
spesies yang berkompetisi (Fedriani et al., 2000; Kamler et al., 2003; Moreno et
al., 2006).
Interaksi kompetitif diketahui lebih kuat terjadi antar spesies yang secara
morfologi mirip dan spesies simpatrik yang berkerabat dekat secara filogenetik
(Schoener, 1974; Di Bitetti et al., 2010). Penelitian pada herbivora simpatrik
menunjukkan tingginya tumpang tindih dalam satu dimensi relung disertai dengan
penghindaran dalam dimensi relung yang lain (Luo & Fox, 1996; Wei et al., 2000;
Stewart et al., 2002). Pada Karnivora, pembagian sumberdaya dilakukan melalui
pemilihan spesies dan ukuran tubuh spesies mangsa (Karanth & Sunquist, 1995),
kebiasaan mencari makan (Palomares et al. 1996), pola aktivitas (Fedriani et al.
1999), dan penggunaan ruang (Palomer et al. 1996; Durant, 1998).
Sumatra memiliki enam spesies Felidae simpatrik yaitu harimau sumatra
(Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis diardi), kucing emas
(Pardofelis temincki), kucing batu (Pardofelis marmorota), kucing congkok
(Prionailurus bengalensis) dan kucing pesek (Prionailurus planiceps).
Pengetahuan tentang ekologi Felidae masih terbatas terutama pada spesies yang
berukuran kecil (McCarthy et al., 2015). Penelitian untuk mengetahui interaksi
antara spesies Felidae di Sumatra antara lain telah dilakukan oleh Sunarto et al.
(2015) di Sumatra Tengah dan Ridout & Linkie (2009) di Taman Nasional
Kerinci Seblat. Beberapa penelitian lain masih difokuskan pada keanekaragaman,
distribusi (Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015) dan ekologi pada tingkat
spesies terutama harimau sumatra. Interaksi antar spesies Felidae di TNWK masih
belum banyak dipelajari. Penelitian ini dilakukan untuk memahami interaksi
antara spesies Felidae dalam hal penggunaan waktu beraktivitas dengan
menggunakan data foto dan video dari perangkap kamera. Diduga spesies Felidae
yang mempunyai ukuran tubuh atau spesies mangsa hampir sama mempunyai
pola aktivitas berbeda dan memisah secara temporal untuk mengurangi terjadinya
persaingan dalam mendapatkan sumberdaya yang sama.

Universitas Indonesia
50

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan selama satu tahun (Mei 2013 sampai dengan Mei
2014) di Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Luas area sampling kurang
lebih 480 km2, dibagi dalam tiga blok masing-masing seluas 160 km2. Taman
nasional seluas 125.621,3 ha ini secara geografis terletak pada 4o37’-5o16’
Lintang Selatan dan 105o55’-105o54’ Bujur Timur. Taman nasional ini terisolasi
dengan kawan konservasi lain. Penggunaan lahan di sekitar taman nasional terdiri
dari pemukiman penduduk, lahan pertanian dan perkebunan.
Berdasarkan klasifikasi iklim Smith dan Ferguson, TNWK termasuk
dalam tipe iklim B (basah) dengan curah hujan berkisar antara 2.500–3.000
mm/tahun, dicirikan dengan bulan basah selama enam bulan dari Desember-Juni
dengan temperatur rata-rata 24-340C (PHPA, 1995). Topografi TNWK berupa
dataran yang landai, rata-rata ketinggian hanya mencapai 50 m dpl. dengan titik
tertinggi 52 m dpl., terletak dibagian tenggara dan timur (PHPA, 1995). Vegetasi
utama TNWK berdasarkan citra satelit pada tahun 2010 adalah hutan sekunder,
semak belukar dan alang-alang (Maulana & Darmawan, 2014). Jenis pohon yang
mendominasi stratum A (tinggi ≥ 30 m) pada hutan sekunder terdiri dari Shorea
ovalis, S. leprolusa, Dipterocarpus gracilis, Canarium littorale, C. denticulatum,
Horsfieldia glabra dan Albizia lebbeckiodes, sedangkan stratum B (tinggi 15-30
m) terdiri dari Mallothus subpeltattus, Eurycoma longifolia, Baccaurea racemosa
dan Antidesma spp (Soerianegara & Indrawan, 1988).

Universitas Indonesia
51

Gambar 2.1. Lokasi penelitian dan desain pemasangan perangkap kamera.

Prosedur Pengumpulan Data


Pemasangan perangkap kamera (Bushnell Trophy Cam XLT 119436 dan
Bushnell Trophy Cam HD Max 119476) dilakukan antara Mei 2013 sampai
dengan Mei 2014. Sebanyak 57 Perangkap kamera dipasang secara sistematik
pada tiga blok sampling masing-masing berukuran 10 km x 16 km (Azlan &
Sharma, 2006; Mohamad et al., 2009; Chen et al., 2009; Sunarto et al., 2015).
Kamera dipasang berpindah-pindah dari satu blok ke blok berikutnya karena
keterbatasan jumlah perangkap kamera. Lama pemasangan kamera pada setiap
blok sampling kurang lebih sekitar tiga bulan (rata-rata 112,3 ± 14 hari). Blok
sampling dibagi dengan grid cell berukuran 2 km x 2 km, dari 40 grid cell yang

Universitas Indonesia
52

terbentuk dipilih 20 grid cell secara berselang-seling untuk meletakan perangkap


kamera (Sunarto et al., 2015). Pada setiap sel yang terpilih kemudian
diidentifiksai kemungkinan lokasi terbaik untuk memasang perangkap kamera
seperti jalur lintasan satwa, jalur patroli dan jalur bekas logging. Kamera
dioperasikan selama 24 jam per hari selama tiga bulan. Setidaknya setiap bulan
sekali foto diunduh, baterai diganti, lensa dibersihkan dan kamera yang hilang
atau rusak diganti.
Perangkap kamera dipasang pada pohon atau tiang setinggi 30-40 cm,
sejauh tiga meter dari jalur di mana diperkirakan hewan akan lewat. Setelah
dipasang, perangkap kamera diuji oleh anggota tim untuk memastikan bahwa
sistem pemicu kamera bekerja dengan baik. Pada setiap stasiun perangkap
kamera dicatat titik koordinat dengan menggunakan GPS, ketinggian (elevasi),
tanda-tanda kehadiran Felidae, dan tipe gangguan (pembalakan liar, perburuan liar
dan aktivitas ilegal lain). Jumlah hari aktif pada masing-masing stasiun perangkap
kamera dihitung mulai dari waktu pemasangan sampai dengan waktu pengambilan
perangkap kamera atau sampai waktu dan tanggal yang tertera pada video terakhir
yang didapat (O’Brien et al., 2003). Pada akhir periode pemasangan perangkap
kamera, kamera diambil, video dan foto diunduh selanjutnya data video
disimpan dalam komputer.

Analisis Data
Video hasil perangkap kamera dimasukkan dalam database komputer,
dikelola dengan menggunakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh Harris et
al. (2010) dan Sanderson & Harris (2013). Foto dan video independen yang
digunakan dalam analisis pola aktivitas Felidae merupakan video Felidae yang
tertangkap kamera dalam penelitian ini digabungkan dengan data foto dan video
perangkap kamera yang dipasang oleh PKHS di TNWK dari tahun 2007 sampai
2014. Penggabungan data ini dilakukan karena kecilnya jumlah video Felidae
yang di dapat dalam penelitian ini terutama video macan dahan dan kucing batu.
Lynam et al. (2013) dan Lucherini et al. (2009) menggunakan cara yang sama di
Thailand dan Argentina.

Universitas Indonesia
53

Aktivitas Felidae dalam penelitian ini digambarkan dengan jumlah foto


atau video Felidae yang didapatkan pada siang hari antara pukul 06.01-17.59 dan
malam hari antara pukul 18.00-06.00. (Azlan & Sharma, 2006; Azlan, 2009).
Pola aktivitas dibedakan menjadi empat kriteria menurut Lynam et al. (2013)
yaitu: strongly nocturnal (apabila ≥85% aktivitas Felidae terekam antara pukul
18.00 – 06.00), mostly nocturnal (apabila 61-84% aktivitas Felidae terekam
antara pukul 18.00- 06.00), cathemeral (apabila 40-60% aktivitas Felidae terekam
pada siang atau malam hari), mostly diurnal (apabila 61-84% aktivitas Felidae
terekam pada siang hari antara 06.00 - 18.00) dan strongly diurnal (apabila ≥85%
aktivitas Felidae terekam antara pukul 06.00 – 18.00).
Tumpang tindih temporal antar spesies Felidae diperkirakan dengan
menerapkan metode statistik non-parametrik yang dikembangkan oleh Ridout &
Linkie (2009). Deteksi setiap spesies oleh perangkap kamera dianggap sebagai
sampel acak dari distribusi temporal yang menjelaskan peluang foto atau video
didapatkan pada interval tertentu dalam satu hari (Ridout & Linkie, 2009).
Besarnya tumpang tindih pola aktivitas antar dua spesies Felidae dihitung dengan
koefisien tumpang tindih (1), yang didefinisikan sebagai luas area di bawah
kurva yang terbentuk dari minimal dua fungsi density pada setiap titik waktu.
Koefisien tumpang tindih bernilai 1 jika densitas aktivitas identik dan bernilai 0
jika kedua spesies tidak aktif pada waktu yang sama (Ridout & Linkie, 2009).
Karena ukuran sampel foto dan video kecil (n ≤ 50), perbandingan pola aktivitas
antara dua spesies Felidae berdasarkan estimasi distribusi fungsi menggunakan
estimasi koefisien tumpang tindih delta satu ( ∆1), dengan nilai smoothing
parameter (c) sama dengan satu seperti disarankan oleh Ridout & Linkie (2009)
dan Linkie & Ridout (2011). Koefisien tumpang tindih temporal dihitung dengan
menggunakan program R (R Development Core Team, 2009) dengan
menggunakan overlap package (Meredith & Ridout, 2014).

Universitas Indonesia
54

HASIL

Pola Aktivitas dan Pemisahan Temporal


Jumlah total foto dan video independen yang digunakan dalam analisis
pola aktivitas berjumlah 489, terdiri dari 271 foto dan video harimau sumatra, 189
foto dan video kucing congkok, 17 foto dan video kucing batu dan 12 foto dan
video macan dahan (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Jumlah foto atau video Felidae yang memiliki data tanggal dan jam
hasil perangkap kamera PKHS di TNWK tahun 2007- 2014 di TNWK (sumber
data: PKHS, 2007-2014)

Video/foto independen
Stasiun Hari
Tahun Kucing Kucing Macan Total
kamera aktif Harimau
congkok batu dahan
2007a 11 1009 10 1 0 0 11
2008a 12 3760 32 1 0 0 33
2009a 18 4863 11 0 0 0 11
2010a 32 6535 40 13 1 0 54
2011a 29 7591 2 0 1 0 3
2012a 22 7045 19 51 1 0 71
2013a 31 7965 46 67 5 1 119
2014a 39 4565 71 16 4 7 98
2013b 41 3345 40 35 1 4 80
2014b 16 1265 0 5 4 0 9
Total 125 47.943 271 189 17 12 489
a)
Perangkap kamera yang dipasang oleh PKHS
b)
Perangkap kamera yang dipasang dalam penelitian ini

Hasil analisis data menunjukkan harimau sumatra dan kucing batu aktif
pada siang dan malam hari (cathemeral). Aktivitas harimau sumatra pada malam
dan siang hari sebesar 51,6% dan 48,4% (n=271) sedangkan kucing batu 41,2%
dan 58,8% (n=17) (Gambar 2.2.). Puncak aktivitas harimau sumatra terjadi pada
pagi hari pukul 05:00-06:00 dan sore hari pukul 17:00-18:00, sedangkan kucing
batu pada pukul 05:00-06:00 dan 12:00-14:00 (Gambar 2.3). Aktivitas kucing
congkok dan macan dahan sebagian besar dilakukan pada malam hari (mostly
nocturnal). Delapan puluh dua persen (n=189) aktivitas kucing congkok
dilakukan pada malam hari, hanya 18% pada siang hari. Sedangkan aktivitas
macan dahan pada malam hari sebesar 66,7%, dan siang hari sebesar 33,3%

Universitas Indonesia
55

(n=12) (Gambar 2.2). Puncak aktivitas macan dahan pada pukul 05:00-06:00 dan
21:00-22:00, sedangkan puncak aktivitas kucing congkok pada pukul 04:00-05:00
dan 18:00-19:00 (Gambar 2.3).

Malam Siang
100

90

80 41.2
Aktivitas (% foto dan video)

51.6
70
66.7
60 82.0
50

40

30 58.8
48.4
20
33.3
10 18.0
0
Harimau sumatra Macan dahan Kucingbatu
Kucing bulu Kucing congkok

Spesies Felidae

Gambar 2.2. Persentase aktivitas Felidae berdasarkan jumlah foto dan video yang
didapat perangkap kamera pada siang (putih) dan malam hari (hitam).

Berdasarkan estimasi pola aktivitas dengan menggunakan KDE pada data


sirkular dari sampel foto Felidae, teridentifikasi 4 pasang Felidae simpatrik
dengan tumpang tindih pola aktivitas cukup tinggi (>70%) yaitu: harimau dan
kucing batu (∆1=0,76±0,05), harimau dan macan dahan (∆1 =0,75±0,02), harimau
dan kucing congkok (∆1=0,71±0,06), dan macan dahan dan kucing congkok (∆1
=0,73±0,003). Tumpang tindih pola aktivitas kucing batu relatif rendah dengan
macan dahan (∆1=0,57±0,06) dan kucing congkok (∆1=0,61±0,02) dibandingkan
dengan harimau sumatra (Gambar 2.4.).

Universitas Indonesia
Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) Kucing batu (Pardofelis marmorota)

Macan dahan (Neofelis diardi) Kucing congkok (Prionailurus bengalensis)

Gambar 2.3. Estimasi pola aktivitas empat spesies Felidae berdasarkan data sirkular dengan menggunakan KDE (Ridout & Linkie, 2009).
Garis vertikal pendek di atas sumbu x menunjukkan waktu yang tercetak dalam setiap foto atau video
Gambar 2.4. Tumpang tindih pola aktivitas antar spesies Felidae berdasarkan KDE pada data sirkular. Garis padat menunjukkan setiap
spesies dalam kolom dan garis putus-putus menunjukkan spesies dalam baris. Angka menunjukkan nilai koefisien tumpang tindih (∆1±SE)
58

PEMBAHASAN

Pola Aktivitas Felidae di TNWK


Pola aktivitas mamalia bisa dipengaruhi oleh perilaku mencari mangsa,
perilaku mangsa, penghindaran diri dari predator, fisiologi hewan, tipe tutupan
hutan, dan iklim (Kowalczyk et al., 2003). Walaupun pola aktivitas merupakan
salah satu bagian dari informasi dasar biologi satwa liar namun pada mamalia
hutan tropis masih sangat sedikit diketahui (Griffiths & van Schaik, 1993; van
Schaik & Griffiths, 1996). Carthew & Slater (1991) menunjukkan bahwa data
foto dari perangkap kamera bisa digunakan untuk memonitor aktivitas mamalia.
Pola aktivitas harimau sumatra dalam penelitian ini masuk dalam kriteria
cathemeral. Hasil ini sesuai dengan literatur (Nowel & Jackson, 1996; Povey &
Spaulding, 2007) dan sejumlah penelitian lain di Sumatra dan Asia Tenggara
(O’Brien et al., 2003; Kawanishi & Sunquist, 2004; Azlan & Sharma, 2006;
Hutajulu, 2007; Ridout & Linkie, 2009; Linkie & Ridout, 2011; Lynam et al.,
2013; Pusparini et al., 2014; Sunarto et al,. 2015), namun tidak sesuai dengan
anggapan umum yang menyatakan harimau lebih banyak beraktivitas pada malam
hari. Pola aktivitas harimau sumatra kemungkinan mengikuti pola aktivitas
hewan mangsa utama seperti babi hutan, kijang, rusa sambar, monyet dan beruk
yang memiliki pola aktivitas nokturnal dan diurnal.
Hasil analisis terhadap feses harimau (n=64) yang dilakukan oleh Sriyanto
(2003), menujukkan mangsa harimau sumatra di TNWK adalah babi hutan
(33,3%), monyet (27,5%), sambar (19,7%), kijang (17%), beruang madu (1,6%)
dan 0,1% spesies lain. Babi hutan, sambar, kijang dan beruang madu bersifat
cathemeral (10-90% aktivitas dilakukan pada malam hari) sedangkan monyet
bersifat diurnal (van Schaik & Griffiths, 1996). Sebagai predator dominan di Asia
Tenggara (Povey & Spaulding, 2007) aktivitas harimau tidak dipengaruhi oleh
kompetisi dengan spesies kucing lain. Pola aktivitas harimau lebih dipengaruhi
oleh kepadatan, distribusi dan aktivitas satwa mangsa. Hasil penelitian Linkie &
Ridout (2011), membuktikan bahwa mangsa yang beragam dengan pola aktivitas
yang berbeda beda berpengaruh terhadap pola aktivitas harimau sumatra di Taman
Nasional Kerinci Seblat.

Universitas Indonesia
59

Kucing batu aktif pada siang dan malam hari (cathemeral) cenderung
diurnal (59%) sesuai dengan hasil penelitian lain di Sumatra (Pusparini et al.
2014; Sunarto et al., 2015; McCarthy et al., 2015), Borneo (Azlan & Sharma,
2006; Adul et al., 2015) dan Thailand (Lynam et al., 2013), namun berbeda
dengan literatur yang menyatakan terutama aktif pada malam hari (primarily
nocturnal) (Nowel & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist, 2002). Diduga
aktivitas kucing batu berkaitan dengan pemilihan jenis mangsa dan persaingan
dengan spesies Felidae lain. Berdasarkan ukuran, bobot tubuh dan jenis mangsa,
pesaing utama kucing batu adalah kucing congkok. Aktivitas kucing batu yang
cenderung diurnal untuk mengurangi kompetisi dengan kucing congkok dalam
mendapatkan mangsa.
Kucing congkok menurut sebagian besar hasil penelitian cenderung
bersifat nokturnal, dengan jenis mangsa utamanya tikus dari famili Muridae.
Menurut hasil penelitian Grassman et al. (2005b) di Thailand, tercatat 9 jenis
mangsa kucing batu terdiri dari mamalia terestrial dan arboreal termasuk hog
deer, slow loris, bush-tailed porcupine, malayan pangolin dan indochinese
ground squirrel. Dugaan kucing batu cenderung menghindari kucing congkok
dan macan dahan secara temporal didukung dengan hasil penelitian Lynam et al.
(2013) dan Sunarto et al. (2015) yang menunjukkan koefisien tumpang tindih
temporal kucing batu dan dua spesies Felidae yang lain (kucing congkok dan
macan dahan) rendah. Secara vertikal kucing batu memiliki kemampuan untuk
menghindari persaingan dengan kucing congkok dengan beraktivitas di atas
pohon. Dipercaya kucing batu memiliki kemampuan memanjat yang sangat baik
(Mohamed et al., 2009).
Aktivitas kucing congkok dalam penelitian ini dikategorikan mostly
nocturnal (82%, n=189), sesuai dengan literatur (Nowel & Jackson, 1996;
Sunquist & Sunquist, 2002; Macdonald, 2010), hasil penelitian di Sumatra
(Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015; Sunarto et al., 2015), Semenanjung
Malaysia (Azlan & Sharma, 2006), dan Borneo (Cheyne & Macdonald, 2011;
Silmi et al., 2013) tetapi berbeda dengan hasil penelitian Grassman (2000) dan
Grassman et al. (2005a) yang menyatakan kucing congkok bersifat aritmik.
Aktivitas kucing congkok yang lebih tinggi di malam hari berkorelasi dengan

Universitas Indonesia
60

kecenderungan pemilihan mangsa terhadap Muridae kecil yang sebagian besar


bersifat nokturnal (Austin et al, 2007; Rajaratnam et al,. 2007; McCarthy et al.
2015). Menurut McCarthy et al. (2015) tingginya aktivitas kucing congkok pada
malam hari bukan merupakan mekanisme pemisahan relung ekologi dengan
spesies Felidae lainnya, melainkan mekanisme untuk menghindari aktivitas
manusia, karena mereka terlihat mengokupasi area dimana kehadiran manusia
tinggi. Di Thailand, Grassman (2000) dan Grassman et al. (2005a) menyatakaan
meskipun pola aktivitas kucing congkok krepuscular, tetapi mereka juga tercatat
beraktivitas pada siang hari. Hal ini dapat dijelaskan dengan jenis mangsa kucing
congkok yang tidak spesifik; mangsanya terdiri dari spesies yang aktif malam hari
dan siang hari (Grassman et al., 2005a).
Pola aktivitas macan dahan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori
mostly nocturnal (67%, n=12), sesuai dengan hasil penelitian lain di Sumatra
(Hutajulu, 2007; Ridout & Linkie, 2009; Sunarto et al., 2015), Borneo (Azlan &
Sharma, 2006; Cheyne & Macdonald, 2011; Hearn et al., 2013) dan Thailand
(Lynam et al., 2013). Namun hasil penelitian lain menunjukkan spesies ini
bersifat krepuscular (Griffith & van Scaik, 1993; Pusparini et al., 2014; McCarhty
et al., 2015), diurnal (Rabinowizt et al., 1987) dan aritmik (Austin et al., 2007;
Grassman, 2004; Grassman et al., 2005b; Grassman et al,. 2006). Aktivitas
macan dahan yang tinggi pada malam hari di TNWK diduga karena aktivitas
ilegal manusia dan adanya harimau sumatra sebagai kompetitor utama. Diduga
macan dahan lebih banyak aktif di malam hari di dasar hutan dan berburu mangsa
siang hari di atas pohon (arboreal) untuk mengurangi kompetisi dengan harimau
sumatra dan menghindari gangguan manusia. Menurut Sunquist & Sunquist
(2002), waktu kapan Felidae aktif tergantung pada aktivitas satwa mangsa dan
tingkat gangguan aktivitas manusia.
Aktivitas macan dahan di dasar hutan pada malam hari lebih tinggi di
Borneo diyakini karena tidak adanya kucing besar (harimau atau macan tutul)
sebagai kompetitor utamananya (Nowell & Jackson, 1996). Ini didukung dengan
hasil penelitian Cheyne & Macdonald (2011) dan Hearn et al. (2013) di Borneo
yang menunjukkan aktivitas macan dahan cenderung bersifat nokturnal. Namun
Hearn et al. (2013) berpendapat predasi intra-guild dan kompetisi tidak

Universitas Indonesia
61

mempengaruhi pola aktivitas macan dahan, karena dibandingkan dengan semua


predator simpatrik lain di Borneo, macan dahan merupakan predator terbesar (11-
23 kg). Aktivitas macan dahan lebih dipengaruhi oleh siklus aktivitas mangsa
utamanya, seperti ditunjukkan spesies kucing Pantherine lainnya, atau
merefleksikan mekanisme untuk memaksimalkan keberhasilan berburu.
Sebaliknya di Sumatra, macan dahan dan harimau sumatra merupakan spesies
simpatrik. Dengan ukuran tubuh yang lebih kecil diperkirakan macan dahan
menjadi sub-ordinat harimau sumatra, sehingga ia meminimalisir tumpang tindih
dengan harimau dalam dimensi ruang maupun waktu (Hearn et al., 2013). Macan
dahan dapat berburu mangsa di dasar hutan, tetapi predator besar seperti harimau
dapat menyebabkan macan dahan lebih banyak berburu mangsa arboreal
(Sunquist & Sunquist, 2002). Meskipun menurut Grassman (2004) tingkat
arborealitas (arboreality) macan dahan masih tetap menjadi misteri, tetapi ada
bukti yang menunjukkan spesies ini memangsa primata pada siang hari di atas
pohon (Matsuda et al., 2008).

Pemisahan Temporal Felidae di TNWK


Hipotesis niche complementary menegaskan bahwa tingginya tumpang
tindih dalam satu dimensi relung ekologi akan berasosiasi dengan rendahnya
tumpang tindih pada minimal satu dimensi relung ekologi lain (Jimenez et al.,
1996; Schoener, 1974). Pemisahan temporal merupakan salah satu mekanisme
yang digunakan oleh spesies yang secara ekologi mirip untuk menghindari
terjadinya kompetisi (Kronfeld-Schor & Dayan, 2003). Penelitian sebelumnya
pada komunitas Felidae di lanskap Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh menunjukkan
terjadi tumpang tindih pada dimensi temporal antara Felidae yang memiliki
ukuran tubuh dan spesies mangsa hampir sama, tetapi mereka terpisah secara
spasial berdasarkan ketinggian (Sunarto et.al., 2015).
Konsisten dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan di Sumatra
(Ridout & Linkie, 2009; Sunarto et al., 2015) dan Thailand (Lynam et al., 2013),
tumpang tindih temporal harimau sumatra dengan tiga spesies kucing yang lebih
kecil dalam penelitian ini tinggi (1 =0,73-0,76). Hal ini terjadi karena di Asia
Tenggara, khususnya di Sumatra, harimau merupakan predator dominan (Povey &

Universitas Indonesia
62

Spaulding, 2007). Macan dahan, kucing batu dan kucing congkok menjadi spesies
subordinat harimau sumatra. Aktivitas harimau tidak dipengaruhi oleh kehadiran
spesies Felidae lain, melainkan lebih dipengaruhi oleh pola aktivitas spesies
mangsa yang merefleksikan mekanisme untuk memaksimalkan keberhasilan
berburu.
Dibanding dua spesies Felidae yang lain, macan dahan berpotensi
berkompetisi dalam hal pemilihan jenis mangsa dengan harimau sumatra.
Meskipun ukuran tubuhnya lebih kecil dari harimau sumatra tetapi macan dahan
memiliki proporsi gigi taring terhadap ukuran tubuh lebih besar dibanding spesies
Felidae lain (Nowel & Jackson, 1996; Grassman, 2004). Hal ini yang menjelaskan
mengapa macan dahan dapat memangsa hewan yang ukuran tubuhnya lebih besar
darinya. Meskipun spesies mangsa macan dahan di TNWK belum diketahui,
tetapi di Thailand mereka memangsa kijang, monyet dan napu (Grassman et al.,
2005b) yang juga menjadi mangsa harimau di TNWK.
Secara temporal tumpang tindih macan dahan dan harimau cukup tinggi,
menunjukkan kecenderungan kedua spesies ini tidak saling menghindari secara
temporal. Di Sumatra Tengah macan dahan terindikasi menghindari harimau
sumatra dengan memilih habitat yang lebih tinggi (Sunarto et al., 2015). Hal ini
tidak dapat dilakukan di TNWK karena topografi di taman nasional ini relatif
seragam (0-50 m dpl.). Mekanisme pemisahan yang paling mungkin adalah
menggunakan stratifikasi vegetasi. Macan dahan menurut Grassman (2004) dan
Nowel & Jackson (1996) memiliki kemampuan memanjat dan beraktivitas di atas
pohon. Ini yang mungkin dapat menjelaskan mengapa macan dahan dan harimau
sumatra tidak tertangkap kamera pada stasiun perangkap kamera yang sama dan
mengapa macan dahan hanya ditemukan di vegetasi hutan sekunder yang
memiliki tegakan pohon lebih baik dibanding semak dan alang-alang.
Sesuai dengan hasil penelitian Sunarto et al. (2015) dan Lynam et al.,
(2013), tumpang tindih temporal spesies Felidae yang memiliki ukuran tubuh
hampir sama atau ukuran mangsa hampir sama dalam penelitian ini rendah,
menunjukkan kedua spesies saling menghindar secara temporal. Misalnya antara
kucing batu dengan kucing congkok yang memiliki ukuran tubuh hampir sama
dan spesies mangsa hampir sama (∆1=0,61±0,02). Begitupula spesies yang

Universitas Indonesia
63

mempunyai relung ekologi mirip seperti kucing batu dan macan dahan (keduanya
bersifat arboreal) (∆1=0,57±0,06). Spesialiasasi dalam dimensi temporal
menunjukkan kelangkaan jenis makanan spesies yang berkompetisi (Schoener,
1974). Kucing batu dipercaya sebagian besar atau sebagian bersifat arboreal dan
mempunyai kemampuan memanjat sangat baik (Azlan, 2009). Perilaku ini dapat
meningkatkan pemisahan relung ekologi dengan spesies Felidae kompetitor yaitu
kucing congkok dan spesies Felidae terestrial lain.
Penelitian ini menyajikan informasi pola aktivitas dan pemisahan temporal
empat spesies Felidae di TNWK. Felidae yang berukuran tubuh hampir sama
(kucing congkok dan kucing batu) dan memiliki relung ekologi mirip (kucing batu
dan macan dahan) cenderung melakukan aktivitas pada waktu yang berbeda.
Tumpang tindih temporal antar spesies Felidae tersebut juga terendah diantara
pasangan Felidae yang lain. Namun harus dicatat bahwa sebagian dari spesies
Felidae ini sebagian atau seluruhnya bersifat arboreal, khususnya kucing batu dan
macan dahan. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai perilaku dan
interaksi yang melibatkan survei malam hari, upaya sampling di atas pohon
(Duckworth et al., 1999) dan penggunaan radio collar (Austin et al., 2007;
Grassman et al., 2005b) untuk mendapatkan total aktivitas pada tingkat individu.

KESIMPULAN

1. Pola aktivitas harimau sumatra dan kucing batu adalah cathemeral atau aktif
pada siang dan malam hari sedangkan macan dahan dan kucing congkok
utamanya aktif pada malam hari (mostly nocturnal).
2. Aktivitas harimau sumatra pada malam dan siang hari sebesar 51,6% dan
48,4% sedangkan kucing batu 41,2% dan 58,8%. Delapan puluh dua persen
aktivitas kucing congkok dilakukan pada malam hari, hanya 18% pada siang
hari. Sedangkan aktivitas macan dahan pada malam hari sebesar 66,7%, dan
siang hari sebesar 33,3%.
3. Koefisien tumpang tindih spesies Felidae yang memiliki ukuran tubuh dan
jenis mangsa hampir sama (kucing batu dan kucing congkok) dan spesies yang

Universitas Indonesia
64

memiliki relung yang mirip (macan dahan dan kucing batu) mempunyai nilai
paling rendah dibandingkan dengan pasangan Felidae yang lain.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui intensitas interaksi
antar spesies Felidae dengan mengetahui preferensi dan jenis mangsa setiap
spesies Felidae.

DAFTAR PUSTAKA

Adul, B. Tripoll, S.H. Limin, C.M. Cheyne. 2015. Felids of Sebangau: camera
trapping to estimate activity patterns and population abundance in Central
Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas 16(2): 151–155

Amarasekare, P. 2009. Competition and Coexistence in Animal Communities.


Dalam: Levin, S.A. (Ed). 2009. The Princeton Guide to Ecology.
Princeton University Press. Princeton: 196–200.

Austin, S.C., M.E. Tewes, L.I. Grassman, & N.J. Silvy. 2007. Ecology and
conservation of leopard cat (Prionailurus bengalensis) and clouded
leopard (Neofelis nebulosa) in Khao Yai National Park. Thailand. Acta
Zoologica Sinica 53(1): 1–14

Azlan, M.J. 2009. The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of
Tropical Biology and Conservation 5: 81–86

Azlan, J.M. & D.S.K. Sarma. 2006. The diversity and activity patterns of wild
felids in a secondary forest in Peninsular Malaysia. Oryx 4(1): 36–41

Carthew, S.M. & E. Slater. 1991. Monitoring animal activity with automatic
photography. Journal of Wildlife Management 55: 689–692.

Chen, M.T., M.E. Tewes, J.K. Pei & L.I. Grassman, Jr. 2009. Activity pattern and
habitat use of sympatric small carnivores in southern Taiwan. Mammalia
73: 20–26

Chesson, P.L. 1984. Coexistence of competitors in spatially and temporally


varying environments: a look at the combined effects of differen sorts of
variability. Theoretical Population Biology 28: 263–287

Cheyne, S.M & D.W. Macdonald. 2011. Wild felid diversity and activity pattern
in Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Oryx 45(1):119–124

Colwell, R.K & D. Futuyama. 1971. On the measurement of niche breadth and
overlap. Ecology 52: 567–576

Universitas Indonesia
65

Di Bitetti, M.S., C.D. De Angelo, Y.E. Di Blanco & A. Paviolo. 2010. Niche
partitioning and species coexistence in a Neotropical felid assemblage.
Acta Oecologica 36:403–412

Duckworth, J.W., R.E. Salter & K. Khounboline (Eds). 1999. Widlife in Lao
PDR: 1999 Status Report. IUCN-The World Conservation Union. Wildlife
Conservation Society and Centre for Protected Areas and Watershed
Management. Vientiene: 275 hlm.

Durant, S. 1998. Competition refuges and coexistence: an example from Serengeti


carnivores. Journal of Animal Ecology 67: 370–386.

Fedriani, J.M., F. Palomers & M. Delibes. 1999. Niche relations among three
sympatric Mediterranean carnivores. Oecologia 121: 138–148.

Fedriani, J.M., T.K. Fuller, R.M. Sauvajot & E.C. York. 2000. Competition and
intraguild predation among three sympatric carnivores. Oecologia 125:
258–270

Feinsinger, P., E.E. Spears & R.W. Poole. 1981. A simple measure of niche
breadth. Ecology 62: 27–32

Gordon, C.E. 2000. The coexistence of species. Revista Chilena de Historia


Natural 73:175–198

Grassman, L.I. 2000. Movements and diet of the leopard cat (Prionailurus
bengalensis) in a seasonal evergreen forest in south-central Thailand. Acta
Theriologica 45(3): 175–198

Grassman, L.I., M. A.M. Halnes, J.E. Janecka & M.E. Tewes. 2006. Activity
periods of photo-captured mammals in north central Thailand. Mammalia
70(3-4): 306–309

Grassman, LI. 2004. Clouded leopard: the living sabertooth. Wild Cat News: 24–
29

Grassman, L.I., M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005a. Spatial
organization and diet of the leopard cat (Prionailurus bengelensis) in
north-central Thailand. Journal of Zoology 266(1): 45–54

Grassman, L.I., M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005b. Ecology of
three sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central
Thailand. Journal of Mammalogy 86(1): 29–38.

Griffiths, M. & C.P. van Schaik. 1993. The impact of human traffic on the
abundance and activity patterns of Sumatran rain forest mammals.
Conservation Biology 7(3): 623–626

Universitas Indonesia
66

Harris, G., R. Thomson, J.L. Childs & J.G. Sanderson. 2010. Automatic storage
and analysis of camera trap data. Bulletin of the Ecological Society of
America 91: 3552–360

Hearn, A.J., J. Ross, D. Pamin, H. Bernard, L. Hunter & D.W. Macdonald. 2013.
Insights into the spatial and temporal ecology of the sunda clouded leopard
(Neofelis diardi). Raffles Bulletin of Zoology 61(2): 871–875

Hutajulu, M.B. 2007. Studi karakteristik ekologi harimau sumatra [Panthera


tigrisSumatrae (Pockok 1929)] berdasarkan camera trap di lansekap Tesso
Nilo-Bukit Tigapuluh, Riau. Thesis. Program Pasca Sarjana FMIPA.
Program Studi Biologi Konservasi. Universitas Indonesia. Depok

Jiminez, J.E., J.L. Yanez, E.I. Tablo & F.M. Jaksic. 1996. Niche
complementariety of South American foxes: Reanalysis and test of a
hypothesis. Revista Chilena de Historia Natural 69: 113–123.

Kamler, J.F., W.B. Ballard, P.R. Lemons, R.L. Gilliland & K. Mote. 2003.
Impacts of coyotes on swift foxes in northwestern Texas. Journal of
Wildlife Management 67: 317–323

Karanth, K.U. & M.E.Sunquist . 1995. Prey selection by tiger, leopard and dhole
in tropical forest. Journal of Animal Ecology 64:439-450.

Kawanishi, K & M.E. Sunquist. 2004. Conservation status of tiger in a primary


rainforest of Peninsular Malaysia. Biological Conservation 120: 329–344.

Kowalczyk, R., B. Jedrzejewsky & A. Zalewski. 2003. Annual and circadian


activity patterns of badgers (Meles meles) in Bialowieza Primeval Forest
(eastern Poland) compared with other Palaearctic population. Journal of
Biogeography 30: 46 –472.

Kronfeld-Schor, N & T. Dayan. 2003. Partitioning of time as an ecological


resource. Annu.Rev.Ecol.Evol.Syst. 34: 153–181

Linkie, M & M.S. Ridout. 2011. Assesing tiger-prey interaction in Sumatran


rainforest. Journal of Zoology 284:224–229

Lucherini, M., J.I. Reppucci, R.S. Walker, M.L. Villalba, A. Wurstten, G.


Galliardo, A. Iriarte, R. Villalobos & P. Perovic. 2009. Activity pattern
segregation of carnivores in the high Andes. Journal of Mammalogy 90(6):
1404–1409

Luo, J. & B.J. Fox. 1996. Seasonal and successional dietary shifts of two
sympatric rodents in coastal health land: A possible mechanism for
coesistence. Australian Journal of Ecology 2(2): 121–132.

Universitas Indonesia
67

Lynam, A.J., K.E. Jenks, N. Tantipisanuh, W. Chutipong, D. Ngoprasert, G.A.


Gale, R. Steinmetz, R. Sukmasuang, N. Bhumpakhan, L.I. Grassman, P.
Cutter, S. Kitamura, D.H. Reed, M.C. Bakeer, W. McShea, N. Songsasen,
& P. Leimgruber. 2013. Terrestrial activity pattern of wild cats from
camera-trapping. The Raffles Bulletin of Zoology 61(1):407–415

MacArthur, & R. Lewis. 1967. The limiting similirity, convergence and


divergence of coexisting species. American Naturalis 101: 377-385

Macdonald, D.W., A.J. Loveride & K. Nowell. 2010. Dramatic Personae: an


introduction to the wild felids. Dalam: Macdonald, D.W. & A.J.
Loveridge (Eds). 2010. Biology and Conservation of Wild Felids. Oxford
University Press. Oxford: 3–58.

Matsuda, I., A. Tuuga & S. Higashi. 2008. Clouded leopard (Neofelis diardi)
predation on proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia.
Primates 49: 227–231

Maulana, D.A & A. Darmawan. 2014. Perubahan penutupan lahan di Taman


Nasional Way Kambas. Jurnal Sylva Lestari 2(1): 87–94.

McCarthy, J.L., H.T. Wibisono, K.P. McCarthy, T.K. Fuller &. N. Andayani.
2015. Assesing the distribution and habitat use of four felid species in
Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Global Ecology
and Conservation 3:210–221

Meredith, M & M. Ridout. 2014. Estimates of coefficient of overlapping for


animal activity patterns. Version 0.2.4.

Mohamed, A., H. Samejima & A. Wilting. 2009. Record of five Bornean cat
species from Deramakot Forest Reserve in Sabah, Malaysia. CAT news
51:12–15

Moreno, R.S., R.W. Kays & R. Samudio Jr. 2006. Release in diets of ocelot
(Leopardus pardalis) and puma (Puma concolor) after jaguar (Panthera
onca) decline. Journal of Mammalogy 87(4):808–816

Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Gland Switzerland: xxiv +
383 hlm.

O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono. 2003. Crouching tigers, hidden
prey: Sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape.
Animal Conservation 6: 131–139

Palomers, F., P. Ferreras, J.M. Fedriani & M. Delibes. 1996. Spatial relationships
between Iberian lynx and other carnivores in an area of south-western Spain.
Journal of Applied Ecology 33: 5–13

Universitas Indonesia
68

PHPA. 1995. Way Kambas National Park Management Plant 1994-2019 Volume
II: Data Projections and Analysis. Word Bank, Loan No.3423-IND. Bogor:
xx + 245 hlm.

Povey, K & W. Spaulding. 2006. Wild Cat of Southeast Asia: An Educator’s


Guide. Point Defiance Zoo and Aquarium. Thailand: 108 hlm.

Pusparini, W., H.T. Wibisono, G.V. Reddy, Tarmizi & P. Bharata. 2014. Small
and medium sized cats in Gunung Leuser National Park, Sumatra,
Indonesia. Cat News Special Issues 8: 2–9

R Development Core Team. 2009. R: a language and environment for statistical


computing. R Project for Statistical Computing, Vienna, Austria (www.r-
project.org).

Rabinowitz, A.R., P. Andau & P.P.K.Chal. 1987. The clouded leopard in


Malaysian Borneo. Oryx 22:107–111

Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
landscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217

Ridout, M. & M. Linkie. 2009. Estimating overlap of daily activity patterns from
camera trap data. J. Agricultural Biology and Environmental Statistics 14:
322–337

Sanderson, J. G. & G. Haris. 2013. Automatic data organization, storage, and


analysis of camera trap pictures. Journal of Indonesian Natural History
1(1): 11–19

Schoener, T.W. 1974. Resource partitioning in ecological communities. Science


185(4145): 27–39

Shoner, T.W. 2009. Ecological niche. In. Levis, S.A. (Ed). The Princeton Guide
to Ecology. Princeton University Press. London: ix + 793 hlm.

Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–6.

Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboraturium


Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian Bogor. Bogor: xii +
158 hlm.

Sriyanto. 2003. Kajian mangsa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae,


Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Thesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia.

Universitas Indonesia
69

Stewart, K.M., R.T. Bowyer, J.G. Kie, N.J. Cimon & B.K. Johnson. 2002.
Temporospatial distribution of elk, mule deer and cattle: resource
partitioning and competitive displacement. Journal of Mammalogy
83:229–244

Sunarto, S., M.J. Kelly, K. Parakkasi & M.B. Hutajulu. 2015. Cat coexistence in
centrar Sumatra: ecological characteristics, spatial and temporal overlap,
and implications for management. Journal of Zoology 296(2): 104–115

Sunquist, M & F. Sunquist. 2002. Wild Cat of the World. The University of
Chicago Press Ltd. Chicago: ix + 443 hlm.

Tilman, D. 1994. Competition and biodiversity in spatially structured habitats.


Ecology 75(1): 2–16

van Schaik, CP. Griffiths, M. 1996. Activity periods of Indonesian rain forest
mammals. Biotropica 28(1): 105–112

Wei, F., Z. Feng, Z. Wang & J. Hu. 2000. Habitat use and separation between the
giant panda and the red panda. Journal of Mammalogy 81: 448–455

Universitas Indonesia
Makalah III

PENGETAHUAN, PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT LOKAL


TERHADAP KONSERVASI FELIDAE DI TAMAN NASIONAL WAY
KAMBAS, SUMATRA, INDONESIA

Agus Subagyo
Program Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.
a_subagyo@yahoo.com

ABSTRAK

Keberhasilan program konservasi sangat tergantung pada dukungan masyarakat


lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengetahuan, sikap, dan persepsi,
masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae di Taman Nasional Way Kambas
(TNWK). Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner telah dilakukan
terhadap 395 responden yang tersebar di 19 desa sekitar TNWK. Hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat diuji dengan analisis ragam satu arah Kruskal-
Wallis, sedangkan hubungan antar varibel terikat dianalisis dengan korelasi non-
parametrik Spearman-rank. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pengetahuan
masyarakat terhadap Felidae dan taman nasional rendah, namun persepsi dan
sikap mereka terhadap konservasi Felidae positif. Sejumlah faktor demografi dan
interaksi dengan taman nasional mempengaruhi pengetahuan masyarakat terhadap
taman nasional, persepsi dan sikap mereka terhadap konservasi Felidae, tetapi
tidak berpengaruh terhadap pengetahuan terhadap Felidae. Pengetahuan terhadap
taman nasional berkorelasi positif dengan pengetahuan, sikap dan persepsi
masyarakat terhadap konservasi Felidae. Pengetahuan masyarakat terhadap
Felidae berkorelasi positif dengan sikap mereka terhadap konservasi Felidae.
Persepsi masyarakat terhadap Felidae berkorelasi positif dengan sikap mereka
terhadap konservasi Felidae. Perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat terhadap taman nasional dan Felidae melalui pendidikan konservasi
dan sosialisasi. Program seperti ini sebaiknya mempertimbangkan karakteristik
demografi dan pengalaman masyarakat terhadap taman nasional. Meningkatkan
pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional dan satwa liar penting karena
dua variabel ini dapat membentuk persepsi dan sikap mereka terhadap taman
nasional, satwa liar dan konservasinya.
Kata kunci: demografi, konservasi Felidae, interaksi dengan taman nasional,
pendidikan konservasi.

Universitas Indonesia
71

PENDAHULUAN

Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu kawasan


konservasi penting bagi perlindungan Felidae secara in situ di Sumatra.
Berdasarkan hasil perangkap kamera yang dipasang oleh Sumatran Tiger Project
(Bastoni & Apriawan, 1997), di taman nasional ini ditemukan enam spesies
Felidae yaitu: harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis
diardii), kucing emas (Pardofelis temincki), kucing batu (Pardofelis marmorota),
kucing congkok (Prionailurus bengalensis) dan kucing pesek (Prionailurus
planiceps).
Felidae merupakan takson yang relatif lebih rentan terhadap kepunahan
dibandingkan dengan famili lain dalam ordo Karnivora karena perburuan liar dan
kerusakan habitat selain secara alami kepadatannya rendah di alam. Sekitar 16
spesies (44.4%) dari 36 spesies Felidae di dunia masuk dalam tiga kategori teratas
hewan yang terancam punah (Nowell, 2009). Kecuali kucing congkok yang
masuk dalam kategori beresiko rendah terhadap kepunahan (Sanderson et al.,
2008a), lima spesies Felidae yang lain terancam secara global (Sunarto et al.,
2015). Dalam daftar spesies hewan yang terancam punah (IUCN, 2010), saat ini
kucing emas masuk dalam kategori mendekati terancam (Sanderson et al., 2008b),
macan dahan (Hearn et al., 2008a) dan kucing batu (Hearn et al., 2008b) dalam
kategori rentan, harimau sumatra (Linkie et al., 2008) dan kucing pesek (Hearn et
al., 2010) dalam kategori kritis.
Penurunan populasi Felidae di alam terutama disebabkan oleh hilangnya
habitat hutan dan lahan basah, penyempitan dan fragmentasi habitat akibat alih
fungsi hutan menjadi perkebunan dan pemukiman (Nowell & Jackson, 1996;
Kinnaird et al., 2003; Gaveau et al., 2007). Felidae juga menjadi target perburuan
secara ilegal, diambil kulit, tulang atau bagian tubuh lainnya untuk kepentingan
pengobatan (Nowell & Jackson, 1996). Perlu upaya yang lebih besar agar
populasi Felidae di alam tidak terus menurun, salah satunya adalah dengan
menjaga populasi Felidae di TNWK.
Keberhasilan konservasi satwa liar di dalam kawasan konservasi perlu
mendapat dukungan masyarakat lokal (Takon et al., 2013). Taman Nasional Way

Universitas Indonesia
72

Kambas berada dalam lansekap yang didominasi oleh manusia. Dalam kehidupan
sehari-hari, aktivitas masyarakat yang bermukim di desa-desa sekitarnya secara
langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan taman nasional dan satwa
liar yang ada di dalamnya. Oleh karena itu dukungan masyarakat sekitar taman
nasional penting untuk mencapai target program konservasi yang telah ditetapkan.
Menurut Ormsby dan Kaplin (2005), Allendorf et al. (2006), Ramakrishnan
(2007) dan Allendorf & Allendorf (2013), interaksi antara masyarakat dan
kawasan konservasi dapat berdampak positif maupun negatif, yang pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap efektifitas pengelolaan. Meskipun data dasar biologi
dan ekologi merupakan faktor penting dalam konservasi satwa liar (Reed, 2002;
Murray et al., 2008; Applegate, 2014), tetapi budaya, ekonomi, dan faktor politik
merupakan faktor kritis yang menentukan keberhasilan program konservasi
jangka panjang (Tessema et al., 2007).
Di negara-negara berkembang upaya perlindungan terhadap kawasan
konservasi dari aktivitas ilegal masyarakat masih dilakukan dengan cara-cara
kekerasan dan pemaksaan. Masyarakat lokal sering tidak dilibatkan dalam
rencana pengelolaan bahkan diabaikan. Padahal dukungan masyarakat lokal
terhadap konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi sangat penting
(Tessema et al., 2007; Vodouhe et al., 2010). Beberapa hasil penelitian di Afrika
(Sogbohossou et al., 2011; Gandiwa et al., 2014) dan Asia (Adiprasetyo et al.,
2009; Jenk et al., 2014) menguatkan pendapat tersebut.
Pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap satwa liar dan
kawasan konservasi akan mempengaruhi interaksi antara masyarakat dengan
satwa liar dan kawasan konservasi. Pemahaman terhadap pengetahuan, persepsi
dan sikap masyarakat terhadap konservasi merupakan kunci untuk memperbaiki
hubungan antara kawasan konservasi dan masyarakat sekitar jika pengelola ingin
mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan (Weladji et al., 2003; Ebua et al.,
2011).
Persepsi, sikap dan pengetahuan bervariasi dalam komunitas dan
dipengaruhi banyak faktor (Li et.al., 2010). Persepsi masyarakat lokal dapat
digunakan oleh pengelola kawasan konservasi sebagai titik awal untuk
memperbaiki hubungan antara masyarakat dan taman nasional melalui intervensi

Universitas Indonesia
73

yang visibel dan tujuan yang dapat dicapai, bermakna bagi komunitas lokal dan
hubungan mereka dengan kawasan konservasi (Allendorf et al., 2013).
Pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, sikap dan
persepsi masyarakat terhadap konservasi satwa liar dan kawasan konservasi
diperlukan untuk merumuskan kebijakan dan strategi konservasi yang tepat.
Dalam bab ini, metode kuantitatif digunakan untuk mengukur
pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat yang tinggal di sekitar TNWK
terhadap konservasi Felidae. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah: (1)
bagaimana hubungan antara faktor demografi, pengetahuan dan pengalaman
responden terhadap taman nasional dengan pengetahuan, persepsi dan sikap
masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae, (2) faktor apa yang mempengaruhi
pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae dan (3)
bagaimana hubungan antara pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat lokal
terhadap konservasi Felidae.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014-Januari 2015 di 19 desa di
sekitar TNWK. Taman nasional ini merupakan kawasan konservasi yang terletak
di Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi
Lampung (Gambar 3.1). Kawasan seluas 125.621,3 hektar ini di bagian timur
berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sedangkan di bagian tenggara dan barat
dibatasi dengan sungai dan kanal buatan. Kawasan konservasi rawa air tawar
non-gambut terluas di Sumatra ini (Anwar et al., 1987), telah ditetapkan sebagai
suaka margasatwa sejak tahun 1937, di ekploitasi secara komersial antara tahun
1954 sampai dengan tahun 1974, diusulkan menjadi taman nasional pada tahun
1978, ditetapkan sementara waktu menjadi taman nasional pada tahun 1989
(PHPA, 1995), dan secara resmi ditetapkan menjadi taman nasional pada tahun
1997.

Universitas Indonesia
74

Gambar 3.1. Taman Nasional Way Kambas dan desa-desa sampel penelitian

Universitas Indonesia
75

Potensi ancaman terhadap TNWK cukup tinggi karena letaknya yang


berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk dan relatif mudah dicapai.
Gangguan yang berpotensi mengancam keberadaan Felidae di dalam taman
nasional ini secara langsung maupun tidak langsung antara lain kebakaran hutan
dan perburuan liar terhadap Felidae maupun satwa mangsanya.
Disekitar TNWK terdapat 34 desa yang berbatasan langsung dengan taman
nasional. Dua puluh tiga desa (72%) secara administratif terletak di wilayah
Kabupaten Lampung Timur, meliputi tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Labuhan
Maringgai, Kecamatan Braja Selebah, Kecamatan Way Jepara, Kecamatan
Labuhan Ratu, Kecamatan Sukadana, Kecamatan Purbolinggo dan Kecamatan
Way Bungur. Sedangkan sebelas desa yang lain (38%) terletak di Kabupaten
Lampung Tengah, meliputi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Putra Rumbia,
Kecamatan Rumbia dan Kecamatan Seputih Surabaya.
Jumlah penduduk desa yang berbatasan langsung dengan TNWK
berdasarkan sensus penduduk terakhir berjumlah 120.373 jiwa, terdiri dari 33.755
kepala keluarga (BPS Kabupaten Lampung Timur, 2013 dan BPS Kabupaten
Lampung Tengah, 2013). Kepala keluarga (KK) di desa yang secara
administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Timur berjumlah 24.318
(72%), sedangkan di wilayah Kabupaten Lampung Tengah berjumlah 9.437
(28%). (BPS Kabupaten Lampung Timur, 2013; BPS Kabupaten Lampung
Tengah, 2013).

Prosedur Pengumpulan Data


Data dikumpulkan melalui survei rumah tangga dengan menggunakan
kuesioner. Jumlah sampel rumah tangga ditentukan dengan menggunakan rumus
Slovin ( = ), (Israel, 2013) dimana n adalah jumlah sampel, N adalah

populasi (total jumlah kepala keluarga di seluruh desa) dan α adalah tingkat
kesalahan (0,05). Dengan menggunakan rumus tersebut didapatkan jumlah
sampel penelitian sebanyak 395 kepala keluarga (N=33.755 KK).
Penentuan jumlah desa dan jumlah sampel KK pada setiap desa sampel
berdasarkan proporsi jumlah penduduk pada tingkat kabupaten, kecamatan dan
desa. Desa sampel dari setiap kecamatan dipilih secara acak dengan cara diundi.

Universitas Indonesia
76

Jumlah desa sampel di wilayah kabupaten lampung timur sebanyak 16 desa,


sedangkan di wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebanyak tiga desa. Jumlah
rumah tangga yang disurvei berkisar antara 2.03% – 10.63% (Tabel 3.1). Total
jumlah penduduk 19 desa yang disurvei adalah 66.185 individu, jadi jumlah
individu yang disurvei sekitar 0,597%.

Tabel 3.1. Nama desa dan jumlah rumah tangga yang digunakan dalam survei
rumah tangga.

Jumlah % dari Jumlah % rumah


rumah total total tangga dari
Kecamatan Desa tangga survei rumah desa yang
yang tangga3 disurvei
disurvei
Labuhan Sukorahayu 16 4.05 778 2.06
Maringgai1)
Karanganyar 38 9.62 1,972 1.93
1)
Braja Selebah Braja Kencana 13 3.29 818 1.59
Braja Harjosari 22 5.57 1,427 1.54
Braja Yekti 15 3.80 935 1.60
Way Jepara1) Braja Asri 35 8.86 1,116 3.14
Labuhan Ratu1) Labuhan Ratu VI 21 5.32 1,299 1.62
Labuhan Ratu VII 15 3.80 896 1.67
Sukadana1) Rantau Jaya Udik II 26 6.58 1,227 2.12
1)
Purbolinggo Taman Fajar 13 3.29 892 1.46
Taman Endah 11 2.78 781 1.41
Tegal Yoso 13 3.29 876 1.48
Tanjung Kusumo 15 3.80 1,069 1.40
1)
Way Bungur Toto Projo 10 2.53 587 1.70
Tanjung Tirto 14 3.54 862 1.62
Kali Pasir 8 2.03 510 1.57
Putra Rumbia2) Juaran 42 10.63 435 9.66
2)
Seputih Surabaya Rawa Betik 35 8.86 1192 2.94
Bina Karya Buana I 33 8.35 523 6.31
Jumlah 395 100 18.195 2.17
1 2)
Wilayah Kabupaten Lampung Timur, wilayah Kabupaten Lampung Tengah.
3
Sumber: BPS Kabupaten Lampung Timur (2013) dan BPS Kabupaten Lampung Tengah (2013)

Universitas Indonesia
77

Kuesioner disusun untuk mendapatkan data karakteristik demografi


responden (13 pertanyaan), pengetahuan dan pengalaman terhadap taman
nasional (15 pertanyaan), pengetahuan terhadap Felidae dan satwa mangsa (23
pertanyaan), persepsi terhadap Felidae (10 pernyataan) dan sikap terhadap
konservasi Felidae (10 pernyataan) (Lampiran 3.1). Pertanyaan disusun dalam
bentuk pertanyaan terbuka dan tertutup, pilihan ganda, dan skala sikap Likert.
Responden dipilih secara acak dengan mendatangi rumah-rumah penduduk
di dusun yang berbatasan langsung dengan taman nasional. Wawancara dilakukan
dilakukan pada pagi, siang, sore atau malam hari. Jika dalam satu rumah tangga
yang didatangi tidak bertemu dengan penghuninya, survei dilanjutkan dengan
mendatangi rumah berikutnya. Wawancara dilakukan selama kurang lebih 15-25
menit. Jika dalam satu rumah tangga ditemui lebih dari satu orang, wawancara
hanya dilakukan dengan salah satu anggota keluarga. Pewawancara meminta
kepada anggota keluarga lain tidak ikut menanggapi pertanyaan yang disampaikan
kepada responden sampai wawancara selesai dilakukan.
Kuesioner ditulis dan disampaikan dalam bahasa Indonesia. Pertanyaan
akan diterjemahkan dalam bahasa Jawa atau dijelaskan dengan menggunakan
kata-kata alternatif jika responden tidak memahami pertanyaan sebenarnya. Tes
pendahuluan dilakukan untuk menguji validitas dan reliabilitas setiap butir
pertanyaan dan melatih pewawancara agar terbiasa melakukan wawancara.
Pengetahuan responden terhadap Felidae diukur berdasarkan kemampuan
responden mengidentifikasi enam foto spesies Felidae dan sepuluh spesies yang
berpotensi menjadi mangsanya (Tabel 3.2, Lampiran 3.1, 3.2 dan 3.3). Foto yang
digunakan dalam survei merupakan hasil pemasangan perangkap kamera yang
dilakukan oleh PKHS di TNWK pada tahun 1997 sampai dengan 2014. Foto
Felidae dan satwa mangsa disusun di dalam kertas kuarto (A4) kemudian
dilaminating agar tahan terhadap air.

Universitas Indonesia
78

Tabel 3.2. Nama Indonesia, inggris dan ilmiah spesies Felidae dan mangsa yang
digunakan untuk menguji pengetahuan responden

Nama Indonesia Nama Inggris Nama Lokal* Nama Ilmiah

Harimau sumatra Sumatran tiger Macan, gembong P. tigris sumatrae


Macan dahan Clouded leopard Macan kumbang Neofelis diardi
Kucing emas Asiatic golden cat Kucing emas Pardofelis temincki
Kucing batu Marbled cat Kucing batu Pardofelis marmorota
Kucing congkok Leopard cat Macan akar Prionailurus bengalensis
Kucing pesek Flat-headed cat Kucing pesek Prionailurus planiceps
Sambar Sambar deer Menjangan Cervus unicolor
Babi hutan Wild pig Babi, celeng Sus scrofa
Kijang Barking deer Kijang Muntjiacus muntjak
Tapir Asian tapir Tenuk, trenuk Tapirus indicus
Beruk Pig-tailed macaque Beruk, munyuk Macaca nemestrina
Monyet Long-tailed macaque Ketek, kera Macaca fascicularis
Kancil-napu Lesser mouse deer Kancil, napu Tragulus sp
Ayam hutan Red junggle fowl Pitik alas, ayam alas Gallus sp
Sempidan Crested-petridge Tugang Lophura ignita
Kuau Great argus Kuau, merak Argusianus argus
*) berdasarkan hasil survei pendahuluan dalam penelitian ini

Variabel Penelitian
Variabel bebas dipilih berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian
sebelumnya (Nyhus, 1999) terkait dengan faktor demografi dan pengalaman
responden terhadap taman nasional (Tabel 3.3). Variabel terikat pengetahuan,
persepsi dan sikap ditentukan berdasarkan sejumlah faktor seperti tercantum
dalam Tabel 3.4. Pengetahuan terhadap taman nasional adalah kemampuan
responden menjawab enam informasi dasar tentang taman nasional seperti nama
lengkap, luas dan tahun diresmikan. Pengetahuan terhadap Felidae adalah
kemampuan respoden mengidentifikasi spesies Felidae dan spesies mangsa
potensial dengan benar berdasarkan foto. Persepsi diukur berdasarkan
persetujuan responden terhadap sejumlah penyataan terkait dengan karakterisitik
fisik, potensi ancaman dan peran Felidae dalam ekosistem. Sikap terkait dengan
persetujuan responden terhadap pernyataan keberadaan, peran, tanggung jawab

Universitas Indonesia
79

dan tindakan yang perlu dilakukan oleh pengelola atau masyarakat terhadap
Felidae..
Tabel 3.3. Variabel bebas (x) yang digunakan dalam analisis data

Variabel bebas Deskripsi Nilai


Umur Umur responden Kontinyu
Jenis kelamin Jenis kelamin responden Kategori (1,2)
Status di keluarga Kedudukan responden dalam rumah Kategori (1,2,3,4)
tangga
Lama di Lama tinggal di lampung Kontinyu
Lampung
Alasan di Alasan responden tinggal di lampung Kategori (1,2,3,4)
Lampung
Daerah asal Daerah asal responden berdasarkan Kategori (1,2,3,4)
tempat lahir dan tempat lahir orang
tua
Agama Agama yang dianut responden Kategori (1,2,3,4,5)
Pendidikan Jenjang pendidikan yang pernah Kategori (1,2,3,4,5)
ditempuh reponden
Pekerjaan Mata pencaharian utama responden Kategori (1,2,3,4,5,
6,8,9)
Status pernikahan Status pernikahan responden Kategori (1,2,3)
Jumlah anak Jumlah anak yang dimiliki responden Kontinyu
Perangkat desa Apakah responden menjadi Kategori (1,2)
perangkat/pamong desa atau tidak
Masuk ke taman Pengalaman responden masuk atau Kategori (1,2)
nasional berkunjung ke dalam taman nasional
Tujuan masuk Apa tujuan responden masuk ke Kategori
taman nasional ? (1,2,3,4,5,6)
Ikut kegiatan Kegiatan konservasi yang pernah Kategori (1,2)
konservasi diikuti responden misalnya
penyuluhan, sosialisasi dsb
Gangguan hewan Pengalaman responden terhadap Kategori (1,2)
gangguan satwa terhadap lahan
pertanian atau fisik responden.

Universitas Indonesia
80

Tabel 3.4. Variabel terikat (y) yang digunakan dalam analisis data

Variabel terikat Indikator Nilai Total

Pengetahuan Apakah nama lengkap dari TNWK 0 atau 1 0 (rendah)


tentang TNWK Berapa luas TNWK 0 atau 1 – 6 (tinggi)
Kapan TNWK diresmikan menjadi taman 0 atau 1
nasional ?
Bagaimana batas TNWK dengan desa ? 0 atau 1
Apa yang dimaksud dengan TNWK ? 0 atau 1
Siapa yang memiliki TNWK ? 0 atau 1
Pengetahuan Harimau sumatra (Pantera tigris sumatrae) 0 atau 1 0 (rendah)
tentang Felidae Macan dahan (Neofelis diardii) 0 atau 1 – 6 (nilai
Kucing emas (Pardofelis temincki) 0 atau 1 yang lebih
Kucing batu (Pardofelis marmorota) 0 atau 1 tinggi)
Kucing congkok (Prionailurus bengalensis) 0 atau 1
Kucing pesek (Prionailurus planiceps) 0 atau 1
Persepsi terhadap Felidae menjaga hutan way kambas tetap sehat 1,2,3,4,5 0%
Felidae Felidae hewan yang menarik dan indah 1,2,3,4,5 (sangat
Felidae memiliki warna dan tubuh yang indah 1,2,3,4,5 negatif) –
Felidae mengurangi babi dan tikus di lahan 1,2,3,4,5 100%
pertanian masyarakat (sangat
Felidae berbahaya bagi keselamatan masyarakat 1,2,3,4,5 positif)1
sekitar
Felidae bisa dimanfaat sebagai bahan obat- 1,2,3,4,5
obatan
Felidae bagus dijadikan hewan peliharaan 1,2,3,4,5
Felidae berbahaya bagi hewan ternak 1,2,3,4,5
Felidae tidak bermanfaat bagi masyarakat 1,2,3,4,5
sekitar
Sikap terhadap Felidae perlu dilindungi dan dilestarikan karena 1,2,3,4,5 0%
konservasi menjaga hutan way kambas tetap sehat (sangat
Felidae Felidae di dalam maupun di luar hutan way 1,2,3,4,5 tidak
kambas perlu dibiarkan hidup setuju) –
Pengelola hutan way kambas perlu melibatkan 1,2,3,4,5 100%
masyarakat dalam menjaga kelestarian Felidae (sangat
Kelestarian Felidae juga menjadi tanggung 1,2,3,4,5 setuju)2
jawab masyarakat sekitar
Masyrakat boleh memburu Felidae yang masuk 1,2,3,4,5
ke pemukiman penduduk/desa
Jika Felidae mengancam keselamatan penduduk 1,2,3,4,5
atau hewan ternak, harus segera dibunuh
Felidae dapat dimanfaatkan oleh masyarakat 1,2,3,4,5
untuk kepentingan pengobatan
Masyarakat boleh menangkap dan memelihara 1,2,3,4,5
Felidae yang masuk ke pemukiman penduduk
Melindungi Felidae tidak penting karena hanya 1,2,3,4,5
membuang-buang biaya saja
Kelestarian Felidae di hutan way kambas 1,2,3,4,5
menjadi tanggung jawab sepenuhnya pengelola
hutan way kambas
1,2).
Skor nilai dikonversi ke bentuk persentase dengan rumus= (skor total responden/skor maksimal)*100.

Universitas Indonesia
81

Analisis Data
Jawaban responden dimasukkan ke dalam database dengan menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel (2010). Data dianalisis dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS versi 16 (Chicago, SPSS Inc.). Sebelum dilakukan analisis
lanjut, normalitas data diuji dengan digaram plot dan uji Komolgorov-Smirnov
(Singh, 2007). Homogenitas ragam diuji dengan Levene statistic for equal
variance. Apabila data tidak normal dan ragam tidak homogen, analisis
dilakukan dengan analisis statistik non-parametrik (Singh, 2007).
Pengetahuan responden terhadap taman nasional dinilai berdasarkan
kemampuan responden menjawab enam pertanyaan terkait dengan taman
nasional, nilai tertinggi enam dan terendah nol. Hubungan antara pengalaman dan
pengetahuan responden terhadap taman nasional dan faktor demografik diuji
dengan analisis ragam satu arah. Interaksi masyarakat dengan taman nasional
diukur dari beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat yang
berhubungan dengan tanaman nasional. Misalnya apakah pernah masuk atau
berkunjung ke taman nasional, berapa kali masuk ke dalam taman nasional, dan
apa tujuan masuk ke dalam taman nasional.
Pengetahuan responden terhadap Felidae diukur berdasarkan kemampuan
responden mengidentifikasi foto speies Felidae (enam foto). Identifikasi yang
benar diberi nilai satu dan nol jika salah. Skor pengetahuan terhadap Felidae
terendah nol dan tertinggi enam. Total skor pengetahuan dibagi dalam tiga
kategori yaitu rendah (skor 0 - 2), sedang (skor 3 - 4) dan tinggi (skor 5 - 6).
Pengetahuan terhadap satwa mangsa dilakukan dengan cara yang sama, hanya
total skornya berbeda yaitu 0 – 10.
Sikap terhadap konservasi Felidae dan persepsi terhadap Felidae dinilai
dengan masing-masing sepuluh butir pernyataan yang bersifat disukai (positif)
dan tidak disukai (negatif). Responden diminta untuk menentukan pilihan
jawaban sesuai dengan tingkat persetujuannya (sangat tidak setuju, tidak setuju,
ragu-ragu, setuju dan sangat setuju). Respon diberi skor antara satu sampai lima,
respon paling positif diberi skor lima dan paling negatif satu. Nilai ini berlaku
sebaliknya pada pernyataan yang bersifat tidak disukai. Dengan demikian, skor
total terendah adalah 10 dan tertinggi 50.

Universitas Indonesia
82

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert
(Singh, 2007) dengan lima pilihan tingkat persetujuan responden terhadap sepuluh
pernyataan yang diajukan. Kriteria interpretasi skor terbagi dalam lima kelas
interval yaitu: sangat tidak setuju (0% - 19,99% ), tidak setuju (20% - 39,99%),
netral (40% - 59,99%), setuju (60% - 79,99%) dan sangat setuju (80% - 100%).
Skor akhir respon responden dikonversi ke dalam bentuk persentase dengan
membagi jumlah skor akhir dengan jumlah total skor tertinggi (50) dikali dengan
100%. Kategori sikap dan persepsi responden terhadap konservasi Felidae
ditentukan dengan cara membandingkan skor akhir (%) ini dengan kelas interval.
Validitas skala pengukuran diuji dengan korelasi Bivariate Pearson
(product moment Pearson) dan corrected item-total correlation (Singh, 2007).
Jika nilai rhitung<rtabel atau p>0.05, butir pernyataan dikeluarkan dari analisis.
Konsistensi internal (reliabilitas) skala pengukuran diuji dengan koefisien alpha
Cronbach (Singh, 2007 ). Butir pertanyaan yang mempunyai nilai korelasi antar
butir rendah (nilai alpha <0,6) dkeluarkan dari analisis. Variabel independen diuji
dengan analisis varian (ANOVA) satu arah pada taraf nyata 5%. Hubungan antara
pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae diuji
dengan korelasi bivariat Spearman-rank (Singh, 2007) pada taraf nyata 5%.

HASIL

Karakteristik Responden
Sebanyak 395 responden telah diwawancarai dalam survei rumah tangga.
Dua belas variabel telah dicatat untuk menggambarkan karakteristik demografi
yaitu: jenis kelamin, usia, status dalam keluarga, lama bermukim di Lampung,
alasan bermukim di Lampung, daerah asal, agama, pendidikan, pekerjaan,
status pernikahan, jumlah anak dan jabatan di desa. Variabel pengalaman
terhadap taman nasional terdiri dari pernah tidaknya responden masuk atau
berkunjung ke dalam taman nasional, apa tujuan masuk atau berkunjung ke dalam
taman nasional, pernah atau tidak mengikuti kegiatan konservasi dan pernah atau

Universitas Indonesia
83

tidak mendapat gangguan hewan dari taman nasional selama satu tahun terakhir
(Tabel 3.5).

Tabel 3.5. Karakteristik responden (n=395) berdasarkan hasil survei rumah tangga
di desa-desa sekitar Taman Nasional Way Kambas tahun 2015

Faktor Kategori Jumlah Persentase (%)


Demografi
Jenis kelamin Pria 322 81.5
Wanita 78 18.5
Umur 0-17 2 0.5
18-40 192 48.6
41-65 176 44.6
65+ 25 6.3
Status dalam keluarga Kepala keluarga 306 77.5
Istri 69 17.5
Anak 18 4.6
Lainnya 2 0.5
Lama bermukim di Lampung 0-16 47 11.9
17-27 69 17.5
28-38 166 42.0
39+ 113 28.6
Alasan bermukim di Lampung Lahir disini 168 42.5
Ikut orang tua 85 21.5
Transmigrasi 33 8.4
Lainnya 109 27.6
Daerah asal Jawa 149 37.7
Sumatra 35 8.9
Sumatra-Jawa 205 51.9
Sumatra-Bali 4 1.0
Lainnya 2 .5
Agama Islam 379 95.9
Kristen 8 2.0
Protestan 4 1.0
Hindu 4 1.0
Pendidikan Tidak sekolah 15 3.8
Dasar 198 50.1
Menengah 98 24.8
Atas 78 19.7
Tinggi 6 1.5
Pekerjaan Tani 291 73.7
Wirausaha 36 9.1
Nelayan 8 2.0
Ibu Rumah Tangga 29 7.3
PNS 5 1.3
Karyawan 8 2.0
Buruh 13 3.3
Guru 3 0.8
Pelajar 2 0.5
Status pernikahan Belum menikah 24 6.1
Menikah 369 93.4
Janda/duda 2 0.5
Jumlah anak 0 30 7.6
1 75 19.0
2 130 32.9
3 75 19.0
>3 85 21.5
Perangkat desa Ya 65 16.5
Tidak 330 83.5
Pengalaman terhadap TNWK
Masuk ke TNWK Ya 306 77,5
Tidak 89 22,5
Tujuan Masuk Rekreasi 233 76.0
Bekerja 9 3
Memancing ikan 26 8
Berburu 3 1
Mencari rumput 29 9
Mencari kayu 6 2
Kegiatan konservasi Ya 60 15,2
Tidak 335 84,8
Gangguan hewan Ya 188 47,6
Tidak 207 52,4

Universitas Indonesia
84

Responden rata-rata berusia 43,53 ± 0,70 tahun, termuda berusia 14 tahun


dan tertua 95 tahun. Responden pria berjumlah 322 (81,5%) dan wanita
berjumlah 73 (18,5%). Responden telah tinggal di Lampung antara 1-75 tahun,
rata-rata 37,44 ± 0,577 tahun. Alasan mereka tinggal di Lampung karena lahir di
Lampung (56,7%), ikut orang tua (23,5%), transmigrasi (8,9%) dan alasan lain
seperti pernikahan, pindah tugas atau mencari kehidupan yang lebih baik dari
daerah asalnya (10,09%).
Berdasarkan daerah asal, sebagian besar responden berasal dari Jawa atau
salah satu orang tuanya berasal dari Jawa (89,5%), lainnya berasal dari Sumatra
(8,9%) Bali dan Nusa Tenggara Barat. Mayoritas responden beragama Islam
(95,9%), hanya 4% yang beragama Katolik, Protestan dan Hindu. Responden
yang telah menikah sebesar 93.4%, belum menikah 6.1% dan janda atau duda
0.5%. Rata-rata responden memiliki dua orang anak (32%), belum mempunyai
anak (7,6%), mempunyai tiga orang anak (19 %), dan mempunyai lebih dari tiga
orang anak sebanyak 21.5%. Tani merupakan sumber mata pencaharian utama
responden (73.7%), diikuti wirausaha (9.1%), ibu rumah tangga (7.3%), buruh
(2,3%), nelayan (2%), sisanya menjadi pegawai negeri sipil, karyawan swasta,
guru, buruh, dan hanya satu orang yang masih berstatus sebagai pelajar. Tingkat
pendidikan responden tergolong rendah, lebih dari setengah (50.1%) responden
berpendidikan dasar dan 3,8% tidak pernah bersekolah. Hanya 1,5% responden
yang mengenyam pendidikan tinggi (perguruan tinggi), 24,8% berpendidikan
menengah (setara SMP) dan 19,7% berpendidikan menengah (setara SMA).
Sebagian responden menjadi perangkat desa (16.5%) seperti kepala desa, ketua
lingkungan (RW), ketua Rukun Tetangga (RT), Badan Perwakilan Desa (BPD)
atau anggota pertahanan sipil (hansip) desa, sisanya sebanyak 330 orang (74.5%)
hanya menjadi warga biasa.

Pengetahuan dan Pengalaman Masyarakat Terhadap Taman Nasional


Semua responden mengetahui keberadaan kawasan konservasi yang
berbatasan dengan desa mereka. Responden menyakini kawasan konservasi
tersebut merupakan milik pemerintah atau negara dan dikelola oleh pemerintah,
namun mereka tidak familiar dengan nama resminya. Ketika ditanya apa nama

Universitas Indonesia
85

lengkap hutan yang berbatasan dengan desa, sebanyak 88,9% responden


menjawab dengan 28 variasi jawaban. Jawaban terbanyak adalah way kambas ,
responden lain menggunakan istilah yang berasosiasi dengan hutan seperti hutan
lindung, hutan tutupan, alas, alas tutupan, suaka margasatwa, hutan kawasan, dan
kawasan. Hanya 7,1% responden yang dapat menyebutkan dengan lengkap nama
resmi Taman Nasional Way Kambas, sisanya menjawab tidak tahu (4,1%.).
Responden masih bingung membedakan antara Taman Nasional Way
Kambas, hutan Way Kambas, dan Pusat Latihan Gajah (PLG) atau sekarang
dikenal dengan Pusat Konservasi Gajah (PKG). Sebagian besar responden
menganggap Taman Nasional Way Kambas adalah PLG/PKG (41,3%), lainya
menganggap Taman Nasional Way Kambas hanyalah wilayah hutan Way
Kambas saja (11,9%). Responden yang menjawab dengan benar apa yang
dimaksud dengan Taman Nasional Way Kambas sebesar 33,4%, sisanya 13,4%
mengaku tidak tahu. Responden mampu membedakan batas antara taman
nasional dengan desa (86,3%), sementara itu yang lain mengaku batas antara
taman nasional dan desa tidak jelas, kurang jelas dan tidak tahu. Hanya satu
responden yang mengetahui luas taman nasional dan kapan resmi menjadi taman
nasional dengan benar.
Sebanyak 77,5% responden mengaku pernah berkunjung atau masuk ke
dalam taman nasional, hanya 22,5% responden yang lain mengaku belum pernah.
Menurut responden, tujuan utama mereka masuk/berkunjung ke taman nasional
adalah untuk berekreasi ke PLG/PKG (76,1%), yang lain pernah masuk ke dalam
hutan taman nasional untuk mencari rumput (29%), memancing ikan (26%),
sebagai pekerja dalam kegiatan yang dilakukan pengelola taman nasional (9%),
mencari kayu (6%) dan berburu rusa atau babi hutan (3%). Responden mengaku
mereka melakukan aktivitas ilegal (memancing, mencari kayu, mencari rumput
atau berburu) hanya di daerah tepi atau pinggir sungai yang berbatasan dengan
taman nasional.

Universitas Indonesia
86

(a, n = 395) (b, n = 306)

(c, n = 395) (d, n = 395)

Gambar 3.2. Karakteristik responden berdasarkan pengalaman mereka terhadap


Taman Nasional Way Kambas. (a) pernah masuk/berkunjung ke TNWK, (b)
tujuan masuk/berkunjung ke TNWK, (c) ikut kegiatan konservasi/sosialisasi, (d)
gangguan hewan satu tahun terakhir.

Responden yang pernah mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan


konservasi tergolong sedikit (15%), sebagian besar tidak pernah (85%). Biasanya
bentuk kegiatan yang diikuti adalah sosialisasi tentang kegiatan reboisasi,
restorasi atau sosialiasi penanggulangan konflik gajah. Responden yang mengikuti
kegiatan tersebut umumnya adalah perangkat desa (pamong) atau masyarakat
yang menjadi tenaga pengamanan swakarsa (PAM-swakarsa) penanggulangan
konflik gajah dan manusia.

Universitas Indonesia
87

Responden yang mendapatkan gangguan hewan dari taman nasional dalam


satu tahun terakhir berjumlah 188 orang (47,6%), semuanya berdomisili di
Kabupaten Lampung Timur. Ketika ditanya lebih lanjut apa bentuk gangguan
hewan dari taman nasional, mereka semua menjawab gajah sebagai hewan yang
paling sering menyebabkan kerusakan pada lahan pertanian. Selain gajah, lahan
pertanian reponden juga mengalami gangguan dari hewan lain seperti babi hutan,
monyet, tikus dan rusa, namun mereka mengganggap gangguan dari hewan-hewan
tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang berarti terhadap lahan pertanian dan
menimbulkan kerugian secara ekonomi.
Pengetahuan responden terhadap taman nasional dikelompokkan ke dalam
tiga kategori yaitu rendah (skor 1-2), sedang (skor 3-4) dan tinggi (skor 5-6).
Rata-rata skor pengetahuan responden terhadap taman nasional termasuk dalam
kategori rendah ( = 1,86 ± 0,862), dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 6
(Gambar 3.3). Responden yang memiliki pengetahuan terhadap taman nasional
termasuk dalam kategori rendah sebanyak 380 orang (80,5%), 75 orang memiliki
pengetahaun termasuk dalam kategori sedang (19%), dan hanya dua orang yang
memiliki pengetahuan termasuk dalam kategori tinggi (0,5%).

180
166
Mean =1,86
160 152
Standar Deviasi=0,862
140 N=395

120
Frekuensi

100

80
59
60

40

20 16
1 1
0
0 1 2 3 4 5 6
Skor Pengetahuan Responden Tentang TNWK

Gambar 3.3. Distribusi frekuensi skor pengetahuan responden terhadap Taman


Nasional Way Kambas (n = 395).

Universitas Indonesia
88

Diantara semua variabel yang diuji untuk menjelaskan pengetahuan


responden terhadap taman nasional, sepuluh variabel berasosiasi dengan
pengetahuan responden terhadap taman nasional (p<0,05). Variabel demografi
yang berasosiasi dengan pengetahuan responden terhadap taman nasional adalah
jenis kelamin (2 = 12,784 p = 0.000), status dalam keluarga (2 = 18,160, p =
0,000), lama bermukim di lampung (2 = 11,206, p= 0,011), tingkat pendidikan
(2 = 43,44, p= 0,000), pekerjaan (2 = 20,693, p= 0,000), dan jabatan di desa (2
= 45,700, p = 0,.000) (Lampiran 3.1). Skor pengetahuan terhadap taman nasional
juga berasosiasi dengan responden yang pernah masuk ke dalam taman nasional
(2=18,723, p-value<0,05) terutama yang tujuannya untuk bekerja (2= 11,607, p-
value<0.05), pernah mengikuti kegiatan konservasi (2= 18,723, p-value<0,05)
dan dalam satu tahun terakhir lahan pertaniannya pernah diganggu oleh satwa dari
dalam taman nasional (2 = 4,393, p-value<0,05) (Lampiran 3.4).

Pengetahuan Masyarakat Terhadap Felidae


Responden menggunakan sebelas jawaban yang berbeda untuk
menjelaskan apa yang dimaksud dengan Felidae. Sebagian besar responden
menyatakan tidak tahu dengan apa yang dimaksud dengan Felidae (53,7%),
sebagian menjawab Felidae adalah harimau sumatra, macan atau macan gembong
(37%), Felidae adalah kucing congkok atau macan akar (26%) dan sisanya (11%)
menjawab dengan delapan jawaban lain diantaranya kucing yang tidak dipelihara,
kucing yang ada di hutan dan hewan yang dilindungi.
Ketika ditanya apakah responden mengenal atau mengetahui spesies
Felidae (tanpa memperlihatkan foto terlebih dahulu), mayoritas responden
mengaku mengetahui atau mengenal harimau sumatra (92,24%), diikuti kucing
congkok (79,75%), macan dahan (14,17%), kucing pesek (3,29%), kucing batu
(1,01%) dan kucing emas (0,75%). Ketika diminta untuk menyebutkan nama
spesies Felidae berdasarkan foto yang ditunjukkan, hampir seluruh responden
dapat mengidentifikasi dengan benar foto harimau sumatra (98,99%). Responden
yang bisa mengidentifikasi dengan benar kucing congkok hanya 14,94%, macan
dahan hanya 1,5%, dan kucing emas hanya 0,25%. Tidak ada responden yang
dapat mengidentifikasi kucing batu dan kucing pesek (Gambar 3.4).

Universitas Indonesia
89

120
Berdasarkan pengakuan responden
Berdasarkan indentifikasi foto
98.99
100
92.24

79.75
80
Persentase (%)

60

40

20

14.17 14.94
3.29
1.52 0.759 0.25 1.01 0.00 0.00
0
Harimau Macan dahan Kucing emas Kucing batu Kucing Kucing
sumatra congkok dampak
Spesies Felidae

Gambar 3.4. Persentase responden yang menjawab tahu terhadap spesies Felidae
yang ditanyakan oleh pewawancara tanpa menunjukkan foto spesies Felidae yang
dimaksud (merah) dan persentase responden yang mempu mengidentifikasi
dengan benar berdasarkan foto yang ditunjukkan kepada mereka (hijau).

Sebagian besar (83%) responden hanya mampu mengidentifikasi satu


spesies Felidae. Sementara itu yang lain mampu mengidentifikasi dua spesies
(15,4%) , tiga spesies (0,8%) dan hanya hanya tiga responden (0,3%) yang tidak
dapat mengidentifikasi satupun foto Felidae yang ditunjukkan. Jika dirata-rata,
pengetahuan responden terhadap Felidae masuk dalam kategori rendah ( ̅ =1,16 ±
0,41). Gambar 3.5. menunjukkan distribusi frekuensi skor pengetahuan
responden terhadap Felidae di TNWK. Pengetahuan responden terhadap Felidae
tidak dipengaruhi oleh faktor demografi dan pengalaman mereka terhadap taman
nasional (p>0,05) (Lampiran 3.5).

Universitas Indonesia
90

350 328
Rata-rata=1.16
Standar Deviasi = 0.408
300
N = 395

250
Frekuensi

200

150

100
61
50
3 3
0
0 1 2 3 4 5 6
Skor Responden Tentang Felidae

Gambar 3.5. Distribusi frekuensi skor pengetahuan responden terhadap Felidae di


TNWK (n = 395).

Kemampuan responden mengidentifikasi spesies mangsa Felidae lebih


baik dibandingkan identifikasi spesies pemangsanya. Rata-rata responden dapat
mengidentifikasi 5 ± 1,73 spesies mangsa Felidae dengan benar dari 10 foto yang
ditunjukkan. Responden yang mampu mengidentifikasi 1-4 spesies berjumlah 135
responden (34,1%), 5 – 6 spesies berjumlah 185 responden (46,9%),
mengidentifikasi 7 – 8 spesies berjumlah 74 responden (18,7%) dan hanya satu
responden yang tidak dapat mengidentifikasi satupun spesies yang ditunjukkan.
Urutan mangsa Felidae yang paling banyak dikenal sampai sedikit dikenal adalah
babi hutan, monyet, rusa sambar, ayam hutan, kijang, beru, tapir, dan kancil.
Sempidan biru hanya dikenali oleh satu orang responden dan tidak tidak satupun
responden yang mengenal kuau (Gambar 3.6).

Universitas Indonesia
91

Salah Benar
100%
10.9 11.1
90% 17.2
80%
33.9 32.4
Persentase (%)

70%
37.5
60%

50%

40%
70.6
30%

20% 84.6
99.5 100
10%
82.8 89.1 66.1 29.4 62.5 88.9 15.4 67.6 0.0
0.5
0%

Monyet

Kuau
Kijang

Tapir

Beru

Kancil/Napu

Ayam hutan

Sempidan
Sambar

Babi

Spesies Mangsa Potensial

Gambar 3.6. Persentase jawaban responden dalam mengidentifikasi spesies


mangsa potensial Felidae berdasarkan foto yang ditunjukkan kepada mereka

Persepsi Masyarakat Terhadap Felidae


Persepsi responden diukur dengan skala Likert (Singh, 2007 ) dengan
sepuluh butir pernyataan yang bersifat positif (2,3,7,10) dan negatif (1,4,5,6,9).
Hasil uji validitas menunjukkan semua butir pernyataan dalam kuesioner valid
(rhitung>rtabel). Berdasarkan uji reliabilitas, nilai koefisien alpha Cronbach pada
pernyataan nomor 8 lebih kecil dari 0,6, sehingga pernyataan tersebut dikeluarkan
dari analisis karena tidak reliabel meskipun memenuhi unsur validitas.
Persepsi responden terhadap konservasi kucing terbagi dalam tiga kategori
skala interval yaitu positif (73,7%), sangat positif (5,5%) dan netral (20,5%).
Rata-rata skor persepsi responden terhadap Felidae sebesar 65,64 ± 8,341
(positif), dengan skor terendah 46 dan tertinggi 94 (Gambar 3.7). Sebagian besar
responden setuju dan sangat setuju bahwa keberadaan Felidae di TNWK penting
untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kehadiran Felidae di hutan TNWK akan
mengurangi jumlah babi atau tikus di lahan pertanian mereka. Dari segi fisik,
responden menganggap Felidae merupakan hewan yang indah dan menarik. Lebih

Universitas Indonesia
92

dari 50% responden tidak setuju jika Felidae dikatakan membahayakan


keselamatan masyarakat, hewan ternak atau menyerang manusia. Mereka juga
tidak setuju jika Felidae tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat
sekitar. Namun hampir 50% responden juga setuju dan sangat setuju jika Felidae
dijadikan hewan peliharaan dan sebagai sumber bahan obat-obatan (Gambar 3.8).

180
Rata-rata=65,64
160 Standar Deviasi=8.31
N=396
140

120
Frekuensi

100

80

60

40

20

0
0 40 50 60 70 80 90 100

Skor Persepsi Responden Terhadap Felidae

Gambar. 3.7. Distribusi skor persepsi masyarakat terhadap Felidae di TNWK

Universitas Indonesia
93

Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju

Tidak bermanfaat bagi masyarakat


1 50.9 20.3 25.8 2
sekitar

Berbahaya bagi hewan ternak 2.3 59.2 15.4 21.5 1.5

Bagus dijadikan hewan peliharaan 2 24.8 22 47.6 3.5

Bisa dimanfaat sebagai bahan obat-


1.8 23.8 24.3 43.3 6.8
obatan

Berbahaya bagi keselamatan


2.5 57 12.4 26.1 2
masyarakat sekitar

Mengurangi babi dan tikus di lahan


0.36.3 7.3 77.2 8.9
pertanian masyarakat

Memiliki warna dan tubuh yang


0 6.3 15.7 72.4 5.6
indah

Hewan yang menarik dan indah 1 5.3 10.9 72.4 10.4

Menjaga hutan way kambas tetap


04.1 19.2 70.4 6.3
sehat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Persentase responden (%)

Gambar 3.8. Persepsi responden terdahap Felidae di Taman Nasional Way


Kambas (n=395).

Faktor demografi yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap


Felidae adalah jenis kelamin (2=8,519, p=0,004), status dalam keluarga
(2=9,330, p=0,025), tingkat pendidikan (2=35,782, p=0,000), pekerjaan
(2=31,875, p=0,000) dan jabatan di desa (2=19,11, p=0,000). Sedangkan faktor
pengalaman terhadap taman nasional yang mempengaruhi persepsi terhadap
Felidae adalah pernah masuk ke dalam taman nasional (2=6,754, p=0,009) dan
pernah mengikuti kegiatan konservasi (2=6,754, p=0,000) (Lampiran 3.6.).

Universitas Indonesia
94

Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Felidae


Sikap responden terhadap konservasi Felidae diukur dengan 10 butir
pernyataan. Semua butir pernyataan dapat dianalisis lebih lanjut karena hasil uji
validitas dan uji reliabilitas menunjukkan semua pernyataan dalam skala sikap
tersbut valid (rhitung>rtabel, pvalue<0,025) dan reliabel (nilai koefisien alpha
Cronbach > 0,6). Pernyataan yang bersifat positif terdiri dari pernyataan nomor
1,2,7,10 sedangkan pernyataan bersifat negatif terdiri dari pernyataan nomor
3,4,5,6,8 dan 9.
Secara umum skor sikap responden terhadap konservasi Felidae adalah
64,48 ± 9,98 (setuju/mendukung) dengan skor terendah 42 dan tertinggi 94
(Gambar 3.9). Responden yang bersikap netral sebanyak 125 (31,6%),
setuju/mendukung sebanyak 240 responden (60,8%) dan sangat setuju/sangat
mendukung sebanyak 30 responden (7,6%) (Gambar 3.10)

160 Rata-rata=65,48
Standar Deviasi=9.98
140
N=396

120

100
Frekuensi

80

60

40

20

0
0 40 50 60 70 80 90 100

Skor Sikap Responden Terhadap Felidae

Gambar 3.9. Distribusi frekuensi skor sikap masyarakat lokal terhadap konservasi
Felidae di TNWK.

Universitas Indonesia
95

Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju

Kelestarian kucing liar di hutan way 9.4 66.6 6.8 15.9 1.3
kambas menjadi tanggung jawab…

Melindungi kucing liar tidak penting 1 40 22 33.7 3.3


karena hanya membuang-buang biaya…

Masyarakat boleh menangkap dan 0.8 23.5 25.1 45.8 4.8


memelihara kucing liar yang masuk ke…

Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat 2.3 26.8 17.5 46.6 6.8


untuk kepentingan pengobatan

Jika kucing liar mengancam keselamatan 6.8 47.8 13.7 27.1 4.6
penduduk atau hewan ternak, harus…

Masyrakat boleh memburu kucing liar 3.8 24.6 11.9 53.9 5.8
yang masuk ke pemukiman…

Kelestarian kucing liar juga menjadi 1.8 22 17.5 52.4 6.3


tanggung jawab masyarakat sekitar

Pengelola hutan way kambas perlu 1.3 13.4 22.8 48.6 13.9
melibatkan masyarakat dalam menjaga…

Di dalam maupun di luar hutan way 1 27.3 20.5 45.6 5.6


kambas perlu dibiarkan hidup

Perlu dilindungi dan dilestarikan karena0.8 3.8 7.8 72.7 14.9


menjaga hutan way kambas tetap sehat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Persentase Responden (%)

Gambar 3.10. Sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae di Taman Nasional


Way Kambas (n=395).

Faktor demografi yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap


konservasi Felidae adalah jenis kelamin (2=6,241, p=0,012), daerah asal
(2=10,876, p=0,028), tingkat pendidikan (2=64,456, p=0,000), pekerjaan
(2=38,112, p=0,000) dan jabatan di desa (2=30,036, p=0,000). Faktor
pengalaman terhadap taman nasional yang mempengaruhi persepsi hanya
gangguan hewan (2=9,287, p=0,006) (Lampiran 3.7).
Kelestarian Felidae di dalam hutan Way Kambas didukung oleh 87,6%
responden. Mereka percaya bahwa keberadaan Felidae di dalam maupun di luar

Universitas Indonesia
96

hutan Way Kambas penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Lebih
dari setengan responden setuju Felidae yang ada di luar maupun di dalam hutan
tetap dibiarkan hidup (51,2%). Sebagian besar responden juga setuju dan sangat
setuju bahwa masyarakat juga bertanggung jawab terhadap kelestarian Felidae dan
pengelola taman nasional perlu melibatkan mereka dalam menjaga kelestariannya.
Lebih dari 75% responden tidak setuju dan sangat tidak setuju kelestarian Felidae
di hanya menjadi tanggung jawab pengelola taman nasional saja. Meskipun
sebagian besar responden tidak setuju jika Felidae langsung dimusnahkan ketika
membahayakan keselamatan penduduk dan hewan ternak, tetapi mereka masih
mentolelir pemanfaatan Felidae untuk kepentingan pengobatan dan dijadikan
hewan peliharaan.

Hubungan Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Terhadap Konservasi Felidae


Pengetahuan terhadap taman nasional berkorelasi positif dengan
pengetahuan terhadap Felidae (rrho = 0.106, p = 0.034), berkorelasi dengan
persepsi masyarakat terhadap Felidae (rrho = 0.290, p = 0.000) dan sikap mereka
terhadap konservasi Felidae (rrho = 0.297, p = 0.000). Pengetahun masyarakat
terhadap Felidae tidak berkorelasi dengan persepsi mereka terhadap Felidae (rrho =
0.051, p = 0.308), tetapi berkorelasi dengan sikap mereka terhadap konservasi
Felidae (rrho = 0.114, p = 0.023). Persepsi masyarakaat terhadap Felidae
berkorelasi positif dengan sikap mereka terhadap konservasi Felidae (rrho = 0.523,
p = 0.000) .

PEMBAHASAN

Pengetahuan Masyarakat Terhadap Taman Nasional


Pengetahuan masyarakat lokal terhadap taman nasional dalam penelitian
ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Nyhus (1999) enam belas tahun
yang lalu, yaitu masuk dalam kategori rendah. Faktor yang berasosiasi dengan
pengetahuan masyarakat lokal terhadap taman nasional adalah jenis kelamin, lama
tinggal di lampung, tingkat pendidikan, pekerjaan dan jabatan di desa.

Universitas Indonesia
97

Pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional juga dipengaruhi oleh


pengalaman interaksi mereka dengan taman nasional (Tabel 3.6 ). Sebagian besar
masyarakat mengetahui bahwa hutan yang berbatasan dengan desa mereka
merupakan kawasan konservasi, tetapi tidak mengetahui nama lengkap kawasan
konservasi tersebut, kapan resmi menjadi taman nasional, berapa luasnya dan
bagaimana batas dengan lahan penduduk. Masyarakat juga masih bingung
membedakan antara hutan, PKG dan taman nasional.
Tabel 3.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan masyarakat lokal
terhadap TNWK

Mean
Faktor Rata-rata 2 p1 Kategori
Rank2
Jenis kelamin 1,76±0.23 12,78 0,000 Laki-laki 207,10
Status dalam 1.54±0.40 18.16 0.000 Kepala keluarga 209,71
keluarga
Lama tinggal di 1.83±0.18 11.21 0.011 >39 tahun 223,33
lampung
Pendidikan 2.09±0.78 43.44 0.000 Tinggi 360,50
Pekerjaan 2.01±0.63 20.69 0.008 PNS 340,50
Jabatan di desa 2.16±0.62 45.70 0.000 Menjabat 279,40
Masuk TNWK 1.75±0.30 18.72 0.000 Ya 210,47
Tujuan masuk 2.13±0.29 11.61 0.000 Berburu 200,17
TNWK
Kegiatan konservasi 2.14±0.56 18.72 0.000 Ya 210,47
Gangguan hewan 1.87±0.11 4.39 0.000 Ya 209,75
1
Analisis ragam satu arah - Kruskal-Wallis, berbeda nyata pada α = 0,05
2
Rangking rata-rata dalam analisis ragam satu arah Kruskal-Wallis

Alasan mengapa pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional rendah


antara lain adalah minimnya interaksi antara staf taman nasional dengan
masyarakat dan kurangnya informasi publik tentang pengelola taman nasional dan
status taman nasional saat ini. Informasi melalui media massa, leaflet, brosur
atau sosialisasi langsung melalui pertemuan dengan masyarakat terasa masih
sangat kurang. Ini bisa dilihat dari sedikitnya masyarakat yang pernah mengikuti
kegiatan sosialisasi yang diadakan taman nasional. Dari 395 reponden yang
diwanwancarai, hanya 15,2% yang mengaku pernah mengikuti kegiatan

Universitas Indonesia
98

konservasi. Mereka sebagian besar adalah pamong desa atau tokoh masyarakat.
Materi sosialiasi yang pernah diikuti oleh sebagian masyarakat juga tidak
berkaitan langsung dengan taman nasional, mengapa taman nasional dibentuk, apa
fungsinya, apa manfaatnya, bagaimana statusnya dan tujuan utama taman nasional
dibentuk. Pusat Konservasi Gajah merupakan salah satu sarana yang baik untuk
mensosialisasikan informasi tentang taman nasional, tetapi pada kenyataannya
informasi yang ada masih kurang memadai. Padahal 76% (n=306) dari
masyarakat yang mengunjungi atau masuk ke dalam taman nasional mengaku
berkunjung ke PKG.
Telaah literatur terhadap pengetahuan masyarakat lokal terhadap kawasan
konservasi menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian antara pengetahuan yang
relatif lebih tinggi tentang eksistensi kawasan konservasi dan ketidaktahuan
pentingnya kawasan konservasi dan tujuannya (Jim & Xu, 2002; Mangun et al.,
2009). Misalnya dalam penelitian di Madagaskar, Ormsby & Kaplin (2005)
mendokumentasikan bahwa 71% penduduk yang tinggal dekat dengan taman
nasional dan 67% yang tinggal lebih jauh dari taman nasional peduli terhadap
keberadaan taman nasional, namun mereka belum bisa menjelaskan apa tujuan
taman nasional ditetapkan oleh pemerintah. Ferreira & Freire (2009) dalam
penelitiannya di kawasan konservasi Brazil menemukan masyarakat lokal peduli
terhadap keberadaan kawasan konservasi, tetapi tidak familiar dengan tujuan dan
fungsinya. Pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional (Ormsby & Kaplin,
2005), manfaat yang dirasakan dan ketergantungan terhadap taman nasional
(Silori, 2007) dapat berpengaruh terhadap persepsi masyarakat lokal terhadap
taman nasional. Menurut Geoghehan & Renard (2002), pengetahuan dan persepsi
masyarakat tentang taman nasional dapat mempengaruhi sikapnya terhadap taman
nasional. Sikap dan hubungan masyarakat lokal dengan sumberdaya alam dan
kawasan konservasi sangat bervariasi antar individu atau rumah tangga karena
kondisi masyarakat lokal yang heterogen dan memiliki tata nilai berbeda-beda.
Pengetahuan laki-laki terhadap taman nasional dalam penelitian ini lebih
baik daripada perempuan. Hasil yang sama ditunjukkan dalam penelitian yang
dilakukan di Asia (Allendorf & Allendroft, 2012; Allendorf & Allendorf, 2013)
dan Afrika (Olomi-Sola et al., 2012). Peran laki-laki dalam komunitas

Universitas Indonesia
99

masyarakat desa umumnya lebih dominan daripada perempuan. Laki-laki


mendominasi hampir semua aspek kehidupan dalam aktivitas sehari-hari pada
masyarakat desa. Di rumah, laki-laki berperan sebagai kepala rumah tangga, di
desa kesempatan mereka menjadi perangkat desa lebih besar daripada wanita.
Laki-laki juga mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan lebih
tinggi daripada wanita, sehingga kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lebih
baik daripada wanita. Masyarakat yang ditemukan beraktivitas di dalam hutan
hampir seluruhnya laki-laki sehingga peluang mereka mengenal dan berinteraksi
dengan taman nasional lebih tinggi.
Menurut Chettri et al. (2012) di negara berkembang, laki-laki umumnya
lebih sering berinteraksi dengan hutan, sehingga frekuensi mereka bertemu
dengan satwa liar dan staf taman nasional lebih tinggi daripada wanita.
Pengetahuan laki-laki terhadap kawasan konservasi lebih baik atau lebih tinggi
daripada wanita. Lebih banyak laki-laki yang mengetahui nama lengkap dan
peraturan-peraturan yang berlaku di kawasan konservasi daripada wanita. Huber
et al. (2013) menyatakan pengetahuan berhubungan erat dengan individu dan
berhubungan dengan asal (daerah), pengalaman sebelumnya, nilai, gaya hidup dan
prioritas. Sehingga kelompok sosial berbeda juga wanita dan pria memiliki
ketrampilan dan pengetahuan yang bervariasi
Menurut Chettri et al. (2012), di negara-negara berkembang, perbedaan
pengetahuan antara laki-laki dan wanita dapat disebabkan karena pembagian tugas
dalam aktivitas sehari-hari. Perbedaan ini menghasilkan perbedaan pengetahuan
berdasarkan aktivitas sehari-hari dan perbedaan kebutuhan. Wanita, kadang-
kadang bertugas mengambil air, memelihara kebun atau mengumpulkan bahan-
bahan pengobatan tradisional yang yang mungkin penting bagi pengelolaan
kawasan konservasi. Pembagian atau pemisahan pengetahuan semacam ini
berlaku dalam perbedaan sosial, kadang kelompok-kelompok marginal
tergantung pada perbedaan suku atau kelompok sosial dengan variasi profil
ekonomi (misalnya masyarakat dengan profil ekonomi rendah dan tinggi). Semua
kelompok ini memiliki kebutuhan yang berbeda, menghasilkan perbedaan
pengetahuan yang dapat bernilai bagi pengelola kawasan konservasi.

Universitas Indonesia
100

Secara umum pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional rendah,


namun masyarakat yang pernah mengikuti kegiatan konservasi, pernah masuk ke
dalam taman nasional untuk berburu dan mendapat gangguan hewan (gajah)
memiliki pengetahuan lebih baik daripada yang tidak pernah . Menurut van
Dalum (2013), pengalaman pribadi merupakan salah satu sumber pengetahuan
personal yang berasal dari lingkungan eksternal. Mengikuti kegiatan konservasi
dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap eksistensi taman nasional
dan staf taman nasional. Pernah berburu dan mendapat gangguan hewan (gajah)
meningkatkan frekuensi interaksi dengan taman nasional (polhut, pegawai taman
nasional dll) sehingga secara tidak langsung mendapatkan tambahan pengetahuan
tentang taman nasional. Hal ini didukung hasil penelitina Sogbohossou et al.
(2011) yang menemukan masyarakat yang berinteraksi lebih tinggi dengan taman
nasional karena aktivitas mereka dan letak desa mereka lebih dekat dengan taman
nasional mempunyai pengetahuan lebih baik. Ericsson & Heberlein (2003) juga
yang menemukan bahwa pemburu di Swedia, yang memiliki pengalaman lebih
banyak dengan satwa liar, mempunyai pengetahuan yang lebih baik dibanding
orang lain dalam daerah penelitian mereka.

Pengetahuan Masyarakat Terhadap Felidae


Dalam penelitian ini sejumlah indikator digunakan untuk mengukur
pengetahuan responden terhadap Felidae. Indikator ini belum lengkap karena
tidak mengukur pengetahuan ekologi, namun dapat digunakan sebagai titik awal
untuk mengetahui kepedulian masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae.
Berdasarkan hasil interview, rata-rata pengetahuan masyarakat lokal terhadap
Felidae rendah ( ̅ =1,16 ± 0,41 pada skala 1-6). Faktor demografi dan pengalaman
terhadap taman nasional secara statistik tidak signifikan mempengaruhi skor
pengetahuan masyarakat terhadap Felidae. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-
jenis Felidae kecuali harimau dan kucing congkok, sangat sedikit sekali
berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan penduduk sekitar.
Salah satu faktor yang menyebabkan satu spesies hewan lebih dikenal
daripada spesies hewan yang lain adalah karena spesies tersebut kharismatik
(misalnya harimau dan singa), menjadi flagship species, umbrella species,

Universitas Indonesia
101

mempunyai mitos tertentu dalam masyarakat atau jumlahnya melimpah sehingga


masyarakat dapat dengan mudah bertemu secara langsung dengan spesies
tersebut. Dalam pendidikan formal tingkat dasar sampai tingkat atas, spesies
Felidae yang umum dijadikan contoh adalah kucing rumah dan harimau. Secara
non-formal masyarakat juga cenderung mengenal jenis-jenis kucing yang ada
dalam cerita-cerita daerah, legenda atau pernah bertemu secara langsung di dalam
hutan atau dipamerkan di kebun binatang.
Masyarakat sekitar taman nasional secara umum hanya mengenal dua
spesies Felidae yaitu harimau sumatra dan kucing congkok. Walaupun semua
responden mengaku belum pernah bertemu secara langsung dengan harimau di
taman nasional, tetapi 98,89% responden dapat mengidentifikasi dengan benar
foto harimau sumatra (n=395). Diduga harimau sumatra lebih dikenal daripada
spesies Felidae lain karena spesies ini secara turun-termurun telah menjadi bahan
perbincangan dalam masyarakat dalam bentuk dongeng, kisah, atau mitos.
Penduduk yang bermukim di sekitar taman nasional mayoritas suku Jawa dan
Bali. Menurut Nyhus (1999) seperti gajah, harimau berperan penting dalam
budaya dan spiritual Suku Jawa dan Bali. Dalam tradisi Suku Jawa dan Bali,
harimau ditakuti dan dihormati, mereka juga merupakan simbol kekuatan dan
merepresentasikan dorongan kekuatan batin manusia. Suku Jawa juga
mempercayai mitos bahwa harimau merupakan penjaga desa, oleh karena itu
mereka memanggil atau menyebut harimau “mbah loreng” sebagai bentuk
penghormatan terhadap harimau. Selain itu, harimau telah menjadi prioritas
konservasi secara secara nasional maupun global sehingga informasi mengenai
spesies ini dengan mudah didapat oleh masyarakat dari media elektronik maupun
cetak.
Setelah harimau, spesies Felidae yang dikenal masyarakat sekitar taman
nasional adalah kucing congkok (masyarakat sekitar lebih mengenal spesies ini
macan akar). Diduga spesies kucing ini lebih dikenal karena masih sering
dijumpai di ladang, kebun bahkan pekarangan rumah. Sebagian responden
menyatakan pernah melihat secara langsung kucing ini di kebun atau pekarangan
rumah. Di pekarangan rumah, kadang-kadang kucing ini terlihat memangsa ayam
yang mereka pelihara. Masyarakat menganggap kucing ini sebagai hama, namun

Universitas Indonesia
102

belum menimbulkan kerugian secara ekonomi dan mengancam keselamatan


penduduk. Menurut sejumlah penelitian (Rajaratnam et al., 2007; Silmi et al.,
2013) kucing ini tersebar luas, mampu bertahan hidup pada daerah terganggu
bahkan hidup di kebun-kebun kelapa sawit. Nowel & Jackson (1996) menyatakan
kucing ini menjadi hama, seringkali dibunuh oleh masyarakat karena memakan
ayam penduduk.
Masyarakat yang mengaku mengenal kucing congkok sebesar 79,75%,
tetapi ketika diminta mengidentifikasi kucing congkok berdasarkan foto, hanya
14,94% yang dapat mengindentifikasi dengan benar (n=395). Ini terjadi diduga
karena sebagian besar masyarakat yang mengaku mengenal atau tahu dengan
spesies kucing ini sesungguhnya belum pernah bertemu langsung atau melihat
melalui gambar. Kucing congkok, seperti spesies kucing kecil yang lain, juga
tidak banyak dipublikasikan dalam media cetak atau visual, sehingga pengetahuan
masyarakat terhadap spesies kucing ini lebih banyak diperoleh dari mendengar
atau cerita dari mulut ke mulut orang yang pernah bertemu secara langsung.
Masyarakat sekitar taman nasional sangat sedikit yang mengenal macan
dahan dan kucing emas (berturut-turut 1,5%, dan 0,25%; n=395), bahkan tidak
satu pun responden yang mengenal kucing pesek dan kucing batu. Keempat
spesies kucing ini masing-masing memiliki karakteristik morfologi, perilaku dan
habitat yang spesifik sehingga jarang masyarakat dapat bertemu secara secara
langsung. Hanya mereka yang benar-benar pernah masuk dan beraktivitas di
dalam hutan dalam periode waktu yang lama dan berulang yang kemungkinan
pernah bertemu secara langsung dengan spesies-spesies kucing ini. Keempat
spesies Felidae ini jarang dipublikasikan dalam dalam media elektronik atau
cetak. Informasi mengenai keempat spesies Felidae ini umumnya hanya dapat
ditemukan dalam publikasi ilmiah atau dalam lingkungan terbatas yang bersifat
kajian akademis. Orang-orang yang mengenal spesies kucing ini umumnya
peneliti, orang yang tertarik untuk mempelajari jenis-jenis Felidae atau bekerja
dalam bidang konservasi yang berkaitan dengan satwa liar.
Kucing emas sangat sulit ditemukan karena kepadatannya sangat rendah di
taman nasional. Sejak ditemukan tahun 1996 dengan perangkap kamera, belum
ada bukti foto atau video yang menunjukkan spesies ini masih ada di taman

Universitas Indonesia
103

nasional. Bahkan staf lapangan yang secara rutin melakukan kegiatan rata-rata
15-20 hari di dalam hutan tidak pernah bertemu langsung dengan kucing emas.
Demikian pula dengan macan dahan dan kucing batu, selain kepadatannya rendah,
kedua spesies kucing ini bersifat arboreal. Sementara itu, kucing pesek sulit
ditemukan karena ukuran tubuhnya sangat kecil, sekretif, menghindari manusia
dan hidup pada habitat yang spesifik.

Persepsi Masyarakat Terhadap Felidae


Secara umum skor persepsi masyarakat lokal terhadap Felidae dan
konservasinya positif. Dalam persepsi sebagian besar masyarakat, Felidae
merupakan hewan yang menarik dan indah, tidak berbahaya terhadap penduduk,
menjaga hutan tetap sehat, tidak berbahaya bagi hewan ternak dan mempunyai
warna tubuh yang indah. Persepsi masyarakat lokal terhadap Felidae dipengaruhi
oleh jenis kelamin, status dalam keluarga, pendidikan, pekerjaan dan jabatan di
desa, pernah tidaknya masuk ke dalam taman nasional dan pernah tidaknya
mengikuti kegiatan konservasi (Tabel 3.7).

Tabel 3.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat lokal terhadap


Felidae di TNWK

Mean
Faktor Rata-rata 2 p1 Kategori
Rank2
Jenis kelamin 64.64±2.26 8.52 0.004 Laki-laki 205,96

Status dalam 63.45±3.23 9.33 0.025 Kepala 206,68


keluarga keluarga

Pendidikan 56.89±5.82 35.78 0.000 Tinggi 340,83

Pekerjaan 69.52±6.20 31.86 0.000 PNS 380,30

Jabatan di desa 67.33±3.56 19.11 0.000 Ya 254,41

Masuk TNWK 64.86±2.01 6.75 0.009 Ya 206,03

Kegiatan 64.86±2.01 6.75 0.000 Ya 206,03


konservasi
1
Analisis ragam satu arah - Kruskal-Wallis, berbeda nyata pada α = 0,05
2
Rangking rata-rata dalam analisis ragam satu arah Kruskal-Wallis

Universitas Indonesia
104

Laki-laki umumnya memiliki persepsi yang lebih baik terhadap Felidae


daripada perempuan. Kedudukan dalam keluarga (kepala keluarga) memiliki
persepsi yang lebih baik daripada istri, anak atau status dalam keluarga lainnya.
Skor persepsi masyarakat terhadap Felidae lebih baik pada masyarakat yang
berpendidikan tinggi daripada berpendidikan lebih rendah. Masyarakat yang
memiliki jabatan di desa, pernah masuk ke dalam taman nasional dan pernah
mengikuti kegiatan konservasi memiliki skor persepsi lebih tinggi daripada yang
sebaliknya. Pegawai negeri sipil (PNS) memiliki nilai skor persepsi terhadap
Felidae yang lebih baik daripada jenis pekerjaan lain.
Meskipun pengetahuan masyarakat terhadap Felidae rendah, tetapi
persepsi mereka positif. Persepsi positif masyarakat lokal terhadap Felidae ini
diduga karena mereka merasa keberadaan Felidae di taman nasional tidak
merugikan mereka secara ekonomi maupun fisik. Dalam penelitian ini, tidak ada
masyarakat yang menyatakan pernah diganggu atau diserang oleh Felidae selama
satu tahun terakhir. Ini sesuai dengan penelitian Nyhus (1999), yang menyatakan
persepsi masyarakat terhadap harimau sumatra positif karena konflik antara
manusia dan harimau sangat jarang terjadi. Dibanding provinsi lain di Sumatra,
konflik antara manusia dan harimau di Provinsi Lampung sangat rendah (Nyhus
& Tilson, 2004). Di TNWK selama hampir 20 tahun terakhir hanya satu orang
yang dibunuh oleh harimau (Nyhus, 1999). Gangguan terbesar yang dirasakan
oleh masyarakat sekitar adalah serangan gajah ke lahan pertanian atau perkebunan
mereka. Oleh karena itu gajah oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai hama
yang merugikan mereka (Nyhus et al., 2000). Spesies hewan yang bermanfaat
bagi manusia, bisa menjadi sumber makanan, tidak merusak tanaman penduduk
atau tidak berkompetisi dengan sumberdaya manusia dapat diterima positif oleh
masyarakat.
Persepsi dibentuk dari informasi dan pengetahuan seseorang terhadap
objek. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung melalui
pengamatan atau kinerja perilaku (van Dalum, 2013). Namun pengetahuan lebih
sering diperoleh dari keyakinan yang didasarkan pada informasi yang
ditransmisikan melalui budaya (Hudenko, 2012; Jacobs et al., 2012) bahkan
berasal dari mitos (Lescurex et al., 2012). Interaksi atau pengalaman secara

Universitas Indonesia
105

langsung pada masa lalu dan sekarang dengan spesies (Happold, 1995; Naha et
al., 2014) termasuk konflik, penggunaan untuk tujuan rekreasional, kepemilikan
dan status pengelolaan merupakan faktor penting yang menentukan persepsi
masyarakat terhadap satwa liar (Keller, 1994). Konsekuensinya, sangat penting
mengapresiasi interaksi ini dan memahami aspek ekologi manusia dan masalah-
masalah konflik manusia dan satwa liar. Pengelola taman nasional harus
mengelola konflik antara masyarakat dan satwa liar secara efektif, dan
mengembangkan strategi konservasi yang bermanfaat bagi manusia maupun
satwaliar (Happold, 1995).
Sesuai dengan beberapa penetian sebelumnya jenis kelamin dan
pendidikan berkaitan dengan persepsi terhadap satwa liar (Kaltenborn et al., 2006;
Lyamuya et al., 2014; Alexander et al., 2015). Hal ini berkaitan dengan peran
laki-laki yang lebih dominan pada masyarakat desa, terutama di negara
berkembang (Chettri et al., 2012). Laki-laki mendapat kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan lebih lebih baik sehingga berkesempatan mendapatkan
pekerjaan lebih baik dari wanita. Pada suku Maasai di Afrika, laki-laki yang
sebagian besar bersekolah, lebih menyukai mengunjungi alam liar sehingga
frekuensi bertemu dengan karnivora lebih tinggi dan merasa mendapatkan
manfaat darinya lebih tinggi daripada wanita (Lyamuya et al., 2014). Intensitas
bertemu dan berinteraksi dengan satwa liar dapat berpengaruh terhadap persepsi
positif.

Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Felidae


Sikap masyarakat lokal terhadap konservasi Felidae secara umum positif.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap positif terhadap konservasi Felidae
dalam penelitian ini adalah jenis kelamin (laki-laki), daerah asal (bukan jawa-
lainnya), pendidikan (pendidikan tinggi), pekerjaan (PNS), jabatan di desa
(menjadi pamong di desa) dan pengalaman pernah tidaknya mendapat gangguan
dari satwa dalam satu tahun terakhir (pernah diganggu) (Tabel 3.8).
Karnivora dikenal menimbulkan sikap negatif pada masyarakat yang hidup
berdampingan dengan mereka. Sikap negatif ini biasanya merupakan refleksi dari
pengalaman (sejarah) pemangsaan dan kepedulian terhadap spesies dan interaksi

Universitas Indonesia
106

mereka dengan manusia (Kellert et al., 1994). Persepsi dan sikap merupakan
bagian dari kebudayaan yang terbentuk dan dipengaruhi oleh sejumlah variabel
seperti usia (Campbell, 2012), jenis kelamin (Kaltenborn et al., 2006), pendidikan
(Lyamuya et al., 2014), agama yang dianut, dan etnis (Shelley et al., 2011).

Tabel 3.8. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat lokal terhadap


konservasi Felidae di TNWK

Mean
Faktor Rata-rata 2 p1 Kategori
Rank2
Jenis kelamin 63.35±2.53 16.24 0.012 Laki-laki 204,82

Daerah asal 69.03±7.13 10.88 0.028 Lainnya 357,25

Pendidikan 66.75±8.83 64.46 0.000 Tinggi 353,42

Pekerjaan 69.99±7.03 38.11 0.000 PNS 373,00

Jabatan di desa 67.31±5.98 30.04 0.000 Ya 268,78

Gangguan hewan 64.54±1.84 7.56 0.006 Ya 214,53


1
Analisis ragam satu arah - Kruskal-Wallis, berbeda nyata pada α = 0,05
2
Rangking rata-rata dalam analisis ragam satu arah Kruskal-Wallis

Sikap adalah kecenderungan psikologi individu untuk mengevaluaasi


suatu objek (orang, tempat, perilaku atau benda) dengan tingkatan suka atau tidak
suka. Dalam konservasi, umumnya telah ada sikap positif dan sikap negatif
berhubungan dengan perilaku terhadap konservasi. Menurut Kellert (1994), sikap
seseorang terhadap konservasi satwa liar dipengaruhi empat variabel yang saling
berkaitan yaitu: (1) nilai dasar yang dimiliki seseorang terhadap satwa liar dan
lingkungan; (2) karakteristik fisik dan perilaku spesies seperti ukuran tubuh,
kecerdasan, morfologi, gerakan, budaya dan sejarah; (3) pengetahuan terhadap
spesies termasuk pengetahuan faktual, konseptual, dan kepedulian terhadap
konservasi; (4) persepsi terhadap hewan tertentu yang dipengaruhi oleh interaksi
masa lalu dan sekarang dengan spesies tersebut termasuk konflik, penggunaan
untuk tujuan rekreasional, terkait kepemilikan dan status pengelolaan. Tipologi
ini dapat digunakan untuk menjelaskan sikap masyarakat terhadap Felidae (Tabel

Universitas Indonesia
107

3.9). Tabel tersebut merangkum beberapa karakteristik spesies Felidae


berdasarkah hasil wawancaraa dengan masyarakat lokal untuk membantu
menjelaskan sikap masyarakat terhadap Felidae.

Tabel 3.9. Karakteristik, pengetahuan dan interaksi masyarakat terhadap Felidae


yang mungkin mempengaruhi sikap mereka terhadap konservasi Felidae di
TNWK

Komponen Harimau Kucing Macan Kucing Kucing Kucing


tipologi sumatra congkok dahan emas batu pesek
(Kellert,
1994)
Karakteristik Besar, Seperti Hidup di Tidak ada Tidak ada Ukuran
fisik dan indah, kucing atas pohon informasi informasi tubuh
perilaku karismatik rumah, kecil,
indah dipinggir
batunya, sungai
dapat dan sawah
dipelihara
Hubungan Simbol Tidak Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dengan budaya menakut- informasi informasi informasi informasi
budaya dan dan kan bisa
sejarah spiritual, dijadikan
karismatik, hewan
menakut- peliharaan
kan dan
dihormati
Pengetahuan Tinggi Sedang – Sangat Sangat Sangat Sangat
terhadap rendah rendah rendah rendah rendah
spesies
Interaksi Jarang Sering Tidak Tidak Tidak Tidak
masa lalu terlihat, terlihat, pernah pernah pernah pernah
dan sekarang sangat meskipun terlihat di terlihat, terlihat di terlihat di
jarang memakan pinggir tidak ada pinggir pinggir
terjadi hewan hutan atau konflik hutan atau hutan atau
konflik, ternak pemukiman pemukim pemukima
spesies tetapi , tidak an, tidak n, tidak
yang dianggap pernah pernah pernah
dilindungi tidak terjadi terjadi terjadi
merugikan, konflik konflik konflik
Spesies dengan dengan dengan
dilindungi manusia manusia manusia

Dari enam spesies Felidae, hanya harimau sumatra yang lebih dikenal,
diikuti kucing congkok. Secara budaya dan spiritual, harimau merupakan simbol
kekuatan, bersifat karismatik dan dianggap menakutkan. Pengetahuan masyarakat
terhadap empat spesies yang lain sangat rendah. Interaksi masyarakat dengan
Felidae sangat jarang terjadi, kecuali kucing congkok yang pernah dilihat
langsung oleh masyarakat, lima spesies yang lain tidak pernah. Yang menarik dari

Universitas Indonesia
108

penelitian ini adalah, meskipun pengetahuan, interaksi dan sosial budaya


masyarakat terhadap Felidae rendah tetapi sikap mereka positif. Ini berbeda
dengan penelitian Lescuerex et al. (2012) pada lyxn. Dalam penelitian tersebut,
meskipun pengetahuan dan interaksi masyarakat dengan lynx rendah, sikap
mereka terhadap lynx negatif. Sikap negatif ini menurut Lescurex et al. (2012)
karena pengetahuan masyarakat terhadap lynx lebih banyak berasal dari mitos dan
rumor. Dalam masyarakat Macedonia, lynx dianggap hewan penghisap darah
yang dapat menyerang manusia dari atas pohon. Mitos dan rumor ini membangun
persepsi dalam masyarakat bahwa lynx hewan yang berbahaya dan menimbulkan
sikap negatif. Di TNWK, mitos atau rumor yang bersifat negatif terhadap Felidae
tidak ditemukan, sebaliknya justru mitos positif yang berkaitan dengan harimau
sebagai simbol kekuatan dan dianggap penjaga desa. Diduga faktor interaksi
positif antara masyarakat dengan kucing merupakan faktor utama yang
menyebabkan sikap positif masyarakat terhadap Felidae. Selama dua puluh tahun
terakhir tidak ada masyarakat atau hewan ternak yang diserang oleh Felidae.
Menurut Roskaft et al. (2007) dan Hudenko (2012), pengalaman menyenangkan
bertemu dengan satwa liar merupakan alasan penting munculnya sikap positif
pada diri seseorang.
Dalam penelitian ini, sikap pria terhadap konservas Felidae lebih positif
daripada wanita. Pada literatur, pengaruh gender dalam sikap terhadap satwa liar
cenderung dijelaskan bervasiasi. Tingkat kesukaan pria terhadap spesies hewan
lebih tinggi daripada wanita (Kaltenborn et al., 2006). Pria juga lebih menyukai
spesies predator daripada wanita (Roskaft et al., 2007; Schlegel & Rupf, 2010;
Kleiven et al., 2004). Wanita cenderung lebih menyukai spesies yang
menyenangkan (lovable species) and tidak menyukai spesies yang menakutkan
(fearsome spesies) (Schlegel & Rupf, 2010). Laki-laki cenderung mempunyai
sikap yang lebih positif terhadaap konservasi dibanding wanita (Roskaft et al.,
2007). Sikap laki-laki terhadap konservasi Felidae dalam penelitian ini diduga
karena peran dan pengalaman yang berbeda antara laki-laki dan wanita. Laki-laki
lebih menyukai pergi ke hutan, familiar dengan satwaliar dan staf taman nasional,
dan mempunyai pengalaman konflik dengan otoritas taman nasional. Dari
perspektif evolusi, laki-laki umumnya lebih banyak pergi untuk berburu dan

Universitas Indonesia
109

berhasrat untuk mengambil resiko, sedangkan wanita lebih berperan dalam


merawat dan menjaga anak (van Dalum, 2013).
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki sikap positif
terhadap Felidae daripada yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan
berkorelasi dalam banyak kasus dengan sikap positif terhadap satwaliar seperti di
Norwegia (Roskaft et al., 2007), Macedonia (Lescureux et al., 2012), Afrika
(Lagendijk & Gusset, 2008; Kaltenborn et al., 2006), dan Nepal (Allendorf et al.,
2007). Masyarakat yang berpendidikan tinggi secara umum memiliki pemahaman
yang lebih baik terhadap kehidupan dan sikap mereka lebih banyak didasari oleh
pengetahuan daripada perasaan. Sebaliknya, sikap orang yang berpendidikan
rendah lebih didasari pada pengetahuan yang diperoleh melalui transmisi budaya,
tradisi atau mitos (Jacobs et al., 2011; Lescureux et al., 2011). Informasi yang
disampaikan secara kultural mempunyai nilai yang lebih dibandingkan informasi
yang diperoleh dari sekolah (van Dalum, 2011).
Keanekaragaman hayati, satwa liar dan kebudayaan manusia saling terkait
sehingga penurunan keanekaragaman biologi sering berarti kehilangan
keanekaragaman kebudayaan (Gabrialdi & Turner, 2004). Memamahi hubungan
antara pemukiman manusia, ekosistem, perburuan dan pola pertanian merupakan
hal yang mendasar untuk memprediksi viabilitas populasi satwaliar. Sikap positif
terhadap alam dan satwaliar bisa menjadi indikator baik terhadap konservasi.
Sikap positif mengenai spesies tertentu dapat menentukan kelangsungan hidup
spesies tersebut. Konservasi keanekaragaman dapat bekerja dimana masyarakat
memiliki sikap positif terhadap alam. Jika ada satu wilayah yang kaya dengan
keanekaragaman biologi dan masyarakat memiliki sikap positif terhadap alam,
area semacam ini merupakan tempat yang baik untuk dilindungi. Kebudayaan
manusia merupakan komponen krusial dari konservasi alam, satwa liar dan
restorasi (Garibaldi & Turner, 2004). Dimensi sosial dan ekologi dalam
ekosistem telah ber ko-evolusi secara seimbang. Pelindungan satwa liar dan
keanekaragaman hayati oleh masyarakat lokal telah terdokumentasi dengan baik.
Praktik konservasi tradisional pada suku tertentu bukan muncul secara kebetulan
tetapi merupakan hasil interaksi jangka panjang antar organisme secara ekologi.

Universitas Indonesia
110

KESIMPULAN

1. Pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional dan Felidae rendah. Rata-


rata skor pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional adalah 1,86 ±
0,862 (skala 1-6) sedangkan rata-rata skor pengetahuan terhadap Felidae
adalah 1,16 ± 0,41 (skala 1-6). Pengetahuan masyarakat terhadap Felidae
dipengaruhi faktor demografi dan pengalaman mereka terhadap taman
nasional.
2. Secara umum persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae
positif (rata-rata 65,64 ± 8,341dan 64,48 ± 9,98). Beberapa faktor demografi
dan pengalaman terhadap taman nasional mempengaruhi skor persepsi dan
sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae.
3. Persepsi dan sikap positif masyarakat terhadap Felidae diduga karena
masyarakat yakin bahwa Felidae bukan merupakan ancaman bagi mereka.
Keyakinan ini timbul karena berdasarkan interaksi mereka selama ini, Felidae
tidak menimbulkan kerugian bagi mereka secara fisik maupun ekonomi.
4. Upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat
terhadap taman nasional dan satwa liar adalah melalui pendidikan konservasi,
sosialisasi dan kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar dengan
mempertimbangkan karakteristik demografi dan pengalaman masyarakat
terhadap taman nasional.
5. Meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional dan satwa
liar penting karena dua variabel ini dapat mempengaruhi persepsi dan sikap
mereka terhadap taman nasional, satwa liar dan konservasinya.

Universitas Indonesia
111

DAFTAR PUSTAKA

Adiparasetyo, T., Eriyatno, E. Noor & F. Sofyar. 2009. Sikap masyarakat lokal
terhadap konservasi dan taman nasional sebagai pendukung keputusan
dalam pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat: studi kasus di
Kabupaten Kerinci Seblat dan Lebong, Indonesia. Jurnal Bumi Lestari
9(2):173–186.

Alexander, J., P. Chen, P. Damerell, W. Youki, J. Hughes, K. Shi & P. Riordan.


2015. Human wildlife conflict involving large carnivore in Qilianshan,
China and minimal paw-print of snow leopards. Biological Conservation
187: 1–9

Allendorf, T., K.K. Swe, T. Oo, Y. Htut, M. Aung, M. Aung, K. Allendorf, K.


Hayek, P. Leimgruber. & C. Wemmer. 2006. Community attitudes
toward three protected areas in Upper Myanmar (Burma). Environmental
Conservation 33(4): 344–352.

Allendorf, T.D. & K. Allendorf. 2013. Gender and attitudes toward protected
area. Society and Natural Resources. DOI:10.1080/08941920.2012.729295

Allendorf, T.D. & K. Allendorf. 2012. The role of gender in park-people


relationship in Nepal. Human Ecology. DOI: 10.1007/s10745-012-9510-7

Allendorf, T.D., M. Aung & M. Songer. 2013. Using residents’ perceptions to


improve park-people relationships in Chatthin Wildlife Sanctuary,
Myanmar. Journal of Environmental Managment 59: 36–43

Allendorf, T.D., J.L.D. Smith & D.H. Anderson. 2007. Residen’s perceptions of
Royal Bardia National Park, Nepal. Landscape and Urban Planning 82 :
33–40

Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam & A.J. Whitten. 1987. Ekologi Ekosistem
Sumatra. Terj. dari The Ecology of Sumatra, oleh Anwar, J., S.J.
Damanik, N. Hisyam & A.J. Whitten. 1987. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta: xvi + 653 hlm.

Applegate, R.D. 2014. Sciences as a basis for wildlife conservation. Poultry,


Fisheries and Wildlife Sciences 2:e107.doi:10.4172/pfw.1000e107

Bastoni & Apriawan. 1999. Metode monitor satwa liar secara intensif di hutan
hujan tropis dengan remote camera system (Trailmaster). Dalam: Tilson,
R.L. (Ed.). Konservasi dan Manajemen In-situ Dalam Penyelamatan
Harimau Sumetera. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra. Lampung:
16–20.

Universitas Indonesia
112

Biro Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2013. Kabupaten Lampung


Tengah Dalam Angka. BPS. Gunung Sugih. Lampung Tengah.

Biro Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur. 2013. Kabupaten Lampung


Timur Dalam Angka. BPS. Sukadana. Lampung Timur.

Campbell, M.O. 2012. The relevance of age and gender for public attitudes to
brown bears (Ursus arctos), black bears (Ursus americanus) and cougars
(Puma concolor) in Kamloops, British Columbia. Society and Animalia.
DOI: 10.1163/15685306-12341260

Chettri, N., U. Sherchan, S. Chaudhary & B. Shakya (Eds). 2012. Mountain


biodiversity conservation and management: selected examples of good
practices and lessons learned from the Hindu Kush Himalayan region.
ICIMOD Working Paper 2012/2. Khatmandu: 60 hlm.

Ebua, V.B., T.E. Agwafo & S.N. Fonkwo. 2011. Attitudes and perception as
threats to wildlife conservation in the Bakossi area, South West Cameroon.
International Journal of Biodiversity and Conservation 3(12): 631–636

Ericsson, G & T.A. Heberlein. 2003. Attitude of hunters, locals, and the general
public in Sweeden now that the wolves are back. Biological Conservation
111: 149–159

Ferreira, M.N.E. & N.C. Freire. 2009. Commmunity perception of four protected
areas in the nothern portion of the Ceraddo hotspot, Brazil. Environmental
Conservation 36(2): 129–138

Gandiwa, E., P. Zisadza-Gandiwa, N. Muboko, E. Libombo, C. Mashapa & R.


Gwazani. 2014. Local knowledge and perceptions of wildlife conservation
in Southeastern Zimbabwe. Journal of Environmental Protection 5: 475–
481

Garibaldi, A & N. Turner. 2004. Cultural keystone species: implication for


ecological conservation and restoration. Ecology and Society 9(3): 1.
[online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol9/1ss3/art1

Gaveau, D. L. A., H. Wandonoc & F. Setiabudi. 2007. Three decades of


deforestation in southwest Sumatra: have protected areas halted forest loss
and logging, and promoted re-growth? Biological Conservation 134 (4):
495–504.

Geoghegan, T. & Y. Renard. 2002. Beyond community involvement in


protected area planning and management: lessons from the insular
Caribbean. Parks 12(2):16–27

Happold, D.C.D. 1995. The interactions between humans and mammals in Africa
in relation to conservation: a review. Biodiversity and Conservation 4:
395–414.

Universitas Indonesia
113

Hearn, A., J. Sanderson, J. Ross, A. Wilting, & S. Sunarto. 2010. Prionailurus


planiceps. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:18 WIB.

Hearn, A., J. Sanderson, R. Ross, A. Wilting & S. Sunarto. 2008a. Neofelis


diardi. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 07:36 WIB

Hearn, A., J. Sanderson, J. Ross, A. Wilting, S. Sunarto, J.A. Khan, S.


Kukherjee & L. Grassman. 2008b. Pardofelis marmorata. In: IUCN
2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.3.
http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:25 WIB

Huber, M., M. Jungmeier, S. Lange & S. Chaudhary. 2013. Knowledge, park and
cultures transcultural exchange of knowledge in protected area: Case
studies from Austria and Nepal. Proceedings in the Management of
Protected Area Vol 5. Katmandhu: 229 hlm.

Hudenko, H.W. 2012. Exploring the influence of emotion on human decision


making in human-wildlife conflict. Human Dimensions of Wildlife 17: 16–
28

Israel, G. D. 2013. Determining Sample Size. Program Evaluation and


Organizational Development, IFAS, University of Florida. PEOD 6: 1–5

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/


20 Januari 2012, pkl 21:12 WIB.

Jacobs, M.H., J.J. Vaske & J.M. Roemer. 2012. Towards a mental systems
approach to human relationship with wildlife: the role of emotional
dispositions. Human Dimensions of Wildlife 17: 4–15

Jenk, K.E., N. Songsasen, B. Kanchanasaka, P. Leimgruber & T.K. Fuller


2014. Local people’s attitudes and perception of dholes (Cuon alpinus)
around protected area in southeastern Thailand. Tropical Conservation
Science 7(4):765–780

Jim, C.Y. & W. Xu. 2002. Stifled stakeholders and subdued participation:
interpreting local responses toward Shimentai Nature Reserve in South
China. Environmental Management 30(3): 327–341

Kaltenborn, B.P., T. Bjerke, J.W. Nyahongo & D.R. Williams. 2006. Animal
preferences and acceptability of wildlife management actions around
Serengeti National Park, Tanzania. Biodiversity and Conservation 15:
4633–4649

Kellert, S.R. 1994. Public attitudes toward bears and their conservation.
Resources and Management 9: 43–50.

Universitas Indonesia
114

Kinnaird, M. F., E.W. Sanderson, S.J. O'Brien, H.T. Wibisono & G. Woolmer.
2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for
endangered large mammals. Conservation Biology 17(1): 245–257

Kleiven, J., T. Bjerke & B.P. Kaltenborn. 2004. Factor influencing the social
acceptability of large cernivore behaviors. Biodiversity and Conservation
13: 1647–1658

Lagendijk, D.D.G. & M. Gusset. 2008. Human-carnivore coexistence on


communal land bordering the Greater Kruger Area. South Afrika.
Environmental Management 42: 971–976

Lescureux, N. J.D.C. Linnell, S. Mustafa, D. Melovski, A. Stonjanov, G. Ivanov,


V. Avakatov, M. Arx & U. Breitenmoser. 2012. Fear of the unknown:
local knowledge and perceptions of the Euriasian lynx (Lyxn lynx) in
Western Macedonia. Oryx 45: 600–607

Li, L., J. Wang, J. Shi, Y. Wang, W. Liu & X. Xu. 2010. Factors influencing
local people’s attitudes towards wild board in Taohongling Nature Reserve
of Jiangxi Province, China. Procedia Environmental Sciences 2:1846–
1856

Linkie, M., H.T. Wibisono, D.J. Martyr, & S. Sunarto. 2008. Panthera tigris
ssp. sumatrae. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species.
Version 2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 07:54

Lyamuya, R.D., E.H. Mansenga, F.P. Mbise, R.D. Fyumagwa, M.N. Mwita & E.
Roskafth. 2014. Attitudes of Maasai pastoralists towards the conservation
of large carnivores in the Lolindo Game Controlled Area of Northern
Tanzania. International Journal of Biodiversity and Conservation 6(11):
797–805

Mangun, J.C., C.A. Degia & M.A. Davenport. 2009. Neighbors yet strangers:
local people’s of Cypress Creek National Wildlife Refuge, Southern
Illinois, USA. Society and Natural Resources 22:295–307

Microsoft. 2010. Microsoft Excel [computer software]. Redmond, Washington.

Murray, J.V., S.L. Choy, C.A. McAlpine, H.P. Possingham & A.W. Goldizen
2008. The importance of ecological scale for widelife conservation in
naturally fragmented environments: A case study of the brush-tailed rock-
wallaby (Petrogale penicillata). Biological Conservation 141: 7–22

Naha, D., Y.V. Jhala, Q. Qureshi, M. Roy & K. Sankar. 2014. Socio-economic
status and perception of fishermen towards resolving human-tiger conflict
around Sundarban Tiger Reserve, India. Journal Scientific Transactions in
Environment and Technovation 8(2): 84–91

Universitas Indonesia
115

Nowel, K. 2009. Cats on the 2009 Red List of Threatened Species. CAT news.
Autumn 51: 32–33

Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Gland Switzerland: xxiv +
383 hlm.

Nyhus, P.J & R. Tilson. 2004. Characterizing human-tiger conflict in Sumatra,


Indonesia: implication for conservation. Oryx 38(1): 68–74

Nyhus, P.J. 1999. Elephants, tigers and transmigrants: conflict and conservation
at Way Kambas National Park, Sumatra, Indonesia. Thesis. University of
Wisconsin. Madison. USA.

Nyhus, P.J., R. Tilson & Sumianto. 2000. Crop-raiding elephants and


conservation implication at Way Kambas National Park, Sumatra,
Indonesia. Oryx 34(4): 262–274

Olomi-Sola, M., F.Z. Rodriguez & M. Trigueoro-Mas. 2012. Local resident’s


knowledge about protected area: a case study in Dandeli Wildlife
Sanctuary, India. Society and Natural Resources 25: 410–420

Ormsby, A. & B.A. Kaplin, B.A. 2005. A framework for understanding


community resident perceptions of Masoala National Park, Madagascar.
Environmental Conservation 32(2): 156–164.

PHPA. 1995. Way Kambas National Park Management Plant 1994-2019 Volume
II: Data Projections and Analysis. Word Bank, Loan No.3423-IND. Bogor:
xx + 245 hlm.

Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
landscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217

Ramakrishnan, P.S. 2007. Traditional forest knowledge and sustainable forestry:


a North-East India perspective. Forest Ecology and Management 249: 91–
99.

Reed, J.M. 2002. Animal behavior as a tool in concervation biology. Dalam:


Aguirre, A.A., R.S. Ostfeld, G.M. Tabor, C. House & M.C. Pearl. (Eds).
2002. Conservation medicine: Ecological health in practice. Oxford
University Press. Oxford: 145-163.

Roskaft, E. B. Handel, T. Bjerke & B.P. Kaltenborn. 2007. Human attitudes


towards large carnivore in Norway. Wildlife Biology 13 (2): 172–185

Sanderson, J., S. Sunarto, A. Wilting, C. Driscoll, R. Lorica, J. Ross, A. Hearn,


S. Mujkherjee, J.A. Khan, B. Habib & L. Grassman. 2008a. Prionailurus

Universitas Indonesia
116

bengalensis. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species.


Version 2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:27
WIB.

Sanderson, J., S. Mukherjee, A. Wilting, S. Sunarto, A. Hearn, J. Ross, & J.A.


Khan. 2008b. Pardofelis temminckii. In: IUCN 2010. IUCN Red List of
Threatened Species. Version 2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21
Oktober 2010, pkl. 07:41 WIB.

Schlegel, J & R. Rupf. 2009. Attitudes towards potential animal flagship species
in nature conservation: a survey among students of different educational
institutions. Journal of Nature Conservation 18: 278–290

Shelley, V., A. Treves & L. Naughton. 2011. Attitudes to wolve and wolf policy
among Ojibwe tribal members and non-tribal resident of Winconsin’s
Wolf Range. Human Dimentions of Wildlife 16: 397–413

Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–6.

Silori, C.S. 2007. Perception of local people towards conservation of forest


resources in Nanda Devi Biosphere Reserve, north-western Himalaya,
India. Biodiversity Conservation 16: 211–222

Singh, K. 2007. Quantitative Sosial Research Methods. Sage Publications India


Pvt. Ltd. New Delhi: 353 hlm.

Sogbohossou, E.A., G.R.de Snoo, H.H. de Longh & B. Sinsin. 2011.


Conservation of carnivore species in West Africa: Knowledge and
perceptions of local people towards human-carnivore conflicts in Penjari
Biosphere Reserve-Benin. Dalam: Sogbohossou, E.A. 2011. Ecology of
lion (Panthera leo Linnaeus 1975) populations and human-lion conflicts in
Pendjari Biosphere Reserves, North Benin. Thesis. University of Leiden:
59-87.

SPSS Inc. Released 2007. SPSS for Windows, Version 16.0. Chicago, SPSS Inc.

Sunarto, S., M.J. Kelly, K. Parakkasi & M.B. Hutajulu. 2015. Cat coexistence in
central Sumatra: ecological characteristics, spatial and temporal overlap,
and implications for management. Journal of Zoology 296(2): 104–115

Takon, T.J., A. Titus & O.E. Daniel. 2013. Assesment of local people attitude
towards natural resources conservation in Boki Local Goverment Area
Cross River State, Nigeria. Research Journal in Organizational Psyhology
and Educational Studies 2(2): 60–66

Universitas Indonesia
117

Tessema, M.E., Z.T. Ashenafi, R.J. Lilieholm & N. Leader-Williams. 2007.


Community attitudes toward wildlife conservation in Ethiopia.
Proceedings of the 2007 George Wright Society Conference: 287–292.

van Dalum, M. 2013. Attitude change towards wildlife conservation and the role
of environmental education. Thesis. Utrecht University. Netherlands.

Vodouhe, F. O., A. Coulibaly, Adegbidi & B. Sinsin. 2010. Community


perception of biodiversity conservation within protected areas in Benin.
Forest Policy and Economics 12: 505–512.

Weladji, R., S. Moe, & P. Vedeld. 2003. Stakeholder attitudes wildlife policy and
Bénoué Wildlife Conservation Area, North Cameroon. Environmental
Conservation 30: 334–343.

Universitas Indonesia
118

Lampiran 3.1. Kuesioner yang digunakan dalam survei rumah tangga

KUESIONER PENELITIAN

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL TERHADAP KONSERVASI


FELIDAE (CARNIVORA: FELIDAE) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS, LAMPUNG

Selamat pagi/siang/sore. Nama saya___________dari______________kami sedang melakukan penelitian


tentang sikap, pengetahuan dan perilaku manusia dan hubungan antara manusia dengan satwa khususnya
Felidae di sekitar Taman Nasional Way Kambas. Penelitian merupakan bagian dari penelitian program
dokotor (S3) a.n. Agus Subagyo di Universitas Indonesia bekerjasama dengan Penyelamatan dan Konservasi
Harimau Sumatra (PKHS). Kami datang ke rumah Bapak/Ibu/Saudara yang kebetulan terpilih secara acak.
Kami mohon bantuan Bapak/Ibu/Saudara menjawab beberapa pertanyaan kami dengan jujur dan
terbuka. Data dan informasi yang kami dapat dari Bapak/Ibu/Saudara dijamin kerahasiaanya dan hanya
digunakan untuk tujuan penelitian ini.

- - - - -
Kec. Desa Dusun Tgl Bln Th No
Nomor Entri Data
Kecamatan :
Desa :
Dusun :
Pewawancara :
Waktu wawancara : Mulai : Selesai :
Input Data : : - : -

A. INFORMASI DASAR

1. Siapa nama Saudara :........................................................[optional]


2. Usia Saudara:.........................th
3. Status Saudara di keluarga ?
a. Kepala keluarga
b. Isteri
c. Anak
d. Lainnya, sebutkan :.....................................................
4. a. Sejak tahun berapa Saudara tinggal di desa ini ?: tahun
b. Alasan mengapa tinggal di desa ini:
1. Lahir disini
2. Ikut orang tua
3. Transmigrasi
4.Lainnya (sebutkan):...........................................

Universitas Indonesia
119

5. a. Sejak tahun berapa Saudara tinggal di Lampung ? : tahun


b. Alasan mengapa tinggal di lampung ?
1. Lahir disini
2. Ikut orang tua
3. Transmigrasi
4. Lainnya (sebutkan):............................................
6. Daerah asal Saudara (pulau dan propinsi)
Saudara :.........................................
Bapak Saudara :.........................................
Ibu Saudara :.........................................
7. Apakah status perkawinan Saudara ?
a. Belum menikah
b. Menikah
c. Janda/Duda
8. Jika sudah menikah, jumlah anak saudara berapa ? ⃝
9. Apa agama Saudara ?
a. Islam
b. Katolik
c. Protestan
d. Hindu
e. Budha
f. Lainnya, sebutkan:...............................
10. Pendidikan tertinggi yang diselesaikan :
a. Tidak sekolah
b. Tidak tamat SD
c. SD atau sederajat
d. Sekolah Menegah Pertama (SMP) atau sederajat
e. Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat
f. Universitas
g. Lainnya,sebutkan:...............................
11. a. Apakah di desa ini Saudara punya jabatan ? : ⃝ Ya ⃝ Tidak
b. Jika ya, sebutkan :..............................................
12. Apakah pekerjaan tetap Saudara ? Sebutkan:.................................................

13. a. Disamping pekerjaan tetap tersebut, apakah Saudara mempunyai pekerjaan sampingan ?
⃝ Ya ⃝ Tidak
b. Jika ya, sebutkan:.................................
B. PENGALAMAN DAN PENGETAHUAN TERHADAP TAMAN NASIONAL WAY
KAMBAS (TNWK)
1. Menurut Saudara, apa nama lengkap hutan suaka yang berbatasan dengan desa Saudara ?
a. Sebutkan :........................................................................................................................................
b. Tidak tahu
2. Menurut Saudara, apakah yang dimaksud dengan Taman Nasional Way Kambas ?
a. Pusat Latihan Gajah (PLG)/Pusat Konservasi Gajah (PKG) saja
b. Seluruh wilayah hutan Way Kambas Saja
c. PLG dan seluruh hutan Way Kambas
d. Tidak tahu
3. Menurut Saudara, kira-kira tahun berapa TNWK ditetapkan ?
a.Tahun :............................. b. Tidak tahu
4. Menurut perkiraan saudara, berapa luas areal TNWK ?
a. ..................ha b. Tidak tahu

Universitas Indonesia
120

5. Menurut Saudara, batas TNWK dengan lahan penduduk:


a. Sangat jelas
b. Jelas
c. Kurang jelas
d. Tidak jelas
e. Tidak tahu
6. Menurut Saudara siapa yang memiliki TNWK ?
a. Pemerintah
b. Pemburu
c. Penduduk lokal
d. Turis
e. Lainnya, sebutkan:.........................................................
7. Apakah saudara pernah masuk ke dalam Taman Nasional Way Kambas ? ⃝ Ya ⃝ Tidak,
[Jika tidak lanjut ke no 8]
a. Pusat Latihan Gajah (PLG)
b. Suaka Rhino Sumatra (SRS)
c. Way Kanan
d. Hutan
e. Lainnya sebutkan,....................................
8. Tujuan Saudara masuk ke TNWK tersebut (no 21) apa ?
a. Rekreasi
b. Bekerja di dalam TNWK
c. Memancing ikan
d. Berburu
e. Mencari rumput
f. Mencari kayu
g. Lainnya, sebutkan.......
9. Apakah Saudara pernah mengikuti kegiatan penyuluhan tentang hutan TNWK atau hal lain
berkaitan dengan konservasi? ⃝ Ya ⃝ Tidak,
[Jika ya lanjut ke no 9, jika tidak lanjut ke no 13]
10. Berpa kali Saudara pernah mengikuti kegiatan penyuluhan tersebut ?
a. 1 kali
b. 2 kali
c. 3 kali
d. > 3 kali
11. Kapan terakhir kali Saudara mengikuti kegiatan penyuluhan tersebut ?
a. Kurang dari satu tahun yang lalu
b. Satu tahun yang lalu
c. Dua tahun yang lalu
d. Tiga tahun yang lalu
e. Lebih dari tiga tahun yang lalu
12. Dimana kegiatan penyuluhan tersebut biasanya diadakan?
a. Kantor TNWK
b. Pusat Latihan Gajah
c. Balai desa
d. Lapangan desa
e. Sekolah
f. Lainnya, sebutkan.................
13. Siapa yang memberikan penyuluhan ?
a. Petugas TNWK
b. Pegawai Kecamatan
c. Dinas Kehutanan Kabupaten
d. Kepala desa
e. Sekolah
f. Universitas
g. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
h. Lainnya, sebutkan......................
14. Dalam satu tahun terakhir, apakah Saudara/lahan pertanian Saudara pernah diganggu oleh satwa-
satwa yang ada di TNWK ?
⃝ Ya ⃝ Tidak,

15. Apakah bentuk gangguan satwa tersebut ?


a. Serangan gajah terhadap lahan pertanian
b. Serangan babi hutan terhadap lahan pertanian

Universitas Indonesia
121

c. Serangan harimau terhadap ternak


d. Serangan harimau terhadap manusia
e. Serangan jenis Felidae lain terhadap ternak
f. Serangan jenis Felidae terhadap manusia
g. Lainnya, sebutkan................................................
C. PENGETAHUAN/PEMAHAMAN TENTANG FELIDAE
Mohon pertanyaan-pertanyaan mengenai satwa serta konservasi berikut ini dijawab sebisanya.
Beberapa pertanyaaan ada yang sulit. Jika tidak tahu, katakan saja “tidak tahu”

1. Menurut Saudara, apa yang dimaksud dengan Felidae ? ⃝ Tidak tahu ⃝ Tahu
Felidae/kucing alas
adalah:..............................................................................................................................
2. Apakah Saudara tahu dengan harimau ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
3. Apakah Saudara tahu dengan macan dahan ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
4. Apakah Saudara tahu dengan kucing emas ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
5. Apakah Saudara tahu dengan kucing batu ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
6. Apakah Saudara tahu dengan macan akar ? ⃝ Ya ⃝ Tidak
7. Apakah Saudara tahu dengan kucing pesek ? ⃝ Ya ⃝ Tidak

Untuk pertanyaan no 8 – 13 isilah tabel berikut [tunjukkan lembar gambar 1]

Pernaha lihat
Ada di TNWK ?
langsung ? Lihat
Gbr Nama Binatang
ya tdk ? ya tdk ? Dimana ?
1 2 3 1 2 3
8. A ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
9. B ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
10. C ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
11. D ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
12. E ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
13. F ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝

Untuk pertanyaan no 14 – 23 isilah tabel berikut [Tunjukkan lembar gambar 2]:

Ada di TNWK ? Pernah lihat ?


Lihat
Gbr Nama Binatang ya tdk ? ya tdk ?
dimana ?
1 2 3 1 2 3
14. A ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
15. B ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
16. C ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
17. D ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
18. E ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
19. F ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
20. G ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
21. H ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
22. I ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝
23. J ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝ ⃝

Universitas Indonesia
122

D. SIKAP TERHADAP KONSERVASI FELIDAE


Mohon tunjukkan pendapat atau tanggapan Saudara terhadap pernyataan-pernyataan berikut ini dengan
menyatakan Sangat Tidak Setuju, Sangat Setuju, Ragu-ragu, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju.
Saudara tidak perlu menjelaskan alasan mengapa memilih jawaban tersebut.

Sangat
Tidak Ragu Sanagt
No Pernyataan Tidak
Setuju -ragu
Setuju
Setuju
Setuju
1. Felidae perlu dilindungi dan dilestarikan karena menjaga
hutan hutan suaka way kambas tetap sehat ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
2. Felidae yang berada di dalam maupun di luar hutan suaka
way kambas perlu dibiarkan hidup ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
3. Masyarakat boleh memburu Felidae yang masuk ke
pemukiman penduduk/desa. ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
4. Jika Felidae mengancam keselamatan penduduk atau
hewan ternak, harus segera dibunuh ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
5. Felidae dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kepentingan pengobatan. ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
6. Masyarakat boleh menangkap dan memelihara Felidae
yang masuk ke desa/pemukiman penduduk. ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
7. Pengelola hutan suaka way kambas perlu melibatkan
masyarakat dalam menjaga kelestarian Felidae ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
8. Melindungi Felidae tidak penting karena hanya
membuang-buang biaya saja ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
9. Kelestarian Felidae di hutan suaka way kambas menjadi
tanggung jawab sepenuhnya pengelola hutan suaka way ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
kambas.
10. Kelestarian Felidae di juga menjadi tanggung jawab
masyarakat sekitar. ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
D. PERSEPSI TERHADAP FELIDAE
Mohon tunjukkan pendapat atau tanggapan Saudara terhadap pernyataan-pernyataan berikut ini dengan
menyatakan Sangat Tidak Setuju STS, Sangat Setuju, Ragu-ragu, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju.
Saudara tidak perlu menjelaskan alasan mengapa memilih jawaban tersebut.

Sangat Tidak Ragu Setuju Sangat


No Pernyataan Tidak Setuju ragu Setuju
Setuju
1. Felidae berbahaya bagi keselamatan masyarakat sekitar ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
2. Felidae menjaga hutan suaka way kambas tetap sehat ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
3. Felidae hewan yang menarik dan indah ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
4. Felidae bisa dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝4 ⃝3
5. Felidae bagus untuk dijadikan hewan peliharaan ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
6. Felidae berbahaya bagi hewan ternak ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
7. Felidae memiliki warna dan tubuh yang indah ⃝1 ⃝2 ⃝3 ⃝4 ⃝5
8. Felidae membunuh ternak dan menyerang manusia ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
9. Felidae tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitar. ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
10. Felidae mengurangi babi dan tikus di lahan pertanian ⃝5 ⃝4 ⃝3 ⃝2 ⃝1
masyarakat.

Pertanyaan/survei selesai sampai disini, apakah ada pertanyaan khusus Saudara kepada kami ?
Terimakasih sekali lagi atas waktu yang diberikan serta bantuan Saudara menjawab pertanyaan-
pertanyaan di atas.

Universitas Indonesia
123

Lampiran 3.2. Lembar gambar Felidae dalam kuesioner

PKHS Doc. PKHS Doc.


(a) (b)

PKHS Doc. PKHS Doc.

(c) (d)

PKHS Doc. PKHS Doc.

(e) (f)

Universitas Indonesia
124

Lampiran 3.3. Lembar gambar foto spesies mangsa Felidae

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Universitas Indonesia
125

Lampiran 3.3. Lanjutan......

(g) (h)

(i) (j)

Universitas Indonesia
126

Lampiran 3.4. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dan pengalaman


terhadap taman nasional dengan rata-rata pengetahuan responden terhadap taman
nasional (n=395).

Skor
pengetahuan
Faktor Kategori Jumlah SD df 2 1) p-value
terhadap taman
nasional
Jenis kelamin Pria 322 1.92 0,841 1 12.784 0.000**
Wanita 78 1.60 0.909
Umur 0-17 2 1.00 0.000 3 6.546 0.088
18-45 192 1.79 0.818
45-60 176 1.97 0.906
65+ 25 1.76 0.831
Status dalam keluarga Kepala keluarga 306 1,95 0,873 3 18.160 0.000**
Istri 69 1,55 0,758
Anak 18 1,67 0,767
Lainnya 2 1,00 0,000
Lama bermukim di 3
0-16 47 1,64 0,819 11.206 0.011**
Lampung
17-27 69 1,78 0,745
28-38 166 1,82 0,848
39+ 113 2,07 0,933
Alasan bermukim di 3
Lahir disini 168 1,95 0,891 6.128 0.106
Lampung
Ikut orang tua 85 1,74 0,726
Transmigrasi 33 1,58 0,663
Lainnya 109 1,92 0,944
Daerah asal Jawa 149 1,75 0,829 4 7.338 0.119
Sumatra 35 1,77 0,877
Sumatra-Jawa 205 1,95 0,879
Sumatra-Bali 4 2,00 0,816
Lainnya 2 2,50 0,707
Agama Islam 379 1,86 0,864 3 2.822 0.420
Kristen 8 2,12 0,835
Protestan 4 1,50 0,577
Hindu 4 2,25 0,957
Pendidikan Tidak sekolah 15 1,27 0,456 4 43.444 0.000**
Dasar 198 1.72 0,807
Menengah 98 1,84 0,714
Atas 78 2,27 0,989
Tinggi 6 3,33 0,516
Pekerjaan Tani 291 1.85 .0,854 8 20.693 0.008**
Wirausaha 36 1.97 0,845
Nelayan 8 2.12 0,991
Ibu RT 29 1.62 0,820
PNS 5 3.20 0,837
Karyawan 8 2.00 0,926
Buruh 13 1.62 0,650
Guru 3 2.67 0,577
Pelajar 2 1.00 0,000
Status pernikahan Belum menikah 24 1,71 0,690 2 0.817 0.664
Menikah 369 1,88 0,873
Janda/duda 2 1,50 0,707
Jumlah anak 0 30 1,70 0,702 4 5.203 0.267
1 75 1.76 0,803
2 130 2,01 0,976
3 75 1,87 0,741
>3 85 1,79 0,860
Jabatan di desa Ya 65 2,60 1,028 1 45.700 0.000**
Tidak 330 1,72 0,745
Pernah masuk TN Ya 306 1,96 0,886 1 18.723 0.000**
Tidak 89 1,53 0,676
Tujuan masuk Rekreasi 233 1.88 0.885 5 11.607 0.041*
Bekerja 9 2.44 1.014
Memancing ikan 26 2.23 0.652
Berburu 3 2.33 0.577
Mencari rumput 29 2.21 1.013
Mencari kayu 6 1.67 0.516
Ikut kegiatan konservasi Pernah 60 2.53 0.999 1 18.723 0.000**
Tidak pernah 335 1.74 0.778
Gangguan hewan Ya 188 1.95 0.864 1 4.393 0.000**
Tidak 207 1.79 0.855
1)
Analisis ragam satu arah, Kruskal-Wallis pada α=0.05 ; ** p < 0.01 ; * p < 0.05

Universitas Indonesia
127

Lampiran 3.5. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dan pengalaman


terhadap taman nasional dengan rata-rata pengetahuan responden terhadap Felidae
(n=395).
Faktor Kategori Jumlah Rata-rata) SD df 2 p-value
Jenis kelamin Pria 322 1,17 0,414 1 0,194 0,660
Wanita 78 1,14 0,384
Umur 0-17 2 1,00 0,000 3 5,328 0,149
18-45 192 1,21 0,447
45-60 176 1,12 0,374
65+ 25 1,08 0,277
Status di keluarga Kepala keluarga 306 1,17 0,417 3 4,729 0,193
Istri 69 1,16 0,407
Anak 18 1,00 0,000
Lainnya 2 1,16 0,408
Lama di Lampung 0-16 47 1,26 0,488 3 2,908 0,406
17-27 69 1,16 0,441
28-38 166 1,16 0,396
39+ 113 1,13 0,366
Alasan di Lampung Lahir disini 168 1,18 0,414 3 1,168 0,761
Ikut orang tua 85 1,15 0,362
Transmigrasi 33 1,09 0,292
Lainnya 109 1,17 0,402
Daerah asal Jawa 149 1,13 0,373 4 3,003 0,557
Sumatra 35 1,17 0,452
Sumatra-Jawa 205 1,18 0,422
Sumatra-Bali 4 1,25 0.500
Lainnya 2 1,50 0,707
Agama Islam 379 1,16 0,404 3 6,621 0,085
Kristen 8 1,38 0,518
Protestan 4 1,00 0,000
Hindu 4 1,50 0,577
Pendidikan Tidak sekolah 15 0,93 0,458 4 4,726 0,317
Dasar 198 1,17 0,387
Menengah 98 1,17 0,381
Atas 78 1,17 0,439
Tinggi 6 1,33 0,816
Pekerjaan Tani 291 1.18 0,410 8 8,135 0,420
Wirausaha 36 1.19 0,467
Nelayan 8 1.00 0,000
Ibu Rumah Tangga 29 1.07 0,258
PNS 5 1.40 0,894
Karyawan 8 1.00 0,000
Buruh 13 1.00 0,408
Guru 3 1.33 0,577
Pelajar 2 1.00 0,000
Status pernikahan Belum menikah 24 1.08 0,282 2 1,304 0,521
Menikah 369 1.17 0,416
Janda/duda 2 1.00 0,000
Jumlah anak 0 30 1.07 0,254 4 7,083 0,132
1 75 1.23 0,481
2 130 1.21 0,444
3 75 1.13 0,380
>3 85 1.09 0,332
Jabatan di desa Ya 65 1,18 0,464 1 0,002 0,961
Tidak 330 1,16 0,397
Pernah masuk TN Ya 306 1,16 0,415 1 0,415 0,519
Tidak 89 1,18 0,386
Tujuan masuk Rekreasi 233 1,15 0,400 5 8,777 0,118
Bekerja 9 1,67 0,866
Memancing ikan 26 1,15 0,368
Berburu 3 1,33 0,577
Mencari rumput 29 1,10 0,305
Mencari kayu 6 1,00 0,000
Kegiatan konservasi Pernah 60 1,16 0,415 1 0,415 0,519
Tidak pernah 335 1,18 0,386
Gangguan hewan Ya 188 1,16 0,400 1 0,002 0,968
Tidak 207 1,16 0,417
1)
Analisis ragam (ANOVA) satu arah, Kruskal-Wallis pada α=0.05.
2)
Skor pengetahuan adalah total jumlah pertanyaan benar dari enam butir pertanyaan terkait dengan TNWK dalam kuesioner.
** p < 0.01
* p < 0.05

Universitas Indonesia
128

Lampiran 3.6. Tabel hubungan karakteristik demografi dan pengalaman


masyarakat terhadap taman nasional dengan persepsi mereka terhadap Felidae
(n=395).

Rata-rata
Faktor Kategori Jumlah SD df 2 p-value
skor persepsi)
Jenis kelamin Pria 322 66.23 8.517 1 8,519 0,004**
Wanita 78 63.04 6.993
Umur 0-17 2 66.00 8.485 3 0.208 0,976
18-45 192 65.81 8.339
45-60 176 65.48 8.576
65+ 25 65.44 6.989
Status di keluarga Kepala keluarga 306 66.25 8.438 3 9,330 0,025*
Istri 69 63.22 7.302
Anak 18 65.33 9.255
Lainnya 2 59.00 1.414
Lama di Lampung 0-16 47 64.43 6.685 3 2,021 0,568
17-27 69 65.28 8.938
28-38 166 66.34 8.688
39+ 113 65.35 8.073
Alasan di Lampung Lahir disini 168 66.27 8.513 3 2,833 0,418
Ikut orang tua 85 64.40 8.490
Transmigrasi 33 64.67 6.158
Lainnya 109 65.93 8.498
Daerah asal Jawa 149 64.64 7.967 4 3,519 0,475
Sumatra 35 65.49 8.136
Sumatra-Jawa 205 66.36 8.513
Sumatra-Bali 4 68.50 15.000
Lainnya 2 63.00 1.414
Agama Islam 379 65.54 8.222 3 3,448 0,328
Kristen 8 64.75 10.951
Protestan 4 70.00 6.928
Hindu 4 72.50 14.083
Pendidikan Tidak sekolah 15 62.13 5.878 4 35,782 0,000**
Dasar 198 63.99 7.904
Menengah 98 65.43 7.668
Atas 78 69.92 8.717
Tinggi 6 76.67 5.888
Pekerjaan Tani 291 64.85 8.156 8 31,875 0,000**
Wirausaha 36 69.39 8.496
Nelayan 8 67.25 6.840
Ibu Rumah Tangga 29 63.45 6.300
PNS 5 81.60 2.608
Karyawan 8 71.00 10.085
Buruh 13 64.77 6.353
Guru 3 77.33 6.429
Pelajar 2 66.00 8.485
Status pernikahan Belum menikah 24 64.83 10.248 2 2,004 0,367
Menikah 369 65.72 8.226
Janda/duda 2 60.00 2.828
Jumlah anak 0 30 64.60 8.854 5 4,172 0,383
1 75 66.00 8.101
2 130 66.82 8.947
3 75 64.85 8.293
>3 85 64.59 7.321
Jabatan di desa Ya 65 69.85 8.532 1 19,112 0,000**
Tidak 330 64.81 8.060
Pernah masuk TNWK Ya 306 66,28 8,613 1 6,754 0,009**
Tidak 89 63,44 6,928
Tujuan masuk TNWK Rekreasi 233 66,09 8,441 5 4,830 0,437
Bekerja 9 70,44 10,899
Memancing ikan 26 67,15 9,177
Berburu 3 70,00 10,392
Mencari rumput 30 66,33 8,727
Mencari kayu 6 60,40 7,403
Kegiataan konservasi Pernah 60 66,28 8,613 1 6,754 0,000**
Tidak pernah 335 63,44 6,928
Gangguan hewan Ya 188 66,27 8,570 1 1,838 0,175
Tidak 207 65,07 8,105
1) **
Analisis ragam satu arah, Kruskal-Wallis pada α=0.05. p < 0.01 * p < 0.05

Universitas Indonesia
129

Lampiran 3.7. Tabel hubungan antara karakteristik demografi dengan sikap


responden terhadap konservasi Felidae (n=395).

Faktor Kategori Jumlah Sikap) SD df 2 p-value


Jenis kelamin Pria 322 65.14 10.139 1 6,241 0,012*
Wanita 78 61.56 8.713
Umur 0-17 2 68.00 2.828 3 3,545 0,315
18-45 192 65.17 9.466
45-60 176 63.73 10.742
65+ 25 64.16 8.385
Status di keluarga Kepala keluarga 306 65.14 10.133 3 6,872 0,076
Istri 69 61.45 8.690
Anak 18 65.11 10.632
Lainnya 2 61.00 7.071
Lama di Lampung 0-16 47 63.28 10.725 3 2,323 0,508
17-27 69 65.42 9.413
28-38 166 64.67 9.323
39+ 113 64.11 10.944
Alasan di Lampung Lahir disini 168 65.30 9.893 3 3,812 0,283
Ikut orang tua 85 62.82 9.553
Transmigrasi 33 63.70 7.667
Lainnya 109 64.73 10.953
Daerah asal Jawa 149 62.83 9.393 4 10,876 0,028*
Sumatra 35 66.80 9.728
Sumatra-Jawa 205 65.01 10.184
Sumatra-Bali 4 69.50 11.475
Lainnya 2 81.00 9.899
Agama Islam 379 64.41 10.000 3 1,528 0,676
Kristen 8 68.50 11.045
Protestan 4 61.00 6.633
Hindu 4 66.00 9.092
Pendidikan Tidak sekolah 15 56.53 7.577 4 64,456 0,000**
Dasar 198 61.79 8.457
Menengah 98 64.80 8.906
Atas 78 71.28 10.878
Tinggi 6 79.33 6.282
Pekerjaan Tani 291 63.41 9.400 8 38,112 0,000**
Wirausaha 36 68.17 11.685
Nelayan 8 69.25 12.326
Ibu Rumah Tangga 29 61.79 7.752
PNS 5 82.80 4.817
Karyawan 8 75.00 8.751
Buruh 13 64.15 9.677
Guru 3 77.33 2.309
Pelajar 2 68.00 2.828
Status pernikahan Belum menikah 24 65.75 9.162 2 2,219 0,330
Menikah 369 64.44 10.024
Janda/duda 2 55.00 9.899
Jumlah anak 0 30 63.33 10.587 4 4,239 0,375
1 75 65.89 9.956
2 130 65.38 10.763
3 75 63.65 9.689
>3 85 62.96 8.595
Jabatan di desa Ya 65 71.54 11.157 1 30,036 0,000**
Tidak 330 63.08 9.122
Pernah masuk TNWK Ya 306 64.94 10.093 1 2,094 0,148
Tidak 89 62.88 9.448
Tujuan masuk TNWK Rekreasi 233 64.51 9.835 5 8,998 0,109
Bekerja 9 73.11 11.837
Memancing ikan 26 66.62 10.534
Berburu 3 67.33 2.309
Mencari rumput 30 65.40 11.156
Mencari kayu 6 57.60 5.177
Kegiatan konservasi Pernah 60 64.94 10.093 1 2,094 0,148
Tidak pernah 335 62.88 9.448
Gangguan hewan Ya 188 65.84 9.287 1 7,557 0,006**
Tidak 207 63.24 10.434
1)
Analisis ragam (ANOVA) satu arah, Kruskal-Wallis pada α=0.05.
**
p < 0.01
*
p < 0.05

Universitas Indonesia
DISKUSI PARIPURNA

Ekologi Felidae di Taman Nasional Way Kambas


Felidae mengalami penurunan populasi di seluruh daerah penyebarannya
termasuk di Sumatra. Perburuan liar, fragmentasi dan kehilangan habitat
merupakan ancaman utama terhadap kelestarian Felidae di habitat alaminya.
Berdasarkan sejumlah penelitian, Sumatra memiliki enam spesies Felidae yaitu
harimau sumatra, macan dahan, kucing emas, kucing batu, kucing congkok dan
kucing pesek (Bastoni & Apriawan, 1997; Wibisono & McCarthy, 2010;
Pusparini et al., 2014; McCarthy et al., 2015; Sunarto et al., 2015). Meski
demikian, sampai saat ini kecuali harimau sumatra, inisiatif konservasi terhadap
Felidae sangat terbatas karena secara umum pengetahuan terhadap status populasi
dan distribusi spesies-spesies ini masih sedikit (McCarthy et al., 2015).
Taman Nasional Way Kambas merupakan salah satu habitat penting
Felidae di Sumatra. Pemasangan perangkap kamera pada tahun 1996
menunjukkan di taman nasional ini dapat dijumpai enam spesies Felidae (Bastoni
& Apriawan, 1997). Namun demikian, kecuali harimau sumatra yang telah
menjadi spesies prioritas konservasi secara nasional, perhatian konservasi
terhadap lima spesies Felidae lain masih sangat kurang. Penelitian yang pernah
dilakukan terhadap Felidae di taman nasional ini terfokus pada satu spesies yaitu
harimau sumatra (Franklin et al., 1999; Sriyanto, 2000; Rustiati et al. 2008).
Penelitian ini merupakan penelitian pertama di taman nasional ini yang
mempelajari ekologi Felidae pada tingkat komunitas.
Keanekaragaman spesies Felidae saat ini lebih rendah dibandingkan
dengan akumulasi survei yang pernah dilakukan sebelumnya (Bastoni &
Apriawan, 1997) dan sejumlah penelitian lain di Sumatra (Sunarto et al., 2015;
McCarthy et al., 2015; PKHS, 2015; Pusparini et al., 2014). Hanya ditemukan
empat spesies Felidae dari enam spesies yang pernah dilaporkan sebelumnya yaitu
harimau sumatra, macan dahan, kucing batu dan kucing congkok. Dua spesies
Felidae yang tidak dapat ditemukan adalah kucing emas dan kucing pesek. Kedua
spesies ini tidak ditemukan dalam penelitian ini diduga berkaitan dengan faktor
keterbatasan sampling dan perangkap kamera (Azlan, 2009; Azlan & Sharma,

Universitas Indonesia
131

2006; Gray & Phan, 2011), kepadatan dan perilaku (Sunarto et al., 2015 ), dan
karakteristik habitat (Azlan et al., 2003; Wilting et al., 2010 ).
Peluang keberadaan kucing pesek masih cukup tinggi berdasarkan
informasi dari penduduk yang pernah melihat secara langsung kucing ini (Wayan
Sadi & Komarudin, 2015, komunikasi pribadi ). Informasi dari kedua penduduk
ini kemungkinan besar benar karena mereka dapat menyebutkan ciri-ciri kucing
ini secara tepat sebelum melihat foto yang ditunjukkan kepada mereka. Meskipun
demikian, masih perlu dilakukan survei atau pemasangan perangkap kamera pada
skala yang lebih sempit sesuai dengan karakteristik habitat kucing pesek
berdasarkan informasi tersebut dan informasi hasil penelitian di Kalimantan
(Azlan & Sharma, 2006; Wadey et al., 2014). Kemungkinan kucing emas
ditemukan kembali di taman nasional ini kecil karena dua alasan. Pertama,
berdasarkan beberapa hasil penelitian di Sumatra, kucing ini lebih umum
ditemukan di daerah perbukitan pada ketinggian diatas 200 m dpl. (Wibisono &
McCarthy, 2010; Sunarto et al., 2015; McCarthy et al., 2015; Pusparini et al.,
2014). Pada dataran rendah (Kampar, Kerumutan dan Tesso Nilo) di bawah 100 m
dpl. Sunarto et al. (2015) tidak menemukan kucing ini. Topografi TNWK datar
dengan ketinggian maksimal 52 m dpl., diduga bukan merupakan habitat terbaik
bagi kucing emas. Kedua, diduga kucing emas kalah bersaing dengan harimau
sumatra dan macan dahan, karena spesies ini tidak memiliki kemampuan untuk
memanjat, sementara itu variasi topografi relatif seragam. Di daerah perbukitan,
kucing emas menempati daerah tertinggi untuk menghindari kompetisi dengan
harimau dan macan dahan (Sunarto et al., 2015).
Berdasarkan Indek Kelimpahan Relatif (IKR), harimau sumatra dan
kucing congkok lebih lebih sering tertangkap kamera dibanding kucing batu dan
macan dahan. Diduga taman nasional ini merupakan habitat yang lebih sesuai
sebagai habitat hidup harimau sumatra dan kucing congkok daripada macan dahan
dan kucing batu, sehingga kepadatannya lebih tinggi. Ketersediaan mangsa dan
keragaman tipe vegetasi menjadikan taman nasional ini sebagai habitat yang baik
bagi harimau dan kucing congkok. Di seluruh daerah penyebarannya, kucing
congkok paling umum dijumpai (Sanderson et al., 2008a; Jinping, 2010). Kucing
ini bersifat oportunis dalam hal pemilihan habitat, dapat beradaptasi dengan baik

Universitas Indonesia
132

pada habitat yang terganggu (Nowell & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist,
2002) pekarangan dan perkebunan (Rajaratnam et al., 2007; Silmi et al., 2013).
Mangsa utama kucing congkok dari famili Muridae (Grassman. et al., 2005a;
Austin et al., 2007; Rajaratnam et al., 2007) melimpah dan lebih mudah di dapat
pada habitat terganggu (Silmi et al., 2013). Indeks Kelimpahan Relatif harimau
sumatra lebih tinggi karena kucing ini merupakan spesies dominan dari Felidae
yang lain (Povey & Spalding, 2007). Kucing berukuran lebih kecil yang
mempunyai jenis makanan sama dengan harimau (misalnya macan dahan)
cenderung akan menempati relung berbeda misalnya dengan menggunakan daerah
dengan ketinggian yang berbeda atau waktu beraktivitas yang berbeda (Sunarto et
al., 2015). Harimau menyukai jalur yang sudah permanen dan lebar di dalam
hutan (Kawanishi, 2002), menggunakan hampir semua tipe habitat di dalam hutan
dan memiliki jenis mangsa yang beragam. Menurut Ngoprasert et al. (2013),
distribusi Felidae dipengaruhi ketersediaan mangsa dan kompetitor potensial,
sehingga laju perangkap kamera spesies Felidae dapat dipengaruhi oleh
kemampuan mereka beradaptasi terhadap berbagai tipe habitat dan keragaman
spesies mangsa.
Kepadatan macan dahan di Sumatra umumnya lebih rendah daripada di
Kalimantan dan daratan Asia (Hearn et al., 2013), karena macan dahan bersaing
dengan harimau sumatra dalam mendapatkan mangsa dan habitat terbaik (Sunarto
et al., 2015). Hasil penelitian di daratan Asia menunjukkan kepadatan macan
dahan tinggi ketika kepadatan kucing besar rendah (Grassman et al., 2005b;
Cheyne & Macdonald, 2011). Dibandingkan dengan hasil penelitian Sunarto et al.
(2015), dan Cheyne & Macdonald (2011), IKR kamera kucing batu dalam
penelitian ini lebih rendah. Menurut Nowell & Jackson (1996) di Kalimantan dan
Sumatra kucing batu relatif jarang ditemukan karena di seluruh daerah
penyebarannya lebih menyukai hutan perbukitan (Holden, 2001; Grassman et al.,
2004). Kucing batu umumnya berasosiasi dengan hutan basah dan hutan hujan
tropis (Sunquist & Sunquist, 2002), lebih menyukai hutan perbukitan (Holden,
2001; Grassman et al., 2005b).
Dalam penelitian ini harimau Sumatra aktif pada siang dan malam hari
(cathemeral), konsisten dengan literatur (Nowel & Jackson, 1996; Povey &

Universitas Indonesia
133

Spaulding, 2007) dan sejumlah penelitian lain di Sumatra dan Asia Tenggara
(O’Brien et al., 2003; Hutajulu, 2007; Ridout and Linkie, 2009; Linkie &
Ridout, 2011; Lynam et al., 2013; Azlan & Sharma, 2006; Pusparini et al.,
2014; Sunarto et al., 2015; Kawanishi & Sunquist, 2004). Menurut Povey &
Spaulding (2007) harimau merupakan predator dominan di Asia Tenggara.
Mereka biasanya aktif saat malam, menjelang subuh dan menjelang sore, tetapi
bisa aktif kapan saja. Pola aktivitas harimau dipengaruhi oleh kepadatan,
distribusi dan aktivitas satwa mangsa. Kucing batu aktif pada siang dan malam
hari (cathemeral), berbeda dengan literatur yang menyatakan aktif pada malam
hari (Nowel & Jackson, 1996; Sunquist & Sunquist, 2002). Lynam et al. (2013)
di Kalimantan mendapatkan masing-masing 10 dan 4 foto kucing batu pada siang
hari sedangkan Azlan (2009) menemukan hanya tiga dari 17 foto kucing batu
yang didapat antara tahun 2007- 2010 tertangkap kamera pada malam hari. Hasil
penelitian di Sumatra lainnya menunjukkan kucing ini aktif siang dan malam hari
(Sunarto et al., 2015; Pusparini et al., 2014). Diduga pola aktivitas kucing batu ini
merupakan mekanisme mengurangi kompetisi dengan kucing congkok. Kedua
spesies ini memiliki jenis mangsa yang mirip terutama dari Famili Muridae.
Secara temporal tumpang tindih kucing batu dan kucing congkok terendah
dibandingkan dengan harimau sumatra dan macan dahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan kucing congkok lebih banyak aktif pada
malam hari (mostly nocturnal), dengan puncak aktivitas pada pukul 03.00 dan
19.00. Hasil ini seseuai dengan penelitian lain di Sumatra (Sunarto et al., 2015;
McCarthy et al., 2015 dan Pusparini et al. 2014), di Thailand (Lynam et al., 2013)
dan di Semenanjung Malaysia (Azlan & Sharma, 2006). Pola ini berkorelasi
dengan aktivitas mangsa utama kucing congkok yang sebagian besar bersifat
nokturnal (Austin et al., 2007; Rajaratnam et al., 2007). Aktivitas macan dahan
bersifat mostly nocturnal (sebagian besar malam hari), sesuai dengan literatur
(Nowel & Jackson, 1996) dan penelitian lain di Sumatra (Sunarto et al., 2015;
Hutajulu, 2007) dan Borneo (Hearn et al., 2013), tetapi berbeda dengan Pusparini
et al. (2014), McCarthy et al. (2015), dan Ridout & Linkie (2009) yang
menyatakan aktif siang dan malam hari (cathemeral). Secara temporal tumpang
tindih aktivitas macan dahan dan harimau sumatra cukup tinggi, tetapi rendah

Universitas Indonesia
134

dengan kucing batu. Diduga macan dahan menghindari persaingan dengan


harimau sumatra melalui aktivitas di atas pohon (arboreal) bukan pemisahan
waktu beraktivitas.
Tumpang tindih temporal spesies Felidae yang memiliki ukuran tubuh
hampir sama atau ukuran mangsa hampir sama dalam penelitian ini rendah,
menunjukkan kedua spesies cenderung saling menghindar secara temporal.
Misalnya antara macan kucing batu dengan kucing congkok yang memiliki
ukuran tubuh hampir dan spesies mangsa hampir sama, memiliki tumpang tindih
temporal relatif rendah. Begitupula spesies yang mempunyai relung ekologi sama
seperti kucing batu dan macan dahan (keduanya pemanjat yang baik atau bersifat
arboreal) memperlihatkan tumpang tindih temporal yang relatif rendah. Kucing
batu dipercaya sebagian besar atau sebagian bersifat arboreal dan mempunyai
kemampuan memanjat sangat baik (Azlan, 2009), perilaku ini dapat meningkatkan
pemisahan relung ekologi dengan spesies Felidae kompetitor yaitu kucing
congkok dan spesies Felidae terestrial yang lain (harimau dan kucing emas). Di
Thailand, kucing batu menunjukkan tumpang tindih yang rendah dengan kucing
congkok dan macan dahan dan lebih moderat dengan macan tutul dan harimau
(Lynam et al., 2013).

Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Felidae


Konservasi satwa liar, khususnya karnivora besar lebih banyak berkaitan
dengan bagaimana mengelola manusia daripada mengelola satwa liar itu sendiri.
Menurut Treves & Karanth (2003), keberhasilan strategi konservasi karnivora
tergantung pada toleransi sosial-politik lansekap dan kesesuaian kondisi ekologi,
karena manusia penyebab utama kematian dan sebagian besar kepunahan
karnivora di seluruh dunia saat ini. Dukungan penduduk lokal sangat penting
terhadap keberhasilan konservasi satwa liar. Menurut Mehta & Heinen (2001),
melibatkan pendapat masyarakat dalam pengambilan keputusan pengelolaan
satwa liar merupakan langkah awal untuk mencapai ko-eksistensi manusia dan
satwa liar. Sikap positif terhadap satwa liar dan konservasi merupakan hal
mendasar yang penting untuk upaya-upaya konservasi selanjutnya.

Universitas Indonesia
135

Penelitian ini merupakan yang pertama menggunakan metode kuantitatif


mengukur pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap konservasi
Felidae di Taman Nasional Way Kambas. Penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Nyhus (1999) terfokus pada konflik manusia dan satwa liar terutama gajah
dan harimau sumatra. Informasi yang diperoleh dari penelitian seperti ini penting
untuk mendesain program-program yang dapat mempengaruhi persepsi dan sikap
penduduk lokal dalam mendukung konservasi Felidae di taman nasional ini. Isu
ini juga penting mengingat Taman Nasional Way Kambas berada dalam lansekap
yang didominasi oleh manusia. Di sekitar taman nasional terdapat 34 desa dengan
jumlah penduduk pada tahun 2013 mencapai 120.373 jiwa (BPS Kabupaten
Lampung Timur & BPS Kabupaten Lampung Tengah, 2013). Mengelola
penduduk sekitar taman nasional merupakan salah satu kunci keberhasilan
konservasi Felidae dan satwa lain di taman nasional ini. Interaksi yang terjadi
antara masyarakat dan kawasan konservasi dapat berdampak positif maupun
negatif, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap efektifitas pengelolaan
(Ormsby & Kaplin, 2005; Allendorf et al., 2006; Ramakrishnan, 2007; Allendorf
& Allendorf (2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan
pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional selama kurang lebih 16 tahun
terakhir. Rata-rata pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional dan Felidae
rendah, sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Nyhus (1999). Pengetahuan
masyarakat terhadap taman nasional hanya sebatas mengetahui bahwa hutan yang
berbatasan dengan desa mereka merupakan kawasan konservasi, tetapi umumnya
mereka tidak mengetahui nama lengkap kawasan konservasi tersebut, kapan
resmi menjadi taman nasional, berapa luasnya dan bagaimana batas dengan lahan
penduduk dan apa tujuan dan fungsi taman nasional dibentuk. Sebagian besar
masyarakat masih bingung membedakan antara hutan, Pusat Konservasi Gajah
dan taman nasional itu sendiri. Kondisi seperti ini sama dengan beberapa
penelitian yang dilakukan di negara-negara berkembang lain (Jim & Xu, 2002;
Mangun et al., 2009; Ormsby & Kaplin, 2005; Ferreira & Freire, 2009).
Pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional dan manfaat yang dirasakan
dapat mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional

Universitas Indonesia
136

(Ormsby & Kaplin, 2005; Silori, 2007; Geoghehan & Renard, 2002). Rendahnya
pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional diduga karena minimnya
interaksi antara staf taman nasional dengan masyarakat, kurangnya informasi
publik tentang taman nasional dan belum adanya program pendidikan lingkungan
yang direncanakan dengan baik dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional berasosiasi dengan
gender, tingkat pendidikan dan interaksi dengan taman nasional. Seperti di
negara-negara berkembang lainnya, laki-laki memiliki pengetahuan yang lebih
baik daripada wanita (Olomi-Sola, 2012; Allendorf & Allendorf, 2012; Allendorf
& Allendorf, 2013). Perbedaan ini disebabkan perbedaan peran dan fungsi laki-
laki dan wanita pada masyarakat desa. Umumnya laki-laki lebih dominan dalam
masyarakat desa dan lebih banyak berinteraksi dengan taman nasional daripada
wanita (Chettri et al., 2012). Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi
mempunyai pengetahuan lebih baik daripada yang berpendidikan rendah (van
Dalum, 2013).
Jika diurutkan dari spesies yang paling dikenal sampai yang tidak dikenal
oleh masyarakat, harimau sumatra menempati urutan pertama diikuti kucing
congkok, macan dahan, kucing emas. Tidak satu pun responden yang mengenal
kucing batu dan kucing pesek. Harimau dan kucing congkok lebih dikenal karena
kedua spesies ini familiar dalam kehidupan masyarakat. Harimau menjadi spesies
prioritas konservasi di Indonesia, regional maupun global, sehingga publikasi dan
informasi mengenai spesies ini tersebar luas dan mudah di dapat. Sementara itu
kucing congkok dikenal masyarakat sekitar karena masih ada diantara mereka
yang dapat bertemu langsung dengan spesies ini. Kucing congkok masih dapat
ditemukan di ladang atau kebun bahkan di pekarangan. Kadang-kadang kucing
ini memangsa ternak penduduk (ungggas), masyarakat lokal lebih umum
mengenal kucing ini sebagai macan akar. Faktor yang mempengaruhi mengapa
satu spesies lebih dikenal daripada spesies yang lain antara lain: memiliki mitos
tertentu dalam masyarakat, menjadi simbol spiritual dan budaya, bersifat
kharismatik, menjadi spesies bendera (flagship spesies) atau spesies payung
(umbrella species) dalam konservasi, mudah ditemukan dan dilihat secara
langsung maupun tidak langsung (kelimpahan tinggi atau gambar atau videonya

Universitas Indonesia
137

mudah dilihat dan ditemukan). Informasi mengenai empat spesies Felidae yang
lain tidak mudah didapat oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
Pengelola taman nasional sesungguhnya telah memiliki modal penting
dalam upaya konservasi Felidae. Secara umum persepsi dan sikap masyarakat
terhadap konservasi Felidae positif. Sebagaian besar masyarakat lokal
menganggap Felidae bukan merupakan hewan yang mengancam keselamatan
penduduk maupun hewan ternak. Mereka juga masih percaya bahwa Felidae
berperan penting dalam ekosistem taman nasionaal dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Gabrialdi & Turner (2004), persepsi dan sikap positif terhadap alam dan
satwaliar bisa menjadi indikator baik terhadap konservasi. Konservasi
keanekaragaman hayati dapat bekerja dengan baik apabila masyarakat memiliki
sikap positif terhadap alam. Jika ada satu wilayah yang kaya dengan
keanekaragaman biologi dan masyarakat memiliki sikap positif terhadap alam,
maka area semacam ini merupakan tempat yang baik untuk mulai dilindungi.
Persepsi dan sikap positif ini berasosiasi terutama dengan jenis kelamin
(Kaltenborn et al., 2006; Roskaft et al., 2007; Lyamuya et al., 2014; Alexander et
al., 2015), tingkat pendidikan (Roskaft et al., 2007; Lescureux et al., 2012;
Lagendijk & Gusset, 2008; Kaltenborn et al., 2006; Allendorf et al., 2007) dan
interaksi masyarakat dengan satwa liar (Lyamuya et al., 2014).
Persepsi dan sikap positif ini sampai saat ini masih terjaga karena selama
ini keberadaan Felidae di dalam taman nasional tidak merugikan masyarakat
sekitar. Oleh karena itu perlu dirumuskan strategi agar kondisi ini tetap terjaga
bahkan ditingkatkan lagi melalui program-program yang terarah dan terukur.
Program atau rencana pengelolaan diharapkan tepat sasaran, memberikan manfaat
kepada masyarakat sekitar, dan tidak bersifat proyek yang berjalan hanya sesaat.
Dengan menjaga hubungan baik masyarakat dengan taman nasional, masyarakat
dengan satwa liar, masyarakaat dengan petugas taman nasional, kelestarian
Felidae di taman nasional ini akan tetap terjaga.

Universitas Indonesia
138

Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Konservasi Felidae di TNWK


Data ekologi spesies target dan sosial-budaya masyarakat sekitar sama
pentingnya dalam menunjang keberhasilan program konservasi. Data dasar
biologi dan ekologi (Reed, 2002; Murray et al., 2008; Applegate, 2014) serta
budaya, ekonomi, dan politik (Tessema et al., 2007) merupakan faktor penting
yang menentukan keberhasilan program konservasi satwa liar jangka panjang.
Memahami karakteristik habitat yang disukai oleh spesies target konservasi
penting untuk menentukan strategi konservasi yang sesuai untuk menjaga dan
melindungi spesies tersebut. Begitu pula memahami pengetahuan, persepsi dan
sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae merupakan faktor kunci yang
menentukan keberhasilan program konservasi satwa liar dalam kawasan
konservasi. Data ekologi seperti keanekaragaman spesies, distribusi, kelimpahan,
interaksi dan penggunaan habitat diperlukan dalam merencanakan pengelolaan
spesies di dalam dan di luar kawasan konservasi agar populasinya dapat terjaga
dan berkelanjutan. Sementara itu data sosial-budaya diperlukan dalam
merencanakan program konservasi spesies tersebut agar mendapat dukungan
masyarakat sehingga masyarakat dan spesies target dapat hidup secara
berdampingan dalam lansekap yang sama.
Data ekologi hasil penelitian ini meliputi keanekaragaman spesies,
kelimpahan relatif, distribusi, keanekaragaman spesies mangsa, pola aktivitas, dan
pemisahan temporal Felidae. Sementara itu data sosial yang dapat dihimpun
adalah pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap konservasi
Felidae serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, persepsi dan sikap
masyarakat terhadap konservasi Felidae. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
dirumuskan beberapa rekomendasi pengelolaan Felidae di Taman Nasional Way
Kambas. Rekomendasi pengelolaan Felidae berdasarkan hasil penelitian ini terdiri
atas intensitas aktivitas pengelolaan berdasarkan zona, melakukan penelitian
ekologi, pengelolaan habitat dan restorasi, pengamanan dan perlindungan,
pendidikan konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Masing-masing
rekomendasi pengelolaan diuraikan sebagai berikut:

Universitas Indonesia
139

Prioritas pengelolaan berdasarkan zonasi


Intensitas bentuk aktivitas pengelolaan dapat dilakukan dengan model
zonasi. Rekomendasi model pengelolaan berdasarkan zona ini mengadopsi model
restorasi harimau dan ekosistemnya di lansekap Sumatra Tengah yang
dikemukakan oleh Sunarto (2011). Zona pengelolaan Felidae ditentukan
berdasarkan keanekaragaman dan kelimpahan relatif spesies Felidae,
keanekaragaman dan sebaran spesies mangsa, tipe habitat yang dapat mendukung
kehidupan Felidae dan tingkat gangguan akibat aktivitas ilegal maupun
kebakaran. Berdasarkan parameter tersebut, zona pengelolaan dibagi dalam empat
tingkatan yaitu zona inti, zona penyangga, zona integrasi dan zona pemukiman
(Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Perkiraan kondisi umum setiap zona pengelolaan Felidae di Taman
Nasional Way Kambas*)

Zona pengelolaan Felidae


Kondisi Umum
Inti Penyangga Integrasi Pemukiman
Keanekaragaman Semua spesies Minimal dua Minimal satu Felidae kadang
dan kepadatan Felidae dapat spesies kucing spesies kucing ditemukan,
spesies Felidae ditemukan , dapat iar dapat kepadatan
kepadatan ditemukan, ditemukan, sangat rendah
tinggi kepadatan kepadatan (misal kucing
sedang rendah congkok dan
kucing pesek)
Perkiraan kondisi Hampir 100% Dihuni oleh Daerah tepi, Tidak sesuai
habitat sesuai untuk Felidae tetapai kadang untuk kehidupan
kehidupan tidak ditempati digunakan Felidae, tetapi
Felidae dan secara oleh Felidae kadang spesies
dapat digunakan permanen, untuk melintas tertentu
untuk aktivitas daerah yang dari satu area ditemukan disini
perburuan menghubungka ke area lain,
mangsa, n zona inti kadang
reproduksi dan dengan zona sebagai tempat
perlindungan lain, digunakan berburu
untuk perburuan
mangsa dan
pasangan kawin
Perkiraan kondisi Keanekaraga- Keanekaraga- Keanekara-
keanekaragaman man dan man dan gaman dan
dan kepadatan kepadatan kepadatan kepadatan -
spesies mangsa mangsa tinggi mangsa sedang mangsa
di seluruh area di seluruh area rendah
Tingkat gangguan Tingkat Tingkat Tingkat Pusat
oleh aktivitas gangguan dan gangguan dan gangguan dan pemukiman dan
manusia dan kebakaran tidak kebakaran kebakaran aktivitas
kebakaran ada atau sangat sangat rendah sangat tinggi penduduk
rendah
*) mengadopsi model restorasi harimau dan ekosistem di lansekap Sumatra Tengah oleh Sunarto (2011)

Universitas Indonesia
140

Zona inti merupakan daerah yang memiliki keanekaragaman spesies Felidae


tinggi, keanekaragaman dan kepadatan mangsa tinggi, habitat 100% sesuai untuk
kehidupan Felidae dan tingkat gangguan rendah. Pada zona penyangga
keanekaragaman spesies Felidae sedang (minimal ditemukan dua spesies),
kepadatan rendah, keanekaragaman spesies mangsa dan kepadatannya relatif
tinggi, tingkat gangguan dan aktivitas manusia rendah. Merupakan daerah
peralihan antara zona inti dan integrasi. Daerah ini juga dimanfaatkan Felidae
sebagai area untuk berburu mangsa. Pada zona integrasi keanekaragaman
kepadatan spesies Felidae dan mangsa sangat rendah, terdiri dari satu tipe vegetasi
(alang-alang), dekat daerah tepi taman nasional, tingkat gangguan aktivitas
manusia dan kebakaran sangat tinggi. Zona penduduk merupakan daerah
pemukiman penduduk. Daerah ini dimasukkan dalam zona pengelolaan karena
beberapa spesies Felidae (kucing congkok dan kucing pesek) berdasarkan
informasi penduduk dapat ditemukan disini. Keberhasilan konservasi Felidae di
dalam taman nasional juga ditentukan oleh persepsi dan sikap masyarakat pada
zona ini terhadap konservasi Felidae.
Aktivitas pengelolaan yang dapat dilakukan di dalam setiap zona
pengelolaan meliputi penelitian ekologi, pengelolaan habitat dan restorasi,
perlindungan dan pengamanan dan pendidikan lingkungan dan kampanye
penyadaran. Intensitas aktivitas pengelolaan pada masing-masing zona
pengelolaan berbeda-beda tergantung pada kondisi umum dan permasalahan
utama terkait dengan kehidupan Felidae. Secara lengkap intensitas pengelolaan
pada masing-masing zona pengelolaan tercantum dalam Tabel 4.2. Misalnya
intensitas pengelolaan habitat dan restorasi lebih tinggi pada zona integrasi karena
daerah ini umumnya terdiri atas vegetasi alang-alang dan semak belukar sehingga
perlu upaya restorasi dan pengelolaan habitat yang lebih intensif dibandingkan
zona penyangga.

Universitas Indonesia
141

Tabel 4.2. Intensitas bentuk aktivitas pengelolaan pada zona pengelolaan Felidae
di Taman Nasional Way Kambas. Banyaknya tanda plus (+) menunjukkan
tingginya intensitas pengelolaan

Bentuk Zona
aktivitas
Inti Penyangga Integrasi Pemukiman
pengelolaan
Penelitian
++ ++ ++ +
ekologi
Pengelolaan
habitat dan ++ ++ +++ -
restorasi
Perlindungan
+++ +++ ++ -
dan pengamanan
Pendidikan
konservasi dan
kampanye - - - +++
kepedulian
masyarakat

Penelitian ekologi dan monitoring


Penelitian ini belum bisa menjawab semua pertanyaan tentang ekologi
Felidae, tetapi dapat dijadikan data dasar untuk melakukan kegiatan penelitian
selanjutnya. Misalnya, keanekaragaman Felidae saat ini lebih rendah daripada
survei yang peranah dilakukan sebelumnya. Upaya yang dapat dilakukan oleh
pengelola taman nasional adalah melakukan survei dan monitoring pada area yang
lebih luas dan dilakukan secara berulang. Monitoring dan survei didesain secara
sistematik berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah agar hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Informasi dari penduduk sekitar dan
petugas taman nasional tentang keberadaan kucing emas dan kucing pesek dapat
dijadikan pertimbangan untuk menentukan daerah survei dan monitoring. Contoh
lain penelitian yang masih diperlukan adalah memahami intensitas interaksi antar
spesies Felidae melalui pemilihan jenis mangsa masing-masing spesies Felidae.
Interaksi Felidae dengan Karnivora non Felidae terutama yang berukuran medium
dan memiliki tumpang tindih jenis mangsa yang tinggi juga perlu dilakukan.
Penelitian mengenai bagaimana Felidae beradaptasi terhadap perubahan dan
gangguan habitat (akibat kebakaran, perambahan, perburuan liar) mungkin juga
sangat diperlukan.

Universitas Indonesia
142

Keterbatasan dana dan sumberdaya manusia kadang menjadi pembatas


kegiatan penelitian ekologi dan monitoring spesies target dalam kawasan
konservasi. Ini dapat dikurangi dengan cara merumuskan skala prioritas aspek
ekologi apa yang paling penting yang sangat menentukan kelangsungan hidup
spesies tersebut. Selain itu, menjalin kerjasama dengan lembaga penelitian,
lembaga swadaya masyarakat yang terfokus pada satu spesies tertentu juga dapat
mengurangi keterbatasan ini. Kunci dari keberhasilan program penelitian ekologi
spesies target dalam kawasan konservasi adalah kerjasama dan koordinasi dengan
berbagai pihak terkait.

Restorasi habitat
Menurut Sunarto et al. (2015), untuk menjaga dan mendorong
keanekaragaman spesies Felidae, perlu memahami habitat yang dibutuhkan oleh
spesies Felidae dan bagaimana mengantisipasi interaksi antar spesies Felidae yang
dapat menghalangi sejumlah spesies menghuni habitat tertentu. Keanekaragaman
spesies Felidae pada suatu lansekap ditentukan oleh dua hal. Pada skala luas,
merupakan representasi dari perbedaan tipe hutan sebagai salah satu syarat untuk
mengakomodasi Felidae yang menghuni tipe habitat unik. Pada skala yang lebih
sempit, area yang mempunyai mosaik habitat dengan variasi vegetasi dan fitur
lansekap, lebih mungkin mengakomodasi lebih banyak spesies daripada yang
didominasi oleh sedikit atau satu tipe habitat. Konsekuensinya, semakin banyak
variasi tipe habitat maka luas area untuk setiap tipe habitat semakin terbatas.
Tanpa modifikasi dan pengelolaan secara intensif, tidak mungkin dapat dicapai
keanekaragaman spesies dan kepadatan tinggi pada waktu dan tempat yang sama.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepadatan harimau sumatra
dan kucing congkok cukup tinggi di hutan sekunder. Mereka hidup ko-eksis
karena perbedaan ektrim ukuran tubuh dan preferensi jenis mangsa. Kepadatan
kedua spesies ini cukup tinggi sehingga dihipotesiskan kemungkinan tidak ada
ruang lagi sebagai tempat hidup macan dahan dan kucing batu. Indeks
Kelimpahan Relatif yang rendah pada macan dahan dan kucing batu
mengindikasikan rendahnya adaptasi kedua spesies ini di hutan dataran rendah.
Harimau sumatra dan kucing congkok berpotensi menghalangi kedua spesies ini

Universitas Indonesia
143

hidup di habitat ini. Kemampuan macan dahan dan kucing batu hidup pada strata
hutan (arboreal) mungkin merupakan bentuk adaptasi sebagai respon dari
kompetisi tersebut.
Sementara itu habitat semak belukar dan alang-alang tidak terlalu
mendukung keanekaragaman dan kepadatan spesies Felidae. Modifikasi habitat
dengan cara restorasi habitat terutama alang-alang akan sangat penting
memperluas habitat Felidae. Upaya restorasi alang-alang di taman nasional ini
telah dilakukan oleh beberapa lembaga konservasi dan pengelola taman nasional.
Upaya restorasi dilakukan dengan cara penanaman kembali kawasan yang
ditumbuhi alang-alang dengan tumbuhan asli maupun merawat tanaman asli yang
telah tumbuh dengan sendirinya. Namun demikian, upaya restorasi ini seringkali
mengalami kegagalan akibat kebakaran yang terjadi pada saat musim kemarau
baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu upaya restorasi alang-
alang harus diimbangi dengan upaya pengamanan area ini dari bahaya kebakaran
terutama yang disebabkan oleh aktivitas ilegal manusia.

Pengamanan dan perlindungan


Pengamanan dan perlindungan sangat penting karena sebagian besar
penurunan populasi dan musnahnya karnivora di seluruh dunia disebabkan oleh
manusia. Demikian pula ancaman utama terhadap Felidae di Sumatra salah
satunya adalah perburuan liar dan kerusakan habitat. Pengamanan dan
perlindungan Felidae di dalam taman nasional hendaknya difokuskan pada area
dimana kepadatan Felidae tinggi, tetapi potensi ancaman juga tinggi (zona inti).
Prioritas pengamanan dan perlindungan akan lebih mudah dilakukan apabila
apabila pengelola memiliki peta distribusi satwa yang di-overlay-kan dengan peta
potensi gangguan aktivitas manusia. Misalnya, hasil penelitian ini menunjukkan
Felidae terutama kucing congkok dan kucing batu juga ditemukan di vegetasi
alang-alang dan daerah tepi taman nasional. Potensi gangguan daerah tepi dari
perburuan cukup tinggi, ini dibuktikan dengan banyaknya jerat yang ditemukan
oleh patroli Program Konservasi Harimau Sumatra di daerah ini. Daerah seperti
ini sebaiknya intensitas patroli perlindungan dan pengamanan lebih ditingkatkan.

Universitas Indonesia
144

Pengelola taman nasional dapat melibatkan masyarakat lokal dalam upaya


perlindungan dan pengamanan. Melibatkan masyarakat lokal dalam aktivitas
perlindungan Felidae dapat meningkatkan rasa bangga dan rasa memiliki Felidae.
Contoh pendekatan seperti ini berhasil dilakukan dalam konservasi harimau di
Terai (Allendorf et al., 2006). Allendorft et al. (2006) melatih kelompok
masyarakat sebagai “ranger desa” yang disebar sepanjang perbatasan taman
nasional untuk memonitor aktivitas harimau berdasarkan hari. Ketika proyek telah
selesai, ratusan penduduk desa mendapatkan laporan aktivitas harimau di area
tersebut, upaya konservasi harimau dan rasa memiliki penduduk lokal terhadap
harimau meningkat. Integrasi monitoring dan program konservasi melibatkan
perasaan dan hak seperti ini telah memperbesar dukungan dan meningkatkan
toleransi masyarakat lokal terhadap harimau. Di Zambia, partisipasi penduduk
lokal dalam penegakan hukum dan monitoring satwa liar meningkatkan pemburu
yang tertangkap karena informasi dari penduduk lokal (Lewis et al., 1990).
Partisipasi penduduk lokal dalam penegakan hukum seperti ini tidak hanya
mengubah sikap masyarakat terhadap satwa liar tetapi juga meningkatkan
dukungan mereka terhadap konservasi.

Pendidikan konservasi dan kesadaran masyarakat


Hasil penelitian ini menunjukkan pengetahuan masyarakat terhadap taman
nasional dan Felidae rendah. Meskipun demikian, persepsi dan sikap masyarakat
terhadap konservasi Felidae positif. Rendahnya pengetahuan tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain kurangnya interaksi antara taman nasional dengan
masyarakat, kurangnya informasi publik mengenai taman nasional di luar maupun
di dalam taman nasional dan kurangnya sosialisasi dan diseminasi. Mengingat
pengetahuan terhadap taman nasional dan satwa liar berkorelasi positif dengan
persepsi dan sikap mereka terhadap konservasi Felidae, maka perlu dilakukan
upaya-upaya untuk memperbaiki pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap taman nasional, Felidae dan satwa liar secara umum melalui pendidikan
konservasi dan kampanye penyadaran publik.
Pendidikan konservasi dan pelibatkan masyarakat dalam program
konservasi membuat masyarakat lokal akan lebih peduli dan rela berperan serta

Universitas Indonesia
145

dalam konservasi spesies lokal sehingga mereka merasa satwa liar tersebut
merupakan milik mereka sendiri. Rasa memiliki spesies ini mendukung program
konservasi karena mengurangi biaya monitoring satwa liar oleh pengelola dan
dapat mengurangi pemanenan ilegal spesies karena dijaga oleh masyarakat
sendiri.
Pendidikan konservasi dan kampanye penyadaran masyarakat dapat
dilakukan secara formal maupun informal. Efektivitas pendidikan konservasi
dimulai dengan pelibatan dan penentuan audien. Motivasi untuk berubah,
keterbukaan untuk menerima informasi baru dan kemauan untuk ikut
berpartisipasi dalam pendidikan konservasi merupakan faktor krusial untuk
merubah sikap positif terhadap satwa liar. Audien dapat dikelompokkan ke dalam
anak sekolah, anak muda, masyarakat umum dan masyarakat lokal. Langkah
berikutnya agar pendidikan konservasi berjalan efektif adalah memahami sikap
audien target terhadap satwa liar dan taman nasional. Informasi ini bisa diperoleh
melalui survei atau hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Pendidikan konservasi secara informal dapat dilakukan melalu diseminasi
informasi melalaui komunitas lokal, media massa (koran lokal, radio, televisi) dan
kegiatan budaya tradisional. Penyaluran informasi dapat dilakukan melalui
kelompok masyarakat yang telah ada antara lain kelompok persatuan kepala desa,
lembaga-lembaga desa, pencinta alam, pramuka, PKK dan kelompok tani atau
institusi lain yang berkaitan. Program pendidikan konservasi dirancang
sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kelompok sasaran. Misalnya pendidikan
lingkungan yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan
dan pengalaman mereka terhadap taman nasional.
Program pendidikan konservasi secara formal dapat dilakukan di dalam
lembaga pendidikan mulai tingkat TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
Materi pendidikan konservasi dapat dimasukkan kedalam kurikulum melalui
muatan lokal atau disisipkan dalam mata pelajaran tertentu yang berkaitan dengan
konservasi alam. Mungkin perlu membuat modul atau bahan ajar yang
disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Pengelola taman nasional dapat juga
melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat yang beraktivitas di taman nasional
dalam program semacam ini sebagai fasilitator, nara sumber atau pendidik.

Universitas Indonesia
146

Program pendidikan konservasi melalui pendidikan formal dapat berjalan apabila


ada kerjasama yang baik antara pengelola taman nasional, masyarakat, institusi
pendidikan dan pemerintah. Oleh karena itu komunikasi dan koordinasi dengan
pihak-pihak terkait sangat penting.

Sosialisasi dan komunikasi


Hasil penelitian ini menunjukkan kuranganya komunikasi antara
masyarakat dan pengelola taman nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk memperbaikinya adalah dengan mengadakan pertemuan secara rutin. Dalam
pertemuan tersebut dapat didiskusikan tentang hubungan masyarakat dan satwa
liar, pemukiman dan penggunaan sumberdaya. Pertemuan semacan ini dilakukan
antara tokoh-tokoh masyarakat dan pengelola taman nasional secara semi-reguler,
dan dapat diperluas melalui dialog dengan masyarakat umum.
Sosialisasi dan komunikasi tentang taman nasional dan Felidae dapat
dilakukan melalui materi tercetak (leflet, brosur, spanduk, video, audio). Saat ini
masih sedikit materi tercetak atau audio visual yang menjelaskan taman nasional
dan status spesies terancam punah dan habitatnya di dalam taman nasional atau
pentingnya dukungan masyarakat terhadap keberadaan spesies-spesies tersebut.
Pengelola taman nasional dapat mencetak materi-materi tersebut dengan
menggunakan bahan dari hasil kegiatan atau penelitian lembaga swadaya
masyarakat dalam bentuk foto atau video. Media semacam ini dapat disalurkan
melalui pusat informasi atau area taman nasional yang banyak dikunjungi oleh
masyarakat (di dalam taman nasional). Informasi juga dapat disalurkan melalui
kelompok-kelompok masyarakat, sekolah-sekolah, media massa. Bisa juga
komunikasi disampaikan melalui satu segmen program radio yang populer di
masyarakat lokal.

Pemberdayaan masyarakat
Upaya lain untuk meningkatkan kepedualian masyarakat terhadap taman
nasional dan satwa liar adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat merupakan proses yang memungkinkan individu atau kelompok
merubah keseimbangan kekuasaan dalam segi sosial, ekonomi, maupun politik

Universitas Indonesia
147

pada sebuah masyarakat ataupun komunitas. Tujuan dari pemberdayaan


masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat, memperbaiki
kesejahteraannya, dan meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem secara berkelanjutan. Dalam
pemberdayaan ini dibutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat dan kemitraan dari
semua aktor untuk bersinergi dalam pemberdayaan. Kegiatan pemberdayaan yang
dilakukan bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan dan kondisi ekonomi
masyarakat tapi juga memandirikan masyarakat sehingga mereka tidak akan
menggantungkan diri terhadap sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan
konservasi dan menciptakan kehidupan yang selaras seimbang dengan alam
dengan mendukung upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam yang
berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara langsung dengan
melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaan atau kegiatan di dalam taman
nasional. Misalnya mengutamakan tenaga kerja lokal dalam kegiatan
pembangunan fasilitas penunjang di dalam taman nasional, merekrut penduduk
lokal sebagai pawang gajah atau badak dan merekrut penduduk lokal sebagai
anggota pengamanan swakarsa gajah atau harimau. Melibatkan masyarakat lokal
dalam pengelolaan Felidae dapat meningkatkan toleransi masyarakat terhadap
Felidae. Penduduk yang tinggal dekat dengan taman nasional dapat dilibatkan
dalam pengelolaan misalnya program monitoring dan pengamanan Felidae di
dalam maupun di luar taman nasional.
Pemberdayaan masyarakat secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bentuk atau model kegiatan pemberdayaan
masyarakat sebaiknya merupakan hasil musyawarah yang dilakukan oleh
masyarakat. Pihak pengelola dapat memfasilitasi kegiatan seperti ini melalui
diskusi kelompok terfokus (focus discussion group) sebagai fasilitator. Diskusi
kelompok terfokus ini dilakukan untuk menggali pikiran dan ide-ide dari
masyarakat untuk merumuskan kegiatan ekonomi apa yang paling sesuai yang
bisa dilakukan di desa mereka. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat
sebaiknya terkait dengan keberadaan taman nasional tanpa mengambil secara
langsung sumberdaya yang ada di dalamnya. Kegiatan yang dapat dilakukan

Universitas Indonesia
148

misalnya mengembangkan desa wisata, model desa konservasi, membentuk


kelompok-kelompok industri rumah tangga kerajinan tangan, souvenir, kelompok
pemandu wisata dan ekonomi kreatif lainnya terkait dengan keberadaan dan
aktivitas taman nasional dan satwa liar yang ada di dalamnya.

Universitas Indonesia
RANGKUMAN KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Keanekaragaman spesies Felidae di Taman Nasional Way Kambas saat ini
lebih rendah dibanding akumulasi hasil survei sebelumnya. Hanya empat
spesies Felidae yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu harimau sumatra,
macan dahan, kucing batu dan kucing congkok.
2. Indeks Kelimpahan Relatif (IKR) harimau sumatra dan kucing congkok lebih
tinggi dibanding kucing batu dan macan dahan.
3. Sebagian besar video spesies Felidae ditemukan di hutan sekunder (84,3%),
berjarak kurang dari satu kilometer dari sumber air (83,1% ), dekat dengan
jalur patroli (92,1%) dan lebih dari 8 km dari tepi taman nasional (74,2%)..
4. Harimau Sumatra dan kucing batu aktif pada siang dan malam hari
(cathemeral) sedangkan macan dahan dan kucing congkok sebagian besar
aktif pada malam hari (mostly nocturnal).
5. Pasangan Felidae yang cenderung saling menghindari secara temporal adalah
macan dahan dan kucing batu dan kucing congkok dan kucing batu. Tumpang
tindih temporal antara harimau sumatra dan tiga spesies kucing yang
berukuran tubuh lebih kecil dan pasangan macan dahan dan kucing congkok
relatif cukup tinggi dengan nilai koefisien tumpang tindih lebih besar dari
70%.
6. Proporsi stasiun perangkap kamera (n=57) digunakan oleh Felidae adalah 35%
kucing congkok, 25% harimau sumatra, 7% kucing batu dan 4% macan dahan.
7. Rata-rata pengetahuan masyarakat lokal tentang taman nasional rendah.
Faktor-faktor yang berasosiasi dengan pengetahuan masyarakat terhadap
taman nasional adalah jenis kelamin, status dalam keluarga, lama bermukim,
pendidikan, pekerjaan, jabatan di desa dan pengalaman terhadap taman
nasional.
8. Rata-rata pengetahuan masyarakat lokal terhadap Felidae rendah. Faktor
demografi dan pengalaman terhadap taman nasional tidak berasosiasi dengan
pengetahuan masyarakat tentang Felidae.

Universitas Indonesia
150

9. Persepsi masyarakat lokal terhadap Felidae umumnya positif . Faktor yang


berasosiasi dengan persepsi positif adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan,
jabatan di desa, pernah masuk ke dalam taman nasional dan pengalaman
pernah mendapat gangguan satwa dari taman nasional.
10. Sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae umumnya positif . Faktor yang
berasosiasi dengan sikap positif adalah jenis kelamin, kedudukan dalam
keluarga, daerah asal, pendidikan, pekerjaan, dan pengalaman pernah
mendapat gangguan satwa liar.
11. Pengetahuan terhadap taman nasional dan Felidae berkorelasi dengan persepsi
dan sikap masyarakat terhadap konservasi Felidae. Oleh karena itu
meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap taman nasional dan satwa liar
penting karena dua variabel ini dapat membentuk persepsi dan sikap mereka
terhadap taman nasional, satwa liar dan konservasinya.

Saran
1. Melakukan program monitoring jangka panjang terhadap Felidae untuk
mengevaluasi status keanekaragaman spesies, distribusi dan populasi serta
aspek-aspek ekologi lain terkait dengan perubahan habitat dan tingkat
gangguan terhadap taman nasional.
2. Melakukan survei pada lokasi yang lebih luas dengan melibatkan mitra taman
nasional dan pihak lain untuk memastikan keberadaan kucing emas dan
kucing pesek
3. Melakukan penelitian untuk mengetahui intensitas interaksi antar spesies
Felidae melalui pengetahuan terhadap jenis mangsa dan preferensinya
4. Mendorong pengelola taman nasional dan lembaga-lembaga lain untuk
melakukan kegiatan penelitian yang difokuskan pada masing-masing spesies
Felidae.
5. Mengurangi tekanan masyarakat terhadap taman nasional melalui kegiatan
patroli terutama pencegahan dan penindakan terhadap kegiatan perburuan liar
Felidae dan satwa mangsanya.
6. Pencegahan terhadap kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun pada musim
kemarau melalui kegiatan penyuluhan kepada masyarakat sekitar tentang

Universitas Indonesia
151

bahaya kebakaran terhadap taman nasional dan satwa yang ada di dalamnya,
meningkatkan intensitas patroli menjelang musing kemarau dan memetakan
daerah yang rawan terhadap kebakaran.
7. Salah satuf faktor yang menyebabkan rendahnya konflik antara Felidae
dengan masyarakat sekitar adalah ketersediaan spesies mangsa yang masih
beragam dan melimpah di dalam taman nasional. Oleh karena itu
perlindungan terhadap spesies mangsa dari perburuan liar harus terus
ditingkatkan agar potensi konflik antara Felidae dan masyarakat dapat ditekan
sekecil mungkin.
8. Meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat terhadap taman
nasional dan Felidae melalui pendidikan konservasi, sosialisasi dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar dengan mempertimbangkan
faktor demografi dan pengalaman masyarakat terhadap taman nasional.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, J., P. Chen, P. Damerell, W. Youki, J. Hughes, K. Shi & P. Riordan.


2015. Human wildlife conflict involving large carnivore in Qilianshan,
China and minimal paw-print of snow leopards. Biological Conservation
187: 1–9

Allendorf, T., K.K. Swe, T. Oo, Y. Htut, M. Aung, M. Aung, K. Allendorf, K.


Hayek, P. Leimgruber. & C. Wemmer. 2006. Community attitudes
toward three protected areas in Upper Myanmar (Burma). Environmental
Conservation 33(4): 344–352.

Allendorf, T.D. & K. Allendorf. 2013. Gender and attitudes toward protected
area. Society and Natural Resources DOI:10.1080/08941920.2012.729295

Allendorf, T.D. & K. Allendorf. 2012. The role of gender in park-people


relationship in Nepal. Human Ecology. DOI 10.1007/s10745-012-9510-7

Allendorf, T.D., J.L.D. Smith & D.H. Anderson. 2007. Residen’s perceptions of
Royal Bardia National Park, Nepal. Landscape and Urban Planning 82 :
33–40.

Applegate, R.D. 2014. Sciences as a basis for wildlife conservation. Poultry,


Fisheries and Wildlife Sciences. DOI:10.4172/pfw.1000e107

Ario, A. 2010. Panduan Lapangan Kucing Liar Indonesia. Yayasan Pustaka


Obor Indonesia. Jakarta: xiii + 110 hlm.

Austin, S.C., M.E. Tewes, L.I. Grassman, & N.J. Silvy. 2007. Ecology and
conservation of leopard cat (Prionailurus bengalensis) and clouded
leopard (Neofelis nebulosa) in Khao Yai National Park. Thailand. Acta
Zoologica Sinica 53(1): 1–14.

Azlan, M.J. 2009. The use of camera trap in Malaysian rainforests. Journal of
Tropical Biology and Conservation 5: 81–86.

Azlan, J.M. & D.S.K. Sarma. 2006. The diversity and activity patterns of wild
felids in a secondary forest in Peninsular Malaysia. Oryx 4(1): 36–41.

Azlan, M., R. Sollmann, H. Bernard, L.N. Ambu, P. Lagan, S. Mannan, H. Hifer


& A. Wilting. 2013. Density and habitat use of leopard cat (Prionailurus
bengalensis) in three commercial forest reserves in Sabah, Malaysian
Borneo. Journal of Mammalogy 94(1): 82–89.

Azlan, M.J., E. Lading & Munau. 2003. Bornean bay cat photograph and
sighting. Cat News 39: 2

Universitas Indonesia
153

Bastoni & Apriawan. 1997. Metode monitor satwa liar secara intensif di hutan
hujan tropis dengan remote camera system (Trailmaster). Dalam: Tilson,
R.L. (Ed.). 1997. Konservasi dan Manajemen In-situ Dalam
Penyelamatan Harimau Sumetera. Proyek Penyelamatan Harimau
Sumatra. Lampung: 16–20.

Berger, J. 1999. Anthropogenic extinction of top carnivores and interspecific


animal behaviour: implications of the rapid decoupling of a web involving
wolves, bears, moose, and ravens. Proceedings of the Royal Society of
London 266: 22612267.

Biro Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2013. Kabupaten Lampung


Tengah Dalam Angka. BPS. Gunung Sugih. Lampung Tengah.

Biro Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur. 2013. Kabupaten Lampung


Timur Dalam Angka. BPS. Sukadana. Lampung Timur.

Chettri, N., U. Sherchan, S. Chaudhary & B. Shakya (Eds). 2012. Mountain


biodiversity conservation and management: selected examples of good
practices and lessons learned from the Hindu Kush Himalayan region.
ICIMOD Working Paper 2012/2. Khatmandu: 60 hlm.

Cheyne, S.M & D.W. Macdonald. 2011. Wild felid diversity and activity pattern
in Sabangau peat-swamp forest, Indonesia Borneo. Oryx 45(1):119–124

Crooks, K.R & M.E. Soulé. 1999. Mesopredator release and avifaunal
extinctions in a fragmented system. Nature 400: 563–566.

Duckworth, J.W., C.R. Shepherd, G. Semiadi, P. Schauenberg, J. Sanderson, S.I.


Roberton, T.G. O’Brien, T. Maddox, M. Linkie, J. Holden & N.W.
Brickle. 2009. Does fishing cat inhabit Sumatra? Cat News 5: 4–9

Ferreira, M.N.E. & N.C. Freire. 2009. Commmunity perception of four protected
areas in the nothern portion of the Ceraddo hotspot, Brazil. Environmental
Conservation 36(2): 129–138

Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, Siswomartono, D., Manangsang, J. & Tilson,


R.L. 1999. Last of the Indonesian Tiger: a caude for optimism. Dalam:
Seidensticker, J., S. Cristie & P. Jackson. (Eds). 1999. Riding the tiger:
tiger conservation in human-dominated lanscape. Cambridge University
Press. Cambridge: 130–147.

Garibaldi, A & N. Turner. 2004. Cultural keystone species: Implication for


ecological conservation and restoration. Ecology and Society 9(3): 1.
[online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol9/1ss3/art1

Gaveau, D. L. A., H. Wandonoc. & F. Setiabudi. 2007. Three decades of


deforestation in southwest Sumatra: have protected areas halted forest loss

Universitas Indonesia
154

and logging, and promoted re-growth? Biological Conservation 134(4):


495–504.

Geoghegan, T. & Y. Renard. 2002. Beyond community involvement in


protected area planning and management: lessons from the insular
Caribbean. Parks 12(2):16–27

Grassman, L.I. M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005b. Ecology of
three sympatric felids in a mixed evergreen forest in north-central
Thailand. Journal of Mammalogy 86(1): 29–38.

Grassman, L.I., M.E. Tewes, N.J. Silvy & K. Kreetiyutanont. 2005a. Spatial
organization and diet of the leopard cat (Prionailurus bengelensis) in
north-central Thailand. Journal of Zoology 266(1): 45–54

Gratwicke, B, J. Mills, A. Dutton, G. Gabriel, B. Long, J. Seidensticker, B.


Wright, W. You & L. Zhang. 2008. Attitudes toward consumption and
conservation of tigers in China. PLoS ONE 3(7): 1–7

Gray, T.N.E. & C. Phan. 2011. Habitat preferences and activity pattern of the
larger mammal community in Phnom Prich Wildlife Sanctuary, Cambodia.
The Raffles Bulletin of Zoology 59(2): 311–318.

Gurung, B., J.L.D. Smith, C. Mcdougal, J.B. Karl & A.Barlow. 2008. Factors
associated with human-killing tigers in Chitwan National Park, Nepal.
Biological Conservation 141: 3069–3078.

Haines, A.M., L.I. Grassman & M.E. Tewes. 2004. Survival of radiocollared
adult leopard cats (Prionailurus bengalensis) in Thailand. Acta
Theriologica 49: 349–356.

Hearn, A., J. Sanderson, J. Ross, A. Wilting, S. Sunarto, J.A. Khan, S.


Kukherjee & L. Grassman. 2008b. Pardofelis marmorata. In: IUCN
2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.3.
http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:25 WIB

Hearn, A., J. Sanderson, J. Ross, A.Wilting & Sunarto. 2010. Prionailurus


planiceps. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:18 WIB.

Hearn, A., J. Sanderson, J.Ross, A.Wilting & Sunarto. 2008a. Neofelis diardi.
In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.3.
http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 07:36 WIB

Hearn, A.J., J. Ross, D. Pamin, H. Bernard, L. Hunter & D.W. Macdonald. 2013.
Insights into the spatial and temporal ecology of the sunda clouded leopard
(Neofelis diardi). Raffles Bulletin of Zoology 61(2): 871–875

Universitas Indonesia
155

Holden, J. 2001. Small cats in Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia:
evidence collected through photo-trapping. Cat News 35: 11–14

Hutajulu, M.B. 2007. Studi karakteristik ekologi harimau sumatra [Panthera


tigrisSumatrae (Pockok 1929)] berdasarkan camera trap di lansekap Tesso
Nilo-Bukit Tigapuluh, Riau. Thesis. Program Pasca Sarjana FMIPA.
Program Studi Biologi Konservasi. Universitas Indonesia. Depok

Inskip, C. & A. Zimmermann. 2009. Human–felid conflict: a review of patterns


and priorities worldwide. Oryx 43: 18–34.

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/


20 Januari 2012, pkl 21:12 WIB.

Jim, C.Y. & W. Xu. 2002. Stifled stakeholders and subdued participation:
Interpreting local responses toward Shimentai Nature Reserve in South
China. Environmental Management 30(3): 327–341

Jinping, Yu. 2010. Leopard cat (Prionailurus bengalensisis). Cat News 5: 26–29.

Kaltenborn, B.P., T. Bjerke, J.W. Nyahongo & D.R. Williams. 2006. Animal
preferences and acceptability of wildlife management actions around
Serengeti National Park, Tanzania. Biodiversity and Conservation 15:
4633–4649.

Kawanishi, K & M.E. Sunquist. 2004. Conservation status of tiger in a primary


rainforest of Peninsular Malaysia. Biological Conservation 120: 329–344.

Kawanishi, K. 2002. Population status of tiger (Pathera tigris) in a primary


rainforest of Peninsular Malaysia. Ph.D. Thesis. University of Florida,
Gainesville, USA.

Kinnaird, M. F., E.W. Sanderson, S.J. O'Brien, H.T. Wibisono & G.Woolmer.
2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for
endangered large mammals. Conservation Biology 17(1): 245–257

Lagendijk, D.D.G. & M. Gusset. 2008. Human-carnivore coexistence on


communal land bordering the Greater Kruger Area, South Afrika.
Environmental Management 42: 971–976

Lescureux, N. J.D.C. Linnell, S. Mustafa, D. Melovski, A. Stonjanov, G. Ivanov,


V. Avakatov, M. Arx & U. Breitenmoser. 2012. Fear of the unknown:
local knowledge and perceptions of the Euriasian lynx (Lyxn lynx) in
western Macedonia. Oryx 45: 600–607

Lewis, D., G.E. Kaweche & A. Mwnya. 1990. Wildlife conservation outside
protected area-lessons from an experiment in Zambia. Conservation
Biology 4: 171–180

Universitas Indonesia
156

Linkie, M & M.S. Ridout. 2011. Assesing tiger-prey interaction in Sumatran


rainforest. Journal of Zoology 284:224–229

Linkie, M., H.T.Wibisono, D.J. Martyr & Sunarto. 2008. Panthera tigris ssp.
sumatrae. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 07:54

Loe, J & E. Roskaft. 2004. Large carnivores and human safety: a review. Ambio
33(6): 283–288

Lyamuya, R.D., E.H. Mansenga, F.P. Mbise, R.D. Fyumagwa, M.N. Mwita & E.
Roskafth. 2014. Attitudes of Maasai pastoralists towards the conservation
of large carnivores in the Lolindo Game Controlled Area of Northern
Tanzania. International Journal of Biodiversity and Conservation 6(11):
797–805

Lynam, A.J., K.E. Jenks, N. Tantipisanuh, W. Chutipong, D. Ngoprasert, G.A.


Gale, R. Steinmetz, R. Sukmasuang, N. Bhumpakhan, L.I. Grassman, P.
Cutter, S. Kitamura, D.H. Reed, M.C. Bakeer, W. McShea, N. Songsasen,
& P. Leimgruber. 2013. Terrestrial activity pattern of wild cat from
camera-trapping. The Raffles Bulletin of Zoology 61(1):407–415

Macdonald, D.W., A.J.Loveride & K. Nowell. 2010. Dramatic Personae: an


introduction to the wild felids. Dalam: Macdonal, D.W. & A.J.Loveridge.
(Eds). 2010. Biology and Conservation of Wild Felids. Oxford University
Press. Oxford: 3–58.

Mangas, J.G., J. Lozano, S. Cabezas-Díaz. & E.Virgós. 2008. The priority value
of scrubland habitats for carnivore conservation in Mediterranean
ecosystems. Biodiversity Conservation 17: 43–51

Mangun, J.C., C.A. Degia & M.A. Davenport. 2009. Neighbors yet strangers:
Local people’s of Cypress Creek National Wildlife Refuge, Southern
Illinois, USA. Society and Natural Resources 22:295–307

McCarthy, J.L., H.T. Wibisono, K.P. McCarthy, T.K. Fuller &. N. Andayani.
2015. Assesing the distribution and habitat use of four felid species in
Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Global Ecology
and Conservation 3:210–221

Mehta, J & J.T. Heinen. 2001. Does community-based conservation shape


favorable attitudes among locals? An empirical study from Nepal.
Environmental Management 28: 165–177

Miller B., D.Foreman. C.M. del Rio, R. Noss, M. Philips, R. Reading, M.E.
Soule, J. Terborgh & L. Wilcox. 2001. The importance of large
carnivores to healthy ecosystem. Endangered Species UPDATE 18(5):
202–210

Universitas Indonesia
157

Mukherjee, S., J. Sanderson, W. Duckworth, R. Melisch, J. Khan, A. Wilting,


Sunarto & J.G. Howard. 2010. Prionailurus viverrinus. In: IUCN 2010.
IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.3.
http://www.iucnredlist.org. 21 October 2010, pkl. 08:27

Murray, J.V., S.L.Choy, C.A.McAlpine, H.P.Possingham & A.W.Goldizen. 2008.


The importance of ecological scale for wildlife conservation in naturally
fragmented environments: a case study of the brush-tailed rock-wallaby
(Petrogale penicillata). Biological Conservation 141: 7–22

Ng, J & Nemora. 2007. Tiger Trade Revisited in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC
Southeast Asia. Petaling Jaya. Malaysia: vi + 24 hlm.

Ngoprasert, D., A.J. Lynam, K.E.R. Sukmasuang, N. Tantipisanuh, W.


Chutipong, R. Steinmetz, K.E. Jenks, G.A. Gale, L.I. Grassman Jr, S.
Kitamura, J. Howard, P. Cutter, P. Leimgruber, N. Songsasen & D.H.
Reed. 2013. Occurence of three felids across a network of protected areas
in Thailand: prey, intraguild, and habitat associations. Biotropica 44(6):
810–817.

Nowel, K. 2009. Cats on the 2009 Red List of Threatened Species. CAT news
Autumn 51: 32–33

Nowell, K. & P. Jackson. 1996. Status Survey and Conservation Action Plan of
Wild Cats. IUCN/SSC Cat Specialist Group. Gland Switzerland: xxiv +
383.

Nyhus, P.J. 1999. Elephants, tigers and transmigrants: conflict and conservation
at Way Kambas National Park, Sumatra, Indonesia. Thesis. University of
Wisconsin. Madison. USA.

Nyhus, P.J. & R.L.Tilson. 2004. Characterizing human-tiger conflict in Sumatra,


Indonesia: implication for conservation. Oryx 36: 68–74.

O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Wibisono. 2003. Crouching tigers, hidden
prey: sumantran tiger and prey population in a tropical forest landscape.
Animal Conservation 6: 131–139

Olomi-Sola, M., F.Z. Rodriguez & M. Trigueoro-Mas. 2012. Local resident’s


knowledge about protected area: A case study in Dandeli Wildlife
Sanctuary, India. Society and Natural Resources 25: 410–420

Ormsby, A. & B.A. Kaplin, B.A. 2005. A framework for understanding


community resident perceptions of Masoala National Park, Madagascar.
Environmental Conservation 32 (2): 156–164.

PKHS. 2015. Laporan akhir monitoring harimau sumatra di Taman Nasional


Bukit Tigapuluh. Pematang Reba. (tidak dipublikasikan).

Universitas Indonesia
158

Povey, K & W. Spaulding. 2006. Wild Cat of Southeast Asia: An Educator’s


Guide. Point Defiance Zoo and Aquarium. Thailand: 108 hlm.

Pusparini, W., H.T. Wibisono, G.V. Reddy, Tarmizi & P. Bharata. 2014. Small
and medium sized cats in Gunung Leuser National Park, Sumatra,
Indonesia. Cat News Special Issues 8: 2–9

Rajaratnam, R., M. Sunquist, L. Rajaratnam & L. Ambu. 2007. Diet and habitat
selection of the leopard cat (Prionailurus bengalensis) in agricultural
lansscape in Sabah, Malaysian Borneo. Journal of Tropical Ecology 23:
209–217

Ramakrishnan, P.S. 2007. Traditional forest knowledge and sustainable forestry:


a north-east India perspective. Forest Ecology and Management 249: 91–
99.

Reed, J.M. 2002. Animal behavior as a tool in concervation biology. Dalam:


Aguirre, A.A., R.S. Ostfeld, G.M. Tabor, C. House & M.C. Pearl. (Eds).
2002. Conservation Medicine: Ecological Health in Practice. Oxford
University Press. Oxford: 145–163.

Ridout, M. & M. Linkie. 2009. Estimating overlap of daily activity patterns from
camera trap data. Journal of Agricultural Biology and Environmental
Statistics 14: 322–337

Roskaft, E. B. Handel, T. Bjerke & B.P. Kaltenborn. 2007. Human attitudes


towards large carnivore in Norway. Wildlife Biology 13 (2): 172–185

Rustiati, E.L., Z.F.Karlan, E.S. Palupi, Sriyanto & R. Tilson. 2008. Potential prey
of Sumatran tiger: A guide to hair of mammals found in Sumatran tiger’s
natural habitat in Way Kambas National Park, Lampung. Rimba
Kalimantan 13(1): 16–20

Sanderson, J.G. 2009. How the fishing cat came to occur in Sumatra ? CAT
news 50: 6–9

Sanderson, J., S.Mukherjee, A. Wilting, Sunarto, A. Hearn, J.Ross & J.A.Khan


2008b. Pardofelis temminckii. In: IUCN 2010. IUCN Red List of
Threatened Species. Version 2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21
Oktober 2010, pkl. 07:41 WIB.

Sanderson, J., Sunarto, A.Wilting, C. Driscoll, R.Lorica, J. Ross, A. Hearn, S.


Mujkherjee, J.A. Khan, B. Habib & L. Grassman. 2008a. Prionailurus
bengalensis. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species.
Version 2010.3. http://www.iucnredlist.org. 21 Oktober 2010, pkl. 08:27
WIB.

Universitas Indonesia
159

Silmi, M., S. Mislan, Anggara & B. Dahlen. 2013. Using leopard cats
(Prionailurus bengalensis) as biological pest control of rats in a palm oil
plantation. Journal of Indonesian Natural History 1(1): 31–36

Silori, C.S. 2007. Perception of local people towards conservation of forest


resources in Nanda Devi Biosphere Reserve, north-western Himalaya,
India. Biodiversity Conservation 16: 211–222

Sogbohossou, E.A., H.H. de Iongh, B.Sinsin, G.R.de Snoo & P.J.Funston. 2011.
Human carnivore conflict around Pendjari Biosphere Reserve, northern
Benin. Oryx. 45(4): 569–578

Sriyanto. 2003. Kajian mangsa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae,


Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Thesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia.

Subagyo, A., M.Yunus, Sumianto, J.Supriatna, N.Andayani, A. Mardiastuti, L.


Sjahfirdi, Yasman, & Sunarto. 2013. Survei dan monitoring Felidae
(Carnivora:Felidae) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung,
Indonesia. Dalam: Hendri, J. (Ed). 2013. Prosiding Seminar Nasional
Sains dan Teknologi V. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar
Lampung: 439–359.

Sunarto, S., M.J.Kelly, K.Parakkasi & M.B.Hutajulu. 2015. Cat coexistence in


central Sumatra: eecological characteristics, spatial and temporal overlap,
and implications for management. Journal of Zoology 296(2): 104–115

Sunquist, M.E., & F. Sunquist. 2002. Wild Cat of the World. The University of
Chicago Press Ltd. Chicago: ix + 443

Takon, T.J., A. Titus & O.E. Daniel. 2013. Assesment of local people attitude
towards natural resources conservation in Boki Local Goverment Area
Cross River State, Nigeria. Research Journal in Organizational Psyhology
and Educational Studies 2(2): 60–66

Tessema, M.E., Z.T.Ashenafi, R.J. Lilieholm & N. Leader-Williams. 2007.


Community attitudes toward wildlife conservation in Ethiopia.
Proceedings of the 2007 George Wright Society Conference: 287–292.

Treves, A & K.U. Karanth. 2003. Human-carnivore conflict and perspectives on


carnivore management woldwide. Conservation Biology 17(6): 1491–1499

van Dalum, M. 2013. Attitude change towards wildlife conservation and the role
of environmental education. Master Thesis. Utrecht University.
Netherlands.

Wadey, J., C. Fletcher & A. Campos-Arceiz. 2014. First photographic evidence


of flat-headed cats (Prionailurus bengalensis) in Pasoh Forest Reserve,
Peninsular Malaysia. Tropical Conservation 7(2): 171–177

Universitas Indonesia
160

Wibisono H.T. & J. McCarthy. 2010. Melanistic marbled cat from Bukit
Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Cat News 52: 9–10

Wilting, A., A.Cord, A.J. Hearn, D. Hesse, A. Mohamed, C. Thaeholt, S.M.


Cheyne, Sunarto, M.A. Jayasilan, J. Ross, A.C. Shapiro, A. Sebastian, C.
Breienmoser, J. Sanderson, D.W. Duckworth & H. Hofer. 2010.
Modelling the species distribution of flat-headed cats (Prionailurus
planiceps ), an endangered South-East Asian small felid. PLoS ONE 5(3):
1–18.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai