i
PERIODE INKUBASI, SUKSES MENETAS, DAN
TINGKAT KEBUGARAN TUKIK PENYU HIJAU
(Chelonia mydas) DI PANTAI SUKAMADE,
JAWA TIMUR
ii
Lembar Pengesahan
Drh. Ida Bagus Windia Adnyana, Ph.D Dr. drh. I.G.N.B. Trilaksana, M.Kes
NIP. 19640401 199003 1 002 NIP. 19690228 199703 1 003
Mengetahui
Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes Dr. Drh. Nyoman Adi Suratma, MP
NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 196003051987031001
iii
Tesis Ini Telah Diuji
pada Tanggal 21 DESEMBER 2016
Anggota :
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NIM : 1192361007
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
v
RIWAYAT HIDUP
Hewan (SKH) pada tahun 2011 dan pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tahun
Udayana.
Menetas, dan Tingkat Kebugaran Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai
Sukamade, Jawa Timur” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
karena hanya atas asung kertawara nugraha-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada
besarnya kepada
1. Prof. Dr. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor
magister.
3. Ketua Program Magister Ilmu Kedokteran Hewan Prof. Dr.Drh. I Ketut Puja,
MS, seluruh dosen dan staff yang selalu memberikan pendidikan dan diskusi
5. Drh. Ida Bagus Windia Adnyana, Ph.D, pembimbing I yang penuh kesabaran
6. Dr. Drh. Tjokorda Gede Oka Pemayun, MS, Dr. Drh. I Ketut Suatha,M.Si Dr.
Drh. Hapsari Mahatmi, MP selaku tim penguji atas kesempatan dan waktunya
vii
7. Tim TCEC Serangan atas kesempatan mempergunakan tempat penelitian, tim
kesempatan yang tidak akan saya lupakan. Kepada teman – teman sesama
8. Tim Usadha Buron Indonesia atas motivasi dan dukungannya Jiex Pujawan,
9. Orang Tua I Ketut Madra dan Ni Made Mustari dan adik – adik Ni Made
Devi Jayanthi dan Ni Luh Komang Ayu Mitri Jayanthi yang senantiasa
memotivasi.
10. Istri saya Ni Nyoman Pramika Utami dan I Wayan Wregsa Ning Prabawa
putra yang lahir di sela pengerjaan tulisan ini atas inspirasi dan dukungan
semangatnya
11. Tukik – tukik yang sudah dilepasliarkan setelah uji kebugaran atas bantuannya
kepada semua pihak yang telah membantu pelaksaan dan penyelesaian tesis ini.
viii
ABSTRAK
ix
ABSTRACT
x
RINGKASAN
Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah satu dari tujuh jenis penyu laut
yang masih ada di dunia. Seperti halnya jenis lainnya, penyu Hijau juga masuk
dalam daftar Apendiks I Convention on International Trade of Endangered
Species (CITES). Salah satu fokus konservasi penyu Hijau di Indonesia adalah
Pantai Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Indikator
keberhasilan management effectiveness suatu pengelolaan konservasi penyu di
habitat peneluran setidaknya harus meliputi tiga hal yaitu, angka penetasan,
temperatur inkubasi, serta power rate yang merefleksikan tingkat kebugaran tukik
(Adnyana 2012). Penelitian ini mengevaluasi dua metode pengelolaan konservasi
penyu di pantai Sukamade yaitu metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP. Penelitian
ini dilakukan di UPKP Sukamade Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten
Jember, Provinsi Jawa Timur dan Penangkaran Penyu TCEC (Turtle Conservation
and Education Center) Serangan, Bali. Penelitian ini dilakukan pada Bulan April
sampai Juni 2013. Sampel yang digunakan untuk sukses penetasan dan masa
inkubasi sebanyak 4.363 data penetasan di pantai Sukamade yang dikumpulkan
antara tahun 2008 hingga 2012. Sedangkan tingkat kebugaran menggunakan data
sebesar 14 ekor tukik penyu hijau. Evaluasi dilakukan dalam hal capaian target
sukses penetasan optimal, dengan rasio jenis kelamin seimbang, dan tingkat
kebugaran optimal. Penelitian dilakukan dengan membandingkan data sukses
menetas dan periode inkubasi dari metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP, kemudian
dilanjutkan dengan menguji kebugaran tukik setelah menetas selama masa
penangkaran untuk mendapatkan waktu terbaik dalam pelepasliaran. Proporsi
angka penetasan berkategori “baik” lebih tinggi pada metode Pasca – UPKP
(69,25%) dibandingkan dengan proporsi pada metode pengelolaan Pra – UPKP
(64,80%) dan statistik menunjukkan perbedaan ini signifikan. Periode inkubasi
metode Pra-UPKP menghasilkan jenis kelamin yang dominan bias ke betina,
sedangkan metode Pasca-UPKP jenis kelamin yang dihasilkan berimbang antara
bias jantan dan bias betina. Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang dihasilkan Pantai
Sukamade mengalami penurunan tiap-tiap minggunya selama masa penangkaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Pasca-UPKP lebih efektif daripada
metode Pra-UPKP dalam pengelolaan konservasi penyu di pantai Sukamade.
Periode pengelolaan Pasca-UPKP sebaiknya dilanjutkan dan dilakukan
optimalisasi sehingga tujuan utama untuk menghasilkan angka penetasan optimal,
jenis kelamin seimbang, dan waktu pelepasliaran tukik terbaik dapat tercapai
seperti pada kondisi alami melalui peningkatan kompetensi pengelola,
peningkatan fasilitas serta penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor utama
untuk optimalisasi UPKP Sukamade perlu dilakukan.
xi
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ........................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................. 5
xii
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 29
4.3. Penentuan Sumber Data ......................................................... 29
4.4. Besar Sampel ......................................................................... 29
4.5. Variabel Penelitian ................................................................ 29
4.6. Definisi Operasional Variabel ............................................... 30
4.7. Bahan Penelitian .................................................................... 31
4.8. Alat Penelitian ....................................................................... 31
4.9. Prosedur Penelitian ................................................................ 32
4.9.1. Tahap Pertama ........................................................... 32
4.9.2. Tahap Kedua ............................................................. 32
4.10. Analisis Data ......................................................................... 33
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Sukses Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
pada Pra-UPKP dan UPKP .................................................... 44
6.2. Periode Inkubasi Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
Pra-UPKP dan UPKP ............................................................. 46
6.3. Kebugaran Tukik Penyu Hijau yang Dihasilkan Pantai
Sukamade ............................................................................... 48
6.4. Efektifitas Metode Pengelolaan UPKP TNMB
Dibandingkan Dengan Metode Pengelolaan Pra-UPKP ........ 50
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3. Jumlah dan Proporsi Sarang Telur Penyu yang Menetas dengan
Kategori “Baik” dan “Buruk” di Pantai Sukamade Selama Kurun
2008 – 2012....................................................................................... 37
Tabel 4. Jumlah Sarang Telur Penyu yang Menetas Dalam Periode Inkubasi 40
Tabel 5. Statistik Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang
Diukur pada Waktu (Minggu) yang Berbeda. Satuan Power Rate
adalah Kali (X) .................................................................................. 42
Tabel 6. Perbedaan Nilai Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas)
yang Diukur pada Waktu (Minggu) yang Berbeda ........................... 42
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xv
DAFTAR SINGKATAN
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyu Hijau (Chelonia mydas) adalah satu dari tujuh jenis penyu laut
yang masih ada di dunia. Seperti halnya jenis lainnya, penyu Hijau juga masuk
Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Pantai ini
merupakan salah satu dari sedikit pantai peneluran penyu dengan populasi relatif
viable yang tersisa di kawasan Jawa hingga Nusa Tenggara (Adnyana, 2012).
penyu per malam (Purwanasari et al., 2006). Penyu Hijau (Chelonia mydas)
adalah jenis yang paling dominan bertelur di lokasi ini. Jenis lainnya adalah penyu
Lekang (Lepidochelys olivacea) bertelur dalam frekuensi relatif rendah dan tidak
1
2
1970. Awalnya, kegiatan hanya terbatas pada pendataan jumlah induk yang
bertelur. Pada tahun 1982 TNMB resmi dibentuk dan pantai Sukamade menjadi
pengelolaan konservasi penyu di lokasi tersebut. Mulai saat itu dilakukan upaya
sarang alaminya baik oleh manusia maupun non – manusia (Jayaratha, 2006).
menghasilkan tukik bugar dalam jumlah optimal dan rasio jenis kelamin seimbang
(Adnyana, 2012). Apakah metode atau cara – cara pengelolaan dimaksud sudah
efektif atau belum dalam konteks menghasilkan tukik bugar dalam jumlah optimal
dan rasio jenis kelamin seimbang? Hingga saat ini, pertanyaan ini belum pernah
dan evaluasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan konservasi
konservasi penyu di habitat peneluran setidaknya harus meliputi tiga hal yaitu,
apakah jumlah tukik yang dihasilkan sudah optimal atau belum. Angka penetasan
telur penyu idealnya harus lebih dari 70%, karena secara alami ketahanan hidup
tukik hingga menjadi penyu dewasa sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya ancaman mulai dari saat menetas hingga periode hidup di lautan.
permukaan pasir pesisir (Booth et al., 2004). Untuk itu, kebugaran tukik yang
dihasilkan sangat penting untuk mencapai tingkat ketahanan hidup yang optimal
pada fase ini. Selain itu, kebugaran yang optimal juga diperlukan untuk
dijangkau seekor tukik di laut lepas sebelum mencapai fase hidup mengapung di
lautan. Dalam siklus hidupnya saat mencapai dewasa kelamin, penyu akan
jantan dan betina seimbang. Rasio kelamin yang seimbang adalah 1 : 1, namun
masih dianggap baik meskipun terjadi dominasi salah satu jenis kelamin tanpa
inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertukaran gas, komposisi
substrat pada pasir, adanya naungan sinar matahari, curah hujan, temperatur
udara, dan panas akibat aktivitas metabolisme (Zbinden et al., 2005; Carr, 1968).
inkubasi (Carr, 1968 dan Mrosovsky dan Yntema. 1980). Melalui pengukuran dan
4
Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur sebelum dan
ini?.
5
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur sebelum dan sesudah
Peneluran Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur secara umum,
Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur secara umum maupun
peneluran ini?
3. Kebugaran tukik penyu Hijau (Chelonia mydas) yang dihasilkan dari pantai
Sukamade.
Atas dasar informasi ini dapat disarankan kepada pihak Unit Pengelola
(kalau belum baik) strategi pengelolaan produksi tukik penyu Hijau di pantai
peneluran Sukamade Taman Nasional Meru Betiri, demi tercapainya tujuan utama
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia,
yang berasal dari dua famili yaitu Cheloniidae dan Dermochelyidae. Salah satu
spesies dari famili Cheloniidae yang tersebar luas dan jumlah terbanyak di
perairan Indonesia adalah Penyu Hijau (Adnyana dan Hipiteuw, 2012). Penyu
ilmiah penyu Hijau ditulis Chelonia mydas. Taksonomi penyu Hijau menurut
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Class : Reptilia
Ordo : Testudinata
Family : Chelonidae
Genus : Chelonia
Penyu Hijau memiliki tempurung punggung yang terdiri dari sisik – sisik
yang tidak tumpang tindih. Warna karapaks pada tukik adalah hitam, remaja
kemudian warnanya akan bervariasi saat dewasa mulai dari warna coklat muda,
6
7
coklat kemerahan, kadang terdapat bitik yang lebih gelap dari warna dasarnya
plastronnya adalah putih pada tukik dan kekuningan saat dewasa. Pada bagian
kepala penyu Hijau memiliki satu pasang sisik prefrontal dan empat pasang sisik
postorbital. Pada masing – masing flipper terdapat satu kuku dan flipper bagian
depan lebih panjang dari pada bagian belakang. Penyu Hijau mudah dikenali
dengan melihat adanya empat sisik costal dan lima sisik vertebral pada karapaks
dengan sisik yang tersusun tidak saling tumpang tindih. Berikut adalah gambar
Sepasang
sisik
prefrontal
5 sisik vertebral
4 pasang sisik
kostal
4 pasang sisik
inframarginal
4 pasang sisik
post ocular
morfologi sebelum mencapai dewasa kelamin. Setelah berusia 20-50 tahun, jenis
kelamin pada penyu dapat diamati dari perbedaan panjang ekor, yang biasanya
penyu jantan memiliki ekor yang lebih panjang. Ketika penyu siap untuk
bereproduksi, penyu jantan dan penyu betina akan bermigrasi dari ruaya pakan
ke ruaya kawin. Setelah kawin, penyu jantan akan kembali ke ruaya pakan dan
penyu betina menuju ke area peneluran dimana dulunya penyu tersebut menetas
(nest side fidelity) (Limpus et al, 1984). Selama periode peneluran, Penyu Hijau
betina akan berada di sekitar pantai peneluran (interesting area) selama 10 sampai
17 hari dengan rata-rata 12 hari, dan dalam kurun waktu tersebut penyu betina
akan bertelur sebanyak 3-5 kali. Setelah periode peneluran tersebut habis, penyu
betina akan kembali ke ruaya pakan dan mengulangi siklus reproduksi tersebut.
Siklus ini terjadi beberapa kali sampai masa reproduktifnya di musim tersebut
habis. (Hirth, 1980; Clarine, 2005). Setelah masa reproduktif yang hanya
beberapa bulan, penyu betina akan kembali ke ruaya pakan dan memulai
sebagai akibat dari kemiripan dalam morfologi dan batasan ekologi (bentuk tubuh
yang hampir sama dan persyaratan ketika bertelur di darat). Tempat dan kondisi
yang dibutuhkan untuk bersarang juga hampir sangat mirip seperti akses yang
mudah dari laut dalam menuju pantai peneluran, pasir dengan tekstur yang
9
longgar dan berada cukup tinggi dari air pasang (Ackerman, 1997). Penyu betina
akan memilih tempat bertelur setelah dibuahi. Penyu bertelur di dalam pasir
pantai. Penyu biasanya bertelur 5-7 kali tiap musim peneluran. Setelah telur
menetas dan menjadi tukik, tukik akan menuju lautan. Masa – masa antara tukik
Penyu Hijau sebagaimana jenis penyu lainnya menelurkan dua jenis telur,
yaitu telur yang normal dan telur yang tidak normal. Telur yang normal
berbentuk bulat, dengan kulit yang lembek, mengandung kapsul albumin, dan
(Miller,1985). Sedangkan telur yang tidak normal dapat memiliki ukuran yang
sangat besar atau sangat kecil dibandingkan dengan telur lainnya dan kuning telur
lebih dari satu, telur dengan diameter sangat besar biasanya lebih besar satu per
dengan ukuran sangat besar biasanya mengandung dua kuning telur yang
penetesan meskipun satu dari dua embrio berhasil berkembang. Kuning telur
ganda ini dibentuk dari unit kuning telur yang sama dan mengandung albumin dan
Kondisi ini memiliki peluang menetas yang lebih besar apabila kedua kuning telur
ini dapat terpisah denga sempurna. Telur yang berukuran sangat kecil berukuran
10
lebih kecil dari setengah diameter telur yang normal. Telur ini mengandung
sebagian besar albumin dan begranula. Kuning telur pada telur yang sangat kecil
telur tidak dapat berkembang dan tidak dapat menetas (Miller 1985, 1997, 1999,;
Van Buskirk dan Crowder, 1994). Penyu Hijau biasa menghasilkan telur sebanyak
100-115 butir telur (Clarine, 2005) dengan ukuran telur berdiameter ± 44,9 mm
konservasi penyu laut karena dapat menjadi tolak ukur kesesuaian pantai
peneluran sebagai sistem inkubasi dan kesehatan dari penyu yang bertelur. Sukses
menetas (hatching success) adalah total jumlah tukik dalam satu sarang yang
berhasil lepas dari cangkangnya yang dapat juga ditentukan dengan menghitung
jumlah cangkang yang berukuran >50% ukuran awal (Miller, 1999). Hatching
success Penyu Hijau berkisar antara 87,7% - 96,7% (Silalahi, 1989), sedangkan
presentase penetasan telur hijau pada sarang semi alami berkisar antara 80% -
100%, dengan nilai rata – rata 96,2% (Alfiah, 1989). Tingkat kesuksesan
setelah telur dikeluarkan dari tubuh induk. Pada proses ini terjadi pertukaran
panas, H2O, O2, dan CO2 dengan telur lain dalam sarang dan dengan lingkungan
pertukaran ini, karena proses ini menghasilkan panas dan CO2 dan menghirup O2.
11
Embrio juga dapat memproduksi atau memerlukan H2O. Pengaruh osmosis dari
lingkungan terhadp telur dipengaruhi oleh pertukaran udara dan H2O yang terjadi
antara telur dan lingkungan sekitar. Oleh karena bagian ekstraembrionik terdapat
diantara embrio dan lingkungan, bagian ini dapat menjadi penyangga dalam
proses interaksi antara embrio dan lingkungan hingga embrio menjadi organisme
Bahan bakarnya terdapat pada kuning telur yang kemudian didistribusikan menuju
sel – sel yang kemudian diubah menjadi energi untuk berdiferensiasi dan tumbuh
(Ackerman,1997).
penyu (Ackerman, 1997, Herrera, 2010). Suhu ideal masing – masing jenis penyu
2006). Both et al., 2004, menyatakan bahwa suhu mempengaruhi jenis kelamin,
ukuran setelah lahir, massa kuning telur, dan kemampuan untuk berenang. Pada
Penyu Hijau suhu 26°C hingga 28°C menghasilkan penyu jantan, sedangkan suhu
28°C hingga 30°C menghasilkan penyu betina. Suhu yang lebih rendah juga
suhu diatas 33°C dan dibawah 24°C menyebakan kematian telur penyu. Suhu juga
embrio tukik juga dipengaruhi oleh temperatur metabolik pada tahap akhir
inkubasi. Temperatur pasir yang dipengaruhi oleh curah hujan dan paparan sinar
matahari dapat mempengaruhi pembentukan otot dari tukik, disisi lain temperatur
12
pasir yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan kadar O2 dalam sarang, sehingga
dapat menurunkan angka penetasan (Segura dan Cajade, 2010). Ketiga komposisi
hatching success., hal ini dikarenakan pertukaran gas dan kelembaban yang baik
dipengaruhi oleh pasir dengan partikel yang kecil (Fuhler, 2005). Pengendapan
substrat di permukaan pasir yang terbawa oleh air laut dapat mempengaruhi
1997 ;Rattermen dan Ackerman, 1989). Penumpukan endapan di atas pasir akan
menghalangi proses penguapan dan pertukaran oksigen pada telur dan sekitarnya.
meningkatkan angka hatching mortality (Tracy et al. 1978; Kam, 1994; Tucker et
al, 1998; Foley et al., 2006). Peningkatan endapan di permukaan sarang juga
sehingga nantinya akan lebih banyak tukik jantan yang akan dihasilkan (Houghton
et al. 2007).
Keempat air dalam telur dan dalam pasir. Telur penyu Hijau mengandung
air saat ditelurkan. Air tersimpan pada albumen pada awal inkubasi dan
membutuhkan asupan air dalam usahanya untuk menetas. Pada pasir yang kurang
mengandung air, angka penetasan dari telur penyu Hijau mengalami penurunan.
Namun hanya sedikit data yang diketahui tentang banyaknya pertukaran air yang
terjadi selama proses inkubasi (Ackerman, 1997). Faktor kelima adalah pertukaran
13
gas, pertukaran gas sangat penting untuk tingkat kesuksesan telur penyu,
embrionik. Diperlukan luasan area dan jarak antarsarang yang ideal untuk
sarang berpengaruh pada sirkulasi O2 dan CO2 yang kemudian berpengaruh pada
tingkat kesuksesan penetasan telur penyu (Honarvar et al., 2008). Pertukaran gas
juga dipengaruhi oleh kondisi pasir tempat telur penyu ditanam, pasir dengan
partikel yang kecil memungkinkan pertukaran gas yang baik (Fuhler, 2005).
butir persarang ternyata lebih besar daripada kepadatan 75 dan 100 butir per
Faktor ketujuh yaitu naungan sinar matahari. Posisi sarang yang berada pada
penanaman telur pada sarang tanpa naungan. Sarang yang tidak mendapatkan
naungan lebih banyak mendapat pengaruh – pengaruh ekstrim dari luar seperti
panas matahari dan hujan (Sukada, 2009). Terdapat perbedaan temperatur dan
kadar air di dalam sarang tanpa naungan dengan sarang yang berada di bawah
naungan. Hal ini disebabkan karena perbedaan frekuensi paparan langsung dari
hujan dan sinar matahari yang nantinya dapat mempengaruhi suhu pasir dalam
sarang. Suhu pasir selama periode inkubasi yang bervariasi nantinya akan
inkubasi. Presentase kematian tukik dalam telur lebih tinggi terjadi pada
lingkungan yang terlalu kering, karena telur penyu sangat sensitif terhadap
pertukaran air, sehingga volumenya menjadi lebih besar (Miller, 1997; 1999).
Faktor Kedelapan adalah aktivitas relokasi. Pada saat melakukan relokasi sarang
dari pantai peneluran, terdapat faktor yang dapat menentukan tingkat hatching
success. Menurut Soedhono (1985) sesaat setelah telur dikeluarkan oleh induk,
terjadi berbagai proses biologi. Proses tersebut sangat rentan terhadap faktor yang
Harless dan Morlock (1979) telur penyu yang mengalami perubahan posisi maka
Perubahan posisi telur penyu pada tahap awal perkembangan embrio akan
kematian embrio, kondisi yang sensitif terutama pada 2 hingga 72 jam setelah
oviposisi. Faktor kesembilan yaitu predator, predator merupakan salah satu faktor
tingkat penetasan telur penyu akibat perusakan sarang dan konsumsi telur penyu,
predator yang berperan adalah anjing (dengan akibat kerusakan terbesar), burung
pemakan bangkai, dan kalkun. Anjing menemukan sarang dalam berbagai tahap
dipengaruhi oleh posisi sarang dan bukan oleh jumlah sarang. Predator merusak
sarang lebih banyak pada periode akhir dari musim peneluran, dibandingkan
dengan awal musim peneluran. Kesepuluh adanya bahan organik dan vegetasi
yang menutupi sarang, pada sarang dengan kandungan organik yang semakin
yang berada di pasir yang terbuka memiliki persentase penetasan yang lebih besar
(Ditmer dan Stapleton, 2012). Ksebelas yaitu posisi sarang, pemilihan posisi
telur, posisi sarang yang baik, sedikit vegetasi, dan predator memberikan tingkat
penetasan yang lebih baik. Posisi sarang yang tepat memberikan suhu yang
optimal untuk tumbuh dan sirkulasi udara yang baik untuk perkembangan embrio
(Serafini et al., 2008). Posisi yang jauh dari ombak jjuga memberikan dampak
dapat mengakibatkan erosi pantai, peningkatan tinggi air dipantai, dan terjadinya
banjir yang dapat merusak telur penyu. Angin topan yang sering terjadi
ditambah dengan adanya massa air dalam sarang dapat menurunkan tingkat
penetasan (Foley et al, 2006). Pada penyu Hijau yang diamati di Cyprus,
16
penetasan telur juga dipengaruhi oleh kelembapan yang juga dipengaruhi oleh
pengaruh faktor lain seperti kelembapan yang memicu tumbuhnya jamur pada
cangkang telur (Solomon dan Baird, 1980). Beberapa jenis potensial pathogen
Pseudomonas sp., Proteus sp., Streptococcus sp., Staphylococcus sp., Bacillus sp.,
dan Clostridium sp., diisolasi dari sarang penyu Hijau dan dari tukik yang gagal
diletakan di dalam pasir sampai tukik keluar dari dalam sarang (Ewert, 1979).
Faktor – faktor yang mempengaruhi periode inkubasi selain kadar air dan
temperatur adalah kadar oksigen, komposisi dan tekstur pasir, dan cuaca. Periode
inkubasi pada musim hujan akan lebih lama dibandingkan pada saat musim panas
beda dan dipengaruhi juga oleh temperatur. Hal ini juga terjadi pada telur Penyu
Hijau yaitu pada suhu 23°C-25°C telur Penyu Hijau akan mengalami periode
inkubasi selama ±75 hari dan pada suhu 32°C periode inkubasinya selama ± 45
hari. Perbedaan suhu 1°C akan menambah lama periode inkubasi selama lima hari
17
(Adnyana, 2012; Purwanasari, 2006). Panas yang berasal dari metabolisme telur
akan menurunkan periode inkubasi, karena laju inkubasi sangat dipengaruhi oleh
(Carr, 1968).
Jenis kelamin pada penyu juga dipengaruhi oleh suhu sarang, suhu antara
29°C-32°C akan menghasilkan penyu betina dan suhu antara 23°C-29°C akan
menghasilkan penyu jantan (Fuentes, 2010, Herrera, 2010). Fenomena ini disebut
terpapar oleh suhu saat fase perkembangan perbedaan jenis kelamin. Semua jenis
penyu termasuk TSD (Herrera, 2010; Adnyana, 2013; Mrosovsky dan Yntema,
1980,) dengan periode sensitive saat fase pertengahan dari inkubasi (Herrera,
2010). Pada penyu Hijau terdapat suhu yang konstan yang dapat menghasilkan
jenis kelamin dengan perbandingan 1:1. Suhu ini disebut dengan suhu Pivotal,
Herrera, 2010; Yntema dan Mrosovsky, 1982). Penyu Hijau memiliki pivotal
temperatur pada suhu 28,26°C (Lutz dan Musick, 1997). Untuk penyu, inkubasi
dibawah suhu pivotal akan menghasilkan dominasi jenis kelamin jantan dan diatas
suhu pivotal akan menghasilkan dominasi jenis kelamin betina (Fuentes, 2010,
Adnyana, 2013).
18
Dalam siklus hidupnya, tukik secara alami akan menuju pantai setelah
diketahui bahwa potensi bahaya predator yang muncul adalah saat-saat awal dari
pantai hingga menuju lautan (Booth dkk, 2004). Tingkat kebugaran yang baik
akan membantu tukik untuk bertahan hidup selama fase awal menuju lautan.
makanannya habis dan mengapung di lautan hingga mampu mencari ruaya pakan
(Lutz dan Musick, 1997). Oleh karena itu, tingkat kebugaran tukik menjadi tolak
ukur harapan hidup bagi tukik yang baru lahir untuk mengarungi lautan. Tingkat
kebugaran tukik dapat dilihat dari kemampuan tukik dalam mengayuhkan siripnya
untuk berenang di lautan. Kemampuan ini disebut power stroke (Adnyana, 2013,
Booth dkk, 2004). Power stroke ditentukan oleh berbagai macam faktor. Pada
tahun 2004 dilakukan penelitian oleh Booth dkk, ternyata faktor masa inkubasi
dan suhu inkubasi berpengaruh terhadap power stroke tukik. Dalam pelaksaan
konservasi penyu, seringkali tukik tidak dilepas langsung ke laut setelah menetas,
power stroke tukik selama masa penangkaran sebelum dilepas ke laut (Adnyana,
2013).
di kawasan Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu pantai peneluran
penting di Jawa Timur. Empat jenis penyu dilaporkan bertelur disepanjang 3 (tiga)
19
km pantai peneluran ini. Mereka adalah penyu Hijau, Belimbing, Sisik, dan
sedangkan jenis lainnya sangat jarang. Jumlah sarang per tahun yang ditemukan di
Sukamade berkisar antara 177-2072 sarang. Suatu kajian yang dilakukan oleh tim
gabungan dari Universitas Udayana, WWF (World Wide Fund for Nature)
memperkiran bahwa jumlah penyu Hijau yang bertelur di lokasi ini tidak kurang
dari 500 ekor per tahun (Adnyana, 2012). Musim peneluran terjadi sepanjang
yang unik dan berbeda dengan populasi penyu lainya disekitar Australasia,
sehingga apabila penyu di lokasi ini punah, maka tidak akan dapat direkolonisasi.
lain, kepunahan populasi penyu yang terjadi di pantai Sukamade akan menjadi
permanen. Untuk itu perlu dilakukan usaha yang tepat dalam melindungi dan
meningkatkan populasi penyu di Pantai Sukamade. Untuk itu, pada tahun 2010
UPKP ini memiliki misi yaitu meningkatkan produksi tukik dan masa inkubasi
2012).
20
tahun 1970. Ketika itu kegiatannya hanya terbatas pada pendataan jumlah induk
21
yang bertelur. Pada tahun 1982 Taman Nasional Meru Betiri resmi dibentuk dan
pantai Sukamade menjadi salah satu wilayahnya. Pengukuhan status tersebut juga
sebelumnya yang hanya terbatas pada pendataan jumlah induk yang bertelur
disebelah utara batas akhir vegetasi pantai. Karena alasan teknis dan operasional,
pada periode tahun 2000-an, penetasan telur dilakukan di suatu areal yang
menjadi satu dengan pos pengamanan; yang berjarak ± 800 meter dari pantai
peneluran. Saat itu, metode inkubasi telur penyu dilakukan dengan cara
berukuran sedang (30-50 cm). Metode ini disebut metode Pra-UPKP yang
Pada tahun 2011 metode penetasan telur penyu ini diubah dengan cara
diduga hanya menghasilkan tukik jantan saja (Suprapti dkk, 2006). Ruangan ini
merupakan bangunan dengan atap dan tembok setengah tinggi bangunan, sisa
empat blok dengan luas masing-masing blok adalah 1m x 3m x 6m. Blok tersebut
berisi pasir sedalam 1 meter dengan bantalan tanah. Mulai tahun 2010 pasir
diganti dua kali dalam satu tahun dan pada tahun 2013 akan dilakukan pergantian
pasir sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Dilakukan penyiraman saat tidak ada
telur penyu yang diinkubasikan yang biasanya dilakukan tiga kali dalam sebulan.
22
Pada malam hari seringkali lampu dihidupkan untuk penerangan, kalau ada telur
yang akan menetas maka lampu dimatikan. Sarang semi-alami yang dibuat untuk
satu telur penyu memiliki kedalaman 70-80 cm, dengan Jarak antar sarang adalah
30-50 cm. Apabila telur telah menetas maka akan ditunggu hingga 5-7 hari sampai
semua tukik keluar dari sarang tersebut untuk kemudian dilepaskan ke laut
konservasi penyu yang dibentuk oleh Taman Nasional Meru Betiri Tahun 2010.
pengamatan atau patroli malam hari yang dapat berlangsung hingga subuh. Patroli
bertujuan untuk mengamati ada tidaknya penyu yang naik untuk bertelur,
penanda (Tag). Relokasi sarang dilakukan menggunakan karung atau ember (satu
BAB III
penyu. Untuk itu di Pantai Sukamade dilakukan upaya konservasi penyu sejak
tahun 1970-an hingga saat ini. Dalam periode tersebut, telah dilakukan berbagai
induk yang bertelur dan menghasilkan produksi tukik yang optimal. Upaya yang
dilakukan adalah dengan patroli pengamanan induk yang bertelur dan merelokasi
menghasilkan tukik yang bugar dengan jumlah yang optimal dan memiliki rasio
kelamin yang seimbang. Luaran tersebut seharusnya dapat menyamai atau lebih
dengan menduga dari lamanya periode inkubasi (Booth et al., 2004). Dengan data
periode inkubasi juga dapat diprediksi rasio jenis kelamin yang dihasilkan.
24
25
antara lain curah hujan, komposisi substrat, naungan sinar, pertukaran gas dan
temperatur udara. Pada akhir periode inkubasi, telur juga akan menghasilkan
inkubasi yang ideal untuk menghasilkan jumlah tukik yang optimal dengan rasio
jenis kelamin yang seimbang. Desain penelitiannya adalah seperti yang dijelaskan
tukik yang dilakukan dengan menguji kebugaran tukik tiap–tiap minggu setelah
tukik menetas. Tingkat kebugaran dilihat dari kemampuan mengayuh sirip (power
stroke).
26
3.2. Konsep
Menunjukkan faktor – faktor yang berpengaruh dalam sukses penetasan
Sukses Penetasan
Temperatur
Metode Optimal
Inkubasi
Pra- UPKP
Metode
Pasca- Kebugaran Tukik
Lama Optimal
UPKP Penangkaran
3.3. Hipotesis
Hipotesis Penelitian
pengelolaan pra-UPKP.
pengelolaan pra-UPKP.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1.1. Rancangan 1
27
28
perlakuan/kondisi tersebut tidak tahu kapan terjadinya dan oleh siapa. Simbol
dua macam, tiga macam, dst), namun hanya menunjukkan bahwa “ada semacam
4.1.2. Rancangan 2.
telur pnyu Hijau dari pantai Sukamade, kemudian diinkubasikan. Setelah menetas,
pada minggu pertama, kedua, dan ketiga di penangkaran. Dari perhitungan power
stroke tiap – tiap minggu akan didapatkan tingkat kebugaran tukik. Telur penyu
Hijau yang diinkubasikan sebanyak 55 butir (Adnyana, 2013). Jumlah ini didapat
dari proses koleksi telur yang mewajibkan pembatasan karena status Penyu
sebagai hewan dilindungi. Telur-telur ini diambil secara acak saat dilakukan
Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur dan Penangkaran Penyu TCEC (Turtle
Data yang digunakan adalah data sekunder pada masa inkubasi dan sukses
tahun 2008 hingga 2012. Sedangkan tingkat kebugaran menggunakan data sebesar
Tahap pertama
Tahap kedua
konservasi penyu yang dilakukan tahun 200an hingga 2010 dengan pemindahan
telur dari sarang alami ke sarang buatan yang berupa penampungan untuk
ditetaskan. Telur ditetaskan di suatu areal yang menjadi satu dengan pos
pengamanan; yang berjarak ± 800 meter dari pantai peneluran. Saat itu, metode
inkubasi telur penyu dilakukan dengan cara menanamnya pada pasir yang
yang dilakukan setelah tahun 2010 dengan pemindahan telur dari sarang alami ke
sarang buatan yang berupa ruangan penetasan. Ruangan ini merupakan bangunan
dengan atap dan tembok setengah tinggi bangunan, sisa tingginya ditutupi dengan
jalinan kawat berlubang. Di dalam bangunan terdapat empat blok dengan luas
meter dengan bantalan tanah. Mulai tahun 2010 pasir diganti dua kali dalam satu
tahun dan pada tahun 2013 akan dilakukan pergantian pasir sebanyak tiga kali
dalam satu tahun. Dilakukan penyiraman saat tidak ada telur penyu yang
diinkubasikan yang biasanya dilakukan tiga kali dalam sebulan. Pada malam hari
seringkali lampu dihidupkan untuk penerangan, kalau ada telur yang akan menetas
maka lampu dimatikan. Sarang semi-alami yang dibuat untuk satu telur penyu
memiliki kedalaman 70-80 cm, dengan Jarak antar sarang adalah 30-50 cm.
Apabila telur telah menetas maka akan ditunggu hingga 5-7 hari sampai semua
tukik keluar dari sarang tersebut untuk kemudian dilepaskan ke laut. Metode
UPKP juga melakukan penambahan jumlah personel yang lebih terlatih daripada
metode Pra-UPKP.
31
tahun 2010. Metode ini diharapkan dapat memeberikan sirkulasi udara yang baik,
paparan sinar yang cukup, dan aman dari predator (Adnyana, 2013).
Sukses penetasan adalah angka yang didapat dari jumlah telur yang
menetas dari seluruh telur yang diinkubasikan dalam satu sarang. Sedangkan
periode inkubasi adalah, lamanya hari yang dibutuhkan telur – telur tersebut untuk
Power Stroke adalah ukuran kebugaran seekor tukik yang diukur dari
jumlah kepakan sirip tukik dalam waktu tertentu (Booth et al., 2004).
Jumlah tukik adalah banyaknya tukik yang menetas dari sampel 55 butir
telur yang didapatkan dari patrol petugas di pantai Sukamade yang diambil secara
Bahan penelitian ini adalah data periode inkubasi dan tingkat penetasan
telur penyu Hijau di pantai Sukamade dan 55 telur penyu Hijau yang didapatkan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pencatat, alat ukur
selama tahun 2008 – 2012, yang masih berupa data laporan tertulis, akan
yang sebelumnya telah dikalkulasikan, dengan nilai / presentase acuan yang telah
ditetapkan. Selanjutnya data sekunder periode inkubasi akan diproses dengan cara
yang sama. Rasio kelamin dari daya penetasan akan dapat ditentukan dari
Sukamade untuk mendapatkan telur penyu Hijau yang baru ditelurkan. Telur ini
didapatkan secara acak oleh petugas patroli di pantai Sukamade, adapun jumlah
telur terkait dengan ijin yang didapatkan dari UPKP TNMB. Telur – telur yang
masa inkubasi, pengukuran panjang dan lebar karapaks, berat badan, dan
diulang tiap – tiap minggu selama 4 minggu. Pengujian ini dilakukan kepada
Tahap Pertama
rumus :
Keterangan :
Tahap Kedua
ANOVA menggunakan Analyze stroke rate data dilanjutkan dengan uji Duncan
BAB V
HASIL PENELITIAN
Sukamade dari tahun 2008 hingga tahun 2012 relatif baik, berkisar antara 0 - 100
menunjukkan bahwa rerata angka penetasan sangat fluktuatif dari tahun ke tahun
(Grafik 1), dengan nilai tertinggi (78,54 % ± 18,804 %) terjadi pada tahun 2009
dan nilai terendah (68,89 % ± 20,674 %) terjadi pada tahun 2010 (Tabel 1). Uji
P = 0,0001). Uji beda dua nila rerata dengan metode Least Significant Difference
(LSD) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara rerata angka
penetasan pada tahun 2012 (73,69 % 20,282 %) dan 2011 (73.12 % 23.797 %),
sebelumnya (2010, 2009, dan 2008). Sementara itu, perbedaan antara rerata angka
penetasan yang diperoleh pada tahun 2008 dan 2010 adalah tidak signifikan,
penetasan yang terjadi pada tahun 2009 (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan beda
rerata adalah signifikan pada taraf ()0,05. Uji dua nilai rerata dilakukan dengan
34
35
Tabel 1. Rerata Sukses Penetasan Sarang – Sarang Telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas) Pertahun di Pantai Sukamade dari tahun 2008 – 2012.
UPKP: 2008 – 2010 dan Pasca – UPKP: 2011 – 2012), maka rerata angka
penetasan ditemukan relatif lebih tinggi pada periode pengelolaan pra – UPKP
pada kedua periode pengelolaan memberikan rerata angka penetasan yang baik (>
70%).
37
meliputi semua sarang telur penyu dengan angka penetasan > 70%, dan kategori
“Buruk” jika angka penetasannya < 70%. Periode Pra – UPKP berlangsung dari
tahun 2008 – 2010, sedangkan Pasca – UPKP dari tahun 2011 – 2012. Secara
66,49%% dibandingkan dengan yang berkategori “buruk” (33, 51%). Jika kedua
“baik” ternyata lebih tinggi pada periode pengelolaan pasca – UPKP (69,25%)
Pantai Sukamade sedikit lebih baik pada periode pasca dibentuknya Unit
Tabel 3. Jumlah dan Proporsi Sarang Telur Penyu yang Menetas dengan
Kategori “Baik” dan “Buruk” di Pantai Sukamade Selama Kurun 2008
– 2012.
Kategori Proporsi (%) Angka
Periode Pengelolaan Penetasan Total Sarang
Baik Buruk
Pra - UPKP 1712 (64,80%) 934 (35,30%) 2646 (100%)
Pasca - UPKP 1189 (69,25%) 528 (30,75%) 1717 (100%)
Total periode pengelolaan 2901 (66,49%) 1462 (33,51%) 4363 (100%)
38
Pasca-UPKP
Periode atau masa inkubasi yang diinginkan adalah periode inkubasi yang
Dominasi salah satu jenis kelamin masih dapat diterima asalkan tidak
menghilangkan keberadaan jenis kelamin lainnya. Pada penelitian ini jumlah data
masa inkubasi berkisar antara 49 - 93 hari, dengan rerata 60,75 hari ± 6,454 hari.
Selang kepercayaan dalam level 95% berada diantara 60,56 – 60,94 hari
tukik (jantan : betina) yang dihasilkan di lokasi ini relatif seimbang selama kurun
hari), sedangkan rerata periode inkubasi pada metode pengelolaan pasca – UPKP
adalah 63,72 ± 8,238 hari (berkisar antara 51 – 93 hari). Berdasarkan fakta ini,
kedua periode pengelolaan tampak memberikan tukik dengan rasio kelamin relatif
seimbang. Namun, ketika data dipartisi menjadi tiga kategori (Gambar 6), yaitu
kisaran masa inkubasi yang diketahui memberikan rasio jenis kelamin bias ke
betina / kategori I (49 – 58 hari), kisaran masa inkubasi yang memberikan rasio
jenis kelamin seimbang / kategori II (59 – 65 hari), serta kisaran masa inkubasi
39
yang diketahui bisa memberikan rasio jenis kelamin bias ke jantan / kategori III
periode pengelolaan), proporsi jumlah sarang telur penyu yang menetas dalam
kelamin betina) adalah tertinggi (45%), diikuti dengan proporsi jumlah sarang
telur yang menetas dalam kurun masa inkubasi kategori II (39%) dan III (16%).
Ini mengindikasikan bahwa secara proporsional, rasio jenis kelamin tukik yang
pasca – UPKP. Dalam periode pengelolaan yang disebut terakhir ini, proporsi
jumlah sarang telur penyu yang menetas pada masa inkubasi kategori I, II, dan III
relatif berimbang (Grafik 2), sehingga diharapkan akan memberikan rasio jenis
kelamin seimbang pada tukik-tukik yang telah dihasilkan. Angka absolut total
sarang telur penyu yang ditetaskan pada periode inkubasi dengan kategori I, II,
inkubasi kategori III (cenderung menghasilkan tukik dengan rasio kelamin bias
ke-jantan).
40
Gambar 6. Grafik Proporsi Jumlah Sarang Telur Penyu yang Menetas Pada
Metode Pra-UPKP dan Pasca-UPKP
Tabel 4. Jumlah Sarang Telur Penyu yang Menetas Dalam Periode Inkubasi.
Kategori Periode Inkubasi
I II III
Periode Pengelolaan (49-58 hari) (59-65 hari) (66-93 hari) Total Sarang
Pra UPKP 1401 1116 128 2645
Pasca UPKP 573 564 581 1718
Keseluruhan Periode
Pengelolaan 1974 1680 709 4363
Dalam penelitian ini digunakan 14 ekor tukik dari sejumlah 24 ekor yang
dihasilkan dari penetasan 55 butir telur penyu Hijau asal pantai Sukamade. Masa
atau periode inkubasi sarang telur ini adalah 51 hari, yang mengindikasikan
bahwa jenis kelaminnya kebanyakan (jika tidak semua) adalah betina. Rerata berat
tukik adalah 28,36 ± 3,608 gram, dan panjang lurus karapasnya (SCL) adalah 5,33
karapasnya, secara berurutan adalah 5,74 ± 0,339 sentimeter dan 5,28 ± 0,291
41
per periode (minggu) pengamatan. Data yang dipergunakan adalah rerata dari
kepakan per 30 detik yang diukur sesaat setelah menetas (Minggu I) adalah 58
bermakna (P = 0,161) terjadi pada Minggu II (rerata = 55,00 5,643 kali, kisaran
antara 44 – 61 kali). Penurunan rerata nilai power rate yang sangat tajam (P =
0,0001) terjadi pada Minggu III (rerata = 42,43 4,879 kali, kisaran antara 33 –
53 kali) dan Minggu IV (rerata = 34,64 3,342 kali, kisaran antara 30 - 43). Ini
lepas, yang akan berimplikasi pada kemampuan meloloskan dirinya dari predator
yang ada di pesisir pantai. Ringkasan statistik nilai power stroke serta perbedaan
nilai yang diukur pada Minggu pertama hingga keempat ditampilkan pada Tabel 5
dan 6. Tabel 6 menunjukkan beda rerata adalah signifikan pada taraf () 0,05. Uji
dua nilai rerata dilakukan dengan metode Least Significant Difference (LSD).
Tampilan grafik kecenderungan penurunan nilai power rate dari Minggu I hingga
Tabel 5. Statistik Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang Diukur
pada Waktu (Minggu) yang Berbeda. Satuan Power Rate adalah Kali
(X).
Selang Kepercayaan
Kisaran
Standar Standar 95% Untuk Rerata
Minggu N Rerata
Deviasi Error Batas Batas
Minimum Maximum
Bawah Atas
I 14 58.00 7.606 2.033 53.61 62.39 44 68
II 14 55.00 5.643 1.508 51.74 58.26 44 61
III 14 42.43 4.879 1.304 39.61 45.25 33 53
IV 14 34.64 3.342 .893 32.71 36.57 30 43
Total 56 47.52 10.976 1.467 44.58 50.46 30 68
Tabel 6. Perbedaan Nilai Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang
Diukur pada Waktu (Minggu) yang Berbeda.
Minggu Minggu Perbedaan Standar Selang Kepercayaan 95%
Signifikansi
(I) (J) Rerata (I-J) Error Batas Bawah Batas Atas
II 3.000 2.110 .161 -1.23 7.23
I III 15.571* 2.110 .000 11.34 19.81
IV 23.357* 2.110 .000 19.12 27.59
I -3.000 2.110 .161 -7.23 1.23
II III 12.571* 2.110 .000 8.34 16.81
IV 20.357* 2.110 .000 16.12 24.59
I -15.571* 2.110 .000 -19.81 -11.34
III II -12.571* 2.110 .000 -16.81 -8.34
IV 7.786* 2.110 .001 3.55 12.02
I -23.357* 2.110 .000 -27.59 -19.12
IV II -20.357* 2.110 .000 -24.59 -16.12
III -7.786* 2.110 .001 -12.02 -3.55
43
Gambar 7. Grafik Penurunan Nilai Power Rate Tukik Penyu Hijau (Chelonia
mydas) yang Diukur Sesaat Setelah Menetas (Minggu I) hingga
Minggu IV Pasca Menetas. Bar Adalah Nilai Selang Kepercayaan
(Confidential Interval/CI) pada Taraf 95%.
44
BAB VI
PEMBAHASAN
telur penyu ditentukan dengan menghitung jumlah tukik yang keluar dari
hendaknya > 80% (Limpus et al., 1993). Pada penelitian ini, keberhasilan
penetasan telur penyu hijau di Pantai Sukamade, baik secara keseluruhan, maupun
UPKP) masih lebih rendah dari 80%. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen
konservasi penyu hijau di Pantai Sukamade belum mampu memenuhi target agar
dapat mencapai sukses menetas yang sesuai dengan kondisi alami. Melihat pada
kondisi keamanan dan tantangan yang dihadapi di perairan Indonesia angka >80%
memang sulit dicapai secara ideal, maka pada kondisi ini angka penetasan >70%
Namun, apabila dikelompokkan tiap tahunnya, maka pada tahun 2009 dan
2011 sukses menetas yang terjadi sudah >80%, sedangkan tahun-tahun lainnya
masih dibawah 80%. Pada hasil telah diterangkan bahwa periode pengelolaan
44
45
dibandingkan antara kategori baik. Hasil ini menunjukkan bahwa sebetulnya pola
pengelolaan yang diterapkan sudah optimal karena berhasil mencapai angka yang
menetas yang terjadi. Pada tiap-tiap periode pengelolaan hasil yang didapatkan
relatif sama yaitu >70%. Hasil ini didapat dari akumulasi masing-masing tahun
beberapa faktor antara lain suhu sarang, paparan sinar matahari keberhasilan
dan penyakit (Ackerman,1997; Segura dan Cajade, 2010; Zbinden et al,. 2006;
Fuentes,2010; Herrera, 2010; Honarvar; 2008; Fuhler, 2005; Foley et al, 2006;
Ozdemir dan Turkozan, 2005 ; Jayaratha, 2006). Melihat dari data yang ada pola
kesuksesan yang ada di alam, namun hasil penetasan yang dicapai ini
kemungkinan tidak dapat dicapai di alam pantai Sukamade tanpa adanya upaya
apapun. Artinya, apabila tidak dilakukan upaya perlindungan sarang maka sukses
menetas yang didapatkan dapat lebih rendah. Adanya ancaman predator, penyakit,
abrasi, dan ulah manusia dapat menurunkan angka penetasan tersebut apabila
pola konservasi ini harus diteruskan dengan tetap mengupayakan target sukses
Pasca-UPKP
diletakkan di dalam pasir hingga menetas dan keluar dari cangkang (Ewert, 1979).
Dalam upaya konservasi penyu, target yang ingin dicapai adalah terjadinya
periode inkubasi yang ideal, artinya diprediksi menghasilkan rasio jenis kelamin
jantan dan betina yang seimbang. Periode inkubasi yang ideal dapat menghasilkan
jenis kelamin yang diprediksi seimbang. Kondisi ini terkait dengan adanya
pengaruh suhu dan lamanya periode inkubasi. Suhu merupakan faktor penentu
jenis kelamin pada sebagian besar reptilia termasuk penyu (Zbinden et al., 2006;
Yntema dan Mrosovsky, 1982). Menurut Hirth, 1971 Periode inkubasi yang dapat
menghasilkan tukik dengan jenis kelamin yang seimbang berkisar antara 59-65
hari, yang merupakan target dari upaya konservasi penyu. Pada penelitian ini, pola
konservasi penyu metode lama dan baru menghasilkan periode inkubasi rata-rata
60,76 hari (SD±6,449). Dari data ini diketahui bahwa jenis kelamin yang
Apabila dikelompokkan berdasarkan tahun, nampak hanya pada tahun 2008 jenis
kelamin yang dihasilkan diprediksi relatif seimbang, namun pada tahun lainnya
masih terjadi bias salah satu jenis kelamin. Ketika dilakukan pengelompokan pada
dua metode pengelolaan yang berbeda dilakukan didapatkan hasil Pada metode
Pra-UPKP rata-rata periode inkubasi adalah 58,82 ± 3,903 hari dan pada metode
apabila dikelompokkan dalam kelompok hasil jenis kelamin, nampak metode Pra-
UPKP menghasilkan tukik dengan jenis kelamin yang bias ke betina sehingga
tidak terjadi keseimbangan rasio jenis kelamin. Kondisi ini akbat dari jumlah
sarang yang menghasilkan bias betina lebih banyak daripada sarang yang
jenis kelamin yang dipredikasi seimbang dalam jumlah yang tinggi. Pada metode
1(satu). Kondisi ini akibat berimbangnya jumlah sarang yang menghasilkan bias
tukik jantan dan bias tukik betina, disaat bersamaan jumlah yang menghasilkan
Adanya perbedaan suhu inkubasi ini disebabkan oleh faktor suhu lingkungan,
termasuk suhu sarang inkubasi dan faktor suhu yang timbul dari dalam telur
selama periode inkubasi. Suhu antara 29°C-32°C akan menghasilkan penyu betina
dan suhu antara 23°C-29°C akan menghasilkan penyu jantan (Fuentes, 2012,;
Herrera, 2012). Perbedaan suhu 1°C juga akan menambah lamanya periode
inkubasi selama lima hari (Adnyana, 2012; Miller, 1997). Perbedaan yang terjadi
muncul lebih panas sehingga banyak hasil penetasan yang bias ke betina. Pada
sirkulasi udara yang lebih baik, sirkulasi udara yang baik akan memberikan suhu
yang ideal pada sarang dalam proses inkubasi telur penyu (Honarvar et al., 2008).
sukses menetas yang tinggi. Periode inkubasi yang pendek mengindikasikan suhu
yang lebih panas, suhu yang panas mengahasilkan sukses menetas yang lebih
baik, sedangkan suhu yang lebih dingin menghasilkan sukses menetas yang
kurang baik. Fuentes, 2010 menunjukkan telur penyu masih bisa hidup hingga
suhu 34°C, sedangkan pada suhu rendah telur dapat bertahan hingga suhu 20°C.
Suhu yang tinggi akan mempercepat periode inkubasi, sehingga telur yang
kontaminan dari luar yang lebih lama. Pada inkubasi dengan jangka waktu
besar, sehingga resiko kegagalan menetas akan lebih tinggi. Meskipun periode
inkubasi pendek menghasilkan sukses menetas yang lebih baik, tetapi periode
inkubasi pendek akan menghasilkan jenis kelamin bias ke betina. Oleh karena itu,
konservasi penyu. Kebugaran tukik dibutuhkan saat tukik dilepas ke laut untuk
yang menetas tidak langsung dilepas ke laut, namun ditempatkan sementara di bak
49
penurunan dari minggu pertama (sesaat setelah menetas) hingga minggu keempat.
Perbedaan kebugaran nampak nyata tiap – tiap minggunya kecuali pada minggu
ke 2(dua). Di alam tukik yang baru menetas langsung menuju lautan, dalam awal
ditunjukkan oleh Booth, et al., 2004. Booth menunjukkan tukik dengan cadangan
yolk yang lebih besar memiliki kemampuan berenang yang lebih baik
maka jumlah cadangan yolk akan makin besar pula (Booth, et al., 2004; Adnyana
2013). Tingkat kebugaran yang baik akan membantu tukik untuk bertahan hidup
selama fase awal menuju lautan. Kemudian tukik akan terus berenang menjauhi
mampu mencari ruaya pakan (Lutz dan Musick, 1997). Pada penelitian ini
kemungkinan kandungan yolk pada tukik berkurang tiap – tiap minggunya. Oleh
karena itu, tukik sebaiknya diperlakukan sama seperti di alam yakni dilepaskan
sumber daya), proses, kegiatan – kegiatan yang dilakukan dan hasil dari kegiatan
konservasi yang efektif harus dapat menjaga konteks utama dari konservasi,
kegiatan-kegiatan yang tepat, dan terevaluasi. Apabila kondisi ini terpenuhi maka
konservasi ini juga dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri, khususnya untuk
UPKP dan kemudian dibentuk UPKP. Secara detail , upaya konservasi penyu
semuanya memiliki tujuan untuk menghasilkan tukik yang bugar dengan jumlah
51
yang optimal dan memiliki rasio kelamin yang seimbang. Luaran tersebut
seharusnya dapat menyamai atau lebih tinggi daripada kesuksesan di alam. Untuk
faktor penting untuk memperoleh angka penetasan tukik dan tingkat kebugaran
yang optimal (Fuhler, 2005; Adnyana, 2013). Untuk mencapai tujuan tersebut,
Sukamade yang efektif dilaksanakan pada 2011. Melalui penelitian ini diketahui
dengan sukses penetasan yang dihasilkan metode UPKP. Hasil yang menunjukkan
rata – rata sukses penetasan yang dibawah 80% tidak dapat menunjukkan bahwa
kedua metode ini tidak efektif, karena pada tahun 2009 (metode Pra-UPKP) dan
tahun 2011 (metode UPKP) dapat mencapai sukses diatas 80%. Adapun toleransi
kategori baik yaitu >70% dapat dijadikan indikator bahwa sisem pengelolaan yang
seimbang lebih baik daripada Pra-UPKP. Oleh karena itu, metode penetasan
BAB VII
7.1. Simpulan
3. Kebugaran tukik yang paling optimal adalah kebugaran tukik setelah menetas.
periode Pra-UPKP.
7.2. Saran
jenis kelamin seimbang, dan waktu pelepasliaran tukik terbaik dapat tercapai
peningkatan fasiltas serta penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor utama untuk
52
53
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, R.A. 1997. The Nest Environment and The Embryonic Development of
Sea Turtles, In: Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds). The Biology of Sea
Turtle. CRC Press, Boca Raton. Pp. 83 – 106.
Carr, A. 1968. The Turtle: A Natural History. Cassel and Company Ltd. 248 hal.
Ditmer, M.A. dan Stapleton, S.P. 2012. Factors affecting hatch success of
hawksbill sea turtles on Long Island, Antigua, West Indies. PLoS ONE 7:
e38472.
53
54
Ewert, M.A. 1979. The Embryo and Its Eggs : Development and Natural History
in Marion Harless ang Henry Morlock (Eds). Title, Perspectives and
research Vol. 17 pp 333 – 416. Jhon Willey and Sons, Inc.New York
Fowler, L.E.1979. Hatching Success and Nest Predation in the Green Sea Turtle,
Chelonia mydas, at Tortuguero, Costa Rica. Ecology 60:946–955.
http://dx.doi.org/10.2307/1936863
Harless, M. and H..Morlock. 1979. Turtle Perspectives and Research. John Wiley
& Sons. New York
Hirth, H. F., Some aspects of the nesting behavior and reproductive biology of sea
turtles, Am. Zool., 20,507, 1980.
Kam YC. 1994. Effect of simulated flooding on metabolism and water balance of
turtle eggs and embryos. J. Herpetol. 26: 173-178.
Leverington, F., Costa, K.L., Courrau J., Pavese, H., Nolte, C., Marr, M., Coad,
L., Burgess, N., Bomhard B., Hockings, M.2010. Management
Effectiveness Evaluation in Protected Areas.The University Of
Queensland.Brisbane
Limpus, C.J., Fleay, A., and Baker, V.1984. The Flatback turtle, Chelonia
depressa, in Quensland: reproductive periodicity, philopatry and
recruitment, aust. Wildl. Res., 11, 579.
Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds). 1997. The Biology of Sea Turtle. CRC Press,
Boca Raton. Pp. 8 – 106.
Miller, J.D. 1997. Reproduction In Sea Turtles. In: Lutz, P.L dan Musick, J.A
(eds). The Biology of Sea Turtle. CRC Press, Boca Raton.
Miller, J.D. 1999. Determining clutch size and hatching success. In: Research and
Management Techniques for the Conservation of Sea Turtles (eds. K.L.
Eckert, K.A. Bjorndal, F.A. Abreu-Grobois and M. Donelly), IUCN/SSC
Marine Turtle Specialist Group.
Ratterman RJ, R.A. Ackermann. 1989. The water exchange and hydric
microclimate of painted turtle (Chrysemys picta) eggs incubating in field
nests. Physiol. Zool. 215: 1059-1079.
Segura, L.N. dan Cajade, R..2010. The Effects of Sand Temperature on Pre-
emergent Green Sea Turtle Hatchlings. Herpetological Conservation and
Biology 5(2):196-206.
Solomon, S.E. & Baird, T. 1980. Tha Effect of Fungal Penetration of the Eggshell
of the Green Turtle. Electron Microscopy volume II.
Sukada, I.K. (2009). Pengaruh Letak Sarang Dan Kerapatan Telur Terhadap
Laju Tetas Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas). (pp. 54-60). Denpasar:
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.
Yntema CL, N Mrosovsky. 1982. Critical periods and pivotal temperatures for
sexual differentiation in loggerhead sea turtles. Can. J. Zool. 62: 1012-
1016
LAMPIRAN
5 cm
2 cm
2 cm
6 cm
LAMPIRAN
Report
sukses menetas
periode
pengelolaan Mean N Std. Deviation
Report
sukses menetas
kode
tahun Mean N Std. Deviation
Simpangan
N Minimum Maximum Rata – rata Baku
sukses menetas 4363 ,00 100,00 73,75 22,01
Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 Total
kelompok kode I 135 503 108 254 119 1119
penetasan II 93 271 156 250 234 1004
III 65 229 146 172 161 773
IV 44 166 133 92 99 534
V 126 235 235 207 130 933
Total 463 1404 778 975 743 4363
periode
sukses menetas inkubasi
N 4363 4363
periode inkubasi Pearson Correlation -,057** 1
N 4363 4363
Duncana,b,c
Subset
Minggu N 1 2 3
Minggu 4 14 34,64
Minggu 3 14 42,21
Minggu 2 14 55,00
Minggu 1 14 58,00
Sig. 1,000 1,000 ,161