Anda di halaman 1dari 84

RINGKASAN DISERTASI

PENGARUH PEMBERIAN ESTROGEN


TERHADAP KADAR mRNA CALCITONIN
GENE RELATED PEPTIDE SERTA EKSPRESI
PROTEIN GENE PRODUCT 9.5 DAN TYROSINE
HYDROXYLASE PADA EPITEL MUKOSA
VAGINA TIKUS WISTAR YANG DILAKUKAN
OVOREKTOMI BILATERAL

I GEDE NGURAH HARRY WIJAYA SURYA


NIM 1090271009

PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
RINGKASAN DISERTASI

PENGARUH PEMBERIAN ESTROGEN


TERHADAP KADAR mRNA CALCITONIN
GENE RELATED PEPTIDE SERTA EKSPRESI
PROTEIN GENE PRODUCT 9.5 DAN TYROSINE
HYDROXYLASE PADA EPITEL MUKOSA
VAGINA TIKUS WISTAR YANG DILAKUKAN
OVOREKTOMI BILATERAL

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor


Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran,
Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GEDE NGURAH HARRY WIJAYA SURYA


NIM 1090271009

PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
iii
Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 18 Januari 2016

Panitia Penguji Disertasi Berdasaran SK Rektor


Universitas Udayana No.: 0193/UN.14.4/HK/2016
Tanggal 7 Januari 2016

Ketua : Prof. Dr. dr Wimpie Pangkahila, Sp. And, FACCS

Anggota
:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp. OG (K)
2. Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph. D
3. Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM
4. Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, Sp. OG (K)
5. Prof. Dr. dr. A. A. Sudewa Djelantik, Sp. PK
6. Prof. Dr. Dra. Ni Putu Ristiati, M.Pd.
7. Dr. dr. I Wayan Putu Sutirtayasa,, M. Si
8. Dr. dr. Dewa Sukrama, M. Si, Sp. MK (K)

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi


Wasa Tuhan Yang Maha Esa, atas asung kertha wara nugraha-Nya,
sehingga disertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Suwiyoga Sp.OG (K),
sebagai Promotor yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah
memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama
penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian
disertasi ini. Begitu pula penghargaan dan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. drh. I Nyoman
Mantik Astawa, Ph.D., sebagai Kopromotor I dan Prof. Dr. dr. I
Made Bakta, SpPD-KHOM sebagai Kopromotor II yang telah
memberikan bimbingan dan saran dengan penuh kesabaran dan tiada
henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan disertasi ini.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Udayana Prof. Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Prof. Dr. dr.
I Made Bakta, Sp.PD-KHOM selaku mantan Rektor Universitas
Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga
penulis dapat menempuh pendidikan Program Doktor pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terimakasih juga penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) selaku
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ungkapan rasa
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ketua Program Doktor
Program Studi Ilmu Kedokteran Universitas Udayana Dr. dr. Bagus
Komang Satriyasa, M. Repro. dan Dr. dr. I Wayan Sutirtayasa, M.
Si., selaku mantan Ketua Program Doktor Program Studi Ilmu
Kedokteran Universitas Udayana atas kesempatan dan dorongan
yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa
terimakasih kepada Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT
selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNUD dan Dr. dr. Dewa Putu
Gde Purwa Samatra, SpS (K) sebagai ketua Program Studi

v
Pendidikan Dokter atas izin yang diberikan kepada penulis dalam
mengikuti Program Doktor ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada: Prof.Dr.dr. I Ketut Suwiyoga, Sp.OG (K), Prof. drh. I
Nyoman Mantik Astawa, Ph.D., Prof. Dr. dr I Made Bakta, SpPD-
KHOM, Dr. dr. I Wayan Putu SutirtaYasa, M.Si, Prof. Dr. dr. I Gede
Putu Surya, Sp.OG(K), Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila,Sp. And.,
FAACS, Prof. Dr. dra Ni Putu Ristiati, M. Pd., Prof. Dr. dr. A. A.
Gede Sudewa Djelantik, Sp. PK (K) dan Dr. dr. I Dewa Made
Sukrama, M.Si., Sp. MK (K)., sebagai penguji disertasi ini mulai dari
tahap awal, atas semua masukan dan bimbingannya yang dengan
penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan
semangat, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini
akhirnya dapat terwujud.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga saya
sampaikan kepada Ketua Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK
UNUD/RSUP Sanglah dr. Tjok. G.A. Suwardewa, SpOG (K) dan
Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, SpOG (K) selaku mantan Ketua
Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah
yang telah memberikan ijin dan dukungan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan doktor. Terima kasih kepada semua staf senior
dan teman sejawat di Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK
UNUD/RSUP Sanglah atas kerjasama, pengertian dan dukungannya
yang tulus sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan doktor
ini. Terima kasih kepada dr Hendrik Sutopo Lidapraja, M. Biomed.,
SpOG., dr Ryan Saktika Mulyana, M. Biomed., SpOG., dr Ferry
Santoso, M. Biomed., SpOG., dr Endang Sri Widiyanti, M. Biomed.,
SpOG., dr Indra Pratama Gede beserta seluruh rekan-rekan PPDS I
Obgyn yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan
pendidikan. Terima kasih juga penulis tujukan kepada sekretariat
Obgyn: dra. Luh Ketut Ariasih, Ni Wayan Suastini, SH., Gusti Ayu
Made Budiyasih, SE., A.A. Sri Agung Ardaningrum, SE., Luh Putu
Rika Suantari, SE., dan drs. Ketut Tunas, M.Si., Ethanina Trisna,
Amd., Diana, SE., Luh Dina Mariati, Ni Made Kesumawati, Wayan
Dwipa yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini. Begitu
pula penulis ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. I
Gusti Kamasan Nyoman Arijana, M. Si. Med. dan Gede Wiranatha,
vi
S. Si atas bantuannya selama penelitian ini. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus disertai
penghargaan kepada seluruh Bapak/Ibu guru dan dosen-dosen yang
telah membimbing penulis, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai
Perguruan Tinggi. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Ibunda
Ni Nyoman Murtini dan Ayahanda Prof. Dr. dr I Gede Putu Surya,
SpOG (K) yang telah mengasuh dan membesarkan penulis,
mengajarkan disiplin dan nilai-nilai luhur, serta terus menerus
memberikan motivasi dan semangat yang tidak habis-habisnya pada
saat penulis kehilangan semangat sehingga penulis akhirnya bisa
menyelesaikan pendidikan ini.Terima kasih kepada Kakek (alm)
Made Pogot, Nenek Ni Luh Made Candraningsih serta Kakek (alm)
Gede Arya dan Nenek (alm) Ni Luh Made Rati beserta seluruh
keluarga besar atas kasih sayang dan dukungannya selama ini.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak mertua dr. I Gusti
Gde Djelantik, Sp. A (K) dan Ibu mertua dra. Herawati Negara atas
dorongan dan dukungannya kepada penulis dalam menempuh
pendidikan ini. Terima kasih pula kepada adik dan adik ipar, dr. Ira
Yunitasari Surya, S. Ked dan I Gede Teddy Prananda Surya, S.T.,
M.T. serta dr. Ni Nyoman Yunita Kusuma Bakta, S. Ked., I Gusti
Bagus Siddhajapa Hadi Sugriwa, S.I.P., M.M., dr. I Gusti Ayu Made
Riantarini, Sp. S. beserta keluarga, I Gusti Nyoman Rani Dewiyani,
S.T. beserta keluarga dan I Gusti Ketut Ari Wijaya Saputra, B.Sc.
beserta keluarga atas dukungan dan pengertiannya selama ini.
Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih kepada istri tercinta
dr. I G. A. P. Eka Pratiwi, M. Kes., SpA yang telah berusaha
mengerti dan bersabar mendampingi penulis selama ini, anak-anak
tersayang Putu Ayu Adindhya Saraswati Surya, Made Ayu Nadine
Indira Surya dan I Gede Nyoman Arvin Adhyasta Surya, yang telah
memberikan kerelaan, pengorbanan dan pengertiannya sehingga
memungkinkan penulis bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan
naskah disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada teman- teman di Program Studi S3 Ilmu
Kedokteran Universitas Udayana, khususnya teman-teman angkatan
2010, atas motivasi, semangat dan kebersamaannya.
Untuk pihak-pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu
persatu, penulis juga ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
vii
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
selalu melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah
membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi ini.

Denpasar, 6 Februari 2016


Penulis

I Gede Ngurah Harry Wijaya Surya

viii
ABSTRAK

Ovorektomi bilateral mengakibatkan penurunan kadar hormon


estrogen denngan gejala dan tanda menopause seperti dispareneu dan
penipisan mukosa vagina. Mekanismenya diduga melalui perubahan
peran saraf yang terkait gene CGRP dan protein PGP 9.5 serta TH.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh
pemberian estrogen terhadap gene CGRP dan protein PGP 9.5 sertta
TH. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai gene pada
menopause.

Rancangan penelitian ini adalah randomized post test only control


group design. Kelompok perlakuan adalah tikus post ovorektomi
bilateral yang diberikan estrogen. Kelompok kontrol adalah tikus
post ovorektomi bilateral yang tidak diberikan estrogen.

Hasil penelitian, rerata umur dan berat badan tikus masing masing
adalah 71,58 hari dan 194,53 gram pada kelompok perlakuan dan
71,94 hari dan 195,00 gram pada kelompok kontrol. Kadar mRNA
CGRP adalah 21,984 pada kelompok perlakuan dan 23,102 pada
kelompok kontrol sedangkan ekspresi PGP 95 adalah 12 pada
kelompok perlakuan dan 15 pada kelompok kontrol dan ekspresi TH
adalah 11 pada kelompok perlakuan dan 16 pada kelompok kontrol.
Perbedaan pemberian estrogen terhadap kadar mRNA CGRP lebih
rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok
kontrol dengan nilai t=21,984 (p = 0,001). Perbedaan pemberian
estrogen terhadap ekspresi PGP 95 lebih rendah pada kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai x 2
adalah 12,14 (p = 0,001). Perbedaan pemberian estrogen terhadap
ekspresi TH lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol dengan nilai x2 adalah 12,88 (p = 0,001).
Didapatkan juga bahwa efek pemberian estrogen terhadap CGRP
sebesar 67,9 %, efek terhadap PGP 9.5 sebesar 14,4 % dan efek
terhadap TH sebesar 3,3 %.

Pemberian Estrogen terbukti menyebabkan kadar mRNA CGRP


serta ekspresi PGP 9.5 dan TH pada epitel mukosa vagina tikus
ix
Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral menjadi rendah. CGRP
paling terpengaruh dengan pemberian estrogen dibandingkan dengan
PGP 9.5 dan TH.

Kata Kunci : Ovorektomi bilateral, estrogen, CGRP, PGP 9.5, TH.

x
ABSTRACT

Bilateral oophorectomy resulted in a decrease in estrogen levels


with sign and symptom dispareneu and thinning of the vaginal
mucosa. This mechanism is suggested through changes in the rolle of
nerve related to CGRP gene and protein PGP 9.5 and TH. The
purpose of this research is to prove the influence of the
administration of estrogen to CGRP gene and PGP 9.5 protein and
TH protein.
This study is randomized post test only control group design. The
treatment group was post bilateral oophorectomy rats that given
estrogen. The control group was post bilateral oophorectomy rats that
not given estrogen.
In this research was found that the mean age and weight mice
each is 71,58 day and 194,53 gram on the treatment and 71,94 day
and 195,00 gram on the control group. Levels of mRNA CGRP is
21,984 on the treatment group and 23,102 on the control group while
expression of PGP 9.5 is 12 on the treatment group and 15 on the
control group and expression of TH is 11 on the treatment group and
16 on the control group. The difference of estrogen administration
against mRNA CGRP levels are lower in the treatment compared
with the control group by the value of t = 21,984 ( p = 0,001 ). The
difference of estrogen administration against expression of PGP 9.5
are lower in the treatment compared with the control group by the
value of x2 is 12,14 ( p = 0,001 ). The difference of estrogen
administration against expression of TH are lower in the treatment
compared with the control group by the value of x2 is 12,88 ( p =
0,001 ). Also found that effect of estrogen against CGRP of 67,9 % ,
effect on PGP 9.5 of 14,4 % and effects on TH of 3,3 % .
Estrogen treatment significantly lowered the level of mRNA
CGRP and expression of PGP 9.5 and TH in rat vaginal mucosa
epithelium that underwent bilateral oophorectomy. The level of
mRNA CGRP are mostly affected by administration of estrogen
compared with PGP 9.5 and TH expression.

Keywords: Bilateral oophorectomy, estrogen, CGRP, PGP 9.5, TH.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ovorektomi bilateral adalah operasi pengangkatan kedua ovarium melalui

laparotomi atas indikasi tertentu. Operasi tersebut mengakibatkan penurunan

kadar hormon estrogen yang mengakibatkan menopause. Menopause merupakan

masalah kesehatan wanita terkait dengan anatomi dan fisiologi mukosa vagina

dimana jumlah wanita menopause semakin meningkat. Selain itu, menopause

mengakibatkan penipisan mukosa vagina, dispareneu, penurunan lubrikasi vagina,

keluhan subjektif seperti instabilitas emosi, berkeringat malam, terasa semburan

panas, insomnia, berdebar-debar dan penurunan konsentrasi, sehingga

menurunkan kualitas hidup.

Secara anatomis, vagina berbentuk tabung muskulo membranosa yang

terdiri atas beberapa lapisan yaitu mukosa, propria, dan submukosa. Secara

histologik, lapisan vagina terbentuk dari epitel skuamosa berlapis tanpa

penandukan dan lamina propria sebagai dasarnya. Di bawahnya terdapat lapisan

muskularis yang terdiri dari otot halus, kolagen, dan elastin. Di bawah lapisan

muskularis terdapat lapisan adventisia yang terdiri dari kolagen dan elastin

(Anderson dan Rene, 2007; Cunningham, dkk., 2010). Inervasi vagina adalah oleh

pleksus lumbosakralis untuk duapertiga proksimal dan oleh pleksus vaginalis

untuk vagina sepertiga distal. Vaskularisasinya berasal dari arteri vaginalis yang

1
2

merupakan anyaman cabang arteri hemorhoidalis superior dan cabang arteri

hipogastrika (Grey, dkk., 2010).

Pengaruh menurunnya kadar estrogen terhadap vagina adalah kekeringan

pada vagina, kehilangan kelenturan, rasa iritasi, hiperalgesia atau nyeri saat

berhubungan (dispareneu). Mekanisme bagaimana estrogen dapat mempengaruhi

vagina adalah melalui efek langsungnya pada target sel di vagina. Reseptor

estrogen sangat banyak di vagina, dan estrogen merangsang proliferasi epitel sel

di vagina dan remodeling dari pembuluh darah. Karena itu, penurunan kadar

estrogen menyebabkan disfungsi vagina (Ting, dkk., 2004), dan pada jangka

panjang menimbulkan osteoporosis, sehingga mudah mengalami patah tulang

(Fritz, dkk.,2005a; Cunningham, dkk.,2010). Di samping itu pada vagina terjadi

perubahan yang menimbulkan gangguan, terutama pada hubungan seksual seperti

vagina terasa kering, nyeri dan mudah infeksi karena kulit vagina mengalami

atrofi (Fritz, dkk., 2005a). Wanita umumnya mengalami menopause pada umur

sekitar 50 tahun, jika harapan hidup wanita 60 tahun, maka sekitar 10 tahun akan

mengalami gangguan atau penderitaan (Fritz, dkk., 2005a). Dengan meningkatnya

derajat kesehatan secara umum khususnya pada wanita, maka harapan hidup

makin panjang. Jika harapan hidup wanita saat ini 80 tahun, maka 30 tahun

wanita tersebut akan mengalami gangguan yang ditimbulkan karena menopause

(Fritz, dkk., 2005a).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keluhan dan gejala

terkait defisit hormonal tersebut, baik melalui terapi topikal maupun sistemik

dengan terapi sulih hormon. Namun hasilnya masih belum memuaskan dan
3

bahkan kontroversi. Untuk mengurangi risiko terapi sulih hormon maka dipilihlah

cara pemberian preparat estrogen topikal untuk menjaga humiditas dan ketebalan

serta kontinuitas lapisan epitelial mukosa vagina. Akan tetapi hasilnya belum

memuaskan terkait dengan dosis, kepatuhan pasien, dan kesulitan cara aplikasi

obat (Fritz, dkk., 2005a; Monica, 2006; Liu, 2006).

Studi tentang peran reseptor estrogen juga telah banyak dipelajari di mana

implementasi klinik juga masih kontroversi, terutama pada terapi sulih hormon

yang berlangsung lama dan kontinu (Fritz, dkk., 2005a).

Zaino (2002) melaporkan bahwa pada saat menopause terjadi pengurangan

jumlah lapisan epitelium vagina, termasuk hilangnya intermediate sel sehingga

terjadi penipisan jaringan epitel.

Diduga bahwa estrogen lebih berpengaruh terhadap fungsi saraf melalui

neurotransmitter dibanding dengan pengaruh langsung ke seluler epitel mukosa,

elastin, kolagen, dan muskularis serta jaringan vagina lainnya (Dmitrieva, 2005;

Monica dkk., 2006). Selain itu, vaskularisasi yang menjamin nutrisi, oksigenasi,

dan metabolisme seluler juga diduga melalui peran persarafan vagina. Akhir-akhir

ini, petanda molekuler persarafan yang banyak dipelajari adalah calcitonin gene

related peptida (CGRP), protein gene product 9.5 (PGP 9.5) dan tyrosine

hidroxyilase (TH).

CGRP merupakan ekspresi calcitonin gene yang terletak pada lengan

pendek dari kromosom 11, bersifat neuropeptida yang terdiri atas lebih 6.5 kb

pasang basa. Secara struktural dan fungsional, CGRP terdiri atas 6 exon, tiga exon

pertama umum untuk calcitonin dan CGRP mRNA. Exon ke empat mengandung
4

rangkaian calcitonin dan katalacin, sama seperti rangkaian yang tidak di translasi,

pada akhir di mana biasanya polydenylation memberi tanda AATAAA. Exon

kelima mengandung rangkaian CGRP. Exon ke enam bagian dari transkripsi

CGRP. Protein ini berupa rantai tunggal polipeptida 32 asam amino dengan

jembatan amino-terminal disulpide 1 - 7 dan suatu amide proline carboxyl-

terminal residu yang berfungsi sebagai faktor fast-acting hypocalcaemic

calcitonin di mana fungsi peptida tersamar tersebut belum jelas. Protein carboxy-

terminal diapit peptida-peptida yang terdiri atas 21 katalasin dan 16 asam amino

residu masing-masing di mana hanya 8 residu yang umum bagi kedua peptida.

Fungsi protein adalah proteolytic post-translational yang bekerjasama dengan

CGRP-like immunoreactivity yang kaya serabut saraf menyokong pembuluh darah

dan otot halus nonvaskular. Pengaruh CGRP pada fungsi saraf periperal hanya

sedikit yang diketahui seperti mempengaruhi antikolinergik, antihistamin dan

pengaruh negatif pada miotropik (Zaidi dan Breimer, 2000).

Menurut Anderson (2007) mekanisme kerja estrogen diduga melibatkan

protein gene product 9.5 (PGP 9.5) yang terdapat pada jaringan saraf. Ekpresi

PGP 9.5 merupakan presentasi gen yang terletak pada lengan pendek kromosom

4p14 terdiri atas 508 pasang basa. Secara struktural dan fungsional, protein gene

produt 9.5 terdiri atas 2 exon. Fungsi protein ini terletak pada bagian C terminal

berupa neuropeptida yang bersifat neurotransmiter. Namun, didalam darah dan

jaringan ekspresi PGP 9.5 sangat labil dan mengalami degradasi oleh jalur dan

kaskade ubiquitin carboxyl-terminal hydrolase L1 (UCHL1). Dan, PGP 9.5 dapat


5

membentuk kompleks dengan neurone-specific enolase (NSE) dimana NSE

berperan sebagai neuroendokrin (Ian dan Rod, 2010).

Mekanisme kerja estrogen diduga juga melibatkan TH dimana gennya

terletak pada lengan pendek kromosom 11p15.5 yang terdiri atas 10k pasang basa.

Protein ini berupa polipeptida yang terdiri atas asam amino (Robert dan Anna,

2011). Secara structural dan fungsional, TH terdiri atas 14 exon, berfungsi

mengkatalisis konversi dari L-tyrosine ke DOPA. Hal ini merupakan langkah awal

dan rate-limiting step dalam biosintesis katekolamin seperti dopamin,

norepineprin, dan epineprin. Oleh karena itulah pengaturan aktivitasnya sangat

penting. Aktivitas TH melalui 2 jalur yaitu short term direct regulasi dari aktivitas

enzim dan medium-sampai long term regulasi dari ekspresi gen. Aktivitas TH

dapat bersifat mengaktivasi dan inhibisi yang diatur oleh umpan balik inhibisi dari

katekolamin. Aktivasi alosterik oleh heparin, fosfolipid, polianion, dan RNA

melalui fosforilasi protein (Fujisawa dan Okuno, 2005). Park, dkk. (2001) dan

Kim dkk (2005) melaporkan penurunan yang bermakna pada tebalnya epitel

vagina dan jaringan otot halus pada kelinci yang mengalami ovorektomi. Temuan

yang sama juga dilaporkan pada tikus dan primata selain manusia. Efek

pemberian steroid pada jaringan epitel tergantung pada dosisnya (Huggins, dkk.,

Zong Wenjun, dkk., 2009).

Mekanisme kerja estrogen pada terapi sulih hormon belum jelas dan

diduga melibatkan jalur persyarafan. Pemberian terapi sulih hormon umumnya

jangka panjang bahkan sampai puluhan tahun selama menopause sehingga sangat

berpotensi menimbulkan masalah kesehatan lainnya seperti peningkatan risiko


6

kanker, infeksi, kecemasan serta depresi (Fritz, dkk., 2005b). Karena itu dilakukan

penelitian tentang CGRP, PCG 9.5, dan TH dalam kaitannya dengan mekanisme

kerja estrogen sehubungan dengan anatomi dan fisiologi vagina, terutama struktur

dan integritas mukosa vagina.

Dibutuhkan studi tingkat molekuler untuk dapat meningkatkan efektifitas

dan meminimalisasi risiko pemberian estrogen jangka panjang tersebut.

Selanjutnya, diharapkan dapat menjelaskan mekanisme kerja estrogen dan

hubungannya dengan gejala klinis terutama pada vagina.

Apabila dapat dibuktikan adanya peran CGRP, PGP 9.5 dan TH pada

penelitian ini maka hasilnya akan dapat menjelaskan mekanisme baru bagaimana

kerja hormon steroid estrogen terhadap anatomi dan fisiologik vagina. Mekanisme

tersebut terutama yang melibatkan persarafan, selain vaskularisasi. Penelitian ini

kemudian dapat juga dipakai sebagai data penelitian lanjutan pada wanita

menopause, di samping menentukan beberapa indikator biomolekuler untuk

prediksi, diagnosis dan terapi pada kondisi kadar estrogen rendah; terutama pada

menopause.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah rumusan masalah penelitian

sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh pemberian estrogen terhadap kadar mRNA CGRP

pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi

bilateral?

2. Apakah ada pengaruh pemberian estrogen terhadap ekspresi PGP 9.5 pada
7

epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral?

3. Apakah ada pengaruh pemberian estrogen terhadap ekspresi TH pada

epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan ovorektomi bilateral?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah di atas maka dapat

dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. 3. 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui peran CGRP, PGP 9.5 dan TH pada mekanisme patogenesis

perubahan epitel mukosa vagina tikus Wistar akibat penurunan hormon estrogen.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian estrogen terhadap kadar

mRNA CGRP pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan

ovorektomi bilateral.

2. Untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian estrogen terhadap

ekspresi PGP 9.5 pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan

ovorektomi bilateral.

3. Untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian estrogen terhadap

ekspresi TH pada epitel mukosa vagina tikus Wistar yang dilakukan

ovorektomi bilateral.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Apabila penelitian terbukti maka hasilnya akan merupakan informasi baru

mengenai mekanisme kerja estrogen dan dapat menjelaskan patogenesis


8

menopause dalam kaitannya dengan anatomi dan fisiologi vagina. Mekanisme

tersebut adalah keterlibatan PGP 9.5 dan CGRP yang merupakan petanda

persarafan vagina serta TH yang merupakan petanda vaskularisasi dan persarafan.

1.4.2 Manfaat praktis

Secara klinik, hasil penelitian ini dapat dipakai untuk pencegahan keluhan-

keluhan yang terjadi pada menopause atau bahkan sebagai anti aging melalui

terapi genetik yaitu rekayasa CGRP, PGP 9.5, dan TH.

Selain itu, sebagai indikator untuk prediksi terjadinya penurunan atau

rendahnya kadar estrogen. Dapat pula dipakai sebagai metode diagnosis

molekuler terjadinya menopause atau kelainan fungsi produksi hormonal ovarium.

Indikator molekuler sendiri adalah lebih awal dari pada biokimia untuk diagnosis

penurunan fungsi hormon estrogen; terutama pada menopause.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Vagina

Vagina adalah organ yang penting untuk reproduksi. Data yang ada

tentang efek menopause dan terapi sulih hormon untuk pertumbuhan jaringan dan

persarafan vagina sangat terbatas. Turunnya hormon ovarium oleh karena operasi

atau menopause diketahui mempengaruhi perubahan struktur pada vagina dan

memberikan kontribusi pada patofisiologi genital. Forsberg (2000) melaporkan

terjadinya pemendekan dan penyempitan vagina manusia yang diikuti hilangnya

lipatan vagina dengan meningkatnya umur. Disamping itu, epitel permukaaan

menjadi tipis dan mengalami keratinisasi. Zaino (2000) menunjukkan, pada saat

menopause, terjadi pengurangan jumlah lapisan epitelium vagina, termasuk

hilangnya intermediate sel, menghasilkan terjadinya penipisan jaringan epitel.

Boreham dkk (2003) melaporkan bahwa pada wanita dengan prolaps organ pelvik,

struktur otot halus vagina berkurang pada wanita menopause yang tidak

mendapat terapi sulih hormon estrogen (Monica dkk., 2006; Dmitrieva, 2005; Liu

dkk., 2006).

2.1.1 Anatomi dan histologi vagina

Vagina adalah suatu daerah lunak yang terbentuk oleh jaringan sekitarnya

dan ikatanya ke dinding pelvis. Ikatannya ini adalah ke bagian lateral dari vagina,

sehingga rongganya membelah melintang, dengan bagian dinding anterior dan

posterior menyambung satu sama lain. Bagian paling bawah vagina mengerut

9
10

ketika melewati hiatus urogenital pada levator ani. Bagian atasnya adalah lebih

luas. Vagina membengkok 1200 oleh karena tarikan otot levator ani pada

persimpangan 1/3 bawah dan 2/3 atas vagina. Servik biasanya berada pada

dinding anterior vagina, membuatnya lebih pendek daripada dinding posterior

sekitar 3 cm. Dimana dinding depan vagina panjangnya sekitar 7-9 cm, meski

demikian terdapat banyak perbedaan dalam pengukuran ini. Ketika lumen vagina

diperiksa melalui introitus, banyak hal bisa dilihat (John dan Howard, 2008).

Dinding anterior dan posterior mempunyai midline ridge, masing-masing

disebut dengan kolom anterior dan posterior. Hal ini disebabkan karena pengaruh

uretra dan kandung kencing serta rektum pada lumen vagina. Bagian caudal dari

kolom anterior adalah sangat nyata dan disebut urethral carina. Suatu bagian di

depan dan di belakang dari servik biasanya disebut fornik anterior dan posterior

vagina, dan lipatan sepanjang sisi vagina, dimana dinding anterior dan posterior

bertemu disebut the lateral vaginal sulci (John dan Howard, 2008).

Hubungan antara vagina dengan bagian tubuh lainya bisa dipahami dengan

membagi vagina menjadi 3 bagian. Pada 1/3 bawah, vagina menyatu di bagian

anterior dengan uretra, di posterior dengan perineal body, dan dibagian lateral

menyatu dengan levator ani oleh karena serat dari Luschka. Dibagian 1/3 tengah

adalah vesical neck dan di anterior adalah trigonum, rektum di posterior, dan

dilateral adalah otot levator. Pada 1/3 atas, bagian anterior vagina berbatasan

dengan kandung kencing dan ureter (sehingga bisa di palpasi pada pemeriksaan

pelvis), di belakang dengan cul-de-sac, dan dilateral dengan ligamentum cardinale

dari vagina (John dan Howard, 2008).


11

Gambar 2.1 Gambaran Anatomi Organ Reproduksi Wanita


(John dan Howard, 2008)

Vagina terbentuk pada bulan ketiga kehidupan embrio. Ketika saluran

uterovaginal terbentuk, jaringan endodermal dari tuberkel sinusal mulai

membelah, membentuk sepasang bulbus sinovaginal, yang akhirnya menjadi 20

% bagian bawah dari vagina. Bagian terbawah dari saluran uterovaginal menjadi

bersatu oleh karena adanya jaringan padat (the vaginal plate), yang mana asalnya

masih tidak jelas. Setelah lebih dari dua bulan kemudian, jaringan ini menjadi

memanjang dan mengalami kanalisasi oleh karena proses pengelupasan, dan sel

terluar menjadi epitel vagina. Dinding fibromuskular vagina berasal dari bagian

mesoderm saluran uterovaginal (Anderson dan Rene, 2007).

Dinding vagina mengandung lapisan-lapisan yang sama seperti organ

visera lainnya (misalnya mukosa, submukosa, muskularis, dan adventisia).

Kecuali di daerah cul-de-sac, tidak memiliki lapisan serosa. Lapisan mukosanya

adalah tipe nonkeratinized stratified squamous dan terletak pada suatu daerah
12

yang tebal, seperti dermis submukosa. Kesamaan lapisan dermis dan epidermis ini

menyebabkan mereka disebut kulit vagina (John dan Howard, 2008).

Lapisan muskularis vagina menyatu di submukosa, pola lapisan mukularis

ini diatur secara bihelical. Diluar lapisan muskularis adalah lapisan adventisia

yang mempunyai banyak variasi perkembangan di berbagai tempat di vagina.

Lapisan ini adalah bagian dari jaringan penghubung di daerah pelvis yang disebut

fasia endopelvik, diberikan nama yang terpisah karena perkembangannya yang

tidak biasa. Ketika dilakukan diseksi di ruang operasi, lapisan muskularis

biasanya melekat padanya, kombinasi ini biasanya disebut fasia surgeon (John dan

Howard, 2008).

Struktur muskulomembranous ini membentang dari vulva sampai ke uterus

dan terletak di anterior dan posterior diantara kandung kencing dan rektum.

Bagian atas tumbuh dan berkembang dari duktus mullerian dan bagian bawah

terbentuk dari sinus urogenital. Di anterior, vagina dipisahkan dari kandung

kencing dan uretra oleh jaringan penghubung yang disebut vesicovaginal septum.

Di posterior, diantara bagian bawah vagina dan rektum, terdapat jaringan yang

serupa yang secara bersama-sama membentuk rectovaginal septum. Seperempat

atas vagina dipisahkan dari rektum oleh kantong recto-uterine, yang juga disebut

cul-de-sac dari Douglas (John dan Howard, 2008).

Pada keadaan normal, dinding anterior dan posterior vagina terletak

berdekatan, dengan hanya sedikit ruang yang menghalangi di bagian lateral.

Panjang vagina bervariasi, umumnya bagian anterior 6 sampai 7 cm dan posterior

antara 7- 10 cm. Selama hidupnya, rata-rata wanita akan mengalami pemendekan


13

vagina sekita 0,8 cm. Ujung atas ruang vagina dibagi menjadi anterior, posterior

dan 2 fornik lateral oleh servik. Hal ini penting secara klinik karena organ pelvik

internal biasanya bisa di palpasi melalui dinding vagina yang tipis. Dan fornik

bagian posterior memiliki jalan masuk secara bedah ke dalam rongga peritoneal

(Cunningham dkk., 2010).

Pada bagian tengah vagina, dinding lateralnya menempel ke dinding pelvis

oleh jaringan penghubung viseral. Penempelan di bagian lateral ini merupakan

perpaduan dari otot fasia levator ani. Membentuk bagian lateral anterior dan

posterior vaginal sulci. Ini terdapat sepanjang dinding vagina dan membuat

bentuk vagina seperti bentuk H ketika dilihat dari bagian yang berseberangan.

Terdapat sejumlah cekungan tebal melintang, yang disebut rugae, ditemukan

sepanjang dinding anterior dan posterior vagina (Cunningham dkk., 2010).

Secara histologi, lapisan vagina terbentuk dari epitel nonkeratinized

stratified squamous dan lamina propria sebagai dasarnya. Di bawahnya terdapat

lapisan muskularis, yang terdiri dari otot halus, kolagen, dan elastin. Di bawah

lapisan ini terdapat lapisan adventisia yang terdiri dari kolagen dan elastin. Tidak

terdapat kelenjar di vagina. Akan tetapi vagina di lubrikasi oleh cairan yang

berasal dari pleksus kapiler subepitel vagina yang bersilangan dengan lapisan

epitel. Untuk meningkatkan vaskularitas selama kehamilan, sekresi vagina

meningkat. Pada saat itu, mungkin akan di kelirukan dengan terjadinya pecah

ketuban. Setelah melahirkan, pecahan epitel stratified biasanya akan tertanam di

bawah permukaan vagina. Serupa dengan jaringan asalnya, epitel yang terkubur
14

ini terus menghasilkan sel berdegenerasi dan keratin. Hasilnya, terdapat kista

epidermal inklusi yang lunak, yang dipenuhi debris (Cunningham dkk., 2010).

Gambar 2.2 Lapisan Mukosa Vagina (John dan Howard, 2008)

Hormon steroid yang berasal dari ovarium telah diketahui sangat penting

untuk menjaga keseimbangan jaringan vagina, dan terdapat bukti yang

menyatakan bahwa ketidak- seimbangan hormonal menyebabkan kelainan pada

jaringan vagina dimana ovorektomi mengakibatkan penurunan bermakna

ketebalan jaringan epitel. Saat ini hanya sedikit data yang ada untuk dapat

mengetahui bagaimana efek perubahan hormon dan penambahan hormon pada

jaringan vagina secara morfologi dan persarafan vagina (Monica dkk., 2006;

Dmitrieva, 2005).

Hasil pemeriksaan histologi dari jaringan vagina yang utuh menunjukkan

bahwa epitelium jelas terbentuk dari jaringan yang uniform; sel kolumnar panjang

yang dipertahankan di stroma vagina berisi jaringan pengikat mukosa dan

submukosa. Sel-sel epitel padat dikemas dengan sebuah sitoplasma eosinopilik


15

kecil yang dikelilingi oleh jaringan ikat submukosa termasuk lapisan otot yang

berbeda. Otot tunika vagina terdiri atas kumpulan otot polos yang terdistribusi

luas di semua jaringan stroma. Secara khusus ditunjukkan bahwa hanya sebagian

lapisan otot melingkar bagian dalam yang renggang pada jaringan vagina. Pada

binatang yang dilakukan ovorektomi menunjukkan penipisan dan lumen epitelnya

atropi. Tunika mukosa yang terdiri dari lapisan non-keratinizing tetap tipis,

kehilangan lapisan jaringan ikat. Epitel sel kecil, serabut otot berkurang. Serabut

otot polos berkurang pada binatang yang dilakukan ovorektomi. Hasil

micrometric menunjukkan pengobatan androgen pada kelompok ovorektomi

mengembalikan perubahan morphometric yang terjadi. Penelitian pada jaringan

vagina menunjukkan perubahan irreguler pada kelompok E (Estrogen)

ovorektomi pada morfologi struktur jaringan vagina dibandingkan dengan

kelompok ET (Estrogen Testoteron) ovorektomi. Perubahan pada lapisan otot

lebih jelas di kelompok ovorektomi ET dan terdiri dari ikatan otot yang lebih

kompak dibandingkan pada kelompok ovorektomi E (Rahmat, dkk., 2012).

Di bawah pengaruh estrogen, epitel vagina mengalami keratinisasi, epitel

sel yang bertanduk bisa di lihat pada papsmear. Di bawah pengaruh progesteron,

mukus yang tebal di sekresikan dan epitel berproliferasi dan menjadi diinfiltrasi

oleh leukosit. Perubahan siklik pada papsmear tikus relatif bermakna. Perubahan

pada manusia dan spesies yang lain serupa tetapi tidak begitu jelas (Ganong,

2003).

Dengan menurunnya estrogen pada masa klimaterium, aliran darah pada

vagina menurun sampai pada batas terjadinya iskemia relatif, dan hal ini berperan
16

dalam menjelaskan terjadinya dispareneu dan kekeringan pada vagina. Terapi

estrogen meningkatkan aliran darah dan mengurangi keluhan tersebut. Arteri pada

vagina diameternya mengecil pada menopause, jumlah pembuluh darah kecil

berkurang, dengan kemungkinan penebalan dinding pembuluh darah. Faktor

terakhir ini berperan dalam terjadinya perubahan warna pada vagina. Sejumlah

anastomosis arteri vena berperan mengatur aliran darah. Bantalan intimal arteri

mengandung aliran darah. Serupa dengan bantalan intimal sel mioepitel yang ada

pada vena vagina. Lamina propria vagina, ketika mendekati lapisan otot, berisi

pleksus vena besar berdinding tipis sehingga tampak seperti jaringan erektil. Salah

satu faktor dari respon fisiologis dari stimulasi seksual adalah vasokongesti pada

dinding vagina, fungsi normal dari pleksus vena ini diasumsikan penting untuk

fisiologi normal vagina. VIP (vasoactive intestinal polypeptide), suatu vasodilator

yang poten, telah dipostulatkan berperan pada kontrol dari sekresi dari pleksus

yang sama selama fase excitement seksual. Suatu hal yang sama bisa dilihat pada

uretra. Pada bagian proksimal uretra wanita terdapat submukosa pleksus vena

corkscrew-like, berperan untuk sekitar 113 total urethral pressure didaerah ini.

Pleksus ini mengalami perubahan morfologi sesuai umur: setelah menopause vena

kehilangan formasi tipikalnya dan menjadi seperti berdinding tipis, lumen lebar

dan pulsasi vaskular menurun. Estrogen mengembalikan regresi vena ini dan

meningkatkan vaskular pulsasi di uretra (John-Gunnar, 1995).

Perubahan senile di vagina meliputi pemendekan dan penyempitan dari

liang vagina, atropi vagina, berkurangnya aliran darah vagina, pucatnya warna

vagina, meningkatnya kolagen dan lipofuscin deposit pada stroma, hilangnya


17

lipatan pada vagina dan meningkatnya vulnabillitas, lubrikasi berkurang

menyebabkan kekeringan. Perubahan atropi ini menyebabkan dispareneu. Epitel

kehilangan glikogen dan flora bakteri normal dengan berbagai macam tipe

laktobasilus digantikan bakteri patologis, menyebabkan vaginitis atropi, pH

vagina meningkat dari 4,5-5,5 menjadi 7,0-7,4. Struktur dalamnya, epitel vagina

dipermukaan menjadi mendatar dan mungkin terjadi superfisial keratinisasi.

Stroma di invasi oleh limfosit dan sel plasma, suatu fenomena yang dikatakan

lebih pada penuaan daripada proses inflamasi. Bukaan uretra menjadi dekat

introitus vagina sehingga manipulasi vagina bisa menyebabkan masalah di uretra

(John-Gunnar, 1995).

Pada penelitian di laboratorium, Park dkk (2005) dan Kim dkk (2005),

keduanya melaporkan penurunan yang bermakna pada tebalnya epitel vagina dan

jaringan otot halus pada kelinci yang mengalami ovorektomi. Temuan yang sama

juga dilaporkan pada tikus dan primata selain manusia. Penelitian terakhir saat ini

tentang efek pemberian steroid pada jaringan epitel, Huggins dkk melaporkan

bahwa pemberian testosteron sc (0,1-4,0 mg/hr) menstimulasi produksi mukus

tetapi bukan keratin dipermukaan sel vagina tikus. Estrogen (1 gr/hr)

menyebabkan permukaan superfisial epitel menghilang, diikuti terjadinya

peningkatan basal sel dan keratinisasi. Dosis tinggi estrogen (100 gr/hr) hanya

menyebabkan peningkatan basal sel dan susunan keratin, sedangkan kombinasi

testosteron (1 mg) dan estrogen (1 gr) menyebabkan peningkatan epitel dengan

pengurangan susunan mukoprotein dan penghentian produksi keratin. Hal ini


18

mengindikasikan efek yang berbeda dari hormon seks steroid (Dmitrieva, 2005;

Monica, dkk., 2006; Liu, dkk., 2006).

Banyak penelitian tentang perubahan siklik yang terjadi pada vagina

memfokuskan pada epitel. Saat ini, hanya sedikit yang diketahui tentang

perubahan pada lamina propia atau jaringan otot pada manusia atau pada hewan

sebagai akibat dari kekurangan hormon yang menggambarkan suatu hasil dari

hipotesa. Menggunakan tehnik immunohistokimia untuk menentukan distribusi

protein gene product 9.5 (PGP 9.5), penanda saraf secara keseluruhan, Hiliges

dkk (2005) menyelidiki persarafan dari mukosa vagina manusia. Pada penelitian

yang luas ini, bahan dari pembedahan didapatkan dari anterior dan posterior

fornik dan dinding anterior vagina pada leher kandung kemih dan daerah liang

senggama dari 6 wanita, baik yang premenopause dan postmenopause. Jaringan

saraf di epitel hanya bisa dilihat pada spesimen dari liang senggama, dimana serat

terbanyak berakhir setelah menembus 2/3 dari tebal epitel. Tidak ada bukti serat

epitel ditemukan di bagian lain (Dmitrieva, 2005; Monica, dkk., 2006; Liu dkk.,

2006; Rachelle dkk., 2010).

Sejumlah penelitian mencari hubungan status hormonal dengan perubahan

pada neurotransmitter atau jumlah persarafan di vagina. Pada penelitian terdahulu

dari persarafan vaginal adrenergik yang telah dilakukan ovorektomi dan diterapi

dengan estrogen pada kelinci, Sjoberg (2005) melaporkan terdapat peningkatan

bermakna pada kepadatan saraf adrenergik dan jumlah norepinephrine melebihi

pada kontrol. Sebaliknya, Ting dkk (2004) melaporkan peningkatan kepadatan

saraf pada saat tidak adanya estrogen (Dmitrieva, 2005; Monica dkk., 2006).
19

Menggunakan tehnik imunohistokimia untuk menentukan distribusi

protein gene product 9.5 (PGP 9.5), suatu general tumor marker, Hilges dan

kawan-kawan, meneliti inervasi dari mukosa vagina manusia. Pada penelitian ini,

spesimen dari operasi diambil dari fornik anterior dan posterior, dan dinding

depan vagina pada daerah leher kandung kemih dan daerah introitus dari 6 wanita,

yang pre dan post menopause. Serabut saraf pada epitel hanya terlihat pada

spesimen di introitus, dengan kebanyakan serabut berakhir setelah masuk dua

pertiga tebal epitel. Tidak terdapat bukti ada serabut intraepitel pada daerah lain

yang diteliti. Sejumlah penelitian mendapatkan hubungan antara status hormonal

dengan perubahan kandungan neurotransmitter atau kepadatan inervasi di vagina

(Rachelle dkk., 2010). Pada penelitian pendahuluan saraf adrenergik vagina pada

kelinci yang diovorektomi dan diterapi estradiol, Sjoberg (2005) menyatakan

terdapat peningkatan bermakna pada kepadatan saraf adrenergik dan

norepineprine (NE) dibandingkan kontrol. Sebaliknya, Ting dan kawan-kawan

(2004) melaporkan peningkatan kepadatan sarat dengan tidak adanya estradiol.

Menggunakan histokimia untuk mendeteksi asetilkolinesterase (AchE) dan NE

pada potongan vagina tikus, Adham dan Schenk (2005) menemukan variasi dari

total jumlah serabut saraf dan kepadatan relatif dari sub tipe saraf pada siklus

estrous yang bervariasi. Secara spesifik, dilaporkan bahwa baik saraf kolinergik

dan adrenergik lebih banyak pada estrus dan lebih sedikit selama diestrus, dengan

jumlah intermediate dari serabut pada metetrus dan proestrus. Tambahannya,

ditemukan adanya siklik variasi dari serabut yang AchE positip lebih dominan

pada pleksus subepitelial, dimana variasi siklik inervasi adrenergik terutama


20

terjadi pada otot. Berkley dan kawan-kawan (2004) melaporkan bahwa serabut

afferen berespon terhadap distensi vagina atau stimulasi mekanikal dinding vagina

terjadi seringkali selama proestrus di tikus. Penelitian lain menunjukkan bahwa

serabut afferent pelvis yang berespon pada distensi vagina lebih sensitif pada

proestrus, ketika musim kawin terjadi. Berman dan kawan-kawan (2004)

menunjukkan bahwa baik ekspresi endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan

neural nitric oxide synthase (nNOS) pada siklus tikus paling tinggi selama

proestrus dan rendah selama metestrus. Tambahannya, withdrawal dari estrogen

melalui ovorektomi secara signifikan mengurangi kedua tipe NOS, dimana

selanjutnya pemberian estrogen pengganti menghasilkan peningkatan ekspresinya.

Sebaliknya, Al-Hijji dan kawan-kawan (2005) meneliti sampai mana otot polos

vagina berespon pada ovorektomi tergantung pada nitrik oksida dan melaporkan

bahwa estrogen menurunkan aktivitas NOS dimana terapi dengan progesteron

secara signifikan meningkatkan aktivitas NOS. Jelas terdapat bukti bahwa seks

steroid mempengaruhi struktur jaringan vagina dan mungkin memegang peranan

pada ekspresi neurotransmitter (Monica, dkk., 2006).

2.1.2 Fungsi vagina

Vagina merupakan organ reproduksi wanita. Menerima penis pada saat

hubungan seksual. Sebagai jalan keluar darah menstruasi ketika sedang

menstruasi dan berfungsi sebagai jalan lahir dari bayi yang dikandung (Anderson

dan Rene, 2007).


21

2.1.3 Persarafan vagina

Persarafan vagina adalah dari pleksus uterovaginal (ganglion

Frankenhauser) pada bagian atas dari vagina dan dari saraf pudendal untuk vagina

bagian bawah. Perjalanan saraf ini mengikuti pembuluh darah uterus dan melewati

ligamentum kardinalis dan uterosakralis; serabut saraf sensoris dan simpatik

berasal dari T10, L1; serabut saraf parasimpatik berasal dari S2 sampai S4

(Anderson dan Rene, 2007).

2.2 Ovarium

2.2.1 Anatomi ovarium

Ovarium terdiri dari tiga bagian yaitu: bagian luar disebut kortek, medulla

dibagian tengah, dan rete ovarium atau hilum. Hilum adalah suatu tempat dimana

ovarium melekat ke mesovarium. Terdiri dari saraf, pembuluh darah, dan sel

hilus, yang mana berpotensi menjadi aktif pada saat steroidogenesis atau menjadi

membentuk tumor. Sel ini serupa dengan sel Leydig yang memproduksi testoteron

pada testis. Bagian paling luar dari kortek disebut tunika albuginea, bagian

atasnya ditutupi satu lapis epitel kuboid, serupa seperti epitel permukaan ovarium

atau mesotelium dari ovarium. Oosit, tertutup disuatu kompleks yang disebut

folikel, berada di bagian dalam dari kortek, tertanam di jaringan stromal. Jaringan

stromal terdiri dari jaringan ikat dan sel interstisial, yang berasal dari sel

mesenkimal, mempunyai kemampuan berespon terhadap luteinizing hormone

(LH) atau human chorionic gonadotropin (hCG) dengan produksi androgen.


22

Daerah medulla sentral dari ovarium berasal sebagian besar dari sel mesonephrik

(Fritz, dkk., 2005b).

2.2.2 Fisiologi ovarium

Jika stimulasi gonadotropin adekuat, satu dari beberapa unit folikel

berkembang matur dengan berbagai tingkatannya dan kemudian menjadi ovulasi.

Secara morfologis, kejadian ini meliputi meregangnya antrum oleh bertambahnya

cairan antral dan penekanan dari granulosa terhadap terpisahnya bagian granulosa

dan luteinized yang avaskular. Pertambahan cairan antral secara gradual mencapai

cumulus oophorous, bagian dari granulosa yang membungkus oosit. Mekanisme

penipisan dari theca pada permukaan yang kemudian menonjol, folikel menjadi

distensi, terbentuknya daerah avaskular menyebabkan melemahnya kapsul

ovarium, sehingga akhirnya karena distensi lama antrum menjadi pecah dan oosit

terdorong dari cumulusnya (Fritz, dkk., 2005a).

Gambar. 2.3 Ovulasi Pada Ovarium (Fritz, dkk., 2005b)


23

2.2.3 Steroidogenesis

Secara umum jalur biosintesis steroid berdasarkan penemuan dari Kenneth

J. Ryan dan kawan-kawan (2004). Jalur ini berdasarkan pola umum yang

ditunjukkan oleh semua organ endokrin yang menghasilkan steroid. Dengan

akibat, tidak mengherankan bahwa ovarium normal manusia menghasilkan tiga

macam seks steroid yaitu: estrogen, progestin, dan androgens (Fritz, dkk., 2005a).

Selama steroidogenesis, sejumlah karbon pada atom kolesterol atau pada

molekul steroid lain berkurang dan tidak pernah bertambah. Reaksi yang bisa

terjadi adalah: (Fritz, dkk., 2005b)

1. Pembelahan dari ikatan samping (reaksi demolase).

2. Konversi dari kelompok hidroksil menjadi keton atau keton menjadi

kelompok hidroksil (reaksi dehidrogenase).

3. Penambahan kelompok OH (reaksi hidroksilasi).

4. Pembuatan ikatan ganda (pemindahan hidrogen).

5. Penambahan hidrogen untuk mengurangi ikatan ganda (saturation)


24

Gambar 2.4 Steroidogenesis (Fritz, dkk., 2005b)

Secara umum pada steroidogenesis adalah bahwa setiap langkah dimediasi

oleh banyak enzim, yang berbeda-beda dari satu jaringan ke jaringan yang lain.

Enzim steroidogenesis adalah dehidrogenesis atau bagian dari sitokrom P450

kelompok dari oksidase. Sitokrom P450 adalah bentuk generik untuk enzim

oksidatif, dinamakan 450 karena pigmen (450) berpindah ketika berkurang. Enzim

450 dapat memetabolisme berbagai substrat seperti: pada hati, enzim 450

memetabolisme toksin dan polutan lingkungan. Berbagai macam enzim 450 dapat

ditemukan pada steroidogenesis: P450scc adalah enzim pada kolesterol; P450c11

memediasi 17-hidroksilase, 18-hidroksilase, dan 19-metiloksidase; P450c17

memediasi 17-hidroksilase dan 17, 20-lyase; P450c21 memediasi 21-hidroksilase;

dan P450aro memediasi aromatisasi androgen ke estrogen (Fritz, dkk., 2005a).


25

2.3 Estrogen

2.3.1 Rumus kimia hormon estrogen

Tiga estrogen yang umum adalah estrone (E1), estradiol (E2) dan estriol

(E3). Estrogen ke empat adalah estetrol (E4). Estradiol yang paling kuat. Estrone

dan estradiol disintesa dari aromatisasi androstenedione dan testoterone, berturut-

turut. Mereka juga dapat di interkonversi dari kerja 17β-hidroksisteroid

dehidrogenase (17β-HSDs). Estriol disintesa dari estrone melalui 16α-

hidroksiestrone intermediate. Sekalipun pada beberapa jaringan, estrogen dapat

dibuat atas permintaan, estrogen dapat disimpan dalam bentuk estrone sulfat. Ini

disintesa dari estrone melalui kerja estrogen sulfotransferase dengan estrone

memperbaharui katalisa hidrolisis steroid sulfatase dari estrone sulfate. Estrogen

dikeluarkan dari tubuh terutama sebagai sulfat dan glukuronidat derivat. Langkah

pertama mensintesa konjugat ini adalah turunan derivat hidroksilate. Hidroksilasi

terjadi terutama pada posisi 2-, 4- dan 16-. Kelompok hidroksil ini bisa sulfat,

glukuronidat atau metilat (Thomas dan Potter, 2011).

Karena hanya sedikit penelitian yang dipublikasikan tentang estetrol maka

estetrol hanya sedikit disinggung. Estetrol disintesa di hati bayi, tetapi fungsinya

sampai saat ini tidak diketahui. Beberapa kemungkinan rute biosintesis

dikemukakan mulai dari beberapa androgen, estrogen, dan ke tiga derivat

sulfatnya, dengan hidroksilasi yang terjadi dengan berbagai macam cara dan, pada

kasus androgen, aromatisasi terjadi baik sebelum maupun sesudah hidroksilasi.

Bukti menyatakan bahwa estetrol dibuat melalui jalan berbagai macam biosintesis

(Thomas dan Potter, 2011).


26

Memperlihatkan peran estrogen untuk mencegah, menyebabkan dan

memperburuk penyakit, pengetahuan yang baik bagaimana estrogen disintesa dan

dimetabolisme akan membantu memahami dan mengobati penyakit. Penjelasan

ini akan memperlihatkan perubahan pada setiap enzim yang terlibat dalam

metabolisme estrogen dalam terminologi struktur dan mekanisme reaksi yang

terjadi, sebelum bagian akhir membandingkan bermacam enzim. Inhibisi dari

enzim pada metabolisme estrogen mempengaruhi sejumlah estrogen pada tubuh

dan hal ini merupakan pokok pendekatan berbagai macam terapi yang

mengarahkan ke bahan pokok klinis. Estrogen sintetik, misalnya etinilestradiol

(gambar 2. 5), telah dipakai secara luas pada terapi sulih hormon, dan

dikombinasikan dengan progestin, dipakai sebagai kontrasepsi.

Gambar 2.5 Jalur Metabolisme Estrogen. Terdapat variasi spesifik-jaringan.


Senyawa hidroksilasi pada cincin A dikonversi ke senyawa metoksi oleh katekol
O-metiltransferase. Struktur estetrol dan etinilestradiol ditunjukkan sebagai
cincin steroid yang diberi label dan sistim penomoran atom (Thomas dan Potter,
2011)

Ada empat belas enzim vertebra berbeda yang diklasifikasikan sebagai

17β-hidroksisteroid dehidrogenase dimana dua belas telah ditemukan di jaringan

manusia. Terlepas dari namanya substrat pilihan dari beberapa enzim ini adalah

lain dari steroid dan, ketika substrat adalah steroid, reaksinya bisa oksidasi atau
27

reduksi tergantung kofaktor dan lokasi selular. Tipe 1 17β-hidroksisteroid

dehidrogenase mengkatalisis konversi estrone ke estradiol, dan dari 16α-

hidroksiestrone ke estriol (gambar 2. 5). Reaksi sebaliknya mengkatalisis 17β-

HSD2 yang juga memfasilitasi perubahan dari testoterone ke androstenedione,

reaksi balik yang dikatalisis 17β-HSD3 (Thomas dan Potter, 2011).

Ketiga enzim merupakan anggota dari the short-chain

dehydrogenase/reductase (SDR) structural family. Urutan yang sesuai

ditunjukkan pada gambar 2. 6 Dicantumkan pada tabel 2. 1 Kebanyakan dari

struktur ini mempunyai ligan di tempat berikatan substrat: struktur ligan

ditunjukkan pada gambar 2. 7

Gambar 2.6 Penyelarasan Sekuens 17β-hidroksisteroid dehidrogenase.


Penyelarasan sekuens 17β-HSD1 (UniProt ID kode P14061), 17β-HSD2 (UniProt
ID kode P37059) dan 17β-HSD3 (UniProt P37058). Residu yang identik berwarna
kuning. Residu-residu ini dalam 17β-HSD1 membentuk tempat ikatan substrat,
yang bisa teridentifikasi dengan inspeksi visual strukturnya, tercetak tebal, dan
yang membentuk tempat berikatan NADPH ditunjukkan berwarna merah. Struktur
skunder pada 17β-HSD1 teridentifikasi sebagai H-heliks dan lembar S
(Thomas dan Potter, 2011)
28

Tabel 2. 1 Struktur Kristal Dari 17β-HSD1.

(Dikutip dari Thomas dan Potter, 2011)

Gambar 2. 7 Struktur Ligan Pada Struktur Kristal 17β-HSD1. DHETNA: 05’-[9-


(3, 17 β-dihidroksi-1, 3, 5(10)-estratrien-16 β-yl)-nonanoyl]adenosine. E2B: 3-
(((8R, 9S, 13S, 14S, 16R,17S)-3, 17-dihidroksil-13-metil-7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15,
16, 17-decahidro-6H-siklopenta(a)phenantren-16-yl)metil)benzamide
(Thomas dan Potter, 2011)

Gen dapat diterjemahkan menjadi 328 asam amino tetapi protein yang

matur telah kehilangan methionin awalnya, jika dilihat dari awalnya, sering (tetapi

tidak selalu) diberi nomor A1-Q327. Disini penomoran A1-Q327 dipakai. Tidak

ada struktur kristal yang umum untuk baik 17β-HSD2 atau 17β-HSD3, tetapi
29

secara keseluruhan struktur 3D nya diperkirakan serupa seperti 17β-HSD1

(gambar 2. 8).

Gambar 2. 8. Struktur 17β-HSD1. Gambar struktur 17β-HSD1 diberi warna biru


pada N-terminal. Struktur elemen sekunder diberi label seperti pada gambar 2. 13:
h-heliks dan lembar-S. NADPH ditunjukkan dengan warna karbon ungu dan
estradiol dengan karbon merah muda (berdasarkan struktur 1A27)
(Thomas dan Potter, 2011)

Protein dibangun disekitar inti dari 7 strands yang paralel dengan

sedikitnya satu heliks diantara strands yang berurutan. Ini menyebabkan lipatan

Rossman menjadi ciri khas ikatan nukleotida protein. Lup diantara lembar 1 dan

heliks 1 mempunyai motif GxxxGxG (residu G9-G15, dimana G adalah glisin dan

x residu yang lain) ini lazim pada oksidasi/reduksi enzim yang mengikat kofaktor

nikotinamid. S142, pada akhir lembar 5, dan Y155 dan K159, pada heliks 9,

terbukti penting untuk aktivitas. Tempat ikatan substrat dibentuk oleh residu G94,

L95, L96, S142, V143, G144, M147, L149, P150, N152, Y155, C185, G186,

P187, F192, M193, V196, Y218, H221, S222, V225, F226, F259, L262, M279,

E282 dan V283. Dari semua duapuluh-enam residu hanya empat belas di struktur

elemen sekunder, misalnya heliks atau lembaran, dengan sisanya di lup antara

elemen struktural. Salah satu lup ini, lup ikatan substrat terdiri dari residu H189-

V196, cukup fleksibel sehingga bisa dilihat dalam dua bentuk pada struktur

1FDT. Lup ini mungkin harus berpindah untuk memungkinkan substrat ke tempat
30

berikatan. Residu berikut membentuk tempat berikatan NADPH: T8, G9, C10,

S11, S12, G13, I14, G15, R37, L64, D65, V66, R67, C89, N90, A91, G92, L93,

V113, T140, G141, S142, Y155, K159, C185, V188, H189, T190, A191, F192,

M193 dan K195 (Thomas dan Potter, 2011).

Reaksi transfer hidrida yang dikatalisis oleh enzim ini adalah reversibel

secara intrinsik tetapi, in vivo, efektif searah karena konsentrasi relatif dari

NADPH dan NADP+. Berdasarkan nilai tukar pengukuran isotop antara pasangan

produk substrat reaksi yang dikatalisis oleh 17β-HSD1 dikatakan diurut secara

random dengan mekanisme bi-bi (gambar 2. 9). Meski demikian, suatu penelitian

dinamik berdasarkan struktur kristal dari apo enzim dan binari dan ternari

kompleks menyatakan bahwa ada pilihan dengan ikatan NADPH sebelum

substrat, dan NADP+ dilepaskan sebelum produk. Pada reaksi pro-S hidrida

ditransfer dari NADPH ke bagian alpha dari C 17 estrone. Hidrida kemudian di

transfer ke C17 oksigen, distabilisasi dengan interaksi dengan hidroksil dari S142,

dari hidroksil Y155. Kemudian dipostulatkan menjadi jaringan transfer hidrida

melibatkan NADPH ribose hidroksil, bagian K159 amino dan molekul air

menghasilkan formasi ion hidronium (gambar 2. 10). Bekerja dengan 17β-HSD1

dari jamur berserabut Cochliobolus lunatus menunjukkan bahwa kofaktor

disosiasi adalah reaksi yang paling lambat dan aktivitas katalitik mungkin

dimodulasi oleh konsekuensi perbedaan penyesuaian lup ikatan substrat pada

kofaktor dan ikatan substrat. Enzim dari keluarga SDR adalah khas sebagai

dimers atau tetramer aktif, dan bekerja dengan enzim C. lunatus menunjukkan

bahwa dimerisasi mungkin perlu untuk aktivitas ini (Thomas dan Potter, 2011).
31

Estrogen estradiol adalah yang paling kuat dan inhibisi produksi estradiol

bermanfaat pada pengobatan penyakit oestrogen-dependent. Inhibisi 17β-HSD1

mencegah produksi estradiol, meskipun bersama-sama penghambatan aromatase

dan sulfatase steroid mungkin penting untuk mereduksi level estradiol secara

banyak. Sejumlah steroidal dan non steroidal inhibisi telah disintesa mempunyai

nilai IC50 dalam jangkauan rendah (Thomas dan Potter, 2011).

Gambar 2. 9 Mekanisme Urutan Random bi-bi dari 17β-HSD1. Mekanisme


yang diyakini disukai ditampilkan dalam huruf tebal. E-enzim, E1-estrone, E2-
estradiol (Thomas dan Potter, 2011)

Gambar 2. 10 Tempat berikatan substrat dari 17β-HSD1. Nukleotida mengikat


motif GxxxGxG dan residu yang ikut dalam katalisis ditampilkan dalam warna
hijau. NADH dalam warna ungu dan estradiol berwarna merah muda. Struktur
elemen sekunder ditampilkan dalam warna abu-abu. Beberapa kemungkinan
ikatan hidrogen ditampilkan dalam garis putus-putus warna hitam
(Thomas dan Potter, 2011)
32

2.3.2 Fungsi hormon estrogen

Estrogen mempunyai banyak peran didalam tubuh yaitu: pada reproduksi

dan siklus haid, pada kanker payudara, perkembangan osteoartritis, pencegahan

penyakit jantung, neuroprotection selama iskemia serebral dan pada multiple

sklerosis, selera makan dan perilaku makan, metabolisme lemak, skizoprenia,

autoimun, dan proses melihat dan mendengar. Estrogen bekerja memberikan

pengaruhnya dengan beberapa cara. Pada “classic genome response” estrogen

berikatan dengan reseptor estrogen intraselular spesifik (ERα dan ERβ),

digabungkan oleh kombinasi estrogen reseptor ini dan ditranslokasikan ke

nukleus, dimana mereka mengatur transkripsi target gen yang mengandung

komponen estrogen responsif pada promotornya. Tetapi, reseptor estrogen yang

sama ini juga menunjukkan berikatan dengan faktor transkripsi lain yang

mempengaruhi ekspresi gen yang tidak mengandung komponen estrogen

responsif pada promotornya, dan menggunakan jalur isyarat transduksi yang

mengatur respon selular ke estrogen. Jalur isyarat transduksi dapat juga diaktifkan

oleh ikatan estrogen ke membran permukaan sel yang terikat reseptor (Thomas

dan Potter, 2011).

Estrogen merangsang proliferasi dan differensiasi sel, dimana

penghambatan estrogen menyebabkan atropi disertai apoptosis pada organ

reproduksi wanita dewasa seperti uterus dan vagina. Pemaparan dengan estrogen

selama periode kritikal saat perkembangan awal merangsang prolifersi persisten

ovary-independent dan keratinisasi pada epitel vagina saat dewasa.

Diethylstilbestrol (DES), suatu estrogen sintetik digunakan untuk mencegah


33

keguguran selama periode 1940 sampai dengan 1970 an, merangsang karsinoma

clear cell vagina dan abnormalitas uterus pada anak perempuan dari ibu yang

terpapar DES selama kehamilan. Abnormalitas yang serupa dilaporkan pada tikus

yang terpapar estrogen selama periode kritikal perinatal. Pada tikus wanita,

berbagai macam abnormalitas seperti polyovular follicles, oviductal tumors,

metaplasia uterine epitelial, keratinisasi dan stratifikasi persisten vagina, vaginal

adenosis, dan karsinoma serviko-vaginal, disebabkan pemaparan estrogen

perinatal termasuk DES. Proliferasi epitel vagina tetap ada meskipun setelah

oovorektomi pada tikus dewasa yang terpapar dosis DES yang cukup selama

periode neonatal awal (Thomas dan Potter, 2011).

Selama siklus estrous normal, proliferasi sel epitel vagina dan keratinisasi

terjadi pada tahap estrous, dimana keratin 1 (K1) dan ekspresi reseptor

progesteron dirangsang pada tahap proestrous. Pemaparan DES selama periode

perkembangan kritikal menghasilkan perubahan respon terhadap estrogen di

vagina, mengakibatkan terjadinya abnormalitas. Sel epitel gagal mengalami

apoptosis walaupun telah dilakukan oovorektomi. Dan ekspresi persisiten dari

berbagai macam gen terlihat pada proliferasi persisten vagina. Berkurangnya

ekspresi estrogen reseptor (ER) mRNA dan ekspresi persisten dari c-fos dan c-jun

mRNAs terlihat pada vagina tikus yang terpapar DES pada tahap neonatal,

walaupun telah dilakukan oovorektomi. Posporilasi persisten dari reseptor erbB,

termasuk reseptor epidermal growth factor (EGF), dan tetapnya ekspresi dari

EGF-like growth factors ditemukan pada vagina tikus yag terpapar DES pada

masa neonatal. Pemaparan neonatal pada fibroblast growth factor family,


34

keratinocyte growth factor (KGF), menyebabkan stratifikasi persisten epitel

vagina. Induksi EGF oleh estrogen mungkin memegang peranan penting pada

proliferasi sel epitel pada uterus dan vagina. Periode kritis untuk terjadinya

induksi abnormalitas oleh estrogen pada perkembangan tikus bervariasi perorgan.

Analisa dari perkembangan molekular berdasarkan critical sensitive window pada

tiap organ adalah sangat untuk memahami etiologi dari perubahan persisten di

organ reproduksi (Thomas dan Potter, 2011).

2.4 Ovorektomi

Ovorektomi adalah suatu tindakan pengangkatan ovarium. Dikerjakan

pada saat operasi laparotomi dengan indikasi tertentu (Hoffman, dkk., 2012).

2.4.1 Tehnik ovorektomi

Jika adneksa akan dihilangkan, tuba dan ovarium dipegang dengan klem

dan dijauhkan dari ligamen infundibulopelvikum (IP). Peritoneum bagian lateral

diinsisi, dan insisi ini diperluas keatas dan ke lateral. Peritoneum bagian medial

dari IP diinsisi terlebih dahulu sebagai bagian belakang dari broad ligament.

Dengan ligamen IP yang sudah terisolasi, pasang klem disekitar ligamen. Bersama

dengan utero-ovarian ligamen, dua klem diletakkan dibagian proksimal tempat

yang akan diinsisi (Hoffman, dkk., 2012).

Setelah klem terpasang, ligamentum IP dipotong. Ligasi dilakukan dengan

benang absorbable yang diletakkan lebih diproksimal dari kedua klem tadi.

Setelah benang diikat sempurna, klem bagian proksimal bisa dibuka. Jahitan

transfik kemudian dilakukan disekitar klem yang masih terpasang. Jahitan ini
35

dilakukan di proksimal dan distal dari jahitan pertama. Setelah ikatan selesai klem

bisa dibuka (Hoffman, dkk., 2012).

Gambar 2. 11 Tehnik Ovorektomi (Hoffman, dkk., 2012)

2.5 Calcitonin Gene Related Peptide

Calcitonin pada dasarnya adalah neuropeptide, rantai tunggal polipeptida

32 asam amino dengan jembatan amino-terminal disulpide (antara posisi 1 dan 7)

dan suatu amide proline carboxyl-terminal residu. Copp dan kawan-kawan

pertama kali mengenali adanya faktor fast-acting hypocalcaemic yang kemudian

mereka beri nama ‘calcitonin’. Kelompok Hammersmith kemudian

mengkonfirmasi faktor baru ini, tetapi masih meragukan asal dari faktor ini.

Tetapi akhirnya keraguan ini bisa di jelaskan ketika Munson dan kawan-kawan

menunjukkan faktor hypocalcaemic yang sama bisa dihasilkan atau dilepaskan

dari tiroid tikus. Meskipun banyak terdapat kontroversi, asal tiroidal plasma

calcitonin akhirnya diketahui. Foster, Mac Intyre dan Pearse menunjukkan bahwa
36

sel yang kaya akan mitokondria dari tiroid anjing bertanggung jawab akan sekresi

calcitonin. Sel parafollikular ini, pertama kali di gambarkan oleh Baber, disebut

‘sel c’ (calcitonin-producing cell) dan menunjukkan mengandung calcitonin

immunoreactive. Pada embrio binatang pengerat, sel c berasal dari

ultimobranchial pouch. Pada burung, ikan dan reptil, sel ini menunjukkan

ketahanan yang sama seperti ultimobranchial bodies selama kehidupan dewasa

dan merupakan sumber yang kaya calcitonin. Pada mamalia, kebanyakan sel c

berpindah menyatu dengan tiroid (Lars dkk., 2006).

Asal mula neural crest dari sel c berasal dari hipotesa Pearse dan

kemudian dikonfirmasi pada manusia dan sub mamalian vertebra. Saat ini

diketahui, selagi bermigrasi dari neural crest selama perkembangan, sel c

seringkali terkumpul pada daerah selain tiroid dan ultimobranchial body. Bagian

atau kelenjar dimana terdapat sel c dengan konsentrasi yang tinggi bervariasi pada

spesies yang berbeda. Molekul seperti calcitonin ditemukan di kompleks neural

dan traktus saluran makanan dari Ciona. Molekul ini mirip dengan yang terdapat

pada manusia (Lars dkk., 2006).

Sintesa dari dua bentuk utama calcitonin ditemukan pada kelenjar

ultimobranchial ikan trout. Penelitian selanjutnya kemudian baru mengetahui

bahwa ada suatu prekursor untuk calcitonin. In vitro translasi mRNA yang

mengkoding calcitonin membuktikan adanya prekursor. Prekursor ditemukan

pada bagian medula tiroid manusia dan kanker paru-paru dan pada transplantasi

serial sel karsinoma medula tiroid tikus. Mungkin glikosilasi memegang peranan

yang penting dalam menentukan kekhususan dari proses presekresi hormon


37

peptida. Struktur dari prekursor calcitonin diketahui jelas dengan aplikasi

tehnologi rekombinan DNA. Calcitonin gene dari tikus dan manusia telah di

gandakan dan di rangkaikan dengan strategi yang serupa, termasuk pembuatan

plasmid yang mengandung rangkaian DNA melengkapi calcitonin mRNA,

disuling dari sel c tumor. Rangkaian analisis mengungkapkan bahwa prekursor

calcitonin pada manusia mengandung 135 asam amino residu. Dua puluh lima

residu yang pertama merupakan rangkaian yang bertingkat, yang menentukan

sekresi. Rangkaian 32 amino-acid diapit peptida tersamar. Carboxy-terminal

manusia dan tikus diapit peptida-peptida yang terdiri atas 21 (katalacin) dan 16

asam amino residu masing-masing, hanya 8 residu yang umum bagi kedua

peptida. Fungsi dari peptida yang tersamar ini, tidak diketahui. Residu dasar

terbanyak (Lys-Arg dan Gly-lys-Lys-Arg) yang mengapit rangkaian calcitonin

adalah bagian pembelahan proteolytic post-translational. Pengolahan ini

menyimpang pada beberapa deretan sel tumor. Selanjutnya, residu glysin

disebelah residu proline dari rangkaian calcitonin berfungsi sebagai donor amino

(Lars dkk., 2006) .

Selama penelitian dengan transplantasi serial di medula tiroid tikus sel

karsinoma pada kultur, kelompok Rosenfeld mengamati perubahan yang

permanen dan spontan dari produksi yang tinggi dan rendah calcitonin. Calcitonin

yang berhubungan dengan mRNA ditemukan diganti dengan ca. 200 nukleotida

mRNA yang lebih panjang. Ini dikatakan menyandikan suatu protein (Mr 16000)

yang tidak mengandung calcitonin immunoreactive. Analisa genomik DNA dan

RNA menyatakan bahwa calcitonin tikus yang berhubungan dengan mRNA


38

menyandikan 128 asam amino polipetida prekursor. Molekul terakhir

mengandung 37 asam amino pembelahan peptida, calcitonin gene-related peptide

(CGRP), dipisahkan dari terminal carboxylnya dari tetra peptida oleh rangkaian

Gly-Arg-Arg-Arg. Pada terminal aminonya, diapit oleh residu Lys-Arg,

memisahkannya dari peptida yang lebih besar yang serupa dengan peptida amino-

terminal dari prekursor calcitonin (Lars dkk., 2006).

Alpha-calcitonin gene terdapat pada lengan pendek dari kromosom 11

diantara katalase dan gen hormon paratiroid. Terdiri dari 6 exon, jika di ulur

mengandung lebih dari 6.5 kilobases DNA. Tiga exon pertama umum untuk

calcitonin dan CGRP mRNA. Exon ke empat mengandung rangkaian calcitonin

dan katacalcin, sama seperti rangkaian yang tidak ditranslasi, pada akhir dimana

biasanya polydenylation memberi tanda AATAAA. Exon ke lima mengandung

rangkaian CGRP. Exon ke enam bagian dari transkripsi CGRP. Tidak di translasi

dan berakhir sebagai cadangan signal polydenylation ATTAAA. Calcitonin dan

CGRP mRNAs mengandung 5’ non-coding dan coding area yang identik. Pada

laki-laki 225 nukleotida pertama yang berisi informasi coding (75 asam amino)

adalah identik pada baik calcitonin dan CGRP mRNAs. Bagian ini dibedakan oleh

44 nukleotida dengan bagian yang sama pada rangkaian tikus. Rangkaian dari

calcitonin dan CGRP mRNAs kemudian berbeda secara keseluruhan, tetapi

berlanjut dengan reading frames yang terbuka. Titik perbedaan ini berhubungan

dengan persimpangan sambungan genomic. Rangkaian nukleotida dari tikus dan

manusia CGRP mRNAs dibedakan dengan 7 silent dan 4 replacement

substitutions. Berbeda dengan calcitonin mRNAs tikus dan manusia yang


39

mempunyai 7 silent dan 2 replacement substitutions. Telah ditentukan bahwa

multipel mRNAs dapat dihasilkan dari transkripsi tunggal beberapa bagian viral

dan gen-gen eukaryotic. Rosenfeld mengemukakan bahwa calcitonin dan CGRP

mRNAs dihasilkan dari penyambungan yang berbeda dari transkripsi seluruh gen.

Dikatakan bahwa sintesis calcitonin dan CGRP mRNAs mulai dari tempat yang

umum. Analisis dari distribusi transkripsi yang baru melewati gen menunjukkan

tidak ada perbedaan antara nuklei yang disiapkan dari tumor yang membuat

calcitonin mRNA atau CGRP mRNA. Transkripsi menunjukkan berlanjut melalui

calcitonin dan CGRP exon pada angka yang sama dan berakhir 1 kilobase dihilir

exon ke enam. Dikatakan juga bahwa polydenylation mendahului dan ditentukan

oleh pilihan penyambungan. Akhir-akhir ini terdapat suatu alternatif proses,

dimana polydenylation pada tempat calcitonin biasanya diikuti pembuangan

introns. Solnick pada tahun 1985 melaporkan suatu alternatif penyambungan

secara in vivo dan in vitro karena susunan DNA sekunder. Perbedaan

penyambungan exon ditunjukkan pada kasus gen insulin-like growth factor I.

Mekanisme penentu yang mana merupakan mRNA matur yang dihasilkan tidak

diketahui. Salah satu kemungkinannya adalah pada sel yang memproduksi

calcitonin, ada faktor yang terikat dengan transkripsi utama pada atau dekat di

depan exon lima. Ini mencegah penyambungan dari exon 3 ke exon 5. Ke empat

exon pertama oleh karena itu tersambung bersama dan polydenylated setelah exon

ke empat. Pada sel yang menghasilkan CGRP hal ini tidak ada. Salah satu dari

penyambungan exon 3 ke exon 5 disokong secara termodinamis, atau ada faktor


40

lain mengikat dekat atau pada exon 4 mencegah penyambungan exon 3 ke exon 4.

(Lars dkk., 2006).

Hanya sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang mengatur

transkripsi dan penyambungan dari sistim calcitonin/CGRP. Dikatakan terdapat

rangkaian reseptor kortikosteroid di dekat gen. Adanya pendapat yang

menyatakan bahwa ekspresi gen dikendalikan post-transkripsional oleh kalsium

dan pada tingkat transkripsi oleh vitamin D, belum bisa ditetapkan. Dosis vitamin

D yang digunakan tidak fisiologis. Siklik AMP dan phorbol esters diketahui

mempengaruhi differensiasi sel karsinoma medula tiroid dengan peningkatan

calcitonin dan ekspresi CGRP diikuti penurunan pada transkripsi c-myc dan

sintesa DNA. Suatu pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mengetahui

pengaturan calcitonin/CGRP gen adalah memasukkan struktur gen spesifik yang

dikloning kedalam oosit yang di fertilisasi dan memelihara tikus transgenik (Lars

dkk., 2006).

Calcitonin pertama kali diisolasi dari tiroid babi. Usaha pertama untuk

mengisolasi calcitonin pada manusia dari tiroid manusia yang normal gagal.

Segera disadari bahwa karsinoma tiroid pada bagian medula mengandung 5000

kali calcitonin daripada tiroid normal. Menggunakan jaringan ini sebagai bahan

awal, peptida diisolasi dalam bentuk dan rangkaian monomeric (calcitonin-M) dan

dimeric (calcitonin-D). Sejak saat itu, sejumlah besar calcitonin pada mamalia dan

submamalia telah diisolasi, dirangkai dan disintesa. CGRP pertama kali diisolasi

dari jaringan dan rangkaian karsinoma tiroid bagian medula menggunakan fast

atom bombardment mass spectrometry. Penelitian ini memperoleh bukti yang


41

tepat keberadaan peptida yang diperkirakan dan menetapkan keberadaannya pada

manusia (Lars dkk., 2006).

Calcitonin adalah rantai tunggal polipeptida 32 asam amino dengan

jembatan amino-terminal disulpide (antara posisi 1 dan 7) dan suatu amide proline

carboxyl-terminal residu. Delapan residu (posisi 1, 4, 5, 6, 7, 9, 28 dan 32) telah

diketahui invariant. Istilah ini diketahui mendekatkan konfigurasi yang renggang

dan sepertinya amide, pemendekan carboxyl-terminal end, pembukaan cincin

amino-terminal, pemecahan ikatan disulfida atau oksidasi dari metionin (posisi 8

pada calcitonin manusia). Modifikasi ini diketahui tidak untuk mengubah aktivitas

biologi termasuk oksidasi dari metionin (posisi 25 pada calcitonin porcine, bovine

atau ovine) atau penggantian jembatan disulfida pada calcitonin belut dengan

rangkaian etilin 9 (C-C). Modifikasi penggantian ini cenderung untuk

meningkatkan homologi dengan calcitonin salmon menunjukkan peningkatan

kekuatan. Malah akhir-akhir ini terkesan bahwa untuk memberikan ‘long-range’

interaksi reseptor-peptida dan perubahan bentuk pada molekul reseptor-bound,

kelenturan bentuk molekul itu sendiri secara bermakna mempengaruhi aktivitas

biologinya. Penggantian calcitonin salmon dengan asam amino hanya sedikit

mempengaruhi rantai samping (valin dengan glisin pada posisi 8 atau leusin

dengan alanin pada posisi 16). Hal ini menunjukkan peningkatan kelenturan

molekul dengan penurunan kecenderungan untuk membentuk struktur helical.

Pada CRGP (α) didapatkan berbeda dari rangkaian α tikus yang diperkirakan

dengan adanya pergantian 4 asam amino (posisi 1, 3, 25 dan 35). Pada CRGP β

manusia didapatkan perbedaan dari bentuk α oleh adanya 3 asam amino (posisi 3,
42

22, dan 25). Dua dari tiga residu (posisi 3 dan 25) juga telah di modifikasi pada

tikus CGRP β: salah satu dari ini digantikan dengan asam amino (aspargin).

Empat peptida di katakan mempunyai efek yang serupa pada kuping tikus yang

diisolasi, aliran darah pada kulit kelinci dan pada sisitim osteoklas yang diisolasi.

Terdapat sekitar 30 % homologi stuktural antara struktur peptida CGRP dan

calcitonin salmon. Ini menjelaskan adanya reaksi silang yang dibagi bersama

antara satu peptida dan reseptor yang lain. Yang lebih penting lagi, terdapat kesan

bahwa CGRP dapat mencapai konfigurasi yang sama dengan calcitonin salmon,

ukuran sama, adanya amidated terminal carboxyl residu dan jembatan amino

terminal disulfida. Penelitian terakhir pada interaksi reseptor peptida menekankan

bahwa molekul dengan relatif kecil rangkaian homologi dapat mempunyai

kesesuaian yang sama dengan kompleks membran-reseptor (Lars dkk., 2006).

Lokasi CGRP-like immunoreactivity adalah sepanjang traktus urogenital

tikus dan traktus urinarius dari babi guinea. CGRP yang kaya serabut saraf

dikatakan menyokong pembuluh darah, otot halus non vaskular (ureter, kandung

kencing, uterus), epitel skuamus (tuba fallopi), dan jaringan penyambung

(ovarium, serviks, vagina, ureter, kandung kencing). Distribusi peptida ini serupa

seperti substansi P. Sebagai tambahan, beberapa serabut simpatis juga

mengandung CGRP. Serabut immunoreactive-CGRP, mencapai traktus urinarius

melalui serabut hipogastrik dan pelvik. Tingkat CGRP (tertinggi di ureter dan

trigonum kandung kencing) dikatakan lebih tinggi daripada neuropeptida yang

lain, kecuali neuropeptida Y (Lars dkk., 2006).


43

Daya ikat yang tinggi pada tempatnya untuk calcitonin, dihubungkan

dengan adenylate cyclase, bisa diperlihatkan dengan metode biokimia dan

autoradiografik, menggunakan seluruh bagian tulang, selaput yang disiapkan, atau

kultur osteoklast. Akhir-akhir ini, reseptor calcitonin ditandai, untuk pertama

kalinya, pada osteoklast tikus yang diisolasi. Osteoklast berespon dengan

calcitonin sesuai dengan dosis meningkatkan tingkat siklik AMP. Suatu

komponen reseptor mempunyai relatif berat molekul mendekati 80000. Kepadatan

reseptor calcitonin pada osteoklast (106 per sel) adalah sesuai hanya dengan

reseptor epidermal growth factor pada sel epidermoid karsinoma. Arti secara

fisiologis dari sejumlah besar reseptor masih harus diteliti, seperti bagaimana apa

yang menyebabkan hilangnya reseptor calcitonin, reseptor downregulation,

hilangnya homologous terdesentisasi dan aktivasi persisten adenylate cyclase.

Pada penelitian yang lebih luas pada sel yang bukan tulang, reseptor calcitonin

ditemukan pada ginjal, otak, insang ikan, paru-paru babi, sel limfoid, dan kanker

paru pada manusia dan sel kanker payudara (Ghatta, Nimmagadda, 2004; Lars

dkk., 2006).

Reseptor CGRP telah dipetakan secara luas diseluruh sistem saraf pada

manusia dan tikus. Tempat yang mempunyai daya ikatan yang paling tinggi

ditemukan di daerah serebelum (molekular dan lapisan Purkinje) dan spinal cord

(terutama substansia gelatinosa), termasuk pia mater dan pembuluh darah.

Terdapat suatu tumpang tindih antara penyebaran susunan CGRP immunoreaktif

dan tempat berikatannya, mengesankan adanya keterlibatan luas dari CGRP pada

berbagai fungsi otak. Terlebih lagi terdapat sejumlah tempat berikatan untuk
44

salmon, bukan manusia, calcitonin, terutama di dorsomedial dan anterior

hypothalamus. Anterior hypothalamus mempunyai hanya sedikit ikatan dengan

CGRP. Sebaliknya, tempat berikatan CGRP yang tinggi ditemukan terbatas pada

tempat dimana hanya sedikit reseptor salmon calcitonin (serebelum, medial

geniculate body, mammilalary body dan hypothalamic lateral dan nukleus

vestibular). Kedua peptida ini diketahui bereaksi silang terhadap reseptor satu

sama lain, pada konsentrasi 1000 kali lebih tinggi. Kemampuan relatif CGRP dan

calcitonin manusia untuk bereaksi pada reseptor calcitonin salmon

mengindikasikan bahwa CGRP bisa berperan sebagai ligan endogenous untuk

reseptor calcitonin di sisitem saraf sentral. Sebaliknya, reseptor CGRP dari sistim

saraf sentral sepertinya tidak terhubung dengan adenylate cyclase. Hal ini

mungkin berhubungan dengan tingginya aktivitas basal cyclase yang menurunkan

sensitivitas dari sistim pengujian. Kemungkinan lain, reseptor mungkin terhubung

dengan second messenger yang lain. CGRP dapat menstimulasi aktivitas

adenylate cyclase dengan cara bereaksi silang pada reseptor calcitonin pada lebih

dari satu jaringan. Reseptor CGRP juga ditemukan pada bagian intima dan media

pembuluh darah, terutama di coronary, superior mesenteric, femoral, distal limb

dan di bagian lain dari arteri viseral dan atrium, ventrikel dan katup jantung.

Ditemukan suatu stimulasi yang bermakna dari siklik AMP ketika kultur sel

endotelial otot halus aorta tikus atau manusia atau sapi diinkubasi dengan CGRP.

Tidak seperti jaringan lain, calcitonin tidak bereaksi silang dengan reseptor CGRP

pada pembuluh kardiovaskular. Pada tahun 1985 ditemukan adanya reseptor

spesifik untuk CGRP pada sel asinar pankreas. Interaksi CGRP dengan reseptor
45

ini menyebabkan pelepasan amilase. Secara fisiologis, CGRP dilepaskan ke

sirkulasi insuloasinar dari pulau-pulau Langerhans, untuk menstimulasi sekresi

ensim melalui sistim siklik AMP-mediated. Reseptor CGRP yang dihubungkan

dengan siklik AMP juga ditemukan dibagian limpa (Ghatta, Nimmagadda, 2004;

Lars dkk., 2006).

Pengaruh calcitonin pada fungsi saraf hanya sedikit yang diketahui.

Peptida ini dikatakan mempengaruhi antikolinergik, antihistamin dan pengaruh

negatif pada miotropik. Telah didalilkan bahwa CGRP mungkin merupakan suatu

neurotransmitter sensoris. Ini dibuktikan dengan penyebarannya (pada lamina

mengandung neuron yang responsif terhadap rangsangan noxious dan innocuous

dan pada ganglia memberikan peningkatan serabut aferen ke C dan A), lokalisasi

yang sama dengan tachykinin dan terkuras bersama capsaicin (Lars dkk., 2006).

Perannya sebagai neurotransmitter autonomik kemungkinan berdasarkan

kemunculannya di ganglia autonomik dan berlimpahnya CGRP yang kaya

persarafan pada kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital dan sistem sensori

spesial. Arti dari CGRP pada visceral dan relay motor somatik merupakan bukti

penyebarannya pada motor neuron ventral susunan saraf spinal, motor nuklei

fasial dan saraf hypoglossal dan nukleus ambiguus (bagian kaudal). Peptida ini

juga berlokasi di motor end plate otot bergaris pada lidah dan esofagus.

Ditemukan juga bahwa CGRP berlokasi di vesikel (diameter 40-60 nm) pada

akson terminal sinaptik melewati neuromuskular junction. Peptida ini

meningkatkan kontraksi diafragma, mungkin melalui reseptornya sendiri. Akhir-

akhir ini, dilaporkan bahwa CGRP dilepaskan dari terminal motor saraf mengatur
46

sintesa dari asetilkolin reseptor pada kultur bayi tikus. Penemuan ini, menegaskan,

adanya peranan fungsi CGRP yang berbeda total dari neuropeptida biasa. Pada

dosis tinggi, CGRP mempunyai aksi non spesifik inhibitory pada sel otot halus

membran dari vas deferen. Lebih pentingnya lagi, peptida ini ditemukan beraksi

pada reseptor presinaptik untuk menginhibisi pelepasan noradrenalin. Efek

lainnya juga adalah berdasarkan kerjanya sebagai neurotransmitter vasodilator.

CGRP tampaknya satu-satunya peptida yang dapat mempunyai peran sebagai

neurotransmitter pada akselerasi cardio, melalui non adrergik, serabut non

kolinergik ke sinus node. Bukti ini berdasarkan adanya capsain sensitif

immunoreaktif CGRP pada serabut saraf dan bukti bahwa CGRP menginduksi

chronotropic efek yang menyerupai stimulasi serabut transmural pada fase

lambat, dimana kedua efek ini secara selektif ditiadakan oleh capsain. Lebih

lanjut, efek CGRP tidak bisa diantagonis oleh agent atau tindakan yang diketahui

menghalangi penyimpanan, pelepasan atau aksi dari neurotransmitter klasik.

Respon saraf yang dimediasi non adrenergik, non kolinergik mungkin sehubungan

dengan aksi spesifik CGRP pada sel pace maker. Meski demikian beberapa

serabut CGRP yang kaya cardioacceleratory, mungkin berperan menghasilkan

takikardia yang berlebihan (Lars dkk., 2006).

Terdapat kesamaan pendapat bahwa peran utama calcitonin adalah

melindungi tulang dari konsekuensi kekurangan kalsium selama pertumbuhan,

kehamilan dan masa menyusui. Refleksi dari peran ini adalah peningkatan level

peptida ini pada sirkulasi. Sebaliknya, terdapat bukti bahwa kegagalan fungsi

ovarium pada menopause (secara natural maupun buatan) diikuti dengan jatuhnya
47

level calcitonin pada sirkulasi bersamaan dengan bukti peningkatan aktivitas

osteoklastik. Memang, karena jatuhnya calcitonin level pada sirkulasi dengan

pemberian estrogen dan bukti bahwa calcitonin dapat menghambat bone loss

postmenopausal mengindikasikan bahwa hormon ini mempunyai peran fisiologi

yang normal untuk mempertahankan integritas sekletal. Fakta bahwa osteoklast

sensitif terhadap calcitonin pada konsentrasi yang baik pada laki-laki mendukung

hipotesa ini (Ghatta dan Nimmagadda, 2004).

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, peran utama CGRP, paling tidak

diluar sistim saraf sentral, adalah mengatur aliran darah, mungkin termasuk arteri

yang penting pada serebral dan jantung. Hal-hal yang mempengaruhi pelepasan

CGRP dari saraf perifer tidak jelas. Terdapat perbedaan gender pada level plasma

calcitonin tetapi hal ini tidak terjadi pada CGRP. Pada penelitian terakhir untuk

mengetahui asal CGRP didapatkan dua asal dari peptida yang beredar. Pemberian

colchicine pada binatang percobaan menunjukkan bahwa obat ini secara bermakna

menurunkan level CGRP plasma, mengindikasikan bahwa CGRP plasma

tergantung pada transport aksonal. De-afferentation dengan pemberian capsaicin

neonatal juga menyebabkan penurunan bermakna pada sirkulasi level dan sedikit

peningkatan CGRP plasma diikuti depolarisasi saraf terminal pada terapi dengan

capsaicin. Pada tikus yang tua, kelenjar tiroid merupakan sumber CGRP sirkulasi

dan tiroidektomi menyebabkan jatuhnya pada level sirkulasi mengindikasikan

peran tiroid terhadap CGRP plasma pada usia tersebut, mungkin ini berhubungan

dengan hiperplasia sel C yang umum terjadi pada usia tua (Lars dkk., 2006).
48

CGRP tersebar secara luas di otak menunjukkan bahwa CGRP berperan

dalam sistim sensorik dan motorik. Dengan perkecualian pada nukleus motor

dorsal dari nervus vagus, CGRP dikatakan ada di semua nervus kranialis. Tempat

berikatan CGRP ditemukan juga di sistim olfaktori. Adanya CGRP/kholinergik di

sistim vestibular menunjukkan peran dari CGRP pada proses informasi auditive.

Penelitian immunohistokemikal menunjukkan adanya reseptor CGRP pada sistim

trigemino-vascular manusia dimana reseptor CGRP di co-localized dengan

reseptor 5-HT1B/1D. Level CGRP yang meningkat pada pembuluh darah jugular

berhubungan dengan waktu dan parahnya migren dan cluster headaches. Hal ini

mungkin sehubungan dengan meningkatnya ekspresi gen CGRP oleh aktivasi

jalur MAPK. Sumatripan, suatu reseptor agonis 5-HT1B/1D, digunakan untuk

mengobati peningkatan level CGRP pada migren. Penelitian klinik terakhir pada

migren menunjukkan respon yang tinggi terhadap BIBN 4096 BS, suatu agonis

reseptor CGRP (Ghatta dan Nimmagadda, 2004).

CGRP mempengaruhi banyak tingkat pertumbuhan mamalia dengan

mempengaruhi fungsi organ reproduksi laki-laki dan wanita. Mengatur aliran

darah ke organ reproduksi wanita, berperan pada persarafan uterus dan membantu

pertumbuhan fetus. Reseptor CGRP dilaporkan ada pada miometrium, uterus, dan

plasenta manusia. Berperan pada relaksasi uterus selama kehamilan. Dikatakan

peptida ini berperan membuat miometrium manusia tetap tenang selama

kehamilan dengan mengantagonis kerja stimulan uterus like oksitosin, turunnya

reseptor CGRP pada akhir kehamilan membantu menginisiasi persalinan.

Downregulation dari reseptor pada akhir kehamilan dan pada pospartum sudah
49

terbukti pada tikus juga. Meningkatnya jumlah reseptor pada kehamilan

menunjukkan secara signifikan pentingnya mempertahankan sistim hemodinamik

pada kondisi tersebut. Terbukti bahwa siklus hormonal mempunyai pengaruh

pada pelepasan CGRP dan fungsi adaptasinya dalam kehamilan. Progesteron

menstimulasi dan estrogen menghambat ekspresi reseptor CGRP di plasenta.

Hormon ini juga memodulasi efek CGRP pada tekanan darah dalam kehamilan.

Wanita postmenopausal mempunyai sedikit level plasma CGRP dibandingkan

normal karena perubahan vasomotor dan terapi sulih hormon (TSH) yang

menyebabkan level CGRP kembali ke nilai basal. Ada laporan bahwa CGRP

mempunyai peran pada fungsi sperma di tikus. Status CGRP pada sistim

reproduksi laki-laki masih di teliti meskipun ada dikatakan muncul pada semen,

prostat, dan vesika seminalis. Tempat berikatan baru reseptor CGRP mempunyai

relevansi terapi dalam kondisi seperti hot flushes dan persalinan prematur (Ghatta

dan Nimmagadda, 2004).

Gambar 2. 12 Struktur Calcitonin Gene/Calcitonin Gene-Related Peptide, dalam


gambar skema (Zaidi dkk., 2000)

Dari transkripsi primer, yang mempunyai dua tempat polyadenylation, bisa di

produksi dua mRNAs berbeda, satu mengkoding prekursor calcitonin dan yang
50

lain mengkoding prekursor CGRP. Proses jaringan-spesifik yang berbeda

termasuk penggunaan secara selektif dari kombinasi tempat polyadenylation

dengan pembelahan dan penyambungan. Pengaturan gen-β adalah serupa, dimana

daeran non koding 5’ dan 3’ menunjukkan perbedaan 40 %, daerah CGRP

mempunyai > 90 % kesamaan dan ekson IV like-region mempunyai 65 %

kesamaan (Zaidi dkk., 2000).

Gambar 2. 13 Gambaran Mikroskop Elektron Calcitonin Gene Related Peptida


(Zhang, dkk., 2012)

2.6 Protein Gene Product 9.5

Pada awalnya penemuan UCHL1/PGP 9.5 (ubiquitin carboxyl-terminal

hydrolase L1/protein gene product 9.5) adalah karena program “Molecular

Anatomy” yang dikerjakan oleh Anderson dan Anderson pada tahun 1979 dan

oleh karena perkembangan dari alat “ISODALT” yang dibuat untuk multiple two-

dimension high-resolution polyacrylamide gel electrophoresis dari campuran

kompleks protein. Untuk pertama kalinya alat ini membuat analisis komponen

protein secara simultan pada organ manusia yang berbeda. Pada akhir 70 an
51

menjadi jelas bahwa jaringan saraf mengandung beberapa protein, lebih banyak

daripada organ lain dan protein ‘spesifik untuk otak” ini terletak pada neuron atau

sel glial. Secara umum, kerusakan neurologi pada manusia cenderung untuk

mempunyai pengaruh yang kuat terutama pada neuron atau sel glial yang bisa

diukur untuk mengetahui adanya sistim saraf yang mempunyai protein spesifik

pada serum atau cairan serebrospinal untuk diagnostik. Sementara beberapa sistim

saraf yang mempunyai protein spesifik telah bisa diukur di klinik, dipikirkan

untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai protein menggunakan

“ISODALT” dan otak manusia dan 12 organ manusia lainnya untuk di analisa.

Hanya protein yang bisa larut yang diperiksa pada tempat yang kira-kira bisa

merembes ke sirkulasi karena kerusakan otak. Analisa ini mengarahkan pada

identifikasi 8 protein yang spesifik pada otak, empat sudah diketahui dan empat

lainnya baru. Ini di berikan nama sesuai dengan Protein Gene Product (PGP)

terminologi dari Anderson dan Anderson pada tahun 1979 dan juga sesuai dengan

jarak migrasi dalam sentimeter dari protein pada second dimension gel.

UCHL1/PGP 9.5 adalah yang paling mencolok dari protein spesifik pada otak

yang baru. Di dekatnya –PGP 9.4- kemudian didapatkan dengan pemetaan peptida

yang sepertinya merupakan modifikasi post-translational dari UCHL1/PGP 9.5.

Sementara UCHL1/PGP 9.5 ada secara mencolok di otak, jejak protein juga

ditemukan di usus besar, ginjal, ovarium, dan testis. Analisa dari beberapa otak

manusia yang berbeda menunjukkan pola protein spesifik yang sama, meniadakan

kemungkinan adanya individual polimorphisme. UCHL1/PGP 9.5 dimurnikan

dari otak manusia, poliklonal antiserum (kelinci) dikumpulkan dan


52

imunohistokimia melokalisir protein yang eksklusif untuk neuron pada kortek

serebral manusia. Pada batas ini diperkirakan bahwa UCHL1/PGP 9.5 merupakan

1-2 % total otak yang soluble, perkiraan ini berdasarkan pada ukuran suatu titik

protein dibandingkan dengan ukuran suatu titik pada protein spesifik otak yang

telah diketahui dimana konsentrasi dari ekstrak protein yang soluble pada otak

telah diukur dengan radioimunoassay. Istilah brain spesifik dan neuron spesifik

tidak tepat karena tidak menegaskan secara absolut jaringan yang spesifik. Pada

praktiknya artinya bahwa protein ada di otak pada konsentrasi yang tinggi

dibandingkan di jaringan lain. Sekarang contohnya, UCHL1/PGP 9.5 yang

terdapat pada gel 2 dimensi mewakili 2-3 mg protein, dengan limitasi deteksi dari

Coomassie stain yang digunakan sekitar 50 ng. Jika titik tersebut pada

electrophoretogram di tempat UCHL1/PGP 9.5 tidak ada pada jaringan,

kemudian pada konsentrasi maksimum PGP 9.5 ada pada jaringan sedikitnya 50

kali lebih rendah dibandingkan kadar di otak. Dengan protein seperti

UCHL1/PGP 9.5, dimana dengan bukti imunokemikal terletak pada neuron di

sentral dan perifer sistim saraf dan juga di sel neuro endokrin, situasi ini kemudian

diperumit dengan pada hakekatnya semua jaringan perifer mengandung semacam

inervasi. Sebagai tambahan banyak jaringan perifer mengandung sel

neuroendokrin. Meski demikian, jika metode pengujian cukup sensitif (seperti

radioimmunoassay) digunakan untuk melacak, protein yang spesifik untuk otak

bisa ditemukan sekalipun di sel darah sirkulasi. Mustahil untuk secara total

membungkam suatu gen atau sebagai alternatif bisa didapatkan keuntungan dari

penghematan selular sehingga didapatkan gen yang bisa berfungsi pada tingkat
53

yang rendah yang bisa dinaikkan secara cepat jika diperlukan. Sebagai contoh,

immunohistokimia mengindikasikan bahwa NSE tidak ada dari astrosit normal

pada sistim saraf pusat tetapi secara cepat muncul sebagai astrosit reaktif setelah

cercaan selular, sementara UCHL1/PGP 9.5 adalah tidak ada secara

immunohistokimiawi dari sel Schwann pada sistim saraf perifer sampai transeksi

saraf ketika kedua protein dan transkripsi nampak pada sel ini. UCHL1/PGP 9.5

juga muncul (dengan waktu yang lebih lambat) pada fibroblast pada

penyembuhan kulit luka manusia. Beberapa kultur sel astrositoma

memperlihatkan sama seperti glioma lain dan beberapa sel fibroblast. Tidak

tampak UCHL1/PGP 9.5 pada level sangat rendah pada jaringan lain, tidak juga

kemunculannya pada sel glial setelah cercaan, tidak juga muncul pada sel ganas

yang esensial pada kultur diambil dari neuron spesifik dari UCHL1/PGP 9.5

dengan arti kemunculannya pada neuron orang dewasa dalam jumlah banyak

dibandingkan sejumlah lain sel mengindikasikan bahwa mungkin sesuai dengan

fungsi selular yang unik pada neuron (Ian and Rod, 2010).

Sulit untuk memperkirakan bagaimana proporsi protein soluble pada

neuron yang mewakili UCHL1/PGP 9.5. Jumlah sel glial pada sistim saraf pusat

manusia dikatakan 10-50 kali jumlah neuron dan astrosit dikatakan mewakili 20-

50 % dari volume sebagian besar area otak. Gambaran komplek morfologi

percabangan dari sebagian besar neuron dan banyak sel glial tidak jelas proporsi

mana dari sitoplasma otak adalah neural (dan immunohistokimia hampir selalu

secara universal mengandung UCHL1/PGP 9.5) dan bagaimana proporsi glial dan

immunokimia sepertinya tanpa protein. Komplikasi tambahan adalah rasio


54

kemasan dari neuron ke sel glial yang dapat bervariasi jauh antara daerah otak

yang berbeda didalam dan diantara spesies. Untuk itu dalam neuron tidak

mungkin bahwa UCHL1/PGP 9.5 mewakili 5-10 % dari total protein sitoplasma,

mendekati level beberapa enzim glikolisis pada sel manusia dan sebatas 10 %

perkiraan sitoplasmik kreatinin kinase pada otot skeletal manusia. Usaha untuk

mengukur langsung level protein dalam jaringan saraf terhambat oleh kegagalan

untuk memberikan nama protein dengan iodine radioaktif melalui prosedur

konvensional tanpa menghasilkan kehilangan immunoreaktivitas dan atau

aggregasi. Pendekatan alternatif menggunakan penamaan antibodi dan coated

microtitre plate assay memastikan tingkat proporsi protein yang tinggi di otak.

Penelitian imumnohistokimia lebih lanjut menunjukkan, untuk menunjukkan

lokasi neuronal, UCHL1/PGP 9.5 ternyata juga ada di sel sistim neuroendokrin

(diffuse neuroendocrine system/DNES) atau sistim amine precursor uptake dan

decarboxylation (APUD). Penyebaran ini sama seperti di neurone-specific enolase

(NSE) yang mana sudah ditetapkan sebagai penanda untuk neuron dan sel

neuroendokrin. Suatu penelitian evolutioner dari NSE dan UCHL1/PGP 9.5

dengan tehnik dua dimensional elektrophoresis dimana stained protein spots

ditransfer ke nitroselulosa sehingga bisa mengidentifikasi protein satu persatu

menggunakan immunohistokimia secara tepat menunjukkan bahwa poliklonal

antiserum (kelinci) meningkat berlawanan dengan protein pada manusia dapat

mengenali spots yang sesuai tidak saja pada semua mamalia yang diperiksa.

Meskipun kelihatannya penyebaran jaringan UCHL1/PGP 9.5 dan NSE sepertinya

serupa, kedua protein ini sebenarnya berbeda secara immunohistologikal dan


55

penentuan rangkaian utama dari UCHL1/PGP 9.5 menunjukkan tidak homolog

dengan NSE atau protein lain. Ekpresi PGP 9.5 merupakan presentasi gen yang

terletak pada lengan pendek kromosom 4p14 terdiri atas 508 pasang basa. Secara

struktural dan fungsional, protein gene produt 9.5 terdiri atas 2 exon. Fungsi

protein ini terletak pada bagian C terminal berupa neuropeptida yang bersifat

neurotransmiter (Ian and Rod, 2010).

Gambar 2. 14 Struktur Kromosom PGP 9.5


(Wizmenn Institute of Science, 2011)

Selain menunjukkan adanya UCHL1/PGP 9.5 di hampir semua neuron dan

sel neuroendokrin yang diperiksa, pada penelitian juga ditunjukkan adanya protein

ini di tubular distal ginjal dan epitel calyceal, sel Leydig dan spermatogonia pada

testis, dan di theca externa, ovarium dan corpus luteum pada kehamilan,

menegaskan apa yang ditemukan pada penelitian ISODAL. Pada tahap ini

UCHL1/PGP 9.5 diketahui sebagai highly conserved protein pada hampir semua

neuron dan sel neuroendokrin yang merupakan komponen utama dari soluble

sitoplasma protein dan dengan rangkaian utama yang tidak berhubungan dengan

protein manapun. UCHL1/PGP 9.5 juga ditemukan disejumlah kecil tipe sel lain.

Pada tahun 1989 Mayer dan Wilkinson melakukan pemeriksaan ubiquitin

carboxyl-terminal hydrolases pada kelenjar timus bovine. Bahan yang dipakai

adalah sintetik ubiquitin ethylester, dengan landasan bahwa bahan ini bisa
56

mendeteksi enzim-enzim yang berikatan dengan ubiquitin dan menghidrolisa

derivat carboxyl-terminal. Tiga peaks aktivitas bisa diuraikan dari kolom DEAE

cellulose dan diberi nama UCHL1, 2, dan 3 berdasarkan peningkatan urutan

pemakaian garam. Rechromatography peaks yang terpisah dari filtrasi gel

menunjukkan peaks yang mendekati 30 kDa pada semua isoform, terutama peak 2

menunjukkan spesies besar dari 100-200 kDa, yang dinamakan H2. Hampir 95%

dari total aktivitas hidrolitik pada timus tercatat dengan UCHL3 dan ini berarti

bahwa isoform ini serupa dengan enzim retikulosit kelinci yang disebutkan

sebelumnya. Hanya MW H2 tertinggi yang menunjukkan aktivitas konjugasi

terhadap ubiquitin-protein. Selain semua aktivitas yang menunjukkan pengikatan

ubiquitin, hanya UCHL3 yang terikat hampir baik dengan ubiquitin-sepharose.

Penelitian lebih lanjut menggunakan kolum afinitas dengan ubiquitin immobilized

melalui arginin residu dibandingkan dengan lisin residu, semua ensim pada timus

terikat pada kolum ini. Menggunakan kemampuan dari UCHL3 (isoform utama

pada timus) untuk berikatan dengan ubiquitin-sepharose konvensional, ensim ini

dimurnikan untuk memperoleh kebersamaan. Ini dipakai untuk menyaring

ekspresi sel B pada manusia. Penggandaan yang positip memberikan rangkaian

panjang dari UCHL3 yang menunjukkan 54 % homolog dengan rangkaian PGP

9.5 manusia yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya. PGP 9.5 yang

dimurnikan dari otak bovine menggunakan prosedur seperti pada otak manusia

memperlihatkan aktivitas spesifik pada pembelahan ubiquitin-ethylester yang

mana 40 % darinya ditunjukan oleh UCHL3 pada timus bovine. Selain itu

sebagian rangkaian peptide dari UCHL1 timus bovine dimurnikan dari arginin
57

linked ubiquitin-polyacrylamide menunjukkan ciri-ciri dari rangkaian PGP 9.5

pada manusia. Oleh karena itu disimpulkan bahwa PGP 9.5 mewakili hidrolisa

ubiquitin carboxy-terminal, yang terletak pada jaringan saraf (Ian and Rod, 2010).

Gambar 2. 15. Gambaran Untaian PGP 9.5


(Creative BioMart, 2011)

Berdasarkan pengalaman dengan menggunakan immunohistokimia tempat

dari UCHL1/PGP 9.5 pada saraf dan jaringan lain didapatkan dengan poliklonal

antiserum kelinci pada protein manusia intak yang dimurnikan. Antibodi ini hanya

mengenali spot yang sesuai pada 2D electrophoretograms baik pada otak manusia

dan otak mamalia lain yang diperiksa. Antibodi ini menghasilkan staining yang

kuat pada semua neuron pada neuron yang besar seperti sel Purkinje, neuron

kortikal serebrum dan serebellum, neuron inti stem otak, basal ganglia neuron dan

neuron sel tanduk anterior, dengan staining kuat akson sama yang timbul dari

perikarya. Staining untuk UCHL1/PGP 9.5 tampaknya seperti sama intensitasnya

pada semua neuron dari tipe khusus dan tidak berpengaruh pada neurotransmitter

yang ada. Hasil yang sama didapat dengan menggunakan antibodi monoklonal 2

tikus. Akson dari neuron sensori dan motor yang besar di tetap kuat dan uniform.
58

Inervasi autonomik di menunjukkan penurunan ‘striking clarity’ kearah

nonmielinisasi serabut saraf yang baik. Dengan pengecualian satu-satunya

staining yang kuat ini adalah ganglion trigeminal pada manusia dimana beberapa

neuron dengan stain yang lemah dan pada pleksus mesenterik manusia dimana

gambaran yang sama ditemukan. Pada kedua keadaan ini suatu populasi dengan

morfologi neuron yang sama menghambat sejumlah kecil sel yang mempunyai

stain lemah atau tidak pada semua amid populasi dari neuron dengan stain kuat.

Penelitian amorfometrik dari neuron didaerah lumbar dorsal root ganglia dari

tikus menegaskan hal tersebut, selain kemampuan heterogeneity neuron sensori

dengan penanda lain, semua neuron dengan kuat mengandung PGP 9.5 tidak

berpengaruh dengan ukuran neuron dan fiksasi yang digunakan. Penelitian lebih

lanjut pada ganglia servikal superior manusia mengindikasikan gambaran

histologi dari beberapa sel dengan PGP 9.5 kuat dan yang lain lemah atau tidak

sama sekali dapat terjadi sesuai umur. Tidak diketahui apakah kekurangan

staining ini berlanjut ke akson dari neuron ini, apakah mempunyai arti fungsional

yang bermakna, atau apakah artefaktual. Kesan secara keseluruhan dari lokasi

secara immunohistokimia dari UCHL1/PGP 9.5 adalah neuron besar dengan

protein rupanya bersamaan dengan konsentrasi tinggi pada akson sampai ke

cabang terminal terkecil. Untuk motor neuron, cabang akson terbaik mengandung

sejumlah besar UCHL1/PGP 9.5, melalui arborization dari motor end plate yang

bersinggungan dengan serabut otot. Sekitar 5 % dari neuron pada sentral dan

periperal sistim saraf menunjukkan staining inti positip dan staining inti yang

serupa juga dilaporkan di sejumlah neuron bulbus olfaktori hamster. Selain


59

indikasi awal bahwa staining untuk UCHL1/PGP 9.5 tampaknya fibrillar dan

sugesti awal bahwa staining menghasilkan monoklonal antibodi 13C4 pada

bulbus olfaktori tikus tampaknya sesuai dengan neurotubules, immunogold

electron microscopy berikutnya tidak menghasilkan bukti bahwa protein ini

berhubungan dengan elemen ‘cytoskeletal’. Berlawanan pada keadaan di ganglion

trigeminal manusia dan pleksus mesenterik dimana sejumlah kecil staining neuron

berceceran diantara staining sel yang kuat, vertebra retina menghasilkan keadaan

dimana seluruh populasi dari tipe neuron yang sama tanpa UCHL1/PGP 9.5 sama

sekali. Kurangnya staining pada lapisan inti dalam dari retina kelinci pertama kali

dikemukakan oleh Osborne dan Neuhoff dan kemudian ditujukan untuk

melengkapi kurangnya staining dari sel bipolar retina. Suatu penelitian yang

lengkap dari retina mamalia untuk UCHL1/PGP 9.5 staining dilakukan Bonfanti

dan kawan-kawan. Mereka melakukan penelitian retina dari tikus, kelinci, kerbau,

kucing, anjing dan manusia dan menemukan bahwa sel fotoreseptor, sel bipolar,

dan sel amacrine tanpa staining sementara dendrit dan akson baik pada sel

horizontal dan sel ganglion mengandung staining dengan kuat. Sel amacrine

dapat dipindahkan ke lapisan sel ganglion tikus dimana mereka bisa membentuk

40-50 % badan sel neuron, neuron pengganti ini juga negatip. Terdapat beberapa

variasi spesies pada sel horizontal kelinci dan kerbau dimana hanya mengandung

stained yang lemah dibandingkan spesies yang lain. Akson besar yang dengan

kuat mengandung UCHL1/PGP 9.5 membuat suatu lonjakan klasik aksi potensial,

seperti pada oosit dan sel neuroendokrin, sel ini mengandung stain positip untuk

UCHL1/PGP 9.5. Sel bipolar, horizontal sel, dan amacrine sel pada retina
60

bersama dengan sel fotoreseptor termasuk kelompok neuron yang tidak

mengakibatkan potensial aksi klasik tetapi lebih pada depolarisasi elektrikal. Akan

tetapi, perbedaan antara konduksi spiking dan non spiking tidaklah mutlak dan

tergantung pada tempat recording, beberapa neuron memperlihatkan satu atau tipe

lain konduksi pada tempat yang berbeda pada sel yang sama, kemudian

selanjutnya adalah penyusunan dari neuron sel yang berbeda pada retina vertebra

sangat kompleks dengan sebanyak 80 sub-tipe yang berbeda. Satu subset dari sel

amacrine menunjukkan menghasilkan aksi potensial spike klasik. Secara umum

neuron pada retina tanpa UCHL1/PGP 9.5 immunoreaktivitas sangat kecil dan

tanpa akson dengan panjang berarti, sementara sel ganglion dengan staining yang

kuat mempunyai akson membentuk saraf optik dan sel horizontal dapat

mempunyai akson tidak bermielin cukup panjang, akan tetapi mungkin akan

terdapat variasi diantara spesies sampai seberapa kuat beberapa sel mengandung

UCHL1/PGP 9.5 (Ian dan Rod, 2010).

Pada mRNA UCHL1/PGP 9.5 diketahui diekspresikan secara ekstrem

pada pembelahan dini dari sistim saraf, sebagai contoh embrio hari 8,5-9 pada

epitel saraf tikus dan protein sendiri dapat dideteksi secara immunohistokimiawi

beberapa hari kemudian. Protein juga diekspresikan pada sel progenitor neural,

sepertinya bahwa UCHL1/PGP 9.5 tampak pada tingkat high sitoplasma segera

saat sel mempunyai ciri-ciri neuron. Sebelum menguraikan beberapa

kemungkinan fungsi dari UCHL1/PGP 9.5 pada neuron ada beberapa hal penting:

pertama, neuron mempunyai morfologi sel yang sangat tidak biasa. Setelah

dihitung dari dimensi neuron motor yang khas dengan akson 1 m panjangnya
61

ternyata 99,7 % dari aksomal sel terdapat di akson, 0,005 % pada bodi sel, dan 0,2

% pada total volume dendrit. Ketika volume pada sinap tidak diperhitungkan

agaknya tidak mungkin melampaui volume dendrit secara signifikan. Karena

UCHL1/PGP 9.5 secara immunohistokimia muncul sepanjang neuron,

menyiratkan bahwa lebih dari 99 % protein ada pada akson dan rupanya proporsi

yang sama dari aktivitas fungsional UCHL1/PGP 9.5 digunakan pada akson. Dari

gambaran sifat dasar akson pada perhitungan di atas didapatkan juga suatu rasio

yang tinggi dari membran ke aksoplasma. Kedua, ada syarat pengubahan urutan

hasil penelitian antara spesies yang dibedakan berdasarkan evolusi misalnya

antara vertebrata dan invertebrata. Proses aksonal pada invertebrata dikombinasi

karakteristik dendrit dan akson, pada vertebrata hal ini dibedakan secara

fungsional. Ketiga, terdapat suatu pitfalls pengubahan urutan hasil penelitian

antara sistim penelitian yang berbeda meskipun berasal dari spesies yang sama.

Terakhir, banyak penelitian metabolisme protein pada neuron menggunakan

kultur neuron yang diisolasi atau sel “neurone-like” pada kultur (Ian dan Rod,

2010).

Identifikasi suatu neuron spesifik PGP 9.5 sebagai ubuquitin carboxyl-

terminal hydrolase (UCHL1) memfokuskan perhatian pada protein yang diduga

sebagai komponen sistim ubiquitin-proteasome, dan dilakukan dengan maksud

kemungkinan peranannya pada penyakit neuro degenerative manusia dari segi

adanya secara immunokimia ubiquitin intraselular. Penelitian awal dari substrat

khusus UCHL1 mengindikasikan tidak berpengaruh pada substrat ubiquitinated

besar, dan mengarahkan ke beberapa kemungkinan fungsinya. Identifikasi dari


62

substrat UCHL1/PGP 9.5 membuktikan sukar untuk dipahami, dari segi

rendahnya aktivitas hidrolitik dibandingkan dengan ubiquitin hidrolases lain.

Kesan dari fungsi UCHL1/PGP 9.5 harus memperhitungkan lokasi ubiquitous

intra-neural, high evolutionary konservasi, konsentrasi sitoplasma tinggi, dan ada

pada neuron sampai cabang aksonal. Tampaknya dari penelitian spesifisitas

substrat in vitro bahwa UCHL1/PGP 9.5 tidak berperan pada pemindahan atau

editing rantai polyubiquitin dekat protein tujuan untuk degradasi proteolitik, atau

pada pemindahan monoubiquitin dari protein. Pemeriksaan liysates otak dari GAD

tikus tidak membuktikan adanya pembentukan ubiquitin protein. Persentase kecil

dari neuron menunjukkan adanya staining pada inti dan ada perkiraan sebagian

lokalisasi inti dari spermatogenesis. Sementara inti neural yang besar

menunjukkan sejumlah karakteristik yang unik misalnya tidak adanya

heterokromatin, sintesa RNA tinggi, peran spesifik ubiquitin-mediated pada

proses intranuklear sepertinya tidak ada dan tidak menjelaskan sangat banyaknya

UCHL1/PGP 9.5 pada akson. Sementara densitas protein ubiquitin post sinaptik

jelas terlibat dalam remodeling postsinaptik, UCHL1/PGP 9.5 terutama tidak

terletak di post sinaptik dan agaknya tidak mungkin beraksi di membran protein

ubiquitinated meskipun ikatan permukaan membentuk semacam enzim untuk itu.

Terkesan bahwa dari struktur tiga dimensi UCHL1/PGP 9.5 di daerah datar pada

satu lobus dari protein mungkin mewakili tempat berikatan dari protein yang tidak

dikenal yang dapat memacu aktivitasnya. Diduga protein yang kita ketahui

berikatan adalah JAB1, yang ditemukan terutama pada sel kanker paru dan dapat

membentuk kompleks heterotrimeric dengan UCHL1/PGP 9.5 dan pK27kip1


63

pada nukleus. Hubungan ini dengan peranan dari UCHL1/PGP 9.5 pada non-

dividing neuron tidak jelas. Sejumlah hipotesa-proteomic bebas dan penelitian

transcriptomic memeriksa otak atau respon selular ke tingkah laku, metabolik,

farmakologikal dan tes yang lain menemukan perubahan yang melibatkan

UCHL1. Harus diingat bahwa sebagai protein yang berlimpah dan transkrip,

sepertinya banyak produk gen yang dapat dideteksi, tetapi sebaliknya

berlimpahnya ini memungkinkan secara masuk akal terjadinya perubahan. Pada

korteks serebral tikus, UCHL1 protein level menurun sebagai respon iskemia,

tetapi pemberian melatonin melindungi dari hal ini. Pada hippocampus tikus, level

UCHL1 berkurang karena respon tes treadmill. Pada hippocampus tikus, bekas

dan penurunan lambat dari UCHL1 pada orang dewasa memungkinkan akses ad

libitum ke ethanol, dimana perubahan molekul pada dewasa kurang berbekas.

Penelitian proteomic pada kortek pre-frontal manusia peminum alkohol

menunjukkan perubahan pada level UCHL1. UCHL1 juga menyusut pada

hyperphagia berulang diikuti pembatasan ruang dimana UCHL1 meningkat pada

hipotalamus sapi penghasil susu yang diberi makan diet pembatasan energi.

Perubahan yang berbeda pada rasio mRNA UCHL1 di bagian otak, ditemukan

pada schizophrenics. Level rendah UCHL1 ditemukan pada kasus degenerasi

corticobasal pada manusia. Dopamine quinone covalent oxidation dari UCHL1

ditemukan pada otak tikus dan pada sel SH-SY5Y. Pemberian dosis rendah

methamphetamine pada tikus, sebagai tambahan modifikasi daya penggerak,

memodifikasi level UCHL1. Atrazine, herbisida lazim di USA, mengalami

pengubahan ke diaminochlorotriazine, yang akhirnya memodifikasi beberapa


64

protein, salah satunya pada penelitian proteomic tikus ditemukan menjadi

UCHL1. UCHL1 mRNA menyusut di ipsilateral, dibandingkan dengan kontrol

sisi kontralateral, pada vestibula deafferentation tikus. Pada kultur sel, laktat dan

amonia mungkin diproduksi berlimpah tapi hal ini akan berkurang pada kondisi

terkontrol untuk membuat rendah level glukosa dan glutamin, suatu ‘metabolik

shift’ yang dihubungkan dengan perubahan sel termasuk peningkatan ekspresi

UCHL1. Pada banyak situasi seperti ini, terdapat penyusunan proteomic, mRNA

dan perubahan lain, dimana UCHL1 satu-satunya. Namun, sejalan perubahan

penelitian dari pengurangan molekular reductionsm kembali ke sintesa sistim,

jelas bahwa UCHL1 adalah subjek komponen neural untuk perubahan kualitatif

atau kuantitatif pada banyak kejadian patofisiologi, diperoleh dari penemuan dan

penelitian dari GAD tikus (Ian dan Rod, 2010).

Immunostaining dari PGP 9.5, suatu general marker neural, membuat

jaringan saraf di vagina bisa dilihat. Kumpulan saraf yang besar dapat dilihat pada

advetisia, biasanya dengan pembuluh darah yang besar. Sel ganglion juga

ditemukan di adventisia. Dari cabang saraf besar ini, serabut menyebar secara

melingkar keluar masuk ke muskularis dan lamina propria dimana terdapat

banyak kelompok saraf kecil yang positip PGP 9.5 (Lundberg dkk, 2008).

Serabut yang terisolasi tersebar melalui muskularis, sementara jaringan serabut

yang lebih padat terbukti banyak di lamina propria. Walaupun serabut mengarah

longintudinal dan transvers dalam hubungannya dengan aksis panjang vagina,

mayoritas tampak mengarah transvers. Kadang-kadang, serabut dapat terlihat di

bawah basal membran dari epitel dan pada keadaan khusus, saraf berliku-liku
65

terlihat diantara sel epitel menuju keatas ke bagian tengah lapisan sel. Terdapat

juga pleksus perivaskular yang prominen pada pembuluh darah besar di

adventisia dan pada pembuluh darah menengah di muskularis dan lamina propria.

Tidak ditemukan perbedaan daerah secara kuantitatif didapatkan pada pola

distribusi saraf diantara daerah atas dan bawah vagina. Ovorektomi, atau terapi

dengan estradiol setelahnya (5µg dan 15 µg/hari) tidak akan menghasilkan efek

yang terlihat pada densitas panjang dari PGP 9.5 –IR. Selain itu, tidak ada

perbedaan pada orientasi atau distribusi serat yang positip PGP 9.5 terlihat. Pada

hewan yang diovorektomi, pemberian testoteron (11 µg/hari) secara signifikan

meningkatkan densitas serabut yang positip PGP dibandingkan kontrol yang

dilakukan ovorektomi dan yang utuh. Sebagai catatan, serabut saraf pada

kelompok yang diberikan testoteron lebih tebal dibandingkan serabut pada

kelompok lain, meski tampaknya tidak ada perubahan yang signifikan pada pola

distribusi serabut saraf. Progesteron (300 µg/hari), bagaimanapun, tidak

mempengaruhi baik pada densitas panjang atau distribusi serabut saraf

immunoreaktif PGP 9.5. Ketika estradiol (5 µg/hari) diberikan bersama testoteron

(11 µg/hari) pada tikus yang dilakukan ovorektomi, terdapat peningkatan ringan

tetapi secara statistik insignifikan pada densitas panjang serabut saraf yang positip

PGP 9.5 dibandingkan kontrol dan kelompok ovorektomi. Ketika estradiol

dikombinasikan dengan progesteron, tidak didapatkan efek yang terlihat pada

densitas atau distribusi dari serabut saraf yang positip PGP (Monica dkk., 2006).
66

2.7 Tyrosine Hydroxyilase

Tyrosine Hydroxylase (TH) mengkatalisis konversi dari L-tyrosine ke

DOPA, merupakan langkah awal dan rate-limiting step dalam biosintesis

katekolamin seperti dopamin, norepineprin, dan epineprin. Oleh karena itu,

pengaturan aktivitasnya sangat penting (Kessler dkk, 2003). Aktivitas dari TH

dapat diatur dengan 2 mekanisme: short term direct regulasi dari aktivitas enzim

dan medium-sampai long term regulasi dari ekspresi gen. Mekanisme short term

direct regulasi dibahas banyak dengan dasar hasil yang didapat dari penelitian in

vitro di laboratorium. Aktivitas TH diatur oleh feedback inhibisi dari katekolamin,

aktivasi allosteric oleh heparin, fosfolipid, polyanions, dan RNA, dan aktivasi

oleh phosphorylation protein. Meskipun efek polyanionic allosteric memberikan

alat eksperimen yang penting untuk menggolongkan struktur pengaturan dari TH,

polyanions mungkin tidak memberikan efek pengaturan utama in vivo. Modulasi

aktivitas TH oleh katekolamin terjadi melalui 2 mekanisme yang berbeda: satu

melibatkan well-defined inhibisi TH oleh katekolamin yang bersaingan dengan

pterin kofaktor, dan yang lain melibatkan inaktivasi TH oleh katekolamin (Jeong

H,dkk., 2006). Akhir-akhir ini dikatakan bahwa inaktivasi terjadi sebagai hasil

ikatan katekolamin dengan Fe3+ pada tempat aktif dari enzim, dan bahwa

katekolamin berikatan dengan bentuk aktif dari enzim, sebaliknya ada yang

mengatakan bahwa katekolamin yang sudah membuat TH menjadi bentuk inaktif

tidak berikatan dengan bentuk tidak aktif dari enzim. Ada laporan yang

menyatakan TH adalah phosphorylated pada Ser-8, Ser-19, Ser-31, Ser-40, Ser-

153, dan Ser-404 oleh berbagai macam protein kinase. Diantara mereka,
67

phosphorylation dari Ser-40 oleh cyclic AMP-dependent protein kinase (PKA)

menyebabkan yang paling jelas dan dramatik aktivasi dari TH. Aktivasi TH

phosphorylated pada Ser-19 oleh protein kinase multifungsional lain,

Ca2+/calmodulin-dependent protein kinase II (CaM kinase II), memerlukan adanya

14-3-3 protein aktivator (Robert dan Anna, 2011).

Aktivitas TH ditekan oleh produk akhir, katekolamin, dengan dua cara

yang berbeda, inhibisi langsung dengan cara kompetitif dengan kofaktor pterin

dan inaktivasi. Yang pertama melalui mediasi kinetik klasik, inhibisi reversibel

yang mudah dari enzim yang bertindak sebagai sensor konsentrasi lokal

katekolamin. Di lain pihak, inaktivasi TH oleh katekolamin merupakan salah satu

mekanisme utama dimana TH biasanya ada pada bentuk inaktif yang tidak

memperlihatkan aktivitas pada pH fisiologis di otak. Aktivitas ekstrak otak tikus

memperlihatkan pH asam optimum dengan pH maksimum 5,4 tetapi tidak ada

aktivitas pada pH netral. Karena pH intrasellular otak tikus adalah 7,0-7,1, tidak

ada aktivitas TH pada pH di bawah kondisi fisiologis di otak. Ketika enzim

dipresipitasi pada pH 5 dan dipisahkan dari fraksi acid-soluble, aktivitas TH yang

tinggi muncul pada pH sekitar 7, meskipun aktivitas pada pH 5 tidak dipengaruhi.

Ketika fraksi ‘acid-precipitated’ diinkubasi dengan fraksi ‘acid soluble’atau

katekolamin seperti dopamin, aktivitas enzim pada pH netral menurun nyata dan

menjadi optimun lagi pada pH 5,4 (Robert dan Anna, 2011).

Beberapa bukti menyatakan bahwa faktor endogenus merubah TH dari

bentuk aktif menjadi bentuk inaktif pada fraksi ‘acid soluble’ otak adalah

katekolamin seperti dopamin karena: (1) faktor endogenous adalah dialyzable, (2)
68

jumlahnya banyak di striatum dan medula adrenal, (3) diserap oleh alumina, (4)

aktivitasnya labil pada pH alkaline, (5) dapat diganti dengan katekolamin seperti

dopamin, norepineprin, dan epineprin untuk membuat TH inaktif, (6) pH profil

aktivitas TH diinaktifkan oleh fraksi ‘acid-soluble’ sama dengan inaktivasi enzim

oleh dopamin, dan (7) HPLC analisis menunjukkan bahwa fraksi ‘acid-soluble’

mengandung sejumlah banyak dopamin. TH biasanya ada dalam bentuk inaktif di

otak, menunjukkan tidak ada aktivitas pada pH fisiologikal, yang dihasilkan oleh

kerja katekolamin, dan inaktivasi ini bisa dicegah dengan pemberian asam.

Inaktivasi TH oleh katekolamin dan pemulihan aktivitas dengan pemberian asam

dapat diulang tanpa kehilangan yang signifikan dari aktivitas. Kedua bentuk

inaktif dari TH karena katekolamin dan bentuk yang diinaktifkan oleh

katekolamin bisa dihilangkan dengan pemberian asam yang diaktifkan oleh PKA,

dan memperlihatkan aktivitas tinggi yang sama pada nilai pH fisiologis. Yang

menarik, katekolamin tidak hanya menjadi inaktif tapi juga menstabilkan TH.

Ketika TH yang dimurnikan diinkubasi pada keadaan ada atau tidak ada dopamin

pada suhu 300C, timedependent loss activity terjadi pada pH 5, dimana baik

bentuk aktif dan inaktif dari enzim menunjukkan aktivitas yang sama seperti di

atas, ini bisa dicegah dengan adanya dopamin. Jadi TH dikonversi kebentuk

inaktif/stabil oleh produk akhirnya. Pada penyelidikan dasar dari reaksi inaktivasi

TH oleh dopamin didapatkan bahwa: (1) merupakan reaksi yang tergantung waktu

dan suhu, (2) reversibel, (3) terjadi pada kondisi anaerob sama seperti pada

kondisi aerob, (4) dopamin tidak dipakai selama reaksi, (5) dopamin tidak

berikatan dengan bentuk inaktif enzim. Ketika TH diinkubasi dengan dopamin


69

dalam jumlah equimolar dengan subunit enzim, dan dipaparkan ke filtration gel

pada Bio-gel P-10, aktivitas enzim diuraikan dalam jumlah sama dengan dopamin

sama seperti yang diuraikan dalam kontrol penelitian yang dilakukan tanpa TH

yang diuraikan, ini berarti bahwa penambahan dopamin tidak berikatan ke enzim.

Dopamin yang diuraikan dalam jumlah sama mungkin tidak secara spesial

berikatan dengan serum albumin bovine yang ditambahkan untuk menstabilisasi

enzim. Pemulihan aktivitas TH pada pH 5 adalah 94 % tetapi pada pH 7 hanya

sebesar 7 %, berarti sebagian besar enzim dalam campuran dikonversi ke bentuk

inaktif. Sebaliknya, pada kontrol penelitian tanpa dopamin, pemulihan aktivitas

pada pH 5 dan 7 adalah 72 % dan 64 %, masing-masing, ini berarti sebagian besar

enzim tetap tidak berubah. Enzim ini hanya kehilangan 6 % dari aktivitasnya pada

pH 5 setelah inkubasi dengan TH. Dengan dasar penelitian ini, mungkin bahwa

dopamin mengkonversi TH ke bentuk inaktif/stabil, beraksi seperti katalis.

Sebaliknya didapatkan bahwa TH diinaktikan oleh inkubasi dengan katekolamin

tidak menahan katekolamin yang ditambahkan ke campuran yang diinaktifasi,

secara umum diterima bahwa dopamin berikatan kuat dengan ferric iron pada

tempat TH yang aktif untuk menghasilkan bentuk ‘blue green’ inaktif dari enzim.

Akan tetapi, pengamatan menunjukkan bahwa bentuk inaktif TH dihasilkan oleh

inkubasi dengan sejumlah equimolar dopamin yang berikatan secara tidak

signifikan dengan dopamin dan bahwa dopamin berikatan dengan TH dengan

stoichiometry sangat rendah, ini berarti bahwa dopamin yang terlibat dalam

inaktivasi TH tidak terbatas pada enzim. Di lain pihak, fakta bahwa preparat TH

yang dimurnikan dari medula adrenal tikus mengandung 0,03 mol norepineprin,
70

0,10 mol epineprin, dan 0,08 mol dopamin/mol subunit dari enzim (total dari 0,21

mol dari katekolamin/mol subunit dari enzim), dan bahwa preparat TH yang

dimurnikan dari medula adrenal bovine mengandung 0,11 mol norepineprin dan

0,25 mol epineprin/mol subunit dari enzim (total dari 0,36 mol katekolamin/mol

subunit dari enzim) artinya bahwa jumlah yang berarti dari katekolamin berikatan

kuat ke enzim. Karena TH tikus adalah homotetramer tersusun dari subunit yang

identik, dan tiap polipeptida memasuki tempat aktif, jumlah katekolamin yag

berikatan kuat lebih sedikit daripada ditempat aktif enzim. Meski peranan dari

ikatan kuat katekolamin dalam regulasi aktivitas TH masih tidak jelas, sepertinya

tidak mungkin terlibat dalam inaktivasi TH oleh katekolamin seperti dijelaskan di

atas. Menariknya, Kaufman dan rekan-rekannya berspekulasi bahwa hanya satu

dari monomers dalam tetrameric enzim yang mengikat dopamin dengan afinitas

tinggi, entah karena bentuk dari tetramer atau karena negatif cooperativity

(Fujisawa dan Okuno, 2005). Gen TH terletak pada lengan pendek kromosom

11p15.5 yang terdiri atas 10k pasang basa. Protein ini berupa polipeptida yang

terdiri atas asam amino. Secara struktural dan fungsional, TH terdiri atas 14 exon

(Kessler dkk, 2003; Robert dan Anna, 2011).

Gambar 2. 16 Genomic Dari TH (Genetic Home Reference, 2012)


71

Immunostaining pada TH binatang kontrol menampakkan positip TH,

agaknya adrenergik, serabut saraf melalui dinding vagina. Secara keseluruhan,

pola dari serabut sama seperti yang terlihat pada serabut yang positip PGP 9.5,

tetapi mayoritas serabut sarat yang positip TH terdapat di muskularis,

dibandingkan di lamina propria. Tambahannya, tidak ada serabut positip TH intra

epitel. Pemberian hormon steroid memberikan efek yang sama pada positip TH,

serabut adrenergik seperti pada serabut PGP 9.5 yang di immunostaining. Tidak

terdapat perbedaan yang signifikan pada densitas panjang serabut binatang yang

di oovorektomi ketika dibandingkan kontrol. Pemberian estradiol dan progesteron,

tersendiri atau di kombinasikan, tidak berefek pada densitas panjang serabut, tidak

juga berbeda pada binatang yang menerima kombinasi estradiol dan testoteron.

Satu-satunya perbedaan yang signifikan terdapat pada inervasi adrenergik yang

terjadi pada kelompok yang menerima testoteron saja. Pada binatang ini, terdapat

peningkatan densitas panjang dari serabut saraf immunoreaktif TH, meskipun

distribusi dari saraf tidak bervariasi dibandingkan yang dilihat pada kontrol yang

tidak dioperasi (Monica dkk., 2006).

Gambar 2. 17 Struktur Kristal TH (Muniz, dkk., 2012)


72

2.8 Neurotransmiter

2. 8. 1 Pengertian

Neurotransmiter adalah bahan kimia endogenous yang meneruskan,

menguatkan dan memodulasi signal diantara neuron dan sel yang lain.

Neurotransmiter dikemas dalam vesikel sinaptik yang terkelompok di bawah

membran pada sisi presinaptik dari sinap, dan dilepaskan ke celah sinap, dimana

kemudian berikatan dengan reseptor pada membran di sisi postsinaptik dari sinap.

Pelepasan dari neurotransmiter biasanya mengikuti aksi potensial pada sinap,

tetapi dapat mengikuti potensi elektrical. Pelepasan low level “baseline” dapat

juga terjadi tanpa stimulasi elektrical (Neurobiology and cognitive sciences,

2013).

Menurut keyakinan yang berlaku pada tahun 1960 an, suatu bahan kimia

dapat diklasifikasikan sebagai neurotransmiter jika memenuhi kriteria sebagai

berikut (Neurobiology and cognitive sciences, 2013):

1. Ada prekursor dan atau sintesis enzim yang terdapat di sisi presinap dari sinap.

2. Bahan kimia ada pada komponen presinap.

3. Tersedia dalam jumlah cukup pada neuron presinap untuk mempengaruhi

neuron postsinap.

4. Terdapat reseptor postsinap dan bahan kimia tersebut dapat berikatan

dengannya.

5. Terdapat mekanisme biokimia untuk inaktivasi.


73

2. 8. 2 Beberapa jenis neurotransmiter

Neurotransmiter utama:

1. Asam amino: glutamat, aspartat, serine, asam γ-aminobutirik (GABA),

glisin

2. Monoamino: dopamin (DA), norepineprin (noradrenalin; NE, NA),

epineprin (adrenalin), histamin, serotonin (SE, 5-HT), melatonin.

3. Asetilkolin (Ach), adenosin, anandamin, nitrik oksid, dan lain-lain.

Sebagai tambahan, lebih dari 50 neuroaktif peptida telah ditemukan. Banyak dari

ini adalah dilepaskan bersama dengan molekul kecil transmiter, tetapi pada

beberapa kasus suatu peptida adalah transmiter utama pada sinap.

Ion tunggal, seperti zinc yang dilepaskan di sinap, dikatakan sebagai

neurotransmiter juga, sama seperti beberapa molekul gas seperti nitrit oksid (NO)

dan karbon monoksida (CO) (Neurobiology and cognitive sciences, 2013).

2. 8. 3 Fungsi neurotransmiter

Aksi langsung yang utama dari neurotransmiter adalah mengaktifkan

reseptor. Oleh karena itu, efek dari sistim neurotransmiter tergantung pada

hubungan dari neuron yang menggunakan transmiter, dan sifat kimia dari reseptor

dimana transmiter berikatan (Neurobiology and cognitive sciences, 2013).

Anda mungkin juga menyukai