Anda di halaman 1dari 75

TESIS

FAKTOR RISIKO RESISTENSI SEFALOSPORIN GENERASI III


PADA INFEKSI ENTEROBACTERIACEAE
PENGHASIL BETA LAKTAMASE SPEKTRUM LUAS
DI RUANG RAWAT INTENSIF ANAK RSUP. Dr. KARIADI
SEMARANG

Penulis :
dr. Mahafendy Suryamanika Tukan
NIM : 22040317310005

Pembimbing :
dr. Yusrina Istanti, MSi, Med, Sp.A(K)
dr. Mulyono Sp.A

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) I


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP / RSUP. Dr. KARIADI
SEMARANG

2022
LEMBAR PENGESAHAN

TESIS

FAKTOR RISIKO RESISTENSI SEFALOSPORIN GENERASI III


PADA INFEKSI ENTEROBACTERIACEAE PENGHASIL BETA
LAKTAMASE SPEKTRUM LUAS DI RUANG RAWAT INTENSIF ANAK
RSUP. Dr. KARIADI SEMARANG

Disusun oleh :
Dr. Mahafendy Suryamanika Tukan
Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yusrina Istanti, Msi.Med, Sp.A (K) dr. Mulyono Sp.A


NIP 197112072009122001 NIP 198106052015041003

Penguji I Penguji II

Dr. MMDEAH Hapsari, Sp.A(K) DR. Dr. Omega Mellyana, Sp,A(K)


NIP. 196104221987102001 NIP. 197007311999072001
Moderator

Dr. Galuh Hardaningsih MSi, Med, Sp.A(K)


NIP 198110232009122006
Mengetahui,
Ketua Bagian IKA FK UNDIP Ketua Program Studi
SMF Ilmu Kesahatan Anak Ilmu Kesehatan Anak
RSUP. Dr. Kariadi Semarang Fakultas Kedokteran UNDIP

Dr.Yetty Movieta Nency, Sp.A(K), IBCLC DR. Dr. Anindita Soetadji, Sp.A(K)
NIP. 19740401 200812 2 001 NIP. 19660930 200112 2 001
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Faktor Risiko
Resistensi Sefalosporin Generasi III Pada Infeksi Enterobacteriaceae Penghasil Beta
Laktamase Spetrum Luas Di Ruang Rawat Intensif Anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang” adalah
karya saya sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang merupakan plagiat dari karya orang lain
dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku dalam keilmuan sebagaimana yang dimaksud dalam
Permendiknas no. 17 tahun 2010. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko / sanksi
yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika
keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Semarang, Juni 2022

Dr. Mahafendy Suryamanika


Tukan

ii
RIWAYAT HIDUP

A. Identitas

Nama : dr. Mahafendy Suryamanika Tukan

Tempat tanggal lahir : Denpasar, 31 Juli 1990

Agama : Katholik

Jenis kelamin : Laki - Laki

Alamat : Jln. Mugas Dalam VIII no 5, Kelurahan Mugasari, Kecamatan

Semarang selatan, Jawa Tengah

B. Riwayat Pendidikan

1. SDK Larantuka II, Kab. Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 1996 -2002

2. SMPN 1, Kab. Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 2002 - 2005

3. SMAN 1, Kab. Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 2005- 2006

4. SMAN 2 Surakarta, Jawa tengah, 2006 - 2008

5. Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar,


2008-2012

6. PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,


Semarang 2017 - Sekarang

C. Riwayat Pekerjaan

1. Dokter umum di RS. dr. Hendrikus Fernandez, Larantuka, Nusa Tenggara Timur,

D. Keterangan Keluarga

1. Ayah kandung : Emanuel Tukan. SP

2. Ibu kandung : Sri Mulyani, M.Si

3. Saudara kandung : -

4. Istri : Ns. Rosiani Oktavera, S.Kep., M.Kes

5. Anak :-

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
nikmat dan rahmat-Nya, sehingga laporan penelitian dengan judul: “Faktor Risiko Resistensi
Sefalosporin Generasi III Pada Infeksi Enterobacteriaceae Penghasil Beta Laktamase Spetrum
Luas di Ruang Rawat Intensif Anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang” dapat diselesaikan guna
memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh keahlian di bidang Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna karena keterbatasan penulis. Dorongan keluarga, bimbingan para guru dan
kerjasama yang baik dari rekan- rekan telah membuat laporan ini dapat terwujud, sehingga
pada kesempatan ini saya menghaturkan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-
tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Diponegoro Semarang Prof. DR. Yos Johan Utama, S.H, M.Hum
beserta jajarannya yang telah memberikan ijin bagi kami untuk menempuh PPDS-1
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang DR. Dr. H. Dwi


Pudjonarko, M.Kes, Sp.S(K) beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti PPDS-1 Ilmu Kesehatan anak Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

3. Plt. Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang DR. Dr. Dodik
Tugasworo Pramukarso, Sp.S(K) beserta jajaran direksi yang telah memberikan ijin
bagi penulis untuk menempuh PPDS-1 di Bagian Ilmu Kesehatan anak/ SMF
Kesehatan anak di RSUP Dr. Kariadi Semarang

4. Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,


Diponegoro, Dr. Yetty Movieta Nency, SpA(K), IBCLC yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti PPDS-1 dan atas segala ketulusannya
dalam memberikan motivasi, bimbingan, wawasan dan arahan untuk menyelesaikan
studi.

5. Ketua KSM Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang, Dr. Wistiani, SpA(K),
Msi.Med yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti PPDS-1
dan atas segala ketulusannya dalam memberikan motivasi, bimbingan, wawasan dan
arahan untuk menyelesaikan studi.

iv
6. Ketua Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, DR. Dr. Anindita Soetadji, Sp.A(K) dan mantan Ketua Program Studi
PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
DR.Dr.M.Heru Muryawan, Sp.A(K), terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
atas arahan, dorongan dan motivasi.

7. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih saya haturkan kepada dr.
Yusrina Istanti,MSi,Med Sp.A (K) sebagai pembimbing I pada penelitian ini, atas
segala kesabaran dan ketulusannya yang selalu memberikan bimbingan, motivasi,
wawasan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

8. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih saya haturkan kepada Dr.
Mulyono Sp.A sebagai pembimbing II dan dosen wali pada penelitian ini, atas segala
kesabaran dan ketulusannya yang selalu memberikan bimbingan, motivasi, wawasan,
dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

9. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terimakasih saya haturkan kepada Prof.
DR. dr. Ag. Soemantri Sp.A (K), SSi (Alm) yang memberi semangat dan dorongan
moril untuk selalu berkarya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

10. Para guru besar dan guru-guru kami staf pengajar di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP dr. Kariadi Semarang: Prof. DR.
Dr. Hariyono Suyitno, Sp.A(K); Prof. DR. Dr. Ag. Soemantri, Sp.A(K), Ssi
(Stat)(Alm); Prof. DR. Dr. Harsoyo N, SpA(K), DTM&H; Prof. Dr. M. Sidhartani Zain,
MSc, Sp.A(K); Dr. R. Rochmanadji Widajat, Sp.A(K), MARS; DR. dr. Tjipta Bahtera,
Sp.A(K)(Alm); Dr. Budi Santosa, Sp.A(K); DR. Dr. Moedrik Tamam, Sp.A(K); Prof.
DR. Dr. H.M. Sholeh Kosim, SpA(K) (Alm); DR. Dr. Hendriani Selina, Sp.A(K),
MARS; Dr. Agus Priyatno, Sp.A(K); DR. Dr. Asri Purwanti, Sp.A(K), M.Pd; Dr. JC
Susanto, Sp.A(K) (Alm), Dr. Dwi Wastoro Dadiyanto, Sp.A(K), Dr. Bambang
Sudarmanto, Sp.A(K), MARS; Dr. MMDEAH Hapsari, Sp.A(K); DR. Dr. Alifiani
Hikmah P, Sp.A(K); Dr. Wistiani, Sp.A(K), M.Si.Med; DR. Dr. M. Heru Muryawan,
Sp.A(K), DR. Dr. Fitri Hartanto, Sp.A(K); DR. Dr. Omega Mellyana, Sp.A(K); Dr.
Yetty Movieta Nancy, Sp.A(K); Dr. Ninung Rose D. K., M.Si.Med, Sp.A(K); Dr.
Nahwa Arkhaesi, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Yusrina Istanti, M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Tun
Paksi S, MSi.Med, Sp.A; Dr. MS. Anam, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Arsita Eka Rini,
M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Dewi Ratih, M.Si.Med, Sp.A(K); DR. Dr. Agustini Utari,

v
M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Adhie Nur Radityo, M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Galuh
Hardaningsih, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Farid Agung Rahmadi, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Rina
Pratiwi, M.Si.Med, Sp.A(K), Dr. Helmia Farida, M.Kes, Sp.A(K), PhD; Dr. Mulyono,
Sp.A, Dr. Dimas Tri Anantyo, Sp.A; Dr. Juwita Pratiwi, Sp.A; Dr. Ariawan, Sp.A; Dr.
Stephanie Adelia, Sp.A; Dr. Nisa Alifia Rahmi, Sp.A yang telah berperan besar dalam
vii proses pendidikan kami, hanya Allah Yang Maha Kuasa yang dapat membalasnya
dengan yang lebih baik.

11. Teman-teman PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak angkatan Juli 2017 : Dr. Affri Dian
Adhiyatna, Dr. Aries Pradoto Yuwono, Dr. Akhmad Fauzianoor, Dr. Mahafendy
Suryamanika Tukan, Dr. Putri Perdani, Dr. Maria Christina Wahyunita Siregar, Dr.
Suciati Jandraningrum, Dr. Fanny Pritaningrum, Dr. Dosy Mudi Nurina, Dr. Puspita,
Dr. Nur Latifah Amilda, Dr. Trisy Adwita Heraviani, Dr. Gavrila Pinasthika, Dr.
Epriyan Saputra yang telah berbagi suka dan duka, saling memotivasi dan saling
membantu selama menempuh pendidikan

12. Seluruh teman sejawat peserta PPDS-1, atas kerjasama yang baik, saling membantu dan
memotivasi. Juga tak lupa rasa terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan
paramedis RSUP Dr. Kariadi Semarang di bangsal maupun laboratorium yang telah
banyak membantu selama penulis menimba ilmu

13. Bakti, hormat dan doa serta terima kasih kepada orang tuaku tercinta, Emanuel Tukan
dan Sri Mulyani yang dengan penuh kasih sayang, doa dan pengorbanan luar biasa telah
mengasuh, membesarkan, mendidik dan menanamkan kemandirian dan tanggung
jawab, serta memberikan dorongan semangat, bantuan moril dan material, yang tidak
akan mungkin penulis bisa membalasnya. Semoga Tuhan memuliakan, melimpahkan
kasih sayang, dan memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya untuk ayah dan ibu
tercinta

14. Terima kasih kepada istri tercinta, Rosiani Oktavera atas cinta dan kasih sayangnya
yang tulus selama ini, telah memberikan dukungan, semangat, doa dan pengertiannya
selama penulis menyelesaikan pendidikan.

15. Terima kasih kepada staf administrasi bagian Ilmu Kesehatan anak : Mbak Deny, Mbak
Hanna, Mbak Ika, Mbak Putri, Mbak Tyas, Mbak Cicik, Mas Anto, Mbak Indah, Mbak
Titi, Mbak Indri. Semoga semua usaha dan jerih payah yang telah melibatkan begitu
banyak tenaga, waktu dan biaya kiranya bermanfaat untuk perkembangan ilmu

vi
kesehatan anak. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat
kami sebutkan satu- persatu yang telah membantu dalam penyelesaian makalah tesis
ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan melimpahkan karunia-Nya secara
berlipat ganda kepada semuanya, Penulis juga menyampaikan permohonan maaf
kepada semua pihak yang mungkin telah mengalami hal yang kurang berkenan dalam
berinteraksi dengan penulis selama kegiatan penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa senantiasa melimpahkan berkah dan karunia-Nya kepada kita semua.

Semarang, Juli 2022

Penulis

vii
ABSTRAK

Faktor Risiko Resistensi Sefalosporin Generasi III Pada Infeksi Enterobacteriaceae


Penghasil Beta Laktamase Spektrum Luas Di Ruang Rawat Intensif Anak
RSUP. Dr. Kariadi Semarang

Mahafendy S. Tukan, Mulyono, Yusrina Istanti


Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang

Pendahuluan : Prevalensi infeksi Extended Spectrum Beta Lactamase Producing


Enterobacteriaceae (ESBL-PE) diketahui meningkat diseluruh dunia dan merupakan penyebab
kegagalan pengobatan di ruang rawat intensif anak. ESBL-PE telah menunjukan resistensi
terhadap anitbiotik sefalosporin generasi III yang merupakan paling umum digunakan dan
terbukti efektif.

Tujuan : Mengetahui faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi ESBL-PE
di ruang rawat intensif anak

Metode : Penelitian observasional kasus kontrol dilakukan di ruang rawat intensif anak RSUP.
Dr. Kariadi. Dilakukan pengumpulan data ESBL-PE dari hasil uji kultur dan sensitifitas. Usia,
perawatan lama, penggunaan alat infasif (ventilator, feeding tube, kateter urin, kateter vena
sentral) dan riwayat penggunaan anitbiotik dicatat. Uji kai kuadrat untuk mengetahui hubungan
antar variabel, dan regresi log multivariat untuk menentukan faktor risiko yang paling
berpengaruh.

Hasil : Selama kurun waktu 4 tahun, didapatkan 111 subyek yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak ada pasien yang di eksklusi. K.pneumoniae menunjukan angka yang relatif tinggi di
di ruang rawat intensif (58%). Penggunaan alat invasif tidak menunjukan hubungan kejadian
infeksi ESBL-PE, penggunaan ventilator (p = 0,126), feeding tube (p = 0,36), kateter urin (p
= 0,684), CVC (p = 0,219), demikian juga variabel usia muda (p = 0,556) dan perawatan lama
(p = 0,416). Regresi logistik menunjukan riwayat penggunaan antibiotik sefalosporin generasi
III berhubungan kuat dengan infeksi ESBL (p = 0,037, OR = 2,7).

Kesimpulan : Terdapat hubungan pada riwayat penggunaan antibiotik sefalosporin generasi


III terhadap kejadian infeksi ESBL-PE di ruang rawat intensif anak.

Kata kunci : Enterobacteriaceae, resistensi antibiotik, sefaloprosin generasi III.

viii
ABSCTRACT
Risk Factors for Third Generation Cephalosporin Resistance in Broad Spectrum Beta
Lactamase-Producing Enterobacteriaceae Infections in Pediatric Intensive Care Unit
Dr. Kariadi Hospital Semarang
Mahafendy S. Tukan, Mulyono, Yusrina Istanti

Department of Pediatrics, Faculty of Medicine


Diponegoro University / Dr. Kariadi Hospital Semarang

Introduction : The prevalence of Extended Spectrum Beta Lactamase Producing


Enterobacteriaceae (ESBL-PE) infection is known to have increased in the worldwide and is a
cause of treatment failure in pediatric intensive care units. ESBL-PE has shown resistance to
the third generation cephalosporin antibiotics which are the most commonly used and proven
effective.
Objective : The aim of this research is to find out the risk factors for third generation
cephalosporin resistance in ESBL-PE infection in pediatric intensive care units.
Method : This case-control observational study was conducted in the pediatric intensive care
unit of Dr. Kariadi Hospital. ESBL-PE data was collected from the results of culture and
sensitivity tests. Age, length of stay, use of invasive devices (ventilator, feeding tube, urinary
catheter, central venous catheter) and history of antibiotic use were recorded. Kai-squared test
to determine the relationship between variables, and multivariate log regression to determine
the most influential risk factor.
Results : During a period of 4 years, there were 111 subjects who have met the inclusion
criteria and no patients were excluded. K. pneumoniae showed relatively high rates in the
intensive care unit (58%). The use of invasive devices did not show a relationship between the
incidence of ESBL-PE infection, use of a ventilator (p = 0.126), feeding tube (p = 0.36), urinary
catheter (p = 0.684), CVC (p = 0.219), as well as young age variable (p = 0.556) and prolonged
length of stay (p = 0.416). Logistic regression showed that a history of using third-generation
cephalosporin antibiotics was strongly associated with ESBL infection (p = 0.037, OR = 2.7).
Conclusion : There is a relationship between the history of the use of third generation
cephalosporin antibiotics to the incidence of ESBL-PE infection in the pediatric intensive care
unit.

Keywords: Enterobacteriaceae, antibiotic resistance, third generation cephaloprosin.

ix
DAFTAR ISI

Lembar pengesehan .................................................................................................. i

Pernyataan ................................................................................................. ii

Riwayat hidup .................................................................................................. iii

Kata pengantar .................................................................................................. iv

Abstrak .................................................................................................. viii

Daftar isi .................................................................................................. x

Daftar singkatan .................................................................................................. xiv

Daftar tabel dan daftar gambar ..................................................................................... xvi

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang .......................................................................................................... 1

1.2. Rumusan masalah .................................................................................................. 2

1.3. Tujuan penelitian ................................................................................................... 2

1.4. Manfaat penelitian ................................................................................................. 4

1.5. Orisanilitas penelitian ............................................................................................ 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sakit kritis pada anak (Critical illness)............................................................ 7

2.2 Sistem imunitas terhadap resistensi antibiotik ................................................. 8

2.3 Bakteri penyebab infeksi di perawatan intensif Anak ...................................... 9

2.3.1 Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas ................. 11

2.3.1.1 Epidemiologi ESBL .......................................................................... 11

2.3.1.2 Definisi ESBL .................................................................................. 12

2.3.1.3 Klasifikasi ESBL .............................................................................. 12

2.3.1.4 Tipe ESBL ........................................................................................ 13

x
2.3.1.5 Deteksi ESBL ................................................................................... 14

2.3.1.6 Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ....................................... 15

2.3.1.7 Mekanisme resistensi ESBL.............................................................. 16

2.4 Antibiotik dalam tatalaksana infeksi bakteri .................................................... 19

2.4.1 Sefalosporin generasi III .......................................................................... 29

2.4.1.1 Mekanisme kerja ....................................................................... 19

2.4.1.2 Resistensi sefalosporin .............................................................. 21

2.5 Faktor risiko resistensi ..................................................................................... 22

2.5.1 Faktor risiko ESBL .................................................................................. 23

2.5.2 Faktor risiko resistensi sefalosporin pada infeksi ESBL .......................... 22

BAB III. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS

3.1. Kerangka teori.................................................................................................. 29

3.2. Kerangka konsep.............................................................................................. 30

3.3. Hipotesis ......................................................................................................... 30

3.3.1. Hipotesis mayor ...................................................................................... 30

3.3.2. Hipotesis minor ....................................................................................... 31

BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1. Ruang lingkup penelitian ................................................................................ 32

4.1.1. Ruang lingkup keilmuan ......................................................................... 32

4.1.2. Ruang lingkup tempat dan Waktu ........................................................... 32

4.2 Jenis dan rancangan penelitian ........................................................................ 32

4.3. Populasi dan sampel......................................................................................... 33

xi
4.3.1. Populasi ................................................................................................... 33

4.3.2. Sampel ..................................................................................................... 34

4.3.2.1 Kriteria inklusi ........................................................................... 34

4.3.2.2 Kriteria eksklusi ......................................................................... 34

4.3.2.3 Cara pengambilan sampel .......................................................... 35

4.3.2.4 Besar sampel .............................................................................. 35

4.4. Variabel penelitian .......................................................................................... 36

4.5. Defenisi operasional ........................................................................................ 37

4.6. Cara pengumpulan data ................................................................................... 39

4.6.1. Alur penelitian .......................................................................................... 39

4.6.2. Tata cara pelaksanaan penelitian ............................................................. 40

4.6.3. Pengolahan data ...................................................................................... 40

4.7. Ethical clearance ............................................................................................. 41

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran umum............................................................................................... 42

5.2 Karakteristik dasar subyek ................................................................................ 43

5.3 Hubungan antar variabel ................................................................................... 45

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Variabel usia terhadap resistensi sefalosporin generasi III ............................... 47

6.2 Variabel perawatan lama terhadap resistensi sefalosporin generasi III ............ 48

6.3 Variabel penggunaan ventilator terhadap resistensi sefalosporin generasi III . 49

6.4 Variabel penggunaan feeding tube terhadap resistensi sefalosporin generasi III 50

6.5 Variabel penggunaan kateter urin terhadap resistensi sefalosporin generasi III 50

6.6 Variabel penggunaan kateter vena sentral terhadap resistensi sefalosporin

xii
generasi III ........................................................................................................ 51

6.7 Variabel riwayat pengguaan antibiotik terhadap resistensi sefalosporin

generasi III ........................................................................................................ 52

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 54

7.2 Saran ................................................................................................................. 55

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 56

xiii
DAFTAR SINGKATAN

BSI : Blood Stream Infection

BLI : Beta lactam inhibitor

CAUTI : Catheter Associated Urinary Tract Infection

CRE : Carbapenem Resistant Enterobacteriaceae


CVC : Central Venous Cathether

CTX : Cefotaxime Hydrolyzing Capabilities


CLABSI : Central Line Associated Blood Stream Infection
CLSI : Clinical and Laboratory Standards Institute
CRBSI : Catheter‑related bloodstream infection
DDST : Double Disk Synergy Test
ETT : Endotracheal Tube
ESBL-PE : Extended-Spectrum β-Lactamase producing Enterobacteriaceae

ESBL-EC : Extended-Spectrum β-Lactamase E.coli

ESBL-KP : Extended-Spectrum β-Lactamase Klebsiella pneumoniae

HAIS : Healthcare Acquired Infections


ICU : Intensive Care Unit
LPS : Lipopolisakarida
MIC : Minimum Inhibitory Concentration
NCCLS : National Committee for Clinical Laboratory Standards
NGT : Naso Gastric Tube
NNIS : National Nosocomial Infections Surveillance
NICU : Neonatal Intensive Care Unit
NICE : National Institute For Health And Care Excellence
NI : Nosocomial Infection
NUTI : Nosocomial Urinary Tract Infections
OXA : Oxacillin Hydrolyzing Capabilities

xiv
PICU : Pediatric Intensive Care Unit

PBP : Penicilin Binding Protein


PIF : Powdered Infant Formula
SMART : Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends
SVH : Sulfhydryl Variable
TEM : Temoneira
TNF-α : Tumor Nekrosis Factor -α
VAP : Ventilator Associated Pneumonia

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Ringkasan hasil penelitian terdahulu ...................................................... 4


Tabel 2. Definisi operasional ............................................................................... 39
Tabel 3. Karakteristik dasar penelitian ................................................................ 46
Tabel 4. Etiologi bakteri Enterobacteriaceae ...................................................... 47
Tabel 5. Jenis sampel pada bakteri yang terisolat ................................................ 47
Tabel 6. Hubungan antar variabel yang berpengaruh terhadap resistensi
Sefalosporin generasi III ........................................................................ 48
Tabel 7. Uji regeresi logistik terhadap resistensi sefaloporin genrasi III ............ 49

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Uji disfungsi cakram kerentanan antimikorba ............................ 17

Gambar 2. Antibiotik selective pressure ........................................................ 17

Gambar 3. Transformasi genetik antara mikroorganisme ............................ 15

Gambar 4. Struktur kimia sefalosporin ......................................................... 17

Gambar 5. Mekanisme aksi sefalosporin ....................................................... 17

Gambar 6. Kerangka teori ............................................................................. 31

Gambar 7. Kerangka konsep ......................................................................... 32

Gambar 8. Rancangan penelitian ................................................................... 35

Gambar 9. Alur penelitian ............................................................................. 41

Gambar 10. Gambaran umum pelaksanaan penelitian .................................. 44

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Anak-anak yang dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU)


umumnya memiliki penyakit maupun kondisi yang mengancam nyawa, antara lain
mengalami infeksi saat dirawat di rumah sakit, risiko tinggi tertular infeksi karena
berbagai macam prosedur, penggunaan perangkat invasif, dan perawatan lama.
Antibiotik adalah obat yang paling umum digunakan di PICU, penggunaan antibiotik
membantu dalam mencegah Health Care Associated Infections (HAI), tetapi
penggunaan yang tidak perlu dan tidak rasional memiliki beberapa kerugian serius,
salah satu masalah serius yang terjadi adalah resistensi antibiotik 1.

Penelitian retrospektif Qalab Abbas, dkk pada anak-anak di ruang rawat intensif
menunjukan antibiotik yang paling sering digunakan adalah meropenem, vankomisin,
dan seftriakson. Penggunaan sefalosporin secara luas telah dikaitkan dengan
munculnya Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas (ESBL). Hal
ini terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama infeksi nosokomial yang
terkait dengan kematian yang tinggi. Resistensi yang muncul pada Enterobacteriaceae
merupakan masalah signifikan yang membutuhkan perhatian serius. Resistensi yang
terkait dengan produksi beta laktamase spektrum luas merupakan masalah khusus
dalam penanganan infeksi Enterobacteriaceae 1, 2.
Pada awalnya sefalosporin generasi ketiga dikembangkan sebagai Beta-Laktam
yang mampu mengatasi resistensi yang disebabkan oleh beta laktamase. Ketika pertama
kali diperkenalkan, agen generasi ketiga seperti seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim
stabil dengan adanya beta laktamase. Namun, dalam beberapa tahun, basil gram negatif
yang didapat di rumah sakit seperti Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli mulai
memproduksi versi mutasi dari beta laktamase ini yang membuat mereka kebal
terhadap sefalosporin generasi ketiga dan monobaktam aztreonam. Menurut National
Nosocomial Infections Surveillance (NNIS), pada tahun 2003, dari semua isolat 20,6%
adalah Klebsiela Pneumonia dari pasien yang di rawat di PICU Amerika Serikat
resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga. Terjadi peningkatan 47% dibandingkan
dengan tingkat resistansi pada tahun 1998 hingga 2002. Resistensi terhadap
sefalosporin generasi ketiga terjadi juga pada 31,1% Enterobacter spp dan 5,8%
Escherichia coli (E. coli) yang diisolasi dari pasien di PICU pada tahun 2003. Angka
tersebut kurang lebih sama dengan tahun 1998 hingga 2002 3.
Escherichia coli adalah penyebab penting dari infeksi yang didapat dari
komunitas dan yang didapat di rumah sakit, dan merupakan penyebab paling umum
dari infeksi Gram-negatif pada Blood Stream Infection (BSI). Produksi enzim beta
laktamase adalah mekanisme utama dimana bakteri Gram negatif melawan kerja
antibiotik beta laktam. Infeksi akibat ESBL telah meningkat secara dramatis di seluruh
dunia dan menunjukkan krisis kesehatan yang besar. Di Cina, prevalensi ESBL telah
meningkat sebesar 38,9 hingga 55,8% untuk berbagai isolat klinis E. coli dalam 5 tahun
terakhir. Faktor risiko infeksi ESBL antara lain usia, komorbiditas, penggunaan kateter
urin, lama perawatan, dan penggunaan alat medis 4,5.
Menanggapi tantangan tersebut, anitbioitk digunakan sebagai tatalaksana utama
mengatasi infeksi ESBL. Berdasarkan kegunaan, toksisitas yang rendah, dan spektrum
aksi yang luas, antibiotik beta laktam, seperti sefalosporin generasi ketiga, adalah
pilihan utama untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme ini.
Namun, seiring dengan penggunaan yang berlebihan mengakibatkan penurunan
efektivitas golongan antibiotik ini 6.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III oleh bakteri Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase
spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

1.2. Rumusan masalah


Apa saja yang menjadi faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III oleh bakteri
Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak
RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

1.3. Tujuan penelitian


1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi
Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat
intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

2
1.3.2. Tujuan khusus
1. Membuktikan bahwa usia muda merupakan faktor risiko resistensi sefalosporin
generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum
luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
2. Membuktikan bahwa perawatan lama merupakan faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
3. Membuktikan bahwa penggunaan ventilator lama merupakan faktor risiko
resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
4. Membuktikan penggunaan feeding tube merupakan faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
5. Membuktikan bahwa penggunaan kateter urin merupakan faktor risiko
resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
6. Membuktikan bahwa penggunaan kateter vena sentral merupakan faktor risiko
resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
7. Membuktikan bahwa penggunaan antibiotik sebelumnya merupakan faktor
risiko resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobaccteriaceae
penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr.
Kariadi Semarang.

3
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Manfaat pendidikan
Diharapkan dapat menambah wawasan tentang faktor risiko terjadinya
resistensi sefalosporin generasi III pada bakteri Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
1.4.2. Manfaat bidang pelayanan
Penelitian ini memberi informasi tambahan bagi Rumah sakit mengenai faktor
risiko terjadinya resistensi sefalosporin generasi III oleh bakteri
Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas diruang rawat
intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
1.4.3. Manfaat bidang penelitian
Penelitian ini dapat menjadi masukan positif bagi kalangan akademisi yang
ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang resistensi sefalosporin generasi
III dan Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas.

1.5. Orisinalitas penelitian


Berdasarkan penelusuran melalui refrensi penelitian sebelumnya didapatkan beberapa
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yang dapat diuraikan sebagai
berikut :

Tabel 1. Ringkasan hasil penelitian terdahulu

No Penulis Judul Subyek dan Metode dan Tujuan Hasil


Tahun Variabel
1 Li DX, Faktor risiko Subyek : Metode : Karakteristik Pasien berisiko
Samuels AS, infeksi Anak yang di Case control faktor risiko untuk kolonisasi
Suwantarat N, Enterobacteric rawat di kolonisasi ESBL adalah
Same RG, eae penghasil PICU Variabel : ESBL di anak-anak yang
Simner PJ, ESBL pada ESBL positif antara anak menerima
Tamma PD pasien PICU di Jumlah dan ESBL di PICU perawatan medis
Johns Hopkins subyek : negatif dengan di luar negeri di
Hospital, 24 EBSL (+) pengambilan negara yang
Baltimore, 72 ESBL (-) rectal swab berisiko tinggi
Maryland infeksi ESBL,
Tahun : 2015 Pasien
kemoterapi,
transplantasi sel
induk
hematopoietik.

4
2 Latania K. Enterobacteria Subyek : Metode : Mendeskripsi Faktor risiko
Logan, ceae Semua Case control kan klinis untuk
Nikolay P. Penghasil pasien anak epidemiologi kolonisasi ESBL
Braykov A Extended- (usia 1-17) di Variabel : nasional dan dan infeksi pada
Robert A. Spectrum β- rawat jalan , Isolate ESBL regional dari anak-anak serupa
Weinstein, Laktamase dan rawat inap dan third- fenotipe dengan orang
Ramanan resisten non ICU, dan generation ESBL dan dewasa (rawat
Laxminarayan sefalosporin ICU cephalosporin- G3CR pada inap sebelumnya,
generasi III resistant anak-anak lama perawatan,
pada anak di Jumlah (G3CR) penggunaan
US. subyek : Enterobacteria antibiotik
1734 sampel ceae sebelumnya, dan
ESBL perangkat medis
yang digunakan)
Tahun :
2014
3 Basaranoglu Perbandingan Subyek : Metode : Mencari Total lama rawat
dkk infeksi aliran Pasien Cohort faktor risiko inap, lama tinggal
darah dengan kurang dari retrospective infeksi aliran di rumah sakit
Klebsiella 17 tahun darah yang sebelum infeksi,
pneumoniae dengan Variabel: disebabkan penggunaan
penghasil beta- positif Pasien dengan oleh K. kombinasi
laktamase kultur darah isolat K. Pneumoniae antibiotik
spektrum luas untuk K. pneumoniae penghasil sebelumnya dan
dan non- pneumoniae penghasil ESBL pada penggunaan
penghasil pada ESBL anak-anak aminoglikosida
pasien anak Jumlah dibandingkan dan analisis adalah faktor
subyek : dengan isolat hasil klinis. risiko yang
111 Isolat K. penghasil signifikan terjadi
Pneumoniae ESBL dalam bakteremia K.
hal faktor pneumoniae
Tahun : risiko, hasil ESBL
2015 dan mortalitas

4 Oliveira MC, Enterobacteria Subyek : Metode : Evaluasi Enterobacter


Oliveira ceae resisten Pasien yang Case control faktor risiko yang resisten
CRA, terhadap berada di dan hasil terhadap
Goncalves sefalosporin perawatan Variabel : klinis infeksi sefalosporin
KV, Santos generasi ketiga ICU usia Terinfeksi oleh yang generasi ketiga
MS, Tardeli setelah masuk minimal 18 Enterobacteria disebabkan cukup umum
rumah sakit: tahun yang ceae yang oleh (26,0%).
faktor risiko berada di resisten Enterobacteri Resistensi ini
dan hasil klinis University terhadap aceae yang dikaitkan dengan
Hospital of sefalosporin resisten terapi
Minas generasi ketiga terhadap antimikroba yang
Gerais, dan, sefalosporin tidak tepat,
Brazil. Terinfeksi generasi respon klinis
Enterobacteria ketiga yang yang buruk, dan
ceae yang ada dalam lama perawatan.

5
Jumlah sensitif sampel yang
subyek : terhadap dikumpulkan
238 isolat sefalosporin saat masuk
Enterobacter generasi rumah sakit.
iaceae ketiga.

Tahun :
2015

Orisanilitas penelitian yang dilakukan berbeda dalam hal : subyek penelitian 1 bulan
sampai 18 tahun, variabel bebas yaitu : usia, perawatan lama, penggunaan ventilator,
penggunaan feeding tube, penggunaan kateter urin, penggunaan kateter intravena,
riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya. Menurut penelusuran pustaka yang telah
peneliti lakukan belum ada penelitian tentang faktor risiko tersebut di Indonesia.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sakit kritis pada anak (Critically illness)


Anak-anak dengan penyakit kritis adalah anak-anak yang membutuhkan, atau
berpotensi membutuhkan, ketergantungan tinggi atau pertimbangan serius baik di
bidang medis, bedah atau terkait trauma. Tingginya persentase pasien gawat darurat
adalah pasien anak. Anak sakit kritis menghadapi kesulitan tertentu dalam anatomi dan
fisiologi, yang berbeda secara mendasar dengan orang dewasa. Penyakit kritis dapat
timbul karena episode akut pada anak yang sebelumnya sehat, eksaserbasi dari kondisi
kronis yang sudah ada sebelumnya, setelah trauma atau kecelakaan atau sebagai
konsekuensi dari prosedur yang direncanakan. Seorang anak dengan penyakit kritis
dapat dirawat di sejumlah ruang perawatan. Asumsi bahwa semua episode penyakit
kritis memerlukan ruang rawat intensif anak sedikit berlebihan. Namun, anak-anak
yang memerlukan intubasi trakea, dukungan ventilasi buatan untuk gagal napas akut
atau memerlukan obat inotropik dan/atau vasoaktif intravena untuk kegagalan sirkulasi
akut harus selalu dirawat di unit PICU. Sebagian kecil anak dengan penyakit akut,
seperti status asmatikus berat, juga mendapat manfaat dari perawatan yang diberikan
oleh PICU jika pada awalnya mereka tidak memerlukannya, tetapi kemudian
membutuhkan jenis dukungan ini 7, 8.
Terapi antimikroba umum diberikan pada pasien di ruang rawat intensif anak
dibandingkan dengan pasien di ruang rawat biasa. Diperkirakan 40-80% pasien di
perawatan intensif anak menerima antibiotik dan sebanyak setengah dari penggunaan
itu mungkin tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat
merupakan faktor kunci yang berkontribusi terhadap munculnya patogen yang resistan
terhadap banyak obat, sehingga pengawasan penggunaannya penting. Selain itu, pasien
di PICU sering terpapar perangkat atau prosedur invasif yang menjadi pintu masuk
mikroorganisme. Pasien-pasien tersebut juga rentan terhadap kolonisasi dan infeksi
patogen nosokomial. Kadang-kadang patogen nosokomial ini merupakan organisme
yang resisten terhadap antibiotik, dengan demikian kondisi pasien menjadi sulit untuk
diobati 8.

7
2.2. Sistem imunitas terhadap resisten antibiotik
Disfungsi organ yang diinduksi sepsis pada anak dengan penyakit kritis
merupakan sumber penting morbiditas dan mortalitas pada anak-anak di seluruh dunia,
terutama bila lebih dari satu organ yang terkena. Sementara tanda dan gejala klasik
sepsis berat akut dan syok sepsis adalah hasil dari respon inflamasi yang berlebihan,
semakin banyak literatur menunjukkan bahwa keadaan kompensasi penekanan sistem
imun sering menyertai penyakit sepsis. Penekanan sistem imun terkait sepsis dapat
mempengaruhi sistem imunitas bawaan (inate) dan imunitas adaptif, kemungkinan
kombinasi pengaruh endogen (misalnya sitokin) dan eksogen (misalnya obat), telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi nosokomial dan kematian 9.
Penyakit kritis terkait penekanan sistem imun bawaan biasanya sulit dideteksi,
tetapi dapat dideteksi melalui pengujian provokatif, ditandai dengan penurunan
kemampuan sel imun anak untuk mensekresi sitokin alfa tumor nekrosis faktor (TNF-
α) pro inflamasi sebagai respons terhadap stimulasi ex vivo dengan lipopolisakarida
(LPS). Sementara studi transkriptomik menunjukkan bahwa penekanan limfosit awal
dapat memprediksi hasil yang merugikan pada anak-anak sepsis. Sepsis berat dan syok
sepsis merupakan masalah umum yang terjadi pada anak sakit kritis di seluruh dunia,
terapi antibiotik merupakan strategi utama dalam penanganan kondisi ini, anak-anak
dengan sakit kritis dengan infeksi bakteri yang membutuhkan pengobatan meningkat
dalam beberapa tahun terakir. Karena penggunaan antibiotik yang berlebihan di PICU
sering terjadi dan efek samping antibiotik sudah diketahui, maka pendekatan rasional
diperlukan. Resistensi antibiotik merupakan ancaman berat bagi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak-anak sangat rentan karena sistem
kekebalan mereka belum sepenuhnya berkembang dan oleh karena itu lebih rentan
terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang resistan terhadap obat yang ada
di lingkungan mereka. Infeksi bakteri akibat resisten antibiotik secara tidak
proporsional mempengaruhi anak-anak. 40% kematian secara global di antara anak-
anak di bawah usia 5 tahun dan neonatus disebabkan oleh penyakit yang pengobatannya
secara langsung dipengaruhi oleh resistensi antibiotik pada tahun 2016 9.

8
2.3. Bakteri penyebab infeksi di perawatan intensif anak
Infeksi adalah salah satu penyebab kematian tersering di unit perawatan intensif
anak, dengan angka kematian hingga 50%, tergantung dari asal infeksi. Dalam dua
dekade ini, infeksi nosokomial merupakan masalah kesehatan khusus yang berkaitan
dengan morbiditas, mortalitas dan konsekuensi ekonomi, terutama di unit perawatan
intensif anak yang memiliki tingkat kejadian lebih tinggi dari pada bangsal lain di
rumah sakit. Hasil ini berkorelasi dengan perawatan lama di rumah sakit, keparahan
penyakit pasien, penggunaan antibiotik yang berlebihan dan pasien yang sering
terpapar alat intervensi medis seperti penggunaan jalur intrevena sentral atau perifer,
kateterisasi urin, dan ventilasi mekanik. Infeksi saluran pernapasan, dan infeksi aliran
darah adalah infeksi yang cukup sering terjadi di PICU. Bakteri Gram negatif
merupakan patogen tersering penyebab infeksi di ruang rawat intensif anak. Pola
bakteri dan kepekaan antibiotik diperlukan sebagai data klinis dalam pemilihan terapi
antibiotik yang sesuai 10,11.
Sebelum tahun 1920, infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif sangat
jarang yaitu kurang dari 1000 kasus. Sebagai contoh antara tahun 1951 dan 1958 di
University of Illinois Research and Education Hospital, bakteremia Gram negatif
meningkat dari 4,9 menjadi 8,1 kasus per 1000 perawatan. Hal ini juga terjadi di Boston
University Hospital terjadi peningkatan dari 7,0 menjadi 13,0 kasus per 1000 perawatan
antara tahun 1965 dan 1974. Lebih dari 50% kasus bakteremia yang didapat dari rumah
sakit pada anak berasal dari bakteri Gram negatif, terjadi pada usia neonatus (25%) dan
usia anak kurang dari 2 tahun (18,5%) dan diantaranya 47% merupakan infeksi
nosokomial yang merupakan penyebab infeksi tersering di ICU. Bakteri Gram negatif
yang paling sering diisolasi di PICU adalah Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Enterobacter cloacae, dan Klebsiella pneumoniae. Sumber bakteremia tersering adalah
infeksi saluran kemih (ISK) dan pneumonia. Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas (ESBL) resisten terhadap sefotaksim pertama kali ditemukan
adalah Klebsiela dan Seratia di Jerman pada tahun 1983. Dalam beberapa tahun, ESBL
pada E.coli, Acinetobacter sp, dan Klebsiella sp sudah tersebar di seluruh Eropa 12.
Penelitian di RS. Dr. Soetomo Surabaya menunjukan frekuensi isolat bakteri
Gram negatif sedikit lebih tinggi daripada isolat bakteri Gram Positif. Bakteri Gram
negatif merupakan mayoritas bakteri patogen yang terkait dengan 6 spesimen utama,
darah (66,01%), urin (72,69%), dahak (66,67%), tinja (63,73%), aspirat ETT (80,43%)
dan cairan pleura (62,50%). Selama kurang lebih 2 dekade terakhir, bakteri Gram
9
negatif telah menjadi patogen yang paling sering dikaitkan dengan penyakit sistem
pernapasan dan ISK 11.
Penelitian yang dilakukan di Intensive Care Unit (ICU) RSUP. Dr. Kariadi
Semarang untuk mengetahui pola kuman pasien yang dirawat di ICU RSUP. Dr.
Kariadi Semarang tahun 2009, Dari 100 lembar hasil kultur kuman pasien di ruang
rawat intensif RSUP. Dr. Kariadi Semarang diketahui bahwa kuman terbanyak
penyebab infeksi adalah Enterobacter aerogenes (34%), Staphylococcus epidermidis
(17%), Escherichia coli (15%), Pseudomonas aeruginosa (10%), Candida spp. (9%),
dan Acinetobacter spp. (8%). Uji sensitivitas terhadap antibiotik menunjukkan bahwa
kuman mempunyai resistensi tertinggi terhadap ampicillin, sefotaksim, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan siprofloksasin 13.
Penelitian lain yang dilakukan di ruang ICU RS. Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta tahun 2011, bertujuan mengetahui karakteristik fenotip bakteri Gram negatif
famili Enterobacteriaceae, didapatkan bahwa bakteri Gram negatif famili
Enterobacteriaceae merupakan suatu bakteri dengan karakteristik penghasil enzim beta
laktamase, seperti ESBL, AmpC, dan karbapenemase. Penelitian ini menggunakan tiga
metode yang dilakukan untuk mengonfirmasi. Karakteristik fenotip ketiga enzim
tersebut, yaitu metode difusi cakram untuk konfirmasi ESBL, uji cakram AmpC
(berbasis cefoxitin) untuk konfirmasi AmpC, dan uji Hodge termodifikasi untuk
konfirmasi karbapenemase. Dari 112 isolat yang dianalisis diketahui bahwa Klebsiella
pneumoniae merupakan isolat terbanyak (54,46% /61 isolat). Selain itu, dari metode
difusi cakram ganda, didapatkan 58,42% isolat merupakan penghasil ESBL dan 1,98%
merupakan penghasil AmpC dengan uji cakram AmpC (berbasis cefoxitin), serta
27,59% merupakan penghasil karbapenemase dengan uji Hodge termodifikasi. Hasil
penelitian ini menunjukkan prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil beta-
laktamase khususnya ESBL sangat tinggi 13.
Bakteri Gram negatif mempunyai tingkat resistensi tinggi karena mempunyai
mekanisme resistensi yang multipel. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipastikan bahwa
infeksi oleh bakteri Gram negatif merupakan ancaman, terutama pada pasien
imunokompromais. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap infeksi bakteri Gram
negatif adalah pemberian antibiotik yang berhubungan dengan selective pressure pada
bakteri yang resisten, penyakit penyerta yang berat dan status imunokompromais. Pada
seting ICU dipertimbangkan beberapa faktor seperti kedekatan pasien dengan pasien
lain yang sudah terinfeksi oleh bakteri resisten dan prosedur invasif. Semuanya
10
merupakan faktor risiko yang signifikan meningkatkan infeksi nosokomial oleh bakteri
Gram negatif. Angka kejadian resistensi antibiotik semakin meningkat terutama di
benua Asia, termasuk Indonesia. Para ahli mikrobiologi sepakat bahwa terjadi
multiresisten antibiotik terhadap bakteri Gram negatif. Enterobacteriaceae merupakan
penyebab infeksi terbanyak terutama di ICU dan sering menimbulkan resistensi
terhadap antibiotik sefalosporin generasi III karena mampu memproduksi enzim beta
laktamase, atau yang dikenal dengan Extended-Spectrum Beta Laktamase (ESBL) 12,13.

2.3.1. Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas


2.3.1.1. Epidemiologi ESBL
Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan salah satu masalah yang
sangat serius di seluruh dunia yang berdampak pada meningkatnya angka
morbiditas dan mortalitas, salah satunya adalah akibat Enterobacteriaceae
penghasil beta laktamase spektrum luas. Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi
akibat Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas menjadi
semakin sulit karena keterbatasan metode diagnosis yang ada dan pilihan
antibiotik yang dapat digunakan, bersamaan dengan subtipe ESBL yang terus
berkembang melalui proses mutasi yang beragam. Produksi ESBL merupakan
mekanisme penting yang menyebabkan resistensi terhadap sefalosporin generasi
ke-3, seperti seftazidim, seftriakson, dan sefotaksim, yang umum digunakan,
untuk terapi antibiotik empiris 14.
Meningkatnya prevalensi infeksi akibat ESBL producing
Enterobacteriaceae (ESBL-PE) menimbulkan tantangan dalam pengobatan
infeksi nosokomial yang biasanya diobati secara empiris dengan sefalosporin dan
fluoroquinolon. Diagnosis dan penatalaksanaan yang terlambat berhubungan
dengan tingginya angka kematian, biaya rumah sakit dan lama tinggal di rumah
sakit. Lebih dari 70% populasi dunia tinggal di kawasan Asia-Pasifik, resistensi
antibiotik di Asia juga dianggap sebagai masalah global. Study for Monitoring
Antimicrobial Resistance Trends (SMART) yang memantau pola resistensi
antibiotik pada infeksi intraabdomen sejak 2002 dan ISK sejak 2009 hingga 2011,
menemukan bakteri multi-resisten utama penyebab infeksi adalah Escherichia
coli dan Klebsiella pneumoniae dengan prevalensi masing-masing 47,8% dan
14,5% pada infeksi intraabdominal, sedangkan pada infeksi saluran kemih
masing-masing 44,3% dan 11,8%. Selain itu, studi SMART juga mendapatkan
11
prevalensi infeksi ESBL-PE tertinggi di Asia yaitu lebih dari 40%, diikuti oleh
Amerika Latin dan Timur Tengah. Studi SMART juga menunjukkan peningkatan
pola infeksi oleh prevalensi ESBL-PE di Asia. Penggunaan antibiotik spektrum
luas, terutama sefalosporin dan fluoroquinolon generasi ketiga menyebabkan
pertumbuhan ESBL-PE di rumah sakit dan terkait dengan kegagalan pengobatan
dan kematian yang tinggi. Kontrol dini ESBL-PE pada pasien sepsis akibat
infeksi nosokomial dan pengobatan yang adekuat sangat penting dalam
manajemen pasien 14.

2.3.1.2. Definisi ESBL


Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) adalah enzim yang
diproduksi oleh bakteri tertentu yang menyebabkan mereka menjadi resisten
terhadap beberapa antibiotik termasuk sefalosporin dan aztreonam generasi
ketiga. Enzim ini bekerja dengan cara menghidrolisis cincin beta laktam pada
antibiotik beta laktam. Enzim ini dibawa dalam kromosom bakteri tertentu dan
ditransfer ke populasi bakteri lain melalui plasmid. Ada beberapa ESBL-PE yang
dikenal saat ini, termasuk Klebsiella pneumoniae (ESBL-KP) dan Escherichia
coli (ESBL-EC). Infeksi ESBL-PE yang pertama kali ditemukan adalah infeksi
Klebsiella Pneumonia di Jerman pada tahun 1983 dan menyebar ke seluruh Eropa
serta Amerika. Di Asia, infeksi pertama kali ditemukan di China pada tahun 1988
14
.

2.3.1.3. Klasifikasi ESBL


Ada banyak skema klasifikasi yang tersedia untuk enzim Beta-laktamase,
namun yang paling umum digunakan adalah klasifikasi Ambler dan klasifikasi
Bush-Jacobsky 14.

a) Klasifikasi Ambler.
Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1991, mengkategorikan ESBL
menjadi 4 kelas, yaitu A, B, C, dan D berdasarkan struktur asam aminonya,
dimana kelas A, C dan D memiliki sisi aktif serine beta laktamase dan kelas
B memiliki sisi aktif metalo beta laktamase 14.

12
b) Klasifikasi Bush Jacobsky Mendeiros.
Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1989, diperluas pada tahun 1995 dan
diperbaharui menjadi klasifikasi Bush-Jacobsky pada tahun 2009, dimana
enzim beta laktamase dikategorikan menjadi 4 kelompok yang berbeda 14:
1. Kelompok pertama adalah sefalosporinase atau AmpC, juga dikenal
sebagai kelas Ambler C. Lebih aktif terhadap sefalosporin
dibandingkan dengan benzilpenisilin dan biasanya tahan terhadap
penghambatan asam klavulanat, juga aktif terhadap cephamicin
seperti cephotixin, dan afinitas tinggi terhadap aztreonam.
2. Kelompok kedua juga dikenal sebagai serine beta laktamase. Ini
adalah kelompok enzim beta laktamase terbesar karena prevalensinya
yang meningkat dalam 20 tahun terakhir. Itu menyerupai Ambler
kelas A dan D.
3. Golongan ketiga juga dikenal sebagai Metalo Beta Laktamase
(MBL), yang memiliki struktur dan fungsi unik, yang membutuhkan
seng di situs aktifnya, dan memiliki kemampuan untuk
menghidrolisis karbapenem.
4. Kelompok keempat dari ESBL ada dalam klasifikasi sebelumnya
tahun 1995 tetapi telah dihilangkan dalam skema terbaru. Enzim ini
dapat dikategorikan ke dalam klasifikasi yang berbeda jika tersedia
data yang memadai.

2.3.1.4. Tipe ESBL


Jenis ESBL yang banyak ditemukan adalah :
a) Temoneira-1 (TEM-1)
Sekitar 90% E. coli yang resisten terhadap ampisilin terjadi karena produksi
TEM-1. Jenis ini memiliki kemampuan untuk menghidrolisis penisilin dan
generasi pertama dari sefalosporin tetapi tidak untuk cephalosporin oxymino.
Meskipun biasanya ditemukan pada E. coli dan K. pneumonia, frekuensi
TEM tipe β-laktamase juga meningkat pada bakteri gram negatif lainnya.
Sampai saat ini, diketahui ada 140 jenis TEM 14.

13
b) Sulfhydryl Variable (SHV)
Jenis kedua adalah Sulfhydryl variable (SHV) yang 68% asam aminonya
mirip dengan jenis TEM. Yang paling sering ditemukan pada K.Pneumonia
adalah SHV-1 yang menyebabkan resistensi terhadap penisilin, tigecycline
dan piperacillin tetapi tidak terhadap cephalosporin oxymino. Ada 60 tipe
SHV yang dikenal selama ini di Eropa, Amerika dan di seluruh dunia 14.

c) Cefotaxime Hydrolyzing Capabilities (CTX)


Jenis Cefotaxime Hydrolyzing Ability (CTX) memiliki kemampuan yang
lebih kuat dalam menghidrolisis sefotaksim, dan dapat dihambat oleh
tazobactam sebagai inhibitor beta laktamase. Ada lebih dari 80 jenis CTX
yang diketahui sejauh ini. Enzim CTX-M tidak terbatas pada infeksi
nosokomial saja tetapi memiliki potensi untuk menyebar di masyarakat
(biasanya oleh E. coli) dan hal ini telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat 14.

d) Oxacillin Hydrolyzing Capabilities (OXA) Beta Lactamase


Kemampuan menghidrolisis oksasilin (OXA) beta laktamase merupakan
jenis yang jarang ditemukan, dan memiliki karakteristik yang berbeda dari
TEM serta SHV karena termasuk dalam kelas Ambler D. Jenis ini memiliki
kemampuan untuk menghidrolisis oksasilin dan cloxacillin, dan tidak dapat
dihambat oleh asam klavulanat. Ini terutama ditemukan di P. aeruginosa,
sebagian besar di Turki dan Prancis, tetapi juga ada di bakteri gram negatif
lain seperti 1-10% E. coli penghasil OXA-1 14.

2.3.1.5. Deteksi ESBL


Menurut National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS); yang
berubah menjadi Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) pada tahun
2005, menyebutkan bahwa penapisan ESBL harus dilakukan secara rutin.
Rekomendasi CLSI menunjukkan bahwa deteksi ESBL terdiri dari dua tahap :
1. Skrining untuk penurunan sensitivitas terhadap antibiotik tertentu yang
digunakan seperti sefotaksim, seftriakson, seftazidim, atau aztreonam. Tes
skrining ESBL dapat dilakukan dengan menggunakan Vitek, dan hasilnya
positif bila terdapat resistensi terhadap sefalosporin dan aztreonam. Selain
14
itu, disk Kirby Bauer, menurut rekomendasi CLSI, juga dapat melakukan uji
penyaringan 14.
2. Tes konfirmasi (hanya jika hasil skrining positif ditemukan).
Uji konfirmasi bertujuan untuk mendeteksi potensi hidrolisis oleh ESBL
terhadap antibiotik yang digunakan dalam skrining pada keberadaan Beta
Lactam Inhibitor (BLI). Uji konfirmasi dapat dilakukan dengan
menggunakan Double Disk Synergy Test (DDST), metode disk kombinasi,
atau strip ESBL uji-E. Uji DDST dilakukan dengan cakram 30 μg sefotaksim
(dan / atau seftriakson dan / atau seftazidim dan / atau aztreonam) dan cakram
10μg asam klavulanat ditempatkan pada jarak 30 mm (pusat ke tengah). Tes
ini dianggap positif ketika penurunan kerentanan terhadap sefalosporin
dikombinasikan dengan peningkatan zona hambatan di depan cakram yang
mengandung asam klavulanat 14.

Sebuah studi oleh Garrec, dkk di sebuah rumah sakit di Perancis, membandingkan
metode fenotipe yang berbeda dalam mendeteksi ESBL-E. Disebutkan bahwa
Vitek merupakan metode rutin dalam mendeteksi ESBL dengan sensitivitas 92-
93% dan spesifisitas rendah yaitu 50-79%. Namun E-test memiliki sensitivitas 71-
73% untuk pengujian sefotaksim dan seftazidim, dan 90% untuk cefepime. Metode
lainnya adalah metode kombinasi disk dengan sensitivitas 100% dalam pengujian
sefotaksim dan cefepim terhadap ESBL-E. Beberapa jenis pengujian
direkomendasikan oleh CLSI, namun hingga saat ini belum ada pemeriksaan
standar emas untuk mendeteksi ESBL 14.

2.3.1.6. MIC (Minimum Inhibitory Concentration)


Minimum inhibitory concentration (MIC) atau konsentrasi penghambatan
minimum, adalah konsentrasi terendah (dalam g/mL) antibiotik yang menghambat
pertumbuhan bakteri tertentu. Tujuan pengujian ini adalah untuk mendeteksi
kemungkinan resistensi obat pada patogen umum dan untuk memastikan
kerentanan terhadap obat pilihan untuk infeksi tertentu. Dengan metode kuantitatif
pengujian kerentanan, MIC membantu menentukan kelas antibiotik mana yang
paling efektif. Informasi ini dapat mengarah pada pilihan antibiotik yang tepat yang
akan meningkatkan peluang keberhasilan pengobatan dan membantu dalam
memerangi resistensi antibiotik. MIC dilaporkan sebagai nilai numerik. Nilai di

15
atas atau di bawah kisaran pengukuran ditunjukkan dengan ″≤″ (untuk di bawah
kisaran, dalam kategori sensitif) atau dengan ″≥″ (jika di atas kisaran, dalam
kategori resisten). Intepretasi MIC berada disebelah masing-masing antibiotik,
dengan keterangan kerentanan: S (sensitif), I (intermediet), atau R (resisten) adalah
tiga kategori interpretasi, tercantum dalam kolom hasil pertama dari laporan
kerentanan. Kategori masing-masing diikuti oleh MIC dalam g/mL di kolom hasil
berikutnya dari laporan kerentanan. "Sensitif" menunjukan bahwa organisme
dihambat oleh konsentrasi serum obat yang dicapai dengan menggunakan dosis
biasa; "intermediet" menunjukan bahwa organisme dihambat hanya ketika
konsentrasi yang lebih tinggi daripada dosis yang biasanya direkomendasikan dapat
dicapai; dan “resisten” menunjukan bahwa organisme resisten terhadap kadar obat
serum yang biasanya dapat dicapai. Standar interpretatif ini telah ditetapkan oleh
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Kategori interpretatif
dievaluasi menurut apa yang disebut breakpoints untuk setiap antibiotik seperti
yang tercantum dalam versi dokumen CLSI saat ini 15.

Gambar 1. Uji difusi cakram kerentanan antimikroba: perkiraan penempatan cakram dan
pengukuran diameter zona hambat. ATB1 = antibiotik 1, ATB2 = antibiotik 2.

2.3.1.7. Mekanisme resistensi ESBL


Antibiotic Selective Pressure
Antibiotic selective pressure adalah kemampuan antibiotik untuk
membunuh atau menghancurkan kuman yang sensitif tetapi membiarkan kuman
yang resisten tetap bertahan dan selanjutnya berkembang memperbanyak diri,
semakin sering terjadi paparan semakin besar jumlah kuman resisten yang
berkembang 16.

16
Gambar 2. Antibiotic selective pressure 17

Resisten antibiotik dapat terjadi secara alamiah lewat mutasi acak maupun sebagai
respon terhadap paparan lingkungan. Antibiotik adalah salah satu contoh paparan
lingkungan yang membuat bakteri harus bertahan melalui beberapa mekanisme
termasuk dengan cara mutasi. Bakteri yang berhasil melakukan mutasi akan bertahan
hidup, selanjutnya memperbanyak diri dan mewariskan gen resisten kepada
keturunannya sehingga munculah generasi baru yang resisten penuh terhadap
antibiotik tertentu 16.

Gambar 3. Transformasi genetik antara mikroorganisme 16

17
Bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik beta laktam melalui beberapa
mekanisme :

a) Penghancuran oleh enzim beta laktamase di periplasma bakteri gram negatif.


Enzim ini memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap antibiotik
daripada antibiotik terhadap targetnya. Pengikatan enzim ini akan
menyebabkan cincin beta laktam terhidrolisis. Gen yang mengkode beta
laktamase ditemukan di kromosom dan ekstra-kromosom, dan biasanya
merupakan elemen yang bergerak. Resistensi ESBL ini dapat diperoleh dalam
elemen genetik yang bergerak (seperti pada K. Pneumoniae dan E. Coli) atau
dalam kromosom genetik yang tidak bergerak (pada spesies Enterobacter),
dan memiliki kemampuan untuk menghidrolisis penisilin dan sefalosporin.
Salah satu strategi untuk menangkal mekanisme ini adalah dengan
menggunakan inhibitor yang mengikat enzim tersebut, namun inhibitor seperti
asam klavulanat, sulbaktam dan tazobaktam tidak mengikat semua beta
laktamase di dalam kromosom, sehingga tidak dapat sepenuhnya mencegah
inaktivasi antibiotik beta laktam dengan cara ini. Belum ada kombinasi beta
laktamase / Beta laktamase inhibitor yang diketahui memiliki kemampuan
untuk menghambat semua enzim beta lactamase 3.

b) Penurunan permeabilitas membran.


Penurunan permeabilitas membran dengan refluks antibiotik yang
cepat dari periplasma ke bagian luar sel. Mutasi ini akan menyebabkan
penurunan jumlah antibiotik beta laktamase yang masuk ke dalam sel, seiring
dengan peningkatan jumlah saluran yang mengeluarkan antibiotik ke luar.
Mekanisme ini juga terjadi pada resistensi ESBL-E terhadap kuinolon dan
aminoglikosida 3.

18
2.4. Antibiotik dalam tatalaksana bakteri
Antibiotik dapat didefinisikan sebagai agen farmakologis yang secara selektif
membunuh atau menghambat pertumbuhan sel bakteri yang memiliki sedikit atau tidak
ada efek pada inang. Antibiotik bersifat bakteriostatik adalah untuk mencegah replikasi
bakteri lebih lanjut, sedangkan antibiotik bakterisidal bersifat membunuh bakteri.
Antibiotik sefalosporin telah menjadi bagian utama dari formularium antibiotik untuk
rumah sakit di negara-negara makmur. Mereka diresepkan untuk berbagai macam
infeksi setiap hari. Popularitas mereka yang tidak diragukan lagi bergantung pada risiko
alergi dan toksisitas yang lebih rendah serta spektrum aktivitas yang luas 17.
Sefalosporin adalah golongan antibiotik yang paling sering diresepkan karena
secara struktural dan farmakologis mirip dengan penisilin. Seperti penisilin,
sefalosporin memiliki struktur cincin beta laktam yang mengganggu sintesis dinding
sel bakteri dan dinamakan bakterisidal. Senyawa sefalosporin pertama kali diisolasi
dari kultur "Cephalosporium Acremonium" dari saluran pembuangan di Sardinia pada
tahun 1948 oleh ilmuwan Italia Guiseooe Brotzu. Sefalosporin diklasifikasikan
berdasarkan generasi. Secara umum, sefalosporin generasi lebih rendah memiliki
aktivitas gram positif lebih banyak dan sefalosporin generasi lebih tinggi memiliki
aktivitas gram negatif lebih banyak. Pengecualian sefepim obat generasi keempat,
dengan aktivitas gram positif setara dengan generasi pertama dan aktivitas gram negatif
setara dengan sefalosporin generasi ketiga. Penelititan pada ICU anak di RSAB
Harapan Kita menunjukan sensitifitas terhadap sefalosporin generasi ketiga umumnya
rendah (35,3%–52,9%). Untuk isolat Enterobacter sp dan Klebsiella sp. Sedangkan E.
coli mempunyai sensitifitas yang baik terhadap berbagai antibiotik, kecuali ampicillin
dan sulbactam ampicillin 18.

2.4.1. Sefalosporin generasi ketiga


2.4.1.1. Mekanisme kerja
Sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, dan seftazidim)
semuanya memiliki potensi yang tinggi melawan banyak basil Gram negatif.
Seperti semua sefalosporin, pada konsentrasi yang mudah dicapai, antibiotik
menjadi kurang aktif melawan Enterococci dan Listeria, hanya seftazidim yang
memiliki aktivitas signifikan terhadap Pseudomonas. Secara kimiawi antibiotik ini
berasal dari 7 asam aminocephalosporic dan secara struktural dan fungsional terkait
dengan penisilin karena mereka berbagi cincin Beta Laktam yang sama.
19
Sefalosporin terdiri dari cincin beranggota enam yang memiliki atom belerang
yang terikat pada cincin beta laktam 19.

Gambar 4. Struktur kimia sefalosporin 19

Perkembangan sefalosporin berasal dari stabilitas sefalosporin C menjadi


betalaktamase stafilokokus dan sifat ini ada di semua sefalosporin. Stabilitas terhadap
beta-laktamase dari enterobakteri Gram-negatif bervariasi bahkan dengan beta
laktamase yang dapat dialihkan dan beberapa senyawa menunjukkan peningkatan
stabilitas pada enzim kelas C. Kemampuan untuk menembus membran luar gram
negatif batang merupakan faktor kunci lain dalam aktivitas melawan banyak
organisme. Dinding sel bakteri dapat dianggap seperti unit ubin lantai yang saling
terkait. Selama replikasi, bakteri menghilangkan unit ubin pada dinding sel untuk
memungkinkan pembelahan sel dan dengan cepat menempatkan unit ubin dinding sel
di akhir pembelahan menjadi dua bakteri. Tindakan ini membutuhkan enzim untuk
menghubungkan unit ubin pengganti. Enzim ini ditargetkan oleh antibiotik kelompok
beta laktam dan dikenal sebagai protein pengikat penisilin. Antibiotik mengikat protein
pengikat penisilin dan mencegahnya menutup ujung pembagi bakteri dan
meningkatkan tekanan hiper osmotik untuk membunuh bakteri. Sefalosporin bersifat
bakterisidal dan memiliki cara kerja yang sama seperti antibiotik beta-laktam lainnya;
seperti penisilin. Peptidoglikan merupakan zat penting untuk integritas struktural
dinding sel. Sefalosporin mengganggu sintesis lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri
dengan mengikat enzim yang disebut Penicillin Binding Protein (PBP). Enzim ini
penting untuk sintesis dinding sel bakteri 19.

20
Gambar 5. Mekanisme aksi sefalosporin 19

Dinding sel merupakan bagian integral dari struktur bakteri yang membantu
bakteri bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Tanpa
dinding sel, bakteri rentan terhadap lingkungan dan bisa mati. Karena seftriakson
diekskresikan, sebagian besar, melalui hati, dapat digunakan dengan sedikit
penyesuaian dosis pada pasien dengan gagal ginjal. Dengan waktu paruh serum 4
sampai 7 jam, dapat diberikan sekali sehari untuk semua infeksi, termasuk meningitis,
yang disebabkan oleh organisme yang rentan 19,20.

2.4.1.2. Resistensi sefalosporin


Antibiotik beta laktam berinteraksi dengan protein pengikat penisilin pada
patogen yang rentan. Setiap strain bakteri memiliki jenis protein pengikat penisilin
yang berbeda. Bakteri Gram negatif memiliki jenis Protein Binding Penisilin
(PBP) yang berbeda dengan bakteri Gram positif. Mutasi pada PBP dapat
mengurangi penetrasi antibiotik yang memiliki cincin Beta Laktam untuk bakteri
tertentu. Konsentrasi obat yang berlebihan sangat penting untuk menghambat
pertumbuhan jenis bakteri tersebut. Konsentrasi obat yang lebih tinggi harus
tersedia di dekat PBP yang bermutasi untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Cara lain untuk mengembangkan resistensi adalah pembentukan beta laktamase
yang menyebabkan rusaknya cincin beta laktam. Hal ini menghambat antibiotik
untuk bereaksi dengan PBP 19.
Saat ini, pilihan antibiotik yang tersedia untuk mengobati infeksi ESBL-PE
masih terbatas. Berdasarkan survei resistensi antimikroba Eropa tahun 2011 dari
hasil kultur bahwa prevalensi sefalosporin generasi ketiga pada E. Coli dan K.
21
Pneumoniae adalah 9,1% dan 30,1%; di ESBL-EC adalah 85-100% dan ESBL-KP
adalah 62.5-100%. Resistensi E.coli terhadap karbapenem, kuinolon dan
aminoglikosida berturut-turut adalah 0,04%, 20,9% dan 9,3%; Sedangkan
resistensi K.Pneumoniae terhadap karbapenem, kuinolon dan aminoglikosida
berturut-turut adalah 9,1%, 30,5%, dan 26,2%. Karena resistensi terhadap
pengobatan antibiotik lini pertama semakin meningkat, maka pilihan pengobatan
antibiotik empiris menjadi lebih sulit. Penggunaan antibiotik empiris harus
berdasarkan antibiogram di institusi yang berbeda dan biasanya bervariasi dari satu
rumah sakit ke rumah sakit lain di kota dan negara yang berbeda. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa sefalosporin masih dapat digunakan karena ESBL
tipe TEM dan SHV memiliki MIC rendah terhadap sefotaksim. Namun, CLSI
merekomendasikan bahwa semua ESBL-PE harus dianggap resisten terhadap
sefalosporin tanpa mempertimbangkan MIC karena penggunaan sefalosporin
terkait dengan kegagalan pengobatan dan mortalitas yang tinggi 19.

2.5. Faktor risiko resistensi


2.5.1. Faktor risiko Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase (ESBL-PE).
Infeksi akibat ESBL-PE biasanya nosokomial dan paling sering
ditemukan di unit perawatan intensif, dan terkait dengan lama rawat inap,
peningkatan biaya dan kematian. Beberapa faktor risiko yang disebutkan oleh
Park dkk dalam penelitiannya pada semua pasien bakteremia di rumah sakit
Korea sejak Januari 2005 hingga Maret 2009 antara lain usia, penyakit kronis
seperti sirosis hati dan keganasan yang biasanya membutuhkan perawatan lama
di rumah sakit, infeksi saluran napas dan saluran kemih, penggunaan kateter dan
Nasogastric Tube (NGT), sepsis parah dan penggunaan sefalosporin dan kuinolon
generasi ketiga dalam 3 bulan terakhir selama tinggal di rumah sakit 14.

2.5.2. Faktor risiko resistensi sefalosporin pada infeksi Enterobacteriaceae


Kolonisasi dan infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae yang
resisten terhadap Cephalosporin Resistance Enterobacteriaceae telah diamati
dengan frekuensi yang meningkat pada pasien di ruang intensif. Faktor risiko
Cephalosporin Resistance Enterobacteriaceae telah dipelajari terutama dalam
situasi outbreak. Faktor yang terkait dengan perolehan Cephalosporin Resistance
Enterobacteriaceae dalam keadaan ini termasuk usia, perawatan lama,
22
penggunaan ventilator, nutrisi parenteral (feeding tube) , penggunaan kateter urin,
penggunaan Central Venous Catheter (CVC), penggunaan pengobatan antibiotik
sebelumnya 21.
a) Usia sebagai faktor risiko resistensi.
Usia muda merupakan kelompok yang beresiko tinggi, terhadap
infeksi, memerlukan evaluasi yang lebih luas dan pada keadaan tertentu
perlu terapi antimikroba segera, sebelum pathogen diidentifikasi.
Bayi kurang dari 3 bulan (60 hari) memperlihatkan serangkaian
tanda terbatas bila mereka menjadi sakit, sering membuat para klinisi sukar
membedakan antara infeksi neonatus, nosokomial, dan infeksi yang didapat
dari masyarakat, kondisi ini berpotensi mengakibatkan bayi tampak – sepsis
atau tampak sakit. Demam pada bayi berusia kurang dari 3 bulan akan selalu
memberi kesan kemungkinan penyakit yang disebabkan bakteri serius.
Agen infeksius dikenali pada 70% bayi. Infeksi bekteri serius terdapat pada
10-15% bayi demam berusia kurang dari 3 bulan. Bayi demam berusia
kurang dari 3 bulan yang kelihatan sakit (toksik) memerlukan rawat inap
segera, kultur darah, urin dan cairan serebrospinal, dan terapi antibiotik
parentral yang efektif sebagai terapi inisial bagi penderita yang kelihatan
sakit. Agen antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan Streptococcus
pneumoniae yang resisten terhadap penisilin adalah vankomisin ditambah
ampisilin dan seftriakson sampai hasil uji sensitifitas diketahui 22.
Pada usia 3-36 bulan, sekitar 30% penderita demam tidak
mempunyai fokus infeksi yang jelas (bakteremia tersembunyi), tetapi
sebagian besar tidak bakteremik. Infeksi bakteri yang lazim terjadi pada
anak – anak antara usia 3-36 bulan dan mempunyai tanda fokus infeksi yang
jelas adalah pneumonia, meningitis, osteomielitis, gastroenteritis dan infeksi
saluran kencing. Kenaikan insiden bakteremia pada anak usia 3- 36 bulan
sebagian disebabkan oleh defisiensi pematangan imun pada produksi
antibodi IgG opsonik terhadap antigen polisakarida yang terdapat pada
bakteri, dalam penatalaksanaan diberikan antibiotik sebagai tatalaksana
bakteremia tersebut. Sebaliknya, anak-anak > 36 bulan dengan bakteremia
hampir selalu tampak sakit dan memiliki fokus infeksi yang dapat
diidentifikasi (tidak tersembunyi), selain itu proses pematangan innate
imunity mulai berkembang bertahap pada usia ini, baik sistem
23
gastrointestinal, sistem respirasi, fungsi eosinofil, basofil, makrofag dan
lainnya. Hal tersebut meningkatkan kekebalan terhadap infeksi baik
bakteremia maupun virus 22.
Usia pasien diidentifikasi sebagai faktor risiko tambahan yang
signifikan dengan pasien yang lebih muda memiliki risiko yang lebih tinggi
sebagai pembawa Cephalosporin Resistance Enterobacteriaceae. Dalam
sebuah penelitian di Belanda tahun 2013 di pusat penitipan anak, prevalensi
pembawa (carriage) ESBL/AmpC yang dilaporkan secara keseluruhan
adalah 4,5% di antara anak-anak yang berada pada pusat penitipan anak,
setinggi 8,0% di antara mereka yang berusia 1 tahun, dan dengan faktor
risiko terkait dengan kebersihan lingkungan di pusat penitipan anak.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengukur prevalensi pembawa bakteri
penghasil ESBL/AmpC pada anak-anak prasekolah dan orang tua mereka
dan faktor risiko pembawa. Pada penelitian ini, anak usia 1 tahun memiliki
prevalensi yang lebih tinggi (8,0%) dibandingkan dengan kelompok usia
yang lebih tua (4,5%) 23.

b) Perawatan lama
Sebuah Penelitian retrospektif tentang penggunaan antibiotik
khususnya pada bakteri gram negatif di RSAB Harapan Kita membuktikan
lama perawatan yang memanjang mempengaruhi timbulnya resistensi
beberapa bakteri Gram negatif terhadap sefotaksim. Pada hasil didapatkan,
lama perawatan yang memanjang (>7 hari) meningkatkan resistensi bakteri
Gram negatif pada P.Aeruginosa dan Enterobacter. Selama perawatan yang
memanjang di PICU, pasien akan terpapar oleh perputaran beberapa
mikroorganisme yang resisten. Faktor risiko terjadinya infeksi bakteri Gram
negatif di PICU selain lama perawatan yang memanjang, juga bila disertai
pemasangan ventilasi mekanik. Bakteremia mempunyai lama rawat
terpanjang (6 -7 hari), selanjutnya diikuti pneumonia dan infeksi saluran
kemih. E.coli, Klebsiella sp dan Pseudomonas sp merupakan isolat
terpenting di PICU RSAB Harapan Kita (75,9% dari seluruh isolat).
Pseudomonas sp adalah bakteri yang sering diisolasi pada spesimen darah
(33,3%) dan sekret bronkus (39,1%) 18.

24
c) Ventilator sebagai faktor risiko resistensi
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang
didapat di rumah sakit yang terjadi setelah 48 jam pasien mendapat bantuan
ventilasi mekanik, baik melalui pipa endotrakea maupun pipa trakeostomi.
Insiden pneumonia meningkat 3 sampai 10 kali pada pasien dengan ventilasi
mekanik. Ibrahim dkk, membagi VAP menjadi onset dini yang terjadi dalam
empat hari pertama penggunaan ventilasi mekanik dan onset lambat yang
terjadi lima hari atau lebih setelah penggunaan ventilasi mekanik. Sebagian
besar VAP berawal dari aspirasi organisme orofaring ke bronkus distal
kemudian terjadi pembentukan biofilm oleh bakteri diikuti dengan
proliferasi dan invasi bakteri pada parenkim paru. Pada keadaan normal,
organisme di dalam rongga mulut dan orofaring didominasi oleh S. viridans,
Haemophilus species dan organisme anaerob. Air liur yang mengandung
Imunoglobulin A (IgA) dan fibronektin menjaga keseimbangan organisme
rongga mulut, sehingga jarang didapatkan basil gram negatif aerobik. Pada
pasien sakit kritis keseimbangan tersebut berubah, organisme yang dominan
di dalam rongga mulut adalah basil gram negatif aerobik dan
Staphylococcus aureus. Terapi antibiotik diberikan secara empiris
didasarkan kepada mikroorganisme yang menyebabkan VAP pada bayi dan
anak sebelum mendapat etiologi pasti dengan menunggu hasil biakan
penyebab dan uji resistensi terhadap antibiotik. Informasi tentang prevalensi
berbagai bakteri patogen penyebab pneumonia khususnya VAP dan pola
resistensi antibiotik pada pasien anak yang dirawat sangat terbatas 13.

d) Feeding tube
Hurrel pada penelitiannya mencari kolonisasi pada feeding tube di
neonatal menemukan pada neonatal di ruang rawat NICU, Sebanyak 129
feeding tube enteral nasogastrik dikumpulkan dari dua NICU, dengan Empat
pola makan spesifik yang di identifikasi : 'ASI', “fortified breast milk', ' susu
formula siap pakai', dan ' powdered infant formula (PIF) yang dilarutkan',
didapatkan Enterobacteriaceae diisolasi dari sebagian besar (76%) sampel,
dan dari semua pola makan. Penelitian ini menunjukkan bahwa feeding tube
enteral neonatal, bertindak sebagai lokus untuk perlekatan bakteri dan
multiplikasi berbagai patogen oportunistik dalam famili
25
Enterobacteriaceae. Selanjutnya, organisme tersebut akan masuk ke
lambung sebagai bolus dengan setiap kali makan, oleh karena itu selang
makanan enteral merupakan faktor risiko yang penting untuk
dipertimbangkan sehubungan dengan infeksi pada neonatal, Hurrell
menemukan perbedaan yang signifikan antara frekuensi penggantian NGT
(p<0,001) dan pertumbuhan organisme dengan jumlah bakteri maksimum
tercatat pada penggantian NGT lebih dari 48 jam 24.
Anderton dan Nwoguh melakukan penelitian model in-vitro yang
digunakan untuk menentukan jumlah bakteri yang diinfuskan ke 'pasien'
ketika tiga jenis selang makanan enteral poliuretan yang telah secara
eksperimental terkontaminasi dengan makanan yang mengandung K.
aerogenes. Jumlah organisme dalam sampel makanan yang dikumpulkan
dari ujung selang makanan enteral meningkat selama 4 hari, meskipun set
pemberian steril baru dan wadah makanan baru yang berisi makanan steril
dipasang ke setiap tabung (tube) setiap hari pada hari ke 2 sampai 4 25.

e) Kateter urin
Insiden Nosocomial Infection (NI) pada populasi anak adalah 2,5%,
mulai dari 1% untuk perawatan biasa hingga 23,6% untuk perawatan PICU.
Blood Stream Infection (BSI), infeksi saluran kemih (ISK) dan pneumonia
adalah NI yang paling umum dilaporkan dari ICU, dan terkait dengan
peningkatan lama rawat di rumah sakit, morbiditas dan mortalitas.
Penelitian prospektif di India pada 431 pasien yang di rawat inap di ruang
rawat intensif melaporkan kateterisasi dan durasi kateterisasi merupakan
faktor risiko Nosocomial UTI (NUTI). Organisme Gram negatif
mendominasi kelompok bakteri NUTI (22 dari 31, 70,9%) dengan E. coli
menjadi bakteri yang tersering (8/22; 36,3%), diikuti oleh K. pneumoniae.
Ini serupa dengan temuan Langley, dkk yang telah menunjukkan bahwa E.
coli adalah organisme yang paling umum (26%) untuk NUTI diikuti oleh
Candida (19%) dan Enterococcus. Penelitian ini juga menunjukkan tingkat
resistensi antibiotik yang signifikan di antara uropatogen nosokomial. Data
dari CDC juga telah mengungkapkan tren peningkatan resistensi
antimikroba di antara Enterococci (28,5% resisten vankomisin) dan
Klebsiella (resisten sefalosporin generasi ketiga 20,6%). Kolonisasi pada
26
pasien ICU telah diakui sebagai sumber terpenting dari resisten infeksi
Gram-negatif. Telah ditunjukkan bahwa 8,8% pasien PICU di dominasi
dengan organisme Gram-negatif yang resisten dalam 3 hari pertama tinggal
di ICU 26.
Risiko Catheter Associated Urinary Tract Infection (CAUTI) telah
diperkirakan meningkat sebesar 5% untuk setiap hari penggunaan
kateterisasi, terakumulasi menjadi 100% dalam 4 minggu. Semakin lama
kateter tetap in situ, semakin tinggi risiko infeksi. Sebuah tinjauan sistematis
dan meta-analisis efektivitas sistem pengingat untuk mengurangi CAUTI,
penggunaan kateter urin, dan tingkat re-kateterisasi melaporkan bahwa
tingkat CAUTI berkurang 52% dengan penggunaan pengingat atau stop
order. National Institute For Health And Care Excellence (NICE) inggris,
menyebutkan bahwa salah satu terapi nonfarmakologi untuk mencegah
CAUTI adalah mempertimbangkan untuk melepas atau mengganti kateter
sesegera mungkin pada orang dengan ISK terkait kateter jika sudah
terpasang selama lebih dari 7 hari 27.

f) Kateter vena sentral


Central Venous-Catheter‑Related Bloodstream Infection (CRBSI)
didefinisikan sebagai adanya bakteremia yang berasal dari kateter intravena.
Faktor risiko potensial terjadinya CRBSI termasuk penyakit yang
mendasari, metode pemasangan kateter, tempat pemasangan kateter, durasi
dan tujuan pemasangan kateter. Pemberian nutrisi parenteral melalui kateter
intravaskular meningkatkan risiko CRBSI. Hal ini terjadi melalui 4 jalur
patogen yang berbeda seperti kolonisasi ujung kateter, saluran pada
kutaneus dengan flora kulit, kolonisasi pada lumen kateter yang disebabkan
oleh kontaminasi dan kontaminasi lumen kateter dengan infus. Dalam studi
Almuneef tahun 2006 dari total 50 kejadian CRBSI, 48% bersifat
polimikroba, 32% disebabkan oleh basil Gram negatif, dan 10% disebabkan
oleh organisme Gram positif. Organisme yang paling banyak diisolasi
adalah Klebsiella pneumoniae 16%, stafilokokus koagulase-negatif 14%,
dan Pseudomonas aeruginosa 11% 28.
CVC yang menetap merupakan faktor risiko independen untuk
kolonisasi CRE. Dalam situasi outbreak, keberadaan CVC telah
27
diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk isolasi Enterobacteriaceae yang
resisten. Untuk CVC jangka pendek (<10 hari), paling sering dikolonisasi
oleh organisme kulit di sepanjang permukaan luar kateter, sistem
pencegahan yang paling penting adalah sistem yang mengurangi
kontaminasi ekstraluminal. Sebaliknya, dengan CVC jangka panjang (>10
hari), penyebaran endo luminal tampaknya menjadi mekanisme utama
infeksi 28.

g) Penggunaan antibiotik sebelumnya


Paparan penggunaan antibiotik merupakan faktor yang sangat berperan
terhadap kejadian ESBL. Sefalosporin generasi III, kuinolon serta
aminoglikosida dikatakan mampu menginduksi gen ESBL .Penggunaan
antibiotik kombinasi juga merupakan faktor yang berperan terhadap
kejadian ESBL. Sebuah studi di Amerika menyebutan penggunakan
kombinasi terapi antibiotik sefalosporin dan aminoglikosida sebelumnya
meningkatkan risiko hingga 10 kali untuk terjadi infeksi bakteri penghasil
ESBL. Lama penggunaan antibiotik lebih dari 7 hari dikatakan juga
merupakan faktor risiko terhadap kejadian ESBL. Beberapa faktor risiko
yang disebutkan oleh Park dkk dalam penelitiannya pada semua pasien
bakteremia di rumah sakit Korea sejak Januari 2005 hingga Maret 2009
menyebutkan bahwa perawatan lama di Rumah sakit dan penggunaan
kuinolon dan sefalosporin generasi ketiga dalam 3 bulan terakhir selama
tinggal di rumah sakit meningkatkan infeksi ESBL 14.

28
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Critical ilnees

Ruang rawat intensif

Usia Imunitas Bakteri Non ESBL

Kateter intravena

Kolonisasi bakteri Infeksi Penggunaan antibiotik


Feeding tube gram negatif Enterobacteriaceae sefalosporin

Kateter urin Mutasi gen

Bakteri ESBL
Selang ET

Ventilator

Aspirasi Antibiotik
mikrooganisme selective pressure

Jenis antibiotik

Penggunaan antibiotik
sebelumnya
Lama antibiotik

Paparan
Perawatan Lama
mikroorganisme yang sudah resisten

Gambar 6. Kerangka teori


29
3.2 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Usia

Perawatan lama
Resisten Sefalosporin
Generasi III pada bakteri ESBL
Ventilator

Feeding tube Resisten Sefalosporin


Generasi III pada bakteri Non ESBL
Kateter urin

Kateter vena sentral

Penggunaan
Antibiotik
sebelumnya

Gambar 7. Kerangka konsep

3.3 Hipotesis

3.3.1. Hipotesis Mayor


Usia, perawatan lama, penggunaan ventilator, penggunaan feeding tube,

penggunaan kateter urin, penggunaan kateter vena sentral, penggunaan antibiotik

sebelumnya merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya resistensi

sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase

spetrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

30
3.3.2. Hipotesis Minor

1. Usia merupakan faktor risiko terjadinya resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi

Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif

anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

2. Perawatan lama merupakan faktor risiko terjadinya resistensi sefalosporin generasi III

pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat

intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

3. Penggunaan ventilator dan selang Endotrakeal merupakan faktor risiko terjadinya

resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta

laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

4. Penggunaan feeding tube merupakan faktor risiko terjadinya resistensi sefalosporin

generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di

ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

5. Penggunaan kateter urin merupakan faktor risiko terjadinya resistensi sefalosporin

generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di

ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

6. Pemakaian kateter vena sentral merupakan faktor risiko terjadinya resistensi

sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase

spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

7. Penggunaan antibiotik sebelumnya merupakan faktor risiko terjadinya resistensi

sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase

spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

31
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Ruang Lingkup Penelitian

4.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan

Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak,

Divisi Infeksi, Divisi Emergensi Rawat Intensif Anak, dan Bagian Mikrobiologi.

4.1.2 Ruang Lingkup Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Semarang. Pengambilan sampel dilakukan di RSUP.

Dr. Kariadi ruang rawat intensif Anak melalui Rekam Medik Januari 2018 -

Desember 2021.

4.2. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional dengan

desain kasus kontrol (Case Control), yakni suatu penelitian survei analitik yang

menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan

retrospektif. Peneliti menggunakan data sekunder yang berupa data Rekam Medik RSUP.

Dr. Kariadi Semarang mulai Januari 2018 hingga Desember 2021, dari data sekunder

tersebut peneliti ingin mengetahui faktor risiko yang berpengaruh terhadap resistensi

sefalosporin generasi III oleh bakteri Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase

spetrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang. Dalam penelitian

ini, mengidentifikasi hasil kultur kemudian dihubungkan dengan faktor risiko yakni usia,

perawatan lama, penggunaan ventilator, penggunaan feeding tube, penggunaan kateter

urin, penggunaan kateter vena sentral, dan riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya.

32
Rancangan penelitian :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Usia

Perawatan lama
Resistensi Sefalosporin
Generasi III pada bakteri ESBL
Ventilator

Feeding tube Resisten Sefalosporin


Generasi III pada bakteri Non ESBL
Kateter Urin

Kateter vena sentral

Penggunaan
Antibiotik
sebelumnya

Gambar 8. Rancangan penelitian

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi target

Populasi target adalah semua anak yang mengalami resistensi sefalosporin generasi III

akibat infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas.

33
Populasi terjangkau

Populasi terjangkau semua anak yang mengalami resistensi sefalosporin generasi III

akibat infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas yang dirawat

di ruang rawat intensif anak di RSUP. Dr. Kariadi Januari 2018 hingga Desember 2021

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah semua anak yang mengalami resistensi sefalosporin generasi

III akibat infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas yang

dirawat di ruang rawat intensif anak di RSUP. Dr. Kariadi Januari 2018 hingga

Desember 2021 yang memenuhi kriteria inklusi :

4.3.2.1 Kriteria inklusi

1. Kasus :

a. Anak berusia 1 bulan sampai 18 tahun.


b. Dilakukan kultur dengan hasil pertumbuhan kuman

Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas.

c. Resisten sefalosporin generasi III dari hasil kultur dengan

pertumbuhan kuman Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase

spektrum luas.

2. Kontrol :

a. Anak berusia 1 bulan sampai 18 tahun

b. Resisten sefalosporin generasi III dari hasil kultur dengan

pertumbuhan kuman Non Enterobacteriaceae penghasil beta

laktamase spektrum luas.

4.3.2.2 Kriteria eksklusi

a. Data dari pencatatan medik tidak lengkap

34
4.3.2.3 Cara Pengambilan Sampel

Pemilihan sampel diambil secara total sampling yaitu semua subyek yang

memenuhi kriteria inklusi dipilih sebagai sampel.

4.3.2.4 Besar Sampel

Perhitungan besar sampel minimal dilakukan dengan mengambil

perhitungan sampel untuk data ketegorial dengan analitik tidak berpasangan

dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal kelompok kasus dan kontrol

P1 = proporsi efek pada kasus = 0,54

P2 = proporsi efek pada kontrol = 0,53

P = ½ (P1+P2) = 0,53

Q1 = 1-p1 = 0,36

Q2 = 1-p2 = 0,47

Q = 1-P = 0,46

α = kesalahan tipe I, ditetapkan 5%, sehingga Z1-α/2 = 1,96

β = kesalahan tipe II, ditetapkan 20% sehingga Z1-β = 0,842

OR = Odds ratio

Nilai P2 adalah perkiraan proporsi kasus anak yang resisten sefalosporin


generasi III pada infeksi Non ESBL yang dirawat di ruang rawat intensif yaitu
sebesar 53 % (data diambil dari Penelitian di ruang rawat intensif anak di RSAB
Harapan Kita yang menunjukan Sensitifitas terhadap sefalosporin generasi

35
ketiga umumnya rendah (35,3%–53%) untuk isolat Enterobacter sp dan
Klebsiella sp) 18.

Nilai P1 adalah perkiraan proporsi efek pada kasus resisten sefalosporin


generasi III pada infeksi ESBL yang dirawat di ruang rawat intensif yaitu
sebesar 54 % (data diambil dari penelitian yang dilakukan di ruang ICU Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun 2011, dari 112 isolat yang dianalisis
diketahui prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil beta-laktamase
khususnya ESBL sangat tinggi, merupakan isolat terbanyak sekitar 54,46% /61
isolat).

Hasil perhitungan :

n1=n2=[1,96 √2 (0,53)(0,46) + 0,842 √((0,54)(0,46) ) + (0,53)(0,47)] 2

(0,54-0,53) 2

n = 40 sampel

besar sampel minimal dari perhitungan rumus diatas yang dipakai dalam

penelitian ini sebanyak 40 sampel anak dalam setiap kelompok, sehingga total

sampel adalah 80.

4.4. Variabel Penelitian

4.4.1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah usia, perawatan lama, penggunaan

ventilator, penggunaan feeding tube, penggunaan kateter urin, penggunaan kateter

vena sentral, penggunaan antibiotik sebelumnya.

4.4.2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitan ini adalah resistensi sefalosporin generasi III pada

baketeri ESBL dan Non ESBL.

36
4.5. Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi operasional

No Parameter Defenisi operasional Cara ukur Skala

1 Resistensi Hasil uji sensitivitas pada antibiogram Dikelompokkan menjadi 2 Nominal


untuk sefalosporin generasi III yang yaitu:
terhadap
dipakai di unit rawat intensif anak yaitu 1. ESBL
sefalosporin
seftriakson, sefotaksim dan seftazidim 2. Non ESBL
generasi III pada infeksi oleh Enterobacteriaceae
penghasil betalaktamase spektrum luas
(Eschericia coli dan Klebsiella
pnemoniae)

2 Usia Usia subyek 1 bulan sampai 18 tahun, Dihitung berdasarkan Ordinal

saat pengumpulan data dan dinyatakan tanggal lahir.

dalam tahun. Dikelompokkan menjadi

kelompok usia:

1. (1 bulan – ≤ 3 bulan)

2. (3 bulan – ≤ 3 tahun)

3. (3 tahun – 18 tahun)

3 Perawatan Jumlah hari perawatan sejak pasien Dibedakan menjadi: Nominal

lama dirawat RS. Dikatakan perawatan lama 1. Ya

bila hari perawatan lebih dari atau sama 2. Tidak

dengan 9 hari.

4 Riwayat Riwayat pemasangan selang Diklasifikasikan menjadi : Nominal

penggunaan endotrakeal atau penggunaan ventilator 1. Ya

ventilator lebih dari 48 jam 2. Tidak

5 Riwayat Prosedur memasukan selang feeding Diklasifikasikan menjadi: Nominal

penggunaan tube melalui hidung maupun mulut 1. Ya

Feeding tube menuju lambung lebih dari 5 hari 2. Tidak

37
6 Riwayat Prosedur untuk memasukkan selang Diklasifikasikan menjadi: Nominal

penggunaan kateter melalui uretra menuju vesica 1. Ya

Kateterisasi urinaria lebih dari 7 hari. 2. Tidak

urin

7 Riwayat Prosedur untuk memasukkan kateter Diklasifikasikan menjadi: Nominal

penggunaan vena sentral lebih dari 10 hari 1. Ya

kateter vena 2. Tidak

sentral

8 Riwayat Riwayat menggunakan antibiotik Diklasifikasikan menjadi : Nominal

penggunaan sefalosporin generasi III (seftriakson, 1. Ya

antibiotik sefotaksim dan seftazidim) dan 2. Tidak

sebelumnya aminoglikosida sebelumnya dalam 3

bulan

38
4.6. Cara Pengumpulan Data

4.6.1 Alur peneltian

Semua anak yang dirawat di ruang


rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi

Resisten sefalosporin generasi III Resistensi sefalosporin generasi III


Penghasil ESBL Penghasil Non ESBL

Identifikasi faktor risiko

• Usia
• Perawatan lama
• Ventilator
• Feeding tube
• Kateter urin
• Kateter vena sentral
• Penggunaan antibiotik
sebelumnya

Pengumpuluan dan pengelompokan data

Analisis data

Penyampaian hasil penelitian

Gambar 9. Alur penelitian

39
4.6.2 Tata cara pelaksanaan penelitian

1. Pengambilan data hasil kultur dilakukan dengan menggunakan data yang berasal

dari bagian Mikrobiologi RSUP. Dr. Kariadi Semarang. Pengambilan sampel

kultur dilakukan di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang

kemudian diperiksa dengan menggunakan VITEK untuk menentukan bakteri

penghasil ESBL atau bukan serta dilakukan uji sensitivitas.

2. Hasil kultur yang menunjukan pertumbuhan kuman Enterobacteriaceae penghasil

beta laktamase spektrum luas dimasukan dalam sampel penelitian. Dari data

sensitifitas hasil kultur tersebut, data diidentifikasi dan dikelompokan menjadi

ESBL dan Non ESBL terhadap antbiotik sefalosporin generasi III.

3. Penelitian selanjutnya dilakukan ke Rekam Medik RSUP. Dr. Kariadi Semarang

untuk menelusuri faktor risiko. Data diidentifikasi dan pencatatan usia, perawatan

lama, riwayat penggunaan ventilator, riwayat penggunaan feeding tube, riwayat

penggunaan kateter urin, riwayat penggunaan kateter vena sentral, riwayat

penggunaan antibiotik sebelumnya.

4. Semua data yang terkumpul akan dianalisis dengan SPSS versi 16.0

4.6.3 Pengolahan data

Data dicatat dalam format khusus pada penelitian, kemudian dilakukan

pemeriksaan kebenaran dan kelengkapan data (data cleaning). Data yang diperoleh

kemudian di editing, coding, serta tabulasi dan dimasukan kedalam komputer (data

entry).

Analisa data meliputi analisa deskriptif dan uji hipotesis. Uji hipotesis

menggunakan uji χ2 untuk mengetahui besaran variabel bebas yang berpengaruh

terhadap variabel terikat, karena kedua jenis variabel berskala nominal.

40
Besar risiko terhadap kejadian resistensi sefalosporin generasi III pada bakteri
Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas dinyatakan sebagai nilai
Rasio Odd (Odds Ratio = OR) dan 95 % CI.

Untuk menganalisis menentukan variabel apa yang paling dominan sebagai


penyebab (faktor risiko) kejadian infeksi bakteri penghasil ESBL dilakukan uji regresi
log multivariat.

4.9. Ethical Clearance

Penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan informasi mengenai maksud

penelitian. Hasil dari penelitian ini akan dijaga kerahasiannya. Kajian Etik (Ethical clearance)

diajukan untuk mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

41
BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran umum


Penelitian observasional dengan desain case control telah dilaksanakan pada bulan
Januari 2018 – Desember 2021. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat intensif anak RSUP
Dr. Kariadi Semarang melalui penelusuran data rekam medik. Selama periode penelitian
ini didapatkan hasil 111 pasien yang di rawat di ruang rawat intensif anak RSUP. DR.
Kariadi Semarang dengan hasil kultur infeksi bakteri E.coli dan Klebsiella pneumonia.
Infeksi ESBL ditemukan sebanyak 71 pasien dan Non ESBL sebanyak 40 pasien. Data
hasil kultur infeksi bakteri ESBL pada pasien anak di ruang rawat intensif anak didapatkan
dari bagian Mikorbiologi RSUP. Dr. Kariadi Semarang, kemudian dilakukan penelusuran
faktor risiko melalui rekam medik. Tidak ada subyek penelitian yang memenuhi kriteria
eksklusi. Karakteristik subyek penelitian secara keseluruhan ditampilkan pada tabel 3.

Pemeriksaan hasil kultur


Didapatkan hasil kultur infeksi bakteri E.coli dan Klebsiella pneumonia
(n = 111 pasien)

Pasien yang dirawat di ruang rawat intensif anak

Resistensi sefalosporin generasi III Resistensi sefalosporin generasi III


penghasil ESBL penghasil Non ESBL
(n = 71 pasien) (n = 40 pasien)

Pencarian faktor risiko

Pengolahan dan analisis data

Gambar 10. Gambaran umum pelaksanaan penelitian

42
Karakteristik dasar subyek
Pada hasil penelitian, didaptkan frekuensi anak yang mengalami infeksi
Enterobacteriacea penghasil ESBL lebih tinggi 64% dibanding Non ESBL 36%. Jenis
kelamin perempuan didapatkan 58 (52,3%) anak terinfeksi Enterobacteriacea dari total
sampel. Rerata usia anak yang terinfeksi bakteri ESBL yang dirawat di ruang rawat
intensif anak berusia 3 bulan hingga ≤ 3 tahun (45%). Frekuensi lama rawat yang
memanjang lebih dari 9 hari didapatkan 68 (61,3%) anak.

Selama perawatan di ruang rawat intensif anak, rata – rata pasien menggunakan
alat invasif. Penggunaan ventilator lebih dari 2 hari (55,9%), penggunaan selang feeding
tube lebih dari 5 hari (99%), penggunaan kateter urin lebih dari 7 hari (61,3%), penggunaan
kateter vena sentral lebih dari 10 hari (68,5%), dan riwayat penggunaan antibiotik
sefalosporin generasi III (73%). Data disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik dasar penelitian


Variabel Frekuensi %
Sensitifitas sefalosporin gen. III
ESBL 71 64,0
Non ESBL 40 36,0
Jenis kelamin
Laki-laki 53 47,7
Perempuan 58 52,3
Usia
1 bulan – ≤ 3 bulan 22 19,8
3 bulan – ≤ 3 tahun 50 45,0
3 tahun – 18 tahun 39 35,1
Perawatan lama
> 9 hari 68 61,3
≤ 9 hari 43 38,7
Penggunaan ventilator
> 2 hari 62 55,9
≤ 2 hari 49 44,1
Penggunaan NGT
> 5 hari 110 99,1
≤ 5 hari 1 0,9
Penggunaan kateter urin
> 7 hari 68 61,3
≤ 7 hari 43 38,7
Penggunaan CVC
> 10 hari 76 68,5
≤ 10 hari 35 31,5
Antibiotik
Cefalosporin 81 73,0
Aminoglikosida 67 60,4

43
Tabel 4. Etiologi bakteri Enterobacteriaceae
Jenis Bakteri Frekuensi %

E.Coli 46 41,4
K.Pneumoniae 65 58,5

Identifikasi jenis bakteri Enterobacteriaceae yang terisolat di ruang rawat intensif


anak dilakukan untuk mengetahui pola kuman khususnya bakteri Gram negatif di ruang
rawat intensif anak. Pada tabel 4 didapatkan frekuensi K.pneumonia lebih tinggi (58%)
dibandingkan E.coli (41,4%).

Tabel 5. Jenis sampel pada bakteri yang terisolat

Jenis Sampel Frekuensi %


Escherichia coli
Urin 18 39
Sputum 12 26
Pus 8 17
Darah 7 15
Jaringan - 0
LCS 1 2

Klebsiella pneumoniae
Urin 10 15
Sputum 39 60
Pus 1 1,5
Darah 13 20
Jaringan 1 1,5
LCS 1 1,5

Bakteri E.coli dan K. pneumoniae merupakan jenis Enterobacteriacea yang


didapatkan paling banyak sebagai penyebab resistensi sefalosporin generasi III di ruang
rawat intensif anak. Sebanyak 28 sampel urin dilakukan uji kultur dan sensitifitas, hasilnya
didapatkan 18 sampel urin ditemukan bakteri E.coli dan 10 sampel urin didapatkan bakteri
K. pneumoniae. Sedangkan pada pemeriksaan sampel sputum, K. pneumoniae didapatkan
39 sampel dan hanya 12 sampel sputum ditemukan E.coli. Data disajikan pada tabel 5.

44
5.3 Hubungan antar variabel
Tabel 6. Hubungan antar variabel yang berpengaruh terhadap resistensi sefalosporin gen. III
Sensitifitas sefalosporin
Variabel generasi III p OR (95% CI)
ESBL Non ESBL
Jenis kelamin
Laki-laki 35 (66) 18 (34) 0,813¥ 1,19 (0,55 – 2,59)
Perempuan 36 (62,1) 22 (37,9)
Usia
1 bulan – ≤ 3 bulan 16 (72,7) 6 (27,3) 0,479¥ 1,65 (0,59 – 4,62)
3 bulan – ≤ 3 tahun 30 (60) 20 (40) 0,556 ¥
0,73 (0,34 – 1,59)
3 tahun – 18 tahun 25 (64,1) 14 (35,9) 1,000¥ 1,01 (0,45 – 2,27)
Perawatan lama
> 9 hari 46 (67,6) 22 (32,4) 0,416¥ 1,51 (0,68 – 3,32)
≤ 9 hari 25 (58,1) 18 (41,9)
Ventilator
> 2 hari 44 (71) 18 (29) 0,126¥ 1,99 (0,91 – 4,37)
≤ 2 hari 27 (55,1) 22 (44,9)
NGT
> 5 hari 71 (64,5) 39 (35,5) 0,360£ –
≤ 5 hari 0 (0) 1 (100)
Kateter urin
> 7 hari 45 (66,2) 23 (33,8) 0,684¥ 1,28 (0,58 – 2,82)
≤ 7 hari 26 (60,5) 17 (39,5)
CVC
> 10 hari 52 (68,4) 24 (31,6) 0,219¥ 1,83 (0,80 – 4,15)
≤ 10 hari 19 (54,3) 16 (45,7)
Antibiotik
Cefalosporin 57 (70,4) 24 (29,6) 0,037¥* 2,71 (1,15 – 6,42)
Aminoglikosida 44 (65,7) 23 (34,3) 0,795 ¥
1,21 (0,55 – 2,65)
Keterangan : * Signifikan (p < 0,05); ¥ Yates Correction; £ Fisher’s exact

Pada analisis bivariat, variabel penggunaan alat invasif tidak menunjukan korelasi
signifikan pada infeksi bakteri ESBL, penggunaan ventilator (p = 0,126), feeding tube (p
= 0,36), kateter urin (p = 0,684), CVC (p = 0,219), demikian juga pada analisis variabel
usia muda (p = 0,520) dan perawatan lama (p = 0,416). Namun, riwayat penggunaan
antibiotik sefalosporin generasi III pada pasien anak sakit kritis yang di rawat di ruang
rawat intensif anak berhubungan kuat dengan infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas dengan p = 0,037 (p < 0,05) dan odds ratio 2,7, dengan 95% CI
yaitu 1,15 – 6,42. Hasil analisis disajikan pada tabel 6.

45
Regresi logistik dilakukan untuk mencari faktor yang paling berpengaruh
signifikan terhadap infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas.

Tabel 7. Uji regresi logistik terhadap resistensi sefalosporin gen. III


Variabel p OR 95% CI Keterangan

Penggunaan ventilator 0,111 1,925 0,861 – 4,301 Tidak signifikan

Penggunaan CVC 0,477 1,374 0,573 – 3,296 Tidak signifikan

Antibiotik Cefalosporin 0,023 2,714 1,147 – 6,423 Signifikan

Berdasarkan tabel diatas analisis menunjukan riwayat penggunaan antibiotik


sefalosporin generasi III merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh signifikan
terhadap infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas (p = 0,023 ;
OR 2,714, 95% CI 1,147 – 6,423). Data disajikan pada tabel 7.

46
BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2022 sampai Mei 2022. Total sebanyak 111
data anak yang di rawat di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang yang
terinfeksi bakteri Enterobacteriaceae dikumpulkan melalui data rekam medik dan hasil kultur
dari mikrobiologi. Tidak didapatkan data yang memenuhi kriteria eksklusi sehingga semua
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dimasukan dalam penelitian.

6.1 Variabel usia terhadap resistensi sefalosporin generasi III


Usia muda (1 bulan - ≤ 3 bulan) merupakan usia risiko tinggi terjadinya infeksi.
Risiko infeksi pada usia muda sangat dipengaruhi oleh sistem imunitas yang sebagian besar
dipengaruhi oleh mikrobiota. Saat bayi dilahirkan, paparan floral normal dari ibu pada
proses persalinan akan merangsang perkembangan mikrobiota tersebut, proses
perkembangan yang baik pada periode perinatal merupakan kunci untuk meningkatkan dan
menjaga sistem imunitas bayi 29.
Pada hasil penelitian yang telah dilakukan, kejadian infeksi Enterobacteriaceae
penghasil ESBL diruang rawat intensif anak RSUP Dr. kariadi meningkat pada usia 3 bulan
hingga usia < 3 tahun, sebanyak 45%. Hasil ini tidak dapat membuktikan bahwa usia muda
(1 bulan hingga kurang dari 3 bulan) meningkatkan risiko terjadinya resistensi sefalosporin
generasi III oleh infeksi Enterobacteriaceae. Pada anak usia 3 bulan hingga usia < 3 tahun
sering tidak ditemukan fokus infeksi yang jelas (bakteremia tersembunyi), penggunaan
antibiotik sering dijadikan pilihan utama dalam penatalaksanaannya. Paparan antibiotik
sejak usia dini ini akan menekan dan menghambat perkembangan mikrobiota dimana
mikrobiota saluran cerna masih berperan besar dalam status imunitas. Paparan antibiotik
tersebut secara terus menerus akan menginduksi mutasi gen penyandi enzim beta laktamase
pada bakteri tersebut. Perkembangan sistem imunitas lainnya (sistem gastrointestinal,
sistem respirasi, fungsi eosinofil, basofil, makrofag dan lainnya) mulai berkembang
bertahap saat usia 3 tahun 30.
Penelitian sebelumya menunjukan hasil dan rentang usia yang berbeda – beda.
Penelitian Norouzi dkk, mencari faktor risiko kejadian ESBL dan CPE pada 8605 anak
berusia 0 bulan - 16 tahun. Risiko infeksi ESBL dan CPE meningkat pada usia 1 - 5 tahun,
sebanyak 3177 anak. Norouzi menyatakan usia muda tidak berpengaruh terhadap risiko
infeksi ESBL, melainkan riwayat perawatan sebelumnya, lama penggunaan antibiotik

47
sefalosporin, dan riwayat kolonisasi sebelumnya. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh Marit
G. Tellevik, dkk, yang mencari prevalensi feses sebagai pembawa ESBL-PE dan
identifikasi faktor risiko pembawa (carriage) pada anak-anak dibawah usia 2 tahun di
Tanzania. Marit menemukan usia 0-3 bulan berisiko 9 kali lebih mudah terinfeksi ESBL.
Hal ini mungkin terkait transmisi saat perawatan atau strain resisten yang ditularkan dari
ibu ke bayi, faktor risiko lain yang ditemukan adalah status infeksi HIV anak dan
penggunaan antibiotik lebih dari 14 hari sebagai faktor independen terkait dengan pembawa
ESBL, subyek penelitian membandingkan pada anak yang dirawat di Rumah sakit dan anak
yang berada di luar Rumah sakit 31, 32.

Perbedaan Ruang lingkup pengambilan sampel dengan peneliti memungkinan


perbedaan hasil. Pada penelitian ini, sampel didapatkan di ruang rawat intensif anak
dimana kontrol transmisi terhadap bakteri yang mengalami resisten menjadi prioritas
dalam pengelolaan pasien dan penggunaan antibiotik diberikan dengan pertimbangan tim
pengendali resistensi antibiotik RSUP Dr. Kariadi.

6.2 Variabel perawatan lama terhadap resistensi sefalosporin generasi III.


Beberapa penelitian telah membuktikan perawatan lama terkait dengan kejadian
infeksi ESBL. Hal ini diduga selama perawatan di ruang rawat intensif, pasien mendapat
paparan berulang antibiotik dan bakteri yang mengalami mutasi, sehingga terjadi resistensi
anitbiotik 18. Pada perawatan di ruang rawat intensif anak RSUP Dr. kariadi, rata-rata lama
perawatan adalah 9 hari dan dikatakan perawatan memanjang jika anak dirawat lebih dari
9 hari. Hasil penelitian ini didapatkan 68 anak yang dirawat lebih dari 9 hari diruang rawat
intensif anak dan yang mengalami infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL sebanyak
46 anak. Namun, hasil analisis menunjukan perawatan lama tidak berhubungan dengan
kejadian resistensi sefalopsorin generasi III pada infeksi ESBL-PE.

Hasil berbeda ditunjukan oleh Amar Widiano dan Alan Tumbaleka di PICU RSAB
Harapan Kita tahun 2002 yang menyatakan lama perawatan yang memanjang (>7 hari)
dan penggunaan sefotaksim lebih dari 5 hari meningkatkan risiko resistensi bakteri Gram
negatif pada P.aeruginosa dan Enterobacter sp, diduga selama perawatan di PICU pasien
akan terpapar oleh perputaran beberapa bakteri yang telah mengalami resisten. Hipotesa
lain menyatakan penggunaan antibiotik profilakasis yang tidak adekuat berhubungan
dengan peningkatan angka rawat inap yang lama 18. Perbedaan tahun penelitian dengan
peneliti memungkinkan program pengendalian resistensi antibiotik di RSAB Harapan Kita

48
belum berjalan, sehingga penggunaan antibiotik lama, profilaksis antibiotik yang tidak
adekuat dan perawatan lama masih cukup tinggi.

Untuk mengurangi lama perawatan, langkah Protective isolation telah diterapkan


oleh RSUP Dr. Kariadi dan dilakukan segera pada pasien yang terdeteksi berisiko tinggi
pembawa ESBL. Pengambilan kultur dan profilaksis antibiotik yang adekuat segera
dilakukan pada pasien yang beresiko tinggi pembawa ESBL, penyesuaian antibiotik segera
dilakukan oleh tim pengendali resistensi antibiotik yang disesuaikan dengan hasil uji kultur
dan sensitifitas. RSUP Dr. Kariadi juga memiliki regulasi ketat menjaga higienitas
pemasangan dan penggantian alat invasif sebagai strategi pencegahan resistensi 33.

6.3 Variabel penggunaan ventilator terhadap resistensi sefalosporin generasi III.


Pengguaan ventilator mekanis merupakan kondisi serius pada pasien anak yang
dirawat di ruang rawat intensif dan terkait dengan sejumlah faktor risiko, salah satunya
kejadian VAP akibat penggunaan ventilator lebih dari 48 jam. Pada penelitian sebelumnya
riwayat penggunaan ventilator didapatkan hasil bermakna signifikan terhadap kejadian
infeksi ESBL, sebaliknya hasil penelitian ini menunjukan terdapat 62 pasien yang
menggunakan ventilator lebih dari 48 jam, 44 diantaranya terinfeksi bakteri ESBL-PE,
namun hasil analisis menunjukan riwayat penggunaan ventilator tidak berpengaruh
terhadap resistensi sefalosporin generasi III.
Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian. Zaoutis dkk, pada penelitiannya
yang menilai faktor risiko dan luaran BSI yang disebabkan infeksi ESBL pada pasien sepsis
anak. Beberapa faktor risiko telah diidentifikasi dan dianalisis, hasil penelitian didapatkan
penggunaan ventilator mekanis tidak menjadi faktor risiko BSI yang disebabkan oleh
infeksi ESBL, namun paparan antibiotik sefalosporin generasi III dalam 30 hari sebelum
kejadian infeksi merupakan risiko bakteremia oleh infeksi ESBL. Hal ini juga ditegaskan
oleh Silvana vargas pada penelitiannya yang mencari faktor risiko BSI dan mortalitas oleh
infeksi ESBL, dimana penggunaan ventilator tidak berhubungan dengan faktor risiko BSI
dan mortalitas akibat infeksi ESBL 34, 35.
Dari penelitian diatas dapat disimpukan kejadian VAP pada penggunaan ventilator
lebih dari 48 jam, tidak meinginduksi kolonisasi yang berisiko terjadinya resistensi. Namun
hal ini tidak terlepas dari upaya pencegahan infeksi yang telah dilakukan oleh tenaga medis
untuk menurunkan kejadian VAP di RSUP Dr. Kariadi, antara lain menjaga kebersihan
tangan tenaga medis dan pasien, asepsis ketat untuk prosedur invasif, mengangkat kepala
tempat tidur (Bed Head lift) 35-400, menghindari penggunaan agen pengubah pH lambung

49
(Stress Ulcer Prophylaxis), menjaga kebersihan mulut, menghindari penggunaan obat
relaksasi dan sedasi berkepanjangan, penggunaan selang endotracheal tube yang tepat,
pengetahuan tentang sensitivitas patogen lokal serta kebijakan antimikroba yang memadai
oleh tim pengendali resisntensi antibiotik di Rumah sakit 36.
6.4 Variabel penggunaan feeding tube terhadap resistensi sefalosporin generasi III
Pengidentifikasian faktor resiko terhadap infeksi oleh bakteri penghasil ESBL sangat
penting dalam mencegah penyebaran ESBL. Kolonisasi pada feeding tube memungkinkan bakteri
memasuki saluran pencernaan dan berpotensi meningkatkan risiko resistensi terhadap antibiotik.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 111 pasien yang terpasang feeding
tube, didapatkan hasil bahwa sebanyak 71 anak terinfeksi bakteri ESBL. Namun pada analisis
ditemukan penggunaan feeding tube tidak berpengaruh terhadap resistensi sefalosporin generasi
III. Hasil ini serupa dengan penelitian Wan-Lin Tsai yang menemukan risiko bakteremia oleh infeksi
E.coli penghasil ESBL pada populasi anak dan dewasa, dikatakan penggunaan feeding tube tidak
berhubungan dengan kejadian bakteremia oleh infeksi E.coli penghasil ESBL 37.
Kebanyakan hasil penelitian sebelumnya menunjukan hasil yang berbeda. Salah satunya,
Selastri Agnes, dkk menyebutkan penggunaan selang feeding tube merupakan salah satu faktor
risiko infeksi E.coli dan K.penumonia penghasil ESBL pada pasien anak di RSUP H. Adam Malik
Medan. Risiko ini dikarenakan pemasangan alat invasif seperti selang kateter vena perifer, kateter
urin, dan feeding tube lebih sering dilakukan oleh paramedis dan kemungkinan kurang sterilnya
peralatan yang digunakan 38.
Pedoman standar prosedur pemasangan alat medis di RSUP Dr. Kariadi mengatur
pemasangan feeding tube yang dilakukan oleh paramedis menerapkan standar precaution yang
ketat. Selain itu kolonisasi pada ujung selang feeding tube dan dysbiosis juga memainkan peran
penting dalam terjadinya resistensi, Pembilasan selang feeding tube untuk mengurangi residu
pada permukaan interior feeding tube, dan pengecekan sisa makanan pada isi lambung (aspirasi
lambung) dilakukan hanya pada kondisi tertentu dan tidak rutin dilakukan pada setiap pasien saat
hendak pemberian makanan, sehingga tidak terbentuk kolonisasi pada selang dan terjadinya
dysbiosis 39.
6.5 Variabel penggunaan kateter urin terhadap resistensi sefalosporin generasi III
Nosocomial urinary tract infection (NUTI) merupakan salah satu infeksi yang
paling sering terjadi di ruang rawat intensif anak. Brindha, dkk membuktikan bahwa
bakteriuria nosokomial terjadi pada 25% pasien yang membutuhkan kateter urin selama >7
hari dan temuan bakteri telah menunjukan resisten, antara lain Enterococus (28,5% resisten
vankomisin), E.coli dan K.pneumonia (20,6% resisten sefalosporin generasi III). Pemilihan

50
antibiotik dan atau dosis yang tidak tepat kemungkinan meningkatkan terjadinya resistensi
40
.
Pada penelitian ini, didapatkan 68 anak menggunakan kateter urin > 7 hari dan 45
anak terinfeksi bakteri Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Namun hasil analisis
menunjukan penggunaan kateter urin > 7 hari tidak berhubungan dengan resistensi
sefalosporin generasi III. Lisa Degnan, juga menegaskan penggunaan kateter urin bukan
merupakan salah satu faktor risiko bakteria dari isolat urin pada anak, melainkan
penggunaan CVC, riwayat penggunaan antibiotik (sefalosporin generasi III, vankomisin)
dan penggunaan kortikosteroid 41.

Resisten antibiotik tidak dapat sepenuhnya dihindari, dibutuhkan langkah efektif


untuk mengurangi tingginya angka resisten, untuk itu RSUP Dr. kariadi telah memiliki tim
pengendalian resisten antibiotik RS sehingga penggunaan antibiotik lebih rasional. Selain
itu pedoman standar prosedur tentang teknik aseptik mengenai sterilisasi dan disinfeksi
perangkat medis, menerapkan protokol kebersihan tangan yang benar, penggantian katater
urin setiap 7 hari dilakukan dengan ketat. Pengurangan kebutuhan akan prosedur invasif,
pemilihan bahan kateter urin juga terbukti dapat mengurangi kejadian kolonisasi pada
penggunaan alat invasif. RSUP dr. Kariadi memilih menggunakan kateter urin berbahan
latex yang diketahui memiliki ketahanan terhadap kolonisasi, dan dapat digunakan lebih
lama (hingga 28 hari).

6.6 Variabel penggunaan kateter vena sentral terhadap resistensi


sefalosporin generasi III.
Perawatan di ruang rawat intensif tidak terlepas dari penggunaan alat invasif, salah
satu yang umum digunakan adalah kateter vena sentral. Penggunaan alat ini meningkatkan
risiko Central Line Associated Bloodstream Infection (CLABSI) yang akan menyebabkan
perawatan lama, sepsis dan resistensi antibiotik di ruang rawat intensif. Ziad, dkk
menemukan kejadian infeksi oleh CLABSI sebanyak 60% pada pasien yang di rawat di
ruang rawat intensif anak, diikuti VAP dan CAUTI. Mekanisme utama penyebaran infeksi
secara endoluminal terjadi pada penggunaan kateter vena sentral jangka panjang (>10 hari)
42
. Penggunaan kateter vena sentral di RSUP Dr. Kariadi rata – rata lebih dari 10 hari. Pada
hasil penelitian didapatkan 76 anak yang menggunakan kateter vena sentral lebih dari 10
hari, dan 52 anak terinfeksi Enterobacteriacaeae penghasil ESBL. Namun, analisis
menunjukan tidak terdapat korelasi antara penggunaan katater vena sentral dengan
resistensi antibiotik oleh infeksi Enterobacteriacaeae penghasil ESBL.

51
Hasil penelitian didukung oleh Sevgen, dkk yang membandingkan kejadian infeksi
aliran darah, pada K.pneumonia penghasil ESBL dan Non ESBL pada pasien < 18 tahun.
Sevgen menegaskan, penggunaan kateter vena sentral tidak berkaitan dengan kejadian
infeksi aliran darah oleh K.pneumoniae penghasil ESBL, melainkan perawatan lama, usia
muda < 1 tahun dan riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya. Penelitian zaoutis juga
menyebutkan bahwa penggunaan kateter vena sentral bukanlah faktor risiko untuk infeksi
ESBL 34, 43.

Penggantian kateter vena sentral di RSUP Dr. Kariadi tidak dilakukan secara rutin,
namun mempertimbangkan kondisi klinis pasien. Untuk mencegah terjadinya kolonisasi
dan CLABSI, Guidelines for the prevention of intravascular catheter – related infection
oleh CDC merekomendasikan kebersihan pemasangan alat kateter vena sentral, teknik
asepsis, dan persiapan pasien yang baik perlu dilakukan dengan ketat, karena berpengaruh
terhadap pencegahan CLABSI. Hal ini juga telah diterapakan di RSUP Dr. kariadi
Semarang 44.

6.7 Variabel riwayat penggunaan antibiotik terhadap resistensi


sefalosporin generasi III
Penelitian faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III di ruang rawat intensif
akibat infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL telah banyak dilakukan sebelumnya.
Secara umum, kebanyakan hipotesis mengarah pada penggunaan alat invasif dan riwayat
penggunaan antibiotik sebagai faktor risiko resistensi. Hasil pada penelitian ini,
mendukung riwayat penggunaan antibiotik sefalosporin generasi III sebagai faktor risiko
resistensi sefalosporin generasi III akibat infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL.
Terdapat 73% anak yang di rawat di perawatan intensif anak RSUP Dr. Kariadi memiliki
riwayat penggunaan sefalosporin generasi III yaitu sebanyak 81 anak dan 57 anak telah
mengalami infeksi Enterobacteriaceae baik E.coli maupun K.pneumoniae penghasil
ESBL.
Hasil penelitian di RSUP Sanglah Denpasar oleh Wayan Suranadi, dkk juga
membuktikan riwayat penggunaan antibiotik sefalosporin generasi III sebagai faktor risiko
independent terjadinya kolonisasi ESBL pada pasien di ruang rawat intensif dan
penggunaan antibiotik lebih dari 3 hari meningkatkan risiko laju kolonisasi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL 7 kali lipat lebih tinggi. Sebuah studi di kroasia juga
menunjukan penggunaan seftriakson secara signifikan berkolerasi dengan terjadinya ESBL
45
.

52
Tingginya angka resistensi sefalosporin generasi III di ruang rawat intensif
merupakan tantangan yang dihadapi dalam penatalaksanaan pasien di ruang rawat
intensif. Resistensi antibiotik tentunya tidak dapat sepenuhnya dihindari. Paparan
antibiotik sefalosporin secara terus menerus akan memberikan selective pressure pada
bakteri patogen dan non patogen yang dapat mengubah flora usus dan saluran kemih, hal
ini menciptakan lingkukngan di mana bakteri resiten dapat berkembang dan bertahan.
Menanggapi tantangan tersebut, RSUP DR. kariadi memiliki program dan tim
pengendalian resistensi antibiotik yang bekerja keras untuk menekan angka resistensi dan
menurunkan risiko infeksi nosokomial 46.

Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain :

1. Penelitian dilakukan hanya pada pasien yang di rawat di ruang rawat intensif dan tidak
ada pengamatan mobiditas, diagnosis dan lama pemberian antibiotik pada saat
perawatan di ruang rawat intensif yang mungkin berpengaruh terhadap hasil
penelitian.

2. Sampel pasien dengan hasil kultur infeksi oleh bakteri Enterobacteriaceae


dikumpulkan dari satu pusat (single center), perbedaan institusional dalam tingkat
penggunaan alat bantu infasif dan pola peresepan dapat mempengaruhi hasil dengan
institusi lain.

53
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
7.1.1 Kesimpulan umum
Faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae
penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr.
Kariadi Semarang adalah riwayat penggunaan antibiotik sefalosporin generasi III.

7.1.2 Kesimpulan khusus


1. Usia muda tidak terbukti menjadi faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III
pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang
rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
2. Perawatan lama tidak terbukti mejadi faktor risiko resistensi sefalosporin generasi
III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas diruang
rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
3. Lamanya penggunaan ventilator tidak terbukti menjadi faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase
spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
4. Penggunaan feeding tube tidak terbukti menjadi faktor risiko resistensi sefalosporin
generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum
luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
5. Penggunaan kateter urin tidak terbukti menjadi faktor risiko resistensi sefalosporin
generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum
luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
6. Penggunaan kateter vena sentral tidak terbukti menjadi faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase
spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

7. Penggunaan antibiotik sefalosporin terbutki merupakan faktor risiko resistensi


sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobaccteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang

54
7.2 Saran
1. Penggunaan antibiotik sefalopsorin generasi III sebagai terapi awal pada pasien
anak sakit kritis di ruang rawat intensif harus mendapat perhatian khusus baik dalam
hal pengawasan dosis, lama penggunaan dan dilakukan kontrol terhadap efektifitas
antibiotik.

55
Daftar Pustaka
1. Abbas Q, Ul Haq A, Kumar R, Ali SA, Hussain K, Shakoor S. Evaluation of antibiotic use in
Pediatric Intensive Care Unit of a developing country. Indian J Crit Care Med. 2016;20(5):291–
4.
2. Gray KJ, Wilson LK, Phiri A, Corkill JE, French N, Hart CA. Identification and characterization of
ceftriaxone resistance and extended-spectrum β-lactamases in Malawian bacteraemic
Enterobacteriaceae. J Antimicrob Chemother. 2006;57(4):661–5.
3. Paterson DL. Resistance in Gram-Negative Bacteria: Enterobacteriaceae. Am J Med.
2006;119(6A):20–8.
4. Xiao Y, Hang Y, Chen Y, Fang X, Cao X, Hu X, et al. A retrospective analysis of risk factors and
patient outcomes of bloodstream infection with extended-spectrum β-lactamase-producing
escherichia coli in a chinese tertiary hospital. Infect Drug Resist. 2020;13:4289–96.
5. Logan LK, Braykov NP, Weinstein RA, Laxminarayan R. Extended-spectrum ß-lactamase-
producing and third-generation cephalosporin-resistant Enterobacteriaceae in children:
Trends in the United States, 1999-2011. J Pediatric Infect Dis Soc. 2014;3(4):320–8.
6. Oliveira MC, Oliveira CRA, Gonçalves KV, Santos MS, Tardelli ACS, Nobre VA.
Enterobacteriaceae resistant to third generation cephalosporins upon hospital admission:
Risk factors and clinical outcomes. Brazilian J Infect Dis. 2015;19(3):239–45.
7. Chiotos K, Gerber JS, Himebauch AS. How Can We Optimize Antibiotic Use in the PICU.
Pediatr Crit Care Med. 2017;18(9):903–4.
8. Mohamed MH, Ghazaly, Amany M. Sakhr, Mohamad IL. Audit of Antibiotic Uses in Pediatric
Intensive Care Unit of Assiut University Hospital. Med J Cairo Univ. 2018;86(12):3937–41.
9. Muszynski JA, Nofziger R, Moore-Clingenpeel M, Greathouse K, Anglim L, Steele L, et al. Early
immune function and duration of organ dysfunction in critically ill children with sepsis. Am J
Respir Crit Care Med. 2018;198(3):361–9.
10. Dorofaeff T, Peter HM. Textbook of Clinical Pediatrics. Textb Clin Pediatr. 2012;(c).
11. Putra IW, Irwanto I, Dharmawati I, Setyaningtyas A, Puspitasari D, Wahyu AD, et al. Microbial
Pattern and Antibiotic Susceptibility in Pediatric Intensive Care Unit Dr. Soetomo Hospital,
Surabaya. Indones J Trop Infect Dis. 2019;7(5):122.
12. Adisasmito AW, Rezeki S, Hadinegoro S, Amar W, Adisasmito SK, Kerja I, et al. Infeksi Bakteri
Gram Negatif di ICU Anak: epidemiologi, manajemen antibiotik dan pencegahan manajemen
antibiotik dan pencegahan. Sari Pediatr. 2004;6(1):32–9.
13. Taslim E, Maskoen TT. Pola Kuman Terbanyak Sebagai Agen Penyebab Infeksi di Intensive
Care Unit pada Beberapa Rumah Sakit di Indonesia. Maj Anest dan Crit Care. 2016;34(1):33–
9.
14. Amelia A, Nugroho A, Harijanto PN. Diagnosis and Management of Infections Caused by
Enterobacteriaceae Producing Extended-Spectrum b-Lactamase. Acta Med Indones.
2016;48(2):156–66.
15. IDEXX. Microbiology Guide to Interpreting Minimum Inhibitory Concentration (MIC).
2019;(Mic):1–5. Available from: https://www.idexx.dk/files/microbiology-guide-interpreting-
mic-nordics.pdf/
16. Holmes AH, Moore LSP, Sundsfjord A, Steinbakk M, Regmi S, Karkey A, et al. Understanding

56
the mechanisms and drivers of antimicrobial resistance. Lancet. 2016;387(10014):176–87.
17. Lin J, Nishino K, Roberts MC, Tolmasky M, Aminov RI, Zhang L. Mechanisms of antibiotic
resistance. Front Microbiol. 2015;6.
18. Adisasmito AW, Tumbelaka AR. Penggunaan antibiotik khususnya pada infeksi bakteri gram
negatif di ICU anak RSAB Harapan Kita. Sari Pediatr. 2016;8(2):127.
19. Shahbaz K. Cephalosporins: pharmacology and chemistry. Pharm Biol Eval. 2017;4(6):234.
20. Bradley JS, Nelson JD, Kimberlin DW. Nelson ’ s Pediatric Antimicrobial Therapy. 20th ed.
American: American Academy of Pediatrics; 2014. 1 p.
21. Wendt C, Lin D, Von Baum H. Risk factors for colonization with third-generation
cephalosporin-resistant enterobacteriaceae. Infection. 2005;33(5–6):327–32.
22. Waldo N. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed. Behrman, Kliegman, Arvin, editors. Jakarta:
EGC; 2000. 345–48 p.
23. van den Bunt G, Liakopoulos A, Mevius DJ, Geurts Y, Fluit AC, Bonten MJM, et al. ESBL/AmpC-
producing Enterobacteriaceae in households with children of preschool age: Prevalence, risk
factors and co-carriage. J Antimicrob Chemother. 2017;72(2):589–95.
24. Hurrell E, Kucerova E, Loughlin M, Caubilla-Barron J, Hilton A, Armstrong R, et al. Neonatal
enteral feeding tubes as loci for colonisation by members of the Enterobacteriaceae. BMC
Infect Dis. 2009;9:146.
25. Nwoguh E, Anderton A. Bacterial colonization of Enteral Feeding Tubes. Dep Biosci.
1991;4:273–80.
26. Langley JM, Hanakowski M, LeBlanc JC. Unique epidemiology of nosocomial urinary tract
infection in children. Am J Infect Control. 2001;29(2):94–8.
27. NICE Guideline. Urinary tract infection (catheter-associated): antimicrobial prescribing. Nice.
2018;(October 2018):35p.
28. Gahlot R, Nigam C, Kumar V, Yadav G, Anupurba S. Catheter ‑ related bloodstream infections.
Dep Microbiol. 2014;4(2).
29. Ortegón L, D M, Puentes-herrera M, D M, Corrales IF, D M. Colonization and infection in the
newborn infant : Does chlorhexidine play a role in infection prevention. 2017;115(1):65–70.
30. Shaikh S, Fatima J, Shakil S, Rizvi SMD, Kamal MA. Antibiotic resistance and extended
spectrum beta-lactamases: Types, epidemiology and treatment. Saudi J Biol Sci.
2015;22(1):90–101.
31. Norouzi F, Shokouhi Mostafavi SK, Hasanvand F, Nojoomi F. Risk Factors Associated with ESBL
and CPE Acquisition among Pediatrics: A Systematic Review. Infect Epidemiol Microbiol.
2018;4(1):30–7.
32. Tellevik MG, Blomberg B, Kommedal Ø, Maselle SY, Langeland N, Moyo SJ. High prevalence of
faecal carriage of esbl-producing enterobacteriaceae among children in Dar es Salaam,
Tanzania. PLoS One. 2016;11(12):1–13.
33. Alves M, Lemire A, Decré D, Margetis D, Bigé N, Pichereau C, et al. ESBL producing
enterobacteriaceae in the intensive care unit : acquisition does not mean cross-transmission.
BMC Infect Dis. 2016;1–9.
34. Zaoutis TE, Goyal M, Chu JH, Coffin SE, Bell LM, Nachamkin I, et al. Risk factors for and

57
outcomes of bloodstream infection caused by extended-spectrum β-lactamase-producing
Escherichia coli and Klebsiella species in children. Pediatrics. 2005;115(4):942–9.
35. Vargas, S ; Augusti, G ; Zavascki A. Risk factros for and mortality of extended spectrum beta
lactamase producing klebsiella pneumoniae and escherichia coli nosocomial bloodstream
infection. 2009;51(4):211–6.
36. Mladenov B. Ventilator Associated Pneumonia in Pediatric ICU Prophylaxis and Treatment.
2020;3(1):25–30.
37. Tsai WL, Hung CH, Chen HA, Wang JL, Huang IF, Chiou YH, et al. Extended-spectrum β-
lactamase-producing Escherichia coli bacteremia: Comparison of pediatric and adult
populations. J Microbiol Immunol Infect. 2018;51(6):723–31.
38. Agnes S, Loesnihari R, Muzahar. Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh. Maj
Kedokt Nusant. 2014;51(4):185–9.
39. Taft DH, Salinero LK, Vongbhavit K, Kalanetra KM, Masarweh C, Yu A, et al. Bacterial
colonization and antimicrobial resistance genes in neonatal enteral feeding tubes. FEMS
Microbiol Ecol. 2019;95(4):1–12.
40. Brindha SM, Jayashree M, Singhi S, Taneja N. Study of nosocomial urinary tract infections in a
pediatric intensive care unit. J Trop Pediatr. 2011;57(5):357–62.
41. Degnan LA, Milstone AM, Diener-West M, Lee CKK. Extended-spectrum beta-lactamase
bacteria from urine isolates in children. J Pediatr Pharmacol Ther. 2015;20(5):373–7.
42. Elnasser Z, Obeidat H, Amarin Z. Device-related infections in a pediatric intensive care unit:
The Jordan University of Science and Technology experience. Medicine (Baltimore).
2021;100(43):e27651.
43. Tanlr Basaranoglu S, Ozsurekci Y, Aykac K, Karadag Oncel E, Blcakcigil A, Sancak B, et al. A
comparison of blood stream infections with extended spectrum beta-lactamase-producing
and non-producing Klebsiella pneumoniae in pediatric patients. Ital J Pediatr. 2017;43(1):1–7.
44. O’Grady NP, Alexander M, Burns LA, Dellinger EP, Garland J, Heard SO, et al. Guidelines for
the prevention of intravascular catheter-related infections. Am J Infect Control. 2011;39(4).
45. Suranadi W, Fatmawati D, Ryalino C, Hartawan IGAGU, Yanto F. The influence of antibiotics
usage on extended-spectrum β-lactamase-producing enterobacter colonization among
intensive care unit patients. Open Access Maced J Med Sci. 2021;9:52–6.
46. Bryce A, Costelloe C, Wootton M, Butler CC, Hay AD. Comparison of risk factors for, and
prevalence of, antibiotic resistance in contaminating and pathogenic urinary Escherichia coli
in children in primary care: Prospective cohort study. J Antimicrob Chemother.
2018;73(5):1359–67.

58

Anda mungkin juga menyukai