Penulis :
dr. Mahafendy Suryamanika Tukan
NIM : 22040317310005
Pembimbing :
dr. Yusrina Istanti, MSi, Med, Sp.A(K)
dr. Mulyono Sp.A
2022
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS
Disusun oleh :
Dr. Mahafendy Suryamanika Tukan
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Penguji I Penguji II
Dr.Yetty Movieta Nency, Sp.A(K), IBCLC DR. Dr. Anindita Soetadji, Sp.A(K)
NIP. 19740401 200812 2 001 NIP. 19660930 200112 2 001
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Faktor Risiko
Resistensi Sefalosporin Generasi III Pada Infeksi Enterobacteriaceae Penghasil Beta
Laktamase Spetrum Luas Di Ruang Rawat Intensif Anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang” adalah
karya saya sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang merupakan plagiat dari karya orang lain
dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku dalam keilmuan sebagaimana yang dimaksud dalam
Permendiknas no. 17 tahun 2010. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko / sanksi
yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika
keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
ii
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas
Agama : Katholik
B. Riwayat Pendidikan
1. SDK Larantuka II, Kab. Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 1996 -2002
C. Riwayat Pekerjaan
1. Dokter umum di RS. dr. Hendrikus Fernandez, Larantuka, Nusa Tenggara Timur,
D. Keterangan Keluarga
3. Saudara kandung : -
5. Anak :-
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
nikmat dan rahmat-Nya, sehingga laporan penelitian dengan judul: “Faktor Risiko Resistensi
Sefalosporin Generasi III Pada Infeksi Enterobacteriaceae Penghasil Beta Laktamase Spetrum
Luas di Ruang Rawat Intensif Anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang” dapat diselesaikan guna
memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh keahlian di bidang Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna karena keterbatasan penulis. Dorongan keluarga, bimbingan para guru dan
kerjasama yang baik dari rekan- rekan telah membuat laporan ini dapat terwujud, sehingga
pada kesempatan ini saya menghaturkan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-
tingginya kepada :
1. Rektor Universitas Diponegoro Semarang Prof. DR. Yos Johan Utama, S.H, M.Hum
beserta jajarannya yang telah memberikan ijin bagi kami untuk menempuh PPDS-1
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
3. Plt. Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang DR. Dr. Dodik
Tugasworo Pramukarso, Sp.S(K) beserta jajaran direksi yang telah memberikan ijin
bagi penulis untuk menempuh PPDS-1 di Bagian Ilmu Kesehatan anak/ SMF
Kesehatan anak di RSUP Dr. Kariadi Semarang
5. Ketua KSM Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang, Dr. Wistiani, SpA(K),
Msi.Med yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti PPDS-1
dan atas segala ketulusannya dalam memberikan motivasi, bimbingan, wawasan dan
arahan untuk menyelesaikan studi.
iv
6. Ketua Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, DR. Dr. Anindita Soetadji, Sp.A(K) dan mantan Ketua Program Studi
PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
DR.Dr.M.Heru Muryawan, Sp.A(K), terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
atas arahan, dorongan dan motivasi.
7. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih saya haturkan kepada dr.
Yusrina Istanti,MSi,Med Sp.A (K) sebagai pembimbing I pada penelitian ini, atas
segala kesabaran dan ketulusannya yang selalu memberikan bimbingan, motivasi,
wawasan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
8. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih saya haturkan kepada Dr.
Mulyono Sp.A sebagai pembimbing II dan dosen wali pada penelitian ini, atas segala
kesabaran dan ketulusannya yang selalu memberikan bimbingan, motivasi, wawasan,
dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
9. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terimakasih saya haturkan kepada Prof.
DR. dr. Ag. Soemantri Sp.A (K), SSi (Alm) yang memberi semangat dan dorongan
moril untuk selalu berkarya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
10. Para guru besar dan guru-guru kami staf pengajar di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP dr. Kariadi Semarang: Prof. DR.
Dr. Hariyono Suyitno, Sp.A(K); Prof. DR. Dr. Ag. Soemantri, Sp.A(K), Ssi
(Stat)(Alm); Prof. DR. Dr. Harsoyo N, SpA(K), DTM&H; Prof. Dr. M. Sidhartani Zain,
MSc, Sp.A(K); Dr. R. Rochmanadji Widajat, Sp.A(K), MARS; DR. dr. Tjipta Bahtera,
Sp.A(K)(Alm); Dr. Budi Santosa, Sp.A(K); DR. Dr. Moedrik Tamam, Sp.A(K); Prof.
DR. Dr. H.M. Sholeh Kosim, SpA(K) (Alm); DR. Dr. Hendriani Selina, Sp.A(K),
MARS; Dr. Agus Priyatno, Sp.A(K); DR. Dr. Asri Purwanti, Sp.A(K), M.Pd; Dr. JC
Susanto, Sp.A(K) (Alm), Dr. Dwi Wastoro Dadiyanto, Sp.A(K), Dr. Bambang
Sudarmanto, Sp.A(K), MARS; Dr. MMDEAH Hapsari, Sp.A(K); DR. Dr. Alifiani
Hikmah P, Sp.A(K); Dr. Wistiani, Sp.A(K), M.Si.Med; DR. Dr. M. Heru Muryawan,
Sp.A(K), DR. Dr. Fitri Hartanto, Sp.A(K); DR. Dr. Omega Mellyana, Sp.A(K); Dr.
Yetty Movieta Nancy, Sp.A(K); Dr. Ninung Rose D. K., M.Si.Med, Sp.A(K); Dr.
Nahwa Arkhaesi, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Yusrina Istanti, M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Tun
Paksi S, MSi.Med, Sp.A; Dr. MS. Anam, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Arsita Eka Rini,
M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Dewi Ratih, M.Si.Med, Sp.A(K); DR. Dr. Agustini Utari,
v
M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Adhie Nur Radityo, M.Si.Med, Sp.A(K); Dr. Galuh
Hardaningsih, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Farid Agung Rahmadi, M.Si.Med, Sp.A; Dr. Rina
Pratiwi, M.Si.Med, Sp.A(K), Dr. Helmia Farida, M.Kes, Sp.A(K), PhD; Dr. Mulyono,
Sp.A, Dr. Dimas Tri Anantyo, Sp.A; Dr. Juwita Pratiwi, Sp.A; Dr. Ariawan, Sp.A; Dr.
Stephanie Adelia, Sp.A; Dr. Nisa Alifia Rahmi, Sp.A yang telah berperan besar dalam
vii proses pendidikan kami, hanya Allah Yang Maha Kuasa yang dapat membalasnya
dengan yang lebih baik.
11. Teman-teman PPDS-1 Ilmu Kesehatan Anak angkatan Juli 2017 : Dr. Affri Dian
Adhiyatna, Dr. Aries Pradoto Yuwono, Dr. Akhmad Fauzianoor, Dr. Mahafendy
Suryamanika Tukan, Dr. Putri Perdani, Dr. Maria Christina Wahyunita Siregar, Dr.
Suciati Jandraningrum, Dr. Fanny Pritaningrum, Dr. Dosy Mudi Nurina, Dr. Puspita,
Dr. Nur Latifah Amilda, Dr. Trisy Adwita Heraviani, Dr. Gavrila Pinasthika, Dr.
Epriyan Saputra yang telah berbagi suka dan duka, saling memotivasi dan saling
membantu selama menempuh pendidikan
12. Seluruh teman sejawat peserta PPDS-1, atas kerjasama yang baik, saling membantu dan
memotivasi. Juga tak lupa rasa terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan
paramedis RSUP Dr. Kariadi Semarang di bangsal maupun laboratorium yang telah
banyak membantu selama penulis menimba ilmu
13. Bakti, hormat dan doa serta terima kasih kepada orang tuaku tercinta, Emanuel Tukan
dan Sri Mulyani yang dengan penuh kasih sayang, doa dan pengorbanan luar biasa telah
mengasuh, membesarkan, mendidik dan menanamkan kemandirian dan tanggung
jawab, serta memberikan dorongan semangat, bantuan moril dan material, yang tidak
akan mungkin penulis bisa membalasnya. Semoga Tuhan memuliakan, melimpahkan
kasih sayang, dan memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya untuk ayah dan ibu
tercinta
14. Terima kasih kepada istri tercinta, Rosiani Oktavera atas cinta dan kasih sayangnya
yang tulus selama ini, telah memberikan dukungan, semangat, doa dan pengertiannya
selama penulis menyelesaikan pendidikan.
15. Terima kasih kepada staf administrasi bagian Ilmu Kesehatan anak : Mbak Deny, Mbak
Hanna, Mbak Ika, Mbak Putri, Mbak Tyas, Mbak Cicik, Mas Anto, Mbak Indah, Mbak
Titi, Mbak Indri. Semoga semua usaha dan jerih payah yang telah melibatkan begitu
banyak tenaga, waktu dan biaya kiranya bermanfaat untuk perkembangan ilmu
vi
kesehatan anak. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat
kami sebutkan satu- persatu yang telah membantu dalam penyelesaian makalah tesis
ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan melimpahkan karunia-Nya secara
berlipat ganda kepada semuanya, Penulis juga menyampaikan permohonan maaf
kepada semua pihak yang mungkin telah mengalami hal yang kurang berkenan dalam
berinteraksi dengan penulis selama kegiatan penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa senantiasa melimpahkan berkah dan karunia-Nya kepada kita semua.
Penulis
vii
ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi ESBL-PE
di ruang rawat intensif anak
Metode : Penelitian observasional kasus kontrol dilakukan di ruang rawat intensif anak RSUP.
Dr. Kariadi. Dilakukan pengumpulan data ESBL-PE dari hasil uji kultur dan sensitifitas. Usia,
perawatan lama, penggunaan alat infasif (ventilator, feeding tube, kateter urin, kateter vena
sentral) dan riwayat penggunaan anitbiotik dicatat. Uji kai kuadrat untuk mengetahui hubungan
antar variabel, dan regresi log multivariat untuk menentukan faktor risiko yang paling
berpengaruh.
Hasil : Selama kurun waktu 4 tahun, didapatkan 111 subyek yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak ada pasien yang di eksklusi. K.pneumoniae menunjukan angka yang relatif tinggi di
di ruang rawat intensif (58%). Penggunaan alat invasif tidak menunjukan hubungan kejadian
infeksi ESBL-PE, penggunaan ventilator (p = 0,126), feeding tube (p = 0,36), kateter urin (p
= 0,684), CVC (p = 0,219), demikian juga variabel usia muda (p = 0,556) dan perawatan lama
(p = 0,416). Regresi logistik menunjukan riwayat penggunaan antibiotik sefalosporin generasi
III berhubungan kuat dengan infeksi ESBL (p = 0,037, OR = 2,7).
viii
ABSCTRACT
Risk Factors for Third Generation Cephalosporin Resistance in Broad Spectrum Beta
Lactamase-Producing Enterobacteriaceae Infections in Pediatric Intensive Care Unit
Dr. Kariadi Hospital Semarang
Mahafendy S. Tukan, Mulyono, Yusrina Istanti
ix
DAFTAR ISI
Pernyataan ................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
x
2.3.1.5 Deteksi ESBL ................................................................................... 14
xi
4.3.1. Populasi ................................................................................................... 33
BAB VI PEMBAHASAN
6.2 Variabel perawatan lama terhadap resistensi sefalosporin generasi III ............ 48
6.4 Variabel penggunaan feeding tube terhadap resistensi sefalosporin generasi III 50
6.5 Variabel penggunaan kateter urin terhadap resistensi sefalosporin generasi III 50
xii
generasi III ........................................................................................................ 51
xiii
DAFTAR SINGKATAN
xiv
PICU : Pediatric Intensive Care Unit
xv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian retrospektif Qalab Abbas, dkk pada anak-anak di ruang rawat intensif
menunjukan antibiotik yang paling sering digunakan adalah meropenem, vankomisin,
dan seftriakson. Penggunaan sefalosporin secara luas telah dikaitkan dengan
munculnya Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas (ESBL). Hal
ini terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama infeksi nosokomial yang
terkait dengan kematian yang tinggi. Resistensi yang muncul pada Enterobacteriaceae
merupakan masalah signifikan yang membutuhkan perhatian serius. Resistensi yang
terkait dengan produksi beta laktamase spektrum luas merupakan masalah khusus
dalam penanganan infeksi Enterobacteriaceae 1, 2.
Pada awalnya sefalosporin generasi ketiga dikembangkan sebagai Beta-Laktam
yang mampu mengatasi resistensi yang disebabkan oleh beta laktamase. Ketika pertama
kali diperkenalkan, agen generasi ketiga seperti seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim
stabil dengan adanya beta laktamase. Namun, dalam beberapa tahun, basil gram negatif
yang didapat di rumah sakit seperti Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli mulai
memproduksi versi mutasi dari beta laktamase ini yang membuat mereka kebal
terhadap sefalosporin generasi ketiga dan monobaktam aztreonam. Menurut National
Nosocomial Infections Surveillance (NNIS), pada tahun 2003, dari semua isolat 20,6%
adalah Klebsiela Pneumonia dari pasien yang di rawat di PICU Amerika Serikat
resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga. Terjadi peningkatan 47% dibandingkan
dengan tingkat resistansi pada tahun 1998 hingga 2002. Resistensi terhadap
sefalosporin generasi ketiga terjadi juga pada 31,1% Enterobacter spp dan 5,8%
Escherichia coli (E. coli) yang diisolasi dari pasien di PICU pada tahun 2003. Angka
tersebut kurang lebih sama dengan tahun 1998 hingga 2002 3.
Escherichia coli adalah penyebab penting dari infeksi yang didapat dari
komunitas dan yang didapat di rumah sakit, dan merupakan penyebab paling umum
dari infeksi Gram-negatif pada Blood Stream Infection (BSI). Produksi enzim beta
laktamase adalah mekanisme utama dimana bakteri Gram negatif melawan kerja
antibiotik beta laktam. Infeksi akibat ESBL telah meningkat secara dramatis di seluruh
dunia dan menunjukkan krisis kesehatan yang besar. Di Cina, prevalensi ESBL telah
meningkat sebesar 38,9 hingga 55,8% untuk berbagai isolat klinis E. coli dalam 5 tahun
terakhir. Faktor risiko infeksi ESBL antara lain usia, komorbiditas, penggunaan kateter
urin, lama perawatan, dan penggunaan alat medis 4,5.
Menanggapi tantangan tersebut, anitbioitk digunakan sebagai tatalaksana utama
mengatasi infeksi ESBL. Berdasarkan kegunaan, toksisitas yang rendah, dan spektrum
aksi yang luas, antibiotik beta laktam, seperti sefalosporin generasi ketiga, adalah
pilihan utama untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme ini.
Namun, seiring dengan penggunaan yang berlebihan mengakibatkan penurunan
efektivitas golongan antibiotik ini 6.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III oleh bakteri Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase
spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
2
1.3.2. Tujuan khusus
1. Membuktikan bahwa usia muda merupakan faktor risiko resistensi sefalosporin
generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum
luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
2. Membuktikan bahwa perawatan lama merupakan faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
3. Membuktikan bahwa penggunaan ventilator lama merupakan faktor risiko
resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
4. Membuktikan penggunaan feeding tube merupakan faktor risiko resistensi
sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
5. Membuktikan bahwa penggunaan kateter urin merupakan faktor risiko
resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
6. Membuktikan bahwa penggunaan kateter vena sentral merupakan faktor risiko
resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
7. Membuktikan bahwa penggunaan antibiotik sebelumnya merupakan faktor
risiko resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobaccteriaceae
penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr.
Kariadi Semarang.
3
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Manfaat pendidikan
Diharapkan dapat menambah wawasan tentang faktor risiko terjadinya
resistensi sefalosporin generasi III pada bakteri Enterobacteriaceae penghasil
beta laktamase spektrum luas diruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi
Semarang.
1.4.2. Manfaat bidang pelayanan
Penelitian ini memberi informasi tambahan bagi Rumah sakit mengenai faktor
risiko terjadinya resistensi sefalosporin generasi III oleh bakteri
Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas diruang rawat
intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
1.4.3. Manfaat bidang penelitian
Penelitian ini dapat menjadi masukan positif bagi kalangan akademisi yang
ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang resistensi sefalosporin generasi
III dan Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas.
4
2 Latania K. Enterobacteria Subyek : Metode : Mendeskripsi Faktor risiko
Logan, ceae Semua Case control kan klinis untuk
Nikolay P. Penghasil pasien anak epidemiologi kolonisasi ESBL
Braykov A Extended- (usia 1-17) di Variabel : nasional dan dan infeksi pada
Robert A. Spectrum β- rawat jalan , Isolate ESBL regional dari anak-anak serupa
Weinstein, Laktamase dan rawat inap dan third- fenotipe dengan orang
Ramanan resisten non ICU, dan generation ESBL dan dewasa (rawat
Laxminarayan sefalosporin ICU cephalosporin- G3CR pada inap sebelumnya,
generasi III resistant anak-anak lama perawatan,
pada anak di Jumlah (G3CR) penggunaan
US. subyek : Enterobacteria antibiotik
1734 sampel ceae sebelumnya, dan
ESBL perangkat medis
yang digunakan)
Tahun :
2014
3 Basaranoglu Perbandingan Subyek : Metode : Mencari Total lama rawat
dkk infeksi aliran Pasien Cohort faktor risiko inap, lama tinggal
darah dengan kurang dari retrospective infeksi aliran di rumah sakit
Klebsiella 17 tahun darah yang sebelum infeksi,
pneumoniae dengan Variabel: disebabkan penggunaan
penghasil beta- positif Pasien dengan oleh K. kombinasi
laktamase kultur darah isolat K. Pneumoniae antibiotik
spektrum luas untuk K. pneumoniae penghasil sebelumnya dan
dan non- pneumoniae penghasil ESBL pada penggunaan
penghasil pada ESBL anak-anak aminoglikosida
pasien anak Jumlah dibandingkan dan analisis adalah faktor
subyek : dengan isolat hasil klinis. risiko yang
111 Isolat K. penghasil signifikan terjadi
Pneumoniae ESBL dalam bakteremia K.
hal faktor pneumoniae
Tahun : risiko, hasil ESBL
2015 dan mortalitas
5
Jumlah sensitif sampel yang
subyek : terhadap dikumpulkan
238 isolat sefalosporin saat masuk
Enterobacter generasi rumah sakit.
iaceae ketiga.
Tahun :
2015
Orisanilitas penelitian yang dilakukan berbeda dalam hal : subyek penelitian 1 bulan
sampai 18 tahun, variabel bebas yaitu : usia, perawatan lama, penggunaan ventilator,
penggunaan feeding tube, penggunaan kateter urin, penggunaan kateter intravena,
riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya. Menurut penelusuran pustaka yang telah
peneliti lakukan belum ada penelitian tentang faktor risiko tersebut di Indonesia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.2. Sistem imunitas terhadap resisten antibiotik
Disfungsi organ yang diinduksi sepsis pada anak dengan penyakit kritis
merupakan sumber penting morbiditas dan mortalitas pada anak-anak di seluruh dunia,
terutama bila lebih dari satu organ yang terkena. Sementara tanda dan gejala klasik
sepsis berat akut dan syok sepsis adalah hasil dari respon inflamasi yang berlebihan,
semakin banyak literatur menunjukkan bahwa keadaan kompensasi penekanan sistem
imun sering menyertai penyakit sepsis. Penekanan sistem imun terkait sepsis dapat
mempengaruhi sistem imunitas bawaan (inate) dan imunitas adaptif, kemungkinan
kombinasi pengaruh endogen (misalnya sitokin) dan eksogen (misalnya obat), telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi nosokomial dan kematian 9.
Penyakit kritis terkait penekanan sistem imun bawaan biasanya sulit dideteksi,
tetapi dapat dideteksi melalui pengujian provokatif, ditandai dengan penurunan
kemampuan sel imun anak untuk mensekresi sitokin alfa tumor nekrosis faktor (TNF-
α) pro inflamasi sebagai respons terhadap stimulasi ex vivo dengan lipopolisakarida
(LPS). Sementara studi transkriptomik menunjukkan bahwa penekanan limfosit awal
dapat memprediksi hasil yang merugikan pada anak-anak sepsis. Sepsis berat dan syok
sepsis merupakan masalah umum yang terjadi pada anak sakit kritis di seluruh dunia,
terapi antibiotik merupakan strategi utama dalam penanganan kondisi ini, anak-anak
dengan sakit kritis dengan infeksi bakteri yang membutuhkan pengobatan meningkat
dalam beberapa tahun terakir. Karena penggunaan antibiotik yang berlebihan di PICU
sering terjadi dan efek samping antibiotik sudah diketahui, maka pendekatan rasional
diperlukan. Resistensi antibiotik merupakan ancaman berat bagi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak-anak sangat rentan karena sistem
kekebalan mereka belum sepenuhnya berkembang dan oleh karena itu lebih rentan
terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang resistan terhadap obat yang ada
di lingkungan mereka. Infeksi bakteri akibat resisten antibiotik secara tidak
proporsional mempengaruhi anak-anak. 40% kematian secara global di antara anak-
anak di bawah usia 5 tahun dan neonatus disebabkan oleh penyakit yang pengobatannya
secara langsung dipengaruhi oleh resistensi antibiotik pada tahun 2016 9.
8
2.3. Bakteri penyebab infeksi di perawatan intensif anak
Infeksi adalah salah satu penyebab kematian tersering di unit perawatan intensif
anak, dengan angka kematian hingga 50%, tergantung dari asal infeksi. Dalam dua
dekade ini, infeksi nosokomial merupakan masalah kesehatan khusus yang berkaitan
dengan morbiditas, mortalitas dan konsekuensi ekonomi, terutama di unit perawatan
intensif anak yang memiliki tingkat kejadian lebih tinggi dari pada bangsal lain di
rumah sakit. Hasil ini berkorelasi dengan perawatan lama di rumah sakit, keparahan
penyakit pasien, penggunaan antibiotik yang berlebihan dan pasien yang sering
terpapar alat intervensi medis seperti penggunaan jalur intrevena sentral atau perifer,
kateterisasi urin, dan ventilasi mekanik. Infeksi saluran pernapasan, dan infeksi aliran
darah adalah infeksi yang cukup sering terjadi di PICU. Bakteri Gram negatif
merupakan patogen tersering penyebab infeksi di ruang rawat intensif anak. Pola
bakteri dan kepekaan antibiotik diperlukan sebagai data klinis dalam pemilihan terapi
antibiotik yang sesuai 10,11.
Sebelum tahun 1920, infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif sangat
jarang yaitu kurang dari 1000 kasus. Sebagai contoh antara tahun 1951 dan 1958 di
University of Illinois Research and Education Hospital, bakteremia Gram negatif
meningkat dari 4,9 menjadi 8,1 kasus per 1000 perawatan. Hal ini juga terjadi di Boston
University Hospital terjadi peningkatan dari 7,0 menjadi 13,0 kasus per 1000 perawatan
antara tahun 1965 dan 1974. Lebih dari 50% kasus bakteremia yang didapat dari rumah
sakit pada anak berasal dari bakteri Gram negatif, terjadi pada usia neonatus (25%) dan
usia anak kurang dari 2 tahun (18,5%) dan diantaranya 47% merupakan infeksi
nosokomial yang merupakan penyebab infeksi tersering di ICU. Bakteri Gram negatif
yang paling sering diisolasi di PICU adalah Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Enterobacter cloacae, dan Klebsiella pneumoniae. Sumber bakteremia tersering adalah
infeksi saluran kemih (ISK) dan pneumonia. Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas (ESBL) resisten terhadap sefotaksim pertama kali ditemukan
adalah Klebsiela dan Seratia di Jerman pada tahun 1983. Dalam beberapa tahun, ESBL
pada E.coli, Acinetobacter sp, dan Klebsiella sp sudah tersebar di seluruh Eropa 12.
Penelitian di RS. Dr. Soetomo Surabaya menunjukan frekuensi isolat bakteri
Gram negatif sedikit lebih tinggi daripada isolat bakteri Gram Positif. Bakteri Gram
negatif merupakan mayoritas bakteri patogen yang terkait dengan 6 spesimen utama,
darah (66,01%), urin (72,69%), dahak (66,67%), tinja (63,73%), aspirat ETT (80,43%)
dan cairan pleura (62,50%). Selama kurang lebih 2 dekade terakhir, bakteri Gram
9
negatif telah menjadi patogen yang paling sering dikaitkan dengan penyakit sistem
pernapasan dan ISK 11.
Penelitian yang dilakukan di Intensive Care Unit (ICU) RSUP. Dr. Kariadi
Semarang untuk mengetahui pola kuman pasien yang dirawat di ICU RSUP. Dr.
Kariadi Semarang tahun 2009, Dari 100 lembar hasil kultur kuman pasien di ruang
rawat intensif RSUP. Dr. Kariadi Semarang diketahui bahwa kuman terbanyak
penyebab infeksi adalah Enterobacter aerogenes (34%), Staphylococcus epidermidis
(17%), Escherichia coli (15%), Pseudomonas aeruginosa (10%), Candida spp. (9%),
dan Acinetobacter spp. (8%). Uji sensitivitas terhadap antibiotik menunjukkan bahwa
kuman mempunyai resistensi tertinggi terhadap ampicillin, sefotaksim, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan siprofloksasin 13.
Penelitian lain yang dilakukan di ruang ICU RS. Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta tahun 2011, bertujuan mengetahui karakteristik fenotip bakteri Gram negatif
famili Enterobacteriaceae, didapatkan bahwa bakteri Gram negatif famili
Enterobacteriaceae merupakan suatu bakteri dengan karakteristik penghasil enzim beta
laktamase, seperti ESBL, AmpC, dan karbapenemase. Penelitian ini menggunakan tiga
metode yang dilakukan untuk mengonfirmasi. Karakteristik fenotip ketiga enzim
tersebut, yaitu metode difusi cakram untuk konfirmasi ESBL, uji cakram AmpC
(berbasis cefoxitin) untuk konfirmasi AmpC, dan uji Hodge termodifikasi untuk
konfirmasi karbapenemase. Dari 112 isolat yang dianalisis diketahui bahwa Klebsiella
pneumoniae merupakan isolat terbanyak (54,46% /61 isolat). Selain itu, dari metode
difusi cakram ganda, didapatkan 58,42% isolat merupakan penghasil ESBL dan 1,98%
merupakan penghasil AmpC dengan uji cakram AmpC (berbasis cefoxitin), serta
27,59% merupakan penghasil karbapenemase dengan uji Hodge termodifikasi. Hasil
penelitian ini menunjukkan prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil beta-
laktamase khususnya ESBL sangat tinggi 13.
Bakteri Gram negatif mempunyai tingkat resistensi tinggi karena mempunyai
mekanisme resistensi yang multipel. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipastikan bahwa
infeksi oleh bakteri Gram negatif merupakan ancaman, terutama pada pasien
imunokompromais. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap infeksi bakteri Gram
negatif adalah pemberian antibiotik yang berhubungan dengan selective pressure pada
bakteri yang resisten, penyakit penyerta yang berat dan status imunokompromais. Pada
seting ICU dipertimbangkan beberapa faktor seperti kedekatan pasien dengan pasien
lain yang sudah terinfeksi oleh bakteri resisten dan prosedur invasif. Semuanya
10
merupakan faktor risiko yang signifikan meningkatkan infeksi nosokomial oleh bakteri
Gram negatif. Angka kejadian resistensi antibiotik semakin meningkat terutama di
benua Asia, termasuk Indonesia. Para ahli mikrobiologi sepakat bahwa terjadi
multiresisten antibiotik terhadap bakteri Gram negatif. Enterobacteriaceae merupakan
penyebab infeksi terbanyak terutama di ICU dan sering menimbulkan resistensi
terhadap antibiotik sefalosporin generasi III karena mampu memproduksi enzim beta
laktamase, atau yang dikenal dengan Extended-Spectrum Beta Laktamase (ESBL) 12,13.
a) Klasifikasi Ambler.
Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1991, mengkategorikan ESBL
menjadi 4 kelas, yaitu A, B, C, dan D berdasarkan struktur asam aminonya,
dimana kelas A, C dan D memiliki sisi aktif serine beta laktamase dan kelas
B memiliki sisi aktif metalo beta laktamase 14.
12
b) Klasifikasi Bush Jacobsky Mendeiros.
Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1989, diperluas pada tahun 1995 dan
diperbaharui menjadi klasifikasi Bush-Jacobsky pada tahun 2009, dimana
enzim beta laktamase dikategorikan menjadi 4 kelompok yang berbeda 14:
1. Kelompok pertama adalah sefalosporinase atau AmpC, juga dikenal
sebagai kelas Ambler C. Lebih aktif terhadap sefalosporin
dibandingkan dengan benzilpenisilin dan biasanya tahan terhadap
penghambatan asam klavulanat, juga aktif terhadap cephamicin
seperti cephotixin, dan afinitas tinggi terhadap aztreonam.
2. Kelompok kedua juga dikenal sebagai serine beta laktamase. Ini
adalah kelompok enzim beta laktamase terbesar karena prevalensinya
yang meningkat dalam 20 tahun terakhir. Itu menyerupai Ambler
kelas A dan D.
3. Golongan ketiga juga dikenal sebagai Metalo Beta Laktamase
(MBL), yang memiliki struktur dan fungsi unik, yang membutuhkan
seng di situs aktifnya, dan memiliki kemampuan untuk
menghidrolisis karbapenem.
4. Kelompok keempat dari ESBL ada dalam klasifikasi sebelumnya
tahun 1995 tetapi telah dihilangkan dalam skema terbaru. Enzim ini
dapat dikategorikan ke dalam klasifikasi yang berbeda jika tersedia
data yang memadai.
13
b) Sulfhydryl Variable (SHV)
Jenis kedua adalah Sulfhydryl variable (SHV) yang 68% asam aminonya
mirip dengan jenis TEM. Yang paling sering ditemukan pada K.Pneumonia
adalah SHV-1 yang menyebabkan resistensi terhadap penisilin, tigecycline
dan piperacillin tetapi tidak terhadap cephalosporin oxymino. Ada 60 tipe
SHV yang dikenal selama ini di Eropa, Amerika dan di seluruh dunia 14.
Sebuah studi oleh Garrec, dkk di sebuah rumah sakit di Perancis, membandingkan
metode fenotipe yang berbeda dalam mendeteksi ESBL-E. Disebutkan bahwa
Vitek merupakan metode rutin dalam mendeteksi ESBL dengan sensitivitas 92-
93% dan spesifisitas rendah yaitu 50-79%. Namun E-test memiliki sensitivitas 71-
73% untuk pengujian sefotaksim dan seftazidim, dan 90% untuk cefepime. Metode
lainnya adalah metode kombinasi disk dengan sensitivitas 100% dalam pengujian
sefotaksim dan cefepim terhadap ESBL-E. Beberapa jenis pengujian
direkomendasikan oleh CLSI, namun hingga saat ini belum ada pemeriksaan
standar emas untuk mendeteksi ESBL 14.
15
atas atau di bawah kisaran pengukuran ditunjukkan dengan ″≤″ (untuk di bawah
kisaran, dalam kategori sensitif) atau dengan ″≥″ (jika di atas kisaran, dalam
kategori resisten). Intepretasi MIC berada disebelah masing-masing antibiotik,
dengan keterangan kerentanan: S (sensitif), I (intermediet), atau R (resisten) adalah
tiga kategori interpretasi, tercantum dalam kolom hasil pertama dari laporan
kerentanan. Kategori masing-masing diikuti oleh MIC dalam g/mL di kolom hasil
berikutnya dari laporan kerentanan. "Sensitif" menunjukan bahwa organisme
dihambat oleh konsentrasi serum obat yang dicapai dengan menggunakan dosis
biasa; "intermediet" menunjukan bahwa organisme dihambat hanya ketika
konsentrasi yang lebih tinggi daripada dosis yang biasanya direkomendasikan dapat
dicapai; dan “resisten” menunjukan bahwa organisme resisten terhadap kadar obat
serum yang biasanya dapat dicapai. Standar interpretatif ini telah ditetapkan oleh
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Kategori interpretatif
dievaluasi menurut apa yang disebut breakpoints untuk setiap antibiotik seperti
yang tercantum dalam versi dokumen CLSI saat ini 15.
Gambar 1. Uji difusi cakram kerentanan antimikroba: perkiraan penempatan cakram dan
pengukuran diameter zona hambat. ATB1 = antibiotik 1, ATB2 = antibiotik 2.
16
Gambar 2. Antibiotic selective pressure 17
Resisten antibiotik dapat terjadi secara alamiah lewat mutasi acak maupun sebagai
respon terhadap paparan lingkungan. Antibiotik adalah salah satu contoh paparan
lingkungan yang membuat bakteri harus bertahan melalui beberapa mekanisme
termasuk dengan cara mutasi. Bakteri yang berhasil melakukan mutasi akan bertahan
hidup, selanjutnya memperbanyak diri dan mewariskan gen resisten kepada
keturunannya sehingga munculah generasi baru yang resisten penuh terhadap
antibiotik tertentu 16.
17
Bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik beta laktam melalui beberapa
mekanisme :
18
2.4. Antibiotik dalam tatalaksana bakteri
Antibiotik dapat didefinisikan sebagai agen farmakologis yang secara selektif
membunuh atau menghambat pertumbuhan sel bakteri yang memiliki sedikit atau tidak
ada efek pada inang. Antibiotik bersifat bakteriostatik adalah untuk mencegah replikasi
bakteri lebih lanjut, sedangkan antibiotik bakterisidal bersifat membunuh bakteri.
Antibiotik sefalosporin telah menjadi bagian utama dari formularium antibiotik untuk
rumah sakit di negara-negara makmur. Mereka diresepkan untuk berbagai macam
infeksi setiap hari. Popularitas mereka yang tidak diragukan lagi bergantung pada risiko
alergi dan toksisitas yang lebih rendah serta spektrum aktivitas yang luas 17.
Sefalosporin adalah golongan antibiotik yang paling sering diresepkan karena
secara struktural dan farmakologis mirip dengan penisilin. Seperti penisilin,
sefalosporin memiliki struktur cincin beta laktam yang mengganggu sintesis dinding
sel bakteri dan dinamakan bakterisidal. Senyawa sefalosporin pertama kali diisolasi
dari kultur "Cephalosporium Acremonium" dari saluran pembuangan di Sardinia pada
tahun 1948 oleh ilmuwan Italia Guiseooe Brotzu. Sefalosporin diklasifikasikan
berdasarkan generasi. Secara umum, sefalosporin generasi lebih rendah memiliki
aktivitas gram positif lebih banyak dan sefalosporin generasi lebih tinggi memiliki
aktivitas gram negatif lebih banyak. Pengecualian sefepim obat generasi keempat,
dengan aktivitas gram positif setara dengan generasi pertama dan aktivitas gram negatif
setara dengan sefalosporin generasi ketiga. Penelititan pada ICU anak di RSAB
Harapan Kita menunjukan sensitifitas terhadap sefalosporin generasi ketiga umumnya
rendah (35,3%–52,9%). Untuk isolat Enterobacter sp dan Klebsiella sp. Sedangkan E.
coli mempunyai sensitifitas yang baik terhadap berbagai antibiotik, kecuali ampicillin
dan sulbactam ampicillin 18.
20
Gambar 5. Mekanisme aksi sefalosporin 19
Dinding sel merupakan bagian integral dari struktur bakteri yang membantu
bakteri bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Tanpa
dinding sel, bakteri rentan terhadap lingkungan dan bisa mati. Karena seftriakson
diekskresikan, sebagian besar, melalui hati, dapat digunakan dengan sedikit
penyesuaian dosis pada pasien dengan gagal ginjal. Dengan waktu paruh serum 4
sampai 7 jam, dapat diberikan sekali sehari untuk semua infeksi, termasuk meningitis,
yang disebabkan oleh organisme yang rentan 19,20.
b) Perawatan lama
Sebuah Penelitian retrospektif tentang penggunaan antibiotik
khususnya pada bakteri gram negatif di RSAB Harapan Kita membuktikan
lama perawatan yang memanjang mempengaruhi timbulnya resistensi
beberapa bakteri Gram negatif terhadap sefotaksim. Pada hasil didapatkan,
lama perawatan yang memanjang (>7 hari) meningkatkan resistensi bakteri
Gram negatif pada P.Aeruginosa dan Enterobacter. Selama perawatan yang
memanjang di PICU, pasien akan terpapar oleh perputaran beberapa
mikroorganisme yang resisten. Faktor risiko terjadinya infeksi bakteri Gram
negatif di PICU selain lama perawatan yang memanjang, juga bila disertai
pemasangan ventilasi mekanik. Bakteremia mempunyai lama rawat
terpanjang (6 -7 hari), selanjutnya diikuti pneumonia dan infeksi saluran
kemih. E.coli, Klebsiella sp dan Pseudomonas sp merupakan isolat
terpenting di PICU RSAB Harapan Kita (75,9% dari seluruh isolat).
Pseudomonas sp adalah bakteri yang sering diisolasi pada spesimen darah
(33,3%) dan sekret bronkus (39,1%) 18.
24
c) Ventilator sebagai faktor risiko resistensi
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang
didapat di rumah sakit yang terjadi setelah 48 jam pasien mendapat bantuan
ventilasi mekanik, baik melalui pipa endotrakea maupun pipa trakeostomi.
Insiden pneumonia meningkat 3 sampai 10 kali pada pasien dengan ventilasi
mekanik. Ibrahim dkk, membagi VAP menjadi onset dini yang terjadi dalam
empat hari pertama penggunaan ventilasi mekanik dan onset lambat yang
terjadi lima hari atau lebih setelah penggunaan ventilasi mekanik. Sebagian
besar VAP berawal dari aspirasi organisme orofaring ke bronkus distal
kemudian terjadi pembentukan biofilm oleh bakteri diikuti dengan
proliferasi dan invasi bakteri pada parenkim paru. Pada keadaan normal,
organisme di dalam rongga mulut dan orofaring didominasi oleh S. viridans,
Haemophilus species dan organisme anaerob. Air liur yang mengandung
Imunoglobulin A (IgA) dan fibronektin menjaga keseimbangan organisme
rongga mulut, sehingga jarang didapatkan basil gram negatif aerobik. Pada
pasien sakit kritis keseimbangan tersebut berubah, organisme yang dominan
di dalam rongga mulut adalah basil gram negatif aerobik dan
Staphylococcus aureus. Terapi antibiotik diberikan secara empiris
didasarkan kepada mikroorganisme yang menyebabkan VAP pada bayi dan
anak sebelum mendapat etiologi pasti dengan menunggu hasil biakan
penyebab dan uji resistensi terhadap antibiotik. Informasi tentang prevalensi
berbagai bakteri patogen penyebab pneumonia khususnya VAP dan pola
resistensi antibiotik pada pasien anak yang dirawat sangat terbatas 13.
d) Feeding tube
Hurrel pada penelitiannya mencari kolonisasi pada feeding tube di
neonatal menemukan pada neonatal di ruang rawat NICU, Sebanyak 129
feeding tube enteral nasogastrik dikumpulkan dari dua NICU, dengan Empat
pola makan spesifik yang di identifikasi : 'ASI', “fortified breast milk', ' susu
formula siap pakai', dan ' powdered infant formula (PIF) yang dilarutkan',
didapatkan Enterobacteriaceae diisolasi dari sebagian besar (76%) sampel,
dan dari semua pola makan. Penelitian ini menunjukkan bahwa feeding tube
enteral neonatal, bertindak sebagai lokus untuk perlekatan bakteri dan
multiplikasi berbagai patogen oportunistik dalam famili
25
Enterobacteriaceae. Selanjutnya, organisme tersebut akan masuk ke
lambung sebagai bolus dengan setiap kali makan, oleh karena itu selang
makanan enteral merupakan faktor risiko yang penting untuk
dipertimbangkan sehubungan dengan infeksi pada neonatal, Hurrell
menemukan perbedaan yang signifikan antara frekuensi penggantian NGT
(p<0,001) dan pertumbuhan organisme dengan jumlah bakteri maksimum
tercatat pada penggantian NGT lebih dari 48 jam 24.
Anderton dan Nwoguh melakukan penelitian model in-vitro yang
digunakan untuk menentukan jumlah bakteri yang diinfuskan ke 'pasien'
ketika tiga jenis selang makanan enteral poliuretan yang telah secara
eksperimental terkontaminasi dengan makanan yang mengandung K.
aerogenes. Jumlah organisme dalam sampel makanan yang dikumpulkan
dari ujung selang makanan enteral meningkat selama 4 hari, meskipun set
pemberian steril baru dan wadah makanan baru yang berisi makanan steril
dipasang ke setiap tabung (tube) setiap hari pada hari ke 2 sampai 4 25.
e) Kateter urin
Insiden Nosocomial Infection (NI) pada populasi anak adalah 2,5%,
mulai dari 1% untuk perawatan biasa hingga 23,6% untuk perawatan PICU.
Blood Stream Infection (BSI), infeksi saluran kemih (ISK) dan pneumonia
adalah NI yang paling umum dilaporkan dari ICU, dan terkait dengan
peningkatan lama rawat di rumah sakit, morbiditas dan mortalitas.
Penelitian prospektif di India pada 431 pasien yang di rawat inap di ruang
rawat intensif melaporkan kateterisasi dan durasi kateterisasi merupakan
faktor risiko Nosocomial UTI (NUTI). Organisme Gram negatif
mendominasi kelompok bakteri NUTI (22 dari 31, 70,9%) dengan E. coli
menjadi bakteri yang tersering (8/22; 36,3%), diikuti oleh K. pneumoniae.
Ini serupa dengan temuan Langley, dkk yang telah menunjukkan bahwa E.
coli adalah organisme yang paling umum (26%) untuk NUTI diikuti oleh
Candida (19%) dan Enterococcus. Penelitian ini juga menunjukkan tingkat
resistensi antibiotik yang signifikan di antara uropatogen nosokomial. Data
dari CDC juga telah mengungkapkan tren peningkatan resistensi
antimikroba di antara Enterococci (28,5% resisten vankomisin) dan
Klebsiella (resisten sefalosporin generasi ketiga 20,6%). Kolonisasi pada
26
pasien ICU telah diakui sebagai sumber terpenting dari resisten infeksi
Gram-negatif. Telah ditunjukkan bahwa 8,8% pasien PICU di dominasi
dengan organisme Gram-negatif yang resisten dalam 3 hari pertama tinggal
di ICU 26.
Risiko Catheter Associated Urinary Tract Infection (CAUTI) telah
diperkirakan meningkat sebesar 5% untuk setiap hari penggunaan
kateterisasi, terakumulasi menjadi 100% dalam 4 minggu. Semakin lama
kateter tetap in situ, semakin tinggi risiko infeksi. Sebuah tinjauan sistematis
dan meta-analisis efektivitas sistem pengingat untuk mengurangi CAUTI,
penggunaan kateter urin, dan tingkat re-kateterisasi melaporkan bahwa
tingkat CAUTI berkurang 52% dengan penggunaan pengingat atau stop
order. National Institute For Health And Care Excellence (NICE) inggris,
menyebutkan bahwa salah satu terapi nonfarmakologi untuk mencegah
CAUTI adalah mempertimbangkan untuk melepas atau mengganti kateter
sesegera mungkin pada orang dengan ISK terkait kateter jika sudah
terpasang selama lebih dari 7 hari 27.
28
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
Critical ilnees
Kateter intravena
Bakteri ESBL
Selang ET
Ventilator
Aspirasi Antibiotik
mikrooganisme selective pressure
Jenis antibiotik
Penggunaan antibiotik
sebelumnya
Lama antibiotik
Paparan
Perawatan Lama
mikroorganisme yang sudah resisten
Usia
Perawatan lama
Resisten Sefalosporin
Generasi III pada bakteri ESBL
Ventilator
Penggunaan
Antibiotik
sebelumnya
3.3 Hipotesis
spetrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
30
3.3.2. Hipotesis Minor
1. Usia merupakan faktor risiko terjadinya resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi
2. Perawatan lama merupakan faktor risiko terjadinya resistensi sefalosporin generasi III
pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat
laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di
generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas di
spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
31
BAB IV
METODE PENELITIAN
Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Divisi Infeksi, Divisi Emergensi Rawat Intensif Anak, dan Bagian Mikrobiologi.
Dr. Kariadi ruang rawat intensif Anak melalui Rekam Medik Januari 2018 -
Desember 2021.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional dengan
desain kasus kontrol (Case Control), yakni suatu penelitian survei analitik yang
retrospektif. Peneliti menggunakan data sekunder yang berupa data Rekam Medik RSUP.
Dr. Kariadi Semarang mulai Januari 2018 hingga Desember 2021, dari data sekunder
tersebut peneliti ingin mengetahui faktor risiko yang berpengaruh terhadap resistensi
spetrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang. Dalam penelitian
ini, mengidentifikasi hasil kultur kemudian dihubungkan dengan faktor risiko yakni usia,
urin, penggunaan kateter vena sentral, dan riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya.
32
Rancangan penelitian :
Usia
Perawatan lama
Resistensi Sefalosporin
Generasi III pada bakteri ESBL
Ventilator
Penggunaan
Antibiotik
sebelumnya
4.3.1 Populasi
Populasi target
Populasi target adalah semua anak yang mengalami resistensi sefalosporin generasi III
33
Populasi terjangkau
Populasi terjangkau semua anak yang mengalami resistensi sefalosporin generasi III
akibat infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas yang dirawat
di ruang rawat intensif anak di RSUP. Dr. Kariadi Januari 2018 hingga Desember 2021
4.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah semua anak yang mengalami resistensi sefalosporin generasi
III akibat infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas yang
dirawat di ruang rawat intensif anak di RSUP. Dr. Kariadi Januari 2018 hingga
1. Kasus :
spektrum luas.
2. Kontrol :
34
4.3.2.3 Cara Pengambilan Sampel
Pemilihan sampel diambil secara total sampling yaitu semua subyek yang
Keterangan :
P = ½ (P1+P2) = 0,53
Q1 = 1-p1 = 0,36
Q2 = 1-p2 = 0,47
Q = 1-P = 0,46
OR = Odds ratio
35
ketiga umumnya rendah (35,3%–53%) untuk isolat Enterobacter sp dan
Klebsiella sp) 18.
Hasil perhitungan :
(0,54-0,53) 2
n = 40 sampel
besar sampel minimal dari perhitungan rumus diatas yang dipakai dalam
penelitian ini sebanyak 40 sampel anak dalam setiap kelompok, sehingga total
Variabel bebas pada penelitian ini adalah usia, perawatan lama, penggunaan
Variabel terikat dalam penelitan ini adalah resistensi sefalosporin generasi III pada
36
4.5. Definisi Operasional
kelompok usia:
1. (1 bulan – ≤ 3 bulan)
2. (3 bulan – ≤ 3 tahun)
3. (3 tahun – 18 tahun)
dengan 9 hari.
37
6 Riwayat Prosedur untuk memasukkan selang Diklasifikasikan menjadi: Nominal
urin
sentral
bulan
38
4.6. Cara Pengumpulan Data
• Usia
• Perawatan lama
• Ventilator
• Feeding tube
• Kateter urin
• Kateter vena sentral
• Penggunaan antibiotik
sebelumnya
Analisis data
39
4.6.2 Tata cara pelaksanaan penelitian
1. Pengambilan data hasil kultur dilakukan dengan menggunakan data yang berasal
kultur dilakukan di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang
beta laktamase spektrum luas dimasukan dalam sampel penelitian. Dari data
untuk menelusuri faktor risiko. Data diidentifikasi dan pencatatan usia, perawatan
4. Semua data yang terkumpul akan dianalisis dengan SPSS versi 16.0
pemeriksaan kebenaran dan kelengkapan data (data cleaning). Data yang diperoleh
kemudian di editing, coding, serta tabulasi dan dimasukan kedalam komputer (data
entry).
Analisa data meliputi analisa deskriptif dan uji hipotesis. Uji hipotesis
40
Besar risiko terhadap kejadian resistensi sefalosporin generasi III pada bakteri
Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas dinyatakan sebagai nilai
Rasio Odd (Odds Ratio = OR) dan 95 % CI.
Penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan informasi mengenai maksud
penelitian. Hasil dari penelitian ini akan dijaga kerahasiannya. Kajian Etik (Ethical clearance)
diajukan untuk mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
41
BAB V
HASIL PENELITIAN
42
Karakteristik dasar subyek
Pada hasil penelitian, didaptkan frekuensi anak yang mengalami infeksi
Enterobacteriacea penghasil ESBL lebih tinggi 64% dibanding Non ESBL 36%. Jenis
kelamin perempuan didapatkan 58 (52,3%) anak terinfeksi Enterobacteriacea dari total
sampel. Rerata usia anak yang terinfeksi bakteri ESBL yang dirawat di ruang rawat
intensif anak berusia 3 bulan hingga ≤ 3 tahun (45%). Frekuensi lama rawat yang
memanjang lebih dari 9 hari didapatkan 68 (61,3%) anak.
Selama perawatan di ruang rawat intensif anak, rata – rata pasien menggunakan
alat invasif. Penggunaan ventilator lebih dari 2 hari (55,9%), penggunaan selang feeding
tube lebih dari 5 hari (99%), penggunaan kateter urin lebih dari 7 hari (61,3%), penggunaan
kateter vena sentral lebih dari 10 hari (68,5%), dan riwayat penggunaan antibiotik
sefalosporin generasi III (73%). Data disajikan pada tabel 3.
43
Tabel 4. Etiologi bakteri Enterobacteriaceae
Jenis Bakteri Frekuensi %
E.Coli 46 41,4
K.Pneumoniae 65 58,5
Klebsiella pneumoniae
Urin 10 15
Sputum 39 60
Pus 1 1,5
Darah 13 20
Jaringan 1 1,5
LCS 1 1,5
44
5.3 Hubungan antar variabel
Tabel 6. Hubungan antar variabel yang berpengaruh terhadap resistensi sefalosporin gen. III
Sensitifitas sefalosporin
Variabel generasi III p OR (95% CI)
ESBL Non ESBL
Jenis kelamin
Laki-laki 35 (66) 18 (34) 0,813¥ 1,19 (0,55 – 2,59)
Perempuan 36 (62,1) 22 (37,9)
Usia
1 bulan – ≤ 3 bulan 16 (72,7) 6 (27,3) 0,479¥ 1,65 (0,59 – 4,62)
3 bulan – ≤ 3 tahun 30 (60) 20 (40) 0,556 ¥
0,73 (0,34 – 1,59)
3 tahun – 18 tahun 25 (64,1) 14 (35,9) 1,000¥ 1,01 (0,45 – 2,27)
Perawatan lama
> 9 hari 46 (67,6) 22 (32,4) 0,416¥ 1,51 (0,68 – 3,32)
≤ 9 hari 25 (58,1) 18 (41,9)
Ventilator
> 2 hari 44 (71) 18 (29) 0,126¥ 1,99 (0,91 – 4,37)
≤ 2 hari 27 (55,1) 22 (44,9)
NGT
> 5 hari 71 (64,5) 39 (35,5) 0,360£ –
≤ 5 hari 0 (0) 1 (100)
Kateter urin
> 7 hari 45 (66,2) 23 (33,8) 0,684¥ 1,28 (0,58 – 2,82)
≤ 7 hari 26 (60,5) 17 (39,5)
CVC
> 10 hari 52 (68,4) 24 (31,6) 0,219¥ 1,83 (0,80 – 4,15)
≤ 10 hari 19 (54,3) 16 (45,7)
Antibiotik
Cefalosporin 57 (70,4) 24 (29,6) 0,037¥* 2,71 (1,15 – 6,42)
Aminoglikosida 44 (65,7) 23 (34,3) 0,795 ¥
1,21 (0,55 – 2,65)
Keterangan : * Signifikan (p < 0,05); ¥ Yates Correction; £ Fisher’s exact
Pada analisis bivariat, variabel penggunaan alat invasif tidak menunjukan korelasi
signifikan pada infeksi bakteri ESBL, penggunaan ventilator (p = 0,126), feeding tube (p
= 0,36), kateter urin (p = 0,684), CVC (p = 0,219), demikian juga pada analisis variabel
usia muda (p = 0,520) dan perawatan lama (p = 0,416). Namun, riwayat penggunaan
antibiotik sefalosporin generasi III pada pasien anak sakit kritis yang di rawat di ruang
rawat intensif anak berhubungan kuat dengan infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta
laktamase spektrum luas dengan p = 0,037 (p < 0,05) dan odds ratio 2,7, dengan 95% CI
yaitu 1,15 – 6,42. Hasil analisis disajikan pada tabel 6.
45
Regresi logistik dilakukan untuk mencari faktor yang paling berpengaruh
signifikan terhadap infeksi Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase spektrum luas.
46
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2022 sampai Mei 2022. Total sebanyak 111
data anak yang di rawat di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang yang
terinfeksi bakteri Enterobacteriaceae dikumpulkan melalui data rekam medik dan hasil kultur
dari mikrobiologi. Tidak didapatkan data yang memenuhi kriteria eksklusi sehingga semua
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dimasukan dalam penelitian.
47
sefalosporin, dan riwayat kolonisasi sebelumnya. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh Marit
G. Tellevik, dkk, yang mencari prevalensi feses sebagai pembawa ESBL-PE dan
identifikasi faktor risiko pembawa (carriage) pada anak-anak dibawah usia 2 tahun di
Tanzania. Marit menemukan usia 0-3 bulan berisiko 9 kali lebih mudah terinfeksi ESBL.
Hal ini mungkin terkait transmisi saat perawatan atau strain resisten yang ditularkan dari
ibu ke bayi, faktor risiko lain yang ditemukan adalah status infeksi HIV anak dan
penggunaan antibiotik lebih dari 14 hari sebagai faktor independen terkait dengan pembawa
ESBL, subyek penelitian membandingkan pada anak yang dirawat di Rumah sakit dan anak
yang berada di luar Rumah sakit 31, 32.
Hasil berbeda ditunjukan oleh Amar Widiano dan Alan Tumbaleka di PICU RSAB
Harapan Kita tahun 2002 yang menyatakan lama perawatan yang memanjang (>7 hari)
dan penggunaan sefotaksim lebih dari 5 hari meningkatkan risiko resistensi bakteri Gram
negatif pada P.aeruginosa dan Enterobacter sp, diduga selama perawatan di PICU pasien
akan terpapar oleh perputaran beberapa bakteri yang telah mengalami resisten. Hipotesa
lain menyatakan penggunaan antibiotik profilakasis yang tidak adekuat berhubungan
dengan peningkatan angka rawat inap yang lama 18. Perbedaan tahun penelitian dengan
peneliti memungkinkan program pengendalian resistensi antibiotik di RSAB Harapan Kita
48
belum berjalan, sehingga penggunaan antibiotik lama, profilaksis antibiotik yang tidak
adekuat dan perawatan lama masih cukup tinggi.
49
(Stress Ulcer Prophylaxis), menjaga kebersihan mulut, menghindari penggunaan obat
relaksasi dan sedasi berkepanjangan, penggunaan selang endotracheal tube yang tepat,
pengetahuan tentang sensitivitas patogen lokal serta kebijakan antimikroba yang memadai
oleh tim pengendali resisntensi antibiotik di Rumah sakit 36.
6.4 Variabel penggunaan feeding tube terhadap resistensi sefalosporin generasi III
Pengidentifikasian faktor resiko terhadap infeksi oleh bakteri penghasil ESBL sangat
penting dalam mencegah penyebaran ESBL. Kolonisasi pada feeding tube memungkinkan bakteri
memasuki saluran pencernaan dan berpotensi meningkatkan risiko resistensi terhadap antibiotik.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 111 pasien yang terpasang feeding
tube, didapatkan hasil bahwa sebanyak 71 anak terinfeksi bakteri ESBL. Namun pada analisis
ditemukan penggunaan feeding tube tidak berpengaruh terhadap resistensi sefalosporin generasi
III. Hasil ini serupa dengan penelitian Wan-Lin Tsai yang menemukan risiko bakteremia oleh infeksi
E.coli penghasil ESBL pada populasi anak dan dewasa, dikatakan penggunaan feeding tube tidak
berhubungan dengan kejadian bakteremia oleh infeksi E.coli penghasil ESBL 37.
Kebanyakan hasil penelitian sebelumnya menunjukan hasil yang berbeda. Salah satunya,
Selastri Agnes, dkk menyebutkan penggunaan selang feeding tube merupakan salah satu faktor
risiko infeksi E.coli dan K.penumonia penghasil ESBL pada pasien anak di RSUP H. Adam Malik
Medan. Risiko ini dikarenakan pemasangan alat invasif seperti selang kateter vena perifer, kateter
urin, dan feeding tube lebih sering dilakukan oleh paramedis dan kemungkinan kurang sterilnya
peralatan yang digunakan 38.
Pedoman standar prosedur pemasangan alat medis di RSUP Dr. Kariadi mengatur
pemasangan feeding tube yang dilakukan oleh paramedis menerapkan standar precaution yang
ketat. Selain itu kolonisasi pada ujung selang feeding tube dan dysbiosis juga memainkan peran
penting dalam terjadinya resistensi, Pembilasan selang feeding tube untuk mengurangi residu
pada permukaan interior feeding tube, dan pengecekan sisa makanan pada isi lambung (aspirasi
lambung) dilakukan hanya pada kondisi tertentu dan tidak rutin dilakukan pada setiap pasien saat
hendak pemberian makanan, sehingga tidak terbentuk kolonisasi pada selang dan terjadinya
dysbiosis 39.
6.5 Variabel penggunaan kateter urin terhadap resistensi sefalosporin generasi III
Nosocomial urinary tract infection (NUTI) merupakan salah satu infeksi yang
paling sering terjadi di ruang rawat intensif anak. Brindha, dkk membuktikan bahwa
bakteriuria nosokomial terjadi pada 25% pasien yang membutuhkan kateter urin selama >7
hari dan temuan bakteri telah menunjukan resisten, antara lain Enterococus (28,5% resisten
vankomisin), E.coli dan K.pneumonia (20,6% resisten sefalosporin generasi III). Pemilihan
50
antibiotik dan atau dosis yang tidak tepat kemungkinan meningkatkan terjadinya resistensi
40
.
Pada penelitian ini, didapatkan 68 anak menggunakan kateter urin > 7 hari dan 45
anak terinfeksi bakteri Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Namun hasil analisis
menunjukan penggunaan kateter urin > 7 hari tidak berhubungan dengan resistensi
sefalosporin generasi III. Lisa Degnan, juga menegaskan penggunaan kateter urin bukan
merupakan salah satu faktor risiko bakteria dari isolat urin pada anak, melainkan
penggunaan CVC, riwayat penggunaan antibiotik (sefalosporin generasi III, vankomisin)
dan penggunaan kortikosteroid 41.
51
Hasil penelitian didukung oleh Sevgen, dkk yang membandingkan kejadian infeksi
aliran darah, pada K.pneumonia penghasil ESBL dan Non ESBL pada pasien < 18 tahun.
Sevgen menegaskan, penggunaan kateter vena sentral tidak berkaitan dengan kejadian
infeksi aliran darah oleh K.pneumoniae penghasil ESBL, melainkan perawatan lama, usia
muda < 1 tahun dan riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya. Penelitian zaoutis juga
menyebutkan bahwa penggunaan kateter vena sentral bukanlah faktor risiko untuk infeksi
ESBL 34, 43.
Penggantian kateter vena sentral di RSUP Dr. Kariadi tidak dilakukan secara rutin,
namun mempertimbangkan kondisi klinis pasien. Untuk mencegah terjadinya kolonisasi
dan CLABSI, Guidelines for the prevention of intravascular catheter – related infection
oleh CDC merekomendasikan kebersihan pemasangan alat kateter vena sentral, teknik
asepsis, dan persiapan pasien yang baik perlu dilakukan dengan ketat, karena berpengaruh
terhadap pencegahan CLABSI. Hal ini juga telah diterapakan di RSUP Dr. kariadi
Semarang 44.
52
Tingginya angka resistensi sefalosporin generasi III di ruang rawat intensif
merupakan tantangan yang dihadapi dalam penatalaksanaan pasien di ruang rawat
intensif. Resistensi antibiotik tentunya tidak dapat sepenuhnya dihindari. Paparan
antibiotik sefalosporin secara terus menerus akan memberikan selective pressure pada
bakteri patogen dan non patogen yang dapat mengubah flora usus dan saluran kemih, hal
ini menciptakan lingkukngan di mana bakteri resiten dapat berkembang dan bertahan.
Menanggapi tantangan tersebut, RSUP DR. kariadi memiliki program dan tim
pengendalian resistensi antibiotik yang bekerja keras untuk menekan angka resistensi dan
menurunkan risiko infeksi nosokomial 46.
1. Penelitian dilakukan hanya pada pasien yang di rawat di ruang rawat intensif dan tidak
ada pengamatan mobiditas, diagnosis dan lama pemberian antibiotik pada saat
perawatan di ruang rawat intensif yang mungkin berpengaruh terhadap hasil
penelitian.
53
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Kesimpulan umum
Faktor risiko resistensi sefalosporin generasi III pada infeksi Enterobacteriaceae
penghasil beta laktamase spektrum luas di ruang rawat intensif anak RSUP. Dr.
Kariadi Semarang adalah riwayat penggunaan antibiotik sefalosporin generasi III.
54
7.2 Saran
1. Penggunaan antibiotik sefalopsorin generasi III sebagai terapi awal pada pasien
anak sakit kritis di ruang rawat intensif harus mendapat perhatian khusus baik dalam
hal pengawasan dosis, lama penggunaan dan dilakukan kontrol terhadap efektifitas
antibiotik.
55
Daftar Pustaka
1. Abbas Q, Ul Haq A, Kumar R, Ali SA, Hussain K, Shakoor S. Evaluation of antibiotic use in
Pediatric Intensive Care Unit of a developing country. Indian J Crit Care Med. 2016;20(5):291–
4.
2. Gray KJ, Wilson LK, Phiri A, Corkill JE, French N, Hart CA. Identification and characterization of
ceftriaxone resistance and extended-spectrum β-lactamases in Malawian bacteraemic
Enterobacteriaceae. J Antimicrob Chemother. 2006;57(4):661–5.
3. Paterson DL. Resistance in Gram-Negative Bacteria: Enterobacteriaceae. Am J Med.
2006;119(6A):20–8.
4. Xiao Y, Hang Y, Chen Y, Fang X, Cao X, Hu X, et al. A retrospective analysis of risk factors and
patient outcomes of bloodstream infection with extended-spectrum β-lactamase-producing
escherichia coli in a chinese tertiary hospital. Infect Drug Resist. 2020;13:4289–96.
5. Logan LK, Braykov NP, Weinstein RA, Laxminarayan R. Extended-spectrum ß-lactamase-
producing and third-generation cephalosporin-resistant Enterobacteriaceae in children:
Trends in the United States, 1999-2011. J Pediatric Infect Dis Soc. 2014;3(4):320–8.
6. Oliveira MC, Oliveira CRA, Gonçalves KV, Santos MS, Tardelli ACS, Nobre VA.
Enterobacteriaceae resistant to third generation cephalosporins upon hospital admission:
Risk factors and clinical outcomes. Brazilian J Infect Dis. 2015;19(3):239–45.
7. Chiotos K, Gerber JS, Himebauch AS. How Can We Optimize Antibiotic Use in the PICU.
Pediatr Crit Care Med. 2017;18(9):903–4.
8. Mohamed MH, Ghazaly, Amany M. Sakhr, Mohamad IL. Audit of Antibiotic Uses in Pediatric
Intensive Care Unit of Assiut University Hospital. Med J Cairo Univ. 2018;86(12):3937–41.
9. Muszynski JA, Nofziger R, Moore-Clingenpeel M, Greathouse K, Anglim L, Steele L, et al. Early
immune function and duration of organ dysfunction in critically ill children with sepsis. Am J
Respir Crit Care Med. 2018;198(3):361–9.
10. Dorofaeff T, Peter HM. Textbook of Clinical Pediatrics. Textb Clin Pediatr. 2012;(c).
11. Putra IW, Irwanto I, Dharmawati I, Setyaningtyas A, Puspitasari D, Wahyu AD, et al. Microbial
Pattern and Antibiotic Susceptibility in Pediatric Intensive Care Unit Dr. Soetomo Hospital,
Surabaya. Indones J Trop Infect Dis. 2019;7(5):122.
12. Adisasmito AW, Rezeki S, Hadinegoro S, Amar W, Adisasmito SK, Kerja I, et al. Infeksi Bakteri
Gram Negatif di ICU Anak: epidemiologi, manajemen antibiotik dan pencegahan manajemen
antibiotik dan pencegahan. Sari Pediatr. 2004;6(1):32–9.
13. Taslim E, Maskoen TT. Pola Kuman Terbanyak Sebagai Agen Penyebab Infeksi di Intensive
Care Unit pada Beberapa Rumah Sakit di Indonesia. Maj Anest dan Crit Care. 2016;34(1):33–
9.
14. Amelia A, Nugroho A, Harijanto PN. Diagnosis and Management of Infections Caused by
Enterobacteriaceae Producing Extended-Spectrum b-Lactamase. Acta Med Indones.
2016;48(2):156–66.
15. IDEXX. Microbiology Guide to Interpreting Minimum Inhibitory Concentration (MIC).
2019;(Mic):1–5. Available from: https://www.idexx.dk/files/microbiology-guide-interpreting-
mic-nordics.pdf/
16. Holmes AH, Moore LSP, Sundsfjord A, Steinbakk M, Regmi S, Karkey A, et al. Understanding
56
the mechanisms and drivers of antimicrobial resistance. Lancet. 2016;387(10014):176–87.
17. Lin J, Nishino K, Roberts MC, Tolmasky M, Aminov RI, Zhang L. Mechanisms of antibiotic
resistance. Front Microbiol. 2015;6.
18. Adisasmito AW, Tumbelaka AR. Penggunaan antibiotik khususnya pada infeksi bakteri gram
negatif di ICU anak RSAB Harapan Kita. Sari Pediatr. 2016;8(2):127.
19. Shahbaz K. Cephalosporins: pharmacology and chemistry. Pharm Biol Eval. 2017;4(6):234.
20. Bradley JS, Nelson JD, Kimberlin DW. Nelson ’ s Pediatric Antimicrobial Therapy. 20th ed.
American: American Academy of Pediatrics; 2014. 1 p.
21. Wendt C, Lin D, Von Baum H. Risk factors for colonization with third-generation
cephalosporin-resistant enterobacteriaceae. Infection. 2005;33(5–6):327–32.
22. Waldo N. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed. Behrman, Kliegman, Arvin, editors. Jakarta:
EGC; 2000. 345–48 p.
23. van den Bunt G, Liakopoulos A, Mevius DJ, Geurts Y, Fluit AC, Bonten MJM, et al. ESBL/AmpC-
producing Enterobacteriaceae in households with children of preschool age: Prevalence, risk
factors and co-carriage. J Antimicrob Chemother. 2017;72(2):589–95.
24. Hurrell E, Kucerova E, Loughlin M, Caubilla-Barron J, Hilton A, Armstrong R, et al. Neonatal
enteral feeding tubes as loci for colonisation by members of the Enterobacteriaceae. BMC
Infect Dis. 2009;9:146.
25. Nwoguh E, Anderton A. Bacterial colonization of Enteral Feeding Tubes. Dep Biosci.
1991;4:273–80.
26. Langley JM, Hanakowski M, LeBlanc JC. Unique epidemiology of nosocomial urinary tract
infection in children. Am J Infect Control. 2001;29(2):94–8.
27. NICE Guideline. Urinary tract infection (catheter-associated): antimicrobial prescribing. Nice.
2018;(October 2018):35p.
28. Gahlot R, Nigam C, Kumar V, Yadav G, Anupurba S. Catheter ‑ related bloodstream infections.
Dep Microbiol. 2014;4(2).
29. Ortegón L, D M, Puentes-herrera M, D M, Corrales IF, D M. Colonization and infection in the
newborn infant : Does chlorhexidine play a role in infection prevention. 2017;115(1):65–70.
30. Shaikh S, Fatima J, Shakil S, Rizvi SMD, Kamal MA. Antibiotic resistance and extended
spectrum beta-lactamases: Types, epidemiology and treatment. Saudi J Biol Sci.
2015;22(1):90–101.
31. Norouzi F, Shokouhi Mostafavi SK, Hasanvand F, Nojoomi F. Risk Factors Associated with ESBL
and CPE Acquisition among Pediatrics: A Systematic Review. Infect Epidemiol Microbiol.
2018;4(1):30–7.
32. Tellevik MG, Blomberg B, Kommedal Ø, Maselle SY, Langeland N, Moyo SJ. High prevalence of
faecal carriage of esbl-producing enterobacteriaceae among children in Dar es Salaam,
Tanzania. PLoS One. 2016;11(12):1–13.
33. Alves M, Lemire A, Decré D, Margetis D, Bigé N, Pichereau C, et al. ESBL producing
enterobacteriaceae in the intensive care unit : acquisition does not mean cross-transmission.
BMC Infect Dis. 2016;1–9.
34. Zaoutis TE, Goyal M, Chu JH, Coffin SE, Bell LM, Nachamkin I, et al. Risk factors for and
57
outcomes of bloodstream infection caused by extended-spectrum β-lactamase-producing
Escherichia coli and Klebsiella species in children. Pediatrics. 2005;115(4):942–9.
35. Vargas, S ; Augusti, G ; Zavascki A. Risk factros for and mortality of extended spectrum beta
lactamase producing klebsiella pneumoniae and escherichia coli nosocomial bloodstream
infection. 2009;51(4):211–6.
36. Mladenov B. Ventilator Associated Pneumonia in Pediatric ICU Prophylaxis and Treatment.
2020;3(1):25–30.
37. Tsai WL, Hung CH, Chen HA, Wang JL, Huang IF, Chiou YH, et al. Extended-spectrum β-
lactamase-producing Escherichia coli bacteremia: Comparison of pediatric and adult
populations. J Microbiol Immunol Infect. 2018;51(6):723–31.
38. Agnes S, Loesnihari R, Muzahar. Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh. Maj
Kedokt Nusant. 2014;51(4):185–9.
39. Taft DH, Salinero LK, Vongbhavit K, Kalanetra KM, Masarweh C, Yu A, et al. Bacterial
colonization and antimicrobial resistance genes in neonatal enteral feeding tubes. FEMS
Microbiol Ecol. 2019;95(4):1–12.
40. Brindha SM, Jayashree M, Singhi S, Taneja N. Study of nosocomial urinary tract infections in a
pediatric intensive care unit. J Trop Pediatr. 2011;57(5):357–62.
41. Degnan LA, Milstone AM, Diener-West M, Lee CKK. Extended-spectrum beta-lactamase
bacteria from urine isolates in children. J Pediatr Pharmacol Ther. 2015;20(5):373–7.
42. Elnasser Z, Obeidat H, Amarin Z. Device-related infections in a pediatric intensive care unit:
The Jordan University of Science and Technology experience. Medicine (Baltimore).
2021;100(43):e27651.
43. Tanlr Basaranoglu S, Ozsurekci Y, Aykac K, Karadag Oncel E, Blcakcigil A, Sancak B, et al. A
comparison of blood stream infections with extended spectrum beta-lactamase-producing
and non-producing Klebsiella pneumoniae in pediatric patients. Ital J Pediatr. 2017;43(1):1–7.
44. O’Grady NP, Alexander M, Burns LA, Dellinger EP, Garland J, Heard SO, et al. Guidelines for
the prevention of intravascular catheter-related infections. Am J Infect Control. 2011;39(4).
45. Suranadi W, Fatmawati D, Ryalino C, Hartawan IGAGU, Yanto F. The influence of antibiotics
usage on extended-spectrum β-lactamase-producing enterobacter colonization among
intensive care unit patients. Open Access Maced J Med Sci. 2021;9:52–6.
46. Bryce A, Costelloe C, Wootton M, Butler CC, Hay AD. Comparison of risk factors for, and
prevalence of, antibiotic resistance in contaminating and pathogenic urinary Escherichia coli
in children in primary care: Prospective cohort study. J Antimicrob Chemother.
2018;73(5):1359–67.
58