Anda di halaman 1dari 173

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG, HABITAT DAN ANCAMAN DI

KAWASAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI

TESIS

ANGGANETA M HEIPON
NIM. 2015 02 034

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2017
KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG, HABITAT DAN ANCAMAN DI
KAWASAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI

TESIS

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh


Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana UNIPA

ANGGANETA M HEIPON
NIM. 2015 02 034

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG, HABITAT


DAN ANCAMAN DI KAWASAN TAMAN WISATA
ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI

Nama : Angganeta M Heipon


NIM : 2015 02 034
Program Studi : Ilmu Lingkungan
Program Pendidikan : Strata 2

Telah diuji oleh tim penguji ujian akhir dan dinyatakan LULUS
pada tanggal 14 Juni 2017

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Keliopas Krey, S.Pd. M.Si Ir. Agus Kilmaskossu, M.Si


Anggota
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan Direktur Program Pascasarjana

Dr. Ir.Eko Agus Martanto, MP Dr. Ir. Rudi.A.Maturbongs, M.Si


NIP. 19630216 19031 004 NIP. 19640417 199203 1 003
Tesis ini telah diuji pada Sidang Ujian Tesis
Tanggal 14 Juni 2017

Panitia Penguji Tesis

Nama Penguji

1. Dr. Keliopas Krey, S.Pd. M.Si Penguji I

2. Ir. Agus Kilmaskossu,M.Si Penguji II

3. Dr. Elda. Irma. JJ. Kawulur, S.Si.M.Si Penguji III

4. Ir. Fredy Pattiselanno. M.Sc Penguji IV

5. Dr. Meike M. Lisangan, SP. M.Si Penguji V


PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Angganeta M Heipon


NIM : 2015 02 034
Program Studi : Ilmu Lingkungan
Program Pendidikan : Strata 2

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini adalah karya saya sendiri, dan
semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari ternyata terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan PERMENDIKNAS RI No.17 Tahun 2001 dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Manokwari, 14 Juni 2017


Yang menyatakan,

Meterai 6000
Angganeta M Heipon
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Papua, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Angganeta M Heipon
NIM : 2015 02 034
Program Studi : Ilmu Lingkungan
Program Pendidikan : Strata 2

Demi pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan, menyetujui untuk memberikan


kepada PPs UNIPA Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusve Royalty-Free Right) atas
karya ilmiah saya yang berjudul :

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG, HABITAT DAN ANCAMAN DI KAWASAN


TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini kepada
PPs UNIPA untuk berhak menyimpan, mengalih media / formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Manokwari
Pada tanggal :14 Juni 2017

Yang menyatakan,

Meterai 6000

Angganeta M Heipon
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 13 September 1985, merupakan anak

kedua dari enam bersaudara dari ayah bernama Yered Heipon dan ibu Adolina Ayatanoi.

Pendidikan formal diawali pada tahun 1988 di TK Kuncup Harapan Amban dan tamat

belajar tahun 1990. Pada tahun 1990 penulis diterima di SD Negeri 01 Amban Manokwari dan

tamat belajar pada tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri

06 Anggori Manokwari dan tamat pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan

pendidikan ke SMU Negeri 01 Manokwari dan tamat tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis

melanjutkan pendidikan melalui UMPTN masuk Universitas Negeri Papua (UNIPA) Jurusan

Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) dan lulus pada tahun 2008.

Penulis mengabdi sebagai staf Honorer (Sebagai Honor lepas) di Dinas Sosial Provinsi Papua

Barat pada tahun 2010 sampai sekarang. Pada tahun 2015 penulis melanjutkan studi pada

Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Papua Manokwari.


KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG, HABITAT DAN ANCAMAN DI
KAWASAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI

ABSTRAK

Burung merupakan salah satu kelompok terbesar vertebrata yang banyak dikenal,
diperkirakan lebih dari 9000 jenis yang tersebar di dunia. Indonesia memiliki tidak kurang dari
1600 jenis, diantaranya terdapat lebih dari 700 jenis burung di Papua. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui keanekaragaman Jenis Burung, mengkaji habitat dan ancaman yang terjadi di
Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) Kabupaten Manokwari Propinsi Papua
Barat, dan mempelajari dinamika populasi jenis burung berdasarkan penelitian – penelitian yang
pernah dilakukan di TWA Gunung Meja. Penelitian di lakasanakan satu bulan yaitu pada
November 2016 dengan menggunakan metode deskriptif dengan teknik sensus burung metode
Point Count (titik hitung) atau IPA (Indices Ponctuels d’Abondence) menurut Bibby et al.,
(1992) jarak antara titik tidak tetap dan ditentukan secara acak sebanyak 16 (enam belas) titk
pengamatan. Jarak antara titik tidak boleh kurang dari 200 m untuk menghindari perhitungan
ganda.
Hasil pengamatan burung pada ke-16 titik pengamatan ditemukan 28 jenis burung yang
dapat dikelompokkan ke dalam 14 famili. Beberapa diantara jenis burung diambil gambar secara
langsung dan beberapa yang lainnya dengan panduan buku burung karangan Beehler, Pratt dan
Zimmerman (2001) dan rekaman suara burung. Nilai keanekaragaman jenis (H’) burung di
TWAGM berkisar 2,13 – 2,78 tergolong sedang. Dinamika jenis burung di TWAGM adalah
sebanyak 119 jenis burung dari 35 Family sejak pendataan tahun 1957 – 2016.

Kata Kunci : Dinamika fauna, burung, zonansi habitat, ancaman


BIRDS DIVERSITY, HABITAT, AND THREAT IN AREA OF TAMAN
WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI

ABSTRAK

Birds is one of the largest known group of vertebrata. An estimation shows that more
than 9,000 kinds of birds are spread all over the world. Indonesia has 1,600 kinds, which 700 of
them are in Papua.
The object of the research is to find out the diversity of birds kinds, study their habitat and threat
in area of Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) in Regency of Manokwari, West Papua
Province; and study population dynamics of bird kinds based on researches done in TWAGM.
The research was conducted for 1 (one) month in November 2016, using descriptive method with
technic of bird census in Point Count Method or IPA (Indices Ponctuels d’Abondence) according
to Bibby et al., (1992). Distances between observation points are irregular, with 16 random
observation points.
Distances between each points should not be less than 200 meters to avoid double count.
The result of bird observation on 16 points is the finding of 28 kinds of birds that can be
classified into 14 families. Some of the bird pictures were captured with camera, while some
others were taken from the guidance book of birds by Beehler, Pratt, and Zimmerman (2001).
Recording of birds sounds are also used.
Score of birds diversity (H’) in TWAGM range from 2.13 – 2.78 (medium).
Dynamics of bird kinds in TWAGM are 119 kinds out of 35 families from 1957 – 2016.
Research has resulted in finding of 28 species out of 14 families.
Keywords: fauna dynamics, birds, habitat zonation, threat.
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kasih dan
Anugerah-Nya penulis dapat menyajikan tesis yang berjudul : Keanekaragaman Jenis Burung,
Habitat dan Ancaman di Kawasan Taman wisata alam Gunung Meja Manokwari sebagai syarat
memperoleh gelar Magister Ilmu Lingkungan pada Program Studi Ilmu Lingkungan Program
Pascasarjana Universitas Papua. Didalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang
meliputi : Dinamika jenis burung, komposisi jenis burung status konservasi, waktu dan aktivitas
burung, zona habitat dan ancaman.
Nilai penting penelitian ini adalah mengkaji nilai keanekaragaman jenis burung, ancaman
dan habitat di kawasan TWAGM. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
ilmiah mengenai dinamika jenis burung, habitat dan ancaman yang ada di kawasan TWA
Gunung Meja Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Penting pula sebagai informasi dasar
bagi institusi terkait yang mengelolah kawasan dalam upaya pelestarian burung baik di saat ini
maupun yang akan datang.
Disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis, walaupun
telah dikerahkan segala kemampuan untuk lebih teliti, tetapi masih dirasakan banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini
berbobot lebih dan bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Manokwari, 14 Juni 2017


Penulis,

Angganeta M Heipon
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji, syukur dan hormat penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas
anugrah hikmat, berkat, dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul " Keanekaragaman Jenis Burung, Habitat dan Ancaman di Kawasan Taman Wisata
Alam Gunung Meja Manokwari" Tesis ini sebagai syarat memperoleh gelar Magister Ilmu
Lingkungan pada Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascaarjana Universitas Papua.
Proses penelitian dan penyusunan tesis ini adalah hasil kontribusi dari berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih setulusnya kepada: Dr.
Keliopas Krey, S.Pd.M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Agus Kilmaskossu, M.Si
selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, menyumbangkan tenaga
dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan arahan serta memotivasi penulis dalam
penyusunan hingga selesainnya tesis ini.
Terima kasih dan penghargaan pula penulis sampaikan kepada:
1. Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Manokwari beserta jajarannya
yang mana telah membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan serta
memfasilitasi alat – alat penelitian.
2. Rektor, Direktur dan Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Papua beserta
seluruh jajarannya yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi
di Universitas Papua.
3. Ketua dan sekretaris program studi masing – masing Dr.Ir. Eko Martanto, MP, dan
Dr.Alce Iloria Noya, SP.M.Si
4. Semua Dosen dan staf dosen Pascasarja UNIPA
5. Teman – teman angkatan 2015 Ilmu Lingkungan atas kebersamaan dan kekompakkan
selama ini.
6. Kepada ketiga adik kekasih yang selalu membantu dalam pengambilan data di lapangan
:Hendrik Burwos, S,Hut, Tetei Mandabayam, A.Md. Hut dan Dumangus Wutoi,
A.Md.Hut
7. Kepada keluarga kekasih yang selalu menopang didalam rohani kel. Bpk. Yunus
Ayatanaoi
8. Kepada sdr kekasih kel. Frits Heipon dan kel Yoyo Kamer yang selalu membantu dalam
tenaga, doa, dana dan kepada kedua sdr kekasih Yunus dan Andreas Heipon yang selalu
membantu dalam dukungan moral dan doa
9. Kepada sdri kekasih Ame Sesa yang selalu membantu dalam susah dan senang
10. Kepada Sdri kekasihi Marta Rita Ullo, SH yang slealu menopang didalam doa dan dana
11. Kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan tesis ini yang penulis tidak sempat
sebutkan namanya satu persatu.
12. Yang terakhir tesis ini penulis persembahkan bagi orang tua tercinta Bpk. Yered Heipon
dan Ibu Adolina Ayatanoi serta anak kekasih Ester Claudia Heipon yang selalu
menopang didalam doa, dana dan memberikan semangat dan dorongan bagi penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata semoga Tuhan Yesus Kristus yang mempunyai kehidupan ini selalu
memberkati kita dalam mengejar ilmu dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua
yang membutuhkannya.

Manokwari, 14 Juni 2017


Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................................ i


HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii
HALAMAN PENETAPAN PENGUJI ................................................................. iv
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................ v
PERNYATAAN PUBLIKASI ............................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................... vii
ABSTRAC ............................................................................................................... viii
KATA PENGATANTAR ....................................................................................... ix
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ............................................................. xii
DAFTAR TANDA / SIMBOL ................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9


2.1 Deskripsi Kawasan Penelitian .................................................................... 9
2.2 Potensi ........................................................................................................ 19
2.3 Infrastruktur Pariwisata .............................................................................. 32
2.4 Sosial Ekonomi dan Budaya ....................................................................... 36
2.5 Keanekaragaman Hayati dan Keanekaragaman Jenis Burung ................... 39
2.6 Ekologi Lanskap ......................................................................................... 40
2.7 Ekologi Burung........................................................................................... 49
2.8. Burung dan Vegetasi ................................................................................. 56
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 60
3.1 Tempat dan Waktu ..................................................................................... 60
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................... 60
3.3 Rancangan Penelitia Yang Digunakan ....................................................... 60
3.4 Prosedur Penelitian ..................................................................................... 61
3.5 Variabel Pengamatan ................................................................................. 62
3.6 Analisis Data .............................................................................................. 66

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 67


4.1 Hasil ........................................................................................................ 67
4.1.1 Kondisi Habitat Penelitian ....................................................................... 68
4.1.2 Komposisi Jenis Burung dan Status Konservasi.. ................................... 73
4.1.3 Keanekaragaman Jenis Burung. .............................................................. 75
4.1.4 Kekayaan / Kelimpahan Jenis Burung..................................................... 75
4.1.5 Dominansi Jenis Burung.......................................................................... 76
4.1.6 Waktu dan Aktivitas Jenis Burung.. ........................................................ 77
4.1.7 Penggunaan Vegetasi Oleh Burung ......................................................... 78
4.1.8. Dinamika Jenis Burung .......................................................................... 80
4.2. Pembahasan …………………………………………………………… 82
4.2.1 Kondisi Habitat Penelitian ....................................................................... 82
4.2.2 Komposisi Jenis Burung dan Status Konservasi.. ................................... 92
4.2.3 Keanekaragaman Jenis Burung. .............................................................. 95
4.2.4 Kekayaan / Kelimpahan Jenis Burung..................................................... 97
4.2.5 Dominansi Jenis Burung.......................................................................... 98
4.2.6 Waktu dan Aktivitas Jenis Burung.. ........................................................ 100
4.2.7 Penggunaan Vegetasi Oleh Burung .........................................................104
4.2.8 Distribusi Spasial Burung. .......................................................................108
4.2.9 Dinamika Jenis Burung. ...........................................................................109
BAB V. PENUTUP...................................................................................................116
5.1 Kesimpulan. ................................................................................................116
5.2 Saran. ..........................................................................................................117

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................119

LAMPIRAN..............................................................................................................124
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 kandungan Kimia Tanah Kawasan TWAGM ........................................... 16

Tabel 2.2 Potensi Tegakan Hutan Tanaman di TWAGM ......................................... 20

Tabel 2.3 Jenis Satwa Liar Di Kawasan TWAGM .................................................. 22

Tabel 2.4 Estimasi Jumlah Penduduk di Sekitar TWAGM ...................................... 38

Tabel 4.1Letak Kondisi Titik Pengamatan & Aktivitas Burung .............................. 68

Tabel 4.2 Nama Jenis Burung & Status Konservasi di TWAGM ............................ 73

Tabel 4.3 Keanekaragaman Jenis Burung di TWAGM ............................................. 75

Tabel 4.4 Kekayaan/Kelimpahan Jenis Burung di TWAGM .................................. 76

Tabel 4.5 Dominansi Jenis Burung di TWAGM ....................................................... 76

Tabel 4.6 Waktu & Aktivitas Jenis Burung di TWAGM ......................................... 77

Tabel 4.7 Penggunaan Vegetasi Jenis Burung di TWAGM ..................................... 78

Tabel 4.8 Dinamika Temuan Jenis Burung di TWAGM Tahun 1957 - 2017 ..........142
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pintu Masuk Tugu Jepang ..................................................................... 25


Gambar 2.2 Kondisi Tugu Jepang Saat ini ................................................................ 26
Gambar 2.3 Manumen Pada Tugu Jepang ................................................................. 26
Gambar 2.4 Bak Air Peninggalan Beelanda di Kampung Ambon Atas .................... 28
Gambar 2.5 Kondisi Air Dalam Baik ....................................................................... 28
Gambar 2.6 Saluran Air Masyarakat di Bukit Doa TWAGM .................................. 29
Gambar 2.7 Sungai Bawah Tanah di Daerah Bukit Doa TWAGM ........................... 29
Gambar 2.8 Goa Alam di Kawasan TWAGM ........................................................... 30
Gambar 2.9 Kondisi Goa Alam di Kawasan TWAGM ............................................. 30
Gambar 2.10 Satwa Nocturnal Penghuni Goa .......................................................... 31
Gambar 2.11 Goa Jepang di dekat Kampung Ayambori .......................................... 31
Gambar 2.12 Panorama Teluk Doreri dan TWAGM................................................. 32
Gambar 2.13 Jalan sarina - Ayambori ....................................................................... 33
Gambar 2.14 Jalan Kampus UNIPA ke Sarina/ Ayambori........................................ 34
Gambar 2.15 Gapura TWAGM ................................................................................ 35
Gambar 2.16 Gazebo ................................................................................................ 35
Gambar 2.17 Pusat Informasi TWAGM .................................................................... 36
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

C-organik : Karbon- organik


N-total : Nitrogen - total
P : Fosfat
KPK : Kapasitas tukar Kation
Ca : Kalsium
Mg : Magnesium
K : Kalium
Na : Natrium
KB : Kejenuhan Basa
H’ : Nilai Keanekaragaman jenis
ni : Jumlah Individu ke i
N : Jumlah seluruh individu dalam sampel
DMn : Nilai kekayaan jenis
S : Jumlah spesias burung
E : Indeks Evenness
Ln S : Los n dari jumlah jenis burung
Di : Indeks Dominansi Jenis
TWAGM : Taman Wisata Alam Gunung Meja
IUCN : International Union For Conservation OfNature and Natural
CITES : Convention on International Trade in Endangered Spescies of
Wild Fauna and Flora
PPRI : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
DAFTAR TANDA/SIMBOL

> : Spesies tersebut tercatat di Filipina & Asia


< : Spesies tersebut terancam di kepulauan
I : Semua jenis terancam punah dan berdampak apabila
diperdagangkan, perdagangan hanya diijinkan hanya dalam
kondisi tertentu misalnya : untuk riset ilmiah
II : Jenis yang statusnya belum terancam tetapi akan terancam
punah apabiladieksploitasi berlebihan.
III : Seluruh jenis yang juga dimasukan didalam peraturandidalam
perdagangan dan negara lain berupa mengotrol dalam
perdagangan tersebut agar terlihat dari eksploitasi yang tidak
berkelanjutan
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian ...........................................................................136


Lampiran 2. Gambar Burung .....................................................................................138
Lampiran 3. Tabel Dinamika Tenemuan Jenis Burung .............................................156
Lampiran 4. Gambar Kerusakan Lahan .....................................................................161
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Burung merupakan salah satu kelompok terbesar vertebrata yang banyak

dikenal, diperkirakan lebih dari 9000 jenis yang tersebar di dunia. Indonesia

memiliki tidak kurang dari 1600 jenis, diantaranya terdapat lebih dari 700 jenis

burung di Papua (Atmawidjaya, 1997). Papua dan pulau-pulau di sekitarnya

memiliki keadaan topografi yang berada di bawah pengaruh iklim khatulistiwa

dan samudra Pasifik dengan kelembaban yang memungkinkan tumbuhnya

vegetasi tropis basah, sehingga kesempatan yang sangat luas bagi konservasi

hutan dan keanekaragaman hayati. Menurut Beehler, Pratt dan Zimmerman

(2001), kawasan ini memiliki fauna burung yang sangat kaya dengan jenis-jenis

istimewa seperti cenderawasih (Paradisaea sp.), kasuari (Casuarius sp.),

mambruk (Goura sp.), namdur (Amblyornis sp.), Jenis Nuri Paruh bengkok (Psitta

culidae), kakatua (Cacatuidae.), Merpati (Columbidae), dan beberapa jenis

Mengapoda (Megapodidae).

Burung merupakan salah satu komponen dari keanekaragaman hayati yang

memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat ini dapat berupa

sekedar dipelihara untuk dinikmati tingkah laku hidupnya yang unik dan indah

(manfaat estetika), memperoleh keuntungan (manfaat ekonomi), pemenuhan

kebutuhan hidup (manfaat sosial ekonomi), berpengaruh terhadap tradisi dan adat

1
istiadat, serta tidak jarang pula menjadi bagian dari upacara keagamaan (manfaat

budaya), hingga fungsinya sebagai indikator kesehatan lingkungan (manfaat

Iingkungan hidup). Karena banyak kegunaannya, burung diburu untuk dijadikan

komoditi perdagangan dalam negeri ataupun diekspor, mengakibatkan jumlah

penangkapan burung semakin meningkat. Di sisi lain, banyak habitat burung yang

rusak dan makin sempit karena pengubahan fungsi hutan sebagai lahan

pemukiman, pertanian, perkebunan dan penebangan hutan secara liar sehingga

menghabiskan populasi pohon-pohon besar yang digunakan sebagai tempat

berkembang biak dan mencari makan oleh burung (Putra , 2005)

Sebagian besar jenis-jenis burung menggunakan hutan sebagai habitatnya.

Habitat merupakan bagian terpenting bagi distribusi dan jumlah burung. Bagi

kawasan hutan yang tidak dilindungi, habitat cenderung akan berubah oleh adanya

berbagai aktifitas manusia di dalamnya. Hutan mempunyai arti penting sebagai

penyangga kehidupan yang mengandung keanekaragaman hayati baik flora

maupun fauna, sehingga perlu ditetapkan statusnya sesuai dengan sifat

karakteristik fisik, biologi, klimatologi dan ekologi.

Salah satu kawasan hutan yang terdapat di kota Manokwari adalah hutan

Gunung Meja. Kawasan Hutan Gunung Meja merupakan salah satu kebanggaan

dan kekhasan Kota Manokwari, karena kota di Provinsi Papua Barat yang

memiliki hutan hujan tropis dataran rendah dengan formasi hutan primer yang

masih cukup baik adalah kota Manokwari. Hutan Gunung Meja seluar 500 hektar

telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pertanian No.19/KPTS/UM/1980, tanggal 12 Desember 1980.

2
Sebagai suatu ekosistem TWA Gunung Meja (TWAGM) dapat dimanfaatkan

sebagai laboratorium alam dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan

penelitian-penelitian oleh institusi pendidikan, lembaga penelitian kehutanan dan

lembaga pelatihan kehutanan di Papua (BBKSDA Papua Barat, 2014)

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) merupakan kawasan

konservasi yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor: SK.91/Menhut-II/2012 tanggal 3 Februari 2012. Secara administratif

TWAGM termasuk dalam Distrik Manokwari Barat dan Manokwari Timur

Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Sebagai satu-satunya kawasan hutan

yang masih terjaga di wilayah Kabupaten Manokwari, TWAGM memegang

peranan penting bagi keseimbangan tata ruang Kabupaten Manokwari khususnya

dalam penyediaan air bersih, udara bersih, dan pemenuhan kebutuhan rekreasi

wisata alam (BBKSDA Papua Barat, 2014)

Kawasan Gunung Meja yang berbatasan langsung dengan wilayah

Kota Manokwari merupakan aset wisata yang cukup potensial. Keunggulan

dan keunikan ini semakin diperkuat oleh karakteristik fisiografi lahan

TWAGM yang melatarbelakangi kota, merupakan jajaran pegunungan

dengan ketinggian tertinggi 117 meter di atas permukaan laut yang di

beberapa sisinya terdapat tebing terjal dan lereng yang curam menampakan

panorama alam yang indah. Panorama yang sama jika kita berada pada salah

satu sisi tertinggi di kawasan TWAGM, sejauh mata memandang tampak

panorama laut dengan pantai pasir putih dan pantai karang serta birunya

laut dipadu hijaunya pengunungan. Nilai estetika tersebut akan lebih

3
mengagumkan lagi bila dinilai dari tipe hutan, keanekaragaman flora-fauna

yang merupakan keterwakilan type hutan tropis dataran rendah yang hampir

dijumpai di sepanjang pantai utara pulau New Guinea. Keunikan -keunikan

tersebut menjadi daya tarik bagi penjelajah alam dan pemerhati lingkungan

untuk menguak rahasia alam. Daya tarik ini akan semakin kuat apabila

dipadukan dengan nilai sejarah yang terkandung dalam kawasan, karena

TWAGM dapat menjadi saksi sejarah dari zaman Belanda, Jepang dan

zaman Sekutu dalam masa penjajahan di tanah ini ( Putra, 2005)

Kawasan TWAGM mengandung beranekaragam fauna yang memiliki

potensi dengan nilai estetika dan keunikan. Fauna yang banyak dijumpai di

TWAGM adalah jenis-jenis burung. Tim Fasilitasi Perencanaan Multi Pihak

Pengelolaan TWAGM (2003), menguraikan beberapa penelitian

keanekaragaman jenis burung yang telah dilakukan, antara lain: Mess pada tahun

1957, menemukan 34 jenis burung, kemudian Dwiyanto (1995), telah mencatat

sebanyak 35 jenis burung, menunjukkan bahwa jumlah jenis burung di TWAGM

meningkat menjadi 43 jenis. Sedangkan pada tahun 2005 sampai 2006 mengalami

penurunan menurut Putra Satria (2005) telah mencatat 22 spesies, Pattiselanno

et,al (2006) menemukan 45 spesies burung, sedangkan informasi terakhir tahun

2014 menurut Balai Besar KSDA Papua Barat mencatat bahwa ditemukan 35

spesies burung.Walaupun jumlah jenis burung mengalami peningkatan tetapi

keberadaan jenisnya mengalami fluktuasi seperti burung maleo (Megapodius

freycinet), kehicap (Arses- telescophthalamus), pematuk madu (Nectarinia

jugularis), pengicau kelabu (Gerygone cinerea) dan nuri macan (Psittacella

4
modesta). Jenis-jenis tersebut ada yang hanya pernah tercatat oleh Mess pada

tahun 1957 dan ada pula yang hanya tercatat oleh Dwiyanto (1995), tetapi dalam

perkembangan terakhir, burung-burung tersebut sudah tidak ditemukan lagi oleh

Hariadi dan Wajo (1996).

Kondisi demikian menunjukkan bahwa sebagian habitat sebagian jenis

burung di TWAGM telah mengalami kerusakan akibat adanya berbagai

kepentingan manusia di dalam kawasan tersebut. Kota Manokwari yang kini

menjadi Ibu Kota Provinsi Papua Barat membuka peluang yang besar untuk

mengadakan pembangunan di berbagai bidang. Perkembangan tersebut turut

mempengaruhi sebagian potensi hutan, misalnya kayu yang digunakan untuk

membangun sarana dan prasarana, dan pemukiman penduduk yang cenderung

meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pengambilan kayu di

TWAGM dapat dilakukan dengan mudah, karena letaknya yang berada di tengah-

tengah kota. Apabila pemanfaatan kayu di kawasan tersebut dilakukan secara

terus menerus, maka keberadaan hutan sebagai habitat berbagai jenis satwa

termasuk burung akan rusak atau bahkan sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana

mestinya. Keadaan tersebut akan sangat memengaruhi keberadaan satwa-satwa di

TWAGM, terutama burung yang dikhawatirkan akan terancam, jika kawasan

tersebut tidak dikelola dengan baik.

1.2. Rumusan Masalah

Burung adalah bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga

kelestariaannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

5
Burung memiliki banyak manfaat dan fungsi bagi manusia, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Manfaat dan fungsi burung secara garis besar dapat

digolongkan dalam nilai budaya, estetik, ekologis, ilmu pengetahuan dan

ekonomis. Alikodra (2002) menambahkan bahwa burung memiliki peranan

penting dari segi penelitian, pendidikan, dan untuk kepentingan rekreasi dan

pariwisata.

Manfaat dan fungsi burung yang begitu besar bagi kehidupan manusia,

mendorong upaya untuk menjaga kelestarian dan keanekaragamannya. Namun

akhir-akhir ini kehidupan burung semakin lama semakin terdesak yang sebagian

besar disebabkan oleh manusia dengan merusak dan mengubah fungsi habitat

burung sehingga habitat burung semakin berkurang dengan bertambahnya

kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menyebabkan kepunahan yang melampaui

tingkat pengembaliannya (Primack et, al.1998).

Hutan Gunung Meja sebagai kawasan taman wisata alam diharapkan

mampu memberikan kesan estetika dan keunikan tersendiri yang menjadi ciri khas

bagi kawasan tersebut. Hutan Gunung meja dikenal memiliki fauna yang cukup

beragam terutama burung, namun beberapa jenis di antaranya dilaporkan sudah

tidak ditemukan lagi. Hal ini disebahkan oleh adanya penggunaan sebagian lahan

hutan untuk lahan kebun oleh masyarakat setempat, pengambilan kayu bakar dan

pembuangan sampah liar.

6
Rusaknya habitat berbagai jenis burung. merupakan suatu ancaman yang

dapat menurunkan keanekaragaman jenisnya di dalam kawasan tersebut. Hal ini

terjadi karena setiap orang dapat dengan mudah masuk ke dalam kawasan

TWAGM. Sehingga bagi jenis-jenis fauna yang sangat peka terhadap perubahan

lingkungan seperti pada beberapa jenis burung menjadi terganggu dan cenderung

mencari daerah yang belum terjamah dalam kawasan yang sama atau melakukan

pergerakan ke lingkungan yang lebih sesuai. Kondisi tersebut mengakibatkan

hilangnya beberapa jenis burung dan sampai sejauh ini belum diketahui

bagaimana kehadiran jenis-jenis burung yang terdapat di kawasan TWAGM.

Apakah keanekaragamannya cenderung meningkat, stabil atau menurun? Untuk

menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dilakukan penelitian ini.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman Jenis Burung,

mengkaji habitat dan ancaman yang terjadi di Kawasan TWA Gunung Meja

Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat, dan mempelajari dinamika populasi

jenis burung berdasarkan penelitian – penelitian yang pernah dilakukan di TWA

Gunung Meja.

7
1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

mengenai keanekaragaman jenis burung, habitat dan ancaman yang ada di

kawasan TWA Gunung Meja Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat juga

sebagai informasi dasar bagi institusi yang bergerak di bidang konservasi dalam

upaya pelestarian burung baik di masa kini maupun yang akan datang.

8
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Kawasan Penelitian

2.1.1 Sejarah Kawasan

Kawasan TWA Gunung Meja direncanakan sebagai kawasan konservasi

sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda yaitu berawal pada bulan Agustus

1953, saat kunjungan Tim Kehutanan Pemerintah Hindia Belanda, yang terdiri

dari: Ir. J.F.V.Zieck (Kepala Seksi Inventarisasi Hutan); Ir. J. Fokkinga (Ketua

Komisi Pertanian) dan H. Schrijn (Kepala Pemangkuhan Hutan) ke Gunung Meja.

Pada saat itu, disepakati areal hutan primer seluas 100 ha dan hutan sekunder

seluas 360 ha termasuk jurang dan tebing-tebing karang yang ada diusulkan

sebagai hutan lindung dengan fungsi utama pengatur tata air (Hidroorologi).

Untuk mendukung kesepakatan tersebut pada tahun 1954 dilakukan

inventarisasi hutan primer seluas 100 ha, dan pada tahun 1956 dan 1957 mencapai

360 ha. Selain itu juga dilakukan survey tanah dan analisis vegetasi untuk jenis-

jenis pohon yang mencapai diameter 35 cm dengan intensitas sampling 10 % oleh

Jance Ainusi (pengenal jenis lokal) dan Ir. Faber (ahli botani Belanda).

Dalam rangka pemanfaatan fungsi hidroorologis tersebut, pada tahun 1957

Perusahaan Air Minum (PAM) Manokwari menggagas untuk memasang pipa dari

sumber mata air di Gunung Meja ke daerah Kuawi dan Fanindi Ujung. Pemerintah

9
Hindia Belanda mengembangkan aneka fungsi Hutan Lindung Gunung Meja

sebagai berikut :

(1) Fungsi pendidikan dan pelatihan di bidang kehutanan

(2)Fungsi penelitian

(3) Taman Hutan (Botanical Garden), dan

94) Tempat rekreasi untuk masyarakat kota Manokwari.

Pada tahun 1954 pemerintah Hindia Belanda mendaftarkan kawasan

Hutan Gunung Meja pada Ordonansi Perlindungan Tanah (Lembar Negara nomor

73 tahun 1954). Pada tahun 1956 Kantor Agraria Manokwari, menindaklanjuti

langkah tersebut dengan melakukan kegiatan pemetaan kawasan Hutan Gunung

Meja. Pada tahun yang sama Kantor Boswezen di Manokwari melakukan

pembayaran ganti rugi Hutan Lindung Gunung Meja kepada 6 orang masyarakat

pemilik adat sebesar 3.075,- Gulden. Kemudian pada tanggal 25 Mei 1957

Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nederland

Nieuw Guinea nomor 158 menetapkan hasil pemetaan Kawasan Hutan Gunung

Meja seluas 358,5 ha sebagai hutan lindung dengan fungsi hidroorologi.

Selain aneka fungsi tersebut pada tahun 1959, Pemerintah Hindia Belanda

juga mendorong kawasan Hutan Lindung Hidrodrologis Gunung Meja untuk

perlindungan satwa. Namun demikian pengelolaan aneka fungsi Hutan Lindung

Gunung Meja tersebut belum sempat terwujud, karena situasi politik yang

mengharuskan pemerintah Hindia Belanda untuk meninggalkan Nederland Niew

10
Guinea (Tanah Papua) dan menyerahkan kekuasaannya di Tanah Papua (termasuk

pengelolaan Hutan Lindung Gunung Meja) ke Pemerintah Republik Indonesia

pada tahun 1963.

Setelah beralih ke Pemerintah Republik Indonesia, pada tahun 1963

Gubernur Irian Barat memperluas kawasan Hutan Lindung Gunung Meja menjadi

460,5 ha (berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Irian Barat nomor 44/GIB/1963

tanggal 10 September 1963). Gagasan perluasan itu sendiri telah muncul sejak

tahun 1958/1959, waktu masih dikelola oleh Kantor Boswezen Manokwari.

Pada tahun 1980 sampai sekarang dengan tetap memperhatikan fungsi

hidroorologinya Pemerintah Repubilk Indonesia menunjuk Hutan Lindung

Gunung Meja sebagai Hutan Wisata dengan luas 500 Ha (SK Menteri Pertanian

nomor 19/Kpts/Um.1/1980 tanggal 12 Januari 1980). Saat ini TWA Gunung Meja

dikelola oleh Resort KSDA Manokwari, Sub Balai KSDA Papua I, Balal KSDA

VIII Ambon yang sekarang menjadi Resort KSDA Gunung Meja, Seksi

Konservasi Wilayah (SKW) III Bintuni, Bidang KSDA Wilayah II Manokwari,

dan Balai Besar KSDA Papua Barat. Berbagai penelitian ilmiah telah banyak

dilakukan, baik yang dikerjakan oleh Balai KSDA sendiri selaku pengelola

maupun yang dilakukan oleh instansi terkait, Perguruan Tinggi dan Lembaga

Swadaya Masyarakat. Beberapa instansi terkait yang melakukan kegiatan survey

dan penelitian di dalam kawasan TWA Gunung Meja antara lain: Balai Penelitian

Kehutanan Manokwari, Universitas Papua (UNIPA) dan Natural Resources

Management Program (NRM).

11
Pada tahun 1980, Menteri Pertanian Republik Indonesia dengan

pertimbangan dan rekomendasi dari Pemerintah daerah menilai kawasan hutan ini

letaknya strategis dekat pusat kota Manokwari dan mudah dijangkau, memiliki

nilai keindahan alam yang artistik dan situs sejarah perang dunia II, menerbitkan

Surat Keputusan nomor 19/Kpts/Um.1/1980 tanggal 12 Januari 1980, untuk

menunjuk kawasan Hutan Gunung Meja seluas 500 ha (termasuk Hutan Lindung

Gunung Meja) sebagaI Kawasan Wisata dengan nama Taman Wisata Gunung

Meja. Kemudian pada tahun 1990, berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun

1990, nama Taman Wisata Gunung Meja berubah menjadi Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWA-GM).

Balai Planologi Kehutanan VI Maluku-Papua menindaklanjuti Surat

Keputusan Menteri Pertanian tersebut dengan melakukan pembatasan kawasan

pada tahun 1982. Hasil dari kegiatan penataan batas ini diperoleh luas definitif

TWA Gunung Meja adalah 460,25 ha dengan panjang jalur batas kawasan 10,97

km dan telah dipasang pal batas yang terbuat dari beton bertulang sebanyak 240

buah. Kemudian pada tahun 1990 Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan

Manokwari melakukan rekonstruksi batas dengan hasil luasan dan panjang jalur

batas kawasan TWA Gunung Meja yang sama dengan hasil penataan batas.

Untuk memantapkan status kawasan TWA Gunung Meja pada tahun 2001

dan 2002 Pemenintah Kabupaten Manokwari melakukan ganti rugi atas tanah

kawasan TWA Gunung Meja kepada masyarakat pemegang hak ulayat sebesar 4.6

milyar rupiah. Selanjutnya pada tahun 2007 Balai Besar KSDA Papua Barat

melakukan pemeliharaan jalur batas kawasan TWA Gunung Meja dan diketahui

12
ada 19 pal batas telah hilang dan ada beberapa bangunan yang masuk dalam

kawasan.

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Manokwari Nomor: 219 Tahun 2006

tentang Pembentukan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dan Perairan, telah

dilakukan tata batas ulang terhadap kawasan hutan TWAGM oleh Balai

Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVII Manokwari dengan panjang batas

10.824 m, luas 462,166 Ha sebagaimana Berita Acara Tata Batas tanggal 22

Desember 2009. Selanjutnya berdasarkan hasil tata batas tersebut kawasan

TWAGM kemudian ditetapkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia

melalui Surat Keputusan Nomor SK.9 1/Menhut-II/20 12 tanggal 3 Februari 2012.

2.1.2. Letak dan Luas

TWAGM secara georafis terletak pada koordinat 134°03’17” sampai

134°04’05 Bujur Timur dan 0°51’29” sampai 0°52’59” Lintang Selatan dengan

luas kawasan adalah 460,25 ha. Kawasan ini terletak pada bagian Utara Pusat

Kota Manokwari dengan jarak ± 3 km, untuk mencapai kawasan ini dapat

ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun roda empat. Jalan

yang terdapat dalam kawasan adalah jalan beraspal sepanjang 7 km yang

membelah kawasan dari arah Barat (Asrama mahasiswa UNIPA) ke arah timur

tenggara kawasan (Komplek Sarinah-Kelurahan Manokwari Timur) dan jalan

Iingkar Anggori-Pasir Putih-Amban sejauh 24 km. Secara administrasi TWAGM

terletak di Distrik Manokwari Timur dan Manokwari Barat, Kabupaten

Manokwari Propinsi Papua Barat.

13
Batas Kawasan TWAGM secara administrasi berbatasan dengan 4

kelurahan, sebagai berikut :

 Sebelah Barat : berbatasan dengan kelurahan Amban

 Sebelah Utara : berbatasan dengan Kelurahan Pasir Putih

 Sebelah Timur : berbatasan dengan Kelurahan Manokwari Timur

 Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kelurahan Padarmi.

2.1.3. Iklim

Kawasan TWAGM tergolong dalam tipe iklim hutan hujan basah dicirikan

oleh tingginya jumlah curah hujun tahunan tanpa ada perbedaan yang jelas antara

musim penghujan dan musim kemarau. Berdasarkan catatan Badan Meteorologi

dan Geofisika Kabupaten Manokwari, suhu udara minimum di Kota Manokwari

sekitar 26,8°C, dan suhu udara maksimum sekitar 33,0°C. Curah hujan tercatat

1.492 milimeter. Curah hujan cukup merata sepanjang tahun. Tidak terdapat bulan

tanpa hujan. Banyaknya hari hujan rata-rata setiap bulan antara 7- 27 hari,

kelembaban udara rata-rata tercatat 82,8 persen.

2.1.4. Topografi

Kawasan yang berada pada ketinggian antara 16 - 210 m dpl dengan

topografi lapangan bervariasi dari datar hingga bergelombang ringan ke arah

timur dan bergelombang berat dari timur ke arah Barat dengan puncak tertinggi

(puncak Bonay) ±210 meter dpl. Sedangkan, pada sisi bagian selatan dan utara

terdapat beberapa tempat tebing karang yang terjal dan lereng yang curam. Pada

14
puncak terdapat daerah relief yang kecil hampir datar menyerupai permukaan

meja ( Balai Besar KSDA- PB, 2014).

Karena bentuk fisiograti lahan yang demikian, sehingga kawasan ini

dinamakan Gunung Meja (Tafelberg). Fisiografi lahan dengan tebing karang terjal

dan berteras pada sisi sebelah selatan ke Barat laut kawasan merupakan wilayah

penyebaran mata air. Kondisi topografi areal TWAGM memiliki kelas lereng

datar sampal landai (8-15%).

2.1.5. Geologi dan Tanah

Kawasan Gunung Meja secara Lithostratigrafi termasuk dalam strata

Formasi Manokwari (formasi befoor). Formasi ini terdiri dari batu gamping

terumbu, sedikit biomikrit, kasidurit dan kalkarenit, mengandung ganggang dan

foraminifera (Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari, 2004). Jenis

tanah yang dominan pada kawasan ini tanah kapur kemerahan dan tanah endapan

luvial (Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari, 2004). Leppe dan

Tokede (2008), menggolongkan jenis tanah di kawasan TWA Gunung Meja

dalam empat jenis yang umumnya memiliki lapisan tanah atas (top soil) yang

sangat tipis yaitu < 30 cm. Keempat jenis tanah tersebut adalah tanah liat, tanah

kapur, tanah berbatu dan tanah berkarang. Pengelompokan jenis tanah tersebut

dipengaruhi oleh jenis tegakan vegetasi yang ada ditasnya.

Berdasarkan sitat kimia tanahnya, Leppe dan Tokede (2008), memasukan

tanah di kawasan TWAGM kedalam kelompok tanah marjinal. Hal ini karena

15
beberapa kandungan kimia tanah berkisar antara sangat rendah sampai tinggi (

Tabel 2.1.).

Tabel 2.1. Kandungan Kimia Tanah Kawasan TWAGM

No Sifat Kimia Kandungan Ket


1 pH Agak asam sampai dengan netral 5,94 - 6,56,
6,71-6,98
2 C-organik Sangat rendah sampai tinggi
3 N-total Sangat rendah sampai rendah
4 P205 Sedang sampai tinggi
5 Kapasitas Tukar Kation Rendah sampai sedang
(KPK)
6 Ca Rendah sampai sedang
7 Mg Sedang sampal tinggi
8 K Rendah sampai sedang
9 Na Rendah sampal sedang
10 Kejenuhan Basa (KB) Rendah sampai sedang
Sumber : Potensi Biofisik Kawasan Hutan TWAGM 2008 dalam Rencana Pengelolaan TWAGM Periode
2009-2028

2.1.6. Hidrologi

Kawasan TWAGM memiliki ± 30 mata air berupa gua-gua dan mata air

yang tersebar di dalam dan sekitar kawasan (Zieck, 1960). Perusahaan Daerah Air

Minum (PDAM) Kabupaten Manokwari melaporkan bahwa sebanyak 12 mata air

yang dijadikan sumber pasokan air bagi masyarakat kota Manokwari dan 7

diantaranya terdapat di dalam dan sekitar TWA Gunung Meja. Mata air ini

sebagian besar berada di kaki lereng sisi sebelah selatan kawasan.

Pasokan air yang bersumber dari mata air Gunung Meja tersebut

menyumbang 10,30 % dari total pasokan sumber air yang dimanfaatkan oleh

PDAM Manokwari. Jika rata-rata jumlah air tersimpan di bawah tegakan hutan

tanaman tersebut diasumsikan sama dengan di bawah tegakan alam di Gunung

Meja yang luasannya 462,166 ha, maka kemampuan dalam tanah di hutan Gunung

16
Meja menyimpan air sebesar 1.648.134 ton. Inilah jumlah cadangan air yang akan

mengisi mata air dan sumur penduduk di musim kemarau pada daerah-daerah

yang rendah ( Balai Besar KSDA- PB, 2014).

2.1.7. Estetika

Nilai estetika kawasan TWAGM terbentuk atas perpaduan antara posisi

kawasan terhadap kota Manokwari, karakteristik fisiografi lahan, keanekaragaman

flora dan fauna serta nilai historis. Empat faktor tersebut bagi pemerhati dan

pencinta alam adalah suatu keunikan yang mengandung nilai artistik alam yang

penuh kerahasiaan dan keajaiban ciptaan Tuhan.

Kota Manokwari memiliki keunggulan alami karena secara geografis

mempunyai panorama dengan nilai keindahan alam yang sangat unik. Terletak

sepanjang pantai Teluk Doreri dan dihiasi dua pulau kecil “Pulau Lemon dan

Mansinam” di depannya. Sedangkan pada belakang kota di pagari hijauan

pepohonan, tebing yang terjal dan curam membentuk suatu gugusan bukit yang

indah dan gagah perkasa. yaitu Gunung Meja, apabila kita memandang Iebih jauh

ke arah Selatan sampai Barat Daya membentang Pegunungan Arfak yang

menjulang tinggi bagaikan seorang raksasa penjaga/ pelindung kota ini.

Bentangan alam ini, baik berupa pulau di depan Teluk Doreri. jajaran Pegunungan

Arfak dan Gunung Meja merupakan kawasan penyangga (Buffer zone) Kota

Manokwari terhadap kejadian dan gejala alam yang mungkin terjadi di alam

semesta. ( Balai Besar KSDA- PB, 2014).

17
Kawasan Gunung Meja yang berbatasan Iangsung dengan wilayah kota

Manokwari merupakan kepaniwisataan yang cukup potensial. Keunggulan dan

keunikan ini semakin diperkuat oleh karakteristik fisiografi lahan Gunung Meja

yang melatarbelakangi kota, merupakan jajaran pegunungan elevasi tertinggi 117

meter di atas permukaan laut yang di beberapa sisinya tebing yang terjal dan

lereng yang curam menampakan panorama alam yang indah. Panorama yang sama

jika kita berada pada salah satu sisi tertinggi di kawasan sejauh mata memandang

tampak panorama laut dengan pantai pasir putih dan pantai karang serta birunya

dipadu hijaunya pengunungan yang mengelilinginya. Nilai estetika tersebut akan

lebih mengagumkan lagi bila dinilai dari tipe hutan, keanekaragaman serta

keendemikan flora-fauna yang merupakan keterwakilan (holotype) type hutan

tropis dataran rendah yang hampir dijumpai di sepanjang pantai utara pulau New

Guinea. Keunikan-keunikan tersebut menjadi daya tarik bagi penjelajah alam dan

pemerhati lingkungan untuk menguak rahasia alam ini. Daya tarik ini akan

semakin kuat apabila dipadukan dengan nilai sejarah yang terkandung dalam

kawasan, karena Gunung Meja dapat menjadi saksi sejarah dari zaman Belanda,

Jepang dan zaman Sekutu dalam masa penjajahan di tanah ini. ( Balai Besar

KSDA- PB, 2014).

Potensi estetika tersebutlah yang menjadi dasar utama menetapkan

Gunung Meja sebagai salah satu kawasan pelestarian alam di Manokwari dengan

fungsi utama Wisata Alam. Keunggulan dan keunikan potensi alam inilah yang

perllu ditumbuhkembangkan untuk memperkaya nilai kepariwisataan sebagai

18
salah satu upaya meningkatkan pendapatan daerah serta penunjang kebutuhan

hidup masyarakat.

2.2. Potensi

2.2.1. Potensi Hayati

A. Flora

Keadaan flora pada kawasan TWAGM berdasarkan hasil penelusaran data

penelitian dan informasi diketahui bahwa kawasan ini memiliki kekayaan flora

yang cukup tinggi dimana 40 jenis diantaranya merupakan jenis penghasil buah-

buahan yang dapat dikonsumsi/dimakan. Balai Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan Papua dan Maluku membagi kekayaan flora di awasan TWAGM

dalam dua kelompok, yaitu kelompok tumbuhan berkayu (woody plant) dan

kelompok tumbuhan bukan kayu (non woody plant) (Leppe dan Tokede, 2008).

(1) . Kelompok Tumbuhan Berkayu (Woody Plant)

Di kawasan TWAGM dapat dijumpai 2 (dua) tegakan hutan, yaitu tegakan

hutan alam (primer) dan tegakan hutan tanaman. Tegakan hutan alam terdapat

pada bagian utara dengan potensi semai 22.250 ind/ha; pancang 1.580 ind/ha;

tiang 240 ind/ha dan pohon 124 ind/ha, dan bagian Timur kawasan TWAGM

dengan potensi semai 10.300 ind/ha, pancang 2.133 ind/ha, tiang 1.130 ind/ha dan

pohon 131 ind/ha, ( Balai Besar KSDA- PB, 2014).

Tegakan hutan tanaman tersebar bagian Barat kawasan TWA Gunung

Meja dengan luas total 27 Ha dan rata-rata potensi tegakan 27,70 m3/Ha (Rencana

Pengelolaan TWAGM Periode 2009-2029).

19
Tabel 2.2. Potensi Tegakan Hutan Tanaman di TWAGM

Tahun Luas Jarak Potensi (m3/


Jenis Pohon
Tanam (Ha) Tanam (m) Ha)
Tectona grandis 1958 2.5 2x3 42.30
Pometia spp 1958 1.2 ……. 17.84
Koordersiodendron 29.39
1960 2.7 2x5
pinnatum
Palaquium ambiensis 1961 7.8 2x5 34,00
Calophyllum inophyllum 1961 7.8 2x5 19.18
Tectona grandis 1970 3 2x3 31.60
Araucaria cuningghanii 1970 2 2x3 31.60
Jumlah atau rata-rata 27
Sumber : UNIPA 1990; Potret TWAGM Manokwari. 2004 dalam Rencana
Pengelolaan TWAGM Periode 2009-2028

Menurut Leppe dan Tokede (2008), berdasarkan tingkat permudaannya di

kawasan TWAGM dapat dijumpai 101 jenis tingkat pohon, 89 jenis tingkat tiang,

147 jenis tingkat pancang dan 162 jenis tingkat anakan. Pada tingkat pohon

tegakan hutan Gunung Meja didominasi oleh jenis Pometia coreacea,

Pimelodendron amboinicum, Pometia pinnata, Palaquium amboinensis, Intsia

bijuga, Koordersiodendron pinnatum, Antiaris toxycarya, Pterygota horsfieldia,

Sterculia parkinsonii dan Spathiostemon javensis. Rata-rata tinggi maksimum

pohon penyusun struktur tumbuhan berkayu tersebut berkisar 30-40 m.

(2). Kelompok Tumbuhan Bukan Kayu (Non Woody Plant)

Leppe dan Tokede (2008). membedakan kelompok tumbuhan bukan

kayu (non woody plant) menjadi 8 kelompok, yaitu palm dan rotan, anggrek,

herbal, bambu, paku-pakuan, semak dan perdu, pandan dan liana. Atas dasar

pengelompokan tersebut di kawasan TWAGM dapat dijumpai 8 jenis palm, 3

jenis rotan, 26 jenis anggrek, 52 jenis herbal (18 rumput-rumputan, 16 herbal

20
berpembulu lunak dan 18 herbal berpembulum keras), 8 jenis bambu, 35 jenis

paku-pakuan, 28 jenis semak dan perdu, 8 jenis kelompok pandan dan 41

kelompok liana.

Dari jenis-jenis tersebut terdapat 2 jenis tumbuhan bukan kayu kelompok

liana yaitu Mucuna novoguinensis Scheff dan Archingelesia flava (L.) Merr yang

oleh LIPI dinyatakan sebagai jenis rawan kepunahan dan 1 jenis kelompok

anggrek, yaitu Phalaenopsis amabilis (L) Blum yang dinyatakan LIPI sebagal

jenis langka (Leppe dan Tokede, 2008).

B. Fauna

Kawasan TWA Gunung Meja juga merupakan potensial bagi kehidupan

satwa liar. Menurut Tokede (2008), di kawasan TWA Gunung Meja dapat

dijumpai 15 jenis dari 6 famili mamalia, 35 jenis burung (aves) dari 20 famili, 20

jenis herpetofauna (7 kadal, 3 ampibia, 9 jenis ular dan 1 jenis kura -kura).

Dari jumlah satwa yang dapat dijumpai di TWAGM tersebut terdapat 24

jenis satwa yang merupakan pemakan daging/hewan (carnivora), 54 jenis

merupakan pemakan tumbuhan (herbivora) dan 15 jenis merupakan pemakan

serangga (insectifora). Sercara rinci jenis-jenis satwa tersebut disajikan pada

Tabel 2.3.

21
Tabel 2.3.Jenis Satwa Liar Di Kawasan TWAGM Kabupaten Berdasakan
Tropic Level Manokwari
Tingkat
No Nama Ilmiah Famili Nama Daerah Tropik Ket
C H I
1 2 3 4 5 6 7 8
A. Mamalia
1 Spilocuscus maculatus Phalangeridae Kuskus Bertolol v L
2 Phalanger orientalis Phalangeridae Kuskus Timur v L
3 Petaurus breviceps Petauridae Opossum, Layang
v
Biasa
4 Echymipera rufescens Peroryctidae Kalubu Rufescens v v
5 Echynnoera clara Peroryctidae Kalubu Kaki
v v
Panjang
6 Pogonomelomys sp Muridae Tikus pohon v v
7 Echymipera sp Peroryctidae Kalubu v v
8 Rattus sp Muridae Tikus Rumah v v
9 Sus scorva Suidae Babi Hutan v
10 Ruosettus Pteropodideae Codot Roset
v
amplexicaudatus
11 Pteropus electo Pteropodideae Kalong Liat v
12 Nyctimene sp Pteropodideae Codot Tabung v
13 Peroryctes raffrayana Peroryctidae Bandekut Raffray v
14 Rattus preator Muridae Tikus Besar berduri v v
15 Melomys platyops Muridae Melomys Dataran
v
renfah
Jumlah Jenis Mamalia 15 2 13 6 2
Jumlah Jenis Mamalia Dilindungi 2
Jumlah Jenis Mamalia Endemik 0
B Aves
1 Merops ornatus Meropidae Kirik – Kirik
v
Australia
2 Ptilois magnificus Paradisaeidae Toowa Cemerlang v L
3 Nectarinia Jugularis Nectariniidae Burung madu
v
Sriganti
4 Nectarinia qspia Nectariniidae Burung Madu v
5 Meliphaga aruensis Meliphagidae Meliphaga aru v L
6 Philemon buceroides Meliphagidae Cikukua tanduk v v L
7 Toxorhampus novaeguineae Meliphagidae Cucuk panjang v v L
perut kuning
8 Ducula pinon Columbidae Pergam pinor v
9 Macropygia nigrirostris Columbidae Uncal paruh hitam v
10 Ptilinopus perlatus Columbidae Walik mutiara v
11 Ptilinopus magnificus Colurmbidae Walik wompu v
12 Chalcophaps stephani Columbidae Delimukan timur v
13 Rhypidura albolimbata Rhipiduridae Kipasan ramah v v
14 Sericornis spilodora Acanthizidae Sericornis paruh v v L
putih
15 Cracticus quoyi Cracticidae Jagal hitam v
16 Cracticus cassicus* Cracticidae Jagal Papua v E
17 Corvus tristis Corvidae Gagak kelabu v
18 Corvus orru Corvidae Gagak orru v

22
19 Melanocharis nigra Dicrudae Burung buah hitam v
20 Pitohui kirchocephalus Pachycephalidae Pitohui belang v
21 Dacelo gaudichaud Alcedinidae Kukabura perut v L
merah
22 Halcyon macleayi Alcedinidae Gekakak rimba v L
23 Melidora macrorrhina Alcedinidae Raja udang paruh v L
kait
24 Dicrurus huttentottus * Dcruridae Srigunting lencana E
25 Haliastur Indus Accipitridae Elang bondot v v L
26 Monarcha manadensis Myiagridae Kehicap bertopi
27 Monarcha guttula Myiagridae Kehicap tutul v
28 Aplonis metalica Stumidae Perling ungu v
29 Geoffroyus geoffroyi Psittacidae Nuri pipi merah v
30 Cydopsitta diophthalma Psittacidae Nuri ata mata v
ganda
31 Eclectus roratus Psittacidae Nuri bayan v L
32 Cacatua galerita Psittacidae Kakatua koki v L
33 Coracina melaena Campephagidae Kepudang sungu v
hitam
34 Ninox rufa Strigidae Punggok merah v
35 Rhyticeros plicatus Buceroidae Julang papua v L
Jumlah Jenis Aves 35 7 27 5 14
Jumlah Jenis Aves 12
Dilindungi
Jumlah Jenis Aves Endemik 2
C. Herpetofauna
Kadal/ Lizards
1 Lamprolepis smaradigna Scincidae Kadal/ Cicak v v
2 Carlia sp Scincidae - v
3 Emoia caeruleocauda Scincidae - v
4 Emoia sp Scincidae - v
5 Tiliqua sp Scincidae Ular Kaki Empat v
6 Hypsilutus sp 1 Agamidae - v
7 Varanus sp Varanidae Biawak/ Soa-soa v
Reptil (Ular)
8 Morelia viridis - v
9 Dendrelaphis punctulatus - v
10 Stegonotus cf parvus - Ular Tanah v
11 Boiga irregularis - v
12 Acanthopis sp. - v
13 Morelia amethistina - v
14 Stegonotus cuculatus - v
15 Candoia sp. - v
16 Aspidomorphus sp. - v
Kura – Kura
17 Elseya Novaguinea - Kura-Kura Irian v
Amphibia
18 Litoria infrafrenata Hylidae Katak Pohon Besar v
19 Bufo melanostictus Bufonidae v E
20 Platymantis papuensis Ranidae v

23
1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah Jenis Herpetofauna 20 15 2 4 1
Jumlah Jenis Herpetofauna 0
Dilindungi
Jumlah Jenis Herpetofauna 1
Endemik
D Kupu-Kupu
1 Ornithopera priamus Kupu-Kupu Sayap v L
burung
2 Pachlyopta polydonus Kupu-Kupu v
3 Papilio ulysses Kupu-Kupu v
4 Papilio aegeus Kupu-Kupu v
5 Papilio ambrax Kupu-Kupu v
6 Tilodes oblongamaculatus Kupu-Kupu v
7 Crapalum sarpedon Kupu-Kupu v
8 Pareronia Jobaea Kupu-Kupu v
9 Vindula arsine Kupu-Kupu v
10 Lexias aeropus Kupu-Kupu v
11 Taenaris catops Kupu-Kupu v
12 Taenaris dioptrica Kupu-Kupu v
Jumlah Jenis Kupu-Kupu 12 0 1 0 1
Jumlah Jenis Kupu-Kupu 1
Dilindungi
Jumlah Jenis Kupu-Kupu 0
Endemik
Jumlah Seluruh Jenis Satwa 82 24 54 15
Jumlah Seluruh Jenis Satwa 15
Dilindungi
Jumlah Seluruh Jenis Satwa 3
Endemik

Sumber : Potensi Biofisik Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja. 2008 dalam Rencana
Pengelolaan TWAGM Periode 2009-2028

Keterangan: C = Carnivora,I = Insectivora,H =Herbivora,L = Dilindungi, E =Endemik

2.2.b. Potensi Non Hayati

Menurut Sumber: Potensi Biofisik Kawasan Hutan Taman Wisata Alam


Gunung Meja. 2008 dalam Rencana Pengelolaan TWAGM Periode 2009-2028.
Beberapa potensi non hayati TWAGM yang dapat dijadikan unggulan wisata
adalah:

24
(1) Tugu Jepang

Di dalam kawasan TWA Gunung Meja terdapat suatu monumen

bersejarah pada masa penjajahan Jepang. Monumen tersebut dikenal dengan nama

Tugu Jepang. Tugu Jepang merupakan tugu peringatan pendaratan dan

pendudukan tentara Jepang di Kabupaten Manokwari. Potensi situs ini menjadi

daya tarik tersendiri bagi warga negara Jepang, karena memiliki sejarah bagi

bangsa mereka.

Selain obyek wisata berupa tugu, dan lokasi tugu dapat dinikmati

pemandangan lepas Kota Manokwari yang menawan, Saat ini kondisi Tugu

Jepang sangat memprihatinkan, dan kelihatan kurang terawat.

Gambar 2.1. Pintu MasukTugu Jepang

25
Gambar 2.2.Kondisi Tugu Jepang Saat ini (Mei,2013)

Gambar 2.3. Monumen pada Tugu Jepang

26
(2) Mata Air

TWAGM memiliki mata air yang cukup banyak dan tersebar di seluruh

kawasan. Mata air yang ada dipergunakan oleh masyarakat dan PDAM Kabupaten

Manokwari untuk keperluan sehari-hari. Menurut Basna (dalam RP TWAGM

Periode 2009-2028) terdapat 44 (empat puluh empat) mata air yang masih aktif

digunakan oleh masyarakat, yaitu tujuh mata air dikelola oleh pihak pemerintah,

satu mata air dikelola dan dimanfaatkan oleh Korem 1703 Manokwari dan tiga

puluh enam dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pemanfaatan air oleh masyarakat, ada yang sudah dibuat dengan baik

dengan menggunakan bak dan ditarik menggunakan selang. Pasokan mata air

Gunung Meja tersebut menyumbangkan 10,30% dari total pasokan sumber mata

air yang dimanfaatkan oleh PDAM Manokwari.

Pemanfaatan air bersih dari kawasan TWAGM sebenarnya telah dilakukan

sejak jaman Belanda, yaitu sekitar tahun 1957-an. Pada waktu itu PDAM

Manokwari mengusulkan untuk membangun instalasi air bersih dan bak

penampungan. Setidaknya ada 7 bak penampungan air yang telah dibangun oleh

Belanda, yaitu 3 bak terletak di Kampung Ambon Atas, 2 bak di sekitar KOREM

1703, 1 bak daerah Brawijaya dan 1 bak di daerah Bukit Doa. Ketujuh bak air

tersebut sampai sekarang masih aktif dan dalam kondisi bagus.

27
Gambar 2.4. Bak Air Peninggalan Belanda di Kampung Ambon Atas

Gambar 2.5. Kondisi Air Dalam Bak

28
Gambar 2.6. Saluran Air Masyarakat di Bukit Doa dari TWAGM

(3) Sungai Bawah Tanah

Struktur geologi kawasan TWAGM termasuk dalam formasi Befoor

(Formasi Manokwari), yang dicirikan oleh adanya daerah tebing karang yang

memiliki goa-goa. Sebagian goa-goa tersebut merupakan sungal bawah tanah

yang mengalirkan air bersih dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai reservoir

cadangan air.

Gambar 2.7. Sungai Bawah Tanah Di Daerah Bukit Doa TWAGM

29
(4) Goa

Kawasan hutan TWAGM Kabupaten Manokwari ditemukan 19 (sembilan

belas) goa alam dan 4 (empat) cliantarnya merupakan goa berukuran besar dan

berpotensi sebagai obyek daya tarik wisata. Goa-goa tersebut umumnya menyebar

di sepanjang tebing karang pada sisi Selatan kawasan.

Gambar 2.8. Goa Alam di Kawasan TWAGM

Gambar 2.9. Kondisi Goa Alam di Kawasan TWAGM

30
Gambar 2.10. Satwa Nocturnal Penghuni Goa

Selain Goa Alam & kawasan TWA Gunung Meja juga terdapat beberapa

goa peninggalan Perang Dunia II atau sering disebut sebagai Goa Jepang. Goa

Jepang ini merupakan tempat persembunyian tentara Jepang dalam melawan

Tentara Sekutu. Sebagian besar posisi Goa Jepang berdara disebelah Selatan di

dekat Kampung Ayambori, depan markas kodim 1703, dan kompleks misi

katolok.

Gambar 2.11. Goa Jepang di Dekat Kampung Ayambori

31
(5) Panorama Teluk Doreri

Kawasan TWAGN merupakan daerah tinggi di Kota Manokwari, sehingga

dari dalam kawasan dapat terilbat pemandangan sebagian kota dan Teluk Doreri

serta kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak.

Gambar 2.12. Panorama Teluk Doreri dan TWAGM

2.3. Infrastruktur Pariwisata

Di dalam kawasan TWAGM telah terdapat beberapa sarana dan prasarana

yang dapat mendukung kegiatan pariwisata. Sarana dan prasarana tersebut

diantaranya adalah: Jalan, Gapura, Gazzebo, dan Pusat Informasi.

32
(1) Jalan

Jalan merupakan sarana penghubung antar daerah. Kawasan TWAGM

dibelah oleh dua jalan, yaitu jalan Sarinah-Ayambori, dan Jalan dari Kampus

UNIPA ke Sarinah/Ayambori. Keberadaan kedua jalan dalam kawasan TWAGN

telah ada sejak jaman Belanda. Jalan Sarinah-Ayambori pada tahun 2010 telah

ditingkatkan kualitasnya menjadi jalan aspal oleh Pemerintah Kabupaten

Manokwari karena menjadi jalan utama penghubung antar kampung. Mengnggat

begitu pentingnya jalan tersebut, dalam pengelolaan kawasan TWAGM jalan

tersebut menjadi jalan kolaborasi.

Gambar 2.13 Jalan Sarinah-Ayambori

33
Jalan Jalan dari Kampus UNIPA ke Sarinah/ Ayambori merupakan akses

utama masuk ke Tugu Jepang dan Goa Alam, dan hutan alam di dalam TWAGM.

Keberadaan jalan ini tidak sebagus jalan Sarinah/ Ayambori, namun demikian

jalan ini dapat dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat.

Gambar 2.14 Jalan Kampus UNIPA ke Sarinah/Ayambori

(2) Gapura

Gapura merupakan qerbang atau batas pertama masuk suatu kawasan,

Gapura TWAGM dibuat dari bahan beton, namun tetap menonjolkan ciri khas

kawasan hutan. Gapura TWAGM tidak berada pada bagian terluar TWAGM,

tetapi dibuat pada pertemuan ruas Jalan Sarinah/ Ayambori dengan Jalan dari

34
Kampus UNIPA ke Sarinah/Ayambori. Pemilihan lokasi gapura ini dengan

mempertimbangkan segi keindahan dan keterwakilan ekosistem di dalamnya.

Gambar 2.15 Gapura TWAGM

(3) Gazzebo

Gazzebo merupakan fasilitas wisata yang dapat dijadikan tempat

dilaksanakannya atraksi wisata budaya bagi para pengunjung. Selain itu juga

dalam dapat digunakan sebagai pusat informasi dan menyimpan alat-alat

kelengkapan outbond. Gazzebo pada TWAGM dibangun di bagian terluar

kawasan dekat Sarinah.

Gambar 2.16 Gazzebo

35
(4) Pusat Informasi

Pembangunan Pusat Informasi di TWAGM sebagai sarana pendukung

pengelolaan telah dilakukan pada tahun 2009. Keberadaan pusat informasi ini

sangat strategis karena berada di samping gapura TWAGM dan tepi Jalan

Sarinah-Ayambori.

Gambar 2.17 Pusat Informasi TWAGM

Sumber Gambar 2.1 – 2.17 : Potensi Biofisik Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja.
2008 dalam Rencana Pengelolaan TWAGM Periode 2009-2028

2.4. Sosial Ekonomi dan Budaya

Kawasan TWAGM secara administratif berbatasan langsung dengan 4

wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Amban, Kelurahan Padarmi, Kelurahan

Manokwari Timur dan Kelurahan Pasir Putih. Jumlah penduduk di keempat

kelurahan tersebut adalah Jumlah Penduduk di Kelurahan Amban, Pasir Putih,

Padarmi dan Manokwari Timur secara rinci disajikan pada Tabel 2.2.

36
Tabel 2.4. Estimasi Jumlah Penduduk di Sekitar TWAGM

Jumlah Penduduk
No. Lokasi Jumlah KK
(Jiwa)
1 Kelurahan Amban 1134 9.241
2 Kelurahan Pasir Putih 715 3.106
3 Kelurahan Padarni 1.679 10.271
4 Kelurahan Manokwari Timur 1.201 6.177
Total 4.729 28.795
Sumber ; Rencana Pengelolaan TWAGM Periode 2009-2028.

Dari keempat kelurahan tersebut, terdapat sembilan kampung yang

berbatasan langsung atau berdekatan dengan kawasan, yaitu Ayambori, Aipiri,

Anggori, Manggoapi, Fanindi, Brawijaya, Kampung Ambon Atas. Etnik yang

bermukim pada kampung-kampung tersebut umumnya campuran etnik asli

Manokwari dan etnik pendatang. Etnik penduduk asli terutama dan suku Mole,

Hatam, Sough dan Meyakh. Sedangkan etnik pendatang atau urban umumnya

berasal dari Sorong, Biak, Seruai serta pendatang dari luar, yaitu dari Makasar,

Ambon, Buton Timur dan Sumatera.

Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi di dalam dan di sekitar kawasan

TWA Gunung Meja, adahah perladangan/kebun masayarakat, pengambilan kayu

bakar, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, perburuan, pengambilan tanah

(top soil), pengambilan batu-batu; arang, pemukiman penduduk dan bangunan

fisik Iainnya.

Kawasan Gunung Meja berdasarkan filosofi budaya masyarakat Afrak,

yaitu kelompok suku Hatam dan Suku Sough yang bermukim di sekitar kawasan,

memandang Hutan Gunung Meja sebagai AYAMFOS yang artinya dapur hidup.

Ayamfos yang berarti Hutan Gunung Meja baik berupa tanah, air dan hutan yang

37
terkandung di dalam kawasan adalah sumber penghidupan masyarakat yang perlu

dijaga, dilindungi dan dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat dalam

kehidupannya. Hutan Gunung Meja “Ayamfos” berfungsi sebagai tempat

berkebun, sumber protein nabati dan hewani dalam pemenuhan kehidupan

masyarakat sehari-hari, sumber air barsih bagi kehidupan masyarakat, tempat

melakukan usaha-usaha ekonomi pertanian dan juga situs budaya “tanah

larangan/tempat pamali bagi masyarakat (Buku Rencana Pengelolaan TWAGM

Periode 2009-2028).

Masyarakat yang bermukim di wilayah pemukiman Ayambori dan Fanindi

sudah sangat paham akan pentingnya Hutan Gunung Meja sebagai sumber

kehidupan mata air bagi kehidupannya. Berdasarkan Filosopi budaya dan sumber

mata air, terutama daerah hulu merupakan “tanah larangan” atau tempat pamali

yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat.

Perkembangan zaman dan juga kebutuhan lahan pertanian masyarakat

urban di sekitar wilayah perkotaan menyebabkan kawasan ini telah dirambah,

sehingga filosopi Hutan Gunung Meja telah terpolarisasi. Tanah larangan yang

tidak boleh diganggu telah dimasuki oleh masyarakat luar, pengembangan dan

pemanfaatan lahan secara berlebihan dilakukan secara besar-besaran. Hutan

gunung Meja sebagai Ayamfos sudah mulai tidak berfungsi sebagaimana

mestinya.

Apabila upaya penyelamatan kawasan tidak dilakukan dengan baik, maka

Hutan Gunung Meja tidak akan menjadi “Ayamfos”. Hutan Gunung Meja tidak

38
akan lagi memberikan penghidupan berupa sumber air dan hasil hutanya kepada

masyarakat.

2.5. Keanekaragaman Hayati dan Keanekaragaman Jenis Burung

Keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang

ditemukan pada suatu komunitas, ukuran yang disebut kekayaan spesies.

Keanekaragaman hayati mencakup semua spesies di bumi. Suatu spesies

didefinisikan dalam dua cara. Pertama, sebagai kumpulan individu yang secara

morfologi, fisiologi atau biokimia berbeda dari kelompok lain dalam hal ciri-ciri

tertentu (definisi secara morfologi). Kedua, menurut definisi secara biologi,

spesies dapat dibedakan sebagai suatu kelompok individu yang dapat berkembang

biak di antara mereka sendiri dan tidak bisa dengan individu dari kelompok

lainnya (Primack, Supriatna, Indrawan dan Kramadibrata, 1998).

Keanekaragaman jenis burung dapat digambarkan sebagai kekayaan atau

jumlah jenis burung yang ditemukan pada suatu kawasan, dimana secara

morfologi dan biologi berbeda antara jenis yang satu dengan jenis yang lain.

Dalam ekologi, umumnya keanekaragaman hayati mengarah pada

keanekaragaman jenis, pengukurannya melalui jumlah jenis dalam komunitas dan

kelimpahan relatifnya. Kelimpahan relatif suatu jenis di dalam suatu komunitas

adalah proporsi jenis yang mendukung pada kelimpahan total (McNaughton dan

Wolf, 1998).

39
Menurut Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia

Bagian Timur (1985), terdapat dua konsep keanekaragaman jenis di dalam suatu

komunitas antara lain:

 Kekayaan yang disebut kepadatan jenis, berdasarkan jumlah total jenis

yang ada.

 Berdasarkan kelimpahan nisbi/relatif dari jenis dan tingkatan

keanekaragaman jenis cenderung bertambah dengan ukuran areal dan dari

besarnya garis lintang katulistiwa. Keanekaragaman jenis cenderung

berkurang dalam komunitas biotik tertekan, tetapi juga dapat dikurangi

oleh persaingan di dalam komunitas tua dalam kemantapan lingkungan.

2.6. Ekologi Lanskap

Sudut pandang ekologi menyatakan bahwa lanskap merupakan sebuah

areal heterogen yang tersusun dari ekosistem yang saling berinteraksi dan

memiliki pola semacam yang berulang-ulang (Forman & Godron 1986). Ekologi

lanskap penting bagi perlindungan keanekaragaman hayati, karena banyak spesies

yang hidupnya tidak hanya pada suatu habitat tunggal saja, melainkan berpindah-

pindah antara beberapa habitat atau hidup di perbatasan antara dua tipe habitat.

Keberadaan dan kerapatan berbagai spesies mungkin akan dipengaruhi oleh

ukuran-ukuran dari kepingan habitat dan dipengaruhi pula oleh seberapa jauh

hubungan antara habitat tersebut. Dalam rangka meningkatkan jumlah dan

keanekaragaman satwa, maka diusahakan untuk menciptakan variasi lanskap yang

terbesar yang dapat dicapai. Penggunaan lanskap oleh manusia merupakan salah

40
satu hal yang harus diperhatikan dalam merancang kawasan perlindungan

(Primack et al., 1998) dalam rangka menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.

Keanekaragaman hayati perlu dikelola pada tingkat lanskap regional misalnya

pada selurus daerah aliran sungai atau barisan pegunungan, dimana ukuran dari

satuan lanskapnya akan lebih mendekati keutuhan satuan sebelum terjadinya

gangguan oleh manusia.

Pengertian lanskap tersebut menyimpulkan bahwa lanskap disusun dari

sebuah unit-unit spasial yang relatif homogen. Unit-unit tersebut berupa

penutupan lahan (landcover) yang berbeda misalnya hutan, belukan, tanah

pertanian, perkotaan dan sebagainya. Penutupan lahan yang berbeda-beda dan

saling berinteraksi disebut dengan elemen lanskap. Elemen lanskap sering

disamakan dengan sebuah tipe ekosistem. Pada setiap elemen pembentuk lanskap

bisa dirinci menjadi elemen yang lebih homogen. Misalnya, tanah pertanian bisa

dirinci menjadi sawah ladang, dan pekarangan. Hutan bisa dibagi menjadi hutan

payau, hutan campuran ataupun hutan mangrove. Elemen yang relatif lebih

seragam bisa disebut tesera (tessera) (Forman & Godron, 1986).

Menurut Forman & Godron (1986) ada tiga karakteristik yang

diutamakan dalam mempelajari lanskap ekologi, yaitu:

a) Struktur, yaitu hubungan spasial antara ekositem yang berbeda (atau elemen

lanskap yang ada.

b) Fungsi, yaitu interaksi diantara elemen spasial, yaitu aliran energi, materi, dan

spesies diantara komponen elemen lanskap.

41
c) Perubahan, yaitu perubahan struktur dan fungsi dari lanskap.

Forman & Godron (1986) membagi prinsip-prinsip umum ekologi lanskap

menjadi :

1) Prinsip struktur dan fungsi lanskap

Struktur pembentuk lanskap adalah heterogen/beragam baik dalam tipe,

ukuran dan bentuknya, karena itu memiliki perbedaan dalam distribusi spesies,

energi, materi diantara patch, koridor dan matriks yang ada. Sebagai

konsekuensinya, fungsi lanskap akan berbeda dalam hal aliran spesies, energi

dan materi diantara elemen pembentuknya.

2) Prinsip keanekaragaman hayati

Heterogenitas lanskap akan menurunkan keragaman spesies interior,

sebaliknya akan meningkatkan keragaman edge dan spesies yang

membutuhkan dua atau lebih efemen lanskap. Selain dari itu akan

meningkatkan total potensi keberadaan spesies.

3) Prinsip pergerakan spesies

Ekspansi dan kontraksi spesies diantara elemen lanskap mempengaruhi

dan dipengaruhi oleh heterogenitas lanskap.

4) Prinsip transpor hara mineral/ nutrien

Laju distribusi/ perpindahan hara mineral diantara elemen lanskap

meningkat dengan adanya peningkatan intensitas gangguan (disturbance).

42
5) Prinsip perpindahan energi

Perpindahan energi panas dan perpindahan biomassa antara elemen

lanskap meningkat dengan meningkatnya heterogenitas lanskap.

6) Prinsip perubahan lanskap

Bila tidak terganggu, horizontal lanskap mempunyai kecenderungan

untuk menjadi lebih homogen. Sedangkan bila ada gangguan yang moderat,

maka akan menjadi lebih heterogen, dan bila terjadi gangguan yang sangat

besar maka akan dapat meningkatkan/ menurunkan heterogenitas.

Menurut Forman & Godron (1986), tingkat stabilitas lanskap dapat

dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a) Sistem yang secara fisik sangat stabil, dicirikan dengan ketiadaan biomassa,

gurun pasir, jalan, perkotaan.

b) Sistem dengan recovery yang cepat, dicirikan dengan keberadaan tingkat

biomassa yang rendah, padang alang-alang, daerah pertanian.

c) Sistem dengan tingkat resistensi yang tinggi terhadap gangguan, dicirikan

dengan keberadaan biomassa yang sangat besar, misal hutan.

2.6.a. Patch

 Terbentuknya Patch

Bentuk/ struktur lanskap merupakan akibat adanya proses alam/geologi

dan gangguan. Gangguan ini bisa dibedakan menjadi gangguan alami dan

43
gangguan manusia. Gangguan alami misalnya bencana alam (banjir, gunung

meletus, penyakit), sedangkan gangguan manusia bisa berupa eksploitasi hutan,

peladang berpindah dan lain-lain. lnteraksi ini menimbulkan beragam bentuk,

ukuran tipe dan luasan elemen lanskap (Forman & Godron 1986).

Dalam konsep ekologi lanskap, habitat berdasarkan luasannya (dominansi)

dibedakan menjadi matriks dan patch. Matriks adalah habitat homogen yang

paling berbeda dalam suatu lanskap. Sedangkan patch adalah habitat homogen

yang berbeda dergan habitat sekelilingnya. Teiadinya patch dapat dibagi menjadi

tiga yaitu disturbance patch (patch yang terganggu), remnant patch dan

environmental patch (Forman & Godron 1986). Disturbance patch dan remnant

patch berdasarkan gangguannya dapat dibagi lagi menjadi cronic disturbance

yaitu gangguan yang terjadi cukup lama dan terus menerus. Single disturbance

yaitu gangguan yang hanya terjadi sementara dan tidak menganggu aktifitas

ekologi.

 Bentuk Patch

Ukuran dan bentuk patch beragam, ada yang membulat (isodiametric) dan

memanjang (elongated). Isodiametric patch memiliki areal interior yang lebih

besar daripada edge-nya, sebaliknya elongated patch memiliki edge area yang

lebih luas. Dengan kata lain isodiametric patch menampung fauna interior lebih

banyak. Sebaliknya elongated patch akan memiliki keunggulan dan

keanekaragaman spesies eksterlornya. Untuk mengukur bentuk patch ini, biasanya

digunakan perhitungan interior-to-edge-ratio. Semakin besar nilai perhitungan

44
interior-to-edge-ratio nya maka bentuk patch tersebut semakin mendekati

lingkaran/membulat. Luas dan jumlah patch/habitat juga berpengaruh pada

kelestarian keanekaragaman hayati. Berdasarkan teori biogeografi bentuk

habitat/kawasan konservasi yang paling bagus adalah sebuah areal isodiametric

tunggal yang seluas mungkin.

Daerah konservasi dengan bentuk membulat akan meminimalkan rasio

atau perbandingan edge-to-area (antara pinggir dengan luas keseluruhan), lebih

tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain. Kawasan yang demikian

mempunyai pusat yang berada relatif lebih jauh dan tepi. Kawasan yang

mempunyai bentuk memanjang akan memiliki tepi atau pinggir yang luas, dan

seluruh lokasi di kawasan tersebut akan berada dekat tepi. Kebanyakan kawasan

mempunyai bentuk yang tidak beraturan karena lahan konservasi biasanya

diperoleh secara kebetulan (Primack et al., 1998).

Koridor habitat adalah salah satu struktur lanskap yang merupakan jalur-

jalur lahan yang dilindungi yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan

lainnya (Primack et al., 1998). Koridor habitat mempunyai fungsi untuk

menghubungkan kawasan dilindungi sehingga membentuk suatu sistem yang

besar. Koridor tersebut memungkinkan satwa untuk menyebar dari satu cagar ke

cagar yang lain. Selain itu koridor tidak hanya memberikan lebih dari sekedar

perlindurigan saja, tetapi juga menyediakan sumberdaya bagi burung (Forman &

Godron 1986). Hutan merupakan koridor yang paling efektif untuk menunjang

keanekaragaman jenis burung (Alikodra 2002).

45
2.6.b. Hubungan Antara Bentuk Patch dan Keanekaragaman Burung

Primack et al, (1998) menyatakan bahwa cagar alam yang besar dapat

mengurangi edge effects (efek tepi), serta dapat mencakup lebih banyak spesies

dan mempunyai keanekaragaman yang lebih besar dibandingkan cagar alam yang

berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan karena cagar alam yang berukuran besar

akan lebih mampu menampung banyak spesies, karena mampu menampung lebih

banyak individu dan karena memiliki habitat yang lebih beragam. Antara

lingkungan dengan kehidupan satwaliar baik dalam areal yang sempit maupun

areal yang luas selalu terjadi hubungan yang bersifat timbal balik (Alikodra

2002).

Suatu wilayah bisa dibandingkan dan dinilai berdasarkan luasnya, karena

pada umumnya wilayah yang lebih besar dapat menampung spesies yang lebih

banyak. Tetapi luas wilayah tidak begitu berarti bila dibandingkan dengan jumlah

habitat dan sumberdaya yang ditampungnya. Pulau-pulau yang luas memiliki

jumlah spesies yang lebih besar dari pada pulau - pulau yang sempit. Pulau -

pulau yang luas biasanya memiliki tipe lingkungan dan komunitas yang lebih

banyak dibandingkan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau yang besar menyediakan

kemungkinan isolasi geografis yang lebih sedikit dan jumlah populasi yang lebih

besar untuk tiap-tiap spesies sehingga memperbesar kemungkinan spesiasi dan

memperkecil kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari

spesies yang baru datang. Asumsinya adalah penyempitan habitat alami pada

suatu pulau yang memiliki sejumlah spesies akan menyebabkan berkurangnya

jumlah spesiesnya (Primack et al., 1998).

46
Primack et a.l, (1998) Cagar kecil yang terpecah-pecah menjadi satuan-

satuan habitat berukuran kecil mungkin mempunyai jumlah spesies yang tinggi,

namun kemungkinan spesies-spesies tersebut pada dasamya merupakan spesies

gulma, yaitu spesies yang keberadaannya tergantung pada dampak kegiatan

manusia.

Struktur lanskap dapat mempengaruhi pergerakan satwa (Forman &

Gordon, 1986), karena fragmentasi lanskap yang terjadi menyebabkan gap yang

memisahkan populasi satwa ke dalam patch-patch habitat dan menghalangi

pergerakan satwa. Pergerakan satwa melintasi gap antar patch akan bervariasi

antar tiap spesies, tipe patch habitat, tipe matrik, dan faktor lain seperti variasi

cuaca, musim, rute alternatif, serta resiko yang mungkin dihadapi predator dan

jarak perjalanan. Keterhubungan lanskap ditentukan oleh konfigurasi lanskap

yang menyokong keterhubungan habitat dalam bentuk habitat koridor .

Jati (1998). menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis burung makin

tinggi pada habitat yang makin luas. Area yang lebih kecil memiliki daya dukung

yang lebih rendah untuk populasi burung dan meningkatkan isolasi yang

membatasi pergerakan individu antara fragmen Jati (1998). Fragmen-fragmen

kecil memiliki diversitas burung yang lebih kecil dari pada fragmem besar.

Komposisi spesies dalam fragmen kecil biasanya merupakan subset dari

kumpulan spesies-spesies pada fragmen besar. Pada fragmen yang luas sering

dihuni oleh banyak spesies, sedang pada fragmen yang lebih kecil dihuni oleh

sejumlah kecil spesies burung.

47
Primack et al., (1998) menyatakan bahwa suatu habitat yang luas dapat

mendukung satu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen

mungkin saja tidak ada satu fragmen pun yang dapat mendukung sub populasi

yang cukup untuk bertahan. Habitat yang telah terfragmentasi, berbeda dari

habitat asalnya karena fragmen memiliki daerah tepi yang lebih luas dari pada

habitat asal dan daerah tengah (pusat) lebih dekat ke daerah tepi sehingga

lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah

hutan. Hal ini disebabkan karena fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu

spesies untuk menyebar dan melakukan kolonisasi serta fragmentasi habitat dapat

mengurangi daerah jelajah dari hewan asli. Kemudian Jati (1998) menyatakan

bahwa dengan adanya fragmentasi maka merupakan salah satu faktor terjadinya

pengelompokan suatu jenis burung.

2.6.c. Efek Tepi (Edge Effect)

Fragmentasi habitat dapat menambah luas daerah tepi. Lingkungan mikro

daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Efek tepi

ini terasa nyata sampai sejauh 500 m ke dalam hutan, daerah tepi hutan

memegang peranan penting untuk menjaga komposisi spesies dari fragmen hutar

tetapi dalam proses selanjutnya, komposisi spesies dari daerah tepi hutan akan

berubah sehingga daerah sebelah dalam akan semakin berkurang. Daerah tepi

hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies penganggu dapat

dengan mudah berkembang dan menyebar ke dalam fragmen hutan Primack et

al, (1998).

48
2.7. Ekologi Burung

2.7.1. Penyebaran Burung

Kebanyakan dari famili burung di Asia Tropis pada masa dahulu lebih

tersebar luas di seluruh Eurasia. Contoh dari famili-famili yang kini terbatas

penyebarannya di daerah-daerah tropis namun telah diketahui meninggalkan fosil-

fosil di daerah sedang dari Eropa atau Asia, ialah Anhingidae dan Psittacidae.

Rata-rata burung tropis mempunyai suatu peluang daya hidup yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan burung-burung daerah sub tropis. Hal ini disebabkan

burung-burung di daerah sub tropis harus mampu bertahun pada perubahan-

perubahan musiman, khususnya dalam suplai makanan. Rupanya, strategi

produksi keturunan ditujukan kepada jumlah yang sedikit tetapi memiliki kualitas

yang baik (Alikodra, 1990).

Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan

maupun habitat bukan hutan seperti tanaman perkebunan, tanaman pertanian,

pekarangan, gua, padang rumput, savana dan habitat perairan (Alikodra 2002).

Secara umum, burung memanfaatkan habitat tersebut sebagai tempat mencari

makan, beraktifitas, berkembangbiak dan berlindung. Jati (1998) menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara penyebaran jenis burung dengan tingkat

dominasi burung, dimana jenis yang memiliki penyebaran dan dominasi yang

tinggi maka jenis tersebut lebih survival terhadap perubahan lingkungan yang

akan terjadi dan akan lebih sering dijumpai.

49
Penyebaran burung dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan tempat hidup

burung, meliputi adaptasi burung terhadap perubahan lingkungan, kompetisi dan

seleksi alam. Penyebaran burung sangat erat kaitannya dengan ketersediaan

pakan, sehingga habitat burung berbeda antara jenis satu dengan yang lainnya,

dikarenakan jenis makanan yang berbeda pula. Banyak spesies burung yang hanya

menempati habitat tertentu atau tahapan tertentu dari suatu habitat (Primack et al,

1998).

Ada burung yang hidup di hutan lebat, hutan kurang lebat, semak-semak, dan

rerumputan. Sebaliknya ada juga burung yang hidup di lapangan terbuka tanpa

atau dengan sedikit tumbuhan. Kebanyakan burung-burung ini menemukan

makanannya pada tumbuhan atau di tanah. Ada burung yang menangkap burung

yang lebih kecil atau serangga sebagai makanannya (Ensikopedi Indonesia

1992). Pergerakan satwaliar baik dalam skala sempit maupun luas merupakan

usaha untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Dalam membantu pergerakan tersebut

maka diperlukan suatu koridor yang dapat menghubungkan dengan sumber

keanekaragaman (Alikodra 2002).

Alikodra (2002) menyatakan bahwa penyebaran suatu jenis burung

disesuaikan dengan kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan seperti

pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis. Burung merupakan

kelompok satwaliar yang paling merata penyebarannya, yang disebabkan karena

kemampuan terbang yang dimilikinya.

50
2.7.2. Keanekaragaman Habitat

Burung sebagai salah satu komponen ekosistem memerlukan tempat atau

ruang untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat untuk

berkembang biak, tempat yang menyediakan kebutuhan tersebut membentuk suatu

kesatuan yang disebut habitat. Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari

berbagai komponen, baik fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan

dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar. Habitat itu

terdiri dari elemen-elemen pembentuk sistem yang kompleks disebut ekosistem

yang di dalamnya berbagai spesies selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

Pengertian lain dari habitat yang dinyatakan Alikodra (2002) yaitu suatu kawasan

yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar dari populasi yang ada di

dalamnya.

Menurut (Alikodra 2002) habitat secara sederhana dapat dikatakan sebagai

tempat hidup burung itu berada. Pada prinsipnya burung memerlukan tempat

untuk mencari makan, berlindung, berkembang biak dan bermain. Tempat yang

menyediakan keadaan yang sesuai dengan kepentingan diatas disebut dengan

habitat (Odum 1993), karena habitat merupakan bagian penting bagi distribusi

dan jumlah burung (Bibby et al., 2000). Habitat juga berfungsi sebagai tempat

untuk bersembunyi dari musuh yang akan menyerang dan menganggunya.

Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk

mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi suatu jenis belum tentu

sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi

51
habitat yang berbeda-beda karena habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan

makanan, air dan pelindung. (Alikodra 2002).

Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan,

tempat untuk istirahat, main, kawin, bersarang, bertengger, dan berlindung.

Kemampuan areal menampung burung yang ditentukan oleh luasan, komposisi

dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat. Burung

merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya antara

lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan. Kelengkapan komponen

habitat mempengaruhi banyaknya jenis burung di habitat tersebut. Kelangsungan

hidup burung tidak hanya ditentukan oleh jumlahnya saja, melainkan harus

didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok (Alikodra 2002). Suatu wilayah

yang sering dikunjungi burung disebabkan karena habitat tersebut dapat

mensuplai makanan, minuman serta berfungsi sebagai tempat berlindung/

sembunyi, tempat tidur dan tempat kawin.

Keanekaragaman struktur habitat berpengaruh pada keanekaragaman jenis

burung (Bibby et al., 2000). Struktur hutan memberikan pengaruh nyata terhadap

burung yang tinggal di dalam habitat tersebut. Makin beranekaragam struktur

habitat; makin besar keanekaragaman burung. Pemanfaatan strata hutan bervariasi

menurut waktu dan ruang. Secara umum berbagai jenis burung memanfaatkan

relungnya pada siang hari (Alikodra 2002). Jati (1998) menambahkan bahwa

penutupan tajuk, ketinggian tajuk dan keanekaragaman jenis pohon menentukan

keanekaragaman jenis burung di suatu tempat. Hubungan burung dengan

habitatnya dapat diketahui dengan melakukan pengamatan pemanfaatan burung

52
terhadap habitatnya, yaitu dengan melihat sejauh mana burung tersebut

menggunakan fungsi habitat sebagai tempat istirahat, berlindung, mencari pakan

dan berkembang biak.

2.7.3. Keanekaragaman Jenis

Keragaman merupakan sifat komunitas yang menunjukkan tingkat

keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Menurut Krebs (1978)

keragaman (diversity) yaitu banyaknya jenis yang biasanya diberi istilah kekayaan

jenis (species richnes). Odum (1993) mengatakan bahwa keragaman jenis tidak

hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness)

dari kelimpahan individu tiap jenis.

Krebs, (1978) menyebutkan ada enam faktor yang saling berkaitan yang

menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas yaitu waktu,

heterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan

produktivitas. Selain ke enam faktor tersebut, menambahkan bahwa

keanekaragaman jenis tidak hanya dtentukan oleh banyaknya jenis, tetapi

ditentukan juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis.

Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya,

hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya.

Distribusi vertikal dari dedaunan atau stratifikasi tajuk merupakan faktor yang

mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Keanekaragaman merupakan khas

bagi suatu komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah

individu tiap jenis sebagai komponen penyusun komunitas Odum (1993).

53
Keanekaragaman jenis menyangkut dua hal yaitu kekayaan dan sebaran

keseragaman.

Indeks keanekaragaman merupakan tinggi rendahnya suatu nilai yang

menunjukkan tinggi rendahnya keanekaragaman dan kemantapan komunitas-

Komunitas yang memiliki nilai keanekaragaman semakin tinggi maka hubungan

antar komponen dalam komunitas akan semakin kompleks. Krebs, (1978)

mengatakan bahwa untuk nilai indeks keanekaragaman di Indonesia dapat

dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari 3,5.

2.7. 4.Kelimpahan Burung

Kelimpahan adalah istilah umum yang digunakan untuk suatu populasi satwa

dalam hal jumlah yang sebenarnya dan kecenderungan naik turunnya populasi

atau keduanya (Shaw 1985 diacu dalam Mahmud 1991). Kelimpahan erat

kaitannya dengan distribusi, sehingga biasanya kedua istilah ini seringkali

digunakan bersama-sama. Kelimpahan dapat dinyatakan juga sebagai jumlah

organisme per unit area (kepadatan absolut), atau sebagai kepadatan relatif, yaitu

kepadatan dari satu populasi terhadap populasi lainnya (Krebs, 1978).

Kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu tiap jenis terhadap

kelimpahan (jumlah) seluruh individu dalam suatu komunitas (Krebs 1978).

Kelimpahan burung pemakan buah mungkin dapat dihubungkan dengan

kelimpahan pohon yang sedang berbuah (Bibby et al., 2000).

(Alikodra 2002) mengemukakan bahwa modifikasi lingkungan alami menjadi

lahan pertanian, perkebunan, kota, jalan raya dan kawasan industri berakibat

54
buruk bagi burung. Walaupun modifikasi tertentu habitat alami dapat membawa

keberuntungan bagi spesies-spesies tertentu, namun secara keseluruhan berakibat

merusak kehidupan burung.

Faktor sejarah juga penting dalam menentukan pola kekayaan spesies, wilayah

dengan geologi lebih tua memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada

wilayah yang lebih muda. Wilayah yang lebih tua memiliki lebih banyak waktu

menerima spesies yang tersebar dari bagian dunia dan lebih banyak waktu bagi

spesies yang ada untuk menjalant radiasi adaptif pada kondisi lokal. Pola

kekayaan spesies juga dipengaruhi oleh variasi lokal seperti topografi, iklim dan

lingkungan. Pada komunitas darat, kekayaan spesies cenderung meningkat pada

daerah yang lebih rendah, radiasi matahari yang lebih banyak, dan curah hujan.

Kekayaan spesies juga lebih besar dimana tidak ada topografi yang rumit yang

memungkinkan isolasi genetik, adaptasi local.(Primack et al, 1998).

2.7.5. Burung Sebagai Indikator Lingkungan

Keanekaragaman burung telah dapat diterima sebagai indikator yang baik bagi

keanekaragaman suatu komunitas secara keseluruhan. Burung dapat menjadi

indikator yang baik bagi keanekaragaman hayati dan perubahan lingkungan

(Bibby et a., 2000). Hal tersebut disebabkan karena satwa burung terdapat

hampir di seluruh habitat daratan pada permukaan bumi ini dan bersifat sensitif

pada kerusakan lingkungan. Pengetahuan taksonomi dan sebaran burung relatif

banyak diketahui, dan lebih baik dibandingkan biota yang berukuran besar dan

kelas-kelas lainnya. Penggunaan burung sebagai indikator nilai keanekaragaman

55
hayati merupakan satu jalan tengah yang terbaik antara akan kebutuhan informasi

ilmiah yang akurat dengan keterbatasan waktu yang yang ada bagi aksi

konservasi. Primack et al., (1998). Ada beberapa jenis burung yang memiiki

kepekaan tertentu terhadap kesehatan lingkungan habitatnya, salah satu

diantaranya sebangsa burung raja udang.

2.8. Burung dan Vegetasi

Satwa liar mempunyai beberapa strategi untuk menyesuaikan dirinya dengan

dinamika lingkungan hutan tropis. Banyak di antaranya yang tidak mampu untuk

bertahan pada kondisi perubahan lingkungan yang terlalu drastis. Spesies-spesies

burung yang dijumpai di Indonesia mempunyai tingkat ketergantungan yang erat

dengan kondisi hutan yang tidak mengalami gangguan. Hubungan antara satwa

liar (burung) dan vegetasi sekitarnya bersifat dua arah. Kebanyakan burung

tergantung pada hutan terutama untuk memenuhi kebutuhan makanan dan tempat

berlindung. Siklus hidup tumbuhan hutan juga banyak tergantung pada satwa liar.

Beberapa satwa liar (khususnya burung) mempunyai peranan dalam penyerbukan

bunga, penyebaran dan perkecambahan. Banyak biji-biji yang tidak dapat

berkecambah kalau tidak dibawa dan dijatuhkan pada tempat-tempat yang cocok.

Untuk menjamin ketersediaan dan keanekaragaman makanan burung sepanjang

tahun diperlukan usaha untuk meningkatkan dan mempertahankan berbagai jenis

vegetasi yang mempunyai waktu siklus reproduksi yang berbeda.

Keanekaragaman vegetasi mempengaruhi kehadiran berbagai jenis burung. Jika

ditinjau dari segi kelestarian lingkungannya, komposisi vegetasi yang ideal

mempunyai ciri-ciri :

56
 Dapat menyediakan berbagai jenis makanan burung, seperti nektar buah,

biji-bijian dan serangga sepanjang tahun.

 Bentuk tajuk yang aman bagi burung untuk tempat istirahat, bersembunyi

dan bersarang.

 Baik dari segi keindahan, iklim mikro dan pencegah erosi tanah.

2.8.1. Pakan Burung

Pakan alami burung sangat bervariasi baik dilihat dari bentuk maupun

ukuran. Menurut Beehle et al., (1983), pakan burung terdiri dari jenis buah-

buahan yang sangat bervariasi dan berukuran kecil sampai ukuran yang sedang

(rata-rata ukurannya berdiameter 1 cm). Beehler et al., (1983) mengklasifikasikan

pakan dari burung, khususnya buah dari 31 spesies pohon kedalam tiga kelompok

morfologi yaitu bentuk fig (F) seperti bentuk buah kurma, drupe (D) seperti buah

beri atau pala, dan capsul (C) seperti bentuk kapsul. Beberapa spesies pohon yang

buahnya dapat dimakan adalah Disoxylum sp. (C), Endospernum sp. (D),

Pandanus sp. (D), Myristica sp. (D), Aglaia sp. (C) dan Stercuila sp. (C). Ukuran

buah Disoxylum sp., Myristica sp., Ficus sp., adalah 5 x 6 mm sampai 5 x 26 mm,

dengan kandungan gizi lemak, protein, dan karbohidrat masing-masing adalah

Disoxylum sp. ( 35%, 13%, 6,6%), Myristica sp. (57%, 6%, 1,9%) dan Ficus sp.

(5%, 5%, 1,6%) (Setio dan Lekito 1997).

Burung yang terdapat di alam mencari makanannya berdasarkan nalurinya

sesuai dengan kebutuhan nutrisi. Jenis pakan burung dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu: faktor lingkungan, tekstur, warna dan bentuk makanan, sedangkan

57
untuk kebutuhan energi dan protein dipengaruhi oleh faktor umur, suhu, tingkat

aktivitas, serta tahapan reproduksi (Daturante, 2007).

Burung pada umumnya menyukai jenis pakan seperti biji-bijian yang

keras, misalnya biji kenari selain itu jenis pakan lain yang disukai adalah jagung

muda segar, biji matahari, kacang tanah dan ada juga burung yang menyukai

pepaya, pisang, dan ulat khususnya burung yang berada pada penangkaran

(Rohana, 2005). Menurut Beehler et al., (2001) burung cenderawasih memakan

buah (termasuk pohon ara) dan atropoda, cara makannya seperti burung pelatuk di

dahan-dahan dan batang pohon. Sering terdapat di hutan dan tepi dataran rendah

serta pembukitan. Biasanya tetap bersembunyi di dalam hutan.

2.8.2. Persebaran Burung di Papua

Menurut Beehler et al., (2001) terdapat 725 jenis burung yang sudah

dikenal, atau diduga berada di Kawasan Papua, yang terdiri dari Pulau Papua yang

besar dan terletak di sepanjang khatulistiwa dan beberapa pulau kecil sekitarnya.

Papua merupakan rumah bagi avifauna hutan hujan yang sangat kaya dan unik,

termasuk cenderawasih, namdur, kasuari, mambruk, kakatua, dan jenis – jenis

maleo.

Organisme yang ada di permukaan bumi tersebar sesuai dengan

kemampuan pergerakan serta kondisi lingkungan seperti pengaruh luas kawasan,

ketinggian tempat dan letak geografis. Penyebaran burung juga mempunyai

bentuk / pola yang dapat berbentuk acak, berkelompok dan sistematis. Pola

58
penyebaran ini merupakan strategi individu atau kelompok untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 1990).

Penyebaran burung di Kepulauan Papua tersebar di berbagai ketinggian

tempat dengan batas penyebaran mulai dan 0 meter sampai 3500 meter di atas

permukaan laut. Semakin tinggi tempat tersebut di atas permukaan laut, jenis-jenis

burung endemik semakin banyak, tetapi keanekaragaman jenisnya cenderun

berkurang. Kira-kira 74 % burung endernik di dataran Irian Jaya terdapat di

daerah pegunungan (Petocz, 1987).

2.8.3. Wilayah Jelajah dan Teritorial

Wilayah jelajah yaitu wilayah yang dikunjungi satwa liar karena dapat

mensuplai makanan, air, tempat berlindung, tempat beristirahat dan bereproduksi.

Teritori adalah tempat yang khas dan suatu spesies yang selalu dipertahankan

secara aktif misalnya tempat bersarang untuk burung. Batas-batas teritori ini

biasanya ditandai dengan urine, feses, sekresi dan sarang. Dalam mempertahankan

daerah teritori ini dilakukan dengan perilaku yang agresif misalnya dengan

mengeluarkan suara atau perlawanan fisik (Alikodra, 1990).

59
III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di TWA Gunung Meja Kabupaten Manokwari

Provinsi Papua Barat pada bulan November Tahun 2016. Peta lokasi penelitian

dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk pengamatan burung antara lain: Teropong

binokuler Nikon dengan perbesaran 8 x 35 cm, kamera digital Canon Mpix 3

Megapixel dengan 4x perbesaran, arloji, perekam suara burung, alat – alat tulis,

alat hitung (counter), sedangkan alat untuk merekam data keadaan habitat yaitu:

termohigrometer, GPS (Global Positioning System).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Peta lokasi penelitian,

buku identifikasi burung karangan Beehler,et al., (2001) dan buku panduan (Field

Guide) burung lainnya, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah berbagai

jenis burung dan habitat.

3.3 Rancangan Penelitian Yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik sensus

burung metode Point Count (titik hitung) atau IPA (Indices Ponctuels

60
d’Abondence) menurut Bibby et al., (1992) dengan jarak antara titik tidak tetap

dan ditentukan secara acak. Jarak antara titik tidak boleh kurang dari 200 m untuk

menghindari perhitungan ganda.

Pelaksanaan pengamatannya dilakukan dengan diam pada titik tertentu

dengan radius pengamatan 25m dan rentang waktu pengamatan 15 menit pada

satu titik pengamatan. Pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul 5:30 – 09:00

dan sore hari 15:00 – 18:00 WIT. Pengamatan dilakukan secara berulang

sebanyak 3 kali dengan mencatat semua jenis burung yang terlihat atau terdengar

pada setiap titik, dicatat juga bentuk aktivitasnya.

3.4. Prosedur Penelitian

Langkah – langkah yang dilakukan untuk pelaksanaan penelitian adalah:

(1).Tahap persiapan

Tahap persiapan dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian yaitu :

 Pengurusan surat ijin

 Wawancara dengan BBKSDA

 Kunjungan langsung untuk melihat lingkungan, lokasi pengamatan

dan batas daerah pengamatan.

 Penentuan titik pengamatan yaitu berdasarkan sebaran kelompok

vegetasi.

61
(2).Tahap penelitian

Tahap penelitian dilakukan setelah pelaksanaan seminar proposal dan

persetujuan komisi pembimbing. Tahap penelitian meliputi:

 Pengamatan burung menggunakan binokuler dan perekam suara

burung.

 Penandaan titik koordinat menggunakan GPS

 Pengamatan habitat

3.5.Variabel Pengamatan

Pengamatan dan pengukuran variable – variable dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

(1) Keanekaragaman jenis burung (spescies diversity)

Keanekaragaman jenis berhubungan dengan jumlah berbagai jenis spesies

dan jumlah individu setiap jenis dalam suatu komonitas.

Untuk menilai keanekaragaman jenis burung dalam penelitian ini

digunakan rumus Shannon – Winner ( Odum, 1993) yaitua;

H’ =  Pi Ln Pi

Dimana

H’ = Nilai Keanekaragaman jenis

Pi = ni/N = Perbandingan antara jumlah individu spesies

ke – i dengan jumlah total individu

62
Arti nilai indeks keanekaragaman jenis menurut Brower dan Zar (1998)

adalah :

H’  2.30 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah.

H’ 2.30 – 3.30 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang.

H’  3.30 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong tinggi

(2). Kekayaan atau kelimpahan jenis ( Spesies richness)

Kekayaan jenis merupakan jumlah spesies yang terdapat pada suatu area

atau sampel. Semakin banyak spesies yang ditemukan dalam sampel

semakin kaya area tersebut.

Untuk mengetahui kekayaan atau kelimpahan jenis burung dipergunakan

rumus Menhinickis diversity index (Whittaker, 1997), yaitu:

S
DMn =
N

Dimana :

DMn = Nilai kekayaan jenis

S = Jumlah spesias burung

N = Jumlah seluruh individu dalam sampel

Untuk mengetahui merata atau tidaknya pola sebaran spesies

(Evenness) digunakan rumus (Magurran, 1988) yaitu:

63
H1
E=
LnS

Dimana :

E = Indeks Evenness

Ln S = Los n dari jumlah jenis burung

Arti nilai Indeks Evenness menurut Brower dan Zar (1998) adalah

sebagai berikut:

E  0.4 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah,

komunitas tertekan.

E 0.4 = 0.6 menunjukkan kemerataan jenis tergolong sedang.

E  0.6 menunjukkan kemerataan jenis tergolong tinggi, komunitas

stabil

(3). Dominansi jenis burung

Dominansi menunjukan adanya spesies yang mendominansi suatu

komunitas. Untuk mengetahui Indeks Dominansi (Di) jenis burung

dipergunakan rumus (Font Hel Vort, 1981) yaitu:

Rumus Indeks Dominansi menurut (Font Hel Vort, 1981)

ni
Di = x 100%
N

64
Dimana :

Di = Indeks Dominansi Jenis

ni = Jumlah Spesies suatu jenis

N = Jumlah seluruh individu

Jika

Di = 0 – 2 % maka jenis tidak dominan

Di = 2 – 5 % maka jenis sub dominan

Di = ≥ 5 % maka jenis dominan

(4). Waktu dan aktivitas jenis burung

Variable ini menunjukan waktu aktivitas burung dan perilaku yang

diperlihatkan antara lain : bersuara, mencari makan, membentuk sarang

atau bertengker, dll. Setiap jenis burung yang dijumpai dicatat waktu dan

aktivitas yang dilakukan.

(5). Penggunaan vegetasi

Dicatat pada jenis vegetasi apa ditemukan jenis burung tertentu dan strata

kanopi yang digunakan.

(6). Kondisi dan gangguan habitat

Memiliki habitat berada dalam keadaan baik atau sudah terganggu.

Pembukaan hutan dan aktivitas manusia yang melakukan fungsi ekologi

hutan gunung meja.

65
(7). Variable penunjang

Variable penunjang berupa iklim mikro (temperatur dan kelembaban) saat

penelitian berlangsung.

3.6. Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dengan membuat daftar

jenis, daftar table,gambar, kurva akumulatif keanekaragaman jenis, kelimpahan

dan kekayaan jenis. Daftar jenis mencantumkan status konservasi berdasarkan

IUCN, CITES dan Peraturan Pemerintah Indonesia serta endemisitas. Rekaman

koordinat (GPS) untuk menganalisa spasial distribusi burung di Taman Wisata

Alam Gunung Meja.

Analisis data juga mencakup analisis dinamika jenis burung berdasarkan

penelitian – penelitian burung sebelumnya di TWAGM. Analisis data juga

mencakup kondisi habitat sebagai faktor pendukung perkembangan berbagai jenis

burung, ancaman – ancaman dan potensi ekowisata.

66
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL

4.1.1. Keanekaragaman Jenis Burung

(1) Keanekaragaman Jenis Burung

Keanekaragaman (H’) jenis burung di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung

meja dengan sebaran zone vegetasi disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. keanekaragaman jenis burung di TWAGM, November 2016


No Habitat Jumlah Individu H’
1 Hutan Vegetasi Pohon 79 2,78
2 Hutan Vegetasi Pemukiman 74 2,74
3 Hutan Vegetasi Perkebunan 59 2,44
4 Hutan Vegetasi Penebangan 40 2,13

Dari Tabel 4.1. terlihat bahwa keanekaragaman spesies burung di

TWAGM menyebar secara tidak merata pada berbagai vegetasi. Keanekaragaman

spesies burung tergolong sedang dijumpai pada zona vegetasi pohon (2,78) dan

terendah pada zona vegetasi penebangan (2,13).

(2) Kekayaan/Kelimpahan Jenis

Kekayaan / kelimpahan (DMn) jenis burung di Taman Wisata Alam (TWA)

Gunung meja adalah 5,88 spesies dengan sebaran zona vegetasi disajikan pada

Tabel 4.2.

67
Tabel 4.2. Kekayaan/Kelimpahan jenis burung di TWAGM, November
2016
No Habitat Jumlah Individu DMn
1 Habitat Vegetasi Pohon 75 2,63
2 Habitat Vegetasi Pemukiman 36 1,26
3 Habitat Vegetasi Perkebunan 19 0,66
4 Habitat Vegetasi Penebangan 38 1,33
Jumlah 168 5,88

Dari Tabel 4.2. terlihat bahwa kelimpahan (DMn) individu burung di

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWA-GM) terdapat jumlah individu burung

168 individu dengan nilai kekayaan/kelimpahan 5,88 individu yang tersebar pada

beberapa zona vegetasi habitat yaitu : habitat vegetasi pohon terdapat 75 individu

dengan nilai kekayaan/kelimpahan jenis 2,63, pada habitat vegetasi pemukiman

terdapat 36 individu dengan niklai kekayaan atau kelimpahan jenis 1,26, pada

habitat hutan vegetasi perkebunan terdapat 19 individu dengan nilai kekayaan atau

kelimpahan 0,66 sedangkan untuk habitat vegetasi penebangan terdapat 38

individu dengan nilai kekayaan atau kelimpahan jenis 1,33.

(3) Dominansi Jenis Burung

Dominansi (Di) spesies burung di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung


meja adalah 19 % dengan zone vegetasi disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Dominansi Jenis Burung di TWAGM, November 2016

Jumlah Dominansi (Di)


No Habitat individu %
1 Habitat Vegetasi Pohon 75 9
2 Habitat Vegetasi Pemukiman 36 4
3 Habitat Vegetasi Perkebunan 19 2
4 Habitat Vegetasi Penebangan 38 4
Jumlah 168 19

68
Dari Tabel 4.3. terlihat bahwa dominansi (Di) spesies burung di Taman

Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) terdapat jumlah spesies burung 168

spesies dengan nilai kekayaan/kelimpahan 19 % spesies yang tersebar pada

beberapa zona vegetasi habitat yaitu : habitat vegetasi pohon terdapat 75 spesies

dengan nilai dominansi (Di) jenis 9 %, pada habitat vegetasi pemukiman terdapat

36 spesies dengan niklai dominansi (Di) jenis 4 %, pada habitat hutan vegetasi

perkebunan terdapat 19 spesies dengan nilai dominansi (Di) 2 % sedangkan untuk

habitat vegetasi penebangan terdapat 38 spesies dengan nilai dominansi (Di) jenis

4 %. Jenis yang dominan muncul pada keempat zona vegetasi adalah M. Montana,

N.aspasia, M. keiensis, M.pusio.

(4) Waktu dan Aktivitas Burung

Hasil pengamatan burung pada ke-16 titik pengamatan ditemukan 28 jenis

burung yang dapat dikelompokkan ke dalam 14 famili. Waktu dan aktivtas

frekuensi rata - raja jenis burung di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung meja

adalah 3,9 dengan frekuensi relative suatu aktivitas disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Waktu dan Aktivitas Burung di TWAGM, November 2016

No Aktivitas Frekuensi
aktivitas harian
( Presentase %)
1 Bertengker 15
2 Terbang 39
3 Bersuara 21
4 Makan 11
5 Istirahat 7
6 Bermain 7

69
Dari Tabel 4.4. terlihat bahwa aktivitas burung ditemukan sebagai berikut

untuk aktivitas bertengker terlihat sebanyak 15 % spesies , untuk aktivitas burung

yang terbang sebanyak 39 % spesies, untuk aktivitas burung yang sedang bersuara

ditemukan sebanyak 21 % spesies, untuk aktivitas burung yang sedang makan

ditemukan sebanyak 11 % spesies, untuk aktivitas burung yang beristirahat

ditemukan sebanyak 7 % dan untuk aktivitas burung yang sedang bermain

ditemukan sebanyak 7 % spesies .

(5) Penggunaan Vegetasi Oleh Burung

PenggunaanVegetasi jenis burung di Taman Wisata Alam (TWA)

Gunung meja disajikan pada Tabel 4.7. Gambar jenis burung dapat dilihat pada

Lampiran 2.

Tabel 4.5. Penggunaan Vegetasi jenis burung di TWAGM, November


2016
No Famili Latin Indonesia Keterangan

1 Meliphagidae Meliphaga montana Meliphaga Rimba Bertengker, terbang


(Mataklabur)
2 Meliphagidae Philemon buceroides Cikukua Tanduk Bertengker, terbang
di atas pohon
Pometia Corease
3 Nectariniidae Nectarina aspasia Burung Madu Terbang, makan,
Hitam (pipit) bertengker di atas
kanopi
4 Psittacidae Micropsitta keiensis Nuri Kate Topi Istirahat dan terbang
Kunging keluar dari sarang
burung
5 Psittacidae Micropsitta pusio Nuri Kate Posio Terbang, bersuara,
mencari makan di
atas kanopi
6 Psittacidae Trichogloss Nuri Pelangi Terbang, bertengker
haematodus dalam jumlah kecil

7 Psittacidae Cacatua galerita Kakatua Koki Terbang, bertengker


diatas pohon Pometia

70
Corease
8 Psittacidae Eclectus roratus Nuri Bayan Terbang, bertengker,
bersuara diatas pohon
Pometia Corease
9 Psittacidae Lorius lory Kasturi Kepala Terbang, bersuara,
Hitam bersuara diatas
kanopi
10 Alcedinidae Clytoceyx rex Raja Udang Paruh Terbang,
Sekop bersuara,istirahat
didalam kanopi
11 Alcedinidae Halcyon sancta Cikakak Suci Terbang, bersuara,
makan mengejar
antopoda
12 Sturnidae Mino dumontil Mino muka kuning Terbang, bersuara,
suara di atas kanopi
13 Sturnidae Aplonis mystacea Perling Ungu Terbeng, bersuara di
atas kanopi pohon
Ficus benjamina
14 Cracticidae Cracticus cassicus Jagal Papua Terbang, bertengker,
bersuara diatas pohon
yang kering
15 Cracticidae Cracticus quoyi Jagal Hitam Terbang,
bertengker,istirahat,
bersuara diatas
kanopi
16 Campephagidae Caracina tenuirostris Kepudang-Sunggu Terbang, bersuara,
Meniak (Mirip berkejaran diatas
Burung Hitam) kanopi

17 Campephagidae Caracina monata Kepudang-Sunggu Terbang, bersuara,


Hitam (Burung bermain diatas pohon
Hitam) Makarangga sp

18 Podargidae Androphobus viridis Paruh-Kodok Terbang, bersuara,


Papua (Burung istirahat, d dahan dan
Hantu) kanopi

19 Columbidae Ducula pinon Pergam Pinon Terbeng, bertengker,


makan buah dari
kayu semen
20 Columbidae Ducula rufigaster Pergam Ekor Ungu Terbang, bertengker,
bermain pada pohon
Ficus sp
21 Columbidae Macropygia Uncal Ambon Terbang, bersuara,
amboinensis bertengker diatas
kanopi
22 Columbidae Macropygia Uncal Paruh hitam Terbang, bermain di
nigrirostris dahan pohon
Meristica sp
23 Columbidae Chalcophaps indica Delimukan Zamrud Terbang, mencari

71
makan diatas hutan
24 Bucerotidae Rhyticeros plicatus Julang Papua Terbang, bertengker,
hinggap makan buah
Pometia sp
25 Myiagridae Myiagra alecto Sikatan Kilap Terbang, bermain,
makan
26 Rhipiduridae Rhipidura Kipasan Semak Terbang, bersuara,
threnothorax bayan pada semak – semak

27 Cuculinidae Centropus menbeki Bubut Hitam (Iku) Terbang,


beruara,istirahat di
dahan pohon
Spateostemon sp
28 Dicruridae Dicrurus hottentottus Srigunting Lencana Terbang, bersuara
bersama kawasan
pada dahan matoa.

(6) Dinamika Burung

Dari hasil telusuran pustaka diketahui ada 7 kegiatan penelitian yang di

lakukan di Taman Wisata Alam gunung Meja (TWAGM) oleh beberapa

penelitian. Data jenis burung dari tahun 1957 – 2016 dapat di lihat pada Lampiran

3. Tercatat jumlah jenis burung yang ditemukan secara keseluruhan adalah 119

jenis. Jumlah jenis burung terbanyak ditemukan pada tahun 2006 oleh

Pattiselanno, dkk sebanyak 45 spesies dan paling sedikit pada tahun 2004 oleh

Putra sebanyak 22 spesies. Fruktuasi jumlah jenis burung dari tahun 1957 – 2016

ditampilkan dalam Gambar 4.6

72
Gambar 4.1. Fluktuasi Jumlah Burung Tahun 1957 – 2016.

50
45
40
Jumlah Jenis Burung

35
30
25
20
15
10
5
0

4.1.2. Kondisi Habitat Penelitian

Lokasi penelitian pengamatan burung di TWAGM dikelompokkan

menjadi empat zona, yaitu: (1) zona kebun, (2) zona pemukiman, (3) zona

penebangan, dan (4) zona vegetasi pohon. Pada zona-zona tersebut dibuat 16

(enam belas) titik pengamatan dan diambil kordinatnya. Kondisi habitat

penelitian disajikan pada Tabel 4.7.

73
Tabel 4.7. Letak, Kondisi Titik Pengamatan Jumlah dan Aktivitas
Burung, November 2016.
Letak Titik Jumlah dan Aktivitas
Pengamatan, Zona Kondisi burung
Koordinat &
Ketinggian
Pohon Topografi datar, bertanah 2 – 15 ekor, sedang bertengger
dan sedikit berbatuan. dan mencari makan di kanopi.
1 Pertumbuhan vegetasi Jenis yang ditemukan:
bervariasi dari semai, M.montana,N.aspasia,M.keien
Di bagian barat pancang, tiang dan pohon. sis,M.pusio,C.rex,H.chloris,C.
TWAGM Jenis pohon utama Pometia tenuirostris,M.amboinensis,M.
E: 00 50 88,2 Coreaceae. nigrirostris, R.threnothorax.
S: 134 04 36,9 Ganguan habitat :
Bekas penebangan, bekas
102 m dpl. penebangan, pohon tumban,
bekas lahan perkebunan,
bekas persemaian, bekas
lahan baru dibakar
Diameter pohon:
Pometia coreaceae (ϴ) :
110,
Tingkat kerusakan: 60 %
Pohon Topografi, jurang, bertanah, 3 – 10 ekor, sedang
2 sedikit berbatuan. bertengger dan mencari makan
Pertumbuhan vegetasi di kanopi. Jenis yang
Di bagian barat bervariasi dari semai, ditemukan:M.montana,N.aspa
TWAGM pancang, tiang dan pohon. sia,M.keiensis,M.pusio,H.chlo
E: 00 50 97,5 Jenis pohon utama Pometia ris,M.amboinensis,M.nigrirost
S: 134 04 99,2 eoreaceae ris , R. threnothorax
Ganguan habitat :
100 m dpl. Bekas penebangan, pohon
tumbang dan bekas galian,
pembukaan lahan
perkebunan, bekas
penebangan, pohon
tumbang, bekas galian tanah.
Diameter pohon: Octomeles
sumatrana
(ϴ) : 115,
Kerusakan : 80 %
Perkebunan Topografi, datar, bertanah, 2 – 9 ekor, sedang bertengger
3 sedikit berbatuan. dan mencari makan di kanopi.
Di bagian barat Pertumbuhan vegetasi Jenis yang ditemukan:
TWAGM bervariasi dari semai, M.montana,N.aspasia,M.keien
E: 00 51 55,5 pancang, tiang dan pohon. sis,M.pusio,T.haematodus,C.r
S: 134 04 94,1 Jenis pohon utama Pometia ex,M.dumonti,A.metallic,C.ten
eoreaceae uirostris,C.melaena,M.amboin
161 m dpl. Ganguan habitat : ensis,M.nigrirostris,R.threnot
Lahan perkebunan, bekas horax
timbunan sampah,
persemaian, bekas galian
tanah, bekas perkebunan,
persemaian., bekas galian

74
sampah.
Kerusakan : 60 %
4 Pohon Topografi, datar, bertanah. 3 – 12 ekor, sedang bertengger
Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Utara bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan: M.montana,
E: 00 51 45,2 Jenis pohon utama Myristica P.buceroides, N.aspasia,
S: 134 04 83,1 fatua M.keiensis,M.pusio, C.quoyi,
Ganguan habitat : C.tenuirostris, C.melaena,
174 m dpl. Ditemukan pohon tumban, P.papuensis, R.threnothorax
bekas penebangan, bekas
galian, pembuangan sampah,
jalan, pemancar
Diameter pohon:
Falcataria moluccana
(ϴ) : 55,
Tingkat kerusakan : 60 %

5 Pemukiman Topografi, jurang, bertanah. 2 – 9 ekor, sedang bertengger


Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Utara bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan:
E: 00 51 84,4 Jenis pohon utama M.montana, P.buceroides,
S: 134 04 71,5 Pimelodendron amboinicum N.aspasia,M.keiensis,M.pusio,
Ganguan habitat : T.haematodus,C.galerita,E.ror
180 m dpl. Ditemukan pohon tumban, atus, L.lorry, C.rex,
bekas tumpukan sampah, A.metallica,C.melaena,D.rufig
bekas bakaran, jalan, bekas aster,M.amboinensis,M.nigrir
galian tanah, ostris,C.indica,R.threnothorax
Diameter pohon:
Lepiniopsis ternatensis
(ϴ) : 61, Intsia bijuga ϴ) :
72,
Kerusakan : 10 %
Penebangan Topografi, jurang, berbatuh, 3 – 10 ekor, sedang bertengger
6 bertanah. Pertumbuhan di bawa kanopi dan mencari
vegetasi bervariasi dari makan di atas kanopi. Jenis
Di bagian Utara semai, pancang, tiang dan yang ditemukan: M.montana,
TWAGM pohon. Jenis pohon utama P.buceroides, N.aspasia,
E: 00 50 99,0 Pometia coreaceae sp M.keiensis,M.pusio,M.dumonti
S: 134 04 80,9 Ganguan habitat : ,
Pohon tumban, jalan raya, C.cassicus, C.quoyi,
182 m dpl bekas galian, lahan C.tenuirostris C.melaena,
perkebunan, pembukaan
lahan baru, persemaian. P.papuensis,D.Pinon,D.rufigaste
Diameter pohon: r, M.amboinensis, M.nigrirostris
Spathiostemon javencis C. indica, M.alecto
(ϴ) : 57
Kerusakan : 30 %
7 Pohon Topografi, datar,bertanah. 3 – 11 ekor, sedang bertengger
Di bagian Tengah Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
TWAGM bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
E: 00 51 87,9 pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan: M.montana,
S: 134 04 88,3 Jenis pohon utama P.buceroides,M.keiensis,M.pu
Elaeocarpus angustifolius sio, D.rufigaster

75
180 m dpl Ganguan habitat : M.amboinensis M.nigrirostris,
Ditemukan pohon tumban, M.alecto
jeratan, bekas penebangan,
bekas perkebunan, bekas
penebangan pohon, pohon
tumbang.
Kerusakan : 30 %
8 Pohon Topografi, datar,bertanah. 3 – 10 ekor, sedang bertengger
Di bagian Tengah Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
TWAGM bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
E: 00 51 49,0 pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan: M.montana,
S: 134 05 00,1 Jenis pohon utama N.aspasia, M.keiensis
Dysoxylum mollissimum M.pusio,T.haematodus,C.gale
154 m dpl Ganguan habitat : rita,
Ditemukan pohon tumban, E.roratus, M.dumonti,
bekas penebangan, bekas C.melaena, D.Pinon,
galian tanah, persemaian D.rufigaster, M.amboinensis
Diameter pohon: C.membeki.
Intsia bijuga (ϴ) : 75
Kerusakan : 30 %
9 Pohon Topografi, datar,bertanah. 3 – 8 ekor, sedang bertengger
Di bagian Tengah Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
TWAGM bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
E: 00 51 38,2 pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan:
S: 134 05 03,4 Jenis pohon utama P.buceroides, N.aspasia,
Dysoxylum mollissimum M.keiensis, M.pusio,C.cassicus,
191 m dpl Ganguan habitat : C.melaena, D.Pinon,
Pohon tumban, bekas D.rufigaster, C.membeki.
penebangan, jerat
Kerusakan : 10%

10 Pohon Topografi, datar,bertanah. 3 – 8 ekor, sedang bertengger


Di bagian Timur Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
TWAGM bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
E: 00 51 26,0 pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan :
S: 134 05 03,9 Jenis pohon utama M.montana,P.buceroides,M.pusi
Dysoxylum mollissimum o, C.galerita, A.metallica,
194 m dpl Ganguan haitat: penebangan C.cassicus.
pohon, pohon tumbang,
timbunan sampah.
Gangguan habitat : Diameter
pohon: Pometia coreaceae
(ϴ) : 90, Dysoxylum
mollissimum (ϴ):89
Kerusakan habitat : 10%
11 Pohon Topografi, juran,bertanah. 3 – 8 ekor, sedang bertengger
Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Utara bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan :
E: 00 51 68,1 Jenis pohon utama M.montana, P.buceroides
S: 134 05 16,3 Pometia coreaceae N.aspasia, M.pusio M.dumonti,
Ganguan habitat : pohon C.quoyi, M.amboinensis
211 m dpl tumban, bekas lahan
perkebunan, bekas bakaram
Pohon tumban, tumpukan

76
kayu bakar, jerat
Diameter pohon:
Elaeocarpus angustifolius
(ϴ) : 85,
Kerusakan : 10 %
12 Pemukiman Topografi, juran,bertanah, 3 – 11 ekor, sedang bertengger
tanah. Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Timur bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan :
E: 00 51 66,6 Jenis pohon utama M.montana, P.buceroides,
S: 134 05 29,3 Falcataria moluccana N.aspasia, M.keiensis, M.pusio,
Ganguan habitat :
201 m dpl Pohon tumban, bekas T.haematodus, M.dumonti, P.
bakaran, jerat dan bekas papuensis, D.rufigaster,
penebangan liar D.hottentottus.
Kerusakan: 10%
13 Penebangan Topografi, datar,bertanah. 3 – 13 ekor, sedang bertengger
Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Selatan bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan :
E: 00 51 60,9 Jenis pohon utama M.montana, M.pusio,
S: 134 05 40,3 Haplolobus lanceolatus M.dumonti,
Ganguan habitat : C.tenuirostris, C.melaena,
181 m dpl Bekas lahan perkebunan, M.amboinensis
bekas penebangan, pohon
tumban
Diameter pohon: Dysoxylum
mollissimum
(ϴ) : 65,
Kerusakan : 10%

14 Pohon Topografi, juran, berbatuh. 2 – 12 ekor, sedang bertengger


Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Utara bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan :
E: 00 50 64,7 Jenis pohon utama M.montana, P.buceroides,
S: 134 05 12,9 Pometia coreaceae N.aspasia, M.keiensis, M.pusio,
Bekas pohon tumban, bekas
107 m dpl jeratan, bekas bakaran, C.rex, H.chloris, M.dumonti,
bekas perkebunan, lahan C.quoyi, C.tenuirostris , D.
beru dibuka, persemaian, rufigaster, M.amboinensis,
bekas galian tanah, bekas R.placates, M.alecto, R.
sampah threnothora
Diameter pohon:
Pometia coreaceae
(ϴ) : 58,
Kerusakan : 30%

77
15 Pohon Topografi, datar, berbatuh. 1 – 9 ekor, sedang bertengger
Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Utara bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan :
E: 00 50 78,4 Jenis pohon utama M.montana, P.buceroides,
S: 134 05 09,6 Dysoxylum mollissimum N.aspasia,C.galerita,
Ganguan habitat : ditemukan L.lorry,M.keiensis M.pusio,
112 m dpl pohon tumban penebangan C.tenuirostri, C.melaena,
kayu. D.rufigaster, M.amboinensi
Diameter pohon:
Pimelodendron amboinicum
(ϴ) : 60,Pometia coreaceae
(ϴ) : 70
Kerusakan : 30 %
16 Pohon Topografi, datar, bertanah. 3 – 7 ekor, sedang bertengger
Pertumbuhan vegetasi di bawa kanopi dan mencari
Di bagian Utara bervariasi dari semai, makan di atas kanopi. Jenis
TWAGM pancang, tiang dan pohon. yang ditemukan :
E: 00 50 90,9 Jenis pohon utama M.montana,P.buceroides,T.hae
S: 134 05 14,6 Terminalia canalicuata matodus,M.dumonti,
Ganguan habitat :
C.cassicus, C.melaena,
137 m dpl Pohon tumban, penebangan,
P.papuensis, D.rufigaster,
tumpukan sampah
C.membeki.
Diameter pohon:
Calophyllum inophyllum
(ϴ) : 80,Dysoxylum
mollissimum (ϴ) : 101,
Pometia coreaceae (ϴ): 80,
Artocarpus Sp. (ϴ):60,
Octomeles sumatrana (ϴ):
120
Keruskan : 10 %

4.1.3. Komposisi Jenis Burung dan Status Konservasi

Hasil pengamatan burung pada ke-16 titik pengamatan ditemukan 28 jenis

burung yang dikelompokkan ke dalam 14 famili. Beberpa di antara jenis burung

diambil gambar secara langsung dan beberapa yang lainnya dengan panduang

buku burung karangan Beehler, Pratt dan Zimmerman (2001) dan rekaman suara

burung dan gambar burung. Dapat dilihat pada Lampiran 6. Nama burung dan

status konservasi berdasarkan Daftar Burung Indonesia No.2. (Sumantoro,

et,al.2007) disajikan pada Tabel 4.8.

78
Tabel 4.8. Nama Burung dan Status Konservasi di TWAGM, November
2016
Distrib IUC CITE PP
No Famili/Nama Ilmiah Nama Inggris/Indonesia
usi N S RI
Meliphagidae
1 Meliphaga montana Forest Honey P, G
Meliphaga Rimba AB
2 Philemon buceroides Helmeted Friarbird/ T, P, > AB
Cikukua Tanduk
Nectariniidae
3 Nectarina aspasia Black Sunbird P, G
Burung Madu Hitam
Psittacidae
4 Micropsitta keiensis Yellow-capped pygang M, P, G II
Parrot
Nuri Kate Topi Kuning
5 Micropsitta pusio Buff-faced pigmy parrot P, G II
Nuri Kate Pusio
6 Trichoglossus haematodus Rainbow - Larikeet J, <, M, II
Perkici - Pelangi T, P, >
7 Cacatua galerita Sulphur crested Cockatoo R, P, >, II AB
Kakatua koki
8 Eclectus roratus Eclectus Parrot M, T,P, II AB
Nuri Bayan >
9 Lorius lory Western Black-capped lory P, G, II A
Kasturi Kepala Hitam
Alcedinidae
10 Clytoceyx rex Shovel-billed Kingfisher P, G, AB
Raja Udang Paruh Sekop
11 Halcyon sancta Sacred Kingfisher S, K, J, AB
Cikakak SucI C, M,
T, P,
<,>
Sturnidae
12 Mino dumontii Yellow - aced Myna P, >
Mino muka kuning
13 Aplonis metallica Metallic Starling M, T,
Perling Unggu P,>
Cracticidae
14 Cracticus cassicus Hooded Butcherbird P, G
Jagal Papua
15 Cracticus quoyi Black Butcherbird P, >
Jagal Hitam
Campephagidae
16 Coracina tenuirostris Common Cicadabrird M, T, P
Kepudang-Sunggu Meniak
( Mirip burung hitam)
17 Coracina monata Black – bellied Cicadabird P, G
Kepudang- Sunggu Hitam
(Burung hitam)
Podargidae
18 Podargus papuensis Papuan Frogmouth P, >
Paruh-Kodok Papua (

79
Burung hantu)
Columbidae
19 Ducula Pinon Pinoris Imperial Pigeon P, G
Pergam Pinon
20 Ducula rufigaster Purple – tailed – Imperial P, G
Pigeon
Pergam Ekor Ungu
21 Macropygia amboinensis Brown Cuckoo-Dove M, P, >
Uncal Ambon
22 Macropygia nigrirostris Black billed Cuckoo-dove P, >
Uncal Paruh Hitam
23 Chalcophaps indica Cemmon Emerald Ground S, K, J,
Dave C, M,
Delimukan Zamrud T, P, <,
>
Bucerotidae
24 Rhyticeros plicatus Papua Hornboill M, P, II AB
Julang papua
Monarchidae
25 Myiagra alecto Shining Flycatcher P, G
Sikatan kilap
Rhipiduridae
26 Rhipidura threnothorax Sooty Thicketa Fantail P, G
Kipasan Semak Bayan
Centropodidae
27 Centropus menbeki Greater Black Coucal P, G
Bubut Hitam
Dicruridaes
28 Dicrurus hottentottus Spangled Drongo S, K, J,
Srigunting Jambul – M, C, <
Rambut.
Ket : A= UU no 5 Thn 1990, B = PP no 7 Thn 1999, P = Papua, G = Spesies terancam di Papua
dan Nieuw Guinea, T = Spesies terancam di kepulauan Timur, M = Maluku, J = Jawa, Bali dan
Madura, S = Sumatra, K = Kalimatan, C = Sulawesi, < = Spesies tersebut tercatat di Filipina
atau Asia Tenggara, > = Spesies tersebut tercatat di kepulauan Bismarck, Solomon dan Australia.

80
4.2. Pembahasan

4.2.1. Keanekaragaman Jenis Burung

(1) Keanekaragaman Jenis Burung

Berdasarkan hasil analisis data diketahui keanekaragaman jenis (H’)

burung di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) berkisar 2,13 – 2,78

tergolong sedang dari kisaran keanekaragaman jenis (H’) burung berdasar hutan

zona vegetasi pada lokasi penelitian dibagi empat hutan zona vegetasi yaitu (1)

hutan zona vegetasi pohon dengan nilai keanekaragaman jeni (H’) 2,78 dimana H’

 2.30. (2) Hutan vegetasi pemukiman nilai keanekaragaman jenis (H’) 2,74

dimana H’  2.30. (3) Hutan vegetasi perkebunan nilai keanekaragaman jenis

(H’) 2,44 dimana H’  2.30. (4) Hutan vegetasi penebangan nilai

keanekaragaman jenis (H’) 2,13 dimana H’  2.30.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman jenis burung

yang terdapat di kawasan hutan Taman Wisata Alam gunung Meja (TWAGM).

Empat hutan vegetasi memiliki nilai keanekaragaman jenis (H’) yang sama yaitu

berkisar 2,13 – 2,78 dengan kisaran nilai keanekaragaman jenis (H’). Jika H’ 

2.30 yang menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, jika H’ 2.30 –

3.30 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang, jika H’  3.30

menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong tinggi. Tingkat keanekaragaman

jenis (H’) pada kawasan Taman Wisata alam Gunung Meja (TWAGM) memiliki

kisaran yang ditemukan H’  2.30 yang menunjukkan keanekaragamannya jenis

tergolong rendah Alikodra (1990). Hal ini menunjukan bahwa kawasan Taman

81
Wisata Alam gunung Meja (TWAGM) tidak memiliki daya dukung lingkungan

yang memadai bagi kehidupan jenis burung yang ada di kawasan tersebut.

Keanekaragaman jenis (H’) burung sedang juga dipengaruhi oleh factor

pengendalian ekosistem. Keberadaan manusia pada suatu kawasan yang dapat

menyebabkan gangguan dan keterancaman seperti penebangan liar, pemukiman,

pembuangan sampah, pohon tumban, dll. Hal ini dapat menyebabkan burung tidak

dapat beradaptasi dengan ekosistemnya dikarenakan gangguan dan kerusakan

habitat yang menyababkan ketersedian pakan, air minum, tempat beristirahat bagi

burung tersebut tidak mendukung. Menurut Ferianita, 2008 keanekaragaman

jenis cenderung rendah dalam suatu ekosistem dikarenakan gangguan habitat pada

kawasan tersebut dan tidak adanya daya dukung lingkungan seperti ketersediaan

pakan, air, tempat beristirahat, dll.

(2) Kekayaan / Kelimpahahn Jenis Burung

Kekayaan/kelimpahan jenis burung yang terdapat di Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWAGM) dihitung berdasarkan hasil perhitungan jumlah jenis

burung suatu spesies dibagi jumlah semua burung dalam Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWAGM), nilai kekayaan/kelimpahan untuk tiap stasiun diperoleh

dari penjumlaaan kelimpahan tiap jenis burung dalam satu zone vegetasi habitat.

Setelah melakukan analisis data didapatkan bahwa hasil kelimpahan jenis burung

di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) memiliki jumlah 168 jenis

dengan nilai kekayaan/kelimpahan 5,88 yang tersebar di beberapa zona vegetasi

habitat burung di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) yaitu: pada zona

82
vegetasi habitat pohon memiliki nilai (DMn) = 2,63, pada zona vegetasi habitat

pemukiman memiliki nilai (DMn) = 1,26, pada zona vegetasi habitat perkebunan

memiliki nilai (DMn) = 0,66 dan pada zona vegetasi habitat penebangan memiliki

nilai (DMn) = 1,33.

Hasil penelitian pada tingkat jumlah kekayaan/kelimpahan jenis burung di

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) pada empat zona vegetasi habitat

menyatakan pada zona vegetasi pohon memiliki jumlah nialai

kekayaan/kelimpahan lebih tinggi 2,63 di bandingkan jumlah zona vegetasi

pemukiman 1,26, jumlah zona vegetasi perkebunan 0,66 dan penebangan 1,33.

Factor yang menyebabkan kekayaan/kelimpahan setiap spesies burung yang

didapatkan dari hasil analisis data sangat berbeda, dikarenakan berbedanya

kondisi lingkungan disetiap zona vegetasi. Selain itu factor yang menyebabkan

tingginya kekeyaan/kelimpahan jenis burung pada zona vegetasi pohon adalah

kemampuan jenis burung untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun terdapat

gangguan terhadap habitat, terdapatnya tutupan kanopi yang baik untuk tempat

berlingdung, bermain,beristirahat, dll. Hal ini juga dikemukakan oleh Vikar

(2012) areal zona vegetasi pohon memiliki tingkat jenis burung tinggi

dikarenakan terdapatnya tutupan kanopi yang baik sebagai tempat berlinding bagi

predator, tempat beristirahat yang baik dan tempat aktivitas burung yang baik.

83
(3) Dominansi Burung di TWA – GM

Analisis dominansi (Di) jenis burung di Taman Wisata Alam Gunung

Meja (TWAGM). Berdasarkan hasil perhitungan dominansi untuk menentukan

jenis burung yang dominan, sub-dominan atau tidak dominan dalam suatu

pengamatan dihitung berdasarkan jumlah individu suatu jenis burung dibagi

jumlah individu dari total seluruh jenis burung pada areal penelitian kali seratus

persen.

Setelah melakukan analisis data didapatkan bahwa hasil dominansi (Di)

jenis burung di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) memiliki jumlah

168 spesies dengan nilai dominansi (Di) 19% yang tersebar di beberapa zona

vegetasi habitat burung di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) yaitu:

pada zona vegetasi habitat pohon memiliki nilai (Di) = 9 %, pada zona vegetasi

habitat pemukiman memiliki nilai (Di) = 4 %, pada zona vegetasi habitat

perkebunan memiliki nilai (Di) = 2 % dan pada zona vegetasi habitat penebangan

memiliki nilai (Di) = 4 %.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks dominansi (Di) jenis burung

yang terdapat di kawasan hutan Taman Wisata Alam gunung Meja

(TWAGM).Empat hutan vegetasi memiliki nilai dominansi jenis (Di) yang yang

tidak merata. Jika Di = 0 – 2 % menunjukan jenis tidak dominan, jika Di = 2 – 5

% menunjukkan jenis sub - dominan, jika Di =  5 % menunjukkan jenis

dominan. Tingkat dominansi jenis (Di) pada kawasan Taman Wisata alam

Gunung Meja (TWAGM) memiliki kisaran tidak dominan, sub – dominan dan

84
dominan. Zona vegetasi pohon dengan nilai dominansi jenis (Di) = 9 %

menunjukan dominan dengan jenis burung yang dominan yaitu :Meliphaga

monata, N.aspasia, M.keiensis, M.pusio, dan M.amboinensis . Jenis –jenis

tersebut yang ditemukan paling dominan dikarenakan factor pakan yang sesuai

dan bentuk tubuh yang kecil untuk mudah melewati tutupan kanopi serta

kebiasaan burung – burung yang melakukan aktivitas secara berkelompok. Zona

vegetasi pemukiman dan penebangan memiliki jumlah nilai dominansi jenis (Di)

= 4 % menunjukan sub - dominan. Zona vevetasi perkebunan memiliki nilai

dominansi jenis (Di) = 2 % menunjukan tidak dominan.

Analisis dominansi burung digunakan untuk melihat bagaiman komposisi

jenis burung yang dominan, sub-dominan, dan tidak dominan dalam komonitasi

burung yang diamati pada suatu kawasan. Jenis burung yang dominan pada zona

vegetasi pohon dibandingkan zona vegetasi pemukiman, perkebunan dan

penebangan. Hal ini menurut Syafrudin (2011) menyatakan bahwa tingginya

kelimpahan jenis burung disebabkan karenan kebiasaan burung – burung tersebut

yang dalam melakukan aktivitas secara berkelompok, sehingga memiliki nilai

dominansi yang tinggi, selain itu jumlah individu dan jenis –jenis burung tersebut

mampu memanfaatkan habitat hutan dikarenakan habitat tersebut mendukung

spesies tersebut sebagai aktivitas. Hal ini terkait dengan pakan, aktivitas harian,

perilaku harian yang mampu memanfaatkan jenis tutupan lahan dan kanopi.

85
(4) Waktu Dan Aktivitas Burung di TWAGM

Berdasarkan hasil penelitian dari 6 (enam) aktivitas burung di Taman

Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM). Untuk menghitung nila aktivitas burung

di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) dihitung berdasarkan jumlah

aktivitas burung dibagi keseluruhan jumlah aktivitas burung dikalikan seratus

persen.

Setelah dilakukan analisis data dari aktivitas burung adalah sebagai berikut

untuk aktivitas bertengker berjumlah 14 %, untuk aktivitas terbang berjumlah 39

%, untuk aktivitas bersuara berjumlah 21 %, untuk aktivitas makan dengan julah

11 %, untuk aktivitas istrahat dengan jumlah 7% dan untuk aktivitas bermain

dengan jumlah 7 %. Dari hasil pengamatan ditemukanan ativitas yang paling

dominan adalah aktivitas terbang 39 %. Hal ini sesuai dengan perilaku burung

yang suka terban. Menurut Alikodra (1980) burung cenderung terbang diatas

pohon dan dibawa kanopi serta pada saat mencari makan, bermain dikarenakan

gangguan habitat. Berikut adalah keterangan aktivitas burung yang ada di Taman

Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM).

(1) Bertengker

Bertengker merupakan perilaku burung yang berdiri dengan satu atau dua

kaki, bulu relaks dan mata terbuka (Pettinggill, 1969). Burung yang ada di Taman

Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM). Burung yang ada di Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWAGM) bertengker di pohon Pometia corease, Ficus

Benjamina, Makaranga sp. Burung lebih banyak melakukan aktivitas bertengker

86
di pohon Pometia Corease dan Ficu Benjamina pada pagi hari hal ini di duga

untuk mendapatkan cahaya matahari, sedangkan pada sore hari burung bertengker

pada pohon Ficus Benjamina, Makaranga sp.

(2) Terbang

Terbang adalah bergerak atau melayang di udara dengan menggunakan

sayap. Dari hasil pengamatan selama penelitian ditemukan bahwa burung

biasanya terbang ke areal perkebunan dan ke areal pohon hal ini memungkinkan

burung mencari makan di areal perkebunan, di pohon bermain.

(3) Bersuara

Suara adalah bunyi yang dikeluarkan oleh burung yang dihasilkan oleh

burung dan dapat berfungsi sebagai tanda atau nyanyian (Tanudimadja,dan

Kusumamiharja 2010). Bersuara merupakan aktivitas burung yang dilakukan

saat burung sedang mau istirahat.

(4) Makan

Makan merupakan rangkaian gerak dalam mencari dan memilih makanan

dan suatau pola yang tetap dilakukan oleh burung (Alikodra, 1980). Burung

cenderung mencari makan di permukaan tanah. Perilaku makan burung di Taman

Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) pada saat pengamatan burung sesekali

turung ke bawah permukaan tanah untuk mencari makan. Burung dimungkinkan

memakan bijirumput dan tanah yang ada dipermukaan, selain itu di areal

perkebunan yaitu buah pisang dan sari bunga. Kegiatan memakan tanah adalah

perilaku burung memilih jenis tanah tertentu yang digunakan untuk membantu

sistim percernaan pada jenis burung tertentu (Rusmendro, 2004).

87
(5) Istirahat

Istirahat merupakan perilaku burung yaitu berdiri dengan satu atau dua

kaki, bulu relaks dan mata yang tetutup (Pettingill, 1969). Burung lebih sering

melakukan aktivitas istirahat di atas pohon jati diduga karena pohon tersebut

memiliki daun yang lebar sehingga burung merasa nyaman.

(6) Bermain

Bermain merupakan perilaku burung yang di temukan pada saat pengamata

di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM). Aktivitas bermain atau

bergerak merupakan aktivitas pindahnya suatu jenis dari satu tempat ke tempat

lain. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama penelitian diketahui bahwa

burung melakukan aktivitas berpindah atau bermain dari pohon satu ke pohon

yang lain, seperti pindahnya burung dari pohon beringin ke pohon matoa.

Selama pengamatan perilaku aktivitas burung di Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWAGM) jenis pohon yang dominan dijadikan sebagai tempat

aktivitas yaitu Pohon Pometia Corease dan Ficus Benjamina. Burung

memanfaatkan pohon tersebut untuk bertengker ( istirahat dan berlindung dari

gangguan ) baik pada pagi hari maupun pada sore hari. Berdasarkan pengamatan

diduga Taman Wisata alam Gunung Meja (TWAGM) memiliki kondidi habitat

yang kurang nyaman bagi burung karena dapat dilihat bahwa kondisi habitat yang

terancam dengan adanya penebangan liar, pemakaian lahan sebagai lahan

pertanian, pemukiman yang menyebab ketersediaan pakan yang berkurang, air,

tempat berlindung, tempat beristrahat, dan tidur malam, tempat untuk

berkembangbiak yang tidak mendukung dengan kondisi habitat. Taman Wisata

88
Alam Gunung Meja (TWAGM) yang dimana terdapat lahan perkebunan sebagai

ketersediaan pakan namun tidak maksimal karena factor gangguan manusia dan

ketersedaan air hanya terdapat di bagian Timur Taman Wisata Alam Gunung

Meja (TWAGM). Menurut Dewi (2012) factor yang mempengaruhi keberadaan

burung adalah ketersediaannya pakan, tempat untuk beristirahat, bermain, kawin,

bersarang, dan berlindung. Selain itu juga ditentukan oleh suatu areal untuk

menampung burung ditentukan juga oleh luasnnya areal, komposisi dan struktur

vegetasi. Taman Wisata Alam Ginung Meja (TWAGM) memiliki kondisi habitat

yang terganggu dengan aktivitas manusia dan luas areal yang sempit dikarenakan

oleh factor manusia yang menjadikan sebagai lahan pertanian, pemukiman, dan

penebangan. Setelah dilakukan pengamatan tentang aktivitas burung di Taman

Wisata alam Gunung Meja (TWAGM), adanya aktivitas manusia mempengaruhi

aktivitas burung. Hal ini merupakan perilaku tingkat adaptasi suatu hewan untuk

menyesuaikan perilakunnya terhadap suatu lingkungan untuk kehidupannya

(Stenley, 1984).

Dari hasil pengamatan selama penenelitian pengamatan perilaku burung di

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) pada saat cuaca mendung burung

sedikit dibandingkan pada saat cuaca cerah burung lebih banyak ditemukan

melakukan aktivitas, hal ini diduga pada saat cuaca mendung burung merasa suhu

tubuhnya dingin sehingga burung hanya bertengker dan beristirahat dengan

mengembangkan bulu – bulunya untuk menjaga kestabilan suhu tubuh. Pada saat

cuaca cerah burung lebih banyak melakukan aktivitas seperti bermain, terbang,

mencari makan danaktvitas lainnya.

89
(7) Penggunaan Vegetasi Burung di TWAGM

Menurut informasi penelitian sebelumnnya, informasi terakhir dari Balai

Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Papua Barat (BBKSDA),

ditemukan jumlah spesies burung yang ada di Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWA) 35 spesies burung. Dari hasil penelitian ini yang ditemukan berjumlah 28

spesies dari 14 famili. Aspek penunjang dari dari spesies burung ditentukan juga

oleh keragaman susunan struktur vegetasi. Struktur susunan vegetasi di Taman

Wisata Alam Gunung Meja (TWA) cukup menarik. Pada dataran rendah plot

pengamatan pertama, tiga dan lima didomisili tumbuhan : Pometia coreaceae,

Sterculia macrophylla, Koordersiodenron pinnatum, Prunus arborea, Sterculia

macrophylla, Terminalia canalicuata, Falcataria moluccana,Palaquium

amboinensis, Homalium foetidum, Myristica fatua, Cerbera floribunda,

Haplolobus lanceolatus. Sedangkan di plot pengamatan dataran tinggi pada plot

dua dan empat didomisili tumbuhan : Pometia coreaceae, Ficus benjamina,

Alstonia scholaris, Pterygota hersfieldii, Dysoxylum mollissimum, Octomeles

sumatrana, Dysoxylum mollissimum, Elaeocarpus angustifolius, Sterculia

macrophylla, Pterygota horsfieldii, Mastixiodendron pachyclados, Calophyllum

inophyllum, Streblus elongate, Buchanania arborescens, Cerbera floribunda,

Hoersfieldia parviflora. Secara umum spesies tumbuhan tersebut merupakan

penyusun bagi burung. Centerburry (2000) menyatakan kelimpahan individu

burung dalam pertumbuhan populasinya sangat ditentukan oleh kelimpahan

kekayaan spesies penyusun habitat yang menjadi bagian dari suatu ekosistem

hutan. Hal ini juga menunjukan bahwa kelimpahan burung sangat ditentukan oleh

90
vegetasi sebagai penyusun habitat. Dimana burung akan memilih habitat yang

benar – benar cocok untuk pertumbuhan populasinnya. Alikodra (1990)

menyatakan bahwa, aktivitas satwa liar biasannya sangat tergantung dari sifat

individu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang menunjang aktivitas

hidupnya. Factor penunjang lingkungan seperti penyusun vegetasi sebagai habitat,

ketersediaan makanan, fasilitasi untuk berkembang biak, pemangsa dan kondisi

cuaca serta air yang memegang peran penting untuk hadirnya spesies di kawasan

hutan.

Burung merupakan sumber daya alam yang bemilai tinggi, baik secara

langsung maupun secara tidak langsung. Manfaat langsung dari burung dilihat

secara ekonomis adalah dapat diperdangangkan, sedangkan secara tidak langsung

adalah dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Berhubungan dengan hal tersebut

maka pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan (Undang-Undang) untuk

melindunginya (Karubaba, 1999).

Melestarikan suatu komunitas hayati yang utuh merupakan suatu cara yang

efektif untuk dapat melestarikan keanekaragaman hayati yaitu dengan membuat

penetapan kawasan perlindungan secara legal (Primac,et al. 1998). Untuk

menjamin kelestarian komunitas hayati dari ancaman kepunahan serta

pemanfaatannya secara optimal diperlukan tindakan pengelolaan. Tindakan

pengelolaan ini harus dapat meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat

dan berbagai sektor pemeritah lainnya untuk dapat melindungi komunitas hayati

tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Alikodra, 1990) untuk menjaga suatu

komunitas diperlukan tindakan pengelolaan. salah satunya adalah meningkatkan

91
peran serta masyarakat dalam kesadaran untuk melindunggi komunitas hayati

tersebut.

Upaya konservasi oleh masyarakat juga memegang peran yang sangat

penting dalam upaya pelestariannya. Dalam hal ini adalah masyarakat yang

berdomisili di sekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWA) seperti

kelurahan Amban, Kelurahan Padarni, kompleks Sarina, kompleks Ayambori,

kompleks litbang kehutanan dan kompleks Anggori. Walaupun masyarakat yang

tinggal berdekatan dengan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWA) tidak

mengkonsumsi burung namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak aktivitas

lainnya dari masyarakat sekitar yang dapat mengancam habitat dari burung yang

berada di alam. Beberapa aktivitas dari masyarakat misalnya pembukaan lahan

pertanian, penebangan hutan, penebangan kayu legal dan pembukaan lahan

sebagai daerah pemukiman yang luas serta pengambilan kayu secara berlebihan

sebagai bahan bangunan dan kayu bakar yang diambil pada lokasi habitat

bermainnya burung.

Taman Wisata alam Gunung Meja (TWA) merupakan salah satu lokasi

hutan wisata yang berada di tengah Kabupaten Manokwari yang merupakan ibu

kota Provinsi Papua Barat. Aspek konservasi pakan maupun lokasi tempat

bermainnya burung memegang peranan penting dalam menunjang jumlah

populasi dari burung. Menjaga keberadaan pakan dan habitat burung dapat

dilakukan dengan membatasi penggunaan tumbuhan oleh masyarakat terhadap

pakan dan habitat dari burung tersebut. Spesies tumbuhan seperti Matoa dan

Beringin yang sering dijadikan sebagai penebangan liar, spesies tumbuhan

92
tersebut sangat disukai oleh burung sebagai pakan dan tempat bermain, maka

perlu dilakukan konservasi untuk menunjang kelangsungan hidup suatu spesies

baik dalam pakannya maupun lokasi tempat bermain. Apabila dalam

penggunaanya secara terus menerus oleh masyarakat tanpa melakukan konservasi

maka dikhawatirkan spesies tersebut akan punah.

Salah satu upaya telah dilakukan oleh pemerhati konservasi yaitu Balai

Besar Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Papua Barat (BBKSDA) untuk

melindungi burung, pada kawasn tersebut dibuat papan pengumungan dimana

sebagai tempat aktivitas pengamatan burung dan dikelola sebagai daerah

konservasi dan wisata. Pada lokasi habitat burung yaitu pada titik pengamatan 4

dibuatkan tempat aktivitas burung.

(8) Distribusi Spasial Burung di TWAGM

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) merupakan salah satu

habitat burung. Luas habitat burung diperkirakan 2,5 km². Hal ini sesuai dengan

pernyataan Beehler, dkk (1986) yang menyatakan bahwa satu ekor burung

membutuhkan daerah jelajah atau homrage sekitar 2,5 km². Habitat burung dapat

dibedakan menjadi lokasi bertengker, lokasi terbang, lokasi bermain, lokasi

makan. Habitat bertengker, terbang, bersuara, istirahat dan bermain dicirikan

dengan tumbuhan yang tinggi dimana mempunyai percabangan lateral dan agak

tertutup, serta ditumbuhi banyak liana. Tumbuhan tersebut nampaknya banyak

bertingkat dimana burung dapat hinggap dan berlompat – lompat antar cabang

satu dengan yang lain atau berayun pada liana. Sebaliknya habitat makan dan

93
beristirahat dicirikan dengan tumbuhan yang tinggi dan rimbun dengan tegak yang

rapat.

Burung lebih aktif ditemukan pada titik pengamatan 1 sampai 8 dan 12

sampai 14. Hal ini disebabkan lingkungan hutan pada daerah tersebut sangat

menunjang aktivitas burung. Dimana pada daerah tersebut berada agak jauh dari

pemukiman dan terdapat tumbuhan yang menjadi pakan, pohon yang banyak

sebagai tempat berlindung dangan tutupan kanopi yang baik. Hal ini perlu

menjadi perhatian karena hanya pada bagian ini memiliki variasi vegetasi cukup

strategis untuk tempat berlindung, baik dari terpaan angin, sinar matahari, air

hujan, bahkan dari perburuan liar. Habitat yang sesuai bagi suatu spesias belum

tentu sesuai bagi spesies lainnya, karena setiap spesies satwa liar memiliki kondisi

habitat yang berbeda Alikodra (1990). Dari hasil pengamatan selama penelitian

tidak ditemukan persarangan dari berbagai burung.

(9) Dinamika Jenis Burung di TWAGM

Kalau dilihat secara keseluruhan jumlah jenis burung yang menghuni

TWAGM adalah sebanyak 119 jenis burung dari 35 Family dari tahun 1957 –

2016. Hasil penelitian hanya ditemukan 28 Species dari 14 family atau sekitar 25

%. Kehadiran burung pada Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) sangat

mengkhawatirkan, terutama jenis – jenis burung yang termasuk dilindungi dari

hasil penelitian menurut CITES (2004) adalah : Micropsitta keiensis, Micropsitta

pusio , Trichoglossus heamatodus, Cactua galerita, Eclectus roratus, Lorius lorry

dan Rhyticeros plicatus. Spesies yang sudah tidak ditemukan pada periode

94
penelitian adalah : Caracina quoyi Calage atrovirens, Cocomontis variolosus,

Dicaeum pactorale, Chaetorhyn chus, Megalopersia magnifika, Megapodus

freycinet, Myzomela albigula, M. egues, ,L fassciolata hal ini dikarekan faktor

kerusakan alam yang menyebabkan berkurangnya pakan dan kebisingan. Hal ini

sebabkan seringnya perburuan yang hanya memperhitungkan nilai komensial.

Burung yang sering dijumpai adalah Micropsitta pusio ( Famili Psittacidae),

Meliphaga Montana, Meliphaga auruensi ( Famili Meliphagidae), Migropygia

nigrirostris, Ducula pinon, ( Familii Columbidae), C.quoyi ( Familii Cracticidae),

Dicrurus hottetontus ( Familii Dicruridae), yang pada umumnya dapat hidup di

habitat yang sudah dijamah atau terbuka (Beehler, dkk. 2001). Kecenderungan

burung tersebut yang menyukai daerah agak terbuka dan kemampuan bertahannya

di dalam lingkungan hutan yang sudah terjamah membuat burung ini masih

bertahan dalam kawasan (TWAGM). Burung yang berada di (TWAGM) sebagian

besar adalah jenis – jenis burung yang memiliki ukuran kecil sampai sedang.

Waktu pengamatan, burung – burung yang diamati beberapa burung yang

dapat dilhat secara lansung, seperti Philemon buceroides, Cacatua galerita,

Eclectus roratus, Lorius lory, Cracticus quoyi, yang tidak dapat secara jelas

keberadaannya dan juga dapat diketahui melalui suara dan bayangan burung

tersebut di antara dedaunan pohon, sedangkan Meliphaga montana, Nectarina

aspasia, Micropsitta keiensis, Micropsitta pusio, Rhipidura threnothora,

Rhyticeros placate, Ducula pinon walaupun diamati secara tidak jelas (samar –

samar) tetapi keberadaannya dapat diketahui melalui suara dan bayangan burung

tersebut yang terdapat didahan pohon. Sebagian besar burung dapat di identifikasi

95
berdasarkan suara burung. Sangat sulit untuk mengamati burung – burung secara

langsung. Hal ini disebabkan sebagian besar burung memiliki ukuran tubuh yang

kecil dan senantiasa bersembunyi di antara kerimbunan pohon. Keberadaan

burung sangat berbeda. Burung cenderung sangat kurang pada daerah yang

terdapat banyak pohon tumbang ( titik pengamatan 2,7,10,11 13 dan 16) dan jalan

– jalan setapak yang sering dilewati masyarakat. Burung banyak ditemukan pada (

titik pengamatan 1,3,4,5,8,9,12,14 dan 15). Dari hasil penelitian juga ditemukan

banyak jalan – jalan setapak yang dibuat agar mempermudah dalam akses

pelewatan jalan oleh manusia. Pembuatan jalan setapak ini agar mempermudah

dalam pengambilan kayu bakar bahkan ditemukan dalam kawasan penebangan

liar yang melewati pengangkutan kayu melalui truuk. Kondisi ini sangat berkaitan

dengan sifat – sifat burung yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan.

Sehingga kecendurungan untuk mencari tempat yang lebih aman dan sesuai

merupakan suatu hal yang sangat mendasar.

TWAGM memiliki keanekaragaman jenis burung yang cukup tinggi, hal

ini telah dibuktikan dengan beberapa penelitian yang perna dilakukan. Namun,

kehadiran jenisnya dalam beberapa periode tidak selalu stabil. Beberapa jenis

burung yang perna menepati kawasan tersebut, saat ini sudah tidak terlihat lagi,

bahkan burung – burung yang sebelumnya belum perna terlihat kini telah

menempati kawasan tersebut. Burung – burung yang telah hilang disebabkan oleh

sering diburu selain dari kerusakan yang terjadi pada habitatnya.

Sebagian besar habitat di Papua adalah hutan. Dimana hutan memiliki

potensi sumber daya yang sangat mendukung keberlangsungan hidup bagi burung

96
– burung tersebut. Hutan TWAGM dikenal dengan memilk potensi alam yang

beranekaragaman, terutama jenis – jenis burung. Kawasan ini menyimpan

beberapa jenis burung yang dilindungi seperti Cacatua galerita, Eclectus raratus,

Lourius lory, Rhyticeros plicatus, Halcyon chloris, Clytoceyx rex, Trichoglossus

haematodus, Micropsitta pusio, Micropstta keiensis, Philemon buceroides,

Meliphaga montana. Hutan dengan rangkaian topografi akan membentuk suatu

ekosistem yang akan menunjang kehadiran satwa – satwa lain didalamnya.

Kehadiran burung sangat didukung oleh ketinggian tempat, apabila semakin tinggi

suatu tempat maka keanekaragaman jenis burung akan berkurang. Factor

ketinggian tempat juga mempengaruhi persebaran burung dan keanekaragaman

vegetasi, semakin beranekragam jenis vegetasi di suatu kawasan hutan, maka

keberadaan burung juga sangat beragam.

Faktor terpenting dalam menunjang kehadiran burung dalam suatu

kawasan adalah ketersedianya vegetasi yang secara alami sangat dibutuhkan oleh

burung, hal ini sangat berkait erat dalam ketersediaan pakan. Vegetasi tersebut

juga akan digunakan sebagai tempat untuk melakukan segala ativitas, misalnnya

bermain, berlindung, berkembang biak, istirahat, dan mencari makan. Selama

dilakukan pengamatan, burung – burung sering memanfaatkan pohon Pometia sp,

Ficus sp dan Instia sp, hal ini dilihat dari keaktifan burung – burung pada pohon –

pohon tersebut. Dwiyanto, (1995) mengatakan TWA GM memiliki vegetasi yang

cukup mendukung kehadiran burung – burung lain seperti : Aglaia sp, Alstonia

,Colophyllum sp, Ficus sp, instia sp, palaquium sp, Pometia sp, Pterocarpus sp

dan Vatica sp. Banyak vegetasi tingkat tiang dan pohon yang menempati sebagian

97
besar hutan tersebut. Namun banyak dari pohon – pohon tersebut yang telah

ditebang untuk berbagai kepentingan manusia.

Kehadiran burung yang sebelumnya mudah terlihat/teramati oleh karena

belum terlalu banyak aktivitas manusia di dalamnya, kini menjadi sangat sulit dan

prihatin terutaman burung – burung yang sangat peka terhadap perubahan

lingkungan. Hal ini disebabkan beberapa jenis burung yang pernah mendiami

kawasan tersebut mencari tempat yang lebih sesuai dan nyaman bagi

kelangsungan hidupnya berubahan lingkungan merupakan factor yang paling

utama dalam mempengaruhi kehadiran burung – burung dalam kawasan

TWAGM. Perkembangan daerah saat ini yang semakin pesat menjadi peluang

berubahnya suatu kondisi lingkungan. Hal ini sangat berkatan erat dengan daerah

– daerah yang masi memiliki potensi sumber daya alam seperti hutan, yang pada

akhirnnya lambat laun menjadi sasaran dalam menunjang kegiatan pembagunan.

Dari hasil penelitan sebelumnya, diketahui kehadiran jenis burung

mengalami fluktusi, dari yang pernah ada menjadi hilang, selain itu banyak

burung yang semula tidak nampak, sekarang menjadi bagian dalam kawasan

TWAGM. Jenis – jenis burung yang bermigrasi dari luar kawasan TWAGM

menyebabkan terjadinnya persaingan dalam mendapatkan daerah kekuasaan

(territorial). Burung yang bisa bertahan yang mampu sampai saat ini masih

menempati kawasan TWAGM. Perrins dan Birkhead (1984) mengatakan bila

suatu kawasan yang sudah tidak ditempati lagi akibat adanya perpindahan oleh

sebagian burung yang peka terhadap perubahan lingkungan, akan dimanfaatkan

98
oleh burung – burung yang bermigrasi dari luar kawasan untuk menempati daerah

tersebut yang dirasakan sesuai bagi kelangsungan hidupnya.

Alikodra (1990), mengatakan migrasi disebabkan oleh kurangnnya

sumber pakan disuat tempat sehingga harus mencari tempat lain yang

menyediakan sumber pakannya. Migran merupakan proses pergerakan keluar atau

memasuki daerah tertentu. Pergerakan ini adalah suatu perilaku yang sangat erat

kaitannya dengan sifat individu dan kondisi lingkungan, seperti ketersediaan

pakan, air, fasilitas berkembangbiak, pemangsaan, iklim dan temperatur.

Kegiatan penelitian tentang keanekaragaman jenis burung yang pernah di

lakuakan oleh peneliti sebelumnya di TWAGM dalam 6 periode mengambarkan

dinamika kehadiran jenis – jenis burung yang menempati kawasan tersebut.

Grafik dinamika kehadiran jenis burung dalam beberapa periode dapat dilihat

pada Lampiran 2. Pada tahun 1957, Mess mencatat 34 jenis burung, kemudian

pada tahun 1995 Dwiyanto mencatat 35 jenis burung, pada tahun 1996 Hariadi

dan Wajo mencatat 43 jenis burung, pada tahun 2005 Putra Satria mencatat 22

jenis burung, pada tahun pada tahun 2006 Patiselano mencatat 45 jenis burung

,pada tahun 2014 BBKSDA-PB mencatat 35 jenis burung dan tahun penelitian ini

2016 hanya ditemukan 28 jenis burung.

Kehadiran jenis burung di TWAGM pada beberapa periode penelitian

tersebar dapat dilihat pada Lampiran 2. Selama 6 periode berlangsung, ada yang

dalam 5 periode misalnya : Cacatua galerita, Electus roratus, Ducula pinon,

Cracticus quoyi ( hadir dari tahun 1957 – 2016), yang hadir dalam 4 periode

99
misalnya :Philemon buceroides, Larius lory, Centropus bernsteini, Dicrurus

hottenttotus ( 1957,1995,1996, 2005,2006, 2016). Yang hadir dalam 3 periode

saja misalnya :Halcyon chloris, Mino dumonti, Cracicus cassicus, Coracina

melaena, Podargus papuensis, Macrophygia amboniensis, Rhyticeros plicatus,

Rhipidura threnothorox. Yang hadir dalam 2 periode misalnya : Trichoglossus

haematodus, Ducula pinon, Macropygia nigrirostris, Myiagra alecto. Dan

sebagian hadir hanya satu periode sisanya. Burung –burung yang ditemukan dari

tahun 1959 sampai 2016, memiliki kemampuan berdaptasi dengan baik, selain

dari ketersediaan pakan dan vegetasi inang yang dimanfaatkan oleh burung –

burung tersebut masih tersedia di dalam kawasan TWAGM. Burung yang

dijumpai tahun 1957, secara bertahap muncul pada periode berikutnya, baik pada

salah satu periode, tahun 1995, 1996, pada tahun 195 dan 2016 hampir sebagian

besar muncul kembali. Selain itu spesies yang diintroduksi ke dalam kawasan oleh

BBKSDA adalah Cacatua galerita, Eclectrus roratus, Lorius lorry.

Dwiyanto (1995 ), mengatakan dinamika jenis burung terjadi selama

beberapa periode disebabkan pula oleh adanya perbedaan metode selama

pengamatan yang dilakukan masing – masing peneliti. Keahlian dalam

mengidentifikasi jenis burung juga sangat mempengaruhi jumlah jenis burung

yang diperoleh. Selain itu, waktu pengamatan yang berkaitan dengan musin buah

dalam kawasan tersebut akan mempengaruhi kehadiran jenis burung.

100
4.1.2. Kondisi Habitat Penelitian

Lokasi penelitian keanekaragaman burung di Taman Wisata Alam Gunung

Meja (TWA-GM) dari 16 ( enam belas) titik pengamatan, dikelompokan menjadi

4 (empat) zona yaitu: (1) zona vegetasi Pohon, (2) zona kebun, (3) zona

pemukiman, dan (4) zona penebangan. Menurut Harwono (1985), burung

merupakan salah satu marga satwa yang terdapat hampir di setiap tempat, tetapi

untuk keberlangsungan hidupnya burung memerlukan syarat – syarat tertentu

yaitu adanya kondisi habitat yang cocok, baik serta aman dari segala macam

ganguan. Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWA-GM) memiliki kondisi

habitat dengan topografi yang bervariasi datar, bertanah, sedikit berbatuan dan

juran. Selain itu memiliki pertumbuhan vegetasi juga beragaman dari tingkat

semai, pancang, tiang dan pohon. Pada saat ini telah terjadi perubahan kondisi

habitat akibat berbagai tindakan manusia. Perubahan kerusakan habitat paling

tinggi yaitu 8 % pada titik pengamatan 2 di Korem dan Brawijaya, di ikuti pada

titik pengamatan: 1,3 dan 4 di Amban, Manguapi, Korem, Sarina dan Ayambori

dengan jumlah 6 %, diikuti tittik pengamatan 6,7,8 dan 14,15 dengan jumlah 3 %

Likban, Anggori, Amban, Mangguapi dan pada titik pengamatan : 5,10,11,12 dan

13 dengan jumlah 1 % yaitu Amban, Anggori.

Pada hasil presentase kerusakan jumlah kerusakan yang besar adalah

Brawijaya. Selain Brawijaya, kerusakan juga secara besar – besaran di daerah

Sarina, Korem, Manguapi, Amban. Keempat daerah ini mengalami kerusakan

dengan luasan yang cukup besar dengan tipe kerusakan yaitu perladangan,

pembakaran, timbunan sampah, galian tanah dan penebangan. Kerusakan ini

101
terjadi secara bebas dengan luas yang besar hal ini dikarenakan pemukimanan

masyarakat berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Jarak yang dekat dan

topografi yang mudah membuat masyarakat secara bebas melakukan praktek

perladangan. Dari jarak daerah Likban, Anggori,Amban, Manguapi tingkat

kerusakan lahan 3 % hal ini dikaitakan dengan topografi yang mudah dijangkau

namun masyarakat tidak terlalu melakukan praktik pembukaan lahan pada waktu

yang sama sehingga terjadi jumlah luasan tidak terlalu besar dan jarak antara jalan

dengan kawasan dekat.

4.2.3. Kondisi Ancaman Lokasi Penelitian

Perubahan – perubahan kerusakan kawasan yang terjadi adalah sebagai

berikut dan dapat dilihat pada lampiran 4.

(1) Kerusakan Kawasan Lokasi Penelitian Hutan Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWAGM)

Menurut Ali, et al, (2013) hutan saat ini dalam keadaan kritis. Penyebab

kerusakan hutan adalah perambahan hutan. Perambahan hutan merupakan

aktivitas masyarakat dimana merambah suatu kawasan hutanuntuk dijadikan

sebagai areal perkebunan, perladangan, baik bersifat sementara maupun dalam

waktu yang jangka panjang. Dari segi konservasi, perambahan kawasan hutan

mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi daya dukung

dan daya tamping lingkungan. Daya dukung dan daya tamping lingkungan dari

konservasi sama artinnya mempertahankan utuhnya suatu ekositem hutan yang

diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi manfaat ekologis. Pelaku

102
perambahan lahan pada umumnya adalah masyarakat setempat yang dimana

karena kondidi ekonomi terbatas sehingga pada saat yang sama memerlukan lahan

kebun sebagai sandaran hidupnya (Dianto, 2010).

Menurut Sawaki (2016) perambahan hutan dalam bentuk perladangan

terjadi juga pada kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM).

Perladangan tersebut merupakan aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok

masyarakat yang berada disekitar kawasan Taman Wisata Alam GunungMeja

(TWAGM). Dari hasil penelitian selama 18 hari dilapangan diketahui kerusakan

hutan akibat perladangan masyarakat terhadapat kerusakan habitat yaitu akibat

perladangan dari masyarakat : ladang baru buka, bekas ladang dan ladang, bekas

bakaran, bekas galian, bekas persemaian, penebangan pohon, pemasangan jerat,

pengambilan kayu bakar, pohon tumban, timbunan sampah, pemukiman, jaringan

listrik dan jalan.

(2) Ladang Baru buka

Menurut Talaohu (2013) teknik pembukaan lahan yang umumnya

dilakukan adalah dengan menebang hutan dan membakar biomasa. Ladang yang

baru dibuka merupakan areal lahan kosong yang dibabat habis tanpa adanya

tumbuhan datasnnya. Areal ini biasannya dibuka dengan tujuan untuk melakukan

pembersihan terhadap berbagai jenis tumbuhan yang perna tumbuh dan akan

diganti dengan ladang oleh masyarakat sekitar kawasan tersebut. Pembakaran

lahan yang dilakukan masyarakat disekitar kawasan dapat mematikan semua

vegetasi tumbuhan dilihat dari segi konservasi, bagi masyarakat pembakaran

103
merupakan langkah yang memudahkan masyarakat untuk membuka lahan secara

cepat dan tidak memerlukan tebaga banyak.

Menurut Rasyid (2014) kerugian dari pembukaan lahan adalah berupa

kerugian ekologis yaitu berkurangnnya luas wilayah hutan, tidak tersediannya

udara bersih yang dapat dihasilkan oleh vegetasi hutan serta hilangnnya fungsi

hutan sebagai pengatur tata air dan pencegahan terjadinya erosi. Dampak global

dari kebakaran hutan dan kerusakan lahan yang langsung dirasakan adalah

pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan mengakibatkan gangguan

pernafasan dan menganggu aktivitas. Dampak kebakaran lain yang dirasakan

manusia berupa kerugian ekonomis dengan hilangnya manfaat dari potensi hutan

yaitu tegakan pohon hutan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya akan

bahan bagunan, bahan makanan dan obat – obatan serta satwa untuk memenuhi

kebutuhan akan protein hewani dan rekrasi.

(3) Ladang

Menurut Haerullah dan Hasan (2009) kecendurungan manusia kadang

menyebabkan eksploitasi sumber daya alam untuk kesenangan dan keuntungan

pribadi mengakibatkan rusaknnya kondisi lingkungan hidup. Ladang atau areal

yang sedang ditanami merupakan ladang milik masyarakat yangmendiami

kawasan pingiran Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM). Ladang ini

merupakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat yang dimana hasilnya

kemudian akan dijual demi menunjang perekonomian keluarga dan sebagian lagi

dikonsumsi.

104
Perladangan yang terjadi didalam kawasan Taman Wisata Alam Gunung

Meja (TWAGM) merupakan perladangan berpindah, hal tersebut terlihat dari

bekas – bekas ladang yang ditinggali oleh masyarakat dalam waktu beberapa

tahun sebagai masa bera. Selama masa bera berlangsung pada masyarakat maka

masyarakat akan membuka lahan baru untuk dijadikan lahan pertanian. Setelah

masa berah berakhir maka masyarakat akan kembali lagi kelahan yang lama yang

perna ditinggalkan untuk mengelolahnya kembali. Menurut Talaohu (2013)

upaya yang dapat dilakukan untuk produkvitas ladang meliputi, kesuburan tanah,

jenis tanaman yang ditanam dan praktek pengelolaan yang dilakukan.

Perladangan merupakan salah satu kriteriar kerusakan yang ditemukan

pada kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) dan memiliki luasan

kawasan yang begitu besar, hal ini disebabkan karena masyarakat disekitar

kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) sangat bergantung pada

kawasan tersebut. Dalam prespektif etika lingkungan manusia cenderung

manafsirkan lingkungan sebagai wadah dalam rangka memperoleh keuntungan.

(4) Bekas Ladang

Menurut Fawnia, et al., (2004) hutan sekunder dapat dibuka kembali

menjadi areal perladangan dan dengan demikian manfaat lahan untuk pertanian

dimulai kembali. Apabila masa bera berlangsung cukup lama, struktur dan

komposisi hutan sekunder akan mendekati struktur dan komposisi hutan primer.

Masyarakat melakukan bekas ladang yang sudah perna dibuka sebagai tempat

berkebun. Bekas ladang adalah areal yang pernah menjadi ladang namun telah

105
ditinggalkan untuk beberapa waktu sebagai bentuk dari masa istirahat (masa bara).

Masa bara merupakan masa atau rentang waktu istirahat suatu lahan dengan

tujuan untuk melakukan proses kesetimbangan atau proses kembali ke fungsi

semula. Kesuburan tanah sangat bergantung pada keberhasilan masa pemberaan

dalam mengembalikan keharaan tanah melalui pengembalian dan dekomposisi

bahan organic oleh karena itu waktu dan jenis vegetasi yang tumbuh merupakan

factor kunci keberhasilan pemberaan.

(5) Bekas Bakaran

Pada penelitian ditemukan beberapa sampel bekas bakaran dan ada juga

bakaran yang terjadi secara alami dengan faktor musim panas yang

berkepanjangan atau ulah manusia. Areal bekas bakaran ini terjadi di areal Amban

dan Anggori, vegetasi yang ada menjadi kering dan coklat. Menurut Rasyid 2014

kebakaran hutan memiliki dampak yang sangat dirasakan oleh manusia berupa

kerugian ekonomis yaitu hilangnya manfaat dan fungsi hutan seperti tegakan

pohon yang bisa digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan

bahan bagunan, bahan makanan dan obat- obatan, serta bagi satwa sebagai

kebutuhan untuk memenuhi protein dan rekrasi.

Kerugian hutan lainnya dari kebakaran hutan adalah kerugian ekologis

yaitu berkurangnnyaluas wilayah hutan, tidak tersediannya udara bersih yang

dapat dihasilkan oleh vegetasi hutan serta hilangnnya fungsi hutan sebagai

pengatur tata air dan pencegah terjadinnya erosi. Menurut Ap et al., 2010 bencana

kebakaran hutan merupakan salah satu factor penyebab terjadinnya kerusakan

106
hutan. Bencana kebakaranhutan dan lahan merupakan peristiwa yang hampir

sering terjadi setiap museum kamarau. Dalam prespektif kerusakan hutan,

kebakaran hutan merupakan salah satu factor tingginya laju kerusakan.

(6) Bekas Galian Tanah

Pada pengambilan data ditemukan ancaman lain dalam lokasi kawasan

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) salah satunya bekas galian tanah,

ditemukan merupakan areal galian yang dilakukan oleh masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari yaitu sebagai timbunan persemayaian

bibit tanaman, vondasi perumahan, dll. Areal bekas galian ini ditemukan pada

lokasi penelitian kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM)

ditemukan pada daerah likban, Amban, Anggori dan Ayambori. Bekas galian

tanah inijika tidak dikendalikan maka akan menimbulkan dampak yang buruk

bagi kawas Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) dan juga bagi semua

yang berkepentingan di dalam kawan Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM).

(7) Bekas Persemaian

Pada pengambilan data di kawan Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM). Ditemukan persemaian, dimana persemaian adalah kegiatan pra

menanam atau dalam arti proses awal dengan cara menanam benih yang kemudian

menjadi bibit dan akan dibawa untuk selanjutnya ditanam di areal yang suda

ditentukan. Bekas persemaian ini merupakan salah satu areal terbuka yang

termasuk dalam salah satu tipe kerusakan hutan.

107
(8) Pohon Tumbang

Pada pengambilan data di kawan Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM) ditemukan hampir semua lokasi ditemukan pohon tumban. Daerah –

daerah yang terang atau hilangnya kanopi akibat pohon- pohon besar yang tumban

di dalam kawasan. Pohon – pohon tersebut tumban secara alami yang disebabkan

oleh karena hujan ataupun tiupan angin yang kencang. Pohon – pohon yang

tumban ini dapat menyebabkan hilangnnya beberapa vegetasi yang hidup

dibawahnnya dan juga bagi burung. Pohon yang tumban ini juga menyebabkan

intensitas cahaya matahari yang masuk kelantai hutan semakin besar.

(9) Timbunan Sampah

Pengambilan data di kawan Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM) ditemukan timbunan sampah dan tempat pembuangan sampah.

Tempat pembuangan sampah ini terdapat di korem dan brawijaya yang letaknnya

dekat dengan masyarakat, ada juga di dalam kawasan. Masyarakat jika tidak

menyadari dan tetap membuang sampah di dawerah kawasan hutan maka sudah

pasti luasan kerusakan hutan semakin hari semakin bertambah. Jika masyarakat

yang hidup berbatasan langsung dengan kawasan kurang memiliki kesadaran akan

pentingnnya menjaga lingkungan terutaman kawasan Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWAGM) maka akan terjadi luasan kerusakan.

108
(10) Pemukiman

Pengambilan data di kawan Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM) ditemukan pemukiman perumahan yang terdapat di tapal – tapal batas

kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM). Perumahan – perumahan

ini berada di Amban, Sarina dan Brawijaya. Hal ini sanggat memprihantinkan jika

kurang adannya sikap dan perhatian yang tegas dari pihak berwajib dan pihak

yang mengelolah kawasan maka akan lebih banyak lagi rumah yang dibagun

didalam kawasan. Pal – pal batas yang suda di buat tidak diidahkan oleh

masyrakat sehingga dalam pembuatan rumah juga masuk didalam kawasan.

(11) Jaringan Listrik

Pengambilan data di kawan Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM) ditemukan jaringan listrik yang terdapat di dalam kawasan Taman

Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) yang membuat vegetasi yang ada

disekitanya rusak dan habis. Terletak di daerah Anggori dan Sarina.

(12) Jalan

Pengambilan data di kawan Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM) ditemukan jalan yang terdapat di dalam kawasan Taman Wisata Alam

Gunung Meja (TWAGM). Areal jalan ini merupakan jalan aspal yang

menghubungkan sarina dan likbang, dimana merupakan jalan pintas menuju

Ayambori. Jalan ini merupakan bentuk dari deforestasi hutan karena merupakan

kerusakan permanen atau yang tidak dapat dikembalikan ke bentuk semula.

109
(13) Pengambilan Kayu Bakar, Pemasangan Jerat dan Penebangan

Pohon

Pada saat pengambilan data di kawasan Taman Wisata Alam Gunung

Meja (TWAGM) ditemukan tumpukan kayu bakar, pemasangan jerat dan

penebangan pohon yang dilakukan oleh aktivitas masyarakat di sekitar kawasan

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM). Menurut Dako (2009) hutan

lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

pelindung sistim penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Salah satu hutan lindung yang berada di ibu kota Provinsi Papua Barat, Kabupaten

Manokwari adalah Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) yang letaknnya

di tengah kota dan tidak jauh dari pemukiman masyarakat.

Menurut Ali dan Hartono (2013) keberadaan desa – desa sekitar

kawasan hutan dicirikan oleh rendahnnya pendapatan perkapita, terbatasnnya

kesempatan kerja, terbatasnnya pemilikan lahan dan rendahnnya produktivitas

usaha tani. Hal ini merupakan factor yang mendorong masyarakat memanfaatkan

potensi sumber daya hutan yang ada. Masyarakat local yang mendiami pinggiran

kawasan cenderung memiliki aktivitas yang tinggi di dalam areal kawasan.

Aktivitas masyarakat seperti pengambilan kayu bakar, pemasangan jerat dan

penebangan pohon pada penelitian ini. Masyarakat yang mendiami disekitar

kawasan ini cenderung mengantungkan hidupnnya pada hutan tersebut. Selain

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari tetapi juga peningkatan

110
perekonomian. Menurut Dako, (2009) masalah kerusakan hutan lindung adalah

karena adannya tekanan masyarakat terhadap hutan melalui kebutuhan hidup.

4.2.2. Komposisi Jenis Burung Dan Status Konservasi

Komposisi burung dan status konservasi di Taman Wisata Alam Gunung

Meja (TWA-GM) dari tahun 1995 sampai 2014. Ditemukan bahwa yang termasuk

dalam kategori Status Keterancaman dalam IUCN adalah Micropsitta pusio,

Trichoglossus heamatodus, Cacatua galerita, Electrus roratus, Lourius lorry,

Rhyticeros plicatus. Status dalam Perlindungan UUPeraturan Repoblik Indonesia

( A.UU No. 5 Tahun 1990. B. UU . No.7,Tahun 1999 ) adalah Meliphaga

montana, Philemon bruceroides, Cacatua galerita, Electus roratus, Lourius

lorry,Clytoceyx rex, Halcyon chloris, Rhyticeros plicates. Trichoglossus

heamatodus, Cacatua galerita. Menurut CITES (2004), dari hasil penelitian

spesies yang dilindungi Micropsitta pusio, Micropsitta keiensis, Electus roratus,

Lourius lorry,dan Rhyticeros plicate.

Menurut ICNN (2004), habitat burung meliputi hutan tropis, padang

rumput, pesisir pantai, lautan, perumahan, bahkan wilayah perkotaan. Habitat bagi

burung harus mencanggkup semua sumber daya yang dibutuhkan untuk

kelangsungan hidupnnya seperti pakan, air, bertengker, bersarang, dan

pertumbuhan reproduksi. Menurut Herwono (1985) factor yang menentukan

keberadaan burung adalah ketersediaan pakan, tempat beristirahat, bermain,

kawin, bersarang, bertengker dan berlindung. Dari pernyataan ini dapat dilihat

bahwa beberapa spesies seperti Micropsitta pusio, Trichoglossus heamatodus,

111
Cacatua galerita, Eclectrus roratus, Lourius lorry, Rhyticeros plicates dapat

mampu untuk beradaptasi. Kondisi habitat dengan tumbuhan yang beragam akan

menyebabkan sumberdaya berupa pakan tempat pakan, yang berlimpah khusus

bagi burung pemakan buah, biji dan bunga adalah ketersediaan pohon sebagai

tempat mendapatkan pakan, bertengker, bersarang, dan berkembang biak.

Komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat.

Oleh sebabt itu burung akan hidup pada habitat yang dapat mendukung dan aman

dari gangguan.

Menurut Mackinnon (1990), populasi burung memegang peran utama

dalam mempertahankan keseimbangan ekologis di dalam suatu kawasan hutan,

memiliki peran sebagai penyebar biji, pemangsa serangga, membantu

penyerbukan, dan mempercepat pelapukan kayu – kayu busuk. Burung secara

ekologis juga memiliki peran dalam melakukan budidaya tanaman pangan,

penyebaran biji dan penyerbu alami bagi tumbuhan guna membantu petani,

burung juga dapat dijadikan sebagai tolak ukur kelestarian dalam pemanfaatan

sumber daya alam. Burung juga banyak memberikan manfaat kehidupan bagi

manusia, baik sebagai sumber protein, pembasmi hama pertanian, dan perlombaan

(INCN, 2004). Selain itu sebagai indicator memiliki peran yang sangat baik untuk

kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati, dengan adanya burung

dilingkungan maka akan menjelaskan bahwa lingkungan itu masih bagus.

Salah satu komponen ekosistem yaitu hubungan timbal balik dan saling

ketergantungan dengan lingkungan. Atas dasar peran dan manfaat ini maka

kehadiran burung dalam suatu ekosistem perlu untuk dipertahankan. Harwono

112
(1989), menyatakan burung mempunyai peran penting dalam membantu

regenerasi hutan secara alami seperti burung penyebar biji, penyerbukan bunga

dan pengontrol serangga hama. IUCN (2012), menyatakan burung berfungsi

sebagai indicator yang sangat baik dari kesehatan dan perubahan lingkungan.

Burung dapat menempati berbagai relung, menggunakan berbagai jenis makanan

dan sebagai sumber daya fisik, dan sensitive terhadap perubahan lingkungan.

Melestarikan suatu komonitas hayati yang utuh merupakan suatu cara yang

efektif untuk dapat melestarikan keanekaragaman hayati yaitu dengan cara

membuat pemetaan kawasan perlindungan secara legal (Primack, et al. 1998).

Untuk menjamin kelestrian komonitas hayati dari ancaman kepunahan serta

pemanfaatannya secara optimal diperlukan tindakan pengelolaan. Tindakan

pengelolaan ini harus dapat meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat

dan berbagai sector pemerintah lainnya untuk dapat melindungi komonitas hayati

tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alikodra ( 1990), yaitu untuk menjaga

suatu komonitas diperlukan tindakan pengelolaan. Salah satunnya adalah

meningkatkan peran serta mesyarakat Dallam kesadaran untuk melindungi

komonitas hayati tersebut.

Menurut Alikodra (1990), upaya konservasi selain pemerintah,

masyarakat juga memegang peran yang sangat penting dalam upaya

pelestariannya. Dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal berbatasan dengan

Taman Wisatan Alam Gunung Meja (TWAGM). Walaupun masyarakat tidak

mengkonsumsi burung, namun tidak dipungkiri bahwa banyak aktivitas dari

masyarakat misalnya pembukaan lahan pertanian, penebangan hutan sebagai

113
bahan bagunan, pembukaan lahan sebagai daerah pemukiman yang luas,

pengambilan kayu bakar, pembuangan sampah yang sembarang di dalam

kawasan, pembuatan jerat perburuan liar yang dilakukan di lokasi tersebut.

Aspek konservasi burung sebagai habitat burung yang dijadikan sebagai

tempat bermain, beristirahat, berkembang biak, istirahat memegang peran penting

Dallam menunjang jumlah populasi burung. Menjaga kondisi habitat dapat

dilakukan dengan membatasi pengguanaan tumbuhan dengan penebangan liar,

pembukaan lahan pertanian, lahan pemukiman oleh masyarakat terhadap habitat

tersebut Alikodra (1990). Pada waktu pengamatan ditemukan burung lebih

aktivis bermain di pohon F. benjamina sp, Brouwnlowia sp. Ditemukan pohon

tersebut sudah berkurang hanya terdapat di tengah kawasan dan bagian barat,

maka perlu dilakukan konservasi untuk menunjang kelangsungan hidup suatu

spesies baik pakannya maupun lokasi tempat bermainnya burung. Apa bila

penggunaanya terus menerus oleh masyarakat maka tanpa melakukan konservasi

dikhawatirkan spesies tersebut akan punah.

Upaya yang dilakukan oleh BBKSDA – PB yaitu membuat blok – blok

kawasan untuk melindungan burung dan tempat – tempat bersejarah yang ada di

dalam Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWA-GM) dengan menjaga

habitatnya dan dikelola sebagai daerah konservasi dan pariwisata.

114
V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan :

(1) Jenis burung yang ditemukan di TWAGM sebanyak 28 jenis yang terdiri

dari 14 Famili dengan jumlah total individu sebanyak 812.

(2) Nilai keanekaragaman (H’) burung di Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM) berkisar 2,13 – 2,78 tergolong sedang Zona vegetasi pada lokasi

penelitian dibagi menjadi empat hutan zona yaitu (1) hutan zona vegetasi pohon

dengan nilai keanekaragaman jeni (H’) 2,78 dimana H’  2.30. (2) Hutan vegetasi

pemukiman nilai keanekaragaman jenis (H’) 2,74 dimana H’  2.30. (3) Hutan

vegetasi perkebunan nilai keanekaragaman jenis (H’) 2,44 dimana H’  2.30. (4)

Hutan vegetasi penebangan nilai keanekaragaman jenis (H’) 2,13 dimana H’ 

2.30.

(3) Terjadi kecenderungan penurunan kehadiran dan keanekaragaman jenis

burung dibandingkan dengan data – data penelitian sebelumnya. Penurunan ini

disebabkan oleh komposisi komponen habitat berupa ketersediaan sumber daya

(pakan) dan perubahan rentang alam akibat aktivitas manusia berupa ancaman

atau gangguan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Gangguan

langsung diantaranya adalah perburuan burung dan tidak langsung yaitu

penggunaan lahan yang merupakan kerusakan kawasan seperti ladang baru

dibuka, bekas ladang, ladang, bekas bakaran,bekas galian tanah, bekas

115
persemaian, timbunan sampah, lahan pemukiman, jaringan listrik, jalan, tempat

pengambilan kayu bakar dan pemasangan jerat dan penebangan liar.

5.2. Saran

1. Untuk istansi terkait seperti BBKSDA. Perlu adanya perhatian yang lebih

serius dari terkait dalam mengelolah kawasan, terutama pemberian tata batas

kawasan konservasi dengan kawasan pemukiman serta koordinasi dan kinerja

yang optimal oleh badan organisasi yang menangani secara penuh dan berwenang

dalam pengelolaan dan upaya pelestarian Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM).

2. Untuk istansi terkait seperti BBKSDA. Perlu sosialisasi dan himbauan

kepada masyarakat yang berada disekitar Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM) untuk turut serta dalam menjaga, melestarikan dan berperang serta

dalam menlindunggi kawasan. Harus adannya ketegasan kepada masyarakat

dalam sanksi kepada masyarakat masih terus menggunakan kawasan.

3. Untuk masyarakat umum, kepada Taman Wisata Alam Gunung Meja

(TWAGM). Harus adanya kepedulian dengan tidak merusak dalam hal

pembuangan sampah, atau pengambilan kekayaan alam didalam kawasan tersebut

sehingga tetap terjaga, lestari dan dapat juga memberikan sumbangan oksigen.

4. Untuk mahasiswa, perlu adannya penelitian lanjutan dengan menggunakan

metode yang lebih akurat pada periode berikutnya untuk memantau kembali

perkembangan kehadiran burung dan presepsi masyarakat disekitar kawasana

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) tentang perladangan atau

116
penelitian lainnya sehingga kawasan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah

untuk dapat dipantau keberadaannya dalam jangka waktu kedepan.

117
118
DAFTAR PUSTAKA

Ali Y., dan Hartoyo.2013. Karakteristik Sosiologi Masyarakat Perambah Hutan


Register 45 Sunagi Buaya (Studi di Desa Karya Jaya Kecamatan Mesuji
Timur Kabupaten Mesuji). Jurnal Sociologie, 1 (4) : 316-327

Ap F., R. A Barkey., dan Daniel.2010. Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Hutan


dan Strategi Pengendaliannya (Studi Kasus pada Cagar Alam
Pegunungan Cycloop) Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Jurnal
Kerusakan Lingkungan

Alikodra. H.S. 1990 Pengelolaan Satwa liar Jilid I. Depdikbud Dirjen Pendidikan
Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB, Bogor.

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan


IPB. Bogor

Atmawidjaya, Rubini 1997. Konservasi Burung Berkelanjutan. Prosiding Seminar


Nasional Pelestarian Burung dan Ekosistemnya hal 3. IPB, Bogor

Badan Kerja sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. 1985. Ekologi
Dasar 2. Lembaga Penerbitan Universiutas Hasanudin, Ujung Pandang

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). 2014. Penataan Blok Taman
Wisata Alam Gunung Meja Kab. Manokwari Provinsi Papua Barat.
Kementrian Kehutanan, Direktur Jendral Perlindungan Dan Konsevasi
Alam. BBKSDA, Sorong.

Beehler, B.M., 1983. Frugifory and Polygamy In Paradise. The Auk 100: I - 12.
Beehler, B.M., T.K. Pratt dan D.A. Zimmerman. 2001. Burung-burung di kawasan
Papua. Terjemahan Tapilatu, M.D., R. Maharani dan D. N. Rini Puslitbang
Biologi-LIPI, Bogor.

Bibby, C.J., N.D. Buigees and D.A.Hill. 1992. Bird Census Techniques. Academic
Press Limted, London.

Bibby, C; M. Jones & S. Marsden. 2000. Teknik Ekspedisi Lapangan: Survey


Burung. SKMG Mardi Yuana. Bogor.

Brower, J.E. and J.H Zar (1998), Field and laboratory Methods for general
Ecology. W.n.c. Brown Company Publishers Bubuque,
Coates B.J., bishop K.D., Gardner D, 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung
Dove Publications, Bogor.

Dako F. X. 2009. Kajian Masalah Pembangunan Wilayah dalam Pengelolaan


Hutan Lindung Mutis Timau. Program Studi Manajemen Sumber Daya
Hutan Politeknik Pertanian Negeri Kupang.

Diantoro T. D. 2010. Perambahan Kawasan Hutan pada Konservasi Taman


Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Tesso Nilo, Riau). Hasil Penelitian
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogjakarta.

Daturante, M. 2007. Jenis Pakan Burung Beo di Bagian Utara Kawasan Cagar
Alam Pegunungan Cilocops Jayapura. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas
MIPA Universitas Negeri Papua Manokwari. (Tidak diterbitkan).

Dwiyanto, G. 1995. Inventarisasi Jenis Burung Diurnal Pada Hutan Wisata


Gunung Meja Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas Pertanian
Universitas Cenderawasih, Manokwari.
Ensildopedi Indonesia. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. PT.Ichtiar Baru
Van Hoeve. Jakarta

Forman, R & M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Willey and Sons. New
York.
Hariadi, B. Tj. dan M.J. Wajo. 1996. Identifikasi Jenis Burung-burung di Taman
Wisata Gunung Meja Manokwari. Laporan Penelitian Faperta Uncen
Manokwari. Tidak diterbitkan.

Haerullah A., dan S. Hasan. 2009. Analisis Perilaku Masyarakat di Kawasan


Konservasi Cagar Alam Gunung Sibela Halahera Selatan Provinsi
Maluku Utara. Program Studi Biologi FKIP Universitas Khairun Ternate.

Hernowo JB, Prasetyo LB. 1989. Konsepsi Ruang Terbuka Hijau Sebagai
Pendukung Pelestarian Burung. Media Konservasi. (2) 4 : 61-71.

Jati, A. 1998. Kelimpahan dan Distribusi Jenis-Jenis Burung Berdasarkan


Fragmentasi dan Stratifikasi Habitat Hutan Cagar Alam Langgaliru,
Sumba. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Krebs, C.J. 1978. Ecological Methodology. Harper dan Row, Publisher, New York.

MacKinnon, J.,K. Phillipps dan B. Van. Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera,


Jawa, Bali dan Kalimantan. Terjemahan Rahardjaningtrah, W., A.
Adikerana, P. Martodiharjo, E. K. Supardiono dan B. V. Balen. Pslitbang
Biologi-LIPI, Bogor.
McNaughton S.J. dan L.L. Wolf 1998. Ekonomi Umum Jilid Kedua. Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta

MacKinnon, J. 1990. Panduan Lapangan Pengenalan : Burung-Burung di Jawa


dan Bali. Gadjah Mada Univ. Press, Yogjakarta.

MacKinnon J., K. Philips, dan B. Van Balen. 2010. Burung – Burung di Sumatera.
Jawa. Bali. dan Kalimantan. LIPI – Burung Indonesia. Bogor

Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta.

Petocz, R. G. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya. Grafiti


Press, Jakarta

Putra S. 2005. Pemanfaatan Keanekaragaman Jenis Burung Diurnal Pada


Bagian Timur Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja
Manokwari. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan alam. Manokwari.

Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indarawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi


Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Rohana. 2005. Sistim Pemeliharaan Burung Paruh Bengkok (Psittacida) Pada


Lima Kelurahan di Distrik Manokwari. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam. Manokwari.
Rusmendro. H., 2009. Perbandingan Keanekaragaman Pada Pagi Hari dan Sore
Hari di Empat Tipe Habitat di Wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Vis
Vitalis, Vol. 02 N0. 1, maret 2009.
Rasyid F. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar
Widyaiswara. 1 (4) : 47 – 59.

Rusli M., R Alibasyah., dan A. Karim. 2013. Evaluasi Degradasi Lahan


diakibatkan Erosi pada Areal Pertanian di Kecamatan Lembah Sulawah
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Konservasi Sumber Daya Lahan, 1(1) : 24 –
39.

Setio, P. dan Lekito. 1997. Kajian Habitat Perilaku dan Pakan Alami Burung
Cenderawasih Kuning Kecil ( Parasideae minor.Minor show). Di
Wanariset Tuwanwouwi Manokwari. Jurnal Penelitian Vol. 2, No. 2.
Depertemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
BLK Manokwari.

Syafrudin D., 2011. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat
di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan Lampung. Skripsi. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Suratmo., S Said., dan Ganjar OW. 2013. Identifikasi Okupasi Lahan pada
Kawasan Hutan Lindung Pinang Luar Kecamatan Rasau Jaya
Kabupaten Kubu Jaya. Jurnal Hutan Lestari 1 (2).

Tim Fasilitasi Perencanaan Multi Pihak Pengelolaan TWAGM. 2003. Potret Taman
Wisata Alam Gunung Meja. Kerja sama Pemerintah Daerah kabupaten
Manokwari dan NRM III Program. Tidak diterbitkan.

Talaohu M. 2013. Perladangan Berpindah Antara Masalah Lingkungan dan


Masalah Sosial. Jurnal Populis, 7 (1) : 59 – 63.
Whittaker, R.H (1977). Evolution of species diversity in land communities.
Evolutionary Biol. 10, 1-67. Cited in Magurran,A.E. (2004) Measuring
biological diversity, Blackwell Publishing : Oxford, UK.
Lampiran I. Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 3.Tabel Jenis Burung Di TWAGM selama 7 (Tujuh) Periode Penelitian

Nama Burung* Tahun


No Famili Pattiselanno BBK Angganeta
Ilmiah Umum Mees Dwiyanto Hariyadi Putra
SDA
1957 1995 1996 2004 2006 2014 2016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Accipiter fasciatus Elang Alap Coklat √ √ √
A. Novaehollandiae Elang Alap Kelabu √ √
1 Accipitridae Circus spilonostus Elang Rawa Timur √ √
C. aproximans Elang Rawa Coklat √ √
Heliastur indus Elang bobot √ √
Craterosoelis nigrofora Tepus Tikus √ √
Dwiwarna
Gerygone chloronotus Remetuk Tunggir √ √
2 Achantizidae √
Hijau
G. cinerea Remetuk Kelabu √ √
Sericons spilodora Sericornis paruh putih √ √
Aegotheles albertisi Atoku Gunung √
3 Aegotthelidae
A. inisignis Atoku Besar √
Dacelo gaudivhoud Kokabura Perut Merah √ √ √ √
Clytoceyx rex Raja Udang √ √
Halcyon nigrocyaenea Cekakak Biru Hitam √ √ √
4 Alcedinidae H. sancta Cekakak Suci √ √ √
H. torotoro Cekakak Torotoro √
H. macleayi Gekakak rimba √ √
Melidora macrorrhina Raja udang paruh kulit √
5 Apodidae Collocalia esculenta Walet Sapi √ √
6 Ardeidae Rhyticerros plicatus √
7 Bucerotidae Rhyticerus plicatus Julang Papua √ √ √ √ √ √
Kepundang Sungu √ √
Coracina melaena
8 Hitam
Kepudung Sunggu √
Campephagidae Coracina monata
Hitam
Coracina quoyi Kepudung Sunggu √
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Calage atrovirens Kapasan Alis Hitam √
Chalcophaps indica Delimukan Zamrud √ √
Ducula pinon Pergam Pinon √ √ √ √ √
Ducula rufigaster Pergam Ekor Unggu √
Ptilinopus nanus Walik Kerdil √ √
9 P. rivoli Walik dada Putih √
P. solomonensis Walik Solomon √ √
Columbidae P. perlatus Walik mutiara √
P. mangnificus Walik wompu √
Henicophaps albifrons Delimukan Tembaga √ √
Macropygia √
Ucal Ambon √
amboinensis
Macropygia nigrirostris Uncal paruh hitam √ √ √ √
Reinwardtoena √
Uncal Hitam
reinwardtii
Chalcophaps stephani Delimukan timur √
Corvus enca Gagak Hitam √
√ √ √
10 Corvidae C. orru Gagak Orru √
C. tristis Gagak Kelabu √ √
11 Cracticidae Cracticus cassicus Jagal Papua √ √ √ √
C. quoyi Jagal hitam √ √ √ √ √ √ √
12 Cuculidae Centropus Bernsteini Bubut hitam √ √ √
Cacomantis variolosus Wiwik rimba √
13 Centropodidae Centropus menbeki Bubut hitam √ √
14 Dicaeidae Dicaeum pactorale Cabai Papua √
Melanocharis nigra Burung buah hitam √ √ √
Dicrurus huttentottus Srigunting lencana √
15 Dicruridae Chaetorhyn chus Srigunting kerdil √
Dicrurus hottetontus Srigunting lencana √ √ √ √ √
Estrildidae Lonchura tristissima
16 Falconidae Falco berogola Alap-alap coklat √
F. severus
17 Maluridae Malurus alboscaplilatus Cikrak peri bahu hitam √ √
18 Megapodidae Megaloprepia magnifica - √
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
19 Meliphagidae Megapodus freycinet Gosong kelam √
Melipaga montana Melipaga rimba √ √
Myzomela albigula Myzomela leher putih √
M.eques Myzomela leher merah √
Lichimera indistincha Isap madu Australia √
Oedistoma pygmaeum Cucuk panjang kerdil √ √
Phenupygius ixudes Isap madu polos √
Philemon buceroides Cikukua tanduk √ √ √ √ √ √ √
P. meyeri Cikukua kerdil
Xanthostis flaviventer Isap madu dada coklat √ √
Taxorhampus Cucuk panjang perut √
novaeguinea kuning
20 Meropidae Merop superciliosus Kirik-kirik laut √
M. ornatus Kirik-kirik autralia √
21 Muscicapidae Myagra alecto Sikatan kilap √ √
22 Monarchidae Mytagra alecto Julang Papua √ √ √
23 Myagridae Monarca axillaries Kehicap hitam √ √
M. manadensis Kehicap bertopi √ √
M. gutula Kehicap tutul √ √
Arses telescopthalalmus Kehicap biku-biku √
24 Nectarinidae Nectarinia aspasia Burung madu hitam √ √ √ √
N. jugularis Burung madu sriganti √ √
25 Oriolidae Oriolus szalayi Kepundang coklat √ √ √ √
26 Pachycephalidae Pitohui kirhocephalus Pitohui belang √
P. ferrugineus Pitohui karat √
27 Paradisaedae Paradiseae minor Cenderawasih kecil √ √
Ptiloris mangnificus Toowa cemerlang √
27 Ploceidae Cuncura Bundol √
leucugastroides
Erythura trichrua Bundol √
28 Podargidae Podargus ocellatus Paruh kodok pualam √
Podargus papuensis Paruh Kodok Papua √ √ √ √
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
29 Psittacidae Cacatua galerita Kakatua Jambul √ √ √
Kuning
Charmosyna placcentis Perkici Dagu Merah √ √
Cyclopsitta diophthalma Nuri arah mata ganda √
Electus rotatus Nuri Bayan √ √ √ √ √ √
Lorius lorry Kasturi Kepala Hitam √ √ √ √ √
Micropsitta bruijni Nuri Kate Dagu Merah √
Micropsitta keinsis. Nuri Kate Topi √ √
Kuning
Micropsitta pusio Nuri Kate Pusio √ √
Probosciger atterimus Kakatua Raja √ √ √
Psittacella modesta Nuri Macan Sederhana √
Psittaculirustris Huri Ara Desmatest √ √ √
desmarestri
Tanygnatus Betet Kelapa Paruh √ √ √
megalorynchus Besar
Trichoglossus Perkici Pelangi √ √ √
haematodus
Geoffroyus geoffroyi Nuri pipih merah √ √
30 Pachycephalidae Pitohui kirchocephalus Pitohui belang √
31 Rhipiduridae Rhipidura lucophrys Kipasan Kebun √
R. pasiana Kipasan Bakau √
R. rufidorsa Kipasan Tunggir √
Merah
R. rufiventris Kipasan Bakau √ √
R. thenothorax Kipas Semak Bayam √ √ √
32 Sturnidae Aplonis cantoroides Perling Kicau √
Aplonis metallica Perling Unggu √ √
Mino dumonti Mino Muka Kuning √ √ √ √
33 Sylvidae Locustella chertiula Peranjak Belalang √
L. fasciolata Kecici Gray √
34 Strigidae Ninox rufa Punggo kmerah √
34 Timalidae Pomatostomus isdorei Kancilan √
35 Zopteropidae Zopteros citrinellus Kacamata Limau √
Z. fuscipulla Kacamata Arfak √ √ √
Z. noveguinea Lacamata Papua √ √
Jumlah 34 35 43 22 45 35 28

*) Berdasarkan buku panduan lapangan Burung-Burung di kawasan Papua (Beehler dkk, 2001)
Lampiran 2. Dokumentasi Jenis Burung Yang ditemukan di Taman Wisata Alam Gunung
Meja (TWAGM)

Meliphaga Rimba ((Meliphaga montana)

Cikukua Tanduk ( Philemon buceroides)


Burung Madu Hitam (Nectarinia aspasia)

Nuri- Kate Topi – Kuning ( Micropsitta keiensis)


Nuri – Kate Pusio ( Micropsitta pusio)

Perkici Pelangi
(Trichoglossus haematodus)
Kakaktua Koki (Cacatua galerita)

Nuri Bayam (Eclecus roratus)


Kasturi Kepala Hitam (Lorius lory)

Raja- Udang paruh – sekop ( Clytoceyx rex)


Cekakak Suci (Halcyon chloris)

Mino Muka - Kuning (Mino dumontii)


Perling Ungu (Aplonis metallica)

Jagal Papua (Cracticus cassicus)


Jagal Hitam (Cracticus quoyi)

Kepudang – sungu miniak (Coracina tenuirostris)


Kepudang – sungu perut – hitam (Coracina montana)

Burung - Cambuk Papua (Androphobus viridis)


Pergam Pinon (Ducula pinon)

Pergam Ekor-Ungu (Ducula rufigaster)


Uncal Ambon (Macropygia amboinensis)

Uncal Paruh – Hitam (Macropygia nigrirostris)


Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica)

Julang Papua (Rhyticeros plicatus)

Sikatan Kilap (Myiagra alecto)


Kipasan Semak bayan (Rhipidura threnothorax)

Bubut pini (Centropus menbeki)

Srigunting Lencana (Dicrurus hottentottus)


Lampiran 4. Dokumentasi Lahan Rusak di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM)

a. Gambar tipe kerusakan di Amban

Bekas perkebunan Ladang baru buka

Bekas perkebunan Pemukiman


Ladang Bekas bakaran

Penebangan liar
b. Gambar tipe kerusakan di Anggori

Bekas ladang Bekas bakaran

Bekas Persemaian Pohon tumbang


Jaringan Listrik
c. Gambar tipe kerusakan di Likbang

Ladang baru buka Bekas ladang

Bekas Galian Tanah Ladang


d. Gambar tipe kerusakan di Ayambori

Ladang baru buka Bekas Ladang

Pohon tumbang Ladang baru buka


Pemukiman
e. Gambar tipe kerusakan di Korem

Ladang

Timbunan Sampah
f. Gambar tipe kerusakan di Brawijaya

Ladang Timbunan Sampah

Pemukiman
g. Gambar tipe kerusakan di Manggoapi

Ladang

Ladang

Anda mungkin juga menyukai