Anda di halaman 1dari 72

PENGELOLAAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.

) DI DESA GOLO
SEPANG, KABUPATEN MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA
TIMUR

KARYA ILMIAH PRAKTIK AKHIR

Oleh:
PATRISIUS TOMA

POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN


2022
2

PENGELOLAAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI DESA GOLO


SEPANG, KABUPATEN MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA
TIMUR

Oleh:
PATRISIUS TOMNA
54185112442

Karya Ilmiah Praktik Akhir Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Terapan Perikanan

PROGRAM SARJANA TERAPAN


PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERAIRAN
POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2022
KARYA ILMIAH PRAKTIK AKHIR

Judul : Pengelolaan Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Desa Golo


Sepang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur
Penyusun : Patrisius Toma
NRP : 54185112442
Program Studi : Teknologi Pengelolaan Sumber daya Perairan

Menyetujui
Dosen Pembimbing,

Awaludin Syamsudin, S.St.Pi., M.Si. Siti Mira Rahayu, S.Pi., M.Si.


Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Meuthia Aula Jabbar, Dr, A.Pi., M.Si. Dadan Zulkifli, S.Ag., M.M.
Ketua Program Studi Sekretaris Program Studi
ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Karya Ilmiah Praktik Akhir “Pengelolaan
Kepiting bakau (Scylla spp.) di Desa Golo Sepang, Kabupaten Manggarai Barat,
Nusa Tenggara Timur” adalah karya ilmiah saya sendiri dengan arahan dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian Karya Ilmiah Praktik Akhir ini.
Apabila dikemudian hari pernyataan yang saya buat tidak sesuai, maka saya
bersedia dicabut gelar kesarjanaannya oleh Politeknik Ahli Usaha Perikanan.
Perikanan.

Jakarta, 01 Juni 2022

Materai 10.000

Patrisius Toma
54185112442
© Hak Cipta Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Tahun 2022
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan, tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar Politeknik Ahli Usaha Perikanan.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk apa pun tanpa izin Politeknik Ahli Usaha Perikanan.
RINGKASAN

PATRISIUS TOMA, NRP. 54185112442. PENGELOLAAN KEPITING BAKAU


(SCYLLA SPP.) DI DESA GOLO SEPANG, KABUPATEN MANGGARAI BARAT,
NUSA TENGGARA TIMUR. Dibimbing oleh Awaludin Syamsudin, S.St. Pi., M.Si
dan Siti Mira Rahayu, S. Pi., M.Si.

Kepiting bakau (Scylla spp.) adalah salah satu komoditas sumber daya
perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis
yang sangat tinggi, terutama kepiting yang sudah matang gonad dan sudah dewasa
serta gemuk. Praktik ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan kepiting bakau
(Scylla spp.) di Desa Golo Sepang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara
Timur. Metode yang digunakan adalah observasi secara langsung dan purposive
sampling. Analisis yang digunakan adalah beberapa aspek seperti aspek biologi dan
aspek reproduksi serta aspek perikanan kepiting bakau. Praktik Akhir ini dilaksanakan
selama 90 hari, terhitung mulai tanggal 7 Maret sampai 30 Mei 2022. Praktik ini
dilakukan di satu lokasi yang terdiri dari 5 titik atau stasiun pengambilan sampel di Desa
Golo Sepang. Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang menggunakan perahu atau
sampan dengan ukuran rata-rata panjang perahu kurang lebih 3 sampai 4 meter dan
lebar kurang lebih 70 cm yang secara umum menggunakan perahu atau sampan tanpa
motor dengan menggunakan alat tangkap bubu lipat. Produksi kepiting bakau di Desa
Golo Sepang baru dikenal pemasarannya pada tahun 2021. Berdasarkan hasil
penelitian sampel kepiting bakau yang diambil dari kelima stasiun terdiri dari tiga
spesies yang memiliki persamaan hubungan lebar bobot Scylla serrata bersifat
alometrik posistif atau pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan lebar, S.
paramamosain bersifat alometrik posistif atau pertambahan bobot lebih cepat dari
pertambahan lebar, S. olivicea bersifat alometrik posistif pertambahan bobot lebih
cepat dari pertambahan lebar. Berdasarkan hasil penelitian kepiting bakau jantan
berjumlah 557 ekor dan betina berjumlah 293 ekor sehingga totalnya menjadi 870
sampel. Nelayan disarankan agar menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebar >
12 cm dan bobot >150 gram. Pemasaran kepiting bakau di Desa Golo Sepang
mengalami perubahan akibat adanya pandemi Covid-19. Harga kepiting bakau dengan
berat 200 gram dari harga 110.000 per kilogram turun hingga 65.000 per kilogramnya,
sedangkan yang berat 300 gram sampai 400 gram harga biasanya 130.000 per
kilogram turun hingga 75.000 per kilogramnya. Akibat dari adanya pandemi Covid-19

v
vi

yang menutup alur distribusi dan pembatasan berbagai akses dan pemasaran kepiting
bakau yang menyebabkan penurunan harga kepiting bakau yang berakibat pada
penurunan tingkat pendapatan Nelayan Desa Golo Sepang di masa pandemi Covid-
19.

Kata kunci: kepiting bakau, pertumbuhan, pengelolaan, pendapatan Nelayan

vi
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah
Praktik Akhir (KIPA) yang berjudul “Pengelolaan Kepiting bakau (Scylla spp.) di
Desa Golo Sepang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur”. Karya
Ilmiah Praktik Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Terapan Perikanan (S.Tr.Pi.) pada Program Studi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan, Politeknik Ahli Usaha Perikanan.
Laporan Karya Ilmiah Praktik Akhir ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu:
Pendahuluan, Metode Praktik, Hasil dan Pembahasan, serta Simpulan dan Saran.
Bimbingan, koreksi, dan saran dari dosen pembimbing (Awaludin Syamsudin, S.St.Pi.,
M.Si. dan Siti Mira Rahayu, S.Pi., M.Si.) dalam mewujudkan sebuah karya ilmiah ini
diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan bagi penulis, khususnya dalam
menyusun karya ilmiah.
Upaya maksimal telah penulis lakukan untuk merampung karya ini, namun
penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan penulis untuk menyempurnakan
karya ilmiah ini.

Jakarta, 01 Juni 2022

Penulis

vii
viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan sykur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penyusunan Laporan Karya Ilmiah Prakik Akhir ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Selama proses penyusunan karya Ilmiah
Praktik Akhir (KIPA) ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Awaludin
Syamsudin, S.St. Pi., M.Si. dan Ibu Siti Mira Rahayu, S. Pi., M.Si. selaku Dosen
Pembimbing I dan II, yang telah memberikan bimbingan, dorongan, dan semangat
dalam penyusunan Karya Ilmiah Praktik Akhir ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan pula kepada:
1. Dr. M. Hery Riyadi Alauddin, S.Pi., M.Si.
2. Dr. Heri Triyono, A.Pi., M.Kom., selaku Wakil Direktur I Politeknik AUP;
3. Yenni Nuraini, S.Pi., M.Sc., selaku Wakil Direktur II Politeknik AUP;
4. Dr. Ita Junita Puspa Dewi, A.Pi., M.Pd., selaku Wakil Direktur III Politeknik AUP;
5. Dr. Meuthia A. Jabbar, A.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Teknologi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Politeknik AUP;
6. Keluarga tercinta yang telah mendukung secara moril maupun materil;
7. Sahabat, teman, dan saudara seperjuangan selama masa pendidikan di
Program Studi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Politeknik AUP
yaitu Angkatan 54;
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya Ilmiah Praktik
Akhir (KIPA).

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii


UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................viii
DAFTAR ISI........................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii
1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan........................................................................................................ 2
1.3 Batasan Masalah ...................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 2
2 METODE PENELITIAN .................................................................................... 3
2.1 Waktu dan Tempat .................................................................................... 3
2.2 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 3
2.3 Metode Analisis Data ................................................................................ 6
3 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 8
3.1 Hasil .......................................................................................................... 8
3.2 Pembahasan ........................................................................................... 13
4 SIMPULANDAN SARAN................................................................................ 37
4.1 Simpulan................................................................................................. 37
4.2 Saran ...................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39
LAMPIRAN ........................................................................................................ 44
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. 76

ix
x

DAFTAR TABEL

1 Alat dan Bahan yang digunakan ......................................................................... 4

2 Alat pengukur kualitas air . ................................................................................. 5

3 Kepiting bakau yang ditemukan selama penelitian .......................................... 9

4 Parameter lingkungan......................................................................................... 20

5 Pasang Surut ....................................................................................................... 21

x
DAFTAR GAMBAR

1 Peta Lokasi Praktik ...................................................................................................... 11

2 Diagram persebaran Kepiting bakau disetiap stasiun ................................................ 12

3 Diagram Persebaran Lebar karapas Kepiting bakau Scylla serrata ......................... 13

4 Diagram Persebaran Lebar karapas Kepiting bakau S.paramamosan ...................... 15

5 Diagram Persebaran Lebar karapas kepiting bakau S. olivicea ................................. 16

6 Diagram Hubungan lebar bobot S. serrata ................................................................. 18

7 Diagram Hubungan lebar bobot S. paramamosan ..................................................... 19

8 Diagram Hubungan lebar bobot S. olivicea................................................................. 20

9 Diagram Nisbah kelamin kepiting bakau total ............................................................. 21

10 Diagram Nisbah kelamin (a) S. serrata, (b) S. paramamosain dan (c) S. olivicea,.. 23

11 Perahu penangkapan kepiting bakau ........................................................................ 24

12 Alat penangkapan kepiting bakau (bubu).................................................................. 24

13 Lokasi pengambilan Sampel ..................................................................................... 25

14 Diagram tingkat umur Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang ......................... 26

15 Diagram tingkat pendidikan Nelayan Desa Golo Sepang......................................... 26

16 Diagram pekerjaan sampingan Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang .......... 27

17 Diagram tingkat pendapatan Nelayan sebelum pandemi Covid-18 ......................... 28

18 Diagram tingkat pendapatan Nelayan ketika pandemi Covid-19.............................. 28

xi
DAFTAR LAMPIRAN

1 Data responden atau Nelayan kepiting bakau ................................................. 46

2 Laporan izin penelitian di Dinas Perikanan Kabupaten Manggarai Barat ....... 64

3 Pengambilan sampel kepiting bakau ............................................................... 49

4 Daerah penangkapan ....................................................................................... 50

5 Pengukuran sampel kepiting bakau ................................................................. 51

6 Pengukuran kualitas air .................................................................................... 51

7 Wawancara dengan Responden atau Nelayan Kepiting bakau ...................... 52

8 Kuesioner Wawancara ..................................................................................... 54

9 Laporan selesai penelitian di Dinas Perikanan Manggarai Barat .................... 58

xii
1111

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki produksi kepiting
bakau. Dengan adanya sumber daya ekosistem bakau yang membentang luas di
seluruh kawasan pesisir pantai nusantara, menjadikan Indonesia dikenal sebagai
negara pengekspor kepiting bakau (Safitri et al., 2020). Kepiting bakau (Scylla
spp.) adalah salah satu komoditas sumber daya perikanan yang sangat potensial
untuk dikembangkan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi di Indonesia,
terutama kepiting yang sudah matang gonad dan sudah dewasa serta gemuk
Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari penangkapan secara
langsung di alam tepatnya di pesisir, khususnya di area yang terdapat hutan
mangrove atau estuari dan dari hasil budidaya di tambak air payau Kepiting bakau
merupakan salah satu produk jasa ekosistem mangrove yang memiliki potensi
yang sangat tinggi dalam menyangga kehidupan ekonomi masyarakat, terutama
bagi nelayan skala kecil (small scale fisheries).
Permintaan akan kepiting bakau yang selalu meningkat akan berbahaya
timbulnya kepunahan dan kelangkaan pada kepiting bakau. Sehingga dengan
adanya hal ini pemerintah mengeluarkan regulasi pelarangan penangkapan pada
ukuran tertentu melalui PERMEN-KP Nomor 17 tahun 2017, guna menghindari
kepunahan spesies, pelarangan ini pada sisi yang lain berdampak pada
pendapatan nelayan yang biasa menangkap kepiting (Sihsubekti and Fidhiani,
2021).
Golo Sepang merupakan salah satu desa penghasil kepiting bakau
terbesar yang berada di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa
tenggara Timur. Peningkatan produksi dan eksploitasi kepiting bakau di Desa Golo
Sepang sebagai salah satu faktor pendorong penulis melakukan penelitian di Desa
Golo Sepang. Eksploitasi, pemasaran dan distribusi kepiting bakau sebelum
pandemi Covid-19 sangat tinggi dibandingkan dengan setelah dampak pandemi
Covid-19. Salah satu dampak yang terjadi yaitu dari kurangnya pemasaran yaitu
harga sebelum pandemi kepiting bakau yang berukuran 200 gram harganya
110.000/kg, setelah pandemi turun menjadi 65.000/kg.
Pada saat ini produksi dan distribusi kepiting bakau mengalami perubahan
akibat adanya pandemi Covid-19 yang terjadi di beragai wilayah Indonesia, salah
satunya yaitu Desa Golo Sepang. Dampak dari pandemi Covid-19 kegiatan
penangkapan dan distribusi hasil tangkapan kepiting bakau terganggu akibat
adanya kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Kegiatan penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dampak dari pandemi Covid-19 terhadap nelayan
kepiting bakau di Desa Golo Sepang, Kabupaten Manggarai Barat.
2

1.2 Tujuan

1. Menganalisis distribusi kepiting bakau di lokasi penelitian Desa Golo


Sepang.
2. Menganalisis aspek biologi pertumbuhan dan reproduksi kepiting bakau.
3. Menganalisis aspek perikanan kepiting bakau di Desa Golo Sepang,
Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

1.3 Batasan Masalah


1. Distribusi kelimpahan kepiting bakau di lokasi pengambilan sampel Desa
Golo Sepang.
2. Aspek biologi pertumbuhan dan reproduksi kepiting bakau yang dibatasi
pada distribusi frekuensi lebar, hubungan lebar berat dan nisbah kelamin
kepiting bakau.
3. Aspek perikanan yang dibatasi pada alat tangkap, kapal penangkapan,
daerah penangkapan dan kondisi pemasaran kepiting bakau.

1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pemerintah
dan masyarakat setempat mengenai pengelolaan kepiting bakau yang terdapat di
Desa Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat.
3

2 METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat


Praktik akhir ini akan di laksanakan dari tanggal 7 Maret 2022– 30 Mei
2022. Pengambilan data di lakukan di 5 stasiun yaitu stasiun 1 berada di muara
Sungai Terang, stasiun 2 berada di dekat muara Sungai Terang, stasiun 3 berada
di bagian tengah Sungai Terang, stasiun 4 berada di cabang Sungai Terang dan
stasiun 5 berada di anak Sungai Terang, Desa Golo Sepang, Kecamatan Boleng,
Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Desa Golo Sepang terkenal
dengan potensi dan eksploitasi kepiting bakau terbesar di Kabupaten Manggarai
Barat. Lokasi praktik seperti disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi praktik

2.2 Metode Pengumpulan Data


2.2.1 Penentuan Stasiun
Pengamatan Stasiun yang ditetapkan sebagai lokasi atau titik pengambilan
sampel yaitu terdiri dari 5 stasiun penelitian di lokasi penelitian Desa Golo Sepang
yang merupakan titik yang menjadi tempat biasanya Nelayan melakukan
penangkapan kepiting bakau.
2.2.2 Pengumpulan sampel kepiting bakau
Pengambilan sampel kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan
metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, pengambilan
sampel dilakukan setiap dua kali sehari mengikuti pasang dan surut air laut, bubu
dipasang saat kondisi air surut dan dicek saat kondisi air pasang karena kepiting
4

bakau mengikuti naiknya air laut. Posisi bubu dipasang di setiap stasiun yang telah
ditentukan sebagai tempat pengambilan sampel. Sampel diambil dengan cara
menelusuri setiap jebakan berupa bubu yang telah dipasang di setiap stasiun
pengambilan sampel. Sampel kepiting bakau yang tertangkap dihitung jumlahnya,
difoto dan diamati, setelah itu sampel kepiting diletakan ke dalam ember yang
berisi air dan diberi kode pada ember sesuai dengan nama stasiun pengambilan
sampel.
Kepiting bakau hasil tangkapan tersebut kemudian diidentifikasi jenis
kelaminnya. Penentuan jenis kelaminnya dilakukan dengan melihat secara
langsung mengenai ciri-ciri morfologi kepiting bakau yang meliputi: ukuran tubuh
kepiting bakau jantan lebih besar dari kepiting bakau betina, capit kepiting bakau
jantan lebih besar dari betina dan abdomen kepiting bakau jantan berbentuk
segitiga atau huruf “v” sedangkan yang betina membulat dan lebih besar.
Kemudian kepiting bakau diidentifikasi morfologinya untuk mengetahui jenisnya
berdasarkan panduan (Keenan dkk, 1998 dalam Rina, 2016). Kepiting bakau
didata jumlah sesuai spesies dan jenis kelaminnya.
Kepiting bakau diukur lebarnya dengan menggunakan meteran kain
dengan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran dilakukan secara mendatar dari ujung kiri
sampai ujung kanan karapas atau dari ujung interior bagian kepala sampai
posterior bagian bawah karapas. Pengukuran bobot kepiting bakau dilakukan
dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 gram, hasil
pengukuran dicatat masing-masing sesuai dengan jenis dan jenis kelaminya di
setiap stasiun.
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan sampel kepiting bakau
dijelaskan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan


Nama Alat Spesifikasi Jumlah Kegunaan
Ketelitian 1 Menimbang berat
Timbangan Digital 1 buah
gram kepiting bakau
Kamera 12 megapixel 1 buah Mendokumentasi
Mewawancara
Kuesioner Lembar kertas 1 buah
nelayan
Buku tulis & Mencatat data yang
Alat tulis 1 buah
pena didapat
Ketelitian 0,1 Mengukur lebar
Meter kain 1 buah
cm rajungan
Bahan acuan saat
Kuesioner seperlunya
wawancara
Kepiting bakau seperlunya Objek pengamatan
Bubu seperlunya Alat tangkap
Buku identifikasi
kepiting bakau
1 Sebagai pedoman
(Keenan, 1998 dalam
Rina, 2016)
5

2.2.3 Aspek Perikanan Kepiting Bakau


Data perikanan yang dikumpulkan meliputi: alat penangkapan, kapal
penangkapan dan musim penangkapan yang diperoleh melalui teknik observasi
langsung dan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner yang
disertai pencatatan terhadap keadaan di lapangan. Data kondisi pemasaran
kepiting bakau sebelum dan setelah pandemi Covid-19.
Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan metode
purposive sampling. Menurut Sugiyono (2015), menyatakan, penelitian kualitatif
teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling. Metode
purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel berupa data dengan
pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang
dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai
orang yang dituakan sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau
situasi sosial yang diteliti. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan
kuesioner wawancara terhadap Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang.
2.2.4 Pengukuran Kualitas air
Pertumbuhan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh parameter-
parameter pembatas. Sebelum melakukan pengambilan sampel kepiting bakau,
terlebih dahulu melakukan pengukuran parameter pembatas kepiting bakau yang
berada di lokasi penelitian Desa Golo Sepang. Alat dan bahan yang digunakan
dalam pengukuran parameter pembatas sebagaimana pada Tabel 2.

Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan


No. Nama Alat Spesifikasi Jumlah Kegunaan
1 Refraktometer Ketelitian 0- 1 buah Mengukur salinitas
100‰ Perairan
2 Thermometer Celcius 1 buah Mengukur suhu
alkohol
3 pH Paper Indikator warna 1 kotak Mengukur pH perairan dan pH
tanah
4 Patok kayu 1 Mengukur pasang surut
pengukur

2.3 Metode Analisis Data


2.3.1 Distribusi Frekuensi lebar
Distribusi frekuensi panjang didapatkan dengan cara menentukan selang
kelas, nilai tengah kelas dan frekuensi pada tiap kelompok panjang. Distribusi
frekuensi panjang yang telah ditentukan dengan selang kelas yang sama
kemudian dapat dibentuk dalam sebuah diagram untuk melihat hasil dari distribusi
frekuensi panjang tersebut.

2.3.2 Hubungan Lebar dan Bobot Karapas


Hubungan panjang atau lenght (L) dan berat atau weight (W) bertujuan
untuk menggambarkan sifat pertumbuhan. Selain itu analisis lebar-berat kepiting
bakau dilakukan sebagai indikator biologi dari kondisi ekosistem perairan tersebut
(Courtney et al., 2014). Menurut pengamatan terhadap pertumbuhan kepiting
6

bakau dilakukan dengan cara mengukur lebar karapas dan berat total seluruh
tubuhnya untuk menganalisis pola pertumbuhan kepiting bakau dengan
menggunakan analisis regresi (Tahmid et al., 2015). Data pengukuran panjang
bobot secara individu dipergunakan untuk memperoleh sebaran ukuran panjang
dan hubungan panjang bobot. Pola pertumbuhan digambarkan dalam dua bentuk
yaitu isometrik dan alometrik. Untuk kedua pola ini berlaku persamaan (Effendi,
1997 dalam Siringoringo et al., 2017) yaitu:

𝐖 = 𝐚𝐋𝐛

Keterangan:
W = Berat Tubuh rajungan (gr)
L = Lebar karapas Rajungan (cm)
a dan b = konstanta.
Kemudian ditransformasikan ke dalam persamaan linear dengan
dilogaritmakan persamaan tersebut, sehingga bentuk persamaan menjadi.

Log W = Log a + b Log L

Keterangan:
W = Berat Tubuh kepiting bakau (gr)
L = Lebar karapas kepiting bakau (cm)
a dan b = konstanta.

3.3.3 Nisbah Kelamin (Sex Ratio)

Setiap kepiting bakau yang digunakan sebagai sampel akan dipisahkan


menurut jenis kelamin ikan untuk mengetahui perbedaan jumlah rajungan jantan
dan betina dengan menggunakan analisis chi-kuadrat dengan menentukan nilai
aktual dan nilai harapan untuk mendapatkan nilai probabilitas pada alpha 0,05
(tingkat kepercayaan 95%), sehingga menghasilkan keputusan hipotesis
alternative (H1) diterima atau ditolak. Untuk menentukan nisbah kelamin (sex ratio)
menggunakan persamaan rumus sebagai berikut:
𝚺𝑱
NK=
𝚺𝑩

Keterangan:
NK = nisbah kelamin
∑J = jumlah ikan jantan (ekor)
∑B = jumlah ikan betina (ekor).

3.3.4 Aspek Perikanan


Analisis data aspek perikanan terdiri dari penggunaan alat tangkap, kapal
penangkapan, daerah penangkapan dan kondisi pemasaran kepiting bakau
dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Metode dalam meneliti
status manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
7

kelas peristiwa pada masa yang akan datang disebut metode deskriptif. Menurut
Usman & Abdi (2012) dalam (Rahmadani and Siburian, 2020), metode deskriptif
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala,
atau hal-hal yang khusus dalam masyarakat. Data yang telah dianalisis kemudian
identifikaskan atau diinterpretasikan sebagai hasil penelitian dan dibahas atau
dikalimatkan sesuai dengan fakta yang ada lapangan, dengan mengacu pada
jurnal - jurnal hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini (Sugiyono, 2010
dalam Tipagau et al., 2021). Analisis deskriptif kualitatif adalah pengolahan data
yang dilakukan dengan menggunakan bahasa - bahasa penulis sendiri secara
sistematis dan bertanggung jawab.
8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
3.1.1 Kondisi Umum Lokasi Praktik
Kabupaten Manggarai Barat memiliki luas wilayah 9.450 km² atau hanya
sekitar 6,22% dari luas provinsi NTT, terdiri dari wilayah daratan 2.947,50 km² yang
terdiri atas beberapa pulau besar seperti daratan pulau Flores, Komodo, Rinca,
Longos serta beberapa pulau kecil lainnya. Wilayah lautan yang memiliki luas
7.052,97 km². Suhu udara rata-rata di kabupaten ini berkisar antara 26,8ºC - 28,5ºC
(BPS Kab. Manggarai Barat, 2018).
Golo Sepang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Golo Sepang
merupakan salah satu Desa yang berada di bagian utara laut Flores. Golo Sepang
terkenal sebagai salah satu desa dengan produktivitas perikanannya yang sangat
tinggi yang salah satunya yaitu sebagai penghasil kepiting bakau terbesar di
Kabupaten Manggarai Barat. Desa Golo Sepang merupakan wilayah pesisir
dengan ketinggian wilayah kurang dari 100 mdpl (Hidayatulah at al., 2014).
Berdasarkan profil Desa Golo Sepang, 2019 luas Desa Golo sepang mencapai
57,88 km² atau 19,05% dari luas kecamatan, sebagian besar penduduk desa
bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan peternak. Produksi kepiting
bakau (Scylla spp.) yang cukup tinggi karena didukung oleh habitatnya yang masih
terjaga dalam hal ini yaitu hutan mangrove di Golo Sepang tumbuh di sepanjang
pesisir pantai Desa Golo Sepang dengan ketebalan yang cukup tinggi, frekuensi
genangan berkisar antara 1 – 2 kali dalam sehari selama 2 jam. Salinitas air
bervariasi antara 25-31 ‰, karena dipengaruhi oleh jarak dengan muara. Salinitas
yang agak rendah terdapat pada lokasi yang berdekatan dengan muara,
sedangkan pada lokasi yang berbatasan dengan laut memiliki salinitas yang lebih
tinggi. Kondisi fisik tanah adalah lumpur tanah berwarna hitam serta kedalaman
lumpur berkisar antara 10 – 15 cm (Hidayatulah et al., 2014).
.
3.1.2 Distribusi Kepiting Bakau di setiap stasiun
Distribusi kepiting bakau berguna untuk mengetahui persebaran kepiting
bakau yang ada di setiap stasiun penelitian. Berdasarkan hasil penelitian sampel
Kepiting bakau (Scylla spp.) yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan
berjumlah 850 sampel pada 5 titik pengambilan. Stasiun 1 berjumlah 244 sampel
yang terdiri dari jantan 160 ekor dan betina 84 ekor, stasiun 2 berjumlah 200 ekor
yang terdiri dari 120 ekor jantan dan 80 ekor betina, stasiun 3 berjumlah 150
sampel yang terdiri 98 ekor jantan dan 52 ekor betina, stasiun 4 berjumlah 150
sampel yang terdiri dari 11 ekor jantan dan 39 ekor betina dan stasiun 5 berjumlah
106 sampel yang terdiri dari 78 ekor jantan dan 38 ekor betina. Sampel kepiting
bakau terbanyak didapatkan di stasiun 1 yang berjumlah 244 sampel sedangkan
sampel kepiting bakau paling sedikit berada di stasiun 5 dengan jumlah 106
sampel.
Berikut ini jenis kepiting bakau berdasarkan Keenan, 1998 dalam Rina,
(2016) yang ditemukan di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 3.
9

Tabel 3 Kepiting bakau yang ditemukan di lokasi penelitian


No Jenis Gambar

1 S. serrata

2 S. paramamosain

3 S. olivicea

Jumlah individu dan penyebaran kepiting bakau berbeda disetiap stasiun


pengambilan sampel. Berdasarkan hasil tangkapan, kepiting bakau baik jantan
maupun betina diketahui bahwa jumlah S. serrata lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah S. paramamosain dan S. olivicea. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
2.
10

120
105
100 100
100
79 75 75
80
Frekuensi

60
60 50
45
37
40 30
25 25 24
20
20

0
1 2 3 4 5
Stasiun

S Serata S. pramomasain S. olivacea

Gambar 2 Jumlah persebaran kepiting bakau disetiap stasiun

Berdasarkan gambar diatas jumlah persebaran kepiting bakau jantan


paling banyak berada di stasiun 1 yang didominasi oleh jenis S. serrata disemua
stasiun, sedangkan yang paling sedikit jenis S. olivicea berada di stasiun 3.
Persebaran kepiting bakau betina paling banyak berada di stasiun 2 yang
didominasi oleh jenis S. serrata, sedangkan yang paling sedikit jenis S. olivicea
yang berada di stasiun 5.

3.1.3 Aspek Biologi dan Reproduksi


a) Distribusi frekuensi lebar
Distribusi frekuensi ukuran lebar karapas berguna untuk mengetahui
persebaran sebaran ukuran kepiting bakau yang bergantung pada sifat-sifat
pertumbuhan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Diagram distribusi
lebar karapas kepiting bakau di setiap stasiun selama penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3.
1) S. serrata
90 60
80
82 50 54
70
60 68 40
Frekuensi
Frekuensi

50
30
40 49
45
30 20
21 22
20 18
24 10
10 7 12 5 1 3 8 6
0 0

Lebar (cm) Lebar (cm)


(a) (b)
11

120

100 110

80 94
88

Frekuensi
82
60

40

20 34
28
14 10 7
0

Lebar (cm)
(c)
Gambar 3 Sebaran lebar karapas kepiting bakau jenis S. serrata selama
penelitian (a) jantan, (b) betina, (c) gabungan

Berdasarkan penyajian gambar 3 sampel Kepiting bakau jenis S. serrata


yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan berjumlah 425 sampel.
Berdasarkan kisaran lebar karapas kepiting bakau yang diperoleh selama praktik
berada pada kisaran kelas 8 – 17, 8 cm. Jumlah kepiting bakau terbesar berada
pada selang kelas 11,3 -12,3 dengan rata-rata lebar karapas 13 cm, nilai tengah
(median) adalah 12,9 dan nilai yang paling banyak atau nilai yang sering muncul
sebesar 12 cm. Persebaran lebar karapas kepiting bakau S. serrata jantan paling
banyak pada ukuran 11,2-12,3 cm, sedangkan persebaran lebar karapas kepiting
bakau S. serrata betina paling banyak pada ukuran 11,2-12,2. Persebaran S.
serrata paling dominan berada di stasiun 1 sedangkan paling sedikit berada di
stasiun 4.
2) S. Paramamosan
50 35
45 30
40 44 30
42 25
35
36
Frekuensi
Frekuensi

30 20
25 20
20 15 18
15 19 10 14
18 12
10 10
5 5
3 2 2
0 0

Lebar (cm) Lebar (cm)


(a) (b)
12

100
90
80 86
70

Frekuensi
60
62
50
52
40
30
33
20
23
10 11 4
0

Lebar (cm)
(c)
Gambar 4 Sebaran lebar karapas kepiting bakau S. paramamosain selama
penelitian (a) jantan, (b) betina dan (c) gabungan

Berdasarkan penyajian gambar 4 sampel Kepiting bakau jenis S.


paramamosain yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan berjumlah
271 sampel. Berdasarkan kisaran lebar karapas kepiting bakau yang diperoleh
selama praktik berada pada kisaran kelas 9 – 16,6 cm. Jumlah kepiting bakau
terbesar berada pada selang kelas 11,2 -12, 2 dengan rata-rata lebar karapas 12
cm, nilai tengah (median) adalah 12,8 dan nilai yang paling banyak atau nilai yang
sering muncul sebesar 12 cm. Persebaran lebar karapas kepiting bakau S.
paramamosain jantan paling banyak pada ukuran 10,1-11,1 cm, sedangkan
persebaran lebar karapas kepiting bakau betina paling banyak pada ukuran 11,2-
12,2 cm. Persebaran S. paramamosain paling dominan ditemukan distasiun 1
sedangkan yang paling sedikit berada pada stasiun 5.
3) S. olivicea
40 20
35 18 19
37
30 16
14
25
Frekuensi

Frekuensi

12
20 24 12
22 10
15 8 10
9
10 6
4
5 7
3 4 2 2 2 3
0 0

Lebar (cm) Lebar (cm)


(a) (b)
13

60

50 56

40

Frekuensi
30 35 34

20

10
11 9 7 2
0

Lebar (cm)
(c)
Gambar 5 Sebaran lebar karapas kepiting bakau S. olivicea (a) jantan, (b)
betina dan (c) gabungan

Berdasarkan penyajian gambar 5 sampel kepiting bakau jenis S. olivacea


yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan berjumlah 154 sampel.
Berdasarkan kisaran lebar karapas kepiting bakau yang diperoleh selama praktik
berada pada kisaran kelas 9 cm– 16, 6 cm. Jumlah kepiting bakau terbesar berada
pada selang kelas 11,2 -12,2 dengan rata-rata lebar karapas 12 cm, nilai tengah
(median) adalah 11,7 dan nilai yang paling banyak atau nilai yang sering muncul
sebesar 12 cm. Persebaran lebar karapas kepiting bakau S. olivicea jantan paling
banyak pada ukuran 11,2-12,2 cm, sedangkan persebaran lebar karapas betina
paling banyak pada ukuran 11,2-12,2 cm. Persebaran S. Olivicea paling dominan
ditemukan di stasiun 1
b) Hubungan Lebar dan Bobot
Analisis hubungan lebar karapas dan bobot kepiting bakau digunakan
untuk mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau yang ada di lokasi penelitian.
Berikut hasil analisis hubungan lebar karapas dan bobot kepiting bakau
berdasarkan spesies.
1) S. serrata
14

Berdasarkan hasil analisis data hubungan lebar karapas dan bobot total S.
serrata bersifat alometrik positif artinya pertambahan lebar tidak seimbang dengan
pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar lebih cepat dibandingkan
dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang didapat adalah sebesar
3,14 dengan nilai slope jantan sebesar 3,19 dan nilai slope betina sebesar 2,98.
Setelah dilakukan pengujian kembali, maka grafik korelasi hubungan lebar
karapas dan bobot kepiting bakau S. serrata dapat dilihat pada Gambar 6.
450 400
W = 0.0504L3.192 W = 0.089L2.9781
400
R² = 0.7684 350 R² = 0.7447
350 n=293 n= 132
300
300
250
bobot (g)

250
bobot(g) 200
200
150
150
100
100
50
50

0 0
0 5 10 15 20 0 5 10 15 20

lebar (cm) lebar (cm)

(a) (b)
450
W = 0.058L3.1397
400
R² = 0.7617
350 n=425

300
bobot (g)

250

200

150

100

50

0
0 5 10 15 20
lebar (cm)

(c)
Gambar 6 Hubungan lebar bobot S. serrata (a) jantan, (b) dan (c)
gabungan
15

Berdasarkan hasil analisis data dan bentuk grafik pada gambar 6, bahwa
total sampel S. serrata adalah 425 ekor dan memiliki kisaran lebar 8-17, 8 cm dan
kisaran berat 29-380 gram. Selanjutnya dilakukan uji thitung = -1,64 dan ttabel = 1.97
pada S. serrata. Hasil uji menujukan bahwa thitung < ttabel maka H0 diterima atau b ≠
3 diketahui bahwa hubungan lebar berat S. serrata bersifat alometrik positif yaitu
pertumbuhan lebar lebih lambat dari pertambahan bobotnya. Untuk hasil analisis
regresi dan grafik memiliki persamaan W=0,058L3,1397 dengan koefisien
determinasi adalah R2= 0,7617. Jumlah sampel S. serrata jantan 239 ekor dengan
kisaran lebar karapas 8 cm -17 cm dan bobot bekisar antara 29-380 gram,
sedangkan jumlah sampel betina 132 ekor dengan kisaran lebar karapas 9 cm-
15,5 cm dan kisaran bobot 36 – 297 gram.
Jadi jumlah sampel S. serrata jantan lebih dominan dari betina. Angka
slope (b) S. serrata jantan 3,19 sedangkan betina 2,98, hal ini menujukan bahwa
pertumbuhan S. serrata jantan bersifat alometrik positif atau pertambahan bobot
lebih cepat dari pertambahan lebar, sedangkan pertumbuhan S. serrata betina
bersifat alometrik negatif atau pertambahan lebar lebih cepat dari pertambahan
bobot.
2) S. paramamosain
Berdasarkan hasil analisis data menujukan bahwa hubungan lebar karapas
dan bobot total S. paramamosain bersifat alometrik positif artinya pertambahan
lebar tidak seimbang dengan pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar
lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang
didapat adalah sebesar 3,82 dengan nilai slope jantan sebesar 3,79 dan nilai slope
betina sebesar 3,86. Setelah dilakukan pengujian kembali, maka grafik korelasi
hubungan lebar karapas dan berat kepiting bakau S. paramamosain dapat dilihat
pada Gambar 7.
400 350
350 W = 0.0111L3.7857 W = 0.0097L3.8579
300
R² = 0.7278 R² = 0.7774
300 n=165 n= 106
250
250
bobot (g)

bobot (g)

200
200
150
150
100
100
50 50

0 0
0 5 10 15 20 0 5 10 15 20
lebar (cm) lebar (cm)

(a) (b)
16

400
W = 0.0103L3.8237
350 R² = 0.7505
n= 271
300

250
bobot (g)

200

150

100

50

0
0 5 10 15 20
Lebar (cm)

(c)
Gambar 7 Hubungan Lebar dan bobot S. paramamosain (a) jantan, (b)
betina dan (c) gabungan

Berdasarkan analisis data dan bentuk grafik pada gambar 7, bahwa total
sampel S. paramamosain adalah 271 ekor dan memiliki kisaran lebar 8-15,6 cm
dan kisaran berat 24-295 gram. Selanjutnya dilakukan uji thitung = -6,15 dan ttabel =
1,97 pada S. paramamosain. Hasil uji menunjukan bahwa thitung < ttabel maka H0
diterima atau b ≠ 3 diketahui bahwa hubungan lebar bobot S. paramamosain
bersifat alometrik positif yaitu pertumbuhan lebar lebih lambat dari pada
pertambahan beratnya. Untuk hasil analisis regresi dan grafik memiliki persamaan
W=0,0103L3,8237 dengan koefisien determinasi adalah R2= 0,7505. Jumlah sampel
S. paramamosan jantan 165 dengan kisaran lebar karapas 9 cm – 14,5 cm dan
bobot 38 -295 gram, sedangkan betina 106 sampel dengan memiliki kisaran lebar
karapas antara 9 cm – 14,5 cm dan bobot antara 24-288 gram. Jadi jumlah sampel
S. paramamosan jantan lebih dominan dari betina. Angka slope (b) S.
paramamosan jantan 3,79 sedangkan betina 3,86, hal ini menunjukan bahwa
pertumbuhan kepiting bakau S. paramamosain bersifat alometrik positif atau
pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan lebar.
3) S. olivicea
17

Berdasarkan hasil analisis data menunjukan bahwa hubungan lebar


karapas dan berat total S. olivicea bersifat alometrik positif artinya pertambahan
lebar tidak seimbang dengan pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar
lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang
didapat adalah sebesar 3,54 dengan nilai slope jantan sebesar 3,68 dan nilai slope
betina sebesar 3,54. Setelah dilakukan pengujian kembali, maka grafik korelasi
hubungan lebar karapas dan berat kepiting bakau S. olivicea dapat dilihat pada
Gambar 8.
350
350
W = 0.0226L3.5364
300 W = 0.0139L3.6761 300
R² = 0.7712
R² = 0.7032
250 250 n=55
n= 99
Berat (g)

200

Berat (g)
200
150
150
100
100
50
0 50
0 5 10 15 20
0
Lebar (cm) 0 5 10 15 20
Llebar (cm)

(a) (b)

400
350 W = 0.0203L3.5435
R² = 0.704
300
n=154
250
Berat (g)

200
150
100
50
0
0 5 10 15 20
Lebar (cm)

(c)
Gambar 8 Hubungan lebar bobot S. olivicea (a) jantan, (b) betina dan (c)
gabungan

Berdasarkan analisis data dan bentuk grafik pada penyajian gambar 8,


bahwa total sampel S. olivicea adalah 154 ekor dan memiliki kisaran lebar 9-16,6
cm dan kisaran berat 38-278 gram. Selanjutnya dilakukan uji thitung = -2,94 dan ttabel
= 1,98 pada S. olivicea. Hasil uji menunjukan bahwa thitung < ttabel maka H0 diterima
atau b ≠ 3 diketahui bahwa hubungan lebar berat S. serrata bersifat alometrik
18

positif yaitu pertumbuhan lebar lebih lambat dari pada pertambahan beratnya.
Untuk hasil analisis regresi dan grafik memiliki persamaan W=0,0203L3,5435
dengan koefisien determinasi adalah R2 = 0,704. Jumlah sampel jantan 99 ekor
dan memiliki kisaran lebar 10-15 cm dan kisaran bobot 38-312 gram, sedangkan
jumlah sampel betina 55 ekor dan memiliki kisaran lebar 9-14,4 cm dan memiliki
kisaran bobot 46-240 gram. Jadi kisaran lebar dan bobot kepiting bakau S. olivicea
jantan memiliki kisaran lebih tinggi. Angka slope (b) jantan 3,68 sedangkan betina
3,54.
c) Nisbah Kelamin
Analisis nisbah kelamin digunakan untuk mengetahui perbandingan antara
jumlah kepiting bakau jantan dan betina di lokasi pengambilan sampel. Total
sampel yang diamati selama praktik sebanyak 850 sampel di 5 stasiun. Sampel
kepiting bakau yang diukur di stasiun 1 berjumlah 244 sampel yang terdiri dari
sampel jantan 160 ekor dan betina 84 ekor, stasiun 2 berjumlah 200 sampel yang
terdiri dari sampel jantan 120 ekor dan sampel betina 80 ekor, stasiun 3 berjumlah
150 sampel yang terdiri dari sampel jantan 98 ekor dan betina 52 ekor, stasiun 4
berjumlah 150 sampel yang terdiri dari sampel jantan 111 ekor dan betina 39 ekor,
stasiun 5 berjumlah 106 sampel yang terdiri dari sampel jantan 68 ekor dan betina
38 ekor. Nisbah kelamin untuk kepiting bakau yang ditemukan selama praktik
disajikan seperti pada Gambar 9.

Gambar 9 Nisbah kelamin kepiting bakau

Berdasarkan gambar 9, dari 850 sampel kepiting bakau didapatkan 557


sampel kepiting bakau jantan dan 293 kepiting bakau betina dengan persentase
34% dan 66%. Dari persentase tersebut diketahui bahwa kepiting bakau (Scylla
spp.) jantan lebih banyak dari kepiting bakau betina dengan sex ratio antara
kepiting bakau jantan dan betina yang terdiri dari jenis S. serrata, S. paramamosain
dan S. olivicea seperti pada gambar 10.
19

31% 39%

61%
69%

jantan betina
jantan betina

(a) (b)

37%

63%

jantan betina

(c)
Gambar 10 Nisbah kelamin kepiting bakau (a) S. serrata, (b) S.
paramamosain, (c) S. olivicea

Berdasarkan penyajian gambar nisbah kelamin kepiting bakau jenis S.


serrata diatas jumlah kepiting bakau jantan 293 ekor dan betina 132 ekor dengan
persentase kepiting bakau jantan 69% dan betina 31%. Nisbah kelamin kepiting
bakau jenis S. paramamosain jumlah kepiting bakau jantan 165 ekor dan betina
106 ekor dengan persentase kepiting bakau jantan 61% dan betina 39%. Nisbah
kelamin kepiting bakau jenis S. olivicea diatas jumlah kepiting bakau jantan 99 ekor
dan betina 55 ekor dengan persentase kepiting bakau jantan 63% dan betina 37%.

3.1.4 Parameter Lingkungan


Pengukuran parameter lingkungan bertujuan untuk mengetahui kondisi
habitat kepiting bakau yang ada di lokasi pengambilan sampel. Tabel 7 parameter
lingkungan perairan yang mendasari pertumbuhan kepiting bakau.

Tabel 3 Parameter lingkungan


Stasiun Suhu ºc pH Salinitas (ppt) Substrat
20

1 31 6,8 25 lumpur berpasir


2 30 7 20 lumpur berpasir
3 30 7 17 lumpur berpasir
4 29.4 7 15 lumpur berpasir
5 29.4 7 15 lumpur berpasir

a) Suhu
Suhu perairan berpengaruh terhadap pertumbuhan biota yang ada
didalamnya. Berdasarkan hasil pegukuran yang dilakukan dimasing masing
stasiun yaitu stasiun 1 dengan suhu 31ºC, stasiun 2 dengan suhu 30ºC , stasiun 3
dengan suhu 30ºC, stasiun 4 dengan suhu 29,4 ºC dan stasiun 5 dengan suhu 29,
4ºC. Suhu yang paling tinggi yaitu berada di stasiun 1 karena dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari langsung dan stasiun ini berada di muara sungai
Terang dan suhu yang paling rendah berada di stasiun 5 karena dilindungi oleh
hutan mangrove dan stasiun ini berada di kali Terang yang cukup jauh dari laut.
b) pH
Derajat keasaman atau pH sangat penting dalam berlangsungnya
kehidupan kepiting bakau. Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman atau
pH disetiap stasiun pengambilan sampel nilai derajat keasaman stasiun 1 yaitu
6,8, stasiun 2 yaitu 7, stasiun 3 yaitu 7, stasiun 4 yaitu 7 dan stasiun 5 yaitu 7. pH
terendah berada di stasiun 1 karena berada di muara sungai Terang.
c) Salinitas
Salinitas suatu perairan berpengaruh pada pertumbhan kepiting bakau.
Berdasarkan hasil salinitas perairan di setiap stasiun pengambilan sampel dengan
salinitas yang berkisar antara 15 ppt sampai 25 ppt, salinitas yang terendah berada
di stasiun 4 dan 5 yaitu 15 ppt karena letaknya cukup jauh dari muara sungai
Terang dan adanya pengenceran oleh air tawar sedangkan salinitas yang paling
tinggi berada di stasiun 1 dengan salinitas 25 ppt karena letaknya berada di muara
Sungai Terang sehingga adanya pengaruh air laut yang cukup tinggi.
d) Substrat
Substrat merupakan salah satu penyebab utama kehadiran kepiting bakau,
karena menjamin kelangsungan proses biologi reproduksi dan ketersediaan
makanan alami. Pertumbuhan, kelimpahan dan distribusi kepiting bakau sangat
berpengaruh pada substrat yang ada di habitat kepiting bakau. Berdasarkan hasil
pengamatan tekstur substrat di setiap stasiun pengambilan sampel di ekosistem
mangrove sungai Terang didominasi oleh substrat lumpur berpasir.
e) Pasang Surut
Pasang surut berpengaruh terhadap kualitas suatu perairan yang
memungkinkan kepiting bakau berasosiasi. Berdasarkan hasil pengukuran
pasang surut di di stasiun pengambilan seperti disajikan pada Tabel 8.
Tabel 4 Pasang surut di stasiun pengambilan sampel
Surut (cm) Pasang (cm)
Stasiun
Pagi Sore Pagi Sore
1 0.28 0.45 1.53 1.59
2 0.20 0.22 1.40 1.45
21

3 0.17 0.19 1.38 1.40


4 0.07 0.10 1.28 1.36
5 -0.05 -0.17 1.12 1.16

Berdasarkan pengukuran pasang surut di Desa Golo Sepang, pasang air


laut tertinggi berada di stasiun 1 dengan kondisi pasang pada pagi hari 1,53 dan
sore hari 1,59, sedangkan surut air laut terendah berada di stasiun 5 dengan
kondisi surut pagi hari 1,12 dan sore hari 1,16.

3.1.5 Aspek Perikanan Kepiting Bakau


a) Kapal Penangkapan
Kapal penangkapan merupakan armada yang digunakan oleh nelayan
untuk melakukan penangkapan. Kapal yang digunakan oleh Nelayan kepiting
bakau yaitu perahu dengan ukuran panjang 3 sampai 4 meter, perahu yang
digunakan adalah perahu tanpa motor yang bisa muat satu sampai dua oarang
saja.

Gambar 11 Perahu penangkapan kepiting bakau

b) Alat tangkap
Alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan kepiting bakau adalah Bubu
lipat. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian alat yang digunakan oleh
Nelayan untuk menangkap kepiting bakau adalah bubu lipat. Bubu merupakan alat
tangkap ramah lingkungan. Bubu dipasang pada pagi hari saat kondisi air sedang
surut untuk waktunya tidak bisa ditentukan karena pasang surut setiap harinya
berbeda-beda waktunya. Selang waktu setelah pemasangan bubu sampai
pengecekan berkisar antara 3-4 jam (tergantung cepat naiknya air). Pengecekan
22

bubu yang telah dipasang saat kondisi air sedang pasang (siang hari) yang telah
melewati perangkap bubu. Setelah itu jika terdapat kepiting dan diambil hasilnya
dan bubunya diletakan kembali di tempatnya kemudian diangkat pada sore
harinya.

Gambar 12 Alat tangkap kepiting bakau (Bubu)

c) Daerah Penangkapan
Daerah penangkapan merupakan tempat atau lokasi yang sudah menjadi
tempat penangkapan Nelayan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian
daerah penangkapan Nelayan kepiting bakau terdapat di muara sungai yang
terdapat mangrove.
23

Gambar 13 Daerah penangkapan kepiting bakau

d) Tingkat Pendidikan Nelayan Kepiting Bakau


Pendidkan merupakan salah satu aspek yang menjadi pedoman bagi
seseorang dalam melakukan suatu usaha. Berikut disajikan tingkat pendidkan
Nelayan seperti pada Gambar 13.

24%
40%

36%

SD SMP SMA

Gambar 14 Tingkat pendidkan nelayan kepiting bakau

Berdasarkan hasil wawancara tingkat pendidikan Nelayan kepiting bakau


Desa Golo Sepang bahwa hasil tingkat pendidikan tertinggi pada tingkat Sekolah
Dasar (SD) berjumlah 20 orang dengan persentase 40%, tingkatan pendidikan
Sekolah Menengah Pertama berjumlah 18 orang dengan persentase 36%, dan
tingkatan pendidikan Sekolah Menengah Atas berjumlah 12 orang dengan
persentase 24%.
e) Tingkat umur Nelayan Kepiting Bakau
24

Umur merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi tingkat


pendapatan seseorang. Berdasakan hasil pengisian kuisioner dengan Nelayan
Desa Golo Sepang dapat diketahui tingkat usia Nelayan kepiting bakau seperti di
saikan pada Gambar 15.

10% 20%
23%

20%

27%

24-28 29-33 34-38 39-43 44-48

Gambar 15 Tingkat umur Nelayan kepiting bakau

Berdasarkan penyajian gambar diatas dapat diketahui hasil wawancara


dengan 50 responden diketahui jumlah responden paling banyak berada di tingkat
umur 34 sampai 38 tahun dengan jumlah 14 responden , diikuti dengan tingkat
umur 29 sampai 33 dengan jumlah 11 responden, tingkat umur 39 sampai 43 tahun
berjumlah 11 responden, tingkat umur 24 sampai 28 tahun berjumlah 10 reponden
dan tingkat umur 44 sampai 48 tahun berjumlah 4 orang. Persentase masing –
masing 28%, 22%, 22%, 20% dan 8%.
f) Pekerjaan sampingan Nelayan Kepiting Bakau
Pekerjaan sampingan merupakan salah satu alternatif yang digunakan
oleh Nelayan kepiting bakau disela kegiatannya atau ketika pekerjaan pokoknya
mengalami penurunan penghasilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan 50
reponden kepiting bakau dapat disajikan pekerjaan sampingan Nelayan kepiting
bakau pada Gambar 14.

42% 36%

22%

Jual ikan jual sembako Nelayan ikan

Gambar 16 Pekerjaan sampingan Nelayan kepiting bakau


25

Berdasarkan penyajian (Gambar 16) dapat diketahui hasil wawancara


dengan 50 responden Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang. Pekerjaan
sampingan Nelayan kepiting bakau paling banyak yaitu sebagai nelayan ikan
berjumlah 22 orang dengan persentase 42%, hal ini disebabkan karena lebih
mudah dilakukan oleh Nelayan kepiting bakau setelah melepaskan bubu mereka
sekalian melaut, sebagai penjual ikan berjumlah 18 orang dengan persentase 36%
dan penjual sembako berjumlah 11 orang dengan persentase 22%.
g) Pendapatan Nelayan Kepiting Bakau sebelum Pandemi Covid-19
Pendapatan merupakan suatu penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan
seseorang. Berdasarkan hasil wawancara dengan 50 responden Nelayan kepiting
bakau dapat disajikan tingkat pendapatan Nelayan sebelum pandemi Covid-19
seperti pada Gambar 17.

12%
28%

32%

28%

2,5 juta 2,5 - 3 Juta 3-3,5 juta 3,5-4 juta

Gambar 17 Pendapatan Nelayan kepiting bakau sebelum pandemi Covid-


19
Berdasarkan gambar penyajian tingkat pendapatan perbulan Nelayan
kepiting bakau Desa Golo Sepang sebelum pandemi Covid-19 diatas jumlah
Nelayan yang diwawancarai sebanyak 50 responden Nelayan kepiting bakau.
Tingkat pendapatan yang paling banyak yaitu dengan jumlah pendapatan 3
sampai 3,5 juta dengan jumlah 16 orang, pendapatan 2,5 juta dengan jumlah 14
orang, pendapatan 2,5 sampai 3 juta dengan jumlah 14 orang, pendapatan 4 juta
dengan jumlah 6 orang dengan persentase masing-masing pendapatan 3 sampai
3,5 juta yaitu 32%, 2,5 juta yaitu 28%, 2,5 sampai 3 juta yaitu 28% dan 3,5 sampai
4 juta 12%.
h) Pendapatan Nelayan Kepiting Bakau ketika Pandemi Covid-19
Pendapatan merupakan suatu penghasilan yang diperoleh dari seseorang
setelah memasarkan atau menjual hasil tangkapannya. Berdasarkan Hasil
wawancara dengan 50 responden Nelayan kepiting bakau dapat diketahui tingkat
pendapatan Nelayan kepiting bakau ketika pandemi Covid-19 seperti disajikan
Gambar 18.
26

12%
28%

32%

28%

1,5 juta 1,5 - 2 Juta 2-2,5 juta 2,5-3 juta

Gambar 18 Pendapatan Nelayan kepiting bakau ketika pandemi Covid-19.

Berdasarkan gambar penyajian pendapatan Nelayan kepiting bakau Desa


Golo Sepang setelah pandemi Covid-19 dengan jumlah 50 responden Nelayan
kepiting bakau. Tingkat pendapatan dengan jumlah responden yang paling banyak
yaitu dengan pendapatan 2 sampai 2,5 juta dengan jumlah 16 orang, pendapatan
1,5 sampai 2 juta dngan jumlah 14 orang, pendapatan 1,5 juta dengan jumlah 14
orang dan pendapatan 2,5 sampai 3 juta dengan jumlah 6 orang dengan
persentase masing masing dengan pendapatan 2,5 sampai 32%, pendapatan 1,5
juta 28%, pedapatan 1,5 sampai 2 juta 28% dan pendapatan 2,5 sampai 3 juta
12%.

3.2 Pembahasan
3.2.1 Distribusi Kepiting Bakau
Distribusi kepiting bakau disetiap stasiun pengambilan sangat dipengaruhi
oleh kondisi parameter lingkungan yang terdiri dari pH, suhu, salinitas, substrat
dan pasang surut. Menurut La Sara (2000) dalam Nurul (2016), distribusi dan
kelimpahan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
seperti parameter fisika dan kimia air dan makanan alami. Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan tiga spesies kepiting bakau yang terdiri dari S. serrata 425
ekor, S. paramamosain 271 ekor dan S. olivicea 154 ekor yang tersebar di 5
stasiun pengambilan sampel. Berdasarkan penyajian (Gambar 2) jumlah kepiting
bakau terbanyak berada di stasiun 1 dengan total 244 ekor yang didominasi oleh
jenis S. serrata, sedangkan yang terendah berada di stasiun 5 dengan jumlah
sampel 106 ekor yang didominasi oleh jenis S. serrata. S. serrata merupakan jenis
kepiting bakau yang paling dominan disetiap stasiun pengambilan sampel, hal ini
disebabkan karena S. serrata cocok berasosiasi dengan parameter lingkungan
yang ada di lokasi penelitian.
Stasiun 1 berada di muara sungai dengan kondisi mangrove yang masih
cukup tebal dan kondisi salinitas air 25 ppt Nilai salinitas optimal yang dapat
27

meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau berkisar antara 15-25 ppt. Menurut


Safrina (2013) dalam Febriani (2015), salinitas optimal untuk S. serrata adalah 25
ppt. Perbedaan persebaran kepiting bakau disebabkan karena kondisi parameter
lingkungan yang terdiri dari substrat, mangrove dan kualitas air. Salinitas perairan
dari stasiun 1 sampai stasiun 5 berkisar antara 15 sampai 25 ppt. Menurut
Setiawan dan Triyatno (2012), menyatakan bahwa tingkat salinitas perairan
berpengaruh pada biomassa kepiting bakau, pertumbuhan biomassa tertinggi
dihasilkan pada salinitas 25 ppt dan terendah pada salinitas 15 ppt.
Suhu perairan di lokasi pengambilan sampel berkisar antara 29,4ºC
sampai 31ºC dengan suhu tertinggi di stasiun 1 dan terendah di stasiun 5 (Tabel
3). Stasiun 1 berada di muara sungai dengan kondisi mangrove yang masih cukup
tebal dengan substrat lumpur berpasir. Suhu di perairan di lokasi pegambilan
sampel masih dikatakan baik untuk pertumbuhan kepiting bakau. Perbedaan suhu
air disebabkan karena stasiun 1 berada di lokasi yang berdekatan dengan air laut
sehingga memiliki cahaya langsung dari matahari sedangkan stasiun 5 cukup jauh
dari pengaruh air laut dan dilindungi dari mangrove yang masih dikatakan baik
untuk memungkinkan pertumbuhan kepiting bakau. Berdasarkan keputusan
menteri lingkungan hidup no. 51 tahun 2004 pada lampiran baku mutu air dimana
suhu dalam kondisi alami, pada baku mutu air suhu dalam kondisi alami yaitu
berkisar antara 23 ºc sampai 32 ºc dan nilai suhu tersebut menunjukan bahwa
perairan tersebut masih layak untuk mendukung pertumbuhan kepiting bakau
(Amanda Hanjani, 2019).
pH perairan dari stasiun 1 sampai stasiun 5 berkisar antara 6,8 sampai 7,
dengan pH terendah berada di stasiun 1 hal ini disebabkan karena berdekatan
dengan air laut. Menurut Chandrasekhar et al. (2003) dalam Febriani (2015), pH
dalam kisaran 4,5 sampai 8,5 keseimbangan ekosistemnya masih dapat di
pertahankan. Pasang air laut di lokasi pengambilan sampel pada pagi hari berkisar
antara 1,12 cm-1,53 cm sedangkan pada sore hari berkisar antara 1,16 cm-1,59
cm (Tabel 4). Stasiun 1 berada di dataran yang cukup rendah sehingga
memungkinkan genangan pasang air laut cukup baik yang dapat mempengaruhi
kepiting bakau berasosiasi, sedangkan stasiun stasiun 5 berada di dataran yang
cukup tinggi sehingga genangan pasang air laut tidak terlalu tinggi yang dapat
mempengaruhi kualitas perairan. Kondisi substrat di lokasi penelitian lumpur
berpasir. Kepiting bakau umumnya didominasi dengan lumpur/lempung liat
berpasir dan dalam ekosistem mangrove yang sangat dipengaruhi oleh pasang
surut (Ariola, 1940 dalam Amanda Hanjani, 2019).

3.2.2 Biologi Pertumbuhan dan Reproduksi


a) Sebaran Frekuensi Lebar
Sampel kepiting bakau (Scylla spp.) yang diamati dalam penelitian ini
secara keseluruhan berjumlah 850 sampel pada lima stasiun pengambilan sampel.
Sampel kepiting bakau yang ditangkap di stasiun 1 yaitu 244 sampel, satasiun 2
yaitu 200 sampel, stasiun 3 yaitu 150 sampel, stasiun 4 yaitu 150 dan stasiun 5
yaitu 106 sampel. Distribusi kepiting bakau dilihat dari perbandingan jumlah jenis
kepiting bakau (Scylla spp.), jumlah komposisi jenis kelamin kepiting bakau (Scylla
spp.) dan perbandingan jumlah jenis kepiting yang tertangkap disetiap stasiun,
28

dengan menggunakan pendekatan deskriptif komparatif pada diagram batang dan


dianalisa secara deskriptif (Yahya, 2016).
Berdasarkan hasil analisis sampel Kepiting bakau jenis S. serrata, S.
paramamosain dan S. olivicea yang diamati dalam penelitian ini secara
keseluruhan masing-masing berjumlah 425, 271 dan 154 sampel. Berdasarkan
kisaran lebar karapas kepiting bakau S. serrata yang diperoleh selama praktik
berada pada kisaran kelas 8 – 17, 8 cm. Jumlah kepiting bakau terbesar berada
pada selang kelas 11,3 -12,3 dengan rata-rata lebar karapas 13 cm, nilai tengah
(median) adalah 12,9 dan nilai yang paling banyak atau nilai yang sering muncul
sebesar 12 cm. Persebaran lebar karapas kepiting bakau S. serrata jantan paling
banyak pada ukuran 11,2-12,3 cm, sedangkan persebaran lebar karapas kepiting
bakau S. serrata betina paling banyak pada ukuran 11,2 cm-12,2 cm. Semakin
menurunnya ukuran lebar karapas pada selang kelas yang lebih rendah dan lebih
tinggi menunjukan pengaruh dari jarak sekat bubu pada alat tangkap yang
digunakan oleh nelayan (Zaid et al., 2011 dalam Dewantara Wahyu, 2017).
Berdasarkan hasil analisis sampel Kepiting bakau jenis S. paramamosain
yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan berjumlah 271 sampel.
Berdasarkan kisaran lebar karapas kepiting bakau S. paramamosan yang
diperoleh selama praktik berada pada kisaran kelas 9 – 16,6 cm. Jumlah kepiting
bakau terbesar berada pada selang kelas 11,2 -12, 2 dengan rata-rata lebar
karapas 12 cm, nilai tengah (median) adalah 12,8 dan nilai yang paling banyak
atau nilai yang sering muncul sebesar 12 cm. Persebaran lebar karapas kepiting
bakau S. paramamosain jantan paling banyak pada ukuran 10,1-11,1 cm,
sedangkan persebaran lebar karapas kepiting bakau betina paling banyak pada
ukuran 11,2-12,2 cm. Perbedaan persebaran ukuran lebar karapas disetaip
stasiun uga disebabkan karena perbedaan kondisi parameter lingkungan. Menurut
Peterson dan Mann (2011) dalam Dewantara Wahyu, (2017), setiap spesies
kepiting bakau di lokasi yang berbeda memiliki karakteristik biologi yang berbeda
pula.
Berdasarkan hasil analisis sampel kepiting bakau jenis S. olivacea yang
diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan berjumlah 154 sampel.
Berdasarkan kisaran lebar karapas kepiting bakau S. olivicea yang diperoleh
selama praktik berada pada kisaran kelas 9 – 16, 6 cm. Jumlah kepiting bakau
terbesar berada pada selang kelas 11,2 -12,2 dengan rata-rata lebar karapas 12
cm, nilai tengah (median) adalah 11,7 dan nilai yang paling banyak atau nilai yang
sering muncul sebesar 12 cm. Persebaran lebar karapas kepiting bakau S. olivicea
jantan paling banyak pada ukuran 11,2-12,2 cm, sedangkan persebaran lebar
karapas betina paling banyak pada ukuran 11,2-12,2 cm. Pada saat melakukan
pergantian karapas, kepiting bakau tidak melakukan aktivitas makan dan mencari
makan. Kenaikan dan penurunan frekuensi lebar karapas di setiap selang kelas
diduga oleh proses moulting (Zaid et al., 2011 dalam Dewantara Wahyu, 2017).
b) Hubungan Lebar Bobot
Hubungan lebar karapas dan bobot memiliki nilai praktis, sehingga sangat
memungkinkan dapat mengonversi ukuran lebar karapas menadi bobot kepiting
bakau dan sebaliknya. Hubungan lebar karapas dan bobot menggambarkan sifat
pertumbuhan kepiting bakau (Ernawati et al., 2015). Informasi biologi perikanan
29

diperlukan untuk mengetahui status suatu komoditas perikanan di alam. Analisa


mengenai hubungan lebar-berat dapat digunakan untuk mempelajari pola
pertumbuhan. Lebar karapas pada kepiting bakau dimanfaatkan untuk
menjelaskan pertumbuhannya, sedangkan bobot dapat dianggap sebagai suatu
fungsi dari lebar tersebut. Untuk mengetahui komposisi ukuran kepiting bakau bisa
melakukan analisis dengan pengukuran panjang/lebar karapaks dan bobot tubuh
serta pola pertumbuhannya (Mawaluddin et al., 2016). (Budiaryani, 2007) dalam
Pradana et al., 2019) . Perbedaan pada hubungan lebar karapas-bobot tubuh
sering terjadi bergantung pada banyaknya faktor lingkungan yang mempengaruhi
seperti suhu, salinitas, makanan (kuantitas dan kualitas), jenis kelamin dan tahap
kematangan gonad. Berikut hasil analisis hubungan lebar berat kepiting bakau
berdasarkan spesies.
1) S. serrata
Berdasarkan hasil analisis data menunjukan bahwa hubungan lebar
karapas dan berat total S. serrata bersifat alometrik positif artinya pertambahan
lebar tidak seimbang dengan pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar
lebih cepat dibandibgkan dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang
didapat adalah sebesar 3,14 dengan nilai slope jantan sebesar 3,17 dan nilai slope
betina sebesar 2,98. Nilai slope jantan lebih besar dari nilai slope (b) betina karena
kepiting bakau betina lebih banyak mengeluarkan makanannya untuk pergantian
karapas (moulting). Nilai slope (b) jantan lebih besar dari betina hal ini disebabkan
karena individu jantan lebih berat dari betina pada ukuran lebar karapas yang
sama (Thirunavukkarasu dan Shanmugam (2011) dalam Wijaya, (2017).
Berdasarkan hasil analisis data dan bentuk grafik (Gambar 6), bahwa total
sampel S. serrata adalah 425 ekor dan memiliki kisaran lebar 8-17, 8 cm dan
kisaran berat 29-380 gram Selanjutnya dilakukan uji thitung = -1,64 dan ttabel = 1.97
pada S. serrata. Hasil uji menunjukan bahwa thitung < ttabel maka H0 diterima atau b
≠ 3 diketahui bahwa hubungan lebar berat S. serrata bersifat alometrik positif yaitu
pertumbuhan lebar lebih lambat dari pada pertambahan beratnya. Untuk hasil
analisis regresi dan grafik memiliki persamaan W=0, 06072L3,1241 dengan koefisien
determinasi adalah R2= 0,8144. Jumlah sampel S. serrata jantan 239 ekor dengan
kisaran lebar karapas 8 cm -17 cm dan bobot bekisar antara 29-380 gram,
sedangkan jumlah sampel betina 132 ekor dengan kisaran lebar karapas 9 cm-
15,5 cm dan kisaran bobot 36 – 297 gram.
Jadi jumlah sampel S. serrata jantan lebih dominan dari betina. Angka
slope (b) S. serrata jantan 3,17 sedang betina 2,98, hal ini menunjukan bahwa
pertumbuhan S. serrata jantan bersifat alometrik positif atau pertambahan bobot
lebih cepat dari pertambahan lebar, sedangkan pertumbuhan S. serrata betina
bersifat alometrik negatif atau pertambahan lebar lebih cepat dari pertambahan
bobot. Perbedaan pola pertumuhan kepiting bakau jantan dan betina disebabkan
karena cara makan yang berbeda. Menurut La Sara et al. (2002) dalam Dewantara
Wahyu, (2017), menyatakan bahwa perbedaan nilai slope disebabkan karena
nisbah bobot tubuh terhadap lebar karapas kepiting bakau jantan di fase sub-
dewasa dan dewasa lebih besar dibandingkan dengan betina akibat ukuran capit
kepiting bakau jantan ang lebih besar.
30

Pertumbuhan kepiting bakau yang baik karena didukung oleh parameter


lingkungan yang terdiri dari mangrove dan substrat lumpur berpasir yang sangat
baik untuk kehidupan kepiting bakau. Suhu air yang berkisar antara 29,4 ºC -31ºC,
pH atau keasaman air yang masih dikatakan baik dengan kisaran 6,8-7, salinitas
yang air yang cukup baik dengan kisaran antara 15-25 ppt layak untuk
pertumbuhan kepiting bakau. Pasang surut air disni sangat berpengaruh juga
terhadap tingkat kualitas air yang dapat mendukung pertumbuhan kepiting bakau,
pasang air laut pada pagi hari berkisar antara 1,12 cm -1,53 cm, sedangkan pada
sore hari antara 1,16 cm – 1,59 cm. Surut air laut pada pagi hari berkisar antara -
0,5 cm – 0, 28 cm, sedangkan pada sore hari antara -0,17 cm – 0,45. Pertumbuhan
kepiting bakau disuatu stasiun bepengaruh pada pasang dan surut air, karena
kepiting mengikuti gerakan pasang dan surutnya air laut.
2) S. paramamosain
Berdasarkan hasil analisis data menunjukan bahwa hubungan lebar
karapas dan berat total S. paramamosain bersifat alometrik positif artinya
pertambahan lebar tidak seimbang dengan pertambahan berat karapas atau
pertambahan lebar lebih cepat dibandibgkan dengan pertambahan berat. Angka
slope (b) total yang didapat adalah sebesar 3,81 dengan nilai slope jantan sebesar
3,79 dan nilai slope betina sebesar 3,86. Berdasarkan analisis data (Gambar 7),
bahwa total sampel S. paramamosain adalah 271 ekor dan memiliki kisaran lebar
8-15,6 cm dan kisaran berat 24-295 gram Selanjutnya dilakukan uji thitung = -6,15
dan ttabel = 1,97 pada S. paramamosain. Hasil uji menunjukan bahwa thitung < ttabel
maka H0 diterima atau b ≠ 3 diketahui bahwa hubungan lebar bobot S.
paramamosain bersifat alometrik positif yaitu pertumbuhan lebar lebih lambat dari
pada pertambahan beratnya. Untuk hasil analisis regresi dan grafik memiliki
persamaan W=0,41237L3,8273 dengan koefisien determinasi adalah R2= 0,8301.
Jumlah sampel S. paramamosan jantan 165 dengan kisaran lebar karapas 9 cm –
14,5 cm dan bobot 38 -295 gram, sedangkapan betina memiliki kisaran lebar
karapas antara 9 cm – 14,5 cm dan bobot antara 24-288 gram. Jadi jumlah sampel
S. paramamosan jantan lebih dominan dari betina.
Angka slope (b) S. paramamosan jantan 3,97 sedangkan betina 3,86, hal
ini menunjukan bahwa pertumbuhan kepiting bakau S. paramamosain bersifat
alometrik positif atau petambahan bobot lebih cepat dari pertambahan lebar.
Angka slope kepiting bakau jantan lebih besar dari betina menunjukan bahwa pola
pertumbuhan jantan lebih tinggi dari betina. Menurut Onyango (2002) dalam
Wijaya (2017), pada ukuran yang sama, kepiting bakau jantan memiliki bobot yang
besar dibandingkan kepiting bakau betina karena kepiting bakau jantan memiliki
ukuran capit yang lebih besar. Pertumbuhan kepiting bakau yang baik karena
didukung oleh parameter lingkungan yang terdiri dari mangrove dan substrat
lumpur berpasir yang sangat baik untuk kehidupan kepiting bakau. Suhu air yang
berkisar antara 29,4 ºC -31ºC, pH atau keasaman air yang masih dikatakan baik
dengan kisaran 6,8-7, salinitas yang air yang cukup baik dengan kisaran antara
15-25 ppt layak untuk pertumbuhan kepiting bakau. Pasang surut air disni sangat
berpengaruh juga terhadap tingkat kualitas air yang dapat mendukung
pertumbuhan kepiting bakau, pasang air laut pada pagi hari berkisar antara 1,12
cm -1,53 cm, sedangkan pada sore hari antara 1,16 cm – 1,59 cm. Surut air laut
31

pada pagi hari berkisar antara -0,5 cm – 0, 28 cm, sedangkan pada sore hari antara
-0,17 cm – 0,45. Pertumbuhan kepiting bakau disuatu stasiun bepengaruh pada
pasang dan surut air, karena kepiting mengikuti gerakan pasang dan surutnya air
laut.
3) S. olivicea
Berdasarkan hasil analisis data menunjukan bahwa hubungan lebar
karapas dan berat total S. olivicea bersifat alometrik positif artinya pertambahan
lebar tidak seimbang dengan pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar
lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang
didapat adalah sebesar 3,62 dengan nilai slope jantan sebesar 3,37 dan nilai slope
betina sebesar 3,77. Berdasarkan analisis data (Gambar 8), bahwa total sampel
S. olivicea adalah 154 ekor dan memiliki kisaran lebar 9-16,6 cm dan kisaran berat
38-278 gram Selanjutnya dilakukan uji thitung = -3,74 dan ttabel = 1,74 pada S.
olivicea. Hasil uji menunjukan bahwa thitung < ttabel maka H0 diterima atau b ≠ 3
diketahui bahwa hubungan lebar berat S. serrata bersifat alometrik positif yaitu
pertumbuhan lebar lebih lambat dari pada pertambahan beratnya. Untuk hasil
analisis regresi dan grafik memiliki persamaan W=0,01699L3,1241
W=0,0699L3,1241 dengan koefisien determinasi adalah R2 = 0,7315. Jumlah
sampel jantan 99 ekor dan memiliki kisaran lebar 10-15 cm dan kisaran bobot 38-
312 gram, sedangkan jumlah sampel betina 55 ekor dan memiliki kisaran lebar 9-
14,4 cm dan memiliki kisaran bobot 46-240 gram.
Jadi kisaran lebar dan bobot kepiting bakau S. olivicea jantan memiliki
kisaran lebih tinggi. Angka slope (b) jantan 3,73 sedangkan betina 3,77, hal ini
menunjukan bahwa pertumbuhan S. olivicea bersifat alometrik posistif atau
pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan lebar. Pertumbuhan kepiting
bakau yang baik karena didukung oleh parameter lingkungan yang terdiri dari
mangrove dan substrat lumpur berpasir yang sangat baik untuk kehidupan kepiting
bakau. Suhu air yang berkisar antara 29,4 ºC -31ºC, pH atau keasaman air yang
masih dikatakan baik dengan kisaran 6,8-7, salinitas yang air yang cukup baik
dengan kisaran antara 15-25 ppt layak untuk pertumbuhan kepiting bakau. Pasang
surut air disni sangat berpengaruh juga terhadap tingkat kualitas air yang dapat
mendukung pertumbuhan kepiting bakau, pasang air laut pada pagi hari berkisar
antara 1,12 cm -1,53 cm, sedangkan pada sore hari antara 1,16 cm – 1,59 cm.
Surut air laut pada pagi hari berkisar antara -0,5 cm – 0, 28 cm, sedangkan pada
sore hari antara -0,17 cm – 0,45. Pertumbuhan kepiting bakau disuatu stasiun
bepengaruh pada pasang dan surut air, karena kepiting mengikuti gerakan pasang
dan surutnya air laut. Bagenal dan Tesch (1978) dalam Dewantara Wahyu (2017),
menyatakan bahwa faktor kondisi akuatik berdasarkan perbedaan jenis kelamin,
musim dan lokasi habitat.
c) Nisbah Kelamin (Sex ratio)
Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah rajungan jantan
dan betina dalam suatu populasi dan penting diketahui karena berpengaruh
terhadap kestabilan populasi rajungan pada suatu perairan . Sex ratio atau nisbah
kelamin yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi
(Firdaus et al., 2020). Untuk menentukan atau membedakan antara kepiting bakau
jantan dan betina yaitu cukup melihat abdomenya. Kepiting bakau jantan
32

abdomennya berbentuk segitaga sedangkan kepiting betina abdomennya


membulat. Iromo & Zein, (2019) menyatakan bahwa, dalam masa reproduksi
kepiting bakau melakukan ruaya dari perairan pantai ke laut, setelah spawning,
induk kepiting bermigrasi kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau hutan
bakau.
Total sampel yang diamati selama praktik sebanyak 850 sampel yang
tersebar di 5 stasiun. Sampel kepiting bakau yang diukur di stasiun 1 berjumlah
244 sampel yang terdiri dari sampel jantan 160 ekor dan betina 84 ekor, stasiun 2
berjumlah 200 sampel yang terdiri dari sampel jantan 120 ekor dan sampel betina
80 ekor, stasiun 3 berjumlah 150 sampel yang terdiri dari sampel jantan 98 ekor
dan betina 52 ekor, stasiun 4 berjumlah 150 sampel yang terdiri dari sampel jantan
111 ekor dan betina 39 ekor, stasiun 5 berjumlah 106 sampel yang terdiri dari
sampel jantan 68 ekor dan betina 38 ekor. Pengamatan nisbah kelamin dilakukan
untuk mengetahui ideal atau tidaknya populasi kepitig bakau. Perbedaan jumlah
jenis kelamin yang diperoleh dari setiap stasiun pengambilan sampel menunjukan
bahwa kepiting bakau jantan lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan
kepiting bakau betina (Gambar 9). Hal ini disebabkan sifat migrasi kepiting bakau
terkait pemijahan disuatu lokasi perairan. Kepitingan bakau jantan lebih dominan
karena adanya pola migrasi pada kepiting bakau betina. Kepiting bakau
melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur
sesuai dengan perkembangan telurnya kepiting bakau brtina dan beruaya ke laut
dan memijah, sedangkan kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara
sungai (Hill, 1975 dalam Nurul, 2016).
Berdasarkan penyajian (Gambar 9) bahwa dari 850 sampel kepiting bakau
didapatkan 557 sampel kepiting bakau jantan dan 293 kepiting bakau betina
dengan presentase 34% dan 66%. Dari persentase tersebut diketahui bahwa
kepiting bakau (Scylla spp.) jantan lebih banyak dari kepiting bakau betina dengan
sex ratio antara kepiting bakau jantan dan betina yang terdiri dari jenis S. serrata,
S. paramamosain dan S. Olivicea. Jumlah sampel kepiting jantan jenis S. serrata
293 ekor dan betina 132 ekor (Gambar 10) dengan persentase kepiting bakau
jantan 69% dan betina 31%. Jumlah sampel kepiting bakau jantan dari jenis S.
paramamosain 165 ekor sedangkan betina 106 ekor dengan persentase kepiting
bakau jantan 61% dan betina 39%. Jumlah sampel kepiting bakau jantan jenis S.
olivicea 99 ekor dan betina 55 ekor dengan persentase kepiting bakau jantan 63%
dan betina 37%. Dominasi jantan juga diduga terjadi karena adanya persaingan
makanan dan sifat yang agresif dari kepiting bakau jantan. Hal ini terjadi tingkat
tumbuh yang berbeda dan catchability antara jantan dan betina (Moser et al. 2002
dalam Nurul, 2016).
3.2.3 Aspek Perikanan Kepiting Bakau
a) Kapal Penangkapan
Armada Perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan
kegiiatan penangkapan di suatu daerah perairan (fishing ground) (Ditjen Perikanan
Tangkap, 2002). Menurut Undang-undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009,
Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang digunakan
untuk kegiatan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan
33

dan penelitian/ eksplorasi perikanan . Kapal yang digunakan oleh Nelayan kepiting
bakau yaitu perahu, ada yang menggunakan perahu motor dan tanpa motor yang
bisa muat satu sampai dua oarang saja.
b) Alat Tangkap
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 17/PERMEN-
KP/2021, mengatur tentang ukuran tangkap kepiting bakau (Scylla spp.)
diperbolehkan hanya pada ukuran lebar karapas di atas 12 cm dan kepiting bakau
tidak sedang bertelur (Tarigan, 2020). Penangkapan rajungan dibawah ukuran 12
cm sangat disayangkan karena kepitig bakau pada ukuran tersebut merupakan
kepiting bakau yang belum matang gonad (Pradana et al., 2019). Bubu merupakan
alat yang masih tradisional yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap
kepiting bakau. Alat ini terbuat dari bermacam-macam mulai dari berbahan dasar
rotan, kawat, besi, dan jarring. Jenis bubu yang umum digunakan adalah bubu lipat
(collapsible trap) (Majidah, 2018). Alat ini memiliki ukuran 35x25x20 cm. Nelayan
biasanya melakukan pemasangan bubu pada pagi hari saat air surut dan
mengambil atau mengecek bubunya setelah kondisi air pasang. Bubu lipat menjadi
alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan karena mudah dioperasikan,
bisa dilipat sehingga mudah untuk dibawa di perahu dengan jumlah yang banyak
dan harga relatif murah dibanding jenis alat tangkap lainnya (Tarigan, 2020).
Mengingat ketika suatu kawasan pesisir terjadi eksploitasi sumberdaya, tetap
memperhatikan sustainable fisheries (keberlanjutan) dan ramah lingkungan
(Boesono, 2018).
c) Daerah Penangkapan
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian daerah penangkapan
(fishing ground) merupakan daerah yang telah ditentukan oleh nelayan yang
biasanya menjadi tempat penangkapan atau pengoperasian alat tangkap.
Berbagai aktivitas perikanan tangkap merupakan salah satu usaha dari sektor
perikanan dan kelautan, serta merupakan salah sektor yang diandalkan untuk
mengangkat perekonomian dan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir
(Radarwati et al., 2017). Upaya penentuan daerah penangkapan yang dilakukan
oleh nelayan pada umumnya masih bersifat tradisional (Demena et al., 2017).
Masyarakat nelayan kepiting bakau sanggat tergantung pada pasang dan surut air
laut, ketika kondisi pasang airnya tinggi dapat meningkatan hasil tangkapan
kepiting bakau dan sebaliknya jika kondisi pasang air laut rendah maka hasil
tangkapan pun berkurang karena kepiting bakau mengikuti naiknya air laut. Ikan
yang digunakan sebagai umpan penarik kepiting bakau juga berpengaruh pada
hasil tangkapan karena kepiting jika umpan yang digunakan masih segar akan
lebih banyak dan lebih cepat masuk dalam perangkap bubu. Banyaknya jumlah
hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan habitat yang
masih terjaga di suatu perairan. Ketersediaan makanan merupakan salah satu
faktor yang menentukan kelimpahan populasi serta kondisi ikan di suatu
perairan (Oktaviani et al., 2019).
d) Tingkat Pendidikan Nelayan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola pikir
dan tindakan seseorang. Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek yang
menentukan cara berpikir serta keterampilan sesorang dalam bekerja. Pendidikan
34

yang rendah membuat masyarakat nelayan cenderung bergantung hanya pada


hasil laut saja (Ariska dan Prayitno, 2019). Tingkat pendidikan anak Nelayan
sangat rendah dipengaruhi oleh pola pikir orang tuanya yang masih sangat minim
sekali sehingga mereka tidak pernah berpikir untuk menyekolahka anak mereka
kejenang yang lebih tinggi, karena mereka hanya berpikir intinya ankanya bisa
menghasilkan uang dengan cara bekerja sebagai nelayan.
Berdasarkan hasil wawancara tingkat pendidikan Nelayan kepiting bakau
Desa Golo Sepang bahwa hasil tingkat pendidikan tertinggi pada tingkat Sekolah
Dasar (SD) berjumlah 20 orang dengan persentase 40%, hal ini disebabkan
karena faktor ekonomi dan prinsip hidup Nelayan yang lebih memikirkan intinya
anaknya bisa bekerja sebagai Nelayan dan dapat mengahasilkan uang, tingkatan
pendidikan Sekolah Menengah Pertama berjumlah 18 orang dengan persentase
36%, dan tingkatan pendidikan Sekolah Menengah Atas berjumlah 12 orang
dengan persentase 24%. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat relatif
berada dalam tingkat kesejahteran rendah, maka dalam angka panjang tekanan
terhadap sumberdaya pesisir semakin besar guna memenuhi kebutuhan
masyarakat pesisir (Muhammad et al., 2012).
f) Tingkat Umur Nelayan kepiting bakau
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
pendapatan seseorang. Usia merupakan faktor penunjang dalam mencapai
keberhasilan dalam kegiatan usaha, umur yang masih produktif akan lebih cepat
dalam pengambilan keputusan terhadap inovasi baru (Suroyya et al., 2020). Umur
nelayan sangat berpengaruh dalam aktivitas nelayan. Nelayan yang berumur
masih mudah akan lebih tahan bekerja dibandingkan dengan nelayan yang sudah
tua, karena daya tahan tubuhnya yang sudah menurun (Tomasila et al., 2020).
Berdasarkan penyajian (Gambar 15) dapat diketahui hasil wawancara
dengan 50 responden diketahui jumlah responden paling banyak berada di tingkat
umur 34 sampai 38 tahun dengan jumlah 14 responden ,diikuti dengan tingkat
umur 29 sampai 33 dengan jumlah 11 responden, tingkat umur 39 sampai 43 tahun
berjumlah 11 responden, tingkat umur 24 sampai 28 tahun berjumlah 10 reponden
dan tingkat umur 44 sampai 48 tahun berjumlah 4 orang. Persentase masing –
masing 28%, 22%, 22%, 20% dan 8%.
g) Pekerjaan sampingan Nelayan kepiting bakau
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kehidupan nelayan. Pekerajan sampingan merupakan salah satu alternatif
pencarian yang digunakan oleh nelayan dalam rangka mencukupi kebutuhan
mereka. Pekerjaan sampingan itu dilakukan biasanya ketika pekerjaan pokok
mengalami beberapa kendala. Berdasarkan hasil wawancar dengan Nelayan
kepiting bakau Desa Golo Sepang, mereka melakukan pekeraan sampingan
karena ingin mencukupi kebutuhan mereka.
Berdasarkan penyajian (Gambar 16) dapat diketahui hasil wawancara
dengan 50 responden Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang. Pekerjaan
sampingan Nelayan kepiting bakau paling banyak yaitu sebagai nelayan ikan
berjumlah 22 orang dengan persentase 42%, hal ini disebabkan karena lebih
mudah dilakukan oleh Nelayan kepiting bakau setelah melepaskan bubu mereka
35

sekalian melaut, sebagai penjual ikan berjumlah 18 orang dengan persentase 36%
dan penjual sembako berjumlah 11 orang dengan persentase 22%.
h) Pemasaran Kepiting bakau (Scylla spp.) sebelum pandemi Covid-19
Kepiting bakau merupakan salah satu jenis hasil laut yang memiliki protein
yang sangat tinggi bagi tubuh manusia. Pemasaran kepiting bakau yang biasanya
terjadi dikalangan nelayan yaitu nelayan menjual hasil tangkapannya kepada
pengepul dan pengepul menjual atau mengirim hasil tangkapan keluar daerah.
Pemasaran kepiting bakau sebelum adanya pandemi Covid-19 itu berjalan dengan
baik dimana belom adanya berbagai macam aturan terutama dalam proses
pemasaran kepiting bakau. Harga kepiting bakau cenderung tinggi karena
banyaknya permintaan atau peminat konsumsi kepiting bakau. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang harga kepiting
bakau sebelum pandemi Covid-19 untuk berat 200 gram dengan harga 110.000
per kilogramnya dan untuk berat 300 sampai 400 dengan harga 130.000 per
kilogramnya.
Berdasarkan (Gambar 17) penyajian tingkat pendapatan perbulan Nelayan
kepiting bakau Desa Golo Sepang sebelum pandemi Covid-19 jumlah Nelayan
yang diwawancarai sebanyak 50 responden Nelayan kepiting bakau. Tingkat
pendapatan yang paling banyak yaitu dengan jumlah pendapatan 3 sampai 3,5
juta dengan jumlah 16 orang, pendapatan 2,5 juta dengan jumlah 14 orang,
pendapatan 2,5 sampai 3 juta dengan jumlah 14 orang, pendapatan 4 juta dengan
jumlah 6 orang dengan persentase masing-masing pendapatan 3 sampai 3,5 juta
yaitu 32%, 2,5 juta yaitu 28%, 2,5 sampai 3 juta yaitu 28% dan 3,5 sampai 4 juta
12%.
i) Pemasaran Kepiting Bakau (Scylla spp.) ketika Pandemi Covid-19
Pemasaran kepiting bakau merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
Nelayan kepiting bakau dalam menjual hasil tangkapannya. Covid-19merupakan
salah satu wabah penyakit yang melemahkan pertumbuhan semua sektor
perekonomian yang dialami baik Indonesia maupun Dunia. Pandemi Covid-19 ini
tidak hanya berpengaruh pada kesehatan manusia saja, pandemi Covid-19
mengguncang perekonomian global khususnya dalam bidang kelautan dan
perikanan Pandemi Covid-19 tidak hanya berpengaruh pada kesehatan manusia
saja, namun pandemi Covid-19 ini mengguncang perekonomian global khusunya
dalam bidan kelautan dan perikanan (Wulandari, 2021).
Berdasarkan hasil informasi yang diperoleh dari wawancara dengan
Neayan kepiting bakau dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan kepiting bakau
di Desa Golo Sepang setelah adanya pandemi Covid-19 mengalami beberapa
hambatan karena ekspor kepiting bakau ke luar daerah sudah dihentikan.
Pemasaran hasil tangkapan Nelayan kepiting bakau hanya berlangsung di pasar
dengan harga yang sangat murah tetapi dibatasi dan harus mengikuti protokol
Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan nelayan diantaranya adalah
harga ikan yang turun drastis terutama jenis ikan yang menjadi komoditas ekspor
dikarenakan permintaan menurun, pengepul ikan dan perusahaan eksportir ikan
tutup, distribusi ikan mengalami hambatan, serta meningkatnya biaya melaut
karena bahan bakar minyak yang langka sehingga harga menjadi naik (Sari,
Yuliasara, dan Mahmiah, 2020) dalam (Wulandari, 2021). Berdasarkan informasi
36

yang diperoleh dari Nelayan Desa Golo Sepang mereka terpaksa menjual hasil
tangkapan mereka dengan harga murah agar dapat memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Berdasarkan pengisian kuisioner wawanara dengan Nelayan kepiting
bakau harga kepiting bakau setelah pandemi Covid-19 mengalami penrunan
drastis mulau dari yang berat 200 gram dengan harga 65.000 per kilogramnya
sedangkan yang beratnya 300 sampai 400 gram dengan harga 75.000 pr
kilogramnya, distribusi dan pemasaran kepiting bakau pun tidak berajlan normal.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 nelayan kecil merupakan kategori nelayan yang
terkena dampak paling tinggi penderitaannya pada sektor perikanan, penjualan
hasil tangkapan menjadi kendala besar saat ini dikarenakan banyak pengepul ikan
tidak melayani atau membatasi pembelian ikan dari nelayan maupun
pembudidaya.
Covid-19 membawa perubahan yang menuntut nelayan untuk melakukan
adaptasi terhadap perubahan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Nelayan Desa Golo Sepang bentuk distribusi pemasaran kepiting bakau dirubah
rantai distribusi pemasarannya, pemasaran kepiting bakau yang biasanya dijual
dalam jumlah besar, saat ini mulai dijual dalam bentuk kiloan. Strategi ini dilakukan
untuk mempermudah pemasaran kepiting bakau. Penjualan bisa dilakukan melalui
lelang di TPI dan juga dijual kiloan dengan berkeliling. Beberapa adaptasi yang
diakukan oleh Nelayan kepiting bakau nyatanya memberikan dampak positif bagi
nelayan kepiting bakau dimasa pandemi Covid-19 (Wulandari, 2021).
Berdasarkan (Gambar 18) penyajian pendapatan Nelayan kepiting bakau
Desa Golo Sepang setelah pandemi Covid-19 dengan jumlah 50 responden
Nelayan kepiting bakau. Tingkat pendapatan dengan jumlah responden yang
paling banyak yaitu dengan pendapatan 2 sampai 2,5 juta dengan jumlah 16
orang, pendapatan 1,5 sampai 2 juta dngan jumlah 14 orang, pendapatan 1,5 juta
dengan jumlah 14 orang dan pendapatan 2,5 sampai 3 juta dengan jumlah 6 orang
dengan persentase masing masing dengan pendapatan 2,5 sampai 32%,
pendapatan 1,5 juta 28%, pedapatan 1,5 sampai 2 juta 28% dan pendapatan 2,5
sampai 3 juta 12%.
37

4 SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tiga jenis kepiting bakau yang tersebar
di lima stasiun pengambilan sampel. Jenis S. serrata dengan total 425 sampel
yang terdiri dari 293 ekor jantan dengan persentase 71% dan 132 ekor betina
dengan persentase 29%, S. paramamosan dengan total 271 sampel yang terdiri
dari 165 ekor jantan dengan persentase 61% dan betina 106 ekor dengan
persentase 39%, S. olivicea dengan total 154 sampel yang terdiri dari 99 ekor
jantan dengan persentase 63% dan betina 55 ekor dengan persentase 37%.
2. Pertumbuhan kepiting bakau jenis S. serrata, S. paramamosain dan S. olivicea
di lokasi penelitian bersifat alometrik positif atau pertambahan bobot lebih cepat
dari pertambahan lebar karapas.
3. Pengelolaan kepiting bakau di Desa Golo Sepang mengalami ketimpangan
antara produksi dan pemasaran hasil tangkapan ketika adanya pandemi Covid-
19, hal ini dipicu karena pembatasan pemasaran dan pemberhentian jalur
distribusi, sehingga terjadinya penurunan harga kepiting bakau yang dapat
menurunkan tingkat pendapatan Nelayan.

4.2 Saran
1. Nelayan disarankan untuk menangkap kepiting bakau yang sudah dewasa
dengan lebar diatas 12 cm dengan berat diatas 150 gram dan tidak menangkap
kepiting bakau yang sedang bertelur agar tetap menjaga kelestarianya,
Nelayan juga diharapkan tetap menjaga kelestarian habitat kepiting bakau agar
produktivitas kepiting bakau tetap berkelanjutan.
2. Nelayan dianjurkan agar mencari alternatif lain dari pemasaran kepiting bakau
agar hasil tangkapannya dapat terjual hasil tangkapanya, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
38

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, S., Subur, R., Tahir, I., 2019. Pendugaan Ukuran Pertama Kali
Matang Gonad Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) Di Perairan Desa
Sidangoli Dehe Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat.
Jurnal Biologi Tropis 19. Https://Doi.Org/10.29303/Jbt.V19i1.1008
Anas, P., Jubaedah, I., Sudinno, D., 2016. Potensi Lestari Perikanan Tangkap
Sebagai Basis Pengelolaan Sumberdaya Di Kabupaten Pangandaran.
Jurnal Penyuluhan Perikanan Dan Kelautan 10, 88–99.
Andini, B.C.F., 2021. Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan
Fakultas Perikanan Universitas Gunung Rinjani Selong 202 39.
Andriyani, R., 2017. Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan 111.
Ari Atu Dewi, A.A.I., 2018. Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis
Masyarakat: Community Based Development. J. Penelit. Huk. Dejure 18,
163. Https://Doi.Org/10.30641/Dejure.2018.V18.163-182
Ariska, Puput Elisia, And Budi Prayitno. 2019. “Pengaruh Umur , Lama Kerja ,
Dan Pendidikan Terhadap Pendapatan Nelayan Di Kawasan Pantai
Kenjeran Surabaya Tahun 2018.” Economie 01(1):38–47.
Arissandi, Devi, Christina T. Setiawan, And Rahayu Wiludjeng. 2019. “2 3 123.”
Jurnal Borneo Cendekia 3(2):40–46.
Asmara, H., Psl, S., Riani, E., Susanto, A., Raya, J.C., Cabe, P., 2011. Analisis
Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di
Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal
Matematika 12, 7.
Aswady, T.U., Asriyana, Halili, 2019. Rasio Kelamin Dan Ukuran Pertama Kali
Matang Gonad Ikan Kakatua ( Scarus Rivulatus Valenciennes , 1840 ) Di
Perairan Desa Tanjung Tiram , Kecamatan Moramo Utara Kabupaten
Konawe Selatan. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan 4, 183–190.
Azizi, N.A., Saputra, S.W., Ghofar, A., 2020. Hubungan Panjang - Berat, Faktor
Kondisi Dan Ukuran Pertama Kali Tertangkap Ikan Tuna Sirip Kuning
(Thunnus Albacares) Di Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap Length -
Weight Relationship, Condition Factors And Legth Of The First Time
Caught Of Yellowfin T. Management Of Aquatic Resources Journal
(Maquares) 9, 90–96. Https://Doi.Org/10.14710/Marj.V9i2.27764
Bps. Manggarai Barat, (2018). Mnaggarai Barat Dalam Angka.
Budiman, M.S., Iskandar, B.H., Soeboer, D.A., 2017. Penataan Sertifikasi
Kompetensi Awak Kapal Penangkap Ikan Di Indonesia. Jurnal Teknologi
Perikanan Dan Kelautan 7, 145–152. Https://Doi.Org/10.24319/Jtpk.7.145-
152
Cahyadinata, I., 2019. Pengelolaan Perikanan Kepiting Bakau 159.
Courtney, Y., Courtney, J., Courtney, M., 2014. Improving Weight-Length
Relationships In Fish To Provide More Accurate Bioindicators Of
39

Ecosystem Condition. Aquatic Science And Technology 2, 41.


Https://Doi.Org/10.5296/Ast.V2i2.5666
Demena, Y. E., Miswar, E., & Musman, M. (2017). Waters Of South
Jayapura, Jayapura City. 2, 12.
Dewantara, Wahyu. "Pertumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla
tranquebarica Fabricus, 1798) di Perairan Segara Anakan Bagian Barat."
Efrianto, A., 2017. Potret Nelayan Sungsang Sungsang Fishery Potret 894–
915.
Ernawati, T., Boer, M., & Yonvitner, Y. (2015). Biologi Populasi
Rajungan(Portunus Pelagicus) Di Perairansekitarwilayahpati,
Jawatengah. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap, 6(1), 31.
Https://Doi.Org/10.15578/Bawal.6.1.2014.31-40
Fahrizal, A., Kusuma Dewi, Abu Darda Razak, Irwanto, I., 2021. Kepiting Bakau
(Scylla Sp.) Teluk Bintuni Papua Barat : Strategi Pengelolaan Dan Perijinan
Usaha. Ja 10, 045–055. Https://Doi.Org/10.15578/Ja.V10i01.238
Febrianti, N., Si, S., 2018. Penerapan Metoda Mock Dan Analisis Frekuensi Untuk
Menghitung Debit Andalan Das Kuranji Padang.
Febriani, V. E. (2015). Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla Serrata
Di Desa Ujung Alang, Cilacap Sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture.
Firdaus, A.R., Taufiq-Spj, N., Redjeki, S., 2020. Studi Kelimpahan Scylla Serrata
Forsskål, 1775 (Portunidae:Malacostraca) Hasil Tangkapan Musim
Penghujan Di Perairan Mangkang Semarang. Bul. Oseano. Mar. 9, 69–76.
Https://Doi.Org/10.14710/Buloma.V9i1.23659
Fitriyani, N., Suryono, C.A., Nuraini, R.A.T., 2020. Biologi Kepiting Bakau Scylla
Serrata, Forsskål, 1775 (Malacostraca : Portunidae) Berdasarkan Pola
Pertumbuhan Dan Parameter Pertumbuhan Pada Bulan Oktober,
November, Desember Di Perairan Ketapang, Pemalang. J. Mar. Res. 9,
87–93. Https://Doi.Org/10.14710/Jmr.V9i1.26698
Hamka, E., Asis, P.H., Hamzah, N., 2021. Pemberdayaan Kelompok
Nelayan Menuju Desa Eelahaji Sebagai Sentra Kepiting Bakau. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat 14.
Gunarto, G., Daud, R., Suwardi, S., & Hanafi, A. (2017). Distribusi Dan
Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla Sp.) Di Perairan Muara Sungai
Cenranae Kabupaten Bone. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia,
3(3), 1-8.
Hanjani, A. (2019). Analisis Ekologi dan Morfometrik Kepiting Bakau (Scylla
serrata) pada Kawasan Estuaria di Pesisir Wonorejo, Rungkut, Surabaya
(Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Hargiyatno, I.T., Satria, F., Prasetyo, A.P., 2013. Hubungan Panjang-Berat
Dan Faktor Kondisi Lobster Pasir ( Panulirus Homarus ) Di Perairan
Yogyakarta Dan Pacitan Length-Wight Relationship And Condition
Factors Of Scalloped 5, 41–48.
Herliany, N.E., Zamdial, 2015. Hubungan Lebar Karapas Dan Berat
Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Hasil Tangkapan Di Desa Kahyapu
Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. Jurnal Kelautan 8, 89–94.
40

Hendrayana, H., Husni, I. A., & Raharjo, P. (2021). Dampak Pandemi Covid 19
Terhadap Nelayan Kepiting Bakau Di Desa Mojo, Pemalang. Prosiding,
10(1).
Hertini, E., Gusriani, N., 2013. Maximum Sustainable Yield (Msy) Pada Perikanan
Dengan Struktur Prey-Predator. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan
Teknologi Nuklir 307–311.
Hidayat, T., Yusuf, H.N., Nurulludin, N., Pane, A.R.P., 2018. Parameter
Populasi Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Perairan Pasaman Barat.
Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap 9, 207.
Https://Doi.Org/10.15578/Bawal.9.3.2017.207-213 Hidayatullah, M., And
Eko Pujiono. "Struktur Dan Komposisi Jenis Hutan Mangrove Di Golo
Sepang–Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat." Jurnal
Penelitian Kehutanan Wallacea 3.2 (2014): 151-162.
Husni, I.A., Raharjo, P., 2020. Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap
Nelayan Kepiting Bakau Di Desa Mojo, Pemalang 5.
Iromo, H., Zein, Y.A., 2019. Pelurusan Pemahaman Peraturan Pemerintah
Tentang Budidaya Kepiting Bakau Di Kalimantan Utara 3, 9.
Majidah, L. (2018). Analisis morfometrik dan kelimpahan kepiting bakau (scylla sp)
di wilayah hutan mangrove di Desa Banyuurip kecamatan Ujung Pangkah
kabupaten Gresik Jawa Timur (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel
Surabaya).
Manggabarani, I., 2016. Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Yang
Bermukim Di Pesisir Pantai (Studi Kasus Lingkungan Luwaor Kecamatan
Pamboang, Kabupaten Majene) 1, 7.
Masitoh, L. K. (2021). Kelimpahan dan Struktur Ukuran Kepiting Bakau (Scylla
Serrata) Pada Habitat Mangrove Di Desa Banyuurip Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik.
Mawaluddin, Palupi, R.D., Halili, 2016. Komposisi Ukuran Kepiting Rajungan (
Portunus Pelagicus ) Berdasarkan Fase Bulan Di Perairan Lakara ,
Konawe Selatan , Sulawesi Tenggara [ The Size Composition Of
Blue Swiming Crab (Portunus Pelagicus ) Based On The Moon Phase In
Lakara Waters Of South K. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan
1, 299–310.
Michael, S. C., Kaligis, E. Y., & Rimper, J. (2020). Deskripsi, keanekaragaman
jenis dan kelimpahan kepiting (Bracyura decapoda) di perairan Bahowo
Kelurahan Tongkeina Kecamatan Bunaken Kota Manado. Jurnal Pesisir
dan Laut Tropis, 8(1), 91-97.
Munana, N., Irwani, I., Widianingsih, W., 2021. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau
(Scylla Serrata) Di Perairan Desa Bandengan Kendal. J. Mar. Res. 10, 14–
22. Https://Doi.Org/10.14710/Jmr.V10i1.28990
Muhammad, Sahri, Anthon Efani, Soemarno Soemarno, And Mimit Primyastanto.
2012. “Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Payang Di Selat Madura,
Jawa Timur.” Jurnal Wacana 15(2):12–19.
Muttaqin, I., Julyantoro, P.G.S., Sari, A.H.W., 2018. Identifikasi Dan Predileksi
Ektoparasit Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Dari Ekosistem Mangrove Taman
41

Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali. Ctas 1, 24.


Https://Doi.Org/10.24843/Ctas.2018.V01.I01.P04
Oktaviani, W., Nelwan, A.F.P., Kurnia, M., 2019. Produktivitas Bagan Perahu Di
Perairan Kabupaten Mamuju Tengah , Sulawesi Barat The Impact Of
Catching Technique To The Productivity Of Boat Lift Net Ini Central
Mamuju Waters , West Sulawesi 5, 55–66.
Pambudi, D. S., Budiharjo, A., & Sunarto, S. (2019). Kelimpahan dan
Keanekaragaman Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Kawasan Hutan Bakau
Pasar Banggi, Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 25(2), 93-
102.
Panatar, J.S., Djunaedi, A., Redjeki, S., 2020. Studi Morfometrik Kepiting Bakau
(Scylla Serrate) Forsskål, 1775 (Malacostraca : Portunidae) Di Kecamatan
Wedung, Demak, Jawa Tengah. J. Mar. Res. 9, 495–500.
Https://Doi.Org/10.14710/Jmr.V9i4.25960
Pangesti, T.P., Wiyono, E.S., Baskoro, M.S., Nurani, T.W., Wiryawan, B., 2015.
Status Bio-Ekonomi Sumberdaya Udang Di Kabupaten Cilacap. Jurnal
Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan 10, 149–157.
Parapat, E.R., Abdurrachman, 2019. Analisis Pendapatan Dan Efisiensi
Pemasaran Kepiting Bakau Di Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh
Tamiang. Agri 6. Https://Doi.Org/10.33059/Jpas.V6i1.1346
Pradana, H. R., Nuraini, R. A. T., & Redjeki, S. (2019). Analisis Sebaran Lebar
Karapas Dan Proporsi Ebf (Egg Berried Female) Rajungan Yang
Tertangkap Di Perairan Demak. 7.
Puasa, R.N., Wantasen, A.S., Mandagi, S.V., 2018. Mapping Of Mangrove
Diversity In Kelurahan Tongkaina, Bunaken Sub-District, Manado. Platax
6, 133. Https://Doi.Org/10.35800/Jip.6.1.2018.19542
Putra, D., Sarong, M. A., & Purnawan, S. (2016). Kelimpahan kepiting bakau
(scylla) di kawasan rehabilitasi mangrove Pulo Sarok Kecamatan Singkil
Kabupaten Aceh Singkil (Doctoral dissertation, Syiah Kuala University).
Putri, N.D., 2021. Program Studi Biologi Fakultas Sains Dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (Uin) Maulana Malik Ibrahim Malang 202
74.
Radarwati, S., Baskoro, M.S., Monintja, D.R., Purbayanto, A., 2017. Analisis
Faktor Internal - Eksternal Dan Status Keberlanjutan Pengelolaan
Perikanan Tangkap Di Teluk Jakarta. Jurnal Teknologi Perikanan Dan
Kelautan 1, 33–46. Https://Doi.Org/10.24319/Jtpk.1.33-46
Rahayu, S., 2017. Dinamika Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Sirnoboyo
Kabupaten Pacitan Tahun 1998-2014 11.
Rahmadani, S., Siburian, J.P., 2020. Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Di
Kelurahan Hajoran Induk Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera
Utara. Jurnal Iptek Terapan Perikanan Dan Kelautan 1, 53.
Https://Doi.Org/10.15578/Plgc.V1i2.8871
Ramadhan, M.I., Nugroho, F., Amrifo, V., 2016. Perubahan Mata Pencaharian
Masyarakat Nelayan Di Kelurahan Tanjung Penyembal Kecamatan
Sungai Sembilan Kota Dumai 44, 15.
Redjeki Et Al., 2017. Kepadatan Dan Persebaran Kepiting (Brachyura) Di
42

Ekosistem Hutan Mangrove Segara Anakan Cilacap. Semarang. Jurnal


Kelautan Tropis Vol. 20(2):131–139
Rosana, N., Prasita, V.D., 2015a. Potensi Dan Tingkat Pemafaatan Ikan
Sebagai Dasar Pengembangan Sektor Perikanan Di Selatan Jawa
Timur. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal Of Marine Science And
Technology 8, 71–76.
Rosana, N., Prasita, V.D., 2015b. Potensi Dan Tingkat Pemafaatan Ikan
Sebagai Dasar Pengembangan Sektor Perikanan Di Selatan Jawa
Timur. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal Of Marine Science And
Technology 8, 71–76.
Safitri, S.F., Sunaryo, S., Djunaedi, A., 2020. Biomorfometri Kepiting Bakau Di
Perairan Bandengan Kendal. J. Mar. Res. 9, 55–64.
Https://Doi.Org/10.14710/Jmr.V9i1.25794
Saputra, R., Nugraha, A.H., Susiana, S., 2020. Kelimpahan Dan Karakteristik
Https://Doi.Org/10.31629/Akuatiklestari.V4i1.2467
Saputra, S.W., Soedarsono, P., Sulistyawati, G.A., 2009. Beberapa Aspek Biologi
Ikan Kuniran (Upeneus Spp) Di Perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan
5, 1–6.
Saputra, R., Nugraha, A. H., & Susiana, S. (2020). Kelimpahan dan Karakteristik
Kepiting Bakau pada Ekosistem Mangrove di Desa Busung Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Akuatiklestari, 4(1), 1-11.
Saputri, M., Muammar, M., 2019. Karakteristik Habitat Kepiting Bakau (Scylla
Sp.) Di Ekosistem Mangrove Silang Cadek Kecamatan Baitussalam
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Biotik 6, 75.
Https://Doi.Org/10.22373/Biotik.V6i1.4436
Septifitri, Monintja, D.R., Hari, S., Martasuganda, S., 2010. Di Provinsi
Sumatera Selatan The Development Opportunity Of Catch Fishery In
The Province Of Southern Sumatera. Peluang Pengembangan Perikanan
Tangkap Di Provinsi Sumatera Selatan 6, 8–21.
Siahaan, M.S., 2019. Dan Keanekaragaman Kepiting Bakau (Scylla Spp.)
Di Perairan 70.
Sihsubekti, S., Fidhiani, D.D., 2021. Identifikasi Nilai Sikap Masyarakat Terhadap
Pengembangan Potensi Budidaya Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Desa
Sumberwaru Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo. Agx 12, 47–
54. Https://Doi.Org/10.35891/Agx.V12i1.2429
Siringoringo, Y.N., Desrita, D., Yunasfi, Y., 2017a. Kelimpahan Dan Pola
Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Hutan Mangrove
Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Provinsi
Sumatera Utara. Aa 4, 26. Https://Doi.Org/10.29103/Aa.V4i1.320
Siringoringo, Y.N., Desrita, D., Yunasfi, Y., 2017b. Kelimpahan Dan Pola
Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Hutan Mangrove
Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Provinsi
Sumatera Utara. Aa 4, 26. Https://Doi.Org/10.29103/Aa.V4i1.320
Suroyya, Aida Nurus, Imam Triarso, And Bambang Argo Wibowo. 2017. “Analisis
Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Pada Alat Tangkap Gill Net Di Ppp
43

Morodemak, Kabupaten Demak.” Journal Of Fisheries Resources


Utilization Management And Technology 6(4):30–39.
Tahmid, M., Fahrudin, A., Wardiatno, Y., 2015. Study Of Size Structure And
Population Mud Crab (Scylla Serrata) In Mangrove Ecosystem Bintan Gulf,
Riau Islands. Jurnal Biologi Tropis 15, 93–106.
Tarigan, R.K., 2020. Kelimpahan Dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla
Tranquebarica) Di Kawasan Ekosistem Mangrove Desa Selotong
Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera
Utara 86. 163. Https://Doi.Org/10.29244/Jmf.V10i2.29483
Tharieq, M. A., Sunaryo, S., & Santoso, A. (2020). Aspek Morfometri Dan Tingkat
Kematangan Gonad Rajungan (Portunus Pelagicus) Linnaeus, 1758
(Malacostraca Portunidae) Di Perairan Betahwalang Demak. Journal Of
Marine Re.Pdf. (N.D.).
Tipagau, M., Aling, D.R.R., Wasak, M.P., Andaki, J.A., Dien, C.R., Pangemanan,
N.P.L., 2021. Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional Alat
Tangkap Jaring Imii Di Desa Mimika Timur, Kecamatan Pomako,
Kabupaten Mimika, Provinsi Papua 9, 7.
Tiurlan, E., Djunaedi, A., Supriyantini, E., 2019. Analisis Aspek Reproduksi
Kepiting Bakau (Scylla Sp.) Di Perairan Kendal, Jawa Tengah. Jtms 2, 29–
36. Https://Doi.Org/10.33019/Jour.Trop.Mar.Sci.V2i1.911

Tresnati, J., Mallawa, A., Rapi, N.L., 2012. Size Structure, Age Groups And Growth
Of Squid Loligo Pealeii In The Waters Of Barru Regency, South Sulawesi.
Presented At The Proceedings Of The Annual International Conference,
Syiah Kuala University-Life Sciences & Engineering Chapter.
Wally, W.M., Matdoan, M.N., Arini, I., 2020. Keanekaragaman Dan Pola
Distribusi Jenis Kepiting Bakau (Scylla Sp) Pada Zona Intertidal
Pantai Dusun Wael Kabupaten Seram Bagian Barat. Biopendix 6,
117–120. Https://Doi.Org/10.30598/Biopendixvol6issue2page117-
120
Wijaya, N.I., Yulianda, F., 2019. Model Pengelolaan Kepiting Bakau Untuk
Kelestarian Habitat Mangrove Di Taman Nasional Kutai Provinsi
Kalimantan Timur. Bum. Lest. J. Environ. 19, 1.
Https://Doi.Org/10.24843/Blje.2019.V19.I01.P01
Wijaya, N.I., Yulianda, F., Boer, M., 2010. Di Habitat Mangrove Taman
Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur 20.
Yahya, N.M., 2016. Distribusi Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Di Perairan 36.
Yahya, Nurul Musyariafah. "Distribusi Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Di Perairan
Ekosistem Mangrove Estuari Sungai Donan Segara Anakan Bagian Timur,
Cilacap."
Yulianti, Y., & Sofiana, M. S. J. (2018). Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di
Kawasan Rehabilitasi Mangrove Setapuk, Singkawang. Jurnal Laut
Khatulistiwa, 1(1), 25-30.
Yunus, B., Suwarni, S., & Santy, A. I. (2018). Hubungan Lebar Karapas–Bobot,
Faktor Kondisi, dan Kelimpahan Kepiting Bakau Scylla Serrata Forsskål,
44

1775; di Kawasan Pengembangan Silvofishery Jalur Tanggul, Kabupaten


Maros. Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan, (5).
Zamroni, A., Suwarso, S., 2017. Studitentangbiologireproduksi Beberapaspesies
Ikanpelagiskecildi Perairanlaut Banda. Bawal Widya Riset Perikanan
Tangkap 3, 337. Https://Doi.Org/10.15578/Bawal.3.5.2011.337-344
Zamrud, M., 2017. Implementasi Permen Kp Nomor 1 Tahun 2015
Terhadap Pengelolaan Perikanan Kepiting Bakau Berbasis Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil Di Teluk Tomini 12.
45
46

LAMPIRAN

1 Data Nelayan Kepiting bakau Desa Golo Sepang


Penghasi Penghasi
kerja lan lan
N Um Pendidi Tanggun
Nama sampin Asal sebelum setelah
o ur kan gan
gan pandemi pandemi
c-19 c-19
Sahrudi 3,000,00 2,000,00
1 n 42 SD 3 jual ikan Bima 0 0
jual
Jainudi sembak 2,500,00 2,000,00
2 n 30 SM 4 o Bima 0 0
Alimudi 3,500,00 2,000,00
3 n 40 SD 6 jual ikan Bima 0 0
Junaidi 3,000,00 2,000,00
4 n 28 SMP 5 jual ikan Bima 0 0
2,500,00 1,500,00
5 Cal 30 SMA 4 jual ikan Bima 0 0
jual
Hamdi sembak 3,500,00 2,500,00
6 ni 28 SMP 4 o Bima 0 0
jual
Baharu sembak 3,000,00 2,000,00
7 din 30 SMP 5 o Bima 0 0
jual
sembak 2,500,00 1,500,00
8 Faisal 25 SMP 4 o Bima 0 0
Nelayan 3,500,00 2,500,00
9 Raja 35 SMA 5 ikan Bima 0 0
1 Nelayan 3,500,00 2,500,00
0 Adha 38 SMP 3 ikan Bima 0 0
1 Nelayan 3,000,00 1,500,00
1 Hamidi 25 SMP 4 ikan Bima 0 0
1 Nelayan 2,500,00 1,500,00
2 Malik 29 SMP 5 ikan Bima 0 0
1 3,500,00 2,500,00
3 Rudi 44 SMP 6 jual ikan Bima 0 0
1 3,000,00 2,000,00
4 Inci 35 SD 4 jual ikan Bima 0 0
1 3,500,00 3,500,00
5 Burhan 38 SMA 5 jual ikan Bima 0 0
1 3,500,00 2,500,00
6 Ahmad 40 SD 7 jual ikan Bima 0 0
1 Mangg 4,000,00 2,500,00
7 Rafael 35 SD 4 jual ikan arai 0 0
jual
1 sembak Mangg 4,000,00 3,000,00
8 Jamil 29 SD 4 o arai 0 0
47

jual
1 sembak Mangg 3,000,00 3,000,00
9 Servas 36 SD 5 o arai 0 0
jual
2 sembak Mangg 2,500,00 2,000,00
0 Tasri 40 SD 7 o arai 0 0
2 Mangg 3,500,00 1,500,00
1 Rasi 42 SD 6 jual ikan arai 0 0
2 4,000,00 2,500,00
2 Aco 30 SMP 5 jual ikan Bima 0 0
2 3,000,00 3,000,00
3 Sudin 45 SMP 4 jual ikan Bima 0 0
2 2,500,00 2,000,00
4 Ismail 40 SMP 6 jual ikan 0 0
2 nelayan Mangg 2,500,00 1,500,00
5 Fajar 24 SD 3 ikan arai 0 0
2 nelayan Mangg 2,500,00 1,500,00
39 SMP
6 Giran 3 ikan arai 0 0
2 nelayan 3,000,00 2,000,00
38 SD
7 Budi 4 ikan Bima 0 0
2 nelayan 3,500,00 2,500,00
44 SD
8 Jarot 8 ikan Bima 0 0
2 nelayan 2,500,00 2,000,00
45 SD
9 Gafur 8 ikan Bima 0 0
3 nelayan 4,000,00 3,000,00
28 SMA
0 Supri 4 ikan Bima 0 0
3 Yosep nelayan Mangg 3,000,00 2,000,00
SD
1 Palu 42 3 ikan arai 0 0
Hendri
kus
SD
3 Helmo nelayan Mangg 2,500,00 2,000,00
2 n 30 4 ikan arai 0 0
3 Phlipus nelayan Mangg 3,500,00 2,000,00
SD
3 Pen 40 6 ikan arai 0 0
Frans
3 Vilix SD nelayan Mangg 3,000,00 2,000,00
4 Virgo 28 5 ikan arai 0 0
3 Nikolau nelayan Mangg 2,500,00 1,500,00
SD
5 s Pon 30 4 ikan arai 0 0
Maksi jual
3 mus SMP sembak Mangg 3,500,00 2,500,00
6 Samir 28 4 o arai 0 0
jual
3 Nikolau SMP sembak Mangg 3,000,00 2,000,00
7 s Agut 30 5 o arai 0 0
jual
3 Tinus SMP sembak Mangg 2,500,00 1,500,00
8 Arlen 25 4 o arai 0 0
48

jual
3 Leksi SD sembak Mangg 3,500,00 2,500,00
9 Viktor 35 5 o arai 0 0
4 Paulus Mangg 3,500,00 2,500,00
SD
0 Nimpa 38 3 jual ikan arai 0 0
4 Mangg 3,000,00 1,500,00
SMA
1 Edison 25 4 jual ikan arai 0 0
4 2,500,00 1,500,00
SMA
2 Ashar 29 5 jual ikan Bima 0 0
4 M. 3,500,00 2,500,00
SMA
3 Syukur 44 6 jual ikan Bima 0 0
4 3,000,00 2,000,00
SMA
4 Ihsan 35 4 jual ikan Bima 0 0
4 Solaem nelayan 3,500,00 3,500,00
SMA
5 an 38 5 ikan Bima 0 0
4 nelayan 3,500,00 2,500,00
SMP
6 Kisman 40 7 ikan Bima 0 0
4 Askar nelayan 4,000,00 2,500,00
SMP
7 Salam 35 4 ikan Bima 0 0
4 A. nelayan 4,000,00 3,000,00
SMA
8 Fanani 29 4 ikan Bima 0 0
4 nelayan 3,000,00 3,000,00
SMA
9 Aksa 36 5 ikan Bima 0 0
5 Lukma nelayan 2,500,00 2,000,00
SMA
0 n 40 7 ikan Bima 0 0

3. Laporan izin Praktik di Dinas Perikanan Kabupaten Manggarai Barat

4. Pengambilan sampel kepiting bakau


49
50

4. Daerah Penangkapan kepiting bakau


51

Stasiun 1 Stasiun 2

Stasiun 3 Stasiun 4

Stasiun 5

5. Pengukuran sampel kepiting bakau

6. Pengukuran kualitas air


52

7. Wawancara dengan Nelayan Kepiting bakau


53

8. Koesioner Wawancara

KUSIONER

A. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama :

2. Umur : tahun

3. Jenis Kelamin :

4. Status perkawinan:

5. Jumlah tanggungan:

6. Lama berprofesi :

7. Pendidikan Terakhir :

a) Tidak tamat SD
b) SD/Sederajat
c) SMP/Sederajat
d) SMU/STM/SMK
e) Perguruan Tinggi
8. Pekerjaan

a) Utama/Pokok :
b) Sampingan :
9. Berapa penghasilan bapak dalam 1 bulan sebelum pandemi covid-19?

a) <Rp. 350.000,-
54

b) Rp. 350.000,- s/d Rp. 700.000,-


c) Rp. 700.000,- s/d Rp. 1.000.000,-
d) Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,-
e) Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000,-
f) Rp. 2.000.000,- s/d Rp. 2.500.000,-
g) Rp. 2.500.000,- s/d Rp. 3.000.000,-
h) Rp. 3.000.000,- s/d Rp.3.500.000,-
i) Rp. 3.500.000,- s/d Rp. 4.000.000,-
j) >Rp. 4.000.000,-
10. Berapa penghasilan bapak/ibu dalam 1 bulan setelah pandemi covid-19 ?
(Lingkar pada opsion yang dianggap sesuai)
a. <Rp. 350.000,-
b. Rp. 350.000,- s/d Rp. 700.000,-
c. Rp. 700.000,- s/d Rp. 1.000.000,-
d. Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,-
e. Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000,-
f. Rp. 2.000.000,- s/d Rp. 2.500.000,-
g. Rp. 2.500.000,- s/d Rp. 3.000.000,-
h. Rp. 3.000.000,- s/d Rp.3.500.000,-
i. Rp. 3.500.000,- s/d Rp. 4.000.000,-
j. > Rp. 4.000.000,-
11. Berapa harga kepiting bakau /kg sebelum pandemi covid-19 ?

No Volume Harga/kg Pendapatan bersih


1
2
3

12. Berapa harga kepiting bakau /kg setelah pandemi covid-19?

No Volume Harga/kg Pendapatan bersih

3
55

13. Alat tangkap yang digunakan ketika melakukan penangkapan?

14. Perahu/kapal

a) Jumlah :
b) Ukuran perahu (p x 1 x d) :
c) Harga beli :
d) Umur ekonomis :
15. Jenis perahu/kapal motor apa yang Saudara gunakan?

B. PERTANYAAN PANDUAN (mohon melingkari jawaban Bpk/Ibu )

No Pernyataan
1 Menurut Bapak/Ibu, bagaimanakah kegiatan pengelolaan kepiting bakau di desa
Bapak/Ibu?
a. Tidak ada dilakukan sama sekali (tidak oleh pemerintah, masyarakat maupun
lembaga swadaya)
b. Ada, namun hanya sesekali dan dilakukan oleh salah satu pihak saja
c. Ada dan dilakukan oleh salah satu pihak, namun kegiatannya belum
terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)
d. Ada dan dilakukan oleh semua pihak, namun belum terprogram dan jadwalnya
tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)
e. Ada dan dilakukan oleh semua pihak secara teratur dan terprogram
2 Bagaimana kegiatan pemasaran kepiting bakau di desa Bapak/Ibu setelah pandemi
covid-19 ?
a. Tidak pernah dilakukan
b. Berjalan dengan baik
c. Terjadi beberapa hambatan dan kendala dalam pemasaran
d. Sekali saja dalam seminggu
e. Ditentukan oleh pemerintah setempat mengenai pemasaran.
3 Bagaimanakah kegiatan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat tentang
pengelolaan kepiting bakau?
a. Tidak pernah dilakukan penyuluhan/sosialisasi
b. Pernah dilakukan penyuluhan/sosialisasi sesekali oleh salah satu elemen saja,
misalnya pemerintah.
56

c. Kadang-kadang dilakukan penyuluhan/sosialisasi sedikitnya oleh salah satu


pihak (pemerintah, lembaga masyarakat maupun elemen lainnya) secara
parsial dan tidak terpadu
d. Penyuluhan/sosialisasi dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga swadaya
maupun elemen kelembagaab lainnya namun kurang teratur dan kurang
terprogram
e. Sangat sering dilakukan penyuluhan/sosialisasi baik oleh pemerintah,
lembaga swadaya maupun lembaga lainnya serta dilakukan secara teratur dan
terprogram
4 Adakah kelompok/perkumpulan swadaya masyarakat di desa Bpk/Ibu yang terkait
dengan pengelolaan ekosistem mangrove?
a. Tidak ada kelompok masyarakat dan tidak pernah berperan dalam
pengelolaan kepiting bakau
b. Terdapat 1 kelompok masyarakat namun tidak berperan dalam pengelolaan
kepiting bakau
c. Terdapat sedikitnya 1 kelompok masyarakat yang sesekali berperan dalam
pengelolaan kepiting bakau
d. Ada beberapa kelompok masyarakat dan berperan aktif dengan program
masing-masing dalam pengelolaan mangrove
e. Ada beberapa kelompok masyarakat dan berperan sangat intensif dengan
program yang terpadu dalam pengelolaan kepiting bakau
5 Adakah lembaga swadaya masyarakat yang tekait dengan pengelolaan kepiting
bakau?
a. Tidak ada lembaga swadaya masyarakat dan tidak pernah berperan dalam
pengelolaan kepiting bakau
b. Terdapat 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan sesekali dalam
pengelolaan
c. Terdapat sedikitnya 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan secara
insidentil dalam pengelolaan kepiting bakau
d. Ada beberapa lembaga swadaya masyarakat dan berperan aktif dengan
program masing-masing dalam pengelolaan kepiting bakau
e. Ada beberapa lembaga masyarakat dan berperan sangat intensif dengan
program yang terpadu dalam pengelolaan kepiting bakau
6 Adakah kegiatan pertambakan kepiting bakau yang dilakukan di di desa
Bapak/Ibu ?
57

a. Tidak ada kegiatan pertambakan apapun yang dilakukan oleh


masyarakat maupun lembaga usaha
b. Ada ditemukan satu jenis saja kegiatan pertambakan dalam jumlah yang
sangat kecil dan hanya dilakukan oleh masyarakat setempat tradisional
c. Ada ditemukan beberapa jenis kegiatan pertambakan dalam jumlah kecil
dan hanya dilakukan oleh masyarakat setempat tradisional
d. Ada ditemukan beberapa jenis kegiatan pertambakan dalam jumlah
cukup besar dan hanya dilakukan oleh masyarakat setempat maupun
lembaga usaha dengan pola tambak semi intensif
e. Ada ditemukan kegiatan pertambakan dalam jumlah sangat besar dan
dilakukan oleh masyarakat setempat dan lembaga usaha dengan pola
tambak intensif
7 Bapak/Ibu mohon mengisi Ya/Tidak sesuai pertanyaan di
ya Tidak
bawah ini :

Tidak menangkap kepiting bakau yang sedang bertelur kecuali


untuk keperluan penelitian
Menangkap kepiting bakau yang memiliki berat diatas 150
gram dan memiliki lebar karapas 12 centimeter
Penangkapan dilakukan dengan menggunakan alat tangkap
yang bersifat insentif dan ramah lingkungan

16. Menurut pengamatan Bapak/Ibu bagaimana pemasaran kepiting bakau yang terjadi
pada masa sebelum dan setelah pandemi covid-19
17. Apakah terjadi perubahan pemasukan atau mata pencaharian dari bapak atau ibu
sebelum dan sesudah pandemi covid -19? Seberapa besar perubahannya?

9. Laporan Selesai Kegiatan Praktik di Kabupaten Manggarai Barat


58

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Nagekeo pada tanggal


13 Maret 1997, anak kedua dari sembilan bersaudara dari
pasangan Bpaka Vinsensius Bani dan Ibu Bibiana Rimas.
Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN
2 Aesesa dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di
SMAN 1 Aesesa dan lulus pada tahun 2015. Penulis kemudian
pendidikannya ke jenang salah satu perguruan tinggi tingkat
kedinasan di Indonesia, yaitu Politeknik Ahli Usaha Perikanan
Jakarta Diploma IV pada program studi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan (TPS), penulis berhasil meyelesaikan
Karya Ilmiah Praktik Akhir yang berjudul “Pengelolaan Kepiting bakau (Scylla spp.)
masa sebelum dan setelah pandemi Covid-19 di Desa Golo Sepang, Kabupaten
Manggarai Barat, Nusa Ttenggara Timur”. Pada bulan Juli penulis dinyatakan lulus
dan memeperoleh sebutan Sarjana Terapan Perikanan (S.Tr.Pi).

Anda mungkin juga menyukai