) DI DESA GOLO
SEPANG, KABUPATEN MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA
TIMUR
Oleh:
PATRISIUS TOMA
Oleh:
PATRISIUS TOMNA
54185112442
Karya Ilmiah Praktik Akhir Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Terapan Perikanan
Menyetujui
Dosen Pembimbing,
Mengetahui,
Meuthia Aula Jabbar, Dr, A.Pi., M.Si. Dadan Zulkifli, S.Ag., M.M.
Ketua Program Studi Sekretaris Program Studi
ii
Dengan ini saya menyatakan bahwa Karya Ilmiah Praktik Akhir “Pengelolaan
Kepiting bakau (Scylla spp.) di Desa Golo Sepang, Kabupaten Manggarai Barat,
Nusa Tenggara Timur” adalah karya ilmiah saya sendiri dengan arahan dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian Karya Ilmiah Praktik Akhir ini.
Apabila dikemudian hari pernyataan yang saya buat tidak sesuai, maka saya
bersedia dicabut gelar kesarjanaannya oleh Politeknik Ahli Usaha Perikanan.
Perikanan.
Materai 10.000
Patrisius Toma
54185112442
© Hak Cipta Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Tahun 2022
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan, tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar Politeknik Ahli Usaha Perikanan.
Kepiting bakau (Scylla spp.) adalah salah satu komoditas sumber daya
perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis
yang sangat tinggi, terutama kepiting yang sudah matang gonad dan sudah dewasa
serta gemuk. Praktik ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan kepiting bakau
(Scylla spp.) di Desa Golo Sepang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara
Timur. Metode yang digunakan adalah observasi secara langsung dan purposive
sampling. Analisis yang digunakan adalah beberapa aspek seperti aspek biologi dan
aspek reproduksi serta aspek perikanan kepiting bakau. Praktik Akhir ini dilaksanakan
selama 90 hari, terhitung mulai tanggal 7 Maret sampai 30 Mei 2022. Praktik ini
dilakukan di satu lokasi yang terdiri dari 5 titik atau stasiun pengambilan sampel di Desa
Golo Sepang. Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang menggunakan perahu atau
sampan dengan ukuran rata-rata panjang perahu kurang lebih 3 sampai 4 meter dan
lebar kurang lebih 70 cm yang secara umum menggunakan perahu atau sampan tanpa
motor dengan menggunakan alat tangkap bubu lipat. Produksi kepiting bakau di Desa
Golo Sepang baru dikenal pemasarannya pada tahun 2021. Berdasarkan hasil
penelitian sampel kepiting bakau yang diambil dari kelima stasiun terdiri dari tiga
spesies yang memiliki persamaan hubungan lebar bobot Scylla serrata bersifat
alometrik posistif atau pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan lebar, S.
paramamosain bersifat alometrik posistif atau pertambahan bobot lebih cepat dari
pertambahan lebar, S. olivicea bersifat alometrik posistif pertambahan bobot lebih
cepat dari pertambahan lebar. Berdasarkan hasil penelitian kepiting bakau jantan
berjumlah 557 ekor dan betina berjumlah 293 ekor sehingga totalnya menjadi 870
sampel. Nelayan disarankan agar menangkap kepiting bakau dengan ukuran lebar >
12 cm dan bobot >150 gram. Pemasaran kepiting bakau di Desa Golo Sepang
mengalami perubahan akibat adanya pandemi Covid-19. Harga kepiting bakau dengan
berat 200 gram dari harga 110.000 per kilogram turun hingga 65.000 per kilogramnya,
sedangkan yang berat 300 gram sampai 400 gram harga biasanya 130.000 per
kilogram turun hingga 75.000 per kilogramnya. Akibat dari adanya pandemi Covid-19
v
vi
yang menutup alur distribusi dan pembatasan berbagai akses dan pemasaran kepiting
bakau yang menyebabkan penurunan harga kepiting bakau yang berakibat pada
penurunan tingkat pendapatan Nelayan Desa Golo Sepang di masa pandemi Covid-
19.
vi
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah
Praktik Akhir (KIPA) yang berjudul “Pengelolaan Kepiting bakau (Scylla spp.) di
Desa Golo Sepang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur”. Karya
Ilmiah Praktik Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Terapan Perikanan (S.Tr.Pi.) pada Program Studi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan, Politeknik Ahli Usaha Perikanan.
Laporan Karya Ilmiah Praktik Akhir ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu:
Pendahuluan, Metode Praktik, Hasil dan Pembahasan, serta Simpulan dan Saran.
Bimbingan, koreksi, dan saran dari dosen pembimbing (Awaludin Syamsudin, S.St.Pi.,
M.Si. dan Siti Mira Rahayu, S.Pi., M.Si.) dalam mewujudkan sebuah karya ilmiah ini
diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan bagi penulis, khususnya dalam
menyusun karya ilmiah.
Upaya maksimal telah penulis lakukan untuk merampung karya ini, namun
penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan penulis untuk menyempurnakan
karya ilmiah ini.
Penulis
vii
viii
Puji dan sykur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penyusunan Laporan Karya Ilmiah Prakik Akhir ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Selama proses penyusunan karya Ilmiah
Praktik Akhir (KIPA) ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Awaludin
Syamsudin, S.St. Pi., M.Si. dan Ibu Siti Mira Rahayu, S. Pi., M.Si. selaku Dosen
Pembimbing I dan II, yang telah memberikan bimbingan, dorongan, dan semangat
dalam penyusunan Karya Ilmiah Praktik Akhir ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan pula kepada:
1. Dr. M. Hery Riyadi Alauddin, S.Pi., M.Si.
2. Dr. Heri Triyono, A.Pi., M.Kom., selaku Wakil Direktur I Politeknik AUP;
3. Yenni Nuraini, S.Pi., M.Sc., selaku Wakil Direktur II Politeknik AUP;
4. Dr. Ita Junita Puspa Dewi, A.Pi., M.Pd., selaku Wakil Direktur III Politeknik AUP;
5. Dr. Meuthia A. Jabbar, A.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Teknologi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Politeknik AUP;
6. Keluarga tercinta yang telah mendukung secara moril maupun materil;
7. Sahabat, teman, dan saudara seperjuangan selama masa pendidikan di
Program Studi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Politeknik AUP
yaitu Angkatan 54;
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya Ilmiah Praktik
Akhir (KIPA).
viii
DAFTAR ISI
ix
x
DAFTAR TABEL
4 Parameter lingkungan......................................................................................... 20
x
DAFTAR GAMBAR
10 Diagram Nisbah kelamin (a) S. serrata, (b) S. paramamosain dan (c) S. olivicea,.. 23
14 Diagram tingkat umur Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang ......................... 26
16 Diagram pekerjaan sampingan Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang .......... 27
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1111
1 PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pemerintah
dan masyarakat setempat mengenai pengelolaan kepiting bakau yang terdapat di
Desa Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat.
3
2 METODE PENELITIAN
bakau mengikuti naiknya air laut. Posisi bubu dipasang di setiap stasiun yang telah
ditentukan sebagai tempat pengambilan sampel. Sampel diambil dengan cara
menelusuri setiap jebakan berupa bubu yang telah dipasang di setiap stasiun
pengambilan sampel. Sampel kepiting bakau yang tertangkap dihitung jumlahnya,
difoto dan diamati, setelah itu sampel kepiting diletakan ke dalam ember yang
berisi air dan diberi kode pada ember sesuai dengan nama stasiun pengambilan
sampel.
Kepiting bakau hasil tangkapan tersebut kemudian diidentifikasi jenis
kelaminnya. Penentuan jenis kelaminnya dilakukan dengan melihat secara
langsung mengenai ciri-ciri morfologi kepiting bakau yang meliputi: ukuran tubuh
kepiting bakau jantan lebih besar dari kepiting bakau betina, capit kepiting bakau
jantan lebih besar dari betina dan abdomen kepiting bakau jantan berbentuk
segitiga atau huruf “v” sedangkan yang betina membulat dan lebih besar.
Kemudian kepiting bakau diidentifikasi morfologinya untuk mengetahui jenisnya
berdasarkan panduan (Keenan dkk, 1998 dalam Rina, 2016). Kepiting bakau
didata jumlah sesuai spesies dan jenis kelaminnya.
Kepiting bakau diukur lebarnya dengan menggunakan meteran kain
dengan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran dilakukan secara mendatar dari ujung kiri
sampai ujung kanan karapas atau dari ujung interior bagian kepala sampai
posterior bagian bawah karapas. Pengukuran bobot kepiting bakau dilakukan
dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 gram, hasil
pengukuran dicatat masing-masing sesuai dengan jenis dan jenis kelaminya di
setiap stasiun.
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan sampel kepiting bakau
dijelaskan dalam Tabel 1.
bakau dilakukan dengan cara mengukur lebar karapas dan berat total seluruh
tubuhnya untuk menganalisis pola pertumbuhan kepiting bakau dengan
menggunakan analisis regresi (Tahmid et al., 2015). Data pengukuran panjang
bobot secara individu dipergunakan untuk memperoleh sebaran ukuran panjang
dan hubungan panjang bobot. Pola pertumbuhan digambarkan dalam dua bentuk
yaitu isometrik dan alometrik. Untuk kedua pola ini berlaku persamaan (Effendi,
1997 dalam Siringoringo et al., 2017) yaitu:
𝐖 = 𝐚𝐋𝐛
Keterangan:
W = Berat Tubuh rajungan (gr)
L = Lebar karapas Rajungan (cm)
a dan b = konstanta.
Kemudian ditransformasikan ke dalam persamaan linear dengan
dilogaritmakan persamaan tersebut, sehingga bentuk persamaan menjadi.
Keterangan:
W = Berat Tubuh kepiting bakau (gr)
L = Lebar karapas kepiting bakau (cm)
a dan b = konstanta.
Keterangan:
NK = nisbah kelamin
∑J = jumlah ikan jantan (ekor)
∑B = jumlah ikan betina (ekor).
kelas peristiwa pada masa yang akan datang disebut metode deskriptif. Menurut
Usman & Abdi (2012) dalam (Rahmadani and Siburian, 2020), metode deskriptif
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala,
atau hal-hal yang khusus dalam masyarakat. Data yang telah dianalisis kemudian
identifikaskan atau diinterpretasikan sebagai hasil penelitian dan dibahas atau
dikalimatkan sesuai dengan fakta yang ada lapangan, dengan mengacu pada
jurnal - jurnal hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini (Sugiyono, 2010
dalam Tipagau et al., 2021). Analisis deskriptif kualitatif adalah pengolahan data
yang dilakukan dengan menggunakan bahasa - bahasa penulis sendiri secara
sistematis dan bertanggung jawab.
8
3.1 Hasil
3.1.1 Kondisi Umum Lokasi Praktik
Kabupaten Manggarai Barat memiliki luas wilayah 9.450 km² atau hanya
sekitar 6,22% dari luas provinsi NTT, terdiri dari wilayah daratan 2.947,50 km² yang
terdiri atas beberapa pulau besar seperti daratan pulau Flores, Komodo, Rinca,
Longos serta beberapa pulau kecil lainnya. Wilayah lautan yang memiliki luas
7.052,97 km². Suhu udara rata-rata di kabupaten ini berkisar antara 26,8ºC - 28,5ºC
(BPS Kab. Manggarai Barat, 2018).
Golo Sepang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Golo Sepang
merupakan salah satu Desa yang berada di bagian utara laut Flores. Golo Sepang
terkenal sebagai salah satu desa dengan produktivitas perikanannya yang sangat
tinggi yang salah satunya yaitu sebagai penghasil kepiting bakau terbesar di
Kabupaten Manggarai Barat. Desa Golo Sepang merupakan wilayah pesisir
dengan ketinggian wilayah kurang dari 100 mdpl (Hidayatulah at al., 2014).
Berdasarkan profil Desa Golo Sepang, 2019 luas Desa Golo sepang mencapai
57,88 km² atau 19,05% dari luas kecamatan, sebagian besar penduduk desa
bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan peternak. Produksi kepiting
bakau (Scylla spp.) yang cukup tinggi karena didukung oleh habitatnya yang masih
terjaga dalam hal ini yaitu hutan mangrove di Golo Sepang tumbuh di sepanjang
pesisir pantai Desa Golo Sepang dengan ketebalan yang cukup tinggi, frekuensi
genangan berkisar antara 1 – 2 kali dalam sehari selama 2 jam. Salinitas air
bervariasi antara 25-31 ‰, karena dipengaruhi oleh jarak dengan muara. Salinitas
yang agak rendah terdapat pada lokasi yang berdekatan dengan muara,
sedangkan pada lokasi yang berbatasan dengan laut memiliki salinitas yang lebih
tinggi. Kondisi fisik tanah adalah lumpur tanah berwarna hitam serta kedalaman
lumpur berkisar antara 10 – 15 cm (Hidayatulah et al., 2014).
.
3.1.2 Distribusi Kepiting Bakau di setiap stasiun
Distribusi kepiting bakau berguna untuk mengetahui persebaran kepiting
bakau yang ada di setiap stasiun penelitian. Berdasarkan hasil penelitian sampel
Kepiting bakau (Scylla spp.) yang diamati dalam penelitian ini secara keseluruhan
berjumlah 850 sampel pada 5 titik pengambilan. Stasiun 1 berjumlah 244 sampel
yang terdiri dari jantan 160 ekor dan betina 84 ekor, stasiun 2 berjumlah 200 ekor
yang terdiri dari 120 ekor jantan dan 80 ekor betina, stasiun 3 berjumlah 150
sampel yang terdiri 98 ekor jantan dan 52 ekor betina, stasiun 4 berjumlah 150
sampel yang terdiri dari 11 ekor jantan dan 39 ekor betina dan stasiun 5 berjumlah
106 sampel yang terdiri dari 78 ekor jantan dan 38 ekor betina. Sampel kepiting
bakau terbanyak didapatkan di stasiun 1 yang berjumlah 244 sampel sedangkan
sampel kepiting bakau paling sedikit berada di stasiun 5 dengan jumlah 106
sampel.
Berikut ini jenis kepiting bakau berdasarkan Keenan, 1998 dalam Rina,
(2016) yang ditemukan di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 3.
9
1 S. serrata
2 S. paramamosain
3 S. olivicea
120
105
100 100
100
79 75 75
80
Frekuensi
60
60 50
45
37
40 30
25 25 24
20
20
0
1 2 3 4 5
Stasiun
50
30
40 49
45
30 20
21 22
20 18
24 10
10 7 12 5 1 3 8 6
0 0
120
100 110
80 94
88
Frekuensi
82
60
40
20 34
28
14 10 7
0
Lebar (cm)
(c)
Gambar 3 Sebaran lebar karapas kepiting bakau jenis S. serrata selama
penelitian (a) jantan, (b) betina, (c) gabungan
30 20
25 20
20 15 18
15 19 10 14
18 12
10 10
5 5
3 2 2
0 0
100
90
80 86
70
Frekuensi
60
62
50
52
40
30
33
20
23
10 11 4
0
Lebar (cm)
(c)
Gambar 4 Sebaran lebar karapas kepiting bakau S. paramamosain selama
penelitian (a) jantan, (b) betina dan (c) gabungan
Frekuensi
12
20 24 12
22 10
15 8 10
9
10 6
4
5 7
3 4 2 2 2 3
0 0
60
50 56
40
Frekuensi
30 35 34
20
10
11 9 7 2
0
Lebar (cm)
(c)
Gambar 5 Sebaran lebar karapas kepiting bakau S. olivicea (a) jantan, (b)
betina dan (c) gabungan
Berdasarkan hasil analisis data hubungan lebar karapas dan bobot total S.
serrata bersifat alometrik positif artinya pertambahan lebar tidak seimbang dengan
pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar lebih cepat dibandingkan
dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang didapat adalah sebesar
3,14 dengan nilai slope jantan sebesar 3,19 dan nilai slope betina sebesar 2,98.
Setelah dilakukan pengujian kembali, maka grafik korelasi hubungan lebar
karapas dan bobot kepiting bakau S. serrata dapat dilihat pada Gambar 6.
450 400
W = 0.0504L3.192 W = 0.089L2.9781
400
R² = 0.7684 350 R² = 0.7447
350 n=293 n= 132
300
300
250
bobot (g)
250
bobot(g) 200
200
150
150
100
100
50
50
0 0
0 5 10 15 20 0 5 10 15 20
(a) (b)
450
W = 0.058L3.1397
400
R² = 0.7617
350 n=425
300
bobot (g)
250
200
150
100
50
0
0 5 10 15 20
lebar (cm)
(c)
Gambar 6 Hubungan lebar bobot S. serrata (a) jantan, (b) dan (c)
gabungan
15
Berdasarkan hasil analisis data dan bentuk grafik pada gambar 6, bahwa
total sampel S. serrata adalah 425 ekor dan memiliki kisaran lebar 8-17, 8 cm dan
kisaran berat 29-380 gram. Selanjutnya dilakukan uji thitung = -1,64 dan ttabel = 1.97
pada S. serrata. Hasil uji menujukan bahwa thitung < ttabel maka H0 diterima atau b ≠
3 diketahui bahwa hubungan lebar berat S. serrata bersifat alometrik positif yaitu
pertumbuhan lebar lebih lambat dari pertambahan bobotnya. Untuk hasil analisis
regresi dan grafik memiliki persamaan W=0,058L3,1397 dengan koefisien
determinasi adalah R2= 0,7617. Jumlah sampel S. serrata jantan 239 ekor dengan
kisaran lebar karapas 8 cm -17 cm dan bobot bekisar antara 29-380 gram,
sedangkan jumlah sampel betina 132 ekor dengan kisaran lebar karapas 9 cm-
15,5 cm dan kisaran bobot 36 – 297 gram.
Jadi jumlah sampel S. serrata jantan lebih dominan dari betina. Angka
slope (b) S. serrata jantan 3,19 sedangkan betina 2,98, hal ini menujukan bahwa
pertumbuhan S. serrata jantan bersifat alometrik positif atau pertambahan bobot
lebih cepat dari pertambahan lebar, sedangkan pertumbuhan S. serrata betina
bersifat alometrik negatif atau pertambahan lebar lebih cepat dari pertambahan
bobot.
2) S. paramamosain
Berdasarkan hasil analisis data menujukan bahwa hubungan lebar karapas
dan bobot total S. paramamosain bersifat alometrik positif artinya pertambahan
lebar tidak seimbang dengan pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar
lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang
didapat adalah sebesar 3,82 dengan nilai slope jantan sebesar 3,79 dan nilai slope
betina sebesar 3,86. Setelah dilakukan pengujian kembali, maka grafik korelasi
hubungan lebar karapas dan berat kepiting bakau S. paramamosain dapat dilihat
pada Gambar 7.
400 350
350 W = 0.0111L3.7857 W = 0.0097L3.8579
300
R² = 0.7278 R² = 0.7774
300 n=165 n= 106
250
250
bobot (g)
bobot (g)
200
200
150
150
100
100
50 50
0 0
0 5 10 15 20 0 5 10 15 20
lebar (cm) lebar (cm)
(a) (b)
16
400
W = 0.0103L3.8237
350 R² = 0.7505
n= 271
300
250
bobot (g)
200
150
100
50
0
0 5 10 15 20
Lebar (cm)
(c)
Gambar 7 Hubungan Lebar dan bobot S. paramamosain (a) jantan, (b)
betina dan (c) gabungan
Berdasarkan analisis data dan bentuk grafik pada gambar 7, bahwa total
sampel S. paramamosain adalah 271 ekor dan memiliki kisaran lebar 8-15,6 cm
dan kisaran berat 24-295 gram. Selanjutnya dilakukan uji thitung = -6,15 dan ttabel =
1,97 pada S. paramamosain. Hasil uji menunjukan bahwa thitung < ttabel maka H0
diterima atau b ≠ 3 diketahui bahwa hubungan lebar bobot S. paramamosain
bersifat alometrik positif yaitu pertumbuhan lebar lebih lambat dari pada
pertambahan beratnya. Untuk hasil analisis regresi dan grafik memiliki persamaan
W=0,0103L3,8237 dengan koefisien determinasi adalah R2= 0,7505. Jumlah sampel
S. paramamosan jantan 165 dengan kisaran lebar karapas 9 cm – 14,5 cm dan
bobot 38 -295 gram, sedangkan betina 106 sampel dengan memiliki kisaran lebar
karapas antara 9 cm – 14,5 cm dan bobot antara 24-288 gram. Jadi jumlah sampel
S. paramamosan jantan lebih dominan dari betina. Angka slope (b) S.
paramamosan jantan 3,79 sedangkan betina 3,86, hal ini menunjukan bahwa
pertumbuhan kepiting bakau S. paramamosain bersifat alometrik positif atau
pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan lebar.
3) S. olivicea
17
200
Berat (g)
200
150
150
100
100
50
0 50
0 5 10 15 20
0
Lebar (cm) 0 5 10 15 20
Llebar (cm)
(a) (b)
400
350 W = 0.0203L3.5435
R² = 0.704
300
n=154
250
Berat (g)
200
150
100
50
0
0 5 10 15 20
Lebar (cm)
(c)
Gambar 8 Hubungan lebar bobot S. olivicea (a) jantan, (b) betina dan (c)
gabungan
positif yaitu pertumbuhan lebar lebih lambat dari pada pertambahan beratnya.
Untuk hasil analisis regresi dan grafik memiliki persamaan W=0,0203L3,5435
dengan koefisien determinasi adalah R2 = 0,704. Jumlah sampel jantan 99 ekor
dan memiliki kisaran lebar 10-15 cm dan kisaran bobot 38-312 gram, sedangkan
jumlah sampel betina 55 ekor dan memiliki kisaran lebar 9-14,4 cm dan memiliki
kisaran bobot 46-240 gram. Jadi kisaran lebar dan bobot kepiting bakau S. olivicea
jantan memiliki kisaran lebih tinggi. Angka slope (b) jantan 3,68 sedangkan betina
3,54.
c) Nisbah Kelamin
Analisis nisbah kelamin digunakan untuk mengetahui perbandingan antara
jumlah kepiting bakau jantan dan betina di lokasi pengambilan sampel. Total
sampel yang diamati selama praktik sebanyak 850 sampel di 5 stasiun. Sampel
kepiting bakau yang diukur di stasiun 1 berjumlah 244 sampel yang terdiri dari
sampel jantan 160 ekor dan betina 84 ekor, stasiun 2 berjumlah 200 sampel yang
terdiri dari sampel jantan 120 ekor dan sampel betina 80 ekor, stasiun 3 berjumlah
150 sampel yang terdiri dari sampel jantan 98 ekor dan betina 52 ekor, stasiun 4
berjumlah 150 sampel yang terdiri dari sampel jantan 111 ekor dan betina 39 ekor,
stasiun 5 berjumlah 106 sampel yang terdiri dari sampel jantan 68 ekor dan betina
38 ekor. Nisbah kelamin untuk kepiting bakau yang ditemukan selama praktik
disajikan seperti pada Gambar 9.
31% 39%
61%
69%
jantan betina
jantan betina
(a) (b)
37%
63%
jantan betina
(c)
Gambar 10 Nisbah kelamin kepiting bakau (a) S. serrata, (b) S.
paramamosain, (c) S. olivicea
a) Suhu
Suhu perairan berpengaruh terhadap pertumbuhan biota yang ada
didalamnya. Berdasarkan hasil pegukuran yang dilakukan dimasing masing
stasiun yaitu stasiun 1 dengan suhu 31ºC, stasiun 2 dengan suhu 30ºC , stasiun 3
dengan suhu 30ºC, stasiun 4 dengan suhu 29,4 ºC dan stasiun 5 dengan suhu 29,
4ºC. Suhu yang paling tinggi yaitu berada di stasiun 1 karena dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari langsung dan stasiun ini berada di muara sungai
Terang dan suhu yang paling rendah berada di stasiun 5 karena dilindungi oleh
hutan mangrove dan stasiun ini berada di kali Terang yang cukup jauh dari laut.
b) pH
Derajat keasaman atau pH sangat penting dalam berlangsungnya
kehidupan kepiting bakau. Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman atau
pH disetiap stasiun pengambilan sampel nilai derajat keasaman stasiun 1 yaitu
6,8, stasiun 2 yaitu 7, stasiun 3 yaitu 7, stasiun 4 yaitu 7 dan stasiun 5 yaitu 7. pH
terendah berada di stasiun 1 karena berada di muara sungai Terang.
c) Salinitas
Salinitas suatu perairan berpengaruh pada pertumbhan kepiting bakau.
Berdasarkan hasil salinitas perairan di setiap stasiun pengambilan sampel dengan
salinitas yang berkisar antara 15 ppt sampai 25 ppt, salinitas yang terendah berada
di stasiun 4 dan 5 yaitu 15 ppt karena letaknya cukup jauh dari muara sungai
Terang dan adanya pengenceran oleh air tawar sedangkan salinitas yang paling
tinggi berada di stasiun 1 dengan salinitas 25 ppt karena letaknya berada di muara
Sungai Terang sehingga adanya pengaruh air laut yang cukup tinggi.
d) Substrat
Substrat merupakan salah satu penyebab utama kehadiran kepiting bakau,
karena menjamin kelangsungan proses biologi reproduksi dan ketersediaan
makanan alami. Pertumbuhan, kelimpahan dan distribusi kepiting bakau sangat
berpengaruh pada substrat yang ada di habitat kepiting bakau. Berdasarkan hasil
pengamatan tekstur substrat di setiap stasiun pengambilan sampel di ekosistem
mangrove sungai Terang didominasi oleh substrat lumpur berpasir.
e) Pasang Surut
Pasang surut berpengaruh terhadap kualitas suatu perairan yang
memungkinkan kepiting bakau berasosiasi. Berdasarkan hasil pengukuran
pasang surut di di stasiun pengambilan seperti disajikan pada Tabel 8.
Tabel 4 Pasang surut di stasiun pengambilan sampel
Surut (cm) Pasang (cm)
Stasiun
Pagi Sore Pagi Sore
1 0.28 0.45 1.53 1.59
2 0.20 0.22 1.40 1.45
21
b) Alat tangkap
Alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan kepiting bakau adalah Bubu
lipat. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian alat yang digunakan oleh
Nelayan untuk menangkap kepiting bakau adalah bubu lipat. Bubu merupakan alat
tangkap ramah lingkungan. Bubu dipasang pada pagi hari saat kondisi air sedang
surut untuk waktunya tidak bisa ditentukan karena pasang surut setiap harinya
berbeda-beda waktunya. Selang waktu setelah pemasangan bubu sampai
pengecekan berkisar antara 3-4 jam (tergantung cepat naiknya air). Pengecekan
22
bubu yang telah dipasang saat kondisi air sedang pasang (siang hari) yang telah
melewati perangkap bubu. Setelah itu jika terdapat kepiting dan diambil hasilnya
dan bubunya diletakan kembali di tempatnya kemudian diangkat pada sore
harinya.
c) Daerah Penangkapan
Daerah penangkapan merupakan tempat atau lokasi yang sudah menjadi
tempat penangkapan Nelayan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian
daerah penangkapan Nelayan kepiting bakau terdapat di muara sungai yang
terdapat mangrove.
23
24%
40%
36%
SD SMP SMA
10% 20%
23%
20%
27%
42% 36%
22%
12%
28%
32%
28%
12%
28%
32%
28%
3.2 Pembahasan
3.2.1 Distribusi Kepiting Bakau
Distribusi kepiting bakau disetiap stasiun pengambilan sangat dipengaruhi
oleh kondisi parameter lingkungan yang terdiri dari pH, suhu, salinitas, substrat
dan pasang surut. Menurut La Sara (2000) dalam Nurul (2016), distribusi dan
kelimpahan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
seperti parameter fisika dan kimia air dan makanan alami. Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan tiga spesies kepiting bakau yang terdiri dari S. serrata 425
ekor, S. paramamosain 271 ekor dan S. olivicea 154 ekor yang tersebar di 5
stasiun pengambilan sampel. Berdasarkan penyajian (Gambar 2) jumlah kepiting
bakau terbanyak berada di stasiun 1 dengan total 244 ekor yang didominasi oleh
jenis S. serrata, sedangkan yang terendah berada di stasiun 5 dengan jumlah
sampel 106 ekor yang didominasi oleh jenis S. serrata. S. serrata merupakan jenis
kepiting bakau yang paling dominan disetiap stasiun pengambilan sampel, hal ini
disebabkan karena S. serrata cocok berasosiasi dengan parameter lingkungan
yang ada di lokasi penelitian.
Stasiun 1 berada di muara sungai dengan kondisi mangrove yang masih
cukup tebal dan kondisi salinitas air 25 ppt Nilai salinitas optimal yang dapat
27
pada pagi hari berkisar antara -0,5 cm – 0, 28 cm, sedangkan pada sore hari antara
-0,17 cm – 0,45. Pertumbuhan kepiting bakau disuatu stasiun bepengaruh pada
pasang dan surut air, karena kepiting mengikuti gerakan pasang dan surutnya air
laut.
3) S. olivicea
Berdasarkan hasil analisis data menunjukan bahwa hubungan lebar
karapas dan berat total S. olivicea bersifat alometrik positif artinya pertambahan
lebar tidak seimbang dengan pertambahan berat karapas atau pertambahan lebar
lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat. Angka slope (b) total yang
didapat adalah sebesar 3,62 dengan nilai slope jantan sebesar 3,37 dan nilai slope
betina sebesar 3,77. Berdasarkan analisis data (Gambar 8), bahwa total sampel
S. olivicea adalah 154 ekor dan memiliki kisaran lebar 9-16,6 cm dan kisaran berat
38-278 gram Selanjutnya dilakukan uji thitung = -3,74 dan ttabel = 1,74 pada S.
olivicea. Hasil uji menunjukan bahwa thitung < ttabel maka H0 diterima atau b ≠ 3
diketahui bahwa hubungan lebar berat S. serrata bersifat alometrik positif yaitu
pertumbuhan lebar lebih lambat dari pada pertambahan beratnya. Untuk hasil
analisis regresi dan grafik memiliki persamaan W=0,01699L3,1241
W=0,0699L3,1241 dengan koefisien determinasi adalah R2 = 0,7315. Jumlah
sampel jantan 99 ekor dan memiliki kisaran lebar 10-15 cm dan kisaran bobot 38-
312 gram, sedangkan jumlah sampel betina 55 ekor dan memiliki kisaran lebar 9-
14,4 cm dan memiliki kisaran bobot 46-240 gram.
Jadi kisaran lebar dan bobot kepiting bakau S. olivicea jantan memiliki
kisaran lebih tinggi. Angka slope (b) jantan 3,73 sedangkan betina 3,77, hal ini
menunjukan bahwa pertumbuhan S. olivicea bersifat alometrik posistif atau
pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan lebar. Pertumbuhan kepiting
bakau yang baik karena didukung oleh parameter lingkungan yang terdiri dari
mangrove dan substrat lumpur berpasir yang sangat baik untuk kehidupan kepiting
bakau. Suhu air yang berkisar antara 29,4 ºC -31ºC, pH atau keasaman air yang
masih dikatakan baik dengan kisaran 6,8-7, salinitas yang air yang cukup baik
dengan kisaran antara 15-25 ppt layak untuk pertumbuhan kepiting bakau. Pasang
surut air disni sangat berpengaruh juga terhadap tingkat kualitas air yang dapat
mendukung pertumbuhan kepiting bakau, pasang air laut pada pagi hari berkisar
antara 1,12 cm -1,53 cm, sedangkan pada sore hari antara 1,16 cm – 1,59 cm.
Surut air laut pada pagi hari berkisar antara -0,5 cm – 0, 28 cm, sedangkan pada
sore hari antara -0,17 cm – 0,45. Pertumbuhan kepiting bakau disuatu stasiun
bepengaruh pada pasang dan surut air, karena kepiting mengikuti gerakan pasang
dan surutnya air laut. Bagenal dan Tesch (1978) dalam Dewantara Wahyu (2017),
menyatakan bahwa faktor kondisi akuatik berdasarkan perbedaan jenis kelamin,
musim dan lokasi habitat.
c) Nisbah Kelamin (Sex ratio)
Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah rajungan jantan
dan betina dalam suatu populasi dan penting diketahui karena berpengaruh
terhadap kestabilan populasi rajungan pada suatu perairan . Sex ratio atau nisbah
kelamin yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi
(Firdaus et al., 2020). Untuk menentukan atau membedakan antara kepiting bakau
jantan dan betina yaitu cukup melihat abdomenya. Kepiting bakau jantan
32
dan penelitian/ eksplorasi perikanan . Kapal yang digunakan oleh Nelayan kepiting
bakau yaitu perahu, ada yang menggunakan perahu motor dan tanpa motor yang
bisa muat satu sampai dua oarang saja.
b) Alat Tangkap
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 17/PERMEN-
KP/2021, mengatur tentang ukuran tangkap kepiting bakau (Scylla spp.)
diperbolehkan hanya pada ukuran lebar karapas di atas 12 cm dan kepiting bakau
tidak sedang bertelur (Tarigan, 2020). Penangkapan rajungan dibawah ukuran 12
cm sangat disayangkan karena kepitig bakau pada ukuran tersebut merupakan
kepiting bakau yang belum matang gonad (Pradana et al., 2019). Bubu merupakan
alat yang masih tradisional yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap
kepiting bakau. Alat ini terbuat dari bermacam-macam mulai dari berbahan dasar
rotan, kawat, besi, dan jarring. Jenis bubu yang umum digunakan adalah bubu lipat
(collapsible trap) (Majidah, 2018). Alat ini memiliki ukuran 35x25x20 cm. Nelayan
biasanya melakukan pemasangan bubu pada pagi hari saat air surut dan
mengambil atau mengecek bubunya setelah kondisi air pasang. Bubu lipat menjadi
alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan karena mudah dioperasikan,
bisa dilipat sehingga mudah untuk dibawa di perahu dengan jumlah yang banyak
dan harga relatif murah dibanding jenis alat tangkap lainnya (Tarigan, 2020).
Mengingat ketika suatu kawasan pesisir terjadi eksploitasi sumberdaya, tetap
memperhatikan sustainable fisheries (keberlanjutan) dan ramah lingkungan
(Boesono, 2018).
c) Daerah Penangkapan
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian daerah penangkapan
(fishing ground) merupakan daerah yang telah ditentukan oleh nelayan yang
biasanya menjadi tempat penangkapan atau pengoperasian alat tangkap.
Berbagai aktivitas perikanan tangkap merupakan salah satu usaha dari sektor
perikanan dan kelautan, serta merupakan salah sektor yang diandalkan untuk
mengangkat perekonomian dan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir
(Radarwati et al., 2017). Upaya penentuan daerah penangkapan yang dilakukan
oleh nelayan pada umumnya masih bersifat tradisional (Demena et al., 2017).
Masyarakat nelayan kepiting bakau sanggat tergantung pada pasang dan surut air
laut, ketika kondisi pasang airnya tinggi dapat meningkatan hasil tangkapan
kepiting bakau dan sebaliknya jika kondisi pasang air laut rendah maka hasil
tangkapan pun berkurang karena kepiting bakau mengikuti naiknya air laut. Ikan
yang digunakan sebagai umpan penarik kepiting bakau juga berpengaruh pada
hasil tangkapan karena kepiting jika umpan yang digunakan masih segar akan
lebih banyak dan lebih cepat masuk dalam perangkap bubu. Banyaknya jumlah
hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan habitat yang
masih terjaga di suatu perairan. Ketersediaan makanan merupakan salah satu
faktor yang menentukan kelimpahan populasi serta kondisi ikan di suatu
perairan (Oktaviani et al., 2019).
d) Tingkat Pendidikan Nelayan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola pikir
dan tindakan seseorang. Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek yang
menentukan cara berpikir serta keterampilan sesorang dalam bekerja. Pendidikan
34
sekalian melaut, sebagai penjual ikan berjumlah 18 orang dengan persentase 36%
dan penjual sembako berjumlah 11 orang dengan persentase 22%.
h) Pemasaran Kepiting bakau (Scylla spp.) sebelum pandemi Covid-19
Kepiting bakau merupakan salah satu jenis hasil laut yang memiliki protein
yang sangat tinggi bagi tubuh manusia. Pemasaran kepiting bakau yang biasanya
terjadi dikalangan nelayan yaitu nelayan menjual hasil tangkapannya kepada
pengepul dan pengepul menjual atau mengirim hasil tangkapan keluar daerah.
Pemasaran kepiting bakau sebelum adanya pandemi Covid-19 itu berjalan dengan
baik dimana belom adanya berbagai macam aturan terutama dalam proses
pemasaran kepiting bakau. Harga kepiting bakau cenderung tinggi karena
banyaknya permintaan atau peminat konsumsi kepiting bakau. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Nelayan kepiting bakau Desa Golo Sepang harga kepiting
bakau sebelum pandemi Covid-19 untuk berat 200 gram dengan harga 110.000
per kilogramnya dan untuk berat 300 sampai 400 dengan harga 130.000 per
kilogramnya.
Berdasarkan (Gambar 17) penyajian tingkat pendapatan perbulan Nelayan
kepiting bakau Desa Golo Sepang sebelum pandemi Covid-19 jumlah Nelayan
yang diwawancarai sebanyak 50 responden Nelayan kepiting bakau. Tingkat
pendapatan yang paling banyak yaitu dengan jumlah pendapatan 3 sampai 3,5
juta dengan jumlah 16 orang, pendapatan 2,5 juta dengan jumlah 14 orang,
pendapatan 2,5 sampai 3 juta dengan jumlah 14 orang, pendapatan 4 juta dengan
jumlah 6 orang dengan persentase masing-masing pendapatan 3 sampai 3,5 juta
yaitu 32%, 2,5 juta yaitu 28%, 2,5 sampai 3 juta yaitu 28% dan 3,5 sampai 4 juta
12%.
i) Pemasaran Kepiting Bakau (Scylla spp.) ketika Pandemi Covid-19
Pemasaran kepiting bakau merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
Nelayan kepiting bakau dalam menjual hasil tangkapannya. Covid-19merupakan
salah satu wabah penyakit yang melemahkan pertumbuhan semua sektor
perekonomian yang dialami baik Indonesia maupun Dunia. Pandemi Covid-19 ini
tidak hanya berpengaruh pada kesehatan manusia saja, pandemi Covid-19
mengguncang perekonomian global khususnya dalam bidang kelautan dan
perikanan Pandemi Covid-19 tidak hanya berpengaruh pada kesehatan manusia
saja, namun pandemi Covid-19 ini mengguncang perekonomian global khusunya
dalam bidan kelautan dan perikanan (Wulandari, 2021).
Berdasarkan hasil informasi yang diperoleh dari wawancara dengan
Neayan kepiting bakau dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan kepiting bakau
di Desa Golo Sepang setelah adanya pandemi Covid-19 mengalami beberapa
hambatan karena ekspor kepiting bakau ke luar daerah sudah dihentikan.
Pemasaran hasil tangkapan Nelayan kepiting bakau hanya berlangsung di pasar
dengan harga yang sangat murah tetapi dibatasi dan harus mengikuti protokol
Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan nelayan diantaranya adalah
harga ikan yang turun drastis terutama jenis ikan yang menjadi komoditas ekspor
dikarenakan permintaan menurun, pengepul ikan dan perusahaan eksportir ikan
tutup, distribusi ikan mengalami hambatan, serta meningkatnya biaya melaut
karena bahan bakar minyak yang langka sehingga harga menjadi naik (Sari,
Yuliasara, dan Mahmiah, 2020) dalam (Wulandari, 2021). Berdasarkan informasi
36
yang diperoleh dari Nelayan Desa Golo Sepang mereka terpaksa menjual hasil
tangkapan mereka dengan harga murah agar dapat memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Berdasarkan pengisian kuisioner wawanara dengan Nelayan kepiting
bakau harga kepiting bakau setelah pandemi Covid-19 mengalami penrunan
drastis mulau dari yang berat 200 gram dengan harga 65.000 per kilogramnya
sedangkan yang beratnya 300 sampai 400 gram dengan harga 75.000 pr
kilogramnya, distribusi dan pemasaran kepiting bakau pun tidak berajlan normal.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 nelayan kecil merupakan kategori nelayan yang
terkena dampak paling tinggi penderitaannya pada sektor perikanan, penjualan
hasil tangkapan menjadi kendala besar saat ini dikarenakan banyak pengepul ikan
tidak melayani atau membatasi pembelian ikan dari nelayan maupun
pembudidaya.
Covid-19 membawa perubahan yang menuntut nelayan untuk melakukan
adaptasi terhadap perubahan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Nelayan Desa Golo Sepang bentuk distribusi pemasaran kepiting bakau dirubah
rantai distribusi pemasarannya, pemasaran kepiting bakau yang biasanya dijual
dalam jumlah besar, saat ini mulai dijual dalam bentuk kiloan. Strategi ini dilakukan
untuk mempermudah pemasaran kepiting bakau. Penjualan bisa dilakukan melalui
lelang di TPI dan juga dijual kiloan dengan berkeliling. Beberapa adaptasi yang
diakukan oleh Nelayan kepiting bakau nyatanya memberikan dampak positif bagi
nelayan kepiting bakau dimasa pandemi Covid-19 (Wulandari, 2021).
Berdasarkan (Gambar 18) penyajian pendapatan Nelayan kepiting bakau
Desa Golo Sepang setelah pandemi Covid-19 dengan jumlah 50 responden
Nelayan kepiting bakau. Tingkat pendapatan dengan jumlah responden yang
paling banyak yaitu dengan pendapatan 2 sampai 2,5 juta dengan jumlah 16
orang, pendapatan 1,5 sampai 2 juta dngan jumlah 14 orang, pendapatan 1,5 juta
dengan jumlah 14 orang dan pendapatan 2,5 sampai 3 juta dengan jumlah 6 orang
dengan persentase masing masing dengan pendapatan 2,5 sampai 32%,
pendapatan 1,5 juta 28%, pedapatan 1,5 sampai 2 juta 28% dan pendapatan 2,5
sampai 3 juta 12%.
37
4.1 Simpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tiga jenis kepiting bakau yang tersebar
di lima stasiun pengambilan sampel. Jenis S. serrata dengan total 425 sampel
yang terdiri dari 293 ekor jantan dengan persentase 71% dan 132 ekor betina
dengan persentase 29%, S. paramamosan dengan total 271 sampel yang terdiri
dari 165 ekor jantan dengan persentase 61% dan betina 106 ekor dengan
persentase 39%, S. olivicea dengan total 154 sampel yang terdiri dari 99 ekor
jantan dengan persentase 63% dan betina 55 ekor dengan persentase 37%.
2. Pertumbuhan kepiting bakau jenis S. serrata, S. paramamosain dan S. olivicea
di lokasi penelitian bersifat alometrik positif atau pertambahan bobot lebih cepat
dari pertambahan lebar karapas.
3. Pengelolaan kepiting bakau di Desa Golo Sepang mengalami ketimpangan
antara produksi dan pemasaran hasil tangkapan ketika adanya pandemi Covid-
19, hal ini dipicu karena pembatasan pemasaran dan pemberhentian jalur
distribusi, sehingga terjadinya penurunan harga kepiting bakau yang dapat
menurunkan tingkat pendapatan Nelayan.
4.2 Saran
1. Nelayan disarankan untuk menangkap kepiting bakau yang sudah dewasa
dengan lebar diatas 12 cm dengan berat diatas 150 gram dan tidak menangkap
kepiting bakau yang sedang bertelur agar tetap menjaga kelestarianya,
Nelayan juga diharapkan tetap menjaga kelestarian habitat kepiting bakau agar
produktivitas kepiting bakau tetap berkelanjutan.
2. Nelayan dianjurkan agar mencari alternatif lain dari pemasaran kepiting bakau
agar hasil tangkapannya dapat terjual hasil tangkapanya, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, S., Subur, R., Tahir, I., 2019. Pendugaan Ukuran Pertama Kali
Matang Gonad Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) Di Perairan Desa
Sidangoli Dehe Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat.
Jurnal Biologi Tropis 19. Https://Doi.Org/10.29303/Jbt.V19i1.1008
Anas, P., Jubaedah, I., Sudinno, D., 2016. Potensi Lestari Perikanan Tangkap
Sebagai Basis Pengelolaan Sumberdaya Di Kabupaten Pangandaran.
Jurnal Penyuluhan Perikanan Dan Kelautan 10, 88–99.
Andini, B.C.F., 2021. Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan
Fakultas Perikanan Universitas Gunung Rinjani Selong 202 39.
Andriyani, R., 2017. Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan 111.
Ari Atu Dewi, A.A.I., 2018. Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis
Masyarakat: Community Based Development. J. Penelit. Huk. Dejure 18,
163. Https://Doi.Org/10.30641/Dejure.2018.V18.163-182
Ariska, Puput Elisia, And Budi Prayitno. 2019. “Pengaruh Umur , Lama Kerja ,
Dan Pendidikan Terhadap Pendapatan Nelayan Di Kawasan Pantai
Kenjeran Surabaya Tahun 2018.” Economie 01(1):38–47.
Arissandi, Devi, Christina T. Setiawan, And Rahayu Wiludjeng. 2019. “2 3 123.”
Jurnal Borneo Cendekia 3(2):40–46.
Asmara, H., Psl, S., Riani, E., Susanto, A., Raya, J.C., Cabe, P., 2011. Analisis
Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di
Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal
Matematika 12, 7.
Aswady, T.U., Asriyana, Halili, 2019. Rasio Kelamin Dan Ukuran Pertama Kali
Matang Gonad Ikan Kakatua ( Scarus Rivulatus Valenciennes , 1840 ) Di
Perairan Desa Tanjung Tiram , Kecamatan Moramo Utara Kabupaten
Konawe Selatan. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan 4, 183–190.
Azizi, N.A., Saputra, S.W., Ghofar, A., 2020. Hubungan Panjang - Berat, Faktor
Kondisi Dan Ukuran Pertama Kali Tertangkap Ikan Tuna Sirip Kuning
(Thunnus Albacares) Di Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap Length -
Weight Relationship, Condition Factors And Legth Of The First Time
Caught Of Yellowfin T. Management Of Aquatic Resources Journal
(Maquares) 9, 90–96. Https://Doi.Org/10.14710/Marj.V9i2.27764
Bps. Manggarai Barat, (2018). Mnaggarai Barat Dalam Angka.
Budiman, M.S., Iskandar, B.H., Soeboer, D.A., 2017. Penataan Sertifikasi
Kompetensi Awak Kapal Penangkap Ikan Di Indonesia. Jurnal Teknologi
Perikanan Dan Kelautan 7, 145–152. Https://Doi.Org/10.24319/Jtpk.7.145-
152
Cahyadinata, I., 2019. Pengelolaan Perikanan Kepiting Bakau 159.
Courtney, Y., Courtney, J., Courtney, M., 2014. Improving Weight-Length
Relationships In Fish To Provide More Accurate Bioindicators Of
39
Hendrayana, H., Husni, I. A., & Raharjo, P. (2021). Dampak Pandemi Covid 19
Terhadap Nelayan Kepiting Bakau Di Desa Mojo, Pemalang. Prosiding,
10(1).
Hertini, E., Gusriani, N., 2013. Maximum Sustainable Yield (Msy) Pada Perikanan
Dengan Struktur Prey-Predator. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan
Teknologi Nuklir 307–311.
Hidayat, T., Yusuf, H.N., Nurulludin, N., Pane, A.R.P., 2018. Parameter
Populasi Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Perairan Pasaman Barat.
Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap 9, 207.
Https://Doi.Org/10.15578/Bawal.9.3.2017.207-213 Hidayatullah, M., And
Eko Pujiono. "Struktur Dan Komposisi Jenis Hutan Mangrove Di Golo
Sepang–Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat." Jurnal
Penelitian Kehutanan Wallacea 3.2 (2014): 151-162.
Husni, I.A., Raharjo, P., 2020. Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap
Nelayan Kepiting Bakau Di Desa Mojo, Pemalang 5.
Iromo, H., Zein, Y.A., 2019. Pelurusan Pemahaman Peraturan Pemerintah
Tentang Budidaya Kepiting Bakau Di Kalimantan Utara 3, 9.
Majidah, L. (2018). Analisis morfometrik dan kelimpahan kepiting bakau (scylla sp)
di wilayah hutan mangrove di Desa Banyuurip kecamatan Ujung Pangkah
kabupaten Gresik Jawa Timur (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel
Surabaya).
Manggabarani, I., 2016. Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Yang
Bermukim Di Pesisir Pantai (Studi Kasus Lingkungan Luwaor Kecamatan
Pamboang, Kabupaten Majene) 1, 7.
Masitoh, L. K. (2021). Kelimpahan dan Struktur Ukuran Kepiting Bakau (Scylla
Serrata) Pada Habitat Mangrove Di Desa Banyuurip Kecamatan Ujung
Pangkah Kabupaten Gresik.
Mawaluddin, Palupi, R.D., Halili, 2016. Komposisi Ukuran Kepiting Rajungan (
Portunus Pelagicus ) Berdasarkan Fase Bulan Di Perairan Lakara ,
Konawe Selatan , Sulawesi Tenggara [ The Size Composition Of
Blue Swiming Crab (Portunus Pelagicus ) Based On The Moon Phase In
Lakara Waters Of South K. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan
1, 299–310.
Michael, S. C., Kaligis, E. Y., & Rimper, J. (2020). Deskripsi, keanekaragaman
jenis dan kelimpahan kepiting (Bracyura decapoda) di perairan Bahowo
Kelurahan Tongkeina Kecamatan Bunaken Kota Manado. Jurnal Pesisir
dan Laut Tropis, 8(1), 91-97.
Munana, N., Irwani, I., Widianingsih, W., 2021. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau
(Scylla Serrata) Di Perairan Desa Bandengan Kendal. J. Mar. Res. 10, 14–
22. Https://Doi.Org/10.14710/Jmr.V10i1.28990
Muhammad, Sahri, Anthon Efani, Soemarno Soemarno, And Mimit Primyastanto.
2012. “Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Payang Di Selat Madura,
Jawa Timur.” Jurnal Wacana 15(2):12–19.
Muttaqin, I., Julyantoro, P.G.S., Sari, A.H.W., 2018. Identifikasi Dan Predileksi
Ektoparasit Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Dari Ekosistem Mangrove Taman
41
Tresnati, J., Mallawa, A., Rapi, N.L., 2012. Size Structure, Age Groups And Growth
Of Squid Loligo Pealeii In The Waters Of Barru Regency, South Sulawesi.
Presented At The Proceedings Of The Annual International Conference,
Syiah Kuala University-Life Sciences & Engineering Chapter.
Wally, W.M., Matdoan, M.N., Arini, I., 2020. Keanekaragaman Dan Pola
Distribusi Jenis Kepiting Bakau (Scylla Sp) Pada Zona Intertidal
Pantai Dusun Wael Kabupaten Seram Bagian Barat. Biopendix 6,
117–120. Https://Doi.Org/10.30598/Biopendixvol6issue2page117-
120
Wijaya, N.I., Yulianda, F., 2019. Model Pengelolaan Kepiting Bakau Untuk
Kelestarian Habitat Mangrove Di Taman Nasional Kutai Provinsi
Kalimantan Timur. Bum. Lest. J. Environ. 19, 1.
Https://Doi.Org/10.24843/Blje.2019.V19.I01.P01
Wijaya, N.I., Yulianda, F., Boer, M., 2010. Di Habitat Mangrove Taman
Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur 20.
Yahya, N.M., 2016. Distribusi Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Di Perairan 36.
Yahya, Nurul Musyariafah. "Distribusi Kepiting Bakau (Scylla Spp.) Di Perairan
Ekosistem Mangrove Estuari Sungai Donan Segara Anakan Bagian Timur,
Cilacap."
Yulianti, Y., & Sofiana, M. S. J. (2018). Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp.) di
Kawasan Rehabilitasi Mangrove Setapuk, Singkawang. Jurnal Laut
Khatulistiwa, 1(1), 25-30.
Yunus, B., Suwarni, S., & Santy, A. I. (2018). Hubungan Lebar Karapas–Bobot,
Faktor Kondisi, dan Kelimpahan Kepiting Bakau Scylla Serrata Forsskål,
44
LAMPIRAN
jual
1 sembak Mangg 3,000,00 3,000,00
9 Servas 36 SD 5 o arai 0 0
jual
2 sembak Mangg 2,500,00 2,000,00
0 Tasri 40 SD 7 o arai 0 0
2 Mangg 3,500,00 1,500,00
1 Rasi 42 SD 6 jual ikan arai 0 0
2 4,000,00 2,500,00
2 Aco 30 SMP 5 jual ikan Bima 0 0
2 3,000,00 3,000,00
3 Sudin 45 SMP 4 jual ikan Bima 0 0
2 2,500,00 2,000,00
4 Ismail 40 SMP 6 jual ikan 0 0
2 nelayan Mangg 2,500,00 1,500,00
5 Fajar 24 SD 3 ikan arai 0 0
2 nelayan Mangg 2,500,00 1,500,00
39 SMP
6 Giran 3 ikan arai 0 0
2 nelayan 3,000,00 2,000,00
38 SD
7 Budi 4 ikan Bima 0 0
2 nelayan 3,500,00 2,500,00
44 SD
8 Jarot 8 ikan Bima 0 0
2 nelayan 2,500,00 2,000,00
45 SD
9 Gafur 8 ikan Bima 0 0
3 nelayan 4,000,00 3,000,00
28 SMA
0 Supri 4 ikan Bima 0 0
3 Yosep nelayan Mangg 3,000,00 2,000,00
SD
1 Palu 42 3 ikan arai 0 0
Hendri
kus
SD
3 Helmo nelayan Mangg 2,500,00 2,000,00
2 n 30 4 ikan arai 0 0
3 Phlipus nelayan Mangg 3,500,00 2,000,00
SD
3 Pen 40 6 ikan arai 0 0
Frans
3 Vilix SD nelayan Mangg 3,000,00 2,000,00
4 Virgo 28 5 ikan arai 0 0
3 Nikolau nelayan Mangg 2,500,00 1,500,00
SD
5 s Pon 30 4 ikan arai 0 0
Maksi jual
3 mus SMP sembak Mangg 3,500,00 2,500,00
6 Samir 28 4 o arai 0 0
jual
3 Nikolau SMP sembak Mangg 3,000,00 2,000,00
7 s Agut 30 5 o arai 0 0
jual
3 Tinus SMP sembak Mangg 2,500,00 1,500,00
8 Arlen 25 4 o arai 0 0
48
jual
3 Leksi SD sembak Mangg 3,500,00 2,500,00
9 Viktor 35 5 o arai 0 0
4 Paulus Mangg 3,500,00 2,500,00
SD
0 Nimpa 38 3 jual ikan arai 0 0
4 Mangg 3,000,00 1,500,00
SMA
1 Edison 25 4 jual ikan arai 0 0
4 2,500,00 1,500,00
SMA
2 Ashar 29 5 jual ikan Bima 0 0
4 M. 3,500,00 2,500,00
SMA
3 Syukur 44 6 jual ikan Bima 0 0
4 3,000,00 2,000,00
SMA
4 Ihsan 35 4 jual ikan Bima 0 0
4 Solaem nelayan 3,500,00 3,500,00
SMA
5 an 38 5 ikan Bima 0 0
4 nelayan 3,500,00 2,500,00
SMP
6 Kisman 40 7 ikan Bima 0 0
4 Askar nelayan 4,000,00 2,500,00
SMP
7 Salam 35 4 ikan Bima 0 0
4 A. nelayan 4,000,00 3,000,00
SMA
8 Fanani 29 4 ikan Bima 0 0
4 nelayan 3,000,00 3,000,00
SMA
9 Aksa 36 5 ikan Bima 0 0
5 Lukma nelayan 2,500,00 2,000,00
SMA
0 n 40 7 ikan Bima 0 0
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun 5
8. Koesioner Wawancara
KUSIONER
A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama :
2. Umur : tahun
3. Jenis Kelamin :
4. Status perkawinan:
5. Jumlah tanggungan:
6. Lama berprofesi :
7. Pendidikan Terakhir :
a) Tidak tamat SD
b) SD/Sederajat
c) SMP/Sederajat
d) SMU/STM/SMK
e) Perguruan Tinggi
8. Pekerjaan
a) Utama/Pokok :
b) Sampingan :
9. Berapa penghasilan bapak dalam 1 bulan sebelum pandemi covid-19?
a) <Rp. 350.000,-
54
3
55
14. Perahu/kapal
a) Jumlah :
b) Ukuran perahu (p x 1 x d) :
c) Harga beli :
d) Umur ekonomis :
15. Jenis perahu/kapal motor apa yang Saudara gunakan?
No Pernyataan
1 Menurut Bapak/Ibu, bagaimanakah kegiatan pengelolaan kepiting bakau di desa
Bapak/Ibu?
a. Tidak ada dilakukan sama sekali (tidak oleh pemerintah, masyarakat maupun
lembaga swadaya)
b. Ada, namun hanya sesekali dan dilakukan oleh salah satu pihak saja
c. Ada dan dilakukan oleh salah satu pihak, namun kegiatannya belum
terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)
d. Ada dan dilakukan oleh semua pihak, namun belum terprogram dan jadwalnya
tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)
e. Ada dan dilakukan oleh semua pihak secara teratur dan terprogram
2 Bagaimana kegiatan pemasaran kepiting bakau di desa Bapak/Ibu setelah pandemi
covid-19 ?
a. Tidak pernah dilakukan
b. Berjalan dengan baik
c. Terjadi beberapa hambatan dan kendala dalam pemasaran
d. Sekali saja dalam seminggu
e. Ditentukan oleh pemerintah setempat mengenai pemasaran.
3 Bagaimanakah kegiatan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat tentang
pengelolaan kepiting bakau?
a. Tidak pernah dilakukan penyuluhan/sosialisasi
b. Pernah dilakukan penyuluhan/sosialisasi sesekali oleh salah satu elemen saja,
misalnya pemerintah.
56
16. Menurut pengamatan Bapak/Ibu bagaimana pemasaran kepiting bakau yang terjadi
pada masa sebelum dan setelah pandemi covid-19
17. Apakah terjadi perubahan pemasukan atau mata pencaharian dari bapak atau ibu
sebelum dan sesudah pandemi covid -19? Seberapa besar perubahannya?
RIWAYAT HIDUP