NIKKO DWIJAYASASTRA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Arsitektur Hijau
Desa Adat Penglipuran Bali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nikko Dwijayasastra
NIM A44090003
ABSTRAK
NIKKO DWIJAYASASTRA. Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran
Bali. Dibimbing oleh FITRIYAH NURUL H UTAMI.
Arsitektur hijau merupakan salah satu jawaban dari permasalahan
lingkungan global yang tengah terjadi. Hal ini telah dimulai oleh masyarakat masa
lalu. Salah satu contohnya ialah budaya arsitektur dan penataan lanskap pada
masyarakat tradisional Desa Adat Penglipuran. Terdapat standar penilaian tingkat
hijau yang dikeluarkan oleh United States Green Building Council, yaitu
Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). Kajian ini dilakukan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis konsep arsitektur hijau pada tatanan
lanskap juga arsitektural Desa Adat Penglipuran serta mengukur tingkat hijau desa
menggunakan LEED for Neighborhood Development. Penelitian ini dilakukan
pada Desa Adat Penglipuran yang terletak pada dataran tinggi Kabupaten Bangli,
Provinsi Bali dengan tahapan inventarisasi, analisis dan penilaian berdasarkan
LEED for Neighborhood Development, sintesis, dan rekomendasi. Berdasarkan
observasi, wawancara, dan studi literatur, desa ini memiliki tatanan lanskap, pola
permukiman, dan arsitektur yang utuh hingga sekarang. Desa Adat Penglipuran
memperoleh tingkat Silver berdasarkan penilaian LEED for Neighborhood
Development. Hal ini menguatkan bahwa kearifan lokal masyarakat Desa Adat
Penglipuran telah menerapkan konsep arsitektur hijau sejak dahulu.
ABSTRACT
NIKKO DWIJAYASASTRA. Green Architecture Study of Penglipuran
Traditional Village in Bali. Supervised by FITRIYAH NURUL H UTAMI.
Green architecture is one of the solution for global environment problems
that were happening. This have been initiated by past communities. One example
is landscape and architecture culture in Penglipuran Traditional Village. There is a
green level rating system by United States Green Building Council, which name is
Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). The objectives of this
study were to identified and analyzed green architecture concept in Penglipuran
Traditional Village landscape also architecture, and determined the green level of
Penglipuran Traditional Village using LEED for Neighborhood Development.
The Research activities carried out at Penglipuran Traditional Village which is
located in Bangli District plateau, Province of Bali through the phases of
inventory, analysis and assessment by LEED for Neighborhood Development,
synthesis, and also recommendation. Based on observation, interview, and
literature it have a landscape, settlement pattern, and architecture that hadn't been
changed until now. Penglipuran Traditional Village acquired a Silver level by
LEED for Neighborhood Development. This is confirmed that local wisdom of
Penglipuran Traditional Village communities had implemented the concept of
green architecture since first.
NIKKO DWIJAYASASTRA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan
anugerahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul "Kajian Arsitektur Hijau Desa
Adat Penglipuran Bali" dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan dari bulan Maret-
Mei 2013 pada Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fitriyah Nurul H Utami, ST
MT selaku dosen pembimbing atas bimbingan, masukan, dan arahannya selama
persiapan penelitian hingga penyusunan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Wayan Supat selaku Ketua Adat Desa Penglipuran serta
masyarakat Desa Adat Penglipuran, yang telah membantu selama pengumpulan
data. Terima kasih kepada Bapak Tri Harso Karyono atas bantuannya dalam
pemahaman mengenai arsitektur hijau. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Papa, Mama, Kakak, Alwin, Theresia, Djajasastra, dan Dalung
atas semangat dan doanya. Terima kasih pula kepada seluruh keluarga besar
Arsitektur Lanskap angkatan 46 serta segenap pihak yang telah membantu dan
mendukung terselesaikannya karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Nikko Dwijayasastra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 2
1.3 Manfaat Penelitian 2
1.4 Kerangka Pikir Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau 4
2.2 Arsitektur Hijau 4
2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau 5
2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia 8
2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali 8
2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran 10
3 METODOLOGI 12
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 12
3.2 Metode Penelitian 13
3.3 Batasan Penelitian 19
4 KONDISI UMUM DESA PENGLIPURAN 20
4.1 Aspek Fisik 20
4.2 Aspek Sejarah 21
4.2 Aspek Sosial dan Budaya 22
4.3 Aspek Ekonomi 23
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 24
5.1 Lanskap dan Arsitektur Desa Adat Penglipuran 24
5.2 Identifikasi dan Analisis Konsep Arsitektur Hijau 28
5.2.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung 28
5.2.2 Desain dan Pola Permukiman 36
5.2.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau 43
5.3 Penilaian LEED Neighborhood Development Rating System 51
5.3.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung 51
5.3.2 Desain dan Pola Permukiman 52
5.3.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau 54
5.3.4 Tingkat Hijau Lanskap Desa Adat Penglipuran 55
5.4 Rekomendasi 57
6 SIMPULAN DAN SARAN 60
6.1 Simpulan 61
6.2 Saran 61
DAFTAR PUSTAKA 62
LAMPIRAN 64
RIWAYAT HIDUP 91
DAFTAR TABEL
1 Parameter LEED for neighborhood development rating system 6
2 Jenis, bentuk, cara pengambilan, dan sumber data yang akan diambil 14
3 Kriteria LEED for neighborhood development rating system yang
digunakan 15
4 Penggunaan lahan Desa Adat Penglipuran 20
5 Jumlah penduduk desa berdasarkan kelompok umur 23
6 Proporsi penduduk berdasarkan mata pencaharian 23
7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung 51
8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman 52
9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau 54
10 Tingkat hijau Desa Adat Penglipuran 55
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Standar Penilaian LEED for Neighborhood Development
Rating System 2007 64
2 Glosarium 90
1 PENDAHULUAN
TingkatHijau
Tingkat HijauLanskap
LanskapDesa
DesaAdat
Penglipuran Baliberdasarkan
Penglipuran berdasarkan
LEEDfor
LEED forNeighbourhood
Neighborhood Development
DevelopmentRating
RatingSystem
System
2 TINJAUAN PUSTAKA
Robert dan Brenda Vale (1991) mengatakan bahwa pendekatan hijau untuk
lingkungan binaan melibatkan pendekatan holistik dengan desain bangunan,
semua sumber daya yang masuk pada sebuah gedung akan menjadi material,
bahan bakar, atau kontribusi pengguna yang perlu untuk dipertimbangkan jika
arsitektur berkelanjutan dibuat untuk kesehatan manusia. Pendapat Sim Van Der
Ryn dan Calthorpe (1996) menjelaskan bahwa kita harus dapat memasukkan
sebuah pemahaman ekologi yang mendalam pada suatu desain dari produk,
bangunan, dan lanskap.
Menurut Brenda dan Robert Vale (1991), terdapat 6 prinsip dasar dalam
perencanaan Green Architecture:
1. Conserving energy, yang berarti sebuah karya arsitektur seharusnya didesain
atau dibangun dengan pertimbangan yang meminimalisir penggunaan bahan
bakar fosil.
2. Working with climate, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk
bekerja baik dengan iklim dan sumber daya energi alam.
3. Minimizing new resources, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk
meminimalisir penggunaan sumber daya dan pada akhir penggunaan dapat
dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.
4. Respect for users, arsitektur hijau mempertimbangkan kepentingan manusia
yang terlibat didalamnya.
5. Respect for site, suatu karya arsitektur didesain dengan meminimalisir
perusakan alam.
6. Holism, semua prinsip diatas harus menyeluruh dijadikan sebagai
pendekatan dalam membangun sebuah lingkungan.
3 METODOLOGI
Penelitian Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran di Bali ini hanya
menggunakan 36 kriteria dalam 3 parameter (dari total 49 kriteria dalam 4
parameter) untuk melakukan penilaian tingkat hijau berdasarkan LEED for
Neighborhood Development Rating System yang dikeluarkan oleh USGBC.
Rekomendasi berupa model lanskap desa diberikan berdasarkan hasil penilaian
tingkat hijau dan tata ruang Desa Adat Penglipuran.
20
4.1.1 Geografis
Desa Adat Penglipuran termasuk dalam batas administratif pemerintahan
wilayah Desa Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa Adat
Penglipuran memiliki luas wilayah 113 Ha yang terdiri dari pekarangan, hutan
bambu, hutan vegetasi lainnya, lahan pertanian, dan permukiman. Desa Adat
Penglipuran terletak 5,5 km sebelah utara Kota Bangli, serta memiliki batas-batas
fisik wilayah sebagai berikut:
Utara : Desa Adat Kayang
Timur : Desa Adat Kubu
Selatan : Desa Adat Gunaksa
Barat : Desa Adat Cekeng, Sungai Sangsang
Sungai Sangsang yang terdapat pada sebelah barat desa memiliki tebing
yang curam dan air yang bersih mengalir dari utara ke selatan. Sungai ini masih
dimanfaatkan penduduk sekitarnya sebagai pemandian umum, juga sebagai
sumber air ketika air PDAM sedang mati. Jarak tempuh dari Desa Adat
Penglipuran menuju sungai tersebut kurang lebih 750 meter (Pemkab Bangli
2010).
4.1.2 Topografi
Desa Adat Penglipuran terletak pada ketinggian 500-600 m diatas
permukaan laut, sehingga termasuk wilayah dataran tinggi. Permukaan tanah pada
desa mempunyai perbedaan tinggi 5-15 m. Jenis tanah berupa lempung berpasir
berwarna kemerahan (latosol). Terletak pada dataran tinggi yang berlereng
membuat daerah sekitar desa ini banyak dikelilingi kondisi tanah yang curam dan
berupa hutan. Desa ini memanjang dari utara hingga ke selatan dengan kontur
yang menurun (Dwijendra 2003).
4.1.4 Iklim
Ditinjau dari segi iklim, Desa Adat Penglipuran memiliki suhu berkisar
antara 18-32 C dan curah hujan rata-rata berkisar 2000-2500 mm/tahun. Curah
hujan tertinggi terjadi bulan Desember-Maret dan terendah pada bulan Agustus
(BPS Pemkab Bangli 2008). Pada tahun 2009 Desa Adat Penglipuran memiliki
curah hujan rata-rata sebesar 2573 mm/tahun, suhu rata-rata mencapai 29 C
dengan kelembaban udara mencapai 85% (BPS Pemkab Bangli 2010).
Desa Adat Penglipuran secara pasti tidak diketahui kapan pertama kali
ditempati. Masyarakat mengakui bahwa desa ini terbentuk pada jaman Kerajaan
Bangli yang dimana Kota Bangli sendiri saat ini sudah berusia kurang lebih 793
tahun (Dwijendra 2009).
Kata Penglipuran sendiri memiliki dua arti berbeda yang diakui oleh
masyarakat dan pemuka adat setempat. Arti yang pertama berasal dari kata lipur
yang berarti menghibur. Pondok di hutan sebagai tempat untuk menghibur hati
22
sembari bekerja di ladang yang kemudian menjadi sebuah desa Penglipuran. Arti
kedua berasal dari pengeling pura, sebuah tempat suci untuk mengenang leluhur.
Konon masyarakat Penglipuran pernah bertempur mewakili Kerajaan Bangli
melawan Kerajaan Gianyar sehingga dihadiahkan sebuah tanah oleh Raja Bangli
yang lokasinya sekarang adalah Desa Penglipuran (Dwijendra 2009).
Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah desa yang tidak terkena pengaruh
besar pada masa Hindu-Majapahit karena letaknya yang jauh dari pusat kekuasaan
Samprangan-Gianyar. Padmasana sebagai wujud fisik dan simbol pemersatu
umat Hindu yang saat itu terpecah dalam kasta, baru diterima oleh masyarakat
Penglipuran pada tahun 1930. Rumah-rumah tinggal pada Desa Adat Penglipuran
belum semua memiliki padmasana sampai saat ini (Bagus 1979). Desa Adat
Penglipuran mulai ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Pemerintah Daerah Bali
pada tahun 1992 (Astuti 2002).
Desa Adat Penglipuran terbagi atas tiga zona besar (hulu, antara, dan teben)
yang memanjang dari utara sampai selatan termasuk dalam desa dengan pola
linier. Sumbu linier pertama terlihat jelas berupa ruang terbuka dan jalan pada
bagian tengah desa yang memanjang dari arah utara hingga selatan desa (vertikal).
Sumbu linier ini membagi desa menjadi dua bagian besar, yaitu barat dan timur
(horizontal). Sumbu linier kedua merupakan pola memanjang (arah barat-timur)
dari kavling rumah tinggal pada area inti desa. Ruang terbuka di tengah dan
kavling rumah tinggal ini merupakan perwujudan dari pola dasar Nawa Sanga
(Gambar 9).
Pola linier desa ini mendapat aksen dengan mengikuti arah gunung dan laut
sehingga menjadikan Desa Adat Penglipuran memiliki tempat tertinggi pada
bagian utara (gunung) dan terendah pada bagian selatan (laut). Pada ujung utara
(kaja/hulu/utama) terdapat Pura Puseh Desa (tempat memuja Dewa Brahma
25
sebagai manifestasi Tuhan selaku pencipta) dan Pura Penataran (tempat memuja
Dewa Wisnu sebagai manifestasi Tuhan selaku pemelihara) serta hutan bambu
sebagai area laba pura (lahan yang hasilnya khusus diperuntukkan untuk
kepentingan pura/ibadah/suci). Bagian utara ini merupakan tempat paling suci
pada desa. Bagian tengah desa (madya/antara) merupakan area pemukiman inti
desa dimana terdapat kebun atau tegalan, balai desa atau balai banjar, dan kavling
rumah tinggal yang memanjang dari arah barat sampai timur. Bagian ujung
selatan (Nista/Teben) yang merupakan tempat terendah pada desa terdapat
kuburan desa, Pura Dalem (tempat memuja Dewa Ciwa sebagai manifestasi
Tuhan selaku pelebur), Taman Makam Pahlawan (monumen perjuangan untuk
mengenang leluhur), sekolah dasar, kandang ternak (ayam, sapi, dan babi) dan
tegalan (Gambar 9). Sirkulasi Desa Adat Penglipuran terbagi menjadi dua, yaitu
sirkulasi khusus pejalan kaki dan sirkulasi untuk kendaraan bermotor. Jalan yang
mengikuti pola linier pada bagian tengah desa merupakan sirkulasi khusus pejalan
kaki dan menjadi jalur utama desa yang berupa jalur pedestrian. Jalur pedestrian
ini memanjang pada bagian inti desa dari utara hingga selatan. Sirkulasi untuk
kendaraan bermotor melingkari bagian terluar inti desa yang biasa disebut oleh
masyarakat desa sebagai jalan lingkar. Setiap kavling rumah tinggal pada area inti
desa terhubung pada jalan lingkar ini.
Pola Desa Adat Penglipuran selain terbagi menjadi tiga bagian (utama/suci,
madya, nista) dapat terlihat dari letak hutan serta tegalan yang berada pada bagian
terluar area inti desa. Hutan dan tegalan ini seakan-akan membentengi area inti
desa dari lingkungan luar dan menjadi batas terluar desa. Sebuah jalan berukuran
4 meter menghubungkan pintu masuk desa dengan jalan kolektor pada Kelurahan
Kubu.
Pemukiman penduduk terdiri dari kavling-kavling rumah tinggal dengan
lebar rata-rata 8.5 m dan memanjang kebelakang sampai pada jalan lingkar
disekeliling area pemukiman. Masing-masing kavling terbagi atas tiga zona secara
horizontal (Konsep Tri Mandala), yaitu area tempat suci keluarga (sanggah)
sebagai zona utama pada bagian timur laut (kaja-kangin), area tempat tinggal
(pawongan) sebagai zona madya pada bagian tengah, dan area MCK, tempat
sampah, serta kandang ternak terletak pada zona terluar (nista) dari kavling
tersebut. Area tempat tinggal pada zona madya terdiri dari dapur tradisional di
sebelah utara, Bale Saka Enem di bagian selatan, dan Loji di sebelah barat sebagai
tempat tidur keluarga dan tempat menerima tamu. Ruang terbuka juga terdapat
pada bagian tengah kavling rumah tinggal berupa pekarangan. Pola ini masih
terlihat utuh hingga sekarang dan dipertahankan dalam setiap kegiatan
pembangunan oleh warga desa. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan
perubahan pada zona nista dengan mendirikan bangunan-bangunan tempat tinggal
baru. Hasil observasi lapang juga menunjukkan banyaknya bangunan-bangunan
rumah tinggal baru diluar area inti desa (Gambar 10). Menurut Jro Bayan
Duwuran dan Jro Bendesa (sesepuh desa), jumlah kavling di Desa Adat
Penglipuran sejak semula sampai kini tetap, yaitu 77 buah. Salah satu diantaranya
disebut karang memadu dan 76 buah sisanya disebut karang kerti (tempat
pengabdian/tempat tinggal). Setiap karang kerti disertai sebidang tanah garapan
yang disebut cecatu (sawah, tegalan, dan hutan bambu). Seluruh kavling rumah
tinggal beserta lahan di dalam area Desa Adat Penglipuran sepenuhnya menjadi
milik Desa Adat sedangkan penghuninya hanya memperoleh hak pakai dan hak
26
guna bangunan. Kavling rumah beserta lahan garapan tidak diijinkan untuk
dibangun diluar ketentuan adat dan awig-awig sehingga tidak mungkin untuk
diperjualbelikan.
Pada area pertanian (tegalan) selain kebun dan ladang juga terdapat kandang
ternak. Ternak yang banyak dihasilkan di desa ini ialah ayam potong. Kandang
ayam potong terletak pada bagian selatan dekat dengan jalan lingkar desa.
Fasilitas Agro Tourism juga terdapat di sebelah selatan desa pada area ini.
oleh angkutan umum sehingga warga desa harus menggunakan kendaran seperti
sepeda motor untuk mencapainya. Desa Adat Penglipuran memiliki satu Sekolah
Dasar pada bagian selatan desa yang berjarak 450 m dari area permukiman
sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
memiliki air yang masih bersih dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Namun karena sungai ini terletak pada lereng yang curam, masyarakat desa jarang
memanfaatkan sungai ini. Masyarakat desa menggunakan PAM sebagai sumber
air bersih mereka. Peraturan adat desa melarang warganya membuang sampah dan
limbah apapun pada sungai ini karena badan air ataupun sumber air merupakan
benda yang disucikan.
5. Hutan bambu tidak diijinkan diubah fungsinya menjadi lahan pertanian, area
terbangun, ataupun fungsi lainnya. Apabila dalam keadaan harus melalui
musyawarah adat bersama warga.
6. Seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalam hutan bambu tersebut tidak
diijinkan untuk diburu atau dibunuh.
7. Warga yang tidak mematuhi peraturan adat tersebut akan mendapat sanksi
sosial berupa pengucilan.
Fasilitas parkir pada setiap rumah hampir serupa, yaitu berupa lahan kosong
yang ternaungi oleh atap. Pengamatan lapang pada 4 rumah sampel menunjukkan
dua rumah tinggal tersebut membangun sebuah bangunan khusus untuk
kendaraan (garasi) sedangkan 2 rumah lainnya hanya menggunakan area-area
yang ternaungi untuk memarkir kendaraan mereka (Gambar 26).
Jarak sampel pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara berurutan menuju
lapangan adalah 144 m, 187 m, 347 m, dan 386 m. Jarak sampel pertama, kedua,
ketiga, dan keempat secara berurutan menuju bale banjar adalah 224 m, 170 m,
98 m, dan 138 m. Jarak sampel pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara
berurutan menuju taman makam pahlawan adalah 523 m, 459 m, 338 m, dan 293
m. Jarak tersebut seluruhnya ditempuh melalui jalur pedestrian desa. Luas
lapangan terbuka yang berbatasan dengan area Pura Penataran, hutan alami dan
rumah tinggal warga adalah 1776 m2. Bale banjar yang terletak dekat pintu masuk
desa memiliki luas sebesar 630 m2. Taman makam pahlawan di sebelah selatan
desa dan terletak dekat dengan sekolah dasar memiliki luas 976 m2.
Gambar 31 Letak ruang terbuka desa dan empat sampel rumah tinggal
43
mereka sendiri seperti yang telah diatur dalam peraturan adat dan agama mereka.
Setiap tanggal dan bulan tertentu warga secara khusus melakukan upacara adat
untuk mendoakan alam dan lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka percaya
bahwa alam dan lingkungan tersebut memiliki dampak positif dan negatif bagi
keberlangsungan hidup mereka. Merusak alam dan lingkungan seperti membuang
sampah, mencemari sungai, dan menebang pohon sembarangan selain
mendapatkan sanksi adat yaitu pengucilan secara sosial juga merupakan hal yang
dilarang oleh agama mereka.
tempat (Gambar 39). Tempat sampah tersebut dikelola langsung oleh Dinas Tata
Kota Kabupaten Bangli. Pengolahan limbah kamar mandi pada rumah-rumah
tinggal warga saat ini menggunakan septic tank pada bagian belakang kavling
seperti rumah tinggal pada umumnya. Sisa bahan bangunan yang tidak terpakai
dan rusak digunakan warga sebagai bahan konstruksi kandang ternak pada rumah
mereka.
a b
Gambar 40 a. Pura pada rumah tinggal b. angkul-angkul salah satu sampel
rumah tinggal
49
a b
Pemilihan material pada fasilitas umum seperti jalan, pedestrian, area parkir,
papan penanda, bangku taman, dan bale banjar memiliki kesamaan seperti pada
rumah tinggal mereka. Jalan umum untuk kendaraan memakai material aspal dan
pedestrian dalam area permukiman desa menggunakan beton dengan kombinasi
pasir dan batu kali. Penggunaan paving blok terdapat pada area masuk desa yang
difungsikan sebagai lahan parkir. Pada desa ini belum terlihat adanya penggunaan
material jalan, atap, dan lainnya yang khusus untuk mengurangi efek radiasi dari
sinar matahari. Papan penanda menggunakan material bambu dan kayu yang dicat
agar lebih tahan lama (Gambar 43). Hal serupa juga digunakan pada konstruksi
dan rangka atap dari bale banjar sedangkan bangku taman menggunakan
campuran semen dan pasir yang dibentuk.
Material bambu, kayu, dan alang-alang tergolong bahan bangunan yang
dapat dibudidayakan. Bahan ini dapat diperoleh langsung dari tapak, begitu pula
dengan pengolahannya dilakukan masih dalam area desa sehingga dibutuhkan
energi transportasi yang relatif kecil. Material ini dipergunakan dengan proses
pengolahan yang sederhana dan menghasilkan emisi dalam jumlah kecil. Hampir
75% bangunan dan elemen keras yang ada pada desa menggunakan bahan ini
50
Material berupa pasir dan batu alam seperti batu padas, batu kali, dan
lainnya termasuk bahan bangunan yang dapat digunakan kembali. Material ini
dapat digunakan langsung untuk bangunan dan fasilitas lainnya dengan proses
sangat sederhana yang membutuhkan energi relatif rendah dan emisi yang kecil.
Walaupun bahan ini bersumber dari materi yang tidak dapat terbarukan tetapi
dapat digunakan terus menerus dengan pengolahan tertentu sehingga bahan ini
tergolong bahan bangunan ramah lingkungan. Material yang mengalami
transformasi sederhana juga digunakan pada bangunan dan jalan pada desa ini.
Penggunaan kembali bahan beton, batu bata, dan genting membuat bahan tersebut
tergolong ramah lingkungan. Warga Desa Adat Penglipuran masih memanfaatkan
sisa genting dan batu bata sebagai bahan untuk membuat kandang ternak disekitar
permukiman mereka sehingga sampah yang dibuang pada lingkungan dapat
diminimalkan.
Material aspal pada jalan lingkar desa tergolong bahan yang tidak ramah
lingkungan karena membutuhkan energi yang besar dalam pengolahannya.
Penggunaan bahan kimia atau fosil juga terdapat didalamnya sehingga
membutuhkan energi dan menghasilkan emisi yang tinggi.
51
Heat Island Pada area terbuka (pedestrian, Atap rumah tinggal tradisional
Reduction parkir) menggunakan material desa menggunakan bahan
dengan nilai SRI maksimal 29 bambu, namun infrastruktur
atau menempatkan fasilitas parkir belum memiliki material dengan
pada area ternaungi (pohon, nilai SRI seperti yang 0
bawah tanah) dan ditentukan, penempatan plaza
50% bangunan permukiman parkir tidak pada tempat
menggunakan atap hijau (1 poin). ternaungi, dan tidak adanya atap
hijau.
On-Site Terdapat sumber energi alternatif Tidak terdapat sumber energi
Renewable ramah lingkungan (1 poin). alternatif ramah lingkungan. 0
Energy Sources
Infrastructure Terdapat lampu taman, lampu Tidak terdapat lampu taman,
Energy jalan, pompa air, dan infrastruktur lampu jalan, dan infrastruktur 0
Efficiency hemat energi lain (1 poin). lainnya yang hemat energi.
Wastewater Terdapat pengelolaan air buangan Tidak Terdapat pengelolaan air
Management untuk digunakan kembali sebesar buangan. 0
50% dari jumlah total air buangan
(1 poin).
55
Desa Adat Penglipuran mendapa tingkat Silver (34 poin) dalam penilaian
LEED for Neighborhood Development Rating System. Berdasarkan hasil penilaian
tersebut, terlihat masing-masing parameter memiliki nilai presentase yang berbeda
satu sama lain. Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung
Desa Adat Penglipuran memperoleh nilai 8 poin dari total nilai keseluruhan
sebesar 22 poin atau sebesar 36.36%. Nilai yang didapat Desa Adat Penglipuran
56
awig) dimana terdapat area terbuka hijau/halaman yang lebih luas dari area
terbangun. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga desa tetap menjaga kelestarian
lingkungan alami mereka dalam setiap pengembangan rumah tinggal. Kriteria
kedua ialah heat island reduction yang memiliki persyaratan, yaitu penggunaan
material pada area terbuka terbangun (pedestrian, parkir, jalan) memiliki nilai SRI
maksimal 29 atau menempatkan fasilitas parkir pada area ternaungi. Desa Adat
Penglipuran memiliki jumlah area terbangun 13.64% (25.68 ha) dari 113 ha luas
desa. Hal tersebut menunjukkan bahwa lanskap alami desa lebih dominan
dibanding area terbangun sehingga efek pemanasan lingkungan menjadi lebih
kecil.
Hasil penilaian dari lanskap Desa Adat Penglipuran menggunakan LEED for
Neighborhood Development Rating System menunjukkan bahwa kriteria
keberlanjutan LEED dapat menilai tingkat hijau suatu pemukiman tradisional,
namun terdapat kriteria LEED yang kurang sesuai dengan lanskap, arsitektur, dan
kearifan lokal tradisional Desa Adat Penglipuran. Kearifan lokal para leluhur
sejak dahulu sudah memiliki konsep bagaimana keberlanjutan lingkungan dan
alam harus dijaga. Kearifan lokal tersebut secara turun temurun dilestarikan salah
satunya melalui peraturan adat desa (awig-awig) hingga saat ini. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Desa Adat Penglipuran memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam budaya serta nilai kehidupan mereka yang berhubungan dengan arsitektur
hijau sehingga diperlukan beberapa perbaikan untuk meningkatkan nilai dan
karakter hijau desa.
5.4 Rekomendasi
6.1 Simpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adhika IM. 1994. Peran banjar dalam penataan komunitas: studi kasus kota
Denpasar [tesis]. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor (ID): Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan.
Arrafiani. 2012. Rumah Etnik Bali. Bogor (ID): Griya Kreasi.
Astuti W. 2002. Pariwisata Sehat Desa Penglipuran. Jakarta (ID): Pusat Promosi
Depkes RI.
[BAPPEDAPM Bangli] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan
Penanaman Modal Kabupaten Bangli. 2005. RDTRK Kecamatan Bangli.
Bangli (ID): BAPPEDAPM Bangli.
[BPS Pemkab Bangli] Badan Pusat Statistik Pemerintah Kabupaten Bangli. 2010.
Bangli dalam Angka Tahun 2010. Bangli (ID): BPS Pemkab Bangli.
[BPS Pemkab Bangli] Badan Pusat Statistik Pemerintah Kabupaten Bangli. 2008.
Statistik lingkungan penglipuran 2008. Bangli (ID): BPS Pemkab Bangli.
Bagus IGN. 1979. Prasejarah dan Klasik di Bali. Denpasar (ID): Balai Pustaka
Denpasar.
Barliana MS, Nuryanto, Cahyani D. 2012. Pola pembelajaran pewarisan tradisi
arsitektur berkelanjutan: dari etnoarsitektur ke etnopedadogi. Di dalam: Temu
Ilmiah IPLBI; 2012 November; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): IPLBI.
Hlm 117-120.
Budihardjo E. 1986. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta (ID): Gajah
Mada Univ Pr.
[Disbun Bali] Dinas Perkebunan Bali. 2011. Kopi arabika kopyol [internet].
[diacu 2013 Mei 22]. Tersedia pada: http://www.disbunbali.info
/komoditi_unggulan.php?id_komoditi_unggulan=10.html
Dwijendra KA. 2003. Perumahan dan permukiman tradisional Bali. J
Permukiman Natah. 1(1):4-11.
Dwijendra KA. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Denpasar (ID):
Udayana Univ Pr.
Frickz H. 1998. Ilmu Bahan Bangunan.Yogyakarta (ID): Kanisius.
Hudyana IDGR. 2002. Tenget dalam pembangunan berkelanjutan studi kasus:
revitalisasi kearifan lokal mengenai lingkungan di Desa Adat Penglipuran
Bangli [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Karyono TH. 2010. Green architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau
di Indonesia. Jakarta (ID): Rajawali Pers.
Kasuma IPAW. 2009. Persepsi Masyarakat Adat Sebagai Dasar Perumusan
Konsep Tata Ruang Desa Adat Penglipuran Bali [skripsi]. Surabaya (ID):
Institut Teknologi Sepuluh November.
Kibert CJ. 2008. Sustainable Construction: Green Building Design and Delivery.
Ed ke-2. Canada (US): John Wiley and Sons.
Lugrayasa IN, Sana IW, Mastra IW. 2003. Laporan Eksplorasi dan Penelitian
Bambu untuk Menunjang Industri Kerajinan Rumah Tangga di Kabupaten
Bangli. Denpasar (ID): UPT Konservasi Tumbuhan KRE Bali LIPI.
Maryland Department of the Environment. 1986. Sediment and Stormwater
Administration. Maryland (US): Maryland Dept of the Environment.
63
Morgan HM. 1960. Vitruvius:The Ten Book On Architecture. New York (US):
Dover Publications.
[Pemkab Bangli] Pemerintah Kabupaten Bangli. 2010. Monografi Desa Adat
Penglipuran Kelurahan Kubu. Bangli (ID): Pemkab Bangli.
Prajoko A. 2012. Pertamanan tradisional Bali berlandaskan unsur satyam, siwam,
sundaram, relegi, dan usada [internet]. [diacu 2013 September 18]. Tersedia
pada: http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=11
Pranoto M. 2008. Multilevel urban green area : solusi terhadap global warming
dan high energy building. J Rekayasa Perencanaan. 4(3):1-15.
Priatman J. 2002. ”Energy-efficient architecture” paradigma dan manifestasi
arsitektur hijau. Dimensi Teknik Arsitektur. 30(2):167-175.
Prijotomo J, Sulistyowati M. 2009. Nusantara Architecture as Tropical
Architecture. Surabaya (ID): ITS Pr.
Singh P. 2011. Biogas: more than a source energy [internet]. [diacu 2013 Juli 23].
Tersedia pada: http://www.heifer.org/blog/2011/10/biogas-more-than-a-source-
of-energy.html
Skøtt T. 2006. How much do biogas plant smell. Bioenergy research. 16(1):4-5.
Subur IW. 2003. Pengalaman dalam Mengembangkan Bambu oleh Petani Bambu
Kabupaten Bangli. Bangli (ID): Dinas Pertanian Perkebunan dan Perhutanan
Pemkab Bangli.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung (ID):
Alfabeta.
[USGBC] United States Green Building Council. 2007. Pilot version: LEED for
neighborhood development rating system February 2007. Washington DC
(US): USGBC.
Vale B, Vale R. 1991. Green Architecture: Design for a Sustainable Future. New
York (US): Thames and Hudson Ltd.
Van Der Ryn S, Calthorpe P. 1996. Ecological Design. Washington DC (US):
Island Press.
Wiranto. 1999. Arsitektur vernakular Indonesia: perannya dalam pengembangan
jati diri. Dimensi Teknik Arsitektur. 27(2):15-20.
Widjaja EA, Astuti IP, Arinasa IBK. 2004. New species of bamboos (poaceae-
bambusoideae) from Bali. Reinwardtia. 12(2):199-204.
64
Lampiran 2 Glosarium
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1991 dari ayah Albert
Susilo Kristanto dan ibu Henni Djajasastra. Penulis merupakan putra kedua dari
tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Denpasar pada tahun 2009. Pada
tahun yang sama penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti kepanitian dan organisasi
kemahasiswaan. Organisasi yang aktif diikuti penulis salah satunya adalah
Himpunan Keprofesian Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP). Penulis
juga pernah menjadi ketua panitia pada kegiatan mahasiswa di Departemen
Arsitektur Lanskap, yaitu Indonesia Landscape Architecture Student Workshop
2012. Lomba desain Landmark Summarecon Bekasi pernah diikuti penulis secara
berkelompok.
Penulis pernah mengikuti kegiatan praktik kerja selama menjadi mahasiswa.
Pada bulan Mei 2011 penulis melakukan praktik kerja dengan membuat gambar
rancang taman auditorium di Balai Penelitian Tananaman Rempah dan Obat
(Balittro). Bulan Maret-April 2013 penulis melakukan praktik kerja pada
konsultan desain lanksap dan arsitektur PT Wijaya Tribwana International di Bali.
Penulis juga menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari
DIKTI pada tahun 2011-2012. Selanjutnya pada tahun 2012-2013 penulis
menerima beasiswa dari Tanoto Foundation.