Anda di halaman 1dari 25

PENILAIAN KRITERIA GREEN BUILDING

UNTUK BANGUNAN TELAH TERBANGUN


MENGACU PADA GREENSHIP RATING TOOLS GBC INDONESIA
Studi Kasus : Gedung Rektorat UII, Yogyakarta

Muhammad Andriansyah 17922003


Magister Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2017

BAB I
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Paradigma yang ada dan terbentuk di tengah – tengah masyarakat kini bahwa dunia atau bumi sedang
sakit dan ironisnya semua ini bermuara dari aktivitas manuasia itu sendiri. Hasil kajian Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2007 memastikan bahwa perubahan iklim global yang berefek
atmosfer bumi dipenuhi oleh Gas Rumah Kaca (GRK), kenaikan permukaan air laut, ketersediaan air,
ketahanan pangan, dan kesehatan yang semua ini diakibatkan aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia.
Proses cahaya matahari yang jatuh ke permukaan bumi, kemudian panas matahari tersebut akan dipantulkan
kembali oleh permukaan bumi ke angkasa melalui atmosfer. Sebagian panas matahari yang dipantulkan
tersebut akan diserap oleh gas rumah kaca yang berada di atmosfer lalu panas matahari tersebut kemudian
terperangkap di permukaan bumi, tidak bisa melalui atmosfer sehingga suhu bumi menjadi lebih panas (ITB
environmental engineering student, 2014) yang kemudian disebut dengan efek rumah kaca. Panasnya bumi
mengakibatkan ruang secara global tidak nyaman hingga membuat priaku manusia melakukan kegiatan
dalam memenuhi kebutuhannya demi mencapai kenyamanan yang diinginkan.

Sejarah yang terkait dengan munculnya fenomena perubahan iklim ini adalah dimulianya revolusi
Industri pada pertengahan tahun 1700-an di Inggris ketika mesin mulai menggantikan tenaga kerja manual.
Bahan bakar fosil digantikan angin, air dan kayu, terutama digunakan untuk pembuatan tekstil dan
pengembangan proses pembuatan besi (Mulyadi, n.d.). Secara otomatis revolusi industri mengubah gaya
hidup manusia yang berdampak pada kebutuhan energi akan mesin-mesin industri, kebutuhan energi dalam
kehidupan manusia yang berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan, perbaikan sosial dan dampak
pada sumber daya alam, kesehatan masyarakat hingga saat ini.

Selain perubahan iklim revolusi industri juga berefek pada perkembangan suatu kota. Dibalik dari
dampak dapat mengubah suatu kota menjadi kota yang maju dan modern terutama dalam bidang ekonomi,
sosial dan politik, revolusi industri juga berdampak terhadap kepadatan penduduk yang sangat berpengaruh
terhadap urbanisasi. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang terdiri dari 17,500 pulau, 3.1
juta km2 kawasan perairan, 2 juta km2 daratan, dengan panjang garis pantai 81,000 km dan estimasi jumlah
penduduk sebanyak 267 juta jiwa pada tahun 2013, yang menjadikan Indonesia sebagai negara keempat di
dunia dengan jumlah penduduk yang terbesar (Yulianti, 2011). Arus urbanisasi yang begitu cepat
menjadikan aktifitas kota semakin meningkat tentu dari segi keuntungan ekonomi lebih menggiurkan, dan
meningkatnya pelayanan infrastruktur dan publik. Lagi-lagi ini didasari oleh aktivitas manusia dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Dalam pelayana infrastruktur dan publik bagi masyarakat tentunya pemenuhan pembangunan
gedung digalakkan baik itu gedung pendidikan, pemerintah, maupun pasar yang terkadang lebih
memprioritaskan akan kuantitas bangunan dibanding dengan kualitas bangunan di saat isu pemanasan
global semakin meningkat. Bangunan menjadi salah satu kontributor terbesar gas rumah kaca, yaitu CO2
ke lingkungan sebesar 40%, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim, selain itu 48% dari total
pasokan energi di dunia dikonsumsi oleh bangunan (Anisah, Inayati, Soelami, & Triyogo, 2017). Sementara
pasokan energi kita semakin lama semakin terbatas ketersediaannya.

Dunia pun tidak bisa diam dalam menanggapi kasus-kasus yang telah dijelaskan diatas, khususnya
bagi negara-negara maju yang memiliki tingkat kepadatan tinggi. Mau tak mau pemanasan global yang
mengakibatkan perubahan iklim harus di hadapi, namun dalam artian kehidupan manusia harus bersinergi
terhadap lingkungannya. Salah satu gerakan dalam menghadapi pemanasan global adalah membuat
bangunan lebih hemat energi atau yang disebut dengan konsep green building. Menurut Siti Adiningsih
Adiwoso selain ramah lingkungan, green building atau bangunan hijau dapat memberikan keuntungan
ekonomi lebih terhadap gedung tersebut. Kebanyakan orang berpikir, masalah yang mengintai pada waktu
mendatang adalah kurangnya air akan tetapi sebenarnya, persoalan panas lebih mengancam.

Menurut Siti Adiningsih Adiwoso ketua GBC Indonesia Kita harus kendalikan panas, melalui
pembangunan yang ramah lingkungan. Cara mengendalikan panas adalah dengan menerapkan desain pasif
pada gedung. Desain pasif merupakan desain yang memanfaatkan alam sekitar untuk mencapai
kenyamanan di dalam gedung, contohnya dengan menambah ventilasi dan jendela pada gedung untuk
melancarkan sirkulasi udara serta menambah pasokan cahaya ke dalam ruangan saat siang hari, sehingga
tujuan pengurangan penggunaan energi dapat tercapai, serta menciptakan kualitas udara yang lebih baik
(Ramadhiani, 2014)
Konsep ini sudah digunakan di negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Singapura dan negara
lainnya walaupun konsep masih tergolong baru dalam dunia perancangan gedung. Contohnya negara yang
menerapkan konsep ini adalah Singapura dengan 27 persen area terbangunnya adalah green building.
Terkait hal itu, Singapore Green Building Week 2015 pun digelar sebagai salah satu kiblat bangunan hijau
dunia (Dody, 2015). Atas dasar inilah dengan munculnya konsep green building, maka dibentuklah green
council guna menilai suatu bangunan gedung sejauh mana dalam menerapkan konsep green building.
Negara-negara lain telah berupaya untuk mengatasi masalah energi melalui pembentukan lembaga-lembaga
green assessment contoh seperti Amerika Serikat memiliki LEED, Singapura memiliki Green Mark, dan
Australia memiliki Green Star.

Seiring dengan perkembangan green building di Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 Tahun 2010 tentang Kriteria dan
Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan. Tujuan utama pelaksanaan green building yaitu sebagai bentuk
pelaksanaan dan pengelolaan pembangunan yang menerapkan prinsip lingkungan dan aspek penting dalam
penanganan dampak perubahan iklim. Di Indonesia sendiri sudah ada standar Greenship yang berada di
bawah lembaga sertifikasi nasional Green Building Council Indonesia (GBCI) sebagai lembaga independen
yang sudah berdiri sejak tahun 2009 dan telah diregistrasi oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Indonesia sebagai lembaga penyedia jasa sertifikasi bangunan ramah lingkungan pada tanggal 21 Juli 2011
dengan nomor Registrasi Kompetensi: 001/LPJ/BRL/LRK/KLH. Manfaat dari adanya sertifikasi green
building selain sebagai bentuk usaha penaatan lingkungan juga memberikan keuntungan yaitu peningkatan
citra dan persepsi masyarakat yang pada akhirnya menjadikan nilai market/investasi lebih dibandingkan
dengan gedung konvensional (Komalasari, 2014).

Pada tahun 2013, Kementerian Lingkungan Hidup telah menunjuk lima perguruan tinggi negeri yang
mengarah untuk menjadi kampus hijau (Primartantyo, 2013). Lima kampus itu adalah Universitas Pattimura
Ambon, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas
Cendrawasih Jayapura, dan Universitas Diponegoro Semarang. Sangat disayangkan Universitas Islam
Indonesia tidak masuk dalam kriteria kampus green, walaupun memegang salah satu kampus terbaik di
Yogyakarta. Hingga saat ini gedung-gedung yang berada di Universitas Islam Indonesia tak satu pun yang
mendapatkan sertifikat green building yang dikeluarkan GBCI, padahal kawasan UII mempunyai dominan
ruang vegetasi yang banyak, namun ini belum cukup dan harus mengikuti standar yang dikeluarkan oleh
GBCI.

Dengan demikian studi kasus ini memilih salah satu gedung inti dari Universitas Islam Indonesia
yaitu gedung rektorat UII yang berlokasi Yogyakarta. Gedung ini telah beroperasi kurang lebih dari 10
tahun, mempunyai 4 lantai berfungsi sebagai kantor Rektor sendiri namun juga sebagai pusat administrasi
kampus yang berada ditengah-tengah kawasan kampus terpadu UII. Pemilihan gedung ini dianggap layak
untuk dilakukan kriteria penilaian dengan menggunakan greenship rating tools untuk bangunan yang telah
terbangun atau greenship existing building yang telah ditentukan standar-standar penilaiannya oleh
lembaga Green Building Council Indonesia. Penelitian ini nantinya melakukan penilaian dengan acuan
kriteria yang tersedia di sistem greenship. Dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi arahan
terhadap pihak kampus untuk melakukan penilaian terhadap gedung-gedung lain di kampus UII, sebagai
bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

2.2 Permasalahan
a) Permasalahan Umum
Sejauh mana penerapan konsep green building yang ada di gedung Rektorat Universitas Islam
Indonesia berdasarkan acuan bangunan yang telah terbangun atau greenship existing building
version 1.1 milik dari GBC Indonesia?
b) Permasalahan Khusus
 Apakah gedung Rektorat UII menerapkan acuan yang sesuai dari 6 (enam) kategori greenship
eksisting building secara maksimal?
 Apakah gedung Rektorat UII layak mendapatkan sertifikat green building oleh GBCI?
 Apasaja rekomendasi perbaikan dalam menerapkan konsep green building di gedung Rektorat
UII
2.3 Batasan Masalah
 Objek penelitian adalah gedung Rektorat UII dan aspek yang akan di ukur mengacu pada rating
tools greenship existing building version 1.1 milik dari GBC Indonesia.
 Pengambilan data dalam penilitian ini diambil dari wawancara dan obseravsi lokasi, namun
karena keterbatasan waktu serta pengukuran yang kurang maksimal maka dari itu akan diambil
aspek terpenting dari 6 kategori yang tersedia di greenship existing building diantaranya adalah
sebagai berikut:
Tepat Guna Lahan (Site Management Policy, Motor Vehicle Reduction, Community
Accessibility Policy)
Efisiensi dan Konservasi Energi (Policy and Energy Management Plan, Minimum Building
Energy Performance, Optimized Efficiency Building Energy Performance)
Konservasi Air (Water Management Policy, Water Monitoring Control, Fresh Water Efficiency)

2.4 Tujuan Penelitian


a. Memberikan penilaian yang mengacu pada greenship eksisting building terhadap gedung
Rektorat UII dengan melakukan wawancara dan survey lapangan.
b. Memberikan rekomendasi konsep green building agar dapat menerapkan sesuai kriteria yang
ada di greenship minimal dalam peningkatan penghematan energi sekaligus memberikan
rekomendasi bagi perencanaan gedung baru.

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Green Building
Green building adalah bangunan ramah lingkungan yang dicapai baik dari tahap perencanaan,
pembangunan maupun pengoperasian dan pemeliharaan sehari-hari (Furi, 2016). Perkembangan green
building di Indonesia telah menunjukkan peranannya dalam era globalisasi ini. Green Building juga
merupakan salah satu komponen dalam mendukung pembangunan rendah karbon yakni melalui kebijakan
dan program peningkatan efisiensi energi, air dan material bangunan serta peningkatan penggunaan
teknologi rendah karbon (Komalasari, 2014). Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
08 Tahun 2010 Tentang Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan menjelaskan bahwa
bangunan ramah lingkungan atau green building adalah suatu bangunan yang menerapkan prinsip
lingkungan dalam perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaannya dan aspek penting
penanganan dampak perubahan iklim . Ada beberapa kriteria green building dijelaskan juga dalam
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan material bangunan yang ramah lingkungan
b. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk konservasi sumber daya air
c. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana konservasi dan diversifikasi energi
d. Menggunakan bahan yang bukan bahan perusak ozon dalam bangunan gedung.
e. Terdapat fasilitas sarana dan prasarana pengelolaan air limbah domestic pada bangunan gedung.
f. Terdapat fasilitas pemilahan sampah
g. Memperhatikan aspek kesehatan bagi penghuni bangunan
h. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana pengelolaan tapak berkelanjutan
i. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mengantisipasi bencana
Seperti yang telah dijelaskan diatas, kelayakan sebuah bangunan atau gedung yang menerapkan
green building bukan hanya mempunyai kawasan akan banyaknya vegetasi namun haruslah melewati
penilaian yang nantinya lembaga akan mengeluarkan sertifikat. Pihak yang melakukan sertifikasi
diantaranya adalah Amerika Serikat–LEED, Singapura - Green Mark, dan untuk di Indonesia adalah GBCI.
Green Building Council Indonesia atau Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia adalah asosiasi
bangunan green building untuk Negara Indonesia. Salah satu program GBC Indonesia adalah
menyelenggarakan kegiatan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian khas
Indonesia yang disebut Greenship dengan sistem rating. Kategori Greenship dibagi menjadi dua yaitu untuk
kategori bangunan baru (new building) dan kategori bangunan terbangun (existing building)
2.2 Greenship Bangunan Telah Terbangun
Untuk menciptakan sebuah green building, harus dilalui serangkaian proses assessment atau
penilaian sampai akhirnya pada tahap sertifikasi pada bangunan tersebut. Hal ini diperlukan karena untuk
mencapai tingkatan tertentu tentu diperlukan pencapaian nilai minimum. Semakin tinggi peringkat yang
diinginkan, semakin banyak nilai yang harus dicapai. Pencapaian nilai minimum ini mencerminkan usaha
dan produk akhir tertentu yang diharapkan berlanjut hingga ke pengoperasian.
Demi mewujudkan tersebut maka perlu dilakukan penilaian kelayakan green building, GBCI telah
menyiapkan tools atau perangkat tolak ukur yang berisi butir-butir/rating. Setiap rating mempunyai kategori
yang masing-masing memiliki nilai. Untuk perangkat tolak ukur green building, GBCI mengeluarkan
system rating yang dinamakan Greenship. Dalam studi kasus ini greenship yang akan digunakan adalah
greenship eksisting building . Syarat untuk melakukan assessment adalah bangunan tersebut telah berdiri
selama 1 tahun setelah gedung selesai dibangun (GBC Indonesia, n.d.), sesuai dengan keberdaan gedung
Rektorat yang terbangun semenjak tahun 1998, maka sudah layak untuk dilakukan assessment. Greenship
sendiri mempunyai kategori untuk acuan penilaian, yang terdiri dari :
a. Tepat Guna Lahan - Appropriate Site Development (ASD)
 Site Management Policy bertujuan mendorong pemilik tapak untuk memiliki sisyem
pemleliharaan secara terpadu dalam jangka pendek maupun jangka pandjang, sehingga
dampak negatif dari tapak dapat diatasi atau diminimalisasikan
 Motor Vehicle Reduction Policy bertujuan Mendorong penghuni dan tamu gedung untuk
menggunakan kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
 Community Accessibility Untuk menghargai lokasi gedung yang memiliki aksesibilitas yang
baik sehingga mempermudah masyarakat untuk mencapai berbagai fasilitas dalam kegiatan
sehari-hari.
 Motor Vehicle Reduction bertujuan Mendorong penghuni dan tamu gedung untuk
menggunakan kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
 Site Landscaping Memelihara atau memperluas kehijauan kota bertujuan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup, antara lain: mengurangi limpasan permukaan
beban sistem drainase sehingga meminimalkan dampak terhadap neraca air bersih dan sistem
air tanah, mengurangi heat island, reduksi CO2 dan polutan lain pencegah erosi, konservasi
lahan, kualitas ekosistem habitat dan penanganan polusi.

Tabel 2.2.1 (Tolak ukur Tepat Guna Lahan )


KODE KATEGORI BOBOT
Prerequisite 1 Site Management Policy
Prerequisite 2 Motor Vehicle Reduction Policy
ASD 1 Community Accessibility 2
ASD 2 Motor Vehicle Reduction 1
ASD 3 Bicycle 2
ASD 4 Site Landscaping 3
ASD 5 Heat Island Effect 2
ASD 6 Storm Water Management 2
ASD 7 Site Management 2
ASD 8 Building Neighbourhood 2
TOTAL 16

b. Efisiensi dan Konservasi Energi - Energy Efficiency & Conservation (EEC)


 Policy and Energy Management Plan bertujuan Menetapkan kebijakan upaya penghematan
energi dalam sistem manajemen penggunaan energi.
 Minimum Building Energy Performance bertujuan Menetapkan kinerja minimum energi
gedung sebagai upaya efisiens energi
 Optimized Efficiency Building Energy Performance bertujuan Mengoptimalisasi efisiensi
kebutuhan energi gedung.
 Testing, Recommisioning or Retrocommisioning bertujuan untuk mengetahui performance
index system yang digunakan sebagai acuan langkah penghematan energi.
 System Energy Performance bertujuan melakukan penghematan serta mengendalikan
konsumsi energi
 Energy Monitoring & Control bertujuan Mendukung prosedur pemantauan, pencatatan dan
pengendalian konsumsi energi.
 Operation and Maintenance bertujuan Mengarahkan suatu proses operasional secara
sistematis dan sesuai standar baku peralatan dengan tujuan penghematan energi.
 On Site Renewable Energy bertujuan Memotivasi penggunaan sumber energi alternatif dari
dalam tapak.
 Less Energy Emission bertujuan Memotivasi pengurangan emisi CO2 dengan memilih
penggunaan sumber energi yang memiliki emisi CO2 lebih rendah.

Tabel 2.2.2 (Tolak ukur Efisiensi dan Konservasi Energi)


KODE KATEGORI BOBOT
Prerequisite 1 Policy and Energy Management Plan
Prerequisite 2 Minimum Building Energy Performance
EEC 1 Optimized Efficiency Building Energy Performance 16
EEC 2 Testing, Recommisioningor Retrocommisioning 2
EEC 3 System Energy Performance 12
EEC 4 Energy Monitoring and Control 3
EEC 5 Operation and Maintenance 3
EEC 6 On Site Renewable Energy 5B
EEC 7 Less Energy Emission 3B
TOTAL 36

c. Konservasi Air - Water Conservation (WAC)


 Water Management Policy bertujuan Menetapkan kebijakan upaya konservasi air dalam
sistem manajemen penggunaan air
 Water Sub-Metering bertujuan Memantau konsumsi air pada sub-sistem gedung
 Water Monitoring Control bertujuan Monitor kontrol air dan mencegah terjadinya kebocoran
air pada sistem plambing
 Fresh Water Efficiency bertujuan Meningkatkan penghematan konsumsi air bersih yang akan
berdampak pengurangan air limbah
 Water Quality bertujuan Menjaga kualitas air bersih agar sesuai dengan Pemenkes no.416
tahun 1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air
 Recycled And Alternative Water bertujuan Mendorong kreatifitas dalam memanfaatkan air
terpakai sebagai sumber air untuk kebutuhan gedung selain dari sumber air primer, yaitu air
tanah atau air jaringan
 Potable Water bertujuan Menyediakan air minum sebagai upaya untuk mengurangi jejak
karbon dan air minum kemasan
 Deep Well Reduction bertujuan Meminimalisasi penggunaan sumber air tanah untuk
menjaga keseimbangan siklus air
 Water Tap Efficiency bertujuan Meminimalisasi pemborosan dengan pengontrolan perilaku
pengguna air dengan pemakaian fixture pengontrol air pada gedung

Tabel 2.2.3 (Tolak ukur Konservasi Air)


KODE KATEGORI BOBOT
Prerequisite 1 Water Management Policy
WAC 1 Water Sub-Metering 1
WAC 2 Water Monitoring Control 2
WAC 3 Fresh Water Efficiency 8
WAC 4 Water Quality 1
WAC 5 Recycled And Alternative Water 5
WAC 6 Potable Water 1
WAC 7 Deep Well Reduction 2
WAC 8 Water Tap Efficiency 2B
TOTAL 20

d. Sumber & Siklus Material - Material Resources & Cycle (MRC)


 Fundamental Refrigerant bertujuan Mengurangi dampak kerusakan lapisan ozon akibat
penggunaan material yang mengandung Ozone Depleting Substance (ODS), dengan Ozone
Depleting Potential (ODP)=1
 Material Purchasing Policy bertujuan Mendorong penggunaan material yang ramah
lingkungan
 Waste Management Policy bertujuan Mendorong pengelolaan sampah yang ramah
lingkungan
 Waste Management Practice bertujuan Mengimplementasikan pembelanjaan material
ramah lingkungan yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen bangunan
 Waste Management Practice bertujuan Mendorong pengurangan beban sampah ke TPA
melalui manajemen sampah yang meliputi pemilahan dan pengolahan lebih lanjut
 Hazardous Waste Management bertujuan Mengendalikan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun) elektronik agar tidak memberikan dampak negatif secara langsung kepada manusia
dan lingkungan.
 Management of Used Good bertujuan Mempertahankan daur hidup peralatan agar dapat
difungsikan kepada pihak lain yang membutuhkan.

Tabel 2.2.5 (Tolak ukur Sumber & Siklus Material)


KODE KATEGORI BOBOT
Prerequisite 1 Fundamental Refrigerant
Prerequisite 2 Material Purchasing Policy
Prerequisite 3 Waste Management Policy
MRC 1 Non ODS Usage 2
MRC 2 Material Purchasing Practice 3
MRC 3 Waste Management Practice 4
MRC 4 Hazardous Waste Management 2
MRC 5 Management of Used Good 1
TOTAL 12

e. Kualitas Udara & Kenyamanan Udara Dalam Ruang - Indoor Air Health & Comfort
(IHC)
 No Smoking Campaign bertujuan mengajak pengguna gedung untuk tidak merokok di area
gedung.
 Outdoor Air Introduction bertujuan menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam
ruangan dengan melakukan introduksi udara luar ruang sehingga memberikan kontribusi
bagi kesehatan dan kenyamanan pengguna gedung.
 Environmental Tobacco Smoke Control bertujuan Mengurangi pemajanan lingkungan yang
tercemar asap rokok terhadap para pengguna gedung dan permukaan ruangan sehingga
terjaga lingkungan udara dalam ruang yang sehat.
 CO2 and CO Monitoring bertujuan memantau konsentrasi CO2 dan CO dalam mengatur
masukan udara segar sehingga menjaga kesehatan pengguna gedung.
 Physica, Chemical and Biological Pllutants bertujuan membuktikan bahwa kadar pencemar
fisik dan kimia udara dalam ruangan berada pada tingkat polusi udara yang dapat diterima,
sehingga mendukung kesehatan pengguna gedung.
 Thermal Comfort bertujuan mengatur tingkat kenyamanan yang sesuai dengan daya
akomodasi untuk menjaga kenyamanan therma
 Visual Comfort bertujuan mengatur tingkat pencahayaan yang sesuai dengan daya
akomodasi mata untuk menjaga kenyamanan visual
 Acoustic Level bertujuan menjaga tingkat kebisingan di dalam ruangan pada tingkat yang
optimal.
 Building User Survey bertujuan memperoleh penilaian tentang tingkat kenyamanan
pengguna gedung melalui survei yang baku terhadap pengaruh kenyamanan ruang.

Tabel 2.2.6 (Tolak ukur Kualitas Udara & Kenyamanan Udara Dalam Ruang)
KODE KATEGORI BOBOT
Prerequisite 1 No Smoking Campaign
IHC 1 Outdoor Air Introduction 2
IHC 2 Environmental Tobacco 2
Smoke Control
IHC 3 CO2and CO Monitoring 2
IHC 4 Physical and Chemical 6
IHC 5 Biological Pollutant 3
IHC 6 Visual Comfort 1
IHC 7 Acoustic Level 1
IHC 8 Building User Survey 3
TOTAL 20

f. Manajemen Lingkungan Bangunan - Building & Enviroment Management (BEM)


 Operation & Maintenance Policy bertujuan Menetapkan rencana operation & maintenance
yang baik secara berkesinambungan.
 Innovations bertujuan mendorong apresiasi terhadap usaha-usaha yang kinerjanya lebih baik
dari tolok ukur yang bersangkutan.
 Design Intent & Owner's Project Requirement beertujuan memperoleh acuan bagi pihak
operasional gedung terhadap semua asumsi desain dan pengambilan keputusan berikut
perubahannya yang berguna untuk pengoperasian gedung.
 Green Operational & Maintenance Team bertujuan Membantu mengimplementasikan
operasional gedung agar sesuai dengan cara-cara yang bersifat sustainable/green,
 Operation and Maintenance Training bertujuaj Meningkatkan standar kompetensi dari
tenaga-tenaga operation and maintenance bangunan dalam rangka kepahaman terhadap
praktik-praktik Green Building.

Tabel 2.2.7 (Tolak ukur Manajemen Lingkungan Bangunan)


KODE KATEGORI BOBOT
Prerequisite 1 Operation & Maintenance Policy
BEM 1 Innovations 5
BEM 2 Design Intent & Owner's Project Requirement 2
BEM 3 Green Operational & Maintenance Team 2
BEM 4 Green Occupancy/Lease 2
BEM 5 Operation and Maintenance Training 2
TOTAL 13

Tabel 2.2.8 (Kriteria Penilaian)

PERINGKAT PERSENTASE NILAI


Platinum 73 % 75
Gold 57 % 59
Silver 46 % 47
Bronze 35 % 36

Didalam rating tools atau ringkasan tolak ukur untuk penilaian gedung terbangun didasarkan pada
beberapa unsur (GBCI 2013). Unsur-unsur tersebut adalah:

a) Kategori
Yang dimaksudkan dengan kategori adalah pembidangan aspek-aspek yang dinilai secara
signifikan, dan harus menjadi perhatian utama dalam konsep bangunan hijau. Kategori ini
mengandung rating-rating yang menjadi inti penilaian perangkat rating GREENSHIP ini.
b) Rating
Rating adalah bagian dari kategori, berisi muatan apa saja yang dinilai, tolok ukur apa saja
yang harus dipenuhi, dan berapa nilai poin yang terkandung didalamnya.
c) Rating Prasyarat
Rating prasyarat adalah butir rating yang mutlak harus dipenuhi dan diimplementasikan
dalam suatu kategori. Apabila butir ini tidak terpenuhi, butir-butir rating lainnya dalam
kategori ini tidak dapat dinilai dan tidak akan mendapatkan nilai sehingga proses sertifikasi
tidak dapat dilanjutkan. Butir rating ini sendiri tidak memiliki butir nilai.
d) Rating Biasa
Rating biasa adalah turunan dalam kategori selain butir prasyarat. Butir ini baru dapat dinilai
dan diberi nilai kalau semua butir prasyarat dalam kategori tersebut telah dipenuhi atau telah
dilaksanakan. Butir rating ini memiliki butir nilai tertentu, sesuai dengan ketentuan
pencapaian tolok ukur yang sudah ditetapkan
e) Rating Bonus
Rating bonus adalah butir rating yang dapat dinilai seperti butir rating biasa tetapi
keberadaannya tidak diperhitungkan dalam jumlah total butir rating yang digunakan sebagai
nilai pembagi dalam perhitungan persentase penilaian.

BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengukuran penilaian terhadap beberapa kriteria green
building yang mengacu pada standar nasional (Greenship-GBCI) dengan cara observasi langsung dan
wawancara verifikasi terhadap bidang PFK yaitu bidang yang mengurusi gedung-gedung yang ada dalam
naungan Universitas Islam Indonesia termsuk gedung Rektorat UII sebagai lokasi penelitian. Adapun alat
yang dipake adalah perangkat analisis green building GBCI greenship rating tools untuk gedung terbangun
versi 1.1, light meter (Krisbow- KW0600288) komputer laptop Windows 10, software microsoft office dan
excel 2013. Adapun tahapan dalam metode penelitian :
a. Observasi dan pengukuran cahaya
Melakukan pengamatan langsung terahadap eksisting bangunan serat melakukan pengukuran
langsung terkait dengan intensitas cahaya
b. Wawancara
Wawancara dilakukan melalui bidang PFK yaitu bidang yang mengurusi gedung-gedung yang
terdapat di Universitas Islam Indonesia
c. Studi Literatur
Mencari teori atau standarisasi guna mendukung dalam pemahaman dalam pemaknaan nilai
maupun untuk menunjang penilaian kriteria greenship.
d. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan mengacu greenship existing building version 1.1, dengan cara
memaknai dari tiap kriteria. Perlu diperhatikan dalam penilitian ini yaitu ada beberapa kriteria
yang bermakna prasyarat (P) dianggap terpenuhi agar dapat melancarkan dalam penilaian.

Namun karena terbatas waktu dan pengukuran kriteria green building pada penelitian ini belum maksimal
maka penilaian akan dilakukan dengan mengambil 6 aspek yang terpenting yang tersaji dalam greenship
existing building version 1.1 yang dianggap sudah mewakili untuk menilai kelayakan konsep green
building. Adapun pengambilan aspek yang terprioritas yaitu :

a. Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development-ASD)


Untuk mengetahui berapa nilai poin yang diperoleh pada parameter ASD dilakukan pengukuran,
wawancara dan survei sebagai berikut:
 Site Management Policy
Pada aspek peraturan pemeliharaan lahan dilakukan wawancara kepada pihak PFK mengenai
adanya surat pernyataan yang memuat komitmen mengenai pemeliharaan eksterior bangunan.
Dalam pemaknaannya pihak gedung dapat menunjukkan surat pernyataan mengenai
pemeliharaan pada eksterior bangunan, hama , gulma, serta habitat sekitar tapak dengan
menggunakan bahan bahan ramah lingkungan sebagai prasyarat dalam penilaian.
 Motor Vehicle Reduction Policy
Pada aspek pengurangan pemakaian kendaraan bermotor dilakukan wawancara kepada pihak
PFK untuk mengetahui berbagai tindakan dalam rangka mencapai pengurangan pemakaian
kendaraan bermotor pribadi, contohnya car pooling, feeder bus, voucher kendaraan umum dan
diskriminasi tarif parkir dan survei terkait surat pernyataan, kampanye dan tindakan
pengurangan pemakaian kendaraan bermotor pribadi. Dalam pemaknaan nilainya mampu
menunjukkan surat pernyataan manajemen puncak untuk melakukan berbagai tindakan dalam
rangka mencapai pengurangan pemakaian kendaraan bermotor pribadi, ini juga sebagai
prasyarat penilaian.

 Community Accessibility.
Pada aspek aksesibilitas dan komunitas dilakukan observasi langsung dan asumsi jarak terhadap
lokasi penelitian dengan fasilitas umum yang berada disekitarnya. Pemaknaannya mampu
menunjukkan 5 jenis fasilitas umum dalam jarak pencapaian jalan utama sejauh 500m dari
tapak. Jika tidak ditemukan dan hanya bisa menyebutkan 3 jenis fasilitas umum maka nilai 0,
jika mampu menyebutkan 4-5 fasilitas maka nilai 1. Terkait dengant halte atau stasiun
transportasi umum dalam jangkauan 300 m dari lokasi bangunan diluar jembatan penyebrangan
dan ramp maka memiliki nilai 1, jika tidak terdapat maka nilainya 0.
Bila halte atau stasiun transportasi umum dalam jangkauan 300 m dari lokasi tidak terpenuhi
maka ada halte atau ruang tunggu permanen yang didukung juga dengan adanya bus bay atau
jalur henti bus maka nilainya 2 poin, sedangkan jika hanya halte tanpa adanya jalur bus diberi
nilai 1, namun bila tidak ada maka keduanya nilai 0. Survei dilakukan juga untuk melihat
fasilitas pejalan kaki yang aman, nyaman dan bebas dari perpotongan akses kendaraan bermotor
untuk menghubungkan minimal 3 fasilitas umum dan atau dengan stasiun transportasi masal.
Dalam pemaknaannya bila mampu menyediakan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman
diberi nilai 1, jika fasilitas pejalan kaki bebas dari perpotongan akses kendaraan bermotor dan
menghubungkan minimal 3 fasilitas umum/transportasi masal maka nilai 2 point diberikan.
Tidak terdapat semuanya nilai 0.

b. Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiency and Conservation-EEC)


Untuk mengetahui berapa nilai poin yang diperoleh pada kategori EEC dilakukan wawancara
kepada pihak PFK dan survey, untuk mengetahui antara lain :
 Policy and Energy Management Plan,
Untuk mempermudah operasional penghematan energi, pihak gedung harus membuat
prosedur SOP yang mengcakup tantang monitoring, target penghematan dan adanya
audit energi serta action plan berjangka waktu tertentu oleh tim energi. Apabila tidak
terdapat SOP maka tidak dapat melakukan penilaian. Pada area gedung terdapat stiker
atau poster yang bertema penghematan energi
seperti hemat Air, hemat listrik minimal terdapat salah satu item tersebut sudah dapat
dilakukan penilaian.
 Minimum Building Energy Performance
Pengukuran dan survei dilakukan untuk mengetahui nilai poin pada aspek efisiensi
kebutuhan energi dengan menunjukkan IKE (Intensitas Konsumsi Energi) listrik
dengan nilai dibawah IKE listrik standar acuan dalam 6 bulan terakhir. IKE listrik
adalah istilah untuk menyatakan besarnya pemakaian energi. Untuk Mendapatkan nilai
IKE adalah IKE = Konsumsi Rata2 Pemakaian (standar GBCI) / Luas bangunan. Jika
tidak dapat memperlihatkan tagihan listrik maka dapat memperlihatkan penghematan
listrik minimal 5 % dengan menggunakan alat atau laporan dokumen pada pemakaian
1 tahun sebelumnya. Kriteria ini juga merupakan prasyarat penilaian.
 Optimized Efficiency Building Energy Performance
Tolak ukur dalam kategori ini adalah perhitungan nilai IKE gedung yang menunjukkan
nilai di bawah IKE standar acuan, apabila Gedung tersebut memperlihatkan penurunan
IKE listrik atau tahigan sebanyak 3% hingga 5% dalam 6 bulan terakhir maka akan
mendapatkan 1 sapai 16 poin. Intensitas Konsumsi Energi (IKE) listrik adalah
pembagian antara konsumsi energi listrik pada kurun waktu tertentu dengan satuan luas
bangunan gedung (Furi, 2016). Adapun cara menghitung ulntuk mencari perhitungan
IKE listrik adalah
IKE = kWH total (kWh / tahun) / (Occ x Area room) + (Area Non Room)

c. Konservasi Air (Water Conservation-WAC)


Untuk mengetahui berapa nilai poin yang diperoleh pada parameter WAC dilakukan wawancara
dan survey sebagai berikut:
 Water Management Policy,
Pada aspek kebijakan pengelolaan air dilakukan wawancara kepada pihak PFK yang
mencakup adanya audit air, target penghematan dan action plan berjangka waktu
tertentu. Selain itu dilakukan survei adanya kampanye konservasi air, minimal
kampanye tertulis berupa stiker, poster dan email. Adanya kampanye minimal
pemasangan stiker/poster/email secara permanen disetiap lantai dalam rangka
mendorong konservasi air, maka dengan prasyarat penilaian dapat dilakukan
 Water Monitoring Control
Jika ada SOP (Standard Operasional Prosedur) tentang plumbing maka diberi nilai point
1, selanjutnya akan ada nilai tambahan jika dapat menunjukkan neraca air dari sub-
meter air (6 bulan terakhir) maka nilai point tambah 1, total point adalah 2. Jika tidak
ada SOP dan tidak dapat menunjukkan neraca air maka nilai point 0
 Fresh Water Efficiency
Untuk mengetahui berapa nilai poin yang diperoleh pada parameter WAC dilakukan
wawancara, survei, dan pengukuran sebagai berikut
Pada aspek kebijakan pengelolaan air dilakukan wawancara kepada pihak PFK yang
mencakup adanya audit air, target penghematan dan action plan berjangka waktu
tertentu. Selain itu dilakukan survei adanya kampanye konservasi air, minimal
kampanye tertulis berupa stiker, poster dan email. Untuk konsumsi penggunaan air jika
mampu menurunkan 10% dari penggunaan konsumsi air akan mendapatkan nilai. Nilai
1 hingga 8 poin jika mampu melakukan penurunan konsumsi air dari standart SNI
(untuk gedung kampus 80 liter/siswa/hari). Pada aspek efisiensi air bersih dilakukan
perhitungan untuk mengetahui adanya penurunan jumlah konsumsi air sesuai acuan SNI
03-7065-2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Plambing.

d. Sumber dan Siklus Material (Material Resources and Cycle-MRC)


Untuk mengetahui berapa nilai poin yang diperoleh pada parameter MRC dilakukan wawancara
dan survei sebagai berikut:
 Fundamental Refrigerant,
 Material Purchasing Policy,
 Waste Management Policy
 Waste Management Practice
e. Kesehatan dan Kenyamanan dalam Ruang (Indoor Health and Comfort-IHC) terdiri dari No
Smoking Campaign dan Outdoor Air Introduction
f. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building Environment Management-BEM) terdiri dari
Operation & Maintenance Policy dan Innovations

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development-ASD)


Dalam kategori ini membahas tentang pemanfaatan lahan yang berada di area kampus dengan
memperhatikan efek yang akan terjadi terhadap lingkungan sekitar baik pengguna gedung maupun
masyarakat sekitar. Aspek tepat guna lahan diharapkan mampu mengurangi pengaruh negatif dari
perubahan guna lahan oleh pembangunan terhadap lingkungan. Berikut adalah rating dan penilaian dalam
aspek ASD yang terdiri dari 2 rating prasyarat dan 1 rating biasa dengan nilai maksimal adalah 3 poin. Hasil
penilaian ini diasumsi dapat mewakili terhadap rating aspek ASD berdasarkan greenship adalah sebagai
berikut:
 Site Management Policy
Pada aspek peraturan pemeliharaan lahan dilakukan wawancara kepada pihak PFK mengenai adanya surat
pernyataan yang memuat komitmen mengenai pemeliharaan eksterior bangunan dan sifat dari kriteria ini
adalah prasyarat. Dengan berdasarkan hasil wawancara pihak PFK belum dapat menunjukkan Standarisasi
Operasional Prosedur terkait dengan perawatan gedung, maka dengan ini tidak dapat dilakukan penilaian,
namun seperti yang telah dijelaskan di atas sebelumnya bahwa penilaian tetap dilanjutkan dan adapun
dengan poin prasyarat yang tidak dapat terpenuhi akan dijadikan rekomendasi terhaadap pihak UII agar
dapat memenuhi kriteria ini.
 Motor Vehicle Reduction Policy
Berdasarkan wawancara terkait dengan kriteria ini, mengalami hal yang sama dengan poin sebelumnya
bahwa keterangan dari pihak PFK menyatakan belum adanya kegiatan dalam melakukan penyusunan surat
pernyataan yang berisi komitmen untuk mengurangi pemakaian kendaraan bermotor pribadi.
 Community Accessibility
Terdapat 3 tolak ukur yang terpenuhi dalam aspek aksesibilitas dan komunitas ini. Tolak ukur pertama
adalah terdapat minimal 5 jenis fasilitas umum dalam jarak pencapaian jalan utama sejauh 500 m dari tapak.
Berdasarkan observasi pada area gedung Rektorat terdapat 4 fasilitas umum yaitu parkir umum yang
berjarak 50 m, Masjid berjarak 100 m , ATM 450 m, Pergola yang terdapat di koridor memasuki kawasan
kampus berjarak 250 m. Maka kriteria ini mendapatkan 1 poin. Sementara untuk hubungan gedung Rektorat
dengan halte atau stasiun yang memudahkan untuk pejalan kaki tidak tersedia di kawasan kampus. Untuk
menambah poin dapat diambil dari tolak ukur yaitu menyediakan fasilitas pejalan kaki yang aman, nyaman
dan bebas dari perpotongan akses kendaraan bermotor untuk menghubungkan 3 fasilitas umum sesuai tolak
ukur pertama. Dari hasil pengamatan di area gedung hanya terdapat trotoar sebagai penghubung menuju
dari 4 fasilitas umum tadi dan terdapat perpotongan akses kendaraan, maka dengan diasumsikan hanya
mendapatkan 1 poin.
Gambar 1.4.1 Hasil Penilaian ASD

Gambar 2.4.1 Hasil Penilaian ASD


Gambar 3.4.1 Hasil Penilaian ASD
 Motor Vehicle Reduction
Tolak ukur dalam pengurangan pemakaian kendaraan bermotor pribadi adalah adanya pengurangan
pemakaian kendaraan pribadi bermotor dengan salah satu opsi: car pooling, feeder bus, voucher
kendaraan umum, atau diskriminasi tarif parker. Untuk gedung Rektorat dalam upaya dalam masalah
pengurangan kendaraan bermotor, terdapat bus yang bertugas menjemput dan mengantar karyawan
agar memperlancar aksesbilitas keluar masuk ke area kampus UII, dengan mendapatkan 1 poin.
Sementara untuk pengadaan sepeda serta parkirnya masih belum memenuhi stndar dari tolak ukur ini
dan pemenuhan fasilitas shower khusus pengguna sepeda tidak tersedia di lokasi.
 Site Landscaping
Tolak ukur dalam lansekap pada lahan adalah persentase area lansekap berupa vegetasi (softscape) yang
bebas dari bangunan taman (hardscape) yang terletak di atas permukaan tanah seluas minimal 30% luas
total lahan. Luas area yang diperhitungkan adalah termasuk taman di atas basement, roof garden, terrace
garden dan wall garden. Formasi tanaman sesuai dengan Permen PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang
Terbuka Hijau (RTH) Pasal 2.3.1 tentang Kriteria Vegetasi untuk Pekarangan. Di area luar bangunan
terdapat taman yang berada didepan bangunan Dan didalam area bangunan terfapat taman beserta kolam.
Berdasarkan asumsi persentase softcase terhadap total luas lahan gedung Rektorat kurang dari 30%, akan
tetapi penggunaan 60% tanaman lokal yang berasal dari nursery lokal dengan jarak maksimal 1000 km
terdapat dijumlah area taman baik itu diluar bangunan maupun didalam, maka mendapat 1 poin. Sementara
untuk tamanan produktif tidak terdapat di lokasi.
 Heat Island Effect
Nilai minimal albedo menurut GBCI adalah 0,3 untuk atap yang tertutup perkerasan dan non atap yang
tertutup perkerasan. Gedung Rektorat sendiri menggunakan atap yang berbahan keramik yang terbuat dari
tanah liat. Nilai albedo dari genting tanah liat adalah sebesar 0,4 (Furi, 2016) sehingga telah memenuhi poin
pada tolak ukur atap yang tertutup perkerasan, maka mendapatkan 1 poin. Untuk tolak ukur non atap yang
tertutup perkerasan gedung Rektorat menggunakan beton dengan nilai albedo 0,55 (Rushayati, Alikodra,
Dahlan, & Purnomo, 2011). Dengan demikian kategori ini mendapatkan nilai 2 poin.
 Storm Water Management
Dalam manajemen air limpasan hujan berisi tolak ukur pengurangan beban volume limpasan air hujan dari
luas lahan ke jaringan drainase kota sebesar 50% total volume hujan harian yang dihitung berdasarkan
perhitungan debit air hujan pada bulan basah. Untuk menentukan tolak ukur ini yang dapat dilakukan
dengan wawancara walaupun standar yang diingikan adanya standar perhitungan untuk mengatahui hasil
limpasan. Dari hasil wawancara dan obrservasi terdapat drainase yang limpasannya menuju ke kota dan
penjelasan dari bidang PFK maka mendapatkan poin 1.
 Site Management
Tolak ukur pertama dalam kategori ini adalah memiliki dan menerapkan Standar Prosedur Operasional
(SPO) pengendalian terhadap hama penyakit dan gulma tanaman dengan menggunakan bahan
bahan tidak beracun. Dari hasil wawancara penerapan ini dalam gedung Rektorat belum dilakukan.
Sementara untuk tolak ukur penyediaan habitat satwa non peliharaan minimal 5% dari keseluruhan area
tapak bangunan, berdasarkan area aktifitas hewan (home range) tidak terdapat di area gedung.

 Building Neighbourhood
Tolak ukur pertama dalam kategori ini adalah melakukan peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar
gedung dengan melakukan salah satu dari tindakan berikut: perbaikan sanitasi, penyediaan tempat
beribadah, WC umum, kaki lima dan pelatihan pengembangan masyarakat. Di sekitar gedung Rektorat
terdapat akses yang sediakan untuk masyarakat umum dan mahasiswa sebagai akses keluar masuk
kampus, maka tolak ukur ini hanya mendapatkan 1 poin. Disekita gedung juga terdapat peninggalan
cagar budaya yaitu tempat beribadah yang hingga saat ini tetap terjaga dan tepelihara. Total dalam
kriteria ini mendapat 2 poin

Hasil assessment terhadap aspek ASD yang dilakukan pada gedung Rektorat UII menunjukkan
bahwa perolehan poin nilai yang didapat adalah 10 poin dari nilai maksimal 16 poin atau 68% dari rating
yang telah di tetapkan greenship GBCI. Rekomendasi dan saran bagi beberapa kategori yang belum
terpenuhi pada aspek ASD adalah bagi kategori Motor Vehicle Reduction Policy adalah pembuatan surat
pernyataan mengenai pengurangan pemakaian kendaraan bermotor pribadi, kemudian pembuatan
kampanye dan dipasang di setiap lantai. Kampanye tersebut berfungsi untuk menyampaikan suatu pesan
yang berisi ajakan kepada pengguna gedung agar dapat mengerti maksud dan tujuan dari pengurangan
kendaraan bermotor pribadi tersebut. Bagi kategori Site Management adalah membuat SPO
pengendalian terhadap hama penyakit dan gulma tanaman dengan menggunakan bahan-bahan tidak
beracun.

4.2 Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiency and Conservation-EEC)


Didalam GBCI tolak ukur yang besar adalah rumusan penghematan energi dan energi yang dimaksud
adalah bagaimana intensitas suatu gedung dalam pemakaian listrik dan juga bisa terlihat adanya pertanyaan
dan pernyataan mengenai pemakian listrik dalam proses penilaian yang tercantum dalam kriteria
assessment. Tidak bisa dipungkiri bahwa listrik adalah penggunaan energi yang terbesar di dalam gedung
aktif untuk menunjang operasionalnya. Energi listrik di gedung Rektorat di suplai dari PLN guna
mengoperasikan AC (air conditioning), untuk penerangan lampu, lift, pompa air, dan lain sebagainya
sehingga perlu adanya upaya dalam membatasi pemakaian listrik yang efesien. Tujuan utama dari aspek ini
adalah mendorong penghematan konsumsi energi melalui aplikas langkah-langkah efisiensi energi. Berikut
adalah rating dan penilaian dalam aspek EEC yang terdiri dari 2 rating prasyarat, 5 rating biasa dan 2 rating
bonus dengan total nilai maksimal adalah 36 poin. Berikut hasil penilaiannya :

 Policy and Energy Management Plan


Merupakan kriteria prasyarat yaitu dengan adanya surat pernyataan yang memuat komitmen dari
manajemen puncak yang mencakup: adanya prosedur (SOP) yang mencakup tentang: monitoring, target
penghematan dan action plan berjangka waktu tertentu oleh tim energi. Dari hasil wawancara, PFK
menyatakan bahwa adanya SOP dalam upaya memanajemen pemakaian listrik. Tolak ukur yang kedua
adalah adanya kampanye dalam rangka mendorong penghematan energi dengan minimal pemasangan
kampanye tertulis permanen di setiap lantai berupa skiter, poster, dan email. Pada saat observasi semua ini
terlihat di hampir tiap lantai gedung Rektorat .
 Minimum Building Energy Performance
Tolak ukur ini juga sebagai prasyarat penilaian yaitu dengan memperlihatkan IKE listrik selama 6 bulan
terakhir sampai lebih kecil dari IKE listrik standar acuan yang ditentukan oleh GBC INDONESIA (Perk
antoran 250 kWh/m2.tahun, Mall 450 kWh/m2.tahun dan Hotel atau Apartemen 350 kWh/m2.tahun).
Pada saat wawancara bidang PFK dapat memperlihatkan pemakaian listrik dalam 1 tahun terakhir, maka
layak untuk dilanjutkan penilaian.
 Minimum Building Energy Performance
Bangunan menjadi salah satu kontributor terbesar gas rumah kaca, yaitu CO2 ke lingkungan sebesar
40%, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim [1]. Selain itu, 48% dari total pasokan energi
di dunia dikonsumsi oleh bangunan [2]. Di Indonesia, Green Building Council Indonesia (GBCI) telah
merumuskan kriteria green building bernama Greenship yang Ada beberapa aspek penilaian, salah satunya
adalah aspek Efisiensi Energi dan Konservasi (EEC). Aspek ini mendominasi Skor Greenship dengan skor
total 36 dari maksimal 117 atau 30% dari nilai maksimal. Sementara itu, Jakarta memiliki terbesar jumlah
bangunan bertingkat tinggi di Indonesia dan 30% di antaranya adalah gedung perkantoran. Melihat
Greenship ini, maka ada kantor bangunan didorong untuk memenuhi Greenship dan dianugerahi sebagai
bangunan hijau. Berbagai upaya bisa dilakukan yang mana menghasilkan tingkat pencapaian potensial
hemat energi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi penghematan tingkat pencapaian
gedung perkantoran yang ada untuk memenuhi sistem rating EEC Greenship.

Kriteria bangunan hijau mencakup enam aspek, yaitu Pengembangan Situs yang Tepat, Efisiensi dan
Konservasi Energi, Siklus Konservasi, Bahan dan Sumber Daya Air, Kesehatan dan Kenyamanan Dalam
Ruangan, dan Manajemen Bangunan dan Lingkungan. Indikator kinerja penggunaan energi dalam
bangunan diukur dalam Energy Efficiency Index (EEI). Greenship mengatur nilai minimum EEI 250 kWh
/ m2 / tahun untuk bangunan perkantoran yang ada [3]. Rumus EEI bisa dituliskan sebagai berikut:

Di gedung perkantoran, umumnya 50 - 60% dari total konsumsi energi didominasi oleh sistem
pengkondisian udara (AC). Beban pendinginan pada bangunan terdiri dari beban eksternal dan internal.
Beban eksternal termasuk panas ke ruangan melalui membangun amplop Faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah beban eksternal adalah jenis bahan bangunan, Window to Wall Ratio (WWR), U-
value dan Solar Heat Gain Coefficient (SHGC). WWR adalah rasio luas jendela terhadap total luas
bangunan Amplop, U-value menunjukkan jumlah konduksi panas melalui dinding dan SHGC menunjukkan
jumlah solar yang masuk radiasi melalui bahan kaca. Beban internal berasal dari sistem pencahayaan,
hunian, dan peralatan listrik. EEI dan beban pendinginan bangunan kemudian dapat dihitung dengan
menggunakan software Energyplus.

3.1. Gedung perkantoran yang hipotetis

Langkah pertama dari penelitian ini adalah pemodelan bangunan. Model bangunan hipotetis
dibangun identik dan dibagi menjadi

tiga kasus sesuai kriteria Greenship, yaitu:

1. Membangun dengan EEI lebih dari 300 kWh / m2 / tahun (intensif case)

2. Membangun dengan EEI antara 250 - 300 kWh / m2 / tahun (standardach case)

3. Membangun dengan EEI kurang dari 250 kWh / m2 / tahun (kasus efisien)

Model berbentuk persegi terdiri dari 30 lantai dengan dimensi 44 × 44 meter. Luas lantai total
bangunan ini

Langkah selanjutnya adalah menentukan masukan beban eksternal dan internal untuk model. Nilai input
ditentukan dari Standar Nasional Indonesia (SNI), ASHRAE, dan hasil survei dari gedung perkantoran yang
ada di Jakarta. Bangunan

Sistem AC yang diterapkan pada model menggunakan sistem volume udara variabel dengan cooling
tower sebagai kondensor. Koefisien Kinerja (COP) sistem adalah 4, setpoint air dingin sebesar 6,7 oC dan
tingkat infiltrasi 1 cfm. Selain itu, setiap kasus oleskan setpoint termostat yang berbeda, 21 oC untuk kasus
intensif, 22 oC untuk kasus standar, dan 24 oC kasus efisien. Modelnya adalah kemudian disimulasikan
untuk menentukan nilai awal EEI dan distribusi konsumsi energi.
Arimbi Ramadhiani, 2014, "Green Building", Solusi Menyelamatkan Lingkungan
http://properti.kompas.com/read/2014/10/31/080128721/.Green.Building.Solusi.Menyelamatkan.
Lingkungan
Dody, 2015, Singapore Green Building Week 2015, Kiblat Bangunan Hijau Dunia
http://www.rumahku.com/artikel/read/singapore-green-building-week-2015-kiblat-bangunan
WWF Indonesia, 2013, Laporan IPCC: Perubahan Iklim Nyata, Umat Manusia Hadapi Ancaman Serius
https://www.wwf.or.id
Pengembangan Wilayah Pesisir Melalui PengelolaanSumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat di
Kabupaten Gorontalo Utara.,
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75166/potongan/S3-2014-278441-chapter1.pdf.

ITB environmental engineering student, 2014


https://airpollution2014.weebly.com/gas-rumah-kaca/february-24th-2014
Indonesia Clean Energy Development, 2015
www.iced.or.id/wp-content/.../11/Panduan-Praktis-Peghematan-Energi-Di-Hotel.pdf
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 Tahun 2010 tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan
Ramah Lingkungan
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/PERMENLH_08_2010.pdf
PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang
bangunan gedung
http://eodb.ekon.go.id/download/peraturan/pp/PP_36_2005.pdf.
Ukky Primartantyo, 2103, 5 Perguruan Tinggi Jadi Percontohan Kampus Hijau
https://nasional.tempo.co/read
Rahayu Indah Komalasari,2014, Kajian Green Building Gedung Pasca Sarjana B Universitas Diponegoro,
Semarang
http://eprints.undip.ac.id/40696/1/065-Rahayu_Indah_Komalasari.pdf.
Iriani Mustika Furi, 2016, Evaluasi Aspek Green Building Pada Gedung Andi Hakim Nasoetion Rektorat
IPB
http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/78436/1/F15dfl.pdf.

Anda mungkin juga menyukai