BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah yang terkait dengan munculnya fenomena perubahan iklim ini adalah dimulianya revolusi
Industri pada pertengahan tahun 1700-an di Inggris ketika mesin mulai menggantikan tenaga kerja manual.
Bahan bakar fosil digantikan angin, air dan kayu, terutama digunakan untuk pembuatan tekstil dan
pengembangan proses pembuatan besi (Mulyadi, n.d.). Secara otomatis revolusi industri mengubah gaya
hidup manusia yang berdampak pada kebutuhan energi akan mesin-mesin industri, kebutuhan energi dalam
kehidupan manusia yang berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan, perbaikan sosial dan dampak
pada sumber daya alam, kesehatan masyarakat hingga saat ini.
Selain perubahan iklim revolusi industri juga berefek pada perkembangan suatu kota. Dibalik dari
dampak dapat mengubah suatu kota menjadi kota yang maju dan modern terutama dalam bidang ekonomi,
sosial dan politik, revolusi industri juga berdampak terhadap kepadatan penduduk yang sangat berpengaruh
terhadap urbanisasi. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang terdiri dari 17,500 pulau, 3.1
juta km2 kawasan perairan, 2 juta km2 daratan, dengan panjang garis pantai 81,000 km dan estimasi jumlah
penduduk sebanyak 267 juta jiwa pada tahun 2013, yang menjadikan Indonesia sebagai negara keempat di
dunia dengan jumlah penduduk yang terbesar (Yulianti, 2011). Arus urbanisasi yang begitu cepat
menjadikan aktifitas kota semakin meningkat tentu dari segi keuntungan ekonomi lebih menggiurkan, dan
meningkatnya pelayanan infrastruktur dan publik. Lagi-lagi ini didasari oleh aktivitas manusia dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Dalam pelayana infrastruktur dan publik bagi masyarakat tentunya pemenuhan pembangunan
gedung digalakkan baik itu gedung pendidikan, pemerintah, maupun pasar yang terkadang lebih
memprioritaskan akan kuantitas bangunan dibanding dengan kualitas bangunan di saat isu pemanasan
global semakin meningkat. Bangunan menjadi salah satu kontributor terbesar gas rumah kaca, yaitu CO2
ke lingkungan sebesar 40%, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim, selain itu 48% dari total
pasokan energi di dunia dikonsumsi oleh bangunan (Anisah, Inayati, Soelami, & Triyogo, 2017). Sementara
pasokan energi kita semakin lama semakin terbatas ketersediaannya.
Dunia pun tidak bisa diam dalam menanggapi kasus-kasus yang telah dijelaskan diatas, khususnya
bagi negara-negara maju yang memiliki tingkat kepadatan tinggi. Mau tak mau pemanasan global yang
mengakibatkan perubahan iklim harus di hadapi, namun dalam artian kehidupan manusia harus bersinergi
terhadap lingkungannya. Salah satu gerakan dalam menghadapi pemanasan global adalah membuat
bangunan lebih hemat energi atau yang disebut dengan konsep green building. Menurut Siti Adiningsih
Adiwoso selain ramah lingkungan, green building atau bangunan hijau dapat memberikan keuntungan
ekonomi lebih terhadap gedung tersebut. Kebanyakan orang berpikir, masalah yang mengintai pada waktu
mendatang adalah kurangnya air akan tetapi sebenarnya, persoalan panas lebih mengancam.
Menurut Siti Adiningsih Adiwoso ketua GBC Indonesia Kita harus kendalikan panas, melalui
pembangunan yang ramah lingkungan. Cara mengendalikan panas adalah dengan menerapkan desain pasif
pada gedung. Desain pasif merupakan desain yang memanfaatkan alam sekitar untuk mencapai
kenyamanan di dalam gedung, contohnya dengan menambah ventilasi dan jendela pada gedung untuk
melancarkan sirkulasi udara serta menambah pasokan cahaya ke dalam ruangan saat siang hari, sehingga
tujuan pengurangan penggunaan energi dapat tercapai, serta menciptakan kualitas udara yang lebih baik
(Ramadhiani, 2014)
Konsep ini sudah digunakan di negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Singapura dan negara
lainnya walaupun konsep masih tergolong baru dalam dunia perancangan gedung. Contohnya negara yang
menerapkan konsep ini adalah Singapura dengan 27 persen area terbangunnya adalah green building.
Terkait hal itu, Singapore Green Building Week 2015 pun digelar sebagai salah satu kiblat bangunan hijau
dunia (Dody, 2015). Atas dasar inilah dengan munculnya konsep green building, maka dibentuklah green
council guna menilai suatu bangunan gedung sejauh mana dalam menerapkan konsep green building.
Negara-negara lain telah berupaya untuk mengatasi masalah energi melalui pembentukan lembaga-lembaga
green assessment contoh seperti Amerika Serikat memiliki LEED, Singapura memiliki Green Mark, dan
Australia memiliki Green Star.
Seiring dengan perkembangan green building di Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 Tahun 2010 tentang Kriteria dan
Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan. Tujuan utama pelaksanaan green building yaitu sebagai bentuk
pelaksanaan dan pengelolaan pembangunan yang menerapkan prinsip lingkungan dan aspek penting dalam
penanganan dampak perubahan iklim. Di Indonesia sendiri sudah ada standar Greenship yang berada di
bawah lembaga sertifikasi nasional Green Building Council Indonesia (GBCI) sebagai lembaga independen
yang sudah berdiri sejak tahun 2009 dan telah diregistrasi oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Indonesia sebagai lembaga penyedia jasa sertifikasi bangunan ramah lingkungan pada tanggal 21 Juli 2011
dengan nomor Registrasi Kompetensi: 001/LPJ/BRL/LRK/KLH. Manfaat dari adanya sertifikasi green
building selain sebagai bentuk usaha penaatan lingkungan juga memberikan keuntungan yaitu peningkatan
citra dan persepsi masyarakat yang pada akhirnya menjadikan nilai market/investasi lebih dibandingkan
dengan gedung konvensional (Komalasari, 2014).
Pada tahun 2013, Kementerian Lingkungan Hidup telah menunjuk lima perguruan tinggi negeri yang
mengarah untuk menjadi kampus hijau (Primartantyo, 2013). Lima kampus itu adalah Universitas Pattimura
Ambon, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas
Cendrawasih Jayapura, dan Universitas Diponegoro Semarang. Sangat disayangkan Universitas Islam
Indonesia tidak masuk dalam kriteria kampus green, walaupun memegang salah satu kampus terbaik di
Yogyakarta. Hingga saat ini gedung-gedung yang berada di Universitas Islam Indonesia tak satu pun yang
mendapatkan sertifikat green building yang dikeluarkan GBCI, padahal kawasan UII mempunyai dominan
ruang vegetasi yang banyak, namun ini belum cukup dan harus mengikuti standar yang dikeluarkan oleh
GBCI.
Dengan demikian studi kasus ini memilih salah satu gedung inti dari Universitas Islam Indonesia
yaitu gedung rektorat UII yang berlokasi Yogyakarta. Gedung ini telah beroperasi kurang lebih dari 10
tahun, mempunyai 4 lantai berfungsi sebagai kantor Rektor sendiri namun juga sebagai pusat administrasi
kampus yang berada ditengah-tengah kawasan kampus terpadu UII. Pemilihan gedung ini dianggap layak
untuk dilakukan kriteria penilaian dengan menggunakan greenship rating tools untuk bangunan yang telah
terbangun atau greenship existing building yang telah ditentukan standar-standar penilaiannya oleh
lembaga Green Building Council Indonesia. Penelitian ini nantinya melakukan penilaian dengan acuan
kriteria yang tersedia di sistem greenship. Dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi arahan
terhadap pihak kampus untuk melakukan penilaian terhadap gedung-gedung lain di kampus UII, sebagai
bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
2.2 Permasalahan
a) Permasalahan Umum
Sejauh mana penerapan konsep green building yang ada di gedung Rektorat Universitas Islam
Indonesia berdasarkan acuan bangunan yang telah terbangun atau greenship existing building
version 1.1 milik dari GBC Indonesia?
b) Permasalahan Khusus
Apakah gedung Rektorat UII menerapkan acuan yang sesuai dari 6 (enam) kategori greenship
eksisting building secara maksimal?
Apakah gedung Rektorat UII layak mendapatkan sertifikat green building oleh GBCI?
Apasaja rekomendasi perbaikan dalam menerapkan konsep green building di gedung Rektorat
UII
2.3 Batasan Masalah
Objek penelitian adalah gedung Rektorat UII dan aspek yang akan di ukur mengacu pada rating
tools greenship existing building version 1.1 milik dari GBC Indonesia.
Pengambilan data dalam penilitian ini diambil dari wawancara dan obseravsi lokasi, namun
karena keterbatasan waktu serta pengukuran yang kurang maksimal maka dari itu akan diambil
aspek terpenting dari 6 kategori yang tersedia di greenship existing building diantaranya adalah
sebagai berikut:
Tepat Guna Lahan (Site Management Policy, Motor Vehicle Reduction, Community
Accessibility Policy)
Efisiensi dan Konservasi Energi (Policy and Energy Management Plan, Minimum Building
Energy Performance, Optimized Efficiency Building Energy Performance)
Konservasi Air (Water Management Policy, Water Monitoring Control, Fresh Water Efficiency)
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Green Building
Green building adalah bangunan ramah lingkungan yang dicapai baik dari tahap perencanaan,
pembangunan maupun pengoperasian dan pemeliharaan sehari-hari (Furi, 2016). Perkembangan green
building di Indonesia telah menunjukkan peranannya dalam era globalisasi ini. Green Building juga
merupakan salah satu komponen dalam mendukung pembangunan rendah karbon yakni melalui kebijakan
dan program peningkatan efisiensi energi, air dan material bangunan serta peningkatan penggunaan
teknologi rendah karbon (Komalasari, 2014). Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
08 Tahun 2010 Tentang Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan menjelaskan bahwa
bangunan ramah lingkungan atau green building adalah suatu bangunan yang menerapkan prinsip
lingkungan dalam perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaannya dan aspek penting
penanganan dampak perubahan iklim . Ada beberapa kriteria green building dijelaskan juga dalam
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan material bangunan yang ramah lingkungan
b. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk konservasi sumber daya air
c. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana konservasi dan diversifikasi energi
d. Menggunakan bahan yang bukan bahan perusak ozon dalam bangunan gedung.
e. Terdapat fasilitas sarana dan prasarana pengelolaan air limbah domestic pada bangunan gedung.
f. Terdapat fasilitas pemilahan sampah
g. Memperhatikan aspek kesehatan bagi penghuni bangunan
h. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana pengelolaan tapak berkelanjutan
i. Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mengantisipasi bencana
Seperti yang telah dijelaskan diatas, kelayakan sebuah bangunan atau gedung yang menerapkan
green building bukan hanya mempunyai kawasan akan banyaknya vegetasi namun haruslah melewati
penilaian yang nantinya lembaga akan mengeluarkan sertifikat. Pihak yang melakukan sertifikasi
diantaranya adalah Amerika Serikat–LEED, Singapura - Green Mark, dan untuk di Indonesia adalah GBCI.
Green Building Council Indonesia atau Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia adalah asosiasi
bangunan green building untuk Negara Indonesia. Salah satu program GBC Indonesia adalah
menyelenggarakan kegiatan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian khas
Indonesia yang disebut Greenship dengan sistem rating. Kategori Greenship dibagi menjadi dua yaitu untuk
kategori bangunan baru (new building) dan kategori bangunan terbangun (existing building)
2.2 Greenship Bangunan Telah Terbangun
Untuk menciptakan sebuah green building, harus dilalui serangkaian proses assessment atau
penilaian sampai akhirnya pada tahap sertifikasi pada bangunan tersebut. Hal ini diperlukan karena untuk
mencapai tingkatan tertentu tentu diperlukan pencapaian nilai minimum. Semakin tinggi peringkat yang
diinginkan, semakin banyak nilai yang harus dicapai. Pencapaian nilai minimum ini mencerminkan usaha
dan produk akhir tertentu yang diharapkan berlanjut hingga ke pengoperasian.
Demi mewujudkan tersebut maka perlu dilakukan penilaian kelayakan green building, GBCI telah
menyiapkan tools atau perangkat tolak ukur yang berisi butir-butir/rating. Setiap rating mempunyai kategori
yang masing-masing memiliki nilai. Untuk perangkat tolak ukur green building, GBCI mengeluarkan
system rating yang dinamakan Greenship. Dalam studi kasus ini greenship yang akan digunakan adalah
greenship eksisting building . Syarat untuk melakukan assessment adalah bangunan tersebut telah berdiri
selama 1 tahun setelah gedung selesai dibangun (GBC Indonesia, n.d.), sesuai dengan keberdaan gedung
Rektorat yang terbangun semenjak tahun 1998, maka sudah layak untuk dilakukan assessment. Greenship
sendiri mempunyai kategori untuk acuan penilaian, yang terdiri dari :
a. Tepat Guna Lahan - Appropriate Site Development (ASD)
Site Management Policy bertujuan mendorong pemilik tapak untuk memiliki sisyem
pemleliharaan secara terpadu dalam jangka pendek maupun jangka pandjang, sehingga
dampak negatif dari tapak dapat diatasi atau diminimalisasikan
Motor Vehicle Reduction Policy bertujuan Mendorong penghuni dan tamu gedung untuk
menggunakan kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Community Accessibility Untuk menghargai lokasi gedung yang memiliki aksesibilitas yang
baik sehingga mempermudah masyarakat untuk mencapai berbagai fasilitas dalam kegiatan
sehari-hari.
Motor Vehicle Reduction bertujuan Mendorong penghuni dan tamu gedung untuk
menggunakan kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Site Landscaping Memelihara atau memperluas kehijauan kota bertujuan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup, antara lain: mengurangi limpasan permukaan
beban sistem drainase sehingga meminimalkan dampak terhadap neraca air bersih dan sistem
air tanah, mengurangi heat island, reduksi CO2 dan polutan lain pencegah erosi, konservasi
lahan, kualitas ekosistem habitat dan penanganan polusi.
e. Kualitas Udara & Kenyamanan Udara Dalam Ruang - Indoor Air Health & Comfort
(IHC)
No Smoking Campaign bertujuan mengajak pengguna gedung untuk tidak merokok di area
gedung.
Outdoor Air Introduction bertujuan menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam
ruangan dengan melakukan introduksi udara luar ruang sehingga memberikan kontribusi
bagi kesehatan dan kenyamanan pengguna gedung.
Environmental Tobacco Smoke Control bertujuan Mengurangi pemajanan lingkungan yang
tercemar asap rokok terhadap para pengguna gedung dan permukaan ruangan sehingga
terjaga lingkungan udara dalam ruang yang sehat.
CO2 and CO Monitoring bertujuan memantau konsentrasi CO2 dan CO dalam mengatur
masukan udara segar sehingga menjaga kesehatan pengguna gedung.
Physica, Chemical and Biological Pllutants bertujuan membuktikan bahwa kadar pencemar
fisik dan kimia udara dalam ruangan berada pada tingkat polusi udara yang dapat diterima,
sehingga mendukung kesehatan pengguna gedung.
Thermal Comfort bertujuan mengatur tingkat kenyamanan yang sesuai dengan daya
akomodasi untuk menjaga kenyamanan therma
Visual Comfort bertujuan mengatur tingkat pencahayaan yang sesuai dengan daya
akomodasi mata untuk menjaga kenyamanan visual
Acoustic Level bertujuan menjaga tingkat kebisingan di dalam ruangan pada tingkat yang
optimal.
Building User Survey bertujuan memperoleh penilaian tentang tingkat kenyamanan
pengguna gedung melalui survei yang baku terhadap pengaruh kenyamanan ruang.
Tabel 2.2.6 (Tolak ukur Kualitas Udara & Kenyamanan Udara Dalam Ruang)
KODE KATEGORI BOBOT
Prerequisite 1 No Smoking Campaign
IHC 1 Outdoor Air Introduction 2
IHC 2 Environmental Tobacco 2
Smoke Control
IHC 3 CO2and CO Monitoring 2
IHC 4 Physical and Chemical 6
IHC 5 Biological Pollutant 3
IHC 6 Visual Comfort 1
IHC 7 Acoustic Level 1
IHC 8 Building User Survey 3
TOTAL 20
Didalam rating tools atau ringkasan tolak ukur untuk penilaian gedung terbangun didasarkan pada
beberapa unsur (GBCI 2013). Unsur-unsur tersebut adalah:
a) Kategori
Yang dimaksudkan dengan kategori adalah pembidangan aspek-aspek yang dinilai secara
signifikan, dan harus menjadi perhatian utama dalam konsep bangunan hijau. Kategori ini
mengandung rating-rating yang menjadi inti penilaian perangkat rating GREENSHIP ini.
b) Rating
Rating adalah bagian dari kategori, berisi muatan apa saja yang dinilai, tolok ukur apa saja
yang harus dipenuhi, dan berapa nilai poin yang terkandung didalamnya.
c) Rating Prasyarat
Rating prasyarat adalah butir rating yang mutlak harus dipenuhi dan diimplementasikan
dalam suatu kategori. Apabila butir ini tidak terpenuhi, butir-butir rating lainnya dalam
kategori ini tidak dapat dinilai dan tidak akan mendapatkan nilai sehingga proses sertifikasi
tidak dapat dilanjutkan. Butir rating ini sendiri tidak memiliki butir nilai.
d) Rating Biasa
Rating biasa adalah turunan dalam kategori selain butir prasyarat. Butir ini baru dapat dinilai
dan diberi nilai kalau semua butir prasyarat dalam kategori tersebut telah dipenuhi atau telah
dilaksanakan. Butir rating ini memiliki butir nilai tertentu, sesuai dengan ketentuan
pencapaian tolok ukur yang sudah ditetapkan
e) Rating Bonus
Rating bonus adalah butir rating yang dapat dinilai seperti butir rating biasa tetapi
keberadaannya tidak diperhitungkan dalam jumlah total butir rating yang digunakan sebagai
nilai pembagi dalam perhitungan persentase penilaian.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengukuran penilaian terhadap beberapa kriteria green
building yang mengacu pada standar nasional (Greenship-GBCI) dengan cara observasi langsung dan
wawancara verifikasi terhadap bidang PFK yaitu bidang yang mengurusi gedung-gedung yang ada dalam
naungan Universitas Islam Indonesia termsuk gedung Rektorat UII sebagai lokasi penelitian. Adapun alat
yang dipake adalah perangkat analisis green building GBCI greenship rating tools untuk gedung terbangun
versi 1.1, light meter (Krisbow- KW0600288) komputer laptop Windows 10, software microsoft office dan
excel 2013. Adapun tahapan dalam metode penelitian :
a. Observasi dan pengukuran cahaya
Melakukan pengamatan langsung terahadap eksisting bangunan serat melakukan pengukuran
langsung terkait dengan intensitas cahaya
b. Wawancara
Wawancara dilakukan melalui bidang PFK yaitu bidang yang mengurusi gedung-gedung yang
terdapat di Universitas Islam Indonesia
c. Studi Literatur
Mencari teori atau standarisasi guna mendukung dalam pemahaman dalam pemaknaan nilai
maupun untuk menunjang penilaian kriteria greenship.
d. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan mengacu greenship existing building version 1.1, dengan cara
memaknai dari tiap kriteria. Perlu diperhatikan dalam penilitian ini yaitu ada beberapa kriteria
yang bermakna prasyarat (P) dianggap terpenuhi agar dapat melancarkan dalam penilaian.
Namun karena terbatas waktu dan pengukuran kriteria green building pada penelitian ini belum maksimal
maka penilaian akan dilakukan dengan mengambil 6 aspek yang terpenting yang tersaji dalam greenship
existing building version 1.1 yang dianggap sudah mewakili untuk menilai kelayakan konsep green
building. Adapun pengambilan aspek yang terprioritas yaitu :
Community Accessibility.
Pada aspek aksesibilitas dan komunitas dilakukan observasi langsung dan asumsi jarak terhadap
lokasi penelitian dengan fasilitas umum yang berada disekitarnya. Pemaknaannya mampu
menunjukkan 5 jenis fasilitas umum dalam jarak pencapaian jalan utama sejauh 500m dari
tapak. Jika tidak ditemukan dan hanya bisa menyebutkan 3 jenis fasilitas umum maka nilai 0,
jika mampu menyebutkan 4-5 fasilitas maka nilai 1. Terkait dengant halte atau stasiun
transportasi umum dalam jangkauan 300 m dari lokasi bangunan diluar jembatan penyebrangan
dan ramp maka memiliki nilai 1, jika tidak terdapat maka nilainya 0.
Bila halte atau stasiun transportasi umum dalam jangkauan 300 m dari lokasi tidak terpenuhi
maka ada halte atau ruang tunggu permanen yang didukung juga dengan adanya bus bay atau
jalur henti bus maka nilainya 2 poin, sedangkan jika hanya halte tanpa adanya jalur bus diberi
nilai 1, namun bila tidak ada maka keduanya nilai 0. Survei dilakukan juga untuk melihat
fasilitas pejalan kaki yang aman, nyaman dan bebas dari perpotongan akses kendaraan bermotor
untuk menghubungkan minimal 3 fasilitas umum dan atau dengan stasiun transportasi masal.
Dalam pemaknaannya bila mampu menyediakan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman
diberi nilai 1, jika fasilitas pejalan kaki bebas dari perpotongan akses kendaraan bermotor dan
menghubungkan minimal 3 fasilitas umum/transportasi masal maka nilai 2 point diberikan.
Tidak terdapat semuanya nilai 0.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Building Neighbourhood
Tolak ukur pertama dalam kategori ini adalah melakukan peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar
gedung dengan melakukan salah satu dari tindakan berikut: perbaikan sanitasi, penyediaan tempat
beribadah, WC umum, kaki lima dan pelatihan pengembangan masyarakat. Di sekitar gedung Rektorat
terdapat akses yang sediakan untuk masyarakat umum dan mahasiswa sebagai akses keluar masuk
kampus, maka tolak ukur ini hanya mendapatkan 1 poin. Disekita gedung juga terdapat peninggalan
cagar budaya yaitu tempat beribadah yang hingga saat ini tetap terjaga dan tepelihara. Total dalam
kriteria ini mendapat 2 poin
Hasil assessment terhadap aspek ASD yang dilakukan pada gedung Rektorat UII menunjukkan
bahwa perolehan poin nilai yang didapat adalah 10 poin dari nilai maksimal 16 poin atau 68% dari rating
yang telah di tetapkan greenship GBCI. Rekomendasi dan saran bagi beberapa kategori yang belum
terpenuhi pada aspek ASD adalah bagi kategori Motor Vehicle Reduction Policy adalah pembuatan surat
pernyataan mengenai pengurangan pemakaian kendaraan bermotor pribadi, kemudian pembuatan
kampanye dan dipasang di setiap lantai. Kampanye tersebut berfungsi untuk menyampaikan suatu pesan
yang berisi ajakan kepada pengguna gedung agar dapat mengerti maksud dan tujuan dari pengurangan
kendaraan bermotor pribadi tersebut. Bagi kategori Site Management adalah membuat SPO
pengendalian terhadap hama penyakit dan gulma tanaman dengan menggunakan bahan-bahan tidak
beracun.
Kriteria bangunan hijau mencakup enam aspek, yaitu Pengembangan Situs yang Tepat, Efisiensi dan
Konservasi Energi, Siklus Konservasi, Bahan dan Sumber Daya Air, Kesehatan dan Kenyamanan Dalam
Ruangan, dan Manajemen Bangunan dan Lingkungan. Indikator kinerja penggunaan energi dalam
bangunan diukur dalam Energy Efficiency Index (EEI). Greenship mengatur nilai minimum EEI 250 kWh
/ m2 / tahun untuk bangunan perkantoran yang ada [3]. Rumus EEI bisa dituliskan sebagai berikut:
Di gedung perkantoran, umumnya 50 - 60% dari total konsumsi energi didominasi oleh sistem
pengkondisian udara (AC). Beban pendinginan pada bangunan terdiri dari beban eksternal dan internal.
Beban eksternal termasuk panas ke ruangan melalui membangun amplop Faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah beban eksternal adalah jenis bahan bangunan, Window to Wall Ratio (WWR), U-
value dan Solar Heat Gain Coefficient (SHGC). WWR adalah rasio luas jendela terhadap total luas
bangunan Amplop, U-value menunjukkan jumlah konduksi panas melalui dinding dan SHGC menunjukkan
jumlah solar yang masuk radiasi melalui bahan kaca. Beban internal berasal dari sistem pencahayaan,
hunian, dan peralatan listrik. EEI dan beban pendinginan bangunan kemudian dapat dihitung dengan
menggunakan software Energyplus.
Langkah pertama dari penelitian ini adalah pemodelan bangunan. Model bangunan hipotetis
dibangun identik dan dibagi menjadi
1. Membangun dengan EEI lebih dari 300 kWh / m2 / tahun (intensif case)
2. Membangun dengan EEI antara 250 - 300 kWh / m2 / tahun (standardach case)
3. Membangun dengan EEI kurang dari 250 kWh / m2 / tahun (kasus efisien)
Model berbentuk persegi terdiri dari 30 lantai dengan dimensi 44 × 44 meter. Luas lantai total
bangunan ini
Langkah selanjutnya adalah menentukan masukan beban eksternal dan internal untuk model. Nilai input
ditentukan dari Standar Nasional Indonesia (SNI), ASHRAE, dan hasil survei dari gedung perkantoran yang
ada di Jakarta. Bangunan
Sistem AC yang diterapkan pada model menggunakan sistem volume udara variabel dengan cooling
tower sebagai kondensor. Koefisien Kinerja (COP) sistem adalah 4, setpoint air dingin sebesar 6,7 oC dan
tingkat infiltrasi 1 cfm. Selain itu, setiap kasus oleskan setpoint termostat yang berbeda, 21 oC untuk kasus
intensif, 22 oC untuk kasus standar, dan 24 oC kasus efisien. Modelnya adalah kemudian disimulasikan
untuk menentukan nilai awal EEI dan distribusi konsumsi energi.
Arimbi Ramadhiani, 2014, "Green Building", Solusi Menyelamatkan Lingkungan
http://properti.kompas.com/read/2014/10/31/080128721/.Green.Building.Solusi.Menyelamatkan.
Lingkungan
Dody, 2015, Singapore Green Building Week 2015, Kiblat Bangunan Hijau Dunia
http://www.rumahku.com/artikel/read/singapore-green-building-week-2015-kiblat-bangunan
WWF Indonesia, 2013, Laporan IPCC: Perubahan Iklim Nyata, Umat Manusia Hadapi Ancaman Serius
https://www.wwf.or.id
Pengembangan Wilayah Pesisir Melalui PengelolaanSumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat di
Kabupaten Gorontalo Utara.,
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75166/potongan/S3-2014-278441-chapter1.pdf.