SULAWESI TENGGARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Dukung
Lahan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Kata kunci: Baubau, daya dukung lahan, ekonomi lahan, kemampuan lahan,
penggunaan lahan
SUMMARY
Keywords: Baubau city, the carrying capacity of the land, land economics, land
capability, land use.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU,
SULAWESI TENGGARA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DEA
PRAKATA
Segala puji dan rasa syukur tak terhingga penulis haturkan karena tesis ini
salah satu anugerah yang luar biasa dari Allah SWT. Shalawat dan salam
kerinduan yang teramat sangat untuk kekasih Ilahi, Muhammad SAW karena
telah membawa petunjuk keselamatan dan panutan akhlak yang baik. Melalui
Baginda Rasul Muhammad SAW Habibillah, penulis peroleh keteladanan tentang
perjuangan dari sebuah proses.
Karya tulis ini tak sekadar sebagai upaya memenuhi syarat menyelesaikan
studi magister di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun didorong oleh
kegelisahan dan rasa ingin tahu terkait studi daya dukung di perkotaan khususnya
Kota Baubau. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kecenderungan
pembangunan perkotaan di Indonesia semakin mengenyampingkan aspek ekologi.
Kalaupun ada, sebatas tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan yang
faktanya masih dilaksanakan setengah hati.
Kajian isu lingkungan saat ini telah mendapat perhatian yang serius dimata
dunia. Perhatian tersebut memuncak diawal dekade 70-an dengan dicetuskan
KTT Bumi pertama di Stockholm, Swedia. Bahkan KTT Bumi ikut
mempengaruhi lahirnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nama kementerian Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi kementerian Negara Lingkungan
Hidup. Sejak itu, Indonesia mulai aktif mengikuti pertemuan KTT Bumi tahun
1982 di Nairobi, Kenya dan menjadi anggota World Commission on Environment
and Development (WCED).
Salah satu isu lingkungan hidup yang sering mencuat dipermukaan adalah
daya dukung (carriying capasity) lingkungan. Daya dukung (carrying capasity)
secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu untuk
menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber
daya yang dimilikinya. Terdapat tiga persoalan pelik yang sering kali dikaitkan
dengan masalah daya dukung yaitu tekanan penduduk (populasi), kebutuhan
ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya. Saat ini, daya dukung digunakan
untuk mengukur tingkat keberlanjutan baik wilayah tertentu maupun bumi secara
global.
Tesis ini mencoba mengurai wilayah yang lebih kecil yakni lahan Kota
Baubau dengan pendekatan daya dukung. Pemilihan ini cukup beralasan karena:
pertama, hampir semua sektor dan aktivitas pembangunan dilakukan diatas lahan.
Aktivitas pembangunan tersebut sangat menentukan pola penggunaan lahan yang
terjadi. Kedua, kajian daya dukung lahan sangat penting untuk wilayah perkotaan
karena aktivitas ekonomi, pembangunan dan perubahan penggunaan lahan sangat
dinamis terjadi di kota. Ketiga, penulis sangat merasakan betul “denyut nadi”
pembangunan di Kota Baubau. Di kota ini hampir tidak ada kajian yang lebih
serius terkait lingkungan hidup. Menurut penulis, Kota Baubau sebagai kota yang
masih relatif muda, kajian daya dukung lahan penting menjadi arahan
pembangunan dan langkah preventif terjadinya kerusakan lahan (ekologi).
Sejak proses pengumpulan data hingga penulisan tesis ini melibatkan
banyak pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus
kepada mereka. Pertama-tama Bapak Dr. Ir. Baba Barus,MSc dan Ibu Dr. Ir. Sri
Mulatsih, MSc.Agr selaku pembimbing I dan II yang tidak hanya memberikan
arahan namun tak bosan memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan buat
Bapak Lala M Kolopaking dan Bang Sofyan Sjaf yang telah memberi kesempatan
belajar di PSP3-IPB melalui Sekolah Drone Desa (SDD) sehingga banyak
gagasan tesis ini penulis “uji coba” di sana. Penulis juga berterima kasih kepada
Pemerintah Kota Baubau dan jajaran SKPD-nya yang telah menfasilitasi berbagai
data.
Tak lupa pula penulis berterima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan
PSL 2012, kawan-kawan RUMANA IPB SULSEL yang selalu berbagi keceriaan
disaat suntuk, kawan-kawan RESPECT, rekan-rekan Sekolah Drone Desa (SDD)
PSP3-IPB yang telah menemani belajar. Saudaraku se-rumah kontrakan Dik
Fiqar, Dik Fitrah, kawan janjang dan yang datang belakangan Yadi Laode dan
kawan Ibo, kalian luar biasa dan sangat membantu. Terima kasih untuk Kanda
Yusran Darmawan bersama keluarga kendati saya selalu mengajak “ribut” tapi
selalu menjamu sebagai saudara dan hadir saat penulis Kanker (kantong Kering).
Terkhusus kedua orang tua penulis ayahanda Drs. H. Faimuddin dan Ibunda
Nursia yang telah membukakan pintu dunia dan memperkenalkan isinya,
memberikan nasehat, petuah dan inspirasi, memanjatkan doa-doa terbaik setiap
waktu. Sungguh ananda penuh dosa dan belum membalas segala kebaikan kalian.
Mertua penulis, Alm. Drs. Supomo Supadi dan Almh. Sulfiani Supomo, posisi
kalian sudah seperti orang tua penulis. Terima kasih telah menitipkan buah hati
kalian untuk mendampingi penulis saat susah dan senang. Ya Allah, berikan
tempat terbaik disana buat kedua mertua hamba. Aamin.
Teristimewa untuk istriku tercinta Fira Diah Setiawaty yang semoga kelak
menjadi bidadariku di surga. Terima kasih telah dengan sabar mendampingi,
menyemangati dan mencurahkan segala kasih ditengah segala kekuarangan. Ayah
janji akan membuatkan rumah indah itu untukmu agar tenang mendidik anak-anak
kita. Amiratushafirah, engkau belahan hati dan kedua biji mataku. Maafkan
Ayah, Nak..,karena usiamu yang kini 4 tahun, selama 3 tahun Ayah tidak berada
disampingmu. Kata-katamu “Amirah rindu Ayah” selalu menjadi penyemangat
buat ayah.
Akhirul kalam, akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada segala
pihak yang telah membantu dan tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Di
tengah bangsa ini yang begitu besar, karya tulis ini hanyalah langkah kecil dari
niat tulus untuk mengabdi kepada negeri. Atas segala kekurangan dari karya tulis
ini penulis mohonkan masukan yang konstruktif untuk perbaikan pada penelitian
selanjutnya.
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan 4
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pemikiran 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Daya Dukung (Carrying Capasity) 5
Penggunaan Lahan 7
Kemampuan Lahan 9
Land Rent 10
Geographic Information System (GIS) 11
3 METODE PENELITIAN 12
Lokasi dan Waktu Penelitian 12
Alat Penelitian 12
Jenis dan Sumber Data Penelitian 12
Analisis Data 13
Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 13
Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual 144
Analisis Kemampuan Lahan 14
Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana
Pola Ruang 16
Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 23
Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya
Dukung Lahan 24
4 KONDISI UMUM WILAYAH 25
Administrasi Wilayah 25
Kondisi Fisik Wilayah 26
Topografi 26
Klimatologi 26
Hidrologi 26
Kondisi Sosial Ekonomi 27
Perekonomian 27
Rencana Pola Ruang Kota Baubau 28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 29
Penggunaan Lahan Aktual 29
Analisis Kemampuan Lahan 41
Evaluasi Penggunaan Lahan aktual dan Pola Ruang RTRW 45
Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Kemampuan
Lahan 45
Evaluasi Keselarasan Rencana Pola Ruang RTRW Terhadap Kemampuan
Lahan 47
Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Rencana Pola
Ruang RTRW 50
Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan Aktual dan
Rencana Pola Ruang RTRW 52
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan. 55
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 58
Penggunaan Lahan Pertanian 58
Penggunaan Lahan Peternakan dan Tambak 59
Penggunaan Lahan Kehutanan 60
Penggunaan Lahan Hotel 60
Penggunaan Lahan Pemukiman 60
Penggunaan Lahan Komersil 61
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik 62
Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara 62
Penggunaan Lahan Pemakaman dan Terminal 63
Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat Ibadah
dan Jalan 63
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 63
Arahan Pengelolaan Lahan Berbasis Daya Dukung Lahan 69
Rumusan Asumsi 69
Penilaian Daya Dukung Lahan 70
Arahan Tindak Lanjut 74
6 SIMPULAN DAN SARAN 76
Simpulan 76
Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 76
RIWAYAT HIDUP 102
DAFTAR TABEL
3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan
pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) 15
3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap
kemampuan lahan 18
3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan 19
3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW 20
3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola
ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual 215
3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan
dan nilai ekonomi lahan 25
4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada
tahun 2010 dan 2011 28
5.1 Klasifikasi penggunaan lahan aktual Kota Baubau. 30
5.2 Foto lapangan dan citra setiap penggunaan lahan aktual 32
5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 45
5.4 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terrhadap
kemampuan lahan 47
5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau 48
5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan 49
5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW 52
5.8 Luas setiap kategori keselelarasan lahan dikota Baubau 53
5.9 Populasi jenis ternak/komoditi di Kota Baubau 59
5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik 62
5.11 Nilai land rent beberapa penggunaan lahan aktual 64
5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap
kelurahan di Kota Baubau 68
5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik
lahan dan nilai ekonomi lahan 71
5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak
berkelanjutan perkelurahan 73
DAFTAR GAMBAR
1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau 5
3.1 Peta lokasi penelitian 13
3.2 Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use) 14
4.1 Peta rencana pola ruang RTRW Kota Baubau 29
5.1 Peta penggunaan lahan Kota Baubau 31
5.2 Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas
tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan sebaran
faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan lahan di Kota
Baubau 42
5.3 Kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 43
5.4 Sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 44
5.5 Evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan 46
5.6 Evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan
lahan 50
5.7 Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola
ruang RTRW 51
5.8 Evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan
rencana pola ruang RTRW 55
5.9 Sebararan lahan terbangun dan non terbangun 65
5.10 Sebaran nilai ekonomi penggunaan lahan per kelurahan 67
5.11 Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota Baubau 72
5.12 Arahan pengelolaan ruang di Kota Baubau 75
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Kota Baubau memiliki laju populasi yang cukup tinggi yakni mencapai 3.23
% pertahunnya. Hal ini dikarenakan Kota Baubau memiliki akses yang cukup
terbuka untuk dikunjungi sehingga mendorong terjadinya migrasi penduduk.
Selain itu, Kota Baubau sejak masa kolonial Belanda sebagai center of network
dari wilayah kepulauan Sulawesi Tenggara (Rabani 2010). Kondisi ini
meningkatkan permintaan ruang untuk pemukiman dan aktivitas ekonomi lainnya
dan mendorong konversi lahan pertanian dan kehutanan.
Melihat penjelasan diatas, maka dibutuhkan arahan pengelolaan lahan yang
terencana dengan baik. Dalam konteks tata guna lahan, perencanaan pengelolaan
lahan harus memperhatikan keseimbangan daya dukung lahan secara ekologi dan
secara ekonomi. Rencana pengelolaan tersebut harus tertuang dalam kebijakan.
Dalam konteks kebijakan, pengaturan penggunaan lahan tertuang dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu, RTRW harus memberikan arahan tata
guna lahan dengan memperhatikan aspek daya dukung baik secara ekologi dan
maupun secara ekonomi.
RTRW Kota Baubau memproyeksikan pola rencana penggunaan lahan
hingga tahun 2030. Hal ini tentu saja memungkinkan perubahan penggunaan
lahan terhadap penggunaan lahan saat ini. Jika dikaitkan dengan kemampuan
lahan, apakah penggunaan lahan saat ini dan rencana penggunaan lahan dalam
RTRW telah mempertimbangkan aspek kemampuan lahan. Sebaliknya pula,
apakah penggunaan lahan tersebut secara ekonomi memiliki nilai yang cukup
untuk menunjang populasi penduduk di Kota Baubau.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa pertanyaan yang dianalisis
lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
fisik lingkungan.
2. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
ekonomi.
3. Bagaimana arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan
daya dukung lahan.
Tujuan
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah seperti pada diagram alir
berikut:
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi, iklim, relief, hidrologi
dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat dari berbagai kegiatan manusia
baik di masa lalu maupun di masa sekarang seperti kegiatan reklamasi,
penebangan hutan dan akibat merugikan lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007).
Baja (2012) menguraikan bahwa dalam perencanaan tata guna lahan sangat
penting untuk dibedakan pemahaman antara tanah (soil), lahan (land), unit lahan
(land unit), penggunaan lahan (land use) dan jenis pemanfaatannya (land
utilization type). Lahan dapat bersifat stabil atau labil karena dikaitkan pada
aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah. Hal itu pula dipengaruhi oleh sifat
tanah, siklus alam dan faktor-faktor lain yang berhubungan. Oleh karena itu lahan
tidak hanya merujuk pada tanah tetapi aktifitas yang berhubungan dengan semua
faktor yang relevan dari lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan,
topografi, vegetasi, aktivitas di bawah permukaan tanah hingga aktivitas sosial,
ekonomi dan budaya.
8
Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan adalah '' kualitas '' lahan untuk menghasilkan tanaman
yang umum dibudidayakan dan tanaman rumput untuk penggembalaan tanpa
kerusakan selama periode waktu yang panjang (FAO, 1983). Berbeda dengan
definisi Wells dalam Gad (2015) mendefinisikan kemampuan lahan sebagai
kemampuan lahan untuk mendukung jenis penggunaan lahan tertentu tanpa
menyebabkan kerusakan permanen. Kategori klasifikasi kemampuan lahan dibagi
ke dalam kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahan (Gad 2015). Kelas
kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan
penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang
umum (Arsyad 2010)
Tanah sebagai komponen utama dari sistem klasifikasi kemampuan lahan,
mempertimbangkan keterbatasan tanah, risiko kerusakan ketika tanah digunakan,
dan bagaiman cara tanah memberi respon terhadap perlakuan yang diberikan (Gad
2015). Klasifikasi kemampuan lahan menyediakan panduan untuk penilaian
kendala tanah dan rekomendasi pengelolaan lahan untuk penggunaan di berbagai
skala termasuk negara, DAS hingga tingkat perencanaan kawasan perumahan
(Murphy et al. 2004). Di Indonesia sistem klasifikasi kemampuan lahan yang
umum digunakan adalah sistim USDA (United State Departemen of Agriculture)
karena sangat mudah dan sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat
fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa
memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di
laboratorium (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Menurut Arsyad (2010) intensitas faktor penghambat adalah menjadi faktor
penentu pengklasifikasian kemampuan lahan. Menggunakan sistim USDA, tanah
dikelompokkan menjadi delapan kelas dengan menggunakan angka romawi.
Semakin tinggi kelas kemampuan menunjukkan semakin tinggi pula faktor
penghambat dan ancaman kerusakan sehingga jenis dan intesitas penggunaannya
semakin terbatas. Secara rinci setiap kelas kemampuan lahan dijelaskan oleh
Arsyad (2010) sebagai berikut:
Kelas I, lahan yang tidak mempunyai Tidak mempunyai atau hanya sedikit
hambatan yang membatasi penggunaannya sehingga sesuai untuk berbagai
penggunaan terutama pertanian. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan
kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak
mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah,
kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan iklim sesuai bagi
pertumbuhan tanaman secara umum.
Kelas II, lahan yang memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan
sehingga mengurangi pilihan penggunaannya. Hal ini dapat menyebabkan
perlu adanya tindakan konservasi yang sedang. Tindakan pengelolaan harus
hatis-hati. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-
berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah
dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena
banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim
agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan
Kelas III, lahan yang memiliki beberapa hambatan yang berat yang
mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi
10
khusus dan keduanya.. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika
dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan
konservasi lebih sulit diterapkan. Hambatan membatasi lama penggunaan
bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi
dari pembatas tersebut. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-
bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami
erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam,
kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas
menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah
sedang, atau hambatan iklim agak besar
Kelas IV, lahan yang memiliki hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih
besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. Perlu pengelolaan
hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.
Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit,
kepekaan erosi tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas
menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari
24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi
dan keadaan iklim kurang menguntungkan
Kelas V , lahan yang tidak memiliki ancaman erosi tetapi mempunyai
hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi
pilihan penggunaannya. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi
sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.
Kelas VI, lahan yang mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak
sesuai untuk penggunaan pertanian. Memiliki pembatas atau ancaman
kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi
faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam
laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai.
Kelas VII, lahan yang tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan
penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau
telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki
Kelas VIII, lahan yang sebaiknya dibiarkan secara alami. Pembatas dapat
berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air
rendah.
Land Rent
Land rent adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa
atas penggunaan lahan yang harus dibayarkan pada lahan (Rustiadi et al. 2009).
Setiap jenis penggunaan lahan memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis
penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai
porsi penggunaan terbesar. Hal ini dikarenakan lahan diarahkan pada kegiatan
yang memberikan nilai land rent tertinggi. Dampaknya pada lahan pertanian
meskipun lebih lestari kemampuannya menjamin kehidupan petani, tetapi hanya
memberikan sedikit keuntungan finansial dibandingkan sektor industri,
pemukiman dan jasa lainnya menyebabkan konversi lahan pertanian ke non
pertanian tidak dapat dicegah (Arsyad dan Rustiadi 2008).
Kumar (2009) pernah melakukan studi yang berkaitan dengan land rent
yang dapat memicu perubahan penggunaan lahan di kota New Delhi. Hasil studi
11
Salah satu perangkat lunak yang bisa digunakan untuk identifikasi dan
analisis penggunaan lahan dalam menghitung daya dukung lahan adalah
Geographic Information System (GIS). Star dan Estes (1990) dalam Baja (2012)
mendefinisikan GIS sebagai suatu sistem berbasis komputer untuk menangkap
(capture), menyimpan (store), memanggil kembali (retrieve), menganalisis, dan
mendisplay data spasial sehingga dapat menyelesaikan masalah yang kompleks
untuk kepentingan penelitian, perencanaan, pelaporan dan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan. Prahasta (2005) mendefinisikan GIS sebagai
12
satu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan logika untuk
menganalisis berbagai objek yang ada dipermukaan bumi.
GIS merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang ter-
referensi dengan kordinat spasial atau geografis. Upaya tata guna lahan referensi
spasial tersebut menjadi syarat utama. Dengan demikian GIS dianggap sebagai
sistem pemetaan kelas tinggi yang dibutuhkan dalam setiap perencanaan tata guna
lahan mulai dari perencanaan awal, inventarisasi informasi, analisis, manipulasi
data hingga penyajian hasil untuk digunakan dalam dalam pengambilan keputusan
(Baja 2012). Barus dan Wiradisastra (2000) menjabarkan bahwa GIS memiliki
empat komponen utama yaitu: (1) data input yakni terkait upaya pengumpulan
dan mempersiapkan data spasial dan atribut, (2) data manajemen yakni terkait
pengorganisasian data dan atribut, (3) data manipulasi dan analisis yakni terkait
manipulasi dan pemodelan data untuk menyajikan data sesuai dengan tujuan dan
(4) data output yakni terkait upaya menghasilkan luaran seluruh atau sebagian
data baik dalam bentuk softcopy, hardcopy atau berkas (file).
Saat ini GIS telah banyak dipergunakan dalam berbagai bidang seperti
pertanian, perkebunan dan kehutanan, bidang bisnis dan perencanaan pelayanan,
bidang lingkungan, dan lain-lain (Barus dan Wiradisastra 2000). Bidang
perencanaan tata guna lahan, GIS digunakan untuk berbagai aplikasi baik
inventarisasi, deteksi, identifikasi, evaluasi dan pemantauan dimana hal ini telah
disadari oleh para peneliti, perencana dan pengelola sumberdaya alam dan
lingkungan bahwa GIS adalah perangkat yang sangat penting.
3 METODE PENELITIAN
Alat Penelitian
Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang dihasilkan dari hasil indepth interview, pengamatan dan survey
langsung di lokasi penelitian. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari
studi kepustakaan, hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik
penelitian, informasi dari lembaga tertentu baik pemerintah maupun non
pemerintah dan informasil dari media massa.
13
Jenis data primer berupa hasil verifikasi lapangan terhadap hasil interpetasi
citra. Selain itu data survey harga komoditi pertanian, komoditi perkebunan,
komoditi peternakan, komoditi perikanan, komoditi kehutanan, sewa
lahan/bangunan, aktivitas pedagang kaki lima dan kondisi fisik wilayah. Jenis data
sekunder yang dibutuhkan adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dari Badan
Informasi Geospasial (BIG) skala 1:50 000, citra Quickbird tahun 2013 Kota
Baubau, peta land system skala 1:250 000, dokumen Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Baubau, data Potensi Desa (PODES), data Baubau dalam
angka, data Pendapatan Asli Daerah (PAD) data konstruksi jalan dan bangunan
serta data penunjang lainnya.
Analisis Data
Penelitian terdiri dari tiga tahap yakni: (1) menganalisis daya dukung lahan
aktual dengan pendekatan fisik lingkungan (ekologi); (2) menganalisis daya
dukung lahan aktual dengan pendekatan ekonomi (land rent); (3) menyusun
arahan pengelolaan lahan di kota Baubau berbasis daya dukung lahan.
Tabel 3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan
pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Kemampuan lahan dengan kategori kelas dibagi menjadi sub kelas yang
didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam penggunaan lahan
(Rustiadi et al. 2010). Indikator tersebut antara lain : (1) tekstur, (2) lereng
permukaan, (3) drainase, dan (4) kedalaman efektif. Penggolongan besarnya
intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada
tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010) sebagaimana disajikan pada Lampiran
1.
Data sekunder yang digunakan adalah adalah peta land system skala
1:250.000 dan Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1 : 50.000. Faktor
penghambar tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari land system,
sedangkan untuk data kelerengan diperoleh dari RBI. Pengkelasan kelerengan
pada RBI berbeda dengan kelas kelerengan yang diinginkan. Kondisi ini
diantisipasi dengan pengolahan data kelerengan terlebih dahulu dengan mengubah
data vektor kelerengan pada RBI menjadi data DEM (raster). Setelah itu
dilakukan re-kelas pada kelerengan menjadi kelas kelerengan yang diinginkan.
Data kelas kelerengan yang baru lalu diubah kembali menjadi data vektor.
Faktor penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari
land system, sehingga data ini juga memiliki skala pemetaan 1 : 250 000. Skala
tersebut belum setara dengan skala pemetaan kelerengan. Untuk itu, faktor
penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah didetailkan terlebih dahulu.
Proses pendetailan dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang tersedia
dan pengamatan lapangan.
Setelah melalui proses pendetailan, setiap faktor penghambat akan
menghasilkan peta yang setara dengan skala 1 : 50 000. Proses selanjutnya adalah
16
empat peta dari setiap faktor penghambat ditumpangtindihkan dengan cara joint
atribut. Hasilnya berupa poligon-poligon yang lebih detail, diperoleh dari
perpotongan poligon-poligon dari peta faktor penghambat. Setiap poligon detail
tersebut disebut satuan lahan homogen yang memiliki nilai tekstur, drainase,
kedalaman tanah dan kelerengan. Contoh matriks sub kelas kemampuan lahan
pada satuan lahan homogen sebagaimana disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan
nilai tersebut setiap poligon dijustifikasi kelas kemampuan dan sub kelas
kemampuan lahannya.
III_l2d3k1
IV_l3d4
IV_l3k2
VI_l4k3
III_l2d3
VIII_l6
II_l1d2
II_t1l1
VII_l5
IV_d4
IV_k2
VI_k3
III_d3
III_k1
No Penggunaan Lahan
IV_l3
VI_l4
III_l2
II_d2
II_t1
1 Badan air S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
2 Bandara S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
Bangunan
3 S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
Pemerintah
4 Cagar budaya S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
5 Hotel S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS
6 Hutan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
7 Jalan S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB
8 Kebun campuran S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
9 Kilang pertamina S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
10 Komersil S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
11 Lahan terbuka S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS
12 Mangrove S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
13 Padang rumput S S S S S S S S S S S S S S S S S TS TS
14 Pelabuhan S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
15 Pemakaman S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS
16 Pemukiman S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
Pertanian lahan
17 S S S S S S S S S S S SB SB SB SB TS TS TS TS
basah
Pertanian lahan
18 S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
kering
19 Pusat pendidikan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
20 Ruang publik S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
21 Ruang terbuka hijau S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
22 Tambak S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
23 Tempat ibadah S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
24 Terminal S S S S S S S S S S S S TS TS S TS TS TS TS
Keterangan: S = selaras TS = tidak selaras SB = selaras bersyarat
19
Tabel 3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan
III_l2d3k1
IV_l3d4
IV_l3k2
VI_l4k3
III_l2d3
VIII_l6
II_l1d2
II_t1l1
VII_l5
IV_d4
IV_k2
VI_k3
III_d3
III_k1
IV_l3
VI_l4
III_l2
No Rencana pola ruang
II_d2
II_t1
1 Cagar Budaya S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
2 Fasilitas sosial S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
3 Fasilitas umum S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
4 Hutan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
5 Hutan Kota S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
6 Hutan Lindung S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
7 Hutan Produksi Terbatas S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
8 Hutan Raya S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
9 Industri Perikanan S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
10 Kawasan Bandara S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
11 Kawasan Pelabuhan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
12 Komersil S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
13 Konservasi Pantai S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
14 markas tni/kostrad S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
15 Pemukiman S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
16 Pergudangan S S S S S S S S S S S S S TS S TS TS TS TS
17 Perkantoran S S S S S S S S S S S S S TS S TS TS TS TS
18 Perkebunan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
19 PLTU S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
20 Sawah S S S S S S S S S S S SB SB SB S TS TS TS TS
21 Taman S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB
22 Tambang S S S S S S S S S S S SB SB SB S SB SB TS TS
23 Wisata Pantai S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
Keterangan: S = selaras TS = tidak selaras SB = selaras bersyarat
20
Tabel 3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW
Tabel 3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual
Jumlah orang dan barang yang masuk tidak dihitung karena aktivitas belanja
barang dan tiket tidak dilakukan di Kota Baubau.
Land use pemakaman dan terminal nilai ekonominya ditentukan berdasarkan
jumlah pemasukan retribusi pada tahun aktual 2013. Data tersebut diperoleh
melalui Kantor Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah Kota Baubau.
Land use pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan,
nilai ekonominya didasarkan pada nilai statis. Nilai statis merupakan nilai
yang dibutuhkan untuk membangun konstruksi persatuan luas tertentu. Data
nilai tersebut diperoleh dari hasil indepth interview kepada pelaku usaha jasa
konstruksi.
Hasil analisis nilai ekonomi lahan bersih selanjutnya dibandingkan
dengan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) yang setara 1 ton beras per kapita
(Rustiadi et al. 2010). Hasil perbandingan tersebut menunjukkan tingkat daya
dukung lahan dengan pendekatan ekonomi untuk penggunaan lahan aktual. Nilai
ekonomi lahan dibagi menjadi 2 kategori yaitu memenuhi daya dukung ekonomi
dan tidak memenuhi daya dukung ekonomi. Penentuan kategori dilakukan
melalui perbandingan antara nilai ekonomi lahan dengan nilai Kualitas Hidup
Layak (KHL) perkapita, dengan asumsi sebagai berikut:
Memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan dibandingkan
dengan nilai KHL hasilnya lebih besar dari jumlah populasi pada satuan
wilayah administrasi.
Tidak memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan
dibandingkan dengan nilai KHL hasilnya lebih kecil dari jumlah populasi
pada satuan wilayah administrasi.
Satuan wilayah administrasi yang digunakan dalam pemetaan ini adalah unit
desa/kelurahan.
adalah aspek ekologi, sosial ekonomi dan perencanaan. Hasilnya berupa peta
tematik arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau.
Tabel 3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik
lahan dan nilai ekonomi lahan
Kategori nilai ekonomi lahan
Evaluasi keselarasan fisik
memenuhi daya dukung tidak memenuhi daya
lahan
ekonomi dukung ekonomi
S_1 B TB
S_2 B TB
S_3 B TB
S_4 B TB
TS_1 TB TB
TS_2 TB TB
TS_3 TB TB
TS_4 TB TB
TS_5 TB TB
TS_6 TB TB
TS_7 TB TB
TS_8 TB TB
TS_9 TB TB
TS_10 TB TB
Administrasi Wilayah
Topografi
Klimatologi
Secara umum kondisi iklim Kota Baubau sama dengan iklim Pulau Buton.
Terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Periode musim
hujan terjadi dari bulan Desember hingga bulan April dimana pada bulan – bulan
tersebut angin barat yang bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik mengandung
banyak uap air. Musim kemarau terjadi antara Bulan Juni hingga November
karena pada bulan-bulan ini angin timur yang bertiup dari Australia kurang
mengandung uap air . Siklus musim ini mendorong terjadinya bulan basah dan
bulan kering (BPS 2013).
Berdasarkan catatan Stasiun Meteorologi Kelas III Betoambari, pada tahun
2012 terjadi hari hujan sebanyak 130 dengan curah hujan 1,832.6 mm. Kondisi ini
menurun jika dibandingkan dengan hari hujan dan curah hujan tahun sebelumnya
yang mencapai 144 hari dan 3 349.6 mm. Curah hujan tertinggi di tahun 2012
terjadi pada bulan Maret sebesar 335.7 mm sedangkan curah hujan terkecil terjadi
pada bulan Agustus sebesar 1.2 mm (BPS 2013).
Suhu udara di Kota Baubau pada tahun 2012 berkisar antara 19.80C sampai
dengan 360C. Rata-rata kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu
sebesar 20 knot sedangkan rata-rata kecepatan angin terendah terjadi pada bulan
Januari yakni sebesar 8 knot. Sementara itu, rata-rata tekanan udara selama tahun
2012 tercatat antara 1 011.2 mb – 1 015.3 mb. Tekanan terendah terjadi pada
bulan Maret dan tertinggi pada bulan Agustus (BPS, 2013).
Dibandingkan data yang dikumpulkan oleh Baja (2012) curah hujan
tahunan Kota Baubau adalah 2 666 mm pertahun dengan rata-rata curah hujan
bulanan 202.17 mm. Bulan basah (>100mm) cukup tinggi yakni sebanyak
delapan bulan dan sisanya adalah bulan kering. Curah hujan terendah pada bulan
Agustus, September dan Oktober. Suhu udara relatif bervariasi antara 23° C
hingga 33°C dengan rata-rata perbedaan sekitar 10°C. kelembaban udara cukup
merata sepanjang tahun yakni berkisar antara 72% dan 85%.
Hidrologi
Kota Baubau memiliki dua sungai besar yaitu sungai Baubau dan sungai
Bungi. Sungai Baubau mengalir di sebelah selatan yang bermuara di pusat kota
27
pada bagian timur. Sungai ini juga yang membatasi Kecamatan Wolio dengan
Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai tersebut umumnya
memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga irigasi dan
kebutuhan rumah tangga (BPS, 2013).
Sungai Bungi mengalir di sebelah utara Kota Baubau. Sungai Bungi
melintas dari Kecamatan Sorawolio, membelah Kecamatan Bungi dan tepat
bermuara di Kecamatan Lea-Lea dan Kecamatan Kokalukuna. Sungai ini
merupakan sumber air untuk persawahan dan air bersih PDAM. Sungai Bungi
membentuk daerah tangkapan sendiri (sub DAS Bungi), dimana kawasan
pertanian Ngkari-Ngkari dan sekitarnya terletak di dalam daerah tangkapan
tersebut. Pada bagian hulu sungai Bungi terdapat mata air bungi (Baja 2012).
Berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) tahun 2000 jumlah penduduk Kota
Baubau berjumlah 106 092 jiwa. Jumlah penduduk Kota Baubau mengalami
peningkatan berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) tahun 2010 yakni 136 991
jiwa. Laju pertumbuhan penduduk kota Baubau pertahun selama kurun waktu 10
tahun sebesar 2.59 persen (BPS 2013)
Hasil proyeksi yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk Kota Baubau
tahun 2012 adalah 142 576 jiwa, dimana 70 408 jiwa (49.38 persen) penduduk
laki-laki dan 72 168 orang (50.62 persen) adalah perempuan. Kurun waktu tahun
2010-2012 mengalami penduduk Kota Baubau mengalami pertumbuhan sebesar
2.02 persen. Dari 8 kecamatan, tingkat pertumbuhan penduduk yang tertinggi
terjadi di Kec. Sorawolio yaitu 2.09 persen.
Luas Kota Baubau adalah 29 313.96 ha. Seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan
penduduk Kota Baubau tahun 2000 sebesar 480 orang per km2 kemudian tahun
2010 sebesar 620 orang per km2 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 645
orang per km2. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Batupoaro sebesar 17
384 orang per km2, sedangkan Kecamatan Sorawolio dengan luas wilayah
terbesar justru memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 89 orang per
km2.
Perekonomian
Tabel 4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada
tahun 2010 dan 2011
2010 2011
No Sektor Harga berlaku Harga Berlaku
% %
(juta Rp) (juta Rp)
1 Pertanian,
Perkebunan,
Peternakan, 294 359.69 14.13 316 175.46 13.52
Perikanan, dan
Kehutanan
2 Pertambangan dan
12 207.72 0.59 14 973.96 0.64
Penggalian
3 Industri Pengolahan 52 899.68 2.54 57 963.11 2.48
4 Listrik, Gas dan Air 23 705.68 1.14 26 001.29 1.11
5 Konstruksi/Bangunan 396 965.54 19.06 454 550.28 19.43
6 Perdagangan, Hotel
533 251.51 25.61 613 408.32 26.22
dan Restoran
7 Pengangkutan dan
227 890.03 10.92 248 744.51 10.63
Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan
119 624.04 5.74 151 099.06 6.46
dan Jasa Perusahaan
9 Jasa-Jasa 421 975.00 20.27 456 290.77 19.51
Total 2 082 878.89 100.00 2 339 206.76 100.00
Tabel 5.2 Foto lapangan dan citra setiap penggunaan lahan aktual
No Penggunaan
Foto Lapangan Citra
Lahan
1 Hutan
2 Kebun
campuran
3 Pertanian
lahan kering
4 Pertanian
lahan basah
33
5 Mangrove
6 Padang
rumput
7 Tambak
8 Ruang
Terbuka
Hijau
9 Lahan
terbuka
34
10 Badan air
11 Pemakaman
12 Jalan
13 Bangunan
pemerintah
14 Pemukiman
35
15 Pusat
pendidikan
16 Pelabuhan
17 Bandara
Betoambari
18 Kilang
pertamina
19 Terminal
36
20 Tempat
ibadah
21 Komersil
22 Hotel
23 Cagar
budaya
24 Ruang
terbuka
publik
Hutan Hutan dalam banyak hal memberikan manfaat bagi masyarakat baik
produk barang maupun jasa lingkungan seperti perlindungan tanah, potensi
37
rekreasi, pengaturan sumberdaya air, dan aneka produk kayu (Baskent dan Keles
2008). Masyarakat Kota Baubau memanfaatkan hutan baru berupa produk Rotan
dan getah Pinus. Pemanfaatan ini dilakukan melalui kelompok usaha dan dibawah
pengawasan Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kota Baubau. Secara
keseluruhan luas hutan di Kota Baubau mencapai 15 692.14 ha atau 53.53 % dari
luas total wilayah kota. Hutan tersebut tersebar di wilayah Kecamatan Bungi,
Sorawolio, Wolio dan Kokalukuna yang berada di bagian belakang wilayah
(hinterland) kota. Melalui citra Quickbird tahun 2013, penggunaan lahan hutan
berwarna biru tua dengan kerapatan kanopi yang padat (lihat Tabel 5.2 No. 1).
Lahan Terbuka Lahan terbuka diakibatkn oleh pembukaan lahan hutan dan
penggalian tanah untuk memperoleh tanah timbunan yang dibutuhkan
pembangunan. Melalui citra Quickbird, lahan terbuka berwarna kekuningan dan
kecoklatan (lihat Tabel 5.2, No. 9). Luas lahan terbuka berdasarkan interpretasi
citra adalah 0.53 % dari luas wilayah kota atau setara 154.20 ha.
Badan Air Badan air di Kota Baubau dalam bentuk sungai dan saluran irigasi.
Kota Baubau memiliki dua sungai besar yaitu sungai Baubau dan sungai Bungi.
Sungai Baubau membatasi Kecamatan Wolio dengan Kecamatan Murhum dan
Kecamatan Batupoaro. Sungai Bungi melintas dari Kecamatan Sorawolio,
membelah Kecamatan Bungi dan tepat bermuara di Kecamatan Lea-Lea dan
Kecamatan Kokalukuna. Sungai ini merupakan sumber air untuk persawahan dan
air bersih PDAM. Sungai Bungi membentuk daerah tangkapan sendiri (sub DAS
Bungi), dimana kawasan pertanian Ngkari-Ngkari dan sekitarnya terletak di dalam
daerah tangkapan tersebut. Pada bagian hulu sungai Bungi terdapat mata air
bungi (Baja 2012). Melalui citra Quickbird, terlihat pola badan air umumnya
memanjang dan berkelok-kelok dengan menunjukkan rona warna hijau tua (lihat
Tabel 5.2 No. 9). Total luas badan air Kota Baubau adalah 166.01 ha atau 0.57 %.
Jalan Citra Quickbird menunjukkan bahwa pola jalan memanjang dan berkelok-
kelok yang menyebar pada setiap kecamatan. Warna yang ditunjukkan adalah
kehitaman (lihat Tabel 5.2, No. 11). Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 34
tahun 2006 tentang Jalan, terdapat jalan arteri, lokal dan lingkungan. Jalan arteri
yang menghubungkan antar kecamatan, jalan lokal yang menghubungkan
kelurahan dalam satu kecamatan dan jalan lingkungan. Jalan lingkungan di Kota
Baubau menghubungkan antar pemukiman dan jalan usaha tani. Berdasarkan
interpretasi citra Quickbird tahun 2013 luas jalan di Kota Baubau mencapai
209.44 ha atau 0.72 %.
Tempat Ibadah Sarana tempat ibadah di Kota Baubau yaitu masjid, gereja dan
pura. Masyarakat Kota Baubau adalah mayoritas muslim sehingga jumlah masjid
jauh lebih besar dibandingkan tempat ibadah lain. Gereja berjumlah tiga buah
yang terdapat di Kecamatan Wolio dan satu buah di Kecamatan Bungi. Pura
hanya 1 buah yang terdapat di Kecamatan Bungi. Melalui citra Quickbird
bangunan tempat ibadah (masjid) berbentuk persegi dan terdapat lingkaran kubah
diatasnya (lihat Tabel 5.2, No. 18). Luas lahan untuk tempat ibadah mencapai
6.12 ha atau 0.02 %.
Hotel Data BPS Kota Baubau menyebutkan bahwa jumlah hotel dan penginapan
di mencapai 52 hotel. Namun berdasarkan hasil survey lapang hanya terdapat 21
buah hotel yang aktif. Sebaran hotel di Kota Baubau berada di Kecamatan Wolio,
41
Cagar Budaya Kota Baubau juga dikenal sebagai kota budaya. Catatan sejarah
menunjukkan bahwa Kota Baubau di masa kesultanan Buton merupakan pusat
Kesultanan Buton dari abad 13 hingga abad 20. Wilayah kekuasaannya mencakup
Wilayah pulau Buton dan beberapa pulau yang ada di sekitarnya, antara lain pulau
Muna, Kabaena, Wawonii, gugusan kepulauan Tukang Besi (Wanci, Kaledupa,
Tomea, dan Binongko) dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Buton, yakni
Siompu, Kadatuang, Mangkassar, dan Talaga (Rabani 2010). Sisa peninggalan
kesultanan Buton di Kota Baubau antara lain benteng dan rumah adat yang
terdapat di Kecamatan Murhum. Luas lahan untuk penggunaan cagar budaya
mencapai 3.86 ha 0.01 %.
Ruang Publik Ruang publik menjadi tempat mengisi liburan ataupun sekedar
melepas kepenatan bagi warga Kota Baubau. Ruang publik ini menyuguhkan
aneka jajanan dan pemandangan laut karena posisinya berada di pesisir. Melalui
citra satelit salah satu ruang publik menunjukkan warna kuning merupakan warne
tegel dan warna biru merupakan kolam (lihat Tabel 5.2, No. 24). Terdapat enam
ruang publik di Kota Baubau yaitu satu di Kecamatan Betoambari, dua di
Kecamatan Batu Poaro, satu di Kematan Wolio dan dua di Kecamatan
Kokalukuna. Luas lahan yang digunakan untuk ruang publik adalah 12.78 ha atau
0.04 %.
a b
c d
Gambar 5.2 Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas
tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan
sebaran faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan
lahan di Kota Baubau
Penerapan klasifikasi kemampuan lahan memberikan manfaat untuk
menentukan arah penggunaan lahan. Arahan tersebut tidak hanya untuk
penggunaan lahan pertanian seperti untuk budidaya tanaman semusim,
perkebunan, dan kehutanan, tetapi juga penggunaan lahan non pertanian
(Samranpong et al. 2009). Penerapan klasifikasi ini sebagai bentuk upaya tidak
hanya untuk menjaga keberlanjutan lahan namun juga keberlanjutan produksi.
Terdapat enam kelas kemampuan lahan di Kota Baubau yaitu kelas II, III,
IV, VI, VII dan VIII sedangkan kelas kemampuan lahan I dan V tidak ditemukan.
Kelas kemampuan lahan II, III, IV dan VI tersebar di hampir seluruh kecamatan.
Kelas kemampuan lahan VII hanya terdapat di Kecamatan Bungi, sedangkan kelas
kemampuan lahan VIII hanya ditemukan di Kecamatan Lea-Lea. Sebaran kelas
kemampuan lahan di Kota Baubau dapat dilihat pada Gambar 5.3.
43
Tabel 5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau
Kelas
Luas % Sub kelas luas %
kemampuan
II_d2 1 005.24 3.43
II_l1d2 1 284.44 4.38
II 4 182.55 14.27
II_t1 1 016.38 3.47
II_t1l1 876.48 2.99
III_d3 260.39 0.89
III_k1 130.23 0.44
III 1 698.17 5.79 III_l2 1 184.19 4.04
III_l2d3 4.18 0.01
III_l2d3k1 119.19 0.41
IV_d4 310.06 1.06
IV_k2 2 697.66 9.2
IV 7 821.52 26.68 IV_l3 3 245.00 11.07
IV_l3d4 1.64 0.01
IV_l3k2 1,567.15 5.35
VI_k3 13 901.99 47.42
VI 15 446.52 52.69 VI_l4 729.28 2.49
VI_l4k3 815.26 2.78
VII 53.34 0.18 VII_l5 53.34 0.18
VIII 111.86 0.38 VIII_l6 111.86 0.38
Total 29 313.96 100.00 29 313.96 100.00
penggunaan lahan yang selaras bersyarat (SB) seluas 359.78 ha atau 1.23 %. Luas
hasil evaluasi keselarasan setiap kelas penggunaan lahan terhadap kemampuan
lahan disajikan pada Tabel 5.4.
sedang pada jalan dengan pembuatan talud. Selain itu, penanaman vegetasi jenis
pohon sangat penting untuk mengikat massa tanah.
evaluasi keselarasan ini akan menjadi bahan perbaikan atau revisi RTRW di Kota
Baubau. RTRW Kota Baubau hingga tahun 2030 merencanakan 23 pola ruang
atau pemanfaatan lahan. Luas dan rencana pola ruang Kota Baubau disajikan
pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau
No Rencana Pola Ruang Luas (ha) %
1 Hutan 1 044.51 3.56
2 Hutan Raya 203.26 0.69
3 Hutan Lindung 4 383.88 14.95
4 Hutan Kota 392.28 1.34
5 Taman 140.90 0.48
6 Cagar Budaya 87.29 0.30
7 Konservasi Pantai 70.43 0.24
8 Industri Perikanan 5.67 0.02
9 Wisata Pantai 125.95 0.43
10 Kawasan Bandara 117.23 0.40
11 Kawasan Pelabuhan 113.49 0.39
12 markas tni/kostrad 126.03 0.43
13 Perkebunan 5 403.78 18.43
14 PLTU 109.23 0.37
15 Komersil 1 490.61 5.08
16 Pemukiman 3 132.03 10.68
17 Hutan Produksi Terbatas 3 787.26 12.92
18 Fasos 11.74 0.04
19 Tambang 4 723.53 16.11
20 Perkantoran 1 086.89 3.71
21 Pergudangan 352.57 1.20
22 Sawah 353.48 1.21
23 Fasum 2 051.93 7.00
Total 29 313.96 100.00
Sumber: Dokumen RTRW Kota Baubau tahun 2010-2030
Tabel 5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan
Rencana Pola Selaras Tidak Selaras Selaras Bersyarat
No
Ruang luas (ha) % luas (ha) % luas (ha) %
1 Hutan 1 044.51 3.56 - - - -
2 Hutan Raya 203.26 0.69 - - - -
3 Hutan Lindung 4 383.88 14.95 - - - -
4 Hutan Kota 392.28 1.34 - - - -
5 Taman 140.90 0.48 - - - -
6 Cagar Budaya 87.29 0.30 - - - -
7 Konservasi Pantai 70.43 0.24 - - - -
8 Industri Perikanan 5.67 0.02 - - - -
9 Wisata Pantai 119.10 0.41 - - 6.85 0.02
10 Kawasan Bandara 117.23 0.40 - - - -
Kawasan
11 113.49 0.39 - - - -
Pelabuhan
12 markas tni/kostrad 126.03 0.43 - - - -
13 Perkebunan 5 375.02 18.34 - - 28.75 0.10
14 PLTU 76.49 0.26 32.74 0.11 - -
15 Komersil 1 141.22 3.89 349.40 1.19 - -
16 Pemukiman 2 673.16 9.12 458.87 1.57 - -
Hutan Produksi
17 3 787.26 12.92 - - - -
Terbatas
18 Fasilitas sosial 11.74 0.04 - - - -
19 Tambang 3 288.95 11.22 - - 1 434.58 4.89
20 Perkantoran 963.07 3.29 123.83 0.42 - -
21 Pergudangan 304.34 1.04 48.22 0.16 - -
22 Sawah 344.33 1.17 9.15 0.03
23 Fasilitas umum 383.16 1.31 1 668.77 5.69 - -
Total 25 152.82 85.80 2 681.83 9.15 1 479.33 5.04
Rencana pola ruang yang tidak selaras (TS) terhadap kemampuan lahan
berupa rencana kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), komersil,
pemukiman, perkantoran, pergudangan dan fasilitas umum. Lahan yang tidak
selaras ini polanya mengelompok yang tersebar di seluruh kecamatan kecuali
Kecamatan Batu Poaro. Sedangkan untuk rencana pola ruang selaras bersyarat
(SB) adalah rencana kawasan wisata pantai, perkebunan, tambang dan sawah.
Tersebar hanya di Kecamatan Sorawolio dan sedikt di Kecamatan Bungi.
Berdasarkan hasil analisis dapat dikatakan bahwa rencana pola ruang belum
sepenuhnya memperhatikan kemampuan lahan. Sebaran evaluasi keselarasan
rencana pola ruang disajikan pada Gambar 5.6.
50
dilakukan sejak tahun 2009. Namun tidak dapat dilakukan usaha eksploitasi
dikarenakan adanya penentangan aktivitas tambang dari masyarakat. Masyarakat
menilai tambang dapat menggangu aktivitas pertanian dan merusak lingkungan
kota. Akibat dari penentangan tersebut aktivitas pertambangan tidak dapat
diteruskan sejak tahun 2012 (Rusyamin 2013).
Gambar 5.7 Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola
ruang RTRW
Hasil yang tidak sesuai sebarannya bergerak dari daerah belakang menuju
pusat kota. Ketidakselarasan diakibatkan oleh kendala ekologis. Kendala
ekologis karena ketidakselarasan karakter fisik lahan yakni semakin kebelakang
daerah Kota Baubau memiliki kelas kelerengan lebih tinggi. Penggunaan lahan
terhadap pola ruang yang sesuai bersyarat berada pada wilayah hinterland Kota
Baubau. Wilayah ini aktualnya umumnya hutan yang direncanakan menjadi
sawah dan perkebunan. Sesuai bersyarat terjadi juga karena faktor ekologi dan
sosial.
Hasil evaluasi keselarasan ini secara umum dapat pula menggambarkan
kemungkinannya rencana pola ruang diterapkan hingga tahun 2030. Dari rencana
pola ruang yang ada pengembangan kota diarahkan untuk ke daerah belakang
yang secara aktual merupakan daerah pertanian dan hutan. Telah banyak riset
menunjukkan bahwa lahan yang paling memungkinkan untuk dialihfungsikan
dalam rangka pengembangan kota adalah lahan pertanian dan hutan. Berdasarkan
analisis menunjukkan bahwa penerapan RTRW di Kota Baubau mungkin untuk
dilakukan selama kendala ketidakselarasan dapat dikendalikan. Aspek penting
lainnya adalah mencegah terjadinya konflik ruang dengan masyarakat sebagai
akibat dari pelaksanaan RTRW.
52
Tabel 5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW
Selaras Tidak Selaras Selaras Bersyarat
Rencana Pola
persen persen persen
Ruang luas (ha) luas (ha) luas (ha)
(%) (%) (%)
Hutan 1 020.48 3.48 21.03 0.07 - -
Hutan Raya 202.57 0.69 0.69 0.00 - -
Hutan Lindung 4 383.83 14.95 0.06 0.00 - -
Hutan Kota 376.63 1.28 15.66 0.05 - -
Taman 137.31 0.47 3.58 0.01 - -
Cagar Budaya 87.29 0.30 - - - -
Konservasi Pantai 68.70 0.23 1.74 0.01 - -
Industri Perikanan 5.67 0.02 - - - -
Wisata Pantai 108.52 0.37 17.42 0.06 - -
Kawasan Bandara 112.17 0.38 5.06 0.02 - -
Kawasan
0.27 - -
Pelabuhan 77.82 35.67 0.12
Hankam 125.81 0.43 0.22 0.00 - -
Perkebunan 3 268.38 11.15 674.45 2.30 1 463.53 4.99
PLTU 107.93 0.37 1.40 0.00 - -
Komersil 979.49 3.34 511.12 1.74 - -
Pemukiman 2 541.69 8.67 590.58 2.01 - -
Hut.Pro.Terbatas 3 767.00 12.85 20.26 0.07 - -
Fasos 11.16 0.04 0.58 0.00 - -
Tambang 4 345.09 14.82 378.47 1.29 - -
Perkantoran 700.37 2.39 386.53 1.32 - -
Pergudangan 24.19 0.08 328.38 1.12 - -
Sawah 345.59 1.18 5.07 0.02 2.82 0.01
Fasum 839.82 2.86 1 212.12 4.13 - -
Total 23 637.50 80.64 4 210.09 14.36 1 466.34 5.00
Kelas
Kategori
Kemampuan Sub Kelas Luas (ha)
Kesesuaian
Lahan
VI_k3 S2 0.99
VI_k3, VI_l4k3 S3 2 570.90
VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 S4 9 329.64
VI_l4, VI_l4k3 TS1 314.81
VI_l4, VI_l4k3 TS2 478.32
VI_k3, VI_l4 TS3 50.15
VI_k3, VI_l4 TS4 4.20
VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 TS5 1 018.83
VI_k3, VI_l4k3 TS6 309.33
VI_k3, VI_l4k3 TS7 21.55
VI_k3, VI_l4 TS8 6.49
VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 TS9 488.27
VI_k3, VI_l4k3 TS10 821.97
VII VII_l5 TS1 24.59
VII_l5 TS2 28.75
VIII VIII_l6 TS1 105.01
VIII_l6 TS2 6.85
Jumlah 29 313.96
Namun demikian untuk kondisi lahan sesuai bersyarat dan tidak sesuai tidak
dapat diabaikan begitu saja karena dapat menjadi sumber kerusakan lingkungan di
Kota Baubau. Munculnya lahan sesuai bersyarat dan tidak sesuai diakibatkan
oleh faktor penghambat utama kelerengan (l) dan kedalaman tanah (k). Lahan
dengan sesuai bersyarat mengaharuskan adanya penerepan teknologi untuk
menghindari kerusakan lingkungan lahan sedangkan lahan tidak sesuai
direkomendasikan untuk mengganti kegiatan dengan yang sesuai kelas
penggunaannya.
Secara umum, hasil evaluasi keselarasan antara penggunaan lahan aktual
terhadap rencana pola ruang relatif selaras atau memungkinkan untuk dilakukan.
Hal ini ditunjukkan dengan luasan penggunaan lahan aktual yang selaras relatif
dominan. Namun memerlukan arahan lebih lanjut untuk lahan yang tidak selaras
dan selaras bersyarat. Namun demikian berdasarkan Gambar 5.6, Gambar 5.7 dan
Tabel 5.7 menunjukkan adanya kecenderungan luas lahan yang tidak selaras
semakin tinggi. Hal ini dikarenakan proses evaluasi keselarasan telah
memasukkan faktor perencanaan dan sosial didalamnya.
Dokumen RTRW Kota Baubau merekomendasikan adanya tambang Nikel
dimana hasil evaluasi menunjukkan rencana tambang nikel tersebut secara umum
selaras. Namun demikian kegiatan tambang Nikel tidak dapat berjalan karena
telah terjadi konflik antara masyarakat dengan pemilik Izin Usaha Pertambangan
dan pemerintah sejak tahun 2009. Masyarakat tidak menginginkan adanya
rencana tambang Nikel tersebut dan hingga saat ini rencana tambang terhenti pada
tahap eksplorasi. Terkait konflik tambang tersebut, Rusyamin (2013) telah
melakukan studi di Kota Baubau. Hasil studi Rusyamin menunjukkan bahwa
konflik rencana tambang dipicu oleh faktor sosial budaya, perizinan dan ekologi.
Faktar sosial budaya berkaitan dengan status kepemilikan lahan sebagai tanah adat
yang menjadi kepemilikan bersama (common property) yang kemudian berubah
menjadi kepemilikan pribadi (privat property) melalui campur tangan pemerintah.
Faktor perizinan berkaitan dengan adanya dugaan proses terbitnya Izin Usaha
Pertambangan (IUP) tidak melalui mekanisme yang sebenarnya. Faktor ekologi
berkaitan dengan kekhawatiran masyarakat akan mengganggu ekosistem kota dan
mata pencaharian penduduk sekitar tambang. Hal ini cukup beralasan karena
lokasi rencana tambang Nikel berada pada daerah ketinggian dan merupakan
hutan penyangga Sub DAS Bungi. Sub DAS Bungi saat ini digunakan untuk
irigasi pertanian dan sember air minum masyarakat Kota Baubau.
Penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang RTRW akan memberikan
gambaran yang berbeda jika dikaitkan dengan populasi penduduk Kota Baubau
dan manfaat ekologis. Penggunaan lahan yang berkaitan dengan populasi
penduduk adalah penggunaan lahan pertanian secara umum (pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, kebun campuran dan perikanan darat) dan
pemukiman. Sedang penggunaan lahan yang berkaitan dengan manfaat ekologis
adalah hutan, Ruang Terbuka Hijau (RTH), taman dan konservasi pantai.
Penggunaan lahan pertanian sangat berkaitan erat dengan ketersediaan
pangan populasi penduduk dengan menghitung ketersediaan lahan untuk hidup
layak (KHL) setara beras. Menggunakan analisis Rustiadi et al. (2010) maka
KHL Kota Baubau seluas 0.22 ha/jiwa/tahun (lihat lampiran 3). Hasil analisis
menunjukkan lahan pangan tersedia pada penggunaan lahan aktual seluas 4
532.89 ha setara beras. BPS (2013) menunjukkan jumlah populasi penduduk
57
Kota Baubau mencapai 142 576 jiwa. Hal ini berarti bahwa dengan luas pangan
tersedia hanya mampu mendukung ketersediaan pangan bagi 20 696 jiwa
penduduk atau 14.51 % dari total penduduk Kota Baubau. Sedangkan untuk
rencana pola ruang RTRW tidak dapat dihitung karena belum diketahuinya harga
komoditi pertanian dimasa mendatang. Namun rencana pola ruang RTRW untuk
pertanian (sawah dan perkebunan) seluas 5 719.35 ha (19.51 %). Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar kebutuhan pangan penduduk Kota Baubau
berasal dari luar Kota Baubau melalui aktivitas belanja hasil pangan.
Luas penggunaan lahan pemukiman pada penggunaan lahan aktual di Kota
Baubau seluas 718.45 ha (2.45 %). Mengacu pada SNI 03-1733-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan bahwa luas lahan
pemukiman minimal yang dibutuhkan orang dewasa adalah 9.6 m2. Penggunaan
lahan pemukiman Kota Baubau saat ini bisa menampung populasi hingga 748 393
jiwa. Sedangkan penggunaan lahan pemukiman pada rencana pola ruang RTRW
3 132.03 ha (10.68 %) dengan daya tampung maksimal 3 262,534 jiwa.
Berdasarkan data BPS (2013) jumlah penduduk Kota Baubau mencapai 142,576
jiwa dengan pertumbuhan penduduk 2,02 % maka hingga tahun 2030 jumlah
penduduk mencapai 204 354 jiwa.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) memberikan manfaat ekologis dalam wilayah
kota. Sesuai dengan undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
luas RTH adalah 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi RTH publik 20 % yang
dikelola pemerintah dan sisanya merupakan RTH privat. Penggunaan lahan
aktual di Kota Baubau yang termasuk RTH publik adalah ruang terbuka hijau,
hutan, mangrove dan pemakaman yang total luasannya mencapai 15 747.74 ha
(53.71 %). Sedangkan RTH publik pada rencana pola ruang RTRW mencakup
hutan, hutan raya, hutan lindung, hutan kota, taman, konservasi pantai dan hutan
produksi terbatas. Luas RTH publik pada rencana pola ruang RTRW mencapai
10 022.52 ha ( 34,19 %).
Secara umum dari hasil analisis terlihat bahwa berdasarkan evaluasi
kemampuan lahan baik pada penggunaan lahan aktual maupun rencana pola ruang
RTRW daya dukung lingkungan relatif tinggi (lihat Tabel 5.4, Tabel 5.6, Tabel
5.7 dan Tabel 5.8). Dilihat dari aspek kemampuan menampung populasi
penduduk dan manfaat ekologis baik penggunaan lahan aktual maupun rencana
pola ruang RTRW keduanya menunjukkan daya dukung fisik lingkungan yang
baik. Ketersediaan lahan pangan berdasarkan KHL setara beras pada penggunaan
lahan aktual menunjukkan daya dukung fisik lingkungan yang rendah (defisit).
Rencana pola ruang RTRW menunjukkan terjadinya penurunan luas lahan
pertanian pangan dan lahan yang memberikan manfaat ekologis (RTH) bila
dibandingkan dengan penggunaan lahan aktual. Disisi lain, terjadi peningkatan
penggunaan lahan pemukiman dan lahan terbangun lainnya pada rencana pola
ruang RTRW. Hal ini menunjukkan bahwa dimasa mendatang Kota Baubau
diarahkan pada sektor non pertanian (jasa dan perdagangan) yang bernilai
ekonomi tinggi. Aktifitas jasa dan perdagangan nampaknya menjadi aktivitas
ekonomi utama untuk memenuhi ketersediaan pangan penduduk kota.
Hal ini semakin menguatkan adanya kecenderungan perubahan penggunaan
lahan di perkotaan dari pertanian ke non pertanian. Sejalan dengan hasil penelitian
Kumar (2009) di kota New Delhi bahwa telah terjadi perubahan penggunaan
lahan pertanian ke sektor konstruksi dari tahun 1986-2004. Alasannya adalah
58
penggunaan lahan non pertanian memiliki nilai produktivitas ekonomi lebih tinggi
dibanding pertanian.
Tahapan penelitian ini untuk melihat daya dukung lahan dari sisi ekonomi
lahan. Ekonomi lahan pada penelitian ini dilihat dari seberapa besar produktivitas
(land rent) dari aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan. Produktivitas tersebut
diukur dari jumlah harga output yang dihasilkan setelah dikurangi biaya input
pada penggunaan lahan.
Daya dukung lahan dengan pendekatan ekonomi hanya dilakukan pada
penggunaan lahan aktual. Penggunaan lahan pada rencana pola ruang RTRW
tidak dilakukan dikarenakan tidak adanya atau tidak memungkinkannya diperolah
data harga komoditi dimasa mendatang. Namun demikian, daya dukung lahan
secara ekonomi pada penggunaan lahan aktual dapat digunakan sebagai dasar
untuk menjelaskan daya dukung lahan secara ekonomi pada rencana pola ruang
RTRW.
Terdapat 18 penggunaan lahan aktual yang dianalisis daya dukung secara
ekonomi. Penggunaan lahan tersebut yaitu penggunaan lahan pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, lahan kebun campuran, lahan tambak, lahan padang
rumput (melalui peternakan), lahan kehutanan, lahan hotel, lahan pemukiman,
lahan komersil, lahan ruang terbuka publik, lahan pelabuhan, lahan bandar udara,
lahan pemakaman, lahan terminal, lahan pusat pendidikan, lahan bangunan
pemerintah, lahan tempat ibadah dan lahan jalan. Hasil perhitungan land rent
penggunaan lahan aktual tersebut sebagimana pada Lampiran 4.
pendapatan ekonomi bersihnya Rp79 208 500 000 (53.50 %), sedangkan
pendapatan ekonomi kotor Anyelir adalah Rp270 000 dan pendapatan ekonomi
bersih Rp234 000. Nilai konstribusi tersebut sangat dipengaruhi luas lahan,
produktivitas dan indeks pertanaman dalam setahun (lihat Lampiran 4).
Analisis terhadap penggunaan lahan hotel melalui survey hotel yang masih
aktif. Berdasarkan hasil survey, jumlah hotel yang masih aktif berjumlah 21
hotel. Satu diantara hotel di Kota Baubau adalah kelas bintang 1 dan hotel lainnya
merupakan hotel kelas melati. Luas penggunaan lahan untuk hotel hasil
interpretasi citra adalah 3.64 ha atau 0.01 % luas wilayah kota. Secara spasial
sebaran hotel di Kota Baubau adalah 14 hotel terdapat di Kecamatan Wolio, 3
hotel di Kecamatan Murhum, 2 hotel di Kecamatan Kokalukuna, 1 hotel di
Kecamatan Batupoaro dan 1 hotel di Kecamatan Betoambari.
Lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai pendapatan ekonomi kotor
penggunaan lahan hotel mencapai Rp9 451 580 000, sedangkan pendapatan
ekonomi bersih penggunaan lahan hotel adalah Rp8 017 380 000. Biaya input
pengelolaan penggunaan lahan hotel mencapai Rp1 434 200 000. Hotel_17
memberikan konstribusi paling besar terhadap pendapatan ekonomi bersih
penggunaan lahan hotel yakni Rp1 305 250 000 (16.28 %) dan hotel_2 memiliki
nilai konstribusi paling kecil yakni Rp80 880 000 (1.01 %).
Tabel 5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik
No Jenis dagangan Jumlah
1 Pedagang gorengan dan minuman 38
2 Pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll) 22
3 Pedagang elektronik dan musik 7
4 Pedagang aksesoris 29
5 pedagang dan penyewaan mainan anak-anak 14
Total 110
Wings Air untuk jenis pesawat ATR (Avions de Transport Regional) dengan
kapasitas 72 penumpang. Setiap hari rata-rata terdapat 4 kali penerbangan
regional.
Nilai ekonomi penggunaan lahan pelabuhan dan bandara ditentukan dari
jumlah orang dan barang yang keluar dari pelabuhan dan bandara tersebut. Data
analisis hanya berupa jumlah orang dan barang yang keluar karena transaksi
belanja dilakukan di wilayah Kota Baubau. Hasil analisis menunjukkan jumlah
total nilai ekonomi di pelabuhan sebesar Rp359 216 080 000 yang terdiri dari
Rp314 797 430 000 biaya penumpang dan Rp44 418 650 000 dari biaya
pengiriman barang. Nilai total ekonomi penggunaan lahan bandara sebesar Rp58
330 313 000 yang terdiri atas Rp58 192 325 000 untuk penumpang dan Rp137
988 000 untuk barang.
Nilai land rent mengacu pada nilai bersih keuntungan yang diperoleh dari
penggunaan lahan pada suatu periode waktu tertentu. Keuntungan bersih
diperoleh dari selisih antara pendapatan ekonomi bruto setelah dikurangi dengan
64
biaya input untuk mengelola aktivitas penggunaan lahan tertentu. Ringkasan hasil
analisis ekonomi beberapa penggunaan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel
5.11.
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa penggunaan lahan bangunan pemerintah
memiliki economic land rent (Pendapatan Ekonomi Bersih ) yang tertinggi yakni
Rp1 270 291 351 121, sedangkan yang paling rendah adalah pada penggunaan
lahan pemakaman sebesar Rp8 230 000. Hal ini disebabkan karena penggunaan
lahan terbangun termasuk bangunan pemerintah kendati tidak luas tetapi
membutuhkan biaya pekejaan yang relatif mahal dan variatif. Sedangkan
penggunaan lahan pemakaman tidak terdapat aktivitas ekonomi. Demikian pula
penggunaan lahan hutan memiliki luas paling tinggi namun dari aspek
pemanfaatannya masih dibatasi oleh oleh kebijakan pemerintah baik dari aspek
luasan maupun komoditi. Hal ini menegaskan bahwa penggunaan lahan hutan
lebih diarahkan pada daya dukung ekologi.
Sewa ruko/kios untuk lahan komersil dan rumah kost tidak memiliki
pendapatan ekonomi kotor. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemilik ruko/kios
dan rumah kost pada kondisi aktual (2013) tidak mengeluarkan biaya input untuk
pengelolaannya. Biaya input tersebut dibebankan kepada penyewa berupa biaya
listrik, air dan kebersihan. Biaya input yang dibebankan kepeda pemilik ruko/kios
dan rumah kost berupa biaya pembangunan dan perbaikan fasilitas, namun biaya
65
tersebut tidak dimasukkan karena ruko/kios dan rumah kost dibangun sebelum
tahun 2013 dan selama tahun 2013 tidak terjadi perbaikan fasilitas. Demikian pula
penggunaan lahan pelabuhan, bandar udara, pemakaman, terminal, pusat
pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan data pendapatan
ekonomi kotor tidak tersedia.
Tabel 5.11 menunjukkan perbedaan nilai ekonomi lahan antara penggunaan
lahan terbangun dengan non terbangun (pertanian, peternakan, hutan, tambak dan
pemakaman). Penggunaan lahan terbangun memiliki nilai ekonomi Rp3 679 633
267 269 sedangkan penggunaan lahan non terbangun sebesar Rp188 594 416 552.
Nilai ekonomi lahan terbangun diperoleh dari penyediaan jasa melalui penyewaan
fasilitas sedangkan nilai ekonomi lahan non terbangun diperoleh melalui hasil
penjualan barang/produk. Namun demikian untuk industri kecil dan rumah
tangga juga menghasilkan barang/produk untuk dijual. Sementara nilai ekonomi
pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan diperoleh dari
nilai ekonomi statis. Sebaran nilai ekonomi lahan terbangun dan non terbangun
pada Gambar 5.9.
Besar nilai ekonomi yang dihasilkan oleh lahan non terbangan sangat
bergantung pada luas lahan yang digunakan. Semakin luas lahan non terbangun
(pertanian, peternakan, hutan dan tambak) maka semakin besar pula nilai ekonomi
yang dihasilkan. Sedangkan pada penggunaan lahan terbangun nilai ekonominya
sangat bergantung pada kualitas pelayanan dan jasa yang diberikan melalui
penyediaan fasilitas yang baik.
Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui tingkat daya dukung berdasarkan
nilai ekonomi lahan (land rent) penggunaan lahan. Asumsi yang digunakan untuk
hidup layak adalah satu ton beras per kapita (Rustiadi et al. 2010). Satu ton beras
66
dikonversi menjadi rupiah dengan harga beras berlaku (2013) Rp8 570/kg, maka
satu ton beras setara dengan Rp8 750 000. Daya dukung berdasarkan nilai
ekonomi penggunaan lahan Tabel 5.11 dapat diketahui dengan:
Tabel 5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap
kelurahan di Kota Baubau
Nilai
Populasi Nilai ekonomi Status daya
No Kelurahan daya
penduduk lahan dukung ekonomi
dukung
1 Palabusa 2 562 92 695 338 613 10 594 Memenuhi
2 Kampeonaho 2 067 78 290 767 324 8 948 Memenuhi
Ngkari
3 2 256 107 600 722 507 12 297 Memenuhi
Ngkari
4 Bugi 1 895 43 465 333 755 4 967 Memenuhi
5 Kalia Lia 1 209 61 349 920 789 7 011 Memenuhi
6 Gonda Baru 1 749 54 668 037 702 6 248 Memenuhi
7 Karya Baru 1 910 60 800 733 944 6 949 Memenuhi
8 Liabuku 3 263 148 543 888 418 16 976 Memenuhi
9 Kaisabu 2 126 150 338 227 801 17 182 Memenuhi
10 Lowu-Lowu 2 315 102 213 240 899 11 682 Memenuhi
11 Kolose 1 082 14 052 957 853 1 606 Memenuhi
12 Lakologou 2 291 97 796 953 256 11 177 Memenuhi
13 Sukanayo 2 464 10 751 300 302 1 229 Tidak memenuhi
14 Liwuto 2 247 50 153 866 207 5 732 Memenuhi
15 Waruruma 3 109 63 249 296 419 7 228 Memenuhi
16 Kadolomoko 5 074 88 283 618 330 10 090 Memenuhi
17 Wale 1 926 341 990 831 792 39 085 Memenuhi
18 Kaobula 2 080 37 355 632 336 4 269 Memenuhi
19 Batulo 5 032 155 819 368 833 17 808 Memenuhi
20 Wameo 4 835 31 075 048 205 3 551 Tidak memenuhi
Ngangana
21 3 925 20 523 376 458 2 346 Tidak memenuhi
Umala
22 Lanto 4 916 31 389 176 262 3 587 Tidak memenuhi
23 Tomba 4 351 126 335 986 192 14 438 Memenuhi
24 Wangkanapi 7 382 254 838 209 835 29 124 Memenuhi
25 Tarafu 5 280 52 414 852 181 5 990 Memenuhi
26 Bone-Bone 6 321 45 837 592 210 5 239 Tidak memenuhi
27 Batara Guru 9 134 47 182 915 511 5 392 Tidak memenuhi
28 Wajo 4 732 77 529 463 005 8 861 Memenuhi
29 Kadolokatapi 4 039 60 540 519 454 6 919 Memenuhi
30 Lamangga 6 267 225 477 337 635 25 769 Memenuhi
Bukit Wolio
31 8 138 69 952 244 894 7 995 Tidak memenuhi
Indah
32 Tanganapada 4 887 195 553 287 383 22 349 Memenuhi
33 Katobengke 8 124 215 087 270 863 24 581 Memenuhi
34 Melai 2 013 48 451 207 572 5 537 Memenuhi
35 Lipu 5 262 304 115 817 234 34 756 Memenuhi
36 Baadia 2 482 113 090 734 318 12 925 Memenuhi
37 Waborobo 2 122 46 911 028 447 5 361 Memenuhi
38 Sula'a 1 709 142 501 579 081 16 286 Memenuhi
Jumlah 142 576 3 868 227 683 821 442 083
69
Rumusan Asumsi
Sub judul ini menjabarkan penilaian daya dukung lahan berdasarkan hasil
analisis fisik lahan dan ekonomi lahan. Tabel 5.13 menunjukkan luasan lahan
yang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan. Lahan lahan yang berkelanjutan
meruapakan lahan yang secara fisik lingkungan saling selaras dan secara ekonomi
mampu memenuhi kebutuhan ekonomi penduduk berdasarkan kebutuhan hidup
layak. Luas lahan berkelanjutan adalah 21 421.25 ha (73.08 %). Lahan yang
tidak berkelanjutan merupakan lahan yang secara fisik tidak saling selaras dan
secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layak penduduk atau
tidak memenuhi salah satunya. Luas lahan yang statusnya tidak berkelanjutan
adalah 7 892.68 ha (26.92 %).
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa sebagian besar (73.08 %) lahan di Kota
Baubau memiliki status daya dukung yang berkelanjutan. Lahan dengan status
daya dukung tidak berkelanjutan (26.92 %) merupakan akumulasi dari lahan yang
secara ekonomi memenuhi daya dukung tetapi secara fisik tidak selaras seluas
7 367.49 ha (25.13 %) dan lahan yang baik secara ekonomi tidak memenuhi daya
dukung dan secara fisik tidak selaras seluas 525.18 ha (1.79 %). Status daya
dukung lahan tersebut dapat diketahui sebarannya berdasarkan kelurahan di Kota
Baubau yang disajikan pada gambar 5.11.
Status daya dukung lahan di Kota Baubau terdiri dari daya dukung lahan
yang berkelanjutan dan daya dukung yang tidak berkelanjutan. Sebaran lahan
dengan daya dukung yang tidak berkelanjutan mengikuti penggunaan lahan
71
terbangun dan sebaran jalan. Hal ini menyebabkan seluruh kelurahan memiliki
lahan dengan status daya dukung tidak berkelanjutan dengan luasan yang variatif.
Bahkan terdapat 7 kelurahan yang keseluruhan lahannya dianggap tidak
berkelanjutan yaitu kelurahan Sukanayo, Wameo, Ngangana Umala, Lanto, Bone-
Bone, Bataraguru, dan Bukit Wolio Indah. Hal ini disebabkan kelurahan tersebut
memiliki nilai ekonomi lahan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup layak
penduduknya.
Tabel 5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik
lahan dan nilai ekonomi lahan
Tidak memenuhi
Kategori Memenuhi daya dukung ekonomi
daya dukung ekonomi
fisik
luas (ha) status luas (ha) status
S_1 484.18 berkelanjutan 151.95 tidak berkelanjutan
S_2 8.91 berkelanjutan 1.84 tidak berkelanjutan
S_3 4 917.23 berkelanjutan 236.67 tidak berkelanjutan
S_4 16 010.93 berkelanjutan 79.10 tidak berkelanjutan
TS_01 448.42 tidak berkelanjutan - -
TS_02 513.92 tidak berkelanjutan - -
TS_03 138.00 tidak berkelanjutan 3.71 tidak berkelanjutan
TS_04 78.10 tidak berkelanjutan 4.65 tidak berkelanjutan
TS_05 2 073.18 tidak berkelanjutan - -
TS_06 1 734.63 tidak berkelanjutan - -
TS_07 151.11 tidak berkelanjutan 30.86 tidak berkelanjutan
TS_08 51.89 tidak berkelanjutan 0.37 tidak berkelanjutan
TS_09 757.34 tidak berkelanjutan 13.79 tidak berkelanjutan
TS_10 1 420.90 tidak berkelanjutan 2.24 tidak berkelanjutan
Gambar 5.11 Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota
Baubau
73
Tabel 5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak
berkelanjutan perkelurahan
Status daya dukung
Kelurahan Tidak
Berkelanjutan Persen Persen
Berkelanjutan
Palabusa 1 109.96 3.79 276.95 0.94
Kampeonaho 363.46 1.24 1 018.63 3.47
Ngkari Ngkari 1 326.99 4.53 1 016.77 3.47
Bugi 1 934.10 6.60 416.39 1.42
Kalia Lia 809.76 2.76 560.55 1.91
Gonda Baru 3 354.52 11.44 763.28 2.60
Karya Baru 725.39 2.47 101.61 0.35
Liabuku 1 271.94 4.34 1 236.12 4.22
Kaisabu 2 725.66 9.30 1 124.59 3.84
Lowu-Lowu 448.30 1.53 108.41 0.37
Kolose 8.21 0.03 100.90 0.34
Lakologou 105.88 0.36 29.64 0.10
Sukanayo - - 56.96 0.19
Liwuto 70.50 0.24 7.15 0.02
Waruruma 727.12 2.48 191.31 0.65
Kadolomoko 448.79 1.53 159.33 0.54
Wale 18.37 0.06 11.03 0.04
Kaobula 8.52 0.03 5.25 0.02
Batulo 29.72 0.10 16.47 0.06
Wameo - - 29.88 0.10
Ngangana Umala - - 27.87 0.10
Lanto - - 26.39 0.09
Tomba 14.12 0.05 9.04 0.03
Wangkanapi 57.15 0.19 11.70 0.04
Tarafu 35.49 0.12 6.27 0.02
Bone-Bone - - 51.13 0.17
Batara Guru - - 47.82 0.16
Wajo 37.48 0.13 11.16 0.04
Kadolokatapi 2 323.90 7.93 48.22 0.16
Lamangga 50.00 0.17 14.74 0.05
Bukit Wolio Indah - - 282.12 0.96
Tanganapada 37.76 0.13 11.78 0.04
Katobengke 295.48 1.01 25.92 0.09
Melai 63.07 0.22 7.58 0.03
Lipu 472.34 1.61 12.61 0.04
Baadia 587.32 2.00 44.55 0.15
Waborobo 781.19 2.66 10.97 0.04
Sula'a 1 178.75 4.02 11.58 0.04
21 421.25 73.08 7 892.68 26.92
74
Simpulan
Saran
Perlunya dilakukan dialog dan komunikasi intensif dengan pihak
Pemerintah Daerah (PEMDA) Kota Baubau untuk mendorong agenda revisi
dokumen RTRW Kota Baubau. Agenda revisi RTRW terkait dua hal pokok yaitu
pertama, perlindungan lahan di Kota Baubau dengan memperhatikan aspek daya
dukung dalam perencanaan dan pengelolaan lahan. Kedua, pengendalian penggunaan
lahan terbangun dan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua Cetakan Kedua. Bogor
(ID): IPB Press
Arsyad S dan Rustiadi E. 2008. Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan.
Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kota Baubau dalam Angka. Baubau (ID):
Badan Pusat Statistik
77
Produksi Beras
Komoditi satuan Produksi padi Produksi beras
Padi sawah kg 10 652 400 6 391 440
padi ladang kg 1 162 800 697 680
harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/kg)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Kencur kg 2 098 40 000 83 920 000
Kunyit kg 59 770 20 000 1 195 400 000
Lempuyang kg 40 40 000 1 600 000
Temulawak kg 58 549 20 000 1 170 980 000
Temuireng kg 26 505 25 000 662 625 000
Temukunci kg 277 30 000 8 310 000
Dringo kg 153 23 000 3 519 000
Kapulaga kg 10 45 000 450 000
Mengkudu kg 1 291 55 000 71 005 000
Mahkota Dewa kg 107 20 000 2 140 000
Kejibeling kg 695 20 000 13 900 000
Sambiloto kg 5 323 8 000 42 584 000
jumlah 6 425 653 000
harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/tangkai)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Heliconia / pisang-
kg 151 17 000 2 567 000
pisangan
Krisan kg 300 15 000 4 500 000
Mawar kg 77 25 000 1 925 000
Sedap Malam kg 125 17 000 2 125 000
Dracena kg 50 15 000 750 000
Melati kg 137 25 000 3 425 000
Palem kg 100 35 000 3 500 000
Aglaonema kg 172 13 500 2 322 000
Kamboja Jepang kg 773 20 000 15 460 000
Euphorbia kg 115 10 000 1 150 000
Phylodendron kg 105 15 000 1 575 000
Pakis kg 230 20 000 4 600 000
Monstera kg 112 20 000 2 240 000
Ioxora / Soka kg 397 15 000 5 955 000
Cordyline kg 197 15 000 2 955 000
Difenbahia kg 71 15 000 1 065 000
Sansiviera kg 211 15 000 3 165 000
Anthurium Daun kg 180 17 000 3 060 000
Caladium kg 259 20 000 5 180 000
jumlah 78 304 000
SL = Σ(Pi x Hi) x . 1 .
Hb Ptvb
KHLL = 1 ton/Ptvb
= 0.22 ha/jiwa
Jadi jumlah penduduk Kota Baubau yang dapat didukung oleh lahan pangan
tersedia adalah:
= 4 532.89 ha
0.22 ha/jiwa
= 20 695.09 jiwa atau 14.51 % dari jumlah total penduduk Kota Baubau
Lampiran 4 contoh perhitungan land rent beberapa penggunaan lahan aktual
1 Padi sawah 8 750 1 400 10 652 400 7 609 2 5 000 000 10 000 000 33 288 750 66 577 500 28 288 750 56 577 500 93 208 500,000 79,208,500,000
2 Padi ladang 12 000 342 1 162 800 3 400 1 2 940 000 2 940 000 40 800 000 40 800 000 37 860 000 37 860 000 13 953 600,000 12,948,120,000
3 jagung 4 500 312 717 400 2 299 1 3 500 000 3 500 000 10 347 115 10 347 115 6 847 115 6 847 115 3 228 300,000 2,136,300,000
4 kedelai 15 000 3 4 000 1 333 1 1 500 000 1 500 000 20 000 000 20 000 000 18 500 000 18 500 000 60,000,000 55,500,000
5 kacang tanah 19 000 5 5 000 1 000 1 1 500 000 1 500 000 19 000 000 19 000 000 17 500 000 17 500 000 95,000,000 87,500,000
6 kacang hijau 20 000 3 2 850 950 1 1 500 000 1 500 000 19 000 000 19 000 000 17 500 000 17 500 000 57,000,000 52,500,000
7 ubi kayu 5 000 178 1 630 250 9 159 1 500 000 500 000 45 793 539 45 793 539 45 293 539 45 293 539 8 151,250,000 8,062,250,000
8 ubi jalar 5 000 81 384800 4 751 1 500 000 500 000 23 753 086 23 753 086 23 253 086 23 253 086 1 924,000,000 1,883,500,000
9 Alpokat 21 953 6 22 200 3 700 1 700 000 700 000 81 226 100 81 226 100 80 526 100 80 526 100 487,356,600 483,156,600
10 Mangga 15 000 72.87 343 800 4 718 1 700 000 700 000 70 769 864 70 769 864 70 069 864 70 069 864 5 157,000,000 5,105,991,000
11 Rambutan 10 000 65.78 258 100 3 924 1 700 000 700 000 39 236 850 39 236 850 38 536 850 38 536 850 2 581,000,000 2,534,954,000
12 Jeruk 11 000 15 37 300 2 487 1 700 000 700 000 27 353 333 27 353 333 26 653 333 26 653 333 410,300,000 399,800,000
13 Jambu Biji 10 000 16.2 16 400 1 012 1 700 000 700 000 10 123 457 10 123 457 9 423 457 9 423 457 164,000,000 152,660,000
14 Jambu Air 5 000 9.57 23 300 2 435 1 700 000 700 000 12 173 459 12 173 459 11 473 459 11 473 459 116,500,000 109,801,000
15 Pepaya 6 500 86.33 40 100 464 1 700 000 700 000 3 019 229 3 019 229 2 319 229 2 319 229 260,650,000 200,219,000
16 Pisang 15 000 353.30 245 000 693 1 1 000 000 1 000 000 10 401 925 10 401 925 9 401 925 9 401 925 3 675,000,000 3,321,700,000
17 Nenas 8 500 38.76 74 300 1 917 1 1 000 000 1 000 000 16 293 860 16 293 860 15 293 860 15 293 860 631,550,000 592,790,000
18 Salak 25000 17.30 1 900 110 1 700 000 700 000 2 745 665 2 745 665 2 045 665 2 045 665 47,500,000 35,390,000
19 Nangka 7 500 45.60 139 900 3 068 1 700 000 700 000 23 009 868 23 009 868 22 309 868 22 309 868 1 049,250,000 1,017,330,000
20 Sawo 8 000 1.40 1 100 786 1 700 000 700 000 6 285 714 6 285 714 5 585 714 5 585 714 8,800,000 7,820,000
21 Sukun 7 500 9.48 17 100 1 804 1 700 000 700 000 13 528 481 13 528 481 12 828 481 12 828 481 128,250,000 121,614,000
86
22 Belimbing 3,000 8.11 12,700 1,566 1 700,000 700,000 4,697,904 4,697,904 3,997,904 3,997,904 38,100,000 32,423,000
23 Sirsak 5,700 21.27 16,100 757 1 700,000 700,000 4,314,528 4,314,528 3,614,528 3,614,528 91,770,000 76,881,000
24 melinjo 15,000 9.36 1,200 128 1 700,000 700,000 1,923,077 1,923,077 1,223,077 1,223,077 18,000,000 11,448,000
25 Coklat 29,000 136 523,200 3,847 1 13,000,000 13,000,000 111,564,706 111,564,706 98,564,706 98,564,706 15,172,800,000 13,404,800,000
26 Jambu Mete 11,000 402.20 571,700 1,421 1 5,000,000 5,000,000 15,635,753 15,635,753 10,635,753 10,635,753 6,288,700,000 4,277,700,000
27 Kelapa Dalam 8,000 106 162,450 1,533 1 1,500,000 1,500,000 12,260,377 12,260,377 10,760,377 10,760,377 1,299,600,000 1,140,600,000
28 Kelapa Hybrida 7,500 11.50 16,000 1,391 1 1,500,000 1,500,000 10,434,783 10,434,783 8,934,783 8,934,783 120,000,000 102,750,000
29 Kopi 18,000 34.25 12,850 375 1 1,500,000 1,500,000 6,753,285 6,753,285 5,253,285 5,253,285 231,300,000 179,925,000
30 Kemiri 3,500 54.95 16,200 295 1 1,000,000 1,000,000 1,031,847 1,031,847 31,847 31,847 56,700,000 1,750,000
31 Enau 7,500 10.25 2,750 268 1 1,000,000 1,000,000 2,012,195 2,012,195 1,012,195 1,012,195 20,625,000 10,375,000
32 Asam Jawa 20,000 4.75 9,000 1,895 1 500,000 500,000 37,894,737 37,894,737 37,394,737 37,394,737 180,000,000 177,625,000
33 Pinang 5,000 1.30 4,750 3,654 1 500,000 500,000 18,269,231 18,269,231 17,769,231 17,769,231 23,750,000 23,100,000
34 Kapuk 1,000 20.65 23,750 1,150 1 1,000,000 1,000,000 1,150,121 1,150,121 150,121 150,121 23,750,000 3,100,000
35 Bawang Daun 6,500 2 8,800 4,400 1 10,000,000 10,000,000 28,600,000 28,600,000 18,600,000 18,600,000 57,200,000 37,200,000
36 Kubis 8,000 5 31,400 6,280 1 14,000,000 14,000,000 50,240,000 50,240,000 36,240,000 36,240,000 251,200,000 181,200,000
37 Petsai / sawi 8,750 25 51,700 2,068 1 12,000,000 12,000,000 18,095,000 18,095,000 6,095,000 6,095,000 452,375,000 152,375,000
38 Kacang Panjang 13,000 39 84,600 2,169 1 15,000,000 15,000,000 28,200,000 28,200,000 13,200,000 13,200,000 1,099,800,000 514,800,000
39 Cabe Besar 35,000 9 20,900 2,322 1 15,000,000 15,000,000 81,277,778 81,277,778 66,277,778 66,277,778 731,500,000 596,500,000
40 Cabe Rawit 50,000 7 12,600 1,800 1 17,000,000 17,000,000 90,000,000 90,000,000 73,000,000 73,000,000 630,000,000 511,000,000
41 Tomat 25,000 16 39,000 2,438 1 15,000,000 15,000,000 60,937,500 60,937,500 45,937,500 45,937,500 975,000,000 735,000,000
42 Terung 8,550 25 74,800 2,992 1 15,000,000 15,000,000 25,581,600 25,581,600 10,581,600 10,581,600 639,540,000 264,540,000
43 Buncis 12,000 6 6,800 1,133 1 10,000,000 10,000,000 13,600,000 13,600,000 3,600,000 3,600,000 81,600,000 21,600,000
44 Ketimun 10,000 13 31,100 2,392 1 12,000,000 12,000,000 23,923,077 23,923,077 11,923,077 11,923,077 311,000,000 155,000,000
45 Kangkung 7,000 36 94,700 2,631 2 5,000,000 10,000,000 9,206,944 18,413,889 4,206,944 8,413,889 662,900,000 302,900,000
87
46 Bayam 8,000 18 31,500 1,750 2 5,000,000 10,000,000 7,000,000 14,000,000 2,000,000 4,000,000 252,000,000 72,000,000
47 Semangka 20,000 1.5 3,500 2,333 1 5,000,000 5,000,000 46,666,667 46,666,667 41,666,667 41,666,667 70,000,000 62,500,000
48 Lidah Buaya 10,000 0.0365 540 14,795 1 2,500,000 2,500,000 147,945,205 147,945,205 145,445,205 145,445,205 5,400,000 5,308,750
49 Jahe 20,000 4.0237 72,315 17,972 1 700,000 700,000 359,445,287 359,445,287 358,745,287 358,745,287 1,446,300,000 1,443,483,410
50 Laos / Lengkuas 20,000 2.9193 85,876 29,417 1 700,000 700,000 588,332,820 588,332,820 587,632,820 587,632,820 1,717,520,000 1,715,476,490
51 Kencur 40,000 0.3333 2,098 6,295 1 700,000 700,000 251,785,179 251,785,179 251,085,179 251,085,179 83,920,000 83,686,690
52 Kunyit 20,000 2.8004 59,770 21,343 1 700,000 700,000 426,867,590 426,867,590 426,167,590 426,167,590 1,195,400,000 1,193,439,720
53 Lempuyang 40,000 0.01 40 4,000 1 700,000 700,000 160,000,000 160,000,000 159,300,000 159,300,000 1,600,000 1,593,000
54 Temulawak 20,000 2.4002 58,549 24,393 1 700,000 700,000 487,867,678 487,867,678 487,167,678 487,167,678 1,170,980,000 1,169,299,860
55 Temuireng 25,000 1.3385 26,505 19,802 1 700,000 700,000 495,050,430 495,050,430 494,350,430 494,350,430 662,625,000 661,688,050
56 Temukunci 30,000 0.0263 277 10,532 1 700,000 700,000 315,969,582 315,969,582 315,269,582 315,269,582 8,310,000 8,291,590
57 Dringo 23,000 0.0162 153 9,444 1 700,000 700,000 217,222,222 217,222,222 216,522,222 216,522,222 3,519,000 3,507,660
58 Kapulaga 45,000 0.0030 10 3,333 1 700,000 700,000 150,000,000 150,000,000 149,300,000 149,300,000 450,000 447,900
59 Mengkudu 55,000 0.0860 1,291 15,012 1 700,000 700,000 825,639,535 825,639,535 824,939,535 824,939,535 71,005,000 70,944,800
60 Mahkota Dewa 20,000 0.0058 107 18,448 1 700,000 700,000 368,965,517 368,965,517 368,265,517 368,265,517 2,140,000 2,135,940
61 Kejibeling 20,000 0.0519 695 13,391 1 700,000 700,000 267,822,736 267,822,736 267,122,736 267,122,736 13,900,000 13,863,670
62 Sambiloto 8,000 0.4091 5,323 13,011 1 700,000 700,000 104,091,909 104,091,909 103,391,909 103,391,909 42,584,000 42,297,630
63 Anggrek 25,000 165 165 1 1 2,000 2,000 25,000 25,000 23,000 23,000 4,125,000 3,795,000
Anthurium /
64 20,000 42 42 1 1 2,000 2,000 20,000 20,000 18,000 18,000 840,000 756,000
Kuping Gajah
65 Anyelir 15,000 18 18 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 270,000 234,000
66 Gerbera 15,000 24 24 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 360,000 312,000
67 Gladiol 15,000 346 346 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 5,190,000 4,498,000
Heliconia /
68 17,000 151 151 1 1 2,000 2,000 17,000 17,000 15,000 15,000 2,567,000 2,265,000
pisang-pisangan
69 Krisan 15,000 300 300 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 4,500,000 3,900,000
88
Peternakan
Jumlah Jumlah
Keuntungan
No Hotel Pemasukan Pengeluaran
bersih
(Rp) (Rp)
1 Hotel_1 432 600 000 61 800 000 370 800 000
2 Hotel_2 110 880 000 30 000 000 80 880 000
3 Hotel_3 236 250 000 46 800 000 189 450 000
4 Hotel_4 259 650 000 55 400 000 204 250 000
5 Hotel_5 397 250 000 75 200 000 322 050 000
6 Hotel_6 479 600 000 83 200 000 396 400 000
7 Hotel_7 430 350 000 82 200 000 348 150 000
8 Hotel_8 124 600 000 35 000 000 89 600 000
9 Hotel_9 180 000 000 45 400 000 134 600 000
10 Hotel_10 231 000 000 43 400 000 187 600 000
11 Hotel_11 432 000 000 80 200 000 351 800 000
12 Hotel_12 631 000 000 85 200 000 545 800 000
13 Hotel_13 710 000 000 83 600 000 626 400 000
14 Hotel_14 346 050 000 65 200 000 280 850 000
15 Hotel_15 492 500 000 73 600 000 418 900 000
16 Hotel_16 144 000 000 38 400 000 105 600 000
17 Hotel_17 1 407 250 000 102 000 000 1 305 250 000
18 Hotel_18 447 000 000 75 200 000 371 800 000
19 Hotel_19 303 600 000 75 200 000 228 400 000
20 Hotel_20 486 000 000 75 200 000 410 800 000
21 Hotel_21 1 170 000 000 122 000 000 1 048 000 000
Total 9 451 580 000 1 434 200 000 8 017 380 000
Penggunaan lahan pemukiman
Kondisi bangunan
Nilai sewa/tahun
No Ruko/toko jenis luas jml
(Rp) tipe
(m2) lantai
1 ruko_1 Ruko 20 000 000 permanen 44 2
2 ruko_2 Ruko 20 000 000 permanen 50 2
3 ruko_3 Ruko 25 000 000 permanen 44 2
4 ruko_4 Ruko 20 000 000 permanen 70 2
5 ruko_5 Ruko 70 000 000 permanen 84 2
6 ruko_6 Ruko 25 000 000 permanen 50 2
7 ruko_7 Ruko 75 000 000 permanen 108 2
8 ruko_8 Ruko 65 000 000 permanen 117 2
9 ruko_9 Ruko 90 000 000 permanen 120 2
10 ruko_10 Ruko 40 000 000 permanen 60 2
11 ruko_11 Ruko 80 000 000 permanen 180 2
12 ruko_12 Ruko 20 500 000 permanen 50 2
13 ruko_13 Ruko 60 000 000 permanen 84 2
14 ruko_14 Ruko 60 000 000 permanen 50 3
15 ruko_15 Ruko 25 000 000 permanen 72 2
16 ruko_16 Ruko 40 000 000 permanen 56 2
17 ruko_17 Ruko 60 000 000 permanen 84 3
18 ruko_18 Ruko 20 000 000 permanen 55 2
19 ruko_19 Ruko 20 000 000 permanen 50 2
20 ruko_20 Ruko 40 000 000 permanen 50 3
21 ruko_21 Ruko 60 000 000 permanen 50 3
22 ruko_22 Ruko 60 000 000 permanen 50 2
23 ruko_23 Ruko 20 000 000 permanen 60 2
24 ruko_24 Ruko 45 000 000 permanen 75 2
25 ruko_25 Ruko 20 000 000 permanen 120 2
26 ruko_26 Ruko 25 000 000 permanen 90 2
27 ruko_27 Ruko 30 000 000 permanen 60 2
28 ruko_28 Ruko 40 000 000 permanen 120 2
29 ruko_29 Ruko 25 000 000 permanen 70 2
30 ruko_30 Ruko 25 000 000 permanen 60 2
Jumlah 1 225 500 000 2 233
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik
RIWAYAT HIDUP