Anda di halaman 1dari 118

ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU,

SULAWESI TENGGARA

MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Dukung
Lahan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Muhammad Mu’min Fahimuddin


P052120271
RINGKASAN
MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN. Analisis Daya Dukung Lahan di
Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BABA BARUS dan SRI
MULATSIH.
Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan untuk
mendukung aktivitas hingga tingkat tertentu. Telah banyak konsep dikembangkan
untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik lingkungan dan
ekonomi. Selain itu, daya dukung dimaknai pula sebagai batasan polulasi pada
daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat ditentukan oleh jumlah sumberdaya
dan tingkat konsumsi.
Mengetahui daya dukung lahan di wilayah perkotaan sangatlah penting.
Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi
membantu mengetahui penggunaan lahan lebih menitikberatkan pertimbangan
ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil riset yang telah banyak dilakukan
menunjukkan bahwa secara global telah terjadi peningkatan luasan penggunaan
lahan terbangun. Kecenderungan ini juga terjadi pada kota-kota di Indonesia tak
terkecuali di Kota Baubau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya dukung lahan di Kota
Baubau baik secara fisik lahan maupun ekonomi lahan dan merumuskan arah
kebijakan melalui penataan ruang. Metode penelitian ini dengan dua pendekatan
yaitu pendekatan fisik dan ekonomi lahan. Pendekatan fisik terdiri atas analisis
penggunaan lahan aktual, analisis kemampuan lahan dan rencana pola ruang. Tiap
analisis menghasilkan peta yang ditumpangtindihkan untuk menghasilkan status
daya dukung lahan secara fisik. Pendekatan ekonomi lahan dilakukan melalui
perhitungan nilai ekonomi setiap penggunaan lahan. Nilai ekonomi lahan
diperoleh melalui nilai ekonomi dinamis dan nilai ekonomi statis. Nilai ekonomi
dinamis berdasarkan nilai produktivitas lahan (recardian rent) sedang nilai
ekonomi statis berdasarkan nilai biaya yang dibutuhkan untuk membuat
penggunaan lahan tersebut. Nilai ekonomi dibandingkan nilai Kualitas Hidup
Layak (KHL) untuk mengetahui memenuhi daya dukung secara ekonomi atau
tidak memenuhi. Hasil penilaian dengan pendekatan fisik lahan dan ekonomi
ditumpangtindihkan untuk mengetahui status daya dukung lahan berkelanjutan
atau tidak berkelanjutan.
Secara fisik lahan di Kota Bauabau yang memenuhi daya dukung adalah 21
890.80 ha (74.68 %) dan tidak memenuhi seluas 7 423.13 ha (25.32 %). Secara
ekonomi, tujuh kelurahan yang tidak memenuhi daya dukung dari 38 kelurahan di
Kota Baubau. Hasil overlay antara daya dukung fisik dengan ekonomi lahan
menunjukkan status keberlanjutan dimana 21 421.25 ha (73.08 %) berkelanjutan
dan 7 892.68 ha (26.92 %) tidak berkelanjutan. Kebijakan rencana penataan
ruang di Kota Baubau hingga tahun 2030 luas penggunaan lahan terbangun
meningkat hingga 45.43 %. Peningkatan tersebut diikuti dengan berkurangnya
luasan lahan pangan dan kehutanan. Berdasarkan hal tersebut arahan pengelolaan
lahan di Kota Baubau dilakukan dengan pengendalian penggunaan lahan
terbangun dan perlindungan lahan pangan dan konservasi (kehutanan).

Kata kunci: Baubau, daya dukung lahan, ekonomi lahan, kemampuan lahan,
penggunaan lahan
SUMMARY

Muhammad Mu'min Fahimuddin. Carrying Capasity Analysis of Land in


Baubau City, Southeast Sulawesi Province. Supervised by BABA BARUS and
SRI MULATSIH.
Carrying capacity defined as the ability of environment to support activities
to a specific level. Many of the concepts that have been developed to explain the
carrying capacity of the environment including physical carrying capacity and the
economy carrying capacity. Moreover, the carrying capacity can also be
interpreted as limiting the density of polulasi certain area and a certain time.
These limits are largely determined by the amount of resources and the level of
consumption.
Knowing the carrying capacity of land in urban areas is very important.
Carrying capacity of land with ecological and economic approach can help to
determine whether a land use more focus to ecology or economy, or both. The
results of the research that has been done shows that globally there has been a
increase in the extent of use of undeveloped land. This trend also occurred in
several cities in Indonesia including in Baubau city.
This study aims to determine the carrying capacity of the land in the City
Baubau both physically and economically, and to formulate policy direction
through the arrangement of space. This research method with two approaches,
physical and economic approaches land. Physical approach consists of the
analysis of the actual land use, land capability analysis and spatial pattern plan.
Each analysis produce maps that overlaid to generate status carrying capacity of
land to physically. Economic land approach is done by calculating the economic
value of each class of land use. The economic value of the land acquired through
the dynamic economic value and static economic value. Dynamic economic value
based on the production of land use (recardian rent), while static economy value
based on the costs required to make the land use. The economic value compared
to the value of the Quality of Life to determine the carrying capacity economically
meet or not meet the carrying capacity. Results of the assessment with the
physical and economic approach overlaid to know the status of carrying capacity,
sustainable or unsustainable.
Physically (ecology) of land in the Baubau city that meet the carrying
capacity is 21 890.80 ha (74.68%), which does not meet the carrying capacity is 7
423.13 ha (25.32%). Economically there are seven villages that do not meet the
carrying capacity of 38 villages. If an overlay between the physical and economic
carrying capacity of land shows the status of sustainability in which 21 421.25 ha
(73.08%) sustainable and 7 892.68 ha (26.92%) are not sustainable. Furthermore,
the policy of spatial planning in the Baubau city to 2030, area build up land and
high economic activity increase to 45.43%. The increase was accompanied by a
reduced land area of food and forestry. Based on the mentioned, the direction of
land management in the Baubau city to do with controlling the use of build up
land; and protection to land of food and conservation (forestry).

Keywords: Baubau city, the carrying capacity of the land, land economics, land
capability, land use.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU,
SULAWESI TENGGARA

MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DEA
PRAKATA

Segala puji dan rasa syukur tak terhingga penulis haturkan karena tesis ini
salah satu anugerah yang luar biasa dari Allah SWT. Shalawat dan salam
kerinduan yang teramat sangat untuk kekasih Ilahi, Muhammad SAW karena
telah membawa petunjuk keselamatan dan panutan akhlak yang baik. Melalui
Baginda Rasul Muhammad SAW Habibillah, penulis peroleh keteladanan tentang
perjuangan dari sebuah proses.
Karya tulis ini tak sekadar sebagai upaya memenuhi syarat menyelesaikan
studi magister di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun didorong oleh
kegelisahan dan rasa ingin tahu terkait studi daya dukung di perkotaan khususnya
Kota Baubau. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kecenderungan
pembangunan perkotaan di Indonesia semakin mengenyampingkan aspek ekologi.
Kalaupun ada, sebatas tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan yang
faktanya masih dilaksanakan setengah hati.
Kajian isu lingkungan saat ini telah mendapat perhatian yang serius dimata
dunia. Perhatian tersebut memuncak diawal dekade 70-an dengan dicetuskan
KTT Bumi pertama di Stockholm, Swedia. Bahkan KTT Bumi ikut
mempengaruhi lahirnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nama kementerian Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi kementerian Negara Lingkungan
Hidup. Sejak itu, Indonesia mulai aktif mengikuti pertemuan KTT Bumi tahun
1982 di Nairobi, Kenya dan menjadi anggota World Commission on Environment
and Development (WCED).
Salah satu isu lingkungan hidup yang sering mencuat dipermukaan adalah
daya dukung (carriying capasity) lingkungan. Daya dukung (carrying capasity)
secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu untuk
menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber
daya yang dimilikinya. Terdapat tiga persoalan pelik yang sering kali dikaitkan
dengan masalah daya dukung yaitu tekanan penduduk (populasi), kebutuhan
ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya. Saat ini, daya dukung digunakan
untuk mengukur tingkat keberlanjutan baik wilayah tertentu maupun bumi secara
global.
Tesis ini mencoba mengurai wilayah yang lebih kecil yakni lahan Kota
Baubau dengan pendekatan daya dukung. Pemilihan ini cukup beralasan karena:
pertama, hampir semua sektor dan aktivitas pembangunan dilakukan diatas lahan.
Aktivitas pembangunan tersebut sangat menentukan pola penggunaan lahan yang
terjadi. Kedua, kajian daya dukung lahan sangat penting untuk wilayah perkotaan
karena aktivitas ekonomi, pembangunan dan perubahan penggunaan lahan sangat
dinamis terjadi di kota. Ketiga, penulis sangat merasakan betul “denyut nadi”
pembangunan di Kota Baubau. Di kota ini hampir tidak ada kajian yang lebih
serius terkait lingkungan hidup. Menurut penulis, Kota Baubau sebagai kota yang
masih relatif muda, kajian daya dukung lahan penting menjadi arahan
pembangunan dan langkah preventif terjadinya kerusakan lahan (ekologi).
Sejak proses pengumpulan data hingga penulisan tesis ini melibatkan
banyak pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus
kepada mereka. Pertama-tama Bapak Dr. Ir. Baba Barus,MSc dan Ibu Dr. Ir. Sri
Mulatsih, MSc.Agr selaku pembimbing I dan II yang tidak hanya memberikan
arahan namun tak bosan memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan buat
Bapak Lala M Kolopaking dan Bang Sofyan Sjaf yang telah memberi kesempatan
belajar di PSP3-IPB melalui Sekolah Drone Desa (SDD) sehingga banyak
gagasan tesis ini penulis “uji coba” di sana. Penulis juga berterima kasih kepada
Pemerintah Kota Baubau dan jajaran SKPD-nya yang telah menfasilitasi berbagai
data.
Tak lupa pula penulis berterima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan
PSL 2012, kawan-kawan RUMANA IPB SULSEL yang selalu berbagi keceriaan
disaat suntuk, kawan-kawan RESPECT, rekan-rekan Sekolah Drone Desa (SDD)
PSP3-IPB yang telah menemani belajar. Saudaraku se-rumah kontrakan Dik
Fiqar, Dik Fitrah, kawan janjang dan yang datang belakangan Yadi Laode dan
kawan Ibo, kalian luar biasa dan sangat membantu. Terima kasih untuk Kanda
Yusran Darmawan bersama keluarga kendati saya selalu mengajak “ribut” tapi
selalu menjamu sebagai saudara dan hadir saat penulis Kanker (kantong Kering).
Terkhusus kedua orang tua penulis ayahanda Drs. H. Faimuddin dan Ibunda
Nursia yang telah membukakan pintu dunia dan memperkenalkan isinya,
memberikan nasehat, petuah dan inspirasi, memanjatkan doa-doa terbaik setiap
waktu. Sungguh ananda penuh dosa dan belum membalas segala kebaikan kalian.
Mertua penulis, Alm. Drs. Supomo Supadi dan Almh. Sulfiani Supomo, posisi
kalian sudah seperti orang tua penulis. Terima kasih telah menitipkan buah hati
kalian untuk mendampingi penulis saat susah dan senang. Ya Allah, berikan
tempat terbaik disana buat kedua mertua hamba. Aamin.
Teristimewa untuk istriku tercinta Fira Diah Setiawaty yang semoga kelak
menjadi bidadariku di surga. Terima kasih telah dengan sabar mendampingi,
menyemangati dan mencurahkan segala kasih ditengah segala kekuarangan. Ayah
janji akan membuatkan rumah indah itu untukmu agar tenang mendidik anak-anak
kita. Amiratushafirah, engkau belahan hati dan kedua biji mataku. Maafkan
Ayah, Nak..,karena usiamu yang kini 4 tahun, selama 3 tahun Ayah tidak berada
disampingmu. Kata-katamu “Amirah rindu Ayah” selalu menjadi penyemangat
buat ayah.
Akhirul kalam, akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada segala
pihak yang telah membantu dan tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Di
tengah bangsa ini yang begitu besar, karya tulis ini hanyalah langkah kecil dari
niat tulus untuk mengabdi kepada negeri. Atas segala kekurangan dari karya tulis
ini penulis mohonkan masukan yang konstruktif untuk perbaikan pada penelitian
selanjutnya.

Bogor, Maret 2016

Muhammad Mu’min Fahimuddin


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan 4
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pemikiran 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Daya Dukung (Carrying Capasity) 5
Penggunaan Lahan 7
Kemampuan Lahan 9
Land Rent 10
Geographic Information System (GIS) 11
3 METODE PENELITIAN 12
Lokasi dan Waktu Penelitian 12
Alat Penelitian 12
Jenis dan Sumber Data Penelitian 12
Analisis Data 13
Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 13
Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual 144
Analisis Kemampuan Lahan 14
Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana
Pola Ruang 16
Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 23
Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya
Dukung Lahan 24
4 KONDISI UMUM WILAYAH 25
Administrasi Wilayah 25
Kondisi Fisik Wilayah 26
Topografi 26
Klimatologi 26
Hidrologi 26
Kondisi Sosial Ekonomi 27
Perekonomian 27
Rencana Pola Ruang Kota Baubau 28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 29
Penggunaan Lahan Aktual 29
Analisis Kemampuan Lahan 41
Evaluasi Penggunaan Lahan aktual dan Pola Ruang RTRW 45
Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Kemampuan
Lahan 45
Evaluasi Keselarasan Rencana Pola Ruang RTRW Terhadap Kemampuan
Lahan 47
Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Rencana Pola
Ruang RTRW 50
Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan Aktual dan
Rencana Pola Ruang RTRW 52
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan. 55
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 58
Penggunaan Lahan Pertanian 58
Penggunaan Lahan Peternakan dan Tambak 59
Penggunaan Lahan Kehutanan 60
Penggunaan Lahan Hotel 60
Penggunaan Lahan Pemukiman 60
Penggunaan Lahan Komersil 61
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik 62
Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara 62
Penggunaan Lahan Pemakaman dan Terminal 63
Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat Ibadah
dan Jalan 63
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 63
Arahan Pengelolaan Lahan Berbasis Daya Dukung Lahan 69
Rumusan Asumsi 69
Penilaian Daya Dukung Lahan 70
Arahan Tindak Lanjut 74
6 SIMPULAN DAN SARAN 76
Simpulan 76
Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 76
RIWAYAT HIDUP 102

DAFTAR TABEL

3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan
pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) 15
3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap
kemampuan lahan 18
3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan 19
3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW 20
3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola
ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual 215
3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan
dan nilai ekonomi lahan 25
4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada
tahun 2010 dan 2011 28
5.1 Klasifikasi penggunaan lahan aktual Kota Baubau. 30
5.2 Foto lapangan dan citra setiap penggunaan lahan aktual 32
5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 45
5.4 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terrhadap
kemampuan lahan 47
5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau 48
5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan 49
5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW 52
5.8 Luas setiap kategori keselelarasan lahan dikota Baubau 53
5.9 Populasi jenis ternak/komoditi di Kota Baubau 59
5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik 62
5.11 Nilai land rent beberapa penggunaan lahan aktual 64
5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap
kelurahan di Kota Baubau 68
5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik
lahan dan nilai ekonomi lahan 71
5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak
berkelanjutan perkelurahan 73

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau 5
3.1 Peta lokasi penelitian 13
3.2 Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use) 14
4.1 Peta rencana pola ruang RTRW Kota Baubau 29
5.1 Peta penggunaan lahan Kota Baubau 31
5.2 Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas
tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan sebaran
faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan lahan di Kota
Baubau 42
5.3 Kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 43
5.4 Sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 44
5.5 Evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan 46
5.6 Evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan
lahan 50
5.7 Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola
ruang RTRW 51
5.8 Evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan
rencana pola ruang RTRW 55
5.9 Sebararan lahan terbangun dan non terbangun 65
5.10 Sebaran nilai ekonomi penggunaan lahan per kelurahan 67
5.11 Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota Baubau 72
5.12 Arahan pengelolaan ruang di Kota Baubau 75
DAFTAR LAMPIRAN

1 Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria


klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad
(2010) 79
2 Contoh sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen 80
3 Perhitungan daya dukung berdasarkan ketersediaan lahan 81
4 Perhitungan land rent beberapa penggunaan lahan aktual 85
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sangat ditentukan


oleh sumberdaya alam diantaranya lahan. Lahan merupakan modal dasar
berlangsungnya proses pembangunan. Meningkatnya populasi dan pembangunan
memberikan tekanan terhadap lahan. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia
berusaha pada sektor pertanian. Oleh karena itu, kualitas sumberdaya lahan harus
dijaga dari berbagai bentuk degradasi lahan yang dapat mengancam kemampuan
dan produktivitas lahan. Upaya konservasi sumberdaya lahan mutlak diperlukan
untuk mempertahankan kualitas lahan yang digunakan (Mahmudi 2002).
Peraturan Menteri (PERMEN) Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009
menjelaskan bahwa lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya
merangkum semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan
(relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia
masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Permen tersebut
kemudian menguraikan lebih lanjut bahwa setiap lahan memiliki karakteristik
untuk menunjukkan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Daya dukung dalam pengertian yang luas dapat didefinisikan sebagai
kemampuan suatu sistem (lingkungan) untuk mendukung suatu aktivitas pada
level tertentu. Definisi ini menyebabkan daya dukung tidak dapat dijelaskan
secara tunggal dan sederhana. Secara umum telah banyak konsep yang
dikembangkan untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik
lingkungan (physical) dan daya dukung ekonomi (economic) (Rustiadi et al.
2009). Braithwaite et al. (2012) mendefinisikan daya dukung sebagai batasan
kepadatan polulasi tertentu pada daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat
ditentukan oleh jumlah sumberdaya dan tingkat konsumsi.
Menurut Tilman (1982) segala sesuatu yang dikonsumsi oleh spesies
berpotensi membatasi sumber daya yang dikonsumsi itu. Istilah konsumsi oleh
Tilman digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang digunakan termasuk ruang
yang didiami oleh organisme atau populasi tertentu. Berangkat definisi ini,
Braithwaite et al. (2012) berpendapat bahwa ruang adalah sumber daya sebagai
tempat untuk melakukan aktivitas (berkonsumsi).
Konsep diatas digunakan untuk menjelaskan daya dukung lahan secara fisik
lingkungan dan daya dukung lahan secara ekonomi. Secara fisik lingkungan
(ekologis), daya dukung lahan erat kaitannya dengan tata guna atau penggunaan
lahan. Baja (2012) mengungkapkan bahwa penggunaan lahan berkelanjutan
sangat ditentukan oleh cara pandang dan persepsi pengambil keputusan (decision
maker) dan pengguna/pengelola lahan (land manager). Cara pandang itu berupa
upaya perimbangan dan keadilan antara fungsi ekologi dan fungsi ekonomi
penggunaan lahan.
Daya dukung lahan secara ekonomi dapat dijelaskan dengan pendekatan
land rent. Melalui pendekatan land rent, dapat memberikan gambaran terkait
perkembangan penduduk disertai usaha-usahanya untuk meningkatkan
kesejahteraannya yang seringkali berdampak terhadap daya dukung suatu wilayah
(Rustiadi et al. 2009). Lahan dinilai dari aspek produktifitas lahan, biaya
2

pemanfaatan, pendapatan, keuntungan dan aspek ekonomik lainnya. Pada wilayah


yang lebih luas, untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, analisis dapat
dilakukan pada setiap unit land use atau unit administrasi yang lebih sempit yakni
kecamatan dan desa.
Di daerah perkotaan, mengetahui daya dukung lahan sangatlah penting.
Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi dapat
membantu untuk mengetahui apakah penggunaan lahan lebih menitikberatkan
pertimbangan ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil evaluasi yang
dilakukan oleh Seto et al. (2011) dari 326 studi menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan luasan wilayah perkotaan di dunia seluas 58,000 km2 dari tahun 1970
hingga 2000. Peningkatan luasan tersebut mendorong hilangnya lahan pertanian,
kehutanan, mempengaruhi iklim setempat, fragmen habitat, dan mengancam
keanekaragaman hayati menjadi penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi
lebih tinggi (Kumar 2009, Seto et al. 2011 dan Santos et al. 2014).
Lahan dalam konteks otonomi daerah memainkan peranan yang sangat
penting. Secara ekonomi, sembilan sektor pembangunan daerah yang tertuang
dalam PDRB daerah berbasis pada lahan. Pengaturan tata guna lahan sangat
menentukan besaran sumbangan sembilan sektor tersebut terhadap PDRB. Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor dalam PDRB daerah yang produktifitasnya
ditentukan oleh produktifitas lahan.
Kota Baubau sebagai kota yang relatif masih muda dalam
pengembangannya harus memperhatikan aspek daya dukung yang tertuang dalam
perencanaan penggunaan lahan. Kota Baubau terbentuk menjadi daerah otonom
pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No 13 Tahun 2001. Wilayah Kota
Baubau dengan total luas 29 313.96 ha awalnya memiliki empat kecamatan. Di
tengah perjalanannya, di wilayah ini kemudian terbentuk tiga kecamatan baru
yang merupakan pemekaran dari kecamatan yang sudah ada sebelumnya
(Darmawan 2008).
Tertuang dalam dokumen RTRW kota Baubau, visi kota Baubau adalah
terwujudnya kota Baubau sebagai kota budaya yang produktif dan nyaman,
melalui optimalisasi sumberdaya lokal secara profesional dan amanah, menuju
masyarakat sejahtera, bermartabat, dan religi. Upaya mewujudkan visi ini tentu
saja sangat terkait erat dengan pola pengelolaan dan pemanfaatan lahan kota.
Secara geografis Kota Baubau terletak di bagian tengah Indonesia yakni
bagian dari Sulawesi Tenggara dan merupakan satu-satunya jalur pelayaran
nasional di Sulawesi Tenggara (SULTRA). Jumlah penduduk Kota Baubau
menurut hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 1990 berjumlah 77 224 jiwa. Pada
tahun 2000 mencapai 106,092 jiwa, sehingga laju pertumbuhan penduduk per
tahun selama 10 tahun sebesar 3.23 %. Angka pertumbuhan ini cukup besar
karena dipicu oleh adanya eksodus baik dari Ambon maupun dari Timor-Timur.
Hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2006 berjumlah 122 339 jiwa. Dari
jumlah tersebut, terdapat jumlah penduduk laki-laki sebanyak 57 027 jiwa (46.61
%) dan perempuan 65 312 jiwa (53.39 %). Jumlah rumah tangga (household) 28
416 KK dengan rata-rata 4-5 orang anggota per KK (Darmawan 2008). Situs
resmi pemerintah kota Baubau (baubaukota.go.id) menyebutkan berdasarkan
Sensus Penduduk (SP) 2010 bertambah lagi hingga mencapai 136,991 orang.
3

Rumusan Masalah

Daya dukung lahan dapat dijelaskan dengan dua pendekatan yakni


pendekatan fisik lingkungan dan pendekatan ekonomi. Kedua pendekatan ini
secara pragmatis sekaligus menjelaskan dua manfaat lahan yakni manfaat secara
ekologi dan manfaat secara ekonomi. Pendekatan fisik lingkungan memberikan
arahan ekologis dalam hal penggunaan lahan. Pendekatan fisik lingkungan
menegaskan bahwa penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahannya.
Produktivitas dan besaran manfaat lahan dapat diukur berdasarkan tingkat
kemampuan lahan tersebut. Penekanan pada kemampuan lahan ini untuk
memberikan jaminan bahwa penggunaan lahan tidak melampaui daya dukung
lahan sehingga keberlanjutan dapat terjaga.
Pendekatan ekonomi memberikan gambaran tentang nilai lahan secara
ekonomi (land rent). Dalam analisis land rent ada dua hal yang mempengaruhi
nilai ekonomi lahan. Pertama adalah seberapa besar nilai produktifitas lahan
tersebut. Ini yang biasa disebut recardian rent. Selain itu, faktor jarak dari pusat
kota atau pertumbuhan juga mempengaruhi nilai land rent atau biasa disebut
dengan locational rent. Idealnya kedua aspek tersebut dalam tata guna lahan harus
berjalan seimbang dan simultan. Namun kenyataannya, seiring dengan laju
pembangunan dan populasi manusia keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi
terhadap lahan sering terabaikan.
Trend penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengarah untuk penggunaan
lahan dengan nilai ekonomi tinggi (non pertanian dan kehutanan) seperti
pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi (Kumar 2009, Santos et al.
2014). Hal ini memang tersurat dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Selain itu, Jayadinata (1999) dan Martokusumo (2006)
yang mengutip Levebre (1990) menegaskan bahwa kawasan perkotaan lebih
diprioritaskan untuk kegiatan pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi.
Namun bukan berarti bahwa penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengabaikan
aspek daya dukung fisik lingkungan.
Ada beberapa alasan penting mengapa daya dukung harus diperhatikan
dalam tata guna lahan. Pertama, untuk memastikan keberlanjutan lahan karena
lahan memiliki karakter dan kapasitas maksimum untuk menampung kehidupan
dan aktifitas tertentu. Jika ini terlampaui maka akan berdampak pada kerusakan
lahan dan munculnya bencana alam. Kedua, banyaknya regulasi yang
memberikan pedoman dalam tata guna lahan untuk tidak mengabaikan aspek daya
dukung lingkungan. Ketiga, tidak semua wilayah perkotaan di Indonesia
memiliki kondisi biofisik dan sosial yang sama. Masih banyak wilayah di
Indonesia yang statusnya sebagai kota namun secara aktual masih mencirikan
non perkotaan seperti didominasi oleh hutan dan pertanian. Hal ini juga didukung
oleh regulasi dan kebijakan daerah untuk mempertahankan kualitas lingkungan
hidup sekaligus sebagai komoditi andalan pada kota tersebut.
Kota Baubau adalah salah satu kota baru yang terdapat di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Kota Baubau ditetapkan sebagai kotamadya sejak tahun 2001 yang
awalnya adalah bagian administrasi dari Kabupaten Buton. Kondisi aktual
penggunaan lahan Kota Baubau masih di dominasi oleh kawasan hutan dan
pertanian. Hal ini cukup memberikan konstrubusi untuk menjaga kualitas
lingkungan kota.
4

Kota Baubau memiliki laju populasi yang cukup tinggi yakni mencapai 3.23
% pertahunnya. Hal ini dikarenakan Kota Baubau memiliki akses yang cukup
terbuka untuk dikunjungi sehingga mendorong terjadinya migrasi penduduk.
Selain itu, Kota Baubau sejak masa kolonial Belanda sebagai center of network
dari wilayah kepulauan Sulawesi Tenggara (Rabani 2010). Kondisi ini
meningkatkan permintaan ruang untuk pemukiman dan aktivitas ekonomi lainnya
dan mendorong konversi lahan pertanian dan kehutanan.
Melihat penjelasan diatas, maka dibutuhkan arahan pengelolaan lahan yang
terencana dengan baik. Dalam konteks tata guna lahan, perencanaan pengelolaan
lahan harus memperhatikan keseimbangan daya dukung lahan secara ekologi dan
secara ekonomi. Rencana pengelolaan tersebut harus tertuang dalam kebijakan.
Dalam konteks kebijakan, pengaturan penggunaan lahan tertuang dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu, RTRW harus memberikan arahan tata
guna lahan dengan memperhatikan aspek daya dukung baik secara ekologi dan
maupun secara ekonomi.
RTRW Kota Baubau memproyeksikan pola rencana penggunaan lahan
hingga tahun 2030. Hal ini tentu saja memungkinkan perubahan penggunaan
lahan terhadap penggunaan lahan saat ini. Jika dikaitkan dengan kemampuan
lahan, apakah penggunaan lahan saat ini dan rencana penggunaan lahan dalam
RTRW telah mempertimbangkan aspek kemampuan lahan. Sebaliknya pula,
apakah penggunaan lahan tersebut secara ekonomi memiliki nilai yang cukup
untuk menunjang populasi penduduk di Kota Baubau.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa pertanyaan yang dianalisis
lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
fisik lingkungan.
2. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
ekonomi.
3. Bagaimana arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan
daya dukung lahan.

Tujuan

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:


1. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
fisik lingkungan.
2. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
ekonomi.
3. Menyusun arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan
analisis daya dukung lahan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:


1. Bagi ilmu pengetahuan; memberikan perspektif baru tentang kajian daya
dukung lahan di Kota Baubau serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
5

2. Bagi penentu kebijakan; menjadi sumbang saran yang konstruktif dalam


menyusun rencana pembangunan khususnya perencanaan pengelolaan lahan
dengan pendekatan daya dukung lahan.
3. Bagi praktisi; memberikan masukan dan referensi dalam pengelolaan lahan
dengan pendekatan daya dukung lahan.

Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah seperti pada diagram alir
berikut:

Daya dukung lahan

Analisis Fisik Analisis


kemampuan Ekonomi
lingkungan land rent
lahan

- klasifikasi land use 1. klasifikasi land use


aktual aktual
- pola ruang RTRW

Daya dukung lahan Daya dukung lahan


secara fisik lingkungan secara ekonomi

Penentuan daya dukung Berdasarkan KHL

Arahan pengelolaan lahan

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau

2 TINJAUAN PUSTAKA

Daya Dukung (Carrying Capasity)

Daya dukung (carrying capasity) lahan secara sederhana dapat diartikan


sebagai kemampuan lahan untuk mendukung hidup manusia dan makhluk hidup
lain (Baja 2012). Daya dukung biasanya dikaitkan dengan daya tampung yang
oleh Baja (2012) diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap
zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalam
tanah/lahan. Soemarwoto (2003) menekankan bahwa daya dukung adalah batas
kemampuan untuk memasok sumber daya dan mengasimilasi zat pencemar serta
ketegangan sosial. Dari sini daya dukung terkait pada lingkungan alamiah dan
lingkungan sosial.
6

Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa terminologi daya dukung sulit


ditafsirkan secara tunggal namun menyentuh konsep yang lebih luas. Konsep
daya dukung yang telah banyak dikembangkan mencakup konsep daya dukung
fisik (physical), daya dukung ekologis (ecological), daya dukung sosial (social)
dan daya dukung ekonomi (economic). Ditinjau dalam perspektif lingkungan
maka daya dukung mencakup dua komponen yaitu kapasitas penyediaan
(supportive capasity) dan kapasitas tampung (assimilative capasity).
Konsep daya dukung tidak hanya digunakan untuk menjelaskan kasus
populasi manusia. Hagy dan Kaminski (2015) menggunakan konsep daya dukung
untuk memahami ekologi satwa liar kaitannya dengan keberlanjutan wilayah
konservasi. Studi tersebut lebih fokus pada hewan liar jenis unggas di Mississippi
Timur, Tennessee Barat dan lembah Mississippi, Amerika Serikat. Melalui
konsep daya dukung, Hagy dan Kaminski menjelaskan jumlah dan jenis makanan
beberapa jenis unggas dan area dalam mencari makanan.
Saat ini, daya dukung telah dipergunakan untuk mengukur keberlanjutan
suatu wilayah. Keberlanjutan ini dikaitkan dengan ketersediaan sumberdaya alam
dan lingkungan terhadap kebutuhan hidup manusia. Disini dilakukan
perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, misalnya luas
aktual lahan produktif. Luas areal yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan
manusia disebut jejak ekologi (ecological footprint). Jejak ekologi dapat dikaji
dari luas aktual lahan produktif yang dihitung dengan memperbandingkan antara
lahan tersedia atau akan tersedia dalam kurun waktu tertentu dan lahan yang
dibutuhkan untuk menjamin kehidupan pada standar tertentu (Baja 2012).
Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias
Wackernagel dalam desertasinya yang berjudul Ecological Footprint and
Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada
Universitas British Columbia Tahun 1994. Perhitungan daya dukung lingkungan
hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan
menggunakan basis neraca bioproduk dan biokapasitas serta kemampuan lahan
yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan
sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010).
Ada dua hal yang ingin didekati oleh ecological footprint. Pertama,
mengukur biaya total ekologis dalam area lahan dari supply seluruh barang
(pertanian, pemukiman, jalan, dll) dan jasa kepada penduduk. Kedua, sebagai
indikator keberlanjutan yaitu carrying capasity. Hal yang kedua ini daya dukung
dimaknai sebagai jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh luasan
lahan tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan ecological footprint mengukur
permintaan penduduk atas alam dalam satuan metrik (Rustiadi et al. 2010).
Pendekatan ecological footprint pernah digunakan oleh Bai et al. (2015) di
wilayah ekologi Yuanzhou, China. Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi
keberlanjutan penggunaan lahan pertanian guna menjamin pasokan makanan
(pangan) yang aman dan mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan selama
periode 1981-2009. Pendekatan yang dilakukan berdasarkan jejak ekologi
(ecological footprint) yang diintegrasikan dengan analisis emergi. Analisis
emergi telah digunakan untuk mengevaluasi aliran energi dalam sistem yang
kompleks yang didasarkan pada prinsip energetik, teori sistem dan sistem ekologi.
Metode akuntasi juga digunakan dalam studi tersebut. Metode ini telah mulai
diperkenalkan sejak tahun 2005 disebut dengan emergetic ecological footprint
7

(EEF). Hasil studi menjelaskan bahwa lahan pertanian di Yuanzhou digunakan


tidak berkelanjutan sejak tahun 1983.
Menurut Permen LH No. 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya
Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah terdapat tiga
pendekatan untuk mengukur daya dukung lingkungan yaitu 1) berdasarkan
kemampuan lahan, 2) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan lahan (neraca
lahan), dan 3) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air (neraca air). Permen
tersebut menegaskan bahwa untuk memenuhi daya dukung lingkungan maka
setiap penduduk dalam wilayah harus terpenuhi menurut standar Kualitas Hidup
Layak (KHL) yang disetarakan dengan pangan beras. Lebih lanjut disebutkan
bahwa asumsi perkapita (orang/tahun) KHL yang harus dipenuhi adalah setara 1
ton beras.
Kelemahan dari Permen LH tersebut adalah tidak menjelaskan secara detail
apa yang menjadi dasar penentuan KHL adalah setara dengan 1 ton beras. Selain
itu, apakah setara 1 ton beras tersebut juga termasuk di dalamnya kebutuhan non
pangan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain sebagainya. Jika
merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012 tentang
Perubahan Penghitungan Kebutuhan Hidup Layak, maka cukup jelas bahwa
definisi Kebutuhan Hidup Layak adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh
lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Selain
ituKepmen tersebut juga menjabarkan komponen-komponen yang termasuk dalam
KHL yaitu Makanan & Minuman 11 items, Sandang 13 items, Perumahan 26
items, Pendidikan 2 item, Kesehatan 5 items, Transportasi 1 item dan Rekreasi
dan Tabungan 2 item. Komponen inilah yang menjadi dasar penentuan Upah
Minimum Regional/Kabupaten/Kota (UMR/UMK). Dari sini dapat dimaknai
bahwa asumsi KHL 1 ton beras menurut Permen LH dapat dianggap sama dengan
komponen KHL menurut Kepmen Tenaga Kerja yang direfleksikan melalui nilai
UMR/UMK.

Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi, iklim, relief, hidrologi
dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat dari berbagai kegiatan manusia
baik di masa lalu maupun di masa sekarang seperti kegiatan reklamasi,
penebangan hutan dan akibat merugikan lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007).
Baja (2012) menguraikan bahwa dalam perencanaan tata guna lahan sangat
penting untuk dibedakan pemahaman antara tanah (soil), lahan (land), unit lahan
(land unit), penggunaan lahan (land use) dan jenis pemanfaatannya (land
utilization type). Lahan dapat bersifat stabil atau labil karena dikaitkan pada
aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah. Hal itu pula dipengaruhi oleh sifat
tanah, siklus alam dan faktor-faktor lain yang berhubungan. Oleh karena itu lahan
tidak hanya merujuk pada tanah tetapi aktifitas yang berhubungan dengan semua
faktor yang relevan dari lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan,
topografi, vegetasi, aktivitas di bawah permukaan tanah hingga aktivitas sosial,
ekonomi dan budaya.
8

Terminologi penggunaan lahan (land use) sering pula dipersandingankan


dengan istilah tutupan lahan (land cover). Land cover merujuk pada keadaan
biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan
keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land
cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang
mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur
manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land
cover (Lambin et al. 2003).
Johnson dan Zuleta (2013) pernah mempersandingkan istilah Land Use
Land Cover (LULC) untuk menjelaskan rusaknya keanekaragaman hayati di
Ekoregion Espinal, Argentina. Penelitian terkait LULC tersebut dilakukan pada
periode 1987-2001 dan 2001-2009 di dua daerah aliran sungai yang letaknya atau
berdekatan dengan Espinal, salah satu ekoregion paling dilindungi dari Argentina.
Mereka berhasil mendeteksi penurunan ekosistem hingga 20 % dan khususnya 60
% hutan asli telah hilang. Hal ini didorong oleh perubahan penggunaan lahan
Ekoregion Espinal menjadi lahan pertanian dan peternakan.
Lambin et al. (2003) menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan
diakibatkan oleh adanya faktor-faktor pendorong (driving factors) seperti tekanan
penduduk, faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, faktor kebijakan
(policy), kelembagaan, budaya dan biofisik wilayah. Analisis perubahan
penggunaan lahan dilakukan untuk menemukan penyebab (driver) yang
mendorong terjadinya perubahan tersebut serta akibat atau dampak yang
ditimbulkan. Beberapa alasan perubahan penggunaan lahan yaitu kelangkaan
sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar;
hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam
organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku.
Penelitian yang dilakukan oleh Abraham et al. (2015) menunjukkan
hubungan antara perilaku manusia dalam memanfaatkan lahan (penggunaan
lahan) dengan jejak ekologi (ecological footprint). Penelitian tersebut dilakukan
di Meksiko dengan mengembangkan peta jejak ekologi manusia untuk
mengidentifikasi daerah ekologi yang paling berubah oleh tindakan manusia.
Pendekatan yang dilakukan terhadap dua variabel penting yaitu geografi fisik dan
geografi sejarah. Geografi fisik yakni tinjauan spasial dalam bentuk bioma dan
ekoregion dan geografi sejarah yaitu tinjauan spasial pemukiman manusia dan
aktivitas lainnya dimasa lalu. Hasilnya menunjukkan bahwa pemukiman manusia
dimasa lalu telah mendorong pola penggunaan lahan dan secara keseluruhan
Meksiko masih memiliki 56 % lahan yang memiliki dampak dari aktivitas
manusia. Nilai terendah berada pada wilayah utara yang kering dan tenggara
tropis, sedangkan nilai yang tinggi sepanjang pantai teluk Meksiko, pedalaman
sepanjang koridor timur ke barat yang mengikuti rentang vulkanik Meksiko dan
terikat dengan dataran tinggi. Kesimpulannya adalah penyebaran jejak ekologi
manusia dibatasi oleh kondisi fisik geografi untuk pembangunan pada tingkat
bioma dan bioma yang berbeda, sejarah peradaban masa lalu yang kompleks,
teknologi, ledakan demografi abad 20 dan pola pemukiman kuno yang diduduki
koloni Spanyol.
9

Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan adalah '' kualitas '' lahan untuk menghasilkan tanaman
yang umum dibudidayakan dan tanaman rumput untuk penggembalaan tanpa
kerusakan selama periode waktu yang panjang (FAO, 1983). Berbeda dengan
definisi Wells dalam Gad (2015) mendefinisikan kemampuan lahan sebagai
kemampuan lahan untuk mendukung jenis penggunaan lahan tertentu tanpa
menyebabkan kerusakan permanen. Kategori klasifikasi kemampuan lahan dibagi
ke dalam kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahan (Gad 2015). Kelas
kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan
penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang
umum (Arsyad 2010)
Tanah sebagai komponen utama dari sistem klasifikasi kemampuan lahan,
mempertimbangkan keterbatasan tanah, risiko kerusakan ketika tanah digunakan,
dan bagaiman cara tanah memberi respon terhadap perlakuan yang diberikan (Gad
2015). Klasifikasi kemampuan lahan menyediakan panduan untuk penilaian
kendala tanah dan rekomendasi pengelolaan lahan untuk penggunaan di berbagai
skala termasuk negara, DAS hingga tingkat perencanaan kawasan perumahan
(Murphy et al. 2004). Di Indonesia sistem klasifikasi kemampuan lahan yang
umum digunakan adalah sistim USDA (United State Departemen of Agriculture)
karena sangat mudah dan sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat
fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa
memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di
laboratorium (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Menurut Arsyad (2010) intensitas faktor penghambat adalah menjadi faktor
penentu pengklasifikasian kemampuan lahan. Menggunakan sistim USDA, tanah
dikelompokkan menjadi delapan kelas dengan menggunakan angka romawi.
Semakin tinggi kelas kemampuan menunjukkan semakin tinggi pula faktor
penghambat dan ancaman kerusakan sehingga jenis dan intesitas penggunaannya
semakin terbatas. Secara rinci setiap kelas kemampuan lahan dijelaskan oleh
Arsyad (2010) sebagai berikut:
 Kelas I, lahan yang tidak mempunyai Tidak mempunyai atau hanya sedikit
hambatan yang membatasi penggunaannya sehingga sesuai untuk berbagai
penggunaan terutama pertanian. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan
kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak
mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah,
kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan iklim sesuai bagi
pertumbuhan tanaman secara umum.
 Kelas II, lahan yang memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan
sehingga mengurangi pilihan penggunaannya. Hal ini dapat menyebabkan
perlu adanya tindakan konservasi yang sedang. Tindakan pengelolaan harus
hatis-hati. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-
berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah
dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena
banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim
agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan
 Kelas III, lahan yang memiliki beberapa hambatan yang berat yang
mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi
10

khusus dan keduanya.. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika
dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan
konservasi lebih sulit diterapkan. Hambatan membatasi lama penggunaan
bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi
dari pembatas tersebut. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-
bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami
erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam,
kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas
menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah
sedang, atau hambatan iklim agak besar
 Kelas IV, lahan yang memiliki hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih
besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. Perlu pengelolaan
hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.
Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit,
kepekaan erosi tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas
menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari
24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi
dan keadaan iklim kurang menguntungkan
 Kelas V , lahan yang tidak memiliki ancaman erosi tetapi mempunyai
hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi
pilihan penggunaannya. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi
sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.
 Kelas VI, lahan yang mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak
sesuai untuk penggunaan pertanian. Memiliki pembatas atau ancaman
kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi
faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam
laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai.
 Kelas VII, lahan yang tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan
penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau
telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki
 Kelas VIII, lahan yang sebaiknya dibiarkan secara alami. Pembatas dapat
berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air
rendah.

Land Rent

Land rent adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa
atas penggunaan lahan yang harus dibayarkan pada lahan (Rustiadi et al. 2009).
Setiap jenis penggunaan lahan memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis
penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai
porsi penggunaan terbesar. Hal ini dikarenakan lahan diarahkan pada kegiatan
yang memberikan nilai land rent tertinggi. Dampaknya pada lahan pertanian
meskipun lebih lestari kemampuannya menjamin kehidupan petani, tetapi hanya
memberikan sedikit keuntungan finansial dibandingkan sektor industri,
pemukiman dan jasa lainnya menyebabkan konversi lahan pertanian ke non
pertanian tidak dapat dicegah (Arsyad dan Rustiadi 2008).
Kumar (2009) pernah melakukan studi yang berkaitan dengan land rent
yang dapat memicu perubahan penggunaan lahan di kota New Delhi. Hasil studi
11

Kumar menunjukkan bahwa selama periode tahun 1986-2004 telah terjadi


perubahan penggunaan lahan pertanian ke sektor konstruksi. Alasannya adalah
penggunaan lahan non pertanian memiliki nilai produktivitas ekonomi lebih tinggi
dibanding pertanian.
Barlowe (1986) menjabarkan bahwa land rent dapat digunakan untuk
menjelaskan tingkat perbaikan kualitas lingkungan. Perbaikan kualitas
lingkungan ini berkaitan dengan tingkat kenyamanan (amenity) dari suatu
lingkungan. Hal yang berkaitan dengan kenyamanan lingkungan tersebut antara
lain pemandangan alam yang estetik, akses terhadap sumberdaya alam seperti
sumber air, akses terhadap fasilitas dan layanan publik serta ruang rekreasi.
Analisis ekonomi lahan mengacu pada keunggulan komparatif atau efisiensi
dari penggunaan lahan dari suatu kegiatan produktif. Efisien disini diartikan
bahwa alokasi sumber-sumber ekonomi digunakan untuk kegiatan yang
menghasilkan output dengan nilai ekonomi tertinggi. Faktor harga ekonomi
mungkin bayangan dimana tidak menunjukkan harga yang sesungguhnya untuk
mencerminkan beberapa manfaat secara sosial dari lahan (Rossiter 2004).
Pada mulanya land rent hanya terbatas untuk memberikan apresiasi atas
nilai ekonomi lahan. Dalam perspektif yang lebih luas ternyata lahan tidak hanya
memberikan manfaat secara ekonomi dalam arti nilai pasar semata (economic
land rent) tetapi juga memberikan manfaat lainnya yaitu environment rent dan
social rent. Hanya saja, dalam mekanisme pasar kedua nilai tersebut tidak
diperhitungkan sehingga memberikan gambaran yang bias terhadap land rent
(Arsyad dan Rustiadi 2008).
Baja (2012) menjelaskan bahwa ada empat parameter penting untuk
penilaian keselarasan ekonomi lahan dalam perpektif penataan ruang dan tata
guna lahan. Parameter tersebut adalah: 1) kualitas sumberdaya setempat (in-situ
resource quality) yang disebut sebagai keselarasan penggunaan lahan dalam
kaitannya biaya ekonomi. 2) keterjangkauan atau aksesibilitas (accessibility),
3)topologi ruang/lahan (topology) dan 4) ketersediaan lahan (availability).
Penjelasan yang diberikan oleh Rustiadi et al. (2009) bahwa economic rent
sebidang lahan atau ruang dapat dibedakan atas dua yaitu biaya intrinsik (intrinsic
rent) dan biaya lokasional (locational rent). Biaya intrinsik adalah nilai yang
terkandung dalam sebidang lahan seperti kesuburan dan topografinya sehingga
mempunyai keunggulan produktivitasnya. Biaya ini biasa pula disebut ricardiant
rent. Biaya lokasional adalah biaya yang dipengaruhi oleh oraganisasi spasial
produksi. Faktor yang paling berpengaruh disini adalah jarak dengan
menggunakan teori von Thunen.

Geographic Information System (GIS)

Salah satu perangkat lunak yang bisa digunakan untuk identifikasi dan
analisis penggunaan lahan dalam menghitung daya dukung lahan adalah
Geographic Information System (GIS). Star dan Estes (1990) dalam Baja (2012)
mendefinisikan GIS sebagai suatu sistem berbasis komputer untuk menangkap
(capture), menyimpan (store), memanggil kembali (retrieve), menganalisis, dan
mendisplay data spasial sehingga dapat menyelesaikan masalah yang kompleks
untuk kepentingan penelitian, perencanaan, pelaporan dan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan. Prahasta (2005) mendefinisikan GIS sebagai
12

satu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan logika untuk
menganalisis berbagai objek yang ada dipermukaan bumi.
GIS merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang ter-
referensi dengan kordinat spasial atau geografis. Upaya tata guna lahan referensi
spasial tersebut menjadi syarat utama. Dengan demikian GIS dianggap sebagai
sistem pemetaan kelas tinggi yang dibutuhkan dalam setiap perencanaan tata guna
lahan mulai dari perencanaan awal, inventarisasi informasi, analisis, manipulasi
data hingga penyajian hasil untuk digunakan dalam dalam pengambilan keputusan
(Baja 2012). Barus dan Wiradisastra (2000) menjabarkan bahwa GIS memiliki
empat komponen utama yaitu: (1) data input yakni terkait upaya pengumpulan
dan mempersiapkan data spasial dan atribut, (2) data manajemen yakni terkait
pengorganisasian data dan atribut, (3) data manipulasi dan analisis yakni terkait
manipulasi dan pemodelan data untuk menyajikan data sesuai dengan tujuan dan
(4) data output yakni terkait upaya menghasilkan luaran seluruh atau sebagian
data baik dalam bentuk softcopy, hardcopy atau berkas (file).
Saat ini GIS telah banyak dipergunakan dalam berbagai bidang seperti
pertanian, perkebunan dan kehutanan, bidang bisnis dan perencanaan pelayanan,
bidang lingkungan, dan lain-lain (Barus dan Wiradisastra 2000). Bidang
perencanaan tata guna lahan, GIS digunakan untuk berbagai aplikasi baik
inventarisasi, deteksi, identifikasi, evaluasi dan pemantauan dimana hal ini telah
disadari oleh para peneliti, perencana dan pengelola sumberdaya alam dan
lingkungan bahwa GIS adalah perangkat yang sangat penting.

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Baubau, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kota


Baubau mencakup delapan kecamatan (Gambar 3.1) dengan total luas wilayah 29
313.96 ha. Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan yakni sejak bulan April
hingga bulan September 2014.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan adalah perangkat komputer yang dilengkapi dengan


Microsoft Office, Microsoft Excel, software pemetaan, kamera dijital, Global
Positioning System (GPS) dan alat tulis-menulis.

Jenis dan Sumber Data Penelitian

Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang dihasilkan dari hasil indepth interview, pengamatan dan survey
langsung di lokasi penelitian. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari
studi kepustakaan, hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik
penelitian, informasi dari lembaga tertentu baik pemerintah maupun non
pemerintah dan informasil dari media massa.
13

Jenis data primer berupa hasil verifikasi lapangan terhadap hasil interpetasi
citra. Selain itu data survey harga komoditi pertanian, komoditi perkebunan,
komoditi peternakan, komoditi perikanan, komoditi kehutanan, sewa
lahan/bangunan, aktivitas pedagang kaki lima dan kondisi fisik wilayah. Jenis data
sekunder yang dibutuhkan adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dari Badan
Informasi Geospasial (BIG) skala 1:50 000, citra Quickbird tahun 2013 Kota
Baubau, peta land system skala 1:250 000, dokumen Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Baubau, data Potensi Desa (PODES), data Baubau dalam
angka, data Pendapatan Asli Daerah (PAD) data konstruksi jalan dan bangunan
serta data penunjang lainnya.

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Analisis Data

Penelitian terdiri dari tiga tahap yakni: (1) menganalisis daya dukung lahan
aktual dengan pendekatan fisik lingkungan (ekologi); (2) menganalisis daya
dukung lahan aktual dengan pendekatan ekonomi (land rent); (3) menyusun
arahan pengelolaan lahan di kota Baubau berbasis daya dukung lahan.

Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan

Proses analisis diawali dengan melakukan interpretasi citra Quickbird Kota


Baubau tahun 2013. Setelah itu dilakukan analisis kemampuan lahan di kota
Baubau yang menghasilkan peta kemampuan lahan. Peta kemampuan lahan
menjadi ukuran untuk menilai tingkat daya dukung fisik baik pada penggunaan
lahan aktual maupun pola ruang RTRW. Selain itu berdasarkan penggunaan lahan
akan dianalisis tingkat ketersediaan lahan pangan.
14

Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual

Intrepretasi citra dilakukan dengan menggunakan software pemetaan.


Intrepretasi ini meliputi proses intrepretasi data penginderaan jauh (citra),
klasifikasi peta penggunaan lahan dan pengamatan lapangan penggunaan lahan.
Gambar 3.2 menunjukkan tahapan interpretasi citra.

Gambar 3.2 Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use)


Intrepetasi citra merupakan kegiatan mengkajian terhadap foto udara atau
citra satelit untuk mengidentifikasi objek dan menilai pentingnya objek tersebut.
Intrepretasi kegiatan yang dilakukan berupa deteksi, identifikasi serta analisis.
Interpretasi secara visual dilakukan dengan melihat pola, warna, tekstur, rona,
kedekatan interpreter terhadap lokasi dan aspek lain. Proses ini akan
menghasilkan poligon-poligon yang menunjukkan kelas penggunaan lahan.
Citra yang diinterpretasi terlebih dahulu dilakukan koreksi geometrik untuk
menyesuaikan dengan titik koordinat sesungguhnya di bumi. Proses interpretasi
citra dilakukan dengan dijitasi on screen. Hasil klasifikasi kemudian divalidasi
dengan pengamatan di lapangan berdasarkan penggunaan lahannya dengan
bantuan Global Positionong System (GPS) ataupun dengan bantuan google earth.
Kelas penggunaan lahan (land use) yang diidentifikasi di Kota Baubau
berjumlah 24 kelas. Kelas penggunaan lahan tersebut yaitu badan air, bandara,
bangunan Pemerintah, cagar budaya, hotel, hutan, jalan, kebun campuran, kklang
pertamina, komersil, lahan terbuka, mangrove, padang rumput, pelabuhan,
pemakaman, pemukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, pusat
pendidikan, ruang publik, ruang terbuka hijau, tambak, tempat ibadah dan
terminal. Setiap kelas lahan dijabarkan lebih lanjut sesuai rona citra yang
ditunjukkan, pola, sebaran, dinamika penggunaan lahan ataupun berdasarkan
komoditi pada penggunaan lahan pertanian.

Analisis Kemampuan Lahan

Analisis kemampuan lahan mengacu pada sistem United State Departement


Agriculture (USDA). Sistem USDA merupakan sistem yang paling banyak
digunakan untuk melihat kemampuan lahan. Banyak pula sistem lain yang
dikembangkan di beberapa negara, misalnya di Kanada, Inggris, Australia, New
Zealand dan Malaysia. Adapula sistem Malawi yang dikembangkan oleh Young
15

dan Goldsmith (1977). Namun pada dasarnya pengembangan sistem-sistem


tersebut tetap mengacu pada sistem USDA dengan beberapa modifikasi (Baja
2012).
Merujuk sistem USDA, pembagian kelas kemampuan lahan pada penelitian
ini menjadi delapan kelas kemampuan lahan. Tingkat kelas kemampuan lahan
berhubungan atau berkorelasi dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan.
Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan pilihan
penggunaan lahan sebagaimana pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan
pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

Kemampuan lahan dengan kategori kelas dibagi menjadi sub kelas yang
didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam penggunaan lahan
(Rustiadi et al. 2010). Indikator tersebut antara lain : (1) tekstur, (2) lereng
permukaan, (3) drainase, dan (4) kedalaman efektif. Penggolongan besarnya
intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada
tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010) sebagaimana disajikan pada Lampiran
1.
Data sekunder yang digunakan adalah adalah peta land system skala
1:250.000 dan Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1 : 50.000. Faktor
penghambar tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari land system,
sedangkan untuk data kelerengan diperoleh dari RBI. Pengkelasan kelerengan
pada RBI berbeda dengan kelas kelerengan yang diinginkan. Kondisi ini
diantisipasi dengan pengolahan data kelerengan terlebih dahulu dengan mengubah
data vektor kelerengan pada RBI menjadi data DEM (raster). Setelah itu
dilakukan re-kelas pada kelerengan menjadi kelas kelerengan yang diinginkan.
Data kelas kelerengan yang baru lalu diubah kembali menjadi data vektor.
Faktor penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari
land system, sehingga data ini juga memiliki skala pemetaan 1 : 250 000. Skala
tersebut belum setara dengan skala pemetaan kelerengan. Untuk itu, faktor
penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah didetailkan terlebih dahulu.
Proses pendetailan dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang tersedia
dan pengamatan lapangan.
Setelah melalui proses pendetailan, setiap faktor penghambat akan
menghasilkan peta yang setara dengan skala 1 : 50 000. Proses selanjutnya adalah
16

empat peta dari setiap faktor penghambat ditumpangtindihkan dengan cara joint
atribut. Hasilnya berupa poligon-poligon yang lebih detail, diperoleh dari
perpotongan poligon-poligon dari peta faktor penghambat. Setiap poligon detail
tersebut disebut satuan lahan homogen yang memiliki nilai tekstur, drainase,
kedalaman tanah dan kelerengan. Contoh matriks sub kelas kemampuan lahan
pada satuan lahan homogen sebagaimana disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan
nilai tersebut setiap poligon dijustifikasi kelas kemampuan dan sub kelas
kemampuan lahannya.

Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana


Pola Ruang

Terdapat empat evaluasi keselarasan lahan yang dilakukan dalam penelitian


ini, yaitu: 1) evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan
lahan. 2) evaluasi keselarasan rencana pola ruang terhadap kemampuan lahan. 3)
evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang, dan 4) evaluasi
kemampuan lahan, penggunaan lahan dan rencana pola ruang.
Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang
terhadap kemampuan lahan bertujuan untuk melihat keselarasan penggunaan
lahan aktual dan pola ruang RTRW terhadap kelas kemampuan lahan di Kota
Baubau. Hal ini dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta land use
dengan peta kemampuan lahan dan peta rencana pola ruang RTRW dengan peta
kelas kemampuan lahan. Semakin besar ketidakselarasan maka semakin besar
pula penyimpangan penggunaan lahan dan pola ruang terhadap kemampuan lahan.
Hasil evaluasi ini digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam
membangun skenario pengelolaan lahan di Kota Baubau.
Penentuan keselarasan terhadap kemampuan lahan memiliki pertimbangan.
Pertama, pertimbangan ekologis yakni melihat sejauh mana dampak ekologis
yang mungkin muncul dari faktor penghambat pada setiap kelas penggunaan
lahan. Kedua, faktor biaya yang muncul akibat kerusakan ekologi atau untuk
pelaksanaan kegiatan pada kelas penggunaan lahan.
Evaluasi keselarasan juga dilakukan antara penggunaan lahan aktual
terhadap rencana pola ruang. Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat konsistensi
antara rencana pola ruang dengan penggunaan lahan aktual. Selain itu dapat
dinilai kemungkinan diterapkannya pola ruang berdasarkan kondisi penggunaan
lahan aktual.
Evaluasi keselarasan lahan terbagi atas tiga kondisi keselarasan yaitu: 1)
selaras (S); 2) tidak selaras (TS); dan 3) selaras bersyarat (SB). Penentuan kondisi
keselarasan dilakukan melalui tabel penilaian keselarasan. Penilaian keselarasan
penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan pada Tabel 3.2, penilaian
keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan pada Tabel 3.3
dan penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang
pada Tabel 3.4.
Evaluasi keselarasan yang keempat adalah keselarasan antara kemampuan
lahan, penggunaan lahan dan rencana pola ruang. Hal ini dilakukan untuk melihat
interaksi kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang
sekaligus melalui matriks keputusan pada Tabel 3.5. Penilaian matriks juga
terdiri hanya 2 kategori yaitu selaras (S), dan tidak selaras (TS). Selaras Bersyarat
17

ditiadakan karena penilaian keselarasan lebih kompleks dibandingkan penilaian


keselarasan sebelumnya dengan mempertimbangan aspek ekologi dan
perencanaan (kebijakan, sosial dan ekonomi) dengan uraian sebagai berikut:
Selaras :  Aspek ekologis selaras pada kelas kemampuan lahannya
dengan memperhatikan faktor pembatas kelas
kemampuan lahan. Keselarasan tersebut jika secara
faktual atau diprediksi tidak akan memberikan dampak
kerusakan lahan saat kegiatan dilakukan baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.
 Aspek perencanaan realistis untuk dilaksanakan dengan
memperhatikan kondisi lahan aktual baik dari aspek
pembiayaan, lokasi administrasi dan stabilitas serta
konflik sosial yang telah/sedang/mungkin terjadi.
Tidak selaras : Baik dari aspek lingkungan, kondisi faktual lahan dan
perencanaan tidak selaras atau tidak bisa dilakukan.
Memberikan dampak ekologi dalam jangka pendek dan
panjang, biaya mahal, dan berpontensi konflik sosial.
Status selaras dan tidak selaras kemudian diuraikan lebih rinci menjadi 14
kategori yaitu sebagai berikut:
 S_1 (selaras_1) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan
aktual terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW juga merupakan lahan
terbangun.
 S_2 (selaras_2) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan
aktual terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW direncanakan menjadi
penggunaan lahan non terbangun.
 S_3 (selaras_3) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan
aktual non terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW direncanakan
menjadi penggunaan lahan terbangun.
 S_4 (selaras_4) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan
aktual non terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW juga
direncanakan menjadi penggunaan lahan non terbangun misalnya
pertambangan.
 TS_1 (tidak selaras_1) merupakan lahan yang direncanakan menjadi lahan
terbangun dan secara ekologis tidak selaras dengan kelas kemampuan
lahannya.
 TS_2 (tidak selaras_2) merupakan lahan yang direncanakan menjadi lahan
non terbangun dan secara ekologis tidak selaras dengan kelas kemampuan
lahannya.
 TS_3 (tidak selaras_3) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat,
secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan
terbangun bersifat publik dan secara ekologis selaras dengan kelas
kemampuan lahannya. Misalnya pemukiman dan hotel menjadi perkantoran,
fasilitas publik, fasilitas umum dan tambang.
 TS_4 (tidak selaras_4) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat,
secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan
non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan
lahannya. Misalnya pemukiman menjadi perkebunan, sawah, hutan kota dan
taman.
Tabel 3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan
Sub Kelas Kemampuan Lahan

III_l2d3k1

IV_l3d4

IV_l3k2

VI_l4k3
III_l2d3

VIII_l6
II_l1d2

II_t1l1

VII_l5
IV_d4

IV_k2

VI_k3
III_d3

III_k1
No Penggunaan Lahan

IV_l3

VI_l4
III_l2
II_d2

II_t1
1 Badan air S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
2 Bandara S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
Bangunan
3 S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
Pemerintah
4 Cagar budaya S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
5 Hotel S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS
6 Hutan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
7 Jalan S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB
8 Kebun campuran S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
9 Kilang pertamina S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
10 Komersil S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
11 Lahan terbuka S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS
12 Mangrove S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
13 Padang rumput S S S S S S S S S S S S S S S S S TS TS
14 Pelabuhan S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
15 Pemakaman S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS
16 Pemukiman S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
Pertanian lahan
17 S S S S S S S S S S S SB SB SB SB TS TS TS TS
basah
Pertanian lahan
18 S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
kering
19 Pusat pendidikan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
20 Ruang publik S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
21 Ruang terbuka hijau S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
22 Tambak S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
23 Tempat ibadah S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
24 Terminal S S S S S S S S S S S S TS TS S TS TS TS TS
Keterangan: S = selaras TS = tidak selaras SB = selaras bersyarat
19

Tabel 3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan

Sub kelas kemampuan

III_l2d3k1

IV_l3d4

IV_l3k2

VI_l4k3
III_l2d3

VIII_l6
II_l1d2

II_t1l1

VII_l5
IV_d4

IV_k2

VI_k3
III_d3

III_k1

IV_l3

VI_l4
III_l2
No Rencana pola ruang

II_d2

II_t1
1 Cagar Budaya S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
2 Fasilitas sosial S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
3 Fasilitas umum S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS
4 Hutan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
5 Hutan Kota S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
6 Hutan Lindung S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
7 Hutan Produksi Terbatas S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
8 Hutan Raya S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
9 Industri Perikanan S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
10 Kawasan Bandara S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
11 Kawasan Pelabuhan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
12 Komersil S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
13 Konservasi Pantai S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
14 markas tni/kostrad S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
15 Pemukiman S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
16 Pergudangan S S S S S S S S S S S S S TS S TS TS TS TS
17 Perkantoran S S S S S S S S S S S S S TS S TS TS TS TS
18 Perkebunan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
19 PLTU S S S S S S S S S S S TS TS TS S TS TS TS TS
20 Sawah S S S S S S S S S S S SB SB SB S TS TS TS TS
21 Taman S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB
22 Tambang S S S S S S S S S S S SB SB SB S SB SB TS TS
23 Wisata Pantai S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS
Keterangan: S = selaras TS = tidak selaras SB = selaras bersyarat
20

Tabel 3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW

Keterangan: S = selaras TS = tidak selaras SB = selaras bersyarat


21

Tabel 3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual

Keterangan: S = selaras TS = tidak selaras


 TS_5 (tidak selaras_5) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat,
secara aktual merupakan lahan non terbangun yang direncanakan menjadi
lahan terbangun publik dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan
lahannya. Misalnya pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan kebun
campuran direncanakan menjadi komersil, perkantoran, fasilitas umum dan
fasilitas publik.
 TS_6 (tidak selaras _6) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat,
secara aktual merupakan lahan non terbangun yang direncanakan menjadi
lahan non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan
lahannya. Misalnya pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan kebun
campuran direncanakan menjadi hutan, hutan kota, hutan lindung dan hutan
produksi terbatas.
 TS_7 (tidak selaras_7) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik,
secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan
terbangun tetapi dengan fungsi yang berbeda dan secara ekologis selaras
dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya bangunan milik publik yang
direncanakan menjadi pemukiman privat, sarana ibadah direncanakan
menjadi terbangun lainnya dan jalan direncanakan menjadi terbangun lainnya.
 TS_8 (tidak selaras_8) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik,
secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan
non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan
lahannya. Misalnya bangunan milik publik/pemerintah, sarana ibadah dan
jalan direncanakan menjadi hutan, perkebunan, sawah dan wisata pantai.
 TS_9 (tidak selaras_9) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik,
secara aktual merupakan lahan non terbangun yang berfungsi lindung
direncanakan menjadi lahan terbangun dan secara ekologis selaras dengan
kelas kemampuan lahannya. Misalnya hutan, badan air, taman, pemakaman,
ruang terbuka hijau direncanakan menjadi perkantoran, fasilitas umum,
fasilitas publik, pemukiman dan komersil.
 TS_10 (tidak selaras_10) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik,
secara aktual merupakan lahan non terbangun yang berfungsi lindung
direncanakan menjadi lahan non terbangun berfungsi budidaya dan secara
ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya badan air dan
hutan direncanakan menjadi sawah, perkebunan dan hutan produksi terbatas.
Aspek lain yang dipertimbangan dalam penentuan keselarasan dan
ketidakselarasan adalah lokasi unit lahan. Lokasi yang dimaksud disini adalah
berupa lokasi administrasi baik desa/kelurahan maupun kecamatan. Aspek lokasi
dianggap penting karena terkait sebaran penggunaan lahan untuk kepentingan
perencanaan ruang. Selain itu untuk mengetahui daya dukung berdasarkan fisik
lingkungan lahan kelas land use aktual dan rencana pola ruang RTRW, dilakukan
melalui daya tampung dari beberapa kelas penggunaan lahan, yaitu:
 Land use untuk pemukiman mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-
1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di
Perkotaan bahwa luas lahan minimal yang dibutuhkan orang dewasa adalah
9.6m2
 Land use untuk pertanian daya dukung mengacu pada Rustiadi et al. (2010)
bahwa kebutuhan pangan setara beras untuk bisa hidup layak adalah 1 ton
23

beras/orang/tahun. Dari sini dapat digunakan untuk menentukan luasan lahan


pertanian untuk hidup layak perorang.
 Land use untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) didasarkan pada konstribusi
luasan terhadap ruang terbuka hijau publik (20%) berdasarkan Undang-
Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan

Analisis ekonomi lahan dilakukan pada kelas penggunaan lahan aktual.


Kelas penggunaan lahan aktual yang dianalisis yaitu pertanian secara umum
(pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, kebun campuran), peternakan,
tambak, kehutanan, hotel, pemukiman, komersil, ruang terbuka publik, pelabuhan,
bandara, pemakaman, terminal, pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat
ibadah, jalan dan lahan terbuka. Setiap kelas penggunaan lahan yang ada akan
dilakukan perhitungan dan analisis land rent.
 Land use pertanian, peternakan, tambak dan kehutanan dianalisis dengan
menghitung produktivitas bersih (keuntungan ekonomi bersih) dari komoditi
yang dihasilkan. Nilai tersebut diperoleh dengan mengetahui nilai
produktivitas bruto/kotor yang dikurangi dengan biaya input produksi. Biaya
angkut/transportasi juga menjadi variabel yang mempengaruhi nilai
produktivitas bersih (keuntungan ekonomi bersih).
 Land use hotel dianalisis dengan jumlah pemasukan tahun aktual berdasarkan
jumlah tamu/pengunjung yang dikurangi dengan biaya pengelolaan pada
tahun actual 2013.
 Land use pemukiman dianalisis berdasarkan aktivitas ekonomi pada
penggunaan lahan pemukiman. Terdapat dua aktivitas ekonomi pada
penggunaan lahan pemukiman yaitu penyewaan rumah kost dan industri kecil
rumah tangga. Data rumah kost diperoleh melalui survey dengan melihat
sebarannya untuk menentukan sampel. Data industri kecil rumah tangga
diperoleh dari data sekunder Dinas Perindustrian,Perdagangan, Koperasi dan
UKM Kota Baubau.
 Land use komersil dianalisis dengan mengambil sample bangunan ruko di
penggunaan lahan komersil. Sample tersebut ditentukan dengan
memperhatikan sebaran penggunaan lahan komersil. Hasil analisis sample
digunakan untuk memproyeksikan nilai ekonomi total penggunaan lahan
komersil sesuai dengan luas penggunaan lahan tersebut. Nilai ekonomi ruko
ditentukan berdasarkan sewa bangunan.
 Land use ruang terbuka publik nilai ekonominya dianalisis berdasarkan
aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan ruang terbuka publik. Aktivitas
ekonomi pada penggunaan lahan ruang terbuka publik di Kota Baubau berupa
aktivitas pedagang kaki lima, yaitu: 1) pedagang gorengan dan minuman, 2)
pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll), 3) pedagang elektronik
dan musik, 4) pedagang aksesoris, dan 5) pedagang dan penyewaan mainan
anak-anak. Para pedagang tersebut didata untuk diketahui biaya modal,
pendapatan ekonomi kotor dan pendapatan ekonomi bersih perbulan dan
pertahunnya.
 Land use pelabuhan dan Bandar Udara (Bandara) nilai ekonominya diperoleh
dari jumlah orang dan barang yang keluar melalui pelabuhan dan bandara.
24

Jumlah orang dan barang yang masuk tidak dihitung karena aktivitas belanja
barang dan tiket tidak dilakukan di Kota Baubau.
 Land use pemakaman dan terminal nilai ekonominya ditentukan berdasarkan
jumlah pemasukan retribusi pada tahun aktual 2013. Data tersebut diperoleh
melalui Kantor Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah Kota Baubau.
 Land use pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan,
nilai ekonominya didasarkan pada nilai statis. Nilai statis merupakan nilai
yang dibutuhkan untuk membangun konstruksi persatuan luas tertentu. Data
nilai tersebut diperoleh dari hasil indepth interview kepada pelaku usaha jasa
konstruksi.
Hasil analisis nilai ekonomi lahan bersih selanjutnya dibandingkan
dengan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) yang setara 1 ton beras per kapita
(Rustiadi et al. 2010). Hasil perbandingan tersebut menunjukkan tingkat daya
dukung lahan dengan pendekatan ekonomi untuk penggunaan lahan aktual. Nilai
ekonomi lahan dibagi menjadi 2 kategori yaitu memenuhi daya dukung ekonomi
dan tidak memenuhi daya dukung ekonomi. Penentuan kategori dilakukan
melalui perbandingan antara nilai ekonomi lahan dengan nilai Kualitas Hidup
Layak (KHL) perkapita, dengan asumsi sebagai berikut:
 Memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan dibandingkan
dengan nilai KHL hasilnya lebih besar dari jumlah populasi pada satuan
wilayah administrasi.
 Tidak memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan
dibandingkan dengan nilai KHL hasilnya lebih kecil dari jumlah populasi
pada satuan wilayah administrasi.
Satuan wilayah administrasi yang digunakan dalam pemetaan ini adalah unit
desa/kelurahan.

Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya


Dukung Lahan

Arahan pengelolaan ini diharapkan menjadi saran perbaikan ataupun


pelaksanaan dokumen RTRW kota Baubau hingga tahun 2030. Rumusan arahan
pengelolaan dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis daya dukung
lahan secara fisik lingkungan dan ekonomi. Arahan pengelolaan lahan di Kota
Baubau dilakukan dengan membangun skenario pengelolaan lahan berbasis daya
dukung lahan.
Proses perumusan arahan pengelolaan lahan dimulai dengan melakukan
tumpang tindih (overlay) peta hasil evaluasi keselarasan fisik lahan (kemampuan
lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang) dengan peta nilai
ekonomi lahan (land rent). Hasil tumpang tindih menggambarkan status daya
dukung lahan di Kota Baubau yang didasarkan pada matriks penilaian pada Tabel
3.6. Terdapat dua penilaian status daya dukung lahan di Kota Baubau yaitu
berkelanjutan (B) dan tidak berkelanjutan (TB).
Arahan pengelolaan lahan disusun berdasarkan hasil analisis daya dukung
lahan baik secara fisik lingkungan maupun ekonomi. Hasil analisis daya dukung
lahan tersebut dirumuskan menjadi asumsi untuk membangun skenario
pengelolaan. Aspek penting yang diperhatikan dalam penyusunan arahan tersebut
25

adalah aspek ekologi, sosial ekonomi dan perencanaan. Hasilnya berupa peta
tematik arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau.

Tabel 3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik
lahan dan nilai ekonomi lahan
Kategori nilai ekonomi lahan
Evaluasi keselarasan fisik
memenuhi daya dukung tidak memenuhi daya
lahan
ekonomi dukung ekonomi
S_1 B TB
S_2 B TB
S_3 B TB
S_4 B TB
TS_1 TB TB
TS_2 TB TB
TS_3 TB TB
TS_4 TB TB
TS_5 TB TB
TS_6 TB TB
TS_7 TB TB
TS_8 TB TB
TS_9 TB TB
TS_10 TB TB

4 KONDISI UMUM WILAYAH

Administrasi Wilayah

Secara administrasi Kota Baubau merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi


Tenggara. Namun secara ekologi daratan Kota Baubau terpisah dari Pulau
Sulawesi yakni terletak di daratan Pulau Buton bagian selatan. Sejak tahun 1982
Kota Baubau merupakan kota administratif (KOTIF) dari Kabupaten Buton. Kota
Baubau mekar menjadi kotamadya pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No
13 Tahun 2001.
Awal pemekarannya, Kota Baubau hanya terdiri dari empat kecamatan yaitu
Kecamatan Bungi, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Wolio dan Kecamatan
Betoambari. Seiring perkembangannya dimekarkan tiga kecamatan baru yakni
Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea yang merupakan hasil
pemekaran dari Kecamatan Bungi. Sementara Kecamatan Betoambari wilayahnya
dibagi hingga mekarlah Kecamatan Murhum. Saat ini baru saja dibentuk
kecamatan kedelapan yakni Kecamatan Batu Poaro merupakan pecahan dari
Kecamatan Murhum.
Secara geografis terletak di bagian selatan garis katulistiwa di antara 5021’ -
5030’ Lintang Selatan dan di antara 122030’ – 122045’ Bujur Timur. Kota Baubau
memiliki luas wilayah 29,313.96 ha. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
26

Kapontori, Kabupaten Buton; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan


Pasarwajo, Kabupaten Buton; sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Batauga, Kabupaten Buton Selatan dan sebelah barat dengan Selat Buton (BPS
2013).

Kondisi Fisik Wilayah

Topografi

Topografi Kota Baubau bergelombang dan berbukit-bukit. Kisaran


ketinggian 0 m hingga 221 m di atas permukaan laut. Antara perbukitan terdapat
lembah dimana lembah tersebut umumnya dikembangkan sektor pertanian baik
pertanian teknis (irigasi) maupun non teknis (BPS 2013).

Klimatologi

Secara umum kondisi iklim Kota Baubau sama dengan iklim Pulau Buton.
Terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Periode musim
hujan terjadi dari bulan Desember hingga bulan April dimana pada bulan – bulan
tersebut angin barat yang bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik mengandung
banyak uap air. Musim kemarau terjadi antara Bulan Juni hingga November
karena pada bulan-bulan ini angin timur yang bertiup dari Australia kurang
mengandung uap air . Siklus musim ini mendorong terjadinya bulan basah dan
bulan kering (BPS 2013).
Berdasarkan catatan Stasiun Meteorologi Kelas III Betoambari, pada tahun
2012 terjadi hari hujan sebanyak 130 dengan curah hujan 1,832.6 mm. Kondisi ini
menurun jika dibandingkan dengan hari hujan dan curah hujan tahun sebelumnya
yang mencapai 144 hari dan 3 349.6 mm. Curah hujan tertinggi di tahun 2012
terjadi pada bulan Maret sebesar 335.7 mm sedangkan curah hujan terkecil terjadi
pada bulan Agustus sebesar 1.2 mm (BPS 2013).
Suhu udara di Kota Baubau pada tahun 2012 berkisar antara 19.80C sampai
dengan 360C. Rata-rata kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu
sebesar 20 knot sedangkan rata-rata kecepatan angin terendah terjadi pada bulan
Januari yakni sebesar 8 knot. Sementara itu, rata-rata tekanan udara selama tahun
2012 tercatat antara 1 011.2 mb – 1 015.3 mb. Tekanan terendah terjadi pada
bulan Maret dan tertinggi pada bulan Agustus (BPS, 2013).
Dibandingkan data yang dikumpulkan oleh Baja (2012) curah hujan
tahunan Kota Baubau adalah 2 666 mm pertahun dengan rata-rata curah hujan
bulanan 202.17 mm. Bulan basah (>100mm) cukup tinggi yakni sebanyak
delapan bulan dan sisanya adalah bulan kering. Curah hujan terendah pada bulan
Agustus, September dan Oktober. Suhu udara relatif bervariasi antara 23° C
hingga 33°C dengan rata-rata perbedaan sekitar 10°C. kelembaban udara cukup
merata sepanjang tahun yakni berkisar antara 72% dan 85%.

Hidrologi

Kota Baubau memiliki dua sungai besar yaitu sungai Baubau dan sungai
Bungi. Sungai Baubau mengalir di sebelah selatan yang bermuara di pusat kota
27

pada bagian timur. Sungai ini juga yang membatasi Kecamatan Wolio dengan
Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai tersebut umumnya
memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga irigasi dan
kebutuhan rumah tangga (BPS, 2013).
Sungai Bungi mengalir di sebelah utara Kota Baubau. Sungai Bungi
melintas dari Kecamatan Sorawolio, membelah Kecamatan Bungi dan tepat
bermuara di Kecamatan Lea-Lea dan Kecamatan Kokalukuna. Sungai ini
merupakan sumber air untuk persawahan dan air bersih PDAM. Sungai Bungi
membentuk daerah tangkapan sendiri (sub DAS Bungi), dimana kawasan
pertanian Ngkari-Ngkari dan sekitarnya terletak di dalam daerah tangkapan
tersebut. Pada bagian hulu sungai Bungi terdapat mata air bungi (Baja 2012).

Kondisi Sosial Ekonomi


Kependudukan

Berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) tahun 2000 jumlah penduduk Kota
Baubau berjumlah 106 092 jiwa. Jumlah penduduk Kota Baubau mengalami
peningkatan berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) tahun 2010 yakni 136 991
jiwa. Laju pertumbuhan penduduk kota Baubau pertahun selama kurun waktu 10
tahun sebesar 2.59 persen (BPS 2013)
Hasil proyeksi yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk Kota Baubau
tahun 2012 adalah 142 576 jiwa, dimana 70 408 jiwa (49.38 persen) penduduk
laki-laki dan 72 168 orang (50.62 persen) adalah perempuan. Kurun waktu tahun
2010-2012 mengalami penduduk Kota Baubau mengalami pertumbuhan sebesar
2.02 persen. Dari 8 kecamatan, tingkat pertumbuhan penduduk yang tertinggi
terjadi di Kec. Sorawolio yaitu 2.09 persen.
Luas Kota Baubau adalah 29 313.96 ha. Seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan
penduduk Kota Baubau tahun 2000 sebesar 480 orang per km2 kemudian tahun
2010 sebesar 620 orang per km2 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 645
orang per km2. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Batupoaro sebesar 17
384 orang per km2, sedangkan Kecamatan Sorawolio dengan luas wilayah
terbesar justru memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 89 orang per
km2.

Perekonomian

Kondisi perekonomian Kota Baubau digambarkan melalui Pendapatan


Domestik Regional Bruto (PDRB). Perhitungan PDRB dilakukan berdasarkan
atas harga berlaku. Harga berlaku digunakan untuk mengetahui kondisi ekonomi
satu tahun tertentu. Nilai PDRB Kota Baubau berdasarkan harga berlaku pada
tahun 2011 sebesar Rp 2 339 206.76 (BPS 2013). Lihat Tabel 4.1.
Berdasarkan data BPS (2013) terdapat sembilan sektor penting yang
menentukan nilai PDRB Kota Baubau. Sembilan sektor tersebut adalah
1)Pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan; 2) Pertambangan
dan penggalian; 3) Industri pengolahan; 4) Listrik, gas dan air bersih; 5)
28

Konstruksi/bangunan; 6) Perdagangan, hotel dan restoran; 7) Pengangkutan dan


komunikasi; 8) Keuangan, persewaan dan Jasa perusahaan; dan 9) Jasa-jasa.

Tabel 4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada
tahun 2010 dan 2011
2010 2011
No Sektor Harga berlaku Harga Berlaku
% %
(juta Rp) (juta Rp)
1 Pertanian,
Perkebunan,
Peternakan, 294 359.69 14.13 316 175.46 13.52
Perikanan, dan
Kehutanan
2 Pertambangan dan
12 207.72 0.59 14 973.96 0.64
Penggalian
3 Industri Pengolahan 52 899.68 2.54 57 963.11 2.48
4 Listrik, Gas dan Air 23 705.68 1.14 26 001.29 1.11
5 Konstruksi/Bangunan 396 965.54 19.06 454 550.28 19.43
6 Perdagangan, Hotel
533 251.51 25.61 613 408.32 26.22
dan Restoran
7 Pengangkutan dan
227 890.03 10.92 248 744.51 10.63
Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan
119 624.04 5.74 151 099.06 6.46
dan Jasa Perusahaan
9 Jasa-Jasa 421 975.00 20.27 456 290.77 19.51
Total 2 082 878.89 100.00 2 339 206.76 100.00

Rencana Pola Ruang Kota Baubau

Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang


menjelasakan bahwa dalam pengelolaan ruang terbagi atas dua yaitu kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung merupakan wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budi daya
adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
daya buatan.
Didasarkan pada arahan Undang-Undang tersebut, rencana tata ruang Kota
Baubau mempertimbangkan aspek ekologis, sosial budaya dan ekonomi. Hal
tersebut tercermin dalam pembagian pola ruang Kota Baubau. Dari aspek
perencanaan, secara terstruktur perencanaan pola uang Kota Baubau tertuang
dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau tahun 2010-
2030.
Kawasan budidaya dan kawasan lindung dijabarkan dalam perencanaan pola
ruang RTRW sebagaimana pada Gambar 4.1. Rencana pola ruang Kota Baubau
terdiri atas hutan, hutan raya, hutan lindung, hutan kota, taman , cagar budaya,
konservasi pantai, industri perikanan, wisata pantai, kawasan bandara, kawasan
29

pelabuhan, markas tni/kostrad, perkebunan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap


(PLTU), komersil, pemukiman, hutan produksi terbatas, fasilitas sosial, tambang,
perkantoran, pergudangan, sawah dan fasilitas umum.

Gambar 4.1 Peta rencana pola ruang RTRW Kota Baubau

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan

Penggunaan Lahan Aktual

Klasifikasi penggunaan lahan aktual melalui intrepetasi citra Quicbird tahun


2013 yang telah terkoreksi. Interpretasi dilakukan melalui dijitasi on screen
karena citra Quickbird memiliki resolusi yang cukup tinggi yakni 0.5 m. Selain
kecermatan dan pemahaman intrepeter mengenai lokasi penelitian (Arifin dan
Hidayat 2014), interpretasi ini didasarkan pada visualisasi warna/rona, tekstur,
bentuk, ukuran, pola, bayangan serta kedekatan intrepreter terhadap objek yang
ditunjang dengan verifikasi lapang (Munibah 2008). Klasifikasi penggunaan
disesuaikan dengan kebutuhan analisis penggunaan lahan dengan tetap
memperhatikan SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutupan Lahan.
Melalui proses tersebut, diperoleh informasi yang berbeda-beda terkait
penggunaan lahan. Selain itu, informasi terkait penggunaan lahan juga
menggambarkan dinamika aktivitas sosial dalam hal pemanfaatan lahan.
30

Berdasarkan hasil intrepetasi terdapat 24 kelas penggunaan lahan di lokasi


penelitian yang disajikan pada Tabel 5.1

Tabel 5.1 Klasifikasi penggunaan lahan aktual Kota Baubau.


No Penggunaan Lahan Luas (ha) %
1 Pelabuhan 10.74 0.04
2 Ruang Publik 12.78 0.04
3 Pertanian Lahan Kering 1 362.74 4.65
4 Pertanian Lahan Basah 1 381.55 4.72
5 Lahan Terbuka 154.20 0.53
6 Hutan 15 692.14 53.53
7 Badan Air 166.01 0.57
8 Kilang Pertamina 17.21 0.06
9 Jalan 209.44 0.72
10 Bandara Betoambari 21.32 0.07
11 Komersil 25.07 0.09
12 Hotel 3.64 0.01
13 Cagar Budaya 3.86 0.01
14 Pusat Pendidikan 35.85 0.12
15 Pemakaman 4.11 0.01
16 Mangrove 41.84 0.14
17 Bangunan Pemerintah 48.53 0.17
18 Tambak 52.21 0.18
19 Tempat Ibadah 6.12 0.02
20 Pemukiman 718.45 2.45
21 Terminal 0.42 0.00
22 Kebun Campuran 8 455.42 28.84
23 Padang Rumput 880.64 3.00
24 Ruang Terbuka Hijau 9.64 0.03
Luas Total 29 313.93 100.00
Sumber: Citra Quickbird tahun 2013 setelah diolah, 2015
31

Gambar 5.1 Peta penggunaan lahan Kota Baubau

Hasil interpretasi citra Quickbird tahun 2013 (Tabel 5.1) menunjukkan


bahwa penggunaan lahan yang paling dominan adalah penggunaan lahan hutan
seluas 15 692.14 ha (53.53 %). Penggunaan lahan terluas lahan kedua, ketiga dan
keempat adalah kebun campuran, pertanian lahan basah dan pertanian lahan
kering dengan masing-masing luasan 8 455.42 ha (28.84 %), 1 381.55 ha (4.72 %)
dan 1 362.74 ha (4.65 %). Sementara itu, untuk penggunaan lahan pemukiman
hanya seluas 718.45 ha (2.45). Secara spasial sebaran penggunaan lahan aktual di
Kota Baubau dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Penggunaan lahan (land use) berkaitan atau secara tidak langsung
menunjukkan jenis pengelolaan lahan yang diterapkan pada suatu satuan lahan
(Baja 2012). Gambar 5.1 menunjukkan bahwa sebaran penggunaan lahan hutan
berada pada wilayah belakang (hinterland) Kota Baubau. Lahan terbangun seperti
pemukiman dan komersil berada tidak jauh dari wilayah depan (pantai).
Sementara itu, penggunaan lahan kebun campuran, pertanian lahan kering dan
pertanian lahan basah menjadi wilayah transisi antara wilayah depan (lahan
terbangun) dengan wilayah hinterland (hutan). Wilayah depan menjadi pusat kota
sedangkan wilayah transisi dan hinterland menjadi zona penyangga pusat kota.
Secara umum penggunaan lahan dapat dikategorikan dua yaitu penggunaan
lahan terbangun dan non terbangun. Melalui citra Quickbird tahun 2013 kedua
penggunaan lahan tersebut menunjukkan karakter yang berbeda sehingga relatif
mudah untuk diinterpretasi. Tabel 5.2 menunjukkan citra tiap penggunaan lahan
dan verifikasi lapang.
32

Tabel 5.2 Foto lapangan dan citra setiap penggunaan lahan aktual

No Penggunaan
Foto Lapangan Citra
Lahan

1 Hutan

2 Kebun
campuran

3 Pertanian
lahan kering

4 Pertanian
lahan basah
33

5 Mangrove

6 Padang
rumput

7 Tambak

8 Ruang
Terbuka
Hijau

9 Lahan
terbuka
34

10 Badan air

11 Pemakaman

12 Jalan

13 Bangunan
pemerintah

14 Pemukiman
35

15 Pusat
pendidikan

16 Pelabuhan

17 Bandara
Betoambari

18 Kilang
pertamina

19 Terminal
36

20 Tempat
ibadah

21 Komersil

22 Hotel

23 Cagar
budaya

24 Ruang
terbuka
publik

Hutan Hutan dalam banyak hal memberikan manfaat bagi masyarakat baik
produk barang maupun jasa lingkungan seperti perlindungan tanah, potensi
37

rekreasi, pengaturan sumberdaya air, dan aneka produk kayu (Baskent dan Keles
2008). Masyarakat Kota Baubau memanfaatkan hutan baru berupa produk Rotan
dan getah Pinus. Pemanfaatan ini dilakukan melalui kelompok usaha dan dibawah
pengawasan Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kota Baubau. Secara
keseluruhan luas hutan di Kota Baubau mencapai 15 692.14 ha atau 53.53 % dari
luas total wilayah kota. Hutan tersebut tersebar di wilayah Kecamatan Bungi,
Sorawolio, Wolio dan Kokalukuna yang berada di bagian belakang wilayah
(hinterland) kota. Melalui citra Quickbird tahun 2013, penggunaan lahan hutan
berwarna biru tua dengan kerapatan kanopi yang padat (lihat Tabel 5.2 No. 1).

Kebun Campuran Penggunaan lahan kebun campuran memiliki luasan 8 455.42


ha atau 28.84 % dari wilayah kota. Penggunaan lahan kebun campuran
merupakan penggunaan terluas kedua setelah hutan. Sebaran penggunaan lahan
ini umumnya di Kecamatan Lea-Lea, Bungi, Murhum dan Betoambari. Melalui
citra Quickbird tahun 2013 menunjukkan warna biru tua, kepadatan tajuk rapat
dengan pola tertentu (lihat Tabel 5.2 No. 2). Penggunaan lahan kebun campuran
menjadi penyangga ketersediaan pangan Kota Baubau.

Pertanian Lahan Kering Citra Quickbird tahun 2013 menunjukkan penggunaan


lahan kering dengan warna hijau kecoklatan, pola persegi, dan hijauan yang tidak
merapat (lihat Tabel 5.2 No. 3). Penggunaan lahan pertanian lahan kering
tersebar di Kecamatan Lea-Lea, Bungi, Murhum dan Betoambari. Luasan
penggunaan lahan ini mencapai 1 362.7448 ha atau 4.65 % dari total wilayah kota.
Jenis komoditi pertanian lahan kering adalah tanaman semusim.

Pertanian Lahan Basah Pertanian lahan basah di Kota Baubau dibudidayakan


melalui sistem irigasi teknis dengan indeks pertanaman dua kali dalam setahun.
Jenis padi yang dibudidayakan umumnya varietas Cisantana. Melalui citra
Quickbird tahun 2013 menunjukkan bahwa sebaran penggunaan lahan pertanian
lahan basah terdapat di Kecamatan Sorawolio dan Bungi. Citra yang ditunjukkan
berupa warna hijau muda dengan pola persegi (lihat Tabel 5.2 No. 4).
Penggunaan lahan ini menjadi penunjang ketersediaan pangan masyarakat dengan
luasan total 1 381.5487 ha atau 4.72 % dari wilayah kota.

Mangrove Penggunaan lahan mangrove terdapat di wilayah Kecamatan Bungi


dan Lea-Lea dengan luasan mencapai 41.84 ha atau 0.14 % dari wilayah kota.
Melalui citra Quickbird tahun 2013 menunjukkan warna biru tua dengan
kerapatan tajuk yang tinggi yang mengelompok pada daerah pesisir atau muara
(lihat Tabel 5.2 No. 5). Jenis yang ditemukan adalah Sonneratia dan Nypa yang
membentuk suatu zonasi (mintakat), yaitu Sonneratia di zona luar dan Nypa di
zona dalam (Baja et al. 2007).

Padang Rumput Padang rumput umumnya digunakan untuk penggembalaan


ternak. Berdasarkan citra Quickbird tahun 2013 padang rumput berwarna hijau
dengan tekstur yang halus dan terdapat di seluruh wilayah kecamatan di Kota
Baubau (lihat Tabel 5.2 No. 6). Kecamatan Betoambari memiliki hamparan
padang rumput paling luas. Total luasan penggunaan lahan padang rumput adalah
3 % dari total wilayah Kota Baubau atau setara dengan 880.64 ha.
38

Tambak Berdasarkan citra Quickbird 2013, tambak di Kota Baubau terdapat di


Kecamatan Bungi. Warna kecoklatan dengan pola persegi dan terdapat di daerah
pesisir karena proses budidayanya dipengaruhi air laut (lihat Tabel 5.2 No. 7).
Namun, berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Baubau, perikanan
darat di Kota Baubau juga dibudidayakan secara mina padi (terpadu dengan
budidaya sawah) yang sifatnya temporal. Pada interpretasi penggunaan lahan di
Kota Baubau, mina padi diinterpretasi sebagai penggunaan lahan basah.
Berdasarkan hasil intepretasi citra, luas tambak adalah 52.21 ha atau 0.18 % dari
luas wilayah Kota Baubau.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) RTH menawarkan banyak manfaat bagi


penduduk kota-kota berupa rekreasi, kualitas lingkungan, kesehatan, ekosistem,
manfaat ekonomi, dan pemandangan (Choi 2013). Di Kota Baubau, RTH publik
dikelola oleh dinas terkait dalam bentuk taman-taman kota, jalur hijau dan
sempadan sungai. Berdasarkan interpreasi citra Quickbird, RTH ditunjukkan
dengan pola bergerombol dan memanjang yang berwarna hijau tua (lihat Tabel
5.2 No. 8). Sebaran RTH terdapat di Kecamatan Wolio dan Murhum. Luas RTH
hasil interpretasi citra adalah 9.64 ha atau setara dengan 0.03 %.

Lahan Terbuka Lahan terbuka diakibatkn oleh pembukaan lahan hutan dan
penggalian tanah untuk memperoleh tanah timbunan yang dibutuhkan
pembangunan. Melalui citra Quickbird, lahan terbuka berwarna kekuningan dan
kecoklatan (lihat Tabel 5.2, No. 9). Luas lahan terbuka berdasarkan interpretasi
citra adalah 0.53 % dari luas wilayah kota atau setara 154.20 ha.

Badan Air Badan air di Kota Baubau dalam bentuk sungai dan saluran irigasi.
Kota Baubau memiliki dua sungai besar yaitu sungai Baubau dan sungai Bungi.
Sungai Baubau membatasi Kecamatan Wolio dengan Kecamatan Murhum dan
Kecamatan Batupoaro. Sungai Bungi melintas dari Kecamatan Sorawolio,
membelah Kecamatan Bungi dan tepat bermuara di Kecamatan Lea-Lea dan
Kecamatan Kokalukuna. Sungai ini merupakan sumber air untuk persawahan dan
air bersih PDAM. Sungai Bungi membentuk daerah tangkapan sendiri (sub DAS
Bungi), dimana kawasan pertanian Ngkari-Ngkari dan sekitarnya terletak di dalam
daerah tangkapan tersebut. Pada bagian hulu sungai Bungi terdapat mata air
bungi (Baja 2012). Melalui citra Quickbird, terlihat pola badan air umumnya
memanjang dan berkelok-kelok dengan menunjukkan rona warna hijau tua (lihat
Tabel 5.2 No. 9). Total luas badan air Kota Baubau adalah 166.01 ha atau 0.57 %.

Pemakaman Penggunaan lahan untuk pemakaman di Kota Baubau mencapai


4.11 ha atau setara 0.01 %. Di Kota Baubau terdapat 13 lokasi penggunaan lahan
untuk pemakaman. Lima lokasi di Kecamatan Batupoaro, dua lokasi di
Kecamatan Murhum, enam lokasi di Kecamatan Wolio dan satu lokasi di
Kecamatan Kokalukuna. Dari 13 lokasi tersebut satu diantaranya adalah makam
khsusus etnik Tionghoa dan satu makam pahlawan yang berada di Kecamatan
Wolio. Melalui citra satelit penggunaan lahan pemakaman menunjukkan pola
mengelompok dan rona hijau yang berbintik putih. Rona hijau tersebut
merupakan vegetasi yang terdapat pada penggunaan lahan pemakaman, sedang
bintik putih adalah makam (lihat Tabel 5.2, No. 10).
39

Jalan Citra Quickbird menunjukkan bahwa pola jalan memanjang dan berkelok-
kelok yang menyebar pada setiap kecamatan. Warna yang ditunjukkan adalah
kehitaman (lihat Tabel 5.2, No. 11). Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 34
tahun 2006 tentang Jalan, terdapat jalan arteri, lokal dan lingkungan. Jalan arteri
yang menghubungkan antar kecamatan, jalan lokal yang menghubungkan
kelurahan dalam satu kecamatan dan jalan lingkungan. Jalan lingkungan di Kota
Baubau menghubungkan antar pemukiman dan jalan usaha tani. Berdasarkan
interpretasi citra Quickbird tahun 2013 luas jalan di Kota Baubau mencapai
209.44 ha atau 0.72 %.

Bangunan Pemerintah Penggunaan lahan untuk bangunan pemerintah


mencakup perkantoran seperti kantor Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD),
kantor camat, kantor lurah, TNI dan Kepolisian dan bangunan lain milik
pemerintah. Penggunaan lahan bangunan pemerintah memiliki luasan mencapai
48.53 ha atau 0.17 %. Melalui citra terlihat pola penggunaan lahan bangunan
pemerintah mengelompok dan menyebar ke setiap kecamatan. Warna yang
ditunjukkan variatif sesuai dengan warna atap bangunan pemerintah tersebut (lihat
Tabel 5.2, No. 12). Interpretasi penggunaan ahan bangunan pemerintah ini sangat
terkait pada kedekatan dan pengetahuan interpreter dengan wilyah studi.

Pemukiman Sebaran pemukiman di Kota Baubau umumnya berada di bagian


depan kota yakni dekat pantai. Wilayah pemukiman terpadat berada di
Kecamatan Wolio dan menjadi pusat kota. Kecamatan Wolio juga menjadi
kawasan pemukiman kota lama yang mekudia berkembang seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan aktifitas ekonomi warga kota. Melalui citra
pemukiman berbentuk kotak/persegi dimana sebarannya mengikuti sebaran jalan
(lihat Tabel 5.2, No. 13). Penggunaan lahan aktual melalui interpretasi citra telah
mencapai 718.45 ha atau 2.45 % dari wilayah kota. Selain sebagai rumah tinggal,
lahan pemukiman juga menjadi tempat berlangsungnya aktivitas industri rumahan
(home industry).

Pusat Pendidikan Penggunaan lahan untuk aktivitas pendidikan mencakup


sekolah, pendidikan tinggi dan Pondok Pesantren (PONPES). Sebaran aktiitas
pendidikan paling banyak pada wilayah pemukiman padat. Bentuk bangunan
umumnya bangunan memanjang yang membentul lingkaran ataupun huruf L
(lihat Tabel 5.2, No. 13). Lahan yang digunakaan untuk aktivitas pendidikan di
Kota Baubau saat ini mencapai 35.85 ha atau 0.12 % dari wilayah kota.

Pelabuhan Pelabuhan merupakan infrastruktur yang sangat vital bagi kota


pantai. Pelabuhan menjadi pintu masuk manusia dan barang menuju kota yang
mendorong ektivitas ekonomi. Sepanjang wilayah barat Kota Baubau berbatasan
langsung dengan laut. Saat ini jumlah pelabuhan di Kota Baubau sebanyak 13
buah. Pelabuhan utamanya adalah pelabuhan Murhum yang terletak di
Kecamatan Wolio. Selain itu terdapat pula pelabuhan Batu tempat berlabuhnya
kapal antar pulau dan pelabuhan Ferry. Di Kecamatan Betoambari juga terdapat
pelabuhan pertamina untuk bongkar muat kapal minyak wilayah timur Indonesia.
Selain itu di Kecamatan Betoambari juga terdapat pelabuhan untuk kapal antar
pulau. Terdapat pula dua buah pelabuhan kecil di wilayah Pulau Makassar. Pulau
40

Makassar merupakan bagian administrasi dari Kecamatan Kokalukuna. Luas total


lahan untuk pelabuhan di Kota Baubau mencapai 10.74 ha atau 0.04 %.

Bandara Betoambari Sama halnya dengan pelabuhan, Bandar Udara


(BANDARA) Betoambari memiliki peranan vital sebagai pintu masuk menuju
kota melalui udara. Melalui citra Quickbird warna Bandara Betoambari berwarna
hitam dengan garis putih memanjang (lihat Tabel 5.2, No. 15). Citra tersebut
menunjukkan landasan pacu pesawat terbang. Kawasan Bandara Betoambari
terletak di wilayah Kecamatan Betoambari dengan luas lahan mencapai 21.32 ha
atau 0.07 %.

Kilang Pertamina Terdapat dua kawasan kilang pertamina di Kota Baubau.


Kawasan kilang pertamina merupakan kilang penampungan minyak wilayah
Indonesia timur. Kawasan dilengkapi dengan pelabuhan untuk bongkar muat
kapal minyak. Melalui citra Quickbird tampak kilang minyak berwarna putih
berbentuk bulat. Kawasan kilang ini berada di wilayah Kecamatan Betoambari
dengan luas lahan 17.21 ha atau 0.06 %.

Terminal Terdapat dua terminal di Kota Baubau. Terminal pertama di


Kecamatan Wolio yang disebut dengan terminal sentral Baubau dan terminal
kedua di Kecamatan Batupoaro yang disebut dengan terminal Wameo. Terminal
sentral Baubau sebagai tempat persinggahan angkutan dalam kota sedangkan
terminal Wameo sebagai tempat persinggahan angkutan luar kota Baubau. Luas
lahan yang digunakan untuk terminal adalah 0.42 ha.

Tempat Ibadah Sarana tempat ibadah di Kota Baubau yaitu masjid, gereja dan
pura. Masyarakat Kota Baubau adalah mayoritas muslim sehingga jumlah masjid
jauh lebih besar dibandingkan tempat ibadah lain. Gereja berjumlah tiga buah
yang terdapat di Kecamatan Wolio dan satu buah di Kecamatan Bungi. Pura
hanya 1 buah yang terdapat di Kecamatan Bungi. Melalui citra Quickbird
bangunan tempat ibadah (masjid) berbentuk persegi dan terdapat lingkaran kubah
diatasnya (lihat Tabel 5.2, No. 18). Luas lahan untuk tempat ibadah mencapai
6.12 ha atau 0.02 %.

Komersil Penggunaan lahan komersil di Kota Baubau mencakup pergudangan,


pusat perbelanjaan/mall, pertokoan dan pasar. Terdapat tiga bangunan pusat
perbelanjaan besar di Kota Baubau yaitu pusat perbelanjaan Umna Rijoli,
Laelangi dan Lippo Mall yang keduanya berada di Kecamatan Wolio. Jumlah
pasar utama ada tiga buah yaitu pasar Sentral Baubau dan Pasar Karya Nugraha
yang terletak di Kecamatan Wolio dan pasar Wameo yang terletak di Kecamatan
Batupoaro. Kawasan pergudangan tersebar di Kecamatan Wolio, Murhum,
Batupoaro dan Betoambari. Kawasan pertokoan berada di kota lama yakni
Kecamatan Wolio yang berdekatan dengan pasar Sentral Baubau. Luas
penggunaan lahan komersil mencapai 25.07 ha atau 0.09 %.

Hotel Data BPS Kota Baubau menyebutkan bahwa jumlah hotel dan penginapan
di mencapai 52 hotel. Namun berdasarkan hasil survey lapang hanya terdapat 21
buah hotel yang aktif. Sebaran hotel di Kota Baubau berada di Kecamatan Wolio,
41

Murhum, Batupoaro dan wilayah Kecamatan Kolalukuna yang berbatasan dengan


Kecamatan Wolio. Selain itu terdapat satu buah hotel yang terdapat di Kecamatan
Betoambari. Luas lahan untuk penggunaan hotel mencapai 3.64 ha atau 0.01 %.

Cagar Budaya Kota Baubau juga dikenal sebagai kota budaya. Catatan sejarah
menunjukkan bahwa Kota Baubau di masa kesultanan Buton merupakan pusat
Kesultanan Buton dari abad 13 hingga abad 20. Wilayah kekuasaannya mencakup
Wilayah pulau Buton dan beberapa pulau yang ada di sekitarnya, antara lain pulau
Muna, Kabaena, Wawonii, gugusan kepulauan Tukang Besi (Wanci, Kaledupa,
Tomea, dan Binongko) dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Buton, yakni
Siompu, Kadatuang, Mangkassar, dan Talaga (Rabani 2010). Sisa peninggalan
kesultanan Buton di Kota Baubau antara lain benteng dan rumah adat yang
terdapat di Kecamatan Murhum. Luas lahan untuk penggunaan cagar budaya
mencapai 3.86 ha 0.01 %.

Ruang Publik Ruang publik menjadi tempat mengisi liburan ataupun sekedar
melepas kepenatan bagi warga Kota Baubau. Ruang publik ini menyuguhkan
aneka jajanan dan pemandangan laut karena posisinya berada di pesisir. Melalui
citra satelit salah satu ruang publik menunjukkan warna kuning merupakan warne
tegel dan warna biru merupakan kolam (lihat Tabel 5.2, No. 24). Terdapat enam
ruang publik di Kota Baubau yaitu satu di Kecamatan Betoambari, dua di
Kecamatan Batu Poaro, satu di Kematan Wolio dan dua di Kecamatan
Kokalukuna. Luas lahan yang digunakan untuk ruang publik adalah 12.78 ha atau
0.04 %.

Analisis Kemampuan Lahan

Tanah pada dasarnya memiliki kemampuan yang berbeda untuk mendukung


penggunaan spesifik. Untuk mengetahui kemampuan suatu daerah perlu
melakukan klasifikasi kemampuan lahan. Klasifikasi kemampuan lahan adalah
penilaian tanah dengan komponen sistematis dan pengelompokan ke dalam
kategori berdasarkan sifat yang merupakan potensi dan kendala dalam
penggunaan lahan berkelanjutan (Arsyad 2010).
Terdapat empat faktor pembatas pada penelitian ini yaitu kelerengan (l),
tekstur (t), kedalaman (k) dan drainase (d). Setiap faktor pembatas memiliki
intensitas dan sebaran spasial yang variatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa
faktor pembatas kelerengan lebih heterogen baik dari intensitas maupun
sebarannya. Sedangkan tektur lahan di Kota Baubau cenderung homogen yakni
didominasi oleh kelas tektur 1 (t1). Hal ini disebabkan oleh kondisi permukaan
lahan di Kota Baubau cenderung berbukit-bukit dimana semakin ke belakang
lahannya makin tinggi dari permukaan laut. Peta sebaran setiap fakto pembatas
ditumpangtindihkan untuk menghasilkan peta kelas dan sub kelas kemampuan
lahan. Sebaran setiap faktor pembatas dapat dilihat pada Gambar 5.2.
42

a b

c d

Gambar 5.2 Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas
tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan
sebaran faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan
lahan di Kota Baubau
Penerapan klasifikasi kemampuan lahan memberikan manfaat untuk
menentukan arah penggunaan lahan. Arahan tersebut tidak hanya untuk
penggunaan lahan pertanian seperti untuk budidaya tanaman semusim,
perkebunan, dan kehutanan, tetapi juga penggunaan lahan non pertanian
(Samranpong et al. 2009). Penerapan klasifikasi ini sebagai bentuk upaya tidak
hanya untuk menjaga keberlanjutan lahan namun juga keberlanjutan produksi.
Terdapat enam kelas kemampuan lahan di Kota Baubau yaitu kelas II, III,
IV, VI, VII dan VIII sedangkan kelas kemampuan lahan I dan V tidak ditemukan.
Kelas kemampuan lahan II, III, IV dan VI tersebar di hampir seluruh kecamatan.
Kelas kemampuan lahan VII hanya terdapat di Kecamatan Bungi, sedangkan kelas
kemampuan lahan VIII hanya ditemukan di Kecamatan Lea-Lea. Sebaran kelas
kemampuan lahan di Kota Baubau dapat dilihat pada Gambar 5.3.
43

Gambar 5.3 Kelas kemampuan lahan di Kota Baubau


Hasil analisis menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan VI memiliki
luas sebaran tertinggi yakni 15 446.52 ha atau setara dengan 52.69 %. Sedangkan
kelas kemampuan VII memiliki sebaran yang paling rendah yaitu 53.34 ha atau
0.18 %. Luas kelas kemampuan lahan setiap kelas dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tingkat kelas kemampuan suatu lahan ditentukan faktor penghambat atau
resiko paling besar yang terdapat pada satuan lahan. Faktor penghambat tersebut
sekaligus menjadi sub kelas kemampuan lahan. Lahan di Kota Baubau terdapat
19 sub kelas kemampuan lahan. Faktor penghambat utama pada sub kelas
kemampuan lahan adalah kelerengan (l), tekstur (t), kedalaman (k) dan drainase
(d).
Sub kelas kemampuan lahan yang memiliki luasan terbesar adalah sub kelas
VI dengan faktor pembatas utama kedalaman (k) dan kelerengan (l). Gambar 5.4
menunjukkan secara spasial sub kelas VI tersebar di daerah belakang (hinterland)
wilayah Kota Baubau. Sub kelas VI dengan faktor penghambat utama kedalaman
(k) merupakan faktor penghambat paling luas dari sub kelas VI yakni 13 901.99
ha. Sub kelas VI dengan faktor penghambat kelerengan (l) seluas 729.28 ha dan
kombinasi keduanya adalah 815.26 ha. Hal ini menunjukkan bahwa daerah
belakang (hinterland) Kota Baubau didominasi oleh lahan dengan kedalaman (k)
sangat dangkal (<25 cm).
Sub kelas kemampuan lahan yang memiliki luasan terkecil adalah sub kelas
VII dengan faktor penghambat utama adalah kelerengan (l). sub kelas ini hanya
terdapat di Kecamatan Bungi dengan pola memanjang. Luas sub kelas VII hanya
53.34 ha. Sebaran sub kelas kemampuan lahan dan luasannya masing-masing
disajikan pada Gambar 5.4 dan Tabel 5.3.
44

Gambar 5.4 Sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau


Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan diatas, terdapat 46.74 % atau
13 702.24 lahan di Kota Baubau masih dapat dipergunakan untuk berbagai
penggunaan lahan. Luasan tersebut terdiri dari kelas kemampuan lahan II, III dan
IV. 52.69 % atau 15 446.52 ha adalah lahan dengan kelas kemapuan VI dimana
kelas VI lahan yang masih dapat dipergunakan secara terbatas dengan
memperhatikan faktor pembatasnya. Sebesar 165.20 ha atau 0.56 % merupakan
lahan kelas kemampuan VII dan VIII yang hanya bisa digunakan untuk kegiatan
konservasi dan rekreasi terbatas.
Arsyad (2010) menjelaskan bahwa lahan pada kelas kemampuan I sampai
IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan dipergunakan untuk
berbagai penggunaan seperti pertanian pada umumnya. Lahan pada kelas
kemampuan VI mempunyai hambatan yang berat sehingga tidak cocok untuk
penggunaan lahan pertanian. Penggunaan lahan kelas VI terbatas untuk padang
gembalaan, hutan atau cagar alam. Sedangkan kelas kemampuan VII dan VIII
tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Lahan dengan kelas kemapuan VII dan
VIII dibiarkan secara alami atau dipergunakan untuk hutan lindung, rekreasi atau
cagar alam.

Kelas kemampuan I hingga IV disebut juga sebagai kelas arable karena


kemampuannya untuk mendukung berbagai usaha pertanian intensif (arable),
sedangkan kelas kemampuan V hingga VIII disebut non-arable. Non-arable
berarti lahan yang penggunaannya untuk usaha non pertanian. Usaha pertanian
dapat pula dilakukan pada lahan non-arable namun diikuti dengan teknik
pengelolaan yang seksama (Baja 2012).
45

Tabel 5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau
Kelas
Luas % Sub kelas luas %
kemampuan
II_d2 1 005.24 3.43
II_l1d2 1 284.44 4.38
II 4 182.55 14.27
II_t1 1 016.38 3.47
II_t1l1 876.48 2.99
III_d3 260.39 0.89
III_k1 130.23 0.44
III 1 698.17 5.79 III_l2 1 184.19 4.04
III_l2d3 4.18 0.01
III_l2d3k1 119.19 0.41
IV_d4 310.06 1.06
IV_k2 2 697.66 9.2
IV 7 821.52 26.68 IV_l3 3 245.00 11.07
IV_l3d4 1.64 0.01
IV_l3k2 1,567.15 5.35
VI_k3 13 901.99 47.42
VI 15 446.52 52.69 VI_l4 729.28 2.49
VI_l4k3 815.26 2.78
VII 53.34 0.18 VII_l5 53.34 0.18
VIII 111.86 0.38 VIII_l6 111.86 0.38
Total 29 313.96 100.00 29 313.96 100.00

Evaluasi Penggunaan Lahan aktual dan Pola Ruang RTRW

Kemampuan lahan pada penelitian ini menjadi acuan untuk mengevaluasi


penggunaan lahan aktual dan perencanaan penggunaan lahan di masa mendatang
yang tertuang dalam RTRW. Evaluasi keselarasan dilakukan melalui Tabel
keselarasan lalu dituangkan dalam bentuk peta keselarasan untuk melihat
sebarannya secara spasial. Penilaian keselarasan terdiri atas selaras (S), selaras
bersyarat (SB) dan tidak selaras (TS). Selain itu juga dilakukan evaluasi
keselarasan rencana pola ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual.

Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Kemampuan


Lahan

Berdasarkan hasil interpretasi citra Quickbird tahun 2013, di Kota Baubau


terdapat 24 kelas penggunaan lahan. Kelas penggunaan lahan tersebut dievaluasi
dengan sub kelas kemampuan lahan dengan overlay peta. Hasil overlay secara
spasial pada Gambar 5.5.
Penggunaan lahan hutan dan badan air dianggap selaras (S) untuk semua
sub kelas kemampuan lahan (15 858.15 ha atau 54.09 %). Selain penggunaan
lahan hutan dan badan air, kelas penggunaan lahan yang telah selaras (S) dengan
kemampuan lahan seluas 12 574.36 atau 42.90 %. Kelas penggunaan lahan yang
tidak selaras (TS) dengan kemampuan lahan 521.67 ha atau 1.78 % dan kelas
46

penggunaan lahan yang selaras bersyarat (SB) seluas 359.78 ha atau 1.23 %. Luas
hasil evaluasi keselarasan setiap kelas penggunaan lahan terhadap kemampuan
lahan disajikan pada Tabel 5.4.

Gambar 5.5 Evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan


Tabel 5.4 menunjukkan bahwa ketidakselarasan penggunaan lahan aktual
terhadap kemampuan lahan merupakan jenis penggunaan lahan dengan aktivitas
manusia yang cukup tinggi. Ketidakselarasan penggunaan lahan tersebut berada
pada kelas IV sampai kelas VIII dengan faktor pembatas yang dominan adalah
kelerengan (l) dan kedalaman (k). Penggunaan lahan yang memiliki ketidak
selarasan paling tinggi adalah penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan
luas 239.19 ha atau 0.82 %, sedang yang paling rendah adalah penggunaan lahan
untuk pusat pendidikan seluas 0.20 ha.
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang tidak selaras
terhadap kemampuan lahan umumnya adalah penggunaan lahan pertanian,
perkebunan dan lahan terbuka. Hal ini menyebabkan pola sebarannya mengikuti
sebaran penggunaan lahan pertanian dan perkebunan yang umumnya berada di
wilayah Kecamatan Sorawolio, Lea-Lea dan sebagian Kecamatan Wolio. Selaras
bersyarat umumnya berada pada penggunaan lahan jalan dan pertanian lahan
basah sehingga pola sebarannya memanjang dan bergerombol seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5.5.
Penggunaan lahan selaras bersyarat (SB) terdapat pada penggunaan lahan
untuk pertanian lahan basah dan jalan. Faktor pembatas utamanya adalah
kelerengan (l) dimana pertanian lahan basah berada pada kelerengan 15-30 % (l3)
dan jalan pada kelerengan >65 % (l6). Hal ini mengharuskan adanya perlakuan
teknis khusus untuk menghindarinya terjadinya degradasi lahan utamanya bahaya
erosi. Perlakuan teknis pada lahan basah dapat dilakukan dengan pembuatan teras
47

sedang pada jalan dengan pembuatan talud. Selain itu, penanaman vegetasi jenis
pohon sangat penting untuk mengikat massa tanah.

Tabel 5.4 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terrhadap


kemampuan lahan
Selaras Tidak selaras Selaras Bersyarat
Penggunaan Lahan luas persen
luas (ha) % % luas (ha)
(ha) (%)
Badan air 166.01 0.57 - - - -
Bandara 21.32 0.07 - - - -
Bangunan
48.16 0.16 0.37 0.00 - -
Pemerintah
Cagar budaya 3.87 0.01 - - - -
Hotel 3.64 0.01 - - - -
Hutan 15 692.15 53.53 - - - -
Jalan 207.06 0.71 - - 2.38 0.01
Kebun campuran 8 360.61 28.52 94.82 0.32 - -
Kilang pertamina 17.21 0.06 - - - -
Komersil 25.08 0.09 - - - -
Lahan terbuka 30.06 0.10 124.14 0.42 - -
Mangrove 41.84 0.14 - -
Padang rumput 871.97 2.97 8.68 0.03 - -
Pelabuhan 10.74 0.04 - - - -
Pemakaman 4.11 0.01 - - - -
Pemukiman 667.76 2.28 50.70 0.17 - -
Pertanian lahan
1 020.55 3.48 3.60 0.01 357.40 1.22
basah
Pertanian lahan
1 123.56 3.83 239.19 0.82 - -
kering
Pusat pendidikan 35.65 0.12 0.20 0.00 - -
Ruang publik 12.78 0.04 - - - -
Ruang terbuka hijau 9.64 0.03 - - - -
Tambak 52.21 0.18 - - - -
Tempat ibadah 6.12 0.02 - - - -
Terminal 0.42 - - - - -
Total 28 432.51 96.99 521.67 1.78 359.78 1.23

Evaluasi Keselarasan Rencana Pola Ruang RTRW Terhadap Kemampuan


Lahan

Evaluasi pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan dilakukan untuk


melihat sejauh mana pola ruang RTRW mempertimbangkan aspek ekologi dalam
pemanfaatan lahan hingga 20 tahun mendatang. Hal ini penting mengingat
sumberdaya lahan sangat menentukan keberlanjutan pembangunan kota. Hasil
48

evaluasi keselarasan ini akan menjadi bahan perbaikan atau revisi RTRW di Kota
Baubau. RTRW Kota Baubau hingga tahun 2030 merencanakan 23 pola ruang
atau pemanfaatan lahan. Luas dan rencana pola ruang Kota Baubau disajikan
pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau
No Rencana Pola Ruang Luas (ha) %
1 Hutan 1 044.51 3.56
2 Hutan Raya 203.26 0.69
3 Hutan Lindung 4 383.88 14.95
4 Hutan Kota 392.28 1.34
5 Taman 140.90 0.48
6 Cagar Budaya 87.29 0.30
7 Konservasi Pantai 70.43 0.24
8 Industri Perikanan 5.67 0.02
9 Wisata Pantai 125.95 0.43
10 Kawasan Bandara 117.23 0.40
11 Kawasan Pelabuhan 113.49 0.39
12 markas tni/kostrad 126.03 0.43
13 Perkebunan 5 403.78 18.43
14 PLTU 109.23 0.37
15 Komersil 1 490.61 5.08
16 Pemukiman 3 132.03 10.68
17 Hutan Produksi Terbatas 3 787.26 12.92
18 Fasos 11.74 0.04
19 Tambang 4 723.53 16.11
20 Perkantoran 1 086.89 3.71
21 Pergudangan 352.57 1.20
22 Sawah 353.48 1.21
23 Fasum 2 051.93 7.00
Total 29 313.96 100.00
Sumber: Dokumen RTRW Kota Baubau tahun 2010-2030

Tabel 5.6 menunjukkan hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang


terhadap kemampuan lahan. Pola ruang untuk fungsi lindung dalam evaluasi
keselarasan dianggap selaras (S) dengan luas 6 322.55 ha atau 21.57 %. Tabel 5.6
menunjukkan bahwa terdapat pola ruang yang tidak selaras (TS) terhadap
kemampuan lahan seluas 2 681.83 ha atau 9.15 % dan selaras bersyarat (SB)
seluas 1 479.33 ha atau 5.04 %. Hal ini disebabkan oleh faktor pembatas
kelerengan (l) baik pada pola ruang yang selaras (S) maupun yang selaras
bersyarat (SB).
49

Tabel 5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan
Rencana Pola Selaras Tidak Selaras Selaras Bersyarat
No
Ruang luas (ha) % luas (ha) % luas (ha) %
1 Hutan 1 044.51 3.56 - - - -
2 Hutan Raya 203.26 0.69 - - - -
3 Hutan Lindung 4 383.88 14.95 - - - -
4 Hutan Kota 392.28 1.34 - - - -
5 Taman 140.90 0.48 - - - -
6 Cagar Budaya 87.29 0.30 - - - -
7 Konservasi Pantai 70.43 0.24 - - - -
8 Industri Perikanan 5.67 0.02 - - - -
9 Wisata Pantai 119.10 0.41 - - 6.85 0.02
10 Kawasan Bandara 117.23 0.40 - - - -
Kawasan
11 113.49 0.39 - - - -
Pelabuhan
12 markas tni/kostrad 126.03 0.43 - - - -
13 Perkebunan 5 375.02 18.34 - - 28.75 0.10
14 PLTU 76.49 0.26 32.74 0.11 - -
15 Komersil 1 141.22 3.89 349.40 1.19 - -
16 Pemukiman 2 673.16 9.12 458.87 1.57 - -
Hutan Produksi
17 3 787.26 12.92 - - - -
Terbatas
18 Fasilitas sosial 11.74 0.04 - - - -
19 Tambang 3 288.95 11.22 - - 1 434.58 4.89
20 Perkantoran 963.07 3.29 123.83 0.42 - -
21 Pergudangan 304.34 1.04 48.22 0.16 - -
22 Sawah 344.33 1.17 9.15 0.03
23 Fasilitas umum 383.16 1.31 1 668.77 5.69 - -
Total 25 152.82 85.80 2 681.83 9.15 1 479.33 5.04

Rencana pola ruang yang tidak selaras (TS) terhadap kemampuan lahan
berupa rencana kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), komersil,
pemukiman, perkantoran, pergudangan dan fasilitas umum. Lahan yang tidak
selaras ini polanya mengelompok yang tersebar di seluruh kecamatan kecuali
Kecamatan Batu Poaro. Sedangkan untuk rencana pola ruang selaras bersyarat
(SB) adalah rencana kawasan wisata pantai, perkebunan, tambang dan sawah.
Tersebar hanya di Kecamatan Sorawolio dan sedikt di Kecamatan Bungi.
Berdasarkan hasil analisis dapat dikatakan bahwa rencana pola ruang belum
sepenuhnya memperhatikan kemampuan lahan. Sebaran evaluasi keselarasan
rencana pola ruang disajikan pada Gambar 5.6.
50

Gambar 5.6 Evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap


kemampuan lahan

Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Rencana Pola


Ruang RTRW

Hasil analisis menunjukkan bahwa keselarasan antara pemanfaatan lahan


aktual terhadap rencana pola ruang 23 637.50 ha (80.64 %), tidak sesuai 4 210.09
ha (14.36 %) dan sesuai bersyarat 1 466.34 ha (5.00 %). Sebaran keselarasan dan
luas masing-masing keselarasan rencana dilihat pada Gambar 5.6 dan Tabel 5.7.
Gambar 5.7 menunjukkan bahwa sebaran pemanfaatan lahan aktual yang
sesuai terhadap pola ruang menyebar di seluruh wilayah kecamatan. Keselarasan
ini didominasi oleh lahan yang diperuntukkan untuk kawasan lindung. Kawasan
yang berfungsi lindung pada lahan aktual sangat dominan sehingga saat dilakukan
tumpang tindih dengan rencana pola ruang memiliki keselarasan yang luas.
Selain itu rencana pola ruang perkebunan juga memiliki keselarasan yang luas.
Sebaran perkebunan berada pada Kecamatan Bungi, Lea-Lea dan Sorawolio.
Pemukiman merupakan rencana pola ruang untuk lahan terbangun yang memiliki
keselarasan paling tinggi.
Khusus untuk pertambangan Nikel direncanakan seluas 4 723.56 ha (16.11
%). Secara ekologis dan ditunjang regulasi aktivitas pertambangan yang mungkin
dilakukan seluas 4 345.09 (14.82 %) dan tidak memungkinkan untuk dilakukan
seluas 378.47 ha (1.29 %). Tidak dimungkinkannya sejumlah luasan
pertambangan dikarenakan ketidakselarasan dengan penggunaan lahan lain yaitu
pertanian dan pemukiman. Hal ini jika dipaksakan akan memicu konflik ruang
dengan masyarakat. Tahap eksplorasi pertambangan di Kota Baubau telah
51

dilakukan sejak tahun 2009. Namun tidak dapat dilakukan usaha eksploitasi
dikarenakan adanya penentangan aktivitas tambang dari masyarakat. Masyarakat
menilai tambang dapat menggangu aktivitas pertanian dan merusak lingkungan
kota. Akibat dari penentangan tersebut aktivitas pertambangan tidak dapat
diteruskan sejak tahun 2012 (Rusyamin 2013).

Gambar 5.7 Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola
ruang RTRW
Hasil yang tidak sesuai sebarannya bergerak dari daerah belakang menuju
pusat kota. Ketidakselarasan diakibatkan oleh kendala ekologis. Kendala
ekologis karena ketidakselarasan karakter fisik lahan yakni semakin kebelakang
daerah Kota Baubau memiliki kelas kelerengan lebih tinggi. Penggunaan lahan
terhadap pola ruang yang sesuai bersyarat berada pada wilayah hinterland Kota
Baubau. Wilayah ini aktualnya umumnya hutan yang direncanakan menjadi
sawah dan perkebunan. Sesuai bersyarat terjadi juga karena faktor ekologi dan
sosial.
Hasil evaluasi keselarasan ini secara umum dapat pula menggambarkan
kemungkinannya rencana pola ruang diterapkan hingga tahun 2030. Dari rencana
pola ruang yang ada pengembangan kota diarahkan untuk ke daerah belakang
yang secara aktual merupakan daerah pertanian dan hutan. Telah banyak riset
menunjukkan bahwa lahan yang paling memungkinkan untuk dialihfungsikan
dalam rangka pengembangan kota adalah lahan pertanian dan hutan. Berdasarkan
analisis menunjukkan bahwa penerapan RTRW di Kota Baubau mungkin untuk
dilakukan selama kendala ketidakselarasan dapat dikendalikan. Aspek penting
lainnya adalah mencegah terjadinya konflik ruang dengan masyarakat sebagai
akibat dari pelaksanaan RTRW.
52

Tabel 5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW
Selaras Tidak Selaras Selaras Bersyarat
Rencana Pola
persen persen persen
Ruang luas (ha) luas (ha) luas (ha)
(%) (%) (%)
Hutan 1 020.48 3.48 21.03 0.07 - -
Hutan Raya 202.57 0.69 0.69 0.00 - -
Hutan Lindung 4 383.83 14.95 0.06 0.00 - -
Hutan Kota 376.63 1.28 15.66 0.05 - -
Taman 137.31 0.47 3.58 0.01 - -
Cagar Budaya 87.29 0.30 - - - -
Konservasi Pantai 68.70 0.23 1.74 0.01 - -
Industri Perikanan 5.67 0.02 - - - -
Wisata Pantai 108.52 0.37 17.42 0.06 - -
Kawasan Bandara 112.17 0.38 5.06 0.02 - -
Kawasan
0.27 - -
Pelabuhan 77.82 35.67 0.12
Hankam 125.81 0.43 0.22 0.00 - -
Perkebunan 3 268.38 11.15 674.45 2.30 1 463.53 4.99
PLTU 107.93 0.37 1.40 0.00 - -
Komersil 979.49 3.34 511.12 1.74 - -
Pemukiman 2 541.69 8.67 590.58 2.01 - -
Hut.Pro.Terbatas 3 767.00 12.85 20.26 0.07 - -
Fasos 11.16 0.04 0.58 0.00 - -
Tambang 4 345.09 14.82 378.47 1.29 - -
Perkantoran 700.37 2.39 386.53 1.32 - -
Pergudangan 24.19 0.08 328.38 1.12 - -
Sawah 345.59 1.18 5.07 0.02 2.82 0.01
Fasum 839.82 2.86 1 212.12 4.13 - -
Total 23 637.50 80.64 4 210.09 14.36 1 466.34 5.00

Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan Aktual dan


Rencana Pola Ruang RTRW

Tahapan penelitian ini melakukan evaluasi keselarasan kemampuan lahan


pada tingkat sub kelas, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang RTRW.
Evaluasi keselarasan dilakukan melalui matriks keselarasan pada Tabel 3.5.
Berdasarkan hasil analisis luas lahan yang selaras adalah 21 890.80 ha atau 74.68
% dan yang tidak selaras seluas 7 423.13 ha atau 25.32 %. Nilai luas lahan yang
selaras menunjukkan bahwa luas lahan tersebut memungkinkan untuk dilakukan
dalam rencana pola ruang RTRW, sedangkan nilai luas lahan yang tidak selaras
cukup sulit untuk dilaksanakan.
53

Tabel 5.8 Luas setiap kategori keselelarasan lahan dikota Baubau


Kelas
Kategori
Kemampuan Sub Kelas Luas (ha)
Kesesuaian
Lahan
II IId2 S1 339.33
II_t1,II_t1l1 S2 1.50
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 S3 669.35
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 S4 1 990.85
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 TS3 32.72
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l2 TS4 63.72
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l3 TS5 369.27
II_d2, II_l1d2, II_t1 TS6 543.34
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 TS7 89.33
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 TS8 30.73
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l2 TS9 28.81
II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 TS10 23.94
III III_l2 S1 51.69
III_l2 S2 4.01
III_l2 S3 158.69
III_d3, III_k1, III_l2, III_l2d3,
S4 1 239.49
III_l2d3k1
III_d3, III_k1, III_l2 TS3 10.33
III_k1, III_l2 TS4 5.87
III_k1, III_l2 TS5 108.35
III_l2 TS6 3.27
III_d3, III_k1, III_l2 TS7 17.07
III_k1, III_l2 TS8 6.70
III_k1, III_l2 TS9 8.59
III_k1, III_l2 TS10 85.97
IV IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 S1 216.33
IV_k2, IV_l3k2 S2 4.56
IV_d4, IV_k2, IV_l3k2 S3 1 736.00
IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3d4,
S4 3 548.59
IV_l3k2
IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS3 48.52
IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS4 8.97
IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS5 580.72
IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS6 878.69
IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS7 54.08
IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS8 8.33
IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS9 245.47
IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 TS10 491.26
VI VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 S1 28.87
54

Kelas
Kategori
Kemampuan Sub Kelas Luas (ha)
Kesesuaian
Lahan
VI_k3 S2 0.99
VI_k3, VI_l4k3 S3 2 570.90
VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 S4 9 329.64
VI_l4, VI_l4k3 TS1 314.81
VI_l4, VI_l4k3 TS2 478.32
VI_k3, VI_l4 TS3 50.15
VI_k3, VI_l4 TS4 4.20
VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 TS5 1 018.83
VI_k3, VI_l4k3 TS6 309.33
VI_k3, VI_l4k3 TS7 21.55
VI_k3, VI_l4 TS8 6.49
VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 TS9 488.27
VI_k3, VI_l4k3 TS10 821.97
VII VII_l5 TS1 24.59
VII_l5 TS2 28.75
VIII VIII_l6 TS1 105.01
VIII_l6 TS2 6.85
Jumlah 29 313.96

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakselarasan tersebut adalah adanya


kendala ekologis dan sosial. Gambar 5.8 menunjukkan bahwa sebaran
ketidakselarasan lahan terjadi pada wilayah Kecamatan Sorawolio, Bungi, Lea-
Lea dan sebagian Kokalukuna. Selain kendala ekologis, ketidakselarasan terjadi
karena upaya untuk mempertahankan lahan-lahan pertanian dan hutan menjadi
lahan terbangun dan kegiatan bernilai ekonomi tinggi. Selain itu banyak pula
lahan-lahan terbangun yang status kepemilikan privat tumpah tindih dengan
rencana pola ruang terbangun lainnya pada RTRW. Luas setiap kategori
keselarasan sebagaiman disajikan pada tabel 5.8.
55

Gambar 5.8 Evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual


dan rencana pola ruang RTRW

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan.

Tahapan penelitian ini untuk memberikan penilaian apakah penggunaan


lahan aktual dan rencana pola ruang telah memenuhi daya dukung secara ekologis
atau tidak. Penilaian dilakukan terhadap penggunaan lahan secara umum
berdasarkan hasil analisis yang dilakukan. Penilaian juga dilakukan secara
spesifik untuk lahan pertanian secara umum (pertanian lahan basah, pertanian
lahan kering, perkebunan campuran, dan tambak), pemukiman dan kawasan hijau
secara umum (Hutan dan taman) yang dikaitkan dengan kemampuan menampung
populasi manusia.
Kemampuan lahan memberikan cerminan kondisi fisik lingkungan dalam
mendukung berbagai penggunaan secara umum. Semakin baik kemampuan lahan
maka semakin variatif pilihan penggunaan lahannya (Arsyad 2010). Selain itu
daya dukung lahan secara fisik juga mencerminkan kemampuan untuk menopang
populasi manusia dalam satuan lahan tertentu (Soemarwoto 2004). Tabel 5.4,
Tabel 5.6 dan Tabel 5.7 menunjukkan bahwa secara umum berdasarkan fisik
lingkungan lebih baik pada penggunaan lahan aktual dibandingkan rencana pola
ruang RTRW. Hal ini ditunjukan dengan luas lahan yang telah selaras terhadap
kemampuan lahan sebesar 28 432.51 ha (96.99 %) untuk penggunaan lahan aktual
dan 25 152.82 ha (85.80 %) untuk rencana pola ruang RTRW. Lahan selaras
bersyarat seluas 359.78 ha (1.23 %) untuk penggunaan lahan aktual dan 1 479.33
ha (5.04 %) untuk rencana pola ruang RTRW. Sedangkan lahan yang tidak
selaras 521.67 ha (1.78 %) untuk penggunaan lahan aktual dan 2 681.83 ha (9.15
%) untuk rencana pola ruang.
56

Namun demikian untuk kondisi lahan sesuai bersyarat dan tidak sesuai tidak
dapat diabaikan begitu saja karena dapat menjadi sumber kerusakan lingkungan di
Kota Baubau. Munculnya lahan sesuai bersyarat dan tidak sesuai diakibatkan
oleh faktor penghambat utama kelerengan (l) dan kedalaman tanah (k). Lahan
dengan sesuai bersyarat mengaharuskan adanya penerepan teknologi untuk
menghindari kerusakan lingkungan lahan sedangkan lahan tidak sesuai
direkomendasikan untuk mengganti kegiatan dengan yang sesuai kelas
penggunaannya.
Secara umum, hasil evaluasi keselarasan antara penggunaan lahan aktual
terhadap rencana pola ruang relatif selaras atau memungkinkan untuk dilakukan.
Hal ini ditunjukkan dengan luasan penggunaan lahan aktual yang selaras relatif
dominan. Namun memerlukan arahan lebih lanjut untuk lahan yang tidak selaras
dan selaras bersyarat. Namun demikian berdasarkan Gambar 5.6, Gambar 5.7 dan
Tabel 5.7 menunjukkan adanya kecenderungan luas lahan yang tidak selaras
semakin tinggi. Hal ini dikarenakan proses evaluasi keselarasan telah
memasukkan faktor perencanaan dan sosial didalamnya.
Dokumen RTRW Kota Baubau merekomendasikan adanya tambang Nikel
dimana hasil evaluasi menunjukkan rencana tambang nikel tersebut secara umum
selaras. Namun demikian kegiatan tambang Nikel tidak dapat berjalan karena
telah terjadi konflik antara masyarakat dengan pemilik Izin Usaha Pertambangan
dan pemerintah sejak tahun 2009. Masyarakat tidak menginginkan adanya
rencana tambang Nikel tersebut dan hingga saat ini rencana tambang terhenti pada
tahap eksplorasi. Terkait konflik tambang tersebut, Rusyamin (2013) telah
melakukan studi di Kota Baubau. Hasil studi Rusyamin menunjukkan bahwa
konflik rencana tambang dipicu oleh faktor sosial budaya, perizinan dan ekologi.
Faktar sosial budaya berkaitan dengan status kepemilikan lahan sebagai tanah adat
yang menjadi kepemilikan bersama (common property) yang kemudian berubah
menjadi kepemilikan pribadi (privat property) melalui campur tangan pemerintah.
Faktor perizinan berkaitan dengan adanya dugaan proses terbitnya Izin Usaha
Pertambangan (IUP) tidak melalui mekanisme yang sebenarnya. Faktor ekologi
berkaitan dengan kekhawatiran masyarakat akan mengganggu ekosistem kota dan
mata pencaharian penduduk sekitar tambang. Hal ini cukup beralasan karena
lokasi rencana tambang Nikel berada pada daerah ketinggian dan merupakan
hutan penyangga Sub DAS Bungi. Sub DAS Bungi saat ini digunakan untuk
irigasi pertanian dan sember air minum masyarakat Kota Baubau.
Penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang RTRW akan memberikan
gambaran yang berbeda jika dikaitkan dengan populasi penduduk Kota Baubau
dan manfaat ekologis. Penggunaan lahan yang berkaitan dengan populasi
penduduk adalah penggunaan lahan pertanian secara umum (pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, kebun campuran dan perikanan darat) dan
pemukiman. Sedang penggunaan lahan yang berkaitan dengan manfaat ekologis
adalah hutan, Ruang Terbuka Hijau (RTH), taman dan konservasi pantai.
Penggunaan lahan pertanian sangat berkaitan erat dengan ketersediaan
pangan populasi penduduk dengan menghitung ketersediaan lahan untuk hidup
layak (KHL) setara beras. Menggunakan analisis Rustiadi et al. (2010) maka
KHL Kota Baubau seluas 0.22 ha/jiwa/tahun (lihat lampiran 3). Hasil analisis
menunjukkan lahan pangan tersedia pada penggunaan lahan aktual seluas 4
532.89 ha setara beras. BPS (2013) menunjukkan jumlah populasi penduduk
57

Kota Baubau mencapai 142 576 jiwa. Hal ini berarti bahwa dengan luas pangan
tersedia hanya mampu mendukung ketersediaan pangan bagi 20 696 jiwa
penduduk atau 14.51 % dari total penduduk Kota Baubau. Sedangkan untuk
rencana pola ruang RTRW tidak dapat dihitung karena belum diketahuinya harga
komoditi pertanian dimasa mendatang. Namun rencana pola ruang RTRW untuk
pertanian (sawah dan perkebunan) seluas 5 719.35 ha (19.51 %). Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar kebutuhan pangan penduduk Kota Baubau
berasal dari luar Kota Baubau melalui aktivitas belanja hasil pangan.
Luas penggunaan lahan pemukiman pada penggunaan lahan aktual di Kota
Baubau seluas 718.45 ha (2.45 %). Mengacu pada SNI 03-1733-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan bahwa luas lahan
pemukiman minimal yang dibutuhkan orang dewasa adalah 9.6 m2. Penggunaan
lahan pemukiman Kota Baubau saat ini bisa menampung populasi hingga 748 393
jiwa. Sedangkan penggunaan lahan pemukiman pada rencana pola ruang RTRW
3 132.03 ha (10.68 %) dengan daya tampung maksimal 3 262,534 jiwa.
Berdasarkan data BPS (2013) jumlah penduduk Kota Baubau mencapai 142,576
jiwa dengan pertumbuhan penduduk 2,02 % maka hingga tahun 2030 jumlah
penduduk mencapai 204 354 jiwa.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) memberikan manfaat ekologis dalam wilayah
kota. Sesuai dengan undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
luas RTH adalah 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi RTH publik 20 % yang
dikelola pemerintah dan sisanya merupakan RTH privat. Penggunaan lahan
aktual di Kota Baubau yang termasuk RTH publik adalah ruang terbuka hijau,
hutan, mangrove dan pemakaman yang total luasannya mencapai 15 747.74 ha
(53.71 %). Sedangkan RTH publik pada rencana pola ruang RTRW mencakup
hutan, hutan raya, hutan lindung, hutan kota, taman, konservasi pantai dan hutan
produksi terbatas. Luas RTH publik pada rencana pola ruang RTRW mencapai
10 022.52 ha ( 34,19 %).
Secara umum dari hasil analisis terlihat bahwa berdasarkan evaluasi
kemampuan lahan baik pada penggunaan lahan aktual maupun rencana pola ruang
RTRW daya dukung lingkungan relatif tinggi (lihat Tabel 5.4, Tabel 5.6, Tabel
5.7 dan Tabel 5.8). Dilihat dari aspek kemampuan menampung populasi
penduduk dan manfaat ekologis baik penggunaan lahan aktual maupun rencana
pola ruang RTRW keduanya menunjukkan daya dukung fisik lingkungan yang
baik. Ketersediaan lahan pangan berdasarkan KHL setara beras pada penggunaan
lahan aktual menunjukkan daya dukung fisik lingkungan yang rendah (defisit).
Rencana pola ruang RTRW menunjukkan terjadinya penurunan luas lahan
pertanian pangan dan lahan yang memberikan manfaat ekologis (RTH) bila
dibandingkan dengan penggunaan lahan aktual. Disisi lain, terjadi peningkatan
penggunaan lahan pemukiman dan lahan terbangun lainnya pada rencana pola
ruang RTRW. Hal ini menunjukkan bahwa dimasa mendatang Kota Baubau
diarahkan pada sektor non pertanian (jasa dan perdagangan) yang bernilai
ekonomi tinggi. Aktifitas jasa dan perdagangan nampaknya menjadi aktivitas
ekonomi utama untuk memenuhi ketersediaan pangan penduduk kota.
Hal ini semakin menguatkan adanya kecenderungan perubahan penggunaan
lahan di perkotaan dari pertanian ke non pertanian. Sejalan dengan hasil penelitian
Kumar (2009) di kota New Delhi bahwa telah terjadi perubahan penggunaan
lahan pertanian ke sektor konstruksi dari tahun 1986-2004. Alasannya adalah
58

penggunaan lahan non pertanian memiliki nilai produktivitas ekonomi lebih tinggi
dibanding pertanian.

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan

Tahapan penelitian ini untuk melihat daya dukung lahan dari sisi ekonomi
lahan. Ekonomi lahan pada penelitian ini dilihat dari seberapa besar produktivitas
(land rent) dari aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan. Produktivitas tersebut
diukur dari jumlah harga output yang dihasilkan setelah dikurangi biaya input
pada penggunaan lahan.
Daya dukung lahan dengan pendekatan ekonomi hanya dilakukan pada
penggunaan lahan aktual. Penggunaan lahan pada rencana pola ruang RTRW
tidak dilakukan dikarenakan tidak adanya atau tidak memungkinkannya diperolah
data harga komoditi dimasa mendatang. Namun demikian, daya dukung lahan
secara ekonomi pada penggunaan lahan aktual dapat digunakan sebagai dasar
untuk menjelaskan daya dukung lahan secara ekonomi pada rencana pola ruang
RTRW.
Terdapat 18 penggunaan lahan aktual yang dianalisis daya dukung secara
ekonomi. Penggunaan lahan tersebut yaitu penggunaan lahan pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, lahan kebun campuran, lahan tambak, lahan padang
rumput (melalui peternakan), lahan kehutanan, lahan hotel, lahan pemukiman,
lahan komersil, lahan ruang terbuka publik, lahan pelabuhan, lahan bandar udara,
lahan pemakaman, lahan terminal, lahan pusat pendidikan, lahan bangunan
pemerintah, lahan tempat ibadah dan lahan jalan. Hasil perhitungan land rent
penggunaan lahan aktual tersebut sebagimana pada Lampiran 4.

Penggunaan Lahan Pertanian

Penggunaan lahan pertanian secara umum mencakup pertanian lahan basah,


pertanian lahan kering dan kebun campuran. Harga satuan setiap komoditi yang
digunakan disini adalah harga tingkat petani. Lampiran 4 menjelaskan hasil
perhitungan nilai ekonomi setiap penggunaan lahan.
Berdasarkan hasil survey lapang ditemukan bahwa petani tidak langsung
mengantarkan komoditinya ke pusat pasar namun dijemput oleh pengumpul di
lokasi lahan. Para pengumpul ini dalam istilah lokal disebut papalele. Selain itu,
pada komoditi beras sering pula ditemukan konsumen langsung datang membeli
ke petani dalam jumlah cukup banyak untuk dikonsumsi karena beras dapat
disimpan dalam waktu lama. Kondisi ini menyebabkan petani tidak menanggung
biaya transportasi. Oleh karena itu dalam analisis ini biaya transportasi tidak
dimasukkan dalam variabel untuk menentukan nilai ekonomi lahan pertanian.
Luas lahan pertanian berdasarkan interpretasi citra Quickbird tahun 2013
mencapai 11 199.72 ha atau 38.2 % dari total luas Kota Baubau. Berdasarkan data
BPS dan hasil survey, nilai pendapatan ekonomi kotor lahan pertanian mencapai
Rp171 677 973 600 dan nilai pendapatan ekonomi bersih Rp148 052 528 760.
Biaya input atau nilai selisih sebesar Rp23 625 444 840 atau 13.76 %. Komoditi
yang memberikan konstribusi terbesar terhadap nilai ekonomi lahan pertanian
adalah komoditi padi, sedangkan yang paling rendah adalah tanaman hias Anyelir.
Pendapatan ekonomi kotor Padi adalah Rp93 208 500 000 (54.29 %) dan
59

pendapatan ekonomi bersihnya Rp79 208 500 000 (53.50 %), sedangkan
pendapatan ekonomi kotor Anyelir adalah Rp270 000 dan pendapatan ekonomi
bersih Rp234 000. Nilai konstribusi tersebut sangat dipengaruhi luas lahan,
produktivitas dan indeks pertanaman dalam setahun (lihat Lampiran 4).

Penggunaan Lahan Peternakan dan Tambak

Berdasarkan data Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan dan Peternakan,


di Kota Baubau terdapat lima jenis peternakan yang budidayakan yaitu sapi,
kambing, ayam kampung, ayam potong, ayam petelur dan itik. Pengelolaan ternak
di Kota Baubau, selain ternak ayam potong dan ayam petelur dilakukan secara
tradisional dan tidak intensif. Pakan ternak diperoleh dari dari lingkungan sekitar
dan sampah rumah tangga. Ternak sapi dan kambing diikat di padang rumput,
pekarangan ataupun lahan pertanian. Populasi ternak/komoditi ternak di Kota
Baubau dapat dilihat pada Tabel 5.9
Penggunaan lahan tambak terdapat di Kecamatan Bungi, Lea-Lea dan
Sorawolio. Di Kecamatan Bungi dan Lea-Lea budidaya tambak merupakan
tambak pesisir. Selain itu adapula tambak/perikanan darat di Kecamatan Bungi
dan Kecamatan Sorawolio diintegrasikan dengan pertanian lahan basah (mina
padi). Komoditi perikanan darat (tambak) berupa ikan bandeng.
Berdasarkan survey lapang, petani yang membudidayakan peternakan dan
tambak hasilnya tidak langsung dijual ke pasar. Sama halnya dengan komoditi
pertanian, komoditi peternakan dan tambak dijual melalui pengumpul (papalele).
Pengumpul (papalele) biasanya telah bekerjasama cukup lama dengan para petani
lalu mendistribusikan ke pasar. Sistem seperti tersebut biaya angkut atau
transportasi dibebankan ke pengumpul (papalele) sehingga terjadi perbedaan
harga komoditi antara harga di tingkat petani dengan harga di pasar.
Lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai pendapatan ekonomi kotor
peternakan sebesar Rp47 251 945 000 sedangkan pendapatan ekonomi bersihnya
sebesar Rp40 092 494 167. Terlihat bahwa selisih antara nilai ekonomi kotor
dengan nilai ekonomi bersih adalah Rp7 159 450 833. Selisihnya cukup rendah
dikarenakan pada komoditi peternakan ayam kampung, itik dan ayam petelur
menghasilkan dua produk berbeda (telur dan daging) dengan satu biaya input pada
waktu yang sama.

Tabel 5.9 Populasi jenis ternak/komoditi di Kota Baubau


No Jenis Ternak/komoditi satuan populasi
1 Sapi ekor 1 792
2 Kambing ekor 1 681
3 Ayam kampung ekor 139 604
4 ayam potong ekor 41 050
5 Itik ekor 4 546
6 ayam ras petelur ekor 9 000
7 telur ayam kampung butir 6 282 150
8 telur ayam petelur butir 2 340 000
9 telur itik butir 6 650 100
Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Kehutanan setelah diolah,2015
60

Penggunaan lahan tambak/perikanan darat menghasilkan nilai ekonomi


yang cukup besar pertahunnya. Lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai pendapatan
ekonomi kotor penggunaan lahan tambak/perikanan darat sebesar Rp379 200 000
sedangkan nilai pendapatan ekonomi bersihnya sebesar Rp313 933 625. Selisih
antar nilai tersebut merupakan biaya input sebesar Rp65 266 375.

Penggunaan Lahan Kehutanan

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian, Peternakan dan


Kehutanan Kota Baubau, hingga saat ini manfaat ekonomi yang diperoleh dari
penggunaan lahan hutan hanya berupa komoditi non kayu yaitu getah pinus dan
rotan. Komoditi kayu tidak ditemukan karena status hutan di Kota Baubau adalah
hutan lindung atau konservasi. Pengelolaan getah pinus dan rotan dilakukan oleh
lembaga usaha yang dibina dan mendapat izin dari Pemerintah Kota Baubau.
Analisis ekonomi penggunaan lahan hutan dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan ekonomi kotor penggunaan
lahan hutan mencapai Rp658 080 000 dan pendapatan ekonomi bersih sebesar
Rp127 230 000. Komoditi rotan memberi konstribusi pendapatan ekonomi bersih
lebih besar dibanding komoditi getah pinus yakni sebesar Rp90 750 000
sedangkan getah pinus sebesar Rp36 480 000.

Penggunaan Lahan Hotel

Analisis terhadap penggunaan lahan hotel melalui survey hotel yang masih
aktif. Berdasarkan hasil survey, jumlah hotel yang masih aktif berjumlah 21
hotel. Satu diantara hotel di Kota Baubau adalah kelas bintang 1 dan hotel lainnya
merupakan hotel kelas melati. Luas penggunaan lahan untuk hotel hasil
interpretasi citra adalah 3.64 ha atau 0.01 % luas wilayah kota. Secara spasial
sebaran hotel di Kota Baubau adalah 14 hotel terdapat di Kecamatan Wolio, 3
hotel di Kecamatan Murhum, 2 hotel di Kecamatan Kokalukuna, 1 hotel di
Kecamatan Batupoaro dan 1 hotel di Kecamatan Betoambari.
Lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai pendapatan ekonomi kotor
penggunaan lahan hotel mencapai Rp9 451 580 000, sedangkan pendapatan
ekonomi bersih penggunaan lahan hotel adalah Rp8 017 380 000. Biaya input
pengelolaan penggunaan lahan hotel mencapai Rp1 434 200 000. Hotel_17
memberikan konstribusi paling besar terhadap pendapatan ekonomi bersih
penggunaan lahan hotel yakni Rp1 305 250 000 (16.28 %) dan hotel_2 memiliki
nilai konstribusi paling kecil yakni Rp80 880 000 (1.01 %).

Penggunaan Lahan Pemukiman

Nilai ekonomi penggunaan lahan pemukiman dilakukan melalui analisis


aktivitas ekonomi yang dilakukan pada penggunaan lahan pemukiman. Terdapat
2 aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan pemukiman yaitu sewa kost dan
industri kecil rumah tangga (home industry). Luas penggunaan lahan pemukiman
di Kota Baubau mencapai 718.45 ha (2.45 %).
Rumah kost salah satu pemukiman yang memberikan konstribusi terhadap
pendapatan ekonomi lahan. Jumlah kost yang dinalisis adalah 36 rumah kost yang
61

sebagian besar merupakan bangunan permanen. Rumah kost umumnya disewa


oleh mahasiswa dan pelajar yang sedang menempuh pendidikan di Kota Baubau.
Keberadaan rumah kost tersebar di Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari,
Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batu Poaro. Hal ini dikarenakan akses
kecamatan tersebut sangat mudah terhadap perguruan tinggi yang terdapat di Kota
Baubau.
Nilai pendapatan ekonomi lahan dari sewa 36 rumah kost adalah Rp1 460
400 000 setahun. Rumah kost_26 memberikan konstribusi paling besar yaitu
Rp90 000 000 atau 6.16 %. Rumah kost_26 terdapat di Kecamatan Wolio dengan
jumlah kamar 15, luas bangunan 300 m2 dan sewa kamar Rp6 000 000 pertahun.
Rumah kost_1 dengan luas bangunan 24 m2 dan jumlah kamar 2 buah
memberikan konstribusi paling rendah yaitu Rp7 200 000 setahun. Rumah kost_1
juga terletak di Kecamatan Wolio.
Industri kecil dan rumah tangga di Kota Baubau cukup berkembang. Usaha
ini merupakan sektor informal yang turut andil mendorong pertumbuhan ekonomi
dan serapan tenaga kerja di Kota Baubau. Berdasarkan data maping industri
tahun 2014 Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM (PERINDAKOP dan UKM)
bahwa terdapat 1 895 unit usaha kecil dan rumah tangga di Kota Baubau. Jumlah
tersebut mampu menyerap 3 893 orang tenaga kerja.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hasil penjualan produk industri kecil dan
rumah tangga di Kota Baubau tahun 2013 mencapai Rp138 147 360 000. Nilai
belanja ditahun yang sama mencapai Rp67 452 360,000. Terdapat selisih antara
nilai penjualan dan belanja sebesar Rp70 695 000 000. Selisih tersebut
merupakan nilai pendapatan ekonomi bersih dari industri kecil dan rumah tangga.
Industri tersebut digerakkan dengan total modal awal sebesar Rp31 801 150 000.
Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 4.

Penggunaan Lahan Komersil

Penggunaan lahan komersil di Kota Baubau merupakan salah satu jenis


penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi lahan (land rent) yang cukup
tinggi. Luas penggunaan lahan komersil adalah 25.07 ha atau 0.09 % luas
wilayah kota. Lahan komersil umumnya merupakan lahan yang diatasnya berupa
kompleks pertokoan/ruko yang menjual berbagai kebutuhan penduduk kota.
Berbagai aneka kebutuhan penduduk kota yang diperdagangkan disini mulai
kebutuhan peralatan rumah tangga, makanan hingga mesin. Nilai ekonomi lahan
(land rent) dihitung melalui nilai sewa bangunan.
Berdasarkan hasil analisis 30 sampel ruko diperoleh nilai sewa total selama
setahun mencapai Rp1 225 500 000. Ruko_9 memberikan konstribusi paling
besar terhadap nilai sewa yaitu Rp90 000 000 sedang ruko_1,2,4,18,19, dan
ruko_25 memberikan nilai konstribusi paling kecil yaitu Rp20 000 000. Ruko_11
memiliki luas bangunan 120 m2, jumlah lantai 2 dan berada di jalan primer. Ruko
yang memiliki nilai sewa rendah memiliki luas bangunan antara 44 m 2 hingga 70
m2 dan jumlah lantai masing-masing 2. Luas total lahan ruko sampel adalah 0.22
ha. Berdasarkan nilai ekonomi lahan (land rent) 30 sampel ruko maka diperoleh
hasil proyeksi nilai ekonomi lahan (land rent) total penggunaan lahan komersil
adalah sebesar Rp137 587 483 206. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 4.
62

Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik

Ruang terbuka publik di Kota Baubau selain digunakan untuk aktivitas


sosial dan ruang bagi warga kota melepaskan kepenatan, lahan ini juga digunakan
untuk aktivitas pedagang kaki lima. Hasil survey lapang menyebutkan terdapat
110 pedagang kaki lima dengan lima jenis dagangan yaitu: 1) pedagang gorengan
dan minuman, 2) pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll), 3) pedagang
elektronik dan musik, 4) pedagang aksesoris, dan 5) pedagang dan penyewaan
mainan anak-anak. Jumlah masing-masing jenis pedagang kaki lima dilihat pada
Tabel 5.10.
Nilai ekonomi penggunaan lahan ruang terbuka publik didasarkan
pendapatan ekonomi yang diperoleh pada pedagang kaki lima yang berdagang di
ruang terbuka publik tersebut. Hasil analisis menyebutkan jumlah total
pendapatan ekonomi bersih para pedagang dalam setahun rata-rata Rp10 617 372
000 dengan rata-rata perbulan Rp884 781 000. Sementara pendapatan ekonomi
kotor setahun mencapai Rp16 673 400 000 dengan rata-rata pendapatan ekonomi
kotor perbulan sebesar Rp1 389 450 000. Selisih nilai tersebut merupakan biaya
input produksi sebesar Rp504 669 000 perbulan dan Rp6 056 028 000 pertahun.
Pedagang_54 meruakan pedagang yang memiliki pendapatan paling tinggi.
Sebulan dapat mendapatkan pendapatan ekonomi bersih Rp18 000 000 dan
setahun Rp216 000 000. Nilai tersebut diperoleh dengan biaya input Rp12 000
000 perbulan dan Rp144 000 000 pertahun untuk jenis dagangan makanan.
Pedagang _73 dan pedagang_103 memiliki pendapatan paling rendah dengan
jenis dagangan aksesoris dan menjual/menyewakan mainan anak-anak.
Pendapatan ekonomi bersih perbulan adalah Rp3 960 000 dan Rp47 520 000
pertahun dengan biaya input Rp2 040 000 perbulan dan Rp24 480 000 pertahun.

Tabel 5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik
No Jenis dagangan Jumlah
1 Pedagang gorengan dan minuman 38
2 Pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll) 22
3 Pedagang elektronik dan musik 7
4 Pedagang aksesoris 29
5 pedagang dan penyewaan mainan anak-anak 14
Total 110

Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara


Pelabuhan dan Bandara Udara (Bandara) turut mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah karena peranannya sebagai pintu lalu lintas barang dan orang.
Kota Baubau memiliki beberapa pelabuhan laut dan 1 buah bandara. Pelabuhan
laut terdiri dari 1 pelabuhan utama yang menjadi penghubung antara Indonesia
bagian barat dan Indonesia bagian Timur yang berada di wilayah ALKI 3 (Alur
Laut Kepulauan Indonesia). Kota Baubau juga memiliki beberapa pelabuhan
rakyat yang menghubungkan pulau-pulau kecil di wilayah kepulauan Buton serta
1 pelabuhan penyeberangan Ferry yang menghubungkan Kota Baubau dengan
Kabupaten Buton Tengah. Bandara Betoambari terletak di wilayah Kecamatan
Betoambari yang melayani 2 maskapai penerbangan yaitu Garuda Indonesia dan
63

Wings Air untuk jenis pesawat ATR (Avions de Transport Regional) dengan
kapasitas 72 penumpang. Setiap hari rata-rata terdapat 4 kali penerbangan
regional.
Nilai ekonomi penggunaan lahan pelabuhan dan bandara ditentukan dari
jumlah orang dan barang yang keluar dari pelabuhan dan bandara tersebut. Data
analisis hanya berupa jumlah orang dan barang yang keluar karena transaksi
belanja dilakukan di wilayah Kota Baubau. Hasil analisis menunjukkan jumlah
total nilai ekonomi di pelabuhan sebesar Rp359 216 080 000 yang terdiri dari
Rp314 797 430 000 biaya penumpang dan Rp44 418 650 000 dari biaya
pengiriman barang. Nilai total ekonomi penggunaan lahan bandara sebesar Rp58
330 313 000 yang terdiri atas Rp58 192 325 000 untuk penumpang dan Rp137
988 000 untuk barang.

Penggunaan Lahan Pemakaman dan Terminal

Penggunaan lahan pemakaman di Kota Baubau seluas 4.11 ha yang tersebar


di 13 lokasi pemakaman, sedangkan penggunaan lahan terminal seluas 0.42 ha
yang terdapat di pasar sentral Baubau dan pasar Wameo. Nilai ekonomi lahan
kedua penggunaan lahan tersebut diperoleh melalui besaran pajak atau retribusi
penggunaan lahan. Berdasarkan data Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah
Kota Baubau tahun 2013 jumlah retribusi pemakaman di Kota Baubau sebesar
Rp8 230 000 dan terminal sebesar Rp81 586 000.

Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat


Ibadah dan Jalan

Nilai ekonomi penggunaan lahan pusat pendidikan, bangunan pemerintah,


tempat ibadah dan jalan dianalisis berdasarkan nilai statis penggunaan lahan
persatuan luas. Nilai statis merupakan nilai ekonomi yang dibutuhkan untuk
membangun konstruksi bangunan dan jalan. Hasil analisis menyebutkan bahwa
nilai ekonomi yang dibutuhkan untuk konstruksi bangunan pusat pendidikan dan
bangunan pemerintah per satuan meter persegi (m2) sebesar Rp2 617 506. nilai
tersebut mencakup pekerjaan persiapan, pekerjaan tanah, pekerjaan pasang batu,
pekerjaan batu, pekerjaan dinding, pekerjaan kusen, pekerjaan atap, pekerjaan
plafond, pekerjaan listrik dan pekerjaan finishing.
Penggunaan lahan jalan memiliki nilai ekonomi Rp355 740/m2. Nilai
tersebut mencakup pekerjaan umum, pekerjaan tanah, pekerjaan perkerasan dan
bahu jalan, pekerjaan perkerasan aspal dan pekerjaan struktur. Penggunaan lahan
tempat ibadah memiliki nilai ekonomi lahan sebesar Rp1 306 122. Hasil analisis
menunjukkan nilai ekonomi total penggunaan lahan pusat pendidikan, bangunan
pemerintah, jalan dan tempat ibadah masing-masing adalah Rp938 381 124 403;
Rp1 270 291 351 121; Rp745 047 912 233; dan Rp79 907 265 306.

Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan

Nilai land rent mengacu pada nilai bersih keuntungan yang diperoleh dari
penggunaan lahan pada suatu periode waktu tertentu. Keuntungan bersih
diperoleh dari selisih antara pendapatan ekonomi bruto setelah dikurangi dengan
64

biaya input untuk mengelola aktivitas penggunaan lahan tertentu. Ringkasan hasil
analisis ekonomi beberapa penggunaan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel
5.11.
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa penggunaan lahan bangunan pemerintah
memiliki economic land rent (Pendapatan Ekonomi Bersih ) yang tertinggi yakni
Rp1 270 291 351 121, sedangkan yang paling rendah adalah pada penggunaan
lahan pemakaman sebesar Rp8 230 000. Hal ini disebabkan karena penggunaan
lahan terbangun termasuk bangunan pemerintah kendati tidak luas tetapi
membutuhkan biaya pekejaan yang relatif mahal dan variatif. Sedangkan
penggunaan lahan pemakaman tidak terdapat aktivitas ekonomi. Demikian pula
penggunaan lahan hutan memiliki luas paling tinggi namun dari aspek
pemanfaatannya masih dibatasi oleh oleh kebijakan pemerintah baik dari aspek
luasan maupun komoditi. Hal ini menegaskan bahwa penggunaan lahan hutan
lebih diarahkan pada daya dukung ekologi.

Tabel 5.11 Nilai land rent beberapa penggunaan lahan aktual

Pendapatan Ekonomi Pendapatan Ekonomi


No Penggunaan Lahan
Kotor Bersih
1 Pertanian 171 677 973 600 148 052 528 760
2 Peternakan 47 251 945 000 40 092 494 167
3 Tambak 379 200 000 313 933 625
5 Kehutanan 658 080 000 127 230 000
6 Hotel 9 451 580 000 8 017 380 000
7 Pemukiman
-sewa rumah kost 1 460 400 000 1 460 400 000
-industri kecil dan RT 138 147 360 000 70 695 000 000
8 Komersil 137 587 483 206 137 587 483 206
9 Ruang terbuka publik 16 673 400 000 10 617 372 000
10 Pelabuhan 359 216 080 000 359 216 080 000
11 Bandar udara 58 330 313 000 58 330 313 000
12 Pemakaman 8 230 000 8 230 000
13 Terminal 81 586 000 81 586 000
14 Pusat pendidikan 938 381 124 403 938 381 124 403
15 Bangunan pemerintah 1 270 291 351 121 1 270 291 351 121
16 Tempat ibadah 79 907 265 306 79 907 265 306
17 Jalan 745 047 912 233 745 047 912 233
Jumlah Total 3 974 551 283 869 3 868 227 683 821

Sewa ruko/kios untuk lahan komersil dan rumah kost tidak memiliki
pendapatan ekonomi kotor. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemilik ruko/kios
dan rumah kost pada kondisi aktual (2013) tidak mengeluarkan biaya input untuk
pengelolaannya. Biaya input tersebut dibebankan kepada penyewa berupa biaya
listrik, air dan kebersihan. Biaya input yang dibebankan kepeda pemilik ruko/kios
dan rumah kost berupa biaya pembangunan dan perbaikan fasilitas, namun biaya
65

tersebut tidak dimasukkan karena ruko/kios dan rumah kost dibangun sebelum
tahun 2013 dan selama tahun 2013 tidak terjadi perbaikan fasilitas. Demikian pula
penggunaan lahan pelabuhan, bandar udara, pemakaman, terminal, pusat
pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan data pendapatan
ekonomi kotor tidak tersedia.
Tabel 5.11 menunjukkan perbedaan nilai ekonomi lahan antara penggunaan
lahan terbangun dengan non terbangun (pertanian, peternakan, hutan, tambak dan
pemakaman). Penggunaan lahan terbangun memiliki nilai ekonomi Rp3 679 633
267 269 sedangkan penggunaan lahan non terbangun sebesar Rp188 594 416 552.
Nilai ekonomi lahan terbangun diperoleh dari penyediaan jasa melalui penyewaan
fasilitas sedangkan nilai ekonomi lahan non terbangun diperoleh melalui hasil
penjualan barang/produk. Namun demikian untuk industri kecil dan rumah
tangga juga menghasilkan barang/produk untuk dijual. Sementara nilai ekonomi
pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan diperoleh dari
nilai ekonomi statis. Sebaran nilai ekonomi lahan terbangun dan non terbangun
pada Gambar 5.9.

Gambar 5.9 Sebararan lahan terbangun dan non terbangun

Besar nilai ekonomi yang dihasilkan oleh lahan non terbangan sangat
bergantung pada luas lahan yang digunakan. Semakin luas lahan non terbangun
(pertanian, peternakan, hutan dan tambak) maka semakin besar pula nilai ekonomi
yang dihasilkan. Sedangkan pada penggunaan lahan terbangun nilai ekonominya
sangat bergantung pada kualitas pelayanan dan jasa yang diberikan melalui
penyediaan fasilitas yang baik.
Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui tingkat daya dukung berdasarkan
nilai ekonomi lahan (land rent) penggunaan lahan. Asumsi yang digunakan untuk
hidup layak adalah satu ton beras per kapita (Rustiadi et al. 2010). Satu ton beras
66

dikonversi menjadi rupiah dengan harga beras berlaku (2013) Rp8 570/kg, maka
satu ton beras setara dengan Rp8 750 000. Daya dukung berdasarkan nilai
ekonomi penggunaan lahan Tabel 5.11 dapat diketahui dengan:

Nilai yang diperoleh merupakan jumlah penduduk yang dapat didukung


berdasarkan ekonomi lahan yaitu 442 083 jiwa. Nilai tersebut melebihi jumlah
penduduk Kota Baubau tahun 2013 sebanyak 142 576 jiwa atau 3.1 kali dari
jumlah penduduk Kota Baubau.
Gambar 5.10 dan Tabel 5.12 menunjukkan status daya dukung ekonomi dan
sebaran nilai ekonomi lahan perkelurahan di kota Baubau. Terlihat bahwa
Kelurahan Wale, Kelurahan Lipu dan Kelurahan Wangkanapi adalah kelurahan
yang memiliki nilai ekonomi tertinggi pertama, kedua dan ketiga dengan status
memenuhi daya dukung secara ekonomi. Hal ini dikarenakan ketiga kelurahan
tersebut memiliki aktivitas ekonomi lahan yang sangat baik dan intensif.
Kelurahan Wale merupakan daerah pusat kota dimana kelurahan tersebut terdapat
aktivitas pelabuhan.
67

Gambar 5.10 Sebaran nilai ekonomi penggunaan lahan per kelurahan

Kelurahan yang memiliki status tidak memenuhi daya dukung secara


ekonomi adalah Kelurahan Sukanayo, Wameo, Bone-Bone, Bataraguru dan Bukit
Wolio Indah. Hal ini disebabkan oleh tingkat populasi penduduk yang tidak
didukung oleh luas wilayah dan aktivitas ekonomi yang memadai. Selain itu
khusus Kelurahan Sukanayo berada terisolasi di Pulau Makassar dengan
penggunaan lahan yang bernilai ekonomi rendah.
Thunen (Rustiadi et al. 2011) bahwa pola penggunaan lahan berbentuk
membentuk pola melingkar dimana pusat kota yang berada pada bagian depan
menjadi pusat pemukiman, industri dan pasar. Pada bagian belakang merupakan
penggunaan lahan pertanian dan hutan yang menyediakan (supply) komoditi
pangan dan hutan yang dibutuhkan (demand) pusat kota.
68

Tabel 5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap
kelurahan di Kota Baubau
Nilai
Populasi Nilai ekonomi Status daya
No Kelurahan daya
penduduk lahan dukung ekonomi
dukung
1 Palabusa 2 562 92 695 338 613 10 594 Memenuhi
2 Kampeonaho 2 067 78 290 767 324 8 948 Memenuhi
Ngkari
3 2 256 107 600 722 507 12 297 Memenuhi
Ngkari
4 Bugi 1 895 43 465 333 755 4 967 Memenuhi
5 Kalia Lia 1 209 61 349 920 789 7 011 Memenuhi
6 Gonda Baru 1 749 54 668 037 702 6 248 Memenuhi
7 Karya Baru 1 910 60 800 733 944 6 949 Memenuhi
8 Liabuku 3 263 148 543 888 418 16 976 Memenuhi
9 Kaisabu 2 126 150 338 227 801 17 182 Memenuhi
10 Lowu-Lowu 2 315 102 213 240 899 11 682 Memenuhi
11 Kolose 1 082 14 052 957 853 1 606 Memenuhi
12 Lakologou 2 291 97 796 953 256 11 177 Memenuhi
13 Sukanayo 2 464 10 751 300 302 1 229 Tidak memenuhi
14 Liwuto 2 247 50 153 866 207 5 732 Memenuhi
15 Waruruma 3 109 63 249 296 419 7 228 Memenuhi
16 Kadolomoko 5 074 88 283 618 330 10 090 Memenuhi
17 Wale 1 926 341 990 831 792 39 085 Memenuhi
18 Kaobula 2 080 37 355 632 336 4 269 Memenuhi
19 Batulo 5 032 155 819 368 833 17 808 Memenuhi
20 Wameo 4 835 31 075 048 205 3 551 Tidak memenuhi
Ngangana
21 3 925 20 523 376 458 2 346 Tidak memenuhi
Umala
22 Lanto 4 916 31 389 176 262 3 587 Tidak memenuhi
23 Tomba 4 351 126 335 986 192 14 438 Memenuhi
24 Wangkanapi 7 382 254 838 209 835 29 124 Memenuhi
25 Tarafu 5 280 52 414 852 181 5 990 Memenuhi
26 Bone-Bone 6 321 45 837 592 210 5 239 Tidak memenuhi
27 Batara Guru 9 134 47 182 915 511 5 392 Tidak memenuhi
28 Wajo 4 732 77 529 463 005 8 861 Memenuhi
29 Kadolokatapi 4 039 60 540 519 454 6 919 Memenuhi
30 Lamangga 6 267 225 477 337 635 25 769 Memenuhi
Bukit Wolio
31 8 138 69 952 244 894 7 995 Tidak memenuhi
Indah
32 Tanganapada 4 887 195 553 287 383 22 349 Memenuhi
33 Katobengke 8 124 215 087 270 863 24 581 Memenuhi
34 Melai 2 013 48 451 207 572 5 537 Memenuhi
35 Lipu 5 262 304 115 817 234 34 756 Memenuhi
36 Baadia 2 482 113 090 734 318 12 925 Memenuhi
37 Waborobo 2 122 46 911 028 447 5 361 Memenuhi
38 Sula'a 1 709 142 501 579 081 16 286 Memenuhi
Jumlah 142 576 3 868 227 683 821 442 083
69

Secara spasial, penggunaan lahan terbangun berada pada bagian depan


wilayah kota atau pusat kota (center), sedangkan penggunaan lahan non terbangun
berada pada wilayah belakang (hinterland). Hal ini seiring dengan teori Von
Lingkaran penggunaan lahan terkoneksi oleh transportasi melalui penyediaan
infrastruktur jalan. Teori Von Thunen menjelaskan bahwa biaya transportasi
menjadi faktor penting untuk menentukan besaran ekonomi lahan (land rent).
Namun dalam kasus Kota Baubau, nilai ekonomi penggunaan lahan pertanian
tidak dipengaruhi oleh biaya transportasi karena biaya transportasi dibebankan
oleh pengumpul (papalele).

Arahan Pengelolaan Lahan Berbasis Daya Dukung Lahan

Penyusunan arahan bertujuan untuk menjadi rekomendasi pengelolaan lahan


berbasis daya dukung. Penyusunan arahan berdasarkan hasil analisis daya dukung
dengan pendekatan fisik lingkungan dan pendekatan ekonomi lahan. Secara
umum berdasarkan analisis penggunaan lahan aktual relatif telah memenuhi daya
dukung secara fisik lingkungan maupun ekonomi.

Rumusan Asumsi

Hasil analisis sebelumnya menjadi hal penting yang harus diperhatikan


dalam penyusunan arahan pengelolaan lahan. Hasil analisis keselarasan lahan dan
analisis ekonomi lahan (land rent) memberikan gambaran yang lebih jelas tentang
dinamika penggunaan lahan baik dari aspek fisik lingkungan (ekologi), sosial
ekonomi maupun perencanaan. Hal tersebut yang menjadi rumusan asumsi untuk
menentukan arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau.
Hasil analisis keselarasan menunjukkan bahwa untuk penggunaan lahan
aktual tingkat keselarasan mencapai 96.99 %. Hal ini menunjukkan bahwa secara
ekologis penggunaan lahan aktual masih memenuhi daya dukung lahan. Namun
terdapat 1.78 % lahan yang tidak sesuai dan 1.23 % yang sesuai bersyarat.
Kondisi ini menujukkan perlu adanya pengelolaan yang lebih spesifik untuk lahan
dengan status tidak sesuai dan sesuai bersyarat.
Evaluasi keselarasan pada rencana pola ruang RTRW menunjukkan bahwa
lahan yang berstatus selaras sebesar 85.80 %. Lahan yang berstatus tidak selaras
berupa penggunaan lahan-lahan terbangun. Lahan tidak selaras dan selaras
bersyarat masing-masing sebesar 9.15 dan 5.04 %. Rencana pola ruang untuk
pertambangan sejak tahun 2009 terus terjadi konflik di masyarakat karena
mengancam kerberlanjutan aktivitas budidaya pertanian di bawahnya. Sehingga
aktivitas pertambangan di Kota Baubau cukup sulit dilakukan karena terus
mendapat penentangan oleh masyarakat dan diperlukan upaya pencegahan
terjadinya konflik ruang dan ekologi yang berkepanjangan.
Evaluasi rencana pola ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual
menunjukkan bahwa 80.64 % selaras, 14.36 % tidak selaras dan 5.00 % selaras
bersyarat. Kecenderungan luas lahan yang tidak selaras terus meningkat
berdasarkan hasil evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan
aktual dan rencana pola ruang menjadi 25.32 % dan jumlah lahan selaras
menurun menjadi 21 890.80 ha atau 74.68 %. Meningkatnya ketidakselerasan
terjadi pada rencana pola ruang untuk lahan-lahan terbangun. Hal ini
70

menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi aktual dan perencanaan, penerapan


rencana pola ruang RTRW memiliki potensi ekologi dan pontensi konflik sosial
terkait kebijakan ruang.
Hasil analisis ekonomi lahan (land rent) menunjukkan bahwa selama ini
ekonomi di Kota Baubau lebih ditunjang oleh aktivitas lahan non pertanian dan
kehutanan. Kondisi tersebut tidak berkeselarasan dengan luas penggunaan lahan
dimana lahan di Kota Baubau sebagian besar didominasi oleh penggunaan lahan
pertanian dan kehutanan yakni 94,92 %, sementara penggunaan lahan terbangun
hanya sebesar 4.94 %. Namun demikian penggunaan lahan pertanian dan
kehutanan menjaga keberlanjutan ekologi dan menjaga stabilitas sosial di Kota
Baubau. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai ekonomi lahan
penggunaan lahan aktual telah memenuhi daya dukung secara ekonomi. Untuk
itu, sangat penting untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi penggunaan
lahan pertanian dan hutan.
Fakta yang menunjukkan bahwa selama ini ekonomi Kota Baubau ditopang
oleh penggunaan lahan non pertanian dan kehutanan (lahan terbangun) dapat
memicu perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. RTRW sebagai
kebijakan perencanaan dan pengelolaan ruang kota, menunjukkan adanya rencana
peningkatan luasan lahan terbangun hingga tahun 2030 mendatang. Penelitian-
penelitian sebelumnya juga telah menegaskan bahwa perubahan penggunaan
lahan di wilayah perkotaan cenderung berubah pada kegiatan yang bernilai
ekonomi tinggi (lahan terbangun). Untuk itu, pada arahan ini diupayakan pada
pengendalian lahan terbangun dan perlindungan terhadap lahan pertanian dan
kehutanan.

Penilaian Daya Dukung Lahan

Sub judul ini menjabarkan penilaian daya dukung lahan berdasarkan hasil
analisis fisik lahan dan ekonomi lahan. Tabel 5.13 menunjukkan luasan lahan
yang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan. Lahan lahan yang berkelanjutan
meruapakan lahan yang secara fisik lingkungan saling selaras dan secara ekonomi
mampu memenuhi kebutuhan ekonomi penduduk berdasarkan kebutuhan hidup
layak. Luas lahan berkelanjutan adalah 21 421.25 ha (73.08 %). Lahan yang
tidak berkelanjutan merupakan lahan yang secara fisik tidak saling selaras dan
secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layak penduduk atau
tidak memenuhi salah satunya. Luas lahan yang statusnya tidak berkelanjutan
adalah 7 892.68 ha (26.92 %).
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa sebagian besar (73.08 %) lahan di Kota
Baubau memiliki status daya dukung yang berkelanjutan. Lahan dengan status
daya dukung tidak berkelanjutan (26.92 %) merupakan akumulasi dari lahan yang
secara ekonomi memenuhi daya dukung tetapi secara fisik tidak selaras seluas
7 367.49 ha (25.13 %) dan lahan yang baik secara ekonomi tidak memenuhi daya
dukung dan secara fisik tidak selaras seluas 525.18 ha (1.79 %). Status daya
dukung lahan tersebut dapat diketahui sebarannya berdasarkan kelurahan di Kota
Baubau yang disajikan pada gambar 5.11.
Status daya dukung lahan di Kota Baubau terdiri dari daya dukung lahan
yang berkelanjutan dan daya dukung yang tidak berkelanjutan. Sebaran lahan
dengan daya dukung yang tidak berkelanjutan mengikuti penggunaan lahan
71

terbangun dan sebaran jalan. Hal ini menyebabkan seluruh kelurahan memiliki
lahan dengan status daya dukung tidak berkelanjutan dengan luasan yang variatif.
Bahkan terdapat 7 kelurahan yang keseluruhan lahannya dianggap tidak
berkelanjutan yaitu kelurahan Sukanayo, Wameo, Ngangana Umala, Lanto, Bone-
Bone, Bataraguru, dan Bukit Wolio Indah. Hal ini disebabkan kelurahan tersebut
memiliki nilai ekonomi lahan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup layak
penduduknya.

Tabel 5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik
lahan dan nilai ekonomi lahan
Tidak memenuhi
Kategori Memenuhi daya dukung ekonomi
daya dukung ekonomi
fisik
luas (ha) status luas (ha) status
S_1 484.18 berkelanjutan 151.95 tidak berkelanjutan
S_2 8.91 berkelanjutan 1.84 tidak berkelanjutan
S_3 4 917.23 berkelanjutan 236.67 tidak berkelanjutan
S_4 16 010.93 berkelanjutan 79.10 tidak berkelanjutan
TS_01 448.42 tidak berkelanjutan - -
TS_02 513.92 tidak berkelanjutan - -
TS_03 138.00 tidak berkelanjutan 3.71 tidak berkelanjutan
TS_04 78.10 tidak berkelanjutan 4.65 tidak berkelanjutan
TS_05 2 073.18 tidak berkelanjutan - -
TS_06 1 734.63 tidak berkelanjutan - -
TS_07 151.11 tidak berkelanjutan 30.86 tidak berkelanjutan
TS_08 51.89 tidak berkelanjutan 0.37 tidak berkelanjutan
TS_09 757.34 tidak berkelanjutan 13.79 tidak berkelanjutan
TS_10 1 420.90 tidak berkelanjutan 2.24 tidak berkelanjutan

Kelurahan yang memiliki lahan dengan status daya dukung berkelanjutan


umumnya merupakan lahan non terbangun yaitu penggunaan lahan pertanian dan
hutan. Lahan dengan status berkelanjutan memiliki karakter fisik yang selaras
dengan kelas penggunaannya dan umumnya penggunaan lahan tersebut juga
memiliki fungsi ekologis. Secara ekonomi lahannya mampu menyediakan
kebutuhan penduduknya berdasarkan kebutuhan hidup layak. Hal tersebut
dikarenakan kelurahan tersebut relatif memiliki populasi penduduk yang rendah.
Sebaran lahan dengan status daya dukung berkelanjutan umumnya berada pada
daerah hiterland. Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan
tidak berkelanjutan perkelurahan disajikan pada tabel 5.13.
72

Gambar 5.11 Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota
Baubau
73

Tabel 5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak
berkelanjutan perkelurahan
Status daya dukung
Kelurahan Tidak
Berkelanjutan Persen Persen
Berkelanjutan
Palabusa 1 109.96 3.79 276.95 0.94
Kampeonaho 363.46 1.24 1 018.63 3.47
Ngkari Ngkari 1 326.99 4.53 1 016.77 3.47
Bugi 1 934.10 6.60 416.39 1.42
Kalia Lia 809.76 2.76 560.55 1.91
Gonda Baru 3 354.52 11.44 763.28 2.60
Karya Baru 725.39 2.47 101.61 0.35
Liabuku 1 271.94 4.34 1 236.12 4.22
Kaisabu 2 725.66 9.30 1 124.59 3.84
Lowu-Lowu 448.30 1.53 108.41 0.37
Kolose 8.21 0.03 100.90 0.34
Lakologou 105.88 0.36 29.64 0.10
Sukanayo - - 56.96 0.19
Liwuto 70.50 0.24 7.15 0.02
Waruruma 727.12 2.48 191.31 0.65
Kadolomoko 448.79 1.53 159.33 0.54
Wale 18.37 0.06 11.03 0.04
Kaobula 8.52 0.03 5.25 0.02
Batulo 29.72 0.10 16.47 0.06
Wameo - - 29.88 0.10
Ngangana Umala - - 27.87 0.10
Lanto - - 26.39 0.09
Tomba 14.12 0.05 9.04 0.03
Wangkanapi 57.15 0.19 11.70 0.04
Tarafu 35.49 0.12 6.27 0.02
Bone-Bone - - 51.13 0.17
Batara Guru - - 47.82 0.16
Wajo 37.48 0.13 11.16 0.04
Kadolokatapi 2 323.90 7.93 48.22 0.16
Lamangga 50.00 0.17 14.74 0.05
Bukit Wolio Indah - - 282.12 0.96
Tanganapada 37.76 0.13 11.78 0.04
Katobengke 295.48 1.01 25.92 0.09
Melai 63.07 0.22 7.58 0.03
Lipu 472.34 1.61 12.61 0.04
Baadia 587.32 2.00 44.55 0.15
Waborobo 781.19 2.66 10.97 0.04
Sula'a 1 178.75 4.02 11.58 0.04
21 421.25 73.08 7 892.68 26.92
74

Arahan Tindak Lanjut

Hasil analisis daya dukung lahan memberikan arahan untuk pengelolaan


lahan di Kota Baubau. Arahan tersebut sebagai masukan untuk revisi dokumen
RTRW Kota Baubau. Rencana pola ruang RTRW yang telah ada tetap menjadi
acuan alokasi penggunaan lahan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial
ekonomi dan perencanaan. Arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau adalah
dengan melakukan pengendalian terhadap penggunaan lahan terbangun dan
perlindungan lahan pertanian. Selain itu, lahan-lahan yang berfungsi ekologis
juga dipertahankan.
Secara umum penggunaan lahan di Kota Baubau dibagi dua kelas
penggunaan. Pertama, penggunaan lahan non terbangun yang meliputi wilayah
utara dan timur kota. Wilayah itu mencakup Kecamatan Bungi, Sorawolio, Lea-
Lea. Kawasan ini dapat ditetapkan sebagai kawasan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) melalui Peraturan Daerah (PERDA). Kedua, Penggunaan
lahan terbangun untuk kawasan pengembangan jasa dan perdagangan berada pada
wilayah selatan dan pesisir kota.
Penggunaan lahan non terbangun (pertanian dan kehutanan) di Kota Baubau
sangat penting dipertahankan. Kendati secara ekonomi nilai lahannya sangat
rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan non pertanian, namun
penggunaan lahan pertanian dan kehutanan berperan penting sebagai zona
penyangga atau “sabuk pengaman” dalam menjaga keberlanjutan ekologi kota dan
stabilitas sosial. Oleh karena itu penggunaan lahan pertanian dan kehutanan
sebisa mungkin dipertahankan. Pertanian lahan basah (sawah) saat ini merupakan
sawah beririgasi teknis.
Rencana pola ruang yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan diarahkan
untuk tidak dilakukan dan penggunaan lahannya dibiarkan sesuai penggunaan
lahan aktual. Penggunaan lahan aktual yang berada pada kelas VII dan VIII yang
diatasnya terdapat aktivitas budidaya dijadikan sebagai kawasan lindung.
Penggunaan lahan pada kelas kemampuan tersebut memiliki daya dukung buruk.
Secara spasial arahan pengelolaan lahan berbasis daya dukung di Kota
Baubau dilihat pada Gambar 5.12. Gambar 5.12 memadukan antara kondisi
penggunaan lahan aktual, rencana pola ruang dan kemampuan lahan dengan
memperhatikan aspek sosial ekonomi dan lingkungan Kota Baubau. Secara
umum terdapat empat fungsi kawasan yaitu kawasan budidaya, kawasan budidaya
berfungsi lindung, kawasan lindung serta kawasan pertanian pangan dan
perkebunan.
Kawasan budidaya merupakan kawasan dengan aktivitas ekonomi tinggi
yang umumnya merupakan lahan terbangun. Kelas penggunaan lahan yang
termasuk kawasan budidaya yaitu industri perikanan, fasilitas sosial, pusat
pendidikan, perkantoran, pergudangan, fasilitas umum, komersil, pemukiman,
kawasan bandara, kawasan pelabuhan, markas TNI, PLTU, wisata pantai, jalan,
pusat pendidikan, sarana ibadah dan terminal. Namun demikian, lahan-lahan
terbangun tersebut dalam pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip
keberlanjutan yaitu menjaga kualitas iklim mikro dan ketersediaan air tanah. Hal
ini dilakukan dengan menambahkan hijauan utamanya jalur hijau jalan, sempadan
sungai, taman privat dan sumur resapan pada area perkantoran dan pemukiman.
Luas total kawasan budidaya yaitu 7 984.60 ha atau 27.24 %.
75

Kawasan budidaya berfungsi lindung berfungsi untuk membantu menjaga


Sub DAS Bungi dan menciptakan kesan estetik dan iklim mikro yang nyaman di
perkotaan. Kawasan budidaya berfungsi lindung terdiri dari penggunaan lahan
ruang terbuka publik dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). HPT merupakan jenis
hutan yang dapat diolah untuk kepentingan industri dengan prinsip pengelolaan
yang berkelanjutan. Kawasan ini mencakup luasan 4 030.75 ha atau 13.75 %.

Gambar 5.12 Arahan pengelolaan ruang Kota Baubau


Kawasan lindung memberikan manfaat ekologi bagi keberlangsungan kota
dan melindungi aset peninggalan sejarah kota. Kawasan lindung dapat
dimanfaatkan secara ekonomi selama tidak bersifat eksploitatif misalnya lebah
madu hutan, ekowisata dan wisata sejarah/budaya. Kawasan lindung terdiri atas
penggunaan lahan hutan lindung, hutan kota, taman, ruang terbuka hijau (RTH),
pemakaman, mangrove, konservasi pantai, badan air dan cagar budaya. Luas
kawasan lindung mencapai 12 118.07 ha atau 41.34 %.
Kawasan pertanian pangan dan perkebunan berfungsi untuk menjaga
ketersediaan pangan bagi penduduk Kota Baubau. Kawasan ini terdiri atas
pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, tambak, peternakan, dan
perkebunan dengan luas 5 180.52 ha (17.67 %). Pertanian lahan basah dan lahan
kering yang telah ada pada penggunaan lahan aktual sepenuhnya dipertahankan.
Pengelolaan tambak dengan konsep minapadi dan peternakan yang lebih intensif.
Perencanaan lahan perkebunan disesuaikan dengan lahan perkebunan aktual dan
rencana pola ruang RTRW. Kawasan ini sangat penting untuk dilindungi sebagai
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Kota Baubau yang ditetapkan
melalui Peraturan Daerah (PERDA).
Khusus untuk rencana pertambangan Nikel diarahkan untuk tidak dilakukan.
Hal ini dikarenakan telah berkali-kali memicu konflik ruang antara masyarakat
76

dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan pengusaha tambang Nikel.


Bagi masyarakat Kota Baubau keberadaan tambang Nikel lebih memberikan
dampak kerusakan ekologi yakni mengancam keberadaan lahan pertanian dan
sumber air minum dibandingakan dampak ekonomi yang dihasilkan dari tambang
tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan Sub DAS Bungi sebagai sumber
air irigasi dan air minum berada di rencana kawasan tambang Nikel.

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan terkait daya dukung lahan di Kota


Baubau, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Daya dukung lahan di Kota Baubau secara fisik lingkungan baik yang
ditunjukkan dengan luas lahan yang selaras lebih tinggi yakni 21 890.80 ha
atau 74.68 % dibanding luas lahan yang tidak selaras yakni 7 423.13 ha atau
25.32 %.
2. Daya dukung lahan di Kota Baubau secara ekonomi memenuhi daya dukung
yang ditunjukkan dengan hasil perbandingan dengan KHL (Rp8 750 000)
melebihi jumlah penduduk. Nilai ekonomi lahan di Kota Baubau sebesar Rp3
868 227 683 821 yang mampu menghidupi 442 083 jiwa atau 3.1 kali jumlah
penduduk Kota Baubau tahun 2013.
3. Arahan pemanfaatan ruang terdiri atas empat kawasan yaitu kawasan
budidaya (7 984.60 ha atau 27.24 %), kawasan budidaya berfungsi lindung (4
030.75 ha atau 13.75 %), kawasan lindung (12 118.07 ha atau 41.34 %) dan
kawasan lahan pangan dan perkebunan (5 180.52 ha atau 17.67 %).

Saran
Perlunya dilakukan dialog dan komunikasi intensif dengan pihak
Pemerintah Daerah (PEMDA) Kota Baubau untuk mendorong agenda revisi
dokumen RTRW Kota Baubau. Agenda revisi RTRW terkait dua hal pokok yaitu
pertama, perlindungan lahan di Kota Baubau dengan memperhatikan aspek daya
dukung dalam perencanaan dan pengelolaan lahan. Kedua, pengendalian penggunaan
lahan terbangun dan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua Cetakan Kedua. Bogor
(ID): IPB Press
Arsyad S dan Rustiadi E. 2008. Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan.
Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kota Baubau dalam Angka. Baubau (ID):
Badan Pusat Statistik
77

Bai X, Wen Z, An S dan Li B. 2015. Evaluating sustainability of cropland use in


Yuanzhou county of the loess plateau, China using an emergy-based
ecological footprint. PLoS ONE 10(3):e0118282.
DOI:10.1371/journal.pone.0118282
Baja S, Sudjiton, Amiruddin LA, Zamhuri Y, Munizu M, Tahara T, Mustari T dan
Abduh M. 2007. Masterplan Kawasan Industri Perikanan dan
Pariwisata Terpadu (KIPPT) Pulau Makassar Kota Baubau Sulawesi
Tenggara. Baubau (ID): Pemerintah Kota Baubau.
Baja S. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah.
Yogyakarta (ID): Penerbit Andi.
Barlowe R. 1986. Land Resource Economics: The Economics of Real Estate. 4th
ed. Englewood Cliffs, New Jersey (US): Prentice-Hall
Barus B, dan Wiradisastra U.S. 2000. Sistem Informasi Geografis. Bogor (ID):
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, IPB.
Braithwaite JE, Meeuwig JJ dan Jenner KCS. 2012. Estimating cetacean carrying
capacity based on spacing behaviour. PLoS ONE 7(12): e51347.
DOI:10.1371/journal.pone.0051347
Choi J. 2013. Green Open Space Conservation GIS Spasial Modeling [Desertasi].
New York (US): State University of New York, Colledge of
Enviromental Science and Forestry
Darmawan Y. 2008. Menyibak Kabut di Keraton Buton. Baubau (ID): Respect.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1983. Guidelines: Land evaluation for
rain fed agriculture. Soils Bulletin 52. Rome (IT): FAO of the United
Nation.
Gad A. 2015. Land capability classification of some western desert Oases, Egypt,
using remote sensing and GIS. Elsevier:The Egyptian Journal of Remote
Sensing and Space Sciences. Tersedia pada:
www.elsevier.com/locate/ejrs.
Gonzales-Abraham C, Ezcurra, Garcillan PP, Ortega-Rubio A, Kolb M dan Creel
JEB. 2015. The Human footprint in Mexico: physical geography and
historical legacies. PLoS ONE 10(3): e0121203.
DOI:10.1371/journal.pone.0121203.
Grekousis G dan Mountrakis G. 2015. Sustainable development under population
pressure: lessons from developed land consumption in the conterminous
US. PLoS ONE. DOI:10.1371/journal.pone.0119675.
Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Keselarasan Lahan dan
Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada
University Press.
Hagy HM dan Kaminski RM. 2015. Determination of foraging thresholds and
effects of application on energetic carrying capacity for waterfowl. PLoS
ONE 10(3): e0118349. DOI:10.1371/journal.pone.0118349
Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan,
Perkotaan, dan Wilayah . Edisi Ketiga. Bandung (ID): ITB
Johnson B.G dan Zuleta, G.A. 2013. Land-use land-cover change and ecosystem
loss in the Espinal ecoregion, Argentina. Elsevier: Agriculture,
Ecosystems and Environment 181 (2013) 31– 40.
78

Kumar P. 2009. Assessment of Economic Drivers of Land Use Change in Urban


Ecosystems of Delhi, India. Stockholm (SE): Springer Science &
Business Media
Lambin EF, Geist HJ, Lepers E. 2003. Dynamics of land use and land cover
change in tropical regions. Annu. Rev. Environment Resource. 28:205-41
Mahmudi B. 2002. Optimalisasi penggunaan lahan dan penetapan daya dukung
lingkungan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Cilampuyung, Sub-DAS
Cimanuk Hulu, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor
(ID): IPB.
Munibah K. 2008. Model spasial perubahan penggunaan lahan dan arahan
penggunaan lahan berwawasan lingkungan (studi kasus DAS Cidanau,
Provinsi Banten) [Desertsi]. Bogor (ID): IPB.
Murphy BW, Murphy C, Wilson BR, Emery KA, Lawrie J, Bowman G, Lawrie
R, Erskine W, 2004. A revised land and soil capability classification for
New South wales. Di dalam: International Soil Conservation
Organisation Conference.
Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung
(ID): Penerbit Informatika.
Rabani LO. 2010. Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Yogyakarta (ID):
Penerbit Ombak
Rossiter DG. 2004. Land Evaluation. Part IV- Economic Land Evaluation.
Departemen of Soil, Corp and Atmospheric Science, Colledge of
Agriculture and Life Science, Cornell University (US): Cornell
University
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Rustiadi E, Barus B, Prastowo, Iman LOS. 2010. Pengembangan Pedoman
Evaluasi Pemanfaatan Ruang; Penyempurnaan Lampiran Permen LH
17/2009. Bogor (ID): Kerjasama Deputi Bidang Tata Lingkungan
Kementerian Lingkungan hidup dan Pusat Pengkajian perencanaan dan
Penegembangan wilayah Institut Pertanian Bogor (P4W-IPB).
Rusyamin LO. 2013. Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi
Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Santos MJ, Watt T dan Pincet S. 2014. The push and pull of land use policy:
reconstructing 150 years of development and conservation land
acquisition. PLoS ONE 9(7): e103489.
DOI:10.1371/journal.pone.0103489
Seto KC, Fragkias M, Guneralp B dan Reilly MK. 2011. A meta-analysis of
global urban land expansion. PLoS ONE 6(8): e23777.
DOI:10.1371/journal.pone.0023777.
Soemarwoto O. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta (ID).
Gadjah Mada University Press.
_______. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan
Kesepuluh. Jakarta (ID): Djambatan
Star J dan Estes JE. 1990. Geographic Information System: An Introduction.
Prentice Hall, Englewood Cliff
Tilman D.1982. Resource competition and community structure. Monographs in
Population Biology 17: 1–296.
79

Lampiran 1 Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria


klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad
(2010)
No Faktor Penghabat Intensitas Faktor Penghambat
1 Tekstur tanah (t) - t1 : halus : liat berdebu, liat
- t2 : agak halus: liat berpasir, lempung liat
berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir.
- t3 : sedang: debu, lempung berdebu, lempung
- t4 : agak kasar: lempung berpasir
- t5 : kasar: pasir berlempung, pasir
2 Lereng permukaan (l) - l0 : >0-3 %: datar
- l1 : >3-8 %: landai/berombak
- l2 : >8-15 %: agak miring/bergelombang
- l3 : >15-30 %: miring/berbukit
- l4 : >30-45 %: agak curam
- l5 : >45-65 %: curam
- l6 : >65 %: sangat curam
3 Drainase tanah (d) - d0 : tanah mempunyai peredaran udara baik.
Seluruh profil tanah dari atas sampai lapisan
bawah berwarna terang yang uniform dan tidak
terdapat bercak-bercak.
- d1 : tanah mempunyai peredaran udara baik.
Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning,
coklat, atau kelabu pada lapisan atas dan bagian
atas lapisan bawah.
- d2 : lapisan tanah atas mempunyai peredaran
udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak
berwarna kuning, coklat, atau kelabu. Bercak-
bercak terdapat pada seluruh lapisan bawah.
- d3 : bagian atau lapisan atas (dekat permukaan)
terdapat warna atau bercak-bercak berwarna
kelabu, coklat, dan kekuningan.
- d4 : seluruh lapisan permukaan tanah berwarna
kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu atau
terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan
kekuningan.
4 Kedalaman efektif (k) dalam: >90 cm
sedang: 90-50 cm
dangkal: 50-25 cm
sangat dangkal: <25 cm
Lampiran 2 Contoh sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen
sub
SLH Jenis tanah % kelerengan (l) Tekstur (t) Kedalaman (k) draiase (d) Kelas
kelas
1 Tropudalfs; Eutropepts l1 (landai:3-8) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_l1d2
2 Tropudalfs; Eutropepts l1 (landai:3-8) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_l1d2
3 Tropudalfs; Eutropepts l3 (miring berbukit:15-30) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) IV IV_l3
4 Tropudalfs; Eutropepts l3 (miring berbukit:15-30) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) IV IV_l3
5 Tropudalfs; Eutropepts l2 (agak miring:8-15) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) III III_l2
6 Tropudalfs; Eutropepts l2 (agak miring:8-15) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) III III_l2
7 Tropudalfs; Eutropepts l0 (datar:0-3) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_d2
8 Tropudalfs; Eutropepts l4 (agak curam:30-45) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) VI VI_l4
9 Sulfaquents; Hydraquents l0 (datar:0-3) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_d2
10 Sulfaquents; Hydraquents l1 (landai:3-8) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_l1d2
11 Sulfaquents; Hydraquents l3 (miring berbukit:15-30) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) IV IV_l3
12 Sulfaquents; Hydraquents l2 (agak miring:8-15) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) III III_l2
13 Rendolls; Eutropepts l0 (datar:0-3) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_d2
14 Rendolls; Eutropepts l2 (agak miring:8-15) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) III III_l2
15 Rendolls; Eutropepts l0 (datar:0-3) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_d2
16 Rendolls; Eutropepts l0 (datar:0-3) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_d2
17 Rendolls; Eutropepts l1 (landai:3-8) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_l1d2
18 Rendolls; Eutropepts l2 (agak miring:8-15) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) III III_l2
19 Rendolls; Eutropepts l2 (agak miring:8-15) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) III III_l2
20 Rendolls; Eutropepts l0 (datar:0-3) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_d2
21 Rendolls; Eutropepts l2 (agak miring:8-15) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) III III_l2
22 Rendolls; Eutropepts l0 (datar:0-3) t1 (halus) k0 (dalam:>90) agak buruk (d1) II II_d2
Lampiran 3 Perhitungan daya dukung berdasarkan ketersediaan lahan

Produksi Beras
Komoditi satuan Produksi padi Produksi beras
Padi sawah kg 10 652 400 6 391 440
padi ladang kg 1 162 800 697 680

Nilai Produksi beras dan palawija


Produksi harga satuan (Rp/kg) Nilai produksi
Komoditi satuan
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Beras sawah kg 6 391 440.00 8 750 55 925 100 000
Beras ladang kg 697 680.00 12 000 8 372 160 000
jagung kg 717 400 4 500 3 228 300 000
kedelai kg 4 000 15 000 60 000 000
kacang tanah kg 5 000 19 000 95 000 000
kacang hijau kg 2 850 20 000 57 000 000
ubi kayu kg 1 630 250 5 000 8 151 250 000
ubi jalar kg 384 800 5 000 1 924,000,000
jumlah 77 812 810 000

Nilai produksi sayuran


Produksi harga satuan (Rp/kg) Nilai produksi
Komoditi satuan
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Bawang Daun kg 8 800 6 500 57 200 000
Kubis kg 31 400 8 000 251 200 000
Petsai / sawi kg 51 700 8 750 452 375 000
Kacang
kg 84 600 13 000 1 099 800 000
Panjang
Cabe Besar kg 20 900 35 000 731 500 000
Cabe Rawit kg 12 600 50 000 630 000 000
Tomat kg 39 000 25 000 975 000 000
Terung kg 74 800 8 550 639 540 000
Buncis kg 6 800 12 000 81 600 000
Ketimun kg 31 100 10 000 311 000 000
Kangkung kg 94 700 7 000 662 900 000
Bayam kg 31 500 8 000 252 000 000
Jumlah 6 144 115 000
82

Nilai produksi buah


Produksi harga satuan (Rp/kg) Nilai produksi
Komoditi satuan
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Alpokat kg 22 200 21 950 487 290 000
Mangga kg 343 800 15 000 5 157 000 000
Rambutan kg 258 100 10 000 2 581 000 000
Jeruk kg 37 300 11 000 410 300 000
Jambu Biji kg 16 400 10 000 164 000 000
Jambu Air kg 23 300 5 000 116 500 000
Pepaya kg 40 100 6 500 260 650 000
Pisang kg 245 000 15 000 3 675 000 000
Nenas kg 74 300 8 500 631 550 000
Salak kg 1 900 25 000 47 500 000
Nangka kg 139 900 7 500 1 049 250 000
Sawo kg 1 100 8 000 8 800 000
Sukun kg 17 100 7 500 128 250 000
Belimbing kg 12 700 3 000 38 100 000
Sirsak kg 16 100 5 700 91 770 000
Semangka kg 3 500 20 000 70 000 000
Jumlah 14 917 026 600

Nilai produksi perkebunan


harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/kg)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
melinjo kg 1 200 15 000 18 000 000
Coklat kg 523 200 29 000 15 172 800 000
Jambu Mete kg 571 700 11 000 6 288 700 000
Kelapa Dalam kg 162 450 8 000 1 299 600 000
Kelapa Hybrida kg 16 000 7 500 120 000 000
Kopi kg 12 850 18 000 231 300 000
Kemiri kg 16 200 3 500 56 700 000
Enau kg 2 750 7 500 20 625 000
Asam Jawa kg 9 000 20 000 180 000 000
Pinang kg 4 750 5 000 23 750 000
Kapuk kg 23 750 1 000 23 750 000
jumlah 23 435 225 000

Nilai produksi tanaman obat


harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/kg)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Lidah Buaya kg 540 10 000 5 400 000
Jahe kg 72 315 20 000 1 446 300 000
Laos / Lengkuas kg 85 876 20 000 1 717 520 000
83

harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/kg)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Kencur kg 2 098 40 000 83 920 000
Kunyit kg 59 770 20 000 1 195 400 000
Lempuyang kg 40 40 000 1 600 000
Temulawak kg 58 549 20 000 1 170 980 000
Temuireng kg 26 505 25 000 662 625 000
Temukunci kg 277 30 000 8 310 000
Dringo kg 153 23 000 3 519 000
Kapulaga kg 10 45 000 450 000
Mengkudu kg 1 291 55 000 71 005 000
Mahkota Dewa kg 107 20 000 2 140 000
Kejibeling kg 695 20 000 13 900 000
Sambiloto kg 5 323 8 000 42 584 000
jumlah 6 425 653 000

Nilai produksi peternakan, perikanan dan kehutanan


harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/satuan)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Sapi kg 1 792 6 000 000 10 752 000 000
Kambing kg 1 681 1 500 000 2 521 500 000
Ayam kampung kg 139 604 90 000 12 564 360 000
ayam potong kg 41 050 40 000 1 642 000 000
Itik kg 4 546 55 000 250 030 000
ayam ras petelur kg 9 000 55 000 495 000 000
perikanan darat kg 18 960 20 000 379 200 000
telur ayam kampung kg 6 282 150 1 500 9 423 225 000
telur ayam petelur kg 4 929 600 1 100 5 422 560 000
telur itik kg 6 650 100 1 300 8 645 130 000
Getah Pinus kg 24 320 3 500 85 120 000
Rotan kg 20 000 4 000 80 000 000
Jumlah 52 260 125 000

Nilai produksi tanaman hias


harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/tangkai)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Anggrek kg 165 25 000 4 125 000
Anthurium / Kuping
kg 42 20 000 840 000
Gajah
Anyelir kg 18 15 000 270 000
Gerbera kg 24 15 000 360 000
Gladiol kg 346 15 000 5 190 000
84

harga satuan
Produksi Nilai produksi
Komoditi satuan (Rp/tangkai)
(Pi) (Hi) (Pi * Hi)
Heliconia / pisang-
kg 151 17 000 2 567 000
pisangan
Krisan kg 300 15 000 4 500 000
Mawar kg 77 25 000 1 925 000
Sedap Malam kg 125 17 000 2 125 000
Dracena kg 50 15 000 750 000
Melati kg 137 25 000 3 425 000
Palem kg 100 35 000 3 500 000
Aglaonema kg 172 13 500 2 322 000
Kamboja Jepang kg 773 20 000 15 460 000
Euphorbia kg 115 10 000 1 150 000
Phylodendron kg 105 15 000 1 575 000
Pakis kg 230 20 000 4 600 000
Monstera kg 112 20 000 2 240 000
Ioxora / Soka kg 397 15 000 5 955 000
Cordyline kg 197 15 000 2 955 000
Difenbahia kg 71 15 000 1 065 000
Sansiviera kg 211 15 000 3 165 000
Anthurium Daun kg 180 17 000 3 060 000
Caladium kg 259 20 000 5 180 000
jumlah 78 304 000

Untuk mengetahui ketersediaan lahan pangan Kota Baubau:

SL = Σ(Pi x Hi) x . 1 .
Hb Ptvb

= 181 073 258 600 x . 1 .


8 750 4 565.31
= 4 532.89 ha

Untuk mengetahui luas lahan pangan yang dibutuhkan perpenduduk untuk


hidup layak (KHLL), adalah:

KHLL = 1 ton/Ptvb
= 0.22 ha/jiwa

Jadi jumlah penduduk Kota Baubau yang dapat didukung oleh lahan pangan
tersedia adalah:

= 4 532.89 ha
0.22 ha/jiwa
= 20 695.09 jiwa atau 14.51 % dari jumlah total penduduk Kota Baubau
Lampiran 4 contoh perhitungan land rent beberapa penggunaan lahan aktual

Penggunaan lahan pertanian


harga Produk biaya input pendapatan kotor pendapatan bersih
luas total indeks total pendapatan total pendapatan
No Komoditi satuan tivitas
panen produksi/thn panen kotor bersih
Rp/kg (kg/ha) per ha per ha/thn per ha perha/thn per ha per ha/thn

1 Padi sawah 8 750 1 400 10 652 400 7 609 2 5 000 000 10 000 000 33 288 750 66 577 500 28 288 750 56 577 500 93 208 500,000 79,208,500,000
2 Padi ladang 12 000 342 1 162 800 3 400 1 2 940 000 2 940 000 40 800 000 40 800 000 37 860 000 37 860 000 13 953 600,000 12,948,120,000
3 jagung 4 500 312 717 400 2 299 1 3 500 000 3 500 000 10 347 115 10 347 115 6 847 115 6 847 115 3 228 300,000 2,136,300,000
4 kedelai 15 000 3 4 000 1 333 1 1 500 000 1 500 000 20 000 000 20 000 000 18 500 000 18 500 000 60,000,000 55,500,000
5 kacang tanah 19 000 5 5 000 1 000 1 1 500 000 1 500 000 19 000 000 19 000 000 17 500 000 17 500 000 95,000,000 87,500,000
6 kacang hijau 20 000 3 2 850 950 1 1 500 000 1 500 000 19 000 000 19 000 000 17 500 000 17 500 000 57,000,000 52,500,000
7 ubi kayu 5 000 178 1 630 250 9 159 1 500 000 500 000 45 793 539 45 793 539 45 293 539 45 293 539 8 151,250,000 8,062,250,000
8 ubi jalar 5 000 81 384800 4 751 1 500 000 500 000 23 753 086 23 753 086 23 253 086 23 253 086 1 924,000,000 1,883,500,000
9 Alpokat 21 953 6 22 200 3 700 1 700 000 700 000 81 226 100 81 226 100 80 526 100 80 526 100 487,356,600 483,156,600
10 Mangga 15 000 72.87 343 800 4 718 1 700 000 700 000 70 769 864 70 769 864 70 069 864 70 069 864 5 157,000,000 5,105,991,000
11 Rambutan 10 000 65.78 258 100 3 924 1 700 000 700 000 39 236 850 39 236 850 38 536 850 38 536 850 2 581,000,000 2,534,954,000
12 Jeruk 11 000 15 37 300 2 487 1 700 000 700 000 27 353 333 27 353 333 26 653 333 26 653 333 410,300,000 399,800,000
13 Jambu Biji 10 000 16.2 16 400 1 012 1 700 000 700 000 10 123 457 10 123 457 9 423 457 9 423 457 164,000,000 152,660,000
14 Jambu Air 5 000 9.57 23 300 2 435 1 700 000 700 000 12 173 459 12 173 459 11 473 459 11 473 459 116,500,000 109,801,000
15 Pepaya 6 500 86.33 40 100 464 1 700 000 700 000 3 019 229 3 019 229 2 319 229 2 319 229 260,650,000 200,219,000
16 Pisang 15 000 353.30 245 000 693 1 1 000 000 1 000 000 10 401 925 10 401 925 9 401 925 9 401 925 3 675,000,000 3,321,700,000
17 Nenas 8 500 38.76 74 300 1 917 1 1 000 000 1 000 000 16 293 860 16 293 860 15 293 860 15 293 860 631,550,000 592,790,000
18 Salak 25000 17.30 1 900 110 1 700 000 700 000 2 745 665 2 745 665 2 045 665 2 045 665 47,500,000 35,390,000
19 Nangka 7 500 45.60 139 900 3 068 1 700 000 700 000 23 009 868 23 009 868 22 309 868 22 309 868 1 049,250,000 1,017,330,000
20 Sawo 8 000 1.40 1 100 786 1 700 000 700 000 6 285 714 6 285 714 5 585 714 5 585 714 8,800,000 7,820,000
21 Sukun 7 500 9.48 17 100 1 804 1 700 000 700 000 13 528 481 13 528 481 12 828 481 12 828 481 128,250,000 121,614,000
86

harga Produk biaya input pendapatan kotor pendapatan bersih


luas total indeks total pendapatan total pendapatan
No Komoditi satuan tivitas
panen produksi/thn panen kotor bersih
Rp/kg (kg/ha) per ha per ha/thn per ha perha/thn per ha per ha/thn

22 Belimbing 3,000 8.11 12,700 1,566 1 700,000 700,000 4,697,904 4,697,904 3,997,904 3,997,904 38,100,000 32,423,000
23 Sirsak 5,700 21.27 16,100 757 1 700,000 700,000 4,314,528 4,314,528 3,614,528 3,614,528 91,770,000 76,881,000
24 melinjo 15,000 9.36 1,200 128 1 700,000 700,000 1,923,077 1,923,077 1,223,077 1,223,077 18,000,000 11,448,000
25 Coklat 29,000 136 523,200 3,847 1 13,000,000 13,000,000 111,564,706 111,564,706 98,564,706 98,564,706 15,172,800,000 13,404,800,000
26 Jambu Mete 11,000 402.20 571,700 1,421 1 5,000,000 5,000,000 15,635,753 15,635,753 10,635,753 10,635,753 6,288,700,000 4,277,700,000
27 Kelapa Dalam 8,000 106 162,450 1,533 1 1,500,000 1,500,000 12,260,377 12,260,377 10,760,377 10,760,377 1,299,600,000 1,140,600,000
28 Kelapa Hybrida 7,500 11.50 16,000 1,391 1 1,500,000 1,500,000 10,434,783 10,434,783 8,934,783 8,934,783 120,000,000 102,750,000
29 Kopi 18,000 34.25 12,850 375 1 1,500,000 1,500,000 6,753,285 6,753,285 5,253,285 5,253,285 231,300,000 179,925,000
30 Kemiri 3,500 54.95 16,200 295 1 1,000,000 1,000,000 1,031,847 1,031,847 31,847 31,847 56,700,000 1,750,000
31 Enau 7,500 10.25 2,750 268 1 1,000,000 1,000,000 2,012,195 2,012,195 1,012,195 1,012,195 20,625,000 10,375,000
32 Asam Jawa 20,000 4.75 9,000 1,895 1 500,000 500,000 37,894,737 37,894,737 37,394,737 37,394,737 180,000,000 177,625,000
33 Pinang 5,000 1.30 4,750 3,654 1 500,000 500,000 18,269,231 18,269,231 17,769,231 17,769,231 23,750,000 23,100,000
34 Kapuk 1,000 20.65 23,750 1,150 1 1,000,000 1,000,000 1,150,121 1,150,121 150,121 150,121 23,750,000 3,100,000
35 Bawang Daun 6,500 2 8,800 4,400 1 10,000,000 10,000,000 28,600,000 28,600,000 18,600,000 18,600,000 57,200,000 37,200,000
36 Kubis 8,000 5 31,400 6,280 1 14,000,000 14,000,000 50,240,000 50,240,000 36,240,000 36,240,000 251,200,000 181,200,000
37 Petsai / sawi 8,750 25 51,700 2,068 1 12,000,000 12,000,000 18,095,000 18,095,000 6,095,000 6,095,000 452,375,000 152,375,000
38 Kacang Panjang 13,000 39 84,600 2,169 1 15,000,000 15,000,000 28,200,000 28,200,000 13,200,000 13,200,000 1,099,800,000 514,800,000
39 Cabe Besar 35,000 9 20,900 2,322 1 15,000,000 15,000,000 81,277,778 81,277,778 66,277,778 66,277,778 731,500,000 596,500,000
40 Cabe Rawit 50,000 7 12,600 1,800 1 17,000,000 17,000,000 90,000,000 90,000,000 73,000,000 73,000,000 630,000,000 511,000,000
41 Tomat 25,000 16 39,000 2,438 1 15,000,000 15,000,000 60,937,500 60,937,500 45,937,500 45,937,500 975,000,000 735,000,000
42 Terung 8,550 25 74,800 2,992 1 15,000,000 15,000,000 25,581,600 25,581,600 10,581,600 10,581,600 639,540,000 264,540,000
43 Buncis 12,000 6 6,800 1,133 1 10,000,000 10,000,000 13,600,000 13,600,000 3,600,000 3,600,000 81,600,000 21,600,000
44 Ketimun 10,000 13 31,100 2,392 1 12,000,000 12,000,000 23,923,077 23,923,077 11,923,077 11,923,077 311,000,000 155,000,000
45 Kangkung 7,000 36 94,700 2,631 2 5,000,000 10,000,000 9,206,944 18,413,889 4,206,944 8,413,889 662,900,000 302,900,000
87

harga Produk biaya input pendapatan kotor pendapatan bersih


luas total indeks total pendapatan total pendapatan
No Komoditi satuan tivitas
panen produksi/thn panen kotor bersih
Rp/kg (kg/ha) per ha per ha/thn per ha perha/thn per ha per ha/thn

46 Bayam 8,000 18 31,500 1,750 2 5,000,000 10,000,000 7,000,000 14,000,000 2,000,000 4,000,000 252,000,000 72,000,000
47 Semangka 20,000 1.5 3,500 2,333 1 5,000,000 5,000,000 46,666,667 46,666,667 41,666,667 41,666,667 70,000,000 62,500,000
48 Lidah Buaya 10,000 0.0365 540 14,795 1 2,500,000 2,500,000 147,945,205 147,945,205 145,445,205 145,445,205 5,400,000 5,308,750
49 Jahe 20,000 4.0237 72,315 17,972 1 700,000 700,000 359,445,287 359,445,287 358,745,287 358,745,287 1,446,300,000 1,443,483,410
50 Laos / Lengkuas 20,000 2.9193 85,876 29,417 1 700,000 700,000 588,332,820 588,332,820 587,632,820 587,632,820 1,717,520,000 1,715,476,490
51 Kencur 40,000 0.3333 2,098 6,295 1 700,000 700,000 251,785,179 251,785,179 251,085,179 251,085,179 83,920,000 83,686,690
52 Kunyit 20,000 2.8004 59,770 21,343 1 700,000 700,000 426,867,590 426,867,590 426,167,590 426,167,590 1,195,400,000 1,193,439,720
53 Lempuyang 40,000 0.01 40 4,000 1 700,000 700,000 160,000,000 160,000,000 159,300,000 159,300,000 1,600,000 1,593,000
54 Temulawak 20,000 2.4002 58,549 24,393 1 700,000 700,000 487,867,678 487,867,678 487,167,678 487,167,678 1,170,980,000 1,169,299,860
55 Temuireng 25,000 1.3385 26,505 19,802 1 700,000 700,000 495,050,430 495,050,430 494,350,430 494,350,430 662,625,000 661,688,050
56 Temukunci 30,000 0.0263 277 10,532 1 700,000 700,000 315,969,582 315,969,582 315,269,582 315,269,582 8,310,000 8,291,590
57 Dringo 23,000 0.0162 153 9,444 1 700,000 700,000 217,222,222 217,222,222 216,522,222 216,522,222 3,519,000 3,507,660
58 Kapulaga 45,000 0.0030 10 3,333 1 700,000 700,000 150,000,000 150,000,000 149,300,000 149,300,000 450,000 447,900
59 Mengkudu 55,000 0.0860 1,291 15,012 1 700,000 700,000 825,639,535 825,639,535 824,939,535 824,939,535 71,005,000 70,944,800
60 Mahkota Dewa 20,000 0.0058 107 18,448 1 700,000 700,000 368,965,517 368,965,517 368,265,517 368,265,517 2,140,000 2,135,940
61 Kejibeling 20,000 0.0519 695 13,391 1 700,000 700,000 267,822,736 267,822,736 267,122,736 267,122,736 13,900,000 13,863,670
62 Sambiloto 8,000 0.4091 5,323 13,011 1 700,000 700,000 104,091,909 104,091,909 103,391,909 103,391,909 42,584,000 42,297,630
63 Anggrek 25,000 165 165 1 1 2,000 2,000 25,000 25,000 23,000 23,000 4,125,000 3,795,000
Anthurium /
64 20,000 42 42 1 1 2,000 2,000 20,000 20,000 18,000 18,000 840,000 756,000
Kuping Gajah
65 Anyelir 15,000 18 18 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 270,000 234,000
66 Gerbera 15,000 24 24 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 360,000 312,000
67 Gladiol 15,000 346 346 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 5,190,000 4,498,000
Heliconia /
68 17,000 151 151 1 1 2,000 2,000 17,000 17,000 15,000 15,000 2,567,000 2,265,000
pisang-pisangan
69 Krisan 15,000 300 300 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 4,500,000 3,900,000
88

harga Produk biaya input pendapatan kotor pendapatan bersih


luas total indeks total pendapatan total pendapatan
No Komoditi satuan tivitas
panen produksi/thn panen kotor bersih
Rp/kg (kg/ha) per ha per ha/thn per ha perha/thn per ha per ha/thn
70 Mawar 25,000 77 77 1 1 2,000 2,000 25,000 25,000 23,000 23,000 1,925,000 1,771,000
71 Sedap Malam 17,000 110 125 1 1 2,000 2,000 19,318 19,318 17,318 17,318 2,125,000 1,905,000
72 Dracena 15,000 50 50 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 750,000 650,000
73 Melati 25,000 137 137 1 1 2,000 2,000 25,000 25,000 23,000 23,000 3,425,000 3,151,000
74 Palem 35,000 37 100 3 1 2,000 2,000 94,595 94,595 92,595 92,595 3,500,000 3,426,000
75 Aglaonema 13,500 122 172 1 1 2,000 2,000 19,033 19,033 17,033 17,033 2,322,000 2,078,000
Kamboja
76 20,000 573 773 1 1 2,000 2,000 26,981 26,981 24,981 24,981 15,460,000 14,314,000
Jepang
77 Euphorbia 10,000 115 115 1 1 2,000 2,000 10,000 10,000 8,000 8,000 1,150,000 920,000
78 Phylodendron 15,000 105 105 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 1,575,000 1,365,000
79 Pakis 20,000 230 230 1 1 2,000 2,000 20,000 20,000 18,000 18,000 4,600,000 4,140,000
80 Monstera 20,000 112 112 1 1 2,000 2,000 20,000 20,000 18,000 18,000 2,240,000 2,016,000
81 Ioxora / Soka 15,000 347 397 1 1 2,000 2,000 17,161 17,161 15,161 15,161 5,955,000 5,261,000
82 Cordyline 15,000 187 197 1 1 2,000 2,000 15,802 15,802 13,802 13,802 2,955,000 2,581,000
83 Difenbahia 15,000 71 71 1 1 2,000 2,000 15,000 15,000 13,000 13,000 1,065,000 923,000
84 Sansiviera 15,000 131 211 2 1 2,000 2,000 24,160 24,160 22,160 22,160 3,165,000 2,903,000
Anthurium
85 17,000 155 180 1 1 2,000 2,000 19,742 19,742 17,742 17,742 3,060,000 2,750,000
Daun
86 Caladium 20,000 259 259 1 1 2,000 2,000 20,000 20,000 18,000 18,000 5,180,000 4,662,000

Jumlah 6,406,950,886 6,456,446,580 6,189,362,886 6,223,858,580 171,677,973,600 148,052,528,760

Peternakan

Jenis Harga Biaya Input/tahun


No satuan populasi Pendapatan Kotor Pendapatan Bersih
Ternak/komoditi satuan (Rp) per ekor total
1 Sapi ekor 1 792 5 500 000 1 500 000 2 688 000 000 9 856 000 000 7 168 000 000
2 Kambing ekor 1 681 950 000 350 000 588 350 000 1 596 950 000 1 008 600 000
3 Ayam kampung ekor 139 604 90 000 15 000 2 094 060 000 12 564 360 000 10 470 300 000
4 ayam potong ekor 41 050 45 000 27 833 1 142 558 333 1 847 250 000 704 691 667
5 Itik ekor 4 546 55 000 - - - 250 030 000
89

Jenis Harga Biaya Input/tahun


No satuan populasi Pendapatan Kotor Pendapatan Bersih
Ternak/komoditi satuan (Rp) per ekor total
6 ayam ras petelur ekor 9 000 55 000 - - - 495 000 000
7 telur ayam kampung butir 6 282 150 1 500 - - - 9 423 225 000
8 telur ayam petelur butir 2 340 000 1 100 25 740 231 660 000 2 574 000 000 2 342 340 000
9 telur itik butir 6 650 100 1 300 91 250 414 822 500 8 645 130 000 8 230 307 500
Jumlah 37 083 690 000 40 092 494 167

Penggunaan lahan tambak

luas produksi biaya input pendapatan kotor pendapatan bersih


produktivitas harga/kg
lahan (kg)
per ha total per ha total per ha total
52.213 18 960 363.13 20 000 1 250 000 65 266 375 7 262 545.22 379 200 000 6 012 545.22 313 933 625
Penggunaan lahan hotel

Jumlah Jumlah
Keuntungan
No Hotel Pemasukan Pengeluaran
bersih
(Rp) (Rp)
1 Hotel_1 432 600 000 61 800 000 370 800 000
2 Hotel_2 110 880 000 30 000 000 80 880 000
3 Hotel_3 236 250 000 46 800 000 189 450 000
4 Hotel_4 259 650 000 55 400 000 204 250 000
5 Hotel_5 397 250 000 75 200 000 322 050 000
6 Hotel_6 479 600 000 83 200 000 396 400 000
7 Hotel_7 430 350 000 82 200 000 348 150 000
8 Hotel_8 124 600 000 35 000 000 89 600 000
9 Hotel_9 180 000 000 45 400 000 134 600 000
10 Hotel_10 231 000 000 43 400 000 187 600 000
11 Hotel_11 432 000 000 80 200 000 351 800 000
12 Hotel_12 631 000 000 85 200 000 545 800 000
13 Hotel_13 710 000 000 83 600 000 626 400 000
14 Hotel_14 346 050 000 65 200 000 280 850 000
15 Hotel_15 492 500 000 73 600 000 418 900 000
16 Hotel_16 144 000 000 38 400 000 105 600 000
17 Hotel_17 1 407 250 000 102 000 000 1 305 250 000
18 Hotel_18 447 000 000 75 200 000 371 800 000
19 Hotel_19 303 600 000 75 200 000 228 400 000
20 Hotel_20 486 000 000 75 200 000 410 800 000
21 Hotel_21 1 170 000 000 122 000 000 1 048 000 000
Total 9 451 580 000 1 434 200 000 8 017 380 000
Penggunaan lahan pemukiman

Sewa rumah kost

kondisi bangunan Nilai Sewa


No Kost alamat luas jml luas
tipe perbulan pertahun total/tahun
(m2) kamar bangunan
1 Kost_1 Jln. Imam Bonjol permanen 12 2 24 300 000 3 600 000 7 200 000
semi
2 Kost_2 Jl. Erlangga 16 15 240 250 000 4 000 000 60 000 000
permanen
3 Kost_3 Bataraguru permanen 12 8 96 400 000 4 800 000 38 400 000
4 Kost_4 Jl. Langkariri permanen 12 9 108 250 000 3 000 000 27 000 000
Semi
5 Kost_5 Jln. Husni Thamrin 16 5 80 350 000 4 200 000 21 000 000
permanen
6 Kost_6 Jln. Wa Ode Wau permanen 12 14 168 300 000 3 600 000 50 400 000
7 Kost_7 Jln. Wa Ode Wau permanen 12 14 168 350 000 4 200 000 58 800 000
8 Kost_8 Jln. Cut Nyak dien permanen 16 7 112 400 000 4 800 000 33 600 000
9 Kost_9 Jln. Wa Ode Wau permanen 12 15 180 350 000 4 500 000 67 500 000
semi
10 Kost_10 Jl. Taxi 12 16 192 300 000 3 600 000 57 600 000
permanen
11 Kost_11 Jln Wa Ode Wau permanen 12 14 168 350 000 4 200 000 58 800 000
12 Kost_12 Jln. STAI permanen 12 10 120 200 000 2 400 000 24 000 000
13 Kost_13 Lorong Artum permanen 9 8 72 300 000 3 600 000 28 800 000
14 Kost_14 Jln. Latsitarda permanen 12 13 156 275 000 3 300 000 42 900 000
15 Kost_15 Jln. Waode Wau permanen 12 14 168 350 000 4 200 000 58 800 000
semi
16 Kost_16 Jln. La Ode Walanda 12 25 300 250 000 3 000 000 75 000 000
permanen
17 Kost_17 Pos 1, Kel. Lanto permanen 9 6 54 300 000 3 600 000 21 600 000
semi
18 Kost_18 Jln. La Ode Walanda 12 25 300 250 000 3 000 000 75 000 000
permanen
92

19 Kost_19 Jln. Langkariri permanen 16 5 80 3 000 000 15 000 000


20 Kost_20 Jln. Erlangga (pos 1) permanen 12 11 132 300 000 3 600 000 39 600 000
semi
21 Kost_21 Jln. Langkariri 12 18 216 250 000 3 000 000 54 000 000
permanen
semi
22 Kost_22 Jln. Betoambari 12 6 72 200 000 2 400 000 14 400 000
permanen
23 Kost_23 Jln. La Ode Boha permanen 12 6 72 300 000 3 600 000 21 600 000
24 Kost_24 Jln. Dayanu Iksanuddin permanen 12 13 156 350 000 4 200 000 54 600 000
25 Kost_25 betoambari permanen 15 5 75 350 000 4 200 000 21 000 000
26 Kost_26 Jln. H. Agus Salim permanen 20 15 300 500 000 6 000 000 90 000 000
semi
27 Kost_27 Jln. H. Agus Salim 20 2 40 500 000 6 000 000 12 000 000
permanen
28 Kost_28 palatiga permanen 15 10 150 350 000 4 200 000 42 000 000
29 Kost_29 Jln. Husni Thamrin permanen 15 3 45 500 000 6 000 000 18 000 000
30 Kost_30 Jaln Bulawambona permanen 9 4 36 400 000 4 800 000 19 200 000
31 Kost_31 Jln. Cokroaminoto permanen 25 6 150 500 000 6 000 000 36 000 000
32 Kost_32 Lr. Taksi permanen 12 8 96 300 000 3 600 000 28 800 000
33 Kost_33 Jln. Sultan Hasanuddin permanen 12 10 120 350 000 4 200 000 42 000 000
34 Kost_34 Jln. Sultan Hasanuddin permanen 12 12 144 250 000 3 000 000 36 000 000
35 Kost_35 Jln. Erlangga permanen 12 9 108 350 000 4 200 000 37 800 000
36 Kost_36 Jln. Betoambari Lr. Hoga permanen 12 8 96 750 000 9 000 000 72 000 000
Jumlah 4 794 12 025 000 148 600 000 1 460 400 000
93

Contoh Industri kecil rumah tangga

Jml Nilai pembelanjaan(Rp) Nilai penjualan (Rp)


Jumlah Modal
Kelurahan Nama pemilik Alamat Jenis usaha Tng
(Rp)
Kerja
Per bulan Per tahun Per bulan Per Tahun
Gonda
Zainudin Kel. Gonda baru Pembuatan teralis 1 20 000 000 1 000 000 12 000 000 2 500 000 30 000 000
Baru
Ruhania Kel. Gonda baru Anyaman nentu 2 500 000 500 000 6 000 000 2 000 000 24 000 000
Kasman Kel. Gonda baru Penggilingan padi 2 20 000 000 3 000 000 36 000 000 5 500 000 66 000 000
Udin Kel. Gonda baru Tambal ban 1 3 000 000 1 000 000 12 000 000 2 500 000 30 000 000
Samlan Kel. Gonda baru Tambal ban 1 3 000 000 900 000 10 800 000 2 200 000 26 400 000
Tahir gade Kel. Gonda baru Tambal ban 1 4 000 000 1 000 000 12 000 000 2 500 000 30 000 000
Wahid Kel. Gonda baru Tambal ban 1 4 000 000 1 000 000 12 000 000 2 500 000 30 000 000
Tahir m Kel. Gonda baru Tambal ban 1 3 000 000 800 000 9 600 000 2 000 000 24 000 000
La bajoe Kel. Gonda baru Tambal ban 2 5 000 000 1 500 000 18 000 000 3 500 000 42 000 000
Ruhania Kel. Gonda baru Penjahit 1 500 000 1 000 000 12 000 000 2 500 000 30 000 000
Marwah Kel. Gonda baru Las listrik 2 30 000 000 2 500 000 30 000 000 5 000 000 60 000 000
Fatmawati Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 500 000 500 000 6 000 000 1 500 000 18 000 000
Nurhidayat Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 600 000 600 000 7 200 000 1 600 000 19 200 000
Sarna Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 600 000 600 000 7 200 000 1 700 000 20 400 000
Sumarni Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 500 000 500 000 6 000 000 1 500 000 18 000 000
Wa eti Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 400 000 400 000 4 800 000 1 200 000 14 400 000
Wa arutiu Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 500 000 500 000 6 000 000 1 500 000 18 000 000
Saima Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 500 000 500 000 6 000 000 1 500 000 18 000 000
Jahran Kel. Gonda baru Anyaman nentu 1 300 000 300 000 3 600 000 1 000 000 12 000 000
Kaisabu Samudi Kaisabu baru Depot isi ulang 1 20 000 000 500 000 6 000 000 2 500 000 30 000 000
Suciati Kaisabu baru Pembuatan jipang 3 5 000 000 2 000 000 24 000 000 6 000 000 72 000 000
Nur jantung Kaisabu baru Fotocopy 1 40 000 000 500 000 6 000 000 2 000 000 24 000 000
La famili Kaisabu baru Bengkel las 3 15 000 000 2 000 000 24 000 000 5 000 000 60 000 000
Penggunaan Lahan Komersil

Kondisi bangunan
Nilai sewa/tahun
No Ruko/toko jenis luas jml
(Rp) tipe
(m2) lantai
1 ruko_1 Ruko 20 000 000 permanen 44 2
2 ruko_2 Ruko 20 000 000 permanen 50 2
3 ruko_3 Ruko 25 000 000 permanen 44 2
4 ruko_4 Ruko 20 000 000 permanen 70 2
5 ruko_5 Ruko 70 000 000 permanen 84 2
6 ruko_6 Ruko 25 000 000 permanen 50 2
7 ruko_7 Ruko 75 000 000 permanen 108 2
8 ruko_8 Ruko 65 000 000 permanen 117 2
9 ruko_9 Ruko 90 000 000 permanen 120 2
10 ruko_10 Ruko 40 000 000 permanen 60 2
11 ruko_11 Ruko 80 000 000 permanen 180 2
12 ruko_12 Ruko 20 500 000 permanen 50 2
13 ruko_13 Ruko 60 000 000 permanen 84 2
14 ruko_14 Ruko 60 000 000 permanen 50 3
15 ruko_15 Ruko 25 000 000 permanen 72 2
16 ruko_16 Ruko 40 000 000 permanen 56 2
17 ruko_17 Ruko 60 000 000 permanen 84 3
18 ruko_18 Ruko 20 000 000 permanen 55 2
19 ruko_19 Ruko 20 000 000 permanen 50 2
20 ruko_20 Ruko 40 000 000 permanen 50 3
21 ruko_21 Ruko 60 000 000 permanen 50 3
22 ruko_22 Ruko 60 000 000 permanen 50 2
23 ruko_23 Ruko 20 000 000 permanen 60 2
24 ruko_24 Ruko 45 000 000 permanen 75 2
25 ruko_25 Ruko 20 000 000 permanen 120 2
26 ruko_26 Ruko 25 000 000 permanen 90 2
27 ruko_27 Ruko 30 000 000 permanen 60 2
28 ruko_28 Ruko 40 000 000 permanen 120 2
29 ruko_29 Ruko 25 000 000 permanen 70 2
30 ruko_30 Ruko 25 000 000 permanen 60 2
Jumlah 1 225 500 000 2 233
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik

Biaya input perdapatan kotor pendapatan bersih


No Pedagang Jenis Jualan
perbulan pertahun perbulan pertahun perbulan pertahun
1 Pedagang_1 Gorengan dan minuman 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
2 Pedagang_2 Gorengan dan minuman 3 366 000 40 392 000 9 900 000 118 800 000 6 534 000 78 408 000
3 Pedagang_3 Gorengan dan minuman 3 468 000 41 616 000 10 200 000 122 400 000 6 732 000 80 784 000
4 Pedagang_4 Gorengan dan minuman 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425 000 89 100 000
5 Pedagang_5 Gorengan dan minuman 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425 000 89 100 000
6 Pedagang_6 Gorengan dan minuman 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
7 Pedagang_7 Gorengan dan minuman 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
8 Pedagang_8 Gorengan dan minuman 3 366 000 40 392 000 9 900 000 118 800 000 6 534 000 78 408 000
9 Pedagang_9 Gorengan dan minuman 3 366 000 40 392 000 9 900 000 118 800 000 6 534 000 78 408 000
10 Pedagang_10 Gorengan dan minuman 3 774 000 45 288 000 11 100 000 133 200 000 7 326 000 87 912 000
11 Pedagang_11 Gorengan dan minuman 3 468 000 41 616 000 10 200 000 122 400 000 6 732 000 80 784 000
12 Pedagang_12 Gorengan dan minuman 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
13 Pedagang_13 Gorengan dan minuman 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
14 Pedagang_14 Gorengan dan minuman 2 856 000 34 272 000 8 400 000 100 800 000 5 544 000 66 528 000
15 Pedagang_15 Gorengan dan minuman 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
16 Pedagang_16 Gorengan dan minuman 2 856 000 34 272 000 8 400 000 100 800 000 5 544 000 66 528 000
17 Pedagang_17 Gorengan dan minuman 2 754 000 33 048 000 8 100 000 97 200 000 5 346 000 64 152 000
18 Pedagang_18 Gorengan dan minuman 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
19 Pedagang_19 Gorengan dan minuman 4 080 000 48 960 000 12 000 000 144 000 000 7 920 000 95 040 000
20 Pedagang_20 Gorengan dan minuman 3 876 000 46 512 000 11 400 000 136 800 000 7 524 000 90 288 000
21 Pedagang_21 Gorengan dan minuman 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
22 Pedagang_22 Gorengan dan minuman 4 182 000 50 184 000 12 300 000 147 600 000 8 118 000 97 416 000
23 Pedagang_23 Gorengan dan minuman 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
96

Biaya input perdapatan kotor pendapatan bersih


No Pedagang Jenis Jualan
perbulan pertahun perbulan pertahun perbulan pertahun
24 Pedagang_24 Gorengan dan minuman 3 774 000 45 288 000 11 100 000 133 200 000 7 326 000 87 912 000
25 Pedagang_25 Gorengan dan minuman 3 774 000 45 288 000 11 100 000 133 200 000 7 326 000 87 912 000
26 Pedagang_26 Gorengan dan minuman 3 672 000 44 064 000 10 800 000 129 600 000 7 128 000 85 536 000
27 Pedagang_27 Gorengan dan minuman 3 672 000 44 064 000 10 800 000 129 600 000 7 128 000 85 536 000
28 Pedagang_28 Gorengan dan minuman 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
29 Pedagang_29 Gorengan dan minuman 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
30 Pedagang_30 Gorengan dan minuman 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
31 Pedagang_31 Gorengan dan minuman 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
32 Pedagang_32 Gorengan dan minuman 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
33 Pedagang_33 Gorengan dan minuman 3 264 000 39 168 000 9 600 000 115 200 000 6 336 000 76 032 000
34 Pedagang_34 Gorengan dan minuman 3 774 000 45 288 000 11 100 000 133 200 000 7 326 000 87 912 000
35 Pedagang_35 Gorengan dan minuman 2 958 000 35 496 000 8 700 000 104 400 000 5 742 000 68 904 000
36 Pedagang_36 Gorengan dan minuman 3 162 000 37 944 000 9 300 000 111 600 000 6 138 000 73 656 000
37 Pedagang_37 Gorengan dan minuman 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
38 Pedagang_38 Gorengan dan minuman 3 672 000 44 064 000 10 800 000 129 600 000 7 128 000 85 536 000
Makanan (Bakso,sate,gado-
39 Pedagang_39 7 200 000 86 400 000 18 000 000 216 000 000 10 800 000 129 600 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
40 Pedagang_40 8 400 000 100 800 000 21 000 000 252 000 000 12 600 000 151 200 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
41 Pedagang_41 9 360 000 112 320 000 23 400 000 280 800 000 14 040 000 168 480 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
42 Pedagang_42 7 680 000 92 160 000 19 200 000 230 400 000 11 520 000 138 240 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
43 Pedagang_43 9 600 000 115 200 000 24 000 000 288 000 000 14 400 000 172 800 000
gado,dll)
44 Pedagang_44 Makanan (Bakso,sate,gado- 9 360 000 112 320 000 23 400 000 280 800 000 14 040 000 168 480,000
97

Biaya input perdapatan kotor pendapatan bersih


No Pedagang Jenis Jualan
perbulan pertahun perbulan pertahun perbulan pertahun
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
45 Pedagang_45 10 320 000 123 840 000 25 800 000 309 600 000 15 480 000 185 760 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
46 Pedagang_46 10 800 000 129 600 000 27 000 000 324 000 000 16 200 000 194 400 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
47 Pedagang_47 10 320 000 123 840 000 25 800 000 309 600 000 15 480 000 185 760 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
48 Pedagang_48 8 880 000 106 560 000 22 200 000 266 400 000 13 320 000 159 840 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
49 Pedagang_49 8 640 000 103 680 000 21 600 000 259 200 000 12 960 000 155 520 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
50 Pedagang_50 10 800 000 129 600 000 27 000 000 324 000 000 16 200 000 194 400 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
51 Pedagang_51 11 520 000 138 240 000 28 800 000 345 600 000 17 280 000 207 360 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
52 Pedagang_52 7 200 000 86 400 000 18 000 000 216 000 000 10 800 000 129 600 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
53 Pedagang_53 10 800 000 129 600 000 27 000 000 324 000 000 16 200 000 194 400 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
54 Pedagang_54 12 000 000 144 000 000 30 000 000 360 000 000 18 000 000 216 000 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
55 Pedagang_55 10 560 000 126 720 000 26 400 000 316 800 000 15 840 000 190 080 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
56 Pedagang_56 11 040 000 132 480 000 27 600 000 331 200 000 16 560 000 198 720 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
57 Pedagang_57 10 080 000 120 960 000 25 200 000 302 400 000 15 120 000 181 440 000
gado,dll)
98

Biaya input perdapatan kotor pendapatan bersih


No Pedagang Jenis Jualan
perbulan pertahun perbulan pertahun perbulan pertahun
Makanan (Bakso,sate,gado-
58 Pedagang_58 9 840 000 118 080 000 24 600 000 295 200 000 14 760,000 177 120 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
59 Pedagang_59 10 560 000 126 720 000 26 400 000 316 800 000 15 840,000 190 080 000
gado,dll)
Makanan (Bakso,sate,gado-
60 Pedagang_60 10 080 000 120 960 000 25 200 000 302 400 000 15 120,000 181 440 000
gado,dll)
61 Pedagang_61 elektronik dan musik 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425,000 89 100 000
62 Pedagang_62 elektronik dan musik 3 468 000 41 616 000 10 200 000 122 400 000 6 732,000 80 784 000
63 Pedagang_63 elektronik dan musik 4 080 000 48 960 000 12 000 000 144 000 000 7 920,000 95 040 000
64 Pedagang_64 elektronik dan musik 3 264 000 39 168 000 9 600 000 115 200 000 6 336,000 76 032 000
65 Pedagang_65 elektronik dan musik 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425,000 89 100 000
66 Pedagang_66 elektronik dan musik 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930,000 83 160 000
67 Pedagang_67 elektronik dan musik 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425,000 89 100 000
68 Pedagang_68 Aksesoris 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930,000 83 160 000
69 Pedagang_69 Aksesoris 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930,000 83 160 000
70 Pedagang_70 Aksesoris 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930,000 83 160 000
71 Pedagang_71 Aksesoris 4 080 000 48 960 000 12 000 000 144 000 000 7 920,000 95 040 000
72 Pedagang_72 Aksesoris 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425,000 89 100 000
73 Pedagang_73 Aksesoris 2 040 000 24 480 000 6 000 000 72 000 000 3 960,000 47 520 000
74 Pedagang_74 Aksesoris 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425,000 89 100 000
75 Pedagang_75 Aksesoris 3 468 000 41 616 000 10 200 000 122 400 000 6 732,000 80 784 000
76 Pedagang_76 Aksesoris 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950,000 59 400 000
77 Pedagang_77 Aksesoris 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950,000 59 400 000
78 Pedagang_78 Aksesoris 4 080 000 48 960 000 12 000 000 144 000 000 7 920,000 95 040 000
79 Pedagang_79 Aksesoris 3 264 000 39 168 000 9 600 000 115 200 000 6 336,000 76 032 000
80 Pedagang_80 Aksesoris 3 162 000 37 944 000 9 300 000 111 600 000 6 138,000 73 656, 000
99

Biaya input perdapatan kotor pendapatan bersih


No Pedagang Jenis Jualan
perbulan pertahun perbulan pertahun perbulan pertahun
81 Pedagang_81 Aksesoris 2 958 000 35 496 000 8 700 000 104400 000 5 742 000 68 904 000
82 Pedagang_82 Aksesoris 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
83 Pedagang_83 Aksesoris 2 856 000 34 272 000 8 400 000 100 800 000 5 544 000 66 528 000
84 Pedagang_84 Aksesoris 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425 000 89 100 000
85 Pedagang_85 Aksesoris 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
86 Pedagang_86 Aksesoris 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
87 Pedagang_87 Aksesoris 4 080 000 48 960 000 12 000 000 144 000 000 7 920 000 95 040 000
88 Pedagang_88 Aksesoris 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
89 Pedagang_89 Aksesoris 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425 000 89 100 000
90 Pedagang_90 Aksesoris 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
91 Pedagang_91 Aksesoris 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
92 Pedagang_92 Aksesoris 3 570 000 42 840 000 10 500 000 126 000 000 6 930 000 83 160 000
93 Pedagang_93 Aksesoris 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425 000 89 100 000
94 Pedagang_94 Aksesoris 3 825 000 45 900 000 11 250 000 135 000 000 7 425 000 89 100 000
95 Pedagang_95 Aksesoris 4 080 000 48 960 000 12 000 000 144 000 000 7 920 000 95 040 000
96 Pedagang_96 Aksesoris 4 590 000 55 080 000 13 500 000 162 000 000 8 910 000 106 920 000
97 Pedagang_97 mainan anak-anak 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
98 Pedagang_98 mainan anak-anak 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
99 Pedagang_99 mainan anak-anak 2 244 000 26 928 000 6 600 000 79 200 000 4 356 000 52 272 000
100 Pedagang_100 mainan anak-anak 2 856 000 34 272 000 8 400 000 100 800 000 5 544 000 66 528 000
101 Pedagang_101 mainan anak-anak 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
102 Pedagang_102 mainan anak-anak 2 754 000 33 048 000 8 100 000 97 200 000 5 346 000 64 152 000
103 Pedagang_103 mainan anak-anak 2 040 000 24 480 000 6 000 000 72 000 000 3 960 000 47 520 000
104 Pedagang_104 mainan anak-anak 2 142 000 25 704 000 6 300 000 75 600 000 4 158 000 49 896 000
105 Pedagang_105 mainan anak-anak 2 550 000 30 600 000 7 500 000 90 000 000 4 950 000 59 400 000
106 Pedagang_106 mainan anak-anak 2 346 000 28 152 000 6 900 000 82 800 000 4 554 000 54 648 000
100

Biaya input perdapatan kotor pendapatan bersih


No Pedagang Jenis Jualan
perbulan pertahun perbulan pertahun perbulan pertahun
107 Pedagang_107 mainan anak-anak 2 448 000 29 376 000 7 200 000 86 400 000 4 752 000 57 024 000
108 Pedagang_108 mainan anak-anak 2 346 000 28 152 000 6 900 000 82 800 000 4 554 000 54 648 000
109 Pedagang_109 mainan anak-anak 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000
110 Pedagang_110 mainan anak-anak 2 754 000 33 048 000 8 100 000 97 200 000 5 346 000 64 152 000
Jumlah 504 669 000 6 056 028 000 1 389 450 000 16 673 400 000 884 781 000 10 617 372 000
101

Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara

Nilai Ekonomi Pengiriman Barang di Pelabuhan


Biaya pengiriman Jumlah total
No Jenis Pelayaran rata-rata pengiriman Jumlah (Rp)
persatuan (Rp) ton m3
1 Umum 270 000 116 921 644 31 742 550 000
2 Rakyat 300 000 40 044 1 386 12 429 000 000
4 Perintis 350 000 706 247 100 000
Total 44 418 650 000

Nilai Ekonomi Penumpang Pelabuhan


Nama Biaya rata- Jumlah Jumlah Nilai total
No
Pelabuhan rata tiket kapal penumpang ekonomi
1 Murhum 935 000 2 905 334 899 313 130 565 000
2 Jembatan Batu 15 000 2 046 15 929 238 935 000
3 Penyeberangan 10 000 3 055 142 793 1 427 930 000
Jumlah 314 797 430 000

Nilai Ekonomi Penumpang dan Barang Bandara Udara


Jenis Biaya rata-rata Jumlah Jumlah
No Nilai ekonomi
muatan persatuan penerbangan muatan
1 orang 1 025 000 1 471 56 773 58 192 325 000
2 barang (kg) 36 000 1 471 3 833 137 988 000
Jumlah 58 330 313 000

Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat


Ibadah dan Jalan
Nilai rata-rata
No Penggunaan lahan Luas (ha) ekonomi lahan Nilai ekonomi lahan
per m2
1 Pusat pendidikan 35.85 2 617 506 938 381 124 403
Bangunan
2 48.53 2 617 506 1 270 291 351 121
pemerintah
3 Tempat ibadah 6.12 1 306 122 79 907 265 306
4 Jalan 209.44 355 740 745 047 912 233
Total 3 033 627 653 064
102

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bataraguru, Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara


pada tanggal 6 Januari 1982. Penulis merupakan anak ke 2 dari 11 orang
bersaudara dari pasangan Bapak Drs. H. Faimuddin dengan Ibu Hj. Nursia.
Menyelesaikan pendidikan sarjana strata 1 di Jurusan Budidaya Pertanian
Universitas Hasanuddin, Makassar pada tahun 2009. Setelah itu mengabdikan diri
sebagai dosen luar biasa di Universitas Dayanu Ikhsanuddin hingga tahun 2012.
Bersamaan dengan itu, aktif pula dalam dunia kepenulisan pada lembaga
penerbitan lokal untuk menerbitkan buku-buku sejarah dan kebudayaan lokal.
Tahun 2011 penulis menikahi Fira Diah Setiawaty dan telah dikaruniai seorang
putri. Tahun 2012 tanpa sponsor penulis terdaftar sebagai mahasiswa pasca
sarjana di Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sembari menjalani perkuliahan, penulis
menjadi asisten peneliti pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan,
Institut Pertanian Bogor (PSP3-IPB).

Anda mungkin juga menyukai