SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
RINGKASAN
Okupasi lahan terbangun dan penurunan ruang terbuka hijau (RTH) pada
kawasan riparian, telah menjadi isu pokok dalam implementasi tata ruang perkotaan
di Indonesia. Salah satu potensi pengembangan RTH adalah kawasan riparian
sungai. Pada kenyataannya, beberapa kawasan riparian justru memiliki tingkat
okupasi lahan terbangun yang semakin tinggi. Salah satu sungai yang mengalami
proses tersebut adalah Sungai Ciliwung, khususnya di Kota Bogor. Proses okupasi
tersebut dapat mengubah struktur ekologis lanskap, menghancurkan formasi
vegetasi (lahan agroforestri), dan menurunkan jasa lanskap riparian sungai. Tujuan
dari penelitian ini adalah mendapatkan data spasial struktur, fungsi, dan dinamika
lanskap serta merumuskan konsep manajemen lanskap riparian agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor yang dapat mengoptimalkan jasa lanskap
(produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan diversitas tanaman). Metode yang
digunakan dalam penelitian adalah analisis lanskap dengan pendekatan ekologi
lanskap, analisis penilaian jasa lanskap vegetasi riparian, dan pendekatan konsep
lanskap produktif untuk mendapatkan konsep manajemen lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor yang memiliki jasa lanskap yang tinggi.
Struktur lanskap agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
masih tersisa sebesar 44.24% yang terdiri dari talun sebesar 26.09%, kebun
campuran sebesar 6.36%, dan pekarangan sebesar 11.79%. Fungsi struktur lanskap
riparian tersebut adalah sebagai habitat inti (core) dan sebagai media pergerakan
material dan energi yang berhubungan dengan satwa dan aktivitas manusia.
Dinamika spasial lanskap yang sangat terlihat adalah semakin banyak jumlah patch
(Number of Patch - NP) perumahan organik dan perumahan terencana pada suatu
lanskap, semakin banyak pula jumlah patch pekarangan pada lanskap tersebut.
Penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
memiliki kombinasi jasa lanskap (produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan
diversitas tanaman) dalam kategori sedang. Jenis dan kombinasi tanaman dominan
pada talun adalah jenis tanaman konservatif dengan strata tanaman rapat. Kebun
campuran lebih didominasi jenis tanaman produktif (buah, sayur, dan penghasil
pati), sedangkan pekarangan memiliki jenis tanaman dominan berupa tanaman hias.
Manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor akan diarahkan untuk
optimalisasi jasa lanskap (produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan diversitas
tanaman) dengan konsep lanskap produktif (productive landscape). Sistem
agroforestri talun diterapkan untuk mengkonservasi lahan berlereng curam. Kebun
campuran diterapkan pada lahan kosong dan lahan terlanjur huni yang sudah
dibebaskan. P ekarangan diterapkan pada sebagian lahan terlanjur huni yang belum
dan sulit untuk dibebaskan.
The settlement occupation and green open space reduction of riparian areas
have become important issues in the implementation of urban spatial planning in
Indonesia. One of promising green open space development is in the riparian area.
In fact, some riparian areas have been occupied by settlement in a high rate. One of
the rivers that experience this issue is Ciliwung River, especially along Bogor
Municipality. These problems can alter the ecological structure, remove the
vegetation (agroforestry land), and reduce the landscape services of the riparian
landscape. The purposes of this research are to obtain spatial data of structure,
function, and dynamics of landscape and to develop management of Ciliwung
Riparian agroforestry landscape in Bogor Municipality that can optimize the
landscape services (land productivity, carbon stock, and plants diversity). The
methods used in this research are landscape analysis with landscape ecological
approach, landscape services assessment of riparian vegetation, and the productive
landscape concept approach to reach management of Ciliwung Riparian in Bogor
Municipality with high landscape services.
Agroforestry landscape structure on Ciliwung Riparian in Bogor
Municipality still left 44.24%, which consist of “talun” (forest garden) of 26.09%,
mixed garden of 6.36%, and “pekarangan” (home garden) of 11.79%. The
ecological functions of that landscape structure is as the core habitat and as a
medium for the material and energy movement of animals and human activities.
The spatial dynamics of the Ciliwung Riparian landscape in Bogor Municipality
revealed that the more patches (Number of Patch - NP) of organic housing and
planned housing on a landscape, the more patches of “pekarangan”. The
agroforestry land use on Ciliwung Riparian in Bogor Municipality has a
combination of landscape services (land productivity, carbon stock, and plant
biodiversity) in the category of ‘moderate’. Types and combinations of dominant
plants in “talun” are conservative plants with the complex strata. The mixed garden
is more dominated by productive plants, while the “pekarangan” is more dominated
by ornamental plants. Management of Ciliwung Riparian landscape in Bogor
Municipality is directed to optimize landscape services (land productivity, carbon
stock, and plant biodiversity) with productive landscape concept. Land use of talun
is applied to conserve steep slopes. The mixed garden is applied to bare land and
built-area that has been liberated. While “pekarangan” is applied to some of the
built-area that the land has been yet and difficult to be freed.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
1
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
2
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr
4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya, sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis
ini ialah manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dengan
pendekatan lanskap agroforestri, dengan judul “Manajemen Lanskap Agroforestri
sebagai Strategi Peningkatan Jasa Lanskap pada Riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor”.
Hasil utama dari penelitian ini adalah konsep manajemen lanskap
agroforestri yang dapat mengoptimalkan jasa lanskap yang dihasilkan pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi
struktur, fungsi, dan dinamika lanskap riparian sungai dengan pendekatan ekologi.
Struktur ekologi lanskap riparian sungai yang teridentifikasi dijadikan dasar dalam
analisis jasa lanskap dari formasi vegetasi riparian sungai. Formasi vegetasi yang
dapat menghasilkan jasa lanskap (produksi tanaman, karbon tersimpan, dan
diversitas tanaman) tertinggi, selanjutnya akan menjadi dasar dalam mendesain
gambar rekomendasi manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Urban Water Research Cluster,
kerja sama antara Institut Pertanian Bogor dan Monash University, The Australian-
Indonesia Centre (AIC).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Kaswanto, SP, MSi dan Prof. Dr
Ir Hadi Susilo Arifin, MS, selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran
dan masukan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan tesis ini. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua (Bapak Simon Wastam dan Ibu
Natalia Boinem), saudara (Antoenius Prayetno, Yuliana Pratiwi, Paulina Fitriani,
dan Fransiska Puji Wahyuni), seluruh keluarga, teman satu tim penelitian
(Amarizni Mosyaftiani, Fittria Ulfah, dan Alfred Jansen Sutrisno), teman-teman
Pascasarjana Arsitektur Lanskap Angkatan 52, dan semua pihak yang telah
memberikan dorongan baik moral maupun material serta doa yang tulus.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak,
seperti pemerintah dan masyarakat pada wilayah yang dilalui Sungai Ciliwung di
Kota Bogor, dalam menerapkan bentuk manajemen lanskap riparian sungainya. Hal
tersebut juga diharapkan dapat diterapkan pada riparian sungai lain yang memiliki
permasalahan seperti Sungai Ciliwung. Penerapan manajemen lanskap riparian
sungai dengan konsep agroforestri yang memiliki struktur dan formasi vegetasi
yang baik, diharapkan dapat menghasilkan jasa lanskap yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Lanskap Agroforestri 5
Lanskap Riparian Sungai 8
Jasa Lanskap 10
Pemilihan Jenis dan Kombinasi Tanaman pada Sistem Agroforestri
Riparian Sungai 12
3 METODE PENELITIAN 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Alat dan Bahan 15
Jenis dan Sumber Data 15
Tahapan Penelitian 16
Metode Analisis Data 17
Analisis Struktur, Fungsi, dan Dinamika Lanskap 17
Analisis Jenis dan Kombinasi Tanaman Sistem Agroforestri 21
Penyusunan Rekomendasi 27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27
Analisis Situasional DAS Ciliwung Kota Bogor 27
Batas Adminitrasi dan Letak Geografis 27
Topografi dan Iklim 29
Hidrogeologi 31
Jenis Tanah 33
Analisis Ekologi Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 35
Klasifikasi Penggunaan Lahan 35
Struktur Ekologi Lanskap 46
Fungsi dan Dinamika Lanskap 53
Analisis Vegetasi Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 56
Strata dan Fungsi Tanaman 56
Analisis Jasa Laskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 64
Produktivitas Lahan Agroforestri 64
Karbon Tersimpan Penggunaan Lahan Agroforestri 67
Diversitas Tumbuhan Penggunaan Lahan Agroforestri 68
Potensi jasa lanskap penggunaan lahan agroforestri 70
6
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Okupasi lahan terbangun dan penurunan ruang terbuka hijau (RTH) pada
kawasan riparian, telah menjadi isu pokok dalam implementasi tata ruang perkotaan
di Indonesia. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP
No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, disebutkan bahwa
dalam rencana penyediaan dan pemanfaatan wilayah kota, RTH publik harus
disediakan paling sedikit 20%, sedangkan RTH privat paling sedikit harus 10% dari
luas wilayah kota. Dalam hal jumlah, keduanya harus memiliki total luas lebih besar
dari 30%. Salah satu potensi pengembangan RTH adalah kawasan riparian sungai
karena kawasan tersebut telah dinyatakan sebagai kawasan perlindungan setempat
(RI 1990). Namun, pada kenyataannya, beberapa kawasan riparian justru memiliki
tingkat okupasi lahan terbangun yang semakin tinggi.
Proses okupasi kawasan riparian sungai ini dapat mengubah struktur
ekologis lanskap, menghancurkan formasi vegetasi riparian sungai, dan
menyebabkan menurunnya fungsi ekologisnya. Menurunnya fungsi ekologis
riparian sungai seperti sebagai kawasan resapan air, konservasi biodiversitas,
cadangan karbon, dan sebagai pereduksi polutan kimia, akan menurunkan jasa
lanskap yang dihasilkan. Formasi vegetasi yang sering ditemui pada kawasan
riparian sungai adalah seperti kebun campuran (mixed garden), kebun talun (forest
garden), maupun pekarangan (home garden). Jenis formasi vegetasi tersebut
merupakan bentuk-bentuk dari praktik agroforestri pada lanskap riparian sungai.
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang
mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau hewan ternak
untuk menghasilkan produk terpadu (Mbow et al. 2014, Nair 1991, Nyaga et al.
2015). Lanskap agroforestri dengan keragaman komponen di dalamnya dapat
menyediakan beberapa jasa lanskap (landscape services), seperti meningkatkan
produktivitas lahan, mempertahankan karbon tersimpan (carbon stock), dan
mengkonservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) (Arifin &
Nakagoshi 2011). Kapasitas lanskap agroforestri dalam menghasilkan jasa lanskap
cukup tinggi, dimana kebun campuran mempunyai rata-rata karbon tersimpan
sebesar 62.34 Mg/ha atau setara dengan serapan CO2 sebesar 228.79 Mg/ha
(Adinugroho 2011) dan pekarangan mempunyai karbon tersimpan mencapai 9.9
Mg/ha serta memberikan sumber pendapatan tambahan (produksi) yang berkisar
12.9% dari total pendapatan (Kaswanto et al. 2013). Namun, berkurangnya luasan
lanskap agroforestri pada riparian sungai akibat okupasi lahan terbangun, akan
menyebabkan penurunan jasa lanskap yang dihasilkan. Salah satu sungai yang
mengalami proses tersebut adalah Sungai Ciliwung, khususnya di Kota Bogor yang
merupakan salah satu kota dengan perkembangan yang cukup pesat (Mubarok
2012, Susetyo et al. 2014).
Sungai Ciliwung merupakan sungai yang memiliki hulu di Kabupaten
Bogor, mengalir melalui beberapa kota, yakni Bogor, Depok, dan Jakarta, hingga
akhirnya bermuara di Teluk Jakarta. Sungai ini memiliki panjang kurang lebih 117
km dengan kedalaman rata-rata kurang dari 4 m, dan luas daerah aliran sungai
(DAS) sekitar 368.10 km2 (Noviandi et al. 2016). Proses okupasi kawasan lahan
terbangun, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
2
Perumusan Masalah
Sungai Ciliwung telah mengurangi kualitas dan kuantitas jasa lanskap yang
dihasilkan. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut, perlu dilakukan
manajemen lanskap pada kawasan riparian Sungai Ciliwung berbasiskan lanskap
agroforestri. Tujuan dari manajemen lanskap tersebut adalah sebagai salah satu
strategi dalam mengembalikan fungsi ekologis dan peningkatan jasa lanskap yang
dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut, berikut merupakan pertanyaan yang dihadapi
dalam penyusunan manajemen lanskap agroforestri pada kawasan riparian Sungai
Ciliwung.
1. Bagaimana struktur, fungsi, dan dinamika lanskap pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor?
2. Apa jenis dan kombinasi tanaman agroforestri yang dapat mengoptimalkan jasa
lanskap pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor?
3. Bagaimana manajemen lanskap agroforestri yang sesuai untuk diterapkan pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor?
Tujuan
Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan data spasial struktur, fungsi, dan dinamika lanskap pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor,
2. Mendapatkan jenis dan kombinasi tanaman agroforestri yang dapat
mengoptimalkan jasa lanskap pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor,
dan
3. Menyusun konsep manajemen lanskap agroforestri yang sesuai untuk
diterapkan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak
yang berkepentingan sebagai dasar informasi alternatif skala regional untuk
pertimbangan penerapan pengelolaan lanskap agroforestri yang berkelanjutan. Hal
tersebut dapat dilakukan dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan sebagai
bentuk harmonisasi kawasan riparian sungai melalui jasa lanskap pada Sungai
Ciliwung di Kota Bogor.
Alih Fungsi Lahan di Riparian Sungai Ciliwung akibat Okupasi Lahan Terbangun
Permasalahan
Analisis Konsep Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dengan
Pendekatan Lanskap Agroforestri
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Agroforestri
pertanian agroforestri pada berbagai kasus di dunia, khusus di negara miskin dan
berkembang. Sistim kepemilikan lahan yang buruk akan menyebabkan lahan
terbagi menjadi unit-unit kecil dan tidak ekonomis, sehingga umumnya sistem
produksi terfragmentasi dan produktivitasnya rendah (Salami et al. 2010, Nyaga et
al. 2015). Hal tersebut penting dalam mendukung desain manajemen lanskap
agroforestri yang lebih baik dan berkelanjutan.
Manajemen lanskap dengan agroforestri juga telah diakui sebagai praktik
manajemen lahan berkelanjutan yang mendukung produksi komoditas dengan
menjaga jasa lanskap yang dihasilkan (Jose 2009). Namun, penelitian mengenai
hubungan antara agroforestri dan jasa lanskap belum sepenuhnya dieksplorasi.
Meninjau dari berbagai literatur yang diterbitkan, diketahui bahwa penelitian
agroforestri dan jasa lanskap berorientasi pada misi peningkatan kesejahteraan
manusia dan keberlanjutan lingkungan (Nyaga et al. 2015). Untuk mendapatkan
manajemen lanskap agroforestri yang berkelanjutan, harus melibatkan kerjasama
yang terintegrasi dari semua pemangku kepentingan terkait. Pemangku kepentingan
(stakeholders) sebaiknya memenuhi persyaratan perwakilan dari individu,
masyarakat, peneliti (akademisi), perusahaan, dan pemerintah. Tindakan kunci
tersebut telah diusulkan oleh para peneliti, khususnya Eropa dalam upaya
memajukan dan menentukan arah pengembangan agroforestri yang berkontribusi
untuk pengambilan keputusan (Daily et al. 2009).
Permasalahan lain yang menghambat dan mengancam keberlanjutan
lanskap agroforestri adalah perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Perubahan
penggunaan dan penutupan lahan merupakan respon dari modifikasi manusia
berbasis lanskap yang sebagian besar telah mempengaruhi struktur dan fungsi
lanskap itu sendiri (Lambin & Geist 2006, Clerici et al. 2014). Hal tersebut telah
diakui sebagai salah satu faktor utama dalam penurunan kondisi lingkungan global
dan kekuatan pendorong utama untuk hilangnya keanekaragaman hayati (DeFries
et al. 2004, Vitousek et al. 1997). Perubahan jenis tutupan lahan adalah indikator
yang paling jelas dan informatif dari perubahan dan karakteristik suatu kawasan
dari sistem lanskap (Robson & Berkes 2011). Untuk alasan ini, pemantauan dan
penilaian dari dinamika tutupan lahan yang sistematis sangat penting dilakukan,
sebagai sumber informasi yang sangat relevan untuk perencanaan, konservasi, dan
pengelolaan lanskap agroforestri (Clerici et al. 2014, Gerard et al. 2010).
Salah satu lanskap agroforestri yang mengalami dinamika penggunaan dan
penutupan lahan adalah pada kawasan riparian (Clerici et al. 2014). Lanskap
agroforesri pada riparian sangat penting untuk pemeliharaan hubungan biologis
antara tanaman dan hewan, memberikan koridor untuk penyebaran spesies dalam
lanskap terfragmentasi, dan mempertahankan dinamika meta-populasi (Naiman &
Decamps 1997). Konsekuensi potensial dari dinamika penggunaan dan penutupan
lahan pada sistem alami adalah perubahan langsung dari integritas ekologinya
(Woodley et al. 1993). Ketika konversi penutupan lahan terjadi, integritas ekologi
dapat sangat terpengaruh, dan konsekuensinya kapasitas sistem tersebut dalam
menghasilkan jasa lanskap akan terganggu (Burkhard et al. 2012). Ketersediaan
data atau informasi dinamika penggunaan dan penutupan lahan, khususnya pada
lanskap agroforstri dari zona riparian akan memberikan gambaran yang relevan dari
proses konversi yang terjadi. Hal tersebut juga dapat menjadi indikasi perubahan
dalam kapasitas lanskap agroforestri untuk menyediakan jasa lanskap (Clerici et al.
2014).
8
(Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 28 Tahun 2015 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 38 Tahun 2011. Kondisi
sebenarnya di lapang mengenai lebar sempadan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah seolah diabaikan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya bangunan
yang berdiri pada zona riparian, termasuk pada kawasan riparian Sungai Ciliwung
(Noviandi et al. 2016). Bangunan yang mengokupasi zona riparian ini dapat
mengancam keberlangsungan hidup biota yang ada di dalamnya (Magura et al.
2010). Lebar dari riparian seharusnya ditentukan berdasarkan kondisi daratan, jenis
badan air, keberlangsungan hidup satwa akuatik, dan pemanfaatannya (Akay et al.
2012). Standar lebar riparian/sempadan sungai tergantung pada tipe sungai, daerah
yang dilalui oleh sungai, dan luas DAS serta kedalaman sungai tersebut (Tabel 1).
Tabel 1 Standar lebar riparian atau sempadan sungai di Indonesia
Dalam wilayah perkotaan Luar wilayah perkotaan
Lebar
Tipe sungai Lebar
Kriteria Kriteria riparian
riparian (m)
(m)
Sungai bertanggul
(diukur dari kaki - 3 - 5
tanggul sebelah luar)
Kedalaman Sungai besar (luas
30 100
> 20 m DAS>500 km2)
Sungai tidak Kedalaman
15 - -
bertanggul (diukur 3-20 m
dari tepi sungai) Sungai kecil
Kedalaman
10 (luas DAS 50
<3m
≤ 500 km²)
Sungai yang
terpengaruh pasang
- 100 - 100
surut air laut (diukur
dari tepi sungai)
Sumber: Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2011
Kawasan riparian pada umumnya diisi oleh kombinasi atau formasi tanaman
mulai dari penutup tanah, semak hingga pohon. Formasi vegetasi yang paling dekat
dengan badan air sungai biasanya disusun oleh semak atau tanaman rendah lain
yang toleran terhadap genangan air, karena pada saat musim hujan, tinggi muka air
akan naik dan menggenangi bantaran atau daerah dataran banjir. Kawasan riparian
memiliki fungsi ekologis yaitu menjaga kualitas air sungai, mengurangi akumulasi
sedimentasi, dan mencegah erosi (Dindaroglu et al. 2015). Selain itu, fungsi lain
dari riparian antara lain sebagai berikut (Bertoldi et al. 2011 dan Stevaux et al.
2012):
1. memberikan naungan guna mengatur temperatur di sepanjang sungai;
2. menyerap air sehingga dapat mereduksi volume air limpasan;
3. menyimpan air dan mengisi ulang air tanah;
4. mereduksi zat-zat kimia yang dapat mencemari sungai; dan
5. menyediakan habitat untuk bermacam-macam hewan dan tumbuhan baik
terestrial maupun akuatik.
10
Kawasan riparian juga memiliki nilai ekonomi, baik langsung maupun tidak
langsung yaitu sebagai sumber kayu, mencegah banjir, mengisi kembali akuifer
tanah, sumber air permukaan dan produktivitas perikanan. Selain itu, kawasan
riparian juga memiliki fungsi dan nilai social, yaitu sebagai tempat rekreasi,
penelitian, pendidikan, dan nilai estetika/keindahan (Malanson 1995). Fungsi
vegetasi riparian sangat besar bagi keberlangsungan kehidupan organisma
teresterial dan akuatik. Keberadaan vegetasi merupakan kunci penting bagi
keberlanjutan lanskap riparian. Vegetasi riparian penting sebagai habitat ikan,
pendukung rantai makanan, habitat hidupan liar, mempertahankan suhu, stabilisasi
tepian sungai, perlindungan kualitas air, mempertahankan morfologi sungai dan
mengendalikan banjir (Chang 2006). Gangguan terhadap riparian menjadi
penyebab utama terjadinya penurunan struktur dan fungsi sungai (Gordon 2004).
Formasi vegetasi yang berada pada kawasan riparian biasa disebut dengan
hutan riparian. Hutan riparian terletak antara daerah daratan dan badan air, sehingga
dapat berfungsi sebagai buffer/penyangga. Kondisi sungai berhubungan dengan
kondisi riparian sebagai penyangga (Leavitt 1998). Hal ini disebabkan hutan
riparian dapat mengendalikan transpor sedimen dan bahan-bahan kimia ke
sungai/badan air lainnya (Castelle et al.1994). Hutan riparian juga berperan sebagai
penyangga buangan nutrien dari agroekosistem, seperti unsur N. Unsur nitrogen
yang masuk ke sungai melalui aliran air bawah tanah (ground water flow) akan
difilter oleh hutan riparian (Mayer et al. 2005). Peranan hutan riparian tersebut tetap
dapat berjalan walaupun hutan riparian tersebut hanya berupa jalur hijau yang
sempit (Bren 1993).
Hutan riparian juga akan mereduksi erosi tebing melalui akar dari pohon-
pohon besar yang dapat mengikat tanah. Riparian juga berfungsi mengurangi
kecepatan arus karena formasi vegetasi riparian, berupa pohon dan semak, mampu
mengurangi aliran air (Waring & Schlesinger 1985 dan Jones et al. 1999). Vegetasi
riparian juga berperan dalam meningkatkan produktivitas perikanan (Johnson et al.
1995). Hutan riparian juga penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati.
Riparian merupakan kawasan ekoton/peralihan yang terletak antara ekosistem
daratan dan ekosistem air. Oleh karena itu, riparian memiliki ciri yang unik sebagai
akibat interaksi yang kuat antara kedua ekosistem tersebut. Keanekaragaman
habitat di riparian akan mengarah pada diferensiasi niche/relung yang
menyebabkan terbentuknya keanakeragaman jenis baik tumbuhan dan hewan di
kawasan tersebut (Castelle et al. 1994). Perubahan/dinamika pada vegetasi riparian
baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan mahluk
hidup di sekitarnya (Petts 1990). Vegetasi riparian yang hilang telah mengurangi
keanekaragaman ikan yang berada di sungai. Oleh karena itu, upaya
mempertahankan dan memperbaiki vegetasi riparian sangat penting dilakukan
untuk keberlanjutan lanskap riparian (Haslam 1997).
Jasa Lanskap
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, jasa lanskap adalah kegiatan
untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam dengan tidak merusak lingkungan
dan mengurangi fungsi utamanya. Jasa lanskap (landscape services) didefinisikan
11
sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran material dan
jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses
ekosistem alami (Sutopo 2011). Misalnya hutan sebagai ekosistem alami selain
menyediakan berbagai macam produk kayu juga menyediakan produk non kayu
sekaligus juga menjadi reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring
air yang kemudian melepasnya secara gradual, sehingga air tersebut bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Jasa lanskap menggabungkan dua aspek yaitu alam dan
budaya yang memungkinkan pertimbangan lanskap sebagai dasar fisik dalam
pembangunan lanskap berkelanjutan (Termorshuizen & Opdam 2009). Lanskap
dalam sistem manusia dan ekologi juga memberikan berbagai fungsi yang dapat
dihargai oleh manusia karena alasan ekonomi, sosial budaya, dan ekologi, misalnya
produksi pangan, pengaturan iklim dan pendidikan lingkungan (Chee 2004).
Konsep jasa lanskap (landscape services) merupakan istilah baru yang
mulai dikenalkan, namun masih sangat terkait dengan konsep jasa ekosistem
(ecosystem services) yang diuraikan oleh Termorshuizen & Opdam (2009). Jasa
lanskap adalah gagasan yang menilai bahwa proses alam (alami maupun butan)
dapat memberikan nilai/manfaat kepada manusia. Konsep ini menekankan bahwa
lanskap adalah sistem yang heterogen, fungsional, dan struktural dan disesuaikan
oleh pengguna (manusia dan mahluk hidup lainnya), yang ditentukam oleh pola
heterogen lanskap, khususnya struktur jaringan ekologi (Opdam 2013). Konsep jasa
lanskap menyiratkan bahwa ada penyedia (pemilik tanah dan pengelola lahan) dan
penerima manfaat dari layanan tersebut. Selain itu, ada pula variasi yang
menyiratkan, bahwa pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan untuk
berkontribusi dengan lanskap. Sehingga kedepannya, jasa lanskap akan
memberikan sudut pandang dari deskripsi dan analisis mengenai jaringan sosial-
ekologi lanskap itu sendiri (Westerink et al. 2017).
Jasa lanskap menjadi lebih tepat untuk digunakan dalam perencanaan
lanskap berbasis masyarakat, karena lanskap dirasakan oleh para pemangku
kepentingan sebagai tempat di mana mereka hidup, bekerja dan mempengaruhi
kualitas hidup mereka (Jones et al. 2016). Istilah jasa lanskap dianggap lebih
relevan dari pada jasa ekosistem, karena istilah ‘ekosistem’ lebih banyak terkait
dengan konservasi alam dan kawasan lindung atau nilai ekologis saja (Westerink et
al. 2017). Pada umumnya, tingkat kualitas lanskap tergantung pada
keanekaragaman spesies dan karakteristik lanskap yang membentuk jaringan
ekologinya (Fürst et al. 2014 dan Opdam et al. 2006). Selain itu, pola lanskap dan
keanekaragaman hayati juga dapat memberikan jasa sosial-budaya, seperti rekreasi
(VanBerkel & Verburg 2014). Hubungan tersebut membentuk suatu jaringan
sosial-ekologi dari jasa lanskap yang terdiri dari penyedia dan penerima jasa.
Jasa lanskap telah menjadi kerangka terpadu yang paling banyak diadopsi
untuk mempelajari hubungan antara alam dan manusia. Konseptual tersebut
menjelaskan bagaimana sistem biofisik memberikan berbagai manfaat penting
untuk kesejahteraan manusia dan akhirnya dapat membimbing pengambilan
keputusan untuk menghentikan atau membalikkan degradasi lingkungan
(Westerink et al. 2017 dan Jones et al. 2016). Untuk alasan ini penilaian jasa
lanskap menjadi penting, karena menciptakan pengetahuan untuk memahami
penawaran dan permintaan jasa (services). Selain itu, juga untuk mendukung
peningkatan kesadaran dan mencapai prioritas pengambilan keputusan terkait
manusia dan lanskap (Crossman et al. 2013). Saat ini, penilaian fungsi dan
12
merupakan lahan dengan sistem yang terintegrasi dan mempunyai hubungan yang
kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan tumbuhan, tanaman,
ikan dan hewan yang diternakannya. Pekarangan dalam bentuk halaman rumah atau
taman rumah memiliki fungsi multi-guna, antara lain sebagai tempat
dipraktekannya sistem agroforestri, memproduksi bahan pangan dari tumbuhan dan
hewan, mengkonservasi sumberdaya genetik, mengkonservasi tanah dan air serta
tempat terselenggaranya aktivitas yang berhubungan dengan sosial-budaya,
terutama bagi pekarangan yang berada di perdesaan (Arifin 2012). Komposisi
tanaman pada pekarangan cukup berbeda dengan talun dan kebun campuran. Selain
untuk memenuhi kebutuhan pemilik rumah, pekarangan juga harus memiliki nilai
lain selain nilai ekonomi, tetapi juga nilai keindahan. Pekarangan terdiri dari 3
bagian, yaitu pekarangan depan, samping dan belakang. Pekarangan depan bisa
digunakan sebagai peningkat aspek keindahan pada rumah. Biasanya, pekarangan
depan menggunakan tanaman yang menarik dari segi warna, bentuk dan teksturnya.
Selain itu, penambahan pekarangan samping dan belakang merupakan opsi yang
patut dipertimbangkan. Keberadaan pekarangan samping dan belakang juga dapat
meningkatkan rasa nyaman pemilik rumah karena mikroklimat rumah semakin baik
(Arifin 1998).
Kebun campuran dan talun merupakan bentuk praktik agroforestri yang
biasa diterapkan pada riparian sungai. Variasi tegakan tanaman yang bernilai
ekonomis dan juga ekologis menjadi kombinasi yang baik pada kebun campuran di
daerah tepi sungai. Pengelolaan yang semi intensif dan jarak yang relatif dekat atau
bahkan di tengah perkampungan menjadi ciri khas sebuah kebun campuran.
Berbeda dengan talun, pengelolaan kebun campuran lebih mengarah pada tingkat
sangat ekstensif karena tanaman dibiarkan membesar dengan aneka tanaman bawah
(Arifin et al. 2009). Hal ini dikarenakan penggunaan lahan tepi sungai berupa talun
biasanya berada pada lahan yang berlereng curam. Oleh karena itu, selain
difungsikan sebagai tanaman yang bisa dipanen pada saat tertentu, tanaman pada
talun sangat cocok untuk mengkonservasi daerah tepi sungai.
3 METODE PENELITIAN
sumber data, kegunaan, dan ouput. Data untuk tujuan I adalah data citra (foto)
udara riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor, yang didapat dari proses aerial
mapping menggunakan pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle)/drone.
Tujuan II memerlukan data eksisting lanskap di lapang, yaitu data jenis, struktur,
dan fungsi vegetasi; data jasa lanskap vegetasi eksisting; serta kondisi sosial,
budaya, dan ekonomi masyarakat, sehingga harus dilakukan observasi langsung di
lokasi penelitian. Tujuan III dari penelitian ini menggunakan data dari hasil analisis
tujuan satu dan dua (Tabel 2).
Tabel 2 Matriks tujuan penelitian, data, kegunaan, ouput dan sumber data dari
penelitian
Tujuan Data Unit Kegunaan Sumber Output
Menganalisis Peta alokasi
struktur, fungsi, penggunaan
dan dinamika Resolusi Analisis Pengamatan
Foto udara lahan
lanskap (pixel) spasial lapang agroforestri
agroforestri struktur dengan pada
pada riparian dan fungsi drone dan riparian
Sungai Batas lanskap Dinas terkait Sungai
Ciliwung di administrasi Shapefile Ciliwung di
kelurahan Kota Bogor
Kota Bogor
Jenis vegetasi Spesies
Klasifikasi
struktur dan Analisis
vegetasi Detail jenis
Struktur dan fungsi
dan
Menganalisis fungsi vegetasi tanaman dan jasa kombinasi
jenis dan (Arifin lanskap
Pengamatan tanaman
kombinasi 1998) riparian
lapang pada sistem
tanaman dan
Produksi dengan agroforestri
agroforestri yang Mg/ha
tanaman pemilihan yang dapat
dapat wawancara meningkatk
mengoptimalkan jenis dan
dan an jasa
jasa lanskap pada Karbon kombinasi
Mg/ha pengukuran lanskap
riparian Sungai tersimpan tanaman
langsung riparian
Ciliwung di Kota Sungai
Sungai
Bogor Indeks Ciliwung Ciliwung di
Shannon- di Kota Kota Bogor
Diversitas Bogor
Weiner dan
tanaman
Indeks
Margalef
Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu survei pendahuluan,
inventarisasi, pengolahan data, dan penyusunan rekomendasi. Survei pendahuluan
dan inventarisasi dilakukan untuk mengetahui kendala dan potensi pada tapak serta
pengambilan data penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan beberapa analisis
sesuai dengan tujuan penelitian. Penyusunan rekomendasi manajemen lanskap
riparian sungai dilakukan dari sintesis hasil analisis yang telah dilakukan
sebelumnya (Gambar 4).
17
Permasalahan Penelitian:
Okupasi lahan terbangun dan menurunnya jasa lanskap riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor
I. Survei Pendahuluan
Penelusuran pustaka, pengambilan foto udara, deliniasi tutupan lahan,
penentuan lokasi sampel penelitian, koleksi data biologi-fisik, kebijakan,
dan citra DAS Ciliwung
Hasil:
Konsep pengelolaan lanskap agroforestri dan desain plot penerapan agroforestri pada
kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
dalam suatu lanskap. Kajian ini merupakan pendekatan baru yang tujuan utamanya
adalah untuk menjembatani antara para perencana wilayah dan ahli ekologi,
sehingga tercapai pembangunan yang berkelanjutan (Leitao & Ahern 2002). Kajian
ditujukan untuk melihat bagaimana konsep lanskap ekologi menduga tingkat
fragmentasi penggunaan lahan. Tahapan dalam analisis ini dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu (1) klasifikasi penggunaan lahan, (2) analisis struktur lanskap, dan (3)
analisis fungsi dan dinamika lanskap.
∑n
j=1 aij
1
CA (ha) = ( ) .................................................................. (1)
10.000
b. Largest patch index (LPI) merupakan luas area (m2) dari patch terbesar dari
jenis patch yang sesuai dibagi dengan total area lanskap yang diamati,
kemudian dikalikan dengan 100 (untuk mengkonversi ke persentase), dengan
kata lain, LPI sama dengan persentase dari patch terbesar terhadap lanskap
keseluruhan. Persamaan yang digunakan adalah:
19
maxnj=1 (aij )
LPI = A
(100) ................................................................................. (2)
c. Number of patch (NP) merupakan jumlah patch dari jenis patch yang sesuai.
NP dapat menunjukkan ke heterogenan suatu bentukan lanskap di studi area.
Persamaan yang digunakan adalah:
NP = ni .................................................................................................... (3)
Keterangan : ni = Jumlah jenis patch tertentu yang ada pada lanskap (kelas
tutupan lahan).
d. Patch density (PD) merupakan jumlah patch dari jenis patch yang sesuai (NP)
dibagi dengan luas lanskap total, dikalikan dengan 10.000 dan 100 (untuk
mengkonversi ke 100 hektar), PD dapat digunakan pula sebagai indeks ke
heterogenan suatu bentukan lanskap. Persamaan yang digunakan adalah:
ni
PD =
A (10.000) (100) .......................................................................... (4)
Keterangan : ni = Jumlah jenis patch tertentu yang ada pada lanskap (kelas
tutupan lahan).
A = Luas total lanskap (m2)
e. Edge density (ED) merupakan standarisasi tepi untuk per satuan luas yang
memfasilitasi perbandingan antara lanskap dengan ukuran berbeda. ED sama
dengan jumlah panjang (m) dari semua segmen tepi melibatkan jenis patch
yang ada, dibagi dengan luas lanskap keseluruhan (m2), dikalikan dengan
10.000 (untuk mengkonversi ke hektar). Persamaan yang digunakan adalah:
'
∑m
ED = k=1 eik (10.000) .......................................................................... (5)
A
Keterangan: eik = Panjang total (m) dari tepi dalam lanskap jenis patch tertentu
(kelas tutupan lahan)
A = Luas total lanskap (m2)
f. Landscape shape index (LSI) adalah suatu alternatif untuk indeks bentuk patch
yang didasarkan pada "rata-rata" karakteristik patch di tingkat kelas dan
lanskap. Indeks ini mengukur rasio perimeter ke daerah untuk lanskap secara
keseluruhan. Persamaan yang digunakan adalah:
ei
LSI = .......................................................................................... (6)
min ei
Keterangan : ei = Total panjang tepi (atau perimeter) kelas ke-i
Min ei = Panjang total minimal tepi (atau perimeter) kelas ke-i.
20
kondisi lanskap eksisting diperlukan untuk mengetahui tingkat jasa lanskap yang
dihasilkan. Jasa lanskap yang dinilai pada penelitian ini terbatas pada jasa produksi
tanaman, karbon tersimpan, dan diversitas tanaman. Data jenis dan kombinasi
tanaman eksisting akan diinventarisasi berdasarkan nama lokal, nama latin,
diameter batang, diameter tajuk, tinggi tanaman dan fungsi tanaman dengan
pengamatan langsung ke lapang dan wawancara. Hasil inventarisasi dan analisis
vegetasi eksiting tersebut akan diketahui jenis dan kombinasi tanaman dan tingkat
jasa lanskap yang dihasilkan sehingga dapat menjadi dasar dalam pemilihan
tanaman. Proses seleksi tanaman juga akan dilengkapi dengan studi literatur,
dimana proses seleksi tanaman juga akan dianalisis berdasarkan kondisi agroklimat
dan kesesuaian syarat tumbuh tanaman yang dapat meningkatkan jasa lanskap.
Vegetasi eksisting pada riparian Sungai Ciliwung bagian tengah yang masih tersisa,
biasanya merupakan jenis lokal yang akan dijadikan sebagai pertimbangan utama
dalam pemilihan jenis dan kombinasi tanaman pada sistem agroforestri. Berikut
adalah metode analisis yang digunakan untuk penilaian jasa lanskap pada kawasan
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
yang digunakan untuk menghitung produktivitas lahan dari dua atau lebih tanaman
yang dibudidayakan dengan teknik agroforestri (Sardjono et al. 2003). Berikut
adalah persamaan NKL:
hi
NKL = ∑ni Hi ..................................................................................... ....(8)
Multispecies untuk
Ln(Y) = -3.50 + 1.65 Ln(D) + 0.842
semak dan pohon D < 5 Ali et al. 2015
Ln(H)
cm
Tabel 5 Kriteria penilaian jasa lanskap vegetasi eksisting lanskap agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Komponen Jasa Kriteria
No
Lanskap Rendah Sedang Tinggi
Nisbah Kesetaraan NKL<1.0 1.0<NKL<1.2 NKL>1.2
1
Lahan (NKL)
42.172 (Mg/ha)<
Karbon Tersimpan Wtc<42.172 Wtc> 64.150
2 Wtc <64.150
(Wtc) ( Mg/ha) ( Mg/ha)
( Mg/ha)
Indeks Shannon- H’<1 1<H’<3 H’ > 3
3
Wiener (H’)
4 Indeks Margalef (Dm) Dm<2.5 2.5< Dm <4.0 Dm > 4.0
Penyusunan Rekomendasi
sebelah selatan, DAS Grogol dan Krukut di sebelah barat, serta DAS Buaran-
Jatikramat, Bekasi, dan Sunter di sebelah timur. Daerah hulu dari Sungai Ciliwung
adalah di kawasan puncak Kabupaten Bogor, kemudian mengalir melalui beberapa
wilayah seperti Kota Bogor, Depok, dan Jakarta. Berdasarkan karakteriktik
lanskapnya, DAS Ciliwung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu, tengah,
dan hilir (Gambar 7). Setiap kawasan tersebut memiliki karakteristik topografi,
curah hujan, jenis tanah, hidrologi, dan kemiringan lereng yang berbeda-beda
(BPDAS Citarum Ciliwung 2013).
Kemiringan Luas
Kelas Klasifikasi
(%) ha %
I Datar 0-8 25 530.55 66.12
II Landai 8 - 15 4 563.89 11.82
III Agak curam 15 - 25 2 856.06 7.4
IV Curam 25 - 45 3 599.12 9.32
V Sangat curam >45 2 060.63 5.34
Jumlah 38 610.25 100.00
Sumber: BPDAS Citarum Ciliwung (2013)
Berdasarkan klasifikasi Schmidth dan Ferguson, tipe iklim di DAS Ciliwung adalah
tipe iklim A yang memiliki Bulan Basah (CH >100 mm/bulan) 10 bulan, Bulan
Lembab 2 bulan (CH 60-100 mm/bulan), dan tidak memiliki bulan kering.
Sedangkan menurut tipe iklim Oldeman, DAS Ciliwung juga memiliki iklim tipe A
karena memiliki Bulan Basah (CH >100 mm/bulan) 9 bulan berturut-turut. Tipe
iklim A mencirikan daerah sangat basah dengan dominansi vegetasi hutan hujan
tropis .
Hidrogeologi
Bentuk DAS Ciliwung cukup unik dengan bentuk besar dan luas
menyerupai kipas pada bagian hulu lalu mengecil dan menyempit menyerupai leher
corong di bagian tengah, dan sedikit melebar kembali pada bagian hilir. Anak-anak
sungai yang mengalir ke sungai utama di bagian hulu terkonsentrasi ke satu titik di
sekitar daerah Katulampa. Daerah Aliran Sungai Ciliwung bagian tengah
merupakan daerah dengan air tanah dan akuifer produktif, sedangkan di bagian hilir,
batuan-batuan sedimen membentuk sistem akuifer yang sangat heterogen dan
kompleks (BBWS Ciliwung Cisadane 2012).
Struktur jenis batuan atau geologi yang berkaitan erat dengan jenis tanah
yang terbentuk pada DAS Ciliwung yang cukup beragam. Jenis formasi batuan
yang paling dominan di DAS Ciliwung adalah kipas aluvial dan endapan batuan
gunung api tua (Tabel 7). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jenis batuan di DAS
Ciliwung didominasi oleh batuan beku yang berasal dari batuan gunung api tua dan
aluvial.
Gambar 10 Peta curah hujan kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
33
Jenis Tanah
Batuan induk yang membentuk struktur dan jenis tanah di DAS Ciliwung
adalah tufa vulkanik. Jenis tanah yang terdapat di DAS Ciliwung hasil rombakan
dari batuan induk tersebut. Jenis tanah yang paling banyak di temui di DAS
Ciliwung adalah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air
tanah dengan luas penyebaran sebesar 17 543.67 ha atau 45.44% dari total luasan
DAS Ciliwung (Tabel 8).
Tabel 8 Jenis tanah DAS Ciliwung
Jenis Tanah Luas (ha) Luas (%)
Aluvial hidromorf 8882.71 2.29
Aluvial kelabu tua 2 559.01 6.63
Andosol coklat kekuningan 246.04 0.64
Asosiasi latosol merah, coklat, dan laterit air tanah 17 543.67 45.44
Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat 5 209.12 13.49
Asosiasi glei humus rendah dan aluvial kelabu 3.30 0.01
Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 4 018.26 10.41
Latosol coklat tua kemerahan 2 681.50 6.95
Litosol coklat 5 466.65 14.16
Jumlah 38 610.25 100.00
Sumber: BPDAS Citarum Ciliwung (2013)
34
Pada skala mikro, jenis tanah pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
adalah jenis tanah asosiasi latosol merah & coklat kemerahan dan kompleks latosol
merah kekuningan & coklat. Jenis tanah asosiasi latosol merah & coklat kemerahan
menyebar dari Kelurahan Sukaresmi hingga Kedung halang dengan luas 147.83 ha
atau 31.81%. Sedangkan jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan & coklat
menyebar dari Kelurahan Bantar Jati hingga Sindangrasa dengan luas mencapai
316.93 ha atau 68.19% (Gambar 11). Kedua jenis tanah tersebut memiliki
kandungan unsur hara yang cukup tinggi dan baik digunakan sebagai lahan
pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, dan perkebunan (Soepardi 1983).
Gambar 11 Peta jenis tanah kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
35
a. Sungai Utama
Sungai utama merupakan sebuah aliran air utama dari Sungai Ciliwung yang
memiliki kapasitas besar dan panjang serta mengalir secara terus menerus mulai
dari sumber pertama (hulu) sampai menuju ke muara (hilir). Sungai utama Ciliwung
terbentuk dari aliran anak sungai yang bergabung dialamnya. Aliran air sungai
utama biasanya berbatasan dengan saluran dengan dasar dan tebing di sebelah kiri
dan kanan. Intepretasi sungai utama dari citra UAV dan di lapang pada setiap bagian
tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 12).
Kondisi eksisting penggunaan lahan sungai utama pada setiap bagian lokasi
penelitian cukup bervariasi. Sungai utama pada bagian atas memiliki lebar yang
relatif lebih sempit dengan aliran air yang lebih deras, selain itu pada ripariannya
masih banyak dijumpai kawasan bervegetasi. Bagian tengah memiliki sungai utama
yang lebih lebar dari bagian atas namun dengan aliran yang lebih lambat. Kawasan
riparian pada bagian ini sudah diokupasi oleh lahan terbangun, kecuali pada
kawasan yang melintasi Kebun Raya Bogor. Sedangkan pada bagian bawah
memiliki sungai utama yang paling lebar dengan aliran air yang tenang. Kondisi
riparian sungai utama pada bagian ini juga sudah mulai diokupasi oleh lahan
terbangun, namun masih ditemui beberapa kawasan bervegetasi.
36
(a) Penampakan salah satu sungai utama dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas
(b) Penampakan salah satu sungai utama dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah
(c) Penampakan salah satu sungai utama dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian bawah
Gambar 12 Kondisi penggunaan lahan sungai utama pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor
b. Talun
Talun merupakan pola praktik agroforetri yang biasa diterapkan pada riparian
sungai yang berlereng curam dengan dominasi tegakan tanaman yang bernilai
ekologis dengan kombinasi tanaman bernilai ekonomi. Pengelolaan talun mengarah
pada tingkat ekstensif, karena tanaman dibiarkan membesar dengan aneka tanaman
bawah dan jarak yang relatif agak jauh dari permukiman menjadi ciri khas sebuah
talun (Arifin et al. 2009). Kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan proteksi
tata tanah, air, dan udara yang ada di riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor juga
diklasifikassikan sebagai talun. Selain difungsikan sebagai tanaman yang bisa
37
dipanen pada saat tertentu, tanaman pada talun sangat cocok untuk mengkonservasi
daerah tepi sungai. Intepretasi talun dari citra UAV dan di lapang pada setiap bagian
tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 13).
(a) Penampakan salah satu talun dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
atas
(b) Penampakan salah satu talun dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
tangah
(c) Penampakan salah satu talun dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
bawah
Gambar 13 Kondisi penggunaan lahan talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor
Penggunaan lahan talun pada riparian bagian atas masih banyak dijumpai
pada kawasan dengan kelerengan curam (>45%). Bagian tengah memiliki talun
yang relatif lebih sedikit jumlahnya dari pada bagian lainnya yang terkonsentrasi
pada kawasan konservasi dan proteksi Kebun Raya Bogor. Sedangkan pada bagian
bawah memiliki talun dengan jumlah yang cukup banyak dan pada kawasan dengan
kelerengan yang cukup landai (<45%).
38
c. Kebun Campuran
Penggunaan lahan kebun campuran merupakan lahan yang ditanami
tanaman tahunan ataupun tanaman semusim, termasuk di dalamnya tanaman
produksi kayu. Kebun campuran merupakan bentuk praktik agroforetri dengan
variasi tegakan tanaman yang bernilai ekonomis dan juga ekologis. Pengelolaan
yang semi intensif dan jarak yang relatif dekat atau bahkan di tengah permukiman
menjadi ciri khas sebuah kebun campuran. Intepretasi kebun campuran dari citra
UAV dan di lapang pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan
(Gambar 14).
(a) Penampakan salah satu kebun campuran dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan)
pada bagian atas
(b) Penampakan salah satu kebun campuran dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan)
pada bagian tengah
(c) Penampakan salah satu kebun campuran dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan)
pada bagian bawah
d. Pekarangan
Pekarangan merupakan salah satu pola penggunaan lahan agroforestri
kompleks yang biasa ditemui di daerah riparian sungai. Pekarangan adalah lahan
yang berada di sekitar rumah yang memiliki batas kepemilikan yang jelas, dan
biasanya ditanami dengan berbagai kombinasi tanaman, ikan, dan juga ternak untuk
memenuhi kebutuhan subsisten dan komersial (Arifin et al. 2008). Secara ekologi,
pekarangan merupakan sistem penggunaan lahan yang terintegrasi dan sebagai
wujud interaksi antara manusia (pemilik lahan) dengan komponen penyusunnya,
seperti tanaman, hewan ternak, ikan, dan sebagainya. Bentuk pola pekarangan juga
termasuk taman lingkungan, taman kota, taman toga, dan taman median jalan.
Pekarangan memiliki beberapa fungsi, seperti untuk produksi bahan makanan,
estetika, sosial budaya, dan fungsi ekologi. Berbagai tanaman di pekarangan,
terutama buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah dapat menjadi sumber gizi dan
pendapatan bagi pemilik lahan (Kaswanto et al. 2013). Intepretasi pekarangan dari
citra UAV dan di lapang pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas
diklasifikasikan (Gambar 15).
Pekarangan merupakan penggunaan lahan yang jumlahnya paling banyak
ditemui pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Pekarangan pada bagian atas
dan tengah lebih banyak ditemukan pada kawasan perumahan organik dengan
luasan beragam dan bentuk yang tidak beraturan. Sedangkan pada bagian bawah,
pekarangan lebih banyak banyak ditemukan pada kawasan perumahan terrencana
dengan luasan dan bentuk lahan yang hampir seragam. Meskipun pekarangan
memiliki jumlah yang paling banyak, namun total luasan dari penggunaan lahan
tersebut tidak terlalu besar dan tidak sebanding dengan jumlahnya dibandingan
dengan penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut dikarenakan luasan dari masing-
masing pekarangan relatif sempit yang biasanya hanya menjadi bagian kecil dari
rumah atau tempat tinggal masyarakat. Pekarangan pada sekitar rumah warga pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor umumnya didominasi dengan tanaman hias
saja. Namun beberapa penggunaan lahan pekarangan ada yang memiliki komposisi
tanaman yang lebih bervariasi, di mana selain tanaman hias, juga terdapat tanaman
obat, bumbu, buah, dan sayur. Pekarangan tersebut biasanya lebih luas dan
pengelolaannya dilakukan oleh beberapa orang dalam satu komunitas tertentu atau
lebih dikenal sebagai taman lingkungan (community garden).
40
(a) Penampakan salah satu pekarangan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas
(b) Penampakan salah satu pekarangan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah
(c) Penampakan salah satu pekarangan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah
(a) Penampakan salah satu perumahan organik dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian atas
(b) Penampakan salah satu perumahan organik dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian tengah
(c) Penampakan salah satu perumahan organik dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian bawah
f. Perumahan Terrencana
Perumahan terrencana adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana lingkungan. Perumahan terrencana memiliki bentuk bangunan yang
hampir serupa dengan pola berkelompok dan teratur. Jenis penggunaan lahan ini
termasuk juga kawasan industri, perdagangan, dan jasa yang berada di sekitarnya.
Intepretasi penggunaan lahan perumahan terrencana dari citra UAV dan di lapang
pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 17).
(a) Penampakan perumahan terrencana dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas
(b) Penampakan perumahan terrencana dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah
(c) Penampakan perumahan terrencana dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah
g. Lahan Kosong
Lahan kosong adalah lahan yang terbuka atau terdapat sedikit vegetasi.
Lahan kosong merupakan lahan terbengkalai yang sudah tidak dimanfaatkan
dalam kurun waktu yang cukup lama (lebih dari dua tahun). Jenis penggunaan
lahan ini didominasi oleh vegetasi semak, rumput-rumputan, tumbuhan menjalar,
dan juga perdu. Intepretasi penggunaan lahan kosong dari citra UAV dan di lapang
pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 18).
(a) Penampakan salah satu lahan kosong dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas
(b) Penampakan salah satu lahan kosong dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah
(c) Penampakan salah satu lahan kosong dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah
h. Kolam
Kolam merupakan penutupan lahan berupa perairan yang luasnya terbatas,
sengaja dibuat untuk penggunaan tertentu. Kolam mudah dikendalikan sesuai
kebutuhan, artinya kolam mudah diisi air ataupun dikeringkan dan mudah dikelola.
Penggunaan lahan yang bisa terbuat dari dinding tanah atau beton ini, biasanya
dimanfaatkan untuk budidaya ikan dan tampungan air (embung). Intepretasi
penggunaan lahan kolam dari citra UAV dan di lapang pada setiap bagian tapak
dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 19).
(a) Penampakan salah satu lahan kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas
(b) Penampakan salah satu lahan kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah
(c) Penampakan salah satu lahan kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah
i. Jalan
Jalan adalah bentang lahan yang permukaannya padat dan berbentuk
koridor memanjang. Jalan berfungsi sebagai prasarana transportasi darat yang
merupakan bagian perumahan organik ataupun perumahan terrencana.
Penggunaan lahan ini diperuntukkan bagi lalu lintas (aksesibilitas) manusia dan
hewan. Intepretasi penggunaan lahan jalan dari citra UAV dan di lapang pada
setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 20).
(a) Penampakan salah satu jalan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
atas
(b) Penampakan salah satu kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah
(c) Penampakan salah satu kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah
Gambar 20 Kondisi penggunaan lahan jalan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor
46
j. Anak Sungai
Anak sungai merupakan sebuah aliran air lain yang memiliki kapasitas lebih
kecil dan mengalir menuju aliran yang lebih besar (sungai utama). Aliran anak-anak
sungai Ciliwung berbentuk koridor memanjang dan bergabung membentuk aliran
sungai utama Ciliwung. Intepretasi anak sungai pada citra UAV agak sulit
dilakukan dibandingan dengan pengamatan lapang. Hal tersebut, karena biasanya
anak sungai ditutupi oleh vegetasi yang tumbuh di sekitarnya (Gambar 21). Hasil
klasifikasi menunjukkan bahwa penggunaan lahan anak sungai hanya ada pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian atas dan bawah.
(a) Penampakan salah satu anak sungai dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas
(b) Penampakan salah satu anak sungai dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah
Gambar 21 Kondisi penggunaan lahan anak sungai pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor
dominan dalam lanskap tersebut (Forman & Godron 1986 dan Arifin et al. 2009).
Elemen struktur lanskap tersebut akan dikuantifikasikan dengan menggunakan
parameter ekologi lanskap. Parameter ekologi lanskap yang dianalisis ada 6 (enam),
yang terbagi dalam empat kelompok indeks ekologi lanskap. Keempat kelompok
tersebut adalah (1) ukuran-ukuran luas, yaitu Total Class Area (CA) dan Largest
Patch Index (LPI), (2) ukuran-ukuran kerapatan dan variabilitas, yaitu Number of
Patch (NP) dan Patch Density (PD), (3) ukuran tepi, yaitu Edge Density (ED), dan
(4) ukuran bentuk, yaitu Landscape Shape Index (LSI). Berikut adalah hasil dan
pembahasan dari analisis struktur lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
Bagian Atas
Bagian atas merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang masuk pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan dan
Bogor Timur (Tabel 3). Bagian ini berada pada bagian hulu dari tapak, termasuk
kawasan pinggiran kota bagian selatan yang cukup jauh dari pusat Kota Bogor
(Gambar 22). Berdasarkan hasil analisis ukuran luas lanskap (CA dan LPI),
didapatkan nilai indeks CA paling besar pada bagian atas adalah kelas penggunaan
lahan perumahan organik dengan luas 19.38 ha (31.61%), kemudian disusul talun
dan pekarangan dengan luas masing-masing 13.26 ha (21.64%) dan 7.94 ha
(12.95%). Sedangkan nilai LPI tertinggi pada bagian atas adalah jenis patch talun
dengan nilai 4.08, disusul patch perumahan organik dan kebun campuran dengan
nilai 2.67 dan 1.80 diposisi kedua dan ketiga (Tabel 9). Data tersebut menunjukkan
bahwa struktur lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian atas
memiliki matrik berupa lanskap perumahan organik. Dominansi patch perumahan
organik mengindikasikan adanya intervensi aktivitas manusia yang tinggi pada
lanskap tersebut.
Ukuran kerapatan struktur ekologi lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor pada bagian atas dapat dilihat berdasarkan nilai indeks NP dan PD. Jumlah
patch (NP) terbanyak pada bagian ini adalah jenis pekarangan dengan 546 patches,
diikuti jenis patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah
masing-masing sebanyak 171 dan 102 patches. Seperti halnya indeks NP, nilai PD
tertinggi pada bagian atas adalah jenis pekarangan dengan 891 patches/100 ha,
diikuti jenis patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah
masing-masing sebanyak 279 dan 166 patches/100 ha (Tabel 10). Berdasarkan data
tersebut, menunjukkan bahwa ketiga jenis penggunaan lahan tersebut telah
mengalami pemecahan lahan menjadi beberapa bagian yang membentuk poligon
baru dan menyebar (fragmentasi lahan). Dalam hal ini, hadirnya patch perumahan
organik dan perumahan terrencana sebagai bentuk intervensi manusia, telah
memecah-mecah patch pekarangan yang merupakan salah satu struktur lanskap
agroforestri riparian sungai, menjadi berukuran kecil dan menyebar. Hal tersebut
diperkuat oleh penyataan Hartvigsen (2014), dimana fragmentasi lahan
menyebabkan terbaginya lahan menjadi unit-unit (patch) berukuran kecil yang telah
mengalami eksploitasi oleh manusia.
Nilai ED tertinggi pada lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
pada bagian atas adalah patch pekarangan dengan nilai 635.98. Nilai indeks ini
akan berhubungan dengan nilai NP dan CA, yang menunjukkan bahwa patch
pekarangan memiliki bentuk tepi yang tidak teratur (McGarigal & Marks 1995).
Nilai LSI tertinggi pada bagian ini adalah patch jalan dengan nilai 41.18 dan disusul
48
patch pekarangan dengan nilai sebesar 37.47, 24.02, dan 21.68 (Tabel 11). Nilai
indek-indeks tersebut menunjukkan bahwa patch jalan dan perumahan organik
merupakan struktur buatan yang kompeks sebagai habitat inti (core) dan media
pergerakan manusia, sedangkan patch pekarangan dan talun merupakan struktur
alami riparian sungai bagian atas yang paling komplek dan beragam (Adi et al.
2012).
Gambar 22 Peta penggunaan lahan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian
atas
49
Tabel 9 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran luas struktur ekologi lanskap riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor
1 Talun 13.26 21.64 14.97 47.00 10.54 18.88 4.08 18.78 3.25
Kebun
2 5.00 8.15 0.09 0.29 4.35 7.80 1.80 0.29 1.08
Campuran
3 Pekarangan 7.94 12.95 2.53 7.93 7.06 12.65 0.72 2.03 0.29
Perumahan
4 19.38 31.61 8.51 26.73 10.82 19.38 2.67 1.87 0.71
Organik
Perumahan
5 6.71 10.95 2.44 7.67 11.52 20.63 0.55 1.08 1.21
Terrencana
6 Lahan Kosong 3.13 5.11 0.96 3.01 4.52 8.09 0.37 0.76 0.76
7 Kolam 0.62 1.02 0.16 0.49 0.61 1.09 0.35 0.32 0.07
8 Jalan 4.81 7.86 2.19 6.87 6.31 11.31 1.46 1.16 1.53
9 Anak Sungai 0.44 0.71 0.00 0.00 0.09 0.17 0.18 0.00 0.05
Tabel 11 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran tepi dan bentuk struktur ekologi
lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Bagian Tengah
Bagian tengah merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang masuk pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah (Tabel
3). Bagian tengah termasuk kawasan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi Kota
Bogor, namun pada bagian ini terdapat kawasan lindung (konservasi) yaitu Kebun
Raya Bogor (Gambar 23). Berdasarkan hasil analisis ukuran luas lanskap (CA dan
LPI), didapatkan nilai indeks CA pada bagian tengah paling besar adalah kelas
penggunaan lahan talun dengan luas 14.97 ha (47.00%), kemudian disusul
penggunaan lahan perumahan organik dan pekarangan dengan luas masing-masing
sebesar 8.51 ha (26.73%) dan 2.53 ha (7.93%). Sedangkan nilai LPI tertinggi pada
bagian tengah adalah patch talun dengan nilai 18.78 dan kemudian diikuti patch
pekarangan dan perumahan organik dengan nilai LPI masing-masing sebesar 2.03
dan 1.87 (Tabel 9). Data tersebut menunjukkan bahwa lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor bagian tengah memiliki matrik berupa lanskap talun. Hal
tersebut disebabkan karena pada bagian tengah, terdapat Kebun Raya Bogor yang
merupakan kawasan konservasi ex-situ yang tidak boleh dialihfungsikan (RI 2011).
Jumlah patch (NP) terbanyak pada bagian ini adalah pekarangan dengan
jumlah 130 patches, diikuti jenis patch perumahan organik ditempat kedua dengan
jumlah 84 patches. Seperti halnya indeks NP, nilai PD tertinggi pada bagian tengah
adalah pekarangan dengan jumlah 408 patches/100 ha, diikuti jenis patch
perumahan organik ditempat kedua dengan jumlah 264 patches/100 ha (Tabel 10).
Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa kedua jenis penggunaan lahan
tersebut mengalami fragmentasi lahan. Hadirnya patch perumahan organik telah
memecah-mecah patch pekarangan yang merupakan salah satu struktur lanskap
51
agroforestri riparian sungai menjadi berukuran kecil dan menyebar. Nilai LSI
tertinggi pada bagian tengah adalah patch jalan dengan nilai 27.30 dan disusul oleh
patch perumahan organik, talun, dan pekarangan dengan nilai masing-masing
sebesar 15.93, 14.85, dan 9.75 (Tabel 11). Indeks ini menunjukkan bahwa patch
jalan dan perumahan organik (struktur buatan) dan patch pekarangan dan talun
(struktur agroforestri) memiliki bentuk ekologi yang kompeks dan beragam
(McGarigal & Marks 1995).
Gambar 23 Peta penggunaan lahan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian
tengah
52
Bagian Bawah
Bagian bawah merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang masuk pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Utara dan
Tanah Sareal (Tabel 3). Bagian ini termasuk kawasan pingiran Kota Bogor bagian
utara, namun padat penduduk. Karakteristik bagian tapak ini relatif landai dan
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor (Gambar 24).
Gambar 24 Peta penggunaan lahan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
bagian bawah
53
Berdasarkan hasil analisis ukuran luas lanskap (CA dan LPI), didapatkan
nilai indeks CA terbesar adalah perumahan terrencana dengan luas 11.52 ha
(20.63%) dan disusul oleh perumahan organik, talun, dan pekarangan, dengan luas
masing-masing sebesar 10.82 ha (19.38%), 10.54 ha (18.88%), dan 7.06 ha
(12.65%). Sedangkan tiga nilai LPI tertinggi pada bagian bawah adalah patch talun,
jalan, perumahan terrencana dengan nilai masing-masing adalah 3.25, 1.53, dan
1.21 (Tabel 9). Data tersebut menunjukkan bahwa struktur lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor bagian bawah memiliki matrik berupa lanskap perumahan
terrencana. Dominansi patch perumahan terrencana pada bagian ini
mengindikasikan adanya intervensi aktivitas manusia yang tinggi yang mengambil
alih kawasan alami riparian sungai.
Ukuran kerapatan struktur ekologi lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor pada bagian bawah dapat dilihat berdasarkan nilai indeks NP dan PD. Jumlah
patch (NP) terbanyak adalah pekarangan dengan jumlah 788 patches, diikuti jenis
patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah masing-masing
sebanyak 212 dan 134 patches. Seperti halnya indeks NP, nilai PD tertinggi pada
bagian bawah adalah pekarangan dengan jumlah 411 patches/100 ha, diikuti jenis
patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah masing-masing
sebanyak 378 dan 240 patches/100 ha (Tabel 10). Data tersebut menunjukkan
bahwa ketiga jenis penggunaan lahan tersebut telah terpecah-pecah membentuk
poligon-poligon baru yang lebih kecil dan menyebar (fragmentasi lahan). Dalam
hal ini, terfragmentasinya patch pekarangan yang merupakan salah satu struktur
agroforestri riparian sungai diakibatkan oleh pembangunan perumahan terrencana
dan perumahan organik yang meningkatkan fragmentasi lahan (York et al. 2011).
Nilai ED tertinggi pada bagian bawah adalah patch pekarangan dengan nilai
768.15 dan disusul oleh patch jalan, perumahan organik, dan talun dengan nilai
masing-masing sebesar 601.12, 471.11, dan 262.82. Sedangkan nilai LSI tertinggi
pada bagian ini adalah patch pekarangan dengan nilai 43.99 dan disusul oleh patch
jalan, perumahan organik, dan talun dengan nilai masing-masing sebesar 36.03,
23.48, dan 21.18 (Tabel 11). Nilai indeks-indeks tersebut menunjukkan bahwa
patch pekarangan memiliki bentuk tepi yang paling tidak teratur dan kompleks
(McGarigal & Marks 1995).
Fungsi Lanskap
Salah satu fungsi lanskap secara ekologis adalah dapat mengaliran enegi,
material, dan spesies diantara elemen penyusunnya. Bagian tepi (edge) elemen
54
lanskap seperti patch dan koridor berfungsi sebagai penyaring arus/aliran yang
masuk dan keluar dari elemen tersebut. Aliran-aliran yang masuk ke dalam suatu
elemen lanskap biasanya akan melewati vegetasi tepi yang padat, atau hanya
mengalir sepanjang tepi elemen tersebut. Elemen lanskap yang berdekatan
memiliki tingkat kematangan lanskap yang berbeda sehingga fungsi dari kedua
elemen tersebut juga berbeda, misalnya elemen dengan tingkat yang matang
bisanya berfungsi sebagai tempat sumber makanan dan yang lebih muda sebagai
tempat bersarangnya satwa tertentu. Aliran-aliran yang terjadi erat kaitnya dengan
pergerakan material, energi dan spesies yang dapat terjadi udara, darat, air, maupun
di dalam tanah. Energi, nutrisi (hara), sedimentasi, dan sebagian besar spesies
berpindah dari satu elemen yang satu ke elemen lain dalam suatu lanskap. Hal
tersebut juga dilakukan oleh hewan-hewan dengan habitat di dalam tanah dan juga
lewat berbagai aktivitas manusia (Forman & Godron 1986).
Lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor memiliki struktur lanskap
berupa patch, koridor, dan matrik pada setiap bagian. Struktur lanskap tersebut
diidentifikasi menjadi kelas atau jenis penggunaan lahan. Lanskap riparian sungai
seharusnya memiliki struktur berupa kawasan alami yang berfungsi sebagai
kawasan penyangga sungai (Dindaroglu et al. 2015). Selain koridor anak sungai,
terdapat struktur lanskap agroforestri yang ditemukan pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor yaitu pacth-patch berupa talun, kebun campuran, dan
pekarangan (Gambar 22, 23, dan 24). Struktur lanskap alami riparian sungai
tersebut merupakan bentuk penggunaan lahan agroforestri yang umum ditemukan
pada lanskap riparian (Arifin et al. 2009 dan Noviandi et al. 2016). Secara ekologi,
fungsi struktur alami tersebut adalah mengatur aliran udara dan temperatur di
sepanjang sungai, sebagai media aliran air, sebagai pengatur pergerakan air tanah,
menyaring zat-zat kimia yang dapat mencemari sungai, dan sebagai habitat untuk
bermacam-macam hewan dan tumbuhan baik terestrial maupun akuatik (Stevaux et
al. 2012). Pacthes dan koridor-koriodor alami tersebut memiliki ukuran-ukuran
luas, kerapatan, bentuk, dan tepi yang besar dan beragam, sehingga dapat menjadi
habitat inti (core) dan sumber makanan berbagai satwa dan juga manusia. Selain
struktur agroforestri, pada lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor juga
terdapat struktur buatan yang merupakan bentuk intervensi manusia terhadap
lanskap. Struktur buatan tersebut adalah perumahan organik, perumahan
terrencana, lahan kosong, kolam, dan jalan dengan ukuran luas, bentuk, kerapatan,
dan tepi lanskap yang beragam. Berdasarkan nilai indeks ekologi lanskap, patch
perumahan organik dan perumahan terrencana serta koridor jalan merupakan
struktur buatan yang mulai mendominasi dan mengkonversi kawasan alami riparian
sungai. Struktur buatan tersebut secara ekologi berfungsi sebagai habitat inti (core)
dan sebagai media pergerakan material dan energi yang berhubungan dengan
aktivitas manusia (Forman & Godron 1986).
Dinamika Lanskap
Dinamika lanskap riaprian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dalam penelitian
ini hanya dianalisis secara spasial. Tapak penelitian dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu atas, tengah, dan bawah. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan analisis
dengan melihat perubahan-perubahan penggunaan lahan dan fungsinya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, patches dan koridor-koridor penggunaan lahan
yang teridentifikasi mempunyai konfigurasi lanskap yang berbeda pada setiap
55
bagiannya. Berdasarkan nilai CA, pada bagian atas, struktur ekologi lanskap lebih
didominasi oleh struktur buatan (perumahan organik, perumahan terrencana, lahan
kosong, kolam, dan jalan) dengan nilai 34.65 ha (56.54%), sedangkan struktur
alaminya (anak sungai, talun, kebun campuran, dan pekarangan) yang hanya 26.64
ha (43.46%) (Tabel 9 dan Gambar 22). Berbeda dengan bagian atas, struktur
ekologi lanskap pada bagian tengah masih sedikit didominasi struktur agroforestri
dengan nilai CA sebesar 17.59 ha (55.23%), sedangkan struktur buatannya sebesar
14.26 ha (44.77%) (Tabel 9 dan Gambar 23). Bagian bawah memiliki karakter yang
mirip dengan bagian atas, dimana struktur buatan lebih mendominasi lanskap
riparian sungai yang mencapai 33.78 ha (60.50%), dibanding dengan struktur
agroforestri yang hanya 22.05 ha (39.50%) (Tabel 9 dan Gambar 24). Data tersebut
menunjukkan bahwa, lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor sudah
terokupasi oleh struktur buatan (lahan terbangun), sebagai bentuk intervensi
manusia terhadap lanskap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Arifin et al.
2009). Sedikit berbeda pada bagian tengah, yang masih sedikit didomonasi lanskap
agroforestri (alami), karena pada bagian ini terdapat tempat khusus yang ditetapkan
sebagai kawasan konservasi, yaitu Kebun Raya Bogor. Dengan ditetapkannya suatu
daerah menjadi kawasan kebun raya, maka kondisi vegetasi alami riparian
sungainya masih akan tetap terjaga (Purnomo et al. 2015).
Dinamika spasial yang cukup unik dari lanskap riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor dapat dilihat berdasarkan nilai NP pada setiap bagian. Pada bagian atas,
nilai NP terbanyak adalah jenis pekarangan dengan 546 patches, diikuti jenis patch
perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah masing-masing
sebanyak 171 dan 102 patches (Gambar 25). Pada bagian tengah, jumlah patch
pekarangan juga terbanyak, yaitu berjumlah 130 patches, diikuti jenis patch
perumahan organik ditempat kedua dengan jumlah 84 patches. Sedangkan jumlah
patch terbanyak pada bagian bawah adalah jenis patch pekarangan dengan 788
patches, diikuti jenis patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan
jumlah masing-masing sebanyak 212 dan 134 patches.
Talun
Kebun Campuran
Jumlah (Patches)
KK
Pekarangan
Perumahan Organik
Perumahan Terencana
Lahan Kosong
Kolam
Jalan
Anak Sungai
Data tersebut menunjukkan bahwa, semakin banyak jumlah patch (NP) jenis
perumahan organik dan perumahan terrencana, maka semakin banyak pula jumlah
patch pekarangan pada suatu lanskap. Hal tersebut dikarenakan perumahan organik
dan perumahan terrencana sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitarnya,
seperti bangunan, jalan dan pekarangan yang menjadi salah satu sumber
penghidupan penduduk . Luas rata-rata pekarangan per rumah tangga di riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor relatif sempit akibat fragmentasi lahan yang
menyebabkan produktivitas lahan menjadi rendah (Arifin 1998, Nyaga et al. 2015,
Salami et al. 2010).
Dinamika pada suatu lanskap menunjukkan bahwa lanskap secara umum
tidak permanen, melainkan mengalami perubahan-perubahan dalam hal kualitas,
konfigurasi, ukuran, bentuk, fungsi, dan lain-lain. Pemahaman terhadap dinamika
lanskap memberikan implikasi besar terhadap pengelolaan dan perencanaan
lanskap. Pengaruh dinamika lanskap ini sangat penting dalam pengendalian proses
ekosistem (Arifin et al. 2009).
Gambar 26 Peta tata letak petak sampel analisis vegetasi pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor
58
Nomor
Jenis Penggunaan Lahan Kelurahan Kecamatan
Petak
I Kebun Campuran Sindangrasa Bogor Timur
II Kebun Campuran Katulampa Bogor Timur
III Talun Tajur Bogor Timur
IV Pekarangan Katulampa Bogor Timur
V Pekarangan Lawanggintung Bogor Selatan
VI Pekarangan Baranangsiang Bogor Timur
VII Pekarangan Sempur Bogor Tengah
VIII Talun Bantar Jati Bogor Utara
IX Talun Kedungbadak Tanah Sareal
X Pekarangan Kedunghalang Bogor Utara
XI Kebun Campuran Kedungbadak Tanah Sareal
XII Kebun Campuran Kedunghalang Bogor Utara
XIII Talun Sukaresmi Tanah Sareal
XIV Kebun Campuran Kedunghalang Bogor Utara
a. Talun
lebar dan perakaran yang dalam berfungsi dalam menjaga stabilitas lereng,
mengurangi akumulasi sedimentasi, dan mencegah erosi (Dindaroglu et al. 2015
dan Stevaux et al. 2012). Kepemilikan lahan talun pada riparian sungai di Kota
Bogor merupakan kepemilikan sah dengan sistem warisan, namun ada juga yang
merupakan lahan terbengkalai yang dikelola oleh masyarakat atas izin ketua RT.
Sistem kepemilikan lahan secara warisan tersebut, dapat menyebabkan lahan
terbagi-bagi menjadi unit yang lebih kecil dan menurunkan produktivitasnya
(Salami et al. 2010 dan Nyaga et al. 2015).
Strata tanaman yang mendominasi pada jenis penggunaan lahan talun
adalah strata I dengan jumlah 12 spesies, diikuti oleh strata IV, dengan 7 spesies
tanaman (Tabel 13). Sedangkan fungsi tanaman yang mendominasi adalah tanaman
dengan fungsi lain sebanyak 14 spesies atau 37%, diikuti tanaman penghasil buah
sebanyak 8 spesies atau 21% (Gambar 28). Tanaman tersebut seperti rumput ara
songsang (Asystasia gangetica), rumput paitan (Axonopus compressus), rumput
babadotan (Ageratum conyzoides), meniran (Phyllanthus urinaria L.), dan seruni
rambat (Widelia biflora). Tanaman-tanaman tersebut berfungsi sebagai pakan
ternak, konservasi, bahan pupuk, dsb (Arifin 1998, George et al. 2012, Nyaga et al.
2015). Beberapa tanaman penghasil buah juga ditemukan pada talun, seperti
mangga (Mangifera indica), kuweni (Mangifera odorata), limus (Mangifera
torquenda), pepaya (Carica papaya L.), dan pisang (Musa sp.). Keberadaan
tanaman konservatif dan berbatang keras seperti bambu tali (Gigantochloa apus),
bambu kuning (Bambusa vulgaris), fatsia (Fatsia japonica), gamal (Gliricidia
sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan jabon (Neolamarckia cadamba),
sangat penting untuk menlindung tata tanah, air, dan udara pada daerah riparian
sungai, selain juga bisa berfungsi untuk industri, obat, dan bahan kerajinan.
Keragaman stratifikasi dan fungsi tanaman pada talun tersebut dapat memberikan
keuntungan efisiensi pemanfaatan ruang dan energi cahaya matahari yang
mendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati lanskap riparian (Abdoellah
1991 dan Arifin et al.1997).
Tabel 13. Strata dan fungsi tanaman talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor
Jumlah Spesies
Nomor
Kelurahan Strata Tanaman Fungsi Tanaman
Petak
I II III IV V A B C D E F G H
III Tajur 9 4 4 11 6 4 5 1 1 1 1 3 20
VIII Bantar Jati 11 5 5 5 5 2 9 2 2 1 1 2 16
IX Kedungbadak 13 7 4 3 4 14 7 3 2 1 4 2 6
XIII Sukaresmi 16 2 2 8 6 3 11 5 1 2 0 2 14
Rata-rata 12 5 4 7 5 6 8 3 2 1 2 2 14
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F =
Obat, G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
60
5% 3% Fungsi lain
5%
Penghasil buah
5%
37% Tanaman hias
8% Penghasil sayur
Tanaman bumbu
Tanaman obat
16% Tanaman industri
Penghasil pati
21%
Gambar 28 Fungsi tanaman talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
b. Kebun Campuran
dijumpai pada kebun campuran adalah tanaman bawah berupa herba. Sedangkan
fungsi tanaman yang mendominasi adalah tanaman dengan fungsi lain (konservasi,
pakan ternak, kayu bakar, dsb) sebanyak 10 spesies atau 31%, diikuti tanaman
penghasil buah dan sayur, sebanyak 10 spesies atau 28% dan 5 spesies atau 14%
(Gambar 30).
Tabel 14 Strata dan fungsi tanaman kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor
Jumlah Spesies
Nomor
Petak
Kelurahan Strata Tanaman Fungsi Tanaman
I II III IV V A B C D E F G H
I Sindang Rasa 8 2 4 9 5 2 11 5 2 2 2 2 5
II Katulampa 9 1 6 5 7 3 13 5 1 3 4 1 5
XI Kedungbadak 14 4 4 5 2 6 4 3 0 2 1 2 13
XII Kedunghalang 16 3 4 8 3 3 7 6 0 2 1 2 17
XIV Kedunghalang 9 1 5 4 4 1 9 4 1 1 1 0 10
Rata-rata 11 2 5 6 4 3 9 5 1 2 2 1 10
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F =
Obat, G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
3% 3%
6% Fungsi lain
c. Pekarangan
1%
5% 1%
Tanaman hias
5%
Fungsi lain
8% 33%
Penghasil buah
Penghasil sayur
Tanaman bumbu
21% Tanaman obat
Penghasil pati
Tanaman industri
26%
Penggunaan lahan talun memiliki rata-rata produksi tanaman sebesar 49.20 Mg/ha
dari 7 komoditi tanaman, sedangkan pekarangan memiliki rata-rata produksi
tanaman sebesar 48.77 Mg/ha dari 5 komoditi tanaman (Tabel 16). Jenis komoditi
tanaman yang dipanen tersebut didominasi oleh komoditi tanaman buah, seperti
pepaya, mangga, rambutan, dan sebagainya (Lampiran 5).
Tabel 16 Produksi tanaman pada penggunaan lahan agroforestri riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor
Produksi tanaman pada pekarangan lebih sedikit dibanding kebun campuran dan
talun. Hal tersebut dikarenakan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor merupakan pekarangan perkotaan yang sudah mengalami modernitas,
sehingga pemilihan tanamannya lebih untuk fungsi estetika (tanaman hias) bukan
untuk produksi (Karyono 1990, Arifin et al. 2012, Filqisthi & Kaswanto 2017).
Setelah analisis produksi tanaman, selanjutnya dilakukan pengukuran
produktivitas lahan berdasarkan besaran NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan) atau LER
(Land Equivalent Ratio). Nisbah kesetaraan lahan adalah jumlah nisbah hasil antara
tanaman yang ditumpang sarikan (agroforestri) terhadap hasil tanaman yang
ditaman secara tunggal (monokultur) pada tingkat manajemen yang sama. Data
produksi tanaman dengan sistem monokultur didapatkan berdasarkan data produksi
tanaman hortikultura tahun 2013-2015 dari BPS Kota Bogor, BPS Nasional, dan
beberapa penelitian produksi tanaman hortikultura. Produktivitas lahan berdasarkan
nilai NKL penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung tergolong
kategori tinggi (Tabel 17).
Tabel 17 Nisbah kesetaraan lahan (NKL) sistem agroforestri pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor
Rata-rata nilai NKL penggunaan lahan talun sedikit lebih rendah, yaitu
sebesar 1.40 yang masih termasuk kategori tinggi. Nilai NKL pada penggunaan
lahan kebun campuran sebesar 1.81 yang termasuk kategori tinggi. Sedangkan nilai
NKL pada penggunaan lahan pekarangan sebesar 0.96 yang termasuk katagori
rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman yang dibudidayakan dengan
teknik agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dalam bentuk
kebun campuran, talun, dan pekarangan masih memiliki produktivitas lahan
tergolong tinggi. Praktek agroforestri yang memiliki produktivitas lahan yang
optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan,
67
Karbon dapat tersimpan pada bagian tanaman di atas tanah, serasah, herba,
maupun di bawah permukaan tanah dan akar. Biomasa tanaman di atas tanah
berpotensi menyimpan 32,90% dan di bawah permukaan tanah dapat mencapai
56,70% (Roshetko et al. 2002). Kandungan karbon tersimpan talun lebih besar
dibandingkan kebun campuran dan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor. Hal tersebut dikarena komposisi vegetasi pada talun yang menyerupai
hutan alami dengan dominasi pohon-pohon tahunan berdiameter batang besar.
Biomassa tanaman secara geometrik memiliki hubungan yang bersifat sejajar
dengan diameter tanaman, berat jenis kayu serta tinggi tanaman (Chave et al. 2005).
Tanaman tahunan pada talun memiliki ukuran diameter besar, tinggi dan massa
jenis kayu yang lebih rapat, sehingga biomassa tanaman juga semakin besar dan
karbon tersimpannya juga semakin tinggi (Henry et al. 2009 dan Bajigo et al. 2015).
Penggunaan lahan pekarangan dan kebun campuran memiliki kandungan karbon
yang sedikit lebih rendah dibandingkan talun, namun masih dalam kategori tinggi
(Tabel 18). Hal tersebut karena komposisi vegetasi pada kabun campuran lebih
didominasi tanaman fungsi produksi buah dan sayur yang berumur relatif muda (3-
10 tahun), sehingga diameter tanaman lebih kecil dan biomassannya lebih rendah.
Sedangkan pada pekarangan lebih didominasi tanaman hias lanskap, seperti bunga,
herba, pohon peneduh, dan tanaman perdu yang sebagian merupakan tanaman cepat
tumbuh, sehingga massa jenis kayunya lebih ringan dan biomassa tanamannya lebih
rendah (Baker et al 2004 dan Henry et al. 2009). Namun, secara umum penggunaan
lahan talun, kebun campuran, dan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor merupakan sistem agroforestri kompleks yang tentunya dapat
menyimpan karbon lebih banyak dibandingkan lahan dengan pola penanaman
monokultur. Hal ini dikarenakan komposisi spesies dan perbedaan variasi ekologi
dan lingkungannya lebih baik (Kumar & Nair 2011).
dan kelimpahan relatif atau jumlah individu tiap spesies pada penggunaan lahan
tersebut (Magurran 2004).
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor tergolong tinggi (Tabel 21). Penggunaan
lahan talun dengan luas mencapai 38.77 ha memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 1907.48 Mg dan karbon tersimpan sebesar 4546.47 Mg. Penggunaan lahan
kebun campuran dengan luas 9.44 ha memiliki potensi produksi tanaman sebesar
617.47 Mg dan karbon tersimpan sebesar 815.18 Mg. Sedangkan penggunaan lahan
pekarangan dengan luas mencapai 17.53 ha memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 854.94 Mg dan karbon tersimpan sebesar 1632.50 Mg. Hal tersebut
membuktikan bahwa penggunaan lahan agroforestri dapat menjadi dasar dalam
manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor yang berkelanjutan
(Arifin et al. 2009 dan Nyaga et al. 2015).
Tabel 21 Potensi jasa lanskap penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor
Kapasitas Jasa
Potensi
Lanskap
N Penggunaan
Luas (ha)
o Lahan Karbon Karbon
Produksi Produksi
Tersimpan Tersimpan
(Mg/ha) (Mg)
(Mg/ha) (Mg)
1 Talun 38.77 49.20 117.27 1907.48 4546.47
2 Kebun Campuran 9.44 65.41 86.35 617.47 815.18
3 Pekarangan 17.53 48.77 93.13 854.94 1632.50
Tabel 22 Nilai jasa lanskap yang dihasilkan penggunaan lahan agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Petak contoh XIII merupakan penggunaan lahan talun dengan nilai jasa
lanskap terbaik yang termasuk kategori sedang (Tabel 23). Petak tersebut memiliki
nilai produktivitas lahan sebesar 2.56, karbon tersimpan sebesar 167.11 Mg/ha,
keragaman jenis dengan nilai indeks Shannon Weiner (H’) 1.54, dan kekayaan jenis
dengan nilai indeks Margalef (Dm) 4.33. Selain itu, petak contoh tersebut juga
memiliki variasi jenis dan strata tinggi vegetasi yang beragam (Gambar 33). Hal
tersebut menunjukkan bahwa petak XIII merupakan penggunaan lahan talun yang
cukup ideal sebagai bentuk praktek agoroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor.
73
Tabel 23 Penilaian petak sampel dengan jasa lanskap terbaik pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor
Penggunaan lahan kebun campuran yang memiliki nilai jasa lanskap terbaik
adalah pada petak XII dengan kategori sedang (Tabel 22). Petak tersebut memiliki
nilai produktivitas lahan sebesar 1.67, karbon tersimpan sebesar 114.19 Mg/ha,
keragaman jenis dengan nilai indeks Shannon Weiner (H’) 2.11, dan kekayaan jenis
dengan nilai indeks Margalef (Dm) 4.50. Petak kebun campuran tersebut memiliki
struktur dan komposisi vegetasi yang beragam, sehingga memiliki nilai jasa lanskap
yang cukup baik (Gambar 34). Hal tersebut menunjukkan bahwa petak XII
merupakan penggunaan lahan kebun campuran yang cukup ideal sebagai bentuk
praktek agoroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
74
Gambar 34 Kondisi eksisting penggunaan lahan kebun campuran pada Petak XII
Gambar 36 Konsep lanskap produktif pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
hingga sangat curam (>25 %), seharusnya dialokasikan untuk penggunaan lahan
talun dengan fungsi lebih ke arah konservasi dan peningkatan karbon tersimpan.
Sedangkan kawasan dengan kemiringan lereng datar sampai agak curam (<25%),
seharusnya dialokasikan untuk pengunaan lahan kebun campuran dengan fungsi
untuk peningkatan produksi dan diversitas tanaman. Jenis tanah juga menjadi faktor
pembatas yang penting dalam praktek agroforestri, selain kemiringan lereng dan
ketersediaan lahan. Menurut BPDAS Citarum Ciliwung (2013), riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor didominasi oleh jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan dan latosol coklat (Gambar 11). Jenis tanah tersebut memiliki struktur
remah dan sedikit gembur, mudah menyerap air dengan pH netral hingga masam
dan memiliki produktivitas sedang hingga tinggi (Soepardi 1983). Oleh karena itu,
jenis tanah tersebut cocok untuk budidaya lahan dengan sistem agroforestri.
Selain itu, prioritas selanjutnya dalam pengalokasian lahan agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor adalah kawasan terlanjur dihuni (lahan
terbangun) yang belum dibebaskan pemerintah (privat). Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa lahan terbangun pada kawasan riparian merupakan hak milik
pribadi masyarakat, baik surat hak milik maupun secara turun temurun (warisan).
Hal tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pembebasan
lahan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Oleh karena itu, perlu suatu
kebijakan untuk meminimalisir dampak kerusakan ekosistem riparian sungai akibat
okupasi lahan terbangun tersebut. Salah satu caranya adalah dengan membuat
kebijakan berupa pengalokasian sebagian area dari lahan terbangun (perumahan
organik dan perumahan terrencana) untuk penggunaan lahan agroforestri berupa
pekarangan. Pengalokasian lahan untuk pekarangan tersebut dapat dilakukan pada
setiap rumah tangga (pekarangan rumah) ataupun pada skala komunitas dalam
bentuk taman lingkungan (community garden). Sebagai bentuk lankap agroforestri
yang paling sederhana, pekarangan dapat berperan dalam peningkatan karbon
tersimpan, dan diversitas tanaman. Selain itu, hasil produksi tanaman pada
pekarangan juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pemilik lahan
(Kaswanto et al. 2013).
Secara umum, strategi pengalokasian penggunaan lahan riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor dibagi menjadi dua prioritas (Gambar 37). Priotas pertama
adalah restorasi vegetasi riparian sungai pada kawasan belum dihuni (lahan non-
terbangun) dan kawasan terlanjur dihuni (lahan terbangun) yang sudah dibebaskan
ke dalam bentuk talun dan kebun campuran. Prioritas kedua adalah penyediaan
sebagian lahan dari kawasan terlanjur dihuni (lahan terbangun) yang belum
dibebaskan untuk penggunaan lahan pekarangan. Setelah alokasi lahan agroforestri
tersebut berhasil diterapkan, selanjutnya perlu dilakukan pengawasan dan
pemeliharan secara tegas dan berkala. Selain itu, untuk mencapai manajemen
lanskap yang berkelanjutan, perlu adanya integrasi dari berbagai pihak (akedemisi,
swasta, pemerintah, komunitas, dan media) dan berbagai aspek (ekologi, ekonomi,
sosial, dan budaya). Integrasi dalam manajemen lanskap tersebut, diharapkan juga
dapat membatasi faktor-faktor pendorong dari perubahan atau alih fungsi riparian
sungai sebagai RTH publik, seperti faktor jarak dari pusat kota, jarak dari jalan
utama, kemiringan lereng, jenis tanah, dan kepadatan penduduk (Arifin et al. 2014).
Sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kualitas lingkungan riparian sungai,
tetapi manjemen lanskap agoforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
ini, juga dapat meningkatkan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
78
B T
0 5 10 25
meter
79
Gambar 38 Kondisi eksisting (foto udara) plot talun terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
79
80
U
B T
0 1 2 5
meter
Gambar 39 Desain Eksisting plot talun terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
79
Gambar 40 Desain rencana talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
81
79
82
82
Gambar 41 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
83
84
U
B T
0 5 10 25
meter
Gambar 42 Kondisi eksisting (foto udara) plot kebun campuran terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47
B T
0 1 2 5
meter
85
Gambar 43 Desain Eksisting plot kebun campuran terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47
86
Gambar 44 Desain rencana kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47
87
Gambar 45 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47
88
U
B T
0 5 10 25
meter
Gambar 46 Kondisi eksisting (foto udara) plot pekarangan terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47
Gambar 47 Desain Eksisting plot pekarangan terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
89
47
90
Gambar 48 Desain rencana pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47
91
Gambar 49 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
92
Simpulan
Struktur lanskap agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
masih tersisa sebesar 44.24% yang terdiri dari talun sebesar 26.09%, kebun
campuran sebesar 6.36%, dan pekarangan sebesar 11.79%. Fungsi struktur
agroforestri lanskap riparian tersebut adalah menjadi habitat inti (core) dan sumber
makanan berbagai satwa, sementara struktur buatan dapat berfungsi sebagai habitat
inti (core) dan sebagai media pergerakan material dan energi yang berhubungan
dengan aktivitas manusia. Dinamika spasial lanskap riparian yang sangat terlihat
adalah semakin banyak jumlah patch (NP) perumahan organik dan perumahan
terrencana pada suatu lanskap, semakin banyak pula jumlah patch pekarangan pada
lanskap tersebut.
Talun dengan luas mencapai 38.77 ha, memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 1907.48 Mg, karbon tersimpan sebesar 4546.47 Mg, indeks diveristas
tanaman H’:1.84 dan Dm: 4.32 yang didominasi jenis tanaman konservatif. Kebun
campuran memiliki luas 9.44 ha dengan potensi produksi tanaman sebesar 617.47
Mg, karbon tersimpan sebesar 815.18 Mg, indeks biodiveristas tanaman H’:2.07
dan Dm: 3.63 yang didominasi jenis tanaman produktif (buah dan sayur).
Pekarangan dengan luas mencapai 17.53 ha, memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 854.94 Mg; karbon tersimpan sebesar 1632.50 Mg, indeks biodiveristas
tanaman H’:1.55 dan Dm: 3.90 yang didominasi oleh kombinasi tanaman hias dan
tanaman produktif. Manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
akan diarahkan untuk optimalisasi jasa lanskap (produktivitas lahan, karbon
tersimpan, dan diversitas tanaman) dengan konsep lanskap produktif (productive
landscape). Sistem agroforestri talun diterapkan untuk mengkonservasi lahan
berlereng curam. Kebun campuran diterapkan pada lahan kosong dan lahan
terlanjur huni yang sudah dibebaskan. Pekarangan diterapkan pada sebagian lahan
terlanjur huni yang belum dan sulit untuk dibebaskan.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Daily GC, Polasky S, Goldstein J, Kareiva PM, Mooney HA, Pejchar L, Ricketts
TH, Salzman J, Shallenberger R. 2009. Ecosystem Services in Decision
Making: Time to Deliver. Front. Ecol. Environ. 7: 21–28.
Dawson IK, Lengkeek A, Weber J, Jamnadass R. 2009. Managing Genetic
Variation in Tropical Trees: Linking Knowledge with Action in
Agroforestry Ecosystems for Improved Conservation and Enhanced
Livelihoods. Biodivers. Conserv. 18: 969–986.
DeFries R, Foley J, Asner GP. 2004. Land Use Choices: Balancing Human Needs
and Ecosystem Function. J Frontiers in Ecology and the Environment.
2:249-257.
Dindaroglu T, Reis M, Akay AE, Tonguc F. 2015. Hydroecological approach for
determining the width of riparian buffer zones for providing soil
conservation and water quality. Int. J. Environ. Sci. Technol. 12:275-284.
[Direktorar Jenderal Sumber Daya Air]. 2014. Kebijakan Sempadan Sungai. Materi
Power Point pada Pertemuan Tim Kajian Penetapan Sempadan Sungai
Ciliwung. Jakarta, 8 Januari 2014.
Fagerholm N, Torralba M, Burgess PJ, Plieninger T. 2016. A Systematic Map of
Ecosystem Services Assessments around European Agroforestry.
Ecological Indicators. 62: 47–65.
Filqisthi TA, Kaswanto RL. 2017. Carbon stock and plants biodiversity of
pekarangan in Cisadane watershed West Java. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science. 54: 012-024.
Forman R, Gordon M. 1986. Lansdcape Ecology. New York (US): John Wiley &
Son.
Frangi JL, Lugo AE. 1985. Ecosystem dynamics of a subtropical floodplain forest.
Ecological Monographs. 55:351-369.
Fürst C, Opdam P, Inostroza L, Luque S. 2014. Evaluating the Role of Ecosystem
Services in Participatory Land Use Planning: Proposing a Balanced Score
Card. Landsc. Ecol. 29: 1435–1446.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi tanaman Budidaya (Cetakan
Pertama). Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Garrity DP. 2004. Agroforestry and the Achievement of the Millennium
Development Goals. Agrofor. Syst. 61: 5–17.
George SJ, Harper RJ, Hobb RJ, Tibbett M. 2012. A sustainable agricultural
landscape for Australia: A review of interlacing carbon sequestration,
biodiversity and salinity management in agroforestry systems. Agriculture,
Ecosystems and Environment. 163: 28– 36.
Gerard F, Petit S, Smith G, Thomson A, Brown N, Manchester S, Wadsworth R,
Bugar G, Halada L, Beza´ k P, Boltiziar M, de Badts E, Halabuk A, Mojses
M, Petrovic F, Gregor M, Hazeu G, Mucher CA, Wachowicz M, Huitu H,
Tuominen S, Ko¨ hler R, Olschofsky K, Ziese H, Kolar J, Sustera J, Luque
S, Pino J, Pons X, Roda F, Roscher M, Feranec J. 2010. Land Cover Change
in Europe between 1950 and 2000 Determined Employing Aerial
Photography. Progress in Physical Geography. 34: 183–205.
Global Village Translations. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Jakarta
(ID): Persemakmuran Australia.
Gordon M. 2004. Stream Ecology: an Introduction to Ecologists (Ed ke-2).
Chichester (GB): John Wiley & Sons.
96
Karyono. 1990. Homegardens in Jawa: Their Structure and Function. eds. Landauer
K, Brazil M. Tropical Homegardens, United Nations. Tokyo (JP):
University Press.
Kaswanto RL, Nakagoshi N. 2014. Landscape Ecology-Based Approach for
Assessing Pekarangan Condition to Preserve Protected Area in West Java.
Designing Low Carbon Societies in Landscapes. 8: 289-311.
Kaswanto RL, Baihaqi M, Hadi AA. 2013. Desain Lanskap Agroforestri Menuju
Masyarakat Rendah Karbon. In: Prosiding Lokakarya Nasional dan
Seminar. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia. Bogor,
Indonesia.
Kehleinbeck K, Arifin HS, Maass B. 2007. Plant Diversity in Home Gardens in a
Socio-Economic and Agro-Ecological Context in the Stability of Tropical
Rainforest Margins: Linking Ecological, Economic and Socio Constraints
(Eds. T. Tscharntke, C. Leuschner, M. Zeller and E. Guhardja). Verlag
Berlin (DE): Springer.
Khoiriah IF, Farda NM. 2010. Perbandingan Akurasi Klasifikasi Penutup Lahan
Hasil Penggabungan Citra ALOS AVNIR-2 dan ALOS PALSAR pada
Polarisasi Berbeda dengan Transformasi Wavelet.
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/11/11 (diakses 30
Mei 2017).
Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York (US): Harper and Row.
Kumar BM, Nair PKR. 2011. Carbon Sequestration Potential of Agroforestry
Systems-Opportunities and Challenges. New York (US): Springer.
Kusmana C. 1998. Evaluasi Aspek Finansial dan Aspek Fisik Lingkungan
Pemanfaatan Lahan Kering dengan Pola Agroforestri. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Kusuma S. 2007. Penentuan Bentuk dan Luas Plot Contoh Optimal Pengukuran
Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Ekosistem Hutan Hujan Dataran
Rendah : Studi Kasus di Taman Nasional Kutai. [Tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana IPB.
Lambin EF, Geist H (Eds.). 2006. Land-Use and Land-Cover Change: Local
Processes and Global Impacts. Berlin (DE): Springer.
Leavitt JM. 1998. The functions of riparian buffers in urban watersheds.
Washington (US): University of Washington.
Leitao AB, Ahern J. 2002. Applying landscape ecological concepts and metrics in
sustainable landscape planning. Landscape and Urban Planning 59: 65-93.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1993. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Ludwiq JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecoloqy a Primer on Methods and
Computing. New York (US): John Wiley & Sons.
Magura T, Lövei GL, Tóthmérész B. 2010. Does urbanization decrease diversity in
ground beetle (Carabidae) assemblages?. J Glob Ecol and Biogeo. 19:16-26.
Magurran AE. 1991. Ecological Diversity and Its Measurement. New York (US):
Chapman & Hall.
Magurran, AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Malden (US): Blackwell
Publishing.
98
Stevaux JC, Corradini FA, Aquino S. 2012. Connectivity processes and riparian
vegetation of the upper Paraná River, Brazil. J South American Earth
Sciences. 46:113-121.
Sugiharto C. 2002. Kajian Aluminium Sebagai Faktor Pembatas Pertumbuhan Akar
Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nelson). Malang (ID): Universitas
Brawijaya.
Suryana, S. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Jagung di
Kabupaten Blora [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Susetyo B, Widiatmaka, Arifin HS, Machfud, Nurhayati. 2014. Analisis Spasial
Kemampuan dan Kesesuaian Lahan untuk Mendukung Model Perumusan
Kebijakan Manajemen Lanskap di Sempadan Ciliwung, Kota Bogor.
Majalah Ilmiah Globë. 16: 51-58.
Sutopo MF. 2011. Pengembangan Kebijakan Pembayaran Jasa Lingkungan dalam
Pengelolaan Air Minum (Studi Kasus DAS Cisadane Hulu) [Disertasi].
Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Termorshuizen J, Opdam P. 2009. Landscape services as a bridge between
landscape ecology and sustainable development. Landsc. Ecol. 24: 1037–
1052.
Tsonkova P, Böhm C, Quinkenstein A, Freese D. 2012. Ecological Benefits Pro-
Vided by Alley Cropping Systems for Production of Woody Biomass in the
Temperate Region: a Review. Agrofor. Syst. 85: 133–152.
Turner GM, Gardner RH, O’Neill RV. 2001. Landscape Ecology in Theory and
Practice: Pattern and Process. New York (US): Springer-Verlag.
VanBerkel DB, Verburg PH. 2014. Spatial Quantification and Valuation of Cultural
Ecosystem Services in an Agricultural Landscape. Ecol. Indic. 37: 163–174.
Verry ES, Dolloff CA, Manning ME. 2004. Riparian ecotone: a functional
definition and delineation for resource assessment. J Water, Air, & Soil
Pollution. 4:67-94.
Vink AP. 1975. Landuse Inadvancing Agriculture Springer Verlag. New York
(US): Helderberg.
Vitousek PM, Mooney HA, Lubchenco J, Melillo JM. 1997. Human domination of
Earth’s. ecosystems. Science. 277: 494–499.
Waring RH, Schlesinger WH. 1985. Forest Ecosystems: Concepts and
Management. San Diego (US): Academic Press, Inc.
Westerink J, Opdam P, van Rooij S, Steingröver E. 2017. Landscape Services as
Boundary Concept in Landscape Governance: Building Social Capital in
Collaboration and Adapting the Landscape. Land Use Policy. 60: 408–418.
Woodley S, Kay J, Francis G. 1993. Ecological Integrity and the Management of
Ecosystems. Boca Raton (FL): St. Lucie Press.
Wunder S. 2005. Payment for Environmental Services: Some Nuts and Bolts..
Center for International Forestry Research.
York AM, Shrestha M, Boone CG, Zhang S, Harrington JA, Prebyl TJ, Swann A,
Agar M, Antolin MF, Nolen B, Wright JB, Skaggs R. 2011. Land
Fragmentation Under Rapid Urbanization: A cross-site analysis of
Southwestern cities. Urban Ecosyst. 14: 429–455.
101
LAMPIRAN
73
Ground Truth
Class Sungai Kebun Perumahan Perumahan Lahan Anak
Talun Pekarangan Kolam Jalan Total
Utama Campuran Organik Terrencana Kosong Sungai
Sungai Utama 11.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.00
Talun 0.00 13.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 14.00
Kebun Campuran 0.00 0.00 7.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.00
Pekarangan 0.00 0.00 0.00 9.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.00
Perumahan Organik 0.00 0.00 0.00 1.00 12.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.00
Perumahan Terrencana 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 11.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.00
Lahan Kosong 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 12.00 0.00 0.00 0.00 13.00
Kolam 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.00 0.00 0.00 7.00
Jalan 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 0.00 7.00 0.00 9.00
Anak Sungai 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.00 4.00
Total 11.00 13.00 8.00 12.00 12.00 13.00 12.00 8.00 7.00 4.00 100.00
Katerangan: Jumlah titik point akurasi (Ground Truth) = 100 titik
102
103
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
1 Ara songsang Asystasia gangetica Acanthaceae I H
2 Rumput pletekan Ruellia tuberosa Acanthaceae I H
3 Hanjuang merah Cordyline terminalis Agavaceae II A
4 Sri rejeki Aglaonema sp. Agavaceae I A
5 Bayam-bayaman Coleus sp. Amaranthaceae II A
6 Bunga desember Haemanthus multiflorus Amaryllidaceae I A
7 Asam putar (limus) Mangifera torquenda Anacardiaceae V B
8 Kedondong Spondias dulcis Anacardiaceae IV B, C
9 Mangga Mangifera indica Anacardiaceae IV B
10 Mangga kuweni Mangifera odorata Anacardiaceae IV B
11 Rengas Glauta renghas Anacardiaceae V H
12 Sirsak Annona muricata Annonaceae III B, F
13 Alokasia tengkorak Alocasia cypeolata Araceae I A
14 Gelombang cinta Anthurium plowmanii Araceae I A
15 Talas Colocasia esculenta Araceae I C, E
Tanaman
16 Dieffenbachia bowmannii Araceae I A
Dieffenbachia
17 Fatsia Fatsia japonica Araliaceae I H
18 Mangkokan Nothopanax scutellarium Araliaceae II A, C
19 Pinang jambe Areca catechu Arecaceae III A, H
20 Kirinyuh Chromolaena odorata Asteraceae II H
21 Mikania Mikania micrantha Asteraceae II H
22 Rumput babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae I H
23 Rumput legetan Synedrella nodiflora Asteraceae I H
24 Seruni rambat Widelia biflora Asteraceae I A
25 Sintrong Crassocephalum crepidioides Asteraceae I C
26 Wijaya kusuma Epiphyllum oxypetalum Cactaceae II A
Rumput maman
27 Cleome rutidosperma Capparidaceae I H
ungu
28 Pepaya Carica papaya L. Caricaceae IV B, C
29 Pepaya jepang Carica papaya Caricaceae I A, C
30 Pacing liar Costus spicatus Costaceae I A, H
31 Rumput teki ladang Cyperus rotundus Cyperaceae I H
32 Rumput teki payung Cyperus alternifolius Cyperaceae I H
33 Pakis monyet Dicksonia antartica Dicksoniaceae III A, H
34 Paku jejer Nephrolepis exaltata Dryopteridaceae I H
35 Karet Hevea brasiliensis Euphorbiaceae III G, H
104
Lanjutan Lampiran 2
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
36 Kareumbi Homalanthus populneus Euphorbiaceae IV H
37 Mara (tutup merah) Macaranga tanarius L. Euphorbiaceae I H
38 Puring Codiaeum variegatum Euphorbiaceae II A
39 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae II C, E
40 Teh-tehan Acalypha siamensis Euphorbiaceae I A
41 Angsana Pterocarpus indicus Fabaceae III H
42 Asem Tamarindus indica Fabaceae IV C, D, F
43 Gamal Gliricidia sepium Fabaceae IV H
44 Kembang telang Clitoria ternatea Fabaceae I A, H
45 Lamtoro Leucaena leucocephala Fabaceae IV C, H
46 Lamtoro hutan Leucaena sp. Fabaceae II H
47 Petai Parkia speciosa Fabaceae IV C
48 Sengon Albizia chinensis Fabaceae V G, H
49 Helikonia Heliconia psittacorum Heliconiaceae II A
Rumput godong
50 Hyptis rhomboidea Lamiaceae I H
puser
51 Alpukat Persea americana Lauraceae IV B
52 Lidah buaya Aloe vera Liliaceae I A, F
53 Taiwan beauty Cuphea hyssopifolia Lythraceae I A
54 Randu Ceiba pentandra Malvaceae V H
55 Sidaguri Sida rhombifolia Malvaceae I H
56 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae IV H
57 Maranta Maranta bicolor Marantaceae I A
58 Langsat Lansium domesticum Meliaceae V B
59 Mimba Azadirachta indica Meliaceae IV F
60 Awar-awar Ficus septicum Moraceae I H
61 Nangka Artocarpus heterophyllus Moraceae IV B
62 Pohon ara Ficus racemosa Moraceae V H
63 Sukun Artocarpus communis Moraceae V C
64 Teureup (bendo) Artocarpus elasticus Moraceae V B
65 Uyah-uyahan Ficus montana Moraceae I H
66 Pisang Musa sp. Musaceae IV B
67 Daun salam Syzygium polyanthum Myrtaceae IV D
68 Jambu air Syzygium aqueum Myrtaceae III B
69 Jambu biji Psidium guajava Myrtaceae IV B, F
70 Jambu bol Syzygium malaccense Myrtaceae III B
71 Pakis sayur Diplazium esculentum Oleandraceae I C
72 Anggrek merpati Dendrobium Crumenatum Orchidaceae I A
73 Kelapa Cocos nucifera Palmae V B, D
Rumput kancing
74 Borreria laevis Passifloraceae I H
ungu
105
Lanjutan Lampiran 2
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
75 Meniran Phyllanthus urinaria L. Phyllanthaceae I F
76 Sirih-sirihan Piper aduncum L. Piperaceae III H
77 Bambu hitam Gigantochloa atroviolacea Poaceae V G, H
78 Bambu kuning Bambusa vulgaris Poaceae V A, H
79 Bambu tali Gigantochloa apus Poaceae V G, H
80 Gelagah Saccharum spontaneum Poaceae I H
81 Rumput bambu Lophatherum gracile Poaceae I H
82 Rumput paitan Axonopus compressus Poaceae I A, H
83 Krokot Portulaca oleracea L. Portulacaceaea I C
84 Jabon Neolamarckia cadamba Rubiaceae V G, H
85 Rumput mutiara Hedyotis corymbosa L. Rubiaceae I H
86 Soka merah Ixora coccinea Rubiaceae II A
87 Jeruk purut Citrus hystrix Rutaceae III D
88 Rambutan Nephelium lappaceum Sapindaceae IV B
89 Sawo Manilkara zapota Sapotaceae III B
90 Rumput cakar ayam Selaginella doederleinii Selaginellaceae I H
91 Jati Tectona grandis Verbenaceae IV G, H
92 Tembelekan Lantana camara Verbenaceae II A, H
93 Jahe Zingiber officinale Zingiberaceae II D, F
94 Kunyit Curcuma longa Zingiberaceae II D, F
Jumlah Famili 44
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F =
Obat, G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
106
Lanjutan Lampiran 3
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
36 Katuk Sauropus androgynus Euphorbiaceae I C
37 Puring Codiaeum variegatum Euphorbiaceae II A
38 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae III C, E
39 Bengkoang Pachyrhizus erosus Fabaceae I E
40 Gamal Gliricidia sepium Fabaceae III H
41 Jengkol Archidendron pauciflorum Fabaceae IV C
42 Lamtoro Leucaena leucocephala Fabaceae IV C, H
43 Petai Parkia speciosa Fabaceae V C
44 Putri malu Mimosa pudica Fabaceae I H
45 Sengon Albizia chinensis Fabaceae V G, H
46 Trembesi Samanea saman Fabaceae IV H
47 Kemangi Ocimum citriodorum Lamiaceae I C
Rumput godong
48 Hyptis rhomboidea Lamiaceae I H
puser
49 Alpukat Persea americana Lauraceae IV B
50 Bungur kecil Lagerstroemia indica Lythraceae III A, H
51 Rosela Hibiscus sabdariffa Malvaceae II A, F
52 Langsat Lansium domesticum Meliaceae IV B
53 Nangka Artocarpus heterophyllus Moraceae IV B
54 Sukun Artocarpus communis Moraceae III C
55 Tin Ficus carica Moraceae II A, F
56 Kersen Muntingia calabura Muntingiaceae III B
57 Pisang Musa sp. Musaceae IV B
58 Cengkeh Syzygium aromaticum Myrtaceae IV A, F, G
59 Jambu air Syzygium aqueum Myrtaceae IV B
60 Jambu biji Psidium guajava Myrtaceae III B, F
61 Daun salam Syzygium polyanthum Myrtaceae IV D
62 Kelapa Cocos nucifera Palmae V B, D
63 Meniran Phyllanthus urinaria L. Phyllanthaceae I F
64 Menteng Baccaurea racemosa Phyllanthaceae IV B
65 Sirih-sirihan Piper aduncum L. Piperaceae II H
66 Bambu tali Gigantochloa apus Poaceae V G, H
67 Rumput bebek Echinochloa colona Poaceae I H
68 Gelagah Saccharum spontaneum poaceae I H
69 Rumput paitan Axonopus compressus Poaceae I A, H
70 Rumput belulang Eleusine indica Poaceae I H
71 Suplir Adiantum terenium Pteridaceae I A
72 Kopi Coffea sp. Rubiaceae III H
Rumput daun
73 Pilea nummulariifolia Rubiaceae I A
mutiara
108
Lanjutan Lampiran 3
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
Rumput
74 Borreria alata Rubiaceae I H
kentangan
75 Jeruk Citrus sp. Rutaceae IV B
76 Matoa Pometia pinnata Sapindaceae I B
77 Rambutan Nephelium lappaceum Sapindaceae V B
78 Sawo Manilkara zapota Sapotaceae I B
79 Cabai rawit Capsicum annuum Solanaceae I C
80 Terong pipit Solanum torvum Solanaceae II C
81 Jati Tectona grandis Verbenaceae IV G
82 Jati putih Gmelina arborea Verbenaceae IV G, H
83 Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae I H
Jumlah Famili 41
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F = Obat,
G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
109
Lanjutan Lampiran 4
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
38 Ketapang Terminalia catappa Combretaceae I A
39 Adam hawa Rhoeo discolor Commelinaceae I A
40 Callisia Callisia fragrans Commelinaceae I A
41 Zebrina Tradescantia zebrina Commelinaceae I A
42 Cocor bebek Bryophyllum pinnatum Crassulaceae I A, F
43 Cemara kipas Thuja orientalis Cupressaceae IV A
44 Suji Dracaena angustifolia Dracaenaceae II A, D, F
45 Bunga air mata ibu Euphorbia milii Euphorbiaceae I A
46 Kalpataru Hura crepitans L. Euphorbiaceae V H
47 Mara (tutup merah) Macaranga tanarius L. Euphorbiaceae II H
48 Patah tulang/zig-zag Pedilanthus tithymaloides Euphorbiaceae I A
49 Puring Codiaeum sp. Euphorbiaceae III A
50 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae III C, E
51 Teh-tehan Acalypha siamensis Euphorbiaceae II A
52 Angsana Pterocarpus indicus Fabaceae V H
53 Lamtoro Leucaena leucocephala Fabaceae IV C, H
54 Petai Parkia speciosa Fabaceae III C
55 Sapu tangan Maniltoa grandiflora Fabaceae V A, H
56 Bawang dayak Eleutherine palmifolia Iridaceae I A, F
57 Bunga iris kuning Neomarica longifolia Iridaceae I A
58 Kumis kucing Orthosiphon aristatus Lamiaceae I A, F
59 Alpukat Persea americana Lauraceae IV B
60 Pegagan Centella asiatica Mackinlayaceae I A, C, F
61 Awar-awar Ficus septicum Moraceae I H
62 Beringin Ficus benjamina Moraceae V A, H
63 Beringin karet Ficus elastica Moraceae V A, H
64 Sukun Artocarpus communis Moraceae IV C
65 Kersen Muntingia calabura Muntingiaceae III A, B
66 Pisang Musa sp. Musaceae III B
67 Daun salam Syzygium polyanthum Myrtaceae III D, F
68 Jambu air Syzygium aqueum Myrtaceae III B
69 Jambu biji Psidium guajava Myrtaceae III B, F
70 Pucuk merah Syzygium campanulatum Myrtaceae III A
71 Bogenvil Bougainvillea sp. Nyctaginaceae III A
72 Bunga pukul empat Mirabilis jalapa Nyctaginaceae I A
73 Belimbing Averrhoa carambola Oxalidaceae IV B
74 Kelapa Cocos nucifera Palmae IV B, D
75 Kelapa kuning Cocos sp. Palmae V B
76 Pandan Pandanus amaryllifolius Pandanaceae II D, F
111
Lanjutan Lampiran 4
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
77 Ceremai Phyllanthus acidus Phyllanthaceae IV B
78 Meniran Phyllanthus urinaria L. Phyllanthaceae I F
79 Pinus Pinus merkusii Jungh. Pinaceae V A
80 Alang-alang Imperata cylindrica Poaceae I H
81 Bambu tali Gigantochloa apus Poaceae IV H
82 Rumput belulang Eleusine indica Poaceae I H
83 Rumput paetan Axonopus compressus Poaceae I A, H
84 Paku jejer Nephrolepis exaltata Polypodiaceae I A, H
85 Paku sarang burung Asplenium nidus Polypodiaceae I A
86 Krokot Portulaca oleracea L. Portulacacaease I A, C
87 Paku batang hitam Aspidium pedatum Pteridaceae I H
88 Daun mutiara Pilea nummulariifolia Rubiaceae I A
89 Mengkudu Morinda citrifolia Rubiaceae III F
Rumput kancing
90 Borreria laevis Rubiaceae I H
ungu
91 Soka merah Ixora coccinea Rubiaceae II A
92 Euodia Euodia sauveolens Rutaceae I A
93 Jeruk Citrussp. Rutaceae III B
94 Jeruk purut Citrus hystrix Rutaceae III D, F
95 Kerai payung Filicium decipiens Sapindaceae V A, H
96 Rambutan Nephelium lappaceum Sapindaceae III B
97 Tanjung Mimusops elengi Sapotaceae IV A
98 Cabai rawit Capsicum annuum Solanaceae I C
99 Kecubung Brugmansia suaveolens Solanaceae III A, F
100 Jati Tectona grandis Verbenaceae IV G, H
Jumlah Famili 45
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F = Obat,
G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
112
Lanjutan Lampiran 5
Jenis
Nomor Jenis Produksi Total Produksi
Penggunaan Jenis tanaman
Petak Panen (Mg/ha) (Mg/ha)
Lahan
VI Pekarangan Belimbing Buah 0.91 15.58
Talas batang coklat Umbi 1.02
Pepaya Buah 20.00
Jambu biji Buah 1.45
Jambu air Buah 1.63
VII Pekarangan Alpukat Buah 0.64 38.70
Pisang Buah 3.55
Belimbing Buah 0.91
Sukun Sayur 5.25
Mangga Buah 4.25
Pepaya Buah 25.50
Pisang Buah 3.00
VIII Talun 38.41
Rambutan Buah 5.66
Mangga kuweni Buah 4.25
Jahe Umbi 2.38
Kunyit Umbi 0.71
Singkong Umbi 14.85
IX Talun Pepaya Buah 10.00 41.42
Pisang Buah 4.44
Jambu air Buah 1.63
Rambutan Buah 7.41
X Pekarangan Jeruk Buah 2.32 2.32
Singkong Umbi 17.10
Rambutan Buah 10.00
Kebun
XI Pisang Buah 6.21 43.06
Campuran
Pepaya Buah 4.25
Jengkol Sayur 5.50
Pepaya Buah 40.00
Mangga kuweni Buah 4.75
Kebun Nangka Buah 2.98
XII 65.33
Campuran Pisang Buah 7.10
Jambu air Buah 4.75
Mangga Buah 5.75
Pepaya Buah 34.00
Jambu air Buah 6.50
Sawo Buah 1.38
XIII Talun 72.21
Petai Sayur 1.88
Mangga kuweni Buah 5.50
Rambutan Buah 5.25
114
Lanjutan Lampiran 5
Jenis
Nomor Jenis Produksi Total Produksi
Penggunaan Jenis tanaman
Petak Panen (Mg/ha) (Mg/ha)
Lahan
Jambu biji Buah 0.63
Nangka Buah 8.25
XIII Talun 72.21
Pisang Buah 6.21
Sukun Sayur 2.63
Singkong Umbi 12.00
Jambu biji Buah 3.50
Pepaya Buah 17.00
Sirsak Buah 3.25
Kebun
XIV Nangka Buah 5.50 57.79
Campuran
Alpukat Buah 3.41
Pisang Buah 4.50
Jengkol Buah 5.50
Rambutan Buah 3.13
Sumber: Hasil wawancara dengan pemilik atau pengelola lahan (2017)
115
RIWAYAT HIDUP