Anda di halaman 1dari 131

MANAJEMEN LANSKAP AGROFORESTRI

SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN JASA LANSKAP


PADA RIPARIAN SUNGAI CILIWUNG DI KOTA BOGOR

YULIUS BUDI PRASTIYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Manajemen Lanskap


Agroforestri sebagai Strategi Peningkatan Jasa Lanskap pada Riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2018

Yulius Budi Prastiyo


NRP. A451150121
ii

RINGKASAN

YULIUS BUDI PRASTIYO. Manajemen Lanskap Agroforestri sebagai Strategi


Peningkatan Jasa Lanskap pada Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
Dibimbing oleh KASWANTO dan HADI SUSILO ARIFIN.

Okupasi lahan terbangun dan penurunan ruang terbuka hijau (RTH) pada
kawasan riparian, telah menjadi isu pokok dalam implementasi tata ruang perkotaan
di Indonesia. Salah satu potensi pengembangan RTH adalah kawasan riparian
sungai. Pada kenyataannya, beberapa kawasan riparian justru memiliki tingkat
okupasi lahan terbangun yang semakin tinggi. Salah satu sungai yang mengalami
proses tersebut adalah Sungai Ciliwung, khususnya di Kota Bogor. Proses okupasi
tersebut dapat mengubah struktur ekologis lanskap, menghancurkan formasi
vegetasi (lahan agroforestri), dan menurunkan jasa lanskap riparian sungai. Tujuan
dari penelitian ini adalah mendapatkan data spasial struktur, fungsi, dan dinamika
lanskap serta merumuskan konsep manajemen lanskap riparian agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor yang dapat mengoptimalkan jasa lanskap
(produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan diversitas tanaman). Metode yang
digunakan dalam penelitian adalah analisis lanskap dengan pendekatan ekologi
lanskap, analisis penilaian jasa lanskap vegetasi riparian, dan pendekatan konsep
lanskap produktif untuk mendapatkan konsep manajemen lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor yang memiliki jasa lanskap yang tinggi.
Struktur lanskap agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
masih tersisa sebesar 44.24% yang terdiri dari talun sebesar 26.09%, kebun
campuran sebesar 6.36%, dan pekarangan sebesar 11.79%. Fungsi struktur lanskap
riparian tersebut adalah sebagai habitat inti (core) dan sebagai media pergerakan
material dan energi yang berhubungan dengan satwa dan aktivitas manusia.
Dinamika spasial lanskap yang sangat terlihat adalah semakin banyak jumlah patch
(Number of Patch - NP) perumahan organik dan perumahan terencana pada suatu
lanskap, semakin banyak pula jumlah patch pekarangan pada lanskap tersebut.
Penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
memiliki kombinasi jasa lanskap (produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan
diversitas tanaman) dalam kategori sedang. Jenis dan kombinasi tanaman dominan
pada talun adalah jenis tanaman konservatif dengan strata tanaman rapat. Kebun
campuran lebih didominasi jenis tanaman produktif (buah, sayur, dan penghasil
pati), sedangkan pekarangan memiliki jenis tanaman dominan berupa tanaman hias.
Manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor akan diarahkan untuk
optimalisasi jasa lanskap (produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan diversitas
tanaman) dengan konsep lanskap produktif (productive landscape). Sistem
agroforestri talun diterapkan untuk mengkonservasi lahan berlereng curam. Kebun
campuran diterapkan pada lahan kosong dan lahan terlanjur huni yang sudah
dibebaskan. P ekarangan diterapkan pada sebagian lahan terlanjur huni yang belum
dan sulit untuk dibebaskan.

Kata kunci: Diversitas tanaman, ekologi lanskap, karbon tersimpan, lanskap


produktif, produktivitas lahan
SUMMARY

YULIUS BUDI PRASTIYO. Management of Agroforestry Landscape as


Landscape Services Improvement Strategy on the Riparian of Ciliwung River in
Bogor Municipality. Supervised by KASWANTO and HADI SUSILO ARIFIN.

The settlement occupation and green open space reduction of riparian areas
have become important issues in the implementation of urban spatial planning in
Indonesia. One of promising green open space development is in the riparian area.
In fact, some riparian areas have been occupied by settlement in a high rate. One of
the rivers that experience this issue is Ciliwung River, especially along Bogor
Municipality. These problems can alter the ecological structure, remove the
vegetation (agroforestry land), and reduce the landscape services of the riparian
landscape. The purposes of this research are to obtain spatial data of structure,
function, and dynamics of landscape and to develop management of Ciliwung
Riparian agroforestry landscape in Bogor Municipality that can optimize the
landscape services (land productivity, carbon stock, and plants diversity). The
methods used in this research are landscape analysis with landscape ecological
approach, landscape services assessment of riparian vegetation, and the productive
landscape concept approach to reach management of Ciliwung Riparian in Bogor
Municipality with high landscape services.
Agroforestry landscape structure on Ciliwung Riparian in Bogor
Municipality still left 44.24%, which consist of “talun” (forest garden) of 26.09%,
mixed garden of 6.36%, and “pekarangan” (home garden) of 11.79%. The
ecological functions of that landscape structure is as the core habitat and as a
medium for the material and energy movement of animals and human activities.
The spatial dynamics of the Ciliwung Riparian landscape in Bogor Municipality
revealed that the more patches (Number of Patch - NP) of organic housing and
planned housing on a landscape, the more patches of “pekarangan”. The
agroforestry land use on Ciliwung Riparian in Bogor Municipality has a
combination of landscape services (land productivity, carbon stock, and plant
biodiversity) in the category of ‘moderate’. Types and combinations of dominant
plants in “talun” are conservative plants with the complex strata. The mixed garden
is more dominated by productive plants, while the “pekarangan” is more dominated
by ornamental plants. Management of Ciliwung Riparian landscape in Bogor
Municipality is directed to optimize landscape services (land productivity, carbon
stock, and plant biodiversity) with productive landscape concept. Land use of talun
is applied to conserve steep slopes. The mixed garden is applied to bare land and
built-area that has been liberated. While “pekarangan” is applied to some of the
built-area that the land has been yet and difficult to be freed.

Keywords: Carbon stock, landscape ecology, land productivity, plant biodiversity,


productive landscape
iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
1

MANAJEMEN LANSKAP AGROFORESTRI


SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN JASA LANSKAP
PADA RIPARIAN SUNGAI CILIWUNG DI KOTA BOGOR

YULIUS BUDI PRASTIYO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
2

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr
4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya, sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis
ini ialah manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dengan
pendekatan lanskap agroforestri, dengan judul “Manajemen Lanskap Agroforestri
sebagai Strategi Peningkatan Jasa Lanskap pada Riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor”.
Hasil utama dari penelitian ini adalah konsep manajemen lanskap
agroforestri yang dapat mengoptimalkan jasa lanskap yang dihasilkan pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi
struktur, fungsi, dan dinamika lanskap riparian sungai dengan pendekatan ekologi.
Struktur ekologi lanskap riparian sungai yang teridentifikasi dijadikan dasar dalam
analisis jasa lanskap dari formasi vegetasi riparian sungai. Formasi vegetasi yang
dapat menghasilkan jasa lanskap (produksi tanaman, karbon tersimpan, dan
diversitas tanaman) tertinggi, selanjutnya akan menjadi dasar dalam mendesain
gambar rekomendasi manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Urban Water Research Cluster,
kerja sama antara Institut Pertanian Bogor dan Monash University, The Australian-
Indonesia Centre (AIC).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Kaswanto, SP, MSi dan Prof. Dr
Ir Hadi Susilo Arifin, MS, selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran
dan masukan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan tesis ini. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua (Bapak Simon Wastam dan Ibu
Natalia Boinem), saudara (Antoenius Prayetno, Yuliana Pratiwi, Paulina Fitriani,
dan Fransiska Puji Wahyuni), seluruh keluarga, teman satu tim penelitian
(Amarizni Mosyaftiani, Fittria Ulfah, dan Alfred Jansen Sutrisno), teman-teman
Pascasarjana Arsitektur Lanskap Angkatan 52, dan semua pihak yang telah
memberikan dorongan baik moral maupun material serta doa yang tulus.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak,
seperti pemerintah dan masyarakat pada wilayah yang dilalui Sungai Ciliwung di
Kota Bogor, dalam menerapkan bentuk manajemen lanskap riparian sungainya. Hal
tersebut juga diharapkan dapat diterapkan pada riparian sungai lain yang memiliki
permasalahan seperti Sungai Ciliwung. Penerapan manajemen lanskap riparian
sungai dengan konsep agroforestri yang memiliki struktur dan formasi vegetasi
yang baik, diharapkan dapat menghasilkan jasa lanskap yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Bogor, Januari 2018

Yulius Budi Prastiyo


5

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Lanskap Agroforestri 5
Lanskap Riparian Sungai 8
Jasa Lanskap 10
Pemilihan Jenis dan Kombinasi Tanaman pada Sistem Agroforestri
Riparian Sungai 12
3 METODE PENELITIAN 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Alat dan Bahan 15
Jenis dan Sumber Data 15
Tahapan Penelitian 16
Metode Analisis Data 17
Analisis Struktur, Fungsi, dan Dinamika Lanskap 17
Analisis Jenis dan Kombinasi Tanaman Sistem Agroforestri 21
Penyusunan Rekomendasi 27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27
Analisis Situasional DAS Ciliwung Kota Bogor 27
Batas Adminitrasi dan Letak Geografis 27
Topografi dan Iklim 29
Hidrogeologi 31
Jenis Tanah 33
Analisis Ekologi Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 35
Klasifikasi Penggunaan Lahan 35
Struktur Ekologi Lanskap 46
Fungsi dan Dinamika Lanskap 53
Analisis Vegetasi Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 56
Strata dan Fungsi Tanaman 56
Analisis Jasa Laskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 64
Produktivitas Lahan Agroforestri 64
Karbon Tersimpan Penggunaan Lahan Agroforestri 67
Diversitas Tumbuhan Penggunaan Lahan Agroforestri 68
Potensi jasa lanskap penggunaan lahan agroforestri 70
6

Strategi Pemilihan Jenis dan Kombinasi Tanaman Penggunaan


Lahan Agroforestri 71
Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 74
5 SIMPULAN DAN SARAN 92
Simpulan 92
Saran 92
DAFTAR PUSTAKA 93
LAMPIRAN 101
RIWAYAT HIDUP 115
7

DAFTAR TABEL

1 Standar lebar riparian atau sempadan sungai di Indonesia 9


2 Matriks tujuan penelitian, data, kegunaan, ouput dan sumber data dari
penelitian 16
3 Pembagian bagian penelitian pada lanskap riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 20
4 Persamaan alometrik metode pengukuran biomassa tanaman 25
5 Kriteria penilaian jasa lanskap vegetasi eksisting lanskap agroforestri
pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 27
6 Kelas dan luas kemiringan lereng DAS Ciliwung 29
7 Struktur geologi (jenis batuan) DAS Ciliwung 33
8 Jenis tanah DAS Ciliwung 33
9 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran luas struktur ekologi lanskap
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 49
10 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran kerapatan dan variabilitas struktur
ekologi lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 49
11 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran tepi dan bentuk struktur ekologi
lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 50
12 Pengelompokkan petak sampel analisis vegetasi berdasarkan jenis
penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Bogor 58
13 Strata dan fungsi tanaman talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor 59
14 Strata dan fungsi tanaman kebun campuran pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 61
15 Strata dan fungsi tanaman pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 63
16 Produksi tanaman pada penggunaan lahan agroforestri riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 65
17 Nisbah kesetaraan lahan (NKL) sistem agroforestri pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 66
18 Karbon tersimpan pada penggunaan lahan agroforestri riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 67
19 Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener (H’) penggunaan lahan
agroforestri riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 69
20 Indeks kekayaan jenis Margalef (Dm) penggunaan lahan agroforestri
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 70
21 Potensi jasa lanskap penggunaan lahan agroforestri pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor 71
22 Nilai jasa lanskap yang dihasilkan penggunaan lahan agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 72
23 Penialaian petak sampel dengan jasa lanskap terbaik pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor 73
24 Strategi pelestarian kawasan riparian sungai 76
8

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 4


2 Ilustrasi zona riparian sungai 8
3 Lokasi penelitian lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 15
4 Tahapan penelitian 17
5 Peta pembagian bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 21
6 Bentuk plot contoh pada kawasan riparian 23
7 Peta batas administrasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung 28
8 Peta ketinggian kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 30
9 Peta kemiringan lereng riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 31
10 Peta curah hujan kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 32
11 Peta jenis tanah kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 34
12 Kondisi penggunaan lahan sungai utama pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 36
13 Kondisi penggunaan lahan talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor 37
14 Kondisi penggunaan lahan kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 38
15 Kondisi penggunaan lahan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 40
16 Kondisi penggunaan lahan perumahan organik pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 41
17 Kondisi penggunaan lahan perumahan terrencana pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 42
18 Kondisi penggunaan lahan kosong pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor 43
19 Kondisi penggunaan lahan kolam pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor 44
20 Kondisi penggunaan lahan jalan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor 45
21 Kondisi penggunaan lahan anak sungai pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 46
22 Peta penggunaan lahan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian
atas 48
23 Peta penggunaan lahan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian
Tengah 51
24 Peta penggunaan lahan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian
Bawah 52
25 Grafik jumlah patch (Number of Patches) struktur ekologi lanskap riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor 55
26 Peta tata letak petak sampel analisis vegetasi pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 57
27 Beberapa kondisi penggunaan lahan talun di riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 58
28 Fungsi tanaman talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 60
29 Beberapa kondisi penggunaan lahan kebun campuran di riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 60
9

30 Fungsi tanaman kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota


Bogor 61
31 Beberapa kondisi penggunaan lahan pekarangan di riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 62
32 Fungsi tanaman pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 63
33 Kondisi eksisting penggunaan lahan talun pada Petak XIII 73
34 Kondisi eksisting penggunaan lahan kebun campuran pada Petak XII 74
35 Kondisi eksisting penggunaan lahan pekarangan pada Petak VI 74
36 Konsep lanskap produktif pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 75
37 Strategi pengalokasian lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 78
38 Kondisi eksisting (foto udara) plot talun terbaik pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 79
39 Desain Eksisting plot talun terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor 80
40 Desain rencana talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 81
41 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana talun pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor 82
42 Kondisi eksisting (foto udara) plot kebun campuran terbaik pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor 84
43 Desain Eksisting plot kebun campuran terbaik pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 85
44 Desain rencana kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor 86
45 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana kebun campuran pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 87
46 Kondisi eksisting (foto udara) plot pekarangan terbaik pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor 88
47 Desain Eksisting plot pekarangan terbaik pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 89
48 Desain rencana pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 90
49 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana pekarangan pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 91

DAFTAR LAMPIRAN

1 Classification accuracy assessment report 102


2 Jenis tumbuhan yang ditemukan pada talun di riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor 103
3 Jenis tumbuhan yang ditemukan pada kebun campuran di riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 106
4 Jenis tumbuhan yang ditemukan pada pekarangan di riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor 109
5 Produksi tanaman per komoditi pada penggunaan lahan agroforestri
di riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor 112
10
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Okupasi lahan terbangun dan penurunan ruang terbuka hijau (RTH) pada
kawasan riparian, telah menjadi isu pokok dalam implementasi tata ruang perkotaan
di Indonesia. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP
No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, disebutkan bahwa
dalam rencana penyediaan dan pemanfaatan wilayah kota, RTH publik harus
disediakan paling sedikit 20%, sedangkan RTH privat paling sedikit harus 10% dari
luas wilayah kota. Dalam hal jumlah, keduanya harus memiliki total luas lebih besar
dari 30%. Salah satu potensi pengembangan RTH adalah kawasan riparian sungai
karena kawasan tersebut telah dinyatakan sebagai kawasan perlindungan setempat
(RI 1990). Namun, pada kenyataannya, beberapa kawasan riparian justru memiliki
tingkat okupasi lahan terbangun yang semakin tinggi.
Proses okupasi kawasan riparian sungai ini dapat mengubah struktur
ekologis lanskap, menghancurkan formasi vegetasi riparian sungai, dan
menyebabkan menurunnya fungsi ekologisnya. Menurunnya fungsi ekologis
riparian sungai seperti sebagai kawasan resapan air, konservasi biodiversitas,
cadangan karbon, dan sebagai pereduksi polutan kimia, akan menurunkan jasa
lanskap yang dihasilkan. Formasi vegetasi yang sering ditemui pada kawasan
riparian sungai adalah seperti kebun campuran (mixed garden), kebun talun (forest
garden), maupun pekarangan (home garden). Jenis formasi vegetasi tersebut
merupakan bentuk-bentuk dari praktik agroforestri pada lanskap riparian sungai.
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang
mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau hewan ternak
untuk menghasilkan produk terpadu (Mbow et al. 2014, Nair 1991, Nyaga et al.
2015). Lanskap agroforestri dengan keragaman komponen di dalamnya dapat
menyediakan beberapa jasa lanskap (landscape services), seperti meningkatkan
produktivitas lahan, mempertahankan karbon tersimpan (carbon stock), dan
mengkonservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) (Arifin &
Nakagoshi 2011). Kapasitas lanskap agroforestri dalam menghasilkan jasa lanskap
cukup tinggi, dimana kebun campuran mempunyai rata-rata karbon tersimpan
sebesar 62.34 Mg/ha atau setara dengan serapan CO2 sebesar 228.79 Mg/ha
(Adinugroho 2011) dan pekarangan mempunyai karbon tersimpan mencapai 9.9
Mg/ha serta memberikan sumber pendapatan tambahan (produksi) yang berkisar
12.9% dari total pendapatan (Kaswanto et al. 2013). Namun, berkurangnya luasan
lanskap agroforestri pada riparian sungai akibat okupasi lahan terbangun, akan
menyebabkan penurunan jasa lanskap yang dihasilkan. Salah satu sungai yang
mengalami proses tersebut adalah Sungai Ciliwung, khususnya di Kota Bogor yang
merupakan salah satu kota dengan perkembangan yang cukup pesat (Mubarok
2012, Susetyo et al. 2014).
Sungai Ciliwung merupakan sungai yang memiliki hulu di Kabupaten
Bogor, mengalir melalui beberapa kota, yakni Bogor, Depok, dan Jakarta, hingga
akhirnya bermuara di Teluk Jakarta. Sungai ini memiliki panjang kurang lebih 117
km dengan kedalaman rata-rata kurang dari 4 m, dan luas daerah aliran sungai
(DAS) sekitar 368.10 km2 (Noviandi et al. 2016). Proses okupasi kawasan lahan
terbangun, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
2

lanskap riparian Sungai Ciliwung. Luasan kawasan permukiman pada riparian


Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor, bertambah sebesar 14.08 ha dengan
laju pertumbuhan sebesar 0.8 % dalam kurun waktu tujuh tahun (tahun 2006-2013).
Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi pengurangan luas RTH/lahan
bervegetasi seluas 14.08 ha, atau dengan laju penurunan sebesar 0.17% pada tahun
tersebut (Susetyo et al. 2014). Selain itu, pada periode tahun 2016, okupasi lahan
terbangun pada riparian Sungai Ciliwung bagian hulu mencapai 41.20 ha (12.46%),
bagian tengah 312.41 ha (37.11%), dan bagian hilir mencapai 215.31 ha (95.72%)
(Noviandi et al. 2016). Kondisi tersebut menunjukkan, semakin meningkatnya laju
okupasi dan alih fungsi lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun pada kawasan
riparian Sungai Ciliwung.
Usaha dalam menanggulangi permasalahan tersebut harus mulai
diproritaskan oleh berbagai pihak terkait, seperti akademisi, pemerintah, pengusaha
(swasta), media, dan masyarakat. Salah satu cara yang bisa tempuh adalah dengan
melakukan restorasi kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor, melalui
manajemen lanskap agroforestri berdasarkan fungsinya. Prioritas fungsi lanskap
riparian Sungai Ciliwung pada segmen tengah (termasuk Kota Bogor) adalah
sebagai fungsi produksi dengan penggunaan lahan untuk praktik agroforestri seperti
kebun campuran, irigasi lahan pertanian, dan perikanan. Akan tetapi, fungsi lain
seperti sebagai penyimpan karbon dan konservasi biodiversitas, juga dapat
diterapkan di sepanjang riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor (Noviandi et al.
2016). Hal tersebut dapat dilakukan dalam usaha meningkatkan jasa lanskap
agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dengan konsep lanskap
produktif (productive landscape).
Berdasarkan hal-hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji
permasalah-permasalahan pada lanskap riparian Sungai Ciliwung, khususnya
mengenai praktik-praktik agroforestri dan untuk menyusun konsep manajemen
lanskap agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung. Sebagai langkah awal dalam
penelitian ini, peneliti berupaya untuk meninjau berbagai permasalahan mengenai
praktik agroforestri pada lanskap riparian Sungai Ciliwung, sebagai dasar dalam
menyusun konsep pengelolaan lanskap agroforestri sebagai strategi peningkatan
jasa lanskap.

Perumusan Masalah

Perubahan penggunaan dan penutupan lahan akibat pembangunan yang


telah mengokupasi kawasan riparian Sungai Ciliwung merupakan bentuk dinamika
lanskap sebagai respons perkembangan kependudukan, perekonomian, dan
kebijakan. Hal tersebut telah menjadikan kawasan riparian Sungai Ciliwung
mengalami perubahan karakter lanskapnya dari masa ke masa dan tidak lagi dapat
menjalankan fungsi ekologis, seperti sebagai daerah resapan air, penyaring residu
zat beracun atau polutan, dan sebagai habitat vegetasi dan satwa, serta tidak dapat
menghasilkan jasa lanskap secara optimal, seperti penyedia produksi pertanian,
penyerap karbon, dan perlindungan (konservasi) biodiversitas secara optimal.
Selain itu, proses tersebut juga akan mempercepat rusaknya formasi vegetasi
riparian yang sering ditemui dalam bentuk praktik agroforestri, seperti kebun
campuran (mixed gardens), kebun talun (forest gardens), dan pekarangan (home
gardens). Kurang beragamnya jenis dan kombinasi vegetasi pada lanskap riparian
3

Sungai Ciliwung telah mengurangi kualitas dan kuantitas jasa lanskap yang
dihasilkan. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut, perlu dilakukan
manajemen lanskap pada kawasan riparian Sungai Ciliwung berbasiskan lanskap
agroforestri. Tujuan dari manajemen lanskap tersebut adalah sebagai salah satu
strategi dalam mengembalikan fungsi ekologis dan peningkatan jasa lanskap yang
dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut, berikut merupakan pertanyaan yang dihadapi
dalam penyusunan manajemen lanskap agroforestri pada kawasan riparian Sungai
Ciliwung.
1. Bagaimana struktur, fungsi, dan dinamika lanskap pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor?
2. Apa jenis dan kombinasi tanaman agroforestri yang dapat mengoptimalkan jasa
lanskap pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor?
3. Bagaimana manajemen lanskap agroforestri yang sesuai untuk diterapkan pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor?

Tujuan
Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan data spasial struktur, fungsi, dan dinamika lanskap pada riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor,
2. Mendapatkan jenis dan kombinasi tanaman agroforestri yang dapat
mengoptimalkan jasa lanskap pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor,
dan
3. Menyusun konsep manajemen lanskap agroforestri yang sesuai untuk
diterapkan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak
yang berkepentingan sebagai dasar informasi alternatif skala regional untuk
pertimbangan penerapan pengelolaan lanskap agroforestri yang berkelanjutan. Hal
tersebut dapat dilakukan dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan sebagai
bentuk harmonisasi kawasan riparian sungai melalui jasa lanskap pada Sungai
Ciliwung di Kota Bogor.

Ruang Lingkup Penelitian


Batasan penelitian meliputi lingkup area wilayah penelitian dan lingkup
bahasan penelitian yang akan dikaji. Lingkup area wilayah penelitian adalah
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor (Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor
Timur sampai Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal). Lebar riparian
yang digunakan sesuai hasil analisis dan kajian penentuan standar lebar riparian
ideal Sungai Ciliwung dalam kota, yaitu 50 m (Noviandi et al. 2016).
Lingkup bahasan penelitian ini didasari pada fenomena okupasi
permukiman pada lanskap riparian Sungai Ciliwung yang terus berkembang tanpa
memperhatikan aspek lingkungan. Kondisi tersebut akan berimbas pada
menurunnya jasa lanskap yang dihasilkan. Berbagai upaya untuk menanggulangi
masalah tersebut dirasa belum cukup efektif. Oleh karena itu, analisis struktur,
4

fungsi, dan dinamika lanskap; analisis faktor-faktor pendorong perubahan


penggunaan lahan dan pengelolaan agroforestri; analisis jenis dan kombinasi
tanaman agroforestri yang dapat mengoptimalkan jasa lanskap pada riparian sungai
perlu dilakukan guna menyusun konsep manajemen lanskap agroforestri yang
sesuai untuk diterapkan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor sebagai
strategi untuk peningkatan jasa lanskap (Gambar 1). Jasa lanskap yang dikaji pada
penelitian ini terbatas untuk 3 jenis jasa lanskap, yaitu produksi tanaman, karbon
tersimpan, dan diversitas tanaman.

Alih Fungsi Lahan di Riparian Sungai Ciliwung akibat Okupasi Lahan Terbangun
Permasalahan

Penurunan Jumlah RTH/vegetasi Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Penurunan Jumlah Produksi, Karbon Tersimpan, dan Diversitas Tanaman

Upaya untuk Meminimalisir Degradasi Lingkungan dan Mengoptimalkan


Jasa Lanskap Agroforestri
Analisis

Analisis Struktur, Fungsi, dan Analisis Jenis dan Kombinasi


Dinamika Lanskap Agroforestri pada Riparian Sungai

Analisis Konsep Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dengan
Pendekatan Lanskap Agroforestri

Konsep Manajemen Lanskap Agroforestri sebagai Strategi dalam Upaya Peningkatan


Jasa Lanskap pada Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Output Penelitian

Alokasi Lahan Detail Jenis dan


Desain Rencana Tapak
Agroforestri pada Kombinasi Tanaman
Agroforestri pada
Riparian Sungai penyusun Agroforestri
Riparian Sungai Ciliwung
Ciliwung di Kota Riparian Sungai
di Kota Bogor
Bogor Ciliwung di Kota Bogor

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian


5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Agroforestri

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang


mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau hewan ternak
secara bersama-sama atau bergiliran untuk menghasilkan produk terpadu (Mbow et
al. 2014, Nair 1991, Nyaga et al. 2015). Huxley (1999) mendefinisikan agroforestri
sebagai berikut.
a. Agroforestri sebagai penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman
berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan, dan lainnya) dengan tanaman tidak
berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada
komponen ternak atau hewan lainnya (lebah dan ikan) sehingga terbentuk
interaksi ekologis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
b. Agroforestri sebagai penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman
berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang
tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan untuk memperoleh
berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan
ekonomis antarkomponen tanaman.
c. Agroforestri sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis
secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang
penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan
sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial ekonomi dan lingkungan bagi
semua pengguna lahan.
Berdasarkan beberapa definisi agroforestri yang telah ada, dapat
disimpulkan bahwa agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek
pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur seperti penggunaan lahan
atau sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen
tanaman semusim, komponen tanaman tahunan dan atau ternak atau hewan, waktu
dapat bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, terdapat interaksi
ekologi, sosial, dan ekonomi (Hairiah et al. 2003). Agroforestri dapat
dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem
agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian
yang di dalamnya pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih
jenis tanaman semusim. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian
menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja
ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani
mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Penciri utama dari
sistem agroforestri kompleks ini adalah tampak fisik dan dinamika di dalamnya
yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder.
Oleh karena itu, sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforestry. Beberapa
contoh sistem agroforestri kompleks di Indonesia yang sudah sejak lama dikenal
dan diterapkan oleh masyarakat adalah sistem dusun di Maluku, lembo di Sendawar
Kalimantan Timur, pekarangan di DAS Cianjur Jawa Barat, tembawang di
Kalimantan Barat, serta kebun campuran dan talun di DAS Cianjur Jawa Barat
(Arifin et al. 2003).
6

Kombinasi komponen penyusun agroforestri, secara sederhana berupa


komponen tanaman berkayu (woody plants)/kehutanan (baik berupa pohon, perdu,
palem-paleman, bambu, dan tanaman berkayu lainnya) dengan tanaman pertanian
(tanaman semusim) dan/atau hewan (peternakan), baik secara tata waktu (temporal
arrangement) ataupun secara tata ruang (spatial arrangement). Kombinasi yang
ideal terjadi bila seluruh komponen agroforestri secara terus menerus berada pada
lahan yang sama. Akan tetapi secara alami (atau seringkali atas dasar alasan
ekonomi), kombinasi komponen berkaitan erat dengan dinamika dari keseimbangan
perubahan musim sesuai dengan ritme tahunan. Suksesi tertentu akibat dari
gangguan atau perlakuan manusia secara periodik atau sporadik. Sebagai contoh
telah dikemukakan, bahwa satwa-satwa liar yang berperan pada proses regenerasi
dan penyebaran kebun hutan tradisional tidak berada sepanjang waktu dalam sistem,
tetapi sebagian ada yang bersifat musiman (saat musim buah). Pengkombinasian
berbagai komponen dalam sistem agroforestri menghasilkan berbagai reaksi, yang
masing-masing atau bahkan sekaligus dapat dijumpai pada satu unit manajemen,
yaitu persaingan, melengkapi, dan ketergantungan. Ketiga interaksi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk melakukan/merekayasa desain pengkombinasian komponen
penyusun agroforestri secara baik, guna meraih secara optimal tujuan yang
diinginkan dalam upaya pemanfaatan lahan terpadu tersebut. Desain atau pola
kombinasi agroforestri juga harus mempertimbangkan banyak hal yang berkaitan
erat dengan kapasitas dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya (Sardjono et al.
2003).
Lanskap agroforestri merupakan objek bentang alam yang dalam
penggunaannya dimanfaatkan untuk praktik agroforestri (Arifin et al. 2009).
Agroforestri pada tingkat lanskap dalam lingkup kehutanan masyarakat (community
forestry) seringkali disebut dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan
(SHK/community based forest system management). Meskipun penekanan SHK
diberikan pada wilayah-wilayah masyarakat adat atau tradisional (Mushi 1998),
tetapi mengingat sub-elemennya, antara lain, ladang, kebun, sawah, pekarangan,
tempat-tempat yang dikeramatkan sebagai satu kesatuan yang integral dalam upaya
komunal dari satu komunitas atau lebih, sistem ini dapat dikatakan sebagai suatu
agroforestri. Dengan terjadinya interaksi dalam suatu bentang lahan di atas, maka
agroforestri lebih dari sekedar pengkombinasian dua atau lebih elemen
pemanfaatan lahan. Agroforestri juga dapat dilihat sebagai suatu jembatan politis
untuk mengakomodasi kepentingan berbagai sektor terutama kehutanan dan
pertanian. Dengan demikian, agroforestri dapat mengubah dari situasi yang
disosiatif menjadi yang bersifat asosiatif (kooperasi, kolaborasi, ataupun
koordinasi) (Sardjono et al. 2003).
Manajemen lanskap dengan sistim agroforestri telah diakui sebagai strategi
manajemen sumber daya alam yang penting dalam menyikapi tujuan pembangunan
milenium (Garrity 2004). Keputusan untuk menerapan praktik-praktik agroforestri,
sebagian besar didorong oleh kontribusi yang diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas, stabilitas output melalui pengurangan risiko kegagalan, dan
peningkatan kelayakan ekonomi dibandingkan dengan manajemen lahan lainnya
(Mercer 2004). Dalam penerapan manajemen lanskap dengan sistem agroforestri
terdapat beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut terutama berkaitan dengan
sistem kepemilikan lahan, aksesibilitas lahan, dan kurangnya mekanisme dalam hal
konsolidasi lahan. Hal tersebut telah mengakibatkan kurang berkembangnya
7

pertanian agroforestri pada berbagai kasus di dunia, khusus di negara miskin dan
berkembang. Sistim kepemilikan lahan yang buruk akan menyebabkan lahan
terbagi menjadi unit-unit kecil dan tidak ekonomis, sehingga umumnya sistem
produksi terfragmentasi dan produktivitasnya rendah (Salami et al. 2010, Nyaga et
al. 2015). Hal tersebut penting dalam mendukung desain manajemen lanskap
agroforestri yang lebih baik dan berkelanjutan.
Manajemen lanskap dengan agroforestri juga telah diakui sebagai praktik
manajemen lahan berkelanjutan yang mendukung produksi komoditas dengan
menjaga jasa lanskap yang dihasilkan (Jose 2009). Namun, penelitian mengenai
hubungan antara agroforestri dan jasa lanskap belum sepenuhnya dieksplorasi.
Meninjau dari berbagai literatur yang diterbitkan, diketahui bahwa penelitian
agroforestri dan jasa lanskap berorientasi pada misi peningkatan kesejahteraan
manusia dan keberlanjutan lingkungan (Nyaga et al. 2015). Untuk mendapatkan
manajemen lanskap agroforestri yang berkelanjutan, harus melibatkan kerjasama
yang terintegrasi dari semua pemangku kepentingan terkait. Pemangku kepentingan
(stakeholders) sebaiknya memenuhi persyaratan perwakilan dari individu,
masyarakat, peneliti (akademisi), perusahaan, dan pemerintah. Tindakan kunci
tersebut telah diusulkan oleh para peneliti, khususnya Eropa dalam upaya
memajukan dan menentukan arah pengembangan agroforestri yang berkontribusi
untuk pengambilan keputusan (Daily et al. 2009).
Permasalahan lain yang menghambat dan mengancam keberlanjutan
lanskap agroforestri adalah perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Perubahan
penggunaan dan penutupan lahan merupakan respon dari modifikasi manusia
berbasis lanskap yang sebagian besar telah mempengaruhi struktur dan fungsi
lanskap itu sendiri (Lambin & Geist 2006, Clerici et al. 2014). Hal tersebut telah
diakui sebagai salah satu faktor utama dalam penurunan kondisi lingkungan global
dan kekuatan pendorong utama untuk hilangnya keanekaragaman hayati (DeFries
et al. 2004, Vitousek et al. 1997). Perubahan jenis tutupan lahan adalah indikator
yang paling jelas dan informatif dari perubahan dan karakteristik suatu kawasan
dari sistem lanskap (Robson & Berkes 2011). Untuk alasan ini, pemantauan dan
penilaian dari dinamika tutupan lahan yang sistematis sangat penting dilakukan,
sebagai sumber informasi yang sangat relevan untuk perencanaan, konservasi, dan
pengelolaan lanskap agroforestri (Clerici et al. 2014, Gerard et al. 2010).
Salah satu lanskap agroforestri yang mengalami dinamika penggunaan dan
penutupan lahan adalah pada kawasan riparian (Clerici et al. 2014). Lanskap
agroforesri pada riparian sangat penting untuk pemeliharaan hubungan biologis
antara tanaman dan hewan, memberikan koridor untuk penyebaran spesies dalam
lanskap terfragmentasi, dan mempertahankan dinamika meta-populasi (Naiman &
Decamps 1997). Konsekuensi potensial dari dinamika penggunaan dan penutupan
lahan pada sistem alami adalah perubahan langsung dari integritas ekologinya
(Woodley et al. 1993). Ketika konversi penutupan lahan terjadi, integritas ekologi
dapat sangat terpengaruh, dan konsekuensinya kapasitas sistem tersebut dalam
menghasilkan jasa lanskap akan terganggu (Burkhard et al. 2012). Ketersediaan
data atau informasi dinamika penggunaan dan penutupan lahan, khususnya pada
lanskap agroforstri dari zona riparian akan memberikan gambaran yang relevan dari
proses konversi yang terjadi. Hal tersebut juga dapat menjadi indikasi perubahan
dalam kapasitas lanskap agroforestri untuk menyediakan jasa lanskap (Clerici et al.
2014).
8

Lanskap Riparian Sungai


Riparian berasal dari bahasa latin “riparius” yang berarti “daerah milik tepi
sungai” (Naiman & Decamps 1997). Riparian merupakan ekosistem yang berada di
tepi sungai atau badan air lainnya yang dipengaruhi oleh banjir periodik. Riparian
juga dapat diartikan sebagai zona transisi ekositem (ecotones), yaitu transisi
ekosistem akuatik dari sungai dan ekosistem terestrial (Gambar 2) yang kondisi
biotik dan abiotiknya dipengaruhi oleh aliran air permukaan dan hidrologi di bawah
permukaan (Verry et al. 2004). Sebagai zona transisi antara sungai dan daratannya,
area ini mendukung tumbuhnya vegetasi yang lebih beragam. Kawasan riparian
terletak mulai dari zona banjir tetap di dekat sungai hingga ke daratan mesik
(Huffman & Forsythe 1981). Daratan mesik adalah tepian sungai yang lembab
akibat kadangkala terkena banjir pada waktu singkat atau saat hujan deras. Riparian
buffer adalah area vegetasi yang relatif tidak terganggu di sepanjang sungai atau
danau, mempengaruhi transport nutrien dan sedimen dari area urban-pertanian
daratan atas ke ekosistem akuatik (Turner et al. 2001).

Sumber: Noviandi et al. (2016)

Gambar 2 Ilustrasi zona riparian sungai


Sempadan/riparian sungai merupakan bagian dari struktur sungai yang
sangat rawan. Terletak antara badan sungai dengan tanggul sungai, mulai dari
tebing sungai hingga bagian yang datar. Peranan fungsinya cukup efektif sebagai
penyaring (filter) nutrien, menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran
laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat tetumbuhan yang spesifik (vegetasi
riparian), yaitu tumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu mengendalikan air
pada saat musim penghujan dan kemarau (Forman & Gordon 1986).
Kawasan riparian dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai bantaran
atau sempadan dari suatu sungai. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sempadan
sungai didefinisikan sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai, termasuk
sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan fungsi sungai. Ketetapan lebar sempadan sungai yang berlaku di
Indonesia telah diatur oleh pemerintah dan tertulis dalam Peraturan Menteri
9

(Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 28 Tahun 2015 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 38 Tahun 2011. Kondisi
sebenarnya di lapang mengenai lebar sempadan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah seolah diabaikan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya bangunan
yang berdiri pada zona riparian, termasuk pada kawasan riparian Sungai Ciliwung
(Noviandi et al. 2016). Bangunan yang mengokupasi zona riparian ini dapat
mengancam keberlangsungan hidup biota yang ada di dalamnya (Magura et al.
2010). Lebar dari riparian seharusnya ditentukan berdasarkan kondisi daratan, jenis
badan air, keberlangsungan hidup satwa akuatik, dan pemanfaatannya (Akay et al.
2012). Standar lebar riparian/sempadan sungai tergantung pada tipe sungai, daerah
yang dilalui oleh sungai, dan luas DAS serta kedalaman sungai tersebut (Tabel 1).
Tabel 1 Standar lebar riparian atau sempadan sungai di Indonesia
Dalam wilayah perkotaan Luar wilayah perkotaan
Lebar
Tipe sungai Lebar
Kriteria Kriteria riparian
riparian (m)
(m)
Sungai bertanggul
(diukur dari kaki - 3 - 5
tanggul sebelah luar)
Kedalaman Sungai besar (luas
30 100
> 20 m DAS>500 km2)
Sungai tidak Kedalaman
15 - -
bertanggul (diukur 3-20 m
dari tepi sungai) Sungai kecil
Kedalaman
10 (luas DAS 50
<3m
≤ 500 km²)
Sungai yang
terpengaruh pasang
- 100 - 100
surut air laut (diukur
dari tepi sungai)
Sumber: Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2011

Kawasan riparian pada umumnya diisi oleh kombinasi atau formasi tanaman
mulai dari penutup tanah, semak hingga pohon. Formasi vegetasi yang paling dekat
dengan badan air sungai biasanya disusun oleh semak atau tanaman rendah lain
yang toleran terhadap genangan air, karena pada saat musim hujan, tinggi muka air
akan naik dan menggenangi bantaran atau daerah dataran banjir. Kawasan riparian
memiliki fungsi ekologis yaitu menjaga kualitas air sungai, mengurangi akumulasi
sedimentasi, dan mencegah erosi (Dindaroglu et al. 2015). Selain itu, fungsi lain
dari riparian antara lain sebagai berikut (Bertoldi et al. 2011 dan Stevaux et al.
2012):
1. memberikan naungan guna mengatur temperatur di sepanjang sungai;
2. menyerap air sehingga dapat mereduksi volume air limpasan;
3. menyimpan air dan mengisi ulang air tanah;
4. mereduksi zat-zat kimia yang dapat mencemari sungai; dan
5. menyediakan habitat untuk bermacam-macam hewan dan tumbuhan baik
terestrial maupun akuatik.
10

Kawasan riparian juga memiliki nilai ekonomi, baik langsung maupun tidak
langsung yaitu sebagai sumber kayu, mencegah banjir, mengisi kembali akuifer
tanah, sumber air permukaan dan produktivitas perikanan. Selain itu, kawasan
riparian juga memiliki fungsi dan nilai social, yaitu sebagai tempat rekreasi,
penelitian, pendidikan, dan nilai estetika/keindahan (Malanson 1995). Fungsi
vegetasi riparian sangat besar bagi keberlangsungan kehidupan organisma
teresterial dan akuatik. Keberadaan vegetasi merupakan kunci penting bagi
keberlanjutan lanskap riparian. Vegetasi riparian penting sebagai habitat ikan,
pendukung rantai makanan, habitat hidupan liar, mempertahankan suhu, stabilisasi
tepian sungai, perlindungan kualitas air, mempertahankan morfologi sungai dan
mengendalikan banjir (Chang 2006). Gangguan terhadap riparian menjadi
penyebab utama terjadinya penurunan struktur dan fungsi sungai (Gordon 2004).
Formasi vegetasi yang berada pada kawasan riparian biasa disebut dengan
hutan riparian. Hutan riparian terletak antara daerah daratan dan badan air, sehingga
dapat berfungsi sebagai buffer/penyangga. Kondisi sungai berhubungan dengan
kondisi riparian sebagai penyangga (Leavitt 1998). Hal ini disebabkan hutan
riparian dapat mengendalikan transpor sedimen dan bahan-bahan kimia ke
sungai/badan air lainnya (Castelle et al.1994). Hutan riparian juga berperan sebagai
penyangga buangan nutrien dari agroekosistem, seperti unsur N. Unsur nitrogen
yang masuk ke sungai melalui aliran air bawah tanah (ground water flow) akan
difilter oleh hutan riparian (Mayer et al. 2005). Peranan hutan riparian tersebut tetap
dapat berjalan walaupun hutan riparian tersebut hanya berupa jalur hijau yang
sempit (Bren 1993).
Hutan riparian juga akan mereduksi erosi tebing melalui akar dari pohon-
pohon besar yang dapat mengikat tanah. Riparian juga berfungsi mengurangi
kecepatan arus karena formasi vegetasi riparian, berupa pohon dan semak, mampu
mengurangi aliran air (Waring & Schlesinger 1985 dan Jones et al. 1999). Vegetasi
riparian juga berperan dalam meningkatkan produktivitas perikanan (Johnson et al.
1995). Hutan riparian juga penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati.
Riparian merupakan kawasan ekoton/peralihan yang terletak antara ekosistem
daratan dan ekosistem air. Oleh karena itu, riparian memiliki ciri yang unik sebagai
akibat interaksi yang kuat antara kedua ekosistem tersebut. Keanekaragaman
habitat di riparian akan mengarah pada diferensiasi niche/relung yang
menyebabkan terbentuknya keanakeragaman jenis baik tumbuhan dan hewan di
kawasan tersebut (Castelle et al. 1994). Perubahan/dinamika pada vegetasi riparian
baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan mahluk
hidup di sekitarnya (Petts 1990). Vegetasi riparian yang hilang telah mengurangi
keanekaragaman ikan yang berada di sungai. Oleh karena itu, upaya
mempertahankan dan memperbaiki vegetasi riparian sangat penting dilakukan
untuk keberlanjutan lanskap riparian (Haslam 1997).

Jasa Lanskap
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, jasa lanskap adalah kegiatan
untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam dengan tidak merusak lingkungan
dan mengurangi fungsi utamanya. Jasa lanskap (landscape services) didefinisikan
11

sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran material dan
jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses
ekosistem alami (Sutopo 2011). Misalnya hutan sebagai ekosistem alami selain
menyediakan berbagai macam produk kayu juga menyediakan produk non kayu
sekaligus juga menjadi reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring
air yang kemudian melepasnya secara gradual, sehingga air tersebut bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Jasa lanskap menggabungkan dua aspek yaitu alam dan
budaya yang memungkinkan pertimbangan lanskap sebagai dasar fisik dalam
pembangunan lanskap berkelanjutan (Termorshuizen & Opdam 2009). Lanskap
dalam sistem manusia dan ekologi juga memberikan berbagai fungsi yang dapat
dihargai oleh manusia karena alasan ekonomi, sosial budaya, dan ekologi, misalnya
produksi pangan, pengaturan iklim dan pendidikan lingkungan (Chee 2004).
Konsep jasa lanskap (landscape services) merupakan istilah baru yang
mulai dikenalkan, namun masih sangat terkait dengan konsep jasa ekosistem
(ecosystem services) yang diuraikan oleh Termorshuizen & Opdam (2009). Jasa
lanskap adalah gagasan yang menilai bahwa proses alam (alami maupun butan)
dapat memberikan nilai/manfaat kepada manusia. Konsep ini menekankan bahwa
lanskap adalah sistem yang heterogen, fungsional, dan struktural dan disesuaikan
oleh pengguna (manusia dan mahluk hidup lainnya), yang ditentukam oleh pola
heterogen lanskap, khususnya struktur jaringan ekologi (Opdam 2013). Konsep jasa
lanskap menyiratkan bahwa ada penyedia (pemilik tanah dan pengelola lahan) dan
penerima manfaat dari layanan tersebut. Selain itu, ada pula variasi yang
menyiratkan, bahwa pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan untuk
berkontribusi dengan lanskap. Sehingga kedepannya, jasa lanskap akan
memberikan sudut pandang dari deskripsi dan analisis mengenai jaringan sosial-
ekologi lanskap itu sendiri (Westerink et al. 2017).
Jasa lanskap menjadi lebih tepat untuk digunakan dalam perencanaan
lanskap berbasis masyarakat, karena lanskap dirasakan oleh para pemangku
kepentingan sebagai tempat di mana mereka hidup, bekerja dan mempengaruhi
kualitas hidup mereka (Jones et al. 2016). Istilah jasa lanskap dianggap lebih
relevan dari pada jasa ekosistem, karena istilah ‘ekosistem’ lebih banyak terkait
dengan konservasi alam dan kawasan lindung atau nilai ekologis saja (Westerink et
al. 2017). Pada umumnya, tingkat kualitas lanskap tergantung pada
keanekaragaman spesies dan karakteristik lanskap yang membentuk jaringan
ekologinya (Fürst et al. 2014 dan Opdam et al. 2006). Selain itu, pola lanskap dan
keanekaragaman hayati juga dapat memberikan jasa sosial-budaya, seperti rekreasi
(VanBerkel & Verburg 2014). Hubungan tersebut membentuk suatu jaringan
sosial-ekologi dari jasa lanskap yang terdiri dari penyedia dan penerima jasa.
Jasa lanskap telah menjadi kerangka terpadu yang paling banyak diadopsi
untuk mempelajari hubungan antara alam dan manusia. Konseptual tersebut
menjelaskan bagaimana sistem biofisik memberikan berbagai manfaat penting
untuk kesejahteraan manusia dan akhirnya dapat membimbing pengambilan
keputusan untuk menghentikan atau membalikkan degradasi lingkungan
(Westerink et al. 2017 dan Jones et al. 2016). Untuk alasan ini penilaian jasa
lanskap menjadi penting, karena menciptakan pengetahuan untuk memahami
penawaran dan permintaan jasa (services). Selain itu, juga untuk mendukung
peningkatan kesadaran dan mencapai prioritas pengambilan keputusan terkait
manusia dan lanskap (Crossman et al. 2013). Saat ini, penilaian fungsi dan
12

penyediaan potensi jasa lanskap kepada manusia lebih didominasi melalui


pendekatan manfaat ekologi dan ekonomi. Namun, pendekatan penilian jasa
lanskap secara biofisik, sosial budaya, dan moneter juga dapat dilakukan (Potschin
& Haines-Young 2013).
Agroforestri telah diadopsi secara luas pada daerah tropis dan subtropis di
dunia, sebagai salah satu sistim penggunaan lahan yang menyediakan beberapa jasa
lanskap. Hal tersebut karena sistim agroforestri menggabungkan penyediaan
produk pertanian dan kehutanan dengan output non-komoditas, seperti pengatur
iklim (mikro), pengaturan tata air dan tanah, rekreasi, estetika, dan nilai-nilai
warisan budaya (McAdam et al. 2009). Karakter utama agroforestri adalah
kombinasi antara pohon/semak dengan tanaman pertanian atau peternakan, dengan
petani/pengelola lahan yang memainkan peran kunci manajemen. Pemilihan jenis
dan kombinasi vegetasi yang tepat dalam sistim agroforestri, akan menghasilkan
sistim yang multi-fungsi. Beberapa penggunaan/utilitas dari pohon dari sistem
agroforestri, yaitu untuk bahan bakar, kayu, buah, pakan ternak, pupuk, obat dan
tanaman hias (Nyaga et al. 2015). Selain itu, penggunaan berbagai jenis dan
kombinasi vegetasi yang multi-strata pada sistem agroforestri, juga akan
berdampak pada peningkatan serapan karbon, biodiversitas, kuantitas dan kualitas
air tanah, mencegah perluasan salinitas tanah, dan menambah keindahan lanskap
(George et al. 2012). Jasa ekosistem yang dimediasi oleh pratik agroforestri secara
global, tidak hanya bermanfaat untuk petani dan pemilik tanah, tetapi juga untuk
masyarakat luas (Fagerholm et al. 2016). Sebagai contoh, jasa lanskap yang
disediakan oleh jenis agroforestri tertentu, seperti sistem pertanaman lorong,
diidentifikasi bermanfaat dalam hal peningkatan penyerapan karbon, meningkatkan
kesuburan tanah, meningkatkan keanekaragaman hayati dan meningkatkan
produktivitas secara keseluruhan di lahan marginal (Tsonkova et al. 2012).
Jasa lanskap yang ada saat ini suatu saat nanti akan mengalami penurunan
kualitas dan kuantitas. Faktor ekonomi yang dapat mengatasi penurunan kualitas
lingkungan dalam penelitian ini adalah pembayaran jasa lanskap. Pembayaran jasa
lanskap adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lanskap
yang perlu dilestarikan dengan cara memberikan nilai oleh penerima manfaat
kepada pemberi manfaat dari jasa tersebut (Wunder 2005).

Pemilihan Jenis dan Kombinasi Tanaman pada Sistem Agroforestri Riparian


Sungai
Pemilihan jenis dan kombinasi tanaman sangat menentukan jasa lanskap
yang dihasilkan sistem agroforestri, khususnya produktivitas, karbon tersimpan,
dan diversitas tanaman. Dalam menentukan jenis dan kombinasi tanaman yang
akan ditanam pada sebidang lahan, haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman
dalam hubungannya dengan faktor iklim, tanah, dan kecepatan tumbuhnya (Arsyad
2000 dan Sitorus 2001). Sifat atau karakter tanaman yang digunakan dalam pola
agroforestri harus memenuhi beberapa persyaratan (Nair 1989), sebagai berikut.
1) Tanaman semusim (pertanian) yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari
tanaman pokok (tanaman tegakkan/pohon), serta dalam pengambilan zat hara
tidak pada tempat yang sama di dalam horizon tanah,
2) Jenis dan kombinasi tanaman yang digunakan tahan terhadap hama penyakit
dan lebih baik jika toleran terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim,
13

3) Dalam penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan tanaman semusim tidak


merusak tanaman pokok (tanaman tegakkan/pohon),
4) Jenis dan kombinasi tanaman, khususnya tanaman semusim yang diusahakan,
sebaiknya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dan
5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman
semusim dipanen.

Penerapan sistem agroforestri yang tepat pada suatu lanskap, dapat


meningkatkan nilai jasa lanskap yang dihasilkan. Hal tersebut karena, keragaman
komponen penyusun yang tinggi dari sistem agroforestri itu sendiri, khususnya
komponen tanaman. Sistem agroforestri dapat memberikan optimalisasi dalam
penggunaan lahan dan penerapan sistem ini memberikan manfaat (Kusmana 1998)
sebagai berikut.
a. Pada sistem agroforestri terdapat tanaman yang heterogen dan tidak seumur
yang terdiri dari dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti itu,
menyebabkan tajuk tanaman dapat menutup tanah, sehingga tanah terhindar
dari erosi dan produktivitas tanah dapat dipertahankan, serta pemanfaatan
energi surya oleh tanaman dapat maksimal.
b. Pada sistem agroforestri terdapat bentuk hutan serba guna atau usaha tani
terpadu di luar kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk
seperti hijauan makanan ternak, kayu, dan lingkungan sehat, sehingga sistem
ini dapat meningkatkan produktivitas lahan.

Beberapa studi mengenai praktik-praktik agroforestri di dunia,


menunjukkan bahwa keberadaan jenis dan kombinasi tanaman (vegetasi)
agroforestri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kontribusi sumber daya rumah
tangga, kepemilikan lahan, dan pola manajemen. Manajemen agroforestri oleh
skala rumah tangga (pekarangan/home gardens), sebagian besar menggunakan
tanaman tegakkan pohon sebagai batas eksternal lahan, yang biasanya
dikombinasikan dengan tanaman rempah dan tanaman hias (Nyaga et al. 2015).
Petani juga menganggap rumah sebagai daerah penting untuk menaikkan
keragaman pohon buah-buahan yang mayoritas adalah jenis tanaman lokal/asli.
Keanekaragaman genetik pada sistem agroforestri, diperlukan untuk kelangsungan
hidup jangka panjang spesies, diversifikasi tanaman dengan spesies asli yang
memungkinkan konservasi in situ. Penanaman pohon buah-buahan umumnya
dilakukan oleh petani untuk mendatangkan sumber pendapatan dan menambah gizi
keluarga (Dawson et al. 2009). Kepemilikan lahan yang aman dapat meningkatkan
investasi pertanian jangka panjang, melalui peningkatan tutupan pohon. Sedangkan
pada petani dengan kepemilikan lahan sewa (bukan milik sendiri), akan mendorong
petani untuk menggunakan tanaman cepat tumbuh dengan sistim monokultur (Jose
2009, Nyaga et al. 2015).
Pada lanskap agroforestri riparian sungai, jenis dan kombinasi tanaman
seharusnya memiliki fungsi ekologis. Pola penggunaan lahan berupa talun, kebun
campuran, dan pekarangan pada riparian sungai seharusnya dapat meningkatkan
kualitas sungai sebagai lanskap riparian. Salah satu fungsi pekarangan sebagai jasa
lanskap, yaitu menciptakan habitat bagi tanaman dan hewan, mengontrol hama dan
penyakit, menciptakan siklus nutrisi, menciptakan iklim mikro dan sebagai
pengontrol erosi tanah (Keihlenbeck et al. 2007). Pekarangan dari sudut ekologi
14

merupakan lahan dengan sistem yang terintegrasi dan mempunyai hubungan yang
kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan tumbuhan, tanaman,
ikan dan hewan yang diternakannya. Pekarangan dalam bentuk halaman rumah atau
taman rumah memiliki fungsi multi-guna, antara lain sebagai tempat
dipraktekannya sistem agroforestri, memproduksi bahan pangan dari tumbuhan dan
hewan, mengkonservasi sumberdaya genetik, mengkonservasi tanah dan air serta
tempat terselenggaranya aktivitas yang berhubungan dengan sosial-budaya,
terutama bagi pekarangan yang berada di perdesaan (Arifin 2012). Komposisi
tanaman pada pekarangan cukup berbeda dengan talun dan kebun campuran. Selain
untuk memenuhi kebutuhan pemilik rumah, pekarangan juga harus memiliki nilai
lain selain nilai ekonomi, tetapi juga nilai keindahan. Pekarangan terdiri dari 3
bagian, yaitu pekarangan depan, samping dan belakang. Pekarangan depan bisa
digunakan sebagai peningkat aspek keindahan pada rumah. Biasanya, pekarangan
depan menggunakan tanaman yang menarik dari segi warna, bentuk dan teksturnya.
Selain itu, penambahan pekarangan samping dan belakang merupakan opsi yang
patut dipertimbangkan. Keberadaan pekarangan samping dan belakang juga dapat
meningkatkan rasa nyaman pemilik rumah karena mikroklimat rumah semakin baik
(Arifin 1998).
Kebun campuran dan talun merupakan bentuk praktik agroforestri yang
biasa diterapkan pada riparian sungai. Variasi tegakan tanaman yang bernilai
ekonomis dan juga ekologis menjadi kombinasi yang baik pada kebun campuran di
daerah tepi sungai. Pengelolaan yang semi intensif dan jarak yang relatif dekat atau
bahkan di tengah perkampungan menjadi ciri khas sebuah kebun campuran.
Berbeda dengan talun, pengelolaan kebun campuran lebih mengarah pada tingkat
sangat ekstensif karena tanaman dibiarkan membesar dengan aneka tanaman bawah
(Arifin et al. 2009). Hal ini dikarenakan penggunaan lahan tepi sungai berupa talun
biasanya berada pada lahan yang berlereng curam. Oleh karena itu, selain
difungsikan sebagai tanaman yang bisa dipanen pada saat tertentu, tanaman pada
talun sangat cocok untuk mengkonservasi daerah tepi sungai.

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian pada riparian Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor.
Lokasi tersebut termasuk ke dalam wilayah administrasi 15 kelurahan di Kota
Bogor, yaitu Kelurahan Katulampa, Sidangrasa, Sukasari, Tajur, Lawanggintung,
Baranangsiang, Babakan Pasar, Paledang, Sempur, Bantar Jati, Tanah Sareal,
Kedung Badak, Cibuluh, Kedung Halang, dan Kelurahan Sukaresmi (Gambar 3).
Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan di lapang, mulai dari bulan
Desember 2016 sampai dengan bulan Mei 2017. Riparian Sungai Ciliwung yang
diteliti adalah riparian sungai utama sepanjang ± 14.43 km, dari total panjang
Sungai Ciliwung ± 117 km. Lebar riparian dalam penelitian ditentukan berdasarkan
regulasi mengenai garis sempadan sungai dalam kota hasil penelitian analisis lebar
riparian ideal Sungai Ciliwung dari Noviandi et al. (2016), yaitu 50 m.
15

Gambar 3 Lokasi penelitian lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi kamera digital,
seperangkat komputer, pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle)/drone jenis
Quadcopter, perekam suara, Global Positioning System (GPS), meteran, dbh-
meters, hagameter (alat pengukur ketinggian tanaman), alat tulis, serta berbagai
software seperti AutoCAD 2014, ArcMap 10.4, Erdas Imagine versi 9.1, Fragstats
4.2, Microsoft Word 2013, Microsoft Excel 2013, dan Adobe Photoshop CS5.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra UAV, peta DAS Ciliwung
dan Citra Satelit Landsat serta citra yang didapat dari sumber lain seperti Wikimapia
dan Google Earth. Selain itu, data pendukung dari berbagai sumber dan laporan
terdahulu juga menjadi referensi dan pertimbangan dalam melakukan penelitian ini.

Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan
tujuan penelitian dan diperinci berdasarkan tujuan penelitian, jenis data, unit,
16

sumber data, kegunaan, dan ouput. Data untuk tujuan I adalah data citra (foto)
udara riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor, yang didapat dari proses aerial
mapping menggunakan pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle)/drone.
Tujuan II memerlukan data eksisting lanskap di lapang, yaitu data jenis, struktur,
dan fungsi vegetasi; data jasa lanskap vegetasi eksisting; serta kondisi sosial,
budaya, dan ekonomi masyarakat, sehingga harus dilakukan observasi langsung di
lokasi penelitian. Tujuan III dari penelitian ini menggunakan data dari hasil analisis
tujuan satu dan dua (Tabel 2).
Tabel 2 Matriks tujuan penelitian, data, kegunaan, ouput dan sumber data dari
penelitian
Tujuan Data Unit Kegunaan Sumber Output
Menganalisis Peta alokasi
struktur, fungsi, penggunaan
dan dinamika Resolusi Analisis Pengamatan
Foto udara lahan
lanskap (pixel) spasial lapang agroforestri
agroforestri struktur dengan pada
pada riparian dan fungsi drone dan riparian
Sungai Batas lanskap Dinas terkait Sungai
Ciliwung di administrasi Shapefile Ciliwung di
kelurahan Kota Bogor
Kota Bogor
Jenis vegetasi Spesies
Klasifikasi
struktur dan Analisis
vegetasi Detail jenis
Struktur dan fungsi
dan
Menganalisis fungsi vegetasi tanaman dan jasa kombinasi
jenis dan (Arifin lanskap
Pengamatan tanaman
kombinasi 1998) riparian
lapang pada sistem
tanaman dan
Produksi dengan agroforestri
agroforestri yang Mg/ha
tanaman pemilihan yang dapat
dapat wawancara meningkatk
mengoptimalkan jenis dan
dan an jasa
jasa lanskap pada Karbon kombinasi
Mg/ha pengukuran lanskap
riparian Sungai tersimpan tanaman
langsung riparian
Ciliwung di Kota Sungai
Sungai
Bogor Indeks Ciliwung Ciliwung di
Shannon- di Kota Kota Bogor
Diversitas Bogor
Weiner dan
tanaman
Indeks
Margalef

Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu survei pendahuluan,
inventarisasi, pengolahan data, dan penyusunan rekomendasi. Survei pendahuluan
dan inventarisasi dilakukan untuk mengetahui kendala dan potensi pada tapak serta
pengambilan data penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan beberapa analisis
sesuai dengan tujuan penelitian. Penyusunan rekomendasi manajemen lanskap
riparian sungai dilakukan dari sintesis hasil analisis yang telah dilakukan
sebelumnya (Gambar 4).
17

Permasalahan Penelitian:
Okupasi lahan terbangun dan menurunnya jasa lanskap riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor

I. Survei Pendahuluan
Penelusuran pustaka, pengambilan foto udara, deliniasi tutupan lahan,
penentuan lokasi sampel penelitian, koleksi data biologi-fisik, kebijakan,
dan citra DAS Ciliwung

II. Inventarisasi (Survei Lanjutan):


Pembuatan petak sampel, inventarisasi vegetasi eksisting, wawancara dengan
masyarakat (pemilik atau pengelola lahan)

III. Pengolahan Data Tujuan I III. Pengolahan Data Tujuan II

1) Klasifikasi Penggunaan Lahan 1) Analisis Vegetasi


2) Analisis Struktur Lanskap a. Analisis Strata Tanaman
a. Total Class Area (CA) b. Analisis Fungsi Tanaman
b. Largest Patch Index (LPI) 2) Analisis Jasa Lanskap
c. Number of Patch (NP) a. Analisis Produksi Tanaman
d. Patch Density (PD) b. Analisis Karbon Tersimpan
e. Edge Density (ED) c. Analisis Diversitas Tanaman
f. Landscape Shape Index (LSI)  Indeks Keanekaragaman Jenis
3) Analisis Fungsi Lanskap Shannon Weiner (H’)
4) Analisis Dinamika Spasial Lanskap  Indeks Kekayaan Jenis
Margalef (Dm)
3) Strategi Pemilihan Jenis Tanaman
a. Klasifikasi Jasa Lanskap
b. Penelusuran pustaka

IV. Penyusunan Konsep Pengelolaan:


1. Alokasi Penggunaan Lahan Agroforestri
2. Desain rencana tapak (siteplan)
3. Detail Jenis dan Kombinasi Tanaman

Hasil:
Konsep pengelolaan lanskap agroforestri dan desain plot penerapan agroforestri pada
kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Gambar 4 Tahapan penelitian

Metode Analisis Data


Analisis Struktur, Fungsi, dan Dinamika Lanskap
Analisis struktur, fungsi, dan dinamika lanskap pada lokasi penelitian
dilakukan dengan pendekatan penilaian indeks ekologi lanskap. Kajian tentang
indeks ekologi lanskap bertujuan untuk mengkuantifikasi proses-proses ekologi
18

dalam suatu lanskap. Kajian ini merupakan pendekatan baru yang tujuan utamanya
adalah untuk menjembatani antara para perencana wilayah dan ahli ekologi,
sehingga tercapai pembangunan yang berkelanjutan (Leitao & Ahern 2002). Kajian
ditujukan untuk melihat bagaimana konsep lanskap ekologi menduga tingkat
fragmentasi penggunaan lahan. Tahapan dalam analisis ini dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu (1) klasifikasi penggunaan lahan, (2) analisis struktur lanskap, dan (3)
analisis fungsi dan dinamika lanskap.

1) Klasifikasi jenis penggunaan lahan


Data spasial yang digunakan adalah citra Unmanned Aerial Vehicle (UAV)
dengan resolusi 15 cm/pixel. Klasifikasi penggunaan lahan dibagi menjadi 10
(sepuluh) kelas, yaitu (1) sungai utama, (2) talun, (3) kebun campuran, (4)
pekarangan, (5) perumahan organik, (6) perumahan terrencana, (7) lahan kosong,
(8) kolam, (9) jalan, dan (10) anak sungai. Selanjutnya, dilakukan pengambilan titik
sesuai dengan intepretasi kondisi penggunaan lahan di lapang. Proses klasifikasi
penggunaan lahan dilakukan menggunakan perangkat lunak ArcMap 10.4 dengan
sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah UTM dengan
datum WGS 1984 zona 48S. Pengamatan visual penggunaan lahan dilakukan
dengan mendijitasi citra UAV di layar monitor (on-screen digitizing) ke dalam
bentuk poligon berdasarkan klasifikasi kelas penggunaan lahan. Selanjutnya
dilakukan pendugaan akurasi menggunakan metode akurasi umum (overall
accuracy) dan akurasi Kappa (Congalton & Green 1999).

2) Analisis struktur lanskap


Data yang digunakan pada tahapan ini adalah peta penggunaan lahan
(landuse) lokasi penelitian. Parameter ekologi lanskap yang dianalisis ada 6 (enam),
yang terbagi dalam empat kelompok indeks ekologi lanskap. Keempat kelompok
tersebut adalah (1) ukuran-ukuran luas, yaitu total class area (CA) dan largest
patch index (LPI), (2) ukuran-ukuran kerapatan dan variabilitas, yaitu number of
patch (NP) dan patch density (PD), (3) ukuran tepi, yaitu edge density (ED), dan
(4) ukuran bentuk, yaitu landscape shape index (LSI). Software yang digunakan
untuk menganalisis patch tersebut adalah FRAGSTATS 4.2. Berikut adalah
pengertian dan persamaan-persamaan indeks-indeks ekologi lanskap (McGarigal &
Marks 1995), yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Total class area (CA) merupakan jumlah total luas area (m2) dari setiap jenis
patch yang sesuai, dibagi dengan 10.000 (untuk mengkonversi menjadi hektar).
Persamaan yang digunakan adalah:

∑n
j=1 aij
1
CA (ha) = ( ) .................................................................. (1)
10.000

Keterangan : aij = Luas area patch yang sesuai (m2)

b. Largest patch index (LPI) merupakan luas area (m2) dari patch terbesar dari
jenis patch yang sesuai dibagi dengan total area lanskap yang diamati,
kemudian dikalikan dengan 100 (untuk mengkonversi ke persentase), dengan
kata lain, LPI sama dengan persentase dari patch terbesar terhadap lanskap
keseluruhan. Persamaan yang digunakan adalah:
19

maxnj=1 (aij )
LPI = A
(100) ................................................................................. (2)

Keterangan : aij = Luas area patch (m2)


A = Luas total lanskap (m2)

c. Number of patch (NP) merupakan jumlah patch dari jenis patch yang sesuai.
NP dapat menunjukkan ke heterogenan suatu bentukan lanskap di studi area.
Persamaan yang digunakan adalah:
NP = ni .................................................................................................... (3)

Keterangan : ni = Jumlah jenis patch tertentu yang ada pada lanskap (kelas
tutupan lahan).
d. Patch density (PD) merupakan jumlah patch dari jenis patch yang sesuai (NP)
dibagi dengan luas lanskap total, dikalikan dengan 10.000 dan 100 (untuk
mengkonversi ke 100 hektar), PD dapat digunakan pula sebagai indeks ke
heterogenan suatu bentukan lanskap. Persamaan yang digunakan adalah:
ni
PD =
A (10.000) (100) .......................................................................... (4)
Keterangan : ni = Jumlah jenis patch tertentu yang ada pada lanskap (kelas
tutupan lahan).
A = Luas total lanskap (m2)
e. Edge density (ED) merupakan standarisasi tepi untuk per satuan luas yang
memfasilitasi perbandingan antara lanskap dengan ukuran berbeda. ED sama
dengan jumlah panjang (m) dari semua segmen tepi melibatkan jenis patch
yang ada, dibagi dengan luas lanskap keseluruhan (m2), dikalikan dengan
10.000 (untuk mengkonversi ke hektar). Persamaan yang digunakan adalah:

'
∑m
ED = k=1 eik (10.000) .......................................................................... (5)
A

Keterangan: eik = Panjang total (m) dari tepi dalam lanskap jenis patch tertentu
(kelas tutupan lahan)
A = Luas total lanskap (m2)

f. Landscape shape index (LSI) adalah suatu alternatif untuk indeks bentuk patch
yang didasarkan pada "rata-rata" karakteristik patch di tingkat kelas dan
lanskap. Indeks ini mengukur rasio perimeter ke daerah untuk lanskap secara
keseluruhan. Persamaan yang digunakan adalah:

ei
LSI = .......................................................................................... (6)
min ei
Keterangan : ei = Total panjang tepi (atau perimeter) kelas ke-i
Min ei = Panjang total minimal tepi (atau perimeter) kelas ke-i.
20

3) Analisis fungsi dan dinamika lanskap

Analisis fungsi dan dinamika lanskap dilakukan dengan mengkaji hubungan


elemen-elemen penyusun lanskap, dalam hal ini adalah patch dan koridor dengan
proses-proses alami, seperti aliran energi, materi, dan spesies di antara komponen
ekosistem (elemen penyusun lanskap). Selanjutnya, dikaji juga mengenai
perubahan atau dinamika struktur dan fungsi lanskap tersebut seiring dengan
perubahan secara spasial. Untuk mempermudah analisis dan pengamatan dinamika
lanskap secara spasial, lokasi penelitian dibagi menjadi tiga sublokasi, yaitu atas,
tengah, dan bawah. Tujuan dari pembagian bagian ini adalah untuk melihat
dinamika lanskap riparian sungai secara spasial dari kawasan pusat kota hingga
pinggiran kota. Pembagian bagian tersebut berdasarkan batas administrasi
kelurahan dan kecamatan di Kota Bogor yang dilewati Sungai Ciliwung.
Bagian atas merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang masuk pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan dan
Bogor Timur. Bagian ini berada pada bagian hilir dari tapak, termasuk kawasan
pinggiran kota bagian selatan yang cukup jauh dari pusat Kota Bogor. Bagian
tengah merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor yang masuk
pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah. Bagian tengah
termasuk kawasan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi Kota Bogor, namun pada
bagian ini terdapat kawasan lindung (konservasi) yaitu Kebun Raya Bogor. Bagian
bawah merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor yang masuk pada
wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Utara dan Tanah Sareal. Bagian
ini termasuk kawasan pinggiran Kota Bogor bagian utara, namun padat penduduk
(Tabel 3 dan Gambar 5).

Tabel 3 Pembagian bagian penelitian pada lanskap riparian Sungai Ciliwung di


Kota Bogor

No Kelurahan Kecamatan Bagian Tapak


1 Katulampa Bogor Timur Atas
2 Sindangrasa Bogor Timur Atas
3 Tajur Bogor Timur Atas
4 Sukasari Bogor Timur Atas
5 Baranangsiang Bogor Timur Atas
6 Lawanggintung Bogor Selatan Atas
7 Babakanpasar Bogor Tengah Tengah
8 Paledang (KRB) Bogor Tengah Tengah
9 Sempur Bogor Tengah Tengah
10 Bantar Jati Bogor Utara Bawah
11 Cibuluh Bogor Utara Bawah
12 Kedunghalang Bogor Utara Bawah
13 Tanah Sareal Tanah Sareal Bawah
14 Kedungbadak Tanah Sareal Bawah
15 Sukaresmi Tanah Sareal Bawah
21

Gambar 5. Peta pembagian bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Analisis Jenis dan Kombinasi Tanaman dalam Sistem Agroforestri


Analisis jenis dan kombinasi tanaman yang digunakan sebagai penyusun
praktik agroforestri pada lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
dilakukan dengan pendekatan penilaian jasa lanskap. Penilaian jasa lanskap pada
22

kondisi lanskap eksisting diperlukan untuk mengetahui tingkat jasa lanskap yang
dihasilkan. Jasa lanskap yang dinilai pada penelitian ini terbatas pada jasa produksi
tanaman, karbon tersimpan, dan diversitas tanaman. Data jenis dan kombinasi
tanaman eksisting akan diinventarisasi berdasarkan nama lokal, nama latin,
diameter batang, diameter tajuk, tinggi tanaman dan fungsi tanaman dengan
pengamatan langsung ke lapang dan wawancara. Hasil inventarisasi dan analisis
vegetasi eksiting tersebut akan diketahui jenis dan kombinasi tanaman dan tingkat
jasa lanskap yang dihasilkan sehingga dapat menjadi dasar dalam pemilihan
tanaman. Proses seleksi tanaman juga akan dilengkapi dengan studi literatur,
dimana proses seleksi tanaman juga akan dianalisis berdasarkan kondisi agroklimat
dan kesesuaian syarat tumbuh tanaman yang dapat meningkatkan jasa lanskap.
Vegetasi eksisting pada riparian Sungai Ciliwung bagian tengah yang masih tersisa,
biasanya merupakan jenis lokal yang akan dijadikan sebagai pertimbangan utama
dalam pemilihan jenis dan kombinasi tanaman pada sistem agroforestri. Berikut
adalah metode analisis yang digunakan untuk penilaian jasa lanskap pada kawasan
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.

Analisis Vegetasi Riparian


Langkah pertama yang dilakukan dalam proses analisis vegetasi adalah
membuat petak contoh. Petak contoh dibuat berdasarkan metode garis berpetak
(Soerianegara & Indrawan 2008), untuk menghitung struktur dan komposisi
vegetasi riparian. Penetapan lokasi sampel dilakukan dengan metode purposive
sampling yang disesuaikan dengan panjang sungai, dimana satu petak sampel
mewakili 1 km panjang sungai. Panjang Sungai Ciliwung di Kota Bogor mencapai
14.43 km, sehingga jumlah petak sampel yang digunakan ada 14 buah dengan letak
selang-seling (zig-zag) pada sisi kanan dan kiri sungai. Lokasi petak sampel berada
di sepanjang zona riparian sungai, yaitu dari tepi sungai (bankfull widh) hingga
daratan atas (upland) yang dipengaruhi limpasan air Sungai Ciliwung pada saat
banjir (high level).
Data struktur dan komposisi vegetasi riparian dari hasil analisis vegetasi
akan digunakan dalam menghitung jasa lanskap (produksi tanaman, karbon
tersimpan, dan diversitas tanaman) yang dihasilkan lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor. Analisis vegetasi dilakukan pada semua tingkatan pohon
(semai, tiang, pancang, dan pohon) dan tumbuhan bawah (paku, liana, herba, semak
belukar, dan rumput). Jalur di tiap tipe vegetasi riparian berupa garis berpetak yang
tegak lurus dengan tepi Sungai Ciliwung. Ukuran petak 20 m x 20 m untuk
pengamatan pohon (diameter >20 cm) (D), 10 m x 10 m untuk tiang (diameter 10 -
20 cm) (C), 5 m x 5 m untuk pancang (tinggi ≥ 1.5 m, diameter < 10 cm) (B), dan
2 m x 2 m untuk semai (mulai kecambah/anakan hingga tinggi 1.5 m) (A)
(Soerianegara & Indrawan 2008) (Gambar 6).
Analisis vegetasi dilakukan dengan melakukan inventarisasi vegetasi
eksisting dengan melakukan obeservasi langsung di sepanjang riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor. Komposisi vegetasi riparian ditunjukkan dengan analisis
deskriptif strata dan fungsi tanaman (Arifin 1998). Hasil analisis vegetasi eksisting
akan digunakan sebagai dasar penilaian jasa lanskap. Jasa lanskap yang akan dinilai
adalah jasa produktivitas tanaman (dilihat dari nilai nisbah kesetaraan lahan [NKL]),
karbon tersimpan, dan diversitas tanaman {dilihat dari nilai Indeks
23

Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Kekayaan Jenis Margalef


(Dm)}. Berikut adalah persamaan-persamaan yang digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 6 Bentuk plot contoh pada kawasan riparian

Strata dan Fungsi Tanaman

Untuk mengetahui strata tanaman, setiap individu pohon yang ditemukan di


dalam petak contoh dikelompokkan berdasarkan klas tinggi strata tegakan. Struktur
vertikal (strata) tanaman dibagi ke dalam lima strata, yaitu strata I: <1 m, strata II:
1-2 m, strata III: 2-5 m, strata IV: 5-10 m dan strata V: >10 m. Setelah itu, dihitung
kerapatan individu pada setiap kelas tinggi. Selanjutnya, dilakukan analisis menurut
delapan fungsi tanaman, yaitu tanaman hias, tanaman buah, tanaman sayur,
tanaman bumbu, tanaman penghasil pati, tanaman obat, tanaman industri dan
tanaman lain (penghasil kayu bakar, pakan, bahan kerajinan, konservasi, dan lain-
lain) (Arifin 1998).

Analisis Produksi Tanaman


Analisis produksi tanaman dihitung hanya untuk jenis tanaman tahunan dan
tanaman semusim yang telah dipanen dan terdapat pada petak contoh. Produksi
tanaman yang dihitung berupa hasil tanaman yang dapat dipanen, meliputi buah,
biji, daun, dan umbi (berdasarkan fungsi tanaman). Produksi tanaman per hektar
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Produksi tanaman (Mg/ha) = (P/1000) K .................................................(7)


Keterangan:
P : Produksi suatu jenis tanaman per plot (kg)
K : Kerapatan/jumlah individu suatu jenis dalam luas plot contoh /luas
plot contoh (ind./ha)
Selanjutnya, dilakukan pengukuran produktivitas lahan berdasarkan
besaran NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan) atau LER (Land Equivalent Ratio).
Nisbah kesetaraan lahan adalah jumlah nisbah hasil antara tanaman yang ditumpang
sarikan (agroforestri) terhadap hasil tanaman yang ditaman secara tunggal
(monokultur) pada tingkat manajemen yang sama. NKL merupakan salah satu cara
24

yang digunakan untuk menghitung produktivitas lahan dari dua atau lebih tanaman
yang dibudidayakan dengan teknik agroforestri (Sardjono et al. 2003). Berikut
adalah persamaan NKL:
hi
NKL = ∑ni Hi ..................................................................................... ....(8)

Keterangan: hi = Hasil tanaman agroforestri jenis tanaman i;


Hi = Hasil tanaman monokultur jenis tanaman i;
i = 1, 2, 3, ...n jenis tanaman pada agroforestri dan monokultur
Kriteria produktivitas lahan dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

NKL<1.0 = Produktivitas rendah


1.0<NKL<1.2 = Produktivitas sedang
NKL>1.2 = Produktivitas tinggi

Analisis Karbon Tersimpan


Terdapat tiga tahap pengukuran dalam menghitung jumlah cadangan karbon
atau karbon tersimpan menurut Hairiah & Rahayu (2007):
1. mengukur biomasa semua tanaman dan nekromassa yang ada pada suatu lahan,
2. mengukur konsentrasi karbon tanaman, dan
3. menghitung kandungan karbon yang disimpan pada suatu lahan.
Metode yang digunakan dalam perhitungan biomasa tanaman adalah
metode non-destruktif dengan menggunakan persamaan alometrik berdasarkan
spesies tanaman. Alometrik adalah suatu fungsi matematika yang menunjukkan
hubungan antara bagian tertentu dari makhluk hidup tersebut. Persamaan tersebut
digunakan untuk menduga parameter tertentu dengan menggunakan parameter
lainnya yang lebih mudah diukur, dalam hal ini adalah menduga biomasa pohon
dengan mengukur diameter batang pohon tersebut. Rumus alometrik (Hairiah &
Rahayu 2007) secara umum dalam pendugaan biomassa yaitu:

Y = a.DBHb .......................................................................................... ....(9)


Keterangan:
Y : Biomassa di atas permukaan tanah
DBH : Diameter Breast Height (1.35 m)
a : Koefisien konversi
b : Koefisien alometrik
Persamaan alometrik untuk pohon yang tidak diketahui menggunakan
persamaan yang telah dikembangkan oleh Chave et al (2005), sedangkan untuk
semak digeneralisasi menggunakan persamaan Ali et al (2015) (Tabel 4). Untuk
pendugaan kandungan karbon di atas permukaan tanah dapat menggunakan rumus
menurut Brown (1997), yaitu:
25

Wtc = Y x 0.5 ....................................................................................... ..(10)


Keterangan:
Wtc : Kandungan karbon di atas permukaan tanah (kg)
Y : Nilai biomassa (kg)
0,5 : 50% karbon tersimpan dalam biomassa

Tabel 4 Persamaan alometrik metode pengukuran biomassa tanaman

Jenis Tanaman Persamaan Alometrik Sumber


Jati Y = 0.153 D2.39 Hairiah et al. 2011

Jati Putih Y = 0.11 × 0.48 × (2.62 D²) Hairiah et al. 2001

Pisang (Musa sp.) Y = 0.0303 D2.1345 Hairiah et al. 2001

Pinus merkussii Y = 0.03292 + (DBH2 + H)0.97318 Heriyanto et al. 2005

Bambu Y = 0.131D2.28 Priyadarsini 2000

Sengon Y = 0.0272 D2.831 Sugiarto 2002

Palem-paleman Y = 4.5 + 7.7 H Frangi & Lugo 1985

Durian Y= 0.2902 × (2.313 D²) Hairiah et al. 2001

Multispecies untuk
Ln(Y) = -3.50 + 1.65 Ln(D) + 0.842
semak dan pohon D < 5 Ali et al. 2015
Ln(H)
cm

Pohon lainnya Y = 42.69 – 12.8 D + 1.242D2 Chave et al. 2005

Keterangan: Y= Biomasa tumbuhan di atas tanah, DBH = Diameter batang tumbuhan


setinggi dada (1.30 m), dan H = Tinggi tumbuhan.

Pendugaan karbon tersimpan pada tanaman herba menggunakan hasil dari


penelitian Roshetko et al. (2002) yang telah melakukan sampling melalui
pemanenan (destructive sampling) pada lahan pekarangan di daerah Lampung
dengan rata-rata 0.3 Mg C/ha. Setelah dilakukan pengukuran cadangan karbon
(karbon tersimpan) di atas permukaan tanah (vegetasi), selanjutnya akan
diklasifikasi menjadi beberapa kriteria. Kriteria tersebut berdasarkan rata-rata
karbon tersimpan pada jenis penggunaan lahan hutan tanaman bioregion Pulau
Jawa (Rochmayanto et al. 2014). Berikut adalah kriteria tersebut.
Wtc<42.172 (Mg/ha) = Karbon tersimpan rendah
42.172 (Mg/ha)< Wtc <64.150 (Mg/ha) = Karbon tersimpan sedang
Wtc> 64.150 (Mg/ha) = Karbon tersimpan tinggi

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)


Keanekaragaman jenis diketahui berdasarkan indeks keanekaragaman jenis
(H’) dari Shannon-Wiener (Krebs 1972 dan Magurran 1991) dengan persamaan
berikut:
26

H' = - ∑ni=1 pi ln pi ............................................................................. (11)


Keterangan:
H’ : Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener
pi : Proporsi kerapatan jenis ke-i = (ni/N)
ni : Kerapatan jenis ke-i ; N : Kerapatan seluruh jenis
K : Jumlah individu suatu jenis dalam luas plot contoh /luas plot contoh

Kriteria Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dibagi menjadi 3, yaitu:


H’<1 = Keanekaragaman rendah
1<H’<3 = Keanekaragaman sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi

Indeks Kekayaan Jenis Margalef (Dm)

Selain Indeks Shannon Wiener metode yang digunakan adalah Indeks


Margalef (Dm) untuk mengetahui kekayaan jenis (Magurran 1991). Berikut adalah
persamaan indeks kekayaan jenis Margalef:

Dm = (S-1)/lnN ........................................................................................ (12)


Keteangan:
S : Jumlah spesies dalam satu plot
N : Total individu dalam satu plot

Kriteria Indeks Margalef dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:


Dm<2,5 = Kekayaan jenis rendah
2,5< Dm <4,0 = Kekayaan jenis sedang
Dm > 4,0 = Kekayaan jenis tinggi

Strategi Pemilihan Jenis dan Kombinasi Tanaman

Pemilihan jenis dan kombinasi tanaman yang digunakan sebagai penyusun


praktik agroforestri pada lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
dilakukan dengan pendekatan penilaian jasa lanskap. Hasil penilaian jasa lanskap
dari vegetasi eksisting akan menjadi dasar dalam pemilihan tanaman. Jenis dan
kombinasi tanaman dipilih berdasarkan plot sampel dengan kriteria jasa lanskap
tertinggi (Tabel 5). Pemilihan petak sampel terbaik dilakukan dengan penjumlah
jasa lanskap yang dihasilkan pada setiap jenis penggunaan lahan agroforestri.
Proses seleksi tanaman juga akan dilengkapi dengan studi literatur, dengan
seleksi tanaman juga akan dianalisis berdasarkan kondisi agroklimat dan kesesuaian
syarat tumbuh tanaman. Plot sampel dengan semua jenis dan kombinasi di
dalamnya yang memiliki nilai jasa produksi, karbon tersimpan, dan diversitas
tanaman tertinggi tersebut akan dijadikan sebagai dasar dalam mendesain contoh
tapak agroforestri dan akan direkayasa hingga mendapatkan desain tapak
agroforestri dengan kategori jasa lanskap tinggi. Desain tersebut mencakup detail
jenis dan kombinasi tanaman penyusun lanskap agroforestri, yang akan
diperbanyak penerapannya pada kawasan di sepanjang riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor. Penentuan lokasi penerapan desain demplot agroforestri tersebut akan
didasarkan pada alokasi penggunaan lahan untuk agroforestri dari hasil analisis
tujuan satu.
27

Tabel 5 Kriteria penilaian jasa lanskap vegetasi eksisting lanskap agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Komponen Jasa Kriteria
No
Lanskap Rendah Sedang Tinggi
Nisbah Kesetaraan NKL<1.0 1.0<NKL<1.2 NKL>1.2
1
Lahan (NKL)
42.172 (Mg/ha)<
Karbon Tersimpan Wtc<42.172 Wtc> 64.150
2 Wtc <64.150
(Wtc) ( Mg/ha) ( Mg/ha)
( Mg/ha)
Indeks Shannon- H’<1 1<H’<3 H’ > 3
3
Wiener (H’)
4 Indeks Margalef (Dm) Dm<2.5 2.5< Dm <4.0 Dm > 4.0

Penyusunan Rekomendasi

Konsep manajemen lanskap agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di


Kota Bogor direkomendasikan berdasarkan hasil yang diperoleh dari survei,
analisis, dan wawancara. Output dari analisis tujuan I, berupa nilai indeks ekologi
lanskap yang mengintepretasikan luasan lanskap agroforestri yang masih tersisa,
digunakan sebagai dasar penentuan plot sampel dan alokasi lahan yang akan dipilih
untuk penerapan desain rencana tapak. Pemilihan penggunaan jenis dan kombinasi
tanaman agroforestri di sepanjang riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dari
hasil analisis tujuan II. Konsep ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam produk
manajemen lanskap agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor yang
berupa.
1. alokasi penggunaan lahan agroforestri,
2. desain rencana tapak (site plan) dalam rangka peningkatan jasa lanskap, dan
3. detail jenis dan kombinasi tanaman untuk lanskap agroforestri pada kawasan
riparian.
Desain rencana tapak riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dibuat untuk
setiap bentuk penggunaan lahan agroforestri, yaitu talun, kebun campuran, dan
pekarangan. Detail jenis dan kombinasi tanaman yang direkomendasikan meliputi
jenis spesies, strata, dan fungsi tanaman. Rekomendasi tersebut bersifat aplikatif
dan mendukung pengelolaan lanskap agroforestri pada lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor yang dapat mengoptimalkan jasa lanskap.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Situasional DAS Ciliwung di Kota Bogor


Batas Adminitrasi dan Letak Geografis
Kawasan DAS Ciliwung memiliki luas total 368.10 km² dan panjang sungai
utamanya mencapai 117 km. Letak geografis kawasan ini adalaha pada 106º47’43”
- 107º00’15” BT dan 6º11’54” - 7º01’27” LS. Secara administratif, DAS Ciliwung
berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Cianjur dan Sukabumi di
28

sebelah selatan, DAS Grogol dan Krukut di sebelah barat, serta DAS Buaran-
Jatikramat, Bekasi, dan Sunter di sebelah timur. Daerah hulu dari Sungai Ciliwung
adalah di kawasan puncak Kabupaten Bogor, kemudian mengalir melalui beberapa
wilayah seperti Kota Bogor, Depok, dan Jakarta. Berdasarkan karakteriktik
lanskapnya, DAS Ciliwung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu, tengah,
dan hilir (Gambar 7). Setiap kawasan tersebut memiliki karakteristik topografi,
curah hujan, jenis tanah, hidrologi, dan kemiringan lereng yang berbeda-beda
(BPDAS Citarum Ciliwung 2013).

Gambar 7 Peta batas administrasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung


29

Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor merupakan bagian dari DAS


Ciliwung bagian tengah. Panjang Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor
mencapai 14,43 km. Secara geografis kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor berada pada 106º47’46” - 106º50’32” BT dan 6º32’29” - 6º38’10” LS. Pada
skala makro, DAS Ciliwung bagian tengah berbatasan dengan DAS Ciliwung
bagian hilir di sebelah utara, DAS Ciliwung bagian hulu di sebelah selatan, DAS
Cisadane dan Angke di sebelah barat, serta DAS Kali Bekasi di sebelah timur.
Sungai Ciliwung di Kota Bogor melewati beberapa kelurahan seperti Kelurahan
Katulampa, Sindangrasa, Tajur, Sukasari, Lawanggintung, Baranangsiang,
Babakan Pasar, Paledang, Sempur, Bantar Jati, Tanah Sareal, Cibuluh,
Kedungbadak, Kedung Halang, dan Sukaresmi (Gambar 3).

Topografi dan Iklim


Secara keseluruhan DAS Ciliwung memiliki variasi ketinggian dengan
kisaran 0 - 3000 m di atas permukaan laut (mdpl) dengan variasi kemiringan lereng
mulai dari datar (0-8%) sampai sangat curam (>45%) (Tabel 6). Hal ini
menyebabkan adanya perbedaan karakteristik bio-climatic yang jelas antara bagian
hulu, tengah, dan hilir kawasan DAS Ciliwung. Bagian hulu merupakan daerah
pegunungan, bagian tengah memiliki topografi bergelombang dan berbukit-bukit,
sedangkan bagian hilir merupakan kawasan landai dan relatif datar. Kecepatan
aliran air DAS Ciliwung cukup bervariasi mulai dari kisaran 2 m/detik (lambat)
pada bagian hilir hingga mencapai 10 m/detik (cepat) pada bagian hulu. Stasiun
pengamatan arus pada beberapa bagian di DAS Ciliwung berbentuk dendritik,
seperti di Bendung Katulampa, Kota Bogor. Bentuk ini mengindikasikan jika
bagian hulu DAS Ciliwung memberikan kontribusi aliran permukaan yang cukup
besar (BPDAS Citarum Ciliwung 2013).
Tabel 6 Kelas dan luas kemiringan lereng DAS Ciliwung

Kemiringan Luas
Kelas Klasifikasi
(%) ha %
I Datar 0-8 25 530.55 66.12
II Landai 8 - 15 4 563.89 11.82
III Agak curam 15 - 25 2 856.06 7.4
IV Curam 25 - 45 3 599.12 9.32
V Sangat curam >45 2 060.63 5.34
Jumlah 38 610.25 100.00
Sumber: BPDAS Citarum Ciliwung (2013)

Riparian Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor memiliki luas


mencapai 148.97 ha, bila menggunakan standar lebar riparian 50 m (Noviandi et al.
2016). Pada skala makro, DAS Ciliwung di Kota Bogor memiliki luas 34.41 km²
atau 8.91% dari luas total DAS Ciliwung. Topografi daerah ini bergelombang dan
berbukit dengan variasi ketinggian 155-368 mdpl dan kemiringan 2-15% (Gambar
8). Hal tersebut menyebabkan kecepatan aliran air pada bagian ini relatif sedang
dengan kisaran 5 m/detik. Selain itu, kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor merupakan daerah datar dan landai dengan kemiringan 0-25% (Gambar 9).
Curah hujan rata-rata di wilayah Sungai Ciliwung di Kota Bogor berkisar
antara 3600-4400 mm/tahun dan termasuk kategori tinggi (Gambar 10).
30

Berdasarkan klasifikasi Schmidth dan Ferguson, tipe iklim di DAS Ciliwung adalah
tipe iklim A yang memiliki Bulan Basah (CH >100 mm/bulan) 10 bulan, Bulan
Lembab 2 bulan (CH 60-100 mm/bulan), dan tidak memiliki bulan kering.
Sedangkan menurut tipe iklim Oldeman, DAS Ciliwung juga memiliki iklim tipe A
karena memiliki Bulan Basah (CH >100 mm/bulan) 9 bulan berturut-turut. Tipe
iklim A mencirikan daerah sangat basah dengan dominansi vegetasi hutan hujan
tropis .

Gambar 8 Peta ketinggian kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor


31

Hidrogeologi
Bentuk DAS Ciliwung cukup unik dengan bentuk besar dan luas
menyerupai kipas pada bagian hulu lalu mengecil dan menyempit menyerupai leher
corong di bagian tengah, dan sedikit melebar kembali pada bagian hilir. Anak-anak
sungai yang mengalir ke sungai utama di bagian hulu terkonsentrasi ke satu titik di
sekitar daerah Katulampa. Daerah Aliran Sungai Ciliwung bagian tengah
merupakan daerah dengan air tanah dan akuifer produktif, sedangkan di bagian hilir,
batuan-batuan sedimen membentuk sistem akuifer yang sangat heterogen dan
kompleks (BBWS Ciliwung Cisadane 2012).

Gambar 9 Peta kemiringan lereng riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor


32

Struktur jenis batuan atau geologi yang berkaitan erat dengan jenis tanah
yang terbentuk pada DAS Ciliwung yang cukup beragam. Jenis formasi batuan
yang paling dominan di DAS Ciliwung adalah kipas aluvial dan endapan batuan
gunung api tua (Tabel 7). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jenis batuan di DAS
Ciliwung didominasi oleh batuan beku yang berasal dari batuan gunung api tua dan
aluvial.

Gambar 10 Peta curah hujan kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
33

Tabel 7 Struktur geologi (jenis batuan) DAS Ciliwung


Jenis Geologi Luas (ha) Luas (%)
Aliran lava basal G. Geger Bentang 1 482.61 3.84
Aliran lava termuda 59.45 0.15
Aluvial 1 388.45 3.60
Batuan gunung api muda 186.58 0.48
Breksi dan lava G. Kencana dan G. Limo 1 907.71 4.94
Endapan batuan gunung api tua 13 246.55 34.31
Endapan breksi dan lahar G. Gede 159.77 0.41
Endapan dataran banjir 3 144.48 8.14
Endapan muda lahar andesit 470.14 1.22
Endapan punggungan pantai 181.29 0.47
Formasi serpong 44.28 0.11
Kipas aluvial 16 248.45 42.08
Lahar 90.49 0.23
Luas Total 38 610.25 100.00
Sumber: BPDAS Citarum Ciliwung (2013)

Berdasarkan keadaan geomorfologinya, DAS Ciliwung didominasi oleh


pedataran vulkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung-gunung dan sebagian
kecil merupakan aluvial sungai. Tingkat kerawanan banjir DAS Ciliwung bagian
hulu sangat rendah, karena merupakan daerah pegunungan dan perbukitan yang
curam. Wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor yang berada pada bagian tengah
merupakan daerah pedataran kipas aluvial yang memiliki aliran sungai berpola
sejajar dengan lembah sungai utama. Sedangkan saat memasuki DAS Ciliwung
bagian hilir, yaitu wilayah Kota Depok yang merupakan pedaerah dataran aluvium
sungai, pola aliran sungainya berkelok-kelok atau meander, sehingga daerah ini
memiliki tingkat kerawanan banjir yang lebih tinggi.

Jenis Tanah
Batuan induk yang membentuk struktur dan jenis tanah di DAS Ciliwung
adalah tufa vulkanik. Jenis tanah yang terdapat di DAS Ciliwung hasil rombakan
dari batuan induk tersebut. Jenis tanah yang paling banyak di temui di DAS
Ciliwung adalah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air
tanah dengan luas penyebaran sebesar 17 543.67 ha atau 45.44% dari total luasan
DAS Ciliwung (Tabel 8).
Tabel 8 Jenis tanah DAS Ciliwung
Jenis Tanah Luas (ha) Luas (%)
Aluvial hidromorf 8882.71 2.29
Aluvial kelabu tua 2 559.01 6.63
Andosol coklat kekuningan 246.04 0.64
Asosiasi latosol merah, coklat, dan laterit air tanah 17 543.67 45.44
Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat 5 209.12 13.49
Asosiasi glei humus rendah dan aluvial kelabu 3.30 0.01
Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 4 018.26 10.41
Latosol coklat tua kemerahan 2 681.50 6.95
Litosol coklat 5 466.65 14.16
Jumlah 38 610.25 100.00
Sumber: BPDAS Citarum Ciliwung (2013)
34

Pada skala mikro, jenis tanah pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
adalah jenis tanah asosiasi latosol merah & coklat kemerahan dan kompleks latosol
merah kekuningan & coklat. Jenis tanah asosiasi latosol merah & coklat kemerahan
menyebar dari Kelurahan Sukaresmi hingga Kedung halang dengan luas 147.83 ha
atau 31.81%. Sedangkan jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan & coklat
menyebar dari Kelurahan Bantar Jati hingga Sindangrasa dengan luas mencapai
316.93 ha atau 68.19% (Gambar 11). Kedua jenis tanah tersebut memiliki
kandungan unsur hara yang cukup tinggi dan baik digunakan sebagai lahan
pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, dan perkebunan (Soepardi 1983).

Gambar 11 Peta jenis tanah kawasan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
35

Analisis Ekologi Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor


Analisis struktur, fungsi, dan dinamika lanskap pada penelitian ini
dilakukan dengan pendekatan ekologi lanskap. Analisis tersebut merupakan
pendekatan baru yang tujuan utamanya untuk menjembatani antara para perencana
wilayah dan ahli ekologi, sehingga tercapai pembangunan yang berkelanjutan
(Leitao & Ahern 2002). Tahapan dalam analisis ekologi lanskap ini, dibagi menjadi
tiga tahap, yaitu (1) klasifikasi penggunaan lahan, (2) analisis struktur lanskap, dan
(3) analisis fungsi dan dinamika lanskap.

Klasifikasi Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada dasarnya berbeda dengan penutupan lahan, namun


sangat berkaitan. Penggunaan lahan (landuse) adalah gambaran keadaan fisik
permukaan bumi yang berhubungan dengan kegiatan manusia pada satu bidang
lahan (Lillesand & Kiefer 1993). Penggunaan lahan merupakan bentuk campur
tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik material maupun spiritual (Vink 1975). Contoh dari penggunaan
lahan yaitu sawah, ladang, permukiman, perkantoran, kolam, dan sebagainya.
Klasifikasi jenis penggunaan lahan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor didapatkan dari hasil analisis data spasial citra UAV (drone). Hasil dari
analisis tersebut cukup akurat yang dapat dilihat dari nilai akurasi umum yang
mencapai 93.00 % dan koifisien Kappa sebesar 0.92 (Lampiran 1). Nilai akurasi
tersebut menunjukkan jika klasifikasi penggunaan lahan tersebut akurat dan sesuai
kondisi sebenarnya di lapangan (Khoiriah & Farda 2010). Jenis penggunaan lahan
pada lokasi penelitian dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) jenis, yaitu (1) sungai
utama, (2) talun, (3) kebun campuran, (4) pekarangan, (5) perumahan organik, (6)
perumahan terrencana, (7) lahan kosong, (8) kolam, (9) jalan, dan (10) anak sungai.
Berikut adalah deskripsi dari kelas penggunaan lahan pada lokasi penelitian.

a. Sungai Utama
Sungai utama merupakan sebuah aliran air utama dari Sungai Ciliwung yang
memiliki kapasitas besar dan panjang serta mengalir secara terus menerus mulai
dari sumber pertama (hulu) sampai menuju ke muara (hilir). Sungai utama Ciliwung
terbentuk dari aliran anak sungai yang bergabung dialamnya. Aliran air sungai
utama biasanya berbatasan dengan saluran dengan dasar dan tebing di sebelah kiri
dan kanan. Intepretasi sungai utama dari citra UAV dan di lapang pada setiap bagian
tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 12).
Kondisi eksisting penggunaan lahan sungai utama pada setiap bagian lokasi
penelitian cukup bervariasi. Sungai utama pada bagian atas memiliki lebar yang
relatif lebih sempit dengan aliran air yang lebih deras, selain itu pada ripariannya
masih banyak dijumpai kawasan bervegetasi. Bagian tengah memiliki sungai utama
yang lebih lebar dari bagian atas namun dengan aliran yang lebih lambat. Kawasan
riparian pada bagian ini sudah diokupasi oleh lahan terbangun, kecuali pada
kawasan yang melintasi Kebun Raya Bogor. Sedangkan pada bagian bawah
memiliki sungai utama yang paling lebar dengan aliran air yang tenang. Kondisi
riparian sungai utama pada bagian ini juga sudah mulai diokupasi oleh lahan
terbangun, namun masih ditemui beberapa kawasan bervegetasi.
36

(a) Penampakan salah satu sungai utama dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas

(b) Penampakan salah satu sungai utama dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah

(c) Penampakan salah satu sungai utama dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian bawah

Gambar 12 Kondisi penggunaan lahan sungai utama pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor

b. Talun
Talun merupakan pola praktik agroforetri yang biasa diterapkan pada riparian
sungai yang berlereng curam dengan dominasi tegakan tanaman yang bernilai
ekologis dengan kombinasi tanaman bernilai ekonomi. Pengelolaan talun mengarah
pada tingkat ekstensif, karena tanaman dibiarkan membesar dengan aneka tanaman
bawah dan jarak yang relatif agak jauh dari permukiman menjadi ciri khas sebuah
talun (Arifin et al. 2009). Kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan proteksi
tata tanah, air, dan udara yang ada di riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor juga
diklasifikassikan sebagai talun. Selain difungsikan sebagai tanaman yang bisa
37

dipanen pada saat tertentu, tanaman pada talun sangat cocok untuk mengkonservasi
daerah tepi sungai. Intepretasi talun dari citra UAV dan di lapang pada setiap bagian
tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 13).

(a) Penampakan salah satu talun dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
atas

(b) Penampakan salah satu talun dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
tangah

(c) Penampakan salah satu talun dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
bawah

Gambar 13 Kondisi penggunaan lahan talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor
Penggunaan lahan talun pada riparian bagian atas masih banyak dijumpai
pada kawasan dengan kelerengan curam (>45%). Bagian tengah memiliki talun
yang relatif lebih sedikit jumlahnya dari pada bagian lainnya yang terkonsentrasi
pada kawasan konservasi dan proteksi Kebun Raya Bogor. Sedangkan pada bagian
bawah memiliki talun dengan jumlah yang cukup banyak dan pada kawasan dengan
kelerengan yang cukup landai (<45%).
38

c. Kebun Campuran
Penggunaan lahan kebun campuran merupakan lahan yang ditanami
tanaman tahunan ataupun tanaman semusim, termasuk di dalamnya tanaman
produksi kayu. Kebun campuran merupakan bentuk praktik agroforetri dengan
variasi tegakan tanaman yang bernilai ekonomis dan juga ekologis. Pengelolaan
yang semi intensif dan jarak yang relatif dekat atau bahkan di tengah permukiman
menjadi ciri khas sebuah kebun campuran. Intepretasi kebun campuran dari citra
UAV dan di lapang pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan
(Gambar 14).

(a) Penampakan salah satu kebun campuran dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan)
pada bagian atas

(b) Penampakan salah satu kebun campuran dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan)
pada bagian tengah

(c) Penampakan salah satu kebun campuran dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan)
pada bagian bawah

Gambar 14 Kondisi penggunaan lahan kebun campuran pada riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor
39

Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian atas memiliki jumlah


penggunaan lahan kebun campuran cukup banyak dan terluas daripada bagian
lainnya. Kebun campuran pada bagian ini terletak berdekatan dengan kawasan
ladang dan persawahan yang masih ditemukan pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor. Riparian bagian tengah memiliki kebun campuran yang paling sedikit
jumlahnya, karena kawasan ripariannya sudah diokupasi lahan terbangun.
Sedangkan pada bagian bawah juga masih cukup banyak ditemukan kebun
campuran yang letaknya berdekatan dengan tempat tinggal warga. Beberapa jenis
tanaman yang terdapat di kebun campuran paada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor adalah durian, nangka, kelapa, pisang, rambutan, dan sebagainya. Kombinasi
jenis tanaman pada kebun campuran tersebut hampir menyerupai hutan, sehingga
kebun campuran dapat direkomendasikan untuk menggantikan tipe penutupan dan
penggunaan lahan berupa semak belukar dan lahan terbuka (Pujowati et al. 2009).

d. Pekarangan
Pekarangan merupakan salah satu pola penggunaan lahan agroforestri
kompleks yang biasa ditemui di daerah riparian sungai. Pekarangan adalah lahan
yang berada di sekitar rumah yang memiliki batas kepemilikan yang jelas, dan
biasanya ditanami dengan berbagai kombinasi tanaman, ikan, dan juga ternak untuk
memenuhi kebutuhan subsisten dan komersial (Arifin et al. 2008). Secara ekologi,
pekarangan merupakan sistem penggunaan lahan yang terintegrasi dan sebagai
wujud interaksi antara manusia (pemilik lahan) dengan komponen penyusunnya,
seperti tanaman, hewan ternak, ikan, dan sebagainya. Bentuk pola pekarangan juga
termasuk taman lingkungan, taman kota, taman toga, dan taman median jalan.
Pekarangan memiliki beberapa fungsi, seperti untuk produksi bahan makanan,
estetika, sosial budaya, dan fungsi ekologi. Berbagai tanaman di pekarangan,
terutama buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah dapat menjadi sumber gizi dan
pendapatan bagi pemilik lahan (Kaswanto et al. 2013). Intepretasi pekarangan dari
citra UAV dan di lapang pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas
diklasifikasikan (Gambar 15).
Pekarangan merupakan penggunaan lahan yang jumlahnya paling banyak
ditemui pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Pekarangan pada bagian atas
dan tengah lebih banyak ditemukan pada kawasan perumahan organik dengan
luasan beragam dan bentuk yang tidak beraturan. Sedangkan pada bagian bawah,
pekarangan lebih banyak banyak ditemukan pada kawasan perumahan terrencana
dengan luasan dan bentuk lahan yang hampir seragam. Meskipun pekarangan
memiliki jumlah yang paling banyak, namun total luasan dari penggunaan lahan
tersebut tidak terlalu besar dan tidak sebanding dengan jumlahnya dibandingan
dengan penggunaan lahan lainnya. Hal tersebut dikarenakan luasan dari masing-
masing pekarangan relatif sempit yang biasanya hanya menjadi bagian kecil dari
rumah atau tempat tinggal masyarakat. Pekarangan pada sekitar rumah warga pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor umumnya didominasi dengan tanaman hias
saja. Namun beberapa penggunaan lahan pekarangan ada yang memiliki komposisi
tanaman yang lebih bervariasi, di mana selain tanaman hias, juga terdapat tanaman
obat, bumbu, buah, dan sayur. Pekarangan tersebut biasanya lebih luas dan
pengelolaannya dilakukan oleh beberapa orang dalam satu komunitas tertentu atau
lebih dikenal sebagai taman lingkungan (community garden).
40

(a) Penampakan salah satu pekarangan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas

(b) Penampakan salah satu pekarangan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah

(c) Penampakan salah satu pekarangan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah

Gambar 15 Kondisi penggunaan lahan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung


di Kota Bogor
e. Perumahan Organik
Perumahan organik merupakan bagian permukaan bumi yang gunakan
sebagai tempat tinggal manusia (penduduk) dengan sarana pendukungnya, seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sebagainya. Perumahan organik memiliki
bentuk dan pola bangunan yang berbeda-beda dan organik (tidak beraturan). Jenis
penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri, perdagangan, dan jasa yang
berada di sekitarnya. Intepretasi perumahan organik dari citra UAV dan di lapang
pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 16).
41

(a) Penampakan salah satu perumahan organik dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian atas

(b) Penampakan salah satu perumahan organik dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian tengah

(c) Penampakan salah satu perumahan organik dari citra udara (kiri) dan di lapang
(kanan) pada bagian bawah

Gambar 16 Kondisi penggunaan lahan perumahan organik pada riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor
Penggunaan lahan perumahan organik merupakan bagian dari suatu lanskap
permukiman. Perumahan organik sudah sangat mendominasi penggunaan lahan
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor pada semua bagian tapak. Dominasi
perumahan organik tersebut merupakan implikasi dari peningkatan jumlah
penduduk beserta kebutuhan hidupnya, salah satu kebutuhan tempat tinggal. Karena
keterbatasan ketersediaan lahan dan tuntutan perekonomian, pembangunan
perumahan organik akhirnya mengambil alih dan mengokupasi kawasan riparian
sungai.
42

f. Perumahan Terrencana
Perumahan terrencana adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana lingkungan. Perumahan terrencana memiliki bentuk bangunan yang
hampir serupa dengan pola berkelompok dan teratur. Jenis penggunaan lahan ini
termasuk juga kawasan industri, perdagangan, dan jasa yang berada di sekitarnya.
Intepretasi penggunaan lahan perumahan terrencana dari citra UAV dan di lapang
pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 17).

(a) Penampakan perumahan terrencana dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas

(b) Penampakan perumahan terrencana dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah

(c) Penampakan perumahan terrencana dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah

Gambar 17 Kondisi penggunaan lahan perumahan terrencana pada riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor
43

Perumahan terrencana sudah mulai mengambil alih penggunaan lahan alami


pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor, khususnya bagian ats dan bawah.
Sama halnya dengan perumahan organik, perumahan terrencana juga merupakan
bentuk lahan terbangun akibat pemenuhan kebutuhan tempat tinggal penduduk.
Okupasi lahan terbangun tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan
menurunkan fungsi ekologis riparian sungai.

g. Lahan Kosong
Lahan kosong adalah lahan yang terbuka atau terdapat sedikit vegetasi.
Lahan kosong merupakan lahan terbengkalai yang sudah tidak dimanfaatkan
dalam kurun waktu yang cukup lama (lebih dari dua tahun). Jenis penggunaan
lahan ini didominasi oleh vegetasi semak, rumput-rumputan, tumbuhan menjalar,
dan juga perdu. Intepretasi penggunaan lahan kosong dari citra UAV dan di lapang
pada setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 18).

(a) Penampakan salah satu lahan kosong dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas

(b) Penampakan salah satu lahan kosong dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah

(c) Penampakan salah satu lahan kosong dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah

Gambar 18 Kondisi penggunaan lahan kosong pada riparian Sungai Ciliwung di


Kota Bogor
44

h. Kolam
Kolam merupakan penutupan lahan berupa perairan yang luasnya terbatas,
sengaja dibuat untuk penggunaan tertentu. Kolam mudah dikendalikan sesuai
kebutuhan, artinya kolam mudah diisi air ataupun dikeringkan dan mudah dikelola.
Penggunaan lahan yang bisa terbuat dari dinding tanah atau beton ini, biasanya
dimanfaatkan untuk budidaya ikan dan tampungan air (embung). Intepretasi
penggunaan lahan kolam dari citra UAV dan di lapang pada setiap bagian tapak
dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 19).

(a) Penampakan salah satu lahan kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas

(b) Penampakan salah satu lahan kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah

(c) Penampakan salah satu lahan kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah

Gambar 19 Kondisi penggunaan lahan kolam pada riparian Sungai Ciliwung di


Kota Bogor
45

i. Jalan
Jalan adalah bentang lahan yang permukaannya padat dan berbentuk
koridor memanjang. Jalan berfungsi sebagai prasarana transportasi darat yang
merupakan bagian perumahan organik ataupun perumahan terrencana.
Penggunaan lahan ini diperuntukkan bagi lalu lintas (aksesibilitas) manusia dan
hewan. Intepretasi penggunaan lahan jalan dari citra UAV dan di lapang pada
setiap bagian tapak dapat dengan jelas diklasifikasikan (Gambar 20).

(a) Penampakan salah satu jalan dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada bagian
atas

(b) Penampakan salah satu kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian tengah

(c) Penampakan salah satu kolam dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah

Gambar 20 Kondisi penggunaan lahan jalan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor
46

j. Anak Sungai
Anak sungai merupakan sebuah aliran air lain yang memiliki kapasitas lebih
kecil dan mengalir menuju aliran yang lebih besar (sungai utama). Aliran anak-anak
sungai Ciliwung berbentuk koridor memanjang dan bergabung membentuk aliran
sungai utama Ciliwung. Intepretasi anak sungai pada citra UAV agak sulit
dilakukan dibandingan dengan pengamatan lapang. Hal tersebut, karena biasanya
anak sungai ditutupi oleh vegetasi yang tumbuh di sekitarnya (Gambar 21). Hasil
klasifikasi menunjukkan bahwa penggunaan lahan anak sungai hanya ada pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian atas dan bawah.

(a) Penampakan salah satu anak sungai dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian atas

(b) Penampakan salah satu anak sungai dari citra udara (kiri) dan di lapang (kanan) pada
bagian bawah

Gambar 21 Kondisi penggunaan lahan anak sungai pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor

Struktur Ekologi Lanskap


Kelas penggunaan lahan yang digunakan mewakili struktur ekologi lanskap
yang dianalisis yaitu berupa jenis-jenis patch, corridor, dan matrix. Patch adalah
area permukaan non linier yang berbeda penampakannya dari area sekitarnya dan
merupakan unit dasar dari suatu lanskap. Koridor (corridor) adalah area permukaan
homogen yang bentuknya memanjang dan berkesinambungan (connectivity).
Matrik (matrix) adalah area permukaan yang paling dominan dari mosaik lanskap
yang akhirnya menjadi tipe elemen lanskap dan memainkan peran fungsi yang
47

dominan dalam lanskap tersebut (Forman & Godron 1986 dan Arifin et al. 2009).
Elemen struktur lanskap tersebut akan dikuantifikasikan dengan menggunakan
parameter ekologi lanskap. Parameter ekologi lanskap yang dianalisis ada 6 (enam),
yang terbagi dalam empat kelompok indeks ekologi lanskap. Keempat kelompok
tersebut adalah (1) ukuran-ukuran luas, yaitu Total Class Area (CA) dan Largest
Patch Index (LPI), (2) ukuran-ukuran kerapatan dan variabilitas, yaitu Number of
Patch (NP) dan Patch Density (PD), (3) ukuran tepi, yaitu Edge Density (ED), dan
(4) ukuran bentuk, yaitu Landscape Shape Index (LSI). Berikut adalah hasil dan
pembahasan dari analisis struktur lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.

Bagian Atas
Bagian atas merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang masuk pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan dan
Bogor Timur (Tabel 3). Bagian ini berada pada bagian hulu dari tapak, termasuk
kawasan pinggiran kota bagian selatan yang cukup jauh dari pusat Kota Bogor
(Gambar 22). Berdasarkan hasil analisis ukuran luas lanskap (CA dan LPI),
didapatkan nilai indeks CA paling besar pada bagian atas adalah kelas penggunaan
lahan perumahan organik dengan luas 19.38 ha (31.61%), kemudian disusul talun
dan pekarangan dengan luas masing-masing 13.26 ha (21.64%) dan 7.94 ha
(12.95%). Sedangkan nilai LPI tertinggi pada bagian atas adalah jenis patch talun
dengan nilai 4.08, disusul patch perumahan organik dan kebun campuran dengan
nilai 2.67 dan 1.80 diposisi kedua dan ketiga (Tabel 9). Data tersebut menunjukkan
bahwa struktur lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian atas
memiliki matrik berupa lanskap perumahan organik. Dominansi patch perumahan
organik mengindikasikan adanya intervensi aktivitas manusia yang tinggi pada
lanskap tersebut.
Ukuran kerapatan struktur ekologi lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor pada bagian atas dapat dilihat berdasarkan nilai indeks NP dan PD. Jumlah
patch (NP) terbanyak pada bagian ini adalah jenis pekarangan dengan 546 patches,
diikuti jenis patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah
masing-masing sebanyak 171 dan 102 patches. Seperti halnya indeks NP, nilai PD
tertinggi pada bagian atas adalah jenis pekarangan dengan 891 patches/100 ha,
diikuti jenis patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah
masing-masing sebanyak 279 dan 166 patches/100 ha (Tabel 10). Berdasarkan data
tersebut, menunjukkan bahwa ketiga jenis penggunaan lahan tersebut telah
mengalami pemecahan lahan menjadi beberapa bagian yang membentuk poligon
baru dan menyebar (fragmentasi lahan). Dalam hal ini, hadirnya patch perumahan
organik dan perumahan terrencana sebagai bentuk intervensi manusia, telah
memecah-mecah patch pekarangan yang merupakan salah satu struktur lanskap
agroforestri riparian sungai, menjadi berukuran kecil dan menyebar. Hal tersebut
diperkuat oleh penyataan Hartvigsen (2014), dimana fragmentasi lahan
menyebabkan terbaginya lahan menjadi unit-unit (patch) berukuran kecil yang telah
mengalami eksploitasi oleh manusia.
Nilai ED tertinggi pada lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
pada bagian atas adalah patch pekarangan dengan nilai 635.98. Nilai indeks ini
akan berhubungan dengan nilai NP dan CA, yang menunjukkan bahwa patch
pekarangan memiliki bentuk tepi yang tidak teratur (McGarigal & Marks 1995).
Nilai LSI tertinggi pada bagian ini adalah patch jalan dengan nilai 41.18 dan disusul
48

patch pekarangan dengan nilai sebesar 37.47, 24.02, dan 21.68 (Tabel 11). Nilai
indek-indeks tersebut menunjukkan bahwa patch jalan dan perumahan organik
merupakan struktur buatan yang kompeks sebagai habitat inti (core) dan media
pergerakan manusia, sedangkan patch pekarangan dan talun merupakan struktur
alami riparian sungai bagian atas yang paling komplek dan beragam (Adi et al.
2012).

Gambar 22 Peta penggunaan lahan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian
atas
49

Tabel 9 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran luas struktur ekologi lanskap riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Nilai Indeks Ekologi


Largest Patch Index
Kelas Total (Class) Area (CA) (ha)
(LPI)
No Penggunaan
Lahan Atas Tengah Bawah
Atas Tengah Bawah
ha % ha % ha %

1 Talun 13.26 21.64 14.97 47.00 10.54 18.88 4.08 18.78 3.25
Kebun
2 5.00 8.15 0.09 0.29 4.35 7.80 1.80 0.29 1.08
Campuran
3 Pekarangan 7.94 12.95 2.53 7.93 7.06 12.65 0.72 2.03 0.29
Perumahan
4 19.38 31.61 8.51 26.73 10.82 19.38 2.67 1.87 0.71
Organik
Perumahan
5 6.71 10.95 2.44 7.67 11.52 20.63 0.55 1.08 1.21
Terrencana
6 Lahan Kosong 3.13 5.11 0.96 3.01 4.52 8.09 0.37 0.76 0.76

7 Kolam 0.62 1.02 0.16 0.49 0.61 1.09 0.35 0.32 0.07

8 Jalan 4.81 7.86 2.19 6.87 6.31 11.31 1.46 1.16 1.53

9 Anak Sungai 0.44 0.71 0.00 0.00 0.09 0.17 0.18 0.00 0.05

Total 61.29 100.00 31.85 100.00 55.83 100.00

Tabel 10 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran kerapatan dan variabilitas struktur


ekologi lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Nilai Indeks Ekologi


Kelas Penggunaan
No Number of Patches (NP) Patch Density (PD)
Lahan
Atas Tengah Bawah Atas Tengah Bawah

1 Talun 31.00 25.00 37.00 50.58 78.50 66.27

2 Kebun Campuran 22.00 1.00 29.00 35.89 3.14 51.95

3 Pekarangan 546.00 130.00 788.00 890.80 408.19 1 411.47

4 Perumahan Organik 171.00 84.00 212.00 278.99 263.76 379.74

5 Perumahan Terrencana 102.00 23.00 134.00 166.41 72.22 240.02

6 Lahan Kosong 80.00 22.00 115.00 130.52 69.08 205.99

7 Kolam 32.00 2.00 61.00 52.21 6.28 109.26

8 Jalan 69.00 25.00 59.00 112.57 78.50 105.68

9 Anak Sungai 9.00 0.00 9.00 14.68 0.00 16.12


50

Tabel 11 Hasil analisis indeks ukuran-ukuran tepi dan bentuk struktur ekologi
lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Nilai Indeks Ekologi


Kelas
Landscape Shape Index
No Penggunaan Edge Density (ED)
(LSI)
Lahan
Atas Tengah Bawah Atas Tengah Bawah
1 Talun 274.55 178.35 262.82 21.68 9.75 21.18
Kebun
2 82.45 4.35 107.79 7.57 1.73 9.22
Campuran
3 Pekarangan 635.98 276.93 768.15 37.47 15.93 43.99
Perumahan
4 560.25 392.70 471.11 24.02 14.85 23.48
Organik
Perumahan
5 242.24 125.32 385.75 17.81 8.20 18.85
Terrencana
6 Lahan Kosong 126.71 64.62 184.03 12.71 6.08 14.21
7 Kolam 31.13 11.43 53.71 6.50 2.87 10.21
8 Jalan 538.98 455.75 601.12 41.18 27.30 36.03
9 Anak Sungai 48.90 0.00 12.69 12.32 0.00 6.47

Bagian Tengah
Bagian tengah merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang masuk pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah (Tabel
3). Bagian tengah termasuk kawasan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi Kota
Bogor, namun pada bagian ini terdapat kawasan lindung (konservasi) yaitu Kebun
Raya Bogor (Gambar 23). Berdasarkan hasil analisis ukuran luas lanskap (CA dan
LPI), didapatkan nilai indeks CA pada bagian tengah paling besar adalah kelas
penggunaan lahan talun dengan luas 14.97 ha (47.00%), kemudian disusul
penggunaan lahan perumahan organik dan pekarangan dengan luas masing-masing
sebesar 8.51 ha (26.73%) dan 2.53 ha (7.93%). Sedangkan nilai LPI tertinggi pada
bagian tengah adalah patch talun dengan nilai 18.78 dan kemudian diikuti patch
pekarangan dan perumahan organik dengan nilai LPI masing-masing sebesar 2.03
dan 1.87 (Tabel 9). Data tersebut menunjukkan bahwa lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor bagian tengah memiliki matrik berupa lanskap talun. Hal
tersebut disebabkan karena pada bagian tengah, terdapat Kebun Raya Bogor yang
merupakan kawasan konservasi ex-situ yang tidak boleh dialihfungsikan (RI 2011).
Jumlah patch (NP) terbanyak pada bagian ini adalah pekarangan dengan
jumlah 130 patches, diikuti jenis patch perumahan organik ditempat kedua dengan
jumlah 84 patches. Seperti halnya indeks NP, nilai PD tertinggi pada bagian tengah
adalah pekarangan dengan jumlah 408 patches/100 ha, diikuti jenis patch
perumahan organik ditempat kedua dengan jumlah 264 patches/100 ha (Tabel 10).
Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa kedua jenis penggunaan lahan
tersebut mengalami fragmentasi lahan. Hadirnya patch perumahan organik telah
memecah-mecah patch pekarangan yang merupakan salah satu struktur lanskap
51

agroforestri riparian sungai menjadi berukuran kecil dan menyebar. Nilai LSI
tertinggi pada bagian tengah adalah patch jalan dengan nilai 27.30 dan disusul oleh
patch perumahan organik, talun, dan pekarangan dengan nilai masing-masing
sebesar 15.93, 14.85, dan 9.75 (Tabel 11). Indeks ini menunjukkan bahwa patch
jalan dan perumahan organik (struktur buatan) dan patch pekarangan dan talun
(struktur agroforestri) memiliki bentuk ekologi yang kompeks dan beragam
(McGarigal & Marks 1995).

Gambar 23 Peta penggunaan lahan riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor bagian
tengah
52

Bagian Bawah
Bagian bawah merupakan bagian riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang masuk pada wilayah kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Utara dan
Tanah Sareal (Tabel 3). Bagian ini termasuk kawasan pingiran Kota Bogor bagian
utara, namun padat penduduk. Karakteristik bagian tapak ini relatif landai dan
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor (Gambar 24).

Gambar 24 Peta penggunaan lahan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
bagian bawah
53

Berdasarkan hasil analisis ukuran luas lanskap (CA dan LPI), didapatkan
nilai indeks CA terbesar adalah perumahan terrencana dengan luas 11.52 ha
(20.63%) dan disusul oleh perumahan organik, talun, dan pekarangan, dengan luas
masing-masing sebesar 10.82 ha (19.38%), 10.54 ha (18.88%), dan 7.06 ha
(12.65%). Sedangkan tiga nilai LPI tertinggi pada bagian bawah adalah patch talun,
jalan, perumahan terrencana dengan nilai masing-masing adalah 3.25, 1.53, dan
1.21 (Tabel 9). Data tersebut menunjukkan bahwa struktur lanskap riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor bagian bawah memiliki matrik berupa lanskap perumahan
terrencana. Dominansi patch perumahan terrencana pada bagian ini
mengindikasikan adanya intervensi aktivitas manusia yang tinggi yang mengambil
alih kawasan alami riparian sungai.
Ukuran kerapatan struktur ekologi lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor pada bagian bawah dapat dilihat berdasarkan nilai indeks NP dan PD. Jumlah
patch (NP) terbanyak adalah pekarangan dengan jumlah 788 patches, diikuti jenis
patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah masing-masing
sebanyak 212 dan 134 patches. Seperti halnya indeks NP, nilai PD tertinggi pada
bagian bawah adalah pekarangan dengan jumlah 411 patches/100 ha, diikuti jenis
patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah masing-masing
sebanyak 378 dan 240 patches/100 ha (Tabel 10). Data tersebut menunjukkan
bahwa ketiga jenis penggunaan lahan tersebut telah terpecah-pecah membentuk
poligon-poligon baru yang lebih kecil dan menyebar (fragmentasi lahan). Dalam
hal ini, terfragmentasinya patch pekarangan yang merupakan salah satu struktur
agroforestri riparian sungai diakibatkan oleh pembangunan perumahan terrencana
dan perumahan organik yang meningkatkan fragmentasi lahan (York et al. 2011).
Nilai ED tertinggi pada bagian bawah adalah patch pekarangan dengan nilai
768.15 dan disusul oleh patch jalan, perumahan organik, dan talun dengan nilai
masing-masing sebesar 601.12, 471.11, dan 262.82. Sedangkan nilai LSI tertinggi
pada bagian ini adalah patch pekarangan dengan nilai 43.99 dan disusul oleh patch
jalan, perumahan organik, dan talun dengan nilai masing-masing sebesar 36.03,
23.48, dan 21.18 (Tabel 11). Nilai indeks-indeks tersebut menunjukkan bahwa
patch pekarangan memiliki bentuk tepi yang paling tidak teratur dan kompleks
(McGarigal & Marks 1995).

Fungsi dan Dinamika Lanskap

Selain struktur lanskap, kajian ekologi lanskap juga menitikberatkan


pembahasan mengenai fungsi dan dinamika/perubahan lanskap. Fungsi lanskap
mengkaji mengenai interaksi diantara elemen spasial lanskap, seperti aliran energi,
materi, dan spesies. Dinamika/perubahan lanskap membahas mengenai perubahan
struktur dan fungsi dari mosaik ekologi lanskap seiring dengan perubahan secara
spasial maupun temporal, baik karena disebabkan oleh gangguan manusia ataupun
karena alam (Forman & Godron 1986). Berikut adalah hasil analisis fungsi dan
dinamika lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.

Fungsi Lanskap
Salah satu fungsi lanskap secara ekologis adalah dapat mengaliran enegi,
material, dan spesies diantara elemen penyusunnya. Bagian tepi (edge) elemen
54

lanskap seperti patch dan koridor berfungsi sebagai penyaring arus/aliran yang
masuk dan keluar dari elemen tersebut. Aliran-aliran yang masuk ke dalam suatu
elemen lanskap biasanya akan melewati vegetasi tepi yang padat, atau hanya
mengalir sepanjang tepi elemen tersebut. Elemen lanskap yang berdekatan
memiliki tingkat kematangan lanskap yang berbeda sehingga fungsi dari kedua
elemen tersebut juga berbeda, misalnya elemen dengan tingkat yang matang
bisanya berfungsi sebagai tempat sumber makanan dan yang lebih muda sebagai
tempat bersarangnya satwa tertentu. Aliran-aliran yang terjadi erat kaitnya dengan
pergerakan material, energi dan spesies yang dapat terjadi udara, darat, air, maupun
di dalam tanah. Energi, nutrisi (hara), sedimentasi, dan sebagian besar spesies
berpindah dari satu elemen yang satu ke elemen lain dalam suatu lanskap. Hal
tersebut juga dilakukan oleh hewan-hewan dengan habitat di dalam tanah dan juga
lewat berbagai aktivitas manusia (Forman & Godron 1986).
Lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor memiliki struktur lanskap
berupa patch, koridor, dan matrik pada setiap bagian. Struktur lanskap tersebut
diidentifikasi menjadi kelas atau jenis penggunaan lahan. Lanskap riparian sungai
seharusnya memiliki struktur berupa kawasan alami yang berfungsi sebagai
kawasan penyangga sungai (Dindaroglu et al. 2015). Selain koridor anak sungai,
terdapat struktur lanskap agroforestri yang ditemukan pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor yaitu pacth-patch berupa talun, kebun campuran, dan
pekarangan (Gambar 22, 23, dan 24). Struktur lanskap alami riparian sungai
tersebut merupakan bentuk penggunaan lahan agroforestri yang umum ditemukan
pada lanskap riparian (Arifin et al. 2009 dan Noviandi et al. 2016). Secara ekologi,
fungsi struktur alami tersebut adalah mengatur aliran udara dan temperatur di
sepanjang sungai, sebagai media aliran air, sebagai pengatur pergerakan air tanah,
menyaring zat-zat kimia yang dapat mencemari sungai, dan sebagai habitat untuk
bermacam-macam hewan dan tumbuhan baik terestrial maupun akuatik (Stevaux et
al. 2012). Pacthes dan koridor-koriodor alami tersebut memiliki ukuran-ukuran
luas, kerapatan, bentuk, dan tepi yang besar dan beragam, sehingga dapat menjadi
habitat inti (core) dan sumber makanan berbagai satwa dan juga manusia. Selain
struktur agroforestri, pada lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor juga
terdapat struktur buatan yang merupakan bentuk intervensi manusia terhadap
lanskap. Struktur buatan tersebut adalah perumahan organik, perumahan
terrencana, lahan kosong, kolam, dan jalan dengan ukuran luas, bentuk, kerapatan,
dan tepi lanskap yang beragam. Berdasarkan nilai indeks ekologi lanskap, patch
perumahan organik dan perumahan terrencana serta koridor jalan merupakan
struktur buatan yang mulai mendominasi dan mengkonversi kawasan alami riparian
sungai. Struktur buatan tersebut secara ekologi berfungsi sebagai habitat inti (core)
dan sebagai media pergerakan material dan energi yang berhubungan dengan
aktivitas manusia (Forman & Godron 1986).

Dinamika Lanskap
Dinamika lanskap riaprian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dalam penelitian
ini hanya dianalisis secara spasial. Tapak penelitian dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu atas, tengah, dan bawah. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan analisis
dengan melihat perubahan-perubahan penggunaan lahan dan fungsinya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, patches dan koridor-koridor penggunaan lahan
yang teridentifikasi mempunyai konfigurasi lanskap yang berbeda pada setiap
55

bagiannya. Berdasarkan nilai CA, pada bagian atas, struktur ekologi lanskap lebih
didominasi oleh struktur buatan (perumahan organik, perumahan terrencana, lahan
kosong, kolam, dan jalan) dengan nilai 34.65 ha (56.54%), sedangkan struktur
alaminya (anak sungai, talun, kebun campuran, dan pekarangan) yang hanya 26.64
ha (43.46%) (Tabel 9 dan Gambar 22). Berbeda dengan bagian atas, struktur
ekologi lanskap pada bagian tengah masih sedikit didominasi struktur agroforestri
dengan nilai CA sebesar 17.59 ha (55.23%), sedangkan struktur buatannya sebesar
14.26 ha (44.77%) (Tabel 9 dan Gambar 23). Bagian bawah memiliki karakter yang
mirip dengan bagian atas, dimana struktur buatan lebih mendominasi lanskap
riparian sungai yang mencapai 33.78 ha (60.50%), dibanding dengan struktur
agroforestri yang hanya 22.05 ha (39.50%) (Tabel 9 dan Gambar 24). Data tersebut
menunjukkan bahwa, lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor sudah
terokupasi oleh struktur buatan (lahan terbangun), sebagai bentuk intervensi
manusia terhadap lanskap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Arifin et al.
2009). Sedikit berbeda pada bagian tengah, yang masih sedikit didomonasi lanskap
agroforestri (alami), karena pada bagian ini terdapat tempat khusus yang ditetapkan
sebagai kawasan konservasi, yaitu Kebun Raya Bogor. Dengan ditetapkannya suatu
daerah menjadi kawasan kebun raya, maka kondisi vegetasi alami riparian
sungainya masih akan tetap terjaga (Purnomo et al. 2015).
Dinamika spasial yang cukup unik dari lanskap riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor dapat dilihat berdasarkan nilai NP pada setiap bagian. Pada bagian atas,
nilai NP terbanyak adalah jenis pekarangan dengan 546 patches, diikuti jenis patch
perumahan organik dan perumahan terrencana dengan jumlah masing-masing
sebanyak 171 dan 102 patches (Gambar 25). Pada bagian tengah, jumlah patch
pekarangan juga terbanyak, yaitu berjumlah 130 patches, diikuti jenis patch
perumahan organik ditempat kedua dengan jumlah 84 patches. Sedangkan jumlah
patch terbanyak pada bagian bawah adalah jenis patch pekarangan dengan 788
patches, diikuti jenis patch perumahan organik dan perumahan terrencana dengan
jumlah masing-masing sebanyak 212 dan 134 patches.

Jenis Penggunaan Lahan

Talun

Kebun Campuran
Jumlah (Patches)
KK

Pekarangan

Perumahan Organik

Perumahan Terencana

Lahan Kosong

Kolam

Jalan

Anak Sungai

Bagian Atas Bagian Tengah Bagian Bawah

Gambar 25 Grafik jumlah patch (Number of Patches) struktur ekologi lanskap


riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
56

Data tersebut menunjukkan bahwa, semakin banyak jumlah patch (NP) jenis
perumahan organik dan perumahan terrencana, maka semakin banyak pula jumlah
patch pekarangan pada suatu lanskap. Hal tersebut dikarenakan perumahan organik
dan perumahan terrencana sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitarnya,
seperti bangunan, jalan dan pekarangan yang menjadi salah satu sumber
penghidupan penduduk . Luas rata-rata pekarangan per rumah tangga di riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor relatif sempit akibat fragmentasi lahan yang
menyebabkan produktivitas lahan menjadi rendah (Arifin 1998, Nyaga et al. 2015,
Salami et al. 2010).
Dinamika pada suatu lanskap menunjukkan bahwa lanskap secara umum
tidak permanen, melainkan mengalami perubahan-perubahan dalam hal kualitas,
konfigurasi, ukuran, bentuk, fungsi, dan lain-lain. Pemahaman terhadap dinamika
lanskap memberikan implikasi besar terhadap pengelolaan dan perencanaan
lanskap. Pengaruh dinamika lanskap ini sangat penting dalam pengendalian proses
ekosistem (Arifin et al. 2009).

Analisis Vegetasi Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor


Analisis vegetasi pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dilakukan
dengan pengambilan sampel dengan petak contoh yang telah ditentukan
sebelumnya. Letak dan jumlah petak sampel ditentukan berdasarkan hasil analisis
struktur lanskap riparian sungai (tujuan I). Hasil dari analisis tujuan I, menunjukkan
bahwa ada tiga jenis penggunaan lahan yang menjadi lokasi petak sampel analisis
vegetasi, yaitu talun, kebun campuran, dan pekarangan. Dengan panjang Sungai
Ciliwung di Kota Bogor mencapai ± 14,43 km, maka ditentukan sebanyak 14 petak
contoh akan mewakili keseluruhan vegetasi pada riparian sungai tersebut. Empat
belas petak contoh tersebut masuk kedalam wilayah administrasi 15 kelurahan dan
letaknya menyebar berselang-seling di sisi kanan dan kiri sungai, serta
dikelompokkan berdasarkan jenis penggunaan lahan agroforestri, yaitu talun, kebun
campuran, dan pekarangan (Gambar 26).
Berdasarkan pengelompokan jenis penggunaan lahan agroforestri tersebut,
didapatkan ada 4 petak talun, 5 petak kebun campuran, dan 5 petak pekarangan
(Tabel 12). Analisis vegetasi pada petak contoh tersebut dilakukan untuk
mengidentifikasi struktur dan komposisi vegetasi dan menghitung jasa lanskap pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Analisis yang dilakukan adalah analisis
struktur dan fungsi vegetasi, serta analisis jasa lanskap produksi tanaman, karbon
tersimpan, dan keanekaragaman hayati tanaman (diversitas tanaman) tumbuhan
riparian sungai.

Strata dan Fungsi Tanaman

Komposisi vegetasi riparian ditunjukkan dengan analisis deskriptif strata


dan fungsi tanaman menurut Arifin (1998). Variasi strata dan fungsi tanaman pada
lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor pada jenis penggunaan lahan
agroforestri, yaitu talun, kebun campuran dan pekarangan berbeda-beda. Berikut
adalah hasil analisis strata dan fungsi tanaman riparian sungai berdasarkan jenis
penggunaan lahannya.
57

Gambar 26 Peta tata letak petak sampel analisis vegetasi pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor
58

Tabel 12 Pengelompokkan petak sampel analisis vegetasi berdasarkan jenis


penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Bogor

Nomor
Jenis Penggunaan Lahan Kelurahan Kecamatan
Petak
I Kebun Campuran Sindangrasa Bogor Timur
II Kebun Campuran Katulampa Bogor Timur
III Talun Tajur Bogor Timur
IV Pekarangan Katulampa Bogor Timur
V Pekarangan Lawanggintung Bogor Selatan
VI Pekarangan Baranangsiang Bogor Timur
VII Pekarangan Sempur Bogor Tengah
VIII Talun Bantar Jati Bogor Utara
IX Talun Kedungbadak Tanah Sareal
X Pekarangan Kedunghalang Bogor Utara
XI Kebun Campuran Kedungbadak Tanah Sareal
XII Kebun Campuran Kedunghalang Bogor Utara
XIII Talun Sukaresmi Tanah Sareal
XIV Kebun Campuran Kedunghalang Bogor Utara

a. Talun

Jenis tanaman yang ditemukan pada penggunaan lahan talun di riparian


Sungai Ciliwung di Kota Bogor sebanyak 94 spesies dalam 44 famili, yang
didominasi tanaman konservatif berbatang keras sebanyak 38% (Lampiran 2). Pada
skala petak sampel, jumlah rata-rata tanaman yang temukan sebanyak 33 spesies.
Tanaman yang mendominasi pada penggunaan lahan ini adalah bambu tali
(Gigantochloa apus), bambu kuning (Bambusa vulgaris), dan fatsia (Fatsia
japonica). Penggunaan lahan talun yang ditemukan memiliki kemiringan lereng
yang relatif curam (25 - 45%) dan agak jauh dari permukiman (Gambar 27).

Gambar 27 Beberapa kondisi penggunaan lahan talun di riparian Sungai Ciliwung


di Kota Bogor
Dengan karakteristik lahan yang berlereng curam, keberadaan tanaman
konservatif dan pohon besar sangat penting untuk keberlanjutan talun pada riparian
sungai. Dominasi tanaman konservatif dan pohon besar dengan karakter tajuk yang
59

lebar dan perakaran yang dalam berfungsi dalam menjaga stabilitas lereng,
mengurangi akumulasi sedimentasi, dan mencegah erosi (Dindaroglu et al. 2015
dan Stevaux et al. 2012). Kepemilikan lahan talun pada riparian sungai di Kota
Bogor merupakan kepemilikan sah dengan sistem warisan, namun ada juga yang
merupakan lahan terbengkalai yang dikelola oleh masyarakat atas izin ketua RT.
Sistem kepemilikan lahan secara warisan tersebut, dapat menyebabkan lahan
terbagi-bagi menjadi unit yang lebih kecil dan menurunkan produktivitasnya
(Salami et al. 2010 dan Nyaga et al. 2015).
Strata tanaman yang mendominasi pada jenis penggunaan lahan talun
adalah strata I dengan jumlah 12 spesies, diikuti oleh strata IV, dengan 7 spesies
tanaman (Tabel 13). Sedangkan fungsi tanaman yang mendominasi adalah tanaman
dengan fungsi lain sebanyak 14 spesies atau 37%, diikuti tanaman penghasil buah
sebanyak 8 spesies atau 21% (Gambar 28). Tanaman tersebut seperti rumput ara
songsang (Asystasia gangetica), rumput paitan (Axonopus compressus), rumput
babadotan (Ageratum conyzoides), meniran (Phyllanthus urinaria L.), dan seruni
rambat (Widelia biflora). Tanaman-tanaman tersebut berfungsi sebagai pakan
ternak, konservasi, bahan pupuk, dsb (Arifin 1998, George et al. 2012, Nyaga et al.
2015). Beberapa tanaman penghasil buah juga ditemukan pada talun, seperti
mangga (Mangifera indica), kuweni (Mangifera odorata), limus (Mangifera
torquenda), pepaya (Carica papaya L.), dan pisang (Musa sp.). Keberadaan
tanaman konservatif dan berbatang keras seperti bambu tali (Gigantochloa apus),
bambu kuning (Bambusa vulgaris), fatsia (Fatsia japonica), gamal (Gliricidia
sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan jabon (Neolamarckia cadamba),
sangat penting untuk menlindung tata tanah, air, dan udara pada daerah riparian
sungai, selain juga bisa berfungsi untuk industri, obat, dan bahan kerajinan.
Keragaman stratifikasi dan fungsi tanaman pada talun tersebut dapat memberikan
keuntungan efisiensi pemanfaatan ruang dan energi cahaya matahari yang
mendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati lanskap riparian (Abdoellah
1991 dan Arifin et al.1997).
Tabel 13. Strata dan fungsi tanaman talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor
Jumlah Spesies
Nomor
Kelurahan Strata Tanaman Fungsi Tanaman
Petak
I II III IV V A B C D E F G H

III Tajur 9 4 4 11 6 4 5 1 1 1 1 3 20
VIII Bantar Jati 11 5 5 5 5 2 9 2 2 1 1 2 16
IX Kedungbadak 13 7 4 3 4 14 7 3 2 1 4 2 6
XIII Sukaresmi 16 2 2 8 6 3 11 5 1 2 0 2 14
Rata-rata 12 5 4 7 5 6 8 3 2 1 2 2 14
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F =
Obat, G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
60

5% 3% Fungsi lain
5%
Penghasil buah
5%
37% Tanaman hias
8% Penghasil sayur
Tanaman bumbu
Tanaman obat
16% Tanaman industri
Penghasil pati
21%

Gambar 28 Fungsi tanaman talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

b. Kebun Campuran

Penggunaan lahan kebun campuran yang ditemukan pada riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor berada pada kemiringan lereng yang relatif landai (8 -
25%) dan lokasinya berdekatan dengan permukiman namun terdapat batas yang
jelas (Gambar 29). Jenis tanaman yang ditemukan pada penggunaan lahan kebun
campuran sebanyak 83 spesies dalam 41 famili, yang didominasi tanaman produktif
(penghasil buah dan sayur) sebanyak 41% (Lampiran 3). Pada skala petak sampel,
jumlah rata-rata tanaman yang temukan sebanyak 28 spesies. Pengelolaan kebun
campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dilakukan pada lahan yang
terbatas. Kepemilikan lahan kebun campuran merupakan kepemilikan sah dengan
sistem warisan, namun ada pula yang merupakan lahan terbengkalai yang dikelola
atas izin ketua RT ataupun pemilik lahan yang tidak memanfaatkannya.

Gambar 29 Beberapa kondisi penggunaan lahan kebun campuran di riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor
Tanaman yang mendominasi kebun campuran pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor adalah tanaman strata I dengan jumlah 11 spesies, diikuti
oleh strata IV dengan 6 spesies tanaman (Tabel 14). Tanaman strata I yang banyak
61

dijumpai pada kebun campuran adalah tanaman bawah berupa herba. Sedangkan
fungsi tanaman yang mendominasi adalah tanaman dengan fungsi lain (konservasi,
pakan ternak, kayu bakar, dsb) sebanyak 10 spesies atau 31%, diikuti tanaman
penghasil buah dan sayur, sebanyak 10 spesies atau 28% dan 5 spesies atau 14%
(Gambar 30).
Tabel 14 Strata dan fungsi tanaman kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor
Jumlah Spesies
Nomor
Petak
Kelurahan Strata Tanaman Fungsi Tanaman
I II III IV V A B C D E F G H

I Sindang Rasa 8 2 4 9 5 2 11 5 2 2 2 2 5
II Katulampa 9 1 6 5 7 3 13 5 1 3 4 1 5
XI Kedungbadak 14 4 4 5 2 6 4 3 0 2 1 2 13
XII Kedunghalang 16 3 4 8 3 3 7 6 0 2 1 2 17
XIV Kedunghalang 9 1 5 4 4 1 9 4 1 1 1 0 10
Rata-rata 11 2 5 6 4 3 9 5 1 2 2 1 10
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F =
Obat, G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)

3% 3%
6% Fungsi lain

6% 31% Penghasil buah


Penghasil sayur
9%
Tanaman hias
Penghasil pati

14% Tanaman obat


Tanaman bumbu
28% Tanaman industri

Gambar 30 Fungsi tanaman kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di


Kota Bogor

Tanaman bawah (0 – 1m) berupa rumput-rumputan dan gulma merupakan


jenis tanaman strata I yang mendominasi dan dapat berfungsi sebagai pakan ternak
dan obat tradisional. Tanaman tersebut seperti rumput ara songsang (Asystasia
gangetica), rumput paitan (Axonopus compressus), rumput legetan (Synedrella
nodiflora), meniran (Phyllanthus urinaria L.), dan kitolod (Isotoma
longiflora Presi.). Dominasi tanaman bawah dengan fungsi lain tersebut membuat
komposisi vegetasi kebun campuran menjadi rapat sehingga hampir menyerupai
hutan (Arifin et al. 2003). Beberapa tanaman penghasil buah juga ditemukan pada
talun, seperti nangka (Artocarpus heterophyllus), sirsak (Annona muricata), jambu
62

biji (Psidium guajava), rambutan (Nephelium lappaceum), durian (Durio


zibethinus), dan pisang (Musa sp.). Selain tanaman penghasil buah, tanaman
penghasil sayur dan bumbu juga sering dijumpai pada kebun campuran. Tanaman
tersebut seperti singkong (Manihot esculenta), katuk (Sauropus androgynus),
jengkol (Archidendron pauciflorum), sukun (Artocarpus communis), daun salam
(Syzygium polyanthum), dan cengkeh (Syzygium aromaticum). Penanaman tanaman
penghasil buah dan sayur dilakukan oleh petani untuk mendatangkan sumber
pendapatan tambahan dan menambah gizi keluarga (Dawson et al. 2009). Hasil
tanaman sayur pada kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
biasanya digunakan untuk konsumsi keluarga, kecuali untuk tanaman buah dan
penghasil pati (seperti singkong) yang dijual oleh pengelola atau pemilik lahan.
Dengan kombinasi tanaman yang hampir menyerupai hutan dan fungsi yang
beragam, kebun campuran dapat direkomendasikan untuk menggantikan tipe
penutupan dan penggunaan lahan berupa semak belukar dan lahan terbuka menjadi
lahan yang lebih produktif (Pujowati et al. 2009).

c. Pekarangan

Jenis tanaman yang ditemukan pada penggunaan lahan pekarangan di


riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor sebanyak 100 spesies dalam 45 famili,
yang didominasi tanaman hias sebanyak 33% (Lampiran 4). Pada skala petak
sampel, jumlah rata-rata tanaman yang temukan sebanyak 29 spesies. Penggunaan
lahan pekarangan yang ditemukan berada pada daerah relatif datar dengan
kemiringan 0 - 8% dan letaknya dekat bahkan berada di tengah-tengah permukiman
(Gambar 31). Kepemilikan lahan pekarangan pada riparian sungai di Kota Bogor
merupakan kepemilikan sah dengan sistem warisan dari orang tua, namun ada juga
yang merupakan lahan milik salah seorang warga yang dikelola bersama pada
lingkungan RT ataupun RW (taman lingkungan). Kepemilikan lahan yang jelas
tersebut umumnya akan meningkatkan keanekaragaman tanaman pada pekarangan
di riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Hal tersebut karena bila kepemilikan
tidak jelas (lahan sewa), maka petani akan cenderung menanam tanaman yang cepat
tumbuh dengan sistem monokultur untuk cepat mendapatkan keuntungan (Jose
2009 dan Nyaga et al. 2015).

Gambar 31 Beberapa kondisi penggunaan lahan pekarangan di riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor
63

Strata tanaman yang mendominasi pada jenis penggunaan lahan pekarangan


adalah strata I dengan jumlah 11 spesies, diikuti oleh strata III dan IV dengan 6
spesies tanaman (Tabel 15). Sedangkan fungsi tanaman yang mendominasi adalah
tanaman hias sebanyak 11 spesies atau 33%, disusul tanaman dengan fungsi lain
(konservasi, pakan ternak, kayu bakar, dsb) sebanyak 9 spesies atau 26% dan
tanaman penghasil buah sebanyak 7 spesies atau 21% (Gambar 32). Keragaman
stratifikasi dan fungsi tanaman pada pekarangan tersebut dapat memberikan
keuntungan efisiensi pemanfaatan ruang dan energi cahaya matahari untuk
mendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati lanskap riparian (Abdoellah
1991 dan Arifin et al.1997).
Tabel 15 Strata dan fungsi tanaman pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor
Jumlah Spesies
Nomor
Kelurahan Strata Tanaman Fungsi Tanaman
Petak
I II III IV V A B C D E F G H
IV Katulampa 9 2 8 7 4 11 11 3 2 0 3 1 5
V Lawanggintung 7 7 2 1 3 11 2 2 0 0 0 0 8
VI Baranangsiang 6 8 8 7 3 14 8 2 2 0 0 0 10
VII Sempur 14 3 6 10 1 3 12 6 4 2 3 1 13
X Kedunghalang 16 1 6 3 5 18 3 1 1 0 3 0 10
Rata-rata 10 4 6 6 3 11 7 3 2 0 2 0 9
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F =
Obat, G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)

1%
5% 1%
Tanaman hias
5%
Fungsi lain
8% 33%
Penghasil buah
Penghasil sayur
Tanaman bumbu
21% Tanaman obat
Penghasil pati
Tanaman industri
26%

Gambar 32 Fungsi tanaman pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota


Bogor

Tanaman strata I yang mendominasi pada pekarangan adalah jenis tanaman


bawah (0 – 1 m) dan herba, berupa tanaman hias dan juga dapat berfungsi sebagai
tanaman obat. Jenis tanaman tersebut seperti rumput paitan (Axonopus
Compressus), sri rejeki (Aglaonema sp.), adam hawa (Rhoeo discolor), kumis
kucing (Orthosiphon aristatus), bawang dayak (Eleutherine palmifolia), dan
64

pegagan (Centella asiatica). Dominasi tanaman hias tersebut disebabkan karena


lahan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor sudah mengalami
fragmentasi lahan akibat proses okupasi lahan terbangun. Dampak dari proses
tersebut adalah terjadinya modernisasi pengelolaan pada pekarangan, di mana
luasannya menjadi lebih sempit sehingga pemilik lahan lebih memilih menanam
tanaman hias (Karyono 1990, Arifin 1998 dan Filqisthi & Kaswanto 2017).
Tanaman penghasil buah juga banyak ditemukan pada lahan pekarangan seperti
mangga (Mangifera indica), belimbing (Averrhoa carambola), jambu air (Syzygium
aqueum), pepaya (Carica papaya L.), dan pisang (Musa sp.). Beberapa pohon besar
juga ditemukan pada lahan pekarangan, seperti beringin (Ficus benjamina), kerai
payung (Filicium decipiens), kenari (Canarium indicum L.), dan kalpataru (Hura
crepitans L.). Tegakan pohon buah dan pohon besar pada pekarangan tersebut
umumnya digunakan untuk penanda batas eksternal lahan dan sebagai pohon
peneduh yang dikombinasikan dengan tanaman bumbu dan hias (Nyaga et al. 2015).
Selain itu, penanaman pohon buah-buahan pada lahan pekarangan, umumnya
dilakukan untuk menambah pendapatan petani dan gizi keluarga atau masyarakat
(Dawson et al. 2009).

Analisis Jasa Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor


Jasa lanskap (landscape services) merupakan keseluruhan konsep sistem
alami yang menyediakan aliran material dan jasa yang bermanfaat bagi manusia
dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami. Sistem agroforestri
telah diadopsi secara luas pada daerah tropis dan subtropis di dunia, sebagai salah
satu sistim penggunaan lahan yang menyediakan beberapa jasa lanskap. Beberapa
jasa lanskap dari sistem agroforestri, yaitu untuk bahan bakar, kayu, buah, pakan
ternak, pupuk, obat dan tanaman hias (Nyaga et al. 2015). Selain itu, penggunaan
berbagai jenis dan kombinasi vegetasi yang multi-strata pada sistem agroforestri,
juga akan berdampak pada peningkatan serapan karbon, biodiversitas, kuantitas dan
kualitas air tanah, mencegah perluasan salinitas tanah, meningkatkan produktivitas
lahan marginal, dan menambah keindahan lanskap (George et al. 2012 dan
Tsonkova et al. 2012). Dalam penelitian ini, hanya tiga jenis jasa lanskap sistim
agroforestri yang dianalisis pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Jasa
lanskap tersebut adalah produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan diversitas
tanaman.

Produktivitas Lahan Agroforestri


Produksi tanaman yang dianalisis hanya untuk jenis tanaman tahunan
maupun semusim yang telah dipanen dan terdapat pada petak contoh. Data hasil
tanaman yang dipanen, meliputi buah, daun, dan umbi dari hasil wawancara dengan
pemilik atau pengelola lahan. Analisis produksi tanaman dikelompokkan
berdasarkan jenis penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor. Selanjutnya hasil analisis tersebut digunakan untuk menghitung
Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL) untuk mengetahui produktivitas lahannya
(Sardjono et al. 2003).
Produksi tanaman pada penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor cukup tinggi. Kebun campuran memiliki produksi yang
tertinggi dengan rata-rata produksi 65.41 Mg/ha dari 7 komoditi tanaman.
65

Penggunaan lahan talun memiliki rata-rata produksi tanaman sebesar 49.20 Mg/ha
dari 7 komoditi tanaman, sedangkan pekarangan memiliki rata-rata produksi
tanaman sebesar 48.77 Mg/ha dari 5 komoditi tanaman (Tabel 16). Jenis komoditi
tanaman yang dipanen tersebut didominasi oleh komoditi tanaman buah, seperti
pepaya, mangga, rambutan, dan sebagainya (Lampiran 5).
Tabel 16 Produksi tanaman pada penggunaan lahan agroforestri riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor

Nomor Jenis Penggunaan Jumlah spesies Produksi


Kelurahan
Petak Lahan panen (Mg/ha)
III Talun Tajur 7 44.75
VIII Talun Bantar Jati 4 38.41
IX Talun Kedungbadak 7 41.42
XIII Talun Sukaresmi 10 72.21
Rata-rata 7 49.20
I Kebun Campuran Sindang Rasa 7 112.95
II Kebun Campuran Katulampa 10 47.92
XI Kebun Campuran Kedungbadak 5 43.06
XII Kebun Campuran Kedunghalang 6 65.33
XIV Kebun Campuran Kedunghalang 9 57.79
Rata-rata 7 65.41
IV Pekarangan Katulampa 7 80.56
V Pekarangan Lawanggintung 1 106.67
VI Pekarangan Baranangsiang 6 15.58
VII Pekarangan Sempur 9 38.70
X Pekarangan Kedunghalang 1 2.32
Rata-rata 5 48.77

Produksi tanaman merupakan hasil dari suatu komoditas tertentu yang


mengggambarkan pertumbuhan dan perkembangan suatu komoditas tanaman.
Produksi tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan, genetik,
dan manajemen (teknik, modal, dan tenaga kerja) (Gardner et al. 1991 dan Suryana
2007). Produksi tanaman pada kebun campuran yang lebih tinggi dibandingakan
talun dan pekarangan bisa dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Dua faktor
lingkungan pembatas utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman adalah ketinggian tempat dan kemiringan lereng (Andrian et al. 2014).
Kondisi lingkungan kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
yang relatif datar (kemiringan <15%), membuat usaha budidaya tanaman lebih
mudah dilakukan. Selain itu jumlah spesies dan populasi tanaman tahunan produktif
(buah-buahan) yang lebih banyak (Tabel 16 dan Lampiran 5), membuat produksi
tanaman kebun campuran lebih tinggi, sehingga produksinya berjalan sepanjang
tahun tanpa terpengaruh musim (Sardjono 1990 dalam Arifin et al. 2003). Produksi
tanaman pada talun sedikit lebih rendah dibanding kebun campuran. Hal itu
dikarenakan kemiringan lahan pada talun lebih curam (>15%), sehingga dengan
curah hujan Kota Bogor yang tinggi (3600 – 4400 mm/tahun) mengakibatkan
kecepatan aliran permukaan semakin besar dan lahannya mudah longsor
(Kartasapoetra 1990 dan Martono 2004). Oleh karena itu, penggunaan lahan talun
lebih didominasi tanaman konservatif berupa pohon besar dengan perakaran dalam.
66

Produksi tanaman pada pekarangan lebih sedikit dibanding kebun campuran dan
talun. Hal tersebut dikarenakan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor merupakan pekarangan perkotaan yang sudah mengalami modernitas,
sehingga pemilihan tanamannya lebih untuk fungsi estetika (tanaman hias) bukan
untuk produksi (Karyono 1990, Arifin et al. 2012, Filqisthi & Kaswanto 2017).
Setelah analisis produksi tanaman, selanjutnya dilakukan pengukuran
produktivitas lahan berdasarkan besaran NKL (Nisbah Kesetaraan Lahan) atau LER
(Land Equivalent Ratio). Nisbah kesetaraan lahan adalah jumlah nisbah hasil antara
tanaman yang ditumpang sarikan (agroforestri) terhadap hasil tanaman yang
ditaman secara tunggal (monokultur) pada tingkat manajemen yang sama. Data
produksi tanaman dengan sistem monokultur didapatkan berdasarkan data produksi
tanaman hortikultura tahun 2013-2015 dari BPS Kota Bogor, BPS Nasional, dan
beberapa penelitian produksi tanaman hortikultura. Produktivitas lahan berdasarkan
nilai NKL penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung tergolong
kategori tinggi (Tabel 17).
Tabel 17 Nisbah kesetaraan lahan (NKL) sistem agroforestri pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor

Nomor Petak Jenis Penggunaan Lahan Kelurahan NKL Kategori


III Talun Tajur 1.07 Sedang
VIII Talun Bantar Jati 0.93 Rendah
IX Talun Kedungbadak 1.04 Sedang
XIII Talun Sukaresmi 2.56 Tinggi
Rata-rata 1.40 Tinggi
I Kebun Campuran Sindang Rasa 2.25 Tinggi
II Kebun Campuran Katulampa 2.09 Tinggi
XI Kebun Campuran Kedungbadak 1.37 Tinggi
XII Kebun Campuran Kedunghalang 1.67 Tinggi
XIV Kebun Campuran Kedunghalang 1.65 Tinggi
Rata-rata 1.81 Tinggi
IV Pekarangan Katulampa 1.48 Tinggi
V Pekarangan Lawanggintung 0.84 Rendah
VI Pekarangan Baranangsiang 1.01 Sedang
VII Pekarangan Sempur 1.26 Tinggi
X Pekarangan Kedunghalang 0.19 Rendah
Rata-rata 0.96 Rendah
Keterangan: Rendah (NKL<1.0), sedang (1.0<NKL<1.2), dan tinggi (NKL>1.2)

Rata-rata nilai NKL penggunaan lahan talun sedikit lebih rendah, yaitu
sebesar 1.40 yang masih termasuk kategori tinggi. Nilai NKL pada penggunaan
lahan kebun campuran sebesar 1.81 yang termasuk kategori tinggi. Sedangkan nilai
NKL pada penggunaan lahan pekarangan sebesar 0.96 yang termasuk katagori
rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman yang dibudidayakan dengan
teknik agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dalam bentuk
kebun campuran, talun, dan pekarangan masih memiliki produktivitas lahan
tergolong tinggi. Praktek agroforestri yang memiliki produktivitas lahan yang
optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan,
67

sehingga dapat menjamin stabilitas dan kesinambungan pendapatan petani (Hairiah


et al. 2003 dan Kaswanto et al. 2013).

Karbon Tersimpan Penggunaan Lahan Agroforestri


Karbon merupakan komponen penting sebagai penyusun biomassa makhluk
hidup seperti tumbuhan. Pengambilan CO2 diserap oleh tumbuhan melalui
fotosintesis dari atmosfer ke dalam komponen organik yang bisasa disebut fiksasi
karbon (Hairiah et al. 2001). Hasil akhir fotosintesis tersebut disimpan oleh
tumbuhan dalam bentuk biomassa pohon. Kandungan karbon jenis pohon
diperkirakan sekitar 45-50% dari bahan kering atau biomassa tanaman (Brown
1997). Karbon dapat tersimpan pada bagian tumbuhan di atas tanah, serasah, herba,
tanah dan akar. Tumbuhan pada penggunaan lahan agroforestri di riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor memiliki biomassa dan karbon tersimpan yang berbeda-
beda.
Kandungan karbon tersimpan pada penggunaan lahan talun di riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor berkisar 80.39 Mg/ha hingga 167.11 Mg/ha, serta
rata-ratanya 117.27 Mg/ha. Penggunaan lahan kebun campuran memiliki
kandungan karbon tersimpan tertinggi dengan kisaran 70.48 Mg/ha hingga 114.19
Mg/ha, dengan rata-rata 86.35 Mg/ha. Sedangkan pada penggunaan lahan
pekarangan memiliki kandungan karbon tersimpan berkisar 24.44 Mg/ha hingga
129.48 Mg/ha, dengan rata-rata 93.13 Mg/ha. Kandungan karbon tersimpan pada
semua jenis penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor termasuk pada kategori tinggi (Tabel 18).

Tabel 18 Karbon tersimpan pada penggunaan lahan agroforestri riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor
Karbon
Nomor Jenis Penggunaan
Kelurahan Tersimpan Kategori
Petak Lahan
(Mg/ha)
III Talun Tajur 112.69 Tinggi
VIII Talun Bantar Jati 108.88 Tinggi
IX Talun Kedungbadak 80.39 Tinggi
XIII Talun Sukaresmi 167.11 Tinggi
Rata-rata 117.27 Tinggi
I Kebun Campuran Sindang Rasa 70.48 Tinggi
II Kebun Campuran Katulampa 92.80 Tinggi
XI Kebun Campuran Kedungbadak 79.02 Tinggi
XII Kebun Campuran Kedunghalang 114.19 Tinggi
XIV Kebun Campuran Kedunghalang 75.28 Tinggi
Rata-rata 86.35 Tinggi
IV Pekarangan Katulampa 99.78 Tinggi
V Pekarangan Lawanggintung 24.44 Rendah
VI Pekarangan Baranangsiang 129.48 Tinggi
VII Pekarangan Sempur 96.51 Tinggi
X Pekarangan Kedunghalang 115.42 Tinggi
Rata-rata 93.13 Tinggi
Keterangan:
Rendah (Wtc<42.172 Mg/ha), sedang (42.172 Mg/ha Wtc <64.150 Mg/ha), dan tinggi (Wtc> 64.150
Mg/ha)
68

Karbon dapat tersimpan pada bagian tanaman di atas tanah, serasah, herba,
maupun di bawah permukaan tanah dan akar. Biomasa tanaman di atas tanah
berpotensi menyimpan 32,90% dan di bawah permukaan tanah dapat mencapai
56,70% (Roshetko et al. 2002). Kandungan karbon tersimpan talun lebih besar
dibandingkan kebun campuran dan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor. Hal tersebut dikarena komposisi vegetasi pada talun yang menyerupai
hutan alami dengan dominasi pohon-pohon tahunan berdiameter batang besar.
Biomassa tanaman secara geometrik memiliki hubungan yang bersifat sejajar
dengan diameter tanaman, berat jenis kayu serta tinggi tanaman (Chave et al. 2005).
Tanaman tahunan pada talun memiliki ukuran diameter besar, tinggi dan massa
jenis kayu yang lebih rapat, sehingga biomassa tanaman juga semakin besar dan
karbon tersimpannya juga semakin tinggi (Henry et al. 2009 dan Bajigo et al. 2015).
Penggunaan lahan pekarangan dan kebun campuran memiliki kandungan karbon
yang sedikit lebih rendah dibandingkan talun, namun masih dalam kategori tinggi
(Tabel 18). Hal tersebut karena komposisi vegetasi pada kabun campuran lebih
didominasi tanaman fungsi produksi buah dan sayur yang berumur relatif muda (3-
10 tahun), sehingga diameter tanaman lebih kecil dan biomassannya lebih rendah.
Sedangkan pada pekarangan lebih didominasi tanaman hias lanskap, seperti bunga,
herba, pohon peneduh, dan tanaman perdu yang sebagian merupakan tanaman cepat
tumbuh, sehingga massa jenis kayunya lebih ringan dan biomassa tanamannya lebih
rendah (Baker et al 2004 dan Henry et al. 2009). Namun, secara umum penggunaan
lahan talun, kebun campuran, dan pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor merupakan sistem agroforestri kompleks yang tentunya dapat
menyimpan karbon lebih banyak dibandingkan lahan dengan pola penanaman
monokultur. Hal ini dikarenakan komposisi spesies dan perbedaan variasi ekologi
dan lingkungannya lebih baik (Kumar & Nair 2011).

Diversitas Tanaman Penggunaan Lahan Agroforestri


Keanekaragaman hayati atau diversitas adalah semua kehidupan di atas
bumi, termasuk tumbuhan, hewan, jamur, dan mikroorganisme, serta berbagai
materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi tempat
mereka hidup (Global Village Translations 2007). Analisis diversitas pada
penelitian ini hanya dilakukan untuk vegetasi riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor. Vegetasi merupakan sekumpulan berbagai jenis tumbuhan yang mendiami
suatu kawasan yang memiliki interaksi, baik antara tumbuhan itu sendiri maupun
dengan mahluk hidup lain disekitarnya. Vegetasi tersebut bukan hanya kumpulan
dari individu-individu tumbuhan saja melainkan membentuk suatu kesatuan yang
saling bergantung satu sama lain (Marsono 1997). Pada penelitian ini keragaman
hayati tanaman dilihat berdasarkan nilai Indeks Shannon Weiner (H’) dan Indeks
Margalef (Dm) (Krebs 1972 dan Magurran 1991).
Rata-rata indeks Shannon Wiener (H’) penggunaan lahan agroforestri pada
riparian sungai ciliwung di Kota Bogor termasuk pada kategori sedang (1<H’<3).
Jenis penggunaan lahan agroforestri yang memiliki nilai indeks keragaman jenis
Shannon Weiner (H’) tertinggi adalah kebun campuran dengan rata-rata 2.07.
Penggunaan lahan talun memiliki nilai indeks Shannon Weiner (H’) sebasar 1.84,
sedangkan pada penggunaan lahan pekarangan sebesar 1.55 (Tabel 19). Semakin
tinggi nilai indeks Shannon Wiener (H’), maka semakin tinggi pula jumlah spesies
69

dan kelimpahan relatif atau jumlah individu tiap spesies pada penggunaan lahan
tersebut (Magurran 2004).

Tabel 19 Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener (H’) penggunaan lahan


agroforestri riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Nomor Jenis Penggunaan Indeks Shannon-


Kelurahan Kategori
Petak Lahan Weiner
III Talun Tajur 1.69 Sedang
VIII Talun Bantar Jati 2.01 Sedang
IX Talun Kedungbadak 1.59 Sedang
XIII Talun Sukaresmi 2.08 Sedang
Rata-rata 1.84 Sedang
I Kebun Campuran Sindang Rasa 1.91 Sedang
II Kebun Campuran Katulampa 1.89 Sedang
XI Kebun Campuran Kedungbadak 2.36 Sedang
XII Kebun Campuran Kedunghalang 2.11 Sedang
XIV Kebun Campuran Kedunghalang 2.07 Sedang
Rata-rata 2.07 Sedang
IV Pekarangan Katulampa 1.54 Sedang
V Pekarangan Lawanggintung 1.24 Sedang
VI Pekarangan Baranangsiang 1.27 Sedang
VII Pekarangan Sempur 2.19 Sedang
X Pekarangan Kedunghalang 1.51 Sedang
Rata-rata 1.55 Sedang
Keterangan:
Rendah (H’<1), sedang (1<H’<3), dan tinggi (H’ > 3)

Penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota


Bogor memiliki nilai keanekarangaman jenis tanaman yang sedang. Hal tersebut
dikarenakan nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon Weiner (H’) dipengaruhi
oleh kekayaan species dan kemerataanya dalam suatu lahan/habitat (Ludwiq &
Reynolds 1988). Tanaman bawah seperti gulma dan herba merupakan jenis dengan
jumlah individu yang besar dan mendominasi pada semua penggunaan lahan
agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Hal tersebut
menyebabkan distribusi spesies pada lokasi penelitian tidak merata, sehingga nilai
keanekaragamannya menjadi turun meskipun nilai kekayaan spesiesnya tinggi
(Magurran 1991). Meskipun demikian, keanekaragaman tanaman sedang untuk
penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
dianggap sudah memiliki kondisi ekosistem cukup seimbang dan tekanan ekologis
sedang (Restu 2002).
Kekayaan jenis tanaman pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dapat
dilihat dari nilai indeks Margalef (Dm). Indeks tersebut menggambarkan jumlah
total species dalam satu lahan/komunitas. Nilai indeks Margalef (Dm) tergantung
dari jumlah spesies dan total individu dari spesies tersebut (Ludwiq & Reynolds
1988 dan Magurran 1991). Penggunaan lahan talun memiliki rataan indeks
Margalef (Dm) sebesar 4.32 yang termasuk kategori tinggi. Sedangkan penggunaan
lahan pekarangan dan kebun campuran memiliki nilai rataan indeks Margalef (Dm)
dalam kategori sedang, dengan nilai masing-masing sebesar 3.90 dan 3.63 (Tabel
20).
70

Tabel 20 Indeks kekayaan jenis Margalef (Dm) penggunaan lahan agroforestri


riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Nomor Jenis Penggunaan Indeks


Kelurahan Kategori
Petak Lahan Margalef
III Talun Tajur 4.34 Tinggi
VIII Talun Bantar Jati 4.34 Tinggi
IX Talun Kedungbadak 4.26 Tinggi
XIII Talun Sukaresmi 4.33 Tinggi
Rata-rata 4.32 Tinggi
I Kebun Campuran Sindang Rasa 3.27 Sedang
II Kebun Campuran Katulampa 4.18 Tinggi
XI Kebun Campuran Kedungbadak 3.39 Sedang
XII Kebun Campuran Kedunghalang 4.50 Tinggi
XIV Kebun Campuran Kedunghalang 2.82 Sedang
Rata-rata 3.63 Sedang
IV Pekarangan Katulampa 4.63 Tinggi
V Pekarangan Lawanggintung 2.86 Sedang
VI Pekarangan Baranangsiang 4.22 Tinggi
VII Pekarangan Sempur 4.31 Tinggi
X Pekarangan Kedunghalang 3.46 Sedang
Rata-rata 3.90 Sedang
Keterangan: rendah (Dm<2.5), sedang (2.5< Dm<4.0), dan tinggi (Dm>4.0)

Indeks Margalef memiliki kemampuan merespon perbedaan kekayaan


spesies yang lebih baik dengan kesensitifan tinggi (Kusuma 2007). Penggunaan
lahan talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor memiliki kekayaan jenis
tanaman yang tinggi dibandingkan kebun campuran dan pekarangan. Hal tersebut
karena komposisi vegetasi baik secara horizontal maupun vertikal dari talun yang
rapat dan menyerupai hutan alami, sehingga jumlah total individu dan jumlah
spesiesnya tinggi (Arifin et al. 2009). Semakin banyak jumlah total individu dan
spesies pada suatu lahan, maka nilai kekayaan jenisnya juga kan semikin tinggi
(Magurran 1991). Namun secara keseluruhan jenis penggunaan lahan agroforestri
pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor memiliki kekayaan jenis tumbuhan
yang baik (sedang-tinggi). Hal tersebut karena lokasi penelitian merupakan daerah
peralihan (ecotone) dari ekosistem akuatik (sungai) dengan ekosistem terestrial
(daratan), sehingga nilai keanekaragaman hayati atau biodiversitasnya tinggi
(Arifin et al. 2014 dan Kaswanto & Nakagoshi 2014).

Potensi Jasa Lanskap Penggunaan Lahan Agroforestri

Penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota


Bogor berdasarkan pada hasil analisis tujuan I, memiliki luasan yang cukup luas
(Tabel 9). Selain itu, penggunaan lahan agroforestri tersebut juga memiliki
kapasitas jasa lanskap yang tinggi, sehingga dapat dihitung potensi jasa lanskap
yang dihasilkan. Potensi jasa lanskap yang dihasilkan lanskap agroforestri pada
71

riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor tergolong tinggi (Tabel 21). Penggunaan
lahan talun dengan luas mencapai 38.77 ha memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 1907.48 Mg dan karbon tersimpan sebesar 4546.47 Mg. Penggunaan lahan
kebun campuran dengan luas 9.44 ha memiliki potensi produksi tanaman sebesar
617.47 Mg dan karbon tersimpan sebesar 815.18 Mg. Sedangkan penggunaan lahan
pekarangan dengan luas mencapai 17.53 ha memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 854.94 Mg dan karbon tersimpan sebesar 1632.50 Mg. Hal tersebut
membuktikan bahwa penggunaan lahan agroforestri dapat menjadi dasar dalam
manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor yang berkelanjutan
(Arifin et al. 2009 dan Nyaga et al. 2015).

Tabel 21 Potensi jasa lanskap penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor

Kapasitas Jasa
Potensi
Lanskap
N Penggunaan
Luas (ha)
o Lahan Karbon Karbon
Produksi Produksi
Tersimpan Tersimpan
(Mg/ha) (Mg)
(Mg/ha) (Mg)
1 Talun 38.77 49.20 117.27 1907.48 4546.47
2 Kebun Campuran 9.44 65.41 86.35 617.47 815.18
3 Pekarangan 17.53 48.77 93.13 854.94 1632.50

Strategi Pemilihan Jenis dan Kombinasi Tanaman Penggunaan Lahan


Agroforestri

Pemilihan jenis dan kombinasi tanaman dengan pendekatan penilaian jasa


lanskap digunakan sebagai penyusun praktik agroforestri pada lanskap riparian
sungai. Jasa lanskap yang dinilai tersebut adalah produktivitas lahan, karbon
tersimpan, dan diversitas tanaman dari vegetasi eksisting riparian Sungai Ciliwung
di Kota Bogor. Kategori jasa lanskap yang dihasilkan pada setiap jenis penggunaan
lahan agroforestri dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi berdasarkan
kriteria gabungan dari masing-masing jasa lanskap (Tabel 5).
Penggunaan lahan talun memiliki nilai jasa lanskap kategori sedang dengan
rata-rata NKL sebesar 1.40, karbon tersimpan sebesar 117.27 Mg/ha, indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Weiner sebesar 1.84, dan indeks kekayaan jenis
Margalef sebesar 4.32. Nilai jasa lanskap pada penggunaan lahan kebun campuran
juga memiliki kategori sedang dengan rata-rata NKL sebesar 1.81, karbon
tersimpan sebesar 86.35 Mg/ha, indeks keanekaragaman jenis Shannon-Weiner
sebesar 2.07, dan indeks kekayaan jenis Margalef sebesar 3.64. Sedangkan
penggunaan lahan pekarangan memiliki nilai jasa lanskap kategori rendah dengan
rata-rata NKL sebesar 0.96, karbon tersimpan sebesar 93.13 Mg/ha, indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Weiner sebesar 1.55, dan indeks kekayaan jenis
Margalef sebesar 3.90 (Tabel 22).
Jenis dan kombinasi tanaman yang dapat mengoptimalkan jasa lanskap yang
dihasilkan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor dipilih berdasarkan petak
sampel terbaik pada setiap penggunaan lahan agroforestri. Pemilihan petak sampel
72

dengan jasa lanskap (produktivitas lahan, karbon tersimpan, dan diversitas


tanaman) terbaik dilakukan dengan metode penjumlahan nilai jasa lanskap pada
setiap petak sampel. Petak sampel dengan total nilai jasa lanskap tertinggi pada
setiap jenis penggunaan lahan agroforestri akan menjadi dasar pemilihan jenis dan
kombinasi tanaman. Berdasarkan hasil analisis pembobotan tersebut, didapatkan
bahwa penggunaan lahan kebun campuran dengan jasa lanskap tertinggi adalah
petak XII, sedangkan untuk penggunaan lahan talun ada pada petak XIII dan untuk
penggunaan lahan pekarangan ada pada petak VI (Tabel 23).

Tabel 22 Nilai jasa lanskap yang dihasilkan penggunaan lahan agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Nilai Jasa Lanskap


Kategori
No. Jenis Penggunaan Produktivitas Karbon Indeks Diversitas
Jasa
Petak Lahan Lahan Tersimpan Shannon- Lanskap
(NKL) (Mg/ha) Margalef
Weiner
III Talun 1.07 112.69 1.69 4.34 Sedang
VIII Talun 0.93 108.88 2.01 4.34 Rendah
IX Talun 1.04 80.39 1.59 4.26 Sedang
XIII Talun 2.56 167.11 2.08 4.33 Sedang
Rata-rata 1.40 117.27 1.84 4.32 Sedang
I Kebun Campuran 2.25 70.48 1.91 3.27 Sedang
II Kebun Campuran 2.09 92.80 1.89 4.18 Sedang
XI Kebun Campuran 1.37 79.02 2.36 3.39 Sedang
XII Kebun Campuran 1.67 114.19 2.11 4.50 Sedang
XIV Kebun Campuran 1.65 75.28 2.07 2.82 Sedang
Rata-rata 1.81 86.35 2.07 3.63 Sedang
IV Pekarangan 1.48 99.78 1.54 4.63 Sedang
V Pekarangan 0.84 24.44 1.24 2.86 Rendah
VI Pekarangan 1.01 129.48 1.27 4.22 Sedang
VII Pekarangan 1.26 96.51 2.19 4.31 Sedang
X Pekarangan 0.19 115.42 1.51 3.46 Rendah
Rata-rata 0.96 93.13 1.55 3.90 Rendah

Petak contoh XIII merupakan penggunaan lahan talun dengan nilai jasa
lanskap terbaik yang termasuk kategori sedang (Tabel 23). Petak tersebut memiliki
nilai produktivitas lahan sebesar 2.56, karbon tersimpan sebesar 167.11 Mg/ha,
keragaman jenis dengan nilai indeks Shannon Weiner (H’) 1.54, dan kekayaan jenis
dengan nilai indeks Margalef (Dm) 4.33. Selain itu, petak contoh tersebut juga
memiliki variasi jenis dan strata tinggi vegetasi yang beragam (Gambar 33). Hal
tersebut menunjukkan bahwa petak XIII merupakan penggunaan lahan talun yang
cukup ideal sebagai bentuk praktek agoroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di
Kota Bogor.
73

Tabel 23 Penilaian petak sampel dengan jasa lanskap terbaik pada riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor

Nilai Jasa Lanskap


Nomor Jenis Penggunaan Indeks Diversitas
Karbon Total
Petak Lahan NKL
Tersimpan Shannon- Margalef
Weiner
III Talun 1.07 112.69 1.69 4.34 119.790
VIII Talun 0.93 108.88 2.01 4.34 116.160
IX Talun 1.04 80.39 1.59 4.26 87.280
XIII Talun 2.56 167.11 2.08 4.33 176.08*
I Kebun Campuran 2.25 70.48 1.91 3.27 77.910
II Kebun Campuran 2.09 92.8 1.89 4.18 100.960
XI Kebun Campuran 1.37 79.02 2.36 3.39 86.140
XII Kebun Campuran 1.67 114.19 2.11 4.5 122.47*
XIV Kebun Campuran 1.65 75.28 2.07 2.82 81.820
IV Pekarangan 1.48 99.78 1.54 4.63 107.430
V Pekarangan 0.84 24.44 1.24 2.86 29.380
VI Pekarangan 1.01 129.48 1.27 4.22 135.98*
VII Pekarangan 1.26 96.51 2.19 4.31 104.270
X Pekarangan 0.19 115.42 1.51 3.46 120.580
Keterangan: *) = Petak terbaik pada setiap jenis penggunaan lahan agroforestri

Gambar 33 Kondisi eksisting penggunaan lahan talun pada Petak XIII

Penggunaan lahan kebun campuran yang memiliki nilai jasa lanskap terbaik
adalah pada petak XII dengan kategori sedang (Tabel 22). Petak tersebut memiliki
nilai produktivitas lahan sebesar 1.67, karbon tersimpan sebesar 114.19 Mg/ha,
keragaman jenis dengan nilai indeks Shannon Weiner (H’) 2.11, dan kekayaan jenis
dengan nilai indeks Margalef (Dm) 4.50. Petak kebun campuran tersebut memiliki
struktur dan komposisi vegetasi yang beragam, sehingga memiliki nilai jasa lanskap
yang cukup baik (Gambar 34). Hal tersebut menunjukkan bahwa petak XII
merupakan penggunaan lahan kebun campuran yang cukup ideal sebagai bentuk
praktek agoroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
74

Gambar 34 Kondisi eksisting penggunaan lahan kebun campuran pada Petak XII

Penggunaan lahan pekarangan yang memiliki nilai jasa lanskap terbaik


adalah pada petak VI dengan kategori sedang (Tabel 22). Petak tersebut memiliki
nilai produktivitas lahan sebesar 1.01, karbon tersimpan sebesar 129.48 Mg/ha,
keragaman jenis dengan nilai indeks Shannon Weiner (H’) 1.27, dan kekayaan jenis
dengan nilai indeks Margalef (Dm) 4.22. Petak contoh tersebut juga memiliki
struktur dan komposisi vegetasi yang beragam, sehingga memiliki nilai jasa lanskap
yang cukup baik (Gambar 35). Hal tersebut menunjukkan bahwa petak VI
merupakan penggunaan lahan pekarangan yang cukup ideal sebagai bentuk praktek
agoroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.

Gambar 35 Kondisi eksisting penggunaan lahan pekarangan pada Petak VI

Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Konsep manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor


direkomendasikan untuk menciptakan lanskap agroforestri yang produktif. Konsep
tersebut didasarkan pada kapasitas penggunaan lahan agroforestri dalam
menghasilkan jasa lanskap. Terdapat tiga jasa lanskap yang menjadi prioritas dalam
arah manajemen lanskap riparian sungai ini, yaitu (1) produktivitas lahan, (2)
kandungan karbon tersimpan, dan (3) diversitas tanaman (Gambar 36). Ketiga
prioritas jasa lanskap tersebut diharapkan dapat dihasilkan oleh tipe penggunaan
agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor secara maksimal. Tipe
75

penggunaan agroforestri tersebut adalah talun, kebun campuran, dan pekarangan.


Selain untuk menciptakan lanskap yang produktif, manajemen lanskap riparian
sungai dengan pendekatan jasa lanskap ini, juga bertujuan untuk mengembalikan
fungsi ekologis riparian sungai (restorasi sungai).
Penggunaan lahan agroforestri dengan nilai jasa lanskap terbaik dijadikan
sebagai standar minimal pendesainan lanskap. Selanjutnya konsep manajemen
lanskap ini diterjemahkan ke dalam tiga produk manajemen lanskap agroforestri
pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Ketiga produk manajemen lanskap
tersebut yaitu, (1) alokasi penggunaan lahan untuk agroforestri, (2) desain rencana
lanskap (landscape plan) dalam rangka optimailisasi jasa lanskap, dan (3) detail
jenis dan kombinasi tanaman untuk lanskap agroforestri pada kawasan riparian.
Berikut adalah pembahasan mengenai ketiga produk manajemen lanskap tersebut.

Alokasi Penggunaan Lahan untuk Penerapan Agroforestri


Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2011 tentang sungai dijelaskan bahwa
terdapat kriteria lebar riparian/sempadan yang tidak bertanggul dan bertanggul yang
dibedakan lagi berdasarkan wilayah administrasi, kondisi kedalaman sungai, dan
luas DAS (Tabel 1). Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor memiliki 2 tipe
riparian, yaitu bertanggul dan tidak bertanggul dengan kedalaman < 4 m (BPDAS
Citarum Ciliwung 2013). Pada riparian yang bertanggul, kriteria lebar riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor adalah 3 m, sedangkan untuk riparian tidak
bertanggul lebarnya 15 m. Berdasarkan peraturan tersebut, seharusnya area riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor bebas dari lahan terbangun, karena riparian sungai
merupakan kawasan lindung tepi sungai yang menjadi satu kesatuan dengan sungai
(RI 1990).

Gambar 36 Konsep lanskap produktif pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

Penentuan kawasan perlindungan setempat dengan prioritas fungsi sebagai


RTH memasukkan riparian sungai sebagai salah satu kriterianya. Riparian sungai
76

merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai


buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Pemanfaatan riparian sungai harus
diarahkan ke tujuan konservatif untuk keberlanjutan lanskap riparian (RI 1990).
Berdasarkan peraturan tersebut sudah jelas mengindikasikan bahwa, seluruh
kawasan riparian sungai seharusnya dialokasikan untuk penggunaan lahan RTH.
Namun pada kenyataannya, berdasarkan hasil analisis penggunaan lahan, riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor sudah diokupasi lahan terbangun sebesar 55.51%
(Tabel 9). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk menjaga eksistensi
vegetasi riparian sungai, salah satu caranya dapat dengan mengalokasikan lahan
non-terbangun yang tersisa, untuk penggunaan praktek agroforestri dalam bentuk
talun, kebun campuran, dan pekarangan. Praktek pola agroforestri tersebut dapat
mengakomodasi keberlanjutan lanskap riparian sungai, baik dari sisi ekologi,
ekonomi, sosial, dan budaya (Arifin et al. 2009 dan Nyaga et al. 2015). Selain itu,
dibutuhkan pula upaya dalam menghentikan perluasan lahan terbangun, yang bisa
dilakukan dengan penegakkan peraturan yang ada.
Faktor utama dalam pemilihan lahan yang akan dialokasikan untuk
penggunaan lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor adalah
regulasi (peraturan) dan kebijakan pemerintah setempat. Mengacu pada kajian
kebijakan tentang riparian/sempadan sungai dari Direktorat Jenderal Sumber Daya
Air (2014), dirumuskan bahwa terdapat beberapa langkah strategis dalam
pelestarian riparian sungai. Langkah strategis tersebut telah mengakomodir
kepentingan untuk lahan riparian sungai yang sudah terlanjur dihuni (lahan
terbangun) dan untuk lahan yang belum dihuni (lahan non-terbangun) baik yang
sudah dibebaskan dan belum dibebaskan (Tabel 24).
Tabel 24 Strategi pelestarian kawasan riparian sungai
Kondisi lahan Status lahan Strategi kebijakan
Segera diberlakukan pasal tetang
Sudah dibebaskan
pelindungan riparian sungai dengan
(ruang publik)
Kawasan terlanjur pemanfaatan lahan untuk RTH
dihuni Ditetapkan sebagai kawasan dengan
Belum dibebaskan
“Status Quo” (tidak boleh mengubah,
(privat)
menambah atau memperbaiki bangunan)
Sudah dibebaskan
Segera diberlakukan pasal tetang
Kawasan belum (ruang publik)
pelindungan riparian sungai dengan
dihuni Belum dibebaskan
pemanfaatan lahan untuk RTH
(privat)
Sumber: Ditjen SDA Kementerian PU 2014

Strategi pelestarian tersebut dapat mejadi dasar perumusan pengalokasian


penggunaan lahan untuk praktek agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor. Prioritas lahan yang dialokasikan untuk penggunaan lahan agroforestri
adalah kawasan riparian yang belum dihuni (lahan non-terbangun) dan kawasan
terlanjur dihuni yang sudah dibebaskan pemerintah dan menjadi ruang publik.
Dalam hal ini, penggunaan lahan berupa lahan kosong masuk ke dalam prioritas
tersebut. Selanjutnya, arah kebijakan bentuk penggunaan lahan agroforestri pada
kawasan tersebut akan disesuaikan dengan kondisi biofisik lahan, khusus
kemiringan lereng dan jenis tanah. Kawasan dengan kemiringan lereng yang curam
77

hingga sangat curam (>25 %), seharusnya dialokasikan untuk penggunaan lahan
talun dengan fungsi lebih ke arah konservasi dan peningkatan karbon tersimpan.
Sedangkan kawasan dengan kemiringan lereng datar sampai agak curam (<25%),
seharusnya dialokasikan untuk pengunaan lahan kebun campuran dengan fungsi
untuk peningkatan produksi dan diversitas tanaman. Jenis tanah juga menjadi faktor
pembatas yang penting dalam praktek agroforestri, selain kemiringan lereng dan
ketersediaan lahan. Menurut BPDAS Citarum Ciliwung (2013), riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor didominasi oleh jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan dan latosol coklat (Gambar 11). Jenis tanah tersebut memiliki struktur
remah dan sedikit gembur, mudah menyerap air dengan pH netral hingga masam
dan memiliki produktivitas sedang hingga tinggi (Soepardi 1983). Oleh karena itu,
jenis tanah tersebut cocok untuk budidaya lahan dengan sistem agroforestri.
Selain itu, prioritas selanjutnya dalam pengalokasian lahan agroforestri pada
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor adalah kawasan terlanjur dihuni (lahan
terbangun) yang belum dibebaskan pemerintah (privat). Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa lahan terbangun pada kawasan riparian merupakan hak milik
pribadi masyarakat, baik surat hak milik maupun secara turun temurun (warisan).
Hal tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pembebasan
lahan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor. Oleh karena itu, perlu suatu
kebijakan untuk meminimalisir dampak kerusakan ekosistem riparian sungai akibat
okupasi lahan terbangun tersebut. Salah satu caranya adalah dengan membuat
kebijakan berupa pengalokasian sebagian area dari lahan terbangun (perumahan
organik dan perumahan terrencana) untuk penggunaan lahan agroforestri berupa
pekarangan. Pengalokasian lahan untuk pekarangan tersebut dapat dilakukan pada
setiap rumah tangga (pekarangan rumah) ataupun pada skala komunitas dalam
bentuk taman lingkungan (community garden). Sebagai bentuk lankap agroforestri
yang paling sederhana, pekarangan dapat berperan dalam peningkatan karbon
tersimpan, dan diversitas tanaman. Selain itu, hasil produksi tanaman pada
pekarangan juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pemilik lahan
(Kaswanto et al. 2013).
Secara umum, strategi pengalokasian penggunaan lahan riparian Sungai
Ciliwung di Kota Bogor dibagi menjadi dua prioritas (Gambar 37). Priotas pertama
adalah restorasi vegetasi riparian sungai pada kawasan belum dihuni (lahan non-
terbangun) dan kawasan terlanjur dihuni (lahan terbangun) yang sudah dibebaskan
ke dalam bentuk talun dan kebun campuran. Prioritas kedua adalah penyediaan
sebagian lahan dari kawasan terlanjur dihuni (lahan terbangun) yang belum
dibebaskan untuk penggunaan lahan pekarangan. Setelah alokasi lahan agroforestri
tersebut berhasil diterapkan, selanjutnya perlu dilakukan pengawasan dan
pemeliharan secara tegas dan berkala. Selain itu, untuk mencapai manajemen
lanskap yang berkelanjutan, perlu adanya integrasi dari berbagai pihak (akedemisi,
swasta, pemerintah, komunitas, dan media) dan berbagai aspek (ekologi, ekonomi,
sosial, dan budaya). Integrasi dalam manajemen lanskap tersebut, diharapkan juga
dapat membatasi faktor-faktor pendorong dari perubahan atau alih fungsi riparian
sungai sebagai RTH publik, seperti faktor jarak dari pusat kota, jarak dari jalan
utama, kemiringan lereng, jenis tanah, dan kepadatan penduduk (Arifin et al. 2014).
Sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kualitas lingkungan riparian sungai,
tetapi manjemen lanskap agoforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
ini, juga dapat meningkatkan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
78

Gambar 37 Strategi pengalokasian lahan agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung


di Kota Bogor

Desain Eksisting dan Rencana Pola Agroforestri


Pola Agroforestri Talun
Talun dengan nilai jasa lanskap tertinggi adalah petak sampel XIII yang
terletak di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal (Gambar 38). Desain
eksisting petak XIII memiliki 34 spesies tanaman dengan strata tanaman rapat dan
tata letak penanaman kompleks yang tidak memiliki jarak tanam yang tidak
beraturan, sehingga menyerupai hutan (Gambar 39). Tanaman yang mendominasi
adalah tanaman konservatif dan tanaman bawah. Tanaman konservatif (fungsi lain)
berupa pohon besar (strata V) yang ditemukan pada plot tersebut, yaitu bambu tali
(Gigantochloa apus), randu (Ceiba pentandra), dan fatsia (Fatsia japonica).
Tanaman pohon besar lain yang ditemukan pada plot ini adalah tanaman penghasil
buah dan sayur, seperti mangga (Mangifera indica), kuweni (Mangifera odorata),
nangka (Artocarpus heterophyllus), rambutan (Nephelium lappaceum), kelapa
(Cocos nucifera), dan sukun (Artocarpus communis). Petak sampel XIII memiliki
produktivitas lahan (NKL) 2.56, Karbon tersimpan 167.11 Mg/ha, indeks
keanekaragaman jenis tanaman 2.08, indeks kekayaan jenis tanaman 4.33 dengan
total 176.08 yang termasuk dalam kategori sedang (Tabel 23). Oleh karena itu,
desain eksisting petak talun tersebut perlu direkayasa pemilihan jenis dan
kombinasi tamanannya untuk meningkatkan nilai jasa lanskap menjadi kategori
tinggi. Desain rencana tapak pola agroforestri talun dibuat dengan menggunakan
tanaman bawah yang lebih produktif seperti talas (Colocasia esculenta), jahe
(Zingiber officinale), kunyit (Curcuma longa), dan sintrong (Crassocephalum
crepidioides), serta mengatur ulang tata letak dan jumlah tanamannya. Desain
rencana tapak talun yang telah dibuat memiliki produktivitas lahan (NKL) 2.90,
Karbon tersimpan 162.79 Mg/ha, indeks keanekaragaman jenis tanaman 3.12,
indeks kekayaan jenis tanaman 5.66 dengan total 174.47, sehingga memiliki jasa
lanskap kategori tinggi (Gambar 40 dan 41). Selain memiliki nilai jasa lanskap
kategori tinggi, jenis dan tanaman yang digunakan pada desai rencana tapak talun
tetap dapat berfungsi menjaga stabilitas lereng, mengurangi akumulasi sedimentasi,
dan mencegah erosi. Hal tersebut dapat mendukung keberlanjutan lanskap riparian
Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
79

B T

0 5 10 25
meter

79
Gambar 38 Kondisi eksisting (foto udara) plot talun terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
79

80
U

B T

0 1 2 5
meter

Gambar 39 Desain Eksisting plot talun terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
79

Gambar 40 Desain rencana talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

81
79

82
82
Gambar 41 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana talun pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
83

Pola Agroforestri Kebun Campuran


Kebun Campuran dengan nilai jasa lanskap tertinggi adalah petak sampel
XII, yang terletak di Kelurahan Kedunghalang, Kecamatan Bogor Utara (Gambar
42). Desain eksisting petak XII memiliki 34 spesies tanaman dengan tata letak
penanaman yang kompleks yang tidak memiliki jarak tanam yang tidak beraturan
(Gambar 43). Jenis tanaman yang mendominasi kebun campuran adalah tanaman
bawah (Strata I) dan tanaman penghasil buah dan sayur. Tanaman penghasil buah
yang ditemukan pada plot ini yaitu mangga (Mangifera indica), jambu air
(Syzygium aqueum), menteng (Baccaurea racemosa), dan nangka (Artocarpus
heterophyllus). Beberapa pohon besar (strata V) yang ditemui pada fungsi sebagai
pembatas lahan ditemukan pada plot ini, seperti kalpataru (Hura crepitans L.),
trembesi (Samanea saman), bungur (Lagerstroemia indica), dan bintaro (Cerbera
odollam Gaertn.). Petak sampel XII memiliki nilai jasa lanskap kategori sedang,
dengan produktivitas lahan (NKL) 1.67, karbon tersimpan 114,19 Mg/ha, indeks
keanekaragaman jenis tanaman 2.11, indeks kekayaan jenis tanaman 4.50, dengan
total 122.47 (Tabel 23). Oleh karena itu, desain eksisting petak kebun campuran
tersebut perlu direkayasa pemilihan jenis dan kombinasi tamanannya untuk
meningkatkan nilai jasa lanskap menjadi kategori tinggi. Desain rencana tapak
dibuat dengan mengatur ulang penggunaan jenis tanaman, tata letak, dan jumlah
tanamannya. Desain rencana tapak kebun campuran yang telah dibuat memiliki
produktivitas lahan (NKL) 1.84, Karbon tersimpan 110,96 Mg/ha, indeks
keanekaragaman jenis tanaman 3.05, indeks kekayaan jenis tanaman 5.59 dengan
total 121.44, sehingga memiliki jasa lanskap kategori tinggi (Gambar 44 dan 45).
Desain Eksisting Pola Agroforestri Pekarangan
Beberapa pekarangan petak contoh pada riparian Sungai Ciliwung di Kota
Bogor adalah jenis taman lingkungan. Pekarangan dengan nilai jasa lanskap
tertinggi adalah petak sampel VI, yang terletak di Kelurahan Baranangsiang,
Kecamatan Bogor Timur (Gambar 46). Desain eksisting petak VI memiliki 32
spesies tanaman yang didominasi oleh tanaman hias dan tanaman penghasil buah
(Gambar 47). Tanaman hias tersebut, seperti sri rejeki (Aglaonema sp.), teh-tehan
(Acalypha siamensis), hanjuang merah (Cordyline terminalis), puring (Codiaeum
variegatum), dan bougenvil (Bougainvillea sp.). Selain itu juga terdapat tanaman
hias berupa pohon, seperti kenari (Canarium amboinense Hoch.), kerai payung
(Filicium decipiens), beringin karet (Ficus elastica), cemara kipas (Thuja
orientalis), serta beberapa pohon tanaman penghasil buah dan sayur, seperti
rambutan (Nephelium lappaceum), alpukat (Persea americana), dan cabai rawit
(Capsicum annuum). Petak sampel VI memiliki nilai jasa lanskap kategori sedang,
dengan produktivitas lahan (NKL) 1.01, Karbon tersimpan 129.48 Mg/ha, indeks
keanekaragaman jenis tanaman 1.27, indeks kekayaan jenis tanaman 4.22, dengan
total 135.98 (Tabel 23). Oleh karena itu, desain eksisting petak pekarangan tersebut
perlu direkayasa pemilihan jenis dan kombinasi tamanannya untuk meningkatkan
nilai jasa lanskap menjadi kategori tinggi. Desain rencana tapak dibuat dengan
mengatur ulang penggunaan jenis tanaman, tata letak, dan jumlah tanamannya.
Desain rencana tapak pekarangan yang telah dibuat memiliki produktivitas lahan
(NKL) 1.21, Karbon tersimpan 105,55 Mg/ha, indeks keanekaragaman jenis
tanaman 3.04, indeks kekayaan jenis tanaman 5.73 dengan total 115.53, sehingga
memiliki jasa lanskap kategori tinggi (Gambar 48 dan 49).
47

84
U

B T

0 5 10 25
meter

Gambar 42 Kondisi eksisting (foto udara) plot kebun campuran terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47

B T

0 1 2 5
meter

85
Gambar 43 Desain Eksisting plot kebun campuran terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47

86
Gambar 44 Desain rencana kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47

87
Gambar 45 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana kebun campuran pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47

88
U

B T

0 5 10 25
meter

Gambar 46 Kondisi eksisting (foto udara) plot pekarangan terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47

Gambar 47 Desain Eksisting plot pekarangan terbaik pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor

89
47

90
Gambar 48 Desain rencana pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
47

91
Gambar 49 Detail jenis dan kombinasi tanaman desain rencana pekarangan pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
92

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Struktur lanskap agroforestri pada riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
masih tersisa sebesar 44.24% yang terdiri dari talun sebesar 26.09%, kebun
campuran sebesar 6.36%, dan pekarangan sebesar 11.79%. Fungsi struktur
agroforestri lanskap riparian tersebut adalah menjadi habitat inti (core) dan sumber
makanan berbagai satwa, sementara struktur buatan dapat berfungsi sebagai habitat
inti (core) dan sebagai media pergerakan material dan energi yang berhubungan
dengan aktivitas manusia. Dinamika spasial lanskap riparian yang sangat terlihat
adalah semakin banyak jumlah patch (NP) perumahan organik dan perumahan
terrencana pada suatu lanskap, semakin banyak pula jumlah patch pekarangan pada
lanskap tersebut.
Talun dengan luas mencapai 38.77 ha, memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 1907.48 Mg, karbon tersimpan sebesar 4546.47 Mg, indeks diveristas
tanaman H’:1.84 dan Dm: 4.32 yang didominasi jenis tanaman konservatif. Kebun
campuran memiliki luas 9.44 ha dengan potensi produksi tanaman sebesar 617.47
Mg, karbon tersimpan sebesar 815.18 Mg, indeks biodiveristas tanaman H’:2.07
dan Dm: 3.63 yang didominasi jenis tanaman produktif (buah dan sayur).
Pekarangan dengan luas mencapai 17.53 ha, memiliki potensi produksi tanaman
sebesar 854.94 Mg; karbon tersimpan sebesar 1632.50 Mg, indeks biodiveristas
tanaman H’:1.55 dan Dm: 3.90 yang didominasi oleh kombinasi tanaman hias dan
tanaman produktif. Manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
akan diarahkan untuk optimalisasi jasa lanskap (produktivitas lahan, karbon
tersimpan, dan diversitas tanaman) dengan konsep lanskap produktif (productive
landscape). Sistem agroforestri talun diterapkan untuk mengkonservasi lahan
berlereng curam. Kebun campuran diterapkan pada lahan kosong dan lahan
terlanjur huni yang sudah dibebaskan. Pekarangan diterapkan pada sebagian lahan
terlanjur huni yang belum dan sulit untuk dibebaskan.

Saran

Dalam upaya perlindungan kawasan riparian Sungai Cilwung di Kota Bogor,


disarankan pemerintah setempat memprioritaskan penggunaan lahan riparian
sungai untuk sistem agroforestri yang dapat menjadi RTH dan juga dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Lahan bervegetasi yang tersisa harus dipertahankan
sesuai peraturan riparian sungai yang berlaku. Lahan kosong dan lahan terlanjur
huni yang sudah dibebaskan sebaiknya digunakan untuk penerapan talun dan kebun
campuran. Sedangkan lahan riparian terlanjur huni yang belum dan sulit dibebaskan,
sebaiknya dapat dikordinir supaya dapat menyediakan sebagian lahan untuk
penerapan sistem agroforestri pekarangan. Desain dan detail jenis dan kombinasi
tanaman agroforestri tersebut dapat dibuat sesuai desain hasil analisis. Pemangku
kepentingan (stakeholders), seperti akdemisi (academics), swasta (businessman),
pemerintah (government), komunitas (community), dan media (media), harus saling
bekerjasama dan ambil bagian dalam pelaksanaan dan pengawasan manajemen
riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor.
93

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah OS. 1991. Definition and Ecology of Homegardens. in M.E. Daw,


K.V.A. Bavappa and E. Pasadaran (eds). Proceeding Seminar on
Pekarangan Land: Development Possibilities and Their Contribution to
Farmer’s Welfare. Centre for Agro-socioeconomic Research Ministry of
Agriculture with Food and Agriculture Organisation (FAO). Bogor (ID).
Adi BTS, Indrawan A, Prasetyo LB. 2012. Analisis Lanskap Ekologi untuk
Mengukur Fragmentasi Penggunaan Lahan, Wilayah Hulu Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. https://jlskindonesia.wordpress.com (diakses 30 Mei
2017).
Adinugroho WC, Indrawan A, Supriyanto, Arifin HS. 2011. Kontribusi Sistem
Agroforestri terhadap Cadangan Karbon di Hulu DAS Bekasi [Seminar
Hasil Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Akay AE, Wing M, Sessions J. 2012. Estimating Structural Properties of Riparian
Forests with Airborne Lidar Data. Int J Remote Sens. 33(22):7010-7023.
Ali A, Xu MS, Zhao YT, Zhang QQ, Zhou LL, Yang XD, Yan ER. 2015.
Allometric Biomass Equations for Shrub and Small Tree Species in
Subtropical China. Silva Fennica. 15: 1-10.
Andrian, Supardi, Marpaung P. 2014. Pengaruh Ketinggian Tempat dan
Kemiringan Lereng Terhadap Produksi Karet (Hevea brasiliensis Muell.
Arg.) di Kebun Hapesong PTPN III Tapanuli Selatan. Jurnal Online
Agroekoteknologi. 2 (3): 981-989.
Arifin HS. 1998. Effects of Urbanization On The Vegetation Structure of The Home
Gardens In West Java Indonesia. Journal Japan J. Trop. Agric. 42 (2): 94-
102.
Arifin HS, Kaswanto RL, Nakagashi N. 2014. Low Carbon Society Through
Pekarangan Traditional Agroforestry Practices in Java, Indonesia.
Designing Low Carbon Societies in Landscapes. 8: 129-143.
Arifin HS, Nakagoshi N. 2011. Landscape ecology and urban biodiversity in
tropical Indonesian cities. J Landscape and Ecological Engineering.
7(1):33-43.
Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1997. Effects of the Fragmentation and the
Change of the Social and Economical Aspects on the Vegetation Structure
in the Rural Home Gardens of West Java, Indonesia. Japan Institue of
Landscape Architecture J., Tokyo. 60 (5): 489-494.
Arifin HS, Sardjono MA, Sundawati L, Djogo T, Wattimena GA, Widianto. 2003.
Agroforestri di Indonesia. Bahan Latihan. Bogor (ID): World Agroforestry
Centre (ICRAF).
Arifin HS, Suhardi, C Wulandari, Q Pramukanto. 2008. Agroforestry Landscape
Analysis in Mendalam River Basin, the Upper Stream of kapuas Watershed,
West Kalimantan Province, Indonesia. Final Report of Indonesia Group.
(ID): Indonesian Network for Agroforestry Education.
Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis Lanskap
Agroforestri: Konsep, Metode, dan Pengelolaan Agroforestri Skala Lanskap
dengan Study Kasus Indonesia, Filipina, Laos, Thailand, dan Vietnam.
Bogor (ID): IPB Press.
94

Arifin HS. 2012. Manajemen Lanskap Pekarangan Bagi Ketahanan Pangan


Keluarga dalam buku “Pangan Rakyat: Soal Hidup atau Mati, 60 Tahun
Kemudian”. Bogor (ID): Departemen Agribisnis, FEM-IPB dan PERHEPI.
Arsyad S. 2000. Konservasi tanah dan air. Bogor (ID): IPB Press.
Bajigo A, Mikrewongel T, Yitebitu M, Agena A. 2015. Estimation of Carbon
Stored in Agroforestry Practices in Gununi Watershed, Wolayitta Zone,
Ethiophia. Ecosystem and Ecography. 5: 157-162.
Baker TL, Phillips OL, Malhi Y, Almeida S, Arroyo L, Fiore AD, Erwin T, Killeen
TJ, Laurance SG, Laurance WF, Lloyd J, Monteagudo A, Neill DA, Patino
S, Pitman NCA, Silva JNM, Vasquez MR. 2004. Variation in wood density
determines spatial patterns in Amazonian forest biomass. Global Change
Biol. 10: 1-18.
[BBWSCC] Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. 2012. Peta Wilayah
Sungai Ciliwung Cisadane. Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane.
Jakarta (ID): Departemen Pekerjaan Umum.
Bertoldi W, Drake NA, Gurnell AM. 2011. Interactions between river flows
andcolonizing vegetation on a braided river: exploring spatial and temporal
dynamics in riparian vegetation cover using satellite data. J Earth Surf.
Process. Land. 36(11):1474-1486.
[BPDAS] Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung. 2013. Rencana Pengelolaan
DAS Terpadu DAS Ciliwung. Bogor (ID): Departemen Kehutanan.
[BPS] Badan Pusat Statistik Bogor. 2013-2016. Bogor dalam Angka 2013-2016.
Bogor: Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
Bren LJ. 1993. Riparian Zone, Stream, and Floodplain Issues: a Review. J Hydrol.
150: 277-299.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a
Primer. Rome (IT): FAO Forestry Paper 134.
Burkhard B, Kroll F, Nedkov S, Muller F. 2012. Mapping Ecosystem Service
Supply, Demand and Budgets. Ecological Indicators. 21: 17–29.
Castelle AJ, Johnson AW, Conolly C. 1994. Wetland and stream buffer size
requirements: a review. J Environ Qual. 23: 878 – 882.
Chang M. 2006. Forest Hydrology: an Introduction to Water and Forests. Boca
Raton (US): Taylor & Francis.
Chave J, Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D, Fölster H,
Fromard F, Higuchi N, Kira T, Lescure JP, Puig H, Riéra B, Yamakura T.
2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance
in tropical forests. Oecologia 145:87-99
Chee YE. 2004. An ecological perspective on the valuation of ecosystem services.
Biol Conserv 120:549–565.
Clerici N, Paracchini ML, Maes J. 2014. Land-cover change dynamics and insights
into ecosystem services in European stream riparian zones. J Ecohydrology
and Hydrobiology. 14(2): 107-120.
Congalton R, Green K. 1999. Assessing the Accuracy of Remote Sensed Data:
Principles and Practices. Washington DC (US): Lewis Publishers.
Crossman ND, Burkhard B, Nedkov S, Willemen L, Petz K, Palomo I, Drakou EG,
Martín-Lopez B, McPhearson T, Boyanova K, Alkemade R, Egoh B,
Dunbar MB, Maes J. 2013. A Blueprint for Mapping and Modelling
Ecosystem Services. Ecosyst. Serv. 4: 4-14.
95

Daily GC, Polasky S, Goldstein J, Kareiva PM, Mooney HA, Pejchar L, Ricketts
TH, Salzman J, Shallenberger R. 2009. Ecosystem Services in Decision
Making: Time to Deliver. Front. Ecol. Environ. 7: 21–28.
Dawson IK, Lengkeek A, Weber J, Jamnadass R. 2009. Managing Genetic
Variation in Tropical Trees: Linking Knowledge with Action in
Agroforestry Ecosystems for Improved Conservation and Enhanced
Livelihoods. Biodivers. Conserv. 18: 969–986.
DeFries R, Foley J, Asner GP. 2004. Land Use Choices: Balancing Human Needs
and Ecosystem Function. J Frontiers in Ecology and the Environment.
2:249-257.
Dindaroglu T, Reis M, Akay AE, Tonguc F. 2015. Hydroecological approach for
determining the width of riparian buffer zones for providing soil
conservation and water quality. Int. J. Environ. Sci. Technol. 12:275-284.
[Direktorar Jenderal Sumber Daya Air]. 2014. Kebijakan Sempadan Sungai. Materi
Power Point pada Pertemuan Tim Kajian Penetapan Sempadan Sungai
Ciliwung. Jakarta, 8 Januari 2014.
Fagerholm N, Torralba M, Burgess PJ, Plieninger T. 2016. A Systematic Map of
Ecosystem Services Assessments around European Agroforestry.
Ecological Indicators. 62: 47–65.
Filqisthi TA, Kaswanto RL. 2017. Carbon stock and plants biodiversity of
pekarangan in Cisadane watershed West Java. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science. 54: 012-024.
Forman R, Gordon M. 1986. Lansdcape Ecology. New York (US): John Wiley &
Son.
Frangi JL, Lugo AE. 1985. Ecosystem dynamics of a subtropical floodplain forest.
Ecological Monographs. 55:351-369.
Fürst C, Opdam P, Inostroza L, Luque S. 2014. Evaluating the Role of Ecosystem
Services in Participatory Land Use Planning: Proposing a Balanced Score
Card. Landsc. Ecol. 29: 1435–1446.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi tanaman Budidaya (Cetakan
Pertama). Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Garrity DP. 2004. Agroforestry and the Achievement of the Millennium
Development Goals. Agrofor. Syst. 61: 5–17.
George SJ, Harper RJ, Hobb RJ, Tibbett M. 2012. A sustainable agricultural
landscape for Australia: A review of interlacing carbon sequestration,
biodiversity and salinity management in agroforestry systems. Agriculture,
Ecosystems and Environment. 163: 28– 36.
Gerard F, Petit S, Smith G, Thomson A, Brown N, Manchester S, Wadsworth R,
Bugar G, Halada L, Beza´ k P, Boltiziar M, de Badts E, Halabuk A, Mojses
M, Petrovic F, Gregor M, Hazeu G, Mucher CA, Wachowicz M, Huitu H,
Tuominen S, Ko¨ hler R, Olschofsky K, Ziese H, Kolar J, Sustera J, Luque
S, Pino J, Pons X, Roda F, Roscher M, Feranec J. 2010. Land Cover Change
in Europe between 1950 and 2000 Determined Employing Aerial
Photography. Progress in Physical Geography. 34: 183–205.
Global Village Translations. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Jakarta
(ID): Persemakmuran Australia.
Gordon M. 2004. Stream Ecology: an Introduction to Ecologists (Ed ke-2).
Chichester (GB): John Wiley & Sons.
96

Hairiah K, Ekadinata A, Sari RR, Rahayu S. 2011. Petunjuk praktis Pengukuran


karbon tersimpan di hutan dan lahan-lahan Pertanian berbasis pohon.
Ekstrapolasi dari tingkat lahan ke tingkat lanskap. Bogor (ID): World
Agroforestry Centre, ICRAF.
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di
Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor (ID): International Centre for
Research in Agroforestry (ICRAF) & University of Brawijaya.
Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan
Ajaran Agroforestri 1. Bogor (ID): World Agroforestry Centre (ICRAF).
Hairiah K, Sitompul SM, van Noordwijk M. 2001. Methods for sampling carbon
stocks above and below ground. ASB Lecture Note 4B. Bogor (ID):
International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).
Hartvigsen M. 2014. Land Reform and Land Fragmentation in Central and Eastern
Europe. Land Use Policy. 36: 330-341.
Haslam SM. 1997. The River Scene: Ecology and Cultural Heritage. Cambridge
(US): Cambridge University Press.
Henry M, Tittonell P, Manlay RJ, Bernoux M, Alberecht A. 2009. Biodiversity,
Carbon Stock and Sequestration Potential in Aboveground Biomass in
Smallholder Farming Systems of Western Kenya. Agriculture, Ecosystems
and Environment. 129: 238-252.
Heriyanto NM, Siringoringo HH, Miyakuni K, Yoshiyuki K. 2005. Allometric
equations and other parameters for estimating the amount of biomass in
Pinus merkusii forests. Proceeding of the 2nd Workshop on demonstration
Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia. Ngaloken
Gintings and Han Roliadi (editors). Forestry Research & Development
Agency (FORDA) & Japan International Cooperation Agency (JICA).
Huffman RT, Forsythe SW. 1981. Bottomland hardwood forest communities and
their relation to anaerobis conditions. Di dalam: Clark JR, Benforado J,
editor. Wetlands of Bottomland Hardwood Forest. Amsterdam: Elsevier
Scientific Publishing Co: 87-196.
Huxley P. 1999. Tropical Agroforestry. (UK): Blackwell Science Ltd. ISBN 0-632-
04047-5.
Johnson BL, Richardson WB, Naimo TJ. 1995. Past, Present, and Future Concepts
in Large River Ecology: How Rivers Function and How Human Activities
Influence River Processes. BioScience. 45 (3): 134-141.
Jones EBD, Helfman GS, Harper JO, Bolstad PV. 1999. Effects of Riparian Forest
Removal on Fish Assemblages in Southern Appalachian Streams.
Conservation Biology. 13 (6): 1454-1465.
Jones L, Norton L, Austin Z, Browne AL, Donovan D, Emmett BA, Grabowski ZJ,
Howard DC, Jones JPG, Kenter JO, Manley W, Morris C, Robinson DA,
Short C, Siriwardena GM, Stevens CJ, Storkey J, Waters RD, Willis GF.
2016. Stocks and Flows of Natural and Human-Derived Capital in
Ecosystem Services. Land Use Policy. 52: 151–162.
Jose S. 2009. Agroforestry for Ecosystem Services and Environmental Benefits: an
Overview. Agrofor. Syst. 76: 1–10.
Kartasapoetra AG. 1990. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Untuk
Merehabilitasinya. Jakarta (ID): Bina Aksara.
97

Karyono. 1990. Homegardens in Jawa: Their Structure and Function. eds. Landauer
K, Brazil M. Tropical Homegardens, United Nations. Tokyo (JP):
University Press.
Kaswanto RL, Nakagoshi N. 2014. Landscape Ecology-Based Approach for
Assessing Pekarangan Condition to Preserve Protected Area in West Java.
Designing Low Carbon Societies in Landscapes. 8: 289-311.
Kaswanto RL, Baihaqi M, Hadi AA. 2013. Desain Lanskap Agroforestri Menuju
Masyarakat Rendah Karbon. In: Prosiding Lokakarya Nasional dan
Seminar. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia. Bogor,
Indonesia.
Kehleinbeck K, Arifin HS, Maass B. 2007. Plant Diversity in Home Gardens in a
Socio-Economic and Agro-Ecological Context in the Stability of Tropical
Rainforest Margins: Linking Ecological, Economic and Socio Constraints
(Eds. T. Tscharntke, C. Leuschner, M. Zeller and E. Guhardja). Verlag
Berlin (DE): Springer.
Khoiriah IF, Farda NM. 2010. Perbandingan Akurasi Klasifikasi Penutup Lahan
Hasil Penggabungan Citra ALOS AVNIR-2 dan ALOS PALSAR pada
Polarisasi Berbeda dengan Transformasi Wavelet.
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/11/11 (diakses 30
Mei 2017).
Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York (US): Harper and Row.
Kumar BM, Nair PKR. 2011. Carbon Sequestration Potential of Agroforestry
Systems-Opportunities and Challenges. New York (US): Springer.
Kusmana C. 1998. Evaluasi Aspek Finansial dan Aspek Fisik Lingkungan
Pemanfaatan Lahan Kering dengan Pola Agroforestri. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Kusuma S. 2007. Penentuan Bentuk dan Luas Plot Contoh Optimal Pengukuran
Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Ekosistem Hutan Hujan Dataran
Rendah : Studi Kasus di Taman Nasional Kutai. [Tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana IPB.
Lambin EF, Geist H (Eds.). 2006. Land-Use and Land-Cover Change: Local
Processes and Global Impacts. Berlin (DE): Springer.
Leavitt JM. 1998. The functions of riparian buffers in urban watersheds.
Washington (US): University of Washington.
Leitao AB, Ahern J. 2002. Applying landscape ecological concepts and metrics in
sustainable landscape planning. Landscape and Urban Planning 59: 65-93.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1993. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Ludwiq JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecoloqy a Primer on Methods and
Computing. New York (US): John Wiley & Sons.
Magura T, Lövei GL, Tóthmérész B. 2010. Does urbanization decrease diversity in
ground beetle (Carabidae) assemblages?. J Glob Ecol and Biogeo. 19:16-26.
Magurran AE. 1991. Ecological Diversity and Its Measurement. New York (US):
Chapman & Hall.
Magurran, AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Malden (US): Blackwell
Publishing.
98

Malanson GP. 1995. Riparian Landscapes. Cambridge (US): Cambridge University


Press.
Marsono D. 1997. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Yogyakarta
(ID): Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
Martono. 2004. Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng Terhadap Laju
Kehilangan Tanah Pada Tanah Regosol Kelabu [Tesis]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro.
Mayer PM, Reynolds SK, Canfield TJ, McCutchen MD. 2005. Riparian Buffer
Width, Vegetative Cover and Nitrogen Removal Effectiveness: a Review of
Current Science and Regulations.. Cincinnatti (US): EPA.
Mbow C, Van Noordwijk M, Luedeling E, Neufeldt H, Minang PA, Kowero G.
2014. Agroforestry Solutions to Address Food Security and Climate Change
Challenges in Africa. Environment Sustainable. 6: 61–67.
McAdam JH, Burgess PJ, Graves AR, Rigueiro-Rodríguez A, Mosquera-Losada M.
2009. Classifications and Functions of Agroforestry Systems in Europe. In:
Rigueiro-Rodríguez A, Mcadam J, Mosquera-Losada M. (Eds.)
Agroforestry in Europe. Springer, Netherlands. pp. 21–41.
McGarigal K, Marks BJ. 1995. FRAGSTATS: Spatial Pattern Analysis Program
for Quantifying Landscape Structure Version 2.0. Oregon (US): Forest
Science Department, Oregon State University.
Mercer DE. 2004. Adoption of Agroforestry Innovations in the Tropics: a Review.
Agrofor. Syst. 204411: 311–328.
Mubarok A. 2012. Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya dalam Kaitan dengan
Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor [Disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Mushi MA. 1998. Sistem hutan kerakyatan: inisiatif LSM mempromosikan
komuniti forestri. Di dalam: Awang SA, MA Mushi dan Y Nugroho, editor.
Menggali Potensi Bersama untuk Memekarkan Community Forestry
Menjelang Abad 21. Ujung Pandang (ID): FKKM-PT Inhutani I.
Naiman RJ, Decamps H. 1997. The ecology of interfaces-riparian zones. Annual
Review of Ecology Systematics. 28:621-658.
Nair PKR. 1989. Introduction for Agroforestry. Nairobi (KE): ICRAF.
Nair PKR. 1991. State-of-the-art of agroforestry system. J. Forest Ecology Manage.
45:5-29.
Noviandi TUZ, Arifin HS, Kaswanto. 2016. Manajemen Lanskap Riparian Sebagai
Strategi Pengendalian Ruang Terbuka Biru Pada Sungai Ciliwung [Seminar
Hasil Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nyaga J, Barrios E, Muthuri CW, Öborn I, Matiru V, Sinclair FL. 2015. Evaluating
factors influencing heterogeneity in agroforestry adoption and practices
within smallholder farms in Rift Valley, Kenya. Agriculture, Ecosystems
and Environment 212: 106–118.
Opdam P, Steingröver E, Rooij SV. 2006. Ecological Networks: a Spatial
Conceptfor Multi-Actor Planning of Sustainable Landscapes. Landsc.
Urban Plann. 75: 322–332.
Opdam P. 2013. Using Ecosystem Services in Community-Based Landscape
Planning: Science is not Ready to Deliver. In: FB, Jones KB (Eds.),
99

Landscape Ecology for Sustainable Environment and Culture. Springer,


Dordrecht. Pp. 77–101.
Petts GE. 1990. Forested river corridors: a last resource. Di dalam: Cosgrove D,
Petts G, editor. Water, Engineering and Landsape: Water Control and
Landscape Transformation in the Modern Period. London ( GB): Belhaven
Press.
Potschin M, Haines-Young R. 2013. Landscapes, Sustainability and the Place-
Based Analysis of Ecosystem Services. Landsc. Ecol. 28: 1053–1065.
Priyadarsini R. 2000. Estimasi Modal C (C-stock) Masukan Bahan Organik, dan
Hubungannya dengan Populasi Cacing Tanah pada Sistem Wanatani.
Malng (ID): Universitas brawijaya.
Pujowati P, Arifin HS, Mugnisjah WQ. 2009. Rencana Pengelolaan Lanskap
Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Purnomo DW, Helmanto H, Yudaputra A. 2015. Peran Kebun Raya Indonesia
dalam Upaya Konservasi Tumbuhan dan Penurunan Emisi Karbon. Pros
Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1: 66-70.
[RI] Republik Indonesia. 1990. Pengelolaan Kawasan Lindung. Keputusan
Presiden Nomor 32 Tahun 1990. Jakarta (ID).
[RI] Republik Indonesia. 2011. Kebun Raya. Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun
2011. Jakarta (ID).
[RI] Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia No 28 Tahun 2015. Jakarta (ID).
Restu IW. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Raya
Ngurah Rai Wilayah Pesisir Selatan Bali. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana IPB.
Robson JP, Berkes F. 2011. Exploring Some of the Myths of Land Use Change:
Can Rural to Urban Migration Drive Declines in Biodiversity?. Global
Environmental Change. 21: 844–854.
Rochmayanto Y, Wibowo A, Lugina M, Butarbutar T, Mulyadin RM, Wicaksono
D, Rusulono T. 2014. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan
Jenis Tanaman di Indonesia (Seri 2). DI Yogyakarta (ID): Kanisius.
Roshetko MJ, Dealaney M, Hairiah K, Purnomosidhi P. 2002. Carbon Stock in
Indonesia Homegarden Systems: Can Smallholder Systems be Targeted for
Increased Carbon Stroage. American Journal of Alternative Agroculture.
International Centre for Research Agroforestry. Nairobi, Kenya.
Salami A, Kamara AB, Brixiova Z. 2010. Smallholder Agriculture in East Africa:
Trends, Constraints and Opportunities. Working Papers 105.
Sardjono MA, Djogo T, Arifin HS, Wijayanto N. 2003. Klasifikasi dan Pola
Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor (ID): World Agroforestry Centre
(ICRAF).
Sitorus S. 2001. Pengembangan sumberdaya lahan berkelanjutan. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): Departemen Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian IPB.
Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
100

Stevaux JC, Corradini FA, Aquino S. 2012. Connectivity processes and riparian
vegetation of the upper Paraná River, Brazil. J South American Earth
Sciences. 46:113-121.
Sugiharto C. 2002. Kajian Aluminium Sebagai Faktor Pembatas Pertumbuhan Akar
Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nelson). Malang (ID): Universitas
Brawijaya.
Suryana, S. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Jagung di
Kabupaten Blora [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Susetyo B, Widiatmaka, Arifin HS, Machfud, Nurhayati. 2014. Analisis Spasial
Kemampuan dan Kesesuaian Lahan untuk Mendukung Model Perumusan
Kebijakan Manajemen Lanskap di Sempadan Ciliwung, Kota Bogor.
Majalah Ilmiah Globë. 16: 51-58.
Sutopo MF. 2011. Pengembangan Kebijakan Pembayaran Jasa Lingkungan dalam
Pengelolaan Air Minum (Studi Kasus DAS Cisadane Hulu) [Disertasi].
Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Termorshuizen J, Opdam P. 2009. Landscape services as a bridge between
landscape ecology and sustainable development. Landsc. Ecol. 24: 1037–
1052.
Tsonkova P, Böhm C, Quinkenstein A, Freese D. 2012. Ecological Benefits Pro-
Vided by Alley Cropping Systems for Production of Woody Biomass in the
Temperate Region: a Review. Agrofor. Syst. 85: 133–152.
Turner GM, Gardner RH, O’Neill RV. 2001. Landscape Ecology in Theory and
Practice: Pattern and Process. New York (US): Springer-Verlag.
VanBerkel DB, Verburg PH. 2014. Spatial Quantification and Valuation of Cultural
Ecosystem Services in an Agricultural Landscape. Ecol. Indic. 37: 163–174.
Verry ES, Dolloff CA, Manning ME. 2004. Riparian ecotone: a functional
definition and delineation for resource assessment. J Water, Air, & Soil
Pollution. 4:67-94.
Vink AP. 1975. Landuse Inadvancing Agriculture Springer Verlag. New York
(US): Helderberg.
Vitousek PM, Mooney HA, Lubchenco J, Melillo JM. 1997. Human domination of
Earth’s. ecosystems. Science. 277: 494–499.
Waring RH, Schlesinger WH. 1985. Forest Ecosystems: Concepts and
Management. San Diego (US): Academic Press, Inc.
Westerink J, Opdam P, van Rooij S, Steingröver E. 2017. Landscape Services as
Boundary Concept in Landscape Governance: Building Social Capital in
Collaboration and Adapting the Landscape. Land Use Policy. 60: 408–418.
Woodley S, Kay J, Francis G. 1993. Ecological Integrity and the Management of
Ecosystems. Boca Raton (FL): St. Lucie Press.
Wunder S. 2005. Payment for Environmental Services: Some Nuts and Bolts..
Center for International Forestry Research.
York AM, Shrestha M, Boone CG, Zhang S, Harrington JA, Prebyl TJ, Swann A,
Agar M, Antolin MF, Nolen B, Wright JB, Skaggs R. 2011. Land
Fragmentation Under Rapid Urbanization: A cross-site analysis of
Southwestern cities. Urban Ecosyst. 14: 429–455.
101

LAMPIRAN
73

Lampiran 1 Classification accuracy assessment report

Ground Truth
Class Sungai Kebun Perumahan Perumahan Lahan Anak
Talun Pekarangan Kolam Jalan Total
Utama Campuran Organik Terrencana Kosong Sungai
Sungai Utama 11.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.00
Talun 0.00 13.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 14.00
Kebun Campuran 0.00 0.00 7.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.00
Pekarangan 0.00 0.00 0.00 9.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.00
Perumahan Organik 0.00 0.00 0.00 1.00 12.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.00
Perumahan Terrencana 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 11.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.00
Lahan Kosong 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 12.00 0.00 0.00 0.00 13.00
Kolam 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.00 0.00 0.00 7.00
Jalan 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 0.00 7.00 0.00 9.00
Anak Sungai 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.00 4.00
Total 11.00 13.00 8.00 12.00 12.00 13.00 12.00 8.00 7.00 4.00 100.00
Katerangan: Jumlah titik point akurasi (Ground Truth) = 100 titik

: Pixel benar : Pixel salah

Overall Accuracy: Kappa Coefficient:

Jumlah pixel benar N ∑ri=1 Xii - ∑ri=1 (xi+ * x+i )


= X 100 =
N2 - ∑i=1
r (x * x )
Total pixcel i+ +i

(11+13+7+9+12+11+12+7+7+4) ((100*(11+13+7+9+12+11+12+7+7+4) - (11*11)+(14*13)+(7*8)+(10*12)+(13*12)+(12*13)+(13*8)+(7*8)+(9*7)+(4*4))


= X 100 = 93.00% = = 0.92
100 1002 - (11*11)+(14*13)+(7*8)+(10*12)+(13*12)+(12*13)+(13*8)+(7*8)+(9*7)+(4*4)

102
103

Lampiran 2 Jenis tumbuhan yang ditemukan pada talun di riparian Sungai


Ciliwung di Kota Bogor

Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
1 Ara songsang Asystasia gangetica Acanthaceae I H
2 Rumput pletekan Ruellia tuberosa Acanthaceae I H
3 Hanjuang merah Cordyline terminalis Agavaceae II A
4 Sri rejeki Aglaonema sp. Agavaceae I A
5 Bayam-bayaman Coleus sp. Amaranthaceae II A
6 Bunga desember Haemanthus multiflorus Amaryllidaceae I A
7 Asam putar (limus) Mangifera torquenda Anacardiaceae V B
8 Kedondong Spondias dulcis Anacardiaceae IV B, C
9 Mangga Mangifera indica Anacardiaceae IV B
10 Mangga kuweni Mangifera odorata Anacardiaceae IV B
11 Rengas Glauta renghas Anacardiaceae V H
12 Sirsak Annona muricata Annonaceae III B, F
13 Alokasia tengkorak Alocasia cypeolata Araceae I A
14 Gelombang cinta Anthurium plowmanii Araceae I A
15 Talas Colocasia esculenta Araceae I C, E
Tanaman
16 Dieffenbachia bowmannii Araceae I A
Dieffenbachia
17 Fatsia Fatsia japonica Araliaceae I H
18 Mangkokan Nothopanax scutellarium Araliaceae II A, C
19 Pinang jambe Areca catechu Arecaceae III A, H
20 Kirinyuh Chromolaena odorata Asteraceae II H
21 Mikania Mikania micrantha Asteraceae II H
22 Rumput babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae I H
23 Rumput legetan Synedrella nodiflora Asteraceae I H
24 Seruni rambat Widelia biflora Asteraceae I A
25 Sintrong Crassocephalum crepidioides Asteraceae I C
26 Wijaya kusuma Epiphyllum oxypetalum Cactaceae II A
Rumput maman
27 Cleome rutidosperma Capparidaceae I H
ungu
28 Pepaya Carica papaya L. Caricaceae IV B, C
29 Pepaya jepang Carica papaya Caricaceae I A, C
30 Pacing liar Costus spicatus Costaceae I A, H
31 Rumput teki ladang Cyperus rotundus Cyperaceae I H
32 Rumput teki payung Cyperus alternifolius Cyperaceae I H
33 Pakis monyet Dicksonia antartica Dicksoniaceae III A, H
34 Paku jejer Nephrolepis exaltata Dryopteridaceae I H
35 Karet Hevea brasiliensis Euphorbiaceae III G, H
104

Lanjutan Lampiran 2
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
36 Kareumbi Homalanthus populneus Euphorbiaceae IV H
37 Mara (tutup merah) Macaranga tanarius L. Euphorbiaceae I H
38 Puring Codiaeum variegatum Euphorbiaceae II A
39 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae II C, E
40 Teh-tehan Acalypha siamensis Euphorbiaceae I A
41 Angsana Pterocarpus indicus Fabaceae III H
42 Asem Tamarindus indica Fabaceae IV C, D, F
43 Gamal Gliricidia sepium Fabaceae IV H
44 Kembang telang Clitoria ternatea Fabaceae I A, H
45 Lamtoro Leucaena leucocephala Fabaceae IV C, H
46 Lamtoro hutan Leucaena sp. Fabaceae II H
47 Petai Parkia speciosa Fabaceae IV C
48 Sengon Albizia chinensis Fabaceae V G, H
49 Helikonia Heliconia psittacorum Heliconiaceae II A
Rumput godong
50 Hyptis rhomboidea Lamiaceae I H
puser
51 Alpukat Persea americana Lauraceae IV B
52 Lidah buaya Aloe vera Liliaceae I A, F
53 Taiwan beauty Cuphea hyssopifolia Lythraceae I A
54 Randu Ceiba pentandra Malvaceae V H
55 Sidaguri Sida rhombifolia Malvaceae I H
56 Waru Hibiscus tiliaceus Malvaceae IV H
57 Maranta Maranta bicolor Marantaceae I A
58 Langsat Lansium domesticum Meliaceae V B
59 Mimba Azadirachta indica Meliaceae IV F
60 Awar-awar Ficus septicum Moraceae I H
61 Nangka Artocarpus heterophyllus Moraceae IV B
62 Pohon ara Ficus racemosa Moraceae V H
63 Sukun Artocarpus communis Moraceae V C
64 Teureup (bendo) Artocarpus elasticus Moraceae V B
65 Uyah-uyahan Ficus montana Moraceae I H
66 Pisang Musa sp. Musaceae IV B
67 Daun salam Syzygium polyanthum Myrtaceae IV D
68 Jambu air Syzygium aqueum Myrtaceae III B
69 Jambu biji Psidium guajava Myrtaceae IV B, F
70 Jambu bol Syzygium malaccense Myrtaceae III B
71 Pakis sayur Diplazium esculentum Oleandraceae I C
72 Anggrek merpati Dendrobium Crumenatum Orchidaceae I A
73 Kelapa Cocos nucifera Palmae V B, D
Rumput kancing
74 Borreria laevis Passifloraceae I H
ungu
105

Lanjutan Lampiran 2
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
75 Meniran Phyllanthus urinaria L. Phyllanthaceae I F
76 Sirih-sirihan Piper aduncum L. Piperaceae III H
77 Bambu hitam Gigantochloa atroviolacea Poaceae V G, H
78 Bambu kuning Bambusa vulgaris Poaceae V A, H
79 Bambu tali Gigantochloa apus Poaceae V G, H
80 Gelagah Saccharum spontaneum Poaceae I H
81 Rumput bambu Lophatherum gracile Poaceae I H
82 Rumput paitan Axonopus compressus Poaceae I A, H
83 Krokot Portulaca oleracea L. Portulacaceaea I C
84 Jabon Neolamarckia cadamba Rubiaceae V G, H
85 Rumput mutiara Hedyotis corymbosa L. Rubiaceae I H
86 Soka merah Ixora coccinea Rubiaceae II A
87 Jeruk purut Citrus hystrix Rutaceae III D
88 Rambutan Nephelium lappaceum Sapindaceae IV B
89 Sawo Manilkara zapota Sapotaceae III B
90 Rumput cakar ayam Selaginella doederleinii Selaginellaceae I H
91 Jati Tectona grandis Verbenaceae IV G, H
92 Tembelekan Lantana camara Verbenaceae II A, H
93 Jahe Zingiber officinale Zingiberaceae II D, F
94 Kunyit Curcuma longa Zingiberaceae II D, F
Jumlah Famili 44
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F =
Obat, G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
106

Lampiran 3 Jenis tumbuhan yang ditemukan pada kebun campuran di


riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
1 Ara songsang Asystasia gangetica Acanthaceae I H
2 Rumput pletekan Ruellia tuberosa Acanthaceae I H
3 Hanjuang hijau Cordyline fruticosa Agavaceae II A
4 Hanjuang merah Cordyline terminalis Agavaceae II A
5 Sri rejeki Aglaonema sp. Agavaceae I A
6 Jengger ayam Celosia spicata Amaranthaceae I A
7 Mangga Mangifera indica Anacardiaceae IV B
8 Mangga kuweni Mangifera odorata Anacardiaceae IV B
9 Sirsak Annona muricata Annonaceae III B, F
10 Bintaro Cerbera odollam Gaertn. Apocynaceae III A, H
Kamboja
11 Plumeria rubra Apocynaceae III A
Kuburan
12 Keladi hias Caladium bicolor Araceae I A
13 Singonium Syngonium podophyllum Araceae I A
14 Talas Colocasia esculenta L. Araceae I C, E
15 Fatsia Fatsia japonica Araliaceae IV H
16 Kedondong laut Nothopanax fruticosum Araliaceae I C, H
17 Mangkokan Nothopanax scutellarium Araliaceae I A, C
18 Aren Arenga pinnata Arecaceae IV G, H
19 Kirinyuh Chromolaena odorata Asteraceae II H
Rumput
20 Ageratum conyzoides Asteraceae I H
babadotan
21 Rumput legetan Synedrella nodiflora Asteraceae I H
22 Seruni jambat Widelia biflora Asteraceae I A, H
23 Sintrong Crassocephalum crepidioides Asteraceae I C
24 Mikania Mikania micrantha Asteraceae I H
25 Impatien Impatiens wallrana Balsaminaceae I A
26 Durian Durio zibethinus Bombaceae V B
27 Nenas Ananas comosus Bromeliaceae I B
28 Kitolod Isotoma longiflora Presi. Campanulaceae I H
29 Pepaya Carica papaya L. Caricaceae III B, C
30 Ubi rambat Ipomoea batatas L. Convolvulaceae I C, E
31 Pacing liar Costus spicatus Costaceae II A, H
Rumput teki
32 Cyperus rotundus Cyperaceae I H
ladang
Rumput teki
33 Cyperus alternifolius Cyperaceae I H
payung
34 Paku jejer Nephrolepis sp. Dryopteridaceae I H
35 Kalpataru Hura crepitans L. Euphorbiaceae V H
107

Lanjutan Lampiran 3
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
36 Katuk Sauropus androgynus Euphorbiaceae I C
37 Puring Codiaeum variegatum Euphorbiaceae II A
38 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae III C, E
39 Bengkoang Pachyrhizus erosus Fabaceae I E
40 Gamal Gliricidia sepium Fabaceae III H
41 Jengkol Archidendron pauciflorum Fabaceae IV C
42 Lamtoro Leucaena leucocephala Fabaceae IV C, H
43 Petai Parkia speciosa Fabaceae V C
44 Putri malu Mimosa pudica Fabaceae I H
45 Sengon Albizia chinensis Fabaceae V G, H
46 Trembesi Samanea saman Fabaceae IV H
47 Kemangi Ocimum citriodorum Lamiaceae I C
Rumput godong
48 Hyptis rhomboidea Lamiaceae I H
puser
49 Alpukat Persea americana Lauraceae IV B
50 Bungur kecil Lagerstroemia indica Lythraceae III A, H
51 Rosela Hibiscus sabdariffa Malvaceae II A, F
52 Langsat Lansium domesticum Meliaceae IV B
53 Nangka Artocarpus heterophyllus Moraceae IV B
54 Sukun Artocarpus communis Moraceae III C
55 Tin Ficus carica Moraceae II A, F
56 Kersen Muntingia calabura Muntingiaceae III B
57 Pisang Musa sp. Musaceae IV B
58 Cengkeh Syzygium aromaticum Myrtaceae IV A, F, G
59 Jambu air Syzygium aqueum Myrtaceae IV B
60 Jambu biji Psidium guajava Myrtaceae III B, F
61 Daun salam Syzygium polyanthum Myrtaceae IV D
62 Kelapa Cocos nucifera Palmae V B, D
63 Meniran Phyllanthus urinaria L. Phyllanthaceae I F
64 Menteng Baccaurea racemosa Phyllanthaceae IV B
65 Sirih-sirihan Piper aduncum L. Piperaceae II H
66 Bambu tali Gigantochloa apus Poaceae V G, H
67 Rumput bebek Echinochloa colona Poaceae I H
68 Gelagah Saccharum spontaneum poaceae I H
69 Rumput paitan Axonopus compressus Poaceae I A, H
70 Rumput belulang Eleusine indica Poaceae I H
71 Suplir Adiantum terenium Pteridaceae I A
72 Kopi Coffea sp. Rubiaceae III H
Rumput daun
73 Pilea nummulariifolia Rubiaceae I A
mutiara
108

Lanjutan Lampiran 3
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
Rumput
74 Borreria alata Rubiaceae I H
kentangan
75 Jeruk Citrus sp. Rutaceae IV B
76 Matoa Pometia pinnata Sapindaceae I B
77 Rambutan Nephelium lappaceum Sapindaceae V B
78 Sawo Manilkara zapota Sapotaceae I B
79 Cabai rawit Capsicum annuum Solanaceae I C
80 Terong pipit Solanum torvum Solanaceae II C
81 Jati Tectona grandis Verbenaceae IV G
82 Jati putih Gmelina arborea Verbenaceae IV G, H
83 Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae I H
Jumlah Famili 41
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F = Obat,
G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
109

Lampiran 4 Jenis tumbuhan yang ditemukan pada pekarangan di riparian


Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
1 Ara songsang Asystasia gangetica Acanthaceae I H
2 Rumput pletekan Ruellia tuberosa L. Acanthaceae I H
3 Agave Agave angustifolia Agavaceae I A
Dracena pink
4 Dracaena marginata Agavaceae II A
variegata
5 Hanjuang merah Cordyline terminalis Agavaceae II A
6 Hanjuang putih Cordyline sp. Agavaceae II A
7 Sri rejeki Aglaonema sp. Agavaceae II A
8 Bayam duri Amaranthus spinosus L. Amaranthaceae I C
9 Jengger ayam Celosia spicata Amaranthaceae I A
10 Bakung Crynum sp. Amaryllidaceae I A
11 Mangga Mangifera indica Anacardiaceae IV B
12 Mangga kuweni Mangifera odorata Anacardiaceae III B
13 Sirsak Annona muricata Annonaceae II B, F
14 Melati ceylon Tabernaemontana divaricata Apocynaceae II A
15 Daun pilo Philodendron selloum Araceae II A
16 Singonium Syngonium podophyllum Araceae I A
17 Talas batang coklat Alocasia Macrorrhiza Araceae I E
18 Fatsia Fatsia japonica Araliaceae III H
19 Kedondong laut Nothopanax fruticosum Araliaceae II C, H
20 Mangkokan Nothopanax scutellarium Araliaceae I A, C, F
21 Palem ekor ikan Caryota mitis Arecaceae IV A
22 Palem ekor tupai Wodyetia bifurcata Arecaceae IV A
23 Palem kol Licuala grandis Arecaceae III A
24 Palem putri Veitchia merillii Arecaceae IV A
25 Palem raja Roystonea regia Arecaceae V A
26 Pinang jambe Areca catechu Arecaceae IV A
27 Rotan Calamus axillaris Arecaceae III H
28 Beluntas Pluchea indica Asteraceae II C, F
29 Rumput babadotan Ageratum conyzoides Asteraceae I H
30 Rumput legetan Synedrella nodiflora Asteraceae I H
31 Seruni rambat Widelia biflora Asteraceae I A
32 Sintrong Crassocephalum crepidioides Asteraceae I C
33 Tempuyung Sonchus arvensis Asteraceae I F
34 Kembang bawang Mansoa hymenaea Bignoniaceae II A
35 Durian Durio zibethinus Bombaceae V B
36 Kenari Canarium indicum L. Burseraceae V H
37 Pepaya Carica papaya L. Caricaceae III B, C
110

Lanjutan Lampiran 4
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
38 Ketapang Terminalia catappa Combretaceae I A
39 Adam hawa Rhoeo discolor Commelinaceae I A
40 Callisia Callisia fragrans Commelinaceae I A
41 Zebrina Tradescantia zebrina Commelinaceae I A
42 Cocor bebek Bryophyllum pinnatum Crassulaceae I A, F
43 Cemara kipas Thuja orientalis Cupressaceae IV A
44 Suji Dracaena angustifolia Dracaenaceae II A, D, F
45 Bunga air mata ibu Euphorbia milii Euphorbiaceae I A
46 Kalpataru Hura crepitans L. Euphorbiaceae V H
47 Mara (tutup merah) Macaranga tanarius L. Euphorbiaceae II H
48 Patah tulang/zig-zag Pedilanthus tithymaloides Euphorbiaceae I A
49 Puring Codiaeum sp. Euphorbiaceae III A
50 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae III C, E
51 Teh-tehan Acalypha siamensis Euphorbiaceae II A
52 Angsana Pterocarpus indicus Fabaceae V H
53 Lamtoro Leucaena leucocephala Fabaceae IV C, H
54 Petai Parkia speciosa Fabaceae III C
55 Sapu tangan Maniltoa grandiflora Fabaceae V A, H
56 Bawang dayak Eleutherine palmifolia Iridaceae I A, F
57 Bunga iris kuning Neomarica longifolia Iridaceae I A
58 Kumis kucing Orthosiphon aristatus Lamiaceae I A, F
59 Alpukat Persea americana Lauraceae IV B
60 Pegagan Centella asiatica Mackinlayaceae I A, C, F
61 Awar-awar Ficus septicum Moraceae I H
62 Beringin Ficus benjamina Moraceae V A, H
63 Beringin karet Ficus elastica Moraceae V A, H
64 Sukun Artocarpus communis Moraceae IV C
65 Kersen Muntingia calabura Muntingiaceae III A, B
66 Pisang Musa sp. Musaceae III B
67 Daun salam Syzygium polyanthum Myrtaceae III D, F
68 Jambu air Syzygium aqueum Myrtaceae III B
69 Jambu biji Psidium guajava Myrtaceae III B, F
70 Pucuk merah Syzygium campanulatum Myrtaceae III A
71 Bogenvil Bougainvillea sp. Nyctaginaceae III A
72 Bunga pukul empat Mirabilis jalapa Nyctaginaceae I A
73 Belimbing Averrhoa carambola Oxalidaceae IV B
74 Kelapa Cocos nucifera Palmae IV B, D
75 Kelapa kuning Cocos sp. Palmae V B
76 Pandan Pandanus amaryllifolius Pandanaceae II D, F
111

Lanjutan Lampiran 4
Strata Fungsi
No Nama Lokal Nama Latin Famili
Tanaman Tanaman
77 Ceremai Phyllanthus acidus Phyllanthaceae IV B
78 Meniran Phyllanthus urinaria L. Phyllanthaceae I F
79 Pinus Pinus merkusii Jungh. Pinaceae V A
80 Alang-alang Imperata cylindrica Poaceae I H
81 Bambu tali Gigantochloa apus Poaceae IV H
82 Rumput belulang Eleusine indica Poaceae I H
83 Rumput paetan Axonopus compressus Poaceae I A, H
84 Paku jejer Nephrolepis exaltata Polypodiaceae I A, H
85 Paku sarang burung Asplenium nidus Polypodiaceae I A
86 Krokot Portulaca oleracea L. Portulacacaease I A, C
87 Paku batang hitam Aspidium pedatum Pteridaceae I H
88 Daun mutiara Pilea nummulariifolia Rubiaceae I A
89 Mengkudu Morinda citrifolia Rubiaceae III F
Rumput kancing
90 Borreria laevis Rubiaceae I H
ungu
91 Soka merah Ixora coccinea Rubiaceae II A
92 Euodia Euodia sauveolens Rutaceae I A
93 Jeruk Citrussp. Rutaceae III B
94 Jeruk purut Citrus hystrix Rutaceae III D, F
95 Kerai payung Filicium decipiens Sapindaceae V A, H
96 Rambutan Nephelium lappaceum Sapindaceae III B
97 Tanjung Mimusops elengi Sapotaceae IV A
98 Cabai rawit Capsicum annuum Solanaceae I C
99 Kecubung Brugmansia suaveolens Solanaceae III A, F
100 Jati Tectona grandis Verbenaceae IV G, H
Jumlah Famili 45
Keterangan:
a. Strata tanaman: I = <1 m, II = 1-2 m, III = 2-5 m, IV = 5-10 m, dan V = >10 m
b. Fungsi Tanaman: A = Tanaman Hias, B = Buah, C = Sayur, D = Bumbu, E = Penghasil Pati, F = Obat,
G = Industri, dan H = Fungsi lainnya (konservasi, pakan, kerajinan, dsb)
112

Lampiran 5 Produksi tanaman per komoditi pada penggunaan lahan


agroforestri di riparian Sungai Ciliwung di Kota Bogor
Jenis
Nomor Jenis Produksi Total Produksi
Penggunaan Jenis tanaman
Petak Panen (Mg/ha) (Mg/ha)
Lahan
Cabai rawit Sayur 1.92
Singkong Umbi 34.20
Pepaya Buah 40.00
Kebun
I Pisang Buah 14.20 112.95
Campuran
Rambutan Buah 7.41
Nangka Buah 5.96
Durian Buah 9.25
Ubi rambat Umbi 3.75
Nenas Buah 5.40
Jambu biji Buah 4.35
Pisang Buah 9.00
Kebun Nangka Buah 2.98
II 47.92
Campuran Petai Buah 2.03
Mangga Buah 3.75
Durian Buah 9.25
Jengkol Sayur 4.00
Alpukat Buah 3.41
Kunyit Umbi 5.69
Talas Umbi 2.38
Sirsak Buah 24.00
III Talun Pisang Buah 4.44 44.75
Petai Buah 1.01
Nangka Buah 5.96
Alpukat Buah 1.28
Pepaya Buah 59.50
Pisang Buah 6.00
Alpukat Buah 1.28
IV Pekarangan Mangga Buah 7.50 80.56
Belimbing Buah 0.91
Durian Buah 3.75
Jambu air Buah 1.63
V Pekarangan Pepaya Buah 106.67 106.67
Cabai rawit Sayur 1.28
Jambu biji Buah 2.90
VI Pekarangan Pisang Buah 4.50 15.58
Rambutan Buah 3.71
Alpukat Buah 2.28
113

Lanjutan Lampiran 5
Jenis
Nomor Jenis Produksi Total Produksi
Penggunaan Jenis tanaman
Petak Panen (Mg/ha) (Mg/ha)
Lahan
VI Pekarangan Belimbing Buah 0.91 15.58
Talas batang coklat Umbi 1.02
Pepaya Buah 20.00
Jambu biji Buah 1.45
Jambu air Buah 1.63
VII Pekarangan Alpukat Buah 0.64 38.70
Pisang Buah 3.55
Belimbing Buah 0.91
Sukun Sayur 5.25
Mangga Buah 4.25
Pepaya Buah 25.50
Pisang Buah 3.00
VIII Talun 38.41
Rambutan Buah 5.66
Mangga kuweni Buah 4.25
Jahe Umbi 2.38
Kunyit Umbi 0.71
Singkong Umbi 14.85
IX Talun Pepaya Buah 10.00 41.42
Pisang Buah 4.44
Jambu air Buah 1.63
Rambutan Buah 7.41
X Pekarangan Jeruk Buah 2.32 2.32
Singkong Umbi 17.10
Rambutan Buah 10.00
Kebun
XI Pisang Buah 6.21 43.06
Campuran
Pepaya Buah 4.25
Jengkol Sayur 5.50
Pepaya Buah 40.00
Mangga kuweni Buah 4.75
Kebun Nangka Buah 2.98
XII 65.33
Campuran Pisang Buah 7.10
Jambu air Buah 4.75
Mangga Buah 5.75
Pepaya Buah 34.00
Jambu air Buah 6.50
Sawo Buah 1.38
XIII Talun 72.21
Petai Sayur 1.88
Mangga kuweni Buah 5.50
Rambutan Buah 5.25
114

Lanjutan Lampiran 5
Jenis
Nomor Jenis Produksi Total Produksi
Penggunaan Jenis tanaman
Petak Panen (Mg/ha) (Mg/ha)
Lahan
Jambu biji Buah 0.63
Nangka Buah 8.25
XIII Talun 72.21
Pisang Buah 6.21
Sukun Sayur 2.63
Singkong Umbi 12.00
Jambu biji Buah 3.50
Pepaya Buah 17.00
Sirsak Buah 3.25
Kebun
XIV Nangka Buah 5.50 57.79
Campuran
Alpukat Buah 3.41
Pisang Buah 4.50
Jengkol Buah 5.50
Rambutan Buah 3.13
Sumber: Hasil wawancara dengan pemilik atau pengelola lahan (2017)
115

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 07 Juli 1993 di


Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur. Penulis merupakan anak
kedua dari lima bersaudara dari pasangan Simon Wastam
dan Natalia Boinem. Pendidikan sarjana (Strata 1)
ditempuh di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Mulawarman (UNMUL), dan lulus
pada tahun 2015. Pada tahun yang sama, penulis
melanjutkan studi magister di Program Studi Arsitektur
Lanskap pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Pada tahun 2014, penulis sempat menjadi asisten praktikum pada mata
kuliah Dasar-dasar Agronomi dan Rancangan Percobaan di Fakultas Pertanian,
UNMUL. Pada tahun 2015, penulis menyampaikan presentasi poster dengan judul
The Production of Chili (Capsicum frutescens L.) in Rubber Trees Agroforestry
System pada acara International Symposium “ASEAN Youth Exchange on
Biotechnology of Biomass Utilization for ASEAN Development” yang
diselenggarakan oleh Universitas Mulawarman dan Chulalongkorn University.
Pada tahun yang sama penulis mendapatkan penghargaan sebagai lulusan terbaik
ke-dua pada wisuda Universitas Mulawarman gelombang ke III. Selama menjadi
mahasiswa S-2, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Keluarga
Mahasiswa Katolik (Kemaki) IPB. Pada Tahun 2016, penulis menjadi panitia pada
acara “The 2nd International Symposium for Sustainable Landscape Development”
yang diselenggarakan oleh Departemen Arsitektur Lanskap, IPB. Pada tahun 2017,
penulis kembali menjadi panitia sekaligus poster presenter dengan judul Plants
Production of Agroforestry System in Ciliwung Riparian Landscape in Bogor
Municipality pada acara “The 3rd International Symposium for Sustainable
Landscape Development” yang diselenggarakan pada 14-15 November 2017 di
IICC IPB Bogor.

Anda mungkin juga menyukai