FIRMAN SYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Valuasi Ekonomi Ekosistem
Hutan Mangrove Di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Firman Syah
E151150291
RINGKASAN
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VALUASI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
DI KABUPATEN BUTON UTARA PROVINSI
SULAWESI TENGGARA
FIRMAN SYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Nining Puspaningsih, MSi
PRAKATA
Firman Syah
DAFTAR ISI
1 Kerangka penelitian 6
2 Peta lokasi penelitian 7
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang berada di daerah pesisir pantai
dan menjadi bagian dari ekosistem pesisir dan laut. Mangrove merupakan suatu
formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, lantai hutannya tergenang
pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan.
Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai fungsi yang spesifik yang
keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan
dan lautan.
Hutan mangrove umumnya berkembang biak pada pantai yang terlindung,
muara sungai, atau laguna. Hutan mangrove ini memegang peranan penting dalam
menjamin keberlanjutan biodiversitas hewan dan tumbuhan yang terdapat
didalamnya sebagai penyusun sumber daya pesisir. Hutan mangrove merupakan
ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan
lautan. Mempunyai fungsi ekonomi yang penting seperti penyedia kayu, daun-
daunan sebagai bahan baku obat-obatan dan lain-lain (Saprudin dan Halidah
2012).
Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 3.2 juta hektar mangrove yang
tersebar diseluruh pulau besar dan kecil atau hampir 21% dari total mangrove
dunia dengan jumlah spesies mangrove tidak kurang 75 spesies. Kondisi ini
membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan mangrove terluas dengan
tingkat keanekaragaman hayati yang relatif tinggi (Giriet et al. 2014). Luas
mangrove untuk wilayah Sulawesi Tenggara sekitar 74 348 820 ha (RLPS-MOF
2007 dalam Hartini et al. 2010). Kabupaten Buton Utara memiliki luas hutan
mangrove sekitar 13 393.42 ha yang tersebar disebagian kecamatan dan desa yang
ada, diantaranya Desa Eelahaji yang memiliki luas hutan mangrove sekitar 35 ha
sedangkan untuk luas hutan mangrove di Desa Kalibu sekitar 27 ha.
Hutan mangrove termasuk ekosistem khas wilayah tropika yang unik dalam
lingkungan hidup yang memiliki formasi perpaduan antara daratan dan lautan.
Adanya pengaruh laut dan daratan sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat
fisika dan sifat biologi. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar
sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi) dari erosi daerah
hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Proses dekomposisi serasah mangrove
yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Hutan
mangrove merupakan sumberdaya alam khas pesisir tropika, yang mempunyai
manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas apabila ditinjau dari aspek
sosial, ekonomi dan ekologi (Sobari et al. 2006)
Secara ekologis mangrove berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan
gelombang pasang. Selain itu, hutan ini juga berfungsi sebagai tempat untuk
memijah (spawning ground), sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai
tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis hewan yang hidup
pada badan air maupun hewan yang hidup di atas badan air (Wahidin et al. 2013).
Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai,
karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai
2
Perumusan Masalah
terbuka hijau yang jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Mulyadi dan Fitriani
2010).
Kesalahan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan
sumberdaya alam, memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap
menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya (termasuk
masyarakat lokal) yang memiliki ketergantungan secara langsung terhadap
sumberdaya alam tersebut. Apabila kondisi ini dipertahankan, maka laju degradasi
sumberdaya alam akan semakin cepat. Degradasi hutan mangrove akan
menimbulkan intrusi air laut dan hilangnya biota laut. Oleh karena itu, pada setiap
lokasi hutan mangrove perlu memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti
salinitas, pasang surut dan topografi. Kerusakan hutan mangrove masih terus
terjadi, walaupun ada aturan untuk menjaga kelestariannya.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah
bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif. Dalam
pengelolaannya tidak hanya melihat harga pasar (market price) dari barang dan
jasa yang dihasilkan dari suatu sumberdaya alam tetapi juga melihat manfaat
langsung dan manfaat tidak langsung yang dihasilkan yang belum memiliki harga
pasar (non market price).
Ditinjau dari nilai manfaat ekonominya, sepintas nilai manfaat fisik dan
biologi dianggap kurang penting karena tidak dirasakan secara langsung. Menurut
Sudarisman (1997) dalam Alfian (2004) manfaat fisik dan biologi inilah yang
membuat nilai hutan sangat penting, karena manfaat ekonomi misalnya udang,
ikan, kerang akan meningkat jika habitatnya baik, sehingga fungsi ekologi dan
perlindungan cocok bagi kehidupan dan perkembangan biota perairan tersebut.
Fungsi ekologi dapat memberi manfaat tidak langsung bagi masyarakat
sedangkan fungsi ekonomi akan memberikan manfaat langsung kepada manusia.
Meningkatnya pemanfaatan fungsi ekonomi akan berdampak terhadap menurunya
fungsi ekologi, tetapi jika ekosistem mangrove tidak dimanfaatkan maka
masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai ekonomi. Terutama
pada kondisi sosial masyarakat Desa Eelahaji dan Desa Kalibu yang
kehidupannya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan petani. Oleh karena
itu kehidupan mereka tergantung dari hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, serta
penjualan kayu bakar yang berasal dari mangrove dan hasil pertanian.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial, serta persepsi masyarakat terhadap ekosistem
mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji?
2. Bagaimana komposisi vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji?
3. Berapa besar nilai dan pemanfaatan (use value) dan nilai bukan pemanfaatan
(non-use value) ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji?
Tujuan Penelitian
3. Menghitung nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non-use value)
ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.
Manfaat Penelitian
Kerangka Pikir
Identifikasi manfaat
hutan mangrove
Nilai Nilai
Nilai langsung Nilai tidak
pilihan keberadaan
langsung
2 METODE PENELITIAN
untuk mengetahui berapa besar nilai ekonomi mangrove pada vegetasi yang utuh
dan untuk mengetahui berapa berapa nilai ekonomi mangrove yang sudah rusak.
Letak geografis Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat di lihat pada Gambar 2.
Data primer pada penelitian ini diperoleh melalui dua cara yaitu wawancara
menggunakan kuisioner, dan observasi langsung dilapangan. Wawancara
dilakukan untuk mencari informasi mengenai peranan masyarakat terhadap hutan
mangrove. Observasi langsung dilapangan yang akan dilakukan meliputi kondisi
komoditi semua jenis pemanfaatan mangrove seperti biodiversitas, luas hutan
mangrove, identifikasi manfaat dan potensi mangrove, kerapatan dan jenis
individu, identifikasi jenis dan jumlah organisme yang berasosiasi dengan
mangrove, produktivitas manfaat dan potensi, harga pasar, salinitas air sumur. Hal
ini untuk mengetahui perbedaan nilai ekonomi mangrove yang masih baik di Desa
Kalibu dan nilai ekonomi mangrove yang vegetasinya sudah rusak/jarang di Desa
Eelahaji.
Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data pendukung dari
berbagai instansi pemerintah Kabupaten Buton Utara. Data sekunder ini berisi
keadaan demografi, geografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta sarana dan
prasarana yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan penangkapan biota
perairan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.
8
Persepsi masyarakat
Terdapat beberapa pernyataan yang digunakan untuk mengukur persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove dengan metode kuisioner dan
wawancara dengan menggunakan skala likert .
1. Persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove
a. Hutan mangrove dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi.
b. Hutan mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi.
c. Hutan mangrove melindungi garis pantai dari gelombang laut, dan angin
topan.
d. Hutan mangrove dapat menahan intrusi air laut
e. Hutan mangrove sebagai tempat keanekaragaman hayati bagi berbagai
makhluk hidup.
f. Hutan mangrove sebagai tempat mencari makan, pemeliharaan, pemijahan,
perlindungan berbagai hewan terutama ikan dan udang.
g. Hutan mangrove menghasilkan kayu-kayu bernilai ekonomi.
h. Hutan mangrove sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan seperti
untuk tempat penelitian
2. Pengelolaan dan perlindungan ekosistem mangrove
a. Pemerintah daerah sudah menjalankan tugas pengelolaan lingkungan
dengan baik
b. Pengelolaan hutan mangrove merupakan tanggung jawab bersama
c. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan penduduk setempat dalam
kegiatan pengelolaan kawasan mangrove
d. Setiap kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove sebaiknya di
sosialisasikan kepada masyarakat
e. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove sebaiknya
diwakili saja oleh perwakilan masyarakat
10
Analisis vegetasi
Pengukuran distribusi mangrove dilakukan dengan menggunakan line
transek, yang dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus garis pantai yang
ditempatkan pada kondisi mangrove yang baik dan kondisi mangrove yang rusak.
Masing-masing transek dibuat plot-plot atau petak-petak yang berukuran 20 x 20
meter untuk merisalah tingkat pohon dengan data yang dikumpulkan berupa
jumlah individu, diameter dan tinggi pohon. 10 x 10 meter merisalah tingkat tiang
dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi tiang.
5 x 5 meter untuk merisalah tingkat permudaan sapihan dengan data yang
dikumpulkan berupa jumlah individu. 2 x 2 meter tingkat permudaan semai dan
tumbuhan bawah. Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu yang kemudian
menghitung kerapatan suatu jenis, kerapatan relatif suatu jenis, dominasi suatu
jenis, dominasi relatif suatu jenis, frekuensi suatu jenis, frekunsi relatif suatu jenis
kemudian dicari indeks nilai penting yang merupakan penjumlahan dari kerapatan
relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif
tempat wisata dimasa yang akan datang. Metode yang digunakan untuk menilai
ekowisata mangrove dengan tehnik Contigen Valuation Method (CVM).
Analisis Data
Persepsi masyarakat
Secara umum metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis deskriptif yaitu metode analisis yang berusaha menjelaskan objek
kajian menurut kriteria tertentu sehingga memberikan gambaran yang
sesungguhnya yang terjadi di tempat penelitian tersebut. Persepsi masyarakat
diananlisis menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode yang digunakan
untuk mengukur persepsi masyarakat adalah metode skala Likert. Urutan untuk
skala Likert menggunakan 5 angka penilaian (Gumilar 2012), yaitu:
Sangat setuju (SS) = Bobot 5
Setuju (S) = Bobot 4
Netral/abstain (N) = Bobot 3
Tidak setuju (TS) = Bobot 2
Sangat tidak setuju (STS) = Bobot 1
Pengukuran tingkat persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan
mangrovedi Desa Kalibu dan Eelahaji diukur berdasarkan skala Likert dari total
skor terhadap 8 pernyataan penduga persepsi seperti tercantum dalam Tabel 1.
Analisis vegetasi
Analisis vegetasiNmerupakan cara untuk mempelajari komposisi jenis dan
struktur vegetasi dalam suatu ekosistem (Soerianegara dan Indrawan 1999). Data
yang diperoleh di lapangan dihitung untuk beberapa variabel, antara lain:
1. Kerapatan (K) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Jumlah dari individu
K=
Luas contoh
2. Kerapatan relatif (KR) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Karapatan dari suatu spesies/jenis
KR (%) = x 100
Kerapatan seluruh jenis
3. Dominansi (D) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Jumlah bidang datar
D=
Luas petak contoh
4. Dominansi relatif (DR) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Dominansi suatu jenis
DR (%) = x 100
Dominansi seluruh jenis
13
ML = ∑ MLi
i=1
Keterangan:
ML = Manfaat langsung
ML1 = Penerimaan produksi kayu bakar (Rupiah/tahun)
ML2 = Penerimaan produksi ikan (Rupiah/tahun)
ML3 = Penerimaan produksi udang (Rupiah/tahun)
ML4 = Penerimaan produksi kepiting (Rupiah/tahun)
2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect-Use Value)
Manfaat tidak langsung dapat diakumulasi dengan penahan abrasi dan penahan
intrusi air laut. Perhitungan nilai total manfaat tidak langsung dari hutan
mangrove, dengan rumus:
2
MTL = ∑ MTLi
i=1
Keterangan:
MTL = Manfaat tidak langsung
MTL1 = Peredam gelombang (waterbreak) (Rupiah/tahun)
MTL2 = Penahan intrusi air laut (Rupiah/tahun)
3. Manfaat Pilihan (Option Value)
Nilai manfaat pilihan adalah nilai pilihan untuk melakukan preservasi bagi
penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa
yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang.
14
MP = ∑ MPi/n
i=1
Keterangan: MP = Manfaat pilihan
MPi = Manfaat pilihan dari responden ke-i
n = Jumlah responden
Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Beberapa
teknik kuantifikasi yang digunakan adalah nilai pasar, harga tidak langsung,
(Turner 2016), dengan rumus:
TEV = DUV + IUV + OV
Keterangan: TEV = Total ekonomi valuation
DUV = Nilai pemanfaatan langsung (Direct Use Value)
IUV = Nilai pemanfaatan tidak langsung (Indirect Use Value)
OV = Nilai pilihan (Option Value)
Letak Georafis
Tabel 2 Batas desa lokasi penelitian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
Kecamatan Kolisusu
Batas Desa
No Desa
Utara Selatan Timur Barat
1. Kalibu Ds. Eelahaji Ds. Laangke Ds. Laangke Tel.Kolisusu
2. E'elajahi Ds. Jampaka Ds. Kalibu Ds Kalibu Ds.Wacula'ea
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017
Tabel 3 Luas wilayah di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu
No Desa/Kelurahan Luas (km) %
1. Kalibu 4.43 2.56
2. Eelahaji 30.50 17.65
Jumlah 34.93 20.21
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017
Tabel 4 Sarana perikanan yang digunakan masyarakat Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
No Nama Sarana Desa Kalibu Desa Eelahaji
1 Perahu tanpa motor 23 26
2 Perahu motor tempel 2 17
Jumlah 25 43
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017
Jumlah Penduduk
Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu
No Desa Jumlah (jiwa) %
1. Kalibu 866 3.8
2. Eelahaji 776 3.3
Jumlah 1 642 7.1
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017
Tabel 6 Jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menurut mata
pencaharian
Jumlah Penduduk (jiwa)
No Mata pencaharian
Desa Kalibu Desa Eelahaji
1 PNS 23 20
2 Nelayan 38 44
3 Petani 154 110
4 Lain-lain* 651 802
Jumlah 866 776
Keterangan; *= Belum teridentifkasi
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017
Tabel 7 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
No Jenis kelamin Desa Kalibu Desa Eelahaji
1 Laki-Laki 454 384
2 Perempuan 412 392
Jumlah 866 776
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017
Karateristik Responden
Pekerjaan sampingan
Petani 19 76 21 84
Buruh bangunan 6 24 4 16
5 Rata-rata penghasilan Rp 2 000 000 Rp 1 850 000
19
tersebut sudah terganggu. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya masyarakat yang
melakukan pengambilan kayu mangrove seperti pengambilan kayu untuk
membakar batu merah dan kebutuhan rumah tangga yang mendorong
pengambilan kayu mangrove yang lebih banyak sehingga fungsi hutan mangrove
sudah mulai terganggu salah satunya sebagai penahan intrusi air laut.
Persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove di dorong oleh
banyaknya manfaat yang dirasakan masyarakat secara langsung maupun tidak
langsung seperti pemanfaataan kayu bakar, penangkapan biota laut (ikan, udang
kepiting) yang dapat menunjang ekonomi rumah tangga mereka. Hasil wawancara
tersebut menunjukan tingkat persepsi dan pengetahuan masyarakat tentang
manfaat hutan mangrove sangat tinggi karena mereka tidak memilih jawaban
tidak setuju dan sangat tidak setuju.
Mangrove memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat pesisir dari segi
sosial maupun ekonomi. Menurut Kusmana (2007) ekosistem mangrove
merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas yang tinggi yang
memproduksi sumber makanan untuk sebagian besar berbagai jenis ikan, udang,
kepiting dan berbagai biota perairan pantai lainnya. Di samping itu dari segi
perikanan, mangrove juga berperan sebagai spawning dan nursery grounds.
Kesemua fungsi mangrove tersebut tetap ada selama vegetasi mangrove dapat
dipertahankan keberadaannya.
dalam pengelolaan hutan mangrove bukan hanya pada saat ada kegiatan/proyek
saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wibowo (2013) dalam Zainal (2015)
yang menjelaskan bahwa kelestarian hutan bukan saja menjadi tanggung jawab
pemerintah, namun kesadaran atau peran partisipasi aktif masyarakat juga penting
dalam kelestarian hutan, karena masyarakat sekitar hutan berhubungan langsung
dengan keberadaan hutannya.
Kuisioner yang diberikan kepada responden ada 8 pernyataan. Berdasarkan
hasil wawancara tersebut terhadap masyarakat mengenai pengelolan dan
perlindungan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji yang paling
tinggi dalam penelitian ini menurut persepsi masyarakat/responden adalah adanya
kesedaran masyarakat mengenai perlindungan hutan mangrove merupakan
tanggung jawab bersama. Masria et al. (2015) menyatakan bahwa persepsi
masyarakat terhadap hutan yang tergolong baik akan menjamin terjadinya sikap
yang positif terhadap pengelolaan hutan. Selain itu juga Perlu adanya kerjasama
antara pemerintah dan penduduk setempat dalam kegiatan pengelolaan dan
perlindungan kawasan hutan mangrove sehingga masyarakat tidak melakukan
perombakan seperti pengambilan kayu bakar dari hutan mangrove di Kabupaten
Buton Utara sehingga hutan mangrove tersebut dapat lestari.
Pernyataan responden sebagian besar bahwa, pengelolaan sumberdaya hutan
mangrove selama ini belum banyak melibatkan masyarakat pesisir, khususnya
pada tahap perencanaan mapun sampai tahap pemeliharaan dan mereka
menginginkan agar dibentuk kelompok-kelompok tani/nelayan. Di dalam
pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove responden menginginkan
agar mereka dilibatkan. Pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam pengelolaan
sumberdaya hutan mangrove yaitu semua pihak yang berkepentingan baik
masyarakat pesisir, masyarakat luar pesisir, aparat pemerintah, pengusaha, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) hal ini sejalan dengan pernyataan Umar
(2009) bahwa frekuensi interaksi masyarakat dalam beraktivitas terkait dengan
hutan merupakan aspek penting di dalam pengelolaan hutan.
Keterangan: SS= Sangat setuju, S= Setuju, A= Abstain/netral, TS= Tidak setuju, STS= Sangat
tidak setuju
dan penegakan hukum yang belum memadai dan kurang tegas diterapkan kepada
masyarakat sehingga dapat memberi ruang kepada masyarakat untuk melakukan
perombakan hutan mangrove.
Menurut Dahuri et al. (2001) dalam Baharudin (2016) faktor-faktor yang
dapat mengancam kelestarian mangrove, yaitu masalah sosial ekonomi dan
kesadaran masyarakat . Kerusakan bisa saja disebabkan oleh tindakan mekanis
secara langsung, seperti memotong, membongkar dan sebagainya (Farawangsyah
2013). Selain itu sebagai akibat tidak langsung seperti perubahan salinitas air,
pencemaran air, karena adanya erosi, pencemaran minyak dan sebagainya. Oleh
karena itu, hutan mangrove yang bertindak sebagai tempat berlangsungnya
proses-proses ekologis dan pendukung kehidupan hendaknya dapat terhindar dari
unsur-unsur yang merusak tersebut (Tambunan 2005 dalam Farawangsyah 2013).
Untuk mencapai hasil tersebut pemerintah harusnya melibatkan masyarakat dalam
setiap pengelolaan hutan sehingga mendorong keterlibatan masyarakat dalam
melindungi hutan tersebut. Menurut Desmantoro (2016) kerusakan hutan tidak
mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan
tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap kelesatarian hutan. Keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan, sehingga cara
alternatif yang dapat dipilih oleh pemerintah menggulirkan kebijakan pengelolaan
hutan berbasis masyarakat (Kartodihardji 2007 dalam Desmantoro 2016).
Penelitian yang di lakukan oleh Suharti (2016) tentang kelembagaan dan
perubahan hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Sinjai
Timur Sulawesi Selatan, pengelolaan hutan mangrove sangat berhasil dengan
adanya ketelibatan masyarakat di dalamnya. Pengembangan hutan bakau terus
dilaksanakan oleh masyarakat baik secara swadaya maupun dari pemerintah.
Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari peningkatan luasan mangrove dari tahun
2003 luas hutan mangrove 786, tahun 2015 menjadi 843 Ha, dan tahun 2013
mencapai 1 157 Ha (Dinas perkebunan dan Kehutanan Sinjai 2013 dalam Suharti
2013) oleh karena itu keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat
penting.
penting vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat dilihat
pada Tabel 12.
53 131 453 176. Nilai guna langsung yang di identfikasi dan di manfaatkan oleh
masyarakat di lokasi penelitian yaitu nilai guna kayu bakar, dan biota perairan
(ikan, udang dan kepiting).
Tabel 13 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
Nilai Ekonomi Kayu Bakar
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1. Kalibu 3 225 600 870 912 000
2. Eelahaji 3 162 240 790 560 000
Jumlah 6 387 240 1 661 472 000
Nilai ekonomi hasil tangkapan ikan kedua desa tersebut berbeda, hal ini di
pengaruhi oleh perbedaan hasil tangkapan. Penghasilan nilai ekonomi ikan
mangrove dalam satu tahun yang di hasilkan masyarakat dalam melakukan
penangkapan ikan di Desa Kalibu sebesar Rp 2 586 168 000 per tahun dengan
rata-rata sebesar Rp 9 578 400/KK/thn sedangkan untuk di Desa Eelahaji sebesar
29
Rp 1 686 960 000 per tahun dengan rata-rata Rp 6 747 840/KK/thn, apabila kedua
desa tersebut di gabungkan maka nilai total penangkapan ikan Rp 4 273 128 000
per tahun. Nilai ekonomi ikan mangrove di kedua desa tersebut mengalami
perbedaan hal ini oleh kondisi hutan mangrove di kedua desa tersebut. Kondisi
hutan mangrove di Desa Kalibu masih tergolong bagus sedangkan di Desa
Eelahaji sudah mulai rusak.
Alat tangkap biota perairan yang dilakukan masyarakat di Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji berdasarkan hasil wawancara adalah jala, pukat, pancing sedangkan
alat transportasi yang mereka gunakan sangat sederhana berupa perahu berukuran
kecil atau sampan yang dilengkapi dengan mesin kapal berkuatan kecil. Waktu
tangkap yang sering dilakukan masyarakat di Lokasi penelitian rata-rata antara
bulan Januari-Oktober karena pada bulan itu merupakan bulan yang banyak
ikannya. Cara nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang banyak selain
berdasarkan bulan tangkap juga dengan cara memanfaatkan dahan mangrove
kemudian di tenggelamkan dilaut dengan menggunakan batu sebagai alat
pemberat selama 1-2 minggu, setelah mengalami pelapukan dan mulai berjamur
sehingga ikan mencari makan ditempet tersebut barulah mereka turun memancing
sehingga ikan yang di dapat dalam jumlah yang banyak. Jenis yang di dapat para
nelayan yang di dapat kakap merah, kakap putih, boronang, limbako, kerapu, ikan
sumu, ikan bebara dengan harga rata-rata Rp 40 000 per kilogram.
Keragaman jenis ikan dan jumlah hasil tangkapan dikawasan hutan
mangrove yang masih bagus akan lebih banyak. Lloyod and Ghalardi (1996)
dalam Abdul (2006) menyatakan keanekaragaman jenis akan tinggi bila banyak
jenis yang mendominasi ekosistem tersebut dan keanekaragaman jenis akan
rendah apabila hanya satu jenis yang ada didalamnya. Kelimpahan ikan di daerah
mangrove terkait erat dengan kebiasaan makan herbivora dan karnivora epifitik
(Sri, 2003). Menurut Abdul (2016) jenis-jenis ikan herbivora dan karnivora
epifitik mempunyai kecenderungan migrasi lokal dan bersifat menetap karena
pergerakan tersebut lebih banyak di utamakan untuk pemenuhan kebutuhan
makanannya.
Penelitian yang pernah di lakukan oleh Motoku (2014) di Desa Sausu Peore
Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong tentang manfaat langsung hutan
mangrove dengan nilai ikan sebesar Rp 208 696 000 per tahun hasil ini tergolong
besar di bandingkan dengan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sebab ada
perbedaan luasan mangrove dan jumlah masyarakat di lokasi penelitian. Hal yang
sama juga di lakukan oleh Suzana (2011) di Desa Paleas Kecamatan Lakupang
Barat tentang nilai manfaat penangkapan ikan mencapai Rp 146 400 000 per
tahun, hasil ini tergolong kecil apabila di bandingkan dengan hasil di Desa Kalibu
dan Desa Eelahaji.
Perbedaan nilai antara Desa Eelahaji dan Kalibu disebabkan oleh perbedaan
kondisi hutan mangrove. Mangrove di Desa Kalibu masih tergolong baik
sedangkan untuk di Desa Eelahaji mangrovenya sudah mulai jarang. Jumlah
intensitas penangkapan juga sangat menentukan nilai ikan. Jumlah masyarakat
yang melakukan penangkapan di Desa Kalibu sebanyak 19 orang dan Desa
Eelahaji 20 orang. Penyebab lain perbedaan hasil di pengaruhi juga oleh sarana
dan prasarana terutama perahu yang di gunakan oleh oleh nelayan penangkap
ikan. Jumlah perahu yang ada di kedua desa tersebut dapat dilihat pada Tabel 5
serta mulai berkurangnya ikan di daerah sekitar mangrove.
30
Tabel 16 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitian Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji
Nilai Ekonomi Pemanfaatan Udang
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1. Kalibu 5 490 720 1 482 494 400
2. Eelahaji 3 401 280 850 320 000
Jumlah 8 892 000 2 332 814 000
jarang, sehingga mempengaruhi jumlah hasil tangkap udang yang dilakukan oleh
nelayan. Penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2014) yang dilakukan di Pulau
Dompak nilai udang sebesar Rp 11 766 076 809 per tahun nilai ini sangat besar
karena masyarakat di lokasi penelitian tersebut melakukan penangkapan setiap
harinya. Penelitian yang di lakukan oleh Suzana (2011) di Desa Palaes sebesar Rp
16 200 000 per tahun.
Udang sebagian besar hidupnya berada di dalam ekosistem mangrove
sedangkan untuk perairan lepas hanya digunakan untuk bertelur, setelah larva
muda lahir akan berpindah kembali ke ekosistem mangrove (Ismail, 2017).
Keragaman jenis udang di ekosistem mangrove rapat akan lebih banyak. Selain itu
kelimpahan udang di wilayah sekitar muara sungai akan lebih tinggi di banding
dengan perairan pantai. Kondisi ini diduga karena banyaknya pasokan hara dari
serasah mangrove dan daratan yang terendap (Umulia and Asbar 2016 dalam
Ismail 2017). Luas hutan mangrove juga berpengaruh terhadap produksi udang,
semakin luas hutan mangrove maka produksi udangnya semakin tinggi begitu
juga sebaliknya (Nuddin 2009).
Selain beberapa faktor diatas penyebab perbedaan hasil penangkapan yaitu
jumlah udang yang ada pada kedua desa tersebut, selain itu sama halnya untuk
penangkapan ikan dan kepiting, tergantung luasan hutan mangrove dan tutapan
lahannya serta jumlah melakukan aktifitas penangkapan. Sarana dan prasarana
yang memadai juga mendukung aktifitas penangkapan udang, seperti di Desa
Kalibu alat yang digunakan di sediakan oleh pemerintah desa sedangkan Desa
Eelahaji alat yang digunakan merupakan milik pribadi masing-masing nelayan.
Udang yang didapat selain di jual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka
juga di gunakan sebagai umpan untuk memancing ikan dan umpan untuk
menangkap kepiting bakau.
guguran serasa mangrove yang sudah mati. Hasil kauntifikasi nilai guna langsung
hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat di lihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Total nilai guna langsung biota perairan (ikan, udang dan kepiting) dan
pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
No Nilai Guna Langsung Desa Kalibu (Rp/thn) Desa Eelahaji (Rp/thn)
1 Kayu Bakar 870 912 000 790 560 000
2 Ikan 2 586 168 000 1 686 960 000
3 Udang 1 482 494 400 850 320 000
4 Kepiting 3 347 568 000 2 487 600 000
Jumlah 8 287 142 400 5 815 440 000
Tabel 18 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan intrusi air laut di Desa Kalibu
dan Desa Eelahaji
Nilai Ekonomi Intrusi Air Laut
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 2 621 760 128 226 792
2 Eelahji 2 369 640 104 895 500
Jumlah 4 991 400 233 122 292
yang mangalami dampak intrusi air laut sejauh 0,3 km2, dengan jumlah rumah
tangga yang terdampak laut sebesar 2.5 kk, sehingga nilai mangrove
mengendalikan intrusi air laut di Desa Eelahaji sebesar Rp 104 895 500 per tahun.
Untuk melihat keseluruhan nilai ekonomi manfaat hutan mangrove dalam
mengendalikan intrusi air laut dapat di lihat pada Lampiran 2. Heru (2013)
menyatakan tingkat salinitas sumur paling sedikit terdapat di lokasi dengan
tingkat kerapatan hutan mangrove sangat tinggi. Besarnya nilai manfaat intrusi
air laut sangat tergantung pada luas areal terdampak, jumlah rumah tangga atau
penduduk, serta jumlah pemakaian air dalam suatu rumah tangga.
Jumlah rumah tangga di Desa Kalibu sebanyak 270 rumah tangga
sedangkan di Desa Eelahaji adalah 250 rumah tangga. Besarnya pengendalian
mangrove terhadap intrusi air laut adalah sejauh 600 meter, di Desa Kalibu sumur
yang terkontaminasi air laut (payu) dengan luas 0.018 km2 sehingga, mangrove
dapat menyelamatkan 268.85 KK yang terkena dampak intrusi air laut. Desa
Eelahaji jarak sumur yang terkontaminasi dengan luas 0.3 km2 hanya dapat
manahan intrusi air laut sebanyak 247.5 KK. Masyarakat yang sumurnya
terkontaminasi dengan air laut untuk kebutuhan air minum lebih memilih membeli
tangki, sedangkan air sumur mereka hanya digunakan untuk mencuci dan mandi.
Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) dalam Burhanudin (2016) terhadap
air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada
jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrovenya
yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan
Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km.
Tabel 19 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan abrasi di Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji
Nilai Ekonomi Penahan Abrasi
No Desa
(Rp/km/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 232 781 991 251 404 550
2 Eelahji 209 503 875 419 007 750
Jumlah 442 285 866 670 412 300
Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap
komoditas yang saat ini digunakan maupun yang belum di manfaatkan. Penelitian
ini, nilai yang akan digunakan adalah manfaat ekowisata hutan mangrove. Hal ini
dengan melakukan wawancara terhadap masyarakat guna mengetahui kesediaan
membayar untuk kelestarian hutan mangrove yang akan dijadikan sebagai tempat
wisata dimasa yang akan datang. Besaran kesediaan masyarakat membayar untuk
kelestatian hutan yang akan dijadikan sebagai tempat wisata dimasa yang akan
datang dapat dilihat pada Tabel 20.
masyarakat yaitu berkisar Rp 500 000–Rp 2 000 000 per tahun. Kesediaan
masyarakat untuk membayar agar hutan mangerove tetap lestari agar di jadikan
tempat wisata, di Desa Eelahaji sebesar Rp 1 000 000 per tahun hanya 3 orang
sedangkan yang lainnya memilih Rp 500 000 per tahun yaitu sebanyak 22 orang
sehingga total kesediaan membayar di Desa Eelahaji untuk kelestarian mangrove
Rp 14 000 000 per tahun. Kesediaan membayar di Desa Kalibu yang memilih Rp
1 000 000 per tahun yaitu sebanyak 4 orang atau sedangkan responden yang lain
memilih Rp 500 000 per tahun sehingga hasil yang didapat untuk kesediaan
membayar Rp 14 500 000 per tahun. Apabila kedua desa tersebut di gabungkan
maka total nilai yang diperoleh untuk membayar kelestarian mangrove agar bisa
dijadikan ekowisata dimasa yang akan sebasar Rp 28 500 000 per tahun.
Hutang mangrove sebagai tempat rekreasi pada penelitian Ismal (2017) di
Kota Tanjungpinang sebesar Rp 343 377 000 per tahun. Penelitian hal ini berbeda
dengan hasil yang di dapatkan di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu. Perbedaan hasil
di pengaruhi oleh perbedaan jumlah responden serta rentang nilai yang di berikan
kepada responden untuk menentukan nilai kesediaan membayar.
Kesediaan masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji untuk membayar di
pengaruhi oleh adanya tingkat kepentingan yang berbeda serta tingkat pendidikan
serta pekerjaan responden. Masyarakat yang ada di sekitar mangrove memiliki
pandangan apabila hutan mangrove di lokasi penelitian dijadikan sebagai tempat
ekowisata maka dapat membantu tingkat perekonomian masyarakat lokal seperti
masyarakat dapat membuat warung makan, dapat menyewakan jasa perahu
kepada wisatawan asing maupun lokal, apabila hutan mangrove tersebut dapat
dijadikan tempat wisata dimasa yang akan datang.
Tabel 21 Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
Desa Kalibu Desa Eelahaji
No Kategoi manfaat
Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn)
1 Nilai guna langsung 8 287 142 400 5 815 440 000
2 Nilai guna tidak langsung 379 631 342 314 399 375
3 Nilai pilihan 14 000 000 14 500 000
Nilai Ekonomi Total 8 680 773 742 6 144 339 375
121 457 640 per tahun. Penelitian yang di lakukan Suharti (2016) yang dilakukan
di Sinjai Timur Selawesi Selatan dengan luas mangrove sebesar 785 ha, nilai total
mangrove sebesar Rp 7 535 809 496 per tahun hasil ini tergolong sedikit di
bandingkan nilai mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Selain beberapa
manfaat diatas hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyimpan karbon seperti
yang dilakukan oleh Gewana (2017) yang dilakukan di Filipina dengan nilai total
ekonomi sebesar USD 2 962 per tahun
Hasil penelitian yang memberikan nilai yang sangat beranekaragam.
Perbedaan hasil penelitian yang dihasilkan dipengaruhi oleh, perbedaan luas
kajian dan jumlah variabel yang digunakan. Harga komoditas yang dihasilkan di
daerah mangrove seperti biota laut dan kayu bakar memiliki nilai yang berbeda
antara lokasi penelitian yang satu dengan tempat yang lain, hal ini di pengaruhi
oleh jumlah penduduk di lokasi penelitian sehingga tingkat kebutuhan kayu bakar
sangat tinggi, sedangkan besarnya penangkapan biota perairan (ikan, udang dan
kepiting) di pengaruhi oleh kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian. Menurut
De Grot et al (2002) dalam Ismail (2017) bahwa metode perhitungan yang dipakai
antar lokasi untuk beberapa nilai manfaat sama tetapi ada juga pendekatan yang
berbeda untuk memperoleh nilai tertentu.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Masria, Golar, & Ihsan, M. (2015). Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap
hutan di Desa Labuan Toposo Kecamatan Kabuan Kabupaten Donggala.
Warta Rimba, 3(2), 57–64.
Motoku AB, Umar S,Toknok B. 2014. Nilai manfaat hutan mangrove di Desa
Sausu PeoreKecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong.Warta
Rimba.2(2):92-101.
Mulyadi E, Fitriani N. 2010. Konservasi hutan mangrove sebagai
ekowisata.Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 2(1):11-18.
Nanholy H, Bambang AN, Ambaryanto, Hatubarat S. 2014.Analisis persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan kawasan mangrove teluk Katania.Jurnal
Wilayah dan Lingkungan. 2(1):89-98
Nuddin H. 2009. Pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap produksi
perikanan tangkap (Studi kasus di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur). Jurnal
perikanan. XI:100-106.
Nunes PALD, Bergh JCJM. 2001. Economic valuation of biodiversity: sense or
nonsense?Ecological Economics.39(2001):203-222. doi: 10.1016/S0921-
8009(01)00233-6.
Picaulima SM, Huliselan NV, Sahetapy D, Abrahamsz D. 2011. Pengelolaan
ekosistem mangrove berbasis ekonomi sumberdaya dan lingkungan di
Negeri Rutong Kota Ambon.Jurnal Ichthyos.10(1):49-56
Praset iyo DE, Zulfikar F, Shinta, Zulkarnain I. 2016. Valuasi ekonomi
hutan mangrove di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu (Studi Konservasi
Berbasis Green Economy). Jurnal Omni-Akuatika 12(1): 48 - 54
Putra AT. 2015. Analisa potensi tegakan hasil inventarisasi hutan di KPHP
Model Berau Barat. Jurnal AGRIFOR. XIV (2)
Saprudin, Halidah. 2012. Potensi nilai manfaat jasa lingkungan hutan mangrove di
Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.
7(3):2013-2014.
Satria A, Elhaq IH. Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi
pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model
empang parit. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi
Manusia. 05(01): 97-103
Setyawan, A. D. Winarno K. 2006. Pemanfaatan langsung ekosistem mangrove di
Jawa Tengah dan penggunaan lahan di sekitarnya (kerusakan dan upaya
restorasinya). Jurnnal Biodiversitas. 7 (3):282-291.
Simajuntak SMH, Yuyun W, Putri EIK. 2014. Valuasi total ekonomi hutan
mangrove di kawasan Deltamahakam Kabupaten Kutai Kartanegara
Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 3(1):1-12
Sobari MP. Andrianto L. Azis N. 2006. Analisis ekonomi alternatif pengelolaan
ekosistem mangrove Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Buletin Ekonomi
Perikanan VI(3):1-22
Soerianegara I, Indrawan A. 1988.Ekologi hutan Indonesia.Laboratorium ekologi
hutan, Fakultas kehutanan.Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sofian A. 2003.Valuasi ekonomi pemanfaatan hutan mangrove di kawasan
Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sri. R. 2003. Kompisisi dan kelimpahan ikan ekosistem mangrove
Kadungmalang, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. 18:54-60
43
Tabel 22 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
No Desa Nilai Ekonomi
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 3 225 600 870 912 000
2 Eelahaji 3 162 240 790 560 000
Jumlah 6 387 240 1 661 472 000
Nilai mangrove pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumah pengambilan kayu bakar dari 25 responden sebesar 16 128 ikat per tahun
Nilai kayu mangrove
Nilai kayu bakar (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
80 640 000
Nilai kayu mangrove (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 3 225 600/kk/thn
Nilai mangrove (Rp/tahun/desa) = Rp 3 225 600 x 270
= Rp 870 912 000/thn
Nilai mangrove pemanfaatan kayu bakar di Desa Eelahaji per orang per tahun
dapat dapat di hitung:
Jumlah pengambilan kayu bakar dari 25 responden sebesar 15 811.2 ikat per tahun
Nilai kayu mangrove
Nilai kayu bakar (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
79 056 000
Nilai kayu mangrove (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 3 162 240/kk/thn
Nilai kayu mangrove (Rp/tahun/Desa) = Rp 3 162 240 x 250
= Rp 790 560 000/thn
45
2. Nilai Udang
Tabel 23 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitisn Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji
No Desa Nilai Ekonomi
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 5 490 720 1 482 494 400
2 Eelahaji 3 401 280 850 320 000
Jumlah 8 892 000 2 332 814 000
Nilai mangrove pemanfaatan udang di Desa Kalibu per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan udang dari 25 responden sebesar 2745.36 kg/tahun
Nilai Udang
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
137 268 000
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 5 490 720/KK/thn
Nilai pemanfaatan udang (Rp/tahun/desa) = Rp 5 490 720 x 270
= Rp 1 482 494 400/thn
Nilai mangrove pemanfaatan udang di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan udang dari 25 responden sebesar 1700.64 kg/tahun
Nilai Udang
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
85 032 000
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 3 401 280/KK/thn
Nilai pemanfaatan udang (Rp/tahun) = Rp 3 401 280 x 250
= Rp 850 320 000/thn
46
3. Nilai Kepiting
Nilai mangrove pemanfaatan kepiting di Desa Kalibu per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan kepiting dari 25 responden sebesar 3441 kg/tahun
Nilai kepiting
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
309 960 000
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 12 398 400/KK/thn
Nilai mangrove pemanfaatan kepiting di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan kepiting dari 25 responden sebesar 2764 kg/tahun
Nilai kepiting
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
248 760 000
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 9 950 400/KK/thn
4. Nilai Ikan
Nilai mangrove pemanfaatan ikan di Desa Kalibu per orang per tahun dapat dapat
di hitung:
Jumlah penangkapan ikan dari 25 responden sebesar 6841.71 kg/tahun
Nilai Ikan
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
239 460 000
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 9 578 400/KK/thn
Nilai mangrove pemanfaatan ikan di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan ikan dari 25 responden sebesar 4819.88 kg/tahun
Nilai ikan
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
168 696 000
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 6 747 840/KK/thn
Desa Kalibu
DM (TA)
Panjang Pantai (km) Mangrove (TA) (Rp/km) Nilai DM (TA)
1.08 239 433 000 258 587 640
TM (DA)
Panjang Abrasi (m) Biaya Tanggul (m) Nilai TM (DA)
30 239 433 7 182 990
Desa Eelahaji
DM (TA)
Panjang Pantai (km) Mangrove (TA) (Rp) Nilai DM (TA) (Rp)
2 239 433 000 478 866 000
TM (DA)
Panjang Abrasi (m) Biaya Tanggul (m) Nilai TM (DA)
250 239 433 5 985 825
Desa Kalibu
Luas Desa = 4.2 km2
Luas Daerah terdampak = 0.18 km2
Jumlah rumah terdampak = (0.018 km2/4.2 km2) x 270
= 1.15
Nilai DM (TI) = Rp 12 204 000/thn
= Rp 488 160/kk/thn
Nilai TM (DI) = Jumlah pemakaian air x harga/tangki
= 117.80 tangki/bln x 55 000
= Rp 6 479 000/bln
Nilai TM (DI) per tahun = Rp 77 748 000/thn
Nilai TM (DI) (kk/thn) = Rp 3 109 920/kk/thn
Nilai Total Intrusi = Rp 77 748 000/thn – Rp 12 204 000/thn
= Rp 65 544 000/thn
50
Dokumentasi Penelitian
RIWAYAT HIDUP