Anda di halaman 1dari 66

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

DI KABUPATEN BUTON UTARA PROVINSI


SULAWESI TENGGARA

FIRMAN SYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Valuasi Ekonomi Ekosistem
Hutan Mangrove Di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2019

Firman Syah
E151150291
RINGKASAN

FIRMAN SYAH. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Kabupaten


Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI
dan BAHRUNI.

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang


penting di wilayah pesisir dan lautan yang mempunyai fungsi ekonomi serta
sebagai tempat memijah makhluk hidup. Penelitian ini bertujuan menganalisis
persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove, Menganalisis komposisi
vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dan melakukan
valuasi ekonomi ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
Kabupaten Buton Utara. Penelitian ini di lakukan dengan metode survey terhadap
50 responden dari kedua desa yang dipilih secara purposive.
Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat tentang manfaat
hutan mangrove dan persepsi masyarakat tentang perlindungan hutan di Desa
Kalibu dan Eelahaji masih tergolong tinggi. Menurut persepsi masyarakat
penyebab utama kerusakan hutan mangrove di sebabkan oleh pengambilan kayu
bakar yang sangat mendesak dan kepentingan ekonomi rumah tangga. Valuasi
ekonomi merupakan suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan berupa
nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai pilihan. Nilai guna
langsung hutan mangrove yang terdiri manfaat kayu bakar, ikan, kepiting dan
udang, nilai guna tidak langsung yaitu sebagai penahan abrasi dan penahan intrusi
air laut sedangkan nilai pilihan adalah nilai ekowisata. Struktur vegetasi hutan
mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji penelitian untuk kategori pohon tidak
mempunyai perbedaan yang signifikan, kecuali untuk kategori tiang, sapihan
dantetapi untuk kategori tiang, sapihan dan semai yang mana di Desa Kalibu
relatif baik di banding dengan Desa Eelahaji. Nilai ekonomi manfaat guna
langsung di Desa Kalibu sebesar Rp 8 287 142 400 per tahun di Desa Eelahaji
sebesar Rp 5 815 440 000 per tahun, untuk nilai guna tidak langsung di Desa
Kalibu sebesar Rp 379 631 342 per tahun, di Desa Eelahaji sebesar Rp 314 399
375 per tahun, sedangkan untuk nilai pilihan di Desa Kalibu Rp 14 000 000 per
tahun, di Desa Eelahaji sebesar Rp 14 500 000. Kuantifikasi seluruh nilai ekonomi
mangrove di Desa Kalibu sebesar Rp 8 680 773 742 per tahun sedangkan di Desa
Eelahaji sebesar Rp 6 144 339 375 per tahun.

Kata kunci: Mangrove, Masyarakat, Persepsi Masyarakat, Valuasi Ekonomi


SUMMARY

FIRMAN SYAH. Economic Valuation of Mangrove Forest Ecosystem in North


Botun District Southeast Sulawesi Province. Supervised by LETI SUNDAWATI
and BAHRUNI

Mangrove forest is the main life-supporting ecosystem and it is important


in coastal and marine areas that has economic function and as spawning ground
for living things. This study aims for analyzing the community perception of
mangrove ecosystem and economic valuation of mangrove ecosystem in Kalibu
Village and Eelahaji Village, North Buton District. This study was made by
survey method to 50 respondents from both of villages that had been choosen in
purposive way.
The result shows that community perception of mangrove forest benefit and
forest protection in Kalibu Village and Eelahaji Village is still in high category.
According to the community perception, the main reason of mangrove forest was
damaged taking of fire wood collection very urgent. Economic valuation is an
effort to provide quantitative value of goods and services produced by natural
resources andenvironment in the form of direct use value, indirect use value and
choice value. The direct value of mangrove forest consists of fire wood, fish, crab,
and shrimp benefit. The indirect value of mangrove consists of abrasion retaining
value and sea water intrusion while the choice value is the value of ecotourism.
The vegetation structure of the mangrove forest in Kalibu and Eelahaji Villages,
the research for the tree categories did not have a significant difference, except for
the category of pile, weaning and but for the category of pile, weaning and
seedling which in Kalibu Village was good relatively compared to Eelahaji
Village. The direct economic value of benefit in Kalibu Village at Rp 8 287 142
400 per year in Eelahaji Village is Rp 5 815 440 000 per year, for indirect use
values in Kalibu Village at Rp 379 631 342 per year, in Eelahaji Village Rp 314
399 375 per year, while the choice value in Kalibu Village is Rp 14 000 000 per
year, in Eelahaji Village Rp 14 500 000. The quantification of all mangrove value
for Kalibu Village was Rp 8 680 773 742 per year while in Eelahaji Village was
Rp 6 144 339 375 per year.

Keywords : Community, Mangrove, Perception, Valuation


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VALUASI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
DI KABUPATEN BUTON UTARA PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

FIRMAN SYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Nining Puspaningsih, MSi
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahuwata’ala atas


segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu “Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove
di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini merupakan
salah satu usaha dalam rangka menggali informasi tentang nilai ekonomi
mangrove di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu Kabupaten Buton Utara Privinsi
Sulawesi Tenggara.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Ir
Leti Sundawati, MSc FTrop dan Bapak Dr Ir Bahruni, MS atas kesediaan
memberi bimbingan sejak penyusunan rencana penelitian sampai selesai penulisan
tesis. Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dr Ir Budi Kuncahyo, MS
atas kesediaan memberikan motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, istri, anak
serta adik saya. Tesis ini pasti masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
sangat berharap memperoleh kritik dan saran untuk perbaikan selanjutnya.

Bogor, Januari 2019

Firman Syah
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii


DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pikir
2 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian 7
Jenis dan Sumber Data 7
Metode Pengambilan Sampel 8
Konsep Pengukuran Variabel 9
Analisis Data 12
3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis 12
Keadaan Perikanan Tangkap 14
Jumlah Penduduk 16
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian 16
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karateristik Responden 18
Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Mangrove 21
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove 24
Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove 24
Total Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove 32
Nilai Guna Tidak Langsung Hutan Mangrove 34
Nilai Pilihan Hutan Mangrove 36
Nilai Ekonomi Total Manfaat Hutan Mangrove 37
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 39
Saran 39
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 44
RIWAYAT HIDUP 53
DAFTAR TABEL

1 Kategori tingkat persepsi masyarakat tentang manfaat dan 12


perlindungan hutan mangrove
2 Batas desa lokasi penelitian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 15
Kecamatan Kolisusu
3 Luas wilayah desa lokasi penelitian di Desa kalibu dan Desa 15
Eelahaji
4 Sarana yang di gunakan masyarakat Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 15
dalam menangkap biota perairan
5 Jumlah penduduk Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan 16
Kolisusu
6 Jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menurut mata 17
pencaharian
7 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Kalibu dan 17
Desa Eelahaji
8 Karateristik responden di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 18
9 Distribusi responden berdasarkan persepsi terhadap manfaat 20
keberadaan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
10 Distribusi responden berdasarkan persepsi tentang pengelolaan dan 21
perlindungan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
11 Penyebab kerusakan hutan mangrove berdasarkan persepsi 23
masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
12 Struktur vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 25
13 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa 27
Eelahaji
14 Nilai ekonomi pemanfaatan ikan di Kecamatan Kolisusu Desa 28
Kalibu dan Eelahaji
15 Nilai ekonomi pemanfaatan kepiting di lokasi penelitian Desa 29
Kalibu dan Desa Eelahaji
16 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitisn Desa Kalibu 31
dan Desa Eelahaji
17 Total nilai guna langsung biota perairan (ikan, udang dan kepiting) 33
dan pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
18 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan intrusi air laut di Desa 34
Kalibu dan Desa Eelahaji
19 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan abrasi di Desa Kalibu dan 35
Desa Eelahaji
20 Kesediaan membayar untuk kelestarian hutan mangrove agar dapat 36
di jadikan wisata di masa yang akan datang di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
21 Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan 38
Desa Eelahaji
DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka penelitian 6
2 Peta lokasi penelitian 7

DAFTAR LAMPIRAN

1 Valuasi ekonomi manfaat hutan mangrove 44


2 Dokumentasi penelitian 51
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang berada di daerah pesisir pantai
dan menjadi bagian dari ekosistem pesisir dan laut. Mangrove merupakan suatu
formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, lantai hutannya tergenang
pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan.
Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai fungsi yang spesifik yang
keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan
dan lautan.
Hutan mangrove umumnya berkembang biak pada pantai yang terlindung,
muara sungai, atau laguna. Hutan mangrove ini memegang peranan penting dalam
menjamin keberlanjutan biodiversitas hewan dan tumbuhan yang terdapat
didalamnya sebagai penyusun sumber daya pesisir. Hutan mangrove merupakan
ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan
lautan. Mempunyai fungsi ekonomi yang penting seperti penyedia kayu, daun-
daunan sebagai bahan baku obat-obatan dan lain-lain (Saprudin dan Halidah
2012).
Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 3.2 juta hektar mangrove yang
tersebar diseluruh pulau besar dan kecil atau hampir 21% dari total mangrove
dunia dengan jumlah spesies mangrove tidak kurang 75 spesies. Kondisi ini
membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan mangrove terluas dengan
tingkat keanekaragaman hayati yang relatif tinggi (Giriet et al. 2014). Luas
mangrove untuk wilayah Sulawesi Tenggara sekitar 74 348 820 ha (RLPS-MOF
2007 dalam Hartini et al. 2010). Kabupaten Buton Utara memiliki luas hutan
mangrove sekitar 13 393.42 ha yang tersebar disebagian kecamatan dan desa yang
ada, diantaranya Desa Eelahaji yang memiliki luas hutan mangrove sekitar 35 ha
sedangkan untuk luas hutan mangrove di Desa Kalibu sekitar 27 ha.
Hutan mangrove termasuk ekosistem khas wilayah tropika yang unik dalam
lingkungan hidup yang memiliki formasi perpaduan antara daratan dan lautan.
Adanya pengaruh laut dan daratan sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat
fisika dan sifat biologi. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar
sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi) dari erosi daerah
hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Proses dekomposisi serasah mangrove
yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Hutan
mangrove merupakan sumberdaya alam khas pesisir tropika, yang mempunyai
manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas apabila ditinjau dari aspek
sosial, ekonomi dan ekologi (Sobari et al. 2006)
Secara ekologis mangrove berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan
gelombang pasang. Selain itu, hutan ini juga berfungsi sebagai tempat untuk
memijah (spawning ground), sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai
tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis hewan yang hidup
pada badan air maupun hewan yang hidup di atas badan air (Wahidin et al. 2013).
Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai,
karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai
2

nelayan. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi


sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir
dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut,
serta sebagai sumber pakan habitat biota laut. Potensi ekonomi mangrove berasal
dari tiga sumber yaitu sebagai hasil hutan, perikanan muara sepanjang pantai dan
ekoturisme. Hutan mangrove disamping menghasilkan bahan dasar untuk industri,
ekosistem mangrove berbagai jenis produk dan jasa yang bisa menunjang
kehidupan masyarakat pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi. Hal ini mangrove
memiliki peran sebagai sumberdaya renewable dan sebagai penyangga sistem
kehidupan jika proses ekologi dalam mangrove dapat berlangsung dengan baik.
Proses ekologi mangrove tidak akan terganggu jika salah satu komponennya tidak
hilang (Khaery 2015). Keberadaan hutan mangrove mempunyai peranan yang
sangat penting bagi ekosistem disekitarnya. Besarnya manfaat yang ada pada
ekosistem hutan mangrove memberikan konsekuensi bagi ekosistem hutan
mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin tingginya tingkat eksploitasi terhadap
lingkungan akan berakhir pada degradasi lingkungan. Melihat dari pemanfaatan
tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan dari nilai yang
terdapat dalam ekosistem mangrove melalui valuasi ekonomi (Fadhila et al.
2015).
Hutan mangrove memiliki manfaat yang sangat besar, sehingga memberikan
konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin
tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada
degradasi lingkungan yang cukup parah seperti berkurangnya luasan hutan
mangrove dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari ulah manusia yang
kurang paham akan pentingnya kelestarian ekosistem hutan mangrove di
kemudian hari. Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonominya
saja, tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan juga biologi yang
ditimbulkan.
Kelestarian hutan mangrove di Kabupaten Buton Utara semakin menurun
seiring dengan perkembangan dan pembangunan kota. Kebutuhan lahan untuk
pengembangan infrastruktur dan pembangunan fisik semakin meningkat antara
lain; pelabuhan, permukiman, perluasan jalan, perkantoran, dan industri. Selain itu
juga pengaruhi oleh kehidupan masyarakat di Desa Eelahaji dan masyarakat Desa
Kalibu yang sebagian besar kehidupan masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan
dan petani. Kehidupan masyarakat di lokasi penelitian sebagian besar tergantung
dari hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, serta penjualan kayu bakar yang
berasal dari mangrove selain itu tergantung dari hasil pertanian. Keberadaan hutan
mangrove di desa ini sedikit terancam hal ini diakibatkan oleh perilaku
masyarakat yang merusak lahan hutan, seperti penebangan pohon yang di jadikan
kayu bakar untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Manfaat mangrove
dijadikan kayu bakar juga di jadikan sebagai bahan bangunan, peralihan lahan
mangrove menjadi lahan tambak dan eksploitasi mangrove yang dilakukan
masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat sehingga kesempatan masyarakat untuk menempati wailayah pesisir
sangat tinggi.Apabila kondisi ini terus berlanjut tanpa ada perhatian dan
pengawasan khususnya dari pemerintah daerah, maka akan mengancam
kelestarian ekosistem mangrove sebagai pelindung pulau dan puncaknya adalah
kehilangan daratan.
3

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan


aset yang dapat menyediakan barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung
untuk kebutuhan manusia, dan menghasilkan jasa yang tidak diorganisasikan
melalui mekanisme pasar. Ekosisitem mangrove memiliki nilai yang tinggi, baik
nilai ekonomis maupun nilai ekologis bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat
yang diperoleh, terdapat nilai ekonomi yang secara langsung berdampak pada
kehidupan masyarakat setempat. Nilai ekonomi yang terkandung dalam ekosistem
hutan mangrove sangat berperan penting dalam penentuan kebijakan
pengelolaannya. Valuasi ekonomi merupakan suatu upaya untuk memberikan nilai
kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan
lingkungan. Kerangka nilai ekonomi yang digunakan dalam valuasi ekonomi
sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value/TEV
yang secara garis besar terdiri atas dua kelompok yaitu nilai atas dasar
penggunaan (use value) dan nilai yang terkandung didalamnya atau nilai intrinsik
(non use value). Oleh sebab itu penilaian ekonomi manfaat dan potensi
sumberdaya alam merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi kepada
masyarakat mengenaipentingnya keberadaan ekosistem hutan mangrove.
Diharapkan persepsi dan penilaian masyarakat terhadap keberadaan hutan
mangrove akan berubah menjadi positif dan konstruktif. Pendekatan yang
digunakan dalam melakukan penilaian manfaat ekosistem hutan mangrove adalah
menggunakan konsep pendekatan penilaian ekonomi total (NET) dari produk
barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak berguna secara langsung
(non use value)

Perumusan Masalah

Hutan mangrove merupakan salah satu sumber penghasilan yang sangat


bermanfaat bagi masyarakat dan negara, hal ini disebabkan hutan mangrove
memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik secara langsung maupun tidak langsung
serta nilai ekologis yang sangat penting, sehingga keberadaannya perlu
dilestarikan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan untuk memaksimalkan
manfaat ekonomi disebagian besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan
sejumlah dampak negatif terhadap kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut.
Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan pesisir
Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut karena adanya
peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan
perikanan (pembukaan tambak), pengembangan kawasan industri, pertambangan,
pemukiman di kawasan pesisir, perluasan areal pertanian serta pengambilan kayu
mangrove secara besar-besaran.
Perubahan tataguna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam mangrove
secara berlebihan diakibatkan karena pertambahan penduduk yang semakin cepat
dan luas kawasan yang terbangun. Hutan mangrove dapat dengan cepat menjadi
semakin menipis dan berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan kawasan
tersebut. Permasalahan utama adalah pengaruh dan tekanan habitat mangrove
bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove
menjadi areal pengembangan perumahan, industri dan perdagangan, kegiatan-
kegiatan komersial maupun pergudangan. Dalam situasi seperti ini habitat dasar
dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini disertai dengan hilangnya ruang
4

terbuka hijau yang jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Mulyadi dan Fitriani
2010).
Kesalahan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan
sumberdaya alam, memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap
menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya (termasuk
masyarakat lokal) yang memiliki ketergantungan secara langsung terhadap
sumberdaya alam tersebut. Apabila kondisi ini dipertahankan, maka laju degradasi
sumberdaya alam akan semakin cepat. Degradasi hutan mangrove akan
menimbulkan intrusi air laut dan hilangnya biota laut. Oleh karena itu, pada setiap
lokasi hutan mangrove perlu memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti
salinitas, pasang surut dan topografi. Kerusakan hutan mangrove masih terus
terjadi, walaupun ada aturan untuk menjaga kelestariannya.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah
bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif. Dalam
pengelolaannya tidak hanya melihat harga pasar (market price) dari barang dan
jasa yang dihasilkan dari suatu sumberdaya alam tetapi juga melihat manfaat
langsung dan manfaat tidak langsung yang dihasilkan yang belum memiliki harga
pasar (non market price).
Ditinjau dari nilai manfaat ekonominya, sepintas nilai manfaat fisik dan
biologi dianggap kurang penting karena tidak dirasakan secara langsung. Menurut
Sudarisman (1997) dalam Alfian (2004) manfaat fisik dan biologi inilah yang
membuat nilai hutan sangat penting, karena manfaat ekonomi misalnya udang,
ikan, kerang akan meningkat jika habitatnya baik, sehingga fungsi ekologi dan
perlindungan cocok bagi kehidupan dan perkembangan biota perairan tersebut.
Fungsi ekologi dapat memberi manfaat tidak langsung bagi masyarakat
sedangkan fungsi ekonomi akan memberikan manfaat langsung kepada manusia.
Meningkatnya pemanfaatan fungsi ekonomi akan berdampak terhadap menurunya
fungsi ekologi, tetapi jika ekosistem mangrove tidak dimanfaatkan maka
masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai ekonomi. Terutama
pada kondisi sosial masyarakat Desa Eelahaji dan Desa Kalibu yang
kehidupannya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan petani. Oleh karena
itu kehidupan mereka tergantung dari hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, serta
penjualan kayu bakar yang berasal dari mangrove dan hasil pertanian.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial, serta persepsi masyarakat terhadap ekosistem
mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji?
2. Bagaimana komposisi vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji?
3. Berapa besar nilai dan pemanfaatan (use value) dan nilai bukan pemanfaatan
(non-use value) ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji?

Tujuan Penelitian

1. Menganalis kondisi sosial, serta persepsi masyarakat terhadap ekosistem


mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.
2. Menganalisis komposisi vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji.
5

3. Menghitung nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non-use value)
ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai valuasi


ekonomi pengelolaan sumberdaya mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji

Kerangka Pikir

Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan peralihan antara daratan dan


lautan yang diketahui memiliki banyak manfaat. Hutan mangrove di Desa Kalibu
dan Desa Eelahaji Kabupaten Buton Utara merupakan sumberdaya alam yang
tidak hanya memiliki fungsi ekonomi tetapi juga ekologi dan fisik yang tidak
secara langsung dapat dinilai dengan uang karena belum dapat dipasarkan,
sehingga dilakukan penelitian terkait nilai ekonomi total hutan mangrove.
Penelitian ini dengan mengidentifikasi sumberdaya hutan mangrove di Desa
Kalibu dan Desa Eelahaji menggunakan analisis deskriptif guna mengetahui
kondisi aktual hutan mangrove di daerah tersebut.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai
produktivitas yang tinggi yang memproduksi sumber makanan untuk sebagian
besar berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan berbagai biota perairan pantai
lainnya. Di samping itu dari segi perikanan, mangrove juga berperan sebagai
spawning dan nursery grounds. Kesemua fungsi mangrove tersebut tetap ada
selama vegetasi mangrove dapat dipertahankan keberadaannya (Kusmana, 2007).
Fungsi dan manfaat hutan mangrove dalam penelitian ini tidak semua dapat
dihitung mengingat keterbatasan data yang digunakan. Selain itu nilai manfaat
langsung yang dapat dihitung nilai ekonominya adalah pemanfaatan kayu bakar,
penangkapan ikan, udang, dan kepiting yang di lakukan disekitar kawasan hutan
mangrove. Manfaat tidak langsung yang dapat diukur adalah peredam gelombang,
dan penahan intrusi air laut.
Identifikasi nilai manfaat total hutan mangrove diperoleh dengan
mewawancarai responden melalui panduan kuesioner. Manfaat mangrove yang
diperoleh terdiri dari nilai guna dan nilai bukan guna. Nilai guna (use value) dari
hutan mangrove ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, nilai guna langsung yang
diperoleh dari pemanfaatan langsung hutan mangrove yaitu pemanfaatan kayu
bakar, penangkapan ikan, penangkapan udang, dan kepiting. Kedua, nilai guna tak
langsung yang diperoleh dari jasa lingkungan hutan mangrove yaitu pencegah
intrusi air laut ke darat, perluasan lahan kearah laut dan daerah mencari makanan
bagi biota laut (feeding ground). Ketiga, nilai pilihan yang diperoleh dari kesdiaan
seseorang untuk membayar guna pemanfaatan ekowisata mangrove di masa yang
akan datang. Seluruh nilai manfaat hutan mangrove kemudian dikuantifikasi
kedalam nilai uang sehingga diperoleh nilai ekonomi totalnya. Nilai ekonomi total
telah dari metode valuasi menjadi bahan acuan menjadi alternatif pemanfaatan
sumberdaya mangrove secara lestari. Berdasarkan uraian diatas, maka bagan
kerangka pemikirannya di sajikan pada Gambar 1:
6

Ekosistem hutan mangrove


Di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji

Sosial ekonomi Sumberdaya alam hutan


masyarakat mangrove

- Karateristik masyarakat Biofisik:


- Persepsi masyarakat -Jenis
- Kerapatan tegakan
- Indeks nilai penting

Identifikasi manfaat
hutan mangrove

Use Values Non use values

Nilai Nilai
Nilai langsung Nilai tidak
pilihan keberadaan
langsung

- Pemanfaatan kayu - Peredam


bakar gelombang
- Penangkapan ikan (waterbreak) Ekowisata
- Penangkapan kepiting - Penahan mangrove Keberadaan
- Penangkapan udang intrusi air mangrove
laut

Nilai ekonomi total


ekosistem mangrove
Gambar 1 Kerangka Penelitian

2 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini di laksanakan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan


Kolisusu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Februari 2017 hingga bulan April 2017 yang ditempatkan
pada lokasi yang berbeda yaitu di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Penentuan titik
penelitian berdasarkan keadaan mangrove yang baik dan jarang. Hal ini bertujuan
7

untuk mengetahui berapa besar nilai ekonomi mangrove pada vegetasi yang utuh
dan untuk mengetahui berapa berapa nilai ekonomi mangrove yang sudah rusak.
Letak geografis Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat di lihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Jenis dan Sumber Data

Data primer pada penelitian ini diperoleh melalui dua cara yaitu wawancara
menggunakan kuisioner, dan observasi langsung dilapangan. Wawancara
dilakukan untuk mencari informasi mengenai peranan masyarakat terhadap hutan
mangrove. Observasi langsung dilapangan yang akan dilakukan meliputi kondisi
komoditi semua jenis pemanfaatan mangrove seperti biodiversitas, luas hutan
mangrove, identifikasi manfaat dan potensi mangrove, kerapatan dan jenis
individu, identifikasi jenis dan jumlah organisme yang berasosiasi dengan
mangrove, produktivitas manfaat dan potensi, harga pasar, salinitas air sumur. Hal
ini untuk mengetahui perbedaan nilai ekonomi mangrove yang masih baik di Desa
Kalibu dan nilai ekonomi mangrove yang vegetasinya sudah rusak/jarang di Desa
Eelahaji.
Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data pendukung dari
berbagai instansi pemerintah Kabupaten Buton Utara. Data sekunder ini berisi
keadaan demografi, geografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta sarana dan
prasarana yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan penangkapan biota
perairan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.
8

Metode Pengambilan Sampel

Pengumpulan data persepsi


Metode pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah purposive
sampling, berdasarkan aktifitas masyarakat sehari-hari yang berhubungan dengan
pemanfaatan hutan mangrove. Selain itu dilakukan wawancara dengan beberapa
informan dan aparat desa/pemerintah. Jumlah responden dalam penelitian ini
sebanyak 50 orang yang masing-masing desa terdiri dari 25 responden. Metode
pengambilan responden menggunakan porposive sampling terhadap masyarakat
yang terlibat langsung dalam pengelolaan hutan mangrove yang di ketetahui
berdasarkan informasi dari responden sebelumnya. Metode ini dipergunakan
mengkaji persepsi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove serta untuk
menilai nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai pilihan di Desa
Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara
Karakteristik masyarakat yang dijadikan responden berdasarkan kriteria-
kriteria berikut:
1. Umur, yaitu usia responden pada saat penelitian dilakukan dan dinyatakan
dalam tahun, dengan ketentuan pembulatan keatas dilakukan bila usianya
melebihi enam bulan keatas
2. Tingkat pendidikan, yaitu jenjang formal yang pernah ditempuh responden
sampai saat penelitian dilakukan, yakni SD (MI), SMP (MTs), SLTA (MA),
dan Akademi/Perguruan Tinggi.
3. Pekerjaan, yaitu kegiatan mencari nafkah yang ditekuni sebagai pekerjaan
utama.
4. Pendapatan, yang dimaksud adalah pendapatan keluarga yang didapatkan dari
perolehan/upah/gaji yang diterima setiap bulan dari pekerjaan utama maupun
pekerjaan sampingan, kepemilikan tambak dan adanya keluarga yang bekerja
dari responden yang bersangkutan.
5. Status sosial, yakni tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya
sehubungan dengan orang lain. Status social responden dilihat dari
kegiatan/organisasi/kelompok sosial yang di ikuti beserta kedudukannya dalam
kelompok tersebut, baik sebagai ketua, pengurus maupun anggota, serta
lamanya bertempat tinggal di daerah tersebut.

Pengumpulan data vegetasi


Pengamatan vegetasi dilakukan untuk mengetahui potensi dan kualitas
mangrove dengan teknik analisis vegetasi berupa kombinasi antara cara jalur
dengan cara garis berpetak. Penempatan garis contoh (jalur) dilakukan dengan
proposive sampling yang di letakan tegak lurus garis pantai menuju daratan atau
sebaliknya dengan lebar 20 m dan panjangnya 100 m. Pengamatan vegetasi
dilakukan di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu dengan masing-masing desa terdapat
2 jalur yang di tempatkan pada mangrove yang baik dan jarang yang masing-
masing jalur di bagi menjadi 5 petak. Secara rinci ukuran petak-petak contoh
tersebut adalah:
1. 20 m x 20 m : Digunakan untuk merisalah tingkat pohon dengan data yang
dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi
pohon.
9

2. 10 m x 10 m : Digunakan untuk merisalah tingkat tiang dengan data yang


dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi
tiang.
3. 5mx5m : Digunakan untuk merisalah tingkat permudaan sapihan
dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu.
4. 2mx2m : Digunakan untuk merisalah tingkat permudaan semai dan
tumbuhan bawah. Data yang dikumpulkan berupa jumlah
individu.

Pengumpulan data valuasi ekonomi


Pengambilan sampel untuk nilai ekonomi produk/potensi mangrove
dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji yang memiliki vegetasi mangrove
yang baik dan jarang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai guna langsung
berupa nilai kayu bakar, penangkapan ikan, kepiting serta udang), nilai guna tidak
langsung berupa penahan abrasi, penahan intrusi air laut, nilai pilihan (nilai
harapan ekowisata mangrove). Hal ini dilakukan secara purposive sampling yaitu
pada areal mangrove yang memiliki kriteria baik dan rusak.

Konsep Pengukuran Variabel

Persepsi masyarakat
Terdapat beberapa pernyataan yang digunakan untuk mengukur persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove dengan metode kuisioner dan
wawancara dengan menggunakan skala likert .
1. Persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove
a. Hutan mangrove dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi.
b. Hutan mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi.
c. Hutan mangrove melindungi garis pantai dari gelombang laut, dan angin
topan.
d. Hutan mangrove dapat menahan intrusi air laut
e. Hutan mangrove sebagai tempat keanekaragaman hayati bagi berbagai
makhluk hidup.
f. Hutan mangrove sebagai tempat mencari makan, pemeliharaan, pemijahan,
perlindungan berbagai hewan terutama ikan dan udang.
g. Hutan mangrove menghasilkan kayu-kayu bernilai ekonomi.
h. Hutan mangrove sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan seperti
untuk tempat penelitian
2. Pengelolaan dan perlindungan ekosistem mangrove
a. Pemerintah daerah sudah menjalankan tugas pengelolaan lingkungan
dengan baik
b. Pengelolaan hutan mangrove merupakan tanggung jawab bersama
c. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan penduduk setempat dalam
kegiatan pengelolaan kawasan mangrove
d. Setiap kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove sebaiknya di
sosialisasikan kepada masyarakat
e. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove sebaiknya
diwakili saja oleh perwakilan masyarakat
10

f. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lakukan


ketika ada kegiatan atau proyek saja
g. Perusahaan lokal berpatisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan
h. Hanya sebagian penduduk setempat atau pemerintah saja yang akan
memperoleh manfaat/keuntungan atas adanya pengelolaan hutan mangrove.
3. Persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan mangrove
a. Kerusakan wilayah pesisir karena faktor alam (banjir dan gempa)
b. Kerusakan hutan mangrove karena kepentingan ekonomi
c. Penegakan hukum lingkungan yang belum memadai
d. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga
e. Pembuatan lahan tambak
f. Masyarakat pendatang tidak menaati aturan dalam pengelolaan kawasan
mangrove
g. Kurangnya sosialisasi oleh pemerintah tentang manfaat hutan mangrove.
Metode yang digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat adalah
metode skala Likert. Urutan untuk skala Likert menggunakan 5 angka
penilaian(Gumilar 2012), yaitu:
1. Sangat setuju (SS) = Bobot 5
2. Setuju (S) = Bobot 4
3. Netral/abstain (N) = Bobot 3
4. Tidak setuju (TS) = Bobot 2
5. Sangat tidak setuju (STS) = Bobot 1

Analisis vegetasi
Pengukuran distribusi mangrove dilakukan dengan menggunakan line
transek, yang dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus garis pantai yang
ditempatkan pada kondisi mangrove yang baik dan kondisi mangrove yang rusak.
Masing-masing transek dibuat plot-plot atau petak-petak yang berukuran 20 x 20
meter untuk merisalah tingkat pohon dengan data yang dikumpulkan berupa
jumlah individu, diameter dan tinggi pohon. 10 x 10 meter merisalah tingkat tiang
dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi tiang.
5 x 5 meter untuk merisalah tingkat permudaan sapihan dengan data yang
dikumpulkan berupa jumlah individu. 2 x 2 meter tingkat permudaan semai dan
tumbuhan bawah. Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu yang kemudian
menghitung kerapatan suatu jenis, kerapatan relatif suatu jenis, dominasi suatu
jenis, dominasi relatif suatu jenis, frekuensi suatu jenis, frekunsi relatif suatu jenis
kemudian dicari indeks nilai penting yang merupakan penjumlahan dari kerapatan
relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif

Nilai ekonomi mangrove


1. Nilai manfaat langsung yaitu nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara
langsung hutan mangrove:
a. Manfaat kayu bakar
Pengukuran manfaat kayu bakar dapat dilakukan dengan melihat jumlah
pengambilan kayu bakar dan harga kayu bakar per ikat dengan pendekatan
harga pasar dengan melakukan wawancara kuisioner secara proposive
sampling yaitu pada masyarakat yang mengambil kayu mangrove untuk di
jual maupun untuk dipakai kebutuhan rumah tangga.
11

b. Biota air (Ikan, udang dan kepiting)


Pengukuran terhadap biota komoditas perairan yang diukur adalah jenis
tangkapan oleh nelayan termasuk jenis ikan, udang, kepiting dengan melihat
berat komoditas per periode tangkap serta alat tangkap yang mereka
gunakan.dengan metode penilaian market price/actual market produktivitas
dengan cara pengukuran harga komoditas dengan survey harga pasar dan
wawancara terhadap nelayan.
2. Nilai guna tidak langsung yaitu nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara
tidak langsung hutan mangrove:
a. Pemecah ombak (break water) = Rp/tahun
Hutan mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi atau pemecah ombak.
Pengukuran manfaat mangrove sebagai penahan abrsi dapat dilakukan
dengan melihat besarnya abrasi yang ditimbulkan oleh air laut disekitar
mangrove yang akan diukur sepanjang garis pantai yang mangrovenya baik
maupun rusak/jarang. Hal tersebut dapat diketahui melalui pengamatan
langsung dan melakukan wawancara terhadap masyarakat guna mengetahui
garis pantai sebelum mengalami abrasi dan sesudah mengalami abrasi,
sehingga bisa di ketahui besarnya abrasi yang diakibatkan oleh ombak air
laut dari tahun ketahun. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap
instansi pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum) guna mengetahui estimasi
anggaran yang digunakan untuk mambuat pemecah ombak dengan panjang
garis pantai yang terdampak abrasi. Hal ini dilakukan melalui pendekatan
dimensi beton (panjang, lebar, tinggi), biaya pembuatan, biaya pemeliharaan
dengan metode Replacement cost.
b. Penahan intrusi air laut = Rp/tahun
Manfaat mangrove sebagai penahan intrusi air laut dilakukan dengan cara
yang sederhana yaitu melalui indra pengecap untuk membedakan rasa air
sumur yang di jadikan sampel dengan pembanding air sumur yang tidak
mendapat pengaruh dari laut (air tawar ), pada jarak sumur yang disesuaikan
pada kondisi lokasi penelitian atau pada jarak sumur yang dipengaruhi air
laut sampai pada jarak sumur yang tidak dipengaruhi oleh air laut yang
diukur dari garis mangrove luar dari bibir pantai, yang ditetapkan pada
kondisi mangrove baik dan jarang untuk mengetahui seberapa jauh hutan
mangrove dapat menahan intrusi air laut. Hal ini bisa diketahui melalui
pengamatan langsung terhadap sumur yang airnya payau dan sumur yang
tidak mengalami gangguan air laut dan wawancara terhadap masyarakat
untuk mengetahui kebutuhan air/liter/hari, harga air/liter untuk kebutuhan
mereka. Metode yang digunakan untuk menghitung nilai penahan intrusi air
laut adalah subtitut cost.
3. Nilai manfaat pilihan yaitu nilai yang dihasilkan dari nilai jasa wisata hutan
mangrove: Ekowisata = Rp/tahun
Nilai pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa
sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak
dapat digunakan pada saat sekarang. Dalam penelitian ini, nilai yang akan
digunakan adalah manfaat ekowisata hutan mangrove. Hal ini dengan
melakukan wawancara terhadap masyarakat guna mengetahui kesediaan
membayar untuk kelestarian hutan mangrove yang akan dijadikan sebagai
12

tempat wisata dimasa yang akan datang. Metode yang digunakan untuk menilai
ekowisata mangrove dengan tehnik Contigen Valuation Method (CVM).

Analisis Data

Persepsi masyarakat
Secara umum metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis deskriptif yaitu metode analisis yang berusaha menjelaskan objek
kajian menurut kriteria tertentu sehingga memberikan gambaran yang
sesungguhnya yang terjadi di tempat penelitian tersebut. Persepsi masyarakat
diananlisis menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode yang digunakan
untuk mengukur persepsi masyarakat adalah metode skala Likert. Urutan untuk
skala Likert menggunakan 5 angka penilaian (Gumilar 2012), yaitu:
Sangat setuju (SS) = Bobot 5
Setuju (S) = Bobot 4
Netral/abstain (N) = Bobot 3
Tidak setuju (TS) = Bobot 2
Sangat tidak setuju (STS) = Bobot 1
Pengukuran tingkat persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan
mangrovedi Desa Kalibu dan Eelahaji diukur berdasarkan skala Likert dari total
skor terhadap 8 pernyataan penduga persepsi seperti tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kategori tingkat persepsi masyarakat tentang manfaat dan perlindungan


hutan mangrove
No Kategori Skor
1. Tinggi 30.00-40.00
2. Sedang 19.00-29.99
3. Rendah 8.00-18.99

Analisis vegetasi
Analisis vegetasiNmerupakan cara untuk mempelajari komposisi jenis dan
struktur vegetasi dalam suatu ekosistem (Soerianegara dan Indrawan 1999). Data
yang diperoleh di lapangan dihitung untuk beberapa variabel, antara lain:
1. Kerapatan (K) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Jumlah dari individu
K=
Luas contoh
2. Kerapatan relatif (KR) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Karapatan dari suatu spesies/jenis
KR (%) = x 100
Kerapatan seluruh jenis
3. Dominansi (D) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Jumlah bidang datar
D=
Luas petak contoh
4. Dominansi relatif (DR) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Dominansi suatu jenis
DR (%) = x 100
Dominansi seluruh jenis
13

5. Frekuensi (F) suatu jenis dihitung dengan rumus:


Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
F=
Jumlah seluruh plot
6. Frekuensi relatif (FR) suatu jenis dihitung dengan rumus:
Frekuensi dari suatu jenis
FR (%) = x 100
Frekuensi dari seluruh jenis
7. Indeks nilai penting (INP)
Indeks nilai penting pada tanaman mangrove diperoleh dari perhitungan
(Soerianegara dan Indrawan 1999):
INP = FR + DR + KR
Keterangan : FR = Frekuensi relatif
DR = Dominansi relatif
KR = Kerapatan relatif

Valuasi ekonomi mangrove


Penilaian ekonomi dari manfaat sumberdaya hutan mangrove, yaitu dengan
mengidentifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove yang ditetapkan pada
hutan mangrove yang baik dan jarang. Komponen nilai ekonomi total meliputi
nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use
values), nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan (existensi value) (Pearce
dan Turner 1990 dalam Bahruni 2008).
1. Manfaat Langsung (Direct-Use Value) dari hutan mangrove, dengan rumus:
4

ML = ∑ MLi
i=1
Keterangan:
ML = Manfaat langsung
ML1 = Penerimaan produksi kayu bakar (Rupiah/tahun)
ML2 = Penerimaan produksi ikan (Rupiah/tahun)
ML3 = Penerimaan produksi udang (Rupiah/tahun)
ML4 = Penerimaan produksi kepiting (Rupiah/tahun)
2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect-Use Value)
Manfaat tidak langsung dapat diakumulasi dengan penahan abrasi dan penahan
intrusi air laut. Perhitungan nilai total manfaat tidak langsung dari hutan
mangrove, dengan rumus:
2

MTL = ∑ MTLi
i=1
Keterangan:
MTL = Manfaat tidak langsung
MTL1 = Peredam gelombang (waterbreak) (Rupiah/tahun)
MTL2 = Penahan intrusi air laut (Rupiah/tahun)
3. Manfaat Pilihan (Option Value)
Nilai manfaat pilihan adalah nilai pilihan untuk melakukan preservasi bagi
penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa
yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang.
14

MP = ∑ MPi/n
i=1
Keterangan: MP = Manfaat pilihan
MPi = Manfaat pilihan dari responden ke-i
n = Jumlah responden
Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Beberapa
teknik kuantifikasi yang digunakan adalah nilai pasar, harga tidak langsung,
(Turner 2016), dengan rumus:
TEV = DUV + IUV + OV
Keterangan: TEV = Total ekonomi valuation
DUV = Nilai pemanfaatan langsung (Direct Use Value)
IUV = Nilai pemanfaatan tidak langsung (Indirect Use Value)
OV = Nilai pilihan (Option Value)

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Georafis

Kabupaten Buton Utara adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi


Tenggara, ibukotanya adalah Buranga. Kabupaten Buton Utara juga dikenal
sebagai Kabupaten Butur ini terletak di Pulau Buton yang merupakan pulau
terbesar di luar pulau induk Kepulauan Sulawesi, yang menjadikannya pulau ke-
130 terbesar di dunia. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten Buton Utara
merupakan dataran rendah dan sebahagian berbukit dengan keadaan tanah yang
sangat subur terutama yang terletak pada pesisir pantai sangat cocok untuk
pertanian baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Kabupaten Buton Utara bagian Utara terdiri dari barisan pegunungan dan
sedikit melengkung ke arah Utara dan mendatar ke arah Selatan dengan
ketinggian rata-rata antara 300–800 meter di atas permukaan laut, sedangkan
bagian Timur sepanjang arah pegunungan merupakan daerah berbukit-bukit dan
mendatar ke arah pantai timur dengan luas bervariasi. Dataran rendah yang cukup
luas yaitu Cekungan Lambale 29 000 ha sejajar dengan Sungai Lambale dan
Sungai Langkumbe. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1 923.03 km² (belum
termasuk wilayah perairan), terletak di jazirah Sulawesi Tenggara meliputi bagian
Utara Pulau Buton dan gugusan pulau-pulau di sekitarnya; secara administratif
terdiri dari 6 kecamatan salah satunya Kecamatan Kolisusu dan 59
desa/kelurahan/UPT. Ditinjau dari letak geografisnya Kabupaten Buton Utara
terletak pada 406’ LS – 5015’ LS serta membujur dari Barat ke Timur antara
122059’ BT – 123015’ BT, dengan batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Wawonii
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton
4. Sebelah Barat berbatasan dengan selat Buton dan Kabupaten Muna
15

Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Kolisusu yang secara administratif


terdiri dari 16 desa dan 7 kelurahan. Secara umum batasan desa di Kecamatan
Kolisusu Kabupaten Buton Utara dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Batas desa lokasi penelitian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
Kecamatan Kolisusu
Batas Desa
No Desa
Utara Selatan Timur Barat
1. Kalibu Ds. Eelahaji Ds. Laangke Ds. Laangke Tel.Kolisusu
2. E'elajahi Ds. Jampaka Ds. Kalibu Ds Kalibu Ds.Wacula'ea
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017

Kecamatan Kolisusu secara andmistratif terdiri dari 16 desa dan 7


kelurahan luas daratan Kecamatan Kolisusu seluas 172.78 km2. Total luas
keseluruhan Kabupaten Botun Utara yaitu 1 923.03 km² yang meliputi beberapa
kecamatan. Kecamatan Kolisusu memiliki luas 170.78 km2 atau 8.89%.
Kecamatan kolisisu terdiri beberapa desa diantaranya Desa Eelajahi dan Desa
Kalibu (lokasi penelitian) yang memiliki luasan berbeda. Luas Desa Eelahaji
memiliki luas wilayah sekitar 30.50 km2 atau 18% dari luas Kecamatan Kolisusu,
sedangkan luas Desa Kalibu sekitar 4.43 km2 atau sekitar 2.3% dari luas
Kecamamatan Kolisusu. Luas wilayah dan persentase tiap desa dan kelurahan di
Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas wilayah di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu
No Desa/Kelurahan Luas (km) %
1. Kalibu 4.43 2.56
2. Eelahaji 30.50 17.65
Jumlah 34.93 20.21
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017

Keadaan Perikanan Tangkap

Kondisi daerah Kecamatan Kolisusu khususnya Desa Kalibu dan Desa


Eelahaji merupakan daerah pesisir yang mendukung kegiatan/usaha masyarakat
baik di bidang perikanan laut maupun perikanan darat. Dalam kegiatan tersebut
harus didukung dengan sarana dan prasarana untuk usaha penangkapan ikan,
udang dan kepiting serta biota laut lainnya. Kawasan mangrove di Desa Kalibu
dan Desa Eelahaji sangat mendukung untuk kegiatan usaha perikanan laut dan
pariwisata, sarana yang mendukung kegiatan tersebut adalah tersedianya perahu
seperti perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Banyaknya perahu yang di
gunakan untuk kegiatan perikanan seperti perahu tanpa motor dan perahu yang
menggunakan mesin tempel dapat membantu masyarakat dalam melakukan
penangkapan biota laut. Desa Kalibu dan Desa Eelahaji memiliki sarana perikanan
hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.
16

Tabel 4 Sarana perikanan yang digunakan masyarakat Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
No Nama Sarana Desa Kalibu Desa Eelahaji
1 Perahu tanpa motor 23 26
2 Perahu motor tempel 2 17
Jumlah 25 43
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017

Alat tangkap yang di gunakan masyarakat untuk melakukan penangkapan


biota perairan (ikan, udang dan kepting) sangat beranekaragam seperti jala, bubu,
jaring dan pancing ikan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa usaha
penangkapan ikan,udang dan kepiting di Kecamatan Kolisusu khususnya di Desa
Kalibu dan Desa Eelahaji sebagian besar dilakukan di pesisir pantai. Penangkapan
biota perairan (ikan, udan dan kepiting) biasanya dilakukan sendiri-sindiri
sedangkan umpan yang mereka gunakan udang, ikan, serta dari kerang laut.

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk secara keseluruhan Kecamatan Kolisusu berdasarkan data


Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton Utara tahun 2016 jumlah penduduk
tercatat sebanyak 23 190 jiwa. Secara lengkap, data jumlah penduduk di lokasi
penelitian ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu
No Desa Jumlah (jiwa) %
1. Kalibu 866 3.8
2. Eelahaji 776 3.3
Jumlah 1 642 7.1
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017

Kecamatan Kolisusu memiliki 23 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk


keseluruhan sebanyak 23 190 jiwa yang terdiri dari beberapa desa dan kelurahan
diantaranya Desa Eelajahi memiliki jumlah penduduk yang berada di urutan ke 7
dengan jumlah sekitar 776 jiwa sedangkan Desa Kalibu berada diurutan ke 9
dengan jumlah 886 jiwa dari total keselurahan jumlah penduduk Kecamatan
Kolisusu. Jumlah penduduk di dua desa tersebut 1 642 jiwa atau sekitar 7.1% dari
total penduduk Kecamatan Kolisusu.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu


tahun 2016 menurut jenis mata pencaharian/pekerjaan di dominasi oleh petani,
PNS, dan nelayan sedangkan yang lain belum teridentifikasi. Secara keseluruhan,
data jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 6.
17

Tabel 6 Jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menurut mata
pencaharian
Jumlah Penduduk (jiwa)
No Mata pencaharian
Desa Kalibu Desa Eelahaji
1 PNS 23 20
2 Nelayan 38 44
3 Petani 154 110
4 Lain-lain* 651 802
Jumlah 866 776
Keterangan; *= Belum teridentifkasi
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian atau pekerjaannya di Desa


Kalibu untuk pegawai negeri sipil sebanyak 23 orang sedangkan di Desa Eelahaji
20 orang. Penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan di Desa Kalibu 38
sedangkan untuk di Desa Eelahaji 44 orang, hasil yang di peroleh nelayan
menurut masyarakat sangat menjajikan buat kehidupan mereka. Masyarakat yang
pekerjaanya sebagai petani untuk di Desa Kalibu sebanyak 154 orang dan
masyarakat di Desa Eelahaji sebanyak 110 orang hal ini di pengaruhi beberapa
faktor yaitu jumlah tersedianya lahan pada kedua desa tersebut sehingga
mempengaruhi banyak tidaknya jumlah petani.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kecamatan Kolisusu pada tahun 2016 sebanyak 23 190


jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton Utara. Berdasarkan
jumlah penduduk tersebut di bagi menurut jenis kelamin, jumlah penduduk di
Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
No Jenis kelamin Desa Kalibu Desa Eelahaji
1 Laki-Laki 454 384
2 Perempuan 412 392
Jumlah 866 776
Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017

Berdasarkan Tabel 7 bahwa jumlah penduduk menurut jenis kelamin tahun


2016, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 11 578 jiwa dan jumlah penduduk
perempuan 11 612 jiwa dari total desa di Kecamatan Kolisusu. Desa Kalibu
memiliki jumlah penduduk laki-laki sebesar 454 jiwa atau 3.9% dan jumlah
penduduk perempuan sebesar 412 jiwa atau 3.5%, berbeda dengan jumlah
penduduk Desa Eelajahi lebih banyak banyak penduduk perempuan dibandingkan
jumlah penduduk laki-laki. Jumlah laki-laki sebesar 384 jiwa atau 3.3%
sedangkan jumlah penduduk perempuan sebesar 392 jiwa atau 3.3%.
18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karateristik Responden

Karateristik responden ini berdasarkan hasil wawancara terhadap 25


responden per desa untuk 2 desa berjumlah 50 responden. Usia merupakan
identitas responden yang dapat menggambarkan pengalaman dalam diri responden
sehingga terdapat keragaman persepsi berdasarkan usia responden. Penelitian ini
mengelompokkan usia menjadi tiga, yaitu kelompok belum produktif (0-14),
produktif (15-64), dan tidak produktif (≥60). Berdasarkan umur sebagian besar
responden berada pada kelas umur 32-50 tahun, pada kondisi umur ini umumnya
responden berada pada masa produktif. Tingkat pendidikan responden masyarakat
yang berada di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji cukup baik karena reponden di
dominasi oleh Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) walaupun masih ada responden yang tamatan Sekolah Dasar (SD).
Sebagian besar pekerjaan masyarakat di kedua desa tersebut adalah petani dan
nelayan, buruh bangunan selebihnya seperti Pegawai Ngeri Sipil (PNS) dan
Wiraswasta. Masyatakat Desa Kalibu dan Desa Eelahaji mempunyai tingkat
pendapatan rata-rata yang bervariasi, di Desa Kalibu memiliki rata-rata
pendapatan/penghasilan per bulan sebesar Rp 2 000 000/KK/bln sedangkan di
Desa Eelahaji sebesar Rp 1 850 000/KK/bln. Karateristik masyarakat yang
dijadikan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Karakteristik responden di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji


No Kateristik responden Desa Kalibu Desa Eelahaji
Jumlah (jiwa) % Jumlah (jiwa) %
1 Umur:
0-14 0 0 0 0
15-64 25 100 25 100
≥64 0 0 0 0
2 Jenis kelamin Laki-laki
3 Tingkat pendidikan:
SD 4 16 2 8
SMP 7 28 7 28
SMA 14 56 16 52
D III 0 0 0 0
S1 0 0 0 0
4 Jenis pekerjaan:
Pekerjaan tetap:
Nelayan 25 100 25 100

Pekerjaan sampingan
Petani 19 76 21 84
Buruh bangunan 6 24 4 16
5 Rata-rata penghasilan Rp 2 000 000 Rp 1 850 000
19

Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Mangrove

Sejarah hutan mangrove


Hasil wawancara terhadap tokoh masyarakat dan pemerintah Kabupaten
Buton Utara mengenai sejarah hutan mangrove bahwa proses tumbuh dan
terbentuknya hutan mangrove di lokasi penelitian secara alami. Masyarakat
menganggap hutan mangrove sebagai salah satu penopang kehidupan karena
menghasilkan ekonomi yang cukup tinggi, sebagai wilayah pesisir sumber
kehidupan masyarakat tergantung pada hasil perikanan dan hasil kayu dari hutan
mangrove. Hal ini mendorong tingkat degradsi hutan terutama hutan mangrove di
Kabupaten Buton Utara yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini juga di
pengaruhi oleh kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat pesisir
tentang hutan mangrove, karena pada saat itu Kabupaten Buton Utara masih
bergabung di Kabupaten Muna. Jarak dari ibukota kabupaten yang terlalu jauh
sehingga para petugas Dinas Kehutanan jarang bahkan tidak pernah datang untuk
melakukan penyuluhan kepada masyarakat.
Sejak berpisahnya dari Kabupaten Muna kebiasaan mangambil kayu
mangrove masih terus dilakukan tetapi sudah sangat sedikit. Hal ini karena Dinas
Kehutanan Kabupaten Buton Utara sudah ada. Selain itu adanya KPHL
(Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Peropa’ea Gantara yang merupakan
perpanjangan tangan Dinas Kehutanan Provinsi yang terus menekan tingkat
degradasi hutan mangrove bahkan mereka mengumumkan hukuman yang di
terima pelaku illegal loging/perambah hutan mangrove berupa denda finsial yang
banyak serta kurungan penjara. Sehingga kebiasaan masyarakat merambah hutan
mulai berkurang.
Kawasan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Buton Utara merupakan
hutan mangrove yang terluas di seluruh Sulawesi Tenggara. Di dalam kawasan
tersebut terdapat banyak terdapat makhluk hidup lain yang memiliki keunikkan
seperti kepiting bakau, udang atau berbagai jenis ikan. Adanya makhluk hidup
lain di kawasan mangrove yang memiliki keunikkan tersebut, menjadikan
kawasan bakau Kabupaten Buton Utara menjadi sangat menarik untuk menjadi
pusat penelitian ekosistem hutan mangrove di KTI (Karya Tulis Ilmiah), serta
sebagai tempat wisata. Menurut kepala KPHL Peropaea Gantara, kawasan hutan
mangrove Kabupaten Buton Utara memiliki hutan mangrove terluas yang ada di
Sulawesi Tenggara mungkin juga Indonesia timur yang luasnya kurang lebih 2
000 ha, itulah yang akan dikembangkan untuk wisata mangrove dan akan
berdampak pada potensi lainnya seperti terumbu karangnya bahkan pemerintah
mencanangkan di tempat tersebut akan di jadikan tempat wisata penangkaran
buaya. Pemerintah Kabupaten Buton Utara, sudah menerbitkan peraturan daerah
untuk melindungi kawasan hutan mangrove dari berbagai ancaman kerusakan.
Masyarakat yang selama ini menjadikan kayu bakau sebagai bahan bakar
utama dalam rumah tangga, bahkan untuk di jual saat ini tidak dibolehkan lagi
menebang bakau di dalam kawasan hutan bakau. Larangan melalui perda tersebut
cukup efektif mencegah warga sekaligus menghentikan penebangan kayu bakau di
dalam kawasan hutan bakau tetapi masih ada sebagian masyarakat yang
melakukan hal tersebut hal ini juga di dorong oleh mahalnya bahan bakar minyak
seperti minyak tanah untuk kebutuhan rumah tangga.
20

Persepsi terhadap manfaat hutan mangrove


Persepsi merupakan produk atau proses psikologi yang dialami seseorang
setelah menerima stimuli yang mendorong tumbuhnya motivasi untuk
memberikan respon melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan (Yuwuno
2006 dalam Utami 2017). Persepsi seseorang muncul terhadap suatu objek
bersifat spontan sesuai dengan apa yang ada di dalam pikirannya yang didasari
keyakinan kuat (Barkah, 2008).
Kelestarian hutan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, namun
kesadaran atau peran partisipasi aktif masyarakat juga penting dalam kelestarian
hutan, karena masyarakat sekitar hutan berhubungan langsung dengan keberadaan
hutannya (Wibowo, 2013). Persepsi masyarakat terhadap manfaat keberadaan
hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu
Kabupaten Buton Utara, dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan persepsi terhadap manfaat keberadaan


hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
No Persepsi Desa Kalibu Desa Eelahaji
Jumlah % Jumlah %
1 Tinggi 23 92 25 100
2 Sedang 2 8 0 0
3 Rendah 0 0 0 0
Jumlah 25 100 25 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa


Eelahaji Kecamatan Kolisusu mayoritas masyarakatnya memiliki persepsi yang
tinggi terhadap manfaat keberadaan hutan mangrove yaitu di Desa Kalibu
sebanyak 23 responden memiliki persepsi tinggi sedangkan masyarakat yang
memiliki persepsi sedang sebanyak 2 respoden. Persepsi masyarakat di Desa
Eelahaji yang memiliki tingkat persepsi tinggi sebanyak 25 responden sedangkan
untuk kategori sedang dan rendah tidak ada. Responden yang memiliki tingkat
persepsi tinggi mereka telah merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove,
seperti hutan mangrove sebagai penghasil kayu yang bernilai ekonomi, dapat
menambah kelimpahan biota air, dapat menahan intrusi air laut serta sebagai
tempat wisata. Responden yang memiliki persepsi sedang ialah responden yang
mengetahui keberadaan kawasan hutan mangrove dan merasakan adanya manfaat
dari keberadaan kawasan hutan mangrove namun tidak sepenuhnya memahami
dan mengetahui tujuan dan fungsi adanya kawasan hutan mangrove tersebut.
Hasil wawancara terhadap masyarakat tentang manfaat hutan mangrove
untuk pernyataan masyarakat yang abstain/ragu-ragu sangat sedikit, di Desa
Eelahaji berjumlah 3 hal ini di pengaruhi belum adanya tempat rekreasi mangrove
di Kabupaten Buton Utara pada umumnya dan itu hanya sebatas wacana dari
pemerintah untuk membuat tempat rekreasi hutan mangrove seperti hutan
mangrove dapat di jadikan sebagai tempat penangkaran buaya. Fungsi mangrove
untuk menahan intrusi air laut di Desa Kalibu 1 orang yang memilih abstain selain
itu sangat setuju dan setuju, di Desa Elehaji sumur yang di manfataakan oleh
masyarakat mulai terkontaminasi dengan air laut (payau) mereka sadar bahwa hal
tersebut pengaruh hutan mangrove yang sudah mulai rusak sehingga fungsi
21

tersebut sudah terganggu. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya masyarakat yang
melakukan pengambilan kayu mangrove seperti pengambilan kayu untuk
membakar batu merah dan kebutuhan rumah tangga yang mendorong
pengambilan kayu mangrove yang lebih banyak sehingga fungsi hutan mangrove
sudah mulai terganggu salah satunya sebagai penahan intrusi air laut.
Persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove di dorong oleh
banyaknya manfaat yang dirasakan masyarakat secara langsung maupun tidak
langsung seperti pemanfaataan kayu bakar, penangkapan biota laut (ikan, udang
kepiting) yang dapat menunjang ekonomi rumah tangga mereka. Hasil wawancara
tersebut menunjukan tingkat persepsi dan pengetahuan masyarakat tentang
manfaat hutan mangrove sangat tinggi karena mereka tidak memilih jawaban
tidak setuju dan sangat tidak setuju.
Mangrove memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat pesisir dari segi
sosial maupun ekonomi. Menurut Kusmana (2007) ekosistem mangrove
merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas yang tinggi yang
memproduksi sumber makanan untuk sebagian besar berbagai jenis ikan, udang,
kepiting dan berbagai biota perairan pantai lainnya. Di samping itu dari segi
perikanan, mangrove juga berperan sebagai spawning dan nursery grounds.
Kesemua fungsi mangrove tersebut tetap ada selama vegetasi mangrove dapat
dipertahankan keberadaannya.

Persepsi tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove


Pada sistem pengelolaan mangrove untuk mempertahankan kelestarian perlu
adanya pola pengawasan ekosistem mangrove yang di kembangkan adalah pola
partisipatif yang meliputi; komponen yang diawasi, sosialisasi dan pengawasan,
serta intersif dan sanksi (Rochana, 2009). Saat ini dikembangkan suatu pola
pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang melibatkan masyarakat. Ide
ini laksanakan dengan pertimbangan bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin
harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara, mengenai persepsi masyarakat
tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove di kawasan hutan lindung
dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan persepsi tentang pengelolaan dan


perlindungan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
No Persepsi Desa Kalibu Desa Eelahaji
Jumlah % Jumlah %
1 Tinggi 18 72 13 52
2 Sedang 7 28 12 48
3 Rendah 0 0 0 0
Jumlah 25 100 25 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa


Eelahaji terhadap pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove mayoritas
masyarakatnya memiliki persepsi tinggi, sedangkan masyarakat yang memiliki
persepsi sedang sangat sedikit. Persepsi masyarakat di Desa Eelahaji untuk
persepsi sedang di pengaruhi masyarakat menginginkan dilibatkan langsung
22

dalam pengelolaan hutan mangrove bukan hanya pada saat ada kegiatan/proyek
saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wibowo (2013) dalam Zainal (2015)
yang menjelaskan bahwa kelestarian hutan bukan saja menjadi tanggung jawab
pemerintah, namun kesadaran atau peran partisipasi aktif masyarakat juga penting
dalam kelestarian hutan, karena masyarakat sekitar hutan berhubungan langsung
dengan keberadaan hutannya.
Kuisioner yang diberikan kepada responden ada 8 pernyataan. Berdasarkan
hasil wawancara tersebut terhadap masyarakat mengenai pengelolan dan
perlindungan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji yang paling
tinggi dalam penelitian ini menurut persepsi masyarakat/responden adalah adanya
kesedaran masyarakat mengenai perlindungan hutan mangrove merupakan
tanggung jawab bersama. Masria et al. (2015) menyatakan bahwa persepsi
masyarakat terhadap hutan yang tergolong baik akan menjamin terjadinya sikap
yang positif terhadap pengelolaan hutan. Selain itu juga Perlu adanya kerjasama
antara pemerintah dan penduduk setempat dalam kegiatan pengelolaan dan
perlindungan kawasan hutan mangrove sehingga masyarakat tidak melakukan
perombakan seperti pengambilan kayu bakar dari hutan mangrove di Kabupaten
Buton Utara sehingga hutan mangrove tersebut dapat lestari.
Pernyataan responden sebagian besar bahwa, pengelolaan sumberdaya hutan
mangrove selama ini belum banyak melibatkan masyarakat pesisir, khususnya
pada tahap perencanaan mapun sampai tahap pemeliharaan dan mereka
menginginkan agar dibentuk kelompok-kelompok tani/nelayan. Di dalam
pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove responden menginginkan
agar mereka dilibatkan. Pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam pengelolaan
sumberdaya hutan mangrove yaitu semua pihak yang berkepentingan baik
masyarakat pesisir, masyarakat luar pesisir, aparat pemerintah, pengusaha, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) hal ini sejalan dengan pernyataan Umar
(2009) bahwa frekuensi interaksi masyarakat dalam beraktivitas terkait dengan
hutan merupakan aspek penting di dalam pengelolaan hutan.

Persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan mangrove


Kusmana (2003) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi
karena pengaruh faktor alam dan faktor manusia. Menurut Dahuri et al. (2001)
dalam Baharudin (2016) faktor-faktor yang dapat mengancam kelestarian
mangrove, yaitu masalah sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat. Hasil
wawancara terhadap masyarakat mengenai penyebab kerusakan hutan mangrove
di kedua desa tersebut didominasi persepsi yang setuju dan ragu-ragu untuk
sangat setuju sangat sedikit. Berdasarkan hasil rangking persepsi masyarakat di
Desa Kalibu dan Desa Eelahaji penyebab kerusakan hutan manfrove yang paling
berpengaruh di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.
23

Tabel 11 Penyebab kerusakan hutan mangrove berdasarkan persepsi masyarakat


di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji

Keterangan: SS= Sangat setuju, S= Setuju, A= Abstain/netral, TS= Tidak setuju, STS= Sangat
tidak setuju

Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat di lokasi penelitian dari


7 pernyataan semua merupakan penyebab kerusakan hutan di Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji. Tabel 11 menunjukkan bahwa penyebab kerusakan hutan
mangrove yang sangat berpengaruh adalah pengambilan kayu bakar yang sangat
mendesak untuk di gunakan sebagai kebutuhan rumah tangga, dan kebututan
ekonomi yang mendesak serta pembukaan wilayah tambak yang dilakukan
masyarakat nelayan. Penurunan luasan mangrove di Indonesia terutama
diakibatkan oleh kegiatan konversi mangrove menjadi pertambakan Anonymous
(2000) dalam Satria (2011). Menurut masyarakat hal ini disebabkan kurangnya
sosialisai dan ketegasan pemerintah setempat terhadap masyarakat yang
melalukan perombakan hutan mangrove illegall loging dan peruntukan lain
(tambak). Masyarakat yang memilih abstain kebanyakan pada pernyataan
masyarakat pendatang tidak menaati aturan dalam menjaga kelestarian mangrove,
karena menurut mereka sebagian besar masyarakat pendatang adalah pekerja
kantoran bukan sebagai nelayan, ada juga yang memanfaatkan mangrove tetapi
sebagian kecil. Pernyatan yang memilih tidak setuju juga terdapat pada
kerusakan wilayah pesisir disebabkan karena faktor alam, hampir 50% responden
memilih tidak setuju, karena sebagian besar mesyarakat di kedua desa tersebut
mengambil kayu untuk kebutuhan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga, jadi
kerusakan hutan mangrove di kedua desa tersebut di sebabkan oleh manusia.
Penyebab kerusakan hutan mangrove lainnya kurangnya penyulahan oleh dinas
kehutanan kepada masyarakat dan tidak adanya efek jerah yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap masyarakat perusak hutan mangrove.
Persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan di kedua desa
tersebut yang kategori sangat setuju yaitu kebutuhan ekonomi masyarakat
sehingga pendorong tingkat degradasi mangrove yang terus meningkat.
Pengambilan kayu bakar juga merupakan salah satu faktor penyebab rusaknya
hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji pembukaan pemukiman warga
dan pembukaan lahan tambak yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Berdasarkan persepsi masyarakat hal yang mendorong rusaknya hutan mangrove
yang semakin luas yaitu kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap masyarakat
24

dan penegakan hukum yang belum memadai dan kurang tegas diterapkan kepada
masyarakat sehingga dapat memberi ruang kepada masyarakat untuk melakukan
perombakan hutan mangrove.
Menurut Dahuri et al. (2001) dalam Baharudin (2016) faktor-faktor yang
dapat mengancam kelestarian mangrove, yaitu masalah sosial ekonomi dan
kesadaran masyarakat . Kerusakan bisa saja disebabkan oleh tindakan mekanis
secara langsung, seperti memotong, membongkar dan sebagainya (Farawangsyah
2013). Selain itu sebagai akibat tidak langsung seperti perubahan salinitas air,
pencemaran air, karena adanya erosi, pencemaran minyak dan sebagainya. Oleh
karena itu, hutan mangrove yang bertindak sebagai tempat berlangsungnya
proses-proses ekologis dan pendukung kehidupan hendaknya dapat terhindar dari
unsur-unsur yang merusak tersebut (Tambunan 2005 dalam Farawangsyah 2013).
Untuk mencapai hasil tersebut pemerintah harusnya melibatkan masyarakat dalam
setiap pengelolaan hutan sehingga mendorong keterlibatan masyarakat dalam
melindungi hutan tersebut. Menurut Desmantoro (2016) kerusakan hutan tidak
mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan
tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap kelesatarian hutan. Keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan, sehingga cara
alternatif yang dapat dipilih oleh pemerintah menggulirkan kebijakan pengelolaan
hutan berbasis masyarakat (Kartodihardji 2007 dalam Desmantoro 2016).
Penelitian yang di lakukan oleh Suharti (2016) tentang kelembagaan dan
perubahan hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Sinjai
Timur Sulawesi Selatan, pengelolaan hutan mangrove sangat berhasil dengan
adanya ketelibatan masyarakat di dalamnya. Pengembangan hutan bakau terus
dilaksanakan oleh masyarakat baik secara swadaya maupun dari pemerintah.
Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari peningkatan luasan mangrove dari tahun
2003 luas hutan mangrove 786, tahun 2015 menjadi 843 Ha, dan tahun 2013
mencapai 1 157 Ha (Dinas perkebunan dan Kehutanan Sinjai 2013 dalam Suharti
2013) oleh karena itu keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat
penting.

Vegetasi Hutan Mangrove

Struktur Vegetasi Hutan Mangrove


Ekosistem hutan payau merupakan suatu ekosistem yang tidak terpengaruh
dengan iklim, tetapi yang berpengaruh adalah faktor edafis. Salah satu faktor
lingkungan yang dapat menentukan perkembangan hutan payau adalah salinitas
dan kadar garam (Kusmana 1997 dalam Indrayanto 2006). Hasil penelitian
komposisi jenis vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan desa Eelahaji terdiri atas 2
jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza.
Mangrove yang yang paling banyak di temukan yaitu jenis Bruguiera
gymnorrhiza. Menurut Setyawan et al. (2005), sedikitnya jumlah spesies
mangrove disebabkan besarnya pengaruh antropogenik yang mengubah habitat
mangrove untuk kepentingan lain seperti pembukaan lahan untuk pertambakan
dan pemukiman. Rendahnya keanekaragaman menandakan ekosistem mengalami
tekanan atau kondisi lingkungan telah mengalami penurunan. Untuk melihat hasil
struktur vegetasi hutan mangrove yang terdiri dari variabel kerapatan, kerapatan
relatif, frekuensi, frekuensi relatif, domonasi, dominasi relatif dan nilai indeks
25

penting vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat dilihat
pada Tabel 12.

Tabel 12 Struktur vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji


Starata Jenis Mangrove K KR F FR D DR INP
Desa Kalibu
Pohon Rhizophoraapiculata 25 20.83 0.5 33 0.000215 26.98 80.84
Bruguiera gymnorrhiza 90 79.17 1 64 0.000551 68.52 214.49
Tiang Rhizophora apiculata 73 29.08 0.9 47 0.000091 28.68 104.97
Bruguiera gymnorrhiza 163 70.92 1 53 0.000218 71.32 195.03
Sapihan Rhizophora apiculata 178 39.13 1 50 0.000059 38.84 127.96
Bruguiera gymnorrhiza 270 60.87 1 50 0.000093 61.16 172.04
Semai Rhizophora apiculata 180 37.73 1 50 - -
Bruguiera gymnorrhiza 298 62.27 1 50 - -
Desa Eelahaji
Pohon Rhizophora apiculata 20 18.18 0.7 41 0.000435 33.08 92.24
Bruguieragymnorrhiza 90 81.82 1 59 0.000555 66.92 207.76
Tiang Rhizophora apiculata 45 24.03 0.8 44 0.000061 22.9 90.68
Bruguiera gymnorrhiza 139 75.97 1 56 0.000196 77.1 209.32
Sapihan Rhizophora apiculata 100 36.83 1 50 0.000035 38.03 127.96
Bruguiera gymnorrhiza 173 63.17 1 50 0.000108 60.97 172.04
Semai Rhizophora apiculata 123 35.33 1 50 - - -
Bruguiera gymnorrhiza 228 64.67 1 50 - - -
Keterangan: K= Kerapatan, KR= Kerapatan Relatif, F= Frekuensi, FR= Frekuensi Relatif, D=
Dominansi, DR= Dominasi Relatif, INP= Indeks Nilai Penting

Hasil analisis vegetasi pada penelitian ini menurut tingkat kerapatannya


pada starata pohon tidak jauh berbeda atau relatif sama untuk kedua desa tersebut,
yang paling menonjol perbedaannya pada strata tiang dan sapihan hal ini dapat
dilihat pada Tabel 12 di atas. Tingkat kerapatan yang paling tinggi terdapat pada
Desa Kalibu bila dibangingkan dengan Desa Eelahaji. Kerapatan untuk strata
tiang pada stasiun 1 di Desa Kalibu berkisar 309 (ind/ha) sedangkan untuk Desa
Elahaji untuk starata tersebut 184 (ind/ha). Tingkat strata sepihan di Desa kalibu
443 (Ind/ha) sedangkan di Desa Eelahaji 273 dan semai untuk nilai kerapatan
yang tinggi terdapat pada Desa Kalibu. Tingkat penyebabaran spesian mangrove
dapat dilihat dari tingkat frekuensi mangrove tersebut. Menurut indrayanto (2006)
Frekuensi dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies meskipun tidak dapat
menggambarkan pola penyebarannya, spesies yang penyebaraannya luas akan
memiliki nilai frekuensi yang tinggi. Tingkat penyebaran spesies untuk tingkat
semai, sapihan dan tiang tergolong merata karena setiap spesies mangrove dapat
di temukan di setiap petak penelitian, sedangkan untuk kategori pohon untuk
kedua desa tersebut tidak merata.
Jenis mangrove yang paling dominan di lokasi penelitian yaitu Bruguiera
gymnorrhizayang dilakukan disemua jenis tingkatan starata hal ini dapat di lihat
dari indeks nilai penting masing-masing jenis mangrove pada tabel di atas.
Menurut Soegianto (1994) dalam Indrianto (2006) menyatakan bahwa indeks nilai
26

penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang digunakan menyatakan tingkat


dominansi (tingkat penguasaan) spesies–spesies dalam komunitas tumbuhan.
Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki
indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu akan
memiliki INP yang paling besar seperti yang tergambarkan pada Tabel 12 diatas.
Perbedaan tingkat kerapatan terutama jenis mangrove Rhizophora apiculata
miliki tingkat kerapatan sedikit dari berbagai stasiun, hal ini jenis tersebut telah
mngalami gangguan luar yaitu manusia seperti pengambilan kayu bakar untuk
kebutuhan rumah tangga juga sebagai bahan bakar batu merah. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Suwarno (2008) yang menyatakan jenis
mangrove Rhizophora apiculatasangat di gemari oleh masyarakat untuk di
jadikan kayu bakar karena mempunyai nilai nyala api yang baik, tahan lama dan
mudah untuk di nyalakan. Rhizophora apiculata mempunyai kepadatan yang
cukup tinggi dan menjadi lebih berat (rata-rata 0.9 m/s2) sehingga mempunyai
tingkat panas yang cukup tinggi dan tahan lama (Suwarno 2008). Berkurangnya
tingkat kerapatan mangrove tidak lepas dari tingkat aktifitas masyarakat pesisir,
seperti pembukaan wilayah pemukiman, dan pengambilan kayu yang
dimanfaatkan untuk kayu bakar dan sebagai bahan bangunan. Kurangnya vegetasi
mangrove akan mempengeruhi kualitas air sumur masyarakat dan banyaknya
biota air yang terdapat disekitaran mangrove tersebut.

Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove

Mangrove memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat pesisir dari segi


sosial maupun ekonomi. Menurut Kusmana (2007) Ekosistem mangrove
merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas yang tinggi yang
memproduksi sumber makanan untuk sebagian besar berbagai jenis ikan, udang,
kepiting dan berbagai biota perairan pantai lainnya. Selain dari segi perikanan,
mangrove juga berperan sebagai spawning dan nursery grounds. Semua fungsi
mangrove tersebut tetap ada selama vegetasi mangrove dapat dipertahankan
keberadaannya.
Nilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan
secara langsung oleh masyarakat terhadap hasil hutan mangrove. Nilai guna
langsung di dalam hutan mangrove yang dilakukan Ismail (2017) di Kota Tanjung
Pinang terdiri atas pemanfaat kayu bakar, buah mangrove yang dapat di jadikan
sebagai sirup, gonggong (penangkapan siput). Nilai guna langsung mangrove
yang dilakukan oleh Motoku (2014) di Desa Sausu Peore Kabupen Parigi
Moutong adalah ikan, kepiting kerang dan kelelawar.
Nilai guna langsung dari hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
Kecamatan Kolisusu yang dirasakan masyarakat saat ini adalah pemanfaatan kayu
bakar dan penagkapan biota laut (ikan,udang, dan kepiting) baik yang dikakukan
di kawasan mangrove maupun di sekitar kawan mangrove tersebut. Pemanfaatan
buah sebagai sirup tidak dilakukan oleh masyarakat setempat karena keterbatasan
keterampilan. Pada penelitian Ismail (2017) yang dilakukan di Kota Tanjung
Pinang, hasil yang didapatkan untuk produksi buah mangrove sangat tinggi,
karena buah mangrove dapat dijadikan sebagai dodo, sirup, kopi, dan
keripik/kerupuk mangrove dengan total nilai sebasar Rp 187 746 300 per tahun.
Penelitian yang dilakukan Ulfa (2014) nilai guna langsung mangrove sebesar Rp
27

53 131 453 176. Nilai guna langsung yang di identfikasi dan di manfaatkan oleh
masyarakat di lokasi penelitian yaitu nilai guna kayu bakar, dan biota perairan
(ikan, udang dan kepiting).

Nilai guna kayu bakar


Hasil wawacara terhadap masyarakat untuk dilokasi penelitian yang masing-
masing desa sebanyak 25 responden, jumlah pengambilan kayu bakar pertahun di
Desa Kalibu sebesar 16 128 ikat/tahun sedankan di Desa Eelahaji sebesar 15
811.2 ikat/tahun. Jumlah rata-rata kayu bakar yang dipakai sekaligus di jual
dalam satu bulan berkisar 1344 ikat per bulannya sedangkan untuk di Desa
Eelahaji berkisar 1317.6 ikat per bulannya Pemanfaatan mangrove sebagai kayu
bakar oleh masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji tidak mengalami
perbedaan yang signifikan. Pengambilan kayu bakar di kedua desa tersebut
berkirar 13-15 ikat/minggu/orang. Jenis mangrove yang diambil untuk dijadikan
kayu bakar yaitu tongke (Bruguera) dan jenis mangrove Lumbe (Rhizopora,sp).
Jenis mangrove yang lebih banyak diambil adalah jenis Rhozopra sp, karena jenis
mangrove tersebut sangat bagus untuk di jadikan kayu bakar dengan harga jual
Rp 5 000 per ikat. Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar yang dilakukan
masyarakat responden dapat dilihat pada Tabel 13. Secara terperinci penghitungan
nilai guna kayu bakar disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 13 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
Nilai Ekonomi Kayu Bakar
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1. Kalibu 3 225 600 870 912 000
2. Eelahaji 3 162 240 790 560 000
Jumlah 6 387 240 1 661 472 000

Masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji masih memanfaatakan kayu


untuk kebutuhan rumah tangganya seperti memasak. Pengambilan kayu bakar
yang dilakukan masyarakat 1-2 kali dalam 1 minggu. Pengambilan rata-rata kayu
bakar pertahun di Desa Kalibu sebesar 645.12 ikat/kk/tahun sedangkan di Desa
Eelahaji sebesar 638.45 ikat/kk/tahun.
Nilai mangrove sebagai penghasil kayu bakar untuk di Desa Kalibu sebesar
Rp 870 912 000 per tahun dengan rata-rata Rp 3 225 600/KK/thn sedangkan
untuk di Desa Eelahaji hasil penjualan kayu bakar sebesar Rp 790 560 000 per
tahun dengan rata-rata sebesar Rp 3 162 240/KK/thn. Hasil rata-rata per tahun
menunjukkan bahwa jumlah pengambilan kayu bakar yang paling banyak yaitu di
Desa Eelahaji. Hal ini berbanding lurus dengan keadaan hutan mangrove di Desa
Eelahaji, keadaan mangrove di desa tersebut sudah mulai rusak atau jarang di
bandingkan dengan keadaan mangrove di Desa Kalibu. Penyebab perbedaan
jumlah pengambilan kayu bakar yaitu intensitas pengambilan dan perbedaan
jumlah kebutuhan masyarakat terhadap kayu bakar.
Mangrove yang masyarakat gunakan sebagai kayu bakar adalah Rhizophora
apiculata, jenis mangrove ini sangat di gemari oleh masyarakat untuk di jadikan
kayu bakar karena mempunyai nilai nyala api yang baik, tahan lama dan mudah
28

untuk di nyalakan. Rhizophora apiculata mempunyai kepadatan yang cukup


tinggi dan menjadi lebih berat (rata-rata 0.9 m/s2) sehingga mempunyai tingkat
panas yang cukup tinggi dan tahan lama (Suwarno 2008). Nilai kayu bakar pada
penelitian yang dilakukan Motoku (2014) di Desa Sausu Piore Kabupaten Parigi
Moutong sebesar Rp 13 350 753 per tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Prasetyo (2016) nilai manfaat kayu bakar sebesar Rp 268 551 912 per tahun. Hal
yang membedakan besarnya nilai kayu bakar di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu
serta penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu perbedaan jumlah
pengambilan, intensitas pengambilan kayu bakar serta perbedaan jumlah
masyarakat yang memanfaakan kayu bakar sebegai kebutuhan rumah tangga
mereka.
Pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Eelahaji salah satu sumber
energi yang masih dilakukan oleh masyarakat pesisir. Alat yang digunakan untuk
mengambil kayu bakar ini kapak dan parang. Berdasarkan hasil wawancara
terhadap masyarakat bahwa di lokasi penelitian masih menggunakan kayu bakar
untuk kebutuhan rumah tangga terutama pada warung makan ikan asap.
Masyarakat yang mengambil kayu bakar selain untuk di jadikan kebutuhan sendiri
juga dijual kepada pengusaha warung makan seperti ikan asap yang banyak di
gemari masyarakat di Kabupaten Buton Utara. Penggunaan kayu bakar di Desa
Kalibu dan Desa Eelahaji sangat tinggi hal ini didorong oleh harga bahan bakar
minyak (BBM) seperti minyak tanah yang cukup tinggi dan susah untuk di
dapatkan serta gas elpiji yang mahal karena berlum adanya subsidi dari
pemerintah sehingga penggunaan kayu bakar sangat tinggi.

Nilai guna ikan


Hasil penangkapan ikan di Desa Kalibu sebesar 6841.71 kg/thn atau rata-
rata perbulan sebesar 570.14 kg/bulan sedangkan di Desa Eelahaji sebesar
4819.88 kg/thn atau rata-rata per bulan sebesar 401.65 kg/bulan. Jumlah nelayan
untuk Desa Kalibu sebanyak 38 orang dan Desa Eelahaji sebanyak 44 orang. Hasil
ikan yang banyak di tangkap merupakan ikan yang hidup di daerah mangrove
seperti kerapu (Epinephelus fuscoguttatus). Hasil ekonomi mangrove pada
penangkapan ikan dapat dilihat pada Tabel 14. Secara terperinci penghitungan
nilai guna ikan disajikan pada Lampiran 1

Tabel 14 Nilai ekonomi pemanfaatan ikan di Kecamatan Kolisusu Desa Kalibu


dan Eelahaji
Nilai Ekonomi Pemanfaatan Ikan
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1. Kalibu 9 578 400 2 586 168 000
2. Eelahaji 6 747 840 1 686 960 000
Jumlah 16 326 240 4 273 128 000

Nilai ekonomi hasil tangkapan ikan kedua desa tersebut berbeda, hal ini di
pengaruhi oleh perbedaan hasil tangkapan. Penghasilan nilai ekonomi ikan
mangrove dalam satu tahun yang di hasilkan masyarakat dalam melakukan
penangkapan ikan di Desa Kalibu sebesar Rp 2 586 168 000 per tahun dengan
rata-rata sebesar Rp 9 578 400/KK/thn sedangkan untuk di Desa Eelahaji sebesar
29

Rp 1 686 960 000 per tahun dengan rata-rata Rp 6 747 840/KK/thn, apabila kedua
desa tersebut di gabungkan maka nilai total penangkapan ikan Rp 4 273 128 000
per tahun. Nilai ekonomi ikan mangrove di kedua desa tersebut mengalami
perbedaan hal ini oleh kondisi hutan mangrove di kedua desa tersebut. Kondisi
hutan mangrove di Desa Kalibu masih tergolong bagus sedangkan di Desa
Eelahaji sudah mulai rusak.
Alat tangkap biota perairan yang dilakukan masyarakat di Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji berdasarkan hasil wawancara adalah jala, pukat, pancing sedangkan
alat transportasi yang mereka gunakan sangat sederhana berupa perahu berukuran
kecil atau sampan yang dilengkapi dengan mesin kapal berkuatan kecil. Waktu
tangkap yang sering dilakukan masyarakat di Lokasi penelitian rata-rata antara
bulan Januari-Oktober karena pada bulan itu merupakan bulan yang banyak
ikannya. Cara nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang banyak selain
berdasarkan bulan tangkap juga dengan cara memanfaatkan dahan mangrove
kemudian di tenggelamkan dilaut dengan menggunakan batu sebagai alat
pemberat selama 1-2 minggu, setelah mengalami pelapukan dan mulai berjamur
sehingga ikan mencari makan ditempet tersebut barulah mereka turun memancing
sehingga ikan yang di dapat dalam jumlah yang banyak. Jenis yang di dapat para
nelayan yang di dapat kakap merah, kakap putih, boronang, limbako, kerapu, ikan
sumu, ikan bebara dengan harga rata-rata Rp 40 000 per kilogram.
Keragaman jenis ikan dan jumlah hasil tangkapan dikawasan hutan
mangrove yang masih bagus akan lebih banyak. Lloyod and Ghalardi (1996)
dalam Abdul (2006) menyatakan keanekaragaman jenis akan tinggi bila banyak
jenis yang mendominasi ekosistem tersebut dan keanekaragaman jenis akan
rendah apabila hanya satu jenis yang ada didalamnya. Kelimpahan ikan di daerah
mangrove terkait erat dengan kebiasaan makan herbivora dan karnivora epifitik
(Sri, 2003). Menurut Abdul (2016) jenis-jenis ikan herbivora dan karnivora
epifitik mempunyai kecenderungan migrasi lokal dan bersifat menetap karena
pergerakan tersebut lebih banyak di utamakan untuk pemenuhan kebutuhan
makanannya.
Penelitian yang pernah di lakukan oleh Motoku (2014) di Desa Sausu Peore
Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong tentang manfaat langsung hutan
mangrove dengan nilai ikan sebesar Rp 208 696 000 per tahun hasil ini tergolong
besar di bandingkan dengan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sebab ada
perbedaan luasan mangrove dan jumlah masyarakat di lokasi penelitian. Hal yang
sama juga di lakukan oleh Suzana (2011) di Desa Paleas Kecamatan Lakupang
Barat tentang nilai manfaat penangkapan ikan mencapai Rp 146 400 000 per
tahun, hasil ini tergolong kecil apabila di bandingkan dengan hasil di Desa Kalibu
dan Desa Eelahaji.
Perbedaan nilai antara Desa Eelahaji dan Kalibu disebabkan oleh perbedaan
kondisi hutan mangrove. Mangrove di Desa Kalibu masih tergolong baik
sedangkan untuk di Desa Eelahaji mangrovenya sudah mulai jarang. Jumlah
intensitas penangkapan juga sangat menentukan nilai ikan. Jumlah masyarakat
yang melakukan penangkapan di Desa Kalibu sebanyak 19 orang dan Desa
Eelahaji 20 orang. Penyebab lain perbedaan hasil di pengaruhi juga oleh sarana
dan prasarana terutama perahu yang di gunakan oleh oleh nelayan penangkap
ikan. Jumlah perahu yang ada di kedua desa tersebut dapat dilihat pada Tabel 5
serta mulai berkurangnya ikan di daerah sekitar mangrove.
30

Nilai guna kepiting


Hasil wawancara bahwa manfaat langsung yang dapat dikosumsi dari
ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji adalah penangkapan
kepiting bakau (Scylla sp). Hasil tangkapan kepiting tidak terlalu banyak untuk
setiap kali melakukan penangkapan, tetapi nelayan hampir setiap hari melakukan
penangkapan kepiting, karena harga jual kepiting per koligram sangat mahal yaitu
sebesar Rp 90 000 per kilogram, sehingga membuat masyarakat terus melakukan
penangkapan kepiting bakau. Nilai ekonomi penangkapan kepiting dapat dilihat
pada Tabel 15. Secara terperinci penghitungan nilai guna kepiting disajikan pada
Lampiran 1.

Tabel 15 Nilai ekonomi pemanfaatan kepiting di lokasi penelitian Desa Kalibu


dan Desa Eelahaji
Nilai Ekonomi Pemanfataan Kepiting
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1. Kalibu 12 398 400 3 347 568 000
2. Eelahaji 9 950 400 2 487 600 000
Jumlah 22 348 800 5 835 168 000

Hasil wawancara dari 25 responden di Desa Kalibu hanya 20 responden


yang memanfaatkan kepiting sedangkan Desa Eelahaji 18 responden. Alat yang di
gunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah bubu dan jaring sedangkan
transportasi yang di gunakan adalah perahu. Rata-rata penangkapan kepiting di
lakukan 7 kali/bulannya. Tabel 15 menunjukkan bahwa perhitungan manfaat hasil
penangkapan kepiting di peroleh nilai manfaat langsung hasil penangkapan
kepiting di Desa Kalibu sebesar Rp 3 347 568 000 per tahun dengan rata-rata
sebesar Rp 12 398 400/kk/thn dan di Desa Eelahaji sebesar Rp 2 487 600 000 per
tahun atau Rp 9 950 400/kk/thn. Nilai ekonomi hasil penangkapan kepiting untuk
kedua desa tersebut sebesar Rp 5 835 168 000 per tahun. Jumlah pengeluaran
masyarakat yang tinggi karena mereka harus bolak balik untuk melihat bubu
sebagai alat tangkap kepiting, sehingga biaya transportasi dua kali lipat dibanding
manangkap biota air lainnya.
Nilai guna langsung yang di hasilkan kepiting untuk kedua desa tersebut
pengalami perbedaan yang cukup besar. Nilai kepiting di Desa Kalibu lebih tinggi
di bandingkan dengan di Desa Eelahaji hal ini dapat dilihat pada Tabel 15 diatas.
Hal ini dapat dilihat dari rata-rata penangkapan yang dilakukan di Desa Kalibu
pert ahun yaitu 141.2 kg/kk/tahun sedangkan untuk di Desa Eelahaji sebanyak
112.32 kg/kk/tahun, perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh perbedaan kondisi
mangrove dikedua desa tersebut. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Ulfa
(2014) di Pulau Dompak tentang nilai ekonomi kepiting sebesar Rp 5 666 870 128
per tahun, hasil ini cukup besar bila dibandingkan dengan penelitian di Desa
Kalibu dan Desa Eelahaji karena mereka melakukan penangkapan setiap hari
sedangkan intensitas penangkapan di kedua desa tersebut 144-180
kali/orang/tahun dengan nilai ekonomi sebesar Rp 5 835 168 000 per tahun
Keberadaan serasah mangrove menjadi faktor pendukung ketersediaan
makanan bagi kepiting bakau. Mangrove mimiliki akar yang dapat dijadikan
tempat berlindungnya kepiting bakau dari hempasan/terpaan gelombang air laut
31

serta menjadi tempat bersembunyi kepiting bakau pada saat melakukan


perkawinan. Sehingga mangrove yang bagus dapat memberikan perlindungan dan
keberlangsungan kepiting bakau yang baik dibandingkan dengan mangrove yang
sudah mulai rusak.
Alat yang digunakan untuk menangkap kepiting yang dilakukan oleh
masyarakat adalah jaring dan bubu sedangkan umpan yang mereka gunakan
dalam melakukan penangkapan kepiting adalah ikan. Umpan yang sudah di
siapkan dimasukan kedalam bubu sebagai alat tangkap dan di pasang ditancap di
sekitaran hutan mangrove. Banyak atau tidaknya hasil tengkapan ni di pengaruhi
oleh keberadaan mangrove karena di mangrove yang bagus banyak terdapat
kepiting di bandingkan dengan mangrove yang sudah rusak. Penangkapan
kepiting dapat membantu perekonomian masyarakat walaupun tidak terlalu
banyak didapat tetapi harga jual kepiting sangat tinggi.

Nilai guna udang


Udang (Peneus sp) merupakan biota perairan disekitar ekosistim hutan
mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga ditemukan banyak
masyarakat Desa Kalibu dan Desa Eelahaji di Kecamatan Kolisusu yang
melakukan penangkapan udang. Untuk hasil ekonomi yang di dapat pada
penangkapan udang dapat dilihat pada Tabel 16. Secara terperinci penghitungan
nilai guna udang disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 16 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitian Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji
Nilai Ekonomi Pemanfaatan Udang
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1. Kalibu 5 490 720 1 482 494 400
2. Eelahaji 3 401 280 850 320 000
Jumlah 8 892 000 2 332 814 000

Hasil wawancara dari 25 responden tidak semua responden memanfaatkan


udang, di Desa Kalibu sebanyak 15 responden sedangkan di Desa Eelahaji
sebanyak 11 responden. Jumlah penangkapan udang di Desa Kalibu sebesar
2745.36 kg/tahun sedangkan di Desa Eelahaji sebesar 1700.64 kg/tahun. Alat
yang digunakan Masyarakat menggunakan jaring untuk menangkap udang di
sekitar hutan mangrove Kecamatan kolisusu.
Hasil perhitungan nilai manfaat langsung dari hasil penangkapan udang
yang dilakukan oleh nelayan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji disajikan pada
Tabel 16. Hasil penangkapan udang yang dilakukan di loksi penelitian mengalami
perbedaan yang signifikan, untuk di Desa Kalibu lebih banyak di banding di Desa
Eelahaji, hal ini dapat dilihat dari rata-rata penangkapan per bulan di Desa Kalibu
sebesar 228.75 kg/bulan sedangkan di Desa Eelahaji 141.72 kg/bulan. Perbedaan
hasil tangkapan akan mempengaruhi besarnya nilai ekonomi udang. Nilai
ekonomi hasil penangkapan udang di Desa Kalibu sebesar Rp 1 482 494 400 per
tahun sedangkan Desa Eelahaji sebesar Rp 850 320 000 per tahun. Hasil ini tentu
dipengaruhi oleh perbedaan kondisi manggrove di kedua desa tersebut. Hutan
mangrove di Desa Kalibu tergolong baik sedangkan di Desa Eelahaji sudah mulai
32

jarang, sehingga mempengaruhi jumlah hasil tangkap udang yang dilakukan oleh
nelayan. Penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2014) yang dilakukan di Pulau
Dompak nilai udang sebesar Rp 11 766 076 809 per tahun nilai ini sangat besar
karena masyarakat di lokasi penelitian tersebut melakukan penangkapan setiap
harinya. Penelitian yang di lakukan oleh Suzana (2011) di Desa Palaes sebesar Rp
16 200 000 per tahun.
Udang sebagian besar hidupnya berada di dalam ekosistem mangrove
sedangkan untuk perairan lepas hanya digunakan untuk bertelur, setelah larva
muda lahir akan berpindah kembali ke ekosistem mangrove (Ismail, 2017).
Keragaman jenis udang di ekosistem mangrove rapat akan lebih banyak. Selain itu
kelimpahan udang di wilayah sekitar muara sungai akan lebih tinggi di banding
dengan perairan pantai. Kondisi ini diduga karena banyaknya pasokan hara dari
serasah mangrove dan daratan yang terendap (Umulia and Asbar 2016 dalam
Ismail 2017). Luas hutan mangrove juga berpengaruh terhadap produksi udang,
semakin luas hutan mangrove maka produksi udangnya semakin tinggi begitu
juga sebaliknya (Nuddin 2009).
Selain beberapa faktor diatas penyebab perbedaan hasil penangkapan yaitu
jumlah udang yang ada pada kedua desa tersebut, selain itu sama halnya untuk
penangkapan ikan dan kepiting, tergantung luasan hutan mangrove dan tutapan
lahannya serta jumlah melakukan aktifitas penangkapan. Sarana dan prasarana
yang memadai juga mendukung aktifitas penangkapan udang, seperti di Desa
Kalibu alat yang digunakan di sediakan oleh pemerintah desa sedangkan Desa
Eelahaji alat yang digunakan merupakan milik pribadi masing-masing nelayan.
Udang yang didapat selain di jual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka
juga di gunakan sebagai umpan untuk memancing ikan dan umpan untuk
menangkap kepiting bakau.

Total Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove

Nilai guna langsung merupakan nilai yang langsung dirasakan oleh


masyarakat yang tingal sekitar mangrove di Kabupaten Buton Utara. Beberapa
tahun terkahir manfaat langsung yang didapatkan oleh masyarakat sudah mulai
berkurang terutama penangkapan biota air (ikan, udang dan kepiting) di sekitar
mangrove. Hal ini di sebabkan oleh aktifitas masyarakat yang melakukan
penebangan mangrove secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kerapatan mangrove dapat
mempengaruhi tingkat kelimpahan biota perairan seperti ikan, udang dan kepiting.
Menurut Lloyod and Ghalardi (1996) dalam Abdul (2006) keanekaragaman jenis
(biota perairan) akan tinggi bila banyak jenis yang mendominasi ekosistem
mangrove tersebut dan keanekaragaman jenis akan rendah apabila hanya satu
jenis mangrove yang ada didalamnya
Masyarakat yang melakukan penangkapan biota perairan terutama ikan,
udang dan kepiting dilakukan sendiri-sendiri begitu juga dengan pengambilan
kayu bakar. Lokasi pengambilan boita perairan pada umumnya berada di tepi
pulau atau didalam hutan mangrove karena di sekitar mangrove terdapat banyak
ikan yang mencari makan. Das (2017) menyatakan bahwa mengrove merupakan
penyedia sumber makanan dari biota air yang hidup di ekosistem pesisir melalui
33

guguran serasa mangrove yang sudah mati. Hasil kauntifikasi nilai guna langsung
hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat di lihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Total nilai guna langsung biota perairan (ikan, udang dan kepiting) dan
pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji
No Nilai Guna Langsung Desa Kalibu (Rp/thn) Desa Eelahaji (Rp/thn)
1 Kayu Bakar 870 912 000 790 560 000
2 Ikan 2 586 168 000 1 686 960 000
3 Udang 1 482 494 400 850 320 000
4 Kepiting 3 347 568 000 2 487 600 000
Jumlah 8 287 142 400 5 815 440 000

Nilai guna langsung yang dihasilkan pemanfaatan kayu bakar dan


penangkapan biota perairan, di Desa Eelahaji sebesar Rp 8 287 142 400 per tahun
lebih besar dibanding dengan Desa Eelahaji yaitu sebesar Rp 5 815 440 000 per
tahun. Hasil kuantifikasi nilai tersebut sangat berbeda, hal ini di pengaruhi oleh
perbedaan tutupan hutan mangrove di kedua desa tersebut. Selain itu perbedaan
intensitas pengambilan kayu bakar dan perbedaan kebutuhan rumah tanggga
dalam memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar, demikian dengan penangkapan
biota air.
Penelitian nilai guna langsung pemanfaatan biota perairan dan kayu bakar
mangrove sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu di lokasi yang berbeda, hasil
yang di dapatkan juga sangat berfariasi. Penelitian yang dilakukan oleh oleh Ulfah
(2014) di Pulau Dompak dengan nilai guna biota air ikan, kepiting, udang serta
penangkapan siput laut sebesar Rp 53 131 453 176 per tahun. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Kalitouw (2015) di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten
Minahasa Utara tentang manfaat langsung hutan mangrove dengan rata-rata
sebesar Rp 322 465 000 per tahun, hal ini lebih sedikit dibandingkan dengan
penelitian Ulfah (2015) yang di lakukan di Pulau Dompak Kota Tanjung Pinang
tentang manfaat guna langsung hutan mangrove boita perairan nilai ikan dan
kepiting. Apabila dibandingkan dengan penelitian ini di Desa Eelahaji dan Desa
Kalibu tidak jauh berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh Ulfah (2015). Hal ini
di sebabkan oleh perbedaan jumlah penduduk di lokasi penelitian dan intensitas
pengambilan kayu bakar serta jumlah penangkapan biota perairan.
Besarnya nilai manfaat biota perairan di pengaruhi oleh penutupan hutan
mangrove. Hal ini di sebabkan kandungan bahan organik pada daerah dengan
tingkat ketebalan mangrove rapat akan lebih besar di bandingkan dengan tingkat
kerapatan mangrove sedang atau jarang (Heru, 2013). Pada perairan dengan
ketebalan mangrove tinggi memiliki kelimpahan plankton dan mankrobenthos
lebih tinggi di bandingkan dengan lokasi yang mangrovenya memiliki ketebalan
sedang atau jarang. Hal ini dapat mendorong dan mendukung kehidupan biota
pada lokasi tersebut dapat berjalan seimbang karena plakton dapat berperan
sebagai produsen dalam rantai makanan.
34

Nilai Guna Tidak Langsung Hutan Mangrove

Nilai guna langsung merupakan manfaat yang di peroleh masyarakat


melalui suatu penggunaan secara tidak langsung terhadap sumber daya hutan yang
memberikan jasa yang mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut Akhmad
(2014) dalam Ismail (2017) menyatakan nilai guna tidak langsung adalah
keseluruhan nilai produk dan jasa hutan mangrove yang harga dan nilainya di
tentukan dengan shadow price. Hal ini dilakukan karena produk dan jasa
mangrove tidak diperjual belikan sehingga nilainya tidak dapat di tentukan secara
langsung. Nilai guna tidak langsung mangrove terdiri dari penahan abrasi,
penahan intrusi air laut. Penelitian nilai guna tidak langsung dari ekosistem
mangrove yang dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu
yaitu manfaat pelindungan penahan intrusi air laut dan penahan abrasi pantai.
Penelitian yang dilakukan oleh Kalitouw (2015) yang di lakukan di Desa
Tiwoho memiliki jenis nilai guna tidak langsung yang sama yaitu sebagai penahan
abrasi pantai dan penahan intrusi air laut. Nilai guna tidak langsung pada
penelitian Sofian (2003) yang dilakukan di Kawasan Blanakan di Kabupaten
Sumbang terdiri beberapa jenis yaitu perlindungan dan penahan abrasi, penahan
intrusi air laut, serta penyedia pakan alami bagi boita perairan.

Nilai intrusi air laut


Manggrove memiliki banyak manfaat selain secara langsung seperti
pemanfaatan kayu bakar dan tempat biotta air. Mangrove juga mempunyai
manfaat secara tidak langsung seperti mangrove dapat menahan intrusi air laut
pada sumur, sehingga sumur masyarakat tidak terkontaminasi oleh air laut.
Menurut Dieng et al. (2017) dalam Ismail (2017) salah satu fungsi hutan
mangrove dapat menahan intrusi air laut kesumur agar sumber air tawar tetap
terjaga dari pengaruh air laut. Nilai manfaat mangrove sebegai penahan abrasi
dapat dilihat pada Tabel 18. Secara terperinci penghitungan nilai intrusi air laut
disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 18 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan intrusi air laut di Desa Kalibu
dan Desa Eelahaji
Nilai Ekonomi Intrusi Air Laut
No Desa
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 2 621 760 128 226 792
2 Eelahji 2 369 640 104 895 500
Jumlah 4 991 400 233 122 292

Hasil wawancara terhadap masyarakat di lokasi penelitian untuk kebutuhan


air seperti mandi, mencuci, dan memasak berasal dari air sumur dengan
manggunakan pompa air. Kebutuhan air minum biasanya mereka membeli galon,
ada juga yang menggunakan air masak. Di Desa Kalibu memiliki luas wilayah
4.2 km2 dengan jumlah kepala keluarga 270. Kondisi mangrove masih relatif baik
pengaruh intrusi air laut seluas 0.018 km2, rumah rumah tangga yang terdampak
sebanyak 1.15 kk sehingga manfaat mangrove mengendalikan intrusi air laut di
Desa Kalibu sebesar Rp 128 226 792 per tahun, sedangkan untuk di Desa Eelahaji
memiliki luas wilayah 30 km2 dengan jumlah kepala keluarga 250. Luas daerah
35

yang mangalami dampak intrusi air laut sejauh 0,3 km2, dengan jumlah rumah
tangga yang terdampak laut sebesar 2.5 kk, sehingga nilai mangrove
mengendalikan intrusi air laut di Desa Eelahaji sebesar Rp 104 895 500 per tahun.
Untuk melihat keseluruhan nilai ekonomi manfaat hutan mangrove dalam
mengendalikan intrusi air laut dapat di lihat pada Lampiran 2. Heru (2013)
menyatakan tingkat salinitas sumur paling sedikit terdapat di lokasi dengan
tingkat kerapatan hutan mangrove sangat tinggi. Besarnya nilai manfaat intrusi
air laut sangat tergantung pada luas areal terdampak, jumlah rumah tangga atau
penduduk, serta jumlah pemakaian air dalam suatu rumah tangga.
Jumlah rumah tangga di Desa Kalibu sebanyak 270 rumah tangga
sedangkan di Desa Eelahaji adalah 250 rumah tangga. Besarnya pengendalian
mangrove terhadap intrusi air laut adalah sejauh 600 meter, di Desa Kalibu sumur
yang terkontaminasi air laut (payu) dengan luas 0.018 km2 sehingga, mangrove
dapat menyelamatkan 268.85 KK yang terkena dampak intrusi air laut. Desa
Eelahaji jarak sumur yang terkontaminasi dengan luas 0.3 km2 hanya dapat
manahan intrusi air laut sebanyak 247.5 KK. Masyarakat yang sumurnya
terkontaminasi dengan air laut untuk kebutuhan air minum lebih memilih membeli
tangki, sedangkan air sumur mereka hanya digunakan untuk mencuci dan mandi.
Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) dalam Burhanudin (2016) terhadap
air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada
jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrovenya
yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan
Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km.

Nilai penahan abrasi


Nilai guna tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini hanya berupa
manfaat fisik yaitu penahan abrasi dan penahan intrsusi air laut. Nilai mangrove
sebagai penahan abrasi pantai di lakukan dengan pendekatan yang digunakan
untuk mengestimasi hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai adalah dengan
replacement cost atau biaya pengganti. Biaya pengganti yang digunakan adalah
biaya pembuatan tanggul penahan gelombang atau break water
Biaya pembuatan tanggul dengan ukuran 1m x 1.5 m x 2.5 m (p x l x t)
sebesar Rp 249 333 per tahun atau Rp 249 333 000/km (PT Widya Rahmat
Karya 2018). Di Desa Eelahaji memiliki panjang pantai 2000 meter sedangkan
panjang pantai di Desa Kalibu 1080 meter. Nilai manfaat hutan Mangrove sebagai
penahan abrasi dapat dilihat pada Tabel 19. Secara terperinci penghitungan
penahan abrasi disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 19 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan abrasi di Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji
Nilai Ekonomi Penahan Abrasi
No Desa
(Rp/km/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 232 781 991 251 404 550
2 Eelahji 209 503 875 419 007 750
Jumlah 442 285 866 670 412 300

Kondisi hutan mangrove di Desa Kalibu baik sehingga yang mengalami


abrasi pantai sejauh 0.03 km sehingga nilai kehilangan manfaat hutan mangrove
36

sebagai penahan abrasi atau memerlukan pembuatan tanggul sebagai penahan


abrasi sejauh 0.03 km sebesar Rp 7 182 990 per tahun. Hal ini berbeda dengan
hutan mangrove di Desa Eelahaji yang kondisi mangrovenya sudah mulai rusak
sehingga terjadi abrasi pantai sejauh 0.25 km sehingga nilai kehilangan manfaat
hutan mangrove sebagai penahan abrasi atau memerlukan pembuatan tanggul
sebagai penahan abrasi sejauh 0.25 km sebesar Rp 59 858 250. Nilai manfaat
hutan mangrove sebagai pengendali abrasi di Desa Kalibu sebesar Rp 232 781
991/km/thn, sedangkan nilai mangrove mengendalikan abrasi di Desa Eelahaji
sebesar Rp 209 503 875/km/thn. Besarnya biaya pengganti (replecment cost)
pembuatan tanggul sebagai penahan abrasi tergantung panjang garis pantai yang
mengalami abrasi, semakin sedikit panjang garis pantai yang mengalami abrasi
maka semakin sedikit pula kehilangan manfaat dan semakin banyak nilai manfaat
mangrove sebagai penahan abrasi.
Penelitian yang di lakukan oleh Sofian (2003) di Kawasan Blanakan
Kabupaten Subang nilai hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai sebesar
Rp 1 165 886 400 per tahun dengan panjang pantai 2800 meter, hasil ini lebih
lebih kecil dibandingkan dengan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Penelitian
yang dilakukan oleh Kalitouw (2015) yang di lakukan di Desa Tiwoho Kabupaten
Minahasa tentang penahan abrasi sebesar Rp 1 506 088 950 per tahun dengan
panjang garis pantai sejauh 658 meter. Nilai ini tergolong besar dengan panjang
pantai tersebut perbedaan hasil ini di pengaruhi oleh lamanya daya tahan tanggul
sebegai penahan abrasi, semakin lama daya tahan tanggul maka semakin banyak
bahan yang di gunakan.

Nilai Pilihan Hutan Mangrove

Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap
komoditas yang saat ini digunakan maupun yang belum di manfaatkan. Penelitian
ini, nilai yang akan digunakan adalah manfaat ekowisata hutan mangrove. Hal ini
dengan melakukan wawancara terhadap masyarakat guna mengetahui kesediaan
membayar untuk kelestarian hutan mangrove yang akan dijadikan sebagai tempat
wisata dimasa yang akan datang. Besaran kesediaan masyarakat membayar untuk
kelestatian hutan yang akan dijadikan sebagai tempat wisata dimasa yang akan
datang dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Kesediaan membayar untuk kelestarian hutan mangrove agar dapat di


jadikan wisata di masa yang akan datang di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
No Desa Nilai Manfaat Pilihan
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1. Kalibu 580 000 14 500 000
2. Eelahaji 560 000 14 000 000
Jumlah 2 375 000 28 500 000

Kesediaan responden untuk membayar merupakan penawaran langsung


yang ditetapkan oleh masyarakat tanpan adanya paksaaan beradasarkan pilihan
yang diberikan. Nilai range kesediaan membayar yang diberikan kepada
37

masyarakat yaitu berkisar Rp 500 000–Rp 2 000 000 per tahun. Kesediaan
masyarakat untuk membayar agar hutan mangerove tetap lestari agar di jadikan
tempat wisata, di Desa Eelahaji sebesar Rp 1 000 000 per tahun hanya 3 orang
sedangkan yang lainnya memilih Rp 500 000 per tahun yaitu sebanyak 22 orang
sehingga total kesediaan membayar di Desa Eelahaji untuk kelestarian mangrove
Rp 14 000 000 per tahun. Kesediaan membayar di Desa Kalibu yang memilih Rp
1 000 000 per tahun yaitu sebanyak 4 orang atau sedangkan responden yang lain
memilih Rp 500 000 per tahun sehingga hasil yang didapat untuk kesediaan
membayar Rp 14 500 000 per tahun. Apabila kedua desa tersebut di gabungkan
maka total nilai yang diperoleh untuk membayar kelestarian mangrove agar bisa
dijadikan ekowisata dimasa yang akan sebasar Rp 28 500 000 per tahun.
Hutang mangrove sebagai tempat rekreasi pada penelitian Ismal (2017) di
Kota Tanjungpinang sebesar Rp 343 377 000 per tahun. Penelitian hal ini berbeda
dengan hasil yang di dapatkan di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu. Perbedaan hasil
di pengaruhi oleh perbedaan jumlah responden serta rentang nilai yang di berikan
kepada responden untuk menentukan nilai kesediaan membayar.
Kesediaan masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji untuk membayar di
pengaruhi oleh adanya tingkat kepentingan yang berbeda serta tingkat pendidikan
serta pekerjaan responden. Masyarakat yang ada di sekitar mangrove memiliki
pandangan apabila hutan mangrove di lokasi penelitian dijadikan sebagai tempat
ekowisata maka dapat membantu tingkat perekonomian masyarakat lokal seperti
masyarakat dapat membuat warung makan, dapat menyewakan jasa perahu
kepada wisatawan asing maupun lokal, apabila hutan mangrove tersebut dapat
dijadikan tempat wisata dimasa yang akan datang.

Nilai Ekonomi Total Manfaat Hutan Mangrove

Kuantifikasi ekonomi ekosistem mangrove di lakukan dengan tehnik


penilaian terpilih berdasarkan kriteria yang sesuai dengan indikator penilaian.
Nilai total ekonomi sumber daya hutan mangrove adalah penjumlahan dari
seluruh kompenen nilai seperti, nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak
langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan.
Hasil penelitian manfaat hutan mangrove yang dilakukan di Desa Kalibu
dan Desa Eeleahji Kecamatan Kolisusu berupa manfaat langsung seperti manfaat
kayu bakar, ikan, udang dan kepiting), manfaat tidak langsung (penahan intrusi air
laut), manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.
Nilai masing-masing manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji sangat berbeda antara nilai yang satu dengan yang lain. Manfaat langsung
yang selama ini diperoleh masyarakat merupakan sebagian dari keseluruhan
manfaat hutan mangrove tetapi masih ada manfaat mangrove yang lain seperti
manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan hutan mangrove.
Hal ini menunjukkan ekosistem mangrove tidak salamanya memberikan
keuntungan ekonomi, tetapi memiliki fungsi ekologis. Kuantifikasi seluruh
manfaat yang ada akan di kuantifikasi manfaat hutan mangrove secara
keseluruhan yang dilihat pada Tabel 21.
38

Tabel 21 Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
Desa Kalibu Desa Eelahaji
No Kategoi manfaat
Nilai manfaat (Rp/thn) Nilai manfaat (Rp/thn)
1 Nilai guna langsung 8 287 142 400 5 815 440 000
2 Nilai guna tidak langsung 379 631 342 314 399 375
3 Nilai pilihan 14 000 000 14 500 000
Nilai Ekonomi Total 8 680 773 742 6 144 339 375

Tabel 21 menunjukkan bahwa nilai guna langsung di Desa Kalibu lebih


besar di bandingkan dengan di Desa Eelahaji hal ini dipengaruhi oleh perbedaan
kondisi hutan di kedua desa tersebut. Hal yang sama dengan nilai guna tidak
langsung hutan mangrove di Desa Kalibu memberi manfaat yang cukup besar di
bandingkan dengan Desa Eelahaji. Perbedaan nilai guna tidak langsung di
pengaruhi oleh luas wilayah desa, jumlah penduduk, dan luas wilayah terdampak.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan mangrove yang
paling besar adalah nilai guna tidak langsung. Hal ini sejalan dengan penyataan
Kraus at al. (2008) dalam Wardhani (2011) bahwa manfaat hutan mangrove
selain meningkatkan hasil tangkapan biota perairan dan perolehan kayu bakau,
hutan mangrove dapat menyediakan jasa lingkungan seperti perlindungan pantai
dari badai dan erosi.
Keberadaan hutan mangrove di lokasi penelitian sudah mulai rusak hal ini di
pengaruhi oleh tekanan pembangunan dan aktifitas manusia lainnya yang
mengancam keberadaan hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove di lokasi
penelitian harus tetap di pertahankan karena merupakan ciri utama di palau ini,
olehnya itu mangrove ini penting menjadi suatu kesatuan di lokasi penelitian
tersebut. Namun ada beberapa hal yang mempengaruhi kelestarian hutan
mangrove tersebut, yang berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya alam
dan lingkungan. Oleh karena itu sebagai ciri khas lokasi penelitian ini hutan
mangrove perlu dilindungi dan di perhatikan keberadaanya agar tetap terjaga dan
lestari. Nilai keberadaan tidak dilakukan di desa Kalibu dan Desa Eelahaji, hal ini
disebabkan belum ditemukannya data yang valid dan tingkat pengetahuan
masyarakat tentang manfaat keberadaan hutan mangrove masih rendah. Hasil
penelitian nilai keberadaan mangrove yang di lakukan oleh Simanjutak (2014) di
Kawasan Delka Mahakam sebesar Rp 13 305 625 000 per tahun. Hasil
perhitungan kuantifikasi nilai mangrove kontribusi yang besar di hasilkan pada
nilai manfaat langsung (nilai biota air). Hasil wawancara yang dilakukan
masyarakat di lokasi penelitian hasil yang di peroleh pada manfaat langsung ini
sudah mulai menurun di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hasil kuantifikasi nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove di Desa Kalibu
sebesar Rp 8 680 773 742 per tahun sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp 6 144
339 375 per tahun. Hasil peneltian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji lebih kecil
jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Ahmad (2012) di Kabupaten
Kubu Raya, dengan total luas hutan mangrove 102.017 menghasilkan nilai
ekonomi sebesar Rp 400 018 397 288 per tahun. Hasil penelitian di Desa Kalibu
dan Desa Eelahaji tergolong lebih besar apabila di bandingkan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Devitha (2015) di Desa Hulu Kabupaten Minahasa dengan
total luas hutan mangrove 200 ha dapat memberikan nilai ekonomi sebesar Rp 3
39

121 457 640 per tahun. Penelitian yang di lakukan Suharti (2016) yang dilakukan
di Sinjai Timur Selawesi Selatan dengan luas mangrove sebesar 785 ha, nilai total
mangrove sebesar Rp 7 535 809 496 per tahun hasil ini tergolong sedikit di
bandingkan nilai mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Selain beberapa
manfaat diatas hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyimpan karbon seperti
yang dilakukan oleh Gewana (2017) yang dilakukan di Filipina dengan nilai total
ekonomi sebesar USD 2 962 per tahun
Hasil penelitian yang memberikan nilai yang sangat beranekaragam.
Perbedaan hasil penelitian yang dihasilkan dipengaruhi oleh, perbedaan luas
kajian dan jumlah variabel yang digunakan. Harga komoditas yang dihasilkan di
daerah mangrove seperti biota laut dan kayu bakar memiliki nilai yang berbeda
antara lokasi penelitian yang satu dengan tempat yang lain, hal ini di pengaruhi
oleh jumlah penduduk di lokasi penelitian sehingga tingkat kebutuhan kayu bakar
sangat tinggi, sedangkan besarnya penangkapan biota perairan (ikan, udang dan
kepiting) di pengaruhi oleh kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian. Menurut
De Grot et al (2002) dalam Ismail (2017) bahwa metode perhitungan yang dipakai
antar lokasi untuk beberapa nilai manfaat sama tetapi ada juga pendekatan yang
berbeda untuk memperoleh nilai tertentu.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Mayoritas masyarakat memiliki persepsi yang tinggi terhadap manfaat dan


pengelolaan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Penyebab
kerusakan hutan mangrove menurut persepsi masyarakat yang paling berpengeruh
adalah pengambilan kayu bakar sebagai kebutuhan rumah tangga dan kepentingan
ekonomi rumah tangga.
Struktur vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji untuk
kategori pohon tidak mempunyai perbedaan yang signifikan, kecuali untuk
kategori tiang, sapihan dan semai di Desa Kalibu relatif lebih baik di bandingkan
dengan di Desa Eelahaji.
Nilai ekonomi total hutan mangrove di Desa Kalibu yang kondisi
mangrovenya baik memiliki nilai yang lebih besar yaitu Rp 8 680 773 742 per
tahun dibandingkan nilai ekonomi total di Desa Eelahaji yang kondisi
mangrovenya kurang baik yaitu sebesar Rp 6 144 339 375 per tahun.

Saran

Dinas Kehutanan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL


Peropaea Gantara) perlu mengadakan penyuluhan kepada masyarakat agar
masyarakat tidak terus menerus memanfaatkan kayu mangrove sebagai kayu
bakar. Oleh karena itu pemerintah harus tegas dalam melakukan pengelolaan dan
perlindungan hutan mangrove apalagi mangrove termasuk dalam kawasan hutan
lindung.
40

Pemerintah harus melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar


melakukan penanaman jenis pohon yang mempunyai biomasa tinggi untuk kayu
bakar sebagai pengganti kayu mangrove seperti jenis kaliandra.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul SG. 2006. Keanekaragaman fauna ikan di perairan mangrove Sungai


Mahakam Kalimantan Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnoligi LIPI.
40:39-53
Ahmad FS. 2012. Valusi ekonomi dan analisis strategi konservasi hutan mangrove
di Kabuten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Alfian M. 2004. Valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove untuk budidaya
tambak di Kecamatan Tinanggea Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Baharudin II. 2016. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove berbasis masyarakat di Kecamatan Suppa Kebupaten Pinrang.
Jurnal Scientific Pinisi. 2(1):1-7
Bahruni. 2008. Pendekatan sistem dalam pendugaan nilai ekonomi total ekosistem
hutan: Studi kasus hutan alam produksi bekas tebangan. [Disertasi]. Bogor.
ID: Institut Pertanian Bogor.
Burhanudin. 2016. Kajian kondisi, potensi dan pengembangan hutan mangrove di
Kabupaten Serdang Bedagai. Wahana Inovasi 5(2):483-490.
Das S. 2017. Ecological restoration and livehilood: contribution of planted
mangroves a nursery and habitat for artisanal and comercial fishery. Word
Development. 94:492-502
Desmantoro, Wijayanto N, Sundawati L. 2016. Kelayakan program hutan desa di
Desa Tanjung Aur II Kecamatan Pino Raya Kabupaten Bengkulu Selatan.
Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. 13(2):85-106
Devitha WK. 2015. Potensi ekonomi ekosistem hutan mangrove di Desa Kulu
Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Ekawati S, Halawane JE, Iwanudin, Irawan A. 2017. Analisis persepsi dan
perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP Poigar. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 14(1): 71-82
Fadhila H, Saputra SW, Wijayanto D. 2015. Nilai manfaat ekosistem mangrove di
Desa Kartika Jaya Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal Jawa
Tengah.Diponegoro Journal Of Maquares[Internet]. [diunduh 2016 Apr 3];
4(3):180-187. Tersedia pada: http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/maquares.
Gevaña DT, Camacho LD, Camacho SC. 2017. Stand density management and
blue carbon stock of monospecic mangrove plantation in Bohol,
Philippines-Forestry Studies. Metsanduslikud Uurimused. 66:7–83.
Giri C, Long J, Abbas S, Murali RM. 2014. Distribution and dynamics of
mangrove forests of south asia. Elsevier: Journal of Enviromental
Management. 12:1–11
41

Gumilar I. 2012.Partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan ekosistem hutan


mangrove berkelanjutan di Kabupaten Indramayu.Jurnal Akuatika.
III(2):198-211
Handono N, Tanjung RHR, Zebua LI. 2014. Struktur vegetasi dan nilai ekonomi
hutan mangrove Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua.Jurnal Biologi
Papua. 6(1):1-11.
Harahab N, Riniwati H, Mahmudi M, Sambah AB. 2009. Analisis ekonomi-
ekologi sumberdaya hutan mangrove sebagai dasar perencanaan wilayah
pesisir [Internet]. Malang (ID): Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan
Kelautan FPIK UB. hlm. 1-9; [diunduh 2016 Mar 25]. Tersedia pada:
http://lppm.ub.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/Nuddin-Harahap.pdf.
Hartini, S., Guridno Bintar Saputro, M. Yulianto, Suprajaka. 2010. Assessing the
used of remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. Selected
topics in power systems and remote sensing.In 6th wseas International
conference on remote sensing (remote ’10), Iwate Prefectural University,
Japan.October 4-6, 2010; pp. 210-215.
Heru S. 2013. Status ekologi hutan mangrove pada berbagai tingkat ketebalan.
Jurnal penelitian kehutanan Wallaceae. 2.104-120.
Hidayatullah M, Pujiono E. 2014. Struktur dan komposisi jenis hutan mangrove di
Golo Sepang Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat.Jurnal
Penelitian Kehutanan Wallacea. 3(2):151-162.
Indriyanto, 2006.Ekologi Hutan. Cetakan Pertama. Penerbit PT Bumi Aksara.
Jakarta
Ismail A. 2017. Penilaian ekonomi hutan mangrove di Kota Tanjungpinang
Privinsi Kepulauan Riau. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Kalituw WD. 2015. Valuasi ekonomi hutan mangrove di Desa Tiwoho Kecamatan
Wori Kabuoaten Minahasa Utara. [Skripsi]. Manado. Universitas Sam
Ratulangi
Khaery A. 2015. Strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Passare
Kecamatan Lantari Jaya Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kramer RA, Sharma N, Munasinghe M. 1995. Valuing tropical forests.World
Bank Environment.13:1-80.
Kusmana C. 2007. Konsep pengelolaan mangrove yang rasional. Di dalam:
“Kegiatan sosialisasi bimbingan teknis dan pemantauan pelaksanaan
rehabilitasi mangrove, di Makassar, 13 Juni 2007.” [Internet]. Bogor (ID):
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB. hlm. 1-4; [diunduh 2016 Mar 1].
Tersedia pada: http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/2010-
paper-konsep-pengelolaan-mangrove-yang- rasional.pdf.
Kusmana C. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor: IPB Press.
Maedar F. 2008. Analisisekonomi pengelolaan mangrove di Kecamatan
Merawang Kabupaten Bangka.[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Mangkay S, Harahab N, Polii B, Soemarno. 2012. Analisis strategi pengelolaan
hutan mangrove berkelanjutan di Kecamatan Tatapaan, Minahasa Selatan,
Indonesia. J-PAL. 3(1):8-18.
42

Masria, Golar, & Ihsan, M. (2015). Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap
hutan di Desa Labuan Toposo Kecamatan Kabuan Kabupaten Donggala.
Warta Rimba, 3(2), 57–64.
Motoku AB, Umar S,Toknok B. 2014. Nilai manfaat hutan mangrove di Desa
Sausu PeoreKecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong.Warta
Rimba.2(2):92-101.
Mulyadi E, Fitriani N. 2010. Konservasi hutan mangrove sebagai
ekowisata.Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 2(1):11-18.
Nanholy H, Bambang AN, Ambaryanto, Hatubarat S. 2014.Analisis persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan kawasan mangrove teluk Katania.Jurnal
Wilayah dan Lingkungan. 2(1):89-98
Nuddin H. 2009. Pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap produksi
perikanan tangkap (Studi kasus di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur). Jurnal
perikanan. XI:100-106.
Nunes PALD, Bergh JCJM. 2001. Economic valuation of biodiversity: sense or
nonsense?Ecological Economics.39(2001):203-222. doi: 10.1016/S0921-
8009(01)00233-6.
Picaulima SM, Huliselan NV, Sahetapy D, Abrahamsz D. 2011. Pengelolaan
ekosistem mangrove berbasis ekonomi sumberdaya dan lingkungan di
Negeri Rutong Kota Ambon.Jurnal Ichthyos.10(1):49-56
Praset iyo DE, Zulfikar F, Shinta, Zulkarnain I. 2016. Valuasi ekonomi
hutan mangrove di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu (Studi Konservasi
Berbasis Green Economy). Jurnal Omni-Akuatika 12(1): 48 - 54
Putra AT. 2015. Analisa potensi tegakan hasil inventarisasi hutan di KPHP
Model Berau Barat. Jurnal AGRIFOR. XIV (2)
Saprudin, Halidah. 2012. Potensi nilai manfaat jasa lingkungan hutan mangrove di
Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.
7(3):2013-2014.
Satria A, Elhaq IH. Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi
pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model
empang parit. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi
Manusia. 05(01): 97-103
Setyawan, A. D. Winarno K. 2006. Pemanfaatan langsung ekosistem mangrove di
Jawa Tengah dan penggunaan lahan di sekitarnya (kerusakan dan upaya
restorasinya). Jurnnal Biodiversitas. 7 (3):282-291.
Simajuntak SMH, Yuyun W, Putri EIK. 2014. Valuasi total ekonomi hutan
mangrove di kawasan Deltamahakam Kabupaten Kutai Kartanegara
Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 3(1):1-12
Sobari MP. Andrianto L. Azis N. 2006. Analisis ekonomi alternatif pengelolaan
ekosistem mangrove Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Buletin Ekonomi
Perikanan VI(3):1-22
Soerianegara I, Indrawan A. 1988.Ekologi hutan Indonesia.Laboratorium ekologi
hutan, Fakultas kehutanan.Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sofian A. 2003.Valuasi ekonomi pemanfaatan hutan mangrove di kawasan
Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sri. R. 2003. Kompisisi dan kelimpahan ikan ekosistem mangrove
Kadungmalang, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. 18:54-60
43

Suharti S, Darusman D, Nugroho B, Sundawati L. 2016. Economic valuation as a


basis for sustainable mangrove resource management a case in East Sinjai,
South Sulawesi. JMHT 22(1): 13-23. doi:10.7226/jtfm.22.1.13
Suharti S, Darusman D. Nugroho B. Sundawati L. 2016. Institution and change on
community access right in mangrove forest management in East Sinjai,
South Sulawesi. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 165:175.
Suwarno, Tumisem. 2008. Degradasi hutan bakau akibat pengambilan kayu bakar
oleh industri kecil gula kelapa di Cilacap. Forum Geografi 22(2):159-168
Suzana B.O.L, Timban J, Kaunang R, Ahmad F. 2011. Valuasi ekonomi
sumberdaya hutan mangrove di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat
Kabupaten Minahasa Utara.ASE. 7(2):29-38.
Turner RK. 2016. Ecological economics and ecosistem services. In Potschin M,
Haines-Young R, Fish R, Turner RK. Routledge handbook of ecosystem
services. London and New York. Hal 243-253.
Ulfah. F, Zen LW. Valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak
Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Dinamika Maritim IV(1):45-
52
Umar. (2009). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan
sebagai daerah resapan air (Studi kasus Hutan Penggaron Kabupaten
Semarang). [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro
Umar, H. 2005. Riset sumber daya manusia dalam organisasi. Pustaka Utama,
Jakarta. PT Gramedia.
Utami AR. Persepsi masyarakat dan stekholder terhadap pengelolaan hutan desa
di Desa Sadewata Ciamis Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Wahidin LD, Ola OL, Yusuf S. 2013. Valuasi ekonomi tegakan pohon mangrove
(Soneratia alba) di Teluk Kendari, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia.2(6).
Wardhani MK. 2011. Kawasan hutan mangrove; suatu potensi ekowisata. Jurnal
Kelautan. 4(1):60-76
Wibowo. 2009. Motivasi dan partisipasi masyarakat desa buluh cina dalam upaya
melestarikan hutan Adat Buluh Cina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten
Kampar Provinsi Riau. Jurnal Lingkungan Hidup.1(2).
Wulandari, C. (2010). Studi persepsi masyarakat tentang pengelolaan lanskap
agroforestri di sekitar Sub DAS Way Besai, Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia. 15(3):137–140.
Zainal S, Khadapi M, Herdiansyah G. 2015. Persepsi masyarakat Desa Sungai
Awan Kanan terhadap keberadaan hutan mangrove di Kawasan Pantai Air
Mata Permai Kabupaten Ketapang. Jurnal Hutan Lestari. 3(1):108 – 116
44

Lampiran 1 Penghitungan Nilai Guna Langsung

1. Nilai kayu bakar

Tabel 22 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa
Eelahaji
No Desa Nilai Ekonomi
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 3 225 600 870 912 000
2 Eelahaji 3 162 240 790 560 000
Jumlah 6 387 240 1 661 472 000

Nilai mangrove pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumah pengambilan kayu bakar dari 25 responden sebesar 16 128 ikat per tahun
Nilai kayu mangrove
Nilai kayu bakar (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
80 640 000
Nilai kayu mangrove (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 3 225 600/kk/thn
Nilai mangrove (Rp/tahun/desa) = Rp 3 225 600 x 270
= Rp 870 912 000/thn

Nilai mangrove pemanfaatan kayu bakar di Desa Eelahaji per orang per tahun
dapat dapat di hitung:
Jumlah pengambilan kayu bakar dari 25 responden sebesar 15 811.2 ikat per tahun
Nilai kayu mangrove
Nilai kayu bakar (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
79 056 000
Nilai kayu mangrove (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 3 162 240/kk/thn
Nilai kayu mangrove (Rp/tahun/Desa) = Rp 3 162 240 x 250
= Rp 790 560 000/thn
45

2. Nilai Udang

Tabel 23 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitisn Desa Kalibu dan
Desa Eelahaji
No Desa Nilai Ekonomi
(Rp/KK/thn) (Rp/thn)
1 Kalibu 5 490 720 1 482 494 400
2 Eelahaji 3 401 280 850 320 000
Jumlah 8 892 000 2 332 814 000

Nilai mangrove pemanfaatan udang di Desa Kalibu per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan udang dari 25 responden sebesar 2745.36 kg/tahun
Nilai Udang
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
137 268 000
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 5 490 720/KK/thn
Nilai pemanfaatan udang (Rp/tahun/desa) = Rp 5 490 720 x 270
= Rp 1 482 494 400/thn

Nilai mangrove pemanfaatan udang di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan udang dari 25 responden sebesar 1700.64 kg/tahun
Nilai Udang
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
85 032 000
Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 3 401 280/KK/thn
Nilai pemanfaatan udang (Rp/tahun) = Rp 3 401 280 x 250
= Rp 850 320 000/thn
46

3. Nilai Kepiting

Tabel 24 Nilai ekonomi pemanfaatan kepiting di lokasi penelitian Desa Kalibu


dan Desa Eelahaji
No Desa Nilai Ekonomi
(Rp/KK/thn) (Rp/tahun)
1 Kalibu 12 398 400 3 347 568 000
2 Eelahaji 9 950 400 2 487 600 000
Jumlah 22 348 800 5 835 168 000

Nilai mangrove pemanfaatan kepiting di Desa Kalibu per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan kepiting dari 25 responden sebesar 3441 kg/tahun
Nilai kepiting
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
309 960 000
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 12 398 400/KK/thn

Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/tahun) = Rp 12 398 400 x 270


= Rp 3 347 568 000/thn

Nilai mangrove pemanfaatan kepiting di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan kepiting dari 25 responden sebesar 2764 kg/tahun
Nilai kepiting
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
248 760 000
Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 9 950 400/KK/thn

Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/tahun) = Rp 9 950 400 x 250


= Rp 2 487 600 000/thn
47

4. Nilai Ikan

Tabel 25 Nilai ekonomi pemanfaatan ikan di Kecamatan Kolisusu Desa Kalibu


dan Desa Eelahaji
No Desa Nilai Ekonomi
Rp/KK/tahun Rp/thn
1 Kalibu 9578 400 2 586 168 000
2 Eelahaji 6 747 840 1 686 960 000
Jumlah 16 326 240 4 273 128 000

Nilai mangrove pemanfaatan ikan di Desa Kalibu per orang per tahun dapat dapat
di hitung:
Jumlah penangkapan ikan dari 25 responden sebesar 6841.71 kg/tahun
Nilai Ikan
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
239 460 000
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 9 578 400/KK/thn

Nilai pemanfaatan ikan (Rp/tahun/desa) = Rp 9 578 400 x 270


= Rp 2 586 168 000/thn

Nilai mangrove pemanfaatan ikan di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat
dapat di hitung:
Jumlah penangkapan ikan dari 25 responden sebesar 4819.88 kg/tahun
Nilai ikan
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
Jumlah responden
168 696 000
Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) =
25
= Rp 6 747 840/KK/thn

Nilai pemanfaatan ikan (Rp/tahun) = Rp 6 747 840 x 250


= Rp 1686 960 000/thn
48

Lampiran 2 Penghitungan Nilai Guna Tidak Langsung

1. Nilai mangrove penahan abrasi

Desa Kalibu

Nilai Penahan Abrasi


Nilai Tanggul (m/thn) Niai Tanggul (Rp/km)
239 433 239 433 000

DM (TA)
Panjang Pantai (km) Mangrove (TA) (Rp/km) Nilai DM (TA)
1.08 239 433 000 258 587 640

TM (DA)
Panjang Abrasi (m) Biaya Tanggul (m) Nilai TM (DA)
30 239 433 7 182 990

Nilai Mangrove Pengendali Abrasi


Nilai DM (TA) Nilai TM (DA) Nilai Total Mangrove
258 587 640 7 182 990 251 404 641
Keterangan: DM = Dengan Mangrove TA= Tanpa Abrasi, TM = Tanpa Mangrove DA= Dengan
Abrasi

Biaya pembuatan tanggul dengan daya tahan 10 tahun = Rp 2 394 330


Jadi manfaat pembuatan tanggul per tahun = Rp 239 433/thn
Nilai DM (TA) per km = Biaya tanggul/tahun x 1000 m
= Rp 239 433/thn x 1000 m
= Rp 239 433 000/km/thn
Nilai DM (TA) = Mangrove TA/km x Panjang garis pantai
= Rp 239 433 000 x 1.08 km
= Rp 258 587 640/km
Nilai TM (DA) per km = Mangrove TA x Panjang Abrasi
= Rp 239 433 000 x 0.03 km
= Rp 7 182 990/km
Nilai total penahan abrasi = Nilai DM (TA) – Nilai TM (DA)
= Rp 258 587 640/km – Rp 7 182 990/km
Nilai penahan abrasi 1.08 km = Rp 251 404 550
Nilai penahan abrasi per km = Rp 232 781 991/km

Desa Eelahaji

Nilai Penahan Abrasi


Nilai Tanggul (Rp/m) Niai Tanggul (Rp/km)
239 433 239 433 000
49

DM (TA)
Panjang Pantai (km) Mangrove (TA) (Rp) Nilai DM (TA) (Rp)
2 239 433 000 478 866 000
TM (DA)
Panjang Abrasi (m) Biaya Tanggul (m) Nilai TM (DA)
250 239 433 5 985 825

Nilai Mangrove Pengendali Abrasi


Nilai DM (TA) Nilai TM (DA) Nilai Total Mangrove
4 788 660 000 598 582 500 4 190 077 500
Keterangan: DM = Dengan Mangrove TA= Tanpa Abrasi, TM = Tanpa Mangrove DA= Dengan
Abrasi

Nilai DM (TA) per km = Biaya Tanggul/m x 1000 m


= Rp 239 433 x 1000
= Rp 239 433 000/km
Nilai DM (TA) 2 km = Mangrove TA/km x Panjang garis pantai
= Rp 239 433 000 x 2
= Rp 478 866 000
Nilai TM (DA) = Mangrove TA/km x Panjang Abrasi
= Rp. 239 433 000 x 0.25 km
= Rp 59 858 250
Jadi nilai TM (DA) dengan panjang panjang pantai 2 km = Rp 59 858 250
Nilai total penahan abrasi 2 km = Nilai DM (TA) – Nilai TM (DA)
= Rp 478 866 000 – Rp 59 858 250
= Rp 419 007 750
Nilai total penahan abrasi per km = Rp 419 007 750/2
= Rp 209 503 875/km

2. Nilai mangrove penahan intrusi air laut

Desa Kalibu
Luas Desa = 4.2 km2
Luas Daerah terdampak = 0.18 km2
Jumlah rumah terdampak = (0.018 km2/4.2 km2) x 270
= 1.15
Nilai DM (TI) = Rp 12 204 000/thn
= Rp 488 160/kk/thn
Nilai TM (DI) = Jumlah pemakaian air x harga/tangki
= 117.80 tangki/bln x 55 000
= Rp 6 479 000/bln
Nilai TM (DI) per tahun = Rp 77 748 000/thn
Nilai TM (DI) (kk/thn) = Rp 3 109 920/kk/thn
Nilai Total Intrusi = Rp 77 748 000/thn – Rp 12 204 000/thn
= Rp 65 544 000/thn
50

Nilai total peng.intrusi/kk/thn = Rp 2 621 760/kk/thn


Nilai penahan intrusi air laut = (488 160 x 270) – (3 109.920 x 1.15)
= Rp 131 803 200 – 3 576 408
= Rp 128 226 792/thn
Desa Eelahaji
Luas Desa = 30 km2
Jumlah RT Desa = 250
Lebar Daerah terdampak = 1.2 km
Panjang Daerah Dampak = 0.25 km
Luas daerah dampak = 0.3 km2
Jumlah RT Dampak = (0.3 km2/30 km2) x 250
= 2.5 RT
Nilai DM (TI) = Rp 12 204 000/thn
= Rp 488 160/kk/thn
Nilai TM (DI) per bulan = Jumlah pemakaian air x harga/tangki
= 108.25 tangki/bln x 55 000
= Rp 5 953 750/bln
Nilai TM (DI) per tahun = Rp 71 45 000/thn
Nilai TM (DI) (kk/thn) = Rp 2 857 800/kk/thn
Nilai Total Intrusi = Rp 71.445.000/thn – Rp 12.204.000/thn
= Rp 59 241 000/thn
Nilai total peng.intrusi/kk/thn = Rp 2 369 640/kk/thn
Nilai penahan intrusi air laut = (Rp 488 160 x 250) – (Rp2 857 800 x 2.5)
= Rp 112 040 000 – Rp 7 144 500
= Rp 104 895 500/thn
51

Dokumentasi Penelitian

Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Eelahaji

Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Eelahaji

Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Kalibu


52

Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Kalibu

Wawancara terhadap masyarakat tentang hasil tangkapan biota air

Wawancara terhadap toko masyarakat

Wawancana Kepala Desa Eelahaji Wawancara Kepala Desa Kalibu


53

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wamelai Kabupaten Muna Barat pada tanggal 17


Oktober 1988 dan merupakan anak pertama dari 5 bersaudara dari pasangan La
Ndimaka dan Ibu Wa Ndolawa. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh di SDN
9 Kabawo. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditempuh di SMPN 1
Kabawo. Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMAN 1 Kabawo.
Pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan di Universitas Halu Oleo Kendari dan
lulus tahun 2013.
Pada tahun 2013 penulis diterima sebagai karyawan honorer di
Kementerian Pekerjaan Umum di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2014 Penulis
bekerja di KPHP Dolago Tanggunung Sulawesi Tengah sebagai tenaga Bakti
Rimbawan Kementerian Lingkungan Hudip dan Kehutanan Republik Indonesia.
Pada tahun 2015 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan pada
Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai