Anda di halaman 1dari 20

USULAN PENELITIAN

POTENSI REGENERASI ALAMI DI HUTAN PENELITIAN


GUNUNG DAHU, LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR
JENIS Shorea pinanga dan Shorea platyclados

ISNA MAULIDAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
POTENSI REGENERASI ALAMI DI HUTAN PENELITIAN
GUNUNG DAHU, LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR
JENIS Shorea pinanga dan Shorea platyclados

ISNA MAULIDAH

Proposal
sebagai salah satu syarat untuk melakukan
penelitian tugas akhir skripsi
pada mayor Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Judul Usulan : Potensi Regenerasi Alami Di Hutan Penelitian Gunung Dahu,
Leuwiliang, Kabupaten Bogor Jenis Shorea pinanga dan Shorea
platyclados
Nam : Isna Maulidah
NIM : E44150025

Disetujui oleh

Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MSc Ftrop Henti H. Rachmat, SHut MSi PhD


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MSi


Ketua Departemen

Tanggal Disetujui :
PRAKATA

Alhamdulillahirobbil ‘alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah
memeberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
usulan penelitian ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun manusia menuju zaman yang lebih baik seperti
saat ini.
Proposal usulan penelitian ini berjudul Potensi Regenerasi Alami Di Hutan
Penelitian Gunung Dahu, Leuwiliang, Kabupaten Bogor Jenis Shorea pinanga dan
Shorea platyclados. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari 2018. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MSc FTrop dan
Ibu Henti Hendalastuti Rachmat, SHut, MSi, PhD yang telah bersedia menjadi
pembimbing dan telah memberi masukan serta saran selama penulisan usulan penelitian
ini. Usulan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis
mengharapkan masukan dan saran agar penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan
memperoleh hasil yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pihak yang
membutuhkan.

Bogor, Januari 2019

Isna Maulidah
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kondisi Umum Hutan Penelitian Gunung Dahu 2
Shorea pinanga 3
Shorea macrophylla 4
METODE 4
Alat dan Bahan 4
Prosedur Pengambilan Data 5
Metode Pengumpulan Data 5
Prosedur Analisis Data 7
DAFTAR PUSTAKA 9
LAMPIRAN 10

DAFTAR GAMBAR

YNo table of figures entries found.


DAFTAR LAMPIRAN

1 YTally sheet pohon 10


1 Tally sheet semai 11
2 Tally sheet faktor abiotik 12
3 Jadwal pelaksanaan program 13

Y
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tropika dikenal dengan keanekaragaman jenis yang tinggi dan proses
ekologi berjalan dengan seimbang dan dinamis. Terbentuknya pola keanekaragaman
dan struktur tegakan hutan, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik biotik
maupun abiotik. Dipterocarpaceae, merupakan famili dari spesies pohon dominan di
hutan tropika Malaysia dan Indonesia, secara ekologis dominan dan kayunya signifikan
secara ekonomi. Konservasi sumber daya hutan alam saat ini sangat dibutuhkan, karena
sumber daya hutan alam yang semakin menurun, khususnya famili Dipterocarpaceae.
Konservasi sumber daya hutan alam dapat dilakukan dengan cara pembangunan hutan
buatan. Hutan buatan (man made forest) merupakan sebuah hutan yang mana
keberadaannya bukan disebabkan karena proses alam, namun karena sengaja dibuat dan
dibudidayakan oleh manusia.
Hutan Penelitian Gunung Dahu merupakan hutan buatan untuk menguji
kemampuan beradaptasi berbagai spesies dari famili Dipterocarpaceae yang ditanam di
luar habitat aslinya untuk menentukan kenaikan tingkat pertumbuhan, mengungkapkan
teknik silvikulturnya baik di pembibitan maupun di lapangan, dan untuk melakukan
strategi konservasi ex-situ spesies di lokasi yang dapat diandalkan dan aman (Subiakto
et al. 2016). Kondisi suatu tegakan hutan selalu dipengaruhi oleh keadaan tempat
tumbuhnya, perlakuan silvikultur, umur dan sifat genetik pohon, interaksi antara setiap
individu pohon terhadap keadaan tempat tumbuhnya, serta interaksi yang terjadi antar
individu pohon. Adanya suksesi/regenerasi alami turut berperan dalam pembentukan
struktur tegakan di suatu hutan (Kusmana dan Susanti 2015).
Shorea pinanga dan Shorea platyclados merupakan salah satu spesies yang
ditanam pada plot uji penanaman di Hutan Penelitian Gunung Dahu. Shorea pinanga
dan Shorea platyclados merupakan spesies yang memerlukan naungan pada awal
pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara
bertahap. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai yang
berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi (Suhardi et al.
1995). Semai Shorea pinanga dan Shorea platyclados termasuk jenis rumpang atau gap
appertunist, yaitu semai tidak dapat berkembang apabila kanopi hutan di atasnya
terbuka dan terbentuk rumpang. Kemampuan hidup semai yang tinggi didukung oleh
faktor lingkungan seperti intensitas cahaya matahari, suhu, dan kelembaban (Atmoko
2011).

Perumusan Masalah

Permasalahan yang berusaha untuk dicari penyelesaiannya dalam penelitian ini


adalah:
1. Bagaimana potensi regenerasi alami pada jenis Shorea pinanga dan Shorea
platyclados Di Hutan Penelitian Gunung Dahu ?
2. Bagaimana pengaruh kondisi lingkungan terhadap tegakan jenis Shorea pinanga dan
Shorea platyclados Di Hutan Penelitian Gunung Dahu ?
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi potensi dan tingkat regenerasi alami


Shorea pinanga dan Shorea platyclados dan mengidentifikasi kondisi lingkungan yang
mendukung pertumbuhan Shorea pinanga dan Shorea platyclados di Hutan Penelitian
Gunung Dahu.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi
mengenai regenerasi alami Shorea pinanga dan Shorea platyclados sehingga dapat
menjadi dasar untuk pengelolaan tegakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados
kedepannya, di Hutan Penelitian Gunung Dahu. Khususnya dalam budidaya hutan jenis
Shorea pinanga dan Shorea platyclados.

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Hutan Penelitian Gunung Dahu

Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu terletak di Desa Pabangbon, Kecamatan


Leuwiliang, Kabupaten Bogor dengan luas sekitar 250 ha. Hutan penelitian ini dibangun
pada tahun 1997 dengan kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam (kini, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) dengan
KOMATSU, Jepang. Saat ini, kawasan yang telah ditanami jenis-jenis meranti
(dipterokarpa) sebesar ± 160,7 ha yang terdiri dari plot percobaan meranti (± 75 ha) dan
plot kebun koleksi dipterokarpa (± 85,7 ha). Status hukum HP Gunung Dahu masih
dalam bentuk kerjasama (MoU) dengan Perum Perhutani yang ditujukan sebagai lokasi
penelitian dan pengembangan jenis dipterokarpa. 
Kawasan HP Gunung Dahu merupakan kawasan hutan produksi Perum
Perhutani yang dikhususkan sebagai lokasi penelitian dan pengembangan jenis-jenis
tanaman meranti (dipterokarpa). Kawasan yang telah ditanami jenis meranti terbagi ke
dalam dua plot besar yaitu plot percobaan meranti yang terdiri dari jenis Shorea
leprosula dan S. selanica memiliki; dan plot kebun koleksi dipterokarpa yang terdiri
dari 15 jenis tanaman dipterokarpa, antara lain: S .leprosula, S. selanica, S.
platyclados, S. javanica, S. pinanga, S. stenoptera, S. ovalis, S. palembanica, S.
guiso, S. macrophylla, S. balangeran, S. mecisopteryx, S. multiflora, Hopea bancana,
dan Anisoptera marginata. Selain itu, pada HP Gunung Dahu terdapat juga beberapa
jenis tanaman buah seperti tanaman rambutan, manggis, manga, dan durian.
Secara geografis kawasan Hutan Penelitian (HP) Gunung Dahu terletak pada
koordinat 06o36’30” - 06o37’00” LS dan 106o34’00” - 106o35’30” BT. Lokasi HP
Gunung Dahu termasuk ke dalam wilayah RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KHP
Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.Hutan Penelitian Gunung Dahu
memiliki curah hujan 2.500 – 2.700 mm/tahun. Kondisi topografi curam dengan
ketinggian sekitar 550-650 m dpl. Jenis tanahnya latosol coklat kemerahan (KLHK
2013).
Shorea pinanga

Shorea Pinanga adalah famili Dipterocarpaceae, sub klas Dikotiledon dan kelas
Angiospermae. Shorea Pinanga memiliki nama daerah seperti, langgai (Iban), awang
lanying (Kalimantan bagian timur dan selatan), engkabang bukit, tengkawang telur,
tengkawang telaga, tengkawang minggi (Kalimantan Barat). Shorea Pinanga ini
tumbuh alami di Kalimantan, biasanya pada punggung bukit di bawah 700 m dpl. Pohon
Shorea Pinanga umumnya berukuran sedang hingga besar, batang lurus silindris
mencapai tinggi 60 m, diameter mencapai 130 cm. Tajuk terbuka, percabangan
menyebar, menaik di pangkalnya dan menjuntai di ujungnya dimana jelas terlihat gugus
daun, daun muda dan daun penumpu warna magenta yang berselang-seling horisontal.
Ranting Shorea pinanga umumnya menjumbai dan ranting mati memipih. Banir
tebal dan tingginya hingga 1,5 m, menyebar, cekung membulat. Kulit batang licin dan
mengelupas besar-besar, warna coklat merah muda pucat, bergelang, berlentisel kecil
warna oranye. Kulit luar tipis, kulit dalam sampai 1 cm, warna coklat merah muda atau
kuning pucat kecoklatan pada kambium. Tangkai daun 1,1-2,2 cm, gundul atau ada
indumentum rapat warna coklat kelabu. Daun 11,5-21 x 4,9-9 cm, kaku seperti kulit,
lonjong atau bundar telur menyempit, ujung melancip panjang atau pendek melebar,
pangkal membaji, membulat atau sedikit menjantung. Sisi atas daun kering coklat
kemerahan, gundul atau ada indumentum kuning coklat/coklat keemasan pada midrib.
Sisi bawah daun kering coklat kemerahan, kusam atau mengkilap, gundul atau ada
indumentum lebat/jarang warna coklat, kuning coklat/coklat keemasan di helai daun dan
pertulangannya. Tulang daun sekunder 10-16 pasang, melengkung, saat kering jelas
lebih pucat daripada atau sama dengan daunnya, tulang tengah kadang muncul, tulang
tersier jelas dan tegak lurus, tidak ada domatia. Daun penumpu 36-60 x 12-17 mm,
menyegitiga, lancip, merah atau magenta ketika muda, lambat laun menjadi hijau,
persisten. Bekas daun penumpu jelas terlihat, berbentuk bulan sabit.
Bunga merah muda gelap. Benang sari 15. Sayap buah 3 panjang ukuran 22-28 x
2,5-3,5 cm, 2 pendek ukuran 8-17 x 0,8-1,4 cm. Biji bundar telur, 34-53 x 25-28 mm,
umumnya panjang lebar kurang lebih sama yaitu sekitar 2,3 cm. Kayu gubal krem, kayu
teras merah muda dan berserat halus. Daun seperti kulit, umumnya lebih besar daripada
daun pohon dewasa, mengkilap di permukaan atas daun, daun penumpu menyegitiga
dan persisten, warna hijau muda (Maharani et al. 2013).

Shorea platyclados

Shorea platyclados merupakan kelompok tanaman Dipterocarpaceae yang


masuk dalam Genus Shorea dan dapat hidup pada ketinggian 300‒1 200 m dpl, tetapi
mempunyai pertumbuhan yang optimum pada ketinggian 750‒1 000 m dpl. Jenis ini
banyak ditemukan di pegunungan Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaysia.S.
platyclados salah satu jenis unggulan dalam kelompok dipterocarps yang
direkomendasikan untuk kegiatan penanaman pengayaan (enrichment planting) dan
rehabilitasi Logged Over Area (LOA) hutan hujan tropika di Indonesia (Hardiwinoto et.
al. 2016).
Shorea platyclados v. Slooten ex Foxw (meranti batu) memiliki volume/ha yang
cukup tinggi yaitu sebesar 553 m3/ha pada umur 64.5 tahun. Riap rata-rata tahunan
(MAI) diameter pohon pada umur 50 tahun mencapai 1.06 cm/tahun dan MAI volume
12.65 m3/ha/tahun. Hasil kayu meranti batu dipergunakan untuk plywood, veneer, kayu
pertukangan, perabot rumah tangga, papan hias tembok, dan lain-lain. Sementara
getahnya dapat digunakan sebagai dasar bahan komponen elektronik, percetakan, dan
obat-obatan (Ali dan Edy 2007).
Jenis Dipterocarpaceae umumnya memiliki karakter pembungaan yang tidak
teratur dengan hanya berbuah empat tahun sekali bahkan ada yang berbuah 13 tahun
sekali. Benih Dipterocarpaceae memiliki karakter hanya dapat disimpan beberapa
minggu karena viabilitasnya cepat menurun (Ali dan Edy 2007). Shorea platyclados
memiliki frekuensi berbunga 3‒4 tahun sekali dengan masa berbunga selama 4 bulan
yang biasanya terjadi pada bulan April sampai Juli (Appanah dan Turnbull 1998).

Regenerasi Alami

Regenerasi alami merupakan salah satu faktor yang dapat merubah struktur
tegakan di hutan dari waktu ke waktu. Berdasarkan regenerasi alami tersebut jenis
pohon yang tumbuh, jumlah pohon, letak dan komposisi pohon yang terbentuk akan
berubah seiring berjalannya waktu sehingga perlu diketahui bentuk/pola dari sebaran
diameter dan tinggi sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan di
masa depan. Keberadaan anakan pohon memegang peranan penting dalam proses
regenerasi alami saat hilangnya pohon besar karena tumbang atau mati (Mirmanto
2014).
Regenerasi alami suatu tegakan pohon dapat dilihat dari kemampuan pohon
bereproduksi yang tercemin dari ketersediaan anakan pohon baik dalam tingkat semai
maupun tingkat pancang. Anakan pohon ini dimasa yang akan datang akan
menggantikan pohon tua, sehingga ekosistem hutan selalu stabil. Faktor yang
menghambat terjadinya regenerasi secara alami karena adanya berbagai tekanan yang
berasal dari kegiatan manusia seperti kebakaran, kehadiran invasi jenis yang dominan,
kehadiran dan ivasi jenis eksotik, kondisi iklim mikro yang tidak sesuai, tanah yang
tidak subur dan tidak adanya bank biji yang memadai (Parrotta et al. 1997).

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Februari 2018, di Hutan
Penelitian Gunung Dahu, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa peta sebaran jenis tanaman
Shorea sp., Global Position System (GPS), roll meter, pita ukur, phi band, haga
hypsometer, densiometer, lux meter, clinometer, kompas, thermometer, tally sheet,
patok, tali rafia, penggaris, kamera, alat tulis, dan laptop yang dilengkapi dengan
Microsoft Office 2010, Microsoft excel 2010, dan Software SAS 16. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa tegakan pohon dan semai jenis Shorea pinanga
dan Shorea macrophylla di Hutan Penelitian Gunung Dahu.
Prosedur Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan pada areal tegakan Shorea pinanga dan Shorea
platyclados. Data yang diambil di dalam petak pengamatan berupa tinggi dan diameter
pohon induk, tinggi anakan (semai dan pancang), jarak anakan (semai dan pancang) dari
pohon induk terdekat, kerapatan tajuk, intensitas cahaya, elevasi dan kelerengan. Data
pendukung yang dibutuhkan seperti jenis tanah, curah hujan dan periode reproduksi
(waktu berbuah dan berbunga), data-data tersebut menggunakan data sekunder dari
Puslitbanghut Bogor.

Penentuan Lokasi Pengamatan


Plot pengamatan jenis Shorea pinanga berada pada blok nomor 5 dan 24, dan
Shorea platyclados berada pada blok nomor 4, 15, 20, dan 21e. Plot tersebut ditentukan
berdasarkan keberadaan pohon induk yang sedang berbuah atau memiliki riwayat
berbuah. Data yang diambil dalam plot pengamatan pada tingkat pohon yaitu berupa
diameter batang dan tinggi, sedangkan pada tingkat pancang dan semai hanya tinggi.
Posisi pancang dan semai yang berada dalam blok tanam diukur jaraknya dari pohon
induk terdekat. Peta blok tanam di lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1
sebagai berikut.

Gambar 1 Layout plot pengambilan data

Keterangan:
: Blok tanam jenis Shorea pinanga

: Blok tanam jenis Shorea platyclados

Metode Pengumpulan Data

Data yang diambil di dalam plot pengamatan berupa jumlah pohon, tinggi semai,
jumlah semai, kerapatan tajuk, intensitas cahaya, dan kelerengan.
Tutupan kanopi diukur menggunakan alat densiometer. Pengukuran dilakukan
dengan cara meletakkan densiometer pada jarak 30-45 cm dari badan pengukur dan
dengan ketinggian sejajar lengan. Setiap titik pembacaan densiometer pada arah mata
angin yaitu utara, timur, selatan dan barat. Setiap masing-masing kotak dihitung
persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan,
terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%),
bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat) (Supriyanto dan Irawan 2001).
Intensitas cahaya matahari diukur dengan menggunakan alat lux meter. Lux meter
bekerja dengan sensor cahaya. Bagian lux meter yang peka terhadap cahaya diarahkan
pada pantulan datangnya cahaya, besarnya intensitas dapat dilihat pada skala. Lux meter
dipegang kurang lebih setinggi 75 cm di atas lantai hutan. Intensitas cahaya diukur
dalam tiga waktu (pagi, siang, dan sore) pada 4 titik dalam plot. Layar penunjuknya
akan menampilkan tingkat pencahayaan pada titik pengukuran (Wijayanto dan
Nurunnajah 2012). Kelerengan diukur menggunakan alat ukur clinometer. Clinometer
merupakan alat sederhana yang digunakan untuk mengukur sudut elevasi yang dibentuk
antara garis datar dengan sebuah garis yang menghubungkan sebuah titik pada garis
datar tersebut dengan titik ujung suatu objek (Abidin 2014). Elevasi diukur
menggunakan GPS.

Prosedur Analisis Data

Analisis dari data yang diperoleh menggunakan beberapa macam metode analisis.
Data hasil wawancara, yaitu berupa data : waktu berbuah Shorea pinanga dan Shorea
platyclados, waktu berbunga Shorea pinanga dan Shorea platyclados, perlakuan yang
dilakukan saat berbunga. Data-data tersebut dianalisis dengan cara pembuatan tabel
waktu berbunga dan berbuah.
Data hasil pengukuran di plot pengamatan, diolah dengan cara: 1) pengukuran
rata-rata tinggi dan diameter pohon dan tiang, 2) pengukuran rata-rata tinggi semai dan
pancang, 3) keterbukaan kanopi di plot pengamatan, 4) intensitas cahaya yang masuk,
5) kelerengan, dan 6) analisis regresi.

Keterbukaan Kanopi
Persentase penutupan kanopi di jalur tanam diukur untuk mengetahui jumlah
radiasi sinar matahari yang masuk ke dalam lantai hutan (Nurhajah 2014). Data hasil
pengukuran selanjutnya dijumlahkan dengan menggunakan rumus:

U +T + S+ B ẋ 1.04
Ti =
4
keterangan:
Ti : Keterbukaan kanopi
TI : Penutupan tajuk
U,T,S,B : Utara, Timur, Selatan, dan Barat
1,04 : Faktor koreksi
Persentase penutupan tajuk (TI) pada masing-masing lokasi dihitung dengan
rumus: TI = 100-Ti (Supriyanto dan Irawan 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Regenerasi Alami Anakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados

Tegakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados di Hutan Penelitian Gunung


Dahu merupakan bentuk tegakan seumur. Menurut Daniel et al. (1987), tegakan seumur
ditandai dengan tajuk yang seragam dan jumlah terbesar pohon pada kelas diameter
yang diwakili oleh rata-rata tegakan; pohon-pohon lebih sedikit pada kelas yang diatas
atau di bawah rata-rata tersebut. Regenerasi merupakan faktor yang mempengaruhi
struktur tegakan. Tegakan seumur memiliki potensi regenerasi yang tinggi, karena pada
tegakan seumur hampir setiap pohon dalam tegakan tersebut, akan berbunga dan
berbuah pada waktu yang sama. Sehingga, potensi dari buah menjadi anakan akan
melimpah apabila kondisi lingkungan mendukung.

Shorea pinanga
Hasil pengamatan terhadap anakan Shorea pinanga pada petak tanam 5 dan 24
menunjukkan bahwa potensi regenerasi alaminya sangat rendah. Jumlah anakan yang
terdapat pada petak 24 berjumlah 4 anakan, sedangkan pada petak 5 tidak terdapat
anakan. Pola penyebaran dari regenerasi alami tersebut yaitu pola penyebaran acak,
dimana anakan tumbuh mengikuti pohon induknya. Jarak terjauh anakan dari pohon
induk pada petak 24 sejauh 2.83 m, sedangkan jarak terdekatnya adalah 0.5 m. Tabel 1
menunjukkan frekuensi anakan yang berdasarkan tinggi.

Tabel 1 Jumlah anakan Shorea pinanga berdasarkan kelas tinggi


Selang Kelas Tinggi anakan (cm)
No
Tinggi (cm) Petak 5 Petak 24
1 99 – 294 - 3
2 294 – 488 - 0
3 488 – 683 - 1
Jumlah 0 4

Berdasarkan Tabel 1, terdapat tiga anakan Shorea pinanga berada pada petak 24
terdapat pada kelas tinggi 1 dengan selang tinggi 99 – 294 cm. Anakan tersebut diduga
merupakan anakan dari pohon induk nomor 41, 56, dan 63 karena anakan-anakan
tersebut tumbuh berada dibawah tajuk dari pohon-pohon tersebut. Satu anakan tertinggi
berada pada kelas tinggi 3 dengan selang kelas 488 – 683 cm, yaitu berada di bawah
tajuk pohon induk nomor 30.

Gambar anakan

Penanaman pada petak 24, dilakukan pada tahun 2000, dengan total luasan 10.3
ha. Terdapat 68 pohon yang terseleksi sebagai pohon induk karena pohon-pohon
tersebut sudah memiliki riwayat berbunga dan berbuah. Meskipun tegakan Shorea
pinanga ini merupakan hasil penanaman namun kondisinya saat ini sudah menyerupai
hutan alam. Terdapat banyak tumbuhan bawah yang tingginya sudah mencapai lebih
dari 1 meter, yang menutupi lantai hutan. Selain itu, serasah pada lantai hutan cukup
tebal, yaitu mencapai 7-11 cm. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap proses
regenerasi alaminya. Meskipun pohon-pohon induk rutin berbuah, namun dengan
kondisi lantai hutan tertutup dengan tumbuhan bawah dan serasah yang cukup tebal,
maka pada saat musim berbuah, buah yang jatuh ke lantai hutan tidak dapat mencapai
tanah, buah berada di atas serasah, sehingga buah akan membusuk sebelum
berkecambah karena kondisi yang lembab.

Gambar tumbuhan bawah, buah melimpah, buah busuk

Kondisi yang berbeda dijumpai pada petak tanam 5, dimana pada petak tanam
tersebut tidak ditemukan anakan. Petak 5 ditanam pada tahun 1998 dengan luasan 1.4 ha
dan terdapat 40 pohon induk yang rutin berbuah dan buahnya melimpah. Ketidakadaan
anakan pada petak 5, dikarenakan adanya fungsi pemanfaatan lain, yaitu hampir
setengah dari luasan petak 5 digunakan sebagai area wisata. Kondisi pada petak 5 sangat
terbuka sehingga intensitas cahaya tinggi. Sebagian lantai hutan ditambal dengan kerikil
dengan tujuan sebagai jalan di tempat wisata, terdapat pula pembangunan objek selfie
untuk wisatawan. Sehingga buah yang jatuh tidak dapat berkecambah karena buah yang
jatuh tidak dapat langsung mencapai tanah. Buah berada di atas kerikil sehingga dengan
intensitas cahaya yang penuh, buah akan kering dan viabilitasnya turun. Selain itu,
terdapat perawatan seperti pemotongan tumbuhan bawah dengan menggunakan alat
pemotong rumput yang apabila terdapat anakan bisa menyebabkan anakan tersebut ikut
terpotong.

Gambar gangguan

Shorea platyclados
Pengamatan regenerasi alami jenis Shorea platyclados, yaitu pada petak tanam 4,
15, 20, dan 21 e. Hasil pengamatan terhadap anakan Shorea platyclados menunjukkan
bahwa potensi regenerasi alaminya sangat tinggi. Terdapat anakan berupa semai dan
sebagian sudah mencapai tingkat pancang yang jumlahnya melimpah. Namun setiap
petak tanam memiliki potensi regenerasi yang berbeda-beda. Tidak semua petak tanam
memiliki jumlah anakan yang melimpah. Jumlah anakan pada masing-masing petak
dapat dilihat pada Tabel 2, yang dikelaskan berdasarkan tinggi.

Tabel 2 Jumlah anakan Shorea platyclados berdasarkan kelas tinggi


Selang Kelas Tinggi anakan (cm)
No
Tinggi (cm) Petak 4 Petak 15 Petak 20 Petak 21e
1 3 – 68 97 1 547 -
2 68 – 133 222 2 488 -
3 133 – 198 115 3 185 -
4 198 – 263 35 3 61 -
5 263 – 328 17 0 31 -
6 328 – 393 16 0 11 -
7 393 – 458 12 0 13 -
8 458 – 523 6 0 2 -
9 523 – 588 2 0 0 -
10 588 – 653 0 0 0 -
11 653 – 718 2 0 1 -
12 718 – 783 2 0 0 -
Jumlah 526 9 1339 0

Berdasarkan Tabel 2, jumlah anakan terbanyak berada pada petak tanam 20, yaitu
terdapat sebanyak 1339 anakan. Petak 20 ditanam pada tahun 1999 dengan luasan 2.4
ha dan terdapat 96 pohon induk yang rutin berbuah dan buahnya melimpah, sehingga
potensi regenerasi pada petak 20 sangat tinggi. Pola penyebaran pada petak ini adalah
pola menyebar acak. Anakan tumbuh di bawah tajuk pohon induk. Namun pohon induk
yang berada pada topografi yang miring, pada bagian lembah jumlah anakannya akan
lebih banyak. Hal tersebut dikarenakan, tajuk pohon Shorea platyclados akan mengikuti
kemiringan tempat tumbuhnya. Sehingga buah mengumpul pada sebagian sisi tajuk, dan
ketika sudah masak buah jatuh ke bawah dan mengumpul, sehingga ketika kondisi
lingkungan sesuai buah berubah menjadi semai yang sangat melimpah. Jumlah anakan
paling banyak yaitu berada disekitar pohon induk nomor 36 dan 76, dimana dari
masing-masing pohon induk ditemukan 120 anakan. Jarak terjauh anakan dari pohon
induk pada petak ini sejauh 15.10 m, sedangkan jarak terdekat dari pohon induk adalah
0.66 m.

Gambar anakan yg banyak, Gambar pemotongan rumpput

Petak 15 ditanam pada tahun 1999 dengan luas total 2.8 ha dan hanya terdapat 8
pohon induk. Kondisi pada petak ini sama dengan petak 24, dimana hutan yang awalnya
ditanam namun saat ini penampakannnya menyerupai hutan alam. Terdapat banyak
tumbuhan bawah yang tingginya sudah mencapai lebih dari 1 meter, yang menutupi
lantai hutan. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya persaingan dalam perebutan
ruang tumbuh dan penyerapan unsur hara antara anakan dan tumbuhan bawah. Selain
itu, terdapat tumbuhan merambat yang melilit anakan sehingga mengganggu
pertumbuhan dari anakan tersebut.
Berbeda dengan petak 15, tegakan Shorea platyclados pada petak tanam 4
memiliki anakan yang cukup banyak, yaitu 526 anakan. Luas petak 4 adalah 1.6 ha dan
terdapat 27 pohon induk yang rutin berbuah. Namun, pada petak ini terdapat fungsi
pemanfaatan lain, yaitu samadengan petak 5 yaitu sebagai area wisata. Kondisi tersebut
menyebabkan gangguan pada proses regenerasi alami, terutama anakan. Selama
pengamatan di lapang, ada aktivitas pembabatan tumbuhan bawah termasuk anakan
yang berada pada petak 4. Hal tersebut, merupakan salah satu faktor mpenyebab
menurunnya potensi regenerasi alami.
Petak 21e ditanam pada tahun 1999, dengan luas 0.6 dan hanya terdapat 13 pohon
induk pada petak 21e. Riwayat berbuah pada petak ini baru 1 kali sampai saat ini,
sehingga belum terdapat anakan. Kondisi pada petak ini juga menyerupai ,tumbuhan
bawah yang tumbuh rapat di bawah pohon.

Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Regenerasi Alami Jenis Shorea pinanga


dan Shorea platyclados

Faktor lingkungan berpengaruh terhadap kondisi suatu tegakan. Proses regenerasi


alami, khususnya keberadaan semai, pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti intensitas cahaya matahari, suhu, dan kelembaban (Atmoko 2011).
Selain itu topografi/kelerengan dan ketinggian tempat juga mempengaruhi pertumbuhan
dari anakan pohon. Data lapang kondisi faktor lingkungan pada tegakan Shorea
pinanga dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Faktor lingkungan pada masing-masing petak tanam Shorea pinanga


Rata-rata Persentase
TI Intensita IC masuk Kelerengan Elevasi
Petak Struktur Tanah
(%) s Cahaya (%) (%) (m dpl)
(lux)
5 62,82 1710 58,86 50 803 Sandy Clay Loam
24 68,28 392,5 13,51 35 873 Sandy Clay Loam
Keterangan : Rata-rata intensitas cahaya di tempat terbuka = 2905 lux

Hasil pengamtan di lapang, ketinggian petak tanam Shorea pinanga pada petak
tanam 5 adalah 803 m dpl, sedangkan pada petak 24 berada pada ketinggian 873 m dpl.
Kelerengan yang ada pada petak 4 dominan 50% dan pada petak 24 dominan 35%.
Struktur tanah berupa sandy clay loam dan jenis tanahnya latosol coklat kemerahan
(KLHK 2013). Shorea pinanga disebut juga tengkawang yang sebaran alaminya banyak
ditemukan di daerah Kalimantan Timur. Menurut Istomo dan Hidayati (2010), jenis ini
biasanya tumbuh pada tanah latosol pada ketinggian sampai 500 m dpl, pH asam (4.6 –
4.9), dan KTK cukup baik (16.25 – 19.40). Kondisi aktual di lapang dengan habitat
aslinya berbeda, hal ini menyebabkan pertumbuhan dari tegakannya kurang maksimal
dan proses regenerasi alami dari anakannya sangat rendah. Selain itu, tumbuhan bawah
yang tumbuh rapat di bawah tegakan merupakan salah satu faktor penghambat proses
regenerasi anakan. Adanya pemanfaatan hutan sebagai area wisata juga merupakan
faktor penyebab terganggunya proses regenerasi alami. Hal tersebut dapat
mempengaruhi kondisi tanah pada petak 5, dengan jenis tanah sandy clay loam, apabila
sering dilewati menyebabkan kepadatan tanah meningkat. Kondisi tanah yang tidak
subur menyebabkan buah tidak dapat berkecambah, sehingga proses regenerasi
terhambat.
Beberapa Dipterocarpaceae seperti Parashorea dan Shorea (khususnya meranti
merah) tergolong dalam light timber hardwoods yaitu cepat merespon keberadaan
cahaya yang masuk. Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa toleransi
kebutuhan cahaya beberapa meranti merah cukup beragam. Effendi (1987) menyatakan
bahwa jenis Shorea leprosula dan Shorea acuminatissima di hutan tropis Kalimantan
Selatan pertumbuhan tinggi maksimum dicapai pada intensitas cahaya samadengan
50%, sedangkan pertumbuhan diameter maksimum dicapai pada intensitas cahaya
samadengan 75%. Shorea pinanga termasuk dalam golongan meranti merah dan
mempunyai karakter light demanding. Apabila kondisi lingkungan yang tertutup seperti
di petak 24, dengan persentase intensitas cahaya yang masuk sebesar 13,51%, maka
pembukaan tajuk sangat diperlukan untuk menstimulir pertumbuhan anakan Shorea
pinanga.

Tabel 4 Faktor lingkungan pada masing-masing petak tanam Shorea platyclados


Rata-rata Persentase
TI Intensitas IC masuk Kelerengan Elevasi
Petak Struktur Tanah
(%) Cahaya (%) (%) (%)
(lux)
4 62,82 1710 58,86 50 803 Sandy Clay Loam
15 80,5 1135 39,07 40 860 Sandy Clay Loam
20 84,92 507,5 17,46 40 728 Sandy Loam
21e 84,66 560 19,27 70 730 Sandy Loam
Keterangan : Rata-rata intensitas cahaya di tempat terbuka = 2905 lux

Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa habitat anakan Shorea platyclados


Slooten ex. Endert (meranti bukit, meranti gunung, meranti tenam) dalam kawasan HP
Gunung Dahu adalah tumbuh mengelompok pada tempat curam atau tebing bukit.
Kondisi kelerengan dan ketinggiannya berbeda-beda pada setiap petak tanam.
Kelerengan berkisar antara 40 – 70%, ketinggian dari 728 hingga 860 m dpl. Struktur
tanah berupa sandy clay loam dan sandy loam, serta jenis tanahnya latosol coklat
kemerahan (KLHK 2013). Shorea platyclados di Sumatera dan semenanjung Malaya
pada umumnya tumbuh alami pada ketinggian 700 – 1.300 m dpl dan kadang-kadang
tumbuh di dasar lembah pegunungan pada ketinggian mulai dari 200 m dpl (Cao et al.
2009). Sementara itu Ng et al. (2013) menyatakan bahwa di semenanjung Malaysia S.
platycados dapat ditemukan pada ketinggian tempat antara 300–1.200 m dpl.
Keberadaan anakan Shorea platyclados sangat melimpah di HP Gunung Dahu,
terutama pada petak 20 dan petak 4. Hal tersebut karena jenis ini berada pada habitat
yang sesuai, sehingga pertumbuhan tegakkannya sangat bagus. Berdasarkan Tabel 4,
petak 20 memiliki persen penutupan tajuk tertinggi (TI) yaitu 84,92% dan persen
intensitas cahaya masuk paling rendah yaitu 17,46%. Terdapat 96 pohon induk pada
petak 20 yang produktivitasnya tinggi, sehingga bunga dan buahnya pun melimpah.
Karena berada pada habitat yang sesuai, buah yang sudah masak jatuh ke lantai hutan
dan berkecambah menjadi anakan, sehingga jumlah anakan pada petak ini sangat
melimpah yaitu sebanyak 1339 anakan yang tercatat.
Kondisi petak 21e tidak jauh berbeda dengan petak 20. Persen penutupan tajuk
sebesar 84,66% dan persen intensitas cahaya masuk sebesar 19,27%. Namun, pada
petak ini tidak ditemukan adanya anakan, hal ini dikarenakan pada petak 21e pohon
induk baru satu kali berbuah sampai saat ini. Kelerengan pada petak ini sangat curam
yaitu mencapai 70%, sehingga masih banyak ditanami bambu oleh masyarakat. Adanya
tanaman bambu menyebabkan penumpukan serasah yang cukup tebal yaitu 8-12 cm.
Selain itu, tumbuhan bawah berupa paku-pakuan sangat rimbun. Hal tersebut dapat
menghambat proses perkecambahan dari biji Shorea platyclados, karena apabila buah
jatuh pada lantai hutan yang serasahnya tebal, maka buah akan busuk karena kondisi
yang lembab sebelum dapat berkecambah.
Petak 4 memiliki jumlah anakan sebanyak 526 anakan dari total 27 pohon induk.
Berdasarkan tabel 4, pada petak ini memiliki persen penutupan tajuk sebesar 62,82%
dan persen intensitas cahaya masuk sebesar 58,86%. Meskipun intensitas cahaya masuk
lebih dari 50%, namun jumlah anakan yang ditemukan dibawah pohon induk cukup
melimpah. Hal tersebut menandakan bahwa anakan dari jenis Shorea platyclados dapat
tumbuh dengan baik pada tegakan dengan intensitas cahaya rendah hingga sedang.
Namun, pada petak ini terdapat fungsi pemanfaatan lain yaitu sebagai area wisata.
Pohon induk nomor 8 hingga 27 berada pada kawasan wisata, terdapat jalan buatan
diantara pohon-pohon induk tersebut.
Petak 15 berbeda dengan petak 20 dan 4, petak ini berada 860 m dpl, dengan
persen penutupan tajuk sebesar 80,5% dan persen intensitas cahaya masuk sebesar
39,07%. Jumlah anakan yang ditemukan hanya 9 anakan dari total 8 pohon induk.
Menurut Abdurachman dan Suyana (2010), banyaknya jumlah semai tidak dipengaruhi
oleh jumlah pohon, tetapi dipengaruhi oleh musim buah dan kemampuan biji untuk
berkecambah. Berdasarkan informasi dari pendamping lapang, petak 15 memiliki
riwayat berbuah baru satu kali sampai saat ini, sedangkan pada petak 20 dan 4 riwayat
berbuah pohon induknya adalah rutin. Sehingga pada petak 20 dan 4 jumlah anakannya
melimpah, berbeda jauh dengan jumlah anakan pada petak 15. Namun, berdasarkan data
hasil pengamatan di lapang, terdapat korelasi antara jumlah pohon induk dengan jumlah
anakan, yaitu semain banyak pohon induk makan semakin banyak pula jumlah anakan
yang ditemukan. Karena, semakin banyak pohon induk semakin banyak pula buah yang
diproduksi, sehingga potensi regenerasi alami anakannya pun tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Adurachman, Suyana A. 2010. Potensi dan sebaran semai pada areal bekas tebangan di
PT. Barito Nusantara Indah, Kalimantan Timur. Info Teknis Dipterokarpa 4(1):
1-8.
Ali C, Edy D. 2007. Pengaruh pupuk daun terhadap pertumbuhan tunas juvenile
Shorea platyclados v. Slooten ex Foxw. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 1(1):65‒
71.
Appanah S, Turnbull JM. 1998. A Review of Dipterocarps Taxonom Ecology and
Silviculture. Bogor (ID): CIFOR.
Atmoko T. 2011. Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (Korth.) Burck
di Sumber Benih Saka Kajang, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian
Dipterokarpa. 5(2): 21–36.
Cao, C, O Gailingt, IZ Siregar, UJ Siregar, and R Finkeldey. 2009. “Genetic Variation
in Nine Shorea Species (Dipeterocarpaceae) in Indonesia Revealed by AFLPs.”
Tree Genetics and Genomes 5: 407–20.
Daniel TJ, Helms JA, Baker FS. 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur. Marsono D,
penerjemah; Soeseno OH, editor. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press.
Terjemahan dari: Principles of Silviculture.
Effendy, M.M. 1987. Respon Pertumbuhan Shorea acuminatissima dan S. leprosula
terhadap Cahaya di Hutan Tropika Humida Kalimantan Selatan. Tesis Program
Pasca sarjana UGM. Yogyakarta (unpublished).
Hardiwinoto S, Riyanti R, Widiyatno, Andriana, Winarni WW, Nurjanto HH, Priyo E.
2016. Percepatan kemampuan berakar dan perkembangan akar stek pucuk Shorea
platyclados melalui aplikasi zat pengatur tumbuh IBA.Jurnal Pemuliaan
Tanaman Hutan 10(2):63‒70. doi: 10.20886/jpth.2016.10.2.63-70.
Istomo, Hidayati T. 2010. Studi potensi dan penyebaran tengkawang (Shorea spp.) di
Areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur.
Jurnal Silvikultur Tropika 1(1): 11-17.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 2013. Berita KLHK: Hutan
Penelitian Gunung Dahu [Internet]. [diunduh 2019 Jan 10]. Tersedia pada:
http://puslitbanghut.or.id/index.php/page/hutan-penelitian-gunung-dahu.
Kusmana C, Susanti S. (2015). Komposisi dan Struktur tegakan hutan alam di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Jurnal Silvikultur Tropika 5(3): 210–217.
Maharani R, Handayani P, Hardjana AK. 2013. Panduan Identifikasi Jenis
Tengkawang. Samarinda (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Departemen Kehutanan.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Bogor (ID): IPB Press.
Ministry of Sustainable Resource Management [MSRM]. 2005. Change Monitoring
Procedures for Provincial and National Reporting. British Columbia (CA):
Resources Inventory Committee.
Mirmanto E. 2014. Permudaan alami kawasan hutan resort Cidahu, Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Buletin Kebun Raya 17(2): 91-100.
Ng, Chin Hong, Chai Ting Lee, Soon Leong Lee, Lee Hong Tnah, and Kevin Kit Siong
Ng. 2013.“Isolation and Characterization of Microsatellite Markers for Shorea
Platyclados (Dipterocarpaceae).”Applications in Plant Sciences 1 (7).doi:10.3732/
apps.1200538.
Nurhajah I. 2014. Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula miq.) Pada Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHKA-HA PT Sarmiento
Parakantja Timber Kalimantan Tengah. Skripsi. Bogor (ID). Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Parrotta JA, Knowles OH, Wunderly JM. 1997. Development of floristic diversity in
10-years old restoration forest on bouxitte mined site in Amazone. Forest Ecol
Manag 99: 21-42.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indobesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan IPB.
Suhardi. 1995. Effect Of Shading, Mycorrhiza Inoculated And Organic Matter On The
Growth Of Hopea Gregaria Seedling Buletin Penelitian Nomor 28. Yogyakarta
(ID): Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Supriyanto, Irawan US. 2001. Teknik Pengukuran Penutupan Tajuk dan Pembukaan
Tajuk Tegakan dengan Menggunakan Spherical Densiometer. Bogor (ID):
Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP.

Anda mungkin juga menyukai