ISNA MAULIDAH
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
POTENSI REGENERASI ALAMI DI HUTAN PENELITIAN
GUNUNG DAHU, LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR
JENIS Shorea pinanga dan Shorea platyclados
ISNA MAULIDAH
Proposal
sebagai salah satu syarat untuk melakukan
penelitian tugas akhir skripsi
pada mayor Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Judul Usulan : Potensi Regenerasi Alami Di Hutan Penelitian Gunung Dahu,
Leuwiliang, Kabupaten Bogor Jenis Shorea pinanga dan Shorea
platyclados
Nam : Isna Maulidah
NIM : E44150025
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Disetujui :
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil ‘alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah
memeberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
usulan penelitian ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun manusia menuju zaman yang lebih baik seperti
saat ini.
Proposal usulan penelitian ini berjudul Potensi Regenerasi Alami Di Hutan
Penelitian Gunung Dahu, Leuwiliang, Kabupaten Bogor Jenis Shorea pinanga dan
Shorea platyclados. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari 2018. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MSc FTrop dan
Ibu Henti Hendalastuti Rachmat, SHut, MSi, PhD yang telah bersedia menjadi
pembimbing dan telah memberi masukan serta saran selama penulisan usulan penelitian
ini. Usulan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis
mengharapkan masukan dan saran agar penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan
memperoleh hasil yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pihak yang
membutuhkan.
Isna Maulidah
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kondisi Umum Hutan Penelitian Gunung Dahu 2
Shorea pinanga 3
Shorea macrophylla 4
METODE 4
Alat dan Bahan 4
Prosedur Pengambilan Data 5
Metode Pengumpulan Data 5
Prosedur Analisis Data 7
DAFTAR PUSTAKA 9
LAMPIRAN 10
DAFTAR GAMBAR
Y
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan tropika dikenal dengan keanekaragaman jenis yang tinggi dan proses
ekologi berjalan dengan seimbang dan dinamis. Terbentuknya pola keanekaragaman
dan struktur tegakan hutan, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik biotik
maupun abiotik. Dipterocarpaceae, merupakan famili dari spesies pohon dominan di
hutan tropika Malaysia dan Indonesia, secara ekologis dominan dan kayunya signifikan
secara ekonomi. Konservasi sumber daya hutan alam saat ini sangat dibutuhkan, karena
sumber daya hutan alam yang semakin menurun, khususnya famili Dipterocarpaceae.
Konservasi sumber daya hutan alam dapat dilakukan dengan cara pembangunan hutan
buatan. Hutan buatan (man made forest) merupakan sebuah hutan yang mana
keberadaannya bukan disebabkan karena proses alam, namun karena sengaja dibuat dan
dibudidayakan oleh manusia.
Hutan Penelitian Gunung Dahu merupakan hutan buatan untuk menguji
kemampuan beradaptasi berbagai spesies dari famili Dipterocarpaceae yang ditanam di
luar habitat aslinya untuk menentukan kenaikan tingkat pertumbuhan, mengungkapkan
teknik silvikulturnya baik di pembibitan maupun di lapangan, dan untuk melakukan
strategi konservasi ex-situ spesies di lokasi yang dapat diandalkan dan aman (Subiakto
et al. 2016). Kondisi suatu tegakan hutan selalu dipengaruhi oleh keadaan tempat
tumbuhnya, perlakuan silvikultur, umur dan sifat genetik pohon, interaksi antara setiap
individu pohon terhadap keadaan tempat tumbuhnya, serta interaksi yang terjadi antar
individu pohon. Adanya suksesi/regenerasi alami turut berperan dalam pembentukan
struktur tegakan di suatu hutan (Kusmana dan Susanti 2015).
Shorea pinanga dan Shorea platyclados merupakan salah satu spesies yang
ditanam pada plot uji penanaman di Hutan Penelitian Gunung Dahu. Shorea pinanga
dan Shorea platyclados merupakan spesies yang memerlukan naungan pada awal
pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara
bertahap. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai yang
berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi (Suhardi et al.
1995). Semai Shorea pinanga dan Shorea platyclados termasuk jenis rumpang atau gap
appertunist, yaitu semai tidak dapat berkembang apabila kanopi hutan di atasnya
terbuka dan terbentuk rumpang. Kemampuan hidup semai yang tinggi didukung oleh
faktor lingkungan seperti intensitas cahaya matahari, suhu, dan kelembaban (Atmoko
2011).
Perumusan Masalah
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi
mengenai regenerasi alami Shorea pinanga dan Shorea platyclados sehingga dapat
menjadi dasar untuk pengelolaan tegakan Shorea pinanga dan Shorea platyclados
kedepannya, di Hutan Penelitian Gunung Dahu. Khususnya dalam budidaya hutan jenis
Shorea pinanga dan Shorea platyclados.
TINJAUAN PUSTAKA
Shorea Pinanga adalah famili Dipterocarpaceae, sub klas Dikotiledon dan kelas
Angiospermae. Shorea Pinanga memiliki nama daerah seperti, langgai (Iban), awang
lanying (Kalimantan bagian timur dan selatan), engkabang bukit, tengkawang telur,
tengkawang telaga, tengkawang minggi (Kalimantan Barat). Shorea Pinanga ini
tumbuh alami di Kalimantan, biasanya pada punggung bukit di bawah 700 m dpl. Pohon
Shorea Pinanga umumnya berukuran sedang hingga besar, batang lurus silindris
mencapai tinggi 60 m, diameter mencapai 130 cm. Tajuk terbuka, percabangan
menyebar, menaik di pangkalnya dan menjuntai di ujungnya dimana jelas terlihat gugus
daun, daun muda dan daun penumpu warna magenta yang berselang-seling horisontal.
Ranting Shorea pinanga umumnya menjumbai dan ranting mati memipih. Banir
tebal dan tingginya hingga 1,5 m, menyebar, cekung membulat. Kulit batang licin dan
mengelupas besar-besar, warna coklat merah muda pucat, bergelang, berlentisel kecil
warna oranye. Kulit luar tipis, kulit dalam sampai 1 cm, warna coklat merah muda atau
kuning pucat kecoklatan pada kambium. Tangkai daun 1,1-2,2 cm, gundul atau ada
indumentum rapat warna coklat kelabu. Daun 11,5-21 x 4,9-9 cm, kaku seperti kulit,
lonjong atau bundar telur menyempit, ujung melancip panjang atau pendek melebar,
pangkal membaji, membulat atau sedikit menjantung. Sisi atas daun kering coklat
kemerahan, gundul atau ada indumentum kuning coklat/coklat keemasan pada midrib.
Sisi bawah daun kering coklat kemerahan, kusam atau mengkilap, gundul atau ada
indumentum lebat/jarang warna coklat, kuning coklat/coklat keemasan di helai daun dan
pertulangannya. Tulang daun sekunder 10-16 pasang, melengkung, saat kering jelas
lebih pucat daripada atau sama dengan daunnya, tulang tengah kadang muncul, tulang
tersier jelas dan tegak lurus, tidak ada domatia. Daun penumpu 36-60 x 12-17 mm,
menyegitiga, lancip, merah atau magenta ketika muda, lambat laun menjadi hijau,
persisten. Bekas daun penumpu jelas terlihat, berbentuk bulan sabit.
Bunga merah muda gelap. Benang sari 15. Sayap buah 3 panjang ukuran 22-28 x
2,5-3,5 cm, 2 pendek ukuran 8-17 x 0,8-1,4 cm. Biji bundar telur, 34-53 x 25-28 mm,
umumnya panjang lebar kurang lebih sama yaitu sekitar 2,3 cm. Kayu gubal krem, kayu
teras merah muda dan berserat halus. Daun seperti kulit, umumnya lebih besar daripada
daun pohon dewasa, mengkilap di permukaan atas daun, daun penumpu menyegitiga
dan persisten, warna hijau muda (Maharani et al. 2013).
Shorea platyclados
Regenerasi Alami
Regenerasi alami merupakan salah satu faktor yang dapat merubah struktur
tegakan di hutan dari waktu ke waktu. Berdasarkan regenerasi alami tersebut jenis
pohon yang tumbuh, jumlah pohon, letak dan komposisi pohon yang terbentuk akan
berubah seiring berjalannya waktu sehingga perlu diketahui bentuk/pola dari sebaran
diameter dan tinggi sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan di
masa depan. Keberadaan anakan pohon memegang peranan penting dalam proses
regenerasi alami saat hilangnya pohon besar karena tumbang atau mati (Mirmanto
2014).
Regenerasi alami suatu tegakan pohon dapat dilihat dari kemampuan pohon
bereproduksi yang tercemin dari ketersediaan anakan pohon baik dalam tingkat semai
maupun tingkat pancang. Anakan pohon ini dimasa yang akan datang akan
menggantikan pohon tua, sehingga ekosistem hutan selalu stabil. Faktor yang
menghambat terjadinya regenerasi secara alami karena adanya berbagai tekanan yang
berasal dari kegiatan manusia seperti kebakaran, kehadiran invasi jenis yang dominan,
kehadiran dan ivasi jenis eksotik, kondisi iklim mikro yang tidak sesuai, tanah yang
tidak subur dan tidak adanya bank biji yang memadai (Parrotta et al. 1997).
METODE
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Februari 2018, di Hutan
Penelitian Gunung Dahu, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa peta sebaran jenis tanaman
Shorea sp., Global Position System (GPS), roll meter, pita ukur, phi band, haga
hypsometer, densiometer, lux meter, clinometer, kompas, thermometer, tally sheet,
patok, tali rafia, penggaris, kamera, alat tulis, dan laptop yang dilengkapi dengan
Microsoft Office 2010, Microsoft excel 2010, dan Software SAS 16. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa tegakan pohon dan semai jenis Shorea pinanga
dan Shorea macrophylla di Hutan Penelitian Gunung Dahu.
Prosedur Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pada areal tegakan Shorea pinanga dan Shorea
platyclados. Data yang diambil di dalam petak pengamatan berupa tinggi dan diameter
pohon induk, tinggi anakan (semai dan pancang), jarak anakan (semai dan pancang) dari
pohon induk terdekat, kerapatan tajuk, intensitas cahaya, elevasi dan kelerengan. Data
pendukung yang dibutuhkan seperti jenis tanah, curah hujan dan periode reproduksi
(waktu berbuah dan berbunga), data-data tersebut menggunakan data sekunder dari
Puslitbanghut Bogor.
Keterangan:
: Blok tanam jenis Shorea pinanga
Data yang diambil di dalam plot pengamatan berupa jumlah pohon, tinggi semai,
jumlah semai, kerapatan tajuk, intensitas cahaya, dan kelerengan.
Tutupan kanopi diukur menggunakan alat densiometer. Pengukuran dilakukan
dengan cara meletakkan densiometer pada jarak 30-45 cm dari badan pengukur dan
dengan ketinggian sejajar lengan. Setiap titik pembacaan densiometer pada arah mata
angin yaitu utara, timur, selatan dan barat. Setiap masing-masing kotak dihitung
persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan,
terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%),
bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat) (Supriyanto dan Irawan 2001).
Intensitas cahaya matahari diukur dengan menggunakan alat lux meter. Lux meter
bekerja dengan sensor cahaya. Bagian lux meter yang peka terhadap cahaya diarahkan
pada pantulan datangnya cahaya, besarnya intensitas dapat dilihat pada skala. Lux meter
dipegang kurang lebih setinggi 75 cm di atas lantai hutan. Intensitas cahaya diukur
dalam tiga waktu (pagi, siang, dan sore) pada 4 titik dalam plot. Layar penunjuknya
akan menampilkan tingkat pencahayaan pada titik pengukuran (Wijayanto dan
Nurunnajah 2012). Kelerengan diukur menggunakan alat ukur clinometer. Clinometer
merupakan alat sederhana yang digunakan untuk mengukur sudut elevasi yang dibentuk
antara garis datar dengan sebuah garis yang menghubungkan sebuah titik pada garis
datar tersebut dengan titik ujung suatu objek (Abidin 2014). Elevasi diukur
menggunakan GPS.
Analisis dari data yang diperoleh menggunakan beberapa macam metode analisis.
Data hasil wawancara, yaitu berupa data : waktu berbuah Shorea pinanga dan Shorea
platyclados, waktu berbunga Shorea pinanga dan Shorea platyclados, perlakuan yang
dilakukan saat berbunga. Data-data tersebut dianalisis dengan cara pembuatan tabel
waktu berbunga dan berbuah.
Data hasil pengukuran di plot pengamatan, diolah dengan cara: 1) pengukuran
rata-rata tinggi dan diameter pohon dan tiang, 2) pengukuran rata-rata tinggi semai dan
pancang, 3) keterbukaan kanopi di plot pengamatan, 4) intensitas cahaya yang masuk,
5) kelerengan, dan 6) analisis regresi.
Keterbukaan Kanopi
Persentase penutupan kanopi di jalur tanam diukur untuk mengetahui jumlah
radiasi sinar matahari yang masuk ke dalam lantai hutan (Nurhajah 2014). Data hasil
pengukuran selanjutnya dijumlahkan dengan menggunakan rumus:
U +T + S+ B ẋ 1.04
Ti =
4
keterangan:
Ti : Keterbukaan kanopi
TI : Penutupan tajuk
U,T,S,B : Utara, Timur, Selatan, dan Barat
1,04 : Faktor koreksi
Persentase penutupan tajuk (TI) pada masing-masing lokasi dihitung dengan
rumus: TI = 100-Ti (Supriyanto dan Irawan 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Shorea pinanga
Hasil pengamatan terhadap anakan Shorea pinanga pada petak tanam 5 dan 24
menunjukkan bahwa potensi regenerasi alaminya sangat rendah. Jumlah anakan yang
terdapat pada petak 24 berjumlah 4 anakan, sedangkan pada petak 5 tidak terdapat
anakan. Pola penyebaran dari regenerasi alami tersebut yaitu pola penyebaran acak,
dimana anakan tumbuh mengikuti pohon induknya. Jarak terjauh anakan dari pohon
induk pada petak 24 sejauh 2.83 m, sedangkan jarak terdekatnya adalah 0.5 m. Tabel 1
menunjukkan frekuensi anakan yang berdasarkan tinggi.
Berdasarkan Tabel 1, terdapat tiga anakan Shorea pinanga berada pada petak 24
terdapat pada kelas tinggi 1 dengan selang tinggi 99 – 294 cm. Anakan tersebut diduga
merupakan anakan dari pohon induk nomor 41, 56, dan 63 karena anakan-anakan
tersebut tumbuh berada dibawah tajuk dari pohon-pohon tersebut. Satu anakan tertinggi
berada pada kelas tinggi 3 dengan selang kelas 488 – 683 cm, yaitu berada di bawah
tajuk pohon induk nomor 30.
Gambar anakan
Penanaman pada petak 24, dilakukan pada tahun 2000, dengan total luasan 10.3
ha. Terdapat 68 pohon yang terseleksi sebagai pohon induk karena pohon-pohon
tersebut sudah memiliki riwayat berbunga dan berbuah. Meskipun tegakan Shorea
pinanga ini merupakan hasil penanaman namun kondisinya saat ini sudah menyerupai
hutan alam. Terdapat banyak tumbuhan bawah yang tingginya sudah mencapai lebih
dari 1 meter, yang menutupi lantai hutan. Selain itu, serasah pada lantai hutan cukup
tebal, yaitu mencapai 7-11 cm. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap proses
regenerasi alaminya. Meskipun pohon-pohon induk rutin berbuah, namun dengan
kondisi lantai hutan tertutup dengan tumbuhan bawah dan serasah yang cukup tebal,
maka pada saat musim berbuah, buah yang jatuh ke lantai hutan tidak dapat mencapai
tanah, buah berada di atas serasah, sehingga buah akan membusuk sebelum
berkecambah karena kondisi yang lembab.
Kondisi yang berbeda dijumpai pada petak tanam 5, dimana pada petak tanam
tersebut tidak ditemukan anakan. Petak 5 ditanam pada tahun 1998 dengan luasan 1.4 ha
dan terdapat 40 pohon induk yang rutin berbuah dan buahnya melimpah. Ketidakadaan
anakan pada petak 5, dikarenakan adanya fungsi pemanfaatan lain, yaitu hampir
setengah dari luasan petak 5 digunakan sebagai area wisata. Kondisi pada petak 5 sangat
terbuka sehingga intensitas cahaya tinggi. Sebagian lantai hutan ditambal dengan kerikil
dengan tujuan sebagai jalan di tempat wisata, terdapat pula pembangunan objek selfie
untuk wisatawan. Sehingga buah yang jatuh tidak dapat berkecambah karena buah yang
jatuh tidak dapat langsung mencapai tanah. Buah berada di atas kerikil sehingga dengan
intensitas cahaya yang penuh, buah akan kering dan viabilitasnya turun. Selain itu,
terdapat perawatan seperti pemotongan tumbuhan bawah dengan menggunakan alat
pemotong rumput yang apabila terdapat anakan bisa menyebabkan anakan tersebut ikut
terpotong.
Gambar gangguan
Shorea platyclados
Pengamatan regenerasi alami jenis Shorea platyclados, yaitu pada petak tanam 4,
15, 20, dan 21 e. Hasil pengamatan terhadap anakan Shorea platyclados menunjukkan
bahwa potensi regenerasi alaminya sangat tinggi. Terdapat anakan berupa semai dan
sebagian sudah mencapai tingkat pancang yang jumlahnya melimpah. Namun setiap
petak tanam memiliki potensi regenerasi yang berbeda-beda. Tidak semua petak tanam
memiliki jumlah anakan yang melimpah. Jumlah anakan pada masing-masing petak
dapat dilihat pada Tabel 2, yang dikelaskan berdasarkan tinggi.
Berdasarkan Tabel 2, jumlah anakan terbanyak berada pada petak tanam 20, yaitu
terdapat sebanyak 1339 anakan. Petak 20 ditanam pada tahun 1999 dengan luasan 2.4
ha dan terdapat 96 pohon induk yang rutin berbuah dan buahnya melimpah, sehingga
potensi regenerasi pada petak 20 sangat tinggi. Pola penyebaran pada petak ini adalah
pola menyebar acak. Anakan tumbuh di bawah tajuk pohon induk. Namun pohon induk
yang berada pada topografi yang miring, pada bagian lembah jumlah anakannya akan
lebih banyak. Hal tersebut dikarenakan, tajuk pohon Shorea platyclados akan mengikuti
kemiringan tempat tumbuhnya. Sehingga buah mengumpul pada sebagian sisi tajuk, dan
ketika sudah masak buah jatuh ke bawah dan mengumpul, sehingga ketika kondisi
lingkungan sesuai buah berubah menjadi semai yang sangat melimpah. Jumlah anakan
paling banyak yaitu berada disekitar pohon induk nomor 36 dan 76, dimana dari
masing-masing pohon induk ditemukan 120 anakan. Jarak terjauh anakan dari pohon
induk pada petak ini sejauh 15.10 m, sedangkan jarak terdekat dari pohon induk adalah
0.66 m.
Petak 15 ditanam pada tahun 1999 dengan luas total 2.8 ha dan hanya terdapat 8
pohon induk. Kondisi pada petak ini sama dengan petak 24, dimana hutan yang awalnya
ditanam namun saat ini penampakannnya menyerupai hutan alam. Terdapat banyak
tumbuhan bawah yang tingginya sudah mencapai lebih dari 1 meter, yang menutupi
lantai hutan. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya persaingan dalam perebutan
ruang tumbuh dan penyerapan unsur hara antara anakan dan tumbuhan bawah. Selain
itu, terdapat tumbuhan merambat yang melilit anakan sehingga mengganggu
pertumbuhan dari anakan tersebut.
Berbeda dengan petak 15, tegakan Shorea platyclados pada petak tanam 4
memiliki anakan yang cukup banyak, yaitu 526 anakan. Luas petak 4 adalah 1.6 ha dan
terdapat 27 pohon induk yang rutin berbuah. Namun, pada petak ini terdapat fungsi
pemanfaatan lain, yaitu samadengan petak 5 yaitu sebagai area wisata. Kondisi tersebut
menyebabkan gangguan pada proses regenerasi alami, terutama anakan. Selama
pengamatan di lapang, ada aktivitas pembabatan tumbuhan bawah termasuk anakan
yang berada pada petak 4. Hal tersebut, merupakan salah satu faktor mpenyebab
menurunnya potensi regenerasi alami.
Petak 21e ditanam pada tahun 1999, dengan luas 0.6 dan hanya terdapat 13 pohon
induk pada petak 21e. Riwayat berbuah pada petak ini baru 1 kali sampai saat ini,
sehingga belum terdapat anakan. Kondisi pada petak ini juga menyerupai ,tumbuhan
bawah yang tumbuh rapat di bawah pohon.
Hasil pengamtan di lapang, ketinggian petak tanam Shorea pinanga pada petak
tanam 5 adalah 803 m dpl, sedangkan pada petak 24 berada pada ketinggian 873 m dpl.
Kelerengan yang ada pada petak 4 dominan 50% dan pada petak 24 dominan 35%.
Struktur tanah berupa sandy clay loam dan jenis tanahnya latosol coklat kemerahan
(KLHK 2013). Shorea pinanga disebut juga tengkawang yang sebaran alaminya banyak
ditemukan di daerah Kalimantan Timur. Menurut Istomo dan Hidayati (2010), jenis ini
biasanya tumbuh pada tanah latosol pada ketinggian sampai 500 m dpl, pH asam (4.6 –
4.9), dan KTK cukup baik (16.25 – 19.40). Kondisi aktual di lapang dengan habitat
aslinya berbeda, hal ini menyebabkan pertumbuhan dari tegakannya kurang maksimal
dan proses regenerasi alami dari anakannya sangat rendah. Selain itu, tumbuhan bawah
yang tumbuh rapat di bawah tegakan merupakan salah satu faktor penghambat proses
regenerasi anakan. Adanya pemanfaatan hutan sebagai area wisata juga merupakan
faktor penyebab terganggunya proses regenerasi alami. Hal tersebut dapat
mempengaruhi kondisi tanah pada petak 5, dengan jenis tanah sandy clay loam, apabila
sering dilewati menyebabkan kepadatan tanah meningkat. Kondisi tanah yang tidak
subur menyebabkan buah tidak dapat berkecambah, sehingga proses regenerasi
terhambat.
Beberapa Dipterocarpaceae seperti Parashorea dan Shorea (khususnya meranti
merah) tergolong dalam light timber hardwoods yaitu cepat merespon keberadaan
cahaya yang masuk. Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa toleransi
kebutuhan cahaya beberapa meranti merah cukup beragam. Effendi (1987) menyatakan
bahwa jenis Shorea leprosula dan Shorea acuminatissima di hutan tropis Kalimantan
Selatan pertumbuhan tinggi maksimum dicapai pada intensitas cahaya samadengan
50%, sedangkan pertumbuhan diameter maksimum dicapai pada intensitas cahaya
samadengan 75%. Shorea pinanga termasuk dalam golongan meranti merah dan
mempunyai karakter light demanding. Apabila kondisi lingkungan yang tertutup seperti
di petak 24, dengan persentase intensitas cahaya yang masuk sebesar 13,51%, maka
pembukaan tajuk sangat diperlukan untuk menstimulir pertumbuhan anakan Shorea
pinanga.
DAFTAR PUSTAKA
Adurachman, Suyana A. 2010. Potensi dan sebaran semai pada areal bekas tebangan di
PT. Barito Nusantara Indah, Kalimantan Timur. Info Teknis Dipterokarpa 4(1):
1-8.
Ali C, Edy D. 2007. Pengaruh pupuk daun terhadap pertumbuhan tunas juvenile
Shorea platyclados v. Slooten ex Foxw. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 1(1):65‒
71.
Appanah S, Turnbull JM. 1998. A Review of Dipterocarps Taxonom Ecology and
Silviculture. Bogor (ID): CIFOR.
Atmoko T. 2011. Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (Korth.) Burck
di Sumber Benih Saka Kajang, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian
Dipterokarpa. 5(2): 21–36.
Cao, C, O Gailingt, IZ Siregar, UJ Siregar, and R Finkeldey. 2009. “Genetic Variation
in Nine Shorea Species (Dipeterocarpaceae) in Indonesia Revealed by AFLPs.”
Tree Genetics and Genomes 5: 407–20.
Daniel TJ, Helms JA, Baker FS. 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur. Marsono D,
penerjemah; Soeseno OH, editor. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press.
Terjemahan dari: Principles of Silviculture.
Effendy, M.M. 1987. Respon Pertumbuhan Shorea acuminatissima dan S. leprosula
terhadap Cahaya di Hutan Tropika Humida Kalimantan Selatan. Tesis Program
Pasca sarjana UGM. Yogyakarta (unpublished).
Hardiwinoto S, Riyanti R, Widiyatno, Andriana, Winarni WW, Nurjanto HH, Priyo E.
2016. Percepatan kemampuan berakar dan perkembangan akar stek pucuk Shorea
platyclados melalui aplikasi zat pengatur tumbuh IBA.Jurnal Pemuliaan
Tanaman Hutan 10(2):63‒70. doi: 10.20886/jpth.2016.10.2.63-70.
Istomo, Hidayati T. 2010. Studi potensi dan penyebaran tengkawang (Shorea spp.) di
Areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur.
Jurnal Silvikultur Tropika 1(1): 11-17.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 2013. Berita KLHK: Hutan
Penelitian Gunung Dahu [Internet]. [diunduh 2019 Jan 10]. Tersedia pada:
http://puslitbanghut.or.id/index.php/page/hutan-penelitian-gunung-dahu.
Kusmana C, Susanti S. (2015). Komposisi dan Struktur tegakan hutan alam di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Jurnal Silvikultur Tropika 5(3): 210–217.
Maharani R, Handayani P, Hardjana AK. 2013. Panduan Identifikasi Jenis
Tengkawang. Samarinda (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Departemen Kehutanan.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Bogor (ID): IPB Press.
Ministry of Sustainable Resource Management [MSRM]. 2005. Change Monitoring
Procedures for Provincial and National Reporting. British Columbia (CA):
Resources Inventory Committee.
Mirmanto E. 2014. Permudaan alami kawasan hutan resort Cidahu, Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Buletin Kebun Raya 17(2): 91-100.
Ng, Chin Hong, Chai Ting Lee, Soon Leong Lee, Lee Hong Tnah, and Kevin Kit Siong
Ng. 2013.“Isolation and Characterization of Microsatellite Markers for Shorea
Platyclados (Dipterocarpaceae).”Applications in Plant Sciences 1 (7).doi:10.3732/
apps.1200538.
Nurhajah I. 2014. Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula miq.) Pada Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHKA-HA PT Sarmiento
Parakantja Timber Kalimantan Tengah. Skripsi. Bogor (ID). Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Parrotta JA, Knowles OH, Wunderly JM. 1997. Development of floristic diversity in
10-years old restoration forest on bouxitte mined site in Amazone. Forest Ecol
Manag 99: 21-42.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indobesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan IPB.
Suhardi. 1995. Effect Of Shading, Mycorrhiza Inoculated And Organic Matter On The
Growth Of Hopea Gregaria Seedling Buletin Penelitian Nomor 28. Yogyakarta
(ID): Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Supriyanto, Irawan US. 2001. Teknik Pengukuran Penutupan Tajuk dan Pembukaan
Tajuk Tegakan dengan Menggunakan Spherical Densiometer. Bogor (ID):
Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP.