E14 SHM
E14 SHM
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Gunung Papandayan merupakan salah satu gunung api aktif di Jawa Barat dan
merupakan kawasan konservasi yang terdiri dari Cagar Alam dan Taman Wisata
Alam. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap
ekosistem hutan Gunung Papandayan agar kawasan tersebut dapat dipertahankan.
Penelitian ini dilakukan pada areal hutan yang terganggu baik oleh letusan
maupun oleh kegiatan manusia. Untuk menentukan tingkat gangguan yaitu
dengan mengukur basal area pohon menggunakan jalur berpetak. Data sosial
ekonomi dikumpulkan dari lima desa yang berbatasan langsung dengan Gunung
Papandayan. Hasil penelitian menunjukkan adanya gangguan di ekosistem hutan
Gunung Papandayan. Faktor penyebab timbulnya gangguan adalah faktor alam
seperti letusan gunung api, faktor manusia seperti kebakaran hutan, pencurian
kayu, dan perambahan kawasan, dan juga aksesibilitas. Tingkat gangguan hutan
pada lokasi letusan gunung api, kebakaran, dan perambahan tergolong berat,
sedangkan pada lokasi pencurian kayu tergolong sedang.
ABSTRACT
SAUSAN HAIFA MUFIDAH. The Identification of Disturbances at The
Ecosystem of Gunung Papandayan Garut, West Java. Supervised by ATI DWI
NURHAYATI and DADAN MULYANA.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi : Identifikasi Gangguan Ekosistem Hutan Gunung Papandayan di
Garut, Jawa Barat
Nama : Sausan Haifa Mufidah
NIM : E44090046
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi :Identifikasi Gangguan Ekosistem Hutan Gunung Papandayan di
Garut, J awa Barat
Nama : Sausan Haifa' Mufidah
NIM : E44090046
Disetujui oleh
MS
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
gangguan hutan, dengan judul Identifikasi Gangguan Ekosistem Hutan Gunung
Papandayan di Garut, Jawa Barat.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ati Dwi Nurhayati, SHut, MSi
dan Dadan Mulyana, SHut, MSi selaku pembimbing. Abi, Ummi, adik-adik, dan
keluarga lainnya atas doa serta kasih sayangnya. Mang Ipin, A’ Pyan, Kang
Arman, Mang Awan, Bu Dewi dan keluarga lainnya di Garut yang telah banyak
membantu dalam kegiatan penelitian. Jajaran Staf dan Dosen Pengajar
Departemen Silvikultur atas segala bantuannya. Teman-teman Silvikultur 46 atas
kebersamaan serta dukungan semangatnya. Pihak-pihak yang telah membantu
dalam penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
semoga amal ibadahnya diberikan pahala oleh Allah SWT.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Waktu dan Lokasi 3
Alat dan Bahan 3
Prosedur Penelitian 3
Prosedur Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Umum Lokasi 5
Gangguan pada Ekosistem Hutan Gunung Papandayan 5
Faktor-Faktor Penyebab Gangguan 12
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 21
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Jalur pengamatan 4
2 Kondisi lokasi pengamatan: (a) Blok Nangklak (b) Blok Gunung
Masigit 1 (c) Blok Masigit 2 (d) Blok Masigit 3 6
3 Kondisi lapangan pada lokasi pengamatan kebakaran hutan pada Blok
Cipanas 8
4 Kayu pada plot contoh di blok Gunung Golong yang akan diarangkan 10
5 Tunggak pohon yang ditemukan di lokasi gangguan perambahan pada
blok Nangklak 11
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Gunung Papandayan 17
2 Kondisi pohon pada lokasi bekas letusan dan kebakaran hutan 18
3 Lokasi rawan kebakaran pada kawasan Gunung Papandayan dan upaya
pencegahannya 19
4 Rekapitulasi Kejadian Kebakaran hutan di ekosistem hutan Gunung
Papandayan 20
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi berupa data yang dapat digunakan oleh
pihak pengelola dan stakeholder sebagai dasar pengambilan keputusan mengenai
pengendalian gangguan hutan di kawasan CA dan TWA Gunung Papandayan
dalam upaya perlindungan hutan.
3
METODE
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pita meter, meteran jahit,
GPS, kompas, tally sheet, lembar kuisioner sebagai interview guide saat
wawancara, alat tulis, recorder, kamera digital dan laptop.
Bahan dan data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data gangguan
hutan yang terjadi di lokasi penelitian. Data yang digunakan berupa informasi
mengenai lokasi dan penyebab terjadinya gangguan.
Prosedur Penelitian
10 m
20 m
Gambar 1 Jalur pengamatan
Teknik Wawancara
Informasi yang lebih jelas mengenai masalah penelitian diperoleh dengan
menggunakan teknik wawancara. Menurut Burhan Bungin (2007), informan
merupakan orang yang menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta-
fakta dari suatu objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
informan kunci (Key Informan). Informan Kunci adalah informan yang
mengetahui permasalahan yang sedang diteliti.
Penunjukan Key Informan dilakukan oleh ketua RT pada masing-masing
desa. Jumlah responden standar minimal penelitian survey dalam mengumpulkan
informasi dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi adalah
sebanyak 30 orang (Singarimbun et al. 1995). Dengan demikian total responden
yang diwawancarai untuk penelitian adalah 150 orang.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Hutan Gunung Papandayan terdiri dari kawasan hutan suaka alam
dan taman pelestarian alam. Kawasan hutan suaka alam dan taman pelestarian
alam termasuk dalam hutan konservasi. Untuk itu kawasan ini membutuhkan
upaya perlindungan dari berbagai gangguan, sehingga dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat
beberapa gangguan yang terjadi di ekosistem hutan Gunung Papandayan.
Gangguan tersebut terdiri dari letusan gunung api, kebakaran hutan, pencurian
kayu, dan perambahan kawasan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2 Kondisi lokasi pengamatan: (a) Blok Nangklak (b) Blok Gunung
Masigit 1 (c) Blok Masigit 2 (d) Blok Masigit 3
Lokasi pengamatan pada Blok Nangklak merupakan lokasi yang memiliki
jarak paling dekat dengan kawah. Blok Gunung Masigit merupakan lokasi yang
letaknya lebih jauh dari kawah dibandingkan dengan Blok Nangklak.
Dampak letusan pada Blok Nangklak mengakibatkan seluruh vegetasi mati
terbakar dan meninggalkan sisa batang-batang pohon. Jenis yang mendominasi
blok ini adalah suwagi. Pada blok ini suksesi yang terjadi berjalan sangat lambat.
Tunas-tunas suwagi yang ditemukan sangat sedikit dan memiliki umur yang
7
masih muda. Lokasi Blok Nangklak yang umumnya datar membuat abu yang
terbawa air mengendap di lokasi ini. Hal inilah yang menyebabkan suksesi
berjalan lambat. Unsur hara yang tertimbun abu vulkanik membuat benih yang
sampai pada lokasi tidak dapat berkecambah dan tumbuh menjadi semai.
Beberapa anakan pohon dapat tumbuh hanya pada lokasi tertentu seperti selokan
atau tebing. Hal ini dikarenakan abu pada lokasi tersebut terbawa oleh air yang
lewat sehingga lapisan tanah terbuka kembali. Pohon dan tiang pada plot ini
menghasilkan basal area sebesar 0 m2 ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa Blok
Nangklak masuk dalam kelas terganggu berat.
Pada Blok Gunung Masigit 1, suksesi yang terjadi sudah cukup lama. Hal
tersebut dapat terlihat dari anakan-anakan pohon yang sudah mulai banyak
bermunculan, vegetasi rumput herba dan semak, dan juga tunas-tunas dari pohon
yang masih hidup. Lokasi pengamatan yang memiliki kontur berlereng membuat
abu yang menumpuk terbawa oleh air hujan ke lokasi di bawahnya, sehingga
unsur hara yang tertutupi oleh abu secara perlahan terbuka dan membuat
tumbuhan dan benih-benih yang datang dapat tumbuh. Basal area pohon pada
lokasi Gunung Masigit 1 menunjukkan angka 3.68 m2 ha-1, sehingga lokasi
Gunung Masigit 1 termasuk dalam kelas terganggu berat. Persentase pohon di
dalam plot yang masih bisa bertunas kembali adalah sebesar 14.29%, sehingga
menghasilkan persentase pohon mati yang lebih besar yaitu 85.71% (Lampiran 2).
Pada Blok Gunung Masigit 2, suksesi yang terjadi sudah membentuk sebuah
tegakan yang terdiri dari kelas semai, pancang, tiang, dan pohon. Suksesi dari
kelas pohon merupakan pohon yang masih hidup dan bertunas kembali setelah
letusan. Persentase bertunas pohon pada lokasi ini lebih besar dari lokasi Gunung
Masigit 1, yaitu sebesar 33.82% dan persentase mati sebesar 66.18%. Lokasi yang
berlereng membuat proses suksesi sudah cukup dapat terlihat. Tegakan pada
lokasi ini sudah membentuk struktur yang rapat. Basal area pohon yang diperoleh
dari lokasi ini adalah sebesar 17.95 m2 ha-1, sehingga hutan Gunung Masigit 2 ini
masih termasuk dalam kelas terganggu berat.
Pada lokasi Gunung Masigit 3 tegakan yang muncul umumnya baru berasal
dari kelas semai, pancang, dan tiang, sedangkan tegakan berupa pohon masih
sangat jarang terlihat. Jumlah individu terbanyak yang mendominasi lokasi ini
adalah dari kelas pancang. Basal area pohon pada lokasi ini adalah sebesar 6.27
m2 ha-1, sehingga lokasi Gunung Masigit 3 termasuk dalam kelas terganggu berat.
Persentase pohon yang dapat bertunas kembali pada lokasi ini adalah sebesar
7.69% dan persentase mati sebesar 92.31%.
Kebakaran Hutan
Kebakaran yang terjadi dapat diakibatkan oleh ulah manusia maupun faktor
alam. Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang juga terjadi di
ekosistem hutan Gunung Papandayan. Upaya pencegahan yang dilakukan pihak
pengelola adalah patroli rutin pada kawasan yang dianggap rawan kebakaran.
Adapun daerah rawan kebakaran dan upaya pencegahannya dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Berdasarkan hasil wawancara, kebakaran hutan terjadi hampir setiap
tahunnya pada blok-blok tertentu. Kebakaran hutan umumnya terjadi pada saat
bulan kemarau. Namun kebakaran tersebut tidak tercatat dengan baik oleh
BKSDA. Data yang dimiliki BKSDA menunjukkan bahwa hanya terjadi beberapa
8
kasus kebakaran dan tidak tercatat disetiap tahunnya (Lampiran 4). Pencegahan
yang dilakukan pun tampaknya kurang memberikan pengaruh positif. Hal ini
diperkirakan karena lokasi yang berada di tengah kawasan dan sulit untuk
dijangkau.
Pengamatan terhadap kebakaran yang terjadi dilakukan pada Blok Cipanas
yang memiliki ketinggian 2100 mdpl. Kebakaran yang terjadi pada bulan Agustus
tahun 2012 ini membakar lahan pada blok Cipanas seluas 68 ha. Kebakaran ini
diperkirakan terjadi akibat kelalaian manusia.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pohon dan tiang pada plot ini menghasilkan
basal area sebesar 17.35 m2 ha-1. Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa gangguan
yang dialami Blok Cipanas berada pada kelas terganggu berat.
Tabel 3 Basal area pohon pada kerusakan akibat kebakaran
Lokasi Basal Area Pohon (m2 ha-1) Tingkat Gangguan
Cipanas 17.35 Berat
Rata-rata 17.35 Berat
Jenis dominan yang tumbuh pada lokasi kebakaran adalah kiteke, suwagi
dan puspa, selain itu terdapat beberapa jenis lain seperti haruman, cerem, dan ki
lemo. Umumnya beberapa dari pohon yang terbakar masih dapat tumbuh kembali
karena masih hidup. Hal ini terlihat dari tunas-tunas daun yang muncul dari
cabang-cabang pohon yang menghitam karena terbakar.
Pencurian Kayu
Menurut UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 50 ayat 3e, illegal logging
adalah menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang.
Pengamatan mengenai pencurian kayu dilakukan pada 11 lokasi, yaitu Blok
Cipanas, Blok Pasir Leutik Kareumbi, Blok Cisurupan Panjang, Blok Dayeuh
Luhur, Blok Gunung Gede, Blok Gunung Golong, Blok Gunung Lingkung, Blok
Suangkung, Blok Tegal Mariuk, Blok Tegal Kirinyuh, dan Blok Tegal Panjang.
Pada blok-blok tersebut ditemukan pelanggaran berupa penebangan dan pencurian
kayu untuk dijadikan balok maupun arang. Beberapa jenis yang diambil adalah
jenis-jenis dari kayu bermutu tinggi. Pada lokasi pengamatan ditemukan ratusan
tunggak sisa penebangan dan balok-balok kayu yang tidak diangkut oleh pencuri
kayu.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan bekas pencurian kayu
memiliki basal area pohon rata-rata sebesar 26.58 m2 ha-1. Hal ini menunjukkan
bahwa pencurian kayu mengakibatkan ekosistem pada kesebelas blok pengamatan
mengalami gangguan pada tingkat sedang.
Tabel 4 Basal area pohon pada kerusakan akibat pencurian kayu
Lokasi Basal Area Pohon (m2 ha-1) Tingkat Gangguan
Cipanas 36.56 Sedang
Pasir Leutik Kareumbi 26.93 Sedang
Cisurupan Panjang 12.19 Berat
Dayeuh Luhur 15.52 Berat
Gn. Gede 20.49 Berat
Gn. Golong 28.24 Sedang
Gn. Lingkung 34.42 Sedang
Suangkung 21.88 Berat
Tegal Mariuk 21.63 Berat
Tegal Kirinyuh 39.27 Sedang
Tegal Panjang 35.27 Sedang
Rata-rata 26.58 Sedang
Berdasarkan Tabel 4 pada lokasi yang mengalami tingkat gangguan paling
berat ditemukan pada blok Cisurupan Panjang dengan basal area pohon sebesar
12.19 m2 ha-1. Pada lokasi pengamatan lainnya yang memiliki tingkat gangguan
berat adalah Blok Dayeuh Luhur (15.52 m2 ha-1), Blok Gunung Gede (20.49 m2
ha-1), Blok Tegal Mariuk (21.63 m2 ha-1), dan Blok Suangkung (21.88 m2 ha-1).
10
Gambar 4 Kayu pada plot contoh di blok Gunung Golong yang akan
diarangkan
Lokasi pengamatan yang mengalami gangguan tingkat sedang diantaranya
adalah Blok Tegal Kirinyuh dengan basal area pohon sebesar 39.27 m2 ha-1,
diikuti dengan Blok Cipanas (36.56 m2 ha-1), Blok Tegal Panjang (35.27 m2 ha-1),
Blok Gunung Lingkung (34.42 m2 ha-1), Blok Gunung Golong (28.24 m2 ha-1),
dan Blok Pasir Leutik Kareumbi (26.93 m2 ha-1).
Perambahan Kawasan
Perambahan hutan di ekosistem Gunung Papandayan telah terjadi sejak
tahun 1995. Lokasi perambahan ditanami oleh jenis sayuran seperti kentang,
wortel, kol, dan lain-lain. Penyebab terjadinya perambahan diakibatkan karena
adanya krisis moneter, yang menimbulkan banyak PHK, tidak teralokasikan pada
lahan tumpangsari di hutan produksi, adanya Kredit Usaha Tani (KUT) pemberi
modal yang tidak selektif, terbatasnya lahan pertanian dan lapangan kerja di luar
sektor pertanian serta lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi
hutan (BKSDA Jabar II 2003).
Menurut Samsudin (2006) motivasi dari para perambah adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup dasar, yaitu kebutuhan sehari-hari dan pendidikan
anak. Latar belakang terjadinya perambahan hutan sepertinya dikarenakan
sulitnya mencari pekerjaan, lahan hutan yang subur, aksesibilitas mudah
dijangkau dari tempat tinggal, dan kemudahan memasarkan hasil panen.
Sejak tahun 1924 sebagian kawasan Gunung Papandayan sudah ditetapkan
sebagai cagar alam, namun kegiatan pengelolaan perlindungan belum berjalan
dengan baik. Indikator adanya permasalahan di kawasan CAGP adalah terjadinya
kasus perambahan hutan seluas 340.38 ha pada tahun 1996-2003 atau sebanyak
5% dalam tujuh tahun (BKSDA Jabar II 2003).
Pengamatan mengenai perambahan dilakukan pada empat lokasi, yaitu
Nangklak, Waternime 1, Waternime 2 dan Cisurupan Panjang. Pada Blok
Nangklak perambahan kawasan cagar alam baru akan dilakukan, terlihat dari
tegakan kawasan hutan yang baru ditebang. Berdasarkan tunggak-tunggak pohon
yang tersisa diperkirakan kawasan dibuka seminggu sebelum dilakukan
pengamatan. Pada Blok Waternime 1 dan 2, perambahan yang dilakukan masih
terjadi hingga kini. Pihak pengelola telah melakukan tindakan terhadap peladang.
Namun hingga kini perladangan tersebut masih tetap berjalan, bahkan tampak
adanya upaya untuk memperluas lahan yang dimiliki dengan merambah kawasan
11
lebih jauh. Blok Cisurupan Panjang merupakan padang rumput seluas 20 ha.
Padang rumput ini dulunya merupakan tegakan hutan yang dirambah dan dibuka
menjadi perladangan. Akan tetapi sejak ditinggalkan dan tidak ditanami dengan
pohon kembali, kawasan ini menjadi tanah terbuka dan kemudian ditumbuhi oleh
rumput.
Tabel 5 menunjukkan bahwa basal area pohon rata-rata pada lokasi bekas
perambahan adalah sebesar 8.56 m2 ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa perambahan
mengakibatkan ekosistem pada keempat lokasi pengamatan mengalami gangguan
pada tingkat terganggu berat.
Tabel 5 Basal area pohon per hektar pada kerusakan akibat perambahan
Lokasi Basal Area Pohon (m2 ha-1) Tingkat Gangguan
Nangklak 5.11 Berat
Waternime 1 0 Berat
Waternime 2 29.11 Sedang
Cisurupan Panjang 0 Berat
Rata-rata 8.56 Berat
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa basal area pohon pada Blok Nangklak
adalah sebesar 5.11 m2 ha-1, dengan demikian Blok Nangklak termasuk dalam
kelas terganggu berat. Lokasi ini merupakan tahapan awal dari perambahan
kawasan.
Lokasi pengamatan selanjutnya pada Blok Waternime diambil dua lokasi
pengamatan yaitu Waternime 1 yang merupakan kawasan CAGP yang telah
dirambah dan Waternime 2 yang merupakan kawasan CAGP yang masih berupa
tegakan. Pada Waternime 1 basal area pohon adalah sebesar 0 m2 ha-1. Basal area
pohon yang mencapai angka 0 m2 ha-1 adalah dikarenakan tidak terdapat pohon
pada lokasi ini. Lokasi ini telah diubah menjadi ladang oleh perambah, sehingga
dikategorikan telah mengalami gangguan pada tingkat berat.
Pada Waternime 2 yang berupa tegakan memiliki basal area pohon 29.11
m2 ha-1. Lokasi ini termasuk dalam kelas terganggu sedang. Umumnya tegakan
yang menghilang dari lokasi ini adalah kelas pancang dan tiang.
Dalam plot contoh yang diamati pada Blok Cisurupan Panjang tidak
ditemukan pohon. Lokasi ini didominasi oleh berbagai macam tumbuhan bawah.
Kerapatan dari tumbuhan bawah yang dihitung adalah sebesar 125 714.30 ind ha-1.
12
Tumbuhan bawah pada lokasi ini didominasi oleh rumput lamjani yang memiliki
kerapatan hampir mencapai seperempat dari kerapatan tumbuhan bawah, yaitu
sebesar 56 785.71 ind ha-1. Basal area pohon mencapai 0 m2 ha-1, sehingga lokasi
ini dikategorikan kedalam kelas terganggu berat.
Padang rumput akibat perambahan pada Blok Cisurupan Panjang membuat
masuknya kegiatan penggembalaan liar. Penggembalaan liar ini dilakukan oleh
salah seorang masyarakat yang tinggal di perkampungan yang berbatasan
langsung dengan kawasan CAGP. Ternak yang digembalakan merupakan kerbau
yang berjumlah 13 ekor.
Kegiatan penggembalaan liar ini tampaknya masih belum ditindaklanjuti
oleh pihak BKSDA. Penggembala masih bebas membiarkan kerbau peliharaannya
berkeliaran memakan rumput yang telah menginvasi lahan tersebut. Bahkan,
penggembala merasa aman menggembalakan ternaknya pada kawasan tersebut
karena selama 3 tahun kerbau gembalaannya belum pernah hilang. Kerbau-kerbau
tersebut setiap harinya ditinggalkan dan dibiarkan bermalam di kawasan CAGP
hanya dengan penjagaan seekor anjing.
Berdasarkan penelitian Sinukaban et al. (2006), perambahan hutan akan
mempengaruhi aliran air sungai, dimana aliran DAS setiap tahunnya akan
mengalami pengurangan volume air. Kehilangan air tersebut terlihat jelas pada
musim kemarau. Dampak lainnya akibat perambahan adalah erosi tanah.
Faktor Alam
Kawah Papandayan hingga saat ini merupakan kawah aktif. Menurut Badan
Geologi sampai saat ini Gunung Papandayan sudah meletus 11 kali pada tahun
1772, 1882, 1923, 1924, 1925, 1926, 1927, 1942, 1993, 1998, dan terakhir pada
2002.
Faktor Manusia
Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Hutan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada seluruh responden,
diketahui masyarakat sekitar hutan Gunung Papandayan menggunakan beberapa
sumberdaya dari dalam kawasan. Jenis pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat
dari dalam kawasan hutan Gunung Papandayan dapat dilihat pada Tabel 6.
Masyarakat sekitar Gunung Papandayan umumnya memanfaatkan kawasan
sebagai akses jalan untuk menjangkau desa yang bersebrangan. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan, sebanyak 26% dari responden menggunakan kawasan
sebagai akses jalan. Beberapa responden juga pernah mengambil kayu dari
kawasan melalui penebangan secara ilegal, terlihat dari 42% responden yang
mengaku pernah memanfaatkan kayu. Selain itu sebanyak 35% dari responden
memanfaatkan kawasan TWA maupun CA untuk kegiatan rekreasi.
13
Aksesibilitas
Kawasan TWA pada Gunung Papandayan mengakibatkan tersedianya akses
jalan bagi wisatawan menuju kawasan TWA. Namun akses jalan menuju TWA
tersebut justru mempermudah masyarakat untuk mencapai kawasan CAGP. Selain
itu perladangan yang umumnya berbatasan langsung dengan kawasan CAGP turut
mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap kawasan.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Smiet AC. (1992). Forest ecology on Java: human impact and vegetation of
montane forest. J Tropical Ecology. 8:129-152
Sopari Y. 2008. Penilaian dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi di KPH
Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Suratmo FG. 1974. Perlindungan hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Zuhri M, Sulistyawati E. 2007. Pengelolaan perlindungan Cagar Alam Gunung
Papandayan [internet]. [diunduh 2013 Februari 15]. Tersedia dari:
http://www.sith.itb.ac.id/profile/databuendah/Publications/6.%20Musyarofah%
20Zuhri_IATPI%202007.pdf
17
Lampiran 2 Kondisi pohon pada lokasi bekas letusan dan kebakaran hutan
1 Persentase kemampuan bertunas pohon pada tiap lokasi pengamatan di
kawasan bekas letusan
Kondisi Pohon (%)
Lokasi
Bertunas Mati
Nangklak 0 100
Gn. Masigit 1 14.29 85.71
Gn. Masigit 2 33.82 66.18
Gn. Masigit 3 7.69 92.31
Rata-rata 13.95 86.05
2 Persentase kemampuan bertunas pohon tiap jenis pada lahan bekas kebakaran
di blok Cipanas
Kondisi Pohon (%)
Jenis Nama Ilmiah
Bertunas Mati
Kiteke Myrica javanica 46.43 53.57
Puspa Schima walichii 90.91 9.01
Suwagi Vaccinium varingifolium 39.29 60.71
Haruman Albizia Montana 18.18 81.82
Cerem Macropanax dispermum 20 80
Ki Lemo Litsea cubeba 0 100
Rata-rata 35.81 64.19
19
RIWAYAT HIDUP