Anda di halaman 1dari 32

IDENTIFIKASI GANGGUAN EKOSISTEM HUTAN GUNUNG

PAPANDAYAN DI GARUT, JAWA BARAT

SAUSAN HAIFA MUFIDAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Gangguan


Ekosistem Hutan Gunung Papandayan di Garut, Jawa Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014

Sausan Haifa Mufidah


NIM E44090046
ABSTRAK
SAUSAN HAIFA MUFIDAH. Identifikasi Gangguan Ekosistem Gunung
Papandayan di Garut, Jawa Barat. Dibimbing oleh ATI DWI NURHAYATI dan
DADAN MULYANA.

Gunung Papandayan merupakan salah satu gunung api aktif di Jawa Barat dan
merupakan kawasan konservasi yang terdiri dari Cagar Alam dan Taman Wisata
Alam. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap
ekosistem hutan Gunung Papandayan agar kawasan tersebut dapat dipertahankan.
Penelitian ini dilakukan pada areal hutan yang terganggu baik oleh letusan
maupun oleh kegiatan manusia. Untuk menentukan tingkat gangguan yaitu
dengan mengukur basal area pohon menggunakan jalur berpetak. Data sosial
ekonomi dikumpulkan dari lima desa yang berbatasan langsung dengan Gunung
Papandayan. Hasil penelitian menunjukkan adanya gangguan di ekosistem hutan
Gunung Papandayan. Faktor penyebab timbulnya gangguan adalah faktor alam
seperti letusan gunung api, faktor manusia seperti kebakaran hutan, pencurian
kayu, dan perambahan kawasan, dan juga aksesibilitas. Tingkat gangguan hutan
pada lokasi letusan gunung api, kebakaran, dan perambahan tergolong berat,
sedangkan pada lokasi pencurian kayu tergolong sedang.

Kata kunci: Gunung Papandayan, gangguan hutan, tingkat gangguan, penyebab


gangguan

ABSTRACT
SAUSAN HAIFA MUFIDAH. The Identification of Disturbances at The
Ecosystem of Gunung Papandayan Garut, West Java. Supervised by ATI DWI
NURHAYATI and DADAN MULYANA.

Gunung Papandayan is one of the active volcanoes in West Java and it is a


conservation area consisting Nature Reserve and Nature Tourism Park. Therefore,
the protection of Gunung Papandayan’s forest ecosystem is needed to be done so
that the area can be well maintained. This study was conducted on the forest area
which was disturbed by the eruption and also by human activities. The level of
disturbance was determined by measuring the tree basal area with line plot
method. The socio-economic data was collected from 5 villages which borders
Gunung Papandayan. The result showed that the presence of disturbance in
Gunung Papandayan. The disturbance was occurred by three factors, consisting
natural such as eruption, human factor such as forest fires, illegal logging, and
forest encroachment, and also accessibility. The level of forest disturbance on the
area of eruption, forest fires and forest encroachment was categorized as high
level; while at the illegal logging area was categorized as medium level.

Keywords : Gunung Papandayan, forest disturbance, disturbance level, cause of


disturbance
IDENTIFIKASI GANGGUAN EKOSISTEM HUTAN GUNUNG
PAPANDAYAN DI GARUT, JAWA BARAT

SAUSAN HAIFA MUFIDAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi : Identifikasi Gangguan Ekosistem Hutan Gunung Papandayan di
Garut, Jawa Barat
Nama : Sausan Haifa Mufidah
NIM : E44090046

Disetujui oleh

Ati Dwi Nurhayati, SHut, MSi Dadan Mulyana, SHut, MSi


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
Judul Skripsi :Identifikasi Gangguan Ekosistem Hutan Gunung Papandayan di
Garut, J awa Barat
Nama : Sausan Haifa' Mufidah
NIM : E44090046

Disetujui oleh

Ati Dwi l'Turhayati, SHut, MSi Dadan Mulyana, SHut, MSi


Pembimbing I Pembimbing II

MS

Tanggal Lulus: 0 3 FEB 2.01~


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
gangguan hutan, dengan judul Identifikasi Gangguan Ekosistem Hutan Gunung
Papandayan di Garut, Jawa Barat.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ati Dwi Nurhayati, SHut, MSi
dan Dadan Mulyana, SHut, MSi selaku pembimbing. Abi, Ummi, adik-adik, dan
keluarga lainnya atas doa serta kasih sayangnya. Mang Ipin, A’ Pyan, Kang
Arman, Mang Awan, Bu Dewi dan keluarga lainnya di Garut yang telah banyak
membantu dalam kegiatan penelitian. Jajaran Staf dan Dosen Pengajar
Departemen Silvikultur atas segala bantuannya. Teman-teman Silvikultur 46 atas
kebersamaan serta dukungan semangatnya. Pihak-pihak yang telah membantu
dalam penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
semoga amal ibadahnya diberikan pahala oleh Allah SWT.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

Sausan Haifa Mufidah


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Waktu dan Lokasi 3
Alat dan Bahan 3
Prosedur Penelitian 3
Prosedur Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Umum Lokasi 5
Gangguan pada Ekosistem Hutan Gunung Papandayan 5
Faktor-Faktor Penyebab Gangguan 12
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 21
DAFTAR TABEL

1 Tingkat gangguan berdasarkan basal area pohon 4


2 Basal area pohon pada kerusakan akibat letusan 6
3 Basal area pohon pada kerusakan akibat kebakaran 8
4 Basal area pohon pada kerusakan akibat pencurian kayu 9
5 Basal area pohon per hektar pada kderusakan akibat perambahan 11
6 Pemanfaatan sumberdaya alam di sekitar Gunung Papandayan 13
7 Tingkat pendapatan masyarakat sekitar Gunung Papandayan 14

DAFTAR GAMBAR
1 Jalur pengamatan 4
2 Kondisi lokasi pengamatan: (a) Blok Nangklak (b) Blok Gunung
Masigit 1 (c) Blok Masigit 2 (d) Blok Masigit 3 6
3 Kondisi lapangan pada lokasi pengamatan kebakaran hutan pada Blok
Cipanas 8
4 Kayu pada plot contoh di blok Gunung Golong yang akan diarangkan 10
5 Tunggak pohon yang ditemukan di lokasi gangguan perambahan pada
blok Nangklak 11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Gunung Papandayan 17
2 Kondisi pohon pada lokasi bekas letusan dan kebakaran hutan 18
3 Lokasi rawan kebakaran pada kawasan Gunung Papandayan dan upaya
pencegahannya 19
4 Rekapitulasi Kejadian Kebakaran hutan di ekosistem hutan Gunung
Papandayan 20
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan menurut UU RI No. 41 Tahun 1999 memiliki pengertian sebagai


suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
Kondisi hutan Indonesia pada saat ini sangat memprihatinkan, hal ini
disebabkan oleh laju deforestasi yang tinggi setiap tahunnya. Deforestasi yang
terjadi akibat berbagai gangguan yang dilakukan terhadap hutan, baik dari alam
maupun perbuatan manusia. Gangguan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
yang terdapat pada sekitar hutan tersebut, seperti faktor ekonomi masyarakat
sekitar hutan, akses masyarakat terhadap hutan, maupun tingkat pengelolaan hutan
tersebut. Salah satu faktor pengganggu hutan terbesar adalah manusia. Gangguan
hutan yang disebabkan oleh manusia berupa aktivitas illegal logging, kebakaran
hutan, perambahan kawasan hutan, perladangan berpindah, dan alih fungsi hutan.
Ekosistem hutan Gunung Papandayan termasuk dalam hutan pegunungan,
yaitu hutan yang tumbuh dan berkembang di daerah pegunungan pada ketinggian
antara 1200-3350 meter di atas permukaan laut (mdpl) (Van Steenis 1950).
Gunung Papandayan merupakan salah satu gunung api yang terletak di Kabupaten
Garut, Jawa Barat. Gunung dengan ketinggian 2665 mdpl ini merupakan kawasan
konservasi yang terdiri dari Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA).
Menurut UU No. 5 Tahun 1990, taman wisata alam adalah kawasan
pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat
maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Cagar
alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan suaka alam adalah
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan.
Kawasan Gunung Papandayan mengalami penurunan luas setiap tahunnya.
Penurunan luasan tersebut diduga karena adanya gangguan hutan, seperti pada
tahun 2012 telah terjadi kebakaran hutan yang menghabiskan 68 ha lahan yang
terbakar.
Untuk mengantisipasi semakin luasnya kerusakan di hutan Gunung
Papandayan maka faktor pengganggu lainnya penting untuk diketahui. Hingga
saat ini informasi mengenai gangguan hutan dan faktor penyebabnya di Gunung
Papandayan masih sangat terbatas, sehingga penelitian mengenai gangguan pada
ekosistem hutan Gunung Papandayan perlu dilakukan untuk mendapatkan
2

berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam manajemen pengelolaan


kawasan Gunung Papandayan.

Perumusan Masalah

Ekosistem Gunung Papandayan memiliki keanekaragaman hayati dan


kepentingan pelestarian yang tinggi namun upaya perlindungan bagi kawasan
tersebut banyak mengalami hambatan yang berasal dari keterbatasan pengelolaan
kawasan dan pemanfaatan sumber daya hayati oleh masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan. Gunung Papandayan juga memiliki kawah yang masih aktif
hingga saat ini, sehingga faktor fisik kawasan juga dapat menyebabkan gangguan
terhadap ekosistemnya.
Gangguan hutan yang terjadi pada kawasan Gunung Papandayan tidak
terdokumentasi dengan baik, sehingga informasi mengenai gangguan hutan masih
sangat terbatas. Kondisi tersebut menyebabkan kesulitan di dalam
mengidentifikasi tingkat gangguan yang dialami oleh kawasan Gunung
Papandayan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian sebagai upaya
perlindungan hutan dengan mengkaji hal berikut ini:
1 Jenis gangguan apa saja yang terjadi di ekosistem hutan Gunung
Papandayan?
2 Faktor apa saja yang menyebabkan gangguan dan kerusakan di ekosistem
hutan Gunung Papandayan?
3 Seberapa besar tingkat gangguan yang dialami oleh ekosistem hutan Gunung
Papandayan?

Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai gangguan hutan di ekosistem Gunung Papandayan ini


bertujuan (1) mengidentifikasi macam-macam gangguan di ekosistem hutan
Gunung Papandayan, (2) menganalisis faktor-faktor penyebab gangguan di
ekosistem hutan Gunung Papandayan, dan (3) menentukan tingkat gangguan
lahan di ekosistem hutan Gunung Papandayan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan informasi berupa data yang dapat digunakan oleh
pihak pengelola dan stakeholder sebagai dasar pengambilan keputusan mengenai
pengendalian gangguan hutan di kawasan CA dan TWA Gunung Papandayan
dalam upaya perlindungan hutan.
3

METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di CA dan TWA Gunung Papandayan Garut,


Jawa Barat, pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2013.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pita meter, meteran jahit,
GPS, kompas, tally sheet, lembar kuisioner sebagai interview guide saat
wawancara, alat tulis, recorder, kamera digital dan laptop.
Bahan dan data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data gangguan
hutan yang terjadi di lokasi penelitian. Data yang digunakan berupa informasi
mengenai lokasi dan penyebab terjadinya gangguan.

Prosedur Penelitian

Penentuan Lokasi Penelitian


Untuk menentukan lokasi penelitian digunakan metode purposive sampling,
yaitu teknik penentuan sampel dengan tujuan tertentu. Penentuan plot dilakukan
pada lokasi hutan yang terganggu. Gangguan diamati pada 15 blok, yaitu Blok
Nangklak, Blok Gunung Masigit, Blok Cipanas, Blok Pasir Leutik Kareumbi,
Blok Cisurupan Panjang, Blok Dayeuh Luhur, Blok Gunung Gede, Blok Gunung
Golong, Blok Gunung Lingkung, Blok Suangkung, Blok Tegal Mariuk, Blok
Tegal Kirinyuh, Blok Tegal Panjang, Blok Nangklak, dan Blok Waternime.
Penentuan lokasi contoh pada penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode purposive sampling. Berdasarkan hal tersebut dipilih 5 desa yang
berbatasan langsung dengan hutan sebagai desa contoh yaitu, Desa Kramatwangi,
Desa Sirnajaya, Desa Cipaganti, Desa Pamulihan dan Desa Sukalilah.

Pembuatan Plot Contoh


Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan metode jalur berpetak
dengan ukuran per petak 20 m x 20 m. Panjang jalur pada setiap lokasi gangguan
berbeda-beda berdasarkan intensitas gangguan. Pada gangguan akibat letusan
dibuat jalur dengan ukuran 20 m x 560 m. Pada gangguan akibat kebakaran dibuat
jalur dengan ukuran 20 m x 60 m. Pada gangguan akibat pencurian kayu dibuat
jalur dengan ukuran 20 m x 1320 m. Pada gangguan akibat perambahan dibuat
jalur dengan ukuran 20 m x 340 m. Parameter yang diukur dari individu yang
diamati adalah diameter batang. Di dalam petak dibuat sub petak dengan ukuran
10 m x 10 m untuk kelas tiang dan 20 m x 20 m untuk kelas pohon.
4

10 m

20 m
Gambar 1 Jalur pengamatan

Teknik Wawancara
Informasi yang lebih jelas mengenai masalah penelitian diperoleh dengan
menggunakan teknik wawancara. Menurut Burhan Bungin (2007), informan
merupakan orang yang menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta-
fakta dari suatu objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
informan kunci (Key Informan). Informan Kunci adalah informan yang
mengetahui permasalahan yang sedang diteliti.
Penunjukan Key Informan dilakukan oleh ketua RT pada masing-masing
desa. Jumlah responden standar minimal penelitian survey dalam mengumpulkan
informasi dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi adalah
sebanyak 30 orang (Singarimbun et al. 1995). Dengan demikian total responden
yang diwawancarai untuk penelitian adalah 150 orang.

Prosedur Analisis Data

Tingkat gangguan ditentukan dengan menghitung luas bidang dasar (Lbds)


atau basal area, yaitu basal area pohon dengan diameter ≥10 cm. Untuk
menentukan tingkat gangguan merujuk pada penelitian Smiet (1992) pada Tabel 1.
Tabel 1 Tingkat gangguan berdasarkan basal area pohon
Ketinggian Basal Area Pohon
Lokasi Tingkat Gangguan
(mdpl) (m2 ha-1)
Pangrango 1600 ≥52.2 Tidak terganggu
Gunung Kawi 2000–2800 45.4–52.1 Terganggu ringan
Gunung Kawi 1600–2000 23.2–45.3 Terganggu sedang
Andjasmoro 1600–2100 ≤23.1 Terganggu berat
Sumber: Smiet (1992)
Berdasarkan Tabel 1, kelas gangguan dapat dibedakan menjadi empat yaitu
tidak terganggu, terganggu ringan, terganggu sedang, dan terganggu berat. Pada
kelas tidak terganggu basal area ≥52.2 m2 ha-1, kelas terganggu ringan berkisar
antara 45.4–52.1 m2 ha-1, kelas terganggu sedang 23.2–45.3 m2 ha-1, dan kelas
terganggu berat ≤23.1 m2 ha-1.
Penelitian Smiet mengenai tingkat gangguan dilakukan pada hutan
pegunungan dengan ketinggian 1600-2100 mdpl. Hal ini dapat dijadikan rujukan
untuk tingkat gangguan pada ekosistem hutan Gunung Papandayan, karena hutan
pada Gunung Papandayan termasuk ekosistem hutan pegunungan.
Metode analisis yang digunakan dalam pengolahan data wawancara adalah
metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah cara analisis dengan
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa membuat
suatu kesimpulan umum atau generalisasi.
5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi

Berdasarkan fungsi pengelolaan, Gunung Papandayan terbagi menjadi


Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam) dan Taman Wisata Alam. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 247/Kpts-II/1999 tanggal 7
Mei 1999 sebagai kawasan telah ditetapkan Cagar Alam seluas 6807 ha dan
Taman Wisata Alam seluas 225 ha. Peta kawasan Gunung Papandayan dapat
dilihat pada lampiran 1.
Letak CA dan TWA Gunung Papandayan secara administratif ada di
Kabupaten Garut meliputi Kecamatan Cisurupan, Pakenjeng, Samarang dan
Kabupaten Bandung meliputi Kecamatan Kertasari. Sedangkan wilayah
pengelolaannya masuk ke dalam BKSDA Jabar II Sub Seksi wilayah Konservasi
Sumedang Resort KSDA Papandayan.
Kawasan Gunung Papandayan mempunyai tipe iklim B, data curah hujan
tahunan menunjukkan 2077 mm per tahun, curah hujan bulanan berkisar antara
54–276 mm per bulan, evaporasi 76–85 mm per bulan dan kelembaban relatif
77.2%. Suhu daerah CAGP berkisar antara 14–22 0C. Suhu tertinggi terjadi pada
bulan Mei dan November, sedangkan suhu rendah terjadi pada bulan Juli atau
Agustus.

Gangguan pada Ekosistem Hutan Gunung Papandayan

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Hutan Gunung Papandayan terdiri dari kawasan hutan suaka alam
dan taman pelestarian alam. Kawasan hutan suaka alam dan taman pelestarian
alam termasuk dalam hutan konservasi. Untuk itu kawasan ini membutuhkan
upaya perlindungan dari berbagai gangguan, sehingga dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat
beberapa gangguan yang terjadi di ekosistem hutan Gunung Papandayan.
Gangguan tersebut terdiri dari letusan gunung api, kebakaran hutan, pencurian
kayu, dan perambahan kawasan.

Letusan Gunung Papandayan


Gunung Papandayan merupakan salah satu gunung api aktif di Pulau Jawa
yang pertama kali meletus pada tahun 1772 dan terakhir meletus pada tahun 2002.
Letusan ini menyebabkan kerusakan kondisi lingkungan maupun ekosistem yang
menyebabkan kawasan hutan berbeda dengan kondisi awal. Pengamatan untuk
letusan ini dilakukan pada dua blok, yaitu Blok Nangklak pada ketinggian 2300
mdpl dan Blok Gunung Masigit pada ketinggian 2500 mdpl yang diamati pada
tiga lokasi berbeda.
Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi bekas letusan gunung api
diketahui basal area pohon rata-rata sebesar 6.97 m2 ha-1. Hal ini menunjukkan
6

bahwa letusan akan mengakibatkan ekosistem pada keempat lokasi pengamatan


mengalami gangguan pada tingkat terganggu berat (Tabel 2).
Tabel 2 Basal area pohon pada kerusakan akibat letusan
Lokasi Basal Area Pohon (m2 ha-1) Tingkat Gangguan
Nangklak 0 Berat
Gn. Masigit 1 3.68 Berat
Gn. Masigit 2 17.95 Berat
Gn. Masigit 3 6.27 Berat
Rata-rata 6.98 Berat
Kondisi lokasi gangguan yang diakibatkan oleh letusan berbeda dengan
lokasi gangguan akibat manusia. Pada lokasi gangguan akibat letusan, pohon mati
masih berupa batang pohon kering yang tegak namun tidak memiliki tajuk. Hal ini
dikarenakan pada saat letusan terjadi, lokasi tersebut mengalami kebakaran mulai
dari lantai hutan (surface fire) hingga tajuk pohon (crown fire). Crown fire
mengakibatkan tajuk terbakar habis dan hanya meninggalkan batang pohon mati
yang masih berdiri tegak.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2 Kondisi lokasi pengamatan: (a) Blok Nangklak (b) Blok Gunung
Masigit 1 (c) Blok Masigit 2 (d) Blok Masigit 3
Lokasi pengamatan pada Blok Nangklak merupakan lokasi yang memiliki
jarak paling dekat dengan kawah. Blok Gunung Masigit merupakan lokasi yang
letaknya lebih jauh dari kawah dibandingkan dengan Blok Nangklak.
Dampak letusan pada Blok Nangklak mengakibatkan seluruh vegetasi mati
terbakar dan meninggalkan sisa batang-batang pohon. Jenis yang mendominasi
blok ini adalah suwagi. Pada blok ini suksesi yang terjadi berjalan sangat lambat.
Tunas-tunas suwagi yang ditemukan sangat sedikit dan memiliki umur yang
7

masih muda. Lokasi Blok Nangklak yang umumnya datar membuat abu yang
terbawa air mengendap di lokasi ini. Hal inilah yang menyebabkan suksesi
berjalan lambat. Unsur hara yang tertimbun abu vulkanik membuat benih yang
sampai pada lokasi tidak dapat berkecambah dan tumbuh menjadi semai.
Beberapa anakan pohon dapat tumbuh hanya pada lokasi tertentu seperti selokan
atau tebing. Hal ini dikarenakan abu pada lokasi tersebut terbawa oleh air yang
lewat sehingga lapisan tanah terbuka kembali. Pohon dan tiang pada plot ini
menghasilkan basal area sebesar 0 m2 ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa Blok
Nangklak masuk dalam kelas terganggu berat.
Pada Blok Gunung Masigit 1, suksesi yang terjadi sudah cukup lama. Hal
tersebut dapat terlihat dari anakan-anakan pohon yang sudah mulai banyak
bermunculan, vegetasi rumput herba dan semak, dan juga tunas-tunas dari pohon
yang masih hidup. Lokasi pengamatan yang memiliki kontur berlereng membuat
abu yang menumpuk terbawa oleh air hujan ke lokasi di bawahnya, sehingga
unsur hara yang tertutupi oleh abu secara perlahan terbuka dan membuat
tumbuhan dan benih-benih yang datang dapat tumbuh. Basal area pohon pada
lokasi Gunung Masigit 1 menunjukkan angka 3.68 m2 ha-1, sehingga lokasi
Gunung Masigit 1 termasuk dalam kelas terganggu berat. Persentase pohon di
dalam plot yang masih bisa bertunas kembali adalah sebesar 14.29%, sehingga
menghasilkan persentase pohon mati yang lebih besar yaitu 85.71% (Lampiran 2).
Pada Blok Gunung Masigit 2, suksesi yang terjadi sudah membentuk sebuah
tegakan yang terdiri dari kelas semai, pancang, tiang, dan pohon. Suksesi dari
kelas pohon merupakan pohon yang masih hidup dan bertunas kembali setelah
letusan. Persentase bertunas pohon pada lokasi ini lebih besar dari lokasi Gunung
Masigit 1, yaitu sebesar 33.82% dan persentase mati sebesar 66.18%. Lokasi yang
berlereng membuat proses suksesi sudah cukup dapat terlihat. Tegakan pada
lokasi ini sudah membentuk struktur yang rapat. Basal area pohon yang diperoleh
dari lokasi ini adalah sebesar 17.95 m2 ha-1, sehingga hutan Gunung Masigit 2 ini
masih termasuk dalam kelas terganggu berat.
Pada lokasi Gunung Masigit 3 tegakan yang muncul umumnya baru berasal
dari kelas semai, pancang, dan tiang, sedangkan tegakan berupa pohon masih
sangat jarang terlihat. Jumlah individu terbanyak yang mendominasi lokasi ini
adalah dari kelas pancang. Basal area pohon pada lokasi ini adalah sebesar 6.27
m2 ha-1, sehingga lokasi Gunung Masigit 3 termasuk dalam kelas terganggu berat.
Persentase pohon yang dapat bertunas kembali pada lokasi ini adalah sebesar
7.69% dan persentase mati sebesar 92.31%.

Kebakaran Hutan
Kebakaran yang terjadi dapat diakibatkan oleh ulah manusia maupun faktor
alam. Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang juga terjadi di
ekosistem hutan Gunung Papandayan. Upaya pencegahan yang dilakukan pihak
pengelola adalah patroli rutin pada kawasan yang dianggap rawan kebakaran.
Adapun daerah rawan kebakaran dan upaya pencegahannya dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Berdasarkan hasil wawancara, kebakaran hutan terjadi hampir setiap
tahunnya pada blok-blok tertentu. Kebakaran hutan umumnya terjadi pada saat
bulan kemarau. Namun kebakaran tersebut tidak tercatat dengan baik oleh
BKSDA. Data yang dimiliki BKSDA menunjukkan bahwa hanya terjadi beberapa
8

kasus kebakaran dan tidak tercatat disetiap tahunnya (Lampiran 4). Pencegahan
yang dilakukan pun tampaknya kurang memberikan pengaruh positif. Hal ini
diperkirakan karena lokasi yang berada di tengah kawasan dan sulit untuk
dijangkau.
Pengamatan terhadap kebakaran yang terjadi dilakukan pada Blok Cipanas
yang memiliki ketinggian 2100 mdpl. Kebakaran yang terjadi pada bulan Agustus
tahun 2012 ini membakar lahan pada blok Cipanas seluas 68 ha. Kebakaran ini
diperkirakan terjadi akibat kelalaian manusia.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pohon dan tiang pada plot ini menghasilkan
basal area sebesar 17.35 m2 ha-1. Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa gangguan
yang dialami Blok Cipanas berada pada kelas terganggu berat.
Tabel 3 Basal area pohon pada kerusakan akibat kebakaran
Lokasi Basal Area Pohon (m2 ha-1) Tingkat Gangguan
Cipanas 17.35 Berat
Rata-rata 17.35 Berat
Jenis dominan yang tumbuh pada lokasi kebakaran adalah kiteke, suwagi
dan puspa, selain itu terdapat beberapa jenis lain seperti haruman, cerem, dan ki
lemo. Umumnya beberapa dari pohon yang terbakar masih dapat tumbuh kembali
karena masih hidup. Hal ini terlihat dari tunas-tunas daun yang muncul dari
cabang-cabang pohon yang menghitam karena terbakar.

Gambar 3 Kondisi lapangan pada lokasi pengamatan kebakaran


hutan pada Blok Cipanas
Jenis pohon yang memiliki kemampuan bertahan hidup paling tinggi
terhadap kebakaran adalah puspa (90.91%), diikuti oleh kiteke (46.43%), dan
suwagi (39.29%). Untuk jenis yang paling rentan dan memiliki persentase
bertahan hidup yang kecil adalah ki lemo (0%), diikuti oleh haruman (18.18%)
dan cerem (20%), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2. Persentase
kematian ki lemo yang mencapai 100% diperkirakan akibat liana yang umumnya
melilit pohon, sehingga api mudah menjalar hingga tajuk pohon melalui liana
yang membelit. Pohon puspa memiliki persentase bertahan hidup terbesar, hal ini
mungkin disebabkan karena hampir tidak ada liana yang melilit di pohon ini
sehingga tidak sampai mematikan tajuk pohon bila terjadi kebakaran. Tidak
9

adanya liana ini menunjukkan kontinuitas atau kesinambungan bahan bakar


rendah, hal ini menyebabkan kerentanan terhadap kebakaran lebih rendah
daripada yang memiliki kesinambungan bahan bakar yang tinggi.
Faktor yang menyebabkan pohon dapat tetap bertahan hidup setelah
kebakaran ada dua, yaitu ketahanan pohon terhadap api dan intensitas pembakaran
oleh api (Suratmo 1974). Ketebalan kulit pohon dan kandungan kadar airnya
merupakan faktor ketahanan pohon terhadap api.

Pencurian Kayu
Menurut UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 50 ayat 3e, illegal logging
adalah menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang.
Pengamatan mengenai pencurian kayu dilakukan pada 11 lokasi, yaitu Blok
Cipanas, Blok Pasir Leutik Kareumbi, Blok Cisurupan Panjang, Blok Dayeuh
Luhur, Blok Gunung Gede, Blok Gunung Golong, Blok Gunung Lingkung, Blok
Suangkung, Blok Tegal Mariuk, Blok Tegal Kirinyuh, dan Blok Tegal Panjang.
Pada blok-blok tersebut ditemukan pelanggaran berupa penebangan dan pencurian
kayu untuk dijadikan balok maupun arang. Beberapa jenis yang diambil adalah
jenis-jenis dari kayu bermutu tinggi. Pada lokasi pengamatan ditemukan ratusan
tunggak sisa penebangan dan balok-balok kayu yang tidak diangkut oleh pencuri
kayu.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan bekas pencurian kayu
memiliki basal area pohon rata-rata sebesar 26.58 m2 ha-1. Hal ini menunjukkan
bahwa pencurian kayu mengakibatkan ekosistem pada kesebelas blok pengamatan
mengalami gangguan pada tingkat sedang.
Tabel 4 Basal area pohon pada kerusakan akibat pencurian kayu
Lokasi Basal Area Pohon (m2 ha-1) Tingkat Gangguan
Cipanas 36.56 Sedang
Pasir Leutik Kareumbi 26.93 Sedang
Cisurupan Panjang 12.19 Berat
Dayeuh Luhur 15.52 Berat
Gn. Gede 20.49 Berat
Gn. Golong 28.24 Sedang
Gn. Lingkung 34.42 Sedang
Suangkung 21.88 Berat
Tegal Mariuk 21.63 Berat
Tegal Kirinyuh 39.27 Sedang
Tegal Panjang 35.27 Sedang
Rata-rata 26.58 Sedang
Berdasarkan Tabel 4 pada lokasi yang mengalami tingkat gangguan paling
berat ditemukan pada blok Cisurupan Panjang dengan basal area pohon sebesar
12.19 m2 ha-1. Pada lokasi pengamatan lainnya yang memiliki tingkat gangguan
berat adalah Blok Dayeuh Luhur (15.52 m2 ha-1), Blok Gunung Gede (20.49 m2
ha-1), Blok Tegal Mariuk (21.63 m2 ha-1), dan Blok Suangkung (21.88 m2 ha-1).
10

Gambar 4 Kayu pada plot contoh di blok Gunung Golong yang akan
diarangkan
Lokasi pengamatan yang mengalami gangguan tingkat sedang diantaranya
adalah Blok Tegal Kirinyuh dengan basal area pohon sebesar 39.27 m2 ha-1,
diikuti dengan Blok Cipanas (36.56 m2 ha-1), Blok Tegal Panjang (35.27 m2 ha-1),
Blok Gunung Lingkung (34.42 m2 ha-1), Blok Gunung Golong (28.24 m2 ha-1),
dan Blok Pasir Leutik Kareumbi (26.93 m2 ha-1).

Perambahan Kawasan
Perambahan hutan di ekosistem Gunung Papandayan telah terjadi sejak
tahun 1995. Lokasi perambahan ditanami oleh jenis sayuran seperti kentang,
wortel, kol, dan lain-lain. Penyebab terjadinya perambahan diakibatkan karena
adanya krisis moneter, yang menimbulkan banyak PHK, tidak teralokasikan pada
lahan tumpangsari di hutan produksi, adanya Kredit Usaha Tani (KUT) pemberi
modal yang tidak selektif, terbatasnya lahan pertanian dan lapangan kerja di luar
sektor pertanian serta lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi
hutan (BKSDA Jabar II 2003).
Menurut Samsudin (2006) motivasi dari para perambah adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup dasar, yaitu kebutuhan sehari-hari dan pendidikan
anak. Latar belakang terjadinya perambahan hutan sepertinya dikarenakan
sulitnya mencari pekerjaan, lahan hutan yang subur, aksesibilitas mudah
dijangkau dari tempat tinggal, dan kemudahan memasarkan hasil panen.
Sejak tahun 1924 sebagian kawasan Gunung Papandayan sudah ditetapkan
sebagai cagar alam, namun kegiatan pengelolaan perlindungan belum berjalan
dengan baik. Indikator adanya permasalahan di kawasan CAGP adalah terjadinya
kasus perambahan hutan seluas 340.38 ha pada tahun 1996-2003 atau sebanyak
5% dalam tujuh tahun (BKSDA Jabar II 2003).
Pengamatan mengenai perambahan dilakukan pada empat lokasi, yaitu
Nangklak, Waternime 1, Waternime 2 dan Cisurupan Panjang. Pada Blok
Nangklak perambahan kawasan cagar alam baru akan dilakukan, terlihat dari
tegakan kawasan hutan yang baru ditebang. Berdasarkan tunggak-tunggak pohon
yang tersisa diperkirakan kawasan dibuka seminggu sebelum dilakukan
pengamatan. Pada Blok Waternime 1 dan 2, perambahan yang dilakukan masih
terjadi hingga kini. Pihak pengelola telah melakukan tindakan terhadap peladang.
Namun hingga kini perladangan tersebut masih tetap berjalan, bahkan tampak
adanya upaya untuk memperluas lahan yang dimiliki dengan merambah kawasan
11

lebih jauh. Blok Cisurupan Panjang merupakan padang rumput seluas 20 ha.
Padang rumput ini dulunya merupakan tegakan hutan yang dirambah dan dibuka
menjadi perladangan. Akan tetapi sejak ditinggalkan dan tidak ditanami dengan
pohon kembali, kawasan ini menjadi tanah terbuka dan kemudian ditumbuhi oleh
rumput.

Gambar 5 Tunggak pohon yang ditemukan di lokasi gangguan


perambahan pada blok Nangklak

Tabel 5 menunjukkan bahwa basal area pohon rata-rata pada lokasi bekas
perambahan adalah sebesar 8.56 m2 ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa perambahan
mengakibatkan ekosistem pada keempat lokasi pengamatan mengalami gangguan
pada tingkat terganggu berat.
Tabel 5 Basal area pohon per hektar pada kerusakan akibat perambahan
Lokasi Basal Area Pohon (m2 ha-1) Tingkat Gangguan
Nangklak 5.11 Berat
Waternime 1 0 Berat
Waternime 2 29.11 Sedang
Cisurupan Panjang 0 Berat
Rata-rata 8.56 Berat
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa basal area pohon pada Blok Nangklak
adalah sebesar 5.11 m2 ha-1, dengan demikian Blok Nangklak termasuk dalam
kelas terganggu berat. Lokasi ini merupakan tahapan awal dari perambahan
kawasan.
Lokasi pengamatan selanjutnya pada Blok Waternime diambil dua lokasi
pengamatan yaitu Waternime 1 yang merupakan kawasan CAGP yang telah
dirambah dan Waternime 2 yang merupakan kawasan CAGP yang masih berupa
tegakan. Pada Waternime 1 basal area pohon adalah sebesar 0 m2 ha-1. Basal area
pohon yang mencapai angka 0 m2 ha-1 adalah dikarenakan tidak terdapat pohon
pada lokasi ini. Lokasi ini telah diubah menjadi ladang oleh perambah, sehingga
dikategorikan telah mengalami gangguan pada tingkat berat.
Pada Waternime 2 yang berupa tegakan memiliki basal area pohon 29.11
m2 ha-1. Lokasi ini termasuk dalam kelas terganggu sedang. Umumnya tegakan
yang menghilang dari lokasi ini adalah kelas pancang dan tiang.
Dalam plot contoh yang diamati pada Blok Cisurupan Panjang tidak
ditemukan pohon. Lokasi ini didominasi oleh berbagai macam tumbuhan bawah.
Kerapatan dari tumbuhan bawah yang dihitung adalah sebesar 125 714.30 ind ha-1.
12

Tumbuhan bawah pada lokasi ini didominasi oleh rumput lamjani yang memiliki
kerapatan hampir mencapai seperempat dari kerapatan tumbuhan bawah, yaitu
sebesar 56 785.71 ind ha-1. Basal area pohon mencapai 0 m2 ha-1, sehingga lokasi
ini dikategorikan kedalam kelas terganggu berat.
Padang rumput akibat perambahan pada Blok Cisurupan Panjang membuat
masuknya kegiatan penggembalaan liar. Penggembalaan liar ini dilakukan oleh
salah seorang masyarakat yang tinggal di perkampungan yang berbatasan
langsung dengan kawasan CAGP. Ternak yang digembalakan merupakan kerbau
yang berjumlah 13 ekor.
Kegiatan penggembalaan liar ini tampaknya masih belum ditindaklanjuti
oleh pihak BKSDA. Penggembala masih bebas membiarkan kerbau peliharaannya
berkeliaran memakan rumput yang telah menginvasi lahan tersebut. Bahkan,
penggembala merasa aman menggembalakan ternaknya pada kawasan tersebut
karena selama 3 tahun kerbau gembalaannya belum pernah hilang. Kerbau-kerbau
tersebut setiap harinya ditinggalkan dan dibiarkan bermalam di kawasan CAGP
hanya dengan penjagaan seekor anjing.
Berdasarkan penelitian Sinukaban et al. (2006), perambahan hutan akan
mempengaruhi aliran air sungai, dimana aliran DAS setiap tahunnya akan
mengalami pengurangan volume air. Kehilangan air tersebut terlihat jelas pada
musim kemarau. Dampak lainnya akibat perambahan adalah erosi tanah.

Faktor-Faktor Penyebab Gangguan

Faktor penyebab gangguan pada ekosistem Gunung Papandayan terdiri dari


tiga faktor, yaitu faktor alam, faktor manusia, dan aksesibilitas.

Faktor Alam
Kawah Papandayan hingga saat ini merupakan kawah aktif. Menurut Badan
Geologi sampai saat ini Gunung Papandayan sudah meletus 11 kali pada tahun
1772, 1882, 1923, 1924, 1925, 1926, 1927, 1942, 1993, 1998, dan terakhir pada
2002.

Faktor Manusia
Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Hutan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada seluruh responden,
diketahui masyarakat sekitar hutan Gunung Papandayan menggunakan beberapa
sumberdaya dari dalam kawasan. Jenis pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat
dari dalam kawasan hutan Gunung Papandayan dapat dilihat pada Tabel 6.
Masyarakat sekitar Gunung Papandayan umumnya memanfaatkan kawasan
sebagai akses jalan untuk menjangkau desa yang bersebrangan. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan, sebanyak 26% dari responden menggunakan kawasan
sebagai akses jalan. Beberapa responden juga pernah mengambil kayu dari
kawasan melalui penebangan secara ilegal, terlihat dari 42% responden yang
mengaku pernah memanfaatkan kayu. Selain itu sebanyak 35% dari responden
memanfaatkan kawasan TWA maupun CA untuk kegiatan rekreasi.
13

Tabel 6 Pemanfaatan sumberdaya alam di sekitar Gunung Papandayan


Desa (%)
Pemanfaatan Sumberdaya Jumlah
Kramat Sirna Cipa Pamu Suka
Alam (%)
Wangi jaya ganti lihan lilah
Akses jalan
 Memanfaatkan 7 0 1 16 2 26
100
 Tidak memanfaatkan 13 20 19 4 18 74
Kayu
 Memanfaatkan 16 6 9 6 5 42
100
 Tidak memanfaatkan 4 14 11 14 15 58
Rekreasi
 Memanfaatkan 11 5 2 16 1 35
100
 Tidak memanfaatkan 9 15 18 4 19 65
Sumber air
 Memanfaatkan 20 20 20 20 20 100
100
 Tidak memanfaatkan 0 0 0 0 0 0
Kayu bakar
 Memanfaatkan 1 1 2 0 1 5
100
 Tidak memanfaatkan 19 19 18 20 19 95
Tumbuhan obat
 Memanfaatkan 8 9 5 1 0 23
100
 Tidak memanfaatkan 12 11 15 19 20 77
Berburu
 Memanfaatkan 13 11 9 2 3 38
100
 Tidak memanfaatkan 7 9 11 18 17 62
Madu
 Memanfaatkan 9 11 10 7 4 41
100
 Tidak memanfaatkan 11 9 10 13 16 59
Jamur
 Memanfaatkan 9 1 9 6 11 36
100
 Tidak memanfaatkan 11 19 11 14 9 64
Masyarakat sekitar Gunung Papandayan juga sangat bergantung terhadap
keberadaan CAGP. Masyarakat membutuhkan sumber air dari dalam kawasan
untuk kegiatan pertanian dan perladangan. Hasil wawancara menunjukkan
sebanyak 100% responden menggunakan sumber air baik untuk kegiatan
perladangan maupun untuk kegiatan sehari-hari. Beberapa masyarakat juga masih
memanfaatkan kayu bakar, terlihat dari 5% responden yang menjawab masih
melakukan kegiatan mengumpulkan kayu bakar di dalam kawasan hutan.
Kegiatan berburu juga umumnya dilakukan oleh masyarakat sekitar.
Beberapa masyarakat menjadikan kegiatan berburu ini sebagai hobi. Dari
keseluruhan responden, 38% mengaku pernah melakukan kegiatan berburu.
Tumbuhan obat juga dimanfaatkan oleh 23% responden. Begitu pula dengan
madu yang dimanfaatkan oleh 41% responden, dan jamur yang dimanfaatkan juga
oleh 36% responden.

Kondisi Sosial Ekonomi


Mata pencaharian penduduk sekitar umumnya adalah petani atau buruh tani.
Tingkat pendapatan masyarakat per bulan disajikan dalam Tabel 7.
14

Tabel 7 Tingkat pendapatan masyarakat sekitar Gunung Papandayan


Desa (%)
Pendapatan Jumlah
Kramat Sirnajaya Cipaganti Pamulihan Sukalilah
(per bulan) (%)
wangi
˂Rp 400 000 7 3 3 3 3 20
Rp 400 000–
10 9 13 17 12 61
800 000
˃Rp 800 000 3 8 3 1 5 19
Jumlah (%) 20 20 20 20 20 100
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Sosial (2002) tingkat
kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu
kurang dari 2100 kalori per orang per hari dan konsumsi non makanan.
Berdasarkan hal tersebut Purnomo (2010) menghitung biaya untuk pemenuhan
konsumsi makanan dan konsumsi non makanan per orang sebesar Rp 208 024 per
bulan. Jika diasumsikan satu keluarga terdiri dari 4 orang maka jumlah
pendapatan yang diperoleh 1 keluarga untuk pemenuhan kebutuhan tersebut
adalah sebesar Rp 832 096 per bulan. Tingkat pendapatan masyarakat sekitar
Gunung Papandayan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu ˂Rp 400 000 per bulan
sebanyak 20% dari responden, Rp 400 000–800 000 per bulan (61%), dan ˃Rp
800 000 per bulan (19%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat
pendapatan responden termasuk dalam kategori dibawah garis kemiskinan.

Interaksi Masyarakat dengan Pihak Pengelola


Kegiatan penyuluhan maupun kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar Gunung Papandayan diakui masyarakat tidak pernah dilakukan
oleh pihak pengelola CAGP. Sebanyak 87% responden menjawab bahwa pihak
pengelola tidak berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dikarenakan tidak adanya komunikasi antara masyarakat dan pihak pengelola.
Bahkan beberapa responden menganggap bahwa pihak pengelola hanya
mengutamakan kepentingan instansi atau golongan tertentu.

Aksesibilitas
Kawasan TWA pada Gunung Papandayan mengakibatkan tersedianya akses
jalan bagi wisatawan menuju kawasan TWA. Namun akses jalan menuju TWA
tersebut justru mempermudah masyarakat untuk mencapai kawasan CAGP. Selain
itu perladangan yang umumnya berbatasan langsung dengan kawasan CAGP turut
mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap kawasan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1 Jenis-jenis gangguan yang terdapat pada ekosistem hutan Gunung Papandayan


adalah letusan gunung api, kebakaran hutan, pencurian kayu, dan perambahan
hutan.
15

2 Hasil identifikasi keparahan tingkat gangguan menunjukkan bahwa letusan


gunung api, kebakaran hutan, perambahan kawasan pada masing-masing
lokasi pengamatan mengakibatkan gangguan pada tingkat berat. Sedangkan
pencurian kayu pada lokasi pengamatan mengakibatkan gangguan pada
tingkat sedang.
3 Faktor-faktor penyebab terjadinya gangguan pada ekosistem hutan Gunung
Papandayan adalah faktor alam, faktor manusia, dan aksesibilitas

Saran

Pengendalian gangguan pada Gunung Papandayan dapat dilakukan melalui


patroli rutin di dalam kawasan dan dibangunnya pos-pos penjagaan disetiap
perbatasan hutan. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya peranan
kawasan hutan juga perlu dilakukan. Selanjutnya diperlukan penelitian lanjutan
untuk penentuan kondisi kesehatan hutan pada lokasi yang terganggu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Geologi. 2013. Gunung Papandayan–Sejarah Letusan [internet]. [diacu


2014 Januari 20]. Tersedia dari: http://www.vsi.esdm.go.id/ index.php/
gunungapi/ data-dasar-gunungapi/ 211-g-papandayan?start=1
[BKSDA] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Garut. 2004. Rencana
Pengelolaan Cagar Alam Gunung Papandayan Tahun 2005-2030. Garut (ID):
BKSDA
[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat. 2013.
Penurunan status Gunung Papandayan [internet]. [diacu 2013 Desember 18].
Tersedia dari: http://bpbd.jabarprov.go.id/index.php/component/k2/item/147-
penurunan-status-g-papandayan-status
[BPS] Badan Pusat Statistik, [Depsos] Departemen Sosial. 2002. Pengertian
Kemiskinan [internet]. [diacu 2014 Januari 20]. Tersedia dari:
http://www.policy.hu/Suharto/modul_a/makindo_30.htm
Kartodiharjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan. Jakarta (ID): Direktorat Wilayah Pengelolaan dan
Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan
MacKinnon J, MacKinnon K. 1986. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di
Daerah Tropika. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr
Purnomo H. 2010. Teknik Penetapan Garis Kemiskinan Untuk Menghitung
Jumlah Penduduk Miskin [internet]. [diacu 2014 Januari 20]. Tersedia dari:
http://banten.bps.go.id/download/kemiskinan.pdf
Rahayu W. 2006. Suksesi vegetasi di Gunung Papandayan pasca letusan tahun
2002 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Samsudin. 2006. Karakteristik dan pola perambahan kawasan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Sinukaban N, Pawitan H, Tarigan SD, Hidayat Y. 2006. Kajian dampak
perambahan hutan Taman Nasional Lore Lindu terhadap fungsi hidrologi dan
beban erosi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
16

Smiet AC. (1992). Forest ecology on Java: human impact and vegetation of
montane forest. J Tropical Ecology. 8:129-152
Sopari Y. 2008. Penilaian dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi di KPH
Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Suratmo FG. 1974. Perlindungan hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Zuhri M, Sulistyawati E. 2007. Pengelolaan perlindungan Cagar Alam Gunung
Papandayan [internet]. [diunduh 2013 Februari 15]. Tersedia dari:
http://www.sith.itb.ac.id/profile/databuendah/Publications/6.%20Musyarofah%
20Zuhri_IATPI%202007.pdf
17

Lampiran 1 Peta Gunung Papandayan


18

Lampiran 2 Kondisi pohon pada lokasi bekas letusan dan kebakaran hutan
1 Persentase kemampuan bertunas pohon pada tiap lokasi pengamatan di
kawasan bekas letusan
Kondisi Pohon (%)
Lokasi
Bertunas Mati
Nangklak 0 100
Gn. Masigit 1 14.29 85.71
Gn. Masigit 2 33.82 66.18
Gn. Masigit 3 7.69 92.31
Rata-rata 13.95 86.05

2 Persentase kemampuan bertunas pohon tiap jenis pada lahan bekas kebakaran
di blok Cipanas
Kondisi Pohon (%)
Jenis Nama Ilmiah
Bertunas Mati
Kiteke Myrica javanica 46.43 53.57
Puspa Schima walichii 90.91 9.01
Suwagi Vaccinium varingifolium 39.29 60.71
Haruman Albizia Montana 18.18 81.82
Cerem Macropanax dispermum 20 80
Ki Lemo Litsea cubeba 0 100
Rata-rata 35.81 64.19
19

Lampiran 3 Lokasi rawan kebakaran pada kawasan Gunung Papandayan dan


upaya pencegahannya
Blok Luas (ha) Upaya Pencegahan
Sioplet Darajat 30 Patroli rutin dan pengawasan
Nangklak 50 Patroli rutin
Tegal Paku 70 Patroli rutin
Tegal Bungbrun 300 Patroli rutin
Cagak Gunting 60 Patroli rutin
Lutung 60 Patroli rutin
Sumber : Rencana Pengelolaan Cagar Alam Gunung Papandayan 2005-2030
20

Lampiran 4 Rekapitulasi Kejadian Kebakaran hutan di ekosistem hutan Gunung


Papandayan
Bulan/Tahun Kawasan Blok Luas (ha) Tindak Lanjut Lapangan
Agustus 2002 CA Papandayan Garogol 1 Pemadaman langsung
oleh 2 orang petugas dan
10 orang sukarelawan
Oktober 2002 CA dan TWA Cipanas 50 Pemadaman langsung
Papandayan oleh 12 orang petugas
dan 27 orang
sukarelawan
Oktober 2002 CA Papandayan Cahaya Tidak Pemadaman langsung
diketahui oleh petugas dan
sukarelawan
2012 CA Papandayan Leter S 30 Pemadaman langsung
oleh petugas dan
sukarelawan
2012 CA Papandayan Sorog 7 Pemadaman langsung
Teko oleh petugas dan
sukarelawan
Sumber : Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Bandung
21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Biak pada tanggal 09 Desember 1991 dari


pasangan Bapak Hasian Parningotan dan Ibu Yeti Supriati. Penulis merupakan
anak pertama dari empat bersaudara. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai
pada tahun 1995–1997 di TK Yayasan Pendidikan Islam V Jayapura, kemudian
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 314 Palembang pada
tahun 1997–2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di MTs
Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga, Palembang sampai tahun 2006,
kemudian melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah 1 Palembang
pada tahun 2006–2009. Setelah tamat SMA, penulis diterima di Fakultas
Kehutanan Program Studi S1 Silvikultur pada tahun 2009 melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan Praktek Kerja Profesi (PKP)
di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Gunung Papandayan yang berada
dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Garut, Jawa Barat.
Penulis pernah bergabung dalam Himpunan Profesi Tree Grower Community
(TGC) Divisi Kominfo pada tahun 2010–2011 dan DKM Ibadurrahman Divisi
Syiar pada tahun 2010–2011.

Anda mungkin juga menyukai