Anda di halaman 1dari 90

LAPORAN KEGIATAN PRAKTIK KERJA PROFESI

PENGELOLAAN HUTAN DI PERUM PERHUTANI


UNIT II JAWA TIMUR KPH BANYUWANGI SELATAN

VARA DITA PURI NINGTYAS


MAR’ATUN CHASANAH
DZIKRY LESMANA SYAMSUDIN
ARYANDA ANWAR SANUSI
LIVIANA MAKRUFAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Judul Laporan : Laporan Kegiatan Praktik Kerja Profesi Pengelolaan Hutan di
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Banyuwangi Selatan

Nama : Vara Dita Puri Ningtyas


Mar’atun Chasanah
Aryanda Anwar Sanusi
Dzikry Lesmana Syamsudin
Liviana Makrufah

NIM : E44140016
E44140028
E44140036
E44140055
E44140089

Disetujui oleh
Ketua Pelaksana Pembimbing Praktik

Dr Ir Omo Rusdiana, MSc


NIP. 19630119 198903 1 003

Diketahui oleh
Ketua Departemen Silvikultur

Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MSi


NIP. 19660921 199003 2 001

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmatNya penulis
dapat menyelesaikan laporan kegiatan Praktik Kerja Profesi (PKP) di Perum
Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Praktik Kerja Profesi (PKP) merupakan salah
satu kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB
khususnya Departemen Silvikultur yang telah menyelesaikan kegiatan perkuliaha n
selama 6 semester dan telah mengikuti Praktik Umum Kehutanan (PUK). Praktik
ini bertujuan untuk mengaplikasikan ilmu dan teori kehutanan yang telah diperoleh
dari kegiatan perkuliahan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
dan Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MSc Ftrop selaku dosen pembimbing, staff di
Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan, serta teman-teman yang telah
membantu dalam menyelesaikan laporan kegiatan ini. Semoga laporan ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca. Kritik dan saran senantiasa
penulis harapkan supaya penyusunan laporan bisa lebih baik kedepannya.

Bogor, Oktober 2017

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PRAKATA ii
DAFTAR ISI iii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Umum 1
Tujuan Khusus 2
KONDISI UMUM LOKASI PRAKTIK 2
Letak dan Luas 2
Kondisi Vegetasi 3
Aksesbilitas 3
Iklim 3
Jenis Tanah 3
Topografi 4
Sosial Ekonomi 4
METODE 5
Waktu dan Tempat 5
Alat dan Bahan 6
Prosedur Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
MATERI UMUM 7
Materi Umum Perencanaan 7
Rencana Pengelolaan Hutan 7
Penataan Batas Kawasan 8
Penataan Areal Kerja 9
Materi Umum Silvikultur 9
Teknik dan Manajemen Pengadaan Benih 9
Teknik dan Manajemen Persemaian 10
Pengadaan Bibit 11
Teknik Pembuatan Stek 12
Pemeliharaan Bahan Stek di Propagation House 12
Persentase Berakar 13
Seleksi Bibit 13
Pengadaan Bibit 13
Manajemen Persemaian 14
Pemeliharaan di Persemaian 14
Permasalahan yang Dihadapi 14
Penanaman 14
Teknik dan Manajenem Pemeliharaan Tanaman 16
Materi Umum Pemanenan Hasil Hutan 18
Pemanenan Hasil Hutan Kayu 18
Pemanenan Hasil Hutan Bukan Kayu 19
Materi Umum Pengelolaan Kawasan Lindung 19
Materi Umum Perlindungan dan Pengamanan Hutan 20
Materi Umum Pemberdayaan Masyarakat 21
MATERI KHUSUS 23
Pola Penanaman Agroforestri di BKPH Karetan Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan 23
Serangan Hama Inger-Inger pada Tegakan Jati (Tectona Grandis) di KRPH
Curahjati BKPH Curahjati KPH Banyuwangi Selatan 31
Potensi Kebakaran Hutan di Perum Perhutani Banyuwangi Selatan 38
Ganggguan Hutan di KPH Banyuwangi Selatan 46
Manajemen Persemaian Jati Di Persemaian Permanen KRPH Pecinan, BKPH
Genteng, KPH Banyuwangi Selatan 52
SIMPULAN DAN SARAN 58
Simpulan 58
Saran 59
DAFTAR PUSTAKA 59
LAMPIRAN 60

DAFTAR TABEL

1 Tabel 1 Topografi Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 4


2 Tabel 2 Mata pencaharian penduduk BH Genteng dan BH
Belambangan 4
3 Tabel 3 Tingkat pendidikan masyarakat BH Genteng dan BH
Blambangan 5
4 Tabel 4 Pembagian wilayah pengelolaan hutan di BKPH Banyuwangi
Selatan 7
5 Tabel 5 Struktur kelas hutan di KPH Banyuwangi Selatan 9
6 Tabel 6 Pola tanam agroforestri di Perum Perhutani KPH Banyuwangi
Selatan 25
7 Tabel 7 Jumlah pohon terserang hama inger-inger di KRPH Curahjati
BKPH Curahjati KPH Banyuwangi Selatan 33
8 Tabel 8 Rata-rata persentase kerusakan tanaman jati akibat serangan
hama inger-inger di KRPH Curahjati, BKPH Curahjati, KPH
Banyuwangi Selatan 34
9 Tabel 9 Tingkat kerawanan areal Perum Perhutani BKPH Karetan 38
10 Tabel 10 Hasil pengukuran serasah petah 19A 40
11 Tabel 11 Intensitas serangan, persentase serangan, dan kriteria kerusakan 47
12 Tabel 12 Penyulaman pada tiap bedengan 56
13 Tabel 13 Tenaga kerja di persemaian RPH Pecinan 58

DAFTAR GAMBAR

1 Gambar 1 Pal batas yang berbatasan dengan jalan di KRPH Pecinan 8


2 Gambar 2Lay out persemaian di BKPH Pecinan 10
3 Gambar 3Tata letak blok Kebun Pangkas (berdasarkan kontur) 11
4 Gambar 4Kebun pangkas jati Klon B 11
5 Gambar 5(a) Tunas yang dipetik untuk bahan stek 12
(b)Pemberian hormon IBA untuk stek pucuk 12
6 Gambar 6 (a)Persemaian stek pucuk 12
(b) Pemeliharaan di dalam bedeng propogation house 12
7 Gambar 7 (a) Penanaman pada petak 61A 15
(b) Pengukuran tinggi dan diameter batang 15
(c) Tanaman pengisi 15
(d) Tanaman sela 15
8 Gambar 8 (a) Pemangkasan 16
(b) Pendangiran 16
9 Gambar 9 (a) Pembuatan blok PCP 17
(b) Pengkleman pohon untuk penunjuk arah PCP 17
(c) Pohon tanda arah PCP 17
(d) Penulisan data pohon dijarangi 17
10 Gambar 10 (a) Tebang penjarangan 18
(b) Peleteran pangkal pohon 18
(c)Pengukuran diameter pohon 18
(d) Tebang habis 18
(e)-(f) Peleteran tunggak dan pangkal pohon 18
11 Gambar 11 (a) Pembuatan mal sadap 19
(b) Pemasangan batok sadap 19
(c)-(d) Pengumpulan getah 19
12 Gambar 12 Kawasan lindung pantai Pasir Gedong 19
13 Gambar 13 (a) Patroli malam di Alas Baung 20
(b) Patroli siang di sekitar Situs Belik Pakis 20
14 Gambar 14 (a) Wawancara dengan pesanggem 21
(b) PHBM KRPH Karetan 21
(c) PHBM BKPH Blambangan 21
(d) Kunjungan kepada peternak sapi perah 21
15 Gambar 15 Plot lingkaran 22
16 Gambar 16 (a)-(b) Kombinasi tanaman jati dengan jagung 23
(c)kombinasi tanaman jati dengan jagung (tutup kontrak) 23
(d) kombinasi tanaman jati dengan tanaman cabai 23
17 Gambar 17 Sketsa pola tanam jati Perhutani yang dikombinasikan
dengan sistem agroforestri 24
18 Gambar 18 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon 25
(b) Grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon 25
19 Gambar 19 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon 26
(b) Grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon 26
20 Gambar 20 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon 26
(b)Grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon 26
21 Gambar 21 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon 27
(b) Grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon 27
22 Gambar 22 Pengukuran diameter tegakan jati di petak 85F 27
23 Gambar 23 Serangan hama inger-inger (Neotermes tectonae); (a) Lubang pada
tanaman jati, (b) Gejala serangan hama inger-inger; (c)Dampak
serangan hama inger- inger. 33
24 Gambar 24 Frekuensi kebakaran hutan di KPH Banyuwangi Selatan 40
25 Gambar 25 Pengukuran ketebalan serasah di petak 19A 40
26 Gambar 26 Persentase partisipasi masyarakat dalam penyuluhan 42
27 Gambar 27 Papan larangan membakar hutan di KPH Banyuwangi
Selatan 43
28 Gambar 28 Gejala penyakit bercak daun pada bibit jati 47
29 Gambar 29 Serangan bercak daun berdasarkan skor (a) skor 0, (b) skor 1, (c)
skor 2, (d) skor 3, (e) skor 4, dan (f) skor 5. 48
30 Gambar 30 Grafik persentase bibit tiap skor 49
31 Gambar 31 Struktur organisasi BKPH Genteng 52
32 Gambar 32 (a) Tanaman teh-tehan untuk pagar wilayah (b) Naungan dari
paranet dan pohon mindi 53
33 Gambar 33 Top soil yang digunakan sebagai media tanam 54
34 Gambar 34 a) Kebun pangkas klon B, (b) pohon jati dan pucuk yang akan
dijadikan stek 55
35 Gambar 35 (a) Plang informasi persemaian, (b) Rekapitulasi kebutuhan bibit
tahun 2017 55
36 Gambar 36 Bibit jati terserang penyakit 57

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lampiran 1 Biodata Peserta 30


2 Lampiran 2 Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Banyuwangi
Selatan 31
3 Lampiran 3 Struktur organisasi Perum Perhutani KPH Banyuwangi
Selatan 32
4 Lampiran 4 Tally sheet pengukuran diameter dan tinggi pohon yang
dikombinasikan dengan sistem agroforestri 33
5 Lampiran 5 Daftar pertanyaan dengan pesanggem 42
6 Lampiran 6 Unsur-Unsur Penilaian oleh Pembimbing Lapangan 43
7 Lampiran 7 Jurnal Kegiatan Harian 44
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan adalah satu kesatuan ekosistem yang didominasi oleh pepohonan


dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan, terdapat interaksi antarkomponen penyusunnya dengan lingkunga n
hutan serta membentuk kesatuan komplek dalam ekosistem hutan. Pengelolaa n
hutan ditujukan untuk mengatur dan memanajemen hutan beserta hasil hutan agar
tercapai kelestarian secara ekologi maupun kelestarian hasil hutan. Salah satu
lembaga pengelola hutan yang ada di Pulau Jawa adalah Perum Perhutani.
Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bergerak di bidang Kehutanan dan mengemban tugas serta wewenang untuk
menyelenggarakan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) dengan
memperhatikan aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan. Salah satu unit
manajemen sumberdaya hutan Perum Perhutani Divisi Regional Unit II Jawa Timur
adalah KPH Banyuwangi Selatan. Perum Perhutani awalnya berada di bawah
Departemen Kehutanan diberi tanggung jawab dan hak pengelolaan hutan di Pulau
Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak tahun 1972 berdasarkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 1972, wilayah kerja Perum Perhutani
selanjutnya diperluas hingga Provinsi Jawa Barat berdasarkan PP Nomor 2 tahun
1978.
Berdasarkan perkembangannya, Perhutani telah menghadapi banyak
problematika terkait dengan pengelolaan hutan baik secara ekologi, ekonomi
maupun sosial. Berbagai upaya dan strategi telah dilakukan oleh Perum Perhutani
terkait tindakan pengelolaan hutan. Oleh karena itu, perlu adanya sistem
pengelolaan yang terpadu mulai dari perencanaan hutan hingga pemanenan hasil
hutan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara optimal. Melalui kegiatan
Praktik Kerja Profesi (PKP) ini diharapkan mahasiswa dapat mempelajari kondisi
dan mengaplikasikan ilmu kehutanan yang dijumpai pada lokasi praktik.
Serangkaian kebijakan dan pengelolaan hutan telah dipelajari dalam praktik ini
yang meliputi perencanaan hutan, pemanenan hasil hutan, konservasi sumberdaya
hutan, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, serta pembinaan hutan dari aspek
silvikultur, perlindungan hutan, dan ekologi hutan.

Tujuan Umum

Tujuan dari Praktik Kerja Profesi (PKP) ini secara umum yaitu sebagai
berikut, (1) mahasiswa memperoleh kemampuan dalam kegiatan pengelolaan hutan
secara profesional melalui pemahaman konsep atau teori, melalui informasi dan
pemahaman implementasi teori oleh unit pengelolaan hutan serta pengembanga n
kemampuan teknis melalui penerapan teori di lokasi praktik, (2) untuk membangun
kemampuan dalam melakukan kegiatan pengelolaan hutan secara langsung di
lapangan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan kehutanan khususnya di
bidang silvikultur, (3) menghayati kehidupan dan suasana kerja dalam pengelolaa n
hutan di perusahaan Perhutani, serta (4) mengembangkan kepribadian, kerjasama
tim, etos kerja dan etika profesi yang baik dalam lingkungan kehutanan dan
kehidupan rimbawan.
2

Tujuan Khusus

Tujuan Praktik Kerja Profesi (PKP) ini secara khusus yaitu sebagai berikut.
1. Mengkaji pola penanaman agroforestri dan pengaruhnya terhadap pertumbuha n
jati (Tectona grandis) di BKPH Karetan Perum Perhutani KPH Banyuwa ngi
Selatan serta mengetahui peranannya terhadap masyarakat sekitar hutan.
2. Melakukan identifikasi serangan hama inger-inger pada tanaman jati di BKPH
Curahjati Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan.
3. Mengkaji faktor penyebab kebakaran hutan dan upaya pengendalian yang
dilakukan di BKPH Karetan , KPH Banyuwangi Selatan.
4. Mengetahui serangan penyakit persemaian jati di RPH Pecinan, BKPH Genteng
Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan.
5. Mengidentifikasi masalah, perumusan masalah, pengumpulan data, analisis dan
sintesis serta mengetahui dan mengerti manajemen persemaian di KPH
Banyuwangi Selatan, Jawa Timur.

KONDISI UMUM LOKASI PRAKTIK

Letak dan Luas

Kabupaten Banyuwangi merupakan kawasan yang terletak pada ujung timur


Provinsi Jawa Timur. Terdapat tiga bagian kawasan pengelolaan hutan di
Kabupaten Banyuwangi yaitu Banyuwangi Utara, Banyuwangi Barat dan
Banyuwangi Selatan. KPH Banyuwangi Selatan merupakan kawasan pengelolaa n
yang melingkupi wilayah mulai dari Kecamatan Genteng, Pesanggaran hingga
Blambangan. Secara geografis KPH Banyuwangi Selatan terletak pada 8 o 16’ 33”
sd 8o 26’ 40” LS dan 7o 1’ 13” sd 7o 47’ 46” BT. Luas areal pengusahaan hutan
tanaman Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan sesuai Peta Fungsi Hutan
Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan, yaitu seluas 43 818 ha yang terdiri atas
37 974.4 ha Hutan Produksi dan 5 834.60 Ha Hutan Lindung yang secara
administratif masuk dalam wilayah kawasan hutan Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan dan keseluruhan masuk Pemerintahan Kabupaten
Banyuwangi (Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020).
Wilayah administrasi Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan
berdasarkan data Perhutani KPH Banyuwangi Selatan (2011-2020) terdiri atas tiga
bagian yaitu bagian timur, bagian tengah dan bagian barat. Bagian barat memilik i
keadaan lapang bergelombang hingga curam, bagian tengah memiliki keadaan
lapang datar, bergelombang dan curam serta bagian timur memiliki keadaan lapang
pegunungan bergelombang. Terdapat dua pembagian wilayah hutan di Perum
Perhutani KPH Banyuwangi Selatan, yaitu BH Genteng seluas 26 362.25 ha dan
BH Blambangan seluas 17 455.74 ha dengan kelas perusahaan kayu jati. Penataan
areal kerja terhadap pembagian hutan tersebut terdiri atas kawasan lindung,
kawasan produksi, kawasan perlindungan serta kawasan penggunaan lain.
3

Kondisi Vegetasi

Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan termasuk pengelola hutan


tanaman dengan kelas perusahaan jati. Tanaman jati merupakan tanaman pokok
yang ditanam oleh Perhutani dengan sistem tumpangsari dan banjarharia n.
Penggunaan tutupan lahan pada tahun 1991-2000 memiliki jumlah luas kelas
perusahaan jati yang paling tinggi seluas 185 ha, pada awal tahun 2001 mengala mi
penurunan menjadi 16 391.40 ha dan pada awal tahun 2011 meningkat kembali
menjadi 19 156 ha. Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan selain memilik i
kelas perusahaan jati juga memiliki kelas perusahaan pinus. Susunan hutan kelas
perusahaan pinus hanya terdapat di BKPH Genteng dan BKPH Pesanggaran. Kelas
perusahaan pinus di BKPH Genteng berada di RPH Pecinan tahun tanam 2013 dan
2014 dengan luas areal 134.33 ha, sedangkan kelas perusahaan pinus yang terdapat
di BKPH Pesanggaran seluas 637.7 ha (Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-
2020).

Aksesbilitas

Akses penunjang menuju wilayah Banyuwangi Selatan berupa sarana jalan.


Wilayah Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan berjarak ± 55 km dari kantor
pusat yang terletak di Kota Banyuwangi. Kegiatan pokok untuk penyiapan sarana
dan prasarana di KPH Banyuwangi Selatan meliputi pembangunan jalan sarad,
perbaikan jalan angkutan, pembuatan pos tebangan, pembuatan gubuk kerja,
pembuatan pos keamanan, pembangunan dan pemeliharaan Stasiun Pemantauan
Lingkungan (SPL). Prasarana jalan dan jembatan di luar kawasan hutan merupakan
faktor yang penting dalam pengelolaan kawasan hutan karena dapat digunakan
sebagai jalan angkutan hasil hutan. Di luar kawasan hutan Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan, terdapat fasilitas jalan umum yang dilalui banyak kendaraan
dan digunakan oleh Perhutani sebagai jalan angkutan kayu dari hutan ke Tempat
Penimbunan Kayu (TPK) dan dari industri, pengolahan milik konsumen kayu, jalan
angkutan hasil hutan bukan kayu serta jalan menuju wisata Perum Perhutani.
Pembuatan alur dalam kegiatan pembagian hutan berfungsi untuk membatasi
antarpetak, pengangkutan hasil hutan dan patroli.

Iklim

Keadaan Iklim di Banyuwangi Selatan dibagi menjadi 2 musim yaitu musim


kemarau di bulan April-Oktober dan musim hujan di bulan Oktober-April.
Penentuan tipe iklim di wilayah BH Genteng dan BH Blambangan ditentukan dari
perbandingan rata-rata bulan basah dan rata-rata bulan kering, sehingga diketahui
bahwa dari data 5 tahun terakhir tipe iklim di BH Blambangan ada tipe D dan BH
Genteng tipe B (Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020).

Jenis Tanah

Berdasarkan survei dari Direktorat Tata guna tanah dan Direktorat Jendral
Agraria Departemen Dalam Negeri tahun 1986 jenis dan tipe tanah di KPH
Banyuwangi selatan sebagian besar merupakan jenis tanah latosol coklat
4

kemerahan dan latosol sedang agak tua (Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-
2020).

Topografi

Secara makro wilayah KPH Banyuwangi Selatan memiliki keadaan topogr afi
datar, bergelombang dan berbukit. Kawasan hutan di Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan didominasi oleh kelas lereng landai dan datar dengan
presentase masing- masing 38.85% dan 33.86% (Perhutani KPH Banyuwa ngi
Selatan 2011-2020).
Tabel 1 Topografi Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan
No Kelerengan Luas Presentase (%)
1 Datar 14835.46 33.86
2 Landai 17023.90 38.85
3 Agakcuram 7247.40 16.54
4 Curam 4519.60 10.31
5 Alur 191.63 0.44
Jumlah 43818.00 100.00
Sumber: Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020

Sosial Ekonomi

Aspek kelembagaan sosisal masyarakat berupa program Pengelolaan Hutan


Bersama Masyarakat (PHBM) melalui pembentukan Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) sebagai wadah resmi masyarakat untuk bekerjasama dan
berkomunikasi dengan Perhutani. Kondisi sosial ekonomi masyrakat berpengaruh
langsung terhadap sumberdaya hutan antara lain jumlah penduduk, mata
pencaharian, dan kepemilikan lahan. Sebagian besar adalah petani dan buruh tani
yang berkisar 45,42% dari 148.615 orang dan rata-rata berumur 20-64 tahun.
Bermata pencaharian lain mencapai 12,56%, sebagai TNI dan Pegawai Negeri Sipil
mencapai 4,27%, Karyawan Swasta 15,21%, Wiraswasta 14,08% dan Tuna Karya
0,29%. Adapun mata pencaharian masyarakat di BH Genteng dan BH Blambanga n
adalah sebagai berikut.
Tabel 2 Mata pencaharian penduduk BH Genteng dan BH Belambangan
Petani
dan PNS Karyawan Tuna
No Desa Kecamatan Wiraswasta Lainnya
Buruh & TNI swasta Karya
Tani
1. Temurejo Bangorejo 5 851 180 76 599 564 -
2. Karangharjo Glenmore 7 719 181 1 686 2 158 3 609 -
3. Kalibaru manis Kalibaru 3 119 271 299 841 27 -
4. Kebunrejo 3 762 325 167 568 92 78
Pesanggara
5. Pesanggaran 4 215 915 2 897 1 099 4 965 223
n
6. Sumberagung 3 762 325 167 568 92 78
7. Sumbermulyo 2 268 1 218 1 017 2 018 266 29
8. Glagah Purwoharjo 2 736 815 264 231 29 -
9. Grajagan 4 289 - - - - -
10. Karetan 901 - - - - -
11. Sumberasri 2 845 109 963 474 479 21
12. Barurejo Siliragung 7 081 259 2 058 2 201 3 164 -
5

Petani
dan PNS Karyawan Tuna
No Desa Kecamatan Wiraswasta Lainnya
Buruh & TNI swasta Karya
Tani
13. Buluagung 2 159 118 3 025 1 125 1 184 -
14. Seneporejo 2.481 1 098 1 081 1 208 503 -
15. Kalipait Tegaldlimo 3 491 61 1 404 1 088 584 -
16. Kedungsari 3 821 125 1 822 1 001 827 -
17. Kedunggebang 5 875 148 3 391 1 871 292 -
18. Kendalrejo 2 358 51 1 011 758 761 -
19. Purwoagung 1 429 72 1 014 1 081 885 -
20. Karangndoro Tegalsari 3 641 69 181 865 173 -
21. Tegalharjo 5 851 - 76 1 170 173 -
Total 79 654 6 340 22 599 20 924 18 669 429
Sumber: Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020

Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk desa sekitar hutan di wilayah


KPH BWS sebagian besar tamat SMA dengan presentase 38%, tamat SMP 32%,
tamat SD 2%, tidak tamat SD 2% (Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020).
Tingkat pendidikan masyarakat BH Genteng dan BH Blambangan dapat disajikan
dalam tabel berikut.
Tabel 3 Tingkat pendidikan masyarakat BH Genteng dan BH Blambangan
Desa / Tidak Tamat Tamat
Kecamatan Tamat SD Sarjana
Kelurahan tamat SD SM P SM A
Barurejo Siliragung 549 2 814 5 410 4 966 1 024
Buluagung Siliragung 102 1 971 2 015 2 815 700
Gelagah Purwoharjo 29 108 2 256 3 987 792
Grajagan Purwoharjo 1 274 4 673 2 583 5 274 259
Kalibaru
Kalibaru 51 1 285 3 459 3 981 942
M anis
Kalipait Tegaldlimo 49 2 021 2 358 1 999 201
Karangharjo Glenmore 187 1 481 2 158 4 985 489
Kebonrejo Kalibaru 101 1 984 3 691 2 941 1 116
Kedungsari Tegaldlimo 109 2 558 2 521 2 008 400
Kedunggebang Tegaldlimo 220 2 820 3 415 4 818 304
Kendalrejo Tegaldlimo 67 1 057 1 987 1 587 241
Pesanggaran Pesanggaran 159 998 6 075 3 877 1 214
Purwoagung Tegaldlimo 108 1 578 1 058 1 647 90
Seneporejo Siliragung 109 1 037 2 584 2 229 412
Sumberagung Pesanggaran 101 1 984 3 691 2 941 2 941
Sumberasri Purwoharjo 29 214 2 148 3 019 937
Sumbermulyo Pesanggaran 62 758 1 633 3 361 1 002
Temurejo Bangorejo 251 1 804 2 015 3 908 218
Total 3 557 31 145 51 057 60 343 13 282
Sumber: Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020

METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan Praktik Kerja Profesi (PKP) dilaksanakan selama 30 hari dari bulan
Juli-Agustus 2017 di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Banyuwa ngi
Selatan.
6

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam kegiatan PKP ini adalah alat tulis, pita ukur,
meteran jahit, haga, tali tambang, kamera, laptop, tally sheet. Bahan yang
digunakan adalah dokumen-dokumen penunjang praktikum, seperti Rencana
Teknik Tahunan (RTT) dan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) serta
tegakan jati di BKPH Karetan, KPH Banyuwangi Selatan.

Prosedur Analisis Data

Praktik pengelolaan hutan dilakukan sesuai dengan kondisi hutan tanaman di


Perum Perhutani Divisi Regional Unit II Jawa Timur KPH Banyuwangi Selatan.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi kegiatan praktik materi umum dan materi
khusus.

Materi Umum
Materi umum yang dikaji dalam kegiatan PKP meliputi seluruh kegiatan
pengelolaan dan pembinaan hutan tanaman. Pengambilan data materi umum
dilakukan melalui studi pustaka (laporan-laporan kegiatan, petunjuk teknis) dan
melakukan kunjungan lapangan terkait kegiatan pengelolaan hutan tanaman yang
meliputi kegiatan perencanaan hutan, pembinaan hutan (kegiatan pengadaan benih,
persemaian, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan perlindungan hutan),
penelitian dan pengembangan serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Lamanya waktu praktik yang digunakan adalah selama 2 minggu.

Materi Khusus
Materi khusus yang dikaji dalam kegiatan PKP ini yaitu mendalami materi
pola agroforestri yang diterapkan serta pengaruhnya terhadap pertumbuha n
tanaman pokok jati, identifikasi serangan hama inger-inger, mengkaji faktor
penyebab kebakaran hutan dan upaya pengendalian yang dilakukan, mengetahui
serangan penyakit persemaian jati, serta mengidentifikasi hingga menganalis is
masalah terkait dengan manajemen persemaian di Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan.
Pola agroforestri diamati dengan melakukan pengukuran diameter dan tinggi
pohon jati dan wawancara dengan petugas lapangan maupun masyarakat sekitar
kawasan hutan. Identifikasi hama inger-inger dilakukan dengan membuat plot
lingkaran berukuran r = 17.8 m sebanyak dua plot, kemudian menghitung luas
serangan (LS) serta intensitas serangan (IS). Pengkajian faktor penyebab kebakaran
hutan serta upaya pengendalian dilakukan dengan pengamatan langsung di
lapangan yang meliputi pengukuran ketebalan serasah di sekitar lantai hutan dan
menggunakan data sekunder yaitu data dari staff yang berisi tentang informasi yang
berkaitan dengan kegiatan pengelolaan hutan tanaman dan frekuensi kebakaran
hutan, serta melakukan wawancara kepada masyarakat sekitar hutan. Pengamatan
persentase serangan hama dan penyakit pada semai dilakukan dengan menghitun g
jumlah semai yang terserang lalu dibagi dengan jumlah seluruh semai dalam satu
bedeng dan dikalikan dengan 100 %. Kegiatan identifikasi terkait dengan
manajemen persemaian dilakukan dengan mengamati, mengukur serta wawancara
atau diskusi dengan petugas lapangan maupun masyarakat sekitar kawasan hutan.
7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Materi Umum Perencanaan

Rencana Pengelolaan Hutan


Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan memiliki kelas perusahaan jati.
Berdasarkan Rencana Pengelolaan Kelestarian Hutan (RPKH) periode 2011-2020
dengan revisi jangka perusahaan tahun 2016-2020, luas KPH Banyuwangi Selatan
yaitu 43 818 ha. Rencana pengelolaan terhadap sumber daya hutan dilakukan dari
beberapa aspek yakni aspek produksi, aspek kelola sosial, dan aspek lingkunga n.
Sistem perencanaan hutan di Perum Perhutani terdiri atas dua sub sistem, yaitu sub
sistem rencana perusahaan yang meliputi rencana jangka panjang, jangka
menengah dan jangka pendek. Sub sistem perencanaan hutan terdiri atas RPKH dan
RTT. Rangkaian rencana pengelolaan hutan di KPH Banyuwangi Selatan meliputi
penataan hutan, persiapan tanaman, persemaian, pelaksanaan penanaman,
pemeliharaan tanaman, perlindungan dan pengamanan hutan, pembuatan dan
pemeliharaan sarana jalan, pemanenan hasil hutan, pengangkutan hasil hutan,
penanganan tenaga kerja, kemitraan dan pemberdayaan masyarakat serta penelitia n
dan pengembangan.
Rancangan Pengaturan Kelestarian Hasil Hutan (RPKH) merupakan rencana
strategis atau pengelolaan hutan selama 10 tahun. Penyususnan RPKH dilakukan
oleh Seksi Perencanaan Hutan (SPH) yang selanjutnya diserahkan kepada biro
perencanaan untuk disahkan menjadi rencana pengelolaan hutan setiap Bagian
Hutan dari suatu KPH kemudian diserahkan Menteri dalam bentuk ringkasan
RPKH. Wilayah Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan secara administra tif
terletak di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Terdapat empat
kecamatan yang melingkupi wilayah KPH Banyuwangi selatan yaitu, Pesangaran,
Siliragung, Bangorejo, Purwoharjo dan Tegaldelimo. Berdasarkan pengelolaannya,
KPH Banyuwangi Selatan dibagi menjadi 8 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan
(BKPH) dengan 20 KRPH (tabel 4).
Tabel 4 Pembagian wilayah pengelolaan hutan di BKPH Banyuwangi Selatan

No BPKH RPH Luas (Ha)


1. Alur - 191.63
2. Blambangan Kalipait 2 807.80
Kedunggebang 1 168.90
Purwo 255.66
3. Curahjati Curahjati 1 680.90
Grajagan 2 839.00
Tegalsari 1 104.10
4. Genteng Karangharjo 2 669.00
Malangsari 4 134.30
Pecinan 2 485.80
5. Karetan Gaul 1 800.70
Karetan 1 477.80
Sumberjambe 552.10
6. Pedotan Pacemengan 1 636.90
8

No BPKH RPH Luas (Ha)


Purwosari 1 604.00
Tegalwagah 422.90
7. Pesanggaran Curahlele 3 823.20
Senepo Selatan 1 467.80
Senepo Utara 3 093.30
8. Sukomade Kesilirbaru 3 999.70
Pulomerah 4 602.50
Luas KPH Banyuwangi Selatan 43 818.00
Sumber: Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020

Penataan Batas Kawasan


Batas kawasan hutan diperuntukkan supaya wilayah hutan beserta areal
kerjanya yang berbatasan dengan lahan hak milik mendapatkan kepastian hukum
yang jelas mengenai status dan batas wilayah hutan tersebut. Melalui pembuatan
batas kawasan wilayah hutan diharapkan supaya dalam rangka pengusahaan hutan
tanaman tidak terjadi tumpang tindih. Penandaan batas kawasan dilakukan dengan
membuat pal batas. Pemasangan patok/pal batas luar kawasan di wilayah KPH
Banyuwangi Selatan terdapat pada beberapa wilayah berikut. (1) Sebelah utara
terdiri dari Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Kabat, Kecamatan Banyuwangi dan
kawasan hutan KPH Banyuwangi Selatan. (2) Sebelah timur berbatasan dengan
kawasan hutan Taman Nasional Alas Purwo. (3) Sebelah selatan terdiri dari garis
pantai Samudera Indonesia. (4) Sebelah Barat berbatasan dengan Taman Nasional
Meru Betiri. Gambar 1 merupakan pal batas yang dijumpai di kawasan Perum
Perhutani Banyuwangi Selatan.

lahan milik masyarakat

kawasan Perhutani

Gambar 1 Pal batas yang berbatasan dengan jalan di Pecinan

Pal batas merupakan suatu tanda batas yang bersifat tetap serta memilik i
bentuk dan ukuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penataan batas kawasan
hutan dilakukan oleh Seksi Perencanaan Hutan (SPH). Tanda batas yang digunakan
berupa batas buatan yang terbuat dari papan dan coran semen. Tanda batas tersebut
berbentuk tabung, memiliki dimensi tinggi 100 cm, diameter 12 cm, dan kedalaman
tanam sebesar 50 cm, sehingga tinggi dari permukaan tanah 50 cm. Peleteran huruf
dan nomor pal yaitu pada ukuran setinggi 5 cm dan lebar 3 cm, bagian bawah dicat
warna hitam. Pemasangan pal dilakukan di lapangan oleh pihak SPH dengan
didampingi oleh mandor atau petugas Perhutani di wilayah setempat. Adapun jenis
batas yang digunakan, terbagi menjadi pal A (batas antar kawasan yang dipisahkan
9

oleh alur), pal B (Pal batas antara luar kawasan), pal DK (pal batas tanah
perusahaan), pal E (pal batas antara kawasan dengan tanah milik (Enclave)), pal
tanda batas antar wilayah KPH dan pal batas lapangan dengan tujuan istimewa.
Batas untuk tujuan istimewa meliputi kuburan (KB), mata Air (MA), Cagar Alam
(CA), Wana Wisata (WW) dan waduk (WD).
Pal tanda batas hutan terbuat dari batu (andesit hitam) atau beton. Pengguna a n
pal juga dibagi berdasarkan kerawanan. Pal beton digunakan pada kawasan hutan
yang rawan atau sulit mendapatkan bahan pal dari batu. Pal batu digunakan pada
kawasan yang tidak rawan dan mudah mendapatkan bahan pal dari batu. Ukuran
pal batas yang digunakan yaitu berukuran panjang 130 cm, diameter 12 cm dan
kedalaman pemancangan 70 cm.

Penataan Areal Kerja


Pembagian kawasan hutan di KPH Banyuwangi Selatan berdasarkan atas
fungsi hutan dan Penataan Areal Kerja (PAK). Penataan Areal Kerja (PAK)
bertujuan untuk penetapan suatu areal kerja sebagai hasil dari pelaksanaan penataan
batas yang memuat letak, batas, luas, fungsi tertentu dan titik kordinat batas yang
tercantum dalam Keputusan Menteri. Berdasarkan fungsi hutan, KPH Banyuwa ngi
Selatan dibagi menjadi hutan lindung dan hutan produksi. Peruntukan kawasan
berdasarkan Penataan Areal Kerja (PAK) dibedakan menjadi hutan lindung,
kawasan produksi, kawasan perlindungan dan kawasan penggunaan lain. Tabel 5
menunjukkan struktur kelas hutan berdasarkan penataan areal kerjanya.
Tabel 5 Struktur kelas hutan di KPH Banyuwangi Selatan

No. Penataan Areal Kerja Total (ha)


1. Hutan Lindung 5 834.6
2. Kawasan Lindung 9 048.48
3. Penggunaan Lain 4 173.55
4. Produksi 24 761.36
Total 43 817.99
Sumber: Perhutani KPH Banyuwangi Selatan 2011-2020

Materi Umum Pembinaan dan Pembangunan Hutan Tanaman

Teknik dan Manajemen Pengadaan Benih


Jenis tanaman yang diusahakan di Perum Perhutani KPH Banyuwangi
Selatan berupa tanaman pokok dan tanaman rimba. Tanaman pokok yang
diusahakan adalah tanaman jati. Sumber benih untuk kebutuhan bibit jati berasal
dari kebun pangkas berasal dari stek pucuk. Pengadaan bibit jati hanya dilakukan
secara vegetatif, sedangkan untuk pembiakan secara generatif sudah tidak
diberlakukan. Indukan Jati Plus Perhutani (JPP) yang diusahakan semula berasal
dari Perum Perhutani KPH Cepu.
Pembiakan tanaman rimba di KPH Banyuwangi Selatan seperti pinus,
mahoni, kesambi dan sonokeling, dilakukan secara generatif. Pengadaan benih
tanaman tanaman rimba tersebut didatangkan dari berbagai wilayah. Kegiatan
pembibitan tanaman baik secara vegetatif maupun generatif di KPH Banyuwa ngi
Selatan seluruhnya dilakukan di KRPH Pecinan, BKPH Genteng. Awalnya khusus
produksi tanaman pinus dilakukan oleh Perum Perhutani Banyuwangi Barat,
10

namun pada tahun 2016 Perum Perhutani menunjuk Alas Baung KRPH
Karangharjo BKPH Genteng untuk membudidayakan tanaman tersebut. Penetapan
kawasan baru untuk memproduksi tanaman pinus tersebut masih dikaji lagi
keberadaannya karena presentase pertumbuhan bibit belum sesuai dengan harapan.

Teknik dan Manajemen Persemaian


Lokasi pengadaan bibit oleh Perum Perhutani Banyuwangi Selatan terletak
pada persemaian permanen di BKPH Genteng. Persemaian permanen tersebut
dibangun seluas 2.5 ha dengan kondisi lahan yang datar atau tidak ada kelerengan.
Lokasi persemaian ini berada di dekat sungai Blok Agung Desa Karangdoro,
Kecamatan Genteng. Penataan setiap petak kerja persemaian diatur sedemikia n
rupa supaya tercipta pengelolaan persemaian yang baik. Terdapat pembagian
khusus untuk masing- masing tujuan pokok kerja yang telah disusun sesuai dengan
proporsi ruang.
Persemaian stek pucuk JPP berasal dari kebun pangkas. Pembangunan kebun
pangkas dan persemaian ditetapkan dengan rasio luasan 1 : 2.5. Tata letak (lay out)
kebun pangkas dan persemaian stek pucuk JPP dibuat dalam bentuk peta minima l
1 : 5000. Gambar 2 menunjukkan lay out persemaian di Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan. Tata letak (lay out) merupakan satu kesatuan yang harus
diatur sedemikian rupa untuk menunjang kegiatan produksi supaya efektif dan
efisien baik dari segi luas lahan, waktu, biaya maupun tenaga kerja. Sarana dan
prasarana yang mendukung persemaian meliputi gudang, kantor/gubuk kerja,
bedengan, jaringan jalan baik jalan pemeriksaan maupun jalan angkutan, serta
saluran air (drainase).

Gambar 2 Lay out persemaian di BKPH Pecinan


11

Pengadaan Bibit Stek


Stek merupakan metode untuk memproduksi bibit yang dilakukan secara
vegetatif dengan sumber benih yang berasal dari klon bersifat unggul dari uji klon
di kebun pangkas. Kebun pangkas harus dibangun dalam satu lokasi yang tidak
terpisahkan dengan persemaian. Masa pakai dari kebun pangkas minimal 10 tahun.
Syarat lokasi untuk pembangunan kebun pangkas meliputi lokasi dekat dengan
sumber air, ketinggian 0-600 mdpl, topografi datar dengan kemiringan maksima l
15%, solum/ketebalan tanah ± 40cm dan tidak berbatu, aksesbilitas tinggi, drainase
baik, tersedia tenaga kerja yang baik, tidak ada masalah tenurial, mendapat
pencahayaan matahari secara penuh dan mampu memenuhi kebutuhan minima l
untuk lokasi kebun pangkas dan persemaian. Luas kebun pangkas Perum Perhutani
Banyuwangi Selatan yaitu 0.5 ha. Jumlah indukan di kebun pangkas sebanyak 600
individu dengan 2 macam klon, yaitu klon A dan klon B dan berasal dari satu famili
yang sama. Klon berasal dari KPH Cepu Jawa Tengah. Gambar 3 merupakan tata
letak kebun pangkas di KPH Banyuwangi Selatan.

Arah lereng
Tingi BLOK I

BLOK II

BLOK III
Rendah dan terusnya

Tingkat kesuburan
Gambar 3 Tata letak blok Kebun Pangkas (berdasarkan kontur).

Setelah rencana tata letak (lay out) kebun pangkas dan stek pucuk sudah
ditetapkan selanjutnya adalah persiapan lapangan. Tahapan dalam pembanguna n
kebun pangkas meliputi persiapan lapangan, penanaman, dan pemeliharaa n.
Gambar 4 merupakan areal kebun pangkas di KPH Banyuwangi Selatan.

Gambar 4 Kebun pangkas jati klon B


12

Teknik Pembuatan Stek


Persiapan persemaian stek pucuk meliputi persiapan media, pemanenan bahan
stek, penanaman dan pemeliharaan. Media pembuatan bibit stek yang baik harus
memenuhi beberapa persyaratan antara lain tersedia unsur hara yang cukup, tidak
mengandung hama penyakit (bersifat steril), mudah didapat dan murah, serta sesuai
dengan kebutuhan pakai. Media yang digunakan adalah kompos: pasir : top soil
dengan perbandingan 3:2:1. Sebelum dicampur media diayak dan disterilkan di
bawah terik matahari. Pengayakan media pasir menggunakan kawat berukuran 0.5
x 0.5 m, sedangkan untuk media top soil dan kompos berukuran 1 x 1 m. Media
diacampurkan dengan fungisida dan pupuk anorganik. Selanjutnya media
dimasukkan ke dalam polybag.
Gambar 4 menunjukkan bahan stek yang diperoleh dari kebun pangkas. Tidak
semua pucuk dapat dijadikan bahan stek. Pucuk yang baik memenuhi persyaratan
sebagai berikut : (1) Tunas ortotrop, (2) memiliki 3 atau 4 internodia/pasang daun,
(3) Panjang batang ±5 cm, (4) minimal sudah berumur 2 minggu dari pecahnya
mata tunas, (5) Batang silindris, lurus dan berbulu hijau cerah, (6) Batang masih
muda (juvenile), (7) Kuncup masih kaku berwarna coklat. Pemanenan pucuk di
kebun pangkas bergantung pada kemampuan produksi rata-rata indukan pohon.
Indukan berumur 6-12 bulan mampu menghasilkan sebanyak ±5 tunas sedangkan
indukan berumur diatas 1 tahun mampu dipanen sebanyak 8-9 kali selama kurun
waktu 1 bulan. Pemanenan pucuk di kebun pangkas rata-rata dilakukan ketika tunas
sudah berumur 21 hari. Penanaman dilakukan dengan meletakkan bahan stek ke
dalam media, sebelum ditanam bahan stek diberikan hormon pertumbuha n
menggunakan hormon IBA. Selama pemeliharaan penyiraman dilakukan sebanyak
2 kali sehari atau sesuai dengan kondisi kelembaban.

Gambar 5 (a) Tunas yang dipetik untuk bahan stek, (b) pemberian
hormone IBA untuk stek pucuk.

Pemeliharaan Bahan Stek di Propogation House


Propogation house terdiri atas induksi akar, aklimatisasi, shading area dan
open area (gambar 6). Proses induksi akar memerlukan kurun waktu ±1-2 bulan.
Setelah itu tanaman diseleksi untuk dipindahkan ke lokasi shading area dan open
area selama ±2 bulan. Bedeng induksi akar dan aklimatisasi dibuat membujur
dengan arah barat-timur. Bedeng pemeliharaan shading area dan open area dibuat
membujur dari arah utara-selatan. Bedeng pemeliharaan shading area memilik i
ukuran 5 x 1 m dengan tinggi frame 10 cm dari bahan bambu, kayu atau bata.
Bedengan dibuat dengan kapasitas 660 plc per bedeng. Jarak antarbedeng yaitu 0.6
m untuk sisi panjang dan 0.3 m untuk sisi pendek. Bedeng pemeliharaan open area
memiliki ukuran yang sama dengan bedeng pemeliharaan shading area, namun
13

kapasitas bedeng dihitung sebanyak 500 plc per bedeng. Jarak antarbedeng yaitu
0.4 m untuk sisi panjang dan 0.25 m untuk sisi pendek.

Gambar 6 (a)Persemaian stek pucuk, (b) pemeliharaan di dalam bedeng


propogation house.

Presentase Berakar
Presentase stek berakar dan lamanya tumbuh akar bergantung pada umur
diambilnya bahan stek. Presentase tumbuh akar dari penanaman tunas yang
berumur 21 hari relatif besar ± 95%, tetapi prosesnya lama (1-2 bulan). Presentase
kemampuan berakar tunas yang berumur 12 hari relatif cepat (kurang dari 1 bulan),
akan tetapi persen pertumbuhan kecil ± 60%.

Seleksi Bibit
Seleksi bibit dilakukan secara bertahap yaitu ketika bibit berada pada
propogation house dan pada open area. Seleksi bibit di propogation house
dilakukan pada masa aklimatisasi. Bibit yang diambil merupakan bibit yang masuk
kriteria yaitu sudah berakar. Hasil seleksi akan masuk ke tahapan shading area.
Seleksi berikutnya dilakukan pada open area. Prinsip yang dilakukan dalam
menyeleksi bibit adalah dengan mengelompokkan bibit berdasarkan ukuran dan
kesehatan bibit. Bibit yang terserang penyakit dipisahkan pada bedeng tersendiri
dan dilakukan penanganan khusus. Kegiatan seleksi dilakukan secara rutin saat
bibit sudah menunjukkan adanya persaingan.

Pengadaan Bibit
Bibit stek yang sudah berumur 5 (lima) bulan siap untuk diangkut ke lapangan.
Pengangkutan bibit menuju lapangan menggunakan kendaraan truk. Sebelum bibit
diangkut dilakukan penyiraman sampai jenuh. Bibit yang akan diangkut dikemas
terlebih dahulu. Pengemasan bibit menggunakan kotak dari bahan kayu/plastik.
Ukuran kotak dapat dibuat bervariasi yaitu panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi
50 cm. Bagian dasar peti setinggi 15 cm disusun rapat. Bibit disusun dalam kotak
dengan posisi dimiringkan dan dimasukkan ke dalam kotak secara horisonta l,
setelah penuh baru didirikan. Kotak bibit disusun rapi di dalam truk pengangkut
kemudian ditutup dengan shading net untuk menghindari kerusakan bibit. Bagian
belakang diusahakan terbuka untuk sirkulasi udara. Satu kotak bibit dapat
menampung 70 plc. Kapasitas angkut per truk dapat mencapai 72 kotak atau 5 040
bibit.
14

Manajemen Persemaian
Struktur organisasi persemaian dari yang paling atas yaitu Waka langsung
kepada mandor persemaian. Mandor persemaian bertugas mengatur jalannya
persemaian dan penempatan pegawai persemaian sesuai bidangnya. Adapun bidang
yang dikerjakan oleh pegawai persemaian meliputi pengerjaan di kebun pangkas,
persiapan media, penyiraman, pemeliharaan bibit, serta operator mesin. Pekerja
yang diperkerjakan di persemaian tidak harus berpendidikan tinggi namun skill
yang baik serta keuletan yang diutamakan. Jumlah pekerja untuk kegiatan di kebun
pangkas, penyiapan media dan pemeliharaan bibit terdiri atas 4-5 orang, sedangkan
jumlah pekerja untuk penyiraman dan operator terdiri atas 3 orang. Sistem
pengupahan yang diberikan kepada pekerja sesuai dengan Upah Minimum
Regional (UMR).

Pemeliharaan di Persemaian
Pemeliharaan tanaman di persemaian dilakukan pada blok kebun pangkas,
shading area dan open area. Pemeliharaan di kebun pangkas dilakukan dengan
pendangiran, pemulsaan serta pemupukan. Bibit yang berasal dari bahan stek
maupun benih yang berada di shading area maupun open area dipelihara dengan
melakukan penyiraman setiap hari pada waktu pagi dan sore hari. Pemupukan di
persemaian dilakukan setiap tiga bulan sekali. Sebelum dilakukan pengangkuta n
diakukan penyeleksian bibit. Bibit yang terserang hama penyakit dipisahkan dan
diberikan treatment khusus seperti dibasmi dengan pestida maupun fungisida yang
bersifat ramah lingkungan.

Permasalahan yang Dihadapi


Permasalahan yang dihadapi pada persemaian Perum Perhutani Banyuwangi
Selatan yakni beberapa kegiatan di lapangan belum dapat dikerjakan seperti
pendangiran tanah di kebun pangkas, pemulsaan tanah dengan serasah di kebun
pangkas, pemupukan tanaman. Hal tersebut dilatar belakangi oleh adanya kendala
dalam pembiayaan di Perum Perhutani.

Penanaman
Kegiatan penanaman dimulai dari persiapan lapangan dengan melalui
pemeriksaan lapang oleh Asisten Perhutani (Asper) yang di KRPH setelah Surat
Perintah Tanaman (SPT) diterima. Sebelum dilakukan penanaman perlu
pemancangan patok-patok tanda batas tanaman dan jalan pemeriksaan. Patok yang
dipasang di sekeliling batas tanaman terbuat dari kayu dengan ukuran panjang 3.5
m, diameter 13-16 cm pada ujungnya sepanjang 25 cm di cat merah. Patok tanda
batas larangan dibuat dari kayu dengan ukuran panjang 3,5 m, diameter 13-16 cm
pada ujungnya sepanjang 15 cm di cat merah dan dipasang di sekeliling mata air
dengan jarak 200 m, tepi jurang jarak 5-25 m, di kanan kiri sungai pada jarak 5-10
m, serta di sekeliling waduk telaga/monumen pada jarak 5m. Pada tempat yang
becek maupun tandus dipasang patok khusus dari kayu berukuran panjang 2.5 m
dan pada ujungnya sepanjang 15 cm di cat biru. Selanjutnya dibuat jalur untuk jalan
pemeriksaan selebar 2 m.
Setelah pemasangan patok batas dilakukan, tahapan selanjutnya yaitu
pembagian andil kerja. Setiap andil memiliki luasan 0.25 ha. Di setiap sudut andil
diberi patok kayu untuk batas andil dengan panjang 1.5 m dan diameter 19 cm.
15

Tahapan berikutnya adalah pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Pembersihan


lahan dilakukan melalui penebangan tumbuh-tumbuhan yang tidak perlu,
pembersihan sampah, serasah dan babat total tumbuh-tumbuhan bawah. Pada
tanaman yang dilakukan dengan sistem tumpangsari pembersihan lapangan
dilaksanakan oleh pesanggem. Proses pengolahan tanah dilakukan dengan
pembongkaran, pembersihan akar-akar (gebrus I) dan penghalusan tanah (gebrus
II). Pemasangan ajir diperlukan untuk memberi tanda supaya penanaman tersusun
secara teratur. Ajir dibuat dari bahan kayu/bambu dengan panjang 70 cm, lebar 1-
2 cm (20 cm dalam tanah). Ajir ditandai dengan warna yang berbeda untuk
membedakan ajir tanaman pokok, tepi dan pagar. Tanaman pokok menggunaka n
ajir berwarna putih. Ajir tanaman tepi dan tanaman pagar dibuat berwarna hijau dan
ajir tanaman pengisi dibuat dengan warna biru.
Gambar 7 menunjukkan pola tanam tanaman jati yang diamati secara
langsung di lokasi praktik. Sistem penanaman yang dilakukan oleh Perum
Perhutani menggunakan pola tanam garlapilapoh (tanaman pagar, tanaman sela,
tanaman tepi, tanaman sela, dan tanaman pokok). Jarak tanam yang digunakan
yaitu 3 x 3 m. Tanaman pokok berupa Jati Plus Perhutani (JPP). Tanaman pagar
diisi oleh tanaman kelampis yang berfungsi untuk melindungi tanaman pokok dari
berbagai macam gangguan, tanaman sela diisi oleh tanaman lamtoro yang dapat
dijadikan sebagai penambah unsur hara ketika nanti tanaman pokok sudah dewasa
dan sebagai pakan ternak, tanaman tepi diisi oleh mahoni yang berfungsi untuk
sekat bakar bila musim kebakaran, dan tanaman pengisi diisi oleh tanaman kesambi.
Teknik penanaman dilakukan dengan pembuatan lubang tanam pada setiap
ajir dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm untuk tanaman pokok, tanaman pengisi
20cm x 20cm x 20 cm. Pupuk kandang diberikan selang satu bulan sebelum
penanaman. Penanaman dilakukan ketika musim hujan (bulan November-
Desember). Adapun rangkaian secara urut penanaman yakni ketika turun hujan
pertama ditanam jenis tanaman rimba untuk tanaman pagar, tanaman pengisi dan
tanaman sela. Selanjutnya ketika curah hujan sudah cukup banyak ditanamla h
tanaman pokok. Tahun 2016 Perum Perhutani Banyuwangi Selatan melakukan
penanaman seluas 311.4 ha.

Gambar 7 (a) Penanaman pada petak 61A, (b) pengukuran tinggi dan
diameter batang, (c) tanaman pengisi, (d) tanaman sela.
16

Teknik dan Manajemen Pemeliharaan Tanaman


Rangkaian pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman tanaman, penyianga n,
pemupukan, wiwil, pemangkasan, pendangiran dan penjarangan. Keberhasilan
tanam dipengaruhi oleh kualitas bibit yang digunakan. Keberhasilan tanam untuk
kategori Jati Plus Perhutani 90%-100%. Sedangkan untuk jenis tanaman rimba
yang menggunakan benih hanya 50%. Penyulaman dilakukan untuk tanaman yang
mati. Penyulaman bergantung pada cuaca biasanya dilakukan ketika bulan basah
cukup banyak.
Penyiangan dilakukan dengan membersihkan gulma pengganggu tanaman
dengan cara dibabat. Pembabatan tumbuhan bawah mengikuti tata waktu babat
berdasarkan jalur. Babat jalur dilakukan pada tahun kedua, ketiga, keempat dan
kelima. Babat jalur tahun kedua dilakukan pada triwulan pertama,dan ketiga. Babat
jalur ketiga hingga kelima dilakukan pada triwulan kedua dan keempat. Penyia nga n
juga dilakukan menggunakan zat kimia yang ramah lingkungan.
Pemupukan dilakukan ketika pra tanam dan pasca tanam. Pemupukan pra
penanaman dilakukan pada waktu 2 (dua) bulan sebelum penanaman dengan
menggunakan pupuk kandang. Satu bulan setelah penanaman diberi pupuk urea
dengan dosis 50 g. Pemupukan selanjutnya dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali
pada bulan Februari-Maret dan pada bulan November-Desember menggunaka n
pupuk urea dengan dosis 100 g. Pembuatan dangir piringan dilakukan sebelum
pemupukan. Pemberian pupuk berjarak 20-25 cm dari tanaman pokok dengan 2
lubang sedalam 10 cm di sebelah timur dan barat. Pemupukan sebaiknya dilakukan
ketika curah hujan relatif banyak.
Pewiwilan dilakukan dengan cara menghilakan tunas air yang tidak
semestinya tumbuh pada batang. Gambar 8 menunjukkan kegiatan pemangkasan
dan pendangiran. Setelah tanaman cukup besar dilakukan pemangkasan cabang.
Cabang tanaman dipangkas dengan ukuran 1/3 dari tinggi totalnya dan 2/3 nya
disisakan. Pemangkasan harus menggunakan alat khusus. Pemangkasan dilakukan
setahun sekali pada bulan Juli-Agustus. Arah pangkas dari bawah ke atas kemudian
disambung dari atas ke bawah. Pemotongan dilakukan secara melintang dan miring
ke bawah supaya batang terhindar dari serangan hama serta batang tidak membusuk.
Pendangiran dilakukan dengan menggemburkan tanah di sekitar perakaran pohon.

Gambar 8 (a) Pemangkasan, (b) pendangiran


17

Penjarangan merupakan salah satu perlakuan Silvikultur terhadap tegakan


hutan tanaman yang dibangun untuk memperoleh kayu kontruksi dan kayu industr i
yang berukuran besar dan berkualitas tinggi. Perhatian utama ditujukan pada
tegakan tinggal atau hasil akhir. Tujuan dari penjarangan yakni memperole h
tegakan akhir dengan massa kayu yang sebesar-besarnya dan kualitas kayu yang
setinggi-tingginya sesuai dengan tujuan pembangunan hutan dan kemampuan
tempat tumbuh yang bersangkutan. Sasaran dari penjarangan untuk memperole h
tegakan hutan yang terdiri atas pohon sehat, bertajuk normal, berbatang lurus dan
tersebar rata di seluruh lapangan pada jarak sesuai dengan kebutuhan ruang tumbuh
bagi pohon tersebut. Kriteria tanaman yang dijarangi adalah pecel teri (terkena
penyakit, cacar, tertekan dan terserang hama inger-inger).
Gambar 9 menunjukkan kegiatan pembuatan Petak Contoh Penjaranga n
(PCP) di petak 67G. Persiapan penjarangan dilakukan pada dua tahun sebelum
penjarangan (T-2). Kegiatan persiapan meliputi pembabatan tumbuhan bawah,
stratifikasi, pembuatan blok penjarangan, pembuatan PCP, tunjuk tolet baik di
dalam maupun diluar PCP dan klem pohon yang dimatikan. Persiapan penjarangan
merupakan bahan untuk menyusun RTT pemeliharaan penjarangan. Penjarangan
dilakukan oleh mandor penjarangan yang memiliki kemampuan terlatih dan
dibantu dengan 4 (empat) tenaga kerja khusus yang terlatih. Penjarangan akan
dilakukan bila ada SPT atau surat perintah tebang dari KPH sekaligus dengan peta
petak yang harus dijarangi. Penjarangan dengan pembuatan PCP dilakukan pada
penjarangan ketiga dan seterusnya. Penjarangan pertama dilakukan pada tegakan
berumur 3 tahun, dan penjarangan kedua dilakukan pada umur 6 tahun dilakukan
dengan cara pemilihan tegakan/tanaman tinggal dengan sistem “Untu Walang” atau
Seleksi dengan memperhatikan hasil evaluasi tanaman.

Gambar 9 (a) Pembuatan blok PCP, (b) pengkleman pohon untuk


penunjuk arah PCP, (c) pohon tanda arah PCP, (d)
penulisan data pohon dijarangi
18

Materi Umum Pemanenan Hasil Hutan

Pemanenan Hasil Hutan Kayu


Hasil hutan yang dapat dipungut dari Perum Perhutani KPH Banyuwangi
Selatan yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Hasil hutan kayu
didapatkan dari penebangan kayu jati. Terdapat beberapa macam tebangan kayu
jati yaitu tebangan A, B, C, D dan E. Tebangan A merupakan tebang habis pada
hutan yang produktif. Tebangan B merupakan tebang habis lanjutan pada kawasan
hutan yang tetap. Tebangan C merupakan tebangan yang dilakukan pada lapangan-
lapangan yang telah direncanakan pasti akan dihapuskan. Tebangan D merupakan
tebangan yang dilakukan akibat adanya kerusakan atau bencana alam. Tebangan E
merupakan tebangan yang berasal dari hutan yang dijarangi.
Praktik penebangan dilakukan pada petak 72 dengan metode tebang
penjarangan dan petak 126 dengan metode tebang habis (tebangan B). Gambar 10
menunjukkan rangkaian kegiatan penebangan. Prinsip yang digunakan ketika
melakukan penebangan pohon yaitu Ataktokdingtong (arah rebah, takik rebah,
tunggak serendah mungkin, pemotongan harus siku dan pengelompokan sortimen).
Setelah kayu direbahkan, selanjutnya memberikan keterangan pada tunggak kayu
dengan nomor urut tebang, nomor tegakan, tanggal penebangan dan paraf mandor
tebang. Setelah itu dilakukan bucking policy (pembagian kayu sesuai dengan harga
pasar). Ketika pohon yang akan ditebang memiliki banir yang cukup besar maka
dilakukan kepras banir terlebih dahulu.

Gambar 10 (a) Tebang penjarangan, (b) peleteran pangkal pohon,(c)


pengukuran diameter pohon, (d) tebang habis, (e)-(f)
peleteran tunggak dan pangkal pohon.

Ketika melakukan penebangan hal yang paling utama harus dibawa ya itu
dokumen atau blanko penebangan yang menunjukkan daftar klem pohon. Adapun
dokumen yang perlu dibawa saat menebang meliputi :
a. DK 304, daftar blanko A3
b. DK 304b, blanko A1 dan A2
c. DK 316, buku taksiran (untuk merekap setelah tebangan)
d. DK 303, daftar penghelaan ke jalan tepi
e. DK 301, blanko penerimaan kayu A3
f. DK 302, blanko penerimaan kayu A1dan A2
g. DK 305a, blanko gabungan penerimaan 301 dan 302
19

h. DK 305, blanko gabungan angkatan


i. DK 034c, buku pengembalian dari TPK

Pemanenan Hasil Hutan Bukan Kayu


Praktik pemungutan hasil hutan non kayu ditunjukkan pada gambar 11.
Pemungutan hasil hutan non kayu didapatkan dari hasil sadapan pinus di Alas
Baung BKPH Genteng. Penyadapan getah pinus dapat dilakukan dengan 3 metode
yaitu bor, quarre, dan rel. Kegiatan penyadapan di KPH Bnyuwangi Selatan
meggunakan metode quarre. Metode quarre menggunakan alat bantu (mal sadap)
untuk penanda dalam mengatur ukuran tinggi sadapan pada pelukaan batang.
Ukuran yang digunakan pada dasar sadapan setinggi 10 cm dan sedalam 2 cm.
Penyadapan selanjutnya dilakukan satu bulan sekali setinggi 5 cm hingga mencapai
batas maksimal tinggi penyadapan yang diperbolehkan.
Praktik dilakukan pada tegakan pinus yang berumur 14 tahun atau KU III.
Tahap awal penyadapan adalah pembersihan atau perataan kulit kayu, setelah rata
padang alat penanda tinggi lalu ditandai dengan cat. Kemudian batang di lukai
menggunakan kapak. Setelah pelukaan dipasang talang sadap tang dari bahan seng,
dan memasang tempurung kelapa untuk penadah getah. Selanjutnya dilakukan
penyemprotan pada luka dengan cairan Stimulant 8. Penyadapan dilakukan pada
pohon dengan diameter 60 cm. Pemanenan dilakukan setelah getah penuh pada
batok kelapa kurang lebih antara 10-15 hari. Pemungutan getah dilakukan secara
teratur dan berkala, namun ketika pinus sudah tidak berproduksi lagi maka tegakan
akan ditebang habis dan kayunya dijual sebagai bahan pulp. Getah dikumpulka n
Tempat Penimbunan Getah (TPG). Target produksi grtah untuk tahun 2017 sebesar
2 820 kg, sedangkan tahun sebelumnya sebesar 3 820 kg.

Gambar 11 (a) Pembuatan mal sadap, (b) pemasangan batok sadap,


(c)-(d) pengumpulan getah.
20

Materi Umum Pengelolaan Kawasan Lindung

Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama


melindungi kelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan dan nilai sejarah serta budaya untuk kepentingan pembanguna n
berkelanjutan. Sebagian besar kawasan lindung yang tercakup di Perum Perhutani
KPH Banyuwangi Selatan berada di pesisir pantai dan dikelola dengan dijadikan
objek wisata. Pengelolaan kawasan lindung ini dikelola oleh masing- mas ing
Asisten Perhutani (Asper) pada setiap KRPH. Salah satu kawasan lindung yang
dimiliki oleh Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan adalah Hutan Lindung
Pantai Pasir Gedong yang terletak di Pesisir Pantai Gerajagan (Gambar 12).

Gambar 12 Kawasan lindung pantai Pasir Gedong.

Materi Umum Perlindungan dan Pengamanan Hutan

Gangguan hutan yang ada di Perum Perhutani Banyuwangi Selatan


disebabkan oleh adanya pencurian hasil hutan kayu. Pencurian sebagian besar tejadi
di kawasan Alas Baung KRPH Pecinan, BKPH Genteng. Akibat pencurian kayu
oleh sejumlah oknum bisa merugikan Perum Perhutani karena hasil produktivitas
kayu menurun. Penanganan terhadap pencurian diatasi dengan kegiatan patroli oleh
polisi hutan yang dilakukan baik siang maupun malam hari. Pada umumnya pelaku
pencurian kayu belum bisa diamankan oleh petugas. Kebanyakan hanya ditemukan
barang bukti seperti kayu hasil curian serta transportasi untuk pengangkutan hasil
pencurian. Gangguan hutan berupa pencurian juga terjadi di BKPH Blambanga n.
Pencurian terjadi karena kawasan hutan milik Perhutani di wilayah BKPH
Blambangan sangat dekat dengan penduduk sekitar hutan, namun hal ini sudah
dikendalikan oleh pihak Perhutani dengan menegakkan Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) melalui Lembaga Masyarakat Hutan (LMDH).
Selain gangguan hutan karena faktor pencurian, terdapat pula gangguan oleh
binatang liar. Posisi BKPH Blambangan yang dekat dengan kawasan Taman
Nasional Alas Purwo (TNAP), membuat kawasan perhutani yangberbatasan
langsung dengan TNAP rawan terkena serangan binatang liar. Perlindunga n
kawasan hutan oleh Perhutani yang berada di dekat kawasan TNAP dilakukan
dengan melakukan patroli dan penjagaan hutan secara terpadu oleh polisi hutan
beserta jajarannya. Gambar 13 menunjukkan aktivitas patroli yang dilakukan pada
siang dan malam hari.
21

Gambar 13 (a) Patroli malam di Alas Baung, (b) patroli siang di sekitar
Situs Belik Pakis.

Materi Umum Pemberdayaan Masyarakat Hutan

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan diberdayakan melalui sistem


pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan secara bersama oleh Perum
Perhutani dengan Masyarakat Desa Hutan dan atau Perum Perhutani dan
Masyarakat Desa Hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Kerjasama ini merupakan bentuk kepentingan bersama untuk mencapai
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan supaya dapat diwujudkan
secara optimal dan proporsional yang dinamakan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM). Program PHBM ini diwadahi dalam suatu Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Bentuk kerjasama antara Perhutani dengan
masyarakat sekitar hutan melalui pemberian hak untuk mengelola lahan milik
Perhutani dengan kontrak dalam waktu tertentu, pengelolaan kawasan lindung serta
objek wisata alam milik Perhutani.
Gambar 14 menunjukkan kegiatan kunjungan pada beberapa LMDH di KPH
Banyuwangi Selatan. Pemberdayaan masyarakat melalui PHBM dilakukan dengan
memberikan hak untuk mengelola lahan milik Perhutani kepada kelompok tani
(pesanggem) yang tinggalnya di sekitar kawasan hutan produksi. Pesanggem
diberikan wewenang oleh Perhutani untuk mengelola hutan dengan beberapa
komoditas pertanian dan palawija seperti jagung, kedelai, cabai, ketela dan
sebagainya dengan sistem tumpang sari. Penggarap lahan diberikan kontrak selama
2 (dua) tahun dengan menggunakan sistem agroforestri untuk penanamannya.
Setelah lepas dari kontrak, petani dapat memperpanjang kontraknya ketika tanaman
kehutanan yang diusahakan oleh Perhutani masih bisa dikombinasikan dengan
sistem penanaman agroforestri. Selain memberikan program dalam bentuk
pengelolaan lahan dengan sistem tumpang sari, kedepannya pihak Perhutani juga
merintis program PHBM bersama kelompok masyarakat peternak sapi perah.
Rencananya program akan diberlakukan dengan menyokong kebutuhan pakan
ternak.
Program PHBM di kawasan Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan yang
dijadikan sebagai sampel amatan yaitu BKPH Karetan dan BKPH Blambanga n.
Berdasarkan hasil pengamatan, program PHBM yang telah dijalankan oleh
Perhutani memberikan dampak positif bagi masyarakat desa sekitar hutan untuk
menunjang perekonomiannya. Secara ekologi program PHBM dengan sistem
agroforestri mampu membentuk iklim mikro di dalam hutan yang berpengaruh
22

terhadap ketersediaan unsur hara dalam tanah. Selain itu dari aspek sosial, program
PHBM telah mampu menjadi sarana bagi masyarakat untuk melestarikan hutan.

Gambar 14 (a) Wawancara dengan pesanggem, (b) PHBM KRPH


Karetan, (c) PHBM BKPH Blambangan, (d) kunjunga n
kepada peternak sapi perah.
23

Materi Khusus

Pola Penanaman Agroforestri di BKPH Karetan Perum


Perhutani KPH Banyuwangi Selatan

Vara Dita Puri Ningtyas1 dan Prijanto Pamoengkas2


Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB

Kondisi Umum BKPH Karetan


Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan terdiri atas beberapa bagian
pemangkuan hutan. Salah satu bagian kesatuan pemangkuan hutan di KPH
Banyuwangi Selatan yaitu BKPH Karetan. Resort pemangkuan hutan yang
tercakup dalam BKPH Karetan meliputi KRPH Karetan, KRPH Gaul dan KRPH
Sumberjambe. Kondisi lapang BKPH Karetan secara umum bergelombang.
Kawasan hutan yang terletak di BKPH Karetan memiliki luas areal 38.8 ha dengan
tanaman utama jati. Tanaman jati tahun tanam 2015, 2016 dan 2017 ditanam
menggunakan sistem tumpangsari atau penggarapan lahan yang berada di bawah
tegakan. Penanaman dengan sistem tumpangsari tersebut dilakukan bersama
masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH).

Pengambilan Data
Pengambilan data materi khusus pola penanaman agroforestri di BKPH
Karetan, KPH Banyuwangi Selatan dilakukan dengan membuat plot praktek
agroforestri berbentuk lingkaran dengan jari-jari (r = 17,8m) dan wawancara
kepada pesanggem untuk memperoleh data primer tentang praktek budidaya
tanaman (pola tanam), jenis tanaman, teknik konservasi dan data sosial ekonomi di
KPH Banyuwangi Selatan. Langkah selanjutnya setelah pembuatan plot yaitu
mengukur tinggi serta diameter tanaman jati tahun tanam 2015 di petak 61A dan
80A.

R = 17.8m

Gambar 15 Plot lingkaran

Pengertian Agroforestri
Agroforestri merupakan bentuk pemanfatan lahan yang mengombinasik a n
antara tanaman berkayu dengan tanaman pertanian. Penanaman menggunaka n
24

sistem agroforestri dapat dilakukan secara bersama-sama maupun bergulir yang


disesuaikan dengan dengan pola budidaya masyarakat setempat (Wijayanto 2002).
Agroforestri bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi lahan Perhutani dari aspek
ekologi, sosial dan ekonomi.

Praktik Agroforestri di BKPH Karetan, KPH Banyuwangi Selatan


Praktik agroforestri yang dilakukan di KRPH Karetan, Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pihak
Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan. Gambar 16 menunjukkan kondisi
lokasi praktik yang diamati pola agroforestinya. Komponen yang ada dalam praktik
agroforestri di Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan merupakan kombinasi
antara tanaman jenis jati (Tectona grandis) dengan komoditas pertanian seperti
jagung, kedelai, cabai dan sebagainya. Masyarakat sekitar hutan yang bertindak
sebagai penggarap lahan milik Perhutani (pesanggem) diberikan hak atas lahan
seluas 0.2 ha dengan kontrak selama 2 (dua) tahun. Bentuk kerjasama yang
dilakukan yaitu ketika pesanggem sudah diberikan hak atau kontrak untuk
pengelolaan lahan maka pemeliharaan tanaman pokok selain dilakukan oleh
Perhutani juga dilakukan pesanggem.

Gambar 16 (a)-(b) Kombinasi tanaman jati dengan jagung, (c)


kombinasi tanaman jati dengan jagung (tutup kontrak),
(d) kombinasi tanaman jati dengan tanaman cabai.

Sistem penanaman komoditi pertanian dilakukan secara bergulir karena lahan


yang digunakan merupakan lahan tadah hujan. Pergiliran tanaman disesuaikan
dengan musim tanam. Terdapat tiga siklus tanam yakni penanaman jagung dan
cabai dilakukan pada bulan Agustus, penanaman kedelai dilakukan pada bulan
April-Mei, dan penanaman padi dilakukan pada musim bulan basah yakni bulan
Desember. Berdasarkan banyaknya jumlah hujan yang turun, KRPH Karetan
25

memiliki curah hujan yang cukup rendah yaitu 100-400 mm/bulan (Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan 2011-2020). Menurut Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Aceh (2009) tanaman jagung bisa tumbuh optimal pada suhu 21-34oC,
pH 5.6-7.5 dan dengan ketinggian 50-600 m dpl. Tanaman kedelai dapat tumbuh
pada berbagai jenis tanah yang memiliki drainase dan aerasi yang baik, curah hujan
100-400mm/bulan, suhu udara 23-30 o C, kelembaban 60-70%, pH 5.8-7 dan
ketinggian kurang dari 600 m dpl. Menurut Nurfalach (2010), tanaman cabai
mampu tumbuh optimal untuk budidaya pada suhu 24-28 o C. Adapun curah hujan
yang dikehendaki yaitu 800-2000 mm/tahun. Ketinggian tempat untuk penanaman
cabai adalah adalah dibawah 1400 m dpl. Secara umum komoditi jagung, cabe dan
kedelai termasuk jenis yang cocok diusahakan di KRPH Karetan, karena KRPH
Karetan termasuk dataran rendah dengan curah hujan yang tidak terlalu banyak.

Pola Penanaman Agroforestri


Pola tanam yang digunakan memiliki peran penting dalam menentuk a n
keberhasilan praktik agroforstri. Layout pola tanam yang digunakan berupa larikan
yang berada diantara tanaman pokok jati (Tectona grandis) milik Perhutani.
Komponen tanaman pertanian ditanam dengan jarak 0.5 m dari tanaman milik
Perhutani. Analisis pola penanaman agroforestri di Perum Perhutani BKPH
Karetan, KPH Banyuwangi Selatan bertujuan untuk meninjau keberhasila n
penanaman serta pengaruh pola tanam tersebut terhadap pertumbuhan tanaman jati
(Tectona grandis). Tanaman jati yang penanamannya menggunakan pola tanam
agroforestri pada lokasi praktek merupakan jati tahun tanam 2015, 2016 dan 2017.
Gambar 17 merupakan layout pola tanam jati yang ditanam dengan sistem
agroforestri.

Keterangan :

: Tanaman pagar

: Tanaman tepi

: Tanaman pokok

: Tanaman sela

: Tanaman
pertanian
Gambar 17 Layout pola tanam jati Perhutani yang dikombinas ika n
dengan sistem agroforestri.

Tabel 6 menunjukkan pola tanam tanaman pertanian dalam praktik


agroforestri di Perum Perhutani BKPH Karetan, KPH Banyuwangi Selatan. Pola
tanam yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan di BKPH Karetan, KPH
Banyuwangi Selatan cukup beragam. Penanaman yang baik secara ekologi
dilakukan searah dengan garis kontur. Namun tidak semua masyarakat pengelola
hutan mengetahui hal tersebut. Sehingga lapisan top soil tanah rawan tererosi.
26

Tabel 6 Pola tanam agroforestri di Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan

Pola
No. Kategori tanaman Karakteristik
pertanaman
Jati plus Tajuk seragam Teratur, jarak
Tanaman pokok
perhutani Tahun tanam 2015 tanam 3m x 3m
1 Jagung,
Teratur, tegak
Tanaman semusim kedelai, Umur 1 bulan
lurus kontur
cabai
Jati plus Tajuk seragam Teratur, jarak
Tanaman pokok
perhutani Tahun tanam 2016 tanam 3m x 3m
2
Teratur, searah
Tanaman semusim Cabai Umur 3 bulan
Kontur
Rimba Tajuk seragam Teratur, jarak
Tanaman pokok
campuran Tahun tanam 2016 tanam 3m x 3m
Teratur, searah
3 Jagung Umur 1 bulan
kontur
Tanaman semusim
Teratur, tegak
Kedelai Umur 1 bulan
lurus kontur
Jati plus Teratur, jarak
Tanaman pokok Tahun tanam 2017
perhutani tanam 3m x 3m
4
Teratur, searah
Tanaman semusim Padi Umur 1 bulan
kontur

Analisis Data Pola Penanaman Agroforestri


Pola tanam agroforestri yang diamati di lokasi praktik berupa kombinas i
antara tanaman jati (Tectona grandis) dengan tanaman jagung dan kombinasi antara
tanaman jati (Tectona grandis) dengan tanaman cabe. Pengamatan dilakukan pada
dua petak uji coba yaitu petak 61A dan petak 80A dengan tanaman pokok jati tahun
tanam 2015, komoditas pertanian yang diusahakan berupa tanaman jagung dan
cabai.
Plot 1 Plot 1
60 20
Jumlah pohon

Jumlah pohon

50 15
40
30 50 10
20 5
10 10 8 7
0 4 5 1 3 0
10.2-10.86

9.65-10.24
6-6.6
6.7-7.33
7.34-8
8.1-8.76
8.77-9.43
9.44-10.1

6.05-6.64
6.65-7.24
7.25-7.84
7.85-8.44
8.45-9.04
9.05-9.64
10.87-11.53

10.25-10.84

1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelas tinggi Kelas diameter

(a) (b)

Gambar 18 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon, (b)
grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon.
27

Plot 2 Plot 2
35 30
Jumlah pohon
30

Jumlah pohon
25 25
20 20
15 15
10 10
5
0 5

10.08-10.75

10.76-11.43
6-6.67

6.68-7.35

7.36-8.03

8.04-8.71

8.72-9.39

9.4-10.07
0

6.69-7.19

9.6-10.19
10.2-10.7
10.8-11.3
7.2-7.7
7.8-8.3
8.4-8.9
9-9.59
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelas tinggi Kelas diameter

(a) (b)

Gambar 19 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon, (b)
grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon.

Gambar 18, 19 dan 20 menunjukkan nilai sebaran kelas diameter dan kelas
tinggi pohon di petak 80A. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pola tanam
agroforestri menunjukkan bahwa tinggi rata-rata tanaman jati Perhutani pada petak
80A adalah 8.2 m pada plot 1, 8.53 m pada plot 2 dan 10.38 m pada plot 3. Nilai
diameter rata-rata pada plot 1, plot 2 dan plot 3 berturut-turut adalah 8.23 cm, 8.73
cm dan 9.93 cm. Petak coba tersebut terdiri atas tiga plot pengamatan dengan plot
pertama dan kedua ditanam jagung serta plot ketiga merupakan tanaman jati yang
dikombinasikan dengan tanaman cabai.

Plot 3 Plot 3
40 25
35
Jumlah pohon
Jumlah pohon

30 20
25 15
20 10
15
10 5
5 0
0
8.6-9.02

9.03-9.45

9.46-9.88

9.89-10.31

10.32-10.74

10.75-11.17

11.18-11.60

11.61-12.03
8.5-8.8

8.9-9.29

9.3-9.69

9.7-10.09

10.1-10.49

10.5-10.89

10.9-11.29

11.3-11.69

1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelas tinggi Kelas diameter

(a) (b)

Gambar 20 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon, (b)
grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon.

Gambar 21 merupakan hubungan nilai sebaran kelas diameter dan kelas


tinggi tanaman jati yang ditanam pada lahan tutup kontrak di petak 61A. Tanaman
28

jati tutup kontrak tersebut semula dipadukan dengan tanaman jagung dan cabai.
Nilai rata-rata tinggi sebesar 8.31 m dan nilai rata-rata diameter sebesar 8.56 cm.

Plot 4 Plot 4
35 25
30
Jumlah pohon

Jumlah pohon
25 20
20 15
15 10
10 5
5
0 0
7-7.53
7.54-8.07
8.08-8.61
8.62-9.15
9.16-9.69
9.7-10.23
10.24-10.77
10.78-11.31

7.32-7.70

7.71-8

8.1-8.48

8.49-8.87

8.88-9.26

9.27-9.65

9.66-10.04

10.05-10.43
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelas tinggi Kelas diameter
(a) (b)

Gambar 21 (a) Grafik hubungan kelas tinggi dengan jumlah pohon, (b)
grafik hubungan kelas diameter dengan jumlah pohon.

Nilai diameter dan tinggi tanaman jati lebih besar pada tanaman yang
dikombinasikan dengan tanaman cabai di petak 80A. Tinggi rata-rata tanaman jati
pada adalah 10.38 m dan diameter rata-rata sebesar 9.93 cm. Sesuai dengan
pengamatan di lokasi praktik, tanaman jati yang dikombinasikan dengan tanaman
cabe lebih besar nilai diameter dan tinggi pohonnya dibandingkan dengan
kombinasi menggunakan tanaman jagung. Hal ini disebabkan oleh intens itas
pemupukan tanaman cabai di lokasi praktek lebih tinggi daripada tanaman jagung.
Selain itu, struktur tanaman juga mempengaruhi perkembangan jati. Tanaman
jagung memiliki sruktur daun yang memanjang dan menjulang. Struktur tersebut
dapat menyebabkan intensitas cahaya yang masuk menjadi terhalang oleh tanaman
jagung ketika tanaman jati masih dalam tahap pertumbuhan. Tanaman cabe
memiliki struktur daun yang kecil dan tidak menjulang ke atas pertumbuha nnya
atau berada di bawah tegakan. Menurut Balitkabi (2011), pada sistem pertanaman
tumpangsari terjadi kompetisi antara tanaman dalam pengambilan unsur hara,
sehingga pertumbuhan tanaman dapat terhambat. Pengaruh kompetisi dapat
dikurangi dengan cara menyediakan nutrisi sesuai dengan kebutuhan tanaman
utama dan tanaman sela.

Manfaat Agroforestri terhadap Masyarakat


Penanaman dengan sistem agroforestri pada prinsipnya mampu memberik a n
keuntungan kepada kedua belah pihak baik dari Perhutani maupun kepada
masyarakat sekitar hutan. Secara ekologi selain tanaman jati mendapat
pemeliharaan secara langsung dari pihak Perhutani, pemeliharaan secara tidak
langsung juga didapatkan dari pesanggem yang merawat tanamannya, sehingga
tanah menjadi lebih subur dan dapat mendukung pertumbuhan jati tersebut. Secara
ekonomi penanaman melalui sistem agroforestri seharusnya mampu memberika n
kontribusi dalam menambah penghasilan masyarakat sekitar hutan. Namun
terdapat kendala yang dihadapi oleh pesanggem seperti pola penanaman tanaman
pertanian yang tidak sepenuhnya memperhatikan aspek ekologis, serta adanya
29

serangan hama dan penyakit terhadap komoditas pertanian yang diusahakannya


yaitu pada tanaman jagung, sehingga petani jagung terancam gagal panen.
Berdasarkan hasil wawancara kepada 30 pesanggem, hasil panen rata-rata
dari penanaman jagung melalui program PHBM dalam satu musim normalnya
sekitar 400-700 kg per pesanggem dalam lahan seluas 0.2 ha. Pesanggem
normalnya mampu memproduksi jagung 2-3 kali dalam satu tahun. Harga jagung
per kilonya adalah sebesar Rp 4 000.00, sedangkan untuk hasil panen cabe dalam
satu musim selama 3-4 bulan normalnya sekitar 500-700 kg dengan harga per kilo
senilai Rp 6 000.00-Rp 10 000.00. Manfaat positif dari agroforestri belum mampu
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat sekitar hutan karena tidak semua
tanaman pertanian yang diusahakan oleh petani agroforestri dapat dipanen,
sehingga perlu upaya khusus untuk mendukung peningkatan produktivitas dari
tanaman pertanian yang diusahakan seperti melalui pengoptimalan panca usaha tani.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Praktik Kerja Profesi (PKP) di Perum Perhutani telah dilaksanakan secara


baik. Melalui Praktik Kerja Profesi (PKP), mahasiswa memperoleh kemampuan
mengenai rencana pengelolaan hutan. Kegiatan pengelolaan hutan mulai dari
pengusahaan bibit di persemaian, penanaman, pemeliharaan tanaman dan
pemanenan dapat dipraktikkan oleh mahasiswa secara langsung di lapangan dengan
berlandaskan pada ilmu Silvikultur, sehingga mahasiswa dapat menjiwai suasana
kerja yang ada di lapangan.
Praktik pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan sistem agroforestr i
dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dengan menanam tanaman pertanian
disela-sela tanaman pokok. Pola yang diterapkan yakni tanaman jati dipadukan
dengan jagung, kedelai atau cabai. Jagung merupakan komoditas andalan dalam
praktik agroforestri. Namun pola tanam agroforestri yang baik adalah perpaduan
antara tanaman jati dengan cabai. Tanaman jati yang dipadukan dengan cabai
memiliki rata-rata tinggi sebesar 10.38 m dengan rata-rata diameter sebesar 9.93
cm.

Saran

Manfaat positif agroforestri belum dapat dirasakan oleh seluruh lapisan


masyarakat sekitar hutan. Beberapa pihak pengelola belum menerapkan sistem
penanaman yang baik secara ekologis. Perlu adanya penyuluhan dan pengawasan
terhadap pola agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan
(pesanggem), sehingga tercipta kombinasi yang baik secara ekologi, ekonomi dan
sosial antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian yang diusahakan.
30

DAFTAR PUSTAKA

[BALITKABI] Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. 2011.


Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Malang (ID):
BALITKABI.
[BKKPP] Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh. 2009. Budidaya
Tanaman Jagung. Aceh (ID) : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NAD.
[BKKPP] Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh. 2009. Budidaya
Tanaman Kedelai. Aceh (ID) : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NAD.
[PERHUTANI] Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Revisi RPKH KPH
Banyuwangi Selatan KP Jati Jangka 2011-2020 Periode 2016-2020.
Banyuwangi (ID): PERHUTANI
Nurfalach. 2010. Budidaya Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.) di UPTD
Perbibitan Tanaman Hortikultura Desa Pakopen Kecamatan Bandunga n
Kabupaten Semarang. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Wijayanto N. 2002. Agroforestry (secara umum). Makalah Pada TOT
Entrepreneurship in Agroforestri Education. Bogor, 19-24 Nopember 2002.
Serangan Hama Inger-Inger pada Tegakan Jati (Tectona grandis)
Di KRPH Curahjati BKPH Curahjati KPH Banyuwangi Selatan

Mar’atun Chasanah1 dan Cecep Kusmana2


Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB

Jati (Tectona grandis)


Jati (Tectona grandis L.f) merupakan salah satu tanaman tropis yang
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, karena kayunya tergolong kayu serbaguna.
Menurut Rullyati dan Lempang (2004), kayu jati (Tectona grandis L.f) merupakan
salah satu tumbuhan penghara industri mebeler dan perahu phinisi. Jati (Tectona
grandis L.f) terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi, termasuk dalam famili
Verbenaceae. Kayu jati dapat digunakan untuk berbagai keperluan teknik maupun
dekoratif. Penyebaran alaminya terdapat di India, Myanmar dan Thailand. Di
Indonesia terdapat di Pulau Jawa, Kangean, Bali, Muna, Buton, Maluku, Sumbawa
dan Lampung (Halawane 2007).
Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu kayu perdagangan
yang memiliki kualitas kayu sangat bagus, sangat disukai dan memiliki permintaa n
sangat tinggi. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri yang menggunaka n
kayu jati sebagai bahan baku, sehingga permintaan kayu jati meningkat dengan
tajam. Hal ini menyebabkan pasokan kayu jati baik di pasar domestik maupun
internasional sangat terbatas (Sumarni dan Muslich 2008).
Tanaman jati memiliki sifat-sifat konservasi yang cukup baik misalnya tajuk
yang cukup luas yang mampu menahan hujan agar tidak langsung jatuh ke
permukaan tanah dan menguapkannya (intersepsi) sehingga dapat mengurangi laju
aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi tanah (Asmayannur et al. 2012).
Dengan kondisi kelas kayu tinggi, kayu jati hingga saat ini masih banyak
dibutuhkan dalam industri properti seperti kayu lapis, rangka, kusen, pintu maupun
jendela. Selain itu, dengan profil yang ditunjukkan dengan garis lingkar tumbuh
yang unik dan bernilai artistik tinggi, jati dibutuhkan banyak pengrajin industr i
furniture untuk dijadikan berbagai bentuk barang jadi (Siregar 2008).
Pengembangan hutan jati di KRPH Curahjati BKPH Curahjati KPH
Banyuwangi Selatan mengalami angka kerusakan yang cukup tinggi akibat
serangan gangguan oleh hama. Pengelolaan yang kurang terhadap pertumbuha n
tanaman jati ini menyebabkan jenis hama menyerang dengan cukup signifika n.
Serangan hama ini menyebabkan kualitas tanaman jati menurun sehingga jumlah
dan hasil produksinya semakin berkurang.

Hama Inger–Inger sebagai Penyerang Tanaman Jati


Hama dapat didefinisikan dalam dua aspek yaitu definisi dalam arti luas dan
definisi dalam arti sempit. Hama dalam arti luas adalah semua bentuk ganggua n
baik yang terjadi pada manusia, ternak, maupun pada tanaman. Sedangkan
defiinisi hama secara sempit terutama dalam kaitannya dengan kegiatan budidaya
tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman pada saat masih berada di
lapangan atau hasil hutan, yang mana aktivitasnya dapat menimbulkan kerugian
secara ekonomis. Oleh karena itu, menurut pengertian ini adanya hewan dalam
32

suatu pertanaman tidak dikategorikan sebagai hama jika belum menimbulka n


kerugian secara ekonomi (Dadang et al. 2007)
Lisafitri (2012), menuturkan bahwa rayap kayu basah atau rayap pohon yaitu
jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih hidup, bersarang di batang
pohon dan tidak berhubungan dengan tanah. Contoh yang khas dari rayap ini adalah
Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae), hama pada pohon jati. Serangga ini
masuk dalam ordo Isoptera (dari bahasa Yunani; iso = sama; ptera = sayap)
klasifikasi rayap pohon sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Isoptera
Famili : Kalotermitidae
Genus : Neotermes
Spesies : Neotermes tectonae

Rayap pohon (Neotermes tectonae) membuat sarang di bagian batang pohon


tanpa ada kontak dengan tanah. Rayap memakan bahan yang mengandung selulosa
seperti kayu dan produk turunannya seperti kertas. Selulosa merupakan senyawa
organik yang keberadaanya melimpah di alam namun tidak dapat dicerna oleh
manusia maupun organisme tingkat tinggi lainnya sedangkan rayap dengan mudah
dapat mencerna senyawa ini karena dalam usus rayap terdapat parasit
Trichonympha yang mengeluarkan enzim.
Berdasarkan hasil pengamatan serangan inger-inger di KRPH Curahjati
BKPH Curahjati KPH Banyuwangi Selatan, hama inger-inger menyerang tanaman
jati pada umur 25 tahun. Luas total tegakan jati pada petak 85F sebesar 8.7 ha.
Pembentukan PCP (Petak Coba Penjarangan) sebanyak dua PCP mengindikas ika n
bahwa pada saat dibentuknya PCP sebanyak 18 tanaman jati terserang hama inger -
inger. Penjarangan merupakan salah satu perlakuan silvikultur terhadap tegakan
hutan tanaman yang dibangun untuk memeroleh kayu konstruksi dan kayu industr i
yang memerlukan kayu berukuran besar dengan kualitas tinggi dan dilaksanakan
dengan tepat waktu dan benar, sehingga perhatian utamanya yaitu pada tegakan
tinggal/hasil akhir. Setelah dilakukan
penjarangan jumlah tanaman jati yang seharusnya sudah tidak terdapat
serangan hama inger-inger menjadi semakin bertambah (Tabel 2). Kejadian ini
sesuai dengan Tarumengkeng (1973) yang mengatakan bahwa inger-inger mulai
menyerang tanaman sampai dengan terlihat gejala serangan memerlukan waktu 3 –
4 tahun, dan serangannya semakin lama akan semakin meningkat sesuai
bertambahnya umur tanaman. Serangan yang paling parah terjadi pada umur 25 –
55 tahun. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa gejala inger-inger pada waktu
dilakukan pembuatan PCP hanya terlihat sesuai pada Tabel 7. Kemudian setelah
dilakukan penjarangan ditemukan serangan hama inger-inger dengan jumlah yang
lebih banyak sebesar 34 pohon. Hal tersebut diduga karena umur pohon yang
semakin meningkat seiring dengan waktu masa tebang.
33

Tabel 7 Jumlah pohon terserang hama inger-inger di KRPH Curahjati BKPH


Curahjati KPH Banyuwangi Selatan

∑ pohon terserang sebelum ∑ pohon terserang setelah


No PCP
penjarangan (2015) penjarangan (2017)
1 12 19
2 06 15
∑ 18 34

Berkembangnya serangan hama inger-inger diduga karena kondisi


lingkungan yang kurang menguntungkan yaitu kelembaban yang tinggi di musim
penghujan atau tegakan sebelumnya tidak dilakukan pemeliharaan secara teratur
berupa pemangkasan cabang dan penjarangan, sehingga menimbulkan banyak
bekas cabang-cabang kayu yang mati/rapuh akibat pemangkasan cabang secara
alami, yang merupakan sumber infeksi utama hama ini (Suharti dan Intari 1974).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab utama
penyebaran hama inger-inger pada tanaman jati di KRPH Curahjati, BKPH
Curahjati, KPH Banywangi Selatan tersebut dikarenakan adanya dampak dari
penjarangan yang meninggalkan kerusakan pada tegakan tinggal.

Gambar 22 Pengukuran diameter tegakan jati di petak 85F

Neotermes tectonae merupakan suatu golongan rayap tingkat rendah. Koloni


inger-inger tidak begitu banyak, hanya beberapa ratus sampai beberapa ribu
individu. Gejala kerusakan dapat dijumpai berupa pembengkakan pada batang,
kebanyakan pada ketinggian antara 5-10 m, namun juga ada pada 2 m atau sampai
20 m. Jumlah pembengkakan dalam satu batang bervariasi, mulai satu sampai
beberapa titik lokasi pembengkakan (Gambar 22).

Sumber : KRPH Curahjati, BKPH Curahjati, KPH Banyuwangi Selatan


Gambar 23 Serangan hama inger-inger (Neotermes tectonae); Lubang
pada tanaman jati (a); Gejala serangan hama inger-inger
(b); Dampak serangan hama inger-inger (c).
34

Akibat serangan hama ini, tanaman jati menimbulkan cacat pada kayunya
berupa lubang gerek memanjang berwarna hitam. Adanya cacat ini ternyata
menurunkan kualitas kayu. Menurut Perum Perhutani (1997) kerugian yang
ditimbulkan dapat menurunkan produksi dan kualitas kayu jati yaitu rata-rata
sebesar 8.7 % dan bahaya akan penyebaran inger-inger ke tanaman yang masih
sehat.
Tabel 8 Rata-rata persentase kerusakan tanaman jati akibat serangan hama inger-
inger di KRPH Curahjati, BKPH Curahjati, KPH Bnyuwangi Selatan

Tinggi Luas
No Tahun Luas Diameter Jumlah Kematian
Total Serangan
PCP Tanam (ha) (cm) Pohon (%)
(m) (%)
1 1992 8.7 24.39 20.10 32 59.38 27.27
2 1992 8.7 24.51 19.40 31 48.39 16.22
Rata-rata 8.7 24.45 19.75 53.89 21.74

Kejadian serangan merupakan proporsi tanaman jati yang terserang hama


pada populasi tanpa memperhitungkan berat atau ringannya tingkat serangan
(Sinaga 2006). Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 8) pada petak 85F memilik i
nilai rata-rata kejadian serangan sebesar 53.89%. Besarnya nilai kejadian serangan
tersebut disebabkan oleh banyaknya jumlah pohon yang terserang hama inger-inger.
Teknik pengendalian hama secara terpadu adalah suatu tindakan untuk
mengatur serangga agar tidak menimbulkan kerusakan di atas ambang ekonomi,
artinya dengan menekan atau mencegah naiknya populasi serangga agar tidak
menimbulkan kenaikan populasi sehingga tidak menimbulkan kerusakan secara
ekonomis. Cara pengendalian yang diharapkan dalam mengantisipas i
perkembangan hama inger- inger ini merupakan cara yang diintegrasikan dengan
semua komponen pengendalian hama, sehingga penggunaan pestisida merupakan
alternatif terakhir. Gagasan untuk mengendalikan hama terpadu di dorong oleh
pengalaman yang menunjukkan pad acara pengendalian hama yang menitik
beratkan pada penggunaan pestisida sehingga menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan.
Pengendalian dengan sistem silvikultur dapat dilakukan melalui kegiatan
penjarangan secara teratur dan kontinyu (Tramingkeng 1973). Keuntungan dari
pengendalian ini adalah mudah dilakukan di lapangan serta biayanya yang cukup
terjangkau. Sedangkan kelemahannya adalah karena tanda serangan hama inger -
inger masih baru (koloni muda) sukar dideteksi serta pelaksanaan penjarangan
pohon-pohon yang sebetulnya telah mengalami serangan baru tidak ikut dijarangi,
sehingga memungkinkan inger-inger masih tetap hidup. Berdasarkan hasil
pengamatan pada Tabel 1 jumlah pohon yang terserang hama inger-inger setelah
penjarangan meningkat tajam dibandingkan dengan jumlah pohon sebelum
dijarangi. Hasil tersebut dapat dilakukan dengan mengendalikan hama inger-inger
melalui penjarangan keras yaitu penjarangan pada seluruh pohon yang terserang
hama inger-inger. Kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya penebangan di atas
jumlah pohon yang dikenakan (sesuai dengan pedoman teknik penjarangan hutan
tanaman jati).
Menurut Surata (2008) teknik penjarangan sanitasi ini dilakukan sebagai
berikut: (a) Penjarangan dilakukan sebelum masa penerbangan imago (sulung)
35

yaitu sebelum musim penghujan; (b) Jumlah pohon yang diperkenankan ditebang
berdasarkan data hasil inventarisasi dari sejumlah pohon yang sakit/terserang; (c)
Dalam tindakan penjarangan keras ini dilakukan secara hati-hati agar pohon-pohon
sehat yang tertinggal tidak cacat dari tendesan pohon yang ditebang, karena hal
tersebut akan mengakibatkan cacat yang berupa patah cabang, luka batang dan
sebagainya. Pohon yang cacat ini akan menjadi pintu masuk bagi hama inger-inger;
(d) Seluruh kayu hasil penjarangan harus dikeluarkan jauh dari areal tanaman jati
dan selanjutnya di tempat penimbunan akhir (di luar areal tanaman) kayunya
disortir (dipotong). Kayu yang masih baik dan tidak ada hamanya dimanfaatka n
sebagai kayu pertukangan. Kayu yang rusak, hamanya dimusnahkan dan
selanjutnya kayu yang tidak cacat bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau
kerajinan; (e) Selanjutnya setelah dilakukan penjarangan keras, maka dimasa
mendatang perlu dilakukan pemeliharaan lanjutan berupa penjarangan secara
teratur sesuai petunjuk teknis penjarangan hutan jati; (f) Tanaman jati yang di
sekitarnya belum terserang atau terserang ringan maka harus dilakukan
penjarangan secara teratur sesuai dengan pedoman teknik penjarangan. Untuk
tegakan yang terserang ringan penjarangan diutamakan pohon-pohon yang sakit
yang tidak mungkin lagi berkembang.
Penebangan atau penjarangan yang dilakukan tentunya akan menimbulk a n
kerugian seperti merusak penutupan tajuk, akan tetapi kerugian yang diakibatkan
oleh kerusakan penutupan tajuk relatif masih lebih kecil bila dibandingkan dengan
besarnya kerugian yang diakibatkan oleh serangan inger-inger terhadap seluruh
tegakan. Akibat penjarangan keras berarti lebih banyak pohon-pohon terserang
ditebang sehingga mengakibatkan populasi sebaran pohon menjadi tidak merat a
dan akan ada tempat-tempat yang kosong. Kondisi ini akan menyebabkan
percabangan pohon jati lebih banyak. Tarumengkeng (1973) berpendapat bahwa
penutupan tajuk harus tetap terjamin, penjarangan keras dapat menimbulka n
kualitas kayu tegakan tinggal membuat terbentuknya percabangan pohon akan
lebih banyak dan juga merangsang pertumbuhan tunas-tunas bawah. Oleh karena
itu pada lokasi yang kosong perlu ditanami dengan jenis-jenis pohon yang cepat
tumbuh yang cocok tumbuh di sekitar /di bawah tegakan jati. Penjarangan juga akan
memperbaiki vigor tegakan yang ditinggalkan karena berkurangnya jumlah pohon,
ruang tumbuh bagi tiap pohon bertambah luas, persaingan di dalam dan di atas
tanah berkurang. Kondisi ini akan meningkatkan riap pertumbuhan diameter batang
meningkat dan berarti mempertinggi kualitas kayu.
Pengendalian lain yaitu secara biologi dengan pelepasan musuh alami seperti
predator dan parasit. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal diperlukan
pembiakkan terlebih dahulu terhadap parasit dan predator di laboratorium. Apabila
dari kegiatan ini berhasil maka akan memberikan dampak yang sangat efektif dalam
jangka waktu yang panjang. Parasit dan predator yang dapat digunakan tidak
terbatas dari golongan serangga saja tetapi juga jamur, bakteri, virus, burung, atau
menggunakan teknik jantan madul (male sterile insects) (Surata 2008).
Tarumengkeng (1973) menyebutkan beberapa jenis predator hama inger-inger
adalah semut buas antara lain : Monorium latinode Myr., Monorium gracillium F.
Smith. dan Tetramorium pacifium Scabrum Myr. Jenis-jenis lain yang dinyatakan
oleh Kalshoven (1930) dalam Subyanto (1991) adalah larva kumbang, tungau dan
beberapa jenis hewan pemangsa serangga yang berperan dalam pencegahan/infeks i
36

inger-inger misalnya burung pelatuk, kelelawar, tokek, lipan, kepik buas, katak
pohon dan lain lain.
Teknik pengendalian secara kimia merupakan pilihan terakhir apabila teknik
sebelumnya tidak mungkin dilakukan. Khusus untuk pengendalian inger-inger
menurut Sultoni dan Subiyanto (1981) dalam Surata (2008) cara ini akan
menghadapi kesulitan karena letak koloni/sarang berada di dalam jaringan kayu dan
terletak tinggi di bagian atas pohon. Disamping itu lubang sarang koloni sering
sukar ditemukan, sehingga penggunaan insektisida kontak kurang dapat bekerja
secara efektif dan efisien. Pengendalian hama ini juga dapat juga dilakukan dengan
cara manual untuk mengambil hama kemudian dimatikan dengan zat kimia.
Menurut Dammerman (1929) dalam Surata (2008) cara pemberantasan ini adalah
sebagai berikut : (a) tanaman yang diserang pada tingkat permulaan dimana larva
muda masih berada pada bagian pangkal batang diambil, dimatikan, kemudian luka
ditutup dengan ter, (b) menginjeksi corbolineum ke dalam saluran untuk
membunuh larva yang telah masuk ke dalam kayu kemudian lubang ditutup dengan
ter atau lilin. Untuk melaksanakan pekerjaan ini alat yang digunakan adalah
semprotan minyak. Cara ini dapat dilaksanakan dengan memberi hasil yang
memuaskan dengan mempergunakan tenaga yang sedikit terlatih dan alat yang
sederhana pada areal yang tidak begitu luas dan terisolir dari tegakan jati muda
lainnya. Menurut Suwandono (1990) cara pengendalian inger-inger dengan
menggunakan insektisida fastac 15 cc sebanyak 400 ml/ha yang diaplikas ika n
secara pengabutan sangat efektif mematikan sulung inger-inger yang berada di luar
sarang namun residunya tidak efektif mematikan anggota koloni inger inger yang
berada di dalam sarang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Praktik Kerja Profesi (PKP) telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur


pelaksanaan PKP. Kegiatan dilaksanakan dari mulai kegiatan perencanaan hutan
sampai dengan pemungutan hasil hutan. Kegiatan pengelolaan hutan di Perum
Perhutani KPH Banyuwangi Selatan meliputi bidang perencanaan hutan dan
produksi, pembinaan dan perlindungan hutan serta pemberdayaan masyarakat.
Semua bidang tersebut mempunyai keterkaitan antara satu dengan lainnya dalam
menjalankan pengelolaan hutan lestari (PHL). Selain itu, terdapat hubungan sosial
antara pihak Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan yang bertujuan untuk
menjaga lingkungan hutan dari kerusakan. Serangan hama inger-inger terhadap
tanaman jati dapat diketahui dengan adanya gejala yang ditimbulkan diantaranya
batang membengkak, dan terdapat tanda hitam bekas gerekan pada batang tanaman
jati. Serangan hama inger-inger dapat menyebar luas apabila tidak dilakukan
kegiatan pengendalian terhadap jenis hama ini. Teknik pengendalian yang dapat
dilakukan di antaranya yaitu secara silvikultur, biologi dan kimia.
37

Saran

Pelaksanaan kegiatan dari Pihak di KRPH Curahjati, BKPH Curahjati, KPH


Banyuwangi Selatan harus melaksanakan kegiatan penjarangan sesuai dengan
waktu yang telah direncanakan dalam tata laksana kegiatan yang telah dirancang
sehingga mendapatkan tegakan tanaman jati dengan intensitas serangan hama
inger-inger dengan jumlah yang sedikit yang akan berakibat pada kualitas kayu.

DAFTAR PUSTAKA

Dammerman KW. 1929. The Agriculture Zoology of the Malay Archipela go


Amsterdam. J.H. de Bussy Ltd.
Kalshoven, LGE. 1937. De ziekten en plagen van den rasamala. Tectona 30(3):
162-173.
Lisafitri Y. 2012. Mata Kuliah Keanekaragaman Hayati Tanah keanekaragaman
Rayap Ordo Isoptera. Bioteknologi Tanah dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat.
Perhutani. 1997. Pedoman Pemeliharaan Penjarangan untuk Hutan
Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di NTB, NTT dan
Timor Timur. Jakarta(ID): Perhutani.
Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Subiyanto. 1987. Diktat Ilmu Perlindungan Hutan (Ilmu Hama Hutan). Yayasan
Pembina Fakultas Kehutanan. Yogyakarta(ID): Universitas Gadjah Mada.
Subiyanto. 1991. Masalah Hama Inger-Inger (Neotermes tectonae Damm) pada
Tegakan Jati (Tectona grandis L.f) serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuha n
dan Produksi Kayu Perkakas Pohon yang Diserang. Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.
Suharti M. Intari S. E. 1974. Pedoman Pengenalan Beberapa Hama dan Penyakit
pada Jati (Tectona grandis L.f.). Lembaga Penelitian Hutan. Bogor(ID).
No.182.
Sumarni dan Muslich. 2008. Kelas Awet Jati Cepat Tumbuh Dan Lokal Pada
Berbagai Umur Pohon. Pusat Litbang Hasil Hutan, Palembang.
Surata IK. 2008. Penerapan Pola Pengelolaan Hutan Terpadu (PHT) untuk
Pengendalian Hama Inger-Inger (Neotermes tectonae Damm) pada Hutan
Tanaman Jati di Timor. Nusa Tenggara Timur(ID): Balai Penelitian Kehutanan
Kupang.
Suwandono G. 1990. Masalah Hama Inger inger di Tegakan Jati (Tectona grandis
L.f) dan Usaha Pengendaliannya dengan Insektisida Fastac 15 EC Secara
Pengabutan. Studi Kasus di BKPH Tuder KPH Kebonharjo. (Skripsi).
Yogyakarta(ID): Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada .
Tarumengkeng R. 1973. Serangan Inger-Inger dan Penjarangan Sebagai Tindakan
Pemberantasan pada Jati. Bogor(ID): Lembaga Penelitian Hutan.
Potensi Kebakaran Hutan di Perum Perhutani Banyuwangi
Selatan

Aryanda Anwar Sanusi dan Cecep Kusmana


Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Iklim dan curah hujan merupakan salah satu komponen dari segitiga
lingkungan api yang memegang peran penting dalam terjadinya kebakaran hutan
dan lahan. Cuaca atau iklim tersebut saling berhubungan dan mempengar uhi
kebakaran hutan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan seringnya musim
kebakaran yang panjang, menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, mengatur
flamibilitas dan kadar air dari bahan bakar mati, mempengaruhi proses penyalaan
dan penjalaran bahan bakar hutan (Syaufina 2008). Suhu yang tinggi akibat
penyinaran matahari langsung menyebabkan bahan bakar mengering dan mudah
terbakar, kelembaban yang tinggi pada hutan dengan vegetasi lebat mengura ngi
peluang terjadinya kebakaran hutan dan curah hujan memengaruhi besar kecilnya
kadar air yang terkandung dalam bahan bakar. Musim kebakaran hutan biasanya
berhubungan dengan pola curah hujan. Suatu daerah yang memiliki curah hujan
tinggi berpengaruh terhadap kelembaban udara dan kadar air bahan bakar. Curah
hujan kurang dari 60 mm berdasarkan klasifikasi Schimidt dan Ferguson termasuk
dalam bulan kering, sedangkan curah hujan lebih dari 60 mm termasuk dalam bulan
basah (Handoko 1994).
Tabel 9 Tingkat kerawanan areal Perum Perhutani BKPH Karetan

Curah Hujan Frekuensi


Tahun Bulan
(mm) Kebakaran
2014 Januari 1.375 -
Februari 2.035 -
Maret 1.410 -
April 750 -
Mei - -
Juni 120 -
Juli - 1
Agustus - 1
September - 1
Oktober - 2
November 450 1
Desember 3.280 -
2015 Januari 1.375 -
Februari 2.035 -
Maret 1.410 -
April 750 -
Mei 230 -
Juni - -
Juli - -
Agustus - -
September - 2
39

Curah Hujan Frekuensi


Tahun Bulan
(mm) Kebakaran
Oktober - -
November - 1
Desember 60 -
2016 Januari 420 -
Februari 280 -
Maret 120 -
April 20 -
Mei - -
Juni 460 -
Juli 430 -
Agustus 290 -
September 345 -
Oktober 430 -
November 685 -
Desember 525 -
2017 Januari 780
Februari 570 -
Maret 580 -
April 580 -
Mei 815 -
Juni 580 -
Juli 235 -
Agustus 435 -

Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson, BKPH Curahjati


termasuk tipe iklim A dengan curah hujan yang cukup tinggi mencapai rata-rata
497 mm/tahun. Tabel 1 menunjukan curah hujan bulanan bulanan 4 tahun terakhir
(2014-2017). Curah hujan tertinggi terdapat pada bulan Desember 2014 dengan
curah hujan 3 280 mm, sedangkan curah hujan terendah pada bulan Mei, Juli,
Agustus, September, Oktober 2014, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober,
November 2015, dan Mei 2016 sebesar 0 mm. Berdasarkan tabel 9 kebakaran hutan
yang terjadi di KPH Banyuwangi Selatan terjadi pada bulan Januari 2014-
November 2015 dengan frekuensi sebanyak 9 kali kebakaran hutan. Kejadian
kebakaran hutan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2014 dengan frekuensi dua
kali dengan luas total lahan yang terbakar sebesar 79,25 Ha. Tidak terjadi hari hujan
pada bulan Oktober 2014, sehingga bahan bakar hutan memiliki kadar air yang
rendah sehingga potensi kebakaran tinggi. Peristiwa tersebut menunjukan bahwa
curah hujan sangat mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan, dimana luas dan
frekuensi kebakaran hutan terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah
yang menyebabkan pengeringan bahan bakar yang intensif. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Syaufina (2008) bahwa frekuensi dan luas kebakaran tertinggi tejadi
pada bulan dengan curah hujan rendah (kurang dari 60 mm).
40

Sumber: KPH Banyuwangi Selatan

Gambar 24 Frekuensi kebakaran hutan di KPH Banyuwangi Selatan.

Menurut Rasyid (2014) secara umum ada tiga faktor utama penyebab
terjadinya kebakaran hutan di Indonesia, yaitu kondisi bahan bakar, cuaca dan
social budaya masyarakat. Kondisi bahan bakar yang rawan terhadap bahaya
kebakaran adalah jumlahnya yang melimpah di lantai hutan, kadar airnya relative
rendah (kering), serta ketersediaan bahan bakar yang berkesinambungan. Bahan
bakar yang tersedia di hutan sangat beragam dan tersebar dari lantai hutan hingga
puncak pohon dan lapisan tajuk hutan, yang kesemuanya merupakan bagian dari
biomassa hutan. Bahan bakar di dalam hutan dapat berupa serasah, rumput, ranting
atau cabang, pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak
belukar, dedaunan, dan pohon-pohon (Suratmo et al. 2003).
Tabel 10 Hasil pengukuran serasah petah 19A

Plot Ketebalan serasah (cm) Plot Ketebalan serasah (cm)


1 3.5 1 2
2 2.5 2 3
3 4 3 3.5
4 5 4 5
5 4 5 4.5
6 4.5 6 3.5
7 2.5 7 4.5
8 3 8 3
9 3.5 9 3.5
10 4.5 10 3

Gambar 25 Pengukuran ketebalan serasah di petak 19A


41

Berdasarkan pengamatan langsung di lapang, ketebalan serasah pada bulan


Juli-Agustus 2017 di petak 19A BKPH Karetan tanaman jenis Jati tahun 70 dengan
membuat 20 petak ukur berukuran 1 x 1 meter dengan jarak antar petak ukur 10 x
10 meter, memiliki rata-rata ketebalan serasah setebal 3,6 cm. Kondisi serasah pada
petak tersebut adalah lembab. Kebakaran hutan dapat terjadi apabila sedikitnya
tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen atau udara, dan
sumber api. Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat merupakan
bahan bakar untuk kebakaran hutan. Potensi komponen tersebut sebagai bahan
bakar, ditentukan oleh jumlah, kondisi terutama kadar airnya dan penyebaran dalam
hutan. Jenis-jenis tumbuhan bawah pada lantai hutan, yang biasanya terdiri dari
jenis-jenis semak belukar dan pohon berukuran kecil, secara keseluruha n
merupakan akumulasi bahan bakar yang cukup potensial bila dalam keadaan
kering. Semak belukar dibawah hutan jati selalu tumbuh dan hijau pada musim
hujan, lebih sulit terbakar disbanding semak belukar yang kering pada musim
kemarau. Semak belukar biasanya merupakan lapisan tajuk bawah yang cukup tebal
sehingga dalam kondisi kering mempunyai potensi sebagai bahan bakar yang
sangat potensial. Kondisi bahan bakar yang lembab membuat api sulit terbentuk.
Menurut Purbowaseso (2004) bahan bakar yang lembab (kadar air tinggi) akan
membutuhkan energi panas yang lebih banyak untuk melakukan pembakaran,
karena energi panas tersebut digunakan untuk menguapkan uap air yang terkandung
dalam bahan bakar tersebut.
Proses kebakaran hutan akan terjadi apabila terdapat 3 unsur dalam segitiga
api terpenuhi, yaitu oksigen, bahan bakar, dan sumber panas. Penyebab kebakaran
hutan diklasifikasikan menjadi 2 faktor, yaitu faktor alam dan manusia. Faktor ala m
seperti letusan gunung berapi dan petir. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh
faktor manusia dapat berupa pembukaan lahan yang tidak bertanggung jawab
maupun aktivitas lainnya. Berdasarkan wawancara dan observasi lapang tidak
ditemukan penyebab terjadinya kebakaran hutan oleh faktor alam yang tejadi di
KPH Banyuwangi Selatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat,
sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi
disebabkan oleh puntung rokok. Sebagaimana diketahui bahwa puntung rokok
tidak dapat dijadikan sebagai sebab terjadinya kebakaran hutan. Percobaan
pembakaran dengan puntung rokok di bawah tegakan HTI Acacia mangium di
daerah Sumatera Selatan membuktikan bahwa puntung rokok tidak dapat
menyebabkan kebakaran hutan dan lahan karena punting rokok tidak cukup panas
untuk memanaskan bahan bakar sampai titik nyala, sehingga punting rokok tidak
dapat dijadikan alasan sebagai penyebab kebakaran hutan (Apriansyah 2004 dalam
Syaufina 2008). Pembersihan lahan yang dilakukan oleh warga di BKPH Karetan
dilakukan secara manual. Masyarakat sudah sadar akan bahaya pembersihan lahan
menggunakan cara bakar. Hal ini dapat menimbulkan penjalaran api yang tidak
terkendali sehingga akan merugikan bagi masyarakat itu sendiri. Kegiatan
masyarakat di dalam hutan seringkali lupa untuk mematikan api unggun yang telah
dibuat untuk menghangatkan saat patroli maupun berkegiatan di dalam hutan.
Sumber api yang berasal dari api unggun ini akan cepat menjalar saat kondisi bahan
bakar di sekitar hutan kering. Jika dikaji berdasarkan kelompok penyebab
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, faktor alam hanya memegang peranan
yang sangat kecil, sedangkan faktor manusia menyebabkan hampir 100% dari
kejadian kebakaran hutan dan lahan, baik sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina
42

2008). Pada umumnya, sumber penyebab kebakaran hutan terjadi karena


kurangnya kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh pembakaran tidak
terkendali dan erat kaitannya dengan aktivitas manusia dalam penggunaan api.

Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Banyuwangi Selatan


Pengendalian kebakaran hutan merupakan kegiatan yang mencakup 3
komponen kegiatan yaitu pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca
kebakaran untuk melindungi hutan dair kebakaran hutan (PP No. 45 tahun 2004).
Pengendalian di KPH Banyuwangi Selatan melibatkan masyarakat dalam upaya
penanggulangan kebakaran hutan secara partisipatif.

Pencegahan
Menurut Suratmo et al. (2003), pencegahan kebakaran hutan adalah cara yang
lebih ekonomis untuk mengurangi kebakaran hutan dan kerugian yang disebabkan
oleh kebakaran hutan. Upaya pencegahan yang dilakukan oleh RPH Karetan adalah
penyuluhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyuluhan secara
langsung diberikan kepada masyarakat dalam berbagai kesempatann seperti
kumpul RT, rapat desa dan lain-lain dengan waktu yang tidak ditentukan. Materi
yang diberikan diantaranya penggunaan api yang baik pada kawasan hutan,
informasi tentang bahaya kebakaran hutan dan upaya jika terjadi kebakaran hutan.
Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat yang tidak pernah mengik uti
penyuluhan sebanyak 28.33% dan masyarakat yang pernah mengikuti penyuluha n
71.67%. Hal ini menunjukan bahwa adanya peluang terjadinya kebakaran hutan di
KPH Banyuwangi Selatan yang diduga karena kurangnya informasi saat
penyuluhan sehingga masyarakat sebagian tidak mengikuti penyuluhan.

Gambar 26 Persentase partisipasi masyarakat dalam penyuluhan.

Penyuluhan tidak langsung yaitu berupa papan peringatan dan laranga n


(Gambar 4). Fungsi papan peringatan tersebut adalah untuk menyampaikan pesan
kepada masyarakat agar berhati-hati dalam penggunaan api saat memasuki
kawasan hutan. Papan peringatan dan papan larangan dipasang di setiap jalan
masuk hutan yang mudah terlihat oleh masyarakat, namun kondisi papan laranga n
sangat memprihatinkan karena tidak dirawat dengan baik. Pencegahan kebakaran
merupakan kegiatan persiapan sebelum terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan ini
diawali dengan patrol rutin oleh petugas KPH Banyuwangi Selatan dengan LMDH
maupun masyarakat dan termasuk pada upaya deteksi dini. Patroli dilakukan
dengan cara menyisir hutan atau berkeliling hutan dengan kendaraan dan patrol
dilaksanakan setiap hari. Masyarakat dapat melaporkan kejadian kebakaran hutan
langsung kepada petugas ketika mengetahui titik kejadian kebakaran hutan.
Handphone digunakan sebagai sarana pelaporan secara cepat kepada petugas.
43

Laporan dari masyarakat akan ditindaklanjuti, apabila petugas mengalami kesulitan


menangani kejadian tersebut maka petugas akan meminta bantuan dari masyarakat.
Kegiatan patrol dilakukan secara lebih intensif saat memasuki musim kemarau.

Gambar 27 Papan larangan membakar hutan di KPH Banyuwangi


Selatan.

Pemadaman Kebakaran Hutan


Ketika mengetahui adanya kebakaran seperti asap yang berasal dari kawasan
hutan, petugas BKPH Karetan segera meminta bantuan dengan menghubungi Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) untuk bersama-sama memadamkan api. Kegiatan
pemadaman dilakukan agar kebakaran hutan tidak menyebar lebih besar. Metode
pemadaman yang digunakan ialah pemadaman secara langsung yang
berkesinambungan untuk mengibas, mendinginkan, memukul, memadamkan api,
dengan syarat api kecil, bahan bakar sedikit dan kebakaran bawah (Purbowaseso 2004).
Prinsip dasar memadamkan seluruh api dapat dilakukan dengan metode jalur
pembuatan ilaran, metode pemadaman api secara langsung, dan pembakaran balik.
Metode jalur yaitu membuat jalur mekanik dengan membersihkan bahan-bahan yang
mudah terbakar. Jalur dibuat melintang atau memotong arah menjalarnya api sehingga
penjalaran api akan terhenti. Metode pembakaran balik yaitu membuat jalur mekanik
yang tidak lebar terlebih dahulu kemudian dilebarkan dengan pembakaran ke arah
berlawanan datangnya api, lebar jalur mekanis ini adalah satu sampai dua meter.
Metode pemadaman api secara langsung yaitu dengan memadamkan bahan bakar yang
terbakar dengan air, tanah, atau alat pemadam seperti kepyok, metode ini digunakan
pada kebakaran hutan skala kecil.
Dalam memadamkan api, masyarakat cenderung melakukan metode pemadaman
api secara langsung yaitu menggunakan alat sederhana seperti menggunakan tanah dan
gepyok (alat pemukul api). Gepyok yang terbuat dari daun pisang dan ranting-rant ing
dengan panjang sekitar 1.5 sampai 2 meter yang berasal dari pohon berdaun lebar
dengan kondisi basah berasal dari sekitar areal kebakaran
Selain itu, alat-alat penunjang untuk mempermudah pemadaman kebakaran juga
dapat memakai alat-alat yang biasa digunakan masyarakat untuk bertani seperti
cangkul dan golok untuk membuat ilaran dan menggali tanah, dan semua alat tersebut
merupakan milik pribadi masyarakat. Pemadaman api secara langsung dilakukan pada
kebakaran skala kecil. Penggunaan air sebagai pemadam juga dapat dilakukan pada
kebakaran yang dekat dengan jalan umum sehingga air akan dibawa oleh mobil polisi
hutan dengan dilengkapi selang 100 meter.
Pemadaman dilakukan oleh petugas yang sedang berpatroli, apabila kapasitas
tenaga petugas kurang memadai maka petugas akan menghubungi LMDH maupun
44

masyarakat sekitar. Jumlah tenaga yang dibutuhkan tergantung pada besarnya keadaan
kebakaran yang dipengaruhi oleh kecepatan angin dan keadaan api.

Penanganan Pasca Kebakaran Hutan


Kegiatan penanganan pasca kebakaran merupakan bagian dalam rangkain
aktivitas pengendalian kebakaran hutan yang diterapkan oleh BKPH Karetan.
Penanganan pasca kebakaran hutan dilakukan dengan cara membuat laporan tertulis,
penanaman kembali jenis pohon asli setempat dan penegakan hukum. Laporan tertulis
dibuat setelah terjadinya kebakaran hutan dalam waktu 1x24 jam. Laporan tertulis
berisi tentang informasi lokasi kebakaran, luas areal yang terbakar, penyebab
terjadinya kebakaran hutan dan perhitungan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan.
Penanaman kembali dilakukan untuk mengembalikan kondisi lahan yang
terbakar seperti sebelum terbakar di BKPH Karetan. Penegakan hukum dilakukan agar
menindak pelaku kebakaran. Penyelidikan dilakukan untuk mengetahui penyebab
kebakaran hutan. Sejauh ini kendala pihak BKPH Karetan adalah sulit mengetahui
modus pembakaran dan menangkap pelaku pembakaran. Sanksi pembakaran adalah
tindak pidana dari kepolisian sesuai Undang-undang yang berlaku.
Sejauh ini masyarakat yang ada di BKPH Karetan ikut berkontribusi dalam
pemadaman kebakaran hutan, namun adapula sebagian kecil masyarakat yang masih
acuh terhadap hal tersebut. Wadah LMDH sangat bermanfaat untuk merangkul
masyarakat sehingga masyarakat banyak berkontribusi baik dalam mencegah maupun
ikut serta dalam memadamkan kebakaran hutan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Potensi kebakaran hutan di KPH Banyuwangi Selatan tergolong rendah. Hal


ini ditunjukkan dengan data mengenai kondisi serasah yang lembab dikarenakan
curah hujan yang tinggi. Upaya pencegahan berupa penyuluhan dan pemasangan
papan reklame dirasa masih kurang maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
meratanya masyarakat yang menghadiri penyuluhan serta jarang ditemukan adanya
papan reklame mengenai kebakaran hutan.

Saran

Pemasangan papan reklame di tempat-tempat strategis sangat perlu dilakuka n


sehingga masyarakat tahu bahaya dari kebakaran hutan. Selain itu, upaya
pencegahan secara preventif melalui penyuluhan perlu adanya pembenahan supaya
hasil dari penyuluhan ini tercapai secara merata kepada masyarakat.
45

DAFTAR PUSTAKA

[BKKPP] Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh. 2009. Budidaya


Tanaman Jagung. Aceh (ID) : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NAD.
[PERHUTANI] Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Revisi RPKH KPH
Banyuwangi Selatan KP Jati Jangka 2011-2020 Periode 2016-2020.
Banyuwangi (ID): PERHUTANI.
Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Jakarta (ID): Pustaka Jaya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004. Tentang
Perlindungan Hutan.
Purbowaseso B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): PT. Rineka
Cipta.
Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan dampak kebakaran hutan. Jurnal Lingkar
Wisyaiswara Edisi 1 (4): 110-115.
Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Perilaku Api,
Penyebab, dan dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing.
Suratmo FG, Endang AH, Nengah SJ. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian
Kebakaran Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gangguan Hutan di KPH Banyuwangi Selatan

Dzikry Lesmana Syamsudin1 , dan Cecep Kusmana2


Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Penyakit merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
pembangunan hutan. Serangan hama dan penyakit sangat umum terjadi mulai dari
tanaman berada di persemaian sampai dengan tanaman berada di lapangan.
Penyakit pada tanaman didefinisikan sebagai penyimpangan dari sifat normal yang
menyebabkan tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologisnya secara normal
(Semangun 2001). Kejadian suatu penyakit dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu
biotik (patogen) dan abiotik. Penyakit biotik adalah kejadian penyakit yang
disebabkan oleh organisme yang mempunyai kemampuan menyebabkan penyakit
dalam bentuk organisme hidup. Organisme yang tergolong patogen adalah jamur,
bakteri, virus, mikroplasma, spiroplasma, dan riketsia (Yudiarti 2007). Kejadian
penyakit abiotik lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti faktor fisik,
kimia, dan kejadian alam. Infeksi penyakit terhadap tanaman inang dipengaruhi
oleh tiga faktor atau biasa disebut dengan segitiga penyakit. Menurut Anggraeni
(2007), penyakit terjadi karena adanya kontak antara agen patogenik dengan inang
yang rentan, kemudian perkembangan interaksi antara keduanya dapat berkembang
dengan faktor lingkungan yang mendukung dan pada akhirnya timbul penyakit.
Jati merupakan kelas perusahan kayu yang utama di KPH Banyuwa ngi
Selatan, oleh karena itu perlu adanya pengadaan bibit yang berkualitas guna
memenuhi kebutuhan bibit di KPH Banyuwangi Selatan. Bibit yang berkualitas
sangatlah ditentukan oleh kegiatan di persemaian. Menurut Widyastuti (2005),
tanaman di persemaian lebih rentan terhadap serangan penyakit dibandingka n
dengan tanaman yang telah ditanam di lapangan, sehingga jika tanaman di
persemaian telah terserang penyakit maka pertumbuhan tanaman akan terganggu
dan dapat menyebabkan kematian.
Persemaian bibit jati di KPH Banyuwangi Selatan berada di RPH Pecinan,
BKPH Genteng merupakan pemasok bibit jati bagi seluruh BKPH yang ada di KPH
Banyuwangi Selatan. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi mengenai serangan
penyakit yang terjadi di persemaian RPH Pecinan, sebagai dasar dalam kegiatan
pengendalian penyakit yang dilakukan.
Penyakit pada tanaman dapat diketahui dengan mengamati tanda dan gejala
yang timbul karena adanya serangan penyakit. Gejala adalah bentuk respon yang
timbul pada tanaman oleh karena patogen, contohnya rebahnya semai jati karena
serangan lodoh (dumping off). Tanda adalah bukti fisik dari adanya patogen yang
terdapat pada tumbuhan inang, semisal adanya serbuk spora fungi patogen
penyebab penyakit pada tanaman.
Berdasarkan hasil pengamatan, penyakit yang ditemukan di persemaian
RPH Pecinan adalah bercak daun. Penyakit bercak daun ini dapat diketahui dari
adanya gejala nekrosis (mati jaringan) pada bagian daun. Gejala awal penyakit
bercak daun pada bibit jati di persemaian RPH Pecinan adalah adanya noda atau
bercak pada permukaan daun dengan batas yang jelas, seperti terlihat pada gambar
1. Bentuk bercak yang timbul tidak mempunyai bentuk yang tidak pasti atau acak.
Ukuran bercak dari waktu ke waktu dapat semakin meluas hingga menutupi seluruh
47

bagian daun. Warna bercak pun beragam mulai dari kuning, cokelat hingga hitam,
umumnya pada bagian tengah bercak berwarna lebih terang dibandingkan dengan
bagian samping atau batas bercak. Jaringan daun yang terkena bercak biasanya
tidak menyeluruh kecuali bila jumlah bercak saling bersatu dan membentuk bercak
yang luas (Irawan 2015).

Gambar 28 Gejala penyakit bercak daun pada bibit jati.

Penyakit bercak menyerang bagian jaringan tanaman pada daun, sehingga


gejala yang timbul pun berupa nekrosis atau matinya jaringan. Agrios (2005)
menyatakan bahwa penyakit bercak daun merupakan penyakit yang disebabkan
oleh fungi yang dapat mengganggu proses fotosintesis dan selanjutnya dapat
menghambat pertumbuhan tanaman. Menurut Anggraeni (2009), beberapa fungi
yang dapat menyebabkan penyakit bercak daun pada tanaman kehutanan antara lain
Pestalotia sp., Lasiodiplodia sp., Cercospora sp., Curvularia sp.,
Helminthosporium sp., Gleosporium sp., Clyndrocladium sp., dan Colletotrichum
sp.
Bibit jati yang telah terserang bercak daun akan dengan cepat menularkan ke
bibit lainnya. Hal itu terlihat dari banyaknya bibit yang telah terserang oleh bercak
daun dan hampir tersebar pada setiap bedengan. Berdasarkan perhitungan rata-rata
persentase serangan yang dilakukan pada lima bedengan, didapatkan nila i sebesar
71,95 %. Adapun nilai persen serangan di tiap bedengan tersaji pada tabel 3.
Persentase serangan merupakan proporsi bibit jati yang terserang penyakit pada
seluruh tanaman yang diamati tanpa memperhitungkan tingkat serangan.
Tabel 11 Intensitas serangan, persentase serangan, dan kriteria kerusakan

Intensitas Persentase Kriteria


No bedeng
Serangan Serangan kerusakan
1 26.64 84.13 Sedang
2 19.60 63.87 Ringan
3 28.32 84.27 Sedang
4 23.09 70.27 Ringan
5 19.44 57.20 Ringan
Rata-rata 23,42 71,95 Ringan

Tingginya nilai persentase serangan yang terjadi di persemaian RPH Pecinan


disebabkan oleh perawatan yang kurang baik terhadap bibit yang ada di bedeng
open area. Berdasarkan hasil wawancara dari pihak RPH Pecinan bahwa kegiatan
perawatan sering terkendala oleh masalah biaya. Hal ini berdampak pada belum
48

adanya kegiatan pemupukan dan pengendalian penyakit yang timbul. Penyakit


bercak daun sendiri akan sangat mudah tersebar bila tidak adanya penanggana n
yang serius dan lebih lanjut dapat menyebabkan kematian bibit. Pada tingkat
persemaian hal ini dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar karena dapat
berdampak gagalnya kegiatan penanaman.
Intensitas serangan merupakan tingkat keparahan yang terjadi akibat
serangan penyakit dengan memperhitungkan skor pada tiap tanaman yang diamati.
Adapun setiap tanaman yang diamati ditentukan skornya berdasarkan kondisi
gejala seranaga. Rata-rata intensitas serangan dari kelima bedang sebesar 23,42%,
nilai tersebut menunjukan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh penyakit
bercak daun termasuk dalam kategori rusak ringan. Tingkat kerusakan
dikategorikan dalam rusak ringan karena nilai rata-rata intensitas serangan yang
terjadi di persemaian RPH Pecinan berada di bawah 25% (Leatemia 2011).

Gambar 29 Serangan bercak daun berdasarkan skor (a) skor 0, (b) skor
1, (c) skor 2, (d) skor 3, (e) skor 4, dan (f) skor 5.

Berdasarkan Gambar 29 terlihat bahwa kondisi bibit jati yang ada di


persemaian RPH pecina cukup beragam, mulai dari bibit yang dalam keadaan sehat
dengan skor 0 sampai dengan bibit dalam keadaan mati dengan skor 5. Sebaran
skor tertinggi yang ada di persemaian RPH Pecinan ada pada skor 1 dengan jumlah
44,16% dan skor 4 merupakan yang terendah yaitu sebesar 2,11%. Adapun besaran
jumlah dari tiap skor pada bibit jati terdapat pada gambar 16. Besarnya jumlah bibit
yang terserang dengan nilai skor 1 menunjukan bahwa penyebaran serangan
penyakit bercak daun masih dalam tahap awal. Hal itulah yang menyebabkan nilai
tingkat kerusakan bibit jati di persemaian RPH Pecinan dikategorikan rusak ringan.
Namun banyaknya jumlah bibit yang terserang penyakit bercak daun menunjuka n
penyebaran penyakit ini di persemaian RPH Pecinan tergolong cukup cepat,
mengingat umur bibit yang terserang berkisar antara 2 bulan sampai 3 bulan.
49

50.00
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00 Persentase jumlah
20.00 bibit tiap skor
15.00
10.00
5.00
0.00
0 1 2 3 4 5

Gambar 30 Grafik persentase bibit tiap skor.

Penyebaran penyakit bercak daun dapat dengan mudah tersebar bila tidak
dilakukan pemisahan bibit yang telah terserang penyakit. Fungi Colletorichum
merupakan salah satu jenis fungi yang dapat menyebabkan penyakit bercak daun
pada tanaman kehutanan. Penyebaran fungi ini dikenal mempunyai kisaran inang
yang luas dan dapat dengan mudah menyebar melalui udara dan air (Moral 2012
dalam Irawan 2015). Serangan penyakit bercak daun sering muncul pada saat curah
hujan tinggi karena sifat dari fungi Colletorichum yang mudah menyebar melalui
air dan udara. Fungi tersebut banyak mengifeksi bagian daun melalui epidermis
bagian atas.
Kegiatan pengendalian merupakan upaya yang dilakukan untuk menekan
kerugian yang ditimbulkan dari serangan penyakit. Penyakit bercak daun yang
menyerang bibit jati di persemaian RPH Pecinan perlu dilakukan kegiatan sejak
dini. Terdapat beberapa upaya pengendalian yang dapat dilakukan untuk mencegah
dan mengendalikan penyakit bercak daun, antara lain isolasi bibit yang terserang
penyakit, mengurangi intensitas naungan, dan pengendalian penyakit
menggunakan fungisida.
Isolasi bibit yang terserang penyakit merupakan teknik pengendalian yang
paling dini yang dapat dilakukan. Pemisahan bibit jati yang telah terserang bercak
daun bertujuan untuk memutus penyebaran fungi penyebab penyakit tersebut.
infeksi fungi penyebab bercak daun dapat terjadi melalu kedua sisi daun degan cara
penetrasi langsung menembus sel-sel jaringan epidermis atau melalui stomata
(Saleh 2010). Bibit yang telah dipisahkan, selanjutnya dilakukan pemusnahan pada
bagian tanaman yang terserang penyakit. Bila bagian tanaman yang terserang
penyakit terlalu luas maka dianjurkan untuk dimusnahkan keselurahan bibitnya.
Adapun teknik pemusnahan yang dapat dilakukan adalah dengan cara dibakar.
Teknik pengendalian dengan cara ini tidak akan begitu efektif bila serangan
penyakit telah mencakup skala yang luas.
Penggunan naungan yang terlalu rapat dapat berpengaruh terhadap suhu dan
kelembaban dalam persemaian. Penyakit bercak daun mudah menyerang dalam
kondisi suhu yang rendah dan kelembaban tinggi. Persemaian RPH Pecinan
terdapat beberapa bedeng open area yang ternaungi oleh rumah dinas dan pohon
mindi, sehingga hal ini pun dapat mempengaruhi penyebaran persebaran penyakit
bercak daun. Pengurangan naungan dalam pada bedeng open area merupakan salah
50

satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan suhu dan menurunka n
kelembaban yang terjadi. Intensitas naungan sebesar 75% atau lebih dapat
digunakan untuk meningkatkan kondisi suhu dan menurunkan tingkat
kelembabannya, sehingga diharapkan penyebaran penyakit dapat diminimalis ir
semaksimal mungkin (Irawan 2015). Perlakuan ini pun tetap perlu disesuaikan
dengan kondisi bibit. Jika bibit masih terlalu muda, pengurangan naungan dapat
dilakukan secara bertahap.
Penggunaan fungisida dapat dilakukan dengan tujuan sebagai anti funga l
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan konidia cendawan
(Irawan 2015). Terdapat dua macam fungisida yang umum digunakan yaitu
fungisida sintetik dan fungisida organik. Pemilhan jenis fungsida disesuaikan
dengan kondisi serangan.
Jenis fungisida sintetik yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan
penyakit bercak daun adalah fungisida yang berbahan aktif triademafo n,
klorotalonil, mono amonium, glisofat, isopropil, amina glisofat, dan mankozeb
(Anggraeni 2009). Sedangkan untuk jenis fungisida organik yang dapat digunaka m
yaitu beberapa ekstrak bagian tanaman yang mempunyai potensi biopestisid a,
misalnya ekstrak daun sirih (Nurhayati 2011).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pengelolaan hutan yang dilakukan di Perum Perhutani KPH Banyuwangi


Selatan mengelola 3 aspek kelestarian, yaitu produksi, lingkungan, dan sosial.
Kegiatn pengelolaan hutan yang terdapat di KPH Banyuwangi Selatan meliputi
perencanaan hutan, silvikultur, pemungutan hasil, perlindungan hutan, dan
pemberdayaan masyarakat. Secara umum kegiatan yang berlangsung telah sesuai
dengan yang tersusun di dalam buku RPKH dan RTT.
Penyakit bercak daun merupakan jenis penyakit yang menyerang bibit jati di
persemaian RPH Pecinan. Rata-rata persentase serangan penyakit bercak daun yang
menyerang bibit jati di persemaian RPH Pecinan sebesar 71,95%, intens itas
serangan 23,42%, dan kriteria kerusakan rata-rata berada di tingkat ringan.
Pengendalian yang belum maksimal dilakukan merupakan penyebab besarnya nilai
persentase serangan di persemaian RPH Pecinan.

Saran

Pengelolaan hutan bersama masyrakat yang telah dilaksanakan KPH


Banyuwangi Selatan perlu ditingkatkan kembali, seperti peningkatan pemanfaatan
limbah ternak yang ada di BKPH Curahjati. Penindakan terhadap pelaku pencurian
kayu pun perlu ditingkatkan mengingat tingginya kasus pencurian kayu, khususnya
di BKPH Genteng.
Kegiatan pengendalian terhadap penyakit bercak daun perlu dilakukan sejak
dini mulai dari yang paling sederhana. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan
51

melakukan Postulat Koch untuk mengetahui jenis fungi penyebab penyakit bercak
daun yang terjadi di persemaian RPH Pecinan.

DAFTAR PUSTAKA

[PERHUTANI] Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Laporan Bulanan


2015. 2015. Banyuwangi (ID): PERHUTANI.
Anggraeni I. 2007. Diagnosis penyakit bercak daun pada (Tectona grandis Lf).
Prosiding Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. 217-223.
Anggraeni I. 2009. Colletrichum sp, Penyebab penyakit bercak daun pada beberapa
bibit tanaman hutan di persemaian. Mitra Hutan Tanaman. 4(1):29-35.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology 5th eds. Elesiver Academic Press. USA.
Irawan A, Anggraeni I, Christita M. 2015. Identifikasi penyebab penyakit bercak
daun pada bibit cempaka (Magnolia elegans I (Blume) H.Keng) dan teknik
pengedaliannya. Jurnal Wasian 2(2):87-94.
Leatemia JA, Rumthe RY. 2013. Studi kerusakan akibat serangan hama pada
tanaman pangan di Kecamatan Bula, Kabupaten Seram bagian timur, Propinsi
Maluku. Jurnal Agroforestri 4(1):57-64.
Moral, Juan, Jose JB, Sanchez MI, Oliveira R, Trapero A. 2012. Effect of
temprature, wetnes duration, and planting density on olive anthracnose caused
by Colleotrichum spp. Journal of Phytopathology 102(10):974-981.
Nurhayati. 2011. Efektifitas ekstrak daun sirih terhadap infeksi Colleotrichum
capsici pada buah cabai. Dharmapala. 3(2):54-59.

Saleh N. 2010. Optimalisasi pengendalian terpadu penyakit bercak daun dan karat
pada kacang tanah. Pengembangan inovasi pertanian. 3(4):289-305.
Schmidt, F.H. dan Ferguson, J.H.A. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry
Period for Indonesia with Western New Guinee. Jakarta (ID): Kementerian
Perhubungan, Meteorologi dan Geofisika.
Semangun H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta(id): Gadjah
Mada University Press.
Sumardiyono C, Joko T, Kristiawati Y, Chinta YD. 2011. Diagnosis dan
pengendalian penyakit antraknosa pada pakis dengan fungisida. Jurnal Hama
dan Penyakit Tumbuhan Tropika.11(2):115-124.
Manajemen Persemaian Jati Di Persemaian Permanen RPH
Pecinan, BPKHP Genteng, KPH Banyuwangi Selatan

Liviana Makrufah² dan Cecep Kusmana³


Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB

Manajemen Persemaian
Kondisi lingkungan yang cenderung kering menjadikan Jati (Tectona
grandis) sebagai tanaman pokok yang dihasilkan oleh Perum Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan. Selain sesuai ditanam di daerah kering, jati juga merupakan
tanaman yang memiliki nilai jual tinggi, sehingga dari waktu ke waktu terus
dilakukan pemuliaan tanaman. Jati hasil dari pemuliaan diharapkan memiliki daur
pendek (± 15 tahun), sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Hasilnya Perhutani
memiliki jati varietas unggul yang telah beredar di pasaran yang disebut Jati Plus
Perhutani (JPP) dan menjadi primadona hingga saat ini, yang memiliki keunggula n
berdaur 20 tahun, volume per hektar relatif besar serta kualitas batang yang lebih
baik (Perhutani 2010b). Jati Plus Perhutani merupakan hasil pengembanga n
rekayasa genetika yang dilakukan oleh Perum Perhutani di KPH Cepu, sehingga
dalam pengembangannya untuk kegitan produksi perlu dikembangka n
perbanyakan bibit yang berasal dari stek pucuk secara luas dalam persemaian.
Pengembangan bibit asal stek pucuk memerlukan penyediaan dan pembanguna n
kebun pangkas serta persemaiaanya dalam skala besar ( Kusmana 2011). KPH
Banyuwangi Selatan merupakan salah satu KPH yang menggunakan JPP dalam
proses produksinya, sehingga memerlukan lahan permenen untuk dijadikan kebun
pangkas dan persemaian.

Organisasi
Pembangunan hutan tanaman tidak dapat terlepas dari bagaimana sembuah
organisasi dapat menjalankan tugas masing- masing bagian sesuai tupoksi serta
pengerjaan yang sungguh-sungguh. Ketika terdapat satu bagian dari sebuah
organisasi terdapat kekacauan, maka akan menyebabkan kerugian disemua bidang.
Fungsi control sangat diperlukan dalam menjalankan kegiatan. Sehingga perlu
adanya organisasi yang mampu mengelolanya. Bagan organisasi KPH Banyuwa ngi
Selatan dapat dilihat pada Gambar 31.

Gambar 31 Struktur organisasi BKPH Genteng


53

KPH Banyuwangi Selatan dikepalai oleh seorang Administratur (Adm) atau


Kepala KPH di bantu oleh seorang wakil atau di sebut wakil administratur (Waka
Adm) yang membantu. Kegiatan praktik lapang ini dilakukan di BKPH Genteng
yang di pantau langsung oleh Adm dan waka adm dan dipimpim oleh seorang
Kepala BKPH atau sering disebut Asisten Perhutani (Asper). Praktik lapang
tentang persemaian dilakukan di BKPH Genteng yang di pimpin oleh seorang
Asisten Perhutani (Asper) yang dipantau langsung oleh Adm dan WakaAdm.
Persemaian sendiri berada di RPH Pecinan yang dikelola oleh seorang Kepala RPH
yang bertanggung jawab terhadap mandor persemaian.
Mandor persemaian memiliki tugas yang lebih spesifik berupa tugas-tugas
secara teknik yang harus dikuasai. Tugas tersebut diantaranya membuat persemaian
pohon yang telah ditetukan, memelihara bibit hingga kuantitas dan kualitas nya
memenuhi jumlah yang dibutuhkan. Karyawan yang dipekerjakan oleh mandor
jumlahnya tidak tetap dan berstatus sebagai karyawan kontrak dengan sistem upah
HOK.

Sarana dan Prasarana


Pembangunan kebun pangkas (KP) dan persemaian memerlukan biaya yang
mencukupi dalam penyediaan sarana prasarana, bibit, serta tanaman. pembanguna n
KP dan persemaian harus bersifat efisien dan efektif dengan masa palai minimal 10
tahun (Perum Perhutani 2010). Sarana prasarana di persemaian permanen KPH
Banyuwangi Selatan cukup lengkap dan masih dalam kondisi baik, diantaranya
rumah dinas, gubuk kerja, serta gudang yang digunakan untuk menyimpan semua
peralatan dan bahan yang digunakan dalam perbanyakan tanaman. Selain ruang
kerja, di butuhkan pula sarana untuk pengairan, dimana sumber air yang ada berasal
dari sungai, maka perlu alat pemompa air serta selang dan paralon yang kondisinya
masih baik. Lokasi persemaian yang cukup luas memerlukan pembatas atau pagar
untuk penanda batas wilayah persemaian. Penanda batas yang dipasang
menggunakan bahan alami berupa tanaman teh-tehan. Berikut terlampir gambar
tanaman teh-tehan pada Gambar 32. Terdapat tanaman lain yang digunakan dalam
menunjang kegiatan persemaina, salah satunya adalah pohon mindi. Mindi
digunakan sebagai naungan di persemaian pada bedeng induksi akar, aklimatisas i,
dan shading, serta dipasang pula paranet sebagai salah satu bentuk naungan. Berikut
terlampir gambar paranet yang di pakai pada persemaian derta pohon mindi sebagai
naungan.

Gambar 32 (a) Tanaman teh-tehan untuk pagar wilayah (b) Naungan dari
paranet dan pohon mindi.

Material
Media tanam merupakan tempat dimana akar akan tumbuh dan menopang
tanaman itu sendiri. Adapun fungsi media tanam diantaranya sebagai tempat
dimaka akar dapat melakukan penetrasi dan melekatnya akar, selain itu media
54

sebagai penyedia air, usur hara, oksigen, dan tempat aktivitas mikroba. (Mardani,
2005). Agar dapat mencapai tujuannya, maka media tanam harus memenuhi
beberpa syarat, diantaranya mampu mengikat dan menyimpan air dengan baik,
aerasi dan drainase baik,porositas yang cukup, bukan sebagai sumber penyakit dan
hama (Purwanto 2006).
Sehingga di sebuah persemaian, material tempat tumbuh merupakan sarana
yang wajib dipenuhi, dimana jika tidak terpenuhinya material tersebut maka akan
menurunkan jumlah produksi dan berdampak pada terganggunya kegiatan
pemungutan hasil. Maka persemaian permanen KPH Banyuwangi Selatan
memastikan kecukupan stok maerial tempat tumbuh untuk bibit jati. Material yang
digunakan adalah top soil, kompos, dan pasir, dengan perbandingan 3:3:1. Hal ini
telah sesuai dengan pedoman pembangunan persemaian yang telah ditetapkan oleh
Perhutani.

Gambar 33 Top soil yang digunakan sebagai media tanam.

Masing-masing dari media tanam memiliki fungsi yang berbeda namun


saling melengkapi, dimana top soil digunakan akar untuk menopang
pertumbuhannya. Menurut Nugroho (2003) penambahan top soil dalam media
tanam dapat meningkatkan keberhasilan pertumbuhan tanaman karena akan
memperbaiki struktur, tekstur, kandungan hara tanah serta memperbaiki kondisi
lingkungan mikro tanah. Penambahan kompos berfungsi sebagai penyedia unsur
hara untuk pertumbuhan awal pada pembibitan. Selian itu secara keseluruhan dapat
meningkatkan kesuburan tanah dengan memperbaiki struktur dan tekstur tanah
dengan melalui perannya dalam menggemburkan top soil, mempertinggi daya serap
dan daya simpan air, serta meningkatkan populasi jasad renik (Fatimah 2008).
Sedangkan pasir berfungsi untuk membuat rongga-rongga pada media sehingga
dapat menjaga aerasi tanah untuk menyimpang air yang akan digunakan untuk akar
tanaman. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hani (2009) dalam penelitianya yang
mengataan bahwa penambahan pasir dalam media tanam adalah salah satu cara
terbaik untuk memperbaiki porositas media dimana aerasi dan drainase yang baik
memiliki peran yang besar dalam pertumbuhn tanaman.
KPH Banyuwangi Selatan memiliki dua kelas perusahaan yaitu kelas
perusahaan jati dan kelas perusahaan pinus. Kelas perusahaan jati menjadi kelas
perusahaan yang utama dalam pengelolaanya. Maka pengadaan bibit sangat
diperhatikan, terutama asal bibit dan perbanyakanya. Saat ini KPH Banyuwa ngi
Selatan menggunakan Jati Plu Perhutani atau biasa disebut JPP ini dikembangka n
di oleh KPH Cepu. Sebelum menggunakan JPP, KPH Banyuwangi Selatan
menggunakan jati biasa yang memiliki kelas umur mencapai 60 tahun dengan
perbanyakan menggunakan benih yang diunduh dari kebun benih. Namun saat ini
hampir seluruh Perum Perhuani yang memiliki kelas perusahaan jati menggunaka n
55

JPP. Perbanyakan JPP pun sudah tidak menggunakan benih dari kebun benih
karena dirasa terlalu lama dan viabiliasnya yang rendah. Sehingga cara yang sesuai
adalah dengan perbanyakan vegetatif yaitu dengan stek pucuk yang di ambil dari
kebun pangkas. Stek pucuk merupakan perkembangbiakan vegetatif yang mudah
dilakukan.

Gambar 34 (a) Kebun pangkas klon B, (b) pohon jati dan pucuk yang
akan dijadikan stek.

Gambar 34 merupakan salah satu contoh klon yang di kembangkan di KPH


Bnyuwangi Selatan. Awal mula pembangunan kebun pangkas, pengelola menanam
10 klon JPP dari KPH Cepu, kemudian klon A dan klon B menunjukka n
pertumbuhan yang lebih baik dari klon lain di lahan tersebut, sehingga hingga saat
ini KPH Banyuwangi Selatan mengembangkan JPP klon A dan klon B.
Bibit yang dihasilkan harus memiliki kualitas yang baik dan jumlah yang
mencukupi kebutuhan dilapang. Bahan stek pucuk yang diambil dari kebun
pangkas telah sesuai dan dipilih dengan kualitas yang baik. Tahun 2017 KPH
Banyuwangi Selatan membutuhkan 326.591 plc untuk bibit jati dalam rekapitulas i
kebutuhan bibit dan benih tahun 2017 yang dibuat oleh kantor KPH Banyuwa ngi
Selatan. Namun dalam papan plang yang terdapat dalam persemaian, tertuliska n
bahwa bibit yang dibutuhkan hanya sebanyak 237.569 plc, dapat dilihat pada
Gambar 35. Hal ini menunjukkan adanya ketidak sesuaian dalam pemenuhan bibit
jati. Sehingga perlu dilakukanya penghitungan kembali dan penyesuaian kondisi di
lapang.

Gambar 35 (a) Plang informasi persemaian, (b) Rekapitulasi kebutuhan


bibit tahun 2017.

Tata waktu penyelenggaraan persemaian


Penyelenggaraan persemaian atau pengadaan bibit jati dilakukan pada
setiap tahun dimana pada tahun tersebut terdapat penebangan. Ketika tahun tersebut
terdapat rencana penebangan, maka pihak KPH Banyuwangi Selatan juga akan
membuat rekapitulasi berapa banyak kebutuhan bibit yang harus dipenuhi. Namun
tidak hanya ketika terdapat penebangan saja, ketika dilapang terdapat tanaman yang
harus dilakukan penyulaman maka akan dilakukan pula pengadaan bibit. Setiap
56

tahunnya jumlah bibit yang dibuat akan dilebihkan dari jumlah yang telah
ditentukan, kelebihan tersebut akan digunakan sebagai cadangan dimana ketika
bibit masih dipersemaian mengalami kematian sebelum ditanam di lapang. Setelah
penebangan selesai dilakukan, maka barulah bibit yang telah siap yang berada di
bedeng open area akan dimuat dan siap untuk ditanam.

Intensitas Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman harus dilakukan mulai dari tingkat semai hingga
masa tebang, dimana kegiatan-kegiatan pemeliharaan disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhanya. Semai yang berapa di persemaian permanen RPH Pecinan pun
tidak lepas dari pemeliharaan agar mendapatkan bibit yang baik. Kegiatan
pemeliharaan yang dilakukan diantaranya penyulaman, penyiraman, pemupukan,
dan penyiangan.
Tabel 12 Penyulaman pada tiap bedengan

No Bedengan % Penyulaman
1 Induksi 15 %
2 Aklimatisasi 3%
3 Seeding 2%
4 Open area 5%
Total 20%

Penyulaman merupakan kegiatan yang dilakukan ketika tanaman pokok mati


atau hilang dan digantikan dengan tanaman yang baru (Marhaento 2015). Hal
tersebut dilakukan hamper setiap tahunnya di RPH Pecinan. Tahun 2017 ini bibit
yang harus disulam sebanyak 24,166 plc , dimana bibit yang disulam adalah bibit
tahun 2016. Besar penyulaman adalah 20% hingga 25%, dengan persenan tiap
bedengan yang berbeda-beda, dapat dilihat pada Tabel 12.
Selanjutnya pemeliharaan yang krusial dilakukan adalah penyirama n.
Menurut mandor persemaian, bapak Boiran, penyiraman dilakukan pada dua
waktu, yaitu pagi dan sore. Namun ketika praktikan berada di persemian, pekerja
menyiram tanaman pada siang hari, sehingga dalam pelaksanaannya tidak sesuai
dengan prosedur. Penyiraman pada siang hari tidak dianjurkan karena ketika siang
hari penguapan akan terjadi dengan intensitas tertinggi. Maka ketika dilakukan
penyiraman pada siang hari media akan mudah menguapkan air yang dikandungnya
dan tanaman akan mudah kekurangan asupan air.
Pemeliharaan selanjutnya adalah pemupukan, yang dilakukan setiap satu
bulan sekali. Namun dikarenakan sedang adanya krisis keuangan di Perum
Perhutani,maka pada bulan Juli dan Agustus belum dilakukan pemupukan. Hal
tersebut mengakibatkan munculnya beberapa penyakit pada bibit jati, seperti pada
pada gambar 36 yang merupakan salah satu contoh bibit jati yang terserang
penyakit dan hamper semua bibit terserang penyakit yang sama.
57

Gambar 36 Bibit jati terserang penyakit.

Kegiatan pemeliharaan selanjutnya adalah penyiangan. Penyiangan merupakan


kegiatan pembersihan atau pembebasan tanaman dari tumbuhan pengganggu,
rumput, maupun semak belukar, dimana akan lebih baik dilakukan minimal empat
bulan sekali dilakukan pada tahun pertama (Heryati 2009). Penyiangan di
persemaian RPH Pecinan dilakukan satu bulan sekali dan dilakukan ketika telah
dipindah ke bedeng open area.

Pengendalian hama dan penyakit


Hama dan penyakit merupakan salah satu kendala yang selalu terjadi
disemua kegiatan pengenolaan hutan. Mulai dari tingkat semai hingga pohon dapat
tererang hama maupun penyakit. Bibit jati yang berada di persemaian permanen
KPH Banyuwangi Selatan hampir keseluruhan daun jati di bedeng open area
terserang penyakit yang hampir sama. Rata-rata bibit jati terserang embun tepung.
Embun tepung yang menyerang tanaman muda akan sangat menggangggu karena
dapat menghambat proses fotosintesis. Tanda daun muda terkena embun tepung
sangat mudah dikenali, yaitu terdapat bercak putih seperti tepung yang tidak
beraturan yang dapat menutupi permukaan daun (Anggraeni 2006). Penanganan
yang dilakukan dari pihak perhutani hanya sebatas penyiraman menggunka n
air,belum adanya penanganan khusus yang dilakukan. Sedangkan untuk
penyerangan oleh hama ulat jati hanya menyerang dibeberapa bibit saja, dan
penanganannya dengan pemberian insectisida pada seluruh bibit. Pemberantasan
hama dan penyakit sebaiknya dilakukan pada saat serangan masih awal dan sedikit
agar lebih mudah dalam pemulihan dan sebelum terjadi kerusakan serta kerugian
yang lebih besar (Heryati 2009).

Tenaga kerja
Salah satu syarat penentuan tempat persemaian adalah mudah dalam mecari
tenaga kerja. Sehingga seluruh tenaga kerja yang terdapat di persemian permanen
RPH Pecinan merupakan warga atau masyarakat yang tinggal di dekat persemaian,
sehingga adanya persemian ini menjadi lapangan pekerjaan bagi warga setempat.
Jumlah tenaga kerja yang terdapat di persemaian sebanyak 12 orang yang terdiri
dari 4 orang laki-laki , dan 8 orang perempuan. Seluruh pekerja merupakan
masyarakat dengan usia lebih dari 50 tahun. Sistem kerjanya pun tidak terlalu
ketat,para pekerja boleh tidak bekerja setiap hari, karena pada sistem upah
menggunkan HOK, di mana tenaga kerja akan dibayar sesuai dengan pekerjaan
mereka setiap hari. Sehingga ketika seorang pekerja tidak datang maka tidak
mendapatkan upah pula.
58

Tabel 13 Tenaga kerja di persemaian RPH Pecinan


Komponen Tenaga kerja
4 laki-laki
Komposisi pekerja
8 perempuan
Pria : > 50tahun
Usia rata-rata
Wanita: > 50 tahun
Sistem upah HOK

Dilakukan pula wawancara kepada para pekerja terutama ibu-ibu yang


bekerja di persemaian, bahwa setiap hari ibi-ibu mampu mengisi media dalam
polybag sebanyak 3 bedengan. Satu bedengan terdapat 800 polybag, setiap polybag
diberi upah sebesar 23 rupiah/ polybag, sehingga jika satu pekerja menghasilka n
800 polybag mendapatkan upah Rp. 18.400,00. Namun berbeda dengan upah
tenaga kerja pada bagian pengambilan pucuk jati di kebun pangkas, upah setiap
pucuknya sebesar 34 rupiah/pucuk.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sistem pengelolaan hutan di KPH Banyuwangi Selatan yang mencakup


kegiatan perencanaan hutan, pembinaan hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan telah sesuai dengan prosedur dan dalam
praktiknya jelas. Secara keseluruhan proses pengelolaan tidak menemui kendala
kecuali dalam pendanaan serta masih adanya masyarakat yang belum sadar akan
fungsi hutan yang mengakibatkan masih adanya pelanggaran seperti pencurian
kayu. Pengelolaan hutan tidak dapat terlepas dari pengadaan bibit dan
pengayaannya. Persemaian permanen yang dibangun secara keseluruhan telah
sesuai dengan prosedur yang ada dan telah mencukupi kebutuhan di wilayah KPH
Banyiwangi Selatan.
Sistem pengelolaan hutan di KPH Banyuwangi Selatan yang mencakup
kegiatan perencanaan hutan, pembinaan hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan telah sesuai dengan prosedur dan dalam
praktiknya jelas. Secara keseluruhan proses pengelolaan tidak menemui kendala
kecuali dalam pemdanaan serta masih adanya masyarakat yang belum sadar akan
fungsi hutan yang mengakibatkan masih adanya pelanggaran seperti pencurian
kayu. Pengelolaan hutan tidak dapat erlepas dari pengadaan bibit dan
pengayaannya. Persemaian permanen yang dibangun secara keseluruhan telah
sesuai dengan prosedur yang ada dan telah mencukupi kebutuhan di wilayah KPH
Banyiwangi Selatan.
59

Saran

Intensitas diskusi dari pimpinan ke pada masyarakat harus lebih banyak


dilakukan, sehingga masalah- masalah yang ada dapat didiskusikan tanpa adanya
simpang siur berita. Selain itu juga pemupukan pada persemaian harus diperhatika n,
karena bibit dalam persemaian akan menjadi investasi kedepanya bagi KPH
Banyuwangi Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

[PERHUTANI] Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Revisi RPKH KPH


Banyuwangi Selatan KP Jati Jangka 2011-2020 Periode 2016-2020. 2015.
Banyuwangi (ID): PERHUTANI
[PERHUTANI] Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Laporan Bulanan
2015. 2015. Banyuwangi (ID): PERHUTANI
Anggraeni I. 2006. Serangan penyakit embun tepung dan karat daun pada Acacia
auriculiformis A. Cunn. Ex Benth. Di Kediri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. III(1):45-53.
Fatimah S, Handarto BM. 2008. Pengaruh komposisi media tanam terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman sambiloto (Andrographis paniculata, Nees).
Jurnal Embryo. 5(2): 133-148.
Hani A. 2009. Pengaruh media tanam dan empat intensitas naungan pada
pertumbuhan bibit Khaya antotecha. Jurnal Tekno Hutan Tanaman. 2(3):2-9.
Heryati Y, Mindawati N, Kosasih AS. 2009. Prospek pengembangan lemo (Litsea
cubeba) di Indonesia. Jurnal Tekno Hutan Tanaman . 2(1):9 – 17.
Kusuma R A. 2011. Kelayakan financial pengelolan jati plus perhutani (JPP) di
KPH Bojonegoto Perum Perhutani unit II Jawa Timur. [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Mardani DY. 2005. Pengaruh Jumlah Ruas dan Komposisi Media Tanam
Terhadap Pertumbuhan Bibit Stek Nilam. [Skripsi]. Yogyakarta (ID): Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Yogyakarta.
Marhaento H, Kurnia AN. 2015. Refleksi 5 tahun paska erupsi gunungme rap i
2010 : menaksir kerugian ekologis di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Journal of Geomatics and Planning. 2(2):69-81.
Nugroho AW. 2003. Pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan awal
cemara udang (Casuarina equisetifolia var. incana) pada gumuk pasir pantai.
Jurnal Indonesian Forest Rehabilitation. 1(1): 113-125.
Perhutani. 2010b. Pedoman Pembuatan dan Pemeliharaan Tanaman Jati Plus
Perhutani. Jakarta (ID).
Purwanto AW. 2006. Aglaonema Pesona Kecantikan Sang Ratu Daun.
Yogyakarta (ID). Kanisius.
Schmidt, F.H. dan Ferguson, J.H.A. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry
Period for Indonesia with Western New Guinee. Jakarta (ID): Kementerian
Perhubungan, Meteorologi dan Geofisika.
60

LAMPIRAN

Lampiran 1 Biodata

1. Biodata Praktikan
Nama : Vara Dita Puri Ningtyas
Tempat, Tanggal Lahir : Banyuwangi, 1 Juli 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
NRP : E44140016
Mayor : Silvikutur
Fakultas : Kehutanan
Universitas : Institut Pertanian Bogor
Alamat Tinggal : Jl. Babakan Tengah Rt 002 Rw 009 Gang
Mushola Desa Babakan Kec. Dramaga Kab.
Bogor
Alamat Asal : Dsn. Ngadimulyo Rt 01 Rw 02 Desa Bulurejo
Kec. Purwoharjo Kab. Banyuwangi
No. HP : 085218675010
No. Darurat : 081249392656
E-mail : varadita31@gmail.com
Golongan Darah :B
Kewarganegaraan : WNI
Agama : Islam
Penyakit yang pernah : Gejala tipes (2014)
diderita

Pendidikan
2001 – 2007 SD Negeri 3 Bulurejo
2007 – 2010 SMP Negeri 1 Cluring
2010 – 2013 SMA Negeri 1 Purwoharjo
2013 – sekarang Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor

Pengalaman Organisasi dan Kepanitiaan

2014 Publikasi Pekan Inovasi Mahasiswa Pertanian


Indonesia (PIMPI)
2014 Sponsorship Pekan Inovasi Mahasiswa Pertanian
Indonesia (PIMPI)
2014-sekarang Anggota UKM Forrum for Scientific Studies
(FORCES)
2016 Anggota Seedling Group
2016 Sekretaris Divisi Medis Belantara
2017 Anggota Forest Nutrition Group
2015-sekarang Anggota Himpunan Profesi Tree Grower Community
Divisi Communication and Information
61

2. Biodata Praktikan
Nama : Mar’atun Chasanah
Tempat, Tanggal Lahir : Kebumen, 06 Maret 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
NRP : E44140028
Mayor : Silvikutur
Fakultas : Kehutanan
Universitas : Institut Pertanian Bogor
Alamat Tinggal : Jl. Babakan Tengah Rt 002 Rw 008 Gang Cangkir
Kost Nurul Fitri No. 41, Kelurahan Babakan
Tengah, Kec. Dramaga, Kab. Bogor.
Alamat Asal : Desa Ngabean Trukan RT 04/05, Mirit, Kebumen
No. HP : 085740662575
No. Darurat : 085819896929
E-mail : maratuncha@gmail.com
Golongan Darah :B
Kewarganegaraan : WNI
Agama : Islam
Penyakit yang pernah : Thypus (2015)
diderita

Pendidikan
2001 – 2007 SD Negeri 3 Abean
2007 – 2010 SMP Negeri 1 Prembun
2010 – 2013 SMA Negeri 1 Prembun
2013 – sekarang Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor

Pengalaman Organisasi dan Kepanitiaan

2014-sekarang Anggota UKM Pramuka IPB


2014 Bendahara Club Asrama “Greda-C”
2015-2016 Kepanitian Kemah Asik Rimbawan sebagai Divis i
Medis Fahutan
2015-2016 Bendahara II Himpunan Profesi Departemen
Silvikultur, Tree Grower Community
2015-sekarang Anggota Himpunan Profesi Departemen Silvikultur,
Tree Grower Community
2015-sekarang Anggota Tree Species Group
2016 Tim Ekspedisi Flora dan Studi Ilmiah (EKSFLORASI)
TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah
2016 Sekretaris Divisi Komdis Belantara
2016 Kepanitian The 9th TGC in Action divisi Logistik dan
Transportasi
2016 Kepanitian EKSFLORASI divisi Logistik dan
Transportasi
2016-2017 Kepanitian Kemah Asik Rimbawan sebagai Divis i
Medis Fahutan
62

2016-sekarang Bendahara Umum Himpunan Profesi Departemen


Silvikultur, Tree Grower Community
2017 Tim Ekspedisi Flora dan Studi Ilmiah (EKSFLORASI)
TN Tanjung Puting, Kalimantan Tengah
2017 Kepanitian The 10th TGC in Action divisi Logistik dan
Transportasi
2017 Kepanitian EKSFLORASI divisi Logistik dan
Transportasi

3. Biodata Praktikan
Nama : Dzikry Lesmana Syamsudin
Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 26 Oktober 1996
Golongan darah : AB
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat asal : Villa citra bantarjati blok A1 ujung no. 7 RT 003, RW 011
Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara (16152)
Alamat kosan :-
Email : dzikrysyamsudin@gmail.com
Jenis kelamin : Pria
No. HP : 08569542568
Kewarganegaraan : WNI
Hobi : Jalan-jalan, berenang, dan menonton film

Riwayat Pendidikan
2001 – 2008 : SD Negeri Papandayan 1 Bogor
2008 – 2011 : SMP Al Manar Azhari Islamic Boarding School
2011 – 2014 : MAN 2 Bogor
2014 – sekarang : Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB

Riwayat Organisasi
2015 – 2016 Anggota divisi Communication and Information Tree
Grower Community
2016 Anggota Tim Ekspedisi Flora dan Studi Ilmiah di Taman
Nasional Gunung Merbabu
2016 – sekarang Ketua divisi Scientific Improvement Tree Grower
Community
2017 Anggota Tim Ekspedisi Flora dan Studi Ilmiah di Taman
Nasional Tanjung Puting

Riwayat Kepanitiaan
2015 Ketua divisi Humas Kejuaraan Tenis Meja
2015 Anggota divisi Medis Silvikultur Cup
2016 Ketua Acara Keluarga Silvikultur 2016
2016 Anggota divisi Medis Bina Corps Rimbawan
2016 Wakil ketua Belantara 2016
2016 Anggota divisi Logstran The 9th TGC In Action 2016
63

2016 Anggota divisi Sponshorship Eksflorasi 2016


2017 Anggota divisi Sponshorship Eksflorasi 2017
2017 Anggota divisi Medis Olimpiade Mahasiswa IPB 2017

4. Biodata Praktikan
Nama : Aryanda Anwar Sanusi
Tempat/Tanggal Lahir : Bandung, 12 November 1996
Golongan darah :A
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat asal : Jl. Permata 7 A/68 A Komplek Cingcin Permata Indah
Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Alamat kosan : Jalan Sengked Nomor 3 Dkost Pavillion Putra, Dramaga
Bogor
Email : aryandaanwarsanusi@gmail.com
Jenis kelamin : Laki-laki
No. HP : 081369304612
Kewarganegaraan : WNI
Hobi : Olahraga

Riwayat Pendidikan
2002 – 2008 : SD Negeri 5 Angkasa
2008 – 2011 : SMP Negeri 1 Margahayu
2011 – 2014 : SMA Negeri 6 Bandung
2014 – sekarang : Departemen Silvikultur, Fakutas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor

Riwayat Organisasi
2014 – 2015 Anggota Perkumpulan Mahasiswa Pencinta Alam Lawalata
IPB Bogor
2014 – 2015 Anggota UKM Bulutangkis IPB
2014 – 2015 Anggota Tarung Derajat IPB
2015 Anggota Tim Ekspedisi Lawalata IPB di Taman Nasional
Wasur, Merauke
2015 – 2016 Anggota divisi Public Relation IFSA LC IPB
2015 – 2016 Anggota Project Division Tree Grower Community
2016 – 2017 Ketua Project Division Tree Grower Community
2017 Anggota Tim Ekspedisi Flora dan Studi Ilmiah di Taman
Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah

Riwayat Kepanitiaan
2014 Anggota divisi Transportasi Ekspedisi Lawalata Taman
Nasional Wasur, Merauke
2015 Anggota divisi Logistik dan Transportasi Family Gathering
IFSA
2015 Anggota divisi Dokumentasi Silvikultur Cup 2015
2015 Anggota divisi Logistik Forest International Expo IFSA
64

2016 Ketua Belantara 2016


2016 Anggota divisi divisi Medis Bina Corps Rimbawan 2016
2016 Anggota divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi The 9th
TGC In Action 2016
2016 Anggota divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentas i
Eksflorasi 2016
2017 Anggota divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentas i
Eksflorasi 2017
2017 Anggota divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi Asian
Pacific Regional Meeting IFSA 2016
2017 Anggota divisi Acara AKSI MANGROVE 2017

5. Biodata Praktikan
Nama lengkap/NRP Liviana Makrufah/E44140089
Tempat, tanggal lahir Wonosobo, 21 Desember 1994
Kewarganegaraan Indonesia
Agama Islam
Departemen/Fakultas Silvikultur/Kehutanan
Kompetensi Silvikultur
Mlandi RT 01 RW 03, Sumberdalem, Kertek,
Alamat rumah
Wonosobo
Alamat kost Perumahan DRamaga Regency, Blok C3
Nomor HP 082262698084
E-mail livianamakrufah@gmail.com
Jenis kelamin Perempuan
Golongan darah O
Hobi Traveling, bernyanyi.
Nomor telp. Darurat 081227200359

Pendidikan
TK Pertiwi Kertek (1999-2001)
SDN 2 Kertek (2001-2007)
SMPN 2 Wonosobo (2007-2010)
Formal
SMAN 2 Wonosobo (2010-2013)
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor (2014-sekarang)
IPK terakhir 3,38

Pengalaman Organisasi
 2011-2012
- Pradana Putri di Dewan Ambalan Gudep 07.09.109/110 SMA Negeri 2
Wonosobo
- Pengurus Organisasi Pecinta Alam (KATODA) sebagai Bendahara
 2012-2013
65

- Anggota Dewan Ambalan Gudep 07.09.109/110 SMA Negeri 2


Wonosobo
- Anggota Organisasi Pecinta Alam (KATODA)
 2014-2015
- Anggota UKM Uni Konservasi Fauna
- Anggota UKM Panahan
- Anggota UKM Bulu tangkis
 2015-sekarang
- Anggota BEM Fakultas Kehutanan
- Pengurus Himpunan Profesi TGC
- Anggota Divisi Sosial dan Lingkungan UKF
- Anggota UKM Panahan
- Pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah Wonosobo
- Ketua Divisi Sosial Lingkungan UKF

Lampiran 2 Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Banyuwangi


Selatan
66

STRUKTUR ORGANISASI PERUM PERHUTANI


KPH BANYUWANGI SELATAN
SK NO : 143/KPTS/DIR/2017

ADMINISTRATUR / KKPH
DWIDJONO KISWURJANTO

WAKIL ADMINISTRATUR / KSKPH PABIN


HEVA TULUS HIDAJAT BAMBANG HERU K

KASI MADYA BIDANG KEUANGAN,


KASI MADYA BIDANG PERENCANAAN KASI MADYA BIDANG KELOLA JUNOR MANAGER BISNIS
SDM DAN UMUM
DAN PENGEMBANGAN BISNIS SDH DAN PERSEDIAAN
R. PRASETYO EDI WICAKSONO ARIF WAHYUDI
INUGROHO SIGIT RAHARJO NANANG SUNARDI

SUB SEKSI KOMUNIKASI PERUSAHAAN, SUPERVISOR PENGELOLAAN


SUB SEKSI HUKUM & KEPATUHAN, KEPALA SUB SEKSI KEUANGAN
KELOLA SOSIAL, PKBL & PENGEMBANGAN KEPALA SUB SEKSI PERENCANAAN SDH, KSS PEMBINAAN SDH DAN WISATA, ASET, AGRO,
TENURIAL DAN AGRARIA
KOPERASI PENGEMBANGAN BISNIS & KERJASAMA LINGKUNGAN KURNIAWAN PERSEDIAAN PRODUK DAN
WIWIEK IRIANI SUTIAWAN USAHA SYARIFUDIN PENJUALAN
NURHADIYANTO KEPALA SUB SEKSI SDM DAN MOHAMMAD TOHIR
KEPALA SUB SEKSI PRODUKSI UMUM
KOMANDAN REGU POLHUTAN SUB SEKSI KESISTEMAN DAN IT, DAN TUHH RUDI KURNIAWAN SUPERVISOR PERSEDIAAN
MU'AJI PENGENDALIAN KINERJA, MANAGEMEN HERMAWAN ANDI S PRODUK DAN PELAYANAN
RESIKO, PELAPORAN KEPALA SUB SEKSI SARPRA DAN PENJUALAN AGRO
SUBANI PENGUJI TK I ASET SUGIYANTO
HARI SUPRAYITNO MARSANI
PENGUJI TK II
HARYO SUDANTO
PENGUJI TK II HHBK
HADI AGUNG PURWANTO

KBKPH GENTENG KBKPH PESANGGARAN KBKPH SUKAMADE KBKPH PEDOTAN KBKPH KARETAN KBKPH CURAHJATI
MOH. JIMAN SOEPRAPTO SUKIRNO EKO MULYANTO WIDODO RENHAT SUPRIYADI

KAUR TATA USAHA KAUR TATA USAHA KAUR TATA USAHA KAUR TATA USAHA KAUR TATA USAHA KAUR TATA USAHA
BINA SUKARDI JUMALI SURYANI DIDIK NURCAHYO SETYOWATI

KAUR TEKNIK KEHUTANAN KAUR TEKNIK KEHUTANAN KAUR TEKNIK KEHUTANAN KAUR TEKNIK KEHUTANAN KAUR TEKNIK KEHUTANAN KAUR TEKNIK KEHUTANAN
DARYONO SAHRIYANTO SISWANTO DEDI ANWAR SURATNO PRAWITO HADI

KRPH KARANGHARJO KRPH CURAHLELE KRPH PULOMERAH KRPH PURWOSARI KRPH KARETAN KRPH TEGALSARI
YAHYO BAMBANG HARIYADI ACHMAD SAIFUL SUTRISNO IMAM PURWADI SUMARDI

KRPH PECINAN KRPH SENEPO SELATAN KRPH KESILIRBARU KRPH TEGALWAGAH KRPH SUMBERJAMBE KRPH CURAHJATI
SUGIMIN SUJARWO ROCHMAD RIBUT PURWOWIDODO SUTARJO SLAMET

KRPH MALANGSARI KPRH SENEPO UTARA KRPH PECEMENGAN KRPH GAUL KRPH GRAJAGAN
SUPARTONO SUGITO BONADIANTO JARWANTO EDI RIYANTO

KBKPH SUKAMADE KEPALA TPK GAUL


EDI PURWANTO SISWANTO KEPALA TPK RINGINTELU
AGUS WAHIPAN
KETERANGAN :

KAUR TATA USAHA KRPH PURWO KRPH KALIPAHIT : JenjangIIB


DJOKO SUPRIANTO SIYAMTO HANDEK SUWARDI : JenjangIIIB
: JenjangIV
KAUR TEKNIK KEHUTANAN KRPH KEDUNGGEBANG KRPH MUNCAR : JenjangV
Lampiran 3 Struktur Organisasi Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan
67

Lampiran 4 Tally sheet pengukuran diameter dan tinggi pohon yang


dikombinasikan dengan sistem agroforestri
Petak 80A
Plot 1 (kombinasi dengan jagung)
No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)
1 Jati 11 10.51 33
2 Jati 9 9.87 31
3 Jati 10,5 10.51 33
4 Jati 8,5 9.24 29
5 Jati 8 6.69 21
6 Jati 8 7.64 24
7 Jati 11 10.51 33
8 Jati 8 8.92 28
9 Jati 8 9.24 29
10 Jati 8 7.96 25
11 Jati 9 9.87 31
12 Jati 8 8.60 27
13 Jati 10 10.19 32
14 Jati 10 10.19 32
15 Jati 6.5 6.37 20
16 Jati 8 7.96 25
17 Jati 7.5 6.69 21
18 Jati 8.5 10.19 32
19 Jati 10 9.55 30
20 Jati 8 7.64 24
21 Jati 8 6.69 21
22 Jati 9 9.87 31
23 Jati 7.7 6.37 20
24 Jati 8 8.60 27
25 Jati 8 7.64 24
26 Jati 8 8.60 27
27 Jati 7 6.37 20
28 Jati 10 10.19 32
29 Jati 7.5 6.69 21
30 Jati 9 9.87 31
31 Jati 7.5 7.01 22
32 Jati 8 7.64 24
33 Jati 8 7.96 25
34 Jati 7.5 6.37 20
35 Jati 9 9.24 29
36 Jati 8.5 9.24 29
37 Jati 8 7.01 22
38 Jati 8 8.60 27
39 Jati 8.5 9.24 29
40 Jati 7 6.37 20
68

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


41 Jati 7.5 6.69 21
42 Jati 9 9.24 29
43 Jati 8 9.87 31
44 Jati 8 8.28 26
45 Jati 8 8.92 28
46 Jati 7.5 7.32 23
47 Jati 10 10.19 32
48 Jati 8 7.64 24
49 Jati 8.5 7.64 24
50 Jati 8.5 7.96 25
51 Jati 8 9.55 30
52 Jati 8 8.92 28
53 Jati 8 8.0 27
54 Jati 7 6.37 20
55 Jati 8 7.64 24
56 Jati 8 8.92 28
57 Jati 8 7.32 23
58 Jati 6.5 6.05 19
59 Jati 9 9.24 29
60 Jati 10 9.55 30
61 Jati 6 6.37 20
62 Jati 8 9.87 31
63 Jati 7 6.37 20
64 Jati 8 6.69 21
65 Jati 8.5 7.64 24
66 Jati 10 9.55 30
67 Jati 7.5 6.37 20
68 Jati 11 9.55 30
69 Jati 8 6.69 21
70 Jati 6 6.05 19
71 Jati 8 8.60 27
72 Jati 7.5 7.96 25
73 Jati 8 8.60 27
74 Jati 7.5 7.96 25
75 Jati 8.7 8.28 26
76 Jati 8 7.64 24
77 Jati 8 8.60 27
78 Jati 7.7 7.01 22
79 Jati 8 8.60 27
80 Jati 9 9.55 30
81 Jati 7.5 7.01 22
82 Jati 8.5 10.19 32
83 Jati 7.5 7.32 23
69

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


84 Jati 7.5 7.01 22
85 Jati 8 8.60 27
86 Jati 7 6.37 20
87 Jati 8.5 9.24 29
88 Jati 8 8.60 27
Jumlah 724.1 726.11 2280
Rata-rata 8.20 8.23 25.83

Petak 80A
Plot 2 (kombinasi dengan tanaman jagung)
No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)
1 Jati 9 9.55 30
2 Jati 9 9.55 30
3 Jati 8.5 9.24 29
4 Jati 8.5 7.64 24
5 Jati 9.7 9.87 31
6 Jati 8.5 7.64 24
7 Jati 9.5 9.24 29
8 Jati 10.5 10.19 32
9 Jati 6.5 6.69 21
10 Jati 7.5 8.28 26
11 Jati 7.7 8.28 26
12 Jati 10 10.83 34
13 Jati 8 8.92 28
14 Jati 9 9.24 29
15 Jati 7.5 7.01 22
16 Jati 9.5 10.51 33
17 Jati 11 10.19 32
18 Jati 8.5 8.60 27
19 Jati 9 10.19 32
20 Jati 10 9.87 31
21 Jati 6 6.69 21
22 Jati 7 7.01 22
23 Jati 9.5 9.55 30
24 Jati 7.5 7.96 25
25 Jati 9.5 10.19 32
26 Jati 7 6.69 21
27 Jati 10 10.19 32
28 Jati 10 9.24 29
29 Jati 11 10.19 32
30 Jati 11 10.19 32
31 Jati 7.7 7.01 22
32 Jati 11 10.19 32
70

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


33 Jati 10 10.19 32
34 Jati 8.5 8.92 28
35 Jati 10,5 9.55 30
36 Jati 8 8.28 26
37 Jati 10 10.19 32
38 Jati 6 6.69 21
39 Jati 8 8.92 28
40 Jati 8 7.64 24
41 Jati 7 7.01 22
42 Jati 7 7.01 22
43 Jati 8 8.92 28
44 Jati 9.7 9.55 30
45 Jati 10 10.19 32
46 Jati 8 8.92 28
47 Jati 8 7.64 24
48 Jati 7.5 8.28 26
49 Jati 8.5 8.60 27
50 Jati 7.5 7.96 25
51 Jati 8 8.60 27
52 Jati 8 7.64 24
53 Jati 8 7.64 24
54 Jati 8 8.92 28
55 Jati 6.5 6.69 21
56 Jati 6.5 6.69 21
57 Jati 8 8.92 28
58 Jati 10.5 9.55 30
59 Jati 10 10.19 32
60 Jati 9 9.87 31
61 Jati 9.5 9.87 31
62 Jati 8 7.96 25
63 Jati 9.5 9.55 30
64 Jati 7,7 7.96 25
65 Jati 9 8.92 28
66 Jati 7 8.28 26
67 Jati 7 6.69 21
68 Jati 7.5 7.96 25
69 Jati 8.5 8.92 28
70 Jati 9.5 10.51 33
71 Jati 10.5 9.87 31
72 Jati 10 9.87 31
73 Jati 9 9.87 31
74 Jati 7.5 7.96 25
75 Jati 8.5 9.24 29
71

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


76 Jati 7 7.01 22
77 Jati 7.7 8.28 26
78 Jati 8 7.64 24
79 Jati 9 9.24 29
80 Jati 8 8.92 28
81 Jati 8.5 8.92 28
82 Jati 7.5 7.01 22
83 Jati 8 8.28 26
84 Jati 8.5 9.24 29
85 Jati 8 8.92 28
86 Jati 7.5 8.28 26
Jumlah 733.7 750.96 2358
Rata-rata 8.53 8.73 27.42

Petak 80A
Plot 3 (kombinasi dengan tanaman cabai)
No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)
1 Jati 9 8.92 28
2 Jati 11 11.15 35
3 Jati 10 9.87 31
4 Jati 11 10.19 32
5 Jati 11 11.15 35
6 Jati 11 9.87 31
7 Jati 11 10.51 33
8 Jati 10.5 9.24 29
9 Jati 11 10.51 33
10 Jati 10 11.46 36
11 Jati 9 8.60 27
12 Jati 10.5 9.55 30
13 Jati 10 11.15 35
14 Jati 11 9.87 31
15 Jati 11 10.83 34
16 Jati 11 10.83 34
17 Jati 10.5 9.55 30
18 Jati 9 8.92 28
19 Jati 10.5 9.55 30
20 Jati 9.5 9.24 29
21 Jati 10 8.92 28
22 Jati 10 8.60 27
23 Jati 11.5 10.19 32
24 Jati 11 10.19 32
25 Jati 11 9.87 31
26 Jati 11 11.46 36
72

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


27 Jati 10.5 11.46 36
28 Jati 10.5 11.46 36
29 Jati 11 10.19 32
30 Jati 11.5 10.19 32
31 Jati 10.5 9.24 29
32 Jati 9 8.60 27
33 Jati 10.7 11.46 36
34 Jati 11 9.87 31
35 Jati 9.5 8.60 27
36 Jati 10 8.92 28
37 Jati 10 8.60 27
38 Jati 11 10.83 34
39 Jati 8.5 8.60 27
40 Jati 11 10.19 32
41 Jati 9 8.92 28
42 Jati 11 10.19 32
43 Jati 11 10.19 32
44 Jati 11 9.87 31
45 Jati 10 11.15 35
46 Jati 10 9.24 29
47 Jati 10.5 9.55 30
48 Jati 10.5 11.78 37
49 Jati 10 9.24 29
50 Jati 10.5 8.60 27
51 Jati 11 9.87 31
52 Jati 8.5 8.60 27
53 Jati 11 9.87 31
54 Jati 11 10.51 33
55 Jati 11 10.19 32
56 Jati 11 10.51 33
57 Jati 10 9.55 30
58 Jati 10.5 9.55 30
59 Jati 11 11.15 35
60 Jati 10 11.46 36
61 Jati 11 10.51 33
62 Jati 11 10.19 32
63 Jati 9.5 9.24 29
64 Jati 10 9.24 29
65 Jati 9 8.60 27
66 Jati 11 10.83 34
67 Jati 10.5 9.87 31
68 Jati 11 9.87 31
69 Jati 10.7 11.78 37
73

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


70 Jati 10 11.15 35
71 Jati 11 10.19 32
72 Jati 10 8.92 28
73 Jati 9.5 8.92 28
74 Jati 10 8.92 28
75 Jati 10.5 9.24 29
76 Jati 11 9.87 31
77 Jati 10 9.24 29
78 Jati 11 9.87 31
79 Jati 9 8.60 27
80 Jati 11 11.15 35
81 Jati 9 8.92 28
82 Jati 10.5 9.55 30
83 Jati 11 10.51 33
84 Jati 10.5 9.55 30
85 Jati 11 11.15 35
86 Jati 8.5 8.60 27
87 Jati 11 10.51 33
88 Jati 10 9.24 29
Jumlah 913.4 872.61 2740
Rata-rata 10.38 9.93 31.14

Petak 61A
Plot 4 (kombinasi dengan tanaman jagung tutup kontrak)
No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)
1 Jati 8 8.28 26
2 Jati 10.5 9.55 30
3 Jati 7.5 7.32 23
4 Jati 8 7.96 25
5 Jati 8 9.24 29
6 Jati 8 7.64 24
7 Jati 7.7 8.28 26
8 Jati 8 8.60 27
9 Jati 10 9.87 31
10 Jati 7 7.32 23
11 Jati 8 8.28 26
12 Jati 7.7 7.64 24
13 Jati 7.5 7.64 24
14 Jati 8.5 9.24 29
15 Jati 7 7.64 24
16 Jati 8.3 8.60 27
17 Jati 11 10.19 32
18 Jati 9 9.55 30
74

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


19 Jati 7.5 8.28 26
20 Jati 7 7.32 23
21 Jati 7.5 7.32 23
22 Jati 8 8.28 26
23 Jati 8 8.60 27
24 Jati 8 8.92 28
25 Jati 9 8.92 28
26 Jati 7 7.32 23
27 Jati 10.5 9.87 31
28 Jati 8.7 9.24 29
29 Jati 8 7.64 24
30 Jati 8 8.60 27
31 Jati 7.5 7.96 25
32 Jati 8 8.60 27
33 Jati 9.5 9.55 30
34 Jati 8.5 9.24 29
35 Jati 8.5 8.92 28
36 Jati 7 7.32 23
37 Jati 8.7 9.24 29
38 Jati 7 7.32 23
39 Jati 9 9.55 30
40 Jati 8.5 8.92 28
41 Jati 9 9.55 30
42 Jati 8.5 9.24 29
43 Jati 8.7 8.92 28
44 Jati 8.5 8.60 27
45 Jati 8 8.60 27
46 Jati 8 8.60 27
47 Jati 7.7 7.96 25
48 Jati 8 7.64 24
49 Jati 10.5 9.87 31
50 Jati 8 9.24 29
51 Jati 8 7.96 25
52 Jati 7.5 7.96 25
53 Jati 7.5 7.32 23
54 Jati 8 9.24 29
55 Jati 7.5 7.96 25
56 Jati 8.5 9.55 30
57 Jati 8 8.28 26
58 Jati 8.5 8.60 27
59 Jati 8.5 9.24 29
60 Jati 8 8.28 26
61 Jati 7.5 7.96 25
75

No Jenis pohon Tt (m) Diameter (cm) Kell (cm)


62 Jati 9 9.55 30
63 Jati 10 9.55 30
64 Jati 7.5 7.64 24
65 Jati 9.5 9.55 30
66 Jati 8 7.96 25
67 Jati 8 7.96 25
68 Jati 8 7.96 25
69 Jati 8 8.28 26
70 Jati 7 8.28 26
71 Jati 8.5 8.60 27
72 Jati 8.5 8.92 28
73 Jati 8 7.64 24
74 Jati 9 8.92 28
75 Jati 8 8.92 28
76 Jati 10.7 10.19 32
77 Jati 8 8.92 28
78 Jati 9 8.92 28
79 Jati 7 7.32 23
80 Jati 7 7.32 23
81 Jati 8 7.64 24
82 Jati 7.5 7.64 24
83 Jati 10 9.87 31
84 Jati 7.7 8.28 26
85 Jati 8.5 9.24 29
86 Jati 10.5 9.55 30
87 Jati 11 9.87 31
Jumlah 723.4 744.90 2339
Rata-rata 8.31 8.56 26.88
76

Lampiran 5 Daftar pertanyaan dengan pesanggem

Nama :
Umur :
Pendidikan :

1. Jenis tanaman pertanian apakah yang dibudidayakan?


2. Kenapa jenis tersebut dipilih?
3. Berapa kali panen dalam satu tahun?
4. Bagaimana cara untuk pengolahan tanah?
5. Bagaimana cara pengadaan bibit tanaman?
6. Bagaimana cara pemeliharaan tanaman?
7. Bagaimana cara pemanenan dan penanganan pasca panen yang digunakan?
8. Berapakah total pendapatan dalam satu tahun?
9. Berapa jumlah anggota keluarga dalam satu rumah?
10. Apakah ada pekerjaan sampingan selain bertani?
11. Teknik konservasi apakah yang digunakan?
77

Lampiran 6 Data curah hujan rata-rata BKPH Curahjati

Curah hujan (tahun)


No Bulan
2014 2015 2016 2017
1 Januari 153 153 70 54
2 Februari 185 185 56 53
3 Maret 353 353 60 58
4 April 150 150 20 58
5 Mei - - - 45
6 Juni 60 - 58 58
7 Juli - - 61 47
8 Agustus - - 48 73
9 September - - 58 -
10 Oktober - - 61 -
11 November 75 - 57 -
12 Desember 658 12 40 -
Jumlah (mm) 1634 853 589 446
Jumlah bulan basah 4 4 - -
Jumlah bulan lembab 2 8 4 1
Jumlah bulan kering 6 - 8 11
Sumber: KPH Banyuwangi Selatan Tahun 2017

Lampiran 7 Data curah hujan rata-rata BKPH Genteng

Curah hujan (tahun)


No Bulan
2014 2015 2016 2017
1 Januari 344 259 95 308
2 Februari 189 271 67 200
3 Maret 176 349 60 250
4 April 212 199 15 384
5 Mei 73 70 50 287
6 Juni 53 0 500 249
7 Juli 149 0 213 179
8 Agustus 43 0 100 167
9 September 136 0 345 -
10 Oktober 0 0 76 -
11 November 202 0 242 -
12 Desember 412 26 277 -
Jumlah (mm) 1989 1174 2040 2024
Jumlah bulan basah 8 4 6 8
Jumlah bulan lembab 1 1 4 0
Jumlah bulan kering 3 7 2 0
78

Lampiran 8 Rekapitulasi hasil pengamatan hama inger-inger PCP 1

KPH : Banyuwangi Selatan Jenis tanaman : jati


BKPH : Curahjati Umur : 25 tahun
RPH : Curahjati Peninggi : 20.1 m
Petak : 85 F Bonita : 3.5
Luas : 8.7 ha
Bagian yang
No Kell
Tanaman diserang Gejala serangan
Pohon (cm)
Batang Daun
Batang mengelupas dan
1 √
Jati 98 membengkak
Batang membengkak, warna
2 √
Jati 72.5 berubah kecoklat-coklatan
3 Jati 74
4 Jati 72
5 Jati 87 √ Batang pecah-pecah
Batang membengkak dan
6 √
Jati 74 berwarna hitam
7 Jati 72
8 Jati 94
9 Jati 80 √ Batang membengkak
10 Jati 80
11 Jati 64 √ Batang pecah-pecah
12 Jati 52
Batang membengkak dan kulit
13 √
Jati 95 batang pecah-pecah
14 Jati 63
15 Jati 51 √ Batang bolong dan membengkak
16 Jati 84 √ Terdapat rayap yang bersarang
17 Jati 81 √ Batang membengkak
Batang membengkak dan pecah-
18 √
Jati 78 pecah
Batang bolong dan kulit batang
19 √
Jati 68 pecah-pecah
Batang membengkak dan warna
20 √
Jati 66 kehitam-hitaman
Batang membengkak dan warna
21 √
Jati 77 kehitam-hitaman
22 Jati 87
23 Jati 72 √ Batang pecah-pecah
24 Jati 81
25 Jati 70 √ Batang membengkak
26 Jati 71
79

Bagian yang
No Kell
Tanaman diserang Gejala serangan
Pohon (cm)
Batang Daun
Batang membengkak dan warna
27 √
Jati 85 kehitam-hitaman
28 Jati 78
29 Jati 82
30 Jati 85
31 Jati 81 √ Batang pecah-pecah
32 Jati 76 √ Batang pecah-pecah
Rata-rata 76.58
Diameter 24.39
Jumlah pohon
19
terserang
Luas serangan (%) 59.38

Lampiran 9 Rekapitulasi hasil pengamatan hama inger-inger PCP 2

KPH : Banyuwangi Selatan Jenis tanaman : jati


BKPH : Curahjati Umur : 25 tahun
RPH : Curahjati Peninggi : 19.4 m
Petak : 85 F Bonita :3
Luas : 8.7 ha
Bagian yang
No Kell
Tanaman diserang Gejala serangan
Pohon (cm)
Batang Daun
1 Jati 90 √ Batang pecah-pecah
2 Jati 75
3 Jati 71
4 Jati 73 √ Terdapat rayap yang bersarang
5 Jati 85
6 Jati 76
7 Jati 72
Batang membengkak dan
8 Jati √
93 berwarna hitam
9 Jati 78
10 Jati 83
11 Jati 68 √ Batang pecah-pecah
Batang membengkak dan kulit
12 Jati √
55 batang pecah-pecah
13 Jati 91
14 Jati 60
15 Jati 55
16 Jati 82 √ Terdapat rayap yang bersarang
17 Jati 83 √ Batang membengkak
80

Bagian yang
No Kell
Tanaman diserang Gejala serangan
Pohon (cm)
Batang Daun
Batang membengkak dan
18 Jati √
77 pecah-pecah
Batang bolong dan kulit batang
19 Jati √
68 pecah-pecah
20 Jati 66
Batang membengkak dan
21 Jati √
74 warna kehitam-hitaman
22 Jati 85
23 Jati 73 √ Batang pecah-pecah
24 Jati 87
25 Jati 72 √ Batang membengkak
26 Jati 71 √
Batang membengkak dan
27 Jati √
85 warna kehitam-hitaman
28 Jati 87
29 Jati 80
30 Jati 90
31 Jati 81 √ Batang pecah-pecah
Rata-rata 76.97
Diameter 24.51
Jumlah pohon
terserang 15
Luas serangan (%) 48.39

Anda mungkin juga menyukai