Oleh :
Rafika Andriani
E44120088
Dosen Pembimbing :
Dr Ir Basuki Wasis, MS
NIP. 19651002 199103 1 003
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Rafika Andriani
E44120088
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Praktek :
Dr Ir Basuki Wasis, MS
NIP. 19651002 199103 1 003
Mengetahui,
Ketua Komisi Praktek Lapang :
Tanggal :
KATA PENGANTAR
Praktek Kerja Profesi (PKP) merupakan salah satu kegiatan yang
dilaksanakan oleh setiap mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB pada umumnya dan
Departemen Silvikultur pada khususnya. Praktek ini bertujuan untuk menerapkan
ilmu dan teknologi silvikultur agar mahasiswa mampu memahami dan
memecahkan masalah yang ada di lapangan. Keadaan lapang yang berbeda dari
kondisi yang dikenal mahasiswa sebelumnya akan membantu mahasiswa dalam
mencoba mulai mengenal dunia kerja. Kegiatan ini dilaksanakan pada periode I
(Januari Februari) Tahun 2016 di Hutan Tanaman Perum Perhutani KPH
Garut,Jawa Barat.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menambah dan memperkaya
pemahaman materi-materi yang telah diperoleh di bangku kuliah, maka
mahasiswa diwajibkan menempuh Praktek Kerja Profesi (PKP) sebagai sarana
untuk menghubungkan teori yang telah diperoleh di ruang kuliah dengan aplikasi
di lapangan. Selain itu, praktek juga berguna untuk membekali mahasiswa sebagai
calon rimbawan dengan pengetahuan serta keterampilan teknis dalam kegiatan
pengelolaan hutan.
Sarana evaluasi untuk mengetahui tingkat pemahaman dan penguasaan
kegiatan praktek tersebut, maka dilakukan penilaian melalui diskusi dan
penyusunan laporan. Mahasiswa PKP dibekali dengan teori dan pengetahuan,
tetapi perlu disadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan
dalam penyusunan rencana pelaksanaan PKP ini. Oleh karena itu, diharapkan
masukan, koreksi dan kritik yang membangun demi kelancaran pelaksanaan
Praktek Kerja Profesi (PKP) mendatang.
Bogor, Januari 2016
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
METODE KEGIATAN
Metode Praktek
Materi Umum
Materi Khusus
PELAKSANA KEGIATAN
PEMBIMBING
JURNAL HARIAN
PENILAIAN
KOMISI PELAKSANA
PENUTUP
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Biodata Pelaksana Praktek
Lampiran 2 Jurnal Kegiatan Harian
Lampiran 3 Unsur unsur penilaian oleh pembimbing lapangan
9
12
13
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kriteria kerusakan tegakan
iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan hutan BKPH Cikajang, KPH Garut berdasarkan penjabaran SK.
Menteri Kehutanan Nomor : 195/Kpts-II/2003 merupakan hutan lindung, yang
memiliki luas 10 127.96 Ha atau 12.43% dari luas kawasan hutan KPH Garut
sesuai dengan fungsinya sebagai hutan lindung. Hutan lindung merupakan
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Menurut
Direktorat Bina Program Kehutanan (1981), hutan lindung didefinisikan sebagai
kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan
dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk
kepentingan hidrologi (mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, serta
memelihara keawetan dan kesuburan tanah) baik dalam kawasan hutan yang
bersangkutan maupun di luar kawasan hutan yang di pengaruhinya. Apabila hutan
lindung diganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai
pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam, seperti banjir, erosi, maupun
tanah longsor.
Berdasarkan hasil audit tahun 2006, terjadi penurunan potensi hutan di
BKPH Cikajang menjadi tanah kosong seluas 1 128.81 Ha, yang dikelompokan
lagi menjadi tanah kosong yang dapat direboisasi seluas 946.79 Ha (9.35%) dan
tanah kosong tidak dapat direboisasi seluas 182.02 Ha (1.80%). Disamping itu
penurunan potensi hutan tersebut disebabkan oleh maraknya kembali perambahan
hutan oleh masyarakat desa sekitar hutan (yang umumnya petani sayuran). Luas
hutan yang dirambah 1 905.16 Ha. Keadaan ini dipicu oleh kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang rendah, budaya bertani secara turun temurun, konidisi
lahan yang subur,serta kepemilikan lahan yang rendah. Untuk menangani
perambahan diawali dengan kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan dengan
tujuan untuk membangun kesepahaman atay komitmen antara Perhutani,
masyarakat dan para pihak. Pendekatan Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat
(PHBM) dilakukan dalam rangka rehabilitasi dan reboisasi dengan pola
agroforestry. Upaya Pemerintah maupun Perum Perhutani untuk melibatkan
masyarakat kawasan sekitar hutan dalam sistem Pengelolaan sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) berdasarkan SK Direksi Perum Perhutani No.
136/Kpts/Dir/2001 tahun 2001 maupun Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah
Propinsi Jawa Barat No. 10 Tahun 2011 adalah suatu usaha untuk menyelamatkan
sumberdaya hutan dan lingkungan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan.
Praktik Kerja Profesi (PKP) adalah suatu rangkaian kegiatan penerapan
ilmu pengetahuan kehutanan dimana mahasiswa Fakultas Kehutanan khususnya
Departemen Silvikultur melakukan pengamatan, wawancara, analisis dan
perumusan masalah secara langsung di lapangan. Kegiatan Praktik Kerja Profesi
ini dilakukakn di Perum Perhutani khususnya Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan (BKPH) Cikajang, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cikajang, Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Garut, yang merupakan kawasan hutan lindung dengan
1
METODE KEGIATAN
Lokasi dan Waktu Praktik
Kegiatan PKP dilaksanakan selama 40 hari dari tanggal 1 Februari 11
Maret 2016 yang dilaksanakan di Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat
dan Banten, KPH Garut, BKPH Pameungpeuk - RPH Cikelet dan BKPH Cikajang
- RPH Cikajang, Jawa Barat.
Metode Praktik
Metode Paraktik Umum
Materi umum yang dikaji dalam kegiatan PKP meliputi seluruh kegiatan
pengelolaan hutan tanaman, dimana mahasiswa dapat melakukan studi pustaka
(laporan-laporan kegiatan, petunjuk teknis) dan kunjungan lapangan tentang
kegiatan tersebut, yang meliputi kegiatan perencanaan hutan, pembinaan hutan
(kegiatan pengadaan benih, persemaian, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan
perlindungan hutan), penelitian dan pengembangan serta pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan dan wawancara serta diskusi yang bertujuan
megumpulkan informasi dari narasumber di BKPH Pameungpeuk, Garut.
Metode Paraktik Khusus
Materi khusus yang dikaji dalam kegiatan PKP ini mengkhususkan pada
pilihan mahasiswa dalam mendalami suatu materi pengelolaan hutan. Mahasiswa
berperan sebagai tenaga lapangan dan supervisor dan terlibat secara lagsung di
lapangan.
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam kegiatan PKP ini adalah dengan
pengumpulan dokumen berupa dokumen Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran
Rumah Tangga (ART) Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Pelita Mekar,
dan dokumen Addendum kerjasama antara Perum Perhutani dengan LMDH Pelita
Mekar, Desa Mekar Jaya Kabupaten Garut tentang budidaya tanaman kopi dalam
rangka implementasi PHBM, pengamatan di lapang, wawancara mendalam
kepada ketua LMDH Pelita Mekar secara tidak terstruktur dan informal, serta
dokumentasi.
Ha atau seluas 12,43%, kemiringan lahan antara 15 40% adalah seluas 110.326
Ha atau sebesar 35.99%. Lahan dengan kemiringan di atas 40% adalah seluas
125.867 Ha atau sebesar 41.06%.
Secara umum iklim di wilayah Kabupaten Garut dapat dikategorikan
sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropical climate ) karena termasuk
tipe Af sampai Am dari klasifikasi iklim Koppen. Curah hujan rata-rata harian di
sekitar Garut berkisar antara 13.6 mm/hari 27.7 mm/hari dengan bulan basah 9
bulan dan bulan kering 3 bulan, sedangkan di sekeliling daerah pegunungan men
capai 3 500 - 4 000 mm/hari. Variasi temperatur bulanan berkisar antara 24C 27C. Besaran angka penguap keringatan (evapotranspirasi ) menurut IwacoWaseco (1991) adalah 1 572 mm/tahun.
Kondisi hidrologi berdasarkan arah alirannya, sungai-sungai di wilayah
Kabupaten Garut dibagi menjadi dua daerah aliran sungai (DAS) yaitu Daerah
Aliran Utara yang bermuara di Laut Jawa dan Daerah Aliran Selatan yang
bermuara di Samudera Indonesia. Daerah aliran selatan pada umumnya relatif
pendek, sempit dan berlembah-lembah dibandingkan dengan daerah aliran utara.
Aksesibilitas dan Sosial Ekonomi Masyarakat
Kabupaten Garut memiliki letak yang strategis sebagai penyangga Ibu Kota
Provinsi Jawa Barat, dengan jarak sekitar 61.5 km dari Pusat Pemerintahan
Provinsi Jawa Barat, sedangkan dari Pusat Pemerintahan Republik Indonesia
(Istana Merdeka) memiliki jarak sekitar 216 km, dan jarak dari Garut kota menuju
lokasi praktek di BKPH Pameungpeuk RPH Cikelet sekitar 90 km. Perjalanan
menuju RPH Cikelet dapat ditempuh sekitar 3.5 jam yaitu dengan kendaraan
pribadi atau kendaraan umum ELF (minibus) Garut-Cikelet.
Selama periode tahun 2009 - 2012 rasio pekerjaan penduduk mengalami
peningkatan setiap tahunnya meskipun tidak terlalu signifikan dari sebesar
94.56% pada tahun 2009 menjadi sebesar 94.96% pada tahun 2012. Pada
umumnya penduduk di sekitar wilayah hutan BKPH dilihat dari lapangan kerja,
sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menampung tenaga kerja
tiap tahunnya walaupun mengalami penurunan, dibandingkan dengan sektor lain
seperti kehutanan, perburuan, perikanan, perdagangan dan lainnya. Tingkat
pendidikan penduduk bekerja sendiri paling banyak berpendidikan setingkat SD
yaitu mencapai 64.67%, kemudian disusul dengan tingkat pendidikan setingkat
SMP yang mencapai 16.38% pada tahun 2012.
rencana pengelolaan, penataan batas kawasan, rencana areal kerja, dan penyiapan
lahan.
A. Rencana Pengelolaan
Rencana Pembuatan Tanaman tahun 2014 dapat dilihat sebagai berikut.
Penyusun
: Biro Perencanaan SDH dan PU
Pelaksana
: Mandor Petak
Penilai
: Kuasa Pengguna Anggaran KPH Garut
Pihak yang mengesahkan
: Administratur/KKPH Garut dan Kasi PSDH
Syarat penyusunan
: Surat Perintah Pelaksanaan Pembuatan Tanaman
Tahun 2014
Jangka waktu
: Tahun2014
B. Penataan Batas Kawasan
Penataan batas kawasan hutan ini bertujuan untuk melakukan pengukuran dan
pemancangan pal batas dalam rangka penetapan lokasi batas dan luas areal kerja
yang bersangkutan.Tujuan pengukuran dan penataan batas adalah untuk
memperoleh kepastian letak dan kepastian hukum secara yuridis formal baik
administrasi maupun fisik dilapangan sehingga dapat dilakukan pengelolaan areal
kerja yang mantap serta untuk menghindari sengketa batas. Penataan batas
kawasan hutan dilakukan oleh bagian perencanaan hutan Perhutani (SPH). Tanda
batas yang digunakan berupa batas buatan, dimana batas tersebut terbuat 7 dari
papan dan coran semen. Tanda batas yang terbuat dari coran semen berbentuk
tabung, yang memiliki dimensi tinggi 100 cm, diameter 12 cm, dan kedalaman
tanam sebesar 50 cm, sehingga tinggi dari permukaan tanah menjadi 50
cm.Adapun jenis batas yang digunakan, terbagi menjadi :
1. Pal B : Batas antara luar kawasan
2. Pal E : Batas antara kawasan dengan tanah milik (Enclave)
3. Pal A : Batas antar kawasan yang dipisahkan oleh alur
4. Pal TN : Batas dengan kawasan Taman Nasional
5. Pal HM : Jarak dalam Pal A
Gambar 2 Pal batas tampak atas (a), Pal batas tampak depan (b)
Penataan Areal Kerja (PAK) bertujuan untuk mempermudah dalam
pemanfaatan dan pengelolaan kawasan. Pembagian kawasan di BKPH
Pameungpeuk RPH Cikelet dilakukan berdasarkan kemampuan lahan, kondisi
lahan, dan keberadaan kawasan. RPH Cikelet sendiri berada dalam kawasan
hutan lindung dan kawasan Produksi.
Penyiapan lahan diawali dengan pembukaan wilayah hutan. Pembukaan
wilayah hutan merupakan kegiatan penyediaan prasarana wilayah kerja bagi
kegiatan produksi inspeksi kerja, transportasi antar pusat kegiatan, pembinaan
hutan dan perlindungan hutan. Pembukaan wilayah hutan dilakukan secara
manual dengan menebas vegetasi menggunakan golok atau chainsaw. Setelah itu
sisa tebasan vegetasi secara umum dibiarkan hingga kering. Sarana dan prasarana
dibangun, seperti Pos jaga, gubuk/saung untuk tempat beristirahat para pekerja
serta jalan setapak sebagai sarana transportasi di dalam blok tanam. penanaman
dilakukan mengikuti garis kontur lahan yang ada dan dilakukan searah kontur
bertujuan untuk mengurangi erosi dan sedimentasi.
Materi Umum Silvikultur
Benih merupakan unsur strategis untuk pemanfaatan hutan yang bersifat
multiarah, karena benih mengawali upaya pengembangan segenap fungsi hutan,
dari hutan industri sampai hutan untuk perlindungan tata air, keseimbangan alam,
flora, fauna dan sumber plasma nutfah serta kesejahteraan masyarakat luas. Benih
tanaman hutan sebagai sarana produksi utama dalam kegiatan rehabilitasi hutan,
pembangunan hutan dan konservasi perlu dijaga mutu dan keragaman genetiknya
sehingga mampu menghasilkan produksi yang tinggi dan berkelanjutan. Benih
bermutu dapat diperoleh melalui proses perbanyakan generatif berupa biji maupun
dari hasil perbanyakan vegetatif (kloning). Kloning tanaman untuk beberapa jenis
tanaman sangat diperlukan, karena adanya ketidakmampuan tanaman
menghasilkan biji untuk jenis-jenis tanaman tertentu, musim berbuah yang tidak
menentu atau interval masa berbuah yang sangat panjang.
Perbanyakan tanaman jati (Tectona grandis) dan sengon (Falcataria
moluccana) pada RPH Cikelet, BKPH Pameungpeuk baik secara generatif
maupun vegetatif tidak dilakukan karena benih yang ditanaman merupakan benih
dikiriman yang berasal dari Indramayu sedangkan bibit stek pucuk berasal dari
Cepu. Pematahan dormansi benih yang dilakukan oleh RPH Cikelet untuk benih
sengon yaitu dengan cara merendam benih dengan air hangat selama setengah
hari, lalu disimpan ditempat yang lembab diatas koran. Perendaman untuk benih
sengon menggunakan air hangat saja lalu diangkat dan disimpan selama satu
malam. Benih sengon lebih cepat berkecambahnya, karena keesokan harinya
sudah berkecambah dan siap untuk ditaburkan. Sedangkan untuk benih jati proses
pematahan dormansi nya dengan menggunakan air yang mengalir seperti air
sungai selama 4 hari agar kulit yang keras yang menutupi benih cepat pecah.
Sumber benihnya berasal dari phon induk, di RPH Cikelet tidak ada pohon induk
tetapi pada daerah Banjar merupakan daerah pengirim benih Jati lokal tetapi untuk
Jati JPP berasal dari daerah Cepu.
Pemeliharaan persemaian di RPH Gobang meliputi penyiraman,
penyiangan, pemupukan, dan pengendalian penyakit. Penyiraman dilakukan
ketika media kering, sedangkan untuk kegiatan pemupukan dilakukan saat bibit
sudah berumur tiga bulan. Untuk penyiangan dilakukan ketika tumbuh gulma
disekitar bibit dan penyemprotan fungisida dan nematisida ketika terdapat hama
dan penyakit.
A.
Penanaman
Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten, KPH Garut,
BKPH Pameungpeuk, RPH Cikelet merupakan salah satu kawasan hutan yang
berfungsi sebagai hutan lindung dan hutan produksi. Pada kawasan hutan
produksi terdapat beberapa jenis pohon yang ditanam, diantaranya jenis jati dan
alba sebagai tanaman pokok, mahoni dan akasia sebagai pengisi. Rencana
penanaman dilakukan sesuai pengajuan dari lapang yang dilakukan setiap
tahunnya, target penanamanpun beragam tergantung keadaan dilapangan. Sistem
penanaman yang dilakukan adalah banjar harian, dengan pembersihan habis
lapangan sebagai teknik penyiapan lahan. Penilaian kesesuaian lahan dilakukan
dengan melihat kondisi tegakan pada daur sebelumnya. pada kawasan ini tidak
ada kegiatan konservasi tanah dan air karena keterbatasan biaya. Adapun pola
yang digunakan dalam penanaman tanaman yaitu jalur dari timur ke barat, dengan
jarak tanam untuk jenis Jati Plus Perhutani (JPP) adalah 3m x 3m, dan jenis APB
(lokal) 5m x 5m, 6m x 2m. Selain itu pembuatan lubang tanam juga dilakukan
dengan ukuran 40cm x 40cm pada permukaan atas dan 30cm x 30cm pada
permukaan bawah dengan kedalaman 30cm membentuk piramid terbalik dengan
pemberian pupuk kompos yang dibiarkan selama satu minggu sebelum
penanaman. Waktu penanama dilakukan setelah ada hujan atau pada awal musim
hujan. Bibit yang digunakan dikirim dari KPH Indramayu dengan jenis JPP stek
pucuk, sementara pengangkutan bibit ke lokasi penanaman dilakukan dengan cara
dipikul.
B.
Pemeliharaan
Kegiatan penanaman yang dilakukan harus didukung dengan adanya
pemeliharaan yang intensif untuk mencapai hasil yang optimal. Kegiatan
pemeliharaan yang dilakukan di RPH Cikelet diantaranya adalah kegiatan
penyulaman yang biasanya dilakukan pada bulan Februari sampai usia tiga tahun
penanaman. Adapun babat jalur dan pendangiran yang dilakukan pada tahun
kedua penanaman. Selain itu juga ada pemupukan pada 3 bulan pertama setelah
penanaman dengan menggunakan pupuk phonska, baru setelah itu pada tahun ke
dua setelah penanaman selama 6 bulan sekali menggunakan pupuk urea.
Pemupukan dilakukan dengan cara pembuatan lubang pada arah barat dan timur
dengan jarak 20cm dari pohon dan kedalamannya 20cm, dengan dosis 500
gram/pohon. selanjutnya kegiatan penjarangan yang dilakukan pada usia 5 tahun,
9 tahun, 11 tahun, dan 15 tahun. Kegiatan penjarangan dilakukan dengan cara
pembuatan Plot Contoh Penjarangan (PCP) untuk menentukan jumlah pohon
dijarangi. PCP diletakan pada tempat yang memberi gambaran rata-rata tegakan
didalam blok setelah sebelumnya disurvei terlebih dahulu dan dipetakan dalam
peta kerja.
dan penyakit yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan fungsi hutan agar
tetap optimal sebagaimana fungsinya. Dikawasan ini juga sering terjadi berbagai
macam gangguan hutan misalnya perambahan oleh masyarakat setempat, dan
pencurian kayu. Biasanya hal yang melandasi gangguan tersebut dikarenakan
tingkat pendapatan penduduk yang rendah serta adanya desakan akan kebutuhan
keuarga sehari-hari, sehingga menyebabkan terjadinya berbagai perambahan
dengan mematikan tanaman jati muda atau memangkas cabang dan ranting jati
yang berlebihan sehingga mengakibatkan kematian pohon. salah satu upaya untuk
pencegahannya adalah dengan melakukan patroli siang dan malam, serta
sosialisasi kepada masyarakat.
Gangguan hutan lainnya yaitu berupa tenurial atau kepemilikan lahan
banyak terdapat pada RPH Cikelet dan Pameungpeuk, dimana beberapa
masyarakat menggarap lahan dan mengklaim bahwa tanah yang digarap atas hak
Perhutani menjadi tanah hak miliknya.
seluas 23.22 Ha dengan jenis tanaman pokok yaitu rimba campur, luas areal
kerjasama seluas 11.70 Ha dengan jenis tanaman kerjasama yaitu tanaman kopi
tahun tanam 2006 dengan jarak tanam 3 x 3 m, jumlah pohon kopi sebanyak 8 504
pohon dengan jumlah pohon produktif sebanyak 917 pohon. Jumlah keseluruhan
petani penggarap yaitu sebanyak 130 orang.
PHBM ini dilakukan oleh LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)
pelita mekar kampung Margaluyu RT 02 RW 11 Desa Mekar Jaya, kecamatan
Cikajang, kabupaten Garut. Program ini mulai direncanakan pada tahun 2003,
namun baru terealisasi pada tahun 2004 dengan komoditi utamanya adalah
tanaman kopi yang ditanam di bawah tegakan rimba campur seperti tegakan
pinus, suren, eukaliptus, dan kayu manis. Penanaman kopi di bawah tegakan ini
awalnya bukan atas dasar kemauan dari masyarakat desa sekitar hutan tersebut,
tetapi karena adanya desakan dari pihak perhutani yang mengharuskan adanya
kegiatan pengoptimalisasian daya dukung lahan.
12
dalam perjanjian kerjasama ini disepakati sebagai berikut, untuk pihak pertama
yaitu Administratur (ADM) KPH Garut memperoleh 18% dari keuntungan bersih,
pihak kedua yaitu ketua LMDH Pelita mekar memperoleh 78% dari keuntungan
bersih, pemerintah desa memperoleh 2% dari keuntungan bersih serta Kas LMDH
memperoleh 2% dari keuntungan bersih.
Persyaratan Tumbuh dan Karakteristik Tanaman Kopi
Tanaman kopi merupakan kelompok tumbuhan berbentuk pohon dalam
marga Coffea. Genus ini memiliki sekitar 100 spesies tanaman tetapi hanya 3 jenis
yang memiliki nilai ekonomis bagi manusia sehingga dibudidayakan oleh
masyarakat, yaitu Robusta, Arabika dan Liberica. Kedua jenis tanaman kopi
yakni, Robusta & Arabika umumnya dibudidayakan di Indonesia. Klasifikasi
tanaman kopi sebagai berikut :
Kingdom: Plantea
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Gentianacea
Famili: Rubiaceae
Genus : Coffea
Spesies: Coffea arabika, Coffea robusta, Coffea liberica.
Jenis kopi yang ditanam pada awal mulanya dibentuk PHBM ini ialah
jenis kopi Robusta. Namun setelah dilakukan penanaman, jenis kopi ini tidak
sesuai dengan kondisi lahan di daerah Cikajang tersebut. Hal ini ditandai dengan
pertumbuhannya yang lambat serta waktu panen yang lama, sehingga
membutuhkan sekitar empat tahun baru dapat dilakukan pemanenan dari tanaman
kopi tersebut. Waktu panen yang lama ini menjadi alasan petani untuk mengganti
tanaman kopi yang semula jenis kopi robusta menjadi kopi Arabika, yang terdiri
dari beberapa varietas yaitu Lini S 795, Sigarar utang,dan Andungsari. Setelah
diganti dengan jenis kopi arabika tanaman kopi tersebut dapat dipanen pada umur
1.5 tahun dari mulai tanam. Kesalahan dalam pemilihan jenis kopi tersebut
dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengetahuan petani tentang karakteristik
kopi terhadap kondisi lahan dan kurangnya penyuluhan yang diberikan kepada
petani penggarap. Salah satu kunci keberhasilan budidaya kopi yaitu digunakan
ialah bahan tanam unggul serta sesuai dengan kondisi agroklimat tempat
penanaman. Kondisi lingkungan perkebunan kopi di Indonesia sangat beragam
dan setiap lingkungan tersebut memerlukan adaptabilitas spesifik dari bahan
tanam yang dianjurkan. Pada tanaman kopi, iklim dan tanah sangat berpengaruh
terhadap perubahan morfologi, pertumbuhan dan daya hasil. Kopi di Indonesia
umumnya dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat di atas 700 m dpl (di atas
permukaan laut). Dalam perkembangannya dengan adanya introduksi beberapa
klon baru dari luar negeri, beberapa klon saat ini dapat di tanam mulai di atas
ketinggian 500 m dpl, namun demikian yang terbaik seharusnya kopi ditanam di
atas ketinggian 700 m dpl terutam untuk jenis kopi robusta. Sedangkan jenis kopi
arabika mampu tumbuh dengan baik pada ketinggian di atas 1000 m dpl
(Prastowo B et al 2010). Curah hujan yang sesuai untuk tanaman kopi adalah
1500 2500 mm/tahun, dengan rata-rata bulan kering 1-3 bulan dan suhu rata-rata
15 25C dengan lahan kelas S1 atau S2 (Puslitloka 2006). Berdasarkan
13
persyaratan tumbuh jenis kopi arabika tersebut kawasan hutan lindung di wilayah
Cikajang cukup mendukung untuk penanaman jenis kopi arabika dengan
karakteristik lahan yang memiliki ketinggian 1000 1500 m dpl, Curah hujan
rata- rata harian pada wilayah ini berkisar antara 13.6 mm/hari 27.7 mm/hari
dengan bulan basah 9 bulan dan bulan kering 3 bulan dan suhu bulanan berkisar
antara 24C - 27C sehingga jenis kopi yang sesuai di tanam oleh masyarakat desa
sekitar hutan ialah jenis kopi arabia.
Kopi arabika (Coffea arabika) berasal dari hutan pegunungan di Etiopia,
Afrika. Di habitat asalnya, tanaman ini tumbuh dibawah kanopi hutan tropis yang
rimbun. Kopi jenis ini banyak ditumbuh di ketinggian di atas 500 meter dpl. Kopi
arabika di Indonesia pada umunya termasuk varietas typica (Coffea arabika var
Typica) dan dari varietas ini telah diperoleh suatu kultivar yang banyak di tanam
di Jawa Timur (Dataran Tinggi Ijen) yang sangat peka terhadap penyakit karat
daun, sehingga hanya dapat di tanam pada ketinggian diatas 1000 mdpl. Tanaman
kopi arabika pendek menyerupai perdu dengan ketinggian 2 3 m. Batang berdiri
tegak dengan bentuk membulat. Pohonnya memiliki percabangan yang banyak .
Warna daun kopi arabika ialah hijau mengkilap seperti memiliki lapisan lilin,
sedangkandaun yang telah tua berwarna hijau gelap. Bentuk daun memanjang atau
lonjong dengan ujung daun meruncing. Pangkal daun tumpul dan memiliki
tangkai yang pendek serta struktur tulang daun menyirip.
Pemeliharaan Tanaman Kopi
Penaman kopi ditanam di bawah tegakan rimba campur, diantaranya ialah
tegakan Pinus (Pinus Sp), Eukaliptus (Eucaliptus Sp), serta Suren (Toona sureni)
dengan luas baku areal 54.42 Ha dan luas budidaya tanaman kopi 32.70 Ha
dengan jarak tanam budidaya kopi 3 x 3 m. Jarak tanam kopi umumnya
disesuaikan dengan kemiringan tanah. Pemeliharaan yang dilakukan pada awal
penanaman tidak memperhatikan jarak tanam dan ditanam dengan cara
sembarangan, sehingga tanaman kopi tersebut baru dapat dipanen ketika kopi
berumur empat tahun. Selain itu tanaman kopi tersebut tidak pernah diberikan
nutrisi atau tidak pernah dilakukan pemupukan untuk menambah kesuburan
tanahnya, baik itu pupuk dasar ataupun pupuk lanjutan. Hal tersebut dikarenakan
tidak adanya penyuluhan ataupun pengarahan teknis sebelumnya tentang tata cara
penanaman kopi tersebut. Namun untuk sekarang sudah dilakukan pemupukan
dasar dan dilanjut dengan pemberian pupuk kimia sebagai pupuk lanjutan untuk
kesuburan tanahnya.
14
15
nematoda, naun cukup tahan terhadap serangan karat daun. Varietas ini
disaranakan ditanam pada ketinggian di atas 1000 m dpl (Puslitloka 2006).
Varietas Andungsari memiliki tipe pertumbuhan kate (dwarft) atau pendek, daun
berbentuk oval bergelombang, biji lonjong, berbunga pertama pada umur 15 - 24
bulan, nisbah biji buah 14.9%. Pada ketinggian 1000 m dpl jenis ini rentan
terhadap penyakit karat daun, varietas ini mengahsilkan citarasa yang baik.
Gambar 3 Varietas kopi Lini S 795 (a), varietas kopi sigarar utang (b)
Varietas kopi andungsari (c)
Penyediaan bibit kopi itu sendiri pada awal dilakukannya penanaman,
petani penggarap tidak mengetahui varietas atau jenis kopi yang ditanam. Namun
untuk beberapa tahun kebelakang penyediaan bibit kopi ini bergantung kepada
pemerintah ataupun organisasi sehingga didapatkan bibit kopi yang unggul serta
terverifikasi dengan jenis kopi arabika yang terdiri dari beberapa varietas. Varietas
tersebut juga menentukan bagaimana nasib para petani dalam penanaman kopi
kedepannya serta adanya varietas ini berdampak terhadap rendemen pengelolaan
serta berdampak terhadap cita rasa yang dihasilkan dari masing-masing varietas
tersebut. Menurut pak jajang selaku ketua kelompok tani desa Mekar Jaya,
perbedaan dari beberapa varietas kopi tersebut berpengaruh terhadap pengolahan
biji kopinya yaitu rendemen akhir yang dihasilkan, berpengaruh terhadap rasa dan
aroma, dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kopi itu sendiri, misalkan
adanya perbedaan dari bentuk dan warna pucuk daun kopinya. Varietas
Andungsari menghasilkan rendemen yang rendah, dalam satu kwintal rendemen
yang dihasilkan sebanyak 2.6 hingga 2.8 atau rata-rata 2.8 % . Sedangkan varietas
sigarar utang menghasilkan rendemen sebesar 3.4 %, dan untuk varietas Lini S
795 menghasilkan rendemen sebesar 3.8 hingga 40 %, namun harga yang
ditetapkan sama. Perbedaan fisik dari beberapa varietas tersebut dapat dilihat dari
warna pucuk daun serta cabang-cabang pohonnya. Varietas sigarar utang memiliki
pucuk berwarna hijau kecoklatan. Varietas Lini S 795 memiliki bentuk cabang
atau ranting yang panjang hingga menjuntai ke permukaan tanah serta bentuk
tajuk yang lebar. Serta untuk varietas Andungsari memilki ciri pohon yang pendek
serta pucuk daun berwarna hijau muda. Varietas Lini S 795 jarang diminati karena
produktivitas nya yang rendah. Jenis ini termasuk jenis yang lambat dalam
menghasilkan buah kopi sehingga memerlukan waktu 2.5 tahun. Sedangkan
varietas Andungsari hanya memerlukan waktu 1 tahun untuk menghasilkan buah.
16
17
18
Saran
Saran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas hasil hutan
berupa kayu di BKPH Pameungpeuk, RPH Cikelet, KPH Garut ini adalah dengan
adanya kegiatan pengendalian hama dan penyakit pada tegakan hutan jati dan juga
kegiatan pemeliharaan tanaman secara intensif sehingga produktivitas yang
dihasilkan dapat optimal serta mengambil langkah-langkah atau kebijakan secara
tepat dan benar dalam kegiatan pengelolaan hutan tersebut. Selain itu untuk
meningkatkan produktivitas dari komoditi kopi di BKPH Cikajang, RPH Cikajang
perlu dilakukan kegiatan penyuluhan atau bimbingan teknis tentang budidaya kopi
yang ditanam dengan sistem agroforestry dan ditinjau dari aspek silvikulturnya.
DAFTAR PUSTAKA
[Perda] Peraturan Daerah. 2011. Peraturan Daerah Jawa Barat No. 10 Tahun 2011
Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat LMDH Hutan.
Bandung (ID): Setda Pemda Jabar
Perum Perhutani. 2001. Keputusan Direksi No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang
Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat.
Bandung (ID): Perum Perhutani Unit III Jabar
19
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2006. Pedoman Teknis Tanaman Kopi. Jember
Prastowo B et all. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Kopi. Bogor (ID) : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Suharjito et all. 2004. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta (ID) :
Kerjasama FKMM-Ford Foundation
20
LAMPIRAN
21