Anda di halaman 1dari 70

ANALISIS GENDER DALAM PENGELOLAAN HUTAN

RAKYAT DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP


PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI KECAMATAN
NANGGUNG KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD YUSUF ERLANGGA NASUTION

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Analisis Gender
dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor” adalah karya saya dengan
arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2021

Muhammad Yusuf Erlangga Nasution


E14160003
i

ABSTRAK
MUHAMMAD YUSUF ERLANGGA NST. Analisis Gender dalam Pengelolaan
Hutan Rakyat dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI
Pengelolaan hutan yang melibatkan laki-laki dan perempuan akan
memberikan manfaat yang besar dan mendukung tercapainya kesetaraan gender
sebagai bagian dari perwujudan SDGs. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
pembagian kerja dan partisipasi perempuan dan laki-laki pada pengelolaan hutan
rakyat, serta menganalisis kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga. Data
dikumpulkan dengan cara studi literatur dan wawancara. Responden berjumlah 30
rumah tangga petani hutan rakyat yang diambil dengan cara purposive sampling
dan dikelompokan berdasarkan strata kepemilikan lahan. Suami memiliki curahan
waktu kerja yang lebih besar dan berperan dominan dalam pengambilan
keputusan kegiatan produktif hutan rakyat, masalah pasca produksi pengelolaan
hutan rakyat, pengelolaan keuangan hutan rakyat, dan aktivitas sosial. Sedangkan
istri memiliki curahan waktu kerja yang besar dan berperan dominan dalam
pengambilan keputusan masalah domestik keluarga. Kontribusi pendapatan hutan
rakyat terbesar diperoleh oleh rumah tangga pemilik lahan starta 1. Namun, usaha
hutan rakyat berkontribusi paling kecil terhadap pendapatan total rumah tangga,
sedangkan usaha di luar pertanian (dagang) yang umumnya dilakukan oleh
perempuan berkontribusi paling besar terhadap pendapatan rumah tangga.
Kata kunci : hutan rakyat, pengambilan keputusan, curahan waktu, gender,
pendapatan

ABSTRACT
MUHAMMAD YUSUF ERLANGGA NST. Gender Analysis in Community
Forest Management and Its Contribution to Household Income in Nanggung
District, Bogor Regency. Supervised by LETI SUNDAWATI
Community forest management that involves men and women will provide
enormous benefits and support the gender equality as part of the realization of the
SDGs. This study aims to identify the division of labor and participation of
women and men in community forest management, and to analyze their
contribution to household income. Data were collected by means of literature
studies and interviews. Respondents were 30 farmer households selected
purposively and then grouped based on land ownership strata. Husbands have
high amount of time spent working at community forest and play dominant role
on the decision making for productive activities at community forest, as well as
decision making on post-production , community forest financial management,
and social activities. Meanwhile, the wife has high amount of time spent working
on domestic activities and plays dominant role on the decision making of
domestic family matters. The largest contribution of community forest income
was found received by households with largest land ownership (> 1 ha) . However,
community forest contributed the least to total household income, while non-farm
activity (petty trading) which are generally carried out by women, has the highest
income contribution to the households.
Keywords: community forest, decision making, gender, income, time allocation
ii
iii

ANALISIS GENDER DALAM PENGELOLAAN HUTAN


RAKYAT DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP
PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI KECAMATAN
NANGGUNG KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD YUSUF ERLANGGA NASUTION

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana pada
Program Studi Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
iv

Tim Penguji pada Ujian Skripsi:


1 Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.S.
2 Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.,F.Trop.
vi
vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan dari
bulan Maret 2020 sampai bulan April 2020 ini ialah “Analisis Gender dalam
Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor”. Terima kasih penulis
sampaikan kepada kepada ibu, ayah, serta seluruh keluarga penulis atas segala
doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Leti Sundawati MScFTrop yang telah
membimbing dan memberikan arahan serta masukan kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih pula penulis ucapkan
kepada Bapak Atma Wijaya selaku ketua Kelompok Tani Sa‟uyunan, Bapak
Enday Hidayat selaku ketua Kelompok Tani Bina Tani, dan Bapak Encep selaku
pendiri sekaligus penasehat Kelompok Tani Mekar Lestari yang telah berbesar
hati mendampingi penulis dan memberikan penulis tempat tinggal selama
berlangsungnya penelitian, serta penulis ucapkan terimakasih kepada Pemerintah
Desa Curug Bitung dan Kecamatan Nanggung yang telah membantu dalam
pengumpulan data yang dibutuhkan untuk penelitian.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada sahabat penulis sejak SMP
(Alifia) dan teman-teman penulis sejak SMA (Mitha dan Dinda) yang tak pernah
lelah mendengarkan keluh kesah penulis selama masa perkuliahan dan selalu
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam perjuangan
menuntaskan skripsi disaat masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan IFSA LC IPB angkatan 53
khususnya Sylvannisa, Jose, dan Bella, Organisasi Mahasiswa Daerah IMMAM
IPB angkatan 53, rekan sebimbingan ibu, teman-teman Manajemen Hutan dan
Fahutan angkatan 53 atas segala dukungan dan semangat dalam berbagai hal, dan
juga kepada rekan kost (Reva Prahima) yang setia menemani penulis dalam
penyelesaian skripsi selama masa pandemi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dan
menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pihak.

Bogor, Januari 2021

Muhammad Yusuf Erlangga Nasution


viii
ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Hutan Rakyat 3
2.2 Hutan Rakyat Indonesia 5
2.3 Hutan Rakyat Kabupaten Bogor 5
2.4 Gender 6
2.5 Pengambilan Keputusan 9
2.6 Pendapatan Rumah Tangga 9
III METODE 9
3.1 Kerangka Pemikiran 9
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 10
3.3 Sasaran Penelitian 10
3.4 Alat dan Bahan 11
3.5 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data 11
3.6 Metode Pemilihan Responden 11
3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data 12
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 14
4.2 Kondisi Umum Kelompok Tani 16
4.3 Karakteristik Responden 18
4.4 Curahan Waktu Kerja Laki-Laki dan Perempuan dalam Kegiatan
Produktif Hutan Rakyat 27
4.5 Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kegiatan Domestic 29
4.6 Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat 30
4.7 Pengambilan Keputusan 31
4.8 Pendapatan Rumah Tangga 37
V SIMPULAN DAN SARAN 42
5.1 Simpulan 42
5.2 Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN 47
RIWAYAT HIDUP 54
x

DAFTAR TABEL

1 Distribusi responden berdasarkan strata pemilikan lahan hutan rakyat 11


2 Luas wilayah Desa Curug Bitung berdasarkan penggunaan lahan 14
3 Jumlah kelembagaan di Desa Curug Bitung 15
4 Jumlah penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan kelompok umur 15
5 Jumlah penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan tingkatan pendidikan 15
6 Jumlah penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan mata pencaharian 16
7 Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian Kelompok Bina Tani 17
8 Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian Kelompok Mekar Lestari 17
9 Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian Kelompok Sa‟uyunan 18
10 Karakteristik responden 18
11 Distribusi responden berdasarkan status pemilikan lahan, pola tanam,
dan lamanya pengalaman kerja sebagai petani hutan rakyat sesuai
dengan strata pemilikan lahannya 21
12 Distribusi responden berdasarkan luas pemilikan lahan non hutan rakyat 23
13 Distribusi responden berdasarkan status pemilikan setiap jenis lahan non
hutan rakyat sesuai dengan kelas luas pemilikan lahan 24
14 Distribusi responden berdasarkan keanggotaan kelompok tani dengan
strata luas pemilikan lahan, lamanya bergabung kelompok tani, dan
tingkat keaktifan menjadi anggota kelompok tani 25
15 Rata-rata curahan waktu kerja laki-laki (L) dan perempuan (P) dalam
kegiatan produktif hutan rakyat 28
16 Rata-rata curahan waktu kerja laki-laki (L) dan perempuan (P) dalam
kegiatan domestic 30
17 Rata-rata curahan waktu kerja total laki-laki (L) dan perempuan (P)
dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat 31
18 Pengambilan keputusan dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan
masalah keuangan 33
19 Pengambilan keputusan dalam kegiatan sosial dan urusan domestik
keluarga 36
20 Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari hutan rakyat 37
21 Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari pertanian non
hutan rakyat 39
22 Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari luar pertanian 40
23 Pendapatan total rata-rata rumah tangga 41

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 10


2 Dokumentasi wawancara kepada responden 50
3 Dokumentasi lahan pertanian non hutan rakyat yang dikelola responden 51
4 Dokumentasi lahan hutan rakyat yang dikelola responden 51
5 Dokumentasi bibit-bibit persemaian yang dibuat responden 51
xi

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lampiran 1 Jenis, indikator, sumber, dan metode pengumpulan data 47
2 Lampiran 2 Dokumentasi selama penelitian 50
3 Lampiran 3 Struktur Organisasi Kelompok Tani Bina Tani 52
4 Lampiran 4 Struktur Organisasi Kelompok Tani Mekar Lestari 52
5 Lampiran 5 Struktur Organisasi Kelompok Tani Sa‟uyunan 53
xii
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan
hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi jenis tumbuhan berkayu dalam persekutuan dengan
lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Salah satu bentuk
hutan di Indonesia berdasarkan hak pengelolaannya adalah hutan rakyat. Hutan
rakyat atau hutan milik rakyat adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang
tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah yaitu hutan yang dimiliki
oleh rakyat (Hardjosoediro 1980). Proses terjadinya hutan rakyat dapat dibuat oleh
manusia dan dapat juga terjadi secara alami. Hutan rakyat menurut UU No. 41
tahun 1999 merupakan hutan yang tumbuh di atas tanah yang telah dibebani hak
milik atas tanah. Definisi yang diberikan tersebut dimaksudkan untuk
membedakan antara hutan rakyat dengan hutan negara. Hardjanto (2017)
menyebutkan bahwa hutan rakyat dapat memberikan manfaat tidak langsung
seperti fungsi hidrorologis, klimatologis, dan estetik. Hutan rakyat juga dapat
memberikan manfaat langsung yaitu pada bidang sosial dan ekonomi.
Masyarakat dapat terlibat langsung dalam pengelolaan hutan rakyat sebagai
bentuk partisipasi dan mereka juga dapat mengambil keputusan baik dalam
kegiatan pengelolaan hutan rakyat maupun kegiatan di luar pengelolaan hutan
rakyat. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat (kegiatan produktif) meliputi persiapan
lahan, pemilihan jenis, pengadaan bibit, pembuatan lubang tanam, penanaman,
pemupukan, perawatan, pemanenan dan lain sebagainya. Kegiatan produktif ini
biasanya dilakukan kaum laki-laki, karena termasuk pada kategori pekerjaan
berat. Sedangkan kaum perempuan selama ini hanya dinilai sebagai pelaksana
kegiatan domestic seperti memasak, mengurus rumah, mengurus anak dan lain
sebagainya. Laki-laki dan perempuan memiliki peranan yang berbeda dalam
berkontribusi pada pengelolaan hutan rakyat. Pengelolaan hutan yang melibatkan
laki-laki dan perempuan akan memberikan manfaat yang sangat besar terhadap
kebijakan pengelolaan hutan (Agarwal 2009).
Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa gender merupakan
konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan
budaya masyarakat. Gender membahas mengenai kerjasama serta pembagian
peran antara dua jenis kelamin tersebut untuk mencapai suatu tujuan (Puspitawati
dan Krisnatuti 2007). Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex). Gender
merupakan suatu bentukan manusia yang bukan kodrat, dimana hal tersebut
memiliki arti bahwa gender dapat berubah setiap saat, sedangkan jenis kelamin
merupakan sesuatu yang kodrati yang diberikan oleh Tuhan. Memasak, berburu,
mengambil kayu atau ikut rutin dalam suatu pertemuan merupakan hal yang
bukan kodrati. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh wanita maupun
pria (Simatauw et al. 2001).
Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar
dapat berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan, dan keamanan nasional. Selanjutnya keadilan gender merupakan
2

suatu proses untuk menjadi adil terhadap perempuan maupun laki-laki (Inpres No.
9 tahun 2000). Kesetaraan gender merupakan salah satu tujuan dari PBB dalam
programnya Sustainable Development Goals (SDGs) (Komnasham 2018).
Tercapainya kesetaraan gender dalam pengelolaan hutan rakyat dapat mendukung
terwujudnya SDGs.
Kabupaten Bogor memiliki potensi hutan rakyat yang tinggi dengan luas
hutan rakyat sebesar 40.178,87 ha dan merupakan Kabupaten dengan hutan rakyat
terluas keempat di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Sukabumi, dan Kabupaten Tasikmalaya (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
2017). Salah satu potensi hutan rakyat terluas di Kabupaten Bogor berada di
Kecamatan Nanggung. Kecamatan Nanggung mempunyai potensi hutan rakyat
seluas 1.875,5 ha yang tersebar kedalam masing-masing desa didalamnya (Safe‟i
dan Sukmara 2019), dimana menurut penelitian Afriantho (2008) Kecamatan
Nanggung memiliki 10 desa. Desa Curug Bitung merupakan salah satu desa di
Kecamatan Nanggung yang mana masyarakatnya melakukan pengelolaan hutan
rakyat.
Berbagai penelitian tentang hutan rakyat di Kecamatan Nanggung telah
dilakukan oleh peneliti lain seperti pada Afriantho (2008) yang meneliti prospek
kontribusi hutan rakyat di Kecamatan Nanggung terhadap pendapatan asli daerah
Kabupaten Bogor, kemudian pada Apriyanto (2016) yang meneliti peningkatan
peran hutan rakyat di Kecamatan Nanggung dalam mendukung ketahanan pangan
dan penanggulangan kemiskinan dan juga pada Setyaningsih (2018) yang meneliti
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan petani hutan rakyat di
Kecamatan Nanggung, Kecamatan Leuwiliang, dan Kecamatan Leuwisadeng.
Meskipun sudah dilakukan beberapa penelitian di Kecamatan Nanggung, namun
masih belum diketahui bagaimana peran gender dalam pengambilan keputusan,
serta kontribusinya dalam pengelolaan hutan rakyat terhadap pendapatan rumah
tangga. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peran gender
dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat.

1.2 Rumusan Masalah


Pengelolaan hutan rakyat oleh petani menjadi salah satu upaya
meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pengelolaan hutan yang melibatkan laki-
laki dan perempuan diharapkan akan memberikan manfaat yang sangat besar
dalam kebijakan pengelolaan hutan. Dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat
oleh keluarga petani penting diketahui sejauh mana partisipasi anggota rumah
tangga laki-laki dan perempuan dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan
pengambilan keputusan dalam rumah tangga, bagaimanakah pembagian dan
curahan kerja anggota rumah tangga laki-laki dan perempuan dalam kegiatan
produktif dan domestic, dan seberapa besar kontribusi laki-laki dan perempuan
terhadap pendapatan rumah tangga dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat.
Penelitian ini memiliki beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana bentuk dan perbedaan parisipasi laki-laki dan perempuan dalam
kegiatan pengelolaan hutan rakyat.
2) Bagaimana pola pembagian kerja dan curahan laki-laki dan perempuan dalam
kegiatan pengelolaan hutan rakyat.
3) Seberapa besar kontribusi laki-laki dan perempuan terhadap pendapatan rumah
tangga dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat.
3

1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi partisipasi laki–laki dan perempuan dalam kegiatan
pengelolaan hutan rakyat.
2. Mengidentifikasi peran laki-laki dan perempuan dalam pengambilan
keputusan dalam rumah tangga petani hutan rakyat
3. Menganalisis kontribusi laki-laki dan perempuan terhadap pendapatan
rumah tangga dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat.

1.4 Manfaat
1. Penelitian ini memberikan informasi tentang peranan gender dalam
pengelolaan hutan rakyat dan pengambilan keputusan, serta memberikan
informasi tentang kontribusi pengelolaan hutan rakyat terhadap
pendapatan rumah tangga.
2. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
pemerintah dan masyarakat untuk menentukan strategi pengembangan
hutan rakyat.
3. Bagi masyarakat, sebagai bahan masyarakat untuk lebih menghargai peran
pria dan wanita dalam mengelola hutan rakyat.
4. Sebagai acuan bagi peneliti lain dengan topik terkait.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat


Menurut Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No.5 Tahun 1967,
hutan berdasarkan pemilikannya dibagi menjadi hutan negara dan hutan milik.
Menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999, pengertian hutan rakyat ini hanya
disebutkan sebagai hutan hak, yang membedakannya dengan hutan negara.
Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan
oleh pemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga disebut hutan milik
(Hardjanto 1990).
Balai Informasi Pertanian (1982), membagi bentuk hutan rakyat
berdasarkan jenis tanaman menjadi tiga, sebagai berikut :
a. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis
tanaman pohon berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen
atau monokultur.
b. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis
pohon – pohonan yang ditanam secara campuran.
c. Hutan rakyat agroforestri, yaitu hutan yang memiliki bentuk usaha
kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya, seperti
perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara
terpadu.
4

2.1.2 Peranan Hutan Rakyat


Hutan rakyat memberikan manfaat sebagai berikut (Pusat Penyuluhan
Kehutanan 1996) :
a. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
b. Pemanfaatan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan
mengelolanya menjadi lahan yang subur.
c. Peningkatan produksi kayu bakar dan penyediaan kayu perkakas, bahan
bangunan dan alat rumah tangga.
d. Penyedia bahan baku industri seperti kertas, korek api, dan lain-lain.
e. Menciptakan lapangan kerja bagi penduduk pedesaan.
f. Mempercepat rehabilitasi lahan kritis.
Djajapertjuanda (2003) menyatakan bahwa hutan rakyat adalah hutan,
sama halnya seperti hutan-hutan lainnya yang tanamannya terdiri atas pohon
sebagai jenis utamanya, maka peranannya pun tidak banyak berbeda, sebagai
berikut :
a. Ekonomi, untuk memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil
sebagai upaya untuk meningkatkan peranan jaringan ekonomi rakyat.
b. Sosial, dalam membuka lapangan kerja.
c. Ekologi, sebagai penyangga kehidupan masyarakat dalam mengatur tata
air, mencegah bencana banjir, erosi dan sebagai prasarana untuk
memelihara kualitas lingkungan hidup (penyerap CO2 dan produsen O2).
d. Estetika, berupa keindahan alam.
e. Sumber, merupakan sumberdaya alam untuk ilmu pengetahuan, antara lain
Ilmu Biologi, Ilmu Lingkungan, dan lain-lain.
Menurut Simon (1995), hutan rakyat akan memperluas kesempatan kerja
bagi penduduk yang bertempat tinggal di sekitar dan di dalam hutan.
Pembangunan hutan rakyat akan melibatkan seluruh penduduk disekitarnya,
sehingga akan memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan waktunya secara
maksimal.

2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat


Menurut Purwanto et al. (2004) dari studi hasil kajian hutan rakyat yang
dilakukan oleh Balai Sumber: Litbang Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB) di Surakarta, secara garis
besar terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat sebagai berikut :
1. Monokultur (satu jenis kayu)
2. Polikultur atau campuran, antara lain :
a. Hutan rakyat campuran berbagai jenis kayu
b. Agroforestri, kayu dengan tanaman semusim dan kayu dengan tanaman
perkebunan
c. Sylvopasteur, kayu dengan tanaman makanan ternak
d. Wanafarma, kayu dengan tanaman obat-obatan
Friday et al. (1999) menyatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat
campuran terdiri dari : a. Pemilihan lokasi, b. Persiapan lahan, c. Pemilihan
jenis tanaman, d. Pengadaan bibit, e. Pengangkutan, f. Penanaman, g.
Pemeliharaan tanaman, h. Pemanenan kayu, non kayu dan tanaman pertanian, i.
Penanaman kembali, j. Pemasaran.
5

2.2 Hutan Rakyat Indonesia


Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi
pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Petani di Indonesia
umumnya membudidayakan pohon secara intercropping dengan tanaman
musiman untuk keperluan konsumsi sehari-hari maupun dijual untuk memperolah
uang tunai (ESSC 2006). Segala bentuk kegiatan budidaya pohon pada lahan
milik dapat dikategorikan sebagai bentuk usaha hutan rakyat (Suharjito 2000).
Budidaya hutan rakyat dilakukan petani pada lahan pekarangan, kebun/leuweung
hingga pematang sawah milik petani, sebagai bentuk optimalisasai pemanfaatan
lahan pertanian yang dimiliki. Keberadaan hutan rakyat di Indonesia memiliki
potensi yang besar, baik dari segi ekologis, ekonomi, maupun sosial. Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) (2009),
Potensi hutan rakyat di Indonesia seluas 1.271.505,61 ha, dengan jumlah
perkiraan tegakan di dalamnya sebanyak 42.965.519 pohon. Hutan rakyat
khususnya di Pulau Jawa mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak untuk
dikembangkan, karena memiliki peluang dan potensi yang sangat besar (Arupa
2011).
Pulau Jawa memiliki rata-rata luas lahan hutan rakyat dalam satu hamparan
sempit kurang dari 1 ha (Suharjito 2000 dan Haeruman et al. 1991). Walaupun
hutan rakyat mempunyai potensi dan peranan yang cukup besar, akan tetapi pada
umumnya di Jawa hanya sedikit hutan rakyat yang memenuhi luasan minimal
sesuai dengan definisi hutan (0,25 ha). Hal tersebut disebabkan rata-rata
pemilikan lahan di Jawa yang sangat sempit, sehingga mendorong munculnya
usaha pemanfaatan ruang seoptimal mungkin oleh pemilik lahan dengan cara
membudidayakan tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi sehari-hari, serta
tanaman-tanaman bernilai tinggi dengan daur yang pendek (Hardjanto 2000).
Sangat berbeda dengan kondisi di luar Indonesia seperti negara-negara Eropa
Utara (Filandia, Swedia, dan Norwegia), dimana luasan lahan pemilikan berkisar
antara 5-40 ha per keluarga (Harrison et al. 2002). Pengelolaan hutan rakyat
dilakukan oleh masyarakat secara individual (pada tingkat keluarga) pada lahan
miliknya, yang menyebabkan hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal
tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman
pola usaha tani yang akan berpengaruh terhadap jumlah pohon pada setiap
pemilikan (Mindawati 2006).

2.3 Hutan Rakyat Kabupaten Bogor


Kabupaten Bogor memiliki potensi hutan rakyat yang tinggi dengan luas
hutan rakyat sebesar 40.178,87 ha (Distanhut Kabupaten Bogor 2017). Hutan
rakyat tumbuh dengan pesat di Kabupaten Bogor sejak awal tahun 2000 (Setiajiati
2012) dan menjadi salah satu sumber pendapatan bagi Kabupaten Bogor. Hal ini
disebabkan oleh faktor letaknya yang strategis sebagai daerah pemasok bahan
baku untuk ibu kota dan daerah kota industri lainya. Kontribusi hutan rakyat bagi
pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Bogor mencapai Rp 26 850 382
000/tahun (Ermayani 2002).
Selain kondisi geografis, ketersediaan lahan kering di Kabupaten Bogor
juga menjadi salah satu faktor berkembangnya hutan rakyat. Hutan rakyat
umumnya berada di lahan milik yang kurang subur atau areal-areal lahan kering
6

daerah atas (upland areas) (Suharjito 2000). Luas penggunaan lahan kering untuk
kegiatan hutan rakyat di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 mencapai 15 783 ha
dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 25 980 ha (BPS 2011). Peningkatan luas
hutan rakyat dapat menunjukan peningkatan minat petani untuk budidaya tanaman
kayu tetapi bukan berarti menjamin kegiatan usaha hutan rakyat yang lestari.
Salah satu potensi hutan rakyat terluas di Kabupaten Bogor berada di
Kecamatan Nanggung. Menurut penelitian Afriantho (2008), Kecamatan
Nanggung mempunyai wilayah seluas 11634,5 Ha. Berdasarkan data monografi
Kecamatan Nanggung tahun 2013 sebagian besar (61,48%) daerahnya berupa
hutan dan memiliki 10 desa, salah satunya adalah Desa Curug Bitung. Menurut
penelitian Afriantho (2008), Desa Curug Bitung memiliki luas wilayah 1397 Ha.
Berdasrkan data monografi desa tahun 2013, tata guna lahan di desa ini
menunjukkan bahwa sebagian besar daerahnya berupa perkebunan negara seluas
500 Ha (35,8%) dan hutan seluas 473,2 Ha (25,1 %).

2.4 Gender

2.4.1 Pengertian Gender


Istilah gender dimunculkan oleh ilmuwan sosial untuk menjelaskan
perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang berupa bawaan dari Tuhan dan
budaya yang diturunkan oleh masyarakat yang bersifat non-kodrati. Gender
membahas dengan kaitannya mengenai kerjasama serta pembagian peran
antara dua jenis kelamin tersebut untuk mencapai suatu tujuan (Puspitawati dan
Krisnatuti 2007). Gender sangat berkaitan dengan sumber daya alam, seperti
penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam sebab gender dan sumber daya
alam terkait dengan persoalan hubungan kuasa serta peran antara laki-laki dan
perempuan dalam menjadikan alam sebagai suatu sumber dalam penghidupan
masyarakat. Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran-peran,
penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam, hak dan posisi, ternyata
mengakibatkan ketidakadilan gender (Simatauw et al. 2001). Lebih lanjut
dinyatakan ada lima bentuk ketidakadilan gender dalam hubungannya dengan
sumberdaya alam, sebagai berikut :
1. Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, salah satu yang terlihat nyata adalah
lemahnya kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi
seperti tanah, kredit dan pasar.
2. Subordinasi (penomorduaan), subordinasi perempuan ini berkaitan erat
dengan masalah penguasaan terhadap sumber daya alam.
3. Beban kerja berlebih, pada umumnya perempuan memiliki tiga peran yaitu
produktif, domestic dan memelihara (anak) yang lebih dominan. Yang
dapat dilihat langsung adalah jam tidur perempuan lebih pendek dibanding
laki-laki, waktu istirahat hampir tidak ada. Akibatnya perempuan tidak
memiliki waktu untuk membicarakan hal-hal diluar rutinitasnya seperti
membaca koran, mendengarkan informasi, atau hadir dalam pertemuan-
pertemuan masyarakat.
4. Cap-cap negatif (stereotype), maksudnya adalah perempuan sering
digambarkan pada bentuk-bentuk tertentu yang belum tentu benar, seperti
emosional, lemah, tidak mampu memimpin, tidak rasional dan lain-lain;
7

5. Kekerasan, kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan


terhadap perempuan, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis. Pada
konflik sumber daya alam kekerasan terhadap perempuan seringkali
meningkat baik itu yang dilakukan oleh aparat (militer atau sipil) serta
pihak-pihak investor maupun juga terjadi di ruang-ruang keluarga, oleh
suami, tetangga atau saudara.
Pelestarian hutan rakyat tidak lepas dari peran perempuan. Keikutsertaan
dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dilihat pada tahap awal seperti
penanaman, pemeliharaan, hingga pemasaran hasil hutan rakyat. Perempuan
berperan dalam membantu menanam bibit, melakukan pembibitan, serta
menanam tanaman dibawah tegakan seperti singkong dan umbi-umbian.
Perempuan juga berperan aktif dalam tahap pemeliharaan seperti merawat
tanaman, pemangkasan, serta pemupukan tanaman (Suryaningsih et al. 2012).
Analisis tentang gender dalam kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan
dari analisis tentang keluarga, sebab merupakan dua lembaga yang saling
berhubungan sekalipun tampaknya keduanya saling terpisah satu sama lain
(Kodiran 2006). Wiliam-de Vries (2006) mengungkapkan bahwa kesetaraan
gender bukan berarti memindahkan semua pekerjaan laki-laki ke pundak
perempuan, bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban seorang suami
oleh istrinya. Jika hal ini yang terjadi, bukan „kesetaraan‟ yang tercipta
melainkan penambahan beban dan penderitaan pada perempuan. Inti dari
kesetaraan gender adalah menganggap semua orang berkedudukan yang sama
dan sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan
mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai hak-hak
yang sama, menghargai fungsi dan tugas masing-masing, sehingga tidak ada
salah satu pihak yang merasa berkuasa, merasa lebih baik atau lebih tinggi
kedudukannya dari pihak lainnya. Singkatnya, inti dari kesetaraan gender
adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa ada tekanan
dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan
keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari lingkungan.

2.4.2 Peran Gender


Menurut Hubbies (2000), peran Gender untuk perempuan dan lelaki
diklasifikasikan dalam tiga peran pokok sebagai berikut :
1. Peran Reproduktif (Domestic) :
a. Peran domestic adalah peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan
kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya manusia dan
tugas-tugas rumah tangga seperti: menyiapkan makanan, berbelanja,
memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak.
b. Kegiatan domestic sangat penting dalam melestarikan kehidupan
keluarga tetapi jarang dipertimbangkan sebagai pekerjaan kongkrit.
c. Dalam masyarakat miskin, sebagian besar pekerjaan domestic dilakukan
perempuan secara manual (menggunakan tangan).
d. Kegiatan domestic pada umunya memerlukan waktu lama, bersifat rutin,
cenderung sama dari hari ke hari, dan hampir selalu merupakan tanggung
jawab perempuan dan anak perempuan.
e. Pekerjaan domestic yang dilakukan di dalam rumah tangga tidak
perhitungkan sebagai pekerjaan (karena tidak dibayar).
8

2. Peran Produktif :
a. Pekerjaan produksi menyangkut pekerjaan menghasilkan barang dan jasa
untuk dikonsumsi dan diperdagangkan (pertanian, nelayan, pekerjaan dan
wirausaha).
b. Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperhatikan dengan
jelas perihal perbedaan tanggung jawab antara lelaki dan perempuan.
Sebagai contoh, untuk kegiatan di bidang pertanian maka kegiatan
membajak, bekerja dengan mesin merupakan tanggung jawab lelaki,
sedangkan pekerjaan menanam, menyiangi, memerah susu dan pekerjaan
lainnya yang dianggap ringan merupakan pekerjaan perempuan.
c. Jenis pekerjaan yang dinilai sebagai pekerjaan produktif terkait pada
pekerjaan yang dapat diperhitungkan melalui sistem perhitungan nasional
(GNP ataupun Statistik Sosial Ekonomi).
d. Pekerjaan produktif dapat dilakukan oleh gender lelaki maupun
perempuan, dan diambil (dibayar) dengan uang (tunai) atau natural.
3. Peran Sosial :
a. Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik.
b. Kegiatan jasa masyarakat banyak bersifat relawan dan biasanya
dilakukan oleh perempuan. Misalnya, membantu pelaksanaan
penyelenggaraan kegiatan pelayanan kesehatan (posyandu, karang balita)
pelaksanaan 10 tugas pokok PKK, dan lain-lain.
c. Peran politik dimasyarakat adalah peran yang terkait dengan status atau
kekuasaan seseorang pada organisasi tingkat desa atau tingkat yang lebih
tinggi.
Peran gender berkaitan dengan peran yang dapat dilakukan oleh laki-laki
dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Namun demikian masih banyak pembatasan adat dan
norma masyarakat pada perilaku baik laki-laki maupun perempuan, yang
diawali dari pelabelan / stereotipe / sub-ordinasi (penomorduaan), misalnya :
1. Peran yang pantas dilakukan oleh perempuan adalah sektor domestik;
peran yang pantas dilakukan oleh laki-laki adalah sebagai pemimpin dan
pelindung keluarga, jadi laki-laki bertanggung jawab dan berperan di
sektor publik.
2. Stereotipe berdasarkan adat diidentikkan dengan peran sebagai berikut :
a. Peran perempuan dalam kegiatan domestik (masak, dandan, memuaskan
kebutuhan seksual suami).
b. Posisi perempuan sebagai orang belakang dan nomor dua dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga.
c. Peran laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan tulang punggung keluarga.
d. Laki-laki tabu melakukan pekerjaan domestik karena itu ”pekerjaan
perempuan”. Laki-laki yang melakukan pekerjaan tersebut dikhawatirkan
dapat menurunkan derajat dan kewibawaan sebagai pemimpin keluarga.
Kondisi pembatasan norma masyarakat semacam itu menempatkan
perempuan pada posisi yang lemah dan terperangkap, karena seharusnya ia
dapat pergi untuk meningkatkan kualitas SDM-nya untuk kemudian dapat
menempati posisi penting sebagai pemimpin masyarakat di kemudian hari
(Sundawati et al. 2008).
9

2.5 Pengambilan Keputusan


Keterlibatan perempuan dalam pekerjaan mencari nafkah yang
menghasilkan pendapatan rumah tangga berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan di dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
pengambilan keputusan jumlah anak (Stephani 2009).
Sajogyo (1990) menyatakan bahwa untuk setiap jenis keputusan rumah
tangga dikelompokan dalam lima tingkatan, antara lain :
a. Keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan sang suami.
b. Keputusan dibuat bersama, tetapi dengan pengaruh istri yang lebih besar.
c. Keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri dengan tidak ada
tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh relatif besar.
d. Keputusan dibuat bersama, tetapi dengan pengaruh suami lebih besar.
e. Keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan sang istri.

2.6 Pendapatan Rumah Tangga


Rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau
seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama dan makan satu dapur
dimana terdapat seseorang yang dianggap bertanggung jawab didalamnya yaitu
kepala rumah tangga (BPS 1990).
Menurut Soekartawi et al. (1986), pendapatan kotor merupakan nilai produk
total usaha tani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual.
Sedangkan pengeluaran total adalah nilai semua masukan yang dipakai atau
dikeluarkan dalam produksi tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani.
Pendapatan dapat dibagi menjadi dalam tiga kelompok, sebagai berikut :
a. Pendapatan dari usaha tanam padi.
b. Pendapatan dari seluruh usaha pertanian (padi, palawija, dan lainnya).
c. Pendapatan diperoleh dari seluruh kegiatan termasuk sumber-sumber mata
pencaharian di luar bidang pertanian.
Manfaat hutan rakyat yang berupa manfaat finansial berupa peningkatan
pendapatan masyarakat dan retribusi baik dari hasil hutan kayu maupun non kayu
akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan juga pembangunan daerah.
Kontribusi terhadap pendapatan daerah pada hutan rakyat ini selain kayu dapat
juga berupa sumber lainnya dalam kaitannya dengan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat (Purwanto et al. 2004).

III METODE

3.1 Kerangka Pemikiran


Perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat tentang kesetaraan gender
dapat mempengaruhi pengelolaan hutan rakyat. Masyarakat kaum laki-laki
maupun kaum perempuan mempunyai peran dalam membangun hutan rakyat
yaitu dalam persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, dan pemasaran. Pembagian peran antara perempuan dan laki-laki
merupakan wujud dari peran gender. Secara umum ada kerja sama yang erat
antara pembagian peran tersebut untuk pengambilan keputusan dalam kegiatan
pengelolaan hutan rakyat maupun kegiatan domestik keluarga.
10

Pengelolaan hutan rakyat berpengaruh dalam penciptaan lapangan kerja dan


berusaha bagi masyarakat, karena dalam pengelolaan hutan rakyat yang baik dapat
memberikan kontribusi tehadap pendapatan rumah tangga. Secara skematis
kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Rumah Tangga
Petani Hutan
Rakyat

Perempuan Laki-Laki

Peranan

Produktif Domestik

Curahan Pengambilan Pendapatan Curahan Pengambilan


Waktu Kerja Keputusan Rumah Tangga Waktu Kerja Keputusan

Persiapan Pengadaan Pemanenan Pemasaran


Penanaman Pemeliharaan
Lahan Bibit

Hutan Rakyat Non Hutan Rakyat

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada bulan Maret hingga April 2020.
Alasan memilih lokasi tersebut adalah karena menurut Ketua gabungan kelompok
tani setempat bahwa Desa Curug Bitung merupakan salah satu desa yang memiliki
hutan rakyat urutan keempat terluas di Kecamatan Nanggung dan akses menuju
Desa Curug Bitung adalah yang paling mudah ditempuh dibandingkan ketiga desa
lain yang hutan rakyatnya lebih luas. Selain itu, kondisi ketiga desa lain tersebut
saat penelitian akan dilakukan baru saja dilanda bencana longsor, sehingga
kurang memungkinkan jika dijadikan sebagai lokasi penelitian.

3.3 Sasaran Penelitian


Sasaran penelitian ini adalah rumah tangga petani hutan rakyat di Desa
Curug Bitung yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat.
11

3.4 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain: kuisioner,
alat tulis, alat perekam, kalkulator, kamera dan laptop yang dilengkapi oleh
software Microsoft Excel dan software Microsoft Word. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah hutan rakyat dan rumah tangga petani hutan rakyat di
Desa Curug Bitung.

3.5 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data primer
didapatkan melalui wawancara (Risnae 2009) dengan petani hutan dan pengurus
kelompok tani, sedangkan data sekunder didapatkan melalui studi literatur /
pustaka, dan pengumpulan data statistik dari kantor Kecamatanan Nanggung. Data
primer yang dikumpulkan ialah karakteristik responden, potensi lahan hutan
rakyat, sistem dalam pengelolaan hutan rakyat dan peran produktif dalam
pengelolaan hutan rakyat, peran domestik dalam rumah tangga, curahan waktu
kerja kegiatan produktif pengelolaan hutan rakyat dan kegiatan domestic rumah
tangga, pengambilan keputusan, total pendapatan rumah tangga, dan kontribusi
hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga. Data sekunder yang didapatkan
ialah kondisi umum lokasi penelitian dan kelompok tani Desa Curug Bitung,
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Jenis, indikator, sumber, dan metode
pengumpulan data dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.6 Metode Pemilihan Responden


Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu
memilih responden secara sengaja. Pengambilan contoh secara purposive
merupakan pemilihan sekelompok subjek penelitian berdasarkan ciri-ciri atau sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hamidi 2010). Jumlah sampel
responden yang dipilih sejumlah 30 rumah tangga petani, dimana setiap rumah
tangga terdiri dari suami dan istri sehingga jumlah seluruh responden terdiri dari
60 responden. Sejumlah 30 responden pada masing-masing jenis kelamin
dikarenakan 30 merupakan angka yang umum digunakan sebagai jumlah
minimum untuk penelitian (Cohen et al. 2007). Responden yang diambil
merupakan petani yang memiliki lahan hutan rakyat di Desa Curug Bitung
sekaligus mengelola sendiri lahan hutan rakyatnya. Cara mencari responden
adalah dengan bertanya secara acak kepada warga sekitar yang mengetahui
informasi mengenai hal terkait siapa-siapa saja warga yang merupakan petani
pengelola lahan hutan rakyat di Desa Curug Bitung sampai didapatkan total
sejumlah 30 responden rumah tangga yang terdiri dari 30 responden laki-laki dan
30 responden perempuan, kemudian dilakukan pengelompokkan responden
(strata) berdasarkan luas kepemilikan lahan hutan rakyat seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan strata pemilikan lahan hutan rakyat
Responden
Strata Pemilikan Lahan Luas (Ha)
(Rumah Tangga)
I >1,0 9
II 0,6-1,0 13
III 0,25-0,5 8
Jumlah Total 30
12

Stratifikasi berdasarkan luas lahan dilakukan karena dalam penghitungan


pendapatan baik yang berasal dari hutan rakyat maupun non hutan rakyat, faktor
luas lahan merupakan faktor yang menentukan bagi pendapatan petani yang mana
lahan menjadi modal penting dalam usaha tani. Oleh sebab itu, diperlukan
pembagian strata luas lahan untuk membandingkan hasil pendapatan pada setiap
strata.

3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Peran Perempuan dan Laki-laki dalam Pengelolaan Hutan Rakyat


Peran perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan hutan rakyat dapat
diketahui dengan melihat curahan waktu kerja. Curahan waktu kerja yaitu
jumlah waktu yang digunakan oleh perempuan maupun laki-laki dalam
melakukan kegiatan tertentu seperti mencari nafkah, pekerjaan rumah tangga
atau kegiatan kemasyarakatan. Terdapat dua jenis kegiatan untuk menentukan
curahan waktu kerja rumah tangga tangga petani pengelola hutan rakyat, yaitu :
1. Kegiatan produktif hutan rakyat
Kegiatan produktif hutan rakyat yaitu penyiapan lahan, pengadaan bibit,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pemasaran dalam tanaman penghasil
kayu, tanaman penghasil buah, tanaman pangan dan palawija.
2. Kegiatan domestic
Kegiatan domestic yang dilakukan seperti memasak, mencuci pakaian,
mengasuh anak, dan membersihkan rumah.
Satuan curahan waktu kerja dihitung berdasarkan Hari Orang Kerja
(HOK), dalam 1 HOK terhitung 8 jam / hari. Curahan kerja seseorang per hari
dapat dihitung dengan cara membagi banyaknya waktu kerja yang dihabiskan
untuk melakukan kegiatan tertentu dalam satu hari dengan 1 HOK. Analisis
data pada kegiatan produktif dan domestic dilakukan dengan menjumlahkan
waktu kerja per kegiatan berdasarkan gender, kemudian menghitung curahan
waktu kerja (HOK) per kegiatan berdasarkan gender, lalu merata-ratakan HOK
per kegiatan, per gender, dan per strata dalam satuan HOK/tahun.

3.7.2 Pengambilan Keputusan


Sajogyo (1990) menyatakan bahwa untuk setiap jenis keputusan rumah
tangga dikelompokan dalam lima tingkatan, yaitu sebagai berikut :
a. Keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan sang suami.
b. Keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri dengan tidak ada
tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh relatif besar.
c. Pengambilan keputusan bersama dominan istri
d. Pengambilan keputusan bersama dominan suami.
e. Keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan sang istri.
Adapun proses pengambilan keputusan dibagi menjadi beberapa variabel,
yaitu:
a. Pengambilan keputusan keluarga dalam kegiatan produksi pengelolaan
hutan rakyat, seperti : penentuan jenis tanaman, struktur & pola tanam,
penggunaan sarana bertani, investasi peralatan untuk bertani, kegiatan
pemeliharaan tanaman, dan kegiatan pemupukan tanaman.
13

b. Pengambilan keputusan dalam kegiatan pasca produksi pengelolaan hutan


rakyat, seperti : kegiatan penentuan pemanfaatan hasil panen
(dijual/dikonsumsi), dan penentuan pelaku kegiatan penjualan hasil panen.
c. Pengambilan keputusan dalam keuangan pengelolaan hutan rakyat,
seperti : merencanakan biaya usaha dalam pengelolaan hutan rakyat,
mengelola uang untuk usaha pengelolaan hutan rakyat, dan meminjam
uang / kredit untuk usaha.
d. Pengambilan keputusan dalam keuangan keluaraga, seperti :
merencanakan uang keluarga, mengelola uang keluarga, memutuskan
untuk membelanjakan uang keluarga, meminjam uang untuk keperluan
keluarga, dan mencari jalan pemecahan masalah keuangan.
e. Penambilan keputusan dalam kegiatan sosial, seperti : bertanggung jawab
atas aktivitas sosial, dan menghadiri pertemuan di desa.
f. Pengambilan keputusan dalam urusan domestik keluarga, seperti :
penentuan jumlah anak, penentuan pendidikan anak dalam keluarga,
penentuan dan pembelian menu makanan, pembelian alat-alat rumah
tangga, dan pemeliharaan kesehatan.

3.7.3 Pendapatan Rumah Tangga


Besarnya kontribusi pendapatan dalam rumah tangga dari pengelolaan
hutan rakyat dapat diketahui dari pendapatan rumah tangga dengan dan tanpa
pengelolaan hutan rakyat. Berdasarkan sumber pendapatannya maka
pendapatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Pendapatan dari sektor pertanian, terdiri dari :
a. Pendapatan dari hasil hutan rakyat, seperti : hasil dari tanaman penghasil
kayu, tanaman penghasil non kayu, tanaman pangan dan palawija.
b. Pendapatan dari sektor pertanian non hutan rakyat seperti : hasil sawah,
dan beternak.
2. Pendapatan dari luar sektor pertanian, seperti : pegawai, berdagang, jasa,
pemberian sumbangan.
Pendapatan total rumah tangga dihitung dari berbagai sumber pendapatan
selama satu tahun (Rp/tahun). Menurut penelitian Suwardi (2010), pendapatan
total rumah tangga petani dihitung dengan rumus berikut :
Prtp = Phr + Pnhr
Keterangan :
Prtp = pendapatan total rumah tangga petani (Rp/tahun)
Phr = pendapatan dari pengelolaan hutan rakyat (Rp/tahun)
Pnhr = pendapatan dari non hutan rakyat (Rp/tahun)
Sedangkan untuk kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan total
rumah tangga petani dapat dihitung dengan rumus :
%Phr = (Phr/ Prtp) x 100%
Keterangan :
%Phr = persentase pendapatan dari pengelolaan hutan rakyat (%)
Phr = Pendapatan dari pengelolaan hutan rakyat (Rp/tahun)
Prtp = Pendapatan total rumah tangga petani (Rp/tahun)
14

Data yang diperoleh dari lapangan disajikan dalam bentuk tabel dan
dianalisis secara deskriptif, yang meliputi peran perempuan dan laki-laki,
pengambilan keputusan, serta pendapatan rumah tangga.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian


Desa Curug Bitung terletak di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Di sebelah Utara Desa Curug Bitung berbatasan dengan
Desa Nanggung dan Kecamatan Sukajaya. Sedangkan di sebelah Timur,
berbatasan dengan Desa Bantarkaret dan Desa Pangkal Jaya. Sebelah Barat
berbatasan dengan Desa Cisarua dan Desa Malasari serta di sebelah Selatan
berbatasan dengan Desa Malasari.
Menurut data monografi Desa Curug Bitung (2013), luas wilayah desa
mencapai 1.156,17 Ha, terbagi atas 5 (lima) Wilayah Dusun, 13 (tigabelas) Rukun
Warga (RW), dan 43 (Empat puluh Tiga) Rukun Tetangga (RT). Kondisi
geografis Desa Curugbitung berada pada wilayah perbukitan, topografi
bergelombang dengan ketinggian laut sekitar 600 – 800 m dpl, suhu rata-rata
diantara 26-34 oC dan curah hujan rata-rata setiap bulan berkisar antara 300-400
mm. Jarak Desa Curug Bitung ke pusat Kecamatan hanya 5 km saja, kemudian
jarak Desa Curug Bitung ke Ibu Kota Kabupaten Bogor adalah 67 km. Sedangkan
jarak dengan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat yaitu 162 km. Adapun luas wilayah
Desa Curug Bitung berdasarkan penggunaan lahannya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas wilayah Desa Curug Bitung berdasarkan penggunaan lahan
Penggunaan lahan Luas (ha)
Perumahan/pemukiman dan pekarangan 510,2
Pesawahan 163,2
Ladang / tegalan 315,2
Perkebunan/Hak Guna Usaha & Hutan Rakyat 101,0
Hutan Taman Nasional (TNGHS) 34,7
Kolam/Tambak/Empang 0,1
Situ 2,0
Jalan 20,0
Pekuburan/pemakaman 7,5
Sarana Peribadatan 1,2
Sarana Pendidikan 1,7
Sarana Olah Raga / Kesenian 0,7
Pasar Desa/Sub terminal 0,3
Total 1157,8
Sumber : Monografi Desa Curug Bitung Tahun 2013
Perangkat Desa Curug Bitung terdiri dari 1 orang sebagai sekretaris desa, 6
orang sebagai kepala urusan, 5 orang sebagai kepala unsur wilayah / dusun, 1
orang sebagai bendahara, dan 2 orang sebagai staff, sedangkan jumlah anggota
BPD di Desa Curug Bitung sebanyak 11 orang. Adapun jumlah kelembagaan di
Desa Curug Bitung adalah sebagai berikut :
15

Tabel 3 Jumlah kelembagaan di Desa Curug Bitung


Kelembagaan Jumlah anggota
Jumlah pengurus LPM 5 Orang
Kader PKK 14 Orang
Jumlah RW 13 Unit
Jumlah RT 43 Unit
Keamilan / P3.N 8 Orang
Satlak Penanggulangan Bencana (PB) 11 Orang
Sumber : Monografi Desa Curug Bitung Tahun 2013
Adapun jumlah penduduk Desa Curug Bitung sebanyak 9.265 orang, terdiri
dari 2.206 Rumah tangga (4.601 laki-laki dan 4.664 perempuan) dimana
seluruhnya beragama Islam. Mayoritas penduduk memiliki umur 31–40 tahun
(957 laki-laki dan 986 perempuan), sedangkan yang paling sedikit memiliki umur
0–12 bulan (68 laki-laki dan 77 perempuan). Jumlah penduduk di Desa Curug
Bitung dapat diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur Jumlah penduduk
(tahun) Laki-laki Perempuan Total
0–1 68 77 142
1-5 270 284 554
5-12 369 398 767
12-17 372 301 673
17-23 325 281 606
23-30 771 634 1.405
31–40 957 986 1.943
41–50 628 629 1.255
51–60 297 301 598
61–65 238 248 486
66–70 207 213 420
>70 Tahun 99 117 216
Jumlah Total 4.601 4.664 9.265
Sumber : Monografi Desa Curug Bitung Tahun 2013
Mayoritas penduduk Desa Curug Bitung adalah lulusan SMP (1.951 orang),
sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk lulusan Perguruan tinggi
S.1/S.2/S.3 (77 orang). Jumlah penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan
tingkatan pendidikan dapat dikategorikan sebagai berikut :
Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan tingkatan pendidikan
Tingkatan Pendidikan Jumlah penduduk (orang)
Tidak Tamat SD 249
SD 1.582
SMP 1.951
SMA 1.661
Akademi/D1, II, III 185
Perguruan tinggi S.1/S.2/S.3 77
Sumber : Monografi Desa Curug Bitung Tahun 2013
16

Mayoritas penduduk Desa Curug Bitung mata pencahariannya yaitu Petani


dan Buruh tani (1.780 orang), sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk
dengan mata pencaharian TNI dan Tukang Las (masing-masing sebanyak 1 orang).
Adapun keadaan penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan mata pencahariannya
dapat dilihat seperti disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah penduduk Desa Curug Bitung berdasarkan mata pencaharian
Mata Pencaharian Jumlah penduduk (orang)
Petani dan Buruh Tani 1.780
Pedagang 935
Pegawai Negeri Sipil (PNS) 26
TNI 1
Peternak 35
Pengrajin 4
Pengusaha 26
Penjahit 3
Tukang Batu/Pasir 15
Tukang Kayu 20
Tukang Las 1
Tukang Ojeg 142
Pengemudi 51
Purnawirawan 11
Guru Honor dan Sukwan 56
Wiraswasta 1.018
Sumber : Monografi Desa Curug Bitung Tahun 2013
Desa Curug Bitung memiliki beberapa sarana dan prasarana, yaitu: sarana
prasarana untuk pemerintahan desa (1 unit Gedung kantor desa, 1 unit Gedung
kantor BPD, 1 tempat untuk aula pertemuan, dan 38 tempat/pondok pos kamling),
sarana prasarana untuk perhubungan jalan desa (1 jalur jalan beton, 2 jalur jalan
hotmix, 1 jalur jalan aspal, 1 jalur jalan pengerasan, 1 jalur jalan tanah, dan 40
jalur jalan semenisasi/jalan lingkungan), sarana prasarana untuk pendidikan umum
(5 buah PAUD, 2 TK, 3 SD Negeri, 2 SMP terbuka dan swasta, dan 1 tempat
kursus), sarana prasarana untuk pendidikan Islam (11 TPA/TQA/RA, 2 MI, 1
MTS, 5 Pondok Pesantren, dan 11 tempat Majlis Ta‟lim), sarana prasarana
peribadatan (8 Masjid dan 19 Musholla), sarana prasarana kesehatan (1
Puskesmas, dan 15 Posyandu), sarana prasarana olah raga (2 Lapangan sepak bola,
4 Lapangan bulutangkis, dan 1 tempat Tenis meja), dan sarana prasarana
perekonomian (1 tempat Pasar Desa, 1 tempat Koperasi Non KUD, 15 tempat
Pengecer Bensin, 1 tempat Sub Terminal, 1 tempat Mini Market, 16 Toko, 1 Toko
Alat Pertanian, 1 Warung Lansam, 1 Counter Isi Ulang Air Minum, dan 1 tempat
Bengkel) (Monografi Desa Curug Bitung 2013).

4.2 Kondisi Umum Kelompok Tani


Di Desa Curug Bitung terdapat tiga kelompok tani hutan rakyat yang
seluruh anggotanya adalah laki-laki yaitu Bina Tani, Mekar Lestari, dan
Sa‟uyunan. Kelompok Tani Bina Tani didirikan pada 7 Februari 2001 dengan
jumlah anggota 50 orang, serta luas lahan garapannya adalah 25 ha. Kelompok
17

Tani Bina Tani berada di dusun Cibeber Kulon RW 07. Adapun struktur
organisasi Kelompok Tani Bina Tani terdapat pada Lampiran 4.
Kegiatan rutin yang dilakukan Kelompok Tani Bina Tani adalah rapat
bulanan, membuat program koperasi simpan-pinjam, membuat akulasi dan stek,
membuat persemaian, membuat bibit tanaman palawija, membuat kompos,
membuat cangkok pada salak, dan juga budidaya jamur. Sejak awal didirikan,
kelompok tani ini sudah mengadakan beberapa kegiatan penyuluhan dan pelatihan
pertanian untuk anggota-anggotanya. Beberapa kegiatan penyuluhan dan pelatihan
pertanian tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian Kelompok Bina Tani
Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Pelatihan
Cara memilih bibit unggul Pembuatan bibit dipolybag/bedeng
Pembuatan persemaian bibit pohon Pembuatan bokasi (pupuk kompos)
Pembuatan lubang tanam dan stek/cangkok
Manfaat kegiatan penyuluhan yang diadakan Kelompok Tani Bina Tani
adalah untuk menambah ilmu dan pengetahuan dalam bertani, mendekatkan
keakraban antar anggota kelompok tani, berbagi ilmu dan pengalaman,
mengetahui cara membuat bibit unggul dan dapat mengidentifikasi bibit seperti
apa yang dianggap unggul.
Kelompok Tani Mekar Lestari berdiri pada 12 Januari 2006 dan berada di
dusun Teluk Waru RW 12 dengan jumlah anggota 20 orang, serta luas lahan
garapannya adalah 20 ha. Adapun struktur organisasi Kelompok Tani Mekar
Lestari terdapat pada Lampiran 5.
Kegiatan rutin yang dilakukan Kelompok Tani Mekar Lestari adalah rapat
musyawarah bulanan, membuat banyak jenis bibit persemaian manggis, pete,
rambutan, dan sengon. Kelompok Tani Mekar Lestari sudah mengadakan
beberapa kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian untuk anggota-anggotanya
dari sejak awal terbentuk sampai sekarang. Beberapa kegiatan penyuluhan dan
pelatihan pertanian tersebut dapat dilihat seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian Kelompok Mekar Lestari
Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Pelatihan
Program dari perhutani dan PT. Antam Cara memperoleh dan memilih bibit
cara membudidayakan pohon dan ternak yang bagus, cara merawat /
menanam pohon dimasing - masing memelihara ternak yang baik, dan
lahan milik sendiri yang ada menangani ternak yang sakit
Penyuluhan peternakan
Manfaat kegiatan penyuluhan yang diadakan Kelompok Tani Mekar Lestari
adalah untuk menambah serta berbagi ilmu, pengetahuan dalam beternak dan
budidaya pohon kepada sesama petani, mendekatkan keakraban antar sesama
anggota kelompok tani, dan mengetahui tata cara mengelola ternak yang baik dan
efektif, untuk meningkatkan penghasilan dalam bertani, serta manfaat lainnya juga
sebagai bentuk kerja sama perhutani dan PT. Antam dengan kelompok tani disini.
18

Kelompok Tani Sa‟uyunan berdiri pada tahun 2000 dan berada di dusun
Teluk Waru RW 13 dengan jumlah anggota 30 orang. Luas lahan garapan
kelompok tani ini adalah 30 ha. Adapun struktur organisasi Kelompok Tani
Sa‟uyunan terdapat pada Lampiran 6.
Kegiatan rutin yang dilakukan Kelompok Tani Sa‟uyunan adalah rapat
musyawarah bulanan (3 bulan sekali), membuat program menabung rutin setiap
15 hari sekali, membuat banyak jenis bibit persemaian seperti pohon durian, pala,
kapulaga dan jambu. Kelompok Tani Sa‟uyunan sudah mengadakan beberapa
kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian untuk anggota-anggotanya dari sejak
awal terbentuk sampai sekarang. Beberapa kegiatan penyuluhan dan pelatihan
pertanian tersebut dapat dilihat seperti yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pertanian Kelompok Sa‟uyunan
Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Pelatihan
Cara merawat dan budidaya pohon kayu dan Cara budidaya kapulaga, aren,
non kayu dari mulai bibitnya, cara pemberian padi dan tanaman sayuran
pupuk pada pohon yang benar, menanggulangi (palawija), serta cara membuat
hama dan penyakit, serta mengatasi kegagalan kompos yang benar dan efektif
panen pada tanaman pertanian.
Manfaat kegiatan penyuluhan yang diadakan Kelompok Tani Sa‟uyunan
adalah untuk menambah dan saling berbagi ilmu, pengetahuan serta pengalaman
dalam bertani dan budidaya pohon antar sesama anggota, mendekatkan keakraban
antar anggota, mengetahui tata cara budidaya pohon yang baik dan efektif
sehingga dapat mengembangkan cara bertani semakin maju, dan dapat
meningkatkan penghasilan dalam bertani.
Adapun kegiatan pelatihan pertanian yang diadakan masing-masing dari
ketiga kelompok tani hutan rakyat tersebut memiliki manfaat yang sama, yaitu
untuk menambah ilmu, pengetahuan, serta pengalaman yang dapat diterapkan
pada kehidupan bertani sehari-hari agar semakin maju dan sebagai cara untuk
dapat meningkatkan penghasilan dalam bertani.

4.3 Karakteristik Responden


Tabel 10 menyajikan data karakteristik responden suami dan istri di Desa
Curug Bitung yaitu umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan utama,
pekerjaan sampingan, dan strata luas pemilikan lahan hutan rakyatnya.
Tabel 10 Karakteristik responden
Responden
Kategori n %
Suami Istri Suami Istri
Kelompok Umur (Tahun)
< 15 0,0 0,0 0,0 0,0
15-64 22,0 27,0 73,3 90,0
> 64 8,0 3,0 26,7 10,0
19

Responden
Kategori n %
Suami Istri Suami Istri
Pendidikan
Tidak sekolah 9,0 11,0 30,0 36,7
SD 14,0 9,0 46,7 30,0
SMP 3,0 6,0 10,0 20,0
SMA 3,0 4,0 10,0 13,3
Perguruan tinggi 1,0 0,0 3,3 0,0

Pekerjaan Utama
Petani 29,0 24,0 96,7 80,0
Guru 1,0 0,0 3,3 0,0
Jualan nasi uduk 0,0 1,0 0,0 3,3
Jualan baju 0,0 1,0 0,0 3,3
Jualan pisang goring 0,0 1,0 0,0 3,3
Jualan sembako dan makanan ringan 0,0 2,0 0,0 6,7
Parut kelapa 0,0 1,0 0,0 3,3

Pekerjaan Sampingan
Petani 1,0 6,0 3,3 20,0
Buruh pikul kayu 5,0 0,0 16,7 0,0
Supir angkot 1,0 0,0 3,3 0,0
Rental mobil angkutan karyawan PT. Antam 1,0 0,0 3,3 0,0
Jual ayam broiler potong 1,0 0,0 3,3 0,0
Kuli bangunan 2,0 0,0 6,7 0,0
Bengkel motor 3,0 0,0 10,0 0,0
Jual beli motor bekas 0,0 1,0 0,0 3,3
Penyewaan kandang dan perawatan ayam broiler
1,0 0,0 3,3 0,0
dari supplier
Ketua RT & buruh pikul kayu 2,0 0,0 6,7 0,0
Ketua RT 2,0 0,0 6,7 0,0
Tidak punya 11,0 23,0 36,7 76,7
Jumlah Total Responden 30,0 30,0 100,0 100,0

Tingkatan Jumlah Anggota Keluarga (Orang)


<5 4,0 13,3
5-7 20,0 66,7
>7 6,0 20,0

Strata Luas Lahan (Ha)


>1,0 9,0 30,0
0,6-1,0 13,0 43,3
0,25-0,5 8,0 26,7
Total 30,0 100,0

4.3.1 Umur
Responden di Desa Curug Bitung merupakan petani hutan rakyat yang
terdiri dari suami dan istri. Berdasarkan Tabel 10, umur responden berkisar
antara umur 28-78 tahun. Responden laki-laki dan perempuan paling banyak
berumur dari 15 tahun sampai 64 tahun yaitu sebanyak 22 orang (73,3%) untuk
20

responden laki-laki dan sebanyak 27 orang (90%) untuk responden perempuan.


Hal ini sesuai dengan pernyataan Badan Pusat Statistik (2010) bahwa umur
produktif orang dalam bekerja berada pada rentang umur 15 tahun sampai 64
tahun. Menurut Roslinda (2009) tingkat umur mempengaruhi kemampuan fisik
petani dalam mengelola usaha taninya maupun pekerjaan lain.

4.3.2 Pendidikan
Berdasarkan Tabel 10, mayoritas responden laki-laki berpendidikan
terakhir lulusan SD yaitu berjumlah 14 orang (46,7%), sedangkan responden
perempuan paling banyak adalah tidak pernah sekolah yaitu berjumlah 11
orang (36,7%), selebihnya responden ada juga yang lulusan dari Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan
tinggi. Dengan demikian sebagian besar responden di Desa Curug Bitung
berpendidikan rendah.

4.3.3 Pekerjaan
Berdasarkan Tabel 10, mayoritas responden pekerjaan utamanya adalah
sebagai petani, yaitu sebanyak 29 orang (96,7%) responden laki-laki dan
sebanyak 24 orang (80%) responden perempuan. Selain sebagai petani,
sebagian kecil pekerjaan utama responden laki-laki adalah sebagai guru,
sedangkan responden perempuan adalah sebagai pedagang seperti jualan nasi
uduk, jualan baju, usaha parut kelapa, jualan pisang goreng serta jualan
sembako dan makanan ringan.
Selain mempunyai pekerjaan utama sebagian besar responden laki-laki
juga mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebanyak 19 orang (63,3%),
namun data pada Tabel 10 menunjukkan sebagian besar dari responden
perempuan tidak mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebanyak 23 orang
(76,7%). Sebagian besar responden laki-laki pekerjaan sampingannya adalah
sebagai buruh pikul kayu yaitu sebanyak 5 orang (16,7%), sedangkan
responden perempuan paling banyak memiliki pekerjaan sampingan sebagai
petani yaitu sebanyak 6 orang (20%). Selain itu, pekerjaan sampingan yang
dimiliki responden laki-laki lainnya yaitu sebagai ketua RT, kuli bangunan,
usaha bengkel motor, jual ayam boriler potong, supir angkot, rental mobil
karyawan PT. Antam, usaha penyewaan kendang dan perawatan ayam broiler
dari supplier, dan ada juga beberapa responden laki-laki memiliki dua macam
pekerjaan sampingan sekaligus yaitu sebagai buruh pikul kayu dan menjadi
ketua RT, sedangkan pekerjaan sampingan yang dimiliki responden perempuan
lainnya yaitu berupa usaha jual beli motor bekas.

4.3.4 Jumlah Anggota Keluarga


Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2014) ukuran
anggota keluarga dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu keluarga kecil dengan
jumlah ≤4 orang, keluarga sedang dengan jumlah 5-7 orang, dan keluarga besar
dengan jumlah ≥8 orang. Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian responden
berada pada tingkatan keluarga sedang (66,7%).
21

4.3.5 Kepemilikan Lahan Hutan Rakyat


Berdasarkan data monografi desa Curug Bitung tahun 2013, luas total
hutan rakyat di Desa Curug Bitung adalah 101 ha, sedangkan luas total hutan
rakyat secara keseluruhan dari 30 rumah tangga yang menjadi responden
adalah 30,13 ha (hanya sebesar 29,83% dari total luas hutan rakyat yang ada di
Desa Curug Bitung) dengan rata-rata luas nya 1 ha. Tabel 10 menunjukkan
mayoritas responden memiliki hutan rakyat dalam rentang luas 0,6-1 ha yaitu
berjumlah 13 responden (43,3%). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hardjanto
(2015) bahwa hutan rakyat dimiliki oleh banyak petani, baik golongan petani
kecil, menengah, maupun besar, namun sebagian besar pemilikan luas hutan
rakyatnya relatif sempit (≤ 1 ha).
Status pemilikan lahan hutan rakyat di Desa Curug Bitung yaitu lahan
milik dan lahan garap. Lahan milik merupakan lahan milik responden (pribadi)
yang diolah sendiri, sedangkan lahan garap merupakan lahan milik orang lain
yang diolah atau digarap oleh responden. Berdasarkan Tabel 11, sebagian besar
responden yang memiliki hutan rakyat berstatus lahan milik berada pada strata
pemilikan lahan II yaitu sebanyak 11 responden (36,6%), sedangkan responden
yang memiliki hutan rakyat berstatus lahan garapan sebagian besar berada di
strata pemilikan lahan III yaitu sebanyak 3 responden (10%). Secara
keseluruhan, mayoritas responden memiliki hutan rakyat berstatus lahan milik
yaitu sebanyak 24 responden (80%).
Pola tanam lahan hutan rakyat yang dipakai oleh responden di Desa
Curug Bitung adalah monoculture, campuran (polyculture) dan agroforestry.
Sebagian besar responden yang memakai pola tanam agroforestry berada pada
strata pemilikan lahan I dan II dengan jumlah responden yang sama pada
masing-masing kedua strata tersebut yaitu sebanyak 9 responden (30%). Selain
itu, responden yang memakai pola tanam campuran (polyculture) sebagian
besarnya berada di strata pemilikan lahan II yaitu sebanyak 4 responden
(13,3%), sedangkan untuk responden yang memakai pola tanam monoculture
hanya berada pada strata pemilikan lahan III yaitu berjumlah 1 responden
(3,3%). Secara keseluruhan, mayoritas responden memakai pola tanam
agroforestry yaitu sebanyak 23 responden (76,7%). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Siregar et al. (2006) dan Diniyati et al. (2013) bahwa petani
berlahan sempit cenderung menanam kayu dengan pola tanam agroforestry
karena dianggap lebih menguntungkan dibandingkan pola tanam lainnya. Tabel
11 menyajikan data responden berdasarkan status pemilikan lahan hutan rakyat,
pola tanam lahan, dan lamanya pengalaman kerja sebagai petani hutan rakyat
sesuai dengan strata pemilikan lahannya.
Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan status pemilikan lahan, pola tanam,
dan lamanya pengalaman kerja sebagai petani hutan rakyat sesuai
dengan strata pemilikan lahannya
Strata Pemilikan Lahan
Total
Kategori Strata I Strata II Strata III
n % n % n % n %
Status pemilikan lahan
Lahan Milik 8,0 26,7 11,0 36,6 5,0 16,7 24,0 80,0
Lahan Garap 1,0 3,3 2,0 6,7 3,0 10,0 6,0 20,0
22

Strata Pemilikan Lahan


Total
Kategori Strata I Strata II Strata III
n % n % n % n %
Pola Tanam
Agroforestri 9,0 30,0 9,0 30,0 5,0 16,7 23,0 76,7
Campuran (polyculture) 0,0 0,0 4,0 13,3 2,0 6,7 6,0 20,0
Monoculture 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 3,3 1,0 3,3
Pengalaman Kerja (Tahun)
<5 0,0 0,0 0,0 0,0 2,0 6,7 2,0 6,6
5-10 1,0 3,3 3,0 10,0 1,0 3,3 5,0 16,7
> 10 8,0 26,7 10,0 33,3 5,0 16,7 23,0 76,7
Responden yang memakai pola tanam monoculture pada lahan hutan
rakyatnya ditanami tanaman pokok yang berupa tanaman kehutanan dengan
jenis yang homogen yaitu tanaman/pohon penghasil kayu seperti yang
diusahakan secara homogen. Selain itu, untuk responden yang memakai pola
tanam campuran (polyculture) pada lahan hutan rakyatnya ditanami tanaman
pokok yang berupa tanaman kehutanan yang lebih dari satu jenis yaitu
tanaman/pohon penghasil dan penghasil non kayu seperti yang dikembangkan
dan diusahakan secara bersamaan, sedangkan untuk responden yang memakai
pola tanam agroforestry pada lahan hutan rakyatnya ditanami tanaman
kehutanan dan tanaman pertanian. Jenis tanaman kehutanan penghasil kayu
yang ditanam seperti sengon dan kayu afrika, sedangkan tanaman kehutanan
penghasil non kayu yang ditanam seperti cengkeh, durian, pala, duku, alpukat,
sirsak, pala, manggis, pete, jengkol, nangka dan melinjo. Adapun jenis tanaman
pertanian yang ditanam seperti kapulaga, kopi, singkong, pisang, jagung,
kunyit, temulawak, talas, cabe, buncis, kacang panjang, sawi, dan bayam.
Kondisi pola tanam yang dipakai pada lahan hutan rakyat setiap
responden di Desa Curug Bitung sesuai dengan pernyataan (Darusman et al.
2014) bahwa hutan rakyat berdasarkan pola tanamnya dibagi dalam 3
kelompok, yaitu hutan rakyat murni (monoculture) yang ditanami satu jenis
tanaman kayu-kayuan, hutan rakyat campuran (polyculture) yang ditanami
lebih dari satu jenis tanaman keras, dan hutan rakyat agroforestry yang
ditanami kombinasi antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian.
Adapun bentuk-bentuk pola tanam agroforestry yang diterapkan oleh
responden di Desa Curug Bitung antara lain agrosilviculture (tumpang sari
tanaman kehutanan dengan tanaman pangan), dan farm forestry (tumpang sari
tanaman kehutanan dengan perkebunan).
Responden memiliki pengalaman kerja sebagai petani hutan rakyat dalam
lama waktu yang beragam yaitu ada yang dalam rentang kurun waktu 5-10
tahun, dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun, dan dalam kurun waktu kurang
dari 5 tahun. Berdasarkan Tabel 11, sebagian besar responden yang memiliki
pengalaman kerja 5-10 tahun berada pada strata pemilikan lahan II yaitu
sebanyak 3 responden (10%). Selain itu, untuk responden yang memiliki
pengalaman kerja lebih dari 10 tahun juga sebagian besar berada pada strata
pemilikan lahan II yaitu sebanyak 10 responden (33,3%), sedangkan responden
lain yang memiliki pengalaman kerja kurang dari 5 tahun seluruhnya berada
pada strata pemilikan lahan III yaitu sebanyak 2 responden saja (6,6%).
23

Secara keseluruhan, mayoritas responden memiliki pengalaman kerja


lebih dari 10 tahun yaitu sebanyak 23 responden (76,7%). Pengalaman kerja
mempengaruhi pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang pekerjaan,
semakin lama pengalaman kerja seseorang maka akan semakin ahli dalam
bidang pekerjaannya (Nur 2005), walaupun dalam kasus penelitian ini tidak
dicari ada pengaruhnya atau tidak.

4.3.6 Kepemilikan Lahan Non Hutan Rakyat


Lahan non hutan rakyat digolongkan dalam beberapa jenis yaitu sawah,
kebun non hutan rakyat, pekarangan, dan kolam dimana setiap jenis lahan yang
dimiliki responden terbagi kedalam beberapa kelas luas lahan antara lain kelas
luas lahan I (≤ 0,25 ha), kelas luas lahan II (0,26-0,5 ha) dan kelas luas lahan
III (> 0,5 ha). Terdapat sebanyak 16 responden saja yang memiliki kebun non
hutan rakyat (53,3%) dengan luas rata-rata sebesar 0,33 ha. Secara keseluruhan,
mayoritas responden memiliki kebun non hutan rakyat dalam kelas luas lahan
non hutan rakyat II yaitu sebanyak 10 responden (33,3%). Selain itu, hanya
sebanyak 19 responden yang memiliki sawah (63,3%) dengan luas rata-rata
sebesar 0,46 ha. Secara keseluruhan, sebagian besar responden memiliki sawah
dalam kelas luas lahan non hutan rakyat I yaitu sebanyak 11 responden
(36,7%).
Responden yang memiliki pekarangan berjumlah 27 responden (90%)
dengan luas rata-rata sebesar 0,017 ha dimana semua responden tersebut
memilikinya dalam kelas luas lahan non hutan rakyat I. Responden yang
memiliki kolam hanya sebanyak 6 responden (20%) dengan luas rata-rata
sebesar 0,005 ha dimana semua responden tersebut memilikinya dalam kelas
luas lahan non hutan rakyat I. Adapun distribusi responden berdasarkan
pemilikan lahan non hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan luas pemilikan lahan non hutan
rakyat
Luas Lahan Non Responden
Hutan Rakyat Kebun Sawah Pekarangan Kolam
(Ha) n % n % n % n %
I (>1,0) 6,0 20,0 11,0 36,7 27,0 90,0 6,0 20,0
II (0,6-1,0) 10,0 33,3 4,0 13,3 0,0 0,0 0,0 0,0
III (0,25-0,5) 0,0 0,0 4,0 13,3 0,0 0,0 0,0 0,0
Tidak punya 14,0 46,7 11,0 36,7 3,0 10,0 24,0 80,0
Total 30,0 100,0 30,0 100,0 30,0 100,0 30,0 100,0
Adapun status pemilikan setiap jenis lahan non hutan rakyat yang
dimiliki responden yaitu lahan milik dan lahan garap. Setiap jenis lahan non
hutan rakyat yang berstatus lahan milik sebagian besar adalah lahan yang
terdapat pada kelas luas lahan non hutan rakyat I yang dimiliki oleh sebanyak 6
responden pada lahan kebun (37,4%), sebanyak 11 responden pada lahan
sawah (57,9%), dan seluruh responden yang memiliki pekarangan dan kolam
(100%). Selain itu, lahan non hutan rakyat yang berstatus lahan garapan hanya
terdapat pada kebun dan sawah dimana lahan tersebut hanya terdapat pada
kelas luas lahan non hutan rakyat II yang dimiliki oleh sebanyak 5 responden
24

pada lahan kebun (31,3%) dan sebanyak 3 responden pada lahan sawah
(15,8%). Distribusi responden berdasarkan status pemilikan setiap jenis lahan
non hutan rakyat sesuai dengan kelas luas lahan nya dapat dilihat pada Tabel
13 berikut ini.
Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan status pemilikan setiap jenis lahan
non hutan rakyat sesuai dengan kelas luas pemilikan lahan
Status Kelas luas pemilikan lahan non hutan rakyat
Total
Pemilikan I II III
Lahan n % n % n % n %
Kebun
Milik 6,0 37,4 5,0 31,3 0,0 0,0 11,0 68,7
Garapan
1
0,0 0,0 5,0 31,3 0,0 0,0 5,0 31,3

Sawah
Milik 11,0 57,9 1,0 5,3 4,0 21,0 16,0 84,2
2Garapan
1
0,0 0,0 3,0 15,8 0,0 0,0 3,0 15,8

Pekarangan
Milik 27,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 27,0 100,0
Garapan
1
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Kolam
Milik 6,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 6,0 100,0
Garapan
1
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Berdasarkan hasil pada Tabel 13 secara keseluruhan, setiap jenis lahan
non hutan rakyat yang dimiliki responden sebagian besar berstatus lahan milik
yaitu sebanyak 11 responden pada lahan kebun (68,7%), sebanyak 16
responden pada lahan sawah (84,2%), dan seluruh responden yang memiliki
pekarangan dan kolam (100%).

4.3.7 Keanggotaan Kelompok Tani


Terdapat sejumlah 19 responden suami yang ikut kelompok tani (63,3%).
Responden istri tidak ada yang ikut kelompok tani karena semua kelompok tani
hutan rakyat di Desa Curug seluruhnya beranggotakan kepala rumah tangga
yaitu suami. Berdasarkan Tabel 14, mayoritas responden yang menjadi anggota
kelompok tani merupakan anggota Kelompok Tani Sa‟uyunan yaitu sebanyak
9 responden (47,3%) dimana sebagian besanya berada di strata pemilikan lahan
II yaitu sebanyak 5 responden (26,3%) dan sisanya merupakan anggota
Kelompok Tani Bina Tani sebanyak 6 responden (31,6%) dan sebanyak 4
responden (21,1%) merupakan anggota Kelompok Tani Mekar Lestari.
Responden memiliki pengalaman bergabung menjadi anggota kelompok tani
dalam kurun waktu yang beragam yaitu ada yang dalam lama waktu 5-10 tahun,
dalam lama waktu lebih dari 10 tahun, dan dalam lama waktu kurang dari 5
tahun. Secara keseluruhan, mayoritas responden memiliki pengalaman menjadi
anggota kelompok tani selama lebih dari 10 tahun yaitu sebanyak 15 responden
(78,9%).
25

Responden yang menjadi anggota kelompok tani memiliki tingkat


keaktifan menjadi anggota kelompok tani yang berbeda-beda yaitu ada yang
aktif, kurang aktif dan juga tidak aktif. Secara keseluruhan, mayoritas
responden dari ketiga kelompok tani masih aktif dalam menjadi anggota yang
berpartisipasi dalam semua kegiatan rutin kelompok tani yaitu sebanyak 17
responden (89,48%) dimana dari jumlah tersebut paling banyak berasal dari
Kelompok Tani Sa‟uyunan karena semua anggota di kelompok tani ini masih
aktif statusnya dalam menjadi anggota. Adapun responden lain yang sudah
kurang aktif statusnya dalam menjadi anggota kelompok tani hanya berasal
dari Kelompok Bina Tani yaitu sebanyak 1 responden (5,26%) dan responden
lain yang statusnya sudah tidak aktif menjadi kelompok tani hanya berasal dari
Kelompok Tani Mekar Lestari yaitu sebanyak 1 responden juga. Distribusi
responden berdasarkan strata luas kepemilikan lahan, lamanya menjadi anggota
kelompok tani, dan tingkat keaktifan menjadi anggota sesuai dengan asal
kelompok taninya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini.
Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan keanggotaan kelompok tani dengan
strata luas pemilikan lahan, lamanya bergabung kelompok tani, dan
tingkat keaktifan menjadi anggota kelompok tani
Kelompok Tani
Total
Kategori Bina Tani Sa’uyunan Mekar Lestari
n % n % n % n %
Strata Pemilikan Lahan
Strata I 0,0 0,0 4,0 21,1 2,0 10,5 6,0 31,6
Strata II 2,0 10,5 5,0 26,3 2,0 10,5 9,0 47,3
Strata III 4,0 21,1 0,0 0,0 0,0 0,0 4,0 21,1
Total 6,0 31,6 9,0 47,4 4,0 21,0 19,0 100,0
Lama Menjadi Anggota Kelompok Tani (Tahun)
<5 1,0 5,3 0,0 0,0 1,0 5,3 2,0 10,6
5-10 0,0 0,0 2,0 10,5 0,0 0,0 2,0 10,5
> 10 5,0 26,3 7,0 36,8 3,0 15,8 15,0 78,9
Tingkat Keaktifan
Aktif 5,0 26,3 9,0 47,3 3,0 15,8 17,0 89,4
Kurang Aktif 1,0 5,3 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 5,3
Tidak Aktif 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 5,3 1,0 5,3
Responden yang memutuskan menjadi anggota kelompok tani memiliki
beberapa motivasi yaitu ingin memiliki wadah perantara untuk mendapatkan
bantuan pertanian dari pemerintah seperti pelatihan pertanian, pupuk, bibit,
modal pertanian dan sebagainya dan perantara untuk menyampaikan aspirasi
dan berbagi cerita keluh kesah menjadi petani serta berbagi pengalaman dan
ilmu kepada sesama petani, beberapa memang hobbi tani yang ingin
menambah ilmu dan pengalaman lebih dalam berani dan budidaya pohon, ingin
menambah investasi dalam bertani, meningkatkan perekonomian dan
penghasilan, ada juga yang termotivasi dan ajakan dari teman dan saudara yang
sudah menjadi anggota kelompok tani terlebih dahulu, ada yang ingin
memperbaiki cara bertani agar semakin maju bertani, ingin bersama-sama
memajukan sektor pertanian didaerah sekitar tempat tinggalnya, ingin
memperluas hubungan silaturahmi, kemudian ada yang merasa bertanggung
26

jawab untuk wajib turut serta melestarikan lingkungan sekitar desa dengan cara
melakukan penghijauan dengan penanam kembali hutan-hutan yang gundul.
Adapun beberapa alasan responden yang memutuskan tidak menjadi anggota
kelompok tani yaitu beberapa menganggap bahwa kelompok tani kurang jelas
kepengurusannya, tidak jelas kegiatannya dan tidak terlihat dampaknya
kemasyarakat sekitar, ada yang disebabkan tidak pernah diajak ikut bergabung
dan kurangnya informasi yang didapatkan untuk menjadi anggota kelompok
tani, ada yang dikarenakan tidak pernah diberikan bantuan pertanian dan tidak
mendapatkan manfaat serta dampak apapun dari kelompok tani.
Adapun manfaat adanya kelompok tani bagi responden anggota
kelompok tani yaitu meningkatkan tingkat perekonomian atau penghasilan
petani, mendapatkan bantuan pertanian rutin dari pemerintah (pupuk, bibit-
bibit pohon dan sebagainya), menambah ilmu dan pengalaman pertanian yang
dapat diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat cara
bertani semakin maju, dapat mempererat tali silaturahmi antar sesama anggota
kelompok tani. Selain itu, kelompok tani juga memberikan pengaruh yang
besar pada kehidupan responden anggota kelompok tani yaitu membuat cara
bertani semakin maju sebab banyak mendapatkan ilmu dan hal baru tentang
bertani dan pengelolaan hutan rakyat yang tidak diketahui sebelumnya dari
kegiatan pelatihan pertanian maupun kegiatan sharing antar sesama petani,
pengaruh lainnya yaitu hasil panen pertanian dan hutan rakyat yang didapatkan
semakin bagus dan meningkat sehungga meningkatkan penghasilan. Tingkat
keaktifan anggota ditentukan dari banyaknya kegiatan rutin, kegiatan
penyuluhan, dan kegiatan pelatihan yang telah diadakan kelompok tani yang
dapat diikuti. Responden yang aktif selalu mengikuti seluruh kegiatan rutin,
kegiatan penyuluhan dan juga kegiatan pelatihan yang telah diadakan
kelompok taninya masing-masing, responden yang kurang aktif hanya dapat
mengikuti beberapa macam kegiatan rutin, kegiatan penyuluhan dan kegiatan
pelatihan yang telah diadakan kelompok taninya masing-masing, sedangkan
responden yang tidak aktif tidak pernah dapat mengikuti apapun kegiatan rutin,
kegiatan penyuluhan dan kegiatan pelatihan yang telah diadakan kelompok
taninya masing-masing karena alasan tertentu.
Beberapa alasan responden tersebut memutuskan masih aktif menjadi
anggota kelompok tani adalah karena beberapa responden ingin bersama
anggota lainnya untuk tetap mempertahankan wadah dimana mereka
mendapatkan bantuan, ilmu dan pengalaman tambahan dalam bertani sehingga
membuat kehidupan dalam bertani semakin maju, beberapa responden ingin
aktif agar kelompok tani dapat tetap berjalan dan tetap terlihat pergerakannya
dimasyarakat sekitar karena jika anggotanya banyak yang aktif maka kelompok
taninya pun akan tetap aktif dan berjalan semakin maju, beberapa responden
juga beralasan untuk aktif karena ingin bersama-sama membangun pertanian
dilingkungan desa dan membantu meningkatkan perekonomian petani disekitar
lingkungan tempat tinggal dan selain itu ingin mempererat jalinan silaturahmi
antar sesama petani dan juga ingin tetap memiliki wadah untuk dapat
menyalurkan aspirasi, mendapatkan informasi, mendapatkan ilmu dan
pengalaman pertanian lebih banyak, serta mendapat bantuan pertanian dari
pemerintah.
27

Adapun alasan responden sudah kurang aktif menjadi anggota kelompok


tani sebab tidak pernah dapat mengikuti kegiatan rapat atau musyawarah rutin
kelompok tani dan tidak pernah sempat untuk dapat mengikuti segala kegiatan
penyuluhan apapun yang telah diadakan kelompok tani tersebut alasannya
karena kebetulan selalu ada kesibukan lain dan juga sering kali kegiatan-
kegiatan tersebut selalu diadakan bersamaan dengan jadwal kesibukan lain
yang lebih penting seperti pergi keluar kota, namun responden tersebut sampai
saat ini selalu dapat mengikuti kegiatan rutin lainnya dan juga telah mengikuti
segala kegiatan pelatihan yang diadakan kelompok tani tersebut alasannya
karena kebetulan selalu ada waktu luang untuk mengikuti kegiatan pelatihan
dan kegiatan rutin lainnya yang diadakan kelompok tani tersebut, dan juga
lagipula menurutnya niatnya bergabung kelompok tani pada dasarnya supaya
mendapatkan bantuan pertanian gratis seperti bibit dan mendapatkan ilmu
bertani dari kegiatan kelompok tani berupa pelatihan saja yang dapat dipelajari
dan terapkan langsung dikehidupan sendiri.
Selain itu, responden yang sudah tidak aktif menjadi anggota kelompok
tani sebab dari awal bergabung sudah tidak pernah mengikuti kegiatan rutin,
penyuluhan, dan pelatihan apapun yang telah diadakan kelompok tani tersebut,
karena menurutnya jadwal setiap kegiatan rutin yang diadakan kelompok tani
tersebut tidak pernah jelas dan selalu bentrok dengan jadwal agenda lain yang
lebih penting, dan juga menurutnya kelompok tani tersebut dalam
pergerakannya kurang jelas, kegiatannya masih tidak jelas mulai dari awal
terbentuk dan sangat kurang terlihat dampak pergerakannya kepada masyarakat
sekitar sehingga membuat kelompok taninya terlihat kurang maju. Hal ini yang
membuatnya memutuskan untuk menjadi anggota tidak aktif dari awal
bergabung sehingga mengakibatkan responden tersebut dari awal tidak pernah
mendapatkan informasi dan ajakan dari siapapun untuk ikut penyuluhan dan
pelatihan pertanian apapun sampai saat ini.

4.4 Curahan Waktu Kerja Laki-Laki dan Perempuan dalam Kegiatan


Produktif Hutan Rakyat
Berdasarkan hasil wawancara, waktu kerja petani hutan rakyat Desa Curug
Bitung pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu selama 5 jam dari pagi hingga
siang hari (pukul 07.00-12.00) dan selama 8 jam dari pagi hingga sore hari (pukul
07.00-15.00). Total curahan waktu kerja rata-rata yang terlihat pada Tabel 15
mengindikasikan bahwa curahan waktu kerja yang dihasilkan responden suami
pada setiap kegiatan produktif hutan rakyat cenderung lebih besar dibandingkan
responden istri, ini disebabkan karena seluruh responden beranggapan bahwa laki-
laki mempunyai tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Adapun partisipasi istri cenderung hanya membantu
sesekali pekerjaan suami dalam mengurus hutan rakyatnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan beberapa peneliti sebelumnya bahwa pekerjaan produktif lebih
cenderung dilakukan oleh suami (Narsiki 2017, Hafizianor et al. 2015, Sudrajat
2015, Aini 2014, Muis 2014, Suwardi 2010).
Pelibatan istri dalam pengelolaan hutan rakyat cenderung banyak ditemui
pada pekerjaan pembersihan lahan di kegiatan persiapan lahan dan pemeliharaan
serta pada pekerjaan pemanenan hasil non kayu. Kurangnya pelibatan perempuan
dalam pengelolaan hutan rakyat disebabkan karena stereotype bahwa pekerjaan
28

dalam pengelolaan hutan rakyat cenderung berat atau pekerjaan laki-laki. Hal
tersebut sesuai dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa ada pelibatan
perempuan dan laki-laki secara bersama-sama di pembersihan lahan (Sudrajat
2015, Muis 2014, Suwardi 2010) dan pada pemanenan hasil hutan bukan kayu
(Aini 2014) walaupun HOK istri lebih kecil dibandingkan suami karena kegiatan
istri cenderung hanya untuk membantu pekerjaan suami.
Curahan waktu kerja pada kegiatan pemasaran hasil panen pada seluruh
responden istri tidak ada sama sekali. Selain itu, seluruh responden dari strata
pemilikan lahan I memperoleh bibit melalui pembelian bibit saja sehingga
curahan waktu kerja pada seluruh responden istri dari strata pemilikan lahan I
dalam kegiatan pengadaan bibit juga tidak ada sama sekali. Hal tersebut karena
menurut responden semua yang berkaitan dengan hal penjualan dan pembelian
dalam kegiatan produktif hutan rakyat termasuk pemasaran hasil hutan rakyat dan
pembelian bibit untuk kebun hutan rakyat seluruhnya mutlak dilaksanakan dan
tanggung jawab suami dimana suami lebih paham mengenai segala hal terkait
pembelian untuk kebutuhan kebun hutan rakyat dan pemasaran hasil hutan rakyat
dan istri tidak paham sama sekali mengenai seluruh hal yang berkaitan dengan
pembelian serta pemasaran tersebut dan menyerahkan seluruh hal tersebut kepada
suami yang dianggap lebih mengetahui keadaan pasar, sehingga seluruh
responden istri tidak menghasilkan curahan waktu kerja sama sekali pada kedua
kegiatan tersebut. Selain itu, curahan waktu kerja yang dihasilkan oleh seluruh
responden istri dari strata pemilikan lahan III pada kegiatan penanaman tidak ada
sama sekali karena menurut para responden tersebut kegiatan penanaman adalah
pekerjaan yang cukup berat dan memakan waktu yang banyak untuk
menyelesaikannya sehingga lebih cocok dilakukan oleh suami saja dan juga istri
memiliki banyak tanggung jawab diluar urusan kebun yaitu mengurus segala
urusan dan pekerjaan dirumah. Rata-rata curahan waktu kerja responden dalam
setiap kegiatan produktif hutan rakyat berdasarkan golongan pola tanam dan strata
pemilikan lahannya terdapat pada Tabel 15.
Tabel 15 Rata-rata curahan waktu kerja laki-laki (L) dan perempuan (P) dalam
kegiatan produktif hutan rakyat
Curahan waktu kerja (HOK/tahun)
Kegiatan Produktif Rata-rata
Strata I Strata II Strata III
Hutan Rakyat
L P L P L P L P
Pengadaan bibit 0,8 0,0 4,8 1,6 7,1 4,4 4,2 2,0
Persiapan lahan 15,9 8,7 15,8 7,8 13,3 1,5 15,0 6,0
Penanaman 28,5 9,4 17,5 4,1 11,6 0,0 19,2 4,5
Pemeliharaan 14,7 8,2 14,1 5,6 13,8 4,3 14,2 6,1
Pemanenan kayu 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Pemanenan non kayu 28,8 20,8 16,9 8,8 8,6 0,4 18,1 10,0
Pemasaran 7,5 0,0 7,4 0,0 4,4 0,0 6,4 0,0
Total 96,2 47,1 76,5 27,9 58,8 10,6 77,1 28,6

Secara keseluruhan, hasil pada Tabel 15 mengindikasikan bahwa luas lahan


sangat berpengaruh terhadap besar curahan waktu kerja yang dihasilkan oleh
responden laki-laki maupun perempuan pada setiap kegiatan produktif hutan
rakyat dimana semakin luas lahan hutan rakyat maka akan semakin besar curahan
waktu kerja yang dihasilkan responden pada setiap kegiatan produktif hutan
29

rakyat, kecuali pada kegiatan pengadaan bibit. Hal ini disebabkan karena curahan
waktu kerja pada setiap kegiatan produktif yang paling besar dihasilkan oleh
responden di strata pemilikan lahan I kecuali pada kegiatan pengadaan bibit
dimana besar curahan waktu kerja yang dihasilkan oleh responden di strata
pemilikan I pada kegiatan tersebut yang paling kecil dari responden pada strata
lain karena pengadaan bibit yang dilakukan responden pada strata pemilikan I
seluruhnya dengan cara pembelian bibit, sedangkan pada responden di strata lain
beberapa responden ada yang melakukan pengadaan bibit dengan cara pembuatan
persemaian. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suratiyah (2005), bahwa
petani akan cenderung menambah waktu kerjanya apabila luas lahan yang digarap
semakin luas sehingga semakin luas lahan yang digarap petani maka akan
semakin tinggi curahan waktu kerja yang dihasilkan.
Adapun pada curahan waktu kerja yang dihasilkan dari masing-masing
responden suami dan istri pada kegiatan pemanenan kayu tidak ada sama sekali
karena kegiatan penebangan dan penyaradan untuk setiap kali memanen kayu
tidak pernah dilakukan oleh seluruh responden petani melainkan kegiatan tersebut
diserahkan langsung dan dikerjakan sendiri oleh pemborong kayu yang ingin
membeli kayu pada setiap responden petani tersebut. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan dalam ketersediaan alat yang dimiliki petani untuk melakukan
penebangan dan penyaradan kayu dan keterbatasan pengetahuan petani mengenai
cara melakukan penebangan dan penyaradan kayu.

4.5 Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kegiatan Domestic


Keterlibatan peran laki-laki dan perempuan dalam kegiatan domestic dapat
diketahui melalui besar curahan waktu kerja yang dihasilkan masing-masing jenis
kelamin pada setiap kegiatan domestic yang dilakukan sehari-hari dalam rumah
tangga seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu halaman,
mengasuh anak, membersihkan rumah, dan berbelanja kebutuhan harian keluarga.
Hasil pada Tabel 16 menunjukkan curahan waktu terbesar yang dihasilkan oleh
perempuan terdapat dalam pemilikan lahan strata II yaitu 520,2 HOK/tahun.
Kegiatan domestic ini setiap hari hanya dilakukan oleh perempuan saja,
sedangkan laki-laki tidak mempunyai curahan waktu kerja sama sekali pada
kegiatan domestic dan hanya mencurahkan waktu kerjanya dalam kegiatan
produktif saja, sehingga menunjukkan bahwa perempuan tidak melupakan
perannya sebagai istri yang mempunyai kewajiban dalam mengurus rumah tangga
karena seluruh responden perempuan mengerjakan segala tugasnya dalam
kegiatan domestic sebagai ibu rumah tangga seorang diri tanpa ada satupun
pekerjaan yang dibantu suami. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hubbeis (2000)
bahwa perempuan memiliki peran utama dalam kegiatan domestic. Selain itu, dari
Tabel 16 juga dapat dilihat bahwa rata-rata curahan waktu kerja perempuan dalam
kegiatan mengasuh anak lebih besar dari pada kegiatan lain yaitu sebesar 237,2
HOK/tahun, sehingga dapat dilihat bahwa para istri lebih dominan meluangkan
waktunya dalam mengasuh anak.
Para responden dari masing-masing jenis kelamin beranggapan bahwa
alasan laki-laki tidak berperan sama sekali dalam kegiatan domestic ini karena
suami sepenuhnya menghabiskan waktu seharian pada kesibukan diluar rumah
yaitu mencari nafkah keluarga dan tidak ada waktu atau kesempatan sama sekali
untuk mengerjakan pekerjaan rumah membantu istri, sedangkan istri lebih
30

dominan mengerjakan seluruh kegiatan domestic karena dianggap bahwa kegiatan


rumah tangga pada dasarnya merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang
harus dilakukan seorang istri sebagai ibu rumah tangga.
Tabel 16 Rata-rata curahan waktu kerja laki-laki (L) dan perempuan (P) dalam
kegiatan domestic
Curahan waktu kerja (HOK/tahun)
Rata-rata
Kegiatan Domestic Strata I Strata II Strata III
L P L P L P L P
Memasak 0,0 45,6 0,0 54,7 0,0 63,9 0,0 54,7
Mencuci pakaian 0,0 41,1 0,0 41,1 0,0 45,6 0,0 42,6
Mencuci piring 0,0 36,5 0,0 41,1 0,0 31,9 0,0 36,5
Menyapu halaman 0,0 36,5 0,0 41,1 0,0 45,6 0,0 41,1
Mengasuh anak 0,0 232,7 0,0 250,9 0,0 228,1 0,0 237,2
Membersihkan rumah 0,0 22,8 0,0 27,4 0,0 36,5 0,0 28,9
Berbelanja kebutuhan 0,0 68,4 0,0 63,9 0,0 54,7 0,0 62,3
Total 0,0 483,6 0,0 520,2 0,0 506,3 0,0 503,3

4.6 Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat


Pengelolaan hutan rakyat membutuhkan peran laki-laki dan perempuan.
Secara umum dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Curug Bitung
melibatkan suami dan istri dimana masing-masing mempunyai peran dalam
kegiatannya. Peran perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan hutan rakyat dapat
diketahui dari dua kegiatan, yaitu kegiatan produktif hutan rakyat dan kegiatan
domestic. Suami mengeluarkan curahan waktu kerja yang lebih besar dari pada
istri pada kegiatan produktif hutan rakyat yaitu sebesar 77,1 HOK/tahun,
sedangkan istri mengeluarkan sebesar 28,6 HOK/tahun. Hal ini disebabkan karena
suami mempunyai tanggung jawab dalam mencari nafkah keluarga dan memiliki
tanggung jawab lebih besar dalam mengelola hutan rakyat. Sedangkan dalam
kegiatan domestic hanya istri saja yang mengeluarkan curahan waktu kerja yaitu
sebesar 503,3 HOK/tahun. Hal ini disebabkan karena perempuan merupakan
seorang ibu rumah tangga yang mempunyai kewajiban dalam mengurus rumah
tangga, sedangkan suami waktunya berada diluar rumah seharian sehingga tidak
ada waktu luang untuk membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah.
Seperti hasil pada Tabel 17, secara keseluruhan total curahan waktu kerja
yang dikeluarkan oleh perempuan lebih besar dari pada laki-laki yaitu sebesar
531,9 HOK/tahun, sedangkan laki-laki mengeluarkan sebesar 77,1 HOK/tahun.
Ini berarti curahan waktu kerja perempuan lebih besar dari pada laki-laki, hal ini
disebabkan karena perempuan mempunyai peran ganda dalam keluarga, yaitu
selain berperan dalam kegiatan produktif perempuan juga berperan dalam
kegiatan domestic dimana berdasarkan hasil total curahan waktu kerja yang
dihasilkan oleh responden perempuan yaitu dengan persentase sebesar 94,6%
berasal dari kegiatan domestic dan sisanya berasal dari kegiatan produktif hutan
rakyat (5,4%), sedangkan total curahan waktu kerja yang dihasilkan oleh
responden laki-laki seluruhnya berasal dari kegiatan produktif hutan rakyat. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Roslinda (2009) yang dilakukan
di Dusun Tokang Jaya, Dusun Pana, dan Dusun Kopar menunjukkan bahwa
31

perempuan memiliki posisi ganda dalam keluraga karena selain perempuan aktif
dalam kegiatan produktif juga aktif dalm melakukan kegiatan domestic.
Tabel 17 Rata-rata curahan waktu kerja total laki-laki (L) dan perempuan (P)
dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat
Strata Pemilikan Lahan
Rata-rata
Kegiatan Strata I Strata II Strata III
L P L P L P L P
Produktif
HOK/tahun 96,2 47,1 76,5 27,9 58,8 10,6 77,1 28,6
% 100,0 8,9 100,0 5,1 100,0 2,1 100,0 5,4
Domestic
HOK/tahun 0,0 483,6 0,0 520,2 0,0 506,3 0,0 503,3
% 0,0 91,1 0,0 94,9 0,0 97,9 0,0 94,6
Total
HOK/tahun 96,2 530,7 76,5 548,1 58,8 516,9 77,1 531,9
% 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

4.7 Pengambilan Keputusan

4.7.1 Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat


Pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan rakyat dibagi menjadi
dua kegiatan, yaitu kegiatan produktif dan kegiatan pasca produksi pengelolaan
hutan rakyat dimana mayoritas responden mengambil keputusan mutlak oleh
suami tanpa melibatkan sang istri yaitu sebanyak 22 responden (73,3%) pada
kegiatan produktif pengelolaan hutan rakyat dan sebanyak 24 responden (80%)
pada kegiatan pasca produksi pengelolaan hutan rakyat, karena para responden
tersebut beranggapan bahwa suami memang sudah seharusnya yang menjadi
pengambil keputusan mutlak pada segala hal yang harus dilakukan pada
pengelolaan hutan rakyat karena suami lebih mengetahui tentang segala hal
terkait kegiatan produktif hutan rakyat dan juga lebih mengetahui keadaan
pasar, sering pergi keluar desa, dan juga lebih mengetahui siapa saja orang-
orang yang lebih terpercaya untuk dapat dijadikan sebagai pelaku dalam
kegiatan penjualan atau pemasaran hasil panen hutan rakyat dari pada istri.
Pada beberapa responden lainnya yaitu sebanyak 5 responden (16,7%)
pada kedua kegiatan tersebut beranggapan bahwa istri mempunyai peranan dan
tanggung jawab yang setara dengan suami dalam pengelolaan hutan rakyat
sehingga mengambil keputusan secara bersama setara antara suami dan istri
dimana pengambilan keputusan ini diambil berdasarkan kesepakatan bersama
suami dan istri tanpa ada salah satu yang lebih mendominasi. Selain itu,
sebanyak 3 responden (10%) pada kegiatan produktif hutan rakyat dan
sebanyak 1 responden (3,3%) pada kegiatan pasca produksi pengelolaan hutan
rakyat mengambil keputusan secara bersama namun lebih didominasi oleh
suami, sehingga istri tidak terlalu berperan dalam jenis pengambilan keputusan
dengan cara tersebut, namun menunjukkan bahwa istri masih berperan dalam
pengambilan keputusan pada kedua kegiatan pengelolaan hutan rakyat tersebut.
Hal ini karena responden tersebut beranggapan bahwa istri memiliki hak untuk
melakukan pengambilan keputusan pada pengelolaan hutan rakyat sebab istri
32

juga ikut dalam melakukan kegiatan produktif hutan rakyat dan melakukan
kegiatan pemanenan dan pemasaran hasil dari hutan rakyatnya bersama suami.
Berdasarkan hasil pada Tabel 18, suami adalah yang paling berperan
dalam pengambilan keputusan pada pengelolaan hutan rakyat karena mereka
menganggap suami merupakan kepala keluarga dan tulang punggung keluarga,
sehingga segala tanggung jawab tentang pengelolaan hutan rakyat diserahkan
kepada suami, walaupun ada beberapa keluarga yang memutuskan sesuatu
secara bersama-sama.

4.7.2 Pengambilan Keputusan dalam Masalah Keuangan


Pengambilan keputusan dalam masalah keuangan dibagi ke dalam dua
kategori yaitu masalah keuangan dalam hal pengelolaan hutan rakyat dan
masalah keuangan keluarga. Mayoritas responden mengambil keputusan
mutlak oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri pada seluruh masalah
keuangan pengelolaan hutan rakyat yaitu sebanyak 20 responden (66,7%),
sehingga pada umumnya pengambilan keputusan dalam hal ini didominasi oleh
suami sama halnya dengan pengambilan keputusan pada kegiatan pengelolaan
hutan rakyat.
Selain itu, responden lainnya mengambil keputusan secara bersama
sesuai dengan persetujuan antara suami dan istri yaitu sebanyak 10 responden
(33,3%) dimana peranan istri dalam pengambilan keputusan pada masalah ini
hanya ditemukan pada responden tersebut karena mereka beranggapan bahwa
istri memiliki hak yang sama untuk melakukan pengambilan keputusan pada
pengelolaan keuangan hutan rakyat sebab istri juga ikut serta melakukan segala
kegiatan pengelolaan hutan rakyat bersama dengan suami dan mempunyai
tanggung jawab yang sama dengan suami dalam segala urusan pengelolaan
hutan rakyat termasuk pengelolaan keuangannya sehingga segala keputusan
yang diperoleh suatu keputusan yang disepakati secara bersama.
Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa pengambilan keputusan dalam
masalah keuangan keluarga seluruhnya diputuskan secara bersama-sama antara
suami dan istri pada seluruh responden rumah tangga (100%) karena seluruh
responden beranggapan bahwa segala hal terkait keuangan keluarga merupakan
tanggung jawab bersama, sebab keduanya memiliki peran yang sama
pentingnya dalam keuangan rumah tangga dimana suami merupakan pencari
nafkah dalam rumah tangga sedangkan istri merupakan ibu rumah tangga yang
lebih paham tentang hal-hal yang dibutuhkan dalam keluarga sehingga segala
keputusan yang diambil tentang keuangan dalam keluarga harus
dimusyawarahkan dan berdasarkan kehendak bersama.
Secara keseluruhan, hasil dari Tabel 18 sesuai dengan penelitian yang
dilakukakan oleh Hutagaol et al. (2007) di Desa Rejosari, Wonogiri yang
menyatakan untuk masalah keuangan pengelolaan hutan rakyat dan masalah
keuangan keluarga, perempuan dan laki-laki terlibat aktif baik secara mandiri
ataupun secara bersama-sama memutuskan untuk membelanjakan uang
keluarga, merencanakan keuangan keluarga, mengelola uang untuk usaha hutan
rakyat, mencari jalan pemecahan masalah keuanagan, meminjam uang untuk
keperluan keluarga, dan meminjam uang/ kredit untuk usaha. Tabel 18
menyajikan data persentase pengambilan keputusan dalam kegiatan
pengelolaan hutan rakyat dan masalah keuangan.
33

Tabel 18 Pengambilan keputusan dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan masalah keuangan
Tingkatan pengambilan keputusan
Mutlak Bersama didominasi Total
Pernyataan Bersama
Istri Suami Istri Suami
n % n % n % n % n % n %
Pengambilan keputusan dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat
Kegiatan produktif pengelolaan hutan rakyat :
Penetuan jenis tanaman 0,0 0,0 22,0 73,3 5,0 16,7 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Struktur dan pola tanam 0,0 0,0 22,0 73,3 5,0 16,7 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Penggunaan sarana bertani 0,0 0,0 22,0 73,3 5,0 16,7 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Investasi peralatan untuk bertani 0,0 0,0 22,0 73,3 5,0 16,7 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Kegiatan pemeliharaan tanaman 0,0 0,0 22,0 73,3 5,0 16,7 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Kegiatan pemupukan tanaman 0,0 0,0 22,0 73,3 5,0 16,7 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Kegiatan pasca produksi pengelolaan hutan rakyat :
Penentuan pemanfaatan hasil panen 0,0 0,0 24,0 80,0 5,0 16,7 0,0 0,0 1,0 3,3 30,0 100,0
Penentuan pelaku kegiatan penjualan hasil panen 0,0 0,0 24,0 80,0 5,0 16,7 0,0 0,0 1,0 3,3 30,0 100,0
Pengambilan keputusan dalam masalah keuangan
Pengelolaan keuangan hutan rakyat :
Merencanakan biaya usaha dalam pengelolaan hutan rakyat 0,0 0,0 20,0 66,7 10,0 33,3 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Mengelola uang untuk usaha pengelolaan hutan rakyat 0,0 0,0 20,0 66,7 10,0 33,3 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Meminjam uang / kredit untuk usaha 0,0 0,0 20,0 66,7 10,0 33,3 0,0 0,0 3,0 10,0 30,0 100,0
Pengelolaan keuangan rumah tangga :
Merencanakan keuangan keluarga 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
Mengelola keuangan keluarga 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
Memutuskan untuk membelanjakan uang keluarga 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
Meminjam uang untuk keperluan keluarga 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
Mencari jalan keluar permasalahan keuangan keluarga 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
34

4.7.3 Pengambilan Keputusan dalam Kegiatan Sosial dan Urusan Domestik


Pada seluruh masalah pada kegiatan sosial, seluruh responden mengambil
keputusan mutlak oleh suami (100%) karena seluruh responden beranggapan
bahwa suami merupakan seorang kepala keluarga yang wajib menjadi
penanggung jawab keluarga pada segala urusan dan aktivitas sosial yang
diikuti keluarga di masyarakat, seperti menghadiri rapat, gotong royong dan
lainnya, terutama bagi 4 responden suami yang memang menjabat sebagai
ketua RT dilingkungan tempat tinggalnya yang berarti memang sudah menjadi
tugasnya bertanggung jawab terhadap segala aktivitas sosial sebab tuntutan
jabatannya.
Pada Tabel 19, untuk urusan domestik keluarga seperti penentuan jumlah
anak, dan pemeliharaan kesehatan diambil keputusan secara bersama sesuai
dengan persetujuan antara suami dan istri oleh seluruh responden (100%)
karena seluruh responden beranggapan bahwa kedua hal tersebut adalah
sesuatu hal yang harus di musyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami
dan istri sebab suami dan istri sebagai orang tua juga memiliki peran dan
tanggung jawab yang sama dalam menentukan keputusan untuk hal tersebut.
Sedangkan pada urusan domestik keluarga berupa pembelian alat-alat rumah
tangga dan penentuan pendidikan anak, mayoritas responden mengambil
keputusan secara bersama antara suami dan istri yaitu sebanyak 21 responden
(70%), sisanya menyerahkan keputusan secara mutlak pada istri tanpa
melibatkan suami (7 responden) dan juga mengambil keputusan secara
bersama namun lebih didominasi oleh istri (2 responden). Hal ini menunjukkan
bahwa peran istri dalam hal penentuan pendidikan anak dan pembelian alat-alat
rumah tangga terdapat pada seluruh responden rumah tangga sedangkan peran
suami terdapat pada 23 responden rumah tangga saja yaitu berupa peran
pengambil keputusan secara bersama setara dengan istri dan juga secara
bersama namun tidak lebih mendominasi dari istri.
Beberapa responden yang mengambil keputusan secara mutlak pada istri
beranggapan bahwa istri sebagai ibu rumah tangga lebih mengetahui
bagaimana keputusan terbaik yang harus diambil tentang kebutuhan alat-alat
rumah tangga yang harus dibeli, tentang kebutuhan yang terbaik untuk anak
terutama pendidikan, dan suami dianggap tidak mengerti mengenai hal tersebut
sehingga segala tanggung jawab berada sepenuhnya pada istri, sedangkan pada
sebagian kecil responden rumah tangga yang mengambil keputusan secara
bersama tetapi masih lebih didominasi oleh istri beranggapan bahwa walaupun
istri lebih mengetahui kebetuhan alat-alat untuk dirumah yang harus di beli dan
kebutuhan terbaik anak dari pada suami, namun suami masih memiliki hak
dalam hal penentuan keputusan terkait hal tersebut, seperti memberikan
beberapa saran kepada istri dalam menentukan keputusan dalam hal tersebut
sehingga dapat membantu istri dalam penentuan pengambilan keputusan, dan
juga karena suami sebagai orang tua dan kepala keluarga yang mencari nafkah
sehingga wajib ikut serta bertanggung jawab mengenai kedua hal tersebut
meskipun bagaimana arah keputusan tersebut tetap lebih didominanasi
berdasarkan kehendak istri. Namun, pada sebagian besar responden yang
melakukan pengambilan keputusan secara bersama beranggapan bahwa suami
memiliki hak setara dengan istri dalam peran pengambilan keputusan terkait
35

penentuan pembelian kebutuhan alat-alat rumah tangga dan pendidikan anak


karena dianggap segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut merupakan
tanggung jawab bersama suami dan istri sehingga keputusan yang diambil
harus sesusai dengan kehendak bersama suami dan istri yang setara perannya.
Adapun pengambilan keputusan pada urusan domestik keluarga yang lain
yaitu penentuan dalam pembelian menu makanan, seluruh responden
menyerahkan keputusan mutlak pada istri (100%), karena dianggap bahwa istri
sebagai memang sudah kewajibannya mengurus hal terkait kebutuhan makanan
dalam keluarga dan juga lebih paham mengenai keputusan dalam memilih dan
membeli bahan-bahan dapur dalam keluarga sebab istri adalah ibu rumah
tangga dan suami hanya mencari uang untuk diberikan kepada istri membeli
kebutuhan makanan keluarga sehari-hari dan dianggap tidak memahami hal
tersebut, sehingga segala pengambilan keputusan mengenai kebutuhan menu
makanan yang akan dikonsumsi keluarga sehari-hari diserahkan sepenuhnya
kepada istri.
Hasil pada Tabel 19 sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Hutagaol et al. (2007) dalam Isu Gender dalam Agroforestry yaitu peran
gender yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari pada kegiaatan sosial dan
domestik, dimana menyatakan bahwa ada kerjasama yang erat dalam
pembagian peran antara suami dan istri di tingkat keluarga. Pada kegiatan
domestik, perempuan lebih banyak berperan dalam kegiatan mengatur
penyediaan kebutuhan sehari-hari dalam keluarga seperti makanan dan
mengatur kegiatan rumah tangga daripada laki-laki. Selain itu, secara bersama-
sama suami dan istri bertanggung jawab dalam pengasuhan dan pendidikan
anak-anaknya, bertanggung jawab dalam pemeliharaan / perbaikan rumah dan
pekarangan. Sedangkan laki-laki lebih dominan berperan dalam aktivitas sosial
dan menghadiri pertemuan di desa.
36

Tabel 19 Pengambilan keputusan dalam kegiatan sosial dan urusan domestik keluarga
Tingkatan pengambilan keputusan
Keputusan Bersama
Keputusan mutlak Keputusan Total
Pernyataan didominasi
Bersama
Istri Suami Istri Suami
n % n % n % n % n % n %

Kegiatan sosial :
Bertanggung jawab atas aktivitas sosial 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
Menghadiri pertemuan di desa 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0

Urusan domestik keluarga :


Penentuan jumlah anak 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
Penentuan pendidikan anak dalam keluarga 7,0 23,3 0,0 0,0 21,0 70,0 2,0 6,7 0,0 0,0 30,0 100,0
Penentuan dalam pembelian menu makanan 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
Pembelian alat-alat rumah tangga 7,0 23,3 0,0 0,0 21,0 70,0 2,0 6,7 0,0 0,0 30,0 100,0
Pemeliharaan Kesehatan 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 30,0 100,0
37

4.8 Pendapatan Rumah Tangga

4.8.1 Pendapatan Rumah Tangga dari Hutan Rakyat


Pendapatan rumah tangga merupakan hasil dari semua perolehan dalam
bentuk uang yang diterima dalam suatu rumah tangga dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sumber pendapatan rumah tangga petani
diperoleh dari kegiatan hutan rakyat dan non hutan rakyat. Pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan hutan rakyat adalah hasil pengelolaan hutan rakyat
yang terdiri dari hasil tanaman kayu dan hasil bukan kayu (berupa buah-buahan,
tanaman musiman).
Pendapatan dari hasil hutan rakyat tanaman kayu pada umumnya
diperoleh dari pohon Kayu Afrika dan Sengon. Pemanenan pada tanaman kayu
ini dilakukan pada umur 5 tahun hingga 10 tahun tergantung pada jenis pohon
dan kebutuhan petani. Jenis sengon dipanen pada umur 5 hingga 7 tahun
sedangkan untuk jenis Kayu Afrika dipanen pada umur 8 tahun hingga 10
tahun. Jenis tanaman yang diambil hasil bukan kayunya antara lain bambu,
kopi, cengkeh, kapulaga, pete, jengkol, alpukat, durian, nangka, manggis, pala,
duku, buah aren, mangga, melinjo, kelapa dan sirsak. Selain itu, untuk sebagian
besar responden yang memakai pola tanam agroforestri menanam tanaman
musiman pada lahan hutan rakyatnya seperti pisang, singkong, cabai, buncis,
kacang panjang, jagung, bayam, sawi, jahe, kunyit, dan talas. Tanaman
musiman ini rata-rata biasanya ditanam pada musim penghujan, sekitar bulan
Desember – Februari. Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari
hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini.
Tabel 20 Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari hutan rakyat
Rata-rata pendapatan rumah tangga dari
Strata
hutan rakyat Total
Pemilikan
Hasil Hutan Kayu Hasil Hutan Non Kayu
Lahan
Rp/tahun % Rp/tahun % Rp/tahun %
Strata I 2.555.556 15,9 13.479.444 84,1 16.035.000 100,0
Strata II 1.733.077 20,6 6.661.231 79,3 8.394.308 100,0
Strata III 1.010.000 20,4 3.930.000 79,6 4.940.000 100,0
Rata-rata 1.766.211 18,1 8.023.558 81,9 9.789.769 100,0
Pada Tabel 20 total rata-rata pendapatan seluruh rumah tangga petani
yang diperoleh dari kegiatan hutan rakyat sebagian besar berasal dari hasil
hutan non kayu yaitu sebesar Rp. 8.023.558/tahun (81,9%). Hal ini disebabkan
karena siklus frekuensi pemasaran hasil panen hutan rakyat non kayu lebih
banyak dalam setiap tahunnya, sedangkan untuk pemasaran hasil panen hutan
rakyat berupa kayu dilakukan setiap 5 sampai 10 tahun sekali saja sehingga
pendapatan yang didapatkan dalam setahunnya lebih kecil dari pada
pendapatan dari hasil hutan non kayu. Total seluruh pendapatan rumah tangga
petani paling besar yang diperoleh dari kegiatan hutan rakyat, serta rata-rata
pendapatan yang berasal dari hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu paling
besar terdapat pada responden dengan pemilikan lahan strata I yaitu sebesar Rp.
16.035.000/tahun dengan rata-rata pendapatan yang diperoleh dari hasil hutan
non kayu sebesar Rp. 13.479.444/tahun (84,1%), sedangkan rata-rata
pendapatan yang diperoleh dari hasil hutan kayu sebesar Rp. 2.555.556/tahun
38

(15,9%). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin luas lahan hutan rakyatnya,
maka hasil panen hutan rakyat yang didapatkan dalam setiap tahunnya
kemungkinan akan semakin banyak, sehingga pendapatan yang diperoleh dari
penjualan hasil panen tersebut akan semakin besar juga.

4.8.2 Pendapatan Rumah Tangga dari Non Hutan Rakyat


Sumber pendapatan yang diperoleh dari non hutan rakyat berasal dari
kegiatan pertanian dan non pertanian. Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan
pertanian non hutan rakyat berasal dari berkebun dan beternak, sedangkan dari
bersawah tidak ada pendapatan yang diperoleh sama sekali karena hasil padi
yang diperoleh tidak pernah dijual dan selalu dikonsumsi sendiri untuk
kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani. Tidak semua responden rumah
tangga petani memiliki pendapatan yang berasal dari berkebun pada lahan non
hutan rakyat dan juga dari beternak. Rata-rata pendapatan paling besar yang
diperoleh dari berkebun terdapat pada responden pemilikan lahan hutan rakyat
strata I yaitu sebesar Rp. 7.344.444/tahun. Hal ini disebabkan karena mayoritas
responden dengan pemilikan lahan I memperoleh hasil panen tanaman
musiman yang lebih banyak jenisnya dan jumlahnya dari lahan kebun non
hutan rakyat untuk dipasarkan setiap tahunnya dari pada responden dengan
pemilikan lahan strata II & III yang memiliki lahan kebun non hutan rakyat.
Jenis tanaman yang menjadi sumber pendapatan petani dari hasil berkebun
adalah tanaman musiman seperti singkong, pisang, ubi, talas, jagung, kangkung,
cabai, kacang panjang, timun, daun bawang, jahe, dan sebagainya.
Selain itu, rata-rata pendapatan rumah tangga paling besar yang diperoleh
dalam beternak terdapat pada responden pemilikan lahan strata III yaitu sebesar
Rp. 9.000.000/tahun. Hal ini disebabkan karena mayoritas responden dengan
pemilikan lahan strata III memiliki jumlah hewan ternak yang lebih banyak
dipasarkan dalam setiap tahunnya dari pada responden dengan pemilikan lahan
strata I & II. Jenis hewan ternak yang menjadi sumber pendapatan petani dari
hasil beternak antara lain kambing, domba, ayam kampung, ayam broiler, dan
lele.
Total rata-rata pendapatan seluruh rumah tangga petani dari kegiatan
pertanian non hutan rakyat sebagian besar berasal dari beternak yaitu sebesar
Rp. 6.696.439/tahun (64,1%). Namun, pendapatan total rumah tangga petani
dari kegiatan non hutan rakyat tersebut paling besar terdapat pada responden
dengan pemilikan lahan strata I yaitu sebesar Rp. 14.822.222/tahun meskipun
yang memperoleh rata-rata pendapatan paling besar dalam beternak adalah
responden dengan pemilikan lahan strata III karena jumlah total pendapatan
rumah tangga petani pada responden dengan pemilikan lahan strata I lebih
besar dari jumlah rata-rata total pendapatan seluruh responden rumah tangga
petani yang diperoleh pada kegiatan pertanian non hutan rakyat tersebut,
sedangkan jumlah total pendapatan rumah tangga petani pada responden
dengan pemilikan lahan strata III lebih kecil dari jumlah rata-rata total
pendapatan seluruh responden rumah tangga petani yang diperoleh pada
kegiatan pertanian non hutan rakyat tersebut. Rata-rata pendapatan rumah
tangga dari hasil pertanian dapat dilihat pada Tabel 21.
39

Tabel 21 Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari pertanian non
hutan rakyat
Rata-rata pendapatan rumah tangga dari
Strata
pertanian non hutan rakyat Total
Pemilikan
Berkebun Beternak
Lahan
Rp/tahun % Rp/tahun % Rp/tahun %
Strata I 7.344.444 49,5 7.477.778 50,5 14.822.222 100,0
Strata II 1.046.154 22,5 3.611.538 77,5 4.657.692 100,0
Strata III 2.842.500 24,1 9.000.000 75,9 11.842.500 100,0
Rata-rata 3.744.366 35,9 6.696.439 64,1 10.440.805 100,0
Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan diluar pertanian non hutan
rakyat antara lain di bidang jasa, berdagang, sebagai kuli bangunan dan buruh
pikul kayu. Tidak semua rumah tangga memperoleh pendapatan dari kegiatan
diluar pertanian non hutan rakyat ini, karena kegiatan tersebut merupakan
pekerjaan sampingan responden saja selain menjadi petani. Jenis pekerjaan
sampingan responden di bidang jasa antara lain sebagai guru honor SD, supir
angkot, rental mobil untuk mengantar karyawan PT. Antam, dan sebagai ketua
RT. Selain itu, bentuk pekerjaan sampingan responden yang berdagang
diantaranya seperti usaha toko sembako dan jajanan, bengkel motor,
pemotongan dan penjualan daging ayam broiler, jual beli motor bekas, pemarut
dan penjual kelapa, jualan pisang goreng, jualan nasi uduk, serta jualan pakaian
keliling.
Rata-rata pendapatan rumah tangga paling besar yang diperoleh dari
kegiatan berdagang terdapat pada responden pemilikan lahan strata III yaitu
sebesar Rp. 143.852.500/tahun. Hal ini disebabkan karena mayoritas responden
rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan di bidang berdagang adalah
yang memiliki lahan strata III dan juga responden yang berdagang berupa
usaha pemotongan dan penjualan daging ayam broiler hanya pada kelompok
pemilik lahan strata III dimana pendapatan harian yang diperoleh dalam bentuk
usaha berdagang tersebut yang paling besar, sehingga mengakibatkan
pendapatan yang diperoleh setiap tahunnya paling besar dibandingkan dengan
bentuk usaha di bidang berdagang lainnya.
Rata-rata pendapatan rumah tangga paling besar yang diperoleh dari
buruh/kuli terdapat pada responden pemilikan lahan strata II yaitu sebesar Rp.
5.760.000/tahun. Hal ini dikarenakan mayoritas responden yang memiliki
pekerjaan sampingan sebagai buruh pikul kayu adalah yang memiliki lahan
strata II, sedangkan pada responden pemilikan lahan strata I & III terdapat
responden yang memiliki pekerjaan sampingan kuli bangunan dimana
pendapatan setiap tahun yang diperoleh dari buruh pikul kayu lebih besar dari
pada kuli bangunan sebab frekuensi waktu pekerjaan yang dilakukan
responden dengan pekerjaan buruh pikul kayu lebih banyak (sering) dalam
setiap minggu dan setiap tahunnya meskipun pendapatan harian yang diperoleh
kuli bangunan lebih besar dari buruh pikul kayu.
Adapun rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari sumber
pendapatan lainnya pada responden pemilikan lahan strata II lebih besar dari
pada responden pemilikan lahan I yaitu sebesar Rp. 9.938.462/tahun dimana
pendapatan tersebut diperoleh dari pekerjaan sampingan di bidang jasa. Hal ini
disebabkan karena terdapat responden di pemilikan lahan strata II yang
40

memiliki pekerjaan sampingan jasa rental mobil angkutan pengantar karyawan


PT. Antam dimana pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan sampingan
tersebut adalah yang paling besar dari pada bentuk pekerjaan sampingan di
bidang jasa lainnya dalam setiap bulan dan setiap tahunnya, sedangkan pada
kelompol responden dengan pemilikan lahan strata III tidak ada pendapatan
yang diperoleh dari sumber lainnya karena pada kelompok responden tersebut
tidak ada yang memiliki pekerjaan sampingan selain berdagang, buruh pikul
kayu dan kuli bangunan. Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh
dari luar pertanian non hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari luar pertanian
Rata-rata pendapatan rumah tangga dari luar
Strata
pertanian Total
Pemilikan
Dagang Buruh & Kuli Lainnya
Lahan
Rp/tahun % Rp/tahun % Rp/tahun % Rp/tahun %
Strata I 12.166.667 71,9 3.813.333 22,6 933.333 5,5 16.913.333 100,0
Strata II 17.548.077 52,8 5.760.000 17,3 9.938.462 29,9 33.246.539 100,0
Strata III 143.852.500 97,4 3.900.000 2,6 0 0,0 147.752.500 100,0
Rata-rata 57.855.748 87,7 4.491.111 6,8 3.623.932 5,5 65.970.791 100,0

Total rata-rata pendapatan seluruh rumah tangga petani dari kegiatan


diluar pertanian non hutan rakyat sebagian besar berasal dari berdagang yaitu
sebesar Rp. 57.855.748/tahun (87,7%), sehingga pendapatan total rumah
tangga petani dari kegiatan diluar pertanian non hutan rakyat tersebut yang
paling besar terdapat pada responden dengan pemilikan lahan strata III yaitu
sebesar Rp. 147.752.500/tahun. Hal ini disebabkan karena frekuensi waktu
diperolehnya pendapatan yang dari pekerjaan sampingan di bidang berdagang
lebih sering atau lebih banyak dari pada pekerjaan sampingan di bidang jasa
serta buruh dan kuli dimana rata-rata pendapatan di bidang berdagang tersebut
diperoleh setiap hari sedangkan rata-rata pendapatan di bidang jasa diperoleh
sebulan sekali dan rata-rata pendapatan dari buruh pikul kayu serta kuli
bangunan diperoleh seminggu sekali dan juga rata-rata pendapatan total pada
kegiatan tersebut dalam setahunnya yang paling besar diperoleh dari pekerjaan
sampingan di bidang berdagang. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar
frekuensi waktu diperolehnya pendapatan dari pekerjaan sampingan dalam
kegiatan diluar pertanian non hutan rakyat tersebut, maka semakin besar
pendapatan setiap tahunnya yang didapatkan oleh responden dari pekerjaan
sampingan tersebut.

4.8.3 Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga


Pendapatan total rata-rata rumah tangga petani paling tinggi pada hutan
rakyat diperoleh pada responden dengan pemilikan lahan strata I yaitu sebesar
Rp. 16.035.000/tahun, sebab responden pemilik lahan strata I memiliki curahan
waktu kerja paling besar dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang
mempengaruhi pada hasil panen yang diperoleh. Bila produktivitas kerja petani
besar, kontrol terhadap lahan yang digarap pun semakin besar, sehingga hasil
panen yang didapat lebih banyak dan menyebabkan pendapatan yang
didapatkan lebih besar. Hasil panen ini mempengaruhi pendapatan petani.
Pendapatan total rata-rata rumah tangga petani paling besar dalam
kegiatan pertanian non hutan rakyat diperoleh pada responden dengan
41

pemilikan lahan strata I yaitu sebesar Rp. 14.822.222/tahun, sedangkan pada


kegiatan diluar pertanian non hutan rakyat responden dengan pemilikan lahan
strata III mempunyai pendapatan total rata-rata rumah tangga paling besar yaitu
sebesar Rp. 147.752.500/tahun karena pada strata III terdapat responden yang
berdagang dalam bentuk usaha pemotongan dan penjualan daging ayam broiler,
sehingga seluruh pendapatan total rata-rata rumah tangga petani yang paling
besar diperoleh pada pemilikan lahan strata III sebesar Rp. 164.535.000/tahun.
Tabel 23 Pendapatan total rata-rata rumah tangga
Total rata-rata pendapatan rumah tangga
Strata
Non Hutan Rakyat Total
Pemilikan Hutan Rakyat
Pertanian Non Pertanian
Lahan
Rp/tahun % Rp/tahun % Rp/tahun % Rp/tahun %
Strata I 16.035.000 33,6 14.822.222 31,0 16.913.333 35,4 47.770.555 100,0
Strata II 8.394.308 18,1 4.657.692 10,1 33.246.539 71,8 46.298.539 100,0
Strata III 4.940.000 3,0 11.842.500 7,2 147.752.500 89,8 164.535.000 100,0
Rata-rata 9.789.769 11,4 10.440.805 12,1 65.970.791 76,5 86.201.365 100,0

Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa usaha hutan rakyat berkontribusi


paling kecil terhadap perekonomian rumah tangga petani, jika dibandingkan
dengan usaha non hutan rakyat dari pertanian dan dari luar pertanian yaitu
sebesar 11,4% (Rp. 9.789.769/tahun). Kegiatan yang memberikan kontribusi
paling besar terhadap perekonomian rumah tangga petani adalah usaha non
hutan rakyat dari luar pertanian yaitu sebesar 76,5% dengan pendapatan rata-
rata Rp. 65.970.791/tahun. Hal ini disebabkan karena pendapatan total rat-rata
pada kegiatan usaha tersebut sebagian besar diperoleh dari pekerjaan
sampingan di bidang berdagang dimana frekuensi waktu diperolehnya
pendapatan rumah tangga petani di bidang berdagang adalah setiap hari,
sedangkan dari kegiatan hutan rakyat dan kegiatan pertanian non hutan rakyat
tidak ada pendapatan yang diperoleh dalam frekuensi setiap hari. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak atau sering frekuensi waktu
diperolehnya pendapatan dari suatu kegiatan atau usaha mata pencaharian
rumah tangga petani, maka semakin besar kontribusi dari suatu kegiatan atau
usaha mata pencaharian tersebut terhadap perekonomian atau pendapatan total
rumah tangga petani setiap tahunnya. Dengan demikian, hasil penelitian ini
tidak sesuai dengan hasil penelitian Yudischa et al. (2014) yang menyatakan
bahwa partisipasi perempuan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan
keluarga. Hal ini disebabkan karena dalam hasil penelitian ini kegiatan non
hutan rakyat diluar pertanian berkontribusi paling besar terhadap perekonomian
rumah tangga petani yang sebagian besarnya diperoleh dari pekerjaan
sampingan di bidang berdagang dari pendapatan total rata-rata rumah tangga
petani dalam kegiatan tersebut dimana responden rumah tangga yang memiliki
pekerjaan sampingan dibidang tersebut sebagian besar adalah responden
perempuan, sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipasi
perempuan berpengaruh nyata terhadap pendapatan keluarga. Secara
keseluruhan, total rata-rata pendapatan seluruh rumah tangga petani diperoleh
sebesar Rp. 86.201.365/tahun.
42

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
1. Dalam pengelolaan hutan rakyat di Desa Curug Bitung, curahan waktu
kerja laki-laki (77,1 HOK/tahun) lebih besar dari pada curahan waktu kerja
perempuan (28,6 HOK/tahun), dimana perempuan berpartisipasi pada
kegiatan pembuatan persemaian bibit, persiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan, serta pemanenan hasil non kayu. Sedangkan kegiatan
domestic (rumah tangga) hanya dilakukan oleh perempuan dengan curahan
waktu kerja sebesar 503,3 HOK/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
perempuan memiliki peran ganda dalam rumah tangga karena selain
perempuan aktif dalam kegiatan produktif juga aktif dalam kegiatan
domestic.
2. Suami memiliki peran yang lebih dominan pada pengambilan keputusan
yang dilakukan rumah tangga petani hutan rakyat yaitu dalam
pengambilan keputusan untuk kegiatan produktif hutan rakyat (73,3%),
pasca produksi (80%), pengelolaan keuangan hutan rakyat (66,7%), dan
aktivitas sosial (100%). Sedangkan pengambilan keputusan untuk
pengelolaan keuangan dalam rumah tangga dilakukan secara bersama
sesuai dengan kesepakatan yang setara antara suami dan istri. Istri
memiliki peran yang lebih dominan pada pengambilan keputusan yang
dilakukan seluruh responden rumah tangga dalam masalah domestik
keluarga, sehingga kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan sudah
cukup baik.
3. Kontribusi pendapatan hutan rakyat terbesar diperoleh oleh rumah tangga
petani pemilik lahan strata I (> 1 Ha) yaitu sebesar Rp. 16.035.000/tahun.
Namun, usaha hutan rakyat berkontribusi paling kecil (11,4%) terhadap
pendapatan total rumah tangga dibandingkan usaha lainnya.. Kontribusi
pendapatan paling besar (76,5%) adalah dari usaha di luar pertanian
(dagang) yang umumnya dilakukan oleh perempuan. Hal ini menunjukkan
bahwa partisipasi perempuan dalam kegiatan produktif berpengaruh besar
terhadap pendapatan keluarga.

5.2 Saran
1. Untuk meningkatkan hasil panen dan pendapatan ruamh tangga petani
hutan rakyat, maka perlu dilakukan pelatihan-pelatihan pengelolaan hutan
rakyat yang dapat diikuti para petani laki-laki maupun perempuan
terutama pelatihan tentang pembuatan persemaian , persiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan baik untuk produk kayu maupun non kayu, dan
pelatihan pemanenan hasil non kayu untuk para petani perempuan.
2. Perlu meningkatkan keterlibatan perempuan dalam kepengurusan
kelompok tani.
3. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi besarnya curahan waktu kerja yang
dihasilkan responden di Desa Curug Bitung.
43

DAFTAR PUSTAKA

Afriantho G. 2008. Prospek kontribusi hutan rakyat terhadap Pendapatan Asli


Daerah (PAD) Kabupaten Bogor (studi kasus hutan rakyat di Kecamatan
nanggung) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Agarwal B. 2009. Gender and forest conservation: the impact of women‟s
participation in community forest governance. Ecological Economics
Journal. 68(11) : 2785-2799.
Aini FN. 2014. Analisis gender dalam ketahanan pangan rumah tangga petani
hutan rakyat (kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon
Kabupaten Sukabumi) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Apriyanto D. 2016. Peningkatan peran hutan rakyat dalam mendukung ketahanan
pangan dan penanggulangan kemiskinan (kasus di Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Arupa. 2011. Potensi Hutan Rakyat. Yogyakarta : Arupa.
Balai Informasi Pertanian. 1982. Usaha Tani Hutan Rakyat Ciawi. Bogor : Balai
Informasi Pertanian.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2014. Opini
Pembangunan Keluarga Berencana. Jakarta : BKKBN.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1990. Sumatera Utara Dalam Angka 1990. Sumatera
Utara : BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta : Badan
Pusat Statistik [internet]. [diunduh 2019 Desember 17]
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2011. Kabupaten Bogor dalam
Angka 2011. Bogor : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.
Cohen L, Manion L, Morrison K. 2007. Research Methods in Education Sixth
Edition. New York (NY): Routledge.
Diniyati D, Achmad B, Santoso HB. 2013. Analisis finansial agroforestry sengon
di Kabupaten Ciamis (Studi kasus di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu).
Jurnal Penelitian Agroforestry. 1(1): 13-30.
Darusman D, E Fauziah, MY Mile, Triyono P. 2014. Sumbangsih Masyarakat
Pedesaan Untuk Hutan Tanaman. Yogyakarta : PT Kanisius.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Data Potensi
Hutan Rakyat di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal RLPS, Departemen
Kehutanan.
[Distanhut] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2017. Monografi
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2017. Bogor : Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.
Djajapertjuanda S. 2003. Mengembangkan Hutan Milik Di Jawa. Jatinangor :
Alqaprint.
Ermayani D. 2002. Kontribusi hutan rakyat terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Bogor (studi kasus hutan rakyat di Kecamatan
Leuwiliang dan Kecamatan Nanggung) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
[ESSC] Environmental Science For Social Change. 2006. Small Scale Tree
Farming In Asia: Java Case. Singapore : ESSC Inc.
Friday KS, M. Elmo, Garritx, dan P. Dennis. 1999. Rehabilitasi Padang Alang-
alang Menggunakan Agroforestri dan Pemeliharaan Permudaan Alam.
44

Bogor : International Center For Research in Agroforestry, Southeast Asian


Regional Research Programme.
Haeruman H, R Abidin, Hardjanto, E Suhendang. 1991. Studi Kemungkinan
Pengembangan Konservasi Lahan melalui Hutan Rakyat. Bogor : Fakultas
Kehutanan IPB.
Hafizianor, Muhayah R, Zakiah S. 2015. Analisis gender dalam pengelolaan
agroforestri dukuh dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga di
Desa Kartak Empat Kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar. J. Hutan
Tropis. 3(2): 113-144.
Hardjanto. 1990. Pengembangan Kebijakan Ekonomi dalam Pelestarian Hutan.
Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
________. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Dalam:
Suharjito, penyunting. Hutan Rakyat di Jawa Peranannya dalam
Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Masyarakat. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
________. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Suhardjito
D, editor. Bogor : Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Masyarakat (P3KM).
________. 2015. Pengelolaan Hutan Rakyat: Tantangan Keilmuan dan Dunia
Praktik ke Depan. Bogor : IPB Press.
________. 2017. Pengelolaan Hutan Rakyat. Bogor : IPB Press.
Hardjosoediro S. 1980. Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi dan Penghijauan
Hutan Alam dan Hutan Rakyat. Yokyakarta : Yayasan Pembinaan Fakultas
Kehutanan UGM.
Harrison S, J Herbohn, A Niskanen. 2002. Non industrial, smallholder, small-
scale and family forestry : What's in a Name?. Small-scale Forest
Economic,Management and Policy. 1(1): 1-11.
Hubbeis AVS. 2000. Suatu Pikiran Tentang Kebijakan Pemberdayaan
Kelembagaan Petani. Jakarta : Deptanhut.
Hutagaol MP, WR Susila, W Andayani, & H Puspitawati. 2007. Study On
Marketing Of Agro-Forestry Products (AFTPs) In Indonesia: A Case Of
Chasew Nuts In Wonogiri District, Central java province. Wonogiri : A
report funded by SEANAFE-ICRAF.
[Inpres]. Instruksi Presiden. 2000. Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional. Jakarta : Sekretarian Kabinet Republik Indonesia.
[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 1967. Undang-Undang Republik Indonesia
No.5 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Jakarta : Kementrian
Kehutanan RI.
[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 1999. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta : Kementrian Kehutanan
RI.
Kodiran. 2006. Peningkatan Partisipasi Wanita dan Pengembangan Hubungan
Industrial yang Berwawasan Gender Di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
[KOMNASHAM]. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2018. Mencapai
kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak
perempuan [Internet]. [Diunduh 2019 Des 11]. Tersedia pada:
https://sdg.komnasham.go.id/id/tujuan-5/.
45

Mindawati NA, Widiarti, B Rustaman. 2006. Hutan rakyat, pusat penelitian dan
pengembangan hutan tanaman [Review Hasil Penelitian]. Bogor : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Muis A. 2014. Peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat dan kesejahteraan
keluarga petani di Desa Sukamahi Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Narsiki. 2017. Peran gender dan kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan
rumah tangga petani [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Nur H. 2005. Motivasi petani dalam pengelolaan kahuma di areal hutan rakyat.
[tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
[PEMKAB]. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2013. Profil Desa Curug Bitung
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Bogor : Pemerintah Kabupaten
Bogor.
Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan. Jakarta : Sekretaris Negara Republik Indonesia.
Purwanto CSA, DR Indrawati, dan Wardoyo. 2004. Model-Model Pengelolaan
Hutan Rakyat (Private Forestry Models). Kebumen : Prosiding Ekspose
BP2TPDAS-IBB Surakarta.
Pusat Penyuluhan Kehutanan. 1996. Materi Penyuluhan Kehutanan I. Jakarta :
Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan.
Puspitawati H, Krisnatuti D. Gender dalam Keluarga. Soeryo Adiwibowo, editor,
Dalam: Buku Ekologi Manusia. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Rianse U, Abdi. 2009. Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi, Teori dan Aplikasi.
Bandung : Alfabeta.
Roslinda E. 2009. Peranan Perempuan dalam Usaha Konservasi Hutan Pada
Sistem Wanatani Berbasis Karet, Dalam: Prosiding Penelitian Agroforestri
di Indonesia Tahun 2006-2009. Bandar Lampung : ISBN 978-979-18755-8-
5.
Safe‟i , Sukmara MDP. 2019. Analisis spasial potensi hutan rakyat di Kabupaten
Bogor. Jurnal Belantara [JBL]. 2(1): 1-9.
Sajogyo P. 1990. Peranan Wanita dalam Perhutanan Sosial Suatu Studi Integrasi
Wanita dalam Pembangunan Kehutanan Menuju Era Tinggal Landas.
Bogor : Pusat Studi Wanita IPB.
Setiajiati F. 2012. Sejarah perkembangan hutan rakyat wilayah Bogor Barat
[skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Setyaningsih E. 2018. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan petani hutan rakyat (studi kasus: Kecamatan Leuwiliang,
Kecamatan Leuwisadeng, dan Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Simatauw M, L Simanjuntak, dan P.T. Kuswardono. 2001. Gender dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Kupang :
Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL).
Simon H. 1995. Pokok-pokok Pikiran Tinjauan Ekonomi Pengembangan Hutan
Rakyat, Dalam: Proceeding Seminar Pengembangan Hutan Rakyat. Riau :
10-11 April.
Simon H. 2010. Dinamika Hutan Rakyat di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Siregar UJ, Rachmi A, Massijaya MY, Ishibashi N, Ando K. 2006. Economic
analysis of sengon (Paraserianthes falcataria) community forest plantation,
46

a fast growing species in East Java, Indonesia. Forest Policy and


Economics. 9: 822-829.
Soekartawi et al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan
Petani Kecil. Jakarta : Penerbit UI.
Stephani C. 2009. Peran perempuan dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) (Studi kasus RPH Tanungkerta BKPH Tampomas
KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten). [skripsi].
Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Sudrajat A. 2015. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari: studi
kasus di Desa Cikeusal dan Desa Kananga Kabupaten Kuningan [tesis].
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa.
Bogor : Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat
Fakultas Kehutanan IPB.
Suharjito D. 2000. Apa Yang Dimaksud Hutan Rakyat?. Dalam: Didik Suharjito
(ed.) Hutan Rakyat di Jawa Peranannya dalam Perekonomian Desa. 2000.
Bogor : Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat
(P3KM). Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Sundawati L, D.R. Nurrochmat, L. Setyaningsih, H. Puspitawati, dan S. Trison.
2008. Pemasaran Produk-produk Agroforestry. Bogor : Kerjasama Fakultas
Kehutanan IPB Bogor dan World Agroforestry Center (ICRAF).
Suratiyah K. 2005. Ilmu Usaha Tani. Yogyakarta : Penebar Swadaya.
Suryaningsih WH, Purnaweni H, Izzati M. 2012. Persepsi dan perilaku
masyarakat dalam upaya pelestarian hutan rakyat di Desa Karangrejo
Kecamatan Loano Kabupate Purworejo. Jurnal Ekosains. 4(3): 27-38.
Suwardi M. 2010. Analisis gender dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan
kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga (kasus hutan
rakyat di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Yudischa R, Wulandari C, Hilmanto R. 2014. Dampak partisipasi wanita dan
faktor demografi dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKM) terhadap
pendapatan keluarga di Lampung Barat. Jurnal Sylva Lestari. 2(3): 59-72.
Wiliam-de Vries, D. 2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi
Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor : Center for International Forestry
Research (CIFOR).
47

LAMPIRAN

Lampiran 1 Jenis, indikator, sumber, dan metode pengumpulan data

Metode
Jenis data / Sumber
No. Indikator pengumpulan
Variabel data
data
Data Primer
1. Nama
2. Jenis kelamin
3. Pekerjaan
4. Umur
5. Tingkat pendidikan Responden
6. Jumlah anggota ( Rumah
Wawancara
keluarga tangga
Karakteristik dan
1. 7. Luas dan status anggota
responden observasi
pemilikan lahan hutan kelompok
lapang
rakyat dan non hutan tani hutan
rakyat rakyat )
8. Status pekerjaan (pokok
/ sampingan)
9. Status keanggotan
dalam kelompok tani
1. Sejak kapan petani
melakukan kegiatan
pengelolaan hutan
rakyat / budidaya pohon
?
2. Pola tanam yang
Responden
dilakukan pada kegiatan
( Rumah
pengelolaan hutan Wawancara
tangga
Potensi lahan rakyat dan
2. anggota
hutan rakyat 3. Luas lahan hutan rakyat observasi
kelompok
? lapang
tani hutan
4. Jenis tanaman yang
rakyat )
ditanam
5. Jarak tanam
6. Bentuk hutan yang di
kelola
7. Jumlah tanaman yang
ditanam
3. Sistem dalam Responden
Kegiatan apa saja yang
pengelolaan ( Rumah
ada dalam pengelolaan Wawancara
hutan rakyat dan tangga
hutan rakyat ? dan siapa dan
Peran produktif anggota
saja anggota rumah observasi
dalam kelompok
tangga yang ikut lapang
pengelolaan tani hutan
berperan ?
hutan rakyat rakyat )
48

Metode
Jenis data / Sumber
No. Indikator pengumpulan
Variabel data
data
Data Primer
Responden
Pekerjaan apa saja yang ( Rumah
Wawancara
Peran domestik biasanya dilakukan oleh tangga
dan
4. dalam rumah seluruh peran anggota anggota
observasi
tangga keluarga dalam rumah kelompok
lapang
tangga ? tani hutan
rakyat )
1. Curahan waktu setiap
anggota keluarga pada Responden
kegiatan produktif ( Rumah
Wawancara
pengelolaan hutan tangga
Curahan Waktu dan
5. rakyat anggota
Kerja observasi
2. Curahan waktu setiap kelompok
lapang
anggota keluarga pada tani hutan
kegiatan domestic rakyat )
rumah tangga
Pengambilan keputusan
pada setiap peran dalam
kegiatan produktif
pengelolaan hutan rakyat,
peran dalam kegiatan
domestic rumah tangga,
kegiatan sosial serta
pengambilan keputusan
dalam keuangan keluarga
masing masing
dikelompokkan kedalam
salah satu dari lima Responden
tingkatan pengambilan ( Rumah
Wawancara
Pengambilan keputusan, yaitu : tangga
6. dan
Keputusan 1. Pengambilan keputusan anggota
observasi
mutlak oleh istri. kelompok
lapang
2. Pengambilan keputusan tani hutan
mutlak oleh suami. rakyat )
3. Pengambilan keputusan
bersama didominasi
istri.
4. Pengambilan keputusan
bersama didominanasi
suami.
5. Pengambilan keputusan
bersama tanpa ada
salah satu yang
dominan.
49

Metode
Jenis data / Sumber
No. Indikator pengumpulan
Variabel data
data
Data Primer
1. Pendapatan dari
pengelolaan hutan
rakyat.
2. Pendapataan dari
Total
pertanian non hutan Responden
pendapatan
rakyat. ( Rumah
rumah tangga Wawancara
3. Pendapatan dari non tangga
dan Kontribusi dan
7. pertanian dan non hutan anggota
hutan rakyat observasi
rakyat. kelompok
terhadap lapang
4. Pendapatan total rumah tani hutan
pendapatan
tangga petani hutan rakyat )
rumah tangga
rakyat.
5. Persentase pendapatan
dari pengelolaan hutan
rakyat.
Data Sekunder
1. Kondisi geografis (letak
dan luas topografi,
kondisi fisik areal
lingkungan dan iklim),
dan data kondisi sosial
ekonomi (jumlah
penduduk, tingkat
Dinas
pendidikan, dan mata
Kehutanan
pencaharian) ,
Kabupaten
Demografi dan Potensi
Bogor, Data
Desa Curug Bitung. Studi
Kondisi umum Monografi
2. Luas dan potensi hutan pustaka,
lokasi penelitian Desa Curug
1. rakyat Desa Curug observasi
dan kelompok Bitung,
Bitung. lapang, dan
tani Sekretariat
3. Sarana dan prasarana wawancara
kelompok
serta aksesbilitas yang
tani Desa
ada.
Curug
4. Jumlah kelompok tani
Bitung
yang ada di Desa Curug
Bitung dan jumlah
anggota, tanggal
berdirinya, dan macam-
macam kegiatan dari
masing-masing
kelompok tani.
50

Lampiran 2 Dokumentasi selama penelitian

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 2 Dokumentasi wawancara kepada responden (a) wawancara kepada


ketua Kelompok Tani Bina Tani, (b) wawancara kepada sekretaris
Kelompok Tani Bina Tani, (c) wawancara kepada ketua Kelompok
Tani Sa‟uyunan, (d) wawancara kepada sekretaris Kelompok Tani
Sa‟uyunan, (e) wawancara kepada ketua Kelompok Tani Mekar
Lestari, (f) wawancara kepada sekretaris Kelompok Tani Mekar
Lestari.
51

(a) (b)

Gambar 3 Dokumentasi lahan pertanian non hutan rakyat yang dikelola responden
(a) lahan sawah, (b) lahan kebun non hutan rakyat.

(a) (b) (c)

Gambar 4 Dokumentasi lahan hutan rakyat yang dikelola responden (a) lahan
hutan rakyat dengan pola tanam agroforestri, (b) lahan hutan rakyat
dengan pola tanam monokultur, (c) lahan hutan rakyat dengan pola
tanam polikultur.

(a) (b)

Gambar 5 Dokumentasi bibit-bibit persemaian yang dibuat responden (a)


persemaian tanpa naungan, (b) persemaian dengan naungan.
52

Lampiran 3 Struktur Organisasi Kelompok Tani Bina Tani

Pembina Penanggung Penasehat


1. Penyuluhan kehutanan jawab 1. BPD
2. Penyuluhan pertanian 2. LPM
Kepala Desa 3. Ketua RW
Curug Bitung Cibeberkulon

Ketua

Enday Hidayat

Bendahara Sekretaris

Anda Riharja Didin Baharudin


Riharja

Anggota

Lampiran 4 Struktur Organisasi Kelompok Tani Mekar Lestari

Pembina Penanggung Penasehat


1. Penyuluhan kehutanan jawab 1. BPD
2. Penyuluhan pertanian 2. LPM
Kepala Desa 3. Ketua RW
Curug Bitung Telukwaru
4. Pak Encep

Ketua

Sukandar
Sekretaris
Bendahara
Yusuf
Karim Hermansyah
Anggota
53

Lampiran 5 Struktur Organisasi Kelompok Tani Sa‟uyunan

Pembina Penanggung Penasehat


1. Penyuluhan kehutanan jawab 1. BPD
2. Penyuluhan pertanian 2. LPM
Kepala Desa 3. Ketua RW
Curug Bitung Telukwaru

Ketua

Atma Wijaya

Bendahara Sekretaris

Sukarna Saidi

Anggota
54

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Medan pada tanggal 5 April 1998 dan merupakan
anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Junaidi Nasution dan Ibu
Herlina Batubara. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh di SMA N 13
Medan yang lulus pada tahun 2016 dan diterima sebagai mahasiswa program
sarjana (S-1) di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB pada
tahun yang sama melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi, yakni
sebagai wakil ketua komisi Public Relation IFSA LC-IPB pada tahun 2018-2019,
sebagai anggota divisi apresiasi dan seni BEM Fakultas Kehutanan pada tahun
2018-2019, sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan pada tahun
2018-2019, pengurus Komunitas Seni Budaya Masyarakat Rumput pada tahun
2018-2019, anggota PSM Agria Swara IPB pada tahun 2017, dan menjadi anggota
Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) sejak tahun 2018. Penulis telah
melaksanakan Praktik Umum Kehutanan (PUK) pada tahun 2018 di Suaka
Margasatwa Gunung Sawal, Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pangandaran,
dan Hutan Pendidikan Gunung Walat, serta telah mengikuti Kuliah Kerja Nyata
Tematik (KKN-T) di Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Penulis pernah menjadi anggota delegasi dalam acara Asia-Pasific Rainforest
Summit (APRS) di Yogyakarta pada tahun 2018. Penulis juga pernah mengikuti
lomba teater di IPB Art Contest pada tahun 2018 dan 2019, dan mengikuti
program Bina Cinta Lingkungan IPB di Desa Purasari tahun 2017.
Selain dalam organisasi, penulis juga aktif dalam beberpa kepanitiaan,
antara lain sebagai wakil ketua acara Forestry International Expo and Seminar
tahun 2018, sebagai anggota divisi Photography-Design-Decoration (PDD) pada
tahun 2017 dalam acara IPB Goes To School Medan, Forestry International Expo
and Seminar, dan Seminar Nasional Manajemen Hutan, pada tahun 2018 dalam
acara Managers Night, serta pada tahun 2019 dalam acara Forester Cup, anggota
divisi acara dalam acara Forest Management Cup tahun 2017, anggota divisi
Design-Decoration-Ticketing acara Semarak Kehutanan 2017, anggota divisi
konsumsi acara Fahutan Awarding Night tahun 2019, dan sebagai ketua acara
Managers Night tahun 2017.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi berjudul Analisis Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan
Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Kecamatan Nanggung
Kabupaten Bogor dibawah bimbingan: Dr Ir Leti Sundawati MSc F Trop.

Anda mungkin juga menyukai