Anda di halaman 1dari 42

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK EKOWISATA DI

KECAMATAN WEDA, KABUPATEN HALMAHERA TENGAH,


PROVINSI MALUKU UTARA

EXIST IN EXIST

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Hutan


Kota untuk Ekowisata di Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah,
Provinsi Maluku Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2017

Exist In Exist
NIM E34130048
ABSTRAK
EXIST IN EXIST. Perencanaan Hutan Kota untuk Ekowisata di Kecamatan
Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh
E.K.S. HARINI MUNTASIB dan RACHMAD HERMAWAN.

Weda merupakan ibukota baru Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi


Maluku Utara. Salah satu upaya untuk mencegah degradasi lingkungan akibat
pembangunan fisik yang tidak terkontrol adalah mempertahankan dan
memanfaatkan keberadaan ruang terbuka hijau seperti hutan kota menjadi
ekowisata. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah menyusun perencanaan
hutan kota untuk ekowisata di Weda. Penelitian ini dilakukan di beberapa
kawasan hijau Weda pada Februari-Maret 2017. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka, wawancara, dan observasi lapang. Analisis dan sintesis data
dilakukan secara deskriptif dan spasial terhadap berbagai aspek dan
dikembangkan menjadi rencana blok. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga
kawasan yang berpotensi menjadi hutan kota yaitu kawasan Telaga Nusliko di
Desa Nusliko, kawasan hutan dataran rendah di Desa Were, dan kawasan
mangrove di Desa Fidi Jaya. Kawasan mangrove terpilih menjadi kawasan hutan
kota yang akan dibuat perencanaan ekowisata. Kawasan ini dibagi menjadi 2 blok
utama yaitu blok intensif (ruang penerimaan dan ruang ekowisata) dan blok semi-
intensif (ruang perlindungan, ruang penyangga, dan ruang rehabilitasi).

Kata kunci: ekowisata, perencanaan hutan kota, Weda

ABSTRACT

EXIST IN EXIST. Urban Forest Planning for Ecotourism in Weda, Central


Halmahera District, North Maluku Province. Supervised by E.K.S. HARINI
MUNTASIB and RACHMAD HERMAWAN.

Weda is the new capital of Central Halmahera District, North Maluku


Province. One of the efforts to prevent environmental degradation due to
uncontrolled physical development is to maintain the existence of green open such
as urban forest space and utilize it as ecotourism. Therefore, this study aimed to
make urban forest planning for ecotourism in Weda. This study was conducted in
several green open space of Weda on Februay to March 2017. The data was
collected through literature study, interview, and field observation. Descriptive
and spatial analysis were employed in the research. A block plan was produced in
synthesis phase of the research. The result showed that there were three potential
areas of urban forest, i.e. Telaga Nusliko area in Nusliko Village, lowland forest
area in Were Village, and mangrove area in Fidi Jaya Village. Mangrove area is
selected as urban forest area to be planned for ecotourism. The area is divided into
two main blocks, i.e. intensive block (welcome area and ecotourism area) and
semi-intensive block (buffer area, protected area, and rehabilitation area).

Keywords: ecotourism, urban forest planning, Weda


PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK EKOWISATA DI
KECAMATAN WEDA, KABUPATEN HALMAHERA TENGAH,
PROVINSI MALUKU UTARA

EXIST IN EXIST

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib selaku pembimbing I dan Dr Ir
Rachmad Hermawan, MScF selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia
membimbing penulis selama proses pengerjaan tugas akhir ini, serta kepada Dr Ir
M. Buce Saleh, MS selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif penulis yang
telah memberikan saran dalam penulisan skripsi penulis. Ungkapan terima kasih
selanjutnya juga penulis sampaikan kepada Tanoto Foundation yang telah
mendukung penulis secara finansial ataupun non finansial dalam menyelesaikan
kuliah dan penelitian tugas akhir penulis.
Selain itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Rivani dari
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Halmahera Tengah, Bapak Yunus dan
Bapak Yudi dari BAPPEDA Kabupaten Halmahera Tengah, Bapak Zakih dari
Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara, Bapak Husain dari Dinas Pariwisata
Kabupaten Halmahera Tengah, Bapak Desman serta Bapak Tohirin dari BP DAS
Ake Malamo Ternate yang telah membantu penulis selama proses pengumpulan
data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mama, kakak Bio In
God Bless, seluruh keluarga di Weda, serta Reinaldhi Andriano Saputra dan
teman-teman sekalian yang telah mendukung penulis baik dengan doa dan kasih
sayangnya untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
Semoga tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2017

Exist In Exist
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
METODE 2
Lokasi dan Waktu 2
Alat dan Bahan 3
Prosedur Pengumpulan Data 3
Prosedur Analisis Data 6
Prosedur Sintesis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Beberapa Kawasan yang Mempunyai Peluang untuk Dipersiapkan menjadi
Hutan Kota 8
Kondisi Detail Kawasan Mangrove Desa Fidi Jaya 13
Perencanaan Hutan Kota untuk Ekowisata pada Kawasan Mangrove Desa Fidi
Jaya 26
SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 29
RIWAYAT HIDUP 32
DAFTAR TABEL

1 Kegunaan alat dan bahan penelitian 3


2 Kriteria dan penilaian pemilihan kawasan hutan kota di Kecamatan
Weda 9
3 Kondisi dan penilaian kawasan untuk dipersiapkan menjadi hutan kota 12
4 Pembagian blok serta aktivitas dan fasilitas yang dapat dikembangkan di
kawasan mangrove 28

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 2


2 Diagram Alur Penelitian 7
3 Peta persebaran kawasan yang berpotensi menjadi hutan kota di
Kecamatan Weda 8
4 Daya tarik wisata kawasan Telaga Nusliko 10
5 Tipe ekosistem kawasan hutan dataran rendah 11
6 Tipe ekosistem kawasan mangrove: (a) lahan kering (b) hutan mangrove
dan muara sungai 12
7 Peta kondisi aktual kawasan mangrove 14
8 Peta tutupan lahan kawasan mangrove 15
9 Peta kelas kemampuan lahan kawasan mangrove 17
10 Peta kekritisan lahan kawasan mangrove 17
11 Peta kerapatan tutupan vegetasi kawasan mangrove 21
12 Peta sebaran titik perjumpaan satwa di kawasan mangrove 21
13 Peta kualitas visual kawasan mangrove 23
14 Peta rencana blok kawasan mangrove 27
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Weda merupakan ibukota Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku


Utara yang mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan,
dan jasa serta memiliki infrastruktur seperti perkotaan pada umumnya. Kota ini
terletak di pinggir pantai dengan keanekaragaman ekosistem yang beragam mulai
dari ekosistem perairan sampai ekosistem daratan. Sebagai ibukota kabupaten
yang masih berkembang, Pemerintah Kecamatan Weda saat ini masih fokus
membangun kota ke arah pembangunan fisik. Oleh karena itu, agar tidak terjadi
perkembangan fisik yang tidak terkontrol menuju degradasi lingkungan yang
berdampak pada ketidaknyamanan masyarakat yang hidup dalam kota,
pembangunan Kecamatan Weda harus tetap memperhatikan kondisi ekologinya
yang masih utuh dan alami. Hal ini sesuai dengan Visi Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Halmahera Tengah yang telah ditetapkan ke dalam RPJMD tahun
2013-2017 yaitu “Pembangunan Berkelanjutan Menuju Masyarakat Halmahera
Tengah yang Sejahtera”.
Salah satu upaya untuk mewujudkan visi tersebut adalah dengan
memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau yang merupakan salah satu
komponen penting yang menyusun lingkungan perkotaan. Menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan (RTHKP), RTHKP merupakan bagian dari ruang terbuka
suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung
manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Luasan minimum RTHKP
tersebut ialah 20 % dari wilayah kota yang terdiri atas RTHKP publik dan
RTHKP privat. Salah satu jenis RTHKP yang diuraikan dalam peraturan tersebut
adalah hutan kota. Hutan kota menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002
merupakan hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan
rapat di dalam wilayah perkotaan pada tanah negara atau tanah hak, yang
ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Mengacu pada
peraturan tersebut maka Kecamatan Weda dianggap belum mempunyai hutan kota
karena belum ada kawasan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan
kota. Meskipun demikian Irwan (2008) menjelaskan bahwa pada hakikatnya hutan
kota merupakan komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh
di lahan kota atau sekitarnya baik berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol
dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan
kehidupan bagi satwa serta menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, dan
estetis. Berdasarkan definisi tersebut maka Kecamatan Weda memiliki beberapa
kawasan yang berpotensi menjadi hutan kota meskipun belum ditetapkan secara
resmi oleh pemerintah daerah.
Keberadaan beberapa kawasan tersebut harus dipertahankan dan
dimanfaatkan dengan optimal, baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial dengan
memanfaatkannya menjadi ekowisata. Ekowisata merupakan suatu model
pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau
daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain untuk
menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan
2

dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam dan peningkatan


pendapatan masyarakat setempat. Berdasarkan penjelasan tersebut maka terdapat
peluang untuk mengembangkan ekowisata di kawasan perkotaan selama dalam
kawasan tersebut masih ada daerah yang masih alami seperti di Kecamatan Weda.
Oleh karena itu, kajian mengenai perencanaan hutan kota untuk ekowisata di
Kecamatan Weda perlu dilakukan guna mendukung keberlanjutan kota.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menyusun perencanaan hutan kota untuk


ekowisata di Kecamatan Weda dengan rincian:
1. Inventarisasi kawasan-kawasan yang mempunyai peluang untuk dipersiapkan
menjadi hutan kota di Weda.
2. Mengetahui kondisi detail kawasan yang terpilih untuk dipersiapkan menjadi
hutan kota di Weda.
3. Menyusun perencanaan hutan kota untuk ekowisata pada kawasan yang
terpilih untuk dipersiapkan menjadi hutan kota di Weda.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di beberapa RTHKP yang ada di Kecamatan Weda,


Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara pada Februari 2017
sampai Maret 2017.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian


3

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah panduan
wawancara, binokuler, buku identifikasi flora dan fauna, kamera digital, GPS,
aplikasi Arc GIS, dan Google Earth dengan kegunaan seperti yang tercantum
dalam tabel 1.

Tabel 1 Kegunaan alat dan bahan penelitian

No. Alat dan Bahan Kegunaan


1. Panduan wawancara Mengambil data dari pemerintah daerah,
masyarakat, dan pengunjung potensial
2. Binokuler Mengamati satwa
4. Buku identifikasi flora Mengidentifikasi flora dan fauna
dan fauna
5. Kamera digital Dokumentasi data
6. GPS Mengambil koordinat lokasi di lapang
7. Aplikasi Arc GIS, dan Mengambil dan mengolah data spasial untuk
Google Earth membuat peta

Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dibagi ke dalam dua tahapan. Tahapan
pertama adalah inventarisasi kawasan hutan kota dan tahapan ke dua adalah
pengumpulan data untuk perencanaan kawasan hutan kota terpilih.

Inventarisasi Kawasan Hutan Kota


Metode yang akan digunakan pada tahapan ini adalah:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan tahap awal untuk mendapatkan data dan
informasi RTHKP di Kecamatan Weda. Beberapa pustaka yang digunakan,
antara lain peta tematik wilayah, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten,
Rencana Detail Tata Ruang Kota, serta kebijakan daerah mengenai
pembangunan kota, hutan kota ataupun wisata. Data yang dikumpulkan dari
studi pustaka ini merupakan titik awal untuk menjadi dasar pengembangan
hutan kota dan ekowisata.
2. Wawancara Pemerintah Daerah
Wawancara dilakukan secara mendalam kepada pemerintah daerah
untuk melengkapi dan menguatkan data yang telah dikumpulkan lewat studi
pustaka, yaitu data beberapa kawasan yang memiliki peluang untuk
dipersiapkan menjadi hutan kota di Kecamatan Weda. Beberapa unit
pemerintah daerah yang diwawancara, antara lain Dinas Kehutanan Provinsi
Maluku Utara, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera
Tengah, dan Bappeda Kabupaten Halmahera Tengah. Penentuan jumlah dan
pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling yang
mencakup responden yang dipilih karena karakeristik atau kriteria tertentu
sesuai dengan tujuan penelitian (Morissan 2012). Jumlah sampel dengan
teknik ini tidak dapat ditentukan secara matematis, melainkan ditentukan
4

sesuai kebutuhan data penelitian. Jumlah responden yang diwawancara pada


setiap unit pemerintah daerah adalah 2 orang yang terdiri dari 1 orang
pengambil keputusan utama dan 1 orang pelaksana atau yang menjalankan.
3. Observasi lapang
Observasi lapang dilakukan untuk melihat secara langsung kondisi
aktual beberapa lokasi yang mempunyai peluang untuk dipersiapkan menjadi
hutan kota, yaitu aksesibilitas kawasan, tipe ekosistem, dan daya tarik wisata.

Perencanaan Kawasan Hutan Kota Terpilih


Metode yang digunakan pada tahapan ini adalah:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data terkait kondisi
umum kawasan yang terpilih untuk dipersiapkan dan direncanakan menjadi
hutan kota untuk ekowisata. Kondisi umum kawasan tersebut terdiri atas,
kondisi fisik (letak, luas, penggunaan lahan, topografi, tanah, hidrologi, dan
iklim), kondisi biotik (tumbuhan dan satwa), dan kondisi sosial ekonomi
budaya (demografi, mata pencaharian, serta tradisi dan budaya) yang
diperoleh dari berbagai literatur seperti peta tematik wilayah, skripsi, tesis,
jurnal, ataupun buku.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan data terkait
pengembangan hutan kota yang telah dilakukan atau yang sedang
direncanakan. Wawancara dilakukan kepada beberapa pihak, yaitu:
a. Pemerintah daerah
Wawancara kepada pemerintah daerah dilakukan secara bersamaan dengan
wawancara pada tahapan penentuan kawasan. Wawancara kepada
pemerintah daerah pada tahapan ini dilakukan untuk mengumpulkan data
berupa kebijakan dan perencanaan pengembangan kota secara umum
ataupun hutan kota dan ekowisata secara khusus.
b. Masyarakat umum
Wawancara dilakukan kepada masyarakat di Kecamatan Weda secara
umum. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data persepsi
masyarakat terkait pentingnya menjaga keberadaan hutan kota,
pengembangan wisata di Kecamatan Weda, serta jenis wisata dan kegiatan
wisata yang pernah dilakukan masyarakat . Jumlah responden ditentukan
dengan terlebih dahulu menentukan jumlah dan memilih beberapa desa di
Weda yang akan dijadikan sampel. Pemilihan desa dilakukan dengan
beberapa kriteria, seperti jumlah penduduk desa, jarak desa dari kawasan
hutan kota, dan keterwakilan setiap sisi dan sudut Kecamatan Weda,
sedangkan jumlah desa sendiri disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.
Metode penentuan jumlah dan pemilihan sampel ini merupakan modifikasi
dari cluster sampling dan purposive sampling (Morissan 2012).
Berdasarkan metode tersebut maka ditentukan tiga desa yang dianggap
mewakili Kecamatan Weda secara umum, yaitu Desa Nusliko, Desa Were,
dan Desa Sidanga. Jumlah responden yang akan dijadikan sampel dari
keseluruhan desa yang telah dipilih adalah jumlah responden minimal
untuk wawancara yaitu 30 orang. Jumlah total responden tersebut
selanjutnya terbagi lagi menjadi sejumlah responden pada setiap desa
5

terpilih dengan menggunakan teknik proportionate stratified sampling


yaitu dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
nx : Jumlah responden pada satu desa
Nx : Jumlah populasi pada satu desa
N : Jumlah populasi keseluruhan desa terpilih
n : Jumlah total responden

Berdasarkan rumus tersebut, didapatkan jumlah responden di Desa


Nusliko sebanyak 3 orang, di Desa Were sebanyak 23 orang, dan di Desa
Sidanga sebanyak 4 orang. Jumlah responden tersebut mewakili jenis
kelamin (laki-laki dan perempuan) dan kelompok umur (remaja, dewasa,
dan tua).
c. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
Wawancara dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
yang terpilih untuk dipersiapkan menjadi hutan kota untuk ekowisata.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data persepsi masyarakat
tentang perencanaan hutan kota untuk ekowisata pada kawasan terpilih,
kegiatan wisata yang pernah dilakukan dan yang diharapkan dapat
dikembangkan di kawasan terpilih, serta kesiapan masyarakat dalam
pengelolaan kawasan. Total jumlah responden yang diwawancara adalah
jumlah responden minimal untuk wawancara yaitu sebanyak 30 responden
yang mewakili masyarakat yang tinggal di sisi utara, selatan, timur, dan
barat kawasan yang telah ditentukan, serta mewakili jenis kelamin (laki-
laki dan perempuan), kelompok umur (remaja, dewasa, dan tua), dan
beberapa responden yang berperan sebagai tokoh penting di kelompok
masyarakat.
3. Observasi lapang
Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi aktual kawasan
secara detail, antara lain:
a. Kondisi fisik
Data yang diambil untuk mengetahui kondisi fisik kawasan, yaitu letak,
aksesibilitas, sirkulasi, penggunaan lahan, hidrologi, dan iklim (suhu di
dalam dan di luar kawasan).
b. Kondisi biologis
Data yang diambil untuk mengetahui kondisi biologis kawasan, yaitu
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. Data tersebut diambil dengan
cara eksplorasi kawasan.
c. Potensi wisata
Data terkait potensi wisata baik objek-objek alami ataupun buatan diambil
dengan cara mengamati langsung atau eksplorasi kawasan.
6

Prosedur Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan di beberapa kawasan selanjutnya dianalisis


dengan membuat peta sebaran beberapa kawasan yang berpotensi untuk
dipersiapkan menjadi hutan kota di Weda. Analisis kualitatif juga dilakukan untuk
menentukan kawasan yang akan dibuat perencanaannya. Data yang telah
dikumpulkan pada kawasan terpilih selanjutnya dianalisis, baik secara deskriptif
kualitatif maupun secara spasial pada berbagai aspek, yaitu:
1. Aspek Kebijakan
Analisis dilakukan dengan cara menjabarkan review dokumen
perencanaan dan berbagai kebijakan yang terkait dengan pesngembangan kota
secara umum dan kawasan hutan kota terpilih secara khusus, baik yang telah
dikumpulkan dari hasil studi pustaka ataupun wawancara dengan pemerintah
daerah.
2. Aspek Biofisik
Analisis dilakukan dengan cara menjabarkan kondisi fisik dan biologis
kawasan hutan kota terpilih serta potensi dan kendala pengembangan
kawasan. Selain itu, pada analisis aspek biofisik juga dibuat peta kondisi
aktual kawasan, peta aksesibilitas dan sirkulasi, peta jenis tanah, peta
kemiringan lahan, peta tingkat bahaya erosi, peta hidrologi, peta tata guna
lahan, peta persebaran vegetasi, dan peta persebaran satwa.
3. Aspek Sosial Ekonomi Budaya
Analisis dilakukan dengan cara menjabarkan karakteristik, motivasi,
persepsi, dan preferensi masyarakat terkait dengan perencanaan hutan kota
untuk ekowisata, serta potensi dan kendala yang dimiliki.
4. Aspek Wisata
Analisis dilakukan dengan cara menjabarkan karakteristik, motivasi,
persepsi, dan preferensi pengunjung terkait dengan perencanaan hutan kota
untuk ekowisata, serta potensi dan kendala objek dan daya tarik wisata yang
dapat dikembangkan. Selain itu, pada analisis aspek wisata juga dilakukan
analisis kualitas visual yang menghasilkan peta analisis kualitas visual.

Prosedur Sintesis Data

Sintesis data merupakan tahapan akhir yang dilakukan dengan cara


menyusun perencanaan ekowisata pada kawasan yang terpilih untuk dipersiapkan
menjadi hutan kota. Pada tahapan ini dilakukan pembagian zona sesuai dengan
fungsinya yang selanjutnya dirumuskan menjadi peta rencana blok (block plan).
Peta rencana blok dibuat dengan cara melakukan tumpang tindih (overlay) seluruh
peta hasil analisis yang telah dilakukan. Rencana blok tersebut selanjutnya
dijadikan acuan untuk membuat gambaran jenis aktivitas wisata dan fasilitas apa
yang dapat dikembangkan. Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
7

Pengumpulan Data

Studi Pustaka Wawancara : Observasi


1.Pemerintah Daerah lapang
2.Masyarakat Umum
3.Masyarakat di Sekitar
Lokasi

Kawasan Terpilih

Kondisi Fisik: Kondisi Biologi Kondisi Sosial Potensi Wisata


1. Letak dan luas (Flora dan Ekonomi
2. Penggunaan Fauna) Budaya
lahan
3. Topografi
4. Hidrologi
5. Tanah
6. Iklim

Analisis Data

Aspek Biofisik Aspek Sosekbud Aspek Wisata Aspek


Kebijakan

Sintesis Data

Perencanaan Kawasan

Block Plan Jenis Aktivitas Jenis Fasilitas

Gambar 2 Diagram Alur Penelitian


8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa Kawasan yang Mempunyai Peluang untuk Dipersiapkan menjadi


Hutan Kota

Berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Perkotaan Weda tahun


2010-2030 dan hasil wawancara dengan Dinas Pariwisata serta Badan
Perencanaan dan Pengembangan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Halmahera
Tengah terdapat tiga kawasan utama yang memiliki peluang untuk dipersiapkan
menjadi hutan kota di Kecamatan Weda, yaitu kawasan Telaga Nusliko di Desa
Nusliko, kawasan hutan dataran rendah di Desa Were, dan kawasan mangrove di
Desa Fidi Jaya (Gambar 3).

Gambar 3 Peta persebaran kawasan yang berpotensi menjadi hutan kota di


Kecamatan Weda
Satu dari ketiga kawasan tersebut selanjutnya dipilih sebagai kawasan
prioritas yang akan direncanakan menjadi hutan kota untuk ekowisata dalam
penelitian ini. Berdasarkan hasil diskusi dengan dinas terkait terdapat beberapa
kriteria dengan penilaiannya yang menjadi pertimbangan dalam menentukan
kawasan prioritas tersebut (Tabel 2).
9

Tabel 2 Kriteria dan penilaian pemilihan kawasan hutan kota di Kecamatan Weda

Penilaian
No. Kriteria Tidak Memenuhi Kriteria Memenuhi Kriteria
(0) (1)
1. Lokasi Jauh dari pusat kota Dekat dengan pusat kota
Hanya ada satu jalan Terdapat lebih dari satu
2. Aksesibilitas
menuju kawasan jalan menuju kawasan
Luas kurang dari 0.25 Ha Luas lebih dari 0.25 Ha
3. Luas area dan lebih kecil dari dan paling besar di antara
kawasan lainnya kawasan lainnya
4. Tipe ekosistem Satu ekosistem Lebih dari satu ekosistem
Tidak terdapat atau
Lebih dari satu daya tarik
5. Daya tarik wisata terdapat satu daya tarik
wisata
wisata
Tanah hak dan tanah
Status kepemilikan
6. Tanah hak negara atau seluruhnya
lahan
tanah negara
Status perencanaan
Tidak direncanakan Direncanakan menjadi
7. oleh pemerintah
menjadi hutan kota hutan kota
daerah

Kawasan yang pertama adalah kawasan Telaga Nusliko yang terletak di


Desa Nusliko. Kawasan ini berada di pinggiran kota atau jauh dari pusat kota
yaitu di bagian selatan Kecamatan Weda. Pada Gambar 3 kawasan ini ditandai
dengan warna biru tua. Kawasan ini dari pusat kota dapat ditempuh dengan
berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan pribadi hanya melalui satu jalan
yang berada di pinggiran kota. Penduduk Kecamatan Weda menyebutnya sebagai
telaga karena kawasan ini mempunyai badan air yang menjorok jauh ke daratan
dan dikelilingi dengan bukit-bukit sehingga bentuknya menyerupai sebuah telaga.
Kawasan ini mempunyai luas area sebesar 110 Ha dan mempunyai berbagai tipe
ekosistem yaitu sebagian besar laut yang merupakan bagian dari Teluk Weda,
hutan mangrove di bagian tepi bukit, dan ekosistem hutan dataran rendah di
tengah bukit. Dishutbun Inhu (2007) menjelaskan bahwa kawasan yang memiliki
tipe ekosistem lebih dari satu merupakan kawasan yang lebih diprioritaskan untuk
dipersiapkan dan direncanakan menjadi hutan kota. Berdasarkan hasil wawancara
dengan penduduk setempat, gabungan dari berbagai tipe ekosistem tersebut
menghasilkan suatu pemandangan unik yang menjadi daya tarik wisata tersendiri
dari kawasan tersebut (Gambar 4). Purnomo et al. (2013) menjelaskan bahwa
semakin banyak objek yang menjadi daya tarik suatu kawasan maka semakin
besar peluang seseorang untuk mengunjungi kawasan tersebut). Berdasarkan
status kepemilikan lahannya, kawasan telaga ini sebagian milik negara dan
sebagian milik masyarakat. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 menjelaskan
bahwa kawasan hutan kota dapat dibangun baik di tanah hak ataupun tanah
negara. Meskipun demikian terdapat beberapa masalah yang mungkin terjadi
apabila suatu kawasan hutan kota dibangun pada lahan dengan status tanah hak.
Pada PP No. 63 tahun 2002 dijelaskan bahwa kawasan dengan status tanah hak
dapat ditetapkan sebagai hutan kota tanpa pelepasan hak atas tanah dan
10

pemerintah daerah harus memberikan insentif kepada pemegang hak atas tanah
yang lahannya ditetapkan menjadi hutan kota. Selain dikhawatirkan akan
memberikan peluang bagi pemegang hak atas tanah untuk sewaktu-waktu menjual
atau mewarisi tanah, membuat bangunan, ataupun melakukan hal lain yang dinilai
lebih menguntungkan dibandingkan mempertahankannya menjadi hutan kota,
pemberian intensif juga menjadi biaya tambahan dan beban tersendiri dalam
pembangunan hutan kota. Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Tengah telah
merencanakan kawasan ini sebagai salah satu objek wisata utama yang dapat
dikembangkan di Kecamatan Weda dalam bentuk rencana tapak (site plan).
Berdasarkan kondisi tersebut maka kawasan ini dinilai telah memenuhi tiga dari
tujuh kriteria penilaian yang telah ditetapkan, yaitu kriteria tipe ekosistem, daya
tarik wisata, dan status kepemilikan lahan.

Gambar 4 Daya tarik wisata kawasan Telaga Nusliko


Kawasan yang kedua adalah kawasan hutan dataran rendah yang terletak di
Desa Were. Kawasan ini berada dekat dengan pusat kota yaitu di bagian utara
Kecamatan Weda. Ghorbani dan Fakur (2016) menjelaskan bahwa kawasan yang
lebih dekat dengan pusat kota dinilai mempunyai potensi yang lebih besar untuk
dikembangkan dibandingkan menjadi hutan kota dibandingkan kawasan yang ada
di pinggiran kota dan jauh dari pusat kota. Pada Gambar 3 kawasan ini ditandai
dengan warna merah. Barron et al. (2016) menjelaskan bahwa aksesibilitas juga
merupakan salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan
hutan kota, begitu juga kaitannya dengan ekowisata. Mill (2000) menjelaskan
aksesibilitas pada konteks wisata merupakan tingkat kemudahan wisatawan untuk
berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata. Tingkat kemudahan tersebut dapat
diukur dengan berbagai variabel, seperti jarak tempuh, waktu tempuh, kualitas
jalan, jaringan jalan, dan transportasi (Miro 2004). Kawasan ini dari pusat kota
dapat ditempuh dengan berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan pribadi
melalui beberapa jalan yang berada di pusat dan pinggiran kota. Kawasan ini
mempunyai luas area sebesar 108 Ha dan memiliki tipe ekosistem hutan dataran
rendah yang membentuk bukit (Gambar 5). Selain suasana hutan dataran rendah,
pemandangan Kecamatan Weda yang terlihat dari atas bukit merupakan potensi
daya tarik wisata pada kawasan ini. Sampai saat ini belum ada akses berupa jalur
yang memang sengaja dibuat untuk masuk ke dalam kawasan ini. Berdasarkan
status kepemilikan lahannya, kawasan ini sebagian merupakan milik negara dan
sebagiannya lagi masih merupakan milik masyarakat. Gul et al. (2006)
11

menjelaskan bahwa suatu kawasan yang akan dipersiapkan menjadi hutan kota
sebaiknya merupakan kawasan yang sejak awal sudah direncanakan oleh
pemerintah daerah menjadi hutan kota agar dapat sejalan dengan rencana yang
sudah ditetapkan. Pemerintah daerah telah merencanakan kawasan ini sebagai
hutan kota dengan bentuk Taman Hutan Raya (TAHURA) yang dapat
dikembangkan di Kecamatan Weda dalam Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL) Kawasan Hijau Kawasan Weda Kabupaten Halmahera
Tengah. Berdasarkan kondisi tersebut maka kawasan ini dinilai telah memenuhi
lima dari tujuh kriteria penilaian yang telah ditetapkan, yaitu kriteria lokasi,
aksesibilitas, daya tarik wisata, status kepemilikan lahan, dan status perencanaan
kawasan oleh pemerintah daerah.

Gambar 5 Tipe ekosistem kawasan hutan dataran rendah


Kawasan yang ketiga adalah kawasan mangrove yang terletak di Desa Fidi
Jaya. Kawasan ini berada dekat dengan pusat kota yaitu di bagian utara
Kecamatan Weda. Pada Gambar 3 kawasan ini ditandai dengan warna ungu.
Kawasan ini dari pusat kota dapat ditempuh dengan berjalan kaki ataupun
menggunakan kendaraan pribadi melalui beberapa jalan yang berada di pusat dan
pinggiran kota. Kawasan ini mempunyai luas area yang paling besar dibanding
dua kawasan lainnya yaitu 112.66 Ha. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor: P.71/Menhut-II/2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Hutan Kota, luas minimal hutan kota dalam satu hamparan yang
kompak paling sedikit 0.25 Ha. Gul et al. (2006) juga menjelaskan bahwa
kawasan hutan kota harus mempunyai luas yang cukup besar untuk meningkatkan
peluang beragam pemanfaatan pada kawasan tersebut. Selain itu, luas area juga
menjadi sangat penting dalam mempertimbangkan aspek wisata dari suatu
kawasan hutan kota. Kawasan yang lebih luas diharapkan dapat menyediakan
ruang yang lebih besar untuk kegiatan rekreasi dengan sedikit atau tidak sama
sekali menghilangkan atau merusak sejumlah komunitas vegetasi ataupun satwa
dalam kawasan tersebut. Kawasan ini memiliki berbagai tipe ekosistem, yaitu
muara sungai, lahan kering, dan sebagian besar hutan mangrove (Gambar 6).
Berbeda dengan ekosistem hutan dataran rendah yang umum dijumpai di berbagai
kota, ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang hanya dapat
dijumpai di kota-kota tertentu, yaitu kota yang umumnya adalah kota-kota yang
terletak di dekat pantai atau muara sungai, seperti Kecamatan Weda. Keberadaan
ekosistem hutan mangrove pada Kecamatan Weda ini memiliki fungsi dan
12

manfaat tersendiri yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan utama yang


umum terjadi pada Kecamatan Weda dan kota-kota lain yang terletak di pinggir
pantai. Adapun fungsi dari ekosistem hutan mangrove ini antara lain, sebagai
pengendali terjadinya abrasi dan intruisi air laut, pemecah angin, hingga sebagai
tempat berkembang biak satwa air (Arief 2003). Selain bermanfaat secara
ekologis, berbagai tipe ekosistem yang dimiliki kawasan ini juga merupakan
pemandangan unik yang berpotensi menjadi daya tarik wisata pada kawasan ini.
Berdasarkan status kepemilikan lahannya, sebagian besar kawasan ini merupakan
milik negara, sedangkan sebagian milik masyarakat. Sampai saat ini, pemerintah
daerah telah merencanakan kawasan ini sebagai hutan kota dengan pengembangan
wisata yang dapat dikembangkan di Kecamatan Weda dalam RTBL Kawasan
Hijau Kawasan Weda Kabupaten Halmahera Tengah. Berdasarkan kondisi
tersebut maka kawasan ini dinilai telah memenuhi ketujuh kriteria yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, kawasan mangrove di Desa Fidi Jaya dipilih sebagai
kawasan yang diprioritaskan untuk dipersiapkan dan direncanakan menjadi hutan
kota untuk ekowisata di Kecamatan Weda pada penelitian ini (Tabel 3).

(a) (b)
Gambar 6 Tipe ekosistem kawasan mangrove: (a) lahan kering (b) hutan
mangrove dan muara sungai
Tabel 3 Kondisi dan penilaian kawasan hutan kota di Kecamatan Weda

No. Kriteria Kawasan Telaga Kawasan Hutan Kawasan Mangrove


Nusliko Dataran Rendah
1. Lokasi Desa Nusliko, Desa Were, terletak Desa Fidi Jaya,
Terletak di di pusat kota. (1) terletak dekat dengan
pinggiran kota dan pusat kota. (1)
jauh dari pusat kota.
(0)
2. Aksesibilitas Dapat dicapai Dapat dicapai dengan Dapat dicapai dengan
dengan melalui satu melalui beberapa melalui beberapa jalan
jalan di pinggiran jalan di pusat dan di di pusat dan di
kota. (0) pinggiran kota. (1) pinggiran kota. (1)
3. Luas area 110 Ha. (0) 108 Ha. (0) 112.66 Ha. (1)
4. Tipe Laut/teluk, hutan Hutan dataran Muara sungai dan
ekosistem mangrove, dan rendah. (0) hutan mangrove. (1)
hutan dataran
rendah. (1)
13

Tabel 4 Kondisi dan penilaian kawasan hutan kota di Kecamatan Weda (lanjutan)

No. Kriteria Kawasan Telaga Kawasan Hutan Kawasan Mangrove


Nusliko Dataran Rendah
5. Daya tarik Pemandangan Suasana hutan Pemandangan laut,
wisata laut/teluk/telaga dan
dataran rendah dan muara sungai, dan
bukit di sekitarnya.pemandangan hutan mangrove yang
(1) Kecamatan Weda membentuk pulau
yang dapat dilihat mangrove. (1)
dari atas bukit. (1)
6. Status Tanah hak dan tanah Tanah hak dan tanah Tanah hak dan tanah
kepemilikan negara. (1) negara. (1) negara. (1)
lahan
7. Status Telah dibuat site Masuk dalam RTBL Masuk dalam RTBL
perencanaan plan untuk objek Kawasan Hijau Kawasan Hijau
kawasan oleh wisata oleh Dinas Kawasan Weda Kawasan Weda
pemerintah Pariwisata Kabupaten Kabupaten Halmahera
daerah Kabupaten Halmahera Tengah Tengah sebagai hutan
Halmahera Tengah. sebagai hutan kota kota dengan
(0) yang berbentuk pengembangan
TAHURA. (1) wisata. (1)
Nilai 3 5 7

Kondisi Detail Kawasan Mangrove Desa Fidi Jaya

Aspek Biofisik
1. Letak, luas, serta aksesibilitas dan sirkulasi kawasan
Kawasan mangrove di Desa Fidi Jaya secara geografis terletak pada
0 20’5.50” LU - 0020’54.09” LU dan 127051’56.70” BT - 127052’247.36” BT dan
0

secara administratif terletak di Desa Fidi Jaya yaitu di bagian timur laut
Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Lokasi
kawasan ini berada dekat dengan pusat kota, yaitu 1 km dari pusat kota. Kawasan
ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari pusat kota dengan berjalan kaki
selama 10-20 menit dan dengan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum
selama 5-10 menit. Jalan menuju kawasan ini berupa jalan aspal, sehingga mudah
untuk dilewati. Kawasan ini memiliki luas area sebesar 112.66 Ha (Gambar 7).
Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat satu akses masuk ke dalam kawasan yaitu
Pasar Weda yang berada di sebelah selatan kawasan. Pada kondisi aktualnya
diketahui bahwa keberadaan pasar ini memberikan dampak buruk bagi lingkungan
di sekitarnya, khususnya bagi daerah muara sungai di bagian belakang pasar ini.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya limbah padat ataupun cair dari pasar
tersebut yang dibuang langsung ke muara sungai. Selain itu, pada bagian belakang
pasar ini terdapat juga bangunan-bangunan illegal seperti warung-warung kecil
yang masuk ke dalam wilayah sempadan sungai yaitu 10-15 meter dari tepi sungai
kecil menurut Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah No. 1 Tahun 2012.
Oleh karena itu, area Pasar Weda sebagai akses masuk menuju kawasan mangrove
14

ini perlu ditata kembali dan dikelola limbahnya untuk meminimalisir dampak
negatif bagi lingkungan di sekitarnya.

Gambar 7 Peta kondisi aktual kawasan mangrove


Kawasan mangrove ini belum mempunyai jalur khusus yang dibuat untuk
dapat mengakses bagian dalam hutan mangrove. Sungai yang berada di bagian
dalam kawasan merupakan satu-satunya akses yang dapat dilewati untuk
mengelilingi kawasan dengan menggunakan perahu kecil. Hal ini menyebabkan
potensi wisata pada kawasan ini belum dapat diakses secara maksimal. Oleh
karena itu, untuk menciptakan akesibilitas dan sirkulasi dalam kawasan yang lebih
baik perlu dibuat jalur khusus dengan sistem sirkulasi yang dapat memungkinkan
pengunjung untuk dapat mengakses seluruh kawasan. Nugraha et al. (2015)
menjelaskan bahwa jalur yang dapat digunakan pada kawasan mangrove dapat
berupa jembatan kayu yang tingginya disesuaikan dengan kondisi pasang surut
kawasan.
2. Penggunaan Lahan
Berbeda dengan tutupan lahan, penggunaan lahan mencerminkan hasil
kegiatan manusia atas lahan serta statusnya (Bakosurtanal 2007). Berdasarkan
peta tutupan lahan Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2015 yang diperoleh dari
BP-DAS Ake Malamo Ternate, diketahui bahwa tutupan dan penggunaan lahan di
kawasan mangrove ini terbagi menjadi empat, yaitu badan air berupa aliran sungai
yang masuk ke dalam wilayah Ake Fidi, hutan mangrove, pertanian lahan kering
campur semak, dan pemukiman berupa area komersil yang berfungsi sebagai
perdagangan dan jasa yaitu Pasar Weda (Gambar 8).
15

Gambar 8 Peta tutupan lahan kawasan mangrove


Ake Fidi merupakan aliran sungai yang dimanfaatkan warga untuk
memancing ikan baik untuk keperluan pribadi ataupun untuk dijual kembali.
Selain itu, bagian muara yang berhubungan langsung dengan Teluk Weda juga
menjadi akses atau jalur transportasi warga dari Desa Sidanga menuju Desa Fidi
Jaya ataupun sebaliknya. Hutan mangrove di sekitar aliran sungai tersebut
sebelumnya sempat dimanfaatkan warga untuk mengambil kayu bakar, akan tetapi
kegiatan tersebut sudah berhenti setelah dilakukan sosialisai oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah tentang pentingnya menjaga ekosistem
mangrove dan larangan serta sanksi yang berlaku apabila melakukan tindakan
yang merusak ekosistem mangrove sesuai UU RI No. 18 Tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Area pertanian lahan kering
campur semak merupakan bekas tanah garapan yang sebelumnya dimanfaatkan
warga untuk menanam tanaman seperti kelapa, singkong, ubi, cengkeh, pala,
pisang, dan tanaman pangan lainnya baik untuk keperluan pribadi ataupun untuk
dijual kembali. Namun, kondisi area tersebut saat ini sudah tidak terawat,
sehingga lebih banyak ditumbuhi oleh semak dan tumbuhan liar lainnya.
Pengelolaan lebih lanjut perlu dilakukan untuk memulihkan kondisi area ini agar
memberikan manfaat yang optimal. Adanya aktivitas manusia di sekitar kawasan
dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya memungkinkan
terjadinya perubahan penutupan ataupun penggunaan lahan. Perubahan penutupan
lahan akan mengancam kondisi DAS dalam menjalankan fungsi ekologisnya.
Oleh karena itu, pemanfaatan kawasan menjadi hutan kota dengan pengembangan
wisata di dalamnya dapat menjadi salah satu cara untuk mempertahankan kondisi
penutupan dan penggunaan lahan saat ini.
16

3. Tanah
Berdasarkan analisis jenis tanah menurut peta hidrogeologi Kecamatan
Weda 2016 diketahui bahwa kawasan mangrove ini mempunyai jenis tanah
alluvial dan endapan pantai yang terdiri dari lempung, lanau, pasir dan kerikil.
Tanah alluvial merupakan jenis tanah yang terjadi karena endapan lumpur yang
biasanya terbawa karena aliran sungai. Hardjowigeno (2003) menjelaskan bahwa
tanah alluvial mempunyai tingkat kesuburan bervariasi dari rendah hingga tinggi,
tekstur sedang hingga kasar, kandungan bahan organik dari rendah hingga tinggi,
pH berkisar dari masam, netral, hingga alkalin, serta kejenuhan basa dan kapasitas
tukar kation bervariasi tergantung dari bahan induk. Tanah ini tergolong tidak
peka terhadap erosi, sehingga dapat dibangun dengan bangunan non permanen
dan semi permanen. Sebagian tanah pada kawasan ini yaitu di area mangrove
masih berlumpur, sehingga dibutuhkan fasilitas jembatan sebagai jalur yang dapat
digunakan pengunjung untuk mengelilingi kawasan.
Lahan pada kawasan mangrove ini memiliki kelas kemampuan lahan yang
berbeda walaupun memiliki jenis tanah yang sama dalam satu kawasan.
Berdasarkan analisis peta kemampuan lahan yang didapat dari BAPPEDA
Kabupaten Halmahera Tengah, diketahui bahwa area mangrove pada kawasan ini
tergolong sebagai lahan dengan kemampuan kelas V, sedangkan sebagian besar
area pertanian lahan kering campur semak tergolong sebagai lahan dengan
kemampuan kelas III (Gambar 9). Tanah dengan kemampuan lahan pada kelas V
di area mangrove ini merupakan lahan yang selalu tergenang air, sehingga tidak
sesuai untuk usaha pertanian tanaman semusim dan lebih sesuai untuk dijadikan
hutan. Tanah dengan kemampuan lahan pada kelas III di area pertanian lahan
kering campur semak mempunyai faktor pembatas salah satunya adalah drainase
yang jelek (Arsyad 2006). Faktor pembatas ini membuat tanah pada kelas ini
memerlukan tindakan konservasi yang serius apabila digunakan untuk usaha
pertanian, sehingga pemerintah daerah menetapkan salah satu upaya konservasi
yang akan dilakukan pada area ini adalah memperbaiki drainase tanah.
Berdasarkan kelas kemampuan lahan ini, pemerintah daerah menetapkan bahwa
lahan pada area ini sesuai untuk dijadikan area pertanian dengan intensitas sedang.
Penggunaan lahan oleh penduduk yang tidak sesuai dengan kemampuan
lahan serta kondisi alami area pertanian lahan kering campur semak ini
menyebabkan area ini tergolong ke dalam kategori lahan kritis berdasarkan
analisis peta kekritisan lahan yang diperoleh dari BP DAS Ake Malamo (Gambar
10). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 52/Kpts-II/2001 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, lahan kritis
merupakan lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut
tidak berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi
maupun sebagai media tata air. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kabupaten
Halmahera Tengah menetapkan area ini sebagai salah satu sasaran rehabilitasi
hutan dan lahan dalam Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun
2010-2016.
17

Gambar 9 Peta kelas kemampuan lahan kawasan mangrove

Gambar 10 Peta kekritisan lahan kawasan mangrove


18

4. Topografi
Kondisi topografi erat kaitannya dengan kemiringan lahan. Kemiringan
lahan ini sangat penting untuk diketahui karena dapat menjadi dasar dalam
penempatan pengembangan objek dan atraksi wisata, serta pengembangan sarana
dan prasarana pendukung wisata yang nyaman bagi pengunjung (Putri 2012).
Berdasarkan analisis kemiringan lahan menurut peta kemiringan lahan Kecamatan
Weda, diketahui bahwa kawasan mangrove ini mempunyai topografi datar dengan
kelerengan 0-3%. Kondisi ini memungkinkan tapak untuk dilakukan
pembangunan fasilitas atau sarana prasarana yang mendukung wisata
(Hardjowigeno dan Widyatmaka 2007). Akan tetapi, kondisi ini juga
menyebabkan sebagian besar wilayah ini yaitu di kawasan hutan mangrove masih
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga konstruksi fasilitas atau sarana
prasarana untuk mendukung wisata yang akan dibangun pada wilayah ini
sebaiknya terbatas dan menyesuaikan kondisi tersebut.
5. Hidrologi
Kawasan mangrove ini merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ake Fidi yang bagian muaranya berhubungan langsung dengan Teluk Weda.
Djamhur (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Teluk Weda mempunyai
tipe pasang surut air laut semidiurnal condong keharian ganda (mixed tide
prevailing semidiurnal). Tipe pasang surut tersebut merupakan tipe dimana dalam
satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode
yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar kawasan khususnya
wilayah hutan mangrove dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pasang surut air
laut inilah yang menyebabkan terbentuknya zonasi vegetasi mangrove.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa aliran sungai yang ada dekat
Pasar Weda disalahgunakan oleh penduduk setempat untuk pembuangan limbah
padat ataupun cair. Hal ini menyebabkan menurunnya kualitas air sungai yang
juga berdampak pada kelestarian biota air yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengelolaan limbah yang lebih efektif untuk mencegah peningkatan pencemaran
yang terjadi pada sungai tersebut. Selain itu, dibutuhkan juga penataan daerah
sempadan sungai agar tidak terus menerus disalahgunakan penduduk setempat
menjadi lahan pemukiman ataupun tempat usaha (Asdak 2007). Selain sungai
yang bermuara pada Teluk Weda, terdapat juga saluran air di tepi kawasan yang
berbatasan dengan jalan. Saluran ini merupakan bagian dari sistem drainase mayor
berupa saluran primer yang dibuat oleh pemerintah Kecamatan Weda untuk
mencegah terjadinya genangan ataupun banjir pada wilayah sekitarnya. Air yang
dialirkan pada saluran ini selanjutnya langsung dialirkan ke sungai Fidi.
6. Iklim
Berdasarkan data yang diperoleh dari Statisiun Meteorologi Babullah
Ternate diketahui bahwa pada tahun 2016 Kecamatan Weda memiliki curah hujan
bulanan berkisar antara 73.2 mm – 336.9 mm. Nugraha et al. (2015) menjelaskan
bahwa curah hujan yang relatif rendah akan mendukung kegiatan wisata alam.
Sementara itu, data suhu dan kelembaban udara pada Kecamatan Weda belum
tersedia pada stasiun tersebut, sehingga suhu dan kelembaban udara Kecamatan
Weda diasumsikan sama atau tidak beda jauh dengan suhu dan kelembaban udara
Ternate. Berdasarkan data yang diperoleh dari stasiun tersebut, diketahui bahwa
pada tahun 2016 suhu udara Ternate berkisar antara 26.90C – 28.20C, sedangkan
kelembaban udaranya berkisar antara 76 % - 85 %,
19

Berdasarkan hasil pengukuran suhu diketahui bahwa bagian dalam kawasan


mangrove ini memiliki suhu rata-rata sebesar 260C, sedangkan suhu rata-rata pada
bagian luar kawasan yang dekat dengan jalan sebesar 270C. Hadi et al. (2012)
menjelaskan bahwa perbedaan suhu ini dapat terjadi akibat perbedaan intensitas
radiasi matahari yang secara langsung masuk pada kedua titik pengamatan. Titik
pengamatan di dalam kawasan tentunya lebih sedikit terkena radiasi cahaya
matahari secara langsung dibandingkan dengan titik pengamatan di luar kawasan
karena terhalangi oleh vegetasi yang ada. Keberadaan vegetasi akan
meningkatkan penyerapan energi cahaya matahari dan CO2 dan menghasilkan O2
dan H2O melalui prosese fotosintesis dan transpirasi, sehingga udara terasa lebih
sejuk dan teduh (Lakitan 2002). Sebaliknya, sedikitnya vegetasi pada daerah di
luar kawasan menyebabkan radiasi cahaya matahari lebih banyak secara langsung
mengenai permukaan jalan, sehingga lebih banyak juga radiasi cahaya matahari
yang diserap dan dipantulkan oleh permukaan jalan dan menyebabkan kenaikan
suhu yang lebih besar (Faruq 2011). Selain itu, besarnya suhu di luar kawasan
juga disebabkan oleh adanya aktivitas yang menghasilkan sumber panas dan
memicu peningkatan suhu, yaitu mobilitas kendaraan. Oliveira et al. (2011)
menjelaskan bahwa adanya kawasan hijau di wilayah perkotaan dapat
meminimalisir efek peningkatan suhu udara tersebut dengan menciptakan kondisi
pendinginan suhu udara sekitarnya yang biasa disebut dengan cooling effect.
Kondisi udara yang nyaman pada kawasan mangrove ini akan mendukung
kegiatan wisata yang akan dikembangkan.
7. Tumbuhan dan Satwa
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa beberapa jenis tumbuhan
yang paling banyak dijumpai pada area mangrove di kawasan ini antara lain,
Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina,
Nypa fructicans, dan Metroxylon sagu. Selain itu, berdasarka data yang diperoleh
dari Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2016, terdapat juga
beberapa jenis tumbuhan lain seperti, Sonneratia casiolaris, Ceriops tagal,
Ceriops decandra, Bruguiera gymonoriza, Bruguiera cylindrical, dan Avicennia
alba. Tumbuhan ini sebagian besar tumbuh alami dan sebagian sengaja ditanam
oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah yaitu pada bagian barat
kawasan dalam rangka memulihkan kondisi hutan mangrove yang sempat
dieksploitasi penduduk untuk diambil kayunya. Pola penyebaran tumbuhan ini
dipengaruhi oleh substrat dasar (Arief 2003). Jenis Rhizophora sp. umumnya
mendominasi bagian dengan kondisi substrat yang berlumpur dan perairan yang
relatif tenang. Selain itu, terdapat pula mangrove jenis Sonneratia sp. yang
tumbuh diantara Rhizophora sp. Jenis Ceriops sp. berada di bagian belakang
Rhizophora sp. dan Sonneratia sp, sedangkan jenis Nypa sp. hanya ditemui
beberapa di daerah yang berhadapan dengan perairan dan umumnya banyak
dijumpai pada bagian yang jauh ke darat. Selain area mangrove, beberapa jenis
tumbuhan yang tumbuh secara alami ataupun yang sengaja ditanam juga terdapat
pada area pertanian lahan kering campur semak, seperti kelapa, singkong, ubi,
pisang, cengkeh, pala, dan sebagian besar semak.
Berdasarkan analisis peta kerapatan vegetasi yang diperoleh dari BP DAS
Ake Malamo diketahui bahwa area mangrove memiliki kerapatan vegetasi yang
tergolong tinggi, sedangkan area pertanian lahan kering campur semak memiliki
kerapatan vegetasi yang tergolong sedang (Gambar 11). Salah satu upaya
20

pengelolaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kerapatan vegetasi di area


pertanian lahan kering campur semak adalah dengan menanam beberapa jenis
tanaman baik tanaman kehutanan dan tanaman pertanian yang biasa disebut
dengan Sistem Agroforestri. Menurut BPK Solo (2010), Agroforestri memberikan
kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan antara lain,
mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung kesehatan DAS, mengurangi
konsentrasi gas rumah kaca, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Selain
itu, Tellstrom (2014) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa Agroforestri
merupakan cara yang menarik untuk membangun hutan kota karena membuat
suatu kawasan dengan jasa lingkungan yang ada di dalamnya memungkinkan
untuk berbagai jenis pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap keberadaan hutan kota tersebut dan membuat
perlindungan hutan kota berjalan lebih efektif. Dengan kata lain Agroforestri
merupakan upaya pengelolaan untuk membuat suatu lahan dapat memberikan
manfaat baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Jenis tanaman kehutanan yang
akan ditanam sebaiknya jenis-jenis lokal.
Selain tumbuhan terdapat juga beragam jenis satwa yang ditemukan
langsung dalam kawasan mangrove ini yaitu, burung gereja (Passer montanus),
kasturi ternate (Lorius garrulus), kipasan kebun (Rhipidura leucophrys), raja
udang biru langit (Alcedo azurea), cekakak murung (Todiramphus funebris),
burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), tepekong kumis (Hemiprocne
mystacea), layang-layang batu (Hirundo tahitica), wallet sapi (Collocalia
esculenta), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan dara laut kumis (Chlidonias
hybrida). Satwa-satwa tersebut ditemukan menyebar pada beberapa titik
pengamatan (Gambar 12). Status konservasi yang dimiliki satwa-satwa tersebut
menurut IUCN Redlist sebagian besar adalah Least Concern, kecuali burung
kasturi ternate yang merupakan burung endemik Maluku Utara dan burung
cekakak murung yang merupakan burung endemic Pulau Halmahera. Kedua
burung tersebut memiliki status konservasi Vulnerable. Salah satu penyebab yang
membuat burung kasturi ternate mempunyai status rentan adalah maraknya
penangkapan liar burung tersebut oleh masyarakat untuk dipelihara (Rosyadi et al.
2015). Hasil pengamatan pada lokasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa
penduduk di sekitar kawasan mangrove yang juga memelihara burung ini secara
illegal. Penyuluhan, penyitaan, rehabilitasi, dan pelepasliaran harus dilakukan
pemerintah daerah untuk mencegah semakin menurunnya kelestarian burung ini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat, selain beberapa jenis
satwa yang ditemukan langsung di lokasi terdapat juga beberapa jenis satwa
seperti, buaya, ular, dan biawak yang pernah ditemukan pada kawasan ini. Seluruh
informasi yang terkait dengan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang
ada di kawasan ini dapat dikemas dan dikembangkan menjadi salah satu objek
wisata interpretasi.
21

Gambar 11 Peta kerapatan tutupan vegetasi kawasan mangrove

Gambar 12 Peta sebaran titik perjumpaan satwa di kawasan mangrove


22

Aspek Wisata
Secara umum aspek wisata dipengaruhi oleh dua unsur utama yaitu besarnya
permintaan wisata (demand) dan potensi wisata yang ditawarkan (supply).
Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk Kecamatan Weda, diketahui
bahwa penduduk Kecamatan Weda mendukung adanya pengembangan wisata
khususnya wisata alam ataupun wisata budaya pada Kecamatan Weda. Selain itu,
penduduk Kecamatan Weda juga setuju apabila kawasan mangrove ini menjadi
salah satu objek yang dikembangkan menjadi wisata di Kecamatan Weda karena
memiliki keindahan alam yang unik dan dapat menjadi sumber pendapatan daerah
atau masyarakat lokal. Selain itu, sebagian besar penduduk tersebut mengaku
sudah pernah berkunjung ke kawasan ini. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk
Kecamatan Weda di kalangan usia remaja hingga dewasa merupakan pengunjung
potensial sekaligus pengunjung aktual pada kawasan ini. Meskipun demikian,
tidak menutup kemungkinan masyarakat di luar Kecamatan Weda baik yang
tinggal di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, ataupun
di luar wilayah tersebut yang bersedia mengeluarkan biaya lebih untuk berwisata
ke lokasi ini juga berpotensi menjadi pengunjung potensial. Muntasib dan
Rachmawati (2009) menjelaskan bahwa permintaan wisata ini dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu faktor pendorong yang merupakan faktor yang memotivasi
individu untuk melakukan liburan (stress, bosan, kurang hiburan di tempat asal)
dan faktor daya tarik yang merupakan faktor yang dapat menarik pengunjung
untuk datang (cuaca, pemandangan, dll).
Selain unsur permintaan kawasan ini juga memiliki unsur penawaran berupa
daya tarik wisata. Menurut UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, daya
tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia
yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisata. Berdasarkan hasil
pengamatan dan hasil wawancara dengan penduduk, diketahui bahwa beberapa
daya tarik wisata utama yang dimiliki kawasan mangrove ini antara lain,
pemandangan ekosistem hutan mangrove yang berada di tepian aliran sungai dan
yang membentuk pulau tersendiri serta pemandangan laut yang berada di depan
pulau mangrove tersebut. Pemandangan inilah yang membuat kawasan ini
memiliki kualitas visual yang baik (good view) (Gambar 13). Selain potensi
tersebut, terdapat juga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang ada di
dalamnya serta muara sungai yang dapat dilalui oleh pengunjung untuk
mengelilingi kawasan mangrove ini menggunakan perahu kecil. Potensi wisata
lain yang ada di kawasan ini adalah kuliner khas Weda yang dijual dan dapat
dinikmati pengunjung pada area Pasar Weda sebagai akses masuk kawasan ini.
Akan tetapi, pengembangan potensi wisata kuliner ini harus dilakukan dengan
terlebih dahulu menata area Pasar Weda dan mengelola sistem pembuangan
limbahnya agar akses masuk kawasan ini tidak lagi mengesankan lingkungan
yang kumuh atau kualitas visual buruk (bad view) seperti saat ini (Gambar 13).
23

Gambar 13 Peta kualitas visual kawasan mangrove


Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan penduduk yang sudah pernah
berkunjung ke kawasan mangrove ini adalah memancing dan sekedar menikmati
pemandangan hutan mangrove yang ada, sedangkan beberapa kegiatan wisata
yang diharapkan penduduk dapat dikembangkan di kawasan ini adalah kegiatan
edukasi mangrove yang dapat dikemas dalam bentuk kegiatan trekking bersama
interpreter pada jalur mangrove, penanaman mangrove, ataupun pengamatan
satwa. Hal ini menunjukkan bahwa area mangrove yang kondisi kelestariannya
lebih terjaga menjadi lebih menarik bagi masyarakat dibandingkan area pertanian
lahan kering campur semak yang kondisi kelestariannya kurang terjaga. Djamhur
et al. (2014) dalam penelitiannya juga menilai tingkat kesesuaian lahan untuk
ekowisata mangrove pada area mangrove di kawasan ini tergolong sesuai
bersyarat. Kategori sesuai bersyarat ini menunjukkan bahwa untuk menjadikan
suatu lokasi sebagai kawasan wisata, maka kawasan tersebut perlu dikelola
terlebih dahulu misalnya dengan melakukan kegiatan penanaman mangrove untuk
meningkatkan ketebalan, kerapatan, ataupun keanekaragaman jenis mangrove
yang diharapkan dapat meningkatkan kelestarian ekosistem mangrove tersebut
serta membangun fasilitas atau sarana prasarana yang mendukung wisata agar
menjadi lebih menarik (Mariati 2016). Upaya penanaman tersebut sampai saat ini
telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Tengah, sedangkan
pembangunan fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung wisata sama sekali
belum dilakukan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan
penduduk Kecamatan Weda, beberapa fasilitas dan sarana prasarana yang perlu
dibangun untuk mendukung wisata antara lain, pusat informasi, lahan parkir,
toilet, jalur mangrove beserta shelter di dalamnya, menara pengamatan serta
papan informasi dan interpretasi.
24

Aspek Sosial Ekonomi Budaya


BPS Halteng (2016) menyebutkan bahwa Kecamatan Weda yang
merupakan Ibu Kota Kabupaten Halmahera Tengah terbagi atas 7 Desa antara
lain, Desa Were sebagai ibu kota kecamatan, Desa Nusliko, Desa Nurweda, Desa
Fidi Jaya, Desa Sidanga, Desa Wedana, dan Desa Goeng. Dari total jumlah
penduduk 11702 jiwa, Kecamatan Weda memiliki 53% penduduk laki-laki dan
47% perempuan. Dengan luas wilayah 253.68 Km2, Kecamatan Weda ini dihuni
penduduk dengan kepadatan 46 Jiwa/Km2. Sebanyak 78.6% penduduk di kota ini
beragama Islam, 21.3% beragama Kristen Protestan, 0.09% beragama Katolik,
0.04% beragama Hindu, serta 0.009% beragama Budha. Beberapa mata
pencaharian yang dimiliki penduduk kota ini antara lain, petani, nelayan,
pedagang, tukang bangunan, PNS, dan karyawan swasta. Komoditas pertanian
utama yang ada di kota ini adalah kelapa, cengkeh, pala, dan kakao. Berdasarkan
hasil wawancara masyarakat, diketahui bahwa penduduk Kecamatan Weda masih
memiliki budaya yang dilaksanakan antara lain, Lalayon, Cakalele, dan Coka Iba.
Lalayon adalah salah satu tarian tradisional yang sering diperagakan pada acara
perkawinan yaitu pada sesi sambut menantu yang dilakukan oleh sepasang penari
laki-laki dan perempuan dengan alat music Tifa. Cakalele adalah tarian tradisional
yang biasa diperagakan pada acara penjemputan tamu dan dilakukan oleh satu
penari atau lebih dengan menggunakan pedang dan salawaku. Coka Iba adalah
tradisi dimana setiap penduduk diharuskan untuk menggunakan topeng setan atau
topeng Coka Iba di jalan yang biasa dilakukan saat umat Islam merayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, saat ini tradisi tersebut juga sering
diperagakan pada acara-acara pesta tertentu. Tradisi-tradisi yang dimiliki
Kecamatan Weda ini merupakan salah satu potensi wisata budaya yang dapat
dikembangkan di kota ini.
Desa Fidi Jaya yang merupakan lokasi dari kawasan mangrove memiliki
jumlah penduduk sebanyak 3625 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 53 %
dan perempuan sebanyak 47%. Salah satu prinsip dasar pengembangan ekowisata
adalah interaksi dengan masyarakat (Muntasib 2007). Berdasarkan hasil
wawancara dengan penduduk desa ini, seluruhnya menyatakan bersedia untuk
mendukung perencanaan dan pengembangan kawasan mangrove di desa ini untuk
wisata serta berharap dapat diikutsertakan dalam pengelolaan kawasan.
Dukungan dan partisipasi masyarakat diharapkan dapat meminimalisir terjadinya
bentrok kepentingan antara masyarakat dan pengelola. Salah satu permasalahan
yang mungkin terjadi apabila kawasan ini ditetapkan menjadi hutan kota untuk
wisata adalah tuntutan masyarakat untuk dapat memanfaatkan lahan yang ada
khususnya area pertanian lahan kering campur semak untuk kegiatan perkebunan.
Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan sistem Agroforestri dan masyarakat diizinkan untuk menanam dan
memanen tanaman pertanian di area tersebut namun dihimbau untuk tetap
menjaga kelestarian tanaman kehutanan yang ada. Selain itu, pemerintah daerah
juga dapat menerapkan sistem reward and punishment kepada masyarakat agar
masyarakat terdorong untuk terus melestarikan kawasan mangrove ini.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui juga bahwa penduduk desa ini
bersedia untuk menerima dan melayani wisatawan yang datang ke kawasan ini.
Selain itu, sebagian besar penduduk desa ini juga berencana untuk membuka
usaha kuliner dan souvenir. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan kawasan
25

ini menjadi wisata diharapkan dapat menyediakan alternatif mata pencaharian


bagi penduduk seperti, pemandu wisata, satpam, tenaga parkir, penyedia jasa
konsumsi, cinderamata, ataupun penginapan. Satria (2009) menjelaskan bahwa
kualitas sumberdaya manusia merupakan salah satu hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan ekowisata. Oleh karena itu, penyuluhan dan
pelatihan yang terkait dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut perlu diberikan kepada
penduduk setempat untuk meningkatkan kualitas sumberdaya dan kesiapan
penduduk setempat sebelum kawasan ini dikembangkan menjadi wisata.
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan ini diharapkan juga dapat
meminimalisir keinginan penduduk untuk membuka dan mengkonversi lahan
untuk perkebunan.

Aspek Kebijakan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan
bahwa untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan ressapan air, di
setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Peraturan lebih rinci
terkait hutan kota selanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa
penyelenggaran hutan kota terdiri atas penunjukan, pembangunan, penetapan, dan
pengelolaan. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional juga menjelaskan bahwa salah satu pola
pemanfaatan ruang yang tergolong ke dalam kawasan perlindungan setempat
adalah kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah selanjutnya menyusun Pearaturan
Daerah Kabupaten Halmahera Tengah No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2010-2030
sebagai tindak lanjut dari RTRW Nasional dan RTRW Provinsi Maluku Utara.
Berdasarkan peraturan tersebut diketahui kawasan mangrove di Desa Fidi Jaya ini
direncanakan menjadi beberapa jenis pola ruang, antara lain :
1. Sempadan sungai : kawasan lindung yang termasuk ke dalam kawasan
perlindungan setempat
2. Area mangrove dan area pertanian lahan kering campur semak : Area
Penggunaan Lain (APL)
3. Area pasar : kawasan budidaya yang termasuk ke dalam kawasan peruntukan
pemukiman
Berdasarkan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah tersebut selanjutnya
pemerintah daerah Kecamatan Weda menyusun Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kecamatan Weda Tahun 2010-2030. Berdasarkan RDTR tersebut,
diketahui bahwa kawasan mangrove ini memang direncanakan menjadi ruang
terbuka hijau kota yaitu hutan kota. Perencanaan lebih rinci dari kawasan ini
selanjutnya disusun dalam bentuk Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) Kawasan Hijau Kawasan Weda Kabupaten Halmahera Tengah tahun
anggaran 2016. Pada RTBL tersebut dijelaskan bahwa kawasan mangrove ini
akan dikembangkan menjadi hutan kota dengan konsep wisata edukasi mangrove
yang akan dilengkapi dengan fasilitas yang mendukun seperti, area parkir,
mushola, dan toilet yang akan disediakan pada area masuk, jembatan penghubung
menuju hutan mangrove, jalur untuk mengelilingi hutan mangrove, dan menara
pengamatan. Pada RTBL tersebut, area masuk kawasan mangrove ini dialokasikan
26

di bagian barat area mangrove yang berada dekat dengan jalan dengan terlebih
dahulu membuka lahan mangrove tersebut. Tindakan pembukaan lahan mangrove
ini akan berdampak pada berkurangnya ketebalan, kerapatan, dan
keanekaragaman jenis mangrove (Mariati 2016). Selain itu, penempatan area
masuk pada lokasi tersbut menyebabkan pulau mangrove yang ada di bagian
belakang Pasar Weda tidak termasuk ke dalam area pengembangan wisata. Oleh
karena itu, untuk meminimalisir dampak tersebut sebaiknya area masuk kawasan
ini tetap dialokasikan di area Pasar Weda, sehingga pulau mangrove yang berada
di bagian belakang pasar tersebut menjadi area pengembangan wisata utama
dengan membangun jembatan menuju area pulau mangrove tersebut, sedangkan
area hutan mangrove di sisi lainnya lebih diarahkan untuk area perlindungan
dengan pemanfaatan terbatas seperti untuk penelitian.

Perencanaan Hutan Kota untuk Ekowisata pada Kawasan Mangrove Desa


Fidi Jaya

Konsep Dasar Perencanaan Hutan Kota


Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002 menjelaskan bahwa rencana
pembangunan hutan kota juga memuat rencana teknis tentang tipe dan bentuk
hutan kota. Berdasarkan hasil analisis kondisi detail kawasan mangrove dapat
diketahui bahwa kawasan ini sesuai untuk dikembangkan menjadi hutan kota tipe
perlindungan dengan bentuk mengelompok mengingat kondisi kawasan dengan
sebagian besar ekosistem hutan mangrove yang masih utuh dan merupakan salah
satu solusi dari permasalahan utama Kecamatan Weda yang terletak di pesisir
laut. Meskipun kawasan ini mempunyai fungsi utama perlindungan, dalam
pengembangannya kawasan ini juga memungkinkan untuk mengakomodir fungsi
lain seperti fungsi rekreasi/wisata. Pengembangan wisata pada kawasan ini
dilakukan dengan prinsip ekowisata. Prinsip ekowisata ini diharapkan dapat
mengoptimalkan fungsi kawasan secara ekologis, ekonomis, dan sosial. Konsep
pengembangan ekowisata yang dapat dilakukan pada kawasan ini, antara lain
wisata edukasi mangrove, wisata air, dan wisata agroforestri.

Pengembangan Konsep Dasar Perencanaan Hutan Kota


Kondisi detail kawasan mangrove yang sudah dianalisis secara deskriptif
dan spasial selanjutnya dikembangkan ke dalam bentuk zonasi berupa rencana
blok (block plan). Drumm et al. (2004) menjelaskan bahwa zonasi merupakan
mekanisme untuk menetapkan tujuan dan prioritas manajemen secara keseluruhan
ke dalam zona atau blok yang berbeda di dalam kawasan serta menentukan
kegiatan apa yang diizinkan dan tidak diizinkan pada setiap zona tersebut.
Rencana blok yang baik selanjutnya dapat meminimalisir gangguan atau dampak
negatif terhadap lingkungan baik akibat faktor internal ataupun eksternal.
Berdasarkan hasil overlay seluruh peta tematik dan pertimbangan potensi dan
kendala yang ada, kawasan mangrove ini dapat dibagi menjadi dua blok utama,
yaitu blok intensif dan blok semi-intensif. Blok intensif terbagi menjadi ruang
penerimaan dan ruang ekowisata, sedangkan blok semi-intensif terdiri dari ruang
perlindungan, ruang penyangga, dan ruang rehabilitasi (Gambar 14).
27

Gambar 14 Peta rencana blok kawasan mangrove


1. Blok Intensif
Blok intensif merupakan blok dengan tingkat toleransi relatif tinggi
terhadap intensitas kegiatan manusia dan pembangunan fasilitas yang
mendukung kegiatan di dalamya (Drumm et al. 2004). Ruang penerimaan
dalam blok ini merupakan pintu gerbang masuk ke areal mangrove yang
lokasinya berada di area Pasar Weda, sedangkan ruang ekowisata
merupakan gugusan hutan mangrove yang membentuk pulau di seberang
Pasar Weda. Luas area ruang penerimaan adalah 3.15 Ha. Area Pasar
Weda dipilih sebagai ruang penerimaan karena letaknya yang strategis dan
memang merupakan satu-satunya akses masuk menuju kawasan
mangrove. Luas area ruang ekowisata adalah 14.5 Ha. Area pulau
mangrove dipilih sebagai ruang ekowisata karena potensi wisata yang
dimiliki seperti, keunikan gugusan hutan mangrove yang membentuk
pulau, sungai di sekeliling pulau, pemandangan laut yang berhdapan
langsung dengan pulau, dan titik konsentrasi perjumpaan satwa (Tabel 4).
2. Blok Semi-Intensif
Blok semi-intensif merupakan blok dengan tingkat toleransi
sedang terhadap intensitas kegiatan manusia (Drumm et al. 2004). Ruang
perlindungan yang ada dalam blok ini terletak pada gugusan hutan
mangrove di sebelah kiri pulau mangrove, ruang penyangga terletak pada
gugusan hutan mangrove yang berada dekat dengan jalan, dan ruang
rehabilitasi terletak pada area pertaian lahan kering campur semak. Ketiga
ruang tersebut dibatasi oleh aliran air sungai. Luas area ruang
perlindungan adalah 50.41 Ha. Area ini dipilih sebagai ruang perlindungan
28

karena area ini memiliki hutan mangrove yang masih utuh dan alami
dengan tingkat ancaman manusia yang rendah. Alokasi ruang
perlindungan yang lebih besar dari ruang ekowisata ditetapkan untuk
meminimalisir dampak negatif kegiatan wisata terhadap lingkungan
mengingat tipe hutan kota ini adalah tipe perlindungan. Luas area ruang
penyangga adalah 6.33 Ha. Area ini dipilih sebagai ruang penyangga
karena letaknya yang berbatasan langsung dengan jalan, sehingga
berfungsi untuk membatasi dan menghalangi kawasan di dalamnya
khususnya ruang perlinndungan dengan area di luar kawasan. Luas area
ruang rehabilitasi adalah 38.27 Ha. Area ini dipilih karena kondisi lahan
yang tergolong kritis akibat drainase tanah yang buruk dan ketidaksesuaian
penggunaan lahan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan. Upaya
pengelolaan yang perlu dilakukan pada ruang ini, yaitu perbaikan drainase
tanah dan penanaman vegetasi dengan sistem Agroforestri. Oleh karena
itu, wisata yang dapat dikembangkan pada ruang ini adalah wisata
Agroforestri (Tabel 4).

Tabel 5 Aktivitas dan fasilitas yang dapat dikembangkan di kawasan mangrove

Blok Luas Aktivitas Fasilitas


(Ha)
Intensif
Ruang 3.15 Aktivitas terkait retribusi, Pos jaga dan pos tiket,
Penerimaan jasa kuliner dan souvenir, lahan parkir, kios
parkir, dan pelayanan dagang, toilet, dan pusat
informasi informasi
Ruang 14.5 Mengelilingi pulau Pelabuhan perahu kecil,
Ekowisata dengan perahu kecil, jalur mangrove, shelter
trekking, pengamatan atau tempat
satwa, dan fotografi. pemberhentian, menara
pengamatan, serta papan
petunjuk dan papan
interpretasi
Semi Intensif
Ruang 50.41 Menikmati pemandangan Pelabuhan perahu kecil
Perlindungan dengan menggunakan
perahu kecil dan kegiatan
penelitian di dalam
kawasan
Ruang 6.33 Menikmati pemandangan Pelabuhan perahu kecil
Penyangga dengan menggunakan
perahu kecil, kegiatan
penelitian di dalam
kawasan, dan kegiatan
penanaman mangrove
Ruang 38.27 Penanaman dan Gazebo, papan
Rehabilitasi pemanenan tanaman interpretasi
pertanian
29

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 3 kawasan yang


mempunyai peluang untuk dipersiapkan menjadi hutan kota di Kecamatan Weda
antara lain, kawasan Telaga Nusliko di Desa Nusliko, kawasan hutan dataran
rendah di Desa Were, dan kawasan mangrove di Desa Fidi Jaya. Berdasarkan
pertimbangan dari beberapa kriteria, kawasan mangrove di Desa Fidi Jaya dipilih
menjadi kawasan hutan kota prioritas.
Hasil analisis kondisi detail kawasan, kawasan mangrove Desa Fidi Jaya ini
sesuai untuk dikembangkan menjadi hutan kota tipe perlindungan dengan
mengakomodir fungsi ekowisata. Kawasan mangrove Desa Fidi Jaya dapat dibagi
menjadi 2 blok utama yaitu, blok intensif dan blok semi-intensif. Blok intensif
terbagi menjadi ruang penerimaan dan ruang ekowisata, sedangkan blok semi-
intensif terdiri dari ruang perlindunga, ruang penyangga, dan ruang rehabilitasi.
Aktivitas dan fasilitas yang dapat dikembangkan pada setiap ruang berbeda-beda
sesuai dengan fungsi masing-masing ruang tersebut.

Saran

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 63 Tahun 2002, langkah awal


yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah sebagai
bentuk tindak lajut dari hasil penelitian ini adalah melakukan penunjukan kawasan
mangrove di Desa Fidi Jaya sebagai salah satu hutan kota di Kecamatan Weda
dengan memastikan batas dan luas kawasan. Langkah ini selanjutnya diikuti
dengan tahapan lainnya yaitu tahapan pembangunan dengan menyusun dan
mengimplementasikan site plan dan master plan kawasan, tahapan penetapan,
serta tahapan pengelolaan kawasan. Pada pengelolaan kawasan ini pemerintah
daerah juga dapat melibatkan masyarakat setempat agar kawasan dapat
memberikan manfaat yang optimal baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Arief A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi, dan Manfaatnya. Yogyakarta (ID):


Kanisius.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Pr.
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID): Universitas Gadjah Mada Pr.
[Bakosurtanal PSSDAL] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Pusat
Survei Sumber Daya Alam Laut. 2007. Pedoman penuysunan direktori
pulau-pulau kecil [Internet]. [diunduh 2017 Juni 12]. Tersedia pada:
http://pssdal.bakosurtanal.go.id/laporan/2003/lap2003_000045.pdf.
30

Barron S, Sheppard SRJ, Condon PM. 2016. Urban forest indicators for planning
and designing future forest. Forest. 7(9):1-17. doi:10.3390/f7090208.
[BPK Solo] Badan Penelitian Kehutanan Solo. 2010. Sistem Agroforestri Hutan
Rakyat dalam Mendukung Pengelolaan DAS Berkelanjutan. Solo (ID):
BPK Solo.
[BPS Halteng] Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Tengah. 2016.
Kecamatan Weda dalam Angka 2016. Halmahera Tengah (ID): BPS
Halteng.
[Dishutbun Inhu] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Indragiri Hulu. 2007.
Penyusunan site plan hutan kota [laporan khir]. Indragiri Hulu (ID):
Dishutbun Inhu.
Djamhur M. 2014. Model pengembangan kawasan konservasi pesisir dan pulau-
pulau kecil berbasis zonasi (kasus di Teluk Weda) [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Djamhur M, Boer M, Bengen DG, Fakhrudin H. 2014. Perencanaan kawasan
untuk pengembangan ekowisata perairan di Teluk Weda, Maluku Utara.
Tata Loka. 16(2):70-83.
Drumm A, Moore A, Sales A, Patterson C, Terborgh JE. 2004. Ecotourism
Development: A Manual For Conservation Planners and Managers.
Arlington (US): The Nature Conservancy.
Faruq. 2011. Tingkat kenyamanan kawasan perkotaan berdasarkan kajian iklim
mikro di Kecamatan Klojen [skripsi]. Malang (ID): Universitas Malang.
Ghorbani M, Fakur A. 2016. Introduction of a method for locating new urban
forest parks using multi-criteria analysis and GIS approaches. Biological
Forum 8(1):345-350.
Gul A, Gezer A., Kane B. 2006. Multi-criteria analysis for locating new urban
forests (an example from Isparta, Turkey). Urban Forestry and Urban
Greening 37(5):57-71.
Hadi R, Lila KA, Gunadi IGA. 2012. Evaluasi indeks kenyamanan taman kota
(Lapangan Puputan Gadung I Gusti Ngurah Made Agung) Denpasar, Bali.
Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 1(1):34-45.
Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta (ID):
Akademika Pressindo.
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesusaian Lahan dan Perencanaan
Tata Guna Lahan. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada Pr.
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta (ID):
Bumi Aksara.
[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan. Jakarta (ID): Kemendagri.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Jakarta (ID): Kemenhut.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor: P.71/Menhut-II/2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Hutan Kota. Jakarta (ID): Kemenhut.
Lakitan B. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.
31

Mariati W. 2016. Pengembangan ekowisata di kawasan mangrove Desa Anak


Setatah Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Mill RC. 2000. The Tourism: International Business. Satrio TB, penerjemah.
Jakarta (ID): PT Grafindo Persada.
Miro F. 2004. Perencanaan Transportasi untuk Mahasiswa, Perencana, dan
Praktisi. Jakarta (ID): Erlangga.
Morissan. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): Kencana Prenadamedia
Group.
Muntasib EKSH. 2007. Prinsip Dasar Rekreasi Alam dan Ekowisata. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Muntasib EKSH, Rachmawati E. 2009. Rekreasi Alam, Wisata & Ekowisata.
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nugraha B, Banuwa IS, Widagdo S. 2015. Perencanaan lanskap ekowisata hutan
mangrove di Pantai Sari Ringgung Desa Sidodadi Kecamatan Padang
Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurnal Sylva Lestari. 3 (2): 53-66.
Oliveira S, Andrade H, Vaz T. 2011. The cooling effect of green spaces as a
contribution to the mitigation of urban heat: a cae study in Lisbon. J
Building and Environment. 46:2186-2194.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten
Halmahera Tengah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2010-2030.
Halmahera Tengah (ID): Sekretariat Daerah
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasiona. Jakarta (ID): Sekretariat
Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Purnomo H, Sulistyantara B, Gunawan A. 2013. Peluang usaha ekowisata di
Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Sosial
dan Ekonomi Kehutanan. 10(4): 247-263.
Putri MSJ. 2012. Perencanaan kawasan hutan dengan tujun khusus Cikampek
Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rosyadi I, Tetuka B, Embeua E, Mukaram E, Barakai N, Djorebe R. 2015.
Perilaku memelihara burung paruh bengkok di Maluku Utara. Acta
Veterinaria Indonesiana. 3(2):51-57.
Satria D. 2009. Strategi pengembangan ekowisata berbasis ekonomi lokal dalam
rangka program pengentasan kemiskinan di wilayah Kabupaten Malang.
Journal of Indonesian Applied Economics. 3(1):37-47.
Tellstrom S. 2014. Urban agroforestri for developing ecosystem services in urban
forest [tesis]. Pallrasen (SE): Mid Sweden University.
32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 16 Januari 1996 dari ayah Frinkie
Happy Waani dan ibu Zuniar. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Tahun 2013 penulis lulus dari SMA Negeri 39 Jakarta dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN
Undangan dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif sebagai anggota dan
pengurus Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) dan Biro Sosial Lingkungan di
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA) periode 2014/2015 dan 2015/2016, anggota dan pengurus Komisi
Kesenian (Komkes) di Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB) periode
2015/2016, anggota dan pengurus Divisi Sosial Lingkungan di Tanoto Scholars
Association IPB (TSA IPB) periode 2015/2016, serta reporter BEMedia IPB pada
periode 2015/2016. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum
Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah pada tahun ajaran 2014/2015, asisten
praktikum Rekreasi Alam dan Ekowisata, serta asisten praktikum Interpretasi
Alam pada tahun ajaran 2015/2016. Kegiatan lapang yang pernah diikuti penulis
antara lain, Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Sancang
Timur dan Taman Wisata Alam Papandayan pada tahun 2015, Praktik Pengenalan
Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada Februari 2016, dan Praktik
Kerja Lapang dan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
pada Juli-Agustus 2016.
Selama megikuti perkuliahan di IPB, penulis juga aktif mengikuti berbagai
jenis lomba. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis antara lain, Juara 2
Cabang Olah Raga Aerobik dalam Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) 2016, Juara
2 IPB Green Environmental Ambassador 2016, Juara 1 Green TV IPB Presenter
Hunt 2017. Selain itu, penulis juga pernah menjadi delegasi IPB dan
mempresentasikan abstrak essay sekaligus menjadi volunteer dalam International
Symposium of Conservation Asia 2016 di Singapura.

Anda mungkin juga menyukai