Penyusun :
M. Arsyad Al Amin, M.Si
Dr. Dadan Mulyana
Wasisa Titi Ilhami, M.Si
Harkyo Hutri B.
S. Hari Mahardika, M.M
Sitasi : Al Amin, M.A, Dadan Mulyana, Wasisa Titie I, Harkyo Bs. 2016. Master
Plan Pusat Restorasi Dan Pembelajaran Mangrove (Mangrove Center)
Kabupaten Tangerang Di Desa Ketapang Kecamatan Mauk Tangerang
-0-
I. PENDAHULUAN
Mangrove adalah tumbuhan khas yang tumbuh pada tanah Aluvial di daerah pantai dan
sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh susunan
pohon membentuk suatu formasi pohon-pohon yang membentuk zonasi yang diriaikan
adanya pohon-pohon jenis Avicennia spp (Api-api), Soneratia spp (Pedada), Rhizophora spp
(Bakau), Bruguiera spp(Tancang), Lumnitzera (Tarumtum), Excoecaria (buta-buta),
Xylocarpus spp (Nyirih), dan Nypa fruticans (Nipah). Hutan Mangrove merupakan zona
peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang memiliki nilai penting untuk
perlindungan pantai, penahanan endapan lumpur dan fungsi keseimbangan lingkungan.
Hutan Mangrove ini juga merupakan hutan tropis yang hidup dan tumbuh di sepanjang
pantai berlumpur, atau lempung, atau gambut, atau berpasir dan selalu digenangi oleh air
laut secara berkala dan mempunyai zona vegetasi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya.
Indonesia termasuk pemilik hutan mangrove terbesar di dunia, baik dilihat dari luasan
ataupun kekayaan jenis serta flora dan fauna yang ada didalamnya (biodiversity). Berbagai
fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan terakhir fungsi perlindungan dan pencegahan bencana
menjadi perhatian dunia.
Namun demikian, saat ini keberadaan hutan mangrove sangat memprihatinkan. Kerusakan
masal terjadi di hamir seluruhkawasan, bukan saja kota besar namun juga merambah hutan-
hutan mangrove yang masih perawan-pun kini terancam akibat kegiatan manusia mulai
diambil kayunya, konversi lahan untuk tambak, industri, pemukiman dan pengembangan
kota. Perlu upaya nyata berupa perlindungan mangrove. Perlindungan terhadap kawasan
pantai berhutan mangrove dilakukan untuk melestarikan hutan mangrove sebagai
pembentuk utama ekosisitem hutan mangrove dan tempat berkembangbiaknya berbagai
biota, di samping sebagai perlindungan pantai dari pengikisan air laut (Pasal 26, Keppres No.
32 Tahun 1990). Hutan mangrove merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai
fungsi ekologis dan sosial ekonomi, khususnya bagi masyarakat pesisir melalui pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu serta jasa lingkungannya. Secara fisik hutan mangrove
mampu memecah energi kinetik gelombang air laut sehingga berfungsi sebagai pelindung
pantai.
Manfaat lain ekosistem mangrove adalah mencegah banjir. Sayangnya banyak kawasan
hutan mangrove mengalami kerusakan, hal ini malah menyebabkan abrasi semakin parah
dan sudah menggerus pantai lebih dari 1.500 m pantai seperti terjadi di pantai utara
Kabupaten Tangerang (Ketapang, Muara dan Marga Mulya) dan banjir lokal di kawasan
pinggiran pantai, seperti terjadi di kawasan jalan tol menuju Bandara Internasional
Soekarno-Hatta. Pelestarian dan penanaman kembali hutan mangrove perlu dilakukan
PRPM juga sangat layak untuk dijadikan objek wisata edukatif karena di dalamnya para
pengunjung dapat mempelajari beraneka ragam spesies flora dan bahkan fauna khas hutan
mangrove yang terdapat di dalam kawasan PRPP tersebut. Fungsi lain yang tidak kalah
menarik dan menjadi topik pembicaraan hangat di dalam era akhir-akhir ini adalah masalah
ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) yang semakin minim dipantai utara Tangerang yang
makin menipis, yang bagi konservasi keanekaragaman hayati, mitigasi perubahan iklim,
serta daerah resapan air hal ini juga bisa diwujudkan melalui pembuatan PRPM. Ke depan
kawasan PRPM tersebut akan memiliki fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi edukasi,
fungsiekonomi dan fungsi mitigasi.
Agar keempat fungsi tersebut dapat direncanakan dengan baik, maka diperlukan suatu
perencanaan yang matang, untuk itu perlu disusun rencana induk (master plan)
pengembanan PRPM yang terpadu dan komprehensif sebagai acuan dalam pengembangan
kawasan.
penyusunan master plan ini merupakan salah satu unsur penting dari rencana
pembangunan suatu kawasan. master plan tersebut disusun guna menciptakan
pengembangan kawasan PRPM yang lebih fokus, terukur, dan terpadu serta berkelanjutan
dalam mengembalikan hutan mengrove yang hilang di Kabupaten Tangerang.
Tujuan penyusunan Master Plan Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove adalah untuk
mendesain konsep pengembangan kawasan, rencana kawasan, rencana pengembangan
aktifitas di kawasan, rencana penanaman, indikasi biaya dan perspektif/illustrasi
pengembangan kawasan.
1.3. Keluaran
Dokumen Masterplan Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove yang dapat menjadi
acuan dalam pengembangan PRPM di Desa Ketapang Kabupaten Tangerang.
Ruang lingkup pekerjaan penyusunan master plan PRPM Ketapang sebagai berikut:
1. Observasi/Survei/Kunjungan Lapang
2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan lokasi PRPM
3. Melakukan penyusunan dan penataan rencana konsep (conceptual plan) dan
menyusun detail desain lanskap sesuai dengan karakter tapak (site plan), serta
Melakukan penyusunan dan penataan rencana penanaman (Planting Plan) di
kawasan PRPM
4. Penyusunan rencana pengelolaan PRPM berbasis masyarakat, menentukan tata cara
pemanfaatan dan tata cara pengawasan termasuk didalamnya pelatihan
manajemen/pengelolaan arboretum
5. Reporting dan Presentasi perkembangan pelaksanaan kegiatan.
2.3. Metode
Keterangan :
Di = Kerapatan jenis (ind/m2)
ni = Jumlah total tegakan jenis i
A = Luas total area pengambilan contoh
1) Kerapatan Jenis
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan (K) =
Luas seluruh petak
2) Frekuensi
Jumlah petak terisi suatu jenis
Frekuensi (F) =
Jumlah seluruh petak
3) Dominansi
Luas bidang dasar suatu jenis
Dominansi (D) =
Luas seluruh petak
INP = Kerapatan relatif (KR) + Frekuensi Relatif (FR) (untuk semai dan
anakan)
INP = Kerapatan relatif (KR) + Frekuensi Relatif (FR) + Dominasi Relatif (DR)
(untuk pohon).
Melihat kondisi secara umum tanah dan air di tapak menunjukkan sesuai untuk
penggunaan lokasi (Rehabilitasi / Restorasi, ekowisata dan edutourism)
Untuk mendukung suasana alami dan “hijau” di lokasi yang akan dikembangkan
maka dirancang berbagai fasilitas pendukungnya yang bersuasana alami/sederhana.
b. Menyusun detail desain lanskap sesuai dengan karakter tapak (site plan)
Konsep ruang PRPM disesuaikan dengan kondisi eksisting lingkungan. Ruang PRPM dibagi
menjadi lima seperti terlihat pada block plan publik, yaitu ruang aktif untuk aktifitas sosial
untuk masyarakat sekitar (public area), ruang aktif untuk melihat seluruh kawasan (viewing
area) dan ruang rekreasi air (water recreation).
Welcome Area merupakan area penerimaan yang ada sebagai pintu masuk ke
kawasan ekowisata. Area ini memberikan informasi tentang kawasan dan dapat
dilengkapi dengan kantor informasi bagi wisatawan agar wisatawan lebih mengerti
dan mudah untuk melakukan touring dan aktifitas ekowisata. Area ini umumnya
dilengkapi dengan beberapa fasilitas terkait informasi awal dan singkat tentang
kawasan mangrove antara lain dalam bentuk signates, pintu gerbang dan lainnya.
Berdasarkan hal tersebut konsep utama pengembangan lanskap kawasan ini adalah untuk
menciptakan kawasan ekowisata berbasis greenbelt yang berkelanjutan, yang memiliki
tujuan mempertahankan fungsi ekologis dan fungsi sosial. Pengembangan greenbelt akan
melindungi kawasan secara ekologis, sedangkan ruang-ruang publik yang sudah ada tetap
dihadirkan dengan nuansa lanskap yang baru dan berbeda, dilengkapi dengan beberapa
aktifitas wisata yang menarik sehingga masyarakat dapat merasakan kenyamanan dengan
kondisi lingkungan yang bersih dan hijau.
Aktifitas dan fasilitas utama yang akan dikembangkan di kawasan harus teridentifikasi sesuai
dengan kondisi kawasan dan rencana ini harus termaktub dalam rencana agar mendapatkan
legitimasi prencanaan, sehingga dapat dibiayai. Rencana kegiatan dapat berupa list kegiatan
seperti tabel 1 atau berupa activity plan.
e. Rencana Penanaman
Driving Force (faktor pemicu); Menjelaskan tentang isu-isu penting yang sedang
berkembang di lapangan
Pressure (tekanan); kegiatan yang menjadi objek yang menyebabkan tekanan, baik
tekanan positif maupun negatif.
State (Kondisi eksisting); State menjelaskan mengenai apa yang terjadi dan keadaan
llingkungan pada saat ini.
Impact (dampak); Merupakan dampak yang timbul dengan adanya isu dan
penangulangan isu.
Response (tanggapan); Adalah apa saja yang harus dilakukan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan melibatkan stakeholders.
Dari analisis DPSIR, yang bermuara kepada alternatif response yang bisa dilakukan untuk
menjawab permasalahan yang terjadi, alternatif-alternatifresponse tersebut diturunkan dan
dijabarkan lagi menjadi suatu kerangka pengelolaan kawasan yang didalamnya terdapat
tujuan dari kegiatan pengelolaan kawasan, output/hasil yang diharapkan serta program
kegiatan apa saja yang dapat dilakukan (jangka pendek-menegah-panjang). Agar dalam
pelaksanaannya bisa dipantau, indikator yang jelas dan terukur harus disertakan untuk
melengkapi kerangka kegiatan pengelolaan kawasan tersebut.
Tahun
Rencana / Kegiatan
1 2 3 4 5
Lokasi PRPM mangrove Kabupaten Tangerang berada di Desa Ketapang Kecamatan Mauk
dengan luas kurang lebih 12 ha, dan akan ditambah luasnya jika memungkinkan. Lahan
adalah milik negara yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang,
berbatasan dengan Desa Marga Mulya, yang merupakan daerah dengan tingkat abrasi
sangat tinggi.
Kabupaten Tangerang adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Banten yang posisinya berada
di bagian Timur Provinsi Banten. Secara geografis terletak pada koordinat 106°20’-106°43’
Bujur Timur dan 6°00’-6°00’20’ Lintang Selatan. Kabupaten ini terletak pada posisi geografis
cukup strategis dengan batas-batas administrasi wilayah lain sebagai berikut :
Luas wilayah Kabupaten Tangerang total adalah 959,61 Km² atau 95.961 hektar. Wilayah ini
di bagian utara dibatasi oleh Teluk Jakarta dan Laut Jawa dengan garis pantai sepanjang ± 51
kilometer. Jarak antara Kabupaten Tangerang dengan pusat pemerintahan Republik
Indonesia (DKI Jakarta) sekitar 30 km, yang bisa ditempuh selama 1 jam. Keduanya
dihubungkan dengan lajur lalu lintas darat bebas hambatan (tol) Jakarta-Merak yang
menjadi jalur utama lalu lintas perekonomian antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera.
Kedudukan geografis yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu
potensi Kabupaten Tangerang untuk berkembang menjadi daerah penyangga Ibukota
Jakarta. Secara geografis menjadi pintu gerbang untuk hubungan Provinsi Banten dengan
Provinsi DKI Jakarta. Kedekatan dengan Ibukota dan sebagai pintu gerbang antara Banten
dan DKI Jakarta maka akan menimbulkan interaksi yang menumbuhkan fenomena
interdepedensi yang kemudian berdampak pada timbulnya pertumbuhan pada suatu
wilayah. Sebagai bentuk efek pertumbuhan wilayah, trickling down dan backwash effect,
Wilayah Kabupaten Tangerang terdiri dari daratan dan perairan dengan luas wilayah total
sebesar 95,961 Ha atau 959,61 Km2, dengan panjang garis pantai ± 51 Km. Jumlah
kecamatan yang dimiliki Kabupaten Tangerang, sebanyak 29 Kecamatan, terdiri 8
kecamatan pesisir dan 21 non pesisir (daratan). Luas terbesar berada di Kecamatan Rajeg
yaitu sebesar 5.370 Ha atau 5,60 % dari luas wilayah Kabupaten Tangerang, sedangkan
kecamatan yang memiliki luas terkecil yaitu Kecamatan Sepatan yaitu 1.732 Ha atau 1,80 %.
Kabupaten Tangerang terbagi ke dalam 29 kecamatan, 28 Kelurahan dan 246 desa dengan
pusat pemerintahan berada di Kecamatan Tigaraksa. Secara rinci, luas dan jumlah
administrasi pemerintahan Kabupaten Tangerang Tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Luas Wilayah
No. Kecamatan Keterangan
( Km2 )
Jumlah 959.61
Dari tabel 3.1 di atas, diketahui bahwa jumlah kecamatan pesisir di Kabupaten Tangerang
berjumlah 8 (delapan) kecamatan yaitu Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, Pakuhaji, Sukadiri,
Mauk, Kemiri, Kronjo dan Mekarbaru, dimana jumlah desa pesisir yaitu desa yang
berbatasan dengan pantai berjumlah 25 Desa pesisir (peta disajikan pada Gambar 2.1).
Perkembangan penduduk yang cepat serta melimpahnya kegiatan industri dan pemukiman
ke wilayah Kabupaten Tangerang mengakibatkan banyak terjadi pergeseran lahan.
Kecenderungan yang terjadi adalah beralihnya fungsi lahan, untuk itu perlu mendapatkan
perhatian mengenai keseimbangan antara fungsi kawasan lindungan dan kawasan budidaya
serta aspek kesesuaian lahan. Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang saat ini meliputi
penggunaan untuk kawasan lindung dan penggunaan lahan untuk kawasan budidaya.
Kosambi
Karang Timur
Anyar Patramanggal
Mauk Dadap
Barat
Penggunaan lahan untuk kawasan lindung meliputi sempadan pantai, danau/situ, dan
sempadan sungai. Sedangkan penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya meliputi
perumahan perkotaan, perumahan perdesaan, perdagangan dan jasa, zona industry,
kawasan industri, pertanian irigasi teknis, pertanian tadah hujan, kebun campuran,
tegalan, perikanan (tambak), hutan dan lain-lain.
Lahan Terbangun
Wilayah pesisir Kabupaten Tangerang terdiri atas delapan kecamatan yang memiliki
wilayah pesisir, dimana total panjang pantai wilayah ini adalah 51 Km. Terdapat 2 teluk
pada wilayah ini yakni Teluk Tanjung Anom/Karang Serang di Kecamatan Mauk dan
Tanjung Burung (P.Betingan) di Kecamatan Teluknaga. Wilayah pesisir Kabupaten
Tangerang dibentuk oleh beberapa penggunaan lahan antara lain, hutan bakau
(mangrove), muara sungai besar, permukiman nelayan dan tambak. Pada umumnya
landai dengan ketinggian mulai dari 1-10 m dpl. Kelandaian ini menyebabkan lahan
pesisir mudah digenangi air pasang (rob). Keadaan tanah yang relatif tidak tahan
terhadap erosi menyebabkan pantai utara Kabupaten Tangerang rawan erosi.
Wilayah perairan laut Kabupaten Tangerang merupakan fishing ground bagi sebagian
sumberdaya ikan, baik pelagis maupun demersal. Fishing Ground tersebut berada di
sekitar PPI Kronjo yang diarahkan untuk menjadi PPI tipe A sebagai pemenuhan pelayanan
yang fishing ground atau daerah penangkapan di laut Jawa, Selat Sunda dan Sumatera
Mangrove yang berkembang dengan baik akan memberikan fungsi dan keuntungan yang
besar, baik untuk mendukung sumberdaya perikanan laut dan budidaya, memberi
pasokan bahan bangunan dan produk-produk lain, maupun untuk melindungi pantai dari
ancaman erosi. Potensi mangrove di Kabupaten Tangerang mengalami penurunan sangat
drastis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sebagai akibat konversi dan pembabatan
hutan mangrove yang tidak terkendali. Saat ini, hanya sekitar + 122 Hektar. Menumbuh-
kembangkan luasan mangrove merupakan tantangan bagi masyarakat Kabupaten
Tangerang, untuk meningkatkan manfaat mangrove bagi kehidupan.
Data oseanografi bersumber dari data pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh
PPPGL Kementerian ESDM, pengamatan pasang surut selama 15 hari. Kondisi pasang
surut pantai utara Jawa bagian barat memiliki kecendrungan nilai yang sama, hal tersebut
disebabkan oleh pengaruh yang sama yang berasal dari Laut Jawa. Perhitungan data
pengamatan pasang surut perairan pesisir Kabupaten Tangerang dan sekitarnya (lokasi
pengamatan di belakang Klenteng Tanjung Kait) dilakukan dengan menggunakan bantuan
software.
Analisa yang dipakai adalah berdasarkan analisa konstanta harmonik dan non harmonik,
yang dikemukakan oleh Doodson dan Warburg (1941) dalam Ongkosono (1984), dimana
metoda selanjutnya dikembangkan oleh Hydrographic Department of Admiralty untuk
menghitung konstanta-konstanta harmonik pasang surut, yang kemudian disebut sebagai
Metoda Admiralty.
Selain untuk mendapatkan konstanta-konstanta harmonik dan tipe pasang surut, hasil
prediksi pengamat pasang surut ini digunakan sebagai koreksi untuk menentukan
kedalaman perairan di setiap titik pengukuran (rekaman echo sounder dan rekaman
seismik refleksi).
B. Arus Laut
Pengukuran kecepatan dan arah arus terakhir dilakukan pada Tanggal 26 Agustus 2013
hingga 14 Oktober 2013 oleh Puslitbang Geologi Kelautan dengan nomor lembar 1210.
Lokasi lembar 1210 meliputi kawasan laut Kabupaten Tangerang hingga laut DKI Jakarta.
Berdasarkan pengukuran menggunakan alat Acoustic Current Doppler Profile (ADCP)
maka kecepatan arus tertinggi yang terekam terjadi pada tanggal 14 September.
Berdasarkan hasil pengukuran dan pemodelan numerik, maka dapat diketahui kecepatan
maksimum yang terjadi adalah 1,135 m/detik dengan rata-rata kecepatan arus 0,412
m/det. Sementara untuk arah dominan adalah barat menuju ke timur. Berdasarkan
rekaman ADCP dan pemodelan hidrodinamika maka dapat diketahui kecepatan arus
terbesar terjadi pada saat menjelang surut pada kondisi bulan baru.
Arah angin permukaan tahunan yang digunakan sebagai titik tolak untuk memperkirakan
parameter-parameter gelombang di perairan Tangerang dan sekitarnya didominasi oleh
37,36% angin utara, 23,4% angin barat laut, 10,86% angin barat dan 8,73% angin timur
laut. Sedangkan angin permukaan dari arah lainnya dianggap kurang berpengaruh di
dalam proses pembentukan gelombang, hal ini dihubungkan dengan bentuk pantai di
daerah penyelidikan yang menghadap ke arah utara. Arah angin yang dominan ini
dianggap sebagai penyebab sistem gerakan air yang berada di dekat pantai. Karena
pergerakan angin tersebut merupakan gaya yang secara langsung dapat menimbulkan
gejala perubahan garis pantai. Akan tetapi besarnya pengaruh angin dominan ini
terhadap gerakan air sangat tergantung pada panjang tiupan angin (fetch) yang diukur
dari titik-titik peninjauan di pantai sampai ke daerah penghalang angin, maka harga
Selain itu, variasi kualitas air laut yang lainnya juga memiliki karakteristik yang tidak jauh
berbeda terutama untuk perairan yang memiliki banyak muara sungai dan bukan
merupakan perairan dalam. Nilai salinitas umumnya relatif rendah (<20 ppt). Perubahan
nilai salinitas di daerah muara dapat disebabkan oleh pengaruh pasang surut dan debit air
sungai yang sangat dipengaruhi oleh musim. Pada saat surut dan di saat musim hujan,
dengan debit air sungai yang besar maka nilai salinitas air laut di sekitar muara sungai
akan menurun, namun pada saat musim kemarau dan di waktu pasang maka nilai salinitas
akan naik.
Morfologi dasar laut di daerah penyelidikan dicirikan oleh adanya bentuk topografi dasar
laut yang menunjukkan landaian ke arah utara. Di samping itu juga ditemukan bentuk
punggungan dan relief yang agak bergelombang.
Jumlah penduduk Kab. Tangerang pada tahun 2013 berjumlah 3.157.780 jiwa terdiri dari
laki-laki sebanyak 1.617.690 jiwa dan perempuan 1.540.090 jiwa. Rasio penduduk
sebesar 104,96% penduduk 3 orang/km2 (BPS, 2014). Lapangan pekerjaan utama
penduduknya secara berurutan adalah di bidang industri (52,54%), jasa kemasyarakatan,
sosial dan perdagangan (39,97%) serta sekotor pertanian, perkebunan,kehutanan dan
Keadaan jalan setiap tahunnya terus dilakukan peningkatan baik kuantitas maupun
kualitasnya. Jaringan jalan yang ada di Kabupaten Tangerang pada tahun 2010 terdiri dari
Jalan Nasional sepanjang 27,93 Km, Jalan Provinsi sepanjang 114,44 Km, dan 990,62 Km
merupakan jalan kabupaten yang terbagi menjadi 293 ruas dan jalan desa 640,93 Km.
kondisi jalan tersebut pada umunya baik mencapai 431,47 Km (43,6%), sedang 142,58 Km
(14,4%) dan rusak ringan mencapai 188,04 Km (19%) dan rusak berat 227,53 Km (23%).
Jaringan jalan paling strategis terletak pada jalan bebas hambatan, yaitu Jakarta-Merak
yang memiliki panjang 100 Km, mulai dari Tol Tomang di Jakarta s.d di Merak, Cilegon.
Kebutuhan air di Kabupaten Tagerang sebagian besar bersumber dari pompa air, yaitu
sebanyak 47,37% dari seluruh rumah tangga yang ada. Air ledeng atau PAM baru
mencapai 20,5%. Kondisi yang memprihatinkan diperlihatkan banyaknya rumah tangga
yang masih menggunakan sumber air hujan untuk keperluan masak/minum, yaitu
sebanyak 0,96% terutama di daerah Pantai Utara yang masih terbatas saluran air PAM,
dikarenakan kondisi air tanah yang kurang baik.
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tangerang tahun 2013 tumbuh mencapai 6,11%,
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,80% (BPS, 2014a).
Pertumbuhan yang meniggkat disebabkan beberapa hal diantanranya adalah
pertumbuhan sektor industri pengolahan yang meningkat sebesar 5,46% dibandingkan
tahun sebelumnya sebesar 4,46%. Disusul oelh sector pengangkutan dan komunikasi serta
pertanian yang pertumbuhannya meningkat dari tahun sebelumnya dengan nilai masing-
Pendapatan daerah regional bruto (PDRB) Kabupaten Tangerang pada tahun 2013
mengalami pertumbuhan yang positif, yang paling cepat pada sektor tersier (
perdagangan, hotel, restoran, pengangkutan, komunikasi, keuangan dan jasa-jasa) yaitu
sebesar 9,95 %, urutan kedua pada sektor primer (pertanian, pertambanga dan
penggalian) sebesar 7,2 % dan terkahir sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, gas ,
air dan bangunan) sebesar 4,66 %. Dengan demikian menggambarkan bahwa Kabupaten
Tangerang bukan lagi menggantungkan perekonomiannya dari sektor agraris melainkan
dari sector perdagangan dan jasa. Peranan sector pertanian terhadap pebentukan PDRB
Kabupaten Tangerang lima tahun terakhir cenderung fluktuatif, menurun di tahun 2011
sebesar 11,02%, namun dua tahun terakhir terus meningkat dari tahun 2012 sebesar
11.06% menjadi 11,17% pada tahun 2013.
PDRB per kapita Kabupaten Tangerang pada tahun 2013 mencapai Rp 16,13 juta lebih
tinggi disbanding tahun sebelumnya sebesar Rp 14,61 juta. Nialt menunjukkan bahwa
penduduk Kabupaten Tangerang secara umum sudah dapat dikatakan cukup. Namun
demikian peningkatan pendapatan per kapita secara keseluruhan belum sepenuhnya
diikuti oleh peningkatan pendapatan secara parsial terutama masyarakat pesisir yang
menggantungkan hidupnya pada perikanan. Terdapat kecenderungan semakin
menurunnya hasil tangkapan nelayan yang berakibat pada berkurangnya tingkat
pendapatan nelayan.
Alat tangkap yang digunakan sangat sederhada dan jenisnya beranekaragam, seperti:
jaring insang, perangkap, sero, jaring lingkar, bubu, bagan dan pancing. Dari ketujuh alat
tangkap ini jenis pancing ulur (hand line) yang dominan digunakan oleh nelayan. Karena
alat tangkap ini murah dan mudah dalam pembuatan dan pengoperasiannya. Umpan yang
digunakan pada pancing ulur adalah layang (Decapterus sp.), kembung (Rastelliger sp.)
dan cumi-cumi (Loligo sp). Produksi ikan dari hasil tangkapan nelayan di Desa Tanjung
Pasir akan dilelang di tempat pelelangan ikan (TPI) yang berada di Desa Tanjung Pasir.
Hasil produksi budidaya tambak yang paling menonjol di Kabupaten Tangerang yaitu
ikan bandeng. Jumlah produksi ikan bandeng mencapai 5.230,1 ton pada tahun 2010
dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 5.927,5 ton yang tersebar di 29 kecamatan
salah satunya adalah Kecamatan Teluknaga yang menjadi kecamatan dengan
kontribusi perikanan bandeng kedua terbesar, dan tepatnya berada di Desa Tanjung
Pasir (DKP Kabupaten Tangerang, 2012). Topografi Desa Tanjung Pasir adalah kawasan
pantai landai, sehingga terdapat tambak yang luasnya mencapai 332 hektar.
Komoditas budidaya tambak utama yang ada di Desa Tanjung Pasir salah satunya
adalah ikan bandeng
Sebelum tahun 1990 wilayah pesisir Teluknaga, khususnya Desa Tanjung Pasir, sebagian
besar wilayahnya merupakan kawasan budidaya udang intensif. Tahun 1997 para
petambak banyak yang berhenti bertambak. Perubahan kondisi fisik akibat ulah manusia
dengan adanya limbah dari Sungai Cisadane juga pembangunan pabrik-pabrik di daerah
Pantai Indah Kapuk dan Muara Angke yang mengakibatkan limbah mengalir ke laut
Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui
mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik
dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan
mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat
tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran
(nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta
sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil
keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh
pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam
Santoso, 2000).
Gambar 3.2. Pohon Sonneratia Sp. dan burung laut pada Ekosistem mangrove
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau
masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang
surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono,
2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan
dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove
oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun
menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat
karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di
mangrove.
Sementara menurut hasil identifikasi terbaru yang dilakukan DInas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Tangerang bersama Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB tahun
2015 menunjukkan bahwa, ekosistem mangrove pada di sekitar Desa Ketapang kategori
pohon yaitu mangrove jenis Avicennia lanata, dan Avicennia marina. Kategori anakan
yang ditemukan jenis mangrove Avicennia marina sedangkan untuk kategori semai hanya
ditemukan mangrove jenis Avicennia marina. Berdasarkan hasil analisa data lapang,
kerapatan ekosistem mangrove untuk kategori pohon yaitu 1100 ind/ha, katgori anakan
yaitu 2800 ind/ha dan kategori semai yaitu 20000 ind/ha. Berdasarkan kriteria baku
kerusakan mangrove menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201
Tahun 2004 bahwa ekosistem mangrove di stasiun 4 berada pada kondisi sedang.
Anakan 2800 -
Semai 20000 -
Kecamatan Mauk terletak disebelah utara Kabupaten Tangerang, dengan luas wilayah
2
40.095 Km . Letak ketinggian Kecamatan Mauk dari permukaan laut sekitar 4 meter dan
memiliki curah hujan rata-rata 6,30 mm/hari dengan suhu rata-rata antara 15 s.d 30° C.
Kecamatan Mauk saat ini memiliki 11 desa dan 1 kelurahan, dimana kelurahan terletak di
Mauk Timur sebagai pusat pemerintahan. Desa – desa yang terdapat di Kecamatan Mauk
yaitu Kelurahan Mauk Timur, Desa Mauk barat, Desa Ketapang, Desa Marga Mulya, Desa
Tanjung Anom, Desa Jati Waringin, Desa Tegal Kunir Kidul, Desa Banyu Asih, Desa Tegal
Kunir Lor, Desa Sasak, Desa Gunung Sari, Desa Kedung Dalem. Berdasarkan posisi
geografisnya, maka di Kecamatan Mauk terdapat tiga desa pesisir, Desa Tanjung Anom,
Desa Mauk Barat dan Desa Ketapang. Pembagian desa berdasarkan jumlah RT dan RW
serta luasnya dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Luas Wilayah Menurut Desa Desa dan Jumlah RT/RW Kecamatan Mauk, 2015
Banyaknya
No Desa Luas (Km²)
RT RW
2 Sasak 19 4 3.190
10 Ketapang 21 9 4.186
A. Kependudukan
Berdasarkan konsep BPS (Badan Pusat Statistik) yang dimaksud dengan penduduk
Indonesia mencakup warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA)
yang tinggal dalam wilayah geografis indonesia, baik yang bertempat tinggal tetap
maupun yang bertempat tinggal tidak tetap (seperti tuna wisma, pengungsi, awak kapal
berbendera indonesia, masyarakat terpencil/terasing, dan penghuni perahu/rumah
apung). Jumlah penduduk Kecamatan Mauk berjumlah 79.740 orang yang terdiri dari
40.632 orang laki-laki dan 39.108 orang perempuan. Jumlah penduduk terbanyak di Desa
Tegal Kunir Kidul yaitu berjumlah 8.407 orang, sedangkan desa yang paling sedikit
penduduknya adalah Desa Gunung Sari yakni berjumlah 4.188 orang. Perbandingan
jumlah penduduk dan luas wilayah di Kecamatan Mauk dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Perbandingan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di Kecamatan Mauk 2014
B. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kemajuan suatu
wilayah. Oleh karena itu ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang berupa
sumber daya manusia dan sarana fisik sangatlah penting di sebuah wilayah. Jumlah sarana
dan prasarana pendidikan terbagi kedalam beberapa katergori. Untuk kategori Tamak
Kanak-Kanak negeri di Kecamatan Mauk sebanyak 1 unit, sedangkan untuk swasta
sebanyak 6 unit. Untuk tingkat sekolah dasar negeri (SDN) sebanyak 28 unit dengan
jumlah murid sebanyak 8.307, sedangkan sekolah dasar swasta sebanyak 1 unit dengan
jumlah murid sebanyak 223 orang. Tenaga pengajar sekolah dasar negeri sebanyak 264
orang, dan swasta sebanyak 11 orang.
Kategori sekolah menengah pertama negeri (SMPN) sebanyak 2 unit dengan jumlah murid
1.797 orang dan tenaga pengajar sebanyak 84 orang. Untuk SMP swasta sebanyak 8 unit
dengan jumlah murid 1669 dan tenaga pengajar 146 orang. Sekolah menengah atas
negeri sebanyak 1 unit, dengan jumlah murid 1.604 orang dan tenaga pengajar sebanyak
47 orang. Untuk SMA swasta sebanyak 1 unit, dengan jumlah murid sebanyak 79 orang
dan tenaga pengajar 13 orang. Banyaknya sekolah, murid dan guru dapat dilihat pada
Tabel 3.5.
1 TK Negeri 1 54 1
2 TK Swasta 6 214 19
4 SD Swasta 1 223 11
8 SMA Swasta 1 79 13
Jumlah
Kerusakan lingkungan adalah deteriorasi lingkungan dengan hilangnya sumber daya air,
udara, tanah, kerusakan ekosistem dan punahnya fauna liar. Gambaran kerusakan
ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang signifikan di
kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan
lain-lain. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur.
Dewasa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ada tiga
faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, Konversi hutan
Hutan mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan darat dan laut yang mempunyai
multi fungsi, yaitu selain sebagai sumberdaya potensial bagi kesejahteraan masyarakat
dari segi ekonomi, sosial juga merupakan pelindung pantai dari hempasan ombak. Oleh
karena itu dalam usaha pengembangan ekonomi kawasan mangrove seperti pembangkit
tenaga listrik, lokasi rekreasi, pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan
pertanian pangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan
daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir. Pertumbuhan
penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya
mangrove terus meningkat. Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan
mangrove, yaitu :
Pemanfaatan ganda antar berbagai sektor dan Penggunaan sumberdaya yang berlebihan
telah menyebabkan terjadi pengikisan pantai oleh air laut. Sesuai dengan fungsi hutan
mangrove sebagai penahan ombak. Di beberapa daerah kawasan pantai hutan mangrove
sudah banyak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh ombak. Di wilayah Teluk
Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling berkompetisi, seperti perluasan areal
pelabuhan, industri, transportasi laut, permukiman dan kehutanan. Demikian juga diBali,
khususnya di kawasan hutan mangrove Suwung, pembangunan landasan udara Ngurah
Rai Bali menyebabkan pantai Kuta terabrasi. Pemanfaatan demikian yang kurang
menguntungkan ditinjau dari aspek keseimbangan lingkungan, karena dapat
menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan wilayah pesisir. Disamping itu,
pengelolaan hutan mangrove belum berkembang, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya
manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya. Akibatnya
banyak terjadi perusakan hutan mangrove seperti penebangan yang tidak terkendali,
sehingga pemanfaatannya melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk
meregenerasi.
Di daerah muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang
terus-menerus terbawa dari daerah hulu sungai. Permasalahan utama yang muncul
adalah tentang status tanah timbul tersebut. Karena lokasinya umumnya berdekatan
dengan lahan kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya langsung menjadi
kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk kepentingan
mereka, tanpa mengindahkan status tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik
penguasaan. Contoh : kasus kawasan di Segara Anakan, dan kawasan Pantura
Jawa, kawasan Sulawesi Selatan dan lain-lain.
Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di wilayah pesisir berasal dari konversi hutan
mangrove. Hutan mangrove sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi
Sering terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan antara instansi
sektoral pusat dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan
prosedur perizinan untuk kegiatan pembangunan pesisir dan lautan. Contahnya seperti
pembukaan lahan di kawasan pesisir, usaha penggalian pasir laut, reklamasi,
penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain. Akibat tersebut
menyebabkan terus meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan
khususnya kawasan hutan mangrove.
Keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi yang berkaitan dengan
tipologi ekosisitem pesisir Keanekaragaman hayati, lingkungan sosial budaya, peluang
ekonomi dan peran serta keluarga, sumber daya hutan mangrove masih terbatas sehingga
belum dapat mendukung penataan ruang kawasan pesisir, pembinaan dalam
pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta Rehabilitasi / Restorasinya.
Abrasi
Abrasi telah menjadi permasalahan serius dan sangat penting untuk mendapat perhatian,
dimana kawasan pesisir di Kabupaten Tangerang telah mengalami kerusakan hingga 51%,
artinya hampir semua kawasan pesisir mengalami abrasi. Proses abrasi muncul ketika
maraknya pembukaan areal tambak yang diusahakan secara tradisional oleh para
penduduk maupun tambak modern yang dikelola oleh para investor/pemodal besar.
Hal sama juga berpengaruh nyata pada perikanan budidaya khususnya tambak sebagai
salahsatu kegiatan utama dipesisir utara Tangerang juga mengalami dampaknya, yaitu
menurunnya produksi tambak yang ditunjukkan dengan 2 hal yaitu lamanya waktu
pembesaran ikan/udang serta ukuran per luasan panen yang makin menurun.
Sanitasi dan lingkungan yang buruk menjadi indikator betapa kesadaran masyarakat di
sekitar PRPM ini sangatlah rendah. Persoalan sanitasi sangat terkait dengan sampah dan
limbah rumah tangga yang tidak terkelola dengan baik. 2 hal tersebut menjadi isu yang
disadari semua pihak, namun tidak mudah memecahkanya, hal ini terkait dengan
kesadaran masyarakat yang kurang sehingga berpengaruh terhadap perilaku
masyarakatnya yang juga kurang peduli dengan kebersihan lingkungan, ditambah dengan
minimnya sarana prasarana penampungan sampah dan pengelolaanya serta tidak adanya
Konsep Lanskap yang akan dikembangkan di tapak ini memiliki tujuan untuk menciptakan
pusat restorasi dan pembelajaran mangrove (PRPM) yang berkelanjutan yang dapat
meningkatkan pengetahuan, kapasitas, dan kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan
restorasi dan pengelolaan yang berkelanjutan dan sekaligus digunakan sebagai pusat
laboratorium alam dan tujuan ekowisata. Pengembangan PRPM di lokasi ini diadopsi dari
bentuk daun dan buah Ketapang, sesuai dengan nama daerahnya yaitu Desa Ketapang
yang lokasinya di pinggir pantai yang luasnya mencapai kurang lebih 12 ha (Peta lokasi
sebagaimana Gambar 4.1)., dan akan terus dikembangkan ke depan.
Selain itu pohon Ketapang (Terminalia catappa L.) mewakili tanaman mangrove yang
memiliki banyak manfaat bagi lingkungan. Selain daunnya yang dapat digunakan sebagai
penyamak kulit, bahan pembuatan tinta, sebagai pewarna hitam, kayu dapat digunakan
sebagai bahan pembuatan kapal dan bijinya dapat dimakan. Ketapang yang mengering
dapat menurunkan pH air, menyerap bahan-bahan berbahaya, serta memberikan kondisi
nyaman bagi ikan (Ensiklopedia Flora Mangrove, 2013).
Pola pengembangan lanskap PRPM dari bentukan daun dan buah Ketapang tersebut
menjadi dasar pola sirkulasi untuk mendukung kegiatan yang akan dilakukan didalam
PRPM. Diharapkan dengan adanya pelestarian lingkungan pesisir melalui PRPM ini dapat
secara optimal berfungsi sebagai penguat dan penyangga lingkungan disekitarnya dan
menjadi cadangan energi yang kuat untuk melindungi RTH di kawasan Tangerang dan
sekitarnya.
Pemilihan lokasi pintu masuk terkait kemudahan aksesibilitas dipilih berdasarkan jarak
terhadap jalan kolektor dan jalan utama. Lebar jalan menuju pintu masuk kawasan dibuat
dengan ukuran standar untuk dilalui dua mobil. Terdapat dua pilihan lokasi pintu masuk,
yang pertama adalah di bagian utara tapak yang dekat dengan Jalan Raya Masuk dan yang
kedua adalah di bagian selatan yang lebih kedalam namun jaraknya dekat dengan jalan
desa. Lokasi yang dipilih adalah lokasi di bagian selatan yang dekat dengan jalan desa
dikarenakan pada lokasi bagian utara terdapat bagian kecil lahan yang belum dibebaskan
sehingga tidak dapat terhubung langsung dengan Jalan Raya Masuk.
o Public and Service Area merupakan area yang dapat diakses untuk publik berupa
sarana dan prasarana untuk menunjang berbagai kegiatan publik di PRPM. Pada
area ini dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti toilet/kamar mandi,
mushola/tempat ibadah, restoran sebagai tempat kuliner, dermaga untuk fasilitas
wisata air berupa kapal dayung (canoeing)/kapal bebek, gudang sarana media,
aula pertemuan, sarana penginapan dan nursery area berupa bedengan
pembibitan dan perbanyakan mangrove yang dilengkapi dengan fasilitas beberapa
screenhouse untuk rumah pembibitan tanaman, blok pembibitan, gudang
peralatan dan area perkerasan untuk display tanaman. Di area ini pengunjung
dapat belajar, meneliti dan menambah pengetahuan tentang jenis tanaman
mangrove.
o Silvofishery Area merupakan area dengan sistem wanamina yaitu area untuk
penanaman bibit mangrove berupa tambak atau kolam dan saluran air untuk
budidaya ikan seperti ikan bandeng, udang, dan lain-lain. Dengan demikian
terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya sumberdaya
ikan (mina). Di area silvofishery/wanamina ini dilengkapi fasilitas yaitu beberapa
gazebo untuk beristirahat, berkumpul maupun berdiskusi di sekitar kolam/tambak.
Konsep pemberdayaan yang akan dikembangkan di PRPM Ketapang, didasari pada fakta
bahwa tidak ada kawasan konservasi yang berhasil dan bermanfaat tanpa ada dukungan
masyarakat sekitar. Untuk itu model pengelolaan Collabrative management (Co-
management) menjadi konsep pengelolaan secara umum, dimana ada kerjasama dan
pembagian peran antara pemerintah, masyarakat dan peran serta stakeholder lain. Untuk
meningkatkan peran serta dan sekaligus memberdayakan masyarakat sekitar PRPM, maka
kegiatan-kegiatan PRPM harus melihat masyarakat dan Pemerintah Desa Ketapang
sebagai stakeholder utama, dengan demikian maka dapat dikembangkan konsep
community based management untuk mengelola program pengelolaan PRPM. Dengan
model demikian, maka secara otomatis masyarakat akan terlibat secara langsung dalam
pengelolaan sebagai bagian dari management, dan menjadi penerima manfaat dari
kegiatan ekonomi yang berkembang dari kegiatan PRPM, semisal penyediaan tenaga
kerja, kesempatan berusaha untuk penyediaan makanan bagi pengunjung dalam bentuk
rumah makan, parkir serta penyediaan jasa pembibitan mangrove (nursery) yang dapat
dijual kepada pengunjung ataupun pihak lain yang membutuhkan dll.
Untuk memperkuat kapasitas masyarakat agar lebih berdaya, maka progam capacity
building perlu dilakukan, terutama untuk para pemuda yang terkait dengan jasa atau
penyediaan layanan untuk pengunjung atau ketrampilan lain yang mendukung kegiatan
PRPM.
Sebagai pusat konservasi dan pembelajaran mangrove, maka salah satu misi yang harus
dijalankan adalah menyediakan informasi seluas luasnya kepada orang yang berkunjung
untuk memperoleh informasi mengenai lokasi (PRPM) dan juga mengenai obyek yaitu
ekosistem mangrove, sehingga dengan berkunjung ke PRPM ini pengunjung akan
mendapatkan segala informasi yang terkait dengan PRPM dan mangrove sekaligus serta
pengunjung menjadi target promosi gaya hidup ramah lingkungan dan ajakan
penyelamatan mangrove (pro-mangrove). Dalam hal ini berangkat dari konsep PRPM
Untuk mendukung hal diatas, dalam pengembangan pusat informasi dan promosi di
PRPM akan dikembangkan :
Untuk memaksimalkan pengelolaan terhadap pengunjung, agar juga tidak merusak PRPM,
maka konsep pengelolaan pengunjung berkonsep terbatas atau ekslusif, dimana hanya
pengunjung tertentu yang diperbolehkan, terutama adalah yang berorientasi pada konsep
utama PRPM yaitu yang berkepentingan dengan kegiatan pembelajaran dan konservasi
mangrove.
Pengunjung yang akan dialokasikan harus dibatasi jumlahnya berdasar daya dukung
kawasan, tidak berpotensi merusak ekosistem, tidak meninggalkan jejak emisi di lokasi
dan memiliki kesadaran dan kapasitas untuk menjaga PRPM. Dalam hal ini kunjungan
harus diupayakan berombongan misal dari sekolah, kampus, kelompok pecinta lingkungan
atau field trip. Pengunjung individu dialokasikan sepanjang tidak ada kegiatan pendidikan
dan konservasi yang sedang dijalankan. Untuk pengelolaan kunjungan, maka PRPM dapat
menerapkan system entrance fee (karcis) yang hasil pendapatannya harus digunakan
untuk kegiatan konservasi.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang
dapat diterapkan. Kedua konsep ini pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian
bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap
lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan Rehabilitasi /
Restorasi hutan mangrove.
Selain Rehabilitasi / Restorasi untuk pemulihan ekosistem mangrove yang rusak dikenal
juga restorasi ekosistem mangrove. Pengertian ekologi restorasi adalah proses mengubah
dengan sengaja keadaaan lingkungan suatu lokasi guna menetapkan suatu ekosistem yang
bersifat tertentu, asli, dan bersejarah. Tujauannya untuk mengembalikan struktur, fungsi,
kenekragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju. Tujuan utama restorasi
mangrove ada dua, yaitu : merestorasi fungsi ekologi hutan mangrove yang rusak
(degraded) dan mendapatkan produk hutan yang mempunyai nilai komersial. Dalam
konteks ini nilai komersial berarti produk hutan yang dibutuhkan oleh penduduk sekitar
sebagai sumber energi dan perumahan selain untuk industri. Dua tujuan ini menentukan
spesies mangrove yang akan ditanam, untuk tujuan restorasi ekologi semua spesies
mangrove dapat dimanfaatkan/ditanam. Restorasi dilakukan hingga mencapai struktur
dan komposisi spesies semula, melalui suatu program reintroduksi yang aktif, terutama
dengan cara menanam dan membenihkan spesies tumbuhan semula (Basyuni, 2002).
Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami kerusakan
(degraded) atau terganggu (disturbed) akibat aktivitas manusia atau gangguan alam.
Dengan upaya restorasi, kemungkinan pulihnya proses ekologi akan kembali, serta dengan
upaya ini, ketahanan yang menjadi syarat berlangsungnya pemulihan sistem dapat
tercapai. Ekosistem yang membutuhkan restorasi umumnya adalah ekosistem yang telah
mengalami perubahan atau kerusakan akibat aktivitas-aktivitas manusia, baik secara
langsung maupun tidak. Dalam beberapa kejadian, dampak terhadap kerusakan
ekosistem diperparah dengan terjadinya bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir,
badai atau letusan gunung berapi yang mengakibatkan ekosistem tidak dapat lagi
dipulihkan seperti sediakala. Program restorasi berupaya memulihkan kembali ekosistem
Rehabilitasi / Restorasi hutan mangrove merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan
mangrove yang merupakan bagian integral dari pengelolaan kawasan pesisir secara
terpadu yang ditempatkan pada kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit
manajemen. Penyelenggaraan Rehabilitasi / Restorasi hutan mangrove yang dimaksud
ditujukan untuk memulihkan sumberdaya hutan yang rusak sehingga berfungsi optimal
dalam memberikan manfaat kepada seluruh pihak yang berkepentingan, menjamin
keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan pesisir,
mendukung kelangsungan industri berbasis sumberdaya mangrove. Tujuan tersebut dapat
dicapai jika penanganan kawasan dilakukan secara tepat, adanya kelembagaan yang kuat,
dan teknologi Rehabilitasi / Restorasi yang tepat guna berorientasi pada pemanfaatan
yang jelas (DKP, 2010).
Konsep lanskap yang akan dikembangkan pada kawasan PRPM ini adalah konsep kawasan
ruang terbuka hijau yang juga sekaligus menjadi green belt (sabuk hijau) bagii kawasan
pantai utara Kabuaten Tangerang, sebagaimana tertuang dalam site plan berikut ini.
Selain fasilitas hard material yang terlihat dalam siteplan, pembagian zona tanaman (soft
material) dan blok-blok antar jenis tanaman mangrove sudah dilakukan tertuang dalam
Plantingplan (Gambar 4.4.). Dalam plantingplan tersebut, mangrove yang ditanam dibagi
menjadi 19 blok/zona tanaman yang terdiri dari 19 jenis tanaman mangrove yang karakter
dan ciri tanaman sesuai dengan kondisi ekologis kawasan.
Pada tahap persiapan lahan dilakukan pembersihan area lahan yang akan dibangun.
Selanjutnya dilakukan grading lahan pada area yang diperlukan sesuai dengan rencana .
Pada tahapan stake out, dilakukan pengecekan ulang peta koordinat pembangunan
fasilitas dari masing-masing fasilitas yang akan dibangun dengan kondisi lapangan. Lalu
a. Areal Parkir
b. Jembatan tracking
c. Gasebo (tempat istirahat)
d. Menara pandang
e. Bangunan restoran
f. Penginapan
g. Mangrove information center (MIC) sekaligus pusat souvenir dan
pembejalaran
h. Nursery center.
Selain itu, fasilitas yang akan dikembangkan juga disesuaikan dengan aktifitas yang akan
dikembangkan, sehingga fasilitas disesuaikan dengan aktifitas, sebagaimana table 4.2
berikut.
Lokasi penanaman mangrove dapat dilakukan di kawasan hutan lindung, hutan produksi,
kawasan budidaya, dan di luar kawasan hutan pada daerah : Pantai, dengan lebar sebesar
130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur
dari garis air surut terendah ke arah darat; Tepian sungai, selebar 50 m ke arah kiri dan
kanan tepian sungai yang masih terpengaruh air laut; Tanggul, pelataran dan pinggiran
saluran air ke tambak.
Pemilihan jenis mangrove juga harus disesuaikan dengan lahan yang akan diRehabilitasi /
Restorasi. Beberapa jenis mangrove yang cocok untuk kondisi lahan tertentu menurut
Bengen (2006) adalah sebagai berikut :
Bakau (Rhizophora spp.) dapat tumbuh dengan baik pada substrat (tanah) yang
berlumpur, dan dapat mentoleransi tanah lumpur-berpasir, dipantai yang agak
berombak dengan frekuensi genangan 20-40 kali/bulan. Bakau merah (Rhizophora
stylosa) dapat ditanam pada substrat pasir berkoral.
Api-api (Avicennia spp.) lebih cocok ditanam pada substrat pasir berlumpur terutama
di bagian terdepan pantai, dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan.
Bogem/Prapat (Sonneratia spp.) dapat tumbuh baik dilolasi bersubstrat lumpur atau
lumpur berpasir dari pinggir pantai ke arah darat, dengan frekuensi genangan 30-40
kali/bulan.
Menurut Bengen (2006) dalam proses pembibitan bibit mangrove diusahakan berasal dari
lokasi setempat atau lokasi terdekat, disesuaikan dengan kondisi tanahnya. Persemaian
dilakukan dilakukan di lokasi tanam untuk penyesuaian dengan lingkungan setempat.
Bengen (2006) menyatakan bahwa untuk mengatasi hama pada tanaman mangrove
sebaiknya dilakukan beberapa cara sebagai berikut :
Buah Rhizophora spp. atau Bruguiera spp. yang akan digunakan sebagai bibit, dipilih
yang telah cukup matang. Tanda-tanda kematangan buah ditunjukkan oleh keluarnya
buah dari tangakai.
Buah kemudian disimpan ditempat yang teduh, ditutupi dengan karung goni yang
setengah basah selama 5-7 hari. Penyimpanan ini dimaksudkan untuk menghilangkan
bau/aroma buah segar yang dimiliki buah mangrove yang sangat disenangi oleh
serangga.
Setelah itu buah mangrove siap untuk disemai pada kantong plastik/botol air mineral
bekas atau ditanam langsung ke lokasi tanam.
Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menanam
langsung buahnya atau melalui persemaian bibit. Penanaman langsung tingkat
keberhasilan tumbuhnya rendah (sekitar 20-30%), sedangkan penanaman dengan melalui
persemaian bibit tingkat keberhasilan tumbuhnya relatif tinggi (sekitar 60-80%). Untuk
memperoleh bibit mangrove yang baik, pengumpulan buah (propagule) dapat dilakukan
antara bulan September sampai dengan bulan Maret, dengan karak teristik sebagai
berikut :
- Buah sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang berusia di atas 10 tahun.
Api-api (Avicennia spp.), Bogem (Sonneratia spp), dan Nyirih (Xilocarpus granatum)
c. Pembibitan
Persemaian bibit mangrove menurut Bengen (2006) dilakukan pada lahan yang
lapang dan datar, dekat dengan lokasi tanam. Terendam dengan air pasang,
dengan frekuensi lebih kurang 20-40 kali/bulan, sehingga tidak memerlukan
penyiraman
Cara pembibitan mangrove adalah dengan cara buah disemaikan langsung ke kantong-
kantong plastik atau ke dalam botol air mineral bekas yang sudah berisi media tanah.
Sebelum diisi tanah, bagian bawah kantong plastik atau botol air mineral bekas diberi
lubang agar air yang berlebihan dapat keluar. Khusus untuk buah Bakau (Rizophora spp.)
dan Tancang (Bruguiera spp.) sebelum disemaikan sebaiknya disimpan dulu di tempat
yang teduh dan ditutupi karung basah selam 5-7 hari. Daun muncul setelah 20 hari,
setelah berumur 2-3 bulan bibit sudah bisa ditanam di lokasi.
e. Penanaman
Menurut Bengen (2006) penanaman mangrove dapat dilakukan melalui dua sistem, yaitu :
(1) sistem banjar harian, dan (2) sistem tumpang sari, atau lebih dikenal dengan sistem
wanamina (silvofishery).
Didekat ajir, buat lubang tanam pada saat air surut, dengan kedalaman lubang
disesuaikan dengan benih yang akan ditanam. Penanaman benih sebaiknya dilakukan
sedalam kurang lebih sepertiga dari panjang benih.
Buat lubang didekat ajir pada saat air surut, dengan ukuran lebih besar dari ukuran
kantong plastik atau botol air mineral bekas.
Bibit ditanam secara tegak ke dalam lubang yang telah di buat, dengan
melepaskan bibit dari kantong plastik atau botol air mineral secara hati-hati agar
tidak merusak akarnya. Sela-sela lubang disekeliling bibit ditimbun dengan tanah
sebatas leher akar
c). Jarak tanam tergantung pada tujuan penanaman mangrove, bila untuk
perlindungan pantai bibit ditanam ada jarak 1x1 m, tetapi bil untuk produksi
digunakan jarak 2x2 m.
d). Jenis tanaman mangrove yang ditanam disesuaikan dengan zonasi ataupun
tujuan dari penanaman mangrove di lokasi tersebut. Bila untuk penahan abrasi
gunakann jenis bakau (Rhizophora spp.), namun bila untuk penghjauan saja cukup
ditanam jenis api-api (Avicenniaspp.)
Pada prinsipnya penanaman benih atau bibit mangrove dengan sistem wanamina
sama seperti pada sistem banjar harian. Perbedaannya adalah pada penanaman
mangrove dengan sistem wanamina dibuatkan tambak/kolam dan saluran air
untuk membudidayakan sumber daya ikan (ikan, udang, dsb), sehingga terdapat
perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya sumberdaya ikan
(mina).
Secara umum terdapat tiga pola dalam sistem wanamina (Bengen, 2006), yaitu;
Wanamina dengan pola empang parit, pada pola empang parit lahan untuk
hutan mangrove dengan empang masih menjadi satu hamparan yang
diatur oleh satu pintu air.
Pada lokasi penanaman yang agak tinggi atau frekuensi genangan air pasang kurang, perlu
mendapat perhatian lebih intensif dalam pemeliharaannya. Hal ini disebabkan pad alokasi
tersebut cepat ditumbuhi kembali oleh sejenis pakisan atau Piyai (Acrosthicum aureumi).
Jadi apabila kelihatan tumbuhan Piyai mengganggu tumbuhan anakan, perlu segera
dilakukan penebasan kembali. Kegiatan penyiangan dan penyulaman ini dilakukan
samapai tanaman berumur lima tahun.
Penjarangan
Kegiatan penjarangan diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang ideal bagi tanaman,
yaitu agar pertumbuhan tanaman dapat meningkat dan pohon-pohon yang tumbuh sehat
dan baik. Hasil penjarangan ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku arang, industri
kertas, kayu bakar, bahkan untuk makanan kambing.
Perlindungan tanaman
Sejak usia pertumbuhan satu tahun, batang mangrove sangat disukai oleh serangga atau
ketam/kepiting. Menurut pengalaman 60-70% mangrove akan mati sebelum berusia satu
tahun karena digerogoti oleh seranggga atau ketam/kepiting.
Hama lain yang sering menyerang tanaman mangrove pada usia muda adalah kutu lompat
(mealy bug). Serangan pleh hama ini dicirikan oleh warna daun tanaman menjadi kuning,
kemudian rontok dan tanaman mati. Bila serangan hama ini terjadi sebaiknya tanaman
yang terserang dimusnahkan saja agar menghambat penyebarannya pada tanaman lain.
Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah
kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (Penaeus
monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan
kakap (Lates calcarifer), kerang hijau atau rumput laut. Kepiting bakau mempunyai
karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya
untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan
kepiting tidak memerlukan tambak yang luas.
Penanaman bibit mangrove dalam sistem wanamina yaitu dengan membuat tambak atau
kolam dan saluran air untuk budidaya ikan seperti ikan bandeng, udang, dan lain-lain.
Dengan demikian terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya
sumberdaya ikan (mina). Ada banyak cara dalam memanfaatkan mangrove secara lestari,
di antaranya ada lima bentuk utama, yaitu:
Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan
terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak, dengan kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:
Konstruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar
mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan
pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk
tanaman mangrove
Hasil penelitian ahli perikanan pada tahun 1979 menunjukkan terdapat hubungan
yang signifikan antara luas kawasan mangrove dengan poduksi perikanan budidaya,
dimana semakin meningkatnya luasan mangrove maka produksi perikanan budidaya
juga turut meningkat.
Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah
limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah
diujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil uji
lapang di Negara Tiongkok membuktikan bahwa bertambahnya konsentrasi polutan di
lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman
mengrove, invertebrata bentik, atau spesies alga.
Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan
pendapatan masyarakat petani ikan.
Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber
air tawar dapat dipertahankan
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tanpa
menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove sebagai lahan budidaya perikanan dapat
dilakukan melalui budidaya sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur adalah
sistem budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah. Sistem
ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami yang ada di kolam.
Sedangkan, silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara
budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep
silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan
berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini kemungkinan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang
secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari
kegiatan budidaya perikanan.
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat
dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program
Rehabilitasi / Restorasi pantai dan pesisir. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada
kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun
1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpang sari pada hutan jati,
dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5
tahun masa kontrak.
Pada awalnya empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 meter yang disisihkan dari
tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15%
dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir
Selain itu nilai pakan lain yang penting dari ekosistem adalah berbagai organisme akuatik
yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial memilih habitat mangrove sebagai
tempat hidupnya. Tiga puluh persen produksi perikanan laut tergantung pada kelestarian
hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan jenis-
jenis ikan yang tinggi nilai komersilnya. Daun-daun berjatuhan dan berakumulasi pada
sedimen mangrove sebagai leaf litter (lapisan sisa-sisa daun) yang mendukung komunitas
organisme detrial yang besar jumlahnya. Tanaman mangrove, termasuk bagian batang,
akar dan daun yang berjatuhan memberikan habitat bagi spesies akuatik yang berasosiasi
dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk memelihara
larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai spesies akuatik. Ikan merupakan
komoditas yang memiliki nilai ekonomi tak langsung yang turut mempertahankan
keberadaan kawasan mangrove. Semakin dijaganya ekosistem mangrove maka akan
memberikan nilai ekonomi lebih besar bagi masyarakat, sehingga masyarakat sangat
berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove.
Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan
sebaran yang proporsional.
Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi
lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi
yang seimbang secara berkelanjutan.
Meningkatkan daya dukung kawasan.
Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara
partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan
ketahanan sosial ekonomi.
Menjamin keberadaan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup
dan sebaran proporsional,
Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung
dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang
seimbang dan berkelanjutan;
Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara
partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan
ketahanan sosial dan ekonomi.
3. Pengembangan kegiatan wanamina dengan proporsi 80% kawasan untuk hutan dan
20% untuk usaha perikanan.
Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan
pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki
manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat
ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Oleh karena itu
hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan
bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan
datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan,
hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus
dijaga kelestariannya.
Visi atau cita-cita yang didambakan dalam Pengelolaan PRPM Kabupaten Tangerang
adalah:
Misi
Untuk mencapai visi tersebut diatas, perlu dirumuskan misi sebagai berikut:
Dalam rangka mencapai visi, misi dan sasaran pengelolaan PRPM Ketapang, perlu
dirumuskan strategi pengelolaan. Adapun strategi yang akan dijalankan adalah :
Pengembangan edukasi menjadi misi kedua setelah restorasi, sehingga program ini
menjadi pogram wajib. Program Pengembangan fungsi edukasi dan rekreasi didalam
Pengembangan sosial ekonomi dan budaya masyarakat untuk mendukung pengembangan PRPM
dilakukan melalui pengembangan sistem yang memungkinkan masyarakat/stakeholder turut
terlibat dalam upaya pencegahan atas rusaknya ekosistem mangrove, dan sekaligus mendorong
supaya masyarakat/stakeholder ikut serta dalam upaya perlindungan dengan mendorong upaya
upaya mandiri dalam rehabilitasi dan pelestarian ekosistem, seperti upaya membangun
arboretum.
Strategi ini semua berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, agar
dapat hidup berdampingan dengan alam/nature kawasan yang menjadi kawasan
4. Pemberdayaan Masyarakat;
Kualitas SDM menjadi kunci atas suksesnya upaya rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem.
Sasarannya adalah agar masyarakat sadar dan mau melakukan sesuatu hal yang positif
serta bisa dan mampu melakukan sendiri. Untuk itu masyarakat harus diberitahu melalui
penyuluhan baik melalui kampanye, ceramah, melalui lembaga keagamaan dan didorong
juga supaya memiliki kemampuan untuk menjalankan melalui pelatihan, praktik dan
seterusnya.
Kesediaan dan kehadiran sektor public dalam upaya rehabilitasi ekosistem di PRPM juga
sangat penting, dan akan sangat membantu mempercepat upaya rehabilitasi.
Keterbatasan pendanaan, birokrasi dan mekanisme monitoring yang kurang efektif
membuat keterlibatan sector public menjadi sangat diharapkan. Mekanismenya dapat
melalui CSR (corporat social (and environmental) responsibility) atau melalui PPP (Public
private partnership). Dengan keterlibatan publik maka akan terbentuk suatu skeme
padanaan berkelanjutan untuk tujuan konservasi yang salahsatunya untuk upaya
rehabilitasi.
Siapa yang harus menangani mekanisme ini, tugas pemerintah yang harus menyediakan
instrument aturannya, pelaksanaanya dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, NGO
atau langsung dengan kelompok masyarakat.
Pengembangan potensi ekonomi non perikanan dalam di sekitar PRPM sangat perlu
dikembangkan terutama untuk mendukung pengelolaan rehabilitasi seperti kegiatan
Selain itu dapat juga dikengembangkan kegiatan lainnya yang sekaligus dapat seiring
dengan kegiatan rehabilitasi, diantara mengurangi penyebab kerusakan mangrovedari
kegiatan manusia seperti pembuangan sampah ke laut. Kegiatan ini memang tidak
langsung terkait denganmangrovenamun mengurangi resiko rusaknya mangrove, karena
sumber penyebab telah diminimalisir. Kegiatan yang dapat dilaksanakan misalnya :
Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat di sekitar lokasi PRPM adalah para pemukim di lokasi yang semi terisolir yang
menggantungkan hidupnya, sebagian atau seluruhnya, pada sumberdaya yang ada di
sekitarnya. Keberhasilan pengelolaan sangat bergantung pada seberapa besar masyarakat
merasa diajak turut serta dan dibantu. Selama masyarakat setempat masih dianggap
hanya sebagai obyek pengelolaan, akan sulit terjalin kerja sama, koordinasi dan
komunikasi seperti yang diharapkan.
Untuk mewujudkan pola pengelolaan secara efisien dan efektif, pengelola PRPM dituntut
berperan dalam memberdayakan masyarakat setempat, sebagai fasilitator bagi kegiatan
pemanfaatan ekstraktif terbatas. Untuk mendukung hal tersebut, Pemerintah atau
pengelola PRPM Ketapang diharapkan dapat berkomunikasi secara efektif dengan semua
stakeholder, terutama komunitas masyarakat lokal. Adapun kegiatan yang perlu
dijalankan dalam rangka mengajak masyarakat dalam penyatuan pengelolaan adalah
dengan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam setiap Upaya Rehabilitasi dimulai sejak
perencanaan dan kegiatannya, bahkan sampai monitoring.
Dalam pemberdayaan masyarakat hal yang penting juga sangat ditentukan adanya
fasilitasi atau pendampingan terus menerus dari pihak luar yang independent, aktif dan
memiliki kemampuan teknis yang bagus, dengan adanya pendampingan masyarakat lokal
akan merasa di temani, sehingga kepercayaan dirinya tumbuh dan ada tempat bertanya
jika menghadapi masalah. Selain itu, keberadaan fasilitator yang netral dapat menjadi
jalan komunikasi dan penengah para pihak yang berkonflik.
Secara umum, rencana program restorasi dan pembelajaran mangrove tidak dapat
dilepaskan dari 3 tujuan utama yaitu tujuan ekologi, tujuan sosial ekonomi dan tujuan
kelembagaan. Tujuan ekologi adalah untuk memulihkan kembali ekosistem mangrove dan
sumberdaya perikanan. Sedangkan tujuan sosial ekonomi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat inheren dengan program upaya restorasi dan tujuan
kelembagaan adalah untuk meningkatkan kapasitas kebijakan pengelolaan kawasan
secara integratif dari hulu hingga ke hilir.
Dalam kerangka ketiga tujuan tersebut, maka penyusunan rencana Pengembangan PRPM
Ketapang harus berbasis pada pendekatan pendekatan :
(2) Sosial ekonomi berupa persepsi masyarakat, nilai dan standar sosial budaya
setempat, kesehatan, pendidikan, dan ketergantungan masyarakat terhadap area
yang akan direhabilitasi.
(3) Pengaturan Kelembagaan yang terkait dengan peraturan yang ada, model
pengelolaan kawasan yang efektif, penegakan aturan yang ada, peran dan fungsi
serta koordinasi para pemangku kepentingan, dll.
Secara garis besar tekanan yang menghasilkan kerusakan ataupun degradasi kualitas
mangrove diartikan sebagai penurunan kualitas hidup habitat ekosistem mangrove dapat
dikategorikan dalam dua kelompok penyebab kerusakan utama: faktor alam dan manusia
(antropogenik).
PRPM Ketapang merupakan milik negara yang pengelolaannya dapat diserahkan kepada
lembaga yang dibentuk atau kerjasama pengelolaan dengan lapisan masyarakat melalui
pola co-management. Unit/Kelompok pengelola dapat mengelola PRPM dan melakukan
pemanfaatan kawasan yang sesuai dengan visi-misi pengembangan PRPM. Keanggotaan
pengelola PRPM merupakan gabungan antara pemerintah daerah, perangkat desa,
masyarakat yang tergabung kedalam kelompok pengelola PRPM yang selanjunta dapat
disebut sebagai kelompok kerja mangrove, dapat pula melibatkan peneliti atau pelaku
bisnis untuk terlibat dalam dukungan pembiayaan.
Sesuai dengan fungsi PRPM, maka tugas dan tanggung jawab pengelola PRPM adalah
sebagai berikut :
a. Terlibat dan bertanggung jawab dalam setiap tahapan pembanunan dan
pengembangan PRPM;
b. Menggalang partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan dan
pengembangan PRM;
c. Menginisiasi pemeberdayaan terhadap masyarakat sekitar untuk
meningkatkan kesadaran lingkungan maupun peningkatan kapasitas
masyarakat dalam bentuk pelatihan-pelatihan untuk pemanfaatan ekosistem
mangrove misalnya pelatihan pengolahan buah mangrove;
d. Bertanggung jawab terhadap upaya rehabilitasi termasuk pemeliharaan hasil
rehabilitasi sampai berhasil dan fungsional secara ekologis
e. Bertanggung jawab terhadap pengembangan sarana prasarana pendukung
PRPM;
f. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pengembangan dan operasonal
kegiatan PRPM;
g. Membuat pelaporan secara periodic kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Demikian master plan PRPM Kabupaten Tangerang ini disusun. PRPM yang merupakan
sebuah konsep yang menggabungkan antara restorasi, edukasi, dan wisata maka akan
sangat strategis bagi Kabupaten Tangerang, bukan saja karena dapat mengembalikan
keberadaan ekosistem mangrove yang semakin langka di pantai utara tangerang, tetapi
juga dapat menjadi solusi bagi masyarakat sekitar lokasi sehingga masyarakat dapat
merasakan arti penting suatu ekosistem, bahwa ekosistem sangat berperan penting
terhadap keberlanjutan dan keberlangsungan ekonomi masyarakat.
Dalam pengembangannya apabila terdapat rencana pengembangan lain yang tidak
dipaparkan dalam Master plan PRPM ini dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan
dengan konsep PRPM itu sendiri dan pemanfaatan tersebut adalah pemanfaatan yang
berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan.