Anda di halaman 1dari 68

MASTER PLAN HUTAN KOTA MANGROVE

KAWASAN PANTAI KABUPATEN BATANG


JAWA TENGAH

RAMA WISNU ATMAJA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Master Plan Hutan
Kota Kawasan Pantai Kabupaten Batang, Jawa Tengah adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013

Rama Wisnu Atmaja


NIM E34080067
ABSTRAK

RAMA WISNU ATMAJA. Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh ENDES N DACHLAN dan
QODARIAN PRAMUKANTO.

Kawasan pantai Kabupaten Batang dimanfaatkan secara intensif sebagai


pusat-pusat kegiatan manusia. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi
menyebabkan lahan dengan kerentanan sedang mengalami peningkatan sebesar
3.07 % atau 795.16 ha selama 23 tahun terakhir. Rencana tata guna lahan untuk
kawasan permukiman dan kawasan industri kawasan pantai Kabupaten Batang
sebagian wilayahnya berada pada lahan kerentanan sedang. Oleh sebab itu
diperlukan hutan kota untuk menjaga kestabilan ekologis dan lingkungan. Hutan
kota kawasan pantai yang direncanakan memiliki total luas 837.03 ha atau 2.54%
dari luas kawasan pantai dan 0.10% dari luas Kabupaten Batang dan tersebar di
seluruh kawasan kecuali pada Kecamatan Banyuputih. Pembangunan hutan kota
dibagi menjadi 3 tingkat konservasi, yaitu tingkat konservasi tinggi, sedang dan
rendah. Pembagian tingkat tersebut berdasarkan tingkat kerentanan lahan dan
kesesuaian lahan hutan mangrove kawasan pantai Kabupaten Batang. Berdasarkan
3 tingkat konservasi tersebut, master plan hutan kota dikembangkan menjadi 5
tipe, yaitu hutan kota tipe perlindungan, budidaya, rekreasi, pelestarian plasma
nutfah dan tipe penyangga.

Kata kunci: hutan kota, kerentanan lahan, master plan

ABSTRACT

RAMA WISNU ATMAJA. Master Plan of the Mangrove Urban Forest in the
Coastal Area of Batang District, Central Java. Supervised by ENDES N
DACHLAN and QODARIAN PRAMUKANTO.

Coastal area of Batang District is used intensively for the center of human
activities. The change of land use has increased the medium land vulnerability as
much as 3.07 % or 795.16 ha for 23 years. In the Land Management Plan, some of
the area for settlement and industrial in the coastal areas of Batang District is
located on the medium land vulnerability. Urban forest is needed to maintain the
stability of ecology and the environment. Urban forest in the coastal area of
Batang District is planned to have the total area of 837.03 ha or 2.54 % of coastal
area and 0.10 % of Batang District area and it is spread across the area except for
Banyuputih Sub-district. The development of the urban forest has divided into
three conservation levels, which are high, medium and low conservation level.
The level classification was based on the land vulnerability and land suitability of
mangrove forest in the coastal area of Batang District. Based on the 3
conservation levels, the urban forest master plan was expanded into 5 types which
are refuge, cultivation, recreation, germ plasm preservation and buffer type.

Keywords: land vulnerability, master plan, urban forest


MASTER PLAN HUTAN KOTA MANGROVE
KAWASAN PANTAI KABUPATEN BATANG
JAWA TENGAH

RAMA WISNU ATMAJA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai Kabupaten
Batang Jawa Tengah
Nama : Rama Wisnu Atmaja
NIM : E34080067

Disetujui oleh

Dr Ir Endes N Dachlan, MS Ir Qodarian Pramukanto, MSi


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 ini ialah
hutan kota, dengan judul Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai
Kabupaten Batang Jawa Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Endes N Dachlan, MS
dan Bapak Ir Qodarian Pramukanto, MSi selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir
Arzyana Sunkar, MSi, Ibu Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi dan Bapak Ir Siswoyo,
MSi yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada seluruh staf Bappeda, Dinas kelautan dan Perikanan, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Batang dan Dishidros TNI AL, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan
kepada ibu, ayah, kakak, serta seluruh keluarga atas kasih sayang dan doanya.
Terimaksaih kepada keluarga KSHE 45 (EDELWEIS), HIMAKOVA dan seluruh
keluarga besar DKSHE atas bimbingan, motivasi, bantuan, kebersamaan serta
memberikan ilmu pngetahuan. Terimakasih juga disampaikan kepada keluarga
besar IMAPEKA, KSR Unit I IPB serta sahabat di Batang atas bantuan, motivasi
dan doanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

Rama Wisnu Atmaja


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
METODE 3
Tempat dan Waktu Penelitian 3
Alat dan Bahan 4
Metode dan Pendekatan Perencanaan 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 11
Kerentanan Lahan 12
Prioritas Hutan Kota 28
Master Plan Hutan Kota 32
SIMPULAN DAN SARAN 46
Simpulan 46
Saran 46
DAFTAR PUSTAKA 46
DAFTAR TABEL

1 Alat penelitian dan fungsinya 4


2 Data dan informasi penelitian 5
3 Skoring penentuan kerentanan lahan 10
4 Klasifikasi kesesuaian lahan hutan mangrove 11
5 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1989-2012 12
6 Luas abrasi dan akresi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan
2012 18
7 Tekstur tanah kawasan pantai Kabupaten Batang 19
8 Luasan tingkat kerentanan lahan pada kawasan pantai Kabupaten
Batang tahun 1989 dan 2012 25
9 Tingkat konservasi lahan hutan kota kawasan pantai Kabupaten
Batang 30
10 Bentuk hutan kota pada setiap land use dan land cover kawasan
pantai Kabupaten Batang 34
11 Pemanfaatan sirkulasi hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang 42
12 Jenis-jenis pohon yang direncanakan 43

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir kerangka pemikiran 2


2 Peta lokasi penelitian 3
3 Tahapan perencanaan menurut Gold (1990) 5
4 Bagan alur pembuatan peta kemiringan lahan 7
5 Bagan alur pemotongan citra landsat 8
6 Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan 8
7 Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota secara spasial 9
8 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 1989 13
9 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2000 14
10 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2012 15
11 Grafik perubahan tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang
tahun 1989–2012 16
12 Peta abrsi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan 2012 17
13 Peta jenis tanah kawasan pantai Kabupaten Batang 20
14 Peta kemiringan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang 22
15 Peta arah arus pasang musim barat Kabupaten Batang 24
16 Peta kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 1989 26
17 Peta kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2012 27
18 Peta kesesuaian lahan hutan mangrove Kabupaten Batang 29
19 Peta tingkat konservasi lahan hutan kota mangrove Kabupaten
Batang 31
20 Peta rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun
2011-2031 33
21 Substrat garis pantai (a) Plabuhan Kecamatan Gringsing (b) Celong
Kecamatan Banyuputih 34
22 Peta lokasi eksisting hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang 35
23 Peta Zonasi pemanfaatan hutan kota mangrove kawasan pantai
Kabupaten Batang 36
24 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Batang 38
25 Zonasi hutan kota tipe penyangga Kecamatan Kandeman dan
Kecamatan Tulis 39
26 Zonasi hutan kota tipe rekreasi, perlindungan dan budidaya
Kecamatan Gringsing 40
27 Zonasi hutan kota tipe rekreasi Pantai Sigandu Kecamatan Batang dan
Kecamatan Kandeman 41
28 Zonasi hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah Kecamatan Subah 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel hasil uji akurasi 49


2 Zonasi hutan kota tipe penyangga dan budidaya Kecamatan Tulis 50
3 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Subah 51
4 Zonasi hutan kota tipe rekreasi, perlindungan dan budidaya Kecamatan
Subah 52
5 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Grinsing 53
6 Data potensi Cagar Alam di kawasan pantai Kabupaten Batang 54
7 Data flora dan fauna kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2011 55
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Batang terletak di jalur pantura dan berbatasan dengan Laut


Jawa. Kawasan pantai wilayah ini dimanfaatkan secara intensif untuk kegiatan
manusia seperti: pusat industri, permukiman, pelabuhan, perikanan, pertanian dan
pariwisata. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan dan
prasarana penunjang kegiatan manusia, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas lingkungan karena adanya peningkatan emisi gas rumah kaca
dan perubahan iklim mikro kawasan pantai Kabupaten Batang. SNC (2009)
menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dan hutan akan menimbulkan
emisi gas rumah kaca CO2 (karbon dioksida) sebesar 47% dari seluruh sektor.
Perubahan iklim mengakibatkan kenaikan muka air laut karena adanya
pencairan es di kutub, sehingga luas daratan semakin menyempit. Salah satu
kerusakan yang diakibatkan oleh semakin kecilnya luasan hutan mangrove,
semakin tingginya muka air laut serta semakin meningkatnya kekuatan
gelombang, yaitu sejak tahun 1991 sampai 2003 kawasan pantai Kabupaten
Batang mengalami abrasi pantai dengan laju 3.01 ha/tahun dan menghilangkan
daratan seluas 36.08 ha (Irwani et al. 2004). Pada tahun 2010 telah terjadi abrasi
pada kawasan pantai di delapan kelurahan dan merusak pantai sepanjang 7.5 km 1).
Hal tersebut menjadi salah satu masalah serius bagi Pemda, masyarakat dan pihak
lain yang berkepentingan dalam pengelolaan kawasan pantai Kabupaten Batang.
Pada dasarnya pantai memiliki keseimbangan dinamis, yaitu cenderung
menyesuaikan bentuk profilnya, sehingga mampu menghancurkan energi
gelombang yang datang. Ketika terjadi badai akan muncul dua kemungkinan,
yaitu pantai kembali seperti semula oleh gelombang normal atau material
terangkut ke tempat lain dan tidak kembali lagi sehingga disatu tempat timbul
erosi dan di tempat lain akan menyebabkan sedimentasi (Pranoto 2007).
Hutan kota yang berisi tegakan pohon dan membentuk formasi lanskap
tertentu tidak saja berfungsi sebagai penghasil oksigen (O2), menyerap polusi,
menjaga kestabilan suhu kota, menghilangkan bau, meredam kebisingan dan
habitat bagi satwa; tetapi juga efektif dalam menahan gelombang laut. Peran
fungsional dari hutan kota mangrove tersebut menjadi alasan yang memperkuat
bahwa keberadaan hutan di kawasan perkotaan merupakan struktur yang dapat
menjaga kestabilan lingkungan fisik dan biotik kota.

Kerangka Pemikiran

Permintaan akan lahan di kawasan perkotaan senantiasa meningkat.


Tingginya permintaan akan lahan untuk pembangunan pusat industri,
perdagangan, dan permukiman di kawasan pantai akan mengubah bentang alam
kawasan pantai dan merambah lahan-lahan untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau).
www
1)
Surat kabar Solo Pos, http://www.solopos.co.id/2010/channel/jateng/abrasi-pantai-sigandu-
batang-capai-satu-kilometer-59077 [25Mei 2012].
2

Akan tetapi kota mempunyai luas yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan lahan
perkotaan. Rencana tata ruang kota berperan penting memberikan arahan dalam
pemanfaatan lahan dan sumberdaya kota secara efektif dan efisien yang
berkesinambungan antara kepentingan yang ada. Salah satu arahan penggunaan
lahan kota adalah memaksimalkan fungsi lahan perkotaan di kawasan pesisir
pantai sebagai jalur hijau sempadan pantai dengan fungsi ekologis, sosial dan
ekonomi yang seimbang. Keberadaan RTH terutama hutan kota dapat
mengendalikan dan menjaga kualitas lingkungan pantai. Sistematika kerangka
pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran


3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:


1. Melakukan evaluasi lahan untuk menentukan tingkat konservasi lahan
lokasi hutan kota mangrove.
2. Menyusun rekomendasi konsep dan master plan hutan kota mangrove
kawasan pantai Kabupaten Batang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah


Kabupaten Batang dan stakeholder lainnya yang berperan dalam pengelolaan
kawasan pantai Kabupaten Batang.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di 6 kecamatan yang berbatasan dengan pantai, yaitu


Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing
Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan
selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus sampai bulan September 2012.

Kabupaten Batang

Gambar 2 Peta lokasi penelitian


4

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat penelitian dan fungsinya

Nama alat Fungsi


Alat tulis Mencatat hasil pengamatan dan penelitian
Kamera digital Merekam obyek lapangan
Software ArcGIS 9.3 Menganalisis data spasial dan image processing
Software ERDAS 9.1 Menganalisis data spasial dan image processing
Adobe Photoshop CS3 Membuat ilustrasi gambar dan memperhalus
tampilan gambar yang telah dibuat
PC Komputer Menjalankan Software yang digunakan dalam
penelitian
GPS (Global positioning Menandai dan mengambil posisi koordinat geografis
system) lokasi penelitian

Bahan yang dipergunakan dalam pembuatan master plan hutan kota


mangrove adalah data spasial dan data atribut. Data spasial adalah data yang
bersifat keruangan, berbentuk citra, peta atau gambar. Data atribut adalah data
yang berbentuk angka atau tulisan dan berfungsi dalam menginterpretasikan citra,
peta dan informasi penting lainnya. Data-data tersebut didapatkan dengan
melakukan studi harian dan survei lapang.

Metode dan Pendekatan Perencanaan

Pendekatan yang digunakan adalah tahapan perencanaan menurut Gold


(1980) dengan modifikasi sampai pada tahap pembuatan master plan (Gambar 3).
Pendekatan yang digunakan tersebut adalah pendekatan berdasarkan sumberdaya
alam (ekologis).

Persiapan
Tahap persiapan dimulai dengan penetapan latar belakang, tujuan,
kegunaan studi, rencana kerja dan anggaran biaya yang dibutuhkan serta
administrasi dan perijinan. Pendekatan studi terhadap sumberdaya alam, untuk
mendapatkan kesesuaian tapak terhadap konsep.

Pengumpulan Data
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan survei
lapang dan studi harian, yaitu studi pustaka dan browsing internet. Data yang
dikumpulkan berupa data spasial dan data atribut. Data spasial diperoleh dengan
melakukan browsing di internet dan dari beberapa instansi, yaitu: Bappeda
Kabupaten Batang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Batang (Tabel 2).
Data atribut diperoleh malalui studi pustaka, pengecekan lapang dan
dokumentasi di lapangan. Selain itu, data atribut juga diperoleh dari beberapa
5

instansi, yaitu: Bappeda Kabupaten Batang, Dinas Perikanan dan Kelautan dan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Batang (Tabel 2).

Gambar 3 Tahapan perencanaan menurut Gold (1990)

Tabel 2 Data dan informasi penelitian

Jenis Spasial Atribut Interpretasi Sumber


Titik ground √ Mengecek Survei lapang
check point kebenaran,
ketepatan dan
kenyataan
kondisi di
lapang
Dokumentasi √ Rekaman Survei lapang
(foto lokasi) obyek di
lapang
Citra Landsat √ Klasifikasi Internet
perubahan (http://earthexplorer.usgs.gov)
garis pantai
dan perubahan
tutupan lahan
Citra ASTER √ Klasifikasi Internet
GDEM kelerengan (http://earthexplorer.usgs.gov)
lahan
6

Tabel 2 Data dan informasi penelitian (Lanjutan)

Jenis Spasial Atribut Interpretasi Sumber


Peta √ Klasifikasi Bappeda Kab. Batang
Administratif wilayah studi
penelitian
Peta Jenis √ Klasifikasi Bappeda Kab. Batang
Tanah jenis tanah
pantai
Peta Rencana √ Klasifikasi Bappeda Kab. Batang
Tata Guna Tata guna
Lahan lahan kawasan
pantai
Pasang surut √ Parameter Dinas Perikanan dan Kelautan
kerentanan Kab. Batang
lahan
Gelombang √ √ Parameter Dinas Perikanan dan Kelautan
dan arus laut kerentanan Kab. Batang
lahan
Rencanan Tata √ Pengembanga Bappeda Kab. Batang
Ruang n kawasan
Wilayah pantai
Data Flora √ Pengembanga Dinas Kehutanan dan
Fauna n hutan kota Perkebunan Kab. Batang
Kawasan
Pantai

Berdasarkan data-data tersebut dapat disususn peta-peta tematik, seperti peta


kemiringan lahan, peta jenis tanah, peta perubahan garis pantai, peta jarak dari
pantai dan peta perubahan tutupan lahan.

Pembuatan Peta Kemiringan Lahan


Peta kemiringan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang didapatkan dari
analisis terhadap Citra ASTER GDEM dengan menggunakan Software ArcGIS
9.3. Analisis data dilakukan terhadap data DEM (Digital Elevation Modeling)
kemudian mengelompokkannya berdasarkan kecuraman suatu kawasan
(klasifikasi lereng) sehingga menghasilkan data spasial lereng (Gambar 4).

Pembuatan Peta Digital


Pembuatan peta digital dilakukan dengan proses georeferencing dan digitasi
pada peta analog, seperti peta jenis tanah. Georeferencing adalah proses
penempatan objek berupa raster atau image yang belum memiliki acuan sistem
koordinat dan dilakukan menggunakan koordinat yang tercantum dalam peta
analog. Proses georeferencing dan digitasi pada peta dilakukan agar peta dapat
dianalisis. Proses digitasi pada peta ini dilakukan dengan metode digitasi on
screen dengan menggunakan Software ArcGIS 9.3.
7

Gambar 4 Bagan alur pembuatan peta kemiringan lahan

Analisis Data
Analisis data dilakukan secara spasial, deskriptif, kuantitatif dan kualitatif.
Analisis spasial dilakukan untuk mengolah data-data spasial yang diperoleh.
Analisis deskriptif, kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk menganalisis data-
data atribut. Analisis kuantitatif bertujuan untuk melakukan penilaian data atribut
dengan melakukan skoring data. Analisis kualitataif bertujuan untuk melakukan
penilaian kualitas berdasarkan perhitungan hasil skoring. Analisis deskriptif
bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan hasil analisis yang dilakukan sehingga
didapatkan master plan. Berikut beberapa analisis spasial yang dilakukan untuk
menghasilkan peta komposit.

Analisis Perubahan Tutupan Lahan


Sebelum melakukan analisis perubahan tutupan lahan dengan menggunakan
citra landsat, terlebih dahulu dilakukan import data, layer stacking dan
pemotongan citra landsat. Impor data dilakukan untuk menyesuaikan format data
citra yang akan dianalisis, sehingga data tersebut dapat dianalisis dengan Software
yang digunakan. Layer stacking atau proses penggabungan band dilakukan pada
citra yang memiliki band lebih dari satu, seperti citra landsat. Citra yang hanya
memiliki satu band seperti ASTER GDEM tidak perlu prosas layer stacking.
Kegiatan pemotongan (subset) peta dilakukan untuk memperjelas batasan wilayah
penelitian (wilayah studi). Proses tersebut akan menghasilkan peta kerja (Gambar
5).
Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan melakukan klasifikasi
terbimbing (supervised clasification) dengan teknik maximum likelihood pada
citra landsat untuk menentukan kelas-kelas yang terdapat pada data citra. Hasil
interpretasi citra tersebut kemudian diuji akurasi dengan menggunakan data titik
8

GPS dari lapang untuk mengetahui tingkat akurasi pembuatan kelas tutupan lahan
(Gambar 6).

Gambar 5 Bagan alur pemotongan citra landsat

Gambar 6 Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan


9

Analisis Perubahan Garis Pantai dan Jarak dari Pantai


Peta garis pantai dianalisis dengan melakukan digitasi garis pantai dari Citra
Landsat pada tahun 1989, 2000 dan 2012. Pembuatan peta perubahan garis pantai
dilakukan dengan melakukan overlay peta garis pantai dari tahun yang berbeda
dengan tujuan untuk mengetahui perubahan garis pantai selama rentang waktu
tertentu, sehingga dapat diketahui perubahannya. Peta jarak dari pantai dibuat
menggunakan peta garis pantai tahun terakhir dianalisis dengan analyst tool
(buffer). Peta jarak dari pantai digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan
hutan mangrove.

Sintesis (Penentuan Lokasi Hutan Kota)


Pemilihan lokasi hutan kota dilakukan dengan proses overlay dan
melakukan analisis skoring. Peta kerentanan kawasan pantai dihasilkan melalui
overlay peta-peta tematik, yaitu peta penutupan lahan, peta tata guna lahan
eksisting, peta jenis tanah, peta kemiringan lahan dan peta abrasi pantai. Peta
kesesuaian lahan hutan mangrove dihasilkan melalui overlay peta-peta tematik,
yaitu peta jenis tanah, peta jarak dari pantai dan peta kemiringan lahan (Gambar
7). Peta-peta tersebut diklasifikasikan dan diberi nilai yang berbeda-beda
sebagaimana disajikan pada Tabel 3 dan 4. Hasil penjumlahan nilai setiap kriteria
dari peta tersebut akan menghasilkan nilai minimal dan maksimal yang akan
dijadikan dasar selang prioritas lahan untuk hutan kota sebagai penahan abrasi
pantai.

Gambar 7 Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota secara spasial
10

Tabel 3 Skoring penentuan kerentanan lahan

Kriteria Kelas Nilai


Tutupan lahan oleh > 80 % 1
vegetasi1 61–80 % 2
41–60 % 3
21–40 % 4
< 20 % 5
Tata guna lahan Vegetasi pohon 1
eksisting2 Wisata domestik, pertanian intensif dan 2
perikanan
Lahan pertanian dan atau tambak tradisional 3
Pelabuhan, bandar udara dan industri 4
kecil/sedang
Permukiman nelayan, pusat perekonmian, 5
industri besar
Abrasi pantai2 < 0.50 m/tahun 1
0.50–2.00 m/tahun 2
2.00–5.00 m/tahun 3
5.00–10.00 m/tahun 4
> 10.00 m/tahun 5
Jenis tanah (substrat)3 Batu karang 1
Aluvial, tanah glei, planossol, hidromorf 2
kelabu dan literite air tanah
Latosol, Brown forest soil dan non calcic 3
Andosol, laterictic gromusol dan podsolik 4
Regosol, litosol, organosol dan renzine 5
Kemiringan lahan 0–3 % 1
(slope)4
3–8 % 2
8–15 % 3
15–30 % 4
> 30 % 5
2
Tinggi gelombang < 0.5 m 1
0.5–1 m 2
1–1.5 m 3
1.5–2 m 4
>2m 5
Jarak Pasang Surut < 0.5 m 1
(tidal range)2
0.5–1 m 2
1–1.5 m 3
1.5–2 m 4
>2m 5
> 30 % 5
Sumber: 1) Dimodifikasi dari SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004; 2) Dimodifikasi dari
DKP (2009); 3) Dimodifikasi dari Permen PU No. 41 Tahun 2007; 4) Dimodifikasi dari Deptan
(2008)
11

Tabel 4 Klasifikasi kesesuaian lahan hutan mangrove

Kriteria Kelas Nilai


Kemiringan lahan 0–2 % 1
3–5 % 2
>6% 3
Jarak dari pantai < 200 m 1
200–300 m 2
> 300 m 3
Jenis tanah Aluvial pantai 1
Aluvial hidromorf kelabu 2
Gleihumus, regosol 3
Sumber: Dimodifikasi dari a Framework for Land Evaluation FAO (1976)

Selang nilai yang didapatkan dari skoring kerentanan lahan kawasan pantai,
yaitu 7-35 (Tabel 3). Selanjutnya dibagi menjadi 3, yaitu 7 ≤ kerentanan rendah <
16, 16 ≤ kerentanan sedang < 25 dan 25 ≤ kerentanan tinggi ≤ 35. Hasil skoring
kesesuaian lahan hutan mangrove menghasilkan selang nilai antara 3-9 (Tabel 4).
Kesesuaian lahan hutan mangrove dibagi menjadi 3, yaitu 3 ≤ sangat sesuai < 5, 5
≤ sesuai < 8 dan 8 ≤ kurang sesuai ≤ 9. Penentuan tingkat konservasi hutan kota
kawasan pantai dilakukan dengan melakukan overlay peta kerentanan lahan
dengan peta kesesuaian lahan hutan mangrove kawasan pantai Kab. Batang.

Master Plan
Pembuatan master plan dikembangkan dari peta hasil overlay kerentanan
pantai dan kesesuaian lahan hutan mangrove. Arahan penyususnan master plan
dilakukan berdasarkan sumberdaya, aktivitas dan fasilitas yang akan
dikembangkan. Pada tahap ini digambarkan aktivitas, fasilitas-fasilitas yang dapat
dikembangkan, tata letak dan elemen lanskap yang mendukung keberadaan tapak
berupa zonasi tapak, tata guna lahan secara mikro dan perencanaan lanskap pada
lokasi studi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Batang terletak di Propinsi Jawa Tengah, pada koordinat 0060


51’ 46” dan 0070 11’ 47” Lintang Selatan dan 1090 40’ 19” dan 1100 03’ 06”
Bujur Timur. Kabupaten Batang memiliki kawasan pantai, dataran rendah hingga
pegunungan dengan lokasi tertinggi mencapai 2 565 mdpl dan luas 85 425.84 ha
yang terdiri dari 15 kecamatan. Sebelah utara kawasan Kabupaten Batang
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Kabupaten Wonosobo dan
Banjarnegara, sebelah barat dengan Kabupaten dan Kota Pekalongan, serta
Kabupaten Kendal di sebelah timur (Perda Kab. Batang No. 7 Tahun 2011).
Suhu rata-rata Kabupaten Batang mencapai 24.40 oC dengan curah hujan
dibagi menjadi dua kawasan berdasarkan curah hujan rata-rata yang terjadi, yaitu
12

kawasan atas dan bawah. Kawasan atas, yaitu Kecamatan Wonotunggal, Bandar,
Blado, Reban, Bawang dan Tersono memiliki curah hujan rata-rata 3 408 mm/th
dengan jumlah hari hujan rata-rata 148 hari. Selanjutnya kawasan bawah, yaitu
Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih, Gringsing, Pecalungan
dan Warungasem memiliki curah hujan rata-rata 2 212 mm/th dengan jumlah hari
hujan rata-rata 123 hari (DKP 2007).

Kerentanan Lahan

Analisis kerentanan lahan kawasan pantai dilakukan dengan melakukan


penilaian dari beberapa parameter dari peta tematik dan data atribut, yaitu tutupan
lahan, tata guna lahan, jenis tanah, kemiringan lahan, abrasi pantai, gelombang
dan pasang surut. Pada analisis tersebut semua parameter yang digunakan
dianggap memiliki bobot nilai yang sama.

Perubahan Tutupan Lahan


Perubahan tutupan lahan dianalisis melalui interpretasi citra landsat tahun
1989, 2000 dan 2012 path 120, row 65 akuisisi 21 Januari 1989, 30 Juli 2000 dan
12 Mei 2012. Klasifikasi tutupan lahan dibagi menjadi 6 kelas tutupan lahan, yaitu
vegetasi pohon, vegetasi semak dan rumput, lahan terbuka, lahan terbangun,
badan air dan tidak ada data (awan dan bayangan awan) dapat dilihat pada
Gambar 8, 9 dan 10.
Tabel 5 dan Gambar 11 menunjukkan pada tahun 1989-2012 kawasan
pantai Kabupaten Batang mengalami perubahan penutupan lahan. Tutupan lahan
vegetasi pohon mengalami penurunan luas dari 17 448.13 ha menjadi 16 781.31
ha atau berkurang 3.82 % dari luas awal. Tutupan lahan vegetasi semak dan
rumput mengalami penurunan luas dari 14 233.23 ha menjadi 10 1185.66 ha atau
berkurang 28.43 % dari awal. Sebaliknya tutupan lahan terbangun mengalami
kenaikan dari 1 154.16 ha menjadi 5 420.35 ha atau bertambah 369.63 % dari luas
awalnya.

Tabel 5 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1989-2012

Tahun Tahun 2012 Total


1989 A (ha) B (ha) C (ha) D (ha) E (ha) F (ha) 1989 (ha)
A 6 663.06 4 510.26 2 525.40 78.66 194.94 260.91 14 233.23
B 3 193.56 11 745.45 1 942.48 67.68 45.45 453.51 17 448.13
C 112.23 144.99 879.39 1.08 5.13 11.34 1154.16
D 3 193.56 21.15 1 941.48 10.44 0.72 0.18 87.39
E 157.14 83.52 18.45 1.80 225.72 3.24 489.87
F 17.64 275.94 41.76 - 2.07 - 337.41
Total
10 1185.66 16 781.31 5 420.35 159.66 474.03 729.18 33 750.19
2012
Keterangan: A= Vegetasi semak dan rumput; B= Vegetasi pohon; C= Lahan terbangun; D= Lahan
terbuka; E= Badan air; F= Awan dan bayangan awan
13

Gambar 8 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 1989
14

Gambar 9 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2000

2000
15

Gambar 10 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2012

2012
16

Gambar 11 Grafik perubahan tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang


tahun 1989–2012

Terjadinya perubahan luasan penutupan lahan tersebut dapat disebabkan


karena adanya peningkatan kegiatan-kegiatan manusia, sehingga terjadi
pembangunan fasilitas penunjang serta jalur sirkulasi yang dibutuhkan (Carr dan
Bilsborrow 2000). Peningkatan kegiatan manusia di kawasan pantai Kabupaten
Batang karena adanya kepentingan dari pemangku kebijakan dan masyarakat
menyebabkan penutupan lahan di kawasan pantai mengalami perubahan. Hal
tersebut terbukti dengan semakin luasnya lahan terbangun dari tahun 1989, 2000
dan 2012 (Gambar 8, 9, 10 dan 11).
Perubahan tutupan lahan menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem
yang mempengaruhi nilai, fungsi ekonomi dan ekologis lingkungan tersebut.
Apabila dikaitkan dengan keberadaan hutan mangrove, Muryani (2008)
menyatakan bahwa wilayah dengan hutan mangrove yang tebal akan memiliki
keanekaragaman hayati yang semakin tinggi. Hal tersebut tentunya berpengaruh
terhadap nilai ekonomi dan ekologis lingkungan yang semakin tinggi pula.
Selama periode 23 tahun, yaitu tahun 1989 hingga 2012 tata guna lahan di
kawasan pantai Kabupaten Batang mengalami perubahan. Hal tersebut menjadi
salah satu parameter penilaian kerentanan lahan, yaitu sebagai parameter tata guna
lahan eksisting pada dua tahun yang berbeda untuk mendapatkan perubahan
kerentanan lahan yang terjadi pada kawasan pantai Kabupaten Batang. Oleh sebab
itu dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi rencana tata guna lahan kawasan pantai
Kabupaten Batang yang dilakukan oleh pihak terkait.

Abrasi Pantai
Berdasarkan hasil analisis perubahan garis pantai diketahui bahwa kawasan
pantai Kabupaten Batang mengalami abrasi yang tersebar di seluruh kawasan
(Gambar12).
17

Gambar 12 Peta abrsi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan 2012

2012
18

Abrasi pantai Kabupaten Batang mengakibatkan sebagian wilayah daratan


menghilang dan menjadi laut. Pada selang 23 tahun, yaitu dari tahun 1989 hingga
tahun 2012 luas abrasi pantai Kabupaten Batang mencapai 90.05 ha yang terdiri
atas abrasi seluas 55.92 ha pada tahun 1989–2000 dan 34.13 ha pada tahun 2000-
2012. Seperti halnya selama kurun waktu 23 tahun sejak tahun 1989–2012 terjadi
akresi (sedimentasi) sebesar 59.54 ha yang terpusat pada muara-muara sungai di
Kabupaten Batang (Tabel 6). Abrasi paling jauh terjadi di Kecamatan Batang,
yang mencapai 144.28 m dengan lebar 378 m selama 23 tahun terakhir.
Sebaliknya akresi paling jauh mencapai 127.34 m dengan lebar 152.18 m yang
terjadi di Kecamatan Tulis.

Tabel 6 Luas abrasi dan akresi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan
2012

Selang Tahun
Keterangan Total
1989-2000 2000-2012
Abrasi (ha) 55.92 34.13 90.05
Akresi (ha) 20.72 38.82 59.54
Daratan hilang (ha) 35.2 -4.69 30.51

Abrasi pantai yang terjadi dapat disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
secara alami dan akibat kegiatan manusia. Kondisi pantai Kabupaten Batang yang
terbuka dan tidak memiliki penghalang memiliki kerentanan yang lebih tinggi
akan terjadinya abrasi akibat gelombang dan arus pasang surut laut. Terlebih lagi
wilayah muara sungai yang bersifat lebih dinamis terhadap perubahan garis pantai
karena proses alami (Pranoto 2007). Sebaliknya pembangunan jetty di muara
sungai dapat menghambat transport sedimen dan mengakibatkan pendangkalan
muara sungai karena tertahannya sedimen dari hulu sungai. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya abrasi di kawasan sekitar muara sungai. Akresi pada
muara sungai dapat terjadi apabila sedimentasi dari aliran sungai lebih besar dari
transport sedimen olah arus laut dan sebaliknya pula abrasi. Hal tersebut dapat
menyebabkan abrasi yang lebih besar apabila tidak ada upaya pengelolaan yang
baik.

Jenis Tanah (Substrat)


Salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan kerusakan lingkungan
suatu kawasan adalah jenis tanah. Hal tersebut dikarenakan tanah merupakan
substrat atau tempat tumbuh vegetasi dan sebagai habitat dari sebagian jenis satwa
dan binatang. Selain itu setiap jenis tanah memiliki kepekaan yang berbeda
terhadap erosi yang dipengaruhi oleh tekstur tanah, terutama kandungan kadar
debu dan pasir halus dalam tanah serta faktor lainnya seperti bahan organik,
struktur dan permeabilitas tanah (Hardjowigeno 2007).
Menurut DKP (2007) jenis tanah di kawasan pantai Kabupaten Batang
dibedakan menjadi 4 karakteristik (Gambar 13), yaitu:
a. Tanah aluvial merupakan tanah yang berasal dari endapan baru berlapis-lapis.
Tanah jenis ini memiliki bahan organik yang jumlahnya berubah tidak teratur
dengan kedalamannya karena tergantung dari kandungan bahan pembentuknya
yang terangkut oleh banjir. Tanah aluvial memiliki kandungan pasir < 60 %
19

dan kandungan lainnya hanya epipedon ochrik, histik atau sulfurik. Tanah
aluvial mempunyai warna kelabu, coklat, hitam serta memiliki produktifitas
sedang sampai tinggi yang biasanya digunakan untuk lahan pertanian dan
permukiman.
b. Tanah andosol merupakan tanah dengan epidedon mollik, umbrik atau ochrik.
Tanah ini memiliki horizon kambik dan bulk density (kerapatan limbak)
kurang dari 0.85 g/cc serta didominasi bahan amorf atau > 60 % terdiri dari
bahan vulkanik vitrik, cinder atau pyro klasik vitrik lainnya. Tanah andosol
memiliki pH netral sampai asam yang berwarna kelabu coklat tua atau hitam.
tanah yang memiliki produktivitas sedang sampai tinggi ini digunakan untuk
pertanian, perkebunan dan perhutanan.
c. Tanah litosol merupakan tanah mineral yang ketebalannya 20 cm atau kurang,
lapisan di bawahnya merupakan batuan keras yang padu. Tanah litosol
merupakan tanah yang sangat muda, yaitu baru tingkat permulaan dalam
perkembangan dan hanya memiliki horison penciri epipedon ochrik atau histik
bila tanah sangat lembek. Tanah jenis ini memiliki produktivitas rendah dengan
pH, kandungan unsur hara dan permeabilitasnya bervariasi, biasanya
digunakan untuk hutan, padang rumput dan tegalan untuk palawija..
d. Tanah podsolik merupakan tanah dengan horison penimbunan liat di horison
bawah (horison argilik) dan memiliki tingkat kejenuhan < 50 % serta tidak
memiliki horison albik. Tanah podsolik memiliki warna kuning sampai merah
dengan produktivitas rendah sampai sedang dan biasanya digunakan untuk
pertanian dan perkebunan yang berbatasan dengan hutan (Hardjowigeno 2007).
Tabel 7 menjelaskan hasil analisis bahan organik dan tekstur tanah kawasan
pantai Kabupaten Batang di beberapa stasiun pengamatan (DKP 2007).

Tabel 7 Tekstur tanah kawasan pantai Kabupaten Batang

Tekstur Tanah
Bahan
Lokasi Sampel Silt Clay
Kecamatan Gravel Pasir Organik
(Tambak) (Lanau) (Lempung)
(%) (%) (%)
(%) (%)
Batang Ds. Denasri 16.80 12.12 25.88 45.20 12.20
Kulon
Batang Ds. Kasepuhan 17.24 18.37 33.19 31.20 12.40
Kandeman Ds. Depok 32.04 23.35 19.60 25.01
Tulis Dukuh Roban 34.30 32.36 8.30 25.04 11.50
barat, Ds.
Kedungsegog
Subah Roban Timur 24.36 16.88 26.76 32.00 13.80
Ds. Sengon
Subah Ds. Kuripan 23.36 16.30 27.14 33.20
Gringsing Dukuh Seklayu, 23.62 11.48 24.80 40.10 15.30
Ds. Sidorejo
Gringsing Ds. Yosorejo 22.38 15.72 25.40 36.50 15.00
Sumber :(DKP) RTRWKab.Batang tahun 2007
20

Gambar 13 Peta jenis tanah kawasan pantai Kabupaten Batang

Batang
21

Tekstur tanah yang kasar seperti pasir memiliki ketahanan yang lebih tinggi
terhadap erosi, karena butiran yang besar (kasar) tersebut memerlukan lebih
banyak energi untuk mengangkut. Semakin banyak kandungan bahan organik
dalam tanah akan menjadikan tanah semakin mantap sehingga tahan terhadap
erosi karena tidak mudah hancur. Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler,
remah, gumpal membulat), menghasilakan tanah dengan porositas tinggi yang
akan memperkecil aliran permukaan. Tanah dengan permeabilitas yang semakin
tinggi akan semakin banyak meresapkan air sehingga memperkecil aliran
permukaan dan dapat memperkecil erosi yang terjadi.
Tanah aluvial memiliki kepekaan erosi paling kecil dari jenis tanah lain
yang ada di kawasan pantai Kabupaten Batang. Hal tersebut dikarenakan tanah
aluvial memiliki tekstur kasar dari endapan yang tidak jauh dari sumbernya, selain
itu sebagian besar tanah aluvial di sepanjang aliran besar akan memiliki campuran
yang mengandung cukup banyak hara sebagai bahan organik tanah yang
menjadikan struktur tanah semakin mantap sehingga tahan erosi. Tanah aluvial
pantai merupakan jenis tanah yang paling sesuai untuk konservasi hutan
mangrove (FAO 1976).
Kusmana et al. (2003) menyatakan substrat atau kondisi tanah bagi hutan
mangrove dapat dikategorikan menjadi tanah berlumpur, berpasir dan berkoral.
Terdapat pula pengkategorian tanah yang lain, yaitu tanah yang belum matang
(lunak atau lembek) dan tanah yang sudah matang (stabil atau keras). Jenis
substrat tersebut akan mempengaruhi penyebaran jenis mangrove. Jenis
Rhizophora spp. dan Avicennia spp. dapat tumbuh baik pada tanah lunak (belum
begitu matang), sedangkan jenis Bruguiera spp., Sonneratia spp dan Ceriops spp.
dapat tumbuh di tanah yang lebih keras atau matang (lebih dekat ke arah darat).

Kemiringan Lahan (Slope)


Kawasan pantai Kabupaten Batang memiliki topografi bervariasi dari datar
sampai curam. Berdasarkan hasil analisis sistem informasi goegrafis yang
dilakukan, kemiringan lahan dibagi menjadi 5 kelas lereng yang dimodifikasi dari
ketentuan kesesuaian lahan (Deptan 2008) (Gambar 16). Kawasan dengan
topografi datar memiliki luas 7 027.77 ha atau 20.73 % dari luas kawasan pantai
Kabupaten Batang yang tersebar di dekat pantai, kecuali di Kecamatan
Banyuputih dan sebagian besar Kecamatan Gringsing. Kawasan dengan topografi
datar akan mengalami pembangunan yang lebih cepat karena lebih
memungkinkan untuk melakukan berbagai aktivitas manusia. Kawasan dengan
topografi landai atau berombak memiliki luasan paling besar yang mencapai 9
823.52 ha atau 28.98 % dari luas kawasan pantai Kabupaten Batang dan tersebar
di seluruh kecamatan. Kawasan dengan topografi bergelombang, berbukit dan
curam terkonsentrasi di Kecamatan Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing
dengan luas topografi bergelombang seluas 8 632.27 ha atau 25.47 %, topografi
berbukit 6 746.05 ha atau 19.90 % dan topografi curam seluas 1 665.51 ha atau
4.91 %.
Kondisi lereng dapat mempengaruhi besarnya erosi yang terjadi pada tanah.
Erosi pada tanah akan semakin meningkat apabila lereng semakin curam atau
semakin panjang. Hal tersebut terjadi karena semakin curam suatu lereng maka
kecepatan aliran permukaan akan semakin meningkat, sehingga kekuatan
mengangkut dari air akan semakin besar pula. Apabila kecepatanya menjadi 2 kali
22

Gambar 14 Peta kemiringan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang

Batang
23

lipat maka besarnya benda yang dapat diangkut menjadi 64 kali lipat, sedangkan
berat benda yang dapat diangkut menjadi 32 kali lebih berat (Hardjowigeno
2007).
Kemiringan lahan yang paling baik sebagai lokasi hutan mangrove adalah
lahan dengan kemiringan 1–2 %. Hal tersebut dikarenakan pada lahan yang
sedikit miring akan mengalirkan kembali air pasang ke arah laut, sedangkan lahan
yang benar-benar datar cenderung tidak dapat mengalirkan air pasang kembali ke
laut, sehingga air akan menggenang (Kusmana et al. 2003).

Gelombang dan Arus


Gelombang dan arus menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya
perubahan garis pantai, baik akresi (sedimentasi) atau abrasi (mundurnya garis
pantai) besarnya proses abrasi (erosi) dan sedimentasi yang terjadi tergantung
bersarnya energi gelombang yang dihempaskan ke pantai (Wahyudi et al. 2009).
Arah datangnya gelombang dan arus sama seperti arah angin yang terjadi dan
besar gelombang yang terjadi dipengaruhi besar kecilnya angin di atas permukaan
air laut.
DKP (2007) menyatakan tinggi gelombang yang terjadi di kawasan pantai
Kabupaten Batang berkisar antara 0.50–0.60 m dan tinggi gelombang
maksimumnya mencapai 1.80 m yang terjadi pada musim barat (bulan Februari-
Maret). Sebaliknya pada musim angin timur (bulan Agustus) tinggi maksimum
gelombang yang terjadi adalah 0.50 m dengan rata-rata tinggi gelombang adalah
0.11 m. Faried dan Maharudin (2011) menyatakan bahwa peramalan gelombang
di kawasan laut Kabupaten Batang dengan periode ulang 25 tahun, kawasan laut
di Kabupaten Batang memiliki gelombang signifikan 1.11 m.
Gelombang yang memiliki pengaruh besar pada perubahan garis pantai di
Kabupaten Batang terjadi pada musim barat, yaitu pada bulan Desesmber sampai
Maret. Pada bulan-bulan tersebut gelombang yang terjadi sebagian besar
mengarah ke timur, tenggara dan selatan, sehingga menyebabkan terjadinya
pengikisan pada bibir pantai.
Pantai yang terbuka seperti di Kabupaten Batang memiliki kerentanan yang
lebih tinggi terhadap abrasi, karena berhadapan langsung dengan laut lepas.
Sebaliknya daerah sekitar muara sungai ataupun pantai yang tertutup baik oleh
hutan mangrove ataupun adanya penahan gelombang lainnya memiliki kerentanan
lebih rendah.
Kawasan laut Kabupaten Batang memiliki kondisi yang cukup tenang pada
musim-musim tertentu seperti pada musim timur antara bulan Mei sampai
Oktober. Pengaruh gelombang di kawasan pantai Kabupaten Batang memiliki
pengaruh bervariasi, yaitu dari kecil hingga besar dalam proses pergerakan
sedimen yang mempengaruhi perubahan garis pantai dan tergantung pada waktu
terjadinya angin barat dan angin timur kawasan tersebut.
Pola arus pantai ditentukan oleh besarnya sudut gelombang datang dengan
garis pantai. Arus menyusur pantai memiliki pengaruh lebih besar terhadap
transportasi sedimen, yang terjadi ketika sudut datang gelombang dengan garis
pantai cukup besar (Supriharyono 2000). Kecepatan arus di wilayah laut
kabupaten Batang mencapai maksimum 1.47 m/s dan minimum 0.01 m/s (DKP
2007). Arus minimum terjadi pada saat musim timur, yaitu pada bulan April
sampai Oktober, akan tetapi hal tersebut masih memiliki pengaruh yang cukup
24

besar karena kondisi perairan laut Kabupaten Batang bertipe terbuka. Kondisi
tersebut menyebabkan pantai langsung terkena gelombang dari laut lepas,
sehingga pada musim barat pantai mengalami tekanan yang tinggi yang dapat
merubah garis pantai karena arah datangnya arus berpengaruh besar (Gambar 15).

Gambar 15 Peta arah arus pasang musim barat Kabupaten Batang

Pasang Surut
Pasang surut air laut memiliki pengaruh yang cukup besar pada pergerakan
sedimen di pantai. Hal tersebut karena pasang surut tidak hanya mempengaruhi air
bagian atas, melainkan seluruh masa air dan memiliki energi yang besar, sehingga
mampu membawa sedimen dalam jumlah besar dan mempengaruhi perubahan
garis pantai (Supriharyono 2000).
Faried dan Maharudin (2011) menyebutkan bahwa kisaran pasang-surut
(tidal range) perairan Kabupaten Batang berkisar antara 1.38 m untuk pasang
tertinggi dan surut terendah mencapai 0.42 m atau kisaran pasang-surut perairan
tersebut adalah 0.96 m. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa Pantai Utara
Jawa memiliki tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide,
prevailing semidiurnal), yaitu terjadi dua kali pasang dan surut dalam sehari. Hal
tersebut menunjukkan bahawa dalam waktu 24 jam dapat terjadi dua kali proses
pergerakan sedimen yang dapat menyebabkan perubahan garis pantai. Pada pantai
yang terbuka pergerakan sedimen akan semakin besar, tetapi di daerah sekitar
25

muara sungai arus pasut lebih lambat daripada laju pengendapan sedimen,
sehingga membentuk endapan (Handayani 2004).
Pada saat pasang, air laut masuk ke sungai hingga jarak tertentu dan akan
mengaduk sedimen yang ada di sungai dan pada saat air surut arus akan menuju
ke laut dengan membawa material yang teraduk saat pasang menuju ke laut. Hal
tersebut menjadi masalah serius ketika di muara sungai hanya terdapat sedikit
mangrove sebagai penahan atau bahkan sama sekali tidak ada penahan. Apabila di
muara sungai dibangun jetty maka material sedimen yang terbawa arus surut tidak
dapat menyebar atau tertahan oleh jetty, sehingga daerah sekitar muara tersebut
memiliki risiko lebih besar terjadinya abrasi.
Pasang surut yang terjadi akan mempengaruhi kondisi penggenangan
kawasan pantai. Karena itu pasang surut menjadi faktor penting dalam persebaran
dan perkembangan mangrove. Lokasi terbaik yang dapat digunakan untuk
penanaman mangrove terletak pada ketinggian lahan diantara permukaan laut rata-
rata sampai permukaan rata-rata pasang tertinggi atau saat pasang purnama
(Kusmana et al. 2003).

Potensi Terbentuknya Lahan Rentan


Perubahan penggunaan lahan berdampak terhadap berubahnya kerentanan
lahan dari kerusakan. Analisis kerentanan lahan dilakukan pada dua tahun yang
berbeda, yaitu tahun 1989 dan tahun 2012. Berdasakan kedua anlisis tersebut
didapatkan perubahan lahan kritis pada kawasan pantai yang dijadikan acuan
untuk menentukan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang (Gambar 16 dan
17).
Perubahan tutupan lahan memberikan pengaruh terhadap kualitas lahan.
Apabila perubahan penggunaan lahan berada dalam batas daya dukung dan fungsi
lahan maka kualitas lahan tidak akan berubah signifikan walaupun penggunaan
lahan telah berubah. Kualitas lahan akan bersifat dinamis selama perubahan lahan
terus terjadi pada lahan yang sama (Santoso 2011). Berdasarkan hal tersebut lahan
yang berpotensi memiliki kerentanan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi
parameter yang berpengaruh di kawasan tersebut. Tabel 8 menunjukkan
perubahan luasan kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang pada tahun
1989 dan 2012.

Tabel 8 Luasan tingkat kerentanan lahan pada kawasan pantai Kabupaten Batang
tahun 1989 dan 2012

Tingkat Potensi Perubahan


Kerentanan Tahun 1989 Tahun 2012 1989 - 2012
Lahan Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) Luas (ha) (%)
Rendah 8 028.41 23.67 7 233.25 21.32 -795.16 -9.90
Sedang 25 896.83 76.33 26 691.99 78.68 795.16 3.07
Tinggi 0 0 0 0 0 0
Jumlah 33 925.24 100 33 925.24 100
26

Gambar 16 Peta kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 1989
27

Gambar 17 Peta kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2012
28

Tabel 8 Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa pada tahun 1989 dan 2012
kawasan pantai Kabupaten Batang memiliki potensi kerentanan lahan rendah
hingga sedang. Penambahan luasan kerentanan lahan sedang terjadi karena adanya
perubahan tutupan atau penggunaan lahan dari tahun 1989 hingga 2012. Pada
lahan dengan potensi kerentanan rendah tahun 1989 dan 2012 berada pada
penggunaan lahan vegetasi pohon, vegetasi semak dan rumput, badan air dan
lahan terbuka. Lahan dengan kerentanan sedang berada pada penggunaan lahan
terbangun, lahan terbuka, badan air, vegetasi semak dan rumput dan vegetasi
pohon dengan kelerengan curam.
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada tahun 1989 dan 2012, lahan dengan
kerentanan sedang mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukkan
penggunaan lahan pada kawasan pantai Kabupaten Batang mengalami perubahan
yang cenderung menurunkan kualitas lahan tersebut. Perubahan yang terjadi pada
lahan vegetasi pohon yang berubah menjadi lahan vegetasi semak dan rumput,
lahan terbuka dan lahan terbangun akan menyebabkan potensi kerentanan lahan
tersebut semakin besar. Perubahan lahan pada tingkat kerentanan sedang
meningkat sebesar 795.16 ha atau 3.07%.

Prioritas Hutan Kota

Penggunaan lahan yang sesuai akan menghasilkan ekosistem yang seimbang


dengan tingkat kerentanan yang cenderung stabil. Selain itu kesesuaian lahan
dengan penggunaannya akan memberikan hasil yang optimal dari tujuan yang
diinginkan. Hal tersebut karena dengan penggunaan lahan yang sesuai maka akan
mendapatkan daya dukung lingkungan yang optimal, sehingga tidak mengganggu
keseimbangan lingkungan dan lingkunganya akan lestari.

Kesesuaian Lahan Hutan Mangrove


Penentuan kesesuaian lahan hutan mangrove dilakukan dengan melakukan
skoring dari peta kelerengan, jenis tanah dan jarak dari pantai. Berdasarkan hasil
analisis yang dilakukan, terdapat 3 kesesuaian lahan mangrove, yaitu sangat
sesuai, sesuai dan kurang sesuai (Gambar 18).
Kawasan pantai dengan kesesuaian lahan hutan mangrove sesuai tersebar di
seluruh kecamatan kecuali Kecamatan Banyuputih dan sebagian besar Kecamatan
Gringsing (Gambar 18). Hal tersebut dikarenakan pada kawasan tersebut memiliki
kemiringan lahan atau topografi berombak sampai curam dan jenis tanah asosiasi
litosol merah walaupun berbatasan langsung dengan laut. Akan tetapi kriteria
yang paling sesuai untuk lahan hutan mangrove adalah kawasan dengan
kemiringan lahan 0-3 %, memiliki jarak < 200 m dari garis pantai dan memiliki
jenis tanah aluvial terutama aluvial pantai. Kawasan dengan kesesuaian lahan
sedang terdapat pada lokasi dengan kemiringan lahan > 3 % dan memiliki jenis
tanah selain aluvial, walaupun berbatsan langsung dengan laut. Sebaliknya untuk
kesesuaian lahan tidak sesuai, jarak dari garis pantai memiliki pengaruh paling
besar, karena pasang surut tidak berpengaruh pada lokasi tersebut.
29

Gambar 18 Peta kesesuaian lahan hutan mangrove Kabupaten Batang

Batang
30

Tingkat Konservasi Lahan Hutan Kota Mangrove


Penentuan unit tingkat konservasi hutan kota dilakukan dengan melakukan
overlay peta kesesuaian lahan mangrove dan kerentanan lahan. Kriteria tambahan
yang dianalisis berupa peta penggunaan lahan eksisting. Berdasarkan analisis
tersebut akan menghasilkan tingkat konservasi lokasi hutan kota kawasan pantai
yang terbagi menjadi hutan kota berupa vegetasi mangrove dan vegetasi hutan
pantai. Penentuan tingkat konservasi hutan kota kawasan pantai dibagi menjadi 3,
yaitu unit tingkat konservasi tinggi, sedang dan rendah (Tabel 9).

Tabel 9 Tingkat konservasi lahan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang

KLM
Tidak Sesuai Sedang Sesuai
KL
Rendah KR KR KS
Sedang KR KS KT
Tinggi KS KT KT
Keterangan: KL (Kerentanan lahan); KLM (Kesesuaian Lahan Hutan Mangrove); KT (Konservasi
Tinggi); KS (Konservasi Sedang); KR (Konservasi Rendah)

Unit tingkat konservasi tinggi lokasi hutan kota sebagian besar terdapat di
sepanjang pantai Kecamatan Batang dan Kandeman serta sebagian kecil
Kecamatan Tulis, Subah dan Gringsing dengan luas total 162.19 ha. Hal tersebut
dikarenakan pada lokasi tersebut memiliki kerentanan lahan sedang dengan abrasi
pantai yang mencapai 6.27 m/tahun dan kesesuaian lahan hutan mangrove yang
sangat sesuai. Sebaliknya unit tingkat konservasi sedang dan rendah lokasi hutan
kota terdapat di seluruh kecamatan dengan luasan 1 637.99 ha untuk tingkat
konservasi sedang dan 31 914.07 ha untuk tingkat konservasi rendah. Sebagian
besar unit tingkat konservasi sedang dan rendah berada lebih jauh dari laut atau
berada di belakang unit tingkat konservasi tinggi sehingga gelombang, pasang
surut dan abrasi pantai tidak terlalu berpangaruh terutama pada unit tingkat
konservasi rendah (Gambar 19).

Kesesuaian Tata Guna Lahan


Tata guna lahan sangat erat kaitannya dengan kondisi ekosistem lingkungan
yang akan terbentuk. Pengalokasian penggunaan lahan harus memperhatikan
aspek-aspek penting baik untuk kepentingan manusia maupun kelestarian
lingkungan. Penggunaan lahan yang berkualitas akan mempertimbangkan
keberlangsungannya hingga masa mendatang. Hal tersebut sesuai dengan prinsip
pengelolaan secara lestari yang memperhatikan kondisi lingkungan.
Rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang dibagi menjadi
beberapa bagian dengan tingkat kepentingan berbeda. Kawasan-kawasan tersebut
dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama, yaitu kawasan lindung, kawasan
budidaya dan kawasan strategis. Kawasan lindung daerah pantai Kabupaten
Batang berupa kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya, kawasan suaka
alam dan cagar budaya, kawasan perlindungan setempat, kawasan rawan bencana
alam dan kawasan lindung lainnya. Penetapan kawasan lindung tersebut bertujuan
untuk melakukan perlindungan lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan.
31

Gambar 19 Peta tingkat konservasi lahan hutan kota mangrove Kabupaten Batang
32

Kawasan budidaya kawasan pantai Kabupaten Batang terdiri dari kawasan


hutan produksi, kawasan budidaya pertanian, kawasan peruntukan perikanan,
kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan wisata, kawasan peruntukan
permukiman kota dan kawasan permukiman desa. Kawasan-kawasan tersebut
memiliki fungsi untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya
alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
Kawasan strategis di kawasan pantai Kabupaten Batang terdiri dari kawasan
strategis pertumbuhan ekonomi, pendayagunaan SDA, teknologi tinggi dan
kawasan strategis daya dukung lingkungan. Kawasan strategis memiliki nilai
penting dan prioritas lebih dalam penataan ruang karena kawasan tersebut bersifat
spesifik dan berpengaruh penting terhadap ekonomi, sosial, budaya dan politik
(Perda Kab. Batang No. 7 Tahun 2011).
Evaluasi rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian lahan dengan peruntukkan lahan yang
direncanakan. Hal tersebut dikarenakan tata guna lahan akan mempengaruhi
bentang alam sehingga ekosistem pada masa mendatang akan berubah. Pada
Gambar 20 menunjukkan rencana penggunaan lahan jangka panjang pada
kawasan pantai Kabupaten Batang.
Terdapat beberapa alokasi penggunaan lahan yang harus dilengkapi dengan
hutan kota. Penggunaan lahan tersebut, antara lain lahan peruntukan kawasan
permukiman kota yang berada di Kecamatan Batang dan kawasan industri di
Kecamatan Kandeman. Sebagian wilayah lahan permukiman kota dan kawasan
industri tersebut memiliki kerentanan sedang terhadap kerusakan lingkungan. Hal
tersebut menjadikan lahan akan mengalami kerusakan dengan cepat. Oleh karena
itu untuk menanggulangi hal tersebut penting adanya hutan kota untuk menjaga
keseimbangan lingkungan kawasan tersebut.

Master Plan Hutan Kota

Master plan dikembangkan berdasarkan peta kelas konservasi lahan hutan


kota mangrove (Gambar 19) dan peta rencana tata guna lahan kawasan pantai
Kabupaten Batang tahun 2011-2031 (Gambar 20). Berdasarkan kedua peta
tersebut dapat ditentukan bentuk pemanfaatan lahan hutan kota, sebagaimana
disajikan pada Tabel 10.
Hutan kota yang direncanakan memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai
dengan tingkat konservasi hutan kota dan kondisi eksisting lokasi hutan kota
mangrove. Oleh sebab itu dari pembangunan hutan kota mangrove tersebut akan
memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, lingkungan dan satwa yang
ada di dalam dan sekitar lokasi hutan kota mengrove (Gambar 22). Semakin
luasnya tutupan hutan mangrove di suatu kawasan dapat meningkatkan
keanekaragaman binatang dan satwa, sehingga dapat meningkatkan hasil
tangkapan udang liar harian dari sekitar hutan mangrove tersebut (Maifitri 2012).
Oleh karena itu keberadaan hutan kota menjadi sangat penting untuk menunjang
kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian binatang dan satwa.
33

Gambar 20 Peta rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2011-2031
34

Pembagian pemanfaatan lahan hutan mangrove kota didasarkan pada tingkat


konservasi lokasi hutan kota yang direncanakan. Hutan kota yang direncanakan
memiliki tipe yang disesuaikan dengan fungsinya masing-masing. Tipe-tipe hutan
kota kawasan pantai Kabupaten Batang yang didasarkan pada tingkat konservasi
lahan hutan kota mangrove (Tabel 10 dan Gambar 23).

Tabel 10 Bentuk hutan kota pada setiap land use dan land cover kawasan pantai
Kabupaten Batang

Pemanfaatan Land cover/land use KT KS KR


Budidaya tambak (Wanamina) √ √
Pelestarian plasma nutfah √ √
Penyangga (Buffer) √ √
Perlindungan √ √
Rekreasi √ √
Keterengan: KT (Konservasi Tinggi); KS (Konservasi Sedang); KR (Konservasi Rendah)

Lokasi hutan kota mengrove tersebar di semua kecamatan kecuali


Kecamatan Banyuputih dengan total luas hutan kota mencapai 857.23 ha atau 2.54
% dari luas kawasan pantai dan 0.10 % dari luas Kabupaten Batang (Gambar 23).
Berdasarkan hasil pengamatan lapang di Kecamatan Banyuputih tidak ditemukan
lokasi bervegetasi mangrove. Selain itu berdasarkan analisis kemiringan lahan
juga didapatkan kondisi topografi bibir pantai kecamatan Banyupuyih dan
sebagian kecamatan Gringsing bergelombang sampai curam pada lokasi tertentu
dengan substratnya adalah batu karang (Gambar 21). Oleh sebab itu hutan kota
yang dapat direncanakan pada lokasi tersebut adalah hutan kota dengan vegetasi
hutan pantai.

(a) (b)

Gambar 21 Substrat garis pantai (a) Plabuhan Kecamatan Gringsing (b) Celong
Kecamatan Banyuputih
35

Gambar 22 Peta lokasi eksisting hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang

Batang
36

Gambar 23 Peta Zonasi pemanfaatan hutan kota mangrove kawasan pantai Kabupaten Batang
37

Rencana Zonasi
Pembagian zonasi hutan kota dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi
hutan kota yang direncanakan. Pembagian zona dilakukan melalui pendekatan
pertimbangan ekologis dan pemanfaatan fasilitas eksisting. Setiap hutan kota yang
direncanakan memiliki zonasi yang disesuaikan dengan fungsi yang ingin dicapai
dari masing-masing tipe hutan kota.
Hutan kota mangrove tipe perlindungan dan tipe budidaya memiliki zonasi,
yaitu zona pemanfaatan dan zona perlindungan. Zona pemanfaatan dikembangkan
untuk lokasi budidaya perikanan dengan sistem wanamina. Aktivitas yang
direncanakan adalah pengembangan budidaya tambak, kawasan tangkapan dan
pusat pemancingan. Zona perlindungan dikembangkan sebagai lokasi dengan
fungsi perbaikan lingkungan, perlindungan lingkungan dan kegiatan pemanfaatan
terbatas (Gambar 24).
Hutan kota tipe penyangga hanya memiliki satu zonasi yang digunakan
sebagai penyangga bagi daerah di sekitarnya sehingga aktivitas yang dilakukan
tidak mengganggu keseimbangan lingkungan (Gambar 25). Hutan kota tipe
penyangga direncanakan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Ujung
Negoro-Roban yang berada di Kecamatan Kandeman dan Kecamatan Tulis.
Hutan kota tersebut diharapkan mampu menjadi penyangga bagi lingkungan
disekitarnya, sehingga kegiatan manusia tidak merusak keseimbangan ekologis
lingkungan.
Hutan kota tipe rekreasi memiliki zona pemanfaatan yang dikembangkan
untuk kegiatan rekreasi alam dengan pengembangan fasilitas secara minimalis.
Kegiatan rekreasi yang dapat dikembangkan adalah wisata umum, yaitu
menikmati keindahan pantai, wisata memancing, foto hunting, wisata pendidikan
dan wisata khusus seperti birdwatching. Zona perlindungan pada hutan kota tipe
rekreasi digunakan sebagai perbaikan lingkungan dan pelestarian mangrove
(Gambar 26).
Hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah dikembangkan menjadi tempat
koleksi plasma nutfah dan sebagai habitat satwa. Pada hutan kota ini direncanakan
memiliki zonasi hutan mangrove yang terdiri dari zona Api-api dan pedada, zona
Bakau, zona Bakau dan Tancang, zona Tancang dan zona Nipah dan vegetasi
hutan pantai. Hutan kota tipe ini direncanakan hanya memiliki satu zona yang
berfungsi sebagai tempat pelestarian plasma nutfah sebagai fungsi utama, tempat
koleksi mangrove, menjadi pelindung pantai dan menjadi salah satu arboretum di
Kabupaten Batang.

Sirkulasi dan Fasilitas


Sirkulasi tapak dikembangkan dengan konsep dasar berbasis ekologis.
Sirkulasi yang direncanakan dalam tapak berfungsi sebagai penghubung antar
zona dalam tapak. Jalur sirkulasi yang direncanakan berupa jalur air dan darat.
Jalur air digunakan sebagai jalur perahu yang difungsikan untuk kegiatan
pengunjung khusus (penelitian) dan perawatan hutan kota. Jalur darat yang
direncanakan terbagi menjadi dua tipe, yaitu jalur untuk kendaraan bermotor dan
pejalan kaki atau sepeda. Jalur kendaraan bermotor adalah jalur utama akses
masuk lokasi hutan kota dan jalur pejalan kaki atau sepeda menjadi akses dalam
kawasan hutan kota yang direncanakan (Gambar 27 dan Tabel 11).
38

Gambar 24 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Batang
39

Gambar 25 Zonasi hutan kota tipe penyangga Kecamatan Kandeman dan Kecamatan Tulis
40

Gambar 26 Zonasi hutan kota tipe rekreasi, perlindungan dan budidaya Kecamatan Gringsing
41

Gambar 27 Zonasi hutan kota tipe rekreasi Pantai Sigandu Kecamatan Batang dan Kecamatan Kandeman
42

Tabel 11 Pemanfaatan sirkulasi hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang

Pengguna
Tipe
Fasilitas Pengunjung
Sirkulasi Pengelola Pengunjung
Khusus
Umum Jalan aspal √ √ √
Jalan Batu
√ √ √
(makadam)
Jalan papan kayu √ √ √
Khusus Jalur parit √ √
Jalan papan kayu √ √

Rencana pembangunan fasilitas disesuaikan dengan kebutuhan dari aktivitas


yang direncanakan pada masing-masing hutan kota. Fasilitas yang dapat
dibangun, antara lain pusat informasi, kantor pengelola, fasilitas ibadah, fasilitas
kebersihan dan MCK, fasilitas permainan dan fasilitas pendukung lainnya yang
disesuaikan. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung kegiatan dalam kawasan
hutan kota dengan memperhatikan faktor ekologis dari tapak hutan kota. Fasilitas
penunjang pada sirkulasi yang direncanakan adalah shelter atau tempat istirahat
sementara yang tersebar di beberapa titik. Sebagai pendukung kegiatan yang
direncanakan pula dramaga dan menara pengamatan pada lokasi tertentu.

Rencana Pemilihan Jenis Tumbuhan


Pemilihan jenis tumbuhan hutan kota disesuaikan dengan kondisi tapak
lokasi hutan kota. Penyesuaian jenis tumbuhan dilakukan untuk mendapatkan
hasil optimal baik dari segi keberhasilan pembangunan maupaun fungsi yang
diharapkan. Pemilihan jenis tumbuhan dibagi menurut zona hutan kota yang
direncanakan (Tabel 12). Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam
pemilihan jenis (Dachlan et al. 2008), antara lain:
1. Kekayaan ekologis
Jenis tanaman yang dipilih harus mampu beradaptasi sehingga diutamakan
dari jenis lokal. Selain itu juga untuk menunjang fungsi hutan kota dipilih
juga jenis introduksi (bukan jenis lokal) yang adaptif dan tidak bersifat infasif
terhadap jenis lokal.
2. Fungsi zona
Jenis yang dipilih disesuaikan dengan fungsi zona hutan kota sehingga tidak
menimbulkan masalah kerusakan fasilitas dan membahayakan.
3. Ketersediaan benih atau bibit
Ketersediaan benih atau bibit sangat penting untuk mewujudkan fungsi hutan
kota yang direncanakan. Oleh sebab itu perlu dilakukan kegiatan perbenihan
dan pembibitan sebelum melakukan pembangunan hutan kota.
4. Penguasaan teknik silvikultur
Pemilihan jenis pada awal pembangunan hutan kota diutamakan terhadap
jenis yang sudah dikuasai teknik silvikulturnya dan mudah dalam
pelaksanaannya.
43

Tabel 12 Jenis-jenis pohon yang direncanakan

Tipe HK
1 2 3 4 5
Jenis Pohon
Api-api (Avicennia spp.) √ √ √ √ √
Bakau (Rhizophora spp.) √ √ √ √ √
Bintaro (Cerbera manghas) √ √ √
Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) √
Keben (Baringtonia asiatica) √ √ √
Ketapang (Terminalia catappa) √ √ √
Merbau (Instia bijuga) √ √ √
Nipah (Nypa fruticans) √ √ √
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) √ √ √
Nyirih (Xylocarpus granatum) √ √ √
Pedada (Sonneratia spp.) √ √ √ √
Tancang (Bruguiera spp.) √ √ √ √ √
Tingi (Ceriops spp.) √
Waru Laut (Hibiscus tiliaceus) √ √ √
Keterangan: 1) HK tipe budidaya; 2) HK tipe perlindungan 3) HK tipe rekreasi; 4) HK tipe
penyangga; 5) HK tipe pelestarian plasma nutfah

Pemilihan jenis pohon disesuaikan dengan zonasi yang terbentuk


berdasarkan lokasi hutan kota mangrove yang direncanakan. Pada bibir pantai
hutan kota mangrove dipilih jenis seperti Api-api (Avicennia spp.), Bakau
(Rhizophora spp.) dan Pedada (Sonneratia spp.) yang ditanam dengan jarak yang
lebih rapat sehingga dapat lebih optimal untuk mencegah abrasi. Pada zona
selanjutnya pada hutan kota mangrove tersebut dapat dipilih Bakau (Rhizophora
spp.), Tancang (Bruguiera spp.) dan Tingi (Ceriops spp.) yang disesuaikan
dengan kondisi tanah dan pola pasang surut lokasi. Nipah (Nypa fruticans) dan
jenis-jenis asosiasi vegetasi hutan pantai ditanam pada zona paling jauh dari
pantai ataupun perbatasan antara hutan mangrove dan hutan pantai. Jenis-jenis
yang paling banyak digunakan adalah Api-api (Avicennia spp.) dan Bakau
(Rhizophora spp.) karena merupakan jenis pionir vegetasi mangrove (Kustanti
2011), sehingga dapat digunakan pada lahan-lahan hutan kota yang rusak. Untuk
kawasan tepi sungai dapat ditanam Tancang (Bruguiera spp.) karena persebaran
alami jenis tersebut adalah pinggir sungai yang jarang tergenang air tawar-payau
(Kusmana et al. 2003).
Pemilihan jenis pohon hutan pantai lebih diutamakan pada jenis-jenis yang
sering ditemukan berasosiasi dengan mangrove di Pulau Jawa, seperti Bintaro
(Cerbera manghas), Ketapang (Terminalia catappa), Merbau (Instia bijuga),
Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Nyirih (Xylocarpus granatum) dan Waru
laut (Thespesia populnea) (Kusmana et al. 2003). Cemara laut (Casuarina
equisetifolia) digunakan untuk menambah estetika pada hutan kota tipe rekreasi
karena memiliki bentuk yang unik dan tahan terhadap angin kencang, sehingga
tidak membahayakan (Tabel 12).
Pada hutan kota mangrove tipe pelestarian plasma nutfah lebih ditekankan
pada formasi alami hutan mangrove yang terdiri dari 5 zona, yaitu zona Api-api
(Avicennia spp) dan Pedada (Sonneratia spp); zona Bakau (Rhizophora spp); zona
44

bakau (Rhizophora spp) dan Tancang (Bruguiera spp); zona Tancang (Bruguiera
spp); zona Nipah (Nypa fruticans) yang merupakan salah satu zonasi hutan
mangrove di Indonesia (Bengen 2001), (Gambar 28).
45

Gambar 28 Zonasi hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah Kecamatan Subah

Subah
46

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan evaluasi kerentanan lahan kawasan pantai dan kesesuaian lahan


hutan mangrove dapat ditentukan tingkat konservasi lahan hutan kota.
Berdasarkan tingkat konservasi tersebut dapat ditentukan lokasi hutan kota.
Tingkat konservasi lahan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang dibagi
menjadi 3, yaitu kawasan dengan tingkat konservasi tinggi seluas 162.19 ha,
kawasan tingkat konservasi sedang seluas 1 637.99 ha dan kawasan dengan
tingkat konservasi rendah seluas 3 1914.07 ha.
2. Master plan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang dibagi menjadi 5
tipe hutan kota, yaitu tipe perlindungan, tipe budidaya, tipe rekreasi, tipe
pelestarian plasma nutfah dan tipe penyangga (buffer). Penentuan tipe hutan
kota didasarkan pada tingkat konservasi hutan kota dimana hutan kota dengan
tipe perlindungan, tipe rekreasi dan tipe pelestarian plasma nutfah berada pada
tingkat konservasi tinggi dan sedang. Akan tetapi hutan kota tipe budidaya dan
tipe penyangga (buffer) berada pada kawasan tingkat konservasi sedang dan
rendah.

Saran

Penelitian lebih lanjut tentang rencana detail hutan kota mangrove


disarankan dilakukan untuk memperkuat hasil dari penelitian yang telah
dilakukan. Penelitian yang dilakukan terutama pada aspek ekologi dan fisik tapak
karena penelitian sebelumnya menggunakan data citra satelit.
Perencanaan pembangunan kawasan pantai yang dilakuakan lebih baik
berpedoman pada aspek ekologis dan konservasi lingkungan, sehingga
pengguanaan lahan dapat disesuaiakan dengan kemampuan lahannya serta lestari.
Selain itu diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang tepat dalam menentukan
peruntukan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang, agar penggunaan lahan
sesuai dengan karakteristik wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Peraturan Daerah


Kabupaten Batang Nomor: 07 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031. Batang (ID): Bappeda.
Bengen DG. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –
Institut Pertanian Bogor.
Carr DL, Bilsborrow RE. 2000. Population and land use/cover change: a regional
comparison between Central America and South America. J. Geog Ed
47

[internet]. Seoul (KR). [5 Juli 2013]; 43(8)


[http://geog.ucsb.edu/~carr/DCarr_Publications/DLCarr_GeogEd_00.pdf].
Dachlan EN, Hermawan R, Ontarjo J, Kosmaryandi N, Prasetyo LB, Priyono A,
Arief H, Djamhari D. 2008. Penyusunan Master Plan Pembangunan Hutan
Kota Bundayati Tanjung Selor Kabupaten Bulungan [laporan]. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Direktur Jendral RLPS
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta
(ID): Dirjen RLPS.
[DepPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis
Kawasan Budidaya. Jakarta (ID): Dirjen Penataan Ruang.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis Konservasi DAS Hulu.
Jakarta (ID): Direktorat Pengelolaan Lahan.
[DKP] Depertemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Rencana Tata Ruang
Kabupaten Batang. [laporan]. Semarang (ID): Direktorat jendral Kelautan,
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Satker Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa
Tengah.
[DKP] Depertemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Indeks Kerentanan Pulau-
Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global (Global Warming). Jakarta (ID):
Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil. DKP.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1976. A Framework for Land
Evaluation. FAO Soils Bulletin 32. Rome (IT): Food and Agriculture
Organization of the United Nations.
Faried SM, Maharudin M. 2011. Perencanaan pembangunan pelindung pantai di
Pantai Sigandu Batang [tugas akhir]. Semarang (ID): Jurusan Teknik Sipil.
Fakultas teknik. Universitas Diponegoro Semarang.
Gold, SM. 1980. Recreation Planning and Design. New York (US): Mc Graw
Hill Book.332.P.
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah Edisi Baru. Jakarta (ID): Akademika
Pressindo.
Handayani R. 2004. Pemanfaatan data landsat 7/ETM untuk melihat perubahan
garis pantai tahun 1995 – 2000 di Teluk Cempi Kabupaten Dompu Nusa
Tenggara Barat [skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Irwani, Ambariyanto, Chrisna AS, Kurniasih S, Hermawan HT, Muslim,
Wulandari SY. 2004. Studi penanganan abrasi di Pantai Utara Jawa
Tengah [laporan]. Semarang (ID): Balitbang Provinsi Jawa Tengah.
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Kusmana C, penyunting. Bogor
(ID): IPB Pr.
Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T,
Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor
(ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Maifitri Y. 2012. Keterkaitan antara penutupan hutan mangrove dan salinitas
dengan produksi udang windu dan ikan bandeng di Silvofishery Blanakan
Subang [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Managemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
48

Muryani. 2008. Analisis degradasi hutan mangrove Pantai Pasuruan menggunakan


SIG [disertasi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Novita T. 2002. Aplikasi Citra Radar ERS-1 untuk mendeteksi perubahan garis
pantai di daerah Pesisir Cilamaya Kab. Karawang Jawa Barat [skripsi].
Bogor (ID): Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Pranoto S. 2007. Prediksi perubahan garis pantai menggunakan model genesis.
Berkala Ilmiah Teknik Keairan [internet]. [diunduh 3 Jan 2013]; 13 (3):
145-154. Tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/25088/1/01-
Sumbogo_145-154.pdf.
Santoso E. 2011. Analisis perubahan penggunaan lahan dan potensi lahan kritis di
Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta [tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
[SNC] Second National Communication. 2009. Summan For Policy Makers:
Indonesia Second National Communication Under the United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta (ID):
Kementrian Lingkungan Hidup.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. Jakarta (ID): PT. SUN.
Wahyudi, Hariyanto T, Suntoyo. 2009. Analisa kerentanan pantai di wilayah
Pesisir Pantai Utara Jawa Timur. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi
Teknologi Kelautan.[Waktu dan tempat tidak diketahui]. Surabaya (ID):
Institut Teknologi Surabaya. hlm 1-9; [diunduh 5 Mar 2013]. Tersedia pada:
http://www.its.ac.id/personal/files/pub/4254-wahyudicitros-oe-Dr.Wahyudi,
et al._SENTA 2009 Analisa Kerentanan Pantai di Wilayah Pesisir Panta
Utara Jawa Timur.pdf.
49

Lampiran 1 Tabel hasil uji akurasi

CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT


-----------------------------------------
Image File : d:/re_recode_2012.img
User Name : Rama
Date : Mon Feb 04 14:17:22 2013

ACCURACY TOTALS
----------------

Class Reference Classified Number Producers


Users
Name Totals Totals Correct Accuracy
Accuracy
---------- ---------- ---------- ------- --------- -----
Class 0 0 2 0 --- ---
Class 1 13 17 13 100.00% 76.47%
Class 2 12 11 11 91.67% 100.00%
Class 3 7 3 3 42.86% 100.00%
Class 4 18 19 18 100.00% 94.74%
Class 5 5 3 3 60.00% 100.00%
Class 6 0 0 0 --- ---

Totals 55 55 48

Overall Classification Accuracy = 87.27%


Lampiran 2 Zonasi hutan kota tipe penyangga dan budidaya Kecamatan Tulis
50
Lampiran 3 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Subah
51
Lampiran 4 Zonasi hutan kota tipe rekreasi, perlindungan dan budidaya Kecamatan Subah
52
Lampiran 5 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Grinsing
53
54

Lampiran 6 Data potensi Cagar Alam di kawasan pantai Kabupaten Batang

Kawasan Luas Potensi


Konservasi (ha) Flora Fauna Lainnya
CA. 69.70 Pelalar Kancil (Tragulus Terletak di
Ulolanang (Dipterocarpus javanicus), Kijang daerah
Kecubung littoralis) dan Jati (Muntiacus muntjak), lereng
(Ds. Gondang (Tectona grandis) Macan tutul (Panthera yang
Kec. Subah) pardus melas), Ayam curam di
hutan (Gallus sp.), tepi sungai
Bangau hitam
(Ephippiorhynchus
asiaticus), Elang ular
bido (Spilornis
cheela), Kutilang
(Pycnonotus
aurigaster) dan Takur
tulung tumpuk
(Megalaima javensis)
CA. Peson 10.4 Johar (Senna Babi hutan (Sus Terletak di
Subah I (Ds. siamea), Ketapang scrofa), Garangan tepi pantai,
Kuripan Kec. (Terminalia (Herpestes javanicus), terdapat
Subah) catappa), Kedoya Linsang (Prionodon daerah
(Dysoxylum linsang), Kuntul terbuka
gaudichaudianum), (Egretta sp.), Pecuk
Kayu api-api (Phalacrocorax sp.),
(Avecennia sp.) Raja udang (Alcedo
meninting) dan Trinil
pantai (Actitis
hypoleucos)
CA. Peson 10 Gondang (Ficus Lutung
Subah II (Ds. variegate), Jrakah, (Trachypithecus
Gondang Kec. Bendo (Entada auratus), Ayam hutan
Subah) scandens), (Gallus sp.), Burung
Wunung (Sterculia madu sriganti
campanulata), (Nectarinia jugularis),
Kedoya (D. Kuntul (Egretta sp.),
gaudichaudianum), Kutilang, Pecuk
Laban (Vitex (Phalacrocorax sp.)
pubescens) dan dan Raja udang
Kesambi (Alcedo meninting)
(Schleichera
oleosa)
Sumber: Urusan Penata Bina Konservasi dan Perlindungan Balai KSDA Jawa Tengah tahun 2007
55

Lampiran 7 Data flora dan fauna kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2011

Jenis data Spesies Ket


Flora Jati (T. grandis), Bendo (E. scandens), Jrakah, Pasang
(Quercus sundaica), Kedoya (D. gaudichaudianum),
Suren(Toona sureni), Kemloko (Phyllanthus emblica),
Kedawung (Parkia timoriana), Burahol (Stelechocarpus
burahol), Jengkol (Pithecellobium jiringa), Jambu Mete
(Agathislalillardieri), Aren (Arenga pinata), Klayu
(Floribunda decaisne), Trengguli (Cassia fistula), Meranti
jawa (D. littoralis), Bakau (Rhizophora mucronata), Bakau
(R. apiculata), Api-Api (Avicennia marina), Tancang
(Bruguiera gymnorrhiza), Bakau (R. stylosa), Api-Api
(Avicennia officinalis), Api-Api (A. Lanata), Bogem
(Sonneratia sp.), Kerakas (Acrostichum aureum), Bakung-
bakung (Scaevola taccada), Nipah (Nypa fruticans),
Gulung-Gulung (Spinifex liioreus), Pandan (Pandanus
tectorius), Deruju (Acanthus ilicifolius), Kacang-kacangan
(Ipomea pescarprea), Waru (Hibiscus tiliaceus), Bintaro
(Cerbera manghas), Nyamplung (Calophyllum
inopphylum), Ketapang (Terminalia catappa) .
Fauna Lutung budeng (Trachypithecus auratus), Babi hutan (Sus
scrofa), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Ular,
Linsang (Prionodon linsang), Biawak (Varanus salvator),
Garangan (Herpestes javanicus), Elang jawa (Speziatus
bartelsi), Bido (Spilornis cheela), Raja udang (alcedo
meninting), Bangau hitam (Ephippiorhynchus asiaticus),
Takur tulung tumpuk (Megalaima javensis), Prenjak
(Prinia familiaris), Kutilang (Pycnonotus aurigaster),
Trocok (Pycnonotus goiavier)
Sumber: SKPD Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Batang
56

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan Batang pada tanggal 21 Juni 1990 sebagai anak keempat
dari 4 bersaudara pasangan Cucu Karyanto dan Sri Hanah. Pendidikan formal
ditempuh penulis di TK Kasih Ibu Proyonanggan, SD Negeri 4 Karangasem, SMP
Negeri 3 Batang, SMA Negeri 1 Batang. Penulis melanjutkan pendidikan di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada
tahun 2008 dan tahun 2009 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif sebagai pengurus
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA) periode 2009-2011, KSR PMI UNIT I IPB periode 2009-2011
dan Organisasi Mahasiswa Daerah Pekalongan-Batang (IMAPEKA) Periode
2009-2010.
Kegiatan-kegiatan yang pernah penulis ikuti selama berada di IPB,
diantaranya Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di
Cagar Alam Gunung Burangrang, Jawa Barat (2010), ekspedisi Studi Konservasi
Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (2010),
menjadi relawan KSR IPB saat meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta (2010),
Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Slamet-Nusa
Kambangan (2010), Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan
Gunung Walat, TN Gunung Halimun Salak dan KPH Cianjur (2011) dan Praktik
Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
(2012).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Batang dengan judul “Master Plan
Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai Kbupaten Batang, Jawa Tengah” dibawah
bimbingan Dr Ir Endes N Dachlan, MS dan Ir Qodarian Pramukanto, MSi.

Anda mungkin juga menyukai