Anda di halaman 1dari 21

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan infrastruktur perkotaan di Indonesia pada masa mendatang


cenderung dihadapkan pada masalah yang semakin kompleks. Infrastruktur di perkotaan
tidak hanya untuk mendukung kegiatan ekonomi tetapi juga untuk mempertahankan daya
dukung lingkungan. Infrastruktur dapat menjadi solusi tetapi juga bisamenjadi sumber
konflik antar sektor jika wilayah perkotaan semakin padat,apa lagi laju pertumbuhan
penduduk dan sosial kota di Indonesia selama 30 tahun yang lalu telah merubah total
bentang alam perkotaan menjadi kurang terkendali dan tidak beraturan (urban sprawl).
Keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari pembangunan infrastruktur kota-kota besar di
Indonesia selama ini yang cenderung lebih berorientasi pertumbuhan ekonomi.

Menurut Dardak (2010), perkembangan daerah perkotaan di Indonesia saat ini


telah mencapai titik jenuh yang tidak mudah untuk diperbaiki kembali (the point of no
retrun). Berbagai permasalahan sosial, ekonomi dan ekologi yang terjadi, sebagai
dampak dari pembangunan, mengakibatkan terjadinya degradasi daya dukung
lingkungan perkotaan yang semakin parah dan terjadinya inefisiensi pemanfaatan
sumberdaya sehingga kualitas hidup masyarakat perkotaan pada umumnya menjadi
rendah.

Berkembangnya konsep-konsep pembangunan yang lebih mempertimbangkan


aspek lingkungan telah mewarnai perencanaan-perencanaan kota dan wilayah saat ini
dan masa mendatang. Salah satu konsep dasar yang berkembang sejak tahun 1980an
adalah eco-city yang menunjukkan hubungan dari rangkaian isu perencanaan perkotaan
dan pembangunan ekonomi melalui keadilan sosial dengan mengedepankan demokrasi
lokal dalam konteks keberlanjutan. Berdasarkan perencanaan penataan ruang yang
berkelanjutan tersebut, maka dapat dibuat suatu perencanaan infrastruktur yang mantap.
Infrastruktur seringkali diidentikkan dengan sarana dan prasana dalam bentuk fisik (grey
infrastructure). Saat ini telah berkembang konsep mengenai infrastruktur yang lebih luas
lagi, yang sangat mempengaruhi keberlanjutan dan perkembangan suatu komunitas yaitu
infrastruktur hijau (green infrastructure). Kedua infrastruktur tersebut harus
dikembangkan dan direncanakan secara seimbang dengan memperhatikan aspek
keberlanjutan guna mencapai kemajuan suatu kota dan wilayah untuk pertumbuhan yang
gemilang (smart growth).
1
1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini didasari oleh permasalahan berkurangnya lahan alami perkotaan di


Indonesia menjadi kawasan terbangun. Pertumbuhan kota dan populasi penduduk yang
meningkat mengkibatkan ruang terbangun meningkat. Kondisi ini akan diprediksi
dengan melihat kecenderungan jumlah penduduk dan kawasan terbangun di masa
mendatang. Hal tersebut menentukan kebutuhan luasan infrastruktur hijau minimal yang
harus ada. Disisi lain, ruang terbuka yang ada saat ini merupakan wilayah yang
berpotensi untuk ditingkatkan sebagai infrastruktur hijau. Rekayasainfrastruktur hijau ini
diharapkan dapat menjadi dasar strategi dalam pembangunan kota hijau untuk
mendukung kegiatan ekonomi masayarakat yang lebih efisien (smart growth).

Kota-kota diIndonesia

Trend pertambahan penduduk yang pesat

Ruang terbangun (Built up area) terus bertambah dan lebih berorientasi pada mementingkan aspek ekon
Pembangunan aspek ekono

Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin Berkurang Fungsi E


Smart City /Growth

Strategi Pembangunan Degradasi Kualitas Lingkungan Perkotaan


Gambar 1. Perumusan
Rekayasa Green
MasalahInfrastructurePerkotaan

2 Pelayanan Lingkungan Memadai dan Seimba


1.3. Tujuan Penelitian

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dan memprediksi kecenderungan perkembangan kawasan


terbangun (built up area) perkotaan;
2. Menganalisis pertumbuhan penduduk kota pada masa yang akan datang dan
menghitung daya dukung wilayahnya;
3. Merekayasa (merencana dan merancang) jaringan infrastruktur hijau (green
infrastructure network) di Kota berupa lokasi-lokasi ekosistem alami yang
ada (hubs) dan hubungan-hubungannya (links); dan
4. Menentukan prioritas program yang harus dilakukan dalam penerapan
rekayasa infrastruktur hijau perkotaan untuk pembangunan green city.

Pencapaian hasil untuk tujuan kesatu dan kedua direncanakan akan dilakukan
pada tahun pertama, sedangkan capaian hasil untuk tujuan ketiga dan keempat
direncanakan akan dilakukan pada tahun kedua.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure)

Prinsip-prinsip pengembangan kota yang seimbang dan berkelanjutan (eco-city)


mempunyai misi untuk membangun kota-kota yang seimbang dengan alam. Konsep ini
menuntut rencana penataan ruang yang sesuai dan perencanaan pembangunan
infrastruktur yang mendukung keseimbangan dengan alam dalam prinsip pembangunan
berkelanjutan (Roseland, 1997). Konsep perekayasaan dan rancang bangun infrastruktur
yang berbasiskan lingkungan yang sehat dikenal dengan konsep green infrastructure. Di
Indonesia konsep tersebut diimplementasikan dengan mengelola ruang terbuka hijau
(Subadyo, 2012)

Secara umum pendekatan konsep infrastruktur hijau adalah hubungan multi


fungsi antara daerah terbuka termasuk taman, kebun, areal tanaman hutan, koridor hijau,
saluran air, pohon-pohon di sepanjang jalan, dan daerah terbuka lainnya serta kondisi
fisik lingkungan di pedesaaan maupun di perkotaan (Jongman & Pungetti, 2004).
Pendekatan tersebut juga memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sumber daya
alam secara lestari di masa yang akan datang (Herwirawan, 2009).

Gambar 2.1. Konsep Network pada Infrastruktur Hijau (Maryland DNR, 2000)

Prinsip dasar konsep green infrastructure adalah menghubungkan area alami


yang memiliki sistem ekologis dalam luasan yang cukup dan tidak terputus (hubs)
dengan menggunakan koridor alami yang membuat hubungan saling terkait antar
lansekap lahan alami (Weber, 2003). Hubungan tersebut dapat membantu mengurangi
hilangnya fungsi ruang terbuka karena fragmentasi. Menurut Mark A. Benedict &
Edward T. McMahon (2000), infrastruktur hijau merupakan hubungan interkoneksi
dari ruang terbuka yang

4
melindungi fungsi dan nilai-nilai ekosistem alam dan memberikan keuntungan bagi
populasi manusia. Infrastruktur hijau menghubungkan bentangan sumberdaya alam yang
sangat bervariasi sebagai cadangan ekosistem yang memiliki karakteristik alami yang
dibuat dalam sistem Hubs dan Links (Benedict & McMahon, 2000; Herwirawan, 2009).
Infrastruktur hijau dan infrastruktur fisik (green/grey infrastructure) sebenarnya sulit
untuk dipisahkan secara tegas. Keduanya memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk
mendukung kehidupan manusia dan saling melengkapi. Kisaran antara green/grey
infrastructure digambarkan oleh Davies, C. et al. (2007) dalam Herwirawan, 2009 dan
Subadyo (2012) sebagai berikut:

Gambar 2.2. Konsep Kisaran green/grey infrastructure (Davies, et al. 2007 dalam Subadyo, 2012)

Infrastruktur dapat dibagi atas infrastruktur yang bersifat software (perangkat


lunak), dan infrastruktur yang bersifat hardware(perangakat keras/bersifat fisik)
(GTZ,2003 dalam Subadyo, 2012). Infrastruktur yang bersifat software antara lain : (1)
layanan lembaga keuangan dan layanan bisnis; (2) layanan terkait kesehatan dan sosial/
kesejahteraan masyarakat; (3) kelompok-kelompok informal; (4) pasar; (5) layanan pos
dan kurir; dan (6) pelatihan.

5
Sedangkan infrastruktur yang bersifat hardware (perangakat keras/bersifat fisik)
pada dasarnya sangat luas dan banyak, namun secara umum terdiri dari 13 (tigabelas)
komponen dengan sifat dan karakternya (Grigg, 1989 & Kodoatie,2003 dalam
Herwirawan, 2009; dan Subadyo, 2012). Dari 13 (tigabelas) komponen tersebut, dapat
lebih diperkecil pengelompokannya kedalam 7 (tujuh) grup infrastruktur yaitu: (1) grup
infrastruktur air; meliputi air baku, air bersih, air kotor, air hujan dan pengendalian
banjir;
(2) grup infrastruktur jalan; meliputi jalanraya, jalan kota, jalan desa, dan jembatan; (3) grup
infrastruktur sarana transportasi; meliputi terminal penumpang, terminal barang, jaringan
rel, dan stasiun kereta api, pelabuhan laut, dan pelabuhan udara; (4) grup infrastruktur
pengolahan limbah; meliputi sistem manajemen limbah padat (persampahan), dan limbah
cair; (5) grup infrastruktur bangunan; meliputi bangunan produksi, bangunan
pengolahan, bangunan pemasaran (pasar), bangunan fasilitas umum, dan bangunan
fasilitas sosial; (6) grup infrastruktur energi; meliputi produksi dan distribusi listrik dan
gas; dan (7) grup infrastruktur telekomunikasi; meliputi telepon umum/seluler, dan
internet (Grigg & Fontane, 2000; Kodoatie, 2003 dalam Herwirawan, 2009; dan
Subadyo, 2012).

Sebagai sistem yang terdiri dari banyak komponen, maka perencanaan dan desain
infrastruktur harus memperhatikan keterkaitan dan interdependensi antar komponen,
beserta dampak-dampaknya. Menurut Grigg,(1988) & Suripin, (2003) dalam
Herwirawan, (2009), perencanaan dan desain infrastruktur merupakan proses dengan
kompleksitas tinggi, multi disiplin, multi sektor, dan multi user. Sehingga perencanaan
dan desain infrastruktur tidak boleh sektoral, namun juga tidak bisa terlalu global.

2.2. Peran Tata Ruang dalam Pembangunan Infrastruktur

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota merupakan rencana tata


ruang skala Kabupaten/Kota dengan muatan utama kelengkapan infrastruktur di tingkat
lokal atau regional yang disesuaikan dengan karakteristik zona-zona pengembangan
kawasan yang ada (Dardak, 2007). Pada tataran operasional, indikasi program yang
tertuang dalam RTRWdan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) merupakan basis bagi
penyusunan Rencana Induk Sektor yang menjadi dasar pengembangan infrastruktur.

Dengan demikian, pembangunan infrastruktur merupakan kebutuhan turunan dari


perencanaan tata ruang, dimana infrastuktur merupakan unsur pembentuk struktur ruang
wilayah. Dalam hal ini sistem ruang terbuka dan tata hijau merupakan komponen
rancang
6
kawasan dan jaringan infrastruktur kota, yang tidak sekedar terbentuk sebagai elemen
tambahan setelah proses rancang arsitektural diselesaikan, melainkan juga diciptakan
sebagai bagian integral dari suatu lingkungan yang lebih luas. Dalam pengembangan
kawasan perkotaan yang berorientasi ekonomi, pusat-pusat kegiatan yang membentuk
kota besar dan metropolitan membutuhkan jaringan infrastruktur hijau (ruang terbuka
hijau) yang menjadi kekuatan pembentuk struktur ruang pada kawasan tersebut (Dardak,
2007).

Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan sangat menentukan kondisi


pulau bahang kota, terutama berperan dalam mengurangi gas CO 2 melalui proses
fotosintesis, serta dalam proses evapotranspirasi yang mempunyai pengaruh positif
dalam menurunkan suhu udara (Subadyo, 2012).Fungsi dan manfaat ruang terbuka hijau
perkotaan adalah sebagai rosot karbon (penyimpan karbon). Proses penyimpanan
(penimbunan) karbohidrat (C6H12O6) yang terdiri dari karbon ini disebut dengan proses
sekuestrasi (C-sequestration). Dahlan (2004) menyatakan bahwa dengan membangun
kota kebun bernuansa hutan kota, dapat meningkatkan kesehatan lingkungan. Lebih jauh
Dahlan (2004) menyatakan bahwa kondisi perkotaan dengan konsentrasi polutan udara
dan suhu yang tinggi dapat ditanggulangi dengan penanaman vegetasi berupa ruang
terbuka hijau. Vegetasi berfungsi dalam mengintersepsi radiasi matahari sehingga dapat
menurunkan intensitas radiasi matahari di dekat permukaan.

Hasil penelitian dengan pengukuran suhu udara pada 61 titik di Kota Taipei yang
dilakukan Chang et al. (2007) menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau
0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Fungsi vegetasi
dalam penurunan suhu udara juga dibuktikan oleh Nichol & Wong (2005) dalam
penelitiannya dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong.
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa area perkotaan yang didominasi oleh
gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6C lebih tinggi dibandingkan dengan area
perkotaan bervegetasi (Rushayati, 2012). Dalam penelitian ini juga dibandingkan suhu
udara di area yang mendapat bayangan (naungan) dari gedung-gedung tinggi. Suhu
udara di area yang ternaungi gedung tinggi tersebut tetap lebih tinggi jika dibandingkan
dengan area bervegetasi. Nichol & Wong (2005) menyimpulkan bahwa penurunan suhu
udara lebih ditentukan oleh vegetasi daripada naungan gedung-gedung tinggi.

Hasil penelitian Effendy (2007) menemukan bahwa model persamaan ruang


terbuka hijau dan suhu udara mempunyai hubungan terbalik dimana setiap laju

7
pengurangan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya.
Hal ini membuktikan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai fungsi menurunkan suhu
udara sehingga dapat memperbaiki iklim mikro (ameliorasi iklim).

Pada aspek berikutnya Zhang et al. (2007) menyatakan bahwa pembatasan faktor
ekologi dapat diimplementasikan berdasarkan prinsip keseimbangan ekologis, dengan
tujuan untuk menghitung berapa banyak kebutuhan ruang terbuka hijau agar tercipta
keseimbangan ekologis. Metode ini diimplementasikan untuk perencanaan sistem ruang
terbuka hijau di Hanoi, berdasarkan analisis elemen-elemen kunci ekologis termasuk
daya dukung populasi, keseimbangan karbon-oksigen, dan keseimbangan supply-
demand sumberdaya air (Pham D. U., Nobukazu N. 2007 dalam Rushayati, 2012).

2.3. Konsepsi Green City

Kota Hijau (green city) secara konseptual oleh Wildsmith (2009), disebut juga
sebagai kota yang berkelanjutan (sustainable city) atau kota berbasis ekologi (eco-city),
yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan
lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Sama halnya dengan
Wildsmith (2009), Mori dan Christodoulou (2011) mengartikan kota hijau sebagai kota
berkelanjutan, dimana dalam melakukan pembangunannya berasaskan keadilan antara
generasi saat ini dengan generasi mendatang.

Sebelumnya Roseland (1997) dalam Rushayati (2012) mendefinisikan kota hijau


(green city) sebagai eco-city, yaitu kota yang berbasis ekologi dengan upaya seperti: (1)
penataan penggunaan lahan yang memperhatikan kebutuhan RTH dan kenyamanan
permukiman dan area dekat transportasi, (2) memperhatikan transportasi yang ramah
lingkungan, (3) merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak, (4) mendukung
penghijauan, (5) sosialisasi daur ulang limbah, (6) menciptakan keadilan sosial dengan
memberikan kesempatan pada wanita dan orang cacat, (7) mendorong pertumbuhan
ekonomi berbasis ekologi, (8) penghematan pemanfaatan sumberdaya alam, dan (9)
meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan melalui kegiatan pendidikan lingkungan.

Sedangkan menurut Lubis, J (2011) dalam Fatimah (2012), ada 8 (delapan)


atribut kota hijau yang harus dipenuhi yaitu: (1) green planning and design; (2) green
openspace;
(3) green community; (4) green building; (5) green waste; (6) green energy; (7) green
water; dan (8) green transportation/infrastructure.

8
Di Indonesia, upaya pembangunan Kota Hijau baru dimulai pada tahun 2012.
Kementerian Pekerjaan Umum, melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang telah
menggulirkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) sebagai upaya peningkatan
kuantitas dan kualitas RTH kawasan perkotaan secara nasional. Program P2KH ini
merupakan insentif guna mendorong peran Pemerintah Daerah dalam mewujudkan aksi
menuju terwujudnya Kota Hijau yang layak huni dan berkelanjutan. Prakarsa ini ditindak
lanjuti dengan Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang tahap pertamanya dimulai tahun
2012-2014. Fokus dari RAKH ini dibatasi pada 3 (tiga) atribut yaitu: (1) (green planning
and design (menyiapkan rencana dan desain yang sensitif terhadap agenda hijau) ; (2)
green open space (perwujudan RTH kota minimal 30% dari luas total wilayah
kota/kabupaten);dan (3) green community (pemberdayaan dan peran serta masyarakat
dalam pengembangan kota hijau).

2.3.1. Permasalahan dalam Mewujudkan Green City

Menurut Rushayati (2012), tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju


pertambahan luas lahan terbangun, menurunkan luas ruang terbuka hijau, timbulnya
pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang
kota, merupakan faktor-faktor dalam permasalahan lingkungan perkotaan yang menjadi
penghambat terwujudnya kota hijau.

Pengembangan kota yang tidak berdasarkan keberlanjutan ekologi perkotaan


mengakibatkan masalah urban heat island(UHI) semakin meningkat. Berbagai aktivitas
di perkotaan menyebabkan terus meningkatnya emisi CO 2 dan peningkatan suhu udara.
Berdasarkan penelitian Wang (2009) tentang analisis permasalahan perencanaan urban
green space system, menemukan bahwa masalah lingkungan di Cina terjadi karena
kesalahan pada level perencanaan yang tidak mementingkan lingkungan sehingga
menimbulkan pemanasan di perkotaan secara signifikan

Salah satu cara untuk mewujudkan kota hijau adalah dengan melakukan
pembangunan berkelanjutan berbasis green growth. World Wide Fund for Nature (WWF)
dan Price Waterhouse Coopers(PWC)(2011), mendefinisikan green growth sebagai
sebuah konsep pembangunan yang dilaksanakan dengan mengupayakan keseimbangan
ekonomi, sosial, budaya serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green
growthtersebut menurut Rushayati, (2012) dilaksanakan berdasar pada 5 (lima) pilar

9
penting yakni: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) perbaikan kondisi sosial; (3) konservasi
keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan; (4) kemampuan adaptasi terhadap
perubahan iklim; dan (5) penurunan emisi gas rumah kaca.
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1.Rancangan Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan menggunakan pendekatan sistem dengan


menggabungkan dua metode pendekatan yaitu hard system methodologyCITYGreen 5.0,
dan soft system methodology Interpretative Structural Modelling (ISM).

Data primer yang akan dipersiapkan untuk penelitian ini, terdiri dari:(1) kerapatan
tajuk RTH; (2)luas jenis penutupan lahan; (3) iklim mikro (suhu dan kelembaban udara)
di beberapa jenis RTH; dan (4) persepsi dan sikap masyarakat terhadap kondisi
lingkungan mereka. Sedangkan data sekunder yang diperlukan meliputi : (1) foto udara;
(2) peta-peta tematik (land use, jaringan jalan; hidrologi, jaringan SUTET, dan kawasan
konservasi Air)
(3) monogram; (4) luas daerah terbangun dan daerah terbuka; (5) RTRW, dan (6) Rencana
Pembanguan Jangka Menengah dan Panjang (RPJMP).

3.2.Analisis Data

Analisis kondisi eksisting ruang terbuka akan dilakukan dengan analisis foto
udara, peta-peta tematik dan data-data statistik. Hasil analisis ini berupa: sebaran,
proporsi, dan penggunaan ruang terbuka hijau.

Analisis trend perkembangan penduduk dan ruang terbangun direncanakan akan


dilakukan dengan analisis saturation model menggunakan model lung logistic dan
analisis citra multitemporal. Analisis tersebut untuk memperoleh gambaran kebutuhan
infrastruktur hijau minimal yang harus ada pada masa yang akan datang.

Kedua analisis tersebut di atas, selanjutnya dipadukan untuk mengantisipasi


kebutuhan infrastruktur hijau perkotaan di masa yang akan datang. Penyusunan rencana
infrastruktur hijau akan dilakukan dengan analisis: foto udara, Location Question,
Skalogram, standar dan kriteria English Nature Greenspaces. Kemudian dicari strategi
perekayasaan infrastruktur hijau yang terbaik. Tahap implementasi model green city
akan dilakukan pada tahun kedua (lihat gambar 3.1).

3.2.1.Analisis Kondisi Eksisting

Analisis kondisi eksisting akan dilakukan dengan menggunakan foto udara, peta-
peta tematik, dan data statistik. Obyek-obyek yang terdapat pada peta-peta tematik dan

12
data statistik dideliniasi pada foto udara menggunakan software pengolahan data:
ArcView, Global Mapper, ErDas Imagine. Hasil analisis kondisi eksisting perkotaan
yag diteliti berupa peta sebaran, distribusi, proporsi, luas dan penggunaan ruang terbuka.

3.2.2.Analisis Trend

Analisis trend direncanakan akan dilakukan dengan menggunakan data statistik


suatu kota beberapa tahun terakhir dengan menggunakan model saturation, yaitu model
dugaan untuk jangka panjang atau biasa dikenal dengan model Lung Logistik (Warpani,
1980 dan Wibisono,(2007). Selanjutnya, akan dilakukan analisis trend dari ruang built up
area. Analisis menggunakan hasil interpretasi Citra SatelitQuickbird untuk beberapa
tahun (multitemporal), dengan maksud untuk menghitung jumlah luasan unbuilt up
areayang terkonversi menjadi built up area akibat pembangunan.Penghitungan
dilakukan dengan menggunakan model pertumbuhan logistik (saturation model) .

3.3.Penyusunan Rancang Bangundan Rekayasa Infrastruktur Hijau

Analisis Location Quotient (LQ) dimaksudkan untuk mengetahui infrastruktur


hijau yang ada pada suatu kota berdasarkan data statistik. Selanjutnya ditentukan hierarki
pelayanan lingkungan dengan melihat ada dan tidaknya infrastruktur lingkungan di
wilayah tertentu dengan menggunakan data statistik kota dalam angka. Sedangkan
analisis skalogram sederhana tanpa pembobotan akan digunakan untuk mengetahui
hierarki wilayah dan menentukan daerah yang menjadi daerah layanan dari infrastruktur
yang ada serta dapat diketahui jumlah dan jenis infrastruktur yang ada.

Hierarki wilayah perkotaan akan ditentukan oleh jumlah dan jenis fasilitas
lingkungan yang ada di wilayah tertentu. Analisis ini dimaksudkan untuk membantu
analisis karakteristik wilayah, sehingga diketahui wilayah mana yang memiliki potensi
berkembangnya suatu jenis fasilitas lingkungan atau wilayah mana yang menjadi pusat
fasilitas lingkungan.Hasil tersebut selanjutnya ditelaah kembali dengan menggunakan
foto udara untuk memperoleh wilayah-wilayah yang layak untuk dijadikan kawasan
konservasi dan terintegrasi dengan sistem infrastruktur hijau yang akan dibuat.
Selanjutnya, dilakukan analisis melalui foto udara dan peta-peta tematik, untuk
menentukan obyek-obyek yang berpotensi sebagai Hubs dan Links. Analisis tersebut
akan menggunakan ArcView, ErMapper, Global Mapper, ENVI, dan lain-lain. Untuk
menganalisis penutupan lahan, sebaran, luasan dan sebagainya yang berkaitan dengan
perhitungan dan pembuatan peta-

13
peta.Penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau berdasarkan standar luasan dan letak
menurut English Nature Greenspaces (Davies et al. 2006 dalam Herwirawan, (2009).

Kriteria yang digunakan dalam penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau


perkotaan adalah (Herwirawan, 2009): konteks, kualitas, dan interaksi. Selain itu syarat
suatu area ditetapkan sebagai hub adalah area yang terikat dalam network infrastruktur
hijau dan memberikan tempat atau persinggahan untuk kehidupan satwa liar dan tempat
berlangsungnya proses-proses ekologi. Hubs dapat dalam bentuk apa saja dengan
berbagai ukuran, dengan klasifikasi sebagai berikut (Williamson, K. 2003 dan
Herwirawan, 2009):
(1) cadangan alami (reserves); (2) bentang alami yang ditata (manage native landscapes),
(3) lahan untuk kegiatan usaha (working lands),; (4) taman-taman kota dan kawasan
lindung (parks and open space area), dan (5) lahan terbuka yang dalam kondisi rusak,
lahan tidur, bekas pertambangan, dan semak (recycled lands) yang dapat diperbaiki.

Penentuan suatu area sebagai Hubs sangat tergantung oleh tujuan yang ingin
diperoleh masyarakat kota (Herwirawan, 2009; dan Subadyo, 2012). Pada penelitian ini
analisis kecukupan elemen infrastruktur hijau (hubs) menggunakan standar luas area
yang diacu dari English Nature Greenspaces melalui teknik analisis Buffering.
Sedangkan syarat Links, adalah koridor alam yangmenghubungkan sistem ekologi secara
terintegrasi dan dapat membuat network infrastruktur hijau berfungsi, yang dibatasi oleh
ukuran, fungsi dan kepemilikan (Williamson, K. 2003; Herwirawan, 2009). Hal lain
yang perlu diperhatikan secara prinsip dalam rekayasan dan rancang bangun
infrastruktur hijau perkotaan adalah adanya keharusan untuk mempertimbangkan
peningkatkan kualitas lingkungan, kualitas hidup warga kota dan kualitas lokasi dengan
memusatkan perhatian pada peran dan fungsi RTH, links dan network ruang terbuka
tersebut.

3.4.Konseptualisasi Rancang Bangun Model

Konseptualisasi rancang bangun model sebagai langkah untuk mewujudkan kota


hijau akan diformulasikan dalam bentuk causal loop diagramdengan mengidentifikasi
semua komponen infrastruktur hijau perkotaan yang sudah dirancang bangun, dengan
terlebih dahulu dicari interelasinya. Sedangkan evaluasi model akan dilakukan dengan :
(1) pengamatan kelogisan model serta membandingkannya dengan dunia nyata atau
model lain yang serupa; dan (2) melakukan pengamatan perilaku model sesuai dengan
perkiraan pada fase konseptualisasi model.
14
Analisis Trend: Popu
Analisis Kondisi Eksisting Kota: Foto Udara, Peta Tematik, Data Statistik

Analisis Saturation Model Analisis C

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian


Peta Sebaran, Distribusi, Luas, Proporsi dan Penggunaan Ruang Terbuka Kebutuh

15

Analisis Ketercukupan Infrastruktur Hijau Perkotaan berdasarkan: Analisis Foto Udara, LQ, Skalogram, Kawa
P
Fie
Formulasi Konseptual Infrastruktur Hijau

4.1. Jadwal Penelitian

TAHUN I : Rancang Bangun Infrastruktur Hijau Perkotaan Untuk Pengembangan


Green City Rekayasa Infrastruktur Hijau Berbasis RTH

No. Bulan
KegiatanPendekatan Sistem Interpretative Structural
Valuas
1 2 Modelling
3 4 5 6 7 8 9 10

1. Persiapan/pengurusan ijin
Konseptualisasi Permodelan Kota Hijau berdasarkan Inf
2. Pemantapan rancangan
penelitian melalui
eksplorasi teori dan Kajian
Pustaka Pengembangan dan Pembangunan Gre
3. Penghimpunan data
sekunder dan penggambaran
obyek
4. Survey , observasi lapang
dan Analisis data
5. Sintesis perencanaan dan
desain model konseptual
Rekayasa Infrastruktur
Hijau Perkotaan
5. Seminar hasil
6. Penyusunan laporan
dan publikasi ilmiah

16
TAHUN II : Rancang Bangun Infrastruktur Hijau Perkotaan Untuk Pengembangan
Green City

No. Kegiatan Bulan


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. Persiapan/pengurusan ijin

2. Pengujian model rekayasa


dan perencanaan
infrastruktur hijau
3. perkotaan
Revisi model rekayasa
dan perencanaan
infrastruktur hijau
perkotaan
4. Desain model Kota hijau
berdasarkan rekayasa
dan perencanaan
infrastruktur hijau
5. Seminar hasil

6. Penyusunan laporan dan


publikasi di jurnal
ilmiah
DUKUNGAN SARANA DAN PRASARANA PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan akan didukung oleh ketersediaan sarana dan


prasarana yang ada pada Pusat Studi Tata Lingkungan dan Bentang Alam (Peta Rupa
Bumi, Peta Tematik, Peta Topografi, Peta Genangan, RTRK Kawasan, RDTRK, RTRW
Kota, Digital Map, dan lain-lain).
DAFTAR PUSTAKA

Zhang, L., Liu, Q., Hall, N.W., Fu, Z., 2007. An environmental accounting framework
applied to green space ecosystem planning for small towns in China as a case
study. Journal Ecological Economics 60, 533542.
Davies, C., MacFarlane, R., McGloin, C., Roe, M. 2004. Green Infrastructure Planning
Guide Version 1.1. North Humbria University, U.K.
Fatimah, IS., 2012. Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Untuk
Pembangunan Kota Hijau. Disertasi SP PSL IPB Bogor.
Herwirawan FX. 2009. Analisis Struktur Ruang dalam Pengembangan Infrastruktur
Hijau di Kota Depok. Tesis. SP PSL IPB Bogor.
Jongman R.H.G. dan Pungetti, G. 2004. Ecological networks and greenways; concept,
design, implementation(Cambridge, Cambridge University Press).
Kyushik, O,et al. 2004. Determining Development Density Using the Urban Carrying
Capacity Assessment System. Department of Urban Planning, Hanyang
University, Seoul National University, Korea Environment Institute. Seoul.
Republik Korea
Larcombe, G. et al. 2003. Regional Infrastructure: New Economic Development
Opportunities For The Hunter,Illawarra And Western Sydney Regions. Australian
Business Foundation Economic Infrastructure Project 140 Arthur St, North
Sydney, NSW 2060
Benedict, M.A. & McMahon, E.T. 2000. Green infrastructure: Smart Conservation for
21th Century. The Conservation Fund. Sprawl Watch Clearinghouse 1400 16th,
St.NW, Washington DC.
Dardak, H., 2007. Pembangunan Infrastruktur Secara Terpadu dan Berkelanjutan
Berbasis Penataan Ruang. Makalah. Departemen Pekerjaan Umum.Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai