PENDAHULUAN
Kota-kota diIndonesia
Ruang terbangun (Built up area) terus bertambah dan lebih berorientasi pada mementingkan aspek ekon
Pembangunan aspek ekono
Pencapaian hasil untuk tujuan kesatu dan kedua direncanakan akan dilakukan
pada tahun pertama, sedangkan capaian hasil untuk tujuan ketiga dan keempat
direncanakan akan dilakukan pada tahun kedua.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1. Konsep Network pada Infrastruktur Hijau (Maryland DNR, 2000)
4
melindungi fungsi dan nilai-nilai ekosistem alam dan memberikan keuntungan bagi
populasi manusia. Infrastruktur hijau menghubungkan bentangan sumberdaya alam yang
sangat bervariasi sebagai cadangan ekosistem yang memiliki karakteristik alami yang
dibuat dalam sistem Hubs dan Links (Benedict & McMahon, 2000; Herwirawan, 2009).
Infrastruktur hijau dan infrastruktur fisik (green/grey infrastructure) sebenarnya sulit
untuk dipisahkan secara tegas. Keduanya memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk
mendukung kehidupan manusia dan saling melengkapi. Kisaran antara green/grey
infrastructure digambarkan oleh Davies, C. et al. (2007) dalam Herwirawan, 2009 dan
Subadyo (2012) sebagai berikut:
Gambar 2.2. Konsep Kisaran green/grey infrastructure (Davies, et al. 2007 dalam Subadyo, 2012)
5
Sedangkan infrastruktur yang bersifat hardware (perangakat keras/bersifat fisik)
pada dasarnya sangat luas dan banyak, namun secara umum terdiri dari 13 (tigabelas)
komponen dengan sifat dan karakternya (Grigg, 1989 & Kodoatie,2003 dalam
Herwirawan, 2009; dan Subadyo, 2012). Dari 13 (tigabelas) komponen tersebut, dapat
lebih diperkecil pengelompokannya kedalam 7 (tujuh) grup infrastruktur yaitu: (1) grup
infrastruktur air; meliputi air baku, air bersih, air kotor, air hujan dan pengendalian
banjir;
(2) grup infrastruktur jalan; meliputi jalanraya, jalan kota, jalan desa, dan jembatan; (3) grup
infrastruktur sarana transportasi; meliputi terminal penumpang, terminal barang, jaringan
rel, dan stasiun kereta api, pelabuhan laut, dan pelabuhan udara; (4) grup infrastruktur
pengolahan limbah; meliputi sistem manajemen limbah padat (persampahan), dan limbah
cair; (5) grup infrastruktur bangunan; meliputi bangunan produksi, bangunan
pengolahan, bangunan pemasaran (pasar), bangunan fasilitas umum, dan bangunan
fasilitas sosial; (6) grup infrastruktur energi; meliputi produksi dan distribusi listrik dan
gas; dan (7) grup infrastruktur telekomunikasi; meliputi telepon umum/seluler, dan
internet (Grigg & Fontane, 2000; Kodoatie, 2003 dalam Herwirawan, 2009; dan
Subadyo, 2012).
Sebagai sistem yang terdiri dari banyak komponen, maka perencanaan dan desain
infrastruktur harus memperhatikan keterkaitan dan interdependensi antar komponen,
beserta dampak-dampaknya. Menurut Grigg,(1988) & Suripin, (2003) dalam
Herwirawan, (2009), perencanaan dan desain infrastruktur merupakan proses dengan
kompleksitas tinggi, multi disiplin, multi sektor, dan multi user. Sehingga perencanaan
dan desain infrastruktur tidak boleh sektoral, namun juga tidak bisa terlalu global.
Hasil penelitian dengan pengukuran suhu udara pada 61 titik di Kota Taipei yang
dilakukan Chang et al. (2007) menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau
0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Fungsi vegetasi
dalam penurunan suhu udara juga dibuktikan oleh Nichol & Wong (2005) dalam
penelitiannya dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong.
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa area perkotaan yang didominasi oleh
gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6C lebih tinggi dibandingkan dengan area
perkotaan bervegetasi (Rushayati, 2012). Dalam penelitian ini juga dibandingkan suhu
udara di area yang mendapat bayangan (naungan) dari gedung-gedung tinggi. Suhu
udara di area yang ternaungi gedung tinggi tersebut tetap lebih tinggi jika dibandingkan
dengan area bervegetasi. Nichol & Wong (2005) menyimpulkan bahwa penurunan suhu
udara lebih ditentukan oleh vegetasi daripada naungan gedung-gedung tinggi.
7
pengurangan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya.
Hal ini membuktikan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai fungsi menurunkan suhu
udara sehingga dapat memperbaiki iklim mikro (ameliorasi iklim).
Pada aspek berikutnya Zhang et al. (2007) menyatakan bahwa pembatasan faktor
ekologi dapat diimplementasikan berdasarkan prinsip keseimbangan ekologis, dengan
tujuan untuk menghitung berapa banyak kebutuhan ruang terbuka hijau agar tercipta
keseimbangan ekologis. Metode ini diimplementasikan untuk perencanaan sistem ruang
terbuka hijau di Hanoi, berdasarkan analisis elemen-elemen kunci ekologis termasuk
daya dukung populasi, keseimbangan karbon-oksigen, dan keseimbangan supply-
demand sumberdaya air (Pham D. U., Nobukazu N. 2007 dalam Rushayati, 2012).
Kota Hijau (green city) secara konseptual oleh Wildsmith (2009), disebut juga
sebagai kota yang berkelanjutan (sustainable city) atau kota berbasis ekologi (eco-city),
yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan
lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Sama halnya dengan
Wildsmith (2009), Mori dan Christodoulou (2011) mengartikan kota hijau sebagai kota
berkelanjutan, dimana dalam melakukan pembangunannya berasaskan keadilan antara
generasi saat ini dengan generasi mendatang.
8
Di Indonesia, upaya pembangunan Kota Hijau baru dimulai pada tahun 2012.
Kementerian Pekerjaan Umum, melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang telah
menggulirkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) sebagai upaya peningkatan
kuantitas dan kualitas RTH kawasan perkotaan secara nasional. Program P2KH ini
merupakan insentif guna mendorong peran Pemerintah Daerah dalam mewujudkan aksi
menuju terwujudnya Kota Hijau yang layak huni dan berkelanjutan. Prakarsa ini ditindak
lanjuti dengan Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang tahap pertamanya dimulai tahun
2012-2014. Fokus dari RAKH ini dibatasi pada 3 (tiga) atribut yaitu: (1) (green planning
and design (menyiapkan rencana dan desain yang sensitif terhadap agenda hijau) ; (2)
green open space (perwujudan RTH kota minimal 30% dari luas total wilayah
kota/kabupaten);dan (3) green community (pemberdayaan dan peran serta masyarakat
dalam pengembangan kota hijau).
Salah satu cara untuk mewujudkan kota hijau adalah dengan melakukan
pembangunan berkelanjutan berbasis green growth. World Wide Fund for Nature (WWF)
dan Price Waterhouse Coopers(PWC)(2011), mendefinisikan green growth sebagai
sebuah konsep pembangunan yang dilaksanakan dengan mengupayakan keseimbangan
ekonomi, sosial, budaya serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green
growthtersebut menurut Rushayati, (2012) dilaksanakan berdasar pada 5 (lima) pilar
9
penting yakni: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) perbaikan kondisi sosial; (3) konservasi
keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan; (4) kemampuan adaptasi terhadap
perubahan iklim; dan (5) penurunan emisi gas rumah kaca.
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1.Rancangan Penelitian
Data primer yang akan dipersiapkan untuk penelitian ini, terdiri dari:(1) kerapatan
tajuk RTH; (2)luas jenis penutupan lahan; (3) iklim mikro (suhu dan kelembaban udara)
di beberapa jenis RTH; dan (4) persepsi dan sikap masyarakat terhadap kondisi
lingkungan mereka. Sedangkan data sekunder yang diperlukan meliputi : (1) foto udara;
(2) peta-peta tematik (land use, jaringan jalan; hidrologi, jaringan SUTET, dan kawasan
konservasi Air)
(3) monogram; (4) luas daerah terbangun dan daerah terbuka; (5) RTRW, dan (6) Rencana
Pembanguan Jangka Menengah dan Panjang (RPJMP).
3.2.Analisis Data
Analisis kondisi eksisting ruang terbuka akan dilakukan dengan analisis foto
udara, peta-peta tematik dan data-data statistik. Hasil analisis ini berupa: sebaran,
proporsi, dan penggunaan ruang terbuka hijau.
Analisis kondisi eksisting akan dilakukan dengan menggunakan foto udara, peta-
peta tematik, dan data statistik. Obyek-obyek yang terdapat pada peta-peta tematik dan
12
data statistik dideliniasi pada foto udara menggunakan software pengolahan data:
ArcView, Global Mapper, ErDas Imagine. Hasil analisis kondisi eksisting perkotaan
yag diteliti berupa peta sebaran, distribusi, proporsi, luas dan penggunaan ruang terbuka.
3.2.2.Analisis Trend
Hierarki wilayah perkotaan akan ditentukan oleh jumlah dan jenis fasilitas
lingkungan yang ada di wilayah tertentu. Analisis ini dimaksudkan untuk membantu
analisis karakteristik wilayah, sehingga diketahui wilayah mana yang memiliki potensi
berkembangnya suatu jenis fasilitas lingkungan atau wilayah mana yang menjadi pusat
fasilitas lingkungan.Hasil tersebut selanjutnya ditelaah kembali dengan menggunakan
foto udara untuk memperoleh wilayah-wilayah yang layak untuk dijadikan kawasan
konservasi dan terintegrasi dengan sistem infrastruktur hijau yang akan dibuat.
Selanjutnya, dilakukan analisis melalui foto udara dan peta-peta tematik, untuk
menentukan obyek-obyek yang berpotensi sebagai Hubs dan Links. Analisis tersebut
akan menggunakan ArcView, ErMapper, Global Mapper, ENVI, dan lain-lain. Untuk
menganalisis penutupan lahan, sebaran, luasan dan sebagainya yang berkaitan dengan
perhitungan dan pembuatan peta-
13
peta.Penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau berdasarkan standar luasan dan letak
menurut English Nature Greenspaces (Davies et al. 2006 dalam Herwirawan, (2009).
Penentuan suatu area sebagai Hubs sangat tergantung oleh tujuan yang ingin
diperoleh masyarakat kota (Herwirawan, 2009; dan Subadyo, 2012). Pada penelitian ini
analisis kecukupan elemen infrastruktur hijau (hubs) menggunakan standar luas area
yang diacu dari English Nature Greenspaces melalui teknik analisis Buffering.
Sedangkan syarat Links, adalah koridor alam yangmenghubungkan sistem ekologi secara
terintegrasi dan dapat membuat network infrastruktur hijau berfungsi, yang dibatasi oleh
ukuran, fungsi dan kepemilikan (Williamson, K. 2003; Herwirawan, 2009). Hal lain
yang perlu diperhatikan secara prinsip dalam rekayasan dan rancang bangun
infrastruktur hijau perkotaan adalah adanya keharusan untuk mempertimbangkan
peningkatkan kualitas lingkungan, kualitas hidup warga kota dan kualitas lokasi dengan
memusatkan perhatian pada peran dan fungsi RTH, links dan network ruang terbuka
tersebut.
15
Analisis Ketercukupan Infrastruktur Hijau Perkotaan berdasarkan: Analisis Foto Udara, LQ, Skalogram, Kawa
P
Fie
Formulasi Konseptual Infrastruktur Hijau
No. Bulan
KegiatanPendekatan Sistem Interpretative Structural
Valuas
1 2 Modelling
3 4 5 6 7 8 9 10
1. Persiapan/pengurusan ijin
Konseptualisasi Permodelan Kota Hijau berdasarkan Inf
2. Pemantapan rancangan
penelitian melalui
eksplorasi teori dan Kajian
Pustaka Pengembangan dan Pembangunan Gre
3. Penghimpunan data
sekunder dan penggambaran
obyek
4. Survey , observasi lapang
dan Analisis data
5. Sintesis perencanaan dan
desain model konseptual
Rekayasa Infrastruktur
Hijau Perkotaan
5. Seminar hasil
6. Penyusunan laporan
dan publikasi ilmiah
16
TAHUN II : Rancang Bangun Infrastruktur Hijau Perkotaan Untuk Pengembangan
Green City
1. Persiapan/pengurusan ijin
Zhang, L., Liu, Q., Hall, N.W., Fu, Z., 2007. An environmental accounting framework
applied to green space ecosystem planning for small towns in China as a case
study. Journal Ecological Economics 60, 533542.
Davies, C., MacFarlane, R., McGloin, C., Roe, M. 2004. Green Infrastructure Planning
Guide Version 1.1. North Humbria University, U.K.
Fatimah, IS., 2012. Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Untuk
Pembangunan Kota Hijau. Disertasi SP PSL IPB Bogor.
Herwirawan FX. 2009. Analisis Struktur Ruang dalam Pengembangan Infrastruktur
Hijau di Kota Depok. Tesis. SP PSL IPB Bogor.
Jongman R.H.G. dan Pungetti, G. 2004. Ecological networks and greenways; concept,
design, implementation(Cambridge, Cambridge University Press).
Kyushik, O,et al. 2004. Determining Development Density Using the Urban Carrying
Capacity Assessment System. Department of Urban Planning, Hanyang
University, Seoul National University, Korea Environment Institute. Seoul.
Republik Korea
Larcombe, G. et al. 2003. Regional Infrastructure: New Economic Development
Opportunities For The Hunter,Illawarra And Western Sydney Regions. Australian
Business Foundation Economic Infrastructure Project 140 Arthur St, North
Sydney, NSW 2060
Benedict, M.A. & McMahon, E.T. 2000. Green infrastructure: Smart Conservation for
21th Century. The Conservation Fund. Sprawl Watch Clearinghouse 1400 16th,
St.NW, Washington DC.
Dardak, H., 2007. Pembangunan Infrastruktur Secara Terpadu dan Berkelanjutan
Berbasis Penataan Ruang. Makalah. Departemen Pekerjaan Umum.Jakarta.