Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PRAKTIK KULIAH LAPANGAN (PKL)

Untuk Memenuhi Laporan PKL Ganjil 2022/2023 Mata Kuliah Perubahan Masyarakat dan
Kebudayaan yang Diampu Oleh Djoko Adi Prasetyo, Drs., M.Si.

PERAN PESAREAN GUNUNG KAWI TERHADAP PERDAGANGAN TELO


GUNUNG KAWI DI DESA WONOSARI, KECAMATAN WONOSARI, KABUPATEN
MALANG

Disusun Oleh
Kelompok 4
Farah Nabilah (072011733047)
Disicha Carolina Polla (072011733048)
Maria Fransisca Denata (072011733049)
Himmatul Husna (072011733050)
Kusendra Putra Adhitama (072011733053)
Amaliya Hanifah (072011733056)
Hayah Nisrina Firdaus (072011733057)

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
KATA PENGANTAR 2
BAB I PENDAHULUAN 3
I.1. Latar Belakang 3
I.2. Rumusan Masalah 4
I.3. Tujuan Penelitian 4
I.3.1. Teoritis 4
I.3.2. Praktis 5
I.4. Manfaat Penelitian 5
I.4.1. Manfaat Teoritis 5
I.4.2. Manfaat Praktis 5
I.4.2.1. Bagi Penulis 5
I.4.2.2. Bagi Warga Desa Wonosari 5
I.5. Metode Penelitian 5
I.5.1. Lokasi Penelitian 5
I.5.2. Teknik Pengumpulan Data 6
I.5.3. Teknik Pemilihan Informan 7
I.5.4. Teknis Analisis Data 8
I.6. Kerangka Pemikiran/Teori 9
BAB II GAMBARAN UMUM DESA WONOSARI 10
II.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 10
II.2. Sistem Mata Pencaharian Hidup 12
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA 14
III.1. Latar Belakang Penjualan Telo Gunung Kawi di Desa Wonosari 14
III.2. Strategi Penjualan Telo Gunung Kawi di Desa Wonosari 14
III.3. Dinamika Perdagangan Telo Gunung Kawi di Desa Wonosari 16
III.4. Keterkaitan Studi “Peran Pesarean Gunung Kawi terhadap Perdagangan Telo
Gunung Kawi Desa Wonosari” dengan Sustainable Development Goals (SDGs) 18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 20
IV.1. Kesimpulan 20
IV.2. Saran 20
IV.2.1. Bagi Masyarakat 20
IV.2.2. Bagi Penelitian Selanjutnya 20
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN 23

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan laporan kegiatan praktik
kuliah lapangan (PKL) yang berjudul “PERAN PESAREAN GUNUNG KAWI TERHADAP

PERDAGANGAN TELO GUNUNG KAWI DI DESA WONOSARI, KECAMATAN


WONOSARI, KABUPATEN MALANG” dengan lancar dan tepat waktu. Laporan PKL ini
disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Perubahan Masyarakat dan
Kebudayaan, program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Airlangga. yang diampu oleh Bapak Djoko Adi Prasetyo, Drs., M.Si. Penyelesaian tugas ini tidak
dapat kami lakukan tanpa bantuan dari pihak-pihak terlibat. Untuk itu, kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada seluruh anggota kelompok yang telah berkontribusi dan teman-teman yang
memberikan dorongan semangat agar laporan PKL ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa laporan PKL ini mungkin masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami sangat terbuka akan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan penugasan yang kami
susun. Kami mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan dalam tulisan ini. Semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.

Surabaya, 13 Desember 2022

Peneliti

2
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kawasan Gunung Kawi khususnya di Kecamatan Wonosari merupakan kawasan


dengan berbagai unsur masyarakat yang dapat kami teliti. karena merupakan lokasi wisata
sehingga banyak unsur unsur masyarakat yang terpengaruh oleh kegiatan wisata di kawasan
Gunung Kawi. Alasan kami memilih objek penelitian telo gunung kawi dikarenakan telo
gunung kawi merupakan komoditas pertanian yang hanya bisa ditemukan di kawasan gunung
kawi. Telo di Wonosari sendiri memiliki perbedaan secara rasa, bentuk, dan warna
dibandingkan Telo yang dijual di kawasan gunung kawi yang lebih kebawah atau yang lebih
mengarah ke Malang.

Masyarakat yang tinggal di kawasan Gunung Kawi khususnya di Kecamatan


Wonosari merupakan masyarakat yang memiliki corak kebudayaan yang khas, hal ini
dikarenakan kebudayaan masyarakat yang masih kental dengan ritus-ritus yang masih
dilakukan oleh masyarakat. Kawasan Wonosari sendiri merupakan kawasan yang menjadi
tempat wisata religi yang mana banyak wisatawan ataupun orang-orang luar daerah Wonosari
yang datang untuk mengikuti ritual-ritual yang ada di kawasan wisata religi Gunung Kawi.

Fenomena wisata ini tentunya menjadi ladang perekonomian bagi masyarakat


setempat. Banyak masyarakat lokal yang kemudian menjadi pedagang yang menawarkan
berbagai barang-barang khas Gunung Kawi. Salah satu komoditas khas Gunung Kawi adalah
Telo Gunung Kawi yang merupakan hasil tani yang khas dari Gunung Kawi. Telo Gunung
Kawi telah menjadi komoditas pertanian yang dipilih masyarakat lokal sejak dulu karena Telo
sudah cukup dikenal sebagai Telo yang hanya ada di Kawasan Gunung Kawi oleh masyarakat
luar. Telo gunung kawi sendiri hanya dijual secara mentah bukan berbentuk olahan. Telo
sendiri tidak hanya dijual di seputaran kawasan wisata namun menyebar di kecamatan
Wonosari sehingga terdapat perbedaan konsumen dan strategi pemasaran. Telo gunung kawi
sendiri awalnya memiliki empat variasi, yaitu telo kuning, telo selat, telo putih, dan telo
ungu. Variasi ini mulai berkurang dan hanya tersisa telo ungu dan telo putih yang
diperjualbelikan. Wisata dan perdagangan memang hal yang saling berhubungan karena

3
wisata dapat menjadi kesempatan bagi warga sekitar untuk menjajakan semua hal yang
sekiranya menjadi ciri khas masyarakat sekitar.

Desa Wonosari merupakan salah satu penghasil telo atau ubi jalar dengan produksi
dalam total luas perkebunan seluas 210 Ha (Binapemdes Kemendagri, 2021). Telo Gunung
Kawi telah lama menjadi komoditas dan bahan baku dari berbagai olahan dan sajian makanan
di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Berbagai olahan ini meliputi gethuk, ubi rebus,
ubi goreng, gathot dan lainnya (Andarwati, 2019). Berbagai olahan ini tentu saja menjadikan
Telo Gunung Kawi menjadi salah satu komoditas dan daya tarik bagi konsumen dan
pengunjung Pesarean Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten
Malang.

Lahan di sekitar gunung kawi memiliki karakteristik berpasir dan subur, sehingga ubi
jalar yang ditanam memiliki rasa manis. Karakteristik lahan sekitar Gunung Kawi juga
didukung oleh lahan-lahan pertanian dan pola tanam yang mewarisi nenek moyang. Bahkan
Ubi jalar atau kerap disebut Telo Gunung Kawi ini merupakan produk unggulan yang
dipertahankan. Rasanya yang manis, menjadi ciri khas yang membedakan telo Kawi dengan
ubi jalar lainnya (Rahmaniah. 2015). Telo Gunung Kawi secara rinci akan dijabarkan pada
pembahasan di bab selanjutnya.

I.2. Rumusan Masalah

1. Apa latar belakang penjualan produk telo gunung Kawi di Desa Wonosari?
2. Bagaimana strategi penjualan telo gunung kawi di Desa Wonosari?
3. Bagaimana dinamika perdagangan telo gunung Kawi di Desa Wonosari?

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam PKL ini adalah
sebagai berikut :

I.3.1. Teoritis

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Pesarean


Gunung Kawi mempengaruhi perdagangan telo gunung kawi di Desa Wonosari pada masa
lampau dan saat ini.

4
I.3.2. Praktis

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika perdagangan telo
di Desa Wonosari sebagai bagian dari mata pencaharian hidup masyarakat.

I.4. Manfaat Penelitian

I.4.1. Manfaat Teoritis

1. Memberikan sumbangan pemikiran dari hasil analisis dinamika perdagangan produk


telo di Desa Wonosari.
2. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan produk telo
Gunung Kawi.

I.4.2. Manfaat Praktis

I.4.2.1. Bagi Penulis

1. Menambah wawasan dan pengalaman langsung tentang cara meningkatkan


kemampuan menganalisis hasil melalui metode wawancara mendalam dan observasi.
2. Menambah wawasan tentang produk unggulan yang dijadikan mata pencaharian hidup
warga Desa Wonosari.

I.4.2.2. Bagi Warga Desa Wonosari

1. Memberikan saran dan solusi untuk permasalahan strategi pemasaran telo gunung
kawi terhadap perubahan budaya di Desa Wonosari.

I.5. Metode Penelitian

I.5.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan objek penelitian dimana kegiatan penelitian dilakukan.


Penentuan lokasi penelitian bertujuan untuk mempermudah atau memperjelas lokasi yang
menjadi sasaran dalam penelitian. Alasan dipilihnya lokasi penelitian di Desa Wonosari,
Kabupaten Malang, Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena di Desa Wonosari memiliki
komoditas yang sudah menjadi ciri khas daerah ini, yaitu telo ungu. Desa Wonosari juga
merupakan desa wisata karena memiliki memiliki salah satu objek wisata ritual dan ziarah,
yaitu di Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi.

5
Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi menawarkan beberapa destinasi wisata, seperti
Masjid Agung R.M Iman Soedjono, Klenteng Dewi Kwan Im, Tie kong, Ciamsi, serta
makam Eyang Jugo dan Raden Mas Iman Soedjono. Dari destinasi-destinasi tersebut
membuat Pesarean Gunung Kawi banyak didatangi wisatawan dari berbagai daerah. Oleh
karena itu, peneliti memilih Desa Wonosari, khususnya Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi
sebagai lokasi untuk meneliti pengaruh Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi terhadap
perdagangan telo.

I.5.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik dan alat pengumpulan data yang tepat dalam penelitian akan memungkinkan
dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel sehingga memungkinkan
dirumuskan kesimpulan secara umum yang objektif. Dalam penelitian ini menggunakan
beberapa cara dalam mengumpulkan data, diantaranya sebagai berikut:
1. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian
dengan melakukan percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka (Hardani
et al., 2020: 137). Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan para pedagang telo
di Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi. Wawancara yang dilakukan berpedoman pada
pedoman wawancara yang telah dibuat dan menyesuaikan juga terhadap respon dari
informan.
2. Pengamatan (Observasi)
Observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan
data dengan melakukan pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan yang sedang
berlangsung (Hardani et al., 2020: 123-124). Dalam penelitian ini, pengamatan dilakukan
terhadap kegiatan perdagangan telo ungu di Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu observasi langsung karena peneliti
terlibat langsung dalam kegiatan perdagangan telo ungu, pengamat ikut serta sebagai
pembeli dalam kegiatan perdagangan telo di Pesarean Gunung Kawi. Selain itu, peneliti
juga terlibat sebagai pengunjung tempat wisata Pesarean Gunung Kawi dan ikut mencoba
beberapa destinasi wisata, salah satunya Ciamsi. Peneliti juga melakukan observasi terus
terang yang dimana peneliti mengungkapkan terus terang kepada informan atau
masyarakat bahwa peneliti sedang melakukan observasi sehingga seluruh proses
penelitian diketahui.

6
3. Studi Literatur
Studi literatur atau studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara menelusuri kepustakaan berupa buku, makalah, journal online.
Teknik literatur ini digunakan untuk mengumpulkan data primer dalam menguji dan
mendukung hasil penelitian yang diperoleh terkait peran Desa Wisata Pesarean Gunung
Kawi terhadap Penjualan Telo di Wonosari, Jawa Timur.

I.5.3. Teknik Pemilihan Informan

Teknik pemilihan informan pada penelitian ini menggunakan Oleh karena itu,
purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu, seperti orang yang dianggap berpengalaman/tahu/ahli terkait masalah
yang diteliti. Dalam penelitian ini, informan yang dipilih merupakan orang yang peneliti
anggap paling mengetahui informasi terkait permasalahan yang sedang diteliti, yaitu para
pedagang telo yang berdagang di Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi, Wonosari, Jawa
Timur.
Pemilihan informan dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan kegiatan
wawancara yang dilakukan terhadap 5 (lima) informan, informan penelitian dapat dilihat
pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.1
Informan Penelitian

No. Nama Usia Keterangan

1. Bu Juma’yah 57 Tahun Pedagang telo di dekat Wisata Pesarean


Gunung Kawi

2. Pak Toto 45 Tahun Penjual pakan ternak dan telo di dekat Pasar
Gunung Kawi, Wonosari

3. Bu Tumini 67 Tahun Penjual telo di area parkir Wisata Pesarean


Gunung Kawi

4. Bu Damiyati 62 Tahun Penjual telo di area parkir Wisata Pesarean


Gunung Kawi

7
5. Bu Susminah 62 Tahun Penjual telo di dekat Pasar Gunung Kawi,
Wonosari

Sumber: Data Peneliti, 2022

Adapun alasan peneliti memilih informan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bu Juma’yah merupakan pedagang telo yang berjualan di depan tempat tinggalnya
dekat dengan Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi. Ia sudah berjualan selama 3 tahun.
Selain itu, rumah nya terletak di pinggir jalan utama menuju Pesarean sehingga
banyak dilalui para pengunjung wisata.
2. Pak Toto merupakan pedagang telo yang dan pakan ternak di dekat Pasar Gunung
Kawi. Ia sudah berjualan selama 10 (sepuluh) tahun.
3. Bu Tumini merupakan pedagang telo yang berjualan di area parkir Desa Wisata
Pesarean Gunung Kawi. Ia sudah berjualan telo di daerah Pesarean selama 10
(sepuluh) tahun.
4. Bu Damiyati merupakan pedagang telo yang berjualan di area parkir Desa Wisata
Pesarean Gunung Kawi.
5. Bu Susminah merupakan pedagang telo yang berjualan di toko yang terletak di
pinggir jalan dekat pasar Gunung Kawi sehingga banyak dilalui oleh pengunjung
wisata.

I.5.4. Teknis Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis data deskriptif.


Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui peran Desa Wisata Pesarean
Gunung Kawi terhadap perdagangan telo di Gunung Kawi dan mengetahui dinamika
perdagangan telo di Desa Wonosari sebagai bagian dari mata pencaharian hidup masyarakat.
Penelitian kualitatif deskriptif berarti data yang didapatkan dan dikumpulkan akan
diwujudkan dalam bentuk deskripsi atau gambaran tentang suasana atau kejadian objek
secara menyeluruh, apa adanya, dan berupa kata-kata lisan atau tertulis dari orang yang
diamati (Abdussamad, 2021: 84-85). Dapat disimpulkan, penelitian kualitatif deskriptif
adanya prosedur penelitian yang menghasilkan data dalam bentuk kata-kata tertulis yang
mendeskripsikan suatu hal. Oleh karena itu, data-data dalam penelitian ini yang diperoleh
dari hasil wawancara, pengamatan di lapangan akan diwujudkan secara langsung dalam
bentuk deskripsi tertulis.

8
I.6. Kerangka Pemikiran/Teori

Teori yang digunakan untuk mengkaji dan membahas secara mendalam tentang topik
penelitian yang berjudul “Peran Pesarean Gunung Kawi Terhadap Perdagangan Telo Gunung
Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang” yaitu teori perubahan
sosial Gillin dan Gillin. Menurut Gillin dan Gillin, Perubahan sosial disebabkan karena
adanya variasi dalam tata cara hidup yang sudah diterima masyarakat. Penyebab perubahan
sosial ini bisa meliputi kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk,
ideologi, dan penemuan baru pada masyarakat. Perubahan sosial dapat terjadi baik karena
satu, dua atau seluruh sebab yang disebutkan. Dari sebab-sebab tersebut terdapat perubahan
cara hidup masyarakat seperti mata pencaharian, kebiasaan, dan sistem pengetahuan
(Soekanto dalam Marius, 2006).
Gillin dan Gillin menyebutkan bahwa kondisi geografis mampu menyebabkan
perubahan sosial. Artinya, kondisi geografis dalam suatu lingkungan masyarakat dapat
menjadi alasan cara hidup maupun pemahaman yang diterima sebagai bagian dari masyarakat
tersebut. Begitu pula dengan kebudayaan material yang menjadi bentuk nyata sebuah
kebudayaan dapat menyebabkan perubahan sosial. Kebudayaan material ini mampu dengan
mudah diterima masyarakat karena memiliki wujud yang konkret sekaligus menjadi kekhasan
dalam suatu lingkungan masyarakat.
Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari merupakan wilayah dengan tipe topografi
dataran tinggi yang merupakan bagian dari Gunung Kawi. Kandungan mineral yang ada
dalam tanah di area Gunung Kawi menjadikan telo Gunung Kawi memiliki cita rasa yang
lebih manis dari daerah lain. Oleh karena itu cita rasa manis dari telo Gunung Kawi
menjadikannya komoditas yang diminati baik warga maupun pengunjung pesarean Gunung
Kawi. Pesarean Gunung Kawi sebagai objek wisata religi berperan sebagai kebudayaan
material yang berperan penting dalam aktivitas perdagangan telo Gunung Kawi.

9
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA WONOSARI

II.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Gambar 2.1 Desa Pesarean Gunung Kawi


Sumber: jadesta.kemenparekraf.go.id

Lokasi penelitian dilakukan di Gunung Kawi, Desa Wonosari. Gunung Kawi secara
administratif terletak di kecamatan Wonosari, kabupaten Malang. Sebagai desa wisata yang
ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Malang, Desa Wonosari terus berupaya
mengembangkan desa wisata Gunung Kawi

(a) (b)
Gambar 2.2 Destinasi Desa Wisata Gunung Kawi
(a) Ciamsi, (b) Padepokan Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono
Sumber: Data Peneliti, 2022

Desa Wisata yang menjadi kunjungan banyak wisatawan, yaitu Desa Wisata Pesarean.
Disana juga dimakamkan dua ulama besar yaitu Eyang Kyai Zakaria (Eyang Jugo) dan Raden

10
Mas Imam Soedjono sehingga banyak wisatawan yang datang untuk berziarah. Selain
destinasi wisata ritual dan ziarah ke makam Eyang Jugo dan Raden Mas Iman Soedjono,
tedapat pula destinasi wisata Masjid, Klenteng Dewi Kwan Im, Tie kong, dan Ciamsi.

(a) (b)
Gambar 2.3 Area Parkir Desa Wisata Pesarean Gunung Kawi
(a) Situasi Area Parkir di Malam Hari, (b) Pedagang Telo di Area Parkir
Sumber: Data Peneliti, 2022

Situasi area parkir di Desa Wisata Pesarean dapat dilihat pada Gambar 2.2 (a). Situasi
tersebut menggambarkan situasi malam hari di Desa Wisata Pesarean saat hari Junat Legi
sehingga ramai oleh pengunjung. Terdapat banyak toko/warung yang menjual makanan,
minuman, olahan tradisional dari telo, dan telo. Salah satu penjual telo di area parkir terdapat
pada Gambar 2.2 (b). Pengunjung banyak yang menikmati kuliner khas Gunung Kawi seperti
umbi-umbian, kacang, dan kopi. Selain itu, di dalam area wisata juga terdapat banyak penjual
kembang yang biasanya digunakan untuk berziarah. Kebetulan, peneliti datang di saat Jumat
Legi, sehingga kondisi lokasi penelitian (Pesarean) banyak didatangi pengunjung dari
berbagai etnis. Pada saat melakukan penelitian, di lokasi penelitian juga sedang mengadakan
pagelaran seni wayang Jawa.
Dalam penelitian ini, peneliti juga melakukan penelitian di Pasar Gunung Kawi yang
lokasinya cukup jauh dari lokasi parkiran utama Pesarean. Dengan luas lokasi yang tidak
terlalu luas, pasar Gunung Kawi didominasi dengan para penjual sayur-sayuran. Posisi pasar
tidak terletak persis di pinggir jalan, tapi sedikit ke dalam dan berada di wilayah tertutup.
Sedangkan, di pinggir jalan dekat pasar banyak terdapat toko-toko, bengkel, dan warung.
Selama melakukan penelitian di Gunung Kawi, peneliti melihat bahwa jalan di sekitar
Desa Wisata Pesarean, Gunung Kawi, Wonosari sudah aspal sehingga memudahkan akses ke
lokasi penelitian.

11
II.2. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Sistem mata pencaharian hidup adalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang
digambarkan oleh Koentjaraningrat. Sistem mata pencaharian merupakan unsur budaya yang
sangat penting dalam memenuhi hajat hidup manusia karena dengan memiliki mata
pencaharian, manusia dapat mencapai taraf hidup yang layak untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya. Kajian etnografi tentang sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana mata
pencaharian atau sistem ekonomi suatu kelompok masyarakat dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari (Sumarto, 2019, pp. 150).
Sebagai satu unit urusan pemerintahan, Desa Wonosari memiliki beberapa lembaga
untuk menunjang kehidupan perekonomiannya. Lembaga ini terdiri dari lembaga umum yang
dikelola langsung oleh pemerintahan desa dan lembaga swasta berupa unit-unit usaha milik
masyarakat setempat. Lembaga ekonomi dan keuangan desa ditujukan untuk memudahkan
masyarakat dalam mengelola keuangan dan urusan finansial. Di Desa Wonosari terdapat dua
lembaga ekonomi pemerintah, yaitu Koperasi Simpan Pinjam dan Bank Pemerintah.
Sedangkan lembaga ekonomi yang dikelola masyarakat secara mandiri kebanyakan berfungsi
untuk mensejahterakan perekonomian karena berkaitan dengan mata pencaharian sehari-hari
mereka. Adapun lembaga ekonomi yang dikelola masyarakat setempat yakni: industri kecil
dan menengah; usaha jasa pengangkutan; usaha perdagangan; usaha jasa hiburan; usaha jasa
gas, listrik, BBM, dan air; usaha jasa keterampilan; usaha jasa hukum dan konsultasi; dan
usaha jasa penginapan.
Menurut data terbaru, yakni pada Januari tahun 2022 lalu Desa Wonosari, Kecamatan
Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur memiliki penduduk sebanyak 3.372
laki-laki dan 3.389 perempuan, dengan total kepala keluarga yang terdata sebanyak 1.912
KK. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat Desa Wonosari bekerja dalam berbagai
sektor. Namun pekerjaan yang mendominasi pada masyarakat ada pada sektor pertanian
dengan jumlah petani 900 orang, jumlah buruh tani 629 orang, dan pemilik usaha tani
sebanyak 25 orang. Kemudian data diikuti oleh sektor perkebunan dengan jumlah buruh
perkebunan sebanyak 600 orang, dilanjutkan dengan sektor peternakan dengan jumlah buruh
usaha ternak sebanyak 160 orang. Sisanya adalah sektor-sektor lain seperti pengumpul hasil
hutan, sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga, sektor industri menengah hingga
besar, sektor perdagangan, dan sektor jasa.
Pendapatan perkapita penduduk Desa Wonosari berdasarkan sektor usaha memiliki
angka yang berbeda-beda. Sektor usaha dengan pendapatan perkapita tertinggi dipegang oleh

12
sektor peternakan yaitu Rp24.000.000,00 untuk setiap rumah tangga. Kemudian, disusul oleh
sektor industri kecil, menengah dan besar dengan angka pendapatan perkapita
Rp18.000.000,00. Di urutan selanjutnya terdapat sektor pertanian yang menyumbang angka
pendapatan perkapita Rp12.000.000,00. Terdapat beberapa sektor lain yang turut
menyumbang pendapatan perkapita penduduk Desa Wonosari seperti sektor kehutanan
(Rp6.000.000,00) dan sektor kerajinan (Rp2.500.000,00).
Desa Wonosari kaya akan sumber daya alam dengan kesuburan tanah yang baik
sehingga menyebabkan masyarakatnya banyak bermata pencaharian bertani dan berkebun.
Berdasarkan data monografi Desa Wonosari, terdapat 985 keluarga memiliki tanah pertanian
dan 935 keluarga memiliki tanah perkebunan. Hasil pertanian dan perkebunan ini dipasarkan
ke berbagai pihak diantaranya dijual langsung ke konsumen, dijual ke pasar, dijual melalui
KUD, dijual melalui tengkulak, dijual melalui pengecer, dan dijual ke lumbung desa.
Di samping potensi sumber daya alam yang melimpah, keberadaan tempat wisata
Pesarean Gunung Kawi juga menambah potensi pendapatan masyarakat sehari-hari. Banyak
yang memasarkan olahan mentah hasil dari pertanian dan perkebunan, ada pula yang
mendagangkan berbagai olahan makanan, hingga pernak-pernik kerajinan sebagai buah
tangan para wisatawan yang berkunjung. Selain itu, keberadaan tempat wisata juga
dimanfaatkan masyarakat untuk membuka usaha seperti jasa penginapan dan jasa
transportasi/angkutan umum, hal ini dapat dilihat dari banyaknya persewaan kamar, hotel,
homestay, angkot/bemo, bis, dan ojek yang kami temukan.
Berdasarkan data (BPS Kabupaten Malang, 2021), di Desa Wonosari pada tahun 2020
terdapat 12 rumah makan/restoran, 98 hotel/penginapan, 1 objek wisata berupa pemandian, 1
makam, dan 1 wisata alam lainnya. Dalam hal sarana dan prasarana untuk menunjang
perekonomian masyarakat, Desa Wonosari memiliki 1 kelompok pertokoan yang berlokasi di
tempat wisata Pesarean Gunung Kawi, 1 pasar dengan bangunan permanen, 395 toko/warung
kelontong, 2 supermarket/swalayan yang memiliki luas <400 m2, dan warung/kedai makanan.

13
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

III.1. Latar Belakang Penjualan Telo Gunung Kawi di Desa Wonosari

Gunung Kawi merupakan daerah dengan sumber daya alam perkebunan yang
melimpah. Salah satu hasil perkebunan daerah ini adalah ketela yang sangat terkenal akan
rasanya yang manis. Keberadaan ketela ungu dan ketela kuning yang khas ini coba
dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka, yakni dengan
menjadikan telo mentah sebagai salah satu oleh-oleh dari wisata Pesarean Gunung Kawi.

Kebanyakan pedagang di sekitar wisata pesarean yang kami wawancarai menyatakan


alasan mereka berjualan telo Gunung Kawi karena mencoba mencari peruntungan dari ketela
(telo) yang sudah menjadi ciri khas dari Gunung Kawi. Banyaknya keberadaan tengkulak telo
juga menjadi salah satu alasan mereka mencari sumber pendapatan dengan berjualan telo
gunung kawi.

“Karena emang penghasilannya gunung kawi telo sama jagung” (Bu Damiyati, 62
tahun).
“Kan dulu yang bercocok tanam ubi tuh banyak disini. jadi ciri khas gunung kawi tuh
ini. jadi saya berjualan juga telo ini” (Pak Toto, 45 tahun).
Namun, ada pula pedagang yang mengaku berjualan telo karena alasan lain seperti
dagangan olahan telonya tidak laku akibat Covid-19 dan tuntutan kondisi akibat suami yang
telah meninggal.

“Karena saya kan dulu jualan telo mateng di pasar sana. Terus gaada tamu, jadi
pindah ke sini, jualan telo mentah.” (Bu Juma’yah, 57 tahun)
“Ya karena bapake sudah meninggal. Jadi, ibu jualan telo. Dulu waktu bapak masih
ada, yang kerja bapak” (Bu Tumini, 67 tahun)

III.2. Strategi Penjualan Telo Gunung Kawi di Desa Wonosari

Telo khas Gunung Kawi telah menjadi salah satu perdagangan yang menjanjikan bagi
para pedagang. Hal tersebut disebabkan karena pesarean Gunung Kawi menjadi salah satu
destinasi wisata yang menarik bagi para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun
mancanegara. Keunikan dari telo khas Gunung Kawi, yaitu rasanya yang lebih manis
dibandingkan telo di tempat lain.

14
Dalam melakukan perdagangan, dibutuhkan strategi-strategi agar barang yang
diperdagangkan dapat diketahui oleh masyarakat luas. Kotler (dalam Kumala, Hudha and Aji,
2019) menjelaskan bahwa pemasaran merupakan proses sosial dan manajerial dimana
individu dan kelompok mendapatkan yang mereka butuhkan dan inginkan dengan
menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan lima informan, rata-rata


informan memasarkan produk telo Gunung Kawi di toko-toko milik pribadi. Alasan informan
hanya menjual produk telonya di toko offline yaitu karena rata-rata usia informan yang
kesulitan untuk mempelajari teknologi. Informan dengan usia rata-rata di atas 50 tahun sulit
memanfaatkan media sosial, seperti Instagram atau Facebook untuk memasarkan produknya
karena kurangnya pengetahuan tentang teknologi masa kini.

“Kan saya punya hp. Tapi hp saya bukan yang besar (bukan smartphone). Hp saya
yang kecil itu, bisa buat nelpon sama sms. Nomor saya ada di tulisan situ (banner
yang digantungkan di depan telo dagangan informan). Jadi yang mau beli tinggal
hubungi di situ, “Bu Jum beli telo”. Ada kontaknya di situ.” (Bu Juma’yah, 57
Tahun).

Pemasaran yang dilakukan oleh Bu Juma’yah dilakukan melalui telepon genggam


miliknya. Telo yang dipesan oleh konsumen melalui telfon atau SMS kemudian dikirim
dengan ojek dan biaya pengantaran ditanggung oleh konsumen. Dari strategi penjualan
tersebut, Bu Juma’yah telah menjangkau konsumen tidak hanya konsumen yang tinggal di
sekitar Gunung Kawi, tetapi hingga Kepanjen, Pengepul, Tumarjo, dan Gobang.

Alasan lain para penjual telo Gunung Kawi tidak menggunakan media sosial sebagai
strategi penjualannya karena apabila dipasarkan melalui media sosial akan menambah biaya
transportasi, sehingga untung yang didapat oleh penjual tidak banyak, bahkan bisa menjadi
rugi apabila hanya membeli 2-3 ikat telo. Para pedagang telo juga beranggapan bahwa
masyarakat desa tidak terbiasa menggunakan media sosial dalam melakukan transaksi barang
maupun jasa.

“Orang desa gak beli pakai gitu-gituan. Secara langsung aja ya khususnya
wisatawan, ya orang luar semua. Kalo cuma beli 2-3 iket mau kirim apa ndak rugi.
Kalo pesennya 50 atau 100 iket itu baru bisa ambil untung” (Bu Damiyati, 62
Tahun).

15
Salah satu informan kami yaitu Pak Toto juga menjual telo Gunung Kawi dengan cara
menjualnya di depan tokonya. meskipun demikian, sedikit berbeda dengan pedagang telo
lain, Pak toto menjadikan penjualan telo Gunung Kawi sebagai tambahan penghasilan.
Penjualan utama Pak Toto berasal dari toko kebutuhan dan peralatan pertanian. Pak Toto
menjual telo ungu sebagai tambahan penghasilan karena lokasi tokonya yang terletak di tepi
jalan raya yang ramai dan sering dilewati oleh wisatawan maupun orang yang hanya sekedar
lewat. Pak Toto tidak melakukan promosi dengan menawarkan telonya ke pengunjung.

“Nggak. Ya kita jual di sini saja (depan teras toko) semua orang sudah tahu. Nggak
perlu dipromosikan, sudah tau lah orang-orang kalau telonya dijual” (Pak Toto, 45
Tahun).

Pak Toto terkadang juga membagikan kontak teleponnya kepada konsumen terutama
pada langganan Pak Toto sehingga ketika konsumen akan membeli Pak Toto dapat
menyiapkan telonya. Pak Toto juga pernah mencoba menggunakan strategi lain yaitu dengan
menjual telo dengan kemitraan dengan pabrik namun terhambat dalam bidang ekspedisi. Pak
Toto juga pernah bekerja sama dengan supermarket namun tidak dilanjutkan karena menurut
pak toto terlalu rumit dalam administrasinya.

“Tapi dulu pernah sih kirim ke Pulau Bali tapi nggak bisa masuk ke sana. Akhirnya
merugi. Jadi sekarang jualnya di sini aja. Dulu juga pernah kirim ke supermarket
tapi agak ribet” (Pak Toto, 45 Tahun).

III.3. Dinamika Perdagangan Telo Gunung Kawi di Desa Wonosari

Dinamika dalam perdagangan dapat terjadi baik dari segi harga, lokasi, dan jumlah
pembeli. Berdasarkan harga beli, biasanya akan mengalami perubahan karena didasarkan
pada musim panen. Menurut informan yang kami dapatkan, petani akan menjual telo lebih
murah ketika musim panen.

“Harganya beda kalau musim panen. Dari petaninya ngasih lebih murah. Kalau gak
musim panen ya Rp13.000 sampai Rp12.000. kalau musim panen itu lebih murah, jadi
Rp11.000, Rp11.500. Untung 2 ribu cumaan. Saya jualnya tetep Rp14.000 sampai
Rp15.000. untung 2 ribu satu iket” (Bu Juma’yah, 57 Tahun).

Sementara informan kami yang lain juga mengungkapkan sama dengan Bu Juma’yah,
bahwa harga beli ketika musim panen yaitu Rp12.000. Sementara kalau tidak musim panen
biasanya dijual Rp15.000. Hal ini dikarenakan musim panen membuat petani memperoleh
lebih banyak telo sehingga bisa menjualnya lebih murah. Selain itu, penurunan harga juga

16
menjadi kesempatan supaya penjualan semakin melesat karena lebih banyak yang membeli
telo tersebut. Selain itu, terdapat informan kami yang bernama Pak Toto. Ia sudah berjualan
telo di dekat pasar selama 10 tahun. Salah satu dinamika yang ia rasakan, yaitu perubahan
harga dari tahun ke tahun. Saat berjualan pertama kali, harga telo yang ia jual hanya seharga
Rp 2.500 dan terus naik hingga Rp 12.000 - Rp 15.000.
Untuk dinamika yang terjadi pada lokasi penjualan telo terjadi pada informan kami
bernama Bu Tumini. Beliau sudah berjualan telo sekitar 10 tahun. Mulanya beliau menjual
telo di pinggir jalan ke dalam tempat ziarah. Namun 3 tahun terakhir beliau pindah di depan
parkiran Pesarean Gunung Kawi. Kedua tempat tersebut strategis dan menguntungkan bagi
Bu Tumini. Terutama di Parkiran Pesarean Gunung Kawi ini yang sudah tentu dilewati orang
dan beliau tidak perlu membayar sewa tempat berjualan. Sementara Bu Juma’yah tidak
mengalami perubahan dalam lokasi penjualan. Beliau memilih di depan rumah karena lebih
mudah dijangkau.
Perubahan yang dialami Bu Juma’yah sendiri yaitu, sebelumnya beliau tidak
berjualan telo mentah di depan rumah. Namun beliau menjual telo yang sudah matang di
pasar. Ketika beliau menyadari tidak ada tamu dan ternyata orang lebih suka membeli telo
mentah, maka Bu Juma’yah memilih untuk menjual telo mentah di depan rumahnya. alasan
menjual di depan rumah adalah sebagai berikut:

“Enak di sini, mbak. Depan rumah. Deket, ga usah jalan ke pasar. Petaninya juga
bisa kirim ke sini. Mau ke rumah ya tinggal ke rumah” (Bu Juma’yah, 57 Tahun)

Selanjutnya terkait dinamika pembeli, setiap informan mengaku pembeli tidak dapat
dipastikan jumlahnya. Pembeli biasanya berdasarkan banyak tidaknya pengunjung pesarean.
Misalnya Jumat Legi, pembeli selalu rame karena Pesarean Gunung Kawi banyak dikunjungi
pada waktu tersebut. Sementara pada saat pandemi lalu adalah masa-masa sepi pembeli bagi
para pedagang telo ini, karena hampir tidak ada pengunjung Pesarean Gunung Kawi. Salah
satu informan yang mengatakan bahwa covid-19 mempengaruhi jumlah pembeli, yaitu Pak
Toto.
“Perubahan pasti ada. Ya terutama yang kemarin itu waktu ada corona ya turun
drastis. Jadi, ya sama aja lah. Tapi kalau saya yakan ga cuma ini aja. Saya juga ada
toko pertanian”

Dalam kutipan diatas, Pak Toto menyampaikan bahwa masa Covid-19 sangat
berdapak pada jumlah pengunjung yang datang ke Gunung Kawi. Namun, untungnya beliau
memiliki usaha lain, yaitu toko pertanian sehingga pendapatan yang didapat tidak hanya dari

17
penjualan telo saja. Sama seperti Pak Toto, Bu Susminah juga merasakan dinamika pembeli
saat covid-19. Ia menjelaskan bahwa daya beli saat covid-19 menurun dan ada persaingan
dagang juga antar pedagang. Selain Bu Susminah, ada juga Bu Tumini yang menjelaskan
dinamika pembeli yang ia rasakan dari pengaruh kegiatan di Pesarean Gunung Kawi.

“Biasanya kalau hari Jumat Legi, ya ada 200-300ribu dari 1 malem” (Bu Tumini, 67
Tahun)

Dalam kutipan tersebut, Bu Tuminin menyampaikan pendapatan yang cukup besar


ketika Jumat Legi. Sedangkan pendapatan yang diperoleh biasanya kurang dari nominal
tersebut. Sejauh ini, penjualan yang dilakukan beliau pun hanya melalui toko saja. Berbeda
dengan Bu Juma’yah yang memanfaat handphone sebagai media untuk komunikasi dengan
pembeli. Beliau bisa menjangkau pembeli yang jaraknya lebih jauh dan pembeli tersebut
menggunakan jasa ojek untuk mengambil telo yang dijual Bu Jum.

III.4. Keterkaitan Studi “Peran Pesarean Gunung Kawi terhadap Perdagangan Telo
Gunung Kawi Desa Wonosari” dengan Sustainable Development Goals (SDGs)

Sustainable development goals (SDGs) merupakan rencana aksi global yang dirintis
oleh negara-negara PBB termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi
kesenjangan, dan melindungi lingkungan. Agenda SDGs berisi 17 Tujuan/ Goals yang
tersebar dalam empat pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu pilar Pembangunan Sosial,
Pilar Pembangunan Ekonomi, Pilar Pembangunan Lingkungan, serta Pilar Hukum dan Tata
Kelola. Ke-17 tujuan SDGs tersebut memiliki 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada
tahun 2030.

Penelitian ini membahas tentang Peran Pesarean Gunung Kawi terhadap Perdagangan
Telo Gunung Kawi Desa Wonosari Kabupaten Malang yang berkaitan erat dengan unsur
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut juga menyangkut salah satu dari 17
tujuan SDGS yakni pada Tujuan Nomor 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi
(Decent Work and Economic Growth). Target utama dari Tujuan SDGs Nomor 8 adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang
produktif, dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua (BAPPENAS 2017).

18
Sebagai objek wisata religi, Pesarean Gunung Kawi memiliki potensi besar dalam
pengembangan perekonomian dan pembukaan lapangan pekerjaan penduduk desa Wonosari.
Wisata Gunung Kawi menjadi tempat yang cocok untuk memasarkan produk lokal, budaya
dan kesenian lokal, sekaligus jasa dari warga lokal disana. Salah satu produk andalan dari
penduduk desa Wonosari adalah telo Gunung Kawi. Dengan cita rasa yang lebih manis dari
telo di tempat lain, telo Gunung Kawi menjadi primadona bagi wisatawan. Apalagi, telo-telo
ini diperoleh dari petani lokal desa Wonosari dan sekitarnya, sehingga selain memberi
keuntungan ekonomi pada pedagang telo juga memberi keuntungan bagi petani lokal yang
menjadi pemasok telo itu sendiri. Sirkulasi penjualan telo mulai dari petani – pedagang –
hingga konsumen membutuhkan komunikasi dan strategi agar masing-masing pihak dapat
memperoleh keuntungan yang diinginkan, sehingga sirkulasi ini menjadi pola ekonomi yang
berkelanjutan.

Sinergi dan upaya yang dibutuhkan tidak hanya dari pedagang dan petani telo saja,
tetapi juga dari pemerintah setempat dan wisatawan sebagai promotor dari penjualan produk
telo Gunung Kawi. Tak hanya pada penjualan telo, Pesarean Gunung Kawi juga menjadi
pusat perkembangan ekonomi baik barang dan jasa seperti rumah makan, penginapan, usaha
transportasi, pariwisata dan pagelaran kesenian, toko cinderamata dan alat-alat ritual, serta
masih banyak lagi. Dengan adanya berbagai kegiatan ekonomi yang ada di Pesarean Gunung
Kawi memunculkan peluang usaha dan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal.
Hal itu sesuai dengan pilar SDGs Nomor 8 poin 8.9 yang berbunyi “Menyusun dan
melaksanakan kebijakan untuk mempromosikan pariwisata berkelanjutan yang menciptakan
lapangan pekerjaan dan mempromosikan budaya dan produk lokal.” (BAPPENAS 2017).

Untuk mencapai Sustainable Development Goals di tahun 2030, dukungan dari


berbagai pihak baik secara moril maupun materil sangat dibutuhkan untuk pengembangan
wisata Gunung Kawi. Diharapkan pemerintah, wisatawan, dan masyarakat setempat selaku
pelaku ekonomi dapat bersinergi dan selalu adaptif terhadap perubahan seiring dengan
perkembangan teknologi, sehingga memberi hasil yang optimal pada perekonomian
masyarakat menyangkut dengan SDGs di tengah dunia yang semakin termodernisasi.

19
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1. Kesimpulan

Pesarean Gunung Kawi berkaitan erat tidak hanya dengan unsur religi melainkan juga
ekonomi masyarakat. Pesarean Gunung Kawi dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber
pendapatan atau mata pencahariannya. Salah satu sektor ekonomi yang digeluti oleh
masyarakat gunung kawi adalah perdagangan. perdagangan ini juga beragam jenisnya seperti
pernak-pernik, makanan, sesajen, ubi/telo, dan lainnya. Telo gunung kawi menjadi salah satu
hasil bumi yang sudah dikenal luas sejak dahulu akan rasa manisnya. Banyaknya pedagang
telo khas Gunung Kawi memiliki latar belakang yang beragam misalnya tuntutan ekonomi,
peluang usaha dari hasil pertanian, banyaknya tengkulak, dan sebagainya. Para pedagang telo
ini juga memiliki strategi pemasaran yang berbeda-beda, tetapi kebanyakan target pasar
mereka adalah wisatawan yang berkunjung langsung. Perdagangan telo gunung kawi telah
berdinamika sejak lama melalui berbagai pasang dan surut. Menggunakan teori perubahan
sosial Gillin dan Gillin, penelitian ini mengkaji peran pesarean Gunung Kawi terhadap
perdagangan telo Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kabupaten Malang, termasuk didalamnya
latar belakang, strategi, dinamika perdagangan, dan keterkaitannya dengan Sustainable
Development Goals (SDGs).

IV.2. Saran

IV.2.1. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pedagang telo di desa wonosari masih
belum banyak yang menggunakan media dan teknologi terkini. Oleh karena itu,
masyarakat terutama pedagang dapat mengolah telo menjadi produk olahan yang
bervariatif dan secara adaptif menggunakan teknologi yang tersedia salah satunya
pemanfaatan media sosial sebagai alat promosi dan marketing.

IV.2.2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharap dapat mengkaji lebih banyak sumber maupun


referensi yang terkait dengan sistem perdagangan dan ekonomi yang ada pada objek
wisata Gunung Kawi agar ketika di lapangan sasaran dan waktu yang ada dapat

20
digunakan secara efektif. Selain itu, diversifikasi dan penambahan jumlah informan
dapat dilakukan sehingga data-data yang mendukung penulisan laporan penelitian lebih
kuat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdussamad, Z. (2021). Metode Penelitian Kualitatif (P. Rapanna (ed.); 1st ed.). CV.
syakir Media Press. https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results
Andarwati, M. (2019). Kearifan Lokal Masyarakat Malang Dalam Pendidikan. JURNAL
PENDIDIKAN SEJARAH INDONESIA, JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019, 2, 141–152.
BAPPENAS. (2017). sdgs.bappenas.go.id TERJEMAHAN TUJUAN & TARGET
GLOBAL TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB)/ SUSTAINABLE
DEVELOPMENT GOALS (SDGs). Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Bappenas.
https://sdgs.bappenas.go.id/wp-content/uploads/2017/09/Buku_Terjemahan_Baku_
Tujuan_dan_Target_Global_TPB.pdf.

Binapemdes Kemendagri. (2021). Potensi Desa dan Kelurahan.


http://prodeskel.binapemdes.kemendagri.go.id/laporan_terkini_potensi/

BPS Kabupaten Malang. (2021). Kecamatan Wonosari dalam Angka 2021. BPS
Kabupaten Malang.
Hardani, Auliya, N. H., Andriani, H., Fardani, R. A., Ustiawaty, J., Utami, E. F.,
Sukmana, D. J., & Istiqomah, R. R. (2020). Buku Metode Penelitian Kualitatif &
Kuantitatif. In H. Abadi (Ed.), Jurnal Multidisiplin Madani (MUDIMA) (1st ed.,
Vol. 1). CV. Pustaka Ilmu.
Kumala, F. N., Hudha, M. N. and Aji, S. D. (2019) ‘Pelatihan pemasaran produk olahan
telo ungu di Desa Wonosari Kecamatan Wonosari Gunung Kawi Kabupaten
Malang’, Jurnal Kumawula, 2(1), pp. 1–11.
Sumarto, S. (2019). Budaya, Pemahaman dan Penerapannya “Aspek Sistem Religi,
Bahasa, Pengetahuan, Sosial, Keseninan dan Teknologi". Jurnal Literasiologi, 1(2),
144-159.

22
LAMPIRAN

Lampiran 1
Pewawancara : Dena dan Amaliya
Informan : Ibu Tumini
Usia : 67 Tahun
Waktu : Jumat, 11 November 2022, pukul 09.20 am
Lokasi : Parkiran Pesarean Gunung Kawi

P : Permisi bu, nama ibu siapa?


I : Ibu Tumini
P : Kalau umur ibu berapa?
I : Umur 67 tahun.
P : Ibu rumah dekat sini kah?
I : Deket, rumah ibu deket telkom situ.
P : Ibu sudah punya anak?
I : Sudah, satu. Perempuan.
P : Sudah nikah kah bu anaknya?
I : Sudah, sudah punya cucu juga.
P : Wah, umur berapa cucunya bu?
I : Sudah 23 tahun
P : Wah gak beda jauh sama kita bu. Ibu ini jual telo ya bu. Kalau ibu sendiri, jualan dari
sejak kapan?
I : Udah lama, dulu lak disana. Di pinggir jalan ke dalem tempat tempat ziarah. Tapi sekarang
pindah ke depan sini. Kalau pindah ke depan, sudah 3 tahun.
P : Tapi kalau jual telo ini sudah berapa lama, bu?
I : Ya, 10 tahun ada.
P : Kenapa ibu memilih untuk berjualan telo?
I : Ya karena bapake sudah meninggal. Jadi, ibu jualan telo. Dulu waktu bapak masih ada,
yang kerja bapak
P : Almarhum suami dulu juga jualan telo ungu?
I : Enggak, kerja nabuh wayang
P : Kalau untuk harga beli telo sendiri berapa bu?

23
I : Kalau harga beli itu Rp11.000.
P : Kalau begitu ibu beli Rp11.000 dan Rp12.000
I : Nggih
P : Itu biasanya ibu beli ke mana?
I : Ada orang yang bawa ke sini, mbak.
P : Oh ada yang ngirim ke sini ya, bu.
I : Iya, nanti dikirim seabrok-seabrok buat semua.
P : Harga beli itu suka naik karena pengaruh musim panen gak bu?
I : Iya, barusan harganya turun. Biasanya Rp.15.000 seiket.
P : Karena apa bu turun harganya?
I : Karena lagi musim panen, mbak. Kalau ga panen, harganya ya mahal.
P : Kalau untuk ukuran-ukuran telonya bervariasi ya bu?
I : iya, kalau 6 bulan segini. Kalau 7-8 agak besar.
P : Yang biasa dijual kisaran umur berapa bulan, bu?
I : Umur 6 bulan, 5 bulan
P : Apakah ada kendala selama ibu berjualan?
I : Lah ini, ada pandemi itu jadi ndak ada yang beli, ndak ada tamu
P : Jadi lebih berkurang ya Bu wisatawannya. Kalau sebelum pandemi, kisaran pendapatan
ibu berapa?
I : Lho ya ndak bisa nganu, ndak tentu, mbak. Biasanya kalau hari Jumat Legi, ya ada
200-300ribu dari 1 malem.
P : Selama ibu berjualan, pernah dapat keluhan dari konsumen gak bu?
I : Pernah, ada yang mengeluh. Kadang ada yang minta yang baru dan bagus-bagus, tapi kok
gak manis. Tapi waktu di kasih yang kering, ngeluh "kok kurang bagus bu".
P : Biasanya ibu ngambil dari pemasok berapa kilo?
I : Biasanya ngambil 30.
P : 30 kilo kah bu?
I : 30 iket. 1 iketnya, 2 kg.
P : Kira- kira habis berapa lama bu ?
I : Gak tentu. Tadi malam ada 50 iket, sekarang sisa 30 iket.
P : Pemasoknya mengirim barang kalau telonya sudah habis atau bagaimana bu?
I : Kalau belum habis, sudah dateng lagi barangnya. Besok sudah dateng lagi untuk dijual
hari minggu.
P : Sejauh ini ibu berjualan melalui apa?

24
I : Di toko, dulu masih sepetak tokonya.
P : Berarti ibu tidak mencoba pakai media online ya, bu?
I : Iya, di toko aja.
P : Target pasar ibu sejauh ini siapa saja?
I : Pengunjung, mbak. Hari minggu, ada orang ziarah. Ada wali-wali, wali lima, wali
sembilan.
P : Barangkali ada yang beli untuk diolah lagi? Seperti keripik.
I : Oh gak ada. Kalau keripik itu biasanya beli kuintalan. Tapi yang besar-besar, biasanya dari
sawah.
P : Apakah ada biaya sewa untuk rukonya bu?
I : Oh engga, gak bayar. Udah disediakan sama Pak Yana (Pengelola Pasarean). Hanya bayar
untuk listrik, air, dan sampah.
P : Oh begitu, bu. Mungkin pertanyaan dari kita itu saja bum Terima kasih banyak ya bu
untuk informasinya. Sehat-sehat selalu dan semoga makin laris dagangannya.
I : Amin. Sama- sama, mbak.

Lampiran 2
Pewawancara : Himmatul Husna
Nama : Damiyati
Umur : 62 Tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan/Jabatan : Penjual Telo Gunung Kawi
Tempat dan Waktu wawancara : Area Parkir Gunung Kawi

Keterangan : (P : Pewawancara) (I : Informan)

P : “Nuwun sewu ibu (Permisi ibu), saya dan teman saya dari UNAIR, mau izin untuk
wawancara apa boleh ?”

I : “Nggih mbak monggo (Iya mba silakan)”

P : “Ibu namanya siapa, usianya berapa ?”

I : “Damiati, usia 62”

P : “Ibu pendidikan terakhirnya apa ya kalo boleh tau ?”

25
I : “SD mbak”

P : “Ohh nggih, terus ibu sudah menjual telo ini sejak kapan ?”

I : “Udah lama mbak, udah sekitar lima tahun keatas”

P : “Alasan yang bikin ibu jualan telo ini apa bu?”

I : “Karena emang penghasilannya gunung kawi telos sama jagung”

P : “Terus ibu cara netapin harga jualnya ini ada strateginya ga bu ?”

I : “ya tergantung ke pembelinya, terus kalo barang lagi banyak ya bisa murah kalo
barangnya sedikit ya bisa mahal tergantung musim panen”

P : “biasanya musim panennya bulan apa-apa aja?”

I : “biasane ya setahun 3-4 kali panen”

P : “kalo kendala yang dialami ibu selama berjualan telo ungu ini apa saja ?”

I : “ya ada, kalo lama ndak laku ya busuk”

P : “itu bisa kuat sampe berapa hari buk telonya?”

I : “ ya sekitar 2 mingguan ga laku bisa busuk, terpaksa dibuang”

P : “oalah lama ya sekitar 2 mingguan kuatnya, terus biasanya jumlah paling banyak yang
busuk itu berapa kilo bu?”

I : “lek diitung misal e sekali masok 50 Kg, yang busuk bisa 5 Kg-an gitu”

P : “berarti mashi lebih banyak untungnya ya bu dari pada ruginya?”

I : “Iyo alhamdulillah”

P : “Oke, tadi kan kalo ada yang busuk dibuang ya bu kendalanya, ada kendala lain ga bu
selain itu?”

I : “kendala lain ya kadang telo ne datangnya lama, terus jelek-jelek”

P : “biasanya sekali ambil telonya berapa kilo bu ?”

I : “seiket gini 2 Kg, biasanya jadi 100 iket”

P : “100 iket di kali 2 Kg, berate jadinya 200 Kg ya bu sekali ambil?”

26
I : “Iyaa, kadang dari konsumen juga ada yang nawar-nawar gitu”

P : “waktu dagangnya biasanya start dari jam berapa sampe jam berapa”

I : “seringnya ya dari jam 8 pagi sampe jam 3 sore”

P : “biasanya telo ungu ini diolahnya jadi apa sih bu ?”

I : “ya bisa kripik, bisa kue-kue, pewarna kue kalo yang ungu”

P : “berarti yang terkenal di Kawasan gunung kawi ini telo ungunya ya bu?”

I : “ya telo ungu, tapi justru yang paling terkenal enak itu yang telo putih mbak”

P : “tapi kalo tempat ngambilnya si telo putih sama ungu ini dari tempat yang sama ga bu?”

I : “iya sama-sama asli dari gunung kawi, malah yang jadi favorit itu yang telo putih”

P : “oalah justru yang favorit tuh yang putih ya bu ya, tapi kalo buat harganya tetep sama ya
bu?”

I : “iya tetep sama”

P : “biasanya ini telo-telonya bisa habis berapa kilo bu”

I : “gak mesti, tergantung mbak soalnya kalo rame kan biasanya pas hari-hari tertentu kaya
pas ada acara haul eyangnya sini atau kalo hari biasa ya jumat, sabtu, minggu. Bahkan juga
kadang gak laku.”

P : “berarti pendapatannya juga ga menentu ya bu?”

I : “iya ga menentu, biasanya satu minggu gitu rata-rata cuma dapet Rp150.000 kadang
Rp.200.000”

P : “terus kalo pemasarannya ini cuma dipasarin disini aja atau ibu menerima pesanan dari
luar juga gitu bu ?”

I : “kadang keluar kalo ada telo rada murah itu juga dipasarin di kepanjen malang, kalo
harganya gak menjangkau ya kemahalan ga dipasarin diluar karena mahal di transportasinya.
Kalo ambil untungnya itu standart paling banyak berapa, paling banyak Rp2.500.”

P : “Terus kalo medianya ibu gunain itu apa aja, Cuma dagang secara langsung gini aja atau
dipasarin lewat ecommerce kaya facebook dan lain-lain”

27
I : “Engga ga ada, ini aja. Orang desa gak beli pakai gitu-gituan. Secara langsung aja ya
khususnya wisatawan, ya orang luar semua. Kalo cuma beli 2 3 iket mau kirim apa ndak rugi.
Kalo pesennya 50 atau 100 iket itu baru bisa ambil untung.

P : “oalahh, kalo ibu ada stretegi khusus gitu ga bu yang pernah dilakuin biar pembelinya itu
banyak ?”

I : “Ga ada, ya memang begitu-begitu saja. Kalo masalah ubi informasinya itu udah bocor
sendiri gausa dipromosikan orang udah tau ubi gunung kawi gimana”

P : “kalau target pasar itu ada ga bu siapa-siapa aja?”

I : “ya yaudah yang ada disini aja, wisatawan yang dateng aja”

P : “ibu aja juga produk ubi yang olahan gitu ga? Seperti kripik atau kue?”

I : “gak ada, gak mesti ada orang yang jual produk olahan gitu, jarang yang jual gitu. Misal
ada yang jual gitu mesti gak lama jualnya, paling satu-dua minggu selama lebaran paling kalo
hari-hari biasa ya jual mentah-mentah gini aja.”

P : “Terus urutan proses dari tengkulak/bakulnya sampe siap jual ini gimana buk?”

I : “Ya biasanya ada yang nawari terus saya timbang sendiri iket sendiri, kadang ada yang
nawari udah iketan juga. Orang kalo beli kan litanya dari iketannya bukan kiloannya. Cuma
saya jual satu iket ini sekitar 2 kg, kalo orang beli kiloan juga boleh, kiloan mereka bisa milih
sendiri. Biasanya telo yang dateng missal 1 kwintal itu pas udah diiket bisa nggak jadi 1
kwintal karena dalem karungnya itukan isinya ga Cuma telo ada tanah-tanahnya bisa jadi ada
telo-telo yang rusak yang kudu dibuang gabisa dijual, soalnya kan ini telo bukan beras yang
satu kilo wes bersih isinya ga ada yang dibuang, kita kudu sortir lagi.”

P : “Pernah ada gak bu ketika telonya dateng tapi malah isinya jelek-jelek gitu?”

I : “Yo pernah, sering sampe saya pernah pulangkan gara-gara rusak itu. Kalo kamu beli
busuk itu gimana rasanya? Ga enak to, ya saya kembalikan itu. Gamau kalo udh dipembeli
saya yang dimarahi.”

P : “Terus waktu covid kemarin gimana Buk?”

I : “Ya sepi banget, tapi alhamdulillahnya saya bertahan aja, bersyukur aja. Kemarin itu
waktu itu lagi musim langsep ya saya jual langsep, dibawa ke panjen. Saya dirumah pelihara
kelinci, kambing, biar ada kegiatan biar gak pening”

28
P : “Oalah jadi punya peliharaan juga ya pak, nah kalo di penjualan ini bapak liat ada
perbedaan ga antara dulu dan sekarang?”

I : “ada, kalo dulu masih rame sekarang sepi, bedanya ada sampe 75%”

P : “dulu jualannya telo-telo ini bu emang?”

I : “iya dari dulu udah telo ungu putih ini, kalo ada jagung ya jual jagung, kalo ada alpukat ya
alpukat”

P : “oalah jadi banyak ya jualnya. Udah itu dulu bu yang kita tanyain, terima kasih banyak
ibu atas waktunya, kita mau beli telonya dong bu yang putih satu ungu satu”

I : “iya sama-sama mbak, boleh-boleh ini saya kasih yang udah kering akarnya”

P : “bedanya apa bu kalo yang kering sama basah?”

I : “ya yang udah kering udah siap masak, lebih manis mbak”

P : “oalahhh boleh bu yang kering, terima kasih banyak bu.”

Lampiran 3
Nama : Juma’yah
Umur : 57 Tahun
Pendidikan :-
Pekerjaan/Jabatan : Penjual Telo Gunung Kawi
Tempat dan Waktu wawancara : Depan rumah/tempat jualan telo Bu Jum

P: Peneliti
I: Informan

P: Nyuwun sewu, Bu (permisi, bu). Nama saya Hayah bu, dari Unair. Saya dan teman saya
(Farah) mau wawancara terkait ibu sebagai pedagang telo, angsal nopo mboten, Bu (boleh
atau tidak, Bu)?
I: Nggih, angsal (iya, boleh).
P: Ibu jual telo dari kapan, bu?
I: udah dari lama. 3 tahunan, sejak corona.
P: Waktu itu kenapa ibu jualan telo, bu?

29
I: Karena saya kan dulu jualan telo mateng di pasar sana. Terus gaada tamu, jadi pindah ke
sini, jualan telo mentah.
P: Kalau sekarang yang lebih laris telo apa bu?
I: Telo yang mentah gini ini sih (sembari menunjuk dagangan telonya).
P: Terus ibu sendiri nentuin harganya ini gimana bu?
I: Satu iket Rp14.000, Rp15.000 tergantung yang beli. Kalau anak-anak kaya gini Rp14.000
(menunjuk peneliti), kalo tamu-tamu atau orang yang cina-cina gitu Rp15.000.
P: Kalo pembelinya sendiri dari warga sini ada, bu?
I: Pembeli, gaada.
P: Oiya, bu kalau pembeli itu biasanya ada yang nawar kurang dari harga itu, ada gak bu?
I: Ada, tapi ya saya bilang kalau ditawar saya gaada bati (untung). Jadi tetep Rp14.000 atau
Rp15.000 itu. Kalau yang Rp15.000 ya bisa turun Rp14.000.
P: Kalau kendala-kendala selama tiga tahun dagang ini ada gak bu? Kayak susahnya
berdagang telo ini.
I: Gaada yang pernah komplain.
P: Nggih, Alhamdulillah lancar-lancar mawon nggih (Alhamdulillah, lancar-lancar saja, ya)?
I: iya
P: kalo ini, Bu. Persiapannya ibu dalam menyiapkan dagangan ini apa bu?
I: Persiapan apa? Ya diitaruh gini aja.
P: Kaya yang ngiket2 gini siapa bu?
I: Ya petaninya. Saya terima langsung dari petaninya udah kaya gini, terus saya tata di sini.
Kalau yang kering ditaruh di depan sini, kalau yang basah di belakang sini soalnya mesti
dijemur dulu.
P: Oalaa nggih, bu. Saya tadi pagi-pagi jam setengah 5 kan lewat sini. Ini telonya masih di
tata kaya gini, terus ibu gaada. Apa gak takut ada yang ngambil bu?
I: Oalaa iya. Nggak, orang sini gaada yang ngambil. Gaada yang mau ngambil juga, mbak.
Aman aja saya tata di sini terus, ga pernah dipindah-pindah. Kadang juga saya tutupi ini
(perlak besar warna biru). Tapi tadi malam nggak.
P: Nggih, Bu. Telo ini apa ada musim panennya bu? Terus ada pengaruhnya sama
dagangannya ibu?
I: Ada, ada musim panennya.
P: Ooiya. Itu kapan biasanya bu?
I: Ga mesti. biasanya 6 bulan sekali.
P: Ooo kalo harganya berarti gimana kalo musim panen bu?

30
I: Harganya beda kalau musim panen. Dari petaninya ngasih lebih murah. Kalau gak musim
panen ya Rp13.000 sampai Rp12.000. kalau musim panen itu lebih murah, jadi Rp11.000,
Rp11.500. Untung 2 ribu cumaan. Saya jualnya tetep Rp14.000 sampai Rp15.000. untung 2
ribu satu iket.
P: Berarti kalo pendapat bulanannya sendiri berapa bu?
I: Gabisa anuu. Ini tadi aja belom ada yang beli. Kalo kemaren itu 6. Terus kapan lagi itu laku
10, 17. Gitu itu kan bergantung penglaris.
P: Biasanya larisnya itu pas apa bu?
I: Di sini ga mesti.
P: Besaran telonya dijual dalam satu pemasokan berapa bu?
I: Yang ini di depan itu yang masak. Yang belakang ini, yang masih basah. Jadi dijemur dulu.
P bedanya yang masak sama yang basah apa bu?
I: Yang masak itu udah mateng, dimasak langsung manis. Kalo yang basah harus dijemur
dulu biar kering.
P: Kalo harganya ada bedanya ga bu?
I: Kalo yang basah cuma Rp13.000. Kalo yang masak tergantung yang beli. Rp14.000 atau
Rp15.000 itu. Kalo punya lamaran itu beli yang masak sekeranjang. Harga Rp180.000.
P: Kalo sekali dateng, habis dari petaninya itu langsung taruh sini kan bu. Itu sekali dateng
berapa iket yang datang dari petaninya?
I: Beli 50 iket yang mateng sama 50 yang basah. Terus kan saya jual lagi.
9.39
P: Kalau ibu kan jualannya di sini aja. Ada media lain ga bu dalam berjualan itu?
I: Kan saya punya hp. Tapi hp saya bukan yang besar (bukan smartphone). Hp saya yang
kecil itu, bisa buat nelpon sama sms. Nomor saya ada di tulisan situ (banner yang
digantungkan di depan telo dagangan informan). Jadi yang mau beli tinggal hubungi di situ,
“Bu Jum beli telo”. Ada kontaknya di situ.
P: Biasanya pembeli di kontak hp ibu itu langsung beli ke sini atau pesen lewat hp?
I: Lebih banyak lewat hp. Jauh-jauh tapi diantar pake ojek. Ojeknya juga dari sana yang beli.
Kalo ojeknya Rp20.000 ya dibayar yang sana Rp20.000, kalo Rp50.000 ya dibayar Rp50.000.
Kan sekarang gitu. Jadi yang beli langsung dari rumah. Tapi ongkosnya kan dari situ. Saya
tinggal siapkan aja. Terus saya dikasih uang.
P: Menurut ibu sendiri, lewat media hp tadi sangat berpengaruh gak sama penjualannya?
I: Biasa aja. Orang-orang sini aja juga udah tahu saya.
P: Sejauh ini, melalui media hp tadi, udah sejauh mana pembeli telo ibu?

31
I: Jauh-jauh. Ada Kepanjen, Penggempul, Tumarjo, Gobang.
P: Kalo boleh tau, ada target market tertentu yang ibu incar?
I: Kok gaada target ya. Gaada target.
P: Berarti inikan olahan telonya basah sama kering. Cuman itu aja gaada olahan lain?
I: Gaada. Itu tergantung pembeli mau dibikin apa. Saya cuma menyiapkan.
P: Kalo yang bedain dagangan orang lain sama dagangan ibu apa?
I: Kulaknya (ke tengkulaknya). Petaninya kan beda. Saya langsung ke petani. Kan ada yang
ikut bakul.
P: Dari ibu jualan dari 3 tahun sampai sekarang, ada perubahan ga bu?
I: Makin rame.
P: Kalo tempat atau secara keseluruhan ada perubahan ga bu?
I: Gaada, ya gini-gini aja dari dulu.
P: Menurut ibu sendiri, yang paling laris apa?
I: Yang kering laris. Tapi ya tergantung orangnya. Kadang yang basah juga laris.
P: Berarti kebanyakan orang-orang suka apa, bu?
I: Ya tergantung orangnya mau kering atau basah. Kalo mau langsung masak ya beli yang
kering. Kalo gak ya beli yang basah.
P: Kalo warga sini suka beli di sini ga bu?
I: Ya beli, biasanya kalo mau ke temen, buat oleh-oleh, gitu. Ada tamu kapan datang ya kasih
ini. Kan khas gunung kawi.
P: Nggih, Bu. Oiya, bu mau tanya. Dari ibu apakah ada pekerjaan lain selain jualan telo, bu?
I: Gaada, mbak. Ya dari jualan telo ini aja.
P: Untuk jualannya kenapa di sini bu? Kenapa kok gak memilih tempat lain, misalnya?
I: Enak di sini, mbak. Depan rumah. Deket, ga usah jalan ke pasar. Petaninya juga bisa kirim
ke sini. Mau ke rumah ya tinggal ke rumah.
P: Nggih, Bu. Itu aja, terima kasih banyak, nggih Bu. Semoga laris terus telonya.

Lampiran 4
Nama : Pak Toto
Umur : 45 Tahun
Pekerjaan/Jabatan : Penjual Pakan Ternak dan Telo
Tempat dan Waktu wawancara : 10.23 AM - 10.40 AM, Ds. Wonosari, Kab. Malang

32
P: “Permisi Pak, sebelumnya perkenalkan saya Hayah, Farah, dan Kusendra dari Universitas
Airlangga. Ingin mewawancarai bapak, apakah boleh?”
I: “Boleh silahkan”
P: “Sebelumnya perkenalan dahulu, bapak namanya siapa?”
I: “Toto”
P: “Umur?”
I: “Umur 45”
P: “Baik Pak. Pekerjaan bapak selain jual telo, jual apalagi pak?”
I: “Saya selain jual telo, jual pakan ternak juga”
P: “Oh baik. Kalau jualan telo mulai dari kapan, pak?”
I: “Dari sepuluh tahun lalu”
P: “Oh dari sepuluh tahun lalu. Itu kenapa, kok, bapak jualan telo?”
I: “Kan dulu yang bercocok tanam ubi tuh banyak disini. jadi ciri khas gunung kawi tuh ini.
jadi saya berjualan juga telo ini”
P: “Kalau terkait harga, bapak netapin harga berapa untuk telo-nya?”
I: “Disini tuh kalau di gunung, satu kilonya Rp6.500 saat ini. Jadi kalau diiket tuh 2kg,
Rp13.000”
P: “Itu harga yang dijual atau dari kulaknya?”
I: “Itu yang dijual”
P: “Kalau harga dari kulaknya?”
I: “Kalau kulaknya itu sekitar Rp10.000-Rp11.000. Lihat iketannya itu. Kadang kan ada 20
lebih, itu Rp11.000”
P: “Kulaknya bapak darimana?”
I: “Ada petani dari wilayah dekat sini. Telo nya dibawa kesini”
P: “Dateng kesini?’
I: “Iya”
P: “Kalau selama bapak berjualan 10 tahun ini, ada kendala gitu nggak, pak?”
I: “Kalau kendala itu biasanya kalau panen raya tuh harganya jatuh. Jadi petani tuh panen
semua. Terus juga gak begitu banyak yang beli’
P: “Oh waktu panen raya justru nggak banyak yang beli? Kenapa pak?”
I: “Iya. Ya itu soalnya kan persaingannya juga sama penjual dari dataran rendah. Harga
jualnya lebih murah di sana. Jadi kalau di dataran rendah itu jualnya cuma Rp1.500-Rp2.000
per kilo. Jadi kan mahal di sini. Orang lebih pilih yang di bawah. Tapi untuk rasanya manis
yang di sini (dataran tinggi)”

33
P: “Oh yang membedakan itu ya. Berarti kalau bapak sudah tau kendalanya itu, strategi bapak
biasanya ngapain?’
I: “Saya selaku penjual ya ngikut aja. Kalau petani sekarang mereka menanam lobak. Jadi di
antara musim itu nanti jualan lobak. Jadi nggak sampai panen raya”
P: “Tapi pas petani panen lobak, bapak ikut jual atau nggak?”
I: “Nggak jual kalau lobak. Lobak itu kemitraan”
P: “Oh begitu. Tapi kalau terkait harganya itu beda atau nggak kalau ada panen raya?”
I: “Turun harganya”
P: “Oh turun ya. Jadi berapa biasanya pak?”
I: “Oh kalau lobak nggak tau. Ubi saya tau”
P: “Oh iya pak. Terus pak, kalau panen raya biasanya kapan?”
I: “Biasanya kalau petaninya itu katakan produksinya itu waktu mau hari raya”
P: “Kalau hari raya itu orang-orang banyak yang kesini atau nggak?”
I: “Kalau dulu iya banyak. tapikan setelah corona ini kan agak berkurang”
P: “Larisnya ini biasanya pas kapan, sih, pak?
I: “Biasanya kalau tamu-tamu yang kesini waktu Jumat Legi seperti ini, terus hari libur, atau
hari liburan sekolah kan rame. Hari raya Suro juga rame”
P: “Untuk tamu-tamu yang kesini telo-nya juga makin laris atau bagaimana?”
I: “Iya. Kalau memang targetnya dari tamu-tamu pasti karena ada keramaian itu. Tapi 2-3
tahun ke belakang berkurang soalnya PPKM itukan jadi menghambat”
P: “Kalau selama 10 tahun ini, bapak pernah nemuin keluhan dari konsumen gitu nggak pak?
I: “Kalau dari konsumen biasanya tanya cuma ‘kok nggak bisa seperti yang di sini masaknya?
nggak keluar zat buahnya itu?’. Nah itu mungkin praktik masaknya yang nggak sama kayak
yang di sini”
P: “Di sini maksudnya yang di mana pak?”
I: “Yang orang jual yang di atas-atas itukan seperti ada gulanya. Keluar gulanya, seperti
dikasih gula padahal sebenarnya nggak”
P: “Terus cara bapak menghadapi orang yang ngomong itu bagaimana?”
I: “Ya kita kasih tau cara masaknya itu bagaimana. Jadi ubi tuh setelah dicuci, lalu dikukus.
Waktu mendidih pertama itu disiram pakai air dingin sampai tiga kali terus setelah itu ditutup
daun pisang atau daun pepaya. Terus biasanya ada lagi kalau mereka masaknya pahit gitu.
Jadi memang ubinya itu kena serang waktu di lahannya. Sama petaninya dibiarkan”
P: “Terus bapak jelasinnya gimana kalau kayak gitu?”

34
I: “Saya biasanya bilang ke petaninya jangan dibiarkan. Nanti dimasak juga nggak enak,
pahit”
P: “Kalau bilang ke konsumennya bagaimana?”
I: “Ya pasti ada aja yang seperti itu”
P: “Jadi sama konsumen tetap dibayar atau nggak jadi dibeli?”
I: “Tetap dibayar”
P: “Kalau ini pak, persiapan bapak mendagangkan telonya bagaimana?”
I: “Ya cuma menyediakan tempat dan mejanya aja”
P: “Oh ditata aja?”
I: “Iya”
P: “Lalu untuk mendapatkan telonya bagaimana?”
I: “Petaninya yang kesini biasanya. Petaninya nawarkan dulu butuh telo atau nggak, nanti
dikirim berapa ikat”
P: “Bapak sekali kulak ambil berapa?”
I: “Biasanya 30-50 ikat”
P: “Oh. Itu habis berapa lama?”
I: “Sekitar 2-3 minggu”
P: “Berarti kira-kira sebulan telonya habis berapa, pak?”
I: “Ya kurang lebih 150-an ikat”
P: “Kalau pendapatannya sendiri dalam sebulan kira-kira biasanya berapa?”
I: “Ya sekitar Rp200.000-Rp300.000-an”
P: “Itu pak, selain berjualan di sini, apakah bapak menggunakan media penjualan lain?”
I: “Oh nggak ada”
P: “Jadi secara langsung aja?”
I: “Iya secara langsung aja. Tapi biasanya orang sini minta nomor hp, terus nanti WA ‘Saya
mau kesana’. Nah nanti saya siapkan”
P: “Berarti tidak ada metode yang diantar ke rumah konsumen?”
I: “Iya nggak ada”
P: “Biasanya untuk metode penjualan bapak seperti apa ya? Apakah bilang ke
tetangga-tetangga atau pakai metode lain?”
I: “Nggak. Ya kita jual di sini aja semua udah tau. Nggak dipromosikan, sudah tau lah
orang-orang”
P: “Terus dalam penjualan telo ini apa bapak punya target market?”

35
I: “Nggak ada sih. Tapi dulu pernah sih kirim ke Pulau Bali tapi nggak bisa masuk ke sana.
Akhirnya merugi. Jadi sekarang jualnya di sini aja. Dulu juga pernah kirim ke supermarket
tapi agak ribet”
P: “Tahun berapa itu pak?”
I: “Sekitar tahun 2013-an”
P: “Oh begitu. Oh iya, tadi bapak juga sempat bilang kalau konsumen pernah juga meminta
nomor telepon bapak buat pesan telo. Sejauh yang bapak tau, sudah sejauh mana konsumen
bapak yang beli telo via telepon?”
I: “Oh dari wilayah Malang, Surabaya, Gresik ada. Blitar, Jogja juga ada”
P: “Tapi merekanya datang ke sini ya?”
I: “Iya langsung kesini misalnya ke Pesarean gitu. Belinya langganan di sini”
P: “Kalau orang-orang itu biasanya berapa pak?”
I: “Kalau saya ke tetangga-tetangga sini ya Rp12.000-Rp13.000 per ikat”
P: “Kalau wisatawan berapa?”
I: “Ya sekitar Rp14.000-Rp15.000 kalau orang jauh”
P: “Itu mereka belinya berapa iket biasanya sekali beli, pak?”
I: “Kalau orang jauh itu biasanya 10-20 ikat”
P: “Oh sekalian banyak ya pak”
I: “Iya. Sekalian jauh-jauh gitu ya. Soalnya di daerah bawah juga banyak tapikan kadang itu
dicampur dari ubi dari dataran rendah. Jadi rasanya itu pait. memang harganya murah, gitu”
P: “Biasanya tuh olahan telo dibuat untuk apa aja”
I: “Kalau ubi Gunung Kawi yang saya tau cuma dimasak gitu aja. Tetapi sebenarnya buat
olahan lainnya juga bisa, seperti keripik atau makanan yang lain, seperti pilus. Banyak
macamnya, sih. Campuran kue-kue yang lain juga bisa.
P: “Berarti kalau dijadikan pilus atau kue gitu, dijadikan tepung dulu atau bagaimana?”
I: “Iya. diblender”
P: “Terus apa yang membuat beda dari telo Gunung Kawi dengan telo di daerah lain?”
I: “Kalau rata-rata, sih, daerah dataran tinggi itu kadar gulanya tinggi. Itu yang sudah bisa
dikatakan berumur/tua itu zat gulanya banyak. Sangat manis. Terkenalnya seperti itu”
P: “Oh seperti itu. Oh iya, pak tadikan telo yang terkena hama apa ada ciri-ciri yang ada di
telonya?”
I: “Ada. Jadi, serangannya itukan dia itu kumbangnya menyuntikkan telurnya ke dalam
umbinya. Nantinya anaknya menetas disitu, terus makan di situ. Yang bikin pait itu kan
kotoran dari kumbang itu. Jadi secara visual kita lihat disitu aja udah tau ada

36
lubang-lubangnya yang terserang bongkeng itu. Jadi kalau ubi yang mulus gak ada
lubang-lubangnya itu gak bongkeng”
P: “Terakhir dari bapak sendiri, ada nggak pak perubahan dari bapak yang 10 tahun yang lalu
sampai sekarang?”
I: “Ya sebetulnya perubahan gimana ya mengikuti waktu aja. Sekarang perekonomiannya jadi
naik. Harganya dulu waktu saya jual pertama itu cuma Rp2.500. terus naik aja harganya
P: “Kalau tempat penjualan bapak dari dulu sampai sekarang disini aja?”
I: “Iya. disini. Kalau dulu saya pernah ke petani-petani itu waktu ngisi di supermarket di Bali,
Malang itu dari truk langsung ke supermarket. Sekarang wes cuma disini aja”
P: “Terus ini pak apa ada perubahan jumlah pembeli telo dari tahun ke tahun? Apa ada
sesuatu yang membuat telo ini banyak dibeli?”
I: “Perubahan pasti ada. Ya terutama yang kemarin itu waktu ada corona ya turun drastis.
Jadi, ya sama aja lah. Tapi kalau saya yakan ga cuma ini aja. Saya juga ada toko pertanian”
P: “Lalu ini pak kenapa kok bapak kan sudah buka toko pertanian. Apa yang membuat bapak
menjual telo juga?”
I: “Ya ini kan lokasinya dekat dengan jalan raya. Terus banyak wisatawan yang kesini.
tamu-tamu. Jadi kita jual yang banyak orang cari lah. Kalau pertaniannya disini kan ga begitu
anu. Kalau perkebunan kan banyak. Jadi kita kayak cari tambahan rezeki aja lah”
P: “Tempat penjualan bapak ini sewa atau punya sendiri?”
I: “Punya sendiri”
P: “Kalau begitu sampun pak. Matur suwun”
I: “Nggih, sami-sami”

Lampiran 5
Nama : Susminah
Umur : 62 tahun

Profesi : Pedagang Telo

Lokasi Wawancara : Warung Bu Susminah, Jl. Imam Soedjono.

Keterangan

P: Peneliti

I: Informan

37
P: Selamat pagi bu, perkenalkan saya Disicha dari Universitas Airlangga izin mengajukan
beberapa pertanyaan mengenai perdagangan telo.

I: baik mba silahkan.

P: baik bu, pertanyaan pertama. Kalau boleh tau sudah berapa lama ibu berjualan telo?

I: sudah lama banget mba, 10 tahun saja lebih.

P: memang dari awal sudah berjualan telo atau sempat berjualan yang lain sebelum jualan
telo bu?

I: memang dari awal berjualan telo mba, barulah yang lain lainnya nih nambah mba

P: ini telonya asli ambil dari tengkulak gunung kawi bu?

I: kadang dari tengkulak, kadang dari petani sedapetnya telo, kalau ada dipetani ya ambildari
petani, kalau adanya dari petani ya ambil dari petani.

P: kalau boleh tahu kenapa ibu memilih berjualan telo? Ibu sendiri jualan telo putihnya juga
kah bu?

I: ad amba, sebenarnya yang paling enak itu telo putih, terutama yang baik bagian atasnya
gunung itu paling enak mba. Rasanya itu beda telo yang dibawah sama telo yang ada
digunung atas mba. Pokoknya batasnya itu tugu buto kebawah itu sudah beda rasanya.

P: kira kira kenapa sih bu kok rasanya beda?

I: mungkin tanahnya mba, kalau telo sini itu tanahnya lebih berpasir, gaada lumpur
lumpurnya gitu mba. Lebih keatas lebih keatas lebih pasar, ibaratnya walet, cenderung
berpasir, lebih gembur gitu mba semakin keatas.

P: ini kira kira biasanya tengkulaknya itu satu saja atau ada banyak bu? Berhubung penjual
telo daerah sini kan ada beberapa bu, apakah tengkulaknya itu satu aja yang menyalurkan
atau ada banyak?

I: banyak mba tengkulaknya tapia da juga yang ngepul cuman aku ambilnya dari satu
tengkulak, jadi kadang ya harganya beragam, telo ungu atau putih. Tapi yang paling enak itu
yang putih.

P: berarti biasanya yang lebih sering dibeli orang itu yang putih ya bu?

I: iya mba yang putih

38
P: ada kendala kenada kah bu dalam penjualan telo telo ini, entah dari tengkulak atau dari
ibunya sendiri gitu bu?

I: ada aja mba, kalau sinikan tempat wisata, jadi kalau sepi itu ya galaku kalau pas lagi sepi,
contohnya waktu musim covid itu, telo Rp. 5.000 aja gaada yang beli. Karena galaku jadi
gaada yang nanem telo, diganti lobak jadinya.

P: kalau dari tengkulaknya kendalanya biasanya apa bu?

I: kalau sekarang yang dekat dekat sini tikus yang banyak, jadi gagal panen

P: terus pernah ga bu ada konsumen yang mengeluh tentang ukuran telo yang kecilkah atau
apa gitu bu?

I: pastinya ad amba, kalau telo sini itu beda dari telo yang dibawah. Kalau telo bawah, 3
bulan itu sudah panen, kalau telo sini ada yang sampe 6 bulan, dan ga gede gede telo disini.

P: kok bisa sampe perbedaan waktunya jauh bu?

I: kalau telo dibawah itu tiga bulan sudah panen besar besar, tanahnya mungkin yang
memengaruhi. Telo sini itu sebenarnya bisa panen 4 bulan tapi pakai pupuk dan rasanya jadi
beda, lebih gaenak.

P: karena mungkin ga alami ya bu. Nah kan panen telonya itu kan agak lama ya bu, biasanya
kalau stok telonya habis, apa tidak berjualana atau bagaimana bu?

I: biasanya kalau pas gaada dan susah dicari, ya telonya jadi mahal, tapi pas yang lagi panen
raya ya murah.

P: oh berarti memang harganya dinaikin dari tengkulaknya ya bu?

I: iya dari tengkulaknya mba. Aku itu punya cara sendiri, jadi telo dari bawah tak bilangin ini
telo panjen, mau apa engga. Karenakan rasanya beda walaupun masih manis tapi tetap beda.
Ya telo sini panenya lama ya lebih mahal.

P: biasanya sekali ambil dari tengkulak biasanya berapa kilo bu?

I: kalau dulu sebelum banyak saingan kayak sekarang, 1.000 iket tak tampung, dulu tapi
sekitar tahun 1994/1995. 2 ribu iketpun kalau ada ya mau. Kalau sekarang ya sudah sedikit,
paling 50 iket aja ambilnya. Yang jualan banyak tapi kalau dulukan masih sendiri yang
jualan, saya doang yang jualan telo. Dulu satu rumah ini saya tampung itu telo semua.

39
P: biasanya kalau ambil telo ungu biasanya masing masing ambil berapa iket bu?

I: biasanya pasti lebih banyak telo putihnya, kalau telo putihnya 50 ya telo ungunya 25,
setengahnya gitu mba. Tetep laku juga kok mba.

P: untuk waktu busuknya itu kira kira berapa lama ya bu?

I: lama mba kalau itu asal dari awal bagus. Kalau dari awal gabagus yang seminggu aja juga
sudah busuk mba. Kalau bagus itu bisa tahan sebulan. Kalau telo atas itu sudah matang 3 hari
saja ga basi, karena kan manis banget ya jadi ada gula jadi pengawet alaminya. Kalau cuaca
dingin bisa tahan 4 hari.

P: kalau untuk olahan telo ibu tertarik tidak ya?

I: kepengennya ngolah, maunya pengen dimasak pake tepung tapi ternyata telonya yang
gaada. Kalau telo ungu itukan bisa dijadikan apa aja mba, bisa dicampur nasi, kue, jadi
pewarna makanan, aku sendiri gangerti tapi katanya ada kandungan vitamin di telo ungu, jadi
menyehatkan gitu mba, tapi ya saya gangerti juga mba.

P: ada strategi lain ga ya bu saat berjualan telo? Entah di jual ke kota atau buka cabang gitu
bu?

I: kalau permintaan ya banyak mba cuman akunya yang gabisa. Kendalanya ya saya gabisa
bawa sepeda motor sendiri, bahkan sampai Kalimantan, bali. Cuman ya akunya gabisa jadi ya
ga diambil.

P: kira kira kenapa sih bu kok bisa sampe ada permintaan keluar pulau gitu bu?

I: ya mungkin karena terkenal manisnya itu.

P: aku pikir hanya sekitar malang atau Jawa Timur aja bu

I: sampe keluar seperti Kalimantan dan bali. Ada orang kediri juga kadang nawarin tapi aku
gabisa ngikutin permintaaannya, karena disini panennya ga pasti. Maksudnya tuh kalau
tanam yang lain 3 bulan tuh masih bisa kalau telo kan lama jadi ya untungnya sedikit. Beda
sama telo bawah yang gede gede dan murah. Padahal rasanya menang telo disini.

P: biasanya permintaannya berapa ya bu?

I: mintanya 1 kwintal seminggu sekali, kan gabisa. Ya nyarinya ini yang susah, akukan cewe
gabisa kemana mana. Kadang ada yang mau tapi gacocok telonya kalau kurang bagus kan ya
gaenak mbak. Biasanya kalo yang dari luar itu mintanya dipisahin ukuran ukurannya dan

40
mintaya tuh bersih, minta dicuci, yarepot gabisa aku. Mungkin ya bayar orang buat bersihin
tapi ya dana lagi mba.

P: adakah strategi pemasaran yang ibu lakukan untuk menjual telo telo ini?

I: kalo dari aku sih, telo baru datang yang masih keliatan bagus dan seger itu saya jual mahal,
baru yang terakhir akhir saya jual murah karena susut, supaya ga rugi, gitu aja. Nah yang
terakhir itu bisa dibuang kalo rusak atau engga saya jual murah. Tapi sekarang ngambil
untung banyak itu susah karena yang jual banyak, yang beli sedikit.kalau dulu dulu sih telo
satu iket saya gabung supaya keliatan besar, orang pasti seneng yang begitu, tapi ya
harganyadua kali lipat, karena saat orang liat saat lewat sudah keliatan besar, kadang tiga iket
dijadikan satu tapi ya harganya tetap 3 telo. Supaya keliatan besar. Kalau dulu dulu itu
telonya sudah di stok, jaangan dibawa kemana mana, aku yang ambil. Tapi karena ada covid
sepi jadi sekarang kalo ambil telo ya sedikit sedikit saja, paling 50 iket.

P: tapi biasanya yang beli, wisatawan saja atau orang orang sekitar sini suka beli bu?

I: orang orang sini suka, kadang dibawa untuk oleh oleh. Kadang suka kalau ada mantenan
kadang 50 iket diambil semua, untuk oleh oleh dari keluarga.

P: jadi bukan hanya wisatawan ya bu pembelinya

I: bukan

P: kadang tetangga aja yang beli, wisatawan ya banyak juga kalau pas lagi rame

I: cuman kayaknya kalau wisatawan itu biasanya langsung beli di pedagang telo yang ada di
pesarean ya bu?

P: jadi kalau yang disini kebanyakan warga setempat aja ya bu

I: iya, kadang kadang saja wisatawan beli, pas lagi rame. Pasti ada aja kok yang laku, entah
satu atau dua pasti ada. Sesepi sepinya ada satulah yang beli.

P: kira kira bu waktu lagi sepi sepinya minimal seminggu itu penghasilannya telo
keuntungannya bis aberapa bu?

I: ya ga tentu mba bisa habis semua juga

P: biasanya nih bu seminggu kalau stok telonya sudah habis, biasanya ibu ngambil telo lagi
atau tunggu dari tengkulaknya kasih lagi?

41
I: biasanya kalo kemaren kemaren sebelum saya sibuk, kalau ada 50 aku pesen lagi, jadi pasti
ada yang baru supaya keliatan bagus terus telonya. Nah yang sudah lama lama itu aku jadikan
harga nomor 2. Biasanya ada harga nomor 1, 2, sama 3 disesuaikan dengan telonya. Cuman
karen alagi sibuk saya belum sempat urusin telo. Jadi ya itu keliatan ada yang baru dan bagus
terus.

P: biasanya jangka waktu stoknya berapa bu?

I: ga nentu mba tergantung rame atau engganya. Kalau dulu itu ga perminggu, pokoknya
kalau sudah keliatan lama ya langsung saya stok lagi, jadi ya saya ganunggu sampe habis
semua. Kalau nunggu sampai habis ya mandek.

P: ibu pernah mencoba untuk coba pakai sosial media untuk media pemsaran telo ga ya bu?

I: ya kadang kadang kalau telonya lagi banyak paling saya sempat untuk telfon telfon, kadang
juga status.

P: tapikan itu biasanya kalau lagi rame aja bu, kalau semisal lagi sepi terus pernah coba coba
promosi di sosial media ga bu, seperti status whatsapp atau facebook gitu bu. Dan juga
apakah menurut ibu, promosi di sosial mendia itu berpengaruh?

I: ngaruh banget mba, tapi aku ngerasanya aku tuh udah tua jadi cape gitu mba. Biasanya ya
sama anak anak tapi sekolah semua jadi gasempet.

P: tapikan cukup gampang bu, tinggal rekam rekam video atau foto aja terus dikirim ke status
whatsapp.

I: tapi y aitu mba saya gasempet kalau ada pesenan yang banyak, soalnya lagi sibuk juga.

P: jadi sekarang fokusnya lagi bukan ke penjualan telo ya bu?

I:iya mba, tapi ya masih seneng sih mba sama telo ini.

P: tapi biasanya ada hari hari besar, seperti wafatnya Eyang Jugo itu ada pengaruhnya ga b
uke penjualan telo ibu?

I: ngaruh banget mba, pokoknya kalau ada keramaian itu pasti berpengaruh banget mba.

P: kira kira menurut ibu, selain karena penjualan telo yang sudah banyak adakah pengaruh
lain yang menyebabkan penjualan telo menurun?

42
I: covid itu pasti, mungkin daya beli menurun, tapi telo ini permintaanny atetap banyak tapi
karena persaingan ya jadinya yang terjual jadi sedikit.

P: jadi persaingan itu factor penyebab yang paling besar ya bu?

I: kalau dulu dulu waktu say ayang jual sendiri itu banyak banget, dari Surabaya, Jakarta,
kediri, pokoknya banyak.

P: mungkin dari saya segitu saja bu pertanyaannya, mungkin ada cerita atau pengalaman yang
mau ibu ceritakan ke kami? Mungkin bisa diceritakan sedikit tentang telo gunung kawi bu.

I: dari dulu itu ada telo putih sama telo ungu, bahkan dulu itu ada telo kuning tapi sekarang
udah gaada.

P: kok bisa hilang gitu bu?

I: gak tau, pokoknya warnanya itu luarnya ungu dalemnya kuning. Bibitnya abis gatau itu
kemana

P: laku juga itu yang kuning bu?

I: laris mba, dulu itu dibuat rujak, sayang beli itu rata rata orang Surabaya atau pasuruan.
Cuman gatau itu petaninya kenapa.

P:sejak kapan bu telo kuning itu hilang.

I: sudah sekitar lima tahun itu. Dulu itu ada telo lorek mba, coraknya itu ungu sama putih, itu
padahal enak sekali telo itu. Tapi telonya gabisa diiket dijadikan satu gitu mba, kan biasanya
telo diiket, kalo gadiiket kayak telo bawah itu dijualnya kiloan. Kalau disinikan ciri khasnya
diikat gitu mba. Telo itu gaada seratnya, manis, lembut. Gatau itu hilang mba, bibitnya gaada.
Nah yang biasanya nanam itu sudah meninggal jadi gaada yang ngelanjutin, masalahnya dulu
karena gabisa diiket jadi ya susah, copot copot terus.

P: baiklah bu mungkin cukup untuk pertanyaan dari saya. Terima kasih banyak ya bu sudah
mau menyempatkan waktu untuk diwawancarai.

I: iya mba gapapa. Sama sama mba.

43

Anda mungkin juga menyukai