SKRIPSI
SKRIPSI
1. Bapak Dr. Ir. Markum M.Sc dan Bapak Indriyatno S.Hut., M.P.
selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Pembimbing Kedua yang
telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dari persiapan
dan pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.
2. Ibu Febriana Tri Wulandari S.Hut., MP selaku Dosen Penguji.
3. Ketua Program Studi Kehutanan beserta staf yang telah memberikan
bantuan guna kelancaran penulis selama menempuh perkuliahan
dan penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan mama tercinta, saudara dan keponakan tersayang, serta
dae dan yaya terbaik, yang telah banyak memberikan kasih sayang,
dukungan dan do’anya selama ini. Semoga segala bantuan mereka
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Subhaanahu wa
Ta’aala.
5. Rekan-rekan Forester 2013 serta semua pihak yang telah
memberikan dukungan serta semangat sejak awal perkuliahan
hingga akhir penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan,
akan tetapi penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri dan bagi peneliti serta pembaca yang berminat mengkaji
masalah yang sama.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERUNTUKKAN iv
RINGKASAN v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Manfaat Penelitian 6
2. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) 7
2.2 Hutan Kemasyarakatan (HKm) 8
2.3 Masyarakat Desa Hutan dan Kelompok Tani Hutan 10
2.4 Kelembagaan 12
2.5 Evaluasi 12
3. METODOLOGI PENELITIAN 14
3.1 Metode Penelitian 14
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 14
3.3 Bahan dan Alat 14
3.4 Sasaran Penelitian 14
3.5 Jenis dan Sumber Data 14
3.6 Variabel Penelitian 15
3.7 Teknik Pengumpulan Data 15
3.8 Penentuan Responden 15
3.9 Analisis Data 16
vii
5. KESIMPULAN DAN SARAN 41
5.1 Kesimpulan 41
4.2 Saran 41
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Jumlah Anggota GAPOKTAN Mertesari 16
2. Kriteria dan Kategori Nilai Evaluasi HKm Senggigi 17
3. Peruntukkan Lahan di Desa Senggigi 18
4. Jenis Tanah di Lahan HKm Senggigi 19
5. Kelas Kelerengan HKm Senggigi 19
6. Hasil Analisa Data Variabel Perencanaan 23
7. Anggota Kelompok HKm GAPOKTAN Mertesari 25
8. Hasil Analisa Data variabel Keberhasilan 26
Kelembagaan
9. Hasil Analisa Data Variabel Kewajiban Lain 28
10. Hasil Analisa Data Variabel Pemberdayaan 30
Masyarakat
11. Hasil analisa data aspek tata kelola usaha 32
12. Penilaian kinerja pengelolaan HKm Senggigi 33
13. Faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi 34
14. Faktor penghambat pengelolaan HKm Senggigi 37
ix
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1. Umur Responden 20
2. Jenis Kelamin Responden 21
3. Pekerjaan Responden 21
4. Status Responden 22
x
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1 Penilaian Skoring Per Variabel Penelitian 45
2 Skor Tabulasi Variabel Perencanaan 51
3 Skor Tabulasi Variabel Keberhasilan Kelembagaan 52
4 Skor Tabulasi Variabel Kewajiban Lain 54
5 Skor Tabulasi Variabel Pemberdayaan Masyarakat 55
6 Skor Tabulasi Variabel Tata Kelola Usaha 57
7 Nama Responden dan Status Keanggotaan 59
8 Peta Blok Kerja IUPHKm Senggigi 60
9 Dokumentasi Penelitian 61
10. Analisis Data Penilaian Kriteria dan Indikator 65
Evaluasi Pengelolaan HKm Senggigi Berdasarkan
Aspek Tata Kelola Kelembagaan Dan Usaha
xi
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Deforestasi dan degradasi hutan masih menjadi masalah krusial
yang dihadapi oleh sektor kehutanan saat ini. Laju deforestai dari
tahun 2013 hingga 2014 di Indonesia ialah 0,4 juta ha/tahun
(KEMENLHK, 2015). Banyak faktor yang memicu terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan, diantaranya adalah kondisi sosial
masyarakat sekitar kawasan hutan yang relatif masih rendah,
masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan
sumberdaya hutan, konflik tenurial yang sering berujung pada
perebutan lahan, serta tidak seimbangnya permintaan dan
persediaan kayu yang berpengaruh terhadap perkembangan
industri perkayuan nasional (Hakim et al. 2010). Melalui hal ini
dapat kita ketahui bahwa sektor kehutanan Indonesia memerlukan
sebuah reformasi dalam pembangunan kehutanan Indonesia agar
permasalahan-permasalahan tersebut dapat teratasi.
Perhatian pemerintah terhadap pengelolaan hutan di Indonesia
pada kenyataanya sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat melalui
banyaknya peraturan serta kebijakan yang dikeluarkan setiap tahun
terkait pembangunan sektor kehutanan Indonesia. Melihat kondisi
sektor kehutanan Indonesia yang semakin memprihatinkan,
pemerintah Indonesia mengambil langkah baru dalam sistem
pembangunan kehutanan Indonesia dengan tujuan untuk
memperbaiki sektor kehutanan Indonesia. Pemerintah menyadari
peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sungguh besar
sehingga pemerintah memutuskan memilih perhutanan sosial
sebagai salah satu alternatif untuk menghadapi persoalan yang
ada disektor kehutanan Indonesia. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hakim et al. (2010) bahwa perhutanan sosial
merupakan salah satu program yang dimiliki oleh Kementerian
kehutanan dalam rangka kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
memiliki tujuan untuk mengubah prinsip pembangunan kehutanan
Indonesia dari timber based forest management menjadi
community based forest management.
Bentuk pengelolaan hutan sebelumnya telah dijabarkan ke dalam
serangkaian peraturan menteri yang mengakomodir pengelolaan
hutan oleh masyarakat seperti yang diamanatkan dalam PP 6
Tahun 2007 Jo. PP 3 Tahun 2008. Dalam rangka mendukung
implementasi dari PP 6 Tahun 2007 Jo. PP 3 Tahun 2008 tersebut
maka terbitlah Permenhut No. P. 37/Menhut-II/2007 yang telah
direvisi menjadi P. 52/Menhut- II/2011 tentang revisi ketiga terkait
pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan, revisi ketiga ini khusus
1
mengenai Pasal 8 terkait peran UPT Direktorat Jenderal Bina
Pengelolaan DAS dan Pehutanan Sosial dalam pengajuan HKm
(Rahmina et al. 2012) dan revisi terakhir pada Permen LHK No.
83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang perhutanan sosial.
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah sistem
pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang
bersinergi antara pengelola hutan dan masyarakat desa hutan atau
para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah
satu bentuk program perhutanan sosial yang telah berkembang
dalam konteks pengelolaan hutan Indonesia serta telah mengikuti
proses dan dinamika kehidupan masyarakat dan kelembagaan
pedesaan pada tingkat lapang (Hakim et al. 2010). PP No.6/2007
menyebutkan bentuk dari PHBM terbagi menjadi beberapa jenis
diantaranya Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD),
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan
Kehutanan (KK).
FKKM (2015) dalam Sudarsono (2016) menyatakan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mentargetkan 12,7 juta ha
perhutanan sosial, meliputi HKm, HD, HTR, dan HD pada 2014-
2019. Target luasan perhutanan sosial itu belum termasuk
Kemitraan Kehutanan. Target minimal perhutanan sosial adalah
seluas 12,7 juta ha di areal hutan lindung, produksi terbatas dan
produksi tetap. Hingga 2015, luas Penetapan Area Kerja (PAK) dan
Ijin HKm, HD dan HTR mencapai 1,382,956.09 ha. Sementara area
kerja yang sudah mendapat ijin usaha pemanfaatan baru seluas
308,433 ha. Dengan demikian luas PAK masih tersisa 840.287,09
ha.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat setempat, dengan sasaran adalah kawasan hutan
lindung dan hutan produksi; belum dibebani hak pengelolaan atau
izin pemanfaatan; menjadi sumber mata pencaharian masyarakat
setempat serta ijin diberikan kepada “Kelompok Masyarakat
Setempat” (Rahmina et al. 2012). Salah satu propinsi yang telah
melaksanakan praktik HKm adalah propinsi Nusa Tenggara Barat.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk daerah yang aktif
mengusulkan Penetapan Areal Kerja (PAK) untuk Hutan
Kemasyarakatan (HKm). Data yang ada di Kemenhut (2014) dalam
Markum et al. (2015), menunjukkan bahwa NTB telah
mendapatkan penetapan areal kerja (PAK) seluas 24.601,5 ha, dan
2
dari luas tersebut, sebesar 34,59% sudah ditindaklanjuti dengan
penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) oleh Bupati.
Keberadaan IUPHKm di NTB bukan hanya atas kerjasama
pemerintah dengan masyrakat semata, namun HKm secara tidak
langsung menjadi tempat kolabarasi berbagai pihak untuk
membangun sinergi pengelolaan HKm di NTB. Selain aktif
mengusulkan PAK HKm, propinsi Nusa Tenggara Barat juga
memberikan dukungan inisiasi HKm melalui penerbitan kebijakan
terkait Hkm guna membangun kesepahaman dan menyatukan
persepsi dan komitmen para pihak dalam penyelenggaraan HKm
yang ada di propinsi Nusa Tenggara Barat, hingga tahun 2014 total
23 kebijakan daerah propinsi Nusa Tenggara Barat yang
dikeluarkan terkait pengelolaan HKm.
Pasang surut dalam implementasi HKm di propinsi Nusa Tenggara
Barat merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Nandini (2013)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa implentasi program HKm
pada hutan lindung dan hutan produksi di pulau Lombok memang
sudah memberikan dampak bagi masyarakat walaupun kontribusi
yang diberikan terhadap pendapatan masyarakat oleh keberadaan
HKm belum dirasa optimal. Pendapat yang berbeda diberikan oleh
Markum et al. (2015), program HKm sesungguhnya telah
memberikan kontribusi dalam mengurangi jumlah rumah tangga
miskin di NTB. Diperkirakan, dari seluruh jumlah penduduk miskin
yang berhasil dientaskan selama tahun 2009 sampai dengan tahun
2014 (dari 26 % turun menjadi 17,24 %), maka minimal 8,5% dari
total penurunan tersebut, atau sebanyak 29.672 penduduk miskin
telah terentaskan karena kontribusi dari program HKm.
Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten yang
ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki kawasan hutan
seluas 41.980,90, dapat dikatakan sebanyak 39,83% dari
keseluruhan luasan daratan kabupaten Lombok Barat merupakan
kawasan hutan (Nusa Tenggara Barat dalam Angka, 2015),
dengan kondisi tersebut maka sektor kehutanan di Kabupaten
Lombok Barat mempunyai peran dan posisi penting dalam
pembangunan daerah. Peran strategis dari keberadaan kawasan
hutan tersebut dapat dilihat dari tingginya suplay sumberdaya air
untuk memenuhi kebutuhan irigasi maupun rumah tangga di
wilayah Pulau Lombok. Selain itu, kawasan hutan juga
dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat
terutama masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan
sehingga kelestarian hutan di Kabupaten Lombok Barat semestinya
harus tetap dijaga dan dipelihara. Disisi lain, gagasan dan
berbagai praktek pengelolaan sumberdaya hutan yang menjadi
3
percontohan bagi Indonesia lahir di kabupaten ini, seperti praktek
pengelolaan jasa lingkungan, Praktek pengelolaan sumberdaya
hutan berbasis masyarakat (PHBM) maupun inisiasi
pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Ichsan et al.
2014).
Hutan Kemasyarakatan (HKm) Senggigi merupakan salah satu
bentuk praktik perhutanan sosial dalam pola Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat (PHBM) yang telah memiliki IUPHHKm
seluas 226 Ha sejak tahun 2011 berdasarkan keputusan Bupati
Lombok Barat No. 789/45/DIHUT/2011. Keberadaan HKm Senggigi
diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
ada disekitar kawasan hutan dengan tetap memperhatikan
kelestarian sumberdaya alam. Secara tidak langsung HKm
Senggigi telah menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat
disekitar kawasan hutan.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil
pengelolaan HKm Senggigi dari aspek kelembagaan dan aspek
usaha. Aspek kelembagaan dan aspek usaha merupakan hal yang
memegang peranan penting dalam pengelolaan HKm. Hakim et al .
(2010) menyebutkan Aspek kelembagaan menjadi penting dalam
rencana pemberdayaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan
sedangkan Markum et al. (2015) menyatakan Kelembagaan atau
kelompok bagi masyarakat pengelola HKm di Provinsi NTB adalah
sebuah perekat komunikasi dan media silaturrahmi. Hal ini terjadi
karena adanya kolaborasi yang baik antar para pihak yang dimulai
sejak adanya inisiasi pembentukan HKm.
Aspek usaha memiliki peranan penting dalam tujuan pengelolaan
HKm yang ingin mensejahterahkan masyarakat disekitar kawasan
hutan yang ikut mengelola kawasan secara langsung mapun tidak
langsung. Melalui kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat
disekitar kawasan hutan, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang
berada disekitar kawasan hutan akan memiliki manfaat yang besar
bagi masyarakat. Keberadaan HKm diharapkan dapat memberikan
manfaat yang optimal bagi masyarakat disekitar kawasan hutan
sehingga masyarakat sejahtera dan hutan dapat terus lestari.
Nandini (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aspek
ekonomi (usaha) masih berada dalam kategori sedang dalam
pengelolaan HKm Darussadiqien Lombok hal ini karena HKm
belum memberikan kontribusi yang nyata terhadap pendapatan
masyarakat.
Menurut peraturan menteri kehutanan No.83 Tahun 2016, HKm
adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk
4
memberdayakan masyarakat setempat yang izin pengelolaannya
diberikan selama kurun waktu 35 tahun. Dengan kurun waktu
tersebut pengelola HKm wajib melakukan monitoring pengelolaan
selama satu tahun sekali serta melakukan evaluasi secara berkala
selama lima tahun sekali. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini
dilakukan guna memperoleh data dan hasil sejauh mana kemajuan
dari pengelolaan HKm berdasarkan IUPHHKm yang telah
diterbitkan. Sehingga hasil dari monitoring dan evaluasi tersebut
diharapkan mampu membantu pengelola dalam menetukan arah
pengelolaan yang lebih baik dari sebelumnya serta dapat
menentukan apakah IUPHHKm selanjutnya dapat diperpanjang
atau tidak. Sudarsono (2016) menyatakan evaluasi pengelolaan
HKm dapat dilakukan oleh pihak pemberi izin setiap satu tahun
sekali.
Dalam prosesnya, pengelolaan HKm senggigi tentu saja memiliki
hambatan ataupun permasalahan yang dihadapi selama proses
pengelolaan HKm Senggigi berlangsung. Oleh karena itu, selain
memperoleh hasil evaluasi dari aspek kelembagaan dan aspek
usaha, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan saran
atau masukan terkait permasalahan yang terdapat dalam
pengelolaan HKm Sengigi. Berdasarkan uraian tersebut diatas
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Evaluasi Pengelolaan HKm berdasarkan Aspek Kelembagaan dan
Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat.”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat diperoleh
rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengelolaan HKm Senggigi dari aspek
kelembagaan dan usaha?
2. Apa sajakah yang menjadi pendukung dan penghambat dalam
pengelolaan HKm Senggigi?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kinerja pengelolaan HKm Senggigi dari aspek
kelembagaan dan usaha.
2. Mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam
pengelolaan HKm Senggigi.
1.4. Manfaat Penelitian
5
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Bagi pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu
menjadi informasi baru mengenai pengelolaan HKm Sengigi
sehingga dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam
proses pengambilan kebijakan terkait pengelolaan HKM
Senggigi.
2. Bagi pengelola HKM, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan yang sesuai untuk mengelola HKM Sengigi
menjadi lebih baik lagi kedepannya.
3. Bagi pembaca, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan bacaan yang berkualitas dan sangat bermanfaat
terkait dengan pengelolaan hutan yang ada di HKM Senggigi
khususnya.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah
satu bentuk program perhutanan sosial yang telah berkembang
dalam konteks pengelolaan hutan Indonesia serta telah mengikuti
proses dan dinamika kehidupan masyarakat dan kelembagaan
pedesaan pada tingkat lapang (Hakim et al. 2010). PHBM adalah
sistem pengelolaan hutan yang memberikan hak, kewajiban dan
tanggungjawab masyarakat setempat untuk mengelola hutan. PHBM
merupakan wujud keberpihakan negara agar hasil dari
pembangunan kehutanan menetes kepada masyarakat paling bawah
(Sudarsono, 2016).
Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
melaksanakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat antara lain
(Rahmina et al. 2012):
1. Mempunyai akses atau hak secara sah dalam pemanfaatan dan
pemungutan hutan selama masa izin berlaku dan hak ini dapat
diperpanjang,
2. Usaha pengelolaan hutan termasuk hasil hutan non kayu dapat
bermanfaat untuk menambah sumber pendapatan desa dan
keluarga,
3. Bila hutan tersebut dikelola dengan pola pengelolaan yang
lestari, produk hasil hutan yang diproduksi dimungkinkan untuk
memperoleh sertifikasi. Harga jual produk yang sudah
disertifikasi ini biasanya akan lebih tinggi daripada produk yang
tidak disertifikasi.
4. Peningkatan kapasitas organisasi masyarakat baik kelompok
dan perseorangan dalam bentuk kegiatan penyuluhan,
sosialisasi, pelatihan, pertemuan-pertemuan kelompok dan
berbagi pengalaman dan pengetahuan antar sesama pelaku
PHBM, Penyuluh Kehutanan, dan pendamping.
5. Dalam pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat,
masyarakat akan memperoleh pendampingan dan bimbingan
teknis dalam pembentukan dan pengembangan organisasi atau
lembaga pengelola hutan di tingkat desa, bimbingan
administrasi dan manajerial, ataupun bimbingan dalam aspek
teknis kehutanan dan pengolahan hasil hutan dari para
Penyuluh Kehutanan atau pendamping lain yang relevan.
7
6. Pendanaan yang dikelola oleh masyarakat/kelompok/ koperasi
dan dialokasikan untuk pelaksanaan pengembangan Hutan
Desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan hutan
rakyat;
7. Melalui peranserta dalam pengelolaan hutan bersama
masyarakat, masyarakat telah berkontribusi dalam program
pelestarian hutan di Indonesia.
2.2. Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83
Tahun 2016 Hutan Kemasyarakatan merupakan hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat. Rahmina et al. (2012) juga menyebutkan Hutan
Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, dengan
sasaran adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi; belum
dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; menjadi sumber
mata pencaharian masyarakat setempat; serta izin diberikan kepada
“Kelompok Masyarakat Setempat”. Areal kerja Hutan
Kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan
yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok
masyarakat setempat secara lestari yang memegang IUPHKm pada
hutan lindung maupun IUPHHK HKm pada hutan produksi. Dalam
PERMENLHK No. 83 Tahun 2016 dikatakan bahwa Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatran yang selanjutnya disingkat
IUPHHKm merupakan izin usaha yang diberikan kepada kelompok
atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan
hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan
produksi.
Hutan kemasyarakatan merupakan hutan negara dengan sistem
pengeloaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat tanpa menggangu fungsi pokoknya. Tujuan
pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan nilai ekonomi, nilai
budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola,
dan masyarakat setempat. Hutan Kemasyarakatan ditujukan atau
bisa dimanfaatkan oleh masyarakat petani di sekitar kawasan hutan
yang memiliki ketergantungan pada kawasan hutan tersebut dengan
sistem pendekatan areal kelola/hamparan kelola. Dalam hal ini,
Hutan Kemasyrakatan memberikan kepastian hukum atas status
lahan kelola bagi masyarakat yang membutuhkannya. Hutan
Kemasyarakatan juga bertujuan agar hutan lestari masyarakat
sejahtera. Konsep Hutan Lestari melalui pola-pola pengelolaan di
lahan HKm diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga
8
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka melalui
penganekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di lahan HKm,
Hakim et al. (2010).
Dalam pengelolaan HKm, kelompok tani diharuskan menanam
tanaman dengan sistem MPTS (Multi Purpose Trees Species).
Manfaat penerapan sistem tanam yang multi-guna seperti ini
diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka melalui keanekaragaman hasil dari
tanaman yang ditanam di lahan HKm. Cahyaningsih., Pasya.,
Warsito., (2006) telah membagi manfaat HKm kedalam tiga aspek
diantaranya manfaat HKm bagi masyarakat, Manfaat HKm bagi
pemerintah serta manfaat HKm terhadap fungsi Hutan dan Restorasi
Habitat.
Manfaat HKm untuk masyarakat antara lain (1) Pemberian izin kelola
HKm memberikan kepastian hak akses untuk turut mengelola
kawasan hutan. Masyarakat atau kelompok tani HKm menjadi pasti
untuk berinvestasi dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya
mereka, (2) Menjadi sumber mata pencarian dengan memanfaatkan
hasil dari kawasan hutan. Keanekaragaman tanaman yang
diwajibkan dalam kegiatan HKm menjadikan kalender musim panen
petani menjadi padat dan dapat menutupi kebutuhan sehari-hari
rumah tangga petani HKm. (3) Kegiatan pengelolaan HKm yang juga
menjaga sumber-sumber mata air dengan prinsip lindung,
berdampak pada terjaganya ketersediaan air yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan rumahtangga dan kebutuhan pertanian
lainnya. (4) Terjalinnya hubungan dialogis dan harmonis dengan
pemerintah dan pihak terkait lainnya. Diskusi-diskusi dan komunikasi
yang dibangun dan dilakukan melalui kegiatan HKm telah
menghasilkan komunikasi yang baik dan harmonis antar para pihak,
yang dulu merupakan sesuatu hal yang jarang ditemukan. (5)
Adanya peningkatan pendapatan non tunai dalam bentuk pangan
dan papan.
Manfaat HKm untuk Pemerintah antara lain (1) Kegiatan HKm
memberikan sumbangan tidak langsung oleh masyarakat kepada
pemerintah, melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan
swadana. (2) Adanya peningkatan pendapatan pemerintah daerah
untuk pembangunan hutan lestari masyarakat sejahtera. (3) Kegiatan
teknis di lahan HKm, yang mewajibkan kelompok melakukan
penerapan pengolahan lahan berwawasan konservasi (menerapkan
terasiring, guludan, rorak, dll), dan melakukan penanaman melalui
sistem MPTS, membawa pembaikan pada fungsi hutan. (4) Kegiatan
HKm berdampak kepada pengamanan hutan (menurunkan
9
penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan, dan perambahan
hutan). Kegiatan pengamanan hutan tersebut, tercantum dan
merupakan bagian dari program kerja masing-masing kelompok
HKm. (5) Terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan
aturan dan mekanisme kerja kelompok).
Manfaat HKm terhadap fungsi Hutan dan restorasi habitat antara lain
(1) Terbentuknya keanekaragaman tanaman (tajuk rendah, sedang,
dan tinggi). (2) Terjaganya fungsi ekologis dan hidro-orologis, melalui
pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan.
(3) Terjaganya blok perlindungan yang dikelola oleh kelompok
pemegang ijin HKm yang diatur melalui aturan main kelompok. (4)
Kegiatan HKm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang
telah ada sebelumnya, beserta habitatnya.
Dalam proses pelaksanaan pengelolalaan HKm, tantangan
merupakan hal yang sudah tidak biasa lagi bagi para pengelola.
Markum et al. (2015) telah memaparkan beberapa tantangan
pengelolaan HKm kedepannya meliputi: (1) Kemajuan dalam
Pemberian ijin Penetapan Areal HKm (land tenure
based), belum diimbangi dengan upaya Pembinaan Tata
Kelola Lahan secara berkelanjutan (land use management based).
(2) Kasus Illegal logging dan perambahan hutan di lokasi HKm dan
sekitar HKm masih banyak. (3) pengemanan dan penegakan hukum
yang belum efektif. (4) Tata kelola HKm sudah berhasil secara
ekonomi namun belum berhasil secara konservasi (5) Meningkatnya
pencapaian produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) belum
didukung oleh pengembangan bisnis yang terintegrasi. (6) Kebijakan
tentang kemitraan kehutanan dan UU tentang Pemerintahan Daerah
telah menyebabkan situasi ketidak pastian terhadap proses perizinan
dan pembinaan HKm.
2.3. Masyarakat Desa Hutan dan Kelompok Tani Hutan
Desa Hutan didefinisikan sebagai wilayah desa yang secara
geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan, atau
disekitar kawasan hutan (Perum Perhutani 2001). Masyarakat desa
hutan adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di desa
hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumber
daya hutan untuk mendukung kehidupannya. Sedangkan pihak yang
berkepentingan adalah pihak-pihak yang mempunyai perhatian dan
berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya
PHBM selain Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan, yaitu
Pemerintah, LSM, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial
Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan dan Lembaga
Donor (Awang et al. 2008).
10
Departemen Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa masyarakat
sekitar hutan adalah kelompok-kelompok orang warga negara yang
bermukim didalam maupun disekitar hutan dan memiliki ciri-ciri
sebagai suatu komunitas, baik oleh kekerabatan, kesamaan mata
pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan,
keterkaitan tempat tinggal bersama, maupun faktor komunitas
lainnya. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri
dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal disekitar
kawasan hutan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau yang
bermukim di dalam kawasan hutan Negara dibuktikan dengan
memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan kawasan
hutan dan bergantung pada hutan serta aktivitasnya dapat
berpengaruh terhadap ekosistem hutan (PERMENLHK No. 83 tahun
2016).
Menurut Permenhut No. 57 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembinaan Kelompok Tani Hutan, Kelompok Tani Hutan merupakan
kumpulan petani atau perorangan warga negara Indonesia berserta
keluarganya yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam
dan di luar kawasan hutan yang meliputi usaha hasil hutan kayu,
hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, baik di hulu maupun di
hilir.
Menurut Swadaya (1988) dalam Suratiyaningrum (2013) sebagai
perkumpulan orang disekitar hutan, Kelompok tani hutan mempunyai
tujuan, sebagai berikut:
1. Membina dan mengembangkan usaha anggota di bidang :
proses produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil usaha,
2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota,
3. Ikut serta membangun dan melestarikan hutan melalui
kerjasama dengan Perum Perhutani,
4. Memberikan pelayanan/menyalurkan kepada anggota yang
menyangkut kebutuhan,
5. Usaha produktif, misalnya dalam hal usaha tani : pupuk,
insektisida, dan alat-alat pertanian,
6. Meningkatkan kesejahteraan anggota, merupakan tujuan akhir
terbentuknya Kelompok Tani Hutan.
11
2.4. Kelembagaan
Kelembagaan adalah suatu perangkat peraturan dan organisasi yang
membuat serta mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan
tersebut dalam suatu hubungan yang teratur diantara orang-orang
yang menetukan hak-haknya mengenai suatu sistem
pengorganisasian dan pengawasan terhadap pemakaian
sumberdaya. Sistem ini memiliki batas-batas hukum, hak pemilikan
dan aturan perwakilan sehingga kelembagaan dapat memberikan
peluang yang dapat dipilih oleh masyrakat (Departemen Kehutanan,
1992). Sedangkan definisi kelembagaan menurut Djogo et al. (2003)
adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat
atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan
bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi
dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan faktor-faktor
pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal
maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif
untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama.
Dalam rangka mewujudkan tata kelola HKm yang baik harus
ditunjang oleh adanya kolaborasi yang baik antara kelembagaan
yang ada, khususnya antara pemerintah, pemerintah daerah, LSM,
pelaku usaha, dan kelompok masyarakat. Kolaborasi diperlukan
dalam rangka mendukung penguatan peran kelembagaan pada
tingkat masyarakat atau kelompok dalam mengelola arus informasi
untuk anggotanya agar lebih dinamis (Markum et al. 2015).
Cahyaningsih et al. (2006) menyebutkan rencana kelembagaan
dalam Hutan Kemasyarakatan meliputi hal-hal antara lain : (1)
Adanya jadwal pertemuan reguler kelompok. (2) Kegiatan
pendataan/pengkayaan data kelompok dan ada proses yang
diperbaharui. (3) Program monitoring dan evaluasi berkala yang
bertujuan memantau terlaksananya rencana kerja berdasarkan yang
telah disepakati bersama. (4) Rencana kegiatan pengembangan
usaha ekonomi produktif.
2.5. Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan penilaian secara terpadu yang
dipergunakan sebagai upaya rekfleksi (bercermin diri), intropeksi
(koreksi diri), perbaikan kinerja, pembinaan, dan sebagai media
belajar bersama; serta bukan sebagai alat represif (menekan dan
memaksakan kehendak). Monitoring dan evaluasi (monev) HKm
partisipatif adalah upaya pengendalian secara partisipatif, melibatkan
para pihak terkait, terhadap pelaksanaan HKm dalam rangka
mengetahui peningkatan kemajuan/ perkembangan/ pencapaian/
12
hambatan pengelolaan HKm dari rencana kerja yang telah dibuat
dan sebagai media belajar bersama (Cahyaningsih et al. 2006).
Awang et al. (2008) juga menjelaskan Kegiatan penilaian (evaluasi)
dimaksudkan untuk menganalisis sampai seberapa jauh kegiatan
fisik dan non fisik dalam pengelolaan lahan HKm, pada jangka
pendek, menengah, panjang apakah telah sesuai dengan
kesepakatan bersama antara para pihak. Apabila ada perbedaan
dan tidak tercapai target-target pekerjaan yang seharusnya dicapai,
maka kegiatan evaluasi harus mendapatkan penyebabnya mengapa
kegiatan tidak sesuai atau sesuai dengan perencanaan dan
bagaimana solusi selanjutnya.
Menurut Tjoetra (2008) dalam Sudarsono (2016), manfaat Monev
adalah:
a. mengenali sejak dini dan menemukan masalah-masalah
penting agar tidak semakin meluas dan menimbulkan krisis baik
dalam organisasi, anggota pengelola hutan maupun lingkungan.
b. menilai dan menemukan kebutuhan-kebutuhan baru untuk
memperbaiki program atau kegiatan-kegiatan berikutnya.
c. melacak perkembangan, kemajuan pelaksanaan
proyek/program dan pengelolaan organisasi sesuai dengan
tujuan/strategis/visi/misi organisasi.
d. membantu organisasi secara berkala dalam melakukan
penilaian diri terhadap hubungan antara visi, misi dan posisi
strategis organisasi.
e. menarik pelajaran-pelajaran penting dari pengalaman
pelaksanaan program yang lalu sebagai basis perencanaan
program selanjutnya.
13
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif, yaitu penelitian yang berfungsi untuk mendeskripsi
atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti, melalui data
sampel atau populasi sebagaimana adanya (Sugiyono, 2014).
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan HKm Senggigi kabupaten
Lombok Barat. Lokasi ini sengaja dipilih sebagai lokasi penelitian
karena HKm ini salah satu HKm yang terletak di Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Sebelum menjadi HKm, kawasan Hutan Senggigi
merupakan kawasan Hutan Lindung. Untuk mempermudah
masyarakat dalam mengelola hutan, maka pada tahun 2011
diterbitkanlah IUPHKm. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti
merasa lokasi HKm Senggigi sudah relevan dengan tujuan penelitian
untuk melakukan evaluasi HKm Senggigi berdasarkan aspek
kelembagaan dan aspek usaha.
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan dari bulan Maret
sampai bulan April tahun 2017.
3.3. Bahan dan Alat
Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain adalah profil
HKm Senggigi, data iklim, data sekunder yang diperoleh dari instansi
terkait dan kuisioner. Alat yang digunakan pada penelitian ini antara
lain adalah ATK, talley sheet, kamera, dan tape recorder.
3.4. Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini antara lain pengurus dan anggota
kelompok tani HKm Senggigi yang aktif menggarap lahan HKm
Senggigi yang terikat dibawah Gapoktan Merta Sari dan KPHL
Rinjani Barat.
3.5. Jenis dan Sumber Data
3.5.1. Jenis Data
Pada penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data kuantitatif
dan data kualitatif. Data kuantitatif dalam penelitian ini ialah hasil
skoring evaluasi pengelolaan HKm Senggigi. Sedangkan data
kualitatif dalam penelitian ini ialah dokumen-dokumen terkait
pengelolaan HKm Senggigi.
14
3.5.2. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini ialah keterangan
responden dari hasil wawancara dan total skoring dari Instrument
Monev. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini ialah
dokumen-dokumen terkait pengelolaan HKm Senggigi.
3.6. Variabel Penelitian
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah:
a. Tata kelola kelembagaan, yang terdi dari sub-sub variabel
diantaranya:
- Perencanaan
- Kelembagaan
- Kewajiban lain, dan
- Pemberdayaan masyarakat.
b. Tata kelola usaha HKm Senggigi.
c. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Tata Kelola
Kelembagaan dan Usaha HKm Senggigi
3.7. Teknik Pengumpulan data
a. Observasi yaitu pengumpulan data melalui kunjungan dan
penilaian langsung kelapangan terhadap kondisi biofisik
kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan kondisi tata
kelola kawasan lahan (Sudarsono, 2016).
b. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab, sambil bertatap
muka antara si penanya atau pewawancara
c. Pemeriksaan Dokumen
Pemeriksaan dokumen dilakukan dengan memeriksa
ketersediaan dan kelengkapan isi dokumen RU dan RKT
(Sudarsono, 2016).
3.8. Penentuan Responden
Penentuan sampel responden pada penelitian ini menggunakan
Purposive Sampling dan Sampling Quota. Purposive Sampling
adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Penggunaan purposive sampling dalam menentukan kriteria
responden yang dipilih. Responden yang dipilih untuk diwawancarai
15
harus memenuhi kriteria diantaranya responden menjadi pengurus
dalam Gapoktan Mertesari dan merupakan anggota aktif (rutin
mengikuti pertemuan kelompok, aktif menggarap lahan yang ada di
kawasan). Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel
dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota)
yang diinginkan (Sugiono, 2014). Populasi dalam penelitian ini
berjumlah 509 orang yang diperoleh dari total keseluruhan anggota
GAPOKTAN Mertesari. Pembagian anggita kelompok GAPOKTAN
Mertesari dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1. Jumlah Anggota GAPOKTAN Mertesari
Jumlah
No. Nama Kelompok Anggota
1. Angen 44
2. Lestari 41
3. Patuh 42
4. Susah Seneng 42
5. Beriuk Tinjal 55
6. Cinta Damai 57
7. Baru Ures 44
8. Beriuk Maju 50
9. Kasoh Begawean 96
10. Suka Maju 38
Total 509
Sumber: Rencana Umum HKm Senggigi, 2011.
Pemakaian sampling kuota digunakan untuk menentukan jumlah
responden yang digunakan pada penelitian ini. Oleh karena itu,
maka Dri jumlah populasi 509 orang dipilih pengurus inti GAPOKTAN
Mertesari yang berjumlah 3 orang dan perwakilan pengurus dari
masing-masing sub kelompok yang berjumlah 10 orang yang
berstatus sebagai pengurus kelompok. Selanjutnya dari pengurus
sub kelompok tersebut diperoleh informasi anggota yang dianggap
aktif sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya
sehingga jumlah anggota yang akan diwawancarai adalah sejumlah
10 orang anggota aktif. Dari pemaparan tersebut dapat diketahui
jumlah responden keseluruhan dalam penelitian ialah sebanyak 23
orang.
3.9. Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini diperoleh
berdasarkan dari pedoman monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan PHBM oleh Suwarsono (2016). Data yang
16
terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dianalisis untuk mendapatkan
ukuran evaluasi yang didasarkan pada sistem scoring (lampiran 1),
yaitu dilaksanakan pada bobot masing-masing aspek secara
berimbang sesuai jumlah pertanyaan dalam kuesioner.
Hasil penilaian skoring dari 5 sub variabel selanjutnya dapat
dilakukan penilaian umum evaluasi HKm Senggigi berdasarkan
kriteria yang diadaptasi dari panduan Monev Sudarsono (2016)
sehingga menghasilkan kategori nilai sebagai berikut:
Tabel 3.2. Kriteria dan Kategori Nilai Evaluasi HKm Senggigi
Kategori Nilai
Kisaran
No. Kriteria
Nilai Sangat Cukup Kurang Tidak
Baik
Baik Baik Baik Baik
17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak dan Luas Wilayah Desa Senggigi
Berdasarkan administratif kewilayahan, Desa Senggigi berada dalam
wilayah kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat.
Berdasarkan RTRW Propinsi wilayah Senggigi merupakan kawasan
strategis nasional. Desa Senggigi adalah desa dengan tipologi desa
ekowisata yang berada di pesisir pantai. Desa Senggigi berbatasan
langsung dengan Desa Malaka sebelah utara, Desa Batu Layar
sebelah selatan, Selat Lombok sebelah barat, dan Desa Bengkaung
sebelah timur.
4.1.2. Letak dan Luas Kawasan Hutan Senggigi
Luas kawasan hutan di wilayah Desa Senggigi mencapai 871,7 ha
terdiri dari hutan lindung seluas 475,60 ha dan hutan konservasi
seluas 396,10 ha. Secara umum, peruntukkan lahan di Desa
Senggigi disajikan dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4.1. Peruntukkan Lahan di Desa Senggigi kecamatan Batu Layar
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)
2. Permukiman 405,20
3. Perkebunan 383,030
5. Hutan
- Hutan Lindung 475,60
- Hutan Konservasu 396,10
6. Pekarangan 37,28
18
4.1.3. Letak dan Luas Kawasan Hutan Kemasyarakatan Senggigi
Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Senggigi merupakan
kawasan hutan yang memiliki luasan seluas 226 ha dengan fungsi
lindung yang terletak pada Register Tanah Kehutanan (RTK) 1
Rinjani yang berbatasan langsung dengan Pusuk dan TWA
Kerandangan di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan
pemukiman penduduk, sebelah barat berbatasan dengan
pemukiman penduduk dan sebeah timur berbatasan dengan
pemukiman penduduk dan hutan Batu Bolong.
4.1.4. Jenis Tanah HKm Senggigi
Secara umum, tanah di wilayah DAS Dodokan Sub DAS Meninting
sebagian besar bahan maupun sifat-sifatnya dipengaruhi oleh
aktifitas Gunung Rinjani karena berdasarkan kawasan hutan masuk
dalam gugusan RTK 1 Rinjani.
Tabel 4.2. Jenis Tanah di Lahan HKm Senggigi
No. Jenis Tanah Luas (Ha) %
1. 8-15 91 72,22
2. 15-25 20 15,87
3. 25-45 15 11,90
19
4.2. Gambaran Umum Responden
20
Jumlah Responden
15
10 21-40
5 41-60
0 >60
21-40 41-60 >60
Umur Responden
Gambar 4.1. Umur Responden
20
25
Jumlah Responden
20
15 Laki-laki
10
5 Perempuan
0
Laki-laki Perempuan
Jenis Kelamin Responden
25
Jumlah Responden
20
15
10
5
0
Petani Petani + Wiraswasta Petani + Perangkat
Pekerjaan Responden Desa
Gambar 4.3. Pekerjaan Responden
21
Pada gambar 4.3 dapat diketahui bahwa jenis mata pencaharian
utama responden paling banyak ialah sebagai petani dengan
presentase sebesar 82,61% (19 orang). Responden berpendapat
dengan jenis pekerjaan utama mereka sebagai petani dapat
menjadikan mereka lebih memperhatikan dan memprioritaskan hasil
produksi dari kawasan HKm Senggigi. Sedangkan responden yang
memilih pekerjaan sampingan sebagai wirausaha beranggapan
bahwa ketika musim panen belum tiba, mereka dapat menggunakan
waktu mereka untuk berwirausaha. Walaupun mereka memiliki mata
pencaharian sampingan selain bertani. Kegiatan berkunjung ke
kawasan HKm tetap mereka lakukan sedikitnya 2-3 kali seminggu.
Intensitas berkunjung petani yang memiliki mata pencaharian
sampingan memang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang
tidak memiliki mata pencaharian sampingan yang hampir setiap hari
selalu berada dalam kawasan mulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari.
4.2.4. Status Keanggotaan Responden
Responden berdasarkan status keanggotaan HKm Senggigi dapat
dilihat pada grafik berikut:
20
Responden
Jumlah
10
0
Pengurus Anggota Biasa
Status Responden
Gambar 4.4. Status Responden
22
terbentuklah tiga kelompok tani hutan HKm Senggigi yaitu kelompok
Angen dengan jumlah anggota awal sebanyak 40 KK, Kelompok
Beriuk Pacu dengan jumlah anggota awal sebanyak 37 KK dan
kelompok Patuh Angen sebanyak 50 KK.
Pada tahun 2008 bersamaan dengan masuknya program Gerhan
restrukturisasi kelembagaan diperkuat kembali dengan membentuk
Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Ketua Blok yang menjadi awal
mula terbentuknya Gapoktan. Kelompok tersebut mulai
mengembangkan diri di sektor pertanian hingga kehutanan guna
mengangkat ekonomi masyarakat dan mulai berkembang pertama
kali melalui pengembangan usaha bakulan. Dalam program
restrukturisai tersebut telah dibentuk 10 (sepuluh) sub kelompok
baru yang terdiri dari masyarakat disekitar kawasan HKm Senggigi
yang mengelola kawasan.
4.3.1.1. Perencanaan
Variabel perencanaan dalam penelitian ini mencakup beberapa
indikator yaitu: (1) ketersediaan data biofisik, potensi HHBK, HHK,
jasa lingkungan untuk bahan penyusunan RU dan RKT, (2)
ketersediaan dokumen RU dan RKT, (3) adanya keterlibatan
pengurus, anggota, pengelola PHBM, perempuan dan stakeholder
terkait dalam menyusun RU dan RKT. Hasil evaluasi pengelolaan
HKm Senggigi untuk variabel perencanaan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4.4. Hasil Analisa Data Variabel Perencanaan
Kisaran Hasil
No. Indikator
Nilai Penilaian
23
Kisaran Hasil
No. Indikator
Nilai Penilaian
24
hanya pengurus-pengurus dari GAPOKTAN Mertesari dan pengurus
inti kesepuluh sub kelompok.
4.3.1.2. Keberhasilan Kelembagaan
Secara kelembagaan, praktik pengelolaan HKm Senggigi yang telah
memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm)
dilaksanakan oleh GAPOKTAN Mertesari bersama kesepuluh sub
kelompok yang memiliki jumlah anggota sebanyak 509 orang.
Tabel 4.5. Anggota Kelompok HKm Gapoktan Mertesari
Ketua Kelompok Jumlah Anggota
No. Nama Kelompok
Orang %
27
permasalahan yang dialami selama mengelola lahan yang ada di
HKm Senggigi.
Kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau
kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota
masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa
berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan,
jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung
oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk mentaati
aturan atau menjalankan institusi (Djogo et al. 2003). Dalam
dokumen AD/ART GAPOKTAN Mertesari juga tertulis bahwa masa
jabatan pengurus GAPOKTAN Mertesari maupun kesepuluh sub
kelompok ialah selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali untuk
masa jabatan berikutnya (maksimal tiga periode kepengurusan).
Apabila seorang pengurus berhenti sebelum masa jabatannya
berakhir, maka dapat dilakukan pergantian pengurus melalui rapat
anggota dan disetujui oleh seluruh anggota rapat.
4.3.1.3. Kewajiban Lain
Variabel kewajiban lain dalam penelitian ini mencakup beberapa
indikator yaitu: (1) adanya dokumen laporan tahunan kemajuan
HKm, dan (2) proses penyusunan laporan tahunan kemajuan Hkm.
Hasil evaluasi pengelolaan HKm Senggigi untuk variabel kewajiban
lain dapat di lihat pada Tabel 4.7 berikut :
Tabel 4.7. Hasil Analisa Data Variabel Kewajiban Lain
Kisaran Hasil
No. Indikator
Nilai Penilaian
28
baik karena berada dalam rentang nilai total antara 21-40. Hal ini
dapat terjadi karena perhatian kelompok tani hutan terhadap
kewajiban lain menyangkut pengelolaan HKm seperti penyusunan
laporan kegiatan pengelolaan yang seharusnya dilakukan selama
satu tahun sekali masih belum maksimal dilakukan.
Perhatian responden khususnya responden dari kelompok Beriuk
Tinjal, kelompok Susah Seneng, kelompok Cinta Damai, dan
kelompok Beriuk Maju terhadap kewajiban lain terkait pengelolaan
HKm seperti penyusunan dokumen laporan tahunan kemajuan HKm
masih kurang. Terlihat bahwa keempat kelompok ini mengakui belum
pernah menyusun dokumen laporan kemajuan pengelolaan HKm
Senggigi. Mereka mengakui bahwa selama ini mereka hanya fokus
terhadap pengelolaan kawasan tanpa memikirkan kewajiban lain
seperti menyusun dokumen laporan kemajuan. Hal yang sama
dikemukakan oleh Sanjaya et al. (2017) meskipun dalam aspek yang
berhubungan dengan kewajiban kelompok masih kurang dipahami
oleh masyarakt, namun mereka selalu mengupayakan pengelolaan
di lahan mereka secara baik karena dengan adanya program HKm
tersebut masyarakat secara langsung dapat memperoleh
manfaatnya seperti adanya peningkatan ekonomi keluarga,
peningkatan produktivitas lahan, dan masyarakat dapat menjaga
sistem ekologi hutan secara baik melalui kegiatan.
Laporan kemajuan pengelolaan wajib diberikan oleh pemegang izin
setidaknya selama satu tahun sekali yang disetujui oleh kepala dinas
yang memuat rencana kerja dan realisasi kegiatan serta kendala
yang diperoleh dilapangan. Hal ini sesuai dengan pasal 31
Permenhut No. 88 tahun 2014 tentang Hutan Kemasyarakatan. Oleh
karena itu, diharapkan kedepannya pemerintah atau dinas terkait
dapat membantu kelompok tani hutan dalam penyusunan laporan
kegiatan tahunan.
4.3.1.4. Pemberdayaan Masyarakat
Variabel pemberdayaan masyarakat dalam penelitian ini juga
mencakup beberapa indikator yaitu: (1) adanya fasilitasi penyusunan
RU dan RKT dari dinas atau instansi terkait, (2) adanya kegiatan
pelatihan/penyuluhan dari dinas/instansi terkait dalam satu tahun
terakhir, (3) adanya pendampingan rutin dari dinas/instansi terkait,
(4) adanya dokumen anggaran dari dinas/instansi terkait untuk
memberdayakan masyarakat selama 3 tahun terakhir, (5) adanya
fasilitasi pemerintah dalam pemasaran HHBK. Hasil evaluasi
pengelolaan HKm Senggigi untuk variabel pemberdayaan
masyarakat dapat di lihat pada Tabel 4.8 berikut :
29
Tabel 4.8. Hasil Analisa Data Variabel Pemberdayaan Masyarakat
Kisaran Hasil
No. Indikator
Nilai Penilaian
30
pelatihan atau bimbingan khusus terkait pengelolaan hutan kepada
masyarakat, selain itu masyarakat berharap pemerintah ikut
mendukung dalam proses pemasaran HHBK karena selama ini
pemerintah atau instansi terkait belum pernah memfasilitasi
pengurus atau anggota dalam proses pemasaran HHBK di HKm
Senggigi. Sedangkan menurut Sanjaya (2017) kegiatan pemantauan
dari Dinas Kehutanan sangat perlu dilakukan secara langsung ke
lahan kelola masyarakat hal ini bertujuan untuk mengukur tingkat
pencapaian kegiatan Hkm, selain monitoring dari Dinas Kehutanan
perlu juga adanya monitoring dari lembaga Non Dinas seperti
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
4.3.2. Aspek Kelola Usaha
Pemanfaatan HHBK merupakan salah satu komiditi andalan
pengelola HKm Senggigi dalam hal kelola usaha. Keberadaan HHBK
dikawasan HKm Senggigi menjadi salah satu sumber pendapatan
anggota tani HKm Senggigi sehari-hari. Biasanya petani HKm
Senggigi mengambil HHBK dari kawasan untuk langsung dijual ke
pengumpul atau langsung dijual ke pasar. Petani lebih banyak
memilih menjual HHBK ke pengumpul karena akses yang lebih dekat
dan dapat terjual dalam waktu lebih cepat diikuti oleh kesepakatan
harga antar penjual dan pengumpul. Berbeda apabila menjual HHBK
ke pasar, petani menganggap proses tersebut lebih lama dan akses
menuju pasar yang jauh dari kawasan. Hal ini didukung juga oleh
penelitian Sanjaya (2017) bahwa kegiatan pemasaran hasil hutan
bukan kayu yang dilakukan oleh masyarakat biasanya
menggunakan saluran pemasaran terpendek yaitu dari produsen-
pengumpul-konsumen, hal ini karena menjual ke pasar perlu
kendaraan untuk mengangkut hasil panen dan masyarakat juga
tidak ingin menerima resiko bila hasil panen tersebut tidak laku
dijual. Sehingga sebagian besar masyarakat menjual hasil
panen ke pengumpul untuk mengurangi biaya produksi yang
dikeluarkan.
HHBK yang diperoleh dari kawasan HKm Senggigi dapat berupa
buah-buahan, sayuran maupun tanaman musiman. Adapun yang
menjadi HHBK unggulan di kawasan HKm Senggigi ialah nangka
dan durian. Petani HKm mengakui hampir setiap hari mereka tetap
memperoleh hasil dari kawasan HKm dan dijual kembali sehingga
dapat menghasilkan uang yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Umumnya petani menjual HHBK dalam
bentuk mentah (tidak diolah), namun apabila HHBK begitu melimpah
dan tidak memiliki nilai yang berarti apabila dijual. Petani biasanya
berinisiatif mengelola bahan mentah tersebut menjadi bahan jadi
31
misalnya dalam bentuk dodol atau kemasan makanan lainnya. Pada
tahun 2013 GAPOKTAN Mertesari juga memperoleh pelatihan
pembuatan dodol Nangka dari Dinas kehutanan. Pelatihan ini
bertujuan agar petani khususnya yang wanita dapat mampu
mengelola hasil hutan sehingga nilai jual hasil hutan dapat lebih
tinggi dari biasanya. Sayangnya kegiatan pengolahan HHBK dari
bahan mentah menjadi bahan jadi sekarang tidak berjalan secara
optimal. Nandini (2013) menyebutkan salah satu solusi yang dapat
ditawarkan untuk mengatasi kurangnya dampak ekonomi HKm
adalah melibatkan instansi terkait spserti perindustrian maupun
koperasi usaha untuk memberikan pelatihan kewirausahaan agar
para petani mempunyai pendapatan tambahan dari produk-produk
yang dihasilkan HKm.
Tabel 4.9. Hasil Analisa Data Aspek Tata Kelola Usaha
Kisaran Hasil
No. Indikator
Nilai Penilaian
32
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, hasil evaluasi aspek
tata kelola usaha HKm Senggigi memperoleh skor 87.61 dan masuk
ke dalam kriteria cukup baik karena berada dalam rentang nilai total
antara 81-120. Nilai yang diperoleh ini sesuai dengan hasil penilaian
beberapa indikator antara lain (1) adanya pengurus kelompok yang
bertanggung jawab dibidang usaha (2) adanya pertemuan rutin
anggota kelompok usaha (3) adanya kegiatan pelatihan penguatan
kelompok usaha (4) adanya iuran anggota kelompok usaha (5)
adanya modal kelompok dalam bentuk dana usaha (6) adanya
produk pasca panen (makanan olahan) (7) adanya jaringan pasar
hasil produksi serta (8) adanya sumbangan hasil usaha untuk dana
kelompok.
4.3.3. Penilaian Kinerja Pengelolaan
Penilaian kinerja pengelolaan HKm Senggigi dapat dilihat dalam
Tabel 4.10 sebagai berikut :
Tabel 4.10. Penilaian Kinerja Pengelolaan HKm Senggigi
No. Variabel Penilaian Kisaran Hasil Kriteria
Penilaian Penilaian Penilaian
∑Responden
No. Variabel Faktor Penghambat yang
menjawab
37
- Fokus pada mengelola lahan saja 10
39
Kurangnya sumberdaya manusia juga menyebabkan beberapa
kewajiban lain seperti menyusun laporan kegiatan tahunan tidak
dilaksanakan karena setiap anggota memang hanya fokus dalam
mengelola kawasan saja tanpa memikirkan capaian-capaian yang
telah diperoleh selama mengelola kawasan HKm menjadi sebuah
laporan kegiatan tahunan.
4.5. Temuan Penting terkait Instrumen Monitoring dan Evaluasi
PHBM
Evaluasi pengelolaan HKm Senggigi berdasarkan aspek tata kelola
kelembagaan dan tata kelola usaha dilaksanakan dengan
menggunakan instrumen “Monitoring dan Evaluasi PHBM”
Sudarsono (2016). Selama melakukan evaluasi peneliti menemukan
beberapa hal yang patut untuk diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan guna menghasilkan instrumen yang lebih baik lagi.
Hal-hal tersebut diantaranya sebagai berikut:
a. Untuk kriteria keberhasilan kelembagaan dengan indikator
kelengkapan administrasi pilihan yang diberikan kurang tepat.
Karena setelah evaluasi dilakukan ada kelompok yang memiliki
lima dari enam kelengkapan administrasi yang disebutkan
namun dalam pilihannya tidak ada sehingga membingungkan
tim evaluasi dan hasil evaluasi yang diperoleh bisa menjadi
kurang tepat.
b. Instrumen tidak membagi secara rinci masing-masing kriteria
penilaian sesuai dengan aspek pengelolaan sehingga tim
evaluasi harus memilih sendiri kriteria mana yang akan masuk
kedalam aspek penilaian.
c. Terdapat ketidak samaan sebutan terkait rencana pengelolaan
tahunan. Dalam permenhut No.88 tahun 2014 tentang Hutan
Kemasyarakatan rencana pengelolaan tahunan disebut dengan
Rencana Operasional (RO) sedangkan dalam instrumen
evaluasi disebut dengan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
d. Terdapat kesalahan penulisan terkait skor nilai pada kriteria dan
indikator keberhasilan perencanaan. Dimana pada indikator
ketiga skor terendah adalah 1 (satu), yang seharusnya skor
terendah adalah 0 (nol) sesuai degan penjelasan penulis pada
halaman 33 buku instrumen PHBM.
e. Dalam instrumen, tidak diinformasikan berapa sekurang-
kurangnya jumlah orang atau responden yang akan
diwawancarai terkait evaluasi pengelolaan PHBM.
40
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan evaluasi
pengelolaan hutan HKm Senggigi berdasarkan aspek tata kelola
kelembagaan dan tata kelola usaha masuk dalam kriteria baik
dengan nilai 392,39.
2. Faktor pendukung pengelolan HKm Senggigi yang paling
mendominasi adalah adanya IUPHKm dan sebagai sumber
pendatan utama. Sedangkan faktor penghambat pengelolaan
HKm Senggigi yang paling mendominasi antara lain tidak adanya
dukungan pemerintah terkait pemasaran HHBK serta adanya
gangguan satwa liar.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini antara lain:
1. Perlu adanya pelatihan terhadap petani pengelola HKm Senggigi
terkait pengolahan hasil hutan sehingga dapat memaksimalka
mutu produk yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
2. Terkait tata kelola kelembagaan, pemerintah perlu melaksanakan
pembinaan secara rutin mengenai hal-hal yang menjadi
kewajiban kelompok pengelolaan HKm seperti laporan hasil
kegiatan tahunan.
3. Perlu adanya upaya penguatan kelembagaan bagi kelompok
dengan bantuan berbagi pihak seperti penyuluh kehutanan
maupun KPH.
4. Perlu dilakukan penelitian terkait potensi jasa lingkungan yang
ada di kawasan HKm Senggigi sehingga dapat menajadi acuan
usaha pengembangan jasa lingkungan yang ada di kawasn HKm
Senggigi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Awang, San Afri., Wahyu Tri Widayanti., Bariatul Himmah., Ambar
Astuti., Ratih Madya Septiana., Solehudin., Antonius
Novenanto. 2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Montpellier, France: French
Agricultural Research Centre for International Development
(CIRAD), Bogor, Indonesia: Center for International Forestry
Research (CIFOR), dan Yogyakarta, Indonesia: PKHR
Fakultas Kehutanan UGM.
BPS, 2015. Nusa Tenggara Barat dalam Data. Bidang Statistik
Bappeda Provinsi NTB.
Cahyaningsih, Nurka., Gamal Pasya, Warsito. 2006. HKm Lampung
Barat: Panduan Cara memproses Perijinan dan Kiat Sukses
menghadapi Evaluasi. World Agroforestry Centre Asia
Tenggara dan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat.
Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1999. Panduan Pelaksanaan Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan. Jakarta: Pusat Bina Penyuluhan
Kehutanan.
Diniyati, Dian. 2015. Satwa Yang Sering ditemukan pada Hutan
Rakyat Agroforestry di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Jurnal
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 3,
Juni 2015 ISSN: 2407-8050 Halaman: 642-646
Djogo, Tony., Sunaryo., Didik Suharjito., Martua Sirait. 2003.
Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan
Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast
Asia Regional Office. Bogor. Indonesia.
GAPOKTAN MERTESARI, 2011. Rencana Umum Pengelolaan HKm
Senggigi.
Hakim I., S. Irawanti, Murniati, Sumarharni, A. Widiarti, R. Effendi, M.
Muslich, Sri. Rulliaty. 2010. Social Forestry: Menuju
Masyarakat Sejatera. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.
Ichsan, Andi Chairil., Bisrul Khofi, Almuarif Satria Putra, Christian
Purba, Citra Hartati, Giorgio Budi Indrarto, Isnenti Apriani.
2014. Laporan Assesment: Tata Kelola Kehutanan Di
Kabupaten Lombok Barat. Jaringan Tata Kelola Hutan. Bogor.
42
KEMENLHK, 2015. Deforestasi Indonesia Tahun 2013-2014. Jakarta:
Direktorat Inventarisasi dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Lingkungan
Hidup.
Markum, Budhy Setiawan, Rahmat Sabani. 2015. Hutan
Kemasyarakatan: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Hutan Lestari
Masyarakat Sejahtera. Mataram : RA Visindo.
Nandini, Ryke. 2013. Evaluasi Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
(Hkm) Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung Di Pulau
Lombok. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 10 No. 1,
Maret 2013: 43-55.
Perum Perhutani. 2001. Keputusan Direksi Perum Perhutani Tentang
Pedoman Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta:
Perum Perhutani.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor :
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan
Sosial.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.37/Menhut-II/2007 Tentang
Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.57/Menhut-II/2014 Tentang
Pedoman Pembinaan Kelompok Tani Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.88/Menhut-II/2014 Tentang
Hutan Kemasyarakatan
Puspita ID. 2006. Motivasi Petani dan Peranan Kelompok Tani Hutan
(KTH) dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) DI Desa Warnasari, BKPH Pangalengan
KPH Bandung Selatan [Skripsi] Bogor: Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Rahmina, Yanti Sofia, Edy Marbyanto, Ali Mustofa. 2012. Tata Cara
dan Prosedur Pengembangan Program Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat dalam Kerangka Undang-undang No. 41
Tahun 1999. GIZ dan FORCLIME.
Sanjaya, Rizki., Christine Wulandari., Susni Herawanti. 2017.
Evaluasi Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada
Gabungan Kelompok Tani Rukun Lestari Sejahtera di Desa
Sindang Pagar Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung
Barat. Jurnal Sylva Lestari Vol. 5 No.2, April 2017 (30—42)
43
Sudarsono, Dwi. 2016. Panduan Monitoring dan Evaluasi PHBM.
SAMANTA. Mataram.
44
LAMPIRAN 1. Penilaian Skoring Per Variabel Penelitian
45
No Kriteria Komponen Bobot Skor Nilai Hasil
(1-10) v Nilai
Pertanyaan (0-5) (BxS)
perempuan dan c. Dibuat oleh orang
stakeholder lain
terkait dalam 1 10
menyusun RU
dan RKT
Kisaran Nilai (1-3) 10-150
Nilai Total
B. Variabel Keberhasilan Tata Kelola Usaha
1 Adanya pengurus a. ada 5 25
kelompok b. Ada
usaha/koperasi yang dokumen tapi 3 15
bertanggung jawab di tidak lengkap 5
bidang usaha c. Tidak ada
0 0
46
No Kriteria Komponen Bobot Skor Nilai Hasil
(1-10) v Nilai
Pertanyaan (0-5) (BxS)
dalam bentuk dana b. Diantara
usaha Rp 5-10 4 20
juta
c. Dibawah
3 15
Rp 5 juta
d. Tidak ada 0 0
6 Adanya produk paska a. Diolah,
panen/makanan berkemas
olahan an,
berlabel
5 25
dan sudah
mendapat
PIRT/sertif
ikat POM
b. Diolah,
berkemas
an, dan
berlabel,
4 20
tapi belum
mendapat
5
PIRT/sertif
ikat POM
c. Diolah dan
berkemas
an, tapi 2 10
belum
berlabel
d. Diolah tapi
tidak
berkemas 1 5
an
e. Tidak
0 0
diolah
7 Adanya jaringan a. Keluar
5 25
pasar hasil produksi daerah
b. Dalam 5
3 15
daerah
c. Tidak ada 0 0
8 Adanya sumbagan a. ada 5 25
hasil usaha untuk b. tidak ada 5
0 0
dana kelompok
Kisaran Nilai (1-8) 0-200
Nilai Total
47
No Kriteria Komponen Bobot Skor Nilai Hasil
(1-10) v Nilai
Pertanyaan (0-5) (BxS)
C. Penilaian Keberhasilan Kelembagaan
1 Adanya dokumen a. Ada 5 25
nama-nama b. Ada tidak
3 15
pengurus dan lengkap
5
anggota c. Tidak ada
kelompok/koperas 0 0
i
2 Adanya a. Ada 5 25
penjelasan peran b. Tidak ada
5
/tugas setiap 0 0
pengurus
3 Adanya aturan a. ada
5 25
kelompok/.kopera
si atau aturan b. Tidak ada 5
dengan sebutan 0 0
nama lain
4 Adanya a. ada 5 25
pergantian b. tidak ada
pengurus (bagi
yang melampaui
5
batas waktu 0 0
kepengurusuan
sesuai aturan
kelompok)
5 Adanya a. setiap bulan 5 25
pertemuan b. 3 kali setahun 4 20
pengurus c. 2 kali setahun 5 3 15
dan/atau anggota d. 1 kali setahun 1 5
e. Tidak pernah 0 0
6 Adanya capaian a. Mencapai
kegiatan target lebih 5 25
penguatan 75%
kelembagaan b. Mencapai
sesuai RU/RKT target lebih 3 15
50% s/d 70% 5
c. Mencapai
target kurang 2 10
25-50%
d. Kurang dari
0 0
25%
7 Kelengkapan a. Memiliki buku
administrasi tamu, buku
5 5 25
kelompok inventaris,
(Memiliki buku keuangan,
48
No Kriteria Komponen Bobot Skor Nilai Hasil
(1-10) v Nilai
Pertanyaan (0-5) (BxS)
tamu, buku daftar hadir,
inventaris, notulensi
keuangan, daftar b. Memiliki buku
hadir, noptulensi, tamu, buku
buku surat inventaris, 4 20
menyurat) keuangan,
daftar hadir
c. Memiliki buku
tamu, buku
3 15
inventaris,
keuangan
d. Memiliki buku
tamu, buku 2 10
inventaris
e. Hanya memiliki
1 5
buku tamu
f. Tidak memiliki
kelengkapan 0 0
administrasi
Kisaran Nilai (1-7) 0-175
Nilai Total
D. Kriteria Kewajiban Lain
1. Adanya a. ada dan dilaporkan
5 50
dokumen ke Dinas Kehutanan
laporan b. Ada, tapi tidak
tahunan disampaikan ke Dinas 4 40
kemajuan 10
Kehutanan
PHBM c. Masih sedang
kelompok/kop 3 30
disusun
erasi d. Tidak ada 0 0
2 Proses a. disusun oleh
penyusunan pengurus melibatkan 5 50
laporan anggota
tahunan b. disusun oleh
3 30
kemajuan pengurus
Hkm 10
c. Disusun oleh satu
kelompok/kop orang
erasi 2 20
pengurus/anggota
saja
d. Tidak ada 0 0
Kisaran Nilai (1-2) 0-100
Nilai Total
E. Penilaian Keberhasilan pada Skala Pemberdayaan Masyarakat
49
No Kriteria Komponen Bobot Skor Nilai Hasil
(1-10) v Nilai
Pertanyaan (0-5) (BxS)
1 Adanya fasilitasi a. Ya 5 20
penyusunan RU dan b. Tidak
4
RKT dari dinas/instansi 0 0
terkait
2 Adanya kegiatan a. 2 kali
5 20
pelatihan/penyuluhan setahun
dari dinas/instansi b. 1 kali
3 12
terkait dalam satu setahun
tahun terakhir b. Pernah
4
dalam 3
2 8
tahun
terakhir
c. Tidak
0 0
pernah
3 Adanya pendampingan a. 2 kali
5 20
rutin dari dinas/instansi sebulan
terkait b. 1 kali
4 16
sebulan
4
c. 3 bulan
2 8
sekali
d. Tidak
0 0
pernah
4 Adanya dukungan a. Setiap
5 20
anggaran dari tahun
dinas/instansi terkait b. 2 kali
untuk memberdayakan dalam 3 2 8
masyrakat selama 3 tahun
tahun terakhir. 4
c. 1 kali
dalam 3 1 4
tahun
d. tidak
0 0
pernah
5 Adanya fasilitasi a. Ada 5 20
pemerinah dalam b. Tidak ada 4 0
0
pemasaran HHBK
Kisaran Nilai (1-5) 0-100
Nilai Total
50
Lampiran 2. Skor Tabulasi Variabel Perencanaan
Komponen
No Nama Responden Penilaian
1 2 3
1 H. Abdul Hamid 30 50 30
2 Safwan Hadi 30 50 30
3 Murah 30 50 30
4 Nengah Wenten 30 50 30
5 Usman 30 50 30
6 Murki 30 50 30
7 Ati Ulloh 30 50 30
8 Wayan Merti 30 50 30
9 Wayan Merte 30 50 30
10 H. Amrulloh 30 50 30
11 M. Tahir 30 50 30
12 H. Ilham 30 50 30
13 H. Saad 30 50 30
14 Kurnain 30 50 30
15 Sabri 30 50 30
16 Azni 30 50 30
17 Sajuin 30 50 30
18 Bedul Hanan 30 50 30
19 Samiah 30 50 30
20 H. Bahraen 30 50 30
21 Chairil Anwar 30 50 30
22 Ahmad 30 50 30
23 Rusni 30 50 30
Jumlah 690 1150 690
Rata-rata 30 50 30
skor total 110
Kategori Penilaian Baik
Keterangan: 1. ketersediaan data biofisik, potensi HHBK, HHK, jasa
lingkungan untuk bahan penyusunan RU dan RKT,
2.ketersediaan dokumen RU dan RKT,
3.adanya keterlibatan pengurus, anggota, pengelola
PHBM, perempuan dan stakeholder terkait dalam
menyusun RU dan RKT.
51
Lampiran 3. Skor Tabulasi Variabel Keberhasilan Kelembagaan
52
Keterangan:
1. Adanya dokumen nama-nama pengurus dan anggota kelompok,
2. adanya penjelasan peran setiap pengurus,
3. adanya aturan kelompok,
4. adanya pergantian pengurus,
5. adanya pertemuan pengurus,
6. adanya capaian kegiatan penguatan kelembagaan sesuai RU/RKT,
7. kelengkapan administrasi kelompok.
53
Lampiran 4. Skor Tabulasi Variabel Kewajiban Lain
Komponen Penilaian
No Nama Responden
1 2
1 H. Abdul Hamid 30 30
2 Safwan Hadi 30 30
3 Murah 30 30
4 Nengah Wenten 30 30
5 Usman 30 30
6 Murki 30 30
7 Ati Ulloh 30 30
8 Wayan Merti 30 30
9 Wayan Merte 30 30
10 H. Amrulloh 30 30
11 M. Tahir 30 30
12 H. Ilham 0 0
13 H. Saad 0 0
14 Kurnain 0 0
15 Sabri 0 0
16 Azni 0 0
17 Sajuin 0 0
18 Bedul Hanan 30 30
19 Samiah 30 30
20 H. Bahraen 30 30
21 Chairil Anwar 30 30
22 Ahmad 0 0
23 Rusni 0 0
Jumlah 450 450
Rata-rata 19,57 19,57
skor total 39,13
Kategori Penilaian Kurang Baik
Keterangan:
1. adanya dokumen laporan tahunan kemajuan HKm,
2. proses penyusunan laporan tahunan kemajuan Hkm.
54
Lampiran 5. Skor Tabulasi Variabel Pemberdayaan Masyarakat
Komponen Penilaian
No Nama Responden
1 2 3 4 5
1 H. Abdul Hamid 20 8 20 4 0
2 Safwan Hadi 20 8 20 4 0
3 Murah 20 8 20 4 0
4 Nengah Wenten 20 8 16 8 0
5 Usman 20 8 16 8 0
6 Murki 20 8 16 4 0
7 Ati Ulloh 20 8 16 4 0
8 Wayan Merti 20 8 20 4 20
9 Wayan Merte 20 8 20 4 20
10 H. Amrulloh 20 8 16 4 0
11 M. Tahir 20 8 16 4 0
12 H. Ilham 20 8 8 0 0
13 H. Saad 20 8 8 0 0
14 Kurnain 20 8 8 0 0
15 Sabri 20 8 8 0 0
16 Azni 20 8 0 4 0
17 Sajuin 20 8 0 4 0
18 Bedul Hanan 20 8 16 4 0
19 Samiah 20 8 16 4 0
20 H. Bahraen 20 8 16 4 0
21 Chairil Anwar 20 8 16 4 0
22 Ahmad 20 8 0 4 0
23 Rusni 20 8 0 4 0
Jumlah 460 184 292 84 40
Rata-rata 20 8 12,70 3,65 1,74
skor total 66,09
Kategori Penilaian Cukup Baik
55
Keterangan:
1. adanya fasilitasi penyusunan RU dan RKT dari dinas atau instansi
terkait,
2. adanya kegiatan pelatihan/penyuluhan dari dinas/instansi terkait
dalam satu tahun terakhir,
3. adanya pendampingan rutin dari dinas/instansi terkait,
4. adanya dokumen anggaran dari dinas/instansi terkait untuk
memberdayakan masyarakat selama 3 tahun terakhir,
5. adanya fasilitasi pemerintah dalam pemasaran HHBK.
56
Lampiran 6. Skor Tabulasi Variabel Tata Kelola Usaha
57
Keterangan:
1. adanya pengurus kelompok yang bertanggung jawab
dibidang usaha
2. adanya pertemuan rutin anggota kelompok usaha
3. adanya kegiatan pelatihan penguatan kelompok usaha
4. adanya iuran anggota kelompok usaha
5. adanya modal kelompok dalam bentuk dana usaha
6. adanya produk pasca panen (makanan olahan)
7. adanya jaringan pasar hasil produksi serta
8. adanya sumbangan hasil usaha untuk dana kelompok.
58
Lampiran 7. Daftar Nama Responden dan Status Keanggotaan
Status
No. Nama Responden Kelompok
Keanggotaan
1 H. Abdul Hamid Merte Sari Ketua
2 Safwan Hadi Merte Sari Sekretaris
3 Murah Merte Sari Bendahara
4 Nengah Wenten Suka Maju Ketua
5 Usman Suka Maju Anggota
6 Murki Kasoh Begawean Ketua
7 Ati Ulloh Kasoh Begawean Anggota
8 Wayan Merti Lestari Ketua
9 Wayan Merte Lestari Anggota
10 H. Amrulloh Baruk Ures Ketua
11 M. Tahir Baruk Ures Anggota
12 H. Ilham Beriuk Tinjal Ketua
13 H. Saad Beriuk Tinjal Anggota
14 Kurnain Susah Seneng Ketua
15 Sabri Susah Seneng Anggota
16 Azni Cinta Damai Sekretaris
17 Sajuin Cinta Damai Anggota
18 Bedul Hanan Angen Ketua
19 Samiah Angen Anggota
20 H. Bahraen Patuh Ketua
21 Chairil Anwar Patuh Anggota
22 Ahmad Beriuk Maju Ketua
23 Rusni Beriuk Maju Anggota
59
Lampiran 8. Peta Blok Kerja IUPHKm Senggigi
60
Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian
61
62
63
64
Lampiran 10. Analisis Data Penilaian Kriteria dan Indikator Evaluasi Pengelolaan HKm Senggigi Berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan Dan Usaha
65