Anda di halaman 1dari 51

i

PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MAHASISWA


TERHADAP PERILAKU KONSUMSI
PANGAN FUNGSIONAL

SITI AFINA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh


Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa terhadap Perilaku Konsumsi Pangan
Fungsional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2017

Siti Afina
NIM I24130066

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
iv
v

ABSTRAK

SITI AFINA. Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa terhadap Perilaku


Konsumsi Pangan Fungsional. Dibimbing oleh RETNANINGSIH.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap


mahasiswa terhadap perilaku konsumsi pangan fungsional. Penelitian ini
menggunakan desain cross sectional study dengan lokasi penelitian di Institut
Pertanian Bogor, Dramaga. Contoh dalam penelitian ini adalah 204 mahasiswa
Institut Pertanian Bogor yang dipilih secara acak sederhana. Pengambilan data
dilakukan dengan teknik self-administered menggunakan alat bantu kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa mengonsumsi pangan
fungsional rata-rata 47 kl/bl dan 7 jenis. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan
terdapat hubungan yang positif signifikan antara pengetahuan dengan sikap
mahasiswa. Uang saku dan sikap mahasiswa berhubungan positif signifikan
dengan frekuensi konsumsi pangan fungsional. Faktor yang berpengaruh positif
signifikan terhadap frekuensi konsumsi pangan fungsional adalah uang saku dan
sikap. Jumlah jenis pangan fungsional yang dikonsumsi hanya dipengaruhi oleh
sikap.

Kata kunci: pangan fungsional, pengetahuan, sikap, perilaku konsumsi, konsumen


muda

ABSTRACT

SITI AFINA. The Influence of Students’ Knowledge and Attitude toward


Functional Foods Consumption Behavior. Supervised by RETNANINGSIH.

This research was to analyze the influence of students’ knowledge and


attitude toward functional foods consumption behavior. This research used cross
sectional study design and was conducted at Institut Pertanian Bogor, Dramaga.
Samples in this research were 204 students of Institut Pertanian Bogor chosen
using simple random sampling method. The data were collected by self-
administered technique using questionnaires. The results showed that the average
of functional foods consumption frequency was 47 times a month and the number
of types consumed was 7. The results of Pearson correlation test showed that
students’ knowledge and attitude were significantly positively correlated. Students’
allowance, attitudes, and frequency of functional foods consumption was
significantly positively correlated. Factors that have significant positive effect
toward consumption frequency are allowance and students’ attitude. The number
of functional foods types consumed was influenced by students’ attitude.

Keywords: Functional foods, knowledge, attitude, consumption behavior, young


consumer
vi
vii

PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MAHASISWA


TERHADAP PERILAKU KONSUMSI
PANGAN FUNGSIONAL

SITI AFINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
viii
x
xi

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
begitu besar kepada;
1. Ir Retnaningsih, MSi sebagai dosen pembimbing skripsi sekaligus
pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran
selama penulisan ini, serta berbagai masukan yang membangun.
2. Ir Moh Djemdjem Djamaluddin, M Sc dan Dr Tin Herawati SP, M Si
selaku dosen penguji skripsi yang telah menguji dan memberikan saran
untuk menyempurnakan skripsi ini.
3. Dr Megawati, SP, MSi selaku dosen pemandu seminar atas kritik serta
saran yang sangat bermanfaat.
4. Keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan motivasi untuk
terus berkarya dan berjuang untuk berprestasi. Ayah, ibu, kakak, dan adik-
adik yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
5. Para mahasiswa S1 IPB yang telah bersedia menjadi contoh dalam
penelitian ini.
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi yang selalu memberikan saran dan
tempat berbagi cerita selama penulisan skripsi.
7. Keluarga besar IKK 50 yang selalu memotivasi dan membantu penulis
selama di perkuliahan maupun ketika penulis menyusun skripsi.
8. Keluarga besar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang banyak
membantu penulis dari awal masuk departemen hingga penyusunan skripsi
berlangsung.
9. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah
membantu kelancaran penyusunan skripsi.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini.
Kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan memberikan informasi yang berguna bagi para pembaca.

Bogor, Oktober 2017

Siti Afina
xii
xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv


DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
KERANGKA PEMIKIRAN 5
METODE PENELITIAN 6
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 6
Populasi, Contoh, dan Teknik Penarikan Contoh 6
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 8
Pengolahan dan Analisis Data 9
Definisi Operasional 11
HASIL 12
Gambaran Umum Produk Pangan Fungsional 12
Karakteristik Mahasiswa 12
Pengetahuan Pangan Fungsional 13
Sikap 16
Perilaku Konsumsi Pangan Fungsional 17
Hubungan Karakteristik Mahasiswa, Pengetahuan, dan Sikap dengan
Perilaku Konsumsi Pangan Fungsional 19
Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Konsumsi Pangan Fungsional 22
PEMBAHASAN 23
SIMPULAN DAN SARAN 26
Simpulan 26
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 26
xiv

DAFTAR TABEL

1. Variabel, skala, dan kategori skor data 13


2. Sebaran karakteristik mahasiswa berdasarkan jenis kelamin dan
uang saku 14
3. Persentase mahasiswa menjawab benar pada pertanyaan pengetahuan
objektif tentang pangan fungsional 15
4. Persentase mahasiswa berdasarkan jawaban pengetahuan subjektif 15
5. Sebaran mahasiswa berdasarkan kategori pengetahuan tentang pangan
fungsional
6. Sebaram mahasiswa berdasarkan jawaban dimensi sikap 16
7. Sebaran mahasiswa berdasarkan sikap terhadap pangan fungsional 17
8. Sebaran mahasiswa berdasarkan frekuensi konsumsi dan 17
jumlah pangan fungsional yang dikonsumsi
9. Persentase mahasiswa berdasarkan jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi 19
10. Sebaran mahasiswa berdasarkan karakteristik dengan frekuensi
konsumsi pangan fungsional 20
11. Sebaran mahasiswa berdasarkan karakteristik dengan jumlah jenis
pangan fungsional yang dikonsumsi 20
12. Sebaran mahasiswaberdasarkan pengetahuan dengan frekuensi
konsumsi pangan fungsional 21
13. Sebaran mahasiswa berdasarkan pengetahuan dengan jumlah jenis yang
dikonsumsi 21
14. Sebaran mahasiswa berdasarkan sikap dengan frekuensi konsumsi dan
jumlah jenis pangan fungsional yang dikonsumsi 22
15. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perilaku konsumsi pangan 23

DAFTAR GAMBAR

1. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku konsumsi pangan fungsional 5


2. Kerangka pengambilan contoh
7

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil uji asumsi klasik regresi linier berganda 31


2. Hubungan antara karakteristik mahasiswa, pengetahuan, dan sikap
dengan perilaku konsumsi pangan fungsional 34
3. Sebaran mahasiswa berdasarkan dimensi sikap terhadap 35
pangan fungsional
4. Riwayat Hidup 37
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsep pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang pada


tahun 1984 yang mengacu pada pangan olahan dengan bahan-bahan yang selain
bernilai gizi juga dapat membantu meningkatkan fungsi-fungsi dalam tubuh
(Muchtadi 2012). Setelah pangan fungsional sukses di Jepang, penelitian serta
penjualan produk pangan fungsional berkembang pesat di negara-negara Benua
Amerika dan Eropa. Salah satu hal yang melandasi berkembang pesatnya
penelitian pangan fungsional di banyak negara adalah meningkatnya kesadaran
konsumen akan pentingnya makanan dalam pencegahan atau penyembuhan
penyakit (Winarti 2010). Meskipun di Indonesia belum ada data tentang besarnya
produksi dan perdagangan pangan fungsional namun makanan dan minuman
fungsional telah beredar di pasaran Indonesia yang umumnya mengandung serat,
bakteri probiotik, madu, taurin, dan lain sebagainya yang diharapkan memberi
efek fisiologis pada tubuh (Winarti 2010).
Peraturan tentang pangan fungsional di Indonesia telah diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2011
tentang pengawasan klaim pada label dan iklan pangan olahan. Peraturan tersebut
berisi tentang klaim-klaim yang diizinkan untuk dicantumkan pada label atau
iklan suatu produk pangan olahan yang juga dapat membantu mengidentifikasi
bahwa pangan tersebut termasuk pangan fungsional. Menurut Muchtadi (2012)
makanan atau minuman dikatakan mempunyai sifat fungsional bila mengandung
senyawa (zat gizi atau non-gizi) yang dapat memengaruhi secara positif fungsi
fisiologis dalam tubuh. Bahan-bahan penting yang biasanya diklaim memiliki
fungsi lain dan mengurangi risiko terserang penyakit yaitu serat pangan, fitosterol
dan fitostanol, oligosakarida, kalsium, vitamin, beta-karoten, asam folat, dan asam
lemak DHA.
Penelitian tentang pangan fungsional telah banyak dilakukan dan hasilnya
ditunjukkan dengan sikap yang berbeda di tiap daerah, tergantung pada wilayah
geografi dimana penelitian dilakukan (Carrillo et al. 2013; Schutza et al. 2011).
Perilaku konsumsi pangan fungsional dipengaruhi oleh faktor demografi yang
berkontribusi terhadap sikap dan perilaku penerimaan terhadap pangan fungsional
(Gilbert 2000; Bech-Larsen dan Grunert 2003; Urala dan Lähteenmäki 2003;
Verbeke 2005). Selain faktor demografi seperti usia, jenis kelamin dan
pendapatan, faktor individu seperti pengetahuan dan sikap juga memengaruhi
perilaku konsumsi pangan fungsional (Sääksjärvi 2009; Urala dan Lähteenmäki
2007; Chen 2011).
Penelitian Sääksjärvi et al. (2009) menunjukkan bahwa pendapatan
konsumen yang tinggi berpengaruh terhadap tingginya konsumsi pangan
fungsional. Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat pendapatan berpengaruh
positif terhadap konsumsi pangan fungsional jenis olahan gandum (Dogan et al.
2011). Selain pendapatan, beberapa hasil umum yang muncul dari penelitian
terbaru mengungkapkan bahwa konsumen wanita memiliki pengetahuan yang
lebih tinggi dan sikap lebih positif terhadap pangan fungsional (Frewer et al.
2003; Ong et al. 2014; Brečić et al. 2014).
2

Penelitian-penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa pengetahuan


konsumen tentang pangan fungsional sangat bervariasi (Menrad 2003; De Jong et
al. 2004). Konsumen yang memiliki lebih banyak pengetahuan tentang
kandungan gizi suatu makanan akan memiliki perhatian lebih pada kesehatannya
(Sääksjärvi et al. 2009). Hasil penelitian Bogue et al. (2005) menunjukkan bahwa
pengetahuan konsumen berpengaruh positif terhadap perilaku konsumsi pangan
fungsional. Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan antara perhatian pada
kesehatan dengan pengetahuan konsumen.
Sikap konsumen menggambarkan rasa suka dan tidak suka serta
kepercayaan terhadap atribut yang terdapat pada produk (Sumarwan 2011). Sikap
konsumen yang positif terhadap pangan fungsional menjadi faktor penting
tingginya tingkat konsumsi pangan fungsional (Rezai et al. 2012; Seechurn et al.
2009; Marina et al. 2014; Dogan et al. 2011). Konsumen yang percaya dan
merasa mendapatkan manfaat dari mengonsumsi pangan fungsional lebih bersedia
mengonsumsi pangan fungsional dibanding konsumen dengan kepercayaan yang
rendah (Bogue et al. 2005; Chen 2011).
Pangan fungsional dapat dikonsumsi oleh semua usia namun berdasarkan
beberapa survey yang telah dilakukan, pangan fungsional banyak diminati oleh
generasi muda. 1 Rezai et al. (2012) mengemukakan bahwa konsumen muda
lebih terbuka terhadap hal-hal baru sehingga menunjukkan sikap yang lebih
positif dibanding konsumen usia paruh baya. Selain itu, pangan fungsional
semakin digemari terutama didasari semakin banyaknya penyakit yang muncul
akibat makanan yang gejalanya sudah didapat sejak muda. Salah satu dari
penyakit-penyakit tersebut yaitu penyakit degeneratif yang sebagian besar
disebabkan oleh gaya hidup seperti pola makan yang buruk yaitu mengonsumsi
makanan tinggi energi dan lemak namun kurang serat, serta pola hidup yang
buruk misalnya kurang olahraga dan kurangnya istirahat (WHO 2010). Penyakit-
penyakit degeneratif muncul dan menyerang konsumen yang berusia lanjut namun
kemunculannya dapat dicegah sejak dini dengan mengonsumsi pangan fungsional
yang telah terpercaya mengurangi risiko penyakit tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Carillo et al. (2013), mahasiswa
termasuk ke dalam kategori konsumen muda dan konsumen muda lebih banyak
mengonsumsi pangan fungsional dibanding konsumen usia paruh baya.
Konsumen yang berusia lebih tua memiliki tradisi budaya yang konservatif
sebagaimana Tuorila et al. (2001), menyimpulkan bahwa orang tua enggan
mencoba makanan yang tidak biasa. Hasil penelitian Carillo et al. (2013) juga
menunjukkan bahwa konsumen muda lebih berpikir terbuka tentang perubahan
dan hal-hal baru. Melihat situasi yang demikian, terkait dengan usia dan sikap
konsumen terhadap pangan fungsional, produsen lebih memfokuskan konsumen
muda sebagai konsumen potensional untuk produk pangan fungsional.
Kesadaran, pengetahuan, dan sikap mengenai pangan fungsional akan
menjadi isu yang akan memengaruhi tingkat konsumsi makanan sehat oleh
konsumen muda. Produk-produk pangan fungsional tradisional maupun modern
telah beredar di Indonesia sejak lama namun kehadirannya belum disadari

1
www.unpad.ac.id “Meningkat, Potensi Pangan Fungsional di Indonesia”. Agi Kurniasandi dan
Artanti Hendriyana. Diakses dari: http://www.unpad.ac.id/2016/04/meningkat-potensi-pangan-
fungsional-di-indonesia/ pada 27 Juli 2017
3

sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia. Selama ini, penelitian yang dilakukan


hanya berfokus pada komponen-komponen fungsional pada suatu bahan makanan
untuk dapat dijadikan pangan fungsional sedangkan penelitian di bidang
konsumen masih sedikit dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan
untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku konsumsi pangan
fungsional pada mahasiswa.

Perumusan Masalah

Dalam rangka meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,


pengetahuan tentang pangan fungsional perlu dimiliki sebagai panduan untuk
memilih dan mengonsumsi pangan yang lebih sehat. Pendekatan untuk merubah
perilaku masyarakat agar mengonsumsi makanan yang lebih sehat dapat
memberikan dampak yang sangat bermakna bagi penurunan beban penyakit
degeneratif di masa mendatang. Pangan fungsional diyakini dapat mencegah
penyakit dan dapat juga digunakan sebagai ko-terapi berbagai penyakit baik
penyakit menular maupun tidak menular (Winarti 2010). Walaupun konsep
pangan fungsional baru populer beberapa tahun belakangan ini, tetapi
sesungguhnya banyak jenis makanan tradisional maupun modern di Indonesia
yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai pangan fungsional.
Minat konsumen terhadap pangan fungsional meningkat dari hari ke hari
yang didasari oleh peningkatan kesadaran konsumen bahwa pola makan dan jenis
makanan yang tepat dapat mengurangi risiko penyakit (Cowburn dan Stockley
2004). Peningkatan ini banyak terjadi di kalangan konsumen usia paruh baya
ataupun konsumen yang memiliki masalah dengan kesehatannya. Beberapa
konsumen muda cenderung mengonsumsi pangan fungsional tanpa didasari oleh
kesadaran akan kesehatannya (Marina et al. 2014). Namun demikian, produsen
pangan fungsional berupaya menjadikan konsumen muda sebagai konsumen
potensial untuk mengonsumsi pangan fungsional karena percaya bahwa
konsumen muda memiliki sikap yang lebih positif dibanding konsumen usia paruh
baya (Carillo et al. 2013).
Mahasiswa sebagai konsumen muda termasuk ke dalam kategori remaja
akhir karena berusia antara 18 hingga 21 tahun (Monks 2001). Mahasiswa yang
sedang melalui masa transisi dari sekolah menengah atas ke universitas,
kemandiriannya meningkat dan tertantang untuk membuat pilihan terhadap
makanan sehat. Berdasarkan penelitian terdahulu, mahasiswa tidak banyak
mengonsumsi buah dan sayur melainkan lebih banyak mengonsumsi makanan
dengan kadar lemak yang tinggi (Silliman et al. 2004; Butler et al. 2004; DeBate
et al. 2001). Deliens et al. (2014) mengemukakan bahwa perilaku konsumsi
mahasiswa dipengaruhi oleh faktor-faktor individu, jaringan sosial, kontrol orang
tua, kondisi lingkungan, dan lingkungan makro.
Mahasiswa percaya bahwa pengetahuan tentang kandungan gizi dapat
membantu mereka untuk lebih selektif dalam mengonsumsi makanan yang sehat
namun mereka juga menyatakan bahwa pengetahuan merupakan langkah awal dan
tidak secara otomatis mendorong mereka mengonsumsi makanan yang lebih sehat
(Deliens et al. 2014). Selain itu, mahasiswa sebagai remaja yang memiliki banyak
4

aktivitas diketahui memiliki kebiasaan makan yang buruk dan menyukai makanan
cepat saji. Kebiasaan makan yang buruk pada remaja dikarenakan perkembangan
sosial dan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. (Story et al. 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vella et al. (2014), jenis kelamin
memengaruhi perilaku konsumsi pangan fungsional namun tidak dengan
pendapatan. Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa pendapatan
berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi pangan fungsional (Sääksjärvi et al.
2009; Dogan et al. 2011). Perbedaan letak geografis lokasi penelitian yang telah
dilakukan menyebabkan bervariasinya pengaruh karakteristik konsumen terhadap
perilaku konsumsi pangan fungsional (Carrillo et al. 2013; Schutza et al. 2011).
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik, pengetahuan, sikap, dan perilaku konsumsi pangan
fungsional pada mahasiswa?
2. Bagaimana hubungan karakteristik mahasiswa, pengetahuan dan sikap
dengan perilaku konsumsi pangan fungsional?
3. Bagaimana pengaruh karakteristik mahasiswa, pengetahuan dan sikap
terhadap perilaku konsumsi pangan fungsional?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
pengetahuan dan sikap konsumen terhadap perilaku konsumsi pangan fungsional.

Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menganalisis karakteristik mahasiswa, pengetahuan, sikap, dan perilaku
konsumsi mahasiswa terhadap pangan fungsional.
2. Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa, pengetahuan, dan sikap
dengan perilaku konsumsi pangan fungsional.
3. Menganalisis pengaruh karakteristik mahasiswa, pengetahuan dan sikap
terhadap perilaku konsumsi pangan fungsional.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai


pihak, antara lain bagi pemerintah, yakni dapat menjadi masukan dalam
merumuskan program untuk meningkatkan keberdayaan konsumen. Bagi instansi
pendidikan tempat peneliti berada yaitu Institut Pertanian Bogor, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan keilmuan,
khususnya dibidang ilmu keluarga dan konsumen. Bagi konsumen, kegunaan
penelitian ini adalah sebagai sumber informasi dan pengetahuan mengenai pangan
5

fungsional. Harapannya konsumen dapat menyikapi produk pangan fungsional


dengan bijak dan mengambil hal-hal positif dari kemunculan pangan fungsional di
Indonesia.

KERANGKA PEMIKIRAN

Berdasarkan hasil penelitian empiris tentang perilaku konsumsi pangan


fungsional, rangkaian proses pengambilan keputusan mahasiswa dalam
mengonsumsi pangan fungsional dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan
karakteristik mahasiswa (jenis kelamin dan uang saku). Salah satu komponen
pembentuk sikap adalah pengetahuan sehingga sikap mahasiswa terhadap pangan
fungsional dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya. Sikap dan
pengetahuan mahasiswa juga dipengaruhi oleh faktor demografi mahasiswa yang
meliputi jenis kelamin dan uang saku per bulannya. Mahasiswa dengan uang saku
tinggi akan lebih mudah mengakses informasi terkait pangan fungsional sehingga
dapat meningkatkan pengetahuannya tentang pangan fungsional. Uang saku yang
tinggi juga cenderung mendorong mahasiswa untuk mengonsumsi pangan
fungsional karena pada umumnya diketahui bahwa pangan fungsional memiliki
harga yang lebih mahal dibanding pangan biasa. Selain itu, jenis kelamin dapat
memengaruhi perilaku konsumsi pangan fungsional karena berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa wanita lebih memerhatikan makanan
yang sehat untuk dikonsumsi dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan kajian
empiris yang telah dilakukan, maka disusun kerangka pemikiran yang disajikan
pada Gambar 1.

Perilaku Konsumsi
Pengetahuan
Karakteristik Pangan Fungsional:
mahasiswa: - Frekuensi konsumsi
- Jenis Kelamin - Jumlah jenis yang
- Uang Saku dikonsumsi
Sikap

Keterangan : Variabel yang diteliti


Pengaruh yang diteliti

Gambar 1 Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku konsumsi pangan fungsional


6

METODE PENELITIAN

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu cara memelajari
objek penelitian yang dilakukan dalam satu kali waktu tertentu saja. Penelitian ini
dilakukan di Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga. Lokasi penelitian
ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Kampus IPB Dramaga
merupakan satu-satunya kampus pertanian di Bogor yang banyak melakukan
penelitian dan inovasi di bidang pangan serta memiliki mahasiswa yang berasal
dari berbagai daerah. Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Mei
hingga Juni 2017.

Populasi, Contoh, dan Teknik Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Sarjana (S1)


reguler IPB semester 2 sampai 6 yang masih aktif pada tahun akademik
2016/2017 yang berjumlah 10 659 orang. Metode pemilihan contoh yang
digunakan adalah acak sederhana. Penentuan jumlah contoh minimal
menggunakan rumus Slovin.

𝑁 10 659
n= = = 200, 2
(1+𝑁𝑒 2 ) (1+(10 659 )(0,07)2 )

Keterangan:
n = jumlah contoh yang diambil
N = jumlah populasi
e = kelonggaran/ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan contoh yang dapat
ditolerir atau taraf nyata (0,07)
Hasil perhitungan dengan rumus Slovin menunjukkan 200 mahasiswa harus
diambil sebagai jumlah contoh minimal. Sebanyak 300 mahasiswa terpilih secara
acak namun yang bersedia menjadi responden hanya 204 mahasiswa saja. Contoh
dipilih berdasarkan kerangka pengambilan contoh sebagai berikut.
7

Fakultas n=17
Pertanian
Ni=1 285

Fakultas
n=7
Kedokteran Hewan
Ni=565

Fakultas
Perikanan dan Ilmu n=34
Kelautan
Ni=1 326

Fakultas Peternakan
n=13
Ni=659

Fakultas
Kehutanan n=21
Mahasiswa IPB Ni=1 094
semester 2-6
N=10 659 Fakultas
Teknologi Pertanian n=29
Ni=1 202

Fakultas
Matematika dan Ilmu n=42
Pengetahuan
Ni=1 970

Fakultas
Ekonomi dan n=25
Manajemen
Ni=1 447

Fakultas
Ekologi Manusia n=14
Ni=929

Sekolah Bisnis n=2


Ni=182

Gambar 2 Kerangka Pengambilan Contoh


8

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi karakteristik mahasiswa (usia, uang saku, dan
jenis kelamin). Data primer diperoleh melalui self-administered yaitu mahasiswa
sebagai responden mengisi sendiri kuesioner yang diberikan. Sementara itu, data
sekunder diperoleh dari Direktorat Administrasi dan Pendidikan Sarjana IPB
mengenai data jumlah mahasiswa aktif semester 2 sampai 6 tahun akademik
2016/2017.
Penelitian ini mencakup dua variabel, yaitu variabel bebas (jenis kelamin,
uang saku mahasiswa, pengetahuan, dan sikap) serta variabel terikat (frekuensi
konsumsi dan jumlah jenis yang dikonsumsi). Penjelasan dari masing-masing
variabel adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan konsumen diukur menggunakan instrumen yang diterjemahkan
dari kuesioner pengetahuan pangan fungsional oleh Sääksjärvi et al. (2009)
yang menggambarkan pengetahuan objektif dan subjektif konsumen tentang
pangan fungsional. Pertanyaan pengetahuan objektif terdiri dari 15 butir
pertanyaan dengan pilihan jawaban benar, salah, dan tidak tahu. Jawaban
benar akan diberi skor 1 dan jawaban salah atau tidak tahu diberi skor 0.
Pertanyaan pengetahuan subjektif mahasiswa berisi tiga butir pertanyaan
terkait persepsinya terhadap pengetahuan yang dimiliki tentang pangan
fungsional. Setiap jawaban dari pengetahuan subjektif menggunakan tiga
skala jawaban. Merek produk pangan fungsional (skala jawaban tidak
mengetahui=1; mengetahui 1 merek=2; mengetahui >1 merek=3), lama
mengetahui istilah pangan fungsional (skala jawaban baru mengetahui= 1;
mengetahui <1 tahun=2; mengetahui >1 tahun=3), banyaknya pengetahuan
yang dimiliki (skala jawaban tidak mengetahui=1; agak mengetahui=2; tidak
mengetahui=3). Reliabilitas instrumen pengetahuan memiliki nilai
cronbach’s alpha sebesar 0,787.
2. Sikap konsumen diukur menggunakan instrumen yang diterjemahkan dari
kuesioner sikap konsumen terhadap pangan fungsional oleh Urala dan
Lahteenmaki (2007) yang terdiri dari empat dimensi yaitu penghargaan
(rewards), kebutuhan (necessary), keyakinan (confidence), dan keamanan
(safety) terkait pangan fungsional sebanyak 25 butir pernyataan. Pernyataan
sikap konsumen menggunakan skala Likert satu sampai lima (sangat tidak
setuju=1; tidak setuju=2; cukup setuju=3; setuju=4; sangat setuju=5).
Reliabilitas instrumen sikap memiliki nilai cronbach’s alpha sebesar 0,787.
3. Perilaku konsumsi pangan fungsional dibagi menjadi dua, yaitu frekuensi
konsumsi dan jumlah jenis yang dikonsumsi. Kuesioner perilaku konsumsi
berisi daftar jenis-jenis pangan fungsional, merek, volume, dan frekuensi
konsumsi per hari, per minggu, dan per bulan. Kuesioner diisi oleh
mahasiswa dengan jawaban terbuka pada kolom merek yang dikonsumsi,
volume mengonsumsi dalam satu bulan, serta frekuensi konsumsi selama satu
bulan.
9

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program


Microsoft Excel 2010 dan SPSS for Windows versi 16. Pengolahan data meliputi
coding, scoring, entrying, cleaning, dan analyzing. Variabel-variabel yang diteliti
pada penelitian ini diberi skor penilaian sesuai skala yang digunakan. Frekuensi
dan jumlah jenis yang dikonsumsi diukur menggunakan skor aktual yang
didapatkan. Skor aktual frekuensi konsumsi didapatkan dari pengisisan kuesioner
yang berisi pertanyaan tentang konsumsi per hari, per minggu, dan per bulan.
Frekuensi konsumsi kemudian disamakan satuannya menjadi konsumsi per bulan
(kl/bl). Jumlah jenis yang didapatkan dari total jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi mahasiswa berdasarkan 10 jenis pangan fungsional yang disebutkan
pada kuesioner. Skala data frekuensi konsumsi dan jumlah jenis yang dikonsumsi
termasuk rasio sehingga tidak perlu diubah menjadi skor indeks. Skor variabel
yang diubah menjadi skor indeks adalah variabel pengetahuan objektif,
pengetahuan subjektif, dan sikap. Pengetahuan objektif diberi skor 0 dan 1.
Pengetahuan subjektif diberi skor 1 sampai 3 sesuai dengan skala likert yang
digunakan. Sikap menggunakan skala likert 1 sampai 5 dan diberi skor 25 sampai
125. Total skor dari masing-masing variabel diindeks menjadi skala 0-100 dengan
menggunakan rumus:

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙


Indeks = x 100
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙

Keterangan:
Indeks = skala 0-100
Skor aktual = total skor yang diperoleh mahasiswa
Skor maksimal = total skor maksimal sesuai skala yang digunakan
Skor minimal = total skor minimal sesuai skala yang digunakan

Setelah mendapatkan indeks variabel, langkah selanjutnya adalah


mengelompokkan indeks menjadi tiga kategori. Indeks dari variabel pengetahuan,
sikap, dan perilaku konsumsi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, skala, dan kategori skor data


Variabel Skala Kategori Skor Data
Jenis Kelamin Nominal 1. perempuan
2. laki-laki
Uang Saku Rasio 1. rendah (≤600 000)
2. sedang (600 001–1 200 000)
3. tinggi (>1 200 000)
Sumber uang saku Nominal 1. Orang tua
2. Beasiswa
3. Saudara
4. Bekerja
Pengetahuan Objektif Ordinal 1. rendah (<60)
2. sedang (60-80)
3. tinggi (>80)
10

Tabel 1 Variabel, skala, dan kategori skor data (lanjutan)


Variabel Skala Kategori Skor Data
Pengetahuan Subjektif Ordinal 1. rendah (<60)
2. sedang (60-80)
3. tinggi (>80)
Sikap Ordinal 1. rendah (<60)
2. sedang (60-80)
3. tinggi (>80)
Frekuensi konsumsi Rasio 1. rendah (<31 kl/bl)
pangan fungsional 2. sedang (31–60 kl/bl)
3. tinggi (>60 kl/bl)
Jumlah jenis yang Rasio 1. sedikit (1-3 jenis)
dikonsumsi 2. sedang (4-6 jenis)
3. banyak (7-10 jenis)

Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan inferensia


sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui rata-rata, standar deviasi,
nilai minimum, dan nilai maksimum karakteristik mahasiswa, pengetahuan
objektif, pengetahuan subjektif, sikap, frekuensi konsumsi, dan jumlah
jenis pangan fungsional yang dikonsumsi.
2. Uji korelasi yang digunakan ada dua, yaitu uji Chi-Square dan uji korelasi
Pearson. Uji Chi-Square dilakukan untuk menganalisis hubungan jenis
kelamin dengan frekuensi dan jumlah jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi. UJi korelasi Pearson dilakukan untuk menganalisis adanya
hubungan antara uang saku dengan frekuensi dan jumlah jenis pangan
fungsional yang dikonsumsi.
3. Uji regresi linear berganda digunakan untuk menduga faktor-faktor yang
memengaruhi frekuensi konsumsi pangan fungsional dan jumlah jenis
pangan fungsional yang dikonsumsi dengan menggunakan variabel
pengetahuan, sikap, dan menambahkan karakteristik mahasiswa yaitu jenis
kelamin, uang saku. Sebelum melakukan uji regresi, data penelitian harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu memenuhi uji asumsi
klasik yang meliputi uji normalitas, uji heterokesdasitas, uji autokorelasi,
dan uji multikolinearitas. Hasil uji normalitas menunjukkan data dalam
penelitian ini menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
garis diagonal sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang diolah dalam
penelitian ini terdistribusi normal dan uji normalitas terpenuhi. Hasil uji
heterokesdasitas menunjukkanbahwa titik-titik pada scatterplot menyebar
di atas dan di bawah sumbu Y sehingga variabel pada penelitian ini telah
bebas heterokesdasitas. Selain itu, nilai Durbin-Watson pada penelitian ini
lebih besar dari batas atas (dU) dan kurang dari (4-dU) sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi. Hasil uji multikolinieritas
menunjukkan bahwa nilai tolerance berada di atas 0,1 dan nilai Variance
Inflation Factor (VIF) berada di bawah 10 sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak terjadi multikolinieritas antar variabel (Lampiran 1).
Persamaan regresi linier berganda dirumuskan sebagai berikut.
11

Y1 = α + β1D1 + β2X1 + β3X2 + β4X3 + β5X4 + ε


Y2 = α + β1D1 + β2X1 + β3X2 + β4X3 + β5X4 + ε

Keterangan:
Y1 = frekuensi konsumsi pangan fungsional (kl/bl)
Y2 = banyaknya jenis pangan fungsional yang dikonsumsi (jenis)
α = konstanta regresi
β = konstanta
D1 = jenis kelamin (1=laki-laki; 0=perempuan)
X1 = pengetahuan objektif (skor indeks)
X2 = pengetahuan subjektif (skor indeks)
X3 = sikap (skor indeks)
X5 = uang saku (Rp)
ε = galat

Definisi Operasional
Pangan fungsional adalah makanan dan minuman yang karena kandungan
komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan di luar
manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya.
Uang saku adalah uang yang diterima mahasiswa IPB setiap bulannya, baik yang
berasal dari orang tua, beasiswa, ataupun bekerja.
Pengetahuan objektif adalah informasi faktual yang dimiliki mahasiswa tentang
pangan fungsional, termasuk pengetahuan tentang atribut dan manfaatnya.
Pengetahuan subjektif adalah persepsi mahasiswa mengenai banyaknya
informasi yang mahasiswa miliki tentang pangan fungsional.
Sikap adalah ungkapan perasaan mahasiswa IPB tentang pangan fungsional
disukai atau tidak dan kepercayaan terhadap berbagai atribut dan manfaat
pangan fungsional tersebut.
Reward adalah ungkapan perasaan mahasiswa ketika mendapat
kesenangan atau tidak ketika mengonsumsi pangan fungsional.
Necessity adalah ungkapan perasaan mahasiswa tentang butuh atau
tidaknya pangan fungsional untuk mempromosikan gaya hidup sehat.
Confidence adalah ungkapan kepercayaan mahasiswa terhadap klaim dan
informasi tentang pangan fungsional.
Safety adalah ungkapan perasaan aman atau tidak aman dari risiko gizi
yang ditimbulkan akibat mengonsumsi pangan fungsional.
Perilaku konsumsi adalah frekuensi konsumi dan jumlah jenis pangan fungsional
yang dikonsumsi oleh mahasiswa.
Frekuensi konsumsi adalah jumlah konsumsi pangan fungsional dalam sebulan
yang diukur secara kuantitatif.
Jenis pangan fungsional adalah produk-produk pangan fungsional dengan klaim
mengandung komponen fungsional tertentu yang dapat menjaga atau
mengurangi risiko terserang pernyakit dan telah terbukti melalui
penelitian ilmiah.
Jumlah jenis pangan fungsional adalah banyaknya jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi oleh mahasiswa.
12

HASIL

Gambaran Umum Produk Pangan Fungsional

Menurut PKBPOM RI tahun 2011 tentang pengawasan klaim dalam label


dan iklan pangan olahan mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan olahan
yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian
ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu di luar fungsi dasarnya, terbukti tidak
membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut; 1) mengandung jenis komponen pangan
dalam jumlah yang sesuai dengan batasan yang ditetapkan PKBPOM RI tahun
2011; 2) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau
konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen; 3) dan disajikan serta
dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman. Pangan fungsional
diklaim dengan dua cara yaitu klaim mengandung fungsi lain dengan
komponennya yaitu serat pangan, fitosterol, dan fitostanol dan klaim mengurangi
risiko penyakit dengan komponennya yaitu; asam folat, kalsium, gula alkohol,
serat pangan, fitosterol dan fitostanol, peptida, dan isoflavon kedelai.
Pangan fungsional pada penelitian ini difokuskan pada sepuluh kelompok
makanan yang diklaim mengandung komponen fungsional sehingga berbeda
dengan pangan biasa. Mengacu pada Urala dan Laahtenmaki (2007), kelompok
pangan fungsional yang diteliti frekuensi konsumsinya yaitu jus buah dan sayur
dengan tambahan vitamin, roti dan biskuit gandum dengan serat, oatmeal dengan
beta-glucan, snack bar dengan serat, yoghurt dengan probiotik, susu rendah
lemak, olahan ikan dengan omega-3, produk olahan kedelai, teh, dan minuman
isotonik.
Produk-produk yang disebutkan tersebut telah melalui penelitian dan
terbukti mengandung komponen fungsional yang dapat memberikan manfaat bagi
tubuh. Konsumsi yoghurt berprobiotik dapat menurunkan gejala malabsorpsi
laktosa dan meningkatkan ketahanan alami saluran pencernaan (Winarti 2010).
Oatmeal dengan beta-glucan dipercaya menurunkan kadar kolesterol dalam darah
dan menurunkan risiko timbulnya penyakit jantung koroner. Kedelai mengandung
protein dan lemak dan dipercaya dapat mencegah timbulnya berbagai macam
penyakit seperti kardiovaskuler, kanker, osteoporosis, dan meringankan gejala
menopause (Hasler 1998) dalam Muchtadi (2012).

Karakteristik Mahasiswa

Usia mahasiswa berada pada rentang usia 17 hingga 21 tahun dengan rata-
rata usia 19,4 tahun. Seluruh mahasiswa dalam penelitian ini berada pada
kategori remaja akhir menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2009. Menurut Carillo et al. (2013), konsumen muda lebih banyak mengonsumsi
pangan fungsional karena rasa keterbukaannya yang tinggi pada hal-hal baru.
13

Pada penelitian ini mahasiswa paling banyak yaitu berjenis kelamin perempuan.
Hal ini terlihat pada Tabel 2 dimana proporsi mahasiswa berjenis kelamin
perempuan sebesar 51,5 persen. Hal tersebut disebabkan proporsi mahasiswa IPB
dimana lebih banyak perempuan daripada laki-laki dengan rasio mahasiswa
perempuan dan laki-laki 61 banding 39. Penelitian Vella et al. (2014)
menunjukkan bahwa jenis kelamin memengaruhi perilaku konsumsi pangan
fungsional yang hasilnya menunjukkan bahwa konsumen perempuan
mengonsumsi pangan fungsional lebih tinggi daripada konsumen laki-laki. Hal
tersebut dikarenakan wanita lebih merasakan pentingnya pangan bagi kesehatan
dibandingkan laki-laki (Dogan et al. 2011; Ong et al. 2014)
Sebaran jumlah uang saku mahasiswa per bulan berkisar Rp300 000
sampai Rp3 500 000 dengan rataan Rp976 000. Uang saku bersumber dari orang
tua, beasiswa, usaha mandiri (kerja), atau gabungan dari beberapa sumber.
Pengkategorian uang saku berdasarkan besar beasiswa Bidik Misi perbulan
sebagai standar minimum. Menurut Dogan et al. (2011), tingkat pendapatan
konsumen akan memengaruhi konsumsi pangan fungsional yang dalam penelitian
ini sama dengan uang saku yang sehingga mahasiswa dengan uang saku yang
tinggi akan lebih banyak mengonsumsi pangan fungsional dibandingkan dengan
mahasiswa yang uang sakunya rendah. Hasil menunjukkan bahwa lebih dari
separuh mahasiswa (56,4%) memiliki uang saku dengan kategori sedang (Tabel 2).

Tabel 2 Sebaran mahasiswa berdasarkan jenis kelamin dan uang saku


Karakteristik mahasiswa n %
Jenis Kelamin
Perempuan 105 51,5
Laki-laki 99 48,5
Total 204 100,0
Uang Saku
Rendah (> 600 001) 30 14,7
Sedang (600 001–1 200 000) 115 56,4
Tinggi (>1 200 000) 59 28,9
Total 204 100,0

Pengetahuan Pangan Fungsional

Salah satu faktor yang memengaruhi dalam proses pengambilan keputusan


konsumen adalah pengetahuan. Pengetahuan konsumen adalah informasi yang
dimiliki konsumen mengenai berbagai macam produk dan jasa, serta pengetahuan
lainnya yang terkait dengan produk dan jasa tersebut dan informasi yang
berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen (Sumarwan 2011).
Pengetahuan objektif adalah mengenai berapa banyak pengetahuan faktual yang
dimiliki seorang konsumen tentang topik tertentu, termasuk pengetahuan tentang
produk, atribut, dan tentang bagaimana produk itu bekerja atau berfungsi (Moreau
et al. 2001).
14

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki pengetahuan


yang rendah tentang pangan fungsional. Hal tersebut terlihat dari rendahnya
persentase pada jawaban benar (Tabel 3). Pengetahuan terendah mahasiswa
tentang pangan fungsional adalah tentang manfaat setelah mengonsumsi pangan
fungsional. Informasi yang paling banyak diketahui oleh mahasiswa (82,4%)
adalah bahwa pangan fungsional dapat dikonsumsi oleh siapa saja, tidak hanya
untuk mereka yang memiliki masalah kesehatan. Mahasiswa beranggapan bahwa
setelah mendapat manfaat dari mengonsumsi beberapa kali pangan fungsional,
mereka dapat berhenti mengonsumsinya. Sebanyak enam butir pertanyaan dapat
dijawab benar oleh lebih dari separuh mahasiswa. Berdasarkan sebaran jawaban
yang didapat, lebih dari separuh mahasiswa telah mengetahui bahwa harga pangan
fungsional lebih mahal dari pangan biasa, pangan fungsional mahal karena
terdapat biaya penelitian, produk pangan fungsional tidak hanya jus dan produk
olahan susu, dan pangan fungsional tidak hanya terdapat di negara Indonesia saja.

Tabel 3 Persentase mahasiswa menjawab benar pada pertanyaan pengetahuan


objektif tentang pangan fungsional (n=204)
Jawaban
Pertanyaan Benar
n %
1 Pangan fungsional mengandung bahan yang berfungsi sebagai 88 43,1
obat
2 Seseorang dapat overdosis karena pangan fungsional* 71 34,8
3 Hanya orang yang memiliki masalah kesehatan yang dapat 168 82,4
mengonsumsi pangan fungsional*
4 Harga pangan fungsional lebih mahal dari pangan biasa 134 65,7
5 Pangan fungsional mahal karena terdapat biaya penelitian dan 132 64,7
pengembangan
6 Pangan fungsional hanya ada pada produk olahan susu dan jus 128 62,7
7 Pangan fungsional hanya dijual di apotek dan toko khusus 85 41,7
8 Pangan fungsional telah ada di Indonesia lebih dari 10 tahun 62 30,4
9 Pangan fungsional produk olahan susu dan jus hanya dijual di 132 64,7
Indonesia*
10 Kebanyakan pangan fungsional produk olahan susu dan jus 77 37,7
dikhususkan hanya untuk anak-anak*
11 Produk olahan susu dengan tambahan vitamin dapat dikategorikan 113 55,4
sebagai pangan fungsional
12 Setelah mengonsumsi pangan fungsional beberapa kali, Anda 29 14,2
dapat menyadari perbedaan pada kesehatan serta dapat berhenti
mengonsumsinya*
13 Pangan fungsional sebaiknya dikonsumsi secara teratur 80 39,2
14 Jepang merupakan negara pelopor pangan fungsional 53 26,0
15 Mengonsumsi pangan fungsional dapat mengurangi penggunaan 72 35,3
obat penurun kolesterol
Rata-rata 95 46,5
15

Pengetahuan subjektif mengukur persepsi konsumen tentang sebanyak apa


informasi yang mereka ketahui dari suatu produk (Flynn dan Goldsmith 1999
dalam Sääksjärvi 2009). Pengetahuan subjektif terdiri dari tiga pertanyaan yang
berada pada area besar pengetahuan yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan
lebih dari separuh mahasiswa tidak tahu atau tidak menjawab ketika diminta
menyebutkan merek-merek pangan fungsional (58,8%) (Tabel 4). Mahasiswa
yang berhasil menyebutkan dengan benar merek-merek dari pangan fungsional,
jawaban yang paling banyak disebutkan adalah merek dari produk yoghurt dan
oatmeal. Selain itu, pertanyaan tentang sudah berapa lama mengetahui pangan
fungsional sebagian besar mahasiswa (87,3%) baru mengetahui istilah pangan
fungsional ketika survey dilakukan dan hanya satu mahasiswa (0,5%) yang
mengetahui istilah pangan fungsional lebih dari satu tahun. Persepsi mahasiswa
tentang seberapa tahu mereka tentang pangan fungsional lebih dari separuh
(57,8%) menyatakan sangat tidak tahu tentang pangan fungsional. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Marina et al. (2014) bahwa lebih dari separuh responden
mengakui tidak mengetahui tentang pangan fungsional.

Tabel 4 Sebaran mahasiswa berdasarkan jawaban pengetahuan subjektif tentang


pangan fungsional
Pertanyaan pengetahuan
Jawaban
subjektif mahasiswa
Tidak Mengetahui Mengetahui
>1 merek Total
mengetahui 1 merek
Pengetahuan merek
n % n % n % n %
pangan fungsional
120 58,8 24 11,8 60 29,4 204 100,0

Baru
<1 tahun >1 tahun Total
Pengetahuan tentang mengetahuinya
berapa lama mengetahui
pangan fungsional n % n % n % n %
178 87,3 17 8,3 9 0,5 204 100,0
Sangat tidak Agak Sangat
mengetahui Total
Pengetahuan tentang tahu mengetahui
seberapa tahu tentang
n % n % n % n %
pangan fungsional
118 57,8 85 41,7 1 0,5 204 100,0

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan objektif mahasiswa lebih dari


setengahnya (57,8%) berada pada tingkat pengetahuan yang rendah dengan
rentang skor yang diperoleh antara 0 sampai 93 (menjawab benar 14 pertanyaan
dari 15) (Tabel 5). Rata-rata skor pengetahuan objektif yang dicapai yaitu 46,5
dan termasuk rendah yang mengindikasikan bahwa rata-rata mahasiswa tidak
dapat menjawab benar lebih dari tujuh pertanyaan dari 15 pertanyaan. Tingkat
pengetahuan subjektif mahasiswa juga tergolong rendah yaitu rata-rata skor yang
dicapai sebesar 32,2 dengan rentang antara 0 sampai 83,3 dan proporsi terbesar
berada pada kategori rendah (92,2%). Hal tersebut berarti sebagian besar
mahasiswa mempersepsikan dirinya memiliki pengetahuan yang kurang tentang
16

pangan fungsional meskipun pengetahuan objektif yang dicapai lebih tinggi


dibanding pengetahuan subjektif. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa
tingkat pengetahuan mahasiswa tentang pangan fungsional baik secara objektif
maupun subjektif masih rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan Dogan et al.
(2011) dan Marina et al. (2014) bahwa kurang dari 50 persen responden yang
memiliki pengetahuan tentang pangan fungsional yang memadai.

Tabel 5 Sebaran mahasiswa berdasarkan tingkat pengetahuan tentang pangan


fungsional
Pengetahuan Pengetahuan
Tingkat Pengetahuan Objektif Subjektif
n % n %
Rendah (<60) 118 57,8 188 92,2
Sedang (60-80) 79 38,7 10 4,9
Tinggi (>80) 7 3,4 6 2,9
Total 204 100,0 204 100,0

Sikap
Urala dan Lahteenmaki (2007) membagi sikap terhadap pangan fungsional
menjadi empat dimensi yaitu reward, necessity, confidence, dan safety. Sikap
yang tinggi pada dimensi reward menganggap bahwa mahasiswa mendapat
imbalan yang setimpal ketika mengonsumsi pangan fungsional; dimensi necessity
menggambarkan kebutuhan umum produk pangan fungsional dan tidak mengacu
pada penyakit apapun serta dengan mengonsumsi pangan fungsional, konsumen
dapat mempromosikan gaya hidup sehat; dimensi confidence menggambarkan
kepercayaan konsumen terhadap klaim dan informasi tentang pangan fungsional
atau efek kesehatannya serta kekhawatiran konsumen tentang kemungkinan
overdosis; dimensi safety menilai risiko gizi yang ditimbulkan akibat
mengonsumsi pangan fungsional tidak berbahaya bagi tubuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap mahasiswa berdasarkan
sebaran jawaban pada dimensi sikap menunjukkan bahwa dimensi necessity
memperoleh rataan tertinggi berdasarkan skala jawaban, yaitu 3,9 (cukup setuju)
(Tabel 6). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Carillo et al. (2013) yang
mendapatkan bahwa necessity merupakan dimensi sikap yang memeroleh rataan
tertinggi diantara dimensi yang lain. Berdasarkan hasil yang didapatkan, sikap
mahasiswa berdasarkan keseluruhan dimensi sikap menunjukkan sikap cukup
setuju cenderung setuju terhadap pangan fungsional. Pernyataan dengan proporsi
setuju paling banyak pada dimensi reward adalah pangan fungsional
memengaruhi gaya hidup sehat. Pernyataan dengan proporsi setuju paling banyak
pada dimensi necessity adalah pangan fungsional memiliki manfaat kesehatan,
Pernyataan dengan proporsi setuju paling banyak pada dimensi confidence adalah
mahasiswa percaya bahwa pangan fungsional bermanfaat untuk kesehatan.
Pernyataan dengan proporsi setuju paling banyak pada dimensi safety adalah
pangan fungsional harus dikonsumsi secara bijak (Lampiran 3).
17

Tabel 6 Sebaran mahasiswa berdasarkan sebaran jawaban dimensi sikap


Skala Sikap
Dimensi Rataan
1 2 3 4 5
Reward 1,6 10,6 31 45,4 11,3 3,6
Necessity 0,9 5,9 14,2 51,7 20,9 3,9
Confidence 0,5 8,4 35,3 47,5 7,6 3,5
Safety 1,7 3,5 20 47,9 16,9 3,8

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap mahasiswa berdasarkan


dimensi reward berkisar 28,1 sampai 90,6 dengan rata-rata skor 65,4. Skor indeks
dimensi necessity berkisar antara 28,1 sampai 100 dengan rata-rata skor 82,3.
Skor indeks dimensi confidence berkisar antara 26,7 hingga 100 dengan rata-rata
skor 67,3. Skor indeks dimensi safety berkisar antar 25 hingga 100 dengan rata-
rata skor 71,3. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dimensi sikap dengan perolehan
rata-rata skor yang paling tinggi yaitu necessity yang menjelaskan bahwa alasan
rata-rata mahasiswa memiliki sikap yang positif karena adanya kebutuhan untuk
merubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Dimensi berikutnya yang memiliki rata-
rata skor indeks yang tinggi yaitu safety, yang menandakan bahwa mahasiswa
menilai pangan fungsional aman untuk dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan
penelitian Carillo et al. (2013) yang menyatakan bahwa necessity sebagai dimensi
sikap yang paling mendukung untuk membentuk sikap terhadap pangan
fungsional dan diikuti dengan safety sebagai dimensi yang paling mendukung
kedua. Berdasarkan sikap total mahasiswa terhadap pangan fungsional, capaian
skor indeks berkisar antara 40 hingga 89 dengan rata-rata 68,3. Proporsi terbesar
sikap total mahasiswa berada pada kategori sedang (83,8%) (Tabel 7).

Tabel 7 Sebaran mahasiswa berdasarkan sikap terhadap pangan fungsional


Kategori
Total
Dimensi Sikap Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Reward 66 32,4 120 58,8 18 8,8 204 100,0
Necessity 5 2,5 66 32,4 133 65,2 204 100,0
Confidence 45 22,1 63 30,9 96 47,1 204 100,0
Safety 13 6,4 165 80,9 26 12,7 204 100,0
Sikap Total 20 9,8 171 83,8 13 6,4 204 100,0

Perilaku Konsumsi Pangan Fungsional

Hasil penelitian menunjukkan frekuensi konsumsi pangan fungsional


pada mahasiswa berkisar antara 8 hingga 96 kali dalam sebulan dengan rata-rata
mengonsumsi pangan fungsional 47 kl/bl. Proporsi terbesar frekuensi konsumsi
mahasiswa berada pada kategori sedang (46,1 %) (Tabel 8). Hal ini sejalan
dengan penelitian Ong et al. (2014) bahwa konsumsi pangan fungsional tergolong
18

tinggi namun bertolak belakang dengan penelitian Dogan et al. (2011) yang
menemukan hasil bahwa lebih dari 50 persen konsumen belum pernah
mengonsumsi pangan fungsional.
Hasil penelitian menunjukkan jenis pangan fungsional yang dikonsumsi
berkisar antara 2 hingga 9 jenis (Tabel 8) dengan rata-rata jenis pangan fungsional
yang dikonsumsi mahasiswa sebanyak 7 jenis. Sebagian besar mahasiswa
mengonsumsi pangan fungsional lebih dari tujuh jenis (86,3%) dan termasuk ke
dalam kategori banyak. Hal ini dikarenakan mahasiswa sebagai konsumen muda
memiliki sikap yang terbuka terhadap hal-hal baru.

Tabel 8 Sebaran mahasiswa berdasarkan frekuensi dan jumlah jenis


pangan fungsional yang dikonsumsi
Perilaku konsumsi n %
Frekuensi konsumsi
Rendah (<31 kl/bl) 54 26,5
Sedang (31-60 kl/bl) 94 46,1
Tinggi (>60 kl/bl) 56 27,5
Total 204 100,0
Jumlah jenis yang dikonsumsi
Sedikit (0-3 jenis) 4 2,0
Sedang (4-6 jenis) 20 11,7
Banyak (7-10 jenis) 180 86,3
Total 204 100,0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa roti dan biskuit gandum dengan serat
merupakan produk yang dikonsumsi oleh paling banyak mahasiswa (92,6%),
diikuti jus buah atau sayur dengan tambahan vitamin (91,2%), produk olahan
kedelai (85,3%), dan minuman isotonik (82,5%) (Tabel 9). Hasil penelitian ini
sejalan dengan Dean et al. (2007) bahwa konsumen lebih banyak mengonsumsi
produk olahan gandum namun berbedan dengan penelitian Dogan et al. (2014)
yang menemukan hasil yang berbeda, yaitu teh sebagai jenis pangan fungsional
yang banyak dikonsumsi oleh konsumen di Turki. Produk olahan gandum
dikonsumsi oleh banyak mahasiswa karena rasanya yang enak, membuat kenyang,
dan harga yang terjangkau.
Jus buah dan sayur dengan tambahan vitamin merupakan jenis pangan
fungsional kedua yang paling banyak dikonsumsi oleh mahasiswa dan hal ini
bertolak belakang dengan Silliman et al. (2004), Butler et al. (2004), dan Story et
al. (2002) yang menyatakan bahwa mahasiswa sebagai remaja akhir lebih banyak
mengonsumsi pangan berlemak dan rendah serat seperti buah-buahan dan sayuran.
Selain vitamin, jus buah dan sayur juga mengandung serat. Kandungan serat pada
jus buah dan sayur dapat membantu mengendalikan kadar gula darah sehingga
menurunkan risiko terserang diabetes mellitus (Winarti 2010). Produk olahan
kedelai yang banyak dikonsumsi adalah tempe yang merupakan warisan pangan
tradisional Indonesia dan telah terbukti secara ilmiah mengandung isoflavon
kedelai yang dapat mengurangi risiko terserang jantung koroner.
19

Tabel 9 Persentase mahasiswa berdasarkan jenis pangan fungsional yang


dikonsumsi
Jenis pangan fungsional yang dikonsumsi n %
1 Jus buah atau sayur dengan tambahan vitamin 186 91,2
2 Roti dan biskuit gandum dengan serat 189 92,6
3 Oatmeal dengan beta-glucan 136 66,7
4 Snack bar dengan serat 123 60,3
5 Yoghurt berprobiotik 146 71,6
6 Susu rendah lemak 141 69,1
7 Olahan ikan dengan omega-3 110 53,9
8 Produk olahan kedelai 174 85,3
9 Teh 119 58,3
10 Minuman isotonik 168 82,5
Total 204 100,0

Hubungan Karakteristik Mahasiswa, Pengetahuan, dan Sikap dengan


Perilaku Konsumsi Pangan Fungsional

Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara


jenis kelamin dengan frekuensi konsumsi maupun jumlah jenis pangan fungsional
yang dikonsumsi (Lampiran 2). Hal ini dikarenakan baik mahasiswa laki-laki
maupun perempuan mengonsumsi pangan fungsional dengan frekuensi dan
jumlah yang hampir sama proporsinya (Tabel 10). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar mahasiswa laki-laki dan perempuan mengonsumsi pangan
fungsional dengan frekuensi sering (87,% dan 88,9%). Uang saku berhubungan
positif signifikan dengan frekuensi konsumsi pangan fungsional. Hasil tabulasi
silang menunjukkan total mahasiswa dengan uang saku yang sedang dan tinggi
mengonsumsi pangan fungsional lebih sering dibanding mahasiswa dengan uang
saku yang rendah.

Tabel 10 Sebaran mahasiswa berdasarkan karakteristik dengan frekuensi


konsumsi pangan fungsional
Frekuensi Konsumsi
Total
Variabel Jarang Sedang Sering
n % n % n % n %
Jenis Laki-laki 3 1,0 8 11,4 88 87,6 99 48,5
kelamin Perempuan 1 3,0 12 8,1 92 88,9 105 51,5
Total 4 2,0 20 9,8 180 88,2 204 100,0
Uang saku Rendah 8 3,9 18 8,8 4 2,0 30 14,7
Sedang 30 14,7 55 27,0 30 14,7 115 56,4
Tinggi 16 7,8 21 10,3 22 10,8 59 28,9
Total 54 26,5 94 46,1 56 27,5 204 100,0
20

Jenis kelamin dan uang saku tidak berhubungan signifikan dengan jumlah
jenis pangan fungsional yang dikonsumsi. Baik mahasiswa laki-laki maupun
perempuan mengonsumsi pangan fungsional dengan jumlah jenis yang tidak jauh
berbeda. Mahasiswa laki-laki yang mengonsumi pangan fungsional dengan
jumlah jenis yang sedang sebanyak 21,6% dan mahasiswa perempuan yang
mengonsumsi pangan fungsional dengan jumlah jenis yang sedang sebanyak
24,5%. Mahasiswa dengan kategori uang saku dari rendah sampai tinggi
mengonsumsi pangan fungsional dengan jenis yang banyak sehingga
menyebabkan tidak adanya hubungan antara uang saku mahasiswa dengan jumlah
jenis yang dikonsumsi.

Tabel 11 Sebaran mahasiswa berdasarkan karakteristik mahasiswa dengan


jumlah jenis pangan fungsional yang dikonsumsi
Jumlah Jenis yang dikonsumsi
Total
Variabel Sedikit Sedang Banyak
n % n % n % n %
Jenis Laki-laki 34 16,7 44 21,6 27 13,2 99 48,5
kelamin Perempuan 20 9,8 50 24,5 29 14,2 105 51,5
Total 54 26,5 94 46,1 56 27,4 204 100,0
Uang Rendah 1 0,5 5 2,5 24 11,8 30 14,7
saku Sedang 2 1,0 8 3,9 105 51,5 115 56,4
Tinggi 1 0,5 7 3,4 51 25,0 59 28,9
Total 4 2,0 20 9,8 180 88,2 204 100,0

Hasil uji korelasi Pearson antara pengetahuan dengan perilaku konsumsi


pangan fungsional tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
(Lampiran 2). Hasil tabulasi silang menunjukkan sebesar 25 persen mahasiswa
yang memiliki pengetahuan objektif rendah mengonsumsi pangan fungsional
dengan frekuensi sedang. Mahasiswa dengan pengetahuan subjektif rendah dan
frekuensi konsumsinya termasuk sedang yaitu sebesar 42,2 persen (Tabel 12).
Melalui tabulasi silang ini dapat diketahui ternyata mahasiswa yang memiliki
pengetahuan rendah mengonsumsi pangan fungsional dengan frekuensi sedang.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Ong et al. (2014) yang menemukan bahwa
konsumen memiliki pengetahuan yang tinggi dan turut mengonsumi pangan
fungsional yang dengan frekuensi tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui tingkat pengetahuan mahasiswa
tentang pangan fungsional termasuk rendah sehingga menyebabkan proporsi
antara pengetahuan yang tinggi dengan frekuensi yang tinggi menjadi lebih sedikit.
Morawska et al. (2016) menemukan hasil yang serupa yaitu mahasiswa yang tidak
memiliki pengetahuan memadai tentang pangan fungsional ternyata mengonsumsi
pangan fungsional cukup sering. Mahasiswa tidak menyadari bahwa yang
dikonsumsi adalah pangan fungsional dikarenakan mereka mengonsumsi pangan
fungsional berdasarkan preferensi.
21

Tabel 12 Sebaran mahasiswa antara konsumsi dengan pengetahuan tentang


pangan fungsional
Frekuensi Konsumsi
Total
Variabel Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Pengetahuan Rendah 36 17,6 51 25,0 31 15,2 118 57,8
Objektif Sedang 15 7,4 42 20,6 22 10,8 79 38,7
Tinggi 3 1,5 1 0,5 3 1,5 7 3,4
Total 54 26,5 26,5 46,1 56 27,5 204 100,0
Pengetahuan Rendah 53 26,0 86 42,2 49 24,0 188 92,2
Subjektif Sedang 1 0,5 5 2,5 4 2,0 10 4,9
Tinggi 0 1,5 3 1,5 3 1,5 6 2,9
Total 54 26,5 94 46,1 56 27,5 204 100,0

Hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh mahasiswa (50,5%)


memiliki pengetahuan objektif rendah namun mengonsumsi banyak jenis pangan
fungsional (Tabel 13). Hasil tabulasi silang antara pengetahuan subjektif dan
banyaknya jenis yang dikonsumsi menunjukkan lebih dari separuh mahasiswa
yang memiliki pengetahuan subjektif rendah, mengonsumsi banyak jenis pangan
fungsional (81,9%) . Hal ini berarti pengetahuan tidak menjadi hal utama bagi
mahasiswa untuk mengonsumsi pangan fungsional berdasarkan jenisnya. Sejalan
dengan penelitian Marina et al. (2014) pilihan pangan fungsional mahasiswa
dapat didasarkan pada harga pangan fungsional, ketersediaannya, dan preferensi
terhadap salah satu jenis produk.

Tabel 13 Sebaran mahasiswa berdasarkan banyaknya jenis yang dikonsumsi dan


pengetahuan tentang pangan fungsional
Jenis yang dikonsumsi
Total
Variabel Sedikit Sedang Banyak

n % n % n % n %
Pengetahuan Rendah 2 1,0 13 6,4 103 50,5 188 92,2
Objektif Sedang 2 1,0 7 3,4 70 34,3 10 4,9
Tinggi 0 0,0 0 0,0 7 3,4 6 2,9
Total 4 2,0 20 9,8 180 88,2 204 100,0
Pengetahuan Rendah 4 2,0 17 8,3 167 81,9 118 57,8
Subjektif Sedang 0 0,0 3 1,5 0 3,4 79 38,7
Tinggi 0 0,0 0 0,0 6 2,9 7 3,4
Total 4 2,0 20 9,8 180 88,2 204 100,0

Hasil uji korelasi Pearson antara sikap dengan frekuensi konsumsi dan
jumlah jenis pangan fungsional yang dikonsumsi menunjukkan bahwa sikap
berhubungan positif signifikan dengan frekuensi konsumsi dan jumlah jenis yang
22

dikonsumsi (Lampiran 2). Frekuensi dan jumlah jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi berhubungan juga dengan dimensi-dimensi sikap. Hal ini sejalan
dengan Sääksjärvi et al. (2009) yang menyebutkan bahwa pendapatan dan sikap
konsumen terhadap pangan fungsional berhubungan dengan perilaku konsumsi
pangan fungsional. Meskipun hasil uji hubungan menunjukan pengetahuan tidak
berhubungan signifikan dengan perilaku konsumsi, namun pengetahuan dengan
sikap berhubungan nyata positif dengan koefisien korelasi sebesar 0,352
(Lampiran 2). Sääksjärvi et al. (2009) menyatakan bahwa sikap dapat menjadi
perantara pengetahuan konsumen dengan perilaku konsumsi pangan fungsional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap mahasiswa yang tinggi mengonsumsi
pangan fungsional dengan frekuensi yang tinggi dan jumlah jenis yang tinggi pula
(Tabel 14). Hal ini sejalan dengan penelitian Marina et al. (2014) yang
mendapatkan hasil yang serupa yaitu sikap konsumen yang tinggi mengonsumsi
pangan fungsional yang tinggi, sehingga terdapatnya hubungan yang positif.

Tabel 14 Sebaran mahasiswa berdasarkan sikap dengan frekuensi konsumsi


pangan fungsional
Frekuensi Konsumsi
Total
Variabel Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Sikap Total Rendah 10 4,9 6 2,9 4 2,0 20 9,5
Sedang 42 20,6 82 40,2 47 23,0 171 84,6
Tinggi 2 1,0 6 2,9 5 2,5 13 6,4
Total 54 26,5 94 46,1 56 27,5 204 100,0
Jumlah Jenis yang Dikonsumsi
Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Sikap Total Rendah 2 1,0 2 1,0 16 7,8 20 9,8
Sedang 2 1,0 18 8,8 151 74,0 171 83,8
Tinggi 0 0,0 0 0,0 13 6,4 13 6,4
Total 4 2,0 20 9,8 180 88,2 204 100,0

Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Konsumsi Pangan Fungsional

Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan karakteristik mahasiswa


(usia dan uang saku), pengetahuan dan sikap secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap perilaku konsumsi dilihat dari F hitung sebesar 3,334 (Tabel
15). Nilai adjusted R square yang diperoleh sebesar 0,065 menunjukkan sebesar
6,5 persen pengaruh variabel-variabel yang diteliti terhadap perilaku konsumsi,
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti (Tabel 15). Uji pengaruh
pada model kedua yaitu terhadap banyaknya jenis pangan yang dikonsumsi juga
menunjukkan hasil yang sama, namun dengan nilai adjusted R square yang lebih
23

kecil, yaitu 0,048 yang berarti pengaruh variabel-variabel yang diteliti hanya
sebesar 4,8 persen.
Uang saku berpengaruh signifikan terhadap frekuensi konsumsi pangan
fungsional (β=0,095). Hal tersebut berarti setiap kenaikan sepuluh ribu rupiah uang
saku akan meningkatkan frekuensi konsumsi pangan fungsional sebesar 0,095
kali. Sikap berpengaruh signifikan terhadap frekuensi konsumsi pangan
fungsional (β=0,752). Hal tersebut berarti setiap kenaikan satu satuan sikap akan
meningkatkan frekuensi pangan fungsional sebesar 0,752 kali. Selain itu, sikap
juga berpengaruh positif terhadap banyaknya jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi (β=0,042). Hal tersebut berarti setiap kenaikan satu satuan sikap akan
meningkatkan banyaknya jenis pangan yang dikonsumsi sebesar 0,042 kali.

Tabel 15 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku


konsumsi pangan fungsional
Frekuensi Konsumsi Banyaknya jenis yang dikonsumsi

Koef. Koef. Koef. Koef.


Variabel Tidak Ter- Ter- Tidak Ter- Ter-
Sig. Sig.
standarisasi standarisasi standarisasi standarisasi
β β β β

Konstanta 23,380 0,000 4,845 0,001


Pengetahuan
Objektif (0-100) -0,048 -0,042 0,664 -0,006 0,102 0,297

Pengetahuan
Subjektif (0-100) 0,030 0,033 0,724 0,003 0,075 0,430

Sikap (0-100) 0,752 0,250 0,001** 0,042 0,278 0,000**


Jenis Kelamin
(0= Perempuan; 4,493 0,099 0,155 -0,088 -0,038 0,586
1= Laki-laki)
Uang Saku (Rp
0000) 0,095 0,135 0,050** 0,001 -0,037 0,591
F 3,334 2,724
2
Adjusted R 0,065 0,048
Sig 0,002** 0,015**
Ket:*signifikan pada level 0,05 (2-tailed); **signifikan pada level 0,01 (2-tailed)

PEMBAHASAN

Model keputusan konsumen menjelaskan bahwa perilaku konsumen


dipengaruhi oleh strategi pemasaran, faktor lingkungan, dan faktor individu.
Perilaku konsumen hingga pada tahap mengonsumsi diawali dengan dengan
pengenalan kebutuhan, pencarian informasi dan evaluasi alternatif (Sumarwan
2011). Berdasarkan teori tersebut, perilaku konsumsi pangan fungsional pada
mahasiswa dipengaruhi oleh faktor individu yaitu sikap dan pengetahuan
konsumen. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa pengetahuan tidak memengaruhi
24

perilaku konsumsi, baik dari segi frekuensi maupun jenis pangan fungsional.
Menurut Menrad (2003) pengetahuan konsumen tentang pangan fungsional
cenderung memengaruhi sikap mereka terhadap kesehatannya dan pengetahuan
konsumen akan efek kesehatan memiliki hubungan dengan penerimaan bahan
fungsional tertentu. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Beardsworth et al.
(2002) dan Ong et al. (2014) bahwa pengetahuan memengaruhi sikap konsumen
terhadap pangan fungsional. Penelitian Dogan et al. (2011) menemukan hasil lain
yaitu pengetahuan dan sikap berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku
konsumsi pangan fungsional.
Menrad (2003) menyatakan bahwa umumnya kandungan gizi pada
makanan yang telah diketahui konsumen untuk jangka waktu yang lama (misalnya
vitamin, dan mineral) mencapai penerimaan yang jauh lebih tinggi dari pada
kandungan yang relatif baru (misalnya flavonoid dan Omega-3). Selain itu,
Wansink et al. (2005) mengatakan bahwa untuk mengonsumsi pangan fungsional,
orang perlu tahu “apa” dan “mengapa”. Tanpa pengetahuan khusus, konsumen
cenderung membeli pangan fungsional dengan frekuensi kadang-kadang dan
fluktuasi acak bukannya konsisten terhadap pangan fungsional. Penelitian Marina
et al. (2014) membuktikan hal tersebut, yaitu pembelian pangan fungsional tidak
teratur oleh konsumen dengan pengetahuan rendah.
Walaupun pengetahuan mahasiswa tentang produk pangan fungsional
rendah namun sikap mahasiswa dalam membeli produk pangan fungsional
termasuk sedang. Sääksjärvi et al. (2009) menyatakan bahwa pengetahuan melalui
sikap akan memengaruhi perilaku konsumsi sehingga tidak secara langsung
pengetahuan itu memengaruhi perilaku konsumsi. Menurut teori pembentukan
sikap, salah satu komponen pembentuknya adalah cognitive yang merupakan
kepercayaan konsumen terhadap suatu produk mengandung komponen tertentu
(Sumarwan 2011). Berbagai alasan dapat mendukung individu dalam menentukan
ketertarikan dan kecenderungan mengonsumsi suatu produk, misalnya harga serta
rasa produk pangan fungsional (Marina et al. 2014; Morawska et al. 2016).
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Krutulyte et al. (2009) yang
menunjukkan bahwa konsumen akan merasakan keinginan untuk mengonsumsi
suatu produk jika diketahui pada produk tersebut terdapat komponen fungsional.
Hasil menunjukkan bahwa sikap berhubungan berpengaruh positif
signifikan terhadap frekuensi konsumsi dan jumlah jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan Beardswroth et al. (2002) dan Siró et al.
(2008) bahwa sikap konsumen yang positif memengaruhi tingkat konsumsi
pangan fungsional. Berdasarkan dimensi-dimensi sikap yaitu rewards, necessity,
confidence, dan safety, Urala dan Lahteenmaki (2003) menyatakan bahwa
kebutuhan untuk memiliki gaya hidup sehat merupakan faktor yang dapat
menyebabkan keputusan konsumen dalam mengonsumsi pangan fungsional.
Dimensi sikap yang paling tinggi dan memengaruhi perilaku konsumsi pangan
fungsional adalah dimensi necessity. Hal ini sejalan dengan Carillo et al. (2013)
namun berbeda dengan penelitian Chen (2011) yang menemukan bahwa dimensi
reward merupakan dimensi yang memiliki capaian skor paling tinggi dan
dianggap paling memengaruhi perilaku konsumsi pangan fungsional.
Hasil uji hubungan antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin dan uang
saku) dengan frekuensi dan jumlah jenis yang dikonsumsi menunjukkan bahwa
uang saku berhubungan positif signifikan dengan frekuensi konsumsi. Hal ini
25

sejalan dengan penelitian Sääksjärvi et al. (2009) dan Florea et al. (2016) bahwa
konsumen dengan pendapatan yang besar mengonsumsi lebih banyak pangan
fungsional dibandingkan konsumen yang berpendapatan kecil. Hal ini dapat
disebabkan karena konsumen yang memiliki uang saku atau pendapatan yang
lebih besar akan lebih mampu untuk membeli produk pangan fungsional yang
harganya memang lebih mahal dibanding pangan biasa. Jenis kelamin tidak
berhubungan dengan frekuensi maupun jumlah jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan Verbeke (2005) namun tidak sejalan dengan
penelitian Dogan et al. (2011) dan Ong et al. (2014) yang menemukan adanya
hubungan antara jenis kelamin dengan frekuensi konsumsi pangan fungsional.
Hasil penelitiannya menunjukkan konsumen wanita mengonsumsi lebih banyak
pangan fungsional dibanding laki-laki. Menurut Urala dan Lähteenmäki (2007)
dan Siró et al. (2008), wanita lebih memperhatikan masalah makanan dan
kesehatan daripada laki-laki.
Hasil uji pengaruh menunjukkan bahwa sikap dan uang saku berpengaruh
positif signifikan terhadap frekuensi konsumsi pangan fungsional. Hal ini sejalan
dengan penelitian Ares dan Gambaro (2007), Verbeke (2006), dan Florea et al.
(2016) bahwa sikap dan uang saku yang tinggi memengaruhi konsumen
mengonsumsi pangan fungsional yang tinggi pula. Jumlah jenis pangan
fungsional yang dikonsumsi hanya dipengaruhi oleh sikap. Menurut Morawska et
al. (2016), mahasiswa mengonsumsi pangan fungsional berdasarkan jenisnya
karena tingkat preferensi dan pengaruh dari media massa.
Hasil uji pengaruh menunjukkan karakteristik individu (jenis kelamin dan
uang saku), pengetahuan, dan sikap secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap perilaku konsumsi (frekuensi dan banyaknya jenis). Nilai adjusted R
square yang diperoleh sebesar 0,065 menunjukkan hanya 6,5 persen pengaruh
frekuensi konsumsi pangan fungsional yang dijelaskan oleh variabel-variabel
independen, sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti.
Kemungkinan variabel lain yang tidak diteliti adalah kelompok acuan, motivasi,
persepsi terhadap pangan fungsional, status kesehatan, dan kesadaran kesehatan.
Penelitian sosial yang menggunakan desain cross sectional study memungkinkan
banyak faktor yang tidak dapat diprediksi sehingga menyebabkan nilai adjusted R
square menjadi rendah. Mengacu dari Nugroho (2005), nilai adjusted R square
rendah ini bisa disebabkan karena faktor yang tidak diteliti itu lebih besar
pengaruhnya dibandingkan dengan faktor yang diteliti.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Jenis-jenis pangan
fungsional yang digolongkan pada penelitian ini hanya berjumlah sepuluh jenis
dan tidak terdapatnya logo khusus untuk produk pangan fungsional menyebabkan
banyak mahasiswa yang kesulitan membedakan dengan pangan biasa. Selain itu,
pengumpulan data menggunakan teknik self-administered sehingga
memungkinkan mahasiswa memberikan jawaban sesuai dengan persepsinya.
Penelitian ini juga tidak menyertakakan pengeluaran mahasiswa yang
dialokasikan untuk konsumsi pangan fungsional.
26

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Skor pengetahuan objektif pangan fungsional mahasiswa 0-93,3 dengan


rata-rata 46,5. Skor sikap 40-89 dengan rata-rata 68,3. Dimensi sikap dengan
capaian skor tertinggi adalah necessity, diikuti dengan safety, confidence, dan
reward. Frekuensi konsumsi pangan fungsional berkisar 8-96 kl/bl dengan rata-
rata 47 kl/bl. Jumlah jenis pangan yang dikonsumsi 2-9 jenis dengan rata-rata 7
jenis pangan fungsional. Jenis pangan fungsional yang paling banyak dikonsumsi
yaitu produk olahan gandum dengan serat, diikuti dengan jus buah dan sayur
dengan tambahan vitamin, dan produk olahan kedelai.
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan dengan
sikap. Uang saku dan sikap berhubungan positif dengan frekuensi konsumsi.
Jumlah jenis pangan fungsional hanya berhubungan dengan sikap. Faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap frekuensi konsumsi adalah uang saku dan sikap.
Jumlah jenis pangan fungsional yang dikonsumsi hanya dipengaruhi oleh sikap.

Saran

Saran dari penulis untuk pemerintah agar lebih menyosialisasikan tentang


konsep pangan fungsional mengingat rendahnya pengetahuan mahasiswa tentang
pangan fungsional. Saran untuk produsen pangan agar mencatumkan informasi
dan klaim gizi dengan sebenar-benarnya dan dengan bahasa yang sederhana
sehingga dapat memudahkan konsumen untuk mengidentifkasi suatu produk
adalah pangan fungsional karena masih banyak produk pangan yang termasuk
pangan fungsional, namun tidak memiliki label informasi yang baik. Untuk
konsumen, agar mulai membiasakan diri mengonsumsi pangan yang sehat dan
bermanfaat bagi kesehatan dan memanfaatkan media informasi dengan bijak
sehingga pengetahuan tentang pangan fungsional semakin baik karena masih
rendahnya kesadaran dan pengetahuan konsumen tentang pangan fungsional.
Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian dengan
pengambilan contoh acak proporsional sesuai fakultas.

DAFTAR PUSTAKA

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Peraturan BPOM tentang
pengawasan klaim dalam label dan iklan pangan olahan [Internet].
[diunduh pada 2016 Des 3]. Tersedia pada : jdih.pom.go.id
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil kesehatan
Indonesia 2008 [Internet]. [diunduh pada 2017 Juli 21]. Tersedia pada:
www.depkes.go.id
27

[WHO] World Health Organization. 2010. Global status report on communicable


disease 2009 [Internet]. [diunduh pada 2016 Des 3]. Tersedia pada:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789240686458_eng.pdf
Al-Nabulsi AA., Obiedat B, Ali R, Osaili TM, Bawadi H, Abushelaibi A, Shaker RR.,
Holley RA. 2014. Knowledge of probiotics and factors affecting their
consumption by Jordanian college students. Int J Probiotics and Prebiotics
9(3):77-86.
Annunziata A dan Vecchio R. 2011. Factors affecting Italian consumer attitudes
toward functional foods. AgBioForum 14(1):20-32.
Ares G dan Gambaro A. 2007. Influence of gender, age and motives underlying
food choice on perceived healthiness and willingness to try functional
foods. Appetite 49:148–158.
Beardsworth A, Bryman A, Keil T, Goode J, Haslam C, Lancashire E. 2002.
Women, men and food: The significance of gender for nutritional attitudes
and choices. British Food Journal 104(7):470-491.
Bech-Larsen T dan Grunert KG. 2003. The perceived healthiness of functional
foods: a conjoint study of Danish, Finnish and American consumers’
perception of functional foods. Appetite 40(1):9-14.
Bogue J, Coleman T, Sorenson D. 2005. Determinants of consumer’s dietary
behaviour for health-enhancing foods. British Food Journal 107(1):4-16.
Brečić R, Gorton M, Barjolle D. 2014. Understanding variations in the
consumption of functional foods–evidence from Croatia, British Food
Journal Vo116 (4):662 – 675.
Butler SM, Black DR, Blue CL, Gretebeck RJ. 2004. Change in diet, physical
activity, and body weight in female college freshman. Am J Health Behav
28(1): 24–32.
Carrillo E, Fiszman S, Prado-Gasco V, Varela P. 2013. Why buying functional
foods? Understanding spending behaviour through structural equation
modeling. Food Research International 60(1):361-368.
Cha MH, Lee J, Song MJ. 2010. Dieticians’ intentions to recommend functional
foods: The mediating role of consumption frequency of functional foods.
Nutr Res Pract 24(1):75-81.
Chen M. 2011. The joint moderating effect of health consciousness and healthy
lifestyle on consumers’ willingness to use functional foods in Taiwan.
Appetite 57(1):253-262.
Cowburn G, & Stockley L. 2004. Consumer understanding and use of nutrition
labelling: A systematic review. Public Health Nutrition 8:21– 28.
Dagevos H. 2005. Consumers as four-faced creatures. Looking at food
consumption from the perspective of contemporary consumers. Appetite
Vol. 45:32–39.
Dean M. Shepherd R, Arvola A, Vassallo M, Winkelmann M, Claupein E,
Lahteenmaki L, Raats MM, Saba A. 2007. Consumer perceptions of
healthy cereal products and production methods. Journal of Cereal Science
46:188–196.
DeBate RD, Topping M, Sargent RG. 2001. Racial and gender differences in
weight status and dietary practices among college students. Adolescence
36(144):819–833.
28

De Jong N, Ocke´ MC, Branderhorst HAC, Friele R. 2003. Demographic and


lifestyle characteristics of functional food consumers and dietary
supplement users. British Journal of Nutrition 89:273–281.
De Jong N, Hoendervangers CT, Bleeker JK, Ocké MC. 2004. The opinion of
Dutch dietitians about functional foods. Journal of Human Nutrition and
Dietetics 17(1):55-62.
Deliens T, Clarys P, Boundeaudhuij ID, Deforche B. 2014. Determinants of eating
behaviour in university Students: A qualitative study using focus group
discussions. BMC Public Health:1-12.
Dogan IS, Yildiz O, Eyduran E, Kose S. 2011. A study on determination of
functional food consumption habits and awareness of consumers in Turkey.
Bulgarian Journal of Agricultural Sciences 17 (2) : 246 - 257.
Florea L, Filip L, Banc R. 2016. Consumers’ knowledge, interest and attitude
toward functional food in a Romanian population sample. Palestrica of the
third millennium–Civilization and Sport 17(1):14–18.
Frewer L. Scholderer J, Lambert N. 2003. Consumer acceptance of functional
foods: Issues for the future. British Food Journal 105:714-731.
Gilbert L. 2000. Marketing functional foods: how to reach your target audience.
AgBioForum 3(1):20-38.
Krutulyte R, Costa AI, Grunert KG. 2009. A cross-cultural study of cereal food
quality perception. Journal of Food Quality Perception 15(3): 304-323.
Kraus A. 2013. Factors influencing the decisions to buy and consume functional
food. BFJ 117 (6): 1 - 16.
Marina T, Marija C, Ida R. 2014. Functional Foods and the Young. Journal of
Food Products Marketings 20:441-451.
Menrad K. 2003. Market and marketing of functional food in Europe. Journal of
Food Engineering 56(2):181-188.
Monks FJ, Knoers AMP, Haditono SR. 2001. Psikologi Perkembangan: Pengantar
dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.
Morawska A, Cocorna I, Boelawska I, Przyslawski J. 2016. The Nutritional
Awareness of Functional Food Among University Students in Poland.
Rocz Panstw Zakl Hig 67(2): 163-167.
Moreau PC, Lehmann DR, Markman A. 2001. Entrenched knowledge structures
and consumer response to new products. Journal of Marketing Research
38( 1):14-29.
Muctahdi D. 2012. Pangan Fungsional dan Senyawa Bioaktif. Bandung : Penerbit
Alfabeta.
Nugroho BA. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Penelitian dengan SPSS.
Yogyakarta(ID): Andi Offset.
Ong FS, Kassim NM, Peng OS, Singh T. 2014. Purchase behaviour of consumer
of functional foods in Malaysia: an analysis od selecteddemographic
variables, attitude and health status. Asia Pacific Management Review
19(1):81-95.
Rezai G, Teng PK, Mohamed Z, Shamsudin MN. 2012. Functional food
knowledge and perceptions among young consumers in Malaysia.
International Journal of Social, Behavioral, Educational, Economic,
Business, and Industrial Engineering 6(3): 307-312
29

Sääksjärvi M, Holmlund M, and Tanskanen N. 2009. Consumer knowledge of


functional foods. The International Review of Retail, Distribution and
Consumer Research 19 :135-156.
Schutza H, Spinksa J, Urala N. 2011. Consumer perceptions of “functional food”
in the United States. Journal of Food Products Marketing 17(4):407-419.
Seechurn D, Neeliah H, Neeliah SA. 2009. Functional foods in mauritius: an
exploratory survey. Journal of Developmental and Agricultural Economics
1(9): 204-211.
Silliman K, Rodas-Fortier K, Neyman M. 2004. A survey of dietary and exercise
habits and perceived barriers to following a healthy lifestyle in a college
population. Californian J Health Promot 2(2):10–19.
Siró I, Kápolna E, Kápolna B, Lugasi A. 2008. Functional food. Product
development, marketing and consumer acceptance: A review. Appetite
51(3):456-467.
Story M, Neumark-Sztainer D, French S. 2002. Individual and Environmental
influences on adolescent eating behaviors. Supplement 102(3): 540-551.
Sumarwan U. 2011. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam
Pemasaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Tuorila H, Lähteenmäki L, Pohjalainen L, Lotti L. 2001. Food neophobia among
the Finns and related responses to familiar and unfamiliar foods. Food
Quality and Preference,12:29–37.
Urala N., Arvola A, Lähteenmäki L. 2003. Strength of health related claims and
their perceived advantage. International Journal of Food Science and
Technology 38:815–826.
Urala N, Lähteenmäki L. 2003. Reasons behind consumers’ functional food choices.
Nutrition & Food Science 33:148-158.
. 2004. Attitudes behind consumers’ willingness to use
functional foods. Food Quality and Preference. 15(1):793-803.
. 2007. Consumers´changing attitudes towards functional
foods. Food Quality and Preference. 18(1):1-12.
Vella MN, Strathon LM, Sheeslhka J, Duncan AM. 2014. Functional food
awareness and perceptions in relation to information sources in oder adults.
Nutrition Journal 13:1-12
Verbeke W. 2005. Consumer acceptance of functional foods: socio-demographic,
cognitive and attitudinal determinants. Food Quality and Preference
16:45-57.
. 2006. Functional foods: Consumer willingness to compromise on
taste for health? Food Quality and Preference 17:126–131.
Wansink B, R.E. Westgren, and M.M. Cheney. 2005. Hierarchy of nutritional
knowledge that relates to the consumption of a functional food. Nutrition
21(2): 264-268.
Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. Jakarta: Penerbit Graha Ilmu.
30

LAMPIRAN
31

Lampiran 1 Hasil uji asumsi klasik regresi linier berganda

Uji Normalitas
32

Uji Heteroskesdasitas
33

Uji Autokorelasi

b
Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .304 .092 .065 22.098 2.186

a. Predictors: (Constant), pengetahuan objektif, pengetahuan subjektif, sikap, jenis kelamin, uang
saku

b. Dependent Variable: Frekuensi Konsumsi

b
Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .277 .077 .048 1.127 1.837

a. Predictors: (Constant), pengetahuan objektif, pengetahuan subjektif, sikap, jenis kelamin, uang
saku
b. Dependent Variable: jumlah jenis yang dikonsumsi

Uji Multikolinieritas

a
Coefficients

Unstandardized Standardized Collinearity


Model Coefficients Coefficients Statistics

B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF

1 (Constant) 23.380 15.938 -.287 .775

Pengetahuan
.048 .109 -.042 -.435 .664 .494 2.022
Objektif

Pengetahuan
.030 .085 .033 .354 .724 .524 1.910
Subjektif

Sikap .752 .219 .250 3.437 .001 .870 1.150

Jenis Kelamin 4.493 3.149 .099 1.427 .155 .966 1.035

Uang Saku .095 .000 .135 1.976 .050 .983 1.017


a. Dependent Variable: Frekuensi Konsumsi
34

a
Coefficients

Unstandardized Standardized Collinearity


Model Coefficients Coefficients Statistics

B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF

1 (Constant) 4.845 .813 5.962 .000

Pengetahuan -
-.006 .006 -.102 .297 .494 2.022
Objektif 1.045

Pengetahuan
.003 .004 .075 .790 .430 .524 1.910
Subjektif

Sikap .042 .011 .278 3.784 .000 .870 1.150

Jenis Kelamin -.088 .161 -.038 -.546 .586 .966 1.035

Uang saku .001 .000 -.037 -.538 .591 .983 1.017


a. Dependent Variable: Jumlah jenis yang dikonsumsi

Lampiran 2 Hubungan Karakteristik Mahasiswa, Pengetahuan, dan Sikap dengan


Perilaku Konsumsi Pangan Fungsional
Koefisien Korelasi
Hubungan Antar
Variabel Pengetahuan Pengetahuan Frekuensi Banyaknya
Subjektif Sikap Jenis
Objektif Konsumsi
Jenis Kelamin1 -0,016 0,090 -0,074 0,074 -0,055
2
Uang Saku 0,106 0,096 0,053 0,172* -0,027
Pengetahuan 0,352** 0,087 0,043
Objektif2
Pengetahuan 0,205** 0,092 0,067
Subjektif2
Sikap2 0,245** 0,262**
rewards 0,205* 0,201**
necessity 0,146* 0,149*
confidence 0,144* 0,173*
safety 0,179* 0,212**
Ket: 1) Uji Chi-Square; 2) Uji korelasi Pearson; *signifikan pada level 0,05 (2-tailed) ; **signifikan
pada level 0,01 (2-tailed)
35

Lampiran 3 Sebaran jawaban mahasiswa tentang sikap terhadap perilaku


konsumsi pangan fungsional
Sikap
Pernyataan Rataan
1 2 3 4 5
Reward
1 Pangan fungsional meningkatkan 1 9,8 44,1 38,7 6,4 3,4
suasana hati
2 Mengonsumsi pangan fungsional 5 10,8 44,1 40,7 3,9 3,4
meningkatkan kinerja
3 Pangan fungsional mempermudah gaya 0 2,5 17,2 61,8 18,6 3,9
hidup sehat
4 Mengonsumsi pangan fungsional dapat 1.5 5.9 27.9 50,0 14.7 3.7
mengurangi risiko terserang penyakit
5 Pangan fungsional memiliki fungsi 1.5 5.9 20.6 57.4 19.1 3.9
untuk menjaga kesehatan
6 Pangan fungsional membantu 0 7.4 24.5 56.4 11.8 3.7
terlaksananya diet yang sehat
7 Manfaat dari pangan fungsional lebih 0 18.1 30.4 33.8 17.6 3.5
penting dibandingkan rasanya
8 Saya mencari informasi tentang pangan 3.4 24.0 39.2 30.4 2.9 3.0
fungsional yang tidak saya ketahui
Necessity
9 Pangan fungsional tidak benar-benar 1.0 2.9 12.7 66.7 16.7 3.9
dibutuhkan*
10 Pangan fungsional tidak memiliki 1.0 5 1.5 64.2 32.8 4.3
manfaat kesehatan*
11 Peningkatan permintaan jumlah pangan 1.5 2.9 5.9 66.2 24.5 4.0
fungsional merupakan sesuatu yang
buruk*
12 Untuk orang yang sehat, mengonsumsi 1.0 2.5 5.9 66.2 24.5 4.1
pangan fungsional hanyalah
membuang-buang waktu*
13 Teknologi modern membantu 0 1.0 13.7 53.4 31.9 4.1
pengembangan pangan fungsional
menjadi lebih baik
14 Saya hanya ingin mengonsumsi pangan 1.0 26.5 28.9 30.9 12.3 3.2
fungsional yang tidak memiliki efek
seperti obat
15 Pangan fungsional tidak enak rasanya* 1.0 2.5 23.5 66.7 6.4 3.8
16 Pangan fungsional dikonsumsi oleh 1.0 4.4 21.6 65.2 7.8 3.8
orang yang tidak memiliki kebutuhan
akan kandungannya*
36

No Sikap
Pernyataan Rataan
1 2 3 4 5
Confidence
17 Mengonsumi pangan fungsional 3.9 21.1 52.9 21.1 1.0 3
meningkatkan kesejahteraan
18 Keamanan pangan fungsional telah 0 4.9 39.2 51 4.9 3.7
teruji secara ilmiah
19 Pangan fungsional adalah produk 0 5.4 29.9 55.4 9.3 3.7
unggulan dengan kajian ilmiah
20 Saya percaya pangan fungsional 0 2.1 19.1 62.3 14.2 3.9
bermanfat bagi kesehatan

Safety
21 Pangan fungsional sebaiknya 0 1 16.7 46.1 36.3 4.1
dikonsumsi secar bijak (tidak
berlebihan)
22 Pangan fungsional tidak cocok untuk 1 2 8.8 70.1 18.1 4.0
orang yang sehat*
23 Pangan fungsional aman dikonsumsi 0 2 28.4 56.4 13.2 3.8
24 Mengonsumsi pangan fungsional 1 3.9 13.2 66.2 15.7 3.9
berisiko terserang penyakit*
25 Informasi tentang dampak kesehatan 2 11.3 39.2 46.6 1 3.3
pada pangan fungsional terlalu dilebih-
lebihkan*
37

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 Desember


1993. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari
pasangan Bapak Encep Saebatul Slamet dan Ibu Asriani.
Penulis merupakan alumni dari SMA Negeri 3 Kota Bogor
(2009-2012). Pada tahun 2013, penulis lulus seleksi masuk
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima menjadi mahasiswa
Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia.
Penulis mengikuti program minor manajemen fungsional.
Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam
organisasi antara lain, staf Rumah Harapan BEM KM IPB tahun 2014, ketua
divisi Dana Usaha kepanitiaan IPB Art Contest 2015, pemain angklung Unit
Kegiatan Mahasiswa Gentra Kaheman 2015, divisi dokumentasi IPB Goes to
Field 2015, divisi Dana Usaha Studi Banding HIMAIKO 2015 ke Mahidol
University, Thailand, staf PGA Young on Kota Bogor 2016, staf Public Relation
HIMAIKO 2016, dan sebagai bendahara umum kepanitiaan IPB Youth Journalist
2016

Anda mungkin juga menyukai