SITI AFINA
Siti Afina
NIM I24130066
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
iv
v
ABSTRAK
ABSTRACT
SITI AFINA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
PRAKATA
Siti Afina
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
www.unpad.ac.id “Meningkat, Potensi Pangan Fungsional di Indonesia”. Agi Kurniasandi dan
Artanti Hendriyana. Diakses dari: http://www.unpad.ac.id/2016/04/meningkat-potensi-pangan-
fungsional-di-indonesia/ pada 27 Juli 2017
3
Perumusan Masalah
aktivitas diketahui memiliki kebiasaan makan yang buruk dan menyukai makanan
cepat saji. Kebiasaan makan yang buruk pada remaja dikarenakan perkembangan
sosial dan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. (Story et al. 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vella et al. (2014), jenis kelamin
memengaruhi perilaku konsumsi pangan fungsional namun tidak dengan
pendapatan. Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa pendapatan
berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi pangan fungsional (Sääksjärvi et al.
2009; Dogan et al. 2011). Perbedaan letak geografis lokasi penelitian yang telah
dilakukan menyebabkan bervariasinya pengaruh karakteristik konsumen terhadap
perilaku konsumsi pangan fungsional (Carrillo et al. 2013; Schutza et al. 2011).
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik, pengetahuan, sikap, dan perilaku konsumsi pangan
fungsional pada mahasiswa?
2. Bagaimana hubungan karakteristik mahasiswa, pengetahuan dan sikap
dengan perilaku konsumsi pangan fungsional?
3. Bagaimana pengaruh karakteristik mahasiswa, pengetahuan dan sikap
terhadap perilaku konsumsi pangan fungsional?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
pengetahuan dan sikap konsumen terhadap perilaku konsumsi pangan fungsional.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menganalisis karakteristik mahasiswa, pengetahuan, sikap, dan perilaku
konsumsi mahasiswa terhadap pangan fungsional.
2. Menganalisis hubungan karakteristik mahasiswa, pengetahuan, dan sikap
dengan perilaku konsumsi pangan fungsional.
3. Menganalisis pengaruh karakteristik mahasiswa, pengetahuan dan sikap
terhadap perilaku konsumsi pangan fungsional.
Manfaat Penelitian
KERANGKA PEMIKIRAN
Perilaku Konsumsi
Pengetahuan
Karakteristik Pangan Fungsional:
mahasiswa: - Frekuensi konsumsi
- Jenis Kelamin - Jumlah jenis yang
- Uang Saku dikonsumsi
Sikap
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu cara memelajari
objek penelitian yang dilakukan dalam satu kali waktu tertentu saja. Penelitian ini
dilakukan di Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga. Lokasi penelitian
ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Kampus IPB Dramaga
merupakan satu-satunya kampus pertanian di Bogor yang banyak melakukan
penelitian dan inovasi di bidang pangan serta memiliki mahasiswa yang berasal
dari berbagai daerah. Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Mei
hingga Juni 2017.
𝑁 10 659
n= = = 200, 2
(1+𝑁𝑒 2 ) (1+(10 659 )(0,07)2 )
Keterangan:
n = jumlah contoh yang diambil
N = jumlah populasi
e = kelonggaran/ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan contoh yang dapat
ditolerir atau taraf nyata (0,07)
Hasil perhitungan dengan rumus Slovin menunjukkan 200 mahasiswa harus
diambil sebagai jumlah contoh minimal. Sebanyak 300 mahasiswa terpilih secara
acak namun yang bersedia menjadi responden hanya 204 mahasiswa saja. Contoh
dipilih berdasarkan kerangka pengambilan contoh sebagai berikut.
7
Fakultas n=17
Pertanian
Ni=1 285
Fakultas
n=7
Kedokteran Hewan
Ni=565
Fakultas
Perikanan dan Ilmu n=34
Kelautan
Ni=1 326
Fakultas Peternakan
n=13
Ni=659
Fakultas
Kehutanan n=21
Mahasiswa IPB Ni=1 094
semester 2-6
N=10 659 Fakultas
Teknologi Pertanian n=29
Ni=1 202
Fakultas
Matematika dan Ilmu n=42
Pengetahuan
Ni=1 970
Fakultas
Ekonomi dan n=25
Manajemen
Ni=1 447
Fakultas
Ekologi Manusia n=14
Ni=929
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi karakteristik mahasiswa (usia, uang saku, dan
jenis kelamin). Data primer diperoleh melalui self-administered yaitu mahasiswa
sebagai responden mengisi sendiri kuesioner yang diberikan. Sementara itu, data
sekunder diperoleh dari Direktorat Administrasi dan Pendidikan Sarjana IPB
mengenai data jumlah mahasiswa aktif semester 2 sampai 6 tahun akademik
2016/2017.
Penelitian ini mencakup dua variabel, yaitu variabel bebas (jenis kelamin,
uang saku mahasiswa, pengetahuan, dan sikap) serta variabel terikat (frekuensi
konsumsi dan jumlah jenis yang dikonsumsi). Penjelasan dari masing-masing
variabel adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan konsumen diukur menggunakan instrumen yang diterjemahkan
dari kuesioner pengetahuan pangan fungsional oleh Sääksjärvi et al. (2009)
yang menggambarkan pengetahuan objektif dan subjektif konsumen tentang
pangan fungsional. Pertanyaan pengetahuan objektif terdiri dari 15 butir
pertanyaan dengan pilihan jawaban benar, salah, dan tidak tahu. Jawaban
benar akan diberi skor 1 dan jawaban salah atau tidak tahu diberi skor 0.
Pertanyaan pengetahuan subjektif mahasiswa berisi tiga butir pertanyaan
terkait persepsinya terhadap pengetahuan yang dimiliki tentang pangan
fungsional. Setiap jawaban dari pengetahuan subjektif menggunakan tiga
skala jawaban. Merek produk pangan fungsional (skala jawaban tidak
mengetahui=1; mengetahui 1 merek=2; mengetahui >1 merek=3), lama
mengetahui istilah pangan fungsional (skala jawaban baru mengetahui= 1;
mengetahui <1 tahun=2; mengetahui >1 tahun=3), banyaknya pengetahuan
yang dimiliki (skala jawaban tidak mengetahui=1; agak mengetahui=2; tidak
mengetahui=3). Reliabilitas instrumen pengetahuan memiliki nilai
cronbach’s alpha sebesar 0,787.
2. Sikap konsumen diukur menggunakan instrumen yang diterjemahkan dari
kuesioner sikap konsumen terhadap pangan fungsional oleh Urala dan
Lahteenmaki (2007) yang terdiri dari empat dimensi yaitu penghargaan
(rewards), kebutuhan (necessary), keyakinan (confidence), dan keamanan
(safety) terkait pangan fungsional sebanyak 25 butir pernyataan. Pernyataan
sikap konsumen menggunakan skala Likert satu sampai lima (sangat tidak
setuju=1; tidak setuju=2; cukup setuju=3; setuju=4; sangat setuju=5).
Reliabilitas instrumen sikap memiliki nilai cronbach’s alpha sebesar 0,787.
3. Perilaku konsumsi pangan fungsional dibagi menjadi dua, yaitu frekuensi
konsumsi dan jumlah jenis yang dikonsumsi. Kuesioner perilaku konsumsi
berisi daftar jenis-jenis pangan fungsional, merek, volume, dan frekuensi
konsumsi per hari, per minggu, dan per bulan. Kuesioner diisi oleh
mahasiswa dengan jawaban terbuka pada kolom merek yang dikonsumsi,
volume mengonsumsi dalam satu bulan, serta frekuensi konsumsi selama satu
bulan.
9
Keterangan:
Indeks = skala 0-100
Skor aktual = total skor yang diperoleh mahasiswa
Skor maksimal = total skor maksimal sesuai skala yang digunakan
Skor minimal = total skor minimal sesuai skala yang digunakan
Keterangan:
Y1 = frekuensi konsumsi pangan fungsional (kl/bl)
Y2 = banyaknya jenis pangan fungsional yang dikonsumsi (jenis)
α = konstanta regresi
β = konstanta
D1 = jenis kelamin (1=laki-laki; 0=perempuan)
X1 = pengetahuan objektif (skor indeks)
X2 = pengetahuan subjektif (skor indeks)
X3 = sikap (skor indeks)
X5 = uang saku (Rp)
ε = galat
Definisi Operasional
Pangan fungsional adalah makanan dan minuman yang karena kandungan
komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan di luar
manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya.
Uang saku adalah uang yang diterima mahasiswa IPB setiap bulannya, baik yang
berasal dari orang tua, beasiswa, ataupun bekerja.
Pengetahuan objektif adalah informasi faktual yang dimiliki mahasiswa tentang
pangan fungsional, termasuk pengetahuan tentang atribut dan manfaatnya.
Pengetahuan subjektif adalah persepsi mahasiswa mengenai banyaknya
informasi yang mahasiswa miliki tentang pangan fungsional.
Sikap adalah ungkapan perasaan mahasiswa IPB tentang pangan fungsional
disukai atau tidak dan kepercayaan terhadap berbagai atribut dan manfaat
pangan fungsional tersebut.
Reward adalah ungkapan perasaan mahasiswa ketika mendapat
kesenangan atau tidak ketika mengonsumsi pangan fungsional.
Necessity adalah ungkapan perasaan mahasiswa tentang butuh atau
tidaknya pangan fungsional untuk mempromosikan gaya hidup sehat.
Confidence adalah ungkapan kepercayaan mahasiswa terhadap klaim dan
informasi tentang pangan fungsional.
Safety adalah ungkapan perasaan aman atau tidak aman dari risiko gizi
yang ditimbulkan akibat mengonsumsi pangan fungsional.
Perilaku konsumsi adalah frekuensi konsumi dan jumlah jenis pangan fungsional
yang dikonsumsi oleh mahasiswa.
Frekuensi konsumsi adalah jumlah konsumsi pangan fungsional dalam sebulan
yang diukur secara kuantitatif.
Jenis pangan fungsional adalah produk-produk pangan fungsional dengan klaim
mengandung komponen fungsional tertentu yang dapat menjaga atau
mengurangi risiko terserang pernyakit dan telah terbukti melalui
penelitian ilmiah.
Jumlah jenis pangan fungsional adalah banyaknya jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi oleh mahasiswa.
12
HASIL
Karakteristik Mahasiswa
Usia mahasiswa berada pada rentang usia 17 hingga 21 tahun dengan rata-
rata usia 19,4 tahun. Seluruh mahasiswa dalam penelitian ini berada pada
kategori remaja akhir menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2009. Menurut Carillo et al. (2013), konsumen muda lebih banyak mengonsumsi
pangan fungsional karena rasa keterbukaannya yang tinggi pada hal-hal baru.
13
Pada penelitian ini mahasiswa paling banyak yaitu berjenis kelamin perempuan.
Hal ini terlihat pada Tabel 2 dimana proporsi mahasiswa berjenis kelamin
perempuan sebesar 51,5 persen. Hal tersebut disebabkan proporsi mahasiswa IPB
dimana lebih banyak perempuan daripada laki-laki dengan rasio mahasiswa
perempuan dan laki-laki 61 banding 39. Penelitian Vella et al. (2014)
menunjukkan bahwa jenis kelamin memengaruhi perilaku konsumsi pangan
fungsional yang hasilnya menunjukkan bahwa konsumen perempuan
mengonsumsi pangan fungsional lebih tinggi daripada konsumen laki-laki. Hal
tersebut dikarenakan wanita lebih merasakan pentingnya pangan bagi kesehatan
dibandingkan laki-laki (Dogan et al. 2011; Ong et al. 2014)
Sebaran jumlah uang saku mahasiswa per bulan berkisar Rp300 000
sampai Rp3 500 000 dengan rataan Rp976 000. Uang saku bersumber dari orang
tua, beasiswa, usaha mandiri (kerja), atau gabungan dari beberapa sumber.
Pengkategorian uang saku berdasarkan besar beasiswa Bidik Misi perbulan
sebagai standar minimum. Menurut Dogan et al. (2011), tingkat pendapatan
konsumen akan memengaruhi konsumsi pangan fungsional yang dalam penelitian
ini sama dengan uang saku yang sehingga mahasiswa dengan uang saku yang
tinggi akan lebih banyak mengonsumsi pangan fungsional dibandingkan dengan
mahasiswa yang uang sakunya rendah. Hasil menunjukkan bahwa lebih dari
separuh mahasiswa (56,4%) memiliki uang saku dengan kategori sedang (Tabel 2).
Baru
<1 tahun >1 tahun Total
Pengetahuan tentang mengetahuinya
berapa lama mengetahui
pangan fungsional n % n % n % n %
178 87,3 17 8,3 9 0,5 204 100,0
Sangat tidak Agak Sangat
mengetahui Total
Pengetahuan tentang tahu mengetahui
seberapa tahu tentang
n % n % n % n %
pangan fungsional
118 57,8 85 41,7 1 0,5 204 100,0
Sikap
Urala dan Lahteenmaki (2007) membagi sikap terhadap pangan fungsional
menjadi empat dimensi yaitu reward, necessity, confidence, dan safety. Sikap
yang tinggi pada dimensi reward menganggap bahwa mahasiswa mendapat
imbalan yang setimpal ketika mengonsumsi pangan fungsional; dimensi necessity
menggambarkan kebutuhan umum produk pangan fungsional dan tidak mengacu
pada penyakit apapun serta dengan mengonsumsi pangan fungsional, konsumen
dapat mempromosikan gaya hidup sehat; dimensi confidence menggambarkan
kepercayaan konsumen terhadap klaim dan informasi tentang pangan fungsional
atau efek kesehatannya serta kekhawatiran konsumen tentang kemungkinan
overdosis; dimensi safety menilai risiko gizi yang ditimbulkan akibat
mengonsumsi pangan fungsional tidak berbahaya bagi tubuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap mahasiswa berdasarkan
sebaran jawaban pada dimensi sikap menunjukkan bahwa dimensi necessity
memperoleh rataan tertinggi berdasarkan skala jawaban, yaitu 3,9 (cukup setuju)
(Tabel 6). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Carillo et al. (2013) yang
mendapatkan bahwa necessity merupakan dimensi sikap yang memeroleh rataan
tertinggi diantara dimensi yang lain. Berdasarkan hasil yang didapatkan, sikap
mahasiswa berdasarkan keseluruhan dimensi sikap menunjukkan sikap cukup
setuju cenderung setuju terhadap pangan fungsional. Pernyataan dengan proporsi
setuju paling banyak pada dimensi reward adalah pangan fungsional
memengaruhi gaya hidup sehat. Pernyataan dengan proporsi setuju paling banyak
pada dimensi necessity adalah pangan fungsional memiliki manfaat kesehatan,
Pernyataan dengan proporsi setuju paling banyak pada dimensi confidence adalah
mahasiswa percaya bahwa pangan fungsional bermanfaat untuk kesehatan.
Pernyataan dengan proporsi setuju paling banyak pada dimensi safety adalah
pangan fungsional harus dikonsumsi secara bijak (Lampiran 3).
17
tinggi namun bertolak belakang dengan penelitian Dogan et al. (2011) yang
menemukan hasil bahwa lebih dari 50 persen konsumen belum pernah
mengonsumsi pangan fungsional.
Hasil penelitian menunjukkan jenis pangan fungsional yang dikonsumsi
berkisar antara 2 hingga 9 jenis (Tabel 8) dengan rata-rata jenis pangan fungsional
yang dikonsumsi mahasiswa sebanyak 7 jenis. Sebagian besar mahasiswa
mengonsumsi pangan fungsional lebih dari tujuh jenis (86,3%) dan termasuk ke
dalam kategori banyak. Hal ini dikarenakan mahasiswa sebagai konsumen muda
memiliki sikap yang terbuka terhadap hal-hal baru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa roti dan biskuit gandum dengan serat
merupakan produk yang dikonsumsi oleh paling banyak mahasiswa (92,6%),
diikuti jus buah atau sayur dengan tambahan vitamin (91,2%), produk olahan
kedelai (85,3%), dan minuman isotonik (82,5%) (Tabel 9). Hasil penelitian ini
sejalan dengan Dean et al. (2007) bahwa konsumen lebih banyak mengonsumsi
produk olahan gandum namun berbedan dengan penelitian Dogan et al. (2014)
yang menemukan hasil yang berbeda, yaitu teh sebagai jenis pangan fungsional
yang banyak dikonsumsi oleh konsumen di Turki. Produk olahan gandum
dikonsumsi oleh banyak mahasiswa karena rasanya yang enak, membuat kenyang,
dan harga yang terjangkau.
Jus buah dan sayur dengan tambahan vitamin merupakan jenis pangan
fungsional kedua yang paling banyak dikonsumsi oleh mahasiswa dan hal ini
bertolak belakang dengan Silliman et al. (2004), Butler et al. (2004), dan Story et
al. (2002) yang menyatakan bahwa mahasiswa sebagai remaja akhir lebih banyak
mengonsumsi pangan berlemak dan rendah serat seperti buah-buahan dan sayuran.
Selain vitamin, jus buah dan sayur juga mengandung serat. Kandungan serat pada
jus buah dan sayur dapat membantu mengendalikan kadar gula darah sehingga
menurunkan risiko terserang diabetes mellitus (Winarti 2010). Produk olahan
kedelai yang banyak dikonsumsi adalah tempe yang merupakan warisan pangan
tradisional Indonesia dan telah terbukti secara ilmiah mengandung isoflavon
kedelai yang dapat mengurangi risiko terserang jantung koroner.
19
Jenis kelamin dan uang saku tidak berhubungan signifikan dengan jumlah
jenis pangan fungsional yang dikonsumsi. Baik mahasiswa laki-laki maupun
perempuan mengonsumsi pangan fungsional dengan jumlah jenis yang tidak jauh
berbeda. Mahasiswa laki-laki yang mengonsumi pangan fungsional dengan
jumlah jenis yang sedang sebanyak 21,6% dan mahasiswa perempuan yang
mengonsumsi pangan fungsional dengan jumlah jenis yang sedang sebanyak
24,5%. Mahasiswa dengan kategori uang saku dari rendah sampai tinggi
mengonsumsi pangan fungsional dengan jenis yang banyak sehingga
menyebabkan tidak adanya hubungan antara uang saku mahasiswa dengan jumlah
jenis yang dikonsumsi.
n % n % n % n %
Pengetahuan Rendah 2 1,0 13 6,4 103 50,5 188 92,2
Objektif Sedang 2 1,0 7 3,4 70 34,3 10 4,9
Tinggi 0 0,0 0 0,0 7 3,4 6 2,9
Total 4 2,0 20 9,8 180 88,2 204 100,0
Pengetahuan Rendah 4 2,0 17 8,3 167 81,9 118 57,8
Subjektif Sedang 0 0,0 3 1,5 0 3,4 79 38,7
Tinggi 0 0,0 0 0,0 6 2,9 7 3,4
Total 4 2,0 20 9,8 180 88,2 204 100,0
Hasil uji korelasi Pearson antara sikap dengan frekuensi konsumsi dan
jumlah jenis pangan fungsional yang dikonsumsi menunjukkan bahwa sikap
berhubungan positif signifikan dengan frekuensi konsumsi dan jumlah jenis yang
22
dikonsumsi (Lampiran 2). Frekuensi dan jumlah jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi berhubungan juga dengan dimensi-dimensi sikap. Hal ini sejalan
dengan Sääksjärvi et al. (2009) yang menyebutkan bahwa pendapatan dan sikap
konsumen terhadap pangan fungsional berhubungan dengan perilaku konsumsi
pangan fungsional. Meskipun hasil uji hubungan menunjukan pengetahuan tidak
berhubungan signifikan dengan perilaku konsumsi, namun pengetahuan dengan
sikap berhubungan nyata positif dengan koefisien korelasi sebesar 0,352
(Lampiran 2). Sääksjärvi et al. (2009) menyatakan bahwa sikap dapat menjadi
perantara pengetahuan konsumen dengan perilaku konsumsi pangan fungsional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap mahasiswa yang tinggi mengonsumsi
pangan fungsional dengan frekuensi yang tinggi dan jumlah jenis yang tinggi pula
(Tabel 14). Hal ini sejalan dengan penelitian Marina et al. (2014) yang
mendapatkan hasil yang serupa yaitu sikap konsumen yang tinggi mengonsumsi
pangan fungsional yang tinggi, sehingga terdapatnya hubungan yang positif.
kecil, yaitu 0,048 yang berarti pengaruh variabel-variabel yang diteliti hanya
sebesar 4,8 persen.
Uang saku berpengaruh signifikan terhadap frekuensi konsumsi pangan
fungsional (β=0,095). Hal tersebut berarti setiap kenaikan sepuluh ribu rupiah uang
saku akan meningkatkan frekuensi konsumsi pangan fungsional sebesar 0,095
kali. Sikap berpengaruh signifikan terhadap frekuensi konsumsi pangan
fungsional (β=0,752). Hal tersebut berarti setiap kenaikan satu satuan sikap akan
meningkatkan frekuensi pangan fungsional sebesar 0,752 kali. Selain itu, sikap
juga berpengaruh positif terhadap banyaknya jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi (β=0,042). Hal tersebut berarti setiap kenaikan satu satuan sikap akan
meningkatkan banyaknya jenis pangan yang dikonsumsi sebesar 0,042 kali.
Pengetahuan
Subjektif (0-100) 0,030 0,033 0,724 0,003 0,075 0,430
PEMBAHASAN
perilaku konsumsi, baik dari segi frekuensi maupun jenis pangan fungsional.
Menurut Menrad (2003) pengetahuan konsumen tentang pangan fungsional
cenderung memengaruhi sikap mereka terhadap kesehatannya dan pengetahuan
konsumen akan efek kesehatan memiliki hubungan dengan penerimaan bahan
fungsional tertentu. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Beardsworth et al.
(2002) dan Ong et al. (2014) bahwa pengetahuan memengaruhi sikap konsumen
terhadap pangan fungsional. Penelitian Dogan et al. (2011) menemukan hasil lain
yaitu pengetahuan dan sikap berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku
konsumsi pangan fungsional.
Menrad (2003) menyatakan bahwa umumnya kandungan gizi pada
makanan yang telah diketahui konsumen untuk jangka waktu yang lama (misalnya
vitamin, dan mineral) mencapai penerimaan yang jauh lebih tinggi dari pada
kandungan yang relatif baru (misalnya flavonoid dan Omega-3). Selain itu,
Wansink et al. (2005) mengatakan bahwa untuk mengonsumsi pangan fungsional,
orang perlu tahu “apa” dan “mengapa”. Tanpa pengetahuan khusus, konsumen
cenderung membeli pangan fungsional dengan frekuensi kadang-kadang dan
fluktuasi acak bukannya konsisten terhadap pangan fungsional. Penelitian Marina
et al. (2014) membuktikan hal tersebut, yaitu pembelian pangan fungsional tidak
teratur oleh konsumen dengan pengetahuan rendah.
Walaupun pengetahuan mahasiswa tentang produk pangan fungsional
rendah namun sikap mahasiswa dalam membeli produk pangan fungsional
termasuk sedang. Sääksjärvi et al. (2009) menyatakan bahwa pengetahuan melalui
sikap akan memengaruhi perilaku konsumsi sehingga tidak secara langsung
pengetahuan itu memengaruhi perilaku konsumsi. Menurut teori pembentukan
sikap, salah satu komponen pembentuknya adalah cognitive yang merupakan
kepercayaan konsumen terhadap suatu produk mengandung komponen tertentu
(Sumarwan 2011). Berbagai alasan dapat mendukung individu dalam menentukan
ketertarikan dan kecenderungan mengonsumsi suatu produk, misalnya harga serta
rasa produk pangan fungsional (Marina et al. 2014; Morawska et al. 2016).
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Krutulyte et al. (2009) yang
menunjukkan bahwa konsumen akan merasakan keinginan untuk mengonsumsi
suatu produk jika diketahui pada produk tersebut terdapat komponen fungsional.
Hasil menunjukkan bahwa sikap berhubungan berpengaruh positif
signifikan terhadap frekuensi konsumsi dan jumlah jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan Beardswroth et al. (2002) dan Siró et al.
(2008) bahwa sikap konsumen yang positif memengaruhi tingkat konsumsi
pangan fungsional. Berdasarkan dimensi-dimensi sikap yaitu rewards, necessity,
confidence, dan safety, Urala dan Lahteenmaki (2003) menyatakan bahwa
kebutuhan untuk memiliki gaya hidup sehat merupakan faktor yang dapat
menyebabkan keputusan konsumen dalam mengonsumsi pangan fungsional.
Dimensi sikap yang paling tinggi dan memengaruhi perilaku konsumsi pangan
fungsional adalah dimensi necessity. Hal ini sejalan dengan Carillo et al. (2013)
namun berbeda dengan penelitian Chen (2011) yang menemukan bahwa dimensi
reward merupakan dimensi yang memiliki capaian skor paling tinggi dan
dianggap paling memengaruhi perilaku konsumsi pangan fungsional.
Hasil uji hubungan antara karakteristik mahasiswa (jenis kelamin dan uang
saku) dengan frekuensi dan jumlah jenis yang dikonsumsi menunjukkan bahwa
uang saku berhubungan positif signifikan dengan frekuensi konsumsi. Hal ini
25
sejalan dengan penelitian Sääksjärvi et al. (2009) dan Florea et al. (2016) bahwa
konsumen dengan pendapatan yang besar mengonsumsi lebih banyak pangan
fungsional dibandingkan konsumen yang berpendapatan kecil. Hal ini dapat
disebabkan karena konsumen yang memiliki uang saku atau pendapatan yang
lebih besar akan lebih mampu untuk membeli produk pangan fungsional yang
harganya memang lebih mahal dibanding pangan biasa. Jenis kelamin tidak
berhubungan dengan frekuensi maupun jumlah jenis pangan fungsional yang
dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan Verbeke (2005) namun tidak sejalan dengan
penelitian Dogan et al. (2011) dan Ong et al. (2014) yang menemukan adanya
hubungan antara jenis kelamin dengan frekuensi konsumsi pangan fungsional.
Hasil penelitiannya menunjukkan konsumen wanita mengonsumsi lebih banyak
pangan fungsional dibanding laki-laki. Menurut Urala dan Lähteenmäki (2007)
dan Siró et al. (2008), wanita lebih memperhatikan masalah makanan dan
kesehatan daripada laki-laki.
Hasil uji pengaruh menunjukkan bahwa sikap dan uang saku berpengaruh
positif signifikan terhadap frekuensi konsumsi pangan fungsional. Hal ini sejalan
dengan penelitian Ares dan Gambaro (2007), Verbeke (2006), dan Florea et al.
(2016) bahwa sikap dan uang saku yang tinggi memengaruhi konsumen
mengonsumsi pangan fungsional yang tinggi pula. Jumlah jenis pangan
fungsional yang dikonsumsi hanya dipengaruhi oleh sikap. Menurut Morawska et
al. (2016), mahasiswa mengonsumsi pangan fungsional berdasarkan jenisnya
karena tingkat preferensi dan pengaruh dari media massa.
Hasil uji pengaruh menunjukkan karakteristik individu (jenis kelamin dan
uang saku), pengetahuan, dan sikap secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap perilaku konsumsi (frekuensi dan banyaknya jenis). Nilai adjusted R
square yang diperoleh sebesar 0,065 menunjukkan hanya 6,5 persen pengaruh
frekuensi konsumsi pangan fungsional yang dijelaskan oleh variabel-variabel
independen, sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti.
Kemungkinan variabel lain yang tidak diteliti adalah kelompok acuan, motivasi,
persepsi terhadap pangan fungsional, status kesehatan, dan kesadaran kesehatan.
Penelitian sosial yang menggunakan desain cross sectional study memungkinkan
banyak faktor yang tidak dapat diprediksi sehingga menyebabkan nilai adjusted R
square menjadi rendah. Mengacu dari Nugroho (2005), nilai adjusted R square
rendah ini bisa disebabkan karena faktor yang tidak diteliti itu lebih besar
pengaruhnya dibandingkan dengan faktor yang diteliti.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Jenis-jenis pangan
fungsional yang digolongkan pada penelitian ini hanya berjumlah sepuluh jenis
dan tidak terdapatnya logo khusus untuk produk pangan fungsional menyebabkan
banyak mahasiswa yang kesulitan membedakan dengan pangan biasa. Selain itu,
pengumpulan data menggunakan teknik self-administered sehingga
memungkinkan mahasiswa memberikan jawaban sesuai dengan persepsinya.
Penelitian ini juga tidak menyertakakan pengeluaran mahasiswa yang
dialokasikan untuk konsumsi pangan fungsional.
26
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Peraturan BPOM tentang
pengawasan klaim dalam label dan iklan pangan olahan [Internet].
[diunduh pada 2016 Des 3]. Tersedia pada : jdih.pom.go.id
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil kesehatan
Indonesia 2008 [Internet]. [diunduh pada 2017 Juli 21]. Tersedia pada:
www.depkes.go.id
27
LAMPIRAN
31
Uji Normalitas
32
Uji Heteroskesdasitas
33
Uji Autokorelasi
b
Model Summary
a. Predictors: (Constant), pengetahuan objektif, pengetahuan subjektif, sikap, jenis kelamin, uang
saku
b
Model Summary
a. Predictors: (Constant), pengetahuan objektif, pengetahuan subjektif, sikap, jenis kelamin, uang
saku
b. Dependent Variable: jumlah jenis yang dikonsumsi
Uji Multikolinieritas
a
Coefficients
Pengetahuan
.048 .109 -.042 -.435 .664 .494 2.022
Objektif
Pengetahuan
.030 .085 .033 .354 .724 .524 1.910
Subjektif
a
Coefficients
Pengetahuan -
-.006 .006 -.102 .297 .494 2.022
Objektif 1.045
Pengetahuan
.003 .004 .075 .790 .430 .524 1.910
Subjektif
No Sikap
Pernyataan Rataan
1 2 3 4 5
Confidence
17 Mengonsumi pangan fungsional 3.9 21.1 52.9 21.1 1.0 3
meningkatkan kesejahteraan
18 Keamanan pangan fungsional telah 0 4.9 39.2 51 4.9 3.7
teruji secara ilmiah
19 Pangan fungsional adalah produk 0 5.4 29.9 55.4 9.3 3.7
unggulan dengan kajian ilmiah
20 Saya percaya pangan fungsional 0 2.1 19.1 62.3 14.2 3.9
bermanfat bagi kesehatan
Safety
21 Pangan fungsional sebaiknya 0 1 16.7 46.1 36.3 4.1
dikonsumsi secar bijak (tidak
berlebihan)
22 Pangan fungsional tidak cocok untuk 1 2 8.8 70.1 18.1 4.0
orang yang sehat*
23 Pangan fungsional aman dikonsumsi 0 2 28.4 56.4 13.2 3.8
24 Mengonsumsi pangan fungsional 1 3.9 13.2 66.2 15.7 3.9
berisiko terserang penyakit*
25 Informasi tentang dampak kesehatan 2 11.3 39.2 46.6 1 3.3
pada pangan fungsional terlalu dilebih-
lebihkan*
37
RIWAYAT HIDUP