Anda di halaman 1dari 52

i

KERAGAAN PERILAKU REMAJA PUTRI TERKAIT


ANEMIA GIZI, AKTIVITAS FISIK, DAN KEBIASAAN
MAKAN DI PONDOK PESANTREN UMMUL QURO BOGOR

ANITA ANGGRAENI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaan Perilaku


Remaja Putri terkait Anemia Gizi, Aktivitas Fisik, dan Kebiasaan Makan di
Pondok Pesantren Ummul Quro Bogor adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Anita Anggraeni
NIM I14130016
iv
v

ABSTRAK
ANITA ANGGRAENI. Keragaan Perilaku Remaja Putri terkait Anemia Gizi,
Aktivitas Fisik, dan Kebiasaan Makan di Pondok Pesantren Ummul Quro Bogor.
Dibimbing oleh SITI MADANIJAH.

Proporsi anemiapada remaja putri usia 10-18 tahun di Indonesia


berdasarkan SKRT tahun 2012 sebesar 57.1%. Pengetahuan tentang anemia dapat
mempengaruhi sikap dan perilaku remaja dalam pemilihan makanan yang
selanjutnya akan mempengaruhi keadaan gizi termasuk status anemia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara perilaku remaja putri
terkait anemia gizi, aktivitas fisik, dan kebiasaan makan pada santri putri di
Pondok Pesantren Ummul Quro Bogor. Desain penelitian yang digunakan adalah
cross-sectional study dengan jumlah contoh sebesar 78 orang yang merupakan
kelas XI IPA. Pengetahuan, sikap, dan praktik diperoleh melalui pengisian
kuesioner, aktivitas fisik diperoleh melalui recall aktivitas 2x24 jam, konsumsi
pangan diperoleh melalui food recall 2x24 jam, serta kebiasaan makan diperoleh
melalui food frequency questionnaire (FFQ). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengetahuan dan sikap tentang anemia pada sebagian besar contoh
tergolong cukup, sedangkan praktik anemia tergolong kurang. Terdapat hubungan
yang signifikan pada aspek sebab-akibat anemia antara domain pengetahuan dan
sikap(r= 0.265, p= 0.019). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
perilaku anemia dengan asupan dan tingkat kecukupan gizi pada contoh.
Kata kunci: aktivitas fisik, anemia, pengetahuan , praktik, sikap.

ABSTRACT
ANITA ANGGRAENI. The Behavior of Adolescent Girls related to Nutritional
Anemia, Physical Activity, and Eating Habits at Ummul Quro Boarding School,
Bogor. Supervised by SITI MADANIJAH.

Proportion of anemia in adolescent girls aged 10-18 years in Indonesia


based data of SKRT 2012 amounted to 57.1%. Knowledge of anemia can
influence attitude and practice in the selection of food which affect the nutritional
status including anemia status. The objective of this study was to analyze the
correlation between behavior related to nutritional anemia, physical activity, and
eating habits in adolescent girls of Ummul Quro Boarding School Bogor. The
study design was cross-sectional study, with 78 total of sample in a class XI
Science 1 and 2. Knowledge, attitude, and practice acquired through
questionnaires, physical activity obtained through the activity recall 2x24 hours,
food consumption is obtained through food recall 2x24 hours, and eating habits
are obtained through FFQ. The results showed that knowledge and attitude about
anemia in most of subjects are sufficient, while the practice about anemia is
classified as less. There is a significant correlation in the causal aspect of anemia
between the knowledge and attitude (r= 0.265, p= 0.019). There was no
significant correlation between anemia behavior with intake and nutrients
adequacy level.
Keywords: anemia, attitude, knowledge, physical activity, practice.
vi
vii

KERAGAAN PERILAKU REMAJA PUTRI TERKAIT


ANEMIA GIZI, AKTIVITAS FISIK, DAN KEBIASAAN
MAKAN DI PONDOK PESANTREN UMMUL QURO BOGOR

ANITA ANGGRAENI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
viii
ix

:
x
xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2017 ini ialah
anemia, dengan judul “Keragaan Perilaku Remaja Putri terkait Anemia Gizi,
Aktivitas Fisik, dan Kebiasaan Makan di Pondok Pesantren Ummul Quro
Bogor”. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan ilmu, arahan, bimbingan, dan motivasi sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai prasyarat kelulusan.
2. Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS selaku dosen penguji skripsi yang telah banyak
memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan skripsi.
3. Bapak Amat Muhidin (ayah), Ibu Nunung Lestari (ibu), Edi Lukito (adik),
Ndriyo (paman), dan Hidayat Priatmaja yang telah banyak memberikan doa,
dukungan, kasih sayang, serta semangat.
4. Kemenristek Dikti yang telah memberikan bantuan berupa beasiswa
Bidikmisi selama 4 tahun masa perkuliahan.
5. Bapak Harliyana, selaku kepala MA Pondok Pesantren Ummul Quro Al-
Islami serta santriwati kelas XI IPA yang telah memberikan kesempatan dan
membantu penulis selama mengumpulkan data.
6. Teman-teman enumerator diantaranya Kusmiyanti, Aizzatun Nisa, Andini
Retno, Sri Chafidotus Sakdanah, Fitri Utari, Anindita Nurul PH, Laillia
Ghaisani, Mela Eviany, Mery Dwi Safitri, Nuzul Putriandani, Revina Febri,
Kamila K Jannah, Nur Karimah, Shelvi Sasmita, Irma Nurmala, Lutfiana
Mahmudah, Citra Fitri Lestari, dan Aghniya Nailah Rifdah yang telah
bersedia melakukan wawancara langsung kepada subjek penelitian.
7. Seluruh teman-teman Gizi Masyarakat Angkatan 50, teman-teman Ikatan
Mahasiswa Pekalongan-Batang (IMAPEKA) Angkatan 50, teman-teman
asisten praktikum tahun ajaran 2016/2017, teman-teman kamar 113 Asrama
Putri A1 TPB IPB, teman-teman SMA Negeri 3 Pekalongan Angkatan
2012/2013, dan teman-teman PKL kloter 1 RSIJ Pondok Kopi yang
senantiasa memberikan dukungan maupun motivasi kepada penulis.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2017

Anita Anggraeni
xii
xiii

DAFTAR ISI

ABSTRAK v
PRAKATA x
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan 3
Hipotesis 3
Manfaat 3
KERANGKA PEMIKIRAN 4
METODE 6
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 6
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 6
Jenis dan Cara Pengambilan Data 7
Pengolahan dan Analisis Data 8
Definisi Operasional 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Gambaran Umum Pondok Pesantren 12
Karakteristik Contoh dan Keluarga 12
Perilaku tentang Anemia 14
Konsumsi Pangan 20
Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Anemia 25
Hubungan Karakteristik Contoh dengan Perilaku Anemia dan Konsumsi
Pangan 26
Hubungan Perilaku Anemia dengan Konsumsi Pangan 29
SIMPULAN DAN SARAN 31
Simpulan 31
Saran 31
xiv

DAFTAR PUSTAKA 32
RIWAYAT HIDUP 36

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian 7


2 Pengkategorian variabel penelitian 8
3 Sebaran contoh berdasarkan usia, uang saku, dan aktivitas fisik 13
4 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan dan pendapatan orang tua 14
5 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan menjawab pertanyaan pengetahuan
tentang anemia dengan benar 15
6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan anemia 16
7 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan menjawab pernyataan sikap anemia
dengan benar 17
8 Sebaran contoh berdasarkan tingkat sikap anemia 18
9 Sebaran contoh berdasarkan praktik yang benar 19
10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat praktik anemia 20
11 Frekuensi konsumsi pangan contoh per minggu 20
12 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh 22
13 Menu makanan asrama Pondok Pesantren Ummul Quro 23
14 Tingkat kecukupan energi dan protein 24
15 Tingkat kecukupan zat gizi mikro 24
16 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dan sikap tentang sebab-akibat
anemia 25
17 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan pengetahuan tentang anemia 26
18 Hubungan karakteristik contoh dengan perilaku anemia 27
19 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan tingkat kecukupan energi 28
20 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan tingkat kecukupan protein 28
21 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan tingkat kecukupan Fe 29
xv

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran keragaan perilaku remaja putri terkait anemia gizi,
aktivitas fisik, dan kebiasaan makan 5
2 Alur penarikan contoh penelitian 6
xvi
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masa remaja merupakan suatu proses transisi masa kanak-kanakmenuju


dewasa. Masa transisi ini berada dalam rentang usia 11 sampai 19 tahun (Dixit et
al. 2011). Proporsi remaja di dunia sekitar 20% dan proporsi ini lebih besar di
negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Zat-zat gizi penting sangat
dibutuhkan remaja mengingat bahwa remaja merupakan masa pertumbuhan dan
perkembangan secara fisik, mental, dan aktivitas sehingga remaja merupakan
golongan yang rentan mengalami anemia (Suryani et al. 2015, Ramzi et al. 2011).
Depkes RI (2007) juga menyatakan bahwa wanita merupakan golongan yang
mempunyai risiko paling tinggi untuk menderita anemia terutama remaja putri.
Anemia dapat disebabkan karena defisiensi zat gizi mikro seperti besi, vitamin A,
vitamin B12, dan asam folat (Kurniati et al. 2013). Selain defisiensi zat gizi
mikro, anemia juga dapat disebabkan oleh faktor lain, diantaranya gaya hidup
seperti kebiasaan merokok, minum minuman keras, sarapan pagi, sosial ekonomi
dan demografi, pendidikan, jenis kelamin, umur, dan wilayah. Wilayah mencakup
pedesaan atau perkotaan yang berhubungan dengan sarana dan fasilitas kesehatan
maupun ketersediaan makanan yang berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan
dan asupan zat besi (Permaesih dan Herman 2005).
Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan
hematokrit dalam darah sesuai batas yang direkomendasikan karena disebabkan
oleh berbagai faktor (Citrakesumasari 2012). Kejadian anemia yang paling sering
menjadi masalah umum adalah anemia karena defisiensi zat besi. Anemia gizi
besi ini mencakup sebesar 50% dari total kejadian anemia (Ramzi et al. 2011).
Anemia gizi besi merupakan anemia yang disebabkan oleh defisiensi zat besi
dalam tubuh dan dipengaruhi oleh zat pembentuk hemoglobin seperti besi,
protein, vitamin C, piridoksin, dan vitamin E (Almatsier 2009). Defisiensi zat besi
pada remaja dapat mempengaruhi kinerja akademik di sekolah dan dapat
menyebabkan penurunan konsentrasi belajar sehingga dapat berdampak pada
penurunan prestasi belajar (Halterman et al. 2001, Sediaoetama 2008). Selain itu,
anemia dapat memberikan efek negatif pada perkembangan mental anak,
kapasitas kerja, dan berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi pada masa remaja
dan dewasa (Ramzi et al. 2011).
Menurut Kemenkes (2011), status anemia dapat diperoleh dengan
penentuan kadar hemoglobin yaitu untuk laki-laki <13 g/dL dan perempuan
<12g/dL. Menurut data Kemenkes RI pada Riskesdas (2013), proporsi anemia di
Indonesia yaitu 21.7% dengan penderita anemia berumur 15-24 tahun sebesar
18.4%. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan
bahwa prevalensi anemia pada remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57.1%.
Wanita mempunyai risiko terkena anemia yang tinggi terutama remaja putri
(Kemenkes 2013).
Remaja putri rentan mengalami anemia karena terjadi peningkatan
kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan, menstruasi, serta pembatasan konsumsi
makan yang dapat berdampak pada penurunan aktivitas fisik (Denistikasari 2016).
Begitu pula dengan remaja yang mempunyai aktivitas fisik yang rendah namun
2

asupan energinya berlebih dapat menyebabkan tumpukan lemak di dalam tubuh


sehingga dapat mengakibatkan obesitas akibat dari pembakaran energi yang tidak
maksimal serta gaya hidup yang tidak sehat (Brown et al. 2011). Menurut WHO
(2010), aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang
memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik bermanfaat untuk mengatur berat
badan serta menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Data Riskesdas
(2013) menunjukkan bahwaproporsi aktivitas fisik di Indonesia tergolong kurang
aktif secara umum adalah 26.1 persen. Terdapat 22 provinsi dengan penduduk
aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Indonesia. Proporsi
penduduk Indonesia dengan perilaku sedentari ≥6 jam perhari sebesar 24.1 persen.
Konsumsi makanan yang memiliki bioavaibilitas zat besi yang rendah
dapat menyebabkan kurangnya jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh
(Soetjiningsih 2007). Zat besi harus melalui proses transportasi dan penyimpanan
terlebih dahulu sebelum diserap oleh tubuh. Komponen utama yang berperan
dalam hal ini adalah protein. Penelitian menurut Thomson et al. (2011)
menunjukkan bahwa semakin rendah asupan protein maka semakin rendah kadar
hemoglobin. Denistikasari (2016) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara asupan protein dan zat besi dengan kejadian anemia pada siswi
SMK Penerbangan Bina Dhirgantara Karanganyar.
Selain protein, komponen yang penting dalam membantu proses
penyerapan zat besi adalah asam askorbat atau vitamin C. Vitamin C bekerja
dengan cara membantu proses reduksi zat besi non heme yang terdapat dalam
pangan nabati sehingga dapat mengubah bentuk dari ferri menjadi ferro agar dapat
lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Zat gizi lain yang berperan adalah
vitamin B12 dan asam folat. Vitamin ini sangat berperan dalam proses
pembentukan sel darah merah dan sebagai penjaga nafsu makan (Citrakesumasari
2012). Vitamin A berperan dalam proses hematopoiesis. Apabila terjadi defisiensi
vitamin A,dapat mengakibatkan terganggunya mobilisasi zat besisehingga tidak
dapat dimanfaatkan untuk eritropoiesis (Purwitaningtyas 2011). Energi juga
dibutuhkan untuk pembentukan eritrosit. Apabila tubuh kekurangan anergi, maka
dapat menyebabkan kadar Hb menurun (Suryani et al. 2015).
Faktor lain yang melatarbelakangi kejadian anemia adalah tingkat
pengetahuan tentang anemia. Pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku remaja
dalam pemilihan makanan yang selanjutnya akan mempengaruhi keadaan gizi
termasuk status anemia (Khumaidi 2009).Notoadmodjo (2005) menyebutkan
bahwa pengetahuan dapat mempengaruhi sikap seseorang. Apabila seseorang
memiliki pengetahuan yang baik maka akan terwujud sikap yang baik pula,
demikian sebaliknya. Penelitian menurut Yamin (2012) menyatakan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada
remaja putri di SMA Kabupaten Kepulauan Selayar. Hasil penelitian Putri et al.
(2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang anemia
dengan tingkat konsumsi protein. Pengetahuan dan sikap yang baik akan
mendorong praktik penerapan yang baik pula.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
keragaan perilaku remaja putri terkait anemia gizi, aktivitas fisik, dan kebiasaan
makan diPondok Pesantren Ummul Quro Al-Islami,Leuwiliang, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat.
3

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah didapatkan, maka


dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik tentang
anemia pada contoh?
2. Apakah terdapat hubungan antara karakteristik contoh dengan perilaku
tentang anemia, asupan, frekuensi konsumsi pangan, dan tingkat
kecukupan gizi pada contoh?
3. Apakah terdapat hubungan antara perilaku tentang anemia dengan asupan,
frekuensi konsumsi pangan dan tingkat kecukupan gizi pada contoh?

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisishubungan


antaraperilaku remaja putri terkait anemia gizi,aktivitas fisik, dan kebiasaan
makanpada santri di Pondok Pesantren Ummul Quro Al-Islami, Leuwiliang,
Kabupaten Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:
1. Mengidentifikasi karakteristikcontoh (usia, uang saku, aktivitas fisik,
pendidikan orang tua, pendapatan orang tua) dan perilaku tentang anemia
(pengetahuan, sikap, praktik) pada contoh,
2. Mengkaji asupan, frekuensi konsumsi pangan, dan tingkat kecukupan gizi
pada contoh,
3. Menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik tentang
anemia pada contoh,
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dengan perilaku
tentang anemia, asupan, frekuensi konsumsi pangan, dan tingkat
kecukupan gizi pada contoh, dan
5. Menganalisis hubungan antara perilaku tentang anemia dengan asupan,
frekuensi konsumsi pangan, dan tingkat kecukupan gizi pada contoh.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara karakteristik


contoh danperilaku anemia yang meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik
denganasupan, frekuensi konsumsi pangan, dan tingkat kecukupan zat gizi pada
contoh.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait


pengetahuan, sikap, dan praktik tentang anemia gizi serta kaitannya dengan
konsumsi dan kebiasaan makan pada remaja putri di pondok pesantren Ummul
Quro. Selain itu, manfaat untuk pihak pengelola pesantren yaitu dapat
memberikan gambaran bahwa asupan gizi yang baik harus terpenuhi melalui
penyelenggaraan makanan yang beragam, bergizi, dan berimbang.
4

KERANGKA PEMIKIRAN

Wanita mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami anemia terutama


remaja putri (Kemenkes 2013). Remaja putri rentan mengalami anemia karena
terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan, menstruasi, serta
pembatasan konsumsi makan karena diet yang dapat berdampak pada penurunan
aktivitas fisik (Denistikasari 2016). Anemia dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, namun faktor utamanya adalah asupan zat besi yang kurang, sedangkan di
dalam tubuh, dua per tiga dari zat besiterdapat dalam hemoglobin yang
merupakan indikator untuk mengukur anemia pada seseorang. Selain itu, faktor
ketersediaan makanan dan sarana fasilitas kesehatan juga berpengaruh pada
asupan zat besi dan pelayanan kesehatan (Permaesih dan Herman 2005).
Remaja yang masih dalam masa pertumbuhan membutuhkan zat gizi yang
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok umur yang lain. Zat besi sangat
dibutuhkan untuk proses pematangan seksual pada remaja sehingga kebutuhan zat
besi meningkat. Menurut Riyadi (2001), remaja putri membutuhkan zat besi 15%
lebih banyak dibandingkan kelompok umur lain karena digunakan untuk
mengganti kehilangan darah akibat menstruasi.
Anemia dapat dicegah dan dipantau melalui konsumsi makanan dan
asupan zat gizi sehari-hari, serta melalui pengkajian perilaku remaja putri tentang
anemia. Perilaku tentang anemia ini tergolong dalam perilaku kesehatan
berdasarkan teori Becker, karena berkaitan dengan tindakan atau kegiatan
seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan, termasuk tindakan
untuk mencegah penyakit, memilih makanan, dan sebagainya. Perilaku tentang
anemia ini dipengaruhi oleh faktor intern yang mencakup pengetahuan,
kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, sikap, sedangkan faktor ekstren seperti
manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya (Notoatmodjo 2003).
Perilaku anemia yang baik akan mendorong remaja untuk menerapkan gaya hidup
sehat dan pemilihan makanan yang baik pula sehingga dapat mencukupi
kebutuhan gizi harian terutama zat besi dan vitamin yang diperlukan untuk
mencegah anemia.
Pengkajian perilaku tentang anemia pada remaja putri tidak terlepas dari
akses informasi yang mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan praktik pada remaja.
Akses informasi merupakan ukuran kemudahan seseorang dalam memperoleh
informasi. Perolehan informasi ini dapat berasal dari berbagai sumber informasi,
diantaranya melalui media elektronik (acara televisi, radio, internet), media cetak
(koran, majalah, surat kabar, leaflet, poster), guru di sekolah melalui mata
pelajaran yang diajarkan di kelas, teman sebaya, anggota keluarga, serta fasilitas
kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2003), informasi tentang anemia dalam hal ini
tergolong dalam stimulus yang berupa materi, sehingga menimbulkan
pengetahuan baru yang selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap
terhadap stimulus tersebut. Sikap terhadap stimulus yang telah diketahui tersebut
akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi yaitu tindakan atau praktik nyata
terhadap stimulus dalam hal ini adalah pencegahan anemia. Secara teori, semakin
mudah seseorang dalam memperoleh informasi terkait anemia maka pengetahuan
seseorang tersebut terkait anemia akan semakin baik dan diharapkan dapat
5

berdampak pada sikap dan praktik yang baik pula. Dengan demikian, dapat
mendorong remaja untuk mengonsumsi makanan yang dapat mencukupi
kebutuhan gizinya sesuai dengan anjuran Angka Kecukupan Gizi (AKG). Secara
sistematik, kerangka pemikiran tersebut dapat disederhanakan dalam alur pada
Gambar 1.

Karakterisitik contoh dan keluarga Remaja putri

- Usia - Pendidikan orang tua


- Berat badan - Pendapatan orang tua
- Aktivitas fisik - Uang saku
Riwayat
anemia
Pengetahuan,
Angka sikap, dan praktik
Kecukupan Gizi tentang anemia
(AKG) Akses
informasi

Konsumsi Konsumsi Kebiasaan Kadar Hb


obat dan pangan makan
suplemen (frekuensi
konsumsi
Status
Asupan energi dan zat gizi pangan)
Anemia

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi:


- Energi - Vitamin B9
- Protein - Vitamin B12
- Fe - Vitamin C
- Vitamin A

Keterangan :

= Variabel yang diteliti


= Variabel yang tidak diteliti
= Hubungan yang dianalisis
= Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran keragaan perilaku remaja putri terkait


anemia gizi, aktivitas fisik, dan kebiasaan makan
6

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study karena


pengambilan data dilakukan pada waktu yang sama, artinya setiap contoh
penelitian diobservasi hanya satu kali saja serta dampak diukur menurut keadaan
pada saat observasi, kemudian tidak ada pemberian intervensi apapun kepada
contoh penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Ummul Quro
Al-Islami (UQI) Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian
dilakukan secara purposive atau disengaja dengan alasan pondok pesantren
tersebut tergolong pondok pesantren modern dan sudah ada penelitian sebelumnya
terkait manajemen pelayanan makanan di Pondok Pesantren Ummul Quro oleh
Masturoh (2012) sehingga dapat membantu sebagai acuan dalam
penelitian.Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah survei
pendahuluan dengan terlebih dahulu melihat dan mengobservasi kondisi pondok
pesantren serta seluruh kegiatan yang dilakukan, kemudian tahap kedua adalah
pengumpulan data penelitia yang dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2017.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi MA IPA Pondok


Pesantren Ummul Quro. Adapun kriteria inklusi contoh adalah sebagai berikut.
1. berjenis kelamin perempuan dan bersedia untuk menjadi contoh penelitian.
2. termasuk siswi kelas XI IPA.
3. tidak sedang dalam kondisi sakit atau sehat walafiat.
4. bersedia mengisi seluruh kuesioner yang diberikan oleh peneliti.
Jumlah contoh yang terpilih adalah semua santri putri yang memenuhi
kriteria yang ditentukan. Adapun acuan yang digunakan untuk penentuan jumlah
contoh penelitian berdasarkan simple random sampling dengan menggunakan
rumus Slovin menurut Notoatmodjo (2005) sebagai berikut:
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑 2 )
Keterangan :
N = besar populasi , n = besar sampel, d = tingkat kepercayaan (90% atau sig. 0.1)
Berdasarkan rumus tersebut dapat ditentukan bahwa jumlah sampel
minimal yang harus diambil sebesar 59orang ditambah estimasi drop out 10%
menjadi 65 orang dengan jumlah total populasi sebesar 143orang. Setelah disortir
berdasarkan kriteria inklusi, maka didapatkan jumlah keseluruhan contoh
penelitian sebanyak 78 orang. Berikut adalah alur penarikan contoh penelitian.

Pondok Pesantren Santriwati Madrasah Santriwati MA kelas


Ummul Quro Aliyah XI IPA (n= 140)

n= 78 orang Santriwati XI IPA 1


& XI IPA 2 (n= 94)
Gambar 2 Alur penarikan contoh penelitian
7

Jenis dan Cara Pengambilan Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi karakteristik contoh dan keluarga (usia, uang saku, berat badan,
aktivitas fisik, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua), perilaku anemia
(pengetahuan, sikap, dan praktik), konsumsi pangan (jenis pangan, URT, dan
berat) dan kebiasaan makan (jenis dan frekuensi pangan). Data sekunder yaitu
letak geografis dan gambaran umum pondok pesantren yang diperoleh melalui
arsip data sekolah.
Data karakteristik, perilaku anemia, dan aktivitas fisik contoh diperoleh
melalui kuesioner yang diisi oleh contoh. Konsumsi pangan contoh diperoleh
melalui pengisian kuesioner food recall 2x24 jam. Kebiasaan makan contoh
diperoleh melalui pengisian food frequency questionnaire (FFQ).Variabel dan
cara pengumpulan data primer dan sekunder yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian


No Variabel Data Cara Pengumpulan Data
1 Karakteristik contoh Usia Pengisian kuesioner mandiri
Uang saku Pengisian kuesioner mandiri
Berat badan (BB) Menggunakan timbangan BB
digital ketelitian 0.1 kg
Aktivitas Fisik Pengisian kuesioner mandiri
2 Karakteristik sosial Pendidikan orang tua Pengisian kuesioner mandiri
ekonomi keluarga Pendapatan orang tua Pengisian kuesioner mandiri
3 Pengetahuan tentang Pertanyaan seputar Pengisian kuesioner mandiri
anemia anemia berupa 20 soal pilihan berganda
atau multiple choice dengan 4
pilihan jawaban
4 Sikap tentang Pernyataan setuju dan Pengisian kuesioner mandiri
anemia tidak setuju mengenai berupa 15 soal yang terbagi
anemia dalam 5 pilihan jawaban yaitu
sangat setuju (SS), setuju, (S),
ragu-ragu (R), tidak setuju
(TS), sangat tidak setuju (STS)
5 Praktik tentang Pernyataan seputar Pengisian kuesioner mandiri
anemia anemia dengan 15 buah pertanyaan
mengenai praktik pencegahan
dan penanganan anemia dalalm
kehidupan sehari-hari
6 Konsumsi pangan Menu makanan Menggunakan wawancara
Jenis pangan kuesioner food recall 2x24 jam
Jumlah (URT dan g)
7 Kebiasaan makan Bahan pangan Menggunakan wawancara
Merek food frequency
Frekuensi pangan questionnaire (FFQ)
10 Gambaran umum Keadaan umum sekolah Arsip data sekolah
8

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara pemberian kode data (coding),


pemasukan data (entry), pengecekan ulang (cleaning), dan analisis data. Data
diolah menggunakan program Microsoft Excel 2013 dan SPSS versi 22 for
Windows. Pengakategorian variabel penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian
Variabel Jenis Data Kategori Pengukuran
Karakteristik Usia a. 15 tahun c. 17 tahun
contoh b. 16 tahun d. 18 tahun
Uang saku a. Kurang (Rp 100 000 – Rp 416 667)
(Slamet 1993) b. Sedang (Rp 416 668 – Rp 733 334)
c. Besar (Rp 733 335 – Rp 1 050 000)
Tingkat pendidikan a. SD dan sederajat
orang tua (UU Nomor b. SMP dan sederajat
20 Tahun 2003) c. SMA dan sederajat
d. Perguruan tinggi
Pendapatan orang tua a. Rendah (<Rp 1 500 000)
(BPS 2014) b. Sedang (Rp 1 500 000-Rp 2 499
999)
c. Tinggi (Rp 2 500 000-Rp 3 500
000)
d. Sangat tinggi (>Rp 3 500 000)
Pengetahuan Jawaban pertanyaan 20 a. Kurang, skor <60
tentang anemia soal pilihan berganda b. Cukup, skor 60-80
c. Baik, skor >80
(Khomsan 2000)
Sikap tentang Jawaban pertanyaan 15 a. Kurang, skor <60
anemia soal dengan 5 pilihan b. Cukup, skor 60-80
jawaban c. Baik, skor >80
(Khomsan 2000)
Praktik tentang Jawaban pertanyaan 15 a. Kurang, skor <60
anemia soal dengan 2 pilihan b. Cukup, skor 60-80
jawaban c. Baik, skor >80
(Khomsan 2000)
Aktivitas fisik Aktivitas fisik selama a. Ringan (nilai PAL 1.40-1.69)
24 jam b. Sedang (nilai PAL 1.70-1.99)
c. Berat (nilai PAL 2.00-2.40)
(FAO/WHO/UNU 2001)
Konsumsi dan Asupan zat gizi TK. Energi, protein, lemak, dan karbohidrat
kebiasaan a. Kurang (<80% AKG)
pangan b. Baik (80-110% AKG)
c. Lebih (>110% AKG)
(WNPG 2004)
TK. Mineral dan vitamin
Asupan zat gizi
a. Defisit (<77% AKG)
b. Cukup (≥77% AKG)
(Gibson 2005)
9

Data yang telah dikumpulkan disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis
secara deskriptif dan statistik dengan menggunakan program Microsoft Excell dan
Statistical Program for Social Sciences (SPSS) versi 22 for Windows. Data
pengetahuan anemia diperoleh dari kuesioner dengan total 20 buah pertanyaan,
sikap anemia 15 pernyataan, dan praktik anemia 15 pernyataan. Jumlah jawaban
benar kemudian diberi skor dan dikategorikan. Pengetahuan, sikap, dan praktik
anemia dibedakan menjadi tiga kategori yaitu kurang (skor<60), cukup (skor 60-
80), dan baik (skor >80) (Khomsan 2000).
Pengukuran aktivitas fisik pada contoh dilakukan sebanyak dua kali yaitu
pada hari biasa (hari sekolah) dan hari libur kemudian dicari rata-rata keduanya.
Aktivitas fisik pada contoh diukur dengan menggunakan kuesioner yang cara
pengisiannya dengan diarsir pada jumlah waktu yang dihabiskan selama
melakukan aktivitas tertentu dengan interval masing-masing 5 menit selama 24
jam. Setelah didapat lama waktu tiap aktivitas fisik, kemudian dicari nilai PAR
(Physical Activity Rate) dan PAL (Physical Activity Level) setiap orang selama 24
jam dan ditentukan kategorinya yaitu termasuk ringan, sedang, atau berat
berdasarkan nilai PAL tersebut (FAO/WHO/UNU 2001).
Data konsumsi pangan yang diketahui melalui metode recall 2x24 jam
secara berturut-turut dikonversikan ke dalam satuan energi (kkal), protein (g), zat
besi (mg), vitamin A (mcg), vitamin C (mg), vitamin B9 (mcg), dan vitamin B12
(mcg) dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994)
sebagai berikut:
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Kecukupan zat gizi dihitung berdasarkan angka kecukupan gizi yang


dianjurkan menurut umur dan berat badan sehat dengan koreksi berat badan aktual
dengan rumus:

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 (𝑘𝑔)


AKG terkoreksi BB = 𝑥 𝐴𝐾𝐺
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝐴𝐾𝐺 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖 𝑢𝑚𝑢𝑟 (𝑘𝑔)

Setelah didapatkan angka kecukupan gizi yang sudan terkoreksi berat


badan, kemudian dapat dihitung tingkat kecukupan gizi dengan rumus:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑠𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑧𝑎𝑡 𝑔𝑖𝑧𝑖 𝑖


TKGi = 𝑥 100%
𝐴𝐾𝐺 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝐵𝐵

Berdasarkan rumus tersebut di atas, maka tingkat kecukupan energi dan


protein tergolong kurang jika TK<80% AKG, baik jika TK 80-110% AKG, dan
lebih jika TK>110% AKG (WNPG 2004). Sementara itu, tingkat kecukupan zat
gizi mikroberdasarkan Gibson (2005) tergolong kurang jika TK<77% AKG dan
cukup jika TK≥77% AKG.
10

Analisis data yang dilakukan yaitu analisis univariat dan multivariat.


Analisis univariat digunakan untuk mendiskripsikan setiap variabel dengan
gambaran distribusi frekuensinya dalam bentuk jumlah dan presentase. Analisis
bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, beberapa
variabel yang diuji hubungannya antara lain pengetahuan dengan sikap;
pengetahuan dengan praktik; sikap dengan praktik; karakteristik contoh dengan
perilaku tentang anemia (pengetahuan, sikap, dan praktik); karakteristik contoh
dengan konsumsi pangan, kebiasaan makan, dan tingkat kecukupan gizi; serta
perilaku tentang anemia dengan konsumsi pangan, kebiasaan makan, dan tingkat
kecukupan gizi. Keseluruhan variabel tersebut diuji dengan menggunakan uji
korelasi Spearman karena data tidak menyebar dengan normal dengan kriteria
apabila nilai signifikansi p<0.05 maka artinya terdapat hubungan yang signifikan
antara kedua variabel, sedangkan apabila nilai p>0.05 maka tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara kedua variabel yang diuji.

Definisi Operasional

Pondok Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang menekankan pada
pengajaran ilmu-ilmu syariah (hukum) agama dengan kitab kuning dan
metode kajian tradisional.
Remaja adalah proses transisi masa kanak-kanak menuju dewasa yang masih
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, mental, dan
aktivitas.
Contoh adalah siswi Pondok Pesantren Ummul Quro kelas XI IPA 1 dan XI IPA
2 yang telah memenuhi kriteria inklusi contoh penelitian dan bersedia
mengikuti penelitian.
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat
berulang tahun, semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
Antropometri adalahstudi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh
manusia seperti berat badan.
Uang saku adalah uang yang diberikan oleh orang tua yang diperuntukkan untuk
membeli makanan dan minuman.
Pendidikan orang tua adalah suatu jenjang yang ditempuh oleh orang tua siswa,
yakni jenjang pendidikan formal. Jenjang pendidikan formal yang termasuk
jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendapatan orang tuaadalah penerimaan bersih orang tua baik berupa uang
kontan maupun tidak yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan yang
dilakukan selama satu bulan.
Anemia adalah rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit dalam darah
sesuai batas yang direkomendasikan karena disebabkan oleh kurangnya
konsumsi pangan sumber zat besi, asam folat, vitamin A, dan vitamin B12.
Informasi adalah pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman,
atau instruksi. Informasi merupakan data yang bermakna dan dapat
dipahami oleh penerima informasi.
Akses informasiadalahkemudahan yang diberikan kepada seseorang atau
masyarakat untuk memperoleh informasi publik yang dibutuhkan.
11

Pengetahuan tentang anemia adalah sekumpulan informasi mengenai pengertian


anemia, tanda dan gejala anemia, penyebab, akibat, dan penanggulangan
anemia, serta sumber-sumber zat besi dalam makanan.
Sikap tentang anemia adalah reaksi atau proses seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau obyek yang berkaitan dengan anemia. Sikap
tidak dapat dilihat langsung tetapi mengarah kepada kecenderungan untuk
bertindak (praktik).
Praktik tentang anemia adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk tindakan nyata atau terbukayang dapat dengan mudah diamati atau
dilihat oleh orang lain. Praktik merupakan wujud nyata dari sikap mengenai
anemia.
Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka dan
memerlukan pengeluaran energi (pembakaran kalori) seperti melakukan
pekerjaan, olahraga, maupun aktivitas harian lainnya dalam selama 24 jam
atau satu hari penuh dan dihitung berdasarkan nilai PAL.
Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan oleh
contoh untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melakukan aktivitas fisik
serta aktivitas lain. Pengukuran dilakukan dengan mengisi kuesioner food
recall 2x24 jam (hari masuk sekolah dan hari libur).
Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya
akan makan seperti frekuensi makan per minggu.
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang
berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan
hampir semua orang sehat. AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan
berat badan untuk masing-masing kelompok umur, gender, aktivitas fisik,
dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui.
Tingkat kecukupan gizi adalah angka yang menggambarkan kecukupan gizi
berdasarkan asupan gizi orang yang sehat. Tingkat kecukupan gizi
didapatkan dengan membandingkan antara asupan zat gizi seseorang dengan
AKG sesuai dengan kelompok umur dan gender serta sudah dikoreksi berat
badan.
12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Pondok Pesantren

Pondok pesantren Ummul Quro Al-Islami (UQI) berlokasi di Kampung


Banyusuci Desa Leuwimekar Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Pesantren
modern Ummul Quro Al-Islami sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan
pengabdian masyarakat menjalankan pendidikannya dengan sistem asrama
(boarding). Jumlah keseluruhan kamar yaitu 40 buah, tiap kamar dihuni sekitar
35-40 orang (termasuk di dalamnya 4 orang pengurus kamar). Fasilitas lainnya
yaitu asrama guru, tempat peristirahatan tamu, kamar mandi putra dan putri,
masjid, gedung serba guna (GSG), sekolah, perkantoran, perpustakaan, dapur
pusat dan dua dapur khusus, ruang makan guru, kantin, wartel, klinik dan
koperasi. Selain itu, terdapat lapangan serba guna, laboratorium IPA, laboratorium
bahasa dan laboratorium komputer.Pendiri, dewan guru, dan para santri belajar
dan bermukim di dalam pesantren dengan nuansa kekeluargaan yang harmonis
dan dinamis. Seluruh insan pesantren dapat berhubungan dan berkomunikasi
langsung selama 24 jam, baik antara guru dengan kyai, murid dengan guru, dan
sebaliknya.
Pesantren modern Ummul Quro Al-Islami terbagi menjadi dua, yaitu
pesantren untuk santri putra dan santri putri. Jumlah santri di pesantren modern
Ummul Quro Al-Islami cukup banyak dengan rata-rata jumlah santri tiap kelas
lebih dari 40 orang. Pesantren modern Ummul Quro Al-Islami menggabungkan
pendidikan agama dan umum, menggunakan bahasa inggris dan bahasa arab
sebagai bahasa sehari-hari dan membekali para santri dengan ekstrakulikuler
seperti organisasi, pramuka, drumband, olahraga, dan lain sebagainya.
Visi dari PP UQIadalah terwujudnya generasi Islam yang unggul dalam
prestasi, berakhlak mulia, beramal shaleh dan tekun beribadah berdasarkan paham
“akhlussunnah waljamaah”. Adapun misinya dirumuskan sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dalam pencapaian prestasi
akademik dan non akademik,
2) Mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat yang mutafaqih
fiaddin berfaham ahlussunnah waljamaah,
3) Mempersiapkan generasi Islam yang kompeten (science, skill,
social,behaviour) untuk berkiprah di dunia internasional,
4) Mendidik generasi Islam yang taat kepada Allah dan RasulNya serta memiliki
rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Karakteristik Contoh dan Keluarga

Karakteristik contoh yang dianalisis meliputi usia, uang saku, dan aktivitas
fisik, sedangkan karakteristik keluarga yang dianalisis yaitupendidikan orang tua,
dan pendapatan orang tua.Contoh dalam penelitian ini merupakan siswi kelas XI
IPA 1 dan XI IPA 2 MA Ummul Quro. Data sebaran contoh berdasarkan
karakteristik contoh dapat dilihat pada Tabel 3.
13

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia, uang saku, dan aktivitas fisik
Jumlah
Karakteristik
n %
Usia (tahun)
16 27 34.6
17 47 60.3
18 4 5.1
Total 78 100.0
Uang saku (Rp/bulan) (Slamet 1993)
Kurang (100 000 –416 667) 57 73.1
Sedang (416 668 –733 334) 12 15.4
Besar (733 335 –1 050 000) 9 11.5
Total 78 100.0
Median (minimum, maksimum) 300 000 (100 000, 1 050 000)
Aktivitas Fisik (FAO/WHO/UNU 2001)
Ringan (1.40-1.69) 74 94.9
Sedang (1.70-1.99) 4 5.1
Berat (2.00-2.40) 0 0.0
Total 78 100.0
Rata-rata±SD 1.52±0.1

Tabel 3 menunjukkan bahwausia contoh berkisar antara 16 hingga 18


tahun dan sebagian besar contoh (60.3%) berusia 17 tahun. Menurut Dixit et al.
(2011), usia yang tergolong masa transisi atau remaja yaitu rentang usia 11 hingga
19 tahun.Karakteristik lain yaitu uang saku contoh sebagian besardalam kategori
kurang (73.1%). Uang saku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah uang yang
khusus digunakan untuk keperluan membeli makanan dan minuman, bukan uang
saku untuk membeli keperluan lain di luar makanan dan minuman. Menurut
Andarwulan et al. (2008), peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di
kantin maupun di luar sekolah akan meningkat seiring dengan meningkatnya uang
saku.
Karakteristik contoh selanjutnya yang dikaji dalam penelitian ini adalah
aktivitas fisik. Aktivitas fisik contoh penelitian pada hari biasa digunakan untuk
kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas pada pagi hingga siang hari dengan
estimasi waktu sekitar 6 jam per hari. Selain KBM di kelas, terdapat kegiatan lain
seperti ekstrakulikuler, mengaji sore, serta belajar malam di kelas. Aktivitas fisik
contoh pada hari libur lebih banyak digunakan untuk kegiatan ekstrakulikuler dan
biasanya berlangsung di luar ruangan (outdoor) seperti pramuka dan paskibra
maupun di dalam ruangan seperti organisasi semacam OSIS dan mading. Tabel 3
menunjukkan bahwa hampir keseluruhan contoh (94.9%) memiliki tingkat
aktivitas fisik ringan, sangat sedikit contoh (5.1%) yang memiliki aktivitas fisik
sedang, dan tidak ada contoh yang memiliki aktivitas fisik berat. Nilai PAL pada
contoh berkisar antara 1.31 hingga 1.86 dengan rata-rata contoh sebesar 1.52±0.1.
Menurut Brown et al. (2011), aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot rangka dan memerlukan pengeluaran energi yang berbeda-
beda sesuai dengan aktivitas yang dilakukan. Aktivitas fisik pada contoh selama
hari biasa dan hari libur cenderung sama, hal ini disebabkan karena contoh tinggal
menetap di pondok pesantren, sehingga aktivitas fisik sehari-hari sudah terjadwal
14

dengan baik. Perbedaan aktivitas fisik hari biasa dan hari libur yaitu, tidak adanya
kegiatan olahraga pagi bersama saat hari biasa, sedangkan pada hari libur selalu
diadakan olahraga yaitu senam pagi, namun tidak semua contoh penelitian
mengikuti olahraga tersebut karena faktor-faktor seperti kesadaran diri, rasa
malas, dan ketiduran. Selain itu, aktivitas fisik hari biasa lebih banyak dihabiskan
untuk kegiatan belajar mengajar dan mengaji, sedangkan hari libur untuk
ekstrakulikuler, piket, dan dijenguk orang tua. Contoh yang memiliki aktivitas
fisik sedang merupakan contoh yang mengikuti lebih dari satu jenis kegiatan
ekstrakulikuler yang kegiatannya banyak dilakukan di luar ruangan seperti
pramuka dan paskibra serta contoh yang menjadi pengurus organisasi pondok
yang rutin melalukan piket pondok setiap hari libur. Selanjutnya, sebaran contoh
berdasarkan karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan dan pendapatan orang tua
Jumlah
Karakteristik
n %
Pendidikan orang tua (UU No. 20 Tahun 2003)
SD dan sederajat 9 11.5
SMP dan sederajat 7 9.0
SMA dan sederajat 36 46.2
Perguruan Tinggi 26 33.4
Total 78 100.0
Pendapatan per kapita orang tua (Rp/bulan) (BPS 2014)
Rendah (<1 500 000) 14 17.9
Sedang (1 500 000 – 2 499 999) 18 23.1
Tinggi (2 500 000 – 3 500 000) 21 26.9
Sangat Tinggi (>3 500 000) 25 32.1
Total 78 100.0
Median (minimum, maksimum) 3 000 000 (500 000, 10 000 000)

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebanyak 46.2% orang tua contoh memiliki


tingkat pendidikan terakhir yaitu SMA dan sederajat. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan orang tua contoh tergolong kategori sedang. Akan tetapi,
sebanyak 33.4% orang tua contoh memiliki pendidikan terakhir yaitu perguruan
tinggi sehingga dapat dikategorikan baik. Sementara itu, persentase contoh
berdasarkan pendapatan per kapita orang tuahampir tersebar merata dari keempat
kategori, namun yang paling besar (32.1%) termasuk kategori sangat tinggi
menurut BPS (2014). Rusmawati (2013) mengemukakan bahwa faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama konsumsi pangan dan status gizi
yaitu pendidikan orang tua, sementara pendapatan menentukan kualitas dan
kuantittas makanan yang dikonsumsi. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan
dan pendapatan orang tua, maka makanan yang dikonsumsi oleh anak akan
semakin beragam dan berkualitas.

Perilaku tentang Anemia

Pengetahuan tentang Anemia


Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan merupakan faktor dominan
yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Keadaan gizi
15

termasuk status anemia merupakan pengaruh dari sikap dan perilaku seseorang
dalam pemilihan makanan yang dipengaruhi oleh pengetahuan (Suryani et al.
2015). Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan menjawab pertanyaan


pengetahuan tentang anemia dengan benar
Jumlah
No Materi Pertanyaan
n %
Aspek Definisi Anemia
1 Pengertian anemia 49 62.8
2 Kadar Hb normal untuk remaja putri 28 35.9
3 Tanda dari anemia 71 91.0
4 Kelompok yang berisiko anemia 51 65.4
5 Pemeriksaan untuk mengetahui anemia 57 73.1
6 Cara untuk mengetahui anemia 52 66.7
Aspek Sebab-Akibat Anemia
7 Penyebab anemia 71 91.0
8 Dampak anemia pada remaja putri 74 94.9
9 Penyebab remaja putri lebih berisiko anemia 27 34.6
10 Dampak anemia jika mengalami anemia saat masa kehamilan 43 55.1
Aspek Makanan dan Gizi
11 Makanan yang mempermudah penyerapan zat besi 71 91.0
12 Makanan yang menghambat penyerapan zat besi 8 10.3
13 Makanan sumber zat besi dari pangan hewani 72 92.3
14 Makanan sumber zat besi dari pangan nabati 49 62.8
15 Vitamin yang banyak terdapat dalam buah-buahan yang asam 74 94.9
16 Peran vitamin C 68 87.2
Aspek Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
17 Cara mencegah anemia 75 96.2
18 Menu seimbang setiap kali makan 55 70.5
19 Aturan minum TTD bagi remaja putri untuk mencegah anemia 33 42.3
20 Penanggulangan anemia 62 79.5

Pengetahuan tentang anemia dikelompokkan menjadi 4 aspek yaitu


definisi anemia, sebab-akibat anemia, makanan dan gizi, serta pencegahan dan
penanggulangan anemia. Keempat aspek pengetahuan ini tergolong dalam
kategori cukup karena memiliki skor dalam rentang 66-73.Berdasarkan Tabel 5,
sebagian besar contoh mengetahui tanda dari anemia (91.0%), penyebab anemia
(91.0%), dampak anemia pada remaja putri (94.9%), makanan yang
mempermudah penyerapan zat besi (91.0%), makanan sumber zat besi dari
pangan hewani (92.3%), vitamin yang paling banyak terdapat dalam buah-buahan
yang asam (94.9%), peran vitamin C (87.2%), cara mencegah anemia (96.2%),
dan cara penanggulangan anemia (79.5%). Poin pertanyaan yang paling sedikit
dijawab benar oleh contoh adalah makanan yang mengambat penyerapan zat besi
(10.3%), nilai kadar Hb normal untuk remaja putri (35.9%), dan penyebab remaja
putri lebih berisiko terkena anemia (34.6%). Berikut adalah tabel kategori tingkat
pengetahuan anemia pada contoh.
16

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan anemia


Jumlah
Kategori
n %
Kurang 12 15.4
Cukup 56 71.8
Baik 10 12.8
Total 78 100
Median (minimum, maksimum) 70 (40, 100)
Skor pengetahuan anemia remaja putri berkisar antara 40-100 dari selang
skor minimum 0 dan skor maksimum 100 dengan nilai median 70. Berdasarkan
Tabel 6,sebagian besar contoh memiliki tingkat pengetahuan anemia yang
cukup(71.8%) dan hanya 12.8% contoh yang memiliki tingkat pengetahuan
anemia baik.Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya upaya dalam
peningkatan pengetahuan tentang anemia pada contoh, karena anemia pada remaja
putri merupakan suatu masalah yang global terutama di negara berkembang dan
dapat berdampak lebih lanjut pada wanita usia subur. Penelitian di SMA
Muhammadiyah 1 Sragen oleh Astuti (2013) juga menunjukkan bahwa sebanyak
66.7% contoh memiliki pengetahuan tentang anemia yang cukup.
Pengetahuan anemia pada remaja dapat diperoleh melalui berbagai sumber
informasi. Sumber informasi tersebut antara lain media elektronik, media cetak,
pelajaran di sekolah, teman sebaya, keluarga, serta fasilitas kesehatan. Penelitian
ini menunjukkan bahwa hampir keseluruhan contoh (92%) pernah mendapatkan
informasi terkait anemia sebelumnya dan sebagian contoh (55.8%) mendapatkan
informasi tentang anemia melalui guru di sekolah pada mata pelajaran Biologi
pada bab sistem peredaran darah.

Sikap tentang Anemia


Menurut Notoatmodjo (2007), sikap atau attitude merupakan respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku. Sikap tentang anemia dikelompokkan menjadi 2 aspek
yaitu pencegahan anemia dan sebab-akibat anemia. Skor rata-rata untuk aspek
pencegahan anemia yaitu 76, sedangkan skor untuk aspek sebab-akibat anemia
yaitu 72, sehingga kedua aspek ini tergolong dalam kategori cukup karena berada
dalam rentang skor 60-80.
Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (62.8%) remaja
putri sangat setuju terhadap pernyataan mengenai keharusan makan makanan
bergizi seimbang bagi setiap orang. Sebagian kecil contoh (37.2%) sangat setuju
jika remaja putri harus mengonsumsi pangan sumber zat besi.Makanan yang
seimbang apabila dikonsumsisetiap hari akan memenuhi kebutuhan gizi tubuh
remaja sehingga akan meminimalkan defisiensi zat gizi terutama zat besi sehingga
dapat mencegah kejadian anemia (Suryani 2015). Selain itu, makanan berfungsi
untuk memelihara kesehatan tubuh dan mengoptimalkan fungsi sel melalui
manfaat zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Brown et al. 2011). Sebanyak
17.9% contoh merasa khawatir jika terkena anemia, 53.8% contoh menyatakan
sangat tidak setuju apabila setelah menemukan gejala anemia maka dibiarkan saja,
serta 30.8% contoh sangat setuju jika anemia dapat berdampak pada timbulnya
masalah kesehatan lainnya. Sebanyak 24.4% contoh sangat tidak setuju jika
17

anemia tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Menurut (Citrakesumasari


2012), anemia pada remaja akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, penurunan daya tahan tubuh, rentan penyakit infeksi, gangguan
konsentrasi belajar, sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajar.
Cara mencegah anemia dapat dilakukan dengan mengonsumsi pangan
sumber zat besi, pangan yang membantu penyerapan zat besi seperti pangan
sumber vitamin C, mengonsumsi suplemen besi atau tablet tambah darah secara
rutin, serta membatasi pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi
(Citrakesumasari 2012). Sebanyak 33.3% contoh sangat setuju jika konsumsi
buah yang kaya vitamin C dapat mencegah kejadian anemia, 6.4% contoh sangat
setuju jika konsumsi TTD dapat mencegah anemia, 14.1% contoh sangat setuju
jika konsumsi sayuran hijau diperlukan untuk mencegah anemia, dan 24.4%
contoh sangat setuju jika membiasakan sarapan pagi dapat mencegah anemia
(Tabel 7). Hal ini sejalan dengan penelitian Dewi (2014) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan kadar Hb yaitu contoh yang
tidak memiliki kebiasaan sarapan berisiko 6 kali lebih besar untuk memiliki kadar
Hb lebih rendah dibandingkan dengan contoh yang memiliki kebiasaan sarapan.
Sebanyak 19.2% sangat setuju jika olahraga teratur dapat mencegah anemia.
Menurut Permaesih et al. (2004), olahraga terutama aerobik dengan intensitas
tertentu akan merangsang kelenjar endokrin menghasilkan hormon yang
diperlukan untuk meningkatkan produksi sel-sel darah merah sehingga akan
meningkatkan kadar hemoglobin. Penelitian menurut Sihombing dan Riyadina
(2009) juga menyebutkan bahwa seseorang yang tidak berolahraga secara teratur
berpeluang menderita anemia dibanding dengan yang berolahraga secara
teratur.Sebaran contoh berdasarkan kemampuan menjawab pernyataan dapat
dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan menjawab pernyataan sikap


anemia dengan benar
Jumlah
No Materi Pertanyaan
n %
Aspek Pencegahan Anemia
1 Konsumsi pangan sumber zat besi bagi remaja putri 29 37.2
2 Makanan bergizi seimbang bagi setiap orang 49 62.8
3 Buah yang mengandung vitamin C untuk mencegah anemia 26 33.3
4 Konsumsi TTD untuk mencegah anemia 5 6.4
5 Sarapan untuk mencegah anemia 19 24.4
6 Perlu tidaknya konsumsi sayuran hijau untuk mencegah anemia 11 14.1
7 Kaitan olahraga teratur dengan pencegahan anemia 19 24.4
8 Kaitan tidur dengan pencegahan anemia 7 9.0
Aspek Sebab-Akibat Anemia
9 Anemia dan kaitan dengan masalah kesehatan lainnya 24 30.8
10 Kekhawatiran terkena anemia 14 17.9
11 Dampak anemia terhadap masa kehamilan 27 34.6
12 Kaitan olahraga dengan anemia 15 19.2
13 Penyebab anemia hanya dari kekurangan zat besi 0 0.0
14 Komplikasi penyakit akibat anemia 6 7.7
15 Tindakan setelah menemukan gejala anemia 42 53.8
18

Kemudian untuk tabel kategori tingkat sikap anemia pada contoh dapat
dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan tingkat sikap anemia


Jumlah
Kategori
n %
Kurang 1 1.3
Cukup 63 80.8
Baik 14 17.9
Total 78 100
Rata-rata±SD 77.4±7.9

Skor sikap anemia remaja putri berkisar antara 55-97 dari selang skor
minimum 0 dan skor maksimum 100 dengan rata-rata skor 77.4±7.9.Tabel 8 diatas
menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (80.8%) memiliki sikap anemia yang
tergolong cukup. Hal ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan edukasi kepada
contoh untuk lebih meningkatkan kesadaran akan pentingnya sikap tentang
anemia yang baik agar dapat mendorong contoh untuk melakukan praktik yang
baik pula, sehingga dapat mencegah anemia. Sementara itu, penelitian Sihotang
dan Febriany (2012) di SMA Negeri 15 Medan juga menunjukkan bahwa
sebanyak 59.6% contoh mempunyai sikap tentang anemia yang cukup dan 40.4%
memiliki sikap tentang anemia yang baik.

Praktik tentang Anemia


Praktik atau tindakan merupakan wujud nyata dari sikap. Stimulus yang
diterima oleh seseorang akan mendorong seseorang untuk melakukan penilaian
terhadap apa yang diterima, kemudian akan melaksanakan atau mempraktikkan
apa yang diketahui atau disikapinya. Praktik tentang anemia dibagi menjadi dua
yaitu praktik anemia kualitatif dan praktik anemia kuantitatif. Praktik anemia
kualitatif dilihat dari kuesioner praktik yang diisi oleh contoh, sedangkan praktik
anemia kuantitatif dilihat dari kebiasaan makan yang didapatkan dari pengisian
food frequency questionnaire. Keseluruhan praktik tentang anemia dalam
kuesioner penelitian ini tergolong dalam aspek pencegahan anemia.
Penelitian ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil contoh (35.9%)
yang pernah melakukan tes darah untuk mengecek kadar hemoglobin (Tabel 9).
Pengecekan Hb paling banyak dilakukan di rumah sakit pada saat yang
bersangkutan jatuh sakit atau tidak dilakukan atas dasar kemauan sendiri.
Pengecekan Hb penting sebagai indikator status anemia. Menurut Kemenkes
(2011), status anemia ditentukan jika kadar Hb <12 g/dL untuk perempuan.
Berdasarkan Pemenkes Nomor 88 Tahun 2014 tentang Standar Tablet
Tambah Darah bagi Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil, pemberian tablet tambah
darah sebanyak 1 (satu) kali seminggu dan 1 (satu) kali sehari selama haid untuk
wanita usia subur (WUS) dalam hal ini termasuk remaja.Pemberian tablet tambah
darah sebagai salah satu upaya penting dalam pencegahan dan penanggulangan
anemia yang merupakan cara yang efektif karena dapat mencegah dan
menanggulangi anemia akibat kekurangan zat besi maupun asam folat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sangat sedikit contoh remaja putri (3.8%) yang
mengonsumsi suplemen atau tablet tambah darah secara rutin satu kali dalam
19

seminggu maupun setiap hari selama haid (Tabel 9). Berdasarkan hasil
wawancara, contoh yang rutin mengonsumsi tablet tambah darah karena
dipengaruhi oleh saudara atau kerabat dari contoh yang bekerja di bidang
kesehatan, sehingga contoh mendapatkan informasi yang lebih banyak terkait
anemia serta mendukung penerapan praktik yang baik pula.
Sayuran hijau dan pangan hewani mengandung zat besi yang dapat
membantu mencegah anemia, sedangkan vitamin C merupakan zat gizi yang
dapat meningkatkan penyerapan zat besi (Citrakesumasari 2012). Hasil penelitian
menunjukkan, sebagian kecil contoh mengonsumsi sayuran hijau (35.9%), pangan
hewani (17%), dan buah-buahan sumber vitamin C (6.41%) setiap hari, namun
sebanyak 94.9% contoh mengonsumsi pangan nabati setiap hari (Tabel 9). Hal ini
karena ketersediaan pangan nabati yang lebih banyak di pondok pesantren
dibandingkan pangan hewani. Sementara itu, hampir keseluruhan contoh tidak
mengonsumsi teh (96.2%) maupun kopi (100%) setelah makan. Hal ini
merupakan penerapan yang baik karena teh dan kopi dapat menghambat
penyerapan zat besi di dalam tubuh karena mengandung zat tanin dan polifenol
(Citrakesumasari 2012).
Selain faktor makanan, faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian
anemia diantaranya lama jam tidur, olahraga teratur, kebiasaan minum air putih,
dan kebiasaan sarapan. Sebanyak 42.3% contoh selalu tidur cukup 6-8 jam setiap
malam, 33.3% contoh berolahraga secara rutin dalam seminggu, hampir separuh
contoh (46.2%) meminum air putih sebanyak 8-10 gelas per hari, dan 52.6%
contoh terbiasa sarapan setiap pagi (Tabel 9). Tidur cukup berfungsi mengelola
tingkat stres yang akan menurunkan risiko mengalami anemia, sedangkan air
putih berfungsi untuk mencegah dehidrasi yang dapat menyebabkan pusing kepala
akibat anemia dan membantu melancarkan fungsi organ tubuh termasuk produksi
sel darah. Sementara itu, untuk olahraga akan merangsang kelenjar endokrin
menghasilkan hormon yang diperlukan untuk meningkatkan produksi sel-sel
darah merah sehingga akan meningkatkan kadar hemoglobin (Permaesih et al.
2004). Sebaran contoh berdasarkan praktik yang benar dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan praktik yang benar
Jumlah
No Materi Pertanyaan
n %
Aspek Pencegahan Anemia
1 Pengecekan kadar Hb 28 35.9
2 Konsumsi tablet/suplemen tambah darah rutin 1x/minggu 3 3.8
3 Konsumsi tablet/suplemen tambah darah rutin setiap hari selama haid 3 3.8
4 Konsumsi sayuran hijau setiap hari 28 35.9
5 Konsumsi pangan hewani setiap hari 13 17.0
6 Konsumsi pangan nabati setiap hari 74 94.9
7 Tidak mengonsumsi teh setelah makan 75 96.2
8 Tidak mengonsumsi kopi setelah makan 78 100
9 Konsumsi buah yang banyak mengandung vitamin C setiap hari 5 6.4
10 Tidur cukup (6-8 jam) setiap malam 33 42.3
11 Selalu berolahraga secara rutin 26 33.3
12 Tidak pernah melewatkan sarapan pagi 41 52.6
13 Tidak pilih-pilih makanan 47 60.3
14 Tidak membeli jajanan tidak sehat 43 55.1
15 Minum cukup air putih (8-10 gelas per hari) 36 46.2
20

Adapun sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat praktik anemia


disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat praktik anemia
Jumlah
Kategori
n %
Kurang 61 78.2
Cukup 17 21.8
Baik 0 0
Total 78 100
Median (minimum, maksimum) 40 (13, 80)

Skor praktik anemia remaja putri berkisar antara 13-80 dari selang skor
minimum 0 dan skor maksimum 100 dengan nilai median 40. Tabel 10 diatas
menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (78.2%) memiliki praktik tentang
anemia yang tergolong kurang. Sementara itu, hanya sebagian kecil contoh
(21.8%) memiliki praktik anemia tergolong cukup, serta tidak ada contoh yang
memiliki praktik anemia yang tergolong baik. Hal ini serupa dengan penelitian
Tashara et al. (2015) di India bahwa sebanyak 58.3% wanita usia subur memiliki
praktik anemia yang kurang baik. Menurut (Notoatmodjo 2005), praktik atau
tindakan merupakan wujud nyata dari sikap. Stimulus yang diterima oleh
seseorang akan mendorong seseorang untuk melakukan penilaian terhadap apa
yang diterima, kemudian akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang
diketahui atau disikapinya. Artinya, praktik tentang anemia pada contoh sangat
perlu ditingkatkan melalui peningkatan akses informasi dan motivasi sebagai
pendorong serta ketersediaan makanan yang lebih bervariasi dari pihak pondok
pesantren.

Konsumsi Pangan

Kebiasaan Makan
Frekuensi makan tergolong dalam kebiasan makan secara umum (Ulfah
dan Latifah 2007). Kebiasaan makan contoh dalam penelitian diukur melalui FFQ
yang terdiri atas 7 golongan pangan dengan pilihan frekuensi makan dalam satu
hari, satu minggu, dan satu bulan terakhir. Kebiasaan makan tergolong dalam
praktik tentang anemia dari segi kuantitatif. Adapun frekuensi konsumsi pangan
contoh selama satu minggu dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Frekuensi konsumsi pangan contoh per minggu


Jenis Pangan Rata-rata frekuensi (minggu)
Kacang-kacangan 14.0 (5.6, 22.7)1
Daging dan olahannya 4.7 (2.2, 8.0)1
Telur 0.9 (0.9, 0.9)1
Ikan 1.4 (0.9, 2.6)1
Sayuran 4.2 (2.7, 7.7)1
Buah-buahan 0.7 (0.2, 1.9)1
Susu 2.8 (0.8, 7.0)1
Keterangan: 1) Median (Minimum, Maksimum)
21

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa frekuensi konsumsi kacang-


kacangan sumber protein nabati seperti tahu dan tempe berada di urutan pertama
sebagai makanan yang paling sering dikonsumsi contoh yaitu dengan frekuensi 14
kali/minggu. Berbeda dengan sumber protein hewani yang berasal dari daging dan
olahannya yang dikonsumsi hanya sebanyak 4.7 kali/minggu. Hal ini karena tahu
dan tempe merupakan makanan yang selalu disediakan pihak pondok pesantren
pada hampir setiap waktu makan utama. Akan tetapi protein nabati memiliki
keunggulan yaitu proporsi lemak tidak jenuh yang lebih banyak serta kandungan
isoflavon yang berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh serta anti kolesterol,
meskipun protein nabati tidak memiliki kualitas protein yang baik seperti protein
hewani. Protein hewani sendiri mempunyai asam amino yang lebih lengkap dan
mempunyai mutu protein, vitamin, dan mineral yang lebih baik, akan tetapi
tergolong pangan tinggi kolesterol dan lemak (Kemenkes 2014). Konsumsi daging
dan olahannya pada contoh penelitian banyak diperoleh dari makanan yang
berasal dari luar pondok pesantren, yaitu kantin sekolah yang menyediakan
makanan olahan dari daging seperti baso, sosis, dan kornet. Menurut Thomson et
al. (2011), semakin rendah asupan protein, maka akan semakin rendah kadar
hemoglobin, karena protein merupakan zat gizi yang berperan dalam proses
transportasi dan penyimpanan zat besi sebelum diserap oleh tubuh.
Selanjutnya, golongan pangan yang paling jarang dikonsumsi diantaranya
buah-buahan (4.2 kali/minggu), telur (0.9 kali/minggu), dan ikan (1.4
kali/minggu). Hal ini karena pihak pondok pesantren memang jarang memberikan
menu tersebut pada setiap waktu makan, terutama buah. Menu yang disajikan
pada setiap waktu makan utama tidak mencakup buah-buahan, akan tetapi hanya
makanan pokok dan lauk pauk saja. Padahal, buah-buahan sangat tinggi
kandungan vitamin seperti vitamin C yang dapat membantu dalam penyerapan zat
besi oleh tubuh sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh tubuh.
Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti
lingkungan budaya, alam, serta populasi. Kebiasaan makan yang dipengaruhi
lingkungan budaya secara umum sulit untuk diubah. Khomsan (2004) menyatakan
bahwa remaja telah mempunyai pilihan sendiri terhadap makanan yang disenangi
sehingga kebiasaan makan telah terbentuk. Kebiasaan atau pola makan yang salah
pada remaja dan pengaruhpergaulan karena ingin langsing dan diet yang ketat
menyebabkan berat badan turun. Hal ini akan berakibat anemia pada remaja
(Balcıet al. 2012). Rekomendasi menurut Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 2014
oleh Kemenkes RI (2014) menyebutkan bahwa anjuran untuk konsumsi aneka
ragam makanan pokok sumber karbohidrat sebanyak 3-4 porsi/hari, lauk pauk
berprotein tinggi 2-4 porsi/hari, sayuran 3-4 porsi/hari, dan buah 2-3 porsi/hari.

Asupan Energi dan Zat Gizi


Konsumsi makanan oleh masyarakat bergantung pada jumlah dan jenis
pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi, dan kebiasaan makan secara
perorangan. Hal ini bergantung pula pada pendapatan, agama, adat kebiasaan dan
pendidikan masyarakat (Almatsier 2009). Makanan berfungsi untuk pertumbuhan
dan permeliharaankesehatan tubuh melalui manfaat zat-zat gizi yang terkandung
di dalamnya (Brown et al. 2011). Peningkatan massa tubuh, massa otot, dan
lemak tubuh yang terjadi selama pubertas berdampak pada peningkatan kebutuhan
energi dan zat gizi lainnya selama remaja. Kebutuhan energi dan zat gizi
22

berhubungan dengan derajat kematangan fisik pada remaja (Brown et al. 2011).
Rata-rata asupan zat gizi contoh dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh
No Zat Gizi AKG (16-18 tahun) Asupan
1 Energi (kkal) 2125 1519±4991)
2 Protein (g) 59 44.9±17.61)
3 Fe (mg) 26 10.74 (2.98, 39.64)2)
4 Vitamin A (mcg) 600 766.46 (45.78, 3432.65)2)
5 Vitamin C (mg) 75 14.71 (0.70, 149.33)2)
6 Vitamin B9 (mcg) 400 91.77±34.471)
7 Vitamin B12 (mcg) 2.4 1.45 (0.00, 9.81)2)
Keterangan: 1) Rata-rata ± SD, 2) Median (Minimum, Maksimum)
Berdasarkan data asupan rata-rata zat gizi contoh yang ditampilkan pada
Tabel 12, menunjukkan bahwa rata-rata asupan untuk energi, protein, Fe, vitamin
C, vitamin B9, dan vitamin B12 masih tergolong kurang atau dibawah anjuran
AKG. Sementara itu untuk asupan vitamin A sudah baik karena sudah sesuai dan
mendekati AKG. Asupan energi yang kurang pada contoh diduga disebabkan oleh
kebiasaan makan bersama-sama dalam satu wadah di pondok pesantren. Menurut
penuturan contoh, dalam satu wadah atau tempat makan, biasanya diperuntukkan
untuk 3-5 orang sehingga ketika pengambilan makan pada saat jam makan pagi,
siang, atau malam contoh langsung mengambil dalam porsi besar. Akan tetapi,
meskipun porsi besar jika dibagi untuk 3-5 orang, pembagian tidak merata dimana
ada contoh yang mendapat porsi nasi banyak maupun porsi nasi sedikit. Hal inilah
yang mempengaruhi asupan energi pada contoh. Selain itu, asupan yang kurang
pada contoh berdasarkan penelitian Masturoh (2012) juga disebabkan karena
faktor kebosanan terhadap menu makanan dan adanya beberapa makanan yang
tidak disukai. Masturoh (2012) menyebutkan bahwa masih cukup banyak contoh
santri Ummul Quro yang hanya mengonsumsi ½ bagian makanan dan ¾ bagian
makanan. Selain itu, karena beberapa contoh cenderung mengambiljumlah/porsi
makanan lebih sedikit dibandingkan dengan yang disediakan dengan alasan ingin
berdiet karena ingin kurus. Remaja putri cenderung sangat mementingkan bentuk
badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan seorang
ahli kesehatan dan gizi (Sediaoetama 2006).
Rata-rata asupan protein, Fe, dan vitamin B12 tergolong kurang dari AKG
yang dianjurkan diduga karena menu lauk hewani yang sangat jarang disajikan di
pondok pesantren. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung
dengan contoh, didapatkan bahwa menu sehari-hari yang disajikan di pondok
pesantren yang paling sering adalah pangan nabati seperti tahu dan tempe. Tahu
dan tempe hampir selalu ada di setiap waktu makan, sedangkan untuk pangan
hewani sangat jarang disajikan, biasanya hanya seminggu sekali saja sehingga
sangat kecil kontribusinya untuk asupan protein, Fe, maupun vitamin B12. Akan
tetapi, sebagian besar contoh mengonsumsi pangan hewani namun berasal dari
pangan olahan seperti baso, kornet, dan sosis.
Rata-rata asupan vitamin C yang kurang pada contoh diduga disebabkan
karena contoh jarang sekali mengonsumsi sayuran dan buah-buahan yang banyak
mengandung vitamin C. Hal ini dapat teramati langsung saat jam makan, tidak ada
pemberian buah oleh pihak pondok pesantren, hanya makanan pokok dan lauk
pauk saja. Sebagian besar contoh juga tidak membeli buah di kantin maupun di
23

luar pesantren. Menurut Khomsan dan Anwar (2009), sayuran hijau dan
buahbuahan yang mengandung vitamin C tinggi sangat baik dikonsumsi karena
dapat meningkatkan absorpsi besi non-heme hingga 4 kali lipat. Vitamin C dan
besi membentuk senyawa kompleks askorbat besi sehingga lebih mudah diserap
oleh usus. Kemudian, untuk asupan vitamin B9 atau asam folat yang kurang
diduga karena contoh sangat jarang mengonsumsi sayuran hijau pada setiap kali
makan utama. Sayuran hijau merupakan makanan yang banyak mengandung asam
folat dan vitamin lainnya (Brown et al. 2011). Hal ini juga teramati secara
langsung saat jam makan, dimana pihak pondok pesantren juga jarang menyajikan
aneka macam sayuran hijau dalam menu makan santrinya. Sebagian besar contoh
hanya mengambil satu macam jenis lauk pauk saja, misalnya tempe, tahu, atau
ayam saja. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penyebab asupan zat gizi
yang kurang dari AKG pada contoh disebabkan oleh menu makanan yang tidak
bervariasi. Berikut ini adalah siklus menu selama satu minggu di Pondok
Pesantren Ummul Quroberdasarkan Masturoh (2012).
Tabel 13 Menu makanan asrama Pondok Pesantren Ummul Quro
Hari Pagi Siang Malam
Senin Nasi Nasi Nasi
Tahu tempe kecap Tahu tauge santan Tempe kacang panjang
Selasa Nasi Nasi Nasi
Bihun goreng Tahu kecap Tempe kecap
Sop Sop
Rabu Nasi Nasi Nasi
Bihun goreng Opor ayam Tempe tauge santan
Kamis Nasi Nasi Nasi
Mie goreng Ikan asin Tahu kecap
Sayur asem Sayur asem
Jumat Nasi Nasi Nasi
Tempe kecap Telur rebus kuah santan Tahu tauge santan
Sabtu Nasi Nasi Nasi
Tahu tempe kecap Tahu kol santan Tahu tempe santan
Minggu Nasi tempe kecap Nasi Nasi
Ikan asin Tahu kecap
Sayur urap Sayur urap

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi


Tingkat kecukupan gizi (TKG) dalam penelitian dibagi menjadi dua yaitu
TKG untuk zat gizi makro energi dan protein, serta TKG untuk zat gizi mikro.
TKG untuk energi dan protein menggunakan ketentuan WNPG (2004) yang
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu kurang jika TKG<80%, baik jika TKG
dalam rentang 80-110%, dan lebih jika TKG >110%. Sementara itu, untuk zat gizi
mikro menggunakan ketentuan Gibson (2005) yang dibedakan menjadi dua
kategori yaitu defisit jika TKG <77% dan cukup jika TKG ≥77%.Tingkat
kecukupan energi dan protein pada contoh dapat dilihat pada Tabel 14.
24

Tabel 14 Tingkat kecukupan energi dan protein


Energi Protein
Kategori
n % n %
Kurang 52 66.7 48 61.5
Baik 22 28.2 21 26.9
Lebih 4 5.1 9 11.5
Total 78 100 78 100
Rata-rata±SD 69.2±25.2 73.3±30.9

Berdasarkan Tabel 14, sebagian besar contoh (66.7%) memiliki tingkat


kecukupan energi yang tergolong kurang, hanya 28.2% contoh yang memiliki
tingkat kecukupan energi baik, serta sangat sedikit contoh (5.1%) yang memiliki
tingkat kecukupan energi lebih. Hal ini diduga disebabkan oleh konsumsi nasi
yang sedikit dan porsi tidak merata karena kebiasaan makan bersama-sama dalam
satu wadah untuk 3-5 orang. Begitu pula dengan protein, sebagian besar contoh
(61.5%) memiliki tingkat kecukupan protein tergolong kurang, hanya sebesar
26.9% contoh memiliki tingkat kecukupan protein yang baik, dan 11.5% contoh
memiliki tingkat kecukupan protein yang lebih. Penyebabnya diduga karena
minimnya konsumsi pangan sumber protein hewani akibat jarang disediakan lauk
berupa pangan hewani oleh pihak pondok pesantren pada setiap waktu makan dan
selebihnya konsumsi pangan hewani berasal dari pangan olahan seperti baso,
sosis, maupun kornet.Hal ini sejalan dengan penelitian menurut Masturoh (2012)
yang juga melakukan penelitian di Pondok Pesantren Ummul Quro, yaitu
didapatkan bahwa 74.7% tingkat kecukupan energi santri tergolong defisit (40.2%
defisit berat, 23.0% defisit sedang, 11.5% defisit ringan), 23% tergolong normal,
dan 2.3% tergolong lebih. Begitu pula dengan protein, 72.3% tingkat kecukupan
protein santri tergolong defisit (35.6% defisit berat, 24.1% defisit sedang, 12.6%
defisit ringan), 18.4% tergolong normal, dan 9.2% tergolong lebih. Adapun
tingkat kecukupan zat gizi mikro contoh ditunjukkan pada Tabel 15.

Tabel 15 Tingkat kecukupan zat gizi mikro


Fe Vit A Vit C Vit B9 Vit B12
Kategori
n % n % n % n % n %
Defisit 66 84.6 23 29.5 74 94.9 78 100 54 69.2
Cukup 12 15.4 55 70.5 4 5.1 0 0 24 30.8
Total 78 100 78 100 78 100 78 100 78 100
Median (Min, 40.9 (9.7, 123.2 (6.2, 19.8 (0.6, 53.8 (0.0,
22.2±9.3
Max) 157.5) 583.8) 200.7) 342.4)

Berdasarkan Tabel 15, sebagian besar contoh (>50%), memiliki tingkat


kecukupan Fe, vitamin C, vitamin B9, dan vitamin B12 yang defisit, sedangkan
sebanyak 70.5% contoh memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong
cukup. Hal ini sejalan dengan penelitian menurut Masturoh (2012) yang
menyatakan bahwa tingkat kecukupan Fe (93.1%) dan vitamin C (100%) pada
santri Pondok Pesantren Ummul Quro tergolong defisit. Keadaan defisit ini
diduga disebabkan karena kurangnya konsumsi pangan sumber protein hewani
sebagai sumber Fe dan vitamin B12, buah-buahan kaya vitamin C, dan sayuran
hijau sumber asam folat (vitamin B9). Faktor konsumsi yang kurang disebabkan
25

oleh keadaan pesantren yang jarang menyajikan makanan yang beragam sehingga
tidak ada pilihan bagi contoh untuk membuat variasi menu saat makan utama.
Selain jam makan utama atau pada saat jam istirahat, sebagian besar contoh
menuturkan bahwa biasanya mereka lebih cenderung untuk membeli makanan
jajanan yang rasanya gurih dan digoreng dibandingkan buah potong.
Hasil tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang defisit pada contoh juga
dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan makanan di Pondok Pesantren Ummul
Quro. Berdasarkan penelitian menurut Masturoh (2012) menyebutkan bahwa
tingkat ketersediaan energi dibandingkan dengan rata-rata kecukupan hanya
sebesar 57.1%, protein 62.1%, Fe 38.4%, vitamin A 15.9%, dan vitamin C 20.4%.
Persen tingkat ketersediaan yang rendah inilah yang dapat menyebabkan asupan
zat gizi yang rendah pula.

Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Anemia

Uji hubungan yang dilakukan diambil pada aspek yang sama antara ketiga
domain. Hal ini mencakup aspek pencegahan anemia pada domain pengetahuan,
sikap, dan praktik serta aspek sebab-akibat anemia pada domain pengetahuan dan
sikap. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearmanuntuk aspek pencegahan anemia,
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
dengan sikap (p= 0.970), pengetahuan dengan praktik (p= 0.187), maupun sikap
dengan praktik (p= 0.348). Kemudian, hasil uji korelasi Spearman untuk aspek
sebab-akibat anemia, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dengan sikap (r= 0.265, p= 0.019). Asumsi dari hasil ini
adalah ketika seseorang mengetahui dengan baik berbagai macam penyebab dan
akibat yang ditimbulkan oleh anemia, maka sikap orang tersebut akan baik pula.
Hasil penelitian ini didukung dengan perolehan informasi yang didapat oleh
contoh diantaranya melalui guru di sekolah dan juga media cetak maupun
elektronik. Hal ini sejalan dengan penelitan Shojaeizadeh (2001) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan anemia
dengan sikap anemia (p= 0.001) pada remaja putri di sekolah menengah Kota
Qasvin, Iran. Amalia (2009) berpendapat tingkat pengetahuan berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar,
pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai obyek tertentu. Tabel 16
menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dan sikap tentang sebab-
akibat anemia.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dan sikap tentang sebab-


akibat anemia
Sikap
Jumlah
Pengetahuan Kurang Cukup Baik
n % n % n % n %
Kurang 9 30.0 21 70.0 0 0.0 30 100.0
Cukup 5 14.7 23 67.6 6 17.6 34 100.0
Baik 1 7.1 11 78.6 2 14.3 14 100.0
Jumlah 15 19.2 55 70.5 8 10.3 78 100.0
26

Hubungan Karakteristik Contoh dengan Perilaku Anemia dan Konsumsi


Pangan

Hubungan Karakteristik Contoh dengan Perilaku Anemia


Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
(p>0.05) antara uang saku dan pendidikan orang tua dengan pengetahuan, sikap,
maupun praktik anemia. Uang saku contoh tidak berhubungan karena pada
dasarnya kondisi lingkungan tempat tinggal dalam hal ini pondok pesantren
sangat menentukan pemilihan makanan pada contoh, sehingga contoh tidak bisa
secara bebas menentukan makanan yang akan dikonsumsi setiap hari. Pendidikan
orang tua tidak berhubungan karena contoh tidak berada dalam satu atap dengan
orang tua sehingga meskipun tingkat pendidikan orang tua contoh tinggi, namun
tidak bisa menerapkan atau memberikan ilmu kepada contoh karena tidak
terpantau dan tidak mendapatkan akses penggunaan handphone/gadget.Hal ini
tidak sejalan dengan Amalia (2009) yang menyebutkan bahwa semakin baik
tingkat pendidikan formal, maka semakin baik pula pengetahuan tentang
kesehatan. Hal ini juga bertentangan dengan hasil penelitian Tashara et al. (2015)
yang menyatakan bahwa pengetahuan anemia semakin meningkat seiring dengan
peningkatan level pendidikan. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh
dan pengetahuan tentang anemia dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan pengetahuan tentang


anemia
Pengetahuan
Jumlah
Variabel Kurang Cukup Baik
n % n % n % n %
Uang Saku
Kurang 9 15.8 39 68.4 9 15.8 57 100.0
Sedang 1 8.3 10 83.3 1 8.3 12 100.0
Besar 2 22.2 7 77.8 0 0.0 9 100.0
Jumlah 12 15.4 56 71.8 10 12.8 78 100.0
Pendidikan Orang tua
SD dan sederajat 0 0.0 8 88.9 1 11.1 9 100.0
SMP dan sederajat 3 42.9 3 42.9 1 14.3 7 100.0
SMA dan sederajat 4 11.1 27 75.0 5 13.9 36 100.0
Perguruan tinggi 5 19.2 18 69.2 3 11.5 26 100.0
Jumlah 12 15.4 56 71.8 10 12.8 78 100.0
Pendapatan Orang tua
Rendah 2 14.3 10 71.4 2 14.3 14 100.0
Sedang 3 16.7 13 72.2 2 11.1 18 100.0
Tinggi 1 4.8 18 85.7 2 9.5 21 100.0
Sangat tinggi 6 24.0 15 60.0 4 16.0 25 100.0
Jumlah 12 15.4 56 71.8 10 12.8 78 100.0

Akan tetapi, pendapatan orang tua memiliki hubungan yang signifikan


dengan sikap anemia (r=0.291, p=0.01).Hal ini diduga karena jika tingkat
pendapatan orang tua tinggi maka secara teoritis tingkat pendidikannya juga
tinggi. Tingkat pendidikan tinggi menunjukkan pola asuh orang tua yang lebih
baik dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah. Pola asuh yang baik akan
27

mendorong pembentukan sikap yang baik pula karena sudah tertanam sejak
kecil.Hal ini sejalan dengan Amalia (2009) bahwa tingkat pendapatan sangat
berpengaruh terhadap perubahan sikap seseorang. Hubungan karakteristik contoh
dengan perilaku anemia dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Hubungan karakteristik contoh dengan perilaku anemia


Pengetahuan Sikap Praktik
Variabel
r p r p r p
Uang saku -0.119 0.299 0.122 0.287 0.025 0.827
Pendidikan orang tua -0.096 0.405 0.088 0444 0.191 0.093
Pendapatan orang tua -0.067 0.557 0.291 0.010* 0.129 0.261
Keterangan: r = koefisien korelasi ; p = signifikasi; * = ada hubungan yang signifikan

Hubungan Karakteristik Contoh dengan Asupan, Frekuensi Konsumsi


Pangan, dan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara karakteristik contoh seperti uang saku, aktivitas
fisik, pendidikan orang tua, dan pendapatan orang tua dengan asupan maupun
tingkat kecukupan gizi pada contoh (p>0.05). Uang saku tidak berhubungan
dengan asupan maupun tingkat kecukupan gizitidak sejalan dengan Prasetyowati
(2014) yang menyebutkan bahwa uang saku merupakan faktor yang
mempengaruhi pemilihan makanan dengan cara meningkatkan daya beli sehingga
semakin tinggi pula konsumsinya.Octavia (2015) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara status sosial ekonomi orang tua seperti pendidikan dan
pendapatan orang tua dengan perilaku konsumtif remaja. Penyebab dari tidak
adanya hubungan yang signifikan ini karena kondisi pesantren yang sepenuhnya
menentukan makanan yang dikonsumsi oleh contoh dan kebiasaan makan contoh
yang selalu memakan makanan bersama-sama dengan teman yang lain sehingga
distribusi makanan menjadi tidak merata serta tidak terdapat akses yang memadai
untuk contoh membeli makanan sehat di luar pondok pesantren.
Selanjutnya, tidak adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan asupan
maupun tingkat kecukupan gizi diduga karena aktivitas fisik yang dilakukan serta
konsumsi pangan pada keseluruhan contoh relatif sama dan terjadwal setiap
harinya. Sehingga, meskipun contoh tergolong aktif, namun tidak bisa menjamin
bahwa contoh akan menambah konsumsi pangan yang akan meningkatkan asupan
zat gizi harian. Hal ini tidak sejalan dengan Amalia (2008) yang menyebutkan
bahwa umumnya semakin aktif seseorang secara fisik maka akan semakin baik
pula nafsu makannya karena aktivitas fisik akan meningkatkan kebutuhan
terhadap energi tubuh. Konsumsi pangan yang mencukupi sangat dibutuhkan oleh
tubuh untuk dapat melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh serta aktivitas
(Amalia 2008). Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh dan tingkat
kecukupan energi, protein, dan Fedapat dilihat pada Tabel 19, 20, dan 21.
28

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan tingkat kecukupan energi


Tingkat Kecukupan Energi
Jumlah
Variabel Kurang Baik Lebih
n % n % n % n %
Uang Saku
Kurang 37 64.9 17 29.8 3 5.3 57 100.0
Sedang 9 75.0 2 16.7 1 8.3 12 100.0
Besar 6 66.7 3 33.3 0 0.0 9 100.0
Jumlah 52 66.7 22 28.2 4 5.1 78 100.0
Aktivitas Fisik
Ringan 50 67.6 20 27.0 4 5.4 74 100.0
Sedang 2 50.0 2 50.0 0 0.0 4 100.0
Berat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 100.0
Jumlah 52 66.7 22 28.2 4 5.1 78 100.0
Pendidikan Orang tua
SD dan sederajat 8 88.9 1 11.1 0 0.0 9 100.0
SMP dan sederajat 5 71.4 1 14.3 1 14.3 7 100.0
SMA dan sederajat 27 75.0 8 22.8 1 2.8 36 100.0
Perguruan tinggi 12 46.1 12 46.1 2 7.7 26 100.0
Jumlah 52 66.7 22 28.2 4 5.1 78 100.0
Pendapatan Orang tua
Rendah 10 71.4 3 21.4 1 7.1 14 100.0
Sedang 12 66.7 6 33.3 0 0.0 18 100.0
Tinggi 16 76.2 5 23.8 0 0.0 21 100.0
Sangat tinggi 14 56.0 8 32.0 3 12.0 25 100.0
Jumlah 52 66.7 22 28.2 4 5.1 78 100.0

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan tingkat kecukupan protein


Tingkat Kecukupan Protein
Jumlah
Variabel Kurang Baik Lebih
n % n % n % n %
Uang Saku
Kurang 31 54.4 19 33.3 7 12.3 57 100.0
Sedang 9 75.0 2 16.7 1 8.3 12 100.0
Besar 8 88.9 0 0.0 1 11.1 9 100.0
Jumlah 48 61.5 21 26.9 9 11.5 78 100.0
Aktivitas Fisik
Ringan 46 62.2 19 25.7 9 12.2 74 100.0
Sedang 2 50.0 2 50.0 0 0.0 4 100.0
Berat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 100.0
Jumlah 48 61.5 21 26.9 9 11.5 78 100.0
Pendidikan Orang tua
SD dan sederajat 7 77.8 1 11.1 1 11.1 9 100.0
SMP dan sederajat 3 42.9 3 42.9 1 14.3 7 100.0
SMA dan sederajat 27 75.0 7 19.4 2 5.6 36 100.0
Perguruan tinggi 11 42.3 10 38.5 5 19.2 26 100.0
Jumlah 48 61.5 21 26.9 9 11.5 78 100.0
Pendapatan Orang tua
Rendah 10 71.4 2 14.3 2 14.3 14 100.0
Sedang 11 61.1 7 38.9 0 0.0 18 100.0
Tinggi 13 61.9 6 28.6 2 9.5 21 100.0
Sangat tinggi 14 56.0 6 24.0 5 20.0 25 100.0
Jumlah 48 61.5 21 26.9 9 11.5 78 100.0
29

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan tingkat kecukupan Fe


Tingkat Kecukupan Fe Jumlah
Variabel Defisit Cukup
n % n % n %
Uang Saku
Kurang 47 82.5 10 17.5 57 100.0
Sedang 11 91.7 1 8.3 12 100.0
Besar 8 88.9 1 11.1 9 100.0
Jumlah 66 84.6 12 15.4 78 100.0
Aktivitas Fisik
Ringan 62 83.8 12 16.2 74 100.0
Sedang 4 100.0 0 0.0 4 100.0
Berat 0 0.0 0 0.0 0 100.0
Jumlah 66 84.6 12 15.4 78 100.0
Pendidikan Orang tua
SD dan sederajat 8 88.9 1 11.1 9 100.0
SMP dan sederajat 5 71.4 2 28.6 7 100.0
SMA dan sederajat 34 94.4 2 5.6 36 100.0
Perguruan tinggi 19 73.1 7 26.9 26 100.0
Jumlah 66 84.6 12 15.4 78 100.0
Pendapatan Orang tua
Rendah 12 85.7 2 14.3 14 100.0
Sedang 16 88.9 2 11.1 18 100.0
Tinggi 18 85.7 3 14.3 21 100.0
Sangat tinggi 20 80.0 5 20.0 25 100.0
Jumlah 66 84.6 12 15.4 78 100.0

Sementara itu, terdapat hubungan yang signifikan namun berbanding


terbalik antara pendidikan orang tua dengan frekuensi minum susu(r= -0.223,
p=0.049). Hal ini tidak sejalan dengan Octavia (2015) yang menyebutkan
bahwatingkat pendidikan orang tua yang tinggi, berkaitan dengan pengetahuan
gizi yang lebih baik sehingga mendorong terbentuknya perilaku makan yang sehat
seperti mengonsumsi susu.Penyebab dari hal ini diduga karena contoh tinggal
menetap di pondok pesantren, tidak di rumah sendiri, sehingga meskipun tingkat
pendidikan orang tua tinggi, tidak menjamin contoh rajin minum susu karena
tidak adanya pengawasan langsung dari orang tua.
Kemudian, terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan orang tua
dengan frekuensi minum susu (r= 0.279, p = 0.013). Hal ini sejalan dengan
Octavia (2015) yang menyatakan bahwa pendapatan per kapita masyarakat
berpengaruh positif terhadap konsumsi susu. Daya beli akan meningkat seiring
dengan peningkatan pendapatan perkapita. Daya beli yang semakin besar akan
mengubah pemilihan makanan masyarakat ke produk pangan berkalori lebih
tinggi seperti produk susu olahan.

Hubungan Perilaku Anemia dengan Konsumsi Pangan

Perilaku Anemia dengan Asupan Energi dan Zat Gizi


Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara perilaku anemia yang terdiri atas pengetahuan, sikap, dan
praktik dengan asupan zat gizi (p>0.05). Hal ini tidak sejalan dengan Putri et al.
30

(2013) yang menyatakan bahwa pengetahuan anemia yang baik pada remaja putri
di Ponpes Asy-Syarifah Kabupaten Demak diikuti dengan asupan protein yang
baik. Kemudian untuk asupan zat besi, sejalan dengan Putri et al. (2013) yang
menyatakan bahwa pengetahuan anemia santri putri yang baik tidak berpengaruh
terhadap asupan zat besi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan remaja
putri tersebut diantaranya adalah movitasi karena adanya kebutuhan dan
keinginan, ketersediaan bahan makanan, dan keterbatasan uang saku.

Perilaku Anemia dengan Frekuensi Konsumsi Pangan


Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan anemia dengan frekuensi makan buah (r= 0.248,
p=0.029).Hal ini sejalan dengan Amalia (2009) bahwa pengetahuan mempunyai
peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini
akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi.Kemudian, terdapat hubungan yang signifikan antara sikap anemia
dengan frekuensi minum susu (r= 0.225, p= 0.047)Terakhir, terdapat hubungan
yang signifikan antara praktik anemia dengan frekuensi makan kacang-kacangan
(r=0.310, p=0.006). Kacang-kacangan dan susu merupakan sumber vitamin yang
penting untuk pencegahan anemia seperti vitamin B12 untuk produksi sel darah
merah. Hal ini juga sejalan dengan Irawati et al. (1992) dalam Amalia (2009)
yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang berpengaruh terhadap
sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan
berpengaruh padakeadaan gizi individu yang bersangkutan.

Perilaku Anemia dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi


Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan (p>0.05) antara pengetahuan, sikap, dan praktik anemia terhadap
tingkat kecukupan zat gizi contoh. Hal ini tidak sejalan dengan Ngatu dan
Rochmawati (2014) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan tentang anemia pada remaja dengan pemenuhan zat besi pada siswi
SMKN 4 Yogyakarta.Hasil penelitian menurut Puspita (2013) juga menyebutkan
bahwa praktikgizi memilikihubungan yang nyata dan sangat signifikan dengan
tingkat kecukupan zat besi (p<0.01). Penyebab dari tidak adanya hubungan yang
signifikan ini karena kondisi pesantren yang sepenuhnya menentukan makanan
yang dikonsumsi oleh contoh dan kebiasaan makan contoh yang selalu memakan
makanan bersama-sama dengan teman yang lain sehingga distribusi makanan
menjadi tidak merata serta tidak terdapat akses yang memadai untuk contoh
membeli makanan sehat di luar pondok pesantren
31

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pengetahuan dan sikap anemia pada sebagian besar contoh tergolong


cukup, sedangkan praktik anemia tergolong kurang. Terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dan sikap tentang anemia pada aspek sebab-akibat
anemia (r= 0.265, p= 0.019). Sebaran aktivitas fisik pada sebagian besar contoh
tergolong aktivitas fisik ringan dengan nilai PAL 1.52±0.1. Tingkat kecukupan zat
gizi pada contoh berdasarkan AKG rata-rata masih tergolong defisit kecuali
vitamin A. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara perilaku
anemia dengan konsumsi dan tingkat kecukupan gizi pada contoh. Sementara itu,
terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan anemia dengan
kebiasaan makan buah, sikap anemia dan kebiasaan minum susu, dan praktik
anemia dengan kebiasaan makan kacang-kacangan.

Saran

Masalah anemia gizi yang relatif sering terjadi pada remaja putri dapat
diminimalisir dengan cara meningkatkan kesadaran diri atas pentingnya
penerapan perilaku kesehatan terkait anemia gizi. Hendaknya santri sebagai
remaja putri dapat menjalankan dengan baik ketiga komponen perilaku tentang
anemia yang meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik. Hal ini dapat didukung
oleh pemberian informasi yang berasal dari lingkungan sekitar baik dari keluarga,
sekolah, teman sebaya, maupun fasilitas kesehatan dengan mengadakan
penyuluhan kesehatan terkait anemia oleh pihak pengurus pondok
pesantren.Selanjutnya, disarankan untuk pihak pengurus pondok pesantren agar
lebih memperhatikan lagi manajemen sistem pelayanan makanan yang disajikan
untuk seluruh santri, hendaknya lebih memperhatikan porsi makan dan variasi
makanan terutama lauk pauk sesuai dengan anjuran Pedoman Gizi Seimbang
(PGS) agar lebih beragam dan dapat memenuhi kecukupan gizi para santri.
32

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Andarwulan N, Madanijah S, Zulaikhah. 2009. Monitoring dan verifikasi profil
keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) nasional tahun 2008 [laporan
penelitian]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Amalia F. 2008. Konsumsi pangan, pengetahuan gizi, aktivitas fisik danstatus gizi
pada remaja di Kota Sungai Penuh KabupatenKerinci Propinsi Jambi
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Amalia I. 2009. Hubungan antara pendidikan, pendapatan dan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) pada pedagang hidangan istimewa kampung (HIK)
di Pasar Kliwon dan Jebres Kota Surakarta [skripsi]. Surakata (ID):
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Astuti MP. 2013. Tingkat pengetahuan remaja putri tentang anemia pada siswi
kelas XI di SMA Muhammadiyah1 Sragen Tahun 2013 [skripsi]. Surakarta
(ID): STIKES Kusuma Husada.
Balcı YS, Aysun K, Dolunay G, Ibrahim EC. 2012. Prevalence and risk factors of
anemia among adolescents in Denizli, Turkey. Iran J Pediatr.22(1): 77-81.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Pendapatan rumah tangga [internet]. [diunduh
21 Oktober 2016]. Tersedia pada: http://sirusa.bps.go.id.
Brown JE, Isaacs JS, Lechtenberg E, Murtaugh MA, Sharbaugh C, Splett PL,
Stang J. Wooldridge NH. 2011. Nutrition Through The Life Cycle. USA
(US): Wadsworth Cengage Learning.
Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi, Masalah, dan Pencegahannya. Yogyakarta
(ID): Kalika.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pemantauan
Status Gizi Edisi 3. Jakarta (ID): EGC.
Denistikasari R. 2016. Hubungan antara asupan protein, zat besi (Fe) dan vitamin
C dengan kejadian anemia pada siswi SMK Penerbangan Bina Dhirgantara
Karanganyar [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Dewi AN. 2014. Hubungan kebiasaan sarapan dengan kadar hemoglobin pada
remaja putri [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Dixit S, Kant S, Agarwal GG. 2011. A community based study on prevalence of
anemia among adolescent girls and its association with iron intake and their
correlates. Indian J. Prev. Soc. Med. 42(4): 393-398.
FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energy Requirement, Report of a Joint
FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Rome 17-24 October.
Fitriana B. 2015. Pengaruh usia, pendidikan, pendapatan, faktor sosial, budaya,
pribadi, dan motivasi terhadap persepsi konsumsi pangan pokok dan non
33

beras di wilayah di Jakarta Barat [skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif


Hidayatullah.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment 2nd edition. USA (US):
Oxford University Press.
Halterman JS, Kaczorowski JM, Aligne CA, Auinger P, Szilagyi PG. 2008. Iron
deficiency and cognitive achievement among school aged children and
adolescents in the United States. Official Journal of The Americans of
Pediatrics. (107): 1381-1386.
Hardinsyah, Briawan D. 1994. Diktat Penilaian Dan Perencanaan Konsumsi
Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta (ID): Kemenkes RI.
__________. 2014. Keluarga Sehat Idamanku Kota Sehat Kotaku. Jakarta (ID):
Kemenkes RI.
__________. 2014. Pedoman gizi seimbang 2014 [internet]. [diunduh 2017 Mei
11]. Tersedia pada: http://gizi.depkes.go.id/pgs-2014-2.
Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi [diktat]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
_________. 2004. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta (ID): Raja Grafindo
Persada.
Khomsan, A dan Anwar, F. 2009. Makan Tepat BadanSehat. Jakarta (ID):
Hikmah.
Khumaidi. 2009. Faktor Yang Melatarbelakangi Anemia. Jakarta (ID): PT Rineka
Cipta.
Kurniati, Thaha AR, Jafar N. 2013. Hubungan asupan zat gizi dengan kejadian
anemia pada wanita prakonsepsi di Kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan
Biringkanaya Kota Makassar. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Lingga M. 2011. Studi tentang pengetahuan gizi, kebiasaan makan,aktivitas fisik,
status gizi dan bodyimageremajaputri yang berstatus gizi normal dan
gemuk/obes diSMA Budi Mulia Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Masturoh S. 2012. Hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan statuskesehatan
terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern diKabupaten
Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ngatu E. Rochmawati L. 2014. Hubungan pengetahuan tentang anemia pada
remaja dengan pemenuhan kebutuhan zat besi pada siswi SMKN 4
Yogyakarta. Yogyakarta (ID): STIKES Yogyakarta.
Notoatmodjo S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka
Cipta.
____________. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID):
Rineka Cipta.
34

____________. 2007. Perilaku Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta (ID):


Rineka Cipta.
____________. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Octavia SA. 2015. Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap perilaku konsumsi
susu pada remaja. Majority. 4(8):89-92.
Permaesih D, Rosmalina T, Herman S, Moeloek D. 2004. Pengaruh olahraga
aerobik dan pemberian pil besi terhadap status besi dan tingkat kesegaran
jasmani remaja.
Permaesih D, Herman S. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada
remaja. Buletin Penelitian Kesehatan. 33 (4): 162-171.
Prasetyowati AT. 2014. Hubungan antara pemberian uang saku dan pengetahuan
terhadap frekuensi konsumsi bakso tusuk mengandung boraks di SDN
Panggang. Yogyakarta (ID): Akademi Analis Kesehatan Manggala.
Purwitaningtyas KD. 2011. Hubungan asupan zat gizi dan pola menstruasi dengan
kejadian anemia pada remaja putri di SMA N 2 Semarang [artikel penelitian].
Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Puspita Y. 2013. Hubungan pengetahuan, sikap, dan praktek gizi pada ibu hamil
di Desa Cikeas Kecamatan Sukaraja Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Putri RA, Syamsianah A, Mufnaetty. 2013. Hubungan pengetahuan tentang
anemia gizi besi dengan tingkatkonsumsi protein dan zat besi pada remaja
putri di Ponpes Asy-Syarifah Desa Brumbung Kabupaten Demak. Jurnal Gizi
Universitas Muhammadiyah Semarang. 2(2): 21-29.
Ramzi M, Haghpanah S, Malekmakan L, Cohan N, Baseri A, Alamdari A, Zare
N. 2011. Anemia and iron deficiency in adolescent school girls in Kavar
Urban Area, Southern Iran. Iranian Red Crescent Medical Journal.13 (2):
128-133.
Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri [diktat]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rusmawati D. 2013. Determinan status anemia, aktivitas fisik dan prestasi belajar
siswa di SDN Pasanggrahan II Purwakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta
(ID):Dian Rakyat.
_____________ 2008. Ilmu Gizi Untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta (ID):
Dian Rakyat.
Shojaeizadeh D. 2001. A study on knowledge, attitude and practice of secondary
school girls in Qazvin on iron deficiency anemia. Iranian J. Publ. Health. 30
(1): 53-57.
Sihombing M, Riyadina W. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
anemia pada pekerja di kawasan industri Pulo Gadung Jakarta. Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 19(3):116-124.
35

Sihotang SD, Febriany N. 2012.Pengetahuan dan sikap remaja puteri tentang


anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan. Medan (ID): Universitas
Sumatera Utara.
Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo (ID):
DabaraPublisher.
Soetjiningsih. 2007. Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta (ID): Sagung Ceto.
Suryani D, Hafiani R, Junita R. 2015. Analisis pola makan dan anemia gizi besi
pada remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas.
10(1): 11-18.
Tashara IF, Achen RK, Quadras R, D’Souza MV, D’Souza PJJ, Sankar A. 2015.
Knowledge and self-reported practices on prevention of iron deficiency
anemia among women of reproductive age in rural area. International Journal
of Advances in Scientific Research. 1(7): 289-292.
Thomson CA, Stanaway JD, Neuhosel LM, Snetselar LG, Stefanick ML, Andrell
L, Chen Z. 2011. Nutrient intake and anemia riskin the women’s health.
Cancer Prev Res.4 (4): 522-529.
Ulfah M, Latifah M. 2007. Hubungan pola asuh makan, pengetahuan gizi,
persepsi, dengan kebiasaan makan sayuran ibu rumah tangga di perkotaan dan
pedesaan Bogor.Media Gizi dan Keluarga. 31 (1): 30-41.
Welis W, Sazeli RF. 2013. Gizi untuk Aktivitas Fisik dan Kebugaran. Padang
(ID): Sukabina Press.
[WHO] World Heatlh Organization. 2010. Global Recommendations on Physical
Activity for Health. Geneva.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.Jakarta (ID): Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Yamin T. 2012. Hubungan pengetahuan, asupan gizi, dan faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMA Kabupaten
Kepulauan Selayar Tahun 2012 [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
36

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pekalongan pada tanggal 02 Juni 1995. Penulis adalah


putri dari pasangan Amat Muhidin dan Nunung Lestari. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan pada tahun 2000 pada
Taman Kanak-kanak Kusuma Bangsa 01 di Pekalongan dan lulus pada tahun
2001. Tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikannya di SD Negeri Kandang
Panjang 01 Pekalongan dan lulus pada tahun 2007. Selanjutnya penulis
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Pekalongan dan lulus pada tahun 2010.
Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Pekalongan jurusan
IPA dan lulus pada tahun 2013.
Tahun 2013, penulis diterima di program Sarjana Institut Pertanian Bogor,
pada jurusan Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Penulis pernah menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 2 bulan di Desa
Degayu, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan dan Praktek Kerja
Lapang (PKL) selama 5 minggu dimulai dari tanggal 24 Oktober 2016 sampai
dengan 25 November 2016 di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.
Selama kuliah di jurusan Ilmu Gizi, penulis pernah menjadi asisten
praktikum untuk mata kuliah Ilmu Gizi Dasar, Biologi, Ilmu Bahan Makanan,
Analisis Zat Gizi Makro. Selain itu, penulis pernah mengikuti organisasi yaitu
Divisi Gizi Kesehatan SAMISAENA BEM FEMA 2016 Kabinet Arjuna, Majalah
Pangan dan Gizi EMULSI IPB, Ikatan Mahasiswa Pekalongan-Batang
(IMAPEKA) IPB, Forum For Scientific Studies (FORCES) IPB. Penulis juga
terlibat dalam kepanitiaan Pekan Inovasi Mahasiswa Pertanian Indonesia (PIMPI)
dari tahun 2013 sampai dengan 2015. Penulis pernah menerima penghargaan
diantaranya Juara 3 Lomba Esai “Surat Untuk Muslimah” DKM Al-Hurriyah IPB
pada tahun 2013, Juara Favorit Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional (LKTIN)
PRISMA4, Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 2014, Juara 3 Thiamin
Essay Competition Nutrition Fair 2015 di Institut Pertanian Bogor, penerima
hibah PKM GT Tahun 2015, dan PKM-K didanai Kemenristek Dikti tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai