ABSTRAK
Kata kunci: DEBQ, emotional eating, external eating, restricted eating, remaja
ABSTRACT
deficit. The average score of the subject's eating behavior was higher in the
external eating aspect (3.30 ± 0.56). The average subject has a grade point (IP) of
3.38 ± 0.38. Corelation test results showed a positive corelation of protein and
iron intake with external eating behavior (p <0.1) and a positive corelation
between iron intake and anemia (p <0.05). Corelation test showed a significant
negative corelation between external eating with BMI (p <0.05), and a significant
positive corelation with restrained eating with BMI (p <0.05). There is a positive
corelation between emotional eating and hemoglobin levels (p <0.05).
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
Dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang
dipilih adalah mengenai eating behaviour dan anemia dengan judul “Analisis
Eating Behaviour, Konsumsi Pangan, Kadar Hemoglobin dan Prestasi Akademik
pada Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi IPB”. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS dan Reisi Nurdiani, SP MSi selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran, dan arahan
sejak awal penyusunan hingga terselesaikannya karya ilmiah ini.
2. Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi; Hana Fitria Navratilova, SGz MSc; dr
Naufal Muharam Nurdin, SKed; dan dr Karina Rahmadia Ekawidyani,
MGizi atas bimbingan dan arahan selama penelitian.
3. Keluaga terkasih, yaitu Obar (alm) dan Ai Satriani (ibu), serta kakak (Fikri)
dan adik (tsalisa) penulis atas dukungan, doa, dan kesabaran yang tiada
hentinya.
4. Dinar Kuntari, Khodijah, dan Bonita Ratnasari yang selalu setia membantu
dan memberi semangat baru pada penulis hingga penelitian selesai.
5. Windi Ayu Triwardani dan Gusreviani Lisa yang telah memberikan
semangan dan bantuan selama penyelesaian karya ilmiah.
6. Teman-teman Gizi Masyarakat IPB angkatan 51 atas bantuan dan
dukungannya selama penulis menyelesaikan perkuliahan di Departemen
Gizi Masyarakat IPB.
7. Seluruh teman-temen Gizi masyarakat angkatan 52, 53, dan 54 yang telah
bersedia menjadi subjek penelitian ini dan telah memberia semangat dan
dukungan pada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam pembuatan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
terutama bagi bidang gizi masyarakat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 3
Manfaat Penelitian 3
KERANGKA PEMIKIRAN 4
METODE 6
Desain, Tempat, dan Waktu Penelian 6
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek 6
Jenis dan Cara Pengambilan Data 7
Pengolahan dan Analisis Data 8
Definisi Operasional 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Karakteristik Subjek 12
Karakteristik Keluarga 14
Status Gizi 17
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi 18
Perilaku Makan 22
Kejadian Anemia 26
Prestasi Akademik 27
Hubungan Perilaku Makan dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat 28
Gizi
Hubungan Perilaku Makan dengan Status Gizi 30
Hubungan Perilaku Makan dengan Kadar Hemoglobin 31
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Kadar 33
Hemoglobin
Hubungan Prestasi Akademik dengan Tingkat Kecukupan Energi dan 36
Zat Gizi
Hubungan Prestasi Akademik dengan Status Gizi 37
Hubungan Prestasi Akademik dengan Kadar Hemoglobin 38
SIMPULAN DAN SARAN 39
Simpulan 39
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 40
LAMPIRAN 47
x
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
aspek perilaku makan, yaitu emotional eating, external eating, dan restrained
eating.
Periode remaja merupakan periode pertumbuhan yang cepat dan akan
menimbulkan konsekuensi terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi untuk
mengimbangi pertumbuhan yang cepat tersebut. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi intake seseorang adalah perilaku makan. Perilaku makan yang
tidak baik seperti membatasi makan dan makan berlebihan akibat emosi negatif
atau rangsangan makanan akan berdampak pada masalah gizi seperti obesitas,
atau defisiensi zat gizi. Masalah gizi yang dialami oleh remaja akan berakibat
terhadap status gizi yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas
(Indartanti 2014).
Salah satu masalah gizi yang dapat dialami oleh remaja adalah defisiensi
zat besi (Arisman 2010). Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro
yang paling umum terjadi di dunia dan merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi (Khaedr et al. 2008). Tingkatan paling parah dari
defisiensi zat besi disebut dengan anemia, yaitu penurunan kuantitas sel darah
merah dalam sirkulasi atau jumlah hemoglobin berada di bawah batas normal.
Laki-laki berusia lebih dari 15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hb di
bawah 13.0 g/dL dan wanita usia subur 15-49 tahun mengalami anemia bila kadar
Hb di bawah 12.0 g/dL (Kemenkes 2013).
Prevalensi anemia di dunia antara tahun 1993 sampai dengan tahun 2005
adalah sebanyak 24.8% dari total penduduk di dunia (WHO 2008). Prevalensi
anemia di negara berkembang dilaporkan empat kali lebih tinggi daripada di
negara maju (WHO 2004). Prevalensi anemia secara nasional menurut Riskesdas
pada tahun 2013 pada kelompok umur 15-24 tahun adalah sebanyak 18.4 %,
sedangkan pada tahun 2007 adalah sebanyak 6.9 % dari seluruh penduduk
Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa prevalensi anemia di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Kekurangan zat besi yang dialami oleh kelompok remaja merupakan
faktor signifikan yang dapat memengaruhi kecerdasan (Khedr et al. 2008).
Penelitian menunjukkan bahwa anemia yang dialami oleh usia remaja dapat
menyebabkan penurunan kemampuan akademik remaja (Felt et al. 2006),
sedangkan Halterman et al. (2001) menyatakan bahwa defisiensi zat besi dapat
memengaruhi kinerja akademik seseorang. Penelitian terdahulu pada hewan dan
manusia menujukkan bahwa kekurangan zat besi bukan hanya berakibat pada
terjadinya anemia, namun juga pada kemampuan gerak motorik, perkembangan
mental, kognitif dan fungsi tingkah laku (Felt et al.2006).
Penelitian Apriani (2016) menunjukkan bahwa praktik gizi mahasiswa
ilmu gizi masih tergolong sedang. Praktik gizi yang terkait seperti konsumsi air
putih, mencuci tangan, melakukan aktivitas fisik, konsumsi makanan beragam,
konsumsi sayuran, buah-buahan, lauk hewani dan nabati, minum susu, dan fast
food. Selain itu, penelitian Lestari (2017) pada mahasiswa ilmu gizi menunjukkan
bahwa konsumsi rata-rata mahasiswa belum sesuai dengan jumlah yang
dianjurkan oleh pedoman Gizi Seimbang (PGS). Berdasarkan uraian diatas,
penulis tertarik untuk meneliti analisis perilaku makan, konsumsi pangan, kadar
hemoglobin, dan prestasi akademik mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan
antara perilaku makan, konsumsi pangan, kadar hemoglobin, status gizi dan
prestasi akademik mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi karakteristik mahasiswa dan keadaan sosial ekonomi
keluarga mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
2. Mengidentifikasi perilaku makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi,
kadar hemoglobin, status gizi dan indeks prestasi mahasiswa program
studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
3. Menganalisis perbedaan perilaku makan, tingkat kecukupan energi dan zat
gizi, kadar hemoglobin, status gizi, dan prestasi akademik antara
mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB tingkat I, tingkat II, dan
tingkat III.
4. Menganalisis hubungan antara perilaku makan dengan tingkat kecukupan
energi dan zat gizi, status gizi, dan kadar hemoglobin mahasiswa program
studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi,
status gizi, dan kadar hemoglobin dengan prestasi akademik mahasiswa
program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
Hipotesis
Manfaat Penelitian
mahasiswa mengenai pentingnya fungsi zat gizi bagi tubuh manusia sehingga
diharapkan mahaiswa mampu mengatur konsumsi makannya.
KERANGKA PEMIKIRAN
Karakteristik subjek meliputi umur dan uang saku dapat secara langsung
memengaruhi konsumsi pangan baik dalam jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi. Uang saku dan alokasi uang saku terhadap pangan subjek dapat
berpengaruh pada daya beli subjek, sehingga uang saku berhubungan dengan pola
konsumsi pangan subjek dalam hal jenis dan jumlah konsumsi pangan. Selain itu,
jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan subjek juga dapat berpengaruh
terhadap kebutuhan zat gizi subjek sehingga akan berdampak pada jumlah dan
jenis pangan yang dikonsumsi (Susilo 2006).
Faktor lain yang dapat memengaruhi konsumsi pangan adalah perilaku
makan. Strien (1986) membahas mengenai perilaku makan pada remaja ke dalam
3 aspek gaya makan, yaitu emotional eating, restraint eating, dan external eating.
Perilaku makan dapat dipengaruhi oleh citra tubuh dan emotional distress. Citra
tubuh yang negatif yaitu perasaan tidak puas dengan penampilan diri sendiri,
dapat memengaruhi perilaku makan karena perasaan kurang memiliki bentuk
badan ideal (Purwaningrum 2008). Emotional distress dapat memengaruhi
perilaku makan karena remaja dapat memiliki perubahan perilaku makan ketika
merasa ketidakstabilan emosi, seperti marah, bosan, stres, dan depresi. Namun
demkian, citra raga dan emotional distress tidak dikaji pada peneltian ini.
Konsumsi pangan yang meliputi tingkat kecukupan energi, protein, zat
besi, seng, dan vitamin C merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi
kadar hemoglobin (Hb) dalam darah (Siahaan 2016). Konsumsi pangan yang
cukup akan menyediakan zat gizi yang cukup untuk pembentukan sel darah merah
yang diperlukan oleh tubuh. Status anemia juga dapat dipengaruhi oleh faktor
riwayat penyakit kronik maupun infeksi yang diderita oleh subjek, terjadinya
pendarahan, serta lama dan siklus menstruasi khusus pada subjek berjenis kelamin
perempuan. Namun demikian faktor tersebut tidak dikaji dalam penelitian ini.
Kadar hemoglobin darah yang rendah akibat anemia dapat menurunkan
suplai oksigen pada jaringan sehingga menimbulkan gejala tidak mampu
berkonsentrasi yang dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas dan
kemampuan belajar seseorang yang tercermin dari prestasi akademik (Felt et
al.2006). Selain itu, prestasi akademik subjek dapat dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi keadaan fisik, minat,
motivasi, tingkat stres, tingkat kelelahan, genetik, dan kecerdasan sedangkan
faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, lingkungan kampus, serta
lingkungan masyarakat. Keadaan keluarga, kampus, dan masyarakat dapat
menentukan bagaimana cara belajar seseorang (Andjani dan Adam 2013). Faktor
internal dan faktor eksternal tidak diamati dalam penelitian ini. Kerangka
penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
5
Karakteristik individu:
- Usia
- Status gizi Karakteristik
- Jenis kelamin keluarga:
- Uang saku - Pendapatan
- Alokasi uang saku - Pendidikan - Emotional distress
untuk konsumsi - Pekerjaan - Body image (Citra
pangan - Besar keluarga tubuh
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang dianalisis
: Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan, perilaku makan,
anemia, dan status gizi dengan prestasi akademik
6
METODE
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan melakukan wawancara, pengisian kuesioner yang sudah
dipersiapkan, dan pengukuran secara langsung oleh peneliti. Data primer meliputi
data karakteristik subjek (Usia, jenis kelamin, tingkat studi, berat badan, tinggi
badan, uang saku, dan alokasi uang saku untuk konsumsi pangan), karakteristik
keluarga subjek (besar keluarga, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua, dan
pendidikan orangtua), data konsumsi pangan, nilai hemoglobin dan data perilaku
makan (eating behaviour), sedangkan data sekunder meliputi nilai indeks prestasi
(IP) yang digunakan untuk mengukur prestasi akademik. Jenis dan cara
pengumpulan data disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Cara
Jenis
Variabel Pengumpulan Alat Pengumpul Data
Data
Data
Karakteristik subjek
Usia Primer Self-administered Kuesioner
Jenis Kelamin Questionnaire
Tingkat studi
Uang saku
Alokasi uang saku
untuk konsumsi
pangan
Karakteristik Keluarga Primer Self-administered Kuesioner
Besar keluarga Questionnaire
Pendidikan orangtua
Pekerjaan orangtua
Pendapatan orangtua
Antropometri Primer Pengukuran Timbangan berat badan
Berat badan langsung injak digital merek
Tinggi badan camry dan Tinggi
badan menggunakan
microtoise
Perilaku makan Primer Self-administered Kuesioner Dutch Eating
Questionnaire Behaviour
Questionnaire (DBEQ)
Konsumsi pangan Primer Self-administered Kuesioner food recall 2
Jenis pangan Questionnaire x 24 jam
URT dan Wawancara
Berat
Status anemia Primer Pengukuran Metode HemoCue
(kadar Hb) langsung
Prestasi akademik Sekunder - Data dari Departemen
Gizi Masyarakat dan
Program Pendidikan
Kompetensi Umum
8
Definisi Operasional
Anemia adalah kondisi ketika kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari 13
g/dL untuk laki-laki dan kurang dari 12 g/dL untuk perempuan.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluaga yang terdiri dari ayah, ibu, anak,
serta keluarga diluar keluarga inti yang menempati rumah yang sama.
12
Emotional eating adalah kecenderungan untuk makan lebih banyak makanan saat
keadaan emosi, seperti marah, kecewa, depresi maupun gembira seperti
senang yang terlepas keadaan kenyang atau lapar secara biologis.
External eating adalah kecenderungan untuk menerima rangsangan makanan
yang meliputi penglihatan, penciuman, dan rasa makanan terlepas dari
keadaan lapar dan kenyang secara biologis.
Jenis pangan adalah jenis pangan yang dikonsumsi oleh subjek berdasarkan
kuesioner recall 2 x 24 jam yang meliputi makanan pokok, pangan
hewani, pangan nabati, sayur, buah, gula, dan minyak.
Jumlah pangan adalah banyaknya pangan yang dikonsumsi berdasarkan
kuesioner recall 2 x 24 jam dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT)
yang dikonversikan kedalam satuan gram.
Karakteristik Subjek adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek meliputi usia,
jenis klamin, uang saku, berat badan.
Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh subjek
dalam satu hari diperoleh menggunakan kuesioner recall 2 x 24 jam.
Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal terakhir orangtua subjek
yang dikelompokkan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, SD atau
sederajat, SMP atau sederajat, SMA atau sederajat dan Perguruan tinggi
atau sederajat.
Perilaku makan (Eating Behaviour) adalah sikap subjek terhadap makan
berdasarkan aspek emotional eating, restraint eating, dan external eating
yang diukur menggunakan kuesioner DEBQ yang termodifikasi
menggunakan skala Likert.
Prestasi akademik adalah hasil pencapaian akademik yang ditentukan
berdasarkan nilai Indeks Prestasi.
Restraint eating adalah pembatasan asupan kalori yang disengaja dan
berkelanjutan sebagai usaha penurunan berat badan atau pemeliharaan
berat badan, namun dapat terjadi kontra regulasi pada saat seseorang
tersebut tidak ingin lagi menahan makan.
Subjek adalah seluruh mahasiswa gizi masyarakat pada tingkat I, tingkat II, dan
tingkat III tahun ajaran 2017/2018 yang bersedia mengikuti penelitian
dan sesuai dengan kriteria inklusi.
Uang saku adalah jumlah uang yang diberikan oleh orang tua subjek (Rp/bulan).
Usia adalah lama waktu hidup subjek dengan satuan tahun yang dihitung dari
pengurangan tahun penelitian dengan tahun kelahiran.
Karakteristik Subjek
Karakteristik subjek terdiri dari usia, jenis kelamin, uang saku, alokasi uang saku
untuk konsumsi pangan, dan status gizi. Data karakteristik subjek berdasarkan
tingkat perkuliahan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Variabel
n % n % n % n %
Usia (tahun)
Remaja awal (<18) 4 5.5 0 0 0 0 4 1.7
Remaja akhir (≥18) 69 94.5 83 100 74 100 226 98.3
Rata-rata ± SD 19.0 ± 0.5 20.0 ± 0.5 21.0 ± 0.6 20.0 ± 0.9
Jenis kelamin
Laki-laki 8 11.0 4 4.8 13 17.5 25 10.8
Perempuan 65 89.0 79 95.2 61 82.4 205 89.1
Uang saku (Rp/bln)
Rendah (< 825
14 19.2 8 9.6 8 10.8 30 13.0
596)
Sedang (825 596 –
48 65.8 61 73.4 52 70.3 161 70.0
1 879 013)
Tinggi (> 1 879
11 15.1 14 16.9 14 18.9 39 17.0
013)
1 278 767 ± 1 357 831 ± 1 418 649 ± 1 352 304 ±
Rata-rata ± SD
508 464 516 643 552 760 526 709
Alokasi uang saku untuk konsumsi pangan (Rp/bln)
Rendah (>545 862) 13 17.8 10 12.0 7 9.5 30 13.0
Sedang (545 862 –
1 147 825) 50 68.5 62 74.7 57 77.0 169 73.5
Tinggi (>1 147
825) 10 13.7 11 13.2 10 13.5 31 13.5
Rata-rata ± SD 810 603 ± 312 854 819 ± 873 649 ± 846 843 ±
030 301 785 289 367 300 981
Subjek penelitian memiliki rentang umur 17 hingga 22 tahun, sehingga
dapat digolongkan dalam masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi
antara anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan
sosioemosional (Permatasari 2012). Remaja adalah satu dari beberapa golongan
usia yang termasuk kedalam golongan rentan gizi. Kelompok umur remaja berada
pada suatu siklus pertumbuhan dan perkembangan yang memerlukan zat-zat gizi
dalam jumlah yang lebih besar dari kelompok umur lain (Setyawati dan Setyowati
2015). Berdasarkan tabel 4, sebaran usia dan jenis kelamin subjek tidak merata.
Secara keseluruhan hampir seluruh subjek merupakan remaja akhir (18 – 22
tahun), sedangkan subjek yang dengan kategori usia remaja awal (12 – 17 tahun)
hanya sebanyak 4 orang. Seluruh subjek dengan kategori remaja awal berada pada
tingat I.
Jenis kelamin subjek dapat mempengaruhi kebutuhan zat gizi dan perilaku
makan subjek. Remaja perempuan lebih banyak merasa kurang puas akan keadaan
tubuhnya serta memiliki gambaran body image yang negatif dibandingkan dengan
remaja laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena ketika akan memasuki masa
remaja perempuan akan mengalami peningkatan lemak tubuh pada berbagai sisi
tubuh dan membentuk persepsi bentuk tubuh yang tidak ideal, sedangkan remaja
putra akan lebih merasa puas apabila massa otot meningkat, sehingga hal tersebut
14
Karakteristik keluarga
Pendidikan orangtua
Pendidikan adalah salah satu sarana untuk memperoleh pegetahuan.
Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
informasi dan pengetahuan yang anak dapatkan. Sebaran tingkat pendidikan
terakhir ayah dan ibu subjek disajikan pada Tabel 4.
Lebih dari separuh subjek memiliki ayah dan ibu dengan pendidikan
terakhir perguruan tinggi. Penelitian Russel et al. (2014) menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan orangtua dapat membentuk kebiasaan makan anak sejak kecil
serta preferensi dan pemilihan jenis pangan. Tingginya tingkat pendidikan orang
tua dapat berpengaruh terhadap pemberian informasi dan pengetahuan kepada
anak khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
15
Pekerjaan orangtua
Pekerjaan orang tua merupakan hal yang berperan dalam menunjang
kehidupan keluarga terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup anggota
keluarga. Pekerjaan orang tua secara tidak langsung dapat mempengaruhi pola
konsumsi pangan individu melalui tingkat pendapatan. Sebaran subjek
berdasarkan pekerjaan orangtua dan tingkat kuliah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan pekerjaan orangtua
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Variabel
n % n % n % n %
Pekerjaan ayah
PNS/TNI/POLRI 23 31.5 27 32.5 13 17.6 63 27.4
Pegawai swasta 12 16.4 21 25.3 18 24.3 51 22.2
Petani 1 1.4 3 3.6 5 6.8 9 3.9
Wiraswasta 18 24.7 12 14.5 18 24.3 48 20.9
Pedagang 2 2.7 1 1.2 2 2.7 5 2.2
Buruh 2 2.7 2 2.4 1 1.4 5 2.2
Tidak Bekerja 6 8.2 5 6.0 2 2.7 13 5.7
Pekerjaan ibu
PNS/TNI/POLRI 17 23.3 18 21.7 15 20.3 50 21.7
Pegawai swasta 6 8.2 7 8.4 6 8.1 19 8.3
Petani 0 0.0 2 2.4 3 4.1 5 2.2
Wiraswasta 0 0.0 4 4.8 4 5.4 8 3.5
Pedagang 3 4.1 2 2.4 3 4.1 8 3.5
Buruh 1 1.4 0 0.0 1 1.4 2 0.9
Tidak Bekerja 37 50.7 43 51.8 32 43.2 112 48.7
16
Pekerjaan ayah dan ibu pada penelitian ini merupakan jenis pekerjaan
yang dilakukan oleh orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan
ayah maupun ibu tidak jauh berbeda antara tingkat kuliah subjek. Pekerjaan ayah
subjek yang paling banyak adalah PNS/TNI/POLRI (27.4%), pegawai swasta
(22.2%), dan wiraswasta (20.9%). Sementara itu, hampir separuh pekerjaan ibu
subjek adalah ibu rumah tangga (tidak bekerja) (48.7%). Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian Lestari (2017) kepada mahasiswa PS ilmu gizi, yaitu persentase
pekerjaan ayah subjek yang paling tinggi adalah PNS/Polisi/TNI (28%),
sedangkan persentase pekerjaan ibu subjek yang paling tinggi adalah tidak bekerja
(38.8%).
besar subjek memiliki besar keluarga sedang yaitu antara 4 – 5 orang. Menurut
Sediaoetama (2006), kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi dapat
dipengaruhi oleh besar keluarga. Pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-
hari akan lebih sulit apabila jumlah anggota keluarga lebih banyak.
Status gizi
banyak edukasi gizi mengenai status gizi yang normal dan pengaturan gaya hidup
pada seluruh subjek dengan status gizi sangat kurus, kurus, overweight, dan
obesitas.
bahwa makanan sumber protein yang paling banyak dikonsumsi oleh mahasiswa
adalah olahan daging ayam dan telur. Hal tersebut dapat disebebkan oleh akses
terhadap bahan pangan lebih mudah didapat di sekitar lingkungan subjek. Tabel 9
menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein sebagian besar subjek dalam
kategori kurang.
Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi
Tingkat
Tingkat kecukupan I II III Total pa
n % n % n % n %
Energi
Kurang 66 90.4 74 89.2 66 89.2 206 89.6
Cukup 6 8.2 9 10.8 8 10.8 23 10.0
Lebih 1 1.4 0 0.0 0 0.0 1 0.4
Rata-rata ± SD 58.3±16.3 59.2±17.1 61.9±14.8 59.8±16.1 0.356
Protein
Kurang 48 65.8 50 60.2 30 40.5 128 55.7
Cukup 21 28.8 23 27.7 31 41.9 75 32.6
Lebih 4 5.5 10 12.0 13 17.6 27 11.7
Rata-rata ± SD 73.1±22.1 77.4±23.9 88.4±25.4 79.6±24.6 0.000 *
Lemak
Kurang 38 52.1 48 57.8 40 54.1 126 54.8
Cukup 29 39.7 28 33.7 32 43.2 89 38.7
Lebih 6 8.2 7 8.4 2 2.7 15 6.5
Rata-rata ± SD 19.7±6.5 20.2±6.9 20.2±5.4 20.0±6.3 0.840
Karbohidrat
Kurang 63 86.3 74 89.2 65 87.8 202 87.8
Cukup 9 12.3 8 9.6 9 12.2 26 11.3
Lebih 1 1.4 1 1.2 0 0.0 2 0.9
Rata-rata ± SD 31.1±10.8 31.2±9.9 32.9±9.4 31.7±10.0 0.487
Zat besi
Kurang 71 97.3 81 97.6 73 98.6 225 97.8
Cukup 2 2.7 2 2.4 1 1.4 5 2.2
Rata-rata ± SD 23.7±16.3 25.1±18.6 28.3±14.5 25.7±16.6 0.225
Seng
Kurang 72 98.6 78 94.0 67 90.5 217 94.3
Cukup 1 1.4 5 6.0 7 9.5 13 5.7
Rata-rata ± SD 36.0±14.1 44.5±17.0 53.0±27.3 44.5±21.2 0.000*
Vitamin C
Kurang 62 84.9 73 88.0 58 78.4 193 83.9
Cukup 11 15.1 10 12.0 16 21.6 37 16.1
Rata-rata ± SD 50.4±105.3 39.3±84.6 55.1±62.0 47.9±85.6 0.491
a
Uji Anova, * Berbeda nyata p<0.05
Uji lanjutan Duncan menunjukkan bahwa asupan protein pada tingkat III
lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tingkat I dan tingkat II, sedangkan asupan
subjek tingkat I dan II tidak berbeda nyata walaupun subjek tingkat II memiliki
rata-rata asupan protein yang sedikit lebih tinggi daripada tingkat I. Hasil tersebut
diduga disebabkan karena semakin lama masa kuliah di PS S-1 ilmu gizi, semakin
tinggi pula pengetahuan mengenai gizi seimbang yang didapatkan, termasuk
diantaranya kebutuhan tubuh akan protein. Penelitian (Pratiwi 2011)
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan
20
adalah pengetahuan gizi. Selain itu, subjek tingkat III memiliki alokasi uang saku
untuk konsumsi pangan yang lebih tinggi dibandingkan tingkat I dan II sehingga
dapat memilih lebih banyak pangan kaya protein.
Lebih dari separuh subjek memiliki tingkat kecukupan lemak dan
karbohidrat berada pada kategori rendah. Uji beda ANOVA tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara asupan lemak pada kelompok subjek. Data
menunjukkan bahwa sumber lemak yang paling banyak dikonsumsi adalah
makanan yang digoreng. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan
karbohidrat yang berada pada kategori rendah yaitu sebanyak 87.8% dari seluruh
subjek. Pangan sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi adalah nasi.
Berdasarkan hasil, dapat diketahui bahwa protein dan lemak lebih menyumbang
energi daripada karbohidrat pada tingkat II dibandingkan dengan tingkat I dan III.
Diduga hal tersebut disebabkan karena subjek tingkat dua baru saja memasuki PS
S-1 Ilmu gizi secara penuh dan masih menyesuaikan diri dengan lingkungan baru,
sehingga banyak melewatkan waktu makan. Data asupan menunjukkan bahwa
subjek tingkat dua lebih banyak mengonsumsi jajanan seperti gorengan yang
mengandung banyak lemak. Uji beda ANOVA tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara asupan karbohidrat pada kelompok subjek.
Zat gizi mikro yang dianalisis dalam penelitian ini adalah zat besi, seng,
dan vitamin C. Rata-rata tingkat kecukupan zat besi pada subjek tingkat III lebih
tinggi bila dibandingkan dengan tingkat I dan II, namun secara statistika tidak
terdapat berbedaan yang signifikan antara rata-rata asupan zat besi berdasarkan
tingkat kuliah. Hampir seluruh subjek memiliki tingkat kecukupan zat besi yang
berada dalam kategori kurang. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Lestari
(2017) pada mahasiswa ilmu gizi yang menyebutkan bahwa sebagian besar subjek
defisit asupan zat besi. Berdasarkan data, pangan sumber zat besi yang paling
banyak dimakan adalah daging ayam karena ketersediaan pangan tersebut banyak
di sekitar tempat tinggal subjek. Namun demikian, jumlah konsumsi pangan
sumber fe tergolong masih kurang sehingga sebagian besar subjek mengalami
defisit zat besi. Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang
paling umum terjadi di dunia dan merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi. Defisiensi zat besi merupakan salah satu masalah
gizi di dunia dan memengaruhi lebih dari satu dari empat populasi dunia (Khedr
et al. 2008). Meskipun demikian, tubuh memiliki cadangan zat besi yaitu senyawa
besi yang sudah dipersiapkan tubuh apabila asupan besi tidak dapat mencukupi
kebutuhan tubuh.
Seng merupakan salah satu zat gizi mikro yang berperan dalam sintesis
protein pengangkut besi yaitu transferrin. Berdasarkan Tabel 4, tingkat kecukupan
seng lebih tinggi pada subjek tingkat III dibandingkan dengan tingkat I dan II.
Hasil uji beda ANOVA menunjukkan bahwa asupan seng berbeda nyata antara
tingkat perkuliahan. Meskipun demikian, hampir semua subjek memiliki tingkat
kecukupan seng yang defisit, yaitu 94.3%. Subjek dengan tingkat kecukupan seng
yang cukup paling besar berada pada tingkat III. Hal tersebut diduga disebabkan
karena salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah alokasi
uang saku untuk konsumsi pangan. Kelompok dengan alokasi uang pangan
tertinggi berada pada tingkat III, sehingga tingkat kecukupan energi dan zat gizi
lebih tinggi pada tingkat III. Berdasarkan data asupan pangan, subjek tingkat III
lebih banyak mengonsumsi daging sapi dibandingkan dengan tingkat I dan II.
21
Daging sapi memiliki kandungan seng 2 kali lipat lebih besar dibandingkan
dengan daging ayam.
Vitamin C merupakan salah satu zat gizi mikro yang dapat meningkatkan
penyerapan zat besi sehingga dapat mencegah terjadinya Anemia (Akib dan
Sumarni 2017). Asupan vitamin C lebih rendah pada subjek tingkat II dan lebih
tinggi pada tingkat III. Rata-rata asupan vitamin C pada subjek tingkat I, II, dan
III adalah sebesar 37.02 ± 72.93 mg, 27.94 ± 55.24 mg, dan 41.26 ± 46.00 mg.
Besarnya standar deviasi pada asupan vitamin C menunjukkan bahwa titik subjek
berada jauh dari rata-rata asupan vitamin C dan data asupan vitamin C tidak
tersebar secara normal. Data asupan pangan menunjukkan terdapat beberapa
subjek yang mengonsumsi minuman kemasan dan suplemen yang memiliki
kandungan vitamin C yang tinggi. Hasil uji ANOVA menyatakan bahwa asupan
vitamin C tidak berbeda nyata antara kelompok subjek. Variabel lain yang diteliti
dalam naungan penelitian proyek Departemen Gizi Masyarakat IPB adalah FFQ
(food frequency questionnaire) Khodijah (2018) dengan subjek yang sama.
Berdasarkan penelitian tersebut, lebih dari separuh subjek memiliki kecukupan
Vitamin C yang cukup. FFQ merupakan instrumen yang digunakan untuk menilai
kebiasaan makan, sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun asupan Vitamin C
subjek masih tergolong kurang, namun kebiasaan asupan Vitamin C sebagian
besar subjek masih tergolong cukup.
Energi, protein, lemak, karbohidrat, zat besi seng, dan vitamin C sebagian
besar berada pada kategori kurang (Tabel 9). Hal ini sejalan dengan penelitian
Lestari (2017) pada remaja, yaitu mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi IPB
semester 6 yang menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi, protein, lemak,
besi, kalsium, dan vitamin C subjek tergolong defisit berat. Tingginya subjek
dengan kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi dapat disebabkan karena
kurangnya asupan pangan subjek sehingga diperlukan perubahan pola makan dan
gaya hidup untuk dapat memenuhi kebutuhan akan zat gizi pada subjek. Selain itu,
subjek seringkali melewatkan makan pada hari tertentu karena padatnya jadwal
kuliah. Penelitian Akib dan Sumarni (2017) menunjukkan bahwa remaja sering
melewatkan satu maupun dua waktu makan, sehingga asupan energi dan zat gizi
belum mencukupi AKG yang dibutuhkan. Rata-rata responden remaja hanya
mengonsumsi 2 kali makanan pokok dalam sehari dan menggantinya dengan
mengonsumsi makanan selingan.
Meskipun hasil asupan pangan menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek mengalami dafisit beberapa zat gizi, masih banyak subjek yang mengalami
berat badan berlebih (15.7%). Penelitian Khodijah (2017) dengan subjek yang
sama dengan penelitian ini menyebutkan bahwa pada hasil FFQ selama 1 bulan
terakhir, rata-rata subjek mengonsumsi pangan sumber karbohidrat sebanyak
429.5 g/hari. Hasil tersebut sudah melebihi anjuran Kemenkes (2014), yaitu 300 –
400 g/hari. Sementara itu, konsumsi pangan sumber serat seperti sayur dan buah
subjek berturut turut adalah 41.1 g/hari dan 69.0 g/hari. Konsumsi sayur dan buah
yang dianjurkan Kemenkes (2014) berturut-turut adalah sebanyak 250 g/hari
dan150 g/hari, sehingga secara keseluruhan konsumsi sayur dan buah subjek
masih tergolong kurang dari yang dianjurkan. Hal tersebut dapat menjadi
penyebab sebagian subjek mengalami berat badan berlebih.
22
Perilaku Makan
Emotional eating
Berdasarkan teori psikosomatik Bruch (1973) dan Kaplan (1957), tidak
adanya kontrol dalam perilaku makan dapat disebabkan oleh perilaku emotional
eating, yaitu meningkatnya asupan makanan yang dipicu oleh emosi internal
seperti depresi atau kekhawatiran. Seseorang dengan emotional eating yang tinggi
tidak makan berdasarkan perasaan kenyang atau lapar, namun berdasarkan emosi.
Sebaran subjek berdasarkan rata-rata skor emotional eating berdasarkan tingkat
kuliah disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rata-rata skor emotional eating berdasarkan tingkat kuliah
Tingkat kuliah Rata-rata skor emotional eating pa
I 2.23±0.64 0.546
II 2.34±0.85
III 2.23±0.72
Rata-rata±SD 2.27±0.74
a
Uji Anova
Rata-rata skor emotional eating antar tingkat kuliah tidak menunjukan
perbedaan yang signifikan. Hal tersebut dapat disebabkan subjek memiliki
perilaku makan emotional eating yang homogen. Emotional eating pada subjek
menunjukkan skor tertinggi berada pada tingkat II. Sementara itu, berdasarkan
data status gizi, subjek dengan status gizi overweight dan obese tertinggi terdapat
pada tingkat II. Ganley (1986) menyebutkan bahwa 60% atau lebih subjek yang
menderita overweight atau obese juga memiliki skor emotional eating yang tinggi.
Ketika sedang mengalami stress, seseorang dengan emotional eating meresponnya
23
dengan makan banyak, sementara itu seseorang yang normal akan merespon
dengan penurunan nafsu makan.
Berdasarkan penelitian Jansen et al. 2010 pada mahasiswa psikologi di
Belanda, skor emotional eating dapat dikatakan tinggi apabila lebih dari 2.35,
sehingga rata-rata skor emotional eating pada penelitian ini dapat digolongkan
menjadi lebih rendah dari penelitian sebelumnya, artinya subjek penelitian ini
cederung lebih mengontrol diri apabila muncul emosi negatif, dan tidak
melampiaskannya kemakanan. Namun, menurut penelitian Snoek et al. pada
remaja di Belanda, rata-rata skor emotional eating yaitu 2.25, sehingga hasil
penelitian ini sedikit lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya. Sementara itu,
Khotibudin (2017) meneliti perilaku makan pada mahasiswa kedokteran di
Indonesia. Rata-rata total skor emotional eating penelitian tersebut 27.83±8.67,
sedangkan rata-rata total skor pada penelitian ini adalah 22.73±7.44 yang artinya
subjek penelitian tersebut lebih banyak yang mengalami emotional eating dari
penelitian ini.
External eating
Teori kedua yaitu teori externality oleh Schachter (1971) dan Rodin (1987),
perilaku makan yang tidak terkontrol dapat disebabkan oleh external eating, yaitu
meningkatnya asupan makanan karena rangsangan makanan yang meliputi
penglihatan, penciuman, dan rasa makanan terlepas dari keadaan lapar dan
kenyang secara psikologis. Sebaran subjek berdasarkan rata-rata skor external
eating antar tingkat kuliah disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Rata-rata skor external eating berdasarkan tingkat kuliah
Tingkat kuliah Rata-rata skor external eating pa
I 3.34±0.47 0.468
II 3.32±0.58
III 3.24±0.62
Rata-rata±SD 3.30±0.56
a
Uji Anova
Aspek external eating menunjukkan rata-rata skor subjek tingkat III lebih
rendah dari tingkat I dan II, dan secara statistika tidak memiliki perbedaan yang
signifikan (p<0.1). Data pengisian kuesioner perilaku makan menunjukkan bahwa
rata-rata skor item pertanyaan aspek external eating nomor 14 (keinginan
membeli sesuatu yang enak ketika berjalan melewati toko makanan) lebih rendah
pada tingkat III dibandingkan dengan tingkat I dan tingkat II. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa subjek pada tingkat III lebih tidak sensitif terhadap
penglihatan, penciuman atau rasa suatu makanan dibandingkat dengan subjek lain.
Hasil tersebut juga dapat disebabkan tingkat pengetahuan gizi yang lebih tinggi
pada tingkat tiga berdasarkan pemahaman bahwa makanan yang memiliki
tampilan, bau, maupun rasa yang enak tidak selalu memiliki nilai nutrisi yang
baik. Selain itu, aspek external eating yang rendah pada tingkat III dapat
disebabkan karena IMT tingkat II dan III yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat I. Subjek merupakan calon ahli gizi, sehingga subjek harus memiliki IMT
yang ideal. Hal tersebut mengharuskan subjek untuk memiliki aspek eksternal
eating yang rendah.
Subjek tingkat I memiliki rata-rata skor external eating yang lebih tinggi
walaupun perbedaannya tidak signifikan. External eating memiliki arti adanya
24
rangsangan makan dari luar terlepas keadaan lapar atau kenyang. Kelaparan akan
memicu tubuh untuk mempertahankan keadaan fisiologis untuk bertahan hidup
dan terjadi tanpa sadar, sehingga disebut kelaparan homeostatis (homeostatic
hunger). Isyarat makanan (food cues) dapat memicu homeostatic hunger bahkan
tanpa adanya defisit energi secara fisiologis yang disebut sebagai hedonic hunger;
sistem non-homeostatik yang diatur oleh sirkuit saraf yang berbeda dari sirkuit
saraf yang mendasari lapar homeostatik (Atalayer 2018). Pada subjek tingkat I,
external eating dapat disebabkan subjek yang baru masuk tingkat perkuliahan di
lingkungan baru, sehingga subjek lebih peka terhadap rangsangan makan dari luar
karena masih banyak makanan yang dapat dicoba.
Berdasarkan penelitian Jansen (2010) pada mahasiswa psikologi tingkat I
di Belanda menyebutkan skor external eating dapat dikatakan tinggi apabila lebih
dari 3.30 yang didapatkan dari median data penelitian tersebut. Mengacu pada
data tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama sehingga dapat
disimpulkan bahwa karakteristik external eating subjek hampir sama dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian lain pada remaja di Belanda menunjukkan skor
rata-rata external eating yaitu 2.96 (Snoek et al. 2013) sehingga dapat
disimpulkan hasil penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya,
artinya subjek pada penelitian ini lebih peka terhadap penglihatan, penciuman,
dan rasa makanan. Penelitian lain di Indonesia pada mahasiswa kedokteran
menyebutkan bahwa rata-rata total skor external eating pada penelitian tersebut
adalah 28.9±6.65, sedangkan pada penelitian ini adalah 29.71±5.05 sehingga pada
penelitian ini subjek memiliki skor external eating lebih tinggi dari penelitian
sebelumnya.
Pada penelitian ini, skor external eating lebih tinggi daripada aspek
lainnya. Hal tersebut dapat disebabkan karena lingkungan tempat tinggal subjek
banyak menyediakan makanan yang memiliki tampilan, bau, dan rasa yang enak
sehingga banyak subjek memiliki perilaku makan tersebut. Selain itu, di sekitar
tempat tinggal subjek banyak terdapat restoran fast food yang memiliki tampilan,
bau, dan rasa yang enak serta menyediakan makanan cepat saji yang cocok untuk
subjek dengan jadwal kuliah yang padat.
Restrained eating
Teori terakhir yaitu teori restrained eating, yaitu pembatasan asupan kalori
yang disengaja dan berkelanjutan sebagai usaha penurunan berat badan atau
pemeliharaan berat badan (Sholeha 2014). Berdasarkan teori tersebut, seseorang
yang sedang melakukan diet dengan menurunkan asupan makan akan mengalami
kenaikan berat badan melalui binge eating, yaitu makan dengan jumlah yang
banyak pada suatu waktu tertentu, namun melakukan diet ketat (menurunkan
konsumsi pangan) pada hari-hari berikutnya (NIH 2018). Sebaran subjek
berdasarkan rata-rata skor restrained eating antar tingkat kuliah disajikan pada
Tabel 12.
Berlawanan dengan aspek external eating yang menunjukkan skor yang
lebih rendah pada tingkat perkuliahan yang tinggi, skor restrained eating
menunjukkan skor yang lebih tinggi pada tingkat kuliah yang lebih tinggi. Data
menunjukkan bahwa rata-rata skor item pertanyaan nomor 3 (makan lebih sedikit
dari biasanya ketika berat badan bertambah) pada subjek pada subjek tingkat I
lebih rendah dari tingkat II dan III. Hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek
25
apabila berada dalam grup; adanya orang lain yang makan sedikit maupun makan
banyak akan mempengaruhi kebiasaan makan seseorang.
Seseorang dapat memiliki berbagai macam maupun hanya satu perilaku
makan yang dominan. Emotional eating dan external eating seringkali berada
pada satu individu secara bersamaan, begitu pula dengan perilaku makan yang
lain. Selain itu, satu individu juga dapat memiliki hanya satu sifat perilaku makan
yang dominan (Jansen et al. 2010).
Pembentukan kebiasaan makan pada seorang individu merupakan suatu
hal yang kompleks antara mekanisme homeostatis, sistem penghargaan dalam
saraf (neural reward system), indra perasa dan kemampuan sosio-emotional.
Selain itu, pengajaran orangtua, pengaruh sosial dan lingkungan dapat
mempengaruhi terbentuknya eating behaviour (Gahagan 2013). Penelitian Fortin
dan Yazbeck (2011) menyebutkan bahwa teman sejawat (peer group)
berpengaruh terhadap pilihan makan seorang remaja. Pada masa ini, semakin lama
remaja berada di luar jangkauan orangtua, semakin tinggi kebebasan pilihan
makanan. Seringkali remaja membandingkan dirinya sendiri dengan teman
sejawatnya yang dapat mengubah pilihan makan dan kebiasaan makan individu
tersebut. Berdasarkan Herman et al (2003), manusia akan makan lebih banyak
apabila berada dalam grup; adanya orang lain yang makan sedikit maupun makan
banyak akan mempengaruhi kebiasaan makan seseorang. Hal tersebut dapat
menjadi alasan subjek pada satu tingkat kuliah dapat condong ke arah salah satu
aspek kebiasaan makan.
Kejadian anemia
tingkat I, tingkat II, maupun tingkat III. Hal tersebut menandakan bahwa
karakteristik subjek pada kejadian anemia tergolong homogen.
Berdasarkan Tabel 13, besaran masalah anemia pada subjek masih
tergolong ringan, yaitu antara 5–19.9% (WHO 2008), namun pada tingkat II
besaran masalah anemia sudah tergolong segang, yaitu antara 20.0–39.9%. Masih
terdapatnya subjek yang mengalami anemia dapat disebabkan karena beberapa hal.
Penelitian Khodijah (2018) pada subjek yang sama dengan penelitian ini
menyebutkan bahwa keragaman pangan sumber zat besi yang dikonsumsi subjek
masih rendah. Berdasarkan data asupan, pangan sumber zat besi yang paling
banyak dikonsumsi adalah ayam, telur, dan ikan yang banyak tersedia di
lingkungan sekitar tempat tinggal subjek. Frekuensi rata-rata konsumsi daging
ayam, telur, dan ikan pada subjek berturut-turut adalah 4.7 kali/minggu, 3.3
kali/minggu dan 1.3 kali/minggu. Sementara itu, frekuensi rata-rata konsumsi
daging sapi dan hati berturut-turut adalah 0.5 kali/minggu dan 0.3 kali/minggu.
Daging sapi dan hati merupakan bahan pangan dengan kandungan zat besi tinggi,
yaitu 1.7 mg/100 g dan 8.5 mg/100 g (Nutrisurvey 2007), sehingga disarankan
bagi subjek dengan kadar hemoglobin rendah untuk mengonsumsi pangan sumber
zat besi.
Subjek yang mengalami anemia pada penelitian ini lebih rendah dari
penelitian Susilo (2006) yaitu feeding program yang dilakukan pada 300 orang
mahasiswa tingkat I IPB pada tahun 2006 mengukur kadar hemoglobin untuk
menentukan status anemia. Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat 25.3%
mahasiswa IPB yang mengalami anemia. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan di asrama mahasiswa IPB pada tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa
terdapat prevalensi anemia dan kekurangan gizi yang tinggi pada mahasiswa
tersebut. Sebanyak 48.1% mahasiswa putri menderita anemia, sedangkan pada
mahasiswa putra terdapat 4.3% mahasiswa mengalami anemia (Anggraeni 2004).
Hal tersebut diduga disebabkan karena mahasiswa program studi ilmu gizi
memiliki pengetahuan gizi yang lebih tinggi mengenai anemia sehingga
mahasiswa program studi ilmu gizi lebih mengetahui cara untuk mencegah
terjadinya anemia.
Prestasi akademik
Hubungan Perilaku Makan dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
makan external eating yang lebih tinggi memiliki kecukupan protein dan zat besi
yang tinggi pula. Data asupan pangan menunjukkan bahwa makanan sumber
protein yang paling banyak dimakan adalah daging ayam dengan berbagai bentuk
olahan. Berdasarkan program Nutrisurvey (2007) ayam memiliki kandungan zat
besi yang cukup tinggi, yaitu 1.4 mg pada 100 g bahan. Temuan lapang juga
menunjukkan bahwa mayoritas restoran di sekitar kampus IPB Dramaga menjual
berbagai macam olahan daging ayam. Subjek merupakan mahasiswa ilmu gizi
sehingga kebanyakan makanan yang dimakan merupakan makanan yang kaya
akan protein dan zat besi. Hasil tersebut sejalan dengan karakteristik subjek yang
memiliki perilaku makan external eating lebih tinggi, yaitu sensitif terhadap
rangsangan makanan yang meliputi penglihatan, penciuman, dan rasa makanan
terlepas dari keadaan lapar dan kenyang secara psikologis. Penelitian Garcia et al.
(2015) juga menyebutkan bahwa external eating berhubungan positif dengan
makan berlebihan.
Restrained eating mengacu pada pembatasan asupan makanan secara sadar,
daripada makan berdasarkan pada rasa lapar dan kenyang secara psikologis
(Kovacs et al. 2014). Berdasarkan Tabel 15, perilaku restrained eating tidak
berhubungan secara signifikan dengan asupan zat gizi. Kovacs et al. (2014)
menyebutkan bahwa seseorang yang melewatkan makan menyebabkan pola
makan yang tidak teratur dan terjadi kontra regulasi pada saat seseorang tersebut
tidak ingin lagi menahan makan (restraint) sehingga menyebabkan kenaikan berat
badan akibat makan sebanyak-banyaknya untuk mengkompensasi restrained
eating. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Werthmann (2013) yang
menyebutkan bahwa individu yang dengan skor restrained eating yang dominan
telah dikaitkan dengan adanya bias perhatian untuk makan.
tinggi aspek emotional eating pada suatu individu, semakin rendah kadar
hemoglobin. Hasil tersebut dapat disebabkan karena berdasarkan data asupan
pangan, makanan yang paling sering dimakan oleh subjek adalah makanan manis
atau makanan yang digoreng seperti bakwan, risoles, dan tahu goreng yang tidak
memiliki kandungan protein dan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari. Hasil asupan pangan juga menunjukkan bahwa tingkat kecukupan zat besi
untuk seluruh subjek anemia tergolong rendah.
Seseorang dengan emotional eating yang dominan akan cenderung makan
melebihi kebutuhan dalam sehari dan makanan yang dipilih berbeda-beda pada
setiap individu, namun biasanya adalah makanan padat energi yang seringkali
tinggi gula dan lemak (Anton dan Miller 2005). Makanan tersebut akan
meningkatkan aktivasi sistem opioid yang secara langsung berkaitan dengan
regulasi mood seseorang. Sistem opioid memiliki beberapa fungsi berkaitan
dengan nafsu makan. Selain itu, beberapa karbohidrat memiliki prekursor
serotonin untuk peningkat mood atau perasaan senang (Dovey 2010). Makanan
seperti itu seringkali dapat menyebabkan kelebihan kalori atau ‘passive
overconsumption’, yaitu konsumsi berlebihan makanan yang tinggi kalori namun
rendah zat gizi lain.
Tabel 18 Hubungan skor perilaku makan dengan kadar hemoglobin
Kadar hemoglobin
Skor perilaku makan a
p r
Emotional eating 0.045* -0.132
External eating 0.263 0.074
Restrained eating 0.744 0.022
a
Uji pearson, *Berhubungan p<0.05
Uji hubungan antara aspek external eating dengan kadar hemoglobin
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua aspek
tersebut, dengan arah hubungan yang positif. Berdasarkan Tabel 17, skor external
eating antara subjek anemia dan tidak anemia hampir sama, yaitu 3.30. Hal
tersebut dapat disebabkan karena berdasarkan data asupan pangan, hanya tingkat
kecukupan zat besi dan protein yang menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan external eating, sedangkan kadar hemoglobin dalam darah tidak hanya
dipengaruhi oleh zat besi saja, namun zat enhancer dan inhibitor penyerapan zat
besi memiliki peranan penting dalam kejadian anemia. Zat enhancer seperti
vitamin C dapat meningkatkan peyerapan zat besi, sedangkan zat inhibitor seperti
polifenol dalam teh dan kopi dapat menghambat penyerapan zat besi. Penelitian
pada remaja menunjukkan bahwa sebagian besar subjek dengan tingkat
kecukupan vitamin C yang kurang mengalami anemia, sedangkan seluruh subjek
dengan konsumsi vitamin C yang baik tidak mengalami anemia (Akib dan
Sumarni 2017).
Uji hubungan antara skor restrained eating dengan kadar hemoglobin pada
Tabel 18 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
kedua aspek tersebut, namun korelasinya positif. Hasil tersebut dapat disebabkan
karena rendahnya kadar hemoglobin dalam darah disebabkan oleh defisiensi zat
besi dan zat gizi lain dalam waktu yang lama. Hasil tersebut juga sejalan dengan
teori restrained eating, yaitu teori restrained berfokus pada kemungkinan efek
samping psikologis dari diet, pelaku diet akan makan berlebihan ketika kognitif
33
pelaku diet berubah untuk tidak membatasi makanan (Stunkard dan Stellar 1984).
Pernyataan yang sama diungkapkan Kovacs et al. (2014), yaitu semakin tinggi
tingkat restrained eating semakin tinggi kenaikan berat badan dan IMT setelah
follow up selama 3 tahun.
protein sebagian besar subjek tergolong defisit, dan sebagian besar subjek tidak
mengonsumsi sarapan. Asupan energi yang defisit dapat menyebabkan tidak
tercukupinya kebutuhan tubuh akan energi sehingga terjadi pembongkaran
cadangan protein (Mantika dan Mulyati 2014). Selain itu, terdapat faktor lain
yang dapat menyebabkan anemia, diantaranya adalah status sosial ekonomi
keluarga, kebiasaan makan tradisional: lebih banyak mengonsumsi sayuran,
ketakutan akan kenaikan berat badan, ketakutan sosial, dan gangguan makan
(Balci et al.2012).
Zat gizi mikro yang diteliti dalam penelitian ini adalah zat besi, seng, dan
vitamin C. Berdasarkan Tabel 19, seluruh subjek yang menderita anemia memiliki
tingkat kecukupan zat besi dan seng yang rendah. Sementara itu, kecukupan
vitamin C rata-rata pada subjek anemia lebih tinggi dibandingkan subjek yang
tidak anemia.
Zat besi merupakan zat gizi mikro yang banyak terdapat didalam tubuh
manusia. Zat gizi ini merupakan komponen yang penting dalam formasi
hemoglobin, protein yang ditemukan dalam sel darah merah yang berfungsi untuk
transport oksigen (Indartanti dan Kartini 2014). Uji statistik menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara kadar Hb dengan asupan zat besi. Hasil
tersebut sejalan dengan penelitian Triyonate dan Kartini (2015) di Semarang yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara asupan zat besi dan
anemia. Tabel 20 menunjukkan bahwa seluruh subjek anemia memiliki tingkat
kecukupan zat besi yang rendah. Berdasarkan penelitian Khodijah (2018) pada
subjek yang sama dengan penelitian ini, bahan pangan sumber Fe yang paling
sering dikonsumsi subjek adalah daging ayam, telur, dan ikan. Bahan pangan
sumber zat besi lain seperti daging sapi atau hati tidak sering dikonsumsi (bertirut-
turut 0.5 kali/minggu dan 0.3 kali/minggu), sehingga keragaman konsumsi pangan
sumber zat besi masih tergolong rendah.
Seng merupakan salah satu zat yang dapat berpengaruh dalam
metabolisme zat besi. Asupan seng yang berlebih akan berinteraksi antagonis
dengan zat besi secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi tidak langsung
antara seng dan zat besi dapat terjadi melalui salah satu fungsi seng dalam sintesis
protein pengangkut besi yaitu transferin (almatsier 2009). Uji statistika
menujukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan seng dan anemia (p>0.05). Penelitian ini seseuai dengan penelitian
Novitasari (2014) pada remaja bahwa asupan seng tidak berhubungan dengan
kadar hemoglobin. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian ini adalah
sebagian responden telah mengonsumsi multivitamin dan mineral, namun pada
penelitian ini tidak dapat dijelaskan apa saja vitamin dan mineral yang terkandung
didalamnya. Hal tersebut menjadi kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian
ini sehingga diperlukan penelitian lanjut yang memperhatikan hal tersebut.
Vitamin C membantu penyerapan besi non-heme dengan mereduksi besi
ferri menjadi ferro dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C juga
menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk
membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk non heme
meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Dengan demikian resiko anemia
defisiensi zat besi bisa dihindari (Gibney 2009). Tabel 20 menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan vitamin C dengan kadar
hemoglobin, namun arah hubungannya adalah negatif (p>0.005 dan r= -0.010).
36
Hubungan Prestasi Akademik dan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
perkembangan otak. Fungsi otak yang baik tergantung pada kapasitas menyerap
dan memproses informasi. Sumber protein antara lain seperti ikan, susu, daging,
telur dan kacang-kacangan (Sediaoetama 2010).
Tabel 21 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan indeks
prestasi
Indeks Prestasi
Tingkat Sangat
Kurang Memuaskan Cumlaude Total
Kecukupan memuaskan
n % n % n % n % n %
Energi
Kurang 8 80 26 92.9 85 89.5 87 89.7 206 89.6
Cukup 2 20 2 7.1 9 9.5 10 10.3 23 10.0
Lebih 0 0 0 0.0 1 1.1 0 0.0 1 0.4
Rata-rata ± SD 60.7 ± 16.4 59.8 ± 16.1 59.9 ± 16.2 60.1 ± 16.2 59.8± 16.1
Protein
Kurang 4 40 18 64.3 54 56.8 52 53.6 128 55.7
Cukup 3 30 5 17.9 30 31.6 37 38.1 75 32.6
Lebih 3 30 5 17.9 11 11.6 8 8.2 27 11.7
Rata-rata ± SD 80.7.5±25.3 79.6±24.6 79.7±24.7 79.9±24.7 79.6±24.6
Zat besi
Kurang 10 100 28 100 91 95.8 96 99.0 225 97.8
Cukup 0 0 0 0 4 4.2 1 1.0 5 2.2
Rata-rata ± SD 26.1±17.0 25.8±16.6 25.8±16.7 25.8±16.7 25.7±16.6
Seng
Kurang 8 80 27 96.4 91 95.8 91 93.8 217 94.3
Cukup 2 20 1 3.6 4 4.2 6 6.2 13 5.7
Rata-rata ± SD 45.7±22.0 44.7±21.2 44.6±21.3 44.8±21.3 44.5±21.2
Vitamin C
Kurang 9 90 26 92.9 81 85.3 77 79.4 193 83.9
Cukup 1 10 2 7.1 14 14.7 20 20.6 37 16.1
Rata-rata ± SD 46.2±75.2 48.1±85.7 48.2±85.9 48.7±86.5 47.9±85.6
Uji hubungan pearson menunjukkan hubungan yang tidak signifikan
antara tingkat kecukupan zat besi, seng, dan vitamin C terhadap indeks prestasi
(IP). Tidak adanya hubungan antara energi dan zat gizi dengan prestasi akademik
dapat disebabkan oleh subjek yang memiliki pola konsumsi pangan yang sama
(homogen). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Lestari (2013) yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan
prestasi belajar rata-rata yang ditandai dengan nilai korelasi p>0.05. Selain itu,
terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi akademik. Anggraeni
(2004) menyebutkan bahwa prestasi akademik dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu kemampuan dasar (intelegensi), bakat, cara belajar, motivasi/
dorongan, kondisi fisik, fasilitas belajar, lingkungan fisik, keadaan/suasana
psikologis di rumah dan hubungan dengan orangtua, pengajar, serta temannya.
Prestasi akademik pada remaja dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal dari seorang individu. Faktor-faktor tersebut dapat berinteraksi dan
menentukan hasil akhir dari proses belajar sehingga peran dari faktor tersebut
38
tidak selalu sama dan pasti. Status gizi secara tidak langsung merupakan salah
satu faktor internal yang dapat menentukan prestasi akademik. Malnutrisi
dianggap menjadi suatu masalah yang dapat membatasi kemampuan belajar
seseorang dan menyebabkan prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan
dengan seseorang dengan status gizi normal. Data sebaran subjek berdasarkan
prestasi akademik dan status gizi disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Sebaran subjek berdasarkan Indeks Prestasi (IP) dan status gizi
Status gizi
Indeks Sangat Over-
Kurus Normal Obese Total
prestasi kurus weight
n % n % n % n % n % n %
Kurang 0 0 1 7.1 7 4.0 0 0.0 2 8.7 10 4.3
Memuaskan 1 25.0 1 7.1 19 10.8 3 23.1 4 17.4 28 12.2
Sangat
1 25.0 7 50.0 73 41.4 4 30.8 10 43.5 95 41.3
memuaskan
Cumlaude 2 50.0 5 35.7 77 43.8 6 46.1 7 30.4 97 42.2
Hasil uji korelasi chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara prestasi akademik dan status gizi subjek (p=0.862). Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian Hioui et al. (2016) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara prestasi akademik dan status gizi. Pada penelitian tersebut
ditemukan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi prestasi akademik,
salah satunya adalah stunting dan kemiskinan pada 5 tahun pertama kehidupan.
Penelitian yang dilakukan Ong (2010) juga menyatakan tidak terdapat hubungan
antara status gizi dengan prestasi akademik pada siswa.
Perbedaan hasil dengan teori tersebut dapat disebabkan karena tidak
seimbangnya kelompok subjek berdasarkan status gizi. Mayoritas subjek pada
penelitian ini memiliki status gizi normal (76.5%) dan sebagian besar subjek
dengan ststus gizi normal memiliki indeks prestasi (IP) cumlaude (Tabel 23).
Selain itu, banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi akademik selain
status gizi, seperti minat, motivasi, lingkungan tempat tinggal, lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan fasilitas pengajaran.
Simpulan
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi program studi S-1
Gizi Masyarakat IPB tingkat I, tingkat II, dan tingkat III dan memenuhi kriteria
inklusi berjumlah 230 orang. Hampir seluruh subjek berusia 18 – 22 tahun
(remaja akhir). Sebanyak 89.1% subjek berjenis kelamin perempuan. Rata-rata
uang saku subjek Rp 1 352 304 ± 526 709 per bulan (tergolong sedang). Rata-rata
alokasi uang saku untuk konsumsi pangan subjek sebesar Rp 846 843 ± 300 981
per bulan (tergolong sedang). Sebagian besar subjek memiliki status gizi normal
(76.5%), namun terdapat 15.7% subjek yang mengalami kelebihan berat badan.
Tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, zat besi, seng, dan
vitamin C sebagian besar subjek tergolong defisit. Pada asupan dan tingkat
kecukupan protein dan seng subjek semakin tinggi tingkat kuliah, semakin tinggi
pula asupan dan tingkat kecukupannya (p<0.05). Uji lanjutan menunjukkan bahwa
asupan protein pada subjek tingkat III lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0.05)
dengan tingkat I dan tingkat II.
Perilaku makan subjek dilihat dari tiga aspek, yaitu emotional eating,
external eating, dan restrained eating. Rata-rata skor emotional eating external
eating, dan restrained eating subjek berturut-turut adalah 2.27 ± 0.74, 3.30 ± 0.56,
dan 2.41 ± 0.75. Uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara
tingkat perkuliahan pada masing masing aspek (p>0.05).
Rata-rata kadar hemoglobin subjek 13.2±1.4 g/dL. Terdapat 14.8 % subjek
yang mengalami anemia. Sementara itu, prestasi akademik subjek sebagian besar
dalam kategori cumlaude dengan rata-rata IP 3.38±0.38. Uji beda menunjukkan
terdapat perbedaan nyata antara tingkat perkuliahan (p<0.05), semakin tinggi
tingkat perkuliahan semakin rendah IP subjek.
40
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Agustriyana NA. 2017. Fully human being pada remaja sebagai pencapaian
perkembangan identitas. Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia. 2(1): 9-
11.
41
Halterman JS, Kaczorowski JM, Aligne CA, Auinger P, dan Szilagyi PG. 2001.
Iron deficiency and cognitive achievement among school-aged children
and adolescents in the Uniter States. Pediatrics. 107(6): 1381 – 1386.
Herman CP, Roth DA, dan Polivy J. 2003. Effects of the presence of others on
food intake: a normative interpretation. Psychol Bull. 129(6):873–886.
Hildayati M. 2002. Penelusuran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi
Akademik Mahasiswa Semester I Universitas IBN Khaldun Bogor.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hioui E, Ahami A, Aboussaleh Y, Rusinek S. 2016. The relationship between
nutritional status andeducational achievements in the rural school children
of morocco. Journal of Neurological Disorders. 3(1): 1 – 4.
[IOM] Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intake for Energy,
Carbohydrate, Fiber, FAT, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino
Acids. A Report of the Panel on Macronutrients, Subcommittees on Upper
Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary
Reference Intakes, and the Standing Committee on the Scientific
Evaluation of Dietary Reference Intakes. Washington DC (US): National
Academies Press.
Indartanti D, Kartini A. 2014. Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada
remaja putri. Jurnal Sosio-Humaniora. 3 (2): 33 – 39.
Iskandaryah D dan Imam G. 2012. Analisis Faktor yang Memengaruhi Prestasi
Mahasiswa dalam Mempelajari Mata Kuliah Akuntansi Keuangan
Menengah, Studi Empiris pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi Reguler di
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro tahun angkatan
2009 dan 2010). Diponegoro Journal of Accounting. 1(2): 1 – 13.
Jansen A, Nederkoorn C, Roefs A, Bongers P, Teugels T, Haverman R. 2010. The
proof of pudding is in eating: is the DEBQ-external eatingscale a valid
measure of external eating?. Int J Eat Disord. 44:164 – 168. doi:
10.1002/eat.20799
Kaplan HI. 1957. The psychosomatic concept of obesity. J Nerv Ment Dis. 125
(2): 181 – 201.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
________. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Khedr E, Hamed S, Elbeih E, Shereef H. 2008. Iron states and cognitive ablities in
young adults: neuropsychological and neurophysiological assessment.
European Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience. 258(8): 489
– 496.
Khodijah. 2018. Hubungan antara konsumsi pagan enhancer dan inhibitor Fe, dan
aktivitas fisik dengan kadar hemoglobin dan prestasi akademik pada
mahasiswa gizi masyarakat IPB. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
44
INFORMED CONSENT
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN
Nama :...........................................................................................................
Usia :...........................................................................................................
Jenis Kelamin :...........................................................................................................
NIM :...........................................................................................................
No. HP :...........................................................................................................
Saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan mengerti mengenai penelitian
“Hubungan Eating Behaviour, Konsumsi Pangan, dan Status Anemia dengan
Prestasi Akademik Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi IPB”. Saya
menyatakan SETUJU untuk ikut berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitian
ini dengan memberikan informasi yang dibutuhkan dengan sebenar-benarnya.
Demikian pernyataain ini saya buat dengan sukarela tanpa paksaan dari
pihak manapun untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Subjek,
(............................................)
48
KUISIONER PENELITIAN
Kode responden :
Tanggal wawancara : ...............................................................................................
Enumerator : ...............................................................................................
Nama Subjek : ...............................................................................................
NIM : ...............................................................................................
No. HP : ...............................................................................................
Kode Responden :
A. Karakteristik Mahasiswa/Mahasiswi
A.1 Nama :
A.2 Usia : tahun
A.3 Tanggal Lahir (DD/MM/YYYY) :
A.4 Jenis Kelamin :L/P
A.5 Angkatan :
A.6 Anak ke ….. dari ….. : dari
A.7 Uang Saku/bulan :
A.8 Berat Badan : kg
A.9 Tinggi Badan : cm
B. KarakteristikKeluarga
B.1 AYAH
B.1.1 Nama :
B.1.2 Usia :
B.1.3 Pendidikan Terakhir : 1. Tidak Sekolah 4. SMP/Sederajat
2. Tidak tamat SD 5. SMA/Sederajat
3. SD/Sederajat 6. PT/Sederajat
B.1.4 Pekerjaan : 1. PNS/TNI/POLRI 5. Pedagang
2. Pegawaiswasta 6. Buruh
3. Petani 7. Tidakbekerja
4. Wiraswasta 8. Lainnya
B.1.5 Pendapatan/bulan : 1. <Rp 1 500 000
2. Rp 1 500 000 – Rp 2 499 999
3. Rp 2 500 000 – Rp 3 500 000
4. Rp 3 500 000
B.2 IBU
B.2.1 Nama :
B.2.2 Usia :
B.2.3 PendidikanTerakhir : 1. TidakSekolah 4. SMP/Sederajat
2. Tidaktamat SD 5. SMA/Sederajat
3. SD/Sederajat 6. PT/Sederajat
B.2.4 Pekerjaan : 1. PNS/TNI/POLRI 5. Pedagang
2. Pegawaiswasta 6. Buruh
3. Petani 7. Tidakbekerja
4. Wiraswasta 8. Lainnya
B.1.5 Pendapatan/bulan : 1. <Rp 1 500 000
2. Rp 1 500 000 – Rp 2 499 999
3. Rp 2 500 000 – Rp 3 500 000
4. Rp 3 500 000
B.3 BesarKeluarga : orang
50
Kode Responden :
Enumerator :
Nama Responden :
NIM :
Tanggal wawancara :
Berat
Wakti makan Nama Makanan Jenis Pangan URT
(g)
Pagi
Selingan 1
Siang
Selingan 2
Malam
51
Kode Responden :
a. Bacalah setiap pertanyaan dengan hati-hati dan jawab dengan memberi tanda
(X) pada kolom jawaban yang dipilih.
b. Satu pertanyaan hanya diperbolehkan menjawab dengan satu jawaban sesuai
dengan keadaan yang dialami.
Tidak Kadang-
No. Pertanyaan Jarang Sering Selalu
pernah kadang
1 Apakah kamu ingin makan
ketika kamu kesal?
2 Ketika makanannya terasa enak,
apakah kamu akan makan lebih
banyak dari biasanya?
3 Ketika berat badan kamu
bertambah, apakah kamu akan
mekan lebih sedikit dari
biasanya?
4 Apakah kamu ingin makan
ketika kamu merasa depresi atau
sedih?
5 Ketika makanan terasa dan
tercium enak, apakah kamu akan
makan lebih banyak dari
biasanya?
6 Seberapa sering kamu menolah
makanan atau minuman karena
khawatir dengan berat badan
kamu?
7 Apakah kamu ingin makan
ketika merasa kesepian?
8 Ketika kamu melihat atau
mencium sesuatu yang lezat,
apakah kamu ingin
memakannya?
9 Apakah kamu ingin makan
ketika seseorang membuat kamu
kecewa?
10 Di waktu makan, apakah kamu
mencoba untuk makan lebih
sedikit dari sebetulnya kamu
inginkan?
11 Jika kamu punya makanan yang
lezat, apakah kamu akan segera
memakannya?
12 Apakah kamu ingin makan
ketika seseorang membuat kamu
marah?
52
Tidak Kadang-
No. Pertanyaan Jarang Sering Selalu
pernah kadang
13 Apakah kamu betul betul
memperhatikan (melihat) apa
yang kamu makan?
14 Ketika kamu sedang berjalan
melewati toko makanan, apakah
kamu ingin membeli sesuatu
yang enak?
15 Apakah kamu dengan sengaja
memakan makanan yang dapat
menguruskan badan?
16 Ketika melihat orang lain
makan, apakah kamu juga
merasa ingin makan?
17 Ketika kamu makan banyak,
apakah kamu makan lebih
sedikit di hari-hari berikutnya?
18 Apakah kamu menjadi ingin
makan ketika gelisah, khawatir,
dan tegang?
19 Apakah kamu merasa sulit
menolak makanan yang lezat?
20 Apakah kamu dengan sengaja
makan lebih sedikit karena tidak
ingin bertambah berat badan?
21 Apakah kamu merasa ingin
makan ketika sesuatu berjalan
tidak sesuai dengan keinginan
atau berjalan tidak semestinya?
22 Ketika melewati toko atau
warung makan yang
menyediakan makanan enak,
apakah kamu ingin
membelinya?
23 Apakah kamu ingin makan
ketika sedang emosi?
24 Apakah kamu ingin makan lebih
banyak dari biasanya , ketika
melihat orang lain makan?
25 Seberapa sering kamu
menghindari makan malam
karena kamu sedang manjaga
berat badan?
26 Apakah kamu merasa ingin
makan ketika merasa takut?
27 Apakah kamu mengaitkan berat
badan kamu dengan apa yang
kamu makan?
28 Apakah kamu ingin makan
ketika kamu merasa kecewa?
53
RIWAYAT HIDUP