Anda di halaman 1dari 69

ANALISIS PERILAKU MAKAN, KONSUMSI PANGAN,

KADAR HEMOGLOBIN DAN PRESTASI AKADEMIK PADA


MAHASISWA PROGRAM STUDI S-1 ILMU GIZI

NADYA ASY-SYIFA RAHMAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perilaku


Makan, Konsumsi Pangan, Kadar Hemoglobin dan Prestasi Akademik pada
Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2019

Nadya Asy-syifa Rahman


NIM I14140038
2
i

ABSTRAK

NADYA ASY-SYIFA RAHMAN. Analisis Perilaku Makan, Konsumsi Pangan,


Kadar Hemoglobin dan Prestasi Akademik pada Mahasiswa Program Studi S-1
Ilmu Gizi. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan REISI NURDIANI.

Remaja merupakan jenjang usia yang rentan terhadap perubahan perilaku


makan dan dapat berpengaruh pada konsumsi pangan, kadar hemoglobin, status
gizi, dan prestasi akademik. Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku makan,
konsumsi pangan, kadar hemoglobin, status gizi, dan prestasi akademik pada
mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi IPB. Penelitian ini dilakukan dengan
desain cross sectional study pada bulan Mei hingga Juni 2018 dengan subjek 230
orang. Data konsumsi pangan dan perilaku makan didapat berdasarkan pengisian
kuesioner food recall 2x24 jam dan Dutch Eating Behaviour Questionnaire
(DEBQ), sedangkan kadar hemoglobin diperoleh melalui metode hemocue. Hasil
penelitian menunjukkan persentase subjek yang mengalami anemia sebanyak
14.8%. Sebagian besar subjek mengalami defisit asupan energi dan zat gizi. Rata-
rata skor perilaku makan subjek lebih tinggi pada aspek external eating (3.30 ±
0.56). Rata rata subjek memiliki indeks prestasi (IP) 3.38± 0.38. Hasil uji
hubungan menunjukkan adanya hubungan positif asupan protein dan zat besi
dengan perilaku external eating (p<0.1) serta adanya hubungan positif asupan zat
besi dengan anemia (p<0.05). Uji hubungan menunjukkan adanya hubungan
signifikan negatif external eating dengan IMT (p<0.05), dan hubungan signifikan
positif restrained eating dengan IMT (p<0.05). Terdapat hubungan positif antara
emotional eating dengan kadar hemoglobin (p<0.05).

Kata kunci: DEBQ, emotional eating, external eating, restricted eating, remaja

ABSTRACT

NADYA ASY-SYIFA RAHMAN. Analysis of Eating Behavior, Food


Consumption, Hemoglobin Levels and Academic Achievement of Undergraduate
Student in Nutrition Science. Supervised by SITI MADANIJAH and REISI
NURDIANI.

Adolescence was the transitional stage of changes in eating behavior that


can affect food consumption, hemoglobin levels, nutritional status, and academic
achievement. This study was aim to analyze the eating behavior, food
consumption, hemoglobin level, nutritional status, and academic achievement of
Nutrition students in Bogor Agricultural University. This research was conducted
with a cross sectional study design from May to June 2018 with 230 subject. Food
consumption and eating behavior data were obtained by filling 2x24 hour food
recall questionnaire and Dutch Eating Behavior Questionnaire (DEBQ), while
hemoglobin levels were obtained by the hemocue method. The results showed
14.8% subject had anemia. Most subjects also had energy and nutrient intake
ii

deficit. The average score of the subject's eating behavior was higher in the
external eating aspect (3.30 ± 0.56). The average subject has a grade point (IP) of
3.38 ± 0.38. Corelation test results showed a positive corelation of protein and
iron intake with external eating behavior (p <0.1) and a positive corelation
between iron intake and anemia (p <0.05). Corelation test showed a significant
negative corelation between external eating with BMI (p <0.05), and a significant
positive corelation with restrained eating with BMI (p <0.05). There is a positive
corelation between emotional eating and hemoglobin levels (p <0.05).

Keywords: DEBQ, emotional eating, external eating, restricted eating, adolescent


iii

ANALISIS PERILAKU MAKAN, KONSUMSI PANGAN,


KADAR HEMOGLOBIN DAN PRESTASI AKADEMIK PADA
MAHASISWA PROGRAM STUDI S-1 ILMU GIZI

NADYA ASY-SYIFA RAHMAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
Dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
iv
v
vi
vii

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr Wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang
dipilih adalah mengenai eating behaviour dan anemia dengan judul “Analisis
Eating Behaviour, Konsumsi Pangan, Kadar Hemoglobin dan Prestasi Akademik
pada Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi IPB”. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS dan Reisi Nurdiani, SP MSi selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran, dan arahan
sejak awal penyusunan hingga terselesaikannya karya ilmiah ini.
2. Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi; Hana Fitria Navratilova, SGz MSc; dr
Naufal Muharam Nurdin, SKed; dan dr Karina Rahmadia Ekawidyani,
MGizi atas bimbingan dan arahan selama penelitian.
3. Keluaga terkasih, yaitu Obar (alm) dan Ai Satriani (ibu), serta kakak (Fikri)
dan adik (tsalisa) penulis atas dukungan, doa, dan kesabaran yang tiada
hentinya.
4. Dinar Kuntari, Khodijah, dan Bonita Ratnasari yang selalu setia membantu
dan memberi semangat baru pada penulis hingga penelitian selesai.
5. Windi Ayu Triwardani dan Gusreviani Lisa yang telah memberikan
semangan dan bantuan selama penyelesaian karya ilmiah.
6. Teman-teman Gizi Masyarakat IPB angkatan 51 atas bantuan dan
dukungannya selama penulis menyelesaikan perkuliahan di Departemen
Gizi Masyarakat IPB.
7. Seluruh teman-temen Gizi masyarakat angkatan 52, 53, dan 54 yang telah
bersedia menjadi subjek penelitian ini dan telah memberia semangat dan
dukungan pada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam pembuatan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
terutama bagi bidang gizi masyarakat.

Bogor, September 2019

Nadya Asy-syifa Rahman


viii
ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 3
Manfaat Penelitian 3
KERANGKA PEMIKIRAN 4
METODE 6
Desain, Tempat, dan Waktu Penelian 6
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek 6
Jenis dan Cara Pengambilan Data 7
Pengolahan dan Analisis Data 8
Definisi Operasional 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Karakteristik Subjek 12
Karakteristik Keluarga 14
Status Gizi 17
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi 18
Perilaku Makan 22
Kejadian Anemia 26
Prestasi Akademik 27
Hubungan Perilaku Makan dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat 28
Gizi
Hubungan Perilaku Makan dengan Status Gizi 30
Hubungan Perilaku Makan dengan Kadar Hemoglobin 31
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Kadar 33
Hemoglobin
Hubungan Prestasi Akademik dengan Tingkat Kecukupan Energi dan 36
Zat Gizi
Hubungan Prestasi Akademik dengan Status Gizi 37
Hubungan Prestasi Akademik dengan Kadar Hemoglobin 38
SIMPULAN DAN SARAN 39
Simpulan 39
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 40
LAMPIRAN 47
x

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 7


2 Pengkategorian variabel 8
3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu 13
4 Sebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan orangtua 15
5 Sebaran subjek berdasarkan pekerjaan orangtua 15
6 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan per kapita orang tua dan 16
besar keluarga
7 Sebaran subjek berdasarkan status gizi 17
8 Rata-rata asupan zat gizi berdasarkan tingkat kuliah 18
9 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi 19
10 Rata-rata skor emotional eating berdasarkan tingkat kuliah 22
11 Rata-rata skor external eating berdasarkan tingkat kuliah 23
12 Rata-rata skor restrained eating berdasarkan tingkat kuliah 25
13 Sebaran subjek berdasarkan status anemia 26
14 Sebaran subjek berdasarkan Indeks Prestasi (IP) 28
15 Hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan perilaku 29
makan
16 Hubungan perilaku makan dengan indeks massa tubuh 30
17 Rata-rata skor perilaku makan berdasarkan status anemia 31
18 Hubungan skor perilaku makan dengan kadar hemoglobin 32
19 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan status 33
anemia
20 Hubungan tingkat kecukupan zat gizi dengan kadar hemoglobin 34
21 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan indeks 37
prestasi
22 Sebaran subjek berdasarkan Indeks Prestasi (IP) dan status gizi 38

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan, perilaku makan, 5


anemia, dan status gizi dengan prestasi akademik
2 Kerangka penarikan subjek 6

DAFTAR LAMPIRAN

1 Contoh Kuesioner Penelitian 47


xi
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan suatu bangsa dapat dikatakan berhasil apabila memiliki


sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik
yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta tangkas dan cerdas.
Sumberdaya manusia yang berkualitas akan mendorong keberhasilan
pembangunan nasional. Salah satu kelompok masyarakat yang diharapkan
memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas adalah mahasiswa. Sebagian
besar mahasiswa terutama yang berada pada strata satu tergolong dalam kategori
remaja.
Secara biologis, psikologis, kognitif, maupun sosio-emosional serta
kepribadian remaja mengalami banyak perubahan dan perkembangan (Tzafettas
2009). Perubahan psikososial yang terjadi pada remaja membuat remaja ingin
terlihat menarik didepan sebayanya, dan membuat remaja lebih memperhatikan
citra tubuh (Muscary 2005). Ramsay et al. (2013) menyatakan bahwa
ketidakpuasan remaja akan citra tubuhnya merupakan perilaku awal dalam
perkembangan gangguan perilaku makan.
Strien (1986) menyebutkan bahwa perilaku makan terdiri dari tiga teori,
yaitu emotional eating, external eating, dan restrained eating. Emotional eating
terjadi ketika seseorang menggunakan makanan untuk mengatasi emosi negatif
daripada untuk memuaskan rasa lapar. Remaja lebih banyak mengalami stress dan
kebingungan. Hal tersebut dapat menjadi penyebab remaja untuk makan lebih
banyak (Rodriguez et al. 2009). Penelitian pada tahun 2004 menunjukkan remaja
yang mengalami emotional eating makan lebih banyak kue, biskuit, dan kacang-
kacangan (Michel 2007). Teori kedua yaitu External eating, yaitu ketika
seseorang makan berlebihan akibat rangsangan makanan yang meliputi
penglihatan, penciuman, dan rasa makanan terlepas dari keadaan lapar dan
kenyang secara psikologis (Schachter 1971). Penelitian Sholeha (2014) pada
remaja memberi hasil bahwa perilaku eksternal eating merupakan perilaku yang
dominan berada pada remaja. Sebanyak 75% subjek pada penelitian tersebut
mengalami external eating.
Teori perilaku makan berikutnya adalah restrained eating yaitu perilaku
mengurangi asupan makan yang dapat menyebabkan berat badan berlebih melalui
terlalu banyak makan ketika individu tersebut tidak ingin lagi menahan makan
(Snoek et al. 2013). Remaja seringkali memiliki perilaku tersebut karena tidak
puas akan penampilan diri sendiri (body image). National Eating Disorders
Association (2004) menyebutkan bahwa perilaku diet, makan berlebihan, dan
tidak makan merupakan akibat dari usaha coping dari emosi-emosi negatif pada
remaja dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan emosi, serta
self-esteem seseorang.
Dutch Eating Behaviour Questionnaire (DEBQ) adalah instrumen gold
standard yang telah dipakai secara internasional untuk mengukur ketiga dimensi
kognitif, emosional dan kebiasaan dari perilaku makan. Berdasarkan Strien (1986),
instrumen tersebut memiliki konsistensi internal dan validitas yang tinggi.
Instrumen ini berisikan beberapa item pertanyaan yang dapat mengukur ketiga
2

aspek perilaku makan, yaitu emotional eating, external eating, dan restrained
eating.
Periode remaja merupakan periode pertumbuhan yang cepat dan akan
menimbulkan konsekuensi terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi untuk
mengimbangi pertumbuhan yang cepat tersebut. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi intake seseorang adalah perilaku makan. Perilaku makan yang
tidak baik seperti membatasi makan dan makan berlebihan akibat emosi negatif
atau rangsangan makanan akan berdampak pada masalah gizi seperti obesitas,
atau defisiensi zat gizi. Masalah gizi yang dialami oleh remaja akan berakibat
terhadap status gizi yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas
(Indartanti 2014).
Salah satu masalah gizi yang dapat dialami oleh remaja adalah defisiensi
zat besi (Arisman 2010). Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro
yang paling umum terjadi di dunia dan merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi (Khaedr et al. 2008). Tingkatan paling parah dari
defisiensi zat besi disebut dengan anemia, yaitu penurunan kuantitas sel darah
merah dalam sirkulasi atau jumlah hemoglobin berada di bawah batas normal.
Laki-laki berusia lebih dari 15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hb di
bawah 13.0 g/dL dan wanita usia subur 15-49 tahun mengalami anemia bila kadar
Hb di bawah 12.0 g/dL (Kemenkes 2013).
Prevalensi anemia di dunia antara tahun 1993 sampai dengan tahun 2005
adalah sebanyak 24.8% dari total penduduk di dunia (WHO 2008). Prevalensi
anemia di negara berkembang dilaporkan empat kali lebih tinggi daripada di
negara maju (WHO 2004). Prevalensi anemia secara nasional menurut Riskesdas
pada tahun 2013 pada kelompok umur 15-24 tahun adalah sebanyak 18.4 %,
sedangkan pada tahun 2007 adalah sebanyak 6.9 % dari seluruh penduduk
Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa prevalensi anemia di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Kekurangan zat besi yang dialami oleh kelompok remaja merupakan
faktor signifikan yang dapat memengaruhi kecerdasan (Khedr et al. 2008).
Penelitian menunjukkan bahwa anemia yang dialami oleh usia remaja dapat
menyebabkan penurunan kemampuan akademik remaja (Felt et al. 2006),
sedangkan Halterman et al. (2001) menyatakan bahwa defisiensi zat besi dapat
memengaruhi kinerja akademik seseorang. Penelitian terdahulu pada hewan dan
manusia menujukkan bahwa kekurangan zat besi bukan hanya berakibat pada
terjadinya anemia, namun juga pada kemampuan gerak motorik, perkembangan
mental, kognitif dan fungsi tingkah laku (Felt et al.2006).
Penelitian Apriani (2016) menunjukkan bahwa praktik gizi mahasiswa
ilmu gizi masih tergolong sedang. Praktik gizi yang terkait seperti konsumsi air
putih, mencuci tangan, melakukan aktivitas fisik, konsumsi makanan beragam,
konsumsi sayuran, buah-buahan, lauk hewani dan nabati, minum susu, dan fast
food. Selain itu, penelitian Lestari (2017) pada mahasiswa ilmu gizi menunjukkan
bahwa konsumsi rata-rata mahasiswa belum sesuai dengan jumlah yang
dianjurkan oleh pedoman Gizi Seimbang (PGS). Berdasarkan uraian diatas,
penulis tertarik untuk meneliti analisis perilaku makan, konsumsi pangan, kadar
hemoglobin, dan prestasi akademik mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
3

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan
antara perilaku makan, konsumsi pangan, kadar hemoglobin, status gizi dan
prestasi akademik mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.

Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi karakteristik mahasiswa dan keadaan sosial ekonomi
keluarga mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
2. Mengidentifikasi perilaku makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi,
kadar hemoglobin, status gizi dan indeks prestasi mahasiswa program
studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
3. Menganalisis perbedaan perilaku makan, tingkat kecukupan energi dan zat
gizi, kadar hemoglobin, status gizi, dan prestasi akademik antara
mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi IPB tingkat I, tingkat II, dan
tingkat III.
4. Menganalisis hubungan antara perilaku makan dengan tingkat kecukupan
energi dan zat gizi, status gizi, dan kadar hemoglobin mahasiswa program
studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi,
status gizi, dan kadar hemoglobin dengan prestasi akademik mahasiswa
program studi S-1 Ilmu Gizi IPB.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Terdapat perbedaan perilaku makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi,
status gizi, kadar hemoglobin, dan prestasi akdemik antarra mahasiswa
program studi S-1 Ilmu Gizi IPB tingkat I, tingkat II, dan tingkat III.
2. Terdapat hubungan antara perilaku makan dengan tingkat kecukupan
energi dan zat gizi, kadar hemoglobin, dan status gizi mahasiswa program
studi S-1 Ilmu Gizi IPB.
3. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi, status
gizi, dan kadar hemoglobin dengan prestasi akademik mahasiswa program
studi S-1 Ilmu Gizi IPB

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi


mengenai keragaan konsumsi pangan dan kadar mahasiswa program studi S-1
Ilmu Gizi IPB sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi instansi terkait
untuk kebijakan mencegah anemia dan meningkatkan prestasi akademik
mahasiswa. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi informasi bagi
4

mahasiswa mengenai pentingnya fungsi zat gizi bagi tubuh manusia sehingga
diharapkan mahaiswa mampu mengatur konsumsi makannya.

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik subjek meliputi umur dan uang saku dapat secara langsung
memengaruhi konsumsi pangan baik dalam jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi. Uang saku dan alokasi uang saku terhadap pangan subjek dapat
berpengaruh pada daya beli subjek, sehingga uang saku berhubungan dengan pola
konsumsi pangan subjek dalam hal jenis dan jumlah konsumsi pangan. Selain itu,
jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan subjek juga dapat berpengaruh
terhadap kebutuhan zat gizi subjek sehingga akan berdampak pada jumlah dan
jenis pangan yang dikonsumsi (Susilo 2006).
Faktor lain yang dapat memengaruhi konsumsi pangan adalah perilaku
makan. Strien (1986) membahas mengenai perilaku makan pada remaja ke dalam
3 aspek gaya makan, yaitu emotional eating, restraint eating, dan external eating.
Perilaku makan dapat dipengaruhi oleh citra tubuh dan emotional distress. Citra
tubuh yang negatif yaitu perasaan tidak puas dengan penampilan diri sendiri,
dapat memengaruhi perilaku makan karena perasaan kurang memiliki bentuk
badan ideal (Purwaningrum 2008). Emotional distress dapat memengaruhi
perilaku makan karena remaja dapat memiliki perubahan perilaku makan ketika
merasa ketidakstabilan emosi, seperti marah, bosan, stres, dan depresi. Namun
demkian, citra raga dan emotional distress tidak dikaji pada peneltian ini.
Konsumsi pangan yang meliputi tingkat kecukupan energi, protein, zat
besi, seng, dan vitamin C merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi
kadar hemoglobin (Hb) dalam darah (Siahaan 2016). Konsumsi pangan yang
cukup akan menyediakan zat gizi yang cukup untuk pembentukan sel darah merah
yang diperlukan oleh tubuh. Status anemia juga dapat dipengaruhi oleh faktor
riwayat penyakit kronik maupun infeksi yang diderita oleh subjek, terjadinya
pendarahan, serta lama dan siklus menstruasi khusus pada subjek berjenis kelamin
perempuan. Namun demikian faktor tersebut tidak dikaji dalam penelitian ini.
Kadar hemoglobin darah yang rendah akibat anemia dapat menurunkan
suplai oksigen pada jaringan sehingga menimbulkan gejala tidak mampu
berkonsentrasi yang dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas dan
kemampuan belajar seseorang yang tercermin dari prestasi akademik (Felt et
al.2006). Selain itu, prestasi akademik subjek dapat dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi keadaan fisik, minat,
motivasi, tingkat stres, tingkat kelelahan, genetik, dan kecerdasan sedangkan
faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, lingkungan kampus, serta
lingkungan masyarakat. Keadaan keluarga, kampus, dan masyarakat dapat
menentukan bagaimana cara belajar seseorang (Andjani dan Adam 2013). Faktor
internal dan faktor eksternal tidak diamati dalam penelitian ini. Kerangka
penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
5

Karakteristik individu:
- Usia
- Status gizi Karakteristik
- Jenis kelamin keluarga:
- Uang saku - Pendapatan
- Alokasi uang saku - Pendidikan - Emotional distress
untuk konsumsi - Pekerjaan - Body image (Citra
pangan - Besar keluarga tubuh

Asupan dan tingkat


kecukupan Perilaku makan
- Energi - Seng - Emotional eating
- Protein - Vit C - Restraint eating
- Lemak - Eksternal eating
- Karbohidrat
- Zat besi

- Penyakit kronik Status anemia Status gizi


dan infeksi (kadar Hb)
- Pendarahan
- Lama dan siklus
menstruasi Prestasi akademik
(Indeks Prestasi)

Faktor internal: Faktor eksternal:


- Keadaan fisik - Lingkungan keluarga
- Minat - Pengawasan dan bimbingan
- Motivasi - Lingkungan kampus
- Tingkat stress - Lingkungan masyarakat
- Tingkat kelelahan - Pengajar/dosen
- Kuliah mnoton

Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang dianalisis
: Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan, perilaku makan,
anemia, dan status gizi dengan prestasi akademik
6

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross


sectional study, yaitu penelitian dengan mengukur variabel-vaiabelnya dalam satu
waktu. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Departemen Gizi
Masyarakat IPB. Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Gizi Masyarakat
Institut Pertanian Bogor. Lokasi dipilih secara purposive dengan kriteria populasi
merupakan mahasiswa program studi S-1 Ilmu Gizi tingkat I, tingkat II, dan
tingkat III. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2018. Penelitian
ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik yang melibatkan Responden
Manusia Institut Pertanian Bogor dengan Nomor: 086/IT3.KEPMSM-
IPB/SK/2018.

Jumlah dan Cara Pemilihan Subjek

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Subjek


adalah mahasiswa dan mahasiswi program studi S-1 Ilmu Gizi, Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Subjek yang
diteliti adalah mahasiswa yang berada pada tingkat I, tingkat II, dan tingkat III
dengan kriteria inklusi, yaitu: (1) mahasiswa dan mahasiswi program studi S-1
Ilmu gizi IPB reguler; (2) masih berstatus mahasiswa aktif. Informasi mengenai
penelitian dijelaskan oleh peneliti didalam kelas mahasiswa, kemudian mahasiswa
ditawarkan untuk berpartisipasi dan mengikuti rangkaian penelitian (pengisian
kuesioner, pengukuran antropometri, wawancara, dan pengambilan darah). Dari
sebanyak 268 mahasiswa yang memenuhi kriteria inklusi pada saat penjelasan
informasi rangkaian penelitian, terdapat 259 orang yang bersedia menjadi subjek
penelitian yang terdiri dari 87 subjek tingkat I, 88 subjek tingkat II, dan 84 subjek
tingkat III. Subjek drop out apabila tidak mengikuti salah satu rangkaian
penelitian atau data subjek tidak lengkap. Kerangka penarikan subjek dapat
dilihat dari Gambar 2.

Subjek tingkat Subjek tingkat Subjek tingkat


I (n=87) II (n=88) III (n=84)

dropout dropout dropout


14 subjek 5 subjek 10 subjek

n= 73 subjek n= 83 subjek n= 74 subjek

Total subjek penelitian


n= 230 subjek

Gambar 2 Kerangka penarikan subjek


7

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan melakukan wawancara, pengisian kuesioner yang sudah
dipersiapkan, dan pengukuran secara langsung oleh peneliti. Data primer meliputi
data karakteristik subjek (Usia, jenis kelamin, tingkat studi, berat badan, tinggi
badan, uang saku, dan alokasi uang saku untuk konsumsi pangan), karakteristik
keluarga subjek (besar keluarga, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua, dan
pendidikan orangtua), data konsumsi pangan, nilai hemoglobin dan data perilaku
makan (eating behaviour), sedangkan data sekunder meliputi nilai indeks prestasi
(IP) yang digunakan untuk mengukur prestasi akademik. Jenis dan cara
pengumpulan data disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Cara
Jenis
Variabel Pengumpulan Alat Pengumpul Data
Data
Data
Karakteristik subjek
Usia Primer Self-administered Kuesioner
Jenis Kelamin Questionnaire
Tingkat studi
Uang saku
Alokasi uang saku
untuk konsumsi
pangan
Karakteristik Keluarga Primer Self-administered Kuesioner
Besar keluarga Questionnaire
Pendidikan orangtua
Pekerjaan orangtua
Pendapatan orangtua
Antropometri Primer Pengukuran Timbangan berat badan
Berat badan langsung injak digital merek
Tinggi badan camry dan Tinggi
badan menggunakan
microtoise
Perilaku makan Primer Self-administered Kuesioner Dutch Eating
Questionnaire Behaviour
Questionnaire (DBEQ)
Konsumsi pangan Primer Self-administered Kuesioner food recall 2
Jenis pangan Questionnaire x 24 jam
URT dan Wawancara
Berat
Status anemia Primer Pengukuran Metode HemoCue
(kadar Hb) langsung
Prestasi akademik Sekunder - Data dari Departemen
Gizi Masyarakat dan
Program Pendidikan
Kompetensi Umum
8

Data karakteristik subjek dan karakteristik keluarga dikumpulkan dengan


menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh subjek setelah diberikan
penjelasan dan dipandu oleh peneliti. Data berat badan diperoleh melalui
pengukuran secara langsung menggunakan timbangan berat badan injak digital
dengan ketelitian 0.1 kg. Pengukuran berat badan dilakukan dengan cara subjek
berdiri tegak diatas alat ukur dengan pandangan tegak tanpa menggunakan alas
kaki dan benda-benda yang dianggap dapat memengaruhi hasil perhitungan
seperti jam tangan dan perhiasan. Data konsumsi pangan didapatkan berdasarkan
hasil wawancara dengan pengisian kuesioner berupa food recall 2 x 24 jam. Data
tersebut kemudian dikonversikan menjadi asupan energi, protein, zat besi, seng,
dan vitamin C kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi dalam AKG
2012 (WNPG 2012) menggunakan koreksi berat badan aktual untuk memperoleh
data tingkat Kecukupan zat gizi. Data Perilaku makan (eating behaviour)
diperoleh menggunakan alat ukur Dutch Eating Behaviour Questionaire (DBEQ)
yang dimodifikasi. Kuesioner ini dinilai berdasarkan skala Likert dengan 28 item
pertanyaan. Data Hemoglobin (Hb) digunakan untuk menentukan kondisi anemia
yang diperoleh melalui metode Hemocue. Data sekunder yang diambil dalam
penelitian ini adalah data Indeks Prestasi (IP).

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Pengolahan data


dimulai dari proses editing, pemberian kode data (coding), pemasukan data (data
entry), pengecekan ulang (cleaning), dan analisis data (analyze). Proses editing
adalah pemeriksaan seluruh data yang telah terkumpul. Coding adalah pemberian
kode tertentu yang telah ditentukan terhadap jawaban kuesioner. Entry adalah
memasukkan data jawaban kuesioner yang telah disesuaikan dengan kode.
Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007.
Tabel 2 Pengkategorian variabel
Variabel Data Pengelompokan Sumber
Karakteristik Usia 1. Remaja awal (<18 tahun) Agustriyana
subjek 2. Remaja akhir (18–22 (2017)
tahun)
Jenis kelamin 1. Laki-laki -
2. Perempuan
Uang saku 1. Rendah Sebaran data
2. Sedang
3. Tinggi
Alokasi uang saku 1. Rendah Sebaran data
untuk konsumsi 2. Sedang
pangan 3. Tinggi
Karakteristik Pendidikan orangtua 1. Tidak sekolah Ketentuan
keluarga 2. Tidak tamat SD peneliti
3. SD atau sederajat
4. SMP atau sederajat
5. SMA atau sederajat
6. Perguruan tinggi / sederajat
9

Tabel 2 Pengkategorian variabel (lanjutan)


Variabel Data Pengelompokan Sumber
Pekerjaan orangtua 1. PNS/TNI/POLRI Ketentuan
2. Pegawai Swasta peneliti
3. Petani
4. Wiraswasta
5. Pedagang
6. Buruh
7. Tidak bekerja
8. Lainnya
Besar keluarga 1. Kecil (≤4 orang) BKKBN
2. Sedang (5 – 6 orang) (2009)
3. Besar (>7 orang)
Pendapatan orang tua 1. Rendah Sebaran data
per kapita 2. Sedang
3. Tinggi
Konsumsi Tingkat kecukupan 1. Kurang (<80% AKG) WNPG (2004)
pangan energi dan protein 2. Baik (80 – 110% AKG)
3. Lebih (>110% AKG)
Tingkat kecukupan 1. Kurang (<20% AKE) IOM (2005)
lemak 2. Cukup (20 – 30% AKE)
3. Lebih (>30%AKE)
Tingkat kecukupan 1. Kurang (<45% AKE) IOM (2005)
karbohidrat 2. Cukup (45 – 60% AKE)
3. Lebih(>60% AKE)
Tingkat kecukupan zat 1. Defisit (<77% AKG) Gibson (2005)
besi, seng, dan 2. Cukup (≥77% AKG)
vitamin C
Eating Perilaku makan 1. Emotional eating Strien (1986)
behaviour 2. Restraint eating
3. Eksternal eating
Status Anemia Kadar hemoglobin 1. Anemia Kemenkes
Hb <12 g/dL (PR) (2013)
Hb <13 g/dL (LK)
2. Tidak Anemia
Hb ≥ 12 g/dL (PR)
Hb ≥ 13 g/dL (LK)
Prestasi Indeks Prestasi (IP) 1. Rendah (< 2.76) Sebaran data
akademik 2. Memuaskan (≥2.76 -- ≤
3.00)
3. Sangat memuaskan (≥3.01
- ≤ 3.50)
4. Cumlaude (≥ 3.51)
Perilaku makan atau disebut juga sebagai eating behaviour diukur
menggunakan kuesioner Dutch Eating Behaviour Questionnaire (DEBQ) yang
meliputi 3 aspek gaya makan yaitu emotional eating, restraint eating, dan
external eating. Kuesioner ini pertama kali dikembangkan oleh Van strein et al.
pada tahun 1986 dengan jumlah keseluruhan pertanyaan yaitu 33 item. Kuesioner
perilaku makan tersebut sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia pada
10

Lembaga Pusat Pengembangan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,


kemudian dimodifikasi dan diuji validitas dan realibilitas oleh Sholeha (2014),
sehingga menghasilkan 28 item pertanyaan valid yang terdiri dari 10 item
pertanyaan emotional eating, 9 item pertanyaan external eating, dan 9 item
pertanyaan restrained eating.
Penilaian setiap item pertanyaan pada kuesioner Dutch Eating Behaviour
Questionnaire tersebut menggunakan skala Likert dengan memberi nilai pada
setiap jawaban dengan rentang 1 – 5. Kategori skala Likert yang digunakan yaitu:
1. Tidak pernah, yang berarti tidak sesuai/tidak memadai.
2. Jarang, yang berarti kurang sesuai/kurang memadai.
3. Kadang-kadang, yang berarti cukup sesuai/kurang memadai.
4. Sering, yang berarti sesuai/memadai.
5. Selalu, yang berarti sangat sesuai/sangat memadai.
Penilaian masing-masing aspek perilaku makan dilakukan dengan
mendapatkan skor rata-rata; yaitu membagi total skor dari aspek perilaku makan
dengan jumlah pertanyaan pada masing-masing aspek Snoek et al. (2007).
𝐓𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐬𝐤𝐨𝐫
𝑴𝒆𝒂𝒏 =
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐧𝐲𝐚𝐚𝐧
Data konsumsi pangan yang didapat melalui metode recall 2 x 24 jam
meliputi jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi untuk menggambarkan
konsumsi pangan pada hari kuliah dan hari libur. Data tersebut kemudian
dikonversikan kedalam kandungan energi (kkal), protein (g), lemak (g),
karbohidrat (g), zat besi (mg), seng (mg) dan vitamin C (mg) dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Konversi jenis dan
jumlah pangan yang dikonsumsi kedalam kandungan energi dan zat gizi dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
Keterangan:
Kgij : Kandungan zat gizi i dalam pangan j dengan berat B gram
Bj : Berat pangan j yang dikonsumsi (g)
Gij : Kandungan zat gizi i dalam 100 g BDD pangan j
BDDj : Bagian bahan makanan yang dapat dimakan
Kandungan zat gizi makanan kemasan dihitung berdasarkan informasi
nilai gizi yang terdapat pada kemasan makanan dan disesuaikan dengan Acun
Label Gizi (ALG) pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.52.6291 Tahun 2007 untuk angka
kecukupan gizi berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal dan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016
untuk angka kecukupan gizi berdasarkan kebutuhan energi 2150 kkal.
Asupan zat gizi diperoleh dengan menjumlahkan kandungan zat gizi
dalam setiap bahan pangan yang dikonsumsi sesuai dengan masing-masing zat
gizi. Total asupan zat gizi kemudian dibandingkan dengam Angka Kecukupan
Gizi (AKG 2013). Kecukupan zat gizi digitung berdasarkan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan sesuai dengan umur dan berat badan sehat dengan koreksi berat
badan aktual dengan rumus sebagai berikut.
11

AKGi = (Ba/Bs) x AKG


Keterangan:
AKGi : Angka kecukupan energi dan zat gizi
Ba : Berat badan aktual sehat (kg)
Bs : Berat badan standar yang tercantum dalam AKG (kg)
AKG : Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi (WNPG 2013)
Rumus tersebut dapat diaplikasikan pada subjek yang memiliki status gizi
normal. Subjek dengan status gizi kurang, overweight, dan obese dikoreksi
menggunakan berat badan ideal menurut tinggi badan. Setelah didapatkan angka
kecukupan gizi yang sudah terkoreksi berat badan, tingkat kecukupan gizi dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐬𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐳𝐚𝐭 𝐠𝐢𝐳𝐢 𝐢
𝐓𝐊𝐆𝐢 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝑨𝑲𝑮 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒐𝒓𝒆𝒌𝒔𝒊 𝑩𝑩
Keterangan:
TKGi : Tingkat kecukupan zat gizi i
Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menjadi Kurang
(<80% AKG), baik (80 – 110% AKG), dan lebih (>110% AKG) menurut WNPG
(2004). Tingkat kecukupan lemak dikategorikan menjadi kurang (<20% AKE),
cukup (20 – 30% AKE), dan lebih (>30% AKE). Tngkat kecukupan karbohidrat
dikategorikan menjadi kurang (<45% AKE), cukup (455 – 60% AKE), dan lebih
(>60% AKE) berdasarkan IOM (2005). Tingkat kecukupan vitamin C, Fe, dan
seng dikategorikan menjadi Defisit (<77%AKG), dan cukuk (≥77% AKG)
berdasarkan Gibson (2005).
Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Statistical
Program for Social Science (SPSS) 16 for windows. Analisis data yang digunakan
adalah analisis deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif meliputi data
karakteristik subjek, karakteristik keluarga, risiko gangguan makan, konsumsi
pangan, anemia, dan prestasi akademik. Analisis bivariat dengan menggunakan uji
hubungan dan uji beda. Uji hubungan antara perilaku makan dengan tingkat
kecukupan zat gizi, status gizi, dan kadar hemoglobin menggunakan uji pearson.
Selain itu, uji hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta prestasi
akademik dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dan hemoglobin juga
menggunakan uji hubungan pearson. Sementara itu, uji hubungan antara prestasi
akademik dengan status gizi menggunakan uji chi-square dan uji regresi linier.
Uji beda yang digunakan untuk mengukur perbedaan tingkat kecukupan energi
dan zat gizi, status gizi, kadar hemoglobin, perilaku makan, dan prestasi akademik
antara subjek tingkat I, tingkat II, dan tingkat III adalah uji beda ANOVA.

Definisi Operasional

Anemia adalah kondisi ketika kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari 13
g/dL untuk laki-laki dan kurang dari 12 g/dL untuk perempuan.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluaga yang terdiri dari ayah, ibu, anak,
serta keluarga diluar keluarga inti yang menempati rumah yang sama.
12

Emotional eating adalah kecenderungan untuk makan lebih banyak makanan saat
keadaan emosi, seperti marah, kecewa, depresi maupun gembira seperti
senang yang terlepas keadaan kenyang atau lapar secara biologis.
External eating adalah kecenderungan untuk menerima rangsangan makanan
yang meliputi penglihatan, penciuman, dan rasa makanan terlepas dari
keadaan lapar dan kenyang secara biologis.
Jenis pangan adalah jenis pangan yang dikonsumsi oleh subjek berdasarkan
kuesioner recall 2 x 24 jam yang meliputi makanan pokok, pangan
hewani, pangan nabati, sayur, buah, gula, dan minyak.
Jumlah pangan adalah banyaknya pangan yang dikonsumsi berdasarkan
kuesioner recall 2 x 24 jam dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT)
yang dikonversikan kedalam satuan gram.
Karakteristik Subjek adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek meliputi usia,
jenis klamin, uang saku, berat badan.
Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh subjek
dalam satu hari diperoleh menggunakan kuesioner recall 2 x 24 jam.
Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal terakhir orangtua subjek
yang dikelompokkan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, SD atau
sederajat, SMP atau sederajat, SMA atau sederajat dan Perguruan tinggi
atau sederajat.
Perilaku makan (Eating Behaviour) adalah sikap subjek terhadap makan
berdasarkan aspek emotional eating, restraint eating, dan external eating
yang diukur menggunakan kuesioner DEBQ yang termodifikasi
menggunakan skala Likert.
Prestasi akademik adalah hasil pencapaian akademik yang ditentukan
berdasarkan nilai Indeks Prestasi.
Restraint eating adalah pembatasan asupan kalori yang disengaja dan
berkelanjutan sebagai usaha penurunan berat badan atau pemeliharaan
berat badan, namun dapat terjadi kontra regulasi pada saat seseorang
tersebut tidak ingin lagi menahan makan.
Subjek adalah seluruh mahasiswa gizi masyarakat pada tingkat I, tingkat II, dan
tingkat III tahun ajaran 2017/2018 yang bersedia mengikuti penelitian
dan sesuai dengan kriteria inklusi.
Uang saku adalah jumlah uang yang diberikan oleh orang tua subjek (Rp/bulan).
Usia adalah lama waktu hidup subjek dengan satuan tahun yang dihitung dari
pengurangan tahun penelitian dengan tahun kelahiran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Subjek

Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah populasi mahasiswa


program studi S-1 Ilmu Gizi, Institut Pertanian Bogor tingkat I, tingkat II, dan
tingkat III. Jumlah subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah sebanyak 230
orang yang terdiri dari 73 orang mahasiswa pada tingkat I, sebanyak 84 orang
mahasiswa pada tingkat II, dan sebanyak 74 orang mahasiswa pada tingkat III.
13

Karakteristik subjek terdiri dari usia, jenis kelamin, uang saku, alokasi uang saku
untuk konsumsi pangan, dan status gizi. Data karakteristik subjek berdasarkan
tingkat perkuliahan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Variabel
n % n % n % n %
Usia (tahun)
Remaja awal (<18) 4 5.5 0 0 0 0 4 1.7
Remaja akhir (≥18) 69 94.5 83 100 74 100 226 98.3
Rata-rata ± SD 19.0 ± 0.5 20.0 ± 0.5 21.0 ± 0.6 20.0 ± 0.9
Jenis kelamin
Laki-laki 8 11.0 4 4.8 13 17.5 25 10.8
Perempuan 65 89.0 79 95.2 61 82.4 205 89.1
Uang saku (Rp/bln)
Rendah (< 825
14 19.2 8 9.6 8 10.8 30 13.0
596)
Sedang (825 596 –
48 65.8 61 73.4 52 70.3 161 70.0
1 879 013)
Tinggi (> 1 879
11 15.1 14 16.9 14 18.9 39 17.0
013)
1 278 767 ± 1 357 831 ± 1 418 649 ± 1 352 304 ±
Rata-rata ± SD
508 464 516 643 552 760 526 709
Alokasi uang saku untuk konsumsi pangan (Rp/bln)
Rendah (>545 862) 13 17.8 10 12.0 7 9.5 30 13.0
Sedang (545 862 –
1 147 825) 50 68.5 62 74.7 57 77.0 169 73.5
Tinggi (>1 147
825) 10 13.7 11 13.2 10 13.5 31 13.5
Rata-rata ± SD 810 603 ± 312 854 819 ± 873 649 ± 846 843 ±
030 301 785 289 367 300 981
Subjek penelitian memiliki rentang umur 17 hingga 22 tahun, sehingga
dapat digolongkan dalam masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi
antara anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan
sosioemosional (Permatasari 2012). Remaja adalah satu dari beberapa golongan
usia yang termasuk kedalam golongan rentan gizi. Kelompok umur remaja berada
pada suatu siklus pertumbuhan dan perkembangan yang memerlukan zat-zat gizi
dalam jumlah yang lebih besar dari kelompok umur lain (Setyawati dan Setyowati
2015). Berdasarkan tabel 4, sebaran usia dan jenis kelamin subjek tidak merata.
Secara keseluruhan hampir seluruh subjek merupakan remaja akhir (18 – 22
tahun), sedangkan subjek yang dengan kategori usia remaja awal (12 – 17 tahun)
hanya sebanyak 4 orang. Seluruh subjek dengan kategori remaja awal berada pada
tingat I.
Jenis kelamin subjek dapat mempengaruhi kebutuhan zat gizi dan perilaku
makan subjek. Remaja perempuan lebih banyak merasa kurang puas akan keadaan
tubuhnya serta memiliki gambaran body image yang negatif dibandingkan dengan
remaja laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena ketika akan memasuki masa
remaja perempuan akan mengalami peningkatan lemak tubuh pada berbagai sisi
tubuh dan membentuk persepsi bentuk tubuh yang tidak ideal, sedangkan remaja
putra akan lebih merasa puas apabila massa otot meningkat, sehingga hal tersebut
14

dapat mempengaruhi perilaku makan (Santrock 2003). Pada penelitian ini,


sebagian besar subjek merupakan perempuan (89.1%).
Uang saku merupakan jumlah uang yang diterima subjek dalam rentang
waktu satu bulan. Uang saku yang lebih besar dapat membuat seseorang lebih
leluasa dalam memilih dan mengonsumsi makanan yang beragam. Berdasarkan
Tabel 3, rata-rata uang saku per bulan subjek lebih tinggi pada subjek tingkat III
dibandingkan dengan tingkat I dan tingkat II. Sebagian besar subjek (70%)
diberikan uang saku antara Rp 825 596 – Rp 1 879 013 yang tergolong sedang.
Sementara itu, alokasi uang saku untuk konsumsi pangan per bulan juga lebih
tinggi pada tingkat III dibandingkan dengan tingkat I dan tingkat II.
Persentase alokasi uang saku untuk konsumsi pangan tingkat I, tingkat II,
dan tingkat III berturut turut adalah 63.4%, 62.9%, dan 61.6%. Hasil tersebut
menujukkan bahwa tingkat I memiliki alokasi uang saku untuk konsumsi pangan
yang lebih tinggi daripada tingkat II dan tingkat III. Meskipun demikian, alokasi
uang saku untuk konsumsi pangan pada tingkat III lebih tinggi daripada tingkat I
dan tingkat II. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
perkuliahan, kualitas maupun kuantitas pangan yang dikonsumsi lebih tinggi pada
tingkat III, namun apabila dibandingkan dengan uang saku, alokasi uang saku
untuk konsumsi pangan tingkat III lebih rendah daripada tingkat I dan II.
Beberapa faktor dapat menyebabkan hal tersebut dapat terjadi, diantaranya adalah
perbedaan prioritas penggunaan uang saku. Berdasarkan data, prioritas subjek
tingkat I lebih tinggi terhadap konsumsi pangan daripada subjek tingkat III.
Tinjauan lapang menunjukkan bahwa subjek tingkat III lebih besar beban
tugasnya daripada tingkat I dan II, sehingga alokasi uang saku untuk tugas
perkuliahan lebih tinggi pula pada tingkat III. Penelitian Chaerunnisa (2017) pada
subjek mahasiswa ilmu gizi juga menyatakan bahwa 60% uang saku dialokasikan
untuk konsumsi pangan.

Karakteristik keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat dan memiliki peran yang


besar dalam membentuk perilaku makan seseorang. Karakteristik keluarga yang
diukur meliputi pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, pendapatan
keluarga per kapita, dan besar keluarga.

Pendidikan orangtua
Pendidikan adalah salah satu sarana untuk memperoleh pegetahuan.
Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
informasi dan pengetahuan yang anak dapatkan. Sebaran tingkat pendidikan
terakhir ayah dan ibu subjek disajikan pada Tabel 4.
Lebih dari separuh subjek memiliki ayah dan ibu dengan pendidikan
terakhir perguruan tinggi. Penelitian Russel et al. (2014) menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan orangtua dapat membentuk kebiasaan makan anak sejak kecil
serta preferensi dan pemilihan jenis pangan. Tingginya tingkat pendidikan orang
tua dapat berpengaruh terhadap pemberian informasi dan pengetahuan kepada
anak khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
15

Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan orangtua


Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Variabel
n % n % n % n %
Pendidikan ayah
Tidak tamat SD 1 1.4 1 1.2 1 1.4 3 1.3
SD 1 1.4 3 3.6 3 4.1 7 3.0
SMP 2 2.7 4 4.8 4 5.4 10 4.3
SMA 28 38.4 23 27.7 35 47.3 86 37.4
Perguruan tinggi 41 56.2 52 62.7 31 41.9 124 53.9
Pendidikan ibu
Tidak tamat SD 0 0 1 1.2 0 0 2 0.9
SD 2 2.7 3 3.6 5 6.7 8 3.5
SMP 8 11.0 3 3.6 6 8.1 15 6.5
SMA 24 32.9 28 33.7 30 40.5 87 37.8
Perguruan tinggi 39 53.4 48 57.8 33 44.5 118 51.3
Tingkat pendidikan yang semakin tinggi dapat mempengaruhi tingkat
pendapatan yang diperoleh seseorang. Ayah sebagai kepala keluarga bertanggung
jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga memerlukan pendidikan
yang tinggi. Pengetahuan dan tingkat pendidikan formal serta keikutsertaan dalam
pendidikan non formal dari orang tua sangat penting dalam menentukan status
kesehatan dan status gizi keluarga. Sementara itu, pendidikan ibu dapat
menentukan pola asuh sehingga dapat membentuk kebiasaan makan anak sejak
kecil serta preferensi dan pemilihan jenis pangan (Russel et al. 2014).

Pekerjaan orangtua
Pekerjaan orang tua merupakan hal yang berperan dalam menunjang
kehidupan keluarga terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup anggota
keluarga. Pekerjaan orang tua secara tidak langsung dapat mempengaruhi pola
konsumsi pangan individu melalui tingkat pendapatan. Sebaran subjek
berdasarkan pekerjaan orangtua dan tingkat kuliah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan pekerjaan orangtua
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Variabel
n % n % n % n %
Pekerjaan ayah
PNS/TNI/POLRI 23 31.5 27 32.5 13 17.6 63 27.4
Pegawai swasta 12 16.4 21 25.3 18 24.3 51 22.2
Petani 1 1.4 3 3.6 5 6.8 9 3.9
Wiraswasta 18 24.7 12 14.5 18 24.3 48 20.9
Pedagang 2 2.7 1 1.2 2 2.7 5 2.2
Buruh 2 2.7 2 2.4 1 1.4 5 2.2
Tidak Bekerja 6 8.2 5 6.0 2 2.7 13 5.7
Pekerjaan ibu
PNS/TNI/POLRI 17 23.3 18 21.7 15 20.3 50 21.7
Pegawai swasta 6 8.2 7 8.4 6 8.1 19 8.3
Petani 0 0.0 2 2.4 3 4.1 5 2.2
Wiraswasta 0 0.0 4 4.8 4 5.4 8 3.5
Pedagang 3 4.1 2 2.4 3 4.1 8 3.5
Buruh 1 1.4 0 0.0 1 1.4 2 0.9
Tidak Bekerja 37 50.7 43 51.8 32 43.2 112 48.7
16

Pekerjaan ayah dan ibu pada penelitian ini merupakan jenis pekerjaan
yang dilakukan oleh orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan
ayah maupun ibu tidak jauh berbeda antara tingkat kuliah subjek. Pekerjaan ayah
subjek yang paling banyak adalah PNS/TNI/POLRI (27.4%), pegawai swasta
(22.2%), dan wiraswasta (20.9%). Sementara itu, hampir separuh pekerjaan ibu
subjek adalah ibu rumah tangga (tidak bekerja) (48.7%). Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian Lestari (2017) kepada mahasiswa PS ilmu gizi, yaitu persentase
pekerjaan ayah subjek yang paling tinggi adalah PNS/Polisi/TNI (28%),
sedangkan persentase pekerjaan ibu subjek yang paling tinggi adalah tidak bekerja
(38.8%).

Pendapatan orang tua per kapita dan besar keluarga


Pekerjaan orangtua dapat mempengaruhi besarnya pendapatan keluarga
perkapita. Pendapatan keluarga per kapita yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah besarnya pendapatan ayah dan ibu yang diperoleh dari hasil bekerja dan
dinilai dalam bentuk uang kemudian dibagi dengan besar keluarga subjek.
Sebaran subjek perdasarkan pendapatan perkapita orangtua serta tingkat kuliah
disajikan pada Tabel 6.
Besarnya pendapatan keluarga per kapita juga tidak terlalu berbeda antara
kelompok subjek. Sebagian besar pendapatan keluarga per kapita subjek tergolong
sedang dengan rata-rata pendatan per kapita sebesar Rp 1 633 621 ± Rp 1 361 177.
Besarnya standar deviasi dalam pendapatan perkapita menandakan bahwa titik
data individu jauh dari nilai rata-rata. Pendapatan orangtua merupakan faktor yang
menentukan uang saku subjek, sehingga hal tersebut secara tidak langsung
menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi
pendapatan orang tua maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang
baik. Meningkatnya pendapatan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
dalam susunan makanan. Tingginya pendapatan cenderung diikuti dengan
tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan akan
mencerminkan kemampuan untuk membeli bahan pangan.
Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan per kapita orang tua dan besar
keluarga
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Variabel
n % n % n % n %
Pendapatan keluarga per kapita
Rendah (< 714 285) 3 4.1 2 2.4 3 4.0 8 3.5
Sedang (714 285 – 1 000 000) 60 82.2 67 80.7 64 86.5 191 83.0
Tinggi (> 1 000 000) 10 13.7 14 16.9 7 9.5 31 13.5
Rata-rata ± SD (Rp/Kap/Bln) 1 492 934 ± 1 952 313 ± 1 414 955 ± 1 633 621 ±
1 144 786 17 356 67 975 676 1 361 177
Besar keluarga
Kecil (≤ 4) 27 37.0 33 39.8 41 55.4 101 43.9
Sedang (5 – 6) 42 57.5 46 55.4 32 43.2 120 52.2
Besar (≥ 7) 4 5.5 4 4.8 1 1.4 9 3.9
Rata-rata ± SD 5.0 ± 1.3 4.9 ± 1.3 4.5 ± 1.2 4.8 ± 1.3
Besar keluarga subjek menggambarkan keseluruhan jumlah anggota
keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Berdasarkan Tabel 7, besar keluarga
subjek tidak jauh berbeda apabila dibandingkan antar tingkat kuliah. Sebagian
17

besar subjek memiliki besar keluarga sedang yaitu antara 4 – 5 orang. Menurut
Sediaoetama (2006), kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi dapat
dipengaruhi oleh besar keluarga. Pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-
hari akan lebih sulit apabila jumlah anggota keluarga lebih banyak.

Status gizi

Status gizi subjek diperoleh melalui mengukuran antropometri.


Pengukuran antropometri yang dilakukan meliputi pengukuran berat badan dan
tinggi badan. Sebaran subjek berdasarkan status gizi dan tingkat kuliah disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan status gizi
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Status gizi pa
n % n % n % n %
Sangat kurus 2 2.7 1 1.2 1 1.4 4 1.7
Kurus 3 4.1 7 8.4 4 5.4 14 6.1
Normal 58 79.5 61 73.5 57 77.0 176 76.5
Overweight 3 4.1 3 3.6 7 9.5 13 5.7
Obese 7 9.6 11 13.3 5 6.8 23 10.0
Rata-rata ± SD
22.0±3.6 22.5±3.81 22.5±3.03 22.3±3.50 0.62
(kg/m2)
a
Uji Anova
Status gizi merupakan keadaan tubuh akibat keseimbangan antara jumlah
asupan energi dan zat gizi dengan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
pertumbuhan, perkembangan kecerdasan, aktivitas fisik, pemeliharaan kesehatan,
dan lain sebagainya (Kemenkes RI 2014). Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian
besar subjek memiliki status gizi normal (76.5%). Namun demikian, masih
terdapat subjek dengan status gizi sangat kurus, kurus, overweight, dan obese.
Persentase subjek yang mengalami berat badan berlebih, baik overweight
maupun obese apabila ditambahkan lebih tinggi pada subjek tingkat II dan III
dibandingkan tingkat I. Hal tersebut dapat disebabkan karena remaja cenderung
memiliki teman sebaya (peer group). Penelitian yang diadakan oleh Edelstein
(2015) menyatakan bahwa pada usia remaja, kemandirian dalam memilih sumber
pangan meningkat. Remaja seringkali membandingkan dirinya sendiri dengan
teman sejawat (peer group) dan dapat mengubah pilihan pangan dengan kebiasaan
makan yang dimiliki teman sejawatnya. Selain itu, subjek tingkat III memiliki
uang saku dan uang saku untuk konsumsi pangan yang lebih tinggi daripada
tingkat I dan II. Penelitian Fortin dan Yazbeck (2011) pada remaja menyebutkan
bahwa konsumsi fast food berhubungan positif dengan bertambahnya usia dan
uang saku per minggu. Meningkatnya berat badan seiring bertambahnya usia juga
berhubungan positif dengan akses terhadap restoran fast food. Diduga hal tersebut
disebabkan karena gaya hidup yang semakin meningkat seiring bertambahnya
usia.
Status gizi normal dapat dicapai apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat
gizi yang akan digunakan secara efisien sehingga memungkinkan terjadinya
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan kemampuan kerja untuk mencapai
tingkat kesehatan yang optimal (Kemenkes RI 2014). Diperlukan pula lebih
18

banyak edukasi gizi mengenai status gizi yang normal dan pengaturan gaya hidup
pada seluruh subjek dengan status gizi sangat kurus, kurus, overweight, dan
obesitas.

Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh


seseorang atau sekelompok orang dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Pada penelitian ini, zat gizi yang akan
diteliti adalah energi, protein, lemak, karbohidrat, zat besi, seng, dan vitamin C.
Rata-rata asupan energi dan zat gizi berdasarkan tingkat perkuliahan disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8 Rata-rata asupan zat gizi berdasarkan tingkat kuliah
Tingkat
Zat gizi
I II III Total pa
Energi (kkal) 1 299±398 1 304±392 1 411±322 1 337±375 0.116
Protein (g) 42.0±12.5 42.4±13.4 49.4±13.7 44.6±13.6 0.001*
Lemak (g) 49.0±18.1 49.5±18.1 51.5±14.5 50.0±17.0 0.656
Karbohidrat (g) 173.3±64.0 171.3±54.8 186.7±48.6 176.9±56.2 0.185
Zat besi (mg) 5.38±2.33 5.96±4.00 6.18±2.27 5.85±3.03 0.251
Seng (mg) 4.23±1.49 4.43±1.77 5.44±2.74 4.69±2.12 0.001*
Vitamin C (mg) 37.02±72.93 27.94±55.24 41.26±46.00 35.11±58.92 0.349
a
Uji Anova, * Berbeda nyata p<0.05
Berdasarkan Tabel 8, asupan energi dan zat gizi subjek tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan kecuali pada asupan protein dan seng. Hampir seluruh
asupan energi dan zat gizi pada subjek tingkat III lebih tinggi daripada subjek
tingkat I dan tingkat II. Hal tersebut dapat disebabkan pengetahuan gizi subjek
tingkat III lebih tinggi daripada subjek lainnya karena telah mempelajari lebih
banyak ilmu gizi. Namun demikian, apabila dilihat dari rata-rata kecukupan zat
gizi dalam sehari, subjek masih menglami defisit. Tingkat kecukupan zat gizi
subjek berdasarkan tingkat kuliah disajikan pada Tabel 9.
Sebagian besar (89%) tingkat kecukupan energi subjek masih tergolong
dalam kategori kurang. Hanya sebanyak 10% subjek dengan tingkat kecukupan
energi cukup. Tingkat kecukupan energi yang tergolong dalam keadaan kurang
paling banyak ada pada tingkat I. Diduga hal tersebut disebabkan karena tingkat I
perkuliahan merupakan masa menyesuaikan secara fisik dan mental dengan
lingkungan perkuliahan yang memilki aktivitas tergolong tinggi. Apabila tidak
diimbangi dengan asupan energi yang sesuai, tubuh mengalami keseimbangan
energi negatif. Keseimbangan energi negatif dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan terganggunya fungsi tubuh. Uji beda
ANOVA menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan
energi antar tingkat perkuliahan.
Tabel 9 menunjukkan tingkat kecukupan protein yang lebih tinggi pada
subjek tingkat III apabila dibandingkan dengan tingkat I dan II, meskipun
sebagian besar masih tergolong kurang. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
Ferawati (2016) yang menunjukkan bahwa mahasiswa ilmu gizi IPB mengalami
defisit berat pada asupan energi dan protein. Data asupan pangan menunjukkan
19

bahwa makanan sumber protein yang paling banyak dikonsumsi oleh mahasiswa
adalah olahan daging ayam dan telur. Hal tersebut dapat disebebkan oleh akses
terhadap bahan pangan lebih mudah didapat di sekitar lingkungan subjek. Tabel 9
menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein sebagian besar subjek dalam
kategori kurang.
Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi
Tingkat
Tingkat kecukupan I II III Total pa
n % n % n % n %
Energi
Kurang 66 90.4 74 89.2 66 89.2 206 89.6
Cukup 6 8.2 9 10.8 8 10.8 23 10.0
Lebih 1 1.4 0 0.0 0 0.0 1 0.4
Rata-rata ± SD 58.3±16.3 59.2±17.1 61.9±14.8 59.8±16.1 0.356
Protein
Kurang 48 65.8 50 60.2 30 40.5 128 55.7
Cukup 21 28.8 23 27.7 31 41.9 75 32.6
Lebih 4 5.5 10 12.0 13 17.6 27 11.7
Rata-rata ± SD 73.1±22.1 77.4±23.9 88.4±25.4 79.6±24.6 0.000 *
Lemak
Kurang 38 52.1 48 57.8 40 54.1 126 54.8
Cukup 29 39.7 28 33.7 32 43.2 89 38.7
Lebih 6 8.2 7 8.4 2 2.7 15 6.5
Rata-rata ± SD 19.7±6.5 20.2±6.9 20.2±5.4 20.0±6.3 0.840
Karbohidrat
Kurang 63 86.3 74 89.2 65 87.8 202 87.8
Cukup 9 12.3 8 9.6 9 12.2 26 11.3
Lebih 1 1.4 1 1.2 0 0.0 2 0.9
Rata-rata ± SD 31.1±10.8 31.2±9.9 32.9±9.4 31.7±10.0 0.487
Zat besi
Kurang 71 97.3 81 97.6 73 98.6 225 97.8
Cukup 2 2.7 2 2.4 1 1.4 5 2.2
Rata-rata ± SD 23.7±16.3 25.1±18.6 28.3±14.5 25.7±16.6 0.225
Seng
Kurang 72 98.6 78 94.0 67 90.5 217 94.3
Cukup 1 1.4 5 6.0 7 9.5 13 5.7
Rata-rata ± SD 36.0±14.1 44.5±17.0 53.0±27.3 44.5±21.2 0.000*
Vitamin C
Kurang 62 84.9 73 88.0 58 78.4 193 83.9
Cukup 11 15.1 10 12.0 16 21.6 37 16.1
Rata-rata ± SD 50.4±105.3 39.3±84.6 55.1±62.0 47.9±85.6 0.491
a
Uji Anova, * Berbeda nyata p<0.05
Uji lanjutan Duncan menunjukkan bahwa asupan protein pada tingkat III
lebih tinggi dan berbeda nyata dengan tingkat I dan tingkat II, sedangkan asupan
subjek tingkat I dan II tidak berbeda nyata walaupun subjek tingkat II memiliki
rata-rata asupan protein yang sedikit lebih tinggi daripada tingkat I. Hasil tersebut
diduga disebabkan karena semakin lama masa kuliah di PS S-1 ilmu gizi, semakin
tinggi pula pengetahuan mengenai gizi seimbang yang didapatkan, termasuk
diantaranya kebutuhan tubuh akan protein. Penelitian (Pratiwi 2011)
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan
20

adalah pengetahuan gizi. Selain itu, subjek tingkat III memiliki alokasi uang saku
untuk konsumsi pangan yang lebih tinggi dibandingkan tingkat I dan II sehingga
dapat memilih lebih banyak pangan kaya protein.
Lebih dari separuh subjek memiliki tingkat kecukupan lemak dan
karbohidrat berada pada kategori rendah. Uji beda ANOVA tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara asupan lemak pada kelompok subjek. Data
menunjukkan bahwa sumber lemak yang paling banyak dikonsumsi adalah
makanan yang digoreng. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan
karbohidrat yang berada pada kategori rendah yaitu sebanyak 87.8% dari seluruh
subjek. Pangan sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi adalah nasi.
Berdasarkan hasil, dapat diketahui bahwa protein dan lemak lebih menyumbang
energi daripada karbohidrat pada tingkat II dibandingkan dengan tingkat I dan III.
Diduga hal tersebut disebabkan karena subjek tingkat dua baru saja memasuki PS
S-1 Ilmu gizi secara penuh dan masih menyesuaikan diri dengan lingkungan baru,
sehingga banyak melewatkan waktu makan. Data asupan menunjukkan bahwa
subjek tingkat dua lebih banyak mengonsumsi jajanan seperti gorengan yang
mengandung banyak lemak. Uji beda ANOVA tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara asupan karbohidrat pada kelompok subjek.
Zat gizi mikro yang dianalisis dalam penelitian ini adalah zat besi, seng,
dan vitamin C. Rata-rata tingkat kecukupan zat besi pada subjek tingkat III lebih
tinggi bila dibandingkan dengan tingkat I dan II, namun secara statistika tidak
terdapat berbedaan yang signifikan antara rata-rata asupan zat besi berdasarkan
tingkat kuliah. Hampir seluruh subjek memiliki tingkat kecukupan zat besi yang
berada dalam kategori kurang. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Lestari
(2017) pada mahasiswa ilmu gizi yang menyebutkan bahwa sebagian besar subjek
defisit asupan zat besi. Berdasarkan data, pangan sumber zat besi yang paling
banyak dimakan adalah daging ayam karena ketersediaan pangan tersebut banyak
di sekitar tempat tinggal subjek. Namun demikian, jumlah konsumsi pangan
sumber fe tergolong masih kurang sehingga sebagian besar subjek mengalami
defisit zat besi. Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang
paling umum terjadi di dunia dan merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi. Defisiensi zat besi merupakan salah satu masalah
gizi di dunia dan memengaruhi lebih dari satu dari empat populasi dunia (Khedr
et al. 2008). Meskipun demikian, tubuh memiliki cadangan zat besi yaitu senyawa
besi yang sudah dipersiapkan tubuh apabila asupan besi tidak dapat mencukupi
kebutuhan tubuh.
Seng merupakan salah satu zat gizi mikro yang berperan dalam sintesis
protein pengangkut besi yaitu transferrin. Berdasarkan Tabel 4, tingkat kecukupan
seng lebih tinggi pada subjek tingkat III dibandingkan dengan tingkat I dan II.
Hasil uji beda ANOVA menunjukkan bahwa asupan seng berbeda nyata antara
tingkat perkuliahan. Meskipun demikian, hampir semua subjek memiliki tingkat
kecukupan seng yang defisit, yaitu 94.3%. Subjek dengan tingkat kecukupan seng
yang cukup paling besar berada pada tingkat III. Hal tersebut diduga disebabkan
karena salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah alokasi
uang saku untuk konsumsi pangan. Kelompok dengan alokasi uang pangan
tertinggi berada pada tingkat III, sehingga tingkat kecukupan energi dan zat gizi
lebih tinggi pada tingkat III. Berdasarkan data asupan pangan, subjek tingkat III
lebih banyak mengonsumsi daging sapi dibandingkan dengan tingkat I dan II.
21

Daging sapi memiliki kandungan seng 2 kali lipat lebih besar dibandingkan
dengan daging ayam.
Vitamin C merupakan salah satu zat gizi mikro yang dapat meningkatkan
penyerapan zat besi sehingga dapat mencegah terjadinya Anemia (Akib dan
Sumarni 2017). Asupan vitamin C lebih rendah pada subjek tingkat II dan lebih
tinggi pada tingkat III. Rata-rata asupan vitamin C pada subjek tingkat I, II, dan
III adalah sebesar 37.02 ± 72.93 mg, 27.94 ± 55.24 mg, dan 41.26 ± 46.00 mg.
Besarnya standar deviasi pada asupan vitamin C menunjukkan bahwa titik subjek
berada jauh dari rata-rata asupan vitamin C dan data asupan vitamin C tidak
tersebar secara normal. Data asupan pangan menunjukkan terdapat beberapa
subjek yang mengonsumsi minuman kemasan dan suplemen yang memiliki
kandungan vitamin C yang tinggi. Hasil uji ANOVA menyatakan bahwa asupan
vitamin C tidak berbeda nyata antara kelompok subjek. Variabel lain yang diteliti
dalam naungan penelitian proyek Departemen Gizi Masyarakat IPB adalah FFQ
(food frequency questionnaire) Khodijah (2018) dengan subjek yang sama.
Berdasarkan penelitian tersebut, lebih dari separuh subjek memiliki kecukupan
Vitamin C yang cukup. FFQ merupakan instrumen yang digunakan untuk menilai
kebiasaan makan, sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun asupan Vitamin C
subjek masih tergolong kurang, namun kebiasaan asupan Vitamin C sebagian
besar subjek masih tergolong cukup.
Energi, protein, lemak, karbohidrat, zat besi seng, dan vitamin C sebagian
besar berada pada kategori kurang (Tabel 9). Hal ini sejalan dengan penelitian
Lestari (2017) pada remaja, yaitu mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi IPB
semester 6 yang menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi, protein, lemak,
besi, kalsium, dan vitamin C subjek tergolong defisit berat. Tingginya subjek
dengan kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi dapat disebabkan karena
kurangnya asupan pangan subjek sehingga diperlukan perubahan pola makan dan
gaya hidup untuk dapat memenuhi kebutuhan akan zat gizi pada subjek. Selain itu,
subjek seringkali melewatkan makan pada hari tertentu karena padatnya jadwal
kuliah. Penelitian Akib dan Sumarni (2017) menunjukkan bahwa remaja sering
melewatkan satu maupun dua waktu makan, sehingga asupan energi dan zat gizi
belum mencukupi AKG yang dibutuhkan. Rata-rata responden remaja hanya
mengonsumsi 2 kali makanan pokok dalam sehari dan menggantinya dengan
mengonsumsi makanan selingan.
Meskipun hasil asupan pangan menunjukkan bahwa sebagian besar
subjek mengalami dafisit beberapa zat gizi, masih banyak subjek yang mengalami
berat badan berlebih (15.7%). Penelitian Khodijah (2017) dengan subjek yang
sama dengan penelitian ini menyebutkan bahwa pada hasil FFQ selama 1 bulan
terakhir, rata-rata subjek mengonsumsi pangan sumber karbohidrat sebanyak
429.5 g/hari. Hasil tersebut sudah melebihi anjuran Kemenkes (2014), yaitu 300 –
400 g/hari. Sementara itu, konsumsi pangan sumber serat seperti sayur dan buah
subjek berturut turut adalah 41.1 g/hari dan 69.0 g/hari. Konsumsi sayur dan buah
yang dianjurkan Kemenkes (2014) berturut-turut adalah sebanyak 250 g/hari
dan150 g/hari, sehingga secara keseluruhan konsumsi sayur dan buah subjek
masih tergolong kurang dari yang dianjurkan. Hal tersebut dapat menjadi
penyebab sebagian subjek mengalami berat badan berlebih.
22

Perilaku Makan

Makan adalah kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Perilaku makan


adalah cara seseorang dalam berfikir, berpengetahuan dan berpandang mengenai
makanan yang dapat dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih
makanan (Lomanjaya dan Soegiono 2013). Furman (2012) mendefinisikan
perilaku makan adalah pikiran, tindakan, dan niat bahwa organisme membentuk
keinginan untuk menelan makanan baik makanan padat maupun dalam bentuk
cair. Atalayer (2018) mendefinisikan perilaku makan merupakan perilaku
kompleks yang berkaitan dengan biologis, psikologis, lingkungan, dan faktor
genetik; serta diregulasikan oleh otak untuk memilih makan atau tidak makan.
Pilihan ini dapat disebabkan oleh sinyal internal atau eksternal. Terdapat tiga teori
yang dapat menjadi penyebab perilaku makan yang tidak terkontrol, yaitu
emotional eating, external eating, dan restrained eating.
Dutch eating behaviour questionnaire merupakan instrumen yang dapat
mengukur perilaku makan berdasarkan pada aspek emotional eating, external
eating, dan restrained eating. Terdapat 28 item pertanyaan dalam instrumen
tersebut yang terdiri dari 10 item emotional eating, 9 item external eating, dan 9
item restrained eating. Penilaian setiap item pertanyaan pada kuesioner Dutch
Eating Behaviour Questionnaire tersebut menggunakan skala Likert dengan
memberi nilai pada setiap jawaban dengan rentang 1 – 5. Penilaian skor masing
masing aspek perilaku makan dilakukan dengan membagi jumlah skor masing-
masing aspek perilaku makan dengan jumlah item pertanyaan.

Emotional eating
Berdasarkan teori psikosomatik Bruch (1973) dan Kaplan (1957), tidak
adanya kontrol dalam perilaku makan dapat disebabkan oleh perilaku emotional
eating, yaitu meningkatnya asupan makanan yang dipicu oleh emosi internal
seperti depresi atau kekhawatiran. Seseorang dengan emotional eating yang tinggi
tidak makan berdasarkan perasaan kenyang atau lapar, namun berdasarkan emosi.
Sebaran subjek berdasarkan rata-rata skor emotional eating berdasarkan tingkat
kuliah disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rata-rata skor emotional eating berdasarkan tingkat kuliah
Tingkat kuliah Rata-rata skor emotional eating pa
I 2.23±0.64 0.546
II 2.34±0.85
III 2.23±0.72
Rata-rata±SD 2.27±0.74
a
Uji Anova
Rata-rata skor emotional eating antar tingkat kuliah tidak menunjukan
perbedaan yang signifikan. Hal tersebut dapat disebabkan subjek memiliki
perilaku makan emotional eating yang homogen. Emotional eating pada subjek
menunjukkan skor tertinggi berada pada tingkat II. Sementara itu, berdasarkan
data status gizi, subjek dengan status gizi overweight dan obese tertinggi terdapat
pada tingkat II. Ganley (1986) menyebutkan bahwa 60% atau lebih subjek yang
menderita overweight atau obese juga memiliki skor emotional eating yang tinggi.
Ketika sedang mengalami stress, seseorang dengan emotional eating meresponnya
23

dengan makan banyak, sementara itu seseorang yang normal akan merespon
dengan penurunan nafsu makan.
Berdasarkan penelitian Jansen et al. 2010 pada mahasiswa psikologi di
Belanda, skor emotional eating dapat dikatakan tinggi apabila lebih dari 2.35,
sehingga rata-rata skor emotional eating pada penelitian ini dapat digolongkan
menjadi lebih rendah dari penelitian sebelumnya, artinya subjek penelitian ini
cederung lebih mengontrol diri apabila muncul emosi negatif, dan tidak
melampiaskannya kemakanan. Namun, menurut penelitian Snoek et al. pada
remaja di Belanda, rata-rata skor emotional eating yaitu 2.25, sehingga hasil
penelitian ini sedikit lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya. Sementara itu,
Khotibudin (2017) meneliti perilaku makan pada mahasiswa kedokteran di
Indonesia. Rata-rata total skor emotional eating penelitian tersebut 27.83±8.67,
sedangkan rata-rata total skor pada penelitian ini adalah 22.73±7.44 yang artinya
subjek penelitian tersebut lebih banyak yang mengalami emotional eating dari
penelitian ini.

External eating
Teori kedua yaitu teori externality oleh Schachter (1971) dan Rodin (1987),
perilaku makan yang tidak terkontrol dapat disebabkan oleh external eating, yaitu
meningkatnya asupan makanan karena rangsangan makanan yang meliputi
penglihatan, penciuman, dan rasa makanan terlepas dari keadaan lapar dan
kenyang secara psikologis. Sebaran subjek berdasarkan rata-rata skor external
eating antar tingkat kuliah disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Rata-rata skor external eating berdasarkan tingkat kuliah
Tingkat kuliah Rata-rata skor external eating pa
I 3.34±0.47 0.468
II 3.32±0.58
III 3.24±0.62
Rata-rata±SD 3.30±0.56
a
Uji Anova
Aspek external eating menunjukkan rata-rata skor subjek tingkat III lebih
rendah dari tingkat I dan II, dan secara statistika tidak memiliki perbedaan yang
signifikan (p<0.1). Data pengisian kuesioner perilaku makan menunjukkan bahwa
rata-rata skor item pertanyaan aspek external eating nomor 14 (keinginan
membeli sesuatu yang enak ketika berjalan melewati toko makanan) lebih rendah
pada tingkat III dibandingkan dengan tingkat I dan tingkat II. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa subjek pada tingkat III lebih tidak sensitif terhadap
penglihatan, penciuman atau rasa suatu makanan dibandingkat dengan subjek lain.
Hasil tersebut juga dapat disebabkan tingkat pengetahuan gizi yang lebih tinggi
pada tingkat tiga berdasarkan pemahaman bahwa makanan yang memiliki
tampilan, bau, maupun rasa yang enak tidak selalu memiliki nilai nutrisi yang
baik. Selain itu, aspek external eating yang rendah pada tingkat III dapat
disebabkan karena IMT tingkat II dan III yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat I. Subjek merupakan calon ahli gizi, sehingga subjek harus memiliki IMT
yang ideal. Hal tersebut mengharuskan subjek untuk memiliki aspek eksternal
eating yang rendah.
Subjek tingkat I memiliki rata-rata skor external eating yang lebih tinggi
walaupun perbedaannya tidak signifikan. External eating memiliki arti adanya
24

rangsangan makan dari luar terlepas keadaan lapar atau kenyang. Kelaparan akan
memicu tubuh untuk mempertahankan keadaan fisiologis untuk bertahan hidup
dan terjadi tanpa sadar, sehingga disebut kelaparan homeostatis (homeostatic
hunger). Isyarat makanan (food cues) dapat memicu homeostatic hunger bahkan
tanpa adanya defisit energi secara fisiologis yang disebut sebagai hedonic hunger;
sistem non-homeostatik yang diatur oleh sirkuit saraf yang berbeda dari sirkuit
saraf yang mendasari lapar homeostatik (Atalayer 2018). Pada subjek tingkat I,
external eating dapat disebabkan subjek yang baru masuk tingkat perkuliahan di
lingkungan baru, sehingga subjek lebih peka terhadap rangsangan makan dari luar
karena masih banyak makanan yang dapat dicoba.
Berdasarkan penelitian Jansen (2010) pada mahasiswa psikologi tingkat I
di Belanda menyebutkan skor external eating dapat dikatakan tinggi apabila lebih
dari 3.30 yang didapatkan dari median data penelitian tersebut. Mengacu pada
data tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama sehingga dapat
disimpulkan bahwa karakteristik external eating subjek hampir sama dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian lain pada remaja di Belanda menunjukkan skor
rata-rata external eating yaitu 2.96 (Snoek et al. 2013) sehingga dapat
disimpulkan hasil penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya,
artinya subjek pada penelitian ini lebih peka terhadap penglihatan, penciuman,
dan rasa makanan. Penelitian lain di Indonesia pada mahasiswa kedokteran
menyebutkan bahwa rata-rata total skor external eating pada penelitian tersebut
adalah 28.9±6.65, sedangkan pada penelitian ini adalah 29.71±5.05 sehingga pada
penelitian ini subjek memiliki skor external eating lebih tinggi dari penelitian
sebelumnya.
Pada penelitian ini, skor external eating lebih tinggi daripada aspek
lainnya. Hal tersebut dapat disebabkan karena lingkungan tempat tinggal subjek
banyak menyediakan makanan yang memiliki tampilan, bau, dan rasa yang enak
sehingga banyak subjek memiliki perilaku makan tersebut. Selain itu, di sekitar
tempat tinggal subjek banyak terdapat restoran fast food yang memiliki tampilan,
bau, dan rasa yang enak serta menyediakan makanan cepat saji yang cocok untuk
subjek dengan jadwal kuliah yang padat.

Restrained eating
Teori terakhir yaitu teori restrained eating, yaitu pembatasan asupan kalori
yang disengaja dan berkelanjutan sebagai usaha penurunan berat badan atau
pemeliharaan berat badan (Sholeha 2014). Berdasarkan teori tersebut, seseorang
yang sedang melakukan diet dengan menurunkan asupan makan akan mengalami
kenaikan berat badan melalui binge eating, yaitu makan dengan jumlah yang
banyak pada suatu waktu tertentu, namun melakukan diet ketat (menurunkan
konsumsi pangan) pada hari-hari berikutnya (NIH 2018). Sebaran subjek
berdasarkan rata-rata skor restrained eating antar tingkat kuliah disajikan pada
Tabel 12.
Berlawanan dengan aspek external eating yang menunjukkan skor yang
lebih rendah pada tingkat perkuliahan yang tinggi, skor restrained eating
menunjukkan skor yang lebih tinggi pada tingkat kuliah yang lebih tinggi. Data
menunjukkan bahwa rata-rata skor item pertanyaan nomor 3 (makan lebih sedikit
dari biasanya ketika berat badan bertambah) pada subjek pada subjek tingkat I
lebih rendah dari tingkat II dan III. Hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek
25

dengan perilaku pembatasan asupan makanan untuk mencegah kenaikan berat


badan lebih tinggi pada tingkat III dibandingkan dengan tingkat II dan I. Hal
tersebut diduga dapat disebabkan oleh adanya tuntutan bagi calon ahli gizi untuk
memiliki berat badan yang ideal. Dugaan tersebut juga didukung fakta bahwa
19.3% subjek pada tingkat tiga memiliki status gizi lebih (overweight dan obese).
Penelitian Brunault et al. (2015) menunjukkan skor restrained eating pada subjek
dengan berat badan berlebih lebih tinggi daripada subjek dengan berat badan yang
normal. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa remaja yang lebih tua
memiliki skor restrained eating yang lebih tinggi. Selain itu, berdasarkan
penelitian You et al. (2013), body dissatisfaction atau ketidakpuasan terhadap
bentuk tubuh berpengaruh positif terhadap perilaku restrained eating. Perilaku
restrained eating juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan diri (self esteem).
Tabel 12 Rata-rata skor restrained eating berdasarkan tingkat kuliah
Tingkat kuliah Rata-rata skor restrained eating pa
I 2.30±0.79 0.081*
II 2.38±0.62
III 2.57±0.81
Rata-rata±SD 2.41±0.75
a
Uji Anova; *Barbeda nyata p<0.1
Jansen (2010) mengkategorikan skor restrained eating yang tinggi apabila
skor diatas 2.90, sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku makan restrained
eating pada subjek penelitian ini lebih rendah dari penelitian sebelumnya.
Penelitian Khotibudin di Indonesia pada mahasiswa kedokteran memberikan hasil
rata-rata total skor restrained eating adalah 21.9±8.57, sedangkan pada penelitian
ini, rata-rata total skor adalah 21.73±6.71. Dari hasil tersebut dapat diketahui
bahwa perilaku restrained eating juga lebih lemah pada penelitian ini. Artinya,
pada subjek penelitian ini, lebih banyak subjek yang tidak membatasi asupan
kalori sebagai usaha untuk menurunkan berat badan. Namun demikian, menurut
penelitian Snoek et al. 2013, hasil rata-rata skor restrained eating adalah 2.05
sehingga subjek pada penelitian ini lebih banyak yang mengalami restrained
eating daripada penelitian tersebut.
Menurut Stunkard dan Stellar (1984), seseorang yang normal akan
mengatur kebiasaan makan mereka dengan rasa lapar dan rasa kenyang, seseorang
dengan restrained eating akan mengatur kebiasaan makan dengan pengaturan diet
yang dibuat sendiri. Ketika mereka telah merusak pengaturan diet sendiri tersebut;
misalnya ketika meminum milkshake yang mengandung kalori tinggi, seseorang
dengan restrained eating akan meningkatkan asupan makan melebihi kebutuhan
karena merasa bahwa pengaturan makan mereka bagaimanapun juga telah hancur.
Pengaturan tersebut juga dapat disebut dengan “what-the-hell-effect.
Terdapat beberapa hal yang menjadi pemicu seorang dengan restrained
eating makan lebih banyak dari kebutuhan. Penelitian lainnya menyatakan bahwa
seseorang dengan restrained eating juga peka dengan bau maupun tampilan dari
makanan yang enak (palatable food) (Fedorov et al. 1997). Seseorang dengan
restrained eating juga merespons dengan tingkat air liur yang lebih tinggi
dihadapan makanan yang enak (Brunstorm et al. 2004). Selanjutnya, seseorang
dengan restrained eating tinggi juga peka terhadap adanya orang lain yang sedang
makan. Berdasarkan Herman et al (2003), manusia akan makan lebih banyak
26

apabila berada dalam grup; adanya orang lain yang makan sedikit maupun makan
banyak akan mempengaruhi kebiasaan makan seseorang.
Seseorang dapat memiliki berbagai macam maupun hanya satu perilaku
makan yang dominan. Emotional eating dan external eating seringkali berada
pada satu individu secara bersamaan, begitu pula dengan perilaku makan yang
lain. Selain itu, satu individu juga dapat memiliki hanya satu sifat perilaku makan
yang dominan (Jansen et al. 2010).
Pembentukan kebiasaan makan pada seorang individu merupakan suatu
hal yang kompleks antara mekanisme homeostatis, sistem penghargaan dalam
saraf (neural reward system), indra perasa dan kemampuan sosio-emotional.
Selain itu, pengajaran orangtua, pengaruh sosial dan lingkungan dapat
mempengaruhi terbentuknya eating behaviour (Gahagan 2013). Penelitian Fortin
dan Yazbeck (2011) menyebutkan bahwa teman sejawat (peer group)
berpengaruh terhadap pilihan makan seorang remaja. Pada masa ini, semakin lama
remaja berada di luar jangkauan orangtua, semakin tinggi kebebasan pilihan
makanan. Seringkali remaja membandingkan dirinya sendiri dengan teman
sejawatnya yang dapat mengubah pilihan makan dan kebiasaan makan individu
tersebut. Berdasarkan Herman et al (2003), manusia akan makan lebih banyak
apabila berada dalam grup; adanya orang lain yang makan sedikit maupun makan
banyak akan mempengaruhi kebiasaan makan seseorang. Hal tersebut dapat
menjadi alasan subjek pada satu tingkat kuliah dapat condong ke arah salah satu
aspek kebiasaan makan.

Kejadian anemia

Anemia adalah penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi


atau jumlah hemoglobin dibawah batas normal (Corwin dan Elizabeth 2009).
Sementara itu, menurut Depkes (2011), anemia adalah keadaan ketika nilai
hemoglobin dalam tubuh <12 g/dL untuk wanita dan <13 g/dL untuk pria. Data
sebaran subjek berdasarkan status anemia dan tingkat kuliah disajikan pada Tabel
13.
Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan status anemia
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Total
Status anemia pa
n % n % n % n %
Anemia 10 13.7 17 20.5 7 9.5 34 14.8
Tidak anemia 63 86.3 66 79.5 67 90.5 196 85.2
Rata-rata 13.1±1.2 13.2±1.6 13.5±1.3 13.2±1.4 0.170
a
Uji Anova
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak 14.8% subjek mengalami anemia.
Subjek yang mengalami anemia tersebut tersebar pada tingkat I, II, dan III.
Prevalensi anemia tertinggi ada pada tingkat II, yaitu 20.5% dari seluruh subjek
tingkat II. Tingkat perkuliahan yang lebih tinggi di program studi ilmu gizi
diharapkan memiliki pengetahuan mengenai anemia yang lebih tinggi daripada
tingkat kuliah dibawahnya, namun demikian berdasarkan uji beda ANOVA tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara subjek yang mengalami anemia pada
27

tingkat I, tingkat II, maupun tingkat III. Hal tersebut menandakan bahwa
karakteristik subjek pada kejadian anemia tergolong homogen.
Berdasarkan Tabel 13, besaran masalah anemia pada subjek masih
tergolong ringan, yaitu antara 5–19.9% (WHO 2008), namun pada tingkat II
besaran masalah anemia sudah tergolong segang, yaitu antara 20.0–39.9%. Masih
terdapatnya subjek yang mengalami anemia dapat disebabkan karena beberapa hal.
Penelitian Khodijah (2018) pada subjek yang sama dengan penelitian ini
menyebutkan bahwa keragaman pangan sumber zat besi yang dikonsumsi subjek
masih rendah. Berdasarkan data asupan, pangan sumber zat besi yang paling
banyak dikonsumsi adalah ayam, telur, dan ikan yang banyak tersedia di
lingkungan sekitar tempat tinggal subjek. Frekuensi rata-rata konsumsi daging
ayam, telur, dan ikan pada subjek berturut-turut adalah 4.7 kali/minggu, 3.3
kali/minggu dan 1.3 kali/minggu. Sementara itu, frekuensi rata-rata konsumsi
daging sapi dan hati berturut-turut adalah 0.5 kali/minggu dan 0.3 kali/minggu.
Daging sapi dan hati merupakan bahan pangan dengan kandungan zat besi tinggi,
yaitu 1.7 mg/100 g dan 8.5 mg/100 g (Nutrisurvey 2007), sehingga disarankan
bagi subjek dengan kadar hemoglobin rendah untuk mengonsumsi pangan sumber
zat besi.
Subjek yang mengalami anemia pada penelitian ini lebih rendah dari
penelitian Susilo (2006) yaitu feeding program yang dilakukan pada 300 orang
mahasiswa tingkat I IPB pada tahun 2006 mengukur kadar hemoglobin untuk
menentukan status anemia. Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat 25.3%
mahasiswa IPB yang mengalami anemia. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan di asrama mahasiswa IPB pada tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa
terdapat prevalensi anemia dan kekurangan gizi yang tinggi pada mahasiswa
tersebut. Sebanyak 48.1% mahasiswa putri menderita anemia, sedangkan pada
mahasiswa putra terdapat 4.3% mahasiswa mengalami anemia (Anggraeni 2004).
Hal tersebut diduga disebabkan karena mahasiswa program studi ilmu gizi
memiliki pengetahuan gizi yang lebih tinggi mengenai anemia sehingga
mahasiswa program studi ilmu gizi lebih mengetahui cara untuk mencegah
terjadinya anemia.

Prestasi akademik

Prestasi akademik merupakan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan


belajar mengajar di sekolah maupun di perguruan tinggi. Prestasi akademik
biasanya bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui sistem pengukuran dan
penilaian (Daruyani et al. 2015). Prestasi akademik merupakan pemenuhan
semua tujuan akademik seorang mahasiswa. Biasanya prestasi akademik diukur
menggunakan ujian atau test yang dilakukan pada siswa. Pada penelitian ini,
prestasi akademik dinilai berdasarkan Indeks Prestasi (IP). Adapun Indeks
Prestasi (IP) merupakan penilaian keberhasilan studi pada suatu semester yang
dilakukan setiap akhir semester yang meliputi seluruh mata kuliah yang
direncanakan mahasiswa dalam Kartu Rencana Studi (KRS). Data sebaran subjek
berdasarkan prestasi akademik pada tingkat I, tingkat II, dan tingkat III disajikan
pada Tabel 14.
28

Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan Indeks Prestasi (IP)


Tingkat I Tingkat II Tingkat Total pa
Indeks Prestasi III
n % n % n % n %
Kurang 2 2.7 4 4.8 4 5.4 10 4.3
Memuaskan 3 4.1 10 12.0 15 20.3 3 4.1
Sangat memuaskan 20 27.4 40 48.2 35 47.3 20 27.4
Cumlaude 48 65.8 29 34.9 20 27.0 97 42.2
Rata-rata 3.56 ± 3.33 ± 3.26 ± 3.38 ± 0.000*
0.39 0.34 0.35 0.38
a
Uji Anova, *Berbeda nyata p<0.05
Tabel 14 menunjukkan bahwa indeks prestasi tingkat III lebih rendah
daripada tingkat II, dan indeks prestasi tingkat II lebih rendah dari tingkat I.
Lebih rendahnya indeks prestasi subjek pada tingkat kuliah yang lebih tinggi
dapat disebabkan karena beban mata kuliah yang lebih tinggi pada tingkat kuliah
yang lebih tinggi. Selain itu, subjek pada tingkat kuliah yang lebih tinggi
cenderung memuliki lebih banyak aktivitas diluar perkuliahan yang lebih banyak,
misalnya adalah aktivitas organisasi. Uji beda ANOVA menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara indeks prestasi tingkat perkuliahan. Uji
lanjutan Duncan memenunjukkan bahwa IP subjek tingkat I berbeda nyata dengan
IP subjek tingkat II dan III, sementara itu IP subjek tingkat II dan III tidak berbeda
nyata walaupun rata-rata IP subjek tingkat II lebih tinggi dari tingkat III. Hasil
tersebut dapat disebabkan perbedaan beban kuliah subjek tingkat I karena masih
berada didalam Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU) dan belum
mempelajari banyak mata kuliah mengenai gizi, sehingga standar nilai IP berbeda
dengan tingkat II dan III. Sementara itu, subjek tingkat II dan III lebih tinggi
beban kuliahnya dan telah memasuki departemen Gizi Masyarakat, sehingga
standar nilainya tidak jauh berbeda.
Menurut Hildayati (2002), terdapat dua faktor yang secara umum
mempengaruhi tingkat keberhasilan mahasiswa dalam proses pendidikan yaitu:
(1) faktor intelektual, adalah kemampuan seseorang yang diperlihatkan melalui
kecerdasan dan kepandaiannya dalam berpikir dan berbuat. Seperti bakat,
kapasitas belajar, kecerdasan, dan hasil belajar yang telah dicapai. (2) Faktor non -
intelektual adalah segala kondisi dari dalam dan luar dirinya atau lingkungan
sekitar, yang terkait dengan diri seorang dalam mempengaruhi kemampuan
berpikir dan bertindak. Seperti masalah belajar, sosial, keuangan, keluarga,
organisasi, sahabat, metode belajar serta lingkungan.

Hubungan Perilaku Makan dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Makan adalah kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Perilaku makan


merupakan cara seseorang dalam berfikir, berpengetahuan dan berpandang
mengenai makanan yang dapat dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan
memilih makanan (Lomanjaya dan Soegiono 2013). Perilaku makan sangat erat
kaitannya dengan makanan yang diasup oleh seseorang. Pada penelitian ini, aspek
perilaku makan yang diteliti adalah emotional eating, external eating, dan
29

restrained eating. Uji hubungan menggunakan uji pearson dilakukan untuk


menilai adanya hubungan ketiga aspek perilaku makan tersebut dengan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi. Tingkat kecukupan zat gizi yang diukur dalam
penelitian ini diantaranya adalah energi, protein, lemak, karbohidrat, zat besi, seng,
dan vitamin C. Hasil uji hubungan seluruh faktor tersebut disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan perilaku
makan
Perilaku makan
Tingkat
Emotional eating External eating Restrained eating
kecukupan
pa R pa r pa r
Energi 0.803 0.016 0.187 0.087 0.856 -0.011
Protein 0.486 0.046 0.081* 0.115 0.861 -0.012
Lemak 0.867 -0.011 0.405 0.055 0.109 0.106
Karbohidrat 0.696 0.026 0.175 0.090 0.361 -0.061
Zat besi 0.660 0.029 0.023* 0.150 0.997 -0.002
Seng 0.439 0.051 0.206 0.084 0.200 0.085
Vitamin C 0.684 0.027 0.592 0.036 0.820 0.015
a
Uji pearson, *Berhubungan p<0.1
Berdasarkan Tabel 15, tingkat kecukupan energi, protein, lemak,
karbohidrat, seng, dan vitamin C subjek tidak memiliki hubungan yang signifikan
dengan aspek emotional eating, external eating, maupun restrained eating
(p>0.05). Zat gizi yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan salah satu
aspek perilaku makan adalah zat besi dan protein. Zat besi dan protein
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan aspek external eating (p<0.1)
dengan arah hubungan positif dengan aspek perilaku makan external eating.
Emotional eating pada penelitian ini tidak berhubungan dengan asupan zat
gizi. Walaupun emotional eating seringkali diasosiasikan dengan makan akibat
emosi negatif, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan positif juga
dapat meningkatkan asupan pangan. Meskipun demikian, beberapa penelitian
yang mencari hubungan antara status emotional eating dengan konsumsi pangan
aktual tidak menemukan hubungan yang signifikan (Royal dan Kurtz (2010),
Wallis dan Hetherington (2009)). Penelitian Bogers dan jansen (2016)
menemukan bahwa tingginya skor emotional eating bukan berarti akan
meningkatkan asupan pangan saat terjadi emosi negatif. Skor emotional eating
yang tinggi dapat menunjukkan kurangnya kontrol, masalah makan umum,
kecenderungan makan berlebihan apabila emosi negatif, atau kebiasaan makan
yang telah dipelajari (learn cue reaktivity). Kuesioner emotionl eating lebih
cenderung mengukur cara seorang individu berfikir mengenai hubungan antara
keinginan makan dan suasana hati yang negatif, bukan konsumsi pangan yang
sebenarnya. Individu dengan skor emotional eating yang tinggi dan mengalami
stress seringkali melebih-lebihkan asupan pangan mereka diandingkan dengan
yang tidak mengalami stress walaupun sebenarnya asupan kalori tidak berbeda
jauh (Royal dan Kurt (2010), Jansen et al. (2011)).
Berdasarkan teori external eating, individu mengonsumsi makanan akibat
stimuli mengenai makanan, bagaimanapun kenyang atau lapar individu tersebut.
Perilaku external eating dalam penelitian ini berhubugan positif dengan asupan
zat besi dan protein. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan perilaku
30

makan external eating yang lebih tinggi memiliki kecukupan protein dan zat besi
yang tinggi pula. Data asupan pangan menunjukkan bahwa makanan sumber
protein yang paling banyak dimakan adalah daging ayam dengan berbagai bentuk
olahan. Berdasarkan program Nutrisurvey (2007) ayam memiliki kandungan zat
besi yang cukup tinggi, yaitu 1.4 mg pada 100 g bahan. Temuan lapang juga
menunjukkan bahwa mayoritas restoran di sekitar kampus IPB Dramaga menjual
berbagai macam olahan daging ayam. Subjek merupakan mahasiswa ilmu gizi
sehingga kebanyakan makanan yang dimakan merupakan makanan yang kaya
akan protein dan zat besi. Hasil tersebut sejalan dengan karakteristik subjek yang
memiliki perilaku makan external eating lebih tinggi, yaitu sensitif terhadap
rangsangan makanan yang meliputi penglihatan, penciuman, dan rasa makanan
terlepas dari keadaan lapar dan kenyang secara psikologis. Penelitian Garcia et al.
(2015) juga menyebutkan bahwa external eating berhubungan positif dengan
makan berlebihan.
Restrained eating mengacu pada pembatasan asupan makanan secara sadar,
daripada makan berdasarkan pada rasa lapar dan kenyang secara psikologis
(Kovacs et al. 2014). Berdasarkan Tabel 15, perilaku restrained eating tidak
berhubungan secara signifikan dengan asupan zat gizi. Kovacs et al. (2014)
menyebutkan bahwa seseorang yang melewatkan makan menyebabkan pola
makan yang tidak teratur dan terjadi kontra regulasi pada saat seseorang tersebut
tidak ingin lagi menahan makan (restraint) sehingga menyebabkan kenaikan berat
badan akibat makan sebanyak-banyaknya untuk mengkompensasi restrained
eating. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Werthmann (2013) yang
menyebutkan bahwa individu yang dengan skor restrained eating yang dominan
telah dikaitkan dengan adanya bias perhatian untuk makan.

Hubungan Perilaku Makan dengan Status Gizi

Uji hubungan pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang


signifikan antara aspek perilaku makan external eating dan restraint eating
dengan indeks massa tubuh (IMT) (p<0.05). Sementara itu, tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara aspek perilaku makan emotional eating. Hasil
tersebut dapat disebabkan karena beberapa hal. Umur subjek dalam penelitian ini
dapat menjadi penyebab hasil tersebut. Penelitian yang dilakukan pada subjek
dewasa, terdapat hubungan positif yang signifikan antara emotional eating dengan
status gizi (Schower 1983). Perbedaan hasil penelitian antara subjek remaja dan
dewasa dapat disebabkan karena perilaku emotional eating akibat emosi negatif
dapat tumbuh pada usia dewasa.
Tabel 16 Hubungan perilaku makan dengan indeks massa tubuh
IMT
Perilaku makan a
p r
Emotional eating 0.060 0.124
External eating 0.008* -0.175
Restrained eating 0.000* 0.485
a
Uji pearson, *Berhubungan p<0.05
31

Penelitian sebelumnya pada remaja putri di Bandung mengungkapkan


bahwa sebanyak 78 orang (68.4%) remaja putri merasa bahwa dirinya gemuk dan
merasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya, padahal hanya 2.56% dari 78 orang
yang merasa gemuk tersebut yang benar benar gemuk berdasarkan IMT (Safarina
dan Rahayu 2015). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku membatasi
makan merupakan perilaku yang biasa terjadi pada remaja. Subjek yang
mengalami perilaku makan restrained eating biasanya memiliki motivasi yang
kuat untuk membatasi asupan makan, makan dengan tidak teratur, dan seringkali
mengalami kelaparan dan tidak mampu mengontrol makanan yang dimakan
Snoek et al. (2007). Pada penelitian ini, ditemukan hubungan yang positif dan
signifikan antara perilaku restrained eating dengan IMT, sehingga semakin besar
perilaku restrained eating, maka semakin tinggi pula IMT. Hasil penelitian ini
sesuai dengan teori restrained eating, yaitu seseorang yang melewatkan makan
menyebabkan pola makan yang tidak teratur dan terjadi kontra regulasi pada saat
seseorang tersebut tidak ingin lagi menahan makan (restraint) sehingga
menyebabkan kenaikan berat badan akibat makan sebanyak-banyaknya untuk
mengkompensasi restrained eating.
External eating pada penelitian ini berhubungan negatif secara signifikan
dengan IMT, artinya lebih kecil nilai IMT subjek, lebih besar skor external eating
subjek tersebut. Apabila ditinjau dari segi asupan, subjek yang memiliki skor
external eating yang tinggi juga lebih tinggi asupan energi dan zat gizinya,
terutama protein dan zat besi. Hal tersebut dapat disebabkan karena subjek
merupakan mahasiswa Ilmu gizi, sehingga lebih mengerti zat gizi yang diperlukan
untuk meningkatkan berat badan dengan sehat. Penelitian serupa pada mahasiswa
kedokteran yang obesitas menunjukkan hasil skor external eating yang lebih
tinggi pada subjek yang tidak mengalami obesitas (Khotibuddin 2017). Aspek
perilaku makan external eating sangat dipengaruhi oleh gambaran ideal seseorang
terhadap tubuh yang diinginkan (body image) sehingga subjek dengan berat badan
lebih rendah dari ideal cenderung untuk makan lebih banyak makanan.

Hubungan Perilaku Makan dengan Kadar Hemoglobin

Perilaku makan yang dalam penelitian ini mencakup emotional eating,


external eating, dan restrained eating dapat secara tidak langsung mempengaruhi
keadaan anemia melalui konsumsi pangan. Rata-rata skor perilaku makan
berdasarkan kejadian anemia disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Rata-rata skor perilaku makan berdasarkan status anemia
Status anemia
Perilaku makan
Anemia Tidak anemia Rata-rata total
Emotional eating 2.50±0.85 2.23±0.72 2.27±0.74
External eating 3.30±0.73 3.30±0.53 3.30±0.56
Restrained eating 2.25±0.76 2.44±0.74 2.41±0.74
Berdasarkan Tabel 17, emotional eating pada subjek anemia memiliki
rata-rata skor yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang tidak mengalami
anemia. Uji hubungan pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif
yang signifikan antara emotional eating dan kadar hemoglobin, artinya semakin
32

tinggi aspek emotional eating pada suatu individu, semakin rendah kadar
hemoglobin. Hasil tersebut dapat disebabkan karena berdasarkan data asupan
pangan, makanan yang paling sering dimakan oleh subjek adalah makanan manis
atau makanan yang digoreng seperti bakwan, risoles, dan tahu goreng yang tidak
memiliki kandungan protein dan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari. Hasil asupan pangan juga menunjukkan bahwa tingkat kecukupan zat besi
untuk seluruh subjek anemia tergolong rendah.
Seseorang dengan emotional eating yang dominan akan cenderung makan
melebihi kebutuhan dalam sehari dan makanan yang dipilih berbeda-beda pada
setiap individu, namun biasanya adalah makanan padat energi yang seringkali
tinggi gula dan lemak (Anton dan Miller 2005). Makanan tersebut akan
meningkatkan aktivasi sistem opioid yang secara langsung berkaitan dengan
regulasi mood seseorang. Sistem opioid memiliki beberapa fungsi berkaitan
dengan nafsu makan. Selain itu, beberapa karbohidrat memiliki prekursor
serotonin untuk peningkat mood atau perasaan senang (Dovey 2010). Makanan
seperti itu seringkali dapat menyebabkan kelebihan kalori atau ‘passive
overconsumption’, yaitu konsumsi berlebihan makanan yang tinggi kalori namun
rendah zat gizi lain.
Tabel 18 Hubungan skor perilaku makan dengan kadar hemoglobin
Kadar hemoglobin
Skor perilaku makan a
p r
Emotional eating 0.045* -0.132
External eating 0.263 0.074
Restrained eating 0.744 0.022
a
Uji pearson, *Berhubungan p<0.05
Uji hubungan antara aspek external eating dengan kadar hemoglobin
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua aspek
tersebut, dengan arah hubungan yang positif. Berdasarkan Tabel 17, skor external
eating antara subjek anemia dan tidak anemia hampir sama, yaitu 3.30. Hal
tersebut dapat disebabkan karena berdasarkan data asupan pangan, hanya tingkat
kecukupan zat besi dan protein yang menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan external eating, sedangkan kadar hemoglobin dalam darah tidak hanya
dipengaruhi oleh zat besi saja, namun zat enhancer dan inhibitor penyerapan zat
besi memiliki peranan penting dalam kejadian anemia. Zat enhancer seperti
vitamin C dapat meningkatkan peyerapan zat besi, sedangkan zat inhibitor seperti
polifenol dalam teh dan kopi dapat menghambat penyerapan zat besi. Penelitian
pada remaja menunjukkan bahwa sebagian besar subjek dengan tingkat
kecukupan vitamin C yang kurang mengalami anemia, sedangkan seluruh subjek
dengan konsumsi vitamin C yang baik tidak mengalami anemia (Akib dan
Sumarni 2017).
Uji hubungan antara skor restrained eating dengan kadar hemoglobin pada
Tabel 18 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
kedua aspek tersebut, namun korelasinya positif. Hasil tersebut dapat disebabkan
karena rendahnya kadar hemoglobin dalam darah disebabkan oleh defisiensi zat
besi dan zat gizi lain dalam waktu yang lama. Hasil tersebut juga sejalan dengan
teori restrained eating, yaitu teori restrained berfokus pada kemungkinan efek
samping psikologis dari diet, pelaku diet akan makan berlebihan ketika kognitif
33

pelaku diet berubah untuk tidak membatasi makanan (Stunkard dan Stellar 1984).
Pernyataan yang sama diungkapkan Kovacs et al. (2014), yaitu semakin tinggi
tingkat restrained eating semakin tinggi kenaikan berat badan dan IMT setelah
follow up selama 3 tahun.

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Kadar Hemoglobin

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh sebagai


sumber energi dan zat gizi dalam jumlah tertentu setiap harinya. Kelebihan
maupun kekurangan zat gizi dalam jangka waktu yang lama akan berdampak pada
masalah kesehatan. Kebutuhan gizi seseorang bergantung pada berbagai faktor,
seperti usia, jenis kelamin, berat badan, dan aktivitas fisik (Almatsier 2009).
Menurut Gibson (2005), konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi oleh seseorang dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan individu
baik secara biologis, psikologis, maupun sosial. Data sebaran subjek berdasarkan
status anemia disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan status
anemia
Anemia Tidak anemia Total
Tingkat Kecukupan
n % n % n %
Energi
Kurang 31 91.2 175 89.3 206 89.6
Cukup 3 8.8 20 10.2 23 10.0
Lebih 0 0.0 1 0.5 1 0.4
Rata-rata ± SD 60.1 ± 16.2 59.8 ± 16.1 59.8± 16.1
Protein
Kurang 21 61.8 107 54.6 128 55.7
Cukup 10 29.4 65 33.2 75 32.6
Lebih 3 8.8 24 12.2 27 11.7
Rata-rata ± SD 79.5±24.6 79.6±24.6 79.6±24.6
Zat besi
Kurang 34 100.0 191 97.4 225 97.8
Cukup 0 0.0 5 2.6 5 2.2
Rata-rata ± SD 25.9±16.7 25.9±16.7 25.7±16.6
Seng
Kurang 34 100.0 183 93.4 217 94.3
Cukup 0 0.0 13 6.6 13 5.7
Rata-rata ± SD 44.5±21.3 44.5±21.3 44.5±21.2
Vitamin C
Kurang 28 82.4 165 84.2 193 83.9
Cukup 6 17.6 31 15.8 37 16.1
Rata-rata ± SD 48.4±86.8 47.9±85.6 47.9±85.6
Zat gizi makro yang dikaji dalam penelitian ini adalah energi dan protein.
Lemak dan karbohidrat tidak dikaji dalam penelitian ini karena lemak dan
karbohidrat hanya mempengaruhi kejadian anemia secara tidak langsung. Lemak
dibutuhkan untuk melarutkan vitamin larut lemak seperti vitamin A yang
dibutuhkan melalui mekanisme yang panjang untuk transpor zat besi (Semba dan
34

Bloem 2002), sedangkan karbohidrat merupakan zat gizi yang banyak


menyumbang energi untuk berbagai metabolisme tubuh.
Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa tingkat kecukupan energi yang
tergolong kurang lebih banyak ditemukan pada subjek yang mengalami anemia
dibandingkan dengan subjek tidak anemia. Selain energi, tingkat kecukupan
protein pun menunjukkan hasil yang rendah lebih banyak berada pada subjek
anemia. Meskipun demikian, uji hubungan pearson menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan
kadar hemoglobin darah (p>0.05).
Berdasarkan data hasil asupan pangan, asupan energi dan protein subjek
tidak berbeda jauh antara subjek dengan anemia dan tidak anemia, sehingga
secara statistika konsumsi energi dan protein tidak berhubungan signifikan. Energi
diperlukan tubuh untuk metabolisme berbagai zat gizi. Apabila asupan energi
rendah dapat menyebabkan kapasitas kerja tubuh menjadi terganggu sehingga
akan terjadi pembongkaran cadangan protein dalam tubuh (Mantika dan Mulyati
2014). Protein merupakan salah satu zat gizi yang diperlukan oleh tubuh untuk
membangun sel dan jaringan, memelihara dan mempertahankan daya tahan tubuh,
membantu enzim, hormon, dan berbagai bahan biokimia lain (Almatsier 2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki
kecukupan protein yang kurang, baik subjek anemia maupun tidak anemia.
Namun demikian, persentase tingkat kecukupan protein yang rendah lebih banyak
berada pada subjek yang mengalami anemia.
Menurut Almatsier (2009), hemoglobin merupakan suatu ikatan protein
yang digunakan untuk mengukur keadaan anemia melalui pigmen darah yang
berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbondioksida.
Protein hewani seperti daging sapi, kambing, ayam, hati, dan ikan berperan dalam
meningkatkan penyerapan zat besi didalam usus, sebaliknya protein nabati seperti
kacang-kacangan dapat menghambat penyerapan zat besi di dalam usus. Subjek
dalam penelitian ini umumnya lebih banyak mengonsumsi protein hewani yang
berasal dari daging ayam dan telur ayam karena ketersediaan bahan makanan
tersebut lebih banyak di sekitar tempat tinggal subjek. Namun demikian, pada
penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan
protein dan kadar hemoglobin (p>0.05).
Tabel 20 Hubungan tingkat kecukupan zat gizi dengan kadar hemoglobin
Kadar hemoglobin
Tingkat kecukupan a
p R
Energi 0.481 0.047
Protein 0.175 0.090
Zat besi 0.001* 0.214
Seng 0.755 0.021
Vitamin C 0.876 -0.010
a
Uji pearson, *Berhubungan p<0.05
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Syatriani dan Aryani
(2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan secara statistika yang
bermakna antara anemia dengan asupan protein, Sementara itu penelitian
Novitasari (2014) menyatakan tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan
protein dan anemia. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan energi dan
35

protein sebagian besar subjek tergolong defisit, dan sebagian besar subjek tidak
mengonsumsi sarapan. Asupan energi yang defisit dapat menyebabkan tidak
tercukupinya kebutuhan tubuh akan energi sehingga terjadi pembongkaran
cadangan protein (Mantika dan Mulyati 2014). Selain itu, terdapat faktor lain
yang dapat menyebabkan anemia, diantaranya adalah status sosial ekonomi
keluarga, kebiasaan makan tradisional: lebih banyak mengonsumsi sayuran,
ketakutan akan kenaikan berat badan, ketakutan sosial, dan gangguan makan
(Balci et al.2012).
Zat gizi mikro yang diteliti dalam penelitian ini adalah zat besi, seng, dan
vitamin C. Berdasarkan Tabel 19, seluruh subjek yang menderita anemia memiliki
tingkat kecukupan zat besi dan seng yang rendah. Sementara itu, kecukupan
vitamin C rata-rata pada subjek anemia lebih tinggi dibandingkan subjek yang
tidak anemia.
Zat besi merupakan zat gizi mikro yang banyak terdapat didalam tubuh
manusia. Zat gizi ini merupakan komponen yang penting dalam formasi
hemoglobin, protein yang ditemukan dalam sel darah merah yang berfungsi untuk
transport oksigen (Indartanti dan Kartini 2014). Uji statistik menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara kadar Hb dengan asupan zat besi. Hasil
tersebut sejalan dengan penelitian Triyonate dan Kartini (2015) di Semarang yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara asupan zat besi dan
anemia. Tabel 20 menunjukkan bahwa seluruh subjek anemia memiliki tingkat
kecukupan zat besi yang rendah. Berdasarkan penelitian Khodijah (2018) pada
subjek yang sama dengan penelitian ini, bahan pangan sumber Fe yang paling
sering dikonsumsi subjek adalah daging ayam, telur, dan ikan. Bahan pangan
sumber zat besi lain seperti daging sapi atau hati tidak sering dikonsumsi (bertirut-
turut 0.5 kali/minggu dan 0.3 kali/minggu), sehingga keragaman konsumsi pangan
sumber zat besi masih tergolong rendah.
Seng merupakan salah satu zat yang dapat berpengaruh dalam
metabolisme zat besi. Asupan seng yang berlebih akan berinteraksi antagonis
dengan zat besi secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi tidak langsung
antara seng dan zat besi dapat terjadi melalui salah satu fungsi seng dalam sintesis
protein pengangkut besi yaitu transferin (almatsier 2009). Uji statistika
menujukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan seng dan anemia (p>0.05). Penelitian ini seseuai dengan penelitian
Novitasari (2014) pada remaja bahwa asupan seng tidak berhubungan dengan
kadar hemoglobin. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian ini adalah
sebagian responden telah mengonsumsi multivitamin dan mineral, namun pada
penelitian ini tidak dapat dijelaskan apa saja vitamin dan mineral yang terkandung
didalamnya. Hal tersebut menjadi kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian
ini sehingga diperlukan penelitian lanjut yang memperhatikan hal tersebut.
Vitamin C membantu penyerapan besi non-heme dengan mereduksi besi
ferri menjadi ferro dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C juga
menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk
membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk non heme
meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Dengan demikian resiko anemia
defisiensi zat besi bisa dihindari (Gibney 2009). Tabel 20 menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan vitamin C dengan kadar
hemoglobin, namun arah hubungannya adalah negatif (p>0.005 dan r= -0.010).
36

Hal ini dapat disebabkan karena kebiasaan mengonsumsi makanan yang


mengandung vitamin C yang tidak dibarengi oleh konsumsi pangan sumber besi
non-heme.
Berdasarkan data asupan pangan, subjek dengan anemia lebih sering
mengonsumsi pangan yang dapat mencegah penyerapan besi, yaitu tahu yang
mengandung fitat. Menurut Citrakesumasari (2012), bahan makanan inhibitor zat
besi adalah bahan makanan yang bersifat akan menghambat absorpsi zat besi oleh
tubuh dari makanan yang dikonsumsi seperti fitat (pada dedak, katul, jagung,
protein kedelai, susu, coklat dan kacang-kacangan, termasuk tahu dan tempe),
polifenol (termasuk tannin) pada teh, kopi, bayam, kacang-kacangan, zat
kapur/kalsium (pada susu, keju), dan phospat (pada susu, keju). Meskipun
demikian, penelitian dengan subjek sama yang meneliti kebiasaan makan melalui
FFQ menyebutkan bahwa asupan Vitamin C sebagian besar subjek pada 3 bulan
terakhir tergolong cukup, sehingga walaupun kecukupan Vitamin C pada asupan
2x24 jam menunjukkan sebagian besar subjek mengalami defisit Vitamin C,
individu tersebut dapat memiliki cadangan Vitamin C yang sudah berada dalam
tubuh (Khodijah 2018). Hal ini sesuai dengan penelitian Nurdiansyah (2012) yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Vitamin C
dengan anemia (p> 0.05).

Hubungan Prestasi Akademik dan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Untuk mencapai nilai akademik yang baik dipengaruhi oleh konsumsi


pangan yang baik dan seimbang. Tingkat kecukupan zat gizi yang dikaji adalah
protein, zat besi, seng, dan vitamin C. Data sebaran subjek berdasarkan tingkat
kecukupan zat gizi dan prestasi akademik disajikan pada Tabel 21.
Berdasarkan Tabel 21, dapat dilihat bahwa pada subjek dengan Indeks
Prestasi (IP) dengan kategori rendah memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi
dan hampir seluruh zat gizi yang diteliti tertinggi dibandingkan subjek dengan IP
memuaskan, sangat memuaskan, maupun cumlaude. Namun demikian, sebagian
besar tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek masih berada dalam kategori
defisit. Hasil tersebut dapat disebabkan karena pada subjek dengan IP kategori
rendah diantaranya terdapat subjek dengan status gizi obese.
Otak memerlukan energi yang cukup dalam bentuk glukosa untuk dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Glukosa didapat dari metabolisme karbohidrat.
Apabila kebutuhan tubuh akan energi tidak tercukupi, tubuh akan mulai
merombak lemak dan protein untuk dijadikan glukosa untuk berbagai
metabolisme dalam tubuh, terutama untuk otak. Namun demikian, berdasarkan uji
hubungan pearson tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan energi dan indeks prestasi. Hasil tersebut tidak sejalan dengan
penelitian Burrows et al. (2016) yang menyebutkan bahwa asupan energi dan zat
gizi dan kebiasaan makan berhubungan positif dengan prestasi akademik.
Tingkat kecukupan protein subjek tidak berbeda jauh antara tiap kategori
indeks prestasi. Uji hubungan pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara tingkat kecukupan protein dan prestasi akademik. Hal tersebut
dapat disebabkan karena tingkat kecukupan protein yang rendah pada separuh
subjek. Protein merupakan prekursor untuk neurotransmitter yang mendukung
37

perkembangan otak. Fungsi otak yang baik tergantung pada kapasitas menyerap
dan memproses informasi. Sumber protein antara lain seperti ikan, susu, daging,
telur dan kacang-kacangan (Sediaoetama 2010).
Tabel 21 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan indeks
prestasi
Indeks Prestasi
Tingkat Sangat
Kurang Memuaskan Cumlaude Total
Kecukupan memuaskan
n % n % n % n % n %
Energi
Kurang 8 80 26 92.9 85 89.5 87 89.7 206 89.6
Cukup 2 20 2 7.1 9 9.5 10 10.3 23 10.0
Lebih 0 0 0 0.0 1 1.1 0 0.0 1 0.4
Rata-rata ± SD 60.7 ± 16.4 59.8 ± 16.1 59.9 ± 16.2 60.1 ± 16.2 59.8± 16.1
Protein
Kurang 4 40 18 64.3 54 56.8 52 53.6 128 55.7
Cukup 3 30 5 17.9 30 31.6 37 38.1 75 32.6
Lebih 3 30 5 17.9 11 11.6 8 8.2 27 11.7
Rata-rata ± SD 80.7.5±25.3 79.6±24.6 79.7±24.7 79.9±24.7 79.6±24.6
Zat besi
Kurang 10 100 28 100 91 95.8 96 99.0 225 97.8
Cukup 0 0 0 0 4 4.2 1 1.0 5 2.2
Rata-rata ± SD 26.1±17.0 25.8±16.6 25.8±16.7 25.8±16.7 25.7±16.6
Seng
Kurang 8 80 27 96.4 91 95.8 91 93.8 217 94.3
Cukup 2 20 1 3.6 4 4.2 6 6.2 13 5.7
Rata-rata ± SD 45.7±22.0 44.7±21.2 44.6±21.3 44.8±21.3 44.5±21.2
Vitamin C
Kurang 9 90 26 92.9 81 85.3 77 79.4 193 83.9
Cukup 1 10 2 7.1 14 14.7 20 20.6 37 16.1
Rata-rata ± SD 46.2±75.2 48.1±85.7 48.2±85.9 48.7±86.5 47.9±85.6
Uji hubungan pearson menunjukkan hubungan yang tidak signifikan
antara tingkat kecukupan zat besi, seng, dan vitamin C terhadap indeks prestasi
(IP). Tidak adanya hubungan antara energi dan zat gizi dengan prestasi akademik
dapat disebabkan oleh subjek yang memiliki pola konsumsi pangan yang sama
(homogen). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Lestari (2013) yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan
prestasi belajar rata-rata yang ditandai dengan nilai korelasi p>0.05. Selain itu,
terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi akademik. Anggraeni
(2004) menyebutkan bahwa prestasi akademik dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu kemampuan dasar (intelegensi), bakat, cara belajar, motivasi/
dorongan, kondisi fisik, fasilitas belajar, lingkungan fisik, keadaan/suasana
psikologis di rumah dan hubungan dengan orangtua, pengajar, serta temannya.

Hubungan Prestasi Akademik dengan Status Gizi

Prestasi akademik pada remaja dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal dari seorang individu. Faktor-faktor tersebut dapat berinteraksi dan
menentukan hasil akhir dari proses belajar sehingga peran dari faktor tersebut
38

tidak selalu sama dan pasti. Status gizi secara tidak langsung merupakan salah
satu faktor internal yang dapat menentukan prestasi akademik. Malnutrisi
dianggap menjadi suatu masalah yang dapat membatasi kemampuan belajar
seseorang dan menyebabkan prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan
dengan seseorang dengan status gizi normal. Data sebaran subjek berdasarkan
prestasi akademik dan status gizi disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Sebaran subjek berdasarkan Indeks Prestasi (IP) dan status gizi
Status gizi
Indeks Sangat Over-
Kurus Normal Obese Total
prestasi kurus weight
n % n % n % n % n % n %
Kurang 0 0 1 7.1 7 4.0 0 0.0 2 8.7 10 4.3
Memuaskan 1 25.0 1 7.1 19 10.8 3 23.1 4 17.4 28 12.2
Sangat
1 25.0 7 50.0 73 41.4 4 30.8 10 43.5 95 41.3
memuaskan
Cumlaude 2 50.0 5 35.7 77 43.8 6 46.1 7 30.4 97 42.2
Hasil uji korelasi chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara prestasi akademik dan status gizi subjek (p=0.862). Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian Hioui et al. (2016) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara prestasi akademik dan status gizi. Pada penelitian tersebut
ditemukan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi prestasi akademik,
salah satunya adalah stunting dan kemiskinan pada 5 tahun pertama kehidupan.
Penelitian yang dilakukan Ong (2010) juga menyatakan tidak terdapat hubungan
antara status gizi dengan prestasi akademik pada siswa.
Perbedaan hasil dengan teori tersebut dapat disebabkan karena tidak
seimbangnya kelompok subjek berdasarkan status gizi. Mayoritas subjek pada
penelitian ini memiliki status gizi normal (76.5%) dan sebagian besar subjek
dengan ststus gizi normal memiliki indeks prestasi (IP) cumlaude (Tabel 23).
Selain itu, banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi akademik selain
status gizi, seperti minat, motivasi, lingkungan tempat tinggal, lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan fasilitas pengajaran.

Hubungan Prestasi Akademik Dengan Kadar Hemoglobin

Hasil uji hubungan pearson menunjukkan hasil yang tidak signifikan


antara prestasi akademik dengan kadar hemoglobin subjek (p=0.990). Hasil
tersebut tidak sesuai dengan beberapa teori yang menyebutkan bahwa defisiensi
zat besi dapat berpengaruh terhadap kemampuan belajar dan produktivitas kerja
(Almatsier 2009). Selain itu, disebutkan juga bahwa dalam kondisi anemia, daya
konsentrasi dalam belajar tampak menurun (Sediaoetama 2010).
Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Vikas (2017) pada 200 mahasiswi
yang menunjukkan bahwa terdapat terdapat hubungan yang signifikan antara grup
dengan kadar hemoglobin rendah dan normal terhadap prestasi akademik dan
kesehatan mental. Kadar hemoglobin yang normal menciptakan efisiensi dan
suasana mental yang relatif sehat serta prestasi akademik yang baik. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena sebagian besar subjek tidak mengalami anemia
dan hanya 14.8% yang mengalami anemia.
39

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi akademik


mahasiswa. Penelitian Andjani dan Adam (2013) pada mahasiswa menunjukkan
bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar, motivasi, lingkungan
keluarga, dan kualitas pengajaran. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa
subjek cenderung menyimak dan memahami materi yang diberikan apabila
memiliki minat terhadap mata kuliah yang bersangkutan. Makmun (2005)
menyatakan bahwa terdapat faktor internal dan faktor eksternal yang
mempengaruhi prestasi akademik. Faktor internal meliputi faktor fisiologis dan
psikologis, sedangkan faktor eksternal meliputi status sosial ekonomi keluarga,
pendidikan, perhatian orangtua, lingkungan belajar (sarana prasarana belajar
mengajar), serta lingkungan masyarakat yang berhubungan dengan sosial
budaya dan partisipasi terhadap pendidikan. Selain hal tersebut, penelitian
Iskandarsyah dan Imam (2012) pada subjek mahasiswa menyimpulkan bahwa
faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar diantaranya gaya
mengajar dosen, asistensi terhadap subjek, struktur perkuliahan, dan fasilitas
belajar mengjar. Penelitian tersebut menyatakan mahasiswa lebih tertarik
menyimak gaya mengajar dosen yang menarik dan tidak menekan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi program studi S-1
Gizi Masyarakat IPB tingkat I, tingkat II, dan tingkat III dan memenuhi kriteria
inklusi berjumlah 230 orang. Hampir seluruh subjek berusia 18 – 22 tahun
(remaja akhir). Sebanyak 89.1% subjek berjenis kelamin perempuan. Rata-rata
uang saku subjek Rp 1 352 304 ± 526 709 per bulan (tergolong sedang). Rata-rata
alokasi uang saku untuk konsumsi pangan subjek sebesar Rp 846 843 ± 300 981
per bulan (tergolong sedang). Sebagian besar subjek memiliki status gizi normal
(76.5%), namun terdapat 15.7% subjek yang mengalami kelebihan berat badan.
Tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, zat besi, seng, dan
vitamin C sebagian besar subjek tergolong defisit. Pada asupan dan tingkat
kecukupan protein dan seng subjek semakin tinggi tingkat kuliah, semakin tinggi
pula asupan dan tingkat kecukupannya (p<0.05). Uji lanjutan menunjukkan bahwa
asupan protein pada subjek tingkat III lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0.05)
dengan tingkat I dan tingkat II.
Perilaku makan subjek dilihat dari tiga aspek, yaitu emotional eating,
external eating, dan restrained eating. Rata-rata skor emotional eating external
eating, dan restrained eating subjek berturut-turut adalah 2.27 ± 0.74, 3.30 ± 0.56,
dan 2.41 ± 0.75. Uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara
tingkat perkuliahan pada masing masing aspek (p>0.05).
Rata-rata kadar hemoglobin subjek 13.2±1.4 g/dL. Terdapat 14.8 % subjek
yang mengalami anemia. Sementara itu, prestasi akademik subjek sebagian besar
dalam kategori cumlaude dengan rata-rata IP 3.38±0.38. Uji beda menunjukkan
terdapat perbedaan nyata antara tingkat perkuliahan (p<0.05), semakin tinggi
tingkat perkuliahan semakin rendah IP subjek.
40

Hasil uji hubungan menunjukkan terdapat hubungan positif antara perilaku


external eating dengan asupan protein dan zat besi dan (p<0.1). Uji hubungan
juga menunjukkan terdapat hubungan positif antara kadar hemoglobin dengan
tingkat kecukupan zat besi (p<0.05). Sementara itu, uji hubungan menunjukkan
bahwa terdapat hubungan negatif antara external eating dengan IMT (p<0.05) dan
terdapat hubungan positif antara restrained eating dengan IMT (p<0.05), namun
tidak terdapat hubungan antara skor emotional eating denan IMT (p>0.05). Uji
hubungan menunjukkan adanya hubungan negatif antara aspek perilaku makan
emotional eating dengan kadar hemoglobin, namun tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara aspek lain dengan kadar hemoglobin. Uji hubungan
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara konsumsi pangan dan
prestasi akademik (p>0.05). Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara prestasi akademik dan status gizi subjek (p>0.05).
Sementara itu, hasil uji hubungan menunjukkan tidak ada hubungan signifikan
antara prestasi akademik dengan kadar hemoglobin subjek (p>0.05).

Saran

Disarankan mahasiswa mendapatkan edukasi gizi terkait perilaku makan


khususnya emotional eating, external eating, dan restrained eating, sehingga
mahasiswa dapat mengenali perilaku makan yang buruk seperti membatasi makan
atau makan melebihi kebutuhan dan mencegah terjadinya perilaku makan tersebut.
Edukasi gizi mengenai perilaku makan emotional eating, external eating, dan
restrained eating sebaiknya dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan untuk
mahasiswa PS S1 Ilmu Gizi sehingga kemudian mahasiswa dapat mengedarkan
materi yang didapat pada orang lain. Selain itu subjek dianjurkan untuk lebih
menyadari pentingnya menjaga berat badan ideal sebagai bentuk pencegahan
terjadinya malnutrisi terutama obesitas dengan rutin menimbang berat badan
sesuai anjuran PGS. Subjek juga dianjurkan memakan makanan dengan jumlah
dan jenis yang beragam sehingga seluruh zat gizi yang diperlukan tubuh dapat
terpenuhi.
Diperlukan penelitian lanjutan dengan metode kohort untuk mengukur
pengaruh jangka panjang perilaku makan restrained eating, emotional eating, dan
external eating pada subjek seiring waktu dan hubungannya dengan
bertambahnya berat badan. Selain itu, metode food recall 2x24 jam memiliki
kekurangan, diantaranya subjek cenderung melupakan jenis maupun jumlah
pangan yang dikonsumsi sehingga diperlukan metode food record sehingga jenis
dan jumlah pangan yang dikonsumsi lebih rinci.

DAFTAR PUSTAKA

Agustriyana NA. 2017. Fully human being pada remaja sebagai pencapaian
perkembangan identitas. Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia. 2(1): 9-
11.
41

Andjani, Sagita dan Helmi Adam. 2013. Faktor-Faktor yang mempengaruhi


prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah pengantar akuntansi. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya. 1(1).
Akib A, Sumarni S. 2017. Kebiasaan makan remaja putri yang berhubungan
dengan anemia: Kajian positive deviance. Amerta Nutr. 105–116. DOI:
10.2473/amnt.v1i2.2017.105-116.
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Anggraeni D. 2004. Status anemia mahasiswa putri tingkat persiapan bersama
(TPB) IPB tahun 2002/2003 dan hubungannya dengan indeks prestasi
kumulatif. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Anton SD, Miller PM. 2005. Do negative emotions predict alcohol consumption,
saturated fat intake, and physical activity in older adults?. Behav
Modif. 29(4): 677–688.
Apriani R. 2016. Keragaan akses informasi dan perilaku tentang pedoman gizi
seimbang mahasiswa ilmu gizi dan ilmu komputer. [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Arisman. 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Edisi 2.
Atalayer D. 2018. Link between impulsivity and overeating: psychological and
neurobiological perspectives. Psikiyatride Guncel Yaklasimlar. 10(2):
131–147. doi:10.18863/pgy.358090
Baek JY, Kim HY. 2014. Vegetable eating behavior and preference of elementary
school students by stage of change for vegetable intake. Korean J Food
Cult. 24(2):146–154.
Balci YI, Karabulut A,Gurses D, dan Covut I. 2012. Prevalence and risk factors of
anemia among adolescents in Denizli, Turkey. Iran J Pediatr. 22(1): 77 –
81.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2009. Pendewasaan
Usia Perkawinan dan Hak-hak Reproduksi Remaja. Jakarta (ID): Deputi
Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi.
Bongers P, Jansen A. 2016. Emotional eating is not what you think it is and
emotional eating scales not measure what you think they measure.
Frontiers in Psychology. 7: 1-11.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
Bruch H. 1973. Eating Disorders. New York (US): Basic Books.
Brunault P, Isabelle R, Gérard A, Nicolas B, Charles C. 2015. The Dutch Eating
Behavior Questionnaire: Further psychometric validation and clinical
implications of the French version in normal weight and obese persons. La
Presse medicale. 44 (12): 363 – 372.
Brunstrom JM, Yates HM, dan Witcomb GL. 2004. Dietary restraint and
heightened reactivity to food. Physiology and Behavior. 81(1): 85–90.
42

Burrows T, Goldman S, Pursey K. Lim R. 2016. Is there an association between


dietary intake and academic achievement: a systematic review. Journal of
Human Nutrition and Dietetics. 20(2): 117 – 140.
Chaerunnisa. 2017. Hubungan konsumsi produk pangan olahan yang mengandung
BTP dengan tingkat kecukupan zat gizi pada mahasiswa gizi dan
mahasiswa non gizi. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi Masalah dan Pencegahannya. Yogyakarta
(ID): Kaliaka.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Handbook of Pathophysiologi. Jakarta (ID): EGC.
Daruyani S, Wilandari Y, dan Yasin H. 2015. Faktor faktor yang mempengaruhi
indeks prestasi mahasiswa FSM Universitas Dipenogoro semester pertama
dengan metode regresi logistik biner. Prosiding Seminar Nasional
Statistika Universitas Dipenogoro. 185 – 194.
Dovey TM. 2010. Eating Behaviour. New York (US): Open University Press.
Edelstein S. 2015. Life Cycle Nutrition: An Evidence-Based Approach. Boston
(US): Jones and Bartlett Learning.
Fedorov IC, Polivy J, dan Herman CP. 1997. The efect of pre-exposure to food
cues on the eating behavior of restrained and unrestrained eaters. Appetite.
28(1): 33–47.
Felt BT, Beard JL, Schallert T, Shao J, Aldridge JW, Connor JR, Georgieff MK,
Lozoff B. 2006. Persistent neurochemical and behavioral abnormalities in
adulthood despite early iron supplementation for perinatal iron deficiency
anemia in rats. Brain Behav Res. 171(2):261 – 267.
Ferawati. 2016. Hubungan pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe,
bioavailabilitas Fe, status gizi dengan status anemia mahasiswi IPB
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fortin B, Yazbeck M. 2011. Peer Effects, Fast Food Consumption and Adolescent
Weight Gain. Quebec (CA): Cirano.
Furman. 2012. The theory of compromised eating behaviour. [tesis].
Massachusets (US): Universitas of Massachusetts.
Gahagan S. 2013. The development of eating behaviour-biology context. J Dev
Behav Pediatr. 33(3):261 – 271.
Ganley RM. 1989. Emotion and eating in obesity: A review of the literature.
International Journal of Eating Disorder. 8:343–361.
Garcia MF, Maldonado JG, Plasanjuanelo J, Abella FV, Gracia A, Dakanalis A,
Aranda RR, Escolando AF, Sabate JR, Riva G, et.al. 2015. External
eating as a predictor of cue-reactivity to food-related virtual
environments. Annual Review of Cybertherapy and Telemedicine. 117-
123.
Gibney MJ. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): EGC.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New York (US): Oxford
University Press.
43

Halterman JS, Kaczorowski JM, Aligne CA, Auinger P, dan Szilagyi PG. 2001.
Iron deficiency and cognitive achievement among school-aged children
and adolescents in the Uniter States. Pediatrics. 107(6): 1381 – 1386.
Herman CP, Roth DA, dan Polivy J. 2003. Effects of the presence of others on
food intake: a normative interpretation. Psychol Bull. 129(6):873–886.
Hildayati M. 2002. Penelusuran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi
Akademik Mahasiswa Semester I Universitas IBN Khaldun Bogor.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hioui E, Ahami A, Aboussaleh Y, Rusinek S. 2016. The relationship between
nutritional status andeducational achievements in the rural school children
of morocco. Journal of Neurological Disorders. 3(1): 1 – 4.
[IOM] Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intake for Energy,
Carbohydrate, Fiber, FAT, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino
Acids. A Report of the Panel on Macronutrients, Subcommittees on Upper
Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary
Reference Intakes, and the Standing Committee on the Scientific
Evaluation of Dietary Reference Intakes. Washington DC (US): National
Academies Press.
Indartanti D, Kartini A. 2014. Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada
remaja putri. Jurnal Sosio-Humaniora. 3 (2): 33 – 39.
Iskandaryah D dan Imam G. 2012. Analisis Faktor yang Memengaruhi Prestasi
Mahasiswa dalam Mempelajari Mata Kuliah Akuntansi Keuangan
Menengah, Studi Empiris pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi Reguler di
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro tahun angkatan
2009 dan 2010). Diponegoro Journal of Accounting. 1(2): 1 – 13.
Jansen A, Nederkoorn C, Roefs A, Bongers P, Teugels T, Haverman R. 2010. The
proof of pudding is in eating: is the DEBQ-external eatingscale a valid
measure of external eating?. Int J Eat Disord. 44:164 – 168. doi:
10.1002/eat.20799
Kaplan HI. 1957. The psychosomatic concept of obesity. J Nerv Ment Dis. 125
(2): 181 – 201.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
________. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Khedr E, Hamed S, Elbeih E, Shereef H. 2008. Iron states and cognitive ablities in
young adults: neuropsychological and neurophysiological assessment.
European Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience. 258(8): 489
– 496.
Khodijah. 2018. Hubungan antara konsumsi pagan enhancer dan inhibitor Fe, dan
aktivitas fisik dengan kadar hemoglobin dan prestasi akademik pada
mahasiswa gizi masyarakat IPB. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
44

Khotibuddin M. 2017. Hubungan depresi dan perilaku makan terhadap berat


badan lebih mahasiswa kedokteran. Mutiara Media. 17(1): 42 – 50.
Kovacs MA, Correa JB, dan Brandon TH. 2014. Smoking as alternative to eating
among restrained eaters: effect of food prime on young female smokers.
Health psychology. 33(10): 1174 – 1184.
Lestari CF. 2017. Keragaan tingkat keanekaragaman konsumsi pangan, tingkat
kecukupan gizi, dan status gizi mahasiswa gizi Institut Pertanian Bogor.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lomanjaya IP, Soegiono EA. 2013. Studi deskriptif perilaku makan mahasiswa
Universitas Kristen Petra Surabaya. Media Neliti. 242 – 255.
Makmun AS. 2005. Psikologi Pendidikan. Bandung (ID): Rosdakarya
Mantika AI, Mulyati T. 2014. Hubungan asupan energi, protein, zat besi, dan
aktivitas fisik dengan kadar hemoglobin tenaga kerja wanita di pabrik
pengolahan rambut PT. Won Jin Indonesia. Journal of Nutrition College. 3
(4): 848-854.
Michel STN, Unger JB, Mets DS. 2007. Dietary corelates of emotional eating in
adolescence. Apetite. 49(2): 494–499.
[NIH] National Institute of Mental Health. 2008. Eating Disorders: About More
Than Food. (US): Department of Health and Human Services.
Novitasari S. 2014. Hubungan tingkat asupan protein, zat besi, vitamin C dan seng
dengan kadar hemoglobin pada remaja putri. [Skripsi]. Surakarta (ID):
Universitas Muhummadiyah Surakarta.
Nurdiansyah F. 2012. Hubungan antara asupan vitamin C, indeks massa tubuh,
dan kejadian anemia pada mahasiswi PSPD UIN Syarif Hidayatullah.
[skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Ong L. 2010. Factors associated with poor academic achievement among urban
primary school children in Malaysia. Journal of Medicine Singapore.
51(3): 245-249.
Permatasari B. 2012. Hubungan antara penerimaan terhadap kondisi fisik dengan
kecenderungan anorexia nervosa pada remaja perempuan di SMAN 1
Banjarmasin. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 1(2): 130 –
137.
Pratiwi R. 2011. Analisis faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor
pendorong terhadap pola makan pada siswi SMA Yayasan Shafiyyatul
Amallyyah Medan tahun 2010. [Skripsi].Medan (ID): FKM USU.
Pujiati, Arneliawati, dan Rahmalia S. 2015. Hubungan antara perilaku makan
dengan status gizi pada remaja putri. JOM. 2(2): 1345 – 1353.
Purwaningrum NF. 2008. Hubngan antara citra raga dengan perilaku makan pada
remaja putri. [Skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Ramsay S, Branen LJ, Snook ML. 2013. Assessing eating disorder and weight
preoccupation risk in female students. JCN. 27(4): 93–98.
Rodin, J. 1987. Weight change following smoking cessation: The role of food
intake and exercise. Addictive Behaviors. 12: 303 – 317.
45

Rodriguez STN, Unger JB. Metz DS. 2009. Psychological determinants of


emotional eating in adolescence. J Eat Disord. 17(3): 211–224.
Royal JD, Kurtz JL. 2010. I ate what?! The effect of stress and dispositional
eating style on food intake and behavioral awareness. Pers Individ Dif. 49:
565 – 569. doi: 10.1016/j.paid.2010.04.022
Russell CG, Worsley A, Liem DG. 2014. Parents’s food choice motives and
children’s food preferences. Public Health Nutrition. 18(6): 1018-1027.
Safarina R, Rahayu MS. 2015. Hubungan antara body dissatisfaction dengan
perilaku diet tidak sehat remaja putri yang menjadi member herbalife di
Bandung. Prosiding Psikologi. 1(2): 535 – 542.
Santrock JW. 2003. Adolescents: Perkembangan remaja (edisi keenam). Jakarta
(ID): Penerbit Erlangga.
Schachter S. 1971. Emotion, obesity and crime. New York (US): Academic Press
Sediaoetama AD. 2010. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Provesi (Jilid II). Jakarta
(ID): Dian Rakyat.
Semba RD, Bloem MW. 2002. The anemia of vitamin A deficiency: epidemology
and pathogenesis. Eur J Clin Nutr. 56(4): 271–281.
Setyawati VAV dan Setyowati M. 2015. Karakter gizi remaja putri urban dan
rural di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Indonesia. 11(1): 43 – 52.
Sholeha L. 2014. Hubungan perilaku makan terhadap indeks massa tubuh pada
remaja di SMP YMJ Ciputat. [skripsi]. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Siahaan AT. 2016. Hubungan konsumsi pangan dan gejala anemia dengan kadar
hemoglobin pekerja wanita dataran tinggi di erkebunan teh Purbasari,
Bandung. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Snoek HM, Strien TV, Janssens J, Engels R. 2008. Restrained eating and BMI: a
longitudinal study among adolescents. Health Psychology. 27(6): 753 –
759.
Snoek HM, Engels RCM, Strien TV, Otten R. 2013. Emotonal, external and
restrained eating behaviour and BMI trajectories in adolescence. Apetite.
67(2013):81–87.
Strien TV, Frijters JER, Bergers GPA, Defares PB. 1986. The dutch eating
behaviour questionnaire (DEBQ) for assessment of restrained, emotional,
and external eating behaviour. Int J Eat Disord. 5(2):295–315.
Stunkard AJ, Stellar E. 1984. Eating and Its Disorders. New York (US): Raven
Press
Susilo A. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi pangan
mahasiswa putri yang anemia dan non-anemia [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Syatriani S, Aryani A. 2010. Konsumsi makanan dan kejadian anemia pada siswi
salah satu SMP di Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
4(6):3 – 7.
Triyonate EM, Kartini A. 2015. Faktor determinan anemia pada wanita dewasa
usia 23-35 tahun. Journal of Nutrition College. 4(3).
https://doi.org/10.14710/jnc.v4i3.10091
46

Tzafettas, M. 2009. The relationship between frienship factor, bodyimage concern


and restraint eating. Aristotle University Medical Journal. 36(2).
Vikas M. 2017. The role of iron in well being and educational performance
among girls. Global journal of Addiction and Rehabilitation Medicine.
4(1): 1 – 5.
Wallis DJ, Hetherington MM. 2009. Emotions and eating self-reported and
experimentally induced changes in food intake under stress. Appetite. 52:
355 – 362. doi: 10.1016/j.appet.2008.11.007
Werthmann J, Roefs A, Nederkoorn C. Mogg K, Bradley B, Jansen A. 2013.
Attention bias for food is independent of restraint in healthy weight
individuals, an eye tracking study. Eating Behaviour. 14: 397 – 400.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2012. Angka Kecukupan Gizi
(AKG) 2012 untuk orang Indonesia. Jakarta (ID): LIPI
________________________________________. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI.
[WHO] World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anemia, Assessment,
Prevention, and Control. Geneva (CH): WHO Press.
_____________________________. 2004. Focusing on Anemia: Towards an
Integrated aproach for effective anemia control. Geneva (CH): WHO Press.
_____________________________. 2008. Malnutrition: the Global
Picture.Geneva (CH): WHO Press.
You Z, Fan C, Tin Y, Zhou. 2013. Body ditisfaction and restrained eting:
mediating effects of self-esteem. Social Behaviour and Personlity. 41(7):
1165 – 1170.
47

Lampiran 1 Contoh Kuesioner Penelitian

INFORMED CONSENT
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN

“Hubungan Eating Behaviour, Konsumsi Pangan, dan Status Anemia dengan


Prestasi Akademik Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi Institut
Pertanian Bogor”

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :...........................................................................................................
Usia :...........................................................................................................
Jenis Kelamin :...........................................................................................................
NIM :...........................................................................................................
No. HP :...........................................................................................................

Saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan mengerti mengenai penelitian
“Hubungan Eating Behaviour, Konsumsi Pangan, dan Status Anemia dengan
Prestasi Akademik Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi IPB”. Saya
menyatakan SETUJU untuk ikut berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitian
ini dengan memberikan informasi yang dibutuhkan dengan sebenar-benarnya.
Demikian pernyataain ini saya buat dengan sukarela tanpa paksaan dari
pihak manapun untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Mei 2018

Subjek,

(............................................)
48

KUISIONER PENELITIAN

HUBUNGAN EATING BEHAVIOUR, KONSUMSI PANGAN, DAN


STATUS ANEMIA DENGAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA
PROGRAM STUDI S-1 ILMU GIZI INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Salam sejahtera.
Perkenalkan saya Nadya Asy-syifa Rahman mahasiswa Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Dalam rangka penelitian sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir dengan judul Hubungan
Eating Behaviour, Konsumsi Pangan, dan Status Anemia dengan Prestasi
Akademik Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Gizi IPB, saya mohon
kesediaan Saudara untuk mengisi kuisioner sebagai data penelitian saya
dengan lengkap dan jujur. Segala bentuk informasi yang Saudara berikan akan
dijaga kerahasiannya. Bantuan Saudara dalam pengisian kuisioner ini sangat
berharga dalam pencapaian tujuan penelitian. Atas kesediaan dan kerja sama
Saudara saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kode responden :
Tanggal wawancara : ...............................................................................................
Enumerator : ...............................................................................................
Nama Subjek : ...............................................................................................
NIM : ...............................................................................................
No. HP : ...............................................................................................

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
49

Kode Responden :
A. Karakteristik Mahasiswa/Mahasiswi
A.1 Nama :
A.2 Usia : tahun
A.3 Tanggal Lahir (DD/MM/YYYY) :
A.4 Jenis Kelamin :L/P
A.5 Angkatan :
A.6 Anak ke ….. dari ….. : dari
A.7 Uang Saku/bulan :
A.8 Berat Badan : kg
A.9 Tinggi Badan : cm

B. KarakteristikKeluarga
B.1 AYAH
B.1.1 Nama :
B.1.2 Usia :
B.1.3 Pendidikan Terakhir : 1. Tidak Sekolah 4. SMP/Sederajat
2. Tidak tamat SD 5. SMA/Sederajat
3. SD/Sederajat 6. PT/Sederajat
B.1.4 Pekerjaan : 1. PNS/TNI/POLRI 5. Pedagang
2. Pegawaiswasta 6. Buruh
3. Petani 7. Tidakbekerja
4. Wiraswasta 8. Lainnya
B.1.5 Pendapatan/bulan : 1. <Rp 1 500 000
2. Rp 1 500 000 – Rp 2 499 999
3. Rp 2 500 000 – Rp 3 500 000
4. Rp 3 500 000
B.2 IBU
B.2.1 Nama :
B.2.2 Usia :
B.2.3 PendidikanTerakhir : 1. TidakSekolah 4. SMP/Sederajat
2. Tidaktamat SD 5. SMA/Sederajat
3. SD/Sederajat 6. PT/Sederajat
B.2.4 Pekerjaan : 1. PNS/TNI/POLRI 5. Pedagang
2. Pegawaiswasta 6. Buruh
3. Petani 7. Tidakbekerja
4. Wiraswasta 8. Lainnya
B.1.5 Pendapatan/bulan : 1. <Rp 1 500 000
2. Rp 1 500 000 – Rp 2 499 999
3. Rp 2 500 000 – Rp 3 500 000
4. Rp 3 500 000
B.3 BesarKeluarga : orang
50

C. Formulir Konsumsi pangan

Kode Responden :
Enumerator :
Nama Responden :
NIM :
Tanggal wawancara :

Berat
Wakti makan Nama Makanan Jenis Pangan URT
(g)
Pagi

Selingan 1

Siang

Selingan 2

Malam
51

D. Formulir Eating Behaviour (Perilaku Makan)

Kode Responden :

a. Bacalah setiap pertanyaan dengan hati-hati dan jawab dengan memberi tanda
(X) pada kolom jawaban yang dipilih.
b. Satu pertanyaan hanya diperbolehkan menjawab dengan satu jawaban sesuai
dengan keadaan yang dialami.

Tidak Kadang-
No. Pertanyaan Jarang Sering Selalu
pernah kadang
1 Apakah kamu ingin makan
ketika kamu kesal?
2 Ketika makanannya terasa enak,
apakah kamu akan makan lebih
banyak dari biasanya?
3 Ketika berat badan kamu
bertambah, apakah kamu akan
mekan lebih sedikit dari
biasanya?
4 Apakah kamu ingin makan
ketika kamu merasa depresi atau
sedih?
5 Ketika makanan terasa dan
tercium enak, apakah kamu akan
makan lebih banyak dari
biasanya?
6 Seberapa sering kamu menolah
makanan atau minuman karena
khawatir dengan berat badan
kamu?
7 Apakah kamu ingin makan
ketika merasa kesepian?
8 Ketika kamu melihat atau
mencium sesuatu yang lezat,
apakah kamu ingin
memakannya?
9 Apakah kamu ingin makan
ketika seseorang membuat kamu
kecewa?
10 Di waktu makan, apakah kamu
mencoba untuk makan lebih
sedikit dari sebetulnya kamu
inginkan?
11 Jika kamu punya makanan yang
lezat, apakah kamu akan segera
memakannya?
12 Apakah kamu ingin makan
ketika seseorang membuat kamu
marah?
52

Tidak Kadang-
No. Pertanyaan Jarang Sering Selalu
pernah kadang
13 Apakah kamu betul betul
memperhatikan (melihat) apa
yang kamu makan?
14 Ketika kamu sedang berjalan
melewati toko makanan, apakah
kamu ingin membeli sesuatu
yang enak?
15 Apakah kamu dengan sengaja
memakan makanan yang dapat
menguruskan badan?
16 Ketika melihat orang lain
makan, apakah kamu juga
merasa ingin makan?
17 Ketika kamu makan banyak,
apakah kamu makan lebih
sedikit di hari-hari berikutnya?
18 Apakah kamu menjadi ingin
makan ketika gelisah, khawatir,
dan tegang?
19 Apakah kamu merasa sulit
menolak makanan yang lezat?
20 Apakah kamu dengan sengaja
makan lebih sedikit karena tidak
ingin bertambah berat badan?
21 Apakah kamu merasa ingin
makan ketika sesuatu berjalan
tidak sesuai dengan keinginan
atau berjalan tidak semestinya?
22 Ketika melewati toko atau
warung makan yang
menyediakan makanan enak,
apakah kamu ingin
membelinya?
23 Apakah kamu ingin makan
ketika sedang emosi?
24 Apakah kamu ingin makan lebih
banyak dari biasanya , ketika
melihat orang lain makan?
25 Seberapa sering kamu
menghindari makan malam
karena kamu sedang manjaga
berat badan?
26 Apakah kamu merasa ingin
makan ketika merasa takut?
27 Apakah kamu mengaitkan berat
badan kamu dengan apa yang
kamu makan?
28 Apakah kamu ingin makan
ketika kamu merasa kecewa?
53

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandung, pada tanggal 8 November 1996. Penulis


merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Obar (alm) dan
Ibu Ai Satriani. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri
Cimuncang 8 hingga kelas 3 SD, kemudian penulis melanjutkan sekolah dasar di
SDN Banyuresmi 2. Setelah itu, penulis bersekolah di SMP Negeri 2 Tarogong
Kidul pada tahun 2008 hingga 2011 dan SMA di SMA Negeri 1 Garut pada tahun
2011 hingga 2014. Tahun 2014 penulis diterima di Program Studi Ilmu Gizi
Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan SNMPTN.
Selama masa studi, penulis aktif mengikuti kegiatan akademik dan non
akademik. Penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Bogor (HIMAGA)
dan bertugas sebagai sekretaris himpunan. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan
Nutrition fair pada tahun 2016 dan 2017 yang merupakan rangkaian acara gizi
nasional. Pada tahun 2016, penulis mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional
(PIMNAS) dengan judul “BAGARIS (Batik Garut Istimewa); Sarana Belajar dan
Usaha Batik Garut bagi Generasi Emas Tunarungu di SLB B-C YGP BL
Limbangan, Kabupaten Garut” dan menjadi juara pertama poster di bidang
Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dari
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI). Penulis pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Fisiologi Manusia 2017, Pendidikan Gizi 2017, dan
Ekologi Manusia 2018. Penulis menjadi bagian dalam pembuatan artikel dengan
judul “Program edukasi batik garut istimewa (BAGARIS) bagi siswa tunarungu di
Limbangan, Garut” dan telah dipublikasikan pada Jurnal Agro Kreatif.
Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) di Desa
Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang yang merupakan desa percontohan
kampung sejahtera yang bekerjasama dengan Sarihusada pada program edukasi
nutrisi bagi pelajar bertajuk “Aku Sehat, Jajananku Harus Sehat”. Penulis juga
menjalani Internship Managemen Jasa Makanan (MSPM) dan Manajemen
Asuhan Gizi Klinis (MAGK) di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr
Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Selama menjalani perkuliahan, penulis
pernah menerima beasiswa dari Peningkatan Potensi Akademik (PPA).

Anda mungkin juga menyukai