Anda di halaman 1dari 95

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/313349553

Hubungan Hemoglobin, Lemak Tubuh Dan Vo2maks Dengan Performa Lari 5 Km

Article · December 2012

CITATIONS READS
0 2,452

4 authors:

Wilda Welis Rimbawan Rimbawan


California State University, Fresno 45 PUBLICATIONS   66 CITATIONS   
5 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   
SEE PROFILE
SEE PROFILE

Ahmad Sulaeman Hadi Riyadi


Bogor Agricultural University Bogor Agricultural University
45 PUBLICATIONS   314 CITATIONS    93 PUBLICATIONS   122 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

A STUDY ON OVERWEIGHT AND OBESITY AMONG SCHOOL CHILDREN AND EFFORTS TO OVERCOME THROUGH NUTRITIONAL EDUCATION AND TRADITIONAL GAME
INTERVENTIONS IN URBAN AREAS IN WEST JAVA View project

INCOME CONTRIBUTION, FOOD CONSUMPTION, IRON DEFICIENCY ANEMIA AMONG WOMEN WORKERS IN TEA PLANTATION AND EFFECT OF MULTINUTRIENTS
SUPPLEMENTATION WITH NUTRITION EDUCATION View project

All content following this page was uploaded by Hadi Riyadi on 05 February 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ISSN 1693 7228

Jurnal Ilmiah

MGI Issue IX/Agustus – Desember 2012

• Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Pengetahuan Dan


Keterampilan Kader Posyandu

• Hubungan Antara Konsumsi Minuman Berkalori Dalam


KemasanDengan Asupan Energi Dan BMI Pada Remaja

• Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Dan Asupan Zat Gizi


Dengan Status Gizi Dan Risiko Osteoporosis Pada Kelompok
Lacto Ovo Vegetarian

• Hubungan Karies Gigi Dengan Tingkat Konsumsi Dan Status


Gizi Anak Usia Sekolah Dasar

• Hubungan Pola Konsumsi, Tingkat Konsumsi Dan Frekuensi


Sakit Infeksi Dengan Status Gizi (IMT/U) Anak Sekolah

• Hubungan Tingkat Konsumsi Protein, Zat Besi, Vitamin C Dan


Tablet Besi Dengan Anemia Pada Ibu Hamil

• Hubungan Pola Konsumsi Dan Aktivitas Fisik Dengan Gizi


Lebih Pada Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)

• Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Lemak, Dan Dietary


Fiber Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes
Mellitus Tipe 2

• Hubungan Hemoglobin, Lemak Tubuh Dan Vo2maks Dengan


Performa Lari 5 Km

Surabaya ISSN
MGI Vol. 2 No. 9 Hal. 1458 - 1541 Agustus 2012 1693 7228

Departemen Gizi Kesehatan


FKM – UNAIR Th. 2012
ISSN 1693 7228

Media Gizi Indonesia


Volume 2 Nomor 9

DEWAN REDAKSI

Ketua Redaksi : Dr. Ir. Annis Catur Adi, M.Si

Dewan Redaksi : Prof Bambang W, dr, MS, MCN, PhD, SpGK (FKM Unair)
Prof. Dr. dr. Arsiniati M.B. Arbai, DAN (FK-UHT)
Dr. dr. Boerhan Hidayat, Sp.A (FK Unair/RSPT-Unair)
Purwaningsih, S.KM., M.Kes (RSUD Dr. Soetomo)
Dr. drh.Haryo Puntodewo, M.Sc. (FKH Unair)

Staf Redaksi : Dr. Merryana Adriani, S.KM, M.Kes


Dini Ririn Andrias, S.KM, M.Sc
Umi Hapsari Sekar Priwati, S.T.P., M.Sc
Evy Arfianti, S.KM, M.Kes
Siti Rahayu Nadhiroh, SKM, M.Kes

Alamat Redaksi : Redaksi Media Gizi Indonesia


Departemen Gizi Kesehatan
FakultasKesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga
Kampus C Unair, Jl.Mulyorejo Surabaya 60115
Telp : (031) 5964808
Fax : (031) 5964809

Media Gizi Indonesia diterbitkan sejak 2004, merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan
artikel mengenai hasil penelitian serta perkembangan tentang gizi yang meliputi gizi
masyarakat, gizi klinis, gizi institusi, teknologi pangan serta tema-tema gizi yang sedang
populer.
Jurnal ini terbit setiap 6 bulan sekali: Januari dan Agustus

HARGA LANGGANAN – belum termasuk ongkos kirim


Rp. 50.000,- per tahun
PENGANTAR REDAKSI

Media Gizi Indonesia (MGI) merupakan Jurnal Ilmiah terbitan berkala setiap 6
bulan sekali. MGI sebagai media komunikasi penyebarluasan informasi hasil-hasil
penelitian, artikel ulas balik dan ulasan tentang gizi kesehatan masyarakat, gizi klinis,
gizi institusi dan teknologi pangan yang senantiasa berkembang. MGI mencoba untuk
selalu menyajikan aneka ragam artikel ilmiah dalam ruang lingkup Gizi Kesehatan yang
menarik dan terkini.
Dalam edisi kali ini, MGI menyajikan beberapa artikel dengan topik utama di
bidang gizi masyarakat, antara lain Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat
Pengetahuan dan Keterampilan Kader Posyandu, Hubungan Antara Konsumsi
Minuman Berkalori Dalam Kemasan dengan Asupan Energi dan BMI Pada
Remaja, Hubungan Antara Pengetahuan Gizi dan Asupan Zat Gizi dengan Status
Gizi dan Risiko Osteoporosis Pada Kelompok Lacto Ovo Vegetarian, Hubungan
Karies Gigi dengan Tingkat Konsumsi dan Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar,
Hubungan Pola Konsumsi, Tingkat Konsumsi dan Frekuensi Sakit Infeksi dengan
Status Gizi (IMT/U) Anak Sekolah serta Hubungan Hemoglobin, Lemak Tubuh
dan Vo2maks dengan Performa Lari 5 Km.
Keberadaan jurnal ilmiah MGI ini diharapkan dapat menjadi daya ungkit
pengembangan budaya menulis dan pengkajian ilmiah yang komunikatif serta sebagai
daya pikat para pembaca dan penulis untuk berpartisipasi dalam MGI pada terbitan
mendatang. Semoga pemikiran-pemikiran dan karya-karya yang ditampilkan MGI saat
ini dan mendatang dapat memberikan manfaat dan memperkaya khasanah pengetahuan
bagi pembaca.

Redaksi
ISSN 1693 7228
MEDIA GIZI INDONESIA
Volume 2 Nomor 9

DAFTAR ISI

Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Pengetahuan Dan


Keterampilan Kader Posyandu
Siti Munfarida, Annis Catur Adi 1458-1466

Hubungan Antara Konsumsi Minuman Berkalori Dalam Kemasan


Dengan Asupan Energi Dan BMI Pada Remaja
Paramita Candra Dewi, Annis Catur Adi, Dini Ririn Andrias 1467-1475

Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Dan Asupan Zat Gizi Dengan


Status Gizi Dan Risiko Osteoporosis Pada Kelompok Lacto Ovo
Vegetarian
Suju Fatmawati, Trias Mahmudiono 1476-1487
Hubungan Karies Gigi Dengan Tingkat Konsumsi Dan Status Gizi
Anak Usia Sekolah Dasar
Mega Putri Ramayani, Siti Rahayu Nadhiroh 1488-1494
Hubungan Pola Konsumsi, Tingkat Konsumsi Dan Frekuensi
Sakit Infeksi Dengan Status Gizi (IMT/U) Anak Sekolah
Stephany Martina Pondaang, Merryana Adriani 1495-1505
Hubungan Tingkat Konsumsi Protein, Zat Besi, Vitamin C Dan Tablet
Besi Dengan Anemia Pada Ibu Hamil
Dwi Lestari, Bambang Wirjatmadi 1506-1517
Hubungan Pola Konsumsi Dan Aktivitas Fisik Dengan Gizi Lebih
Pada Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pungky Anggraeni Mustika, Lailatul Muniroh 1518-1527
Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Lemak, Dan Dietary
Fiber Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus
Tipe 2 1528-1538
Fauzi Dharma Putra, Trias Mahmudiono

Hubungan Hemoglobin, Lemak Tubuh Dan Vo2maks Dengan Performa


Lari 5 Km
Wilda Welis, Rimbawan, Ahmad Sulaeman, Hadi Riyadi 1539-1546
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TINGKAT PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN
KADER POSYANDU
1* 2
Siti Munfarida , Annis Catur Adi

1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya 

ABSTRAK
Posyandu merupakan sarana untuk melakukan penapisan terhadap balita gizi
buruk melalui penimbangan seluruh balita setiap bulan. Kader merupakan faktor
terpenting dari operasional Posyandu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor
yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan kader posyandu.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Populasi
penelitian adalah kader yang ada di wilayah kerja Puskesmas Jagir sebanyak 460 orang,
dengan sampel sebanyak 83 orang yang dipilih dengan systematic random sampling.
Penelitian dilakukan dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner dan form
penilaian. Hubungan antar variabel yang berskala ordinal diketahui dengan melakukan uji
korelasi Spearman sedangkan variabel yang berskala nominal dianalisis dengan koefisien
kontingensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 79,5% kader memiliki
tingkat pengetahuan yang baik, namun sebanyak 67,5% kader masih memiliki tingkat
keterampilan kader yang kurang. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor yang
berhubungan dengan tingkat pengetahuan kader adalah umur (p=0,028), pendidikan
(p=0,005), lama menjadi kader (p=0,000), keaktifan (p=0,000), pelatihan (p=0,000) dan
pembinaan (p=0,000), sedangkan faktor yang berhubungan dengan keterampilan kader
adalah paritas (p=0,026), pendidikan (p=0,013), pekerjaan (p=0,033), lama menjadi kader
(p=0,003), tugas di posyandu (p=0,003), keaktifan (p=0,021), pelatihan (p=0,029) dan
pembinaan (p=0,003). Berdasarkan penelitian ini disimpulkan faktor yang berhubungan
dengan tingkat pengetahuan kader adalah umur, pendidikan, lama menjadi kader,
keaktifan, pelatihan dan pembinaan, sedangkan faktor yang berhubungan dengan
keterampilan kader adalah paritas, pendidikan, pekerjaan, lama menjadi kader, tugas di
posyandu, keaktifan, pelatihan dan pembinaan. Dibutuhkan regenerasi dan pelatihan yang
fokus agar diperoleh hasil yang optimal supaya pengetahuan dan keterampilan kader
meningkat sehingga kinerja kader menjadi lebih baik.

Kata-kata kunci : pengetahuan, keterampilan, kader Posyandu

ABSTRACT
Posyandu is a facility for screening of malnutrition among children by weighing
children every month. Cadres are the most important factors of Posyandu. The objective
of this study was to find out factors that correlate to knowledge level and skills of
Posyandu cadres. This study was analitycal observation using cross sectional design.
Population of this study were cadres under the coverage area of Puskesmas Jagir with
the number of sample was 83 cadres who were chosen by systematic random sampling 
method. Data was collected by questionnaire and assessment form. Correlation among
variables was tested by Spearman correlation for variables with ordinal data scale and
contingency coefficient for variables with nominal data scale. The result of this study

* corresponding author

1458 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
showed that most cadres (79.5%) had good knowledge level, in contast, about 67.5%
cadres still had low skill level. Result of statistical analysis showed that factors which
correlate to knowledge level of cadres were age (p=0,028), education (p=0,005),
duration of being cadre (p=0,000), activity (p=0,000), training (p=0,000) and
development (p=0,000), whereas factors which correlate to skills of cadres were parity
(p=0,026), education (p=0,013), occupation (p=0,033), duration of being cadre
(p=0,003), duties in posyandu (p=0,003), activity (p=0,021), training (p=0,029) and
development (p=0,003). It can be concluded that factors which correlate to knowledge
level of cadres are age, education, duration of being cadre, activity, training and
development, whereas factors that correlate to cadre skills are parity, education,
occupation, duration of being cadre, duties in posyandu, activity, training and
development. This study recommended the need of cadre regeneration and conducting
more focus training in order to accelerate the improvement of cadres’ knowledge and
skills. 

Keywords : knowledge, skills, Posyandu cadres. 

PENDAHULUAN setelah bersedia berperan serta dalam


Posyandu merupakan sarana pelaksanaan posyandu menjadi
untuk melakukan penapisan terhadap tantangan bagi Pembina Posyandu
balita gizi buruk melalui penimbangan (Dinkes, 2006). Kemampuan kader yang
seluruh balita setiap bulan (Depkes RI, berupa pengetahuan dan keterampilan
2005). Kegiatan Posyandu merupakan merupakan syarat keberhasilan program
upaya peningkatan kualitas sumber daya dalam mencapai sasaran dan
manusia sejak dini melalui layanan kelangsungan kegiatan posyandu.
sosial dasar masyarakat untuk Penelitian ini perlu dilakukan karena
menunjang pembangunan. Dalam kader sebagai pelaksana kegiatan
rangka pengintegrasian layanan sosial posyandu diharapkan mempunyai
dasar di Posyandu maka diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang baik
peran serta pemerintah daerah dan lintas agar Posyandu dapat berjalan sesuai
sektoral agar pelaksanaannya dapat fungsinya yaitu sebagai sarana untuk
berjalan efektif (Depdagri, 2011). melakukan penapisan dan deteksi dini
Perubahan berat badan balita dari waktu terhadap balita gizi buruk dan gizi
ke waktu merupakan petunjuk awal kurang. Tujuan penelitian ini untuk
perubahan status gizi balita. Anak balita menganalisis faktor yang berhubungan
sehat, gizi kurang atau gizi lebih dengan tingkat pengetahuan dan
(obesitas) khususnya di daerah keterampilan kader Posyandu di wilayah
perkotaan dapat diketahui dari Puskesmas Jagir Kota Surabaya.
pertambahan berat badannya tiap bulan.
Kader merupakan faktor METODE
terbesar dan terpenting dari operasional Penelitian ini merupakan
Posyandu. Tanpa kader tidak mungkin penelitian observasional dengan desain
Posyandu akan berjalan. Oleh karena itu cross sectional yang dilakukan pada
masalah kader menjadi masalah yang bulan Maret-April 2012 di Puskesmas
sangat penting dan serius. Masalah Jagir Kota Surabaya. Populasi penelitian
terbesar hingga saat ini adalah sulitnya adalah kader yang ada di wilayah kerja
mencari kader baru dan tingginya kader Puskesmas Jagir dengan sampel
yang keluar (drop out). Disisi lain sebanyak 83 orang yang dipilih secara
seorang kader dituntut untuk bekerja dan systematic random sampling. Penelitian
mempunyai pengetahuan yang cukup dilakukan dengan wawancara
sebagai kader (persyaratan menjadi menggunakan kuesioner untuk
kader). Oleh karena itu strategi mengetahui tingkat pengetahuan kader
bagaimana membuat kader bertahan Posyandu dan observasi langsung

1459 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
menggunakan form penilaian untuk Puskesmas Jagir Kota Surabaya Tahun
mengetahui keterampilan kader 2012. Tabel 2 menunjukkan variabel
Posyandu. Hubungan antar variabel imbalan jasa tidak dapat dianalisis
diketahui dengan melakukan uji korelasi secara statistik karena seluruh kader
Spearman untuk variabel yang skala Posyandu menyatakan menerima
datanya ordinal sedangkan variabel yang imbalan jasa berupa uang dan kartu
skala datanya nominal dianalisis dengan berobat gratis ke puskesmas. Pada Tabel
koefisien kontingensi. 3 tersaji hasil analisis statistik faktor
yang berhubungan dengan keterampilan
HASIL PENELITIAN kader Posyandu namun variabel imbalan
Distribusi kader Posyandu jasa tidak dapat dianalisis secara statistik
menurut tingkat pengetahuan dan karena seluruh kader Posyandu
ketrampilan di Puskesmas Jagir Kota menyatakan menerima imbalan jasa
Surabaya Tahun 2012 terlihat pada berupa uang dan kartu berobat gratis ke
Tabel 1. Tabel 2 memperlihatkan hasil puskesmas.
analisis statistik faktor yang
berhubungan dengan tingkat
pengetahuan kader Posyandu di

Tabel 1. Distribusi Kader Posyandu Menurut Tingkat Pengetahuan dan


Keterampilan di Puskesmas Jagir Kota Surabaya Tahun 2012

Variabel
Skor Pengetahuan, Mean ± SD 82,17± 9,6
Tingkat Pengetahuan, n (%)
Baik 66 (79,5)
Cukup 14 (16,9)
Kurang 3 (3,6)
Skor Keterampilan Mean ± SD 46,39±20,5
Tingkat Keterampilan, n (%)
Baik 56 (67,5)
Cukup 19 (22,9)
Kurang 8 (9,6) 

Tabel 2. Hasil Analisis Statistik Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat


Pengetahuan Kader Posyandu di Puskesmas Jagir Kota Surabaya Tahun 2012

No Variabel P r / Cc Hubungan Arah dan Kekuatan


1 Umur 0,028 0,241 Signifikan Searah, rendah
2 Paritas 0,220 - 0,136 Tidak Signifikan Berlawanan arah, sangat
rendah
3 Pendidikan 0,005 0,307 Signifikan Searah, rendah
4 Pekerjaan 0,328 0,162 Tdk Signifikan Searah, sangat rendah
5 Pendapatan 0,460 0,082 Tidak Signifikan Searah, sangat rendah
6 Lama menjadi 0,000 0,776 Signifikan Searah, tinggi
Kader Posyandu
7 Tugas di posyandu 0,076 0,241 Tidak Signifikan Searah, rendah
8 Motivasi diri sendiri 0,088 0,298 Tidak Signifikan Searah, rendah
9 Dukungan Keluarga 0,963 - 0,005 Tidak Signifikan Berlawanan arah, sangat
rendah
10 Keaktifan 0,000 0,662 Signifikan Searah, tinggi
11 Imbalan / Jasa - - Tdk bisa dianalisis -
12 Pelatihan Kader 0,000 0,436 Signifikan Searah, cukup
13 Pembinaan 0,000 0,389 Signifikan Searah, rendah

1460 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
Tabel 3. Hasil Analisis Statistik Faktor yang Berhubungan
dengan Keterampilan Kader Posyandu

No Variabel P r/Cc Hubungan Arah dan Kekuatan


1 Umur 0,368 0,109 Tidak Signifikan Searah, sangat rendah
2 Paritas 0,026 0,830 Signifikan Searah, sangat tinggi
3 Pendidikan 0,013 0,272 Signifikan Searah, rendah
4 Pekerjaan 0,033 0,275 Signifikan Searah, rendah
5 Pendapatan 0,452 0,084 Tidak Signifikan Searah, sangat rendah
6 Lama menjadi Kader 0,003 0,317 Signifikan Searah, rendah
Posyandu
7 Tugas di posyandu 0,003 0,354 Signifikan Searah, rendah
8 Motivasi diri sendiri 0,586 0,182 Tidak Signifikan Searah, sangat rendah
9 Dukungan Keluarga 0,292 - 0,117 Tidak Signifikan Berlawanan arah,
sangat rendah
10 Keaktifan 0,021 0,253 Signifikan Searah, rendah
11 Imbalan / Jasa - - Tdk bisa dianalisis -
12 Pelatihan Kader 0,029 0,239 Signifikan Searah, rendah
13 Pembinaan 0,003 0,325 Signifikan Searah, rendah

PEMBAHASAN
Umur Paritas
Berdasarkan hasil uji statistik, Hasil uji statistik terhadap
terdapat hubungan yang bermakna paritas menunjukkan bahwa tidak ada
antara umur dengan tingkat pengetahuan hubungan yang bermakna antara paritas
kader Posyandu (p< α 0,05), dalam dengan tingkat pengetahuan kader
kategori rendah (r = 0,241) dan satu arah Posyandu (p> α 0,05), dan nilai
(nilai r positif), artinya semakin tua koefisien korelasi (r) adalah berlawanan
umur kader Posyandu maka semakin arah (nilai r negatif) artinya semakin
baik tingkat pengetahuannya, demikian banyak paritas kader Posyandu maka
juga sebaliknya. Menurut Notoatmodjo semakin kurang tingkat
(2007), usia mempengaruhi daya pengetahuannya, demikian juga
tangkap dan pola pikir seseorang. sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan
Semakin bertambah usia, akan semakin bahwa semakin banyak jumlah anak
berkembang pula daya tangkap dan pola yang dimiliki kader Posyandu maka
pikirnya sehingga pengetahuan yang waktu yang dimiliki semakin sempit
diperolehnya semakin membaik. Namun sehingga tidak ada kesempatan untuk
hasil uji statistik umur terhadap belajar. Menurut Nursalam dan Pariani
keterampilan menunjukkan bahwa tidak (2001), semakin kecil jumlah anak maka
ada hubungan yang bermakna antara waktu yang tersedia untuk mendapatkan
umur dengan tingkat keterampilan kader informasi semakin besar karena beban
Posyandu (p> α 0,05), akan tetapi kerja lebih sedikit dibandingkan dengan
berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) yang mempunyai banyak anak.
adalah satu arah (nilai r positif), artinya Hasil uji statistik menunjukkan
semakin tua umur kader Posyandu maka bahwa terdapat hubungan yang
semakin baik tingkat keterampilan kader bermakna antara paritas dengan tingkat
Posyandu, demikian juga sebaliknya. keterampilan kader Posyandu
Hal ini dapat dijelaskan bahwa saat (p< α 0,05), dalam kategori sangat
semakin cukup umur, tingkat tinggi (r = 0,830) dan satu arah
kematangan dan kekuatan seseorang (nilai r positif), artinya semakin banyak
akan lebih matang dalam berfikir dan paritas kader Posyandu maka semakin
bekerja tetapi ada faktor fisik yang dapat baik tingkat keterampilannya, demikian
menghambat proses belajar pada orang juga sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan
dewasa sehingga membuat penurunan bahwa semakin banyak jumlah anak,
pada suatu waktu dalam kekuatan kader Posyandu mampu meningkatkan
berfikir dan bekerja. keterampilan kader Posyandu dalam
merawatnya.

1461 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
Pendidikan kategori rendah (Cc = 0,275) dan satu
Berdasarkan hasil uji statistik, arah (nilai Cc positif) artinya kader
diketahui hubungan yang bermakna Posyandu yang bekerja mempunyai
antara pendidikan dengan tingkat keterampilan yang lebih baik
pengetahuan kader Posyandu dibandingkan dengan kader Posyandu
(p< α 0,05), dalam kategori rendah yang tidak bekerja
(r = 0,307) dan satu arah, artinya Adanya pekerjaan membuat
semakin tinggi tingkat pendidikan kader seseorang memerlukan banyak waktu
Posyandu maka semakin baik tingkat dan tenaga untuk menyelesaikan
pengetahuannya, demikian juga pekerjaan yang dianggap penting dan
sebaliknya. Demikian juga hasil uji memerlukan perhatian. Masyarakat yang
statistik menunjukkan bahwa terdapat sibuk hanya memiliki sedikit waktu
hubungan yang bermakna antara tingkat untuk memperoleh informasi sehingga
pendidikan dengan tingkat keterampilan pengetahuan yang mereka peroleh
kader Posyandu (p< α 0,05), dalam berkurang (Nursalam dan Pariani, 2001).
kategori rendah ( r = 0,272) dan satu Menurut Notoatmodjo (2003), pekerjaan
arah, artinya semakin tinggi tingkat adalah kebutuhan yang harus dilakukan
pendidikan kader Posyandu maka untuk menunjang kehidupan dan
semakin baik tingkat keterampilan kader kehidupan keluarganya. Dengan bekerja
Posyandu, demikian juga sebaliknya. seseorang dapat berbuat sesuatu yang
Pendidikan seseorang bernilai, bermanfaat dan memperoleh
mempengaruhi cara pandang. Semakin berbagai pengalaman sehingga dapat
tinggi tingkat pendidikan seseorang meningkatkan keterampilannya.
maka akan semakin mudah menerima
informasi sehingga makin banyak pula Pendapatan
pengetahuan yang dimiliki dan Hasil penelitian menunjukkan
sebaliknya pendidikan yang kurang akan bahwa tidak ada hubungan yang
menghambat perkembangan sikap bermakna antara pendapatan keluarga
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dengan tingkat pengetahuan kader
diperkenalkan (Nursalam dan Pariani, Posyandu (p> α 0,05). Demikian juga
2001). Menurut Notoatmojo (2005), hasil penelitian antara pendapatan
pendidikan dapat mempengaruhi keluarga dengan keterampilan kader
seseorang, termasuk juga perilaku Posyandu menunjukkan bahwa tidak ada
seseorang akan pola hidup terutama hubungan yang bermakna (p> α 0,05)
dalam memotivasi untuk bersikap dan dan dalam kategori sangat rendah
berperan serta dalam pembangunan (r = 0,084).
kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan dan keterampilan kader
Pekerjaan Posyandu tidak banyak dipengaruhi oleh
Hasil penelitian menunjukkan pendapatan keluarga tetapi lebih banyak
bahwa tidak ada hubungan yang dipengaruhi oleh intensitas informasi
bermakna antara pekerjaan dengan dan pengalaman kader Posyandu dalam
tingkat pengetahuan kader Posyandu melaksanakan kegiatan di Posyandu.
(p> α 0,05). Berdasarkan nilai koefisien Keadaan tersebut juga sesuai dengan
kontigensi (Cc) adalah satu arah, artinya penelitian yang dilakukan oleh Widagdo
kader Posyandu yang bekerja (2009) yang menunjukkan bahwa tidak
mempunyai kemungkinan untuk ada hubungan yang signifikan antara
mempunyai pengetahuan baik lebih pendapatan keluarga dengan
besar dari pada kader Posyandu yang keterampilan kader Posyandu dalam
tidak bekerja, demikian juga sebaliknya. menggunakan buku KIA di wilayah
Sedangkan terhadap keterampilan, kerja Puskesmas Kedungadem
terdapat hubungan yang bermakna Kabupaten Bojonegoro (p=0,551).
antara pekerjaan dengan keterampilan
kader Posyandu (p< α 0,05), dalam

1462 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
Lama Menjadi Kader keterampilan professional serta
Hasil penelitian menunjukkan pengalaman belajar selama bekerja akan
bahwa terdapat hubungan yang dapat mengembangkan kemampuan
bermakna antara lama menjadi kader mengambil keputusan yang merupakan
dengan tingkat pengetahuan kader manifestasi dari keterpaduan menalar
Posyandu (p< α 0,05), dalam kategori secara ilmiah dan etik yang bertolak dari
tinggi (r = 0,776 ), dan satu arah masalah nyata dalam bidang kerjanya.
(nilai r positif), artinya semakin lama
menjadi kader Posyandu maka semakin Motivasi Menjadi Kader
baik tingkat pengetahuannya, demikian Hasil penelitian menunjukkan
juga sebaliknya. Selain itu hasil bahwa tidak ada hubungan yang
penelitian juga menunjukkan bahwa bermakna antara motivasi menjadi kader
terdapat hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan kader
antara lama menjadi kader dengan Posyandu (p > α 0,05), satu arah karena
tingkat keterampilan kader Posyandu nilai Cc positif, artinya kalau kader
(p< α 0,05), dalam kategori rendah Posyandu bertugas mempunyai motivasi
(r = 0,317) dan satu arah, artinya beribadah akan semakin baik tingkat
semakin lama menjadi kader Posyandu pengetahuannya, demikian juga
maka semakin baik tingkat sebaliknya. Demikian juga hubungan
keterampilannya, demikian juga antara motivasi dengan keterampilan
sebaliknya. Menurut teori Lawrence kader Posyandu. Hasil penelitian
Green dalam Notoatmodjo (2007), menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
karakteristik sangat berpengaruh pada yang bermakna antara motivasi menjadi
perilakunya, yaitu predisposing faktor kader dengan tingkat keterampilan kader
yang salah satunya adalah lama menjadi Posyandu (p > α0,05), satu arah karena
kader Posyandu. Semakin lama menjadi nilai Cc positif , artinya kalau kader
kader Posyandu diharapkan akan Posyandu bertugas mempunyai motivasi
semakin banyak pengalaman dan beribadah akan semakin baik tingkat
pengetahuannya sehingga akan dapat keterampilannya daripada kader
melayani masyarakat yang datang ke Posyandu yang mempunyai motivasi
pelayanan Posyandu dengan baik dan lain, demikian juga sebaliknya.
bermutu. Dari sisi lain dengan masa Keadaan tersebut menunjukkan
kerja yang lama otomatis umur kader bahwa motivasi bukan hanya satu-
Posyandu juga semakin menjadi tua. satunya faktor yang mempengaruhi
Pada usia tua terjadi proses degeneratif tingkat prestasi seseorang. Dua faktor
yang berdampak pada kemampuan lainnya yang terlibat adalah kemampuan
pemanfaatan sarana di Posyandu juga individu dan pemahaman tentang
menurun. perilaku yang diperlakukan untuk
mencapai prestasi yang tinggi atau
Tugas di Posyandu disebut persepsi peranan. Motivasi,
Hasil penelitian menunjukkan kemampuan dan persepsi peranan adalah
bahwa ada hubungan yang bermakna saling berhubungan. Jadi bila salah satu
antara kebiasaan bertugas secara faktor rendah, maka tingkat prestasi
bergantian dengan tingkat keterampilan akan rendah walaupun faktor-faktor
kader Posyandu dalam bertugas di lainnya tinggi (Brantas, 2009).
Posyandu (p< α 0,05), dalam kategori
rendah (Cc = 0,354 ) dan satu arah, Dukungan Keluarga
artinya kalau kader Posyandu bertugas Hasil penelitian menunjukkan
secara bergantian maka semakin baik bahwa tidak ada hubungan yang
tingkat keterampilannya, demikian juga bermakna antara dukungan keluarga
sebaliknya. Menurut Notoatmodjo dengan tingkat pengetahuan kader
(2007), pengalaman belajar dalam Posyandu (p > α 0,05), berlawanan arah
bekerja yang dikembangkan karena nilai koefisien korelasi (r)
memberikan pengetahuan dan negatif, artinya semakin baik dukungan

1463 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
keluarga kader Posyandu maka semakin kader Posyandu yang aktif ke Posyandu
kurang tingkat pengetahuannya, akan semakin sering berinteraksi dengan
demikian juga sebaliknya. Hasil pengunjung dan pembina Posyandu
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada sehingga dimungkinkan untuk
hubungan yang bermakna antara mendapatkan tambahan pengetahuan
dukungan keluarga dengan tingkat dan keterampilan jika setiap kegiatan
keterampilan kader Posyandu Posyandu ada kegiatan pembinaan dari
(p> α 0,05), berlawanan arah karena petugas kesehatan. Hal ini didukung
nilai koefisien korelasi (r) negatif, oleh Dinkes (2010), keaktifan kader
artinya semakin baik dukungan keluarga Posyandu dalam kegiatan Posyandu
kader Posyandu maka semakin kurang akan meningkatkan keterampilan karena
tingkat keterampilannya, demikian juga dengan selalu hadir dalam kegiatan
sebaliknya. Hal ini terjadi karena Posyandu. Kader Posyandu akan
sebesar apapun motivasi yang diberikan mendapat tambahan keterampilan dari
keluarga kalau tidak diimbangi pembinaan petugas maupun dengan
keinginan atau motivasi yang kuat dari belajar dari teman sekerjanya.
kader itu sendiri untuk meningkatkan
pengetahuan maupun keterampilan, Pelatihan Kader
dukungan itu akan sia-sia. Peningkatan Hasil penelitian menunjukkan
pengetahuan dan keterampilan akan bahwa ada hubungan yang bermakna
tercapai apabila ada keinginan dari kader antara pelatihan dengan tingkat
sendiri dan didukung oleh fasilitas yang pengetahuan kader Posyandu
ada seperti mengikuti pelatihan, (p< α 0,05), dalam kategori cukup
pembinaan, tukar pendapat dengan (r = 0,436), dan satu arah, artinya
sesama kader dan aktif dalam kegiatan semakin sering mengikuti pelatihan
Posyandu. Dalam hubungannya dengan maka semakin baik tingkat
lingkungan kerja, motivasi merupakan pengetahuannya, demikian juga
salah satu faktor yang mempengaruhi sebaliknya. Demikian juga antara
kinerja seseorang. Motivasi kerja dapat pelatihan dengan keterampilan kader
didefinisikan sebagai sesuatu hal yang terdapat hubungan yang bermakna
berasal dari internal individu yang (p< α 0,05), dalam kategori rendah
menimbulkan dorongan atau semangat (r = 0,239) dan satu arah (nilai r positif),
untuk bekerja keras (Ilyas, 2002). artinya semakin sering mengikuti
pelatihan maka semakin baik tingkat
Keaktifan keterampilannya, demikian juga
Hasil penelitian menunjukkan sebaliknya. Pelatihan adalah salah satu
bahwa terdapat hubungan yang usaha mengembangkan sumber daya
bermakna antara keaktifan dengan manusia terutama dalam hal
tingkat pengetahuan kader Posyandu pengetahuan, keahlian, kemampuan dan
(p< α 0,05), dalam kategori tinggi sikap. Pengetahuan yang di maksud
(r = 0,662) dan satu arah, artinya adalah pengetahuan tentang ilmu yang
semakin aktif kader Posyandu maka harus dikuasai pada satu posisi.
semakin baik tingkat pengetahuannya, Kemampuan yang dimaksud adalah
demikian juga sebaliknya. Selain itu kemampuan untuk menangani tugas-
hasil penelitian menunjukkan bahwa tugas yang diamanahkan dan keahlian
terdapat hubungan yang bermakna yang diharapkan adalah beberapa
antara keaktifan dengan tingkat keahlian yang diperlukan agar suatu
keterampilan kader Posyandu pekerjaan dapat diselesaikan dengan
(p< α 0,05), dalam kategori rendah baik sedangkan sikap adalah emosi dan
(r = 0,253) dan satu arah, artinya kepribadian yang harus dimiliki agar
semakin aktif kader Posyandu maka suatu pekerjaan berhasil dengan sukses
semakin baik tingkat keterampilannya, (Arep dan Tanjung, 2003).
demikian juga sebaliknya.
Keadaan tersebut terjadi karena

1464 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
Pembinaan Kader diterima.
Berdasarkan hasil penelitian
terdapat hubungan yang bermakna SARAN
antara pembinaan yang diberikan Saran untuk Puskesmas Jagir
dengan tingkat pengetahuan kader dan Dinas Kesehatan sebagai tempat
Posyandu (p< α 0,05), dalam kategori penelitian adalah perlu adanya
rendah (r = 0,389), dan satu arah (nilai r regenerasi kader. Upaya yang dapat
positif), artinya semakin sering dilakukan untuk percepatan proses
memperoleh pembinaan maka semakin regenerasi kader adalah dengan
baik tingkat pengetahuannya, demikian meningkatkan imbalan jasa (insentif)
juga sebaliknya. Pembinaan terhadap kader yang telah ada dan pemberian
keterampilan juga menunjukkan adanya sertifikat pengabdian sebagai bentuk
hubungan yang bermakna antara pengakuan keberadaan kader. Untuk
pembinaan yang diberikan dengan mempercepat peningkatan keterampilan
tingkat keterampilan kader Posyandu kader perlu dilakukan pelatihan atau
(p< α 0,05), dalam kategori rendah (r = pembinaan kader yang lebih difokuskan
0,325), dan satu arah (nilai r positif), tentang tugas kader diposyandu
artinya semakin sering memperoleh sehingga kinerja posyandu menjadi lebih
bimbingan maka semakin baik tingkat baik. Hal ini dapat dilakukan dengan
keterampilannya, demikian juga cara mengoptimalkan pembinaan kader
sebaliknya. yang sudah dilakukan Puskesmas selama
Sebagaimana diungkapkan oleh ini serta perlu adanya penelitian serupa
Mangunhardjana (1996), pembinaan yaitu tentang faktor yang berhubungan
adalah suatu proses belajar dengan dengan tingkat pengetahuan dan
melepas hal-hal yang sudah dimiliki dan keterampilan kader dengan area dan
mempelajari hal-hal yang belum dimiliki populasi lebih besar (misalkan lingkup
dengan tujuan membantu orang yang Kota Surabaya).
menjalaninya, untuk membetulkan dan
mengembangkan pengetahuan dan DAFTAR PUSTAKA
kecakapan yang sudah ada dan Arep, I dan Tanjung, H. 2003.
mendapat pengetahuan dan kecakapan Manajemen Motivasi. Jakarta :
baru untuk mencapai tujuan hidup dan PT. Gramedia
kerja yang dijalaninya secara efektif. Brantas. 2009. Dasar – dasar
Manajemen. Bandung : Alfabet
KESIMPULAN Depkes RI. 2005. Pedoman Umum
a. Sebagian besar kader Posyandu Pengelolaan Posyandu. Jakarta:
(79,5%) sudah mempunyai tingkat Direktorat Jenderal
pengetahuan baik dan hanya 3,6% Bina Kesehatan Masyarakat
yang mempunyai pengetahuan Depdagri RI. 2011. Peraturan Menteri
kurang, sedangkan tingkat Dalam Negeri No. 19 Tentang
keterampilan kader Posyandu Pedoman Pengintegrasian
sebagian besar (67,5%) masih kurang Layanan Sosial Dasar di
dan hanya 9,6% yang mempunyai Posyandu. Jakarta
keterampilan baik. Dinkes. 2006. Pedoman Operasional
b. Faktor yang berhubungan dengan Revitalisasi Posyandu di Jawa
tingkat pengetahuan kader adalah Timur Tahun 2006. Surabaya :
umur, pendidikan, lama menjadi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
kader, keaktifan, pelatihan kader dan Timur
pembinaan yang diterima sedangkan Dinkes. 2010. Pedoman Pengukuran
faktor yang berhubungan dengan Tingkat Perkembangan UKBM.
keterampilan kader adalah paritas, Surabaya : Dinas Kesehatan
pendidikan, pekerjaan, lama menjadi Propinsi Jawa Timur
kader, tugas di posyandu, keaktifan,
pelatihan kader dan pembinaan yang

1465 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466 
 
Ilyas, Y. 2002. Kinerja, Teori,
Penilaian, dan Penelitian. Jakarta
: Universitas Indonesia
Mangunhardjana. 1996. Pembinaan Arti
dan Metodenya. Jakarta : Kanisius
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu
Pengetahuan Masyarakat dan
Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta
: PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi
Kesehatan Teori dan Aplikasinya.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : PT Rineka
Cipta
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Nursalam, Pariani. S. 2001. Pendekatan
Praktis Metodologi Riset
Keperawatan. Jakarta :
Infomedika
Widagdo, Husodo. 2009. Pemanfaatan
Buku Kia Oleh Kader Posyandu:
Studi Pada Kader Posyandu Di
Wilayah Kerja Puskesmas
Kedungadem Kabupaten
Bojonegoro. Makara, Kesehatan,
Vol. 13, No. 1, Juni 2009: 39-47.

1466 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI


MINUMAN BERKALORI DALAM KEMASAN
DENGAN ASUPAN ENERGI DAN BMI
PADA REMAJA
Paramita Candra Dewi1*, Annis Catur Adi2, Dini Ririn Andrias2
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Hampir 50% dari kenaikan kalori total berasal dari minuman berkalori.
Kecenderungan kebiasaan makan yang kurang sehat seperti konsumsi minuman berkalori,
berkaitan dengan kecenderungan kegemukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara konsumsi minuman berkalori dalam kemasan dengan asupan energi
total dan BMI (Body Mass Index) pada remaja. Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilakukan terhadap 69 remaja
berusia 15-18 tahun di SMA (Sekolah menengah Atas) Trimurti Surabaya yang dipilih
secara acak dengan prinsip probability proportional to size. Analisis statistik
menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman. Hasil penelitian menunjukkan ada
hubungan (p = 0,000) antara konsumsi minuman berkalori dalam kemasan dengan asupan
kalori total dan ada hubungan (p = 0,037) antara konsumsi minuman berkalori dalam
kemasan dengan BMI (Body Mass Index) pada remaja. Namun, tidak ada hubungan (p =
0,157) jumlah uang saku dengan frekuensi konsumsi minuman berkalori dalam kemasan,
tidak ada hubungan (p = 0,102) jumlah uang saku dengan asupan energi minuman
berkalori dalam kemasan, tidak ada hubungan (p = 0,997) tingkat pengetahuan dengan
frekuensi konsumsi minuman berkalori dalam kemasan, tidak ada hubungan (p = 0,157)
tingkat pengetahuan dengan asupan energi minuman berkalori dalam kemasan. Dapat
disimpulkan ada hubungan antara konsumsi minuman berkalori dalam kemasan dengan
asupan energi dan BMI (Body Mass Index) pada remaja. Perlu dilakukan pengurangan
konsumsi minuman berkalori yang memiliki kalori cukup tinggi serta melakukan
peningkatan aktivitas fisik, terutama untuk remaja yang menderita obesitas.

Kata-kata kunci: BMI, energi, minuman berkalori, remaja

ABSTRACT
Nearly 50% of the increment in total calories comes from caloric beverages.
Tendency of unhealthy dietary habit such as consumption of caloric beverages tend to
associated to obesity. The study was conducted to determine whether caloric beverages
consumption associated with total energy intake and BMI in adolescents. This study was
an observational research with cross sectional design. The study involved 69 adolescents
aged 15-18 years at Trimurti High School Surabaya, who were selected randomly by
using probability proportional to size principle. Statistical analysis was performed by
using Pearson correlation and Spearman correlation test. The results found significant
association (p = 0.000) between consumption of caloric beverages and total caloric
intake, as well as between consumption of caloric beverages (p = 0.037) and BMI.

* corresponding author

1467 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

However, no association (p = 0.157) was found between the amount of pocket money with
frequency of consuming caloric beverages, between the amount of pocket money with
energy intake from caloric beverages (p = 0.102), between level of knowledge with
frequency of consuming caloric beverages (p = 0.997), and between level of knowledge
with energy intake from caloric beverages (p = 0.157). It can be concluded that there is
an association between the consumption of caloric beverages with energy intake and BMI
among adolescents. There needs to be a reduction in consumption of caloric beverages
that have high calories and increasing physical activity, especially for adolescents who
suffer from obesity.

Keywords: BMI, energy, caloric beverages, adolescents

PENDAHULUAN asupan energi secara keseluruhan (Malik


Kelompok usia remaja merupakan et al., 2006).
kelompok yang cukup besar, yaitu Kalori dalam minuman
sekitar 23% dari seluruh populasi. sebenarnya sudah terdaftar pada
Sebagai generasi penerus, kelompok ini nutrition facts, namun kebanyakan
merupakan aset atau modal utama orang belum banyak menyadari bahwa
sumber daya manusia bagi minuman berkalori memiliki kontribusi
pembangunan bangsa di masa yang akan untuk asupan konsumsi harian mereka
datang (Dinkes, 2001 dalam Rochman, (Walker, 2006). Perubahan pola makan
2010). Di Indonesia kelompok usia 10- ini berakibat semakin banyaknya
19 tahun adalah sekitar 22% dari penduduk golongan tertentu yang
237.641.326 jiwa penduduk Indonesia mengalami masalah gizi lebih berupa
(Soetjiningsih, 2004). kegemukan dan obesitas (Almatsier,
Pola dan gaya hidup remaja 2001).
cenderung mulai bergeser menuju pola Gizi lebih dan obesitas
dan gaya hidup modern (Khomsan, merupakan epidemik di negara maju,
2004). Kecenderungan kebiasaan makan seperti Inggris, Brasil, Singapura dan
yang kurang sehat, seperti makan di luar dengan cepat berkembang di negara
rumah, mengkonsumsi cemilan dan berkembang, terutama populasi
minuman berkalori biasanya berkaitan kepulauan Pasifik dan Asia. Di
dengan kecenderungan kegemukan Indonesia sendiri, berdasarkan laporan
(DiMeglio dan Mattes, 2000; Schulze et Riskesdas tahun 2010 disebutkan bahwa
al. 2004; Swinburn et al. 2004; prevalensi kegemukan pada anak usia
Vartanian et al. 2007; Collison et al. 16-18 tahun secara nasional adalah 1,4%
2010 dalam Perdana, 2011). Menurut (Riskesdas, 2010). Bila dibandingkan
Bleich et al. (2009), remaja merupakan dengan angka prevalensi provinsi maka
golongan umur yang mengkonsumsi terdapat 11 provinsi yang memiliki
minuman berkalori lebih tinggi prevalensi kegemukan pada remaja usia
dibandingkan golongan umur lainnya. 16-18 tahun diatas prevalensi nasional,
Penilaian konsumsi pangan pada remaja salah satunya adalah Provinsi Jawa
dan dewasa Meksiko menunjukkan Timur yang memiliki prevalensi
bahwa konsumsi minuman berkalori kegemukan sebesar 1,6%. Obesitas
menyumbang 20,1% dan 22,3% dari merupakan masalah mendasar yang
asupan energi (Barquera et al., 2009). perlu mendapat perhatian karena
Padahal menurut anjuran Organisasi merupakan ancaman bagi kesehatan.
Kesehatan Dunia (WHO, 2003), pasokan Penelitian dikhususkan pada
kalori dari makanan dan minuman manis konsumsi minuman berkalori dalam
maksimal 10% dari kebutuhan kalori kemasan karena konsumsi minuman
tubuh per hari. Asupan minuman berkalori dalam kemasan cenderung
berkalori dapat meningkatkan berat lebih disukai dengan alasan kepraktisan.
badan dan obesitas dengan peningkatan Alasan dipilihnya SMA Trimurti

1468 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

Surabaya karena berdasarkan observasi HASIL


awal pada tanggal 10 Januari 2012 Distribusi responden menurut
menunjukkan banyaknya minuman karakteristik individu dan frekuensi
berkalori dalam kemasan yang dijual di konsumsi minuman berkalori terlihat
kantin sekolah, selain itu sebagai tindak pada Tabel 1. Sebagian besar responden
lanjut atas penelitian sebelumnya oleh berjenis kelamin laki-laki (52,2%),
Rochman (2010) mengenai gaya hidup berusia 16 tahun (55,1%), memiliki
(konsumsi fast food, merokok, narkoba, uang saku lebih dari Rp15.000,00 per
dan lain-lain) dengan status gizi yang hari (62,3%) dan memiliki pengetahuan
dilakukan di SMA Trimurti, namun gizi yang cukup baik (56,5%). Uang
tidak mencakup mengenai konsumsi saku maupun tingkat pengetahuan tidak
minuman berkalori dalam kemasan yang berhubungan secara signifikan dengan
sedang marak di kalangan remaja. frekuensi konsumsi minuman berkalori
Penelitian ini bertujuan untuk dalam kemasan (p=0,157 untuk uang
menganalisis hubungan antara konsumsi saku dan p=0,997 untuk tingkat
minuman berkalori dalam kemasan pengetahuan), maupun dengan asupan
dengan asupan energi dan BMI pada energi dari minuman berkalori dalam
remaja. kemasan (p=0,102 untuk uang saku dan
p=0,157 untuk tingkat pengetahuan).
METODE Sebanyak 39,1% responden
Penelitian ini merupakan mengkonsumsi minuman berkalori > 4x
penelitian observasional analitik dengan dalam 1 minggu dengan jenis minuman
desain cross sectional. Populasi berkalori yang sering dikonsumsi adalah
penelitian adalah siswa kelas X dan XI susu kemasan (72,5%) dan teh kemasan
SMA Trimurti Surabaya tahun ajaran (68,1%).
2011. Besar sampel dari masing-masing Jika dilihat berdasarkan kesukaan
kelas ditentukan dengan prinsip jenis minuman berkalori menurut jenis
probability proportional to size. Sampel kelamin, baik responden laki-laki dan
sebesar 69 siswa diambil dengan perempuan, sama-sama menyukai susu
metode simple random sampling. kemasan dan teh kemasan. Namun untuk
Variabel terikat adalah asupan energi jenis minuman berkalori lain terdapat
dan BMI pada remaja, sedangkan beberapa perbedaan. Responden laki-
variabel bebas adalah konsumsi laki lebih suka minuman
minuman berkalori dalam kemasan. berkarbonasi/soda, kopi kemasan dan
Responden yang terpilih diwawancarai minuman elektrolit daripada responden
dengan kuesioner terstruktur, form food perempuan, sedangkan responden
recall 2x24 hours untuk mengetahui perempuan lebih menyukai sari buah
asupan energi total responden, form kemasan daripada responden laki-laki.
Food Frequency Questioner (FFQ) semi Mereka menyukai minuman berkalori
kuantitatif untuk mengetahui asupan tersebut karena rasa yang manis, enak
energi dari minuman berkalori yang dan tersedia di rumah. Tabel 2
dikonsumsi responden, pengukuran menyajikan distribusi jenis minuman
berat badan menggunakan health smic berkalori yang sering dikonsumsi
dan tinggi badan menggunakan berdasarkan jenis kelamin responden di
microtoise. Analisis statistik SMA Trimurti Surabaya Tahun 2012.
menggunakan uji korelasi Pearson dan
Spearman.

1469 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Karakteristik Individu Dan Frekuensi


Konsumsi Minuman Berkalori
Variabel Jumlah (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 36 52,2
Perempuan 33 47,8
Umur
15 tahun 17 24,6
16 tahun 38 55,1
17 tahun 13 18,1
18 tahun 1 1,5
Uang Saku Reponden per Hari
< median (Rp15.000,00) 43 62,3
≥ median (Rp15.000,00) 26 37,7
Tingkat Pengetahuan
Kurang 14 20,3
Sedang 39 56,5
Baik 16 23,3
Frekuensi konsumsi minuman berkalori
< 3x seminggu 20 29,0
3-4x seminggu 22 31,9
> 4x seminggu 27 39,1

Tabel 2. Distribusi Jenis Minuman Berkalori yang Sering Dikonsumsi Berdasarkan


Jenis Kelamin Responden di SMA Trimurti Surabaya Tahun 2012
Laki – laki Perempuan Total
Jenis Minuman Berkalori
n % n % N %
Sari buah kemasan 12 33,3 14 42,2 26 37,7
Susu kemasan 25 69,4 25 75,8 50 72,5
Teh kemasan 23 63,9 24 72,7 47 68,1
Kopi kemasan 16 44,4 4 12,1 20 29,0
Minuman berkarbonasi/soda 16 44,4 10 30,3 26 37,7
Minuman elektrolit 22 61,1 13 39,4 35 50,7
Minuman energi 1 2,8 0 0,0 1 1,4

Tabel 3 menunjukkan asupan besar (221,5 ± 112,9 kkal) daripada


energi, tingkat kecukupan energi dan responden perempuan (180,2 ± 73,3
kontribusi minuman berkalori terhadap kkal). Rata-rata asupan energi dari
energi total. Rata-rata asupan energi minuman berkalori adalah 201,8 ± 97,6
total responden sebesar 1689,1 ± 539,5 kkal, sehingga minuman berkalori rata-
kkal dengan tingkat kecukupan energi rata berkontribusi sebesar 12,3 ± 5,5%
yaitu 70,0 ± 22,0%. Tingkat kecukupan dari asupan energi total. Susu kemasan
sebagian besar responden (58%) masih merupakan jenis minuman berkalori
defisit. Responden remaja laki-laki yang paling tinggi berkontribusi
memiliki asupan energi total lebih besar terhadap asupan energi (57,8%) karena
(1784,7 ± 557,3 kkal) daripada frekuensi konsumsi dan jumlah energi
responden perempuan (1584,9 ± 507,2 per 100ml/gr yang lebih besar dibanding
kkal). Asupan energi dari minuman dengan minuman berkalori lainnya.
berkalori responden laki-laki juga lebih

1470 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

Tabel 3. Asupan Energi, Tingkat Kecukupan Energi dan Kontribusi Minuman


Berkalori terhadap Energi Total
Variabel
Asupan energi total (kkal), mean±SD 1689,1 ± 539,5
Tingkat kecukupan energi (%), mean±SD 70,0 ± 22,0
Asupan energi dari minuman berkalori (kkal), mean±SD 201,8 ± 97,6
Kontribusi minuman berkalori terhadap asupan energi total (%), mean±SD 12,3 ± 5,5
Kecukupan energi, n (%)
Defisit (< 70%) 40 (58,0)
Kurang (70-80%) 5 (7,2)
Sedang (> 80-99%) 14 (20,3)
Baik (≥ 100%) 10 (14,5)

Rata-rata BMI pada responden hubungan signifikan antara konsumsi


remaja dalam penelitian ini adalah 23 ± minuman berkalori dalam kemasan
19,6 dengan kisaran BMI antara 14,7- dengan asupan energi (p=0,000) dengan
42,2 dan rata-rata z-score adalah 0,4 ± - sifat hubungan yang kuat (r = 0,513)
0,3 dengan kisaran z-score antara -3SD (Gambar 1) dan adanya hubungan antara
– 3,9SD. Dengan kata lain, rata-rata konsumsi minuman berkalori dalam
status gizi responden adalah normal kemasan dengan BMI pada remaja (p =
(nilai z-score antara -2SD – 1SD). 0,037) dengan sifat hubungan yang
Analisis statistik menunjukkan adanya lemah (r = 0,251) (Gambar 2).

4000

3000
total asupan energi seluruhnya

2000

1000

0
0 100 200 300 400 500 600

Asupan Energi dari Minuman Berkalori

Gambar 1. Hubungan Konsumsi Minuman Berkalori dalam Kemasan


dengan Asupan Energi
kontribusi minuman berkalori terhadap energi total

30

20

10

0
10 20 30 40 50

bmi

Gambar 2. Hubungan Konsumsi Minuman Berkalori dengan BMI pada Remaja

1471 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

PEMBAHASAN Asupan energi total dan asupan energi


Sebagian besar responden dari minuman berkalori pada laki-laki
mengkonsumsi minuman berkalori > 4x lebih besar daripada perempuan. Hal ini
dalam 1 minggu. Semakin tinggi dikarenakan jenis kelamin menentukan
frekuensi konsumsi minuman berkalori besar kecilnya kebutuhan zat gizi
maka akan semakin banyak pula jumlah seseorang. Laki-laki pada umumnya
energi yang masuk ke dalam tubuh. lebih banyak membutuhkan zat gizi
Energi yang masuk dan tidak daripada perempuan, terutama dalam hal
dipergunakan, akan ditimbun dalam energi dan protein. Selain itu, laki-laki
tubuh sehingga meningkatkan berat lebih banyak melakukan aktifitas fisik
badan. Hal ini didukung oleh pernyataan sehingga memerlukan kalori yang lebih
Hamaideh et al. (2010) bahwa alasan banyak (Soetjiningsih, 2004).
terjadinya kegemukan pada remaja Rata-rata asupan energi dari
belum ditemukan dengan jelas, tetapi minuman berkalori adalah 201,8 kkal.
terdapat beberapa faktor yang Jumlah asupan energi dari minuman
berpengaruh didalamnya, salah satunya berkalori ini lebih rendah bila
adalah meningkatnya konsumsi dibandingkan dengan penelitian Bleich
makanan dan minuman yang berkalori et al. (2009) yang mengatakan bahwa
tinggi. Jenis minuman berkalori yang dewasa muda (dini) merupakan
sering dikonsumsi responden adalah golongan prevalensi tertinggi (72%)
susu kemasan (72,5%) dan teh kemasan yang mengkonsumsi minuman bergula
(68,1%). Susu kemasan di sini termasuk dan memperoleh sumbangan energi 289
susu bubuk yang dilarutkan dan susu kalori tiap harinya. Walaupun asupan
cair siap minum. Bila dibedakan kalori dalam penelitian ini lebih rendah,
kesukaan minuman berkalori antara namun hal ini perlu diwaspadai karena
remaja laki-laki dan perempuan, mereka ada kecenderungan peningkatan energi
sama-sama menyukai susu kemasan dan dari minuman berkalori, seperti yang
teh kemasan. Akan tetapi, untuk jenis terjadi di beberapa negara maju. Di
minuman lain, terdapat perbedaan antara Amerika Serikat, selama lima tahun
laki-laki dan perempuan. Responden terakhir, asupan energi dari minuman
laki-laki cenderung lebih menyukai berkalori meningkat sebesar 83
minuman elektrolit, minuman kkal/orang (Malik et al., 2006).
berkarbonasi/soda dan kopi kemasan Rata-rata minuman berkalori
sedangkan responden perempuan lebih berkontribusi sebesar 12,3% dari asupan
menyukai sari buah kemasan daripada energi total. Persentase ini lebih rendah
responden laki-laki. Mayoritas dibandingkan dengan persentase negara
responden mengkonsumsi minuman lain seperti Meksiko dimana konsumsi
berkalori karena rasanya yang enak dan minuman berkalori 20,1% untuk remaja
manis. Manusia memiliki preferensi dari asupan energi dan juga lebih rendah
yang tinggi terhadap substansi yang dari asupan gula pada orang Amerika
memiliki rasa manis yang terlihat dari Serikat yang menyumbang sekitar 20%
peninggalan sejarah berupa gambar di rata-rata asupan kalori (Barquera et al.,
gua yang menceritakan mengenai 2009).
kesukaan manusia purba kala terhadap Asupan energi dari minuman
madu, buah ara, dan kurma (Mann dan berkalori dan persentase kontribusi
Stewart, 2007). konsumsi minuman berkalori yang lebih
Rata-rata asupan energi total rendah bila dibandingkan dengan
responden sebesar 1689,1 kkal dengan penelitian lainnya. Kemungkinan
tingkat kecukupan energi yaitu 70% dikarenakan Indonesia masih merupakan
yang tergolong dalam tingkat kecukupan negara berkembang, bukan seperti
yang masih kurang. Asupan energi yang negara Eropa yang telah maju dan
kurang karena pada beberapa responden dengan gaya hidup berbeda yang akan
memang makan <3x dalam sehari. berakibat pada peningkatan konsumsi

1472 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

dari minuman berkalori itu sendiri. Honigman dan Castle (2002) dalam Rini
Selain itu, kontribusi yang lebih rendah (2004), sebenarnya apa yang dia
juga dikarenakan perbedaan jenis pikirkan dan rasakan mengenai bentuk
minuman berkalori yang diteliti. Pada tubuhnya belum tentu benar-benar
penelitian ini, jenis minuman berkalori mempresentasikan keadaan yang aktual
yang diteliti hanya terbatas pada namun lebih merupakan hasil penilaian
minuman berkalori dalam kemasan saja diri yang subyektif. Pada umumnya,
sedangkan pada penelitian lain lebih body image dialami oleh mereka yang
luas. Namun bila dilihat anjuran menganggap bahwa penampilan adalah
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, faktor yang paling penting dalam
2003) yang menyebutkan bahwa kehidupan. Hal ini terutama terjadi pada
pasokan kalori dari makanan dan usia remaja. Mereka beranggapan bahwa
minuman manis maksimal 10% dari tubuh yang kurus dan langsing adalah
kebutuhan kalori tubuh per hari, maka yang ideal bagi wanita sedangkan tubuh
persentase ini sudah termasuk tinggi dan yang kekar dan berotot adalah yang
melebihi ketentuan sehingga perlu untuk ideal bagi pria (Germov dan Williams,
diwaspadai. 2004).
Jenis minuman berkalori yang Asupan energi minuman berkalori
paling besar berkontribusi terhadap berhubungan dengan total konsumsi
asupan energi total adalah susu energi dengan nilai p=0,000. Hal ini
kemasan. Susu dalam kemasan menunjukkan konsumsi minuman
berkotribusi paling besar, selain karena berkalori yang tinggi akan
frekuensi konsumsinya yang memang mempengaruhi asupan energi menjadi
paling besar bila dibanding dengan tinggi pula. Semakin tinggi konsumsi
minuman berkalori lainnya, juga karena minuman berkalori maka asupan energi
jumlah kalori per takaran saji yang total akan semakin tinggi pula, begitu
paling besar bila dibandingkan jenis juga sebaliknya. Energi dari minuman
minuman berkalori lainnya yaitu 200 berkalori (yang umumnya memiliki
ml/g. Sebagian besar responden senang kandungan gula tinggi) kurang dirasakan
mengkonsumsi susu kemasan karena dibandingkan asupan energi dari
dapat dianggap sebagai pengganti makanan padat karena efek fisiologis
makan, memiliki rasa yang enak dan asupan energi terhadap kekenyangan
manis serta telah tersedia di rumah. terlihat berbeda antara makanan padat
Rata-rata BMI pada responden dan cairan serta berkurangnya
remaja adalah 23 dengan kisaran BMI penggelembungan lambung dan waktu
antara 14,7-42,2 dengan rata-rata z-score transit yang lebih cepat (Gibney, 2009)
adalah 0,4 dengan kisaran z-score antara padahal 30% dari asupan karbohidrat di
-3SD – 3,9SD. Apabila diartikan status Amerika Serikat berasal dari minuman
gizinya, maka rata-rata status gizi yang dipermanis dengan gula (Popkin
responden adalah normal (nilai z-score dan Nielsen, 2006). Konsumsi minuman
antara -2SD – 1SD). Status gizi remaja berkalori berhubungan dengan BMI
yang sebagian besar normal dengan nilai p=0,037 yang berarti
dilatarbelakangi karena persepsi mereka asupan minuman berkalori akan
mengenai bentuk tubuh yang ideal atau mempengaruhi jumlah asupan energi
yang biasa disebut body image. Body total. Apabila hal ini terjadi terus
image adalah gambaran seseorang menerus maka akan mempengaruhi
mengenai bentuk dan ukuran tubuhnya peningkatan berat badan yang akan
sendiri. Gambaran ini dipengaruhi oleh mengakibatkan kenaikan BMI. Asupan
bentuk dan ukuran tubuh aktualnya, tinggi gula dalam minuman berkalori
perasaannya tentang bentuk tubuhnya dan jus buah mempunyai potensi untuk
serta harapan terhadap bentuk dan berkontribusi terhadap peningkatan
ukuran tubuh yang diinginkannya risiko kegemukan (Mann dan Stewart,
(Germov dan Williams, 2004). Menurut 2007). Asupan minuman berkalori ini

1473 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

dapat meningkatkan berat badan dan di tempat-tempat yang telah ditentukan


obesitas dengan peningkatan asupan untuk mengurangi konsumsi minuman
energi secara keseluruhan (Malik et al., berkalori dan peningkatan aktivitas
2006). Konsumsi minuman berkalori dengan cara berolahraga rutin untuk
memiliki hubungan dengan epidemik mencegah kejadian gizi lebih, misalnya
kegemukan yang terlihat dari dengan mewajibkan siswa untuk
meningkatnya asupan energi yang mengikuti salah satu ekskulikuler
berasal dari soft drink dan minuman olahraga yang ada terutama untuk
dengan rasa buah sejak tahun 1977 remaja yang mengalami obesitas.
sampai 2001 menjadi 135% yang diikuti Mengingat penelitian ini hanya
dengan berlipat gandanya prevalensi terbatas pada hubungan konsumsi
kegemukan (Bleich et al., 2009). Studi minuman berkalori dengan peningkatan
intervensi berupa pengurangan 1,5 BMI, perlu diteliti lebih jauh mengenai
kaleng konsumsi soft drink setiap konsumsi minuman berkalori pada
minggu selama satu tahun dapat remaja obesitas dengan lingkup yang
menurunkan berat badan anak dan lebih luas.
obesitas sekitar 7,7% (He et al., 2010).
Hasil uji coba terakhir PREMIER juga DAFTAR PUSTAKA
menunjukkan bahwa pada pengurangan Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu
konsumsi minuman berkalori di Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
kalangan orang dewasa secara bermakna Umum
berkaitan dengan penurunan berat Barquera, S., Lucia H, Maria L, Juan E,
badan. Penurunan dari 1 porsi/hari (12 Shu W, Juan A, and Barry M.
ons) berhubungan dengan hilangnya 2008. Energy Intake from
0,49 kg berat badan pada 6 bulan dan Beverages is Creasing Among
0,65 kg berat badan pada 18 bulan di Mexican Adolescents and Adults.
antara orang dewasa (Chen et al., 2009). J Clin Nutr. 2008;138: 2454–2461
Bleich SN, Wang YC, Wang Y, and
KESIMPULAN Gortmaker SL. 2009. Increasing
Terdapat hubungan antara asupan Consumption of Sugar-Sweetened
energi dari minuman berkalori dengan Beverages Among US Adults:
total asupan energi (p=0,000) dan 1988-1994 to 1999-2004. Am J
terdapat hubungan antara konsumsi Clin Nutr. 2009; 89: 372-381
minuman berkalori dengan BMI pada Chen, L., Appel, L.J., Loria, Lin, C.P.,
remaja (p=0,037). Champagne, C.M., Elmer, P.J.,
Ard, J.D., Mitchell, D.,
SARAN Batch, B.C., Svetkey, L.P.,
Perlu adanya sosialisasi dan and Caballero, B. 2009. Reduction
edukasi kepada ibu-ibu wali murid dan in Consumption of Sugar-
siswa mengenai konsumsi minuman Sweetened Beverages is
berkalori dan dampaknya dalam Associated with Weight Loss: The
meningkatkan risiko obesitas serta PREMIER Trial. Am J Clin Nutr.
menyarankan untuk menyediakan 2009;89(5):1299-1306
minuman yang sehat bagi seluruh Germov J dan Williams L. 2004. A
keluarga. Hal ini mengingat bahwa Sociology of food & Nutrition:
konsumsi minuman berkalori juga bisa The Social Appetite. New York :
terjadi karena minuman berkalori yang Oxford University Press
telah tersedia di rumah. Selain itu perlu Gibney, M.J. 2009. Gizi Kesehatan
peran serta sekolah seperti mengatur Masyarakat. Jakarta : EGC
konsumsi minuman berkalori dengan Hamaideh SH, Al-Khateeb RY, and Al-
menyediakan kantin sehat yang Rawashdeh AB. 2010.
menyediakan berbagai jenis minuman Overweight and Obesity and
sehat serta penyediaan air putih mineral Their Correlates Among

1474 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475 

Jordanian Adolescents. Journal of Surabaya (Unpublised master’s


Nursing Scholarship. 42:4. 387– skripsi). Universitas Airlangga,
394. Surabaya, Indonesia
He, F.J., N.M. Marrero, and G.A. Soetjiningsih (2004). Buku Ajar Tumbuh
MacGregor. 2010. Salt Intake Is Kembang dan Permasalahannya.
Related to Soft Drink Jakarta : CV Agung Seto
Consumption in Children and Walker WA. 2006. Eat, Play, and Be
Adolescents: A Link To Obesity?. Healthy. United States : Harvard
Hypertension JAHA. Diakses dari Medical School
http://hyper.ahajournals.org/cgi/c WHO. 2003. Joint WHO/FAO Expert
ontent/full/51/3/629.pdf Consultation on Diet, Nutrition
Khomsan, A. (2004). Pangan dan Gizi and Prevention of Chronic
untuk Kesehatan. Jakarta : Raja Diseases (Draft 28 March 2002).
Grafindo Persada Diakses dari
Malik VS, Schulze MB, and Hu FB. http://www.who.int/world-health-
2006. Intake of Sugar-weetened day/q_and_a.en.shtml
Beverages and Weight Gain: A
Systematic Review. Diakses dari  
http://www.ajcn.org/cgi/content/f
ull/84/2/274?maxtoshow=&hits=1
0&RESULTFORMAT=&fulltext
=beverages&searchid=1&FIRSTI
NDEX=0&resourcetype=HWCIT
Mann J., Stewart A.T. 2007. Essential of
Human Nutrition Third Edition.
USA : Oxford University Press
inc
Perdana, Silvia Mawarti. 2011. Aktivitas
Fisik dan Konsumsi Energi
Minuman Berkalori pada Laki-
Laki dan Perempuan Gemuk dan
Tidak Gemuk. (Master’s skripsi,
Institut Pertanian Bogor, Bogor,
Indonesia). Diakses dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstrea
m/handle/123456789/51433/I11s
mp.pdf?sequence=1
Popkin BM, Nielsen SJ. 2006. The
Sweetening of The World’s Diet.
Obes Res 2003; 11: 1325–1332
Rini, F. Jacinta. 2004. Mencemaskan
Penampilan.
Diakses dari http://www.e
psikologi.com/remaja/
110604.html
Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan
Dasar. Diakses dari
http://www.riskesdas.litbang.depk
es.go.id/download/TabelRiskesda
s2010.pdf
Rochman, Iftita. 2010. Hubungan Gaya
Hidup dengan Status Gizi Remaja
(Studi Kasus di SMA Trimurti

1475 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN GIZI DAN


ASUPAN ZAT GIZI DENGAN STATUS GIZI DAN
RISIKO OSTEOPOROSIS PADA KELOMPOK
LACTO OVO VEGETARIAN
Suju Fatmawati1*, Trias Mahmudiono2
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya 

ABSTRAK
Hasil penelitian pendahuluan menyatakan osteoporosis pada wanita usia >50
tahun mencapai 32,3% sementara pada pria >50 tahun mencapai 28,8%. Kelompok lakto
ovo vegetarian yang hanya mengkonsumsi susu, telur dan produk nabati dapat memiliki
risiko mengalami osteoporosis apabila memiliki pengetahuan gizi yang kurang dalam
pemenuhan menu seimbang yang dapat berakibat pada permasalahan status gizi
kelompok lakto ovo vegetarian. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan
pengetahuan gizi dan asupan zat gizi dengan status gizi dan risiko osteoporosis pada
kelompok lakto ovo vegetarian. Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 31 orang yang
didapatkan dengan teknik simple random sampling. Data dianalisis menggunakan uji
korelasi Pearson, Spearman dan uji Chi-Square yang disesuaikan dengan skala variabel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi risiko osteoporosis tinggi sebesar 38,7%,
sebagian besar memiliki status gizi normal (84%), tingkat pengetahuan gizi sedang
(64,9%) dan kecukupan zat gizi yang tergolong kurang. Terdapat hubungan antara
pengetahuan gizi (p=0,002), asupan protein (p=0,006), asupan kalsium (p=0,046), dan
asupan fosfor (p=0,021) dengan indeks massa tubuh. Selain itu terdapat hubungan antara
pengetahuan gizi (p=0,000), asupan protein (p=0,001), asupan kalsium (p=0,005), asupan
fosfor (p=0,002) dan indeks massa tubuh (p=0,000) dengan skor ORAT kelompok lakto
ovo vegetarian. Lebih lanjut, perlu adanya peningkatan pengetahuan gizi kelompok lakto
ovo vegetarian terkait pentingnya asupan zat gizi (protein, vitamin D, kalsium, dan
fosfor) untuk kesehatan tulang.Selain itu penyuluhan mengenai menu seimbang asupan
zat gizi untuk pembentukan status gizi normal dan mengurangi risiko osteoporosis pada
kelompok lakto ovo vegetarian.

Kata-kata Kunci : lakto ovo vegetarian, risiko osteoporosis, status gizi, asupan zat gizi,
pengetahuan gizi.

ABSTRACT
Based on the analysis of Department of Health Center for Nutrition, it was found that
osteoporosis reached 32.3% in women aged> 50 years reached 32.3% and 28.8% in
men> 50 year. The llacto ovo vegetarians, who only eat milk, eggs and vegetable
products, may have a high risk of osteoporosis especially if they have lack of nutrition
knowledge such as nutrient intake of protein, calcium, vitamin D and phosphorus. Lack of
nutrition knowledge may be associated with the lack of fulfillment a balanced diet that
will lead to problems of the nutritional status of lacto ovo vegetarian. The aim of this
research was to analyze the relationship between nutrition knowledge and nutrient intake
with nutritional status and the risk of osteoporosis of lacto ovo vegetarian.

* corresponding author

1476 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

This research was an observational analytic with cross sectional design. The total
samples of 31 people were obtained using simple random sampling technique. Data were
analyzed using Pearson correlation test, Spearman correlation test and Chi-Square test
which depends on the scale of variable data. The results showed that the prevalence of
osteoporosis risk was 38.7%, most of them have normal nutritional status (84%), precise
level of nutritional knowledge (64.9%) and less level of nutrients adequacy (protein was
58. 1%, calcium was 87.1%, vitamin D was 100% and phosphorus was 41.9%). There
was a significant relationship between nutrition knowledge (p = 0.002), protein intake (p
= 0.006), calcium intake (p = 0.046), and phosphorus intake (p = 0.021) with body mass
index. In addition there was a relationship between nutrition knowledge (p = 0.000),
protein intake (p = 0.001), calcium intake (p = 0.005), phosphorus intake (p = 0.002) and
body mass index (p = 0.000) with a score ORAT the lacto ovo vegetarian. Based on the
results of the study, it is need for increasing the knowledge of lacto ovo vegetarian
member about the important of nutrient intake (protein, vitamin D, calcium, and
phosphorus) for their bone health. Besides, counselling on nutrient intake of a balanced
diet for the formation of normal nutritional status and reducing the risk of osteoporosis of
lacto ovo vegetarian also needed.

Keywords: lacto ovo vegetarian, risk of osteoporosis, nutritional status, nutrient intake,
nutrition knowledge

PENDAHULUAN sama dengan Fonterra Brands Indonesia


Menurut Apriadji (2007), pada tahun 2006, diketahui 2 dari 5
osteoporosis merupakan suatu kondisi orang Indonesia memiliki risiko
pengeroposan tulang karena kehilangan osteoporosis dan osteoporosis pada
mineral yang dapat mengakibatkan wanita usia >50 tahun mencapai 32,3%
tulang menjadi rapuh. Osteoporosis sementara pada pria >50 tahun mencapai
mempunyai tanda utama berupa 28,8% (Depkes RI, 2009). Hasil
berkurangnya kepadatan (densitas) penelitian Wahyuni (2008)
tulang yang mengakibatkan menunjukkan bahwa prevalensi
meningkatnya kerapuhan pada tulang osteopenia (berkurangnya kepadatan
dan meningkatnya risiko patah tulang tulang) sebesar 34,5 % pada kelompok
(International OrganisationFoundation vegetarian umur 20-35 tahun di
(IOF), 2011). Penyakit yang menyerang Pusdiklat Maitreyawira Jakarta Barat.
sistem kerangka tersebut juga Pemantauan status gizi
mengakibatkan massa tulang menjadi seseorang perlu diperhatikan karena juga
rendah dan jaringan tulang menjadi memiliki pengaruh untuk mengalami
rusak (Centres of Disease Control risiko osteoporosis. Pada orang dengan
(CDC), 2011). Kondisi tulang akan status gizi kurang, kemungkinan
menjadi lemah dan mengalami disebabkan oleh program diet makanan
kesusahan dalam pergerakan (National yang terlalu ketat, melakukan olahraga
Institute of Health (NIH), 2011). secara berlebihan, penyakit tidak mau
Angka kejadian osteoporosis, makan karena masalah kejiwaan
semakin lama, semakin mengalami maupun masalah menstruasi yang tidak
peningkatan di seluruh negara di dunia. teratur karena kadar estrogen yang
IOF (2011) memperkirakan kejadian berkurang dalam tubuh) akan lebih
osteoporosis terjadi setiap 3 detik, berisiko untuk mengalami osteoporosis
dengan kejadian patah tulang (Tandra, 2009).
osteoporosis baru sebesar 9 juta pada Manusia membutuhkan zat gizi
tahun 2000. Berdasarkan hasil Analisis melalui makanan yang dikonsumsi
Data Risiko Osteoporosis oleh untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
Puslitbang Gizi Depkes yang bekerja tubuh dalam menjalankan kegiatan fisik

1477 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

sehari–hari. Setiap bahan makanan antara lain kalsium yang merupakan


memiliki kandungan zat gizi yang komponen esensial struktur tulang,
berbeda. Ada bahan makanan yang fosfor yang merupakan komponen
memiliki kandungan zat gizi yang penting dari struktur tulang, dan vitamin
rendah dan ada pula yang tinggi D yang sebagian besar dihasilkan
sehingga perlu adanya ketersediaaan melalui metabolisme di kulit dengan
bahan makanan yang bervariasi bantuan paparan sinar matahari namun
sehingga dapat saling melengkapi zat sekitar 10% kecukupan vitamin D dalam
gizi yang diperlukan tubuh manusia tubuh tetap harus diperoleh dari
tersebut dapat diperoleh dari pangan makanan (Fox-Spencer dan Brown,
nabati dan ada pula yang berasal dari 2007).
pangan hewani (Kartasapoetra dkk, Kelompok Lacto Ovo
2005). Vegetarian akan mendapatkan sumber
Berdasarkan jajak pendapat protein, kalsium, vitamin D dan fosfor
nasional pada tahun 2006 diketahui dengan mengkonsumsi susu, telor dan
2,3% orang Amerika Serikat (sekitar 4,9 pangan nabati. Hal ini tentu akan lebih
juta orang) telah menerapkan diet memudahkan pelaku lacto vegetarian
vegetarian (American Diet Association untuk memenuhi gizi yang diperlukan
(ADA), 2009). Bahkan telah ada sebuah tubuh dibandingkan dengan kelompok
organisasi vegetarian di Indonesia, vegetarian yang lain (Suprapto, 2009).
Indonesian Vegetarian Society (IVS) Pengetahuan gizi akan
yang memiliki anggota sekitar 5 ribu mempengaruhi pemenuhan kecukupan
orang pada tahun 1998 dan kemudian zat gizi yang diperlukan tubuh agar
meningkat menjadi 60 ribu anggota pada dapat tumbuh dengan normal, status gizi
tahun 2007. Angka ini merupakan yang penting bagi kesehatan dan
sebagian kecil dari jumlah vegetarian kesejahteraan tubuh dan dapat
yang sesungguhnya karena tidak semua mengkonsumsi pangan yang baik dalam
vegetarian mendaftar menjadi anggota upaya untuk memperbaiki gizi
(Susianto, 2008). (Departemen Gizi dan Kesehatan
Meskipun vegetarian diyakini Masyarakat FKM UI, 2010). Apabila
dapat mencegah penyakit degeneratif pengetahuan gizi tersebut kurang maka
dan menjaga kesehatan bagi pelaku dapat menimbulkan masalah gizi pada
vegetarian, bukan berarti vegetarian seseorang (Departemen Gizi dan
dapat menjamin tingkat kecukupan zat Kesehatan Masyarakat FKM UI,
gizi dalam tubuh. Pada kelompok 2010).Oleh karena itu, pengetahuan gizi
vegetarian, ternyata dapat memiliki memiliki peran penting dalam
risiko gangguan penyerapan kalsium mempengaruhi risiko osteoporosis
karena adanya kandungan asam oksalat seseorang melalui pemenuhan gizi
dan fitat yang tinggi pada produk nabati makanan yang dikonsumsi.
yang dikonsumsi seperti pada gandum Penelitian dilakukan untuk
(Freitag dan Oktaviani, 2010). Asupan menganalisis hubungan antara
protein dalam kadar yang tinggi juga pengetahuan gizi dan asupan zat gizi
dapat meningkatkan risiko osteoporosis dengan status gizi dan risiko
karena protein mempunyai proses osteoporosis pada kelompok lacto ovo
mekanisme pengeluaran kalsium melalui vegetarian. Hal ini berdasarkan studi
urin. pendahuluan yang menunjukkan bahwa
Selain melakukan olahraga terdapat sekitar 40% anggota lacto ovo
secara teratur, seseorang harus vegetarian atau sekitar 400 anggota aktif
mengkonsumsi makanan dengan menerapkan diet lacto ovo vegetarian di
kandungan zat gizi yang cukup untuk IVS Surabaya.
memenuhi kebutuhan tubuh dalam
upaya pertumbuhan mendukung tulang
menjadi lebih kuat. Zat gizi tersebut

1478 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

METODE
Penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik dengan
desain cross sectional. Populasinya
adalah pengunjung kegiatan Meat Free
Monday selama bulan Februari-April di
Pusdiklat IVS Surabaya yang menganut
lacto ovo vegetarian dan berusia > 50
tahun yang berjumlah 43 orang.Dari
hasil perhitungan, diperoleh sampel
sebanyak 31 orang. Pengambilan sampel
menggunakan teknik simple random
sampling. Variabel yang diteliti adalah
karakteristik responden, gaya hidup,
asupan makanan, kecukupan zat gizi dan
risiko osteoporosis. Instrumen
pengumpulan data yang digunakan
antara lain: lembar kuesioner,
mikrotoise, timbangan elektrik,
Formulir Semi Food Frequency
Quantitative, Food Model, Tabel
AKG tahun 2004, DKBM, Blanko
Osteoporosis Risk Assesment Test
(ORAT), dan kamera. Data dianalisis
dengan menggunakan uji statistik
Kolmogrov Smirnov, Chi Square, uji
Spearman, dan Uji Pearson.

HASIL PENELITIAN
Data distribusi menurut
karakteristik mayoritas respon tersaji
pada Tabel 1. Tabel 2 dan 3
memperlihatkan distribusi menurut
tingkat pengetahuan dan tingkat
kecukupan zat gizi responden.
Tabel 4 dan 5 menggambarkan
distribusi status gizi dan risiko
osteoporosis responden. Tabel 6
menyajikan coefficient correlation
antara pengetahuan gizi dengan asupan
protein, kalsium, vitamin D dan fosfor
responden. Tabel 7 dan 8
memperlihatkan coefficient correlation
asupan protein, kalsium, vitamin D dan
fosfor dengan Indeks Massa Tubuh dan
skor ORAT.

1479 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

Tabel 1.Distribusi Menurut Karakteristik MayoritasResponden (n=31)

Karakteristik Responden Mayoritas n %


Usia Middle Age (<59 tahun) 20 64,5
Jenis kelamin Perempuan 18 58,1
Ethnic Tionghoa 29 93,5
Agama Budha 26 83,9
Alasan menjadi Vegetarian Agama 14 45,2
Lama menjadiVegetarian Lama 30 96,8
Tingkat Pendidikan Sedang 15 48,4
Pekerjaan Wiraswasta 11 35,5
Pendapatan ≥ 1-5 juta 22 71,0

Tabel 2. Distribusi Menurut Tingkat Pengetahuan Responden

Tingkat n %
Pengetahuan Gizi
Kurang 7 2,6
Sedang 20 64,5
Baik 4 12,9
Total 31 100,0

Tabel 3. Distribusi Menurut Tingkat Kecukupan Zat Gizi Responden

Tingkat Kecukupan Gizi N %


Protein
Kurang 18 58,1
Baik 8 25,9
Lebih 5 16,1
Total 31 100,0

Kalsium
Kurang 27 87,1
Baik 1 3,2
Lebih 3 9,7
Total 31 100,0

Vitamin D
Kurang 31 100,0
Total 31 100,0

Fosfor
Kurang 13 41,9
Baik 6 19,4
Lebih 12 38,7
Total 31 100,0

1480 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

Tabel 4. Distribusi Menurut Status Gizi Responden

Status Gizi n %
Normal (IMT 18,5-25,0) 26 84,0
Oveweight (IMT > 25,0-27,0) 3 10,0
Obesitas (IMT > 27,0) 2 6,0
Total 31 100,0

Tabel 5. Distribusi Menurut Risiko Osteoporosis Responden

Risiko Osteoporosis n %
Rendah (Skor ORAT < 9) 19 61,3
Tinggi (Skor ORAT ≥ 9) 12 38,7
Total 31 100,0

Tabel 6.Coefficient Correlation Antara Pengetahuan Gizi Dengan


Asupan Protein, Kalsium, Vitamin D Dan Fosfor Responden

Variabel Mean SD Range t p Korelasi


Protein (g) 41,56 13,79 21,56-78,69 -0,503 0,004 Ada
Kalsium (mg) 436,13 237,64 126,77-1006,46 -0,304 0,096 Tidak Ada
Vitamin D (mg) 0,8413 1,1013 0,15-4,39 -0,260 0,158 Tidak Ada
Fosfor (mg) 599,75 232,58 310,58-1162,03 -0,375 0,038 Ada

Tabel 7.Coefficient Correlation Asupan Protein, Kalsium, Vitamin D


Dan Fosfor Dengan Indeks Massa Tubuh Responden
Variabel Mean SD Range t p Korelasi
Protein (g) 41,56 13,79 21,56-78,69 -0,478 0,006 Ada
Kalsium (mg) 436,13 237,64 126,77-1006,46 -0,362 0,046 Ada
Vitamin D (mg) 0,8413 1,1013 0,15-4,39 0,070 0,710 Tidak Ada
Fosfor (mg) 599,75 232,58 310,58-1162,03 -0,412 0,021 Ada

Tabel 8.Coefficient Correlation Asupan Protein, Kalsium, Vitamin D


Dan Fosfor Dengan Skor ORAT Responden

Variabel Mean SD Range t p Korelasi


Protein (g) 41,56 13,79 21,56-78,69 0,583 0,001 Ada
Kalsium (mg) 436,13 237,64 126,77-1006,46 0,489 0,005 Ada
Vitamin D (mg) 0,8413 1,1013 0,15-4,39 0,317 0,585 Tidak Ada
Fosfor (mg) 599,75 232,58 310,58-1162,03 0,536 0,002 Ada

1481 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

PEMBAHASAN akan berdampak pada rendahnya


Status gizi ditentukan melalui aktivitas fisik yang dilakukan orang
penilaian antropometri yang merupakan tersebut sehingga mengakibatkan tulang
rasio indeks massa tubuh dan tidak akan giat membentuk sel. Hal ini
selanjutnya diklasifikasikan menjadi 4 dikarenakan rendahnya tingkat stres
kategori yaitu kurus, normal, overweight untuk tulang. Selain itu, obese berkaitan
dan obesitas. Sebagian besar responden dengan rendahnya konsentrasi
memiliki status gizi normal (84%) 25(OH)D3 dan tingginya konsentrasi
sedangkan sisanya responden memiliki hormon paratiroid pada usia dewasa
status gizi overweight (10%) dan yang juga dapat menghambat
obesitas (6%) (Tabel 4). pertumbuhan tulang. Pada orang dengan
Risiko osteoporosis ditentukan status gizi kurang (kemungkinan
melalui form skor ORAT dan disebabkan oleh program diet makanan
selanjutnya diklasifikasikan menjadi 2 yang terlalu ketat, melakukan olahraga
kategori yaitu risiko rendah dan risiko secara berlebihan, penyakit tidak mau
tinggi (Tabel 5). Lebih banyak makan karena masalah kejiwaan
responden yang memiliki risiko maupun masalah menstruasi yang tidak
osteoporosis rendah (67,7%) teratur karena kadar estrogen yang
dibandingkan dengan responden yang berkurang dalam tubuh) akan lebih
memiliki risiko osteoporosis tinggi berisiko untuk mengalami osteoporosis
(32,3%). (Tandra, 2009). Oleh karena itu, dengan
Indeks massa tubuh merupakan alat mempertahankan berat badan normal
atau cara yang sederhana untuk lebih cepat, dapat mencapai usia harapan
memantau status gizi dewasa, khususnya yang lebih panjang.
yang berkaitan dengan kekurangan dan AKG Indonesia mencantumkan nilai
kelebihan berat badan, berat badan lebih kecukupan protein laki-laki usia ≥50
dapat meningkatkan risiko terhadap tahun sebesar 60g/hari dan perempuan
penyakit degeneratif. Seseorang yang usia ≥50 tahun sebesar 50g/hari.
memiliki status gizi normal akan Sebagian besar responden memiliki
mungkin mencapai usia harapan hidup tingkat kecukupan protein kurang
yang lebih panjang (Supariasa dkk, (58,1%) memiliki status gizi normal
2002). Responden yang memiliki status (77,8%) dan risiko osteoporosis rendah
gizi normal lebih banyak memiliki risiko (63%). Berdasarkan penelitian diketahui
osteoporosis rendah (53,8%), begitupun bahwa terdapat hubungan antara asupan
dengan semua responden yang memiliki protein dengan indeks massa tubuh
status gizi overweight dan obesitas. (p=0,006) dan skor ORAT (p=0,001)
Berdasarkan penelitian diketahui adanya (Tabel 7 dan 8). Seseorang yang
hubungan (p=0,000) antara status gizi mengkonsumsi protein dalam kadar
responden dengan risiko osteoporosis. tinggi dapat memiliki risiko
Walaupun demikian, banyak hal osteoporosis karena protein mempunyai
yang turut berpengaruh. Semakin ringan proses mekanisme pengeluaran kalsium
berat badan maka tekanan tulang dalam melalui urin (Tandra, 2009; Freitag dan
mempengaruhi pembentukan massa Oktaviani, 2010).
tulang juga akan semakin berkurang AKG Indonesia juga mencantumkan
sehingga dapat menghambat nilai kecukupan kalsium yang tidak
pembentukan tulang baru. Apabila berat berbeda antara wanita dan laki-laki yaitu
badan seseorang semakin bertambah 800 mg/hari. Kalsium mempunyai peran
maka dapat memberikan tekanan yang yang penting dalam tubuh selain untuk
selanjutnya merangsang pembentukan pembentukan tulang-gigi dan proses
tulang baru melalui peningkatan massa pembekuan darah saat terluka yaitu
tulang (Lane, 2003). sebagai katalisator dalam berbagai
Apabila semakin tinggi berat badan reaksi biologis dan melakukan transmisi
tetapi kebiasaan olahraga berkurang,

1482 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

terhadap ransangan syaraf di seluruh berbeda antara wanita dan laki-laki yaitu
tubuh (Suprapto, 2009). Kalsium juga 15 mg/hari. Semua responden memiliki
berfungsi dalam pengaturan fungsi sel tingkat kecukupan vitamin D kurang
pada cairan ekstraseluler dan (87,1%) memiliki status gizi normal
intraseluler, seperti untuk transmisi (83,9%) dan risiko osteoporosis rendah
syaraf, kontraksi otot, penggumpalan (61,3%). Berdasarkan penelitian
darah, dan menjaga permeabilitas diketahui bahwa tidak terdapat
membran sel serta mengatur pekerjan hubungan antara asupan vitamin D
hormon pertumbuhan (Almatsier, 2004). dengan indeks massa tubuh (p=0,710)
Kekurangan kalsium dapat dan skor ORAT (p=0,585) (Tabel 7 dan
menyebabkan sering terjadinya sakit 8).
pinggang, gelisah, merasa tidak enak, Tanpa asupan vitamin D yang
tidak bisa tidur, dan kekuatan syaraf mencukupi, pertumbuhan tulang akan
menurun (Suprapto, 2009). Apabila lamban dan kurang padat karena vitamin
tubuh mengalami kekurangan kalsium D bertugas menjadikan timbunan
dalam waktu lama maka akan kalsium dalam tulang lebih mampat,
meningkatkan risiko terjadinya sehingga tulang menjadi padat, kuat dan
osteoporosis seperti pada wanita yang massif (Apriadji, 2007). Apabila tubuh
menopause. Wanita yang mengalami kekurangan vitamin D maka kadar
menopause dapat mengalami kalsium dan fosfat dalam darah
kekurangan kalsium lebih tinggi menurun. Hal itu dapat menyebabkan
dikarenakan selain absorbsi kalsium penyakit tulang karena tidak terdapatnya
yang semakin turun, juga karena kalsium dan fosfat yang cukup untuk
hormone estrogen diproduksi sangat mempertahankan kesehatan tulang.
sedikit (Deprtemen Gizi dan Kesehatan Keadaan ini disebut rakhitis (pada anak-
Masyarakat FKM UI, 2010). anak) dan osteomalacia (pada dewasa)
Sebagian besar responden memiliki (Muchtadi, 2009; Kristanti, 2010),
tingkat kecukupan kalsium kurang dimana tulang–tulang menjadi lunak
(87,1%) memiliki status gizi normal sehingga mudah berubah bentuk,
(85,2%) dan risiko osteoporosis rendah misalnya menjadi bengkok. Selain itu
(63%). Berdasarkan penelitian diketahui juga mengakibatkan reckersia dan
bahwa terdapat hubungan antara asupan penyakit tulang yang lain, kerusakan
kalsium dengan indeks massa tubuh gigi dan gusi, insomnia dan kegugupan
(p=0,046) dan skor ORAT (p=0,005) yang ekstrim (Suprapto, 2009).
(Tabel 7 dan 8). Vegan yang tidak memakan
Jika pelaku vegetarian makanan/pil yang difortifikasi dengan
mengkonsumsi makanan berkalsium vitamin D sintetik dan kurang terpapar
kurang dari kebutuhan kalsium dalam sinar matahari sangat rentan terhadap
tubuh yaitu sekitar 0,8 gr sehari (bagi defisiensi vitamin D (Kusharisupeni dan
orang dewasa normal yang sesuai Setiorini, 2010). Kekurangan vitamin D
dengan hasil-hasil Vuthonse, Mitchell, dapat disebabkan oleh pemaparan sinar
Steg-Gerda, yang menyimpulkan bahwa matahari yang tidak mencukupi maupun
kebutuhan akan kalsium bagi orang oleh sedikitnya vitamin D dalam
dewasa adalah antara 7-7.5 mg makanan. Kekurangan vitamin D selama
perkilogram berat benda atau ± 0,5 kehamilan dapat menyebabkan
sampai 0,7 gram seharinya) osteomalacia pada ibu hamil dan rakitis
(Kartasapoetra dkk, 2005) dapat pada bayi yang akan dilahirkannya
meningkatkan risiko osteoporosis (Kristanti, 2010). Secara umum di
melalui kecepatan pengurangan massa Indonesia penyakit ini tidak perlu
tulang setelah usia 30 tahun (Freitag dan dirisaukan, tetapi kasus sporadik
Oktaviani, 2010). mungkin masih dijumpai pada anak-
AKG Indonesia mencantumkan nilai anak atau para wanita yang karena adat
kecukupan vitamin D yang tidak istiadat, sedikit sekali terkena sinar

1483 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

matahari (Sediaoetama, 2010). makanan yang dikonsumsi.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan Berdasarkan penelitian diketahui
pada 7 wanita dewasa yang mengalami adanya hubungan antara pengetahuan
osteomalacia karena defisiensi vitamin gizi responden dengan asupan protein
D ternyata menunjukkan bahwa (p=0,004) dan asupan dan asupan fosfor
responden adalah vegetarian murni atau (p=0,038) sedangkan asupan kalsium
individu yag membatasi konsumsi lemak (p=0,096) dan asupan fosfor (p=0,158)
dan hanya mengkonsumsi vitamin D tidak memiliki hubungan dengan
<70 IU/hari. Oleh karena itu, pengetahuan responden (Tabel 6).
direkomendasikan kebutuhan vitamin D Namun, berdasarkan gambar scatter plot
pada orang dewasa sebesar 100 IU/hari - diketahui apabila semakin tinggi
200 IU/hari (Departemen Gizi dan pengetahuan responden maka asupan
Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2010). protein dan fosfor akan semakin rendah.
AKG Indonesia mencantumkan nilai Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
kecukupan fosfor yang tidak berbeda tingkat pengetahuan yang tinggi namun
antara wanita dan laki-laki yaitu 600 tidak diimbangi dengan perubahan pola
mg/hari. Semua responden memiliki konsumsi zat gizi tertentu atau
tingkat kecukupan vitamin D kurang instrumen pengetahuan yang kurang
(76,9%), memiliki status gizi normal sensitif dan fokus pada penilaian
(83,9%) dan risiko osteoporosis rendah hubungan antara pengetahuan dengan
(84,6%). Berdasarkan penelitian asupan makanan.
diketahui bahwa terdapat hubungan Pengetahuan gizi yang cukup harus
antara asupan vitamin D dengan indeks dimiliki seseorang untuk mengubah
massa tubuh (p=0,021) dan skor ORAT perilaku yang kurang benar sehingga
(p=0,002) (Tabel 7 dan 8). dapat memilih bahan makanan yang
Dalam proses absorpsi, Ca dan P bergizi dan dapat menyusun menu
saling berpengaruh. Untuk dapat seimbang sesuai dengan kebutuhan
melakukan penyerapan Ca yang baik, tubuh. Sebagian responden dengan
diperlukan perbandingan Ca:P = 1:1 tingkat pengetahuan yang sedang
sampai 1:3 di dalam rongga usus. ternyata memiliki status gizi yang
Apabila perbandingan Ca:P lebih besar normal (75%) dan memiliki risiko
dari 1:3 akan menghambat penyerapan osteoporosis yang rendah (75%).
Ca sehingga hal itu akan menimbulkan Berdasarkan penelitian diketahui
penyakit defisiensi Ca yaitu rhakitis terdapat hubungan antara pengetahuan
(Sediaoetama, 2010). responden dengan indeks massa tubuh
Pengetahuan gizi akan (p=0,002) dan skor ORAT (p=0,000).
mempengaruhi pemenuhan kecukupan Menurut Sedioetama (2010),
zat gizi yang diperlukan tubuh agar pengetahuan gizi yang kurang akan
dapat tumbuh dengan normal, status gizi mempengaruhi kemampuan dalam
yang penting bagi kesehatan dan menyusun menu yang dapat memenuhi
kesejahteraan tubuh, dan dapat syarat gizi dan menurut Wirakusumah
mengkonsumsi pangan yang baik dalam (2001) mengemukakan bahwa
upaya untuk memperbaiki gizi pengetahuan tentang keragaman jenis
(Departemen Gizi dan Kesehatan pangan akan memperkaya variasi menu
Masyarakat FKM UI, 2010). Apabila yang dibuat. Pentingnya pengetahuan
pengetahuan gizi tersebut kurang, maka gizi terhadap konsumsi didasari atas
dapat menimbulkan masalah gizi pada status gizi yang cukup. Hal ini penting
seseorang (Departemen Gizi dan bagi kesehatan dan kesejahteraan. Setiap
Kesehatan Masyarakat FKM UI, orang dapat cukup gizi yang diperlukan
2010).Oleh karena itu, pengetahuan gizi untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,
memiliki peran penting dalam pemeliharaan dan energi. Ilmu gizi
mempengaruhi risiko osteoporosis memberikan fakta yang perlu diketahui
seseorang melalui pemenuhan gizi sehingga seseorang belajar

1484 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

menggunakan pangan dengan baik bagi 6. Terdapat hubungan antara


perbaikan gizi (Departemen Gizi dan pengetahuan gizi responden dengan
Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2010). asupan protein (p=0,004) dan asupan
Pengetahuan gizi yang dimiliki fosfor (p=0,038) sedangkan asupan
seseorang memiliki pengaruh yang kalsium (p=0,096) dan asupan
secara tidak langsung dapat vitamin D (p=0,158) tidak memiliki
mempengaruhi risiko osteoporosis hubungan dengan pengetahuan gizi
dalam pemenuhan konsumsi zat gizi responden.  
yang cukup. 7. Sebagian responden dengan tingkat
pengetahuan yang sedang ternyata
KESIMPULAN memiliki status gizi yang normal
1. Sebagian besar responden memiliki (75%) dan memiliki risiko
status gizi normal (84%) dan osteoporosis yang rendah (75%).
memiliki risiko osteoporosis rendah Terdapat hubungan antara
(67,7%). pengetahuan responden dengan
2. Responden yang memiliki status gizi indeks massa tubuh (p=0,002) dan
normal lebih banyak memiliki risiko skor ORAT (p=0,000).  
osteoporosis rendah (53,8%) dan
terdapat hubungan (p=0,000) antara SARAN
indeks massa tubuh dengan skor 1. Pihak IVS
ORAT. a. Sebaiknya pihak IVS Surabaya
3. Sebagian besar responden memiliki mengadakan seminar kesehatan dan
tingkat kecukupan protein kurang gizi mengenai pentingnya asupan
(58,1%) memiliki status gizi normal zat gizi terhadap status gizi dan
(77,8%) dan risiko osteoporosis risiko osteoporosis pada kelompok
rendah (63%). Terdapat hubungan vegetarian.
antara asupan protein dengan indeks b. Sebaiknya pihak IVS perlu
massa tubuh (p=0,006) dan skor mengadakan pemeriksaan
ORAT (p=0,001). kesehatan dan kegiatan olahraga
4. Sebagian besar responden memiliki bersama rutin setiap bulan.
tingkat kecukupan kalsium kurang c. Pihak IVS perlu mengadakan
(87,1%) memiliki status gizi normal konsultasi gizi dan demo masak
(85,2%) dan risiko osteoporosis sumber bahan makanan kaya zat
rendah (63%). Terdapat hubungan gizi protein, kalsium, fosfor dan
antara asupan kalsium dengan indeks vitamin D yang dapat mendukung
massa tubuh (p=0,046) dan skor kesehatan tulang.
ORAT (p=0,005).
5. Semua responden memiliki tingkat 2. Kelompok Lacto Ovo Vegetarian
kecukupan vitamin D kurang a. Responden perlu meningkatkan
(87,1%) memiliki status gizi normal informasi mengenai sumber
(83,9%) dan risiko osteoporosis makanan kaya zat gizi protein,
rendah (61,3%). Tidak terdapat kalsium, vitamin D dan fosfor dan
hubungan antara asupan vitamin D konsumsi zat gizi tersebut dalam
dengan indeks massa tubuh jumlah yang cukup dan seimbang.
(p=0,710) dan skor ORAT (p=0,585). b. Responden perlu melakukan
Semua responden memiliki tingkat pemeriksaan kesehatan tulang
kecukupan fosfor kurang (76,9%) secara rutin untuk diagnosa
memiliki status gizi normal (83,9%) osteoporosis.
dan risiko osteoporosis rendah
(84,6%). Terdapat hubungan antara 3. Peneliti Selanjutnya
asupan fosfor dengan indeks massa a. Sebaiknya peneliti selanjutnya
tubuh (p=0,021) dan skor ORAT menggunakan food recall lebih dari
(p=0,002).  

1485 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

b. 2x24 jam untuk mendapatkan data CDC. 2011. Osteoporosis Data are For
yang lebih akurat mengenai US).
kandungan zat gizi (protein, http://www.cdc.gov/nchs/fastats/o
kalsium, fosfor dan vitamin D) steoporosis.htm (Sitasi 15
dalam makanan. Selanjutnya dapat Desember 2011)
diketahui hubungan antara asupan CDC. 2011. Data and Statistic.
zat gizi kalsium dengan risiko http://www.cdc.gov/genomics/res
osteoporosis secara akurat pula. ources/data_stats/data/NHANES.
c. Sebaiknya peneliti selanjutnya htm (Sitasi 15 Desember 2012)
dapat menggunakan diagnosa Depkes RI. 2009.
pemeriksaan densitas tulang TegakBicaraLantangKalahkan
sehingga signifikansi osteoporosis Osteoporosis.
dibandingkan dengan asupan http://www.depkes.go.id/index.ph
makanan pada responden lebih p/be rita/press-release/404-
diketahui secara akurat. berdiri-tegak-bicara-lantang-
d. Sebaiknya peneliti selanjutnya juga kalahkan-osteoporosis.html
mencantumkan variabel aktivitas (Sitasi 22 November 2011)
tubuh termasuk olahraga untuk Departemen Gizi dan Kesehatan
mengetahui faktor aktivitas tubuh Masyarakat FKM UI. 2010. Gizi
termasuk olahraga dalam dan Kesehatan Masyarakat.
mempengaruhi status gizi yang Jakarta: PT. Raja Grafindo
selanjutnya dapat mempengaruhi Persada Fakultas Kesehatan
risiko osteoporosis. Masyarakat Universitas Indonesia
e. Sebaiknya peneliti selanjutnya juga Fox-spencer, Rebecca dan Pam Brown.
mencantumkan variabel konsumsi 2007. Osteoporosis. Jakarta :
suplemen sebagai upaya seseorang Erlangga
untuk mencukupi kebutuhan Freitag H dan Oktaviani P.
kalsium dalam tubuh dan 2010.Bebas Kanker Tanpa
mengetahui hubungan antara Daging. Yogyakarta : Penerbit
konsumsi suplemen dengan Yogya Great
risiko osteoporosis pada IOF. 2011. What Is osteoporosis.
seseorang. http://www.iofbonehealth.org/pa
tients-public/about-
osteoporosis/what-is-
DAFTAR PUSTAKA osteoporosis.html (Sitasi 25
American Dietetic Association. 2009. November 2011)
Position of the American Dietetic IOF. 2011. Fact About Bone.
Association (ADA). Vegetarian http://www.iofbonehealth.org/pa
Diets. tients-public/about-
http://www.vrg.org/nutrition/2009 osteoporosis/facts-about-
_A DA_position_paper.pdf (Sitasi bones.html (Sitasi 15 Desember
15 Desember 2012) 2011)
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar IOF. 2011. Facts and Statistic.
Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia http://www.iofbonehealth.org/fa
Pustaka Utama cts-and-statistics.html (Sitasi 15
Apriadji, Wied Harry. 2007. Hidup Desember 2011)
Sehat, Bahagia dan Awet Muda. Kristanti, Handriani. 2010. Penyakit
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Akibat Kelebihan dan
CDC. 2011. Calcium and Bone Health. kekurangan Vitamin, Mineral
http://www.cdc.gov/nutrition/ever dan Elektrolit. Yogyakarta :
yone/basics/vitamins/calcium.htm Citra Pustaka
l (Sitasi 22 November 2011) Kusharisupeni dan Setiorini, A. 2010.
Vegetarian Gaya Hiduo Sehat

1486 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481 

Masa Kini. Yogyakarta : ANDI


OFFSET
Lane, Nancy E. 2003. Osteoporosis.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Muchtadi, Deddy. 2009. Gizi Anti
Penuaan Dini. Bandung :
Alkabita
NIH. 2011. What Is Osteoporosis.
http://www.niams.nih.gov/Health
_Info/Bone/Osteoporosis/osteopor
osis_ff.asp (sitasi 22 November
2011)
Sediaoetama, Ahmad Djaeni. 2010. Ilmu
Gizi untuk Mahasiswa dan
Profesi di Indonesia. Jakarta :
Dian Rakyat.
Supariasa, I Dewa Nyoman., Bakri,
Bachyar., dan Fajar, Ibnu.
2002. Penilaian Status Gizi.
Jakarta : EGC
Suprapto, Anggoro. 2009. Hidup Sehat
Cara Vegetarian. Jakarta:PT Elex
Media Komputindo
Susianto. 2008. Analisis Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Imt/U
Pada Balita Vegetarian.
http://www.pdf-
searcher.org/ANALISIS-
FAKTOR- FAKTOR-YANG-
BERHUBUNGAN- DENGAN-
IMT/U-PADA-BALITA-....html
(Sitasi 15 Desember 2011).
Tandra, Hans. 2009. Osteoporosis.
Jakarta : Erlangga
Wahyuni, Dwi. 2012. Faktor - Faktor
Yang Berhubungan Dengan
Osteopenia Pada Kelompok
Vegetarian Umur 20-35 tahun di
Pusdiklat Maitreyawira, Jakarta
Barat tahun 2008.
Skripsi.http://garuda.dikti.go.id/ju
rnal/detil/id/0:15650/q/densitas%
20tulang/offset/15/limit/15 (Sitasi
30 Januari 2012)
Wirakusumah, Emma S. 2007.
Mencegah Osteoporosis Lengkap
dengan 39 Jus dan 38 Resep
Masakan. Jakarta : Penebar Plus

1487 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494 
 
HUBUNGAN KARIES GIGI DENGAN TINGKAT
KONSUMSI DAN STATUS GIZI ANAK USIA
SEKOLAH DASAR

Mega Putri Ramayani1*, Siti Rahayu Nadhiroh2

1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, secara nasional, penduduk
Indonesia yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari
angka kecukupan gizi bagi orang Indonesia) adalah sebanyak 40,7%. Masalah
kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama
pada anak usia sekolah (6–12 tahun). Salah satu faktor penyebab anak kekurangan gizi
berasal dari gangguan pengunyahan yang disebabkan dengan adanya karies gigi.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan karies gigi dengan tingkat
konsumsi dan status gizi anak usia sekolah dasar. Penelitian ini termasuk dalam penelitian
analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Sampel berjumlah 49 anak
Sekolah Dasar Hang Tuah I Surabaya. Pengambilan sampel dengan cara simpel random
sampling. Variabel bebas penelitian adalah karies gigi sedangkan variabel terikat adalah
status gizi dan tingkat konsumsi makan. Penelitian ini menggunakan uji Spearman. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara karies gigi dengan tingkat
konsumsi (p=0,000;p<0,05), koefisien korelasi sebesar -0,517. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa hubungan antara jumlah karies gigi dengan tingkat konsumsi
bersifat kuat dan memiliki arah negatif. Karies gigi dengan status gizi juga memiliki
hubungan yang signifikan (p=0,013;p<0,05), koefisien korelasi sebesar -0,353. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa hubungan signifikan antara jumlah karies gigi dengan
status gizi bersifat cukup kuat dan memiliki arah negatif. Kesimpulannya adalah ada
hubungan antara karies gigi dengan tingkat konsumsi dan status gizi. Penderita karies gigi
hendaknya melakukan pengobatan ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya.

Kata-kata kunci : karies gigi, status gizi, tingkat konsumsi

ABSTRACT
Based on the results of Basic Health Research on 2010, a nationally population
of Indonesia energy consumption was under minimal requirements (less than 70% of the
nutritional adequacy rate for Indonesia) was as much as 40,7%. The problem of less
energy and protein consumption happened to all of age groups, especially in school age
(6-12 years). One of the factor child malnutrition came from mastication disorders
caused by dental caries. The aim of this research was to analyzed tthe relation of dental
caries and level of consumption and nutritional status of school age children. This study
was an analytical observational research with cross sectional design. The samples were
49 children from Hang Tuah I elementary school Surabaya that was taken by simple
random sampling. The independent variable was dental caries. Dependent variables were
nutritional status and food consumption level. Spearman test was used to examine the
relation between dependent and independent variables. The result of the statistic showed

* corresponding author

1488 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494 
 
that there was a significant relation between dental caries and food consumption level  
(p = 0,000;p<0,05) with correlation coefficient -0,517. It means there was a strong
relation and negative direction. There was a significant relation between dental caries
and nutritional status (p = 0,013;p<0,05) with correlation coefficient -0,353. It means
there was a medium relation and negative direction. The conclusion is that there is a
relation between dental caries and food consumption level and nutritional status.
Recommendation is that patient with dental caries should check to the dentist to keep the
healthy teeth.

Keywords : dental caries, nutritional status, food consumption level


 

PENDAHULUAN kekurangan enzim (Almatsier, 2001).


Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Hasil penelitian dari Direktorat
Dasar tahun 2010, secara nasional, Kesehatan Gigi Departemen Kesehatan
40,7% penduduk Indonesia Republik Indonesia menunjukkan bahwa
mengkonsumsi energi di bawah sekitar 60%-80% murid Sekolah Dasar
kebutuhan minimal (kurang dari 70% menderita karies pada gigi permanennya
dari angka kecukupan gizi bagi orang (Prangdimurti, 2008). Kesehatan gigi
Indonesia). Masalah kekurangan mempengaruhi orang secara fisik dan
konsumsi energi dan protein terjadi pada psikologis yaitu empengaruhi bagaimana
semua kelompok umur, terutama pada mereka tumbuh, menikmati hidup,
anak usia sekolah (6–12 tahun). berbicara, mengunyah, merasa makanan
Prevalensi pendek pada anak umur 6-12 dan bersosialisasi. Karies gigi akan
tahun adalah 35,6 % yang terdiri dari mengurangi kualitas hidup anak-anak.
15,1 % sangat pendek dan 20 % pendek. Anak-anak akan mengalami rasa sakit,
Berbagai penelitian yang pernah ketidaknyamanan, gangguan makan.
dilakukan terhadap anak sekolah baik di Adanya karies gigi mempengaruhi
kota maupun pedesaan di Indonesia nutrisi, pertumbuhan dan berat badan
menunjukkan bahwa pada umumnya (Sheiham, 2005). Penelitian ini diadakan
berat dan tinggi badan rata-rata anak dengan tujuan untuk menganalisis
sekolah dasar berada di bawah ukuran hubungan karies gigi dengan tingkat
normal yang disertai dengan defisiensi konsumsi dan status gizi anak usia
zat gizi. Tidak jarang pula pada anak sekolah dasar.
sekolah dasar ditemukan tanda penyakit
gangguan gizi baik dalam bentuk ringan, METODE
maupun dalam bentuk agak berat Penelitian ini adalah penelitian
(Moehji, 2003). observational analytic dan desain
Gangguan gizi dapat disebabkan oleh penelitian cross sectional dengan
faktor primer dan sekunder. Faktor populasi adalah siswa SD Hang Tuah I
primer adalah factor dalam susunan Surabaya yang berumur 10 – 11 tahun
makanan seseorang, baik kuantitas atau dengan pertimbangan bahwa siswa
kualitas, yang disebabkan oleh berumur 10 - 11 tahun telah memiliki
kurangnya penyediaan pangan, kurang gigi permanen. Penelitian ini dilakukan
baiknya distribusi pangan, kemiskinan, pada bulan April 2012 yang dilaksanakan
ketidaktahuan, kebiasaan makan yang di SD Hang Tuah I yang terletak di Jalan
salah dan sebagainya. Faktor sekunder Opak No.46 Surabaya. Pengambilan
meliputi semua faktor yang sample siswa SD Hang Tuah I Surabaya
menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di dilakukan dengan cara simple random
sel-sel tubuh setelah dikonsumsi sampling.
misalnya faktor-faktor yang Penentuan status gizi dilakukan
menyebabkan terganggunya pencernaan, dengan membandingkan hasil
seperti gigi-geligi yang tidak baik, perhitungan BMI for age dengan standart
kelainan strutur saluran cerna dan WHO-MGRS. Data tingkat konsumsi

1489 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494 
 
diukur dengan menggunakan food recall didapatkan hubungan yang signifikan
24 jam (selama 2 hari) dan diolah dengan antara jumlah karies gigi dengan tingkat
software Nutrisurvey sedangkan untuk konsumsi (signifikansi = 0,000;p<0,05).
karies gigi dengan cara obsevarsi Pada analisis hubungan tersebut
langsung oleh dokter gigi menggunakan didapatkan koefisien korelasi sebesar -
kaca mulut dan sonde. Analisis data 0,517. Hal tersebut memperlihatkan
menggunakan korelasi Spearman untuk bahwa hubungan antara jumlah karies
mengetahui ada tidaknya hubungan gigi dengan tingkat konsumsi bersifat
karies gigi dengan tingkat konsumsi dan kuat (koefisien lebih besar dari 0,5) dan
karies gigi dengan status gizi anak usia memiliki arah negatif. Peningkatan
sekolah dasar.. jumlah karies gigi akan diikuti oleh
penurunan kualitas tingkat konsumsi.
HASIL PENELITIAN Pada uji korelasi Spearman
Data distribusi responden di SD antara jumlah karies gigi dengan status
Hant Tuah 1 Surabaya berdasarkan gizi (Tabel 5), didapatkan hubungan
tingkat konsumsi dam status gizi di tahun yang signifikan antara jumlah karies gigi
2012 tersaji pada Tabel 1 dan 2. dengan status gizi (signifikansi =
Tabel 3 menyajikan distribusi 0,013;p<0,05). Pada analisis hubungan
responden di SD Hang Tuah 1 Surabaya tersebut didapatkan koefisien korelasi
berdasarkan karies gigi Tahun 2012. sebesar - 0,353. Hal tersebut
Data mengenai rerata, standard deviasi memperlihatkan bahwa hubungan antara
dan signifikansi uji korelasi antar jumlah karies gigi dengan status gizi
variable penelitian karies gigi dengan bersifat cukup kuat (koefisien lebih kecil
tingkat konsumsi terlihat pada Tabel 4. dari 0,5) dan memiliki arah negatif.
Pada uji korelasi Spearman antara jumlah Peningkatan jumlah karies gigi akan
karies gigi dengan tingkat konsumsi, diikuti oleh penurunan status gizi.

Tabel 1. Distribusi Responden di SD Hang Tuah 1 Surabaya


Berdasarkan Tingkat Konsumsi Tahun 2012

Tingkat Konsumsi n Persentase (%)


Kurang 33 67,3
Baik 5 10,2
Lebih 11 22,5
Total 49 100,0

Tabel 2. Distribusi Responden di SD Hang Tuah 1 Surabaya


Berdasarkan Status Gizi Tahun 2012

Status Gizi N Persentase (%)


Kurus 13 26,5
Normal 29 59,1
Overweight 7 14,4
Total 49 100,0

Tabel 3. Distribusi Responden di SD Hang Tuah 1 Surabaya


Berdasarkan Karies Gigi Tahun 2012

Karies Gigi N Persentase (%)


0-6 46 93,8
7-13 3 6,2
Total 49 100,0

1490 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494 
 

Tabel 4. Rerata, Standar Deviasi, dan Signifikansi Uji Korelasi Antar


Variabel Penelitian Karies Gigi dengan Tingkat Konsumsi

Standar Uji Korelasi Karies-Tingkat Konsumsi


Variabel N Rerata
Deviasi Signifikasi Koefisien
Karies Gigi 49 2,4082 2,91489 0,000* -0,517
 
Tabel 5. Rerata, Standar deviasi, dan Signifikansi Uji Korelasi
Antar Variabel Penelitian Karies Gigi dengan Status Gizi

Standar Uji Korelasi Karies-Status Gizi


Variabel N Rerata
Deviasi Signifikasi Koefisien
Karies Gigi 49 2,4082 2,91489 0,013* -0,353

PEMBAHASAN konsumsi energi anak dengan karies gigi


Berdasarkan hasil penelitian pada lebih rendah karena pola konsumsi energi
siswa SD Hang Tuah 1 Surabaya yang dikonsumsi kurang beraneka ragam
diketahui terdapat hubungan karies gigi sebagai akibat dari gangguan
dengan tingkat konsumsi dengan pengunyahan sehingga kebutuhan tubuh
koefisien korelasi sebesar -0,517. Hal akan energi kurang terpenuhi.
tersebut memperlihatkan bahwa Masalah kesehatan mulut dapat
hubungan antara jumlah karies gigi mengganggu kesehatan anak secara
dengan tingkat konsumsi bersifat kuat keseluruhan dan penampilan serta fungsi
(koefisien lebih besar dari 0,5) dan sosial. Ketika gigi terkena karies akan
memiliki arah negatif. Peningkatan dapat menyebabkan anak tidak dapat
jumlah karies gigi akan diikuti oleh makan makanan tertentu dan resiko
penurunan kualitas tingkat konsumsi. asupan gizi yang tidak memadai menjadi
Akibat dari karies gigi adalah meningkat (Ogata, 2003). Kerusakan gigi
terganggunya fungsi pengunyahan. seperti karies gigi pada anak-anak akan
Akibat gangguan pengunyahan dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka.
berpengaruh terhadap asupan makanan. Anak-anak akan kehilangan nafsu
Gigi yang tidak terbentuk dengan baik, makan, ketidakmampuan menghabiskan
tanggal atau sakit bisa berakibat makanan, kurang tidur. Anak-anak yang
konsumsi makanan yang tidak adekuat, bermasalah dengan gigi tidak dapat
selanjutnya diikuti dengan gangguan makan makanan yang keras, panas atau
pencernaan dan kesehatan yang kurang dingin. Penurunan berat badan juga
sempurna (Asmawati, 2007). Karies gigi menjadi tanda bahwa ketidakmampuan
berdampak pada perkembangan anak untuk makan dengan benar karena gigi
karena dapat menyebabkan gangguan yang rusak. Masalah gigi juga
pada asupan zat makanan, pertumbuhan menyebabkan anak menjadi kurang
dan berat badan (Seminario, 2012). perhatian di kelas dan juga
Kesehatan gigi dan mulut berhubungan mempengaruhi kesehatan. Jika anak sakit
dengan kesehatan secara kesluruhan dan gigi maka mereka tidak bisa tidur dengan
kesejahteraan. Kemampuan untuk nyenyak di malam hari yang akan
mengunyah dan menelan makanan sangat mempengaruhi keesokan harinya di kelas
penting untuk memperoleh nutrisi yang (Maine, 2009). Masalah pada gigi seperti
dibutuhkan (EUFIC, 2003). Hasil karies gigi dapat mempengaruhi kualitas
penelitian Damanik (2009) menyebutkan hidup anak-anak dan timbulnya
bahwa tingkat konsumsi energi ketidakmampuan untuk mengunyah
responden yang terbanyak dalam makanan sehingga dapat mengurangi
kategori defisit pada anak yang karies asupan makananbergizi yang akan
gigi. Hal ini dikarenakan tingkat berakibat pada masalah kesehatan.

1491 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494 
 
Adanya masalah gigi berlubang dapat Karies gigi akan mempengaruhi
mengurangi penampilan sehingga tidak nafsu makan dan asupan gizi sehingga
ingin tersenyum. Anak yang memiliki dapat mengakibatkan gangguan
masalah pada gigi akan susah untuk tidur pertumbuhan yang pada gilirannya akan
serta berakibat pada ketidakhadiran saat mempengaruhi status gizi anak yang
sekolah (Nowak, 2001). berimplikasi pada kualitas sumber daya
Penyakit mulut berdampak pada (Saleh dalam Damanik, 2009).
kehidupan sehari-hari dan kualitas hidup Berdasarkan hasil penelitian lainnya
dengan memberikan pengaruh pada fisik, diketahui bahwa kelompok siswa dengan
sosial dan psikologis (Shah, 2011). status karies gigi sangat rendah memiliki
Penyakit pada mulut seperti karies gigi status gizi normal dengan persentase
atau penyakit periodontal sangat tinggi terbesar yaitu 55% sedangkan kelompok
prevalensinya dan tidak hanya memiliki siswa dengan status karies gigi sangat
konsekuensi pada fisik namun juga pada tinggi hanya terdapat status gizi normal
sosial dan psikologi. Mereka dapat sebesar 6,66 %. Adapun pada status gizi
mengurangi kualitas hidup pada sejumlah kurus terdapat kelompok karies tinggi
besar individu dan dapat mempengaruhi yaitu 1,66 % dan dari hasil uji didapatkan
berbagai aspek kehidupan, termasuk bahwa ada hubungan antara karies gigi
fungsi gigi, penampilan dan interpersonal dengan status gizi (Asmawati, 2007).
(Locker dalam Naito, 2006). Salah satu faktor penyebab anak
Berdasarkan hasil penelitian kekurangan gizi berasal dari gangguan
pada siswa SD Hang Tuah 1 Surabaya pengunyahan yang disebabkan dengan
diketahui terdapat hubungan karies gigi adanya karies gigi. Akibat dari karies
dengan status gizi dengan koefisien gigi tentunya menyebabkan rasa sakit
korelasi sebesar -0,353. Hal tersebut dan ketidaknyamanan pada anak, berupa
memperlihatkan bahwa hubungan antara rasa sakit spontan maupun karena adanya
jumlah karies gigi dengan status gizi rangsang mekanis dari makanan itu
bersifat cukup kuat (koefisien lebih kecil sendiri, yang pada akhirnya akan
dari 0,5) dan memiliki arah negatif. menganggu fungsi pengunyahan dan
Peningkatan jumlah karies gigi akan kondisi kesahatan secara umum. Anak-
diikuti oleh penurunan status gizi. Pada anak akan menjadi trauma dengan rasa
penderita dengan karies gigi, sering sakit sehingga kemampuan untuk dapat
terjadi gangguan asupan zat makanan mengkonsumsi berbagai jenis makanan
yang merupakan faktor penyebab yang kaya akan sumber gizi menjadi
kurangnya gizi sehingga dapat terbatas, sehingga hal tersebut akan dapat
menyebabkan menurunnya fungsi berpengaruh terhadap status gizi anak
biologis tubuh atau malnutrisi (Anderson (Sitmorang, 2005).
dan Brown dalam Arum, 2011). Masa Adanya karies gigi dapat
anak-anak merupakan masa tumbuh menyebabkan rasa sakit sehingga akan
kembang, maka kesehatan gigi dan mulut mengakibatkan susah tidur, menghambat
harus mendapat perhatian optimal. pertumbuhan anak. Anak yang menderita
Apabila keadaan gigi tidak baik, misal karies gigi cenderung menghindari
terjadi karies, akan menyebabkan fungsi mengunyah makanan yang keras dan
pengunyahan menjadi tidak optimal. Hal makanan yang menjadi menu utama
ini apabila berkelanjutan akan sehingga menyebabkan penurunan berat
menyebabkan penurunan berat badan badan dan kekurangan gizi
anak (Sulton dalam Supartinah, 2003). (Lueangpainsamut, 2011). Karies gigi
Anak yang kehilangan beberapa giginya mempengaruhi pertumbuhan anak. Anak
tidak dapat makan dengan baik dan yang karies gigi memiliki berat badan
seringkali sampai tidak bisa makan kurang (Dent, 2007). Gigi yang karies
kecuali makan yang lunak. Oleh karena dan sakit dapat menyebabkan
itu, karies gigi pada akhirnya dapat kekurangan gizi pada anak karena
menyebabkan keadaan kurang gizi kesulitan dalam pengunyahan (Bedwani,
(Burgers dalam Puri, 2010). 2008). Keadaan kesehatan gigi ikut

1492 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494 
 
memberikan pengaruh terhadap Puskesmas setempat.
pertumbuhan anak. Dibuktikan dalam 2. Guru di sekolah diharapkan
studi yang telah dilakukan dengan mendukung program UKGS yang
membandingkan antara anak yang merupakan bagian dari UKS untuk
memiliki karies gigi dengan yang tidak memotivasi anak-anak sekolah
memiliki karies gigi didapatkan bahwa mengenai kesehatan gigi.
anak yang karies gigi memiliki berat 3. Perlunya peningkatan penyuluhan
badan yang lebih rendah daripada anak oleh petugas kesehatan tentang
yang tidak karies gigi. Anak yang pemeliharaan kesehatan gigi melalui
memiliki karies gigi akan memiliki berat program UKS.
badan kurang dari 80 % dari berat badan
yang ideal sesuai dengan umur mereka DAFTAR PUSTAKA
(Malek, 2012). Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar
Karies gigi akan mengurangi Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia
kualitas hidup anak-anak, mereka akan Pustaka Utama
mengalami rasa sakit, ketidaknyamanan, Arum, Sekar. 2011. Hubungan Pola
gangguan makan, nutrisi, pertumbuhan Pemberian Makan dan Kebersihan
dan berat badan. Kesehatan mulut yang Mulut dengan Indeks Karies Anak
buruk dapat memiliki pengaruh buruk Paud Yang Positif Karies. Skripsi.
terhadap prestasi anak-anak di sekolah FKM Universitas Airlangga
dan keberhasilan mereka dikemudian Asmawati. 2007. Analisis Hubungan
hari. Karies gigi dapat mempengaruhi KariesGigi dan Status Gizi Anak
asupan gizi anak-anak dan berakibat pada Usia 10-11 tahun di SD Athirah,
pertumbuhan dan perkembangan mereka SDN 1 Bawakaraeng dan SDN 3
(WHO, 2003). Bangkalan. Jurnal Dentofasial
Vol.6, No.2, Oktober 2007, Hal :
KESIMPULAN 78-84
1. Didapatkan hubungan yang signifikan Damanik, Noverini. 2009. Gambaran
antara jumlah karies gigi dengan konsumsi makanan dan status gizi
tingkat konsumsi dengan koefisien pada anak penderita karies gigi di
korelasi sebesar -0,517. Hal tersebut SDN 091285 Panei tongah
memperlihatkan bahwa hubungan Kecamatan Panei. Diakses dari
antara jumlah karies gigi dengan http://repository.usu.ac.id/bitstrea
tingkat konsumsi bersifat kuat dan m/123456789/14650/1/10E00010.
memiliki arah negatif. Peningkatan pdf (sitasi 4 Januari 2012)
jumlah karies gigi akan diikuti oleh Bedwani. 2008. A Pilot Educational
penurunan kualitas tingkat konsumsi. Intervention For Dental Caries
2. Didapatkan hubungan yang signifikan Prevention Among 6 to 12 Years
antara jumlah karies gigi dengan Old Schoolchildren in Alexandria
status gizi dengan koefisien korelasi (Egypt). Egyptian Dental Journal
sebesar -0,353. Hal tersebut Vol. 54, No.2, April 2008, Hal
memperlihatkan bahwa hubungan 1449-1454 (sitasi 12 Mei 2012)
antara jumlah karies gigi dengan Dent, J. 2007. Dental Caries Affect
status gizi bersifat cukup kuat dan Bodyweight, Growth and Quality
memiliki arah negatif. Peningkatan of Life in Pre-School Children.
jumlah karies gigi akan diikuti oleh Diakses dari
penurunan status gizi. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub
med/17128231 (sitasi 12 Mei
SARAN 2012)
1. Sekolah sebaiknya mengupayakan EUFIC. 2003. Food, Dietary Habits and
pemeriksaan kesehatan gigi minimal Dental Health. Diakses dari
6 bulan sekali atau minimal 1 tahun http://www.eufic.org/article/en/die
sekali baik secara mandiri atau trelated-diseases/dental
bekerjasama dengan pihak care/expid/review-food-dietary-

1493 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494 
 
habits-dental-health/ (sitasi 12 Mei Gigi dan Frekuensi Konsumsi
2012) Makanan Kariogenik Terhadap
Malek, Tayebeh. 2012. Effect of Dental Kejadian Karies Gigi di SDN
Caries on Children Growth. Geluran III Kecamatan Taman
Diakses dari Kabupaten Sidoarjo. Skripsi. FKM
http://www.intechopen.com/books/ Universitas Airlangga
contemporary-approach-to-dental Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
caries/effect-of-dental-caries-on- 2010. Diakses dari
children-growth (sitasi 12 Mei http://www.riskesdas.litbang.depk
2012) es.go.id/2010/ (sitasi 14 Januari
Lueangpainsamut, Juthamas. 2011. 2012)
Dental Caries Status and Seminario, Lucia. 2012. Caries Risk
Nutritional Status in Assessment for Children. Diakses
Children.Diakses dari dari
http://home.kku.ac.th/kdj/kdj14.1/j http://www.cdeworld.com/courses/
utamasEng.pdf (sitasi 22 Mei 4293caries-risk-assessment-
2012) forchildren. (sitasi 12 Mei 2012)
Maine. 2009. Tooth Decay May Affect a Shah, Mishal. 2011. Improvement of
Child’s Quality of Life. Diakses Oral Health Related Quality of
dari Life in Periodontitis Patients after
http://www.mainecshp.com/PD Non-Surgical Periodontal
Fs/Tooth_Decay.pdf (sitasi 12 Therapy. Journal of International
Mei 2012) Oral Health. Vol. 3. December
Moehji, Sjahmien. 2003. Ilmu Gizi. 2011. Hal : 15-22. (sitasi 5 Januari
Jakarta : Bharatara Niaga Media 2012)
Naito, Mariko. 2006. Oral Health Status Sheiham, Aubrey. 2005. Oral Health,
and Health-Related Quality of Life General Health and Quality of
: a Systematic Review. Journal of Life. Bulletine of the WHO Vol.
Oral Science. Vol.48, No. 1 83, No.9, September 2005, Hal :
January, Hal : 1-7 (sitasi 5 Juni 641-720. (sitasi 12 Mei 2012)
2012) Situmorang, Nurmala. 2005. Dampak
Nowak, Arthur. 2001. Oral Management Karies Gigi dan Penyakit
of Pediatric Patients for Non- Periodontal Terhadap Kualitas
Dental Professionals. Diakses dari Hidup. Diakses dari
http://www.uiowa.edu/~c090247/S http://www.usu.ac.id/id/files//ppgb
tudy_Guide.pdf (sitasi 12 Mei /2005/ppgb_2005_nurmala_situmo
2012) rang.pdf.
Ogata, Beth. 2003. Nutrition and Oral (sitasi 11 Januari 2012)
Health for Children. Journal of Supartinah. 2003. Saliva dan Kaitannya
Nutrition Focus. Vol.18, No.6 Dengan Penyakit Rongga Mulut
December, Hal : 2-9 (sitasi 5 Anak. Diakses dari
Januari 2012) http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload
Prangdimurti, Endang. 2008. Teh Hijau /998_pp0911162.pdf (sitasi 9 Mei
dan Kesehatan Gigi. Diakses dari 2012)
http://4 WHO. 2003. WHO Information Series
healthyfood.blogspot.com/2008_0 On School Health. Diakses dari
4_01_archive.html. (sitasi 16 http://new.paho.org/hq/dmdocume
Januari 2012) nts/2009/OH-st-sch.pdf (sitasi 12
Puri, Kristina. 2010. Hubungan Tingkat
Mei 2012)
Pengetahuan, Cara Menggosok

1494 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

HUBUNGAN POLA KONSUMSI,


TINGKAT KONSUMSI DAN FREKUENSI
SAKIT INFEKSI DENGAN STATUS GIZI (IMT/U)
ANAK SEKOLAH
Stephany Martina Pondaang1*, Merryana Adriani2
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Anak sekolah merupakan aset yang penting bagi kehidupan suatu bangsa namun
mereka juga merupakan kelompok usia yang rentan mengalami masalah gizi dan
terserang penyakit infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
pola konsumsi, tingkat konsumsi dan frekuensi sakit infeksi dengan status gizi (IMT/U)
anak sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dan deskriptif analitik
dengan desain cross sectional. Besar sampel adalah 78 siswa yang dipilih menggunakan
simple random sampling. Uji statististik yang digunakan adalah uji Pearson dan uji
Spearman (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
jumlah konsumsi energi (p = 0,000), jumlah konsumsi protein (p = 0,000), jumlah
konsumsi lemak (p = 0,001), jumlah konsumsi karbohidrat (p = 0,000), tingkat konsumsi
energi (p = 0,002), tingkat konsumsi protein (p = 0,000), dan tingkat konsumsi lemak (p =
0,005) dengan status gizi anak sekolah. Tidak terdapat hubungan antara tingkat konsumsi
karbohidrat (p = 0.325) dan frekuensi sakit infeksi (p = 0.243) dengan status gizi anak
sekolah. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pola konsumsi
(jumlah konsumsi energi, protein, lemak, dan karbohidrat) dan tingkat konsumsi energi,
protein, dan lemak dengan status gizi (IMT/U) anak sekolah namun tidak terdapat
hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat dan frekuensi sakit infeksi dengan status
gizi (IMT/U) anak sekolah. Perlu ditingkatkan asupan makanan dan pola hidup bersih
bagi anak sekolah sehingga pertumbuhan berjalan optimal, tercipta status gizi yang baik,
dan mencegah terkena penyakit infeksi.

Kata-kata kunci: anak sekolah, pola konsumsi, tingkat konsumsi, frekuensi sakit infeksi,
status gizi

ABSTRACT
School-age children are an important asset for the life of a nation but they are
also a vulnerable age group to had nutritional problems and affected infectious diseases.
The purpose of this research was to analyze the relationship between consumption
pattern, consumption level and frequency of infection with nutritional status (BMI for
age) of school-age children. This research was an observational and descriptive analytic
study with cross sectional design. The respondents as much as 78 students were selected
by simple random sampling. The test statistic in used are Pearson and Spearman test (α
= 0.05). The results showed that there was a relationship between amount of energy
intake (p = 0.000), amount of protein intake (p = 0.000), amount of fat intake (p =
0.001), amount of carbohydrate intake (p = 0.000), energy consumption level (p =
0.002), protein consumption level (p = 0.000) and fat consumption level (p = 0.005) with
*
corresponding author

1495 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

nutritional status of school-age children. In contrast, there was no relationship between


carbohydrate consumption level (p = 0.325) and frequency of infection (p = 0.243) with
nutritional status of school-age children. The conclusion of this research was
consumption pattern (amount of energy intake, protein, fat, and carbohydrate) and
consumption level energy, protein, and fat associated with the nutritional status (BMI for
age) of school-age children but there was no relationship between carbohydrate
consumption level and frequency of infection with nutritional status (BMI for age) of
school-age children. Increase student’s intake and healthy behaviour are important for
their growth, to create a good nutritional status, and to prevent infectious disease.

Keywords: school-age children, consumption pattern, consumption level, frequency of


infection, nutritional status

PENDAHULUAN berisiko mengalami gizi kurang


Anak sekolah merupakan aset (Soekirman, 2000).
yang sangat penting bagi kehidupan Penelitian ini dilakukan di SDN
sebuah bangsa. Hal ini dikarenakan Geluran III, Taman, Sidoarjo karena
mereka dapat menentukan masa depan angka gizi kurang pada siswa di SDN
dan kualitas bangsa. Namun, anak usia tersebut lebih tinggi dibandingkan angka
sekolah juga merupakan kelompok usia gizi kurang di SDN lain yang ada di
yang rentan mengalami masalah gizi dan Kecamatan Taman yakni sebesar 13,5
terkena penyakit infeksi. Untuk itu perlu %. Angka ini didapat berdasarkan hasil
adanya perhatian yang khusus terhadap penjaringan kesehatan anak sekolah di
anak dalam pertumbuhan dan sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan
perkembangannya agar didapatkan Taman yang dilakukan oleh Puskesmas
kualitas hidup dan tingkat kesehatan Taman, Sidoarjo. Rumusan masalah
yang baik (Depkes RI, 2001). dalam penelitian ini adalah “Apakah ada
Masalah gizi pada anak sekolah hubungan antara pola konsumsi, tingkat
masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari konsumsi, dan frekuensi sakit infeksi
tingginya prevalensi kekurusan dan dengan status gizi anak sekolah
kegemukan pada anak usia sekolah (6- berdasarkan indikator IMT/U”.
12 tahun). Secara nasional, prevalensi Tujuan umum dari penelitian ini
kekurusan pada anak usia 6-12 tahun di adalah untuk menganalisis hubungan
Jawa Timur berdasarkan indikator antara pola konsumsi, tingkat konsumsi
IMT/U adalah 12,8 % sedangkan dan frekuensi sakit infeksi dengan status
prevalensi kegemukan sebesar 12,4 % gizi (IMT/U) anak sekolah. Tujuan
(Kemenkes RI, 2010). khusus dilaksanakannya penelitian
Tingginya masalah gizi ini dapat antara lain untuk mengidentifikasi
disebabkan oleh beberapa faktor namun karakteristik anak sekolah dan keluarga,
faktor yang secara langsung pola konsumsi, tingkat konsumsi,
menyebabkan terjadinya masalah gizi frekuensi sakit infeksi, dan status gizi
tersebut adalah kejadian infeksi yang anak sekolah serta menganalisis
diderita dan pola konsumsi yang tidak hubungan antara pola konsumsi, tingkat
seimbang (Supariasa, 2002). Penyakit konsumsi dan frekuensi sakit infeksi
infeksi akan mempengaruhi jumlah dengan status gizi (IMT/U) anak sekolah
asupan makanan sehingga menentukan dan melihat kuat hubungan antara pola
tingkat konsumsi zat gizi. Semakin konsumsi, tingkat konsumsi dan
sering frekuensi anak sekolah menderita frekuensi sakit infeksi dengan status gizi
penyakit infeksi maka akan semakin (IMT/U) anak sekolah.
menurunkan nafsu makan mereka. Hal
ini dapat mengakibatkan semakin METODE
menurun pula asupan makanan yang Penelitian ini merupakan
diperoleh sehingga mereka dapat penelitian observasional dan deskriptif

1496 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

analitik dengan desain cross sectional. memiliki pendapatan lebih dari Rp.
Penelitian dilakukan di SDN Geluran 1.252.000,00 setiap bulannya (82,05 %).
III, Taman, Sidoarjo. Pengumpulan data Pola konsumsi terdiri dari jenis
dilakukan mulau bulan Februari hingga konsumsi, frekuensi konsumsi, dan
bulan Mei tahun 2012. Populasi dalam jumlah konsumsi. Sebagian besar
penelitian ini adalah semua siswa kelas responden dalam penelitian ini (58,97
V SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo %) mengkonsumsi nasi, lauk, dan sayur
yang berjumlah 136 siswa. Sampel setiap kali makan.
dalam penelitian ini adalah sebagian Makanan pokok yang sering
siswa kelas V SDN Geluran III, Taman, dikonsumsi responden secara harian
Sidoarjo, yang terpilih secara acak dan adalah nasi dengan frekuensi 3x sehari
bersedia menjadi responden serta hadir (76,9 %). Lauk hewani yang sering
pada saat penelitian dilakukan. dikonsumsi responden secara harian
Pengambilan sampel menggunakan adalah telur dengan frekuensi 1x sehari
metode simple random sampling dan (11,5 %). Lauk nabati yang sering
setelah dilakukan perhitungan besar dikonsumsi responden secara harian
sampel maka diperoleh besar sampel adalah tempe dan tahu dengan frekuensi
sejumlah 78 siswa. Data yang telah masing-masing 1x sehari (10,3 %)
diperoleh melalui pengumpulan data namun ada sebagian responden yang
primer selanjutnya diolah menggunakan juga mengkonsumsi tempe dengan
program Nutrisurvey, SPSS dan WHO frekuensi 2x sehari (10,3 %). Sayuran
AnthroPlus. Untuk mengetahui ada atau yang sering dikonsumsi responden
tidaknya hubungan antara pola secara harian adalah kangkung dan
konsumsi, tingkat konsumsi, dan wortel dengan frekuensi masing-masing
frekuensi sakit infeksi dengan status gizi 1x sehari (7,7 %). Buah-buahan yang
(IMT/U) digunakan uji Pearson dan uji sering dikonsumsi responden secara
Spearman. harian adalah apel dengan frekuensi 3x
sehari (6,4 %), tomat dan anggur dengan
HASIL frekuensi masing-masing 1x sehari (6,4
Karakteristik anak sekolah dan %). Susu dan olahannya yang sering
keluarga anak sekolah dapat dilihat pada dikonsumsi responden secara harian
Tabel 1. Sebagian besar anak sekolah adalah susu bubuk dengan frekuensi 1x
yang menjadi responden berumur 11 sehari (30,8 %). Serba aneka yang sering
tahun (71,80 %), berjenis kelamin laki- dikonsumsi responden secara harian
laki (60,26 %), memiliki tinggi badan di adalah teh dan chiki dengan frekuensi 1x
atas rata-rata (51,28 %), dan memiliki sehari dengan persentase masing-masing
berat badan di bawah rata-rata (70,51 30,8 % dan 24,4 %.
%). Rata-rata yang digunakan adalah Jumlah konsumsi merupakan
rata-rata tinggi badan dan berat badan rata-rata jumlah bahan makanan yang
pada usia 10-12 tahun yang tertera dikonsumsi responden selama 2x24 jam
dalam AKG 2004 sedangkan rata-rata dengan menggunakan metode food
tinggi badan dan berat badan responden recall 2x24 hours, kemudian dikonversi
adalah 139+6 cm dan 34+10 kg (laki- dalam bentuk nilai zat gizi dan
laki) ; 143+8 cm dan 34+9 kg dinyatakan dalam kkal untuk energi dan
(perempuan). Sebagian besar ayah dan gram untuk protein, lemak, dan
ibu responden telah menempuh jenjang karbohidrat. Jumlah konsumsi kemudian
pendidikan hingga SMA/SMK/MA ditabulasi silang dengan status gizi
dengan persentase masing-masing 43,60 responden untuk melihat adanya
% dan 51,28 %. Sebagian besar ayah hubungan antara pola konsumsi dengan
responden bekerja sebagai pegawai status gizi (IMT/U). Uji statistik yang
swasta (65,38 %), sebagian besar ibu digunakan untuk melihat hubungan
responden tidak bekerja (67,95 %), dan antara kedua variabel tersebut adalah uji
sebagian besar orang tua responden Pearson. Jumlah konsumsi zat gizi

1497 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

energi, protein, lemak, dan karbohidrat


pada responden di masing-masing status
gizi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Karakteristik Anak Sekolah dan Keluarga Anak Sekolah


di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Karakteristik n % Mean+SD
Umur anak sekolah
10 tahun 17 21,80
-
11 tahun 56 71,80
12 tahun 5 6,40
Jenis kelamin anak sekolah
Laki-laki 47 60,26
-
Perempuan 31 39,74
Tinggi badan anak sekolah
Di bawah rata-rata 37 47,44 Laki-laki = 139+6 cm
Sesuai rata-rata 1 1,28 Perempuan = 143+8 cm
Di atas rata-rata 40 51,28
Berat badan anak sekolah
Di bawah rata-rata 55 70,51 Laki-laki = 34+10 kg
Sesuai rata-rata 1 1,28 Perempuan = 34+9 kg
Di atas rata-rata 22 28,21
Pendidikan ayah
Tamat SD/MI 7 8,97
Tamat SMP/MTs 11 14,10 -
Tamat SMA/SMK/MA 34 43,60
Tamat Akademi/PT 26 33,33
Pendidikan ibu
Tidak tamat sekolah 1 1,28
Tamat SD/MI 12 15,39
-
Tamat SMP/MTs 15 19,23
Tamat SMA/SMK/MA 40 51,28
Tamat Akademi/PT 10 12,82
Pekerjaan ayah
ABRI 3 3,85
PNS 7 8,97
Pedagang 3 3,85
-
Supir 1 1,28
Pengusaha 1 1,28
Wiraswasta 12 15,39
Swasta 51 65,38
Pekerjaan ibu
Tidak bekerja 53 67,95
ABRI 1 1,28
PNS 3 3,85 -
Pedagang 3 3,85
Wiraswasta 2 2,56
Swasta 16 20,51
Pendapatan orang tua
< Rp. 1.252.000,00 14 17,95 -
> Rp. 1.252.000,00 64 82,05

Tabel 2. Jumlah Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan Status Gizi (IMT/U) Responden
di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Konsumsi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas p
Gizi (Mean+SD) (Mean+SD) (Mean+SD) (Mean+SD) (Mean+SD) value
Energi 567,86+207,89 753,33+114,98 1235,15+290,44 1320,80+193,74 1580,81+491,08 0,000
Protein 23,85+7,38 31,29+8,29 46,22+12,55 51,03+20,86 56,71+18,49 0,000
Lemak 26,76+7,08 32,49+13,95 42,71+14,91 39,00+2,95 55,32+16,17 0,001
Karbohidrat 104,55+15,56 132,32+54,66 188,52+50,86 200,23+42,44 216,60+78,43 0,000

1498 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

Jumlah konsumsi energi rata- Jumlah konsumsi karbohidrat


rata pada kelompok responden yang rata-rata pada kelompok responden yang
sangat kurus adalah sebesar sangat kurus adalah sebesar
567,86+207,89 kkal. Kelompok 104,55+15,56 gram, pada kelompok
responden yang kurus, memiliki jumlah responden yang kurus sebesar
konsumsi energi rata-rata sebesar 132,32+54,66 gram, pada kelompok
753,33+114,98 kkal. Kelompok responden yang berstatus gizi normal
responden yang berstatus gizi normal, sebesar 188,52+50,86 gram, pada
memiliki jumlah konsumsi energi rata- kelompok responden gemuk sebesar
rata sebesar 1235,15+290,44 kkal. 200,23+42,44 gram, dan pada kelompok
Kelompok responden yang gemuk, responden obesitas sebesar
memiliki jumlah konsumsi energi rata- 216,60+78,43 gram. Analisis statistik
rata sebesar 1320,80+193,74 kkal. menggunakan uji Pearson,
Kelompok responden yang obesitas, menghasilkan nilai signifikan p = 0,000
memiliki jumlah konsumsi energi rata- (p < 0,05), yang berarti ada hubungan
rata sebesar 1580,81+491,08 kkal. antara jumlah konsumsi karbohidrat
Analisis statistik menggunakan uji dengan status gizi (IMT/U).
Pearson menghasilkan nilai signifikan p Tingkat konsumsi merupakan
= 0,000 (p < 0,05), yang berarti ada perbandingan jumlah konsumsi zat gizi
hubungan antara jumlah konsumsi dengan jumlah yang dianjurkan dalam
energi dengan status gizi (IMT/U). AKG. Tingkat konsumsi energi, protein,
Jumlah konsumsi protein rata- lemak, dan karbohidrat kemudian
rata pada kelompok responden yang ditabulasi silang dengan status gizi
sangat kurus adalah sebesar 23,85+7,38 responden untuk melihat hubungan
gram, pada kelompok responden yang antara tingkat konsumsi dengan status
kurus sebesar 31,29+8,29 gram, pada gizi. Uji yang digunakan untuk melihat
kelompok responden yang berstatus gizi hubungan antara kedua variabel tersebut,
normal sebesar 46,22+12,55 gram, pada adalah uji Spearman. Tingkat konsumsi
kelompok responden yang gemuk responden berdasarkan status gizi dapat
sebesar 51,03+20,86 gram, dan pada dilihat pada Tabel 3.
kelompok responden obesitas sebesar Sebagian besar responden yang
56,71+18,49 gram. Analisis statistik berstatus gizi sangat kurus, kurus,
menggunakan uji Pearson, normal, gemuk, dan obesitas memiliki
menghasilkan nilai signifikan p = 0,000 tingkat konsumsi energi yang defisit
(p < 0,05), yang berarti ada hubungan dengan persentase masing-masing
antara jumlah konsumsi protein dengan sebesar 100 %, 100 %, 73,47 %,
status gizi (IMT/U). 75,00%, dan 44,45 %. Namun, pada
Jumlah konsumsi lemak rata- responden yang obesitas terdapat 22,22
rata pada kelompok responden yang % responden yang memiliki tingkat
sangat kurus adalah sebesar 26,76+7,08 konsumsi energi yang baik. Analisis
gram, pada kelompok responden yang statistik menggunakan uji Spearman,
kurus sebesar 32,49+13,95 gram, pada menghasilkan nilai p = 0,002 (p < 0,05)
kelompok responden yang berstatus gizi yang menunjukkan bahwa terdapat
normal sebesar 42,71+14,91 gram, pada hubungan antara tingkat konsumsi
kelompok responden gemuk sebesar energi dengan status gizi (IMT/U).
39,00+2,95 gram, dan pada kelompok Sebagian besar responden yang
responden yang obesitas sebesar sangat kurus dan kurus sama-sama
55,32+16,17 gram. Analisis statistik memiliki tingkat konsumsi protein yang
menggunakan uji Pearson, defisit dengan persentase masing-masing
menghasilkan nilai signifikan p = 0,001 sebesar 100,00% dan 66,67 %. Sebagian
(p < 0,05), yang berarti ada hubungan besar responden yang berstatus gizi
antara jumlah konsumsi lemak dengan normal (38,77 %) memiliki tingkat
status gizi (IMT/U). konsumsi protein yang sedang. Sebagian

1499 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

besar responden yang gemuk dan memiliki tingkat konsumsi lemak yang
obesitas sama-sama memiliki tingkat lebih. Analisis statistik menggunakan uji
konsumsi protein yang baik dengan Spearman, menghasilkan nilai p = 0,005
persentase masing-masing sebesar 50,00 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa
% dan 55,56 %. Analisis statistik terdapat hubungan antara tingkat
menggunakan uji Spearman, konsumsi lemak dengan status gizi
menghasilkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) (IMT/U).
yang menunjukkan bahwa terdapat Sebagian besar responden yang
hubungan antara tingkat konsumsi berstatus gizi sangat kurus, kurus,
protein dengan status gizi (IMT/U). normal, gemuk, dan obesitas memiliki
Sebagian besar responden yang tingkat konsumsi karbohidrat yang
sangat kurus, kurus, normal, dan gemuk kurang dengan persentase masing-
sama-sama memiliki tingkat konsumsi masing sebesar 100 %, 91,67 %, 87,76
lemak yang kurang dengan persentase %, 100, 00 %, dan 77,78 %. Analisis
masing-masing 100,00 %, 83,33 %, statistik menggunakan uji Spearman,
57,14 %, dan 100,00%. Namun, pada menghasilkan nilai p = 0,325 (p > 0,05)
responden yang berstatus gizi normal, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
terdapat 24,49 % responden yang hubungan antara tingkat konsumsi
memiliki tingkat konsumsi lemak yang karbohidrat dengan status gizi (IMT/U).
baik. Sebagian besar responden yang
berstatus gizi obesitas (44,45 %)

Tabel 3. Tingkat Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan Status Gizi (IMT/U) Responden
di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Sangat
Tingkat Konsumsi Kurus Normal Gemuk Obesitas p
kurus
Zat Gizi value
n % n % n % N % n %
Energi
Baik 0 0,00 0 0,00 1 2,04 0 0,00 2 22,22
Sedang 0 0,00 0 0,00 5 10,20 0 0,00 2 22,22 0,002
Kurang 0 0,00 0 0,00 7 14,29 1 25,00 1 11,11
Defisit 4 100,00 12 100,00 36 73,47 3 75,00 4 44,45
Protein
Baik 0 0,00 0 0,00 14 28,57 2 50,00 5 55,56
Sedang 0 0,00 3 25,00 19 38,77 0 0,00 2 22,22 0,000
Kurang 0 0,00 1 8,33 7 14,29 1 25,00 1 11,11
Defisit 4 100,00 8 66,67 9 18,37 1 25,00 1 11,11
Lemak
Kurang 4 100,00 10 83,33 28 57,14 4 100,00 2 22,22
0,005
Baik 0 0,00 2 16,67 12 24,49 0 0,00 3 33,33
Lebih 0 0,00 0 0,00 9 18,37 0 0,00 4 44,45
Karbohidrat
Kurang 4 100,00 11 91,67 43 87,76 4 100,00 7 77,78
0,325
Baik 0 0,00 1 8,33 4 8,16 0 0,00 0 0,00
Lebih 0 0,00 0 0,00 2 4,08 0 0,00 2 22,22

Frekuensi sakit infeksi melihat hubungan antara kedua variabel


merupakan kekerapan responden tersebut, adalah uji Spearman. Frekuensi
mengalami sakit infeksi dalam sebulan sakit infeksi berdasarkan status gizi
terakhir. Frekuensi sakit infeksi responden dapat dilihat pada Tabel 4.
kemudian ditabulasi silang dengan status Sebagian besar responden yang
gizi responden untuk melihat hubungan berstatus gizi sangat kurus, kurus,
antara frekuensi sakit infeksi dengan normal, dan obesitas sama-sama jarang
status gizi. Uji yang digunakan untuk sakit infeksi dalam sebulan terakhir

1500 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

dengan persentase masing-masing penyakit infeksi dengan status gizi


sebesar 100,00 %, 50,00 %, 44,90 %, (IMT/U), meskipun jumlah responden
dan 55,56 %. Sebagian besar responden yang jarang sakit infeksi lebih banyak
yang gemuk (50,00 %) tidak pernah pada kelompok responden yang
sakit infeksi dalam sebulan terakhir. berstatus gizi normal dibandingkan
Hasil analisis statistik menggunakan uji dengan responden yang kurus maupun
Spearman, diperoleh nilai p = 0,243 (p > yang sangat kurus.
0,05) yang menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara frekuensi

Tabel 4. Frekuensi Sakit Infeksi Berdasarkan Status Gizi (IMT/U) Responden


di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Sangat
Frekuensi Sakit Kurus Normal Gemuk Obesitas p
kurus
Infeksi value
n % n % n % n % n %
Tidak pernah 0 0,00 2 16,67 19 38,77 2 50,00 3 33,33
Jarang 4 100,00 6 50,00 22 44,90 1 25,00 5 55,56 0,243
Sering 0 0,00 4 33,33 8 16,33 1 25,00 1 11,11

Kuat hubungan antara pola kuat dengan status gizi, terutama jumlah
konsumsi, tingkat konsumsi, dan konsumsi energi karena memiliki nilai
frekuensi sakit infeksi dengan status gizi koefisien korelasi yang paling besar (r =
(IMT/U) dapat dilihat pada Tabel 5. Pola 0,619) dibandingkan dengan koefisien
konsumsi yang meliputi jumlah korelasi variabel lainnya.
konsumsi memiliki hubungan yang lebih

Tabel 5. Hasil Analisis Statistik Kuat Hubungan Pola Konsumsi, Tingkat Konsumsi,
dan Frekuensi Sakit Infeksi dengan Status Gizi (IMT/U) Responden
di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Variabel
Variabel Indenpendent R
Dependent
Pola konsumsi :
Jumlah konsumsi energi 0,619
Jumlah konsumsi protein 0,545
Jumlah konsumsi lemak Status gizi 0,374
Jumlah konsumsi karbohidrat (IMT/U) 0,462
Tingkat konsumsi energi -0,351
Tingkat konsumsi protein -0,458
Tingkat konsumsi lemak 0,313

PEMBAHASAN makanan yang mengandung gizi


Sebagian besar responden seimbang (Whandi, 2009).
berumur 11 tahun maka dapat dikatakan Sebagian besar responden
bahwa responden merupakan anak usia berjenis kelamin laki-laki, memiliki
sekolah. Anak sekolah usia 10-12 tahun tinggi badan di atas rata-rata, dan
membutuhkan lebih banyak zat gizi memiliki berat badan di bawah rata-rata.
dibandingkan anak yang berusia Jenis kelamin, tinggi badan, dan berat
dibawahnya karena mereka lebih banyak badan dapat mempengaruhi jumlah
beraktivitas seperti bermain dan konsumsi zat gizi yang dibutuhkan
berolahraga. Selain itu, perkembangan seseorang agar pertumbuhan dapat
dan pertumbuhan anak usia sekolah berjalan secara optimal (Soetjiningsih,
berjalan dengan aktif, meskipun tidak 1995).
secepat bayi, sehingga diperlukan

1501 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

Tabel 1 menunjukkan bahwa menunjang tumbuh kembang anak


sebagian besar pendidikan ayah dan ibu karena orang tua mampu memenuhi
responden adalah tamat kebutuhan bahan makanan anak yang
SMA/SMK/MA. Pendidikan ayah dan sehat dan bergizi baik dari segi kuantitas
ibu merupakan salah satu faktor yang maupun kualitas.
penting dalam tumbuh kembang anak Jenis makanan yang dikonsumsi
serta dalam meningkatkan pengetahuan sebagian besar responden setiap harinya
guna mengatur makanan dan berupa nasi, lauk, dan sayur setiap hari.
mengetahui hubungan antara makanan Secara umum, jenis makanan yang
dan kesehatan (Soetjiningsih, 1995). dikonsumsi responden belum bisa
Pendidikan orangtua responden dikatakan seimbang. Pola konsumsi
tergolong baik. Pendidikan yang baik yang tidak seimbang akan
membuat orang tua mampu menerima mengakibatkan ketidakseimbangan zat-
segala informasi, khususnya mengenai zat gizi yang masuk ke dalam tubuh
tumbuh kembang, kesehatan dan pola sehingga menyebabkan asupan gizi
makan yang seimbang yang baik untuk berlebih atau sebaliknya kekurangan.
kebutuhan anak. Pendidikan orang tua Setiap orang perlu mengkonsumsi
juga dapat mempengaruhi pekerjaan makanan sesuai dengan pola seimbang,
yang dilakukan orang tua. Hal ini dapat salah satunya mengkonsumsi makanan
dilihat berdasarkan jenis pekerjaan yang beraneka ragam (Sulistyoningsih,
orang tua responden. 2011). Jika seseorang mengkonsumsi
Pekerjaan orang tua dapat makanan yang beraneka ragam maka
mempengaruhi kebiasaan makan terpenuhinya kecukupan sumber zat
keluarga. Sebagian besar ayah tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur
responden bekerja sebagai pegawai akan terjamin.
swasta. Sebagian besar ibu responden Makanan pokok yang sering
tidak bekerja atau sebagai ibu rumah dikonsumsi responden secara harian
tangga namun ada ibu responden yang adalah nasi dengan frekuensi 3x sehari.
bekerja sebagai pegawai swasta. Ibu Lauk hewani yang sering dikonsumsi
yang tidak bekerja atau sebagai ibu responden secara harian adalah telur
rumah tangga memiliki peranan yang dengan frekuensi 1x sehari. Lauk
penting dalam pemenuhan gizi keluarga. hewani merupakan sumber protein yang
Ibu dapat mengawasi anak dalam baik dalam jumlah maupun mutu. Hal
pemilihan makanan. Pekerjaan orang tua ini dikarenakan lauk hewani memiliki
akan mempengaruhi jumlah pendapatan nilai biologi protein yang lebih tinggi
keluarga yang nantinya dapat atau mengandung asam amino yang
mempengaruhi status gizi anak lebih komplit dibanding lauk nabati.
(Soetjiningsih, 1995). Lauk nabati yang sering dikonsumsi
Pendapatan yang tinggi responden secara harian adalah tempe
membuat orang tua mampu memenuhi dan tahu dengan frekuensi masing-
kebutuhan hidup yang sehat karena masing 1x. Sebagian besar lauk nabati
dengan adanya pendapatan yang tinggi merupakan protein yang tidak lengkap,
membuat banyaknya pilihan untuk kecuali kacang kedelai (Sulistyoningsih,
mencukupi kebutuhan zat gizi baik dari 2011). Tempe dan tahu merupakan
segi kuantitas maupun kualitas olahan dari kacang kedelai, tempe
(Soetjiningsih, 1995). Sebagian besar mengandung 18,3 gram protein,
keluarga responden memiliki sedangkan tahu mengandung 7,8 gram
pendapatan yang melebihi UMR, yaitu > protein. Sayuran yang sering dikonsumsi
Rp. 1.252.000,00. Pendapatan akan responden secara harian adalah
mempengaruhi daya beli keluarga akan kangkung dan wortel dengan frekuensi
jenis pangan yang akan dibeli yang masing-masing 1x sehari. Sayuran
sesuai dengan kebutuhan keluarga. merupakan sumber vitamin dan mineral
Pendapatan yang mencukupi akan (Sulistyoningsih, 2011). Buah-buahan

1502 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

yang sering dikonsumsi responden konsumsi kurang dari jumlah yang


secara harian adalah apel dengan dianjurkan maka akan terjadi keadaan
frekuensi 3x sehari, tomat dan anggur gizi kurang.
dengan frekuensi masing-masing 1x Energi digunakan untuk
sehari. Buah berwarna kuning banyak pertumbuhan, metabolisme, utilisasi
mengandung provitamin A sedangkan bahan makanan, dan aktivitas.
buah yang terasa kecut pada umumnya Kurangnya asupan energi dalam
kaya vitamin C (Sulistyoningsih, 2011). makanan sehari-hari yang tidak
Susu dan olahannya yang sering memenuhi kebutuhan gizi seseorang
dikonsumsi responden secara harian akan menyebabkan kekurangan gizi.
adalah susu bubuk dengan frekuensi 1x Jika tubuh kekurangan asupan energi
sehari. Susu merupakan sumber kalsium secara terus menerus maka berat badan
yang baik namun sedikit sekali akan menurun dan mudah terkena
mengandung zat besi dan vitamin C penyakit (Depkes RI, 2000). Jika jumlah
(Sulistyoningsih, 2011). Serba aneka asupan energi lebih besar dibandingkan
yang sering dikonsumsi responden jumlah yang dianjurkan maka dapat
secara harian adalah teh dan chiki menyebabkan berat badan berlebihan,
dengan frekuensi 1x sehari. Teh ditambah lagi seseorang jarang
mengandung flouride, asam amino L- berolahraga (Mattes, 2007).
theanine yang dapat memperkuat Protein berfungsi untuk
kekebalan tubuh, antioksidan, quercetin, pertumbuhan, pembuat hormon dan
kaempfrol, dan myricetin yang mampu enzim yang penting bagi metabolisme
mencegah pengapuran pembuluh darah, tubuh dan sumber energi ketika asupan
serta mengandung kafein (Wildans, karbohidrat tidak memenuhi kebutuhan
2009). Chiki merupakan salah satu (Anonim, 2008). Fungsi lain dari protein
contoh jenis jajanan atau makanan adalah pembentukan antibodi.
ringan yang mengandung MSG. Kemampuan tubuh untuk memerangi
Makanan ringan pada umumnya infeksi bergantung pada kemampuannya
memiliki rasa gurih yang membuat anak untuk membentuk antibodi. Menurut
menjadi ketagihan, padahal kandungan Soediaoetama (2008), kekurangan
MSG didalamnya dapat menyebabkan protein dapat menyebabkan anak
radang tenggorokan, gangguan ginjal, terserang infeksi yang dapat
mual, gangguan otak, dan lain-lain meningkatkan morbiditas dan mortalitas
(Anonim, 2010). pada anak. Selain itu, tinggi badan, berat
Pola konsumsi khususnya badan, dan pertumbuhan organ maupun
jumlah konsumsi energi, protein, lemak, jaringan lainnya akan terganggu jika
dan karbohidrat serta tingkat konsumsi asupan protein dalam makanan sehari-
energi, protein, dan lemak berhubungan hari tidak terpenuhi. Hal ini dikarenakan
dengan status gizi responden. Hal ini jumlah protein yang digunakan untuk
dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. pertumbuhan mengalami penurunan
Semakin besar jumlah konsumsi zat gizi akibat kebutuhan energi yang tidak
maka semakin tinggi pula nilai z-score terpenuhi (Sulistyoningsih, 2011).
IMT/U responden. Cadangan lemak dalam tubuh
Keadaan kesehatan gizi terpaksa akan dibakar dan digunakan
seseorang, menurut Soediaoetama sebagai energi jika asupan energi dalam
(2008), bergantung pada tingkat makanan tidak terpenuhi (Moehji,
konsumsi yang ditentukan baik secara 2002). Jika lemak tubuh dibakar maka
kuantitas maupun kualitas makanan. jaringan tubuh akan menyusut dan berat
Kualitas makanan ditunjukkan dengan badan menurun sehingga mengakibatkan
terpenuhinya semua zat gizi yang gizi kurang. Konsumsi lemak yang
diperlukan oleh tubuh. Jika konsumsi berlebihan dapat meningkatkan berat
terlalu berlebihan maka menimbulkan badan dan meningkatkan risiko terkena
keadaan gizi lebih, sebaliknya jika penyakit jantung (Anonim, 2008).

1503 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

Penelitian ini menunjukkan bahwa pada Namun, penelitian ini


kelompok responden yang obesitas, menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat
jumlah konsumsi lemak justru berada hubungan antara frekuensi sakit infeksi
dikisaran jumlah yang dianjurkan. Berat dengan status gizi. Hal ini disebabkan
badan yang berlebih yang dimiliki oleh sebagian besar responden pada semua
responden yang tergolong obesitas, bisa status gizi jarang sakit infeksi dalam
saja dikarenakan faktor genetik sebulan terakhir. Status gizi tidak hanya
meskipun jumlah konsumsi lemaknya dipengaruhi oleh frekuensi infeksi,
sesuai dengan yang dianjurkan. Seperti melainkan juga dipengaruhi oleh pola
yang dinyatakan oleh Dariyo (2004), konsumsi, ketersediaan pangan keluarga,
salah satu penyebab terjadinya obesitas pola asuh dan hygiene sanitasi serta
adalah faktor keturunan. Jika salah satu faktor genetik (Supariasa, 2002;
dari orang tua atau kedua orang tua Soekirman, 2000; Dariyo, 2004). Jadi,
memiliki berat badan yang berlebih, meskipun seseorang jarang sakit infeksi
maka berisiko melahirkan anak yang dalam sebulan terakhir namun jika dia
memiliki berat badan yang berlebih mengkonsumsi zat gizi tertentu dengan
pula. jumlah yang kurang dari jumlah yang
Karbohidrat merupakan sumber dianjurkan, bisa saja dia mengalami gizi
energi utama bagi manusia. Asupan kurang.
karbohidrat yang melebihi kebutuhan
akan menyebabkan berat badan berlebih, KESIMPULAN
sebaliknya, jika asupan karbohidrat Terdapat hubungan antara pola
kurang dari kebutuhan maka berat badan konsumsi (jumlah konsumsi energi,
akan menurun terutama jika disertai protein, lemak, dan karbohidrat), tingkat
dengan defisiensi protein (Mattes, konsumsi energi, protein, dan lemak
2007). Penelitian ini menunjukkan hasil dengan status gizi (IMT/U) anak
bahwa tingkat konsumsi karbohidrat sekolah, namun tidak terdapat hubungan
tidak berhubungan dengan status gizi antara tingkat konsumsi karbohidrat dan
responden. Hal ini dikarenakan sebagian frekuensi sakit dengan status gizi
besar responden dengan status gizi (IMT/U) sekolah. Hubungan pola
sangat kurus, kurus, normal, gemuk, konsumsi dengan status gizi lebih kuat
ataupun obesitas, sama-sama memiliki dibandingkan dengan hubungan tingkat
tingkat konsumsi karbohidrat yang konsumsi dan frekuensi sakit infeksi
kurang. Hal ini tidak sesuai dengan dengan status gizi.
pernyataan Sulistyoningsih (2011) yang
menyatakan bahwa asupan karbohidrat SARAN
yang melebihi kebutuhan akan 1. Penyuluhan kepada anak sekolah
menyebabkan berat badan berlebih. perlu dilakukan mengenai pola
Menurut Suhardjo (2005), makan seimbang terutama mengenai
terdapat hubungan timbal balik antara konsumsi energi, protein, lemak,
infeksi dengan status gizi. Saat terserang dan karbohidrat agar status gizi
infeksi maka status gizi akan menurun menjadi lebih baik serta mengenai
karena terjadi penurunan nafsu makan perilaku hidup bersih dan sehat agar
sehingga kebutuhan zat gizinya tidak anak terbiasa menjaga kebersihan
terpenuhi dan berisiko terkena infeksi. dirinya guna mencegah terjadinya
Respon imun menjadi kurang efektif penyakit infeksi.
ketika seseorang mengalami gizi kurang. 2. Meningkatkan dan
Demam pada anak akan meningkatkan menganekaragamkan konsumsi
pengeluaran energi sekitar 15% untuk bahan makanan pokok dan lauk
setiap kenaikan 1oC di atas suhu 370C hewani yang kaya akan kandungan
(Gibney et all., 2008). Oleh karena itu, karbohidrat, lemak, dan protein agar
penyakit infeksi secara langsung dapat kebutuhan energi terpenuhi.
mempengaruhi status gizi.

1504 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505 
 

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Macronutrients: The Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan
Importance of Carbohydrate, Aplikasinya untuk Keluarga dan
Protein, and Fat. McKinley Masyarakat Jakarta : Direktorat
Health Center. University of Jenderal Dikti Departemen
Illinois at Urbana-Champaign Pendidikan Nasional
Anonim. 2010. Hubungan Jajanan Anak Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang
Usia Sekolah (6-12 Tahun) Anak. Jakarta, Indonesia: Buku
dengan Infeksi Saluran Kedokteran EGC
Pernafasan Atas Di SDN Depok Suhardjo. 2005. Perencanaan Pangan
Jaya 7. Skripsi. Universitas dan Gizi. Jakarta, Indonesia: PT
Pembangunan “Veteran”, Bumi Aksara.
Jakarta Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi
Dariyo, A. 2004. Psikologi untuk Kesehatan Ibu dan Anak.
Perkembangan Remaja. Jakarta, Jakarta : Graha Ilmu
Indonesia : Ghalia Indonesia Supariasa, I Dewa Nyoman. 2002.
Depkes RI. 2000. Pedoman Perbaikan Penilaian Status Gizi. Jakarta :
Gizi di Panti Sosial Asuhan Buku Kedokteran EGC
Anak. Jakarta : Direktorat Whandi. 2009. Karakteristik Anak Usia
Jendral Bina Kesehatan Sekolah Dasar. Diakses dari
Masyarakat Direktorat Gizi http://whandi.net/2009/09/e-
Masyarakat dukasi/karakteristik-anak-usia-
Depkes RI. 2001. Pedoman sekolah-dasar.html 
Penyuluhan Gizi Pada Anak Wildans. 2009. Teh (Kandungan Teh,
Sekolah bagi Petugas Manfaat Teh, Jenis Teh dan
Puskesmas. Jakarta : Karakteristiknya, Kekurangan
Direktorat Jendral Bina Teh, Anjuran Minum Teh).
Diakses dari
Kesehatan Masyarakat http://unkick.wordpress.com/20
Direktorat Gizi Masyarakat 09/09/12/teh-kandungan-teh-
Gibney, Michael J., et all. 2008. Gizi manfaat-teh-jenis-teh-dan-
Kesehatan Masyarakat. Jakarta, karakteristiknya-kekurangan-
Indonesia : ECG teh-anjuran-minum-teh/
Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS)
Nasional 2010.  
http://riskesdas.litbang.depke
s.go.id/download/tabelriskesd
as2010.pdf (sititasi pada 6
Desember 2011).
Mattes, Richard D. 2007. Energy
Balanced and Shape
Management. Canadian Journal
of Dietetic Parctice and
Research. Vol. 68 No. 2
Moehji, Sjahmien. 2002. Ilmu Gizi I.
Jakarta, Indonesia: Bhratara
Karya Aksara
Soediaoetama, A. D. 2008. Ilmu Gizi
jilid I. Jakarta, Indonesia: Dian
Rakyat.

1505 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI PROTEIN, ZAT
BESI, VITAMIN C DAN TABLET BESI DENGAN
ANEMIA PADA IBU HAMIL
1* 2
Dwi Lestari , Bambang Wirjatmadi

1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK

Anemia Gizi Besi (AGB) merupakan salah satu dari empat masalah utama
kekurangan gizi pada masyarakat Indonesia. Kejadian anemia pada Wanita Usia Subur
(WUS), sebagian besar terjadi pada ibu hamil yaitu sebesar 50,9%. Tujuan dari penelitian
ini adalah mengetahui hubungan tingkat konsumsi protein, zat besi, vitamin C dan tablet
besi dengan status anemia pada ibu hamil. Penelitian ini bersifat cross sectional dan
observasional. Analisis dilakukan pada 34 responden ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya di Puskesmas Jagir Surabaya. Variabel bebas penelitian adalah umur,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengeluaran pangan, pola konsumsi, tingkat konsumsi
protein, zat besi, vitamin C, konsumsi tablet besi. Hubungan antara variabel dianalisis
menggunakan uji statistik Chi-square, Fisher Exact Test, Kolmogorov-Smirnov Test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi zat besi dengan status
anemia. Terdapat hubungan antara tingkat konsumsi protein (p = 0,017 ), vitamin C (p =
0,000) dan tablet besi (p = 0,006) dengan status anemia. Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa tingkat konsumsi protein, vitamin C dan konsumsi tablet besi
memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya anemia. Oleh karena itu perlu
adanya upaya peningkatan pengetahuan terutama peningkatan perbaikan pola konsumsi
dan perbaikan tingkat konsumsi protein, vitamin C serta konsumsi tablet besi secara
teratur guna mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil yang dapat berdampak buruk
terhadap kehamilan.

Kata kunci : anemia, ibu hamil, pola konsumsi, tingkat konsumsi, tablet besi

ABSTRACT
Iron Deficiency Anemia (IDA) is one of four main problems of malnutrition for
many Indonesians. Incidence of anemia in productive-aged women, mostly happens in
pregnant women is equal to 50.9%. The purpose of this study was to find out the
relationshipbetween intake of protein, iron, vitamin C and iron tablets with the status of
anemia in the pregnant women. The research was a cross sectional and observational
study. Analysis was done to 34 pregnant women who checked their health at the Jagir
Health Center, Surabaya. The independent variables of the study were age, education,
employment, income, food expenditure, consumption patterns, consumption levels of
protein, iron, vitamin C, iron tablet consumption. The relations between variables were
analyzed using Chi-square statistical test, Fisher Exact Test, or Kolmogorov-Smirnov
Test. The results of study showed that there was no relationship among age, education,
employment, income, food expenditure and the level of iron intake with anemia status.

* corresponding author

1506 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
There was relationship between the level of protein intake (p = 0.017), vitamin C (p =
0.000) and iron tablets (p = 0.006) with anemia status. Based on this result, it can be
concluded that the level of protein intake, vitamin C and iron tablets consumption has a
significant relationship with the occurrence of anemia. Therefore, there is need an effort
to increase knowledge, especially in increasing food consumption patterns and the
improvement of the level of protein intake, vitamin C and consumption of iron tablets
regularly to prevent anemia in pregnant women which can cause a negative impact to the
pregnancy

Keywords: anemia, pregnant women, consumption patterns, consumption levels, iron


tablets.
Konsumsi bahan makanan yang
PENDAHULUAN mengandung vitamin C sangat berperan
Anemia gizi masih menjadi dalam fasilitator absorbsi zat besi
salah satu masalah gizi utama. dengan jalan meningkatkan absorbsi
Gangguan gizi tersebut merupakan zat besi non heme secara signifikan
masalah kesehatan yang menjadi salah (Gibney, 2009).
satu penyebab tingginya angka kematian Walaupun terdapat sumber
ibu dan angka kematian bayi. Anemia makanan nabati yang kaya besi, seperti
gizi masih merupakan masalah gizi daun singkong, kangkung dan sayuran
utama pada anak, ibu hamil dan berwarna hijau lainnya, namun zat besi
wanita pada umumnya. Hal ini dapat dalam makanan tersebut lebih sulit
terlihat dari Survei Kesehatan Rumah penyerapannya. Dibutuhkan porsi yang
Tangga tahun 2001, yang menyatakan besar dari sumber nabati tersebut untuk
bahwa prevalensi anemia pada balita 0-5 mencukupi kebutuhan zat besi dalam
tahun sekitar 47%, anak usia sekolah sehari dan jumlah tersebut tidak
dan remaja sekitar 26,5% dan Wanita mungkin terkonsumsi sehingga dalam
Usia Subur (WUS) sekitar 40%. Selain kondisi itu kebutuhan zat besi tidak
itu anemia pada bumil 50,9% dan buteki terpenuhi dari makanan. Maka pilihan
45,1%. Jenis dan besaran masalah gizi di untuk memberikan tablet besi guna
Indonesia tahun 2001 hingga 2003 mencegah dan menanggulangi anemia
menunjukkan 2 juta ibu hamil menderita menjadi sangat efektif dan efisien
anemia gizi besi (Depkes RI, 2001). (Depkes,1996). Ibu hamil disarankan
Penyebab utama anemia gizi untuk mengkonsumsi tablet besi selama
belum diketahui namun diduga karena 3 bulan yang harus diminum setiap hari.
kurangnya konsumsi zat besi yang Suatu penelitian menunjukan bahwa
terdapat dalam makanan sehari-hari dan wanita hamil yang tidak minum tablet
adanya gangguan penyerapan zat besi besi mengalami penurunan ferritin
oleh tubuh akibat adanya zat (cadangan besi) cukup tajam sejak
penghambat penyerapan zat besi (seperti minggu ke 12 usia kehamilan
tanin, fitat, oksalat) serta kurangnya (Khomsan, 2003).
zat yang dapat meningkatkan Penanggulangan anemia yang
penyerapan zat besi seperti vitamin C telah lama dilaksanakan yaitu dengan
dan kurangnya konsumsi protein (Susilo pemberian tablet besi pada ibu hamil
dan Hadi, 2002). Menurut penelitian baik di Puskesmas maupun di Posyandu.
Nurmiyati (2006), terdapat hubungan Namun belum terlihat hasil yang
yang bermakna antara tingkat konsumsi memuaskan. Salah satu wilayah yang
protein dan zat besi dengan kadar Hb perlu diperhatikan permasalahan
pada ibu hamil dengan tingkat konsumsi kesehatan khususnya anemia adalah
protein dalam kategori tidak cukup Kota Surabaya. Menurut data Dinas
(34,2%) dan tingkat konsumsi zat besi Kesehatan Surabaya pada tahun 2011,
tergolong tidak cukup (42,1%). Selain prevalensi anemia di Kota Surabaya
protein zat gizi lain yang mempengaruhi adalah sebesar 9,23%. Hal ini
penyerapan zat besi adalah vitamin C. menunjukkan prevalensi yang lebih

1507 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
kecil apabila dibandingkan dengan HASIL
prevalensi anemia pada ibu hamil yang Berdasarkan umur sebagian besar
ditargetkan turun pada program responden ibu hamil memiliki umur 20-
Indonesia Sehat 2010 yaitu turun 35 tahun pada kedua kelompok baik
menjadi 20%. Puskesmas Jagir dengan status anemia maupun tidak
merupakan salah satu Puskesmas yang anemia masing-masing dengan
terdapat di Kota Surabaya, dimana persentase 82,4% dan 76,5%. Hasil uji
prevalensi anemia ibu hamil pada statistik menunjukkan bahwa tidak ada
Puskesmas Jagir adalah sebesar 16,33% hubungan (p = 1,000) antara umur ibu
pada tahun 2011 dan 15,57% pada tahun hamil dengan status anemia.
2010. Adapun cakupan tablet tambah Tingkat pendidikan terakhir
darah sebagai program penanggulangan sebagian besar dari ibu dan ayah pada
anemia sampai dengan akhir tahun 2011 kedua kelompok responden anemia dan
tercatat di Puskesmas Jagir terdapat tidak anemia adalah tamat SMA,
cakupan tablet Fe1 dan Fe3 yang belum masing-masing sebesar 64,7% dan
mencapai standar yaitu berturut-turut 70,5%. Hasil uji statistik menunjukkan
sebesar 70,56% dan 61,64% dan bahwa tidak ada hubungan (p = 0,954)
hasilnya menunjukkan masih belum antara pendidikan ibu dengan status
dapat memenuhi target Standar anemia pada ibu hamil dan tidak ada
Pelayanan Minimal (SPM) secara hubungan (p = 1.000) antara pendidikan
nasional yaitu sebesar 80%. Tujuan dari ayah dengan status anemia pada ibu
penlitian ini adalah menganalisis hamil.
hubungan tingkat konsumsi protein, zat Hasil penelitian berdasarkan
besi, vitamin C dan tablet Fe dengan pekerjaan ibu menunjukkan sebagian
anemia pada ibu hamil di wilayah kerja besar responden ibu hamil baik yang
Puskesmas Jagir, Kota Surabaya. berstatus anemia dan tidak anemia
adalah tidak bekerja yaitu sebesar 52,9%
METODE dan 70,6%. Hasil uji statistik
Penelitian ini merupakan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
penelitian observasional dengan desain (p = 0,954) antara pekerjaan ibu dengan
cross sectional. Sampel pada penelitian status anemia pada ibu hamil. Hasil
ini sebesar 34 ibu hamil trimester II dan penelitian menunjukkan bahwa sebagian
III. Teknik pengambilan sampel besar suami responden ibu hamil yang
dilakukan secara simple random berstatus anemia adalah bekerja pada
sampling. Penelitian ini dilaksanakan sektor informal dengan pendapatan tidak
pada bulan Mei- Juni 2012 di Wilayah tetap (41,2%) sedangkan sebagian besar
Kerja Puskesm as Jagir, Kota Surabaya. pekerjaan suami responden ibu hamil
Variabel yang diteliti meliputi yang tidak anemia adalah pegawai
karakteristik responden, tingkat swasta (53%). Hasil uji statistik
konsumsi dan konsumsi tablet besi. menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
Instrumen yang digunakan adalah (p = 0,954) antara pekerjaan ayah
kuesioner karakteristik responden, dengan status anemia pada ibu hamil.
kuesioner food frequency, kuesioner Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian
food recall 24 jam, kuesioner tablet besi. besar pendapatan responden ibu hamil
Data yang diperoleh melalui baik yang berstatus anemia maupun
pengumpulan data primer dan sekunder tidak anemia adalah < UMR (Rp
selanjutnya diolah menggunakan 1.257.000,00) masing-masing sebesar
software SPSS dan Nutri Survey 94,1 % dan 82,4%. Hasil uji statistik
kemudian untuk menganalisis hubungan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
menggunakanuji Chi-square, uji Fisher (p = 0,601) antara pendapatan ibu
Exact dan uji Kolmogorov-Smirnov dengan status anemia pada ibu hamil
dengan menggunakan α = 0,05. sedangkan sebagian besar pendapatan
ayah baik yang berstatus anemia
maupun tidak anemia adalah ≥ UMR

1508 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
(Rp 1.257.000,00) masing-masing 563.600,00 dan Rp 563.600,00 – Rp
sebesar 52,9 % dan 64,7%. Hasil uji 766.599,00 yaitu sebanyak 5 responden
statistik menunjukkan bahwa tidak ada (29,4%) sedangkan sebagian besar
hubungan (p = 0,727) antara pendapatan pengeluaran pangan pada responden ibu
ayah dengan status anemia pada ibu hamil tidak anemia berada pada kategori
hamil. Rp 827.200,00 – Rp 961.599,00 yaitu
Pengeluaran pangan dihitung sebanyak 5 responden (29,4%). Hasil uji
berdasarkan kuintil. Pengeluaran pangan statistik menunjukkan bahwa tidak ada
menunjukkan bahwa sebagian besar hubungan (p = 0,954) antara
pengeluaran pangan pada responden ibu pengeluaran pangan dengan status
hamil anemia berada pada kategori < Rp anemia pada ibu hamil.

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Anemia

Anemia Tidak Anemia


Karakteristik p value
n % n %
Umur
< 20 tahun 0 0 1 5,9 1,000
20 -35 tahun 14 82,4 13 76,5
> 35 tahun 3 17,6 3 17,6

Pendidikan Ibu
Tamat SD 1 5,9 1 5,9 0,954
Tamat SMP 5 29,4 2 11,8
Tamat SMA 11 64,7 12 70,5
Tamat PT 0 0 2 11,8

Pendidikan Ayah
Tamat SD 1 5,9 2 11,8 1,000
Tamat SMP 3 17,6 0 0
Tamat SMA 11 64,7 12 70,6
Tamat PT 2 11,8 3 17,6

Pekerjaan Ibu
Tidak Bekerja 9 52,9 12 70,6 0,954
Sektor informal 5 29,5 1 5,9
Wiraswasta 0 0 0 0
PegawaiSwasta 3 17,6 4 23,5
PNS/TNI/POLRI 0 0 0 0

Pekerjaan Ayah
Tidak Bekerja 0 0 0 0 0,954
Sektor informal 7 41,2 4 23,5
Wiraswasta 4 23,5 4 23,5
PegawaiSwasta 6 35,3 9 53,0
PNS/TNI/POLRI 0 0 0 0

Pendapatan Ibu
< Rp 1.257.000,00 16 94,1 14 82,4 0,601
≥ Rp 1.257.000,00 1 5,9 3 17,6

Pendapatan Ayah
< Rp 1.257.000,00 16 94,1 14 82,4 0,727
≥ Rp 1.257.000,00 1 5,9 3 17,6

Pengeluaran Pangan
< Rp 563.600,00 5 29,4 2 11,8 0,954
Rp 563.600,00–Rp 766.599,00 5 29,4 4 23,5
Rp 766.600,00–Rp 827.199,00 1 5,9 3 17,7
Rp 827.200,00–Rp 961.599,00 2 11,8 5 29,4

1509 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
Jenis makanan merupakan jenis yang dikonsumsi setiap harinya adalah
bahan makanan yang dikonsumsi oleh nasi, lauk, sayur, buah dengan
responden setiap harinya. Hasil presentase sebesar 47,1%. Selain jenis
penelitian menunjukkan bahwa pada makanan, jumlah konsumsi zat gizi
responden ibu hamil kelompok anemia, juga mempengaruhi pola konsumsi.
sebagian besar jenis makanan yang Hasil analisis terhadap jumlah
dikonsumsi setiap harinya adalah nasi, konsumsi zat gizi disajikan pada
lauk, sayur (58,8%) sedangkan pada Tabel 2.
responden ibu hamil kelompok tidak
anemia sebagian besar jenis makanan

Tabel 2. Jumlah Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan Status Anemia

Jumlah Konsumsi
Zat Gizi
Anemi Tidak Anemia
Energi (kkal), mean ± SD 1.477 ± 263,19 1.769± 182 ,24
Protein (gram), mean ± SD 60,69 ± 9,47 73,59± 10,1
Zat Besi (mg), median (min – max) 14,1(7,30-75) 21,3 (10,4 -77,80)
Vitamin C (mg), mean ± SD 59,84 ± 23,30 114,89 ± 37, 59

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden kelompok anemia sebesar


jumlah konsumsi energi rata-rata pada 59,84 mg dan pada kelompok tidak
responden kelompok anemia sebesar anemia sebesar 114,89 mg dengan
1.477 kkal dan pada kelompok tidak standar deviasi pada masing-masing
anemia sebesar 1.769 kkal. Jumlah kelompok 23,30 mg dan 37,59 mg.
konsumsi protein rata-rata pada Berdasarkan frekuensi rata-rata pada
responden kelompok anemia sebesar kedua kelompok hampir sama, nasi
60,69 gram dan pada kelompok tidak menjadi pola makan harian serta sumber
anemia sebesar 73,59 gram. Jumlah zat besi non-heme dimana daya
konsumsi zat besi mempunyai median absorbsinya rendah seperti tempe juga
pada responden kelompok anemia dikonsumsi harian. Yang membedakan
sebesar 14,1 mg dan pada kelompok adalah konsumsi buah sebagai sumber
tidak anemia sebesar 21,3 mg. Jumlah vitamin C lebih tampak pada kelompok
konsumsi vitamin C rata-rata pada tidak anemia.

Tabel 3. Tingkat Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan Status Anemia

Anemia Tidak Anemia


Tingkat Konsumsi Zat Gizi p value
n % N %
Tingkat Konsumsi Protein
Baik 3 17,6 12 70,6
Sedang 11 64,7 5 29,4
Kurang 2 11,8 0 0 0,017
Defisit 1 5,9 0 0

Tingkat Konsumsi Zat Besi


Baik 4 23,5 7 41,2
Sedang 0 0 2 11,8
Kurang 2 11,8 3 17,6 0,454
Defisit 11 64,7 5 29,4

Tingkat Konsumsi Vitamin C


Baik 2 11,8 15 88,2
Sedang 3 17,6 1 5,9
0,000
Kurang 2 11,8 0 0
Defisit 10 58,8 1 5,9

1510 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
Hasil analisis terhadap tingkat antara tingkat konsumsi zat besi dengan
konsumsi zat gizi responden ibu hamil status anemia pada ibu hamil.
disajikan pada Tabel 3. Responden ibu Responden dengan status
hamil dengan status anemia, terbanyak anemia, terbanyak mempunyai tingkat
mempunyai tingkat konsumsi protein konsumsi vitamin C baik yaitu sebesar
sedang yaitu sebesar 64,7% dan 11,8% dan responden dengan tingkat
terendah dengan tingkat konsumsi konsumsi vitamin C defisit yaitu sebesar
defisit, yaitu sebesar 5,9%. Responden 58,8%. Responden yang berstatus tidak
ibu hamil yang berstatus tidak anemia anemia, yang mempunyai tingkat
terbanyak memiliki tingkat konsumsi konsumsi vitamin C baik yaitu sebesar
protein baik, yaitu sebesar 70,6% dan 88,2% dan responden dengan tingkat
terendah dengan tingkat konsumsi konsumsi vitamin C defisit, yaitu
proten sedang yaitu sebesar 29,4%. sebesar 5,9%. Hasil uji statistik
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa ada hubungan (p =
ada hubungan (p = 0,017) antara tingkat 0,000) antara tingkat konsumsi vitamin
konsumsi protein dengan status anemia C dengan status anemia pada ibu hamil.
pada ibu hamil. Hasil analisis terhadap
Responden dengan status konsumsi tablet besi disajikan pada
anemia, terbanyak mempunyai tingkat Tabel 4. Responden dengan status
konsumsi zat besi baik yaitu sebesar anemia, terbanyak mengkonsumsi tablet
23,5% dan responden dengan tingkat besi dengan kategori < 30 tablet Fe,
konsumsi zat besi defisit yaitu sebesar yaitu sebesar 82,4%. Responden yang
64,7%. Responden yang berstatus tidak berstatus tidak anemia, terbanyak
anemia, yang mempunyai tingkat mengkonsumsi tablet besi dengan
konsumsi zat besi baik yaitu sebesar kategori 30-89 tablet Fe, yaitu sebesar
41,2% dan responden dengan tingkat 64,7%. Hasil uji statistik menunjukkan
konsumsi zat besi defisit yaitu sebesar bahwa ada hubungan (p = 0,006) antara
29,4%, Hasil uji statistik menunjukkan jumlah konsumsi tablet besi dengan
bahwa tidak ada hubungan (p = 0,454) status anemia pada ibu hamil.

Tabel 4. Distribusi Konsumsi Tablet Besi

Anemia Tidak Anemia


Jumlah Konsumsi Tablet Besi p value
n % n %
< 30 tablet Fe 14 82,4 4 23,5
30 – 89 tablet Fe 3 17,6 11 64,7 0,006
≥ 90 tablet Fe 0 0 2 11,8

1511 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
PEMBAHASAN pada hakikatnya berfungsi sebagai
Menurut Departemen Kesehatan sarana pemberdayaan individu untuk
RI (2006), seseorang hendaknya hamil meningkatkan pengetahuan dalam
pada usia 20-35 tahun karena pada usia rangka pengembangan potensi diri.
tersebut tubuh wanita telah siap secara Sebagian besar responden ibu
fisik maupun mental untuk hamil hamil merupakan ibu rumah tangga
maupun melahirkan. Khomsan (2003) dimana pendapatan tergantung dari
menyatakan bahwa remaja yang berusia kepala keluarga. Sebagian besar
kurang dari 20 tahun mempunyai pekerjaan ayah pada ibu hamil anemia
kecenderungan melahirkan bayi dengan mempunyai pekerjaan pada sektor
berat badan lahir rendah. Manuaba informal dengan pendapatan tidak tetap.
(2001) mengemukakan bahwa masih Menurut Suhardjo (2003), jenis
banyak dijumpai wanita hamil dengan pekerjaan juga berpengaruh terhadap
usia lebih dari 35 tahun sehingga penghasilan yang kemudian menyangkut
membahayakan keselamatan saat hamil dalam pemilihan sumber pangan.
dan persalinan. Hasil penelitian Semakin tinggi pendidikan seseorang
menunjukkan bahwa tidak ada maka semakin tinggi pula tingkat
hubungan antara umur ibu hamil dengan pekerjaannya dan semakin besar
status anemia pada ibu hamil. Hal ini peluang untuk meraih status ekonomi
dikarenakan pada kelompok umur yang yang baik untuk dapat melakukan
tidak berisiko tinggi terdapat 82,4% pemilihan pangan sumber zat gizi yang
yang mengalami anemia. Kondisi baik pula. Pendapatan yang dimiliki ibu
tersebut juga ditemukan pada penelitian hamil pada kedua kelompok sebagian
yang dilakukan Fairus (2008) di wilayah besar di bawah UMR karena merupakan
kerja Puskesmas Antara Kota Makasar ibu rumah tangga sedangkan pendapatan
yang menyatakan bahwa ibu hamil yang ayah sebgaian besar pada kedua
memiliki umur tidak berisiko, ternyata kelompok di atas UMR. Menurut Berg
masih banyak yang menderita anemia. (1986), walaupun pengeluaran untuk
Keterbatasan penelitian yang tidak makan bertambah tetapi penambahan
melihat faktor paritas dan jarak pendapatan tidak selalu membawa
kelahiran sebagai faktor risiko dapat perbaikan pada susunan makanan.
menjadi salah satu penyebabnya. Terlalu Seseorang lebih banyak membelanjakan
sering malahirkan dapat mengurangi uangnya untuk makanan mungkin akan
cadangan besi begitu juga jika jarak lebih banyak, tapi belum tentu kualitas
anak yang dekat. Responden yang makannya lebih baik.
memiliki umur yang tidak berisiko Dalam penelitian ini, diketahui
mungkin telah mengalami kehamilan tidak ada hubungan antara pengeluaran
sebelumnya yang menyebabkan pangan dengan status anemia ibu hamil.
cadangan besi berkurang. Hal ini dimungkinkan karena
Kedua kelompok respoden ibu terdistribusinya pengeluaran dalam
hamil maupun ayah dengan ibu hamil setiap kategori secara merata.
status anemia maupun tidak anemia, Pengeluaran pangan khususnya secara
sebagian besar memiliki tingkat kuntitatif setiap keluarga relatif hampir
pendidikan tamat SMA, yaitu sebesar sama. Yang membedakan hanya kualitas
64,7% dan 70,6%. Kondisi tersebut bahan makan yang dibeli. Pengeluaran
ditemukan pada penelitian yang pangan, merupakan salah satu indikator
dilakukan (Aisyah dkk, 2010) yang ketahanan pangan (Suharjo,2003).
berpendapat bahwa jenjang pendidikan Menurut Zein (2005), pengeluaran akan
SMA sudah merupakan level menengah meningkat seiring dengan meningkatnya
sehingga pemikiran dan dalam pendapatan rumah tangga. Akan tetapi
mencerna suatu pengalaman baru untuk peningkatan tidak selalu sejalan dengan
menambah pengetahuan lebih mudah kuantitas dan kualitas dari konsumsi
diterima. Pada penelitian juga pangan. Jika kuantitas dan kualitas
menyebutkan bahwa pendidikan formal sudah terpenuhi, maka pendapatan akan

1512 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
dialokasikan untuk kebutuhan lain non sebesar 67 gram per hari. Pada
pangan. kelompok tidak anemia, jumlah
Berdasarkan susunan hidangan konsumsi protein sudah diatas AKG
yang disajikan oleh responden dalam yang dianjurkan. Soekirman (2006)
konsumsi sehari-hari, diketahui bahwa menyebutkan bahwa dalam masa
pada responden tidak anemia, jenis kehamilan, ibu memerlukan tambahan
bahan makanan yang dikonsumsi lebih berbagai zat gizi terutama protein,
beragam. Keragaman kelompok dimana protein digunakan komponen
makanan yang dikonsumsi oleh terbesar dalam pembentukan komponen
seseorang selama periode tertentu sel tubuh ibu dan janin. Selain itu,
terutama pada individu yang memiliki protein juga digunakan dalam
diet yang lebih beragam akan pembentukan plasenta.
menujukkan hasil yang baik pula pada Berdasarkan hasil penelitian, data
kadar hemoglobin, kecukupan protein untuk jumlah konsumsi zat besi adalah
serta status gizi yang baik pula tidak berdistribusi normal sehingga
(Swindale dkk, 2006). menggunakan median, minimum dan
Persamaan frekuensi bahan maksimum. Median jumlah konsumsi
makanan yang dikonsumsi oleh kedua zat besi untuk kelompok responden
kelompok responden merupakan bahan anemia adalah sebesar 14,1 mg dengan
makanan yang mempunyai daya jumlah konsumsi minimum 7,3 mg dan
absorbsi zat besi yang rendah karena maksimum 75 mg. Jumlah konsumsi zat
termasuk dalam golongan non heme- besi untuk kelompok responden tidak
iron, dimana yang membedakan adalah anemia adalah sebesar 21,3 mg dengan
konsumsi sumber vitamin yaitu buah- jumlah konsumsi minimum 10,4 mg dan
buahan lebih dominan pada responden maksimum 77,80 mg. Menurut
tidak anemia. Menurut Daniels dkk Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(2007), kelompok makanan yang lebih (2004) dalam FKM UI (2007), konsumsi
banyak dijadikan sebagai kebiasaan zat besi pada wanita usia 16-49 tahun
konsumsi dari urutan yang paling tinggi AKG yang dianjurkan adalah 26 mg zat
sampai terendah berturut–turut adalah besi per hari. Menurut Soekirman
karbohidrat, pangan hewani dan juga (2006), kebutuhan zat besi selama masa
pangan nabati. kehamilan sangat tinggi, khususnya
Konsumsi energi pada keduan pada trimester dua dan tiga. Zat besi
kelompok sebagian besar kurang dari penting untuk pembentukan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) dimana haemoglobin. Untuk meningkatkan
konsumsi energi yang tidak adekuat massa hemoglobin diperlukan zat besi
akan mempengaruhi status gizi sekitar 500 mg (termasuk simpanan)
seseorang. Hal ini terkait dengan jumlah karena selama kehamilan volume darah
energi yang dikeluarkan untuk kegiatan meningkat sampai 50%.
sehari-hari. Apabila makanan yang Rata-rata konsumsi dari vitamin C
dikonsumsi tersebut menyuplai energi untuk kelompok ibu hamil anemia 59,84
kurang dari yang diperlukan, mg dengan standar deviasi 23,3 mg
kekurangan kalori akan diambil dari sedangkan untuk kelompok ibu hamil
cadangan lemak tubuh. Apabila hal ini tidak anemia adalah 114,89 mg dengan
berlangsung terus menerus, akhirnya standar deviasi 37,59 mg. Hal ini
dapat mempengaruhi status gizi menunjukkan bahwa jumlah konsumsi
individu. Karena ketidakseimbangan rata-rata vitamin C pada kelompok ibu
intake energi yang terlalu lama akan hamil anemia masih kurang mencukupi
menimbulkan beberapa masalah apabila dibandingkan dengan AKG ibu
kesehatan (FKM UI, 2007). hamil usia 19-49 tahun yaitu sebesar 85
Konsumsi protein rata-rata pada mg per hari sedangkan pada kelompok
kelompok ibu hamil anemia masih tidak anemia jumlah konsumsi vitamin
kurang mencukupi apabila dibandingkan C sudah diatas AKG yang dianjurkan.
AKG ibu hamil usia 19-49 tahun yaitu Husaini (1989) menyebutkan bahwa

1513 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
konsumsi bahan makanan sumber anemia memiliki tingkat konsumsi
vitamin C sangat berperan dalam vitamin C defisit yaitu sebesar 58,8%
absorbsi besi dengan jalan sedangkan sebagian responden dengan
meningkatkan absorbsi zat besi non status tidak anemia memiliki tingkat
heme hingga empat kali lipat. Vitamin C konsumsi zat besi baik yaitu sebesar
dan zat besi membentuk senyawa 88,2%. Hasil uji statistik menunjukkan
askorbat besi komplek yang mudah larut bahwa ada hubungan antara tingkat
dan diabsorbsi. konsumsi vitamin C dengan status
Berdasarkan tingkat konsumsi anemia pada ibu hamil. Konsumsi
protein, sebagian besar responden vitamin C pada kelompok anemia
dengan status anemia memiliki tingkat cenderung rendah, hal ini dapat
konsumsi protein sedang yaitu sebesar diketahui bahwa frekuensi makanan
64,7% sedangkan sebagian besar sumber vitamin C terutama buah
responden dengan status tidak anemia dikonsumsi hanya pada mingguan.
memiliki tingkat konsumsi protein baik Konsumsi vitamin C sangat diperlukan
yaitu sebesar 70,6%. Hal ini sesuai dalam peningkatan penyerapan untuk
dengan penelitian Fatimah (2011) yang besi dalam tubuh. Pengetahuan yang
memperlihatkan dalam penelitiannya kurang tentang sumber vitamin C,
asupan protein ibu hamil anemia masih pengaruhnya terhadap penyerapan zat
dibawah AKG ibu hamil yaitu sebesar besi, pola makan yang tidak beragam di
72,26%. Hal ini sesuai dengan penelitian duga menjadi penyebab rendahnya
Misterianingtiyas (2007) yang konsumsi vitamin C pada ibu hamil
menyebutkan dari hasil uji statistik anemia.
Regresi Linier pada tingkat kepercayaan Menurut Lynch dalam Pavord dkk
95% diketahui adanya hubungan tingkat (2011), vitamin C atau yang biasa
konsumsi protein terhadap kejadian disebut asam askorbat secara signifikan
anemia (kadar Hb) diperoleh OR=0,286 meningkatkan penyerapan zat besi non-
yang berarti bahwa setiap penambahan 1 heme dari makanan, hal ini akan berefek
gram protein akan meningkatkan kadar secara baik tergantung dari kuantitas dan
Hb sebesar 28,6% dari kadar Hb awal. kualitas vitamin C dalam makanan.
Berdasarkan tingkat konsumsi Berdasar data konsumsi tablet besi
zat besi, terlihat bahwa sebagian besar diketahui bahwa ada hubungan antara
responden dengan status anemia jumlah konsumsi tablet besi dengan
memiliki tingkat konsumsi zar besi status anemia pada ibu hamil. Hal ini
defisit yaitu sebesar 64,7% sedangkan disebabkan pada responden ibu hamil
sebagian besar responden dengan status tidak anemia, rata-rata sudah
tidak anemia memiliki tingkat konsumsi mengkonsumsi tablet besi 30-89 tablet
zat besi baik yaitu sebesar 41,2%. Hasil Fe sedangkan ibu hamil anemia
statatistik menunjukkan tidak ada mengkonsumsi tablet besi <30 tablet Fe.
hubungan antara konsumsi zat besi Sebagian besar baik ibu hamil anemia
dengan anemia (p = 0,454). Kondisi ini maupun tidak anemi sudah mendapatkan
sesuai dengan hasil penelitian Argana tablet besi 30 - 90 tablet Fe. Akan tetapi
(2004) yang menyebutkan bahwa dalam kenyataan, tidak semua ibu hamil
konsumsi zat besi responden yang mendapat tablet besi
menunjukkan hubungan yang tidak mengkonsumsi tablet tersebut secara
bermakna dengan kadar Hb (p = 0,06). teratur. Ketidakteraturan ini disebabkan
Namun bentuk positif dimana ada oleh rasa dan aroma tablet besi yang
kecenderungan semakin tinggi konsumsi cenderung amis, kondisi fisiologis ibu
besi semakin tinggi kadar Hb (setiap yang tidak dapat menerima aroma tablet
penambahan 1 mg konsumsi besi kadar besi karena merangsang mual, tidak ada
Hb bertambah 0,0365 g/dl). pengawasan kembali pada kunjungan
Berdasarkan data tingkat berikutnya terhadap konsumsi tablet
konsumsi vitamin C, diketahui bahwa besi, dan adanya anggapan tablet
sebagian besar responden dengan status tambah darah dapat meningkatkan

1514 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
tekanan darah. Dalam mengatasi status anemia dan tidak ada
keluhan ibu hamil, petugas kesehatan hubungan (p = 0,454) antara tingkat
menyarankan untuk mengkonsumsi konsumsi zat besi dan status anemia.
tablet besi pada malam hari sebelum Ada hubungan (p = 0,000) antara
tidur untuk mengatasi rasa dan aroma tingkat konsumsi vitamin C dan
amis pada tablet besi. Aikawa dalam status anemia dan ada hubungan (p =
Fatimah (2011) membuktikan bahwa ibu 0,006) antara konsumsi tablet besi
hamil yang memperoleh suplemen zat dan status anemia.
besi (60 mg) dapat menaikkan kadar Hb
secara signifikan diantara ibu yang SARAN
mempunyai usia kehamilan trimester Komunikasi yang efektif
kedua dan trimester ketiga masing- tentang pemberian informasi terkait
masing 0,4 dan 0,7 g/dL (p = 0,0017; p anemia pada ibu hamil oleh petugas
< 0,001). Penelitian lain yang berkaitan kesehatan sangat diperlukan.
dengan kegagalan penanganan anemia Peningkatan pengetahuan tentang
terutama ketidakpatuhan dalam bahaya serta pencegahan dan
mengkonsumsi tablet Fe yaitu penanggulangannya anemia serta perlu
disebabkan oleh berbagai faktor adanya upaya peningkatan pengetahuan
diantaranya adalah pengetahuan, terutama peningkatan perbaikan pola
motivasi dan peran serta keluarga konsumsi makan terutama untuk
(Muliaty, 2007). mencapai tingkat konsumsi zat gizi
(protein, zat besi dan vitamin C) yang
KESIMPULAN normal, guna mencegah terjadinya
1. Tingkat konsumsi protein pada anemia pada ibu hamil trimester dua dan
sebagian besar responden kelompok tiga yang dapat berdampak buruk
anemia adalah kategori sedang terhadap kehamilan. Konsumsi zat gizi
sedangkan pada pada kelompok tidak sebagai fasilitator diharapkan dapat
anemia adalah kategori baik. dikonsumsi secara baik dalam frekuensi
2. Tingkat konsumsi zat besi pada harian untuk pencegahan anemia serta
sebagian besar responden kelompok membantu penyerapan zat besi secara
anemia adalah kategori defisit optimal.
sedangkan pada pada kelompok tidak Perlunya modifikasi tablet besi
anemia adalah kategori baik, sehingga mengurangi keluhan ibu hamil
3. Tingkat konsumsi vitamin C pada akan tablet besi dengan aroma dan rasa
sebagian besar responden kelompok ami serta memberikan informasi tentang
anemia adalah kategori defisit fungsi dan peran tablet besi secara tepat.
sedangkan pada pada kelompok tidak Perlu dilakukan pengecekan kembali
anemia adalah kategori baik. pada saat kunjungan ulang terhadap
4. Sebagian besar responden kelompok tablet besi yang dikonsumsi, dengan
anemia mengkonsumsi < 30 tablet cara memperlihatkan bungkus tablet Fe
Fe, sedangkan sebagian besar sebagai upaya mengurangi
responden kelompok tidak anemia ketidakteraturan mengkonsumsi tablet
mengkonsumsi 30 - 90 tablet Fe. besi.
Ketidakteraturan menyebabkan Perlunya pemeriksaan kadar
rendahnya konsumsi tablet besi Hb dilakukan lebih dari satu kali, hal
diantaanya adalah rasa dan aroma ini untuk mengetahui perkembangan
tablet besi yang cenderung amis, kadar Hb selama masa kehamilan dan
kondisi fisiologis ibu hamil, tidak perlu adanya screening awal sebelum
ada pengawasan konsumsi tablet masa kehamilan pada Wanita Usia
besi, ibu hamil menganggap tablet Subur (WUS) untuk mengetahui
tambah darah dapat meningkatkan kejadian anemia secara dini, sehingga
tekanan darah. penanggulangan dapat lebih dini diatasi.
5. Ada hubungan (p = 0,017) antara
tingkat konsumsi protein dengan

1515 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
DAFTAR PUSTAKA http://journal.umi.ac.id/pdfs/Fak
Aisyah, S. dkk. (2010). Pengaruh tor_Faktor_Yang_Berhubungan
Edukasi Kelompok Sebaya _Dengan_Kejadian_Anemia_Pa
Terhadap Perubahan Perilaku da_Ibu_Hamil_di_Wilayah_Ker
Pencegahan Anemia Gizi Besi ja_Puskesmas_Antara_Kota_Ma
Pada Wanita Usia Subur Di kassar_ Tahun_2005.pdf. (Sitasi
Kota Semarang. 14 Juni 2012)
http://jurnal.unimus.ac.id/index. Fatimah, Veni, Bahar.B,. 2011. Pola
php/FIKkeS/article/view/232/24 Konsumsi dan kadar
1&ei=gwjgT9iTE Hemoglobin Pada Ibu Hamil di
YLnrAeysfWEDQ&usg=AFQj Kabupaten Maros, Sulawesi
CNGDmtQxvl9D6teioT1WnL7 Selatan. Makara Kesehatan,
H6ykHew. Sitasi 16 Juni 2012. Vol.15,No.1, Juni 2011:31-36
Argana, K. D. 2004. Vitamin C Sebagai FKM UI. 2007. Gizi dan Kesehatan
Faktor Dominan Untuk Kadar Masyarakat. Jakarta : PT Raja
Hemoglobin Pada Wanita Usia Grafindo Persada
20–35 Tahun. Gibney,Michael dan M. Bariie. 2009.
http://www.univmed.org/wpcont Pubic Health Nutrition. Jakarta :
ent/uploads/2011/02/Guntur.pdf EGC
(Sitasi 17 Juni 2012) Husaini, M.A. 1989. Study Nutrition
Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Anemia an Assessment of
Pembangunan Nasional. Information Compilation for
Jakarta: PT. Rajawali Supporting and Formulating
Daniels, M.C., L.S.Adair, B.M.Popkin, National Policy and Program.
dan Y.K. Truong. 2007. Dietary Pusat Litbang Gizi Depkes.
Diversity Scores Can Be Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi
Improved Through The Use Of untuk Kesehatan. Jakarta : PT
Portion Requirements: An Raja Grafindo Persada
Analysis In Young Filipino Manuaba, IBG. 2001. Kapita Selecta
Children. European Jurnal of Penatalaksanaan Rutin Obstetri
Clinical Nutrition, 1-10 Ginekologi dan KB. Jakarta :
Depkes RI. 1996. Pedoman Operasional EGC
Penanggulangan Anemia Gizi di Misterianingtiyas, W. 2007. Hubungan
Indonesia. Jakarta : Ditjen Tingkat Konsumsi Energi dan
pembinaan Kesehatan Zat Gizi dengan Kejadian
Masyarakat Anemia pada Ibu Hamil
Depkes RI. 2001. Program Trimester III Di Desa Jatiguwi,
Penanggulangan Anemia Gizi Kecamatan Sumberpucung,
pada Wanita Usia Subur Kabupaten Malang.
(WUS); (Safe Motherhood http:i//lib.ub.ac.id/jurnal/#hl=id
Project : A Patnership and &sclient=psyab&q+hubungan+t
Family Approach). Jakarta: ingkat+konsumsi+dengan+anem
Direktorat Gizi Masyarakat, ia+ibu+hamil+l=hp.3...10109.22
Direktorat Jendral Bina 496.3.23152.47.36.2.0.0.10.102
Kesehatan Masyarakat. 9.10717.1j0j28j5j61j1.36.0...1.0.
Depkes RI. 2006. Glosarium Data dan ..1c.gex3KUCvP04&psj=1&bav
Informasi Kesehatan. Jakarta: =on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb
Pusat Data dan Informasi &fp=63d2b467a9ef5e0&biw=1
Depkes RI 280&bih=637. (Sitasi 14 Juni
Fairus, I. (2008). Faktor – Faktor Yang 2012)
Berhubungan Dengan Kejadian Muliaty,T. 2007. Faktor yang
An emia Pada Ibu Hamil di Berhubungan dengan
Wilayah Kerja Puskesmas Kepatuhan Ibu Hamil dalam
Antara Kota Makassar. Mengkonsumsi Tablet Besi di

1516 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517 
 
RSUD Arifin Nu’mang Rappang
Kabupaten Sidrap. Makasar :
Jurusan Kebidanan Poltekkes
Nurmiyati, I. 2006. Hubungan Tingkat
Konsumsi Protein dan Zat besi
dengan Kadar Hemoglobin
pada Ibu Hamil di Puskesmas
Kandangan Tahun 2005.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.
aspx?tabID=61&src=a&id=123
264. (Sitasi 13 Desember 2011)
Pavord, S. dkk. 2011. UK Guidelines on
The Management of Iron
Deficiency in
Pregnancy.http://www.bcshguid
elines.co.id/documents/UK_Gui
delines_iron_deficiency_
in_pregnancy.pdf. (Sitasi 17 juni
2012)
Soekirman, Susana.H, Giarno. 2006.
Hidup Sehat Gizi Seimbang
dalam Siklus Kehidupan
Manusia. Jakarta: PT Prima
Media
Suhardjo. 2003. Berbagai Cara
Pendidikan Gizi. Jakarta:
Penerbit Buku Aksara
Susilo, J dan Hadi. 2002. Hubungan
Asupan Zat Besi dan
Inhibitornya sebagai Prediktor
Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di
Kabupaten Bantul Propinsi DIY.
http:i//lib.ugm.ac.id/jurnal/detail
.php?dataId=8353. (Sitasi 28
November 2011)
Swindale, Anne dan P.Blinsky. 2006.
Household Dietary Diversity
Score (HDDS) for Measurement
of Household Food Access:
Indicator Guide. Washington,
D.C: Food and Nutrition
Technical Assistance Project
Zein, A. 2005. The Role of Fishermen
and Women on Food Security at
the Traditional Fisherman
Household of West Sumatra,
Indonesia. Padang: Bung Hatta
University Press

1517 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

HUBUNGAN POLA KONSUMSI DAN AKTIVITAS


FISIK DENGAN GIZI LEBIH PADA SISWA
SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Pungky Anggraeni Mustika1, Lailatul Muniroh2
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Prevalensi gizi lebih menjadi masalah di seluruh dunia. Gizi lebih terjadi karena
ketidakseimbangan antara asupan energi dan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan
energi yang disimpan dalam jaringan lemak. Pola konsumsi yang berlebih dan aktivitas
fisik yang kurang menyebabkan gizi lebih pada remaja. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis hubungan pola konsumsi dan aktivitas fisik dengan gizi lebih pada siswa
sekolah menengah atas (SMA) di SMA Negeri 2 Surabaya. Penelitian ini bersifat
observasional analitik dengan desain cross sectional. Kriteria sampel pada penelitian ini
adalah siswa kelas X dan XI yang memiliki status gizi lebih. Terdapat 72 sampel yang
ditentukan dengan teknik simple random sampling. Data dikumpulkan dengan mengukur
tinggi dan berat badan, mencatat pola konsumsi dan aktivitas fisik. Analisis data
menggunakan uji kolerasi Pearson untuk data berskala rasio dan berdistribusi normal dan
uji kolerasi Spearman jika data berdistribusi tidak normal dan berskala data ordinal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jumlah asupan protein memiliki hubungan yang
signifikan terhadap status gizi lebih (p=0,022) sedangkan jumlah asupan lemak
(p=0,060), jumlah asupan karbohidrat (p=0,320), jumlah asupan energi (p=0,082) dan
aktivitas fisik (p=0,376) tidak berhubungan dengan status gizi lebih. Kesimpulan yang
dapat diambil adalah jumlah asupan protein berhubungan dengan status gizi lebih tetapi
jumlah asupan lemak, karbohidrat, energi dan aktivitas fisik tidak berhubungan dengan
status gizi lebih. Remaja diharapkan untuk meningkatkan konsumsi makanan yang
beragam dan seimbang dan berolahraga secara teratur untuk meningkatkan kesehatan.

Kata-kata kunci: pola konsumsi, aktivitas fisik, status gizi lebih

ABSTRACT
Over nutrition prevalency becomes world-wide problem. Over nutrition occurs
because of the imbalance between energy intake and energy expenditure causes exessive
energy which is saved beneath the fat layer. Over consumption pattern and lacking of
physical acivities cause obesity for teenagers. This study analyzed the relationship of
consumption patterns and physical activity with over nutrition at high school students of
SMAN 2 Surabaya. This study was an observational analytic with cross sectional design.
The criteria of the sample in this study were class X and XI which had obesity status.
There were 72 samples determined by simple random sampling technique. Data were
collected by measuring height and weight, noting consumption patterns and physical
activity. The data analysis used Pearson correlation test for the ratio scale data and
normal distribution. It also used Spearman correlation test if the data were not normally
*
corresponding author

1518 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

distributed and ordinal scale. The results showed that the amount of protein intake had a
significant relationship to over nutrition (p = 0.022) while total intake of fat intake (p =
0.060), the amount of carbohydrate intake (p = 0.320), the amount of energy intake (p =
0.082) and physical activity (p = 0.376) were not associated with over nutrition. In
conclusion, the amount of protein intake is associated with over nutrition. But the amount
of fat, carbohydrate, energy intake and physical activity are not associated with over
nutrition. Teenagers are expected to increase and balance the diet consumption and
exercise regularly for health.

Keywords: consumption patterns, physical activity, over nutrition

PENDAHULUAN aktivitas. Kurangnya aktivitas fisik yang


Remaja memiliki kerentanan dilakukan oleh remaja dapat
dalam hal fisik, psikis, sosial dan gizi. menyebabkan gizi lebih. Penelitian
Tiga alasan remaja dikategorikan rentan Hartini (2009) pada siswa SMA
yaitu terjadinya percepatan menunjukkan bahwa sebanyak 65,5%
pertumbuhan dan perkembangan tubuh responden melakukan aktivitas fisik
sehingga memerlukan energi dan zat sedang dan 22,5% melakukan aktivitas
gizi yang lebih banyak, terjadinya ringan. Berdasarkan Riskesdas tahun
perubahan gaya hidup dan keharusan 2007 (Depkes RI, 2007), prevalensi
mengkonsumsi makanan yang nasional penduduk berusia lebih dari 10
mengandung energi dan zat gizi yang tahun yang kurang melakukan aktivitas
dibutuhkan oleh tubuh. Remaja yang fisik sebesar 48,2%. Ketidakseimbangan
makan berlebihan akan mengalami antara asupan dan keluaran energi
obesitas (Arisman,2009). mengakibatkan pertambahan berat
Berdasarkan Riset Kesehatan badan. Masalah kegemukan dan obesitas
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 (Depkes yang muncul pada usia remaja
RI, 2007), prevalensi nasional obesitas cenderung berlanjut hingga dewasa dan
pada penduduk yang berumur 15 tahun lansia (Arisman,2009). Menurut
keatas adalah 10,3%. Di provinsi Jawa Sediaoetama (2008), seseorang yang
Timur, penduduk yang berumur lebih mengalami gizi lebih mempunyai
dari 15 tahun keatas, memiliki tingkat kesehatan yang lebih rendah.
prevalensi obesitas sebesar 9,1%. Penyakit yang sering dijumpai pada
Menurut jenis kelamin, perempuan orang yang mengalami kegemukan
yang mengalami obesitas sebesar adalah penyakit kardiovaskular yang
25,1% sedangkan laki-laki sebesar menyerang jantung dan sistem
15,2%. Berdasarkan Riskesdas pada pembuluh darah, hipertensi, diabetes
tahun 2010 (Depkes RI, 2010), mellitus dan lain-lain.
prevalensi kegemukan pada anak usia Status gizi lebih merupakan
16-18 tahun secara nasional sebesar masalah gizi yang akan terus meningkat
1,4% dan Provinsi Jawa Timur sebesar prevalensinya. Hal ini banyak dialami
1,6%. oleh masyarakat yang berusia remaja.
Keadaan kesehatan dan gizi Gizi lebih dipengaruhi oleh budaya,
tergantung dari tingkat konsumsi. perubahan pola makan yang tinggi
Susunan makanan akan memenuhi lemak, protein dan karbohidrat serta
kebutuhan tubuh apabila dikonsumsi aktivitas fisik yang kurang. Salah satu
dalam keadaan cukup, tetapi jika masalah yang terjadi adalah remaja suka
dikonsumsi melebihi kebutuhan maka mengkonsumsi makanan olahan dan
akan menyebabkan gizi lebih cepat saji. Sebagaian besar makanan
(Sediaoetama,2008). Selain asupan cepat saji terlalu banyak mengandung
makanan, hal lain yang dapat gula, lemak dan zat aditif. Kebiasaan
menyebabkan gizi lebih adalah faktor makan yang diperoleh semasa remaja

1519 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

akan berdampak pada kesehatan Data diperoleh melalui


selanjutnya yaitu dewasa dan lansia pengumpulan data primer dan data
(Arisman,2009). Hasil penelitian yang sekunder. Data primer yang
dilakukan oleh Sanggarsari (2010) dikumpulkan adalah karakteristik
menunjukkan bahwa 40,6% siswa SMP responden, karakteristik orang tua, pola
Santa Clara yang memiliki uang saku konsumsi responden, aktivitas fisik dan
harian sebesar Rp 5.000,00 - Rp pengukuran status gizi responden
8.000,00 mengkonsumsi fast food sedangkan data sekunder meliputi daftar
sebanyak 1-2 kali seminggu. absensi siswa kelas X dan XI dan profil
Berdasarkan studi pendahuluan di sekolah. Data primer diolah
SMA Negeri 2 Surabaya, prevalensi menggunakan software SPSS,
siswa gizi lebih mencapai 18,75%. Nutrisurvey, WHO Anthro dan Physical
Angka ini berada diatas prevalensi Activity Level (PAL). Analisis hubungan
nasional obesitas menurut BMI pada antar variable dilakukan menggunakan
remaja, berdasarkan Riskesdas tahun uji Pearson untuk data berskala rasio
2007, yakni 10,3% (Depkes RI, 2007) dan berdistribusi normal sedangkan
dan menurut IMT berdasarkan umur, untuk data tidak berdistribusi normal
berdasarkan Riskesdas tahun 2010 menggunakan uji Spearman.
sebesar 1,4% (Depkes RI, 2010). Oleh
karena itu, penelitian mengenai HASIL
hubungan antara pola konsumsi dan Hasil penelitian menunjukkan
aktivitas fisik dengan gizi lebih pada bahwa responden laki-laki sebanyak
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) 48,6% dan responden perempuan
perlu dilakukan di SMA Negeri 2 sebanyak 51,4%. Sebagian besar
Surabaya. Tujuan umum dalam responden (54,2%) berumur 16 tahun.
penelitian ini adalah menganalisis Uang saku responden dalam penelitian
hubungan antara pola konsumsi dan ini dibedakan menjadi 3 macam yang
aktivitas fisik dengan gizi lebih pada disesuaikan dengan pemberian orang tua
siswa Sekolah Menengah Atas. Tujuan responden yaitu uang saku perhari, uang
khusus penelitian ini antara lain saku perminggu dan uang saku perbulan.
mempelajari karakteristik responden, Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa
orang tua responden, pola konsumsi, rata-rata uang saku harian responden
tingkat konsumsi, dan aktivitas fisik. sebesar Rp 12.386,36, rata-rata uang
saku mingguan responden sebesar Rp
METODE 78.055,56 dan rata-rata uang saku
Penelitian ini merupakan penelitian bulanan responden sebesar Rp
observasional dengan rancangan 295.000,00. Uang saku responden
penelitian cross sectional. Lokasi kemudian dialokasikan untuk
penelitian berada di SMA Negeri 2 pengeluaran pangan dan non pangan.
Surabaya. Penelitian ini dilakukan pada Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bulan April sampai Mei 2012. Populasi rata-rata uang saku responden untuk
dalam penelitian ini adalah seluruh pangan dalam sehari sebesar Rp
siswa kelas X dan XI yang bersekolah di 7.416,67 sedangkan untuk non pangan
SMA Negeri 2 Surabaya dengan kriteria dalam sehari sebesar Rp 5.676,39. Uang
usia 15-17 tahun dan memiliki status saku minimal responden untuk pangan
gizi lebih (penimbangan berat badan dan dalam sehari sebesar Rp 1.500,00,
tinggi badan secara langsung pada karena responden membawa bekal
semua siswa tersebut pada bulan makanan dari rumah sehingga uang
Februari 2012) yang berjumlah 100 tersebut digunakan untuk membeli air
siswa dari 500 siswa. Pengambilan minum atau snack. Uang saku minimal
sampel menggunakan metode simple untuk non pangan dalam sehari sebesar
random sampling dan diperoleh besar Rp 0,00 karena kebutuhan non pangan
sampel sejumlah 72 siswa. tidak termasuk dalam uang saku

1520 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

resonden. sebagian besar responden overweight


Sebagian besar pendidikan terakhir (76,3%) melakukan aktivitas ringan
orang tua responden adalah tamat dan sebagian besar responden
perguruan tinggi atau institut yaitu obesitas (65,8%) melakukan aktivitas
62,5% untuk ayah dan 50% untuk ibu. ringan. Data mengenai aktivitas fisik
Pendidikan terakhir terendah untuk responden dengan status gizi lebih
orang tua responden adalah tamat SMP diuji menggunakan uji korelasi
(sebesar 1,4%) dan tidak ada orang tua Spearman. Hasil analisis statistik
responden yang pendidikan terakhirnya menunjukkan bahwa tidak ada
tamat SD. Dalam penelitian ini, hubungan antara aktivitas fisik
sebagian besar pekerjaan utama ayah (p=0,376) dengan status gizi lebih
responden adalah pegawai swasta yaitu responden.
sebanyak 44,4% sedangkan sebagian
besar ibu responden tidak bekerja atau
sebagai ibu rumah tangga (41,7%).
Berdasarkan Tabel 1, pendapatan rata-
rata orang tua responden sebesar Rp
5.954.166,67. Pendapatan orang tua
terbesar yaitu Rp 25.000.000,00 dan
pendapatan orang tua minimal sebesar
Rp 700.000,00.
Tingkat konsumsi zat gizi (energi,
lemak,karbohidrat dan protein), terlihat
pada Tabel 1, bahwa sebagian besar
responden memiliki tingkat konsumsi
energi sedang sebesar 47,2% sedangkan
6,9% responden memiliki tingkat energi
kurang. Tingkat konsumsi lemak
sebagian besar responden (95,8%)
termasuk dalam kategori lebih.
Responden dengan tingkat konsumsi
karbohidrat baik adalah sebesar 6,9%
sedangkan dengan tingkat konsumsi
karbohidrat kurang adalah sebesar
73,6%. Sebagian besar responden (79,2)
memiliki tingkat konsumsi protein baik
sebesar 79,2% dan 5,6% responden
memiliki tingkat konsumsi protein
kurang.
Data mengenai jumlah asupan
zat gizi dengan status gizi lebih diuji
menggunakan uji korelasi Pearson
dan uji korelasi Spearman. Dari Tabel
2 diketahui bahwa terdapat ada
hubungan yang signifikan antara
jumlah asupan protein dengan status
gizi lebih (p=0,022) sedangkan
jumlah asupan lemak (p=0,060),
jumlah asupan karbohidrat (p=0,320),
jumlah asupan energi (p=0,082) dan
aktivitas fisik (p=0,376) tidak
berhubungan dengan status gizi lebih.
Tabel 3 menunjukkan bahwa

1521 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

Tabel 1. Karakteristik Responden, Orang Tua Responden


dan Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Karakteristik n % Mean±SD
Jenis Kelamin
Laki-laki 35 48,6 -
Perempuan 37 51,4
Umur responden
15 Tahun 23 31,9 -
16 Tahun 39 54,2
17 Tahun 10 13,9
Uang Saku Responden
Uang saku perhari 44 61,1 12.386,36 ± 3.948,599
Uang saku perminggu 18 25,0 78.055,56 ± 40.225,061
Uang saku perbulan 10 13,9 295.000,00 ± 153.568,66
Pengeluaran Pangan 72 100 7.416,67 ± 3.330,398
Pengeluaran Non Pangan 72 100 5.676,39 ± 4.227,925
Tingkat Pendidikan Ayah
Tamat PT/Institut 45 12,3 -
Tamat Akademi / Diploma 16 24,6
Tamat SMU 29 44,6
Tamat SMP 12 18,5
Tamat SD 0 0
Tingkat Pendidikan Ibu -
Tamat PT/Institut 36 50,0
Tamat Akademi / Diploma 20 27,8
Tamat SMU 15 20,8
Tamat SMP 1 1,4
Tamat SD 0 0
Pekerjaan Ayah -
PNS 16 22,2
Pegawai Swasta 32 44,4
Pedagang /Wiraswasta 19 26,4
TNI/POLRI 4 5,6
Tidak Bekerja 1 1,4
Pekerjaan Ibu -
PNS 19 26,4
Pegawai Swasta 13 18,1
Pedagang /Wiraswasta 10 13,9
TNI/POLRI 0 0
Tidak Bekerja 30 41,7
Pendapatan Orang Tua 72 100,0 5.954.166,67 ± 4.979.718,67
Tingkat Konsumsi Energi -
Baik (> 100 % AKG) 22 30,6
Sedang (80 – 99 % AKG) 34 47,2
Kurang (70 – 79 % AKG) 5 6,9
Defisit (< 70 % AKG) 11 15,3
Tingkat Konsumsi Lemak -
Lebih (> 25 energi total) 69 95,8
Baik (20 – 25 % energi total) 2 2,8
Kurang (< 20 % energi total) 1 1,4
Tingkat Konsumsi Karbohidrat -
Lebih (> 60 energi total) 5 6,9
Baik (50 – 60% energi total) 14 19,4
Kurang (< 50% energi total) 53 73,6
Tingkat Konsumsi Protein -
Baik (> 100 % AKG) 57 79,2
Sedang (80 – 99 % AKG) 11 15,3
Kurang (70 – 79 % AKG) 4 5,6
Defisit (< 70 % AKG) 0 0

1522 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

Tabel 2. Rata-rata Asupan Zat Gizi dan Berhubungan dengan Status Gizi
Responden

Jumlah Zat Gizi Mean ± SD R p value


Energi 2.098,847 ± 341,97 - 0,082
Lemak 101,2 ± 42,3 - 0,060
Protein 74,15 ± 17,1 0,269 0,022
Karbohidrat 236,1 ± 69,8 - 0,320

Tabel 3. Aktivitas Fisik dan Berhubungan dengan Status Gizi Responden

Status Gizi Responden


Overweight Obesitas
Aktivitas Fisik p value
n = 34 n = 38
n % n %
Aktivitas fisik 0,376
Ringan 26 76,5 25 65,8
Sedang 8 23,5 13 34,2
Berat 0 0 0 0

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, diperoleh tersebut digunakan untuk membeli air
jumlah responden laki-laki sebanyak minum atau snack. Uang saku non
48,6% dan responden perempuan pangan yang diberikan orang tua
sebanyak 51,4%. Penelitian Loretta et responden yaitu rata-rata Rp5.676,39,
al. (2009) pada anak Amerika digunakan responden untuk membeli
keturunan Cina di kota New York alat tulis, membeli bensin, dan fotocopy
menunjukkan bahwa anak laki-laki buku. Namun ada juga responden yang
memiliki dua kali kemungkinan kebutuhan non pangannya tidak
kelebihan berat badan atau obesitas termasuk dalam uang saku resonden.
daripada perempuan. Penelitian Penelitian yang dilakukan Indriani dkk.
Manurung (2009) pada siswa SMA di (2009) pada remaja putri di Bogor
Medan menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa remaja SMA yang
persentase kejadian obesitas pada mengkonsumsi jajanan di sekolah adalah
laki-laki lebih besar (11,6%) sebesar 87,9% dan diluar sekolah
daripada perempuan. sebesar 47,7%.
Uang saku pemberian orang tua Sebagian besar pendidikan terakhir
responden untuk membeli makanan orang tua responden adalah tamat
cukup banyak yaitu rata-rata Rp perguruan tinggi atau institute yaitu
7.416,67. Hal ini menyebabkan sebanyak 62,5% untuk ayah dan 50%
responden dapat membeli makananan untuk ibu. Berdasarkan Riskesdas tahun
gorengan lebih dari satu buah, seharga 2010 (Depkes RI, 2010), masalah
Rp 700,00–Rp 1.500,00 yang dijual di kegemukan memiliki keterkaitan dengan
kantin sekolah. Responden juga dapat tingkat pendidikan kepala rumah tangga
membeli satu produk fast food dengan dan keadaan ekonomi rumah tangga.
harga paling murah yaitu Rp5.000,00. Semakin tinggi tingkat pendidikan
Namun ada juga responden yang hanya kepala rumah tangga dan semakin baik
memiliki uang saku minimal untuk keadaan ekonomi rumah tangganya
pangan dalam sehari sebesar Rp maka prevalensi kegemukan akan
1.500,00. Hal ini dikarenakan responden cenderung meningkat. Pendapatan orang
membawa bekal makanan yang sudah tua terbesar karena kedua orang tua
disiapkan dari rumah sehingga uang responden bekerja sebagai pegawai

1523 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

BUMN dan wiraswasta yang bergerak padahal energi diperlukan tubuh untuk
dibidang home industry sedangkan mencukupi kebutuhan kalori dalam
pendapatan minimal didapatkan karena melakukan segala aktivitas baik di
pekerjaan orang tua responden sebagai sekolah maupun di rumah. Tingkat
sopir panggilan. Semakin baik pekerjaan konsumsi lemak yang dikonsumsi
dan semakin tinggi penghasilan orang responden dalam kategori lebih karena
tua, maka orang tua cenderung lebih responden menyukai makanan cepat saji
sering untuk membeli makanan yang dan gorengan yang lemaknya tidak
cepat, enak dan praktis tanpa melihat berasal dari bahan dasar makanan
kandungan gizi makananya (fast food). tersebut melainkan juga minyak yang
Penghasilan orang tua yang tinggi juga digunakan untuk menggorengnya.
akan mempengaruhi jumlah uang saku Menurut Sediaoetama (2008), lemak
yang diberikan kepada siswa sehingga didalam makanan memberikan rasa
dapat membeli makanan yang mereka renyah dan kalori yang tinggi apabila
inginkan seperti gorengan dan fast food makanan tersebut digoreng.
yang dapat dijangkau dengan uang saku Pola konsumsi yang dianalisis
mereka. terdiri dari jumlah konsumsi energi,
Rata-rata asupan energi responden lemak, karbohidrat dan protein. Hasil uji
adalah 2098,8 kkal dan rata-rata asupan pada jumlah konsumsi protein memiliki
lemak sebesar 101,2 gram, asupan hubungan positif lemah terhadap status
protein sebesar 74,1 gram dan asupan gizi lebih responden di SMA Negeri 2
karbohidrat sebesar 236,1 gram. Asupan Surabaya (p=0,022) sedangkan jumlah
lemak dan protein responden cukup asupan asupan lemak (p=0,060), jumlah
tinggi karena sebagian besar responden asupan karbohidrat (p=0,320), jumlah
mempunyai kebiasaan jajan di sekolah asupan energi (p=0,082) tidak
dan responden lebih menyukai berhubungan dengan status gizi lebih
mengkonsumsi daging daripada responden di SMA Negeri 2 Surabaya.
makanan berserat. Asupan karbohidrat Makanan yang tinggi protein juga
responden kurang karena porsi makan mengandung tinggi lemak sehingga
responden lebih banyak lauk pauk dapat menyebabkan obesitas. Protein
(daging dan telur) daripada nasi. dalam jumlah berlebihan dapat dirubah
Sebagian besar responden memiliki menjadi lemak tubuh dan menyebabkan
tingkat konsumsi energi sedang (yaitu kegemukan. Asam amino yang akan
47,2%) . tingkat konsumsi lemak lebih diubah menjadi lemak tubuh harus
sebesar 95,8%, tingkat konsumsi protein mengalami deaminase. Nitrogen dan
baik sebesar 79,2% namun terdapat sisa-sisa ikatan karbon akan berubah
responden dengan tingkat konsumsi menjadi jaringan lemak dan disimpan
karbohidrat kurang sebesar 73,6%. dalam tubuh (Almatsier,2009). Menurut
Penelitian Salamah (2011) pada siswa Sediaoetama (2008), masyarakat yang
SMA yang berstatus gizi obesitas di mempunyai tingkat ekonomi tinggi akan
Surabaya menunjukkan bahwa tingkat menunjukkan pergeseran sumber energi
konsumsi energi kurang sebesar 37,5%, dari karbohidrat ke arah protein dan
tingkat konsumsi lemak lebih sebesar lemak. Menurut penelitian Salamah
93,7% dan tingkat konsumsi karbohidrat (2011) pada siswa SMA di Surabaya,
kurang sebesar 75%. Jumirah dkk. tidak ada hubungan tingkat konsumsi
(2005) yang melakukan penelitian pada energi dan protein responden yang
siswa SMA di Medan menjelaskan berstatus gizi obesitas dan responden
bahwa sebagian besar remaja yang berstatus gizi normal. Hal ini
mengkonsumsi lemak dalam katagori sejalan dengan penelitian Sanggarsari
cukup sebanyak 44,74% tetapi yang (2010) pada siswa SMP di Surabaya
mengkonsumsi lemak melebihi anjuran yaitu tidak ada hubungan tingkat
adalah 36,84%. Sebagian besar tingkat konsumsi energi, protein dan
konsumsi energi dalam kategori sedang karbohidrat dengan status gizi lebih

1524 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

antara responden SMP Santa Maria dan Mujur (2011) pada siswa SMA di
SMP Santa Clara. Semarang, yang mennyebutkan bahwa
Remaja mudah sekali terpengaruh terdapat hubungan yang signifikan
oleh lingkungan sehingga mereka lebih antara aktivitas fisik dan berat badan
memilih makan diluar atau memakan lebih (p<0,00), dimana anak yang
jajanan. Menurut Khomsan (2004), beraktivitas fisik ringan mempunyai
aktivitas yang banyak dilakukan di luar risiko untuk mempunyai berat badan
rumah membuat remaja sering lebih. Menurut Sjostrom et al. dalam
dipengaruhi oleh teman sebayanya Gibney (2009), aktivitas fisik
dalam memilih makanan. Pemiihan merupakan salah satu faktor yang dapat
makanan tidak didasarkan pada meningkatkan kebutuhan energi (energy
kandungan gizi tetapi untuk expenditure) sehingga obesitas akan
bersosialisasi dengan teman-temannya. tinggi dan meningkat apabila aktivitas
Nusa (2011) menjelaskan peran teman yang dilakukan dalam kategori rendah.
sebaya dalam memberikan dukungan Berbagai keterbatasan yang terdapat
terhadap keputusan responden untuk dalam penelitian ini antara lain:
mengkonsumsi fast food sebanyak 1. Penelitian ini menggunakan
52,9%. desain cross sectional yang
Sebagian besar responden artinya data yang dikumpulkan
melakukan aktivitas dalam kategori pada suatu waktu tertentu atau
ringan sebesar 70,8% dan tidak ada hanya sekilas untuk mengetahui
responden yang melakukan aktivitas masalah yang terjadi padahal
berat. Hal ini berbeda dengan penelitian masalah gizi lebih terjadi pada
dari Hartini (2009) pada remaja SMP di waktu anak-anak sampai dewasa
Yogjakarta yang menunjukkan bahwa sehingga sulit untuk mengetahui
sebesar 65,6% responden memiliki pola hubungan yang terjadi.
aktivitas fisik sedang. Hasil uji statistik 2. Pengumpulan data primer
aktivitas fisik diperoleh nilai p = 0,376 menggunakan kuesioner berupa
dengan α = 0,05. Hal ini menunjukkan food record dan activity record.
bahwa tidak ada hubungan antara Kuisioner ini diberikan kepada
aktivitas fisik dengan status gizi lebih responden dan dibawa pulang
responden di SMA Negeri 2 Surabaya. sehingga data sangat bergantung
Aktivitas fisik ringan yang paling sering dan terbatas pada kejujuran
dilakukan responden adalah duduk, responden dalam mengisi
main game, menonton televise dan kuisioner dan memperkirakan
belajar sedangkan aktivitas sedang porsi makanannya walaupun
meliputi kegiatan jalan-jalan, Responden sebelumnya sudah dilakukan
melakukan kegiatan menonton televise briefing pada responden dalam
dan bermain game di komputer selama ≥ pengisian food record dan
1,5 jam pada hari sekolah dan ≥ 3 jam activity record.
pada hari libur.
Hal ini sejalan dengan penelitian
Manurung (2009) yang dilakukan pada KESIMPULAN
siswa SMA yaitu tidak ada pengaruh 1. Sebagian besar pendidikan
aktivitas fisik terhadap kejadian orang tua responden adalah
obesitas. Tarigan (2007) menyebutkan tamat perguruan tinggi atau
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan institut, sebagian besar
antara ketidakpuasan citra tubuh dengan pekerjaan orang tua responden
aktivitas ringan, aktivitas sedang, dan adalah pegawai swasta untuk
aktivitas tidur sehingga remaja yang ayah dan ibu tidak bekerja dan
tidak puas terhadap tubuhnya tidak rata-rata penghasilan orang tua
membuat remaja meningkatkan responden sebesar Rp
aktivitasnya. Berbeda dengan penelitian

1525 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

5.954.166,67.
2. Sebagian besar responden DAFTAR PUSTAKA
berumur 16 tahun, berjenis Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu
kelamin perempuan dan rata- Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
rata uang saku harian responden Utama
sebesar Rp 12.386,36, rata-rata Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur
uang saku mingguan responden Kehidupan. Jakarta : Buku
sebesar Rp 78.055,56 dan rata- Kedokteran ECG
rata uang saku bulanan Depkes. R.I., 2007. Laporan Riset
responden sebesar Rp Kesehatan Dasar Propinsi
295.000,00. Jawa Timur. Jakarta.
3. Jumlah asupan energi dan Depkes. R.I., 2010. Riset Kesehatan
karbohidrat responden kurang
tetapi jumlah asupan lemak dan
Dasar (RISKESDAS). Jakarta
Hartini, Titin. 2009. Hubungan Aktivitas
protein responden cukup tinggi
Fisik Dengan Usia Menarkhe
4. Sebagian besar tingkat
Pada Siswi SMP 6 Yogyakarta.
konsumsi protein dan lemak
(Skripsi, Universitas Gadjah
responden terkategori baik dan
Mada, Yogyakarta, Indonesia).
lebih.
Diakses dari http://
5. Sebagian besar tingkat aktivitas
images.titinhartini.multiply.mult
fisik responden termasuk dalam
iplycontent.com/
kategori ringan.
Indriani, Yaktiworo., Mellova Amir,
6. Jumlah asupan protein memiliki Iskandar Mirza. (2009).
hubungan yang signifikan
Kebiasaan Makan yang
terhadap status gizi lebih
Berhubungan Dengan
sedangkan jumlah asupan
Kesehatan Reproduksi Remaja
lemak, jumlah asupan
Putri Di Kabupaten Bogor.
karbohidrat, jumlah asupan
Jurnal Gizi dan Pangan, 4(3):
energi dan aktivitas fisik tidak
132 – 139. Diakses dari
berhubungan dengan status gizi
http://journal.ipb.ac.id/index.ph
lebih.
p/jgizipangan/article/view/4534
Jumirah, Lubis1,Z, Firdaus, M., 2005.
SARAN Kecukupan dan Status Gizi
Pihak sekolah dapat Siswa SMU Dharma Pancasila
mengadakan penyuluhan pada remaja Medan Serta Kaitannya Dengan
mengenai status gizi dengan materi Indeks Prestasi. INFO
tentang dampak gizi lebih bagi KESEHATAN
kesehatan dan pola makan yang banyak MASYARAKAT, 9(2): 91-96.
mengandung protein dapat Diakses dari
mengakibatkan gizi lebih serta http://repository.usu.ac.id/handl
memperbanyak makan makanan yang e/123456789/18862
bergizi, beragam, seimbang dan aman Kementerian Kesehatan Republik
(B2SA). Diharapkan dilakukan Indonesia. 2007. Riset
pemantauan status gizi melalui Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
pengukuran berat badan dan tinggi Nasional 2007. Diakses dari
badan secara rutin terutama pada http://
waktu tahun ajaran baru untuk www.ppid.depkes.go.id/index.p
mennagtasi tingginya prevalensi hp?option=com
statusgizi lebih pada siswa. Lebih lanjut, Kementerian Kesehatan Republik
perlu dilakukan analisis lebih lanjut Indonesia. 2010. Riset kesehatan
mengenai factor genetik dan stress yang dasar tahun 2010. Diakses dari
dapat menyebabkan gizi lebih. http://www.riskesdas.litbang.de

1526 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527 

pkes.go.id/.../TabelRiskesdas20 Faktor Lingkungan, Kebiasaan


10.pdf Konsumsi Fast Food dan
Khomsan, A. 2004. Pangan dan Gizi Aktivitas Fisik dengan Kejadian
untuk Kesehatan. Jakarta: PT Obesitas Pada Anak Sekolah
Rajagrafindo Persada Menengah Pertama (SMP) di
Loretta., Kwong,K., Jolene C, Chou , Surabaya. (Skripsi tidak
Tso, A, Wong, M. 2009. dipublikasi). Universitas
Prevalence of Overweight and Airlangga
Obesity in Chinese American Sediaoetama, A. 2008. Ilmu Gizi Untuk
Children in New York City. J Mahasiswa dan Profesi Jilid I.
Immigrant Minority Health Jakarta: PT Dian Rakyat
(2009) 11:337–341. doi: Sjostrom, Michael., Ekelund,Ulf.,
10.1007/s.10903-0009-9226-y Yngve, Agneta.(2009).
Mujur, Andriardus. 2011. Hubungan Pengkajian Aktivitas Fisik.
Antara Pola Makan Dan Dalam M. J. Gibney, B. M.
Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Margetts, J. M. Kearney, & L.
Berat Badan Lebih Pada Arab (Eds.), Gizi Kesehatan
Remaja (Studi Kasus di Sekolah Masyarakat. Jakarta, Indonesia:
Menengah Atas 4 Semarang). EGC
(Skripsi, Universitas Tarigan, Novriani., (2007). Hubungan
Diponegoro, Semarang, Citra Tubuh dengan Status
Indonesia). Diakses dari http :// Obesitas, Aktivitas Fisik dan
eprints.undip.ac.id/32809/1/Adri Asupan Ebergi Remaja SLTP di
ardus.pdf Kota Yogjakarta dan Kabupaten
Manurung, Nelly Katharina. 2009. Bantul. Jurnal Ilmiah PANMED
Pengaruh Karakteristik Remaja, volume 2 : 1-8. Diakses dari
Genetik, Pendapatan Keluarga, http://
Pendidikan Ibu, Pola Makan isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
dan Aktivitas Fisik Terhadap 210718.pdf
Kejadian Obesitas Di SMU RK
TRI SAKTI Medan 2008. (Tesis,
Universitas Sumatera Utara,
Medan, Indonesia). Diakses dari
http://
repository.usu.ac.id/bitstream/1
23456789/6708/1/09E02213.pdf
Nusa, Adisti Fitriyana Andar. 2011.
Hubungan Faktor Perilaku,
Frekuensi Konsumsi Fast Food,
Diet dan Genetik dengan
Tingkat Kelebihan Berat Badan
(studi di SMA Negeri 5
Surabaya). (Skripsi tidak
dipublikasi). Universitas
Airlangga
Salamah, Umi. 2011. Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian
Obesitas Pada Remaja Sekolah
Menengah Atas di Kawasan
Surabaya Pusat. (Skripsi tidak
dipublikasi). Universitas
Airlangga
Sanggarsari, Putih. 2010. Hubungan

1527 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI
KARBOHIDRAT, LEMAK, DAN DIETARY FIBER
DENGAN KADAR GULA DARAH PADA
PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2
1* 2
Fauzi Dharma Putra , Trias Mahmudiono

1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang disebabkan oleh
gangguan insulin dalam tubuh, obesitas dan gangguan metabolisme zat gizi makro seperti
karbohidrat, protein dan lemak. Perubahan gaya hidup termasuk perubahan pola konsumsi
seperti tinggi karbohidrat dan lemak serta kurangnya konsumsi serat pangan dapat
menyebabkan seseorang terkena risiko DM. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara tingkat konsumsi dietary fiber (serat pangan) dengan kadar
gula darah pada penderita DM. Penelitian dilakukan dengan rancangan cross sectional
dengan pendekatan kuantitatif. Populasi penelitian adalah pasien DM tipe 2 di Instalasi
Rawat Jalan Poli Diabetes Mellitus di RSUD dr. Soetomo. Sebanyak 35 sampel dipilih
dengan metode simple random sampling. Penelitian menggunakan food recall 2x24 hours
dan semi quantitative food frequency untuk menilai tingkat konsumsi dietary fiber dan
mendapatkan gambaran mengenai pola konsumsi sampel penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi dietary fiber sebagian besar responden masih
kurang dari anjuran yaitu 25-30 gram/hari. Sebagian besar responden memiliki kadar gula
darah tinggi (>110 mg/dL). Rata-rata umur responden yaitu lebih dari 65 tahun baik
responden laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan uji korelasi Pearson (p>0.05)
diketahui bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat, lemak dan
dietary fiber terhadap kadar gula darah puasa baik berdasarkan hasil semi quantitative
food frequency dan food recall. Saran yang dapat diberikan untuk penderita DM tipe 2
adalah melakukan pengaturan pola makan tinggi dietary fiber untuk mempertahankan
kadar gula darah normal dan mencegah komplikasi dari DM.

Kata-kata kunci : Tingkat konsumsi dietary fiber, karbohidrat, lemak, kadar gula darah,
diabetes mellitus

* corresponding author.

1528 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is a degenerative disease caused by insulin disorder,
obesity, and chronic abnormality assigned by metabolism disorder of macro nutrient such
as carbohydrate, protein, and fat. The changes of food consumptions such as high
consumption of carbohydrate and fat also less of dietary fiber consumption could increase
the risk of suffering DM. Hence, the observation is established to find out the correlation
between the intake levels of dietary fiber to blood glucose of DM sufferer. This research
was a cross sectional study with quantitative approach. The populations were Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) patients who were taken care in out patients
service RSUD dr. Soetomo Surabaya. There was 35 subjects that selected by simple
random sampling. This research used Recall 2x24 hours food recall and Semi
Quantitative Food Frequency method to assess the intake level of dietary fiber and to get
more detailed information about pattern of consumption. The result show that dietary
fiber intake of most NIDDM patients are less than the fiber requirement 25-30 gram/day,
blood glucose level fasting patients are higher than 110 mg/dL. Both male and female
patients are about >65 years old. There is no correlation of carbohydrate, fat, and
dietary fiber intake to blood glucose of DM patients (pearson p value > 0.05) both of the
result semi quantitative food frequency and food recall. Suggestion for DM type 2 patients
is consuming a high dietary fiber foods for diet to reach the normal blood glucose level
and to prevent the complication of DM.

Keywords: Dietary fiber intake, carbohydrate intake, fat intake, blood glucose, Diabetes
Mellitus

PENDAHULUAN jiwa. Menurut hasil Riset Kesehatan


Diabetes mellitus (DM) adalah Daerah (Riskesdas) Tahun 2007 (Depkes
keadaan hiperglikemi kronik disertai RI, 2007), prevalensi nasional diabetes
berbagai kelainan metabolik akibat mellitus adalah 5,7%. Sebanyak 17
gangguan hormonal yang menimbulkan provinsi di Indonesia mempunyai
berbagai komplikasi kronik pada mata, prevalensi penyakit diabetes mellitus
ginjal, saraf, dan pembuluh darah diatas prevalensi nasional.
disertai lesi pada membran basalis dalam Pengaturan pola makan
pemeriksaan dengan makroskopik dirancang berdasar jumlah kalori yang
(Mansjoer, 2001). Diabetes mellitus dibutuhkan serta kandungan karbohidrat
adalah sekelompok kelainan heterogen dalam makanan yang tersedia. Penelitian
yang ditandai oleh kenaikan kadar yang berkaitan dengan konsumsi serat
glukosa darah atau hiperglikemia yang ditunjukkan dengan menggunakan
(Brunner dan Studdart, 2000). semi quantitative food frequency
Diabetes mellitus tipe 2 questionnaire dengan responden laki-
menempati lebih dari 90% kasus di laki penderita DM tipe 2 didapatkan
negara maju serta di negara sedang hasil bahwa Glicemic index (GI)
berkembang. Hampir seluruh diabetes berhubungan dengan konsumsi
tergolong sebagai penyandang DM tipe 2 karbohidrat dan asupan serat sereal.
dan 40% diantaranya terbukti berasal Glicemix index rendah disebabkan oleh
dari kelompok masyarakat yang terlanjur tingginya konsumsi serat dalam sereal.
mengubah gaya hidup tradisional Glicemic index yang rendah
menjadi modern (Harris dan Zimmet, berhubungan dengan penurunan risiko
1992). Jumlah penderita DM di penyakit DM tipe 2. Menurut penelitian
Indonesia mengalami peningkatan dari pada pasien DM tipe 2 di RSUD dr.
tahun ke tahun. Pada tahun 2000 jumlah Soeselo, Slawi diketahui bahwa ada
penderita 8.400.000 jiwa, pada tahun hubungan yang signifikan antara variabel
2003 jumlah penderita meningkat tingkat konsumsi serat dengan kadar
sebanyak 13.797.470 jiwa dan gula darah (Rizky, 2009).
diperkirakan tahun 2030 jumlah Pentingnya asupan serat (dalam
penderita dapat mencapai 21.300.000 jumlah yang cukup) bagi kesehatan telah
1529 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
ditunjukkan melalui efek fisiologis dari tingkat konsumsi dalam gram kemudian
masing-masing jenis serat dengan dikategorikan berdasarkan angka
memperlambat absorpsi karbohidrat kecukupan harian. Pola konsumsi
dapat membantu penderita DM tipe 2 responden didapatkan dengan bantuan
dalam mengatur kadar gula darahnya semi quantitative food frequency
(Herminingsih, 2011). Hasil penelitian questionnaire. Kadar gula darah
Prabowo (2004) menunjukkan bahwa responden didapat dengan melihat hasil
konsumsi serat masih kurang dari angka pemeriksaan terakhir yang dilakukan
yang dianjurkan (≥25 gram per hari), oleh responden. Analisis hubungan
dengan rata-rata konsumsi serat 13,22 tingkat konsumsi karbohidrat, lemak dan
gram per hari. dietary fiber dengan kadar gula darah
Berdasarkan survey puasa dilakukan menggunakan uji
pendahuluan bulan November tahun statistik Pearson. Dikatakan
2011 di Instalasi Rawat Jalan (IRJ) berhubungan jika signifikansi (p) < α.
RSUD dr. Soetomo Surabaya, tercatat Untuk pola konsumsi karbohidrat, lemak
bahwa DM tipe 2 menempati posisi dan dietary fiber dihubungkan dengan
nomor satu dari 10 besar penyakit dalam kadar gula darah puasa menggunakan uji
di IRJ bagian penyakit dalam, dimana korelasi Spearman dan dikatakan
jumlah pasien bulan November tahun berhubungan jika signifikansi (p) < α.
2011 sebesar 2763 orang dengan rata- Jika berhubungan, dapat dilihat seberapa
rata kunjungan per bulan yaitu 1240 besar hubungan antar variabelnya.
pasien.
Berdasarkan permasalahan HASIL
yang telah diuraikan di atas, maka dapat 1. Karakteristik Responden
dikemukakan bahwa perumusan masalah Karakteristik responden
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dalam penelitian ini meliputi usia, jenis
hubungan antara tingkat konsumsi kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,
karbohidrat, lemak terhadap kadar gula tingkat pendapatan, pengeluaran pangan
darah pada penderita DM tipe 2?”. serta kebiasaan makan responden
Tujuan dalam penelitian ini adalah terlihat pada Tabel 1.
menganalisis hubungan antara tingkat
konsumsi karbohidrat, lemak dan dietary
fiber terhadap kadar gula darah penderita
DM tipe 2.

METODE
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian analitik dengan desain cross
sectional. Populasi penelitian adalah
penderita DM tipe 2 di Instalasi Rawat
Jalan Poli DM RSUD dr. Soetomo
dengan registrasi baru bulan Oktober
tahun 2011-Januari 2012, berjumlah 53
orang. Metode penentuan sampel
menggunakan simple random sampling
sehingga didapatkan 35 sampel
penderita DM tipe 2. Karakteristik
responden dan kebiasaan makan
responden didapatkan menggunakan
general information form. Untuk
mendapatkan tingkat konsumsi
karbohidrat, lemak dan dietary fiber,
digunakan metode food recall 2x24hours
dan semi quantitative food frequency.
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan
1530 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
Tabel 1. Karakteristik Responden

Kategori N %
Usia
30-49tahun 5 14,29
50-64tahun 14 40
>65tahun 16 45,71

Jenis Kelamin
Laki-laki 12 34,28
Perempuan 23 65,71
Pendidikan
Rendah (SD-SMP) 18 51,4
Menengah (SMA) 7 20
Tinggi (D3-S2) 10 28,6

Pekerjaan
PNS 1 2,9
Swasta 4 11,4
Wiraswasta 5 14,3
Pengangguran/Ibu Rumah
Tangga
22 62,9
Guru/Dosen 3 8,6

Pendapatan
Rendah (>1jt) 21 60
Sedang(1-2jt) 9 25,7
Tinggi (>2jt) 5 14,3

Frekuensi Makan
1kali 3 8.57
2kali 5 14.29
3kali 14 40
Lebih dari 3kali 1 2.86

Pengaturan Makan
Melakukan Diet 24 68,57
Tidak Melakukan 11 31,43
 
Berdasarkan tabel diatas, pendidikan sekolah dasar sampai
diketahui bahwa mayoritas responden dengan lulusan perguruan tinggi.
berjenis kelamin perempuan. Untuk Berdasarkan tabel diatas, diketahui
distribusi usia, sebagian besar bahwa sebagian besar responden
responden berada pada usia 65 tahun memiliki tingkat pendidikan rendah
keatas (45,71%). Distribusi usia 50-64 atau lulus sekolah dasar dan sekolah
tahun sebesar 40%. Dari data distribusi menengah pertama yaitu sebesar 51,4%.
responden menurut jenis kelamin Responden yang berpendidikan
diketahui bahwa responden perempuan menengah atau lulus sekolah menengah
(65,78%) lebih banyak dibandingkan atas sebesar 20 % dan tingkat
responden laki-laki (34,28%). Tingkat pendidikan tinggi atau lulusan D3, S1,
pendidikan responden dalam penelitian serta S2 sebesar 28,6%.
ini bervariasi, mulai dari lulus Tingkat pekerjaan responden
1531 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
yang didapat dari hasil kuesioner dalam Frekuensi makan yang
penelitian ini menunjukkan bahwa dimaksud dalam hal ini adalah frekuensi
sebagian besar responden tidak bekerja atau tingkat keseringan untuk konsumsi
dan untuk pekerjaan responden lainnya makanan utama seperti makan pagi,
yaitu bekerja dalam bidang swasta, makan siang dan makan malam pada
wiraswasta dan guru/dosen. Pada responden. Berdasarkan tabel diatas,
penelitian ini, sebagian besar responden distribusi frekuensi makan pada sebagian
tidak bekerja yaitu 20 responden dari besar responden adalah makan sebanyak
total 35 responden sedangkan responden 3 kali (40%). Diketahui pula bahwa
yang bekerja berjumlah 15 dari 35 sebagian besar responden DM tidak ada
responden. Tingkat pendapatan minimal pembatasan frekuensi makanan.
responden yaitu Rp.0,00 karena tidak Responden masih makan sebanyak 3 kali
bekerja dan pendapatan maksimal seperti halnya frekuensi makan orang
responden yaitu Rp. 4.600.000,00 pada umumnya. Berdasarkan data primer
dengan rata-rata atau mean pendapatan yang didapat dari responden, sebanyak
sebesar Rp. 972.285,71 dan standar 24 responden (68,6%) melakukan
deviasi sebesar Rp. 1.183.638,671. pengaturan pola makan atau diet untuk
Pendapatan yang didapat dari hasil mengkontrol kadar gula darah.
kuesioner dapat diklasifikasikan menjadi Pengaturan pola makan yang dilakukan
3 kategori dengan interval yang didapat oleh responden yaitu dengan
dari pendapatan minimal dan maksimal. pengurangan porsi makan baik
Berdasarkan tabel diatas maka dapat pengurangan porsi nasi maupun merubah
diketahui bahwa sebagian besar konsumsi lauk dan pauk. Pengaturan
responden dalam penelitian ini makan lainnya yang dilakukan oleh
berpendapatan rendah dengan persentase responden yaitu dengan mengikuti
60%, baik responden tersebut tidak petunjuk diet dari ahli gizi RSUD dr.
bekerja maupun bekerja dengan Soetomo.
pendapatan rendah.

2. Kadar Gula Darah Responden


Tabel 2. Distribusi Kadar Gula Darah Responden

Laki-Laki Perempuan Total


Kadar Gula Darah
n % N % n %
Normal (70-110 mg/dL) 1 8,3 5 21,73 9 17,15
Tinggi (>110 mg/dL) 11 91,67 18 78,26 26 82,85
Total 12 100 23 100 35 100

Dalam penelitian ini, kadar kadar gula darah yang tinggi


gula yang diteliti adalah kadar gula (>110mg/dL), baik responden laki-laki
darah puasa responden DM tipe 2. maupun perempuan (82,85%). Rata-rata
Kadar gula darah puasa responden kadar gula darah responden yaitu 204,20
didapatkan dengan melihat hasil mg/dL sedangkan kadar gula darah
pemeriksaan terakhir yang dilakukan normal dalam keadaan puasa berkisar
oleh responden. antara 70-110 mg/dL.
Berdasarkan hasil penelitian,
sebagian besar responden memiliki

1532 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
3. Jumlah Asupan Berdasarkan grafik scatterplot dapat
a. Hubungan Jumlah Asupan diketahui bahwa tidak ada hubungan
Karbohidrat, Lemak dan antara tingkat konsumsi dietary fiber
Dietary Fiber dari hasil Recall dan Semi Quantitative
600
FFQ dengan kadar gula darah puasa.
500 Signifikansi (p) 0,607 dan 0,554 dengan
400
alfa (α) 0,05 (Gambar 2).
Kadar 300
b. Hubungan Jumlah Asupan
Gula 200
Karbohidrat, Lemak dan Dietary
Darah 100 Fiber.
Puasa 0
300

0 100 200 300


Tingkat

Tingkat konsumsi karbohidrat FFQ 200

Konsumsi
Gambar 1. Scatterplot Hubungan Jumlah
Asupan Karbohidrat FFQ Dengan 100

Kadar Gula Darah Puasa 


KH FFQ 0
600 -10 0 10 20 30 40

500
Tingkat Konsumsi Dietary Fiber FFQ
400

Kadar 300
Gambar 3. Scatterplot Hubungan Jumlah
Asupan Karbohidrat FFQ
Gula 200 Dengan Tingkat Konsumsi
Darah 100
Dietary Fiber FFQ.
Puasa 0
-10 0 10 20 30 40

Ti
Tingkat Konsumsi Dietary Fiber FFQ ng
100
ka
t
Gambar 2. Scatterplot Hubungan Jumlah ko
ns
Asupan Dietary Fiber Recall u
Dengan Kadar Gula Darah ms
i
Puasa Le
m
ak 0

Berdasarkan hasil uji korelasi -10 0 10 20 30 40

Pearson dari variabel tingkat konsumsi  


Tingkat Konsumsi Dietary Fiber FFQ
karbohidrat baik yang didapatkan dari Gambar 4. Scatterplot Hubungan Jumlah
hasil Semi Quantitative Food Frequency Asupan Lemak FFQ Dengan
dan Food Recall dengan kadar gula Tingkat Konsumsi Dietary
darah puasa responden DM tipe 2 Fiber FFQ.
didapatkan signifikansi 0,409 dan 0,226
dengan alfa (α) 5% . Hal ini tidak Hasil korelasi Pearson antara
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat konsumsi dietary fiber dengan
jumlah asupan karbohidrat dengan kadar karbohidrat yang didapatkan dari hasil
gula darah puasa responden DM tipe 2 Semi Quantitative Food Frequency
(Gambar 1). Hasil korelasi Pearson dengan tingkat kemaknaan atau alfa (α)
antara jumlah asupan lemak dari hasil 0,05 mendapatkan signifikasi (p) =
Recall dengan kadar gula darah, dengan 0,000, menunjukkan bahwa ada
tingkat kemaknaan (α) 5%, didapatkan hubungan antara jumlah asupan dietary
signifikansi 0,721. Hal ini menunjukkan fiber dengan karbohidrat (Gambar 3).
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat Hasil uji korelasi antara jumlah asupan
konsumsi lemak dengan kadar gula dietary fiber dengan mak dengan tingkat
darah puasa pada responden DM tipe 2. kemaknaan (α) 5% didapatkan
signifikansi (p) = 0,007 menunjukkan
1533 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
bahwa ada hubungan antara jumlah
asupan dietary fiber dengan lemak
(Gambar 4).
 
4. Pola Konsumsi Responden  
a. Pola Konsumsi Karbohidrat
Bahan makanan sumber responden dari 35 total responden
karbohidrat yang diteliti adalah bahan (75,86%) yang mengkonsumsi nasi
makanan didapatkan dari hasil sorting pada frekuensi 15-21 kali seminggu
food dari hasil Semi Quantitative FFQ memiliki kadar gula darah puasa yang
pada program Nutrisurvey yaitu nasi tinggi ( > 110mg/dL).
dikarenakan semua responden Berdasarkan analisis data
mengkonsumsi nasi sebagai makanan menggunakan uji korelasi Spearman
utama sumber karbohidrat. dengan tingkat kemaknaan (α) 0,05
Berdasarkan Tabel 3, didapatkan tingkat signifikansi (p)
diketahui bahwa sebagian besar sebesar 0,778 sehingga tidak ada
responden memiliki frekuensi konsumsi hubungan antara frekuensi
nasi 15-21 kali dalam seminggu dengan mengkonsumsi nasi dalam seminggu
persentase 68,57%. Sebanyak 22 dengan kadar gula darah puasa.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Makan Nasi Dalam Mingguan


Menurut Kadar Gula Darah Puasa

Kadar Gula Darah Puasa


Frekuensi Makan Nasi
Normal (70-110 mg/dL) Tinggi (>110mg/dL) Total
(Mingguan)
n % N % n %
7-14 kali 3 50 7 24,14 10 28,57
15-21 kali 2 33,33 22 75,86 24 68,57
> 21 kali 1 16,67 0 0 1 2,86
 

b. Pola Konsumsi Lemak Dan Dietary


Fiber
Bahan makanan sumber lemak Dietary fiber tidak dapat diserap
yang diteliti adalah bahan makanan oleh dinding usus halus dan tidak dapat
didapatkan dari hasil sorting food dari masuk ke dalam sirkulasi darah. Dietary
hasil Semi Quantitative FFQ pada fiber akan dilewatkan ke dalam usus
program Nutrisurvey yaitu tempe, tahu besar (kolon) dengan peristaltik usus.
dan telur ayam. Dietary fiber tergolong Serat dalam usus besar berpengaruh
zat non gizi yang berguna untuk diet. positif terhadap proses didalam saluran
pencernaan dan metabolisme zat gizi
asalkan jumlahnya tidak berlebihan.
(Sulistijani,2001).

1534 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
hasil penelitian, sebagian responden
600

500 yang menderita DM tipe 2 adalah


400
kelompok umur lebih dari 65 tahun
keatas yaitu sebesar 45,71%. Hal ini
Kadar
dikarenakan semakin bertambah usia,
300

Gula 200 kemampuan jaringan mengambil


Darah 100 glukosa darah semakin berkurang.
Puasa 0
Penyakit ini banyak terdapat pada orang
-10 0 10 20 30
dengan kelompok umur lebih dari 40
Frekuensi Makan Telur Dalam Seminggu tahun dibanding dengan kelompok umur
dewasa muda (Budiyanto, 2002).
Gambar 5. Scatterplot Hubungan Pola Berdasarkan hasil penelitian
Konsumsi Telur Ayam Dalam terhadap karakteristik responden DM
Mingguan Dengan Kadar Gula
Darah Puasa.  tipe 2 diketahui bahwa responden
600 perempuan lebih banyak dibanding laki-
laki. Secara umum baik laki-laki
maupun perempuan tidak ada perbedaan
500

400
dalam penentuan jenis kelamin yang
Kadar 300 rentan terkena DM tipe 2. Penelitian
Gula 200
Pratiwi (2007) menunjukkan bahwa
Darah
prevalensi kejadian DM tipe 2 untuk
jenis kelamin laki-laki dan perempuan
100

PUasa 0
-.2 0.0 .2 .4 .6 .8 1.0 1.2 hampir sama dalam proporsi penderita
laki-laki dan perempuan, hanya berbeda
Konsumsi Mangga Dalam Musiman/Tahunan pada umur 70-80 tahun.
Tingkat pendidikan adalah
Gambar 6. Scatterplot Hubungan Pola pendidikan formal yang ditempuh oleh
Konsumsi Mangga Dalam
Tahunan/Musiman Dengan
responden. Meskipun tingkat
Kadar Gula Darah Puasa pengetahuan gizi tidak diukur dalam
penelitian ini tetapi hasil penelitian
Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa responden yang
dengan menggunakan uji korelasi memiliki pendidikan tinggi atau lulusan
Spearman dengan tingkat kemaknaan D3 sampai dengan S2 masih ada yang
(α) 0,05 didapatkan hasil bahwa tidak memiliki kadar gula darah puasa yang
ada hubungan antara pola konsumsi tinggi. Kadar gula darah puasa yang
bahan makanan lemak dengan kadar tinggi dapat disebabkan karena
gula darah puasa responden DM tipe 2 responden kurang memahami pola
(Gambar 5). Berdasarkan analisis data makan penderita DM. Hal ini dapat
dengan menggunakan uji korelasi mencerminkan bahwa meski tingkat
Spearman dengan tingkat kemaknaan pendidikan yang dimiliki tinggi, tingkat
(α) 0,05 didapatkan tingkat signifikansi pengetahuan gizi responden masih
(p) sebesar 0,031 sehingga ada kurang. Tingkat pendidikan berbanding
hubungan antara konsumsi mangga lurus dengan pekerjaan responden.
dengan kadar gula darah puasa Sebagian responden berada pada tingkat
responden DM tipe 2 (Gambar 6). pendidikan rendah sehingga sebanyak
  22 responden dari 35 total responden
PEMBAHASAN tidak bekerja (62,9%). Tingkat
1. Karakteristik Responden pekerjaan berhubungan dengan
Usia merupakan faktor yang pendapatan responden. Berdasarkan
berpengaruh terhadap DM tipe 2. Pada hasil penelitian, sebagian besar
umumnya, gejala pada penderita DM responden atau 21 dari 35 total
tipe 2 dapat muncul pada anak-anak dan responden berada pada tingkat
orang dewasa muda namun pada orang pendapatan rendah yaitu kurang dari
dewasa tua (> 40 tahun), gejala dapat satu juta rupiah (60%).
muncul tanpa disadari. Berdasarkan 2. Kadar Gula Darah Responden
1535 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
Berdasarkan hasil penelitian, ada hubungan antara jumlah asupan
sebagian besar responden memiliki lemak dengan kadar gula darah. Hal ini
kadar gula darah yang tinggi berbeda dengan hasil penelitian Harding
(>110mg/dL), baik responden laki-laki (2001) yang menyatakan bahwa terdapat
maupun perempuan (82,85%). Rata-rata hubungan antara jumlah dan jenis
kadar gula darah responden yaitu 204,20 asupan lemak dengan kadar HbA1c.
mg/dL sedangkan kadar gula darah Pemeriksaan Hemoglobin terglikasi
normal dalam keadaan puasa berkisar (HbA1c) merupakan salah satu
antara 70-110 mg/dL. Kadar gula darah pemeriksaan yang memberikan
puasa yang tinggi pada responden gambaran rata-rata gula darah selama
dipengaruhi berbagai faktor salah periode waktu enam sampai dua belas
satunya adalah faktor asupan gizi pada minggu. Ketika kadar gula darah tinggi,
penderita DM yang tidak terkontrol gula darah akan berikatan dengan
sehingga kadar gula darah tetap tinggi. hemoglobin. Oleh karena itu, bila kadar
gula darah tinggi maka kadar HbA1c
3. Jumlah Asupan juga tinggi. HbA1c mencerminkan rata-
Karbohidrat memegang peranan rata kadar gula darah dalam jangka
penting dalam alam karena merupakan waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.
sumber energi utama. Semua jenis Faktor-faktor yang menyebabkan
karbohidrat berasal dari tumbuh- tingkat konsumsi lemak yang berlebih
tumbuhan. Produk yang dihasilkan pada sebagian besar responden adalah
terutama dalam bentuk gula sederhana responden memiliki frekuensi makan
yang mudah larut dalam air dan mudah sumber lemak yang cukup sering dalam
diangkut ke seluruh sel-sel guna seminggu. Disamping itu, jenis
penyediaan energi (Almatsier, 2004). makanan yang digoreng akan
Kelebihan kalori yang masuk ke tubuh menyebabkan peningkatan konsumsi
yang berasal dari karbohidrat akan lemak harian penderita DM.
diubah menjadi glukosa dalam darah. Peningkatan kadar lemak merupakan
Glukosa memerlukan insulin untuk faktor risiko aterosklerosis (Harding,
sampai kedalam sel-sel jaringan 2001).
sehingga glukosa dalam darah Hasil penelitian menunjukkan
meningkat jika konsumsi karbohidrat bahwa semua responden konsumsi
dalam kategori tinggi (>60%). dietary fiber dalam kategori kurang dari
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson anjuran yaitu 30 gram per hari, baik dari
dari variabel tingkat konsumsi hasil Semi Quantitative FFQ dengan
karbohidrat baik yang didapatkan dari Food Recall. Berdasarkan hasil
hasil Semi Quantitative Food Frequency penelitian didapatkan signifikansi (p)
dan Food Recall dengan kadar gula sebesar 0,554 yang menunjukkan bahwa
darah puasa responden DM tipe 2, tidak ada hubungan antara jumlah
didapatkan signifikansi 0,409 dan 0,226 asupan dietary fiber dengan kadar gula
dengan alfa (α) 5 % . Hal ini tidak darah puasa responden DM. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan antara disebabkan tingkat konsumsi dietary
jumlah asupan karbohidrat dengan kadar fiber responden dalam penelitian masuk
gula darah puasa responden Diabetes dalam kategori kurang sehingga tidak
Mellitus tipe 2. Hal ini disebabkan dapat dilihat hubungannya dengan kadar
sebagian besar responden memiliki gula darah puasa.
jumlah asupan karbohidrat dalam jumlah Jumlah asupan karbohidrat dan
yang lebih dan kenaikan kadar gula lemak berhubungan dengan jumlah
darah tidak ditunjukkan dengan asupan dietary fiber. Dalam hal ini
peningkatan konsumsi karbohidrat yang adalah responden mengkonsumsi bahan
dikonsumsi harian. pangan sumber dietary fiber dalam
Berdasarkan hasil uji korelasi jumlah sedikit tetapi mengkonsumsi
Pearson antara jumlah asupan lemak bahan pangan sumber karbohidrat dan
dengan kadar gula darah didapatkan lemak dalam jumlah banyak sehingga
tingkat signifikansi 0,721 sehingga tidak secara tidak langsung tingkat konsumsi
1536 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
dietary fiber menjadi meningkat bahan pangan yang termasuk dietary
meskipun masih dalam kategori kurang fiber yang dikonsumsi adalah mangga.
dari anjuran yaitu 30 gram per hari. Menurut uji korelasi Spearman tentang
hubungan konsumsi mangga dengan
4. Pola Konsumsi kadar gula darah, didapatkan signifikasi
Karbohidrat merupakan rantai (p) yaitu 0,0031 berarti ada hubungan
gula yang panjang. Oleh karena itu, antara konsumsi mangga dengan kadar
penderita DM tipe 2 perlu melakukan gula darah responden DM tipe 2.
pengendalian jumlah karbohidrat yang Semakin tinggi frekuensi konsumsi
dikonsumsi. Pengurangan konsumsi mangga semakin tinggi peningkatan
karbohidrat dalam jumlah besar kadar gula darah penderita DM tipe 2.
dimaksudkan untuk mengendalikan Sebagian besar energi mangga
kadar gula darah dan tingkat hormon berasal dari karbohidrat berupa gula.
insulin (Smith, 2005). Semua responden Kandungan gula dalam mangga
DM tipe 2 mengkonsumsi nasi sebagai didominasi oleh sukrosa dengan GI yang
sumber karbohidrat utama sedangkan berkisar 7-12%, namun pada jenis
sumber karbohidrat lainnya adalah mangga manis, kandungan sukrosa dapat
kentang dan singkong. Responden mencapai 16-18%. Kandungan sukrosa
mengkonsumsi nasi sebagai sumber yang tinggi dalam mangga dapat
karbohidrat utama dengan frekuensi 3 menyebabkan kenaikan kadar gula darah
kali dalam sehari dengan persentase penderita DM tipe 2. Pada buah lain
sebesar 71,4%. Melalu uji korelasi seperti pepaya, kandungan gula
Spearman dengan alfa (α) 5 %, didominasi oleh gula buah atau fruktosa
didapatkan signifikansi sebesar 0,778. yang dapat dicerna oleh tubuh dan aman
Artinya tidak ada hubungan antara bagi penderita DM (Sutomo, 2011).
konsumsi nasi dengan kadar gula darah
puasa responden. Hal ini mungkin KESIMPULAN
dikarenakan responden tidak membatasi 1. Tidak ada hubungan antara jumlah
frekuensi makan harian meskipun asupan karbohidrat, lemak dan
membatasi porsi nasi dalam sekali dietary fiber dengan kadar gula darah
makan. puasa responden DM tipe 2 (p>0.05),
Lemak merupakan salah satu baik dari hasil Semi Quantitative
unsur yang terdapat dalam makanan. FFQ dan Food Recall.
Lemak tidak dapat larut dalam plasma 2. Terdapat hubungan antara jumlah
darah kecuali bila berikatan dengan asupan karbohidrat dan lemak
protein tertentu. Tubuh sangat dengan dietary fiber (p<0.05).
membutuhkan lemak terutama untuk 3. Terdapat hubungan antara pola
proses produksi berbagai hormon dan konsumsi mangga dalam
pemeliharaan jaringan saraf dalam tahunan/musiman menunjukkan
tubuh. Kadar lemak yang berlebihan hubungan dengan kadar gula darah
akan memberikan efek samping yaitu puasa (p<0.05).
merusak pembuluh koroner (Baraas,
1996). Hasil korelasi masing masing SARAN
variabel sumber lemak yang dikonsumsi 1. Perlu adanya penyuluhan maupun
responden dengan kadar gula darah konseling gizi kepada penderita
puasa dengan tingkat kemaknaan (α) DM untuk meningkatkan
0,05 menunjukkan tidak ada hubungan pengetahuan gizi tentang
antara konsumsi tahu, tempe, dan telur pengaturan pola makan yang tepat
ayam dalam seminggu dengan kadar untuk mempertahankan kadar gula
gula darah puasa responden DM tipe 2. darah.
Hal ini dikarenakan frekuensi konsumsi 2. Meningkatkan kesadaran
bahan pangan sumber lemak yang penderita DM untuk mengikuti
rendah sehingga tidak dapat dilihat anjuran diet yang diberikan oleh
korelasi dengan kadar gula darah puasa. rumah sakit.
Pada penelitian ini, salah satu 3. Meningkatkan pola konsumsi
1537 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 
bahan makanan sumber dietary
fiber seperti whole grain, oatmeal,
roti gandum dan lain-lain yang
diharapkan dapat menurunkan
kadar gula darah secara bertahap.
4. Membatasi konsumsi buah
mangga meskipun dalam musiman
karena konsumsi mangga dalam
jumlah sedikit berhubungan
dengan peningkatan kadar gula
darah.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu dengan Konsumsi Serat pada
Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Penderita DM di Poli Penyakit
Pustaka Utama. Baraas, F. 1996. Dalam RSUD Dr.Moewardi
Mencegah Serangan Jantung Surakarta. Karya Tulis Ilmiah
dengan Menekan Kolesterol. D3 Gizi. Surakarta
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Pratiwi, A.D, 2007. Epidemiologi
Utama, Jakarta. Program Penanggulangan
Brunner dan Suddart, 1996. Buku Ajar Diabetes Mellitus dan Isu
Keperawatan Medikal Bedah Mutakhir Diabetes Mellitus.
(Textbook of Medical-Surgical Skripsi. Makassar: Universitas
Nursing). Jakarta: EGC. Hassanudin
Budiyanto, 2002.Gizi dan Kesehatan. Rizky, Dita Novalinda Nindya.,2009.
Malang: Bayu Media. Hubungan Pola Makan Sumber
Dinkes RI,. 2007. Riset Kesehatan Energi dan Tingkat Konsumsi
Daerah tahun 2007. Jakarta Serat dengan Kadar Gula
(Sitasi tanggal 20 Oktober 2011) Darah Pada Penderita Diabetes
Harris, M.I. and Zimmet, P. 1992. Mellitus tipe 2. Skripsi.
Classification of Diabetes Yogyakarta: Universitas
Mellitus and Other Categories Gajahmada
of Glucose Intolerance. Oxford: Sulistijani, DA. 2001. Sehat dengan
John Wiley and Son. Menu Berserat. Jakarta :
Herminingsih A. 2009. Manfaat Serat Trubus Agriwijaya Sutomo, B.
dalam Menu Makanan. 2011. 1001 Manfaat Buah
http://puslit.mercubuana.ac.id. Pepaya.
(sitasi tanggal 27 November http://sahabatnestle.co.id//page/
2011). arsip/artikel/1001-manfaat-
Mansjoer, A, 2001.Kapita Selekta buah-pepaya (sitasi 13 Mei
Kedokteran, Jilid 1, Ed.3. 2012 19:36)
Jakarta: Media Aesculapius
FKUI
Prabowo, S., 2004. Hubungan Antara
Pengetahuan tentang Serat

1538 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

HUBUNGAN HEMOGLOBIN, LEMAK TUBUH DAN


VO2maks DENGAN PERFORMA LARI 5 KM
Wilda Welis1*, Rimbawan2, Ahmad Sulaeman2, Hadi Riyadi2
1
Program Pasca Sarjana IB, Staf Pengajar FIK UNP Padang
2
Staf Pengajar Departemen Gizi Masyarakat, IPB Bogor

ABSTRAK
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi performa atlet diantaranya hemoglobin,
indek massa tubuh dan VO2maks. Belum banyak bukti ilmiah yang meneliti hubungan
antara hemoglobin, indek massa tubuh, persen lemak tubuh dan VO2maks terhadap
performa lari 5 km. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan hemoglobin,
VO2maks, persen lemak tubuh dan indek massa tubuh dengan performa lari 5 km.
Penelitian ini menggunakan desain crosssectional. Subjek dalam penelitian ini adalah
mahasiswa IPB yang aktif pada unit kegiatan olahraga. Jumlah subjek yang terlibat dalam
penelitian ini adalah 15 orang, berumur 18 hingga 22 tahun. Pengukuran berat badan,
tinggi badan, persen lemak tubuh dan performa lari 5 km dilakukan di Pusat Kebugaran
Jasmani IPB sedangkan hemoglobin diukur di Laboratorium Fisiologi FKH IPB. Hasil
penelitian menunjukkan rata-rata waktu mencapai finish adalah 25,9 ± 7,2 menit, waktu
tercepat adalah 22,5 menit dan terlama adalah 30,3 menit. Ada hubungan yang signifikan
antara persen lemak tubuh, IMT dan VO2maks dengan performa lari 5 km. Namun tidak
ada hubungan yang signifikan antara hemoglobin dengan performa lari 5 km. Persen
lemak tubuh merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap performa lari 5 km.

Kata-kata Kunci : IMT, persen lemak tubuh, VO2maks, hemoglobin, performa lari

ABSTRACT
Various factors contribute to an athlete's performance. Among these factors the
role of hemoglobin, body mass index and VO2max are important factors to be considered.
Limited evidences analyzed the relation between haemoglobin, BMI, percent body fat and
VO2max on the performance of sports, especially running 5 km. The research objective
was to analyze the relationship of hemoglobin, VO2max, percent body fat and BMI with the
performance of running 5 km, as well as predicting variables that most influence on the
performance of running 5 km. This study was an observational study, by using cross-
sectional design. Subjects were IPB students who were actively involved in sports activity
unit. Fifteen individuals who the age were ranged from 18 to 22 years old were engaged
in this study. Measurement of body weight, height, percent body fat and running 5 km on
the treadmill were conducted at the fitness center of IPB and hemoglobin was measured
in the Physiology Laboratorium of Veterinary Faculty, IPB.  Results showed that the
average time to finish the running was 25,9 ± 7,2 minutes with the fastest time was 22,5
minutes and the longest was 30,3 minutes. There was significant relationship between
percent body fat, BMI and VO2max with the performance of running 5 km, but no relation
of hemoglobin with the performance of running 5 km. Percent body fat is the most
influence variables on the performance of running 5 km.

Keywords: BMI, percent body fat, hemoglobin, VO2max, running

*corresponding author

1539 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

PENDAHULUAN berkurang, juga meningkatkan resiko


Upaya peningkatan prestasi terhadap berbagai penyakit degeneratif.
olahraga di Indonesia perlu terus Orang yang kegemukan (IMT>30
dilakukan, mengingat prestasi olahraga kg/m2) lebih beresiko terkena penyakit
negara kita belum mencapai optimal. jantung koroner dibanding orang dengan
Atlet yang dapat mencapai prestasi berat badan normal. Semakin tinggi
tinggi masih terbatas, baik di tingkat nilai IMT maka dapat diduga
internasional maupun regional. Ada penampilan atlet akan semakin menurun.
beragam faktor penentu dalam mencapai Masih banyak atlet yang kurang
prestasi olahraga yang optimal. Prestasi menyadari bahwa berat badan sebagai
atlet ditentukan antara lain oleh faktor komponen IMT berpengaruh terhadap
teknik, taktik, pembinaan mental dan prestasi olahraga terutama olahraga yang
strategi yang baik, metode kepelatihan membutuhkan kekuatan dan kelincahan
dan sarana serta prasarana yang termasuk olahraga lari. Rendahnya
memadai. Namun yang tak kalah pengetahuan dan kesadaran atlet tentang
pentingnya adalah penanganan kondisi peranan gizi terhadap kemampuan fisik
atau status gizi atlet yang baik. menyebabkan atlet kurang tepat dalam
Pencapaian prestasi atlet yang optimal mengatur berat badan. Pengaturan berat
sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan badan yang kurang tepat akan
status gizi, melalui asupan zat gizi yang mempengaruhi performa atlet dalam
seimbang. Makanan yang dipilih dengan pertandingan.
baik akan memberikan zat gizi yang Secara fisiologi performa sangat
dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. dipengaruhi oleh kemampuan tubuh
Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih mengambil oksigen dan diedarkan ke
dengan baik sehingga tidak memadai seluruh sel yang membutuhkan oleh
jumlah dan mutunya maka tubuh akan hemoglobin. Hemoglobin merupakan
mengalami kekurangan zat-zat gizi protein dalam sel darah merah yang
esensial tertentu (Almatsier 2001). berperan mengikat oksigen. Dalam
Komposisi tubuh merupakan kondisi hemoglobin rendah maka
salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuannya untuk mengikat oksigen
performa seorang olahragawan. akan menurun sehingga akan
Komposisi tubuh adalah faktor yang mengganggu transportasi oksigen ke
berkontribusi terhadap performa seluruh bagian sel. Menurut Jeunkerup
olahragawan yang optimal. Jika dan Glesson (2004), bila tubuh
komposisi tubuh optimal maka mengalami anemia (rendah konsentrasi
kemungkinan seorang atlet berpotensi hemoglobin) akan berhubungan negatif
untuk meraih kesuksesan pada cabang dengan performa atlet. Kondisi anemia
olahraga apapun. Berat badan dapat menurunkan kapasitas hemoglobin
mempengaruhi speed, endurance, dan membawa oksigen yang pada akhirnya
power seorang atlet, sementara menurunkan performa atlet.
komposisi tubuh dapat menghasilkan Tujuan penelitian ini adalah
strength, agility, dan penampilan menganalisis hubungan hemoglobin,
seorang atlet (Rodriguez et al. 2009). VO2maks, persen lemak tubuh dan IMT
Komposisi tubuh yang ideal terbentuk dengan performa lari 5 km, serta
karena adanya asupan gizi yang sesuai memprediksi variabel yang paling
kecukupan yang dianjurkan menurut berpengaruh terhadap performa lari 5
kelompok umur dan aktifitas yang km.
dilakukan. Indek masa tubuh merupakan
salah satu indikator gizi yang METODE PENELITIAN
berpengaruh terhadap kemampuan fisik Penelitian ini merupakan
seseorang. Komposisi lemak tubuh yang penelitian observasional-analitik dengan
berlebihan (gemuk) tidak saja desain cross sectional. Penelitian ini
menyebabkan kemampuan fisik dilakukan mulai bulan Mei sampai bulan

1540 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

Desember 2011. Subjek penelitian dilakukan dengan test lari multi tahap
adalah mahasiswa IPB laki-laki yang (bleep test) dan pengukuran persen
berumur antara 18 – 22 tahun yang aktif lemak tubuh dilakukan dengan
melakukan latihan olahraga. Kriteria menggunakan pengukur tebal lemak
inklusi subjek adalah sudah melakukan digital Merk Omron. Pemeriksaan kadar
latihan olahraga secara rutin minimal 6 hemoglobin dilakukan dengan metode
bulan, menyetujui mengikuti penelitian cyanmethemoglobin, dilakukan di
hingga selesai dengan menandatangani Laboratorium Fisiologi, Fakultas
informed consent, tidak dalam keadaan Kedokteran Hewan IPB. Protokol
sakit dan tidak sedang dalam penelitian ini sudah mendapat
pengobatan selama sebulan terakhir, persetujuan etik dari Komisi Etik Badan
tidak merokok dan tidak minum Penelitian dan Pengembangan
alkohol/narkoba. Kriteria eksklusi Kesehatan Kementerian Kesehatan
adalah berumur diatas 22 tahun, sedang nomor KE.01.07/EC/433/2011 tanggal
dalam kondisi sakit atau cedera, tidak 24 Juli 2011.
dapat bekerjasama dengan baik, tidak
bersedia mengikuti rangkaian penelitian
secara lengkap, mempunyai riwayat HASIL
penyakit stroke, penyakit jantung, Karakteristik Subjek
diabetes melitus, dan kanker. Jumlah Subjek penelitian adalah
subjek yang mengikuti penelitian ini mahasiswa IPB yang mengikuti unit
adalah 15 orang. kegiatan olahraga futsal dan sepak bola.
Data yang diambil dalam Jumlah subjek yang diambil adalah 20
penelitian ini adalah umur, berat badan, orang berdasarkan kriteria inklusi dan
tinggi badan, IMT, VO2maks, persen kesediaan mengikuti penelitian yang
lemak tubuh, sampel darah untuk dinyatakan dengan mengisi inform
analisis hemoglobin dan data waktu consent. Namun jumlah data yang
tempuh lari 5 km (performa). diolah adalah 15 karena 5 data tidak
Pengambilan sampel darah dan lengkap. Karakteristik subjek yang
pengukuran performa lari 5 km pada diambil adalah umur, berat badan, tinggi
treadmill dilakukan di Pusat Kebugaran badan, denyut nadi, hematokrit dan
Jasmani IPB, pengukuran berat badan, frekuensi latihan olahraga dalam
tinggi badan dan VO2maks dilakukan di seminggu. Karakteristik subjek dapat
Gymnasium IPB. Pengukuran VO2maks dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Subjek

Deskripsi Rata-rata+SD
Umur (tahun) 19,0+0,8
Berat Badan (kg) 56,2+8,9
Tinggi badan (cm) 163,8+6,8
Nadi Latihan (kali/menit) 173,0+9,0
Frekuensi Olahraga (kali/minggu) 4,1+1,5

Kelompok umur subjek dilakukan oleh subjek rata-rata adalah 4


penelitian ini terendah adalah 18 tahun kali dalam seminggu, minimal subjek
dan tertinggi 20 tahun dengan umur melakukan olah raga 2 kali dalam
terbanyak adalah umur 19 tahun. seminggu dan maksimal subjek
Frekuensi kegiatan olahraga yang berolahraga 6 kali seminggu
.

Gambaran Performa Lari 5 km Subjek


Pada penelitian ini performa lari yang dapat dicapai oleh subjek untuk
subjek merupakan waktu (dalam menit) menyelesaikan lari 5 km pada treadmill.

1541 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

Waktu tercepat yang dicapai oleh subjek 53,3% subjek waktu tempuh mencapai
untuk menyelesaikan lari 5 km adalah finis adalah dibawah nilai rata-rata yaitu
22,5 menit dan terlama adalah 30,3 kurang dari 25,9 menit. Profil performa
menit. Sedangkan rata-rata waktu yang lari subjek peneliian dapat dilihat pada
dibutuhkan subjek untuk menyelesaikan Tabel 2.
lari 5 km adalah 25,9 + 2,7 menit. Ada

Tabel 2. Profil Performa Lari 5 km Subjek Penelitian

Kategori Jumlah Persentase


Di atas rata-rata 7 47,7
Di bawah rata-rata 8 53,3

Faktor-faktor yang Berhubungan


dengan Performa Lari 5 km
Hemoglobin adalah bagian sel hemoglobin normal dalam darah laki-
darah merah yang berperan mengangkut laki usia 18 hingga 44 tahun adalah 13,2
oksigen melalui aliran darah dari paru- g/dl hingga 17,3 g/dl, maka didapatkan
paru ke jaringan tubuh yang lain. seluruh hemoglobin subjek
Hemoglobin subjek terendah adalah dikategorikan normal. Hal uji korelasi
14,06 g/dl dan tertinggi adalah 19,01 pearson menunjukkan tidak ada
g/dl. Rata-rata kadar hemoglobin subjek hubungan yang signifikan antara
adalah 16,24 + 1,54 g/dl, bila hemoglobin darah subjek dengan
dikategorikan nilai ini termasuk normal. performa lari 5 km (r = 0,017; p =
Menurut Mougios (2006) konsentrasi 0,951).

Tabel 3. Sebaran Subjek Berdasarkan Hemoglobin, Persen Lemak Tubuh,


IMT dan VO2maks

Variabel Kategori Jumlah Persentase


Hemoglobin Normal 15 100
Tidak Normal 0 0
Persen Lemak Tubuh Baik (11-14%) 3 20,0
Sedang (15-17%) 5 33,3
Gemuk (18-20%) 7 46,7
IMT Gemuk 1 6,7
Baik/normal 13 86,6
Gizi Kurang 1 6,7
VO2maks Baik Sekali (>49) 5 33,3
Baik (38-48) 10 66,7
Sedang (31-37) 0 0,0

Komposisi tubuh seseorang hingga 15 persen untuk perempuan.


terdiri dari komponen lemak dan Lebih lanjut Williams menyarankan
komponen bebas lemak. Komponen lemak esensial minimal untuk laki-laki
lemak terdiri dari simpanan lemak dan adalah 5 hingga 10 persen dan untuk
lemak esensial. Komponen bebas lemak perempuan 15 hingga 18 persen. Ada
(fat free body mass) meliputi otot, hubungan yang signifikan antara persen
tulang, organ, cairan dan jaringan lain lemak tubuh dengan performa lari 5 km
selain jaringan lemak dan lipid (Robergs (r = 0,637;p = 0,011). Hasil pengukuran
& Roberts 1997). Menurut Williams persen lemak tubuh subjek dapat dilihat
(2007), lemak esensial penting untuk pada Tabel 3.
kesehatan. Jumlah lemak esensial Indek massa tubuh merupakan
minimal 3 persen untuk laki-laki dan 12 ukuran antropometri yang tepat

1542 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

digunakan pada orang dewasa yang dengan rata-rata 44,99 ml/kg


memberikan deskripsi tentang konsumsi BB/menit. Sebaran data VO2maks subjek
gizi seseorang pada masa lalu. dapat dilihat pada Tabel 3.
Menurut Balitbangkes (2010) IMT Variabel yang paling
orang dewasa dikategorikan normal/baik berpengaruh terhadap performa lari 5
bila IMT antara 18,5 hingga 24,9, km dapat diprediksi dengan
kategori gizi kurus bila IMT <18,5 dan menggunakan analisis regresi linear.
kategori BB lebih bila IMT antara 25,0 Variabel-variabel independen yang
hingga 27,0 serta masuk kategori obes diduga kuat berpengaruh terhadap
bila IMT lebih dari 27,0. Masing- performa lari 5 km antara lain kadar
masing sebanyak 6,7% subjek termasuk hemoglobin darah, indek massa tubuh,
gizi kurus dan obes/gemuk. Rata-rata persen lemak tubuh dan VO2maks.
indek massa tubuh subjek penelitian ini Pertimbangan pemilihan variabel yang
adalah 20,91 + 2,81 kg/m2 dan termasuk akan masuk model berdasarkan
kategori baik/normal. Hasil uji korelasi pertimbangan secara substansi dan aspek
menunjukkan bahwa ada hubungan yang statistik. Analisa multivariate dengan
signifikan antara IMT dengan performa regresi linear metode backward
lari 5 km (r=0,564; p=0,028). digunakan untuk mengetahui variabel
Kemampuan seseorang dalam yang paling berpengaruh terhadap
ambilan oksigen berperan penting dalam performa lari 5 km pada subjek diantara
penampilan lari karena oksigen variabel hemoglobin, VO2maks, indeks
diperlukan untuk memecah energi yang massa tubuh, dan persen lemak tubuh.
diperlukan dalam melakukan aktifitas Hasil analisis regresi linear didapatkan
fisik. Laju ambilan oksigen merupakan nilai R2 (R Square) sebesar 40,6% dari
parameter fisiologi yang biasa variasi performa lari 5 km dapat
digunakan untuk mengukur respon dijelaskan oleh perubahan dalam
kardiorespiratori, sehingga parameter variabel persen lemak tubuh. Tabel
penting untuk menentukan daya tahan hasil analisis mengindikasikan bahwa
kardiorespiratori. Perbedaan VO2maks regresi berganda secara statistik sangat
pada orang sehat sangat ditentukan oleh signifikan dengan p=0,011. Ini
faktor tingkat/intensitas latihan, menunjukkan model regresi cocok
keturunan, umur dan jenis kelamin dengan data yang ada. Dengan
(Holloszy et al. 1996). Hasil penelitian demikian variabel persen lemak tubuh
menunjukkan ambilan oksigen maksimal secara signifikan dapat memprediksi
(VO2maks) terendah pada subjek adalah performa lari 5 km. Hasil analisis
38,8 ml/kg BB/menit dan VO2maks regresi linear model fit dapat dilihat
tertinggi adalah 54,3 ml/kg BB/menit pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Analisis Korelasi dan Regresi

Variabel Bebas r R2 Persamaan Garis P value


Persen Lemak Tubuh 0,637 0,406 Y=19,191+0,382x 0,011

PEMBAHASAN
Faktor umur akan pada penelitian ini adalah homogen
mempengaruhi tingkat kematangan otot dengan rata-rata 19 tahun, sehingga
seseorang. Tingkat kematangan otot diharapkan tidak ada perbedaan
merupakan salah satu indikator pengaruh umur terhadap kematangan
kemampuan kekuatan tegangan otot, otot. Menurut deVries et al. (1994),
tingkat kematangan yang homogen umur 17 hingga umur hampir 19 tahun
berarti kekuatan tegangan otot adalah mempunyai kapasitas training yang
sama ( Robert et al. 2002). Umur subjek relatif sama.

1543 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

Latihan yang dilakukan oleh cepat waktu yang dibutuhkan untuk


subjek masih dalam rentang frekuensi mencapai finish. Temuan penelitian ini
latihan olahraga yang disarankan sejalan dengan pernyataan Wilmore dan
American College of sport Medicine Costill (2004) bahwa banyak studi
(ACSM). Frekuensi latihan olahraga menemukan semakin tinggi persen
yang disarankan oleh ACSM untuk lemak tubuh seorang atlet maka
mendapatkan kebugaran yang optimal performa atlet tersebut makin kurang
adalah 3 hingga 5 hari dalam seminggu baik. Studi lain menyebutkan bahwa
minimal setiap latihan selama 15 menit lemak tubuh berkaitan erat dengan
dan akan mendapatkan hasil yang lebih rendahnya performa kecepatan,
baik bila mencapai 30 hingga 60 menit endurance, keseimbangan dan
(deVries et al. 1994). Latihan olahraga kelincahan serta kemampuan melompat.
dengan frekuensi dan durasi yang tepat Lebih lanjut Wilmore dan Costill (2004)
akan memberikan dampak positif bagi menyebutkan bahwa baik lemak absolut
tubuh, terutama meningkatkan maupun lemak relatif dapat
kebugaran dan daya tahan tubuh. mempengaruhi performa lari pada pelari.
Hal uji korelasi pearson Komposisi tubuh yang ideal bervariasi
menunjukkan tidak ada hubungan yang tergantung jenis cabang olahraga, namun
signifikan antara hemoglobin darah rendahnya massa lemak lebih
subjek dengan performa lari 5 km (r = meningkatkan performa atlet. Seperti
0,017; p = 0,951). Konsentrasi untuk olahraga renang, komposisi tubuh
hemoglobin yang normal dengan persen lemak yang lebih tinggi
memungkinkan hemoglobin membawa akan lebih menguntungkan karena
oksigen yang diperlukan selama aktifitas meningkatkan daya apung dalam air.
fisik secara optimal. Hal ini William (2007) menyatakan bahwa level
kemungkinan disebabkan data lemak tubuh yang lebih rendah
hemoglobin yang relatif homogen, dibutuhkan untuk mencapai performa
semua hemoglobin subjek termasuk optimal pada olahraga atletik termasuk
kategori normal sehingga tidak terlihat lari. Lemak tubuh yang
hubungan antara hemoglobin dengan direkomendasikan untuk atlet lari jarak
performa lari 5 km. Konsentrasi jauh adalah tidak melebihi 10 persen
hemoglobin yang normal berarti terutama bagi atlet perempuan. Temuan
memungkinankan sel darah mengangkut penelitian ini berbeda dengan hasil
oksigen yang cukup untuk proses penelitian Wigati (2008) yang
pemecahan energi didalam sel selama menyimpulkan bahwa tidak ada
aktifitas olahraga. Hasil penelitian ini hubungan yang signifikan antara indek
sejalan dengan penelitian Wigati (2008) massa tubuh dengan ketahanan fisik atlet
yang menyimpulkan tidak ada hubungan sepak bola SSB Bintang Timur
yang signifikan antara hemoglobin Semarang.
dengan daya tahan atlet sepak bola SSB Berdasarkan data terlihat bahwa
Bintang Timur Semarang, namun sebagian besar ambilan oksigen
berbeda dengan temuan Agustinida yang maksimun subjek tergolong baik dan
menemukan ada hubungan yang tidak ada yang termasuk kategori sedang
signifikan antara kadar hemoglobin maupun kurang. Ada hubungan yang
dengan daya tahan atlet bulutangkis signifikan antara VO2 maks dengan
Puslatcab Surabaya. performa lari 5 km (r = -0,518;p =
Hasil uji statistik menunjukkan 0,048). Hasil statistik ini menunjukkan
semakin tinggi persen lemak tubuh maka bahwa semakin tinggi nilai VO2maks
performa lari semakin menunjukkan maka performa lari 5 km semakin baik
capaian waktu yang semakin tinggi pula, (waktu mencapai finish semakin cepat).
ini berarti juga sebaliknya semakin Temuan penelitian ini sejalan dengan
rendah persen lemak tubuh maka studi yang dilakukan oleh Ramsbottom
perfoma lari semakin baik atau semakin et al. (1987) yang menyimpulkan bahwa

1544 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

ambilan oksigen maksimal erat Y=Performa lari (waktu), x=persen


kaitannya dengan performa lari 5 km lemak tubuh (%). Dari model
(p<0,01) baik pada laki-laki maupun persamaan ini, dapat diperkirakan
perempuan (r=-0,85 untuk laki-laki; r=- performa lari tersebut dari variabel
0,80 untuk perempuan). persen lemak tubuh. Variabel performa
Hasil uji regresi multivariat lari akan naik sebesar 0,382 menit bila
menunjukkan persen lemak tubuh persen lemak tubuh subjek naik 1
merupakan variabel yang paling persen. Nilai R Square dari hasil uji
berpengaruh terhadap performa lari 5 multivariate adalah 40,6%, hal ini
km dengan p<0,05. Hasil persamaan menunjukkan bahwa variasi variabel
regresi berganda yang diperoleh adalah performa lari 5 km sebesar 40,6 % dapat
Y=19,192 + 0,382x, dimana: diperkirakan dari persen lemak tubuh.

KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA


Hasil penelitian menunjukkan Almatsier S. (2001). Prinsip Dasar
bahwa rata-rata waktu mencapai finish Ilmu Gizi. Gramedia:Jakarta.
adalah 25,9 + 2,7 menit dengan waktu Agustinida R. (2001). Hubungan
tercepat adalah 22,5 menit dan terlama Indeks Massa Tubuh (IMT) dan
adalah 30,3 menit. Kadar hemoglobin Kadar Hemoglobin (Hb) dengan
semua subjek yang terlibat dalam Endurance Atlet Bulutangkis
penelitian tergolong normal dengan rata- (Skripsi FKM Unair, Surabaya).
rata 16,24 + 1,54 g/dl. Sebagian besar Diakses dari 
IMT subjek tergolong normal, namun http://alumni.unair.ac.id/kumpul
bila dilihat berdasarkan persen lemak anfile/8809843013_abs.pdf.
tubuh sebagian besar subjek termasuk Balitbangkes Kemenkes RI. (2010).
kategori gemuk. Sebagian besar Riskesdas 2010.
(66.7%) ambilan oksigen maksimal Jakarta:Kemenkes RI.
(VO2maks) subjek termasuk baik dan deVries HA, TJ Housh. (1994).
tidak ada yang tergolong sedang atau Physiology of Exercise For
kurang. Physical Education, Athletics
Ada hubungan yang signifikan and Exercise Science.
antara persen lemak tubuh, IMT dan Iowa:Brown & Benchmark
VO2maks dengan performa lari 5 km, Holloszy JO, Kohrt WM. (1996).
namun tidak ada hubungan yang Regulation carbohydrate and fat
signifikan antara kadar hemoglobin metabolism during and after
subjek dengan performa lari 5 km. exercise. Ann Rev Nutr. 16:121-
Persen lemak tubuh merupakan variabel 38.
yang paling berpengaruh terhadap Jeukendrup A, Gleeson M. (2004).
performa lari 5 km. Bila persen lemak Sport Nutrition An Introduction to
tubuh naik satu persen maka waktu Energy Production and
tempuh mencapai finish akan meningkat Performance. New
sebesar 0,385 menit. Zealand:Human Kinetic.
Mougios V. (2006). Exercise
SARAN Biochemistry. USA:Human
Perlu dilakukan peningkatan Kinetic.
kesadaran dan pengetahuan atlet tentang Ramsbottom R, Nute MGL, Williams C.
pengaturan makan atlet dan pengaturan (1987). Determinants of five
berat badan agar mendapatkan persen kilometre running performance
lemak tubuh yang ideal untuk berbagai in active men and women.
cabang olahraga. Diperlukan Brit.J.Sports Med., 21(2), 9-13.
manajemen makanan atlet yang tertata Rodriguez NR, DeMarco NM, Langley
dan terukur di pemusatan pelatihan S. (2009). Nutrisi dan
cabang olahraga atletik terutama lari. Performance Athletic. Medicine

1545 
 
Media Gizi Indonesia 
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538 
 

& Science In Sports & Exercise,


pp 709-731. Terhubung online:
http://www.acsm-msse.org.
Robergs RA, Roberts SO. (1997).
Exercise Physiology Exercise,
Performance and Clinical
Applications. Missouri:Mosby
Wilmore JH, Costill DL. (2004).
Physiology of Sport and
Exercise. USA:Human Kinetics.
Wigati T. (2008). Hubungan Tingkat
Konsumsi Energi, Protein, Besi,
Indeks Massa Tubuh, dan Kadar
Hemoglobin dengan Ketahanan
Fisik Atlit Sepak Bola di
Sekolah Sepak Bola (SSB)
Bintang Timur Semarang Tahun
2008 (Skripsi FKM UNDIP,
Semarang). Diakses dari
http://eprints.undip.ac.id/7154/1/
3500.pdf.
Williams MH. (2007). Nutrition for
Health, Fitness & Sport. New
York : McGraw Hill .

1546 
 
Media Gizi Indonesia
PEDOMAN BAGI PENULIS

PETUNJUK UMUM
Makalah yang dikirim ke redaksi Media Gizi Indonesia (MGI) merupakan makalah hasil pemikiran
sendiri, bersifat ilmiah, mengandung unsur kekinian dan belum pernah dipublikasi. Untuk menghindari
duplikasi, MGI tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan
untuk publikasi. Setiap pengirim makalah harus melampirkan lembar pernyataan orisinalitas (bahwa
tulisan yang dikirimkan tidak memuat unsur plagiarism), dan dikirim ke medgizi.airlangga@yahoo.com
atau dien_ra@yahoo.com

FORMAT PENULISAN MAKALAH


Makalah diketik 1 spasi pada kertas berukuran A4, margin tepi kiri 4 cm, tepi kanan, atas dan bawah 3
cm, tipe huruf Times New Roman, dengan ukuran (font): Judul artikel 16 pt, nama penulis 10 pt, identitas
penulis 9 pt, abstrak (abstract) dan isi artikel 11 pt, tabel dan gambar 9 pt. Makalah dikirim dalam bentuk
soft copy, maksimal 15 halaman.

SISTEMATIKA PENULISAN
JUDUL
Nama Penulis (tanpa gelar)
Afiliasi, Kota

Judul singkat, padat, informatif dan mudah dipahami. Nama-nama penulis dan identitasnya (afiliasi, kota)
dicantumkan pada bagian bawah judul artikel. Corresponding author diberi tanda angka superscript

Abstrak (Abstract) dan Kata-kata Kunci (keys word): ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, jenis huruf Times New Roman, font 11 pt. Jumlah kata maksimal 300, disusun dalam 1 (satu)
paragraf, mencantumkan 3-5 kata kunci (keywords).

Pendahuluan: Berisi latar belakang, alasan penelitian, rumusan masalah, dan pernyataan tujuan

Metode: Berisi langkah peneliti dalam melakukan penelitian, disajikan secara lengkap namun padat,
mulai dari rancangan penelitian (termasuk metode pengambilan sampel (jika ada), sampel, bahan yang
digunakan, alat yang digunakan, cara kerja, pengumpulan data dan teknik analisis data.

Hasil Penelitian: Dapat dilengkapi dengan tabel dan grafik. Nomor dan judul tabel ditempatkan di bagian
atas tabel dan dicetak tebal. Garis yang digunakan pada tabel hanya bagian row kepala tabel dan bawah
saja (tanpa garis kolom). Nomor dan judul gambar diletakkan di bawah gambar dan dicetak tebal. Gambar
akan dicetak hitam putih sehingga perlu diperhatikan penggunaan warna/tekstur untuk membedakan
series pada grafik/diagram.

Pembahasan: Gunakan referensi (hasil penelitian lain atau teori) untuk mendukug penjelasan hasil
penelitian anda. Jika ada singkatan, gunakan singkatan yang standar.

Kesimpulan dan Saran: Kesimpulan memaparkan hal-hal penting yang didiskusikan dalam hasil dan
pembahasan secara singkat, padat dan jelas, dan menjawab tujuan penelitian. Kesimpulan dapat diakhiri
dengan saran (jika dianggap perlu).

Daftar Pustaka: Penulisan mengacu pada APA Referencing Guide 6th edition. Secara umum, penulisan
daftar pustaka sebagai berikut:
Penulis, A.A., Penulis, B.B, & Penulis, C.C.(tahun publikasi). Judul publikasi: sub judul. (Edisi
[jika bukan edisi pertama]). Tempat diterbitkan: Penerbit.
Minimal 80% dari pustaka, diterbitkan tidak lebih dari 10 tahun sebelum karya ilmiah disampaikan ke
MGI).

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai