Anda di halaman 1dari 161

STUDI KOMPARASI FAKTOR RISIKO GIZI LEBIH PADA LANSIA

PESERTA POSBINDU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIPUTAT


TIMUR DENGAN PENGHUNI PANTI WERDHA MELANIA

TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar


Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun oleh:

TYAS WIDYA UTAMI

NIM: 1112101000047

PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M

-0-
vii
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI MASYARAKAT
Skripsi, Maret 2017
TYAS WIDYA UTAMI, NIM: 1112101000047
Studi Komparasi Faktor Risiko Gizi Lebih Pada Lansia Peserta Posbindu di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur Dengan Penghuni Panti Werdha Melania
Tahun 2017
xiv + 111 halaman, 9 tabel, 3 bagan, 4 lampiran.

ABSTRAK
Gizi lebih adalah salah satu masalah gizi lansia di Indonesia dan harus segera diatasi.
Faktor jenis tempat tinggal ternyata diketahui menyebabkan terjadinya perbedaan faktor
risiko gizi lebih. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor risiko gizi lebih lansia yang
tinggal di tempat yang berbeda, baik di panti werdha maupun di rumah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor risiko gizi lebih antara lansia yang tinggal di rumah
dengan lansia yang tinggal di panti werdha.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional untuk menganalisis secara
terpisah hubungan antara variabel independen (karakteristik lansia, gaya hidup, pola
konsumsi) dengan variabel dependen (kejadian gizi lebih) pada populasi lansia yang
tinggal di rumah dan panti werdha di wilayah yang sama. Sebanyak 146 responden
dipilih menggunakan teknik proportional random sampling pada lansia yang tinggal di
rumah dan mengunjungi Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) secara rutin. Seluruh lansia
(32 responden) yang tinggal di panti werdha dalam wilayah yang sama juga dipilih.
Dengan menggunakan analisis bivariat (chi square), diketahui bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara faktorpendidikan, status merokok, dan asupan karbohidrat dengan
terjadinya gizi lebih pada lansia yang tinggal di rumah dan panti werdha. Semakin rendah
tingkat pendidikan, maka semakin banyak responden yang mengalami gizi lebih. Pada
lansia yang tinggal di rumah, lansia yang tidak pernah merokok cenderung lebih banyak
mengalami gizi lebih dibandingkan dengan lansia pernah dan sedang merokok. Selain itu,
lansia yang mengkonsumsi karbohidrat melebihi Angka Kecukupan Gizi (AKG),
cenderung lebih banyak mengalami gizi lebih dibandingkan dengan lansia yang
mengkonsumsi kabohidrat sesuai dan kurang dari AKG. Sedangkan pada lansia penghuni
panti werdha yang berstatus pernah merokok dan mengkonsumsi karbohidrat kurang dari
AKG cenderung lebih banyak yang mengalami gizi lebih.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Puskesmas Ciputat Timur dan pihak Panti Werdha
Melania dapat melakukan intervensi yang sama pada faktor tingkat pendidikan yang
dapat dilakukan dengan mengadakan konseling yang cocok dan sesuai dengan tingkat
pendidikan lansia yang cenderung dasar dan menengah. Untuk asupan karbohidrat, pihak
puskesmas dapat menginformasikan dan memberi penyuluhan pada lansia peserta
posbindu supaya mengurangi konsumsi makanan tinggi karbohidrat. Namun, bagi pihak
Panti Werdha Melania agar dapat menginformasikan lansianya untuk meningkatkan
asupan karbohidrat. Sedangkan saran untuk peneliti selanjutnya agar dapat meneliti faktor
yang tidak diteliti dalam penelitian ini, menggunakan metode konversi tinggi badan
lansia dan metode perhitungan aktifitas fisik lain.
Kata kunci: Gizi Lebih, Lansia, Posbindu, Puskesmas, Panti Werdha.
Daftar bacaan: 104 (2002-2016)

iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
PROGRAME STUDY OF PUBLIC HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH NUTRITION CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, March 2017
TYAS WIDYA UTAMI, NIM: 1112101000047
Comparative Study of Overweight Risk Factors in Elderly Participants at Posbindu
on Puskesmas Ciputat Timur and Melania Nursing Home on 2017
xiv + 111 pages, 9 tables, 3 charts, 4 attachments

ABSTRAK
Overweight is one of elderly’s nutrition problems in Indonesia and must be
handled soon. Dwelling factor has been known as a cause of difference in risk factors of
overweight. Therefore, we need to know about risk factors in overweight on elderly who
live in different places, such as at home and nursing house. This study aims to determine
the risk factors of overweight between elderly who live at home with them who live in
nursing house.
This study used cross sectional design to analized separately the relationship
between the independent variables (the characteristics of the elderly, lifestyles,
consumption patterns) with the dependent variable (incidence of overweight) in elderly
who lived at home and them at nursing house in the same area. 146 respondents were
selected using simple random techniques among elderly living at home and visiting
integrated health empowerment post (Pos Pembinaan Terpadu/Posbindu) regularly. All
the elderly (32 persons) living at the only nursing house in the same area were also
recruited. By doing a bivariate analysis (chi square), it was known that there was a
significant relationship between education, smoking status, and carbohydrate intake with
the incidence of overweight in elderly live at home and nursing house. The lower level of
education, the more respondents who have overweight in both places. Among the elderly
live at home, ones who never smoked had more possibility to be overweight compared
with the ones who never and was smoking. The ones who consumed carbohydrates
exceed recommended dietary allowance (RDA) were more prone to overweight
compared with the ones who consemed according and less than the RDA. While among
the elderly in nursing house, the ones who never smoked and consumed less than the
carbohydrates RDA tend more likely to be overweight.
Based on these results, Puskesmas Ciputat Timur and Melania Nursing Home can
do the same intervention at educational level factor that can be done by proper counseling
for primary and secondary education level. For carbohydrates intake factor, puskesmas
can inform and educate the elderly participants at posbindu to decrease the consumption
of high carbohydrate foods. However, for the Melania Nursing Home can inform the
elderly to increase carbohydrate intake. For further research, we expected to examine the
factors that not examined in this study, using another the height conversion of elderly
method and physical activity method.
Keywords: Overweight, Elderly, Posbindu, Puskesmas, Nursing Home.
The reading list: 104 (2002-2016)

v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Tyas Widya Utami


Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 12 Januari 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Raya Jagakarsa, Gg. Kramat RT.011/07 No. 12
Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : tyaswuu@gmail.com
Telepon : 089653138813
PENDIDIKAN FORMAL

2012-sekarang : Gizi Masyarakat, Kesehatan Masyarakat Universitas


Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2009-2012 : SMA Negeri 49 Jakarta
2006-2009 : SMP Budi Mulia Desa Putera Jakarta
2000-2006 : SDN Srengseng Sawah 03 Pagi Jakarta
1999-2000 : TK Budi Mulia Pondok Si Boncel Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

2005-2006 : Dokter Kecil SDN Srengseng Sawah 03 Pagi Jakarta


2009-2012 : Anggota Paskibra SMA Negeri 49 Jakarta
PENGALAMAN BEKERJA
Januari 2015-Maret 2015 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas
Paku Alam Tangerang Selatan
Januari 2016-Maret 2016 : Magang di Puskesmas Pasar Minggu Jakarta Selatan
periode Januari s.d. Maret 2016
Maret 2017-Juni 2017 : Internship di PT. Prudential Life Assurance bagian Life
Administration

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Studi Komparasi
Faktor Risiko Gizi Lebih Pada Lansia Peserta Posbindu di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat Timur Dengan Penghuni Panti Werdha Melania Tahun
2017” dengan baik.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih kepada:

1. Orangtuaku tercinta (bapak Wasito Nawikartha Putra dan mama Aswati), serta
adikku tersayang (Kiki Setiawan) yang di setiap hembusan nafasnya, mereka
panjatkan doa serta dukungan yang tak terhingga kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, PhD selaku kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Febrianti, S.p, M.Si dan Ibu Dela Aristi, M.KM selaku dosen pembimbing
skripsi yang sudah memberikan waktu, ilmu, dan arahan untuk membimbing
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Pihak Puskesmas Ciputat Timur dan Panti Werdha Melania yang telah
mengizinkan penulis untuk melaksanakan penelitian di posbindu dan panti
werdha, serta para kader posbindu dan perawat di panti werdha yang banyak
membantu penulis selama proses penelitian.
6. Sahabat kesayangan, NiNe (Ayunda, Apip, Fadiah, Nisol, Norin, Ratna, Reffi,
Yolan) yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis
hingga skripsi ini selesai.
7. Sahabat yang mengisi hari-hari saat masa perkuliahan, Be’ (Andini, Gopit, Nuni)
dan Itik (Vira, Ika, Jijah, Yolan, Andini) yang telah memberikan doa, keceriaan,
canda, dan tawa sejak awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai.

vii
8. Teman-teman KesMas 2012, khususnya peminatan Gizi 2012 (Riskah, Widia,
Cesil, Arina Muthia, Arina Khoirina, dan Amay) terima kasih untuk semua ilmu,
kritik, saran, dan bantuannya yang tak terhingga selama peneliti menyusun
skripsi.
9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
dan memberikan dukungan dari awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat keterbatasan
dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
berbagai pihak agar dapat menyempurnakan skripsi ini dan bermanfaat bagi pihak
yang membaca.

Jakarta, Maret 2017

Penulis

viii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN...............................Error! Bookmark not defined.


PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI .........................Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PERNYATAAN ..........................................Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiv
BAB I

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian.............................................................................................. 7
1.4.1 Tujuan Umum .............................................................................................. 7
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................................ 8
1.5.1 Bagi Pihak Puskesmas Ciputat Timur dan Panti Werdha Melania .............. 8
1.5.2 Bagi peneliti .............................................................................................. 8
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................. 9
BAB II ....................................................................................................................... 10

2.1 Definisi Lansia ............................................................................................... 10


2.2 Gizi Lebih pada Lansia .................................................................................. 10
2.2.1 Penilaian Gizi Lebih pada Lansia............................................................ 11
2.2.2 Angka Kecukupan Gizi pada Lansia ....................................................... 14
2.3 Faktor Risiko Gizi Lebih pada Lansia ............................................................ 15
2.3.1 Karakteristik Lansia ................................................................................ 15
2.3.2 Gaya Hidup ............................................................................................. 23
2.3.3 Sosial Ekonomi ....................................................................................... 28

ix
2.3.4 Pola Konsumsi pada Lansia .................................................................... 32
2.4 Penilaian Asupan Pangan dengan Food Recall 24 Hours .............................. 38
2.5 Kerangka Teori ............................................................................................... 40
BAB III ...................................................................................................................... 43

3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 43


3.2 Definisi Operasional ....................................................................................... 45
3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 49
BAB IV ...................................................................................................................... 50

4.1 Desain Penelitian ............................................................................................ 50


4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian.......................................................................... 50
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................................... 50
4.4 Pengumpulan Data ......................................................................................... 53
4.4.1 Jenis Data ................................................................................................ 53
4.4.2 Alur Pengumpulan Data .......................................................................... 57
4.4.3 Instrumen Penelitian ................................................................................ 58
4.4.4 Pengukuran .............................................................................................. 58
4.5 Manajemen Data ............................................................................................ 61
4.6 Analisis Data .................................................................................................. 64
4.7.1 Analisis Univariat .................................................................................... 64
4.7.2 Analisis Bivariat ...................................................................................... 65
BAB V........................................................................................................................ 66

5.1 Gambaran Komparasi Distribusi Karakteristik Lansia Peserta Posbindu di


Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan Penghuni Panti Werdha
Melania Tahun 2017 ....................................................................................... 66
5.2 Gambaran Komparasi Distribusi Gaya Hidup Lansia Peserta Posbindu Di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan Penghuni Panti Werdha
Melania Tahun 2017 ....................................................................................... 68
5.3 Gambaran Komparasi Distribusi Pola Konsumsi Lansia Peserta Posbindu Di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur Dan Penghuni Panti Werdha
Melania Tahun 2017 ....................................................................................... 69
5.4 Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Pola Konsumsi Lansia Dengan
Kejadian Gizi Lebih pada Lansia Peserta Posbindu di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat Timur Tahun 2017 .......................................................... 71
5.5 Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Pola Konsumsi Lansia Dengan
Kejadian Gizi Lebih pada Lansia Penghuni Panti Werdha Melania Tahun
2017 ................................................................................................................ 73

x
BAB VI ...................................................................................................................... 76

6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 76


6.2 Komparasi Distribusi Faktor Risiko Gizi Lebih pada Lansia Peserta Posbindu
di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan Penghuni Panti Werdha
Melania Tahun 2017 ....................................................................................... 77
6.2.1 Karakteristik Lansia ................................................................................ 77
6.2.1 Gaya Hidup Lansia .................................................................................. 80
6.2.2 Pola Konsumsi Lansia ............................................................................. 82
6.3 Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Lebih pada Lansia Peserta Posbindu
di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan Penghuni Panti Werdha
Melania Tahun 2017 ....................................................................................... 84
6.3.1 Hubungan Karakteristik pada Lansia dengan Gizi Lebih ....................... 84
6.3.2 Hubungan Gaya Hidup pada Lansia dengan Gizi Lebih ......................... 92
6.3.3 Hubungan Pola Konsumsi pada Lansia dengan Gizi Lebih .................... 97
BAB VII .................................................................................................................. 108

7.1 Simpulan....................................................................................................... 108


7.2 Saran ............................................................................................................. 109
7.2.1 Bagi Pihak Puskesmas Ciputat Timur ................................................... 110
7.2.2 Bagi Pihak Panti Werdha Melania ........................................................ 110
7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya ...................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 112
Lampiran 1 ............................................................................................................. 124
Lampiran 2 ............................................................................................................. 127
Lampiran 3 ............................................................................................................. 128
Lampiran 4 ............................................................................................................. 129

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 ..................................................................................................................... 11


Tabel 2.2 ..................................................................................................................... 14
Tabel 3.1 ..................................................................................................................... 45
Tabel 4.1 ..................................................................................................................... 51
Tabel 5.1 ..................................................................................................................... 66
Tabel 5.2 ..................................................................................................................... 68
Tabel 5.3 ..................................................................................................................... 69
Tabel 5.4 ..................................................................................................................... 71
Tabel 5.5 ..................................................................................................................... 73

xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 ................................................................................................................... 42


Bagan 3.2 ................................................................................................................... 44
Bagan 4.1 .................................................................................................................. 52

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 ............................................................................................................... 124


Lampiran 2 ............................................................................................................... 127
Lampiran 3 ............................................................................................................... 128
Lampiran 4 ............................................................................................................... 129

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara global, populasi kelompok lanjut usia (lansia) terus mengalami

peningkatan pada beberapa negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia

(WHO, 2011). Tidak hanya itu, diketahui pula bahwa hanya kelompok lansia

yang secara terus-menerus mengalami peningkatan secara bertahap (Pew

Research Center, 2016). Padahal pada kelompok ini tujuan paling penting

dari nutrisi adalah untuk mendukung metabolisme dan kapasitas perbaikan

organisme, sehingga dapat menunda proses yang terkait dengan penuaan.

Oleh sebab itu, beberapa kebutuhan gizinya akan berbeda dibandingkan

dengan kelompok dewasa (Kravchenko, 2014). Namun, faktanya konsumsi

zat gizi pada lansia semakin bertambah. Hal tersebut dapat memicu timbulnya

masalah gizi lebih pada lansia. Sehingga diperlukan perhatian khusus pada

kelompok lansia dalam menangani masalah gizi lebih tersebut.

Gizi lebih merupakan salah satu masalah kesehatan pada lansia.

Seseorang dikatakan mengalami gizi lebih apabila memiliki IMT sebesar 25,1

hingga lebih dari 27 (Kemenkes, 2012). Lansia yang mengalami gizi lebih

akan bermasalah pada kebugaran dan kurang mampu/sulit untuk berjalan kaki

dalam waktu lama serta dikaitkan pula dengan meningkatnya angka

mortalitas dan semakin berisiko mengalami obesitas sentral (Brown dkk,

2011). Obesitas sentral diketahui pula menjadi salah satu faktor risiko

1
penyakit jantung koroner karena menyebabkan kerentanan seseorang terhadap

penyakit diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, dan pembengkakan

jantung (Syawal dkk, 2008).

Prevalensi gizi lebih di Provinsi Banten ternyata telah melebihi

prevalensi nasional. Hal ini terlihat pada besarnya prevalensi overweight

(14,7%) dan obesitas (17,8%) pada lansia pria dan prevalensi overweight

(21,3%) dan obesitas (28,6%) pada lansia wanita di Banten lebih besar jika

dibandingkan dengan prevalensi overweight (15,5%) dan obesitas (13,8%)

pada lansia pria dan prevalensi overweight (20,3%) dan obesitas (27,8%)

pada lansia wanita di Indonesia (Riskesdas, 2013).

Selain itu, diketahui pula bahwa Banten juga termasuk lima provinsi

dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Terlebih, di Banten juga

terjadi peningkatan jumlah lansia dengan berbagai kendala yang salah satunya

yaitu tingkat pelayanan dan jangkauan pelayanan yang masih terbatas,

sehingga berdampak pada kurangnya tingkat pelayanan sosial terhadap lansia

(Dinsos Banten, 2016). Di Tangerang Selatan, prevalensi masalah obesitas

menempati urutan kedua terbesar (33,1%). Prevalensi tersebut juga melebihi

prevalensi masalah obesitas di provinsi Banten (24,8%) (Kemenkes, 2014).

Ciputat Timur merupakan salah satu wilayah kerja puskesmas dengan

jumlah lansia kedua terbanyak di wilayah Kota Tangerang Selatan, yaitu

sebesar 18,3% (BPS Kota Tangerang Selatan, 2015a). Angka gizi lebih lansia

di wilayah ini sebesar 5,19% yang termasuk ke dalam lima angka terbesar

2
masalah gizi lebih pada lansia di Kota Tangerang Selatan (Dinkes Kota

Tangerang Selatan, 2015).

Untuk menurunkan angka prevalensi masalah gizi lebih pada lansia

tersebut, maka perlu dilakukan intervensi terhadap faktor risikonya, yaitu:

jenis kelamin, aktifitas fisik, pekerjaan (Kemenkes, 2012; Fatmah, 2010,

Darmojo, 2011), pendidikan, status merokok (Darmojo, 2011), asupan zat

gizi makro (Brown dkk, 2011; Fatmah, 2010; Darmojo, 2011), pendapatan,

dan status perkawinan (Brown dkk, 2011). Selain itu, ternyata jenis tempat

tinggal membuat adanya perbedaan faktor risiko masalah kesehatan pada

lansia, sebab perbedaan tempat tinggal dapat menyebabkan munculnya

perbedaan aktifitas fisik, lingkungan fisik, sosial, ekonomi, psikologis,

spiritual, dan religius pada lansia yang dapat berpengaruh terhadap status

kesehatan penduduk lansia yang tinggal di dalamnya (Wulandari, 2011).

Hal tersebut dapat dilihat pada hasil penelitian Norhasanah dkk (2015)

yang melakukan penelitian pada lansia di Banjarmasin yang tinggal di panti

werdha dan di rumah. Penelitian ini menyatakan bahwa di kedua tempat

tersebut sama-sama terjadi gizi lebih, namun memiliki faktor risiko yang

berbeda. Berbedanya faktor risiko tersebut, diketahui karena adanya

perbedaan penyediaan makanan dan aktifitas fisik yang lebih teratur disajikan

dan dilakukan di panti werdha daripada di rumah, serta makanan yang lebih

mudah diakses pada lansia di panti werdha daripada di rumah sehingga

diprediksi dapat menyebabkan gaya hidup yang cenderung berakibat pada

gizi lebih.

3
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Bakhshi dkk (2011) terhadap

lansia Irania yang tinggal di rumah, menyatakan bahwa faktor yang

berhubungan dengan terjadinya obesitas yaitu usia, jenis kelamin, status

merokok, dan status perkawinan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

Zhang dkk (2013) di panti werdha Amerika Serikat menyatakan bahwa

fasilitas dengan kualitas dan operasional yang buruk menunjukkan angka

obesitas lansia yang lebih tinggi.

Di wilayah Ciputat Timur, lansia ada yang tinggal di Panti Werdha

Melania dan ada pula yang tinggal di rumah bersama keluarga serta

memeriksakan kesehatannya di posbindu wilayah kerja Puskesmas Ciputat

Timur. Lansia yang tinggal di panti werdha memiliki jadwal makan yang

teratur. Tidak hanya itu, lansia di panti werdha juga memiliki jadwal untuk

melakukan kegiatan olahraga, rekreasi, kesenian, dan layanan konseling yang

secara rutin diadakan oleh pihak panti werdha. Hal tersebut tentunya berbeda

pada lansia yang tinggal di rumah dimana penyediaan makanan disesuaikan

dengan kemampuan ekonomi tiap keluarga. Selain itu terdapat pula kegiatan

pengajian dan kegiatan senam lansia yang secara rutin juga dilaksanakan di

tiap posbindu.

Melihat adanya perbedaan fasilitas seperti pada penyajian makanan dan

jenis aktifitas fisik yang ada pada lansia di rumah dan panti werdha di

wilayah Ciputat Timur tersebut, serupa dengan hasil penelitian sebelumnya

(Norhasanah dkk, 2015; Bakhshi dkk, 2011; Zhang dkk, 2013) sehingga

peneliti menduga bahwa kemungkinan juga terjadi perbedaan faktor risiko

4
gizi lebih di kedua jenis tempat tersebut. Sebab, menurut data di tiga

posbindu wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan data kesehatan lansia

penghuni Panti Werdha Melania pada bulan Januari hingga Oktober 2016

diketahui bahwa besar masalah gizi lebih di kedua tempat tersebut secara

berturut adalah 52,6% dan 39,1%. Data gizi lebih tersebut diperoleh

berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh kader terhadap lansia peserta

posbindu dan dokter terhadap lansia penghuni panti werdha sebulan sekali

dengan mengukur berat badan lansia menggunakan timbangan injak dan

tinggi badan menggunakan microtoise.

Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan komparasi pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti

Werdha Melania. Sebab, peneliti ingin mengetahui apakah dengan adanya

perbedaan karakteristik tersebut maka menyebabkan faktor risiko gizi lebih di

dua jenis tempat tersebut juga memiliki perbedaan atau tidak. Sehingga,

selanjutnya dapat dilakukan penanggulangan yang sesuai dengan faktor risiko

gizi lebih di masing-masing tempat tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk menurunkan angka prevalensi masalah gizi lebih pada lansia di

wilayah Ciputat Timur, maka perlu dilakukan intervensi terhadap faktor

risiko dari masalah gizi lebih tersebut. Di samping itu, faktor jenis tempat

tinggal ternyata diketahui menyebabkan terjadinya perbedaan faktor risiko

gizi lebih yang juga berbeda. Sedangkan lansia di Ciputat Timur ada yang

tinggal di Panti Werdha Melania dan ada pula yang tinggal di rumah bersama

5
keluarga serta memeriksakan kesehatannya di posbindu wilayah kerja

Puskesmas Ciputat Timur. Namun, belum diketahui apakah dengan adanya

perbedaan karakteristik di kedua tempat tersebut, maka menyebabkan faktor

risiko gizi lebih di masing-masing tempat tersebut juga memiliki perbedaan

atau tidak. Sehingga, peneliti ingin melakukan komparasi pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti

Werdha Melania.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Adapun beberapa pertanyaan penelitian yang hendak diteliti dalam

penelitian ini adalah:

a. Apakah ada atau tidak ada perbedaan karakteristik lansia (jenis kelamin,

status perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan), gaya hidup (aktifitas fisik

dan status merokok), dan pola konsumsi (total energi, asupan karbohidrat,

protein, dan lemak) pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja

Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti Werdha Melania tahun

2017?

b. Apakah ada hubungan antara karakteristik lansia (jenis kelamin, status

perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan), gaya hidup (aktifitas fisik dan

status merokok), dan pola konsumsi (total energi, asupan karbohidrat,

protein, dan lemak) dengan kejadian gizi lebih pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur tahun 2017?

c. Apakah ada hubungan antara karakteristik lansia (jenis kelamin, status

perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan), gaya hidup (aktifitas fisik dan

6
status merokok), dan pola konsumsi (total energi, asupan karbohidrat,

protein, dan lemak) dengan kejadian gizi lebih pada lansia penghuni Panti

Werdha Melania tahun 2017?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya perbandingan faktor risiko gizi lebih pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti

Werdha Melania tahun 2017.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Diketahuinya ada atau tidak ada perbedaan karakteristik lansia

(jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan), gaya

hidup (aktifitas fisik dan status merokok), dan pola konsumsi (total

energi, asupan karbohidrat, protein, dan lemak) pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni

Panti Werdha Melania tahun 2017.

b. Diketahuinya hubungan antara karakteristik lansia (jenis kelamin,

status perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan), gaya hidup

(aktifitas fisik dan status merokok), dan pola konsumsi (total

energi, asupan karbohidrat, protein, dan lemak) dengan kejadian

gizi lebih pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas

Ciputat Timur tahun 2017.

7
c. Diketahuinya hubungan antara karakteristik lansia (jenis kelamin,

status perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan), gaya hidup

(aktifitas fisik dan status merokok), dan pola konsumsi (total

energi, asupan karbohidrat, protein, dan lemak) dengan kejadian

gizi lebih pada lansia penghuni Panti Werdha Melania tahun 2017.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Pihak Puskesmas Ciputat Timur dan Panti Werdha Melania

a. Dapat memberikan informasi mengenai faktor risiko terjadinya gizi

lebih pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas

Ciputat Timur dan Panti Werdha Melania.

b. Dapat menggunakan data hasil penelitian sebagai acuan

perancangan program penyuluhan dan sosialisasi atau kebijakan

untuk menanggulangi masalah gizi lebih pada lansia yang tinggal

di rumah dan panti werdha.

c. Dapat melakukan upaya promotif dan preventif dengan cara

memberikan informasi dan edukasi, menerapkan aktifitas fisik dan

pola konsumsi yang tepat bagi lansia secara rutin.

1.5.2 Bagi peneliti

a. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai masalah gizi lebih

serta faktor risiko yang melatarbelakangi terjadinya gizi lebih pada

lansia di dua jenis tempat tinggal yang berbeda, yaitu di rumah dan

panti werdha.

8
b. Sebagai media pembelajaran, pengembangan kompetensi diri dan

ilmu pengetahuan gizi.

c. Sebagai da]sar atau acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswi Peminatan Gizi, Program Studi

Kesehatan Masyarakat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jenis

penelitian deskriptif komparasi dan desain penelitian cross sectional yang

bertujuan untuk mengetahui faktor risiko gizi lebih pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti

Werdha Melania tahun 2017. Penelitian ini dimulai sejak bulan Desember

2016 hingga bulan Januari tahun 2017. Populasi penelitian ini adalah seluruh

lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan

penghuni Panti Werdha Melania. Pengambilan sampel di posbindu dilakukan

menggunakan metode probability sampling dengan pendekatan teknik

proportional random sampling, sedangkan pengambilan sampel di panti

werdha menggunakan metode non probability sampling dengan pendekatan

teknik sampling jenuh. Penelitian dilakukan menggunakan kuesioner untuk

mengatahui karakteristik lansia (jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan,

dan pendidikan), gaya hidup (aktifitas fisik dan status merokok), dan pola

konsumsi (total energi, asupan karbohidrat, protein, dan lemak).

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lansia

Menurut Kemenkes (2014) lanjut usia didefinisikan sebagai seseorang

yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lebih spesifik, Kemenkes (2012)

membagi lanjut usia menjadi tiga kelompok, yaitu: pra lanjut usia (45-59

tahun), lanjut usia (60-69 tahun), dan lanjut usia risiko tinggi (≥70 tahun atau

usia ≥60 tahun dengan masalah kesehatan). Sedangkan Mahan (2008)

membedakan lansia menjadi tiga kelompok, yaitu young old (65-74 tahun),

old (75-84), dan oldest old (85 tahun keatas).

2.2 Gizi Lebih pada Lansia

Gizi lebih didefinisikan sebagai akumulasi yang berlebih pada jaringan

adiposa. Hal ini merupakan hasil jangka panjang dimana terjadi

ketidakseimbangan antara energi-in dengan energi-out yang melibatkan

kelebihan konsumsi kalori dan/atau output energi yang rendah melalui

aktifitas fisik (Brown dkk, 2011). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa

masalah gizi pada lansia sebagian besar merupakan masalah gizi lebih,

dimana masalah gizi lebih tersebut merupakan salah satu faktor risiko

timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes

melitus tipe 2, hipertensi, gout rematik, ginjal, perlemakan hati, stroke,

osteoarthritis, masalah pernapasan, kanker payudara prostat, dan usus besar

(Brown dkk, 2011; Kemenkes, 2012).

10
Status fungsional yang menurun pada lansia dapat memperburuk

terjadinya obesitas (Brown dkk, 2011). Kegemukan atau obesitas biasanya

disebabkan karena pola konsumsi yang berlebihan, konsumsi lemak berlebih,

dan jumlah kalori melebihi yang dibutuhkan tubuh. Jumlah kalori yang

berlebih akan diubah menjadi lemak yang dapat mengakibatkan kegemukan,

apabila tidak diimbangi dengan peningkatan aktifitas fisik atau penurunan

jumlah makan. Hal ini dikarenakan pada lansia proses metabolisme telah

mengalami penurunan (Kemenkes, 2012).

2.2.1 Penilaian Gizi Lebih pada Lansia

Salah satu cara untuk mengetahui status gizi lebih pada lansia,

yaitu dengan mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan

alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya

yang berkaitan dengan kelebihan berat badan yang dapat digunakan

sebagai indikator untuk menentukan adanya indikasi kegemukan

(obesitas) (Fatmah dkk, 2008). Berikut adalah cara menghitung IMT.

Tabel 2.1
Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT yang digunakan di
Indonesia
IMT Status Gizi
< 17,0 Sangat kurus
17,0 -18,4 Kurus
18,5 – 25,0 Normal
25,1 -27,0 Gemuk
>27,0 Obesitas
Sumber: Kemenkes (2012)

11
Penilaian gizi lebih pada seseorang dapat diukur dengan

antropometri berupa tinggi badan dan berat badan. Namun, mengingat

adanya masalah postur tubuh pada lansia seperti pembengkokan

tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak dan

pengukuran sulit dilakukan. Oleh sebab itu, perkiraan tinggi badan

lansia dapat diketahui dengan melakukan pengukuran tinggi lutut,

panjang depa, atau tinggi duduk (Fatmah, 2010). Hal ini dikarenakan

proses penuaan tidak mempengaruhi panjang tulang di tangan, kaki

(lutut), dan tinggi tulang vertebral (Fatmah dkk, 2008). Namun,

berikut ini akan dijelaskan mengenai dua pengukuran antropometri

yang paling tepat dan dapat dilakukan untuk menentukan gizi lebih

pada lansia.

a. Berat Badan

Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air,

dan mineral pada tulang (Supariasa dkk, 2002). Pengukuran berat

badan dilakukan dengan menggunakan timbangan injak digital

(seca) dan memposisikan lansia berdiri tegak dengan memakai

pakaian seminimal mungkin, tidak membawa benda apapun serta

tanpa alas kaki, pandangan lurus ke depan dan tubuh tidak

membungkuk. Pembacaan dilakukan pada alat secara langsung

(Kemenkes, 2012).

12
b. Panjang Depa

Pengukuran panjang depa dapat dilakukan karena relatif

kurang dipegaruhi oleh pertambahan usia, sebab pada kelompok

lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih

lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan (Fatmah

dkk, 2008). Namun, hanya lansia dengan kondisi tertentu yang

dapat melakukan pengukuran panjang depa.

Pengukuran ini dapat dilakukan dengan menggunakan mistar

sepanjang dua meter pada lansia yang tidak mampu berdiri tegak,

namun dapat berdiri dengan kedua buah lengan pergelangan

tangan diluruskan mendatar sepanjang mungkin (Fatmah, 2010).

Pengukuran ini dilakukan dengan cara memposisikan lansia

berdiri dengan kaki dan bahu menempel membelakangi tembok

sepanjang pita pengukuran yang ditempel di tembok. Bagian atas

kedua lengan hingga ujung telapak tangan menempel erat di

dinding sepanjang mungkin. Pembacaan dilakukan dengan

ketelitian 0,1 cm mulai dari ujung jari tengah kanan hingga ujung

jari tengah tangan kiri (Kemenkes, 2011).

Pengukuran panjang depa dipilih karena panjang depa

diketahui memberikan nilai korelasi tertinggi pada lansia pria dan

wanita usia 55-85 tahun sehingga digunakan sebagai prediktor

dalam mengembangkan model tinggi badan prediksi lansia. Selain

itu, terdapat pula studi yang membuktikan bahwa panjang depa

13
memiliki tingkat validitas lebih tinggi daripada tinggi lutut karena

memberikan nilai tinggi badan prediksi yang lebih mendekati

tinggi badan sebenarnya daripada tinggi lutut dan tinggi duduk

(Fatmah dkk, 2008). Berikut prediksi tinggi badan lansia pria dan

wanita yang dapat dirumuskan dari data panjang depa sebagai

berikut (Fatmah dkk, 2008).

Prediksi tinggi badan pria = 23,247 + 0,826 panjang depa


Prediksi tinggi badan wanita = 28,312 + 0,784 panjang depa

2.2.2 Angka Kecukupan Gizi pada Lansia

Persentase besar asupan energi pada lansia menurut Kemenkes

(2012) pada protein sebesar 10-15% dari kebutuhan energi, konsumsi

lemak pada lansia dianjurkan untuk tidak melebihi 20-25% dari

kebutuhan energi, dan karbohidrat sebesar 60-65% dari total

kebutuhan energi. Berikut adalah tabel 2.2 mengenai Angka

Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi lansia.

Tabel 2.2
Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada Lansia
Pria Wanita
No. Zat Gizi Umur (tahun)
50-64 65-79 80+ 50-64 65-79 80+
1 Energi (kkal) 2325 1900 1525 1900 1550 1425
2 Protein (gram) 65 62 60 57 56 55
3 Lemak (gram) 65 53 42 53 43 40
4 Karbohidrat 349 309 248 285 252 232
(gram)

Sumber: Kemenkes (2014)

14
2.3 Faktor Risiko Gizi Lebih pada Lansia

Jika ditinjau dari aspek kesehatan, proses penuaan pada lansia akan

menambah risiko kerentanan seseorang terhadap berbagai keluhan fisik, baik

karena faktor ilmiah maupun karena penyakit (Kemenkes, 2014). Turunnya

aktifitas fisiologi berkaitan erat dengan masalah gizi yang dialami oleh lansia.

Hal ini makin diperparah dengan konsumsi makanan yang kurang seimbang

dan kondisi lansia yang secara alami sudah mengalami penurunan. Penurunan

metabolisme basal yang dialami lansia, memberikan dampak pada kebutuhan

gizi pada lansia yang umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan

kelompok usia dewasa. Sekitar 15-20% terjadi percepatan penurunan

metabolisme basal pada lansia, ditambah dengan aktifitas fisik yang juga

mulai menurun (Fatmah, 2010). Berikut beberapa faktor risiko gizi lebih pada

lansia serta berbagai penelitian terkait masing-masing faktor tersebut.

2.3.1 Karakteristik Lansia

a. Usia

Sebuah penelitian menyatakan bahwa prevalensi orang yang

kelebihan berat badan dan obesitas meningkat seiring dengan

bertambahnya usia, dimana prevalensi kelebihan berat badan dan

obesitas baik pada pria maupun wanita semakin meningkat pada

setiap kelompok umur (Sarma dkk, 2016; Villareal dkk, 2005).

Selain itu, diketahui pula bahwa lansia wanita dan pria lebih

berisiko 4,9 kali dan 5,8 kali mengalami gizi lebih dibandingkan

kelompok usia lainnya (Villareal dkk, 2005).

15
Terjadinya kelebihan berat badan dan obesitas, tidak terlepas

dari penuaan yang dialami oleh lansia. Penuaan dikaitkan dengan

penurunan seluruh komponen utama, seperti pengeluaran energi

total, asupan makanan, dan aktifitas fisik yang juga semakin

menurun seiring bertambahnya usia. Selain itu, telah diperkirakan

bahwa penurunan frekuensi aktifitas fisik juga terjadi saat usia

lanjut. Perubahan hormon yang terjadi selama penuaan juga dapat

meningkatkan akumulasi lemak, serta dikaitkan dengan

penurunan sekresi hormon pertumbuhan, dan resistensi terhadap

leptin yang dapat mengakibatkan peningkatan nafsu makan

(Villareal dkk, 2005).

Selain itu, setelah 50 tahun kebutuhan energi dan lemak

berkurang sebesar 5% untuk setiap 10 tahun. Sedangkan

kebutuhan protein, vitamin, dan mineral meningkat karena

ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel

tubuh dari radikal bebas (Kemenkes, 2012). Selain itu,

bertambahnya usia menyebabkan terjadinya peningkatan

sensitivitas hormon kolesistokinin (cholecystokinin, CCK), yaitu

hormon yang mengontrol pola konsumsi (Touhy & Jett, 2012).

b. Jenis Kelamin

Sebuah studi menyatakan bahwa obesitas lebih banyak

dialami oleh lansia wanita daripada lansia pria (Andrade dkk,

2012; Setiani, 2012; Shebl dkk, 2015), dimana lansia wanita

16
berisiko 1,5 kali mengalami gizi lebih dibandingkan lansia pria

(Setiyanto, 2012).

Tingginya angka obesitas yang dialami oleh lansia wanita,

disebabkan adanya perbedaan biologis dalam tubuh wanita,

dimana setelah menopause terjadi penurunan kadar estrogen yang

menyebabkan terjadinya pula penurunan aktifitas metabolik dan

mempercepat perkembangan terjadinya obesitas pada wanita.

Selain itu, wanita juga memiliki massa lemak yang relatif lebih

besar dibandingkan dengan pria. Sehingga peluang untuk

terjadinya obesitas lebih besar pada wanita daripada pria (Kim,

Chun, & Kwon, 2011).

c. Status Perkawinan

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan gizi

lebih (Dinour dkk, 2012; Simanjuntak, 2010; Tzotzas dkk, 2010).

Selain itu, lansia yang menikah/pernah menikah akan berisiko

mengalami gizi lebih dan obesitas 7,2 kali lebih tinggi

dibandingkan lansia yang tidak menikah atau tidak memiliki

pasangan (Setiyanto, 2012). Hal serupa juga dapat dibuktikan

melalui penelitan Janghorbani dkk (2008) dan Tzotzas dkk (2010)

dimana lansia yang berstatus janda/duda lebih berisiko

mengalami gizi lebih.

17
Pada saat belum menikah, seseorang akan lebih

memperhatikan berat badan dan penampilan mereka terutama

wanita untuk menarik lawan jenis. Namun, pada seseorang yang

telah menikah cenderung memiliki aktifitas fisik yang kurang,

pola makan berubah, tidak lagi memperhatikan bentuk tubuh dan

penampilan mereka, tidak memiliki dukungan sosial dari

pasangan, atau faktor lingkungan lainnya. Selain itu, penyebab

lain juga dapat ditimbukan akibat ikut mengkonsumsi makanan

ringan yang dikonsumsi oleh anak-anaknya sehingga dapat

meningkatkan obesitas bagi orangtua. Di samping itu, pada

pasangan yang telah menikah cenderung untuk berhenti merokok

yang berkaitan dengan peningkatan berat badan seseorang serta

seseorang yang telah menikah akan lebih sedikit memiliki waktu

untuk melakukan olahraga (Dinour dkk, 2012; Janghorbani dkk,

2008).

Sedangkan pada wanita/pria yang berstatus janda juga akan

berisiko mengalami obesitas sebab mereka cenderung akan lebih

menutup diri dari masyarakat karena status pernikahannya, tidak

tertarik lagi untuk memperhatikan penampilan mereka, dan

kurang aktifitas fisik (Dinour dkk, 2012; Tzotzas dkk, 2010).

d. Pekerjaan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Flaherty (2014)

menunjukkan hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan

18
obesitas dimana lansia yang lama tidak bekerja berisiko 1,64 kali

mengalami obesitas dibandingkan pada lansia yang bekerja

(Laitinen dkk, 2002; Ma dkk, 2003) dan pekerjaan yang sebagian

besar dihabiskan hanya dengan duduk berisiko 2,33 kali lebih

besar mengalami gizi lebih dan obesitas (Sarma dkk, 2016). Di

samping itu, diketahui pula bahwa wanita dan pria yang memiliki

pekerjaan yang tinggi cenderung memiliki prevalensi obesitas

yang rendah (Public Health England, 2012).

Seseorang yang bekerja, namun lebih banyak menggunakan

alat bantu berupa mesin atau peralatan sejenisnya akan lebih

berisiko tinggi mengalami obesitas. Sedangkan pekerjaan yang

lebih bersifat kompleks dan banyak menggunakan tenaga fisik

maka akan sedikit peluangnya untuk mengalami obesitas

(Flaherty, 2014; Allman-Farinelli dkk, 2010).

Berdasarkan studi yang dilakukan sebelumnya diketahui

bahwa kelebihan berat badan dan obesitas dikaitkan dengan status

pengangguran dan pekerjaan yang ringan. Selain itu, diketahui

pula bahwa status pengangguran mempengaruhi kesehatan mental

seseorang yang berakibat pada stres dan depresi serta berpengaruh

pada pola makan dan minum. Sehingga, dapat berdampak pada

peningkatan berat badan seseorang (Laitinen dkk, 2002; Schulte

dkk, 2007). Sedangkan jam kerja yang panjang, pemberlakuan

shift kerja, dan lembur dapat mengakibatkan kelelahan sehingga

19
dapat menghambat terjadinya peningkatan berat badan (Schulte

dkk, 2007).

e. Pendidikan

Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan yang signifikan

antara pendidikan yang rendah dengan kejadian gizi lebih dan

obesitas (Devaux dkk, 2011; Hajian-Tilaki & Heidari, 2010;

Public Health England, 2012; Sabanayagam dkk, 2009), dimana

lansia pria dan wanita yang berpendidikan rendah berisiko 1,51

dan 2,51 kali mengalami gizi lebih dibandingkan yang

berpendidikan tinggi (Noh dkk, 2014).

Hubungan antara kedua hal tersebut, menurut Tzotzas dkk

(2010) dikaitkan dengan pengetahuan, dimana seseorang dengan

pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih

baik tentang informasi mengenai asupan makanan. Hal serupa

juga disampaikan oleh Michael Grossman tentang hipotesisnya

mengenai model kesehatan yang dikembangkannya bahwa

pendidikan meningkatkan pengetahuan seseorang terhadap

produksi dan kemampuannya memilih menu makanan yang sehat

dan menghindari kebiasaan yang tidak sehat (Kemna,1987 dalam

Sassi dkk, 2011). Selain itu, seseorang dengan pendidikan tinggi

akan lebih mengetahui makanan apa yang dapat berakibat pada

masalah kesehatan tertentu (Sassi dkk, 2011).

20
Selain itu, hal ini juga cenderung lebih berpengaruh pada

wanita yang berpendidikan tinggi akan memiliki peluang kecil

mengalami obesitas, mengingat wanita juga berperan saat

menyiapkan dan mengolah makanan dalam keluarga (Devaux

dkk, 2011; Hajian-Tilaki & Heidari, 2010; Sassi dkk, 2011).

Di samping itu, rendahnya tingkat pendidikan juga

memungkinkan seseorang untuk semakin tertekan dari segi

psikososial yang dapat menyebabkan konsumsi makanan berlebih

dan penurunan aktifitas fisik (Tzotzas dkk, 2010). Selain itu,

seseorang dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mungkin

untuk mau melakukan olahraga secara rutin. Jadi, secara

keseluruhan terdapat kecenderungan bahwa dengan

berpendidikan tinggi maka seseorang akan memiliki pengetahuan

untuk mengembangkan gaya hidup sehat dan memiliki kesadaran

untuk terhindar dari berbagai risiko obesitas (Sassi dkk, 2011).

f. Status Menopause

Menurut Brown dkk (2013), kejadian obesitas dikaitkan

dengan tingkat estrogen yang lebih rendah baik pada pria maupun

pada wanita. Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa penelitian

sebelumnya yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara menopause dengan kejadian gizi lebih dan

obesitas (Freeman dkk, 2010; Gonçalves dkk, 2016; Grantham &

Henneberg, 2014; Gravena dkk, 2013; Lizcano dkk, 2014). Pada

21
penelitiannya, Gonçalves dkk (2016) menyatakan bahwa lansia

akan berisiko 8 kali lebih tinggi mengalami gizi lebih apabila

telah mengalami menopause.

Dalam hal ini, dapat diketahui pula bahwa proses penuaan

yang dialami lansia dapat menjadi penyebab yang kuat terjadinya

kegemukan, sebab pada lansia akan terjadi penurunan kadar

hormon dan jumlah energi yang dikeluarkan. Dengan

menghubungkan hal tersebut dengan faktor eksternal lainnya,

seperti kebiasaan makan dan gaya hidup yang buruk, maka wanita

kemungkinan mengalami kenaikan berat badan yang rata-rata

sebanyak 2kg/tahun dalam tiga tahun (Gonçalves dkk, 2016).

Menurut Teta (2013) hal ini dikarenakan pada wanita yang

telah menopause, kadar estrogen dalam tubuh akan menurun yang

mengakibatkan reseptor-alpha menjadi lambat dalam proses

pelepasan lemak. Sehingga lemak lebih banyak disimpan di

bagian perut dibandingkan di daerah subkutan.

Sedangkan menurut hasil dari penelitian Grantham &

Henneberg (2014), menyatakan bahwa wanita cenderung

berpeluang lebih besar mengalami obesitas dibandingkan pria,

disebabkan paparan estrogen yang ada dalam tubuh wanita

menyebabkan kenaikan berat badan terutama melalui

penghambatan tiroid dan modulasi dari hipotalamus. Di samping

22
itu, wanita juga rentan terhadap penyakit endokrin yang

menyebabkan kenaikan berat badan.

Selain itu terdapat bukti lain yang menunjukkan bahwa

hormon estrogen memiliki peranan penting terhadap terjadinya

obesitas wanita, yaitu dengan adanya hormon tersebut telah

terbukti menurunkan kadar gula darah puasa dan kadar insulin.

Hormon estrogen juga diketahui sangat mempengaruhi distribusi

lemak tubuh dan diferensiasi adiposit. Estrogen dan reseptor

estrogen mengatur berbagai aspek glukosa dan metabolisme lipid.

Jika terjadi gangguan sinyal metabolik, maka dapat menyebabkan

perkembangan sindrom metabolik dan terjadinya risiko penyakit

kardiovaskular yang akan lebih tinggi pada wanita selama periode

menopause yang dominan ditandai dengan akumulasi lemak perut

(Freeman dkk, 2010; Lizcano dkk, 2014).

2.3.2 Gaya Hidup

a. Aktifitas Fisik

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Must &

Tybor (2005) dan Ahmed dkk (2016), menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan dan berbanding terbalik antara

aktifitas fisik dengan kelebihan berat badan dan obesitas, dimana

semakin rendah aktifitas fisik yang dilakukan, maka akan

semakin berpeluang untuk mengalami obesitas pada seseorang.

Selain itu, diketahui pula bahwa lansia wanita dan pria dengan

23
aktifitas fisik yang rendah berisiko 1,91 kali dan 1,5 kali

mengalami obesitas dibandingkan lansia yang melakukan aktifitas

fisik sedang dan tinggi (Petersen dkk, 2004).

Aktifitas fisik berperan dalam mengontrol berat badan

seseorang serta merupakan faktor yang paling mudah

dimodifikasi untuk membakar kalori, misalnya dengan bersepeda

dan berjalan cepat yang dapat membantu wanita menghindari

kenaikan berat badan. Di samping itu, aktifitas fisik juga dapat

mencegah obesitas dalam beberapa cara, sebab dengan melakukan

aktifitas fisik dapat meningkatkan pengeluaran energi bahkan

menurunkan berat badan. Selain itu, aktifitas fisik juga

menurunkan jumlah lemak di sekitar pinggang dan

memperlambat terjadinya obesitas. Dengan melakukan kegiatan

pembentukan dan membangun massa otot, tubuh akan membakar

lebih banyak energi dan lebih mudah untuk mengontrol berat

badan (Harvard Chan School, 2016).

Lansia akan mengalami penurunan kemampuan fisik yang

berdampak pada berkurangnya aktifitas fisik sehingga energi

yang dikeluarkan akan berkurang. Pada lansia yang aktifitas

fisiknya menurun, asupan energi harus dikurangi untuk mencapai

keseimbangan energi dan mencegah terjadinya obesitas. Aktifitas

fisik berperan dalam menurunkan berat badan, memberikan efek

positif terhadap metabolisme energi, memberikan latihan pada

24
jantung, dan menurunkan risiko diabetes melitus karena aktifitas

fisik meningkatkan sensitivitas insulin (Garrow dkk, 2000 dalam

Fatmah, 2010).

Menurut hasil penelitian Petersen dkk (2004) menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktifitas fisik

dengan kejadian gizi lebih. Namun, dengan adanya kejadian gizi

lebih kemungkinan memiliki hubungan dengan berkurangnya

aktifitas fisik pada penderitanya.

Pada penelitian ini, pengukuran aktifitas fisik menggunakan

Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). GPAQ merupakan

salah satu kuesioner yang dapat digunakan oleh responden lansia dan

telah diuji di 9 negara, termasuk Indonesia dengan tingkat

validitas (r=0,45-0,57) dan reliabilitas yaitu 0,67-0,81(Bull dkk,

2009).

Kuesioner ini terdiri dari empat domain, yaitu aktifitas fisik

saat bekerja, aktifitas perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain,

aktifitas rekreasi, dan aktifitas menetap (sedentary activity). Data

yang telah didapat dari responden selanjutnya akan dihitung dan

dikategorikan berdasarkan MET (Metabolic Energy Turnover),

yaitu perbandingan antara laju metabolisme saat bekerja dengan

laju metabolisme saat istirahat yang digambarkan dengan satuan

kg/kkal/jam (WHO GPAQ, 2012).

25
Analisis hasil pengisian kuesioner GPAQ akan dikategorikan

berdasarkan perhitungan total volume aktifitas fisik yang

disajikan dalam satuan MET menit/minggu. Adapun rumus

perhitungan aktifitas fisik menggunakan GPAQ adalah sebagai

berikut (WHO GPAQ, 2012).

Total Aktifitas Fisik MET-menit/minggu


= [(P2*P3*8) + (P5*P6*4) + (P8*P9*4) + (P11*P12*8) + (P14*P15*4)]

Kategori aktifitas fisik menurut GPAQ (WHO GPAQ, 2012),

yaitu:

1. Aktifitas ringan adalah orang yang memiliki total skor

aktifitas fisik <600 MET-menit/minggu.

2. Aktifitas sedang adalah orang yang memiliki total skor

aktifitas fisik minimal 600-1499 MET-menit/minggu.

3. Aktifitas tinggi adalah orang yang memiliki total skor

aktifitas fisik ≥1500 MET-menit/minggu

b. Status merokok

Menurut hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara status merokok dengan prevalensi gizi

lebih dan obesitas (Andrade dkk, 2012; Dare dkk, 2015; Kwon

dkk, 2013; Plurphanswat & Rodu, 2014; Watanabe dkk, 2016).

Selain itu, diketahui pula bahwa gizi lebih dan obesitas

berhubungan secara langsung dengan status merokok di masa

lalu. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian Dare dkk (2015),

26
yaitu mantan perokok berat berisiko 1,6 kali lebih berpeluang

mengalami obesitas dibandingkan dengan yang bukan mantan

perokok. Pria dan wanita mantan perokok berat berisiko 1,94 kali

dan 2,15 kali mengalami obesitas dibandingkan dengan yang

bukan perokok berat (Clair dkk, 2011). Sedangkan pada

penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2010) menyatakan

bahwa faktor status merokok merupakan faktor yang paling

dominan pengaruhnya terhadap gizi lebih dan dapat disimpulkan

pula bahwa faktor ini merupakan faktor pencegah terjadinya gizi

lebih dalam penelitian ini.

Watanabe dkk (2016) menjelaskan bahwa wanita yang

sebelumnya pernah merokok di masa lalu, kemudian berhenti

merokok saat masa usia lanjut, maka akan cenderung mengalami

kegemukan. Hal ini berbeda jika dibandingkan pada wanita yang

berhenti merokok saat masih berusia lebih muda, karena pada

wanita yang lebih muda belum mengalami menopause sehingga

masih menghasilkan hormon estrogen yang juga diketahui

sebagai penghambat terjadinya obesitas.

Selain itu, hasil penelitian Simanjuntak (2010) menyatakan

bahwa jika status merokok dapat dihentikan, maka seseorang

akan lebih banyak mengkonsumsi makanan. Akibatnya, peluang

terjadinya kegemukan akan semakin besar. Perubahan jumlah

makanan yang dikonsumsi dalam waktu singkat dapat

27
menyebabkan perubahan berat badan. Hal yang sama juga

disampaikan oleh Andrade dkk (2012) dan Kwon dkk (2013)

bahwa perokok akan cenderung lebih kurus daripada yang bukan

perokok, sebab dengan merokok dapat mengurangi nafsu makan

dan merangsang metabolisme tubuh.

Di samping itu, kandungan nikotin yang ada dalam rokok

dapat meningkatkan pengeluaran energi dan dapat mengurangi

nafsu makan. Terlebih, merokok juga meningkatkan resistensi

insulin dan meningkatkan risiko sindrom metabolik dan diabetes

dimana hal tersebut dapat pula meningkatkan risiko penyakit

kardiovaskular (Chiolero dkk, 2008; Kwon dkk, 2013;

Plurphanswat & Rodu, 2014).

2.3.3 Sosial Ekonomi

a. Status tinggal lansia

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan di

panti werdha, menunjukkan bahwa lansia di tempat ini cenderung

mengalami gizi lebih (Anggraeni, 2013; Aprillia & Khomsan,

2014; de Lima dkk, 2012; Fauziah, 2012; D. Gonçalves dkk,

2012; Lei dkk, 2014; Zhang dkk, 2013). Hasil yang sama juga

ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada lansia yang

tinggal di masyarakat, yaitu cenderung mengalami gizi lebih

(Andrade dkk, 2012; Gille dkk, 2015; Setiani, 2012; Setiyanto,

2012).

28
Berdasarkan hasil dari penelitian Anggraeni (2013) diketahui

bahwa asupan lemak pada lansia di panti werdha dalam penelitian

ini cukup tinggi. Hal ini disebabkan sebagian besar dari mereka

mengkonsumsi makanan selingan, sebab mereka merasa bosan

terhadap penyajian makanan yang disediakan oleh pihak panti

werdha, sehingga mereka memilih untuk membeli makanan yang

justru mengandung banyak lemak. Selain itu, makanan tersebut

juga mereka peroleh dari para tamu, donatur, maupun LSM yang

berkunjung pada akhir pekan. Dengan demikian, setiap lansia

memiliki cadangan makanan ringan yang cukup banyak sehingga

tidak dapat dikontrol asupan lemak tiap orangnya.

Sedangkan responden pada penelitian Aprillia & Khomsan

(2014) cenderung kurang mengkonsumsi buah dan sayur,

sehingga kebutuhan akan serat masih belum terpenuhi dan lansia

menjadi cepat lapar. Selain itu, kontribusi energi di setiap waktu

makan cenderung berlebih dari kebutuhan, sebab sistem

penyelenggaraan makanan di panti tersebut memberi kebebasan

kepada subjek untuk mengkonsumsi makanan sumber energi

sesuai keinginan serta makanan selingan yang belum beragam.

Lain halnya menurut penelitian Zhang dkk (2013),

prevalensi obesitas lebih tinggi ditemukan di panti werdha yang

tidak memiliki ahli gizi dan perawat yang tidak profesional dalam

menyajikan makanan sesuai kebutuhan gizi dan membimbing

29
aktifitas fisik yang seharusnya dilakukan oleh lansia. Sedangkan,

menurut Tabar (2015) mengatakan bahwa kurangnya perawat dan

peralatan yang memadai mempengaruhi kemampuan perawat

dalam merawat lansia penderita obesitas, dimana lansia sering

ditelantarkan saat masa perawatan, hal ini mungkin dikarenakan

kurangnya jumlah perawat yang ada di panti werdha tersebut.

Sedangkan menurut hasil penelitian Setiani (2012) pada

lansia di masyarakat diketahui bahwa masalah gizi lebih terjadi

akibat tingginya asupan lemak namun tidak diiringi dengan

peningkatan aktifitas fisik, sehingga lansia cenderung menjadi

gemuk. Pada penelitian lainnya, Gille dkk (2015) juga

menemukan bahwa tingginya angka gizi lebih pada masyarakat

disebabkan karena masih kurangnya penerapan tentang

pengetahuan gizi dalam kehidupan sehari-hari dan masih perlunya

bimbingan untuk lansia dalam memahami rekomendasi diet yang

sesuai dengan kebutuhannya.

b. Pendapatan

Berdasarkan hasil beberapa penelitian diketahui bahwa ada

hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan kejadian

obesitas pada lansia (Levine, 2011; Setiyanto, 2012; Thompson,

2013; Food Research and Action Center, 2015), serta seseorang

dengan pendapatan rendah berisiko mengalami gizi lebih 1,6 kali

30
lebih tinggi dibandingkan seseorang dengan pendapatan tinggi

(Noh dkk, 2014).

Pada penelitian Levine (2011), menjelaskan bahwa masyarakat

yang berada pada garis kemiskinan dan tinggal di wilayah

pemukiman padat merupakan yang paling rentan terhadap

obesitas, sebab mereka tidak/kurang terjangkau dalam mengakses

makanan segar dan sehat. Sehingga ketersediaan pangan kurang

memadai. Selain itu, kecenderungan untuk berperilaku sedentary

juga memungkinkan terjadinya gizi lebih dan obesitas. Hal ini

disebabkan kurang tersedianya fasilitas olahraga dan taman bagi

penduduk wilayah ini, atau mereka juga tidak mampu untuk

berolahraga di tempat gym.

Di samping itu, diketahui pula bahwa dengan rendahnya

pendapatan masyarakat tidak memperoleh makanan yang lebih

berkualitas dan lebih sehat. Sedangkan masyarakat dengan

pendapatan tinggi dapat dengan mudah mengakses makanan sehat

dan mengurangi risiko obesitas. Selain itu, masyarakat yang tidak

memiliki kendaraan atau terbatas dalam mengakses makanan,

akan lebih memikirkan jumlah makanan yang hendak dibeli dan

cenderung lebih memilih produk makanan yang tahan lama

dibandingkan produk makanan segar dengan harga yang

terjangkau, padahal produk tersebut cenderung menambahkan

31
gula, bahan pengawet, dan lemak yang menjadi pemicu terjadinya

gizi lebih.

Selain itu, seseorang dengan pendapatan rendah akan

cenderung membeli makanan yang padat energi yang pada

akhirnya akan berdampak pada risiko kejadian obesitas. Terlebih,

semakin banyaknya tempat makanan cepat saji yang menyediakan

makanan tinggi kalori, semakin memudahkan masyarakat dengan

pendapatan rendah untuk mengakses makanan tersebut yang pada

akhirnya dikaitkan dengan kenaikan berat badan (Food Research

and Action Center, 2015).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Drewnowski & Specter

(2004) yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan pembelian

dan kualitas makanan pada seseorang dengan tingkat pendapatan

rendah dan tinggi, dimana seseorang dengan pendapatan tinggi

akan cenderung membeli daging, ikan, sayur, buah, dan makanan

lain dengan kualitas tinggi. Selain itu, pada penelitiannya, mereka

juga menyatakan bahwa untuk mencapai diet sehat memerlukan

lebih banyak uang.

2.3.4 Pola Konsumsi pada Lansia

a. Total Energi

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa

asupan energi secara signifikan berhubungan dengan obesitas

pada wanita dan pria yang seiring pula dengan meningkatnya

32
lingkar pinggang seseorang. Selain itu, hasil penelitian ini juga

menemukan bahwa pengurangan makanan yang padat energi

dapat dilakukan untuk mengatasi obesitas pada seseorang

(Mendoza, Drewnowski, & Christakis, 2007). Pada penelitian

lainnya juga menyebutkan bahwa asupan energi juga

berkontribusi terhadap strategi untuk mengurangi tingkat obesitas

pada seseorang (Hill, Wyatt, & Peters, 2012)

Dari hasil beberapa penelitian diketahui bahwa asupan energi

tidak berhubungan signifikan dengan status gizi lansia

(Anggraeni, 2013; Setiyanto, 2012; Simanjuntak, 2010). Selain

itu, pada penelitian Setiyanto (2013) diketahui bahwa sekitar 60%

lansia di posbindu memiliki asupan energi yang cukup sedangkan

pada lansia di panti werdha, sekitar 80% lansia masih kurang

dalam mengkonsumsi energi.

Energi dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun

organ-organ dalam tubuh agar tetap berfungsi dengan baik

walaupun fungsinya tidak sebaik saat masih muda. Untuk lansia,

kebutuhan kalori akan menurun sekitar 10% pada usia 60-69

tahun (Fatmah, 2010).

b. Asupan Karbohidrat

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian diketahui bahwa

asupan karbohidrat berkaitan dengan gizi lebih dan obesitas,

serta IMT dapat menurun secara signifikan pada penderita

33
obesitas apabila membatasi jumlah asupan karbohidrat. Hasil

penelitian lain menyatakan bahwa terjadi penumpukan lemak

dan meningkatnya penggabungan glukosa menjadi lipid, serta

terjadinya sintesis asam lemak yang lebih besar apabila

mengkonsumsi tinggi karbohidrat (Jitnarin dkk, 2010; Ma dkk,

2005; Golay dkk, 1996 dalam van Dam & Seidell, 2007). Selain

itu, diketahui pula bahwa seseorang dengan asupan karbohidrat

melebihi 600 gram per hari (>200%) berisiko 1,6 kali

mengalami gizi lebih dibandingkan dengan seseorang dengan

asupan karbohidrat kurang dari sama dengan 600 gram per hari

(Jitnarin dkk, 2010).

Karbohidrat merupakan salah satu makronutrien yang

berperan dalam memberikan sumber energi bagi manusia.

Namun jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih, sedangkan

penyimpanan di hati dan otot dalam menyimpan glikogen

terbatas, maka karbohidrat akan disimpan berupa lemak dalam

jaringan lemak. Selain itu, tingginya asupan karbohidrat akan

terjadi pula peningkatan glukosa darah. Sehingga, pankreas akan

mengeluarkan hormon insulin untuk menurunkan kadar glukosa

darah. Namun, mengingat insulin merupakan hormon

penyimpan kelebihan karbohidrat dalam bentuk lemak untuk

membuat cadangan energi, maka keluarnya insulin yang

dirangsang oleh karbohidrat akan meningkatkan jumlah lemak

34
dalam tubuh. Selain itu, insulin juga berperan untuk menahan

lemak yang telah disimpan. Maka terjadilah kelebihan berat

badan pada seseorang. (Examine, 2016; Mobbs dkk, 2009;

Golay dkk, 1996 dalam van Dam & Seidell, 2007).

c. Asupan Lemak

Persentase energi makanan yang berasal dari asupan lemak

diduga menjadi faktor penting dari lemak tubuh. Dalam

penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan antara

peningkatan berat badan dengan asupan lemak. Selain itu,

diketahui bahwa asupan lemak berhubungan dengan

peningkatan yang signifikan pada kegemukan dan diyakini

sebagai penyebab utama kenaikan berat badan seseorang

(Anggraeni, 2013; Drewnowski, 2007; Jitnarin dkk, 2010).

Selain itu, lansia dengan asupan lemak lebih dari 20% AKG

berisiko 1,62 kali mengalami gizi lebih dibandingkan lansia

dengan asupan lemak kurang (Setiyanto, 2012).

Lemak merupakan sumber energi terbesar dibandingkan

dengan penghasil energi lainnya, seperti karbohidrat dan protein.

Lemak yang berlebih dalam tubuh disimpan sebagai cadangan

tenaga dan bila jumlahnya sangat berlebihan akan disimpan

sebagai lemak tubuh (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

Tingginya jumlah lemak dalam tubuh berhubungan positif

dengan kadar hormon leptin dalam darah. Leptin disekresi oleh

35
sel-sel adiposa yang masuk ke dalam peredaran darah dan

menuju hipotalamus. Leptin berperan dalam mengendalikan

berat badan dengan mengendalikan rasa lapar dan pemakaian

energi (Almatsier, 2003). Namun, pada penderita obesitas tidak

jarang ditemukan gangguan jalur sinyal leptin yang berkaitan

dengan resistensi leptin. Bagi penderita kelebihan berat badan

dan obesitas, pusat-pusat di hipotalamus yang berperan dalam

homeostatis energi ―disetel lebih tinggi‖. Sehingga reseptor

leptin di otak tidak berespon terhadap tingginya kadar leptin

darah yang berasal dari jaringan lemak yang banyak. Karena itu

otak tidak mendeteksi leptin sebagai sinyal untuk menurunkan

nafsu makan sampai titik patokan yang lebih tinggi. Oleh sebab

itu, simpanan lemak menjadi lebih banyak. Hal tersebut menjadi

penyebab mengapa penderita kelebihan berat badan cenderung

mempertahankan berat mereka namun dengan tingkat yang lebih

tinggi daripada normal. Selain gangguan reseptor, gangguan

transpor leptin menembus pembuluh darah otak atau defisiensi

salah satu pembawa pesan kimiawi di jalur leptin juga dapat

menjadi gangguan lain di jalur leptin (Sherwood, 2011).

Di samping itu, terjadinya penurunan metabolisme basal,

semakin berkurangnya aktifitas fisik yang dilakukan oleh lansia

dan semakin berkurangnya pula produksi enzim, mengakibatkan

pencernaan lemak pada lansia berlangsung tidak sempurna yang

36
akan membebani kerja usus. Sehingga, jika lansia

mengkonsumsi lemak melebihi anjuran, maka tubuh

menyimpan lebih banyak energi berupa lemak tubuh. Padahal

energi tersebut hanya sedikit yang dikeluarkan. Maka dari itu,

lansia akan cenderung mengalami gizi lebih atau obesitas.

Sehingga konsumsi lemak yang berlebih pada lansia sebaiknya

dihindari karena dapat meningkatkan kadar lemak tubuh

(Adriani & Wirjatmadi, 2012).

d. Asupan Protein

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa diet protein berperan

dalam sistem pengaturan berat badan dibandingkan dengan

makronutrien lainnya, serta protein juga diketahui memberikan

efek yang terlihat jelas pada lansia yang mengalami obesitas

(Velasquez & Bhathena, 2007). Selain itu, terdapat studi yang

menyatakan bahwa asupan protein yang tinggi akan

meningkatkan risiko obesitas (Gunther dkk, 2007), dimana

asupan protein yang melebihi 100 gram akan berisiko 1,6 kali

mengalami overweight dan obesitas (Jitnarin dkk, 2010).

Makanan yang tinggi kandungan protein biasanya juga tinggi

akan lemak, sehingga dapat menyebabkan obesitas. Tingginya

jumlah lemak dalam tubuh berhubungan positif dengan kadar

hormon leptin dalam darah. Leptin disekresi oleh sel-sel adiposa

yang langsung masuk ke dalam peredaran darah dan menuju ke

37
hipotalamus. Leptin merupakan penghubung antara sistem

syaraf pusat dan sel lemak dalam tubuh yang berperan dalam

mengendalikan berat badan dengan cara mengendalikan rasa

lapar dan pemakaian energi (Almatsier, 2003).

Namun, pada penderita obesitas tidak jarang ditemukan

gangguan jalur sinyal leptin yang berkaitan dengan resistensi

leptin. Bagi penderita kelebihan berat badan dan obesitas, pusat-

pusat di hipotalamus yang berperan dalam homeostatis energi

―disetel lebih tinggi‖. Sehingga reseptor leptin di otak tidak

berespon terhadap tingginya kadar leptin darah yang berasal dari

jaringan lemak yang banyak. Karena itu otak tidak mendeteksi

leptin sebagai sinyal untuk menurunkan nafsu makan sampai

titik patokan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, simpanan lemak

menjadi lebih banyak. Hal tersebut menjadi penyebab mengapa

penderita kelebihan berat badan cenderung mempertahankan

berat mereka namun dengan tingkat yang lebih tinggi daripada

normal. Selain gangguan reseptor, gangguan transpor leptin

menembus pembuluh darah otak atau defisiensi salah satu

pembawa pesan kimiawi di jalur leptin juga dapat menjadi

gangguan lain di jalur leptin (Sherwood, 2011).

2.4 Penilaian Asupan Pangan dengan Food Recall 24 Hours

Metode food recall 24 hours dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah

bahan makanan yang dikonsumsi responden selama 24 jam terakhir

38
(Supariasa et al, 2002). Metode ini sebaiknya dilakukan secara berulang dan

harinya tidak berturut-turut untuk mendapatkan gambaran kebiasaan makan

responden (Supariasa et al, 2002).

Langkah pelaksaan dalam metode ini, yaitu peneliti menanyakan kembali

dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden

dalam ukuran URT selama kurun waktu 24 jam. Selanjutnya hasil pencatatan

bahan makanan tersebut dianalisis ke dalam zat gizi dengan menggunakan

Daftar Bahan Makanan (DKBM) dan kemudian dibandingkan dengan AKG

(Supariasa et al, 2002).

Keunggulan dari metode ini yaitu dapat diterapkan pada populasi dengan

etnik yang berbeda-beda, tidak harus bisa membaca dan menulis, penolakan

responden kemungkinannya kecil, serta teknik wawancara tidak mengubah

atau menambah pola konsumsi makanan. Sedangkan kelemahannya yaitu

memerlukan ketrampilan pewawancara yang tinggi, pewawancara juga harus

mengenali kebiasaan makan penduduk setempat agar jawaban yang diperoleh

lengkap dan rinci, serta ukuran porsi sulit untuk diestimasi secara tepat

(Fatmah, 2010).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode food recall 3x24

hours. Hal ini dikarenakan menurut buku Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut

Usia, penilaian pola konsumsi pada lansia dapat dilakukan dengan

menggunakan metode food recall 24 hours. Dengan menggunakan metode ini

dapat diketahui berapa besar pencapaian asupan zat gizi seseorang terhadap

AKG (Kemenkes, 2012). Selain itu, terdapat sebuah hasil penelitian yang

39
menunjukkan bahwa food recall 24 hours yang dilakukan selama tiga hari

dapat digunakan untuk menilai asupan protein, karbohidrat, serat, gula,

cairan, kalium, dan kalsium yang hasilnya tidak berbeda dari yang diperoleh

dengan menggunakan metode estimated dietary records (De Keyzer dkk,

2011) serta rata-rata asupan ternyata lebih tinggi pada saat weekend (Ma dkk,

2009).

Oleh karena itu, peneliti melakukan food recall 24 hours selama 3 hari,

yaitu dua hari weekday dan satu hari weekend untuk melihat keragaman

makanan yang dikonsumsi responden. Di samping itu, menurut Ovesen

(2000) menyatakan bahwa metode ini merupakan metode sederhana yang

dapat dilakukan uuntuk mendapatkan informasi akurat mengenai penilaian

asupan makanan pada kelompok lansia.

2.5 Kerangka Teori

Gizi lebih didefinisikan sebagai akumulasi yang berlebih pada jaringan

adiposa dan hasil jangka panjang dimana terjadi ketidakseimbangan antara

energi-in dengan energi-out yang melibatkan kelebihan konsumsi kalori

dan/atau output energi yang rendah melalui aktifitas fisik (Brown dkk, 2011).

Beberapa faktor risiko gizi lebih pada lansia antara lain: jenis kelamin,

dan aktifitas fisik serta faktor pekerjaan (Kemenkes, 2012; Fatmah, 2010,

Darmojo, 2011). Selain itu, faktor pendidikan, status merokok juga diketahui

sebagai faktor risiko terjadinya gizi lebih (Darmojo, 2011). Diketahui pula

asupan zat gizi makro (Brown dkk, 2011; Fatmah, 2010; Darmojo, 2011),

40
pendapatan, status perkawinan, dan statu`s tinggal lansia juga menjadi faktor

risiko gizi lebih lainnya (Brown dkk, 2011).

Menurut Kemenkes (2012), kebutuhan gizi pada lanjut usia dipengaruhi

oleh faktor umur, jenis kelamin, aktifitas fisik, dan pekerjaan. Sedangkan

menurut Fatmah (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi

pada lansia adalah usia, jenis kelamin, penurunan aktifitas fisik, serta

kebutuhan zat gizi makro pada lansia yang dapat dilihat dari total energi,

asupan karbohidrat, protein, dan lemak. Di samping itu, menurut teori Brown

dkk (2011) terdapat beberapa faktor yang membuat lansia berpeluang

mengalami risiko gizi, yaitu status tinggal lansia, status menopause, serta

asupan pangan.

Dengan melihat keseluruhan teori tersebut, maka peneliti membuat

kerangka teori seperti berikut.

41
Bagan 2.1
Kerangka Teori

Karakteristik Lansia
Usia
Jenis kelamin
Status perkawinan

Pekerjaan
Pendidikan
Status menopause

Gaya Hidup
Aktifitas fisik Gizi Lebih pada
Status merokok Lansia

Sosial Ekonomi
Pendapatan

Status tinggal
lansia

Pola konsumsi
a. Total Energi
b. Asupan
Karbohidrat
c. Asupan Protein
d. Asupan Lemak

Adaptasi teori dari Brown dkk (2011), Darmojo (2011), Fatmah (2010), serta
Kemenkes (2011)

42
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori-teori dan penelitian terdahulu yang telah dijabarkan

pada bab tinjauan pustaka sebelumnya, maka peneliti dapat menyimpulkan

bahwa faktor risiko gizi lebih pada lansia meliputi: usia, jenis kelamin, status

perkawinan, pekerjaan, pendidikan, status menopause, aktifitas fisik, status

merokok, status tinggal lansia, pendapatan, total energi, asupan karbohidrat,

protein, dan lemak. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan adaptasi

teori dari Fatmah (2010), Kemenkes (2011), Darmojo (2006), serta Brown

dkk (2011). Seluruh faktor akan dicantumkan dalam kerangka konsep, kecuali

faktor usia, status menopause, dan pendapatan.

Hal tersebut dikarenakan, menurut peneliti faktor usia dalam penelitian

ini sudah fokus pada kelompok lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun

ke atas. Selain itu, mengingat bahwa responden yang akan diteliti adalah

lansia maka peneliti berasumsi bahwa seluruh responden wanita telah

mengalami menopause. Sedangkan faktor pendapatan tidak diteliti karena

lansia cenderung tidak memiliki pendapatan sendiri, namun pendapatan yang

diperoleh lansia rata-rata dalam bentuk uang saku dari anak-anaknya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kerangka konsep penelitian ini dapat

dilihat pada bagan 3.2 berikut.

43
Bagan 3.2
Kerangka Konsep

Karakteristik Lansia
a. Jenis kelamin
b. Status perkawinan
c. Pekerjaan
d. Pendidikan

Gaya Hidup
Gizi lebih pada
a. Aktifitas fisik lansia
b. Status merokok

Pola konsumsi
a. Total Energi
b. Asupan
Karbohidrat
c. Asupan Protein
d. Asupan Lemak

44
3.2 Definisi Operasional

Adapun definisi operasional yang digunakan untuk mendefinisikan variabel dependen dan independen dijelaskan pada Tabel 3.1

Tabel 3.1
Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
1. Gizi lebih Klasifikasi gizi lebih hasil Penimbangan berat Timbangan 1. Ya (IMT <25,1) Ordinal
perbandingan antara berat badan badan dan injak (SECA), 2. Tidak (IMT ≥25,1)
(kg) dengan tinggi badan (m²). pengukuran alat ukur
Konversi tinggi badan diperoleh panjang depa panjang depa
berdasarkan hasil dari prediksi
pengukuran panjang depa yang
dilakukan pada lansia.
Variabel Independen
2. Jenis kelamin Perbedaan seks sejak lahir yang Observasi Kuesioner 1. Wanita Nominal
dibedakan antara pria dan 2. Pria
wanita

3. Status Status perkawinan responden Wawancara Kuesioner 1. Kawin Ordinal


perkawinan saat diwawancarai 2. Cerai mati
3. Cerai hidup
4. Belum kawin
(Badan Pusat Statistik, 2015)

45
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
4. Pekerjaan Kegiatan yang dilakukan lansia Wawancara Kuesioner 1. Tidak bekerja Nominal
setiap hari yang dapat 2. Bekerja
menghasilkan uang baik di (Simanjuntak, 2010)
dalam maupun di luar rumah
5. Pendidikan Pendidikan formal terakhir yang Wawancara Kuesioner 1. Dasar (SD/sederajat dan Ordinal
ditempuh oleh responden SMP/sederajat
2. Menengah (SMA/sederajat)
3. Tinggi (Perguruan tinggi)
(UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, 2003)
6. Aktifitas fisik Aktifitas fisik yang dilakukan Wawancara Global Physical 1. Aktifitas ringan (orang yang Ordinal
sehari-hari, seperti saat bekerja, Activity memiliki total skor aktifitas fisik
olahraga, pergi ke suatu tempat, Questionnaire <600 MET-menit/minggu)
ataupun saat istirahat (GPAQ) 2. Aktifitas sedang (orang yang
memiliki total skor aktifitas fisik
minimal 600-1499 MET-
menit/minggu)
3. Aktifitas tinggi (orang yang
memiliki total skor aktifitas fisik
≥1500 MET-menit/minggu)
(WHO GPAQ, 2012).
7. Status merokok Status merokok yang dilakukan Wawancara Kuesioner 1. Tidak pernah merokok Ordinal
responden saat diwawancarai 2. Pernah merokok
3. Sedang merokok
(Dare dkk, 2015)

46
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
8. Total energi Jumlah energi dalam satuan kkal Wawancara Formulir food Pria: Ordinal
yang dikonsumsi dalam sehari dengan metode recall 3x24 a. Usia 60-64 tahun
food recall 3x24 hours 1. Melebihi AKE (>2325 kkal)
hours 2. Sesuai AKE (=2325 kkal)
3. Kurang AKE (<2325 kkal)
b. Usia 65-79 tahun
1. Melebihi AKE (>1900 kkal)
2. Sesuai AKE (=1900 kkal)
3. Kurang AKE (<1900 kkal)
c. Usia 80+ tahun
1. Melebihi AKE (>1525 kkal)
2. Sesuai AKE (=1525 kkal)
3. Kurang AKE (<1525 kkal)
Wanita:
a. Usia 60-64 tahun
1. Melebihi AKE (>1900 kkal)
2. Sesuai AKE (=1900 kkal)
3. Kurang AKE (<1900 kkal)
b. Usia 65-79 tahun
1. Melebihi AKE (>1550 kkal)
2. Sesuai AKE (=1550 kkal)
3. Kurang AKE (<1550 kkal)
c. Usia 80+ tahun
1. Melebihi AKE (>1425 kkal)
2. Sesuai AKE (=1425 kkal)
3. Kurang AKE (<1425 kkal)

47
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
(Kemenkes, 2014a)
9. Asupan Jumlah karbohidrat dengan Wawancara Formulir food 1. Melebihi AKG (>65% AKE) Ordinal
karbohidrat satuan gram yang dikonsumsi dengan metode recall 3x24 2. Sesuai AKG (60-65% AKE)
dalam sehari food recall 3x24 hours 3. Kurang AKG (<60% AKE)
hours (Kemenkes, 2014a)

10. Asupan protein Jumlah protein dengan satuan Wawancara Formulir food 1. Melebihi AKG (>15% AKE) Ordinal
gram yang dikonsumsi dalam dengan metode recall 3x24 2. Sesuai AKG (10-15% AKE)
sehari food recall 3x24 hours 3. Kurang AKG (<10% AKE)`
hours (Kemenkes, 2014a)
11 Asupan lemak Jumlah lemak dengan satuan Wawancara Formulir food 1. Melebihi AKG (>25% AKE) Ordinal
gram yang dikonsumsi dalam dengan metode recall 3x24 2. Sesuai AKG (20-25% AKE)
sehari food recall 3x24 hours 3. Kurang AKG (<20% AKE)
hours (Kemenkes, 2014a)

48
3.3 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Ada perbedaan karakteristik lansia (jenis kelamin, status perkawinan,

pekerjaan, dan pendidikan), gaya hidup (aktifitas fisik dan status

merokok), dan pola konsumsi (total energi, asupan karbohidrat, protein,

dan lemak) pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas

Ciputat Timur dan penghuni Panti Werdha Melania tahun 2017

b. Ada hubungan antara karakteristik lansia, gaya hidup, dan pola konsumsi

dengan kejadian gizi lebih pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja

Puskesmas Ciputat Timur tahun 2017.

c. Ada hubungan antara karakteristik lansia, gaya hidup, dan pola konsumsi

dengan kejadian gizi lebih pada lansia penghuni Panti Werdha Melania

tahun 2017.

49
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskripsi komparasi dengan

desain studi cross sectional yang dilakukan untuk mengetahui hubungan

antara variabel independen dan variabel dependen. Adapun variabel

independen dalam penelitian ini yaitu karakteristik lansia (jenis kelamin,

status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan), gaya hidup

(aktifitas fisik dan status merokok), serta pola konsumsi pada lansia (total

energi, asupan karbohidrat, protein, dan lemak). Sedangkan variabel

dependen dalam penelitian ini yaitu kejadian gizi lebih pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti

Werdha Melania tahun 2017. Pengumpulan data dan informasi antara variabel

independen dan variabel dependen dilakukan dalam waktu yang sama.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Januari

2017 di seluruh posbindu wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan Panti

Werdha Melania.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia (60 tahun atau lebih)

yang menjadi peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur

dan penghuni Panti Werdha Melania tahun 2017. Adapun besar sampel pada

50
penelitian ini didapat dengan menggunakan rumus uji hipotesis estimasi beda

dua proporsi. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

{ √ ̅ ̅ √ }

Keterangan:

n : jumlah sampel minimal yang dibutuhkan

Z1-α/2 : derajat kepercayaan α = 5% (Z-score=1.96)

: derajat kepercayaan β = 20% (Z-score=0.84)

P1 : Proporsi kasus berisiko

P2 : Proporsi kasus tidak berisiko

Ᵽ : rata-rata proporsi; (P1 + P2)/2

Tabel 4.1
Besar Sampel Minimal
No. Variabel P1 P2 n Sumber
1. Jenis kelamin 0,297 0,104 67 Andrade dkk, (2012)
2. Status perkawinan 0,285 0,078 54 Janghorbani dkk, (2008)
3. Pekerjaan 0,058 0,229 65 Simanjuntak (2010)
4. Pendidikan 0,15 0,32 76 Ma (2003)
5. Aktifitas fisik 0,368 0,632 44 Shebl (2015)
6. Status merokok 0,249 0,096 75 Andrade (2012)
7. Asupan protein 0,385 0,6 84 Setiani (2012)

Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa besar sampel

minimal yang dibutuhkan yaitu 84 lansia. Untuk mengantisipasi adanya data

yang kurang atau hilang maka peneliti menambahkan 10% dari jumlah

sampel, sehingga diperoleh jumlah sampel 93 orang. Karena penelitian ini

bertujuan untuk melihat perbedaan beberapa variabel pada dua kelompok,

maka untuk satu kelompok minimal sampel yaitu 93 orang, sehingga untuk

51
dua kelompok menjadi 186 lansia. Namun, dikarenakan jumlah populasi

lansia penghuni Panti Werdha Melania hanya berjumlah 40 orang,

pengambilan sampel di panti werdha menggunakan metode non probability

sampling dengan pendekatan teknik sampling jenuh, maka jumlahnya

disesuaikan dengan jumlah populasi di panti werdha. Sehingga pembagian

jumlah sampel dapat digambarkan sebagai berikut.

Bagan 4.1
Pembagian Jumlah Sampel Penelitian

n = 186 lansia

Panti Werdha = 40 lansia Posbindu = 146 lansia

Cara pengambilan sampel di posbindu dilakukan secara acak (probability

sampling) dengan cara proportional random sampling, dimana sampel

diambil dari masing-masing kelompok. Kelompok yang dimaksud dalam

penelitian ini yaitu masing-masing posbindu wilayah kerja Puskesmas Ciputat

Timur. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung sampel di masing-

masing posbindu yaitu:

Keterangan:

jumlah anggota sampel tiap posbindu

jumlah anggota populasi tiap posbindu

jumlah anggota populasi seluruh posbindu

jumlah anggota sampel seluruh posbindu

52
Tabel 4.2
Pembagian Jumlah Sampel di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Ciputat Timur

No. Kelurahan Nama Posbindu Populasi Sampel


1. Posbindu Tulip 109 17
2. Cempaka Posbindu Kenanga 114 17
3. Putih Posbindu Anggrek 110 17
4. Posbindu Cempaka 118 18
5. Posbindu Anggrek 140 21
6. Posbindu Bougenville 188 29
Rempoa
7. Posbindu Sakura 78 12
8. Posbindu Cempaka 99 15
Jumlah 956 146

Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu lansia yang menjadi peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti

Werdha Melania tahun 2017, bersedia menjadi responden untuk

diwawancarai dan dilakukan pengukuran gizi lebih dengan menandatangani

informed consent yang diberikan serta dapat berkomunikasi dengan baik

menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian

ini yaitu lansia yang dalam keadaan sakit sehingga tidak dapat diwawancarai

oleh peneliti dan lansia yang didiagnosis menderita demensia menurut dokter

atau bidan.

4.4 Pengumpulan Data

4.4.1 Jenis Data

a. Data primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari responden
secara langsung oleh peneliti dengan dibantu oleh dua orang
mahasiswa gizi kesehatan masyarakat. Data primer yang
dikumpulkan antara lain:

53
1. Data status gizi lebih lansia. Data ini diperoleh dengan

menimbang berat badan menggunakan timbangan digital dan

pengukuran panjang depa menggunakan mistar pengukur

panjang depa. Masing-masing penimbangan dan pengukuran

tersebut dilakukan sebanyak tiga kali dengan menggunakan

alat ukur yang sama. Kemudian hasil penimbangan dan

pengukuran tersebut diubah menjadi rata-rata, lalu dimasukkan

ke dalam rumus konversi tinggi badan untuk mendapatkan

nilai IMT.

2. Data karakteristik lansia (jenis kelamin, status perkawinan,

pekerjaan, dan pendidikan) dan status merokok yang diperoleh

melalui hasil wawancara dengan responden berdasarkan

pertanyaan yang ada dalam kuesioner.

3. Data aktifitas fisik lansia yang diperoleh melalui hasil

wawancara menggunakan Global Physical Activity

Questionnaire (GPAQ).

4. Data pola konsumsi lansia (total energi, asupan karbohidrat,

protein, dan lemak) yang diperoleh melalui hasil wawancara

menggunakan metode recall 3x24 hours.

Sebelum dilakukannya proses pengambilan data, peneliti perlu

mengikuti prosedur yang dibagi ke dalam dua tahap, yaitu tahap

persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan yang dilakukan,

yaitu:

54
1. Peneliti membuat surat izin melakukan studi pendahuluan dari

akademik Prodi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang masing-masing ditujukan kepada

kepala Panti Werdha Melania dan Kepala Suku Dinas

Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang selanjutnya dari pihak

Suku Dinas Kota Tangerang Selatan membuat surat tembusan

kepada kepala UPT Puskesmas Ciputat Timur untuk

memberikan izin peneliti melakukan studi pendahuluan di

posbindu wilayah kerja puskesmas tersebut.

2. Peneliti melakukan peminjaman alat berupa mikrotoise dan

timbangan digital ke bagian Laboratorium Peminatan Gizi

Masyarakat prodi Kesehatan Masarakat FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang sebelumnya telah diuji kekakuratan

alat yang hendak dipinjam.

3. Peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mengetahui

distribusi jumlah gizi lebih pada lansia dengan mengikuti

kegiatan dan melakukan pengukuran di posbindu wilayah kerja

Puskesmas Ciputat Timur dan mendatangi Panti Werdha

Melania untuk melakukan pengukuran status gizi lansia.

Selanjutnya pada tahap kedua yaitu tahap saat pelaksanaan

penelitian, antara lain:

1. Penentuan jumlah responden dilakukan berdasarkan hasil

perhitungan kerangka sampling. Selanjutnya, peneliti

55
memperkenalkan diri, menjelaskan maksud dan tujuan

dilakukannya pengukuran dan wawancara, serta meminta

kesediaan menjadi responden terlebih dahulu kepada lansia.

Apabila lansia tersebut tidak bersedia menjadi responden maka

peneliti akan mengganti dengan lansia lain sesuai kriteria

inklusi yang telah ditentukan.

2. Pengukuran antropometri berupa berat badan dan panjang depa

yang masing-masing pengukuran tersebut dilakukan sebanyak

tiga kali dengan menggunakan alat ukur yang sama. Kemudian

hasil pengukuran tersebut dijadikan rata-rata, lalu hasil

pengukuran panjang depa dimasukkan ke dalam rumus

konversi tinggi badan lansia untuk mendapatkan nilai IMT

lansia.

3. Pengambilan data karakteristik lansia (jenis kelamin, status

perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan) dan status merokok

melalui wawancara terstruktur.

4. Pengambilan data pola konsumsi lansia yang diperoleh melalui

hasil wawancara menggunakan metode recall 3x24 hours

dengan menunjukkan food model untuk memudahkan peneliti

mengestimasi jumlah makanan yang dikonsumsi oleh lansia.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi, bukan

merupakan data yang didapat dari responden. Data sekunder

56
dalam penelitian ini adalah daftar nama penghuni panti werdha

dan jadwal diselenggarakannya posbindu di wilayah kerja

Puskesmas Ciputat Timur yang diperoleh dari kepala panti dan

pemegang program posbindu Puskesmas Ciputat Timur.

4.4.2 Alur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan membagi menjadi beberapa

tahapan, yaitu pengukuran antropometri, pengisian kuesioner aktifitas

fisik dan formulir food recall 3x24 hours. Berikut alur pengumpulan

data tersebut:

a. Tahap pertama, responden diminta untuk mengisi lembar persetujuan

menjadi responden penelitian. Apabila responden tidak memenuhi

kriteria yang telah ditentukan, maka peneliti akan mencari responden

lain yang sesuai kriteria untuk mencapai jumlah yang telah

ditentukan.

b. Tahap kedua, responden diwawancarai dan diukur untuk memperoleh

data identitas diri dan data antropometri (berat badan dan panjang

depa)

c. Tahap ketiga, responden diwawancarai untuk memperoleh data

aktifitas fisik dengan menggunakan kuesioner GPAQ dan pola

asupan dengan menggunakan formulir food recall 3x24 hours

d. Setelah semua data terisi, peneliti akan kembali melakukan

pengecekan kuesioner untuk menghindari kesalahan atau kekurangan

saat mengisi kuesioner.

57
4.4.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk

mengumpulkan data, yaitu berupa:

a. Kuesioner penelitian yang berisi pendahuluan, identitas responden,

dan kolom hasil pengukuran antropometri

b. Formulir aktifitas fisik dengan menggunakan Global Physical

Activity Questionnaire (GPAQ)

c. Formulir food recall 3x24 hours

d. Timbangan berat badan merk Seca dengan ketelitian 0,1 kg

e. Mistar pengukur panjang depa dengan ketelitian 0,1 cm

f. Food model

g. GPAQ show cards

4.4.4 Pengukuran

Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Data identitas responden

Data identitas responden diperoleh melalui wawancara dan

pengisian kuesioner yang diisi oleh peneliti terkait variabel

karakteristik lansia (jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, dan

pendidikan), dan gaya hidup (status merokok).

b. Data antropometri

Data antropometri diperoleh melalui pengukuran berat badan dan

panjang depa. Pengukuran panjang depa dilakukan guna

mendapatkan nilai konversi tinggi badan pada lansia yang

58
selanjutnya diolah untuk mengetahui status gizi lebih pada

responden. Sedangkan pengukuran panjang depa dipilih karena

panjang depa diketahui memberikan nilai korelasi tertinggi pada

lansia pria dan wanita usia 55-85 tahun sehingga digunakan sebagai

prediktor dalam mengembangkan model tinggi badan prediksi lansia.

Selain itu, terdapat pula studi yang membuktikan bahwa panjang

depa memiliki tingkat validitas lebih tinggi daripada tinggi lutut

karena memberikan nilai tinggi badan prediksi yang lebih mendekati

tinggi badan sebenarnya daripada tinggi lutut dan tinggi duduk

(Fatmah dkk, 2008).

c. Data aktifitas fisik

Data tentang aktifitas fisik diperoleh melalui wawancara dengan

berpedoman pada kuesioner GPAQ kepada responden. Pada variabel

aktifitas fisik, pengukuran menggunakan instrumen yang telah diuji

di 9 negara, termasuk Indonesia dengan tingkat validitas (r=0,45-

0,57) dan reliabilitas yaitu 0,67-0,81(Bull dkk, 2009). Sehingga,

kuesioner GPAQ pada penelitian ini dapat digunakan tanpa melalui

tahap uji validitas dan reliabilitas. Selain itu, kuesioner ini juga

didesain untuk mengukur aktifitas fisik pada lansia.

Kuesioner ini terdiri dari 16 pertanyaan sederhana terkait dengan

aktifitas sehari-hari yang meliputi empat domain, yaitu aktifitas fisik

saat bekerja, aktifitas perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain,

aktifitas rekreasi, dan aktifitas menetap (sedentary activity). Data

59
yang telah didapat dari responden selanjutnya akan dihitung dan

dikategorikan berdasarkan MET (Metabolic Energy Turnover), yaitu

perbandingan antara laju metabolisme saat bekerja dengan laju

metabolisme saat istirahat yang digambarkan dengan satuan

kg/kkal/jam.

Analisis hasil pengisian kuesioner GPAQ akan dikategorikan

berdasarkan perhitungan total volume aktifitas fisik yang disajikan

dalam satuan MET menit/minggu. Level dari total aktifitas fisik akan

dibagi menjadi tiga kategori, yaitu aktifitas tinggi, sedang, dan

ringan dengan rumus sebagai berikut (WHO GPAQ, 2012).

Total Aktifitas Fisik MET-menit/minggu


= [(P2*P3*8) + (P5*P6*4) + (P8*P9*4) + (P11*P12*8) + (P14*P15*4)]

d. Data pola konsumsi

Data tentang pola konsumsi yang terdiri dari total energi, asupan

karbohidrat, protein, dan lemak diperoleh melalui wawancara dengan

menggunakan formulir food recall 3x24 hours yang diisi oleh

peneliti dengan menanyakan jumlah dan jenis makanan yang

dikonsumsi selama 3 hari yaitu 2 hari weekday dan 1 hari weekend.

Selain itu, peneliti akan menggunakan food model saat wawancara

guna membantu mengingat banyaknya makanan yang dikonsumsi

oleh responden. Kemudian hasil wawancara tersebut akan

dimasukkan dan diolah dengan menggunakan software Nutrisurvey

2007 (versi Indonesia).

60
4.5 Manajemen Data

Semua data yang telah terkumpul berupa data primer akan diolah melalui

tahap-tahap sebagai berikut.

a. Penyuntingan data (editing)

Data yang dikumpulkan selama penelitian diperiksa terlebih dahulu,

untuk memastikan kelayakan data agar dapat diolah ke tahap selanjutnya.

Adapun data yang dikumpulkan selama penelitian ini berlangsung adalah

data berupa kuesioner. Untuk itu, peneliti melakukan pemeriksaan

kuesioner secara fisik untuk memeriksa kelengkapan jawaban dari

responden dan memastikan setiap lembar kuesioner yang telah diisi oleh

responden tersebut utuh dan tidak hilang.

b. Pengodean data (coding)

Tahap kedua dari manajemen data adalah pengkodean atau

memberikan kode atas jawaban-jawaban yang akan dijawab oleh

responden. Coding akan dilakukan sebelum turun ke lapangan dan

sebelum penyebaran kuesioner. Coding dilakukan untuk mempermudah

analisis data yang mengacu pada definisi operasional.

1. Variabel dependen

Kode ―1‖ diberikan apabila responden dinyatakan mengalami gizi

lebih, sedangkan kode ―2‖ diberikan apabila responden dinyatakan

tidak mengalami gizi lebih.

61
2. Variabel independen

a) Jenis kelamin

Kode ―1‖ diberikan apabila responden adalah wanita, sedangkan

kode ―2‖ diberikan apabila responden adalah pria.

b) Status perkawinan

Kode ―1‖ diberikan apabila responden berstatus kawin, kode ―2‖

diberikan apabila responden berstatus cerai mati, kode ―3‖

diberikan apabila responden berstatus cerai hidup, sedangkan

kode ―4‖ diberikan apabila responden berstatus belum kawin.

c) Pekerjaan

Kode ―1‖ diberikan apabila responden tidak bekerja, sedangkan

kode ―2‖ diberikan apabila responden bekerja.

d) Pendidikan

Kode ―1‖ diberikan apabila responden termasuk ke dalam

kelompok berpendidikan dasar, kode ―2‖ diberikan apabila

responden termasuk ke dalam kelompok berpendidikan

menengah, sedangkan kode ―3‖ diberikan apabila responden

termasuk ke dalam kelompok berpendidikan tinggi.

e) Aktifitas fisik

Kode ―1‖ diberikan apabila responden termasuk ke dalam

kelompok dengan aktifitas ringan, kode ―2‖ diberikan apabila

responden termasuk ke dalam kelompok dengan aktifitas

62
sedang, sedangkan kode ―3‖ diberikan apabila responden

termasuk ke dalam kelompok dengan aktifitas tinggi.

f) Status merokok

Kode ―1‖ diberikan apabila responden tidak pernah merokok,

kode ―2‖ diberikan apabila responden pernah merokok,

sedangkan kode ―3‖ diberikan apabila responden sedang

merokok.

g) Total energi

Kode ―1‖ diberikan apabila responden memiliki total energi

melebihi AKE, kode ―2‖ diberikan apabila responden memiliki

total energi sesuai AKE, sedangkan kode ―3‖ diberikan apabila

responden memiliki total energi kurang dari AKE.

h) Asupan karbohidrat

Kode ―1‖ diberikan apabila responden mengkonsumsi

karbohidrat melebihi AKG, kode ―2‖ diberikan apabila

responden mengkonsumsi karbohidrat sesuai AKG, sedangkan

kode ―3‖ diberikan apabila responden mengkonsumsi

karbohidrat kurang dari AKG.

i) Asupan protein

Kode ―1‖ diberikan apabila responden mengkonsumsi protein

melebihi AKG, kode ―2‖ diberikan apabila responden

mengkonsumsi protein sesuai AKG, sedangkan kode ―3‖

63
diberikan apabila responden mengkonsumsi protein kurang dari

AKG.

j) Asupan lemak

Kode ―1‖ diberikan apabila responden mengkonsumsi lemak

melebihi AKG, kode ―2‖ diberikan apabila responden

mengkonsumsi lemak sesuai AKG, sedangkan kode ―3‖

diberikan apabila responden mengkonsumsi lemak kurang dari

AKG.

c. Pemasukkan data (data entry)

Data-data yang diperoleh pada penelitian ini selanjutnya dimasukkan

ke dalam program perangkat lunak komputer berdasarkan klasifikasinya,

yaitu: Nutrisurvey 2007 (versi Indonesia), Microsoft Excel, dan program

pengolah data komputer.

d. Pengoreksian data (data cleaning)

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan

data tersebut tidak ada yang salah, agar data siap diolah dan dianalisis.

4.6 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap

sebuah variabel dan bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik dari

masing-masing variable independen, yaitu karakteristik lansia (jenis

kelamin, status perkawinan, pekerjaan, dan pendidikan,), gaya hidup

(aktifitas fisik dan status merokok), serta pola konsumsi pada lansia

64
(total energi, asupan karbohidrat, protein, dan lemak). Dari data yang

diperoleh tersebut selanjutnya diolah dengan penyajian dalam bentuk

table untuk menentukan frekuensi serta persentase dari masing-masing

variabel.

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara masing-masing variabel independen, yaitu karakteristik lansia

(jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan), gaya hidup

(aktifitas fisik dan status merokok), serta pola konsumsi pada lansia

(total energi, asupan karbohidrat, protein, dan lemak) dengan variabel

dependen yaitu kejadian gizi lebih pada lansia. Analisis tersebut

dilakukan dengan menggunakan uji chi-square. Uji chi square

diketahui dapat digunakan untuk menguji hipotesis komparatif, yaitu

dugaan terhadap perbandingan nilai dua populasi atau lebih (Gani &

Siti, 2015) serta dapat digunakan untuk membandingkan data pada dua

kelompok atau lebih yang berjenis nominal dan ordinal (Dahlan, 2008).

Analisis pada penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 5%

dan derajat kepercayaan 95%. Sehingga, jika p-value ≤0,05 maka

menunjukkan ada hubungan antara variabel dependen dan variabel

independen dan jika p-value >0,05 maka menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.

65
BAB V

HASIL

5.1 Gambaran Komparasi Distribusi Karakteristik Lansia Peserta


Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan
Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

Berikut adalah komparasi distribusi karakteristik lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni

Panti Werdha Melania tahun 2017.

Tabel 5.1
Gambaran Komparasi Distribusi Karakteristik Lansia Peserta
Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan
Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

Tempat Tinggal
Posbindu wilayah
Karakteristik Panti Werdha
kerja Puskesmas P-value
lansia Melania
Ciputat Timur
n % n %
Jenis kelamin
Wanita 123 84,2 24 75
0,321
Pria 23 15,8 8 25
Total 146 100 32 100
Status perkawinan
Kawin 101 69,2 0 0
Cerai mati 31 21,2 21 65,6
0,000
Cerai hidup 12 8,2 8 25
Belum kawin 2 1,4 3 9,4
Total 146 100 32 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 109 74,7 32 100
0,003
Bekerja 37 25,3 0 0
Total 146 100 32 100
Pendidikan
Dasar 89 61 7 21,9
Menengah 51 34,9 14 43,8 0,000
Tinggi 6 4,1 11 34,4
Total 146 100 32 100
*Uji chi square, CI:95%.

66
Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden lansia

wanita baik di posbindu maupun di panti werdha memiliki persentase

terbanyak, yaitu masing-masing 84,2% dan 75%. Pada faktor status

perkawinan, lansia di posbindu yang berstatus kawin memiliki

persentase terbanyak yaitu 69,2%, sedangkan persentase lansia di

panti werdha lebih banyak berstatus cerai mati (65,6%). Selain itu,

lansia baik di posbindu maupun di panti werdha memiliki jumlah

persentase pada status tidak bekerja yaitu 74,7% dan 100%. Hasil

yang berbeda ditunjukkan pada faktor pendidikan dimana lansia di

posbindu lebih banyak berpendidikan dasar (61%), sedangkan lansia

di panti werdha lebih banyak berpendidikan menengah (43,8%).

Selain itu, dari tabel diatas juga dapat diketahui bahwa tidak ada

perbedaan signifikan pada variabel jenis kelamin pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni

Panti Werdha Melania yang ditunjukkan dengan nilai p-value sebesar

0,321. Sedangkan pada variabel status perkawinan, pekerjaan, dan

pendidikan terdapat perbedaan signifikan pada lansia peserta posbindu

di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti

Werdha Melania yang masing-masing ditunjukkan dengan nilai p-

value sebesar 0,000; 0,003; dan 0,000.

67
5.2 Gambaran Komparasi Distribusi Gaya Hidup Lansia Peserta
Posbindu Di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan
Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

Berikut adalah komparasi distribusi gaya hidup lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni

Panti Werdha Melania tahun 2017.

Tabel 5.2
Gambaran Komparasi Distribusi Gaya Hidup Lansia Peserta
Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur dan
Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

Tempat Tinggal
Posbindu wilayah
Gaya Hidup Panti Werdha
kerja Puskesmas P-value
Lansia Melania
Ciputat Timur
n % n %
Aktifitas Fisik
Aktifitas ringan 21 14,4 25 78,1
Aktifitas sedang 30 20,5 7 21,9 0,000
Aktifitas tinggi 95 65,1 0 0
Total 146 100 32 100
Status merokok
Pernah merokok 19 13 9 28,1
Tidak pernah
merokok 111 76 23 71,9 0,025
Sedang 16 11 0 0
merokok 146 100 32 100
Total
*Uji chi square, CI:95%.

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa responden lansia di

posbindu memiliki jenis aktifitas fisik yang berbeda dengan lansia di

panti werdha. Lansia di posbindu sebagian besar beraktifitas tinggi

(65,1%), sedangkan lansia di panti werdha sebagian besar beraktifitas

rendah (78,1%). Di samping itu, lansia dengan status tidak pernah

68
merokok memiliki persentase terbanyak baik di posbindu (76%)

maupun di panti werdha (71,9%).

Selain itu, dari tabel diatas juga dapat diketahui bahwa terdapat

perbedaan signifikan pada variabel aktifitas fisik pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni

Panti Werdha Melania yang ditunjukkan dengan nilai p-value sebesar

0,000. Sedangkan pada variabel status merokok, tidak terdapat

perbedaan signifikan pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja

Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti Werdha Melania yang

ditunjukkan dengan nilai p-value sebesar 0,025.

5.3 Gambaran Komparasi Distribusi Pola Konsumsi Lansia Peserta


Posbindu Di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur Dan
Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

Berikut adalah komparasi distribusi pola konsumsi lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni

Panti Werdha Melania tahun 2017.

Tabel 5.3
Gambaran Komparasi Distribusi Pola Konsumsi Lansia Peserta
Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur Dan
Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

Tempat Tinggal
Posbindu wilayah
Pola Konsumsi Panti Werdha
kerja Puskesmas P-value
Lansia Melania
Ciputat Timur
n % n %
Total energi
Melebihi AKE 32 21,9 0 0 0,008
Kurang AKE 114 78,1 32 100
Total 146 100 32 100

69
Tempat Tinggal
Posbindu wilayah
Pola Konsumsi Panti Werdha
kerja Puskesmas P-value
Lansia Melania
Ciputat Timur
n % n %
Asupan
karbohidrat 75 51,4 4 12,5
Melebihi AKG 5 3,4 1 3,1
0,000
Sesuai AKG 66 45,2 27 84,4
Kurang AKG 146 100 32 100
Total
Asupan protein
Melebihi AKG 141 96,6 30 93,8
Sesuai AKG 3 2,1 1 3,1
0,760
Kurang AKG 2 1,4 1 3,1
Total 146 100 32 100
Asupan lemak
Melebihi AKG 115 78,8 22 68,8
Sesuai AKG 2 1,4 6 18,8 0,000
Kurang AKG 29 19,9 4 12,5
Total 146 100 32 100
*Uji chi square, CI:95%.

Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa pada faktor total

energi, sebagian besar lansia di posbindu (78,1%) dan seluruh lansia

di panti werdha (100%) memiliki total energi yang masih kurang dari

AKE. Namun, pada asupan karbohidrat, sebanyak 21,9% lansia

peserta posbindu memiliki asupan karbohidrat yang melebihi dari

AKG, sedangkan sebanyak 84,4% lansia penghuni panti werdha

memiliki asupan karbohidrat kurang dari AKG. Selain itu, diketahui

pula bahwa sebanyak 96,6% dan 93,8% lansia di posbindu dan panti

werdha sama-sama memiliki asupan protein yang melebihi AKG.

Tidak hanya itu, pada asupan lemak baik lansia di posbindu maupun

di panti werdha juga sama-sama memiliki asupan yang melebihi dari

AKG, yaitu masing-masing sebesar 78,8% dan 68,8%.

70
Selain itu, dari tabel diatas juga dapat diketahui bahwa terdapat

perbedaan signifikan pada total energi, asupan karbohidrat dan asupan

lemak pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas

Ciputat Timur dan penghuni Panti Werdha Melania yang memiliki

nilai p-value berturut-turut sebesar 0,008; 0,000; dan 0,000.

Sedangkan pada variabel asupan protein, tidak terdapat perbedaan

signifikan pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas

Ciputat Timur dan penghuni Panti Werdha Melania yang ditunjukkan

dengan nilai p-value sebesar 0,760.

5.4 Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Pola Konsumsi Lansia


Dengan Kejadian Gizi Lebih pada Lansia Peserta Posbindu di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur Tahun 2017
Berikut adalah hubungan karakteristik, gaya hidup, dan pola

konsumsi lansia dengan kejadian gizi lebih pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur tahun 2017.

Tabel 5.4
Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Pola Konsumsi Lansia
Dengan Kejadian Gizi Lebih pada Lansia Peserta Posbindu di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur Tahun 2017

Status Gizi Lebih


Total
Karakteristik lansia Ya Tidak P value
n % n % n %
Jenis kelamin
Wanita 62 50,4 61 49,6 123 100
0 ,250
Pria 8 34,8 15 65,2 23 100
Status perkawinan
Kawin 51 50,5 50 49,5 101 100
Cerai mati 15 48,4 16 51,6 31 100 0,269
Cerai hidup 4 33,3 8 66,7 12 100
Belum kawin 0 0 2 100 2 100

71
Status Gizi Lebih
Total
Karakteristik lansia Ya Tidak P value
n % n % n %
Pekerjaan
Tidak bekerja 56 51,4 53 48,6 109 100
0,217
Bekerja 14 37,8 23 62,2 37 100
Pendidikan
Dasar 65 73 24 27 89 100
Menengah 4 7,8 47 92,2 51 100 0,000
Tinggi 1 16,7 5 83,3 6 100
Status merokok
Tidak pernah merokok 50 45 61 55 111 100
0,000
Pernah merokok 18 94,7 1 5,3 19 100
Sedang merokok 2 12,5 14 87,5 16 100
Aktifitas Fisik
Aktifitas ringan 13 61,9 8 38,1 21 100
0,329
Aktifitas sedang 15 50 15 50 30 100
Aktifitas tinggi 42 44,2 53 55,8 95 100
Total energi
Melebihi AKE 17 53,1 15 46,9 32 100 0,643
Kurang AKE 53 46,5 61 53,5 114 100
Asupan karbohidrat
Melebihi AKG 43 57,3 32 42,7 75 100
0,038
Sesuai AKG 3 60 2 40 5 100
Kurang AKG 24 36,4 42 63,6 66 100
Asupan protein
Melebihi AKG 67 47,5 74 52,5 141 100
0,802
Sesuai AKG 2 66,7 1 33,3 3 100
Kurang AKG 1 50 1 50 2 100
Asupan lemak
Melebihi AKG 59 51,3 56 48,7 115 100
0,263
Sesuai AKG 1 50 1 50 2 100
Kurang AKG 10 34,5 19 65,5 29 100
*Uji chi square, CI:95%.

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara variabel pendidikan, status merokok, dan asupan

karbohidrat dengan gizi lebih pada lansia peserta posbindu di wilayah

kerja Puskesmas Ciputat Timur yang ditunjukkan dengan nilai p-value

masing-masing sebesar 0,000; 0,000; dan 0,038. Selain itu, diketahui

72
pula bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis

kelamin, status perkawinan, pekerjaan, aktifitas fisik, total energi,

asupan protein, dan asupan lemak dengan gizi lebih pada lansia

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur yang ditunjukkan

dengan nilai p-value masing-masing sebesar 0,250; 0,269; 0,217; 0,329;

0,643; 0,802; dan 0,263.

5.5 Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Pola Konsumsi Lansia


Dengan Kejadian Gizi Lebih pada Lansia Penghuni Panti Werdha
Melania Tahun 2017

Berikut adalah hubungan karakteristik, gaya hidup, dan pola

konsumsi lansia dengan kejadian gizi lebih pada lansia penghuni Panti

Werdha Melania tahun 2017.

Tabel 5.5
Hubungan Karakteristik, Gaya Hidup, dan Pola Konsumsi Lansia
Dengan Kejadian Gizi Lebih pada Lansia Penghuni Panti Werdha
Melania
Tahun 2017
Status Gizi Lebih
Total
Karakteristik lansia Ya Tidak P value
n % n % n %
Jenis kelamin
Wanita 10 41,7 14 58,3 24 100
0,703
Pria 4 50 4 50 8 100
Status perkawinan
Cerai mati 10 47,6 11 52,4 21 100
0,157
Cerai hidup 4 50 4 50 8 100
Belum kawin 0 0 3 100 3 100
Pekerjaan -
Tidak bekerja 14 43,8 18 56,2 32 100
Pendidikan
Dasar 6 85,7 1 14,3 7 100
0,031
Menengah 4 28,6 10 71,4 14 100

73
Status Gizi Lebih
Total
Karakteristik lansia Ya Tidak P value
n % n % n %
Tinggi 4 36,4 7 63,6 11 100
Status merokok
Tidak pernah merokok 6 26,1 17 73,9 23 100
0,004
Pernah merokok 8 88,9 1 11,1 9 100
Aktifitas Fisik
Aktifitas ringan 13 52 12 48 25 100
0,104
Aktifitas sedang 1 14,3 6 85,7 7 100
Total energi
Kurang AKE 14 43,8 18 56,2 32 100 -
Asupan karbohidrat \
Melebihi AKG 4 100 0 0 4 100
Sesuai AKG 0 0 1 100 1 100 0,016
Kurang AKG 10 37 17 63 27 100
Asupan protein
Melebihi AKG 14 46,7 16 53,3 30 100
Sesuai AKG 0 0 1 100 1 100 0,3
Kurang AKG 0 0 1 100 1 100
Asupan lemak
Melebihi AKG 12 54,5 10 45,5 22 100
Sesuai AKG 2 33,3 4 66,7 6 100 0,052
Kurang AKG 0 0 4 100 4 100
*Uji chi square, CI:95%.

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara variabel pendidikan, status merokok, dan asupan

karbohidrat dengan gizi lebih pada lansia peserta posbindu di wilayah

kerja Puskesmas Ciputat Timur yang ditunjukkan dengan nilai p-value

masing-masing sebesar 0,031; 0,004; dan 0,016. Selain itu, diketahui

pula bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis

kelamin, status perkawinan, pekerjaan, aktifitas fisik, total energi,

asupan protein, dan asupan lemak dengan gizi lebih pada lansia

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur yang ditunjukkan

dengan nilai p-value masing-masing sebesar 0,703; 0,157; -; 0,104; -;

74
0,3; dan 0,052. Pada variabel pekerjaan dan total energi tidak muncul

nilai p-value, sebab seluruh lansia di panti werdha tidak bekerja dan

total energinya kurang dari AKE sehingga jawaban responden

menjadi homogen.

75
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu sebanyak tiga responden

yang seharusnya diteliti di Panti Werdha Melania telah meninggal

dunia dan sebanyak lima responden sedang dalam keadaan sakit

sehingga tidak dapat diwawancarai oleh peneliti. Adanya kematian

dan kesakitan pada lansia saat dilakukannya penelitian, maka

mengurangi jumlah populasi sebagai responden penelitian. Namun,

hasil dan kesimpulan dalam penelitian ini diambil berdasarkan jumlah

populasi yang masih hidup dan dalam keadaan sehat.

Penelitian ini juga mengukur persen lemak tubuh menggunakan

IMT, dimana pengukuran IMT tersebut dilakukan sebagai pendekatan

untuk mengetahui persen lemak tubuh pada lansia. Namun,

kemungkinan terjadinya bias adalah hanya sekitar 10% karena tingkat

korelasi IMT terhadap persen lemak tubuh berdasarkan penelitian

Nurokhmah dan Kusharisupeni (2013) adalah sebesar 0,939.

Sehingga, peneliti dengan keterbatasan yang ada tetap menggunakan

IMT untuk menunjukkan status gizi lebih pada lansia.

Selain itu, kegiatan kesenian yang dilakukan oleh lansia di Panti

Werdha Melania seperti bermain angklung dan menari tidak terhitung

dalam kuesioner GPAQ pada penelitian ini. Namun, dikarenakan

76
menurut Bull dkk (2009) kuesioner ini dapat digunakan untuk

responden lansia, telah diuji di 9 negara termasuk Indonesia, serta

memiliki tingkat validitas (r=0,45-0,57) dan reliabilitas (0,67-0,81)

yang termasuk tinggi sehingga peneliti dengan keterbatasan yang ada

tetap menggunakan kuesioner GPAQ untuk mengukur aktifitas fisik

pada lansia

6.2 Komparasi Distribusi Faktor Risiko Gizi Lebih pada Lansia


Peserta Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur
dan Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

6.2.1 Karakteristik Lansia

Hasil penelitian pada lansia peserta posbindu di wilayah

kerja Puskesmas Ciputat Timur dan penghuni Panti Werdha

Melania menunjukkan bahwa lansia wanita di kedua tempat

tersebut memiliki persentase terbanyak, yaitu masing-masing

84,2% dan 75%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Setiyanto (2012) dimana lansia wanita peserta posbindu

sebanyak 90% dan lansia wanita penghuni panti werdha

sebanyak 97,5% lebih banyak daripada lansia pria. Selain itu,

hal ini juga dapat dikaitkan dengan data dari Kemenkes (2013)

yang menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia paling

banyak adalah wanita (8,2%) dibandingkan pria (6,9%).

Namun, menurut laporan profil kesehatan tahun 2015 UPT

Puskesmas Ciputat Timur menunjukkan bahwa jumlah lansia

pria (54,6%) lebih banyak dibandingkan lansia wanita (45,3%).

77
Keadaan tersebut disebabkan oleh lansia wanita yang lebih

banyak datang ke posbindu dibandingkan lansia pria, sehingga

lansia yang dijadikan responden lebih banyak pada lansia

wanita.

Pada faktor status perkawinan, sebanyak 69,2% lansia

peserta posbindu berstatus kawin, sedangkan lansia penghuni

panti werdha sebanyak 65,6% berstatus cerai mati. Hal ini

sesuai dengan penelitian Setiyanto (2012) bahwa sebanyak

95% lansia peserta posbindu berstatus menikah dan sesuai pula

dengan penelitian Anggraeni (2013) bahwa sebanyak 50%

lansia di Panti Werdha Budi Mulia 1 dan 3 juga berstatus cerai

mati. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan data dari

Kemenkes (2013) yang menunjukkan bahwa sebagian besar

lansia di Indonesia berstatus kawin (57,81%) dan cerai mati

(39,06%), serta data dari BPS Kota Tangerang Selatan (2015)

yang juga menunjukkan bahwa lansia wanita yang berstatus

kawin (19,82%) dan cerai mati (7,67%) serta lansia pria yang

berstatus kawin (31,05%) dan cerai mati (1,22%) memiliki

persentase lebih tinggi daripada yang lainnya.

Hal tersebut dapat dikaitkan dengan persyaratan dari pihak

Panti Werdha Melania yang salah satunya yaitu lansia yang

diterima oleh panti adalah lansia dengan status janda/duda baik

cerai mati ataupun cerai hidup. Namun, sebagian besar

78
lansianya adalah cerai mati sehingga persentase lansia cerai

mati termasuk yang tertinggi. Selain itu, mengingat banyaknya

responden penelitian ini adalah wanita maka juga dapat

dikaitkan dengan usia harapan hidup (UHH) pada wanita.

UHH pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria

sehingga persentase lansia wanita yang berstatus cerai mati

lebih banyak dibandingkan pria (BPS Kota Tangerang Selatan,

2015).

Selain itu, baik lansia di posbindu maupun di panti werdha

pada penelitian ini sama-sama memiliki persentase terbanyak

dengan status tidak bekerja yaitu masing-masing sebesar

74,7% dan 100%. Kedua hal tersebut sesuai dengan hasil

penelitian Setiani (2012) dimana lansia di Posbindu sebanyak

92,9% dan penelitian Aprillia & Khomsan (2014) pada lansia

di panti werdha sebanyak 58% lansianya tidak bekerja. Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan data dari Badan Pusat

Statistik (2015) yang menunjukkan bahwa sebesar 52,52%

lansia lebih banyak yang tidak bekerja (mengurus rumah

tangga 30,19%, pengangguran 0,30%, dan lainnya 22,03%).

Kondisi tersebut dikarenakan pada kelompok lansia sudah

tidak memiliki tanggung jawab terhadap perekonomian

keluarga, namun lebih cenderung untuk mengurus rumah

tangga dan kegiatan lainnya. Di samping itu, mengingat bahwa

79
responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah wanita

maka dapat pula dikaitkan dengan data dari Kemenkes (2013)

dimana lansia wanita di Indonesia (31,39%) lebih sedikit yang

bekerja dibandingkan lansia pria (61,47%). Sehingga

kemungkinan berpengaruh terhadap besarnya persentase pada

penelitian ini.

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada faktor pendidikan

dimana lansia di posbindu lebih banyak berpendidikan dasar

(61%), sedangkan lansia di panti werdha lebih banyak

berpendidikan menengah (43,8%). Hasil tersebut sesuai

dengan penelitian Setiyanto (2012) bahwa sebanyak 90%

lansia peserta posbindu berpendidikan rendah. Namun, hasil

penelitian di panti werdha tersebut tidak sesuai dengan hasil

penelitian Anggraeni (2013) dimana sebanyak 54,7% lansia

berpendidikan rendah. Hal tersebut juga dapat dikaitkan

dengan data yang mengatakan bahwa sebagian besar lansia di

Indonesia masih berpendidikan rendah, dimana kondisi

rendahnya pendidikan lansia tersebut cenderung merata di

semua provinsi Badan Pusat Statistik (2015).

6.2.1 Gaya Hidup Lansia

Hasil yang berbeda juga ditunjukkan pada faktor aktifitas

fisik, dimana lansia di posbindu sebagian besar beraktifitas

tinggi (65,1%), sedangkan lansia di panti werdha sebagian

80
besar beraktifitas rendah (78,1%). Hal ini tidak sesuai dengan

hasil penelitian Simanjuntak (2010) dimana lansia yang tinggal

di rumah di daerah Sumatera Utara sebanyak 37,4%

beraktifitas rendah. Namun, sesuai dengan penelitian Fauziah

(2012) dimana lansia di panti werdha daerah Bogor sebesar

75% tergolong beraktifitas rendah. Berdasarkan hasil

pengamatan, adanya perbedaan kondisi tersebut dikarenakan

pada lansia yang tinggal di rumah (peserta posbindu) memiliki

tanggung jawab untuk melakukan tugas rumah tangga, seperti:

menyapu, mengepel, mencuci pakaian, berbelanja ke pasar,

dan kegiatan lainnya yang mengharuskan lansia untuk lebih

banyak bergerak. Berbeda dengan lansia di panti werdha,

walaupun terdapat jadwal latihan fisik/olahraga yang dipimpin

oleh instruktur terlatih namun mereka cenderung lebih banyak

memiliki waktu untuk bersantai dan beristirahat. Hal tersebut

disebabkan oleh frekuensi dan durasi dari latihan fisik/olahraga

tersebut memang tidak memaksakan lansia untuk beraktifitas

tinggi, tapi beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian pada lansia dengan

status tidak pernah merokok memiliki persentase terbanyak

baik di posbindu (76%) maupun di panti werdha (71,9%). Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian Simanjuntak (2010) dimana

lansia di daerah Sumatera Utara sebanyak 65,4% tidak

81
merokok. Selain itu, juga sesuai dengan hasil penelitian

Oktariyani (2012) dimana sebanyak 72% lansia di panti

werdha Jakarta tidak merokok. Banyaknya persentase status

tidak pernah merokok dapat dikaitkan dengan kecenderungan

data dalam penelitian ini yang sebagian besar adalah wanita,

dimana lansia wanita tersebut sebagian besar tidak pernah

merokok. Selain itu, di panti werdha seluruh lansianya tidak

merokok dikarenakan hal tersebut merupakan salah satu syarat

menjadi penghuni panti werdha yakni tidak merokok.

6.2.2 Pola Konsumsi Lansia

Berdasarkan hasil penelitian pada faktor total energi, dapat

diketahui bahwa baik pada lansia di posbindu maupun di panti

werdha, keduanya sama-sama memiliki persentase terbanyak

pada kategori kurang dari AKE. Hal tersebut dapat terlihat dari

besarnya persentase di posbindu yaitu 78,1% dan di panti

werdha mencapai 100%. Hasil tersebut sesuai dengan hasil

penelitian dari Setiani (2012) yang menyatakan bahwa sebesar

93,8% lansia di posbindu wilayah Jakarta Barat memiliki

asupan energi yang tergolong kurang. Selain itu, hasil

penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Anggraeni

(2013) dan Setiyanto (2012) yang menyatakan bahwa sebesar

96% dan 80% lansia di salah satu panti werdha wilayah Jakarta

dan Bogor memiliki asupan energi yang juga tergolong kurang.

82
Rendahnya total energi pada lansia tersebut dapat dikarenakan

kurangnya selera makan dan sulitnya saat proses menelan.

Akibatnya, dapat pula menurunkan fungsi pencernaan lansia.

Berbeda dengan faktor total energi, pada faktor asupan

karbohidrat, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian

besar lansia di posbindu (51,4%) memiliki asupan karbohidrat

yang melebihi AKG sedangkan lansia di panti werdha (84,4%)

memiliki asupan karbohidrat yang kurang dari AKG. Selain

itu, diketahui pula bahwa sebanyak 96,6% dan 93,8% lansia di

posbindu dan panti werdha sama-sama memiliki asupan

protein yang melebihi AKG. Tidak hanya itu, pada asupan

lemak baik lansia di posbindu maupun di panti werdha juga

sama-sama memiliki asupan yang melebihi dari AKG, yaitu

masing-masing sebesar 78,8% dan 68,8%.

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Setiyanto (2012) yang

menunjukkan bahwa asupan karbohidrat, protein, dan lemak

baik pada lansia peserta posbindu maupun penghuni panti

werdha di Kota Bogor memiliki asupan yang cukup dan

kurang. Dalam penelitiannya tersebut, pada asupan karbohidrat

lansia peserta posbindu (97,5%) dan penghuni panti werdha

(97,5%) memiliki asupan kurang. Begitu pula halnya pada

asupan protein, lansia peserta posbindu (57,5%%) dan

penghuni panti werdha (77,5%%) juga memiliki asupan yang

83
kurang. Sedangkan pada asupan lemak, lansia peserta posbindu

(70%) memiliki asupan yang cukup dan penghuni panti werdha

(62,5%) memiliki asupan yang kurang.

Berdasarkan pengakuan dari responden, hal ini berkaitan

dengan petugas di panti werdha yang tidak sepenuhnya

mengontrol atau membatasi jumlah makanan yang dikonsumsi

oleh lansia walaupun menu makanan yang mereka konsumsi

sama setiap harinya, namun kebanyakan dari lansia tersebut

memiliki simpanan snack tersendiri yang tersimpan di

kamarnya, seperti biskuit. Sehingga dapat dikonsumsi di luar

jadwal makan yang diberikan oleh panti werdha. Sedangkan

pada lansia yang tinggal di rumah, jika dilihat dari menu

makanan yang telah di recall selama 3 hari dapat diketahui

bahwa mereka memiliki kebiasaan makan yang walaupun

jumlahnya tidak begitu banyak, namun cenderung tinggi

kalori, seperti: gorengan bakwan, tahu, tempe goreng tepung,

bihun goreng, semur ayam, telur ayam, susu kental manis, dan

lain sebagainya.

6.3 Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Lebih pada Lansia


Peserta Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Timur
dan Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

6.3.1 Hubungan Karakteristik pada Lansia dengan Gizi Lebih

84
a. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil uji statistik jenis kelamin di kedua

jenis tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan panti

werdha diperoleh nilai p=0,321 artinya bahwa tidak ada

perbedaan signifikan pada variabel jenis kelamin pada

lansia peserta posbindu dan penghuni panti werdha. Hal ini

disebabkan oleh baik pada lansia peserta posbindu maupun

penguni panti werdha, keduanya sama-sama memiliki

persentase terbesar pada wanita, yaitu 84,2% dan 75%. Di

posbindu, lansia peserta posbindunya didominasi oleh lansia

wanita begitu pula halnya pada lansia peserta panti werdha

yang juga kebanyakan adalah lansia wanita.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,250 dan p=0,703 yang menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin

dengan gizi lebih baik pada peserta posbindu maupun

penghuni panti werdha. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian di posbindu oleh Setiani (2012) dan penelitian di

panti werdha oleh Anggraeni (2013) yang juga

menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara

jenis kelamin dengan gizi lebih.

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis

kelamin dengan terjadinya gizi lebih pada lansia peserta

85
posbindu dan panti werdha dikarenakan data jenis kelamin

yang relatif homogen. Seperti yang dapat dilihat pada tabel

5.1 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup

besar dimana responden wanita di posbindu (84,2%) dan di

panti werdha (75%) lebih banyak wanita dibandingkan pria.

Sehingga hasil dari analisis gizi lebih menurut jenis kelamin

tidak dapat tergambarkan dengan baik.

Meskipun tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara jenis kelamin dengan kejadian gizi lebih, namun

risiko terjadinya gizi lebih pada responden tersebut lebih

besar sebab mengingat bahwa jumlah responden pada

penelitian ini adalah sebagian besar lansia wanita yang telah

mengalami menopause. Dimana menopause juga menjadi

salah satu faktor risiko terjadinya gizi lebih, sebab setelah

menopause terjadi penurunan kadar estrogen yang

menyebabkan terjadinya pula penurunan aktifitas metabolik

dan mempercepat perkembangan terjadinya obesitas pada

wanita. Selain itu, wanita juga memiliki massa lemak yang

relatif lebih besar dibandingkan dengan pria. Sehingga

peluang untuk terjadinya obesitas lebih besar pada wanita

daripada pria (Kim, Chun, & Kwon, 2011).

86
b. Status Perkawinan

Berdasarkan hasil uji statistik status perkawinan di

kedua jenis tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan

panti werdha diperoleh nilai p=0,000 artinya bahwa

terdapat perbedaan signifikan pada variabel status

perkawinan pada lansia peserta posbindu dan penghuni

panti werdha. Hal ini disebabkan oleh lansia peserta

posbindu yang lebih banyak berstatus kawin (69,2%).

Sedangkan lansia penghuni panti werdha lebih banyak

berstatus cerai mati (65,5%) yang merupakan salah satu

syarat lansia menjadi penghuni panti werdha.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,269 dan p=0,157 yang menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan

dengan gizi lebih baik pada peserta posbindu maupun

penghuni panti werdha. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Setiyanto (2012) yang juga menyatakan bahwa

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status

perkawinan dengan gizi lebih pada lansia.

Walaupun terdapat kecenderungan data bahwa yang

berstatus kawin dan mengalami gizi lebih di posbindu

(50,5%) lebih besar dibandingkan kategori lainnya, namun

tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik.

87
Tidak adanya hubungan tersebut bisa terjadi karena data

status perkawinan yang relatif homogen. Hal ini dapat

dilihat pada tabel 5.1 bahwa persentase lansia peserta

posbindu lebih banyak berstatus kawin (69,2%) sedangkan

lansia penghuni panti werdha lebih banyak berstatus cerai

mati (65,5%). Sehingga, data yang homogen tersebut dapat

mempengaruhi hasil dari uji secara statistik yang tidak

dapat tergambarkan dengan baik.

c. Pekerjaan

Berdasarkan hasil uji statistik pekerjaan di kedua jenis

tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan panti werdha

diperoleh nilai p=0,003 artinya bahwa terdapat perbedaan

signifikan pada variabel pekerjaan pada lansia peserta

posbindu dan penghuni panti werdha. Hal ini dapat dilihat

pada tabel 5.1 walaupun keduanya sama-sama memiliki

persentase terbesar pada status tidak bekerja namun pada

lansia peserta posbindu lansia yang tidak bekerja hanya

sebesar 74,7%, sedangkan pada penghuni panti werdha,

seluruh lansianya sudah tidak bekerja (100%). Adanya

perbedaan tersebut disebabkan oleh pada lansia di panti

werdha, salah satu syarat untuk menjadi penghuni panti

werdha adalah sudah tidak bekerja. Sedangkan walaupun

mayoritas lansia di posbindu lebih banyak yang tidak

88
bekerja, namun lansia tesebut tetap melakukan kegiatan

rumah tangga, seperti: menyapu, mengepel, dan menyuci

sebab responden pada penelitian ini kebanyakan adalah

lansia wanita yang masih memiliki tanggungjawab

mengurus rumah tangga.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,217 dan p= - yang menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan

gizi lebih baik pada peserta posbindu maupun penghuni

panti werdha. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Setiani

(2012) dan Setiyanto (2012) yang juga menyatakan bahwa

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan

dengan gizi lebih. Keadaan tersebut dapat dikaitkan dengan

lebih banyaknya lansia yang tidak bekerja.

Pada lansia peserta posbindu, walaupun ada beberapa

lansia yang bekerja tetapi jenis pekerjaannya cenderung

tidak terlalu berat dan memerlukan tenaga fisik yang kuat.

Sedangkan pada lansia di panti werdha, status tidak bekerja

merupakan salah satu syarat menjadi penghuni panti

werdha. Sebagaimana hasil penelitian Sarma et al (2016)

yang menyatakan bahwa pekerjaan yang sebagian besar

dihabiskan hanya duduk/tidak mengeluarkan banyak tenaga

lebih berisiko mengalami gizi lebih dan obesitas.

89
Meskipun terdapat kecenderungan data bahwa lansia

yang tidak bekerja dan mengalami gizi lebih di posbindu

(51,4%) lebih besar dibandingkan kategori lainnya, namun

tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik.

Tidak adanya hubungan antara pekerjaan terhadap gizi lebih

dalam penelitian ini disebabkan oleh sebagian besar lansia

di posbindu (74,7%) dan seluruh lansia penghuni panti

werdha (100%) tidak bekerja. Sehingga data menjadi

homogen mempengaruhi nilai uji statistik yang tidak

tergambarkan dengan baik.

d. Pendidikan

Berdasarkan hasil uji statistik pendidikan di kedua jenis

tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan panti werdha

diperoleh nilai p=0,000 artinya bahwa terdapat perbedaan

signifikan pada variabel pendidikan pada lansia peserta

posbindu dan penghuni panti werdha. Hal ini dapat dilihat

pada tabel 5.1 dimana lansia peserta posbindu lebih banyak

berpendidikan dasar (61%), sedangkan lansia penghuni

panti werdha lebih banyak berspendidikan menengah

(43,8%).

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,000 dan p=0,031 yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan

90
dengan gizi lebih, baik pada peserta posbindu maupun

penghuni panti werdha. Hal ini sesuai dengan beberapa

hasil penelitian sebelumnya yang juga menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan

dengan kejadian gizi lebih (Devaux et al, 2011; Hajian-

Tilaki & Heidari, 2010; Janghorbani et al, 2008; Laitinen et

al, 2002; Public Health England, 2012; Sabanayagam et al,

2009; Simanjuntak, 2010).

Adanya hubungan yang signifikan antara tingkat

pendidikan dengan kejadian gizi lebih menurut Tzotzas et al

(2010) dikaitkan dengan pengetahuan, dimana seseorang

dengan pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan

yang lebih baik tentang informasi mengenai asupan

makanan. Selain itu, hal ini juga cenderung lebih

berpengaruh pada wanita yang berpendidikan tinggi akan

memiliki peluang kecil mengalami obesitas, mengingat

wanita juga berperan saat menyiapkan dan mengolah

makanan dalam keluarga (Devaux et al, 2011; Hajian-Tilaki

& Heidari, 2010; Sassi et al, 2011). Hal serupa juga

disampaikan oleh Michael Grossman bahwa pendidikan

meningkatkan pengetahuan seseorang terhadap produksi

dan kemampuannya memilih menu makanan yang sehat dan

91
menghindari kebiasaan yang tidak sehat (Kemna,1987

dalam Sassi et al, 2011).

Selain itu, seseorang dengan pendidikan tinggi akan

lebih mengetahui makanan apa yang dapat berakibat pada

masalah kesehatan tertentu serta seseorang dengan

pendidikan yang tinggi akan lebih mungkin untuk mau

melakukan olahraga secara rutin. Jadi, secara keseluruhan

terdapat kecenderungan bahwa dengan berpendidikan tinggi

maka seseorang akan memiliki pengetahuan untuk

mengembangkan gaya hidup sehat dan memiliki kesadaran

untuk terhindar dari berbagai risiko obesitas (Sassi et al,

2011).

6.3.2 Hubungan Gaya Hidup pada Lansia dengan Gizi Lebih

a. Aktifitas Fisik

Berdasarkan hasil uji statistik aktifitas fisik di kedua

jenis tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan panti

werdha diperoleh nilai p=0,000 artinya bahwa terdapat

perbedaan signifikan pada variabel aktifitas fisik pada lansia

peserta posbindu dan penghuni panti werdha. Hal ini dapat

dilihat pada tabel 5.2 dimana lansia peserta posbindu lebih

banyak beraktifitas tinggi (65%) sedangkan lansia penghuni

panti werdha lebih banyak beraktifitas ringan (78,1%).

92
Adanya perbedaan aktifitas fisik di kedua tempat

tersebut, disebabkan oleh adanya perbedaan kegiatan

dimana di panti werdha kegiatan seperti senam taichi,

senam osteoporosis, dan kegiatan kesenian telah

dilaksanakan secara rutin dan wajib diikuti oleh seluruh

penghuni panti werdha. Di samping itu, lansia di panti

werdha juga difokuskan untuk lebih banyak beristirahat dan

menikmati hari tuanya, sehingga tidak terlalu banyak

kegiatan yang membutuhkan aktifitas fisik yang berat.

Sedangkan pada lansia yang tinggal di rumah, walaupun

terdapat kegiatan rutin seperti senam lansia sebagai salah

satu kegiatan di posbindu dan kegiatan pengajian, namun

kegiatan-kegiatan tersebut sifatnya tidak mewajibkan

lansianya untuk menghadiri kegiatan tersebut. Selain itu,

pada lansia wanita kebanyakan dari mereka masih memiliki

tanggungjawab untuk mengurus tugas rumah tangga yang

cukup membutuhkan tenaga fisik, seperti: mencuci baju,

menyapu, dan mengepel. Sehingga, terdapat perbedaan

kategori aktifitas fisik anatara lansia penghuni panti werdha

dengan lansia peserta posbindu.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,329 dan p=0,104 yang menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara aktifitas fisik

93
dengan gizi lebih baik pada peserta posbindu maupun

penghuni panti werdha. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Petersen et al (2004) dan Andrade dkk (2012)

yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih.

Walaupun terdapat kecenderungan data bahwa lansia

yang beraktifitas fisik ringan dan mengalami gizi lebih di

posbindu (61,9%) dan panti werdha (52%) lebih besar

dibandingkan kategori lainnya, namun tidak terdapat

hubungan yang signifikan secara statistik. Tidak adanya

hubungan yang signifikan antara aktifitas fisik dengan

terjadinya gizi lebih pada lansia peserta posbindu dan panti

werdha dikarenakan data aktifitas fisik yang relatif

homogen. Seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.2 yang

menyatakan bahwa responden yang beraktifitas tinggi di

posbindu (65,1%) dan lansia yang beraktifitas ringan di

panti werdha (78,1%) lebih banyak dibandingkan kategori

lain. Sehingga data yang homogen tersebut dapat

mempengaruhi hasil dari uji secara statistik. Selain itu,

penyebab lainnya yaitu dengan adanya kejadian gizi lebih

kemungkinan memiliki hubungan dengan berkurangnya

aktifitas fisik pada penderitanya. Sehingga, lansia dengan

94
aktifitas ringan dan mengalami gizi lebih persentasenya

lebih banyak dibanding kategori lainnya.

b. Status Merokok

Berdasarkan hasil uji statistik status merokok di kedua

jenis tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan panti

werdha diperoleh nilai p=0,025 artinya bahwa tidak terdapat

perbedaan signifikan pada variabel status merokok pada

lansia peserta posbindu dan penghuni panti werdha. Hal ini

dapat dilihat pada tabel 5.2 dimana lansia peserta posbindu

(76%) dan penghuni panti werdha (71,9%) yang keduanya

memiliki persentase terbesar pada status tidak pernah

merokok.

Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada status

merokok pada lansia peserta posbindu dan penghuni panti

werdha, mengingat kembali bahwa responden pada

penelitian ini yang lebih didominasi oleh lansia wanita,

dimana lansia wanita tersebut lebih banyak yang berstatus

tidak pernah merokok. Kemungkinan penyebab lainnya

yaitu salah satu syarat untuk menjadi penghuni panti

werdha adalah dengan tidak merokok. Sehingga, seluruh

penghuni panti werdha berstatus tidak merokok.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,000 dan p=0,004 yang menunjukkan bahwa

95
terdapat hubungan yang signifikan antara status merokok

dengan gizi lebih, baik pada peserta posbindu maupun

penghuni panti werdha. Hal ini sesuai dengan beberapa

hasil penelitian sebelumnya yang juga menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara status merokok

dengan kejadian gizi lebih (Andrade et al, 2012; Dare et al,

2015; Kwon et al, 2013; Masulli & Vaccaro, 2005;

Plurphanswat & Rodu, 2014; Watanabe et al, 2016).

Gizi lebih dan obesitas berhubungan secara langsung

dengan status merokok di masa lalu. Hal ini dapat dilihat

pada hasil penelitian Watanabe et al (2016) menjelaskan

bahwa wanita yang sebelumnya pernah merokok di masa

lalu, kemudian berhenti merokok saat masa usia lanjut,

maka akan cenderung mengalami kegemukan. Hal ini

berbeda jika dibandingkan pada wanita yang berhenti

merokok saat masih berusia lebih muda, karena pada wanita

yang lebih muda belum mengalami menopause sehingga

masih menghasilkan hormon estrogen yang juga diketahui

sebagai penghambat terjadinya obesitas.

Selain itu, hasil penelitian Simanjuntak (2010) jika

merokok dapat dihentikan, maka seseorang akan lebih

banyak mengkonsumsi makanan. Akibatnya, peluang

terjadinya kegemukan akan semakin besar. Perubahan

96
jumlah makanan yang dikonsumsi dalam waktu singkat

dapat menyebabkan perubahan berat badan. Hal yang sama

juga disampaikan oleh Andrade et al (2012) dan Kwon et al

(2013) bahwa perokok akan cenderung lebih kurus daripada

yang bukan perokok, sebab dengan merokok dapat

mengurangi nafsu makan dan merangsang metabolisme

tubuh.

Di samping itu, kandungan nikotin yang ada dalam

rokok dapat meningkatkan pengeluaran energi dan dapat

mengurangi nafsu makan. Terlebih, merokok juga

meningkatkan resistensi insulin dan meningkatkan risiko

sindrom metabolik dan diabetes dimana hal tersebut dapat

pula meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Chiolero

et al, 2008; Kwon et al, 2013; Masulli & Vaccaro, 2005;

Plurphanswat & Rodu, 2014).

6.3.3 Hubungan Pola Konsumsi pada Lansia dengan Gizi Lebih

a. Total Energi

Berdasarkan hasil uji statistik total energi di kedua

jenis tempat pada penelitian ini diperoleh nilai p=0,008

artinya bahwa terdapat perbedaan signifikan pada variabel

total energi pada lansia peserta posbindu dan penghuni panti

werdha. Adanya perbedaan total energi di kedua tempat

tersebut, disebabkan oleh sebagian lansia peserta posbindu

97
yang telah mengurangi jumlah konsumsi nasi dan

menggantinya dengan memperbanyak konsumsi lauk-pauk

lain. Sedangkan pada lansia di panti werdha lebih banyak

mengkonsumsi menu selingan dibandingkan dengan menu

makan utama. Sehingga terdapat perbedaan total energi di

kedua tempat tersebut.

Hasil uji chi square diperoleh nilai p=0,643 yang

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara total energi dengan gizi lebih pada lansia

peserta posbindu. Begitu pula hasil uji statistik pada lansia

penghuni panti werdha yang diperoleh nilai p= - yang juga

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara total energi dengan gizi lebih. Kedua hal

tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang

juga menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara total energi dan kejadian gizi lebih

(Anggraeni, 2013; Setiani, 2012; Setiyanto, 2012;

Simanjuntak, 2010).

Walaupun terdapat kecenderungan data bahwa lansia

yang memiliki total energi melebihi AKE dan mengalami

gizi lebih di posbindu (53,1%) lebih besar dibandingkan

kategori lainnya, tidak adanya hubungan tersebut bisa

terjadi karena data total energi yang relatif homogen. Hal ini

98
dapat dilihat pada tabel 5.3 bahwa persentase total energi

yang kurang dari AKE pada lansia peserta posbindu

(78,1%) dan penghuni panti werdha (100%) lebih banyak

dibandingkan pada kategori total energi yang melebihi

AKG. Sehingga, data yang homogen tersebut dapat

mempengaruhi hasil dari uji secara statistik. Selain itu, hasil

analisis lainnya juga menunjukkan bahwa persentase lansia

yang memiliki total energi melebihi AKE dan

berpendidikan dasar (65,6%) serta persentase lansia yang

memiliki total energi melebihi AKE dan memiliki asupan

karbohidrat melebihi AKG (100%) lebih besar

dibandingkan kategori lainnya. Sehingga kemungkinan

hubungan antara total energi dan gizi lebih dikalahkan

nilainya secara statistik oleh variabel karbohidrat dan

variabel pendidikan yang memiliki nilai statistik lebih kuat.

b. Asupan Karbohidrat

Berdasarkan hasil uji statistik asupan karbohidrat di

kedua jenis tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan

panti werdha diperoleh nilai p=0,000 artinya bahwa terdapat

perbedaan signifikan pada variabel asupan karbohidrat pada

lansia peserta posbindu dan penghuni panti werdha. Adanya

perbedaan total energi di kedua tempat tersebut, disebabkan

oleh sebagian lansia peserta posbindu yang telah

99
mengurangi jumlah konsumsi nasi dan menggantinya

dengan memperbanyak konsumsi lauk-pauk lain.

Sedangkan pada lansia di panti werdha lebih banyak

mengkonsumsi menu selingan dibandingkan dengan menu

makan utama. Sehingga terdapat perbedaan asupan

karbohidrat di kedua tempat tersebut.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,038 dan p=0,016 yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara asupan

karbohidrat dengan gizi lebih, baik pada peserta posbindu

maupun penghuni panti werdha. Hal ini sesuai dengan

beberapa hasil penelitian sebelumnya yang juga

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara asupan karbohidrat dengan kejadian gizi lebih

(Jitnarin et al, 2010; Ma et al, 2005; Golay et al, 1996 dalam

van Dam & Seidell, 2007).

Adanya hubungan yang signifikan antara asupan

karbohidrat dengan kejadian gizi lebih pada lansia peserta

posbindu dapat terjadi karena berdasarkan hasil recall 3x24

hours baik lansia di posbindu maupun di panti werdha telah

mengurangi jumlah nasi yang dikonsumsi. Di samping itu,

juga terdapat lansia yang telah mengganti nasi dengan

sumber karbohidrat lain, seperti kentang dan ubi rebus yang

100
menurut pendapat lansia, jenis makanan tersebut lebih sehat

daripada nasi.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian

sebelumnya, keterkaitan antara asupan karbohidrat dengan

kejadian gizi lebih yakni diketahui bahwa asupan

karbohidrat berkaitan dengan gizi lebih dan obesitas, serta

IMT dapat menurun secara signifikan pada penderita

obesitas apabila membatasi jumlah asupan karbohidrat.

Hasil penelitian eksperimental lainnya menyatakan bahwa

terjadi penumpukan lemak dan meningkatnya

penggabungan glukosa menjadi lipid, serta terjadinya

sintesis asam lemak yang lebih besar apabila mengkonsumsi

tinggi karbohidrat (Jitnarin et al, 2010; Ma et al, 2005;

Golay et al, 1996 dalam van Dam & Seidell, 2007).

Karbohidrat merupakan salah satu makronutrien yang

berperan dalam memberikan sumber energi bagi manusia.

Namun jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih,

sedangkan penyimpanan di hati dan otot dalam menyimpan

glikogen terbatas, maka karbohidrat akan disimpan berupa

lemak dalam jaringan lemak. Selain itu, tingginya asupan

karbohidrat akan terjadi pula peningkatan glukosa darah.

Sehingga, pankreas akan mengeluarkan hormon insulin

untuk menurunkan kadar glukosa darah. Namun, mengingat

101
insulin merupakan hormon penyimpan kelebihan

karbohidrat dalam bentuk lemak untuk membuat cadangan

energi, maka keluarnya insulin yang dirangsang oleh

karbohidrat akan meningkatkan jumlah lemak dalam tubuh.

Selain itu, insulin juga berperan untuk menahan lemak yang

telah disimpan. Maka terjadilah kelebihan berat badan pada

seseorang. (Examine, 2016; Mobbs et al, 2009; Golay et al,

1996 dalam van Dam & Seidell, 2007).

c. Asupan Protein

Berdasarkan hasil uji statistik asupan protein

diperoleh nilai p=0,760 artinya bahwa tidak terdapat

perbedaan signifikan pada variabel asupan protein pada

lansia peserta posbindu dan penghuni panti werdha. Tidak

adanya perbedaan yang signifikan pada asupan protein

lansia peserta posbindu dan penghuni panti werdha

dikarenakan lansia di kedua tempat tersebut sama-sama

lebih banyak mengkonsumsi lauk-pauk yang kebanyakan

adalah sumber protein dan lemak dibandingkan dengan

makanan sumber karbohidrat. Pada lansia di rumah

kebanyakan dari mereka telah mengurangi konsumsi nasi

dan menggantinya dengan memperbanyak konsumsi sumber

protein hewani, seperti: ikan, ayam, dan hati. Sedangkan

menu makanan lansia di panti werdha memang diatur oleh

102
pihak panti werdha bahwa lebih banyak pada sumber

protein nabati, seperti: bubur kacang hijau, pecel, tempe,

telur, dan ubi. Sehingga, tidak terdapat perbedaan asupan

protein di kedua tempat tersebut.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,802 dan p=0,3 yang menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein

dengan gizi lebih baik pada peserta posbindu maupun

penghuni panti werdha. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian sebelumnya yang juga menyatakan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein

dan kejadian gizi lebih (Anggraeni, 2013; Setiyanto, 2012;

Simanjuntak, 2010).

Meskipun terdapat kecenderungan data bahwa lansia

yang memiliki asupan protein melebihi AKG dan

mengalami gizi lebih, lebih besar dibandingkan kategori

lainnya namun tidak terdapat hubungan yang signifikan.

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan

protein dengan terjadinya gizi lebih pada lansia peserta

posbindu dikarenakan walaupun lansia telah mengetahui

sumber protein yang harus dibatasi konsumsinya agar

terhindar dari gizi lebih, namun responden tetap

mengkonsumsi makanan tersebut, seperti ayam goreng, hati

103
ayam goreng, dan sarden bahkan dalam jumlah yang lebih

banyak sebagai pengganti jumlah karbohidrat yang

dikurangi oleh responden. Sehingga responden cenderung

memiliki asupan protein melebihi AKG. Selain itu, data

asupan protein juga relatif homogen. Hal ini dapat dilihat

pada tabel 5.3 bahwa persentase asupan protein yang

melebihi AKG pada lansia peserta posbindu (96,6%) lebih

banyak dibandingkan pada kategori asupan protein yang

kurang dari AKG. Sehingga, data yang homogen tersebut

dapat mempengaruhi hasil dari uji secara statistik

Sedangkan pada lansia penghuni panti werdha, tidak

adanya hubungan yang signifikan tersebut dapat disebabkan

oleh variasi menu makanan yang disajikan oleh pihak panti

werdha lebih banyak menyajikan makanan dengan sumber

protein nabati, seperti: tempe, tahu, dan telur yang

cenderung lebih banyak dikonsumsi oleh responden,

walaupun sumber protein hewani, seperti ayam dan ikan

juga masih diberikan. Sehingga data asupan protein juga

menjadi relatif homogen yang dapat dilihat pada tabel 5.3

bahwa persentase asupan protein yang melebihi AKG pada

lansia penghuni panti werdha (93,8%) lebih banyak

dibandingkan pada kategori asupan protein kurang dari

104
AKG. Sehingga, data yang homogen tersebut dapat

mempengaruhi hasil dari uji secara statistik.

d. Asupan Lemak

Berdasarkan hasil uji statistik asupan lemak di kedua

jenis tempat pada penelitian ini, yaitu posbindu dan panti

werdha diperoleh nilai p=0,000 artinya bahwa terdapat

perbedaan signifikan pada variabel asupan lemak pada

lansia peserta posbindu dan penghuni panti werdha. Adanya

perbedaan asupan lemak di kedua tempat tersebut,

disebabkan oleh sebagian lansia peserta posbindu yang

masih banyak mengkonsumsi makanan selingan dan

makanan utama dengan penyajian digoreng, seperti: ayam

goreng, hati ayam goreng, ikan goreng, tahu goreng,

bakwan, dan pisang goreng bahkan dalam jumlah yang

lebih banyak sebagai pengganti jumlah karbohidrat yang

dikurangi oleh responden. Sedangkan pada lansia di panti

werdha saat disajikan menu lauk-pauk yang digoreng, maka

mereka cenderung lebih banyak mengkonsumsi lauk

tersebut, seperti: ikan goreng, ayam goreng, dan bihun

goreng. Sehingga terdapat perbedaan asupan lemak di

kedua tempat tersebut.

Selain itu, berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh

nilai p=0,263 dan p=0,052 yang menunjukkan bahwa tidak

105
terdapat hubungan yang signifikan antara asupan lemak

dengan gizi lebih baik pada peserta posbindu maupun

penghuni panti werdha. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Setiani (2012) dan Setiyanto (2012) yang juga

menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara asupan lemak dan kejadian gizi lebih.

Meskipun terdapat kecenderungan data bahwa lansia

yang memiliki asupan lemak melebihi AKG dan mengalami

gizi lebih di posbindu (51,3%) dan panti werdha (54,5%)

lebih besar dibandingkan kategori lainnya namun tidak

terdapat hubungan yang signifikan. Tidak adanya hubungan

tersebut dikarenakan walaupun lansia telah mengetahui

sumber lemak yang harus dibatasi konsumsinya agar

terhindar dari gizi lebih, namun responden tetap

mengkonsumsi makanan utama dan makanan selingan yang

cara pengolahannya cenderung dengan cara digoreng,

seperti ayam goreng, hati ayam goreng, ikan goreng, tahu

goreng, bakwan, dan pisang goreng bahkan dalam jumlah

yang lebih banyak sebagai pengganti jumlah karbohidrat

yang dikurangi oleh responden.

Sedangkan pada lansia di panti werdha saat disajikan

menu lauk-pauk yang digoreng, maka mereka cenderung

lebih banyak mengkonsumsi lauk tersebut, seperti: ikan

106
goreng, ayam goreng, dan bihun goreng. Sehingga terdapat

perbedaan asupan lemak di kedua tempat tersebut.

Sehingga, data asupan lemak menjadi relatif homogen. Hal

ini dapat dilihat pada tabel 5.3 bahwa persentase asupan

lemak yang melebihi AKG pada lansia peserta posbindu

(78,8%) dan penghuni panti werdha (68,8%) lebih banyak

dibandingkan pada asupan lemak yang kurang dari AKG.

Sehingga, data yang homogen tersebut dapat mempengaruhi

hasil dari uji secara statistik.

Di samping itu, lebih banyaknya persentase pada

asupan lemak yang melebihi AKG dan mengalami gizi

lebih kemungkinan disebabkan oleh faktor lain. Hasil

analisis lainnya juga menunjukkan bahwa persentase lansia

yang memiliki asupan lemak melebihi AKG dan asupan

karbohidratnya juga melebihi AKG (57,7%) serta

persentase lansia yang memiliki asupan lemak melebihi

AKG dan berpendidikan dasar (61,3%) lebih besar

dibandingkan kategori lainnya. Sehingga kemungkinan

hubungan antara total energi dan gizi lebih dikalahkan

nilainya secara statistik oleh variabel karbohidrat dan

variabel pendidikan yang memiliki nilai statistik lebih kuat.

107
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Simpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan tentang perbandingan faktor risiko gizi lebih pada lansia

peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dengan

penghuni Panti Werdha tahun 2017, yaitu:

1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada faktor status

perkawinan (pvalue=0,000), pekerjaan (pvalue=0,003),

pendidikan (pvalue=0,000), aktifitas fisik (pvalue=0,000), status

merokok (pvalue=0,025), total energi (pvalue=0,008), asupan

karbohidrat (pvalue=0,000), dan asupan lemak (pvalue=0,000)

pada lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat

Timur dan penghuni Panti Werdha Melania tahun 2017.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada faktor jenis

kelamin (pvalue=0,321) dan asupan protein (pvalue=0,760) pada

lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat

Timur dan penghuni Panti Werdha Melania tahun 2017.

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor pendidikan

(pvalue=0,000), status merokok (pvalue=0,000), dan asupan

karbohidrat (pvalue=0,038) dengan kejadian gizi lebih pada lansia

108
peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur tahun

2017.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor jenis

kelamin (pvalue=0,250), status perkawinan (pvalue=0,269),

pekerjaan (pvalue=0,217), aktifitas fisik (pvalue=0,329), total

energi (pvalue=0,643), asupan protein (pvalue=0,802) dan lemak

(pvalue=0,263) dengan kejadian gizi lebih pada lansia peserta

posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur

5. Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor pendidikan

(pvalue=0,031), status merokok (pvalue=0,004), dan asupan

karbohidrat (pvalue=0,016) dengan kejadian gizi lebih pada lansia

penghuni Panti Werdha Melania tahun 2017.

6. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor jenis

kelamin (pvalue=0,703), status perkawinan (pvalue=0,157),

pekerjaan (pvalue= - ), aktifitas fisik (pvalue=0,104), total energi

(pvalue= - ), asupan protein (pvalue=0,3) dan lemak

(pvalue=0,052) dengan kejadian gizi lebih pada lansia penghuni

Panti Werdha Melania tahun 2017.

7.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan, yaitu:

109
7.2.1 Bagi Pihak Puskesmas Ciputat Timur

a. Sebaiknya dapat mengadakan konseling yang cocok dan

sesuai dengan tingkat pendidikan lansia yang cenderung

berpendidikan dasar dengan memberikan pesan gizi yang

dikemas dengan bahasa yang sederhana dan mudah

dipahami oleh lansia, misalnya dengan menyampaikan

materi lewat video atau lembar balik menggunakan bahasa

sehari-hari.

b. Sebaiknya dapat memberikan informasi terhadap lansia

peserta posbindu di wilayah kerjanya agar dapat

mengurangi konsumsi makanan tinggi karbohidrat, seperti:

nasi, bihun goreng, biskuit, kerupuk, ayam goreng, telur

ayam ceplok, hati ayam goreng, tempe goreng, dan ikan

asin. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan

media food model agar lansia lebih jelas dan paham

jumlah porsi yang seharusnya dikonsumsi.

7.2.2 Bagi Pihak Panti Werdha Melania

a. Sebaiknya dapat lebih mengajak lansianya untuk

meningkatkan konsumsi karbohidrat, seperti

mengkonsumsi nasi, bihun goreng, dan roti, yang dapat

disampaikan menggunakan media food model.

b. Sebaiknya dapat mengadakan konseling atau penyuluhan

mengenai pesan gizi kepada lansia yang disesuaikan

110
dengan tingkat pendidikan lansia di panti werdha yang

cenderung menengah, misalnya dengan menyampaikan

materi lewat video atau lembar balik menggunakan bahasa

sehari-hari.

7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti variabel

usia, status menopause, dan pendapatan yang tidak diteliti

pada penelitian ini

b. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti dengan

menggunakan metode konversi tinggi badan lansia yang

berbeda untuk mengetahui status gizi lebih pada lansia,

seperti tinggi lutut dan tinggi duduk sehingga dapat

diperoleh variasi hasil dengan kedua metode tersebut.

c. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti dengan

menggunakan metode perhitungan aktifitas fisik lain yang

dapat mencakup keseluruhan aktifitas yang dilakukan oleh

lansia.

111
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Merryana., & Wirjatmadi, Bambang. 2012. Peranan Gizi Dalam Siklus
Kehidupan. Jakarta: Prenada Media Group.
Ahmed, H., dkk. (2016). The Association Between Physical Activity and
Overweight and Obesity in A Population of Children at High and Low
Altitudes in Southwestern Saudi Arabia. Journal of Family and Community
Medicine, 23(2), 82. http://doi.org/10.4103/2230-8229.181011
Allman-Farinelli, M. A., dkk. (2010). Occupational Risk of Overweight and
Obesity: An Analysis of The Australian Health Survey. Journal of
Occupational Medicine and Toxicology, 5(14), 1–9.
http://doi.org/10.1186/1745-6673-5-14
Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedian Pustaka
Utama.
Andrade, F. B. de, dkk. (2012). Prevalence of Overweight and Obesity in Elderly
People from Vitória-ES , Brazil. Ciência & Saúde Coletiva, 17(3), 749–756.
Anggraeni, W. C. (2013). Hubungan Antara Karakteristik Individu, Tingkat
Depresi, Status Kesehatan, Serta Asupan Zat Gizi Makro terhadap Status
Gizi Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budhi Mulia 1 dan 3
Jakarta Tahun 2013. Universitas Indonesia.
Aprillia, D. D., & Khomsan, A. (2014). Konsumsi Air Putih, Status Gizi, dan
Status Kesehatan Penghuni Panti Werda di Kabupaten Pacitan. Jurnal Gizi
Pangan, 9(3), 167–172. http://doi.org/1978-1059
Badan Pusat Statistik. (2015). Sosial dan Kependudukan. (online). Tersedia:
http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/12 diakses pada 7 November 2015
pukul 21.26 WIB.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Penduduk Lanjut Usia. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
Bakhshi, E., dkk. (2011). Factors Associated With Obesity in Iranian Elderly
People: Results From The National Health Survey. BMC Research Notes,

112
4(1), 538. http://doi.org/10.1186/1756-0500-4-538
BPS Kota Tangerang Selatan. (2015). Kecamatan Ciputat Timur Dalam Angka
Tahun 2015. Tangerang Selatan.
Brown, Judith E., dkk. 2011. Nutrition Through the Life Cycle: Fourth Edition.
Wadsworth: Cengage Learning.
Bull, F. C., dkk. (2009). Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ): Nine
Country Reliability and Validity Study. Journal of Physical Activity &
Health, 6(6), 790–804. http://doi.org/10.1016/S0140-6736(12)60736-3.
Cawley, J., dkk. (2010). The Impact of Income on The Weight of Elderly
Americans. Health Economics, 19(8), 979–993.
http://doi.org/10.1002/hec.1541
Chiolero, A., dkk. (2008). Consequences of Smoking For Body Weight, Body Fat
Distribution, and Insulin Resistance. The American of Journal Clinical
Nutrition, 87, 801–809.
Clair, C., dkk. (2011). Dose-Dependent Positive Association Between Cigarette
Smoking, Abdominal Obesity and Body Fat: Cross-Sectional Data From a
Population-Based Survey. BMC Public Health, 11, 23.
http://doi.org/10.1186/1471-2458-11-23
Dahlan, M. Sopiyudin. 2008. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan :
Deskriptif, Bivariat Dan Multivariat Dilengkapi Dengan Menggunakan
SPSS. Ed. 3. Jakarta: Salemba Medika.
Dare, S., dkk. (2015). Relationship Between Smoking and Obesity: A Cross-
Sectional Study of 499,504 Middle-aged Adults in The UK General
Population. Journal of PLos ONE, 10(4), 1–12.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0123579
Darmojo, Boedhi. 2011. Buku Ajar Boedhi Darmojo: Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut) Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
De Keyzer, W., dkk. (2011). Repeated 24-Hour Recalls Versus Dietary Records
for Estimating Nutrient Intakes in a National Food Consumption Survey.
Food and Nutrition Research, 55(November).
http://doi.org/10.3402/fnr.v55i0.7307

113
de Lima, C. B. V., dkk. (2012). Nutritional Status and Associated Factors in
Institutionalized Elderly. Journal of Nutritional Disorders & Therapy, 2(3),
2–5. http://doi.org/10.4172/2161-0509.1000116
Devaux, M., dkk. (2011). Exploring the Relationship Between Education and
Obesity. OECD Journal: Economic Studies, 2011.
Dinas Kota Tangerang Selatan. 2015. Laporan Tahunan Dinas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2015.
Dinour, L., dkk. (2012). The Association Between Marital Transitions, Body
Mass Index, and Weight: A Review of The Literature. Journal of Obesity,
2012. http://doi.org/10.1155/2012/294974
Drewnowski, A. (2007). The Real Contribution of Added Sugars and Fats to
Obesity. Epidemiologic Reviews, 29(1), 160–171.
http://doi.org/10.1093/epirev/mxm011
Drewnowski, A., Specter, S. (2004). Poverty and Obesity: The Role of Energy
Density and Energy Costs. The American of Journal Clinical Nutrition, 79,
6–16.
El Zoghbi, M., dkk. (2013). Association Between Cognitive Function and
Nutritional Status in Elderly: A Cross-Sectional Study in Three Institutions
of Beirut—Lebanon. Geriatric Mental Health Care, 1(4), 73–81.
http://doi.org/10.1016/j.gmhc.2013.04.007
Examine. 2016. How Are Carbohydrates Converted Into Fat Deposits?. Tersedia:
https://examine.com/nutrition/how-are-carbohydrates-converted-into-fat-
deposits/ (online). Diakses pada 8 September 2016 pukul 11.47 WIB.
Fatmah, dkk. (2008). Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa
Berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk. Maj Kedokt
Indon, 58(12), 509–516.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga
Fauziah, S. (2012). Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Status
Kesehatan Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor.
Institut Pertanian Bogor.
Flaherty, L. D. (2014). The Relationship Between Obesity and Occupations

114
Among The U.S. Population Based on Occupational Tasks. University of
Connecticut. Retrieved from http://digitalcommons.uconn.edu/gs_theses/537
Food Research and Action Center. (2015). Why Low-Income and Food Insecure
People are Vulnerable to Obesity. Tersedia: http://frac.org/initiatives/hunger-
and-obesity/why-are-low-income-and-food-insecure-people-vulnerable-to-
obesity/ (online). Diakses pada 7 September 2016 pukul 12.58 WIB.
Freeman, E. W., dkk. (2010). Obesity and Reproductive Hormone Levels in The
Transition to Menopause. Menopause, 17(4), 678–679.
http://doi.org/10.1097/gme.0b013e3181e3a10a
Gani, Irwan & Siti Amalia. 2015. Alat Analisis Data: Aplikasi Statistik Untuk
Penelitian Bidang Ekonomi Dan Sosial. Yogyakarta: Penebit ANDI.
Gille, D., dkk. (2015). Nutrition Behavior of The Middle-Aged and Elderly:
Compliance with Dietary Recommendations of The Food Pyramid. Clinical
Nutrition, XXX, 1–7. http://doi.org/10.1016/j.clnu.2015.04.002
Gonçalves, D., dkk. (2012). Nutritional Status and Epidemiological Profile of
Elderly People. Archives of Gerontology and Geriatrics, 55(1), 1–4.
http://doi.org/10.1016/j.archger.2011.05.017
Gonçalves, J. T. T., dkk. (2016). Overweight and Obesity and Factors Associated
with Menopause. Journal of Ciência & Saúde Coletiva, 21(4), 1145–1156.
http://doi.org/10.1590/1413-81232015214.16552015
Grantham, J. P., & Henneberg, M. (2014). The Estrogen Hypothesis of Obesity.
PLoS ONE, 9(6), 1–7. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0099776
Gravena, A. a F., dkk. (2013). Excess Weight and Abdominal Obesity in
Postmenopausal Brazilian Women: A Population-Based Study. BMC
Women’s Health, 13, 46. http://doi.org/10.1186/1472-6874-13-46
Gunther, A. L., dkk. (2007). Early Protein Intake and Later Obesity Risk: Which
Protein Sources at Which Time Points Throughout Infancy and Childhood
are Important For Body Mass Index and Body Fat Percentage at 7 y of age ?
The American of Journal Clinical Nutrition, 86, 1765–72.
http://doi.org/10.3945/ajcn.115.120824.
Hajian-Tilaki, K. O., & Heidari, B. (2010). Association of Educational Level With

115
Risk of Obesity and Abdominal Obesity in Iranian Adults. Journal of Public
Health, 32(2), 202–209. http://doi.org/10.1093/pubmed/fdp083
Harvard Chan School. 2016. Obesity Prevention Source. Tersedia:
https://www.hsph.harvard.edu/obesity-prevention-source/obesity-
causes/physical-activity-and-obesity/ (online). Diakses pada 1 September
2016 pukul 13.39 WIB
Hill, J. O., Wyatt, H. R., & Peters, J. C. (2012). Energy Balance and Obesity.
Circulation, 126(1), 126–32.
http://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.111.087213

Janghorbani, M., dkk. (2008). Association of Body Mass Index and Abdominal
Obesity with Marital Status in Adults. Archives of Iranian Medicine, 11(3),
274–281.
Jin, M. J., dkk. (2013). Prevalence of overweight and obesity and their
associations with socioeconomic status in a rural han Chinese adult
population. PLoS ONE, 8(11), 1–9.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0079946
Jitnarin, N., dkk. (2010). Risk Factors for Overweight and Obesity Among Thai
Adults: Results of The National Thai Food Consumption Survey. Journal of
Nutrients, 2(1), 60–74. http://doi.org/10.3390/nu2010060
Kemenkes. (2011). Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan
2011-2014. Pusat Data dan Informasi. Indonesia.
Kemenkes. (2011). Promosi Kesehatan di Daerah Bermasalah Kesehatan.

Kemenkes. (2012). Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta.
Kemenkes. (2014a). Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kemenkes RI
Kemenkes. (2014b). Pusat Data dan Informasi. Jakarta: Kemenkes RI.
Kim, I.-H., Chun, H., & Kwon, J.-W. (2011). Gender Differences in The Effect of
Obesity on Chronic Diseases among The Elderly Koreans. Journal of Korean
Medical Science, 26(2), 250–7. http://doi.org/10.3346/jkms.2011.26.2.25

116
Kwon, J. D., dkk. (2013). The relationship between cigarette smoking and obesity
in the adolescents. Journal of Experimental and Clinical Medicine, 30, 311–
315. http://doi.org/10.4082/kjfm.2010.31.5.369
Laitinen, J., dkk. (2002). Unemployment and Obesity Among Young Adults in a
Northern Finland 1966 Birth Cohort. International Journal of Obesity and
Related Metabolic Disorders, 26(10), 1329–1338.
http://doi.org/10.1038/sj.ijo.0802134
Lei, X., dkk. (2014). Health Outcomes and Socio-economic Status Among The
Mid-aged and Elderly in China: Evidence from the CHARLS National
Baseline Data. The Journal of the Economics of Ageing, 3, 29–43.
http://doi.org/10.1016/j.jeoa.2014.05.001
Levine, J. A. (2011). Poverty and Obesity in The U.S. Journal of Diabetes,
60(11), 2667–2668. http://doi.org/10.2337/db11-1118
Lizcano, F., dkk. (2014). Estrogen Deficiency and The Origin of Obesity During
Menopause. BioMed Research International, 2014, 757461.
http://doi.org/10.1155/2014/757461
Ma, Y., dkk. (2003). Association Between Eating Patterns and Obesity in a Free-
Living US Adult Population. American Journal of Epidemiology, 158(1), 85–
92. http://doi.org/10.1093/aje/kwg117
Ma, Y., dkk. (2005). Association between dietary carbohydrates and body weight.
American Journal of Epidemiology, 161(4), 359–367.
http://doi.org/10.1093/aje/kwi051
Ma, Y., dkk. (2009). Number of 24-Hour Diet Recalls Needed to Estimate Energy
Intake. Ann Epidemiol NIH, 19(8), 553–559.
http://doi.org/10.1016/j.annepidem.2009.04.010.Number
Mahan, L. K. (2008). Krause’s Food & Nutrition Therapy: International Edition
(12th Editi). Canada: Elsevier Inc.
Mendoza, J. a., Drewnowski, A., & Christakis, D. a. (2007). Dietary Energy
Density is Associated with Obesity and The Metabolic Syndrome in US
Adults. Diabetes Care, 30(4), 974–9. http://doi.org/10.2337/dc06-
2188.Abbreviations

117
Mobbs, C. V, dkk. (2009). Reverse Obesity: a Metabolic Mechanism Resolving
The Paradox. National Institute of Health, 48(2), 135–138.
http://doi.org/10.1016/j.appet.2006.06.007.Low-carbohydrate
Must, A., & Tybor, D. J. (2005). Physical Activity and Sedentary Behavior: A
Review of Longitudinal Studies of Weight and Adiposity in Youth.
International Journal of Obesity, 29 Suppl 2, S84–S96.
http://doi.org/10.1038/sj.ijo.0803064
Noh, J. W., dkk. (2014). Gender Differences and Socioeconomic Status in
Relation to Overweight among Older Korean People. PLoS ONE, 9(5).
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0097990
Norhasanah, dkk. (2015). Analysis of Factors Affecting Nutritional Status of
Elderly at State Nursing Home and Non-Governmental Organization.
Pakistan Journal of Nutrition, 14(3), 180–187.
http://doi.org/10.3923/pjn.2015.180.187
Nurokhmah, Siti & Kusharisupeni Djokosujono. (2013). Pengukuran Persen
Lemak Tubuh MenggunakanAntropometri Sederhana: Studi Validasi pada
Mahasiswi Program Sarjana Ekstensi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia Tahun 2013. Universitas Indonesia.
Ovesen, L. (2000). Validity of Dietary Assessment Methods in Children and
Older People. TNO Report, Annex B-11, 72–75.
Petersen, L., dkk. (2004). Longitudinal Study of The Long-Term Relation
Between Physical Activity and Obesity in Adults. International Journal of
Obesity and Related Metabolic Disorders, 28(1), 105–12.
http://doi.org/10.1038/sj.ijo.0802548
Pew Research Center. 2016. Global Population Estimates by Ages, 1950-2050
(online). Tersedia: http://www.pewglobal.org/2014/01/30/global-population/.
Diakses pada 28 Juli 2016 pukul 21:20 WIB.
Plurphanswat, N., & Rodu, B. (2014). The Association of Smoking and
Demographic Characteristics on Body Mass Index and Obesity Among
Adults in the U.S 1999–2012. BMC Obesity, 1(1), 1–9.
http://doi.org/10.1186/s40608-014-0018-0

118
Profil Kesehatan Tahun 2015 UPT Puskesmas Ciputat Timur
Public Health England. (2012). Adult Obesity and Socioeconomic Status.
National Obesity Observatory.
Riskesdas. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI.
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI.
Sabanayagam, C., dkk. (2009). The Association Between Socioeconomic Status
and Overweight/Obesity in a Malay Population in Singapore. Asia-Pacific
Journal of Public Health, 21(4), 487–496.
http://doi.org/10.1177/1010539509343957
Sarma, H., dkk. (2016). Determinants of Overweight or Obesity Among Ever-
Married Adult Women in Bangladesh. Bio Med Central Obesity, 3, 1–11.
http://doi.org/10.1186/s40608-016-0093-5
Sassi, F., dkk. (2011). Exploring The Relationship Between Education and
Obesity. OECD Journal: Economic Studies, 2011(1), 121–159.
http://doi.org/10.1787/eco_studies-2011-5kg5825v1k23
Schulte, P. A., dkk. (2007). Work, obesity, and occupational safety and health.
American Journal of Public Health, 97(3), 428–436.
http://doi.org/10.2105/AJPH.2006.086900
Setiani, W. D. (2012). Hubungan antara Riwayat Penyakit, Asupan Protein dan
Faktor-Faktor Lain dengan Status Gizi Peserta Posyandu Lansia di
Kecamatan Grogol Petamburan Jakarta Barat Tahun 2011. Universitas
Indonesia.
Setiyanto, B. (2012). Perbandingan status gizi dan faktor-faktor yang
berhubungan pada lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha dan
Posbindu Cempaka di Kota Bogor = Comparison of nutritional status and
related factors to the elderly at Tresna Werdha Home Nursing and P.
Universitas Indonesia.
Shebl, A. M., dkk. (2015). Prevalence and Risk Factors of Obesity among Elderly
Attending Geriatric Outpatient Clinics in Mansoura City. Journal of

119
Education and Practice, 6(30), 136–147. Retrieved from
http://ezproxy.si.unav.es:2048/login?url=http://search.ebscohost.com/login.as
px?direct=true&AuthType=ip,url&db=eric&AN=EJ1081347&lang=es&site
=eds-live
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi. Jakarta:
EGC.
Simanjuntak, E. (2010). Status Gizi Lanjut Usia di Daerah Pedesaan, Kecamatan
Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010.
Universitas Indonesia.
Sunusi, Makmur. (2006). Kebijakan Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Ditjen
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, Jakarta.
Supariasa, I Dewa Nyoman., dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Syawal, Aulia., dkk . (2008). Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta:
Kanisius.
Tabar, Pamela. (2015). Obesity and Nursing Home. Tersedia:
http://www.ltlmagazine.com/article/obesity-nursing-homes (online). Diakses
pada 6 September 2016 pukul 20.24 WIB.
Teta, Jade. (2013). Female Hormon: Estrogen (Oestrogen) & Weight Loss.
Tersedia: https://www.metaboliceffect.com/female-hormones-estrogen/
(online). Diakses pada 24 September 2016 pukul 09.37 WIB.
Thompson, Derek. (2013). The Messy, Messy Relationship Between Income (and
Race) and Obesity. Tersedia:
http://www.theatlantic.com/business/archive/2013/11/the-messy-messy-
relationship-between-income-and-race-and-obesity/281434/ (online).
Diakses pada 7 September 2016 pukul 14.24 WIB.
Tzotzas, T., dkk. (2010). Marital Status and Educational Level Associated to
Obesity in Greek Adults: Data From The National Epidemiological Survey.
Bio Med. Central Public Health, 10(732), 1–8.
http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1186/1471-2458-10-732
UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

120
Pendidikan Nasional. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4301. Indonesia. http://doi.org/10.1024/0301-1526.32.1.54
van Dam, R., & Seidell, J. C. (2007). Carbohydrate intake and obesity. European
Journal of Clinical Nutrition, 61, S75–S99.
http://doi.org/10.1038/sj.ejcn.1602939
Velasquez, M. T., & Bhathena, S. J. (2007). Role of Dietary Soy Protein in
Obesity. International Journal of Medical Sciences, 4(2), 72–82.
http://doi.org/10.7150/ijms.4.72
Villareal, D. T., dkk. (2005). Obesity in Older Adults: Technical Review and
Position Statement of The American Society for Nutrition and NAASO, The
Obesity Society. American Journal of Clinical Nutrition, 82(5), 923–934.
http://doi.org/10.1038/oby.2005.228
Watanabe, T., dkk. (2016). Association Between Smoking Status and Obesity in a
Nationwide Survey of Japanese Adults. Journal of Plos One, 11(3),
e0148926. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0148926
Westerterp-Plantenga, M., dkk. (2004). Dietary Protein, Metabolism, and Body-
Weight Regulation: Dose– Response Effects. International Journalof
Obesity, 28, 57–64. http://doi.org/10.1038/sj.ijo.0803487
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301. http://doi.org/10.1024/0301-
1526.32.1.54
WHO GPAQ. (2012). Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) Analysis
Guide.
WHO. (2003). Diet, Nutrition and The Prevention of Chronic Diseases. World
Health Organization Technical Report Series, 916, i–viii– 1–149–
backcover. http://doi.org/ISBN 92 4 120916 X ISSN 0512-3054 (NLM
classification: QU 145)
WHO. (2011). World Health Statistic. Who Library Cataloguing In Publication
Data

121
WHO. (2015). World Population Prospects: The 2015 Revision. New York.
Wulandari, A. F. S. (2011). Kejadian dan Tingkat Depresi Pada Pada Lanjut
Usia: Studi Perbandingan di Panti Wreda dan Komunitas. Universitas
Diponegoro.
Zhang, N., dkk. (2013). Prevalence of Obesity in New York Nursing Homes:
Associations with Facility Characteristics. Gerontologist, 53(4), 567–581.
http://doi.org/10.1093/geront/gnt011

122
LAMPIRAN

123
Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN

Perkenalkan saya Tyas Widya Utami, mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta
bermaksud mengadakan penelitian mengenai studi komparasi faktor risiko gizi lebih pada
lansia peserta posbindu di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dengan penghuni Panti
Werdha Melania tahun 2017. Maka dari itu, saya akan menanyakan kepada Bapak/Ibu
mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan faktor risiko gizi lebih. Selain itu, saya juga
akan melakukan pengukuran panjang depa dan berat badan kepada Bapak/Ibu. Jawaban yang
Bapak/Ibu berikan akan sangat bermanfaat bagi penelitian saya dan akan terjamin
kerahasiaannya. Atas kesediaan Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima kasih.

LEMBAR PERSETUJUAN
Setelah membaca penjelasan diatas, saya memahami tujuan dan manfaat penelitian ini, saya
mengerti bahwa peneliti akan menghargai dan menjunjung tinggi hak-hal saya sebagai
responden dan saya menyadari bahwa penelitian ini tidakakan berdampak negatif bagi saya.
Saya mengetahui bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi
saya, pihak panti werdha/posbindu, dan peneliti. Maka saya bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini.

Jakarta, Januari 2017

Responden

124
KUESIONER PENELITIAN

Studi Komparasi Faktor Risiko Gizi Lebih Pada Lansia Peserta Posbindu di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat Timur Dengan Penghuni Panti Werdha Melania Tahun 2017

No. Responden :

Hari/tanggal :

Diisi oleh
A. IDENTITAS RESPONDEN
peneliti
A1 Nama
A2 Jenis kelamin 1. Wanita A2 ( )
2. Pria
A3 Status 1. Kawin A3 ( )
perkawinan 2. Belum kawin
3. Cerai hidup
4. Cerai mati
A4 Pekerjaan 1. Tidak bekerja A4 ( )
2. Bekerja
A5 Pendidikan 1. SD/sederajat A5 ( )
2. SMP/sederajat
3. SMA/sederajat
4. Perguruan tinggi
A6 Status tinggal 1. Rumah A6 ( )
2. Panti werdha
A7 Status 1. Tidak pernah merokok A7 ( )
merokok 2. Pernah merokok
3. Sedang merokok

B. PENILAIAN ANTROPOMETRI
Berat badan : ................... kg
Panjang depa : ................... cm
Konversi TB
a. Lansia pria : 23,247 + 0,826 (...........cm) = ............ cm
b. Lansia wanita : 28,312 + 0,784 (...........cm) = ............ cm
IMT : ................... kg/m2

C. Kuesioner Aktifitas Fisik (GPAQ)

Silahkan mengingat-ingat mengenai aktifitas Anda sehari-hari dan isi pertanyaan berikut.
a. Aktifitas/kerja berat adalah aktifitas yang membutuhkan kerja fisik yang berat sehingga
membuat napas berat serta jantung terasa berdebar
b. Aktifitas/kerja sedang adalah aktifitas yang membutuhkan kerja fisik sedang sehingga membuat
napas sedikit lebih berat dan jantung terasa lebih berdebar.
No. Pertanyaan Jawaban Kode
Aktifitas saat bekerja
(Gunakan GPAQ showcards)
C1 Apakah pekerjaan sehari-hari Anda memerlukan kerja berat Ya (1)
minimal 10 menit per hari? Tidak (2), (lanjut ke P1
no. 4)
C2 Berapa hari dalam seminggu Anda melakukan kerja berat? .......... hari P2
C3 Berapa lama dalam 1 hari biasanya Anda melakukan kerja Jam : Menit P3 (a-b)

125
No. Pertanyaan Jawaban Kode
berat? ........ : ..........
C4 Apakah pekerjaan Anda memerlukan aktifitas sedang Ya (1)
minimal 10 menit per hari? Tidak (2), (lanjut ke P4
no. 7)
C5 Berapa hari dalam seminggu Anda melakukan kerja
.......... hari P5
sedang?
C6 Berapa lama dalam 1 hari biasanya Anda melakukan kerja Jam : Menit
P6 (a-b)
sedang? ........ : ..........
Perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain
Pertanyaan berikut tidak termasuk kegiatan fisik di tempat kerja yang telah disebutkan, melainkan tentang
aktifitas perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain misalnya saat pergi bekerja, belanja, ke pasar, atau
tempat ibadah
(Gunakan GPAQ showcards)
C7 Apakah Anda berjalan kaki atau bersepeda minimal 10 Ya (1)
menit setiap harinya untuk pergi ke suatu tempat? Tidak (2), (lanjut ke P7
no. 10)
C8 Berapa hari dalam seminggu Anda berjalan kaki atau
.......... hari P8
bersepeda (minimal 10 menit) untuk pergi ke suatu tempat?
C9 Berapa lama dalam 1 hari biasanya Anda berjalan kaki atau Jam : Menit
P9
bersepeda untuk pergi ke suatu tempat? ........ : ..........
Aktifitas rekreasi
Pertanyaan berikut tidak termasuk aktifitas kerja dan aktifitas perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain
yang telah disebutkan, melainkan tentang olahraga, kebugaran, dan kegiatan rekreasi
(Gunakan GPAQ showcards)
C10 Apakah Anda melakukan olahraga, fitness, atau rekreasi Ya (1)
yang merupakan aktifitas berat minimal 10 menit per hari? Tidak (2), (lanjut ke P10
no. 13)
C11 Berapa hari dalam seminggu biasanya Anda melakukan
olahraga, fitness, atau rekreasi yang merupakan aktifitas .......... hari P11
berat?
C12 Berapa lama Anda melakukan olahraga, fitness, atau Jam : Menit
P12
rekreasi yang merupakan aktifitas berat dalam 1 hari? ........ : ..........
C13 Apakah Anda melakukan olahraga, fitness, atau rekreasi Ya (1)
yang merupakan aktifitas sedang minimal 10 menit per Tidak (2), (lanjut ke P13
hari? no. 16)
C14 Berapa hari dalam seminggu biasanya Anda melakukan
olahraga, fitness, atau rekreasi yang merupakan aktifitas .......... hari P14
sedang?
C15 Berapa lama Anda melakukan olahraga, fitness, atau Jam : Menit
P15
rekreasi yang merupakan aktifitas sedang dalam 1 hari? ........ : ..........
Perilaku sedentary
Aktifitas seperti duduk atau berbaring baik di tempat kerja, di rumah, di perjalanan dari suatu tempat ke
tempat lain, atau dengan teman, membaca, bermain kartu atau menonton televisi, kecuali tidur.
(Gunakan GPAQ showcards)
C16 Berapa lama Anda duduk atau berbaring dalam 1 hari? Jam : Menit
P16
........ : ..........
Total Aktifitas Fisik MET-menit/minggu
= [(P2*P3*8) + (P5*P6*4) + (P8*P9*4) + (P11*P12*8) + (P14*P15*4)]
= ...................................................................................................................

126
Lampiran 2

No. Responden :
Nama :
Usia :
Hari/tanggal :
Hari yang di-recall : Weekday/Weekend

Banyak
Makan pagi Selingan pagi
Gram URT

Banyak
Makan siang Selingan siang
Gram URT

Banyak
Makan malam Selingan malam
Gram URT

Kalori Karbohidrat (gr) Protein (gr) Lemak (gr)


Rata-rata sehari

AKG

*formulir food recall 3x24 hours diadopsi dari Kemenkes (2012)

127
Lampiran 3
Dokumentasi Kegiatan

128
Lampiran 4
Output Analisis Univariat dan Bivariat

1. Gambaran Komparasi Distribusi Karakteristik Lansia Peserta Posbindu dan


Penghuni Panti Werdha
a. Jenis kelamin

Jenis_Kelamin * Status_Tinggal Crosstabulation

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Jenis_Kelamin Wanita Count 123 24 147
% within Status_Tinggal 84.2% 75.0% 82.6%
Pria Count 23 8 31
% within Status_Tinggal 15.8% 25.0% 17.4%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
1.560 1 .212
b
Continuity Correction .984 1 .321
Likelihood Ratio 1.448 1 .229
Fisher's Exact Test .208 .160
b
N of Valid Cases 178
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,57.
b. Computed only for a 2x2 table

b. Status perkawinan

Status_Perkawinan * Status_Tinggal Crosstabulation

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Status_Perkawinan Kawin Count 101 0 101
% within Status_Tinggal 69.2% .0% 56.7%
Cerai mati Count 31 21 52
% within Status_Tinggal 21.2% 65.6% 29.2%
Cerai Count 12 8 20
hidup
% within Status_Tinggal 8.2% 25.0% 11.2%
Belum Count 2 3 5
kawin
% within Status_Tinggal 1.4% 9.4% 2.8%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 52.409 3 .000
Likelihood Ratio 63.892 3 .000
N of Valid Cases 178

a. 3 cells (37,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,90.
129
129
c. Pekerjaan

Pekerjaan * Status_Tinggal Crosstabulation

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Pekerjaan Tidak bekerja Count 109 32 141
% within Status_Tinggal 74.7% 100.0% 79.2%
Bekerja Count 37 0 37
% within Status_Tinggal 25.3% .0% 20.8%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
10.238 1 .001
b
Continuity Correction 8.756 1 .003
Likelihood Ratio 16.665 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
b
N of Valid Cases 178
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,65.
b. Computed only for a 2x2 table

d. Pendidikan

Tingkat_Pendidikan * Status_Tinggal Crosstabulation

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Tingkat_Pendidikan Dasar Count 89 7 96
% within Status_Tinggal 61.0% 21.9% 53.9%
Menengah Count 51 14 65
% within Status_Tinggal 34.9% 43.8% 36.5%
Tinggi Count 6 11 17
% within Status_Tinggal 4.1% 34.4% 9.6%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 33.167 2 .000
Likelihood Ratio 27.755 2 .000
N of Valid Cases 178
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 3,06.

2. Gambaran Komparasi Distribusi Gaya Hidup Lansia Peserta Posbindu dan


Penghuni Panti Werdha
a. Aktifitas fisik

130
Aktifitas_Fisik * Status_Tinggal Crosstabulation

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total

Aktifitas_Fisik Aktifitas ringan Count 21 25 46

% within Status_Tinggal 14.4% 78.1% 25.8%

Aktifitas sedang Count 30 7 37

% within Status_Tinggal 20.5% 21.9% 20.8%

Aktifitas tinggi Count 95 0 95

% within Status_Tinggal 65.1% .0% 53.4%

Total Count 146 32 178

% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 62.110 2 .000
Likelihood Ratio 68.380 2 .000
N of Valid Cases 178
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 6,65.

b. Status merokok

Status_Merokok * Status_Tinggal Crosstabulation

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Status_Merokok Pernah Count 19 9 28
merokok
% within Status_Tinggal 13.0% 28.1% 15.7%
Tidak pernah Count 111 23 134
merokok
% within Status_Tinggal 76.0% 71.9% 75.3%
Sedang Count 16 0 16
merokok
% within Status_Tinggal 11.0% .0% 9.0%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 7.377 2 .025
Likelihood Ratio 9.657 2 .008
N of Valid Cases 178
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2,88.

3. Gambaran Komparasi Distribusi Pola Konsumsi Lansia Peserta Posbindu dan


Penghuni Panti Werdha
a. Total energi

131
Crosstab

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Total_Energi Melebihi AKE Count 32 0 32
% within Status_Tinggal 21.9% .0% 18.0%
Kurang AKE Count 114 32 146
% within Status_Tinggal 78.1% 100.0% 82.0%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
8.551 1 .003
b
Continuity Correction 7.129 1 .008
Likelihood Ratio 14.142 1 .000
Fisher's Exact Test .002 .001
b
N of Valid Cases 178
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,75.
b. Computed only for a 2x2 table

b. Asupan karbohidrat

Crosstab

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Asupan_Karbohidrat Melebihi Count 75 4 79
AKG
% within Status_Tinggal 51.4% 12.5% 44.4%
Sesuai AKG Count 5 1 6
% within Status_Tinggal 3.4% 3.1% 3.4%
Kurang AKG Count 66 27 93
% within Status_Tinggal 45.2% 84.4% 52.2%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%

hi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 16.650 2 .000
Likelihood Ratio 18.575 2 .000
N of Valid Cases 178

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 1,08.
c. Asupan protein

Crosstab

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Asupan_Protein Melebihi AKG Count 141 30 171
% within Status_Tinggal 96.6% 93.8% 96.1%

132
Sesuai AKG Count 3 1 4
% within Status_Tinggal 2.1% 3.1% 2.2%
Kurang AKG Count 2 1 3
% within Status_Tinggal 1.4% 3.1% 1.7%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square .635 2 .728
Likelihood Ratio .550 2 .760
N of Valid Cases 178
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,54.
d. Asupan lemak

Crosstab

Status_Tinggal

Rumah Panti werdha Total


Asupan_Lemak Melebihi AKG Count 115 22 137
% within Status_Tinggal 78.8% 68.8% 77.0%
Sesuai AKG Count 2 6 8
% within Status_Tinggal 1.4% 18.8% 4.5%
Kurang AKG Count 29 4 33
% within Status_Tinggal 19.9% 12.5% 18.5%
Total Count 146 32 178
% within Status_Tinggal 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 18.751 2 .000
Likelihood Ratio 13.587 2 .001
N of Valid Cases 178
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 1,44.

4. Hubungan Jenis Kelamin dengan Gizi Lebih


a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Jenis_Kelamin Wanita Count 62 61 123
% within Jenis_Kelamin 50.4% 49.6% 100.0%
Pria Count 8 15 23
% within Jenis_Kelamin 34.8% 65.2% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Jenis_Kelamin 47.9% 52.1% 100.0%

133
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
1.895 1 .169
b
Continuity Correction 1.321 1 .250
Likelihood Ratio 1.926 1 .165
Fisher's Exact Test .182 .125
b
N of Valid Cases 146
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,03.
b. Computed only for a 2x2 table

b. Panti werdha

Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Jenis_Kelamin Wanita Count 10 14 24
% within Jenis_Kelamin 41.7% 58.3% 100.0%
Pria Count 4 4 8
% within Jenis_Kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 14 18 32
% within Jenis_Kelamin 43.8% 56.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
.169 1 .681
b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .168 1 .681
Fisher's Exact Test .703 .496
b
N of Valid Cases 32
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,50.
b. Computed only for a 2x2 table
5. Hubungan Status Perkawinan dengan Gizi Lebih
a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Status_Perkawinan Kawin Count 51 50 101
% within Status_Perkawinan 50.5% 49.5% 100.0%
Cerai mati Count 15 16 31
% within Status_Perkawinan 48.4% 51.6% 100.0%
Cerai hidup Count 4 8 12
% within Status_Perkawinan 33.3% 66.7% 100.0%
Belum kawin Count 0 2 2
% within Status_Perkawinan .0% 100.0% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Status_Perkawinan 47.9% 52.1% 100.0%

134
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 3.134 3 .371
Likelihood Ratio 3.927 3 .269
N of Valid Cases 146
a. 2 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,96.
b. Panti werdha

Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total

Status_Perkawinan Cerai mati Count 10 11 21

% within Status_Perkawinan 47.6% 52.4% 100.0%

Cerai hidup Count 4 4 8

% within Status_Perkawinan 50.0% 50.0% 100.0%

Belum kawin Count 0 3 3

% within Status_Perkawinan .0% 100.0% 100.0%

Total Count 14 18 32

% within Status_Perkawinan 43.8% 56.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 2.588 2 .274

Likelihood Ratio 3.705 2 .157

N of Valid Cases 32

a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The


minimum expected count is 1,31.
6. Hubungan Pekerjaan dengan Gizi Lebih
a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Pekerjaan Tidak bekerja Count 56 53 109
% within Pekerjaan 51.4% 48.6% 100.0%
Bekerja Count 14 23 37
% within Pekerjaan 37.8% 62.2% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Pekerjaan 47.9% 52.1% 100.0%

135
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
2.029 1 .154
b
Continuity Correction 1.522 1 .217
Likelihood Ratio 2.047 1 .152
Fisher's Exact Test .184 .108
b
N of Valid Cases 146
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,74.
b. Computed only for a 2x2 table

b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Pekerjaan Tidak bekerja Count 14 18 32
% within Pekerjaan 43.8% 56.2% 100.0%
Total Count 14 18 32
% within Pekerjaan 43.8% 56.2% 100.0%
Chi-Square Tests

Value
a
Pearson Chi-Square .
N of Valid Cases 32
a. No statistics are computed
because Pekerjaan is a constant.
7. Hubungan Pendidikan dengan Gizi Lebih
a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Tingkat_Pendidikan Dasar Count 65 24 89
% within Tingkat_Pendidikan 73.0% 27.0% 100.0%
Menengah Count 4 47 51
% within Tingkat_Pendidikan 7.8% 92.2% 100.0%
Tinggi Count 1 5 6
% within Tingkat_Pendidikan 16.7% 83.3% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Tingkat_Pendidikan 47.9% 52.1% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 57.660 2 .000
Likelihood Ratio 64.943 2 .000
Linear-by-Linear Association 48.761 1 .000
N of Valid Cases 146
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2,88.

136
b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Tingkat_Pendidikan Dasar Count 6 1 7
% within Tingkat_Pendidikan 85.7% 14.3% 100.0%
Menengah Count 4 10 14
% within Tingkat_Pendidikan 28.6% 71.4% 100.0%
Tinggi Count 4 7 11
% within Tingkat_Pendidikan 36.4% 63.6% 100.0%
Total Count 14 18 32
% within Tingkat_Pendidikan 43.8% 56.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 6.564 2 .038
Likelihood Ratio 6.946 2 .031
Linear-by-Linear Association 3.163 1 .075
N of Valid Cases 32
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 3,06.
8. Hubungan Aktifitas Fisik dengan Gizi Lebih
a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Aktifitas_Fisik Aktifitas ringan Count 13 8 21
% within Aktifitas_Fisik 61.9% 38.1% 100.0%
Aktifitas sedang Count 15 15 30
% within Aktifitas_Fisik 50.0% 50.0% 100.0%
Aktifitas tinggi Count 42 53 95
% within Aktifitas_Fisik 44.2% 55.8% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Aktifitas_Fisik 47.9% 52.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 2.221 2 .329
Likelihood Ratio 2.232 2 .328
Linear-by-Linear Association 2.128 1 .145
N of Valid Cases 146
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 10,07.

137
b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Aktifitas_Fisik Aktifitas ringan Count 13 12 25
% within Aktifitas_Fisik 52.0% 48.0% 100.0%
Aktifitas sedang Count 1 6 7
% within Aktifitas_Fisik 14.3% 85.7% 100.0%
Total Count 14 18 32
% within Aktifitas_Fisik 43.8% 56.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
3.161 1 .075
b
Continuity Correction 1.814 1 .178
Likelihood Ratio 3.501 1 .061
Fisher's Exact Test .104 .087
Linear-by-Linear Association 3.062 1 .080
b
N of Valid Cases 32
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,06.
b. Computed only for a 2x2 table

9. Hubungan Status Merokok dengan Gizi Lebih


a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Status_Merokok Pernah Count 18 1 19
merokok
% within Status_Merokok 94.7% 5.3% 100.0%
Tidak pernah Count 50 61 111
merokok
% within Status_Merokok 45.0% 55.0% 100.0%
Sedang Count 2 14 16
merokok
% within Status_Merokok 12.5% 87.5% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Status_Merokok 47.9% 52.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 25.096 2 .000
Likelihood Ratio 29.474 2 .000
N of Valid Cases 146
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 7,67.

138
b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Status_Merokok Pernah merokok Count 8 1 9
% within Status_Merokok 88.9% 11.1% 100.0%
Tidak pernah Count 6 17 23
merokok
% within Status_Merokok 26.1% 73.9% 100.0%
Total Count 14 18 32
% within Status_Merokok 43.8% 56.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
10.367 1 .001
b
Continuity Correction 7.972 1 .005
Likelihood Ratio 11.179 1 .001
Fisher's Exact Test .004 .002
b
N of Valid Cases 32
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,94.
b. Computed only for a 2x2 table

10. Hubungan Total Energi dengan Gizi Lebih


a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Total_Energi Melebihi AKE Count 17 15 32
% within Total_Energi 53.1% 46.9% 100.0%
Kurang AKE Count 53 61 114
% within Total_Energi 46.5% 53.5% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Total_Energi 47.9% 52.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square a
.441 1 .507
b
Continuity Correction .215 1 .643
Likelihood Ratio .440 1 .507
Fisher's Exact Test .552 .321
Linear-by-Linear Association .438 1 .508
b
N of Valid Cases 146
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,34.
b. Computed only for a 2x2 table

139
b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Total_Energi Kurang AKE Count 14 18 32
% within Total_Energi 43.8% 56.2% 100.0%
Total Count 14 18 32
% within Total_Energi 43.8% 56.2% 100.0%
Chi-Square Tests

Value
a
Pearson Chi-Square .
N of Valid Cases 32
a. No statistics are computed
because Total_Energi is a constant.
11. Hubungan Asupan Karbohidrat dengan Gizi Lebih
a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Asupan_Karbohidrat Melebihi AKG Count 43 32 75
% within
57.3% 42.7% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Sesuai AKG Count 3 2 5
% within
60.0% 40.0% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Kurang AKG Count 24 42 66
% within
36.4% 63.6% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Total Count 70 76 146
% within
47.9% 52.1% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 6.487 2 .039
Likelihood Ratio 6.546 2 .038
Linear-by-Linear Association 6.110 1 .013
N of Valid Cases 146
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2,40.
b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Asupan_Karbohidrat Melebihi AKG Count 4 0 4
% within
100.0% .0% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Sesuai AKG Count 0 1 1

140
% within
.0% 100.0% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Kurang AKG Count 10 17 27
% within
37.0% 63.0% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Total Count 14 18 32
% within
43.8% 56.2% 100.0%
Asupan_Karbohidrat
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 6.415 2 .040
Likelihood Ratio 8.266 2 .016
Linear-by-Linear Association 4.490 1 .034
N of Valid Cases 32
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,44.
12. Hubungan Asupan Protein dengan Gizi Lebih
a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Asupan_Protein Melebihi Count 67 74 141
AKG
% within Asupan_Protein 47.5% 52.5% 100.0%
Sesuai Count 2 1 3
AKG
% within Asupan_Protein 66.7% 33.3% 100.0%
Kurang Count 1 1 2
AKG
% within Asupan_Protein 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Asupan_Protein 47.9% 52.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
a
Pearson Chi-Square .435 2 .805
Likelihood Ratio .441 2 .802
Linear-by-Linear Association .155 1 .694
N of Valid Cases 146
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,96.
b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Asupan_Protein Melebihi AKG Count 14 16 30
% within Asupan_Protein 46.7% 53.3% 100.0%
Sesuai AKG Count 0 1 1
% within Asupan_Protein .0% 100.0% 100.0%
Kurang AKG Count 0 1 1
% within Asupan_Protein .0% 100.0% 100.0%

141
Total Count 14 18 32
% within Asupan_Protein 43.8% 56.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 1.659 2 .436
Likelihood Ratio 2.405 2 .300
Linear-by-Linear Association 1.437 1 .231
N of Valid Cases 32
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,44.
13. Hubungan Asupan Lemak dengan Gizi Lebih
a. Posbindu
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Asupan_Lemak Melebihi AKG Count 59 56 115
% within Asupan_Lemak 51.3% 48.7% 100.0%
Sesuai AKG Count 1 1 2
% within Asupan_Lemak 50.0% 50.0% 100.0%
Kurang AKG Count 10 19 29
% within Asupan_Lemak 34.5% 65.5% 100.0%
Total Count 70 76 146
% within Asupan_Lemak 47.9% 52.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 2.629 2 .269
Likelihood Ratio 2.671 2 .263
Linear-by-Linear Association 2.572 1 .109
N of Valid Cases 146
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,96.
b. Panti werdha
Crosstab

Status_Gizi_Lebih

Ya Tidak Total
Asupan_Lemak Melebihi AKG Count 12 10 22
% within Asupan_Lemak 54.5% 45.5% 100.0%
Sesuai AKG Count 2 4 6
% within Asupan_Lemak 33.3% 66.7% 100.0%
Kurang AKG Count 0 4 4
% within Asupan_Lemak .0% 100.0% 100.0%
Total Count 14 18 32
% within Asupan_Lemak 43.8% 56.2% 100.0%

142
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 4.418 2 .110
Likelihood Ratio 5.906 2 .052
Linear-by-Linear Association 4.219 1 .040
N of Valid Cases 32
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 1,75.

143
143
143
143

Anda mungkin juga menyukai