YUDHIT NOVI ANDRINI. Food service, the acceptance of food and food
consumption of the elderly in Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera
Bogor. Under direction of SITI MADANIJAH.
The objective of this research is study the food service, the acceptance of
food and food consumption of the elderly in Panti Sosial Tresna Werdha Salam
Sejahtera Bogor. The research used a cross sectional study design that was held
in November to Desember 2011. The number of sample in this research was
taken from 32 elderly. The results showed that the system of the food service in
Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor were good enough. The
cycles of the meal is seven days with four times meal, each contains three times
main course and one time snack food. Most of them like the meal. Based on the
correlation test by Spearman, there were a significant (p<0,05) relationship
between male samples and food acceptance, but there were no significant
(p>0,05) relationship between food acceptance and nutrients adequacy level.
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Gizi pada
Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Halaman
1 Variabel, jenis dan cara pengumpulan data………..................................... 16
2 Rumus FAO/WHO/UNU untuk menentukan AMB ………………………… 18
3 Jenis aktivitas yang dilakukan contoh……………..………………………… 18
4 Variabel dan indikator data yang dianalisis………………………………… 20
5 Fasilitas yang tersedia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera.. 22
6 Sumber daya manusia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera.. 23
7 Sarana fisik dan peralatan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam
25
Sejahtera …………………………………………………………………..
8 Perencanaan menu di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera.….. 26
9 Pembelian dan penyimpanan bahan makanan di Panti Sosial Tresna
28
Werdha Salam Sejahtera …………………………………………………...
10 Pengolahan bahan makanan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam
29
Sejahtera………………………………………………………………………
11 Distribusi makanan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera…. 30
12 Pencatatan dan pelaporan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam
30
Sejahtera ……………………………………………………………………..
13 Higiene dan sanitasi di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera... 31
14 Penilaian umum penyelenggaraan makanan di Panti Sosial Tresna
32
Werdha Salam Sejahtera …………………………………………………...
15 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,
33
pekerjaan dan status pernikahan……………………………………………
16 Sebaran contoh berdasarkan sumber pendapatan………………………. 33
Halaman
1 Struktur organisasi di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera……….. 55
2 Denah dapur di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera……………… 56
3 Daftar menu di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera……………….. 57
4 Fasilitas pada proses penyelenggaraan makanan di Panti Sosial Tresna 58
Werdha Salam Sejahtera………………………………………………………….
5 Contoh hidangan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera………… 59
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemajuan dan perkembangan ekonomi meningkatkan taraf hidup dan
pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini diiringi dengan peningkatan usia
harapan hidup (life-expectancy) dan taraf hidup penduduk. Peningkatan usia
harapan hidup pada penduduk tentu saja akan meningkatkan jumlah populasi
lanjut usia (lansia). Perkembangan penduduk lanjut usia di Indonesia sepuluh
tahun dari sekarang diperkirakan mencapai 28,8 juta jiwa atau 11,34%. Dari
jumlah tersebut, pada tahun 2010 jumlah penduduk lansia yang tinggal di
perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di pedesaan sebesar
15.612.232 (9,97%) (Depsos 2007). Berdasarkan Bapenas (2008), jumlah lansia
pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai angka 62,4 juta jiwa. Jumlah
lansia yang cukup tinggi ini yang menjadikan lansia sebagai kelompok penduduk
yang memerlukan perhatian yang lebih, terutama bagi kesehatan, baik fisik dan
sosial.
Peningkatan masalah kesehatan, merupakan salah satu dampak dari
peningkatan jumlah lansia. Menurut Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi
menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi kesehatan pada seluruh populasi
lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik
maupun mental. Perubahan ini mempengaruhi kondisi seseorang baik aspek
psikologis, fisiologis, dan sosio-ekonomi. Selain itu, perubahan mengakibatkan
kemunduran biologis yaitu lebih mudah sakit, lebih lama sakit dan lebih lama
penyembuhannya (Wirakusumah 2001).
Pada lansia, masalah gizi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu perubahan karakteristik individu, asupan zat gizi, faktor kesehatan, dan
karakteristik psikososial (Sharkey et al. 2002). Selain itu, penurunan angka
metabolisme basal tubuh dan gangguan gigi dapat berpengaruh pada
kemampuan mengunyah. Hal ini menyebabkan perubahan asupan makanan,
sehingga dapat terjadi defisiensi zat gizi (Wirakusumah 2001). Berdasarkan
penelitian Boedhi-Darmoyo (1995) diacu dalam Muis (2006) melaporkan bahwa
lansia di Indonesia yang memiliki berat badan ideal sebesar 42,4%, namun
masih terdapat lansia dalam keadaan kurang gizi dan gizi lebih sejumlah 3,4 %.
Arah kebijakan tentang lansia di Indonesia sebenarnya menitikberatkan
pada keluarga sebagai penanggung jawab utama untuk kesejahteraan lansia,
namun pada kenyataannya di berbagai negara telah terjadi penurunan dukungan
2
dari anak terhadap lansia. Hal ini terjadi di Jepang pada tahun 1972 sebanyak
67% lansia tinggal bersama anaknya, namun pada tahun 1995 proporsi tersebut
menurun menjadi 46% (Westley 1998 dalam Ruslianti & Kusharto 2006).
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga menurun dari
tahun ke tahun, sehingga dibutuhkan perhatian lebih yang perlu diberikan seperti
perawatan terhadap lansia. Panti merupakan alternatif yang tepat untuk
membantu lansia dengan memberikan bantuan berupa tempat pembinaan.
Di Jawa Barat khususnya Kota Bogor, Dinas Sosial telah mendirikan panti
penyantunan lansia atau panti werdha. Satu diantaranya adalah Panti Sosial
Tresna Werdha Salam Sejahtera. Panti werdha merupakan salah satu bentuk
bantuan layanan kesejahteraan sosial bagi lansia. Pelayanan yang diberikan di
Panti werdha berupa tempat tinggal, makanan, pakaian dan pemeliharaan
kesehatan. Tujuannya yaitu agar lansia dapat menikmati masa tuanya dalam
suasana aman, tentram dan sejahtera.
Penyelenggaraan makan di panti werdha bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan lansia sehingga diperlukan penyusunan menu makanan yang dapat
meningkatkan selera makan bagi lansia untuk memenuhi kebutuhan
fisiologisnya. Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi
kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur
metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan tubuh serta menunjang masa
pertumbuhan (Harper et al.1985). Konsumsi pangan individu dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain produksi pangan, daya beli dan kebiasaan
makan. Selain itu, pola makan juga berpengaruh meliputi frekuensi dan waktu
makan, jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi, termasuk makanan yang
disukai dan makanan pantangan (Suhardjo 1989).
Uraian di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya penyelenggaraan
makanan bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan lansia. Hal inilah yang
mendasari pentingnya penelitian untuk melihat bagaimana gambaran
penyelenggaraan makanan,daya terima dan konsumsi pangan lansia yang ada di
Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari penyelenggaraan
makanan, daya terima dan konsumsi pangan lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Salam Sejahtera Bogor.
3
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini :
1. Mengidentifikasi sumber daya (tenaga, dana, sarana dan peralatan) pada
proses penyelenggaraan makanan.
2. Menganalisis proses penyelenggaraan makanan.
3. Mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, sumber pendapatan dan status pernikahan).
4. Menganalisis daya terima contoh.
5. Menghitung kebutuhan, ketersediaan, dan konsumsi pangan contoh.
6. Menganalisis tingkat kecukupan pangan contoh.
7. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dengan daya terima
contoh.
8. Menganalisis hubungan antara daya terima contoh dengan tingkat kecukupan
contoh.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
proses penyelenggaraan makanan, daya terima dan konsumsi pangan lansia.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak
terkait dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi lansia.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Penyelenggaraan Makanan
Penyelenggaraan makanan adalah rangkaian kegiatan mulai dari
perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen
dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian
makanan yang tepat dan termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi
(Depkes 2006). Penyelenggaraan makanan di suatu institusi terdiri atas dua
macam yaitu penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada
keuntungan (bersifat komersial) dan penyelenggaraan makanan institusi yang
berorientasi pada pelayanan (bersifat non komersial) (Moehyi 1992).
Pada penyelenggaraan makanan yang berorientasi pada keuntungan,
dilaksanakan untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya, seperti usaha
penyelenggaraan makanan di restaurant, bars dan cafetaria. Usaha ini
tergantung pada bagaimana cara untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya
dan dapat bersaing dengan institusi lain. Penyelenggaraan makanan yang
bersifat non komersial dilakukan oleh suatu institusi baik yang dikelola
pemerintah, badan swasta ataupun yayasan sosial yang tidak bertujuan untuk
mencari keuntungan. Bentuk penyelenggaraan ini biasanya terdapat di dalam
satu tempat seperti asrama, panti asuhan, rumah sakit, perusahaan, lembaga
kemasyarakatan dan lain-lain (Moehyi 1992).
Penyelenggaraan makanan di panti werdha merupakan salah satu
penyelenggaraan makanan yang bersifat non komersial. Penyelenggaraan
makanan di panti werdha bertujuan untuk menyediakan makanan yang
6
kualitasnya baik dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang
layak dan memadai bagi konsumen.
Sumber Daya
Penyelenggaraan makanan yang baik di suatu institusi perlu
diperhitungkan dan direncanakan penggunaan sumber daya yang ada. Ada
empat kelompok atau komponen besar dari sumber daya tersebut, yaitu dana,
tenaga, sarana dan metode (Mukrie et al.1990).
Sumber daya yang ada untuk suatu sistem pelayanan makanan dapat
diklasifikasikan menjadi sumber daya manusia (tenaga) dan sumber material.
Sumber daya manusia mengacu pada orang-orang yang terlibat dalam kegiatan
pelayanan makanan yang akan mempengaruhi besarnya kegagalan dan
kesuksesan suatu sistem. Kesuksesan suatu kegiatan pelayanan makanan
dipengaruhi oleh kriteria dan kualitas pegawainya, yaitu 1) kesehatan yang prima
(jasmani dan rohani); 2) berminat terhadap kegiatan yang berhubungan dengan
makanan dan manusia; 3) berhati-hati, sopan, rapi, dan berpenampilan menarik;
4) cakap dan berkemampuan; 5) jujur, loyal, bertanggung jawab, tepat waktu,
dan bergaya hidup sehat (Perdigon 1989). Di dalam mengorganisasikan
penyelenggaraan makanan dibutuhkan berbagai jenis tenaga, meliputi 1) tenaga
ahli gizi (akademi gizi) serta tenaga menengah gizi (sekolah menengah gizi) yang
disebut pengasuh gizi atau pembantu ahli gizi; 2) tenaga lain, seperti juru masak
dan cleaning service (Moehyi 1992).
Khusus untuk dana perlu sekali dilihat efisiensi dan efektifitas
penggunaannya, termasuk sumber dana, dan besar penggunaannya. Setiap
pengelola pelayanan gizi harus dapat membuat perencanaan anggaran untuk
kebutuhan pelaksanaan kegiatan, terutama untuk anggaran operasional.
Termasuk dalam anggaran tersebut biaya untuk bahan makanan, upah atau gaji
pegawai, biaya overhead dapur (air, listrik, peralatan dan bahan bakar) (Moehyi
1992).
Peralatan yang digunakan haruslah memenuhi persyaratan kualitas dan
kuantitas, pemeliharaan alat harus dilakukan secara ketat sehingga daya pakai
alat dapat lebih lama dan pemborosan dapat dihindari (Perdigon 1989). Guna
mengetahui jumlah dan jenis perlengkapan yang digunakan untuk fasilitas
pelayanan makanan yang sesuai dengan kebutuhan sebaiknya
mempertimbangkan 1) perkiraan jumlah porsi yang sudah dipersiapkan; 2)
membuat perkiraan untuk setiap jenis menu; 3) identifikasi ukuran porsi pada
7
Perencanaan Menu
Kesuksesan dan kegagalan suatu penyelenggaraan makanan ditentukan
oleh menu yang disusun atau hidangan yang disajikan. Menu yang terencana
dengan baik akan menyajikan hidangan-hidangan dalam variasi yang beragam.
Hal tersebut akan membawa keuntungan bagi penanggung jawab
penyelenggaraan makanan atau pengusaha (Mukrie et al. 1990).
Menurut Depkes (2006) perencanaan menu adalah suatu kegiatan
penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen dan
kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Menu seimbang perlu
untuk kesehatan, namun agar menu yang disediakan dapat dihabiskan, maka
perlu disusun variasi menu yang baik, aspek komposisi, warna, rasa, rupa, dan
kombinasi masakan yang serasi (Mukrie et al. 1990).
Distribusi Makanan
Distribusi merupakan kegiatan yang mencakup pembagian makanan dan
penyampaian makanan kepada konsumen yang dilayani sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Menurut Depkes (2006) ada dua cara distribusi, yaitu
dengan cara sentralisasi dan desentralisasi. Distribusi sentralisasi yaitu cara
pendistribusian dimana semua kegiatan pembagian makanan dipusatkan pada
satu tempat. Distribusi desentralisasi adalah membagi makanan dalam jumlah
besar, kemudian menata makanan dan alat makan yang telah disediakan di
pantry ruangan.
Daya Terima
Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang
timbul dari makanan melalui panca indera penglihatan, penciuman, perasa
bahkan pendengar. Faktor utama yang mempengaruhi daya penerimaan
terhadap makanan adalah rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan.
Kualitas cita rasa mempunyai pengertian seberapa jauh daya tarik makanan
dapat menimbulkan selera seseorang (Susiwi 2009).
Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat dari
jumlah makanan yang habis dikonsumsi. Daya terima makanan dapat juga dinilai
dari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan makanan
yang dikonsumsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya terima seseorang
terhadap makanan yang disajikan berdasarkan Khumaidi (1994) dalam Ratnasari
(2003) adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah kondisi dalam diri seseorang yang dapat
mempengaruhi konsumsi makanannya, seperti nafsu makan yang dipengaruhi
oleh kondisi fisik dan psikis seseorang misalnya sedih dan lelah, kebiasaan
makan dan kebosanan yang muncul karena konsumsi makanan yang kurang
bervariasi. Kebosanan juga dapat disebabkan oleh tambahan makanan dari luar
yang dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan dekat dengan waktu makan
utama. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar individu yang dapat
mempengaruhi konsumsi makanannya. Faktor-faktor tersebut antara lain cita
rasa makanan, penampilan makanan, variasi menu, cara penyajian, kebersihan
makanan dan alat makan serta pengaturan waktu makan.
11
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang
atau keluarga dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi, tujuan konsumsi pangan
adalah memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah &
Martianto 1992). Konsumsi pangan bergantung pada jumlah dan jenis pangan
yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan secara
perorangan. Hal tersebut juga bergantung pada pendapatan, agama, adat
kebiasaan, dan pendidikan (Almatsier 2004).
Manusia juga memerlukan susunan asupan makanan yang mengandung
zat gizi sesuai dengan kebutuhannya agar hidup sehat. Perencanaan konsumsi
pangan yang sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan, diperlukan
pengetahuan tentang prinsip-prinsip perencanaan konsumsi pangan.
Perencanaan konsumsi pangan yang baik tidak hanya memperhatikan
kecukupan gizi, tetapi juga harus memperhatikan daya beli dan selera konsumen
serta hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan (Hardinsyah & Briawan 1994).
Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif. Penilaian kualitatif dapat dilakukan dengan mengetahui riwayat pola
makan serta frekuensi makan. Penilaian secara kuantitatif dapat dilakukan
dengan berbagai cara, seperti recall dan penimbangan. Dalam mengkaji asupan
makanan ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2)
perhitungan asupan zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan
kebutuhan gizi. Kegiatan tersebut memerlukan informasi penunjang antara lain,
status ekonomi, pekerjaan, dan aktivitas fisik (Depkes 2006).
Energi
Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia
karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme
basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Harris 2004). Manusia membutuhkan
energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, menjaga organ-
organ dalam tubuh agar tetap berfungsi dengan baik seperti saat masih muda
(Fatmah 2010). Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang
ada di dalam makanan. Sumber energi dengan konsentrasi tinggi adalah bahan
makanan sumber lemak seperti minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian,
sedangkan padi-padian, umbi-umbian dan gula murni merupakan bahan
makanan sumber karbohidrat (Almatsier 2004).
Protein
Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari
serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam
tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu
untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, dan sel
darah merah (Fatmah 2010). Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak
berubah, beberapa studi menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat badan
dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi
konsumsi protein 1-1,25g/kg berat badan secara umum aman untuk lansia.
Kebutuhan akan protein akan meningkat sejalan dengan adanya penyakit akut
dan kronis (Harris 2004). Sumber protein dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu protein hewani dan protein nabati. Kacang kedelai merupakan sumber
protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004), sedangkan
daging dan ikan merupakan sumber protein hewani yang baik untuk dikonsumsi
lansia (Watson 2009).
Vitamin
Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap
saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring
dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin
dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada
lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis
dan pengobatan (Harris 2004).
Seiring berlangsungnya proses penuaan, maka kepadatan zat gizi dalam
makanan menjadi hal yang lebih diperhatikan. Makanan yang disediakan harus
13
memiliki cukup vitamin maupun mineral (Harris 2004). Vitamin A esensial untuk
pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Vitamin A berperan dalam
berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan,
pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit
jantung (Watson 2009). Sumber vitamin A terdapat pada pangan hewani seperti
hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber utama. Sayuran, terutama
sayuran berdaun hijau dan buah berwarna kuning-jingga mengandung
karotenoid provitamin A (Gibson 2005).
Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah jika dibandingkan
dengan orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi
vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris
2004). Sayur dan buah merupakan sumber vitamin C yang baik untuk dikonsumsi
(Almatsier 2004).
Mineral
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh,
yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99%
berada di tulang dan gigi bersama fosfor membentuk kalsium fosfat, zat keras
yang memberikan kekuatan pada tubuh. Kalsium juga hadir dalam serum darah
dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting. Secara umum, fungsi
kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama tulang dan gigi, berperan
dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi syaraf, proses penggumpalan darah,
menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem imunitas tubuh (Watson
2009). Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahannya, seperti keju.
Serealia, kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tahu, tempe dan sayuran
hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini
mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan
oksalat (Almatsier 2004).
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh,
yaitu sebanyak 3-5 gram. Besi memiliki beberapa fungsi esensial di dalam tubuh
seperti alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut
elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim di dalam
jaringan tubuh. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti
terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi non-hem
dalam makanan nabati (Almatsier 2004).
14
KERANGKA PEMIKIRAN
Sumber daya yang meliputi dana, tenaga, sarana dan peralatan menjadi
faktor penting dalam keberlangsungan kegiatan penyelenggaraan makanan.
Penyelenggaraan makanan sebagai suatu sistem manajemen yang terdiri dari
tiga komponen, meliputi input (masukan), proses dan output (hasil). Input
penyelenggaraan makanan meliputi tenaga, dana, sarana fisik dan peralatan.
Proses penyelenggaraan makanan meliputi perencanaan, pembelian,
penerimaan, penyimpanan, persiapan, pengolahan hingga distribusi. Output yang
dihasilkan meliputi daya terima serta konsumsi pangan lansia. Kegiatan
penyelenggaraan makanan ini bertujuan menghasilkan makanan yang sehat
untuk dikonsumsi, meliputi makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan
buah.
Karakteristik maupun kebiasaan makan pada lansia menjadi faktor yang
dapat mempengaruhi daya terima makanan yang disajikan. Pengukuran daya
terima makanan dapat ditentukan dari citarasa (rasa, aroma dan tekstur) dan
penampilan (warna, besar porsi/ukuran dalam bentuk). Daya terima juga
mempengaruhi konsumsi pangan, baik konsumsi pangan yang berasal dari
dalam panti maupun konsumsi pangan dari luar panti. Pengukuran konsumsi
pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan. Tingkat kecukupan merupakan total
konsumsi pangan lansia yang dibandingkan dengan angka kebutuhan gizi.
Jumlah makanan yang dikonsumsi pada akhirnya akan memberikan kontribusi
terhadap asupan energi dan zat gizi lansia.
Secara sistematis, kerangka pemikiran tersebut dapat disederhanakan
dalam Gambar 1.
15
Sumber Daya
(Tenaga, Dana, Sarana, dan Peralatan)
Penyelenggaraan Makanan
Karakteristik
Umur Ketersediaan Pangan Kebiasaan
Jenis Kelamin Frekuensi
Pendidikan Makanan kesukaan
Pekerjaan Daya Terima Makanan yang
Status Pernikahan tidak disukai
Sbr. Pendapatan
Konsumsi Pangan
Tingkat Kecukupan
Status Gizi
Keterangan :
METODE PENELITIAN
Data primer meliputi sumber daya (tenaga, dana, sarana dan peralatan),
penyelenggaraan makanan, daya terima, kebutuhan dan konsumsi pangan
(recall). Data sekunder yang dikumpulkan meliputi denah lokasi penelitian,
keadaan umum tempat penelitian serta daftar menu makanan yang disediakan
panti.
dianjurkan pada usia lanjut adalah sekitar 0,8 g/kg BB (Depkes 2003).
Perhitungan kebutuhan energi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rumus FAO/WHO/UNU untuk menentukan AMB
Kelompok Umur AMB (kkal/hari)
(tahun) Laki-laki Perempuan
0-3 60,9 B*) - 54 61 B*) – 51
3-10 22,7 B + 495 22,5 B + 499
10-18 17,5 B + 651 12,2 B + 746
18-30 15,3 B + 679 14,7 B + 496
30-60 11,6 B + 879 8,7 B + 829
≥60 13,5 B + 487 10,5 B + 596
Keterangan:
*) Berat Badan
Kebutuhan zat gizi dihitung dengan menggunakan hasil kebutuhan energi
yang dikalikan dengan aktivitas fisik. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan
seseorang dalam 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau
tingkat aktivitas fisik. PAL dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Tingkat kecukupan zat gizi dapat diperoleh dengan rumus (Hardinsyah &
Briawan 2002) :
Ki
TKG i = x100%
AKGi
TKGi = tingkat kecukupan energi dan zat gizi i
Ki = konsumsi sumber energi dan zat gizi i
AKGi = Angka kebutuhan zat gizi i yang dianjurkan
Tingkat kecukupan sumber energi dan protein dikategorikan menjadi lima
kategori yaitu:
1. Defisit tingkat berat (<70%),
2. Defisit tingkat sedang (70-79%),
3. Defisit tingkat ringan (80-89%),
4. Normal (90-119%) dan
5. Kelebihan (≥ 120%) (Depkes 1996)
Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan
menjadi dua yaitu:
1. Kurang (<77%)
2. Cukup (≥77%) (Gibson 2005)
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan
inferensial. Analisis deskriptif dilakukan pada data karakteristik contoh,
penyelenggaraan makanan, ketersediaan makanan yang disediakan, konsumsi
pangan contoh, kebutuhan serta tingkat kecukupan pangan. Analisis inferensial
dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Spearman untuk menganalisis
hubungan antara karakteristik contoh dengan daya terima, dan hubungan antara
daya terima dengan tingkat kecukupan contoh. Uji beda t digunakan untuk
melihat perbedaan antara jenis kelamin. Variabel dan indikator data yang
dianalisis dapat dilihat pada Tabel 4.
20
Definisi Operasional
Tenaga adalah orang yang terlibat dalam proses penyelenggaraan makanan.
Dana adalah biaya yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan lansia di PSTW.
Sarana fisik adalah sarana gedung untuk penyelenggaraan makanan.
21
Gambaran Umum
Tenaga kerja yang ada di panti berjumlah 25 orang yang meliputi tenaga
administrasi, pengurus harian, perawat, pengolah makanan dan tenaga
keamanan. Jam kerja dimulai pukul 09.00-16.00 WIB, terkecuali bagi tenaga
23
Tabel 7 Sarana fisik dan peralatan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam
Sejahtera
Penerapan
No Sarana Fisik dan Peralatan Tidak
Memenuhi
Memenuhi
Fisik
1. Memperhatikan pembagian ruangan 1 0
2. Memperhatikan luas bangunan 1 0
3. Memperhatikan konstruksi, pencahayaan dan 1 0
pertukaran udara
Peralatan
4. Tersedianya alat persiapan – pengolahan 1 0
5. Memperhatikan jumlah alat yang dibutuhkan 1 0
6. Memperhatikan penyimpanan peralatan 0 1
Total 5 1
Nilai (%) 83,3 16,7
Berdasarkan Tabel 7, sarana fisik dan peralatan yang terdapat di panti
termasuk ke dalam kategori baik (83,3%). Ruang penyelenggaraan makanan di
panti terdiri dari ruang pengolahan bahan makanan, ruang penyimpanan
peralatan makan, ruang penyimpanan bahan makanan serta ruang pemorsian.
Adapun sarana fisik dan peralatan tersebut antara lain:
1. Ruang makan dan dapur dalam kondisi baik.
2. Peralatan masak yang cukup memadai.
3. Sarana penunjang bagi ruang makan dan dapur, yaitu meja dan kursi
makan, tempat sampah serta sarana pencucian alat dan bahan makanan.
4. Perabotan, seperti peralatan dapur, peralatan makan, lemari penyimpanan
bahan makanan, dan lemari penyimpanan peralatan dapur.
Peralatan yang dimiliki oleh panti sudah cukup, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Meskipun demikian, penataan alat pada saat penyimpanan
belum maksimal sehingga peluang kontaminasi silang antar peralatan masih
dapat terjadi. Ruang produksi makanan berada di area belakang panti dengan
luas sekitar 4 x 6 m2. Ruang pengolahan memiliki ventilasi dan pencahayaan
yang sudah cukup. Lantai ruang pengolahan menggunakan keramik. Kondisi
lantai dan dinding serta atap cukup baik dan bersih. Denah dapur dan fasilitas
dalam proses penyelenggaraan makanan, dapat dilihat pada Lampiran 2 dan
Lampiran 4..
Perencanaan Menu
Perencanaan menu meliputi penentuan hidangan menu, memilih dan
membeli bahan makanan yang baik serta mengolahnya. Perencanaan menu
harus disesuaikan dengan anggaran yang ada dengan mempertimbangkan
jumlah pasien yang akan diberi makan, kebutuhan gizi dan variasi bahan
makanan yang tersedia. Menu seimbang diperlukan untuk menunjang kesehatan,
namun agar menu yang disediakan dapat dihabiskan, maka perlu disusun variasi
menu yang baik, dari aspek komposisi, warna, rasa, rupa, dan kombinasi
masakan yang serasi (Mukrie et al. 1990).
Perencanaan menu dapat dinilai dari berbagai aspek, seperti adanya
petugas perencanaan menu, memperhatikan siklus menu, ketersediaan bahan
makanan, dana yang tersedia, kebutuhan gizi konsumen, evaluasi menu serta
keterlibatan ahli gizi dalam proses perencanaan menu (Depkes 2011).
Perencanaan menu di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8 Perencanaan menu di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera
Penerapan
No Perencanaan Menu Tidak
Memenuhi
Memenuhi
1. Adakah petugas perencanaan menu 1 0
2. Memperhatikan siklus menu 1 0
3. Memperhatikan ketersediaan bahan yang ada di pasar 1 0
4. Memperhatikan dana yang tersedia 1 0
5. Memperhatikan kebutuhan gizi konsumen 0 1
6. Memperhatikan evaluasi menu 1 0
7. Melibatkan ahli gizi 0 1
Total 5 2
Nilai (%) 71,4 28,6
Tabel 8 menggambarkan bahwa perencanaan menu yang dilakukan di
panti termasuk ke dalam kategori cukup baik (71,4%). Perencanaan menu
dilakukan oleh bagian pengelola makanan yang merangkap sebagai pelaksana
tata usaha, yang sebelumnya telah didiskusikan oleh bagian keuangan dan ketua
pelaksana harian panti. Siklus menu yang digunakan adalah tujuh hari, dapat
dilihat pada Lampiran 3. Komposisi menu secara umum terdiri dari makanan
pokok, lauk hewani lauk nabati sayuran dan buah serta satu kali selingan. Menu
yang digunakan ini diperoleh dari resep-resep yang sudah ada sebelumnya dan
27
Distribusi Makanan
Distribusi dan penyajian makanan merupakan kegiatan terakhir dalam
proses penyelenggaraan makanan. Pada tahap pendistribusian dan penyajian
ini, perlu diperhatikan beberapa hal, seperti makanan harus didistribusikan dan
disajikan tepat waktu, makanan yang disajikan harus sesuai dengan jumlah atau
porsi yang telah ditentukan, dan kondisi makanan/temperatur makanan yang
disajikan juga harus sesuai (Depkes 2011). Distribusi makanan dapat dilihat pada
Tabel 11.
Berdasarkan Tabel 11, distribusi makanan yang dilakukan di panti
termasuk ke dalam kategori kurang baik (33,3%) dilihat dari tidak sesuainya
jumlah serta temperatur dalam pemberian makanan. Persiapan penyajian
30
Contoh dalam penelitian ini adalah lansia laki-laki dan perempuan yang
berusia ≥ 60 tahun. Jumlah keseluruhan adalah 32 orang yang terdiri dari 12
orang laki-laki dan 20 orang perempuan. Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui
sebagian besar contoh berada pada rentang usia 75-90 tahun (65,6%) baik laki-
laki (66,7%) maupun perempuan (65%). Berdasarkan pendidikan terakhir, contoh
merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD) (68,8%) baik laki-laki (83,3%) maupun
perempuan (60%). Jika dilihat dari pekerjaan contoh terdahulu sebelum masuk
panti, contoh laki-laki berprofesi sebagai karyawan swasta (83,3%) dan
perempuan berprofesi sebagai biarawati serta pengasuh anak (70%) dengan
status pernikahan sebagai janda/duda (90,6%). Sebaran contoh dapat dilihat
pada Tabel 15.
33
kemauan diri dan keinginan bersosialisasi dengan teman sebaya serta anjuran
dari berbagai pihak lainnya. Sebagian besar contoh juga menyatakan, bahwa
sebelumnya tidak pernah tinggal di panti werdha (96,9%), hanya (3,1%) saja
yang menyatakan sempat menghuni di panti lain.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan anjuran masuk panti
Yang menganjurkan masuk panti n %
Keluarga 26 81,3
Kemauan Sendiri 11 34,4
Lainnya 5 15,6
Karateristik Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di
bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depsos 2007). Pada
contoh yang tinggal di panti, keluarga merupakan keberadaan individu yang
mengakui akan keadaannya dan bersedia membiayai kehidupan selama tinggal
di panti. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dapat dilihat pada
Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga
Jumlah
Karakteristik Keluarga
n %
Mempunyai sanak keluarga 31 96,9
Pernah d kunjungi 31 96,9
Membawa bingkisan 31 96,9
Dari Tabel 18 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh memiliki
sanak keluarga, dan sering dikunjungi dengan membawa bingkisan setiap kali
berkunjung (96,9%). Adapun jenis bingkisan yang sering dibawa dalam
berkunjung, seperti makanan besar berupa nasi lengkap dengan lauk pauk dan
sayur, makanan selingan, buah-buahan dan lainnya. Berikut disajikan tabel
sebaran contoh berdasarkan jenis bingkisan yang dibawa.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan jenis bingkisan yang dibawa
Bingkisan yang dibawa n %
Makanan besar 2 6,3
Snack 9 28,1
Buah 23 71,9
Lainnya 3 9,4
Dari Tabel 19 diketahui sebagian besar contoh mendapatkan bingkisan
berupa buah-buahan (71,9%). Kemudahan dalam membeli serta manfaat yang
cukup tinggi bagi kesehatan merupakan faktor yang mendorong pengunjung
lebih memilih untuk memberikan makanan ini. Adapun frekuensi kunjungan
keluarga contoh dapat dilihat pada Tabel 20.
35
satu orang contoh perempuan (5%) yang tidak terbiasa mengonsumsi makanan
selingan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan,
seperti ketersediaan pangan serta pola sosial budaya (Riyadi 1996). Sebaran
contoh berdasarkan frekuensi makan sehari dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan sehari
Frekuensi Laki-laki Perempuan Total
makan n % n % n %
2 kali 0 0 0 0 0 0
3 kali 11 91,7 20 100 31 96,9
Lainnya 1 8,3 0 0 1 3,1
Total 12 100 20 100 32 100
Berdasarkan Tabel 22, sebagian besar contoh memiliki kebiasaan makan
dengan frekuensi tiga kali sehari (96,9%) baik contoh laki-laki (91,7%) maupun
perempuan (100%). Selain itu juga, contoh memiliki kebiasaan makan dengan
frekuensi lainnya yaitu (3,1%) pada contoh laki-laki.
Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat
kuat dan mampu merangsang indera penciuman, sehingga membangkitkan
selera (Winarno 1994). Sama halnya dengan warna, aroma pada makanan juga
disukai oleh sebagian besar contoh laki-laki (100%) dan perempuan (80%).
Selain komponen warna, aroma juga merupakan komponen yang berpengaruh
untuk meningkatkan daya tarik seseorang untuk mengonsumsi makanan.
Konsistensi atau tekstur makanan juga merupakan komponen yang turut
menentukan cita rasa makanan karena sensitifitas indera dipengaruhi oleh
konsistensi makanan (Winarno 1994). Pada contoh laki-laki, persentase terbesar
berada pada kategori biasa (75%) dan selebihnya (25%) menyatakan suka,
sedangkan pada contoh perempuan berada dalam kategori suka (55%), biasa
(30%), dan tidak suka (15%). Hal ini diduga karena terdapat perbedaan selera
contoh dalam mengonsumsi makanan.
Rasa suatu makanan merupakan faktor yang turut menentukan daya
terima konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu maupun
interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno 1994). Rasa makanan
merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah
penampilan makanan itu sendiri. Tabel 24 menunjukkan, bahwa persentase
terbesar pada contoh laki-laki berada dalam kategori biasa (58,3%) dan
selebihnya tersebar ke dalam kategori suka (25%), dan tidak suka (16,7%).
Berbeda halnya dengan contoh perempuan, dimana sebagian besar menyatakan
suka terhadap rasa dari makanan yang disajikan (75%) dan biasa (25%).
Porsi makanan yang disajikan juga dapat mempengaruhi seseorang untuk
mengonsumsinya. Jika dilihat pada Tabel 24, sebagian besar contoh
menyatakan suka akan porsi makanan. Baik pada contoh laki-laki (100%)
maupun pada contoh perempuan (75%). Sejalan dengan penelitian Nurlaelah
(2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar contoh di Panti Sosial Tresna
Werdha Salam Sejahtera menyukai makanan yang dihidangkan,hal ini dapat
dillihat dari banyaknya contoh yang memilih kategori suka. Berdasarkan hasil uji
t-test, menunjukkan bahwa daya terima baik dari segi warna, aroma, tekstur,
rasa, dan porsi tidak berbeda nyata antara laki-laki dan perempuan (p>0,05).
Penilaian contoh terhadap makanan yang disediakan sangat terkait dengan
penerimaan contoh terhadap makanan yang selanjutnya dapat berpengaruh
terhadap kemampuan mengonsumsinya. Warna yang menarik, aroma dan
tekstur yang baik serta porsi yang tepat dapat meningkatkan penilaian terhadap
39
putih, nasi goreng, nasi uduk), lauk hewani (telur, daging sapi, ayam, ikan), lauk
nabati (tahu, tempe), sayur (bayam, wortel, caisin, labu siam), buah (pepaya,
semangka) serta selingan (pisang goreng dan bolu kukus). Rata-rata
ketersediaan energi dan zat gizi makanan dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26 Rata-rata ketersediaan makanan yang disediakan
Ketersediaan
Energi dan Zat Gizi
Aktual Ideal
Energi (kkal) 1657 ± 30 1823 ± 33
Protein (g) 65,7 ± 9,3 72,3 ± 10,2
Vitamin A (RE) 723,3 ± 10,5 795,6 ± 31,6
Vitamin C (mg) 86,0 ± 82,6 94,6 ± 90,9
Kalsium (mg) 233,0 ± 43,3 256,3 ± 47,6
Zat besi (mg) 9,1 ± 0,6 10,0 ± 0,7
Tabel 26 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan energi yang tersedia
sebesar 1657 kkal, protein 65,7 g. Ketersediaan vitamin A sebesar 723,3 ±10,5
RE dan untuk vitamin C 86,0±82,6 mg. Adapun ketersediaan kalsium sebesar
233,0 ± 43,3 mg dan zat besi 9,1 ±0,6 mg. Secara keseluruhan, ketersediaan
makanan yang disediakan oleh panti masih tergolong kurang jika dibandingkan
dengan ketersediaan yang seharusnya. Menurut Moehyi (1992) ketersediaan
makanan untuk penyelenggaraan makanan institusi biasa dilakukan dengan
memperkirakan penambahan sebanyak 10% dari ketersediaan yang sebelumnya
sudah direncanakan.
Konsumsi Pangan
Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) konsumsi pangan adalah
informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau
kelompok orang pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi
pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi.
Pengukuran konsumsi pangan menggunakan metode food recall 2x24 jam.
Perhitungan konsumsi dilakukan dengan menghitung konsumsi makanan yang
disediakan oleh pihak panti dan konsumsi makanan dari luar panti. Adapun
frekuensi makanan yang disediakan oleh pihak panti terdiri dari tiga kali makan
utama dan satu kali makan selingan.
dan nasi uduk. Hal ini dikarenakan nasi putih merupakan makanan pokok yang
biasa dikonsumsi untuk makan siang dan makan malam sedangkan nasi goreng
dan nasi uduk hanya disajikan pada saat makan pagi.
Hidangan sumber protein hewani yang disediakan cukup bervariasi.
Adapun jenis hidangan yang disajikan meliputi telur ceplok, telur dadar, semur
daging, ayam goreng dan ikan goreng. Dilihat dari kuantitas pangan, konsumsi
laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Jenis hidangan yang konsumsinya
tinggi yaitu ayam goreng. Hal ini dikarenakan contoh menyukai hidangan ini yang
didukung oleh daya terima terhadap hidangan ini yang sangat baik. Jumlah dan
jenis pangan yang dominan dikonsumsi contoh dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27 Jumlah dan jenis pangan yang dominan dikonsumsi contoh
Jumlah yang dikonsumsi (g/org/hr)
Jenis Hidangan
Laki-laki Perempuan
Makanan Pokok
Nasi Goreng 130 130
Nasi Putih 279 281
Nasi Uduk 125 135
Total 534 546
Lauk Hewani
Telur Ceplok 55 60
Semur daging 40 40
Telur Dadar 60 57
Ayam 80 80
Ikan goreng 57,5 54
Total 292,5 291
Lauk Nabati
Tahu Goreng 66 66
Tempe Goreng 48 46
Tempe Bacem 30 40
Semur Tahu 43 48
Total 187 200
Sayur
Tumis Labu 96 80
Sayur caisin 79 73
Sayur bayam 92 95
Sup sayuran 96 90
Total 363 338
Buah
Pepaya 86 77
Semangka 98 93
Total 184 170
Lainnya
Pisang Goreng 50 50
Bolu Kukus 50 50
Total 100 100
pangan, konsumsi perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Jenis hidangan
yang paling disukai oleh kedua contoh adalah tahu goreng.
Buah dan sayur merupakan sumber vitamin, mineral dan serat. Sayur yang
disediakan oleh panti meliputi, tumis labu siam, sayur caisin,sayur bayam dan
juga sup sayuran. Olahan sayur yang disukai oleh contoh adalah sayur bayam.
Selain sayur, panti juga memberikan buah pada waktu makan siang dan malam.
Jenis buah-buahan yang disajikan yaitu pepaya dan semangka, dimana sebagian
besar contoh lebih menyukai buah ini. Secara kuantitas, konsumsi sayur dan
buah pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Selain dari makanan utama, pihak panti juga memberikan makanan
selingan. Adapun jenis makanan selingan yang biasa diberikan merupakan
selingan manis maupun selingan asin. Jenis makanan selingan yang diberikan
yaitu pisang goreng dan bolu kukus. Makanan selingan ini diberikan pada waktu
antara makan siang dan makan malam.
Tingkat Kecukupan
Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), tingkat kecukupan zat gizi
seseorang dapat diketahui dengan cara membandingkan konsumsi seseorang
dengan angka kebutuhannya. Kebutuhan zat gizi antar individu berbeda-beda
menurut berat badan, jenis kelamin, usia, dan aktivitas fisik. Konsumsi energi
sehari contoh berkisar antara 1503 – 1779 kkal/hari dengan rata-rata 1646 ± 77,5
kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi laki-laki (1620 ± 53 kkal/hari) lebih rendah
daripada perempuan (1659 ± 86,8 kkal/hari). Jika dilihat, konsumsi contoh masih
rendah dari kebutuhan yang seharusnya. Tingkat kecukupan energi rata-rata
contoh laki-laki berada pada kategori defisit tingkat sedang (73,3%) dan
perempuan termasuk pada kategori normal (91,2%).
Energi diperlukan untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan
dan melakukan aktivitas fisik. Kekurangan energi terjadi jika konsumsi energi
melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami
keseimbangan energi negatif yang berakibat berat badan berkurang dari berat
badan ideal (Almatsier 2004). Pangan yang banyak dikonsumsi contoh adalah
nasi putih, nasi goreng dan nasi uduk.
Protein berfungsi sebagai pemelihara jaringan serta menggantikan sel-sel
yang mati. Secara keseluruhan, konsumsi protein contoh laki-laki (62,0 ± 3
g/hari) lebih rendah dibandingkan perempuan (64 ± 3 g/hari). Konsumsi protein
sehari berkisar antara 56 – 68 g/hari dengan rata-rata 63,2 ± 2,9 g/hari dan
termasuk ke dalam kategori lebih. Pangan sumber protein yang dikonsumsi
adalah telur, daging sapi, ayam,dan ikan. Statistik konsumsi, kebutuhan, dan
tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia dapat dilihat pada Tabel 29.
44
Tabel 29 Statistik konsumsi, kebutuhan, dan tingkat kecukupan energi & zat gizi
vitamin A yang cukup akan mempercepat mobilisasi zat besi dan meningkatkan
respon imun sehingga dapat menurunkan kejadian anemia dan infeksi serta
menurunkan morbiditas. Sumber vitamin A yang banyak dikonsumsi contoh
adalah sayur dan buah.
Konsumsi vitamin C contoh berkisar antara 54-105 mg/hari dengan rata-
rata 75,7 ± 12,1 mg/hari. Tingkat kecukupan vitamin C pada laki-laki dan
perempuan termasuk ke dalam kategori cukup. Kekurangan akan vitamin C
dapat menyebabkan penyakit skorbut, kerusakan pada jaringan rongga mulut
serta menurunnya daya tahan tubuh. Konsumsi sumber vitamin C pada contoh
berasal dari buah-buahan.
Konsumsi kalsium contoh berkisar antara 194-336 mg/hari dengan rata-
rata 252,7 ± 36,7 mg/hari. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium pada laki-laki
maupun perempuan termasuk dalam kategori kurang, sehingga contoh perlu
meningkatkan asupan makanan sumber kalsium. Sumber kalsium yang
dikonsumsi contoh adalah susu yang biasa dikonsumsi pada hari tertentu. Pada
saat pengambilan data recall tidak bertepatan dengan jadwal minum susu
bersama, sehingga tingkat kecukupan kalsium contoh tergolong kurang.
Konsumsi zat besi contoh berkisar antara 7-9 mg/hari dengan rata-rata 8,2
± 0,6 mg/hari. Rata-rata tingkat kecukupan zat besi pada laki-laki dan perempuan
termasuk dalam kategori kurang. Hal ini diduga karena rendahnya konsumsi
pangan sumber zat besi. Hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p>0,05) antara konsumsi contoh laki-laki dan perempuan.
Tabel 30 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi termasuk
pada kategori defisit tingkat sedang pada laki-laki (50%) dan normal pada
perempuan (60%). Kategori defisit tingkat berat hanya terdapat pada contoh laki-
laki sebesar (41,7%). Hal ini perlu adanya peningkatan jumlah konsumsi pangan
yang tinggi akan energi. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi
energi kurang dalam jangka waktu yang panjang, dapat membahayakan
kesehatan pada tahap lanjut dapat menyebabkan kematian. Sebaran contoh
berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 30.
46
(p>0,05) pada contoh laki-laki dan perempuan antara daya terima dengan tingkat
kecukupan contoh. Daya terima seseorang terhadap suatu makanan dapat
ditentukan oleh rangsangan dari indera penglihatan, penciuman, dan perasa.
Pemberian makanan dalam kondisi yang sesuai juga dapat mempengaruhi
selera makan seseorang. Hubungan daya terima dengan tingkat kecukupan
contoh dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34 Hubungan daya terima dengan tingkat kecukupan contoh
Tkt. Kec. Tkt. Kec. Tkt. Kec. Tkt. Kec.
Jenis
Variabel E P Vitamin C Fe
Kelamin
r p r p r p r p
L. Hewani -0,242 0,449 0,192 0,549 0,577 0,449 - -
L
L. Nabati 0,318 0,314 0,314 0,320 -0,471 0,122 - -
L. Hewani 0,394 0,086 - - 0,265 0,259 0,221 0,350
P
L. Nabati 0,057 0,811 - - -0,199 0,401 0,199 0,401
50
Saran
Sebagian besar contoh mengalami defisit berat pada tingkat kecukupan
energi, sehingga dibutuhkan pengawasan dalam segi kualitas makanan oleh
tenaga ahli gizi agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan asupan zat gizi.
51
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_________. 2006. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Ditjen Bina
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat-Depkes.
Gibson RS. 2005. Principle Nutrition Asessment. New York: Oxford University
Press.
Hardinsyah & Martianto. 1992. Gizi Terapan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor.
Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1985. Pangan, Gizi, dan Pertanian.
(Soehardjo, penerjemah). Jakarta: UI Press.
52
Hartono, A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC.
Muis. 2006. Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-Darmojo
R, editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI hlm. 539-547.
Mukirie et.al. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Akademi Gizi,
Depkes RI, Jakarta.
Ruslianti, Kusharto CM. 2006. Model Hubungan Aspek Psikososial & Aktifitas
Fisik dengan Status Gizi Lansia. Jurnal Pangan & Gizi 1:29-35.
Sari DP. 2010. Keragaan Aktivitas Fisik, Kondisi Gigi, Status Kesehatan dan
Pola Konsumsi Pangan Lansia di Kota Bogor [skripsi]. Jurusan Gizi
Masyarakat. Fema IPB.
Supariasa IDN, Ibnu F & Bachyar B. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Watson RR. 2009. Handbook of Nutrition In The Aged. Edisi ke-4. CRC Press.
LAMPIRAN
55
Ketua Pengurus
Wakil Ketua
Sekretaris Bendahara
Ketua Harian
C D
F
I
Keterangan
A. Meja pemorsian F. Meja 2
B. Pintu G. Gudang
C. Meja 1 H. Pintu F
D. Steamer I. Rak
E. Kompor J. Tempat cuci piring
57
Selingan