WIDIA AHADIYANTI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pola Asuh Ibu
pada Anak Stunting Usia 0-2 Tahun di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Widia Ahadiyanti
NIM I14150001
ABSTRAK
WIDIA AHADIYANTI. Pola Asuh Ibu pada Anak Stunting Usia 0-2 Tahun di
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN.
Stunting termasuk masalah gizi kronis yaitu kegagalan anak untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal akibat dari kekurangan gizi secara kumulatif dan
terus menerus dan berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan oleh ibu. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui pola asuh ibu pada anak stunting usia 0-2 tahun.
Desain penelitian ini adalah cross-sectional study. Jumlah subjek yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 78 anak stunting. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kondisi stunting. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa
terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara pola asuh gizi, pola asuh kesehatan,
tingkat kecukupan energi dan zat gizi, densitas vitamin C, dan seng dengan
kondisi stunting. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada subjek tergolong
defisit berat. Densitas energi dan protein subjek tergolong baik, sedangkan pada
zat gizi lainnya masih tergolong kurang. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa
variabel tingkat kecukupan protein (p=0.001) dan pola asuh gizi (p=0.021) secara
nyata berpengaruh positif terhadap kondisi stunting.
Kata kunci: anak 0-2 tahun, densitas zat gizi, pola asuh ibu, tingkat kecukupan,
stunting
ABSTRACT
WIDIA AHADIYANTI. Mother Parenting Pattern of Stunting Children Ages 0-2
years at Pamijahan Sub-distric, Bogor Regency. Supervised by DODIK
BRIAWAN.
WIDIA AHADIYANTI
Skipsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi sebagai syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul
―Pola Asuh Ibu pada Anak Stunting Usia 0-2 Tahun di Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor‖ ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2019. Pada kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi penulis
yang telah banyak memberikan ilmu, bimbingan, motivasi, dan dukungan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang
terus memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
3. Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan
semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Pihak gizi dari Puskemas Pamijahan dan Ciasmara yang telah membantu
dalam proses pengumpulan data
5. Ibu kader posyandu di kecamatan pamijahan yang sangat membantu ketika
turun lapang dan mengambil data
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi (Adli dan Hellen) yang bersedia untuk
saling bertukar pikiran dalam memberikan saran dan semangat kepada
penulis.
7. Para teman dekat (Dilla, Zahra, Fufu, Susan, Trisni, Lala, Evita, Indah, Sari,
dan Mar’ah) yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis.
8. Teman-teman menadion (GM 52) dan seluruh pihak yang telah memberikan
dukungan, baik secara moril maupun materil kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan dan penulisan
skripsi ini, namun penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka menerima kritik dan saran
yang membangun berkaitan dengan skripsi ini agar dapat saling memberikan
pengetahuan guna mendukung manfaat dari hasil penelitian ini. Demikian yang
dapat penulis sampaikan terima kasih.
Widia Ahadiyanti
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 3
Manfaat Penelitian 3
KERANGKA PEMIKIRAN 3
METODE PENELITIAN 5
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 5
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek 5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 6
Pengolahan dan Analisis Data 7
Definisi Operasional 13
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Karakteristik Anak 13
Karakteristik Keluarga 14
Pola Asuh Gizi 17
Pola Asuh Kesehatan 19
Pola Asuh Psikososial 21
Kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Anak 23
Hubungan Usia Ibu, Pola Asuh Gizi, Pola Asuh Kesehatan, dan Pola Asuh
Psikososial dengan Stunting 29
Hubungan Kualitas Konsumsi Pangan dengan Stunting 31
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kondisi Stunting 33
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 39
x
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian 4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Penelitian 39
2 Hasil uji korelasi 45
3 Hasil uji regresi 51
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah gizi dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, seperti bayi,
balita, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Usia balita merupakan usia pertumbuhan
dan perkembangan terjadi sangat pesat. Dihitung sejak hari pertama kehamilan,
kelahiran bayi sampai usia dua tahun atau yang dikenal dengan periode 1000 hari
pertama kehidupan manusia merupakan ―periode emas‖ atau ―periode kritis‖ yang
menentukan kualitas kehidupan. Menurut Kurniasih et al. (2010), periode
kehidupan ini merupakan waktu sel-sel otak tumbuh dengan cepat serta menjadi
masa kritis bagi perkembangan otak untuk meningkatkan kecerdasan anak.
Kemampuan motorik, kognitif, dan sosial pada anak mulai berkembang sejak
memasuki usia satu tahun. Asupan gizi yang cukup baik dalam segi kuantitas
maupun kualitas sangat diperlukan pada masa ini. Namun kelompok usia ini
merupakan kelompok yang sangat rawan memperoleh pola asuh yang tidak tepat,
askes pelayanan kesehatan yang tidak cukup, serta pola pemberian makan yang
tidak tepat. Apabila kebutuhan zat gizi ini tidak terpenuhi maka pertumbuhan dan
perkembangan anak akan terhambat, yang akhirnya akan menyebabkan mereka
akan menjadi generasi yang hilang serta mempengaruhi status gizi anak
(Wirjatmadi dan Welasasih 2012).
Status gizi merupakan ukuran keberhasilan pemenuhan gizi yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan. Status gizi didefinisikan sebagai
keadaan kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan
asupan zat gizi. Soegiyanto dan Wiyono (2007) menyebutkan bahwa pengukuran
status gizi balita umumnya dilakukan dengan pengukuran antropometri. Parameter
yang digunakan adalah berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan
(TB), serta panjang badan (PB) untuk anak usia 0-24 bulan. Indeks antropometri
yang umum digunakan dalam menilai status gizi pada balita adalah berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan
menurut umur (PB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) atau berat
badan menurut panjang badan (BB/PB). Status gizi dinilai dengan mengkonversi
angka berat badan dan tinggi badan balita ke dalam bentuk nilai terstandar (z-
score) dengan menggunakan standar baku antropometri WHO 2005.
Stunting merupakan kondisi tinggi badan tidak normal atau relatif rendah
terhadap sekelompok anak-anak pada usia dan jenis kelamin yang sama. Stunting
termasuk masalah gizi kronis yaitu kegagalan anak untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal akibat dari kekurangan gizi secara kumulatif dan terus
menerus, sehingga menyebabkan anak menjadi terlalu pendek untuk usianya.
Stunting merupakan hasil ukur status gizi balita dengan menggunakan indeks
tinggi badan menurut umur (TB/U) yang menggambarkan status gizi bersifat
kronis (Rahmad dan Miko 2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2018), prevalensi stunting pada balita sudah mengalami penurunan
menjadi 30.8% dari 37.2% pada tahun 2013 (Riskesdas 2013). Prevalensi tersebut
secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus mendapatkan perhatian
khusus karena masih berada dibawah rekomendasi yang ditetapkan oleh WHO
yaitu sebesar 20% (BKKBN 2018).
2
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui pola asuh ibu pada anak
stunting usia 0-2 tahun.
Tujuan Khusus
1. Menganalisis pola asuh ibu terhadap anak stunting
2. Menganalisis kualitas konsumsi pangan anak stunting
3. Menganalisis hubungan antara pola asuh ibu dengan kondisi stunting
4. Menganalisis hubungan antara usia ibu dengan kondisi stunting
5. Menganalisis hubungan antara kualitas konsumsi pangan dengan kondisi
stunting
6. Menganalisis faktor yang berhubungan dengan kondisi stunting
Hipotesis
Manfaat Penelitian
KERANGKA PEMIKIRAN
lama. Penyebab terjadinya stunting dapat dibagi menjadi empat kategori besar
yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan atau komplementer
yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi (WHO 2013). Kondisi status gizi pada
balita dapat disebabkan oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung
yang mempengaruhi kondisi status gizi balita dapat berupa konsumsi makanan
yang tidak seimbang sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh menjadi
lebih dan mudah tekena penyakit infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung yang
berpengaruh adalah ketahanan pangan dalam keluarga, pola asuh anak, pelayanan
kesehatan, kesehatan lingkungan. Pengetahuan gizi ibu, pendidikan, dan
keterampilan akan mempengaruhi pola asuh gizi dan kesehatan yang diberikan.
(UNICEF 1998).
Sosial Konsumsi
ekonomi pangan Tumbuh
kembang anak
Stunting
Keterangan :
METODE PENELITIAN
Keterangan :
n = Jumlah minimal subjek
Zα = Tingkat kepercayaan pada 95%, sehingga nilai α yang digunakan adalah
0.05, maka Zα = 1.96
p = Prevalensi stunting di Kota/Kabupaten Bogor sebesar 28.29% (TNP2K
2017)
d = Presisi sebesar 10%
secara deskriptif meliputi data karakteristik orang tua dan anak. Sedangkan data
yang dianalisis secara asosiatif dilakukan dengan dua uji berbeda yaitu uji korelasi
dan regresi. Uji korelasi digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara
variabel independen dengan kondisi stunting pada anak, serta uji regresi untuk
menguji ada tidaknya variabel independen yan yang memiliki pengaruh terhadap
kondisi stunting pada anak.
Karakteristik anak terdiri atas tiga data yaitu usia, jenis kelamin, dan berat
lahir. Usia balita dikelompokkan menjadi usia 12-36 bulan dan 37-59 bulan. Data
jenis kelamin dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Data berat lahir
dikelompokkan sesuai dengan Riskesdas (2013), yaitu berat badan lahir rendah
apabila <2 500 gram, berat lahir normal 2 500 – 3 999 gram, dan berat lahir lebih
≥4 000 gram. Pengolahan status gizi dihitung dengan menggunakan aplikasi
WHO Anthro Plus 1.0.4. Data yang digunakan adalah umur data umur (bulan),
berat badan (Kg), dan tinggi badan (cm). Status gizi ditentukan berdasarkan nilai
terstandar (Z-score) pada indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Kategori
status gizi menurut TB/U yang digunakan yaitu sangat pendek (Z-score <-3 SD)
dan pendek (-3 SD ≤ Z-score ≤ -2SD) (Kemenkes 2011).
Usia orang tua digolongkan menjadi usia remaja (10-19 tahun) dan dewasa
awal (20-40 tahun) (WHO 2014). Pendidikan orang tua dikategorikan menjadi
tidak sekolah, lulus SD/sederajat, lulus SMP/sederajat, lulus SMA/sederajat, dan
lulus Perguruan tinggi (Balitbangkes 2010). Data pekerjaan ayah dikategorikan
menjadi tidak bekerja, pedagang, buruh, petani, karyawan, dan wiraswasta.
Sedangkan untuk pekerjaan ibu dikategorikan menjadi ibu rumah tangga,
pedagang, karyawan, dan wiraswasta.
Pendapatan keluarga dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu <Rp 500 000,
Rp 500 000 – Rp 1 000 000, dan >Rp 1 000 000. Status ekonomi keluarga subjek
juga dilihat dari bantuan pemerintah yang diperoleh oleh keluarga, diantaranya
yaitu program keluarga harapan (PKH), beras miskin (Raskin), rumah tidak layak
huni (RTLH), Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), dan bantuan
pangan non tunai (BPNT). Besar keluarga dikategorikan menjadi tiga kategori
berdasarkan BKKBN (1997), yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-
7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang). Kategori karakteristik keluarga dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kategori variabel penelitian
No Variabel Indikator Kategori Sumber
1. Karakteristik Usia anak a. 0-12 bulan
anak b. 13-24 bulan
Jenis kelamin a. Laki-laki
b. Perempuan
Berat badan lahir a. <2 500 gram
Riskesdas
b. 2 500 – 3 999 gram
2013
c. <4 000 gram
2. Karakteristik Usia orang tua a. Remaja (10-19 tahun)
WHO 2014
keluarga b. Dewasa (20-40 tahun)
Pendidikan Ayah a. Tidak tamat SD/Sederajat
b. Tamat SD/Sederajat Balitbangkes
c. Tamat SMP/Sederajat 2010
d. Tamat SMA/Sederajat
9
diberi skor 2 dan jawaban salah akan diberi skor 1 (Hikmawati 2017). Total skor
yang diperoleh kemudian dibagi dengan total pertanyaan kemudian dikalikan
100%. Selanjutnya pola asuh ibu dikategorikan menjadi kategori baik (>80%),
sedang (60-80%), dan rendah (<60%) (Ulfa dan Latifah 2007).
Data asupan makan balita diperoleh dengan mewawancarai ibu
menggunakan metode semi-quantitative FFQ (SFFQ) 1 bulan terakhir. Jenis
makanan yang dicantumkan kemudian dicatat seberapa sering dikonsumsi dalam
kurun waktu 1 bulan terakhir dan jumlah yang dikonsumsi dalam satu kali makan
menggunakan ukuran rumah tangga (URT). Jumlah makanan yang dikonsumsi
kemudian dikonversi menjadi berat dalam sekali konsumsi dalam sehari untuk
selanjutnya dikonversi ke dalam energi (kkal) dan zat gizi protein, vitamin A,
vitamin C, serta mineral berupa zat besi, kalsium, dan seng berdasarkan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM) tahun 2013 untuk mengetahui total
konsumsi energi dan zat gizi. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (gram)
Gij = Kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
Penilaian kecukupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C, zat
besi, kalsium, dan seng) dilakukan dengan membandingkan total konsumsi aktual
dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013 sesuai dengan kelompok usia
dan jenis kelaminnya. Kecukupan energi dan zat gizi dikategorikan menjadi
defisit tingkat berat (<70% AKG 2013), defisit tingkat sedang (70-79% AKG
2013), defisit tingkat ringan (80-89% AKG 2013), normal (90-119% AKG 2013)
dan lebih (≥120% AKG 2013) (Depkes 2003). Rumus perhitungan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi adalah sebagai berikut.
Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i
K = Konsumsi aktual
AKG = Angka kecukupan gizi
dengan 100 kkal. Berikut merupakan rumus yang digunakan untuk menghitung
densitas energi dan zat gizi berdasarkan PAHO (2013).
Keterangan :
a = konstanta
b = koefisien arah regresi
X1 = pola asuh ibu
X2 = tingkat kecukupan energi dan zat gizi
X3 = densitas zat gizi
Definisi Operasional
Asupan makanan adalah jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh anak
dalam sehari
Densitas energi adalah indikator kualitas mutu MP-ASI yang diukur dengan cara
membandingkan total energi makanan dengan berat makan yang dikonsumsi
Densitas zat gizi adalah rasio jumlah jenis asupan zat gizi yang dikonsumsi per
total asupan kalori per hari per 100 kkal
Karakteristik anak adalah data informasi mengenai identitas anak berupa usia,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, serta status gizi anak
Karakteristik keluarga adalah data informasi mengenai keluarga yang meliputi
usia orang tua, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan per bulan,
penerimaan bantuan pemerintah, dan besar keluarga
Pola asuh gizi adalah seluruh interaksi antara ibu dan anak berupa bimbingan,
pengarahan, pengawasan, dan pemenuhan gizi yang dilakukan berulang
Pola asuh kesehatan adalah praktik pengasuhan ibu dalam melayani kebutuhan
kesehatan anak yang dilakukan secara berulang
Pola asuh psikososial adalah cara dan kebiasaan ibu dalam mengajari dan
menstimulasi perkembangan anak balita
Status gizi balita adalah keadaan gizi balita yang diukur berdasarkan nilai
terstandar (Zscore) dengan menggunakan pengukuran antropometri terhadap
tinggi badan menurut umur (TB/U)
Stunting status gizi bayi berdasarkan tinggi badan menurut umur berada di bawah
tinggi badan seharusnya
Subjek adalah balita berjenis kelamin laki-laki dan perempuan usia 0 sampai 24
bulan dengan status gizi TB/U pendek atau stunting.
Responden adalah orang yang bertanggungjawab terhadap subjek dalam
penelitian ini (ibu)
Tingkat kecukupan energi adalah jumlah asupan energi dalam kkal/hari
kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013
Tingkat kecukupan zat gizi jumlah asupan zat gizi kemudian dibandingkan
dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013
Anggota keluarga satu rumah adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal
dalam satu rumah dalam jangka waktu lama
Karakteristik Anak
Anak pada rentang usia 0-2 tahun merupakan periode emas terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat yang menajdi penentu keberhasilan
pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Faktor yang turut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada anak diantaranya adalah
karakteristik anak seperti usia dan berat bayi lahir. Berikut merupakan sebaran
anak berdasarkan karakteristik anak yang ditunjukkan pada Tabel 5.
14
Karakteristik Keluarga
bawah 18 tahun dianggap belum matang secara medis dan psikologinya sehingga
dapat berpengaruh terhadap pola asuhnya pada balita. Ibu yang masih berusia
remaja biasanya memiliki pola asuh yang kurang baik terhadap anaknya sehingga
dapat berdampak pada status gizi anak. Semakin muda umur ibu pada saat
mempunyai anak maka pengalaman yang dimiliki tentang pemenuhan gizi balita
semakin sedikit karena ibu yang masih muda cenderung kurang peduli pada
kebutuhan anggota keluarganya, termasuk kebutuhan akan konsumsi makanan
dalam keluarga terutama balita (Kaswari 2012). Responden dalam penelitian ini
terdiri atas 92.3% ibu yang tergolong usia dewasa dan 7.7% ibu usia remaja
dengan rata-rata usia 29 tahun.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
keadaan gizi. Tingkat pendidikan dapat menjadi penentu dalam kemampuan
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh (Suhardjo
2005). Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan ayah dan ibu sebagian
besar adalah tamat sekolah dasar, yaitu 42.3% pada ayah dan 52.6% pada ibu.
Pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan
kesehatan, pemberian makan, kebersihan, dan kesadaran terhadap kesehatan anak-
anaknya (Ramadhan 2011). Tingkat pendidikan terakhir ibu merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi pola asuh ibu terhadap anak termasuk status gizi
(Rahmawati 2006).
Pekerjaan orang tua berhubungan dengan pendapatan keluarga sehingga
dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan kuantitas
pangan keluarga (Suhardjo 2005). Sebagian besar pekerjaan ayah adalah sebagai
buruh non tani (43.6%), sedangkan sebagian besar ibu hanya bekerja sebagai ibu
rumah tangga (85.9%). Pekerjaan ibu berkaitan dengan pola asuh anak dan status
ekonomi keluarga. Ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga akan memiliki
lebih banyak waktu di rumah untuk mengurus anaknya, namun jika tidak diikuti
dengan kondisi status ekonomi yang baik untuk mendukung kebutuhan anak,
maka hal tersebut tidak bisa berpengaruh baik terhadap status gizi anak (Jayanti
2015).
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap
kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi keluarga. Pendapatan keluarga
subjek rata-rata berada pada kisaran Rp 500 000 – Rp 1 000 000 per bulan.
Rendahnya ekonomi keluarga dapat menyebabkan terbatasnya daya beli sehingga
mempengaruhi variasi menu yang disajikan dan berdampak terhadap asupan
makan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal tersebut juga dapat dipengaruhi
dengan distribusi makanan, pengetahuan, dan pola asuh orang tua. Semakin tinggi
pendapatan keluarga dapat memperbesar peluang memilih pangan yang lebih baik.
Namun, jika pengetahuan ibu terkait gizi rendah maka akan tetap berpengaruh
terhadap pola konsumsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan (Suhardjo
2005).
Bantuan pemerintan merupakan pemberian bantuan berupa uang atau
barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau
masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan
untuk melindungi kemungkinan terjadinya risiko sosial (Suharto 2009). Sebanyak
15.4% keluarga menerima bantuan pemerintah berupa program keluarga harapan
(PKH). PKH merupakan program perlindungan sosial melalui pemberian bantuan
tunai kepada keluarga sangat miskin yang memiliki ibu hamil, nifas, atau
17
menyusui, atau anak balita dan prasekolah. Namun sebagian besar responden
masih banyak yang tidak memperoleh bantuan pemerintah, sehingga pendapatan
keluarga yang dimiliki hanya murni berasal dari upah kerja.
Besar keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup darai pengelolaan sumber
daya yang sama (Syukriawati 2011). Menurut Aditianti (2010), kejadian
melnutrisi di negara berkembang dapat dipengaruhi oleh faktor besarnya keluarga.
Hampir sebagian responden memiliki besaran keluarga dengan kategori kecil
(48.7%) dan sedang (48.7%). Anggota keluarga satu rumah pada sebagian besar
responden hanya terdiri dari ayah dan ibu. 19.2% responden yang masih tinggal
satu rumah dengan kakek atau nenek dari anak. Anggota keluarga dalam satu
rumah juga dapat mempengaruhi penerapan pola asuh oleh ibu, terutama ibu yang
masih berusia remaja.
karena enzim pencernaan pada bayi belum mencapai jumlah yang cukup untuk
mencerna makanan kasar sampai usia anak 6 bulan (Zogara et al. 2014).
Bahan pangan yang diberikan oleh ibu dalam konsumsi pangan anak
sehari-hari menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh ibu. Hasil
penelitian menunjukkan ibu yang membiasakan memberi MP-ASI dari bahan
pangan lokal masih sedikit dan lebih sering memberikan MP-ASI berupa makanan
bubur instan. Selain itu lebih dari 50% tidak memberikan makanan lengkap pada
anak, hal tersebut dilihat dari pernyataan bahwa ibu tidak memberikan protein
hewani, nabati, buah, serta sayur pada anak di setiap hari namun hanya sesekali
saja. Buah-buahan banyak mengandung vitamin sehingga diperlukan juga untuk
memenuhi kebutuhan mikronutrien dari anak. Kurangnya mikronutrien biasanya
dapat terjadi karena rendahnya asupan bahan makanan sumber mikronutrien
dalam konsumsi anak sehari-hari (Mikhail et al. 2013).
Pemenuhan zat gizi pada usia ini sangat penting untuk menunjang proses
tumbuh dan kembang anak karena proses ini dipengaruhi oleh kualitas makanan
dan gizi yang dikonsumsi dan disediakan oleh keluarga. Asupan makan yang tidak
cukup menyebabkan kekurangan zat gizi pada usia balita dapat mengakibatkan
gagalnya pertumbuhan anak yang ditandai dengan pertambahan yang tidak sesuai
dengan usia anak (Mikhail et al. 2013). Namun dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa hanya sebanyak 43.6% ibu yang memperhatikan pentingnya asupan makan
pada anak, sedangkan sisanya hanya memenuhi kebutuhan makan anak untuk
memberi rasa kenyang pada anak. Sehingga jenis pangan dan asupan yang
diberikan tidak terlalu menjadi perhatian khusus oleh ibu. Hal tersebut juga
menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada kualitas konsumsi pangan anak.
Pola asuh kesehatan adalah praktik pengasuhan orang tua dalam melayani
kebutuhan kesehatan anak balita yang dilakukan secara berulang sehingga
menjadi kebiasaan (Rohimah et al. 2015). Pola asuh kesehatan merupakan salah
satu faktor yang berhubungan dengan status gizi dan kesehatan pada anak. Pola
asuh tersebut dapat berupa sikap dan perilaku ibu dalam kedekatannya dengan
anak, menjaga kebersihan dan kesehatan anak, pemberian makan anak, serta
merawat dan memberikan kasih saying. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh
kesehatan yang dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan
Kategori pola asuh kesehatan n %
Baik (>80%) 42 53.8
Sedang (60-80%) 36 46.2
Rata-rata ± SD 81.6 ± 7.1
Tabel di atas menunjukkan sebanyak 53.8% ibu memiliki pola asuh
kesehatan yang tergolong baik dengan rata-rata nilai 81.6. Berdasarkan penelitian
Aditianti (2010), bahwa kebersihan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh signifikan dengan kejadian stunting pada anak balita di Indonesia.
Pemeliharaan kebersihan tubuh, makanan, dan lingkungan memiliki peran penting
dalam memelihara kesehatan anak dan mencegah penyakit. Pernyataan terkait
20
pola asuh kesehatan terdiri atas praktik pemberian makan. Kemudian untuk data
pola asuh kesehatan terdiri atas pelaksanaan posyandu, pernyataan kebiasaan
hidup bersih, pemeliharaan kesehatan, dan perilaku kesehatan lingkungan. Berikut
merupakan sebaran subjek berdasarkan nilai dari tiap pertanyaan terkait pola asuh
kesehatan ibu dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh
kesehatan
No Pernyataan n %
1. Balita memiliki KMS 71 91.0
2. Balita diimunisasi lengkap sebelum anak berusia 1
58 74.4
tahun
3 Anak selalu ditimbang setiap bulan 49 62.8
4. Anak selalu mengonsumsi kapsul vitamin A dari
46 59.0
posyandu secara berkala
5. Ibu mencuci tangan sebelum mengolah makanan 49 62.8
6. Ibu mencuci tangan sebelum memberi makan anak 63 80.8
7. Ibu mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih
40 51.3
yang mengalir
8. Ibu memeriksa dan menggunting kuku anak seminggu
70 89.7
sekali
9. Ibu membiasakan anak sikat gigi setiap setelah sarapan
30 38.5
dan sebelum tidur
10. Ibu mengganti pakaian anak hanya setelah mandi 29 37.2
11. Ibu mencuci rambut/ keramas anak 3 kali seminggu
62 79.5
menggunakan sampo
12. Ibu mencuci tangan dan kaki anak setiap habis main 50 64.1
13. Ketika anak sakit ibu segera membawa ke pelayanan
61 78.2
kesehatan
14. Ibu menyediakan/memberikan oralit saat anak diare 34 43.6
15. Ketika demam ibu mengompres anak menggunakan air
50 64.1
dingin
16. Ibu menyediakan parasetamol untuk persediaan obat
43 55.1
demam pada anak
17. Ibu memberikan ASI lebih sering saat anak sakit ketika
55 70.5
anak masih menyusui
18. Ibu membiarkan anak bermain di tempat kotor 44 56.4
19. Ibu menjauhkan anak dari asap pembakaran sampah 26 33.3
20. Ibu membuang sampah di rumah setiap hari 57 73.1
Kebersihan diri dari anak dapat terjaga apabila seorang ibu menerapkan
pola asuh kesehatan yang baik. Kebersihan pada anak dapat menghindarkan anak
dari berbagai penyakit. Ibu masih banyak yang kurang dalam memperhatikan
kesehatan dan kebersihan pada anak. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
terdapat 51.3% ibu yang sudah membiasakan untuk mencuci tangan menggunakan
sabun dan air bersih yang mengalir. Sedangkan sebagian besar lainnya terbiasa
mencuci tangan menggunakan air penampungan dan jarang menggunakan sabun.
Hasil penelitian juga menunjukkan hanya terdapat 38.5% ibu yang membiasakan
untuk menggosok gigi anak setiap setelah sarapan dan sebelum tidur. Sedangkan
21
sebagian besar ibu tidak membiasakan hal tersebut dengan alasan bahwa anak
mereka masih sulit untuk dibiasakan menggosok gigi. Menurut panduan kesehatan
ibu dan anak disebutkan bahwa anak yang belum memiliki gigi dibiasakan untuk
dilap dengan menggunakan kain halus basah pada bagian gusi dan lidahnya. Anak
yang sudah mulai tumbuh gigi harus mulai dibiasakan untuk menggosok gigi.
Penanganan ketika anak sakit pada sebagian ibu langsung membawa anak
ke pelayanan kesehatan seperti bidan dan puskesman. Namun, ibu sebaiknya ettap
memiliki persediaan obat untuk demam maupun diare untuk anak. Hasil di atas
menunjukkan hanya terdapat 43.6% pada ibu yang memiliki persediaan obat
untuk anak, sedangkan sisanya lebih memilih untuk membeli obat-obatan dari
warung dan terkadang bukan obat yang khusus untuk anak. Obat yang diberikan
pada anak akan berbeda dengan obat orang dewasa terutama dari segi dosis,
namun masih terdapat ibu yang tidak membedakan hal tersebut.
Kesehatan anak juga dapat dipengaruhi dengan kondisi lingkungan sekitar
tempat tinggal. Terdapat 56.4% ibu yang membiarkan anaknya bermain di tempat
yang kotor. Selain itu, sampah rumah tangga yang dihasilkan umunya tidak
dibuang ke tempat pembuangan akhir, namun di bakar secara berkala terutama
untuk sampah plastik, kertas, dan daun. Pembakaran sampah biasanya dilakukan
di sekitaran halaman atau kebun dekat rumah. Hanya sebanyak 33.3% ibu yang
menjauhkan anak dari asap pembakaran sampah. Sedangkan sebagian besar masih
tidak mempedulikan asap yang dihasilkan dapat terhirup oleh anaknya.
Pola asuh psikososial adalah kebutuhan dasar yang dibutuhkan anak untuk
tumbuh kembang secara optimal. Praktek asuhan psikososial didefinisikan sebagai
perilaku yang dipraktekkan oleh pengasuh dalam memberikan stimulus dan
dukungan emosional yang dibutuhkan anak dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan (Brooks 2011). Aspek yang diperhatikan dalam perkembangan
anak antara lain yaitu perkembangan motorik, bicara dan bahasa, sosial dan
kemandirian, penerimaan, pembelajaran, dan keterlibatan antara orang tua dan
anak. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh psikososial disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh psikososial
Kategori pola asuh kesehatan n %
Baik (>80%) 56 71.8
Sedang (60-80%) 22 28.2
Rata-rata ± SD 83.5 ± 6.2
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah memiliki pola
asuh psikososial yang tergolong baik dengan nilai rata-rata 83.5. Pengasuhan ini
memberikan stimulus psikososial yang akan mempengaruhi perkembangan anak
(Hastuti et al. 2011). Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting
karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan anak
berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan,
sikap dan praktik tentang pengasuhan anak. Anak yang mendapat stimulus
psikososial maka perkembangan anak khususnya tingkat perkembangan sosial
anak akan lebih baik (Setyowati et al. 2017). Berikut merupakan sebaran subjek
22
berdasarkan nilai dari tiap pertanyaan terkait pola asuh psikososial ibu yang terdiri
atas perkembangan motorik kasar, perkembangan motorik halus, bicara dan
bahasa, sosialisasi dan kemandirian, penerimaan, pembelajaran, dan keterlibatan
antara orang tua dan anak dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh
psikososial
No Pernyataan n %
1. Ibu membiasakan untuk memuji anak saat dapat 58 74.4
melakukan suatu hal setiap hari
2. Ibu memberi anak mainan/benda yang besar dan 63 80.8
berwarna saat anak berusia 3 bulan
3 Ibu (akan) melatih anak berdiri dan berjalan dengan 61 78.2
berpegang tangan saat bayi berumur 12 bulan
4. Ibu tidak menelungkupkan bayi saat berusia 3-6 bulan 49 62.8
5. Ibu (akan) mengajarkan anak berjalan di 61 78.2
undakan/tangga saat usia 2 tahun
6. Ibu melatih anak berdiri dan berjalan dengan
39 50.0
berpegangan saat usia 6-12 bulan
7. Ibu (akan) mengajarkan anak membereskan mainan saat 46 59.0
berusia 1-2 tahun
8. Ibu mengajak anak mengelompokkan benda sejenis 39 50.0
9. Ibu mengajarkan anak menyebutkan bagian tubuhnya 52 66.7
10. Ibu (akan) mengizinkan anak mencoret-coret di kertas 54 69.2
ketika berusia 1-2 tahun
11. Ibu menyisihkan sebagian waktu untuk berkomunikasi 51 65.4
dengan anak
12. Ibu mengajak anak bernyanyi dan bermain bersama 56 71.8
13. Ibu membacakan majalah atau buku cerita anak 14 17.9
14. Ibu mengajarkan kata-kata yang memiliki arti dan 56 71.8
santun kepada anak
15. Ibu mengajarkan anak berbicara saat bayi berusia 6-12 50 64.1
bulan
16. Ibu mendengarkan anak sebuah musik/shalawat 65 83.3
17. Ibu membiarkan anak memakan kue atau biskuit sendiri 42 53.8
saat berusia 6 bulan
18. Ibu membawa anak pergi minimal satu kali seminggu 67 85.9
19. Ibu melatih anak memegang benda kecil saat anak 60 76.9
berusia 6 bulan
20. Ibu mengajak teman-teman anak bermain bersama di 63 80.8
rumah
Stimulasi yang diberikan ibu melalui panca indra seperti mendengar,
melihat, merasa, mencium, dan meraba selama awal kehidupan mempunyai
pengaruh besar pada pertumbuhan dan maturasi otak. Gangguan keterlambatan
perkembangan antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf,
lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan, dan lambatnya respon sosial
(Martianto et al. 2004). Aktivitas motorik selama tahun kedua berperan penting
23
bagi perkembangan kompetensi anak (Santrock 2007). Kualitas masa depan anak
ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal, sehingga
deteksi, stimulasi, dan intervensi berbagai penyimpangan pertumbuhan atau
perkembangan harus dilakukan sejak dini (Marmi 2012). Kondisi stunting
memiliki dampak terhadap perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak
menjadi tidak optimal. Hal tersebut dikaitkan dengan proses perkembangan otak
yang terganggu sehingga dalam jangka pendek akan berpengaruh pada
kemampuan kognitif anak (WHO 2017).
Ibu sebaiknya melatih anak berdiri dan berjalan dengan berpegangan saat
usia 6-12 bulan. Hal tersebut baru diterapkan oleh sebagian ibu. Melatih anak
berdiri dan berjalan pada usia tersebut dilakukan guna merangsang motorik kasar
pada anak, sehingga anak dapat tumbuh dengan optimal. Pemberian rangsangan
atau stimulasi yang memadai dapat memberikan manfaat yang besar untuk
pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Sedangkan apabila stimulus
psikososial yang diberikan terhadap anak rendah akan memberikan dampak yang
kurang baik pada pertumbuhan anak (McGregor et al. 2007).
Rangsangan bicara dan bahasa pada anak dapat dilakukan dengan
membacakan cerita pada anak, mengajarkan anak bicara, dan mengajarkan kata-
kata yang memiliki arti dan santun kepada anak. Sebagian besar ibu hanya sedikit
yang menerapkan untuk membacakan cerita dan mengajarkan bicara pada anak.
Hasil penelitian di atas menunjukkan hanya 17.6% ibu yang melatih bicara dan
bahasa pada anak dengan menggunakan media cerita. Anak pada usia 6 bulan dan
dikenalkan pada makanan sebaiknya sudah dibiarkan untuk memegang
makanannya sendiri untuk melatih perkembangan motoriknya. Namun hanya
sekitar 50% ibu yang menerapkan hal tersebut, sedangkan ibu lainnya merasa
anak pada usia tersebut belum saatnya diberikan makanan sendiri.
dengan proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Menurut Rofles et al.
(2009), zat gizi tersebut sangat penting untuk memastikan kesehatan,
pertumbuhan, dan perkembangan anak yang optimal. Tingkat kecukupan subjek
juga dilihat dari zat gizi mikro diantaranya yaitu vitamin A, vitamin C, zat besi,
kalsium, dan seng. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro
dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro
Variabel n %
Tingkat kecukupan vitamin A
Defisit berat 31 39.7
Defisit sedang 6 7.7
Defisit ringan 4 5.1
Cukup 14 17.9
Lebih 23 29.5
Rata-rata ± SD 106.16 ± 89.85
Tingkat kecukupan vitamin C
Defisit berat 40 51.3
Defisit sedang 2 2.6
Defisit ringan 4 5.1
Cukup 7 9.0
Lebih 25 32.1
Rata-rata ± SD 100.31 ± 102.89
Tingkat kecukupan zat besi 42 53.8
Defisit berat 1 1.3
Defisit sedang 7 9.0
Defisit ringan 11 14.1
Cukup 17 21.8
Lebih 42 53.8
Rata-rata ± SD 110.02 ± 275.77
Tingkat kecukupan kalsium 55 70.5
Defisit berat 1 1.3
Defisit sedang 3 3.8
Defisit ringan 2 2.6
Cukup 17 21.8
Lebih 55 70.5
Rata-rata ± SD 70.43 ± 92.90
Tingkat kecukupan seng
Defisit berat 56 71.8
Defisit sedang 3 3.8
Defisit ringan 2 2.6
Cukup 10 12.8
Lebih 7 9.0
Rata-rata ± SD 56.231 ± 77.47
Menurut WHO (2001), ASI relatif rendah pada beberapa mikronutrien
bahkan setelah memperhitungkan bioavailabilitasnya, sehingga dibutuhkan
asupan dari makanan pendamping untuk memenuhi zat gizi mikro. Tingkat
kecukupan yang rendah pada zat gizi mikro dapat disebabkan oleh asupan pangan
yang kurang beragam serta rendahnya asupan bahan makanan sumber zat gizi
mikro dalam konsumsi sehari-sehari (Mikhail et al. 2013). Rendahnya kecukupan
vitamin A disebabkan kurangnya konsumsi sayur. Menurut Fatimah et al. (2018),
26
sebagian besar anak balita stunting mengalami defisit tingkat kecukupan vitamin
A karena tidak mengonsumsi buah dan hanya menyukai kuah sayur. Vitamin A
memiliki peran dalam fungsi faal tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel,
kekenalan, pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier, 2009). Vitamin C subjek
sebagian besar tergolong defisit. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya
konsumsi buah-buahan sumber vitamin C oleh anak. Vitamin C dibutuhkan oleh
anak usia ini karena berperan dalam daya tahan tubuh, membantu penyerapan zat
besi, dan sebagai antioksidan. Defisiensi ini dapat memberi dampak penurunan
status gizi dalam waktu lama (Soekirman 2012).
Tingkat kecukupan zat besi anak sebagian besar tergolong defisit. Anak
membutuhkan zat besi untuk pertumbuhan, kurangnya asupan zat besi dapat
meningkatkan risiko anak terkena stunting (Hidayati et al. 2010). Selain itu juga
dapat berpengaruh pada kongnitif anak. Menurut Mikhail et al. (2013), balita yang
mengalami defisiensi zat besi akan mengalami penurunan kekebalan tubuh
sehingga berisiko lebih besar untuk terkena penyakit terutama penyakit infeksi.
Penyakit infeksi ini dapat menghambat pertumbuhan linear karena menurunkan
asupan makanan, mengganggu penyerapan zat gizi, dan menyebabkan hilangnya
zat gizi. Balita dengan kecukupan zat besi yang inadekuat akan berisiko 3.2 kali
mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang memiliki tingkat kecukupan
zat besi yang adekuat (Damayanthi et al. 2016).
Tingkat kecukupan yang rendah pada kalsium dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan anak. Risiko stunting dapat diturunkan dengan pemberian ASI
eksklusif karena ASI mengandung antibodi serta kalsium yang terkandung dalam
ASI mempunyai bioavailabilitas yang tinggi sehingga dapat diserap optimal
terutama dalam fungsi pembentukan tulang (Almatsier 2009). Hampir seluruh
subjek hanya memperoleh kalsium dari susu. Sedangkan menurut Sari et al.
(2016), sumber kalsium dapat diperoleh dari ikan dan makanan laut lainnya.
Anak dengan tingkat kecukupan seng yang tidak adekuat berisiko 7.8 kali
lebih besar lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang
memiliki tingkat kecukupan seng yang adekuat (Damayanthi et al. 2016). Seng
memiliki fungsi dalam pembentukan antibodi, berperan dalam fungsi indera
pengecap dan hormon pertumbuhan (Almatsier 2009). Kurangnya seng dapat
menghambat kerja hormon pertumbuhan (Aridiyah et al. 2015). Defisiensi seng
dapat menyebabkkan terhambatnya hormon metabolit GH (Growth Hormone)
sehingga sintesis dan sekresi insulin growth factor berkurang yang berdampak
pada risiko terkena stunting (Andriani dan Wirjatmadi 2012). Penelitian lain yang
dilakukan Hidayati et al. (2010) pada balita usia 1-3 tahun di perkotaan kumuh
Surakarta menyimpulkan bahwa asupan zat besi dan seng yang kurang pada balita
menyebabkan balita memiliki risiko lebih ebesar terhadap kejadian stunting.
Kualitas pangan dan gizi pada anak juga diketahui dengan melihat densitas
energi dan zat gizi dari makanan yang biasa dikonsumsi. Densitas energi dapat
menggambarkan jumlah energi yang terkandung dalam satuan berat makanan
serta menunjukkan kualitas MP-ASI yang dikonsumsi oleh subjek (Ledikwe et al.
2006). Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan
anak di Indonesia masih sering mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas
energi tinggi. Konsumsi energi, gula dan lemak jenuh yang berlebih namun
rendah konsumsi buah, dan sayur dapat menunjukkan kualitas konsumsi yang
rendah. Kualitas konsumsi yang baik dikaitkan dengan tingginya konsumsi buah
27
dan sayur yang memiliki densitas energi rendah serta mencukupi kebutuhan
makronutrien secara tepat (Patterson et al. 2010). Sebaran subjek berdasarkan
densitas energi dari MP-ASI subjek dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan densitas energi MP-ASI
n %
Waktu makan 2 Kali
Breastfed
>0.71 kkal/gram1 15 19.2
>1.12 kkal/gram3 3 3.8
<1.12 kkal/gram3 1 1.3
Non Breastfed
>1.62 kkal/gram3 4 5.1
<1.62 kkal/gram3 2 2.6
Waktu makan 3 Kali
Breastfed
>0.48 kkal/gram1 3 3.8
>0.56 kkal/gram2 3 3.8
>0.75 kkal/gram3 26 33.3
<0.75 kkal/gram3 1 1.3
Non Breastfed
>1.08 kkal/gram3 20 25.6
1 2 3
Keterangan : usia 6-8 bulan, usia 9-11 bulan, usia 12-24 bulan
Hubungan Usia Ibu, Pola Asuh Gizi, Pola Asuh Kesehatan, dan Pola Asuh
Psikososial dengan Stunting
Usia ibu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh
yang diterapkan oleh ibu dan kemudian akan berdampak pada kondisi status gizi
anak. Pola asuh gizi merupakan praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu
berkaitan dengan pemenuhan gizi anak. Pemberian makan yang baik sangat
penting untuk asupan nutrisi, yaitu dari segi makanan yang dikonsumsi anak dan
sikap ibu (Walker 2006). Pola asuh kesehatan merupakan salah satu faktor yang
dapat berpengaruh terhadap kondisi status gizi anak.
30
Pola asuh kesehatan meliputi pola asuh yang bersifat preventif seperti
pemberian imunisasi, penerapan hidup bersih dan sehat, serta pola asuh ketika
anak dalam keadaan sakit. Pola asuh psikososial merupakan pola asuh yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh
psikososial berupa pemberian stimulasi akan memengaruhi perkembangan anak.
Pola asuh dengan memberikan stimulus psikosoial kepada anak akan mampu
meningkatkan perkembangan motorik, kognitif, sosial emosi dan karakter pada
anak (Hastuti et al. 2011). Hasil analisis uji hubungan antara usia ibu, pola asuh
gizi, pola asuh kesehatan, dan pola asuh psikososial dengan stunting dapat dilihat
pada Tabel 17.
Tabel 17 Hubungan antara usia ibu, pola asuh gizi, kesehatan, dan psikososial
dengan stunting
Stunting
Variabel
p r
Usia Ibu .515** .075
Pola asuh gizi .049* .223
Pola asuh kesehatan .024* .255
**
Pola asuh gizi .256 .130
*
Uji korelasi Pearson signifikan (p<0.05)
**
Uji korelasi Pearson tidak signifikan (p>0.05)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa hasil uji korelasi Pearson
pada variabel usia ibu menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
(p<0.05) dengaan stunting pada anak. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ida et al. (2016) yang menyatakan bahwa usia ibu
mempengaruhi status gizi anak yang berkaitan dengan pengalaman ibu dalam
memberikan makanan bergizi pada anak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh usia
ibu yang menjadi subjek dalam penelitian ini berada pada rentang usia yang
hampir sama sehingga berpengaruh terhadap pengalaman yang dimiliki ibu.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan (p<0.05) antara pola asuh gizi dengan stunting. Nilai koefisien korelasi
antara pola asuh gizi dengan stunting bernilai positif berarti semakin rendah pola
asuh gizi yang diterapkan oleh ibu maka semakin anak berisiko mengalami
stunting. Pola asuh gizi yang kurang baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan balita. Penelitian yang dilakukan Asrar (2009) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh gizi dengan status gizi
menurut TB/U. Pola asuh gizi berkaitan dengan pemberian makan pada anak
sehingga perilaku ibu yang benar dalam pemenuhan gizi anak melalui pemberian
makanan bergizi akan berdampak pada status gizi anak yang baik. Pola asuh yang
baik perlu didukung dengan pengetahuan yang baik sebagai dasar dalam bersikap
dan bertindak sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan balita
secara optimal (Mirayanti 2012).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan (p<0.05) antara pola asuh kesehatan dengan stunting yaitu semakin
rendah pola asuh kesehatan yang diterapkan oleh ibu maka semakin berisiko anak
mengalami stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmayana (2014), yang
menyatakan bahwa ibu yang memperhatikan kondisi kebersihan anak akan sangat
berpengaruh terhadap status gizi anak. Selain itu juga disebutkan bahwa terdapat
31
hubungan antara praktik higiene dan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting
pada balita. Penerapan hidup bersih dan sehat masih kurang diterapkan oleh ibu
dalam pengasuhan kesehatan pada anak. Hal tersebut merupakan faktor yang
dapat menyebabkan infeksi pada anak yang kemudian akan berdampak pada
status gizi anak (Fewtrell dan Mary 2007).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan (p>0.05) antara pola asuh psikososial dengan stunting. Hasil
tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahmayana et al. (2014)
yang menyebutkan bahwa pola asuh psikososial memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting yang digambarkan dengan hasil pola asuh
psikososial tergolong baik pada sebagian besar anak kondisi normal, sedangkan
pola asuh yang masih kurang banyak terjadi pada anak dengan kondisi stunting.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu yang memberi rangsangan psikososial yang
baik akan berpengaruh positif pada keadaan status gizi anak. Pola asuh psikososial
yang diterapkan oleh sebagian besar ibu sudah tergolong dalam kategori baik,
sehingga tidak berhubungan dengan kondisi stunting yang terjadi pada anak.
energi dengan status gizi TB/U. Penelitian tersebut juga sejalan dengan Nagari
dan Nindya (2017) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
konsumsi energi dengan status gizi pada anak.
Uji korelasi spearman pada tingkat kecukupan protein dengan stunting
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0.01). Hasil penelitian ini
sejalan dengan Rachmawati (2018) yang menyatakan bahwa asupan protein yang
kurang memiliki hubungan yang signifikan (p<0.01) dengan gangguan
pertumbuhan tinggi badan atau stunting. Selain itu, pada penelitian Anindita
(2012) juga menyebutkan bahwa sebagian besar balita yang menderita stunting
memiliki tingkat kecukupan protein yang kurang. Kejadian stunting juga dapat
dipengaruhi oleh asupan zat gizi mikro. Berikut merupakan hasil uji hubungan
antara tingkat kecukupan zat gizi mikro dengan stunting.
Hasil uji korelasi spearman menunjukkan adanya hubungan signifikan
(p<0.05 dan p<0.01) antara kecukupan zat gizi mikro dengan stunting, yaitu
semakin kurang tingkat kecukupan zat gizi mikro maka semakin berisiko terkena
stunting. Penelitian ini sejalan dengan Hendrayati (2015) yang menunjukkan
bahwa asupan vitamin A merupakan mikronutrien yang berkontribusi terhadap
kejadian stunting pada anak usia 12-60 bulan. Penelitian Bueno et al. (2008)
menunjukkan bahwa konsumsi yang rendah pada kalsium terutama pada anak
dalam masa pertumbuhan akan menyebabkan pertumbuhan terhambat. Asupan
kalsium yang kurang banyak terjadi pada anak dengan status gizi stunting.
Sulistianingsih et al. (2015) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara asupan
zat besi dengan kejadian stunting pada balita, yaitu balita yang kurang asupan zat
besi akan lebih berisiko terkena stunting. Penelitian yang dilakukan Dewi dan
Nindya (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat konsumsi seng dengan kejadian stunting. Kualitas MP-ASI dilihat melalui
densitas energi dan zat gizi yang dikonsumsi oleh anak. Tabel 19 menunjukkan
hasil analisis hubungan antara densitas energi dan zat gizi dengan stunting.
Tabel 19 Hubungan antara densitas energi dan zat gizi dengan stunting
Stunting
Variabel
p r
Densitas energi .070 .542
Densitas protein .210 .144
Densitas vitamin A .100 .187
Densitas vitamin C .016* .272
Densitas zat besi .057 .216
Densitas kalsium .057 .216
*
Densitas seng .025 .253
*
Uji korelasi Spearman signifikan (p<0.05)
Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan (p<0.05) antara densitas vitamin C dan seng terhadap kejadian stunting.
Sedangkan pada densitas energi, protein, vitamin A, zat besi, dan kalsium tidak
menunjukkan adanya hubungan signifikan (p>0.05) dengan kondisi stunting.
Hasil analisis densitas energi dan protein yang dikonsumsi oleh anak sebagian
besar sudah berada di atas angka yang direkomendasikan sehingga tidak memiliki
hubungan dengan kejadian stunting pada anak. Densitas vitamin C dan seng pada
anak sebagian besar berada di bawah angka yang direkomendasikan. Vitamin C
33
dan seng merupakan zat gizi mikro yang berperan penting dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Sehingga rendahnya densitas pada zat
gizi tersebut dapat berhubungan dengan kondisi stunting pada anak.
Simpulan
tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan stunting. Uji korelasi spearman
antara densitas vitamin C dan seng menunjukkan adanya hubungan signifikan
(p<0.05) dengan stunting. Sedangkan pada uji korelasi antara densitas energi,
protein, vitamin A, zat besi, dan kalsium tidak menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan (p>0.05) dengan kondisi stunting. Faktor yang berpengaruh pada
kondisi stunting berdasarkan uji regresi linear adalah tingkat kecukupan (p=0.001)
dan pola asuh gizi (p=0.021).
Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara pola asuh gizi,
pola asuh kesehatan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan kondisi
stunting. Oleh karena itu disarankan keluarga dan pelayanan kesehatan tingkat
desa dapat memberikan pengetahuan pada ibu terkait pola asuh terhadap anak.
Selain itu tingkat kecukupan dan densitas pada energi dan zat gizi anak masih
tergolong defisit dan kurang sehingga dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi
pangan pada anak dan memperhatikan frekuensi dalam pemberian makanannya.
Penelitian selanjutnya yang dapat disarankan adalah meneliti juga dari segi
pengetahuan ibu terkait pola pengasuhan dan stunting pada anak karena
pengetahuan ibu juga dapat berpengaruh terhadap pola asuh yang diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditianti. 2010. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di
Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Adriani M, Wirjatmadi B. 2012. Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta (ID):
Kencana Prenada Media Group.
Afifah T. 2011. Perkawinan dini dan dampak status gizi. Gizi Indonesia. 34(2):11.
Almatsier. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier S, Soetardjo S, Soekarti M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur
Kehidupan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Aridiyah FO, Rohmawati N, Ririanty M. 2015. Faktor-faktor yang memengaruhi
kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan perkotaan. E-
Jurnal Pustaka Kesehatan. 3(1): 163-170.
Asrar. 2009. Pola Asuh Makan, Asupan Zat Gizi dan Hubungannya dengan Status
Gizi Anak Balita Masyarakat Suku Nuaulu di Kecamatan Amahai
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku [Tesis]. Yogyakarta (ID):
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Astari LD, Nasoetion A, Dwiriani CM. 2005. Hubungan karakteristik keluarga,
pola pengasuhan dan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan. Media Gizi
dan Keluarga. 29(2): 40-46.
Azmi U, Mundiastuti L. 2018. Konsumsi zat gizi pada balita stunting dan non-
stunting di Kabupaten Bangkalan. Amerta Nutr. 2(3): 292-298.
35
Istiany A, Rusilanti. 2013. Gizi Terapan. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya
Iswarati. 2010. Pengetahuan keluarga dalam pengasuhan dan tumbuh kembang
anak. Gizi Indonesia. 33(1): 67-73.
Jayanti EN. 2015. Hubungan Antara Pola Asuh Gizi dan Konsumsi Makanan
dengan Kejadian Stunting pada Anak Balita Usia 6-24 Bulan [Skripsi].
Jember (ID): Universitas Jember.
Karyadi E, Kolopaking R. 2007. Kiat Mengatasi Anak Sulit Makan. Jakarta (ID):
Intisari Mediatama.
Kaswari M. 2012. Gambaran perilaku ibu yang menikah di usia dini dalam
pemenuhan gizi balita di Desa Pulau Mungkur Kecamatan Gunung Toar
Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau [Skripsi]. Medan (ID):
Universitas Sumatera Utara.
[KEMENKES RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta (ID): Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Bina Gizi.
Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti MP, Imam S. 2010. Sehat dan Bugar Berkat
Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka.
Ledikwe JH, Blanck HM, Khan LK, Serdula MK, Seymour JD, Tohill BC, Rolls
BJ. 2006. Dietary energy density is associated with energy intake and
weight status in US adults. Am J Clin Nutr. 83(1): 1362-1368.
Lee SK, Park HK, Choi YJ. 2014. Nutritional standards for energy-dense low
nutrient density food for children in Korea. Asia Pac J Clin Nutr. 23(1): 27-
33.
Marmi. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta
(ID): Pustaka Pelajar
Martianto D, Riyadi H, Ariefiani R. 2010. Pola asuh makan pada rumah tangga
yang tahan dan tidak tahan pangan serta kaitannya dengan status gizi anak
balita di kabupaten banjarnegara. Jurnal Gizi dan Pangan. 6(1): 51-58.
McGregor SG, Cheung YB, Cueto S, Glewwe P, Richter L, Strupp B. 2007.
Development potential in the first 5 years for children in developing
countries. Lancet. 369(9555): 60-70.
Mikhail WZA, Sobhy HM, El-Sayed HH, Khiry SA, Abu Salem HYH, Samy MA.
2013. Effect of nutritional status on growth pattern of stunted preschool
children in Egypt. Academic Journal of Nutrition. 2(1): 1–9.
Mirayanti NKA. 2012. Hubungan Pola Asuh Pemenuhan Nutrisi dalam Keluarga
dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Pasir Gunung Selatan Kecamatan
Cimanggis Kota Depok [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Muthayya S. 2009. Maternal nutrition and low birth weigh - what is really
important. Indian J Med Res. 130(5): 600-608.
Nadiyah. 2014. Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia 0-23 Bulan di Provinsi
Bali, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(2):
125—132
Nagari RK, Nindya TS. 2017. Tingkat kecukupan energi, protein, dan status
ketahan pangan rumah tangga berhubungan dengan status gizi anak usia 6-8
tahun. Amerta Nutr. 1(3): 189-197.
Nurlinda, A. 2013. Gizi dalam Siklus Daur Kehidupan Seri Baduta. Yogyakarta
(ID): Andi Offset.
37
Oktarina Z, Sudiarti T. 2013. Faktor Risiko Stunting pada Balita (24–59 bulan) di
Sumatera. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(3), 175–180.
[PAHO] Pan America Health Organization/ [WHO] World Health Organization/
[UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2013. ProPAN: Process for
the Promotion of Child Feeding 2Ed. Washington DC: PAHO.
Patterson E, Warnberg J, Poortvliet E, Kearney JM, Sjostrom M. 2010. Dietary
energy density as a marker of dietary quality in Swedish children and
adolescents: the European Youth Heart Study. Eur J Clin Nutr. 64(4): 356-
363.
Picauly I, Toy MS. 2013. Analisis determinan dan pengaruh stunting terhadap
prestasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur NTT. Jurnal
Gizi dan Pangan. 8(1): 55–62.
Puspaningtyas DE. 2012. Hubungan status anemia, praktek pemberian makan,
praktik perawatan kesehatan, dan stimulasi kognitif dengan fungsi kognitif
anak sekolah dasar. Gizi Indonesia. 35(2): 109-119.
Rachmawati DS. 2018. Hubungan antara Asupan Protein dengan Stunting pada
Anak Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Kartasura [Skripsi].
Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rahmad AH, Miko A. 2016. Kajian stunting pada anak balita berdasarkan pola
asuh dan pendapatan keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesmas
Indonesia. 8(2): 63-79.
Rahmawati. 2006. Status Gizi dan Perkembangan Anak Usia Dini di Taman
Pendidikan Karakter Sutera Alam, Desa Sukamantri [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rahmayana, Ibrahim IA, Damayanti DS. 2014. Hubungan pola asuh ibu dengan
kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di Posyandu Asoka II Wilayah
Pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar tahun
2014. Al-Sihah: Public Health Science Journal. 6(2): 424-436.
Ramadhan MA. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik
(2T) pada balita gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan tahun 2011 [Skripsi]. Jakarta (ID):
UIN Syarif Hidayatullah.
Ribeiro LL. 2009. Construction and Validation of a Four Parenting Styles Scale.
[Thesis]. Humboldt State University.
Rohimah E, Kustiyah L, Hernawati N. 2015. Pola Konsumsi, Status Kesehatan
dan Hubungannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Balita. Jurnal
Gizi Pangan. 10(2): 93-100.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
________________________________. 2018. Riset Kesehatan Dasar Tahun
2018. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Rofles SR, Pinna K, Whitney E. 2009. Understanding Normal and Clinical
Nutrition, Eighth Edition. Belmont (USA): Wadsworth
Santrock J. 2007. Perkembangan anak edisi sebelas jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga
38
Sari EM, Juffrie M, Nurani N, Sitaresmi MN. 2016. Asupan protein, kalsium dan
fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bula. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia. 12(4): 152-159.
Setyowati YD, Krisnatuti D, Hastuti D. 2017. Pengaruh kesiapan menjadi orang
tua dan pola asuh psikososial terhadap perkemabngan sosial anak. Jurnal
Ilmu Keluarga dan Konsumsen. 10(2): 95-106.
Soegiyanto B, Wiyono D. 2007. Penilaian Status Gizi dan Baku Antropometri.
Surabaya (ID): Duta Prima Airlangga.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional.
Suhardjo. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Sulistianingsih A, Yanti DAM. 2013. Kurangnya asupan makan sebagai
penyebab kejadian balita pendek (Stunting). Dunia Kesehatan. 5: 71–75.
Syukriawati R. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Kurang pada Anak Usia 24-59 Bulan di Keluarahan Pamulang Barat Kota
Tangerang Selatan Tahun 2011 [skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif
Hidayatullah.
Ulfa M, Latifah M. 2007. Hubungan pola asuh makan, pengetahuan gizi, presepsi
dengan kebiasaan makan sayuran ibu rumah tangga di perkotaan dan
pedesaan Bogor. Media Gizi dan Keluarga. 31(1):30-41
[UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2011. Programming Guide: Infant
and Young Child Feeding. New York: UNICEF.
Virdani AS. 2012. Hubungan Antara Pola Asuh Terhadap Status Gizi Balita Usia
12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalirungkut Kelurahan
Kalirungkut Kota Surabaya [Skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
[WHO] World Health Organization. 2009. Guidelines on Hand Hygiene in
Health Care. Geneva.
_______________________________. 2014. Maternal Mortality: World Health
Organization. Geneva.
_______________________________. 2017. Stunted Growth and Development.
Geneva.
Vossenaar M, Solomons NW. 2012. The concept of ―critical nutrient density‖ in
complementary feeding: the demands on the ―family foods‖ for the nutrient
adequacy of young Guatemalan children with continued breastfeeding. Am
J Clin Nutr. 95(4): 859–866.
Walker A. 2010. Breast milk as the gold standard for protective nutrients. J
Pediatr. 156(2): 3-7
Wiratmadji RB, Welasasih DB. 2012. Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of Public
Health. (8)3: 99-104.
Zogara AU, Hadi H, Arjuna T. 2014. Riwayat pemberian ASI eksklusif dan
MPASI dini sebagai prediktor terjadinya stunting pada baduta di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan Dietetik
Indonesia. 2(1): 53–62.
39
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN
PERSETUJUAN RESPONDEN
Bogor, 2019
Responden
(........................)
41
Nama Responden :
Kode Responden :
a. Karakteristik Keluarga
1. Nama Ayah :
2. Nama Ibu :
3. Usia Orang tua Ayah : Ayah : Tahun
Ibu : Tahun
4. Pekerjaan Ayah*) :
5. Pekerjaan Ibu*) :
6. Pendidikan Terakhir Ayah :
7. Pendidikan Terakhir Ibu :
8. Penghasilan keluarga : [1] < Rp 500.000
[2] Rp 500.000 – Rp 1.000.000
[3] > Rp 1.000.000
9. Bantuan pemerintah : [1] Program Keluarga Harapan (PKH)
[2] Beras Miskin (Raskin)
[3] Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)
[4] Program Simpanan Keluarga Sejahtera
(PSKS)
[5] Bantuan Pangan non Tunai (BPNT)
10. Besar keluarga : Orang
11. Anggota keluarga satu [1] Hanya ibu dan ayah dari anak
rumah : [2] Ada nenek dan kakek dari anak
[3] Ada kakak/adik dari ibu
*)
Berdasarkan alokasi waktu kerja tertinggi
b. Karakteristik Anak
1. Nama Anak :
2. Jenis kelamin : [1] Laki-laki [2] Perempuan
3. Umur : Tahun
4. Tanggal lahir :
5. Berat saat lahir : Kg
6. Berat badan sekarang : Kg
7. Tinggi badan sekarang : cm
1 Hasil uji korelasi Pearson pada usia ibu dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
N 78 78
2 Hasil uji korelasi Pearson pada pola asuh gizi dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .223 1
N 78 78
3 Hasil uji korelasi Pearson pada pola asuh kesehatan dengan kondisi stunting
Correlations
Pola asuh
kesehatan Stunting
*
Pola asuh Pearson Correlation 1 .255
kesehatan
Sig. (2-tailed) .024
N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .255 1
N 78 78
4 Hasil uji korelasi Pearson pada pola asuh psikososial dengan kondisi stunting
Correlations
Pola asuh
psikososial Stunting
N 78 78
N 78 78
5 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan energi dengan stunting
Correlations
TKE Stunting
**
Spearman's rho TKE Pearson Correlation 1.000 .336
N 78 78
**
Stunting Pearson Correlation .336 1.000
N 78 78
6 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan protein dengan stunting
Correlations
TKP Stunting
**
Spearman's rho TKP Pearson Correlation 1.000 .444
N 78 78
**
Stunting Pearson Correlation .444 1.000
N 78 78
7 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan vitamin A dengan stunting
Correlations
TKVitA Stunting
*
Spearman's rho TKVitA Pearson Correlation 1.000 .232
N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .232 1.000
N 78 78
8 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan vitamin C dengan stunting
Correlations
TKVitC Stunting
*
Spearman's rho TKVitC Pearson Correlation 1.000 .242
N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .242 1.000
N 78 78
9 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan zat besi dengan stunting
Correlations
TKFe Stunting
**
Spearman's rho TKFe Pearson Correlation 1.000 .360
N 78 78
**
Stunting Pearson Correlation .360 1.000
N 78 78
9 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan kalsium dengan stunting
Correlations
TKCa Stunting
*
Spearman's rho TKCa Pearson Correlation 1.000 .285
N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .285 1.000
N 78 78
10 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan seng dengan stunting
Correlations
TKCa Stunting
*
Spearman's rho TKCa Pearson Correlation 1.000 .287
N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .287 1.000
N 78 78
11 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas energi dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
N 78 78
49
11 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas protein dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
N 78 78
12 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas vitamin A dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
N 78 78
13 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas vitamin C dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
*
Status gizi Correlation Coefficient .272 1.000
N 78 78
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
50
14 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas zat besi dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
N 78 78
15 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas kalsium dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
N 78 78
16 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas seng dengan kondisi stunting
Correlations
N 78 78
*
Status gizi Correlation Coefficient .253 1.000
N 78 78
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
51
a
Variables Entered/Removed
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 Stepwise
(Criteria:
Probability-
of-F-to-
enter <=
TKP .
.050,
Probability-
of-F-to-
remove >=
.100).
2 Stepwise
(Criteria:
Probability-
of-F-to-
enter <=
Pola asuh gizi .
.050,
Probability-
of-F-to-
remove >=
.100).
Model Summary
c
ANOVA
Total 17.111 71
b
2 Regression 3.626 2 1.813 9.278 .000
Total 17.111 71
a
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan bapak A.Y. Suherman dan
ibu Heni Kustiani. Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 April 1997.
Penulis adalah putri terakhir dari empat bersaudara. Penulis merupakan lulusan
SDN Batutulis 1, SMP Swasta Insan Kamil Bogor. dan SMA Swasta Insan Kamil
Bogor. Tahun 2015 penulis masuk di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima
di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti organisasi dan
kepanitiaan. Organisasi yang diikuti oleh penulis yaitu Himpunan Mahasiswa
Gizi Masyarakat (HIMAGIZI) sebagai staf di divisi keprofesian. Selain itu
penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan seperti staf penanggung jawab
kelompok (PJK) MPKMB 2016, staf dana usaha masa pengenalan departemen
(MPD) Gizi 2017, volunteer NutriAction 2016/2017, staf Desa Mitra Mahasiswa
FEMA (SAMISAENA) divisi Gizi dan Kesehatan tahun 2016/2017, staf
kesekretariatan Nutrition Fair 2017 dan 2018, kepala divisi humas Seminar
Keprofesian tahun 2018, ketua pelaksana Pelatihan HACCP tahun 2018, panitia
Table manner tahun 2018, Sekretaris dari Orienstation Resto tahun 2018, serta
aktif sebagai volunteer di Bogor Mengabdi divisi bogor sehat. Penulis pernah
mengikuti pelatihan table manner yang diselenggarakan oleh keprofesian
himagizi IPB pada tahun 2018. Penulis juga pernah mengikuti pelatihan HACCP
pada tahun 2019. Penulis melakukan KKN di Desa Sukajaya, Kecamatan
Sukajaya, Kabupaten Bogor pada bulan Juli-Agustus 2018. Peneliti melakukan
Internship Dietetics (ID) di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung
selama 5 minggu.