Anda di halaman 1dari 67

POLA ASUH IBU PADA ANAK STUNTING USIA 0-2 TAHUN

DI KECAMATAN PAMIJAHAN, KABUPATEN BOGOR

WIDIA AHADIYANTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pola Asuh Ibu
pada Anak Stunting Usia 0-2 Tahun di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2019

Widia Ahadiyanti
NIM I14150001
ABSTRAK
WIDIA AHADIYANTI. Pola Asuh Ibu pada Anak Stunting Usia 0-2 Tahun di
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN.

Stunting termasuk masalah gizi kronis yaitu kegagalan anak untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal akibat dari kekurangan gizi secara kumulatif dan
terus menerus dan berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan oleh ibu. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui pola asuh ibu pada anak stunting usia 0-2 tahun.
Desain penelitian ini adalah cross-sectional study. Jumlah subjek yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 78 anak stunting. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kondisi stunting. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa
terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara pola asuh gizi, pola asuh kesehatan,
tingkat kecukupan energi dan zat gizi, densitas vitamin C, dan seng dengan
kondisi stunting. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada subjek tergolong
defisit berat. Densitas energi dan protein subjek tergolong baik, sedangkan pada
zat gizi lainnya masih tergolong kurang. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa
variabel tingkat kecukupan protein (p=0.001) dan pola asuh gizi (p=0.021) secara
nyata berpengaruh positif terhadap kondisi stunting.
Kata kunci: anak 0-2 tahun, densitas zat gizi, pola asuh ibu, tingkat kecukupan,
stunting

ABSTRACT
WIDIA AHADIYANTI. Mother Parenting Pattern of Stunting Children Ages 0-2
years at Pamijahan Sub-distric, Bogor Regency. Supervised by DODIK
BRIAWAN.

Stunting is a chronic nutritional problem that is the failure of children to


grow and develop optimally due to cumulative and continuous malnutrition and
related with parenting pattern that applied by mother. The purpose of this study
was to determine parenting mothers in stunting children aged 0-2 years. The
design of this study was a cross-sectional study. The number of subjects used in
this study were 78 stunting children. The dependent variable in this study is
stunting condition. Result of correlation test show that there was corellation
between nutrition parenting, healthiness parenting, level adequacy of energy and
nutrients, vitamin C and zinc density with stunting. The level adequacy of energy
and nutrients in subjects classified as severe deficits. The energy density and
protein of the subject are classified as good, while in other nutrients they are still
classified as lacking. Regression test result show that level adequacy of protein
(p=0.001) and nutrition parenting pattern (p=0.021) significantly affected the
stunting condition.
Keyword: children under 2 years, level of adequacy, nutrient density, parenting
pattern, stunting
POLA ASUH IBU PADA ANAK STUNTING USIA 0-2 TAHUN
DI KECAMATAN PAMIJAHAN, KABUPATEN BOGOR

WIDIA AHADIYANTI

Skipsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Judul skripsi : Pola Asuh Ibu pada Anak Stunting Usia 0-2 Tahun di
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
Nama : Widia Ahadiyanti
: I14150001

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN


Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi


Ketua Departemen

Tanggal Lulus :
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi sebagai syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul
―Pola Asuh Ibu pada Anak Stunting Usia 0-2 Tahun di Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor‖ ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2019. Pada kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi penulis
yang telah banyak memberikan ilmu, bimbingan, motivasi, dan dukungan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang
terus memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
3. Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan
semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Pihak gizi dari Puskemas Pamijahan dan Ciasmara yang telah membantu
dalam proses pengumpulan data
5. Ibu kader posyandu di kecamatan pamijahan yang sangat membantu ketika
turun lapang dan mengambil data
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi (Adli dan Hellen) yang bersedia untuk
saling bertukar pikiran dalam memberikan saran dan semangat kepada
penulis.
7. Para teman dekat (Dilla, Zahra, Fufu, Susan, Trisni, Lala, Evita, Indah, Sari,
dan Mar’ah) yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis.
8. Teman-teman menadion (GM 52) dan seluruh pihak yang telah memberikan
dukungan, baik secara moril maupun materil kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan dan penulisan
skripsi ini, namun penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka menerima kritik dan saran
yang membangun berkaitan dengan skripsi ini agar dapat saling memberikan
pengetahuan guna mendukung manfaat dari hasil penelitian ini. Demikian yang
dapat penulis sampaikan terima kasih.

Bogor, September 2019

Widia Ahadiyanti
ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 3
Manfaat Penelitian 3
KERANGKA PEMIKIRAN 3
METODE PENELITIAN 5
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 5
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek 5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 6
Pengolahan dan Analisis Data 7
Definisi Operasional 13
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Karakteristik Anak 13
Karakteristik Keluarga 14
Pola Asuh Gizi 17
Pola Asuh Kesehatan 19
Pola Asuh Psikososial 21
Kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Anak 23
Hubungan Usia Ibu, Pola Asuh Gizi, Pola Asuh Kesehatan, dan Pola Asuh
Psikososial dengan Stunting 29
Hubungan Kualitas Konsumsi Pangan dengan Stunting 31
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kondisi Stunting 33
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 39
x

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data, dan alat pengumpul data 6


2 Kategori variabel penelitian 8
3 Rekomendasi densitas energi dalam sehari 11
4 Rekomendasi densitas zat gizi dalam sehari 11
5 Sebaran subjek menurut karakteristik anak 14
6 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik keluarga 15
7 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh gizi 17
8 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh gizi 18
9 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan 19
10 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh 20
11 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh psikososial 21
12 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh 22
13 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein 24
14 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro 25
15 Sebaran subjek berdasarkan densitas energi MP-ASI 27
16 Sebaran subjek berdasarkan densitas zat gizi MP-ASI 28
17 Hubungan antara usia ibu, pola asuh gizi, kesehatan, dan psikososial 30
18 Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan stunting 31
19 Hubungan antara densitas energi dan zat gizi dengan stunting 32

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian 4

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Penelitian 39
2 Hasil uji korelasi 45
3 Hasil uji regresi 51
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah gizi dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, seperti bayi,
balita, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Usia balita merupakan usia pertumbuhan
dan perkembangan terjadi sangat pesat. Dihitung sejak hari pertama kehamilan,
kelahiran bayi sampai usia dua tahun atau yang dikenal dengan periode 1000 hari
pertama kehidupan manusia merupakan ―periode emas‖ atau ―periode kritis‖ yang
menentukan kualitas kehidupan. Menurut Kurniasih et al. (2010), periode
kehidupan ini merupakan waktu sel-sel otak tumbuh dengan cepat serta menjadi
masa kritis bagi perkembangan otak untuk meningkatkan kecerdasan anak.
Kemampuan motorik, kognitif, dan sosial pada anak mulai berkembang sejak
memasuki usia satu tahun. Asupan gizi yang cukup baik dalam segi kuantitas
maupun kualitas sangat diperlukan pada masa ini. Namun kelompok usia ini
merupakan kelompok yang sangat rawan memperoleh pola asuh yang tidak tepat,
askes pelayanan kesehatan yang tidak cukup, serta pola pemberian makan yang
tidak tepat. Apabila kebutuhan zat gizi ini tidak terpenuhi maka pertumbuhan dan
perkembangan anak akan terhambat, yang akhirnya akan menyebabkan mereka
akan menjadi generasi yang hilang serta mempengaruhi status gizi anak
(Wirjatmadi dan Welasasih 2012).
Status gizi merupakan ukuran keberhasilan pemenuhan gizi yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan. Status gizi didefinisikan sebagai
keadaan kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan
asupan zat gizi. Soegiyanto dan Wiyono (2007) menyebutkan bahwa pengukuran
status gizi balita umumnya dilakukan dengan pengukuran antropometri. Parameter
yang digunakan adalah berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan
(TB), serta panjang badan (PB) untuk anak usia 0-24 bulan. Indeks antropometri
yang umum digunakan dalam menilai status gizi pada balita adalah berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan
menurut umur (PB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) atau berat
badan menurut panjang badan (BB/PB). Status gizi dinilai dengan mengkonversi
angka berat badan dan tinggi badan balita ke dalam bentuk nilai terstandar (z-
score) dengan menggunakan standar baku antropometri WHO 2005.
Stunting merupakan kondisi tinggi badan tidak normal atau relatif rendah
terhadap sekelompok anak-anak pada usia dan jenis kelamin yang sama. Stunting
termasuk masalah gizi kronis yaitu kegagalan anak untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal akibat dari kekurangan gizi secara kumulatif dan terus
menerus, sehingga menyebabkan anak menjadi terlalu pendek untuk usianya.
Stunting merupakan hasil ukur status gizi balita dengan menggunakan indeks
tinggi badan menurut umur (TB/U) yang menggambarkan status gizi bersifat
kronis (Rahmad dan Miko 2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2018), prevalensi stunting pada balita sudah mengalami penurunan
menjadi 30.8% dari 37.2% pada tahun 2013 (Riskesdas 2013). Prevalensi tersebut
secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus mendapatkan perhatian
khusus karena masih berada dibawah rekomendasi yang ditetapkan oleh WHO
yaitu sebesar 20% (BKKBN 2018).
2

Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi yaitu praktek pengasuhan


yang tidak baik, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care, Post Natal, dan pembelajaran dini yang berkualitas, kurangnya akses ke
makanan bergizi, serta kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi (Kemenkes
2019). Stunting disebabkan oleh faktor yang saling terkait baik faktor langsung
maupun tidak langsung. Penyebab langsung terjadinya stunting pada balita
diantaranya adalah asupan makan yang kurang memadai dan penyakit yang dapat
terjadi akibat praktik pemberian makan yang tidak tepat, penyakit infeksi berulang,
perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Keadaan tersebut dipengaruhi
oleh faktor penyebab tidak langsung masalah gizi pada balita yaitu kurangnya
pendidikan dan pengetahuan pengasuhan anak, penggunakan air yang tidak bersih,
lingkungan yang tidak sehat, pendapatan rendah dan keterbatasan akses terhadap
pangan (UNICEF 1998).
Pola asuh merupakan interaksi antara orang tua dan anak dalam
berkomunikasi, mendidik, mengasuh, dan terjadi secara berkelanjutan dari waktu
ke waktu (Ribeiro 2009). Menurut Istiany dan Rusilanti (2013), pola asuh
merupakan kemampuan keluarga khususnya ibu untuk menyediakan waktu,
perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik
secara fisik, mental dan sosial. Pola asuh orang tua merupakan salah satu faktor
yang berperan penting dalam membentuk kepribadian anak terutama pada anak
stunting yang memiliki kekurangan pada masa perkembangannya, seperti
perkembangan motorik, kognitif, dan juga perilaku (Baker dalam Gibney et al.
2013). Pola asuh memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak yang terbagi menjadi tiga komponen, yaitu pola asuh gizi, kesehatan, dan
rangsangan psikososial. Ibu merupakan anggota keluarga yang sangat berperan
dalam mengasuh anak agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang
berkualitas (Puspaningtyas 2012).
Perilaku ibu dalam mengasuh anaknya memiliki kaitan yang erat dengan
kondisi status gizi anak. Ibu dengan pola asuh yang baik akan cenderung memiliki
anak dengan status gizi yang baik pula, begitu juga sebaliknya (Virdani 2012).
Penelitian Astari et al. (2005), yang dilakukan pada anak usia 6-12 bulan
menunjukkan bahwa anak stunting cenderung memiliki riwayat pola pengasuhan
anak yang kurang baik. Selain itu, berdasarkan penelitian Aditianti (2010), bahwa
pola asuh kebersihan termasuk salah satu faktor yang berpengaruh signifikan
dengan kejadian stunting pada anak balita dan pola asuh psikososial adalah
kebutuhan dasar yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang secara optimal
(Brooks 2001). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis
pola asuh ibu terhadap balita dengan kondisi stunting. Penelitian ini diharapkan
akan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan ibu dalam mencegah dan
menangani kondisi stunting pada anak usia 0-2 tahun.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan


permasalahan yang dapat diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pola asuh ibu pada anak stunting?
2. Bagaimana kualitas konsumsi pangan pada anak stunting?
3. Apakah ada hubungan antara pola asuh ibu dengan kondisi stunting?
3

4. Apakah ada hubungan antara usia ibu dengan kondisi stunting?


5. Apakah ada hubungan antara kualitas konsumsi pangan dengan stunting?
6. Apa faktor yang berhubungan dengan kondisi stunting?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui pola asuh ibu pada anak
stunting usia 0-2 tahun.

Tujuan Khusus
1. Menganalisis pola asuh ibu terhadap anak stunting
2. Menganalisis kualitas konsumsi pangan anak stunting
3. Menganalisis hubungan antara pola asuh ibu dengan kondisi stunting
4. Menganalisis hubungan antara usia ibu dengan kondisi stunting
5. Menganalisis hubungan antara kualitas konsumsi pangan dengan kondisi
stunting
6. Menganalisis faktor yang berhubungan dengan kondisi stunting

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.


1. Terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan kondisi anak stunting
2. Terdapat hubungan antara usia ibu dengan kondisi anak stunting
3. Terdapat hubungan antara kualitas konsumsi pangan anak dengan kondisi
stunting
4. Terdapat faktor yang berhubungan dengan kondisi stunting

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pola


asuh gizi, kesehatan, dan psikososial pada balita stunting di Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor. Sehingga diharapkan dapat memberikan kesadaran pada ibu
balita untuk menerapkan pola asuh yang sesuai agar dapat meningkatkan kualitas
hidup dan kesehatan balita yang baik. Manfaat bagi sektor kesehatan dan sektor
terkait dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun kebijakan atau program
kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan ibu mengenai stunting dan pola asuh
pada balita stunting.

KERANGKA PEMIKIRAN

Stunting atau pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan


terjadinya hambatan pertumbuhan akibat malnutrisi dalam jangka waktu yang
4

lama. Penyebab terjadinya stunting dapat dibagi menjadi empat kategori besar
yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan atau komplementer
yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi (WHO 2013). Kondisi status gizi pada
balita dapat disebabkan oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung
yang mempengaruhi kondisi status gizi balita dapat berupa konsumsi makanan
yang tidak seimbang sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh menjadi
lebih dan mudah tekena penyakit infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung yang
berpengaruh adalah ketahanan pangan dalam keluarga, pola asuh anak, pelayanan
kesehatan, kesehatan lingkungan. Pengetahuan gizi ibu, pendidikan, dan
keterampilan akan mempengaruhi pola asuh gizi dan kesehatan yang diberikan.
(UNICEF 1998).

Karakteristik orangtua : Pengetahuan ibu Sumber informasi


Usia ibu
Pola asuh

Pola asuh gizi Pola asuh Pola asuh


kesehatan psikososial

Sosial Konsumsi
ekonomi pangan Tumbuh
kembang anak

Stunting
Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang diteliti

: Hubungan variable yang diteliti

: Hubungan variable yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Karakteristik keluarga dapat berkaitan dengan kondisi status gizi pada


anak antara lain yaitu usia orang tua, kondisi sosial ekonomi keluarga,
pengetahuan ibu, informasi yang diperoleh oleh keluarga. Pola asuh yang
diterapkan oleh ibu dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan gizi dan usia ibu
ketika memiliki anak. Ibu yang masih berusia remaja biasanya memiliki pola asuh
yang kurang baik terhadap anaknya sehingga dapat berdampak pada status gizi
anak (Afifah 2011). Pola asuh yang diterapkan oleh ibu secara berulang dapat
berpengaruh terhadap kondisi status gizi pada anak. Kurangnya penerapan pola
5

asuh yang baik dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan anak


terganggu dan akhirnya berpengaruh pada kondisi status gizi anak. Penyediaan
pangan juga berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan lebih lanjut menentukan
asupan energi dan protein (Haska 2013). Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat
konsumen pasif yang artinya anak pada usia tersebut mengkonsumsi makanan
tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu. Pemberian makan pada balita harus
disesuaikan dengan usia dan kebutuhannya (Karyadi dan Kolopaking 2007).
Kondisi konsumsi pangan pada anak dapat dipengaruhi oleh pengetahuan,
pekerjaan, dan pendapatan orang tua. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan
orang tua dalam memberikan kualitas dan kuantitas pangan yang baik untuk
dikonsumsi oleh keluarga (Suhardjo 2005).

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study yaitu


penelitian yang mengamati variabel di saat bersamaan atau sekali waktu untuk
mengetahui tingkat perbedaan di antara kelompok sampling pada titik waktu
tertentu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2019 bertempat di Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan tempat penelitian dilakukan
secara purposive yaitu menentukan pengambilan sampel dengan menetapkan ciri-
ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian agar diperoleh jawaban dari
permasalahan penelitian. Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan lokasi
adalah dengan melihat cukup tingginya angka balita yang mengalami stunting
dan belum adanya penelitian serupa di wilayah tersebut.

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek

Penarikan subjek dilakukan dengan menggunakan teknik purposive


sampling yang sesuai dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusi yang ditetapkan
adalah anak 0-24 bulan dengan kondisi stunting berdasarkan pengukuran
antropometri dengan indikator TB/U, tidak sedang dalam kondisi sakit, ibu
bersedia untuk diwawancarai, serta bersedia dilakukan pengukuran tinggi badan
pada anak. Perhitungan jumlah minimal subjek dilakukan dengan menggunakan
rumus Lameshow et al. (1997) yaitu sebagai berikut.

n > 77.933 ~ 78 orang


6

Keterangan :
n = Jumlah minimal subjek
Zα = Tingkat kepercayaan pada 95%, sehingga nilai α yang digunakan adalah
0.05, maka Zα = 1.96
p = Prevalensi stunting di Kota/Kabupaten Bogor sebesar 28.29% (TNP2K
2017)
d = Presisi sebesar 10%

Berdasarkan perhitungan minimal subjek penelitian diperoleh sebanyak


78 orang untuk kemudian dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan usia ibu.
Penentuan jumlah tiap kelompok dilakukan dengan mengumpulkan data anak
usia 0-2 tahun dengan kondisi stunting. Data terkait kondisi status gizi anak
diperoleh dari dua puskesmas, yaitu Puskesmas Pamijahan dan Puskesmas
Ciasmara. Angka stunting pada anak balita dari dua puskesmas diperoleh
sebanyak 152 balita. Terdapat 60 anak stunting usia 0-2 tahun yang berasal dari
puskesmas Pamijahan dan 35 anak dari puskesmas Ciasmara. Selanjutnya
pengumpulan data stunting dilakukan di 18 posyandu yang terdata memiliki anak
stunting usia 0-2 tahun sampai jumlah responden mencapai 78 anak.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data primer mencakup karakteristik orang tua, karakteristik anak, data


antropometri anak, pola asuh ibu, dan konsumsi pangan anak. Karakteristik orang
tua dan anak diperoleh dengan melakukan wawancara langsung pada ibu, data
antropometri dilakukan dengan pengukuran langsung dengan menggunakan
microtoise atau pita ukur untuk tinggi badan, data pola asuh diperoleh dengan
menggunakan kuesioner, dan data konsumsi pangan diperoleh menggunakan
semi-quantitative FFQ satu bulan terakhir. Data karakteristik orang tua yaitu
berupa usia orang tua, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua. Sedangkan
untuk karakteristik balita meliputi usia, jenis kelamin, dan berat badan lahir. Pola
asuh orang tua dibagi menjadi pola asuh gizi, kesehatan, dan psikososial. Tabel 1
menyajikan jenis, cara, dan alat pengumpul data.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data, dan alat pengumpul data
Variabel Data Jenis Data Cara Pengumpulan Data
Karakteristik orang tua: Primer Wawancara langsung
- Usia orang tua menggunakan kuesioner
- Pendidikan orang tua
- Pekerjaan orang tua
- Besar keluarga
Karakteristik balita: Primer Wawancara langsung
- Usia menggunakan kuesioner
- Jenis kelamin
Status gizi balita (TB/U) Primer Pengukuran antropometri
- Tinggi badan (cm) menggunakan Microtoise
Pola asuh ibu Primer Kuesioner
Kualitas konsumsi pangan Primer Semi-quantitative FFQ
7

Pelaksanaan pengambilan data dilakukan di rumah masing-masing


responden. Ibu responden kemudian diwawancara secara langsung untuk
memperoleh data berupa karakteristik orang tua dan anak. Setelah data tersebut
diperoleh kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa berat badan dan
tinggi badan anak untuk mengetahui status gizinya. Selanjutnya ibu akan
diwawancara terkait pola asuh terhadap anak dengan menggunakan kuesioner
seperti yang terlampir pada Lampiran 1. Data yang selanjutnya dibutuhkan adalah
data terkait kualitas konsumsi pangan anak yang untuk mengetahui tingkat
kecukupan energi, protein, dan zat gizi mikro serta kualitas MP-ASI dengan
memperhitungkan densitas energi dan zat gizinya.
Data-data berupa pola asuh ibu diperoleh dengan memberikan pertanyaan
masing-masing sebanyak 20 soal untuk pola asuh makan, pola asuh kesehatan,
pola asuh perkembangan. Data pola asuh makan terdiri atas pernyataan terkait
penerapan inisiasi menyusui dini (IMD), praktik pemberian air susu ibu (ASI) dan
makanan pendamping ASI (MP-ASI), dan praktik pemberian makan. Kemudian
untuk data pola asuh kesehatan terdiri atas pelaksanaan posyandu, pernyataan
kebiasaan hidup bersih, pemeliharaan kesehatan, dan perilaku kesehatan
lingkungan. Sedangkan untuk pola asuh perkembangan terdiri atas perkembangan
motorik kasar, perkembangan motorik halus, bicara dan bahasa, sosialisasi dan
kemandirian, penerimaan, pembelajaran, dan keterlibatan. Kuesioner pola asuh
gizi dan kesehatan yang digunakan berdasarkan pada buku kesehatan ibu dan anak
(KIA). Sedangkan kuesioner pola asuh psikososial yang digunakan berdasarkan
modifikasi antara instrument HOME dan buku KIA. Data pangan yang terdapat
dalam SQ-FFQ disesuaikan dengan makanan yang biasa dikonsumsi oleh anak
usia 0-2 tahun. Pangan tersebut juga dipilih berdasarkan jenis pangan yang
diproduksi di wilayah tersebut dengan mengacu pada data yang terdapat dalam
Pamijahan dalam angka tahun 2018.
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian sudah melalui uji validitas
dan reliabilitas untuk mengetahui keandalan kuesioner yang digunakan untuk
sebuah penelitian. Kedua uji tersebut dilakukan pada 25 responden ibu dengan
anak stunting dan disesuaikan dengan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan. Uji
ini dilakukan di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Kuesioner dinyatakan
layak untuk digunakan apabila nilai cronbach’s alpha lebih besar dari nilai r tabel
dengan jumlah responden 25 yaitu 0.396. Hasil cronbach’s alpha pada kuesioner
pola asuh gizi, kesehatan, dan psikososial secara berturut-tururt adalah 0.523,
0.637, dan 0.462 sehingga kuesioner tersebut layak untuk digunakan dalam
penelitian ini.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan program WHO AnthroPlus


1.0.4, Microsoft Office Excel 2010, dan Statistical Package for Social Science
(SPSS) 16.0 for windows. Proses pengolahan data meliputi memberi kode
(coding), memasukkan data (entry), membersikan data (cleaning), dan analisis.
Proses coding adalah proses pemberian kode berupa angka pada data karakteristik
dan jawaban pada pertanyaan kuesioner untuk mempermudah proses penginputan
data. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan asosiatif. Data yang dianalisis
8

secara deskriptif meliputi data karakteristik orang tua dan anak. Sedangkan data
yang dianalisis secara asosiatif dilakukan dengan dua uji berbeda yaitu uji korelasi
dan regresi. Uji korelasi digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara
variabel independen dengan kondisi stunting pada anak, serta uji regresi untuk
menguji ada tidaknya variabel independen yan yang memiliki pengaruh terhadap
kondisi stunting pada anak.
Karakteristik anak terdiri atas tiga data yaitu usia, jenis kelamin, dan berat
lahir. Usia balita dikelompokkan menjadi usia 12-36 bulan dan 37-59 bulan. Data
jenis kelamin dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Data berat lahir
dikelompokkan sesuai dengan Riskesdas (2013), yaitu berat badan lahir rendah
apabila <2 500 gram, berat lahir normal 2 500 – 3 999 gram, dan berat lahir lebih
≥4 000 gram. Pengolahan status gizi dihitung dengan menggunakan aplikasi
WHO Anthro Plus 1.0.4. Data yang digunakan adalah umur data umur (bulan),
berat badan (Kg), dan tinggi badan (cm). Status gizi ditentukan berdasarkan nilai
terstandar (Z-score) pada indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Kategori
status gizi menurut TB/U yang digunakan yaitu sangat pendek (Z-score <-3 SD)
dan pendek (-3 SD ≤ Z-score ≤ -2SD) (Kemenkes 2011).
Usia orang tua digolongkan menjadi usia remaja (10-19 tahun) dan dewasa
awal (20-40 tahun) (WHO 2014). Pendidikan orang tua dikategorikan menjadi
tidak sekolah, lulus SD/sederajat, lulus SMP/sederajat, lulus SMA/sederajat, dan
lulus Perguruan tinggi (Balitbangkes 2010). Data pekerjaan ayah dikategorikan
menjadi tidak bekerja, pedagang, buruh, petani, karyawan, dan wiraswasta.
Sedangkan untuk pekerjaan ibu dikategorikan menjadi ibu rumah tangga,
pedagang, karyawan, dan wiraswasta.
Pendapatan keluarga dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu <Rp 500 000,
Rp 500 000 – Rp 1 000 000, dan >Rp 1 000 000. Status ekonomi keluarga subjek
juga dilihat dari bantuan pemerintah yang diperoleh oleh keluarga, diantaranya
yaitu program keluarga harapan (PKH), beras miskin (Raskin), rumah tidak layak
huni (RTLH), Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), dan bantuan
pangan non tunai (BPNT). Besar keluarga dikategorikan menjadi tiga kategori
berdasarkan BKKBN (1997), yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-
7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang). Kategori karakteristik keluarga dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kategori variabel penelitian
No Variabel Indikator Kategori Sumber
1. Karakteristik Usia anak a. 0-12 bulan
anak b. 13-24 bulan
Jenis kelamin a. Laki-laki
b. Perempuan
Berat badan lahir a. <2 500 gram
Riskesdas
b. 2 500 – 3 999 gram
2013
c. <4 000 gram
2. Karakteristik Usia orang tua a. Remaja (10-19 tahun)
WHO 2014
keluarga b. Dewasa (20-40 tahun)
Pendidikan Ayah a. Tidak tamat SD/Sederajat
b. Tamat SD/Sederajat Balitbangkes
c. Tamat SMP/Sederajat 2010
d. Tamat SMA/Sederajat
9

Tabel 2 Kategori variabel penelitian (Lanjutan)


No Variabel Indikator Kategori Sumber
Pendidikan Ibu a. Tidak tamat SD/Sederajat
b. Tamat SD/Sederajat
c. Tamat SMP/Sederajat
d. Tamat SMA/Sederajat
Pekerjaan Ayah a. Tidak bekerja
b. Pedagang
c. Buruh
d. Petani
e. Karyawan
f. Wiraswasta
Pekerjaan Ibu a. Ibu rumah tangga
b. Pedagang
c. Buruh
d. Petani
e. Karyawan
f. Wiraswasta
Pendapatan a. <Rp 500 000
keluarga b. Rp 500 000 – 1 000 000
c. >Rp 1 000 000
Bantuan a. Tidak menerima bantuan
pemerintah b. Program Keluarga Harapan
(PKH)
c. Beras Miskin (Raskin)
d. Rumah Tidak Layak Huni
(RTLH)
e. Program Simpanan
Keluarga Sejahtera (PSKS)
f. bantuan pangan non tunai
(BPNT)
Besar keluarga a. ≤ 4 orang
BKKBN
b. 5-7 orang
1997
c. >7 orang
Anggota a. Ibu dan ayah dari anak
keluarga satu b. Nenek dan kakek dari anak
rumah
3. Pola asuh Pola asuh gizi, a. Rendah (<60%)
Ulfa dan
kesehatan, dan b. Sedang (60-80%)
Latifah 2007
psikososial c. Baik (>80%)
4. Kualitas Tingkat a. Defisit berat (<70%)
konsumsi kecukupan zat b. Defisit sedang (70-79%)
pangan gizi c. Defisit ringan (80-89%) Depkes 2003
d. Cukup (90-119%)
e. Lebih (>120%)
Densitas energi f. Rendah (<Rekomendasi)
PAHO 2013
g. Cukup (>Rekomendasi)
Pola asuh ibu terdiri dari tiga bagian, yaitu pola asuh makan, pola asuh
kesehatan, dan pola asuh psikososial. Pola asuh ibu dinilai dengan memberikan
pertanyaan sebanyak 20 soal dalam bentuk pernyataan dengan menggunakan
skala guttman, yaitu jawaban tegas berupa ―ya‖ dan ―tidak‖. Jawaban benar akan
10

diberi skor 2 dan jawaban salah akan diberi skor 1 (Hikmawati 2017). Total skor
yang diperoleh kemudian dibagi dengan total pertanyaan kemudian dikalikan
100%. Selanjutnya pola asuh ibu dikategorikan menjadi kategori baik (>80%),
sedang (60-80%), dan rendah (<60%) (Ulfa dan Latifah 2007).
Data asupan makan balita diperoleh dengan mewawancarai ibu
menggunakan metode semi-quantitative FFQ (SFFQ) 1 bulan terakhir. Jenis
makanan yang dicantumkan kemudian dicatat seberapa sering dikonsumsi dalam
kurun waktu 1 bulan terakhir dan jumlah yang dikonsumsi dalam satu kali makan
menggunakan ukuran rumah tangga (URT). Jumlah makanan yang dikonsumsi
kemudian dikonversi menjadi berat dalam sekali konsumsi dalam sehari untuk
selanjutnya dikonversi ke dalam energi (kkal) dan zat gizi protein, vitamin A,
vitamin C, serta mineral berupa zat besi, kalsium, dan seng berdasarkan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM) tahun 2013 untuk mengetahui total
konsumsi energi dan zat gizi. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

KGij = [(Bj/100) x Gij x (BDDij/100)]

Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (gram)
Gij = Kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Penilaian kecukupan energi dan zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C, zat
besi, kalsium, dan seng) dilakukan dengan membandingkan total konsumsi aktual
dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013 sesuai dengan kelompok usia
dan jenis kelaminnya. Kecukupan energi dan zat gizi dikategorikan menjadi
defisit tingkat berat (<70% AKG 2013), defisit tingkat sedang (70-79% AKG
2013), defisit tingkat ringan (80-89% AKG 2013), normal (90-119% AKG 2013)
dan lebih (≥120% AKG 2013) (Depkes 2003). Rumus perhitungan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi adalah sebagai berikut.

TKGi = [K/AKG] x 100%

Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i
K = Konsumsi aktual
AKG = Angka kecukupan gizi

Kualitas konsumsi pangan pada balita dilihat juga melalui densitas


energi dan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi. Densitas energi dan zat gizi
diukur untuk mengetahui kualitas makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Frekuensi pemberian MP-ASI pada anak dapat mempengaruhi densitas energi
dari makanan yang diberikan. Apabila densitas energi masih rendah dari angka
yang dianjurkan maka frekuensi pemberian MP-ASI harus ditingkatkan untuk
memenuhi kebutuhan anak. Densitas energi dihitung dengan menggunakan
rumus yaitu total asupan energi per bahan makanan (kkal) dibagi dengan total
berat makanan (gram). Sedangkan untuk densitas zat gizi dihitung dengan
rumus total zat gizi per makanan dibagi dengan angka kecukupan energi dikali
11

dengan 100 kkal. Berikut merupakan rumus yang digunakan untuk menghitung
densitas energi dan zat gizi berdasarkan PAHO (2013).

Anjuran densitas energi yang dipenuhi dalam sehari dikelompokkan


berdasarkan waktu makan dalam sehari, usia anak dalam bulan, dan status
menyusui. Sedangkan untuk densitas zat gizi hanya dikelompokkan berdasarkan
usia anak dan status menyusui (PAHO 2013). Densitas gizi dikategorikan menjadi
cukup dan kurang dengan mengacu pada rekomendasi yang diajurkan pada PAHO
(2013). Apabila densitas zat gizi dan energi sesuai atau lebih dari rekomendasi
maka digolonglan menjadi cukup. Tabel 3 dan 4 merupakan rekomendasi densitas
energi dan zat gizi dalam sehari.
Tabel 3 Rekomendasi densitas energi dalam sehari
Makan perhari Umur (Bulan) Breastfed (kkal/g) Non Breastfed (kkal/g)
2 kali 6.0-8.9 0.71 1.54
9.0-11.9 0.84 1.51
12.0-23.9 1.12 1.62
3 kali 6.0-8.9 0.48 1.03
9.0-11.9 0.56 1.00
12.0-23.9 0.75 1.08
Tabel 4 Rekomendasi densitas zat gizi dalam sehari
Densitas MP-ASI (per 100 kkal)
Zat Gizi Umur (Bulan)
Breastfed Non Breastfed
Protein (g) 6.0-8.9 1.0 1.5
9.0-11.9 1.0 1.4
12.0-23.9 0.9 1.2
Vitamin A (μg RE) 6.0-8.9 6.0 57.0
9.0-11.9 14.0 51.0
12.0-23.9 23.0 45.0
Vitamin C (mg) 6.0-8.9 0 4.1
9.0-11.9 0 3.6
12.0-23.9 1.5 3.4
Zat besi (mg) 6.0-8.9 5.3 1.8
9.0-11.9 3.5 1.6
12.0-23.9 1.1 0.7
Kalsium (mg) 6.0-8.9 166.0 85.0
9.0-11.9 155.0 77.0
12.0-23.9 36.0 39.0
Seng (mg) 6.0-8.9 2.1 0.8
9.0-11.9 1.4 0.7
12.0-23.9 1.1 0.7
12

Analisis data menggunakan SPSS 16.0 for windows dilakukan dengan


beberapa jenis uji statistik, yaitu Kolmogorov-smirnov test, analisis bivariate
Spearman dan Pearson, serta analisis regresi berganda. Kolmogorov-smirnov test
merupakan uji normalitas data yang digunakan untuk menguji sebaran data
tersebut tersebar normal atau tidak, untuk digunakan dalam memastikan uji yang
tepat digunakan pada tahap selanjutnya. Data dianggap tersebar normal bila p >
0.05. Data yang tersebar normal antara lain data usia ibu, pola asuh gizi,
kesehatan, dan psikososial. Adapun data yang tersebar tidak normal antara lain
tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta densitas energi dan zat gizi.
Analisis Spearman dan Pearson merupakan uji korelasi yang digunakan
untuk menguji ada tidaknya hubungan antara usia ibu, pola asuh gizi, dan kualitas
konsumsi pangan dengan kondisi stunting. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara variabel yang tersebar normal dengan kondisi
stunting anak. sedangkan uji korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel yang tersebar tidak normal dengan kondisi stunting anak.
Uji regresi dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen. Uji regresi linear dalam penelitian ini digunakan
untuk menganalisis faktor yang dapat berpengaruh terhadap kondisi stunting. Uji
yang digunakan yaitu regresi linear berganda karena terdapat beberapa variabel
independen yang diteliti. Syarat dapat dilakukannya uji regresi berganda yaitu
harus memenuhi asumsi dari uji normalitas, uji linearitas, uji multikolinearitas,
dan uji heteroskedastisitas. Variabel dependen yang dianalisa yaitu stunting,
sedangkan variabel independen yang dianalisa yaitu pola asuh, tingkat kecukupan
energi dan zat gizi, dan densitas zat gizi. Persamaan regresi dalam penelitian ini
yaitu :

y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3

Keterangan :
a = konstanta
b = koefisien arah regresi
X1 = pola asuh ibu
X2 = tingkat kecukupan energi dan zat gizi
X3 = densitas zat gizi

Variabel independen yang diujikan dalam uji regresi merupakan variabel


yang memiliki hubungan signifikan dengan kondisi stunting berdasarkan uji
korelasi Pearson dan Spearman. Variabel independen tersebut yaitu pola asuh gizi,
pola asuh kesehatan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta densitas vitamin
C dan seng. Sehingga fokus yang dianalisis dalam uji regresi adalah variabel
tersebut. Uji regresi dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows
dengan memasukkan data variabel dependen dan independen, kemudian
dilakukan analisis regresi linear dan pada bagian metode dipilih stepwise. Metode
stepwise dipilih karena akan mengasilkan model regresi yang telah memenuhi
seluruh asumsi, yaitu nilai F hitung lebih besar dari F tabel, nilai t hitung lebih
besar dari t tabel, serta nilai signifikansi lebih kecil dari 0.05. Sehingga metode
stepwise akan memutuskan variabel independen yang merupakan prediktor terbaik
untuk dimasukkan ke dalam model regresi.
13

Definisi Operasional

Asupan makanan adalah jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh anak
dalam sehari
Densitas energi adalah indikator kualitas mutu MP-ASI yang diukur dengan cara
membandingkan total energi makanan dengan berat makan yang dikonsumsi
Densitas zat gizi adalah rasio jumlah jenis asupan zat gizi yang dikonsumsi per
total asupan kalori per hari per 100 kkal
Karakteristik anak adalah data informasi mengenai identitas anak berupa usia,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, serta status gizi anak
Karakteristik keluarga adalah data informasi mengenai keluarga yang meliputi
usia orang tua, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan per bulan,
penerimaan bantuan pemerintah, dan besar keluarga
Pola asuh gizi adalah seluruh interaksi antara ibu dan anak berupa bimbingan,
pengarahan, pengawasan, dan pemenuhan gizi yang dilakukan berulang
Pola asuh kesehatan adalah praktik pengasuhan ibu dalam melayani kebutuhan
kesehatan anak yang dilakukan secara berulang
Pola asuh psikososial adalah cara dan kebiasaan ibu dalam mengajari dan
menstimulasi perkembangan anak balita
Status gizi balita adalah keadaan gizi balita yang diukur berdasarkan nilai
terstandar (Zscore) dengan menggunakan pengukuran antropometri terhadap
tinggi badan menurut umur (TB/U)
Stunting status gizi bayi berdasarkan tinggi badan menurut umur berada di bawah
tinggi badan seharusnya
Subjek adalah balita berjenis kelamin laki-laki dan perempuan usia 0 sampai 24
bulan dengan status gizi TB/U pendek atau stunting.
Responden adalah orang yang bertanggungjawab terhadap subjek dalam
penelitian ini (ibu)
Tingkat kecukupan energi adalah jumlah asupan energi dalam kkal/hari
kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013
Tingkat kecukupan zat gizi jumlah asupan zat gizi kemudian dibandingkan
dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013
Anggota keluarga satu rumah adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal
dalam satu rumah dalam jangka waktu lama

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Anak

Anak pada rentang usia 0-2 tahun merupakan periode emas terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat yang menajdi penentu keberhasilan
pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Faktor yang turut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada anak diantaranya adalah
karakteristik anak seperti usia dan berat bayi lahir. Berikut merupakan sebaran
anak berdasarkan karakteristik anak yang ditunjukkan pada Tabel 5.
14

Tabel 5 Sebaran subjek menurut karakteristik anak


Karakteristik n %
Usia
0-12 bulan 37 16.7
13-24 bulan 41 83.3
Rata-rata ± SD 17.6 ± 5.49
Jenis Kelamin
Laki-laki 37 47.4
Perempuan 41 52.6
Berat badan lahir
<2 500 g 8 10.3
2 500 – 3 999 g 69 88.5
≥4 000 g 1 1.3
Rata-rata ± SD 2.9 ± 0.52
Karakteristik anak yang diidentifikasi dalam penelitian ini terdiri dari usia
anak dalam bulan, jenis kelamin, dan berat badan lahir. Tabel 5 di atas
menunjukkan bahwa sebagian besar usia anak berada pada kelompok usia 13-24
bulan yaitu sebanyak 83.3% dengan rata-rata usianya 17.6 bulan. Nurlinda (2013)
menyatakan bahwa anak usia di bawah dua tahun adalah masa anak sedang
mengalami pertumbuhan dasar yang mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
Masa tubuh dan kembang pada usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat
dan tidak akan terulang kembali. Namun pertumbuhan tersebut akan melambat
pada usia anak satu tahun karena berada pada masa transisi yaitu peralihan pola
makan dari makanan bayi ke makanan dewasa sehingga lebih rawan mengalami
gizi kurang dan terganggu kesehatannya. Oleh karea itu, pada masa ini pola asuh
orang tua sangat perlu diperhatikan.
Subjek berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki
dengan persentase 52.6%. Jenis kelamin pada anak balita tidak diklasifikasikan
dari segi kebutuhan gizinya karena masih memiliki kebutuhan yang sama dan
berada dalam masa pertumbuhan dilihat dari AKG pada balita. Berat badan lahir
berdasarkan Riskesdas (2013) dikategorikan rendah apabila di bawah 2 500 gram
dan normal jika berada pada rentang 2 500 sampai 3 999 gram. Berat badan lahir
rendah (BBLR) dapat menyebabkan gangguan perkembangan, meningkatkan
risiko penyakit kronis dan morbiditas (Muthayya 2009). Berat lahir anak hampir
seluruhnya berada pada rentang normal yaitu 2500 – 3999 gram yaitu sebanyak
88.5%. Sedangkan anak yang lahir dengan berat lahir rendah hanya sebanyak
10.3% dan yang memiliki berat di atas 4 000 gram sebanyak 1.3%.

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama


dalam satu rumah dan ada ikatan darah. Karakteristik keluarga dapat menjadi
salah satu faktor yang berkaitan dengan kondisi status gizi pada balita.
Karakteristik keluarga subjek yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah usia,
pendidikan, dan pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, bantuan pemerintah
yang diperoleh, besar keluarga, dan anggota keluarga yang tinggal satu rumah.
15

Berikut merupakan sebaran subjek berdasarkan karakteristik keluarga dapat


dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik keluarga
Variabel n %
Usia Ayah
Dewasa 78 100.0
Rata-rata ± SD 34.9 ± 7.4
Usia Ibu
Remaja 6 7.7
Dewasa 72 92.3
Rata-rata ± SD 29.6 ± 7.2
Pendidikan Ayah
Tidak tamat SD/Sederajat 7 9
Tamat SD/Sederajat 33 42.3
Tamat SMP/Sederajat 20 25.6
Tamat SMA/Sederajat 18 23.1
Pendidikan Ibu
Tidak tamat SD/Sederajat 12 15.4
Tamat SD/Sederajat 41 52.6
Tamat SMP/Sederajat 16 20.5
Tamat SMA/Sederajat 9 11.5
Pekerjaan Ayah
Tidak bekerja 1 1.3
Pedagang 27 34.6
Buruh 34 43.6
Petani 4 5.1
Karyawan 8 10.3
Wiraswasta 4 5.1
Pekerjaan Ibu
Ibu rumah tangga 67 85.9
Pedagang 8 10.3
Karyawan 1 1.3
Wiraswasta 2 2.6
Pendapatan keluarga
<Rp 500 000 13 16.7
Rp 500 000 – 1 000 000 34 43.6
>Rp 1 000 000 31 39.7
Bantuan pemerintah
Tidak menerima bantuan 64 82.1
Program Keluarga Harapan (PKH) 12 15.4
Beras Miskin (Raskin) 1 1.3
Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) 1 1.3
Besar keluarga
≤ 4 orang 38 48.7
5-7 orang 38 48.7
>7 orang 2 2.6
Anggota keluarga satu rumah
Hanya ibu dan ayah dari anak 63 80.8
Ada nenek dan kakek dari anak 15 19.2
Pola asuh yang diterapkan oleh ibu dapat dipengaruhi oleh usia ibu ketika
memiliki anak. Menurut Afifah (2011), ibu balita yang menikah pada usia di
16

bawah 18 tahun dianggap belum matang secara medis dan psikologinya sehingga
dapat berpengaruh terhadap pola asuhnya pada balita. Ibu yang masih berusia
remaja biasanya memiliki pola asuh yang kurang baik terhadap anaknya sehingga
dapat berdampak pada status gizi anak. Semakin muda umur ibu pada saat
mempunyai anak maka pengalaman yang dimiliki tentang pemenuhan gizi balita
semakin sedikit karena ibu yang masih muda cenderung kurang peduli pada
kebutuhan anggota keluarganya, termasuk kebutuhan akan konsumsi makanan
dalam keluarga terutama balita (Kaswari 2012). Responden dalam penelitian ini
terdiri atas 92.3% ibu yang tergolong usia dewasa dan 7.7% ibu usia remaja
dengan rata-rata usia 29 tahun.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
keadaan gizi. Tingkat pendidikan dapat menjadi penentu dalam kemampuan
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh (Suhardjo
2005). Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan ayah dan ibu sebagian
besar adalah tamat sekolah dasar, yaitu 42.3% pada ayah dan 52.6% pada ibu.
Pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan
kesehatan, pemberian makan, kebersihan, dan kesadaran terhadap kesehatan anak-
anaknya (Ramadhan 2011). Tingkat pendidikan terakhir ibu merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi pola asuh ibu terhadap anak termasuk status gizi
(Rahmawati 2006).
Pekerjaan orang tua berhubungan dengan pendapatan keluarga sehingga
dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan kuantitas
pangan keluarga (Suhardjo 2005). Sebagian besar pekerjaan ayah adalah sebagai
buruh non tani (43.6%), sedangkan sebagian besar ibu hanya bekerja sebagai ibu
rumah tangga (85.9%). Pekerjaan ibu berkaitan dengan pola asuh anak dan status
ekonomi keluarga. Ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga akan memiliki
lebih banyak waktu di rumah untuk mengurus anaknya, namun jika tidak diikuti
dengan kondisi status ekonomi yang baik untuk mendukung kebutuhan anak,
maka hal tersebut tidak bisa berpengaruh baik terhadap status gizi anak (Jayanti
2015).
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap
kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi keluarga. Pendapatan keluarga
subjek rata-rata berada pada kisaran Rp 500 000 – Rp 1 000 000 per bulan.
Rendahnya ekonomi keluarga dapat menyebabkan terbatasnya daya beli sehingga
mempengaruhi variasi menu yang disajikan dan berdampak terhadap asupan
makan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal tersebut juga dapat dipengaruhi
dengan distribusi makanan, pengetahuan, dan pola asuh orang tua. Semakin tinggi
pendapatan keluarga dapat memperbesar peluang memilih pangan yang lebih baik.
Namun, jika pengetahuan ibu terkait gizi rendah maka akan tetap berpengaruh
terhadap pola konsumsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan (Suhardjo
2005).
Bantuan pemerintan merupakan pemberian bantuan berupa uang atau
barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau
masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan
untuk melindungi kemungkinan terjadinya risiko sosial (Suharto 2009). Sebanyak
15.4% keluarga menerima bantuan pemerintah berupa program keluarga harapan
(PKH). PKH merupakan program perlindungan sosial melalui pemberian bantuan
tunai kepada keluarga sangat miskin yang memiliki ibu hamil, nifas, atau
17

menyusui, atau anak balita dan prasekolah. Namun sebagian besar responden
masih banyak yang tidak memperoleh bantuan pemerintah, sehingga pendapatan
keluarga yang dimiliki hanya murni berasal dari upah kerja.
Besar keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup darai pengelolaan sumber
daya yang sama (Syukriawati 2011). Menurut Aditianti (2010), kejadian
melnutrisi di negara berkembang dapat dipengaruhi oleh faktor besarnya keluarga.
Hampir sebagian responden memiliki besaran keluarga dengan kategori kecil
(48.7%) dan sedang (48.7%). Anggota keluarga satu rumah pada sebagian besar
responden hanya terdiri dari ayah dan ibu. 19.2% responden yang masih tinggal
satu rumah dengan kakek atau nenek dari anak. Anggota keluarga dalam satu
rumah juga dapat mempengaruhi penerapan pola asuh oleh ibu, terutama ibu yang
masih berusia remaja.

Pola Asuh Gizi

Pola asuh berarti tindakan pengasuhan anak yang dilakukan berulang-


ulang sehingga menjadi kebiasaan, maka relevan dikaitkan dengan pengukuran
status gizi jangka lama (Diana 2010). Pola asuh gizi merupakan sikap dan
perilaku ibu atau pengasuh lain yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan
kesehatan untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Peran keluarga terutama ibu dalam pengasuhan gizi seperti menyusui, pemberian
makanan yang sehat dan bergizi, serta memperhatikan porsi makan yang
diberikan pada anak akan memberikan pengaruh terhadap status gizi anak.
Sebaran contoh berdasarkan pola asuh gizi yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh gizi
Kategori pola asuh gizi n %
Baik (>80%) 23 29.5
Sedang (60-80%) 55 70.5
Rata-rata ± SD 78.1 ± 6.4
Tabel 7 menunjukkan bahwa sebanyak 70.5% ibu memiliki pola asuh gizi
sedang dan hanya sebanyak 29.5% ibu yang sudah memiliki pola asuh gizi yang
baik. Rata-rata nilai pola asuh gizi ibu adalah 78.1. Pola asuh gizi yang diterapkan
oleh ibu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia ibu, pengetahuan ibu
terkait gizi, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan jumlah anggota keluarga.
Kaswari et al. (2012) menyebutkan bahwa semakin muda usia ibu saat memiliki
anak maka pengalaman yang dimiliki tentang pemenuhan gizi balita semakin
sedikit karena ibu yang masih muda cenderung kurang peduli pada kebutuhan
anggota keluarganya juga termasuk kebutuhan akan konsumsi makanan dalam
keluarga terutama balita. Karakteristik ibu seperti tingkat pendidikan dapat ikut
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan
gizi yang diperoleh (Chandra 2009).
Pola asuh yang tidak tepat dapat terjadi karena pengetahuan ibu yang kurang
baik tentang gizi (Nadiyah 2014). Sehingga meskipun berbeda pada segi usia,
namun apabila dari tingkat pengetahuannya masih tergolong sama akan
berpengaruh pula pada penerapan pola asuh ibu terhadap anaknya. Pola asuh gizi
18

yang diterapkan oleh ibu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan


perkembangan pada masa balita, sehingga dibutuhkan asupan makan yang
berkualitas karena pertumbuhan dan perkembangan balita ini bersifat irreversible
(tidak dapat pulih) (Martianto et al. 2010). Pola asuh gizi yang diterapkan oleh ibu
diukur dengan mewawancari ibu menggunakan beberapa indikator pertanyaan
terkait pola asuh gizi. Sebaran subjek berdasarkan nilai dari tiap pertanyaan terkait
pola asuh gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh gizi
No Pernyataan n %
1. Ibu melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) segera
53 67.9
setelah bayi lahir
2. Ibu memberikan ASI pertama yang berwarna
65 83.3
kekuningan (kolostrum) pada bayi
3 Ibu membiarkan bayi di atas dada ibu minimal selama
25 32.1
satu jam
4. Ibu menyusui setiap bayi menginginkan, paling sedikit 8
68 87.2
kali sehari (setiap 2 jam)
5. Ibu (akan) memberikan susu formula saat bayi berusia
46 59.0
di bawah 6 bulan
6. Ibu (akan) memberikan makanan lain pada saat bayi
29 37.2
masih berusia dibawah 6 bulan
7. Ibu (akan) memberi ASI sampai bayi berusia 2 tahun 59 75.6
8. Ibu (akan) memberi MP-ASI berupa makanan lumat
71 91.0
saat bayi berusia 6-9 bulan
9. Ibu (akan) memberi MP-ASI berupa makanan lembek
60 76.9
atau cincang saat anak berusia 9-12 bulan
10. Ibu mengutamakan memberi MP-ASI dari bahan pangan
34 43.6
lokal
11. Ibu memberikan protein hewani pada makanan anak
24 30.8
setiap hari
12. Ibu memberikan protein nabati pada makanan anak
24 30.8
setiap hari
13. Ibu memberikan sayur pada makanan anak setiap hari 26 33.3
14. Ibu memberikan buah pada makanan anak setiap hari 19 24.4
15. Ibu membiasakan anak makan 3 kali sehari 49 62.8
16. Ibu memberikan makanan selingan 1-2 kali sehari 58 74.4
17. Ibu menghidangkan menu yang bervariasi setiap hari 44 56.4
18. Ibu memberi makan yang penting anak kenyang 34 43.6
19. Ibu memperhatikan suasana saat memberi makan anak 43 55.1
20. Ibu memberikan makanan manis sebelum waktu makan 45 57.7
Pemberian ASI eksklusif dan usia pertama anak diberikan MP-ASI
merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
(Aridiyah et al. 2015). Hasil penelitian menujukkan sebagian besar ibu
memberikan makanan lain selain ASI pada saat ana masih berusia dibawah 6
bulan, hanya 37.2% ibu yang menerapkan pemberian ASI eksklusif pada anak.
Pemberian MP-ASI yang terlalu dini dapat menyebabkan terganggunya
pemberian ASI eksklusif serta menjadikan bayi lebih rentan terhadap penyakit
19

karena enzim pencernaan pada bayi belum mencapai jumlah yang cukup untuk
mencerna makanan kasar sampai usia anak 6 bulan (Zogara et al. 2014).
Bahan pangan yang diberikan oleh ibu dalam konsumsi pangan anak
sehari-hari menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh ibu. Hasil
penelitian menunjukkan ibu yang membiasakan memberi MP-ASI dari bahan
pangan lokal masih sedikit dan lebih sering memberikan MP-ASI berupa makanan
bubur instan. Selain itu lebih dari 50% tidak memberikan makanan lengkap pada
anak, hal tersebut dilihat dari pernyataan bahwa ibu tidak memberikan protein
hewani, nabati, buah, serta sayur pada anak di setiap hari namun hanya sesekali
saja. Buah-buahan banyak mengandung vitamin sehingga diperlukan juga untuk
memenuhi kebutuhan mikronutrien dari anak. Kurangnya mikronutrien biasanya
dapat terjadi karena rendahnya asupan bahan makanan sumber mikronutrien
dalam konsumsi anak sehari-hari (Mikhail et al. 2013).
Pemenuhan zat gizi pada usia ini sangat penting untuk menunjang proses
tumbuh dan kembang anak karena proses ini dipengaruhi oleh kualitas makanan
dan gizi yang dikonsumsi dan disediakan oleh keluarga. Asupan makan yang tidak
cukup menyebabkan kekurangan zat gizi pada usia balita dapat mengakibatkan
gagalnya pertumbuhan anak yang ditandai dengan pertambahan yang tidak sesuai
dengan usia anak (Mikhail et al. 2013). Namun dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa hanya sebanyak 43.6% ibu yang memperhatikan pentingnya asupan makan
pada anak, sedangkan sisanya hanya memenuhi kebutuhan makan anak untuk
memberi rasa kenyang pada anak. Sehingga jenis pangan dan asupan yang
diberikan tidak terlalu menjadi perhatian khusus oleh ibu. Hal tersebut juga
menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada kualitas konsumsi pangan anak.

Pola Asuh Kesehatan

Pola asuh kesehatan adalah praktik pengasuhan orang tua dalam melayani
kebutuhan kesehatan anak balita yang dilakukan secara berulang sehingga
menjadi kebiasaan (Rohimah et al. 2015). Pola asuh kesehatan merupakan salah
satu faktor yang berhubungan dengan status gizi dan kesehatan pada anak. Pola
asuh tersebut dapat berupa sikap dan perilaku ibu dalam kedekatannya dengan
anak, menjaga kebersihan dan kesehatan anak, pemberian makan anak, serta
merawat dan memberikan kasih saying. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh
kesehatan yang dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan
Kategori pola asuh kesehatan n %
Baik (>80%) 42 53.8
Sedang (60-80%) 36 46.2
Rata-rata ± SD 81.6 ± 7.1
Tabel di atas menunjukkan sebanyak 53.8% ibu memiliki pola asuh
kesehatan yang tergolong baik dengan rata-rata nilai 81.6. Berdasarkan penelitian
Aditianti (2010), bahwa kebersihan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh signifikan dengan kejadian stunting pada anak balita di Indonesia.
Pemeliharaan kebersihan tubuh, makanan, dan lingkungan memiliki peran penting
dalam memelihara kesehatan anak dan mencegah penyakit. Pernyataan terkait
20

pola asuh kesehatan terdiri atas praktik pemberian makan. Kemudian untuk data
pola asuh kesehatan terdiri atas pelaksanaan posyandu, pernyataan kebiasaan
hidup bersih, pemeliharaan kesehatan, dan perilaku kesehatan lingkungan. Berikut
merupakan sebaran subjek berdasarkan nilai dari tiap pertanyaan terkait pola asuh
kesehatan ibu dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh
kesehatan
No Pernyataan n %
1. Balita memiliki KMS 71 91.0
2. Balita diimunisasi lengkap sebelum anak berusia 1
58 74.4
tahun
3 Anak selalu ditimbang setiap bulan 49 62.8
4. Anak selalu mengonsumsi kapsul vitamin A dari
46 59.0
posyandu secara berkala
5. Ibu mencuci tangan sebelum mengolah makanan 49 62.8
6. Ibu mencuci tangan sebelum memberi makan anak 63 80.8
7. Ibu mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih
40 51.3
yang mengalir
8. Ibu memeriksa dan menggunting kuku anak seminggu
70 89.7
sekali
9. Ibu membiasakan anak sikat gigi setiap setelah sarapan
30 38.5
dan sebelum tidur
10. Ibu mengganti pakaian anak hanya setelah mandi 29 37.2
11. Ibu mencuci rambut/ keramas anak 3 kali seminggu
62 79.5
menggunakan sampo
12. Ibu mencuci tangan dan kaki anak setiap habis main 50 64.1
13. Ketika anak sakit ibu segera membawa ke pelayanan
61 78.2
kesehatan
14. Ibu menyediakan/memberikan oralit saat anak diare 34 43.6
15. Ketika demam ibu mengompres anak menggunakan air
50 64.1
dingin
16. Ibu menyediakan parasetamol untuk persediaan obat
43 55.1
demam pada anak
17. Ibu memberikan ASI lebih sering saat anak sakit ketika
55 70.5
anak masih menyusui
18. Ibu membiarkan anak bermain di tempat kotor 44 56.4
19. Ibu menjauhkan anak dari asap pembakaran sampah 26 33.3
20. Ibu membuang sampah di rumah setiap hari 57 73.1
Kebersihan diri dari anak dapat terjaga apabila seorang ibu menerapkan
pola asuh kesehatan yang baik. Kebersihan pada anak dapat menghindarkan anak
dari berbagai penyakit. Ibu masih banyak yang kurang dalam memperhatikan
kesehatan dan kebersihan pada anak. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
terdapat 51.3% ibu yang sudah membiasakan untuk mencuci tangan menggunakan
sabun dan air bersih yang mengalir. Sedangkan sebagian besar lainnya terbiasa
mencuci tangan menggunakan air penampungan dan jarang menggunakan sabun.
Hasil penelitian juga menunjukkan hanya terdapat 38.5% ibu yang membiasakan
untuk menggosok gigi anak setiap setelah sarapan dan sebelum tidur. Sedangkan
21

sebagian besar ibu tidak membiasakan hal tersebut dengan alasan bahwa anak
mereka masih sulit untuk dibiasakan menggosok gigi. Menurut panduan kesehatan
ibu dan anak disebutkan bahwa anak yang belum memiliki gigi dibiasakan untuk
dilap dengan menggunakan kain halus basah pada bagian gusi dan lidahnya. Anak
yang sudah mulai tumbuh gigi harus mulai dibiasakan untuk menggosok gigi.
Penanganan ketika anak sakit pada sebagian ibu langsung membawa anak
ke pelayanan kesehatan seperti bidan dan puskesman. Namun, ibu sebaiknya ettap
memiliki persediaan obat untuk demam maupun diare untuk anak. Hasil di atas
menunjukkan hanya terdapat 43.6% pada ibu yang memiliki persediaan obat
untuk anak, sedangkan sisanya lebih memilih untuk membeli obat-obatan dari
warung dan terkadang bukan obat yang khusus untuk anak. Obat yang diberikan
pada anak akan berbeda dengan obat orang dewasa terutama dari segi dosis,
namun masih terdapat ibu yang tidak membedakan hal tersebut.
Kesehatan anak juga dapat dipengaruhi dengan kondisi lingkungan sekitar
tempat tinggal. Terdapat 56.4% ibu yang membiarkan anaknya bermain di tempat
yang kotor. Selain itu, sampah rumah tangga yang dihasilkan umunya tidak
dibuang ke tempat pembuangan akhir, namun di bakar secara berkala terutama
untuk sampah plastik, kertas, dan daun. Pembakaran sampah biasanya dilakukan
di sekitaran halaman atau kebun dekat rumah. Hanya sebanyak 33.3% ibu yang
menjauhkan anak dari asap pembakaran sampah. Sedangkan sebagian besar masih
tidak mempedulikan asap yang dihasilkan dapat terhirup oleh anaknya.

Pola Asuh Psikososial

Pola asuh psikososial adalah kebutuhan dasar yang dibutuhkan anak untuk
tumbuh kembang secara optimal. Praktek asuhan psikososial didefinisikan sebagai
perilaku yang dipraktekkan oleh pengasuh dalam memberikan stimulus dan
dukungan emosional yang dibutuhkan anak dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan (Brooks 2011). Aspek yang diperhatikan dalam perkembangan
anak antara lain yaitu perkembangan motorik, bicara dan bahasa, sosial dan
kemandirian, penerimaan, pembelajaran, dan keterlibatan antara orang tua dan
anak. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh psikososial disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh psikososial
Kategori pola asuh kesehatan n %
Baik (>80%) 56 71.8
Sedang (60-80%) 22 28.2
Rata-rata ± SD 83.5 ± 6.2
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah memiliki pola
asuh psikososial yang tergolong baik dengan nilai rata-rata 83.5. Pengasuhan ini
memberikan stimulus psikososial yang akan mempengaruhi perkembangan anak
(Hastuti et al. 2011). Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting
karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan anak
berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan,
sikap dan praktik tentang pengasuhan anak. Anak yang mendapat stimulus
psikososial maka perkembangan anak khususnya tingkat perkembangan sosial
anak akan lebih baik (Setyowati et al. 2017). Berikut merupakan sebaran subjek
22

berdasarkan nilai dari tiap pertanyaan terkait pola asuh psikososial ibu yang terdiri
atas perkembangan motorik kasar, perkembangan motorik halus, bicara dan
bahasa, sosialisasi dan kemandirian, penerimaan, pembelajaran, dan keterlibatan
antara orang tua dan anak dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan jawaban benar pada kuesioner pola asuh
psikososial
No Pernyataan n %
1. Ibu membiasakan untuk memuji anak saat dapat 58 74.4
melakukan suatu hal setiap hari
2. Ibu memberi anak mainan/benda yang besar dan 63 80.8
berwarna saat anak berusia 3 bulan
3 Ibu (akan) melatih anak berdiri dan berjalan dengan 61 78.2
berpegang tangan saat bayi berumur 12 bulan
4. Ibu tidak menelungkupkan bayi saat berusia 3-6 bulan 49 62.8
5. Ibu (akan) mengajarkan anak berjalan di 61 78.2
undakan/tangga saat usia 2 tahun
6. Ibu melatih anak berdiri dan berjalan dengan
39 50.0
berpegangan saat usia 6-12 bulan
7. Ibu (akan) mengajarkan anak membereskan mainan saat 46 59.0
berusia 1-2 tahun
8. Ibu mengajak anak mengelompokkan benda sejenis 39 50.0
9. Ibu mengajarkan anak menyebutkan bagian tubuhnya 52 66.7
10. Ibu (akan) mengizinkan anak mencoret-coret di kertas 54 69.2
ketika berusia 1-2 tahun
11. Ibu menyisihkan sebagian waktu untuk berkomunikasi 51 65.4
dengan anak
12. Ibu mengajak anak bernyanyi dan bermain bersama 56 71.8
13. Ibu membacakan majalah atau buku cerita anak 14 17.9
14. Ibu mengajarkan kata-kata yang memiliki arti dan 56 71.8
santun kepada anak
15. Ibu mengajarkan anak berbicara saat bayi berusia 6-12 50 64.1
bulan
16. Ibu mendengarkan anak sebuah musik/shalawat 65 83.3
17. Ibu membiarkan anak memakan kue atau biskuit sendiri 42 53.8
saat berusia 6 bulan
18. Ibu membawa anak pergi minimal satu kali seminggu 67 85.9
19. Ibu melatih anak memegang benda kecil saat anak 60 76.9
berusia 6 bulan
20. Ibu mengajak teman-teman anak bermain bersama di 63 80.8
rumah
Stimulasi yang diberikan ibu melalui panca indra seperti mendengar,
melihat, merasa, mencium, dan meraba selama awal kehidupan mempunyai
pengaruh besar pada pertumbuhan dan maturasi otak. Gangguan keterlambatan
perkembangan antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf,
lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan, dan lambatnya respon sosial
(Martianto et al. 2004). Aktivitas motorik selama tahun kedua berperan penting
23

bagi perkembangan kompetensi anak (Santrock 2007). Kualitas masa depan anak
ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal, sehingga
deteksi, stimulasi, dan intervensi berbagai penyimpangan pertumbuhan atau
perkembangan harus dilakukan sejak dini (Marmi 2012). Kondisi stunting
memiliki dampak terhadap perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak
menjadi tidak optimal. Hal tersebut dikaitkan dengan proses perkembangan otak
yang terganggu sehingga dalam jangka pendek akan berpengaruh pada
kemampuan kognitif anak (WHO 2017).
Ibu sebaiknya melatih anak berdiri dan berjalan dengan berpegangan saat
usia 6-12 bulan. Hal tersebut baru diterapkan oleh sebagian ibu. Melatih anak
berdiri dan berjalan pada usia tersebut dilakukan guna merangsang motorik kasar
pada anak, sehingga anak dapat tumbuh dengan optimal. Pemberian rangsangan
atau stimulasi yang memadai dapat memberikan manfaat yang besar untuk
pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Sedangkan apabila stimulus
psikososial yang diberikan terhadap anak rendah akan memberikan dampak yang
kurang baik pada pertumbuhan anak (McGregor et al. 2007).
Rangsangan bicara dan bahasa pada anak dapat dilakukan dengan
membacakan cerita pada anak, mengajarkan anak bicara, dan mengajarkan kata-
kata yang memiliki arti dan santun kepada anak. Sebagian besar ibu hanya sedikit
yang menerapkan untuk membacakan cerita dan mengajarkan bicara pada anak.
Hasil penelitian di atas menunjukkan hanya 17.6% ibu yang melatih bicara dan
bahasa pada anak dengan menggunakan media cerita. Anak pada usia 6 bulan dan
dikenalkan pada makanan sebaiknya sudah dibiarkan untuk memegang
makanannya sendiri untuk melatih perkembangan motoriknya. Namun hanya
sekitar 50% ibu yang menerapkan hal tersebut, sedangkan ibu lainnya merasa
anak pada usia tersebut belum saatnya diberikan makanan sendiri.

Kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Anak

Kualitas konsumsi pangan dan gizi dilakukan untuk mengetahui tingkat


konsumsi anak dan menunjukkan zat gizi yang dikonsumsi dan dibutuhkan oleh
tubuh dapat terpenuhi dengan baik atau tidak. Makanan yang diberikan untuk
mencapai gizi seimbang harus beragam dan mengandung zat tenaga, zat
pembangun, dan zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Kualitas
konsumsi dilihat dengan menghitung tingkat kecukupan serta densitas energi dan
zat gizi dari makanan yang dikonsumsi oleh anak.
Tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan hasil SQ-FFQ satu bulan
terakhir untuk mengetahui kecukupan energi dan zat gizi harian pada subjek.
Asupan makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu faktor langsung
penyebab terjadinya stunting pada balita. Rendahnya asupan energi, protein, dan
beberapa mikronutrien dapat berpengaruh terhadap terjadinya retardasi
pertumbuhan linear. Rendahnya mikronutrien dapat terjadi karena rendahnya
asupan bahan makanan sumber mikronutrien tersebut dalam konsumsi balita
sehari-hari dan biavailabilitas yang rendah (Mikhail et al. 2013). Tingkat
kecukupan energi dan protein dapat menggambarkan kondisi status gizi pada anak,
kurangnya asupan energi dan protein merupakan salah satu penyebab terjadinya
gagal tumbuh pada anak.
24

Tingkat kecukupan energi dan protein pada subjek cenderung tergolong


defisit berat dengan 66.7% untuk tingkat kecukupan energi dan 51.3% tingkat
kecukupan protein. Rata-rata tingkat kecukupan energi pada subjek adalah 64%
dan protein adalah 80.1%. Kurangnya asupan energi dan protein pada subjek
dapat disebabkan oleh sedikitnya jumlah makanan yang diberikan, nafsu makan
yang rendah, serta jenis pangan yang dikonsumsi masih kurang beragam.
Konsumsi makanan yang tidak mencukupi dalam jangka waktu yang cukup lama
akan berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan anak (Almatsier et al. 2011).
Penelitian Oktarina dan Sudiarti (2013) menunjukkan bahwa balita dengan asupan
energi yang rendah berisiko 1.28 kali lebih besar untuk mengalami stunting
dibandingkan dengan balita dengan asupan energi yang cukup. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Damayanti et al. (2016) menunjukkan hasil bahwa balita
dengan kecukupan energi inadekuat berisiko mengalami stunting 9.5 kali lebih
besar. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein dapat
dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein
Variabel n %
Tingkat kecukupan energi
Defisit berat 52 66.7
Defisit sedang 8 10.3
Defisit ringan 6 7.7
Cukup 4 5.1
Lebih 8 10.3
Rata-rata ± SD 64 ± 43.49
Tingkat kecukupan protein 40 51.3
Defisit berat 4 5.1
Defisit sedang 7 9.0
Defisit ringan 10 12.8
Cukup 17 21.8
Lebih 40 51.3
Rata-rata ± SD 80.1 ± 55.61
Umumnya kecukupan protein dapat terpenuhi jika asupan energi tercukupi.
Asupan energi yang kurang akan menyebabkan asupan protein akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan energi. Sedangkan proses pertumbuhan pada balita
membutuhkan tambahan asupan protein, sehingga asupan protein yang tidak
cukup pada balita akan menghambat laju pertumbuhan (Andriani dan Wirjatmadi
2012). Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati et al. (2010), menyebutkan bahwa
balita dengan tingkat kecukupan protein yang rendah berisiko 3.46 kali lebih
tinggi untuk terkena stunting dibandingkan dengan balita dengan asupan protein
yang cukup. Selain itu menurut penelitian Lee (2014), kebutuhan protein
umumnya baru terpenuhi setelah anak berusia 2 tahun, sehingga pada usia di
bawah 2 tahun masih banyak ditemukan defisiensi protein. Asupan protein yang
rendah dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan dan kematangan tulang karena
protein merupakan zat gizi yang esensial dalam pertumbuhan (Oktarina dan
Sudiarti 2013).
Zat gizi mikro sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan
pencegahan penyakit pada anak kecil (WHO 2009). Selain itu asupan yang
memadai pada mikronutrien seperti zat besi, kalsium, dan seng juga berkaitan
25

dengan proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Menurut Rofles et al.
(2009), zat gizi tersebut sangat penting untuk memastikan kesehatan,
pertumbuhan, dan perkembangan anak yang optimal. Tingkat kecukupan subjek
juga dilihat dari zat gizi mikro diantaranya yaitu vitamin A, vitamin C, zat besi,
kalsium, dan seng. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro
dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro
Variabel n %
Tingkat kecukupan vitamin A
Defisit berat 31 39.7
Defisit sedang 6 7.7
Defisit ringan 4 5.1
Cukup 14 17.9
Lebih 23 29.5
Rata-rata ± SD 106.16 ± 89.85
Tingkat kecukupan vitamin C
Defisit berat 40 51.3
Defisit sedang 2 2.6
Defisit ringan 4 5.1
Cukup 7 9.0
Lebih 25 32.1
Rata-rata ± SD 100.31 ± 102.89
Tingkat kecukupan zat besi 42 53.8
Defisit berat 1 1.3
Defisit sedang 7 9.0
Defisit ringan 11 14.1
Cukup 17 21.8
Lebih 42 53.8
Rata-rata ± SD 110.02 ± 275.77
Tingkat kecukupan kalsium 55 70.5
Defisit berat 1 1.3
Defisit sedang 3 3.8
Defisit ringan 2 2.6
Cukup 17 21.8
Lebih 55 70.5
Rata-rata ± SD 70.43 ± 92.90
Tingkat kecukupan seng
Defisit berat 56 71.8
Defisit sedang 3 3.8
Defisit ringan 2 2.6
Cukup 10 12.8
Lebih 7 9.0
Rata-rata ± SD 56.231 ± 77.47
Menurut WHO (2001), ASI relatif rendah pada beberapa mikronutrien
bahkan setelah memperhitungkan bioavailabilitasnya, sehingga dibutuhkan
asupan dari makanan pendamping untuk memenuhi zat gizi mikro. Tingkat
kecukupan yang rendah pada zat gizi mikro dapat disebabkan oleh asupan pangan
yang kurang beragam serta rendahnya asupan bahan makanan sumber zat gizi
mikro dalam konsumsi sehari-sehari (Mikhail et al. 2013). Rendahnya kecukupan
vitamin A disebabkan kurangnya konsumsi sayur. Menurut Fatimah et al. (2018),
26

sebagian besar anak balita stunting mengalami defisit tingkat kecukupan vitamin
A karena tidak mengonsumsi buah dan hanya menyukai kuah sayur. Vitamin A
memiliki peran dalam fungsi faal tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel,
kekenalan, pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier, 2009). Vitamin C subjek
sebagian besar tergolong defisit. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya
konsumsi buah-buahan sumber vitamin C oleh anak. Vitamin C dibutuhkan oleh
anak usia ini karena berperan dalam daya tahan tubuh, membantu penyerapan zat
besi, dan sebagai antioksidan. Defisiensi ini dapat memberi dampak penurunan
status gizi dalam waktu lama (Soekirman 2012).
Tingkat kecukupan zat besi anak sebagian besar tergolong defisit. Anak
membutuhkan zat besi untuk pertumbuhan, kurangnya asupan zat besi dapat
meningkatkan risiko anak terkena stunting (Hidayati et al. 2010). Selain itu juga
dapat berpengaruh pada kongnitif anak. Menurut Mikhail et al. (2013), balita yang
mengalami defisiensi zat besi akan mengalami penurunan kekebalan tubuh
sehingga berisiko lebih besar untuk terkena penyakit terutama penyakit infeksi.
Penyakit infeksi ini dapat menghambat pertumbuhan linear karena menurunkan
asupan makanan, mengganggu penyerapan zat gizi, dan menyebabkan hilangnya
zat gizi. Balita dengan kecukupan zat besi yang inadekuat akan berisiko 3.2 kali
mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang memiliki tingkat kecukupan
zat besi yang adekuat (Damayanthi et al. 2016).
Tingkat kecukupan yang rendah pada kalsium dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan anak. Risiko stunting dapat diturunkan dengan pemberian ASI
eksklusif karena ASI mengandung antibodi serta kalsium yang terkandung dalam
ASI mempunyai bioavailabilitas yang tinggi sehingga dapat diserap optimal
terutama dalam fungsi pembentukan tulang (Almatsier 2009). Hampir seluruh
subjek hanya memperoleh kalsium dari susu. Sedangkan menurut Sari et al.
(2016), sumber kalsium dapat diperoleh dari ikan dan makanan laut lainnya.
Anak dengan tingkat kecukupan seng yang tidak adekuat berisiko 7.8 kali
lebih besar lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang
memiliki tingkat kecukupan seng yang adekuat (Damayanthi et al. 2016). Seng
memiliki fungsi dalam pembentukan antibodi, berperan dalam fungsi indera
pengecap dan hormon pertumbuhan (Almatsier 2009). Kurangnya seng dapat
menghambat kerja hormon pertumbuhan (Aridiyah et al. 2015). Defisiensi seng
dapat menyebabkkan terhambatnya hormon metabolit GH (Growth Hormone)
sehingga sintesis dan sekresi insulin growth factor berkurang yang berdampak
pada risiko terkena stunting (Andriani dan Wirjatmadi 2012). Penelitian lain yang
dilakukan Hidayati et al. (2010) pada balita usia 1-3 tahun di perkotaan kumuh
Surakarta menyimpulkan bahwa asupan zat besi dan seng yang kurang pada balita
menyebabkan balita memiliki risiko lebih ebesar terhadap kejadian stunting.
Kualitas pangan dan gizi pada anak juga diketahui dengan melihat densitas
energi dan zat gizi dari makanan yang biasa dikonsumsi. Densitas energi dapat
menggambarkan jumlah energi yang terkandung dalam satuan berat makanan
serta menunjukkan kualitas MP-ASI yang dikonsumsi oleh subjek (Ledikwe et al.
2006). Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan
anak di Indonesia masih sering mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas
energi tinggi. Konsumsi energi, gula dan lemak jenuh yang berlebih namun
rendah konsumsi buah, dan sayur dapat menunjukkan kualitas konsumsi yang
rendah. Kualitas konsumsi yang baik dikaitkan dengan tingginya konsumsi buah
27

dan sayur yang memiliki densitas energi rendah serta mencukupi kebutuhan
makronutrien secara tepat (Patterson et al. 2010). Sebaran subjek berdasarkan
densitas energi dari MP-ASI subjek dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan densitas energi MP-ASI
n %
Waktu makan 2 Kali
Breastfed
>0.71 kkal/gram1 15 19.2
>1.12 kkal/gram3 3 3.8
<1.12 kkal/gram3 1 1.3
Non Breastfed
>1.62 kkal/gram3 4 5.1
<1.62 kkal/gram3 2 2.6
Waktu makan 3 Kali
Breastfed
>0.48 kkal/gram1 3 3.8
>0.56 kkal/gram2 3 3.8
>0.75 kkal/gram3 26 33.3
<0.75 kkal/gram3 1 1.3
Non Breastfed
>1.08 kkal/gram3 20 25.6
1 2 3
Keterangan : usia 6-8 bulan, usia 9-11 bulan, usia 12-24 bulan

Mayoritas subjek memiliki densitas energi di atas rekomendasi baik pada


subjek yang terbiasa makan 2 kali sehari maupun 3 kali sehari serta yang masih
diberikan ASI dan tidak diberikan ASI. Kategori densitas energi subjek dibedakan
berdasarkan jumlah pemberian makan sehari dan status pemberian ASI. Anak
yang sudah tidak diberikan ASI harus memiliki kandungan densitas energi yang
lebih besar daripada anak yang masih diberikan ASI (PAHO 2013). Apabila
densitas energi masih rendah dari angka yang dianjurkan maka frekuensi
pemberian MP-ASI harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan anak.
Frekuensi pemberian makan pada anak tidak hanya pada waktu makan utama,
namun dapat ditingkatkan dengan memberikan anak makanan selingan sebanyak
1-2 kali dalam sehari. Risiko malnutrisi akan lebih tinggi dialami oleh anak yang
mengonsumsi MP-ASI dengan densitas energi yang lebih rendah daripada
densitas energi ASI, karena hal tersebut menunjukkan kurangnya asupan energi
yang berasal dari makanan padat. Anak-anak memiliki kapasitas lambung yang
terbatas untuk mengonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup, sehingga diet
harus memiliki kepadatan energi yang tinggi (WHO 2001).
Skor densitas energi pada pangan yang dikonsumsi apabila semakin tinggi
maka hal tersebut menunjukkan kualitas pangan tersebut semakin baik begitu pula
sebaliknya. Densitas energi yang baik dapat diperoleh dari subjek yang umumnya
mengonsumsi jenis makanan dengan kandungan air yang rendah seperti biskuit,
wafer, dan crackers. Hal tersebut disebabkan oleh densitas energi yang dapat
dipengaruhi oleh komposisi zat gizi mikro dan kadar air yang terkandung dalam
makanan tersebut (Drewnowski 2005). Sebaran subjek berdasarkan densitas zat
gizi MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 16.
28

Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan densitas zat gizi MP-ASI


Zat gizi n %
Protein
Breastfed
>1.0 per 100kkal1 6 7.7
<1.0 per 100kkal1 4 5.1
>0.9 per 100kkal2 22 28.2
<0.9 per 100kkal2 20 25.6
Non Breastfed
>1.2 per 100kkal2 17 21.8
<1.2 per 100kkal2 9 11.5
Vitamin A
Breastfed
>6.0 per 100kkal2 5 6.4
<6.0 per 100kkal2 2 2.6
>14.0 per 100kkal2 3 3.8
<14.0 per 100kkal2 19 24.4
>23.0 per 100kkal2 23 29.5
Non Breastfed
>45.0 per 100kkal2 8 10.3
<45.0 per 100kkal2 18 23.1
Vitamin C
Breastfed
>0 per 100kkal1 10 12.8
>1.5 per 100kkal2 15 19.2
<1.5 per 100kkal2 27 34.6
Non Breastfed
>3.4 per 100kkal2 11 14.1
<3.4 per 100kkal2 15 19.2
Zat besi
Breastfed
<5.3 per 100kkal3 7 9.0
<3.5 per 100kkal4 3 3.8
>1.1 per 100kkal2 3 3.8
<1.1 per 100kkal2 39 50.0
Non Breastfed
>0.7 per 100kkal2 12 15.4
<0.7 per 100kkal2 14 17.9
Kalsium
Breastfed
<166 per 100kkal3 7 9.0
<115 per 100kkal4 3 3.8
>36 per 100kkal2 4 5.1
<36 per 100kkal2 38 48.7
Non Breastfed
>39 per 100kkal2 11 14.1
<39 per 100kkal2 15 19.2
Seng
Breastfed
<2.1 per 100kkal3 7 9.0
<1.4 per 100kkal4 3 3.8
<1.1 per 100kkal2 42 53.8
Non Breastfed
>0.7 per 100kkal2 3 3.8
<0.7 per 100kkal2 23 29.5
Keterangan : 1usia 6-11 bulan, 2usia 12-24 bulan, 3 usia 6-8 bulan, 4 usia 9-11 bulan
29

MP-ASI yang dikonsumsi selain harus memiliki kepadatan energi yang


tinggi tapi juga harus memiliki densitas yang seimbang dengan protein, vitamin,
dan mineral, yaitu vitamin A dan C, zat besi, kalsium, dan seng yang erat
kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan pada anak (UNICEF 2011).
Rata-rata subjek memiliki densitas protein yang baik sedangkan pada zat gizi
mikro lainnya masih tergolong rendah. Densitas gizi dari makanan saat
dibandingkan dengan densitas gizi sesuai rekomendasi, densitas protein umumnya
dapat terpenuhi namun beberapa mikronutrien masih belum terpenuhi (Gibson et
al. 2010). ASI dapat memberikan kontribusi besar terhadap total asupan gizi anak-
anak antara usia 6 dan 24 bulan, terutama untuk protein dan vitamin. Namun, ASI
relatif rendah dalam beberapa mineral seperti zat besi dan seng, bahkan setelah
memperhitungkan bioavailabilitas. Selain itu di sebagian negara berkembang MP-
ASI masih tidak menyediakan cukup zat besi dan seng (WHO 2001). Densitas
vitamin A dan C sebagian besar anak masih tergolong kurang. Vitamin A dan C
salah satunya dapat diperoleh dari konsumsi buah dan sayuran, jarangnya anak
mengonsumsi buah dan sayuran berpengaruh pada densitas vitamin tersebut. MP-
ASI harus mengandung zat gizi yang kaya akan vitamin dan mineral agar dapat
memenuhi densitas zat gizi yang dibutuhkan (WHO 2009).
Densitas zat besi, kalsium, dan seng pada subjek tergolong rendah karena
berada di bawah rekomendasi, terutama pada subjek yang masih mengonsumsi
ASI. Hal ini sejalan dengan Vossenaar dan Solomons (2012), yang menyatakan
bahwa anak yang masih diberikan ASI lalu hanya diberikan makanan keluarga
dan tidak beragam, memiliki kemungkinan untuk mengalami kekurangan asupan
zat gizi tertentu. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa densitas gizi seperti
zat besi, kalsium, dan seng pada seluruh rentang usia 6-24 bulan berada dibawah
nilai yang direkomendasikan. Anak yang mengonsumsi sedikit makanan
pelengkap selain dari ASI meningkatkan risiko anak terkena defisiensi
mikronutrien yaitu zat besi dan seng, dan terkadang kalsium (Gibson et al. 2010).
Ada beberapa argumen mengenai biaya makan yang juga mempengaruhi
kualitas konsumsi dan juga berkontribusi terhadap kesenjangan sosial di bidang
kesehatan (Darmon 2015). Hasil penemuan terdahulu didapatkan bahwa makanan
padat energi seperti mengandung lemak, minyak, dan gula tambahan
menyediakan banyak kalori namun dengan biaya yang murah, sedangkan
makanan yang rendah densitas energi seperti sayur dan buah mahal biayanya. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian lain di Amerika, Australia, dan di Belanda
(Drewnowski 2010).

Hubungan Usia Ibu, Pola Asuh Gizi, Pola Asuh Kesehatan, dan Pola Asuh
Psikososial dengan Stunting

Usia ibu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh
yang diterapkan oleh ibu dan kemudian akan berdampak pada kondisi status gizi
anak. Pola asuh gizi merupakan praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu
berkaitan dengan pemenuhan gizi anak. Pemberian makan yang baik sangat
penting untuk asupan nutrisi, yaitu dari segi makanan yang dikonsumsi anak dan
sikap ibu (Walker 2006). Pola asuh kesehatan merupakan salah satu faktor yang
dapat berpengaruh terhadap kondisi status gizi anak.
30

Pola asuh kesehatan meliputi pola asuh yang bersifat preventif seperti
pemberian imunisasi, penerapan hidup bersih dan sehat, serta pola asuh ketika
anak dalam keadaan sakit. Pola asuh psikososial merupakan pola asuh yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh
psikososial berupa pemberian stimulasi akan memengaruhi perkembangan anak.
Pola asuh dengan memberikan stimulus psikosoial kepada anak akan mampu
meningkatkan perkembangan motorik, kognitif, sosial emosi dan karakter pada
anak (Hastuti et al. 2011). Hasil analisis uji hubungan antara usia ibu, pola asuh
gizi, pola asuh kesehatan, dan pola asuh psikososial dengan stunting dapat dilihat
pada Tabel 17.
Tabel 17 Hubungan antara usia ibu, pola asuh gizi, kesehatan, dan psikososial
dengan stunting
Stunting
Variabel
p r
Usia Ibu .515** .075
Pola asuh gizi .049* .223
Pola asuh kesehatan .024* .255
**
Pola asuh gizi .256 .130
*
Uji korelasi Pearson signifikan (p<0.05)
**
Uji korelasi Pearson tidak signifikan (p>0.05)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa hasil uji korelasi Pearson
pada variabel usia ibu menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
(p<0.05) dengaan stunting pada anak. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ida et al. (2016) yang menyatakan bahwa usia ibu
mempengaruhi status gizi anak yang berkaitan dengan pengalaman ibu dalam
memberikan makanan bergizi pada anak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh usia
ibu yang menjadi subjek dalam penelitian ini berada pada rentang usia yang
hampir sama sehingga berpengaruh terhadap pengalaman yang dimiliki ibu.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan (p<0.05) antara pola asuh gizi dengan stunting. Nilai koefisien korelasi
antara pola asuh gizi dengan stunting bernilai positif berarti semakin rendah pola
asuh gizi yang diterapkan oleh ibu maka semakin anak berisiko mengalami
stunting. Pola asuh gizi yang kurang baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan balita. Penelitian yang dilakukan Asrar (2009) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh gizi dengan status gizi
menurut TB/U. Pola asuh gizi berkaitan dengan pemberian makan pada anak
sehingga perilaku ibu yang benar dalam pemenuhan gizi anak melalui pemberian
makanan bergizi akan berdampak pada status gizi anak yang baik. Pola asuh yang
baik perlu didukung dengan pengetahuan yang baik sebagai dasar dalam bersikap
dan bertindak sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan balita
secara optimal (Mirayanti 2012).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan (p<0.05) antara pola asuh kesehatan dengan stunting yaitu semakin
rendah pola asuh kesehatan yang diterapkan oleh ibu maka semakin berisiko anak
mengalami stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmayana (2014), yang
menyatakan bahwa ibu yang memperhatikan kondisi kebersihan anak akan sangat
berpengaruh terhadap status gizi anak. Selain itu juga disebutkan bahwa terdapat
31

hubungan antara praktik higiene dan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting
pada balita. Penerapan hidup bersih dan sehat masih kurang diterapkan oleh ibu
dalam pengasuhan kesehatan pada anak. Hal tersebut merupakan faktor yang
dapat menyebabkan infeksi pada anak yang kemudian akan berdampak pada
status gizi anak (Fewtrell dan Mary 2007).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan (p>0.05) antara pola asuh psikososial dengan stunting. Hasil
tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahmayana et al. (2014)
yang menyebutkan bahwa pola asuh psikososial memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting yang digambarkan dengan hasil pola asuh
psikososial tergolong baik pada sebagian besar anak kondisi normal, sedangkan
pola asuh yang masih kurang banyak terjadi pada anak dengan kondisi stunting.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu yang memberi rangsangan psikososial yang
baik akan berpengaruh positif pada keadaan status gizi anak. Pola asuh psikososial
yang diterapkan oleh sebagian besar ibu sudah tergolong dalam kategori baik,
sehingga tidak berhubungan dengan kondisi stunting yang terjadi pada anak.

Hubungan Kualitas Konsumsi Pangan dengan Stunting

Konsumsi pangan merupakan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi


seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial
(Baliwatti et al. 2004). Kualitas konsumsi pangan dan gizi dinilai berdasarkan
tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta densitas energi dan zat gizi pada MP-
ASI yang dikonsumsi oleh anak. Konsumsi makanan yang tidak mencukupi
kebutuhan dalam waktu yang cukup lama akan mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan anak yang menyebabkan menjadi melambat atau pertumbuhan yang
terhenti (Soetardjo 2011). Hasil analisis uji hubungan antara tingkat kecukupan
energi dan zat gizi dengan stunting dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan stunting
Stunting
Variabel
p r
**
Tingkat kecukupan energi .003 .336
Tingkat kecukupan protein .000** .444
*
Tingkat kecukupan vitamin A .041 .232
Tingkat kecukupan vitamin C .032* .242
**
Tingkat kecukupan zat besi .001 .360
Tingkat kecukupan kalsium .011* .285
*
Tingkat kecukupan seng .011 .287
*
Uji korelasi Spearman signifikan (p<0.05)
**
Uji korelasi Spearman signifikan (p<0.01)
Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan (p<0.01) antara tingkat kecukupan energi dengan stunting. Semakin
kurang tingkat kecukupan energi yang terpenuhi maka semakin besar risiko
stunting pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Azmy dan Mundiastuti (2018)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan
32

energi dengan status gizi TB/U. Penelitian tersebut juga sejalan dengan Nagari
dan Nindya (2017) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
konsumsi energi dengan status gizi pada anak.
Uji korelasi spearman pada tingkat kecukupan protein dengan stunting
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0.01). Hasil penelitian ini
sejalan dengan Rachmawati (2018) yang menyatakan bahwa asupan protein yang
kurang memiliki hubungan yang signifikan (p<0.01) dengan gangguan
pertumbuhan tinggi badan atau stunting. Selain itu, pada penelitian Anindita
(2012) juga menyebutkan bahwa sebagian besar balita yang menderita stunting
memiliki tingkat kecukupan protein yang kurang. Kejadian stunting juga dapat
dipengaruhi oleh asupan zat gizi mikro. Berikut merupakan hasil uji hubungan
antara tingkat kecukupan zat gizi mikro dengan stunting.
Hasil uji korelasi spearman menunjukkan adanya hubungan signifikan
(p<0.05 dan p<0.01) antara kecukupan zat gizi mikro dengan stunting, yaitu
semakin kurang tingkat kecukupan zat gizi mikro maka semakin berisiko terkena
stunting. Penelitian ini sejalan dengan Hendrayati (2015) yang menunjukkan
bahwa asupan vitamin A merupakan mikronutrien yang berkontribusi terhadap
kejadian stunting pada anak usia 12-60 bulan. Penelitian Bueno et al. (2008)
menunjukkan bahwa konsumsi yang rendah pada kalsium terutama pada anak
dalam masa pertumbuhan akan menyebabkan pertumbuhan terhambat. Asupan
kalsium yang kurang banyak terjadi pada anak dengan status gizi stunting.
Sulistianingsih et al. (2015) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara asupan
zat besi dengan kejadian stunting pada balita, yaitu balita yang kurang asupan zat
besi akan lebih berisiko terkena stunting. Penelitian yang dilakukan Dewi dan
Nindya (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat konsumsi seng dengan kejadian stunting. Kualitas MP-ASI dilihat melalui
densitas energi dan zat gizi yang dikonsumsi oleh anak. Tabel 19 menunjukkan
hasil analisis hubungan antara densitas energi dan zat gizi dengan stunting.
Tabel 19 Hubungan antara densitas energi dan zat gizi dengan stunting
Stunting
Variabel
p r
Densitas energi .070 .542
Densitas protein .210 .144
Densitas vitamin A .100 .187
Densitas vitamin C .016* .272
Densitas zat besi .057 .216
Densitas kalsium .057 .216
*
Densitas seng .025 .253
*
Uji korelasi Spearman signifikan (p<0.05)
Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan (p<0.05) antara densitas vitamin C dan seng terhadap kejadian stunting.
Sedangkan pada densitas energi, protein, vitamin A, zat besi, dan kalsium tidak
menunjukkan adanya hubungan signifikan (p>0.05) dengan kondisi stunting.
Hasil analisis densitas energi dan protein yang dikonsumsi oleh anak sebagian
besar sudah berada di atas angka yang direkomendasikan sehingga tidak memiliki
hubungan dengan kejadian stunting pada anak. Densitas vitamin C dan seng pada
anak sebagian besar berada di bawah angka yang direkomendasikan. Vitamin C
33

dan seng merupakan zat gizi mikro yang berperan penting dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Sehingga rendahnya densitas pada zat
gizi tersebut dapat berhubungan dengan kondisi stunting pada anak.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kondisi Stunting

Uji statistik yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang


memiliki hubungan dengan kondisi stunting adalah uji regresi linear metode
stepwise. Kondisi stunting pada anak dilihat menggunakan z-score. Hasil analisis
diperoleh bahwa tingkat kecukupan protein (X1) dan pola asuh gizi (X2)
mempengaruhi kondisi stunting pada anak. Analisis dan model persamaan regresi
yang diperoleh adalah :
y = -0.414 + 0.003X1 + 0.020X2
Nilai R square dari persamaan sebesar 0.212 yang memiliki arti bahwa
21.2% kondisi stunting pada anak dipengaruhi oleh tingkat kecukupan protein dan
pola asuh gizi kemudian selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti
dalam penelitian ini. Hasil uji menunjukkan bahwa variabel tingkat kecukupan
protein (p=0.001) dan pola asuh gizi (p=0.021) secara nyata berpengaruh positif
terhadap kondisi stunting pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Picauly et al.
(2013) di Kupang dan Kabupaten Sumba Timur menunjukkan bahwa pola asuh
ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi stunting pada balita.
Rendahnya pola asuh yang diterapkan oleh ibu mempengaruhi peningkatan
kejadian stunting hingga 2.8 kali. Selain itu, penelitian tersebut juga menyatakan
bahwa asupan protein juga merupakan faktor yang mempengaruhi stunting.
Asupan protein yang rendah akan meningkatkan risiko kejadian stunting hingga
1.9 kali.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Subjek merupakan anak stunting usia 0-2 tahun yang berlokasi di


Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Usia anak rata-rata berada pada rentang
udia 12-24 bulan. Pendidikan orangtua sebagian besar adalah tamat SD/sederajat.
Pekerjaan ayah rata-rata adalah buruh, sedangkan pekerjaan ibu rata-rata adalah
sebagai ibu rumah tangga. Besar keluarga contoh sebagian besar berada pada
kategori kecil, dan pendapatan rata-rata ada pada kategori sedang. Uji korelasi
pearson antara pola asuh dengan stunting menunjukkan terdapat hubungan
signifikan (p<0.05) antara pola asuh gizi dan kesehatan dengan stunting.
Sedangkan pada pola asuh psikososial dengan stunting tidak menunjukkan adanya
hubungan signifikana (p>0.05). Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada anak
sebagian besar masih tergolong defisit berat. Densitas energi sebagian besar
subjek sudah tergolong baik, sedangkan untuk densitas zat gizi terutama zat besi,
kalsium, dan seng masih tergolong kurang. Hasil uji korelasi spearman
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0.01 dan p<0.05) antara
34

tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan stunting. Uji korelasi spearman
antara densitas vitamin C dan seng menunjukkan adanya hubungan signifikan
(p<0.05) dengan stunting. Sedangkan pada uji korelasi antara densitas energi,
protein, vitamin A, zat besi, dan kalsium tidak menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan (p>0.05) dengan kondisi stunting. Faktor yang berpengaruh pada
kondisi stunting berdasarkan uji regresi linear adalah tingkat kecukupan (p=0.001)
dan pola asuh gizi (p=0.021).

Saran

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara pola asuh gizi,
pola asuh kesehatan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan kondisi
stunting. Oleh karena itu disarankan keluarga dan pelayanan kesehatan tingkat
desa dapat memberikan pengetahuan pada ibu terkait pola asuh terhadap anak.
Selain itu tingkat kecukupan dan densitas pada energi dan zat gizi anak masih
tergolong defisit dan kurang sehingga dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi
pangan pada anak dan memperhatikan frekuensi dalam pemberian makanannya.
Penelitian selanjutnya yang dapat disarankan adalah meneliti juga dari segi
pengetahuan ibu terkait pola pengasuhan dan stunting pada anak karena
pengetahuan ibu juga dapat berpengaruh terhadap pola asuh yang diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aditianti. 2010. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di
Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Adriani M, Wirjatmadi B. 2012. Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta (ID):
Kencana Prenada Media Group.
Afifah T. 2011. Perkawinan dini dan dampak status gizi. Gizi Indonesia. 34(2):11.
Almatsier. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier S, Soetardjo S, Soekarti M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur
Kehidupan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Aridiyah FO, Rohmawati N, Ririanty M. 2015. Faktor-faktor yang memengaruhi
kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan perkotaan. E-
Jurnal Pustaka Kesehatan. 3(1): 163-170.
Asrar. 2009. Pola Asuh Makan, Asupan Zat Gizi dan Hubungannya dengan Status
Gizi Anak Balita Masyarakat Suku Nuaulu di Kecamatan Amahai
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku [Tesis]. Yogyakarta (ID):
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Astari LD, Nasoetion A, Dwiriani CM. 2005. Hubungan karakteristik keluarga,
pola pengasuhan dan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan. Media Gizi
dan Keluarga. 29(2): 40-46.
Azmi U, Mundiastuti L. 2018. Konsumsi zat gizi pada balita stunting dan non-
stunting di Kabupaten Bangkalan. Amerta Nutr. 2(3): 292-298.
35

[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 1997. Buku


Pedoman Bina Keluarga Balita. Jakarta (ID): BKKBN.
Baker H, Grantham M. 2004 dalam Gibney MJ, Margaretts BM, Kearney JM,
Arab L. 2013. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): ECG.
Bueno L, Aline, Mauro AC. 2008. The importance for growth of dietary intake of
calcium and vitamin D. Jornal de Pediatria. 84(5): 386-394.
Brooks J. 2011. The Process of Parenting. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Caldwell B, Bradley R. 2008. HOME Inventory: Administration Manual:
Comprehensive Edition. York (Eng): Child and Family Training Limited.
Chandra B. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta (ID): EGC.
Damayanti RA, Muniroh L, Farapti. 2016. Perbedaan tingkat kecukupan zat gizi
dan riwayat pemberian ASI eksklusif pada balita stunting dan non stunting.
Media Gizi Indonesia. 11(1): 61-69.
Dewi EK, Nindya TS. 2017. Hubungan tingkat kecukupan zat besi dan seng
dengan kejadian stunting pada balita 6-23 bulan. Amerta Nutr. 1: 361–368.
Diana FM. 2010. Pemantauan perkembangan anak balita. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 4(2): 116-129.
Drewnowski A, Keast DR, Fulgoni VL. 2009. Developmental and validation of
the nutrient rich foods index: a tool to measure nutritional quality foods. J
Nutr. 139(8): 1549-1554.
Fatimah NS, Wiratmaji RB. 2018. Tingkat kecukupan vitamin A, seng, dan zat
besi serta frekuensi infeksi pada balita stunting dan non stunting. Media
Gizi Indonesia. 13(30): 168-175.
Fewtrell, Mary S. 2007. Optimal duration of exclusive breastfeeding: what is the
evidence to support current recommendation?. Am J Clin Nutr. 85(2): 635-
638.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment 2Ed. London (ID): Oxford
Universty Press.
Gibson RS, Bailey KB, Gibbs M, Ferguson EL. 2010. A review of phytate, iron,
zinc, and calcium concentrations in plant-based complementary foods used
in low-income countries and implications for bioavailability. Food Nutr
Bull. 31(2): 134–146.
Haska H. 2013. Pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan status gizi bayi di Desa
Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Hastuti D, Fiernanti DYI, Guhardja S. 2011. Kualitas lingkungan pengasuhan dan
perkembangan sosial emosi anak usia balita di daerah rawan pangan. Jurnal
Ilmu Keluarga dan Konsumen. 4(1): 57-65.
Hendrayati. 2015. Analysis of determinant factors in stunting children aged 12 to
60 months. Biochemistry & Physiology. 10(1): 1-5.
Hidayati L, Hadi H, Kumara A. 2010. Kekurangan energi dan zat gizi merupakan
faktor risiko kejadian stunted pada anak usia 1-3 tahun yang tinggal di
wilayah kumuh perkotaan Surakarta. Jurnal Kesehatan. 3(1): 89–104.
Hikmawati F. 2017. Metodologi Penelitian. Depok (ID): Rajawali Pers.
Ida BRVC, Nugroho FA, Arysanthi IT. 2016. Hubungan status gizi terhadap
perkembangan neurodevelopmental pada bayi usia 0-6 bulan yang
mendapat asi eksklusif dan non-eksklusif di Puskesmas Kedungkandang
Kota Malang. Malang Neurologi Jurnal. 2(2): 70-78.
36

Istiany A, Rusilanti. 2013. Gizi Terapan. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya
Iswarati. 2010. Pengetahuan keluarga dalam pengasuhan dan tumbuh kembang
anak. Gizi Indonesia. 33(1): 67-73.
Jayanti EN. 2015. Hubungan Antara Pola Asuh Gizi dan Konsumsi Makanan
dengan Kejadian Stunting pada Anak Balita Usia 6-24 Bulan [Skripsi].
Jember (ID): Universitas Jember.
Karyadi E, Kolopaking R. 2007. Kiat Mengatasi Anak Sulit Makan. Jakarta (ID):
Intisari Mediatama.
Kaswari M. 2012. Gambaran perilaku ibu yang menikah di usia dini dalam
pemenuhan gizi balita di Desa Pulau Mungkur Kecamatan Gunung Toar
Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau [Skripsi]. Medan (ID):
Universitas Sumatera Utara.
[KEMENKES RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta (ID): Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Bina Gizi.
Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti MP, Imam S. 2010. Sehat dan Bugar Berkat
Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka.
Ledikwe JH, Blanck HM, Khan LK, Serdula MK, Seymour JD, Tohill BC, Rolls
BJ. 2006. Dietary energy density is associated with energy intake and
weight status in US adults. Am J Clin Nutr. 83(1): 1362-1368.
Lee SK, Park HK, Choi YJ. 2014. Nutritional standards for energy-dense low
nutrient density food for children in Korea. Asia Pac J Clin Nutr. 23(1): 27-
33.
Marmi. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta
(ID): Pustaka Pelajar
Martianto D, Riyadi H, Ariefiani R. 2010. Pola asuh makan pada rumah tangga
yang tahan dan tidak tahan pangan serta kaitannya dengan status gizi anak
balita di kabupaten banjarnegara. Jurnal Gizi dan Pangan. 6(1): 51-58.
McGregor SG, Cheung YB, Cueto S, Glewwe P, Richter L, Strupp B. 2007.
Development potential in the first 5 years for children in developing
countries. Lancet. 369(9555): 60-70.
Mikhail WZA, Sobhy HM, El-Sayed HH, Khiry SA, Abu Salem HYH, Samy MA.
2013. Effect of nutritional status on growth pattern of stunted preschool
children in Egypt. Academic Journal of Nutrition. 2(1): 1–9.
Mirayanti NKA. 2012. Hubungan Pola Asuh Pemenuhan Nutrisi dalam Keluarga
dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Pasir Gunung Selatan Kecamatan
Cimanggis Kota Depok [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Muthayya S. 2009. Maternal nutrition and low birth weigh - what is really
important. Indian J Med Res. 130(5): 600-608.
Nadiyah. 2014. Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia 0-23 Bulan di Provinsi
Bali, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(2):
125—132
Nagari RK, Nindya TS. 2017. Tingkat kecukupan energi, protein, dan status
ketahan pangan rumah tangga berhubungan dengan status gizi anak usia 6-8
tahun. Amerta Nutr. 1(3): 189-197.
Nurlinda, A. 2013. Gizi dalam Siklus Daur Kehidupan Seri Baduta. Yogyakarta
(ID): Andi Offset.
37

Oktarina Z, Sudiarti T. 2013. Faktor Risiko Stunting pada Balita (24–59 bulan) di
Sumatera. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(3), 175–180.
[PAHO] Pan America Health Organization/ [WHO] World Health Organization/
[UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2013. ProPAN: Process for
the Promotion of Child Feeding 2Ed. Washington DC: PAHO.
Patterson E, Warnberg J, Poortvliet E, Kearney JM, Sjostrom M. 2010. Dietary
energy density as a marker of dietary quality in Swedish children and
adolescents: the European Youth Heart Study. Eur J Clin Nutr. 64(4): 356-
363.
Picauly I, Toy MS. 2013. Analisis determinan dan pengaruh stunting terhadap
prestasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur NTT. Jurnal
Gizi dan Pangan. 8(1): 55–62.
Puspaningtyas DE. 2012. Hubungan status anemia, praktek pemberian makan,
praktik perawatan kesehatan, dan stimulasi kognitif dengan fungsi kognitif
anak sekolah dasar. Gizi Indonesia. 35(2): 109-119.
Rachmawati DS. 2018. Hubungan antara Asupan Protein dengan Stunting pada
Anak Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Kartasura [Skripsi].
Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rahmad AH, Miko A. 2016. Kajian stunting pada anak balita berdasarkan pola
asuh dan pendapatan keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesmas
Indonesia. 8(2): 63-79.
Rahmawati. 2006. Status Gizi dan Perkembangan Anak Usia Dini di Taman
Pendidikan Karakter Sutera Alam, Desa Sukamantri [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rahmayana, Ibrahim IA, Damayanti DS. 2014. Hubungan pola asuh ibu dengan
kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di Posyandu Asoka II Wilayah
Pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar tahun
2014. Al-Sihah: Public Health Science Journal. 6(2): 424-436.
Ramadhan MA. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik
(2T) pada balita gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan tahun 2011 [Skripsi]. Jakarta (ID):
UIN Syarif Hidayatullah.
Ribeiro LL. 2009. Construction and Validation of a Four Parenting Styles Scale.
[Thesis]. Humboldt State University.
Rohimah E, Kustiyah L, Hernawati N. 2015. Pola Konsumsi, Status Kesehatan
dan Hubungannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Balita. Jurnal
Gizi Pangan. 10(2): 93-100.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
________________________________. 2018. Riset Kesehatan Dasar Tahun
2018. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Rofles SR, Pinna K, Whitney E. 2009. Understanding Normal and Clinical
Nutrition, Eighth Edition. Belmont (USA): Wadsworth
Santrock J. 2007. Perkembangan anak edisi sebelas jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga
38

Sari EM, Juffrie M, Nurani N, Sitaresmi MN. 2016. Asupan protein, kalsium dan
fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bula. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia. 12(4): 152-159.
Setyowati YD, Krisnatuti D, Hastuti D. 2017. Pengaruh kesiapan menjadi orang
tua dan pola asuh psikososial terhadap perkemabngan sosial anak. Jurnal
Ilmu Keluarga dan Konsumsen. 10(2): 95-106.
Soegiyanto B, Wiyono D. 2007. Penilaian Status Gizi dan Baku Antropometri.
Surabaya (ID): Duta Prima Airlangga.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional.
Suhardjo. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Sulistianingsih A, Yanti DAM. 2013. Kurangnya asupan makan sebagai
penyebab kejadian balita pendek (Stunting). Dunia Kesehatan. 5: 71–75.
Syukriawati R. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Kurang pada Anak Usia 24-59 Bulan di Keluarahan Pamulang Barat Kota
Tangerang Selatan Tahun 2011 [skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif
Hidayatullah.
Ulfa M, Latifah M. 2007. Hubungan pola asuh makan, pengetahuan gizi, presepsi
dengan kebiasaan makan sayuran ibu rumah tangga di perkotaan dan
pedesaan Bogor. Media Gizi dan Keluarga. 31(1):30-41
[UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2011. Programming Guide: Infant
and Young Child Feeding. New York: UNICEF.
Virdani AS. 2012. Hubungan Antara Pola Asuh Terhadap Status Gizi Balita Usia
12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalirungkut Kelurahan
Kalirungkut Kota Surabaya [Skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
[WHO] World Health Organization. 2009. Guidelines on Hand Hygiene in
Health Care. Geneva.
_______________________________. 2014. Maternal Mortality: World Health
Organization. Geneva.
_______________________________. 2017. Stunted Growth and Development.
Geneva.
Vossenaar M, Solomons NW. 2012. The concept of ―critical nutrient density‖ in
complementary feeding: the demands on the ―family foods‖ for the nutrient
adequacy of young Guatemalan children with continued breastfeeding. Am
J Clin Nutr. 95(4): 859–866.
Walker A. 2010. Breast milk as the gold standard for protective nutrients. J
Pediatr. 156(2): 3-7
Wiratmadji RB, Welasasih DB. 2012. Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of Public
Health. (8)3: 99-104.
Zogara AU, Hadi H, Arjuna T. 2014. Riwayat pemberian ASI eksklusif dan
MPASI dini sebagai prediktor terjadinya stunting pada baduta di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan Dietetik
Indonesia. 2(1): 53–62.
39

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

POLA ASUH IBU PADA ANAK STUNTING USIA 0-2 TAHUN


DI KECAMATAN PAMIJAHAN, KABUPATEN BOGOR

Kode Responden : ..................................................................


Tanggal Wawancara : .................................................................
Nama Ibu : ..................................................................
Nama Anak : ..................................................................
Alamat : ..................................................................
Alamat : ..................................................................
No.Telp : ..................................................................

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
40

PERSETUJUAN RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk


berperan serta dalam penelitian ini dengan memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian dengan sejujurnya. Demikian surat pernyataan ini
saya buat dengan sukarela tanpa tekanan dari pihak manapun. Untuk digunakan
sebagaimana mestinya.

Bogor, 2019

Responden

(........................)
41

Nama Responden :
Kode Responden :
a. Karakteristik Keluarga
1. Nama Ayah :
2. Nama Ibu :
3. Usia Orang tua Ayah : Ayah : Tahun
Ibu : Tahun
4. Pekerjaan Ayah*) :
5. Pekerjaan Ibu*) :
6. Pendidikan Terakhir Ayah :
7. Pendidikan Terakhir Ibu :
8. Penghasilan keluarga : [1] < Rp 500.000
[2] Rp 500.000 – Rp 1.000.000
[3] > Rp 1.000.000
9. Bantuan pemerintah : [1] Program Keluarga Harapan (PKH)
[2] Beras Miskin (Raskin)
[3] Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)
[4] Program Simpanan Keluarga Sejahtera
(PSKS)
[5] Bantuan Pangan non Tunai (BPNT)
10. Besar keluarga : Orang
11. Anggota keluarga satu [1] Hanya ibu dan ayah dari anak
rumah : [2] Ada nenek dan kakek dari anak
[3] Ada kakak/adik dari ibu
*)
Berdasarkan alokasi waktu kerja tertinggi

b. Karakteristik Anak
1. Nama Anak :
2. Jenis kelamin : [1] Laki-laki [2] Perempuan
3. Umur : Tahun
4. Tanggal lahir :
5. Berat saat lahir : Kg
6. Berat badan sekarang : Kg
7. Tinggi badan sekarang : cm

c. Pola Asuh Gizi


No Pernyataan Ya Tidak
1. Ibu melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) segera
setelah bayi lahir
2. Ibu memberikan ASI pertama yang berwarna
kekuningan (kolostrum) pada bayi
3 Ibu membiarkan bayi di atas dada ibu minimal selama 1
jam
4. Ibu menyusui setiap bayi menginginkan, paling sedikit 8
kali sehari (setiap 2 jam)
5. Ibu (akan) memberikan susu formula saat bayi berusia
di bawah 6 bulan
42

6. Ibu (akan) memberikan makanan lain pada saat bayi


masih berusia dibawah 6 bulan
7. Ibu (akan) memberi ASI sampai bayi berusia 2 tahun
8. Ibu (akan) memberi MP-ASI berupa makanan lumat
saat bayi berusia 6-9 bulan
9. Ibu (akan) memberi MP-ASI berupa makanan lembek
atau cincang saat anak berusia 9-12 bulan
10. Ibu mengutamakan memberi MP-ASI dari bahan
makanan lokal
11. Ibu memberikan protein hewani pada makanan anak
setiap hari
12. Ibu memberikan protein nabati pada makanan anak
setiap hari
13. Ibu memberikan sayur pada makanan anak setiap hari
14. Ibu memberikan buah pada makanan anak setiap hari
15. Ibu membiasakan anak makan 3 kali sehari
16. Ibu memberikan makanan selingan 1-2 kali sehari
17. Ibu menghidangkan menu yang bervariasi setiap hari
18. Ibu memberi makan yang penting anak kenyang
19. Ibu memperhatikan suasana saat memberi makan anak
20. Ibu memberikan makanan manis sebelum waktu makan

d. Pola Asuh Kesehatan


No Pernyataan Ya Tidak
1. Balita memiliki KMS
2. Balita diimunisasi lengkap sebelum anak berusia 1
tahun
3. Anak selalu ditimbang setiap bulan
4. Anak selalu mengonsumsi kapsul vitamin A dari
posyandu secara berkala
5. Ibu mencuci tangan sebelum mengolah makanan
6. Ibu mencuci tangan sebelum memberi makan anak
7. Ibu mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih
yang mengalir
8. Ibu memeriksa dan menggunting kuku anak seminggu
sekali
9. Ibu membiasakan anak sikat gigi setiap setelah sarapan
dan sebelum tidur
10. Ibu mengganti pakaian anak hanya setelah mandi
11. Ibu mencuci rambut/ keramas anak 3 kali seminggu
menggunakan sampo
12. Ibu mencuci tangan dan kaki anak setiap habis main
13. Ketika anak sakit ibu segera membawa ke pelayanan
kesehatan
14. Ibu menyediakan/memberikan oralit saat anak diare
15. Ketika demam ibu mengompres anak menggunakan air
dingin
43

16. Ibu menyediakan parasetamol untuk persediaan obat


demam pada anak
17. Ibu memberikan ASI lebih sering saat anak sakit ketika
anak masih menyusui
18. Ibu membiarkan anak bermain di tempat yang kotor
19. Ibu menjauhkan anak dari asap pembakaran sampah
20. Ibu membuang sampah di rumah setiap hari

e. Pola Asuh Psikososial


No Pernyataan Ya Tidak
1. Ibu membiasakan untuk memuji anak saat dapat
melakukan suatu hal setiap hari
2. Ibu memberi anak mainan/benda yang besar dan
berwarna saat anak berusia 3 bulan
3. Ibu (akan) melatih anak berdiri dan berjalan dengan
berpegang tangan saat bayi berumur 12 bulan
4. Ibu tidak menelungkupkan bayi saat berusia 3-6 bulan
5. Ibu (akan) mengajarkan anak berjalan di
undakan/tangga saat usia 2 tahun
6. Ibu melatih anak berdiri dan berjalan dengan
berpegangan saat usia 6-12 bulan
7. Ibu (akan) mengajarkan anak membereskan mainan saat
berusia 1-2 tahun
8. Ibu mengajak anak mengelompok-kan benda sejenis
9. Ibu mengajarkan anak menyebutkan bagian tubuhnya
10. Ibu (akan) mengizinkan anak mencoret-coret di kertas
ketika berusia 1-2 tahun
11. Menyisihkan sebagian waktu untuk berkomunikasi
dengan anak
12. Ibu mengajak anak bernyanyi dan bermain bersama
13. Ibu membacakan majalah atau buku cerita anak
14. Ibu mengajarkan kata-kata yang memiliki arti dan
santun kepada anak
15. Ibu mengajarkan anak berbicara saat bayi berusia 6-12
bulan
16. Ibu mendengarkan anak sebuah musik/shalawat
17. Ibu membiarkan anak memakan kue atau biskuit sendiri
saat berusia 6 bulan
18. Ibu membawa anak pergi minimal satu kali seminggu
19. Ibu melatih anak memegang benda kecil saat anak
berusia 6 bulan
20. Ibu mengajak teman-teman anak bermain bersama di
rumah
44

F. Semi-Quantitative Food Frequency (SFFQ) 1 bulan terakhir


Konsumsi Frekuensi konsumsi Jumlah
No Makanan
URT Berat (g) …x/hr …x/mgg …x/bln (g/hr)
A. Makanan Pokok
1. Nasi
2. Bubur nasi
3. Kentang
4.
B. Pangan hewani
1. Daging
2. Ikan segar
3. Telur
4. Sosis
5.
C. Pangan nabati
1. Tahu
2. Tempe
3. Kacang merah
4. Kacang hijau
5.
D. Sayur-sayuran
1. Bayam
2. Wortel
3. Labu siam
4. Brokoli
5. Buncis
6. Sawi hijau
7. Sawi putih
8.
E. Buah-buahan
1. Jeruk
2. Pisang
3. Papaya
4. Semangka
5.
F. Susu dan olahannya
1. ASI
2. Susu sapi
3. Susu formula
4. Susu UHT
5.
G. Makanan lainnya
1. Bubur cerelac
2. Bubur milna
3. Bubur sun
4. Bubur promina
5. Biskuit bayi
6.
45

Lampiran 2 Hasil uji korelasi

1 Hasil uji korelasi Pearson pada usia ibu dengan kondisi stunting

Correlations

Usia ibu Stunting

Usia ibu Pearson Correlation 1 .075

Sig. (2-tailed) .515

N 78 78

Stunting Pearson Correlation .075 1

Sig. (2-tailed) .515

N 78 78

2 Hasil uji korelasi Pearson pada pola asuh gizi dengan kondisi stunting

Correlations

Pola asuh gizi Stunting


*
Pola asuh gizi Pearson Correlation 1 .223

Sig. (2-tailed) .049

N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .223 1

Sig. (2-tailed) .049

N 78 78

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

3 Hasil uji korelasi Pearson pada pola asuh kesehatan dengan kondisi stunting

Correlations

Pola asuh
kesehatan Stunting
*
Pola asuh Pearson Correlation 1 .255
kesehatan
Sig. (2-tailed) .024

N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .255 1

Sig. (2-tailed) .024

N 78 78

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


46

4 Hasil uji korelasi Pearson pada pola asuh psikososial dengan kondisi stunting

Correlations

Pola asuh
psikososial Stunting

Pola asuh Pearson Correlation 1 .130


psikososial
Sig. (2-tailed) .256

N 78 78

Stunting Pearson Correlation .130 1

Sig. (2-tailed) .256

N 78 78

5 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan energi dengan stunting

Correlations

TKE Stunting
**
Spearman's rho TKE Pearson Correlation 1.000 .336

Sig. (2-tailed) . .003

N 78 78
**
Stunting Pearson Correlation .336 1.000

Sig. (2-tailed) .003 .

N 78 78

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

6 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan protein dengan stunting

Correlations

TKP Stunting
**
Spearman's rho TKP Pearson Correlation 1.000 .444

Sig. (2-tailed) . .000

N 78 78
**
Stunting Pearson Correlation .444 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 78 78

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


47

7 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan vitamin A dengan stunting

Correlations

TKVitA Stunting
*
Spearman's rho TKVitA Pearson Correlation 1.000 .232

Sig. (2-tailed) . .041

N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .232 1.000

Sig. (2-tailed) .041 .

N 78 78

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

8 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan vitamin C dengan stunting

Correlations

TKVitC Stunting
*
Spearman's rho TKVitC Pearson Correlation 1.000 .242

Sig. (2-tailed) . .032

N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .242 1.000

Sig. (2-tailed) .032 .

N 78 78

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

9 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan zat besi dengan stunting

Correlations

TKFe Stunting
**
Spearman's rho TKFe Pearson Correlation 1.000 .360

Sig. (2-tailed) . .001

N 78 78
**
Stunting Pearson Correlation .360 1.000

Sig. (2-tailed) .001 .

N 78 78

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


48

9 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan kalsium dengan stunting

Correlations

TKCa Stunting
*
Spearman's rho TKCa Pearson Correlation 1.000 .285

Sig. (2-tailed) . .011

N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .285 1.000

Sig. (2-tailed) .011 .

N 78 78

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

10 Hasil uji korelasi Spearman pada tingkat kecukupan seng dengan stunting

Correlations

TKCa Stunting
*
Spearman's rho TKCa Pearson Correlation 1.000 .287

Sig. (2-tailed) . .011

N 78 78
*
Stunting Pearson Correlation .287 1.000

Sig. (2-tailed) .011 .

N 78 78

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

11 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas energi dengan kondisi stunting

Correlations

Densitas energi Status gizi

Spearman's rho Densitas energi Correlation Coefficient 1.000 .070

Sig. (2-tailed) . .542

N 78 78

Status gizi Correlation Coefficient .070 1.000

Sig. (2-tailed) .542 .

N 78 78
49

11 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas protein dengan kondisi stunting

Correlations

Densitas protein Status gizi

Spearman's rho Densitas protein Correlation Coefficient 1.000 .144

Sig. (2-tailed) . .210

N 78 78

Status gizi Correlation Coefficient .144 1.000

Sig. (2-tailed) .210 .

N 78 78

12 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas vitamin A dengan kondisi stunting

Correlations

Densitas vit A Status gizi

Spearman's rho Densitas vit A Correlation Coefficient 1.000 .187

Sig. (2-tailed) . .100

N 78 78

Status gizi Correlation Coefficient .187 1.000

Sig. (2-tailed) .100 .

N 78 78

13 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas vitamin C dengan kondisi stunting

Correlations

Densitas vit C Status gizi


*
Spearman's rho Densitas vit C Correlation Coefficient 1.000 .272

Sig. (2-tailed) . .016

N 78 78
*
Status gizi Correlation Coefficient .272 1.000

Sig. (2-tailed) .016 .

N 78 78
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
50

14 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas zat besi dengan kondisi stunting

Correlations

Densitas Fe Status gizi

Spearman's rho Densitas Fe Correlation Coefficient 1.000 .216

Sig. (2-tailed) . .057

N 78 78

Status gizi Correlation Coefficient .216 1.000

Sig. (2-tailed) .057 .

N 78 78

15 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas kalsium dengan kondisi stunting

Correlations

Densitas Ca Status gizi

Spearman's rho Densitas Ca Correlation Coefficient 1.000 .216

Sig. (2-tailed) . .057

N 78 78

Status gizi Correlation Coefficient .216 1.000

Sig. (2-tailed) .057 .

N 78 78

16 Hasil uji korelasi Spearman pada densitas seng dengan kondisi stunting

Correlations

Densitas Zn Status gizi


*
Spearman's rho Densitas Zn Correlation Coefficient 1.000 .253

Sig. (2-tailed) . .025

N 78 78
*
Status gizi Correlation Coefficient .253 1.000

Sig. (2-tailed) .025 .

N 78 78
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
51

Lampiran 3 Hasil uji regresi

a
Variables Entered/Removed

Variables Variables
Model Entered Removed Method

1 Stepwise
(Criteria:
Probability-
of-F-to-
enter <=
TKP .
.050,
Probability-
of-F-to-
remove >=
.100).

2 Stepwise
(Criteria:
Probability-
of-F-to-
enter <=
Pola asuh gizi .
.050,
Probability-
of-F-to-
remove >=
.100).

a. Dependent Variable: Stunting

Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate
a
1 .385 .148 .136 .45628
b
2 .460 .212 .189 .44208

a. Predictors: (Constant), TKP

b. Predictors: (Constant), TKP, Pola asuh gizi


52

c
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.


a
1 Regression 2.538 1 2.538 12.191 .001

Residual 14.573 70 .208

Total 17.111 71
b
2 Regression 3.626 2 1.813 9.278 .000

Residual 13.485 69 .195

Total 17.111 71

a. Predictors: (Constant), TKP

b. Predictors: (Constant), TKP, Pola asuh gizi

c. Dependent Variable: Stunting

a
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 1.128 .092 12.238 .000

TKP .003 .001 .385 3.492 .001

2 (Constant) -.414 .659 -.628 .532

TKP .003 .001 .361 3.360 .001

Pola asuh gizi .020 .008 .253 2.360 .021

a. Dependent Variable: Stunting


53

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan bapak A.Y. Suherman dan
ibu Heni Kustiani. Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 April 1997.
Penulis adalah putri terakhir dari empat bersaudara. Penulis merupakan lulusan
SDN Batutulis 1, SMP Swasta Insan Kamil Bogor. dan SMA Swasta Insan Kamil
Bogor. Tahun 2015 penulis masuk di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima
di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti organisasi dan
kepanitiaan. Organisasi yang diikuti oleh penulis yaitu Himpunan Mahasiswa
Gizi Masyarakat (HIMAGIZI) sebagai staf di divisi keprofesian. Selain itu
penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan seperti staf penanggung jawab
kelompok (PJK) MPKMB 2016, staf dana usaha masa pengenalan departemen
(MPD) Gizi 2017, volunteer NutriAction 2016/2017, staf Desa Mitra Mahasiswa
FEMA (SAMISAENA) divisi Gizi dan Kesehatan tahun 2016/2017, staf
kesekretariatan Nutrition Fair 2017 dan 2018, kepala divisi humas Seminar
Keprofesian tahun 2018, ketua pelaksana Pelatihan HACCP tahun 2018, panitia
Table manner tahun 2018, Sekretaris dari Orienstation Resto tahun 2018, serta
aktif sebagai volunteer di Bogor Mengabdi divisi bogor sehat. Penulis pernah
mengikuti pelatihan table manner yang diselenggarakan oleh keprofesian
himagizi IPB pada tahun 2018. Penulis juga pernah mengikuti pelatihan HACCP
pada tahun 2019. Penulis melakukan KKN di Desa Sukajaya, Kecamatan
Sukajaya, Kabupaten Bogor pada bulan Juli-Agustus 2018. Peneliti melakukan
Internship Dietetics (ID) di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung
selama 5 minggu.

Anda mungkin juga menyukai