Anda di halaman 1dari 70

PENGETAHUAN GIZI TERKAIT PENYAKIT

DEGENERATIF, POLA KONSUMSI, DAN


AKTIVITAS FISIK MAHASISWA IPB

KIKY YUNITA SARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengetahuan Gizi terkait
Penyakit Degeneratif, Pola Konsumsi, dan Aktivitas Fisik Mahasiswa IPB adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

Kiky Yunita Sari


NIM I14110005

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama terkait
iv
v

ABSTRAK

KIKY YUNITA SARI. Pengetahuan Gizi terkait Penyakit Degeneratif, Pola


Konsumsi, dan Aktivitas Fisik Mahasiswa IPB. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA.

Tujuan umum penelitian adalah menganalisis hubungan antara pengetahuan


gizi terkait penyakit degeneratif dengan pola konsumsi dan aktivitas fisik
mahasiswa IPB. Desain penelitian adalah cross-sectional study dengan teknik
penarikan sampel secara purposive sebanyak 80 contoh mahasiswa GIZ dan MNH
IPB. Pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif pada contoh GIZ (79.3±9.5)
lebih tinggi dibanding MNH (39.3±17.1). Rata-rata frekuensi konsumsi makanan
berlemak dan jeroan, makanan manis, makanan asin dan awetan, fast food, soft
drink, dan minuman berkafein lebih tinggi pada contoh MNH (8.8±5.2; 2.1±3.7;
16.5±11.2; 7.9±2.2; 4.6±3.7; 3.6±4.2; 2.6±3.0) kali/minggu dibanding GIZ
(7.8±4.0; 0.9±1.3; 13.5±8.7; 5.9±3.2; 4.1±2.8; 2.3±3.3; 1.3±2.6) kali/minggu secara
berturut-turut. Namun, frekuensi konsumsi sayur dan buah lebih tinggi pada contoh
GIZ (18.6±12.5; 10.3±8.9) kali/minggu dibanding MNH (15.0±11.5; 6.1±5.4)
kali/minggu secara berturut-turut. Tingkat aktivitas fisik GIZ (1.56±0.21) relatif
sama dengan MNH (1.59±0.19). Berdasarkan uji korelasi Spearman, terdapat
hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan gizi terkait penyakit
degeneratif dengan frekuensi konsumsi makanan asin dan awetan, sayur, buah, dan
minuman berkafein. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (p≥0.05) antara
pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif dengan frekuensi konsumsi makanan
berlemak, makanan manis, jeroan, fast food, dan soft drink serta aktivitas fisik.

Kata kunci: aktivitas fisik, pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif, pola
konsumsi.

ABSTRACT

KIKY YUNITA SARI. Nutrition Knowledge related Degenerative Disease, Food


Consumption Pattern, and Physical Activity of Students in Bogor Agricultural
University. Supervised by IKEU TANZIHA.

This study aims to analyze the association between nutrition knowledge with
food consumption pattern and physical activity of students in Bogor Agricultural
University. Design of this study was cross sectional with purposive sampling 80
students in nutrition science and forest management Bogor Agricultural University.
Nutrition knowledge related degenerative disease in sample GIZ (79.3±9.5) was
higher than MNH (39.3±17.1). The average frequency of consumption dietary fats,
sweetened food, salty and preserved food, fast food, soft drink and caffeinated
beverages in sample MNH (8.8±5.2; 2.1±3.7; 16.5±11.2; 7.9±2.2; 4.6±3.7; 3.6±4.2;
2.6±3.0) times/week was higher than sample GIZ (7.8±4.0; 0.9±1.3; 13.5±8.7;
4.1±2.8; 2.3±3.3; 1.3±2.6) times/week, respectively. However, the average
vi

frequency of consumption vegetables and fruits in the sample GIZ (18.6±12.5;


10.3±8.9) times/week was higher than sample MNH (15.0±11.5; 6.1±5.4)
times/week, respectively. Physical activity levels of sample GIZ (1.56±0.21) was
relatively similar to the MNH (1.59±0.19). Based on Spearman correlation, there
was a significant correlation (p<0.05) between nutrition knowledge related
degenerative disease with frequency of consumption salty and preserved food,
vegetables, fruits, and caffeinated beverages. There was no significant correlation
(p≥0.05) between nutrition knowledge related degenerative disease with frequency
consumption of dietary fats, sweetened food, fast food, soft drink, dan physical
activity.

Keywords: food pattern, nutrition knowledge related degenerative disease, physical


activity.
vii

PENGETAHUAN GIZI TERKAIT PENYAKIT


DEGENERATIF, POLA KONSUMSI, DAN
AKTIVITAS FISIK MAHASISWA IPB

KIKY YUNITA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
ix

Judul Skripsi : Pengetahuan Gizi terkait Penyakit Degeneratif, Pola Konsumsi,


dan Aktivitas Fisik Mahasiswa IPB
Nama : Kiky Yunita Sari
NIM : I14110005

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS


Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :
x
xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Maret 2015
ini ialah Pengetahuan Gizi terkait Penyakit Degeneratif, Pola Konsumsi, dan
Aktivitas Fisik Mahasiswa IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS yang telah membimbing penulis sejak awal
perumusan tema hingga selesainya karya tulis ini, juga atas segala bentuk
dukungan lain yang telah diberikan, sekaligus dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing dan memberikan dukungan selama menjalankan studi
di Departemen Ilmu Gizi.
2. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS sebagai dosen pemandu seminar dan penguji
sidang yang telah memberikan masukan yang teramat berharga bagi penulis.
3. Mahasiswa Ilmu Gizi dan Manajemen Hutan 49 yang telah bersedia menjadi
mitra dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis.
4. Ayahanda tercinta, Sumanto dan Ibunda tercinta, Wartianah yang selalu
memberikan kasih sayang serta teladan atas semangat menuntut ilmu dan juga
adik tersayang, Riqqi Wafdan As-Syahid atas segala dukungan yang diberikan.
5. Elma, Aviani, Widya, dan kak Faiza sebagai rekan seperjuangan dalam
penelitian, serta teman-teman lain yang telah membantu dalam proses
pengambilan data.
6. Saudara seperjuangan Manggolo Putro 48 (Renita, lilis, siti, alfi, dani, lusi, fajar,
doni, alfian), Bahriyatul Ma’rifah, dan Mochamad Tholkhah Syamhadi yang
telah memberikan banyak inspirasi dan semangat yang telah diberikan selama
ini.
7. Teman-teman Gizi 48 yang telah memberikan banyak inspirasi, semangat, ruang
untuk diskusi dan berbagi, serta bantuan lainnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang belum
disebutkan yang juga turut membantu dalam proses penyelesaian karya tulis ilmiah
ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

Kiky Yunita Sari


xii
xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv


DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
KERANGKA PEMIKIRAN 3
METODE 6
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 6
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 6
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 7
Pengolahan dan Analisis Data 8
Definisi Operasional 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Gambaran Umum Mayor 12
Karakteristik Contoh 12
Karakteristik Keluarga 14
Pengetahuan Gizi terkait Penyakit Degeneratif 17
Pola Konsumsi 25
Aktivitas Fisik 38
Hipertensi 40
Hubungan antar Variabel 41
SIMPULAN DAN SARAN 44
Simpulan 44
Saran 45
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 51
xiv

DAFTAR TABEL

1 Variabel, cara, dan alat pengumpulan data 7


2 Pengkategorian dan analisis variabel penelitian 8
3 Physical Activity Ratio (PAR) berbagai aktivitas fisik 10
4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin 12
5 Sebaran contoh berdasarkan uang saku per bulan 13
6 Sebaran contoh berdasarkan asal daerah 14
7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua 14
8 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua 15
9 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orang tua 15
10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kemiskinan dan besar keluarga 16
11 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit orang tua 17
12 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit ayah dan ibu 17
13 Sebaran contoh berdasarkan jawaban pertanyaan benar 18
14 Sebaran contoh berdasarkan sumber informasi 24
15 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi terkait 25
penyakit degeneratif
16 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak 26
17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan 26
berlemak
18 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi jeroan 27
19 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi jeroan 28
20 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan manis 28
21 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan 29
manis
22 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan asin dan 30
awetan
23 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan asin 30
dan awetan
24 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayur 31
25 Sebaran contoh berdasarkan kategori konsumsi sayur 32
26 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur 32
27 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah 33
28 Sebaran contoh berdasarkan kategori konsumsi buah 33
29 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi buah 34
30 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi fast food 34
31 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi fast food 35
32 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink 36
33 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi soft drink 36
34 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi minuman 37
berkafein
35 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi minuman 38
berkafein
36 Rata-rata alokasi waktu berdasarkan mayor 38
37 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik 40
38 Sebaran contoh berdasarkan kategori tekanan darah 40
xv

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pemikiran pengetahuan gizi terkait penyakit 5


degeneratif, pola konsumsi, dan aktivitas fisik contoh

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar dosis kafein berdasarkan berat badan 53


1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan perekonomian sebagai dampak dari pembangunan di negara-


negara sedang berkembang sebagaimana di Indonesia menyebabkan perbaikan
tingkat hidup. Hal ini menjadikan kesehatan masyarakat meningkat, disamping itu
terjadi pula perubahan pola hidup. Perubahan ini yang menyebabkan pola penyakit
berubah dari penyakit infeksi atau penyakit menular dan rawan gizi ke penyakit-
penyakit tidak menular (Kemenkes 2011).
Penyakit tidak menular (PTM) sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat
secara global, regional, nasional, dan lokal. Global status report on NCD World
Health Organization (WHO) (2011) melaporkan bahwa 60% penyebab kematian
semua umur di dunia adalah karena PTM. Di negara-negara dengan tingkat
ekonomi menengah ke bawah dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang
berusia kurang dari 60 tahun, 28% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara
dengan tingkat ekonomi ke atas menyebabkan 13% kematian. Data WHO
menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008,
sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh penyakit tidak
menular.
Penyakit degeneratif yaitu suatu penyakit kronis yang merupakan salah satu
kategori penyakit tidak menular. Penyakit ini mempunyai durasi yang panjang dan
umumnya berkembang secara lambat. Ada empat jenis penyakit degeneratif utama
menurut WHO yaitu penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner dan
stroke), kanker, penyakit pernapasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi
kronis), dan diabetes (Riskesdas 2013). Saat ini penyakit degeneratif menjadi
penyebab kematian terbesar di dunia. Hampir 17 juta orang di dunia meninggal
lebih awal setiap tahun akibat epidemi global penyakit degeneratif. Penyebab utama
penyakit degeneratif adalah pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok,
minum alkohol, pola makan dan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, stres, dan
pencemaran lingkungan (Handajani et al. 2010).
Data WHO menunjukkan bahwa di seluruh dunia pembunuh paling besar
adalah penyakit kardiovaskular. Pada tahun 1995 penyakit kardiovaskular telah
menyebabkan kematian sekitar 15 juta jiwa, atau sekitar 30% dari total penyebab
kematian. Tahun 2020 diperkirakan penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung
koroner mencapai 40% dari total penyebab kematian di dunia (Muchtadi 2013).
Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0.5% dan
berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1.5%. Selain itu, prevalensi
penyakit degeneratif lain seperti diabetes mellitus pada tahun 2013 di Indonesia
sebesar 2.1%, lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang mencapai 1.1%. Prevalensi
hipertensi diagnosis oleh nakes pada tahun 2013 mencapai 9.5%, lebih tinggi
dibandingkan pada tahun 2007 yang mencapai 7.6%. Selain itu, kecenderungan
prevalensi stroke menunjukkan kenaikan dari 8.3 per mil pada tahun 2007 menjadi
12.1 per mil pada tahun 2013 (Riskesdas 2013). The UN High-Level Meeting on
Non-communicable Disease tahun 2001 menyebutkan, salah satu intervensi utama
untuk mengendalikan PTM adalah memperbaiki pola konsumsi makanan termasuk
2

mengurangi konsumsi gula, garam, lemak, dan alkohol, serta melakukan aktivitas
fisik yang cukup dan teratur (Kemenkes 2011).
Awosan et al. (2014) menyatakan, kebiasaan makan yang tidak sehat
(konsumsi tinggi gula, garam, lemak jenuh, dan lainnya) dan gaya hidup yang tidak
sehat (merokok, konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik) merupakan faktor risiko
utama penyakit jantung dan penyakit tidak menular lainnya. Menurut Hoppu et al.
(2010), banyak perhatian di sekitar mengenai remaja yang memiliki kebiasaan
dalam memilih makanan, termasuk rendahnya konsumsi buah dan sayur serta
tingginya konsumsi makanan dan minuman manis dan Montazerifar et al. (2012)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa remaja memiliki kebiasaan dalam
mengonsumsi makanan asin yang tinggi.
Peningkatan pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif diharapkan dapat
digunakan sebagai langkah dalam mencegah terjadinya penyakit degeneratif sejak
dini, mengingat bahwa penyakit degeneratif merupakan penyakit kronis yang
kejadiannya dalam kurun waktu yang lama dan merupakan penyakit turunan
dimana anak akan berisiko lebih tinggi apabila orang tua memiliki riwayat penyakit
ini. Selain pengetahuan, pola makan dan aktivitas fisik yang baik perlu
direalisasikan. Terkait dengan perilaku hidup sehat, peran setiap anggota keluarga
dan peran ibu atau perempuan dalam rumah tangga sangat penting. Oleh karena itu,
sumber informasi baik formal maupun informal sangat diperlukan untuk dapat
meningkatkan pengetahuan.
Penelitian ini menggunakan contoh mahasiswa Ilmu Gizi semester 6 dan
mahasiswa diluar program studi gizi yaitu mahasiswa jurusan Manajemen Hutan
semester 6 di Institut Pertanian Bogor. Melihat bahwa mahasiswa Gizi semester 6
sudah mendapatkan pendidikan formal mengenai penyakit degeneratif, diharapkan
memiliki pengetahuan gizi, pola makan, dan aktivitas fisik lebih baik dibanding
mahasiswa jurusan Manajemen Hutan yang tidak menerima pendidikan formal gizi.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan pokok


masalah yang dijadikan fokus penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik contoh dan keluarga
2. Bagaimana pengetahuan mahasiswa Ilmu Gizi dan Manajemen Hutan
terkait penyakit degeneratif
3. Bagaimana pola konsumsi dan aktifitas fisik mahasiswa Ilmu Gizi dan
Manajemen Hutan

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan
gizi terkait penyakit degeneratif dengan pola konsumsi dan aktivitas fisik
mahasiswa IPB.
3

Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (uang saku dan asal daerah) dan
keluarga (pendapatan dan riwayat penyakit orang tua).
2. Membandingkan pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif contoh.
3. Membandingkan pola konsumsi (konsumsi sayur dan buah, konsumsi
makanan manis, konsumsi makanan berlemak dan jeroan, konsumsi makanan
asin dan awetan, konsumsi fast food dan soft drik, serta konsumsi minuman
berkafein) contoh.
4. Membandingkan aktivitas fisik contoh.
5. Mengidentifikasi tekanan darah contoh.
6. Menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga, pengetahuan gizi
terkait penyakit degeneratif, pola konsumsi, dan aktivitas fisik contoh.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola


konsumsi dan aktifitas fisik serta pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif pada
mahasiswa gizi dan non gizi di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, hasil penelitian
ini juga diharapkan dapat dijadikan masukan untuk dapat meningkatkan
pengetahuan dan sikap gizi terkait penyakit degeneratif mengingat prevalensi
kejadian penyakit degeneratif saat ini semakin meningkat.

KERANGKA PEMIKIRAN

Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang tidak ditularkan dari orang ke


orang, namun dapat diturunkan dari garis keturunan. Riwayat penyakit keluarga
dapat mengidentifikasi seseorang dengan risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
suatu penyakit seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke, kanker, dan diabetes.
Penyakit kompleks tersebut dipengaruhi oleh kombinasi antara faktor genetik,
kondisi lingkungan, dan pilihan gaya hidup. Riwayat penyakit degeneratif keluarga
dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan kegiatan preventif dalam
mengurangi kebiasaan konsumsi makanan berisiko dan gaya hidup yang dapat
menyebabkan terjadinya penyakit tersebut. Pendapatan orang tua berpengaruh
terhadap alokasi uang saku yang akan menentukan alokasi dana konsumsi pangan.
Selain itu, asal daerah juga menentukan pemilihan jenis dan jumlah pangan karena
ini erat kaitannya dengan kebudayaan lingkungan keluarga dan tempat asal
seseorang. Hal ini merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi pola
makan seseorang, sehingga akan menentukan kualitas kesehatan dan berperan
penting terhadap gaya hidupnya. Pola makan yang buruk merupakan salah satu
pembentuk gaya hidup yang tidak sehat sehingga dapat menyebabkan penurunan
kualitas kesehatan seseorang.
Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap dan
perilaku seseorang, dimana tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang/ masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplikasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.
4

Mahasiswa Ilmu Gizi semester 6 telah mendapatkan mata kuliah tentang


patofisiologi yang didalamnya menjelaskan tentang penyakit degeneratif,
sedangkan mahasiswa Manajemen Hutan tidak mendapatkan mata kuliah tersebut.
Sumber informasi formal (yang berasal dari institusi pendidikan) lebih sistematis,
terstruktur, dan penyampaiannya dilakukan secara berkala dibandingkan sumber
informasi non formal. Oleh karena itu, mahasiswa Gizi semester 6 diharapkan
memiliki pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif lebih baik dibandingkan
dengan mahasiswa Manajemen Hutan semester 6 yang tidak menerima
pengetahuan tersebut dari perkuliahan. Pengetahuan tidak hanya dijadikan dasar
untuk sekedar tahu atau mengerti, tetapi implementasi dari pengetahuan tersebut
juga harus dilakukan secara nyata dalam gaya hidup sehari-hari seperti pola makan
dan aktifitas fisik, sehingga mahasiswa Gizi semester 6 seharusnya memiliki pola
makan dan aktivitas fisik yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa
Manajemen Hutan semester 6.
Secara sistematis kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada bagan alur
sebagai berikut :
5

Mahasiswa GIZ dan


MNH semester 6
Karakteristik Keluarga :
Karakteristik contoh :
1. Pendapatan orang tua
1. Uang saku
2. Riwayat penyakit
2. Asal daerah
orang tua
Sumber Informasi

Pengetahuan gizi terkait


Pola konsumsi : penyakit degeneratif
- Makanan manis
- Makanan berlemak dan
jeroan
- Makanan asin dan awetan
- Fast food Aktifitas fisik
- Soft drink Kebiasaan merokok
- Minuman berkafein Konsumsi alkohol
- Sayur dan buah

Penyakit degeneratif

Hipertensi
Diabetes mellitus
Jantung koroner
Stroke
Kanker, dll

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang berhubungan tetapi tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran pengetahuan gizi terkait penyakit


degeneratif, pola konsumsi, dan aktifitas fisik contoh
6

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dimana data di ambil
pada waktu tertentu secara bersamaan. Tempat penelitian dipilih secara purposive
sesuai dengan kriteria contoh yaitu mahasiswa di Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan di Institut Pertanian Bogor, Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Maret 2015.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan Ilmu
Gizi dan Manajemen Hutan semester 6 program sarjana Institut Pertanian Bogor.
Jumlah contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80 orang, yaitu
sebanyak 40 orang mahasiswa Ilmu Gizi dan 40 orang mahasiswa Manajemen
Hutan yang dipilih secara purposive. Adapun kriteria contoh dalam penelitian ini
adalah 1) Mahasiswa Manajemen Hutan IPB semester 6; 2) Mahasiswa Ilmu Gizi
IPB semester 6; 3) Tidak mengambil minor atau supporting course Ilmu Gizi untuk
mahasiswa Manajemen Hutan; 4) Tinggal mandiri atau tidak tinggal dengan orang
tua, kerabat, kakek atau nenek ; 5) Bersedia mengikuti kegiatan penelitian.
Jumlah sampel minimal dari penelitian ini diperoleh menggunakan rumus
Slovin sebagai berikut :
N
n
 
1 N d 2
238
n=
1 + 238 (0.01)
n = 70.41 orang, dibulatkan menjadi 71 orang
Keterangan :
N : besar populasi
n : jumlah contoh minimal
d : presisi (10% atau 0.1)
Pembagian jumlah sampel pada mahasiswa Ilmu Gizi dan Manajemen Hutan
dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah contoh minimum yang
diperoleh. Penentuan jumlah contoh masing-masing kelompok dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑁1 𝑁2
n GIZ = xn n MNH = xn
𝑁 𝑁
139 99
= x 71 = x 71
238 238
= 41 orang = 30 orang
7

Keterangan :
n Gizi : jumlah contoh GIZ
n MNH : jumlah contoh MNH
N1 : jumlah populasi GIZ
N2 : jumlah populasi MNH
N : total populasi (GIZ + MNH)
n : jumlah contoh minimal

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi data karakteristik contoh (uang saku dan asal
daerah), data karakteristik keluarga (pendapatan dan riwayat penyakit orang tua).
Data pola konsumsi dikelompokkan menggunakan Semi Quantitative Food
Frequencies Questionaires (SQFFQ), data pengetahuan gizi terkait penyakit
degeneratif, dan data aktivitas fisik meliputi jenis dan durasi aktivitas serta tingkat
aktivitas fisik contoh. Selain itu, juga dilakukan pengukuran tekanan darah
mahasiswa menggunakan tensi meter digital. Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah database mahasiswa Manajemen Hutan dan mahasiswa Ilmu
Gizi semester 6 serta gambaran umum mayor. Data primer seluruhnya dikumpulkan
melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Variabel, cara, dan alat
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, cara, dan alat pengumpulan data


Jenis data Variabel Cara pengumpulan
Primer Karakteristik contoh
Uang saku Kuesioner & pengisian
Asal daerah langsung oleh contoh
Karakteristik keluarga
Pendapatan orang tua Kuesioner & pengisian
Riwayat penyakit orang tua langsung oleh contoh
Pengetahuan gizi
Pengetahuan terkait penyakit Kuesioner & Pengisian
degeneratif langsung oleh contoh
Pola konsumsi
Jenis, jumlah, dan frekuensi pangan Kuesioner SQFFQ
Aktivitas fisik
Jenis dan durasi aktivitas Kuesioner & Pengisian
Tingkat aktivitas fisik langsung oleh contoh
Tekanan darah Pengukuran tekanan darah
dengan tensi meter
Sekunder Gambaran umum mayor Buku panduan sarjana IPB
Database mahasiswa Manajemen Hutan dan Ilmu Gizi semester 6
Institut Pertanian Bogor
8

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel


2013 dan Statistical Prog for Social Science (SPSS for windows version 16.0),
melalui enam tahapan, yaitu editing, coding, entry, editing/ cleaning, pengolahan,
dan analisis data. Proses Editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data
terkumpul. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah disepakati
terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan
pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukkan data jawaban
kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel
sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning yaitu melakukan pengecekan terhadap
isian data di luar pilihan jawaban yang disediakan kuesioner atau isian data yang
diluar kewajaran. Pengkategorian dan analisis variabel penelitian dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2 Pengkategorian dan analisis variabel penelitian


Jenis Data Variabel Kategori Penelitian Sumber
Karakteristik Uang saku < Rp 600 000 Sebaran contoh
contoh Rp 600 000-1 199 999
Rp 1 200 000-1 799 999
> Rp 1 800 000
Asal daerah Jawa Sebaran contoh
Luar jawa
Karakteristik Pendapatan < Rp 3 000 000 Sebaran contoh
keluarga orang tua/ Rp 3 000 000-5 999 999
bulan Rp 6 000 000-8 999 999
Rp 9 000 000-11 999 999
> Rp 12 000 000
Riwayat Ada Sebaran contoh
penyakit Tidak ada
orang tua
Pengetahuan Pengetahuan < 60% (kurang) Khomsan 2000
gizi gizi terkait 60-80% (sedang)
penyakit > 80% (baik)
degeneratif
Pola Jenis Sayur dan buah, Makanan
konsumsi manis; Makanan berlemak
dan jeroan; Makanan asin dan
awetan, Fast food; Soft drink;
dan Minuman berkafein
Frekuensi Tidak pernah Sebaran contoh
< 3 kali/minggu
3-6 kali/minggu
≥ 7 kali/minggu
Aktivitas Tingkat Ringan (1.40-1.69) FAO/WHO/UNU
fisik aktivitas Sedang (1.70-1.90) 2001
Berat (2.00-2.40)
9

Tabel 2 Pengkategorian dan analisis variabel penelitian (lanjutan)


Jenis Data Variabel Kategori Penelitian Sumber
Hipertensi Tekanan Normal (<120/ <80 mmHg) JNC 7 dalam
darah Prahipertensi (120-139/ 80-89 Nelms et al.
mmHg) 2010
Hipertensi derajat 1 (140-159/
90-99 mmHg)
Hipertensi derajat 2 (≥ 160/ ≥
100 mmHg)

Tingkat pengetahuan gizi contoh tentang penyakit degeneratif dinilai


berdasarkan kemampuan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan tertutup melalui
wawancara mengenai pengetahuan gizi umum dan pengetahuan gizi terkait
penyakit degeneratif. Tes ini dilakukan dengan memberikan 25 butir soal yang
berjenis multiple choice dengan nilai 0 jika jawaban salah dan 1 jika jawaban benar.
Skor yang diperoleh dibandingkan dengan dengan skor maksimal dan dikali 100%.
Kategori rendah apabila skor yang diperoleh < 60% dari skor maksimal, kategori
sedang apabila skor yang diperoleh antara 60-80% dari skor maksimal, dan kategori
baik apabila skor yang diperoleh > 80% dari skor maksimal (Khomsan 2000).
Data pola konsumsi diperoleh berdasarkan Semi Quantitative Food
Frequency Questionary (SQFFQ) yang dinilai berdasarkan frekuensinya selama
satu bulan terakhir. Konsumsi sayur dan buah pada seseorang dikatakan cukup,
apabila telah mengonsumsi sayur dan buah minimal 5 porsi/hari selama 7 hari
dalam seminggu. Konsumsi makanan tertentu seperti makanan dan minuman
manis, makanan berlemak dan jeroan, makanan asin dan awetan, dan minuman
berkafein dikatakan sering apabila seseorang mengonsumsi ≥ 1 kali/hari (Riskesdas
2013). Menurut Verzeletti et al. (2009), konsumsi fast food dikatakan sering apabila
dikonsumsi ≥ 1 kali/hari, sedangkan Neeraj et al. (2010) mengatakan, konsumsi soft
drink dikatakan sering apabila dikonsumsi ≥ 3 kali/minggu.
Pengukuran aktivitas fisik dilakukan pada jenis aktivitas yang dilakukan
contoh dan lama waktu dalam melakukan aktivitas fisik dalam sehari. FAO (2001)
menyatakan bahwa aktivitas fisik merupakan variabel utama setelah angka
metabolisme basal dalam perhitungan pengeluaran energi. PAL merupakan
besarnya energi yang dikeluarkan (kkal/kap/hari) per kilogram berat badan dalam
24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

𝑃𝐴𝑅 𝑥 𝑎𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠


PAL =
24 𝑗𝑎𝑚

Keterangan :
PAL : Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
PAR : Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis
aktivitas per satuan waktu tertentu)

Tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut : 1) Ringan dengan nilai


PAL 1.40-1.69; 2) Sedang dengan nilai PAL 1.70-1.99; 3) Berat dengan nilai PAL
10

2.00-2.40 (FAO/WHO/UNU 2001). Nilai Physical Activity Ratio (PAR) berbagai


aktivitas fisik ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Physical Activity Ratio (PAR) berbagai aktivitas fisik


Physical Activity
Aktivitas
Ratio/ satuan waktu
Tidur (siang dan malam) 1
Tidur-tiduran, duduk diam, membaca 1.2
Duduk sambil menonton TV 1.72
Mandi dan berpakaian 2.3
Berdiri diam, beribadah, menunggu (berdiri), berhias 1.5
Berkendaraan di mobil/ bus/ angkutan 1.2
Makan minum 1.6
Jalan santai 2.5
Berbelanja (membawa beban) 5
Mengendarai kendaraan 2.4
Melakukan pekerjaan RT 2.75
Setrika pakaian (duduk) 1.7
Office worker (duduk di depan meja, menulis, mengetik) 1.3
Olahraga (badminton) 4.85
Olahraga (jogging, lari jarak jauh) 6.5
Olahraga (bersepeda) 3.6
Olahraga (aerobik, berenang, sepak bola dll) 7.5
Kegiatan dilakukan dengan duduk 1.5
Kegiatan ringan 1.4
memasak 2.1
Sumber : FAO/WHO/UNU 2001

Data yang dikumpulkan di analisis menggunakan program SPSS version 16.0


for windows. Statistik deskriptif dilakukan pada variabel karakteristik contoh,
karakteristik keluarga, pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif, pola
konsumsi, aktivitas fisik, dan pengukuran tekanan darah. Uji beda Mann Whitney
dilakukan pada variabel uang saku, pendapatan orang tua, pengetahuan gizi terkait
penyakit degeneratif, pola konsumsi, dan aktivitas fisik serta tekanan darah sistol.
Uji beda Independent Sample t-Test dilakukan untuk variabel tekanan darah
diastol, sedangkan uji beda Chi-Square untuk variabel asal daerah dan riwayat
penyakit orang tua. Uji korelasi Rank Spearman dilakukan untuk mengetahui
hubungan uang saku dan pendapatan orang tua dengan pola konsumsi (sayur dan
buah, makanan manis, makanan asin dan awetan, makanan berlemak dan jeroan,
fast food, soft drink, serta minuman berkafein); menganalisis hubungan
pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif dengan pola konsumsi (sayur dan
buah, makanan manis, makanan asin dan awetan, makanan berlemak dan jeroan,
fast food, soft drink, serta minuman berkafein) dan aktivitas fisik. Uji korelasi Chi-
Square dan Fisher dilakukan untuk mengetahui hubungan asal daerah dan riwayat
penyakit orang tua dengan pola konsumsi (sayur dan buah, makanan manis,
makanan asin dan awetan, makanan berlemak dan jeroan, fast food, soft drink, serta
minuman berkafein).
11

Definisi Operasional

Contoh adalah mahasiswa Manajemen Hutan dan Ilmu Gizi semester 6 di Institut
Pertanian Bogor yang memenuhi syarat dipilih secara purposive.
Riwayat penyakit orang tua adalah penyakit degeneratif yang pernah/ sedang di
derita oleh orang tua contoh.
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang diturunkan atau penyakit yang timbul
akibat kebiasaan makan dan gaya hidup yang tidak sehat.
Pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif adalah pemahaman contoh
mengenai berbagai macam jenis penyakit degeneratif dan upaya
pencegahannya serta kejadian pemicu penyakit degeneratif.
Pola konsumsi adalah jenis, frekuensi, dan jumlah contoh dalam mengonsumsi
makanan manis, makanan berlemak dan jeroan, makanan asin dan awetan,
fast food dan soft drink, serta minuman berkafein.
Konsumsi sayur dan buah adalah kebiasaan contoh mengonsumsi sayur dan buah,
dinilai menggunakan Food Frequency Questionary yang dihitung
berdasarkan frekuensinya dalam hari, minggu, dan bulan.
Makanan manis adalah makanan yang didominasi rasa manis seperti dodol, kue-
kue manis, coklat dsb; yang dinilai berdasarkan frekuensinya dalam hari,
minggu, dan bulan.
Makanan berlemak adalah makanan yang didominasi kandungan lemak seperti
gorengan, keju, gajih, kerang-kerangan dsb; yang dinilai berdasarkan
frekuensinya dalam hari, minggu, dan bulan.
Jeroan adalah makanan berupa hati, usus, ampela, babat dsb; yang dinilai
berdasarkan frekuensinya dalam hari, minggu, dan bulan.
Makanan asin adalah makanan yang didominasi rasa asin dan tinggi kandungan
natrium seperti corned beef, keripik asin, ikan asin, telur asin dsb; yang
dinilai berdasarkan frekuensinya dalam hari, minggu, dan bulan.
Makanan yang diawetkan adalah makanan yang menggunakan bahan pengawet
alami ataupun buatan seperti asinan, ikan kaleng, daging kaleng, dendeng,
buah kaleng dsb; yang dinilai berdasarkan frekuensinya dalam hari, minggu,
dan bulan.
Fast food adalah makanan siap saji yang tinggi kalori seperti fried chicken, fried
fries, hamburger, pizza, spagetti dsb; yang dinilai berdasarkan frekuensinya
dalam hari, minggu, dan bulan.
Soft drink adalah minuman ringan non alkohol baik yang berkarbonasi atau tidak
yang dikemas dalam bentuk kemasan siap dikonsumsi seperti teh kemasan,
pepsi, fanta, sprite, coca cola dsb; yang dinilai berdasarkan frekuensinya
dalam hari, minggu, dan bulan.
Minuman berkafein adalah minuman yang mengandung kafein seperti kopi,
coklat dsb; yang dinilai berdasarkan frekuensinya dalam hari, minggu, dan
bulan.
Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran energi.
Diukur dengan menggunakan kuesioner aktivitas fisik meliputi jenis dan
lama kegiatan selama 24 jam dan dikategorikan menjadi ringan, sedang, dan
berat.
12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Mayor

Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat memiliki kompetensi dalam


mengaplikasikan ilmu gizi di keluarga dan masyarakat terkait dengan pertanian,
pangan, gizi, dan perencanaannya serta kesehatan dalam upaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Mahasiswa belajar tentang pangan dan gizi terkait
kesehatan masyarakat dan hubungannya dengan kejadian penyakit menular maupun
penyakit tidak menular salah satunya penyakit degeneratif.
Mayor Manajemen Hutan memiliki kompetensi dalam konsep-konsep
pengelolaan hutan, perencanaan kehutanan, penatagunaan hutan, pembentukan unit
dan penetapan tujuan pengelolaan hutan, metode pengaturan hasil, penetapan
preskripsi pengelolaan hutan, monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan hutan.
Selain itu, mayor ini juga mempelajari tentang teknik inventarisasi sumberdaya
hutan, dasar-dasar kebijakan hutan, pemanenan hutan, hidrologi hutan, ekonomi
perusahaan hutan. Namun, tidak terdapat kurikulum yang membahas tentang
pangan dan gizi.

Karakteristik Contoh

Jenis Kelamin dan Usia


Contoh dalam penelitian ini terdiri dari 80 orang, yaitu 40 contoh GIZ dan 40
contoh MNH. Sebanyak 27.5% (GIZ) dan 47.5% (MNH) adalah laki-laki,
sedangkan 72.5% (GIZ) dan 52.5% (MNH) adalah perempuan. Mayoritas contoh
GIZ (67.5%) dan MNH (55.0%) berusia 20 tahun. Menurut Gunarsa & Gunarsa
(1991), tahapan perkembangan pada usia 12-14 tahun termasuk dalam kategori
remaja awal, 15-17 tahun termasuk remaja lanut, dan 18-21 termasuk remaja akhir.
Contoh pada penelitian ini termasuk dalam kategori remaja akhir. Sebaran contoh
berdasarkan jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin


Karakteristik GIZ MNH Total
contoh n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 27.5 19 47.5 30 37.5
Perempuan 29 72.5 21 52.5 50 62.5
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Usia
19 tahun 5 12.5 5 12.5 10 12.5
20 tahun 27 67.5 22 55.0 49 61.25
21 tahun 8 20.0 13 32.5 21 26.25
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 20 ± 1 20 ± 1 20 ± 1
13

Uang Saku
Uang saku merupakan jumlah uang yang dikeluarkan oleh mahasiswa untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan selama satu bulan. Uang saku dapat
berasal dari orang tua, beasiswa, ataupun sumber lain (Fitriana 2011). Uang saku
mahasiswa dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu <Rp 600 000, Rp600 000
- 1 199 999, Rp 1 200 000-1 799 999, dan >Rp 1 800 000. Sebaran contoh
berdasarkan uang saku per bulan ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan uang saku per bulan


GIZ MNH Total
Uang saku per bulan P
n % n % n %
< Rp 600 000 1 2.5 0 0.0 1 1.25
Rp 600 000-1 199 999 29 72.5 32 80.0 61 76.25
0.419
Rp 1 200 000-1 799 999 8 20.0 8 20.0 16 20.0
> Rp 1 800 000 2 5.0 0 0.0 2 2.5
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
1 008 750 ± 938 750 ± 974 000 ±
Rata-rata ± SD
358 574 287 225 324 700

Secara keseluruhan baik GIZ (72.5%) ataupun MNH (80.0%) memiliki uang
saku sebesar Rp 600 000-1 199 999. Uang saku paling rendah yaitu < Rp 600 000
sebanyak 2.5% pada GIZ dan tidak ada pada MNH. Uang saku di atas Rp 1 800 000
hanya dimiliki oleh contoh GIZ (5.0%). Rata-rata uang saku per bulan GIZ (1 008
750 ± 358 574) lebih tinggi dibanding MNH (938 750 ± 287 225). Hasil uji Mann
Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p ≥0.05) antara
kedua contoh berdasarkan uang saku.

Asal Daerah
Salah satu faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi adalah asal daerah/ suku. Pola kebudayaan mempengaruhi orang dalam
memilih makanan. Suku melalui sistem sosial budaya mempunyai pengaruh
terhadap apa, kapan, dan bagaimana makanan dikonsumsi oleh keluarga.
Kebudayaan tidak hanya menentukan makanan apa yang dimakan, tetapi untuk
siapa dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan. Kebiasaan makan
keluarga dipengaruhi pula oleh aturan atau tatanan yang didasarkan kepada adat
istiadat dan agama (Suhardjo 1989). Asal daerah dalam penelitian ini dibedakan
menjadi dua, yaitu Jawa dan luar Jawa. Mayoritas contoh GIZ (65.0%) dan MNH
(70.0%) berasal dari Pulau Jawa, hanya 35.0% (GIZ) dan 30.0% (MNH) berasal
dari luar Pulau Jawa. Hasil uji beda Chi-square menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p ≥0.05) antara kedua contoh berdasarkan asal daerah,
karena baik contoh GIZ maupun MNH mayoritas berasal dari pulau Jawa. Sebaran
contoh berdasarkan asal daerah ditunjukkan dalam Tabel 6.
14

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan asal daerah


GIZ MNH Total
Asal daerah P
n % n % n %
Jawa 26 65.0 28 70.0 54 67.5
0.633
Luar jawa 14 35.0 12 30.0 26 32.5
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0

Karakteristik Keluarga

Pendidikan Orang Tua


Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap dan
perilaku seseorang. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang/ masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplikasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi
(Atmarita 2004). Tingkat pendidikan orang tua merupakan jenjang pendidikan
terakhir yang ditempuh oleh orang tua contoh. Tingkat pendidikan ayah contoh GIZ
(52.5%) dan MNH (35.5%) mencapai pendidikan perguruan tinggi, hanya 2.5%
(GIZ) dan 5.0% (MNH) yang tidak tamat SD. Tingkat pendidikan ibu contoh GIZ
(47.5%) dan MNH (42.5%) mencapai pendidikan SMA, hanya 5.0% (GIZ) yang
tidak tamat SD. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua dapat
dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orang tua


Ayah Ibu
Tingkat pendidikan orang
GIZ MNH GIZ MNH
tua
n % n % n % n %
Tidak tamat SD 1 2.5 2 5.0 2 5.0 0 0.0
Tamat SD 1 2.5 7 17.5 4 10.0 8 20.0
Tamat SMP 4 10.0 4 10.0 3 7.5 5 12.5
Tamat SMA 13 32.5 13 32.5 19 47.5 17 42.5
Tamat Perguruan Tinggi 21 52.5 14 35.5 12 30.0 10 25.0
Total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan ibu mempengaruhi derajat


kesehatan keluarga. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai
pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2003).

Pekerjaan Orang Tua


Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling
menentukan kuantitas dan kualitas makanan, karena jenis pekerjaan memiliki
hubungan dengan pendapatan yang diterima (Suhardjo 1989). Sebagian besar ayah
contoh GIZ (30.0%) bekerja sebagai PNS dan MNH (25.0%) bekerja sebagai
wiraswasta. Ayah contoh GIZ (2.5%) bekerja sebagai petani/ nelayan/ buruh dan
MNH (7.5%) bekerja sebagai polisi/ ABRI. Sedangkan ibu baik GIZ (50.0%) dan
MNH (55.5%) tidak bekerja, hanya sebagian kecil GIZ (2.5%) yang bekerja sebagai
15

petani/ nelayan/ buruh dan MNH (5.0%) bekerja sebagai pegawai swasta atau
lainnya. Menurut Suhardjo (1989), seseorang yang memiliki pendidikan biasanya
memiliki pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
tidak memiliki pendidikan. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dapat
dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua


Ayah Ibu
Pekerjaan orang tua GIZ MNH GIZ MNH
n % n % n % n %
Tidak bekerja 2 5.0 0 0.0 20 50.0 22 55.5
PNS 12 30.0 8 20.0 7 17.5 5 12.5
Wiraswasta 11 27.5 10 25.0 7 17.5 4 10.0
Pegawai swasta 4 10.0 5 12.5 2 5.0 2 5.0
Polisi/ ABRI 3 7.5 3 7.5 0 0.0 0 0.0
Petani/ nelayan/ buruh 1 2.5 7 17.5 1 2.5 5 12.5
Lainnya 7 17.5 7 17.5 3 7.5 2 5.0
Total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Pendapatan Orang Tua


Tingginya tingkat pendapatan cenderung di ikuti dengan tingginya jumlah
dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan akan mencerminkan
kemampuan untuk membeli bahan pangan. Konsumsi makanan baik jumlah
maupun mutunya dipengaruhi oleh faktor pendapatan keluarga. Menurut Suhardjo
(1989), perubahan pendapatan secara langsung akan berpengaruh terhadap
konsumsi pangan. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Pendapatan orang
tua merupakan penjumlahan antara pendapatan ayah dan ibu. Sebaran contoh
berdasarkan pendapatan orang tua ditunjukkan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orang tua


GIZ MNH Total
Pendapatan orang tua P
n % n % n %
< Rp 3 000 000 12 30.0 15 37.5 27 33.75
Rp 3 000 000-5 999 999 13 32.5 16 40.0 29 36.25
Rp 6 000 000-8 999 999 9 22.5 4 10.0 13 16.25 0.148
Rp 9 000.000-11 999 999 2 5.0 4 10.0 6 7.5
> Rp 12 000 000 4 10.0 1 2.5 5 6.25
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
6 180 000 ± 4 403 125 ± 5 290 000 ±
Rata-rata ± SD
6 084 288 3 790 661 5 115 000

Rata-rata pendapatan per bulan orang tua contoh GIZ (Rp 6 180 000 ± 6 084
288) lebih tinggi dari pada MNH (Rp 4 403 125 ± 3 790 661). Mayoritas pendapatan
orang tua contoh GIZ (32.5%) dan MNH (40.0%) antara Rp 3 000 000 - 5 999 999.
Pendapatan orang tua < Rp 3 000 000 sebanyak 30.0% (GIZ) dan 37.5% (MNH),
16

sedangkan pendapatan orang tua > Rp 12 000.000 paling banyak pada contoh GIZ
(10.0%) dibanding MNH (2.5%). Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan (p ≥0.05) antara kedua contoh berdasarkan
pendapatan orang tua.
Data pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh diperoleh dari jumlah
total pendapatan seluruh anggota keluarga dibagi jumlah anggota keluarga yang
menjadi tanggungan kepala keluarga. Pendapatan per kapita per bulan menurut BPS
(2014) adalah <Rp 302 735 yang dikategorikan miskin dan ≥Rp 302 735
dikategorikan tidak miskin. Rata-rata pendapatan per kapita per bulan orang tua
Gizi (Rp 2 242 006 ± 2 478 942) lebih tinggi dibanding MNH (Rp 1 781 597 ± 1
902 587).

Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumber daya yang
sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan
pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun
seiring dengan peningkatan jumlah anggota keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa
besar keluarga dapat mempengaruhi pengeluaran pangan rumah tangga (Sanjur
1982 diacu dalam Sukandar 2007). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kemiskinan
dan besar keluarga disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kemiskinan dan besar keluarga


Tingkat kemiskinan
GIZ MNH
Besar keluarga
Tidak miskin Miskin Tidak miskin Miskin
n % n % n % n %
Kecil (≤ 4 orang) 12 34.3 1 20.0 18 46.2 0 0
Sedang (5-7 orang) 22 62.9 3 60.0 18 46.2 1 100.0
Besar (≥ 8 orang) 1 2.8 1 20.0 3 7.6 0 0
Total 35 100.0 5 100.0 39 100.0 1 100.0

Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui bahwa keluarga contoh GIZ yang tidak
miskin dengan kategori besar keluarga sedang adalah 62.9%, sedangkan keluarga
contoh GIZ yang tidak miskin dengan kategori besar keluarga sedang dan kecil
memiliki presentase sama yaitu 46.2%. Mayoritas kedua contoh termasuk dalam
keluarga yang tidak miskin dengan besar keluarga sedang.

Riwayat Penyakit Orang Tua


Keluarga memiliki hubungan yang erat dengan kesehatan dan penyakit
seseorang melalui hubungan dan dinamika kehidupannya, dengan mengetahui salah
satu riwayat penyakit keluarga, seseorang dapat melakukan pencegahan serta
menurunkan risiko untuk penyakit tertentu (Eugene et al. 2004). Riwayat penyakit
17

keluarga difokuskan pada penyakit degeneratif yang dibedakan antara ayah dan ibu.
Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit orang tua dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit orang tua


Riwayat penyakit GIZ MNH Total
P
orang tua n % n % n %
Ada 18 45.0 6 15.0 24 30.0
Tidak ada 22 55.0 34 85.0 56 70.0
0.003a
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 0.45 ± 0.50 0.15 ± 0.36 0.30 ± 0.46
a
Berbeda nyata (p <0.05)

Berdasarkan Tabel 11, orang tua contoh GIZ (45.0%) lebih banyak menderita
penyakit degeneratif dibanding orang tua contoh MNH (15.0%). Hasil uji beda
menggunakan Chi-square menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p
<0.05) antara orang tua kedua contoh berdasarkan riwayat penyakit degeneratif
yang diderita. Penjabaran dari penyakit degeneratif yang diderita oleh orang tua
contoh dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit ayah dan ibu


GIZ MNH
Riwayat Penyakit Ayah Ibu Ayah Ibu
n % n % n % n %
Tidak ada 23 57.5 24 60.0 31 77.5 31 77.5
Hipertensi 6 15.0 3 7.5 2 5.0 1 2.5
Diabetes melitus 3 7.5 1 2.5 2 5.0 1 2.5
Stroke 2 5.0 2 5.0 0 0.0 0 0.0
Jantung koroner 0 0.0 2 5.0 0 0.0 0 0.0
Kanker 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 5.0
Lainnya 6 15.0 8 20.0 5 12.5 5 12.5
Total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Berdasarkan Tabel 12, ayah contoh GIZ (15.0%) dan MNH (5.0%) menderita
penyakit hipertensi, sedangkan ibu dari contoh GIZ (7.5%) dan MNH (2.5%)
menderita penyakit hipertensi. Ayah dari contoh GIZ (7.5%) dan MNH (5.0%)
menderita penyakit diabetes melitus dan ibu yang menderita penyakit diabetes
melitus baik contoh GIZ dan MNH sebesar 2.5%. Sedangkan penyakit jantung
koroner hanya diderita oleh ibu dari contoh GIZ (5.0%). Selain itu, ayah contoh
GIZ (15.0%), MNH (12.5%) dan ibu contoh GIZ (20.0%), MNH (12.5%) menderita
penyakit diluar kategori di atas seperti hipotensi, anemia, dan ambeyen.

Pengetahuan Gizi terkait Penyakit Degeneratif

Pengetahuan adalah hasil tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan


penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari
18

pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga


(Notoatmodjo 2005). Menurut Soekanto (2012), pengetahuan adalah kesan di
dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, yang berbeda
dengan kepercayaan, takhayul, dan penerangan yang keliru. Pengetahuan diperoleh
seseorang melalui pendidikan formal, informal, dan non formal. Tingkat
pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena
berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan objek tertentu.
Pengetahuan gizi pada penelitian ini mencakup 25 pertanyaan, yaitu 5
pertanyaan tentang pengetahuan gizi umum dan 20 pertanyaan tentang pengetahuan
gizi terkait penyakit degeneratif. Sebaran contoh berdasarkan jawaban pertanyaan
benar dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan jawaban pertanyaan benar


Jumlah yang menjawab benar
No Pertanyaan GIZ MNH Jumlah
n % n % n %
Pertanyaan gizi umum
1 Susunan makanan dengan gizi 31 77.5 21 52.5 52 65.0
seimbang
2 Makanan yang mengandung 35 87.5 28 70.0 63 78.75
serat
3 Manfaat mengonsumsi buah dan 38 95.0 14 35.0 52 65.0
sayur
4 Frekuensi makan buah dan 38 95.0 3 7.5 41 51.25
sayur dalam sehari
5 Frekuensi olahraga yang baik 9 22.5 6 15.0 15 18.75
Pertanyaan gizi terkait penyakit degeneratif
6 Pengertian penyakit degeneratif 37 92.5 22 55.0 59 73.75
7 Macam-macam penyakit 39 97.5 17 42.5 56 70.0
degeneratif
8 Keturunan merupakan faktor 31 77.5 4 10.0 35 43.75
risiko penyakit degeneratif
9 Pengertian penyakit diabetes 37 92.5 15 37.5 52 65.0
mellitus
10 Penyakit diabetes mellitus tidak 33 82.5 27 67.5 60 75.0
selalu berhubungan dengan
obesitas
11 Gejala penyakit diabetes 24 60.0 7 17.5 31 38.75
mellitus
12 Dampak penumpukan lemak 35 87.5 9 22.5 44 55.0
dalam pembuluh darah yang
membentuk plak
13 Komplikasi penyakit hipertensi 39 97.5 24 60.0 63 78.75
14 Faktor penyebab hipertensi 32 80.0 21 52.5 53 66.25
15 Faktor risiko stroke 39 97.5 26 65.0 65 81.25
16 Pengertian kanker 38 95.0 18 45.0 56 70.0
19

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan jawaban pertanyaan benar (lanjutan)


Jumlah yang menjawab benar
No Pertanyaan GIZ MNH Jumlah
n % n % n %
17 Faktor penyebab penyakit 40 100.0 28 70.0 68 85.0
degeneratif yang dapat
dikontrol
18 Faktor risiko yang 40 100.0 26 65.0 66 82.5
menyebabkan penyakit
degeneratif
19 Alasan fast food tidak boleh 28 70.0 26 65.0 54 67.5
dikonsumsi berlebihan
20 Jenis makanan yang 26 65.0 4 10.0 30 37.5
mengandung tinggi natrium
21 Penyakit yang disebabkan oleh 37 92.5 12 30.0 49 61.25
terlalu banyak mengonsumsi
jeroan
22 Makanan yang dapat memicu 31 77.5 13 32.5 44 55.0
diabetes dan hipertensi
23 Batas maksimal pengulangan 19 47.5 5 12.5 24 30.0
dalam menggoreng agar tidak
menimbulkan zat karsinogenik
24 Kebiasaan konsumsi makanan 14 35.0 6 15.0 20 25.0
yang memicu kanker
25 Sumbangan kandungan 23 57.5 11 27.5 34 42.5
terbesar dalam soft drink

Secara umum dapat dilihat bahwa contoh GIZ tidak memiliki kesulitan dalam
menjawab pertanyaan tentang pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif. Hal ini
dapat dilihat pada jumlah presentase contoh GIZ yang menjawab benar lebih besar
dibanding contoh MNH.
Pertanyaan ke-1 sampai ke-5 merupakan pertanyaan gizi umum. Pertanyaan
ke-1 tentang susunan makanan dengan gizi seimbang, sebanyak 77.5% contoh GIZ
menjawab dengan benar lebih banyak dibanding contoh MNH (52.5%). Pertanyaan
ini dapat dijawab dengan benar oleh 65.0% contoh. Hal ini karena sebagian besar
contoh mengetahui susunan makanan dengan gizi seimbang, dimana contoh GIZ
telah mendapatkan informasi dari mata kuliah penilaian status gizi dan contoh
MNH mendapatkan informasi dari institusi pendidikan dan media massa. Menurut
Permenkes (2014), susunan makanan dengan gizi seimbang menurut pedoman gizi
seimbang adalah makanan pokok, lauk pauk (hewani dan nabati), sayuran, buah,
dan susu.
Pertanyaan ke-2 mengenai makanan yang mengandung serat, sebanyak
87.5% contoh GIZ mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak
dibanding contoh MNH (70.0%). Pertanyaan ini dapat dijawab dengan benar oleh
lebih dari 70.0% contoh. Menurut Kusharto (2006), makanan yang mengandung
tinggi serat adalah sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan.
20

Pertanyaan ke-3 tentang manfaat mengonsumsi sayur dan buah dapat dijawab
dengan benar oleh contoh GIZ (95.0%) lebih banyak dibanding contoh MNH
(35.0%). Sebanyak 65.0% contoh dapat menjawab pertanyaan dengan benar.
Menurut Kusharto (2006), manfaat mengonsumsi buah dan sayur adalah dapat
mencegah berbagai macam penyakit diantaranya, jantung koroner, hipertensi,
stroke, dan diabetes mellitus.
Pertanyaan ke-4 tentang frekuensi makan buah dan sayur, sebanyak 95.0%
contoh GIZ mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak dibanding
contoh MNH (7.5%). Perbandingan keduanya cukup jauh karena mayoritas contoh
MNH tidak mengetahui frekuensi makan buah dan sayur yang dianjurkan setiap
hari. Menurut Riskesdas (2013), konsumsi sayur dan buah dikatakan cukup apabila
dikonsumsi minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu.
Pertanyaan ke-5 tentang frekuensi olahraga yang baik dalam seminggu,
sebanyak 22.0% (GIZ) dapat menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak
dibanding contoh MNH (15.0%). Hasil presentase yang menjawab pertanyaan
dengan benar untuk pertanyaan ini sedikit. Hal ini disebabkan karena banyak
diantara kedua contoh yang tidak mengetahui anjuran lama olahraga yang baik.
Contoh GIZ seharusnya dapat menjawab soal ini karena informasi mengenai lama
olahraga yang baik telah didapatkan pada mata kuliah Gizi Olahraga. Menurut
Werner dan Sharon (2005), standar aktivitas fisik untuk dapat mencapai kesehatan
khususnya aktivitas sedang adalah 30 menit selama 5-6 kali per minggu.
Pertanyaan ke-6 sampai dengan ke-25 merupakan pertanyaan tentang
pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif. Pertanyaan ke-6 mengenai
pengertian penyakit degeneratif yang mampu dijawab oleh 92.5% (GIZ) lebih
banyak dibanding contoh MNH (55.0%). Contoh GIZ mengetahui pertanyaan ini
karena telah mendapatkan informasi pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan
contoh MNH kebanyakan mengetahui informasi ini dari media massa. Menurut
Handajani et al. (2010), penyakit degeneratif merupakan penyakit tidak menular
yang muncul akibat proses kemunduran fungsi tubuh, dimana terjadi perubahan dari
keadaan normal menjadi lebih buruk.
Pertanyaan ke-7 tentang macam-macam penyakit degeneratif, sebanyak
97.5% contoh GIZ mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak
dibanding contoh MNH (42.5%). Contoh GIZ mengetahui pertanyaan ini karena
telah mendapatkan informasi pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan contoh
MNH hanya sebagian kecil mengetahui dari orang tua dan media massa. Menurut
Handajani et al. (2010), macam-macam penyakit degeneratif diantaranya adalah
diabetes, jantung koroner, hipertensi, kanker dan lain-lain.
Pertanyaan ke-8 tentang apakah keturunan merupakan salah satu faktor risiko
penyakit degeneratif, sebanyak 77.5% (GIZ) menjawab pertanyaan dengan benar
dan hanya 10.0% (MNH) yang menjawab benar. Contoh GIZ mengetahui
pertanyaan ini karena telah mendapatkan informasi pada mata kuliah patofisiologi,
sedangkan contoh MNH hanya sebagian kecil mengetahui dari media massa.
Menurut Khasanah (2012), keturunan berperan cukup besar pada penyakit
degeneratif. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki sejarah
keluarga dengan diabetes, memiliki tingkat risiko lebih tinggi terkena diabetes.
21

Pertanyaan ke-9 mengenai pengertian penyakit diabetes mellitus, sebanyak


92.5% (GIZ) menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak dibanding MNH
(37.5%). Contoh GIZ mengetahui pertanyaan ini karena telah mendapatkan
informasi pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan contoh MNH hanya sebagian
kecil mengetahui dari teman dan media massa. Menurut Nurrahmani (2012),
diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan terhadap sekresi insulin. Insulin
bertugas untuk mengendalikan kadar glukosa darah yang seimbang sesuai dengan
kondisi tubuh.
Pertanyaan ke-10 tentang apakah penyakit diabetes mellitus selalu
berhubungan dengan obesitas, sebanyak 82.5% (GIZ) mampu menjawab
pertanyaan dengan benar lebih banyak dibanding contoh MNH (67.5%). Contoh
GIZ mengetahui pertanyaan ini karena telah mendapatkan informasi pada mata
kuliah patofisiologi, sedangkan contoh MNH hanya sebagian kecil mengetahui dari
teman dan media massa. Menurut Khasanah (2012), penyakit diabetes mellitus
tidak hanya di alami oleh orang gemuk, melainkan orang normal juga bisa terkena
penyakit tersebut.
Pertanyaan ke-11 tentang tanda dan gejala penyakit diabetes mellitus,
sebanyak 60.0% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak
dibandingkan contoh MNH (17.5%). Contoh GIZ mengetahui informasi ini karena
telah mendapatkan mata kuliah patofisiologi. Menurut Nurrahmani (2012), gejala
yang muncul akibat diabetes mellitus adalah poliuria, polidipsia, polifagia, berat
badan turun dan menjadi kurus.
Pertanyaan ke-12 tentang dampak penumpukan lemak di dalam pembuluh
darah yang membentuk plak. Sebanyak 87.5% contoh GIZ mampu menjawab
pertanyaan dengan benar lebih banyak dibandingkan contoh MNH (22.5%). Selisih
presentase antara GIZ dan MNH cukup jauh karena sebagian besar contoh MNH
tidak mengetahui informasi ini. Menurut Ridwan (2002), penumpukan lemak dalam
waktu yang lama akan menyebabkan obesitas, penumpukan lemak dalam pembuluh
darah akan membentuk plak yang nantinya akan berdampak pada penyakit
hipertensi dan jantung koroner.
Pertanyaan ke-13 mengenai komplikasi dari penyakit hipertensi, sebanyak
97.5% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak dibanding
contoh MNH (60.0%). Secara keseluruhan lebih dari 70.0% kedua contoh mampu
menjawab pertanyaan ini dengan benar. Contoh GIZ mendapatkan informasi ini
pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan MNH sebagian besar mengetahui dari
orang tua dan media massa. Menurut Ridwan (2002), hipertensi merupakan salah
satu penyebab penyakit jantung koroner.
Pertanyaan ke-14 tentang faktor-faktor yang menyebabkan hipertensi,
sebanyak 80.0% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak
dibanding contoh MNH (51.5%). Secara keseluruhan lebih dari 60.0% kedua
contoh mampu menjawab pertanyaan ini dengan benar. Contoh GIZ mendapatkan
informasi ini pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan MNH sebagian besar
mengetahui dari teman, media massa, dan lainnya. Menurut Khomsan (2004),
hipertensi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya genetik, usia, obesitas,
22

konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, rendahnya konsumsi Ca dan K, rendahnya


konsumsi ikan, dan stress.
Pertanyaan ke-15 tentang faktor risiko penyakit stroke, sebanyak 97.5%
(GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak dibanding contoh
MNH (65.0%). Secara keseluruhan lebih dari 80.0% kedua contoh mampu
menjawab pertanyaan ini dengan benar. Contoh GIZ mendapatkan informasi ini
pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan MNH sebagian besar mengetahui dari
teman, media massa, dan lainnya. Menurut Sharon at al. (2008), penyakit hipertensi
merupakan penyebab utama stroke dan gagal ginjal.
Pertanyaan ke-16 tentang pengertian kanker, sebanyak 95.0% (GIZ) mampu
menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak dibanding contoh MNH (45.0%).
Secara keseluruhan sebanyak 70.0% kedua contoh mampu menjawab pertanyaan
ini dengan benar. Contoh GIZ mendapatkan informasi ini pada mata kuliah
patofisiologi, sedangkan MNH sebagian besar mengetahui dari teman dan media
massa. Menurut Hurst (2008), kanker merupakan hasil dari pertumbuhan yang tidak
terkontrol dari sel abnormal.
Pertanyaan ke-17 tentang faktor-faktor penyebab penyakit degeneratif yang
dapat dikontrol, sebanyak 100.0% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan
benar lebih banyak dibanding contoh MNH (70.0%). Secara keseluruhan lebih dari
80.0% kedua contoh mampu menjawab pertanyaan ini dan merupakan pertanyaan
yang paling banyak terjawab dengan benar. Contoh GIZ mendapatkan informasi ini
pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan MNH sebagian besar mengetahui dari
orang tua, teman, dan media massa. Menurut WHO (2008), faktor risiko penyebab
penyakit degeneratif yang dapat dikontrol adalah pola konsumsi makan, aktivitas
fisik, merokok, dan konsumsi alkohol.
Pertanyaan ke-18 mengenai faktor risiko yang menyebabkan penyakit
degeneratif, sebanyak 100.0% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar
lebih banyak dibanding contoh MNH (65.0%). Secara keseluruhan lebih dari 85.0%
kedua contoh mampu menjawab pertanyaan ini dengan benar. Contoh GIZ
mendapatkan informasi ini pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan MNH
sebagian besar mengetahui dari teman dan media massa. Menurut WHO (2008),
merokok merupakan salah satu faktor risiko penyakit degeneratif.
Pertanyaan ke-19 tentang alasan fast food tidak boleh dikonsumsi secara
berlebihan, sebanyak 70.0% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar
lebih banyak dibanding contoh MNH (65.0%). Secara keseluruhan lebih dari 60.0%
kedua contoh mampu menjawab pertanyaan ini dengan benar. Sebagian besar
contoh mendapatkan informasi ini dari teman dan media massa. Menurut Khomsan
(2004), fast food merupakan makanan yang mengandung zat gizi seperti energi,
protein, lemak, dan karbohidrat, namun miskin vitamin dan mineral.
Pertanyaan ke-20 tentang jenis-jenis makanan yang mengandung natrium,
sebanyak 65.0% contoh GIZ mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih
banyak dibanding contoh MNH (10.0%). Secara keseluruhan, kurang dari 50.0%
contoh yang menjawab pertanyaan dengan benar. Hal ini karena hanya sebagian
kecil contoh MNH yang mengetahui informasi ini dari teman maupun media massa.
23

Menurut Nelms et al. (2010), makanan yang mengandung tinggi natrium adalah
daging panggang, keju kemasan, dan jus tomat kaleng.
Pertanyaan ke-21 tentang penyakit yang disebabkan oleh terlalu banyak
mengonsumsi jeroan, sebanyak 92.5% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan
benar lebih banyak dibanding contoh MNH (30.0%). Secara keseluruhan lebih dari
60.0% kedua contoh mampu menjawab pertanyaan ini dengan benar. Contoh GIZ
mendapatkan informasi ini pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan MNH
sebagian kecil mengetahui dari media massa. Menurut Khasanah (2012),
mengonsumsi jeroan binatang dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lama
dapat menyebabkan penyakit jantung koroner dan kanker (terutama kanker kolon).
Pertanyaan ke-22 tentang makanan yang dapat memicu penyakit diabetes
mellitus dan hipertensi, sebanyak 77.5% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan
dengan benar lebih banyak dibanding contoh MNH (32.5%). Secara keseluruhan
lebih dari 50.0% kedua contoh mampu menjawab pertanyaan ini dengan benar.
Contoh GIZ mendapatkan informasi ini pada mata kuliah patofisiologi, sedangkan
MNH sebagian kecil mengetahui dari orang tua dan media massa. Menurut Nuryati
(2009), konsumsi makanan penghasil kalori (makanan/ minuman manis) dalam
jumlah besar berpotensi menimbulkan obesitas. Obesitas ini merupakan faktor
risiko terjadinya penyakit diabetes mellitus dan hipertensi. Menurut Khasanah
(2012), makanan asin dan awetan mengandung kadar natrium tinggi yang
berpotensi menyebabkan hipertensi.
Pertanyaan ke-23 tentang batas maksimal pengulangan dalam menggoreng
bahan makanan agar tidak menimbulkan zat karsinogenik (penyebab kanker),
sebanyak 47.5% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak
dibanding contoh MNH (12.5%). Secara keseluruhan kurang dari 50.0% kedua
contoh yang mampu menjawab pertanyaan ini dengan benar karena banyak contoh
yang tidak mengetahui informasi ini. Menurut Khomsan (2004), penggunaan
minyak goreng yang berulang-ulang (lebih dari 4 kali) dalam proses menggoreng
menimbulkan zat karsinogenik (zat pemicu timbulnya kanker).
Pertanyaan ke-24 tentang kebiasaan konsumsi makanan pemicu kanker,
sebanyak 35.0% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak
dibanding contoh MNH (15.0%). Secara keseluruhan kurang dari 50.0% kedua
contoh mampu menjawab pertanyaan ini dengan benar karena banyak contoh yang
tidak mengetahui informasi ini. Menurut Sharon et al. (2008), kebiasan konsumsi
daging merah, makanan dengan natrium tinggi, suplemen beta karoten, dan diet
tinggi kalsium (> 1500 per hari) akan memicu timbulnya penyakit kanker. Asupan
kalsium yang berlebih berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kanker prostat.
Peningkatan kalsium membuat penurunan regulasi 1.25(OH)2 vitamin D dan
terjadilah proliferasi sel kanker prostat. Karena adanya inisiator yang menyebabkan
promotor untuk membuat kanker tumbuh progresif.
Pertanyaan ke-25 tentang sumbangan gizi terbesar dalam soft drink, sebanyak
57.5% (GIZ) mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih banyak dibanding
contoh MNH (27.5%). Secara keseluruhan kurang dari 50.0% kedua contoh mampu
menjawab pertanyaan ini dengan benar karena banyak contoh yang tidak
mengetahui informasi ini. Menurut Raviany (2011), soft drink adalah minuman
24

berkarbonasi yang diberi tambahan bahan perasa dan pemanis seperti gula, yang
menyumbang tinggi energi.
Sebagian besar contoh GIZ dan MNH mampu menjawab pertanyaan nomor
17 dan 18 dengan benar lebih banyak diantara pertanyaan yang lain. Informasi
nomor 17 dan 18 yang diperoleh contoh GIZ berasal dari mata kuliah patofisiologi
yang telah diberikan, sedangkan contoh MNH diperoleh dari teman dan media
massa.

Sumber Informasi
Menurut Khomsan (2009), seseorang dapat memperoleh pengetahuan gizi
melalui berbagai sumber seperti, buku-buku pustaka, televisi, radio, majalah, surat
kabar, dan orang lain (suami, teman, tetangga, ahli gizi, dokter, dan lain-lain).
Sebaran contoh berdasarkan sumber informasi dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan sumber informasi


GIZ MNH Total
Sumber informasi
fa % fa % n %
Institusi pendidikan 791 86.3 93 16.0 884 59.0
Orang tua 5 0.5 57 9.8 62 4.1
Media massa 45 4.9 299 51.5 344 23.0
Teman 3 0.3 87 15.0 90 6.0
Lainnya 73 8.0 45 7.7 118 7.9
Total 917 100.0 581 100.0 1498 100.0
fa : jumlah pertanyaan yang terjawab

Sebagian besar contoh GIZ (86.3%) mendapatkan informasi mengenai


pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif dari institusi pendidikan, sedangkan
sebagian besar contoh MNH (51.5%) mendapatkan informasi tersebut dari media
massa yaitu televisi dan internet. Secara keseluruhan, sumber informasi yang
berperan pada kedua contoh baik GIZ dan MNH adalah institusi pendidikan
(59.0%). Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan adalah sumber informasi
yang penting untuk memberikan informasi tentang pengetahuan gizi terkait
penyakit degeneratif. Menurut Hayati (2000), pengetahuan gizi seseorang dapat
diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal dengan
kurikulum yang terorganisasi secara struktural memberikan pengetahuan yang lebih
baik.

Tingkat Pengetahuan Gizi


Tingkat pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif contoh dibedakan
menjadi tiga kategori, yaitu kategori rendah apabila skor yang diperoleh <60% dari
skor maksimal, kategori sedang apabila skor yang diperoleh antara 60-80% dari
skor maksimal, dan kategori baik apabila skor yang diperoleh >80% dari skor
maksimal (Khomsan 2000). Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi
terkait penyakit degeneratif dapat dilihat pada Tabel 15.
25

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi terkait penyakit


degeneratif
GIZ MNH Total
Kategori P
n % n % n %
Kurang 3 7.5 34 85.0 37 46.25
Sedang 18 45.0 6 15.0 24 30.0 0.000a
Baik 19 47.5 0 0.0 19 23.75
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 79.3 ± 9.5 39.3 ± 17.1 59.3 ± 24.4
a
Berbeda nyata (p <0.05)

Berdasarkan Tabel 15, melalui uji beda Mann Whitney diketahui bahwa
pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif antara contoh GIZ dan MNH
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05). Hal ini dapat dilihat dari
pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif dengan kategori baik pada contoh
GIZ (47.5%) dan MNH (0.0%), sedangkan untuk kategori pengetahuan yang
kurang contoh GIZ (7.5%) dan MNH (85.0%). Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa contoh GIZ memiliki pengetahuan gizi terkait penyakit
degeneratif lebih baik dibandingkan dengan contoh MNH.

Pola Konsumsi

Pola konsumsi makan adalah susunan makanan yang biasa dimakan


mencakup jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi seseorang atau
kelompok orang/penduduk dalam frekuensi dan jangka waktu tertentu (Kemenkes
2011). Pada penelitian ini, pola konsumsi difokuskan pada konsumsi makanan
berlemak dan jeroan, konsumsi makanan manis, konsumsi makanan asin dan
awetan, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food, konsumsi soft drink, dan
konsumsi minuman berkafein.

Konsumsi Makanan Berlemak


Peningkatan asupan energi yang berasal dari lipid dipengaruhi oleh konsumsi
jenis pangan yang digoreng. Makanan yang digoreng memiliki rasa gurih, renyah,
enak, dan kaya lemak. Makanan ini memiliki densitas energi yang tinggi dan tingkat
kepuasan yang rendah, sehingga seseorang ingin makan terus-menerus.
Keberadaannya yang berlebih di dalam tubuh akan menyebabkan penumpukan dan
pembentukan plak di pembuluh darah (Riskesdas 2013). Sebanyak 50.0% contoh
GIZ dan 62.5% contoh MNH mengonsumsi makanan berlemak ≥ 7 kali/minggu,
hanya 5.0% (GIZ) dan 7.5% (MNH) yang mengkonsumsi makanan berlemak < 3
kali/minggu. Rata-rata frekuensi konsumsi makanan berlemak pada contoh MNH
(8.8 ± 5.2) kali/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (7.8 ± 4.0) kali/minggu.
Menurut Riskesdas (2013), konsumsi makanan berlemak dikatakan sering apabila
dikonsumsi ≥1 kali/hari. Sebagian besar contoh (56.25%) mengonsumsi makanan
berlemak dengan kategori sering. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang nyata (p ≥0.05) antara kedua contoh berdasarkan frekuensi
26

konsumsi makanan berlemak. Noia et al. (2007) dalam penelitiannya menemukan


bahwa remaja memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak yang tinggi.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak disajikan pada
Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak


GIZ MNH Total
Makanan berlemak P
n % n % n %
Tidak pernah 0 0.0 0 0.0 0 0.0
< 3 kali/minggu 2 5.0 3 7.5 5 6.25
0.505
3-6 kali/minggu 18 45.0 12 30.0 30 37.5
≥ 7 kali/minggu 20 50.0 25 62.5 45 56.25
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 7.8 ± 4.0 8.8 ± 5.2 8.3 ± 4.6

Rata-rata konsumsi makanan berlemak contoh MNH (662.9 ± 402.1)


g/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (628.6 ± 318.7) g/minggu. Hasil uji
beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=1.000)
antara kedua contoh berdasarkan jumlah konsumsi makanan berlemak.
Berikut ini merupakan data tentang kebiasaan contoh dalam mengonsumsi
makanan berlemak. Jenis makanan berlemak yang paling banyak dikonsumsi
adalah gorengan (100%) pada kedua contoh dengan rata-rata frekuensi konsumsi
yang hampir sama antara contoh GIZ (4.1 kali/minggu) dan MNH (4.3
kali/minggu). Jenis makanan berlemak yang paling sedikit dikonsumsi adalah keju
(30.0%) pada kedua contoh dengan rata-rata frekuensi konsumsi yang sama antara
contoh GIZ dan MNH (1.1 kali/minggu). Menurut Khasanah (2012), gorengan
memiliki kandungan kalori, lemak/ minyak, dan oksidan yang tinggi. Bila
dikonsumsi secara terus-menerus, gorengan dapat menyebabkan kegemukan dan
meningkatkan kadar asam lemak dalam darah yang berisiko memunculkan penyakit
jantung koroner. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan
berlemak dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak


GIZ MNH
Jenis
Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
makanan
mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
berlemak
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Mentega 37.5 1.2 37.5 2.5 37.5
Keju 30.0 1.1 30.0 1.1 30.0
Gorengan 100.0 4.1 100.0 4.3 100.0
Soto 90.0 1.2 80.0 1.2 85.0
Bakso 82.5 0.8 80.0 1.2 81.3
Santan 57.5 1.5 40.0 2.6 48.8
27

Konsumsi Jeroan
Jeroan seperti usus, hati, ampela, babat, otak, dan paru, banyak mengandung
lemak jenuh (saturated fatty acid/ SFA). Kandungan kolesterol pada jeroan 4-15
kali lebih tinggi dibandingkan pada daging. Asam lemak jenuh cenderung
meningkatkan kolesterol darah, 25%-50% lemak yang berasal dari hewani dan
produknya merupakan asam lemak jenuh. Setiap peningkatan 1% energi dari asam
lemak jenuh, diperkirakan akan meningkatkan 2.7 mg/dl kolesterol darah, tetapi hal
ini tidak terjadi pada semua orang. Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan
peningkatan kadar LDL kolesterol (Almatsier 2013). Menurut Khasanah (2012),
mengonsumsi jeroan binatang dalam jumlah banyak dan waktu lama, dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner dan kanker (terutama kanker usus besar).
Sebanyak 47.5% (GIZ) dan 40.0% (MNH) mengonsumsi jeroan <3
kali/minggu, hanya 5.0% contoh MNH yang mengonsumsi jeroan ≥7 kali/minggu.
Rata-rata frekuensi konsumsi jeroan pada contoh MNH (2.1 ± 3.7) kali/minggu
lebih tinggi dibanding contoh GIZ (0.9 ± 1.3) kali/minggu. Menurut Riskesdas
(2013), konsumsi makanan jeroan dikatakan sering apabila dikonsumsi ≥1 kali/hari.
Sebagian besar contoh (58.75%) mengonsumsi jeroan dengan kategori jarang. Hasil
uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p ≥0.05)
antara frekuensi konsumsi jeroan pada kedua contoh. Sebaran contoh berdasarkan
frekuensi konsumsi jeroan dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi jeroan


GIZ MNH Total
Jeroan P
n % n % n %
Tidak pernah 17 42.5 14 35.0 31 38.75
< 3 kali/minggu 19 47.5 16 40.0 35 43.75
0.144
3-6 kali/minggu 4 10.0 8 20.0 12 15.0
≥ 7 kali/minggu 0 0.0 2 5.0 2 2.5
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 0.9 ± 1.3 2.1 ± 3.7 1.5 ± 2.8

Rata-rata konsumsi jeroan contoh MNH (77.9 ± 135.9) g/minggu lebih tinggi
dibanding contoh GIZ (37.6 ± 61.1) g/minggu. Hasil uji beda Mann Whitney
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.179) antara kedua contoh
berdasarkan jumlah konsumsi jeroan.
Berikut ini merupakan data tentang kebiasaan contoh dalam mengonsumsi
jeroan. Jenis jeroan yang paling banyak dikonsumsi pada contoh GIZ adalah ampela
(42.5%) dengan rata-rata frekuensi (1.0 kali/minggu), sedangkan jenis jeroan yang
paling banyak dikonsumsi oleh contoh MNH adalah hati (50.0%) dengan rata-rata
frekuensi (1.5 kali/minggu). Jenis jeroan yang paling sedikit dikonsumsi adalah
usus pada contoh GIZ (17.5%) dan MNH (22.5%) dengan rata-rata frekuensi
konsumsi contoh MNH (1.3 kali/minggu) lebih tinggi dibanding GIZ (0.5
kali/minggu). Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi jeroan dapat
dilihat pada Tabel 19.
28

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi jeroan


GIZ MNH
Jenis Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
jeroan mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Hati 32.5 0.7 50.0 1.5 41.3
Usus 17.5 1.1 22.5 1.7 20.0
Ampela 42.5 1.0 45.0 1.8 43.8

Konsumsi Makanan Manis


Makanan manis mengandung unsur karbohidrat sederhana yang
menghasilkan energi tinggi (Aisyiyah 2009). Konsumsi makanan manis yang
berlebihan akan meningkatkan asupan energi yang kemudian disimpan sebagai
cadangan lemak. Penumpukan lemak di dalam tubuh, khususnya pada bagian perut
akan menyebabkan obesitas sentral, sedangkan penumpukan pada pembuluh darah
akan menyumbat peredaran darah dan membentuk plak (aterosklerosis) yang
berdampak pada hipertensi dan jantung koroner. Selain itu, konsumsi makanan atau
minuman manis yang berlebihan akan menyebabkan kelenjar pankreas bekerja
keras untuk memproduksi insulin. Apabila hal ini dibiarkan terlalu lama, kerja
pankreas untuk memproduksi hormon insulin akan terganggu. Hormon insulin
berfungsi untuk mengatur kadar gula dalam darah. Apabila produksi insulin
terganggu, besar kemungkinan seseorang akan mengalami peningkatan gula darah
yang berdampak pada kejadian diabetes mellitus tipe 2 (Nelms et al. 2010). Sebaran
contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan manis dapat dilihat pada Tabel
20.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan manis


GIZ MNH Total P
Makanan manis
n % n % n %
Tidak pernah 1 2.5 1 2.5 2 2.5
< 3 kali/minggu 1 2.5 0 0.0 1 1.25
0.397
3-6 kali/minggu 8 20.0 4 10.0 12 15.0
≥ 7 kali/minggu 30 75.0 35 87.5 65 81.25
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 13.5 ± 8.7 16.5 ± 11.2 15.0 ± 10.1

Berdasarkan Tabel 20, frekuensi konsumsi makanan manis sebanyak ≥7


kali/minggu pada contoh MNH (87.5%) lebih banyak dibanding contoh GIZ
(75.0%). Sebanyak 2.5% pada masing-masing contoh tidak pernah mengkonsumsi
makanan manis. Rata-rata frekuensi konsumsi makanan manis pada contoh MNH
(16.5±11.2) kali/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (13.5±8.7) kali/minggu.
Menurut Riskesdas (2013), konsumsi makanan/ minuman manis dikatakan sering
apabila dikonsumsi ≥1 kali/hari. Sebagian besar contoh (81.25%) mengonsumsi
makanan manis dengan kategori sering. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang nyata (p ≥0.05) antara frekuensi konsumsi makanan
manis pada kedua contoh. Hoppu et al. (2010) menyatakan, remaja memiliki
29

kebiasaan dalam memilih makanan, termasuk tingginya konsumsi makanan dan


minuman manis.
Rata-rata konsumsi makanan manis pada contoh MNH (842.6 ± 805.1)
g/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (750.0 ± 565.1) g/minggu. Jumlah
konsumsi makanan manis paling tinggi diantara makanan dan minuman lainnya.
Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata
(p=0.927) antara kedua contoh berdasarkan jumlah konsumsi makanan manis.
Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan manis dapat dilihat
pada Tabel 21.

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan manis


GIZ MNH
Jenis
Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
makanan
mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
manis
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Dodol 12.5 0.05 25.0 0.4 18.8
Cake 50.0 1.0 60.0 1.4 55.0
Kue-kue
65.0 2.9 80.0 2.6 72.5
manis
Coklat 77.5 1.3 82.5 1.6 80.0

Berdasarkan Tabel 21, jenis makanan manis yang paling banyak dikonsumsi
pada contoh GIZ (77.5%) dengan rata-rata frekuensi konsumsi (1.3 kali/minggu)
dan MNH (82.5%) dengan rata-rata frekuensi konsumsi (1.6 kali/minggu) adalah
coklat. Jenis makanan manis yang paling sedikit dikonsumsi oleh contoh GIZ
(12.5%) dan MNH (25.0%) adalah dodol, dengan rata-rata frekuensi konsumsi
MNH (0.4 kali/minggu) lebih tinggi dibanding GIZ (0.05 kali/minggu).

Konsumsi Makanan Asin dan Awetan


Makanan asin dan makanan awetan mengandung kadar natrium yang tinggi.
Natrium adalah mineral yang ditemukan di alam dan memberikan rasa asin pada
lidah. Makanan asin dan makanan awetan memiliki rasa yang gurih (umami),
sehingga meningkatkan nafsu makan dan membuat kita lama untuk merasa kenyang
(Kurniadi 2013). Makanan yang diasinkan mengalami penambahan asupan garam
yang tinggi, sehingga dapat menambah berat beban ginjal dan menyebabkan
hipertensi. Terlebih, selama proses pengasinan sering ditambahkan zat aditif yang
menyebabkan peningkatan bahaya timbulnya kanker hidung dan tenggorokan
(Khasanah 2012).
Makanan awetan seperti makanan kalengan mengalami kerusakan zat gizi
terutama vitamin. Biasanya makanan ini ditambahkan dengan kadar gula tinggi.
Apabila dikonsumsi, tubuh akan cepat menyerap dengan cepat, sehingga akan
terjadi lonjakan kadar gula secara mendadak. Hal ini menyebabkan kadar gula
darah meningkat dan membuat pankreas bekerja lebih keras untuk menghasilkan
insulin. Jika hal ini terjadi dalam waktu lama, maka dapat memicu timbulnya
diabetes mellitus (Khasanah 2012).
Frekuensi konsumsi makanan asin dan awetan sebanyak ≥7 kali/minggu pada
contoh MNH (85.0%) lebih banyak dibanding contoh GIZ (65.0%). Sebanyak 10%
30

contoh GIZ tidak pernah mengonsumsi makanan asin dan awetan. Rata-rata
frekuensi konsumsi makanan asin dan awetan pada contoh MNH (7.9±2.2)
kali/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (5.9±3.2) kali/minggu. Menurut
Riskesdas (2013), konsumsi makanan asin dan awetan dikatakan sering apabila
dikonsumsi ≥1 kali/hari. Sebagian besar contoh (75.0%) mengonsumsi makanan
asin dan awetan dengan kategori sering. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan
terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kedua contoh berdasarkan frekuensi
konsumsi makanan asin dan awetan. Montazerifar et al. (2012) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa remaja memiliki kebiasaan dalam mengonsumsi makanan asin
yang tinggi. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan asin dan
awetan dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi makanan asin dan


awetan
Makanan asin dan GIZ MNH Total
P
awetan n % n % n %
Tidak pernah 4 10.0 0 0.0 4 5.0
< 3 kali/minggu 3 7.5 0 0.0 3 3.75
0.010a
3-6 kali/minggu 7 17.5 6 15.0 13 16.25
≥ 7 kali/minggu 26 65.0 34 85.0 60 75.0
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 5.9 ± 3.2 7.9 ± 2.2 3.4 ± 1.4
a
Berbeda nyata (p <0.05)

Rata-rata konsumsi makanan asin dan awetan pada contoh MNH (13.8 ±
22.1) g/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (12.8 ± 22.9) g/minggu. Hasil
uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata
(p=0.930) antara kedua contoh berdasarkan jumlah konsumsi makanan asin dan
awetan. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan asin dan
awetan dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi makanan asin dan


awetan
GIZ MNH
Jenis makanan Rata-rata Rata-rata
Jumlah yang Jumlah yang Total
asin dan frekuensi frekuensi
mengonsumsi mengonsumsi (%)
awetan (kali/ (kali/
(%) (%)
minggu) minggu)
Corned beef 12.5 0.5 5.0 2.5 8.8
Snack asin 50.0 1.4 32.5 2.6 41.3
Ikan pindang 15.0 1.0 27.5 1.1 21.3
Ikan asin 22.5 1.6 22.5 0.9 22.5
Telur asin 17.5 0.4 7.5 1.3 12.5
Dendeng 12.0 0.4 15.0 1.0 13.8

Berikut ini merupakan data kebiasaan contoh yang mengonsumsi makanan


asin dan awetan. Jenis makanan asin dan awetan yang paling banyak dikonsumsi
31

oleh contoh GIZ (50.0%) dan MNH (32.5%) adalah snack asin, dengan rata-rata
frekuensi konsumsi MNH (2.6 kali/minggu) lebih tinggi dibanding GIZ (1.0
kali/minggu). Jenis makanan asin dan awetan yang paling sedikit dikonsumsi pada
contoh GIZ adalah dendeng (12.0%) dengan rata-rata konsumsi (0.4 kali/minggu),
sedangkan pada contoh MNH adalah corned beef (5.0%) dengan rata-rata konsumsi
(2.5 kali/minggu).

Konsumsi Sayur dan Buah


Sayuran dan buah merupakan sumber serat yang tinggi yang dapat mencegah
kegemukan. Kekurangan serat dapat menyebabkan berbagai gangguan penyakit,
seperti penyakit jantung koroner (penyempitan arteri akibat penumpukan lemak),
diabetes mellitus, kanker kolon, dan aterosklerosis (Kusharto 2006). Sayuran dan
buah-buahan banyak mengandung zat gizi maupun non gizi, seperti serat pangan,
asam folat, kalium, flavonoid, dan vitamin-vitamin antioksidan yang dihubungkan
dengan penurunan risiko penyakit kardiovaskuler, maka dipercaya bahwa konsumsi
sayuran dan buah-buahan dalam jumlah banyak akan bersifat protektif terhadap
penyakit kardiovaskuler (Muchtadi 2013).

Konsumsi Sayur Frekuensi konsumsi sayur sebanyak ≥7 kali/minggu pada contoh


GIZ (85.0%) lebih banyak dibanding contoh MNH (82.5%). Sebanyak 2.5% contoh
MNH tidak pernah mengonsumsi sayur selama satu bulan terakhir. Rata-rata
frekuensi konsumsi sayur pada contoh GIZ (18.6 ± 12.5) kali/minggu lebih tinggi
dibanding contoh MNH (6.0 ± 5.4) kali/minggu. Menurut Riskesdas (2013),
konsumsi buah dan/ atau sayur minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam
seminggu. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang nyata (p ≥0.05) antara frekuensi konsumsi sayur pada kedua contoh. Sebaran
contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayur


GIZ MNH Total
Sayur P
n % n % n %
Tidak pernah 0 0.0 1 2.5 1 1.25
< 3 kali/minggu 1 2.5 2 5.0 3 3.75
0.100
3-6 kali/minggu 5 12.5 4 10.0 9 11.25
≥ 7 kali/minggu 34 85.0 33 82.5 67 83.75
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 18.6 ± 12.5 15.0 ± 11.5 16.8 ± 12.1

Permenkes (2014) menyatakan bahwa sayuran dianjurkan dikonsumsi oleh


remaja atau dewasa sebanyak 3-4 porsi dalam sehari atau 3-4 mangkuk. Satu
mangkuk sayuran beratnya sekitar 75 g, sehingga perlu makan sayur sekitar 250-
300 g sehari. Menurut WHO (2003), konsumsi sayur dan buah minimal 400 g per
orang per hari untuk mencegah penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung,
dan obesitas. Sebaran contoh berdasarkan kategori konsumsi sayur dapat dilihat
pada Tabel 25.
32

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori konsumsi sayur


Gizi MNH Total
Kategori P
n % n % n %
Kurang (≤ 250 g/hari) 36 90.0 39 97.5 75 93.75
0.006a
Cukup ( > 250 g/hari) 4 10.0 1 2.5 5 6.25
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 132.0 ± 84.1 86.3 ± 67.6 109.1 ± 7.9
a
Berbeda nyata (p <0.05)

Berdasarkan Tabel 25, dapat dilihat bahwa jumlah yang mengonsumsi sayur
pada kategori kurang, MNH (97.5%) lebih banyak dibanding GIZ (90.0%), hanya
10.0% (GIZ) dan 2.5% (MNH) yang mengkonsumsi sayur dengan kategori cukup.
Secara keseluruhan, jumlah konsumsi sayur pada kedua contoh masih berada pada
kategori kurang (93.75%). Hoppu et al. (2010) menyatakan bahwa, remaja
memiliki kebiasaan dalam memilih makanan, termasuk rendahnya konsumsi sayur.
Hasil uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05)
antara kedua contoh berdasarkan kategori konsumsi sayur.
Berikut ini merupakan data kebiasaan contoh dalam mengonsumsi sayur.
Jenis sayuran yang paling banyak dikonsumsi pada contoh GIZ adalah wortel
(87.5%) dengan rata-rata frekuensi konsumsi (3.2 kali/minggu), sedangkan pada
contoh MNH adalah kangkung (90.0%) dengan rata-rata frekuensi konsumsi (2.3
kali/minggu). Jenis sayuran yang paling sedikit dikonsumsi contoh GIZ (40.0%)
dan MNH (30.0%) adalah labu siam, dengan rata-rata frekuensi konsumsi GIZ (1.0
kali/minggu) dan contoh MNH (1.1 kali/minggu). Sebaran contoh berdasarkan
kebiasaan mengonsumsi sayur dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur


GIZ MNH
Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
Jenis sayur
mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Bayam 85.0 1.8 70.0 1.8 77.5
Wortel 87.5 3.2 70.0 2.9 78.8
Kangkung 75.0 2.1 90.0 2.3 82.5
Buncis 60.0 2.3 45.0 0.8 52.5
Sawi 67.5 2.5 70.0 2.1 68.8
Labu siam 40.0 1.0 30.0 1.1 35.0
Kacang panjang 75.0 1.9 47.5 1.3 61.3
Daun singkong 42.5 1.2 42.5 1.1 42.5

Konsumsi Buah Frekuensi konsumsi buah sebanyak ≥7 kali/minggu pada contoh


GIZ (57.5%) lebih banyak dibanding contoh MNH (32.5%). Sebanyak 2.5% contoh
MNH tidak pernah mengkonsumsi buah selama satu bulan terakhir. Rata-rata
frekuensi konsumsi sayur pada contoh GIZ (10.3 ± 8.9) kali/minggu lebih tinggi
dibanding contoh MNH (6.1 ± 5.4) kali/minggu. Menurut Riskesdas (2013),
konsumsi buah dan/ atau sayur minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam
33

seminggu. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang
nyata (p ≥0.05) antara kedua contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah. Sebaran
contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah dapat dilihat Tabel 27.

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah


GIZ MNH Total
Buah P
n % n % n %
Tidak pernah 0 0.0 1 2.5 1 1.25
< 3 kali/minggu 7 17.5 14 35.0 21 26.25
0.016a
3-6 kali/minggu 10 25 12 30.0 22 27.5
≥ 7 kali/minggu 23 57.5 13 32.5 36 45.0
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 10.3 ± 8.9 6.1 ± 5.4 8.1 ± 7.6
a
Berbeda nyata (p <0.05)

Permenkes (2014) menyatakan bahwa buah dianjurkan dikonsumsi sebanyak


2-3 porsi dalam sehari atau sekitar 150 g buah sehari. Menurut WHO (2003),
konsumsi sayur dan buah minimal 400 g per orang per hari untuk mencegah
penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan obesitas. Sebaran contoh
berdasarkan kategori konsumsi buah dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan kategori konsumsi buah


GIZ MNH Total
Kategori P
n % n % n %
Kurang ( ≤ 150 g/hari) 23 57.5 30 75.0 53 66.25
0.025a
Cukup ( > 150 g/hari) 17 42.5 10 25.0 27 33.75
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 184.3 ± 174.5 105.2 ± 97.1 144.7 ± 145.8
a
Berbeda nyata (p <0.05)

Berdasarkan Tabel 28, dapat dilihat bahwa jumlah yang mengonsumsi buah
pada kategori kurang, MNH (75.0%) lebih banyak dibanding GIZ (57.5%), hanya
42.5% GIZ dan 25.0% MNH yang mengkonsumsi buah dengan kategori cukup.
Secara keseluruhan, jumlah konsumsi buah pada kedua contoh masih berada pada
kategori kurang (66.2%). Hoppu et al. (2010) menyatakan bahwa, remaja memiliki
kebiasaan dalam memilih makanan, termasuk rendahnya konsumsi buah. Hasil uji
Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kedua
contoh berdasarkan kategori konsumsi buah.
Berikut ini merupakan data tentang kebiasaan contoh dalam mengonsumsi
buah. Jenis buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi oleh contoh GIZ (82.5%)
dan MNH (72.5%) adalah pisang, dengan rata-rata frekuensi konsumsi GIZ (2.3
kali/minggu) lebih tinggi dibandingkan dengan MNH (1.7 kali/minggu). Jenis
buah-buahan yang paling sedikit dikonsumsi contoh GIZ adalah alpukat (40.0%)
dengan rata-rata frekuensi (1.3 kali/minggu), sedangkan contoh MNH adalah
mangga (40.0%) dengan rata-rata frekuensi (1.2 kali/minggu). Sebaran contoh
berdasarkan kebiasaan mengonsumsi buah dapat dilihat pada Tabel 29.
34

Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi buah


GIZ MNH
Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
Jenis buah
mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Pepaya 80.0 2.3 67.5 1.7 73.8
Pisang 82.5 2.3 72.5 1.7 77.5
Alpukat 40.0 1.3 47.5 0.7 43.8
Apel 47.5 0.6 42.5 0.8 45.0
Mangga 62.5 1.1 40.0 1.2 51.3
Semangka 52.5 2.2 42.5 1.1 47.5
Melon 60.0 2.0 42.5 1.2 51.3
Jerum manis 62.5 1.6 47.5 0.9 55.0

Konsumsi Fast Food


Fast food merupakan makanan siap saji yang berbeda dengan junk food
(makanan yang hanya padat kalori). Bahan penyusun fast food termasuk golongan
pangan bergizi. Ketidakseimbangan dari segi porsi serta komposisi sayuran
membuat makanan ini miskin vitamin dan mineral, namun tinggi garam dan rendah
serat (merupakan faktor pemicu penyakit hipertensi), serta sumber lemak dan
kolesterol membuat fast food dikatakan negatif apabila dikonsumsi setiap hari
(Khomsan 2004). Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi fast food dapat
dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi fast food


GIZ MNH Total
Fast food P
n % n % n %
Tidak pernah 0 0.0 0 0.0 0 0.0
< 3 kali/minggu 16 40.0 15 37.5 31 38.75
0.842
3-6 kali/minggu 17 42.5 16 40.0 33 41.25
≥ 7 kali/minggu 7 17.5 9 22.5 16 20.0
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 4.1 ± 2.8 4.6 ± 3.7 4.3 ± 3.3

Berdasarkan Tabel 30, sebanyak 42.5% (GIZ) dan 40.0% (MNH)


mengonsumsi fast food 4-6 kali/minggu. Rata-rata frekuensi konsumsi fast food
pada contoh MNH (4.6 ± 3.7) kali/minggu lebih tinggi dibandingkan dengan contoh
GIZ (4.1 ± 2.8) kali/minggu. Menurut Verzeletti et al. (2009), konsumsi fast food
dikatakan sering apabila dikonsumsi ≥1 kali/hari. Sebagian besar contoh (80.0%)
mengonsumsi fast food dengan kategori jarang. Vaida (2013) menyebutkan dalam
penelitiannya bahwa remaja memiliki kecenderungan mengonsumsi fast food
dengan jumlah yang tinggi. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang nyata (p ≥0.05) antara kedua contoh berdasarkan frekuensi
konsumsi fast food.
Rata-rata konsumsi fast food pada contoh MNH (342.8 ± 268.3) g/minggu
lebih tinggi dibandingkan dengan contoh GIZ (316.8 ± 226.1) g/minggu. Hasil uji
35

beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.847)
antara kedua contoh berdasarkan jumlah konsumsi fast food.
Berikut ini merupakan data tentang kebiasaan contoh dalam mengonsumsi
fast food. Jenis fast food yang paling banyak dikonsumsi oleh kedua contoh adalah
mie instan (95.0%) dengan rata-rata frekuensi konsumsi contoh MNH (2.2
kali/minggu) lebih tinggi dibandingkan dengan GIZ (1.7 kali/minggu). Jenis fast
food yang paling sedikit dikonsumsi contoh GIZ adalah Hamburger (25.0%)
dengan rata-rata frekuensi konsumsi (0.3 kali/minggu), sedangkan pada contoh
MNH adalah Pizza (10.0%) dengan rata-rata frekuensi konsumsi (0.5 kali/minggu).
Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi fast food dapat dilihat pada
Tabel 31.

Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi fast food


GIZ MNH
Jenis fast Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
food mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Fried chicken 87.5 1.3 90.0 1.3 88.8
French fries 35.0 1.1 35.0 0.8 35.0
Hamburger 25.0 0.3 27.5 0.6 26.3
Pizza 35.0 0.3 10.0 0.5 22.5
Spaghetti 40.0 0.4 20.0 0.4 30.0
Mie instan 95.0 1.7 95.0 2.2 95.0

Konsumsi Soft Drink


Pengertian minuman ringan (soft drink) berdasarkan Keputusan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.52.4040 Tahun
2006 adalah minuman yang tidak mengandung alkohol dan merupakan minuman
olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan dan atau
bahan tambahan lainnya, baik alami maupun sintetik yang dikemas dalam bentuk
kemasan siap untuk dikonsumsi (Raviany 2011). Disebutkan pula bahwa, soft drink
adalah minuman berkarbonasi yang diberi tambahan bahan perasa dan pemanis
seperti gula. Menurut Malik et al. (2010), seseorang yang mengonsumsi sugar-
sweetened beverages (soft drink, fruit drinks, vitamin water drinks) pada kategori
tinggi (≥ 1 atau 2 porsi/hari) memiliki risiko 26% lebih tinggi terkena diabetes
mellitus daripada seseorang yang mengonsumsi dengan kategori rendah.
Sebanyak 50.0% (GIZ) dan 37.5% (MNH) mengonsumsi soft drink ≤ 3
kali/minggu, hanya 7.5% (GIZ) dan 22.5% (MNH) mengonsumsi soft drink ≥ 7
kali/minggu. Rata-rata frekuensi konsumsi soft drink pada contoh MNH (3.6 ± 4.2)
kali/minggu lebih tinggi dibandingkan dengan contoh GIZ (2.3 ± 3.3) kali/minggu.
Menurut Neeraj et al. (2010), konsumsi soft drink dikatakan sering apabila
dikonsumsi ≥3 kali/minggu. Sebagian besar contoh (43.75%) mengonsumsi soft
drink dengan kategori jarang. Penelitian Wilson et al. (2009), lebih dari setengah
remaja laki-laki dan lebih dari sepertiga remaja perempuan (2700 remaja laki-laki
dan perempuan) mengonsumsi soft drink setiap hari. Vasanti et al. (2010)
menyebutkan bahwa seseorang dengan intake minuman manis yang tinggi (26%)
lebih besar berpeluang untuk terkena penyakit diabetes tipe 2 dibanding mereka
yang memiliki intake lebih rendah. Vartanian et al. (2007) juga menjelaskan,
36

seseorang yang mengonsumsi soft drink 1 porsi atau lebih per hari dapat
menyebabkan penyakit diabetes mellitus dibanding mereka yang hanya
mengonsumsi soft drink 1 porsi per bulan. Hasil uji beda Mann Whitney
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p ≥0.05) antara kedua contoh
berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi
konsumsi soft drink dapat dilihat pada Tabel 32.

Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink


GIZ MNH Total
Soft drink P
n % n % n %
Tidak pernah 8 20.0 6 15 14 17.5
< 3 kali/minggu 20 50.0 15 37.5 35 43.75
0.113
3-6 kali/minggu 9 22.5 10 25 19 23.75
≥ 7 kali/minggu 3 7.5 9 22.5 12 15.0
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 2.3 ± 3.3 3.6 ± 4.2 2.9 ± 3.8

Rata-rata konsumsi soft drink pada contoh MNH (765.6 ± 801.9) ml/minggu
lebih tinggi dibanding contoh GIZ (490.5 ± 697.5) ml/minggu. Hasil uji beda Mann
Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.112) antara
kedua contoh berdasarkan jumlah konsumsi soft drink. Sebaran contoh berdasarkan
kebiasaan mengonsumsi soft drink dapat dilihat pada Tabel 33.

Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi soft drink


GIZ MNH
Jenis soft Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
drink mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Teh
80.0 2.0 72.5 3.1 76.3
kemasan
Fanta 17.5 0.3 17.5 0.8 17.5
Sprite 15.0 0.5 17.5 0.6 16.3
Coca-cola 25.0 0.8 40.0 0.9 32.5

Berdasarkan Tabel 33, jenis soft drink yang paling banyak dikonsumsi oleh
contoh GIZ (80.0%) dan MNH (72.5%) adalah teh kemasan, dengan rata-rata
frekuensi konsumsi MNH (3.1 kali/minggu) lebih tinggi dibanding GIZ (2.0
kali/minggu). Jenis soft drink yang paling sedikit dikonsumsi contoh GIZ adalah
fanta (17.5%) dengan rata-rata konsumsi (0.3 kali/minggu), sedangkan pada contoh
MNH adalah fanta dan sprite (17.5%) dengan rata-rata konsumsi secara berturut-
turut (0.8 kali/minggu) dan (0.6 kali/minggu).

Konsumsi Minuman Berkafein


Kafein merupakan salah satu stimulan yang berpengaruh terhadap sistem
saraf pusat dan masuk aliran darah melalui penyerapan usus halus. Efek dari kafein
ini dapat dirasakan setelah 15 menit mengonsumsinya. Kafein mampu bertahan
dalam tubuh manusia selama berjam-jam, dan hanya setengah kafein yang dapat
37

dieliminir dari tubuh pada enam jam pertama. Kafein dapat menyebabkan
ketergantungan jika dikonsumsi empat cangkir atau lebih per hari. Gejalanya mulai
dari sakit kepala, lemah/ lesu, nyeri otot (pegal-pegal). Kafein juga bisa berakibat
fatal jika dikonsumsi dengan dosis yang ekstrim (over dosis) (Nuryati 2009).
Penelitian kohort yang dilakukan oleh Uiterwaal et al. (2007) menunjukkan
bahwa, seseorang yang tidak mengonsumsi kopi memiliki risiko rendah terkena
hipertensi daripada orang yang mengonsumsi >0-3 gls/hari. Namun, pada wanita
yang mengonsumsi >0-6 gls/hari memiliki risiko lebih rendah dari pada wanita
yang mengonsumsi >0-3 gls/hari. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi
minuman berkafein dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi minuman berkafein


Minuman GIZ MNH Total
P
berkafein n % n % n %
Tidak pernah 17 42.5 8 20.0 25 31.25
< 3 kali/minggu 17 42.5 16 40.0 33 41.25
0.014a
3-6 kali/minggu 4 10.0 12 30.0 16 20.0
≥ 7 kali/minggu 2 5.0 4 10.0 6 7.5
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 1.3 ± 2.6 2.6 ± 3.0 1.9 ± 2.9
a
Berbeda nyata (p <0.05)

Berdasarkan Tabel 34, frekuensi konsumsi minuman berkafein sebanyak ≥7


kali/minggu pada contoh MNH (10.0%) lebih tinggi dibanding contoh GIZ (5.0%).
Sebagian besar contoh (41.25%) mengonsumsi minuman berkafein dengan kategori
jarang. Rata-rata frekuensi konsumsi minuman berkafein pada contoh MNH (2.6 ±
3.0) kali/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (1.3 ± 2.6) kali/minggu.
Menurut Riskesdas (2013), konsumsi konsumsi minuman berkafein dikatakan
sering apabila dikonsumsi ≥1 kali/hari. Sebagian besar contoh (41.25%)
mengonsumsi minuman berkafein dengan kategori jarang. Hasil uji beda Mann
Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p <0.05) antara kedua contoh
berdasarkan frekuensi konsumsi minuman berkafein.
Rata-rata konsumsi minuman berkafein contoh MNH (449.7 ± 553.6)
ml/minggu lebih tinggi dibanding contoh GIZ (237.4 ± 471.5) ml/minggu. Menurut
Weinberg dan Bealer (2002), kandungan kafein 1 cangkir (180 ml) kopi instan
adalah 100 mg, sedangkan 1 cangkir (180 ml) cokelat panas adalah 10 mg. Dosis
kafein yang dianjurkan untuk setiap orang berbeda-beda tergantung berat badan
(Lampiran 1). Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang
nyata (p=0.007) antara kedua contoh berdasarkan jumlah konsumsi minuman
berkafein.
Berikut ini merupakan data tentang kebiasaan contoh dalam mengonsumsi
minuman berkafein. Jenis minuman berkafein yang paling banyak dikonsumsi oleh
kedua contoh adalah kopi, pada contoh MNH (77.5%) lebih banyak dibanding GIZ
(50.0%) dengan rata-rata frekuensi konsumsi MNH (2.9 kali/minggu) lebih sering
dibanding GIZ (1.2 kali/minggu). Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan
mengonsumsi minuman berkafein dapat dilihat pada Tabel 35.
38

Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengonsumsi minuman


berkafein
GIZ MNH
Jenis
Jumlah yang Rata-rata Jumlah yang Rata-rata Total
minuman
mengonsumsi frekuensi mengonsumsi frekuensi (%)
berkafein
(%) (kali/minggu) (%) (kali/minggu)
Kopi 50.0 1.2 77.5 2.9 63.8
Coklat 37.5 1.5 32.5 1.0 35.0

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka,
dimana terjadi adanya penggunaan energi atau pengeluaran energi dalam tubuh dan
memberikan efek menyehatkan. Oleh karena itu, berkurangnya aktivitas fisik akibat
dari kehidupan yang semakin modern dengan kemajuan teknologi akan
menimbulkan obesitas, penyakit jantung, diabetes, kanker kolon, dan hipertensi
(Werner & Sharon 2005). Aktivitas fisik dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
aktivitas berat, aktivitas sedang, dan aktivitas ringan. Aktivitas berat adalah
kegiatan yang secara terus-menerus dengan melakukan kegiatan fisik minimal 10
menit sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dari biasanya selama
tiga hari dalam satu minggu. Aktifitas fisik sedang apabila melakukan kegiatan fisik
sedang minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit
dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktivitas fisik
ringan. Seperti halnya dijelaskan oleh Werner & Sharon (2005) dalam bukunya
bahwa, standar aktivitas fisik untuk dapat mencapai kesehatan khususnya aktivitas
fisik sedang adalah 30 menit selama 5-6 kali per minggu.

Jenis Aktivitas dan Durasi


Aktifitas fisik dibedakan menjadi empat, yaitu tidur, kegiatan ringan, kegiatan
sedang, kegiatan berat. Kegiatan berat meliputi semua kegiatan olahraga (sepak
bola, jogging, badminton, aerobik, berenang, dan lain-lain). Kegiatan sedang
meliputi pekerjaan rumah tangga dan jalan santai, sedangkan kegiatan ringan
seperti duduk, mandi, makan, dan kegiatan waktu luang selain pada kegiatan sedang
dan berat (CDC 2011). Sebaran contoh berdasarkan rata-rata alokasi waktu
berdasarkan mayor dapat dilihat pada Tabel 36.

Tabel 36 Rata-rata alokasi waktu berdasarkan mayor


Hari kuliah Hari libur
GIZ MNH GIZ MNH
Jenis Aktivitas
Durasi Durasi Durasi Durasi
SD SD SD SD
(jam) (jam) (jam) (jam)
Tidur 7.0 1.9 7.5 1.8 9.0 2.7 8.5 2.0
Kegiatan ringan 15.2 1.8 14.1 2.1 11.5 3.0 12.1 2.7
Kegiatan sedang 1.5 1.7 1.9 0.9 2.7 2.2 2.8 1.8
Kegiatan berat 0.2 0.7 0.5 1.3 0.7 1.4 0.6 1.4
39

Berdasarkan Tabel 36, rata-rata kegiatan tidur meningkat di hari libur pada
contoh GIZ (2.0 jam) dan MNH (1.0 jam). Pada hari kuliah biasanya kedua contoh
tidur malam pada pukul 22.00 WIB dan bangun pada pukul 05.00 WIB. Pada hari
libur biasanya contoh tidur malam pukul 23.00 atau 23.30 WIB dan bangun pada
pukul 05.00 WIB untuk beribadah, kemudian tidur lagi hingga pukul 08.00 atau
09.00 WIB. Setelah itu, pada siang hari di hari libur juga tidur siang selama 2-3
jam. Rata-rata kegiatan ringan pada contoh GIZ (15.2 jam/hari) di hari kuliah lebih
lama dibanding contoh MNH (14.1 jam/hari) dan sebaliknya untuk hari libur,
contoh MNH (12.1 jam/hari) lebih lama dibanding GIZ (11.5 jam/hari). Alokasi
kegiatan ringan lebih lama di hari kuliah dibanding hari libur pada kedua contoh.
Hal ini karena pada saat kuliah, contoh GIZ maupun MNH lebih banyak duduk
memperhatikan mata kuliah dari pada hari libur yang waktunya sering dipakai
untuk tidur.
Kegiatan sedang di hari libur maupun di hari kuliah pada contoh MNH lebih
lama dibanding contoh GIZ. Rata-rata kegiatan sedang pada hari libur meningkat
pada contoh GIZ (1.2 jam/hari) lebih lama dibanding contoh MNH (0.9 jam/hari).
Pada hari libur alokasi waktu untuk kegiatan sedang seperti mengerjakan pekerjaan
rumah tangga lebih lama dibanding hari kuliah. Kegiatan berat pada hari libur baik
contoh GIZ maupun MNH lebih lama dibanding hari kuliah. Rata-rata kegiatan
berat pada hari libur meningkat pada contoh GIZ (0.5 jam/hari) dan contoh MNH
(0.1 jam/hari). Kegiatan berat yang dilakukan oleh contoh GIZ adalah jogging,
aerobik, dan bersepeda, sedangkan contoh MNH adalah badminton, aerobik,
jogging, dan sepak bola.
Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur seperti olahraga dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah dan melatih otot
jantung sehingga menjadi terbiasa bila jantung mendapat pekerjaan yang lebih berat
karena ada kondisi tertentu. Olahraga yang teratur juga merangsang pelepasan
endorfin (morfin endogen) yang menimbulkan euphoria dan relaksasi otot sehingga
tekanan darah tidak meningkat (Sihombing 2010). Selain mencegah terjadinya
hipertensi, aktivitas fisik yang teratur juga dapat menjaga daya tahan dan kebugaran
tubuh serta mencegah penyakit kardiovaskular (Kemenkes 2011).

Tingkat Aktivitas Fisik


Tingkat aktivitas fisik dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu aktivitas ringan
dengan nilai Physical Activity Level (PAL) 1.40-1.69, aktivitas sedang 1.70-1.99,
dan aktivitas berat 2.00-2.40 (FAO/WHO/UNU 2001). Contoh GIZ (82.5%) dan
contoh MNH (80.0%) memiliki tingkat aktivitas fisik yang ringan, hanya 5.0%
contoh GIZ dan 2.5% contoh MNH yang memiliki aktivitas fisik berat. Rata-rata
tingkat aktivitas fisik contoh MNH 1.59 ± 0.19 relatif sama dengan contoh GIZ 1.56
± 0.21. Aktivitas yang rendah ini disebabkan oleh waktu pengambilan data pada
saat kegiatan perkuliahan belum efektif, sehingga aktivitas yang dilakukan oleh
contoh sebagian besar hanya sebatas kegiatan ringan. Hasil uji beda Mann Whitney
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p ≥0.05) antara tingkat aktifitas
fisik kedua contoh. Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik dapat dilihat
pada Tabel 37.
40

Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik


Tingkat Aktivitas GIZ MNH Total
P
Fisik (PAL) n % n % n %
Ringan 33 82.5 32 80.0 65 81.25
Sedang 5 12.5 7 17.5 12 15.0 0.494
Berat 2 5.0 1 2.5 3 3.75
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD 1.56 ± 0.21 1.59 ± 0.19 1.57 ± 0.19

Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu contoh penyakit degeneratif yang ditandai


dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi terjadi ketika tekanan darah melebihi
batas normal (sistol 120 mmHg/ diastol 80 mmHg) atau terjadi peningkatan tekanan
darah sistol sebesar 20 mmHg dan diastol 10 mmHg dari tekanan darah normal.
Namun, tidak perlu baik keduanya (tekanan darah sistol maupun diastol) meningkat
untuk dipertimbangkan hipertensi (Nelms et al. 2010). Peningkatan tekanan darah
tersebut memaksa jantung bekerja keras untuk memompa darah menuju arteri. Hal
ini dapat menyebabkan lemahnya otot jantung dan peningkatan risiko
berkembangnya aritmia jantung, gagal jantung, stroke, dan kematian. Hipertensi
dibagi menjadi dua, hipertensi primer atau esensial (penyebabnya tidak diketahui)
dan hipertensi sekunder (karena gangguan fisik dan metabolik) (Sharon et al. 2008).
Sebanyak 67.5% (GIZ) dan 62.5% (MNH) memiliki tekanan darah yang
normal, sedangkan contoh yang mengalami pra hipertensi 35.0% (MNH) lebih
tinggi dibanding GIZ (32.5%) dan hanya 2.5% contoh MNH yang mengalami
hipertensi derajat 1. Berdasarkan uji beda Mann Whitney tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (p ≥0.05) antara kedua contoh berdasarkan tekanan darah sistol.
Berdasarkan uji beda Independent sample t-test terdapat perbedaan yang signifikan
(p <0.05) antara kedua contoh berdasarkan tekanan darah diastol. Sebaran contoh
berdasarkan kategori tekanan darah dapat dilihat pada Tabel 38.

Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan kategori tekanan darah


Gizi MNH Total
Kategori
N % n % n %
Normal 27 67.5 25 62.5 52 65.0
Pra hipertensi 13 32.5 14 35.0 27 33.75
Hipertensi derajat 1 0 0.0 1 2.5 1 1.25
Hipertensi derajat 2 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Total 40 100.0 40 100.0 80 100.0
Rata-rata ± SD (sistol) 115.0 ± 10.4 116.8 ± 11.4 115.9 ± 10.8
P 0.373
Rata-rata ± SD (diastol) 68.2 ± 7.7 72.6 ± 8.6 71.4 ± 8.7
P 0.001a
a
Berbeda nyata (p <0.05)
41

Hubungan antar Variabel

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Konsumsi


Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pendapatan orang tua dengan frekuensi konsumsi makanan
berlemak (p=0.898; r=0.015), makanan manis (p=0.170; r=0.155), makanan asin
dan awetan (p=0.057; r=-0.213), jeroan (p=0.956; r=0.006), sayur (p=0.615;
r=0.057), buah (p=0.347; r=0.107), fast food (p=0.065; r=0.207), soft drink
(p=0.225; r=0.137), dan minuman berkafein (p=0.091; r=0.190). Akan tetapi
tingkat pendapatan memiliki kecenderungan positif dengan frekuensi konsumsi
makanan berlemak, makanan manis, jeroan, sayur dan buah, fast food, soft drink,
serta minuman berkafein. Namun, memiliki kecenderungan negatif dengan
frekuensi konsumsi makanan asin dan awetan. Artinya, semakin besar pendapatan
orang tua, maka kecenderungan frekuensi konsumsi makanan asin dan awetan
semakin rendah tetapi frekuensi konsumsi makanan berlemak, makanan manis,
jeroan, sayur dan buah, fast food, soft drink, serta minuman berkafein semakin
tinggi. Sejalan dengan penelitian Setyowati (2014) yang menyatakan bahwa, tidak
terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendapatan orang tua dengan frekuensi
konsumsi fast food. Namun, terdapat hubungan yang nyata antara pendapatan orang
tua dengan frekuensi konsumsi soft drink. Penelitian lain oleh Wulansari (2009),
tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan konsumsi buah, tetapi
terdapat hubungan yang signifikan dengan konsumsi sayur.
Menurut Jason et al. (2004) pada penelitiannya, secara nyata seseorang yang
memiliki pendapatan rendah akan lebih banyak mengonsumsi fast food dan
makanan-makanan yang tidak sehat lainnya. Kelompok dengan sosial ekonomi
rendah cenderung mengonsumsi sedikit sayur dan buah, serta lebih banyak
mengonsumsi makanan berlemak dan gula dibanding dengan kelompok yang
memiliki sosial ekonomi tinggi. Selain itu Aziz et al. (2014) menyatakan, kelompok
yang memiliki pendapatan rendah juga lebih banyak mengonsumsi makanan asin.
Rasa asin mengindikasikan adanya kandungan natrium yang tinggi dalam suatu
makanan. Hubungan yang tidak signifikan ini diduga karena pendapatan orang tua
dan frekuensi konsumsi makan pada contoh relatif sama.
Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara riwayat penyakit orang tua dengan frekuensi konsumsi makanan
berlemak (p=0.806), makanan asin dan awetan (p=0.260), dan konsumsi buah
(p=0.377). Hasil uji korelasi Fisher juga menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara riwayat penyakit orang tua dengan frekuensi konsumsi
makanan manis (p=1.000), konsumsi jeroan (p=0.513), konsumsi sayur (p=1.000),
konsumsi fast food (p=0.367), konsumsi soft drink (p=0.331), dan konsumsi
minuman berkafein (p=0.171). Artinya, riwayat penyakit orang tua tidak
mempengaruhi pola konsumsi makan contoh. Menurut Hariri et al. (2006), riwayat
penyakit keluarga berhubungan positif dengan penurunan kebiasaan yang berisiko,
salah satunya dengan merubah gaya hidup untuk mencegah kejadian penyakit
tersebut. Hubungan yang tidak signifikan ini diduga karena ketika seseorang
mengetahui orang tuanya menderita penyakit degeneratif, tidak secara langsung
42

merubah gaya hidup seperti pola konsumsi menjadi lebih baik. Hal ini didukung
oleh Hoppu et al. (2010) yang menyatakan bahwa, faktanya pengetahuan tentang
diet saja tidak cukup untuk mengadopsi kebiasaan makan yang baik.

Hubungan Karakteristik Contoh dengan Pola Konsumsi


Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara pendapatan orang tua dengan besar uang saku per bulan contoh
(p=0.000; r=0.682). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pendapatan orang
tua semakin besar uang saku contoh. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2011)
juga menyatakan hal yang sama, dimana pendapatan orang tua berbanding lurus
terhadap jumlah uang saku contoh.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara besar uang saku dengan frekuensi konsumsi makanan berlemak
(p=0.247; r=0.131), makanan manis (p=0.171; r=0.155), jeroan (p=0.646; r=-
0.052), sayur (p=0.640; r=0.053), buah (p=0.073; r=0.201), fast food (p=0.095;
r=0.188), dan soft drink (p=0.193; r=0.147). Uang saku dan frekuensi konsumsi
makanan berlemak, makanan manis, sayur dan buah, fast food serta soft drink
memiliki kecenderungan yang positif, sedangkan pada frekuensi konsumsi jeroan
cenderung negatif. Hal ini berarti semakin besar uang saku frekuensi konsumsi
makanan berlemak, makanan manis, sayur dan buah, fast food serta soft drink
semakin besar tetapi semakin kecil pada konsumsi jeroan. Penelitian ini sejalan
dengan Setyowati (2014) yang menyatakan bahwa, antara uang saku dengan
frekuensi konsumsi fast food dan soft drink tidak menunjukkan hubungan yang
nyata. Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian Pouraram et al. (2013) yang
menyatakan bahwa, terdapat hubungan positif yang signifikan antara besar uang
saku dan frekuensi konsumsi makanan berlemak dan fast food. Selain itu, Neeraj et
al. (2010) menyatakan terdapat hubungan positif antara uang saku dengan frekuensi
konsumsi soft drink. Bahria & Triyanti (2010) dalam penelitiannya menunjukkan
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara uang saku dengan konsumsi sayur,
namun terdapat hubungan yang signifikan antara uang saku dengan konsumsi buah.
Tidak terdapat hubungan pada penelitian ini diduga karena uang saku contoh dan
frekuensi konsumsi makanan relatif sama.
Terdapat hubungan yang signifikan antara besar uang saku dengan frekuensi
konsumsi makanan asin dan awetan (p=0.044;r=-0.226) dan minuman berkafein
(p=0.028;r=0.245). Kecenderungan positif terdapat antara uang saku dengan
frekuensi minuman berkafein, namun cenderung negatif dengan frekuensi makanan
asin dan awetan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin besar uang saku maka
semakin jarang mengonsumsi makanan asin dan awetan, tetapi cenderung lebih
sering mengonsumsi minuman berkafein. Hal ini sejalan dengan penelitian
Pouraram et al. (2013) bahwa uang saku berhubungan signifikan dengan frekuensi
konsumsi makanan asin. Diduga bahwa contoh meningkatkan konsumsi minuman
berkafein agar tidak mengantuk saat kegiatan perkuliahan berlangsung dan saat
malam hari ketika sedang mengerjakan tugas kuliah. Menurut Weinberg dan Bealer
(2002), faktanya pada orang sehat yang mengonsumsi kafein dapat memperbaiki
43

suasana hati, mempercepat respons, meningkatkan daya ingat, memperkuat


konsentrasi, dan menajamkan logika.
Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan hubungan yang tidak signifikan
antara asal daerah dengan frekuensi konsumsi makanan berlemak (p=0.857),
makanan asin dan awetan (p=0.054), konsumsi buah (p=0.113), konsumsi fast food
(p=0.283). Hasil uji Fisher menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara
asal daerah dengan frekuensi konsumsi makanan manis (p=0.228), konsumsi jeroan
(p=1.000), konsumsi sayur (p=0.531), konsumsi soft drink (p=0.512), dan konsumsi
minuman berkafein (p=0.384). Hal ini berarti frekuensi konsumsi makanan tidak
selalu dipengaruhi oleh asal daerah. Sejalan dengan penelitian Romo et al. (2009)
yang tidak menemukan hubungan antara kebiasaan makan dengan lama waktu
seseorang tinggal di suatu daerah. Hal ini karena semakin tinggi tingkat identitas
etnik dan perasaan memiliki, semakin besar persisten kebiasaan makan dari daerah
asal.

Hubungan Pengetahuan Gizi terkait Penyakit Degeneratif dengan Pola


Konsumsi dan Aktivitas Fisik
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif dengan frekuensi
konsumsi makanan berlemak (p=0.896; r=0.015), makanan manis (p=0.766; r=-
0.034), jeroan (p=0.246; r=-0.131), fast food (p=0.946; r=-0.005), dan soft drink
(p=0.156; r=-0.160). Terdapat kecenderungan positif antara pengetahuan dengan
frekuensi konsumsi makanan berlemak dan negatif dengan frekuensi makanan
manis, jeroan, fast food, dan soft drink. Artinya, semakin baik pengetahuan maka
frekuensi konsumsi makanan berlemak semakin tinggi dan frekuensi makanan
manis, jeroan, fast food, dan soft drink semakin rendah. Tidak terdapat hubungan
ini diduga karena dengan pengetahuan yang berbeda, frekuensi konsumsi makanan
pada kedua contoh relatif sama. Berbeda dengan penelitian Grosso et al. (2012)
yang menyatakan bahwa, pengetahuan gizi yang tinggi berhubungan signifikan
dengan rendahnya konsumsi makanan/ minuman manis, jajanan, dan gorengan.
Menurut Marina et al. (2013), pengetahuan gizi merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kebiasaan makan yang baik. Akan tetapi, pengetahuan gizi
yang dimiliki tersebut belum cukup mampu untuk mengarahkan seseorang dalam
pemilihan jenis makanan yang baik. Penelitian lain dari Hoppu et al. (2010)
menyatakan bahwa, faktanya pengetahuan tentang diet saja tidak cukup untuk
mengadopsi kebiasaan makan yang baik. Perlu adanya penyediaan makanan sehat
selama di lingkungan sekolah. Contento (2011) menjelaskan bahwa, kebiasaan dan
pemilihan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor kesukaan
dan sensori, faktor kepercayaan, sikap, dan norma serta ketersediaan makanan di
lingkungan tempat tinggal dan pengaruhnya. Pengaruh pemilihan pangan terdiri
dari pengaruh lingkungan sosial (praktik budaya dan struktur sosial), ekonomi
(sumber daya, harga, dan waktu), dan informasi yang tersedia (edukasi dan media).
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif dengan frekuensi
konsumsi makanan asin dan awetan (p=0.004; r=-0.322), sayur (p=0.040; r=0.230),
44

buah (p=0.007; r=0.299), dan minuman berkafein (p=0.036; r=-0.235). Hal ini
dapat diartikan bahwa semakin tinggi pengetahuan, frekuensi konsumsi sayur dan
buah semakin tinggi serta konsumsi makanan asin awetan dan minuman berkafein
semakin rendah. Menurut Grosso et al. (2012), pengetahuan gizi yang tinggi
berhubungan signifikan dengan tingginya konsumsi sayur dan buah. Dauchet et al.
(2007) menyatakan bahwa, tingginya konsumsi buah dan sayur berhubungan
dengan penurunan prevalensi hipertensi. Menurut Uiterwaal et al. (2007)
menunjukkan bahwa, seseorang yang tidak mengkonsumsi kopi memiliki risiko
rendah terkena hipertensi daripada orang yang mengonsumsi >0-3 gls/hari.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi terkait
penyakit degeneratif dengan aktivitas fisik (p=0.165;r=-0.157). Hal ini dapat
diartikan bahwa semakin tinggi pengetahuan contoh maka aktivitas fisiknya
semakin rendah. Sejalan dengan penelitian Zulaika (2011), yang menemukan
hubungan tidak signifikan antara pengetahuan gizi dengan aktivitas fisik. Tidak ada
hubungan yang signifikan pada penelitian ini diduga karena aktivitas fisik kedua
contoh relatif sama. Berbeda dengan penelitian Grosso et al. (2012) yang
menyatakan bahwa, seseorang yang memiliki pengetahuan gizi tinggi tidak
mungkin menghabiskan waktunya lebih dari 3 jam untuk kegiatan sedentari setiap
harinya. Jamner et al. (2004) dalam penelitiannya menyebutkan, intervensi berbasis
sekolah yang bertujuan meningkatkan aktivitas remaja dengan kebiasaan sedentari
berhubungan signifikan dengan aktivitas fisik rendah, sedang, dan tinggi, dimana
ntervensi tersebut dapat meningkatkan aktivitas fisik remaja.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian ini menggunakan 80 orang contoh diantaranya 40 contoh GIZ dan


40 contoh MNH. Rata-rata uang saku per bulan contoh GIZ lebih tinggi dibanding
contoh MNH. Mayoritas contoh berasal dari Pulau Jawa. Rata-rata pendapatan per
bulan orang tua contoh GIZ lebih tinggi dibanding contoh MNH. Sebagian besar
orang tua kedua contoh tidak memiliki riwayat penyakit degeneratif.
Sumber informasi terbanyak yang diperoleh terkait pengetahuan gizi
mengenai penyakit degeneratif adalah dari institusi pendidikan. Contoh GIZ
memiliki pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif lebih baik dibanding contoh
MNH. Rata-rata frekuensi konsumsi makanan berlemak dan jeroan, makanan
manis, makanan asin dan awetan, fast food, soft drink, dan minuman berkafein lebih
tinggi pada contoh MNH dibanding contoh GIZ. Namun, frekuensi konsumsi sayur
dan buah lebih tinggi pada contoh GIZ dibanding contoh MNH. Tingkat aktivitas
fisik kedua contoh termasuk dalam kategori ringan dengan rata-rata tingkat
aktivitas fisik keduanya relatif sama. Berdasarkan hasil uji beda Mann Whitney,
terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara riwayat penyakit orang tua,
45

pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif, frekuensi konsumsi makanan asin


dan awetan, konsumsi buah serta minuman berkafein kedua contoh. Hasil uji beda
Independent Sample t Test menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan
(p<0.05) antara tekanan darah diastol kedua contoh.
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan (p<0.05) antara pendapatan orang tua dengan uang saku per bulan
contoh. Besar uang saku dengan frekuensi konsumsi makanan asin dan awetan serta
minuman berkafein. Pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif dengan frekuensi
konsumsi makanan asin dan awetan, sayur, buah, dan minuman berkafein.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan (p ≥0.05) antara pendapatan dan
riwayat penyakit orang tua serta asal daerah orang tua dengan frekuensi konsumsi
makanan berlemak dan jeroan, makanan manis, makanan asin dan awetan, buah,
sayur, fast food, soft drink, dan minuman berkafein. Besar uang saku dengan
frekuensi konsumsi makanan berlemak, makanan dan minuman manis, jeroan,
sayur, buah, fast food, dan soft drink. Pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif
dengan frekuensi konsumsi makanan berlemak dan jeroan, makanan manis, fast
food, soft drink serta aktivitas fisik.

Saran

Peningkatan program atau kegiatan oleh pemerintah dan perguruan tinggi


dalam meningkatkan pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif melalui seminar,
penyuluhan gizi, dan konsultasi gizi serta berbagai media massa lainnya untuk
mahasiswa non gizi. Selain itu untuk mahasiswa gizi, pengajaran dengan media
yang lebih interaktif diperlukan untuk memberikan informasi yang lebih mendalam
terkait penyakit degeneratif. Ketersediaan makanan sehat di lingkungan kampus
perlu diimplementasikan dan pemilihan makanan yang selektif pada mahasiswa
untuk dikonsumsi serta meningkatkan aktivitas fisik sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya penyakit degeneratif sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyiyah FN. 2009. Faktor risiko hipertensi pada empat kabupaten/ kota dengan
prevalensi hipertensi tertinggi di Jawa dan Sumatera [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Almatsier S. 2013. Prinsip Dasar Ilmu Gizi Edisi 9. Jakarta (ID): PT. Gedia Pustaka
Utama.
Atmarita, FTS. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Di dalam:
Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta (ID): LIPI.
Awosan KJ, Ibrahim MTO, Essien E, Yusuf AA, Okolo AC. 2014. Dietary pattern,
lifestyle, nutrition status, and prevalensi of hypertension among traders in
46

sokoto central market, sokoto, nigeria. International Journal of Nutrition and


Metabolism. 6(1):9-17.doi:10.5897/IJNAM2013.0158.
Aziz K, Leila A, Gholamreza S, Behzad M, Afshan S. 2014. Sodium intake, dietary
knowledge, and illness perceptions of controlled and uncontrolled rural
hypertensive patiens. International Journal of
Hypertention.doi:10.1155/2014/245480.
Bahria dan Triyanti. 2010. Faktor-faktor yang terkait dengan konsumsi buah dan
sayur pada remaja di 4 SMA Jakarta Barat. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
4(2):63-71.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah dan Presentase penduduk miskin, garis
kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan
kemiskinan (P2) menurut provinsi, Maret 2014. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia.
[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencanna Nasional. 2-5
Pendapatan keluarga. 2005. BKKBN [Internet]. [diunduh 2014 Des 31].
Tersedia pada: http://www.bkkbn.go.id.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2011. Physical Activity
[Internet]. [diunduh 2015 Mar 23]. Tersedia pada:
http://www.cdc.gov/physicalactivity/everyone/guidelines/adults.html.
Contento IR. 2011. Nutrition Education: Linking Research, Theory, and Practice
2nd ed. America (US): Jones and Bartlett Publishers.
Dauchet et al. 2007. Dietary patterns and blood pressure change over 5-y follow-
up in the SU.VI.MAX cohort. Am J Clin Nutr. 85:1650-6.
Eugene CR, Wylie B, Caryl JH, Susanne H, Linda P, M Priscilla S, Louise A. 2004.
Reconsidering the family history in primary care. Review J Gen Intern Med.
19:273-280.
[FAO] Food and Nutrition Technical Report Series. 2001. Human Energy
Requirements. Rome: FAO/WHO/UNU.
Fitriana N. 2011. Kebiasaan sarapan, aktivitas fisik, dan status gizi mahasiswa
mayor ilmu gizi dan mayor konservasi sumberdaya hutan dan ekowisata IPB
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Grosso G, Antonio M, Giovanna T, Hellas C, Carla R, Fabio G. 2012. Nutrition
knowledge and other determinants of food intake and lifestyle habits in
children and young adolescents living in a rural area of sicily, south italy.
Public Health Nutrition. 1-10.doi: 10.1017/S1368980012003965.
Handajani A, Betti R, Herti M. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pola
kematian pada penyakit degeneratif di Indonesia. [Buletin Penelitian]. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 13(1):42-53.
Hariri S, Yoon PW, Qureshi N, Rodoflo V, Scheuner MT, Khoury MJ. 2006.
Family history of type 2 diabetes: a population-based screening tool for
prevention?. Genetics in Medicine. 8(2): 102-
108.doi:10.1097/01.GIM.0000200949.52795.df.
Hayati F. 2000. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi fast food
waralaba modern dan tradisional pada remaja siswa SMU Negeri di Jakarta
Selatan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
47

Hoppu U, Lehtisalo, Tapanainen H, Pietinen P. 2010. Dietary habits and nutrient


intake of finnish adolescents. Public Health Nutrition. 13(6A):965-
972.doi:10.1017/S1368980010001175.
Hurst M. 2008. Pathophysiology Review. America (US): McGraw-Hill Companies.
Jamner MS, Donna SM, Stan B, Dan MC. 2004. A controlled evaluation of a
school-based intervention to promote physical activity among sedentary
adolescent females: project FAB. Journal of Adolescent Health. 34(4):279-
289.doi: 10.1016/j.jadohealth.2003.06.003.
Jason PB, Richard AS, Karen BD. 2004. Fast food, race/ ethnicity, and income.
American Journal of Preventive Medicine. 27(3):211-
217.doi:10.1016/j.amepre.2004.06.007.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Strategi
nasional penerapan pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik untuk
mencegah penyakit tidak menular. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI.
Khasanah N. 2012. Waspadai Beragam Penyakit Degeneratif Akibat Pola Makan.
Jogjakarta (ID): Laksana.
Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Jurusan
Ilmu Gizi dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
. 2004. Pangan dan Gizi Kesehatan 2. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo
Persada.
. 2009. Aspek Sosio-Budaya Gizi dan Sistem Pangan Suku Baduy. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Kurniadi H. 2013. Stop! Gejala Penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta (ID):
Familia.
Kusharto CM. 2006. Serat makanan dan peranannya bagi kesehatan. Jurnal Pangan
dan Gizi. Vol.1(2): 45-54.
Madanijah S. 2003. Model pendidikan “GI-PSI-SEHAT” bagi ibu serta dampaknya
terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan dan status
gizi anak usia dini [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Malik VS, Barry MP, George AB, Jean PD, Walter CW, Frank BH. 2010. Sugar-
sweetened beverages and risk of metabolic syndrome and type 2 diabetes.
Diabetes Care. 33(11):2477-2483.
Marina DN, Milivoj D, Ana V. 2013. Nutritional and physical activity behaviours
and habits in adolescent population of belgrade. Vojnosanit Pregl. 70(6):548-
554.doi: 10.2298/VSP1306548D.
Muchtadi D. 2013. Pangan dan Kesehatan Jantung. Bandung (ID): Alfabeta.
Montazerifar F, Karajibani M, Dashipour AR. 2012. Evaluation of dietary intake
and food patterns of adolescent girls in sistan and baluchistan province, iran.
Functional Foods in Health and Disease. 2(3):62-71.
Nelms M, Kathryn P.Sucher, Karen L, Sara LR. 2010. Nutrition Therapy &
Pathophysiology 2/e. United States (US): Cengange Learning.
Neeraj G, Dhiraj S, Paharam A. 2010. Study to assess the prevalence of soft
drinking and its determinants among the school going children of gwalior
city. Journal of Health and Allied Sciences. 9(2):5.
Noia JD, Schinke SP, Contento IR. 2007. Dietary fat intake among urban, afrika
american adolescents. Eating Behaviour. 2(2008):251-
256.doi:10.1016/j.eatbeh.2007.07.006.
48

Notoatmodjo S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi 3. Jakarta (ID):


Rineka Cipta.
Nurrahmani U. 2012. Stop! Diabetes Melitus. Yogyakarta (ID): Familia.
Nuryati S. 2009. Gaya hidup dan status gizi serta hubungannya dengan hipertensi
dan diabetes melitus pada pria dan wanita dewasa di DKI Jakarta [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman
Gizi Seimbang. Permenkes RI No 41 tahun 2014 [Internet]. [diunduh 2015
Mar 23]. Tersedia pada: http://www.hukor.depkes.go.id/.
Pouraram H, Mitra A, Abolghasem D, Mohammad RE, Elham K. 2013. Dietary
pattern of adolescent girls in relation to socio-economic factors; a comparison
between north and south tehran. Journal of Paramedical Science. 4(4):2008-
4978.
Raviany AHS. 2011. Analisis pengaruh efektivitas iklan pesaing dan perilaku
mencari variasi terhadap perilaku perpindahan merek pada konsumen teh
botol sosro [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Ridwan M. 2002. Mengenal, Mencegah, Mengatasi Silent Killer Jantung Koroner.
Semarang (ID): Pustaka Widyamara.
Romo R, Jose MG. 2009. Ethnic identity and dietary habits among hispanic
immigrants in Spain.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Setyowati YD. 2014. Hubungan aktivitas fisik, konsumsi fast food dan soft drink
pada anak obesitas di usia sekolah dasar. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sharon RR, Kathryn P, Ellie W. 2008. Understanding Normal and Clinical
Nutrition, Eighth Edition. Canada (US): Wadsworth Chengage Learning.
Sihombing M. 2010. Hubungan perilaku merokok, konsumsi makanan/ minuman
manis, dan aktivitas fisik dengan penyakit hipertensi pada responden obes
usia dewasa di Indonesia. [Artikel Penelitian]. Maj Kedokt Indo. 60(9):406-
412.
Soekanto S. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): Rajawali Press.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Uiterwaal, Monique V, Bas Bueno, Marga O, Johanna MG, Hendriek CB, Petra
HMP, Edith JMF, Diederick EG. 2007. Coffee intake and insidence of
hypertension. Am J Clin Nutr. 85(3):718-723.
Vaida N. 2013. Prevalence of fast food intake among urban adolescent students.
IJES. 2(1):353-359.
Vartanian LR, Marlene BS, Kelly DB. 2007. Effects of soft drink consumption on
nutrition and health: a systematic review and meta-analysis. Am J Public
Health. 97:667-675.doi:10.2105/AJPH.2005.083782.
Vasanti SM, Barry MP, George AB, Jean PD, Walter CW, Frank BH. 2010. Sugar
sweetened beverage and type of metabolic syndrome and type 2 diabetes.
Journal of Diabetes Care. 33(11):2477-2483.
Verzeletti C, Maes L, Santinello M, Vereecken CA. 2009. Soft drink consumption
in adolescence: associattions with food-related lifestyles and family rules in
49

Belgium Flanders and the Veneto Region of italy. Journal of Public Health.
20(3):312-317.doi:10.1093/eurpub/ckp150.
Weinberg BA and Bealer BK. 2002. The Miracle of Caffeine: Manfaat Tak Terduga
Kafein Berdasarkan Penelitian Paling Mutakhir. Warastuti, penerjemah;
Ekawati RS dan Aini N, editor. Bandung (ID): PT. Mizan Publika.
Terjemahan dari: The Caffeine Advantage.
Werner WKH and Sharon AH. 2005. Life Time Physical Fitness and Wellness a
Personalized Prog. America (US): Thomson Learning.
[WHO] World Health Organization. 2003. WHO Fruit and vegetable promotion
initiative-report of the meeting. Geneva, 25-27 August 2003. Geneva,
Switzerland (EU): World Health Organization.
. 2008. Intervention Diet and Physical Activity:
What Works.
. 2011. Noncommunicable Disease Country
Profile. Geneva, Switzerland (EU): World Health Organization.
Wilson ED, Anthony DO, Louise H, David C, Timothy D. 2009. Influences on
consumption of soft drinks and fast foods in adolescents. Asia Pasific Journal
Clinical Nutrition. 18(3):447-452.
Wulansari ND. 2009. Konsumsi serta preferensi buah dan sayur pada remaja SMA
dengan status sosial ekonomi yang berbeda di Bogor [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Zulaika. 2011. Konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik orang dewasa yang
berstatus gizi obes dan normal [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
50
51

LAMPIRAN
52
53

Lampiran 1 Daftar dosis kafein berdasarkan berat badan

Dosis yang setara Dosis tersebut dapat


Berat badan dengan berat badan (mg diperoleh dari kopi
kafein) saring sebanyak
45 kg 100 mg 120 ml
54 kg 120 mg 150 ml
67.5 kg 150 mg 180 ml
79 kg 175 mg 210 ml
90 kg 200 mg 240 ml
112.5 kg 250 mg 300 ml
135 kg 300 mg 360 ml
Sumber: Weinberg dan Bealer (2002)
54

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 7 Januari 1993. Penulis adalah


anak pasangan Bapak Sumanto dan Ibu Wartianah. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri
Kutukulon Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo pada tahun 2005. Kemudian
penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1
Jetis Ponorogo hingga tamat pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMA Negeri 1 Ponorogo dan tamat pada tahun 2011. Penulis lulus
seleksi masuk IPB melalui jalur SNMPTN Undangan pada tahun 2011. Penulis
lulus seleksi masuk IPB dengan mendapatkan kursi di Departemen Ilmu Gizi,
Fakultas Ekologi Manusia.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kepengurusan divisi
Keprofesian HIMAGIZI dan sekretaris Eco Agrifarma periode 2013/2014. Selain
itu, penulis juga pernah menjadi bendahara divisi konsumsi dalam kegiatan I-Share
(IPB Social and Healthy Care) tahun 2013 dan menjadi anggota kepanitiaan divisi
dana usaha pada Seminar Gizi Nasional “Nutrition Fair” tahun 2013. Penulis juga
pernah menjadi panitia dalam acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ILMAGI V
pada tahun 2013. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Analisis
Zat Gizi Mikro, Analisis Zat Gizi Makro, dan Metodologi Penelitian Gizi pada
tahun ajaran 2014/2015. Penulis mengikuti kegiatan pelatihan Good Laboratory
Practices (GLP) pada Januari 2015. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di
Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor pada bulan Juli
hingga Agustus 2014. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Kerja Lapang/
Internship Dietetic pada bulan September sampai Oktober 2014 di Rumah Sakit
Umum Pusat dr. Hasan Sadikin, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai